Api Di Bukit Menoreh 29
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29
"Kita harus segera membawa keduanya ketempat yang lebih baik. Kita akan membawa mereka ke rumah Ki Gede," berkata Pangeran Benawa.
"Ya. Aku akan mengambil pedati. Sebaiknya Pangeran tinggal disini.," sahut Ki Gede.
Pangeran Benawa mengangguk. Namun kemudian katanya, "Bukankah lebih baik jika Ki Lurah menyertai Ki Gede?"
"Ya Pangeran," jawab Ki Lurah, "memang sudah terpikir olehku. Sementara itu Pangeran berada disini bersama Sekar Mirah."
Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Gede dan Ki Lurah Branjangan itupun dengan tergesa-gesa telah pergi ke padukuhan terdekat untuk mencari sebuah pedati yang akan dapat membawa Agung Sedayu dan Ki Waskita ke rumah Ki Gede Menoreh untuk mendapat perawatan yang lebih baik.
Kedatangan Ki Gede telah mengejutkan orang-orang di padukuhan itu. Namun mereka tidak banyak mendapat kesempatan karena Ki Gede dengan tergesa-gesa minta disediakan sebuah pedati.
"Tolong, agak cepatlah sedikit," minta Ki Gede.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya orang-orang di padukuhan itu.
"Nanti aku akan berceritera. Tetapi waktuku sekarang sangat sempit," jawab Ki Gede.
Orang-orang dipadukuhan itupun menyadari, bahwa Ki Gede tentu mempunyai persoalan yang cukup gawat. Karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak bertanya lagi. Dengan tergesa-gesa mereka telah menyiapkan sebuah pedati seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede.
Sementara itu, maka Ki Gedepun telah bertanya kepada seseorang di padukuhan itu, "Apakah ada diantara kalian yang dapat pergi berkuda?"
"Ada Ki Gede," jawab orang itu.
"Panggil orang itu." minta Ki Gede.
Sejenak kemudian seorang anak muda telah datang menghadap Ki Gede dengan wajah kusut. Katanya, "Maaf Ki Gede aku belum mandi."
"Tidak apa-apa. Tolong, pergilah kerumahku. Katakan kepada mereka yang bertugas. Siapkan tempat untuk merawat seseorang yang terluka," berkata Ki Gede kepada anak muda itu.
"Siapa yang terluka Ki Gede?" bertanya anak muda itu.
"Nanti kau akan tahu," jawab Ki Gede. Lalu, "Kirimkan beberapa orang ke Watu Lawang. Aku ada disana."
Anak muda itupun tidak banyak bertanya. Dengan tergesa-gesa iapun segera mempersiapkan diri dan kudanya.
Ketika sebuah pedati berjalan dengan lamban ke Watu Lawang, maka anak muda itupun telah berpacu ke padukuhan induk.
Dalam pada itu. Pangeran Benawa yang juga terluka, tetapi seolah-olah tidak terasa setelah diobatinya sendiri dan Sekar Mirah dengan tegang menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita yang terbaring. Namun agaknya keduanya masih tetap menyadari apa yang terjadi. Bahkan Pangeran Benawa masih sempat berkata kepada ki Waskita, "Ki Waskita terlalu percaya kepada bajak laut itu."
"Aku tidak menyangka bahwa hal itu terjadi Pangeran," jawab Ki Waskita.
"Mereka memang orang-orang licik yang dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan segala macam ikatan dan paugeran," berkata Pangeran Benawa.
"Aku memang tidak menyangka bahwa pada saat terakhir itu bajak laut itu akan menyerangku dengan tiba-tiba," desis Ki Waskita. "Aku menyangka bahwa ia justru akan menyerang Pangeran."
"Ya. Semula akupun menyangka begitu. Karena itu, aku bersiap sepenuhnya menghadapi keadaan yang demikian. Namun ternyata bahwa orang itu justru menyerang Ki Waskita. Agaknya Ki Waskita kurang bersiap menghadapi hal itu," berkata Pangeran Benawa.
"Aku memang kurang berhati-hati.," desis Ki Waskita, "justru karena aku tidak menyangka sama sekali. Aku berharap orang itu benar-benar akan menyerah."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Nampaknya kelengahan itu berakibat parah bagi Ki Waskita.
Sementara itu. Sekar Mirahpun masih saja dicengkam ketegangan melihat keadaan Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak menjadi pingsan karena luka-lukanya. Namun ia nampak terlalu lemah.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka sebuah pedati telah terdengar datang mendekat. Suara roda-rodanya gemeretak dijalan berbatu-batu menuju ke Watu Lawang.
"Pedati itu sudah datang," berkata Pangeran Benawa.
"Ya," sahut Sekar Mirah. Lalu katanya kepada Agung Sedayu sebentar lagi kita meninggalkan tempat ini kakang."
Agung Sedayu mengangguk kecil sambil berdesis, "Keadaanku sudah berangsur baik Mirah."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tahu bahwa luka-luka Agung Sedayu adalah luka yang parah.
Sejenak kemudian, maka sebuah pedati telah datang menghampiri mereka yang berada di Watu Lawang itu. Ki Gede yang ada didalam pedati itupun segera meloncat diikuti oleh Ki Lurah Branjangan.
Namun dalam pada itu, telah terdengar pula derap kaki-kaki kuda mendatang. Beberapa orang pengawal dengan tergesa-gesa telah menuju ke Watu Lawang, sebagaimana dikatakan oleh anak muda yang mendapat perintah oleh Ki Gede untuk memberitahukan kepada para pengawal di rumah Ki Gede.
Ki Gede yang melihat sekelompok pengawal mendatanginya, segera menyambut mereka. Anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itupun segera berloncatan turun dari kuda mereka.
"Apa yang terjadi Ki Gede," bertanya pengawal yang tertua diantara mereka.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Telah terjadi sesuatu disini. Kau lihat. Agung Sedayu dan Ki Waskita terluka. Kita akan membawa mereka ke padukuhan induk dengan pedati itu. Sementara tugas kalian adalah menyelenggarakan penguburan tiga sosok mayat yang ada di sekitar tempat itu."
"Mayat?" bertanya anak muda itu.
Ki Gede termangu-mangu. Ia demikian tergesa-gesa mencari sebuah pedati sehingga ia tidak sempat meyakinkan apakah ketiga bajak laut itu sudah terbunuh.
Namun Pangeran Benawa yang mendengarkan pembicaraan itu telah menjawab, "Ya. Tiga sosok mayat."
Sejenak kemudian anak-anak muda itu telah berloncatan pula. Atas petunjuk Ki Gede, maka merkapun segera mengamati tiga sosok tubuh yang terbaring diam. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa ketiga nya telah menjadi mayat.
"Nah," berkata Ki Gede, "lakukan sebagaimana seharusnya. Aku akan membawa Ki Waskita dan Agung Sedayu, agar mereka segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Ki Gede dibantu oleh Ki Lurah dan Pangeran Benawa sendiri telah mengangkat dan meletakkan Agung Sedayu dan Ki Waskita kedalam pedati, sementara anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan itu mengumpulkan tiga sosok mayat bajak laut yang telah terbunuh.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menyaksikan tempat yang telah menjadi arena pertempuran di Watu Lawang. Meskipun mereka tidak menyaksikan langsung pertempuran itu, tetapi mereka dapat membayangkan, betapa dahsyatnya.
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh pernah melihat sebatang randu alas yang menjadi kering setelah terjadi perang tanding yang dahsyat dibawah pohon itu. Dan kini mereka menyaksikan Watu Lawang yang seakan-akan merupakan bekas padang perdu yang terbakar. Daun-daun menjadi kuning dan dahan-dahan berpatahan. Tanah bagaikan habis dibajak dan baru-batu padas pecah berserakan.
Selagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sibuk dengan ketiga sosok mayat sambil mengagumi ilmu mereka yang telah bertempur di Watu Lawang itu, maka Ki Gede telah siap untuk meninggalkan tempat itu dengan sebuah pedati. Kepada anak-anak muda yang ada di Watu Lawang, maka sekali lagi Ki Gede berpesan, agar mereka menyelenggarakan mayat-mayat itu sebagaimana seharusnya.
Namun demikian, tiga orang diantara anak-anak muda itu telah mendapat perintah dari Ki Gede untuk mengikutinya membawa Ki Waskita dan Agung Sedayu yang terjuka.
"Marilah Pangeran," Ki Gede mempersilahkan, "aku mohon Pangeran singgah barang sebentar di rumah."
Ternyata Pangeran Benawa tidak menolak. Betapapun juga, ia merasa tubuhnya menjadi sangat letih. Apalagi iapun sebenarnya telah terluka pula, meskipun tidak parah.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Watu Lawang. Karena diantaranya terdapat sebuah pedati, maka perjalanan itupun menjadi sangat lambat.
Namun untunglah, bahwa keadaan Agung Sedayu tidak terlalu mencemaskan. Meskipun ia terluka parah, tetapi ia tetap menyadari keadaannya sebagaimana Ki Waskita.
"Keadaan ini telah terulang beberapa kali," berkata Ki Gede didalam hatinya, "setiap kali Agung Sedayu mendapat lawan yang luar biasa, sehingga ia sendiri harus mengalami kesulitan jasmaniah. Untunglah, setiap kali anak muda itu berhasil mengatasinya."
Sementara itu. Sekar Mirah yang ada didalam pedati pula menunggui suaminya dengan jantung yang berdebaran. Bagaimanapun tabahnya hati murid Ki Sumangkar itu, tetapi menghadapi keadaan Agung Sedayu itu ternyata matanya menjadi panas pula. Hanya dengan usaha yang keras sajalah Sekar Mirah dapat bertahan untuk tidak menangisi suaminya sebagaimana dilakukan oleh seorang perempuan.
Dalam pada itu, sebuah iring-iringan yang lain telah memasuki tlatah Tanah Perdikan pula. Pandan Wangi yang berada di sebelah Glagah Putih berkata, "Kita sudah dekat. Seperti yang kita perhitungkan, kita memasuki Tanah Perdikan Menoreh setelah langit menjadi cerah."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan katanya kemudian, "Tanah Perdikan ini telah terbangun."
"Lihat Glagah Putih," berkata Pandan Wangi kemudian, "bukankah kehidupan berlangsung sebagaimana biasa Jika terjadi sesuatu, kita akan dapat melihat Tanah Perdikan ini menjadi gelisah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Jika perang tanding itu terjadi tanpa diketahui oleh orang-orang lain di Taliah Perdikan ini, maka mereka sama sekali tidak merasa gelisah."
"Memang mungkin," berkata Pandan Wangi, "tetapi perang tanding itu akan membangunkan orang-orang Tanah Perdikan ini. Jika seorang saja diantara orang Tanah Perdikan ini yang mengetahui apalagi melihatnya, maka seluruh Tanah Perdikan akan segera membicarakannya. Kecuali jika perang tanding itu terjadi disatu tempat yang benar-benar tersembunyi."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi semakin dekat mereka dengan padukuhan induk, rasa-rasanya hatinya menjadi semakin gelisah.
Tetapi Pandan Wangi dan Swandaru justru sebaliknya. Tanah Perdikan itu memang nampak tenang saja seperti hari-hari yang lain. Seakan-akan memang tidak terjadi sesuatu yang mengguncangkannya pada saat-saat fajar menyingsing.
Bahkan ketika seorang petani melihat kehadiran Pandan Wangi bersama suaminya dan Kiai Gringsing, telah menyapanya dengan wajah berseri seperti cerahnya pagi. "Pagi-pagi benar kalian sudah datang di Tanah ini. Selamat datang atas kehadiran kalian."
Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, "Tanah ini bagaikan memanggilku kemari. Karena itu, aku telah berangkat malam tadi. Aku memang ingin melihat fajar yang naik dari Tanah Kelahiran ini."
Petani itu tertawa. Katanya, "Silahkan. Tetapi kedatangan kalian pagi-pagi sekali akan dapat mengejutkan Ki Gede."
"Apakah ayah sedang disibukkan oleh sesuatu?" bertanya Pandan Wangi.
"Tidak. Kemarin Ki Gede melihat-lihat daerah ini seperti yang biasa dilakukannya," jawab petani itu.
"Terima kasih," sahut Pandan Wangi sambil meneruskan perjalanannya.
Beberapa langkah kemudian Pandan Wangipun berkata, "Kau lihat Glagah Putih. Bukankah keadaan tetap tenang di Tanah Perdikan ini. Karena itu, kau tidak perlu gelisah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu merekapun menjadi semakin dekat pula dengan padukuhan induk.
Memang tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa telah jadi sesuatu yang menggetarkan diatas Tanah Perdikan itu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Di jalan-jalan yang menghubungkan pedukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, menjadi semakin ramai oleh orang-orang yang pergi kepasar dan pergi ke sawah ladang mereka. Satu dua pedati nampak berjalan perlahan-lahan ditarik oleh dua ekor lembu.
Dalam kesibukan yang semakin meningkat itu, maka Pandan Wangi bersama suaminya, Glagah Putih dan Kiai Gringsing telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tanpa menghiraukan sebuah pedati yang merayap pula mendekati gerbang padukuhan induk itu.
Sebenarnyalah bahwa pedati yang diiringi oleh beberapa orang berkuda itu adalah pedati yang membawa Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Dalam pada itu, memang tidak nampak tanda-tanda kegelisahan di padukuhan induk. Karena itu, maka iring-iringan yang datang dari Sangkal Putung itupun sama sekali tidak menyangka, bahwa sesuatu memang sebenarnya telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan wajah yang cerah Pandan Wangi memasuki gerbang halaman rumah ayahnya. Beberapa orang anak muda yang masih ada di halaman itu terkejut melihat kehadirannya. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa sepagi itu Pandan Wangi yang berada di Sangkal Putung, suatu Kademangan yang jauh, telah berada dipintu gerbang rumah itu.
Pandan Wangi tersenyum melihat ikap anak-anak muda yang termangu-mangu. Karena itu, maka iapun segera meloncat turun dari kudanya sambil berkata, "Selamat pagi. Kalian memang tidak bermimpi. Aku benar-benar telah datang di pagi-pagi seperti ini."
"O," seorang peronda mengangguk-angguk, "marilah. Naiklah."
Pandan Wangi memandang anak-anak muda yang masih ada di rumah ayahnya itu. Kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, "Apakah menjadi kebiasaan kalian, bahwa kalian meronda sampai pagi seperti ini?"
"Tidak Pandan Wangi," jawab peronda yang tertua, "biasanya kami meninggalkan gardu didepan sebelum matahari terbit. Tetapi pagi ini ada sesuatu yang menahan kami disini."
"O." Pandan Wangi mengangguk-angguk, "apakah yang telah menahan kalian" Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi ?"
Peronda itu termangu-mangu sejenak. Ada keragu-raguan untuk mengatakan tentang peristiwa yang didengarnya di Watu Lawang, karena ia sendiri masih belum terlalu jelas akan peristiwa itu.
Karena itu, maka peronda itu telah mempersilahkan Pandan Wangi untuk naik kependapa, "Silahkan. Duduk sajalah dahulu."
Pandan Wangi mulai merasa sesuatu yang mendebarkan. Hampir diluar sadarnya Pandan Wangi bertanya, "Apakah ayah ada dirumah?"
Peronda itu masih saja termangu-mangu. Sehingga Glagah Putihlah yang mendesak, "Apa yang sebenarnya telah terjadi" Apakah Ki Gede tidak ada dirumah?"
"Ki Gede nganglang sejak ujung malam." jawab peronda itu, "agaknya Ki Gede telah mengelilingi seluruh Tanah Perdikan."
"Jadi sejak Ki Gede pergi di permulaan malam kemarin, sampai saat ini masih belum kembali?" desak Glagah Putih.
Peronda itu mengangguk. Tetapi katanya, "Ki Gede memang sering pergi mengelilingi Tanah Perdikan ini. Mungkin Ki Gede telah singgah di barak pasukan khusus."
Jantung Glagah Putih mulai berdentangan. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi" Jangan berteka-teki."
Peronda itu menjadi semakin ragu. Namun tidak seorangpun diantara kawan-kawannya yang dapat mengatakan sesuatu. Kawan-kawannyapun hanya dapat berdiam diri dengan dada yang berdebaran. Seperti peronda yang tertua itu mereka ragu-ragu. Apakah sebaiknya mereka mengatakan serba sedikit tentang persoalan di Watu Lawang sebagaimana yang mereka dengar atau tidak. Karena yang mereka tahu hanyalah, beberapa orang kawannya telah dipanggil dengan tergesa-gesa.
Sementara keragu-raguan mencengkam halaman rumah Ki Gede, sebuah pedati merambat memasuki gerbang padukuhan induk. Namun tidak seorangpun yang menyangka bahwa didalam pedati itu terdapat dua orang yang terluka.
Meskipun demikian, bahwa beberapa orang mengiringi pedati yang berjalan lambat itu memang sudah menarik perhatian. Tetapi setiap kali orang bertanya tentang pedati itu, maka tidak seorangpun yang mengatakan yang sebenarnya. Karena itu, maka tidak seorangpun yang kemudian mempersoalkannya lagi.
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun telah mendekati gerbang rumah Ki Gede tanpa hambatan. Namun demikian mereka memasuki halaman, maka para pengiringpun telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang yang sedang termangu-mangu di halaman itu.
"Pandan Wangi," Ki Gede hampir berteriak menyapa ketika ia melihat Pandan Wangi.
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dilihatnya ayahnya mendekatinya dengan tergesa-gesa, sementara pedati itupun telah memasuki halaman pula.
"Kapan kau datang?" bertanya Ki Gede.
"Baru saja ayah," jawab Pandan Wangi, "bersama kakang Swandaru dan Kiai Gringsing."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya menantunya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah Kiai Gringsing sejenak.
"Selamat datang," desisnya.
Swandaru mengangguk hormat sementara Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam. Nalurinya telah menangkap bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu, maka jawabnya, "Kami selamat diperjalanan Ki Gede. Tetapi rasa-rasanya kami telah datang pada saat yang kurang baik."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Marilah. Silahkan naik kependapa."
Ki Gede memandang wajah Pandan Wangi yang gelisah. Sementara Swandarupun bertanya, "Apakah sesuatu telah terjadi?"
Ki Gede tidak segera menjawab. Sementara Ki Lurah Branjanganpun telah mendekati mereka pula.
Namun dalam pada itu, Glagah Putihlah yang tidak dapat menunggu. Tiba-tiba saja ia telah berlari menyongsong pedati yang kemudian melintasi halaman dan langsung menuju ke serambi gandok.
Tetapi pada saat yang bersamaan. Sekar Mirahpun telah meloncat turun dari pedati itu. Ketika dilihatnya Pandan Wangi, maka iapun berlari kearahnya. Dengan serta merta iapun telah memeluk Pandan Wangi. Dan pada saat yang demikian, maka Sekar Mirah tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya sebagai seorang perempuan. Yang telah ditahankannya dengan sekuat-kuatnya, tiba-tiba saja telah meledak, maka Sekar Mirahpun telah menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Pandan Wangi.
Maka semakin jelaslah bahwa memang telah terjadi sesuatu. Tangis Sekar Mirah benar-benar telah menggetarkan jantung orang-orang yang menyaksikannya.
"Ada apa dengan Agung Sedayu?" bertanya Kiai Gringsing yang gelisah.
Sekar Mirah tidak sempat menjawab. Tangisnya bagaikan menghentak-hentak.
Karena itu, mika Kiai Gringsingpun kemudian memandangi pedati yang berhenti didepan serambi gandok. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Pangeran."
Swandarupun kemudian melihat Pangeran Benawa berdiri disebelah pedati yang telah berhenti. Sementara Glagah Putih yang berdiri mendekati pedati itu justru tidak melihatnya, karena ia langsung menjengukkan kepalanya kedalam pedati.
"Kakang Agung Sedayu," Glagah Putih hampir berteriak.
Dilihatnya Agung Sedayu terbaring diam didalam pedati itu disebelah Ki Waskita yang terbaring pula.
Namun Glagah Putih itupun mendengar jawaban perlahan-lahan, "Aku tidak apa-apa Glagah Putih."
"O," Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Pada saat ia melihat Agung Sedayu terbujur diam, maka hatinya seakan-akan telah terhenyak kedalam satu anggapan yang paling pahit. Bahkan rasa-rasanya darahnya bagaikan berhenti mengalir. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu itu masih tetap hidup.
Ki Gede dan Ki Lurah Branjanganpun kemudian membawa Kiai Gringsing dan Swandaru mendekati Pangeran Benawa. Sementara itu, Ki Gede itupun berkata, "Agung Sedayu dan Ki Waskita. Tetapi mereka masih tetap menyadari keadaannya."
Ketika Kiai Gringsing mendekati Pangeran Benawa, maka iapun mengangguk hormat sambil bertanya, "Apa yang sudah terjadi Pangeran?"
Pangeran Benawa memandang kearah pedati yang berhenti didepan serambi gandok itu sambil berdesis, "Untuk seterusnya adalah tugas Kiai. Keduanya memerlukan pengobatan yang sebaik-baiknya. Untunglah bahwa Kiai datang pagi ini, pada saat yang sangat diperlukan."
"Akulah yang terlambat," tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, "aku ternyata tidak dapat melakukan tugasku sebaik-baiknya. Aku telah gagal membawa Kiai Gringsing sebelum peristiwa ini terjadi."
"Sudahlah," berkata Ki Gede kemudian, "kita harus segera berbuat sesuatu atas angger Agung Sedayu dan Ki Waskita. Karena Kiai Gringsing telah berada disini, maka aku tidak akan memanggil dukun yang ada di Tanah Perdikan ini. Aku yakin bahwa dukun yang paling baik sekalipun tidak akan dapat menyamai kemampuan Kiai Gringsing."
"Aku hanya dapat berusaha," jawab Kiai Gringsing, "sambil memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih."
Demikianlah, maka kedua tubuh yang terluka itu telah diangkat dan dibawa ke gandok. Pangeran Benawa telah mengiringi keduanya diikuti oleh Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang ada diserambi itu pula.
Sementara itu. Pandan Wangi telah membawa Sekar Mirah untuk naik kependapa dan mencoba menenangkannya. Meskipun Pandan Wangi sendiri belum sempat melihat, apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian telah melihat keadaan Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan teliti. Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat pertempuran itu sendiri, namun melihat luka-luka ditubuh Agung Sedayu, maka iapun dapat mengambil satu kesimpulan tentang lawan anak muda itu. Pisau yang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu tentu dilontarkan oleh tangan orang berilmu tinggi. Apalagi ketika ternyata bahwa Pangeran Benawapan telah terluka pula. Tentu lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan menembus ilmu kebal atau ilmu lain semacamnya.
Namun setelah memperhatikan luka-luka itu dengan saksama, maka Kiai Gringsingpun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah kita berdoa didalam diri kita masing-masing. Mudah-mudahan luka-luka itu akan dapat disembuhkan."
Orang-orang yang ada digandok itupun mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, maka kegelisahan dihati mereka telah menjadi berkurang. Agaknya Kiai Gringsing melihat sesuatu yang mungkin dilakukan untuk menyembuhkan luka-luka itu. Apalagi ketika Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Menurut ujud lahiriahnya, luka-luka mereka tidak sangat membahayakan."
"Sokurlah," jawab Ki Gede, "mudah-mudahan keduanya cepat mendapatkan kesembuhan."
"Kita wajib berusaha," jawab Kiai Gringsing, "mudah-mudahan usaha kita mendapat bimbingan Yang Maha Agung. Sehingga dengan demikian, maka usaha kita itu akan berhasil."
Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu. Kiai Gringsingpun segera melakukan tugasnya, mengobati luka-luka Agung Sedayu dan Ki Waskita sebelum terlambat.
"Aku sudah menaburkan obat untuk sementara," berkata Ki Gede.
"Ternyata obat Ki Gede telah banyak menolong," jawab Kiai Gringsing, "dengan obat Ki Gede, maka darah Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak terlalu banyak mengalir dari luka-lukanya."
Ki Gedepun mengangguk-angguk pula. Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata, "Ki Gede, sebaiknya biarlah para tamu duduk di pendapa. Aku akan mengobati keduanya. Dengan demikian para tamu itu tidak selalu dicengkam oleh ketegangan, sementara itu udara di ruang inipun akan menjadi agak lapang."
"O," Ki Gede mengangguk-angguk, "baiklah. Aku akan mempersilahkan tamu-tamuku untuk duduk dipendapa."
Dengan demikian, maka Ki Gedepun telah mempersilahkan Pangeran Benawa, Ki Lurah Branjangan dan Swandaru untuk pergi ke pendapa. Namun agaknya Glagah Putih lebih senang untuk menunggui Kiai Gringsing yang sedang mengobati Agung Sedayu dan Ki Waskita, Kiai Gringsing telah mendengarkan dari keduanya apa yang telah terjadi di Watu Lawang.
"Itu adalah salahku," gumam Glagah Putih.
Kiai Girngsing berpaling kearah Glagah Putih yang duduk tepekur sambil menyesali dirinya. Namun dalam pada itu terdengar Agung Sedayu berkata, "Kenapa kau datang terlambat?"
Jantung Glagah Putih menjadi semakin berdentangan. Namun ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Jika ia mencari alasan untuk membela diri terhadap kelambatannya, maka ia akan merasa semakin bersalah.
Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran, Glagah Putihpun menceriterakan apa yang telah terjadi di sepanjang perjalanannya menuju ke Sangkal Putung.
Agung Sedayu yang mendengar keterangan itu dengan saksama, kemudian berkata, "Jika demikian, kau tidak bersalah. Kau tidak akan dapat mengatasi hambatan yang telah menghentikan perjalananmu. Jika kau memaksa diri, maka persoalannya akan menjadi bertambah rumit. Bahkan saat inipun kau belum akan sampai ke Tanah Perdikan ini kembali."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Hampir saja tidak percaya kepada pendengarannya. Namun Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam kemudian berdesis, "Ya. Memang bukan salah angger Glagah Putih. Meskipun sebenarnya kami dapat datang lebih cepat, tetapi kami tidak menyangka hal ini terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja bajak laut itu menentukan waktu yang tidak dapat ditunda lagi. Dan aku memang tidak ingin menolaknya."
"Untunglah bahwa semuanya dapat teratasi," desis Kiai Gringsing.
"Aku telah memohon kepada Tuhan. Ternyata permohonanku itu dikabulkan," jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Sudahlah. Sekarang kau dan Ki Waskita harus beristirahat sebaik-baiknya. Biarlah Glagah Putih menunggui kalian berdua. Aku akan beristirahat di pendapa."
"Silahkan guru," sahut Agung Sedayu.
Sementara Ki Waskitapun menjawab pula, "Silahkan Kiai."
"Jika mungkin sebaiknya Ki Waskita mencoba untuk tidur barang sejenak," pesan Kiai Gringsing.
"Aku akan mencoba," jawab Ki Waskita.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsingpun telah meninggalkan gandok setelah luka-luka Ki Waskita dan Agung Sedayu diobatinya. Sementara itu Glagah Putih tetap berada di gandok untuk memerlukan sesuatu yang perlu mendapat pertolongan orang lain.
Dalam pada itu di pendapa. Sekar Mirah menjadi semakin tenang, ketika Kiai Gringsing kemudian memberitahukan, bahwa keadaan Agung Sedayu tidak berbahaya, meskipun parah. Demikian pula Ki Waskita.
"Jika Tuhan berkenan, maka keduanya akan dapat disembuhkan. Tetapi tentu memerlukan waktu," berkata Kiai Gringsing.
Sementara itu, Ki Gedepun telah memotong, "Kiai, Pangeran Benawa juga telah terluka, meskipun tidak parah."
"Aku sudah mengobatinya," sahut Pangeran Benawa, "luka itu tidak banyak berpengaruh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa luka Pangeran Benawa tentu tidak memerlukan banyak perhatian. Pangeran Benawa adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga bajak laut yang menurut pendengarannya adalah saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru.
Namun dalam pada itu Swandaru telah berdesis, "sayang. Kita datang terlambat. Kami di Sangkal Putung memang tidak menyangka, bahwa perang tanding itu terjadi pada malam ini."
"Ya. Dan Glagah Putih telah menceriterakan alasan kelambatan kita kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing, "kelambatan yang tidak dapat ditembus. Dan Agung Sedayupun telah memakluminya."
"Ya," Swandaru mengangguk-angguk, "untunglah bahwa Pangeran Benawa hadir ditempat ini. Jika tidak, maka keadaan kakang Agung Sedayu dan Ki Wakita akan menjadi sangat gawat."
"Kita memang seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Benawa," berkata Ki Gede.
"Ah," Pangeran Benawa berdesis, "aku bukan apa-apa. Agung Sedayu ternyata seorang yang perkasa."
"Tetapi setiap kali kakang Agung Sedayu selalu mengalami cidera. Ia baru saja sembuh dari luka-luka didalam tubuhnya ketika ia bertempur melawan Ki Tumenggung. Kini ia telah mengalami luka parah lagi melawan saudara seperguruan Ki Tumenggung itu." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Lalu gumannya seakan-akan kepada diri sendiri, "Jika saja aku tidak terlambat. Aku ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh bajak laut itu."
Sekar Mirah memandang kakaknya dengan wajah yang tegang. Hampir saja ia mengatakan, bahwa kemampuan bajak laut itu agaknya berada diatas kemampuan Swandaru. Tetapi untunglah bahwa Sekar Mirah dapat menahannya.
Namun dalam pada itu Ki Gedelah yang menjawab, "Agung Sedayu telah berhasil membunuh lawannya, meskipun ia harus mengalami luka-luka parah."
"Karena Pangeran Benawa ada disini," sahut Swandaru, "satu kebetulan yang tidak dapat diharapkan setiap kali terjadi. Jika kakang Agung Sedayu belum sempat mempelajari kedalaman ilmu dari kitab guru, itu karena keadaan tubuhnya yang terluka dalam menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga aku yang muda telah mendapat kesempatan lebih dahulu. Dalam pada itu, sebenarnya akupun berharap bahwa aku akan mendapat kesempatan untuk menjajagi ilmu ketiga orang bajak laut itu. Meskipun waktu yang diberikan guru belum habis, tetapi aku telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menekuni isi kitab ini."
"Ah," tiba-tiba saja Kiai Gringsing telah berdesah.
Diluar sadar, maka beberapa orang yang berada di pendapa itu telah berpaling kepada Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Swandaru, kau tidak usah menyebut tentang kitab itu. Satu hal yang sangat wajar dan bukan satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Maaf guru. Bukan maksudku. Tetapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku merasa sangat menyesal bahwa aku datang terlambat, sehingga aku tidak dapat bertemu dengan bajak laut itu. Mungkin akupun tidak akan lebih baik dari kakang Agung Sedayu. Namun dengan demikian, aku akan dapat membantunya."
"Aku mengerti," jawab Kiai Gringsing, "tetapi semuanya sudah terjadi. Dan kita memang sudah seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Benawa seperti yang dikatakan oleh Ki Gede."
"Sebenarnya aku tidak berbuat banyak," sahut Pangeran Benawa, "jika bajak laut itu tidak berbuat licik. Agung Sedayu tentu sudah dapat mengatasi persoalannya sendiri. Tetapi pada saat-saat yang gawat bagi bajak laut itu, maka dua orang yang lain telah membantunya. Pada saat-saat Agung Sedayu harus melawan tiga orang itulah, maka tubuh Agung Sedayu telah terluka."
Swandaru mengerutkan keningnya, ia tidak begitu percaya kepada keterangan Pangeran Benawa. Sementara itu, Ki Gede dan Ki Lurah Branjanganpun merasa ragu-ragu, karena mereka melihat Agung Sedayu telah terluka sebelum kedua bajak laut yang lain turun pula ke arena.
Tetapi keduanya tidak membantah. Mereka mengerti maksud Pangeran Benawa yang ingin meyakinkan kepada Swandaru, bahwa Agung Sedayu memang akan dapat mengatasi persoalannya, apabila bajak laut itu bertempur dalam perang tanding yang jujur.
Namun merekapun mengerti, bahwa agaknya Swandaru tidak dapat mempercayai keterangan Pangeran Benawa itu. Meskipun demikian mereka tidak dapat memberikan penjelasan apapun juga.
Dalam pada itu, hidanganpun telah mulai disuguhkan. Di gandok Glagah Putih berusaha untuk memberikan minuman hangat kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Demikianlah, baru setelah matahari merambat semakin tinggi, Tanah Perdikan Menoreh digemparkan oleh berita tentang perang tanding yang terjadi di Watu Lawang. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh baru mendengar, bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita telah terluka cukup parah. Bahkan seorang yang lain, yang ternyata adalah Pangeran Benawa telah terluka pula, meskipun tidak seberapa menurut ukuran Pangeran Benawa.
Disamping itu, ternyata bahwa di Watu Lawang terdapat pula tiga sosok mayat dari tiga orang bajak laut yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk membalas dendam kematian Ki Tumenggung Prabadaru, sebagaimana dikatakan oleh ketiga bajak laut itu, meskipun semula mereka justru ingin memusuhi Ki Tumenggung Prabadaru.
Dalam pada itu, maka dirumah Ki Gede Menoreh, para tamunyapun telah dipersilahkannya untuk beristirahat. Pangeran Benawa menolak untuk mendapat tempat yang tersendiri. Ia lebih senang berada diantara para tamu Ki Gede yang lain.
Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi sempat untuk berbincang dengan Sekar Mirah tentang peristiwa yang terjadi di Watu Lawang itu. Sekar Mirah menceriterakan peristiwa itu dari semula sampai saat-saat terakhir, ketika ia berlari kearah Agung Sedayu. Ketika senjata bajak laut itu memburunya, namun dapat digagalkan oleh Pangeran Benawa.
Pandan Wangi mendengarkan ceritera itu dengan jantung yang berdebaran. Ia mencoba untuk membayangkan apa yang telah terjadi di Watu Lawang. Perang tanding, yang kemudian berubah menjadi pertempuran antara tiga orang melawan tiga orang itu tentu satu benturan ilmu yang dahsyat sekali.
Namun Swandaru ternyata telah berdesis, "Kakang Agung Sedayu telah menyia-nyiakan waktunya untuk mempelajari soal-soal yang tidak berarti. Jika benar keterangan Sekar Mirah, bahwa Agung Sedayu seakan-akan dapat membuat dirinya menjadi tiga, ternyata hal itu tidak banyak bermanfaat menghadapi orang-orang berilmu. Bajak laut itu berhasil melukainya dan bahkan dengan parah. Apalagi orang-orang yang benar-benar berilmu mapan."
"Bajak laut itu mempunyai ilmu yang nggegirisi," sahut Sekar Mirah.
"Ya, menurut penilaianmu," jawab Swandaru, "tetapi sebaiknya kakang Agung Sedayu menekuni ilmu yang wajar tetapi berarti. Ilmu kanuragan dan ketrampilan. Jika dilakukan dengan tekun, maka aku kira kakang Agung Sedayu akan mendapat kemajuan yang pesat, sehingga ia tidak terlalu sering mengalami kesulitan dimedan."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Jika perang tanding itu dilakukan dengan jujur, maka kakang Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan tugasnya dalam keadaan yang lebih baik."
"Atau sebaliknya," sahut Swandaru, "tanpa campur tangan Pangeran Benawa, mungkin keadaan kakang Agung Sedayu menjadi lebih parah."
"Pangeran Benawa turun ke medan setelah kedua bajak laut yang lain ikut ambil bagian. Yang mula-mula turun adalah Ki Waskita, baru kemudian Pangeran Benawa," jawab Sekar Mirah.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi terasa oleh Sekar Mirah, bahwa kakaknya itu hanya sekedar tidak mau membuat hatinya yang sedang gelisah itu menjadi bertambah sakit. Namun agaknya Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu telah melakukan satu kesalahan, sehingga ilmunya tidak dapat mengimbangi ilmu orang-orang yang telah datang dan membuat perhitungan dengannya.
Namun Sekar Mirahpun tidak ingin berbantah dengan kakaknya. Karena itu, maka iapun kemudian telah berdiam diri pula.
Sementara itu. Kiai Gringsing telah berada pula digandok menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita bersama Glagah Putih.
Ketika kemudian Sekar Mirah dan Pandan Wangi memasuki ruangan itu, ternyata Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah menjadi agak segar setelah mereka meneguk beberapa titik air hangat. Sehingga dengan demikian maka hati Sekar Mirahpun menjadi semakin tenang. Untuk beberapa saat Pandan Wangi telah berbicara dengan Ki Waskita dan Agung Sedayu. Tetapi karena keduanya masih memerlukan lebih banyak beristirahat, maka keduanyapun kemudian telah meninggalkan ruangan itu pula.
Demikianlah, di hari itu Pangeran Benawa telah beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi perti biasanya, Pangeran itu tidak dapat terlalu lama tinggal di satu tempat. Ketika malam turun, maka Pangeran Benawa yang masih duduk dipendapa bersama dengan tamu-tamu Ki Gede yang lain itu, tiba-tiba saja menyatakan untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu.
"Begitu tergesa-gesa," Ki Gede menjadi agak terkejut karenanya, "sebaiknya Pangeran bermalam disini untuk malam ini."
Tetapi Pangeran Benawa menjawab, "Terima kasih. Tugasku sudah selesai. Aku harus kembali. Selama ini aku hanya tertarik kepada ketiga bajak laut itu. Aku mengamatinya sejak mereka berada di Pajang."
Bagaimanapun juga Ki Gede dan tamu-tamunya yang lain menahan, namun Pangeran Benawa berkeras untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu malam itu juga.
Karena itu, maka Pangeran Benawa itupun kemudian minta diri pula kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita.
"Lekaslah sembuh," berkata Pangeran Benawa, "ditangan Kiai Gringsing maka luka-luka itu tidak akan terlalu lama mengganggu."
"Terima kasih Pangeran," jawab Ki Waskita, "tanpa hadirnya Pangeran saat itu, keadaan kami akan lebih parah lagi."
"Sudahlah," potong Pangeran Benawa, "jika kalian sudah sembuh pergilah ke Pajang untuk menengok aku. Tetapi mungkin aku sudah tidak berada lagi di Pajang. Mungkin pula aku tidak akan mendapat banyak kesempatan lagi untuk mengembara, karena aku akan segera menetap di Jipang. Sebentar lagi kakangmas Senapati Ing Ngalaga akan diwisuda. Dan akupun akan terikat di Kadipaten Jipang. Satu jabatan yang sebenarnya kurang sesuai bagiku. Aku lebih senang mengembara dan menyusuri lereng-lereng pegunungan dan lereng pebukitan."
Dengan demikian, maka Pangeran Benawa malam itu juga benar-benar telah meninggalkan rumah Ki Gede. Sejenak Pangeran Benawa singgah di tempatnya bersembunyi selama berada di Tanah Perdikan Menoreh menjelang perang tanding di Watu Lawang. Para pembantu kepercayaannya ternyata masih menunggunya dengan setia, sehingga agak berbeda dengan kebiasaannya, malam itu Pangeran Benawa tidak berjalan seorang diri.
Agaknya Pangeran Benawa telah membawa beberapa orang kepercayaannya ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mengawasi para bajak laut itu, karena Pangeran Benawa tidak tahu, berapa lama ia harus menunggu dan menurut perhitungannya, ia akan berada didaerah pengawasan yang luas.
Ki Lurah Branjangan yang masih berada di rumah Ki Gede Menoreh baru dikeesokan harinya minta diri untuk kembali ke barak pasukan khususnya. Ketika ia menengok Ki Waskita dan Agung Sedayu, keduanya nampak menjadi semakin baik. Keduanya telah berbicara dengan lancar. Bahkan keduanya telah dapat menelan makanan yang cukup bagi ketahanan tubuh mereka.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Swandaru bersama isterinya masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kiai Gringsing masih ingin menunggui muridnya yang terluka, sementara itu Pandan Wangi masih juga ingin melepaskan rindunya kepada Tanah Kelahirannya.
Sekali-sekali Pandan Wangi mencoba untuk berbincang juga dengan Prastawa. Tetapi nampaknya anak muda itu menjadi lebih senang untuk menyendiri dan berada diantara satu dua orang kawan terdekatnya, meskipun tugas-tugas yang diserahkan kepadanya tidak diabaikannya.
Demikianlah dari hari ke hari, keadaan Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi bertambah baik. Kiai Gringsing telah merawat keduanya dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi masih juga tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing berusaha untuk menyembuhkan Agung Sedayu, maka ditempat yang jauh terpencil, diantara lebatnya batang-batang perdu dipinggir hutan pepat yang jarang disentuh kaki orang, seorang yang bertubuh kecil agak terbongkok-bongkok berjalan menyusuri jalur setapak menuju kesebuah padepokan kecil yang tidak banyak dikenal. Padepokan yang diam dan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap lingkungan disekitarnya.
Tetapi ternyata kediaman dari padepokan itu telah terganggu oleh kehadiran orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu.
Ketika orang itu memasuki regol padepokan yang sudah tua dan kotor, dilihatnya seorang yang bertubuh tinggi kekar, namun yang sudah menginjak hari-hari tuanya, sedang sibuk membelah kayu bakar dihalaman padepokan kecilnya.
"Kiai," orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu menjadi semakin terbongkok-bongkok. Bahkan kemudian iapun duduk di sebelah orang bertubuh tinggi kekar yahg sedang membelah kayu bakar itu.
"Kiai," orang bertubuh kecil itu mengulangi sekali lagi.
"He," jawab orang yang sedang membelah kayu, "kau pergi ke mana sepagi ini?"
"Membeli garam Kiai," jawab orang itu, "aku telah membawa beberapa bongkah gula kelapa yang aku buat pagi ini untuk aku tukarkan dengan garam."
"O," orang yang sedang membelah kayu itu mengangguk-angguk. Lalu, "Kau masak apa hari ini " Empal kelinci lagi ?"
Orang yang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Hari ini aku menangkap tiga ekor ikan kakap yang besar."
Orang yang bertubuh kekar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Tetapi jangan terlalu pedas jika kau akan membumbuinya untuk urip-urip."
"Ya kiai," jawab orang bertubuh kecil itu. Lalu, "Tetapi ada hal lain yang ingin aku sampaikan kepada Kiai."
"Apa" Kayu bakar yang masih basah" Aku sudah mengeringkannya dan membelahnya menjadi kecil-kecil seperti ini," jawab orang bertubuh kekar itu.
"Bukan kiai. Bukan soal kayu yang masih basah. Tetapi persoalannya menyangkut nama perguruan ini," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Ah, kau masih saja menyebut perguruan ini. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku sudah puas dengan kayu bakar, ikan kakap, berburu rusa dan sekali-sekali menyumpit burung kecruk yang mirip dan sebesar itik itu," jawab orang bertubuh kekar itu.
Orang bertubuh kecil yang terbongkok-bongkok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Baiklah Kiai. Jika Kiai tidak mau lagi berbicara tentang perguruan ini. Tetapi aku ingin menyampaikan satu kabar yang pahit buat Kiai."
"Jangan ganggu aku dengan cerita-cerita cengeng lagi." orang yang membelah kayu itu hampir membentak, "aku sudah jemu dengan semuanya itu. Usahaku bertahun-tahun telah sia-sia dan tidak berarti sama sekali. Harapanku sekarang tinggal satu. Ketenangan. Karena itu jangan kau ganggu aku dengan ceritera-ceritera yang dapat menggelisahkan aku."
Orang yang terbongkok-bongkok itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah Kiai. Jika Kiai tidak mau mendengarkan aku, biarlah aku saja yang menyelesaikan persoalannya. Meskipun aku tidak memiliki bekal yang memadai, tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat membiarkan penghinaan itu terjadi."
"Jangan mengigau. Apa yang sebenarnya kau katakan itu" " orang yang sedang membelah kayu itu benar-benar membentak.
"Kiai," tetapi orang bertubuh kecil dan bongkok itu berkata terus, "Bukankah murid Kiai yang menjadi Tumenggung itu telah terbunuh oleh Agung Sedayu."
"Biar saja. Aku tidak mempunyai persoalan lagi dengan murid-muridku. Mereka membuat hatiku menjadi sakit karena mereka telah bermusuhan yang satu dengan yang lain. Yang menjadi Tumenggung itu menjadi sombong, sedang yang lain menjadi dengki," jawab orang bertubuh kekar itu.
"Mungkin Tumenggung itu tidak menarik bagi Kiai karena sikapnya yang sombong yang bahkan seolah-olah tidak mau mengenal lagi sumber ilmu yang telah membuatnya menjadi besar. Tetapi tiga orang murid Kiai yang lain nampaknya masih selalu mengenal diri dan sumbernya. Bukankah mereka pada waktu-waktu tertentu datang mengunjungi Kiai dan membawa barang-barang berharga yang dapat kita pergunakan untuk menyambung hidup kita?" berkata orang yang bongkok itu.
Orang yang bertubuh kekar dan sedang membelah kayu itu terdiam. Tangannya masih saja sibuk membelah kayu bakar yang sedang dijemurnya.
Namun tiba-tiba ia berkata, "Kenapa dengan bajak laut itu?"
Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Telah terjadi malapetaka atas mereka?"
"Apakah mereka gagal merompak dan mati ditelan lautan?" bertanya orang bertubuh kekar itu tanpa meletakkan parang pembelah kayunya.
"Tidak Kiai," jawab orang bertubuh kecil itu, "mereka terbunuh sebagaimaina Ki Tumenggung Prabadaru."
"Aku tidak mengerti. Dan aku sama sekali tidak peduli atas kematian Prabadaru itu." jawab orang bertubuh kekar itu.
"Baik Kiai," jawab orang yang terbongkok-bongkok itu, "Kiai dapat tidak peduli atas kematian Prabadaru, tetapi tentu tidak atas kematian ketiga bajak laut itu."
Orang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Siapa yang telah mengatakan hal itu kepadamu he?"
"Semua orang mengatakannya. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Orang Mataram dan orang-orang Pajang. Bajak laut itu telah singgah di Pajang sebelum mereka ke Mataram dan ke Tanah Perdikan Menoreh, karena semula yang mereka cari adalah Tumenggung Parabadaru." jawab orang bertubuh kecil itu.
Sejenak orang bertubuh kekar itu merenung. Namun parang pembelah kayu itu masih dijinjingnya.
"Kiai," berkata orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, "yang paling menyakitkan hati adalah, bahwa pembunuh Prabadaru itu jugalah yang telah membunuh salah seorang dari ketiga murid Kiai yang telah menjadi bajak laut itu."
Wajah orang bertubuh kekar itu menjadi merah. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Agung Sedayu."
"Ya. Agung Sedayu. Ia telah membunuh salah seorang dari ketiga murid Kiai itu. Kemudian yang lain telah terbunuh oleh Ki Waskita dan Pangeran Benawa," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Pangeran Benawa. Kenapa ia ikut campur dalam persoalan ini?" bertanya orang bertubuh kekar itu.
Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Menurut pendengaranku, ketiga murid Kiai itulah yang mula-mula melanggar paugeran perang tanding."
"Begitu?" bertanya orang bertubuh kekar itu.
"Ya," jawab orang bertubuh kecil itu, yang kemudian menceriterakan apa yang telah didengarnya tentang peristiwa di Watu Lawang itu yang ternyata telah tersebar sampai kemana-mana.
Orang bertubuh kekar yang sedang membelah kayu bakar itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Kau menggelitik perasaanku. Sebenarnya aku telah berusaha memisahkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Aku mencoba untuk hidup terpisah dari hubungan antara manusia. Tetapi karena masih ada kau yang menghubungkan aku dengan pergaulan manusia, maka aku sekarang mendengar ceritera yang membuat hatiku panas."
"Aku minta maaf, Kiai," jawab orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, "sebenarnya akupun ingin hidup dalam suasana yang tersendiri. Tetapi kematian empat orang saudara seperguruan rasa-rasanya memang sangat menyaikitkan hati. Mungkin Kiai yang sudah kenyang mengecap pahit getirnya kehidupan, dapat menahan diri dan tidak mau lagi mencampuri persoedan yang terjadi pada murid-murid kiai. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat tidur nyenyak. Kecuali empat orang murid perguruan ini,telah terbunuh, maka nama perguruan inipun akan tercemar karena kedunguan murid-muridnya."
"Tanganku telah penuh dengan noda-noda darah," berkata orang yang berdada bidang itu, "sebenarnya aku ingin melupakannya. Sejak murid-muridku saling mengancam untuk saling berbunuhan, aku memang menjadi sangat kecewa. Aku kehilangan Tumenggung Prabadaru ketika ia menjadi sombong dan menganggap saudara-saudara seperguruan menjadi buruan yang harus ditangkap, dan bahkan untuk dibunuh. Sementara yang dilakukan diantara para prajurit Pajang telah gagal. Kemudian kini aku benar-benar telah kehilagan ketiga orang muridku yang lain."
"Kiai," berkata orang bertubuh kecil dan selalu berjalan terbongkok-bongkok itu, "jika Kiai tidak ingin berbuat sesuatu, maka aku akan mohon diri. Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Kau juga akan membunuh diri?" bertanya orang yang sedang membelah kayu itu.
"Kiai," jawab orang bertubuh bongkok itu, "aku tahu, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh kini terdapat, beberapa orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi sudah tentu bahwa Pangeran Benawa tidak akan berada di Tanah Perdikan itu untuk seterusnya. Aku akan singgah di Pajang untuk mendengar pembicaraan orang, apakah Pangeran Benawa sudah kembali atau belum."
Jika Pangeran Benawa sudah kembali, maka tidak ada orang di Tanah Perdikan Menoreh yang akan dapat melawan aku."
"Kau mengigau," geram orang bertubuh kekar itu, "Agung Sedayu telah membunuh dua orang diantara murid-muridku."
"Ia terluka parah, Ki Waskita yang juga mampu mengimbangi kemampuan salah seorang murid perguruan ini itupun telah terluka parah seperti Agung Sedayu. Karena itu, tugasku tidak akan terlalu berat."
"Kau akan membunuh Agung Sedayu dalam keadaan terluka parah?" bertanya orang yang bertubuh kekar itu.
"Ya. Aku memang bukan seorang kesatria. Aku adalah seorang yang licik dan tidak terikat, pada segala macam paugeran dan apalagi sifat-sifat kejantanan. Kiai bukankah murid-murid Kiai yang kinasih itupun tidak berpegang pada sifat-sifat kesatria. Merekalah yang pertama-tama turun bertiga melawan Agung Sedayu. Dan bukankah Kiai memang tidak pernah mengajari kami dengan sifat-sifat semacam itu" Kiai selalu mengajari kami untuk berbuat apa saja untuk mencapai tujuan akhir."
Orang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Dengarlah. Aku tidak akan menghalangimu dengan cara apapun yang akan kau ambil. Tetapi kau adalah muridku yang paling muda, meskipun mungkin umurmu tidak lebih muda dari bajak laut-bajak laut itu. Kemampuanmu masih terpaut banyak dan barangkali kau memerlukan waktu tiga empat tahun lagi untuk mendapatkan kemampuan sebagaimana saudara-saudaramu itu. Apalagi ketiga bajak laut itu, sebagaimana mereka katakan, telah mendapat sisipan ilmu dari guru-gurunya yang lain, dengan ijinku. Karena itu, seharusnya kau tahu diri."
"Sudah aku katakan Kiai," jawab orang yang terbongkok-bongkok itu, "mereka sudah terluka parah. Aku akan masuk kedalam bilik mereka seperti laku seorang pencuri. Aku yakin akan dapat melakukannya. Aku mempunyai kemampuan untuk melepaskan sirep."
"Sirepmu tidak akan berarti apa-apa bagi orang seperti Agung Sedayu." berkata orang yang sedang membelah kayu itu.
"Aku ulangi Kiai, ia sudah terluka parah. Seandainya ia tidak sedang tertidur karena atau bukan karena sirepku, ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku akan menghunjamkan sebilah pisau kedadanya. Alangkah mudahnya, sambil berbaring dan berkedip-kedip minta belas kasihan. Agung Sedayu tidak akan dapat mencegah aku melakukannya. Demikian juga orang yang bernama Ki Waskita itu," jawab orang yang bertubuh kecil dan bongkok itu.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang sedang membelah kayu itupun kemudian meletakkan parangnya. Dipandanginya orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu. Katanya, "Aku tidak menyangka bahwa kau mempunyai kesetiaan terhadap saudara-saudara seperguruanmu demikian tebalnya. Tetapi aku ingin memperingatkan kau sekali lagi. Ilmumu masih jauh terpaut dari mereka yang telah terbunuh. Karena itu, sebaiknya kau menunggu satu dua tahun lagi. Jika kau melipatkan waktu-waktumu di sanggar, maka kau akan mampu menguasai ilmu yang seharusnya kau pelajari dalam waktu tiga empat tahun."
"Itu terlalu lama Kiai. Sementara itu Agung Sedayu tentu sudah sembuh dan aku harus membunuhnya melalui satu pertempuran yang sengit yang mungkin akan berakibat sebaliknya seperti yang terjadi atas kedua orang murid Kiai itu. Ki Tumenggung dan seorang dari ketiga bajak laut itu."
Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika sudah menjadi tekadmu dan atas dasar perhitunganmu yang demikian, aku tidak dapat mencegahmu. Tetapi kau harus tetap sadar bahwa dasar kekuatan udara, air dan api itu masih baru tingkat permulaan aku berikan kepadamu."
Orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Terima kasih Kiai. Aku akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Aku akan kembali kepada Kiai dengan hasil yang paling baik yang dapat aku kerjakan selama aku berada di padepokan terpencil ini."
"Jangan terlalu sombong. Kau masih belum apa-apa. Jika kau merasa berhasil sebelum berbuat apa-apa, maka kau akan menjadi kurang berhati-hati," berkata orang bertubuh tinggi kekar itu.
"Aku akan selalu berhati-hati. Aku akan tetap mempergunakan otakku. Aku tidak akan hanyut pada arus perasaanku yang memang sering bergejolak. Tetapi kini aku menyadari, siapa yang akan aku hadapi sehingga aku harus menjaga diri sebaik-baiknya," berkata orang bongkok itu.
Demikianlah, maka orang bertubuh kecil itu tidak dapat dicegah lagi. Kematian empat orang saudara seperguruannya membuat jantungnya menggelegak. Rasa-rasanya ia ingin membunuh bukan saja Agung Sedayu. Tetapi Ki Waskita dan juga Pangeran Benawa.
"Tetapi yang berdosa paling besar adalah Agung Sedayu. Ia membunuh dua orang murid perguruan ini," geramnya didalam hati.
Setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka orang itupun meninggalkan padepokannya dihari berikutnya, setelah ia menyediakan kebutuhan gurunya untuk beberapa hari.
"Aku sudah menyimpan garam dan gula secukupnya Kiai. Dalam sepekan aku akan kembali. Kiai tidak perlu mencari garam dan membuat gula sendiri. Jika aku datang, maka aku akan membawa garam pula bagi kita," berkata orang bertubuh kecil itu.
"Jangan pikirkan aku. Kau kira aku tidak dapat menderes sendiri" Kau lebih baik memperhatikan dirimu sendiri. Dalam lima hari aku kira kau masih belum dapat menyelesaikan tugasmu. Bukankah kau masih akan singgah di Pajang ?"
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Mungkin selama tujuh hari. Kiai."
Tetapi orang bertubuh kekar itu menggeleng, "belum."
"Sepuluh hari," sambung orang bertubuh kecil itu.
Orang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab.
Tetapi tatapan matanya menjadi buram oleh kegelisahan yang membebani hatinya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Aku masih mencoba untuk memperingatkanmu sekali lagi. Ilmumu masih terpaut jauh dari orang-orang yang terbunuh itu."
"Aku mempunyai kelebihan dari mereka. Aku mempunyai ilmu sirep. Aku mampu memasuki rumah seseorang dengan cara seorang pencuri. Dan aku merasa diriku tidak terikat oleh harga diri dan sifat-sifat seorang kesatria. Aku akan mempergunakan segala cara seperti yang Kiai ajarkan. Jika aku tidak dapat menikam dadanya, maka aku akan menikam punggungnya," jawab orang bertubuh kecil itu.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab lagi. Ia hanya dapat memandangi muridnya yang seorang itu meninggalkannya. Orang bertubuh kecil itu berjalan terbongkok-bongkok menyusup pepohonan perdu dan hilang dibalik gerumbul yang rimbun.
Orang bertubuh tinggi kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian kembali memasuki regol halaman padepokannya dengan kepala tunduk.
Dalam pada itu, maka orang bertubuh kecil itupun berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi padepokannya. Seolah-olah waktu yang tersedia baginya terlalu sempit, sehingga ia harus mempergunakan sebaik-baiknya.
Seperti yang direncanakannya, maka iapun langsung pergi ke Pajang untuk mendengarkan berita, apakah Pangeran Benawa telah berada di Pajang kembali.
Ternyata ketika ia berada di Pajang, tidak seorangpun yang dapat mengatakan bahwa Pangeran Benawa telah meninggalkan Kota Raja. Bahkan orang-orang Pajang melihat Pangeran Benawa itu berada di alun-alun untuk ikut dalam latihan sodoran pagi itu juga.
Orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu kemudian mengambil kesimpulan, bahwa Pangeran Benawa memang telah kembali dari Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa pula ia telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah bermalam semalam diperjalanan didekat daerah Prambanan, maka iapun meneruskan perjalanannya. Di Prambanan ia memerlukan melihat daerah seberang-menyeberang Kali Opak. Ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di tempat itu. Satu pertempuran besar yang telah merenggut banyak korban jiwa. Diantaranya adalah Ki Tumenggung Prabadaru.
"Guru tidak begitu senang terhadap Ki Tumenggung karena kesombongannya," berkata orang bertubuh kecil itu didalam hatinya, "tetapi aku merasa bangga bahwa salah seorang yang terlepas dari padepokan kami dapat menjadi seorang Tumenggung yang mendapat kepercayaan yang cukup besar dan terhormat. Sayang Ki Tumenggung kemudian agak melupakan asal-usulnya dan bahkan memusuhi ketiga orang adik seperguruannya."
Dihari berikutnya, maka orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu telah berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Namun ia tidak langsung melakukan rencananya.
"Aku tidak boleh tenggelam dalam arus perasaanku," berkata orang itu kepada diri sendiri, "aku harus tetap mempergunakan nalarku. Aku harus mempunyai perhitungan yang mapan agar aku dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya."
Karena itulah, maka ia telah mempergunakan waktunya satu dua hari untuk mengetahui serba sedikit tentang Tanah Perdikan Menoreh. Ia berusaha untuk mengetahui dimana Agung Sedayu berada. Iapun berusaha untuk melihat-lihat kesiagaan anak-anak muda Tanah Perdikan itu dimalam hari, serta daerah pengawasan para peronda dari pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Tanpa bahan yang cukup, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa," berkata orang itu kepada diri sendiri.
Tetapi orang bertubuh kecil itu kemudian sambil tersenyum berkata kepada diri sendiri, "Waktu yang sepuluh hari itu ternyata terlalu panjang bagiku. Aku akan dapat menyelesaikan tugas ini dalam satu hari saja. Dalam satu malam. DitaMbah dengan perjalanan yang tidak lebih dari empat hari empat malam."
Demikianlah caranya, maka orang bertubuh kecil itu dimalam hari telah mendekati rumah Ki Gede dengan sangat berhati-hati. Ia melihat bagian-bagian yang lemah dari penjagaan dirumah Ki Gede Menoreh.
Malam itu juga orang bertubuh kecil itu memastikan untuk dapat melakukan tugasnya, membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita.
"Mereka berada di gandok sebelah kanan. Aku akan dapat masuk melalui bagian belakang dengan memecah lantai dan menerobos masuk lewat dibawah dinding. Alangkah mudahnya. Dengan kekuatan ilmu sirep aku akan membuat semua orang tertidur. Mungkin Ki Gede mampu melawan sirep itu. Mungkin beberapa orang lain. Namun tidak dalam keadaan tidur. Tetapi mereka tidak akan menyangka bahwa nyawa Agung Sedayu telah terancam. Agung Sedayu dan Ki Waskita sendiri tidak akan memiliki sisa daya tahan untuk melawan sirepku," berkata orang itu didalam hatinya.
Namun dipagi harinya, orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu mendengar bahwa di Tanah Perdikan Menoreh telah hadir Kiai Gringsing. Orang bercambuk yang menurut kata orang adalah guru Agung Sedayu.
"Persetan dengan orang itu," geram orang bertubuh kecil itu, "meskipun guru Agung Sedayu yang memiliki ilmu seperti iblis sekalipun, aku tidak akan gentar. Aku akan memasuki gandok itu seperti seorang pencuri. Dan pengalamanku yang berpuluh tahun akan sangat membantuku."
Buku 175 "MESKIPUN mungkin orang itu juga tidak terkena sirepku, tetapi di malam hari, ia juga akan tidur sebagaimana kebiasaan seseorang. Dalam keadaan tidur, maka sirep itu akan mencekiknya semakin dalam sehingga tidak seorangpun akan dapat melawan. Para peronda adalah anak-anak muda yang akan segera kehilangan kesadarannya."
Demikianlah, maka orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu pada malam hari berikutnya telah menyiapkan segala sesuatunya yang akan dipergunakannya untuk memasuki gandok kanan rumah Ki Gede Menoreh. Ia akan berada dibelakang gandok itu, dan kemudian menggali lubang dibawah dinding setelah memasang ilmu sirep. Ia berharap bahwa dalam keadaan tidur, ilmu sirepnya akan semakin menyenyakkan tidur seseorang.
Ketika malam menjadi semakin dalam, dan rumah Ki Gede itupun telah menjadi sepi, maka orang itupun mulai melakukan tugasnya. Ia merayap dari satu halaman, kehalaman yang lain. Tanpa kesulitan apapun juga, maka ia berhasil mendekati gandok kanan rumah Ki Gede. Untuk beberapa saat lamanya, orang itu menunggu dengan sabarnya dibelakang gandok rumah itu.
Sambil duduk bersandar sebatang pohon mlinjo, orang itu kemudian tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, "semuanya akan berlangsung dengan mudahnya. Semua orang sudah tertidur. Sirepku hanya akan menekankan kesenyapan didalam diri. memperdalam mimpi yang pahit."
Tetapi orang bertubuh kecil itu tergesa-gesa. Ia tahu ada beberapa orang berilmu dirumah itu. Tetapi semuanya itu tidak mencegahnya untuk melakukan tugasnya.
"Tugasku sekarang menunggu orang-orang itu tidur," katanya didalam hati. "Mereka akan tidur nyenyak karena mereka tidak akan menyangka sesuatu akan terjadi. Dalam tidur sirepku menindihnya dalam kelelapan alangkah mudahnya. Para peronda itupun akan tidur digardu silang melintang."
Orang bertubuh kecil itu tersenyum sendiri. Sementara itu untuk beberapa saat ia tetap masih duduk di bawah sebatang pohon melinjo.
Sebenarnyalah rumah Ki Gede menjadi semakin sepi. Tidak terdengar lagi suara seseorang didalam gandok itu. Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita, ternyata sudah tertidur pula. Sementara Agung Sedayu sendiri sebagaimana juga Ki Waskita, yang memerlukan istirahat sebanyak-banyaknya telah berusaha pula untuk dapat tidur sebanyak-banyaknya.
Lewat tengah malam, rasa-rasanya tidurpun menjadi semakin nyenyak. Agung Sedayu dan Ki Waskita yang masih saja digelitik oleh perasaan sakit dan berusaha melupakannya dalam tidurnya, merasa betapa nyenyaknya ia tidur malam itu. Rasa-rasanya angin malam telah menyusup diantara dinding-dinding gandok, menyapu wajah mereka dan luka-luka mereka sehingga rasa-rasanya mereka bagaikan dibuai oleh segarnya udara malam hari.
Tidak saorangpun yang menyangka bahwa sesuatu akan terjadi. Semua orang yang ada dirumah Ki Gede itu tidak bersedia menghadapi lontaran ilmu sirep yang kuat. Mereka pergi kepembarigan dan sebagaimana kebiasaan seseorang dimalam, maka mereka pun telah tidur dengan lelap.
Dalam kaadaan yang demikian, maka ilmu sirep orang bertubuh kecil itu benar-benar telah membenamkan mereka yang tidur nyenyak itu semakin dalam kadunia mimpi mereka tanpa berprasangka apapun juga.
Sedangkan mereka yang meronda di gardu didepan rumah Ki Gede itupun sama sekali tidak mampu melawan kekuatan sirep itu. sehingga merekapun telah tertidur nyenyak.
Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum bertindak, iapun masih sempat meyakinkan, apakah sirepnya telah mencengkam semua orang-orang berilmu.
Orang itupun tersenyum kecil. Pendengarannya yang tajam meyakinkannya, bahwa semua orang telah tertidur. Tidak ada satu suara tarikan nafas yang mencurigakannya.
Demikialah maka ilmu sirep yang ternyata telah dilontarkan oleh orang bertubuh kecil itupun telah mencengkam seisi rumah Ki Gede Menoreh. Bahkan rumah-rumah disebelah menyebelahpun telah terpereik oleh ilmu sirep itu pula.
Baru ketika ia sudah yakin bahwa semua orang telah tertidur, maka iapun mulai bergeser dari satu tempat ke tempat lain. Sekali lagi ia meyakinkan diri. Dengan hati-hati ia memasuki longkangan dan menyusuri dinding-dinding bilik dalam sebelah longkangan itu. Ternyata semuanya memang sudah tertidur nyenyak.
Ketika orang itu pergi ke halaman depan, maka dilihatnya para perondapun terbaring silang melintang. Bahkan dua orang anak muda telah tertidur dengan nyenyaknya di belakang gardu. Nampaknya mereka sedang duduk beristirahat sambil menguliti kacang. Namun akhirnya mereka telah tertidur, sementara kacang yang sudah dikulitinya berserakkan ditanah.
Orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu tersenyum. Katanya, "Semuanya berlangsung jauh lebih mudah dari yang aku perkirakan."
Akhirnya orang itupun kembali ke belakang gandok sebelah kanan. Ia sudah menyiapkan sebatang linggis dan alat pencukil. Ia harus mencungkil sebuah lubang dan masuk kedalamnya.
Orang itu meraba sebuah pisau belati dipinggangnya. Katanya, "Aku tidak memerlukan banyak sekali pisau-pisau kecil untuk membunuh lawanku, sebagaimana harus jadi di dalam satu perkelahian. Aku hanya memerlukan sebilah pisau belati. Dan pisau ini akan menembus Jantung Agung Sedayu dan Ki Waskita."
Demikianlah, maka sesaat kemudian, orang itupun mulai dengan pekerjaannya. Cepat sekali. seperti mencungkil gula kelapa madon dari tawonan, sebangsa makanan yang banyak digemari.
Sekali-sekali orang itu tersenyum kepada diri sendiri. Seolah-olah ia sudah berhasil dengan satu tugas yang berat, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Namun dalam pada itu, yang terjadi adalah diluar dugaan orang bertubuh kecil itu. Ketika ia sedang sibuk mencungkil batu-batu pada padon gandok Ki Gede, maka tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa lirih. Tidak jauh dari tempatnya.
Orang bertubuh kecil itu terkejut bukan buatan. Menurut perhitungannya, maka semua orang tentu sudah tertidur nyenyak. Tiba-tiba saja ia masih mendengar suara orang tertawa.
Dengan tangkasnya orang itupun segera meloncat berbalik. Diedarkannya pandangan matanya kesekitarnya. Menembus kegelapan malam dan menyusuri dinding halaman rumah Ki Gede. Tetapi orang itu tidak melihat seorangpun.
Wajah orang bertubuh kecil itu menjadi tegang. Selangkah ia maju. Diamatinya gerumbul di sebelah pohon mlinjo tempat ia bersandar. Bahkan kemungkinan orang bertubuh kecil itu dengan tangkasnya telah meloncat menerkam gerumbul itu. Tetap ia tidak menemukan seseorang.
Sejenak suasana menjadi bening. Suara tertawa itu tidak terdengar lagi. Bahkan tidak ada suara apapun. Desir anginpun rasa-rasanya telah berhenti sama sekali.
"Gila, "geram orang itu, "apakah aku mendengar suara hantu?"
Untuk beberapa saat orang itu menunggu. Namun tidak terdengar suara apapun juga, sehingga akhirnya orang itu berkata kepada diri sendiri. "Aku tidak peduli. Aku akan segera masuk kedalam gandok. Membunuh Agung Sedayu dan kemudian apapun yang terjadi, akan kuhadapi."
Karena itu, maka orang bertubuh kecil itupun telah melanjutkan usahanya untuk melubangi padon gandok itu sebagaimana sering dilakukan oleh seorang pencuri.
Namun telinganya telah tergelitik lagi oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Namun tidak jelas dari mana arah suara itu.
Orang bertubuh kecil itu benar-benar tidak menghiraukannya. Ia justru bekerja lebih keras. Ia harus segera dapat membuat sebuah lubang. Kemudian masuk kedalamnya untuk membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Atau jika ia tidak sempat membunuh keduanya, maka sasaran utamanya adalah Agung Sedayu.
Demikianlah, orang bertubuh kecil itu sama sekali tidak menghiraukan suara tertawa yang mengganggunya. Bahkan akhirnya orang itu menggeram, "Aku tidak sempat bermain-main dengan hantu dalam keadaan seperti ini."
Karena itulah, maka iapun telah bekerja semakin sibuk.
Namun dalam pada itu. suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya suara itu benar-benar berada dibelakangnya. Bahkan rasa-rasanya suara itu berdesah menyentuh tengkuknya.
Dengan tangkasnya orang itupun telah meloncat. Bahkan dengan garangnya ia telah mengayunkan linggisnya mendatar, menyambar sumber suara dibelakangnya itu.
Namun ayunan linggisnya itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu. Bahkan oleh kekuatannya sendiri, orang itu telah terseret, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
"Iblis, setan alas," orang itu mengumpat, "Jangan bersembunyi pengecut."
Tetapi belum melihat sesuatu.
Namun dalam pada itu, dari balik dinding halaman, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang, "Aku tidak telaten guru. Aku akan membinasakannya."
Suara itu terdiam. Namun ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama. Sebelum orang yang diajak berbicara itu menjawab, maka tiba-tiba saja sesosok tubuh telah hinggap diatas dinding halaman.
"Gila," geram orang bertubuh kecil, "temyata kau berada dibelakang dinding."
"Kami melihat tingkah lakumu lewat dari atas dinding," jawab bayangan diatas dinding halaman itu.
Orang bertubuh kecil itu menjadi semakin tegang, ia sadar, bahwa orang yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirepnya itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
"Ada juga orang-orang gila yang ternyata melihat kerja yang sedang aku lakukan, "berkata orang bertubuh kecil itu didalam hatinya.
Namun orang itu tidak gentar. Orang yang berdiri diatas dinding halaman itu tentu bukan orang terbaik. Bukan Agung Sedayu dan bukan pula Ki Waskita.
Namun ketika terbersit satu pertanyaan didalam hatinya, ia menjadi gelisah, "Bagaimana jika justru gurunya."
Tetapi orang yang berdiri diatas dinding itu masih muda meskipun ia belum melihat wajahnya dengan jelas. Tubuhnya agak gemuk dan tidak terlalu tinggi.
"Guru Agung Sedayu tentu sudah tua," berkata orang bertubuh kecil itu didalam hatinya.
Sementara itu, orang yang berada diatas dinding halaman itupun segera meloncat turun. Dengan tangkasnya ia melenting langsung berdiri dihadapan orang bertubuh kecil dan agak terbongkok-bongkok itu.
"Siapa kau ?" bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Aku Swandaru Geni," jawab orang yang turun dari atas dinding halaman, "apa kerjamu disini, dan siapakah kau sebenarnya ?"
"Aku tidak akan ingkar. Aku datang untuk membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mereka telah membunuh saudara-saudara seperguruanku," jawab orang bertubuh kecil itu.
Swandaru menggeram. Dengan nada tinggi ia bertanya, "jadi kau saudara seperguruan bajak laut itu dan jika demikian kau juga saudara teperguruan Ki Tumenggung Prabadaru?"
"Tepat," jawab orang itu, "namaku Lodra."
"Uh," Swandaru mengerutkan keningnya, "nama itu memberikan kena besar dan kekar. Tetapi ternyata kau bertubuh kecil dan bahkan terbongkok-bangkok."
"Apa hubungannya nama dengan tubuhku. Aku memang besar. Aku mempunyai ilmu yang tidak ada bandingnya. Karena itu. Menyingkirlah. Aku akan membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Jika kau tidak mau menyingkir, maka kau akan aku binasakan," jawab orang bertubuh kecil yang bernama Lodra itu.
"Jangan mengigau. Kau berhadapan dengan Swandaru Geni. Saudara seperguruan Agung Sedayu. Jika benar kau saudara seperguruan bajak laut yang terbunuh itu, maka kau akan berhadapan dengan aku. Perguruanmu dan perguruanku akan sekali lagi bertemu dalam arena perang tanding."
"Bagus," orang bertubuh kecil itu hampir berteriak, "kita akan melihat, siapakah yang sebenarnya akan menjunjung tinggi nama perguruan. Kau atau aku. Kita tidak akan dapat mengambil ukuran pertempuran antara Agung Sedayu dan saudara-saudaraku. Agung Sedayu bertempur dimedan perang. Mungkin Agung Sedayu curang atau orang lain dengan curang membantunya, sehingga saudaraku itu terbunuh. Sedangkan para bajak laut itupun tidak akan dapat dinilai dengan murni dalam pertempurannya melawan Agung Sedayu. Agung Sedayu telah dibantu oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, sehingga akhirnya ketiga saudaraku itu terbunuh. Nah sekarang kau berhadapan dengan aku. Kita masing-masing akan menunjukan sikap seorang laki-laki."
"Jangan mengigau. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Jangan takut ada orang yang akan membantuku. Semua orang sudah tidur nyenyak. Sedangkan yang tidak tertidur akan dapat menghargai sikapku sebagal seorang laki-laki, sehuigga mereka tidak akan menggangguku," jawab Swandaru.
Orang bertubuh kecil yang bernama Lodra itupun segera bersiap. Ternyata bahwa linggis ditangannya itu adalah senjatanya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu. di belakang dinding. Kiai Gringsing mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Jika orang yang sedang berusaha untuk mencungkil alas padon gandok itu benar-benar saudara seperguruan para bajak laut dan Ki Tumenggung Prabadaru dan memiliki ilmu yang setingkat dengan mereka, maka Swandaru akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun tidak akan dapat meninggalkan Swandaru tetapi iapun tidak ingin mempengaruhi pertempuran itu dengan kehadirannya. Karena itu, maka seperti yang telah dikerjakannya selama ia menunggui Lodra yang sedang sibuk dengan usahanya memasuki gandok itu dengan duduk di sebatang dahan dibelakang dinding halaman. Dari tempatnya Kiai Gringsing akan dapat melihat apa yang terjadi.
Sementara itu. sebenarnyalah orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh memang sedang tidur nyenyak, mereka yang tidak menduga sama sekali akan kedatangan seseorang yang mampu melontarkan ilmu sirep yang tajam, telah tertidur nyenyak sejak sebelumnya. Apalagi ketika mereka terkena pengaruh sirep. Maka tidurpun rasa-rasanya menjadi semakin nyenyak, karena didalam tidur, mereka tidak sempat melawan pengaruh sirep itu.
Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mula-mula mengenali sentuhan pengaruh sirep itu pada dirinya. Perlahan-lahan ia membangunkan Swandaru, dan membawanya keluar dari gandok sebelah kiri. Akhirnya dengan ketajaman pengenalan Kiai Gringsing atas sumber ilmu itu, akhirnya mereka menemukan Lodra dibelakang gandok sebelah kanan sedang sibuk dengan usahanya memasuki gandok itu.
Demikianlah, maka dengan jantung yang berdebaran. Kiai Gringsing menyaksikan dua orang di belakang gandok kanan itu sudah bersiap. Karena Lodra telah menggenggam linggisnya, maka Swandaruipun segera mengurai cambuknya pula.
"Murid orang bereambuk," geram Lodra, "sebagaimana Agung Sedayu bersenjata cambuk."
"Seperti kau lihat," sahut Swandaru, "aku memang saudara seperguruannya."
Orang bersenjata linggis itu mengangguk-angguk. Dipandanginya cambuk di tangan Swandaru itu. Ada juga terbersit debar dijantungnya. Jika orang yang bernama Swandaru ini memiliki ilmu setingkat dengan Agung Sedayu, maka ia akan mengalami kesulitan untuk melawannya, sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu. Padahal orang bertubuh kecil itu tidak dapat ingkar bahwa kemampuannya masih jauh dari kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru.
"Tetapi kecurangan itu tidak mustahil memang terjadi," berkata Lodra itu didalam hatinya, "sehingga dengan demikian Agung Sedayu tidak mengalahkannya dengan jujur."
Karena itu, maka Lodrapun kemudian benar-benar telah bersiap untuk bertempur melawan saudara seperguruan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu. Bahkan orang bertubuh kecil itupun menganggap bahwa tingkat kemampuan Swandaru tentu berada dibawah kemampuan Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, keduanyapun telah bersiap sepenuhnya. Ketika Swandaru mulai menggerakkan ujung cambuknya maka orang bertubuh kecil itupun telah bergeser.
Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya dapat menyaksikan Swandaru bertempur melawan saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru dan ketiga orang bajak laut yang menurut keterangan Agung Sedayu sendiri, memang memiliki ilmu yang luar biasa.
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian mulai dengan serangan-serangan mereka. Meskipun keduanya belum melepaskan segenap ilmu mereka, namun Kiai Gringsing sudah dapat melihat bahwa orang bertubuh kecil itu memang memiliki dasar-dasar ilmu yang sangat dahsyat.
Untuk beberapa saat keduanya masih saling menjajagi. Orang bertubuh kecil itu berloncatan dengan tangkasnya. Sementara Swandaru yang bertubuh gemuk itu. bergerak dengan mantap. Cambuknya masih terayun-ayun. Namun cambuk itu masih belum meledak. Demikian pula orang bertubuh kecil itu, ia baru menjajagi lawannya dengan serangan-serangan yang sederhana. Linggisnya terayun mendatar menyambar tubuh lawannya. Namun serangan masih belum merupakan serangan yang dapat meMbahayakan.
Namun demikian. tataran demi tataran keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya bergerak semakin cepat, sementara senjata merekapun telah berputaran semakin cepat pula.
Meskipun Swandaru mempergunakan senjata yang lebih panjang dari senjata lawannya, tetapi kaki orang bertubuh kecil itu. bagaikan tidak melekat diatas tanah. Loncatan-loncatannya semakin lama menjadi semakin cepat. Jika ujung cambuk Swandaru menyambar leher, maka dengan kecepatan yang mendahului ayunan ujung cambuk Swandaru orang itu merendah. Namun jika ujung cambuk Swandaru terayun menyerang kakinya, maka Lodrapun telah melenting. Tetapi jika ujung cambuk itu menghentak mematuk perutnya. Lodra dengan tangkasnya meloncat surut.
Namun demikian kakinya menyentuh tanah serta ujung cambuk Swandaru berdesing didepan tubuhnya, maka dengan kecepatan yang tinggi. Lodra telah meloncat sambil menyerang dengan ayunan linggisnya.
"Gila," geram Swandaru, "orang ini cukup tangkas. Ia mampu bergerak terlalu cepat."
Tetapi Swandaru memang belum sampai kepuncak kemampuannya. Ia masih meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Namun dalam pada itu. Lodrapun masih belum pula sampai pada batas kemampuannya. Jika Swandaru meningkatkan serangan-serangannya, maka Lodrapun mampu mengimbanginya dengan meningkatkan Ilmunya pula.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya menjadi semakin cepat bergerak. Bahkan serangan-serangan merekapun menjadi semakin berbahaya.
Dalam pada itu. maka ujung cambuk Swandarupun telah mulai meledak. Hentakkan-hentakkan yang keras mulai menggetarkan udara malam di padukuhan yang sepi oleh kekuatan sirep orang bertubuh kecil itu.
Karena itu. meskipun cambuk Swandaru meledak semakin lama semakin keras, namun para peronda di depan pintu gerbang halaman Ki Gede itu sama sekali tidak terganggu kenyenyakan tidur mereka. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itu memang tidak akan terganggu.
Tetapi ledakan cambuk Swandaru ternyata semakin lama menjadi semakin keras dan semakin sering. Udara malampun seakan-akan telah terkoyak-koyak oleh ledakan-ledakan yang dahsyat itu.
Sementara itu. ternyata ledakan cambuk Swandaru itu bukan saja telah menggetarkan jantung lawannya, namun juga telah menghentak dada mereka yang sedang tertidur nyenyak. Meskipun sebagian besar dari mereka yang sedang tertidur oleh pengaruh sirep, atau mereka yang memang sedang tertidur, namun yang kemudian telah ditindih pula oleh pengaruh sirep yang tajam itu. tidak terpengaruh oleh hentakan-hentakan cambuk Swandaru. namun ada juga diantara mereka yang mulai menggeliat. Betapapun juga. mereka yang memiliki ilmu yang tinggi, sempat berusaha untuk mengatasi perasaan kantuk mereka justru karena mereka telah terbangun oleh ledakan-ledakan cambuk itu.
Ki Gede menjadi curiga terhadap perasaannya sendiri. Bagaikan sedang bermimpi ia mendengar cambuk meledak-ledak. Seolah-olah ia sedang berada ditengah sawah menunggui seorang yang sedang membajak. Demikian malasnya dua ekor lembu yang menarik bajak itu sehingga orang yang sedang membajak itu menjadi marah dan mengayunkan cambuknya berkali-kali.
Namun akhirnya Ki Gede itupun terbangun. Ia sadar bahwa ia sedang bermimpi. Namun matanya rasa-rasanya tidak mau terbuka juga.
Pengalaman yang mengendap didalam dadanya, telah mendorong Ki Gede justru untuk mengenali keadaan yang demikian. ia telah memaksa diri untuk mengerti, apa yang sedang terjadi atas dirinya itu.
Kecurigaan Ki Gede atas keadaannya itu justru telah mendorongnya untuk melawan perasaan kantuknya yang mencengkamnya.
Ketika cambuk Swandaru sekali lagi meledak, maka Ki Gedepun telah menyadari keadaan sepenuhnya. Dan Ki Gedepun telah menyadari bahwa Padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu telah terkena oleh sirep yang tajam, terutama dirumahnya dan disekitarnya.
Ki Gedepun kemudian telah mempersiapkan diri. Setelah membenahi pakaiannya, maka iapun telah menggapai senjatanya. Perlahan-lahan ia keluar dari biliknya. Ketika ia melihat bilik yang dipergunakan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih tertutup rapat, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah keduanya masih tertidur nyenyak?" bertanya Ki Gede didalam hatinya.
Tiba-tiba saja Ki Gede teringat tamu-tamunya yang ada di gandok. Kiai Gringsing dan Swandaru. Bahkan tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia teringat kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita di Gandok kanan, yang hanya ditunggui oleh Glagah Putih.
Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian telah mengetuk pintu bilik Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Semakin lama semakin keras sebagaimana suara ledakan cambuk Swandaru.
"Pandan Wangi. Sekar Mirah," panggiil Ki Gede. Ternyata bahwa Pandan Wangi dan Sekar Mirah terbangun pula oleh suara cambuk Swandaru. Tetapi setiap kali matanya menjadi bagaikan terpejam lagi.
Namun ketika terdengar nama mereka dipanggil maka rasa-rasanya mereka benar-benar telah terbangun.
"Pandan Wangi, Sekar Mirah," sekali lagi terdengar nama mereka disebut.
"Siapa?" bertanya Pandan Wangi yang memaksa diri untuk bangkit.
"Aku," terdengar suara diluar bilik, "bangunlah. Ada sesuatu yang penting."
Pandan Wangi mengusap matanya. Tetapi ledakan cambuk itu telah terdengar lagi.
Sekar Mirahpun telah bangkit pula. Sementara itu Pandan Wangi telah bertanya pula, "Apakah ayah diluar?"
"Ya. aku. Bukalah," jawab Ki Gede.
Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah membenahi pakaian mereka sebentar. Kemudian seolah-olah telah menjadi gerak naluri. keduanya telah mengambil senjata masing-masing. Pandan Wangi telah mengenakan pedang rangkapnya, sementara Sekar Mirah telah menjinjing tongkat baja putihnya.
Keduanyapun kemudian telah membukakan pintu perlahan-lahan. Yang berdiri didepan pintu memang Ki Gede Menoreh yang telah menggenggam tombaknya pula.
"Apakah kalian merasakan sesuatu yang lain," bertanya Ki Gede.
"Ya. ayah," jawab Pandan Wangi, "rasa-rasanya mataku tidak dapat terbuka."
"Sadarilah hal itu sepenuhnya. Kemudian kau berdiri harus melawannya. Kita sudah dicengkam oleh ilmu sirep yang tajam," jawab Ki Gede.
Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Merekapun sependapat, bahwa mereka telah terkena sirep, sehingga dengan demikian maka mereka harus berusaha melawannya.
Namun dalam pada itu, cambuk yang mereka dengar masih saja meledak-ledak.
Dalam ketegangan itu terdengar suara Pandan Wangi, "Suara itu agaknya suara cambuk kakang Swandaru. Agaknya kakang Swandaru telah terlibat dalam pertempuran."
"Ya," jawab Ki Gede, "karena itu. marilah. Kita akan melihat, apa yang terjadi."
Ketiganyapun kemudian mempersiapkan diri. Dengan hati-hati mereka keluar dari dalam rumah Ki Gede lewat pintu butulan. Sementara itu. suara cambuk itupun telah menuntun mereka, bahwa pertempuran telah terjadi dibelakang gandok sebelah kanan.
"Di gandok itu Agung Sedayu dan Ki Waskita beristirahat," berkata Ki Gede.
"Hanya ditunggui oleh Glagah Putih desis Sekar Mirah.
"Kita pereaya kepada anak itu, ia memiliki ilmu yang cukup. Menurut penilaian kita. jika terjadi sesuatu. anak itu dapat berbuat sesuatu sambil menunggu kehadiran para peronda. Tetapi kita melupakan ilmu sirep," berkata Ki Gede kemudian.
Dengan tergesa-gesa merekapun kemudian telah pergi ke belakang gandok kanan. Namun dalam pada itu. Sekar Mirah telah tertegun sejenak. Dipandanginya pintu gandok yang masih tertutup rapat.
Ada niatnya untuk menengok kedalam gandok itu. Namun niatnya diurungkan ia akan melihat lebih dahulu apa yang terjadi dibelakang gandok itu.
Ketiga orang itupun kemudian terhenti beberapa langkah dari arena pertempuran. Dengan jantung yang berdebaran mereka menyaksikan pertempuran yang sengit antara Swandaru dengan seseorang yang bertubuh kecil agak kebongkok-bongkokan.
Namun dalam pada itu. selagi mereka bergeser mendekat, maka terdengar orang bertubuh kecil itu berkata, "Marilah. Ternyata dengan ledakan cambukmu kamu telah memanggil beberapa orang kawanmu atau saudaramu atau siapapun mereka. Majulah bersama-sama. Aku ingin melihat, apakah kalian akan dapat mengimbangi ilmuku.
Tetapi suara Swandaru tidak kalah garangnya. "Mereka tidak akan mengganggu perang tanding ini. Aku akan bertempur sendiri sampai aku berhasil membunuhmu."
Orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya, "Jangan bermimpi sambil bertempur. Itu hanya akan mempereepat kematianmu saja."
Tetapi orang bertubuh kecil itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan Swandaru datang melandanya sehingga orang itu harus meloncat surut.
Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran.
Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Cambuk Swandaru meledak-ledak bagaikan petir di mangsa kesanga. Beruntun, susul menyusul tidak henti-hentinya.
"Gila," geram lawannya, "cambukmu tidak menyentuh kulitku. Tetapi suaranya memekakkan telinga."
Swandaru menggeram, ia memutar cambuknya semakin cepat.
Namun dalam pada itu. Swandaru yang telah mempelaiari berbagai ilmu dengan matang, sementara itu dengan tekun ia meningkatkan kekuatan tenaganya dan membuat tenaga cadancannya semakin mapan, maka hentakkan cambuknyapun menjadi semakin nggegirisi. Pada saat-saat terakhir. Swandaru telah menekuni isi kitab gurunya meskipun baru untuk waktu yang singkat. Namun dalam waktu yang singkat itu. Swandaru berhasil menempatkan jalur-jalur kekuatan tenaga cadangannya semakin mapan. sehingga seakan-akan kekuatan jasmaniahnya dalam saat-saat tertentu sebagaimana dikehendaki menjadi semakin berlipat.
Sementara itu. lawannyapun telah meningkatkan ilmunya pula. Ternyata lawannya mampu bergerak terlalu cepat. Bagaikan bayangan dalam keremangan malam. orang bertubuh kecil itu berterbangan disekitar Swandaru. Namun cambuk Swandaru seakan-akan selalu memburunya.
Ketika cambuk itu meledak dan tidak menyentuh sasaran, tetapi mengenai dahan-dahan pepohonan, maka dahan-dahan itulah yang berpatahan. Tanahpun berhamburan dan pepohonan telah terguncang.
"Gila," geram orang bertubuh kecil itu. Namun ia mempercayakan diri pada kecepatan geraknya. Bahkan dalam keadaan yang sulit, iapun masih mampu menyerang. Linggis ditangannya menjadi seakan-akan seringan lidi. Sekali-sekali linggis itu terayun mendatar mengarah lambung. Namun kemudian mematuk kearah dahi dan kadang-kadang menyambar kening.
Dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Keduanya memiliki tenaga yang besar dan kemampuan yang tinggi.
Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan tegang. Ki Gede dan Sekar Mirah yang melihat perang tanding di Watu Lawang, memang melihat lawan Swandaru itu memiliki beberapa unsur yang bersamaan dengan bajak laut yang bertempur melawan Agung Sedayu.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun menjadi cemas. Jika orang itu mampu mencapai puncak kemampuannya sebagaimana dilakukan oleh bajak laut itu, maka Sekar Mirah mencemaskan keadaan kakaknya.
Meskipun Sekar Mirah kurang mendalami cara Agung Sedayu meningkatkan ilmunya, namun ia melihat bahwa ada perbedaan antara suaminya itu dan kakaknya meskipun keduanya berguru kepada orang yang sama. Agung Sedayu lebih menukik kekedalaman ilmunya. Namun Swandaru lebih condong untuk memperbesar kemampuan wadagnya. Karena itulah, maka Swandaru condong untuk membuat tenaga cadangannya semakin mapan.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin sengit.
Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka. sehingga benturan-benturan ilmu keduanyapun tidak lagi dapat dihindari.
Orang bertubuh kecil yang mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa itu merasakan, bahwa kekuatan Swandaru terasa lebih besar dari kekuatannya. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu yang dapat mengisi kekurangannya itu.
Namun Swandaru yang menyadari bahwa kekuatannya melampaui kekuatan lawannya telah berusaha untuk tidak ragu-ragu membenturkan ilmunya.
Jika sekali-sekali ujung linggis Lodra itu menyentuh jurai cambuk Swandaru, terasa tangannya menjadi bergetar. Namun ia masih selalu mampu mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya.
Dalam pertempuran yang semakin meningkat itu. Kiai Gringsing masih tetap berada ditempatnya ia melihat Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mendekati arena. Tetapi ia masih tetap mengamati pertempuran itu dari tempat yang tersembunyi.
Namun dalam pada itu. ternyata yang mendengar ledakan cambuk Swandaru bukan hanya orang-orang yang tinggal dirumah Ki Gede itu saja. Diluar pedukuhan induk, suara itupun telah memanggil seseorang yang sedang duduk dalam kegelapan.
Ketika ia mulai mendengar suara cambuk Swandaru, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat itu berusaha untuk mengetahui dari arah manakah suara itu meledak-ledak.
Orang itu menarik nafas dalam-dahun. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan memasuki pedukuhan induk. Ternyata anak-anak muda yang berada digardu-gardu di regolpun telah bertempur melawan Swandaru itu tidak cukup kuat untuk menguasai seluruh padukuhan. namun ternyata ada kekuatan lain yang telah membantunya, sehingga seisi pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itupun telah terkena sirep pula.
Dengan pasti orang itu menuju ke rumah Ki Gede. karena ketajaman telinganya telah membawanya kearah suara ledakan cambuk Swandaru. Tanpa ragu-ragu ia berjalan disepanjang jalan padukuhan. Sehingga akhirnya iapun telah berhenti diregol rumah Ki Gede.
Dilihatnya beberapa orang terbaring digardu. selebihnya ada pula yang tertidur dibelakang gardu. sementara ditangannya masih tergenggam kacang yang sedang dikulitinya.
Baru kemudian orang itu menjadi berhati-hati ia tidak memasuki halaman rumah Ki Gede lewat regol halaman. Tetapi iapun telah menelusuri dinding. Sebelum sampai kesudut halaman, maka dengan tangkasnya iapun telah meloncat masuk. Dari balik gerumbul dibawah bayangan kegelapan, orang itu berusaha untuk dapat mengamati pertempuran dibelakang gandok. Namun dari tempatnya, ia melihat beberapa orang yang menunggui pertempuran itu. Seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
Sementara itu. ditempat yang tersembunyi, ternyata Kiai Gringsing tidak saja memperhatikan mereka yang sedang bertempur. Ketika pertempuran itu sudah berlangsung cukup lama. namun anak-anak muda digardu masih juga belum terbangun. maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk memperhatikan suasana.
Jika ilmu sirep itu hanya dilontarkan oleh orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, maka setelah sekian lama ia terlibat dalam pemusatan perhatiannya terhadap pertempuran yang sedang dilakukan, maka lambat laun ilmu sirep itu tentu akan mengendor. Ledakan cambuk Swandaru itu tentu akan segera membangunkan anak-anak muda yang sedang tertidur lelap, namun ternyata bahwa anak-anak itu masih belum juga terbangun.
"Tentu ada pengaruh lain kecuali yang dilontarkan oleh orang bertubuh kecil itu," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Namun dalam pada itu. sebenarnyalah didalam gandok, Agung Sedayu, Ki Waskita dan bahkan Glagah Putih telah terbangun. Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita masih tetap berada di pembaringannya tubuh mereka yang terluka masih belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar bangkit dan duduk dengan hati-hati di pinggir pembaringan.
"Beristirahatlah. Jangan bangkit." Glagah Putih berusaha untuk mencegah.
Tetapi Agung Seduyu menjawab, "Tidak apa-apa. Keadaanku sudah bertambah baik hari ini."
Glagah Putih tidak memaksanya. Namun perhatiannya tertuju sepenuhnya kepada suara cambuk yang meledak-ledak.
"Kakang Swandaru," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk berbareng. Sementara itu Glagah Putihpun berkata, "Apakah aku sebaiknya melihatnya"'"
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun Glagah Putih telah menjawabnya sendiri. "Aku disini saja menunggui kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mungkin ada orang-orang yang curang memasuki bilik ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun sependapat, bahwa Glagah Putih sebaiknya ada didalam bilik itu saja. Mungkin diluar keadaannya sangat berbahaya. Agaknya pertempuran antara Swandaru dan lawannya itupun telah mencapai puncak kemampuan masing-masing.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran antara Swandaru dan lawannya yang bertubuh kecil, agak terbongkok-bongkok itu berlangsung semakin seru. Cambuk Swandaru meledak semakin sering dan semakin keras. Dengan puncak kemampuannya Swandaru telah melecutkan cambuknya, sehingga udarapun bagaikan terguncang karenanya. Rasa-rasanya pepohonan bergoyang dan bahkan gandok kanan itupun bagaikan tergetar oleh ledakan cambuknya.
Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu semakin lama nampaknya menjadi semakin terdesak.
Karena cambuk itu berputar semakin cepat, maka seakan-akan orang bertubuh kecil itu tidak lagi mampu menembus untuk menyerang, sehingga dengan demikian maka yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah sekedar meloncat menghindar. Orang itupun tidak mau membenturkan kekuatannya langsung melawan ujung cambuk Swandaru. karena ia merasa bahwa kekuatan Swandaru ternyata lebih besar dari kekuatannya.
Swandaru tidak mau kehilangan waktu. Ketika lawannya meloncat surut, maka iapun telah memburunya. Ledakan cambuknya membuat lawannya meloncat kesamping. Namun dengan tiba-tiba saja cambuk Swandaru mengejarnya dengan ayunan mendatar.
Orang bertubuh kecil itu tidak sempat mengelak sepenuhnya. Meskipun ia sudah berusaha menghindari ujung cambuk itu, namun ternyata bahwa kulitnya masih tersentuh juga.
Terdengar orang itu mengumpat kasar. Sentuhan ujung cambuk Swandaru itu telah mengoyak kulitnya, sehingga sebuah luka telah menganga di lengannya.
"Anak iblis," geram orang bertubuh kecil itu. "kau telah melukai tubuhku."
"Persetan," jawab Swandaru, "kau harus mati disini."
Swandaru sama sekali tidak mengendurkan serangannya. Bahkan cambuknya telah berputar semakin cepat.
Orang bertubuh kecil itu benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang memuncak. Maka tiba-tiba saja ia bergumam didalam dirinya. Apaboleh buat. Kekuatan air, udara dan api itu masih baru aku mulai. Tetapi dalam keadaan seperti ini. aku akan mempergunakannya meskipun belum sempurna."
Dalam pada itu. Tiba-tiba saja orang bertubuh kecil itu meloncat menjauh. Hampir mendekati Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang kemudian telah bersiaga. Namun ternyata orang itu tidak mengganggu ketiganya. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam dengan wajah tegang.
Namun dalam pada itu. sesuatu telah terjadi. Ilmu yang masih dalam ujud yang kasar itu telah menyerang Swandaru dengan kasar pula. Seakan-akan udarapun kemudian berputar seperti angin pusaran. Namun angin pusaran itu ternyata mengandung uap air yang panas.
Swandaru terkejut. Ketika angin pusaran itu memburunya, maka iapun meloncat surut. Tetapi sentuhan angin pusaran itu rasa-rasanya membuat kulitnya menjadi bagaikan terbakar.
"Ilmu iblis yang mana lagi yang dipergunakan orang ini," geram Swandaru.
Namun angin pusaran itu masih saja melingkar-lingkar mendekatinya.
Swandaru menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjadi gentar. Ketika angin pasaran itu mendekatinya, maka tiba-tiba saja Swandaru telah menyerang angin pusaran itu dengan cambuknya.
Cambuknya meledak dengan kerasnya, bagaikan petir yang meledak dilangit. Udarapun tergetar karenanya dan gandok itu bagaikan terguncang.
Ternyata ledakan cambuk Swandaru itu berpengaruh juga. Udara bergulung-gulung itu bagaikan tergetar pula. Tetapi hanya untuk sesaat.
Angin yang bergulung yang tergetar oleh ledakan cambuk Swandaru itu bagaikan pecah dan memencar. Namun sejenak kemudian seolah-olah telah terhisap kembali dalam satu pusaran yang berputaran memburu Swandaru.
Setiap kali Swandaru meledakkan cambuk dengan sepenuh kemampuannya, angin pusaran itu memang bagaikan menyibak.
Dengan demikian, maka Swandarupun kemudian berusaha untuk memecah sama sekali gumpalan angin pusaran itu.
Karena itu, maka iapun tidak sekedar meledakkan cambuknya sekali dua kali. Tetapi berkali-kali.
Usaha Swandaru itu nampaknya akan berhasil. Tetapi tiba-tiba saja ia telah tersengat udara panas disekitarnya. Tidak lagi dalam gulungan angin pusaran. Namun udara disekitarnya memang menjadi panas.
Tetapi Swandaru cepat berpikir. Ia sadar, bahwa sumber dari panasnya udara itu adalah orang bertubuh kecil itu. Ia teringat apa yang pernah dikatakan tentang lawan-lawan Agung Sedayu. Bahkan ada yang pernah mengatakan, bahwa randu alas di Tanah Perdikan Menoreh yang dibawahnya terjadi perang tanding antara Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu telah mati mengering.
Dengan demikian, maka Swandaru telah bertindak cepat ia berusaha bertahan atas serangan panas yang bagaikan membakar kulitnya. Namun dalam pada itu. dengan loncatan panjang ia telah menyerang orang bertubuh kecil itu.
Ternyata orang bertubuh kecil itu menjadi lengah ia melihat sambil tersenyum kesulitan yang dialami oleh Swandaru menghadapi ilmunya yang bagaikan angin pusaran. Bahkan ketika angin pusaran itu pecah, maka ia masih sempat menghembuskan kekuatan apinya sehingga udara menjadi bagaikan terbakar.
Tetapi bahwa Swandaru telah dengan serta merta menerobos perisai panasnya itu benar-benar diluar dugaan. Karena itu, maka ketika tiba-tiba cambuk Swandaru terayun kearahnya, maka ia terlambat untuk menghindar. Sekali lagi ujung cambuk Swandaru itu mengenainya, justru pada saat ia berusaha meloncat.
Karena itu, maka pahanyalah yang kemudian bagaikan terkoyak Namun demikian, ternyata bahwa ia masih sempat meloncat menjauh sambil menghembuskan Ilmunya. Sekali lagi udara yang bergulung-gulung bagaikan angin pusaran telah melanda Swandaru. Udara yang bagaikan mengandung uap air mendidih.
Swandaru terkejut. Dengan cepat ia berusaha menghindar. Meskipun demikian terdengar juga ia mengeluh. Panas udara itu tidak tertahankan.
Sekali lagi Swandaru harus bertahan. Cambuknya segera meledak-ledak. Dan sekali lagi Swandaru memecahkan pusaran angin yang mengandung uap panas itu. Namun yang seperti pernah terjadi, udara panaslah yang kemudian melandanya.
Dalam pada itu, Ki Gede. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun merasakan sentuhan udara panas itu. Bagi Ki Gede, maka segera ia mengetahui, bahwa tingkat ilmu orang itu masih berada dibawah kemampuan para bajak laut yang bertempur di Watu Lawang. Pengaruh udara banas itu tidak sedahsyat hembusan udara panas bajak laut yang di Watu Lawang. Pada jarak yang lebih jauh, maka udara panas itu terasa mengigit kulitnya. Apalagi serangan kabut yang hampir tidak kasat mata itu benar-benar sangat berbahaya. Sementara pusaran yang dihembuskan oleh orang bertubuh kecil itu adalah serangan yang kasar. Menurut pengamatan Ki Gede. jika Swandaru menghindar dan mengambil jarak semakin jauh, maka pusaran itu menjadi semakin lemah, sehingga pada saat jarak tertentu serangan itu sudah tidak berarti lagi.
Namun Ki Gede mengagumi kecepatan berpikir dan bertindak Swandaru yang memasuki lingkungan serangan panas lawannya dan langsung menyerangnya.
Yang menjadi berdebar-debar adalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah mencemaskan juga bahwa Ilmu orang itu masih belum seganas bajak laut yang bertempur melawan Asung Sedayu. namun ia sadar, bahwa kakaknya tidak memiliki perisai ilmu kebal seperti Agung Sedayu. Perisai yang ternyata masih mampu ditembus oleh lawan-lawannya yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat itu.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukan udara panas yang membakar tubuhnya. Meskipun sambil berdesah, namun ia telah meloncat dengan loncatan-loncatan panjang menyerang lawannya.
Meskipun lawannya tidak menjadi lengah, tetapi seranga Swandaru yang tidak kalah dahsyatnya dengan badai yang dilontarkannya itu, telah membuatnya terdesak pula. Ketika serangan Swandaru melibatnya pada jarak pendek tanpa menghiraukan panas dikulitnya, maka sekali lagi. cambuk Swandaru mengenai tubuh orang itu. Meskipun Swandaru menghentakkan cambuk dari arah dada, tetapi juntainya justru telah mengoyak lawannya pada punggungnya.
Orang bertubuh kecil itu mengaduh. Luka itu terasa betapa pedihnya. Namun Swandarupun telah mengaduh pula. karena kulitnya yang bagaikan terbakar oleh panasnya udara disekitarnya.
Orang bertubuh kecil itu berusaha untuk mengambil jarak. Tetapi Swandaru tidak melepaskannya. Kakinya yang melenting-lenting karena tanah tempat ia berpijak-pun bagaikan menjadi bara. namun ia masih tetap melibat lawannya pada jarak yang paling dekat yang dapat dicapainya.
Dalam pada itu. dibelakang gerumbul. didalam kegelapan seseorang memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran ia melihat orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu mula-mula mampu mendesak lawannya. Tetapi ternyata lawannya memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga tanpa menghiraukan ilmu yang mampu membakar udara disekitarnya itu.
Namun orang itupun berdesis, "Ilmu itu baru pada permulaan."
Bersamaan dengan itu. Kiai Gringsing yang masih berada ditempat yang tersembunyipun berdesis pula, "Ilmu itu masih pada tataran pertama. Mudah-mudahan Swandaru dapat mengatasinya."
Meskipun demikian Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar pula.
Udara panas terpancar disekitar orang bertubuh kecil itu memang menjadi hambatan utama dari serangan Swandaru. Tetapi ia mempunyai perhitungan tersendiri, ia harus segera mampu menghancurkan lawannya, sehingga dengan demikian ia telah memadamkan sumber ilmu yang bagaikan membakar dirinya.
Ternyata perhitungan Swandaru itupun mengena pada sasarannya. Ketika cambuknya sekali lagi mengenai dada, maka darahpun telah memancar dari dada orang bertubuh kecil itu. sehingga dengan demikian lukanyapun benar-benar telah mengganggunya. Bahkan Swandaru yang meloncat-loncat karena serangan panas itu masih sempat sekali lagi melecutkan cambuknya sendal pancing. Serangan yang justru telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Serangan terakhir Swandaru itu telah mengenai leher lawannya. Ketika ujung cambuk itu menghentak, maka karah-karah baja di juntai cambuk itu telah menyobek kulit dan daging dileher lawannya.
Terdengar keluhan melengking. Sejenak orang bertubuh kecil itu masih tertahan berdiri tegak dengan mata yang memancarkan kemarahan yang tidak ada taranya. namun sejenak kemudian, maka tubuh itupun telah roboh terguling ditanah.
Bersamaan dengan itu, maka ilmu yang terpancar dari orang bertubuh kecil itupun lambat laun telah mengendor dan akhirnya lenyap pula.
Seribu Musim Mengejar 2 Dewi Ular 46 Misteri Bocah Jelmaan Misi Rahasia Sophie 1
"Kita harus segera membawa keduanya ketempat yang lebih baik. Kita akan membawa mereka ke rumah Ki Gede," berkata Pangeran Benawa.
"Ya. Aku akan mengambil pedati. Sebaiknya Pangeran tinggal disini.," sahut Ki Gede.
Pangeran Benawa mengangguk. Namun kemudian katanya, "Bukankah lebih baik jika Ki Lurah menyertai Ki Gede?"
"Ya Pangeran," jawab Ki Lurah, "memang sudah terpikir olehku. Sementara itu Pangeran berada disini bersama Sekar Mirah."
Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Gede dan Ki Lurah Branjangan itupun dengan tergesa-gesa telah pergi ke padukuhan terdekat untuk mencari sebuah pedati yang akan dapat membawa Agung Sedayu dan Ki Waskita ke rumah Ki Gede Menoreh untuk mendapat perawatan yang lebih baik.
Kedatangan Ki Gede telah mengejutkan orang-orang di padukuhan itu. Namun mereka tidak banyak mendapat kesempatan karena Ki Gede dengan tergesa-gesa minta disediakan sebuah pedati.
"Tolong, agak cepatlah sedikit," minta Ki Gede.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya orang-orang di padukuhan itu.
"Nanti aku akan berceritera. Tetapi waktuku sekarang sangat sempit," jawab Ki Gede.
Orang-orang dipadukuhan itupun menyadari, bahwa Ki Gede tentu mempunyai persoalan yang cukup gawat. Karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak bertanya lagi. Dengan tergesa-gesa mereka telah menyiapkan sebuah pedati seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede.
Sementara itu, maka Ki Gedepun telah bertanya kepada seseorang di padukuhan itu, "Apakah ada diantara kalian yang dapat pergi berkuda?"
"Ada Ki Gede," jawab orang itu.
"Panggil orang itu." minta Ki Gede.
Sejenak kemudian seorang anak muda telah datang menghadap Ki Gede dengan wajah kusut. Katanya, "Maaf Ki Gede aku belum mandi."
"Tidak apa-apa. Tolong, pergilah kerumahku. Katakan kepada mereka yang bertugas. Siapkan tempat untuk merawat seseorang yang terluka," berkata Ki Gede kepada anak muda itu.
"Siapa yang terluka Ki Gede?" bertanya anak muda itu.
"Nanti kau akan tahu," jawab Ki Gede. Lalu, "Kirimkan beberapa orang ke Watu Lawang. Aku ada disana."
Anak muda itupun tidak banyak bertanya. Dengan tergesa-gesa iapun segera mempersiapkan diri dan kudanya.
Ketika sebuah pedati berjalan dengan lamban ke Watu Lawang, maka anak muda itupun telah berpacu ke padukuhan induk.
Dalam pada itu. Pangeran Benawa yang juga terluka, tetapi seolah-olah tidak terasa setelah diobatinya sendiri dan Sekar Mirah dengan tegang menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita yang terbaring. Namun agaknya keduanya masih tetap menyadari apa yang terjadi. Bahkan Pangeran Benawa masih sempat berkata kepada ki Waskita, "Ki Waskita terlalu percaya kepada bajak laut itu."
"Aku tidak menyangka bahwa hal itu terjadi Pangeran," jawab Ki Waskita.
"Mereka memang orang-orang licik yang dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan segala macam ikatan dan paugeran," berkata Pangeran Benawa.
"Aku memang tidak menyangka bahwa pada saat terakhir itu bajak laut itu akan menyerangku dengan tiba-tiba," desis Ki Waskita. "Aku menyangka bahwa ia justru akan menyerang Pangeran."
"Ya. Semula akupun menyangka begitu. Karena itu, aku bersiap sepenuhnya menghadapi keadaan yang demikian. Namun ternyata bahwa orang itu justru menyerang Ki Waskita. Agaknya Ki Waskita kurang bersiap menghadapi hal itu," berkata Pangeran Benawa.
"Aku memang kurang berhati-hati.," desis Ki Waskita, "justru karena aku tidak menyangka sama sekali. Aku berharap orang itu benar-benar akan menyerah."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Nampaknya kelengahan itu berakibat parah bagi Ki Waskita.
Sementara itu. Sekar Mirahpun masih saja dicengkam ketegangan melihat keadaan Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu tidak menjadi pingsan karena luka-lukanya. Namun ia nampak terlalu lemah.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka sebuah pedati telah terdengar datang mendekat. Suara roda-rodanya gemeretak dijalan berbatu-batu menuju ke Watu Lawang.
"Pedati itu sudah datang," berkata Pangeran Benawa.
"Ya," sahut Sekar Mirah. Lalu katanya kepada Agung Sedayu sebentar lagi kita meninggalkan tempat ini kakang."
Agung Sedayu mengangguk kecil sambil berdesis, "Keadaanku sudah berangsur baik Mirah."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tahu bahwa luka-luka Agung Sedayu adalah luka yang parah.
Sejenak kemudian, maka sebuah pedati telah datang menghampiri mereka yang berada di Watu Lawang itu. Ki Gede yang ada didalam pedati itupun segera meloncat diikuti oleh Ki Lurah Branjangan.
Namun dalam pada itu, telah terdengar pula derap kaki-kaki kuda mendatang. Beberapa orang pengawal dengan tergesa-gesa telah menuju ke Watu Lawang, sebagaimana dikatakan oleh anak muda yang mendapat perintah oleh Ki Gede untuk memberitahukan kepada para pengawal di rumah Ki Gede.
Ki Gede yang melihat sekelompok pengawal mendatanginya, segera menyambut mereka. Anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itupun segera berloncatan turun dari kuda mereka.
"Apa yang terjadi Ki Gede," bertanya pengawal yang tertua diantara mereka.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Telah terjadi sesuatu disini. Kau lihat. Agung Sedayu dan Ki Waskita terluka. Kita akan membawa mereka ke padukuhan induk dengan pedati itu. Sementara tugas kalian adalah menyelenggarakan penguburan tiga sosok mayat yang ada di sekitar tempat itu."
"Mayat?" bertanya anak muda itu.
Ki Gede termangu-mangu. Ia demikian tergesa-gesa mencari sebuah pedati sehingga ia tidak sempat meyakinkan apakah ketiga bajak laut itu sudah terbunuh.
Namun Pangeran Benawa yang mendengarkan pembicaraan itu telah menjawab, "Ya. Tiga sosok mayat."
Sejenak kemudian anak-anak muda itu telah berloncatan pula. Atas petunjuk Ki Gede, maka merkapun segera mengamati tiga sosok tubuh yang terbaring diam. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa ketiga nya telah menjadi mayat.
"Nah," berkata Ki Gede, "lakukan sebagaimana seharusnya. Aku akan membawa Ki Waskita dan Agung Sedayu, agar mereka segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Ki Gede dibantu oleh Ki Lurah dan Pangeran Benawa sendiri telah mengangkat dan meletakkan Agung Sedayu dan Ki Waskita kedalam pedati, sementara anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan itu mengumpulkan tiga sosok mayat bajak laut yang telah terbunuh.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menyaksikan tempat yang telah menjadi arena pertempuran di Watu Lawang. Meskipun mereka tidak menyaksikan langsung pertempuran itu, tetapi mereka dapat membayangkan, betapa dahsyatnya.
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh pernah melihat sebatang randu alas yang menjadi kering setelah terjadi perang tanding yang dahsyat dibawah pohon itu. Dan kini mereka menyaksikan Watu Lawang yang seakan-akan merupakan bekas padang perdu yang terbakar. Daun-daun menjadi kuning dan dahan-dahan berpatahan. Tanah bagaikan habis dibajak dan baru-batu padas pecah berserakan.
Selagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sibuk dengan ketiga sosok mayat sambil mengagumi ilmu mereka yang telah bertempur di Watu Lawang itu, maka Ki Gede telah siap untuk meninggalkan tempat itu dengan sebuah pedati. Kepada anak-anak muda yang ada di Watu Lawang, maka sekali lagi Ki Gede berpesan, agar mereka menyelenggarakan mayat-mayat itu sebagaimana seharusnya.
Namun demikian, tiga orang diantara anak-anak muda itu telah mendapat perintah dari Ki Gede untuk mengikutinya membawa Ki Waskita dan Agung Sedayu yang terjuka.
"Marilah Pangeran," Ki Gede mempersilahkan, "aku mohon Pangeran singgah barang sebentar di rumah."
Ternyata Pangeran Benawa tidak menolak. Betapapun juga, ia merasa tubuhnya menjadi sangat letih. Apalagi iapun sebenarnya telah terluka pula, meskipun tidak parah.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Watu Lawang. Karena diantaranya terdapat sebuah pedati, maka perjalanan itupun menjadi sangat lambat.
Namun untunglah, bahwa keadaan Agung Sedayu tidak terlalu mencemaskan. Meskipun ia terluka parah, tetapi ia tetap menyadari keadaannya sebagaimana Ki Waskita.
"Keadaan ini telah terulang beberapa kali," berkata Ki Gede didalam hatinya, "setiap kali Agung Sedayu mendapat lawan yang luar biasa, sehingga ia sendiri harus mengalami kesulitan jasmaniah. Untunglah, setiap kali anak muda itu berhasil mengatasinya."
Sementara itu. Sekar Mirah yang ada didalam pedati pula menunggui suaminya dengan jantung yang berdebaran. Bagaimanapun tabahnya hati murid Ki Sumangkar itu, tetapi menghadapi keadaan Agung Sedayu itu ternyata matanya menjadi panas pula. Hanya dengan usaha yang keras sajalah Sekar Mirah dapat bertahan untuk tidak menangisi suaminya sebagaimana dilakukan oleh seorang perempuan.
Dalam pada itu, sebuah iring-iringan yang lain telah memasuki tlatah Tanah Perdikan pula. Pandan Wangi yang berada di sebelah Glagah Putih berkata, "Kita sudah dekat. Seperti yang kita perhitungkan, kita memasuki Tanah Perdikan Menoreh setelah langit menjadi cerah."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan katanya kemudian, "Tanah Perdikan ini telah terbangun."
"Lihat Glagah Putih," berkata Pandan Wangi kemudian, "bukankah kehidupan berlangsung sebagaimana biasa Jika terjadi sesuatu, kita akan dapat melihat Tanah Perdikan ini menjadi gelisah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Jika perang tanding itu terjadi tanpa diketahui oleh orang-orang lain di Taliah Perdikan ini, maka mereka sama sekali tidak merasa gelisah."
"Memang mungkin," berkata Pandan Wangi, "tetapi perang tanding itu akan membangunkan orang-orang Tanah Perdikan ini. Jika seorang saja diantara orang Tanah Perdikan ini yang mengetahui apalagi melihatnya, maka seluruh Tanah Perdikan akan segera membicarakannya. Kecuali jika perang tanding itu terjadi disatu tempat yang benar-benar tersembunyi."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi semakin dekat mereka dengan padukuhan induk, rasa-rasanya hatinya menjadi semakin gelisah.
Tetapi Pandan Wangi dan Swandaru justru sebaliknya. Tanah Perdikan itu memang nampak tenang saja seperti hari-hari yang lain. Seakan-akan memang tidak terjadi sesuatu yang mengguncangkannya pada saat-saat fajar menyingsing.
Bahkan ketika seorang petani melihat kehadiran Pandan Wangi bersama suaminya dan Kiai Gringsing, telah menyapanya dengan wajah berseri seperti cerahnya pagi. "Pagi-pagi benar kalian sudah datang di Tanah ini. Selamat datang atas kehadiran kalian."
Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, "Tanah ini bagaikan memanggilku kemari. Karena itu, aku telah berangkat malam tadi. Aku memang ingin melihat fajar yang naik dari Tanah Kelahiran ini."
Petani itu tertawa. Katanya, "Silahkan. Tetapi kedatangan kalian pagi-pagi sekali akan dapat mengejutkan Ki Gede."
"Apakah ayah sedang disibukkan oleh sesuatu?" bertanya Pandan Wangi.
"Tidak. Kemarin Ki Gede melihat-lihat daerah ini seperti yang biasa dilakukannya," jawab petani itu.
"Terima kasih," sahut Pandan Wangi sambil meneruskan perjalanannya.
Beberapa langkah kemudian Pandan Wangipun berkata, "Kau lihat Glagah Putih. Bukankah keadaan tetap tenang di Tanah Perdikan ini. Karena itu, kau tidak perlu gelisah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu merekapun menjadi semakin dekat pula dengan padukuhan induk.
Memang tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa telah jadi sesuatu yang menggetarkan diatas Tanah Perdikan itu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Di jalan-jalan yang menghubungkan pedukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, menjadi semakin ramai oleh orang-orang yang pergi kepasar dan pergi ke sawah ladang mereka. Satu dua pedati nampak berjalan perlahan-lahan ditarik oleh dua ekor lembu.
Dalam kesibukan yang semakin meningkat itu, maka Pandan Wangi bersama suaminya, Glagah Putih dan Kiai Gringsing telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tanpa menghiraukan sebuah pedati yang merayap pula mendekati gerbang padukuhan induk itu.
Sebenarnyalah bahwa pedati yang diiringi oleh beberapa orang berkuda itu adalah pedati yang membawa Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Dalam pada itu, memang tidak nampak tanda-tanda kegelisahan di padukuhan induk. Karena itu, maka iring-iringan yang datang dari Sangkal Putung itupun sama sekali tidak menyangka, bahwa sesuatu memang sebenarnya telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan wajah yang cerah Pandan Wangi memasuki gerbang halaman rumah ayahnya. Beberapa orang anak muda yang masih ada di halaman itu terkejut melihat kehadirannya. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa sepagi itu Pandan Wangi yang berada di Sangkal Putung, suatu Kademangan yang jauh, telah berada dipintu gerbang rumah itu.
Pandan Wangi tersenyum melihat ikap anak-anak muda yang termangu-mangu. Karena itu, maka iapun segera meloncat turun dari kudanya sambil berkata, "Selamat pagi. Kalian memang tidak bermimpi. Aku benar-benar telah datang di pagi-pagi seperti ini."
"O," seorang peronda mengangguk-angguk, "marilah. Naiklah."
Pandan Wangi memandang anak-anak muda yang masih ada di rumah ayahnya itu. Kemudian sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, "Apakah menjadi kebiasaan kalian, bahwa kalian meronda sampai pagi seperti ini?"
"Tidak Pandan Wangi," jawab peronda yang tertua, "biasanya kami meninggalkan gardu didepan sebelum matahari terbit. Tetapi pagi ini ada sesuatu yang menahan kami disini."
"O." Pandan Wangi mengangguk-angguk, "apakah yang telah menahan kalian" Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi ?"
Peronda itu termangu-mangu sejenak. Ada keragu-raguan untuk mengatakan tentang peristiwa yang didengarnya di Watu Lawang, karena ia sendiri masih belum terlalu jelas akan peristiwa itu.
Karena itu, maka peronda itu telah mempersilahkan Pandan Wangi untuk naik kependapa, "Silahkan. Duduk sajalah dahulu."
Pandan Wangi mulai merasa sesuatu yang mendebarkan. Hampir diluar sadarnya Pandan Wangi bertanya, "Apakah ayah ada dirumah?"
Peronda itu masih saja termangu-mangu. Sehingga Glagah Putihlah yang mendesak, "Apa yang sebenarnya telah terjadi" Apakah Ki Gede tidak ada dirumah?"
"Ki Gede nganglang sejak ujung malam." jawab peronda itu, "agaknya Ki Gede telah mengelilingi seluruh Tanah Perdikan."
"Jadi sejak Ki Gede pergi di permulaan malam kemarin, sampai saat ini masih belum kembali?" desak Glagah Putih.
Peronda itu mengangguk. Tetapi katanya, "Ki Gede memang sering pergi mengelilingi Tanah Perdikan ini. Mungkin Ki Gede telah singgah di barak pasukan khusus."
Jantung Glagah Putih mulai berdentangan. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi" Jangan berteka-teki."
Peronda itu menjadi semakin ragu. Namun tidak seorangpun diantara kawan-kawannya yang dapat mengatakan sesuatu. Kawan-kawannyapun hanya dapat berdiam diri dengan dada yang berdebaran. Seperti peronda yang tertua itu mereka ragu-ragu. Apakah sebaiknya mereka mengatakan serba sedikit tentang persoalan di Watu Lawang sebagaimana yang mereka dengar atau tidak. Karena yang mereka tahu hanyalah, beberapa orang kawannya telah dipanggil dengan tergesa-gesa.
Sementara keragu-raguan mencengkam halaman rumah Ki Gede, sebuah pedati merambat memasuki gerbang padukuhan induk. Namun tidak seorangpun yang menyangka bahwa didalam pedati itu terdapat dua orang yang terluka.
Meskipun demikian, bahwa beberapa orang mengiringi pedati yang berjalan lambat itu memang sudah menarik perhatian. Tetapi setiap kali orang bertanya tentang pedati itu, maka tidak seorangpun yang mengatakan yang sebenarnya. Karena itu, maka tidak seorangpun yang kemudian mempersoalkannya lagi.
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun telah mendekati gerbang rumah Ki Gede tanpa hambatan. Namun demikian mereka memasuki halaman, maka para pengiringpun telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang yang sedang termangu-mangu di halaman itu.
"Pandan Wangi," Ki Gede hampir berteriak menyapa ketika ia melihat Pandan Wangi.
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dilihatnya ayahnya mendekatinya dengan tergesa-gesa, sementara pedati itupun telah memasuki halaman pula.
"Kapan kau datang?" bertanya Ki Gede.
"Baru saja ayah," jawab Pandan Wangi, "bersama kakang Swandaru dan Kiai Gringsing."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya menantunya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah Kiai Gringsing sejenak.
"Selamat datang," desisnya.
Swandaru mengangguk hormat sementara Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam. Nalurinya telah menangkap bahwa sesuatu telah terjadi. Karena itu, maka jawabnya, "Kami selamat diperjalanan Ki Gede. Tetapi rasa-rasanya kami telah datang pada saat yang kurang baik."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Marilah. Silahkan naik kependapa."
Ki Gede memandang wajah Pandan Wangi yang gelisah. Sementara Swandarupun bertanya, "Apakah sesuatu telah terjadi?"
Ki Gede tidak segera menjawab. Sementara Ki Lurah Branjanganpun telah mendekati mereka pula.
Namun dalam pada itu, Glagah Putihlah yang tidak dapat menunggu. Tiba-tiba saja ia telah berlari menyongsong pedati yang kemudian melintasi halaman dan langsung menuju ke serambi gandok.
Tetapi pada saat yang bersamaan. Sekar Mirahpun telah meloncat turun dari pedati itu. Ketika dilihatnya Pandan Wangi, maka iapun berlari kearahnya. Dengan serta merta iapun telah memeluk Pandan Wangi. Dan pada saat yang demikian, maka Sekar Mirah tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya sebagai seorang perempuan. Yang telah ditahankannya dengan sekuat-kuatnya, tiba-tiba saja telah meledak, maka Sekar Mirahpun telah menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Pandan Wangi.
Maka semakin jelaslah bahwa memang telah terjadi sesuatu. Tangis Sekar Mirah benar-benar telah menggetarkan jantung orang-orang yang menyaksikannya.
"Ada apa dengan Agung Sedayu?" bertanya Kiai Gringsing yang gelisah.
Sekar Mirah tidak sempat menjawab. Tangisnya bagaikan menghentak-hentak.
Karena itu, mika Kiai Gringsingpun kemudian memandangi pedati yang berhenti didepan serambi gandok. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Pangeran."
Swandarupun kemudian melihat Pangeran Benawa berdiri disebelah pedati yang telah berhenti. Sementara Glagah Putih yang berdiri mendekati pedati itu justru tidak melihatnya, karena ia langsung menjengukkan kepalanya kedalam pedati.
"Kakang Agung Sedayu," Glagah Putih hampir berteriak.
Dilihatnya Agung Sedayu terbaring diam didalam pedati itu disebelah Ki Waskita yang terbaring pula.
Namun Glagah Putih itupun mendengar jawaban perlahan-lahan, "Aku tidak apa-apa Glagah Putih."
"O," Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Pada saat ia melihat Agung Sedayu terbujur diam, maka hatinya seakan-akan telah terhenyak kedalam satu anggapan yang paling pahit. Bahkan rasa-rasanya darahnya bagaikan berhenti mengalir. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu itu masih tetap hidup.
Ki Gede dan Ki Lurah Branjanganpun kemudian membawa Kiai Gringsing dan Swandaru mendekati Pangeran Benawa. Sementara itu, Ki Gede itupun berkata, "Agung Sedayu dan Ki Waskita. Tetapi mereka masih tetap menyadari keadaannya."
Ketika Kiai Gringsing mendekati Pangeran Benawa, maka iapun mengangguk hormat sambil bertanya, "Apa yang sudah terjadi Pangeran?"
Pangeran Benawa memandang kearah pedati yang berhenti didepan serambi gandok itu sambil berdesis, "Untuk seterusnya adalah tugas Kiai. Keduanya memerlukan pengobatan yang sebaik-baiknya. Untunglah bahwa Kiai datang pagi ini, pada saat yang sangat diperlukan."
"Akulah yang terlambat," tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, "aku ternyata tidak dapat melakukan tugasku sebaik-baiknya. Aku telah gagal membawa Kiai Gringsing sebelum peristiwa ini terjadi."
"Sudahlah," berkata Ki Gede kemudian, "kita harus segera berbuat sesuatu atas angger Agung Sedayu dan Ki Waskita. Karena Kiai Gringsing telah berada disini, maka aku tidak akan memanggil dukun yang ada di Tanah Perdikan ini. Aku yakin bahwa dukun yang paling baik sekalipun tidak akan dapat menyamai kemampuan Kiai Gringsing."
"Aku hanya dapat berusaha," jawab Kiai Gringsing, "sambil memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih."
Demikianlah, maka kedua tubuh yang terluka itu telah diangkat dan dibawa ke gandok. Pangeran Benawa telah mengiringi keduanya diikuti oleh Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang ada diserambi itu pula.
Sementara itu. Pandan Wangi telah membawa Sekar Mirah untuk naik kependapa dan mencoba menenangkannya. Meskipun Pandan Wangi sendiri belum sempat melihat, apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian telah melihat keadaan Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan teliti. Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat pertempuran itu sendiri, namun melihat luka-luka ditubuh Agung Sedayu, maka iapun dapat mengambil satu kesimpulan tentang lawan anak muda itu. Pisau yang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu tentu dilontarkan oleh tangan orang berilmu tinggi. Apalagi ketika ternyata bahwa Pangeran Benawapan telah terluka pula. Tentu lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan menembus ilmu kebal atau ilmu lain semacamnya.
Namun setelah memperhatikan luka-luka itu dengan saksama, maka Kiai Gringsingpun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Marilah kita berdoa didalam diri kita masing-masing. Mudah-mudahan luka-luka itu akan dapat disembuhkan."
Orang-orang yang ada digandok itupun mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, maka kegelisahan dihati mereka telah menjadi berkurang. Agaknya Kiai Gringsing melihat sesuatu yang mungkin dilakukan untuk menyembuhkan luka-luka itu. Apalagi ketika Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Menurut ujud lahiriahnya, luka-luka mereka tidak sangat membahayakan."
"Sokurlah," jawab Ki Gede, "mudah-mudahan keduanya cepat mendapatkan kesembuhan."
"Kita wajib berusaha," jawab Kiai Gringsing, "mudah-mudahan usaha kita mendapat bimbingan Yang Maha Agung. Sehingga dengan demikian, maka usaha kita itu akan berhasil."
Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu. Kiai Gringsingpun segera melakukan tugasnya, mengobati luka-luka Agung Sedayu dan Ki Waskita sebelum terlambat.
"Aku sudah menaburkan obat untuk sementara," berkata Ki Gede.
"Ternyata obat Ki Gede telah banyak menolong," jawab Kiai Gringsing, "dengan obat Ki Gede, maka darah Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak terlalu banyak mengalir dari luka-lukanya."
Ki Gedepun mengangguk-angguk pula. Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata, "Ki Gede, sebaiknya biarlah para tamu duduk di pendapa. Aku akan mengobati keduanya. Dengan demikian para tamu itu tidak selalu dicengkam oleh ketegangan, sementara itu udara di ruang inipun akan menjadi agak lapang."
"O," Ki Gede mengangguk-angguk, "baiklah. Aku akan mempersilahkan tamu-tamuku untuk duduk dipendapa."
Dengan demikian, maka Ki Gedepun telah mempersilahkan Pangeran Benawa, Ki Lurah Branjangan dan Swandaru untuk pergi ke pendapa. Namun agaknya Glagah Putih lebih senang untuk menunggui Kiai Gringsing yang sedang mengobati Agung Sedayu dan Ki Waskita, Kiai Gringsing telah mendengarkan dari keduanya apa yang telah terjadi di Watu Lawang.
"Itu adalah salahku," gumam Glagah Putih.
Kiai Girngsing berpaling kearah Glagah Putih yang duduk tepekur sambil menyesali dirinya. Namun dalam pada itu terdengar Agung Sedayu berkata, "Kenapa kau datang terlambat?"
Jantung Glagah Putih menjadi semakin berdentangan. Namun ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Jika ia mencari alasan untuk membela diri terhadap kelambatannya, maka ia akan merasa semakin bersalah.
Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran, Glagah Putihpun menceriterakan apa yang telah terjadi di sepanjang perjalanannya menuju ke Sangkal Putung.
Agung Sedayu yang mendengar keterangan itu dengan saksama, kemudian berkata, "Jika demikian, kau tidak bersalah. Kau tidak akan dapat mengatasi hambatan yang telah menghentikan perjalananmu. Jika kau memaksa diri, maka persoalannya akan menjadi bertambah rumit. Bahkan saat inipun kau belum akan sampai ke Tanah Perdikan ini kembali."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Hampir saja tidak percaya kepada pendengarannya. Namun Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam kemudian berdesis, "Ya. Memang bukan salah angger Glagah Putih. Meskipun sebenarnya kami dapat datang lebih cepat, tetapi kami tidak menyangka hal ini terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja bajak laut itu menentukan waktu yang tidak dapat ditunda lagi. Dan aku memang tidak ingin menolaknya."
"Untunglah bahwa semuanya dapat teratasi," desis Kiai Gringsing.
"Aku telah memohon kepada Tuhan. Ternyata permohonanku itu dikabulkan," jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Sudahlah. Sekarang kau dan Ki Waskita harus beristirahat sebaik-baiknya. Biarlah Glagah Putih menunggui kalian berdua. Aku akan beristirahat di pendapa."
"Silahkan guru," sahut Agung Sedayu.
Sementara Ki Waskitapun menjawab pula, "Silahkan Kiai."
"Jika mungkin sebaiknya Ki Waskita mencoba untuk tidur barang sejenak," pesan Kiai Gringsing.
"Aku akan mencoba," jawab Ki Waskita.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsingpun telah meninggalkan gandok setelah luka-luka Ki Waskita dan Agung Sedayu diobatinya. Sementara itu Glagah Putih tetap berada di gandok untuk memerlukan sesuatu yang perlu mendapat pertolongan orang lain.
Dalam pada itu di pendapa. Sekar Mirah menjadi semakin tenang, ketika Kiai Gringsing kemudian memberitahukan, bahwa keadaan Agung Sedayu tidak berbahaya, meskipun parah. Demikian pula Ki Waskita.
"Jika Tuhan berkenan, maka keduanya akan dapat disembuhkan. Tetapi tentu memerlukan waktu," berkata Kiai Gringsing.
Sementara itu, Ki Gedepun telah memotong, "Kiai, Pangeran Benawa juga telah terluka, meskipun tidak parah."
"Aku sudah mengobatinya," sahut Pangeran Benawa, "luka itu tidak banyak berpengaruh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa luka Pangeran Benawa tentu tidak memerlukan banyak perhatian. Pangeran Benawa adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga bajak laut yang menurut pendengarannya adalah saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru.
Namun dalam pada itu Swandaru telah berdesis, "sayang. Kita datang terlambat. Kami di Sangkal Putung memang tidak menyangka, bahwa perang tanding itu terjadi pada malam ini."
"Ya. Dan Glagah Putih telah menceriterakan alasan kelambatan kita kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing, "kelambatan yang tidak dapat ditembus. Dan Agung Sedayupun telah memakluminya."
"Ya," Swandaru mengangguk-angguk, "untunglah bahwa Pangeran Benawa hadir ditempat ini. Jika tidak, maka keadaan kakang Agung Sedayu dan Ki Wakita akan menjadi sangat gawat."
"Kita memang seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Benawa," berkata Ki Gede.
"Ah," Pangeran Benawa berdesis, "aku bukan apa-apa. Agung Sedayu ternyata seorang yang perkasa."
"Tetapi setiap kali kakang Agung Sedayu selalu mengalami cidera. Ia baru saja sembuh dari luka-luka didalam tubuhnya ketika ia bertempur melawan Ki Tumenggung. Kini ia telah mengalami luka parah lagi melawan saudara seperguruan Ki Tumenggung itu." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Lalu gumannya seakan-akan kepada diri sendiri, "Jika saja aku tidak terlambat. Aku ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh bajak laut itu."
Sekar Mirah memandang kakaknya dengan wajah yang tegang. Hampir saja ia mengatakan, bahwa kemampuan bajak laut itu agaknya berada diatas kemampuan Swandaru. Tetapi untunglah bahwa Sekar Mirah dapat menahannya.
Namun dalam pada itu Ki Gedelah yang menjawab, "Agung Sedayu telah berhasil membunuh lawannya, meskipun ia harus mengalami luka-luka parah."
"Karena Pangeran Benawa ada disini," sahut Swandaru, "satu kebetulan yang tidak dapat diharapkan setiap kali terjadi. Jika kakang Agung Sedayu belum sempat mempelajari kedalaman ilmu dari kitab guru, itu karena keadaan tubuhnya yang terluka dalam menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga aku yang muda telah mendapat kesempatan lebih dahulu. Dalam pada itu, sebenarnya akupun berharap bahwa aku akan mendapat kesempatan untuk menjajagi ilmu ketiga orang bajak laut itu. Meskipun waktu yang diberikan guru belum habis, tetapi aku telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menekuni isi kitab ini."
"Ah," tiba-tiba saja Kiai Gringsing telah berdesah.
Diluar sadar, maka beberapa orang yang berada di pendapa itu telah berpaling kepada Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Swandaru, kau tidak usah menyebut tentang kitab itu. Satu hal yang sangat wajar dan bukan satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Maaf guru. Bukan maksudku. Tetapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku merasa sangat menyesal bahwa aku datang terlambat, sehingga aku tidak dapat bertemu dengan bajak laut itu. Mungkin akupun tidak akan lebih baik dari kakang Agung Sedayu. Namun dengan demikian, aku akan dapat membantunya."
"Aku mengerti," jawab Kiai Gringsing, "tetapi semuanya sudah terjadi. Dan kita memang sudah seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Benawa seperti yang dikatakan oleh Ki Gede."
"Sebenarnya aku tidak berbuat banyak," sahut Pangeran Benawa, "jika bajak laut itu tidak berbuat licik. Agung Sedayu tentu sudah dapat mengatasi persoalannya sendiri. Tetapi pada saat-saat yang gawat bagi bajak laut itu, maka dua orang yang lain telah membantunya. Pada saat-saat Agung Sedayu harus melawan tiga orang itulah, maka tubuh Agung Sedayu telah terluka."
Swandaru mengerutkan keningnya, ia tidak begitu percaya kepada keterangan Pangeran Benawa. Sementara itu, Ki Gede dan Ki Lurah Branjanganpun merasa ragu-ragu, karena mereka melihat Agung Sedayu telah terluka sebelum kedua bajak laut yang lain turun pula ke arena.
Tetapi keduanya tidak membantah. Mereka mengerti maksud Pangeran Benawa yang ingin meyakinkan kepada Swandaru, bahwa Agung Sedayu memang akan dapat mengatasi persoalannya, apabila bajak laut itu bertempur dalam perang tanding yang jujur.
Namun merekapun mengerti, bahwa agaknya Swandaru tidak dapat mempercayai keterangan Pangeran Benawa itu. Meskipun demikian mereka tidak dapat memberikan penjelasan apapun juga.
Dalam pada itu, hidanganpun telah mulai disuguhkan. Di gandok Glagah Putih berusaha untuk memberikan minuman hangat kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Demikianlah, baru setelah matahari merambat semakin tinggi, Tanah Perdikan Menoreh digemparkan oleh berita tentang perang tanding yang terjadi di Watu Lawang. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh baru mendengar, bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita telah terluka cukup parah. Bahkan seorang yang lain, yang ternyata adalah Pangeran Benawa telah terluka pula, meskipun tidak seberapa menurut ukuran Pangeran Benawa.
Disamping itu, ternyata bahwa di Watu Lawang terdapat pula tiga sosok mayat dari tiga orang bajak laut yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk membalas dendam kematian Ki Tumenggung Prabadaru, sebagaimana dikatakan oleh ketiga bajak laut itu, meskipun semula mereka justru ingin memusuhi Ki Tumenggung Prabadaru.
Dalam pada itu, maka dirumah Ki Gede Menoreh, para tamunyapun telah dipersilahkannya untuk beristirahat. Pangeran Benawa menolak untuk mendapat tempat yang tersendiri. Ia lebih senang berada diantara para tamu Ki Gede yang lain.
Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi sempat untuk berbincang dengan Sekar Mirah tentang peristiwa yang terjadi di Watu Lawang itu. Sekar Mirah menceriterakan peristiwa itu dari semula sampai saat-saat terakhir, ketika ia berlari kearah Agung Sedayu. Ketika senjata bajak laut itu memburunya, namun dapat digagalkan oleh Pangeran Benawa.
Pandan Wangi mendengarkan ceritera itu dengan jantung yang berdebaran. Ia mencoba untuk membayangkan apa yang telah terjadi di Watu Lawang. Perang tanding, yang kemudian berubah menjadi pertempuran antara tiga orang melawan tiga orang itu tentu satu benturan ilmu yang dahsyat sekali.
Namun Swandaru ternyata telah berdesis, "Kakang Agung Sedayu telah menyia-nyiakan waktunya untuk mempelajari soal-soal yang tidak berarti. Jika benar keterangan Sekar Mirah, bahwa Agung Sedayu seakan-akan dapat membuat dirinya menjadi tiga, ternyata hal itu tidak banyak bermanfaat menghadapi orang-orang berilmu. Bajak laut itu berhasil melukainya dan bahkan dengan parah. Apalagi orang-orang yang benar-benar berilmu mapan."
"Bajak laut itu mempunyai ilmu yang nggegirisi," sahut Sekar Mirah.
"Ya, menurut penilaianmu," jawab Swandaru, "tetapi sebaiknya kakang Agung Sedayu menekuni ilmu yang wajar tetapi berarti. Ilmu kanuragan dan ketrampilan. Jika dilakukan dengan tekun, maka aku kira kakang Agung Sedayu akan mendapat kemajuan yang pesat, sehingga ia tidak terlalu sering mengalami kesulitan dimedan."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Jika perang tanding itu dilakukan dengan jujur, maka kakang Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan tugasnya dalam keadaan yang lebih baik."
"Atau sebaliknya," sahut Swandaru, "tanpa campur tangan Pangeran Benawa, mungkin keadaan kakang Agung Sedayu menjadi lebih parah."
"Pangeran Benawa turun ke medan setelah kedua bajak laut yang lain ikut ambil bagian. Yang mula-mula turun adalah Ki Waskita, baru kemudian Pangeran Benawa," jawab Sekar Mirah.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi terasa oleh Sekar Mirah, bahwa kakaknya itu hanya sekedar tidak mau membuat hatinya yang sedang gelisah itu menjadi bertambah sakit. Namun agaknya Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu telah melakukan satu kesalahan, sehingga ilmunya tidak dapat mengimbangi ilmu orang-orang yang telah datang dan membuat perhitungan dengannya.
Namun Sekar Mirahpun tidak ingin berbantah dengan kakaknya. Karena itu, maka iapun kemudian telah berdiam diri pula.
Sementara itu. Kiai Gringsing telah berada pula digandok menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita bersama Glagah Putih.
Ketika kemudian Sekar Mirah dan Pandan Wangi memasuki ruangan itu, ternyata Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah menjadi agak segar setelah mereka meneguk beberapa titik air hangat. Sehingga dengan demikian maka hati Sekar Mirahpun menjadi semakin tenang. Untuk beberapa saat Pandan Wangi telah berbicara dengan Ki Waskita dan Agung Sedayu. Tetapi karena keduanya masih memerlukan lebih banyak beristirahat, maka keduanyapun kemudian telah meninggalkan ruangan itu pula.
Demikianlah, di hari itu Pangeran Benawa telah beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi perti biasanya, Pangeran itu tidak dapat terlalu lama tinggal di satu tempat. Ketika malam turun, maka Pangeran Benawa yang masih duduk dipendapa bersama dengan tamu-tamu Ki Gede yang lain itu, tiba-tiba saja menyatakan untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu.
"Begitu tergesa-gesa," Ki Gede menjadi agak terkejut karenanya, "sebaiknya Pangeran bermalam disini untuk malam ini."
Tetapi Pangeran Benawa menjawab, "Terima kasih. Tugasku sudah selesai. Aku harus kembali. Selama ini aku hanya tertarik kepada ketiga bajak laut itu. Aku mengamatinya sejak mereka berada di Pajang."
Bagaimanapun juga Ki Gede dan tamu-tamunya yang lain menahan, namun Pangeran Benawa berkeras untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu malam itu juga.
Karena itu, maka Pangeran Benawa itupun kemudian minta diri pula kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita.
"Lekaslah sembuh," berkata Pangeran Benawa, "ditangan Kiai Gringsing maka luka-luka itu tidak akan terlalu lama mengganggu."
"Terima kasih Pangeran," jawab Ki Waskita, "tanpa hadirnya Pangeran saat itu, keadaan kami akan lebih parah lagi."
"Sudahlah," potong Pangeran Benawa, "jika kalian sudah sembuh pergilah ke Pajang untuk menengok aku. Tetapi mungkin aku sudah tidak berada lagi di Pajang. Mungkin pula aku tidak akan mendapat banyak kesempatan lagi untuk mengembara, karena aku akan segera menetap di Jipang. Sebentar lagi kakangmas Senapati Ing Ngalaga akan diwisuda. Dan akupun akan terikat di Kadipaten Jipang. Satu jabatan yang sebenarnya kurang sesuai bagiku. Aku lebih senang mengembara dan menyusuri lereng-lereng pegunungan dan lereng pebukitan."
Dengan demikian, maka Pangeran Benawa malam itu juga benar-benar telah meninggalkan rumah Ki Gede. Sejenak Pangeran Benawa singgah di tempatnya bersembunyi selama berada di Tanah Perdikan Menoreh menjelang perang tanding di Watu Lawang. Para pembantu kepercayaannya ternyata masih menunggunya dengan setia, sehingga agak berbeda dengan kebiasaannya, malam itu Pangeran Benawa tidak berjalan seorang diri.
Agaknya Pangeran Benawa telah membawa beberapa orang kepercayaannya ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mengawasi para bajak laut itu, karena Pangeran Benawa tidak tahu, berapa lama ia harus menunggu dan menurut perhitungannya, ia akan berada didaerah pengawasan yang luas.
Ki Lurah Branjangan yang masih berada di rumah Ki Gede Menoreh baru dikeesokan harinya minta diri untuk kembali ke barak pasukan khususnya. Ketika ia menengok Ki Waskita dan Agung Sedayu, keduanya nampak menjadi semakin baik. Keduanya telah berbicara dengan lancar. Bahkan keduanya telah dapat menelan makanan yang cukup bagi ketahanan tubuh mereka.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Swandaru bersama isterinya masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kiai Gringsing masih ingin menunggui muridnya yang terluka, sementara itu Pandan Wangi masih juga ingin melepaskan rindunya kepada Tanah Kelahirannya.
Sekali-sekali Pandan Wangi mencoba untuk berbincang juga dengan Prastawa. Tetapi nampaknya anak muda itu menjadi lebih senang untuk menyendiri dan berada diantara satu dua orang kawan terdekatnya, meskipun tugas-tugas yang diserahkan kepadanya tidak diabaikannya.
Demikianlah dari hari ke hari, keadaan Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi bertambah baik. Kiai Gringsing telah merawat keduanya dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi masih juga tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing berusaha untuk menyembuhkan Agung Sedayu, maka ditempat yang jauh terpencil, diantara lebatnya batang-batang perdu dipinggir hutan pepat yang jarang disentuh kaki orang, seorang yang bertubuh kecil agak terbongkok-bongkok berjalan menyusuri jalur setapak menuju kesebuah padepokan kecil yang tidak banyak dikenal. Padepokan yang diam dan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap lingkungan disekitarnya.
Tetapi ternyata kediaman dari padepokan itu telah terganggu oleh kehadiran orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu.
Ketika orang itu memasuki regol padepokan yang sudah tua dan kotor, dilihatnya seorang yang bertubuh tinggi kekar, namun yang sudah menginjak hari-hari tuanya, sedang sibuk membelah kayu bakar dihalaman padepokan kecilnya.
"Kiai," orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu menjadi semakin terbongkok-bongkok. Bahkan kemudian iapun duduk di sebelah orang bertubuh tinggi kekar yahg sedang membelah kayu bakar itu.
"Kiai," orang bertubuh kecil itu mengulangi sekali lagi.
"He," jawab orang yang sedang membelah kayu, "kau pergi ke mana sepagi ini?"
"Membeli garam Kiai," jawab orang itu, "aku telah membawa beberapa bongkah gula kelapa yang aku buat pagi ini untuk aku tukarkan dengan garam."
"O," orang yang sedang membelah kayu itu mengangguk-angguk. Lalu, "Kau masak apa hari ini " Empal kelinci lagi ?"
Orang yang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Hari ini aku menangkap tiga ekor ikan kakap yang besar."
Orang yang bertubuh kekar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Tetapi jangan terlalu pedas jika kau akan membumbuinya untuk urip-urip."
"Ya kiai," jawab orang bertubuh kecil itu. Lalu, "Tetapi ada hal lain yang ingin aku sampaikan kepada Kiai."
"Apa" Kayu bakar yang masih basah" Aku sudah mengeringkannya dan membelahnya menjadi kecil-kecil seperti ini," jawab orang bertubuh kekar itu.
"Bukan kiai. Bukan soal kayu yang masih basah. Tetapi persoalannya menyangkut nama perguruan ini," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Ah, kau masih saja menyebut perguruan ini. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku sudah puas dengan kayu bakar, ikan kakap, berburu rusa dan sekali-sekali menyumpit burung kecruk yang mirip dan sebesar itik itu," jawab orang bertubuh kekar itu.
Orang bertubuh kecil yang terbongkok-bongkok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Baiklah Kiai. Jika Kiai tidak mau lagi berbicara tentang perguruan ini. Tetapi aku ingin menyampaikan satu kabar yang pahit buat Kiai."
"Jangan ganggu aku dengan cerita-cerita cengeng lagi." orang yang membelah kayu itu hampir membentak, "aku sudah jemu dengan semuanya itu. Usahaku bertahun-tahun telah sia-sia dan tidak berarti sama sekali. Harapanku sekarang tinggal satu. Ketenangan. Karena itu jangan kau ganggu aku dengan ceritera-ceritera yang dapat menggelisahkan aku."
Orang yang terbongkok-bongkok itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah Kiai. Jika Kiai tidak mau mendengarkan aku, biarlah aku saja yang menyelesaikan persoalannya. Meskipun aku tidak memiliki bekal yang memadai, tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat membiarkan penghinaan itu terjadi."
"Jangan mengigau. Apa yang sebenarnya kau katakan itu" " orang yang sedang membelah kayu itu benar-benar membentak.
"Kiai," tetapi orang bertubuh kecil dan bongkok itu berkata terus, "Bukankah murid Kiai yang menjadi Tumenggung itu telah terbunuh oleh Agung Sedayu."
"Biar saja. Aku tidak mempunyai persoalan lagi dengan murid-muridku. Mereka membuat hatiku menjadi sakit karena mereka telah bermusuhan yang satu dengan yang lain. Yang menjadi Tumenggung itu menjadi sombong, sedang yang lain menjadi dengki," jawab orang bertubuh kekar itu.
"Mungkin Tumenggung itu tidak menarik bagi Kiai karena sikapnya yang sombong yang bahkan seolah-olah tidak mau mengenal lagi sumber ilmu yang telah membuatnya menjadi besar. Tetapi tiga orang murid Kiai yang lain nampaknya masih selalu mengenal diri dan sumbernya. Bukankah mereka pada waktu-waktu tertentu datang mengunjungi Kiai dan membawa barang-barang berharga yang dapat kita pergunakan untuk menyambung hidup kita?" berkata orang yang bongkok itu.
Orang yang bertubuh kekar dan sedang membelah kayu itu terdiam. Tangannya masih saja sibuk membelah kayu bakar yang sedang dijemurnya.
Namun tiba-tiba ia berkata, "Kenapa dengan bajak laut itu?"
Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Telah terjadi malapetaka atas mereka?"
"Apakah mereka gagal merompak dan mati ditelan lautan?" bertanya orang bertubuh kekar itu tanpa meletakkan parang pembelah kayunya.
"Tidak Kiai," jawab orang bertubuh kecil itu, "mereka terbunuh sebagaimaina Ki Tumenggung Prabadaru."
"Aku tidak mengerti. Dan aku sama sekali tidak peduli atas kematian Prabadaru itu." jawab orang bertubuh kekar itu.
"Baik Kiai," jawab orang yang terbongkok-bongkok itu, "Kiai dapat tidak peduli atas kematian Prabadaru, tetapi tentu tidak atas kematian ketiga bajak laut itu."
Orang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Siapa yang telah mengatakan hal itu kepadamu he?"
"Semua orang mengatakannya. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Orang Mataram dan orang-orang Pajang. Bajak laut itu telah singgah di Pajang sebelum mereka ke Mataram dan ke Tanah Perdikan Menoreh, karena semula yang mereka cari adalah Tumenggung Parabadaru." jawab orang bertubuh kecil itu.
Sejenak orang bertubuh kekar itu merenung. Namun parang pembelah kayu itu masih dijinjingnya.
"Kiai," berkata orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, "yang paling menyakitkan hati adalah, bahwa pembunuh Prabadaru itu jugalah yang telah membunuh salah seorang dari ketiga murid Kiai yang telah menjadi bajak laut itu."
Wajah orang bertubuh kekar itu menjadi merah. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Agung Sedayu."
"Ya. Agung Sedayu. Ia telah membunuh salah seorang dari ketiga murid Kiai itu. Kemudian yang lain telah terbunuh oleh Ki Waskita dan Pangeran Benawa," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Pangeran Benawa. Kenapa ia ikut campur dalam persoalan ini?" bertanya orang bertubuh kekar itu.
Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Menurut pendengaranku, ketiga murid Kiai itulah yang mula-mula melanggar paugeran perang tanding."
"Begitu?" bertanya orang bertubuh kekar itu.
"Ya," jawab orang bertubuh kecil itu, yang kemudian menceriterakan apa yang telah didengarnya tentang peristiwa di Watu Lawang itu yang ternyata telah tersebar sampai kemana-mana.
Orang bertubuh kekar yang sedang membelah kayu bakar itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Kau menggelitik perasaanku. Sebenarnya aku telah berusaha memisahkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Aku mencoba untuk hidup terpisah dari hubungan antara manusia. Tetapi karena masih ada kau yang menghubungkan aku dengan pergaulan manusia, maka aku sekarang mendengar ceritera yang membuat hatiku panas."
"Aku minta maaf, Kiai," jawab orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, "sebenarnya akupun ingin hidup dalam suasana yang tersendiri. Tetapi kematian empat orang saudara seperguruan rasa-rasanya memang sangat menyaikitkan hati. Mungkin Kiai yang sudah kenyang mengecap pahit getirnya kehidupan, dapat menahan diri dan tidak mau lagi mencampuri persoedan yang terjadi pada murid-murid kiai. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat tidur nyenyak. Kecuali empat orang murid perguruan ini,telah terbunuh, maka nama perguruan inipun akan tercemar karena kedunguan murid-muridnya."
"Tanganku telah penuh dengan noda-noda darah," berkata orang yang berdada bidang itu, "sebenarnya aku ingin melupakannya. Sejak murid-muridku saling mengancam untuk saling berbunuhan, aku memang menjadi sangat kecewa. Aku kehilangan Tumenggung Prabadaru ketika ia menjadi sombong dan menganggap saudara-saudara seperguruan menjadi buruan yang harus ditangkap, dan bahkan untuk dibunuh. Sementara yang dilakukan diantara para prajurit Pajang telah gagal. Kemudian kini aku benar-benar telah kehilagan ketiga orang muridku yang lain."
"Kiai," berkata orang bertubuh kecil dan selalu berjalan terbongkok-bongkok itu, "jika Kiai tidak ingin berbuat sesuatu, maka aku akan mohon diri. Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Kau juga akan membunuh diri?" bertanya orang yang sedang membelah kayu itu.
"Kiai," jawab orang bertubuh bongkok itu, "aku tahu, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh kini terdapat, beberapa orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi sudah tentu bahwa Pangeran Benawa tidak akan berada di Tanah Perdikan itu untuk seterusnya. Aku akan singgah di Pajang untuk mendengar pembicaraan orang, apakah Pangeran Benawa sudah kembali atau belum."
Jika Pangeran Benawa sudah kembali, maka tidak ada orang di Tanah Perdikan Menoreh yang akan dapat melawan aku."
"Kau mengigau," geram orang bertubuh kekar itu, "Agung Sedayu telah membunuh dua orang diantara murid-muridku."
"Ia terluka parah, Ki Waskita yang juga mampu mengimbangi kemampuan salah seorang murid perguruan ini itupun telah terluka parah seperti Agung Sedayu. Karena itu, tugasku tidak akan terlalu berat."
"Kau akan membunuh Agung Sedayu dalam keadaan terluka parah?" bertanya orang yang bertubuh kekar itu.
"Ya. Aku memang bukan seorang kesatria. Aku adalah seorang yang licik dan tidak terikat, pada segala macam paugeran dan apalagi sifat-sifat kejantanan. Kiai bukankah murid-murid Kiai yang kinasih itupun tidak berpegang pada sifat-sifat kesatria. Merekalah yang pertama-tama turun bertiga melawan Agung Sedayu. Dan bukankah Kiai memang tidak pernah mengajari kami dengan sifat-sifat semacam itu" Kiai selalu mengajari kami untuk berbuat apa saja untuk mencapai tujuan akhir."
Orang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Dengarlah. Aku tidak akan menghalangimu dengan cara apapun yang akan kau ambil. Tetapi kau adalah muridku yang paling muda, meskipun mungkin umurmu tidak lebih muda dari bajak laut-bajak laut itu. Kemampuanmu masih terpaut banyak dan barangkali kau memerlukan waktu tiga empat tahun lagi untuk mendapatkan kemampuan sebagaimana saudara-saudaramu itu. Apalagi ketiga bajak laut itu, sebagaimana mereka katakan, telah mendapat sisipan ilmu dari guru-gurunya yang lain, dengan ijinku. Karena itu, seharusnya kau tahu diri."
"Sudah aku katakan Kiai," jawab orang yang terbongkok-bongkok itu, "mereka sudah terluka parah. Aku akan masuk kedalam bilik mereka seperti laku seorang pencuri. Aku yakin akan dapat melakukannya. Aku mempunyai kemampuan untuk melepaskan sirep."
"Sirepmu tidak akan berarti apa-apa bagi orang seperti Agung Sedayu." berkata orang yang sedang membelah kayu itu.
"Aku ulangi Kiai, ia sudah terluka parah. Seandainya ia tidak sedang tertidur karena atau bukan karena sirepku, ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku akan menghunjamkan sebilah pisau kedadanya. Alangkah mudahnya, sambil berbaring dan berkedip-kedip minta belas kasihan. Agung Sedayu tidak akan dapat mencegah aku melakukannya. Demikian juga orang yang bernama Ki Waskita itu," jawab orang yang bertubuh kecil dan bongkok itu.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang sedang membelah kayu itupun kemudian meletakkan parangnya. Dipandanginya orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu. Katanya, "Aku tidak menyangka bahwa kau mempunyai kesetiaan terhadap saudara-saudara seperguruanmu demikian tebalnya. Tetapi aku ingin memperingatkan kau sekali lagi. Ilmumu masih jauh terpaut dari mereka yang telah terbunuh. Karena itu, sebaiknya kau menunggu satu dua tahun lagi. Jika kau melipatkan waktu-waktumu di sanggar, maka kau akan mampu menguasai ilmu yang seharusnya kau pelajari dalam waktu tiga empat tahun."
"Itu terlalu lama Kiai. Sementara itu Agung Sedayu tentu sudah sembuh dan aku harus membunuhnya melalui satu pertempuran yang sengit yang mungkin akan berakibat sebaliknya seperti yang terjadi atas kedua orang murid Kiai itu. Ki Tumenggung dan seorang dari ketiga bajak laut itu."
Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika sudah menjadi tekadmu dan atas dasar perhitunganmu yang demikian, aku tidak dapat mencegahmu. Tetapi kau harus tetap sadar bahwa dasar kekuatan udara, air dan api itu masih baru tingkat permulaan aku berikan kepadamu."
Orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Terima kasih Kiai. Aku akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Aku akan kembali kepada Kiai dengan hasil yang paling baik yang dapat aku kerjakan selama aku berada di padepokan terpencil ini."
"Jangan terlalu sombong. Kau masih belum apa-apa. Jika kau merasa berhasil sebelum berbuat apa-apa, maka kau akan menjadi kurang berhati-hati," berkata orang bertubuh tinggi kekar itu.
"Aku akan selalu berhati-hati. Aku akan tetap mempergunakan otakku. Aku tidak akan hanyut pada arus perasaanku yang memang sering bergejolak. Tetapi kini aku menyadari, siapa yang akan aku hadapi sehingga aku harus menjaga diri sebaik-baiknya," berkata orang bongkok itu.
Demikianlah, maka orang bertubuh kecil itu tidak dapat dicegah lagi. Kematian empat orang saudara seperguruannya membuat jantungnya menggelegak. Rasa-rasanya ia ingin membunuh bukan saja Agung Sedayu. Tetapi Ki Waskita dan juga Pangeran Benawa.
"Tetapi yang berdosa paling besar adalah Agung Sedayu. Ia membunuh dua orang murid perguruan ini," geramnya didalam hati.
Setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka orang itupun meninggalkan padepokannya dihari berikutnya, setelah ia menyediakan kebutuhan gurunya untuk beberapa hari.
"Aku sudah menyimpan garam dan gula secukupnya Kiai. Dalam sepekan aku akan kembali. Kiai tidak perlu mencari garam dan membuat gula sendiri. Jika aku datang, maka aku akan membawa garam pula bagi kita," berkata orang bertubuh kecil itu.
"Jangan pikirkan aku. Kau kira aku tidak dapat menderes sendiri" Kau lebih baik memperhatikan dirimu sendiri. Dalam lima hari aku kira kau masih belum dapat menyelesaikan tugasmu. Bukankah kau masih akan singgah di Pajang ?"
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Mungkin selama tujuh hari. Kiai."
Tetapi orang bertubuh kekar itu menggeleng, "belum."
"Sepuluh hari," sambung orang bertubuh kecil itu.
Orang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab.
Tetapi tatapan matanya menjadi buram oleh kegelisahan yang membebani hatinya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Aku masih mencoba untuk memperingatkanmu sekali lagi. Ilmumu masih terpaut jauh dari orang-orang yang terbunuh itu."
"Aku mempunyai kelebihan dari mereka. Aku mempunyai ilmu sirep. Aku mampu memasuki rumah seseorang dengan cara seorang pencuri. Dan aku merasa diriku tidak terikat oleh harga diri dan sifat-sifat seorang kesatria. Aku akan mempergunakan segala cara seperti yang Kiai ajarkan. Jika aku tidak dapat menikam dadanya, maka aku akan menikam punggungnya," jawab orang bertubuh kecil itu.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab lagi. Ia hanya dapat memandangi muridnya yang seorang itu meninggalkannya. Orang bertubuh kecil itu berjalan terbongkok-bongkok menyusup pepohonan perdu dan hilang dibalik gerumbul yang rimbun.
Orang bertubuh tinggi kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian kembali memasuki regol halaman padepokannya dengan kepala tunduk.
Dalam pada itu, maka orang bertubuh kecil itupun berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi padepokannya. Seolah-olah waktu yang tersedia baginya terlalu sempit, sehingga ia harus mempergunakan sebaik-baiknya.
Seperti yang direncanakannya, maka iapun langsung pergi ke Pajang untuk mendengarkan berita, apakah Pangeran Benawa telah berada di Pajang kembali.
Ternyata ketika ia berada di Pajang, tidak seorangpun yang dapat mengatakan bahwa Pangeran Benawa telah meninggalkan Kota Raja. Bahkan orang-orang Pajang melihat Pangeran Benawa itu berada di alun-alun untuk ikut dalam latihan sodoran pagi itu juga.
Orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu kemudian mengambil kesimpulan, bahwa Pangeran Benawa memang telah kembali dari Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa pula ia telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah bermalam semalam diperjalanan didekat daerah Prambanan, maka iapun meneruskan perjalanannya. Di Prambanan ia memerlukan melihat daerah seberang-menyeberang Kali Opak. Ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di tempat itu. Satu pertempuran besar yang telah merenggut banyak korban jiwa. Diantaranya adalah Ki Tumenggung Prabadaru.
"Guru tidak begitu senang terhadap Ki Tumenggung karena kesombongannya," berkata orang bertubuh kecil itu didalam hatinya, "tetapi aku merasa bangga bahwa salah seorang yang terlepas dari padepokan kami dapat menjadi seorang Tumenggung yang mendapat kepercayaan yang cukup besar dan terhormat. Sayang Ki Tumenggung kemudian agak melupakan asal-usulnya dan bahkan memusuhi ketiga orang adik seperguruannya."
Dihari berikutnya, maka orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu telah berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Namun ia tidak langsung melakukan rencananya.
"Aku tidak boleh tenggelam dalam arus perasaanku," berkata orang itu kepada diri sendiri, "aku harus tetap mempergunakan nalarku. Aku harus mempunyai perhitungan yang mapan agar aku dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya."
Karena itulah, maka ia telah mempergunakan waktunya satu dua hari untuk mengetahui serba sedikit tentang Tanah Perdikan Menoreh. Ia berusaha untuk mengetahui dimana Agung Sedayu berada. Iapun berusaha untuk melihat-lihat kesiagaan anak-anak muda Tanah Perdikan itu dimalam hari, serta daerah pengawasan para peronda dari pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Tanpa bahan yang cukup, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa," berkata orang itu kepada diri sendiri.
Tetapi orang bertubuh kecil itu kemudian sambil tersenyum berkata kepada diri sendiri, "Waktu yang sepuluh hari itu ternyata terlalu panjang bagiku. Aku akan dapat menyelesaikan tugas ini dalam satu hari saja. Dalam satu malam. DitaMbah dengan perjalanan yang tidak lebih dari empat hari empat malam."
Demikianlah caranya, maka orang bertubuh kecil itu dimalam hari telah mendekati rumah Ki Gede dengan sangat berhati-hati. Ia melihat bagian-bagian yang lemah dari penjagaan dirumah Ki Gede Menoreh.
Malam itu juga orang bertubuh kecil itu memastikan untuk dapat melakukan tugasnya, membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita.
"Mereka berada di gandok sebelah kanan. Aku akan dapat masuk melalui bagian belakang dengan memecah lantai dan menerobos masuk lewat dibawah dinding. Alangkah mudahnya. Dengan kekuatan ilmu sirep aku akan membuat semua orang tertidur. Mungkin Ki Gede mampu melawan sirep itu. Mungkin beberapa orang lain. Namun tidak dalam keadaan tidur. Tetapi mereka tidak akan menyangka bahwa nyawa Agung Sedayu telah terancam. Agung Sedayu dan Ki Waskita sendiri tidak akan memiliki sisa daya tahan untuk melawan sirepku," berkata orang itu didalam hatinya.
Namun dipagi harinya, orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu mendengar bahwa di Tanah Perdikan Menoreh telah hadir Kiai Gringsing. Orang bercambuk yang menurut kata orang adalah guru Agung Sedayu.
"Persetan dengan orang itu," geram orang bertubuh kecil itu, "meskipun guru Agung Sedayu yang memiliki ilmu seperti iblis sekalipun, aku tidak akan gentar. Aku akan memasuki gandok itu seperti seorang pencuri. Dan pengalamanku yang berpuluh tahun akan sangat membantuku."
Buku 175 "MESKIPUN mungkin orang itu juga tidak terkena sirepku, tetapi di malam hari, ia juga akan tidur sebagaimana kebiasaan seseorang. Dalam keadaan tidur, maka sirep itu akan mencekiknya semakin dalam sehingga tidak seorangpun akan dapat melawan. Para peronda adalah anak-anak muda yang akan segera kehilangan kesadarannya."
Demikianlah, maka orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu pada malam hari berikutnya telah menyiapkan segala sesuatunya yang akan dipergunakannya untuk memasuki gandok kanan rumah Ki Gede Menoreh. Ia akan berada dibelakang gandok itu, dan kemudian menggali lubang dibawah dinding setelah memasang ilmu sirep. Ia berharap bahwa dalam keadaan tidur, ilmu sirepnya akan semakin menyenyakkan tidur seseorang.
Ketika malam menjadi semakin dalam, dan rumah Ki Gede itupun telah menjadi sepi, maka orang itupun mulai melakukan tugasnya. Ia merayap dari satu halaman, kehalaman yang lain. Tanpa kesulitan apapun juga, maka ia berhasil mendekati gandok kanan rumah Ki Gede. Untuk beberapa saat lamanya, orang itu menunggu dengan sabarnya dibelakang gandok rumah itu.
Sambil duduk bersandar sebatang pohon mlinjo, orang itu kemudian tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, "semuanya akan berlangsung dengan mudahnya. Semua orang sudah tertidur. Sirepku hanya akan menekankan kesenyapan didalam diri. memperdalam mimpi yang pahit."
Tetapi orang bertubuh kecil itu tergesa-gesa. Ia tahu ada beberapa orang berilmu dirumah itu. Tetapi semuanya itu tidak mencegahnya untuk melakukan tugasnya.
"Tugasku sekarang menunggu orang-orang itu tidur," katanya didalam hati. "Mereka akan tidur nyenyak karena mereka tidak akan menyangka sesuatu akan terjadi. Dalam tidur sirepku menindihnya dalam kelelapan alangkah mudahnya. Para peronda itupun akan tidur digardu silang melintang."
Orang bertubuh kecil itu tersenyum sendiri. Sementara itu untuk beberapa saat ia tetap masih duduk di bawah sebatang pohon melinjo.
Sebenarnyalah rumah Ki Gede menjadi semakin sepi. Tidak terdengar lagi suara seseorang didalam gandok itu. Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita, ternyata sudah tertidur pula. Sementara Agung Sedayu sendiri sebagaimana juga Ki Waskita, yang memerlukan istirahat sebanyak-banyaknya telah berusaha pula untuk dapat tidur sebanyak-banyaknya.
Lewat tengah malam, rasa-rasanya tidurpun menjadi semakin nyenyak. Agung Sedayu dan Ki Waskita yang masih saja digelitik oleh perasaan sakit dan berusaha melupakannya dalam tidurnya, merasa betapa nyenyaknya ia tidur malam itu. Rasa-rasanya angin malam telah menyusup diantara dinding-dinding gandok, menyapu wajah mereka dan luka-luka mereka sehingga rasa-rasanya mereka bagaikan dibuai oleh segarnya udara malam hari.
Tidak saorangpun yang menyangka bahwa sesuatu akan terjadi. Semua orang yang ada dirumah Ki Gede itu tidak bersedia menghadapi lontaran ilmu sirep yang kuat. Mereka pergi kepembarigan dan sebagaimana kebiasaan seseorang dimalam, maka mereka pun telah tidur dengan lelap.
Dalam kaadaan yang demikian, maka ilmu sirep orang bertubuh kecil itu benar-benar telah membenamkan mereka yang tidur nyenyak itu semakin dalam kadunia mimpi mereka tanpa berprasangka apapun juga.
Sedangkan mereka yang meronda di gardu didepan rumah Ki Gede itupun sama sekali tidak mampu melawan kekuatan sirep itu. sehingga merekapun telah tertidur nyenyak.
Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum bertindak, iapun masih sempat meyakinkan, apakah sirepnya telah mencengkam semua orang-orang berilmu.
Orang itupun tersenyum kecil. Pendengarannya yang tajam meyakinkannya, bahwa semua orang telah tertidur. Tidak ada satu suara tarikan nafas yang mencurigakannya.
Demikialah maka ilmu sirep yang ternyata telah dilontarkan oleh orang bertubuh kecil itupun telah mencengkam seisi rumah Ki Gede Menoreh. Bahkan rumah-rumah disebelah menyebelahpun telah terpereik oleh ilmu sirep itu pula.
Baru ketika ia sudah yakin bahwa semua orang telah tertidur, maka iapun mulai bergeser dari satu tempat ke tempat lain. Sekali lagi ia meyakinkan diri. Dengan hati-hati ia memasuki longkangan dan menyusuri dinding-dinding bilik dalam sebelah longkangan itu. Ternyata semuanya memang sudah tertidur nyenyak.
Ketika orang itu pergi ke halaman depan, maka dilihatnya para perondapun terbaring silang melintang. Bahkan dua orang anak muda telah tertidur dengan nyenyaknya di belakang gardu. Nampaknya mereka sedang duduk beristirahat sambil menguliti kacang. Namun akhirnya mereka telah tertidur, sementara kacang yang sudah dikulitinya berserakkan ditanah.
Orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu tersenyum. Katanya, "Semuanya berlangsung jauh lebih mudah dari yang aku perkirakan."
Akhirnya orang itupun kembali ke belakang gandok sebelah kanan. Ia sudah menyiapkan sebatang linggis dan alat pencukil. Ia harus mencungkil sebuah lubang dan masuk kedalamnya.
Orang itu meraba sebuah pisau belati dipinggangnya. Katanya, "Aku tidak memerlukan banyak sekali pisau-pisau kecil untuk membunuh lawanku, sebagaimana harus jadi di dalam satu perkelahian. Aku hanya memerlukan sebilah pisau belati. Dan pisau ini akan menembus Jantung Agung Sedayu dan Ki Waskita."
Demikianlah, maka sesaat kemudian, orang itupun mulai dengan pekerjaannya. Cepat sekali. seperti mencungkil gula kelapa madon dari tawonan, sebangsa makanan yang banyak digemari.
Sekali-sekali orang itu tersenyum kepada diri sendiri. Seolah-olah ia sudah berhasil dengan satu tugas yang berat, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Namun dalam pada itu, yang terjadi adalah diluar dugaan orang bertubuh kecil itu. Ketika ia sedang sibuk mencungkil batu-batu pada padon gandok Ki Gede, maka tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa lirih. Tidak jauh dari tempatnya.
Orang bertubuh kecil itu terkejut bukan buatan. Menurut perhitungannya, maka semua orang tentu sudah tertidur nyenyak. Tiba-tiba saja ia masih mendengar suara orang tertawa.
Dengan tangkasnya orang itupun segera meloncat berbalik. Diedarkannya pandangan matanya kesekitarnya. Menembus kegelapan malam dan menyusuri dinding halaman rumah Ki Gede. Tetapi orang itu tidak melihat seorangpun.
Wajah orang bertubuh kecil itu menjadi tegang. Selangkah ia maju. Diamatinya gerumbul di sebelah pohon mlinjo tempat ia bersandar. Bahkan kemungkinan orang bertubuh kecil itu dengan tangkasnya telah meloncat menerkam gerumbul itu. Tetap ia tidak menemukan seseorang.
Sejenak suasana menjadi bening. Suara tertawa itu tidak terdengar lagi. Bahkan tidak ada suara apapun. Desir anginpun rasa-rasanya telah berhenti sama sekali.
"Gila, "geram orang itu, "apakah aku mendengar suara hantu?"
Untuk beberapa saat orang itu menunggu. Namun tidak terdengar suara apapun juga, sehingga akhirnya orang itu berkata kepada diri sendiri. "Aku tidak peduli. Aku akan segera masuk kedalam gandok. Membunuh Agung Sedayu dan kemudian apapun yang terjadi, akan kuhadapi."
Karena itu, maka orang bertubuh kecil itupun telah melanjutkan usahanya untuk melubangi padon gandok itu sebagaimana sering dilakukan oleh seorang pencuri.
Namun telinganya telah tergelitik lagi oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Namun tidak jelas dari mana arah suara itu.
Orang bertubuh kecil itu benar-benar tidak menghiraukannya. Ia justru bekerja lebih keras. Ia harus segera dapat membuat sebuah lubang. Kemudian masuk kedalamnya untuk membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Atau jika ia tidak sempat membunuh keduanya, maka sasaran utamanya adalah Agung Sedayu.
Demikianlah, orang bertubuh kecil itu sama sekali tidak menghiraukan suara tertawa yang mengganggunya. Bahkan akhirnya orang itu menggeram, "Aku tidak sempat bermain-main dengan hantu dalam keadaan seperti ini."
Karena itulah, maka iapun telah bekerja semakin sibuk.
Namun dalam pada itu. suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya suara itu benar-benar berada dibelakangnya. Bahkan rasa-rasanya suara itu berdesah menyentuh tengkuknya.
Dengan tangkasnya orang itupun telah meloncat. Bahkan dengan garangnya ia telah mengayunkan linggisnya mendatar, menyambar sumber suara dibelakangnya itu.
Namun ayunan linggisnya itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu. Bahkan oleh kekuatannya sendiri, orang itu telah terseret, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
"Iblis, setan alas," orang itu mengumpat, "Jangan bersembunyi pengecut."
Tetapi belum melihat sesuatu.
Namun dalam pada itu, dari balik dinding halaman, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang, "Aku tidak telaten guru. Aku akan membinasakannya."
Suara itu terdiam. Namun ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama. Sebelum orang yang diajak berbicara itu menjawab, maka tiba-tiba saja sesosok tubuh telah hinggap diatas dinding halaman.
"Gila," geram orang bertubuh kecil, "temyata kau berada dibelakang dinding."
"Kami melihat tingkah lakumu lewat dari atas dinding," jawab bayangan diatas dinding halaman itu.
Orang bertubuh kecil itu menjadi semakin tegang, ia sadar, bahwa orang yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirepnya itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
"Ada juga orang-orang gila yang ternyata melihat kerja yang sedang aku lakukan, "berkata orang bertubuh kecil itu didalam hatinya.
Namun orang itu tidak gentar. Orang yang berdiri diatas dinding halaman itu tentu bukan orang terbaik. Bukan Agung Sedayu dan bukan pula Ki Waskita.
Namun ketika terbersit satu pertanyaan didalam hatinya, ia menjadi gelisah, "Bagaimana jika justru gurunya."
Tetapi orang yang berdiri diatas dinding itu masih muda meskipun ia belum melihat wajahnya dengan jelas. Tubuhnya agak gemuk dan tidak terlalu tinggi.
"Guru Agung Sedayu tentu sudah tua," berkata orang bertubuh kecil itu didalam hatinya.
Sementara itu, orang yang berada diatas dinding halaman itupun segera meloncat turun. Dengan tangkasnya ia melenting langsung berdiri dihadapan orang bertubuh kecil dan agak terbongkok-bongkok itu.
"Siapa kau ?" bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Aku Swandaru Geni," jawab orang yang turun dari atas dinding halaman, "apa kerjamu disini, dan siapakah kau sebenarnya ?"
"Aku tidak akan ingkar. Aku datang untuk membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mereka telah membunuh saudara-saudara seperguruanku," jawab orang bertubuh kecil itu.
Swandaru menggeram. Dengan nada tinggi ia bertanya, "jadi kau saudara seperguruan bajak laut itu dan jika demikian kau juga saudara teperguruan Ki Tumenggung Prabadaru?"
"Tepat," jawab orang itu, "namaku Lodra."
"Uh," Swandaru mengerutkan keningnya, "nama itu memberikan kena besar dan kekar. Tetapi ternyata kau bertubuh kecil dan bahkan terbongkok-bangkok."
"Apa hubungannya nama dengan tubuhku. Aku memang besar. Aku mempunyai ilmu yang tidak ada bandingnya. Karena itu. Menyingkirlah. Aku akan membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Jika kau tidak mau menyingkir, maka kau akan aku binasakan," jawab orang bertubuh kecil yang bernama Lodra itu.
"Jangan mengigau. Kau berhadapan dengan Swandaru Geni. Saudara seperguruan Agung Sedayu. Jika benar kau saudara seperguruan bajak laut yang terbunuh itu, maka kau akan berhadapan dengan aku. Perguruanmu dan perguruanku akan sekali lagi bertemu dalam arena perang tanding."
"Bagus," orang bertubuh kecil itu hampir berteriak, "kita akan melihat, siapakah yang sebenarnya akan menjunjung tinggi nama perguruan. Kau atau aku. Kita tidak akan dapat mengambil ukuran pertempuran antara Agung Sedayu dan saudara-saudaraku. Agung Sedayu bertempur dimedan perang. Mungkin Agung Sedayu curang atau orang lain dengan curang membantunya, sehingga saudaraku itu terbunuh. Sedangkan para bajak laut itupun tidak akan dapat dinilai dengan murni dalam pertempurannya melawan Agung Sedayu. Agung Sedayu telah dibantu oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, sehingga akhirnya ketiga saudaraku itu terbunuh. Nah sekarang kau berhadapan dengan aku. Kita masing-masing akan menunjukan sikap seorang laki-laki."
"Jangan mengigau. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Jangan takut ada orang yang akan membantuku. Semua orang sudah tidur nyenyak. Sedangkan yang tidak tertidur akan dapat menghargai sikapku sebagal seorang laki-laki, sehuigga mereka tidak akan menggangguku," jawab Swandaru.
Orang bertubuh kecil yang bernama Lodra itupun segera bersiap. Ternyata bahwa linggis ditangannya itu adalah senjatanya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu. di belakang dinding. Kiai Gringsing mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Jika orang yang sedang berusaha untuk mencungkil alas padon gandok itu benar-benar saudara seperguruan para bajak laut dan Ki Tumenggung Prabadaru dan memiliki ilmu yang setingkat dengan mereka, maka Swandaru akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun tidak akan dapat meninggalkan Swandaru tetapi iapun tidak ingin mempengaruhi pertempuran itu dengan kehadirannya. Karena itu, maka seperti yang telah dikerjakannya selama ia menunggui Lodra yang sedang sibuk dengan usahanya memasuki gandok itu dengan duduk di sebatang dahan dibelakang dinding halaman. Dari tempatnya Kiai Gringsing akan dapat melihat apa yang terjadi.
Sementara itu. sebenarnyalah orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh memang sedang tidur nyenyak, mereka yang tidak menduga sama sekali akan kedatangan seseorang yang mampu melontarkan ilmu sirep yang tajam, telah tertidur nyenyak sejak sebelumnya. Apalagi ketika mereka terkena pengaruh sirep. Maka tidurpun rasa-rasanya menjadi semakin nyenyak, karena didalam tidur, mereka tidak sempat melawan pengaruh sirep itu.
Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mula-mula mengenali sentuhan pengaruh sirep itu pada dirinya. Perlahan-lahan ia membangunkan Swandaru, dan membawanya keluar dari gandok sebelah kiri. Akhirnya dengan ketajaman pengenalan Kiai Gringsing atas sumber ilmu itu, akhirnya mereka menemukan Lodra dibelakang gandok sebelah kanan sedang sibuk dengan usahanya memasuki gandok itu.
Demikianlah, maka dengan jantung yang berdebaran. Kiai Gringsing menyaksikan dua orang di belakang gandok kanan itu sudah bersiap. Karena Lodra telah menggenggam linggisnya, maka Swandaruipun segera mengurai cambuknya pula.
"Murid orang bereambuk," geram Lodra, "sebagaimana Agung Sedayu bersenjata cambuk."
"Seperti kau lihat," sahut Swandaru, "aku memang saudara seperguruannya."
Orang bersenjata linggis itu mengangguk-angguk. Dipandanginya cambuk di tangan Swandaru itu. Ada juga terbersit debar dijantungnya. Jika orang yang bernama Swandaru ini memiliki ilmu setingkat dengan Agung Sedayu, maka ia akan mengalami kesulitan untuk melawannya, sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu. Padahal orang bertubuh kecil itu tidak dapat ingkar bahwa kemampuannya masih jauh dari kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru.
"Tetapi kecurangan itu tidak mustahil memang terjadi," berkata Lodra itu didalam hatinya, "sehingga dengan demikian Agung Sedayu tidak mengalahkannya dengan jujur."
Karena itu, maka Lodrapun kemudian benar-benar telah bersiap untuk bertempur melawan saudara seperguruan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu. Bahkan orang bertubuh kecil itupun menganggap bahwa tingkat kemampuan Swandaru tentu berada dibawah kemampuan Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, keduanyapun telah bersiap sepenuhnya. Ketika Swandaru mulai menggerakkan ujung cambuknya maka orang bertubuh kecil itupun telah bergeser.
Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya dapat menyaksikan Swandaru bertempur melawan saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru dan ketiga orang bajak laut yang menurut keterangan Agung Sedayu sendiri, memang memiliki ilmu yang luar biasa.
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian mulai dengan serangan-serangan mereka. Meskipun keduanya belum melepaskan segenap ilmu mereka, namun Kiai Gringsing sudah dapat melihat bahwa orang bertubuh kecil itu memang memiliki dasar-dasar ilmu yang sangat dahsyat.
Untuk beberapa saat keduanya masih saling menjajagi. Orang bertubuh kecil itu berloncatan dengan tangkasnya. Sementara Swandaru yang bertubuh gemuk itu. bergerak dengan mantap. Cambuknya masih terayun-ayun. Namun cambuk itu masih belum meledak. Demikian pula orang bertubuh kecil itu, ia baru menjajagi lawannya dengan serangan-serangan yang sederhana. Linggisnya terayun mendatar menyambar tubuh lawannya. Namun serangan masih belum merupakan serangan yang dapat meMbahayakan.
Namun demikian. tataran demi tataran keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya bergerak semakin cepat, sementara senjata merekapun telah berputaran semakin cepat pula.
Meskipun Swandaru mempergunakan senjata yang lebih panjang dari senjata lawannya, tetapi kaki orang bertubuh kecil itu. bagaikan tidak melekat diatas tanah. Loncatan-loncatannya semakin lama menjadi semakin cepat. Jika ujung cambuk Swandaru menyambar leher, maka dengan kecepatan yang mendahului ayunan ujung cambuk Swandaru orang itu merendah. Namun jika ujung cambuk Swandaru terayun menyerang kakinya, maka Lodrapun telah melenting. Tetapi jika ujung cambuk itu menghentak mematuk perutnya. Lodra dengan tangkasnya meloncat surut.
Namun demikian kakinya menyentuh tanah serta ujung cambuk Swandaru berdesing didepan tubuhnya, maka dengan kecepatan yang tinggi. Lodra telah meloncat sambil menyerang dengan ayunan linggisnya.
"Gila," geram Swandaru, "orang ini cukup tangkas. Ia mampu bergerak terlalu cepat."
Tetapi Swandaru memang belum sampai kepuncak kemampuannya. Ia masih meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Namun dalam pada itu. Lodrapun masih belum pula sampai pada batas kemampuannya. Jika Swandaru meningkatkan serangan-serangannya, maka Lodrapun mampu mengimbanginya dengan meningkatkan Ilmunya pula.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya menjadi semakin cepat bergerak. Bahkan serangan-serangan merekapun menjadi semakin berbahaya.
Dalam pada itu. maka ujung cambuk Swandarupun telah mulai meledak. Hentakkan-hentakkan yang keras mulai menggetarkan udara malam di padukuhan yang sepi oleh kekuatan sirep orang bertubuh kecil itu.
Karena itu. meskipun cambuk Swandaru meledak semakin lama semakin keras, namun para peronda di depan pintu gerbang halaman Ki Gede itu sama sekali tidak terganggu kenyenyakan tidur mereka. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itu memang tidak akan terganggu.
Tetapi ledakan cambuk Swandaru ternyata semakin lama menjadi semakin keras dan semakin sering. Udara malampun seakan-akan telah terkoyak-koyak oleh ledakan-ledakan yang dahsyat itu.
Sementara itu. ternyata ledakan cambuk Swandaru itu bukan saja telah menggetarkan jantung lawannya, namun juga telah menghentak dada mereka yang sedang tertidur nyenyak. Meskipun sebagian besar dari mereka yang sedang tertidur oleh pengaruh sirep, atau mereka yang memang sedang tertidur, namun yang kemudian telah ditindih pula oleh pengaruh sirep yang tajam itu. tidak terpengaruh oleh hentakan-hentakan cambuk Swandaru. namun ada juga diantara mereka yang mulai menggeliat. Betapapun juga. mereka yang memiliki ilmu yang tinggi, sempat berusaha untuk mengatasi perasaan kantuk mereka justru karena mereka telah terbangun oleh ledakan-ledakan cambuk itu.
Ki Gede menjadi curiga terhadap perasaannya sendiri. Bagaikan sedang bermimpi ia mendengar cambuk meledak-ledak. Seolah-olah ia sedang berada ditengah sawah menunggui seorang yang sedang membajak. Demikian malasnya dua ekor lembu yang menarik bajak itu sehingga orang yang sedang membajak itu menjadi marah dan mengayunkan cambuknya berkali-kali.
Namun akhirnya Ki Gede itupun terbangun. Ia sadar bahwa ia sedang bermimpi. Namun matanya rasa-rasanya tidak mau terbuka juga.
Pengalaman yang mengendap didalam dadanya, telah mendorong Ki Gede justru untuk mengenali keadaan yang demikian. ia telah memaksa diri untuk mengerti, apa yang sedang terjadi atas dirinya itu.
Kecurigaan Ki Gede atas keadaannya itu justru telah mendorongnya untuk melawan perasaan kantuknya yang mencengkamnya.
Ketika cambuk Swandaru sekali lagi meledak, maka Ki Gedepun telah menyadari keadaan sepenuhnya. Dan Ki Gedepun telah menyadari bahwa Padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu telah terkena oleh sirep yang tajam, terutama dirumahnya dan disekitarnya.
Ki Gedepun kemudian telah mempersiapkan diri. Setelah membenahi pakaiannya, maka iapun telah menggapai senjatanya. Perlahan-lahan ia keluar dari biliknya. Ketika ia melihat bilik yang dipergunakan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih tertutup rapat, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah keduanya masih tertidur nyenyak?" bertanya Ki Gede didalam hatinya.
Tiba-tiba saja Ki Gede teringat tamu-tamunya yang ada di gandok. Kiai Gringsing dan Swandaru. Bahkan tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia teringat kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita di Gandok kanan, yang hanya ditunggui oleh Glagah Putih.
Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian telah mengetuk pintu bilik Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Semakin lama semakin keras sebagaimana suara ledakan cambuk Swandaru.
"Pandan Wangi. Sekar Mirah," panggiil Ki Gede. Ternyata bahwa Pandan Wangi dan Sekar Mirah terbangun pula oleh suara cambuk Swandaru. Tetapi setiap kali matanya menjadi bagaikan terpejam lagi.
Namun ketika terdengar nama mereka dipanggil maka rasa-rasanya mereka benar-benar telah terbangun.
"Pandan Wangi, Sekar Mirah," sekali lagi terdengar nama mereka disebut.
"Siapa?" bertanya Pandan Wangi yang memaksa diri untuk bangkit.
"Aku," terdengar suara diluar bilik, "bangunlah. Ada sesuatu yang penting."
Pandan Wangi mengusap matanya. Tetapi ledakan cambuk itu telah terdengar lagi.
Sekar Mirahpun telah bangkit pula. Sementara itu Pandan Wangi telah bertanya pula, "Apakah ayah diluar?"
"Ya. aku. Bukalah," jawab Ki Gede.
Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah membenahi pakaian mereka sebentar. Kemudian seolah-olah telah menjadi gerak naluri. keduanya telah mengambil senjata masing-masing. Pandan Wangi telah mengenakan pedang rangkapnya, sementara Sekar Mirah telah menjinjing tongkat baja putihnya.
Keduanyapun kemudian telah membukakan pintu perlahan-lahan. Yang berdiri didepan pintu memang Ki Gede Menoreh yang telah menggenggam tombaknya pula.
"Apakah kalian merasakan sesuatu yang lain," bertanya Ki Gede.
"Ya. ayah," jawab Pandan Wangi, "rasa-rasanya mataku tidak dapat terbuka."
"Sadarilah hal itu sepenuhnya. Kemudian kau berdiri harus melawannya. Kita sudah dicengkam oleh ilmu sirep yang tajam," jawab Ki Gede.
Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Merekapun sependapat, bahwa mereka telah terkena sirep, sehingga dengan demikian maka mereka harus berusaha melawannya.
Namun dalam pada itu, cambuk yang mereka dengar masih saja meledak-ledak.
Dalam ketegangan itu terdengar suara Pandan Wangi, "Suara itu agaknya suara cambuk kakang Swandaru. Agaknya kakang Swandaru telah terlibat dalam pertempuran."
"Ya," jawab Ki Gede, "karena itu. marilah. Kita akan melihat, apa yang terjadi."
Ketiganyapun kemudian mempersiapkan diri. Dengan hati-hati mereka keluar dari dalam rumah Ki Gede lewat pintu butulan. Sementara itu. suara cambuk itupun telah menuntun mereka, bahwa pertempuran telah terjadi dibelakang gandok sebelah kanan.
"Di gandok itu Agung Sedayu dan Ki Waskita beristirahat," berkata Ki Gede.
"Hanya ditunggui oleh Glagah Putih desis Sekar Mirah.
"Kita pereaya kepada anak itu, ia memiliki ilmu yang cukup. Menurut penilaian kita. jika terjadi sesuatu. anak itu dapat berbuat sesuatu sambil menunggu kehadiran para peronda. Tetapi kita melupakan ilmu sirep," berkata Ki Gede kemudian.
Dengan tergesa-gesa merekapun kemudian telah pergi ke belakang gandok kanan. Namun dalam pada itu. Sekar Mirah telah tertegun sejenak. Dipandanginya pintu gandok yang masih tertutup rapat.
Ada niatnya untuk menengok kedalam gandok itu. Namun niatnya diurungkan ia akan melihat lebih dahulu apa yang terjadi dibelakang gandok itu.
Ketiga orang itupun kemudian terhenti beberapa langkah dari arena pertempuran. Dengan jantung yang berdebaran mereka menyaksikan pertempuran yang sengit antara Swandaru dengan seseorang yang bertubuh kecil agak kebongkok-bongkokan.
Namun dalam pada itu. selagi mereka bergeser mendekat, maka terdengar orang bertubuh kecil itu berkata, "Marilah. Ternyata dengan ledakan cambukmu kamu telah memanggil beberapa orang kawanmu atau saudaramu atau siapapun mereka. Majulah bersama-sama. Aku ingin melihat, apakah kalian akan dapat mengimbangi ilmuku.
Tetapi suara Swandaru tidak kalah garangnya. "Mereka tidak akan mengganggu perang tanding ini. Aku akan bertempur sendiri sampai aku berhasil membunuhmu."
Orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya, "Jangan bermimpi sambil bertempur. Itu hanya akan mempereepat kematianmu saja."
Tetapi orang bertubuh kecil itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan Swandaru datang melandanya sehingga orang itu harus meloncat surut.
Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran.
Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Cambuk Swandaru meledak-ledak bagaikan petir di mangsa kesanga. Beruntun, susul menyusul tidak henti-hentinya.
"Gila," geram lawannya, "cambukmu tidak menyentuh kulitku. Tetapi suaranya memekakkan telinga."
Swandaru menggeram, ia memutar cambuknya semakin cepat.
Namun dalam pada itu. Swandaru yang telah mempelaiari berbagai ilmu dengan matang, sementara itu dengan tekun ia meningkatkan kekuatan tenaganya dan membuat tenaga cadancannya semakin mapan, maka hentakkan cambuknyapun menjadi semakin nggegirisi. Pada saat-saat terakhir. Swandaru telah menekuni isi kitab gurunya meskipun baru untuk waktu yang singkat. Namun dalam waktu yang singkat itu. Swandaru berhasil menempatkan jalur-jalur kekuatan tenaga cadangannya semakin mapan. sehingga seakan-akan kekuatan jasmaniahnya dalam saat-saat tertentu sebagaimana dikehendaki menjadi semakin berlipat.
Sementara itu. lawannyapun telah meningkatkan ilmunya pula. Ternyata lawannya mampu bergerak terlalu cepat. Bagaikan bayangan dalam keremangan malam. orang bertubuh kecil itu berterbangan disekitar Swandaru. Namun cambuk Swandaru seakan-akan selalu memburunya.
Ketika cambuk itu meledak dan tidak menyentuh sasaran, tetapi mengenai dahan-dahan pepohonan, maka dahan-dahan itulah yang berpatahan. Tanahpun berhamburan dan pepohonan telah terguncang.
"Gila," geram orang bertubuh kecil itu. Namun ia mempercayakan diri pada kecepatan geraknya. Bahkan dalam keadaan yang sulit, iapun masih mampu menyerang. Linggis ditangannya menjadi seakan-akan seringan lidi. Sekali-sekali linggis itu terayun mendatar mengarah lambung. Namun kemudian mematuk kearah dahi dan kadang-kadang menyambar kening.
Dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Keduanya memiliki tenaga yang besar dan kemampuan yang tinggi.
Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan tegang. Ki Gede dan Sekar Mirah yang melihat perang tanding di Watu Lawang, memang melihat lawan Swandaru itu memiliki beberapa unsur yang bersamaan dengan bajak laut yang bertempur melawan Agung Sedayu.
Karena itu, maka Sekar Mirahpun menjadi cemas. Jika orang itu mampu mencapai puncak kemampuannya sebagaimana dilakukan oleh bajak laut itu, maka Sekar Mirah mencemaskan keadaan kakaknya.
Meskipun Sekar Mirah kurang mendalami cara Agung Sedayu meningkatkan ilmunya, namun ia melihat bahwa ada perbedaan antara suaminya itu dan kakaknya meskipun keduanya berguru kepada orang yang sama. Agung Sedayu lebih menukik kekedalaman ilmunya. Namun Swandaru lebih condong untuk memperbesar kemampuan wadagnya. Karena itulah, maka Swandaru condong untuk membuat tenaga cadangannya semakin mapan.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin sengit.
Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka. sehingga benturan-benturan ilmu keduanyapun tidak lagi dapat dihindari.
Orang bertubuh kecil yang mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa itu merasakan, bahwa kekuatan Swandaru terasa lebih besar dari kekuatannya. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu yang dapat mengisi kekurangannya itu.
Namun Swandaru yang menyadari bahwa kekuatannya melampaui kekuatan lawannya telah berusaha untuk tidak ragu-ragu membenturkan ilmunya.
Jika sekali-sekali ujung linggis Lodra itu menyentuh jurai cambuk Swandaru, terasa tangannya menjadi bergetar. Namun ia masih selalu mampu mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya.
Dalam pertempuran yang semakin meningkat itu. Kiai Gringsing masih tetap berada ditempatnya ia melihat Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mendekati arena. Tetapi ia masih tetap mengamati pertempuran itu dari tempat yang tersembunyi.
Namun dalam pada itu. ternyata yang mendengar ledakan cambuk Swandaru bukan hanya orang-orang yang tinggal dirumah Ki Gede itu saja. Diluar pedukuhan induk, suara itupun telah memanggil seseorang yang sedang duduk dalam kegelapan.
Ketika ia mulai mendengar suara cambuk Swandaru, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat itu berusaha untuk mengetahui dari arah manakah suara itu meledak-ledak.
Orang itu menarik nafas dalam-dahun. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan memasuki pedukuhan induk. Ternyata anak-anak muda yang berada digardu-gardu di regolpun telah bertempur melawan Swandaru itu tidak cukup kuat untuk menguasai seluruh padukuhan. namun ternyata ada kekuatan lain yang telah membantunya, sehingga seisi pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itupun telah terkena sirep pula.
Dengan pasti orang itu menuju ke rumah Ki Gede. karena ketajaman telinganya telah membawanya kearah suara ledakan cambuk Swandaru. Tanpa ragu-ragu ia berjalan disepanjang jalan padukuhan. Sehingga akhirnya iapun telah berhenti diregol rumah Ki Gede.
Dilihatnya beberapa orang terbaring digardu. selebihnya ada pula yang tertidur dibelakang gardu. sementara ditangannya masih tergenggam kacang yang sedang dikulitinya.
Baru kemudian orang itu menjadi berhati-hati ia tidak memasuki halaman rumah Ki Gede lewat regol halaman. Tetapi iapun telah menelusuri dinding. Sebelum sampai kesudut halaman, maka dengan tangkasnya iapun telah meloncat masuk. Dari balik gerumbul dibawah bayangan kegelapan, orang itu berusaha untuk dapat mengamati pertempuran dibelakang gandok. Namun dari tempatnya, ia melihat beberapa orang yang menunggui pertempuran itu. Seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
Sementara itu. ditempat yang tersembunyi, ternyata Kiai Gringsing tidak saja memperhatikan mereka yang sedang bertempur. Ketika pertempuran itu sudah berlangsung cukup lama. namun anak-anak muda digardu masih juga belum terbangun. maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk memperhatikan suasana.
Jika ilmu sirep itu hanya dilontarkan oleh orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, maka setelah sekian lama ia terlibat dalam pemusatan perhatiannya terhadap pertempuran yang sedang dilakukan, maka lambat laun ilmu sirep itu tentu akan mengendor. Ledakan cambuk Swandaru itu tentu akan segera membangunkan anak-anak muda yang sedang tertidur lelap, namun ternyata bahwa anak-anak itu masih belum juga terbangun.
"Tentu ada pengaruh lain kecuali yang dilontarkan oleh orang bertubuh kecil itu," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Namun dalam pada itu. sebenarnyalah didalam gandok, Agung Sedayu, Ki Waskita dan bahkan Glagah Putih telah terbangun. Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita masih tetap berada di pembaringannya tubuh mereka yang terluka masih belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar bangkit dan duduk dengan hati-hati di pinggir pembaringan.
"Beristirahatlah. Jangan bangkit." Glagah Putih berusaha untuk mencegah.
Tetapi Agung Seduyu menjawab, "Tidak apa-apa. Keadaanku sudah bertambah baik hari ini."
Glagah Putih tidak memaksanya. Namun perhatiannya tertuju sepenuhnya kepada suara cambuk yang meledak-ledak.
"Kakang Swandaru," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk berbareng. Sementara itu Glagah Putihpun berkata, "Apakah aku sebaiknya melihatnya"'"
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun Glagah Putih telah menjawabnya sendiri. "Aku disini saja menunggui kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mungkin ada orang-orang yang curang memasuki bilik ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun sependapat, bahwa Glagah Putih sebaiknya ada didalam bilik itu saja. Mungkin diluar keadaannya sangat berbahaya. Agaknya pertempuran antara Swandaru dan lawannya itupun telah mencapai puncak kemampuan masing-masing.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran antara Swandaru dan lawannya yang bertubuh kecil, agak terbongkok-bongkok itu berlangsung semakin seru. Cambuk Swandaru meledak semakin sering dan semakin keras. Dengan puncak kemampuannya Swandaru telah melecutkan cambuknya, sehingga udarapun bagaikan terguncang karenanya. Rasa-rasanya pepohonan bergoyang dan bahkan gandok kanan itupun bagaikan tergetar oleh ledakan cambuknya.
Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu semakin lama nampaknya menjadi semakin terdesak.
Karena cambuk itu berputar semakin cepat, maka seakan-akan orang bertubuh kecil itu tidak lagi mampu menembus untuk menyerang, sehingga dengan demikian maka yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah sekedar meloncat menghindar. Orang itupun tidak mau membenturkan kekuatannya langsung melawan ujung cambuk Swandaru. karena ia merasa bahwa kekuatan Swandaru ternyata lebih besar dari kekuatannya.
Swandaru tidak mau kehilangan waktu. Ketika lawannya meloncat surut, maka iapun telah memburunya. Ledakan cambuknya membuat lawannya meloncat kesamping. Namun dengan tiba-tiba saja cambuk Swandaru mengejarnya dengan ayunan mendatar.
Orang bertubuh kecil itu tidak sempat mengelak sepenuhnya. Meskipun ia sudah berusaha menghindari ujung cambuk itu, namun ternyata bahwa kulitnya masih tersentuh juga.
Terdengar orang itu mengumpat kasar. Sentuhan ujung cambuk Swandaru itu telah mengoyak kulitnya, sehingga sebuah luka telah menganga di lengannya.
"Anak iblis," geram orang bertubuh kecil itu. "kau telah melukai tubuhku."
"Persetan," jawab Swandaru, "kau harus mati disini."
Swandaru sama sekali tidak mengendurkan serangannya. Bahkan cambuknya telah berputar semakin cepat.
Orang bertubuh kecil itu benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang memuncak. Maka tiba-tiba saja ia bergumam didalam dirinya. Apaboleh buat. Kekuatan air, udara dan api itu masih baru aku mulai. Tetapi dalam keadaan seperti ini. aku akan mempergunakannya meskipun belum sempurna."
Dalam pada itu. Tiba-tiba saja orang bertubuh kecil itu meloncat menjauh. Hampir mendekati Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang kemudian telah bersiaga. Namun ternyata orang itu tidak mengganggu ketiganya. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam dengan wajah tegang.
Namun dalam pada itu. sesuatu telah terjadi. Ilmu yang masih dalam ujud yang kasar itu telah menyerang Swandaru dengan kasar pula. Seakan-akan udarapun kemudian berputar seperti angin pusaran. Namun angin pusaran itu ternyata mengandung uap air yang panas.
Swandaru terkejut. Ketika angin pusaran itu memburunya, maka iapun meloncat surut. Tetapi sentuhan angin pusaran itu rasa-rasanya membuat kulitnya menjadi bagaikan terbakar.
"Ilmu iblis yang mana lagi yang dipergunakan orang ini," geram Swandaru.
Namun angin pusaran itu masih saja melingkar-lingkar mendekatinya.
Swandaru menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjadi gentar. Ketika angin pasaran itu mendekatinya, maka tiba-tiba saja Swandaru telah menyerang angin pusaran itu dengan cambuknya.
Cambuknya meledak dengan kerasnya, bagaikan petir yang meledak dilangit. Udarapun tergetar karenanya dan gandok itu bagaikan terguncang.
Ternyata ledakan cambuk Swandaru itu berpengaruh juga. Udara bergulung-gulung itu bagaikan tergetar pula. Tetapi hanya untuk sesaat.
Angin yang bergulung yang tergetar oleh ledakan cambuk Swandaru itu bagaikan pecah dan memencar. Namun sejenak kemudian seolah-olah telah terhisap kembali dalam satu pusaran yang berputaran memburu Swandaru.
Setiap kali Swandaru meledakkan cambuk dengan sepenuh kemampuannya, angin pusaran itu memang bagaikan menyibak.
Dengan demikian, maka Swandarupun kemudian berusaha untuk memecah sama sekali gumpalan angin pusaran itu.
Karena itu, maka iapun tidak sekedar meledakkan cambuknya sekali dua kali. Tetapi berkali-kali.
Usaha Swandaru itu nampaknya akan berhasil. Tetapi tiba-tiba saja ia telah tersengat udara panas disekitarnya. Tidak lagi dalam gulungan angin pusaran. Namun udara disekitarnya memang menjadi panas.
Tetapi Swandaru cepat berpikir. Ia sadar, bahwa sumber dari panasnya udara itu adalah orang bertubuh kecil itu. Ia teringat apa yang pernah dikatakan tentang lawan-lawan Agung Sedayu. Bahkan ada yang pernah mengatakan, bahwa randu alas di Tanah Perdikan Menoreh yang dibawahnya terjadi perang tanding antara Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu telah mati mengering.
Dengan demikian, maka Swandaru telah bertindak cepat ia berusaha bertahan atas serangan panas yang bagaikan membakar kulitnya. Namun dalam pada itu. dengan loncatan panjang ia telah menyerang orang bertubuh kecil itu.
Ternyata orang bertubuh kecil itu menjadi lengah ia melihat sambil tersenyum kesulitan yang dialami oleh Swandaru menghadapi ilmunya yang bagaikan angin pusaran. Bahkan ketika angin pusaran itu pecah, maka ia masih sempat menghembuskan kekuatan apinya sehingga udara menjadi bagaikan terbakar.
Tetapi bahwa Swandaru telah dengan serta merta menerobos perisai panasnya itu benar-benar diluar dugaan. Karena itu, maka ketika tiba-tiba cambuk Swandaru terayun kearahnya, maka ia terlambat untuk menghindar. Sekali lagi ujung cambuk Swandaru itu mengenainya, justru pada saat ia berusaha meloncat.
Karena itu, maka pahanyalah yang kemudian bagaikan terkoyak Namun demikian, ternyata bahwa ia masih sempat meloncat menjauh sambil menghembuskan Ilmunya. Sekali lagi udara yang bergulung-gulung bagaikan angin pusaran telah melanda Swandaru. Udara yang bagaikan mengandung uap air mendidih.
Swandaru terkejut. Dengan cepat ia berusaha menghindar. Meskipun demikian terdengar juga ia mengeluh. Panas udara itu tidak tertahankan.
Sekali lagi Swandaru harus bertahan. Cambuknya segera meledak-ledak. Dan sekali lagi Swandaru memecahkan pusaran angin yang mengandung uap panas itu. Namun yang seperti pernah terjadi, udara panaslah yang kemudian melandanya.
Dalam pada itu, Ki Gede. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun merasakan sentuhan udara panas itu. Bagi Ki Gede, maka segera ia mengetahui, bahwa tingkat ilmu orang itu masih berada dibawah kemampuan para bajak laut yang bertempur di Watu Lawang. Pengaruh udara banas itu tidak sedahsyat hembusan udara panas bajak laut yang di Watu Lawang. Pada jarak yang lebih jauh, maka udara panas itu terasa mengigit kulitnya. Apalagi serangan kabut yang hampir tidak kasat mata itu benar-benar sangat berbahaya. Sementara pusaran yang dihembuskan oleh orang bertubuh kecil itu adalah serangan yang kasar. Menurut pengamatan Ki Gede. jika Swandaru menghindar dan mengambil jarak semakin jauh, maka pusaran itu menjadi semakin lemah, sehingga pada saat jarak tertentu serangan itu sudah tidak berarti lagi.
Namun Ki Gede mengagumi kecepatan berpikir dan bertindak Swandaru yang memasuki lingkungan serangan panas lawannya dan langsung menyerangnya.
Yang menjadi berdebar-debar adalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah mencemaskan juga bahwa Ilmu orang itu masih belum seganas bajak laut yang bertempur melawan Asung Sedayu. namun ia sadar, bahwa kakaknya tidak memiliki perisai ilmu kebal seperti Agung Sedayu. Perisai yang ternyata masih mampu ditembus oleh lawan-lawannya yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat itu.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukan udara panas yang membakar tubuhnya. Meskipun sambil berdesah, namun ia telah meloncat dengan loncatan-loncatan panjang menyerang lawannya.
Meskipun lawannya tidak menjadi lengah, tetapi seranga Swandaru yang tidak kalah dahsyatnya dengan badai yang dilontarkannya itu, telah membuatnya terdesak pula. Ketika serangan Swandaru melibatnya pada jarak pendek tanpa menghiraukan panas dikulitnya, maka sekali lagi. cambuk Swandaru mengenai tubuh orang itu. Meskipun Swandaru menghentakkan cambuk dari arah dada, tetapi juntainya justru telah mengoyak lawannya pada punggungnya.
Orang bertubuh kecil itu mengaduh. Luka itu terasa betapa pedihnya. Namun Swandarupun telah mengaduh pula. karena kulitnya yang bagaikan terbakar oleh panasnya udara disekitarnya.
Orang bertubuh kecil itu berusaha untuk mengambil jarak. Tetapi Swandaru tidak melepaskannya. Kakinya yang melenting-lenting karena tanah tempat ia berpijak-pun bagaikan menjadi bara. namun ia masih tetap melibat lawannya pada jarak yang paling dekat yang dapat dicapainya.
Dalam pada itu. dibelakang gerumbul. didalam kegelapan seseorang memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran ia melihat orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu mula-mula mampu mendesak lawannya. Tetapi ternyata lawannya memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga tanpa menghiraukan ilmu yang mampu membakar udara disekitarnya itu.
Namun orang itupun berdesis, "Ilmu itu baru pada permulaan."
Bersamaan dengan itu. Kiai Gringsing yang masih berada ditempat yang tersembunyipun berdesis pula, "Ilmu itu masih pada tataran pertama. Mudah-mudahan Swandaru dapat mengatasinya."
Meskipun demikian Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar pula.
Udara panas terpancar disekitar orang bertubuh kecil itu memang menjadi hambatan utama dari serangan Swandaru. Tetapi ia mempunyai perhitungan tersendiri, ia harus segera mampu menghancurkan lawannya, sehingga dengan demikian ia telah memadamkan sumber ilmu yang bagaikan membakar dirinya.
Ternyata perhitungan Swandaru itupun mengena pada sasarannya. Ketika cambuknya sekali lagi mengenai dada, maka darahpun telah memancar dari dada orang bertubuh kecil itu. sehingga dengan demikian lukanyapun benar-benar telah mengganggunya. Bahkan Swandaru yang meloncat-loncat karena serangan panas itu masih sempat sekali lagi melecutkan cambuknya sendal pancing. Serangan yang justru telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Serangan terakhir Swandaru itu telah mengenai leher lawannya. Ketika ujung cambuk itu menghentak, maka karah-karah baja di juntai cambuk itu telah menyobek kulit dan daging dileher lawannya.
Terdengar keluhan melengking. Sejenak orang bertubuh kecil itu masih tertahan berdiri tegak dengan mata yang memancarkan kemarahan yang tidak ada taranya. namun sejenak kemudian, maka tubuh itupun telah roboh terguling ditanah.
Bersamaan dengan itu, maka ilmu yang terpancar dari orang bertubuh kecil itupun lambat laun telah mengendor dan akhirnya lenyap pula.
Seribu Musim Mengejar 2 Dewi Ular 46 Misteri Bocah Jelmaan Misi Rahasia Sophie 1