Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 4

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


Sambil tersenyum Sabungsari berkata, "Ternyata kau mampu juga mempergunakan senjata yang lain kecuali cambuk itu."
"Untunglah bahwa lawanku waktu itu bukan seorang yang berilmu tinggi, sehingga tidak memaksaku untuk mempergunakan cambuk," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi dalam keadaan yang memaksa, tanpa cambuknya Agung Sedayu mampu juga bertahan," berkata Kiai Gringsing, "justru sekarang ia dapat berbuat lebih berbahaya lagi."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, Kiai. Tetapi jika ia menyalurkan kemampuannya lewat cambuknya, maka cambuk itupun tentu akan menjadi sangat berbahaya bagi orang lain."
Kiai Gringsingpun tersenyum pula, sementara Agung Sedayu berkata, "Yang penting, pada waktu itu aku adalah pengawal dari Mataram."
"Ya," Ki Widura menyahut, "ternyata kau berhasil. Pemilik warung itupun hanya dapat mengatakan, bahwa kau adalah pengawal dari Mataram."
Untuk beberapa saat mereka masih berbicara tentang Sepasang Pertapa dari Goa Kelelawar. Agung Sedayupun kemudian menceriterakan, bahwa persoalannya berkisar pada sehelai kain yang mirip dengan ikat kepala, tetapi yang sebenarnya mengandung gambar yang sangat berbahaya bagi keamanan Mataram."
Barulah Kiai Gringsing, Ki Widura, Sabungsari dan Glagah Putih melihat dengan gamblang persoalan yang telah terjadi di pinggir jalan itu. Sebuah warung telah terbakar habis dengan segala isinya karena tingkah laku Sepasang Pertapa dari goa Kelelawar bersama kawan-kawannya.
Dalam pada itu, Prastawa hanya sekedar mendengarkan saja pembicaraan diantara tamu-tamu Ki Gede dan Ki Gede sendiri. Namun dengan demikian ia merasa, bahwa dirinya memang terlalu kecil.
Namun demikian, ada sesuatu hal yang telah mengguncang hatinya. Ia mendengar semua pembicaraan tentang Agung Sedayu. Ketika pembicaraan tentang pertapa itu telah berkisar lagi, maka orang-orang tua itu telah kembali kepada pokok pembicaraan mereka, yaitu tentang Agung Sedayu yang sebaiknya segera kembali ke Jati Anom karena ia harus melakukan kewajibannya sebagai seorang anak muda yang memang sudah menjadi dewasa sepenuhnya.
Prastawa tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja tubuhnya bagaikan menjadi gemetar. Ia sudah mendengar sebelumnya bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang akan kawin. Tetapi ketika saat perkawinan itu menjadi begitu pasti dan hanya dalam waktu yang sudah terlalu dekat, hatinya telah bergejolak. Rasa-rasanya ia tidak dapat menerima keadaan itu dengan ikhlas. Bahkan seandainya ia memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk mencegahnya, maka ia akan mencegahnya.
Tetapi hal itu tidak akan mungkin dilakukannya. Ia tidak memiliki kekuasaan apapun. Dan iapun menyadari, bahwa kemampuan Agung Sedayu adalah kemampuan raksasa yang tidak dapat dinilainya.
Meskipun demikian, seakan-akan ada dorongan didalam hatinya untuk mencegah agar perkawinan itu dapat dibatalkan.
"Tetapi tidak ada jalan untuk itu," berkata Prastawa didalam hatinya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berharap agar perang antara Pajang dan Mataram pecah dengan cepat sebelum hari perkawinan itu, sehingga dengan demikian maka perkawinan itu akan gagal. Setidak-tidaknya, perkawinan itu akan tertunda.
Tetapi harapan itupun bagaikan berharap akan titiknya embun disiang hari yang terik.
Karena itu, maka yang bergolak dihatinya kemudian adalah kegelisahan yang tidak berujung pangkal.
Sementara itu, maka orang-orang tua yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu, termasuk Ki Gede sendiri, bersepakat, bahwa Agung Sedayu akan segera pergi ke Jati Anom untuk mempersiapkan hari perkawinannya yang tinggal terlalu dekat.
"Tetapi sudah barang tentu dengan harapan, bahwa setelah hari perkawinan itu, angger Agung Sedayu tidak berkeberatan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama. Kecuali untuk kepentingan Tanah Perdikan ini, tentu tugas angger Agung Sedayu dibarak pasukan khusus itu masih belum selesai. Pasukan itu baru terbentuk dan menemukan ujudnya. Karena itu, maka pasukan itu harus dimatangkan dalam waktu dekat. Sebagaimana kemelut antara Pajang dan Mataram yang menjadi semakin panas," berkata Ki Gede.
Semua orang memandang Agung Sedayu. Seolah-olah menyerahkan penuh persoalannya kepada Agung Sedayu.
Namun yang menjawab kemudian adalah Ki Waskita, "Meskipun segalanya terserah kepada angger Agung Sedayu, namun Tanah Perdikan dan barak pasukan khusus itu memang memerlukannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, "Aku mengerti. Hubunganku dengan Tanah Perdikan ini sudah terlanjur menjadi sangat akrab, sehingga rasa-rasanya aku bukan orang lain disini. Tetapi khusus bagi barak itu, sebenarnya aku tidak sangat diperlukan. Di barak itu ada beberapa orang perwira dari Mataram yang dengan bersama-sama telah membentuk isi barak itu menjadi sebuah pasukan khusus yang kuat. Aku hanya salah seorang saja yang membantu mereka dalam tugas itu bersama Ki Waskita dan Ki Gede. Tetapi perananku sama sekali tidak menentukan apa-apa."
Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu sekilas. Namun seolah-olah ia telah berhasil menangkap isi perasaan Agung Sedayu tentang barak dan pasukan khusus itu. Meskipun demikian, Kiai Gringsing tidak bertanya kepada muridnya yang sudah diketahui sifat dan wataknya itu.
Karena itu, maka yang dikatakannya kemudian adalah, "Baiklah Ki Gede. Segalanya tentu akan dipertimbangkan sebaik-baiknya. Setelah hari-hari perkawinan itu lewat, maka Agung Sedayu tentu akan segera mengambil keputusan. Aku sendiri tidak melihat keberatannya jika setelah hari perkawinan itu Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan ini untuk sementara. Agung Sedayu akan dapat melanjutkan kerjanya bagi Tanah Perdikan ini dan bagi pasukan khusus didalam barak itu. Selanjutnya, keadaannya akan banyak ditentukan oleh perkembangan keadaan. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram."
Ki Gede mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku memang tidak mempunyai pilihan lain."
"Sementara itu. Agung Sedayupun tentu harus berbicara dengan Ki Lurah Branjangan," berkata Ki Waskita, "Kau harus minta ijin kepadanya, bahwa kau akan melangsungkan perkawinanmu."
"Aku akan memberitahukan kepadanya," jawab Agung Sedayu, "barangkali bukan permintaan ijin. Jika aku minta ijin, maka hari-hariku akan sangat tergantung kepada ijin yang diberikan. Tetapi jika aku memberitahukan kepada Ki lurah, maka aku tidak akan terikat kepada waktu yang diberikannya."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Kita akan menghadap besok."
Demikianlah, maka itu pembicaraan mengenai rencana kepergian Agung Sedayu masih dibicarakan, meskipun pada dasarnya sudah tidak ada persoalan lagi. Namun akhirnya, Ki Gedepun mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang tua memasuki biliknya, Glagah Putih berkata kepada Agung Sedayu, "Aku ingin melihat Tanah Perdikan ini."
"Besok siang kita akan berkeliling," jawab Agung Sedayu.
"Maksudku, Tanah Perdikan ini di malam hari." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan berjalan-jalan. Aku akan memberitahukan kepada Ki Waskita."
Yang kemudian keluar dari regol halaman rumah Ki Gede bukan saja hanya Agung Sedayu dan Glagah Putih, tetapi Sabungsaripun ikut pula bersama mereka.
Tetapi dalam pada itu, justru karena mereka bertiga bersama Sabungsari, maka Agung Sedayu tidak membawa mereka mendekati barak. Meskipun Agung Sedayu yakin, bahwa apa yang diketahuinya di Tanah Perdikan Menoreh tentang pasukan khusus yang di susun oleh Mataram, yang tentu akan dipergunakannya untuk menghadapi Pajang, namun Sabungsari tentu tidak akan mempersoalkannya. Karena Sabungsaripun bukan seorang prajurit yang tidak melihat perkembangan keadaan yang tumbuh semakin buram antara Pajang dan Mataram. Sabungsaripun tentu tidak akan menutup penglihatannya tentang pasukan khusus yang disusun di Pajang, justru dibawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru yang pantas untuk dipertanyakan.
Untunglah bahwa Glagah Putih di sepanjang perjalanan itu sama sekali tidak bertanya tentang barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun Agung Sedayu sudah siap untuk mengelak apabila hal itu benar-benar dipertanyakan.
Ternyata bahwa Glagah Putih merasa gembira dapat melihat gardu-gardu di padukuhan-padukuhan. Anak-anak muda yang gembira dalam tugas mereka dan dengan ramah menyambutnya. Sementara itu, di bulak-bulak panjang, Glagah Putih juga melihat sebagaimana dilihatnya di sepanjang perjalanannya ke Tanah Perdikan itu. Sawah yang subur dan gairah kerja yang besar dari orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan di malam hari, mereka dapat melihat, orang-orang yang sedang mengisi waktu mereka dengan kerja di sungai-sungai. Dengan jala mereka menangkap ikan sebagai kerja sambilan yang dapat membantu kesejahteraan hidup mereka sehari-hari, karena kerja mereka disungai-sungai itupun ternyata menghasilkan pula.
"Senang juga tinggal di Tanah Perdikan ini," berkata Glagah Putih.
"Tanah Perdikan ini serasa telah hidup kembali setelah beberapa lamanya terasa lesu," sahut Agung Sedayu.
"Ini adalah hasil kerja kakang selama ini?" bertanya Glagah Putih.
"O, tentu tidak. Apakah artinya aku seorang diri," jawab Agung Sedayu dengan serta merta, "aku hanya membantu tugas-tugas yang dilakukan oleh Ki Gede, Prastawa dan para bebahu Tanah Perdikan ini sendiri. Aku bukan apa-apa disini, seandainya aku benar-benar sendiri."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti."
Demikianlah rasa-rasanya mereka sama sekali tidak menjadi lelah. Mereka berjalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, dan dari satu gardu ke gardu yang lain.
Sementara itu, ternyata orang-orang tua yang sudah berada dibiliknyapun tidak juga segera tertidur nyenyak. Mereka masih juga berbicara tentang beberapa hal yang menyangkut hari-hari perkawinan Agung Sedayu yang menjadi semakin dekat.
Namun demikian, ketika Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, orang-orang tua itu sudah tertidur nyenyak sehingga Agung Sedayu harus mengetuk pintu gandok untuk membangunkan Ki Waskita.
Di hari berikutnya, maka ketika matahari naik di wajah langit yang bersih, Agung Sedayu dan Ki Waskita telah pergi ke barak untuk bertemu dengan Ki Lurah Branjangan. Agar persoalannya dapat lebih meyakinkan, maka telah pergi bersama mereka Ki Gede, Kiai Gringsing dan Ki Widura, sementara Sabungsari dan Glagah Putih tinggal di rumah Ki Gede bersama Prastawa.
Betapa perasaan Prastawa bergejolak, namun ia telah memaksa diri untuk berbuat sebaik-baiknya terhadap tamu-tamunya, karena ia tahu bahwa tamu-tamunya itu merupakan orang-orang yang dihormati pula oleh Ki Gede Menoreh.
Meskipun demikian, Prastawa tidak berbuat banyak. Dipersilahkan saja tamunya duduk di pendapa. Beberapa lamanya ia duduk bersama mereka. Namun kemudian keduanya itu telah ditinggalkannya di pendapa. Hanya kadang-kadang saja ia kembali duduk bersama mereka. Namun sebentar kemudian, ia telah meninggalkannya pula.
Akhirnya Glagah Putih tidak telaten. Maka diajaknya Sabungsari turun dan duduk digardu bersama pengawal yang bertugas. Ketika Prastawa mengetahuinya, maka iapun telah menemani mereka digardu pula.
Rasa-rasanya Agung Sedayu telah pergi ke barak terlalu lama. Ingin rasanya Glagah Putih menyusul mereka. Tetapi pesan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh, agar ia tidak pergi kemanapun juga.
Dalam pada itu. Agung Sedayu dan orang-orang tua yang mengantarkannya telah mengejutkan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Branjangan telah mengenal mereka semuanya dengan sebaik-baiknya. Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura. Orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang lain.
"Aku ingin menghadap Ki Lurah," berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Lurah benar-benar menjadi berdebar-debar. Dipersilahkannya mereka masuk kedalam sebuah ruangan khusus yang biasa dipergunakan oleh Ki Lurah untuk menerima tamu-tamunya.
Setelah mereka duduk sejenak, serta setelah Ki Lurah Branjangan bertanya sebagai hal mengenai keselamatan mereka yang jarang ditemuinya, maka Agung Sedayupun mulai mengatakan maksud kedatangan mereka.
"Jadi kau akan meninggalkan tugasmu lagi untuk beberapa hari?" bertanya Ki Lurah.
"Ya," berkata Agung Sedayu, "kami datang untuk memberi tahukan hal itu. Aku akan pergi ke Jati Anom untuk beberapa hari."
"Berapa hari kau perlukan untuk pelaksanaan perkawinanmu itu," bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Secukupnya," jawab Agung Sedayu.
"Ya. Yang kau maksud secukupnya itu berapa hari," desak Ki Lurah.
"Lebih baik tidak menyebutnya," jawab Agung Sedayu, "agar dengan demikian aku tidak terikat kepada batasan yang mungkin tidak dapat aku tepati."
Wajah Ki Lurah Branjangan menegang. Jawaban itu terdengar aneh ditelinganya.
Namun dalam pada itu, Ki Widura yang pernah menjadi seorang Senapati itupun menjawab, "Ki Lurah. Baiklah aku memberikan ancar-ancar batasan waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu. Hari perkawinannya masih akan berlangsung kira-kira dua pekan lagi. Kemudian ia akan beristirahat setengah bulan setelah hari perkawinannya. Dengan demikian, maka waktu yang kira-kira diperlukan adalah satu bulan."
Ki Lurah Branjangan memandang Ki Widura dengan tajamnya. Dengan ragu-ragu ia kemudian berkata, "jadi waktu yang diperlukan kira-kira satu bulan?"
"Ya," jawab Ki Widura.
"Ki Widura," berkata Ki Lurah Branjangan, "waktu yang Ki Widura sebutkan itu membuat aku menjadi gelisah. Aku kira Ki Widura yang juga pernah menjadi seorang prajurit akan dapat menarik pengalaman selama bertugas. Apakah Ki Widura pernah memberikan kesempatan kepada seseorang untuk meninggalkan tugasnya selama satu bulan" Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini?"
Ki Widura menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Selagi aku menjadi seorang Senapati, aku hanya memberikan waktu sepekan kepada prajurit-prajuritku yang melangsungkan perkawinannya."
"Nah, bukankah dengan demikian Ki Widura sudah mendapat gambaran tentang kemungkinan waktu yang dapat aku berikan kepada Agung Sedayu," jawab Ki Lurah Branjangan.
"Persoalannya agak berbeda. Kedudukan Agung Sedayu dan kedudukan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung waktu itu memang agak berbeda," jawab Ki Widura.
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya.
Dengan nada yang tinggi ia kemudian berkata, "Aku tidak akan dapat menentukan. Aku akan melaporkannya kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Aku tahu, bahwa Agung Sedayu memang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Sutawijaya, sehingga aku akan mengalami kesulitan untuk mengambil satu sikap terhadapnya."
Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu menjawab, "Kami juga sudah merencanakan untuk singgah di Mataram. Mungkin persoalannya akan dapat kami bicarakan dengan Raden Sutawijaya."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Gringsing berkata, "benar Ki Lurah. Kami memang akan singgah. Mungkin tidak sepantasnya kami mengundang Raden Sutawijaya pada hari hari perkawinan Agung Sedayu, dan mungkin pula tidak seharusnya kami memberitahukan hal itu. Namun mengingat hubungan kami dengan Raden Sutawijaya sebelumnya, serta segala kebaikan hatinya, maka kami akan singgah sekedar memberitahu. Kami sama sekali tidak berminat untuk mengundangnya secara resmi, mengingat kedudukan kami."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tidak banyak orang yang demikian dekat dengan Raden Sutawijaya. Sudah tentu selain para pembantunya.
Tetapi dengan Agung Sedayu, diluar kedudukannya sebagai Senapati Ing Ngalaga mempunyai hubungan yang khusus sehingga dalam kedudukannya Agung Sedayu tetap merupakan orang yang mempunyai kedudukan yang khusus bagi Raden Sutawijaya.
Karena itu, maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Kiai, sebaiknya justru aku menunggu perintah dari Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Namun aku ingin memperingatkan, bahwa dalam kemelut yang menjadi semakin panas ini, agaknya sulit untuk menunda segala persiapan dengan satu bulan. Mungkin dalam waktu satu bulan itu keadaan sudah menjadi semakin parah. Sementara anak-anak di barak ini masih perlu dipersiapkan jauh lebih baik lagi. Kita tahu bahwa yang dipersiapkan Pajang, pada dasarnya adalah prajurit-prajurit yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu keprajuritan. Tetapi anak-anak di barak itu adalah orang-orang baru sama sekali dalam dunia keprajuritan itu."
"Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang sudah memiliki bekal kemampuan secara pribadi," Ki Widuralah yang menyahut, "menurut pengalaman, mereka yang telah memiliki kemampuan secara pribadi tidak akan terlalu sulit mengikuti latihan-latihan dalam olah keprajuritan. Mereka akan cepat siap dan setelah mendapatkan dasar-dasar pengetahuan keprajuritan itu, maka dengan cepat pula mereka akan meningkat."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berkata, "Baiklah. Segalanya terserah kepada Raden Sutawijaya. Aku menunggu perintahnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Ki Gede maka Ki Gede itupun berkata, "Sebenarnya bukan hanya barak ini yang menunggu kedatangan angger Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi seluruh Tanah Perdikan mengharapkannya. Namun aku memang tidak dapat bersikap lain kecuali menunggu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Kami mengerti Ki Gede. Tetapi selama itu, Tanah Perdikan tentu akan bergerak terus. Baling-baling yang sudah berputar, akan berputar terus, selama masih ditiupkan nafas penggeraknya. Dan Ki Gede akan dapat melakukannya meskipun Agung Sedayu tidak ada di Tanah Perdikan ini."
"Ya. Aku berharap demikian," jawab Ki Gede.
Dengan demikian, maka pembicaraan dengan Ki Lurah Branjangan itupun sudah dianggap selesai. Ki Lurah akan menunggu perintah dari Raden Sutawijaya, setelah Agung Sedayu menghadapnya di Mataram.
Para tamu Ki Lurah itupun kemudian mohon diri. Agung Sedayu masih ingin bertemu dengan beberapa orang anak muda yang berada didalam barak itu. Ia langsung akan berpamitan untuk beberapa lama karena keperluan pribadinya.
"Aku tidak tahu, kapan aku akan kembali. Aku akan menghadap Senapati Ing Ngalaga untuk menerima perintahnya," berkata Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu.
Tetapi Agung Sedayu merasa, bahwa dengan jujur anak-anak muda itu mengharap Agung Sedayu segera kembali dan berada di tengah-tengah mereka. Nampaknya bagi anak-anak muda itu. Agung Sedayu adalah orang yang paling sesuai dengan mereka. Ilmunya yang mumpuni memberikan keyakinan yang pasti pada anak-anak muda itu atas bimbingan dan tuntunannya. Sementara itu, umurnya yang tidak berselisih dengan mereka yang memasuki barak itu, membuat hubungan mereka menjadi akrab. Apalagi sifat dan sikap Agung Sedayu yang ternyata dapat memikat anak-anak muda itu, sebagaimana hubungan diantara kawan sendiri. Meskipun dalam beberapa hal, anak-anak muda itu tetap menghormati dan mengagumi Agung Sedayu.
Namun, bagaimanapun juga Agung Sedayu tidak akan dapat berbuat banyak. Ia memang harus meninggalkan barak itu dan berada beberapa lama di Jati Anom menjelang hari perkawinannya. Sementara itu, setelah hari-hari perkawinan itu selesai, maka iapun tidak akan dapat dengan serta merta meninggalkan Sangkal Putung. Apalagi jika Sekar Mirah akan ikut bersamanya.
Tetapi semuanya itu akan dipikirkannya kemudian. Bersama orang-orang tua itu, mereka akan menghadapi Raden Sutawijaya. Karena sebenarnyalah Kiai Gringsing juga berharap untuk mendapat sedikit gambaran, apakah hubungan antara Pajang dan Mataram itu menjadi semakin buruk atau masih dalam suasana yang meskipun bertambah panas, namun masih tidak akan terjadi sesuatu dalam waktu yang dekat. Tentu saja berdasarkan perhitungan pihak Mataram. Segala sesuatu diluar perhitungan itu memang dapat terjadi. Dan Kiai Gringsingpun yakin bahwa Matarampun telah memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi diluar perhitungan itu.
Kiai Gringsing dan orang-orang tua yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu masih bermalam satu malam lagi. Baru di hari berikutnya mereka akan kembali ke Jati Anom bersama Agung Sedayu.
"Aku akan datang sehari sebelum hari yang ditentukan," berkata Ki Gede, "aku akan ikut mengiringkan Agung Sedayu dari Jati Anom ke Sangkal Putung."
"Tidak," jawab Ki Widura, "aku kira pembicaraan kita tidak begitu. Agung Sedayu akan berada di Sangkal Putung sepekan sebelumnya. Sebagaimana kebiasaan calon pengantin laki-laki. Tetapi waktunya saja yang diperpendek. Tidak selapan, tetapi hanya sepekan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Jadi, jika aku datang sehari sebelumnya, aku akan pergi ke Sangkal Putung tanpa pengantin laki-laki."
"Ya," jawab Ki Widura, "orang-orang tua akan pergi ke Sangkal Putung pada pagi hari menjelang hari perkawinan. Ki Demang akan meminjam sebuah rumah yang diperuntukkan bagi Agung Sedayu dan orang-orang tua yang datang dari Jati Anom. Di tempat itu Agung Sedayu akan dirias menjelang upacara ketemu di sore harinya, diiringi oleh orang-orang tua dari Jati Anom."
Kiai Gringsing kemudian menyambung, "Jika Ki Gede datang di Jati Anom sehari sebelumnya, kita akan pergi bersama-sama ke Sangkal Putung."
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat gambaran apa yang akan dilakukan oleh orang-orang tua di Jati Anom. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Aku akan datang bersama-sama orang-orang tua dari Jati Anom, seolah-olah aku adalah keluarga dari pengantin laki-laki."
Demikianlah maka menjelang pagi, para tamu Ki Gede itu sudah siap. Merekapun meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Sebagaimana yang mereka rencanakan, maka mereka akan singgah di Mataram. Kecuali untuk minta ijin barang satu bulan, Agung Sedayupun ingin mendapat sedikit gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi menurut perhitungan Mataram. Meskipun diantara mereka terdapat Sabungsari, tetapi Agung Sedayu yakin bahwa Sabungsari tidak akan berbuat menyangkut pasukan yang dipersiapkan oleh Pajang. Meskipun Sabungsari juga seorang prajurit Pajang, tetapi dalam kedudukannya sebagai prajurit Pajang yang ditugaskan di Sangkal Putung, dibawah pimpinan Untara, maka Sabungsari akan selalu menyesuaikan diri dengan perintah Untara dan lebih dari itu. Sabungsari akan bersikap khusus terhadap Agung Sedayu.
Demikianlah, maka iring-iringan itu tidak mendapat hambatan apapun di perjalanan. Mereka langsung memasuki gerbang kota Mataram yang sedang berkembang itu, menuju ke rumah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.
Kedatangannya pada hari yang masih terhitung pagi itu memang mengejutkan para pengawal. Bahkan Raden Sutawijaya yang kemudian diberitahupun menjadi terkejut pula.
"Sepagi ini mereka sudah sampai disini," desis Raden Sutawijaya.
Sebenarnyalah matahari memang belum begitu tinggi Panasnya masih belum begitu terasa.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah diterima langsung oleh Raden Sutawijaya dan Ki Juiu Martani. Mereka duduk di pendapa dalam sebuah lingkaran diatas tikar pandan yang putih.
Setelah Raden Sutawijaya dan Ki Juru bertanya tentang keselamatan mereka diperjalanan, maka agaknya Raden Sutawijaya yang ingin segera mengetahui kepentingan mereka itupun bertanya, "Apakah kalian datang dari Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya," jawab Kiai Gringsing, "kami pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjemput Agung Sedayu."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Waktunya sudah semakin dekat bagi Agung Sedayu."
Raden Sutawijaya segera menangkap maksud Kiai Gringsing. Karena itu sambil tertawa ia berkata, "Sokurlah. Dengan demikian maka kegelisahannya akan segera berakhir."
Agung Sedayu memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya. Yang penting baginya adalah keterangan tentang keadaan dan ijin untuk meninggalkan barak itu sebulan lamanya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsinglah yang kemudian menyampaikan persoalan Agung Sedayu sebagaimana yang sudah dikatakannya kepada Ki Lurah Branjangan. Agung Sedayu mohon waktu sebelum dan sesudah hari perkawinannya kira-kira sebulan lamanya.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Ya, kenapa" Seolah-olah Kiai telah minta ijin kepadaku."
Kiai Gringsing menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Bukankah seharusnya Agung Sedayu memang minta ijin" Kami sudah menghubungi Ki Lurah Branjangan dan minta ijin kepada Ki Lurah. Namun karena Ki Lurah menganggap bahwa waktu yang satu bulan itu terlalu panjang, maka segalanya terserah kepada Raden. Radenlah yang akan memutuskannya dan Ki Lurah akan menunggu perintah."
Raden Sutawijaya tertawa. Sambil memandang Ki Juru, ia berkata, "Paman. Ternyata bahwa Ki Lurah keliru memberikan arti kedudukan Agung Sedayu."
Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi agaknya iapun masih memerlukan penjelasan.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya berkata, "Sebenarnyalah aku tidak berwenang untuk memberikan ijin kepada Agung Sedayu. Aku telah mendapat banyak pertolongan dan kesediaannya membantu aku, khususnya dalam menangani pasukan itu. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada Agung Sedayu. Aku tidak akan dapat melarangnya jika memang dikehendakinya. Sebaliknya aku tidak akan dapat memberikan perintah apapun jika ia tidak ingin melakukannya. Yang dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh adalah satu kesediaan untuk menolong aku. Dan aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Karena itu, jika Agung Sedayu mempunyai kepentingan bagi dirinya sendiri, meskipun sifatnya sangat pribadi, maka sudah barang tentu aku akan mempersilahkannya. Meskipun dengan penuh harapan, bahwa Agung Sedayu akan bersedia membantu aku lagi diwaktu mendatang. Tetapi sudah tentu, bahwa aku tidak akan dapat membatasi waktu yang dikehendaki. Sepekan, dua pekan atau sebulan."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menatap wajah Ki Widura yang sedang menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-angguk maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Terima kasih Raden. Namun bagaimanapun juga, kesediaan Agung Sedayu untuk menjalankan tugas yang Raden berikan di Tanah Perdikan Menoreh, telah mengikatnya pada suatu kewajiban tertentu. Karena itu, adalah bagian dari kewajibannya pula untuk minta ijin jika ia berhalangan untuk melakukan kewajibannya itu."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Bibirnya masih membayangkan senyum. Katanya, "Baiklah Kiai, akulah yang harus berterima kasih. Jika Agung Sedayu menganggap bahwa ia berkewajiban untuk minta ijin kepadaku, dan bukan sekedar memberi tahu, maka sudah tentu aku tidak akan berkeberatan. Aku termasuk salah seorang yang menganjurkannya agar perkawinan itu segera dilakukan. Aku akan mengucapkan selamat dan jika diperlukan, membantu apa saja yang dapat aku lakukan untuk kepentingan hari-hari perkawinan itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun terasa didalam dada Agung Sedayu sesuatu yang bergetar. Nampaknya Raden Sutawijaya memang tidak berkeberatan sama sekali. Bahkan seakan-akan ia merasa tidak berhak untuk melarang atau mengurangi waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu agak kurang mengerti, apakah yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya itu benar-benar seperti arti kata-katanya itu mempunyai makna yang sebaliknya.
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi gelisah. Keringatnya mengalir membasahi pakaiannya.
Ternyata bahwa anak muda yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senapati Ing Ngalaga itu mempunyai pengaruh yang kuat didalam diri Agung Sedayu. Mereka sama-sama muda dan sama-sama memiliki ilmu yang luar biasa. Namun terasa bahwa kedudukan, sikap dan pribadi Senapati Ing Ngalaga mempunyai wibawa yang sangat besar sehingga Agung Sedayu benar-benar menghormatinya.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu telah berkata, "Raden. Aku memang mohon waktu sebulan untuk saat-saat yang sangat penting bagiku. Namun jika segala sesuatunya dapat aku anggap selesai lebih cepat, maka akupun akan mempercepat waktu yang satu bulan itu."
Raden Suatwijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Widura dan Ki Waskitapun dapat meraba gejolak perasaan anak muda itu.
Namun mereka sama sekali tidak berkeberatan atas pernyataan Agung Sedayu itu, sehingga Kiai Gringsingpun kemudian justru menyambung, "Waktu itu adalah sekedar batasan longgar agar Agung Sedayu tidak merasa dikejar oleh kesanggupannya pada saat-saat penting baginya. Mungkin Raden Suatwijaya serba sedikit dapat mengetahui sifat dan tabiat bakal isteri Agung Sedayu. Masalahnya memang terlalu pribadi bagi Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu tidak akan dapat memisahkan dengan lingkungan, kewajiban dan dalam hubungan dengan kepentingan pribadinya dengan mutlak."
Dalam pada itu Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Kiai. Dan akupun telah menyatakan sebagaimana aku katakan. Bukan sekedar pernyataan untuk melengkapi tatanan unggah-ungguh saja, yang sebenarnya bertentangan dengan kata hatiku yang sebenarnya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun rasa rasanya ia justru mendapat kesempatan untuk menjajagi keadaan. Karena itu, maka katanya, "Sebenarnya seperti yang dikatakan oleh angger Agung Sedayu, dalam keadaan yang khusus maka ia akan dapat memperpendek waktu yang dimohon itu. Khususnya dalam hubungannya dengan keadaan yang kurang menentu sekarang ini."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya tanpa ragu-ragu, "Dalam hubungan kami dengan Pajang?"
Kiai Gringsinglah yang ragu-ragu. Tetapi ia menjawab, "Ya Raden. Persiapan-persiapan yang khusus dilakukan oleh Pajang, meskipun masih harus dimengerti, apakah hal itu benar-benar dikehendaki oleh Kangjeng Sultan atau oleh orang-orang tertentu, telah menimbulkan beberapa pertimbangan atas hari-hari perkawinan Agung Sedayu. Sangkal Putung yang terletak di garis hubungan antara Pajang dan Mataram itu rasa-rasanya tidak akan dapat terhindar dari pengaruh langsung hubungan antara Pajang dan Mataram."
Namun jawab Raden Sutawijaya ternyata tidak menggelisahkan. Katanya, "Aku tidak melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat mengganggu hari-hari perkawinan itu. Bukankah waktunya sudah sangat dekat" Jika yang dimaksud oleh Agung Sedayu, apakah waktunya yang satu bulan itu akan berpengaruh, maka akupun berharap bahwa kami benar-benar dapat memberikan waktu sebagaimana dikehendaki."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sementara itu, terasa di hati Agung Sedayu, betapa ia menganggap dirinya orang yang sangat penting. Seandainya ia tidak kembali sebulan lagi atau bahkan tidak kembali sama sekali ke Tanah Perdikan Menoreh, atau ia tetap kembali ke Tanah Perdikan itu tetapi tidak kembali memasuki barak itu, apakah akan berarti bahwa persiapan Raden Sutawijaya dengan pasukan khususnya menjadi terganggu"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Raden Sutawijaya tentu mempunyai pandangan yang cukup luas menghadapi masa depannya. Agung Sedayu hanya salah seorang yang dapat membantunya. Tetapi Mataram dengan pasukan khusus itu, sama sekali tidak tergantung kepadanya.
Sehingga seolah-olah Raden Sutawijaya itu berkata, "Kami tidak tergantung kepada seseorang."
Namun dalam pada itu, segala pertimbangan itupun kemudian patah oleh kata-kata Raden Sutawijaya, "Nah, menghadapi hari-hari perkawinan itu, jika ada sesuatu yang kau perlukan, jangan segan-segan mengatakan kepadaku Agung Sedayu. Aku akan membantu seperti yang sudah aku katakan. Meskipun aku yakin, bahwa segala sesuatunya tentu sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Widura."
Agung Sedayu mepgangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Raden. Sebenarnyalah jika kami memerlukan, kami tidak akan segan-segan menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya."
Raden Sutawijaya tersenyum. Sementara itu, hidangan yang telah tersedia itupun menjadi semakin dingin, sehingga Raden Sutawijayapun telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk menikmatinya.
Dalam pada itu, selagi mereka meneguk minuman dan mengunyah makanan, mereka masih saja berbincang tentang hari-hari perkawinan itu. Namun yang mereka bicarakan kemudian adalah persoalan-persoalan yang menyangkut pelaksanaan hari perkawinan itu sendiri.
Baru beberapa saat kemudian. Kiai Gringsing dan sekelompok kecilnya telah minta diri kepada Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. Mereka akan melanjutkan perjalanan kembali ke Jati Anom.
"Aku tidak berusaha menahan kalian kali ini," berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum, "karena aku tahu, bahwa kalian akan segera mengadakan persiapan-persiapan seperlunya."
Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Bahkan Widura menyahut, "Tidak ada yang dipersiapkan Raden."
Tetapi Raden Sutawijaya justru tertawa. Katanya, "Tentu ada yang dipersiapkan."
"Bermacam-macam." berkata Kiai Gringsing.
"Jika kita mendapat keterangan yang berbeda, bahkan berlawanan sehingga kita mengambil kesimpulan, bahwa akan ada gerakan tertentu dalam sebulan ini, kita bukan saja dapat berhati-hati, tetapi kita wajib memberikan keterangan itu kepada Raden Sutawijaya," berkata Ki Waskita.
Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya mereka berpaling kepada Sabungsari yang berkuda di belakang bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Sabungsari itupun sama sekali tidak memperhatikan mereka.
"Anak itu tidak akan berbuat apa-apa yang dapat menyulitkan kita," berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi bagaimanapun juga ia seorang prajurit Pajang," berkata Ki Waskita.
"Tetapi pada saat-saat terakhir, angger Untara berusaha menilai keadaan dengan sebaik-baiknya. Sikapnya itu ternyata mempengaruhi sikap prajurit-prajuritnya. Tetapi tidak mustahil bahwa diantara prajurit dan perwira dibawah Untara ada orang-orang seperti Ki Pringgajaya," berkata Ki Widura.
"Agaknya hal itu disadari oleh angger Untara," berkata Kiai Gringsing, "ia tidak akan terjerat untuk kedua kalinya oleh orang-orang seperti Ki Pringgajaya itu. Karena itu, agaknya kepercayaan-kepercayaan Untara berada di segala lingkungan didalam pasukannya."
"Tidak termasuk Sabungsari?" bertanya Ki Waskita.
"Agaknya tidak termasuk Sabungsari," jawab Kiai Gringsing, "Untara masih berhati-hati memandang anak yang lebih sering berada di padepokan itu di waktu senggangnya."
Demikianlah, sambil berbincang iring-iringan itupun semakin mendekati Jati Anom. Mereka meninggalkan jalan yang mereka ikuti dari Mataram dan berbelok turun ke jalan yang lebih kecil menuju ke kaki Gunung Merapi.
Setelah melalui jalan di pinggir hutan yang tidak begitu lebat, maka merekapun menjadi semakin dekat dengan padepokan mereka. Padepokan kecil yang sepi.
"Peralatan perkawinan adalah kerja yang sangat melelahkan. Tetapi bukan bagi pengantinnya."
Ki Widura tertawa pula. Yang lainpun tersenyum. Tetapi Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
Kelompok kecil yang akan pergi ke Jati Anom itupun kemudian meninggalkan Mataram. Di halaman, Raden Sutawijaya masih sempat berbisik kepada Ki Widura, "Aku akan melihat suasana. Mungkin aku akan datang meskipun tidak diundang. Tetapi mungkin aku tidak dapat datang. Bukan karena aku tidak diundang, tetapi karena sebab-sebab lain karena bagiku diundang atau tidak diundang sama saja artinya."
Ki Widura mengerutkan keningnya. Iapun menjawab lirih, "Kami merasa terlalu kecil untuk mengundang Raden."
"Kalian selalu merendahkan diri. Tetapi seperti yang aku katakan, diundang atau tidak, aku akan tetap datang. Jika tidak, tentu karena sebab-sebab yang lain, bukan karena tidak diundang itu."
Ki Widura menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah maka iring-iringan kecil itupun telah meninggalkan Mataram langsung menuju ke Jati Anom. Ketika mereka melintasi kedai yang terbakar itu, maka jelaslah, bahwa kedai itu telah melibatkan baik Agung Sedayu dan Ki Waskita, maupun Kiai Gringsing dan Ki Widura kedalam persoalan yang ada sangkut pautnya tanpa mereka sadari.
Tidak ada persoalan di perjalanan kembali. Ketika mereka melihat bahwa kedai yang terbakar itu sudah mulai dibersihkan oleh beberapa orang tetangga-tetangganya, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Mudah-mudahan warung itu akan segera dapat dibuka kembali."
Namun dalam pada itu, diperjalanan kembali itu. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Ki Waskita bersetuju, bahwa menurut pembicaraan mereka dengan Raden Sutawijaya, agaknya Mataram belum melihat bahwa kemelut antara Pajang dan Mataram akan mencapai puncaknya dalam sebulan mendatang.
"Tetapi kita harus melihat dari sudut Pajang," namun terasa sejuk dan tenang.
Kehadiran mereka di padepokan itu telah membuat para cantrik yang tidak banyak jumlahnya itu menjadi gembira. Mereka merasa terlalu sepi selama waktu yang panjang, sejak Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, sementara Kiai Gringsing lebih banyak berada di Sangkal Putung dan menurut pengertian mereka, Glagah Putih sering berada di Banyu Asri.
"Aku akan berada disini untuk beberapa pekan," berkata Agung Sedayu kepada para cantrik.
"Tentu tidak," jawab seorang cantrik, "kau akan segera berada di Sangkal Putung menjelang hari-hari perkawinanmu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara cantrik itu tersenyum sambil berkata, "Kau kira aku tidak tahu bahwa hari-hari perkawinanmu sudah menjadi sangat dekat?"
Agung Sedayu tersenyum. Hal itu memang bukan rahasia, sehingga tidak mustahil bahwa para cantrik dan kawan-kawannya dari Jati Anom telah mendengarnya.
Dalam pada itu, maka Untarapun tidak dapat mengelakkan tugasnya sebagai saudara tua Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun mulai memikirkan apa yang akan dilakukannya pada waktu dekat. Iapun memikirkan apa yang mungkin terjadi pada saat-saat perkawinan Agung Sedayu karena Untarapun menyadari, bahwa banyak pihak yang justru memusuhi Agung Sedayu.
"Tetapi sumbernya sudah jelas," berkata Untara kepada diri sendiri, "ada orang-orang tertentu yang ingin menyingkirkannya. Orang itulah yang menghubungi pihak manapun juga untuk melaksanakan maksudnya."
Untarapun tidak menutup mata tentang hubungan Agung Sedayu dengan Mataram. Dan Untarapun sebenarnya tidak terlalu bodoh untuk tidak mengerti sikap adiknya. Tetapi Untarapun juga tidak terlalu bodoh untuk tidak mengerti, sikap beberapa orang di Pajang. Sehingga dengan demikian, maka ia harus menentukan sikapnya.
Karena itulah, maka dengan diam-diam Untara menempatkan kepercayaannya di antara para prajurit di Pajang dengan dalih apapun juga. Bahkan satu dua orang prajurit yang sudah ditarik kembali ke Jati Anom masih ada juga yang dengan suka rela telah bekerja untuk kepentingan Untara yang dikaguminya.
Dalam pada itu, justru pada saat Agung Sedayu kembali dari Tanah Perdikan Menoreh, Untara telah mendapat keterangan yang agak menggelisahkan. Orang-orang Pajang ternyata menaruh banyak perhatian kepada hari perkawinan Agung Sedayu.
"Apakah mereka pernah membicarakan secara khusus," bertanya Untara kepada seorang sahabatnya. Seorang perwira muda yang sudah ditarik dan bertugas di Pajang. Namun yang masih tetap dalam persahabatan dengan Untara.
"Ya," jawab perwira yang pernah menjadi pembantu Untara itu, "justru orang-orang yang dekat dengan Tumenggung Prabadaru."
Untara mengerutkan keningnya. Ia menjadi berdebar-debar. Sementara itu perwira muda itu berkata lebih lanjut, "Nampaknya mereka memang sudah memperbincankannya dengan Tumenggung Prabadaru."
Untara mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, "Bagaimana menurut pertimbanganmu?"
"Tidak ada salahnya jika kau tempatkan pasukanmu disekitar Sangkal Putung," berkata Untara.
"Terbuka?" bertanya Untara.
"Ada baiknya. Dengan demikian maka jika ada satu kelompok orang yang berniat buruk, harus memperhitungkan kemungkinan untuk menghadapi prajurit Pajang. Sebenarnya prajurit Pajang," jawab perwira itu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi apakah kata orang tentang tingkah lakuku. Aku telah mempergunakan kedudukanku untuk kepentingan pribadi. Bukankah tidak ada alasan bahwa Agung Sedayu mendapat pengawalan pasukan Pajang yang bertugas di Jati Anom pada hari-hari perkawinannya."
"Kau tidak mengawal adikmu yang kawin itu. Tetapi kau menyiapkan pasukan untuk menjaga ketertiban, karena kau mendengar berita bahwa kerusuhan akan terjadi," berkata perwira itu.
"Tetapi tidak semata-mata melindungi seseorang yang sedang melangsungkan perkawinannya. Aku dapat meningkatkan perondan dan menempatkan beberapa orang di luar Sangkal Putung. Tetapi justru tidak di Sangkal Putung sendiri."
"Itu terserah kepadamu. Tetapi menurut pendapatku, pengamanan pada saat-saat perkawinan itu penting sekali. Meskipun di Sangkal Putung itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi mungkin yang akan datang mengacaukan acara perkawinan itu jumlahnya cukup banyak. Mereka tentu memperhitungkan kekuatan para pengawal Kademangan yang cukup kuat. Tetapi akan ada pengaruhnya, jika mereka berhadapan dengan para prajurit Pajang sendiri," berkata perwira muda itu.
Untara mengangguk-angguk. Desisnya, "Terima kasih. Aku akan mempertimbangkannya. Mungkin aku akan memberitahukan hal ini kepada orang-orang tua yang selalu berada disekitar Agung Sedayu. Kiai Gringsing, paman Widura, Ki Waskita dan barangkali juga Swandaru."
"Kau dapat memberitahukan hal ini kepada mereka. Tetapi jangan memberikan kesan, bahwa kalian sudah mendengar rencana ini agar mereka tidak mencari orang-orang di Pajang yang mungkin memberitahukan hal ini kepada pihak Agung Sedayu."
"Aku mengerti," jawab Untara, "sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih."
Ternyata bahwa rencana itu benar-benar telah menggelisahkan Untara. Bagaimanapun juga, ia tidak menghendaki bahwa perkawinan itu akan menjadi kacau balau. Kemudian disusul dengan genangan darah dan air mata.
Dalam pada itu, pada hari kedatangan Agung Sedayu di Jati Anom, Widura telah langsung pergi menemui Untara di Jati Anom. Ia memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah berada di padepokannya.
"Sokurlah," berkata Untara kemudian, "dengan demikian kita tidak lagi digelisahkan oleh anak itu. Pada saatnya kita akan membawanya ke Sangkal Putung, karena ia akan berada di Sangkal Putung sebelum saat-saat perkawinannya."
"Ya," jawab Widura, "sepekan sebelumnya."
Untara mengangguk-angguk. Ada keragu-raguan padanya untuk memberitahukan kemungkinan yang dapat terjadi pada saat-saat hari perkawinan Agung Sedayu. Namun akhirnya Untara mengambil kesimpulan, bahwa lebih baik berjaga-jaga daripada tiba-tiba saja mereka dihadapkan kepada satu peristiwa yang dapat mengejutkan mereka sehingga mereka mengambil satu tindakan dengan tergesa-gesa dan akibatnya kurang menguntungkan.
Karena itu, maka akhirnya Untarapun menyampaikannya kepada Widura seperti yang didengarnya dari seorang perwira yang pernah menjadi bawahannya dan bersedia membantunya, memberikan beberapa keterangan tentang perkembangan Pajang kepadanya, khususnya menghadapi perkawinan Agung Sedayu.
Widura mengerutkan keningnya. Dengan nada cemas ia bertanya, "Menurut pendapatmu apakah hal itu memang mungkin akan terjadi?"
"Mungkin saja paman. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, tindakan apa saja yang akan mereka ambil. Jika hal itu sudah mereka bicarakan dengan Tumenggung Prabadaru, maka mereka akan bersungguh-sungguh."
Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, "Apakah kau akan mengambil langkah-langkah tertentu?"
"Mungkin aku akan menempatkan orang-orangku disekitar Kademangan Sangkal Putung, sementara aku dapat meningkatkan perondan yang bergerak antara satu padukuhan kelain padukuhan," jawab Untara, "tetapi aku tidak dapat dengan semata-mata mengerahkan pasukan untuk menjaga saat-saat perkawinan Agung Sedayu, agar aku tidak akan dituduh menyalah gunakan jabatanku, karena sebenarnya memang tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengerahkan prajurit Pajang menjaga ketertiban pada saat perkawinannya."
Widura mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa seorang yang tidak mempunyai kedudukan apapun juga seperti Agung Sedayu memang tidak pada tempatnya mendapat pengawalan prajurit-prajurit Pajang pada saat hari perkawinannya. Namun demikian Ki Widurapun bertanya, "Untara. Apakah menurut pendapatmu. Tumenggung Prabadaru atau orang yang akan ditunjuk, akan bergerak dengan kelompok prajurit Pajang atau bahkan pasukan khusus yang telah dibentuk itu?"
"Itulah yang masih belum dapat aku katakan paman," jawab Untara, "tetapi aku kira. Pajang tidak akan dengan terang-terangan memusuhi Sangkal Putung. Pajang tidak mempunyai alasan yang kuat. Seandainya Sangkal Putung dianggap salah pada satu sikap tertentu. Pajang akan memerintahkan aku untuk berbuat sesuatu."
"Jadi menurut dugaanmu, mungkin sekali yang akan terjadi itu tidak atas nama Pajang" Meskipun seandainya satu pasukan mengepung dan menyerang Sangkal Putung yang terdiri dari pasukan khusus yang nggegirisi itu, namun pasukan itu tidak akan mempergunakan panji-panji pasukannya. Dan mereka tidak akan menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Pajang," berkata Widura.
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin memang demikian. Tetapi ada kemungkinan lain. Mereka mempergunakan orang-orang upahan seperti yang pernah terjadi."
Widura mengangguk-angguk. Iapun dapat mengerti sikap itu. Di Sangkal Putung akan berkumpul orang-orang yang dianggap oleh Tumenggung Prabadaru dan kawan-kawannya, akan menghalangi segala rencananya untuk mewujudkan impian mereka tentang sebuah kekuasaan yang meliputi daerah Majapahit lama beserta segala kemegahannya. Bahkan satu kumpulan yang akan dapat menjadi pendukung bangkitnya kekuasaan di Mataram.
"Sebelum mereka menghadapi Mataram yang sebenarnya, maka menghancurkan Sangkal Putung adalah langkah pertama yang akan sangat menguntungkan," berkata Widura didalam hatinya. Lalu, "Sangkal Putung terletak di jalan menuju ke Mataram. Sementara orang-orang yang menjadi tumpuan kekuatan di Sangkal Putung akan berkumpul pada hari-hari perkawinan Agung Sedayu."
Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat membayangkan, jika Tumenggung Prabadaru mengambil jalan yang deinikian, maka benar-benar akan terjadi perang. Perang yang tidak kalah dahsyatnya dengan yang pernah terjadi di sela-sela Gunung Merapi dan Merbabu.
"Tetapi sementara itu paman," berkata Untara selanjutnya, "rencana yang sudah tersusun itu biarlah berjalan. Aku akan selalu berhubungan dengan kawan-kawanku di Pajang. Para perwira yang masih mempunyai sikap seorang prajurit. Aku berharap mereka akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya."
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Untara. Aku akan membicarakannya dengan orang-orang tua di padepokan kecil itu. Mungkin mereka mempunyai sikap tertentu yang dapat dipertimbangkan. Jalan yang paling baik untuk menghindari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi di Sangkal Putung."
"Tetapi paman harus tetap berpijak pada satu pengertian, aku adalah seorang prajurit Pajang. Karena itu, aku mempunyai sikap tertentu terhadap perkembangan keadaan. Juga hubungan antara Pajang dan Mataram, meskipun aku tidak harus dengan mata terpejam menanggapi perkembangan keadaan di Pajang itu sendiri," berkata Untara.
"Aku mengerti Untara. Aku juga bekas seorang prajurit. Tetapi kedudukanku pada waktu itu tidak sesulit kedudukanmu sekarang. Agaknya kau benar-benar dihadapkan pada satu guncangan sikap diantara para pemimpin di Pajang, sementara Kangjeng Sultan nampaknya sama sekali tidak ada usaha untuk mengatasinya," jawab Widura.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi Kangjeng Sultan Hadiwijaya tetap Sultan di Pajang yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan, apakah yang harus dilakukan oleh setiap prajurit Pajang. Mereka yang menentang perintah Sultan Hadiwijaya, jelas merupakan satu pemberontakan terhadap raja yang sah."
Widura mengangguk-angguk. Tetapi sikap Untara sudah jelas, meskipun pada suatu saat, mungkin sekali ia akan dihadapkan pada satu kesulitan untuk memilih langkah.
Demikianlah, maka Widurapun kemudian minta diri untuk kembali kepadepokan Agung Sedayu. Sementara itu, iapun telah berpesan, bahwa bagaimanapun juga, keluarga Agung Sedayu akan mempunyai kesibukan tertentu pada hari-hari perkawinan itu.
"Kau dapat memilih Untara," berkata Ki Widura, "segala-galanya dapat dilakukan disini, dirumah peninggalan orang tuamu, atau dirumahku di Banyu Asri, karena aku akan mewakili orang tua Agung Sedayu disamping kau, kakak kandungnya. Tetapi dapat juga dilakukan dirumah Agung Sedayu sendiri, jika padepokan itu dapat dianggap rumahnya."
"Aku kira lebih baik disini paman," jawab Untara, "rumah ini adalah rumahnya pula. Peninggalan ayah dan ibu. Orang-orang tua tetangga-tetangga kami akan menjadi saksi kesibukan kami, karena merekapun mengenal orang tua kami dengan baik."
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi apakah tidak akan terlalu sibuk justru karena rumah ini sudah dipergunakan untuk tempat tinggal beberapa orang perwira dan sekaligus menjadi tempat kau mengemudikan tugas-tugasmu disini."
"Bukankah untuk satu dua hari, kesibukan keprajuritan itu dapat dipindahkan," berkata Untara kemudian.
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku sudah mendapatkan bahan yang cukup. Aku akan selalu datang kemari. Jika kau sempat, kaupun dapat datang ke padepokan itu."
Widurapun kemudian meninggalkan rumah Untara. Ketika ia berada kembali di padepokannya, ia tidak segera mengatakan apa yang didengarnya dari Untara. Widura masih berusaha agar Agung Sedayu tidak terlalu cepat digelisahkan oleh bayangan-bayangan yang buram menjelang hari-hari perkawinannya.
Dengan demikian maka Widura akan mencari waktu yang paling baik untuk membicarakannya dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Hanya apabila orang-orang tua itu menganggap perlu sajalah. Agung Sedayu akan diberi tahu.
Demikianlah, maka akhirnya Widura mendapat kesempatan pula untuk berbicara dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita sebagaimana dikatakan oleh Untara tanpa diketahui oleh Agung Sedayu.
"Dimana Agung Sedayu ?" bertanya Ki Widura.
"Ia bersama Glagah Putih di Sanggar," jawab Kiai Gringsing, "nampaknya Sabungsari juga masih belum kembali kekesatuannya."
Ki Widura mengangguk-angguk. Karena biasanya Agung Sedayu berada di Sanggar bersama Glagah Putih memerlukan waktu yang cukup lama jika tidak ada keperluan yang lain. Maka Ki Widura dapat menjelaskan persoalannya dengan tidak tergesa-gesa.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Yang dikatakan oleh angger Untara itu memang tidak mustahil terjadi. Meskipun ujudnya akan dapat bermacam-macam. Mungkin dengan kasar sepasukan orang orang yang diupah akan menyerang Sangkal Putung. Mungkin sepasukan prajurit yang tidak dalam pakaian keprajuritan atau mungkin cara-cara yang lain yang akan dapat mengacaukan perkawinan itu. Tetapi agaknya bukan mengacaukan perkawinan itulah yang menjadi sasaran mereka. Agaknya orang-orang yang dianggap berbahaya bagi Tumenggung Prabadaru akan berkumpul di Sangkal Putung. Kesempatan itulah yang akan mereka pergunakan."
"Jika demikian nampaknya mereka akan bersungguh-sungguh," berkata Ki Waskita, "mereka tidak sekedar ingin mengacaukan upacara. Tetapi mereka benar-benar ingin membunuh."
"Segalanya baru dugaan," jawab Kiai Gringsing, "Karena itu, kita jangan terlalu cepat terjebak pada kesimpulan yang manapun juga, agar kita tetap memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Apakah Agung Sedayu sendiri tidak perlu mendapat penjelasan?"
"Nanti sajalah," berkata Widura, "agar ia tidak terlalu lama digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan itu. Bahkan mungkin Swandarupun harus diberi tahu pula agar ia dapat mempersiapkan pasukan pengawal Kademangan yang cukup kuat. Apalagi di Sangkal Putung ada Pandan Wangi dan calon pengantin perempuan itu sendiri."
Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Nampaknya beberapa pihak di Pajang menganggap bahwa Agung Sedayu dan orang-orang disekitarnya adalah orang-orang yang akan dapat menghalangi niat mereka. Terutama membersihkan jalan ke Mataram. Namun jika Untara dan pasukannya mempunyai sikap yang berbeda, maka orang-orang Pajang itu harus membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri.
Dengan demikian, untuk sementara orang-orang tua itu bersepakat untuk tidak memberi tahukan persoalan yang menggehsahkan itu kepada Agung Sedayu, karena mereka mau tidak mengganggu perasaan Agung Sedayu yang sudah cukup gelisah menghadapi hari-hari perkawinannya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu ternyata memanfaatkan waktunya yang ada bagi kepentingan Glagah Putih. Apalagi setelah Sabungsari kembali ke kesatuannya, maka Glagah Putih menjadi semakin sibuk berada didalam sanggar untuk mengetahui tanggapan Agung Sedayu bagi perkembangan ilmunya.
Sedangkan dengan kesibukan itu Agung Sedayu seolah-olah dapat melupakan kegelisahannya menghadapi hari-hari yang sangat penting dalam jalur perjalanan hidupnya.
Dalam pengamatan Agung Sedayu, ternyata Glagah Putih benar-benar telah mencapai tingkatan tertinggi sesuai dengan pertanda dan lambang-lambang yang terdapat dalam goa itu. Bahkan Agung Sedayupun menduga, seandainya puncak dari ilmu itu tidak dirusakannya, maka Glagah Putih tentu sudah merintis untuk menguasainya pula, meskipun ia memerlukan petunjuk atau pengalaman khusus untuk untuk memahami.
Karena itu, maka Agung Sedayu mulai mempertimbangkan, apakah ia akan memberikan petunjuk untuk mulai mempelajarinya.
"Waktuku hanya sedikit," berkata Agung Sedayu didalam dirinya, "sebentar lagi, aku harus sudah berada di Sangkal Putung. Dengan demikian maka Glagah Putih tentu akan menjadi kecewa."
Karena itu, maka Agung Sedayu mengambil keputusan untuk menunda saja sampai waktu-waktu yang akan datang apabila ia benar-benar mempunyai kemampuan yang cukup.
"Tetapi apakah pada hari-hari mendatang, aku tidak akan justru menjadi terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan yang sebelumnya tidak pernah aku pikirkan?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dalam kebimbangan itulah, akhirnya Agung Sedayu memutuskan, untuk memberikan pengarahan secukupnya kepada Glagah Putih. Apabila perlu, maka ia akan dapat memberikan petunjuk lewat gambar dan lambang-lambang dari ilmunya.
Sebenarnyalah, Glagah Putih memang mendapat keuntungan dari sikap Agung Sedayu yang ingin melupakan kegelisahannya itu. Hampir setiap saat keduanya berada di Sanggar. Sebagaimana direncanakan, maka Agung Sedayu mulai membuka pengamatan Glagah Putih menuju ke Puncak ilmunya.
Glagah Putihpun mulai merasa, bahwa ia sudah merambah pada satu tataran yang tidak dijumpainya pada gambar yang terpahat didalam goa itu. Ia mulai dengan tingkat yang lebih tinggi dan rumit, dengan laku yang lebih berat.
"Kau sudah hampir sampai kepuncak ilmumu Glagah Putih," berkata Agung Sedayu, "karena itu, diperlukan sikap yang lebih mapan. Bukan saja kesiapan jasmaniah, tetapi juga kesiapan rohaniah. Dengan demikian, jika benar-benar kau mencapai tataran tertinggi dan menguasainya, maka tidak akan terjadi goncangan-goncangan jiwani. Kau akan mapan lahir dan batin."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan setiap peningkatan ilmu, maka iapun merasa, bahwa ia semakin menjadi dewasa. Sehingga seperti yang diharapkan Agung Sedayu, jika ia menguasai ilmu puncaknya, maka ia harus benar-benar sudah mampu bertindak, berpikir dan bersikap dewasa sepenuhnya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu justru mengisi waktunya dengan kesibukan di sanggar. Namun ia tidak melupakan tugas-tugasnya yang pernah dilakukannya sebelum ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, memelihara sawah dan ladangnya.
Bahkan bagi Agung Sedayu, duduk dipematang disore hari menjelang senja merupakan satu kesenangan tersendiri. Langit yang berwarna kelabu kekuningan di sore hari memberi kesan kedamaian yang sejuk. Pelepah nyiur yang bergoyang ditiup angin di sepanjang padukuhan bagaikan melambai mengucapkan selamat menjelang mapan di pembaringan.
Glagah Putih yang biasanya ikut pula kesawah, ikut pula merenungi sejuknya angin senja. Langit yang berubah warna dengan cepat dan bintang yang kemudian satu-satu menggantung dilangit memang sangat menarik untuk diperhatikan.
"Air mulai berkurang," berkata Glagah Putih kepada Agung Sedayu yang sedang merenung.
"Tetapi masih mencukupi," sahut Agung Sedayu, "sawah ini sudah basah seluruhnya. Air mulai tergenang. Sebentar lagi kita dapat menutup pematang dan memberikan kesempatan kepada kotak-kotak sawah di bawah untuk mengairi tanamannya."
Glagah Putih mengangguk. Ia memang melihatnya. Sambil menggeliat Glagah Putihpun kemudian berdiri. Dipandanginya bulak disekitarnya. Bulak sawah yang hampir seluruhnya digarap dan bagi kepentingan padepokannya. Meskipun bulak itu tidak begitu luas, tetapi ternyata mencukupi bagi para penghuni padepokan kecil itu.
Namun Glagah Putih itupun kemudian mengerutkan keningnya. Ia melihat seseorang berdiri di jalan yang membelah bulak yang tidak begitu luas itu. Seseorang yang berdiri termangu-mangu.
"Kakang," desis Glagah Putih, "kau lihat orang itu."
Agung Sedayu berpaling kearah Glagah Putih yang memandang kesatu arah. Ketika Agung Sedayu ikut memandang ke arah pandangan Glagah Putih, maka dalam keremangan senja iapun melihat orang yang berdiri termangu-mangu itu.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu."
"Tentu bukan salah seorang cantrik dari padepokan kita," desis Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Memang bukan."
"Aku akan menyapanya," berkata Glagah Putih sambil melangkah.
Tetapi Agung Sedayu berkata, "Tunggulah."


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putih tertegun. Sementara itu Agung Sedayu berusaha untuk dapat melihat orang itu lebih jelas lagi dengan kemampuannya memusatkan indera penglihatannya.
Namun Agung Sedayupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Meskipun belum pasti, tetapi ia menduga bahwa orang itu adalah orang yang dikenalnya dengan baik.
"Apakah kakang mengenalnya?" bertanya Glagah Putih kemudian.
"Ya," Nampaknya kita sudah mengenalnya. "Marilah, kita mendekat," ajak Agung Sedayu.
Agung Sedayupun kemudian melangkah sepanjang pematang mendekati orang itu. Orang yang memang sudah dikenal dengan baik oleh Agung Sedayu.
"Pangeran Benawa," desis Agung Sedayu.
Orang itu tersenyum. Katanya, "Ternyata pengenalanmu tajam sekali Agung Sedayu."
"Bukan karena pengenalanku tajam. Bukankah aku sudah mengenal Pangeran dengan baik," sahut Agung Sedayu.
Pangeran Benawa tertawa. Ketika Glagah Putih mendekat pula dibelakang Agung Sedayu, Pangeran itu berkata, "Kau sudah menjadi seorang anak muda yang dewasa."
"Terima kasih Pangeran," jawab Glagah Putih sambil mengangguk hormat.
"Apakah Pangeran sedang dalam perjalanan?" bertanya Agung Sedayu.
"Perjalanan ke Jati Anom," jawab Pangeran Benawa, "aku memang ingin bertemu dengan kau."
"O. Marilah. Aku persilahkan Pangeran singgah di padepokanku," berkata Agung Sedayu kemudian.
Namun Pangeran Benawa menggeleng. Jawabnya, "Cukup disini. Aku harus segera kembali ke Pajang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekilas ia teringat kepada Raden Sutawijaya yang pada saat yang hampir bersamaan berkata kepadanya, bahwa ia akan kembali ke Mataram.
"Pangeran," berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah tidak sebaiknya Pangeran singgah sebentar atau bahkan bermalam saja di padepokan?"
"Tidak," jawab Pangeran Benawa, "malam ini aku harus sudah berada di rumah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Benawa berkata, "Aku ingin berbicara sedikit. Tidak terlalu banyak."
"Tetapi, sebaiknya kita duduk saja, jika Pangeran memang tidak bersedia singgah di padepoikan." Berkata Agung Sedayu yang menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk memaksa Pangeran itu singgah.
Pangeran Benawapun kemudian duduk direrumputan dipinggir jalan menghadap Agung Sedayu dan Glagah Putih. Agaknya Pangeran Benawa memang tidak mempunyai waktu terlalu banyak, sehingga karena itu maka ia berbicara langsung pada persoalannya.
"Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa, "kali ini aku tidak sempat berbicara dengan basa-basi. Maaf, bahwa aku akan bertanya langsung saja pada persoalan yang kau hadapi."
"Tentang apa Pangeran?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukankah kau akan kawin dua pekan lagi?" bertanya Pangeran Benawa.
Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya sendat, "Ya. Pangeran. Dua pekan lagi. Bahkan sudah berkurang beberapa hari selama aku berada di padepokan ini."
"Ya. Aku dengar, dua hari lagi kau sudah akan berada di Sangkal Putung. Benar?" bertanya Pangeran Benawa.
"Dari mana Pangeran tahu" " Agung Sedayulah yang bertanya.
Buku 154 PANGERAN Benawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, "Pertanyaanmu aneh Agung Sedayu. Setiap orang di Sangkal Putung tahu, bahwa dua hari lagi Ki Demang Sangkal Putung bakal menerima calon menantunya yang ngennger untuk sepekan di Kademangan."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Demikian, "Ya pangeran. Agaknya memang demikian."
"Ya. Dan Ki Demang sudah menyiapkan beberapa puluh ekor ayam dan seekor lembu atau barangkali dua ekor lembu," berkata Pangeran Benawa.
"Ah," Agung Sedayu berdesis.
"Tetapi yang penting bukan itu," berkata Pangeran Benawa, "apakah kau pernah mendengar serba sedikit tentang kemungkinan yang akan terjadi pada hari-hari perkawinanmu?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah yang Pangeran maksudkan?"
"Sekali lagi aku katakan, aku akan berkata terus terang dan tidak melingkar-lingkar." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu "maksudku. apakah kau pernah mendengar kemungkinan satu serangan terhadap Sangkal Putung pada saat kau kawin?"
Pertanyaan yang langsung itu ternyata telah mengejutkan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi sebelum mereka bertanya Pangeran Benawa telah melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak tahu, apakah Kiai Gringsing dan orang-orang tua di padepokanmu atau Untara sudah mendengarnya. Tetapi aku mendengar tembang rawat-rawat bahwa seseorang telah menyiapkan sepasukan yang sangat kuat untuk menyerang Sangkal Putung pada hari perkawinanmu. Mereka memperhitungkan bahwa di Sangkal Putung akan berkumpul orang-orang penting pendukung lahirnya kekuatan Mataram. Kiai Gringsing. Ki Waskita. Ki Widura. dan mungkin Ki Gede Menoreh. Atau bahkan kakangmas Sutawijaya sendiri akan hadir. Mereka sudah memperhitungkan kemungkinan ikut campurnya Untara dengan pasukannya serta para pengawal Kademangan Sangkal Putung."
Wajah Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi tegang. Mereka memandang Pangeran Benawa dengan tanpa berkedip. Nampak keragu-raguan pada kedua anak muda itu. Namun sebagaimana selalu terjadi. Pangeran Benawa tidak pernah berbohong kepada Agung Sedayu.
"Pangeran," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku baru mendengar sekarang ini bahwa peristiwa yang nggegirisi itu akan dapat terjadi."
"Ya. Sudah barang tentu, kau harus memperhatikannya. Bukan maksudku menakut-nakuti atau bahkan berusaha mengurungkan atau menunda hari-hari yang sangat penting bagimu itu. Tetapi aku ingin mendapat jalan keluar, sementara kau dan orang-orang tua di padepokanmu harus tetap bersiap-siap dan berhati hati. Mungkin cara yang akan aku tempuh untuk menghindarkan kemungkinan itu keliru dan tidak berhasil. sehingga pertumpahan darah itu benar-benar harus terjadi," berkata Pangeran Benawa kemudian
Agung Sedayu mengangguk angguk. Katanya kemudian, "Apakah yang akan Pangeran lakukan" Atau barangkali Pangeran ingin memberikan perintah kepadaku untuk berbuat sesuatu yang dapat menghindarkan kemungkinan yang pahit itu?"
"Aku memang akan menempuh satu jalan," berkata Pangeran Benawa, "aku akan datang keperalatan perkawinanmu sebagai Pangeran Benawa."
"Maksud Pangeran," bertanya Agung Sedayu.
"Aku. Pangeran Benawa, Putera Sultan Hadiwijaya akan datang ke Sangkal Putung atas nama Sultan menghadiri perkawinan Agung Sedayu. Aku akan datang dengan segenap kebesaran seorang Pangeran," berkata Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran," sahut Agung Sedayu, "aku adalah seorang anak padesan yang tidak berarti apa-apa. Tentu Ki Demang maupun kakang Untara tidak akan berani mengundang kehadiran Pangeran, apalagi atas nama Kangjeng Sultan, seolah-olah kami telah berbuat deksura, mengundang Sulthan Hadiwijaya di Pajang. Kami harus mengenal diri sendiri, dan persiapan apakah yang harus kami lakukan jika kami berani mengundang Sultan?"
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, "Aku akan datang. Diundang atau tidak diundang."
Agung Sedayu termangu-mangu. Hampir ia tidak percaya kepada pendengarannya. Namun Pangeran Benawa menjelaskan, "Mudah-mudahan aku dapat menghindarkan pertumpahan darah. Tetapi sekali lagi aku minta kalian bersiap-siap. Sebelum dan sesudah perkawinan itu sendiri."
"Tetapi apakah arti kehadiran Pangeran itu?" bertanya Agung Sedayu.
Pangeran Benawa tidak menghiraukan pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi ia berkata, "sampaikan kepada gurumu, pamanmu, Ki Waskita dan aku tidak berkeberatan jika kau menyampaikan kepada Untara. Kemudian mereka akan dapat memberitahukan kepada orang-orang Sangkal Putung Ki Demang dan Swandaru yang memiliki pengawal yang kuat. umum yang sudah diketahui oleh beberapa pihak di Pajang, karena Swandaru memang tidak pernah mempunyai perhitungan untuk merahasiakan kekuatan yang ada di Kademangan itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi Pangeran, agaknya akan lebih baik jika Pangeran singgah di padepokan dan bertemu dengan guru. Ki Waskita dan paman Widura."
"Sudah aku katakan, aku tidak akan singgah di padepokanmu," jawab pangeran Benawa, "kau sajalah yang menyampaikannya. Kau dapat berterus terang bahwa kau telah bertemu dengan aku disawah. Aku harap kalian mempercayai keteranganku dan benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, jangan memancing persoalan."
"Terima kasih Pangeran," jawab Agung Sedayu, "Pangeran telah memberikan keterangan yang sangat berharga bagi kami di Jati Anom dan di Sangkal Putung."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Kemudian sekilas dipandanginya Glagah Putih. Katanya, "Kau sekarang sudah cukup dewasa. Kau tentu dapat ikut menanggapi peristiwa ini sebagaimana seorang yang telah dewasa pula."
Glagah Putih menganguk pula sambil menyahut, "Aku akan mencoba Pangeran."
"Ya. Kau harus dapat berbuat sesuatu untuk membantu kakak sepupumu," berkata Pangeran Benawa, "karena itu kaupun harus bersiap-siap lahir dan batin. Tetapi kita semuanya akan berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
"Ya Pangeran," jawab Glagah Putih sambil mengangguk hormat.
Demikianlah. Pangeran Benawapun kemudian minta diri dengan langkah panjang Pangeran Benawa meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sejenak kemudian Pangeran itupun telah hilang dibalik gelapnya malam.
Sejenak Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayupun berkata, "Pangeran Benawa terlalu baik kepadaku."
"Berita yang sangat penting kakang," desis Glagah Putih.
"Aku akan menyampaikannya kepada guru," desis Agung Sedayu.
Keduanyapun kemudian meninggalkan tempat itu dengan bergegas kembali kepadepokan. Rasa-rasanya mereka ingin segera berbicara dengan guru dan orang-orang tua di padepokan itu tentang hal yang sangat penting dan yang mungkin akan dapat menimbulkan peristiwa yang sangat gawat itu.
Ketika keduanya memasuki regol padepokan dan melihat orang-orang tua masih duduk dipendapa. Agung Sedaya berdesis, "Sokurlah bahwa mereka seolah-olah sudah siap mendengarkan ceritera yang kita bawa."
Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih itupun langsung naik kependapa. Dengan kesan tersendiri pada wajah anak-anak muda itu. merekapun kemudian duduk diantara orang-orang tua yang berada di pendapa itu.
Kiai Gringsing. Ki Waskita dan Ki Widura yang sedang duduk itu melihat kesan yang lain pada wajah anak-anak muda itu. Karena itulah, maka Kiai Gringsingpun langsung bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah ada sesuatu yang telah terjadi" Nampaknya kalian membawa persoalan didalam hati?"
Agung Sedayu mengangguk kecil. Kemudian katanya, "Guru. Ki Waskita dan Paman Widura. Perkenankanlah aku bertanya, apakah guru sudah mendengar dari siapapun juga, bahwa mungkin akan terjadi sesuatu pada hari perkawinanku kelak?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Ki Waskita dan Widura. Namun kemudian iapun bertanya, "Sesuatu apakah yang kau maksud itu Agung Sedayu?"
"Dalam hubungannya dengan orang-orang Pajang," Jawab Agung Sedayu, "bahwa mereka telah merencanakan untuk bertindak pada hari-hari perkawinanku itu."
Kiai Gringsing masih termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, "Aku kurang jelas dengan peristiwa yang kau maksud itu. Dan dari siapa kau mendengarnya?"
"Aku mendengar dari Pangeran Benawa," jawab Agung Sedayu berterus terang seperti yang dikehendaki oleh Pangeran Benawa."
Jawaban itu mengejutkan orang-orang tua yang berada dipendapa itu. Bahwa dengan serta merta Ki Widura bertanya, "Dimana kau bertemu dengan Pangeran Benawa?"
"Disawah. Baru saja," jawab Agung Sedayu, "Pangeran Benawa memberitahukan bahwa ada rencana untuk menyerang Sangkal Putung. Mereka sudah memperhitungkan kekuatan para pengawal Kademangan dan kemungkinan hadirnya pasukan kakang Untara."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Kiai Gringsing dan Ki Waskita itu berkata, "Tak ada gunanya lagi disembunyikan. Temyata Agung Sedayu telah mengetahui. Dan bahkan mungkin lebih terperinci dari yang kita ketahui."
"Jadi paman sudah mengetahui?" bertanya Agung Sedayu.
"Baru sebagian kecil," jawab Ki Widura.
"Coba katakan apa yang kau ketahui," sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayupun kemudian mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Benawa. Dan Agung Sedayupun mengatakan bahwa Pangeran Benawa berniat untuk hadir dalam upacara perkawinan itu.
"Pangeran Benawa akan hadir?" Ki Waskita menjelaskan.
"Ya. Aku sudah mengatakan, bahwa kita merasa terlalu kecil untuk mengundang Pangeran Benawa. Apalagi apabila ia menyebut dirinya atas nama Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang," jawab Agung Sedayu.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi nampaknya ia telah bersikap bijaksana."
"Ya," desis Kiai Gringsing, "Pangeran Benawa benar-benar telah berusaha mengamankan peristiwa yang sangat penting bagi Agung Sedayu itu."
"Pangeran yang bijaksana," desis widura. Lalu, "Dengan kehadirannya, maka nampaknya niat orang-orang Pajang itu harus dipertimbangkan lagi. Jika Pangeran Benawa ada di Sangkal Putung, serta orang-orang yang bermaksud buruk itu benar-benar akan menyerang, maka mereka akan dapat langsung dianggap melawan Kangjeng Sultan Hadiwijaya."
"Ya," Kiai Grngsing mengangguk-angguk, "kita akan sangat berterima kasih. Tetapi dengan demikian maka Ki Demang harus mempersiapkan penyambutan khusus bagi Pangeran Benawa yang akan datang resmi atas nama Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu."
Namun dalam pada itu Ki Waskita berkata, "Tetapi kitapun harus memperhatikan pesan Pangeran Benawa. bahwa kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sekali orang-orang yang berniat buruk itu telah mengeser rencananya. Mungkin yang kemudian akan datang di Sangkal Putung adalah orang-orang yang tidak dikenal."
"Tetapi jika satu dua orang diantara mereka tertangkap, maka mereka tentu akan mengaku bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Mungkin jusru prajurit-prajurit dari Kesatuan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru itu. karena sulit bagi mereka untuk menyiapkan satu pasukan yang kuat untuk menghadapi pasukan pengawal Sangkal Putung, jika mereka bukan prajurit Pajang sendiri."
"Ada satu hal yang penting," berkata Ki Widura, "menurut perhitungan keprajuritan, maka agaknya Pangeran Benawa melalui jalur kepemimpinan prajurit maupun langsung, akan memerintahkan Untara untuk menyiapkan pengamanan atas kehadirannya."
Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk, "Ki Widura sendiri adalah seorang bekas perwira Pajang, sehingga ia mempunyai perhitungan yang lebih dekat dengan kemungkinan yang dilakukan oleh para prajurit Pajang."
Namun bagaimanapun juga. Sangkal Putung harus bersiap. Yang dikatakan oleh Pangeran Benawa ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Untara.
Karena itu sesuai dengan pesan Pangeran Benawa sendiri, maka hal itu akan disampaikannya kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru, serta kepada Untara.
"Dua hari lagi kau akan pergi ke Sangkal Putung," berkata Kiai Gringsing, "namun seperti pesan Pangeran Benawa, kau harus berhati-hati. Juga pada saat kau pergi ke Sangkal Putung dua hari lagi. Kau harus sudah mulai berhati-hati."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud gurunya.
Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Akhirnya mereka memutuskan, bahwa esok pagi Widura akan pergi ke Jati Anom untuk bertemu dengan Untara, menyampaikan pesan Pangeran Benawa. sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita akan pergi ke Sangkal Putung untuk memberikan beberapa pengarahan kepada Swandaru. persiapan-persiapan apakah yang harus dilakukan. Bukan saja berhubungan dengan pengamanan keadaan, tetapi juga karena Pangeran Benawa akan berkunjung ke Sangkal Putung. Diundang atau tidak diundang.
Pembicaraan itu ternyata baru berhenti lewat tengah malam. Dengan berbagai macam persoalan didalam diri masing-masing. maka mereka yang duduk dipendapa itupun bangkit dan masuk kedalam bilik mereka.
Pada pagi hari berikutnya, maka seperti yang telah direncanakan, orang-orang tua di padepokan itu telah pergi menunaikan tugas masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita pergi ke Sangkal Putung, sementara Ki Widura pergi menemui Untara. Sedangkan Agung Sedayu sendiri berada di padepokan bersama Glagah Putih. Seperti biasanya, pada saat-saat yang demikian. keduanya telah tenggelam didalam sanggar, setelah mereka membantu para cantrik membersihkan kebun dan halaman padepokan.
Dalam pada itu. kedatangan Widura dengan pesan yang dibawa oleh Pangeran Benawa itu telah memperkuat keterangan yang pernah diterima oleh Untara dan seorang perwira yang sangat baik kepadanya. Namun iapun ternyata sependapat. Bahwa Pangeran Benawa telah berniat untuk menghindarkan kemungkinan yang paling pahit terjadi di Sangkal Putung.
"Aku mengerti paman," berkata Untara, "bahkan seandainya Pangeran Benawa tidak menjatuhkan perintah kepadaku, aku mempunyai alasan untuk mempersiapkan pasukan yang terdiri dari prajurit-prajurit Pajang untuk berjaga-jaga. karena Pangeran Benawa atas nama Sultan di Pajang akan datang ke Sangkal Putung."
"Kita wajib berterima kasih kepada Pangeran Benawa," berkata Untara. Lalu, "Nampaknya sikap Pangeran Benawa itu tidak baru dilakukan sekarang dalam keadaan serupa ini. Tetapi dalam beberapa hal. Pangeran Benawa memang bersikap sagat baik kepada Agung Sedayu."
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang. Pangeran Benawa sama sekali tidak tertarik kepada bidang pemerintahan."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Seperti kebanyakan orang, iapun sama sekali tidak mengerti sikap dan pendirian Pangeran Benawa menghadapi saat-saat akhir dari pemerintahan ayahandanya.
"Untara," berkata Widura kemudian, "dua hari lagi Agung Sedayu akan pergi ke Sangkal Putung. Sesuai dengan pesan Pangeran Benawa dan keterangan yang kau dapat, maka perjalanan itupun merupakan perjalanan yang gawat. Mungkin setelah orang-orang yang berniat buruk itu mendengar rencana Pangeran Benawa. mereka segera mencari kesempatan lain. Mungkin justru pada saat Agung Sedayu pergi ke Sangkal Putung itu akan menjadi sasaran mereka yang mempercepat rencana sebelumnya."
Untara mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga Agung Sedayu adalah adiknya. Jika Pangeran Benawa telah bersedia melindungi Agung Sedayu dengan caranya, maka apakah kakak kandungnya sendiri tidak akan berbuat serupa, justru lebih banyak lagi.
Karena itu. maka Untarapun kemudian berkata, "Baiklah paman. Jika Pangeran Benawa sendiri sudah mengatakannya, maka aku mempunyai alasan yang kuat untuk menggerakkan prajurit Pajang di Jati Anom. Aku mempunyai alasan bahwa menjelang kehadiran Pangeran Benawa ke Sangkal Putung, maka daerah Sangkal Putung harus diamankan."
Namun nampaknya Untara tidak perlu berpikir terlalu banyak. Belum lagi pembicaraan itu selesai. dua orang prajurit berkuda dari Pajang telah memasuki regol halaman rumah Untara. Ternyata mereka membawa perintah resmi dari Pangeran Benawa atas nama ayahanda Sultan Hadiwijaya dan diperkuat dengan tanda kekuasaan Sultan sendiri yang tertera diatas perintah itu. tertuju kepada Senapati Pajang di daerah Selatan, untuk mempersiapkan keadaan sebaik-baiknya menjelang kehadiran Pangeran Benawa di Sangkal Putung.
Untara menarik nafas panjang, setelah ia selesai membaca perintah itu.
"Begitu cepat," desisnya.
Kedua utusan berkuda itu termangu-mangu. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya, "Apa yang terlalu cepat Senapati?"
"Tidak. Maksudku, bukankah hari perkawinan itu masih sepekan lagi. Bahkan lebih," jawab Untara dengan serta merta.
"O," utusan itu mengangguk-angguk. Sementara itu Untarapun menyatakan kesiagaannya melaksanakan perintah itu. Katanya, "Aku akan menjalankan perintah itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang Senapati, aku bertanggung jawab atas terlaksananya perintah itu."
Demikianlah kedua utusan itupun kemudian meninggalkan Jati Anom. Sementara itu Ki Widura berdesis, "ternyata Pangeran Benawa juga memperhitungkan pula saat Agung Sedayu pergi ke Sangkal Putung. Sejak sekarang Pangeran Benawa telah menjatuhkan perintah."
Untara mengangguk-angguk. Namun pada wajahnya tersirat keprihatinan yang mendalam. Desisnya, "Paman, apa yang sebenarnya sudah terjadi di Pajang adalah satu gambaran yang suram bagi masa mendatang. Lepas dari kepentinganku terhadap adik kandungku, namun jelas, Pajang telah terpecah belah."
Ki Widura mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Untara, yang sepanjang masa jabatannya sebagai seorang prajurit telah berusaha berbuat sebaik-baiknya bagi Pajang.
Namun dalam pada itu. Ki Widurapun berkata, "Pada suatu saat kita memang harus memilih kemungkinan yang terbaik dan beberapa kemungkinan yang tidak baik ini Untara."
Untara mengangguk kecil. Katanya, "Ya paman. Kita tidak boleh mengingkari kenyataan yang kita hadapi."
Widura memandang wajah Untara sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Kita memang harus bijaksana menghadapi tingkat keadaan sekarang ini." namun kemudian katanya, "ah. Sudahlah. Barangkali keperluanku sudah selesai. Bahkan aku mengerti, kau akan meningkatkan kesiagaan prajurit Pajang di Jati Anom sesuai dengan perintah yang kau terima untuk mengamankan daerah ini karena Pangeran Benawa akan berkunjung ke Sangkal Putung."
"Ya paman. Dua hari lagi kita akan bersama-sama mengantarkan Agung Sedayu ke Sangkal Putung," berkata Untara kemudian.
Widurapun kemudian minta diri. Namun dengan demikian hatinya serasa menjadi tenang, bagaimanapun juga, seorang Senopati di Pajang, bahkan Tumenggung Prabadaru sendiri, harus menghitung kemungkinan yang paling pahit jika mereka harus berhadapan dengan pasukan Untara dan para pengawal Sangkal Putung sekaligus. Apalagi dengan demikian mereka akan dapat ditunjuk dengan pasti, bahwa mereka telah melawan perintah Kangjeng Sultan sendiri.
Namun Tumenggung Prabadaru bukan seorang yang bodoh. Karena itu, ia tentu akan mengambil sikap yang lain dari menyerang Sangkal Putung dengan terang-terangan.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita sudah berada di Sangkal Putung dengan selamat. Mereka telah diterima dengan hati yang berdebar-debar, justru pada saat Agung Sedayu harus berada di Sangkal Putung dua hari lagi.
Karena itu maka Ki Demangpun dengan tergesa-gesa ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh kedua orang tua itu kepadanya.
"Dimana Swandaru," bertanya Kiai Gringsing.
"Ia berada di belakang. Sebentar lagi ia akan datang," jawab Ki Demang.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Swandaru telah hadir pula di Pendapa. Setelah ia mengucapkan salamat datang kepada gurunya, maka seperti ayahnya, iapun ingin segera mengetahui keperluan gurunya itu.
Dengan singkat dan hati-hati. Kiai Gringsing menerangkan apa yang telah didengarnya dari Untara dan pesan Pangeran Benawa lewat Agung Sedayu.
"Ada dua jenis persiapan yang harus dilakukan disini," berkata Kiai Gringsing kemudian, "persiapan untuk menerima kehadiran Pangeran Benawa dan persiapan untuk mengamankan Kademangan ini meskipun diluar Kademangan ini pasukan Pajang di Jati Anom akan bersiaga sebaik-baiknya justru karena kehadiran Pangeran Benawa."
"Tetapi dalam suasana yang berbeda," jawab Kiai Gringsing. "Jika Pangeran Benawa hadir dengan diam-diam, maka hal itu tidak akan menyangkut siapapun juga. ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tetapi jika ia datang dengan kebesaran seorang Pangeran dan apalagi mewakili Sultan Hadiwijaya. maka prajurit Pajang ikut bertanggung jawab atas pengamanannya, apalagi sudah ada surat penntah untuk itu bagi Untara. Senapati di daerah ini."
Swandaru mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa dengan demikian Pangeran Benawa telah memberi kesempatan kepada prajurit Pajang di Jati Anom untuk ikut menjaga dan mengamankan Sangkal Putung. Alasannya bukan karena Agung Sedayu kawin. Tetapi karena hadirnya Pangeran Benawa.
Ki Demang Sangkal Putung yang mendengarkan keterangan Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk meskipun jantungnya menjadi berdebar-debar juga. Tetapi setelah ia mendengar penjelasan Kiai Gringsing, maka iapun mengurut dadanya sambil berkata, "Sokurlah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
"Seandainya terjadi sesuatu, kita sudah siap," polong Swandaru, "apalagi seperti yang dikatakan oleh guru, pasukan Pajang di Jati Anompun telah siap pula."
Dengan demikian, maka Swandaru tetap merasa berkewajiban untuk bersiaga sepenuhnya. Ketika kemudian Kiai Gringsing dan Ki Waskita minta diri. karena mereka harus mempersiapkan Agung Sedayu sebelum diajaknya ke Sangkal Putung, maka Swandarupun telah berbincang dengan isteri dan adiknya, Sekar Mirah yang akan kawin sepekan mendatang ditunggui oleh ayahnya.
"Jangan cemas Sekar Mirah," berkata Ki Demang dan kaupun harus berbesar hati. bahwa dalam perkawinanmu mendatang, akan hadir seorang Pangeran yang resmi mewakili Kangjeng Sultan. Jika mengingat diri kita sendiri hanyalah seorang penghuni padukuhan. maka kesediaan Pangeran Benawa itu merupakan satu kehormatan yang sangat besar, apalagi mengingat tujuan utamanya, mengamankan hari-hari perkawinanmu. Bukankah hampir tidak masuk akal. bahwa Pangeran itu telah berbuat demikian baik terbadapmu dan Agung Sedayu."
Sekar Mirah hanya menunduk saja. Tetapi kebanggaan itu memang telah mekar dihatinya. Bahkan ia merasa bahwa ternyata dirinya termasuk orang yang mendapat kehormatan yang besar dari istana Pajang.
Namun dalam pada itu Swandarupun berkata, "Nah, bagaimanapun juga kau harus berhati-hati. Kita semuanya harus berhati-hati."
Swandarupun kemudian minta diri kepada ayahnya untuk mengadakan persiapan seperlunya.
"Tetapi jangan mengejutkan rakyat Sangkal Putung," pesan ayahnya, "meskipun kau akan menyiapkan semua pengawal yang ada. tetapi kaupun harus menjaga, agar ketenangan tetap terjaga di Kademangan ini. Jika rakyat menjadi gelisah, maka hal itu akan mempengaruhi tata kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga dengan demikian, seolah-olah hari perkawinan Sekar Mirah mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi kehidupan dan Sangkal Putung."
Swandaru menganguk-angguk. ia mengerti kecemasan ayahnya. Jika ia dengan serta merta menggerakkan seluruh pengawal Kademangan Sangkal Putung dan anak-anak mudanya, maka memang akan timbul kesan, bahwa akan terjadi sesuatu di Kademangan itu. sebagaimana pernah terjadi pada saat Tohpati masih berada disekitar Kademangan yang subur itu.
Karena itu. maka Swandarupun kemudian menyahut, "Baiklah ayah. Aku akan berhati-hati. Aku akan berusaha berbuat sebaik-baiknya."
Kiai Gringsingpun sambil mengangguk-angguk kemudian menyahut, "Sokurlah jika segalanya dapat disiapkan tanpa menimbulkan keresahan. Dua hari lagi, kami akan datang bersama dengan Agung Sedayu. Tetapi pada saat itu. angger Untara sudah mulai berjaga-jaga dengan pasukannya. Namun demikian sekali lagi aku peringatkan, pesan Pangeran Benawa. bahwa kita memang harus bersiaga."
"Aku akan berusaha guru. Sangkal Putung memang merasa berkewajiban untuk berbuat demikian," jawab Swandaru kemudian.
Demikianlah. maka sejenak kemudian Kiai Gringsing dan Ki Waskita itupun minta diri. Ki Demang yang berusaha untuk menahan barang setengah hari. ternyata tidak berhasil, karena Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih mempunyai kewajiban di padepokan.
"Kami harus mempersiapkan keberangkatan Agung Sedayu ke Sangkal Putung," jawab Kiai Grinsing, "saat ini. Ki Widura telah menemui angger Untara."
Dengan demikian, maka kedua orang itupun sagera meninggalkan Sangkal Putung kembali ke Jati Anom. Seperti perjalanan mereka ke Sangkal Putung, maka perjalanan kembali itupun telah mereka tempuh dengan selamat.
Ketika sampai di padepokan. Ki Widura sudah berada ditempat. Iapun telah menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Untara tentang hari-hari perkawinan Agung Sedayu.
"Angger Untara sudah merima perintah," bertata Ki Widura.
"Jadi benar demikian?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya. Memang demikian," jawab Ki Widura.
"Tepat. Aku memang sudah menduga. Dan akupun tetah mengatakan kepada Ki Demang, apa yang dapat dilakukan oleh angger Untara karena Pangeran Benawa akan datang dengan tanda-tanda kebesarannya," sahut Kiai Gringsing.
"Karena itu. maka kita tidak lagi menjadi sangat gelisah karenanya," berkata Widura.
Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Namun setiap kali ia selalu teringat akan pesan Pangeran Benawa lewat Agung Sedayu, bahwa semuanya harus tetap berhati-hati.
Namun persiapan keberangkatan Agung Sedayu itupun berjalan terus. Setelah sehari dilewati, maka datanglah hari berikutnya. Saat Agung sedayu berangkat ke Sangkal Putung.
Dalam pada itu, Untara yang memang benar-benar mendapat perintah dari Pajang untuk bersiap-siap mengamankan Sangkal Putung yang akan dikunjungi oleh Pangeran Benawa. telah melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Pada saat yang demikian, maka beberapa orang tua di Jati Anompun telah bersiap-siap. Seperti yang dikehendaki Untara, maka Agung Sedayu tidak akan berangkat dari padepokannya, tetapi ia akan berangkat dari rumah orang tuanya bersama beberapa orang tua dari Jati Anom. disamping Untara, Widura. Kiai Gringsing dan Ki Waskita.
Pada saat lingsir Kulon, maka iring-iringan itupun telah siap untuk berangkat. Mereka akan sampai di Sangkal Putung sedikit lewat senja dan akan diterima oleh Ki Demang menjelang hari perkawinan sepekan mendatang.
Tidak terlalu banyak orang yang ikut dalam iring-iringan itu. Beberapa orang tua yang pernah ikut pergi ke Sangkal Putung pada saat mereka membicarakan hari-hari perkawinan Agung Sedayu dengan Sekar Mirah beberapa bulan yang lewat pada saat perjalanan mereka kembali. telah terjadi sesuatu yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Namun orang-orang tua itu tidak jera untuk pergi mengiringkan Agung Sedayu. karena mereka sadar, bahwa Untara tentu akan mempersiapkan prajurit-prajuritnya. meskipun mereka tidak mengerti pesan Pangeran Benawa.
Demikianlah, maka pada saat yang sudah ditentukan, sebuah iring-iringan berkuda telah meninggalkan Jati Anom. Diantara para pengiring, memang terdapat beberapa orang pengawal terpilih dari para prajurit Pajang, meskipun mereka tidak berpakaian seorang prajurit. Tetapi seperti yang lain. mereka berpakaian sebagaimana seseorang yang mengiringkan calon pengantin, termasuk Sabungsari.
Beberapa orang perwira yang tinggal dirumah Untara mengiringkan mereka sampai keregol halaman. Seorang perwira muda memandang iring-iringan itu sambil bergumam, "Jika aku yang kawin kelak, tidak akan mendapat kehormatan seperti Agung Sedayu."
Kawannya berpaling. Lalu katanya, "Jangan iri. Agung Sedayu mempunyai nilai tersendiri, meskipun ia bukan seorang perwira."
Perwira muda itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku akan bertugas."
"Hampir semua diantara kita mendapat tugas hari ini," desis yang lain.
Para perwira itupun kemudian kembali memasuki regol halaman. Namun sejenak kemudian, merekapun telah meninggalkan rumah itu diatas punggung kuda. Mereka pergi ke pasukan masing-masing di barak yang berbeda. Sementara para prajuritpun telah siap menunggu.
Temyala mereka telah mendapat perintah untuk melakukan tugas masing-masing. Beberapa kalompok pasukan berkuda harus menelusuri jalan yang dilalui oleh Agung Sedayu dan pengiringnya sampai ke perbatasan Sangkal Putung. Sementara yang lain mendapat tugas untuk nganglang dan melihat-lihat keadaan di padukuhan sekitarnya.
Namun selain mereka, sebenarnyalah Untara telah memerintahkan beberapa orang pengawas berada di sekitar Sangkal Putung. Dalam keadaan yang mendesak, mereka harus membunyikan tanda, sehingga tanda itu akan terdengar sampai ke Sangkal Putung. Dengan demikian Swandaru akan sempat bersiap dan beberapa kelompok pasukan Pajang yang terpencar akan dapat berkumpul menghadapi bahaya yang datang.
Dalam pada itu. sebuah iring-iringan orang berkuda tengah melaju menuju ke Sangkal Putung. Agung Sedayu yang berada diantara mereka merasa betapa jantungnya bergejolak. Bukan karena ia cemas bahwa perjalanannya akan terganggu, atau karena tiba-tiba saja ada serangan yang datang dari arah yang tidak diketahui, namun justru karena ia adalah calon pengantin. Sepekan lagi ia akan dipersandingkan. Sejak malam nanti, ia akan berada di rumah bakal mertuanya, Ki Demang Sangkal Putung.
Sore itu. Sangkal Putungpun telah sibuk mempersiapkan penyambutan bakal pengantin yang menurut pembicaraan akan datang lewat senja. Ki Demang telah sibuk mempersiapkan jamuan. Beberapa orang tua telah siap di Kademangan untuk menerima penyerahan bakal pengantin laki-laki yang akan tinggal untuk sepekan sebelum hari perkawinan di Kademangan itu.
Namun sementara Ki Demang sibuk di Kademangan. Swandaru telah sibuk mengatur para pengawal. Seperti pesan ayahnya Swandaru berusaha untuk tidak menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat Sangkal Putung. Swandaru justru menempatkan beberapa orang pengawal langsung dirumahnya. Anak-anak muda itu mendapat tugas untuk menghidangkan hidangan kepada para tamu. Tanpa memberikan kesan kesiagaan mereka telah berjaga-jaga di Kademangan.
Sementara itu. Swandaru telah memparsiapkan gardu-gardu induk dan banjar-banjar padukuhan untuk berjaga-jaga bagi anak-anak muda yang termasuk dalam kesatuan pengawal. Namun Swandaru sempat membuat alasan yang lain. Mereka diminta untuk berjaga-jaga semalam suntuk untuk ikut merayakan kedatangan Agung Sedayu sebagai calon pengantin laki-laki yang akan menjadi menantu Ki Demang Sangkal Putung.
Namun sementara itu. Swandaru telah memberikan pesan kepada para pemimpin kelompok agar memberikan peringatan kepada setiap pengawal, agar mereka bersiaga jika setiap saat terjadi sesuatu yang memerlukan penanganan mereka.
Meskipun para pengawal cukup bersiaga tetapi mereka seolah-olah hadir di gardu-gardu dan di banjar karena Swandaru minta mereka berjaga-jaga. Bukan karena mereka harus bersiaga menghadapi kemuagkinan yang paling buruk yang akan terjadi.
Apalagi Swandaru telah mengirimkan makanan dan minuman kepada anak-anak muda yang sedang berkelompok digardu-gardu dan di banjar-banjar pndukuhan. sehingga suasananya benar-benar terasa gembira. Yang terdengar gelak tertawa dan sendau gurau yang segar. Sama sekali tidak mencerminkan kegelisahan dan kesiagaan menghadapi segala bahaya yang mungkin datang.
Tetapi dalam pada itu. sebenarnyalah bahwa malam mendatang. Sangkal Putung tidak akan dilanda oleh peristiwa yang menggetarkan. Sementara anak-anak muda bersiaga, maka di Pajang, beberapa orang telah berkumpul dirumah Ki Tumenggung Prabadaru.
"Pangeran Benawa memang Pangeran yang kurang waras," geram Tumenggung Prabadaru.
"Benar-benar tidak pantas," desis Ki Pringgajaya, "tetapi bukannya tanpa maksud bahwa tiba-tiba saja Pangeran Benawa mengumumkan akan menghadiri hari perkawinan anak Jati Anom itu. Apakah alasannya yang sebenarnya" Apakah Agung Sedayu pernah berbuat sesuatu bagi kepentingan Pajang" Apakah ia mempunyai jasa yang luar biasa sehingga anak itu pantas menerima kehormatan yang tidak terduga-duga itu?"
"Agaknya Pangeran Benawa memang telah mencium rencana kita," berkata Tumenggung Prabadaru, "kita sudah mengumpulkan orang-orang sakti yang akan dapat menumpas mereka yang tentu berkumpul di Sangkal Putung. Orang-orang tua yang memiliki ilmu yang mapan termasuk Agung Sedayu sendiri. Karena sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri adalah seorang yang luar biasa. Ia mampu membunuh iblis dari Tal Pitu itu. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa telah memotong rencana ini dengan menyatakan kesediaannya untuk hadir bahkan atas nama Sultan sendiri."
"Tentu atas desakan Pangeran Benawa," desis seorang berjambang lebat.
Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk.
Ki Pringgaiayapun berkata, "Sebenarnya kita bersama-sama sudah mengetahuinya dan agaknya Pangeran Benawapun sadar sepenuhnya, bahwa caranya itupun telah kita ketahui."
"Tetapi kali ini kita harus mengalah," desis Ki Tumenggung Prabadaru.
"Hanya untuk beberapa hari," berkata Ki Pringgajaya, "mereka akan bersiaga sampai hari kelima. Kita akan menunggu, apakah benar Sekar Mirah akan diboyong ke padepokan kecil itu atau kerumahnya yang sekarang dipergunakan oleh Untara dan para perwira."
"Aku condong menebak, sekali lagi seperti kita sedang berteka-teki. bahwa Agung Sedayu akan membawa Sekar Mirah tidak ke rumah orang tuanya. Tetapi kepadepokannya," jawab orang berjambang panjang itu, "disana mereka akan merasa lebih bebas."
"Tetapi ingat," berkata Ki Pringgajaya, "Sekar Mirah menurut keterangan yang aku dengar, mempunyai sifat yang berbeda dan tidak sesuai dengan sifat dan watak Agung Sedayu."
"Aku juga mendengar," jawab Ki Tumenggung Prabadaru. Katanya kemudian, "kemungkinan yang lain mereka akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Pringgajaya tersenyum. Dipandanginya Ki Tumenggung Prabadaru sambil bergumam, "Satu pertimbangan yang baik."
"Bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh" Aku kira orang-orang tua akan mengantarkan Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh jika benar ia akan pergi kesana."
"Bagaimana dengan anak-anak muda yang berkumpul di Tanah Perdikan itu?" bertanya salah seorang diantara mereka.
"Permainan anak-anak. Aku juga pernah mendengar bahwa anak-anak muda dari beberapa daerah telah berkumpul. Tetapi mereka tidak akan berarti apa-apa," desis Ki Pringgajaya.
"Aku sependupat," sahut Ki Tumenggung, "mungkin mereka dipersiapkan untuk mengimbangi pasukan khusus kita. Tetapi itu omong kosong saja."
Beberapa orang yang berada di ruang itupun tersenyum. Seorang perwira bertubuh tinggi berkata, "Raden Sutawijaya menganggap pasukan khusus yang dibentuk di Pajang itupun seperti mainan anak-anak pula sehingga ia berusaha untuk mengimbanginya dengan memanggil anak-anak padesaan yang bodoh dan dungu yang dapat dikelabuinya. Mungkin dengan janji-junji yang tidak akan dapat dipenuhinya, namun sangat menarik bagi anak-anak muda itu."
"Para Demanglah yang sebenarnya bodoh sekali," sahut Tumenggung Prabadaru.
"Bagaimana dengan Pasantenan" " tiba-tiba perwira yang bertubuh tinggi itu bertanya.
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Itu satu perkecualian. Pasantenan memang kuat. Tetapi nampaknya Pasantenan tidak akan terlibat langsung meskipun Pasantenan mengirimkan juga anak-anak mudanya ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Mungkin ada perhitungan lain," desis perwira yang bertubuh tinggi itu.
"Segala kemungkinan memang dapat terjadi. Tetapi kita akan dapat membuat perhitungan sebaik-baiknya. Kita bukan kanak-kanak lagi," jawab Tumenggung Prabadaru.
Kawan-kawanya terdiam. Mereka mengangguk-angguk kecil. Bagi mereka Tumenggung Prabadaru adalah seorang yang memiliki penglihatan yang tajam dan pengetahuan yang luas. ia adalah orang yang dapat berhubungan dengan orang-orang yang jumlahnya hanya sedikit. yang memiliki peranan terpenting dalam gerakan mereka.
"Baiklah," berkata Tumenggung Prabadaru, "pada saatnya aku akan memanggil kalian lagi. Bersiaplah. Nampaknya tugas kita akan sampai pada saatnya berakhir. Maksudku, tugas yang khusus ini. karena sesudah ini. Tugas-tugas lain masih akan menunggu."
"Kami menunggu perintah. Semakin cepat memang semakin baik. Tetapi segalanya terserah kepada Ki Tumenggung," sahut perwira yang bertubuh agak tinggi.
Ki Tumenggung tidak menjawab. Sejenak kemudian kawan-kawannya itupun meninggalkannya. Namun sudah pasti bagi mereka, bahwa mereka tidak akan menyergap Sangkal Putung pada saat perkawinan Agung Sedayu meskipun pada saat itu. banyak orang-orang penting yang berkumpul di Kademangan itu. Orang yang penting disekitar Agung Sedayu yang akan dapat menguntungkan Mataram. Namun sikap Pangeran Benawa harus merubah rencana mereka seluruhnya.
Tetapi Ki Tumenggung sebenarnya tidak membatalkan rencananya, ia hanya menunda sampai saat yang paling baik untuk melakukannya. Karena Ki Tumenggung mengerti. bahwa Pangeran Benawa tidak akan lama berada di Sangkal Putung. Sehingga sesudah Pangeran Benawa kembali ke Pajang, maka kesempatan masih akan tetap terbuka.
"Mungkin orang-orang yang aku kehendaki sudah tidak berkumpul lagi seperti saat perkawinan itu sendiri." berkata Ki Tumenggung Prabadaru kepada diri sendiri. "tetapi langkah-langkah yang kemudian akan dapat ditentukan sesuai dengan keadaan."
Dalam pada itu. Kademangan Sangkal Putung benar-benar menjadi sangat sibuk. Ketika iring-iringan bakal pengantin laki-laki memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. maka keadaan Kademangan itupun menjadi riuh.
Anak-anak muda yang berada di gardu telah menyambut iring-iringan itu dimulut lorong. Meskipun senja baru saja lewat, tetapi obor-obor telah menyala di gardu-gardu, diregol-regol padukuhan. dan regol-regol halaman.
Bukan saja anak-anak muda, tetapi orang-orang tua dan bahkan anak-anak telah keluar dari halaman rumah mereka. Mereka berdiri didepan regol sambil melambai-lambaikan tangan mereka ketika Agung Sedayu dan iring- iringannya lewat dihadapan mereka.
Jantung Agung Sedayu memang terasa berdegup semakin keras. Rasanya ia berada di satu alam yang lain dari alamnya sehari-hari. Rasa-rasanya semua orang memperhatikannya dan bahkan menghormatinya. Kakaknya, Untara yang seolah-olah tidak terlalu banyak menghiraukannya dengan sungguh-sungguh dan sebagai seorang Senapati, ia telah menggerakkan pasukannya untuk menjaga keselamatannya, sebagaimana diperintahkan oleh Pangeran Benawa di Pajang atas nama Kangjeng Sultan.
Demikian iring-iringan itu memasuki halaman Kademangan, maka Ki Demang dan orang-orang tua yang sudah siap di Kademangan itupun menyongsongnya. Merekapun kemudian mempersiapkan para tamu yang mengiringkan Agung Sedayu itu naik kependapa.
Suasananya memang menjadi cerah. Semuanya nampak gembira. Ki Demangpun nampak gembira sekali menerima calon menantunya yang datang diiringi kakaknya. pamannya dan orang-orang tua dari padepokan Agung Sedayu dan dari Jati Anom.
Setelah menyerahkan kuda mereka kepada anak-anak muda Sangkal Putung yang bertugas di halaman, maka merekapun segera naik kependapa. Meskipun hari itu masih belum merupakan hari perkawinan, tetapi Kademangan Sangkal Putung telah nampak terang benderang.
Bahkan teratag yang akan dipergunakan sepekan lagi telah siap. meskipun masih belum dipasang janur kuning.
Dalam pada itu, segalanya berjalan seperti yang direncanakan. Swandaru yang telah selesai mengatur para pengawal, telah berada di pendapa itu pula. Tetapi ia tidak ikut duduk dipendapa menemui para tamu. karena ia berada diantara anak-anak muda yang mennyiapkan jamuan bagi mereka yang berada di pendapa. Sementara itu Pandan Wangi masih berada di dapur bersama mereka yang sibuk memasak jamuan makan.
Sementara itu, Sekar Mirah sendiri masih berada di dalam biliknya ia sudah tidak banyak berbuat sesuatu ia sudah lebih banyak berada di dalam biliknya, meskipun hari perkawinannya yang sebenarnya masih akan berlangsung sepekan lagi.
Di Pendapa ternyata telah berlangsung pertemuan dari kedua belah pihak calon pengantin. Untara dan Widura yang mewakili orang tua Agung Sedayu bersama orang-orang tua di Jati Anom dan padepokan kecil Agung Sedayu. sementara di pihak calon pengantin perempuan. Ki Demang didampingi oleh orang-orang tua di Sangkal Putung.
Biang Biang Iblis 1 Cintaku Di Kampus Biru Karya Ashadi Siregar Dewi Maut 16
^