Pencarian

Dewi Maut 16

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


subo dari nona Hong yang gagah perkasa ini?" Pertanyaan ini diajukan dengan
pandang mata tajam penuh selidik, dan diam-diam Raja Sabutai merasa heran
bagaimana nyonya cantik itu dapat memasuki tempat itu dan menerobos penjagaan
yang amat ketat. "Benar, sri baginda. Dia adalah murid saya," jawab Giok-hong-cu Yo Bi Kiok
sambil menjura. "Muridmu datang menawarkan bantuannya kepada kami dan sedang kami uji
kepandaiannya. Toanio datang seperti ini ada maksud hati apakah?" Biarpun di
dalam hati merasa tidak senang melihat kedatangan nyonya ini secara paksa dan
tanpa minta perkenan terlebih dahulu, namun dia membutuhkan bantuan orang-orang
pandai, maka Sabutai menahan sabar, apalagi karena dia maklum bahwa orang-orang
sakti di dunia kang-ouw memang tidak suka memakai banyak peraturan.
"Saya bersama pasukan Giok-hong-pang sedang mencari murid saya ini, dan
mendengar bahwa murid saya memasuki benteng paduka, maka saya menyusul ke sini.
Saya setuju sekali dia membantu paduka, bahkan saya sendiripun dengan seluruh
pasukan Giok-hong-pang siap membantu paduka. Akan tetapi kalau paduka hanya
ingin menguji murid saya, kiranya tua bangka-tua bangka ini bukan sekedar
menguji. Tua bangka-tua bangka seperti mereka hendak mengeroyok seorang bocah
seperti murid saya, sungguh tidak adil, maka saya akan membantu murid saya agar
dua lawan dua dan barulah adil. Tentu saja kalau mereka berani!"
Mendengar ini, Raja Sabutai mengangguk dengan girang. "Bagus! Memang adil
kalau begitu dan kami juga ingin sekali melihat kepandaian ketua Giok-hong-pang
yang hendak membantu kami." Raja ini lalu memandang kepada Hwa Hwa Cinjin dan
Hek I Siankouw yang kelihatan meragu. Tentu saja mereka telah mendengar nama
ketua Giok-hong-pang yang baru saja menggegerkan dunia kang-ouw itu, sungguhpun
baru sekarang mereka melihat orangnya. Betapapun juga, tosu dan tokouw yang
berilmu tinggi itu tidak merasa takut, apalagi mereka memang mengandalkan ilmu
silat pasangan yang mereka ciptakan bersama.
"Siancai...!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus. "Kiranya yang datang adalah
Giok-hong-pangcu! Kami tadi sudah mengatakan kepada muridmu, bahwa kami memang
selalu maju bersama. Baik menghadapi lawan satu orang atau sepuluh orang, bagi
kami sama saja asal kami maju berdua. Bukan sekali-kali kami ingin mengeroyok
muridmu." "Subo, biarlah teecu menghadapi mereka sendiri, teecu tidak takut," In Hong
berkata. "Apa" Tentu saja kau tidak takut, akan tetapi mana mungkin aku diam saja"
Kaulihatlah, gurumu akan membereskan mereka!" Yo Bi Kiok berkata dan tiba-tiba
dia berseru nyaring. "Tua bangka-tua bangka tak tahu malu, sambutlah
seranganku!" Tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan hanya bayangannya saja yang
tahu-tahu sudah menyambar ke arah Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw secepat
kilat. Kakek dan nenek itu terkejut sekali karena sambil melompat secepat itu,
ketua Giok-hong-pang ini telah melancarkan pukulan bertubi ke arah mereka dengan
gerakan yang amat aneh dan juga kuat sekali. Maka mereka cepat bergerak dan
mainkan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan berdua, yaitu ilmu silat tangan
kosong yang dapat pula dimainkan dengan senjata, yaitu yang mereka namakan Im-
yang-lian-hoan-kun. Ilmu silat ini sengaja mereka ciptakan untuk dimainkan
bersama dan terdiri dari dua macam silat dan tenaga yang saling bertentangan
namun saling membela. Kalau mereka mainkan ilmu silat ini dengan tangan kosong,
Hwa Hwa Cinjin mengambil peran sebagai pemain ilmu silat yang mengandung tenaga
keras sedangkan Hek I Siankouw mainkan ilmu yang berdasarkan tenaga halus (Im).
Akan tetapi sebaliknya kalau mercka mainkan ilmu ini dengan senjata, Hwa Hwa
Cinjin yang bersenjata hudtim bulu monyet maju menggunakan tenaga Im sedangkan
Hek I Siankouw yang memegang sebatang pedang hitam menggunakan tenaga Yang.
Karena ilmu ini mereka ciptakan berdua, tentu saja mereka dapat bekerja sama
amat baiknya, saling melindungi seolah-olah mereka itu terdiri dari dua badan
dengan satu hati dan pikiran.
"Plak-plak! Duk-duk-duk-dukk!" bertubi-tubi datangnya pukulan kedua tangan
Yo Bi Kiok, serangan dengan jurus-jurus yang amat aneh dan cepat. Namun karena
kedua orang kakek dan nenek itu bekerja sama sehingga mereka seolah-olah
memiliki empat mata, mereka dapat saling melindungi dan menangkis semua serangan
itu. Akibat adu tenaga ini, mereka terhuyung ke belakang, akan tetapi Yo Bi Kiok
juga terhuyung dengan kaget sekali karena pertemuan tenaga antara kedua
tangannya dengan tangan mereka yang menangkis itu membuat tenaganya buyar dan
dia menjadi bingung menghadapi tenaga Im dan Yang, yaitu tenaga lemas dan keras
yang dipergunakan kedua orang lawannya secara saling membantu. Maklumlah dia
bahwa kedua orang itu, biarpun andaikata maju satu lawan satu bukan merupakan
lawan berbahaya, akan tetapi setelah maju berdua ternyata dapat bekerja sama
baik sekali dan merupakan lawan yang tangguh. Mengertilah dia mengapa dua orang
itu berkeras untuk maju bersama. Ketua Giok-hong-pang ini belum lama telah
mengalami peristiwa yang amat memalukan, yaitu ketika dia dipermainkan oleh Kok
Beng Lama, maka kini menghadapi kakek dan nenek yang berkepandaian luar biasa
itu dia tidak ingin gagal dan kedua tangannya sudah meraba gagang pedang panjang
dan sepasang pedang pendek.
Tiba-tiba In Hong meloncat ke dekat subonya dan berbisik, "Subo, sri baginda
melarang penggunaan senjata dalam adu kepandaian ini, biar teecu menghadapi Hek
I Siankouw!" Tanpa menanti jawaban gurunya, In Hong sudah meloncat ke depan dan
menyerang Hek I Slankouw dengan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tepat pada
saat Hek I Siankouw menghindarkan serangan ini dengan tubuh berputar, tiba-tiba
Hwa Hwa Cinjin sudah melayangkan tangan menampar ke arah tengkuk In Hong. Elakan
dan serangan ini datangnya begitu otomatis, seolah-olah Hek I Siankouw sendiri
yang membalas serangan dengan menggunakan tangan Hwa Hwa Cinjin! Hampir saja
tengkuk In Hong kena ditampar dan biarpun dia sudah miringkan tubuhnya, tetap
saja pundaknya tercium ujung jari tangan Hwa Hwa Cinjin dan terasa panas sekali!
Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan Yo Bi Kiok sudah
menyerang kakek itu dengan dahsyatnya. Hwa Hwa Cinjin mengelak dan Hek I
Siankouw membantunya menangkis. Melihat cara kerja sama yang amat cepat dan
serba otomatis itu, In Hong cepat membantu subonya dan terjadilah pertandingan
yang amat seru dan hebat. Sesungguhnya, apabila pertandingan itu dilakukan satu
lawan satu, baik Hwa Hwa Cinjin maupun Hek I Siankouw bukanlah lawan guru dan
murid Giok-hong-pang ini, dan kiranya mereka tidak akan dapat meanahan lebih
dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dengan kerja sama amat baiknya dalam ilmu
Im-yang-lian-hoat-kun, mereka berdua dapat menghadapi Yo Bi Kiok dan In Hong
dengan amat baiknya. Guru dan murid ini tidak dapat bertempur saling bantu
seperti kedua orang lawannya, melainkan bertanding mengandalkan gerakan dan
tenaga sendiri masing-masing. Beberapa kali mereka mencoba untuk memancing atau
memaksa kedua orang kakek dan nenek itu agar berpisah, agar pertandingan dapat
dilakukan menjadi dua kelompok, namun mereka selalu gagal karena kakek dan nenek
itu tidak mau saling meninggalkan dan terus bergerak mengelak, menangkis atau
membalas serangan secara otomatis dan saling melindungi.
"Tiat-po-san...!" Tiba"tiba Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya sambil
menubruk ke arah Hek I Siankouw.
In Hong maklum akan maksud subonya. Dia dan subonya memiliki ilmu kekebalan
yang disebut Tiat-po-san (Ilmu Kebal Baju Besi), yaitu pengerahan sin-kang untuk
melindungi tubuh dengan hawa murni sehingga pada suatu saat berani menerima
pukulan karena tubuh di bagian tertentu yang terpukul itu menjadi kebal seperti
besi. Tentu subonya ingin merobohkan lawan dengan Tiat-po-san, membarengi
pukulan lawan yang dibiarkan mengenai tubuh yang kebal sambil melancarkan
serangan balasan. Akan tetapi, In Hong tidak ingin tubuhnya sampai terpukul
lawan sungguhpun belum tentu lawan akan cukup kuat untuk menembus pertahanan
Tiat-po-san. Dia teringat akan ilmu pukulan ampuh yang dia terima dari pendeta
Lama yang amat sakti itu sebagai penukaran obatnya untuk menyembuhkan luka-luka
akibat Siang-tok-swa yang diderita oleh anak laki-laki murid pendeta Lama itu.
"Hyaaaatttt...!" In Hong mengeluarkan suara melengking tingal sesuai dengan
ajaran yang diterimanya dari pendeta Lama, dan karena gurunya menyerang Hek I
Siankouw, maka dia lalu menyerang Hwa Hwa Cinjin dengan pukulan Thian-te Sin-
ciang. Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke depan, bukan hanya mengejutkan
Hwa Hwa Cinjin yang diserangnya, melainkan juga Hek I Siankouw memekik dan Yo Bi
Kiok sendiri terbelalak. Pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin sudah melindungi Hek I Siankouw yang diserang
oleh Yo Bi Kiok tadi, menangkiskan serangan Yo Bi Kiok terhadap Hek I Siankouw
dan tokouw ini otomatis lalu menggerakkan tangan memukul ke arah lambung Yo Bi
Kiok. Akan tetapi, Yo Bi Kiok yang sudah mengerahkan Tiat-po-san tidak mengelak
atau menangkis, melainkan langsung saja membalas pukulan itu dengan tamparan ke
arah dada nenek baju hitam itu. Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka
oleh Hek I Siankouw yang sudah kegirangan karena pukulannya mengenai lambung,
akan tetapi pada saat itu dia terkejut merasa betapa pukulannya bertemu dengan
lambung yang keras seperti baja dan dia sendiri terancam pukulan lawan ke arah
dada. Cepat dia miringkan tubuhnya dan selagi Hwa Hwa Cinjin hendak turun tangan
melindunginya, tiba-tiba datang pukulan dahsyat bukan main dari In Hong yang
menggunakan Thian-te Sin-ciang!
Plakk! Dessss...!" Hek I Siankouw miringkan tubuhnya sehingga pukulan Yo Bi
Kiok mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting. Sedangkan Hwa Hwa Cinjin yang
berusaha mengelak sambil menangkis pukulan In Hong, tetap saja terlempar dan
terbanting jatuh sampai bergulingan, bahkan Yo Bi Kiok yang hanya kena sambaran
hawa pukulan muridnyapun terhuyung dengan kaget dan heran sekali.
Raja Sabutai bertepuk tangan memuji. "Cukup...!" teriaknya, "Kami menerima
bantuan guru dan murid Giok-hong-pang!"
Biarpun fihak Wang Cin masih penasaran, namun mereka tidak berani
melanjutkan pertandingan itu. Apalagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah
mengenal kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan
oleh In Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan jerih.
Demikianlah, mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi
pengawal-pengawal Raja Sabutai, bahkan lima puluh orang perajurit wanita para
anggauta Giok-hong-pang yang sudah siap di luar bentengpun lalu diterima menjadi
pasukan pembantu dan diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan
istimewa. Yo Bi Kiok yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati
Raja Sabutai, diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan
ketua Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka
dapat bicara empat mata. Begitu memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok memegang tangan
muridnya dan tertawa girang. "Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat,
kini dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini, muridku.
Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah mendengar akan
kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Kalau kelak dia berhasil
merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh kedudukan tinggi
pula." In Hong diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya
menyelundup ke dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan
niat melindungi kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan
tetapi dia hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah.
"Begitu mendengar akan peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita
ke sini untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk
mencari kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan
membantumu agar engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu..."
"Ehh" Apa maksud subo...?" In Hong terkejut dan memandang gurunya dengan
sinar mata tajam penuh selidik.
Yo Bi Kiok tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan
makin muda. Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap
sewajarnya dan dapat bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para
anak buahnya, dia selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas.
"In Hong, kaukira aku tidak tahu" Sudah lama aku membayangimu dengan diam-
diam, dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu."
"Tidak... tidak ada apa-apa..." In Hong menjadi merah sekali mukanya dan dia
mencoba untuk menyangkal dan menggeleng kepala.
Yo Bi Kiok memandang dengan senyum masih menghias wajahnya. "Aihh, muridku.
Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula" Coba
katakan, ke mana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau
memperoleh pedang di pinggangmu itu?"
"Ini... ini... memang kutukar..." In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba
rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam.
"Hemm... tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku setuju dengan
pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria
lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulang sejarah gurumu. Engkau tidak
boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda
dahulu. Apa yang telah kau pilih harus kaupertahankan mati-matian. Oleh karena
itu, melihat engkau kurang tegas, aku telah turun tangan menyerang setiap orang
wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu."
"Ohhhh...!" In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. "Jadi... jadi
subo telah membunuh orang?"
"Hemm, apa salahnya" Gadis dusun itu kurang ajar dan tak tahu malu, berani
dia mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh."
In Hong menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya
tuduhan pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan benar-benar ada orang
terbunuh, hanya yang membunuh adalah subonya yang disangka dia.
"Kenapa, muridku" Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?"
In Hong masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu
berkata, "Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu..."
"Hi-hi-hik!" Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. "In Hpng, engkau
seperti anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana aku tidak
boleh mencampuri" Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau berjodoh
dengan dia." "Sudahlah, subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu."
"Baiklah, sekarang kita bicara tentang urusan kita di sini. Kita harus
membantu Raja Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh.
Biar aku menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!"
In Hong terkejut bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang
mendorongnya, akan tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya,
bahkan dia telah mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya!
Dia tidak suka membantu raja liar itu, apalagi melihat betapa raja itu dibantu
oleh orang-orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan
teman-teman mereka itu. Akan tetapi, dia tidak berani secara berterang menentang
subonya, maka tanpa banyak cakap dia mengikuti subonya menghadap Raja Sabutai.
Raja Sabutai yang didampingi oleh isterinya, Khamila yang kelihatan cantik
jelita dan wajahnya bercahaya seperti yang biasa nampak pada wajah seorang calon
ibu muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi
jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, karena selain
ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan
Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak
pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan.
"Ahhh, silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong." Raja Sabutai berkata
dengan girang, "Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila."
Yo Bi Kiok dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik
itu, sedangkan Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua,
terutama kepada In Hong dia memandang kagum.
"Harap sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu
waktu paduka," Yo Bi Kiok berkata.
"Ah, pangeu mengapa bersikap sungkan" Sebagai pembantu kami, tentu saja
kalian boleh menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat
lebih dulu?" "Ada keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka," kata
Yo Bi Kiok. "Ceritakanlah." Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa
sikap ketua Giok-hong-pang itu amat serius.
"Menurut pendapat saya, tidak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai
seorang sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke
selatan." "Eh, bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu" Apa alasannya?"
"Pertama, karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru."
"Hehhh...?" Raja Sabutai berseru kaget. "Kenapa tidak ada berita dari para
penyelidik kami?" "Memang hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari
selatan tahu akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti.
Oleh karena itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tidak
ada harganya lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja."
"Ihhh...!" Khamila cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan
saputangannya, akan tetapi In Hong yang sejak tadi memandangnya, melihat betapa
ketika mendengar ucapan gurunya ini, ratu itu menjadi pucat sekali mukanya,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya terbelalak dan bibirnya gemetar.
Raja Sabutai menengok kepada isterinya, menyentuh lengan isterinya sebagai
tanda menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata,
"Harap kaulanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?"
"Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya,
sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi
keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat
lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar,
sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini,
sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena
pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?"
Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian
dia berkata, "Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat
kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu
dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya
perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu.
Kita serbu Kerajaan Beng!"
"Dan Kaisar Ceng Tung...?" Yo Bi Kiok bertanya.
"Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu..."
"Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda." Yo Bi Kiok membantah. "Tentu
akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua
pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat..."
"Biarlah saya akan menjaganya!" Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.
Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. "Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan
khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada
orang yang dapat membebaskannya."
Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. "Kami percaya
kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos,
juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong."
In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang
kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka
In Hong segera menjawab, "Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan
taruhan nyawa!" "Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo," Kini Raja Sabutai
menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan
sambil duduk melenggut saja. "Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang
penyerbuan ke selatan?"
Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas. "Kami hanya setuju saja...!"
jawab mereka acuh tak acuh.
Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil
Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin
menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu
penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.
Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In
Hong, "Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat
mungkin selamatkan dia keluar benteng."
In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Kiranya
gurunya ini di depan Raja Sabutai hanya bersiasat saja, sebenarnya tidak ingin
membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia
bertanya, "Tapi, subo..."
"Hushhh...!" ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, "kita
tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik
sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu."
Hati In Hong kecewa lagi dan diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang
ternyata amat mementingkan dirinya sendiri sehingga untuk membela dia yang
dianggapnya telah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan
membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, dan kini kaisarpun hanya
dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi. Diam-diam di dalam hati
gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia
tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa
sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang
semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal
yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya" Mulailah
hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk
dapat menyelamatkan kaisar, dari tangan Sabutai dan dari tangan subonya sendiri.
Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita
cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.
Dua hari kemudian, mulailah Raja Sabutai yang telah mengerahkan pasukannya
itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir
akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini, Khamila dan Kaisar Ceng Tung
yang menjadi tawananpun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam
pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan.
Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan tidak
sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal.
Ketika fihak kerajaan mendengar akan gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja
merekapun lalu bergerak mengirim bala tentara. Di perbatasan, para komandan
pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong
dan puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa
kerajaan sama sekali tidak memperdulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama
sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar
yang tertawan. Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa terjadi pergolakan
dan perebutan kekuasaan di kota raja, apalagi ketika dia mendengar bahwa bukan
saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar
mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah
mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala
tentara dikerahkan! Sebetulnya, di dalam hati, Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota
raja. Akan tetapi karena diapun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke
selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta
kaisar, maka pendekar inipun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara
kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara
menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!
Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dengan pasukan kerajaan terjadi di
perbatasan. Dan biarpun mendapai bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun
dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami
pukulan hebat! Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia
Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apalagi di fihak
musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan
Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sinkouw, Bouw Thaisu dan terutama
sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Fihak kerajaan terlalu
memandang rendah kepada Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh
daripada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para
perajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari perajurit-perajurit gemblengan yang
selain terlatih kehidupan yang keras dan sukar, juga bersemangat besar untuk
menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang pernah menjadi
bangsa yang jaya. Memang hebot gerakan Sabutai dan ternyata tidak kecewa dia mengaku sebagai
keturunan Jenderal Sabutai yang pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan
Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia
menggunakan siasat yang amat hebat sehingga pasukannya bergerak seperti kilat ke
selatan, merobohkan semua rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan
Beng terus-menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak
Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!
Cia Keng Hong prihatin sekali melihat keadaan ini dan dia bersama puteranya
dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa
banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh
lebih kuat daripada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini adalah karena
kerajaan sedang kacau dan para pembesar militerpun telah terpecah-pecah oleh
suasana perebutan kekuasaan.
Baru setelah bala bantuan datang, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari
semua jurusan, kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam
pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai dihalau
mundur dari daerah lingkungan kota raja. Dan di dalam pasukan bala bantuan yang
kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa yang selalu dalam
saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat
persembunyian mereka untuk menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk
kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap
Kun Liong! Biarpun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri,
menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan, puterinya, juga mencari hilangnya
Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya,
mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu
ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking,
pendekar inipun segera melupakan semua urusan pribadinya dan terus saja
menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan
itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.
Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan sehingga akhirnya dia menarik
mundur sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar
perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang telah
dirampasnya ketika dia menyerbu ke sclatan.
Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu
bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang
menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena
cemas memikirkan betapa pasukan Mongol makin mendekati kota raja, Khamila
memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta
agar mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi
heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati
kepada kaisar. "Kasihan sekali sri baginda kaisar," pada suatu petang In Hong sengaja
memancing di depan Khamila. "Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya
mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan."
Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian bertanya
lirih, "Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu
tinggi. Bagaimanakah pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu" Dia telah
tertawan, akan tetapi dia tidak pernah sudi menyerah, tidak pernah mau tunduk
dan sama sekali tidak takut mati."
Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata
ini, maka dia menjawab, "Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan
yang mengagumkan." In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan, "Sayang dia
menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya
tidak menjadi tawanan."
"Maksudmu... sepatutnya dia bebas?"
In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi
jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan
kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita
menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila
membuka mulut berkata, "Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang
mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?"
In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau
isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah
menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguhpun mimpipun tidak pendekar
wanita ini bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan
kaisar yang menjadi tawanan itu!
"Bagaimana saya dapat membebaskan beliau" Para penjaga tentu akan mencegah
dan pula... sungguhpun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus
menjaga keselamatan paduka..."
"Kaubebaskanlah beliau biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-
apa..." kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.
"Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?"
"Ehhh...?" Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. "Apa
maksudmu...?" "Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu.
Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang
pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang
berani mencegah atau bercuriga. Kemudian, kalau saya sudah berhasil mengantar
kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali
kepada Raja Sabutai."
"Ahhh...!" Sejenak sepasang mata itu berseri dan bersinar mengingat bahwa
dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari
anak yang dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena, betapapun juga,
dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati
itu. "Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya" Suhu dan subonya seperti
iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu..."
"Kita harus cerdik, dan kita bergerak kalau mereka itu keluar dari benteng
menyambut musuh." Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali
memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang dikandungnya itu, bukti
yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk
selamanya. Dia setuju dan kedua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini
menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat.
Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang
berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan
kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi
girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa
terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan.
Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung tiba
tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang telah menyelidiki bahwa
musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu.
Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan
di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga
tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.
Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja,
setelah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng sedang sibuk menghadapi musuh,
suara bising terdengar di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu
Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang
menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang
gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu. Para penjaga di luar
yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apalagi dikawal sendiri oleh In
Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan
pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang
perajurit biasa. Tidak ada seorangpun berani membantah atau menentang dan hanya
kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam
keadaan berbahaya seperti itu.
Justeru karena keadaan bahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk
menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!" jawab In Hong dan kepala
penjaga itu tidak berani membantah lagi.
Dengan mudah saja In Hong dan "perajurit pengawal" yang bukan lain orangnya
adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui
pintu darurat atau pintu rahasia yang berada di tempat tersembunyi di belakang
benteng itu. Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu,
kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup
kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari
luar maupun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.
"Cepat kita lari ke hutan itu...!" In Hong berbisik kepada kaisar dan sang
ratu. Kaisar yang menyamar seperti perajurit itu menarik kereta joli yang
diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka menyelinap di antara pohon-pohon memasuki
hutan yang gelap. "Heiiii...! Tunggu...!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong
cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang perajurit
dipimpin oleh kepala jaga tadi!
"Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!" In Hong
berbisik dan Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera
mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan
hati tegang namun dengan perasaan bahagia bahwa mereka berdua yang saling
mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka
gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka.
"Hemm, kalian mau apa?" In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua
kaki terpentang dan sikap marah menantang.
"Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan telah lenyap!" kata kepala jaga
sambil memandang dengan penuh kecurigaan dan obor-obor yang dibawa oleh para
perajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tawanan siapa?" In Hong berkata dengan nyaring dan disengaja agar kaisar
yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.
"Kaisar itu! Dia telah lenyap."
"Hemm, biarpun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu
bahwa aku tidak ada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu.
Perlu apa mengejar aku?"
"Lihiap... eh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar
benteng, bersama seorang perajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa
tidak ada perajurit pengawal seperti itu di dalam benteng. Di manakah mereka" Di
mana perajurit itu dan sang ratu?"
"Kurang ajar! Kau menuduh aku...?"
"Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, kuharap lihiap suka
memperlihatkan surat perintah sri baginda!"
"Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak
mencegah aku menyelamatkan ratu!"
"Hemm, sikap lihiap sungguh mencurigakan! Di mana sang ratu" Dan di mana
pula tawanan itu kausembunyikan?" Kepala jaga itu memberi isyarat sambil
melangkah maju dan selosin perajurit itu lalu mengurung In Hong.
"Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian ini yang mencurigakan, tentu kalian
adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!" berkata demikian, In Hong
yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekeli
berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar
emas dari pedang Hong-cu-kiam dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika dalam
segebrakan saja empat orang perajurit telah roboh dan tewas! Kepala penjaga itu
menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang
menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa
kalau dia tidak bertindak cepat dan dikejar oleh pasukan besar, tentu kaisar
akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah. Pedang
Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah,
sinarnya bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan
susul-menyusul du dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga
belas orang itu roboh dan tewas!
In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak
obor-obor yang masih bernyala. "Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!" serunya
perlahan ke arah semak-semak itu.
Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam
betapa keisar tawanan itu merangkul leher Khamila sedangkan ratu itu merangkul
pinggang kaisar. In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini"
Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu,
isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biarpun ada baiknya kalau ratu ini
bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan
gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih
yang begitu mesra! "Kita pergi sekarang dengan cepat memasuki hutan," katanya singkat dan dia
mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang
diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para perajurit penjaga.
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu.
Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan
jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan di waktu malam gelap,
melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung!
Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh
kasih sayang menuntunnya, menghiburnya dan merangkulnya, ratu ini dapat juga
melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir
kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.
"Aduh... seperti mau patah-patah rasanya kakiku..." Khamila mengeluh dan dia
duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.
Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang
ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak
ingat bahwa yang berada di depannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu
dari Raja Sabutai, tentu dia sudah menghajar mereka, atau setidaknya
meninggalkan pergi tanpa memperdulikannya lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan
muaknya, dia tanpa menoleh berkata, "Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di
waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi."
Suaranya dingin dan datar.
Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki
mendekatinya, akan tetapi dia tidak perduli dan
dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh
pundaknya. Dia menoleh dan ternyata Khamila yang duduk di sebelahnya dan
merangkulnya. "Hong-lihiap... eh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah
menganggapmu sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kaumaafkanlah kami
berdua..." In Hong mengerutkan alisnya dan membuang muka. "Urusan kalian tidak ada
sangkut pautnya dengan aku!" katanya lirih dan dingin.
Khamila menarik napas panjang. "Tentu engkau akan menganggap bahwa kami
tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara
beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama..."
"Ehhh" Bagaimana...?" In Hong terkejut juga mendengar ini.
"Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar
rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan
sebaliknya beliaupun cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap,
seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya. Hanya ini
yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban
seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian... aku akan ikut denganmu kembali
kepada suamiku." Suaranya menjadi berduka sekali.
"Hemmm..." In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran,
kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk dan melihat
In Hong memandangnya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila
dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih.
"Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan..." kata In Hong dan dia lalu
bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.
Sampai dua hari dua malam, mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali.
Selama ini, In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra
sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu mienjauhkan diri, akan tetapi
setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw!
Membayangkan dia dan Bun Houw berkasih-kasihan seperti halnya kaisar dan
Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali
pula mencela dan memaki diri sendiri. "Tidak tahu malu kau!" bentaknya dalam
bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw
bermesraan. Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam
suntuk yang amat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh
kaisar dan Khamila, yang mengumpulkan daun-daun kering, tiba-tiba terdengar
suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa
orang yang membuat In Hong terkejut sekali dan pendekar wanita ini melepaskan
ranting yang dipegangnya. Di depannya telah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa
Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu
pembesar Thaikam Wang Cin itu!
Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia malah bersikap
tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam
dingin lalu terdengar dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, "Kalian
orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?"
"Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami" Bukankah
pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu" Mau apa engkau mengajak tawanan dan
Ratu Khamila ke tempat seperti ini?"
Sebelum In Hong menjawab, tiba-tiba kaisar yang sudah bangkit berdiri sambil
menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan lantang, "Kami lihat bahwa kalian
adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah
sampai sekarang kalian tidak menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-
orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan
bahwa sekarang usaha Wang Cin sudah mengalami kegagalan dan di ambang
kehancuran" Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian
mengejar ini mau apa" Hayo jawab!"
Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya,
sikapnya, kata-katanya semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak empat
orang tua itu tidak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai
bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat
menguasai dirinya lagi dan dengan suara yang kurang galak dia berkata, "Kami
mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng."
Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, gerakan yang
juga mengandung wibawa kemudian katanya lanteng, "Dengarlah, hai para
pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai
daripada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang
datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi
menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan
mereka?" In Hong mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga makin menonjol
karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah
sikapnya. "Tentu saja hamba berani!" jawabnya tegas.
"Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa
seperti mereka itu, nona!" kata pula kaisar dan dengan sikap tenang dia lalu
menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita
muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton
pertandingan. Biarpun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang
saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak
perduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Enci Hong, hati-hatilah...!" Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.
In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum
terima kasih. Dia makin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu
cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti
mereka. Apalagi dia sendiri memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada empat
orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan
kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu
wanita cantik yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia
mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak
kandungnya itu. In Hong melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-
nyambar, kemudian dia berkata, "Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa
Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanyalah terbawa-bawa saja oleh Lima
Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi
locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, boleh meninggalkan tempat ini dan
kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-
kouw mati di sini, silakan!"
Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena biarpun kata-kata yang halus itu
ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu,
namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia
tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!
"Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kaukira menghadapi kami
akan semudah itu" Kaukira membunuh kami akan semudah kau membunuh isteri Yap Kun
Liong yang tidak berdaya itu" Heh-heh, jangan mimpi!"
Kata-kata Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi
di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berobah dan dia
mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya makin tercurah karena hatinya
tertarik sekali. Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh
tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba
laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia
telah lenyaip ke dalam semak-semak belukar. Yang menyebabkan dia menghilang ini
adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang
yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu,
seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas
sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor
tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu.
In Hong dan empat orang tua yang dihadapinya adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding,
dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di
depan masing-masing. Andaikata tidak sedang demikian, betapapun ringan dan cepat
gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan
dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya
orang yang mengintai. Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, matanya
menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. "Memang engkau seorang
yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut
yang suka memutarbalikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri
kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang
hina! Tidak ada alasan bagiku mengapa aku harus membunuh isteri kakakku,
sungguhpun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu
adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju muridmu itu menjadi
isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina..."
"Bocah setan, makanlah tongkatku!" teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah
sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur
digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.
"Huh!" In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan
mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah
menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang
akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh. Go-bi Sin-kouw sudah terlalu
tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya sudah banyak berkurang
maka biarpun dia masih lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan tongkat,
yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena
sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih
memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.
Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu
membelalakkan matanya ketika melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya
dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apalagi ketika kini
tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju
mengeroyok! Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alisnya dan seluruh urat di
tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng
kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikitpun tidak
khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat
mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan
penuh kasih sayang! "Gila... sungguh gila!" Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri.
"Gila dan aneh." Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran
di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru.
Gadis itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar
pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya, bahkan kadang-kadang
sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah
empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan
kecepatan kilat. Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitam dengan penasaran. Dia masih
berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya puluhan tahun yang lalu, namun
percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-
sut membutuhkan gin-kang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda. Hwa
Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya
hidup di kutub utara dan kebutan ini amat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu
tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok
dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang sudah menyerang
pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya. Akan tetapi, yang paling berbahaya
di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Biarpun pertapa ini hanya
mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan
bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong. Dia dapat
menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali
bertemu senjata, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau
terpental senjata mereka, dan Hwa Hwa Cinjinpun dengan susah payah dapat
mengimbangi tenaganya, akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan
baju Bouw Thaisu, dia merasa betapa telapek tangannya tergetar!
Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat
merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, mendesakpun tidak mampu dan dara itu
dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tidak kalah
ampuhnya. Bahkan ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat
pahanya terasa nyeri. Marahlah Hwa Hwa Cinjin dan dia memberi tanda kepada
partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-
lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan
saling melindungi, dan mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat
tangguh setelah menggunakan ilmu ini. Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa
sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara
muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan
bajunya meniadi lebih antep dan kuat.
In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan dan tongkat
hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya. "Cring-cring...
singggg...!" Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus
meluncur ke arah Bouw Thaisu.
"Wuuttt... plakkk!" Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan
membuat tubuh dara itu miring. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin
yang cepat "memasuki" lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang
terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sin-kang
keras, sehingga rambut itu menjadi kaku sehingga hudtim itu seolah-olah berobah
menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya! Terkejutlah In Hong
karena pada saat itu, pedangnya sudah diputarnya lagi untuk menghalau sinar
hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai
menangkis hudtim yang mengancam ulu hati, sedangkan untuk mengelak, kedudukan
tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak den otomatis pula
dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagal "hadiah"
dari Kok Beng Lama. "Wuuuttt... plakkk... dessss...! Aughhhhh...!" Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang
den terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu
dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung
tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur den berhasil menggempur dada
kakek itu. Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tak dapat bergerak
lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah den agaknya nyawanya hampir putus di
saat itu juga. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te
Sin-ciang! Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah
menyerang dengan nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing
ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diseling oleh totokan-totokan maut
yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya.
In Hong yang juga tergetar ketika melakukan serangan tangan kiri dengan
Thian-te Sin-ciang tadi kini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia harus cepat-
cepat menggerakkan pedang kerena dua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan
marah sekali, dan dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan
mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua
senjata nenek itu. Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba
menggerakkan hudtimnya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur
seperti anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu
melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas.
In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya
sudah tewas itu dapat menyerang sedemikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah
dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata
dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu,
Bouw Thaisu yang penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu,
membentak keras, kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang
dengan amat hebatnya! Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan
maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan
pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa
ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis
dengan tangan kosong saja! Aken tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama
bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis
senjata pusaka, maka daripada tubuhnya di"makan" senjata ujung lengan baju,
lebih baik dia mencoba tangan kirinya.
"Desss...! Plakk...!" Tubuh Bouw Thaisu berputar dan terhuyung. Kakek ini
kaget setengah mati karena tangan kiri dara itu ternyata dapat menangkis dan
mengembalikan lengan baju kirinya dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya
sehingga tubuhnya ikut berputar, akan tetapi In Hong mengeluh dan pundaknya kena
diserempet ujung lengan baju kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia
berjungkir-balik untuk menghindarkan serbuan musuh.
In Hong menggigit bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan
baju dan nyerinya bukan main. Biarpun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi
pundak kiri itu terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah
lumpuh! Bouw Thaisu dan dua orang nenek itu menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba
dari atas pohon terdengar seruan, "Tua bangka-tua bangka pengecut!" Sesosok bayangan wanita menyambar turun
dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah berada di situ! "Kalian hanya berani mengeroyok
seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya, majulah kalau kalian sudah
bosan hidup!" Hek I Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sababatnya,
juga kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak
tewas, maka tanpa memperdulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu
amat lihai itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In
Hong! Melihat ini, Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga menerjang maju menghadapi
Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang yang telah mencabut keluar Lui-kong-kiam di
tangan kanan dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah
kini pertandingan dua rombongan yang amat seru. In Hong hanya menghadapi seorang
lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan tetapi karena pundak
kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya masih agak lumpuh, maka
tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya mengandalkan geraken
pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya menjadi seimbang juga
dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara mati-matian.
Biarpun Yo Bi Kiok amat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya,
akan tetapi pertandingan antara dia dan dua orang tua itupun hebat den seru
sekali. Boleh jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih jauh kalah olehnya, akan tetapi
tingkat Bouw Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia
hanya menang cepat dan juga memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni,
warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di
tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga setelah bertanding lima
puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung!
Bouw Thaisu kaget dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khi-
kang dan kedua tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar
ganas ke arah ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak
dan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-
kouw yang cepat menangkis.
"Trakkk!" Tongkat butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat
meloncat jauh ke belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan
tahu-tahu dia sudah berada di belakang kaisar dan Khamila, menodongkan sisa
tongkatnya yang tinggal sepotong dan membentak, "Tahan senjata! Kalau tidak,
akan kubunuh kaisar!"
"Subo, harap mundur...!" In Hong berteriak kaget dan dia sendiri cepat
mundur meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi.
"Jangan mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek
iblis ini. Biarlah kalau dia mau membunuh kami!" Kaisar berkata, sedikitpun
tidak takut biarpun tongkat itu sudah menodong kepalanya.
"Subo... harap mundur...!" kembali In Hong berteriak dan dengan ketawa
mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini dapat
bernapas lega. Dia sudah terdesak hebat tadi, nyaris tewas oleh sinar pedang
kilat yang bergulung-gulung.
"Hemm, tua bangka curang!" Yo Bi Kiok berseru. "Akan tetapi memang cukup
berharga kalau sri baginda kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian bertiga!"
"Sri baginda akan kubunuh kalau kalian tidak mau membiarkan kami pergi,"
kata Go-bi Sin-kouw. "Yo-pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau berjanjilah
bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan kaisar! Hayo
berjanji!" Yo Bi Kiok kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang
sudah ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh kaisar dan Khamila, In
Hong berkata, "Subo, berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk
dikorbankan!" Yo Bi Kiok mendengus, kemudian dengan gemas dia berkata, "Nenek iblis tua
bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi kalau
kau membebaskan kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku,
kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!"
"Nona In Hong, kaupun berjanji yang sama?" Go-bi Sin-kouw bertanya lagi,
ditujukan kepada In Hong. Gadis ini mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat
cerdik, karena kalau saja dia tidak disuruh berjanji, begitu kaisar dibebaskan
tentu dia akan menyerang nenek itu! Karena nenek itu ternyata cerdik dan
menanyanya, terpaksa dia mengangguk. "Aku berjanji akan membiarkan kalian
bertiga pergi asal sri baginda dibebaskan."
Tiba-tiba nenek dari Go-bi itu terkekeh girang, "Bagus, kalian tentu orang-
orang yang memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah yang menjadi
gara-gara sampai kaisar dapat lolos, maka aku takkan mengampunimu!" Dia
mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu.
"Go-bi Sin-kouw! Kau sudah berjanji...!" Akan tetapi In Hong menjadi pucat
karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri kaisar, sama sekali
tidak menyebut nama Khamila!
"Heh-heh, siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?" Dia mengangkat
tongkatnya. Yo Bi Kiok hanya memandang dengan senyum mengejek, sedangkan In Hong
berdiri terlalu jauh untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila.
"Mampuslah kau!" Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah
kepala Khamila. Pada saat itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat
bayangan putih dan orang itu adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya
diangkat menangkis dengan pengerahan tenaga.
"Plakkk... krakkkk!" Tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya
pecah karena ternyata tangkisan kakek itu sedemikian kuatnya sehingga pukulan
tongkat itu membalik mengenai kepalanya sendiri sampai pecah!
In Hong memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai
itu, yang bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Adapun
kaisar sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka
dia lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak
muda dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti
itu, maka dia lalu berkata girang, "Ahh, kiranya Cia-taihiap ketua Cin-ling-pai
yang telah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila! Sungguh kami merasa girang sekali,
Cia-taihiap!" Cia Keng Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar itu dan memberi
hormat. Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh
pendekar sakti itu berdiri lagi.
Sementara itu, Yo Bi Ktok menjadi marah karena kemunculan Cia Keng Hong itu
seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena
nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Dengan
marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw Thaisu dan Hek
I Siankouw. "Kalian ini anjing-anjing tua harus mampus!"
Bouw Thaisu dan Hek I Slankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap
menghadapi wanita sakti yang galak itu.
"Subo, kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!" In Hong memperingatkan.
Yo Bi Kiok meragu, dan tiba-tiba Cia Keng Hong, kakek itu yang diam-diam
merasa kagum akan sepak terjang Yap In Hong, lalu kini tahu mengapa gadis puteri
sahabat baiknya itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak
terjangnya. Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya
ini! Dia di dalam pengintaiannya tadi dapat mengenal dasar watak In Hong yang
baik, tidak seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tak
mengenal ampun. Maka diapun berkata, suaranya berwibawa. "Orang yang tidak
memegang janjinya adalah orang yang rendah wataknya!"
Yo Bi Kiok seperti disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-
ling-pai itu dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal
watak gurunya yang amat keras, cepat menggunaken kesempatan itu berkata kepada
Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, "Ji-wi locianpwe harap segera pergi dan membawa
jenazah mereka." Bouw Thaisu sejenak memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata,
"Kiranya engkau yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai." Dia
mengangguk-angguk. "Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa
Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu." Dia
lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I
Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw. Sebentar saja bayangan
kedua orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu.
Yo Bi Kiok sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata
mendelik dan muka merah. Dia tidak memperdulikan lagi kakek dan nenek yang
melarikan diri itu. Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandang mata itu
menoleh kepadanya, Yo Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali.
Melihat ini, berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan
baik dan tahu benar bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan
terjadi hal yang hebat. Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Rong,
kakek ketua Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya.
Maka diapun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati kaisar dan
Khamila yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang.
"Hemmm, kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-
ling-pai yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!" Terdengar Yo Bi
Kiok berkata, suaranya mengandung penuh ejekan.
Cia Keng Hong tersenyum. Dia adalah searang pendekar sakti, pendekar besar,
ketua perkumpulan yang telah terkenal akan kegagahannya, maka diapun bukan
seperti kanak-kanak yang mudah dibakar hatinya. Mendengar ucapan itu, dia
memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal. "Dan kiranya engkaulah
yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap Kun Liong ini..."
Aku merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, kau
perduli apa" Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?" Yo Bi Kiok membentak
makin marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia
ini yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati
karena menolaknya. Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak hendak membela siapa-siapa,
hanya sayang bahwa engkau telah menyeleweng, padahal engkaulah kiranya yang
telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo itu."
Yo Bi Kiok tertawa. "Tak kausangka, ya" Engkau sama bodohnya dengan para
datuk yang pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang kuperoleh ini,
dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!"
"Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?" In Hong
yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, tak dapat tinggal diam
lagi dan menegur dengan halus.
Yo Bi Kiok menoleh kepadanya. "Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa
tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai." Sambil berkata demikian, tanpa
menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung.
Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan
Yo Bi Kiok. "Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar
karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!"
Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya dengan
sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong. "Orang tua..." geramnya. "Mengingat
akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi
sekarang engkau malah menantangku!"
"Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah
berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota
raja." "Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan
aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai."
"Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu."
"Subo, biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe,
dan kita mengantar Ratu Khamila kembali," In Hong berkata dan Cia Keng Hong
menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.
Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali,
dari arah Yo Bi Kiok berdiri. Tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-
pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok
dan mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi
ilmu-ilmu dari bokor emas itu.
Yo Bi Kiok telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga
mengandung tenaga sakti yang hebat sekali, Cia Keng Hong tidak berani memandang
rendah, juga pendekar ini mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan kedua
tangannya menangkis. "Wuuuutttt... plak-plak-duk-duk-dukk!"
Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu
bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua
langkah jauhnya! Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya
menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dia
terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!
"Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!"
"Singggg...!" Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut.
Cia Keng Hong lalu memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang
ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya. "Yo-pangcu, bukankah itu Lui-
kong-kiam yang dahulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?" tanyanya sambil
memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu.
Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. "Dia mampus di tanganku seperti juga engkau
akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kaukeluarkan pedangmu Siang-
bhok-kiam yang terkenal itu!"
Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti
seorang anak kecil saja. "Yo Bi Kiok, sembarang rantingpun cukuplah untuk
menghadapi pedangmu itu."
Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika
bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak
pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya
dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja dia merasa dipandang rendah dan dihina
sekali. Sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang,
tubuhnya menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung. In
Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu,
akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subonya, benar-benar
merupakan bunuh diri! Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan
membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba
terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan
kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan
menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek!
Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan kemarahannya
memuncak. Kemudian dia menjerit dan menyerang lebih hebat daripada tadi.
"Suboooo... jangan...!" In Hong yang melihat kehebatan serangan ini,
serangan maut yang juga merupakan serangan mengadu nyawa karena dalam serangan
ini, seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan
sama sekali. "Cringgg... ceppppp!!" Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua,
akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan
menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok.
Sejenak wanita itu terbelalak, hampir tidak mempercayai pandangan matanya
sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya.
Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang
luar biasa, maka dia menjadi malu sekali. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari
dari situ dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu
suara ketawa ataukah suara menangis!
Cia Keng Hong menghela napas dan menoleh kepada In Hong yang memandangnya
dengan penuh kagum. "Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh
watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan," katanya.
"Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena
ditolak oleh Kun Liong koko," kata In Hong.
"Ahhhhh... begitukah...?" Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Dia
tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan
bencana pada manusia, sejak jaman gurunya masih muda (baca cerita Siang-bhok-
kiam) sampai pengalamannya sendiri.
"In Hong," katanya teringat kepada orang tua gadis itu dan memanggil nama
gadis itu dengan mesra. "Kau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan
melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar kembali
ke kota raja." In Hong mengangguk. Dia tunduk dan kagum kepada kakek ini sekarang, tidak
hanya kagum akan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum
akan sikapnya. "Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng
Raja Sabutai." Cia Keng Hong menghampiri sri baginda dan menjura dengan hormat. "Marilah,
sri baginda, hamba mengawal paduka kembali ke kota raja."
Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila dan wanita cantik itu sudah
bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan berduka
dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka
saling rangkul. In Hong menundukkan kepala dan Keng Hong membalikkan tubuhnya
dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua
orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal
itu bukan urusannya dan dia tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya
tetap saja mendengar isak tangis Khamila.
"Sri baginda... terpaksa... terpaksa saya harus meninggalkan paduka..."
terdengar Khamila terisak.
"Khamila, tidak bisakah... kau ikut dengan aku untuk selamanya?" suara
kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu
dan membujuk kekasihnya. "Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... sudah menjadi
kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda."
"Khamila... ah, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan"
Bila kita dapat berjumpa kembali...?"
"Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda.
Biarlah kalau di dunia ini kita tidak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak
hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi..."
"Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu,
Khamila..." Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah
kalung dari lehernya dan mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil
barbisik, "Khamila, kalung ini pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan
kepada permaisuriku."
Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, matanya yang berair
memandang terbelalak. "Tapi... tapi... kita..."
"Kita berpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-
satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang
wanita sekalipun." "Ah, sri baginda..." Khamila menangis dan makin terharu dan beratlah hatinya
untuk berpisah. "Kaumintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar jika engkau melahirkan
seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama
pemberianku, yaitu Ceng Han Houw."
Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya sambil mengangguk, kemudian
berbisik, "Kalau perempuan?"
"Terserah kepadamu."
Setelah mendekap sekali lagi mereka berpisah. Khamila digandeng tangannya
oleh In Hong dan pergi dari situ, dlikuti pandang mata kaisar yang berdiri
dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu
akan lari kembali kepada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh
In Hong. Setelah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela
napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih menantinya itu,
"Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan daripada dua orang yang saling
mencinta terpaksa harus berpisah?"
Cia Keng Hong yang semasa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta,
dapat memaklumi perasaan kaisar saat itu, akan tetapi dengan jujur dia
mengingatkan. "Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria
dan wanitapun hanya merupakan sebagian saja daripada hidup yang luas ini,
apalagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di sana masih menanti tugas yang
menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang
oleh lain orang." Ini merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong,
memandang tajam dan bertanya, "Siapa dia?"
"Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Cing Ti, adik paduka sendiri yang
dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan
kawan-kawannya itu.: Kaisar mengerutkan alisnya. "Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu
bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena
manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang
sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo,
yang sudah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa,
ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai."
Cia Keng Hong lalu menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui
penyelidikannya selama ini. Diceritakannya betapa pasukan orang-orang Mancu dan
Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang ditawan karena
tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian betapa dia pergi
menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang
menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan tanpa ada usaha
untuk menolong, kemudian malah mereka itu menentang para pembesar yang setia dan
memaksa pengangkatan Pangeran Cing Ti sebagai pengganti kaisar.
Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan
Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Kini pikirannya terisi penuh
dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali.
Demikianlah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh
pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi yang
tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai
kita, maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang
kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai
sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang
lain. Padahal setiap kesenangan itu selalu disanding oleh kekecewaan, kebosanan,
dan kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain.
Sumber segala kedukaan berada di dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari
segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri.
Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat
lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan
pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya
perobahan mujijat dalam diri kita.
"Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?" kaisar beetanya.
"Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka,
akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara,
tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin
mengantar paduka kepada mereka di kota raja."
"Hemm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe."
*** Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju ke kota raja untuk
memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara
paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu
Khamila kembali ke benteng Sabutai.
Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila
menangis dan dihibur oleh In Hong. "Paduka telah melakukan hal yang baik sekali
dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?"
Khamila menarik napas panjang. "Enci Hong, engkau benar. Aku telah
membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan
tetapi... ah, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau
meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi
negara terpaksa aku harus berpisah darinya... yang ada hanya ini..." Dia
mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan
kandungannya itu dari siapapun juga, maka tangannya yang mengusap perut itu
terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. "Hanya ini
yang diserahkan padaku..." katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa
kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.
"Untuk siapa?" tanyanya.
"Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini
menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai." Dia menarik napas panjang lagi
dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan
berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Aih, sering kalau aku memandangmu, timbul
rasa iri di dalam hatiku, enci Hong."
"Iri hati" Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang
manusia pengembara."
Justeru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi
ke manapun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu
sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama bebas memilih kawan
hidupmu sendiri. Aku" Ah, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku
tidak boleh memilih pembeli. Aku tidak pernah mengenal cinta kasih sebelum
berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang amat terlambat, yang hanya
mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang
akan mendatangkan duka saja."
Ucapan itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia" Bebas,
memang benar akan tetapi dia yang sejak dahulu bebas tidak lagi dapat memakan
kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang yang tidak bebas seperti Khamila
itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan
tetapi bahagia" Dan cinta kasih" Memilih kawan hidup sendiri" Otomatis tangannya
meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia,
mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia
mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada
pemuda itu" Tak disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya
berdebar aneh. Sekarang dia tidak lagi marah kepada pemuda itu, karena ternyata
pemuda itu tidak menuduhnya membunuh orang secara sembarangan saja, bukan fitnah
kosong, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subonya yang mungkin saja
oleh Bun Houw disangka dia. Akan tetapi, Bun Houw yang dia tahu amat setia
kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia
yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan,
padahal ketua Cin-ling-pai sendiri dengan pasukannya tak pernah berhasil
menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu dan melihat bagaimana sinar
mata pemuda itu memandangnya kalau mendengar tentang jasanya terhadap kaisar
itu! Oleh karena keinginan yang timbul di dalam hatinya inilah yang membuat In
Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika
dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya, "Hong-moi...!"
In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda
yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu
amat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah
dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.
"Hong-moi...!" In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan
matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak merah lagi seperti dulu,
pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada
pertemuan mereka yang terakhir.
"Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?"
Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapt ketika dia melihat Khamila, dia
cepat menjura dan berkata, "Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?"
Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian, lalu dia mengangguk.
"Enci Hong, siapakah dia ini?"
"Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya," jawab In Hong sederhana. Lalu
dia bertanya lagi, "Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?"
"Aku... aku telah mendengar akan perbuatanmu yang amat gagah berani dan
mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu,
Hong-moi!" In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda
itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi,
sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia
disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali. "Hemm,
kalau sudah begitu mengapa?" tanyanya, dingin dan angkuh.
Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, "Perbuatanmu itu
hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apalagi aku


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda
kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!"
"Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?" Tiba-
tiba Khamila bertanya. Bun Houw mengangguk membenarkan.
"Bagaimana kesehatan beliau?" tanya pula ratu itu sehingga Bun Houw
terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas
kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan suaminya! Dia memang sudah berjumpa
dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya tidak menceritakan
secara lengkap, apalagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan
kaisar. "Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja."
"Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-
pai?" kini In Hong bertanya.
"Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat
menyusul ke sini untuk membantumu apabila engkau menghadapi kesukaran. A... eh,
Cia-locianpwe juga yang mengutus aku karena beliau tergesa-gesa berangkat ke
kota raja bersama semua pengawal."
"Perlu apa engkau menyusul aku" Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan
aku. Lupakah engkau?"
Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan
hal-hal yang tidak menyenangkan. "Akan tetapi... sebagai penyelamat kaisar...
engkau harus dibantu..."
"Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa
itu?" "Hemmm... tentang itu... eh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi
kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tidak lagi mau membicarakan hal itu. Yang
penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng
Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe."
In Hong menjadi marah. "Siapa sudi bekerja sama dengan engkau" Aku seorang
pembunuh. Nih, kauterima kembali pedangmu, bisa kotor terjatuh ke tangan seorang
pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!"
Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dia terima dari gadis itu
selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisah. "Tidak akan
kukembalikan. Tidak boleh!"
"Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!"
"Tidak, akupun tidak mau menerimanya kembali."
Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan
hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang
sesungguhnya amat disayangnya itu. "Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau
seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh
seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis
seperti pernah kaukatakan?" Dada gadis itu makin panas dan naik turun
bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya. "Mari kita pergi
saja!" Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi
meninggalkan Bun Houw yang masih berdiri bengong karena dia memang bingung
melihat sikap In Hong dan dia memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini,
yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia
dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu,
membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa"
Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak
membentak, tiba-tiba terdengar suara berisik dan tahu-tahu tempat itu telah
dikurung oleh ratusan orang perajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan
Pek-hiat Mo-ko yang berdiri memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan
sekali. Mereka berdua tidak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang
cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata, "Hamba diutus oleh sri
baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng."
Puteri Khamila mengerutkan alisnya. "Akupun sedang hendak kembali ke benteng
dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini." Puteri Khamila memandang kepada In
Hqng dan Bun Houw dengen sinar mata melindungi, keudian mengangguk kepada
mereka. "Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, mari ikut bersamaku menemui suamiku,
Sri Baginda Sabutai dan semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan
bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan."
Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah siap untuk melawan, akan tetapi In Hong
diam-diam khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa
hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apalagi di situ masih ada
ratusan orang perajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka diapun
mengangguk, dan Bun Houw juga tidak banyak membantah. Jangankan baru memasuki
benteng Sabutai, biarpun disuruh memasuki nEraka, kalau bersama nona Hong itu,
dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang
perajurit yang seolah-olah "mengawal" mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai
sendiri telah menanti. Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu menjadi berseri seketika setelah dia
melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia cepat
bangkit berdiri, memegang tangan isterinya dan menuntunnya duduk di atas kursi
kebesaran, di sampingnya sambil berkata, "Engkau harus menjaga kesehatanmu,
jangan banyak terkena angin."
Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi,
lalu berbisik, "...hamba... kaisar..."
Raja Sabutai tersenyum dan menyentuh tangan isterinya. "Aku memang bermaksud
membebaskannya..." Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.
Sementara itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw
Taisu dan Hek I Siankouw. Akan tetapi subonya sudah berada di situ, duduk di
atas kursi dengan muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja
subonya marah kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan
oleh ketua Cin-ling-pai! Dua orang kakek dan nenek guru Sabutai kini telah
mengambil tempat duduk di belakang raja itu. Adapun pembesar Wang Cin juga hadir
di situ, bersama anak buahnya yang kini hanya tinggal tiga orang yang dapat dia
andalkan, yaitu tiga orang Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang
telah menimpa diri empat orang undangan pembantu mereka, tidak tahu akan
kematian Go-bi Sin-kouw dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi
oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.
Komandan pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya tentang sang ratu
yang ditemukan di dalam hutan bersama In Hong den pemuda yang kini ikut pula
dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu
dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong maupun Bun Houw tidak tahu
artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan
kelihatan lega, hati merekapun tidak khawatir.
Setelah mendengarkan pelaporan komandang pasukan itu, Sabutai lalu memberi
isyarat menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi
sunyi, hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja
Sabutai, isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In
Hong, memandang kagum kemudian dia berkata, "Nona Hong, engkau sungguh menepati
janji, terus mengawal isteri kami sampai ke manapun sehingga telah kembali pula
ke sini dengan selamat. Sayang engkau mempergunakan akal untuk meloloskan kaisar
keluar dari benteng. Kenapa engkau tidak terang-terangan saja minta ijin dariku"
Apakah engkau tidak tahu bahwa memang kami tidak mempunyai niat untuk
membunuhnya" Kalau memang kami bermaksud membunuhnya, sudah sejak lama dia kami
bunuh!" In Hong melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan
gagah, "Saya telah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan kaisar
keluar dari tempat tahanan. Setelah saya mengaku, maka terserah atas
kebijaksanaan paduka!" Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa dia
tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.
Mendengar ini, tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga,
mengira bahwa In Hong hendak menyerahkan diri menerima segala hukuman, maka
cepat dia berkata, "Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang
pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan kaisar, melainkan isteri
paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong
menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka
tidak semestinya kesalahan ditimpakan kepada nona Hong."
Semua orang memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan
mata menyelidik. Sementara itu, Khamila berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah
menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona
Hong itu jangan diganggu.
"Mereka saling mencinta..." bisik ratu itu akhimya.
Sabutai tersenyum dan mengertilah dia kini mengapa pemuda itu mati"matian
mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran"heran bagaimana Bun
Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya kaisar bersama Ratu Khamila.
Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong
dan telah mendengar penuturan ayahnya tentang kaisar yang melarikan diri dibantu
oleh Ratu Khamila itu. "Orang muda, siapakah engkau?" Raja Sabutai bertanya, diam"diam dia menaksir
apakah pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In
Hong. "Nama saya... Bun Houw." Bun Houw masih menyembunyikan she"nya, karena dia
teringat betapa In Hong sendiripun mengira dia she Bun. Pula, di tempat seperti
ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya" Yang terpenting, kaisar
telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In Hong dan juga untuk
mencari tiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang Bayangan Dewa yang kabarnya
berada di situ. Sejak tadipun dia sudah memandang"mandang ke arah tiga orang
kakek yang duduk di belakang seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang
Cin dan tiga orang kakek itu agaknya adalah orang"orang yang selama ini
dicarinya, maka dia memandang penuh perhatian sampai dia ditanya oleh Raja
Sabutai. Tiba"tiba Wang Cin berkata, "Sri baginda, harap sri baginda berhati"hati.
Tidak salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata"mata dari kerajaan, dan
pemuda ini tidak syak lagi juga seorang mata"mata. Oleh karena itu, sudah
seharusnya kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang"
terangan telah meloloskan kaisar itu dari tahanan!"
"Apa yang dikatakan oleh Wang"taijin benar sekali" Tiba"tiba Pat"pi Lo"sian
Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri. "Sudah sejak dahulu hamba semua
tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata"mata musuh dan tentu sekali waktu akan
mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah seorang jahat yang masih mempunyai
perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh dua orang
saudara hamba." Melihat betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw,
hati Raja Sabutai tertarik sekali. Memang raja ini, di samping ambisinya untuk
menjadi raja besar yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, juga
merupakan orang yang keranjingan ilmu silat, amat suka menyaksikan pertandingan
silat. Maka melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu
bertanya kepada pemuda yang buru datang itu.
"Orang muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka" Kalau benar, mengapa?"
"Maaf sri baginda. Mereka itu adalah orang"orang jahat yang tadinya berlima,
menamakAn diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang telah menyerbu
Cin"ling"pai, di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak murid Cin"ling"pai dan
mencuri pedang pusaka Siang"bhok"kiam dari Cin"ling"pai. Selain itu juga
bersekutu dengan orang"orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan
pengkhianat ini!" Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin. "maka sudah
sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan,
menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudare mereka
termuda yang bernama Toat"beng"kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan
pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa."
"Bohong kau!" Pat"pi Lo"sian membentak marah.
"Dan aku yang membunuh Hui"giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu
berbuat tidak patut terhadap seorang pemuda." In Hong kint juga bersikap berani.
"Sri baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua berani
menghina saya dan menentang sri baginda!" Wang Cin menuding dengan marah.
In Hong melirik kepada subonya yang hanya memandang ke kanan kiri dengan
wajah dingin. Diam"diam gadis ini merasa ngeri. Subonya adalah seorang yang aneh
luar biasa, sukar diketahui isi hatinya. Kalau subonya berfihak kepada Wang Cin
celakalah, pikirnya. Sementara itu, Bun Houw juga sudah siap"siap untuk mengamuk
dan melindungi In Hong. Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan
dilakukannya andaikata Raja Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia
akan melindungi pemuda ini" Dia tidak depat menjawab saat itu. Betapapun juga,
kedua orang muda ini sudah merasa tegang dan mereka menanti saat yang menentukan
sambil memandang wajah Sabutai yang tersenyum"senyum misterius. In Hong menaksir
keadean. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya Bun Houw
bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apalagi ditambah tiba Bayangan Dewa,
para perwira dan banyak perajurit, tentu mereka berdua tidak akan mampu
menyelamatkan diri. Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya, kalau demikian
masih mending, sungguhpun agaknya, dengan kekuatan mereka bertiga sekalipun
amatlah sukar lolos dari benteng yang kuat ini.
Agaknya keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai.
Dia tadi mendengar bisikan isterinya bahwa antara In Hong dan Bun Houw terdapat
hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu,
tentu berarti dara perkasa yang dikaguminya itu akan membela mati"matian. Akan
tetapi kalau tidak ditangkap, seolah"olah dia tidak menghargai bantuan Wang Cin
dan kawan"kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir berhasil akan
tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu. Pada saat dia meragu, tiba"tiba
Khamila menyentuhnya. Dia menoleh dan ternyata isterinya menyerahkan sesampul
surat. "Harap paduka baca ini dulu..." bisik Khamila.
Sabutai tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang
dari Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai
isyarat agar semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai
membaca surat yang ditulis dengan huruf"huruf halus dan indah itu.
Raja Sabutai yang saya hormati,
Anda mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan
racun berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan
menjadi tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan
yang memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan
keluarga anda. Kini saya telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan
perang antara kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka apabila anda
Mustika Serat Iblis 3 Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian Pahlawan Dan Kaisar 14
^