Pencarian

Gajah Kencana 12

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 12


Sejenak terlintas pikiran Dipa akan candi didesa MadanTeda yang berhias dengan beberapa patung dewa. Kata orang
candi itu adalah candi Syiwa. Maka menjawablah ia "Agama
Syiwa menyembah Batara Syiwa dan para dewa2. Sedang
agama Budha hanya memuja Batara Budha. Benarkah begitu,
kakek" kata Dipa penuh keraguan.
Kakek itu mengangguk pelahan "Walaupun sesungguhnya
agama Syiwa dan Budha itu sudah menunggal dalam
perwujutan Syiwa-Budha, tetapi memang masih orang
menarik garis perbedaan tajam diantara kedua agama itu.
Jawabanmu tidaksalah, nak" kata kakek itu.
"Lalu bagaimana jawab kakek pendeta atas pertanyaan
penjaga candi itu?" tanya Dipa pula. Iapun ingin tahu apa
sebab seorang pendeta menyembah patung Syiwa.
"Kujawab sederhana saja" kata pendeta Padapaduka
"Dahulu dalam candi ini jelas terdapat patung A ksobya. Hal itu
kusaksikan sendiri sebelum aku berangkat mengembara.
Tetapi sekarang ietelah aku datang kemari lagi, ternyata arca
sang Aksobya itu telah hilang. Sekalipun demikian aku tetap
mempersembahkan hormatku kepada sang Aksobya yang
bersemayam disini ......"
Penjaga candi Syiwa itu terlongong. Sesaat mengulum
senyum tanya "Adakah layak memberi hormat kepada yang
tak ada, tuan?" "Tuan penjaga candi" kataku "mungkin tuan tentu
mengetahui apa yang disebut ajaran tentang T r i-parartha itu.
Triparartha berarti: Asih, Punya dan Bhakti. Bhatara
Wairocana adalah Asih, yalah yang menguasai catur paramita.
Bhatara Ami+abha adalah Punya, artinya yang telah
menguasai sat paramita. Bhatara Aksobya adalah Bhakti, yaitu
yang selalu berbuat sesuai dengan ajaran Agama. Teguh
memegang tapa brata, ibadah dan ketentuan2 dalam Agama
Budha. Tidak pernah jemu mendalami ajaran Dharma, itu
bhakti namanya ...."
Sambil memandang ke arah persada batu yang kosong dari
arca Aksobya yang telah hilang secara tak diketahui itu, maka
pendeta Padapaduka melanjutkan pula ucapannya "Apabila
bathin kita sudah mencapai ketenangan yang mengendap,
maka kejernihanlah y"ng akan kita hayati dan terlepaslah
bathin kita dari rasa keraguan dan kebingungan. Tiada lagi
kita akan terpengaruh oleh Ada dan Tiada itu. Asih, Punya dan
Bhakti tetap akan mengalir laksana air jernih, tetap akan
memancar cemerlang di angkasa Bhawana. Maka janganlah
tuan kejut dan heran, bila kupersembahkan sujut sembahku
kepada yang tiada itu . . ."
Penjaga candi itu sejenak terkesiap tetapi pada lain kejab,
tersembullah sebuah senyum pada bibirnya. Senyum yang
mengunjuk menertawakan tingkah laku dan ucapan pendeta
itu. Pendeta Padapaduka dapat menanggapi arti senyum si
penjaga. Maka berkatalah pula ia dengan nada yang
bersungguh "Ki penjaga, telah kukatakan Ada dan Tiada itu
hanya garis yang kita ciptakan dalam alam angan2 kita sendiri.
Engkau tak percaya" Cobalah engkau pandang kearah persada
itu. Bukankah itu arca sang Aksobya?"
Penjaga itu dengan enggan
mengarahkan pandang matanya
ke batu persada yang kosong.
Tetapi betapa kejutnya ketika ia
melihat sebuah arca yang berwujut sang Aksobya tegak
berdiri dengan tenang cemerlang.
"Hai .... patung Aksobya"
penjaga itu menjerit kaget. Ia
melonjak lalu lari keluar dan
berteriak-teriak di sepanjang jalan
"Patung Aksobya sudah kembali !
Patung Aksobya sudah kembali.....!" Seluruh penduduk dosa Kagenengan gempar mendengar
berita yang mengejutkan itu. Kabar itu cepat tersiar sampai ke
asrama para brahmana dan pendeta. Beribu-ribu orang segera
mengalir menuju ke candi Syiwa di desa Kagenengan itu.
"Mana . . . . " Mana patung A ksobya itu!" hiruk pikuk rakyat
berteriak-teriak menanyakan tentang patung Aksobya yang
dikabarkan telah kembali ke dalam candi kepada penjaga
candi itu. Bahkan beberapa penduduk yang tak sabar segera
menyeret penjaga itu ke dalam candi "Mana arca Aksobya itu!"
Penjaga itu terbelalak. Wajahnya pucat dan tubuh-nyapun
menggigil "Di situ .... tadi kulihat arca itu tegak berdiri di
persadanya ...." "Engkau gila !" teriak rakyat
"mana arca itu?"
"Barangkali matamu buta !"
"Keparat, engkau mempermainkan kami!"
"Hajar saja orang kurang ajar itu!"
"Benar! Benar! Agar lain kali jangan berani mempermainkan
orang. ..." demikian hiruk pikuk orang bersambut sahut
menyahut hendak menghukum penjaga candi yang telah
mempermainkan seluruh penduduk desa Kagenengan.
Penjaga itu menggigil dan berpuluh-puluh rakyat sudah siap
hendak menghajarnya. Tiba2 seorang pendeta tua berseru
"tunggu dulu saudara2!"
Pendeta itu dikenal sebagai kepala asrama kebiku-an di
Kagenengan. Rakyat menaruh perindahan kepadanya. Mereka
hentikan tindakan hendak menghajar si penjaga.
"Benarkah engkau tadi melihat arca Aksobya tegak di atas
persadanya lagi ?" tanya pendeta kepala agama itu.
"Benar, bapak pendeta ...." si penjaga gemetar menghadapi
pancaran beratus-ratus mata rakyat yang menuntut
keterangan. "Apakah ada lain orang yang ikut menyaksikan arca itu....."
"Hai, benar! Mana pendeta tua tadi . . . . !" seketika
penjaga candi itu memekik seperti orang terkejut disambar
ular. Matanya memberingas memandang kian kemari,
menyusup di antara celah2 kerumun manusia dan meniti
setiap bentuk wajah "mana . . . . mana pendeta tua itu" Dialah
yang ikut menyaksikan arca itu!"
Tingkah laku penjaga candi seperti orang yang kurang
beres otaknya. Ia menyiak, menyelinap, menerobos kerumun
manusia dan setiap kali menyebut "Bukan .... ah, bukan ...."
Akhirnya penduduk tak sabar melihat ulah penjaga yang
dianggapnya seperti orang gila itu. Mereka segera meringkus
dan hendak dipukul. Tetapi kembali pendeta kepala asrama
Kagenengan berseru mencegah pula. Ia menghampiri penjaga
itu "Siapa yang engkau cari?"
"Seorang pendeta tua, dialah yang menunjukkan arca itu
berada di tempatnya" kata si penjaga.
"Tenangkanlah hatimu" kata pendeta kepala asrama
kebikuan Kagenengan "ceritakanlah dari awal mulanya."
Penjaga candi itupun lalu menceritakan tentang kunjungan
seorang pendeta tua yang menyebut dirinya sebagai pendeta
Padapaduka. Pendeta itu memberi sujud sembahnya kepada
persada yang telah kosong, bekas tempat arca Aksobya.
Ketika penjaga itu menertawakannya, tiba2 pendeta tua itu
menyuruhnya lihat persada. Dan memang benar saat itu arca
Aksobya tegak pula di atas persadanya.
Sekalian orang gempar mendengar cerita itu. Setengahnya
ada yang percaya, setengahnya ada yang tidak. Merekapun
segera mencari pendeta tua itu, namun tak bersua. Kembali
rakyat marah dan hendak menghajar penjaga candi tetapi
dicegah lagi oleh pendeta kepala asrama kebikuan
Kagenengan "Jangan mengembangkan kekerasan. Karena
pada hakekatnya Kekerasan itu suatu kelemahan. Menumpahkan kemengkalan tetapi tak dapat menyelesaikan
persoalan. Apalagi persoalan ini bukan persoalan bersahaja,
bukan pula soal bohong atau dusta. Tetapi persoalan yang
sukar dijangkau pikiran orang ...."
Penduduk desa Kagenengan menaruh perindahan dan
keseganan terhadap pendeta kepala asrama kebikuan di desa
situ. Mereka menurut dan menunggu apa yang akan
diucapkan kepala asrama kebikuan itu.
"Ada dua kemungkinan dalam peristiwa yang aneh ini" kata
pendeta kepala asrama kebikuan "Pertama, Suatu
pengejawantahan dari bentuk Bathara Aksobya yang bersifat
Citta atau pikiran itu. Dan kedua, pendeta Padapaduka hendak
membuktikan adenya sesuatu yang Tiada dengan menggunakan ilmu Mantra-yana. Danghyang Aksobhya adalah
Citta atau segala bentuk pikiran. Oleh karena itu Bhatara
Aksobhya itu adalah Akasadhatu atau yang tidak memiliki sifat
apapun juga. Ada tetapi Tiada. Tiada tetapi Ada. Demikian
sifat Citta atau pikiran itu. Bathara Aksobhya telah menguasai
bathin penjaga candi ini untuk membentuk pikirannya pada
perwujutan Ada dari keadaan yang Tiada. Dan lahirlah pada
pikiran penjaga candi ini, perwujutan dari arca Bhatara
Aksobya yang muncul di atas persadanya. Kemungkinan
kedua, pendeta Padapaduka telah menggunakan kesaktian
mantra untuk membentuk pikiran penjaga candi agar
mengadakan yang tak ada. Jadi memang benar kalau penjaga
candi itu tadi telah melihat arca Bathara Aksobya muncul
kembali di candi ini .... ."
"Bapak pendeta, mengapa arca itu hilang lagi?" tanya salah
seorang penduduk. "Bukan hilang, ki sanak" sahut pendeta kepala asrama
kebikuan itu "tetapi memang kembali kepada kenyataannya
yalah Tak ada" "Apakah kami dapat melihatnya?" seru setengah dari rakyat
yang mengerumuninya. "Dapat tidaknya hal itu tergantung dari pencapaian tingkat
Citta, yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berlatih"
"Adakah tuan juga masih datang ke candi sini untuk
mempersembahkan bhakti kepada sang Bhatara Aksobya?"
tanya salah seorang. "Aksobya adalah lambang Bhakti, yaitu yang selalu berbuat
sesuai dengan ajaran. Teguh menjalankan ibadah dan tak
pernah jemu mendalami ajaran Dharma. Setiap hari2 tertentu
aku tentu datang ke candi ini untuk mempersembahkan
bhaktiku kepada sang Bhatara Aksobya"
Demikian kakek pendeta Padapaduka mengakhiri penuturannya tentang peristiwa arca Aksobya yang hilang
tetapi pernah menggemparkan seluruh desa Kagenengan.
Berita itu cepat tersiar meluas dari desa ke desa dari asrama
ke asrama dan dari daerah ke daecah sehingga terdengar juga
sampai di pura kerajaan. Bermacam-macam tanggapan timbul di kalangan masyarakat. Yang paling menaruh perhatian sungguh2 adalah
dari golongan agama Syiwa dan dari fihak golongan Budha
sendiri. Golongan agama Syiwa menguatirkan peristiwa itu akan
membangkitkan kekaguman dan menambah kepercayaan
rakyat kepada agama Budha. Sedang golongan kaum Agama
Budha pun terkejut walaupun dalam perahan mereka
bersemayam juga rasa kagum dan girang. Nama pendeta
Padapaduka cepat menjadi buah bibir setiap orang. Dan
sudahlah lazim kalau sesuatu penyiaran berita itu lebih besar
dan lebih hebat dari kenyataannya.
Sudah menjadi naluri dalam masayarakat, terutama
masyarakat kerajaan Majapahit yang diperintah raja
Jayanagara di mana suasana kerajaan selalu dirundung kabut
kericuhan, kekacauan, pertentangan. Di mana fitnah dan jujat
selalu tumbuh subur di dalam suasana pengadu dombaan.
Dan muncullah fihak ketiga yang a-kan memancing di air
keruh..... Golongan mentri, tanda, gusti, narapraja tingkat tinggi
dalam kerajaan Majapahit, adalah penganut agama Syiwa.
Demikian patih Aluyuda dan golongan Dharmapuiera atau
orang kepercayaan raja. Mereka mempertahankan agama itu
karena untuk menjaga dan mempertahankan kelungguhan
serta kekuasaan mereka dalam susunan pemerintahan.
Menilik dari susunan badan yang mengurus soal
keagamaan, jelas bahwa pengaruh golongan agama Syiwa
lebih besar dari golongan Budha. DARMADYAKSA ring
KASYIWAN atau kementerian urusan agama Syiwa, dikepalai
oleh Dang Acarrya Smaranaiha. Sedang DARMADYAKSA ring
KASOGATAN atau kementerian urusan agama Budha dikepalai
oleh Dang Acarrya Kana-kamuni. Kedua Darmadyaksa itu
dibantu oleh tujuh hakim Upapati atau Saptapappati. Lima
Upapati untuk urusan agama Syiwa yakni sang Arya Tirwan
Ragawijaya, sang Arya Kandamuhi yang bergelar Wisyawanatha. Sang arya di Manghuri yalah Mahanatha. Sang arya di
Panotan yakni Dharmmaraya dan di Jambi sang arya
Syiwanatha. Sedangkan upapati untuk urusan agama Budha
hanya dua orang yakni Sang arya Kandangan rare yalah
Candranatha dan sang arya Kandangan atuha yalah
Mahanatha. Dengan susunan itu jelaslah dapat ditarik kesimpulan
bahwa kerajaan Majapahit lebih condong akan pengaruh
agama Syiwa. Dan kecenderungan itu memang dipertahankan
keras oleh para mentri2 kerajaan terutama Darmaputera.
Karena dalam agama Syiwa terdapat garis pemisah yang
tajam dalam warna atau kasta. Dengan demikian tak mungkin


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasta Sudra bahkan Waisya akan dapat menduduki jabatan
dalam pemerintahan kerajaan.
Beda halnya dengan agama Budha yang tak menitikberatkan soal kasta. Oleh karena itulah maka golongan
Syiwa yang didukung oleh mentri2 yang berkuasa selalu
berusaha keras untuk mempersempit perkembangan agama
Budha, agar kedudukan mereka tetap terlindung.
Maka peristiwa pendeta Budha Padapaduka yang dengan
kesaktiannya telah mewujutkan arca Aksobya muncul lagi
dalam candi Syiwa di Kagenengan itu, menimbulkan
kegoncangan besar di kalangan mentri2 kerajaan yang
beragama Syiwa. Dengan segala macam kekuasaan dan
alasan, mereka berhasil menempatkan agama Syiwa sebagai
agama negara. Maka apabila peristiwa pendeta Padapaduka
itu tak lekas ditindas, kepercayaan rakyat tentu akan goyah
dan sendi2 tata keagamaan negara tentu goncang.
Patih Aluyuda segera menghadap baginda Jayanagara.
Dengan dalih bahwa pendeta Padapaduka telah mengunjuk
kesaktian untuk mengangkat derajat agama Budha dan
menurunkan martabat agama Syiwa, patih Aluyuda mohon
baginda suka menurunkan firman menangkap pendeta Budha
itu. Pendeta itu jelas hendak menghina agama Syiwa, agama
negara Majapahit. Demikian patih A luyuda mempersembahkan
permohonannya kepada baginda. Dan permohonan itupun
didukung oleh kepala Darmadyaksa ring Kasyiwan serta kelima
hakim upapati urusan agama Syiwa.
Baginda Jayanagara meluluskan permohonan itu. Perintah
segera disiarkan ke seluruh telatah Majapahit untuk
menangkap pendeta Padapaduka.
"Oleh karena itu aku bersembunyi di tanah pekuburan
Lemah Citera sini" pendeta Padapaduka yang sudah berusia
lanjut itu mengakhiri kisahnya kepada Dipa.
Dipa terkesiap. Teringat ia ketika pada malam hari tidur
dalam hutan dan mendengar percakapan dari kedua utusan
patih Aluyuda. Jelas kedua orang utusan itu disuruh patih
Aluyuda untuk mengadu buyut Mandana dengan kerajaan
Majapahit. Dan jelas pula, bahwa tujuan dari patih itu tak lain
yalah hendak merebut kedudukan sebagai mahapatih kerajaan
yang kini d jabat oleh rakryan Nambi.
Dipa merenung, membayangkan peristiwa2 itu. Tiba2
terlintas dalam benaknya sesuatu yang ingin diketahuinya.
Maka bertanyalah ia kepada sang pendeta Padapaduka "Kakek
pendeta, apa sebab agama Budha tak mengadakan
pembagian kasta ?" Agak terkejut rupanya pendeta tua itu mendengar
pertanyaan semacam itu dari mulut anak semuda itu. Namun
dalam rasa kejut, timbullah suatu perasaan kagum atas
kecerdasan anak itu. Jawabnya "Agama menurut lahiriyah.
Tetapi Karma dari akibat tingkat dharma hidupnya yang
lampau. Lahiriyah tidak kekal, mudah berobah menurut
keadaan. Lain halnya dengan Karma. Walaupun dapat berobah
tetapi perobahan itu bukan timbul dari keadaan lahiriyah
melainkan dari kesadaran dan peningkatan batiniyah"
Pendeta Padapaduka berhenti sejenak, menatap Dipa
dengan pandang selidik. Serta dilihatnya kerut wajah anak itu
termangu-mangu, cepatlah pendeta itu dapat mengetahui
bahwa anak itu tak mengerti apa yang diuraikan tadi.
"Engkau tentu masih bingung menangkap keteranganku
tadi" kata pendeta Padapaduka pula "kuberi gambaran yang
mudah dan jelas. Raja Rajasa sang Amurwabumi, pendiri dari
kerajaan Singosari, sebelumnya menjadi raja bernama Ken
Arok. Ken Arok itu anak dari Ken Endok, seorang wanita dari
kasta Sudra, Ken Endok bersuami Gajah Para dan tinggal di
desa Pangkur. Ken Endok berbuat yang tak senonoh dengan
lelaki lain. Perbuatan itu diketahui suaminya yang lalu
menceraikannya. Tak lama kemudian Gajah Para meninggal
dunia karena malu dan ngenas. Ken Endok malu juga akan
perbuatannya itu. Ketika melahirkan, bayi Ken Arok dibuang di
tanah kuburan dan ditemu oleh seorang pencuri bernama
Lembong. Jika dipandang dari sudut kasta, tak mungkin Ken
Arok akan dapat menjadi raja. Tetapi apabila ditinjau dari
hukum Karma, hal itu bukan mustahil terjadi. Kemungkinan
dalam kehidupan yang lampau, Ken Arok merupakan titisan
dari seseorang yang agurg dan besar dharmanya"
Keterangan pendeta Padapaduka itu menimbulkan goresan
yang mendalam dalam hati sanubari Dipa.
"Kakek pendeta, menurut agama Budha, dapatlah seorang
keturunan orang kecil atau kasta Sudra itu menjadi raja atau
orang besar?" tanyanya untuk meneguhkan kepercayaan
hatinya. "Dapat" sahut Padapaduka dengan mantap "segala bentuk
kedudukan dan kekayaan yang bersifat lahiriyah dapat dicapai
dengan usaha dan perjuangan. Tetapi ingat, segala yang
bersifat lahiriyah itu, tidak kekal. Yang kekal hanyalah sifat
rohaniah atau jiwa. Untuk mencapai peningkatan kearah jiwa
yang luhur, jauh lebih sukar dari usaha mencapai kebendaan
yang bersifat lahiriyah itu"
Dipa mengangguk dalam2. Percikan bara semangatnya
memancar dan makin memudarkan rasa rendah diri dalam
bathinnya. "Kakek, mengapa engkau menolong aku?" tiba2 ia beralih
kelain pertanyaan. "Agar engkau lebih yakin dan jelas akan hakekat dari kodrat
kehidupan munurut pandangan agama Budha, singkat
kujawab pertanyaanmu. Itulah karma"
"Adakah kakek yang mendasarkan pertolongan itu atas
kodrat karma saja?" masih Dipa melanjutkan keinginannya
tahu. "Karma adalah kodratnya. Tetapi tindakanku itu berpijak
pada landasan dharma utama, yakni: Mereka yang
mengetahui kebenaran sebagai Kebenaran dan ke-tidakbenaran sebagai Kctidak benaran, akan sampailah kepada
Kebenaran dan mengikuti Keinginan yang benar. Artinya,
jangan takut untuk bertindak dan mengatakan yang benar itu
benar dan yang tidak benar itu tidak benai!"
"Ah, kakek pendeta yang mulia. Apabila aku mendengar
wejangan kakek, setiap patah ucapan laksana alunan seruling
yang menggetarkan serabut halus sanubariku" kata Dipa serta
merta. Padapaduka terkesiap. Ditatapnya wajah anak itu. Ia
benar2 heran dan tak menyangka bahwa anak yang masih
semuda itu ternyata dapat menyerap uraian kata-katanya
yang sukar dimengerti. Dan pengamatan akan wajah Dipa itu
membangkitkan suatu perasaan aneh dalam hati Padapaduka.
Dilihatnya dahi Dipa yang mendatar lebar itu seperti bentuk
sebuah bejana dapat memuat segala ilmu ajaran dan sumber
daya kekuatan berpikir yang kuat.
"Ah, anak ini kelak tentu menjadi orang yang pandai dan
bijak" diam2 timbul kesan dalam hati pendeta tua
Padapaduka. "Kakek pendeta, masih ada sebuah pertanyaan yang
menghuni dalam hatiku ..."
"Keluarkanlah!" cepat sang pendeta menukas.
"Setelah kerajaan menyiarkan perintah untuk menangkap
kakek, apakah kakek pendeta tetap akan bersembunyi di
tanah kuburan sini?"
Padapaduka agak tertegun mendapat pertanyaan yang tak
diduganya itu. Namun cepat ia mengulum senyum "Soal
perintah penangkapan itu, tak begitu kuhiraukan. Andai aku
tertangkap dan dihukum mati, akupun tak menyesal. Karena
ragaku sudah lama mendukung derita hidup. Bagaimana pula,
akhirnya raga itu akan rapuh dan rusak. Ditangkap atau tidak,
akhirnya aku tentu akan mati juga. Tetapi pilihanku
bersembunyi di tanah kuburan Lemah Citcra sini, memang
mempunyai tujuan tertentu ..."
"O . . ." desuh Dipa.
"Mungkin engkau belum pernah mendengar cerita masa
yang lampau" kata pendeta Padapaduka "bahwa tanah
kuburan Lemah Citcra itu dahulu adalah tempat tinggal dari
Empu Barada, seorang pendeta Budha yang termasyhur di
jaman Sri Baginda Airlangga dari kerajaan Panjalu.
Empu Barada seorang beragama Budha dari aliran
Mahayana yang putus dalam
pelajaran pengetahuan tantera. Beliau adalah pemuka segala pertapa. Beliau pernah pergi ke pulau
Bah dengan berjalan kaki menyeberangi selat. Beliau
dianggap sebagai orang keramat. Baginda Airlangga sayang akan kedua puteranya. Maka
baginda meminta kepada Empu Barada supaya membagi bumi kerajaan Panjalu menjadi dua. Empu Barada menyanggupi. Adapun
batas antara kedua daerah bumi kerajaan panjalu itu
ditentukan dengan mencurahkan air dalam kendi dari ataslangit. Dengan kesaktiannya maka Empu Barada melayang di
angkasa, dari barat menuju ke timur sampai ke laut selat
Madura. Menurut cerita, maka ketika melayang di udara sambil
mencurahkan air dari kendi, Empu Barada terhenti pada
sebatang pohon kamal (asam) lalu terpaksa turun ke bumi di
desa Palungan. Kendi yang terkenal di dunia itu diletakkan di
desa itu. Dia teihambat oleh sebatang pobon kamal yang
tinggi hiupga pakaiannya tersangkut di puncak pohon
tersebut. Itulah sebabnya maka pohon kamal disumpahinya
supaya menjadi pohon yang kecil rendah dan disebut Kamal
Pandak. Mula2 pohon itu dijadikan tanda kecelakaan dan sejak itu
banyaklah orang yang merasa takut. Mereka berbondongbondong meninggalkan desa tempat pohon kamal-pandak itu
tumbuh. Melihat itu baginda memerintahkan supaya di desa
itu dibangun sebuah rumah persembahan agar tanah kerajaan
terhindar dari malapetaka dan bersatu kembali. Agar baginda
tetap kuat memerintah dan rakyat hidup tenang. Rumah
persembahan itu dinamai Pradjnyaparamita-puri. Dan Empu
Baradalah yang dititahkan baginda untuk melaksanakan
upacara Pradjnyaparamita ketika rumah persembahan itu
dibangun. Menurut cerita, Empu Barada telah menggunakan tiga
macam tanda untuk batas pembagian bumi itu. Pertama
dengan air kendi yang dicurahkan dari langit. Kedua yalah
pohon kamal pandak itu. Dan yang ketiga yalah rumah suci
yang dibangun di dekat pohon kamal pandak di desa Palungan
itu ... ." Dipa amat tertarik mendengar cerita yang bersejarah itu.
Walaupun pikirannya belum dapat menjangkau akan adanya
suatu ilmu kesaktian yang dapat membuat Empu Barada
menyeberang laut dengan berjalan kaki dan terbang di
angkasa mencurahkan air kendi, namun ia mencatat dalam
hati bahwa sesungguhnya ilmu kepandaian di dunia itu
memang beraneka ragam dan tak dapat diketahui batasnya.
Hasratnya untuk mengaji pengetahuan dan meneguk ilmu,
makin menyala. Di lain fihak, makin besar pula rasa ingin tahunya tentang
tujuan pendeta tua itu bersembunyi di kuburan Lembah Citera.
Ia hendak menanyakan hal itu, namun masih segan. Ia kuatir
dianggap kurang tata. Maka ia diam saja dan hanya memandang pendeta tua itu
dengan pandang menunggu. "Sesungguhnya hal itu, suatu tugas rahasia yang diberikan
kepadaku diatas sumpah. Madzab Budha Mahayana
menugaskan aku untuk mencari kitab suci kaum Budha yang
konon dibawa Empu Barada. Aku tak boleh menceritakan
tugas itu kepada siapapun juga. Namun inginlah kukatakan hal
itu kepadamu ..." "Kakek pendeta, aku bersumpah takkan membocorkan ...."
"St, tak perlu. Aku tak menghendaki sumpahmu" tukas
pendeta Padapaduka. "Mengapa?" Dipa terbeliak heran.
"Kutahu engkau seorang anak yang dapat kupercaya.
Sumpah merupakan suatu tuntutan kepercayaan. Aku tak
perlu menuntut hal itu. Cukup kuperingatkan kepadamu,
bahwa Karma itu hukum yang tak dapat dihindari oleh
manusia yang bertindak salah. Ingat baik2, nak" pendeta
Padapaduka berhenti sejenak menatap Dipa. Dipapun
mengiakan dengan penuh kesadaran.
"Aku adalah seorang pendeta dari madzab Mahayana,
demikianpun dengan Empu Barada. Empu Barada telah
diangkat oleh pusat pimpinan madzab Mahayana untuk
menyiarkan agama Budha Mahayana di tanah Jawa. Empu
Barada memang telah berusaha sekuat tenaga untuk mencari
pengikut. Dia seorang empu yang amat luas pengetahuan dan
membenam diri dalam ilmu Mantrayana sehingga ia telah
memperoleh kesaktian yang menarik kepercayaan baginda
Airlangga sehingga menitahkannya untuk membagi kerajaan
Kahuripan menjadi dua, yalah Panjalu atau Daha dan Jenggala
. . ." Padapaduka berhenti sejenak untuk mengusap peluh yang
memantul pada dahinya. Dipa tetap berdiam, diri tak mau
mengganggu pertanyaan. "Empu Barada terlalu sibuk melaksanakan titah baginda.
Setelah membagi kerajaan Kahuripan, ia mendapat titah pula
untuk membangun dan memimpin upacara sudharma atau


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah suci Pradjanyaparamitapuri di desa Palungan. Ia terlalu
letih dengan pekerjaan-pekerjaan itu sehingga akibatnya ia
jatuh sakit dan wafat. Beliau tak sempat untuk memperdalam
pengetahuannya tentang hakekat ajaran Wayrayana yang
amat rahasia sifatnya itu.
Berita meninggalnya Empu Barada telah mengundang
datangnya golongan2 agama yang hendak mencari kitab suci
yang disimpan Empu Barada. Seperti pada agama Hindu yang
terpecah menjadi berbagai madzab seperti madzab Waisnawa
yang menganut ajaran ke Wisnuan, madzab Syiwa yang
menganut ajaran Syiwa, demikianpun dengan agama Budha.
Juga terpecah menjadi beberapa madzab yalah madzab
Hinayana dan Mahayana. Madzab itupun pecah pula menjadi
beberapa aliran seperti madzab Mahasangghika, madzab
Yogacara, madzab Tantra, madzab Nymmapa. Golongan2 itu
baik dari agama Hindu maupun Budha, sama mengirim utusan
untuk mencari kitab suci peninggalan Empu Barada. Karena
baik golongan Hindu maupun Budha sama2 mengaku bahwa
kitab suci itu adalah sumber ajaran mereka dan masing2
mengatakan kitab suci itu adalah warisan pusaka milik
golongannya. Jelasnya, kitab suci itu telah menjadi rebutan
dari golongan Budha dan golongan Hindu ...."
Kembali pendeta Padapaduka berhenti sejenak, lalu
melanjutkan pula "Tugas yang terbetang pada bahuku untuk
mencari kitab suci itu, memang amat sulit tetapi penting sekali
artinya bagi kaum Budha Mahayana. Dewasa ini dalam
kerajaan Majapahit timbul usaha keras dari golongan agama
Syiwa untuk menjadikan agama Syiwa sebagai agama negara
dan agama Budha akan dipersempit ruang gerak
penyiarannya. Kudengar baginda telah mempertimbangkan
suatu keputusan untuk melarang kaum pendeta Budha
menyiarkan agama Budha di telatah Majapahit dibagian barat.
Pendeta Budha hanya diperkenankan menyiarkan agama itu
ditelatah timur saja. Sedangkan agama Syiwa, kecuali menjadi
agama negara, pun bebas disiarkan ke seluruh telatah
Majapahit. "Pengumuman untuk menangkap diriku, makin memperjelas dugaan akan nekadnya usaha2 golongan agama
Syiwa. Mereka kuatir, agama Budha akan berkembang subur
lagi dan kedudukan mereka terancam"
Pendeta tua Padapaduka menyudahi penuturannya dengan
sebuah helaan napas "Ah, aku sudah tua. Adakah umurku
masih memberi kesempatan kepada diriku untuk melanjutkan
usaha mencari kitab suci peninggalan Empu Barada, aku tak
dapat memastikan. Hanya sedetik aku masih bernapas, sedetik
itu jua aku kupergunakan untuk mencari kitab suci itu. Karena
apabila kitab suci itu dapat kuketemukan, besarlah artinya
bagi kelangsungan dan perkembangan agama Budha dalam
kerajaan Majapahit. Isi ajaran kitab suci itu mempunyai latar
belakang ajaran yang sama yaitu bersumber pada alam pikiran
Arya. Oleh karena golongan agama Hindu Syiwait atau
madzab Waisnawa dan paham agama Budha Mahayana
mempunyai latar belakang sejarah yang sama, memiliki
sumber yang sama dan hakekat serta tujuanpun sama yalah
untuk mencapai moksa atau Ni b b a n a , maka dapatlah
kedua agama itu dipersatukan sebagai agama Syiwa Budha.
Dan apabila hal itu terlaksana, maka agama Budha takkan
mendapat perlakuan sebagai anak tiri dari negara Majapahit.
Untuk mewujutkan cita-cita itu hanya dapat dilaksanakan
apabila kita suci itu dapat diketemukan ...."
"O" Dipa mendesuh "kalau memang tujuan dan sumber
sejarahnya sama, mengapa golongan agama Syiwa hendak
melenyapkan agsma Budha" Bukankah ajaran agama itu
menjunjung pada Cinta Kasih dan Budi Luhur?"
"Pertanyaan yang bagus, anakku" seru Padapaduka
gembira "rupanya engkau memiliki bakat untuk mempertimbangkan keadilan!"
Tiba2 wajah Padapaduka yang berseri cerah itu suram
kembali. Sebuah helaan napas terluncur dari mulut pendeta
tua itu "Semoga aku diberi umur panjang untuk melanjutkan
usaha mencari kitab suci itu. Namun mengingat usiaku yang
sudah begini lanjut, aku kuatir usaha itu akan mengalami
kegagalan" "Apakah yang kakek pendeta maksudkan ?"
"Bila hari ini atau besok atau bilamana saja pada setiap saat
aku mati, bukankah usaha mencari kitab suci itu akan gagal ?"
Mata Dipa tiba2 memancar sinar bercahaya. Dan serentak
meluncurlah kata2 dari mulutnya "Kakek pendeta, apabila
kakek mempercayakan hal itu kepadaku, aku bersedia untuk
melanjutkan usaha mencari kitab suci itu !"
Padapaduka terpukau. Sesaat mulutnya terlongong tak
dapat mcr.gucap. Pernyataan anak itu benar2 tak pernah
diduga dan diharapkan. Ditatapnya wajah Dipa dengan tajam
sampai beberapa jenak. Tiba2 wajah pendeta tua itu
memancar cahaya cerah pula "Anakku, belum pernah
sepanjang hidupku, aku merasa bahagia seperti detik ini.
Pernyataanmu tadi, anakku, seolah-olah terasa bagai suatu
bajra yang mencanang dalam sanubariku bahwa kitab suci itu
akan dapat diketemukan. Bahwa agama Buddha akan kembali
memancarkan sinarnya yang gemilang di bumi kerajaan
Majapahit" Dipa terbeliak dan menyurut setengah langkah "Kakek,
mengapa engkau mengucap begitu" Memang aku akan
berusaha sekuat tenaga untuk mencari kitab suci itu, tetapi
janganlah menentukan bahwa aku pasti berhasil menemukannya" "Tidak, anakku" kata Padapaduka "terasa ada suatu getaran
halus yang menyerap ke alam bawah sadar jasadku, bahwa
engkaulah anakku, yang akan menemukan kitab itu"
"Ah, kakek pendeta yang mulia ...." serta merta Dipa
berlutut menyembah kaki pendeta tua itu "bagaimana
mungkin aku seorang anak desa, akan dapat melakukan
pekerjaan yang seberat itu. Ampunilah segala kesalahanku
apabila ternyata aku tak dapat memenuhi harapan kakek....."
Serta merta Padapaduka mengangkat bangun
mencium ubun2 kepalanya dan mengucapkan mantra
Dipa, "Im! Namu Buddhaya ! Im ! Hajwa sira wisikitsa. Pahenak
tangen-angenta. Bhatara Bajrasatwa mingasthita sira ri hatinta, pinakahatinta sira mangke, mang-ganing punya juanasambhara kapangguha denta don ira hana. Hajwa ta sandeha
..." "Segala puji bagi Sang Hyang Adi Buddha! Janganlah
engkau waswas. Besarkanlah hatimu. Bhatara Bjrasatwa
bersemayam dihatimu, menjadi penunjuk jalanmu mencapai
kebersihan batin dan tujuanmu. Demikian janganlah khawatir
...." Setelah dilepas dari dekapan Padapaduka, ada suatu
perasaan aneh yang bersemayam dalam hati Dipa. Ia seperti
mempunyai semangat baru, kekuatan pikiran dan keyakinan
teguh. Ia tak mengerti adakah itu hanya menurut perasaan
sendiri ataukah memang kekuatan dari daya mantra pendeta
Padapaduka. "Bagaimana Padapaduka. perasaanmu, "Hatiku tenang, mengembang" pikiranku anakku terang ?" tanya dan pendeta semangatku "Itulah anakku, semoga perjalanan hari depanmu mencapai
jalan yang gilang gemilang"
"Duh, sang pendeta yang mulia. Hamba hanya seorang
anak rakyat miskin lagi pula sebatang kara ..."
Berkata Padapaduka dengan tenang "Segala apa sudah
digariskan dalam kodrat. Perjalanan hidupmu akan menempuh
kegemilangan sang Surya. Engkau akan meniti kepuncak
tangga yang tinggi. Tetapi ...."
"Tetapi bagaimana?"
"Dharmacakra adalah roda Kebenaran dari Sebab dan
Akibat. Dan apa yang kelak akan engkau alami sudahlah
menjadi kodrat Prakitri hidupmu. Besarkanlah hatimu dan
terimalah dengan segala kelapangan hatimu" Padapaduka tak
langsung menjawab pertanyaan Dipa berbicara secara
bertalaran. Dipa terlongong "Mohon kakek memberi penjelasan yang
dapat kufahami" "Pernyataanmu bahwa engkau hanya seorang anak rakyat
miskin lagi sebatang kara, bukanlah suatu rintangan bagimu
untuk menjenjarg titian tangga yang tinggi. Kami kaum agama
Budha tidak mengadakan perbedaan kasta. Bukan perbedaan
kasta manusianya tetapi kasta Atmanya, tingkat keluhuran
jiwanya, nilai martabat dharmanya"
Sejenak berhenti untuk mengatur napas, berkata pulalah
pendeta tua itu "Anakku, katahuilah, bahwa Buddha Gautama
sendiri adalah seorang putera raja dari kerajaan Kapilavatthu
yang letaknya di kaki gunung Himalaya di tepi sungai Rohini.
Ayahandanya adalah raja Suddhodana dan bundanya Ratu
Maya. Kelahiran pangeran Siddharta itu bertepatan pada suatu
malam terang bulan. Cahya candra purnama siddhi, gilang
gemilang. Angin semilir berhembus sepoi2. Pada saat itulah
maka Ratu Maya bersalin di dalam taman Puspa-mega, di
bawah sebuah pohon yang rindang. Tetapi tujuh hari
kemudian, bundanya telah meninggal.
Sejak masa kanak2, pangeran Siddharta sudah kelihatan
berotak cerdas dan selalu haus untuk meneguk ilmu
pengetahuan. Dalam usia duapuluh sembilan tahun, pangeran
berjalan mengunjungi rumah demi rumah rakyatnya. Enam
tahun menyelidiki, memahami, menyiasati dengan seksama
ilmu luhur itu, akhirnya beliau mendapat kesimpulan dan
kesadaran bagaimana jalan supaya manusia terlepas daripada
pikiran serong, durjana dan sesat. Pangeran tak mau
dinobatkan sebagai raja pengganti ayahnya melainkan bertapa
dan menjauhkan diri dari suasana keduniawian, la telah
mendapat penerangan yang luhur murni dan menyiarkan
pelajaran2 agama Buddha. Gautama adalah nama nenekmoyangnya. Maka oleh para pengikutnya, beliau digelari
sebagai Buddha Gautama....."
Dipa terpukau mendergar cerita tentang sarg Buddha itu.
"Anakku, semoga cerita yang kututurkan kepadamu itu
dapat memperkokoh keyakinan hatimu dan menghapus rasa
rendah diri dalam perasaanmu. Bukan kasta, bukan keturunan,
bukan pula kedudukan seorang manusia itu dinilai. Tetapi
adalah martabat dan keluhuran budi dan darma hidupnya"
Dipa seperti seorang yang sedarg meminum tuak. Makin
lama makin pening dan serasa ringan perasaannya. Seolah
olah seperti melayang kepada suatu dunia yang lain
suasananya..... Sesaat kesadaran telah kembali bersinggasana dalam
pikirannya, Dipa segera tercengkam oleh rasa keraguan pula
"Duh, sang pendeta yang bijak bestari. Hamba hanyalah
seorang anak desa, anak rakyat miskin, sebatang kara pula.
Bukankah suatu kemustahilan apabila diri hamba akan menjadi
orarg yang terkenal seperti yang tuanku katakan itu ... ."
Padapaduka menghela napas pelahan "Ah, memang sukar
untuk meyakinkan pikiranmu ...." ia merenung beberapa saat,
lalu "sesungguhnya soal ini adalah rahasia Alam. Tak boleh
kutunjukkan kepadamu. Namun . . . ah, tiada lain jalan, demi
kelangsungan dan kesejahteraan agama Buddha, demi usaha
pencaharian kitab suci yang akan membawa berkah
keselamatan kepada kaum agama Buddha, terpaksa aku akan
melanggar pantangan Kodrat ...."
Dipa tak mengerti apa makna kata2 pendeta tua itu karena
tampaknya pendeta itu berkala stouig diri.
"Anakku, cobalah engkau pejamkan mata" tiba-tiba pendeta
tua itu berseru. Setelah Dipa melakukan perintah, maka
pendeta tua itupun segera mengusapkan tangannya ke muka
Dipa sambil mulutnya berkomat kamit mengucap mantra.
"Nah, bukalah matamu dan lihatlah telapak tanganku ini" ia
mengangkat telapak tangan kanannya dan dijulurkan ke muka
Dipa. Dipa memandang telapak tangan pendeta tua itu.
Seketika terbeliaklah matanya.
"Anakku, aku terpaksa akan membuka tabir Kegaiban
hidupmu. Engkau akan melihat bagaimana perjalanan
hidupmu nanti. Tetapi tabir Kegaiban itu hanya sekejab,
bagaikan sebuah mimpi yang tak berbekas. Setelah
kukatupkan telapak tanganku lagi, lenyaplah semua
penglihatan dan pengetahuan yang engkau lihat itu dari
ingatanmu. Engkau takkan teringat apa2 lagi....."
Dipa hanya mengangguk dalam rasa keheranan yang
hampa. "Nah, apakah yang engkau lihat di telapakku, anakku?"
tanya pendeta Padapaduka.
"Seorang pemuda bertubuh pendek padat, berpakaian
sebagai seorang prajurit. Bersama beberapa prajurit ia
menjaga di sebuah keraton. Hai. ..." tiba2 Dipa memekik
kaget. "Mengapa engkau menjerit " Apakah yang engkau lihat ?"
tanya Padapaduka. "Keraton itu terbakar, terdengar sorak sorai bergemuruh
dan ratusan rakyat menyerbu keraton ....?"
"Lalu ?" "Seorang lelaki muda yang berpakaian indah sekali,
mengenakan mahkota keemasan muncul dari keraton"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah raja, anakku" kata Padapaduka.
"Raja diiring oleh pemuda berpakaian prajurit dan beberapa
kawannya menerjang keluar dari lautan api. . . ah, mereka
menuju ke luar kota dan bersembunyi di sebuah desa"
Pendeta Padapaduka hanya mengangguk.
"Prajurit muda itu tampak menunggang kuda seorang diri
kembali ke dalam keraton. Ia dikerumuni rakyat dan pemuda
itupun memberi keterangan. Tak lama rakyat menyerbu rumah
gedung yang besar.... Raja kembali ke keraton lagi. Prajurit
muda itu diberi hadiah dan pangkat."
Masih pendeta Padapaduka hanya mengangguk saja.
"Matahari bersinar terang benderang. Suasana keraton
penuh sesak dengan orang. Raja tadi, eh . . . bukan . . . bukan
raja yang tadi tetapi seorang raja puteri, memberi seperangkat
pakaian kepada prajurit yang bertubuh pendek padat itu. Dia
mengenakan pakaian indah sekali dan memberi perintah
kepada sekalien orang yang berada dalam keraton. Setiap
orang tunduk dan menghormat kepadanya"
"O, dia dia diangkat menjadi mentri kerajaan"
"Keraton itu terbungkus asap dan tampak seorang raja
yang masih muda duduk dikursi emas. Mentri yang bertubuh
pendek padat itu menghadap. Ah, lenyap .... sekarang mentri
itu berhadapan dengan beberapa lelaki yang mengenakan
pakaian indah seperti seorang mentri dan mengawal seorang
puteri yang amat cantik rupawan .... ah, lenyap lagi .... Hai . .
. !" tiba2 Dipa menjerit pula.
"Mengapa?" tegur pendeta tua.
"Perang . . . dua pasukan saling bertempur seru, bunuh
membunuh. Yang satu dipimpin menteri bertubuh padat tadi
dan lawannya pasukan dari pengawal puteri jelita itu . . . Hai .
. .!" untuk kesekian kalinya Dipa menjerit. Bahkan kali ini lebih
keras. "Mengapa anakku?" tanya Padapaduka.
"Puteri cantik itu bunuh diri . . . asap bergulung-gulung dan
tampak pula menteri bertubuh kekar tadi dikepung pasukan
prajurit. Dia lari lolos dari rumah kediamannya ...... aneh,
kulihat seluruh rakyat dan menteri2 kerajaan menangis, eh,
mengapa lenyap semuanya?"
"Itulah perjalanan hidupmu, anakku. Kodrat sudah
menggaris, roda Dharmacakra berputar, dari bawah menjulang
keatas lalu menurun kebawah lagi. Demikian prakitri alam ini.
Sang surya akan menyingsing, menjulang tinggi ditengah
angkasa, lalu condong ke-barat dan akhirnya terbenam dibalik
gunung. Tiada benda yang kekal dalam dunia ini, anakku" kata
pendeta tua itu "nah, sekarang pejamkanlah matamu"
Dipa pejamkan mata. Ia merasa mukanya diusap oleh
telapak tangan pendeta tua itu dan iapun mendengar mulut
pendeta itu berkomat kamit mengucap doa. Tetapi entah apa
maksudnya, ia tak tahu. Hanya pada lain saat, ia mendengar
pendeta itu menyuruhnya membuka mata lagi.
"Anakku, apakah yang engkau lihat pada telapak tanganku
tadi?"tanya Padapaduka.
Dipa tertegun "Aku tak melihat apa2, kakek"
"Apakah engkau tak ingat selikitpun tentang peristiwa
peristiwa yang engkau lihat pada telapak tanganku
tadi?"menegas pula Padapaduka.
Dipa gelengkan kepala "Sama sekali tak ingat"
"Benar?" "Aku bersumpah!"
Pendeta Padapaduka tersenyum "Baiklah, kupercaya
engkau memang tak berdusta. Bagaimana perasaanmu
sekarang" Apakah engkau masih takut akan bayanganmu
sendiri sebagai anak rakyat jelata yang papa?" tanya pendeta
itu. "Tidak, tuan pendeta. Kini aku merasa lebih tenang dan
berkurang rasa was"was itu" sahut Dipa dengan jujur.
"Bagus, anakku" seru Padapaduka dengan gembira "saat
inilah yang menjadi titik tolak perobahan jiwamu. Tegakkan
kepalamu, besarkan semangatmu dan lapangkanlah dadamu.
Tetapi jangan engkau bersikap sombong dan angkuh.
Masihkah engkau tetap bersedia untuk melanjutkan usaha
mencari kitab suci itu apabila terjadi sesuatu pada diriku?"
"Kurelakan jiwa ragaku untuk melakukan pesan tuan itu"
sahut Dipa dengan penuh keyakinan.
"Bagus, anakku, hatiku terasa lapang sekali saat ini....."
"Tetapi kakek pendeta, apakah nama kitab suci.
peninggalan Empu Barada itu?" tiba2 Dipa mengajukan
pertanyaan. Memang sejak tadi, ia hanya mendengar pendeta
tua itu menyebut-nyebut tentang kitab suci tetapi tidak
mengatakan nama kitab itu
"Kaum Budha Mahayana di tanah Jawadwipa sini sudah
memiliki tiga jenis kitab suci agama Budha yalah yang disebut
Tripitaka, terdiri dari tiga buah kitab Dhammapitaka,
Winayapitaka dan Abidhammapitaka. Tetapi yang disimpan
oleh Empu Barada itu merupakan kitab suci agama Budha
yang lebih menonjol dari ketiga pitaka itu. Ketika Empu Barada
mengembara ke telatah barat dan berkunjung ke candi
Borobudur untuk ikut serta dalam upacara hari Waisak sang
Buddha Gautama, beliau telah bertemu dengan seorang
pendeta munindra dari tanah kerajaan Kapilavatthu, yalah
tempat asal kelahiran Sang Buddha Gautama, Dalam
percakapan mengenai ajaran2 Budha, munindra dari
Kapilavatthu itu kagum dan meraruh per-indahan terhadap
pengetahuan Empu Barada yang amat luas. Dengan sertamerta munindra Kapilavatthu itu segera menyerahkan kitab
suci yang belum pernah ada di tanah Jawa. Ia percaya dengan
memiliki kitab suci itu, agama Budha Mahayana akan lebih
berkembang dan tersiar luas di kalangan rakyat. Nama kitab
suci itu yalah SANGHYANG KAMAHAYAKNIKAN. Dapatkah
engkau mengingat nama kitab itu, anakku?"
"Dapat" Dipa mengangguk.
"Cobalah engkau sebutkan!"
"Sanghyang Kamahayaknikan ...."
"Bagus, anakku, ingatanmu tajam benar. Ingat dan catatlah
nama kitab suci itu dalam hatimu"
Dalam pada bercakap-cakap itu haripun sudah larut malam.
Sayup2 terdengar ayam hutan bersambut kokok.
"Ah, hari sudah menjelang terang tanah. Engkau tentu letih.
Mari kita tidur" kata pendeta Padapaduka.
Demikian sejak hari itu Dipa tinggal bersama pendeta tua
Padapaduka di dalam sebuah guha yang ter-rahasia letaknya.
Teraling oleh gerumbul semak dan di kelilingi gunduk2 tanah
kuburan. Sambil berusaha untuk mencari tempat penyimpanan kitab
suci Sanghyang Kamahayaknikan yang diduga tentu dipendam
dalam tanah yang amat rahasia letaknya, Dipa banyak
menerima pelajaran dari pendeta tua itu. Tiap malam ia
menerima pelajaran tentang agama Budha serta cara2 untuk
melakukan samadhi dan ilmu Prana atau pernapasan. Karena
ia sudah pernah menerima pelajaran dari brahmana Anuraga,
maka cepat ia dapat menangkap petunjuk2 yang lebih
meningkat dari pendeta Padapaduka.
Setelah makin erat pergaulan mereka, pendeta Padapaduka
makin bertambah sayang akan anak itu. Ia memberi pelajaran
ilmu tata-gerak kepada Dipa.
"Dipa" katanya setelah anak itu sudah menguasai ilmu tatagerak yang diajarkannya "ilmu yang kuajarkan itu disebut ilmu
Lembu-sekilan. Gunanya untuk melindungi diri apabila engkau
diserang orang. Pelajarilah baik2 dan ingat, ilmu itu bukan
untuk berkelahi menyerang orang tetapi hanya untuk
melindungi diri dari serangan orang"
Waktu berjalan amat pesat. Tak terasa sudah setengah
tahun Dipa tinggal bersama pendeta tua itu di pskuburan
Lemah Citra. Tetapi kitab suci itu belum juga dapat
diketemukannya. 0oo-dw-oo0 II PEPERANGAN di tanah Mandana telah berakhir. Walaupun
dengan seluruh kekuatan dan tekad, buyut Mandana
memimpin rakyatnya untuk mengadakan perlawanan namun
akhirnya karena kalah banyak jumlahnya dan perlengkapannya, patahlah perlawanan lasykar rakyat
Mandana. Pasukan Majapahit yang menyerang tanah Mandana,
bermula dipimpin oleh rangga Pu Jalu, seorang senopati yang
disebut-sebut mempunyai nilai yang tiada taranya dalam
peperangan. Walaupun Mandana itu hanya sebuah tanah perdikan yang
tak seberapa luasnya, tetapi rangga Pu Jalu tahu bahwa buyut
Mandana itu seorang yang berisi. Pandai memimpin rakyat,
faham mengatur barisan dan sakti dalam ilmu jaya kawijayan.
Dalam penyerangan itu, rangga Pu Jalu mengatur
barisannya dengan gelar Dirada Meta. Di rada meta artinya
gajah yang sedang marah. Siasat ini memisalkan kemarahan
seekor gajah yang mengagumkan dan dahsyat. Belalai dan
gadingnya amat berbahaya dan merupakan suatu gerak
serangan yang menggunakan pengerahan kekuatan pasukan.
Siasat perang Dirada-meta ini pernah digunakan oleh kaum
Korawa datlam perang Bharatayuda. Prabu Suyudana
bertempat di tengkuk barisan bersama Arya Sindurja atau
Jayadrata serta Adipati Ngawangga. Seluruh kaum Korawa
berbaris dimisalkan gading gajah. Prabu Bagadenta sebagai
belalai dan Danghyang Durna sebagai kepala barisan.
Demikian dalam penyerangan ke Mandana ini, rangga Pu
Jalu menggunakan siasat itu karena ia merasa menang besar
jumlah pasukannya dan menang lengkap persenjataannya.
Dengan gerak serentak pengerahan seluruh tenaga, sekali
gerak ia hendak menghancurkan barisan rakyat Mandana.
Tetapi karena sudah mendapat berita rahasia dari kedua
utusan patih Aluyuda, maka tak gentarlah buyut Mandana
menghadapi serangan itu. Ia segera mengatur lasykarnya
dalam gelar VVulan Tumanggal. Gelar ini mengibaratkan awal
bulan. Menurut bentuknya seolah-olah sebuah gelar yang tak
membahayakan. Tetapi gelar barisan yang berbentuk seperti
bulan sabit itu sesungguhnya penuh dengan gerak pukulan
yang serba membahayakan. Karena di ujung sudut di tengah
tempat barisan selalu siap sedia dengan gerakan yang mudah
dan cepat dilakukan. Gelar Wulan Tumanggal itu memang jarang sekali
dilakukan, tetapi karena buyut Mandana kalah banyak dan
kalah kekuatannya, maka ia akan menghemat tenaga dan
hanya bersifat mempertahankan diri saja.
Ketika pasukan Majapahit menyerbu pusat tanah perdikan
Mandana, mereka terkejut ketika mendapatkan markas musuh
kosong. Seolah-olah tidak menemui suatu perlawanan. Rangga
Pu Jalu seorang senopati yang sudah banyak pengalaman
perang. Cepat ia dapat menyadari keadaan itu. Ia duga musuh
tentu bukan takut sesungguhnya melainkan hanya
menggunakan siasat. Rangga Pu Jalu segera memerintahkan supaya merobah
gelar barisannya dalam bentuk Supit Urang. Untuk menjagai
serangan musuh dari sebelah kanan dan kiri. Tetapi sebelum
perintah itu dilaksanakan, tiba2 terdengar sorak sorai
menggegap gempita. Bumi seolah-olah gonjing dan langit
seakan-akan rubuh. Pasukan Majapahit terkejut. Saat itu malam hari. Kedua
bagian gading barisan diserang oleh lasykar Mandana dengan
panah api. Demikian bagian tengah atau kepala barisanpun
tak lepas dari serangan. Seketika pasukan Majapahit kacau
balau. Banyak korban yang jatuh. Untunglah rangga Pu Jalu
cepat dapat mengatasi kekacauan itu. Segera ia merobah
bentuk sisa barisannya berkerumun mengelompok dalam
siasat bentuk Gilirangan-rata. Dengan pemusatan sisa2
pasukannya, rangga Jalu bergerak mundur meninggalkan
tanah Mandana. Ia menderita kekalahan tetapi ia masih dapat
menyelamatkan pasukannya dari kehancuran keseluruhannya.
Buyut Mandana dan rakyat Mandana bersukacita dengan
kemenangan itu. Buyut itu sesungguhnya seorang yang pandai
dan luas pengalaman. Tetapi sayang ia berhati keras, dan
jujur. Cepatlah ia menaruh kepercayaan kepada kedua utusan
dari patih Aluyuda yang datang menghadap untuk yang kedua
kalinya dan memberitahukan tentang gerakan pasukan
Majapahit yang akan mengulang serangannya lagi. Pun buyut
itu diberitahu tentang gelar barisan yang akan digunakan oleh
senopati Majapahit. Seperti yang pertama, maka buyut Mandanapun disuruh
menggunakan siasat untuk meninggalkan markas Mandana.
Begitu pasukan Majapahit menyerbu ke dalam markas, supaya
dilakukan penyergapan lagi.
Tetapi kali ini buyut Mandana harus membayar mahal dan
menderita kekalahan besar akibat cepat menaruh kepercayaan
kepada kedua utusan patih Aluyuda itu.
Ketika mengetahui pasukan Majapahit sudah menduduki
markas besar Mandana, maka lasykar Mandana segera
menyergap. Tetapi apa yang mereka dapatkan " Ternyata
yang menduduki markas orang Mandana itu hanya beberapa
belas prajurit saja. Selekas lasykar Mandana muncul untuk
menyergap maka dari belakang berhamburan beribu-ribu
prajurit Majapahit yang menerkam dan mengganas. Lasykar
Mandana terjepit oleh dua kekuatan besar dari belakang dan
muka. Kebakaran dari panah-api yang dilepas lasykar Mandana
sebagai pengganti malam tiada bulan, merupakan malam yang
amat seram. Pekik lolong, jerit mengaduh dari lasykar
Mandana yang rubuh, mewarnai bumi mereka dengan darah.
Darah yang akan menimbulkan bibit tanaman dendam
kebencian anak Mandana kepada orang Majapahit.
Buyut Mandana mengamuk laksana banteng terluka. Ia
heran mengapa peristiwa tidak sesuai dengan perintah yang
disampaikan oleh kedua utusan patih Aluyuda. Dengan sebuah
gerak terkaman harimau lapar, ia menyambar seorang prajurit
Majapahit terus dibawa loncat ke dalam gerumbul pohon.
Prajurit itu tak dapat berkutik sama sekali-dibawah
cengkeraman buyut Mandana.
"Bilang terus terang, siapakah senopati pasukan Majapahit
saat ini?" hardiknya seraya mencekik kerongkongan orang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sepatah saja engkau berdusta, biji kerongkonganmu tentu
kuremas hancur....."
"Gusti patih Aluyuda sendiri yang memimpin pasukan kami"
kata prajurit itu tersekat-sekat karena tak dapat bicara lepas.
"Jangan berdusta!" teriak buyut Mandana seraya
menjambak rambut prajurit itu dan meremasnya sehingga
segenggam rambut prajurit itu tercabut ke luar "Aduh . . . aku
tidak .... berdusta .... memang gusti patih Aluyuda ..."
"Di mana dia?" hardik buyut Mandana pula dengan mata
membengis. "Gusti patih berada di belakang barisan, naik kereta perang"
sahut prajurit itu. "Antarkan aku ke sana!" buyut Mandana mendorong tubuh
prajurit itu supaya menunjukkan jalan. Karena tak berdaya,
prajurit itupun terpaksa melakukan perintah. Sekeluarnva dari
hutan mereka mendaki sebuah puncak bukit "Itulah kereta
gusti patih" kata prajurit itu sambil menunjuk ke muka.
Wajah buyut Mandana memberingas. Secepat menghantam
rubuh prajurit itu, ia terus menyelinap diantara gunduk batu
dan pohon, menghampiri kereta patih Aluyuda. Memang
kurang lazim seorang senopati naik kereta. Pada umumnya
tentu naik kuda. Tetapi patih Aluyuda memang hendak
menghindari perhatian orang Mandana. Ia tak menyangka
bahwa buyut yang cerdas itu dapat mencium bau
permainannya. Ketika berhasil mendekati kereta, dengan
mencabut keris, buyut Mandana loncat menerjang.
"Hai, pembunuh. .." teriak patih Aluyuda seraya
menghindar. A pabila terlambat, dadanya tentu sudah menjadi
kerangka keris buyut Mandana. Hanya bahu kiri patih itu yang
terkena tetapi tak sampai membahayakan jiwanya.
"Aluyuda, engkau manusia berhati serigala!" buyut
Mandana cepat hendak mengulang tusukan keda-da patih itu.
Tetapi sekonyong-konyong, sais kereta mendahului melecutkan cambuknya, tar . . . tar . . tar. Punggung buyut
Mandana terhunjam tiga buah lecutan keras sehingga baju
robek dan kulit berdarah. Pada saat buyut itu pejamkan mata
untuk menahan rasa sakit patih Aluyuda cepat balas memukul
kepala buyut itu, duk ....
Buyut Mandana terhuyung-huyung beberapa langkah
kebelakang. Tar, tar, tar. . . sais keretapun dengan tangkas
loncat turun dan menghujani buyut itu dengan cambuknya.
Dua orang prajurit berkuda yang mengawal dikanan kiri
keretapun cepat loncat melayang untuk menyikap buyut itu.
Buyut Mandana kerahkan seluruh tenaganya untuk meronta.
Hampir saja kedua prajurit itu terpelanting. Dengan sigap,
buyut itu mengirim sebuah tendangan keperut dan kedua
prajurit itupun terjungkal rubuh. Tar. . . sais kereta lecutkan
cambuk menghajar kepala, tetapi dengan tangkas buyut
Mandana mengendap kebawah lalu loncat menerkam perut
sais kereta itu diangkat tubuhnya lalu dilempar kearah kereta,
prak .... kepala sais kereta itu pecah, benak berhamburan dan
jiwapun melayang. Setelah berhasil membunuh tiga orang musuh, buyut
Mandana makin mengamuk. Ia menerjang ke dalam kereta
tetapi kereta sudah kosong, patih A luyuda sudah menyusup ke
luar. Buyut Mandana loncat ke luar. Dilihatnya patih itu sudah
siap menanti di luar dengan bersenjata pedang.
Karena hajaran cambuk dan pukulan patih Aluyuda tadi,
keris buyut Mandanapun jatuh ke tanah. Tetapi buyut itu tak
menghiraukan. Walaupun tak bersenjata ia tak gentar
menghadapi patih Aluyuda. Sring.....sebuah tabasan patih itu
dapat dihindari buyut Mandana dan buyut itupun loncat sambil gerakkan kedua
tangannya. Tangan kanan untuk menabas tangan kanan patih
Aluyuda yang mencekal pedang, pedang tangan kiri ditebarkan
untuk mencengkeram leher baju putih.
"Engkau . . . patih keparat . . . manusia yang mengacau
kerajaan . . .menghancurkan rumah tanggaku . .. engkaulah
yang mencelakai puteriku Sindura . . . sekararg engkau harus
mati. . ." dengan sekuat tenaga buyut Mandana mencekik
leher patih A luyuda. "Auh ... uh ... u ... h ..." patih
menggelepar-gelepar tetapi ia tak
cekikan maut dari buyut itu. Makin
tenaga patih itu, napasnya sesak,
wajahnyapun makin pucat ....
Aluyuda meronta dan mampu mematahkan lama makin habislah matanya pudar dan Pada saat lidah patih itu mulai menjulur ke luar dan jiwanya
hendak melayang, sekonyong-konyong terdengar derap
langkah beberapa orang lari menghampiri "Hai, jangan
menganiaya gusti patih ...." Sebelum buyut Mandana sempat
berpaling untuk melihat siapa pendatang2 itu, ia berteriak
mengaduh dan kedua tangannya yang mencekik leher patih
itupun terkulai. Pada lain saat, tubuhnya rubuh tertelentang ke
belakang..... Ternyata yang datang itu lima orang prajurit yang hendak
memberi laporan kepada patih Aluyuda bahwa pertahanan
orang Mandana sudah bobol dan lasykar mereka sudah
terbasmi. Alangkah kejut2 kelima prajurit itu demi melihat sais
kereta dan dua prajurit pengawal patih Aluyuda terkapar di
tanah, sedang rakryan patih Aluyuda sendiri sedang
meregang-regang dicekik oleh seorang lelaki bertubuh tinggi
besar. Diantara kelima prajurit yang datang itu, tiga di-antaranya
adalah prajurit2 yang termasuk pada barisan pemanah.
Kepandaian panah mereka amat mengagumkan. Ketiga
prajurit itupun serentak melepaskan anak panah kearah buyut
Mandana. Tiga batang anakpanah tepat bersarang ditengkuk,
punggung dan pinggang buyut Mandana. Ketiga prajurit itu
menyusuli pula dengan membidikkan beberapa batang
anakpanah. Punggung buyut Mandana penuh berhias
anakpanah. Betapa sakti dan kuat tenaga buyut itu, namun
karena tubuhnya menjadi sarang berpuluh batang anakpanah,
akhirnya buyut itupun terkulai dan rubuh ....
Kedua prajurit yang lain, cepat memberi pertolongan
kepada patih Aluyuda. Setelah beiistirahat beberapa saat,
patih Aluyudapun dapat berdiri tegak lagi. Ia menghampiri
kemuka buyut Mandana yang masih belum mati.
"Keparat, siapa engkau!" bentaknya.
"Buyut Mandana yang ingin meminum darahmu"
Patih Aluvuda agak terkesiap tetapi pada lain saat ia
tertawa hina "Anjing Mandana seperti engkau, berani kepada
patih Majapahit?" "Apabila orang-orangmu tidak menyerang secara curang
dari belakang, saat ini engkau tentu sudah berada di neraka
..." "Bedebah engkau!" patih Aluyuda menendang muka buyut
itu, krak . . . darah mengucur dari mata, hidung dan mulut
buyut itu. Namun dengan gagah dan garang buyut itu
menantang "Bunuhlah aku, tetapi jangan engkau hina semacam ini!
Memarg sudah menjadi nasib dari seorang ksatrya. Apabila
menang, mukti. Kalau kalah, mati. Tetapi engkau, anjing
busuk, engkau akan menerima akibat lebih ngeri dari
perbuatanmu. Ingat, tanganmu berlumuran darah, pada suatu
hari, Karma pasti akan menjatuhkan hukuman kepada dirimu
...." "Keparat, mampuslah engkau!" dengan sebuah tabasan
pedang, terpisahlah kepala buyut itu dari badannya.
"Pemberontak, mengapa matanya masih memandang
bengis kepadaku" Prajurit, cukillah matanya!" teriak patih
Aluyuda ketika melihat mata buyut Mandana itu masih
merentang lebar, seolah-olah seperti memandang kepadanya
sehingga patih itu ketakutan.
Seorang prajurit cepat maju menghampiri mayat buyut
Mandana lalu mencukil kedua biji mata buyut ttu dengan
ujung pedang. Demikian buyut dari tanah Mandana itu telah mengalami
nasib yang mengerikan. Ia kehilangan segala-galanya. Anak
isteri dan jiwanya, rumah tangga, rakyat dan tanah yang
dicintainya ..... Patih A luyuda makin menjulang kedudukannya. Dan rakryan
Nambi makin tersudut. Kepercayaan baginda Jayanagara lebih
besar kepada patih Aluyuda daripada mahapatih Nambi.
Sekalipun demikian belumlah cukup kuat alasan patih Aluyuda
untuk menyingkirkan rakryan mahapatih. Ia harus mengasah
otak mencari akal untuk melaksanakan cita citanya merebut
kedudukan mahapatih dari tangan Nambi.
Patih Aluyudapun memaklumi bahwa saingannya yang
berat, bukan rakryan Nambi semata-mata. Tetapi masih
banyak lainnya lagi, misalnya ketujuh Dharma-putera
kelompok rakryan Kuti dan kawan-kawannya. Golongan2
mentri yang berfihak pada kedua puteri Tribuanatunggadewi
dan Gayatri. Kekuatan2 yang tak tampak tetapi selalu terasa
pengaruh pengacauannya, yakni himpunan Wukir Polaman
dari orang2 Daha. Gajah Kencana, perserekatan anak
keturunan para kadehan raden Wijaya atau mendiang baginda
Kertarajasa Jayawardana. Di samping itu pertentangan
golongan agama Syiwa dan Budha. Kesemuanya itu harus
dapat ia manfaatkan untuk kelengkapan rencananya mengadu
domba mereka kemudian menghancurkan yang tak mau
mendukung dirinya. "Baginda, junjungan yang hamba muliakan" demikian pada
suatu kesempatan menghadap raja, patih Aluyuda mulai
menusukkan jarum2 untuk menyingkirkan bisul2 yang
merintangi usahanya "sekiranya tuanku berkenan mendengar,
hamba hendak mempersembahkan beberapa patah kata
kebawah duli tuanku"
"Aluyuda, apakah engkau hendak mengajukan lain calon
wanita ayu sebagai pengganti si Sindura" Tetapi ingat
Aluyuda, peristiwa semacam Sindura tak boleh terulang
kembali. Memang penilaianmu amat tajam tentang wanita
yang dapat mencocoki seleraku. Tetapi yang engkau
persembahkan itu bukan bunga melati yang harum, bukan
pula bunga teratai yang suci, melainkan sekuntum bunga
mawar berduri. Cantik gemilang nian mawar itu, namun
durinya telah menusuk hatiku sampai bercucuran darah ..."
"Ah ..." patih Aluyuda menghela napas penuh penyesalan
"mohon paduka berkenan melimpahkan samudera pengampunan atas kesalahan hamba, gusti"
"Ha, ha" Jayanagara tertawa "engkau tak salah, paman
patih. Yang salah adalah keadaan dalam keraton. Kuheran
mengapa orang2 Wukir Polaman begitu berani mati melarikan
Rara Sindura! Ah, kalau tiada bantuan dari dalam, tak mungkin
hal itu dapat terjadi. Kurasa suasana dalam keraton memang
penuh dengan manusia2 kotor, yang menentang diriku. Ada
golongan2 yang berusaha untuk menyingkirkan aku dari tahta
singgasana dan hendak mendudukkan kedua ayunda
Tribuanatunggadewi dan Wijayadewi keatas tahta. Bagaimana
pendapat mu, paman Aluyuda?"
Lebih dulu patih A luyuda yang pandai mengambil hati sang
junjungannya itu menghaturkan sembah, lalu menjawab "Apa
yang tuanku ucapkan itu, amat sesuai dengan pandangan
hamba. Memang benar, gusti, bahwa suasana dalam keraton
penuh dengan kekeruhan dan kericuhan. Peristiwa Rara
Sindura memang amat merugikan keluhuran gusti, tetepi dilain
segi, memberi gambaran yang jelas tentang suasana yang
melingkupi keraton baginda. Justeru hal itulah yang hendak
hamba persembahkan kehadapan duli tuanku"
"Bagus, paman Aluyuda. Ingin kudengar apa pendapatmu
dalam hal itu" sambut baginda.
Sambil menyembah, patih itu berkata "Gusti junjungan
hamba, menurut hemat patik, kekeruhan yang menyelimuti
suasana keraton Majapahit, harus lekas dibersihkan. Bagai
benalu, apabila dibiarkan tentu akan makin bertumbuh subur
..." "Hm, benar" ujar baginda "lalu bagaimana pendapatmu
untuk membabat benalu2 itu?"
Aluyuda berdeham kecil seperti' orang yang hendak
mempersiapkan pidato "Pembersihan itu memang harus
dilakukan tetapi harus dengan cara bertahap. Pula caranya
harus diatur secara halus sehingga tak sampai mengejutkan
lain2 benalu. Biarkan lain2 benalu itu tetap benumbuh agar
mudah kita babat. Tetapi apabila dengan tindakan kita,
benalu2 itu ketakutan dan melenyapkan diri, tentu sukar bagi
kita untuk memberantas mereka. Mereka tentu akan bergerak
secara rahasia" "Hm, beralasan juga siasatmu itu, Aluyuda" sambut
Jayanagara "lalu bagaimana tindakan yang kita lakukan lebih
dahulu, paman?" "Diantara golongan2 benalu yang menentang kedudukan
tuanku, kiranya golongan2 mentri2 tua pendukung dari berdua
tuanku puteri Tribuanatunggadewi dan Mahadewi. Mereka
adalah bekas orang2 kepercayaan dari rahyang baginda
Kertarajasa dahulu. Sebagaimana terdapat narapraja dari
Singosari yalah ayahanda dari gusti puteri Tribuana dan
Gayatri, permaisuri rahyang baginda Kertarajasa. Sudah tentu
mereka akan mendukung tuanku puteri Tribuanatunggadewi,
dan Mahadewi serta berusaha untuk mendudukkan kedua
tuanku puteri itu ketahta kerajaan agar kedudukan mereka
tetap terjamin" patih Aluyuda tampak berhenti untuk
menyelinapkan lirik matanya kearah baginda. Dilihatnya
baginda menaruh perhatian akan kata-katanya tadi. Suatu
hembusan angin segar yang membawa harapan. Demikian
pikir patih itu. "Gusti, menurut pemawasan patik" demikian Aluyuda makin
memperdalam suntikan jarumnya yang berbisa "golongan2
mentri dan narapraja tua itu, yang paling berbahaya. Mereka
selain mentri2 tua yang kaya pengalaman dan siasat, pun


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai pengaruh di-berbagai lapisan narapraja dan
ketenteraan ..." "Beralasan" kembali Jayanagara memberi ulasan "lalu
bagaimana cara untuk menyingkirkan mereka?"
Patih Aluyuda mengantar jawabannya dengan sebuah
sembah "Hamba akan menghaturkan suatu rencana yang
menurut pandangan hamba akan membuahkan dua hasil atau
seperti pepatah mengatakan, sekali dayung dua tepian'.
Namun apabila tuanku tak berkenan, hamba mohon ampun
atas keiancangan hamba"
"Hm" baginda mengangguk.
"Bersemayamnya kedua tuanku puteri Tribuana-tunggadewi
dan tuanku puteri Mahadewi dikeraton Majapahit sini,
menimbulkan berita2 yang tak menguntungkan keluhuran
nama tuanku. Rakyat mendengar bahwa paduka hendak
mengambil kedua tuanku puteri itu sebagai permaisuri ..."
"Setan, siapakah yang menyiarkan berita itu?" tukas
baginda agak bengis. "Ampun gusti" kembali Aluyuda berdatang sembah "siapa
lagi yang menyiarkan hal itu kalau bukan golongan2 yang
menentang paduka. Mereka ingin menarik dukungan rakyat
agar rakyat timbul rasa tak senang kepada tuanku. Juga
bersemayamnya kedua tuanku puteri dipura kerajaan sini,
akan memberi tempat dan angin bagi golongan yang
mendukung kedua puteri itu. Oleh karena itu, hamba
memberanikan diri untuk mempersembahkan usul kehadapan
tuanku ..." "Engkau maksudkan supaya kedua ayundaku itu
disingkirkan dari pura kerajaan?" Jayanagara mendahului
menebak isi hati sang patih.
"Demikianlah baginda" sembah patih Aluyuda "sekiranya
tuanku berkenan menyambut pendapat hamba itu. Dan hamba
rasa, tiada jalan yang lebih tepat daripada tindakan itu,
baginda" "Bagaimana engkau sebutkan hal itu sebagai 'sekali dayung
dua tepian', paman?"
"Begini tuanku" kata patih Aluyuda selalu menyertakan
sembah hormatnya yang tak pernah ketinggalan "dengan
dipindahkannya kedua tuanku puteri dari pura kerajaan,
pertama, rakyat tentu akan bersyukur dan gembira.
Prasangka mereka terhadap diri tuanku, tentu akan hapus.
Kepercayaan mereka akan tumbuh pula dan bahkan akan
memuji tuanku sebagai seorang raja yang adil paramarta. Dan
cara itu tak lain yalah mendudukkan tuanku puteri
Tribuanatunggadewi sebagai r a n i di Kahuripan dan tuanku
puteri Mahadewi sebagai rani di Daha. Rakyat tentu akan
menyambut gembira keputusan gusti dan benalu yang tumbuh
dalam keraton Majapahitpun lenyap. Demikianlah yang hamba
maksudkan dengan tindakan 'sekali dayung dua tepian' itu,
gusti" Baginda Jayanagara mengangguk-angguk tetapi tak
memberi pernyataan suatu apa. Rupanya ia juga tak mau
lekas2 menyetujui usul patih itu melainkan hendak
mempertimbangkan sendiri dulu.
"Pemindahan kedua tuanku puteri ke Kahuripan dan Daha
itu hendaknya gusti sertakan dengan beberapa mentri tua
yang baik dalam sikap dan tindakannya mendukung kedua
tuanku puteri itu" patih Aluyuda menambahkan keterangannya
pula. "Ah, bukankah hal itu akan berarti memberi kekuatan
mereka untuk menyusun rencana menggulingkan aku dari
tahta kerajaan?" Jayanagara menyatakan kesangsiannya atas
usul terakhir dari patih itu.
Patih Aluyuda menghatur sembah "Memang tampaknya
demikian. Tetapi di lain fihak, keraton baginda di Majapahit
benai2 bersih dan kawanan serigala yang berselimut kulit
domba. Dan pelepasan beberapa mentri untuk membantu
pemerintahan kedua tuanku puteri di Kahuripan dan Daha itu,
tidaklah begitu saja. Melainkan harus disertai dengan
beberapa orang kepercayaan kita. Orang kepercayaan baginda
inilah yarg setiap saat akan memberi laporan kepada baginda
akan gerakan mereka. Dengan demikian, keraton Majapahit
bebas dari benalu, kebalikannya gusti tetap dapat menguasai
dan mengamat-amati gerak gerik kedua tuanku puteri itu"
Wajah raja Jayanagara memancar cahaya cerah. Rupanya
ia berkenan hiti akan usul paih itu "Saranmu cukup baik,
paman patih. Siapakah kiranya mentri2 dan narapraja yang
akan diikut sertakan kepada kedua ayundaku itu?"
Besarlah hati patih Aluyuda demi mendengar ucapan
baginda itu. Hal itu berarti baginda sudah menerima usulnya
"Dalam hal itu, bilamana gusti berkenan melimpahkan
kepercayaan kepada hamba, hamba dapat menghaturkan
susunan nama mentri dan nara-praja itu. Pada umumnya,
mentri2 tua dan narapraja lemah yang diikut sertakan.
Sedangkan nayaka dan senopati keprajuritan harus orarg2
kepercayaan baginda. Agar apabila mereka merencanakan
gerakan yang hendak merugikan kedudukan baginda, dengan
mudah dapat ditindas"
"Ya, begitupun baik" akhirnya baginda Jayanagara memberi
persetujuan "eh, paman Aluyuda. Bagaimana dengan paman
Nambi?" "Rakryan mahapatih Nambi" Mengapa gusti"'" Aluyuda
pura2 terkejut mendengar nama Nambi disinggung baginda.
"Bukankah paman Nambi itu juga bekas kadeh-an
mendiang ayahanda baginda" Bukankah dia tentu lebih
cenderung mendukung kedua ayundaku" Bukankah dia sudah
tua?" Aluyuda sengaja menghela nafas penuh nada keharuan
"Rakryan mahapatih Nambi, selama ini menurut wawasan
hamba, belum jelas sikap pendiriannya. Dia terlalu hati2 dan
mendapat dukungan luas dari kalangan mentri narapraja dan
ketenteraan" "Tetapi buktinya dalam peristiwa Mendana, dia telah
menjatuhkan pilihan yang keliru pada diri rangga Jalu
sehingga pasukan Majapahit menderita kekalahan yang
memalukan. Bukankah selama dia menjabat mahapatih,
kerajaan tak pernah tenteram dan di sana sini sering timbul
pemberontakan?" "Ah, tetapi rakryan mahapatih Nambi cukup
pengaruhnya" Aluyuda kembali menghela napas.
besar "Aluyuda, mengapa engkau selalu jeri akan pengaruh
paman Nambi" Manakah yang lebih berpengaruh, aku atau
Nambi?" rupanya raja Jayanagara mulai kena terbakar oleh
siasat Aluyuda. "Ampun gusti, junjungan hamba" Aluyuda tersipu2
mengunjuk sembah "sudah tentu di seluruh telatah kerajaan
Majapahit, gustilah yang paling berkuasa. Gusti adalah
junjungan seluruh kawula Majapahit. Rakryan Nambi hanya
mahapatih, masih tetap di bawah perintah tuanku. Sekalipun
dalam kenyataan memang rakryan mahapatih juga
mempunyai pengaruh di kalangan mentri, nayaka dan rakyat
Majapahit. Karena beliau seorang mentri tua dan salah
seorang bekas kadehan rahyang baginda Kertarajasa....."
"Aluyuda!" tiba2 baginda berseru keras.
"Daulat tuanku" sembah Aluyuda.
"Siapakah raja sekarang ini?" yang memerintah kerajaan Majapahit "Sudah tentu paduka, gusti"
"Kadehan rama prabu Kertarajasa, bukanlah kakehanku.
Kalau memang orang itu sudah tua, lemah dan tak berguna
pada kerajaan, aku tak segan2 untuk mencopot
kedudukannya. Dan aku berhak serta bebas untuk
mengangkat siapapunyang akan menggantikannya!"
"Mana2 titah tuanku, pasti hamba junjung di atas ubun2
kepala hamba, gusti"
"Kupandang paman Nambi sudah tua dan sikapnya tak
begitu tegas mendukung penobatanku sebagai raja.
Bagaimana kalau kuangkat engkau menjadi mahapatih
menggantikannya ?" "Gusti ...." Aluyuda berseru tertahan. Karena kejutnya
mendengar ucapan itu, hampir ia lupa kalau sedang
berhadapan dengan baginda sehingga mulutnya menjerit
keras. Ucapan raja Jayanagara yang masih muda belia itu,
benar2 seperti letusan halilintar di tengah musim kemarau.
Aluyuda hampir terjerembab ke belakang.
"Mengapa engkau, Aluyuda !" tegur baginda.
Tersipu-sipu Aluyuda menghaturkan sembah "Mohon
paduka berkenai melimpahkan ampun yang sebesar-besarnya
kepada diri patik. Titah paduka itu benar2 tak berani hamba
terima" "Mengapa " Engkau takut kepada paman Nambi?"
"Bukan, gusti" sembah Aluyuda "bukan karena hamba takut
karena hal itu adalah wewenang penuh dari paduka junjungan
hamba. Tetapi hamba anggap, rakryan Nambi adalah orang
yang sudah tepat serta cakap menjabat mahapatih. Jasanya
terhadap kerajaan cukup banyak, kesetyaannya sudah nyata,
kecakapannya memimpin pemerintahanpun tak perlu
diragukan. Pengalamannya, luas. Dalam segala hal, hamba tak
dapat menyamai beliau. ..."
"Aluyuda" seru baginda "tidak demikian pendapatku. Dalam
pengalaman, memang engkau kalah karena paman Nambi
lebih tua. Dalam jasa, mungkin engkau hanya kalah banyak,
karena paman Nambi adalah orang kepercayaan almarhum
rama prabu. Tetapi kalah banyak itu bukan berarti kalah
besar. Banyak hanya jumlahnya, besar itu nilainya. Menurut
pengamatanku, dalam hal kecerdikan, engkau lebih unggul,
lebih pandai mengatur rencana yang lebih berhasil. Aluyuda"
kata baginda lebih lanjut "engkau harus mengerti beda antara
jasa dan kecakapan. Untuk jasanya, sudah pasti paman Nambi
akan kuganjar hadiah besar dan tanah. Terapi untuk
kecakapan memimpin pemerintahan, dia sudah layak ka'au
diganti karena sudah tua. Mengapa' engkau menolak ?"
Saat itu apabila Aluyuda mengiakan, kemungkinan raja
tentu akan mengeluarkan keputusan untuk mengganti
kedudukan mahapatih dari tangan rakryan Nambi kepada
Aluyuda. Tetapi Aluyuda seorang belut yang licin. Ia kuatir
ucapan raja itu hanya suatu pancingan belaka untuk
mengetahui bagaimana isi hatinya. Apabila ia menerima
pengangkatan saat itu juga, tentulah akan menimbulkan kesan
baginda, bahwa ia orang yang temaha kedudukan, gila
pangkat, haus kekuasaan. Pikir Aluyuda lebih lanjut. Lambat atau laun, akhirnya ia
pasti akan dapat merebut kedudukan mahapatih itu. Tetapi
saatnya bukan sekarang. Ia harus pandai mengekang diri
mengendalikan nafsu. Ia harus menempa kepercayaan
baginda sehingga raja benar2 parcaya penuh kepadanya dan
menganggapnya seorang mentri yang jujur dan rendah hati.
Atas dasar beberapa pertimbargan itu, Aluyuda tetap menolak
maksud baginda "Ampun, gusti. Untuk saat ini akan beberapa
tahun yang mendatang, rakryan Nambi masih dibutuhkan
kepemimpinannya dakm kerajaan. Hal ini sungguh2 ke luar
dari isi hati hamba yang setulusnya. Bagi hamba, siapapun
yang menjabat kedudukan mahapatih itu bukan soal. Yang
penting, adalah roda pemerintahan, kerajaan Majapahit harus
tetap berjalan lancar dan mampu mengangkat martabat
paduka ...." Aluyuda berhenti sebentar untuk mencuri kesempatan
mernawas tanggapan baginda. Dilihatnya raja yang masih
muda itu berdiam diri. Maka ia segera melanjutkan lagi "Gusti,
hamba sebagai narapraja, tentu akan tunduk kepada titah
paduka. Apabila paduka berkenan hendak melimpahkan
anugeiah jabatan mahapatih kepada diri hamba, bukan hamba
menolak. Tetapi hamba mohon, sudi apalah kiranya gusti
berjalan memberi waktu beberapa tahun lagi agar haoiba
sempat untuk mengaji pergalaman dan pengetahuan-yang
lebih luas sebagai persiapan2 yang diperlukan dalam menjabat
kelungguhan yang begitu berat. Bagi hamba menjadi patih
atau mahapatih, tidaklah hamba risaukan. Yang penting
hamba dapat mengabdikan diri kepada paduka dan kerajaan
Majapahit" Memang cerdik benar patih Aluyuda itu. Betapapun halnya,
raja Jayanagara masih amat muda. Sukar baginya untuk
menjajagi isi hati patih Aluyuda yang licin dan cerdik. Baginda
anggap pernyataan Aluyuda itu mengunjukkan betapa jujur,
tulus dan bertanggung jawab Aluyuda itu kepada kerajaan
"Hm, dia seorang mentri yang jujur dan tak temaha pangkat.
Kelak tiada lain orang yang akan kupilih sebagai pengganti
paman Nambi kecuali Aluyuda ini" diam2 baginda merangkai
suatu kesimpulan dalam hati.
"Baiklah, Aluyuda, kalau memang begitu yang
kehendaki, akupun meluluskan" kata baginda kemudian.
kau Aluyuda serta merta menghaturkan sembah.
"Usulmu untuk memindahkan kedua ayundaku ke Kahuripan
dan Daha, kusetujui juga" kata baginda "siapkan daftar nama2
mentri dan rarapraja yang harus diikut sertakan mengikuti
kepindahan kedua ayundaku itu" kata baginda
Demikian pengangkatan puteri Tribuanatunggadewi sebagai
Rani Kahuripan dan puteri Rajadewi atau Wijayadewi sebagai
Rani Daha telah iilaksanakan. Siapa2 mentri dan narapraja
yang ikut kepada kedua rani itupun telah disusun oleh patih
Aluyuda dan disetujui oleh raja Jayanagara.
Daha terletak agak jauh dari Majapahit dan penting
kedudukannya. Menurut pandangan patih Aluyuda Daha harus
tak boleh mempunyai susunan penerintahan yang kuat.
Karena letaknya, Daha dapat mengadakan hubungan dengan
Matahun, Wengker serta Pajang dan lain2 daerah Mandalika.
Untuk menguasai Daha, maka yang diangkat sebagai patih
adalah Arya Tilam yang sudah tua. Sedang kepala prajurit
penjaga keraton dan tentara, dipilih orang2 kepercayaan patih
Aluyuda. Sedangkan Kahuripan karena letaknya dekat dengan
Majapahit, tak perlu dikuatirkan. Sewaktu waktu dapat
diawasi. Sebagai patih diangkat Kebo Taruna yang dipandang
patih Aluyuda sebagai pendukung raja Jayanagara. Kebo
Taruna, putera Kebo Anabrang.
Pelepasan kedua puteri itu, memang melegakan perasaan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Walaupun hal itu bukan berani mereka telah bebas
benar2 dari pengawasan dan tekanan raja jayanagara. Pun
rakyat menyambut pengangkatan itu dengan syukur gembira.
Sedang dalam keraton Majapahit, telah berkurang kekuatan
golongan yang menentang raja.
Walaupun dengan berat hati, namun kedua puteri itupun
mau juga menerima kepindahan itu. Sekalipun keduanya
berpisah, namun perasaan mereka agak longgar.
Sesungguhnya baik rani Kahuripan maupun rani Daha,
sudah tiba masanya untuk bersuami. Namun karena tindakan
adinda mereka yalah raja Jayanagara yang menghalanghalangi kedua ayundanya itu menikah dengan orang luar,
maka banyak pemuda2 keturunan Parawangsa atau keluarga
raja dan bangsawan, maupun dari golongan Wong Lembah
atau golongan raden, putera dari Akuwu serta kepala daerah,
tak berani menginjak pura Tikta Sripala atau kota kerajaan
Majapahit. Demikian segala persiapan telah dilaksanakan menurut usul
patih Aluyuda. Dan karena usulnya itu diterima oleh baginda,
Aluyuda makin besar hatinya. Cita-citanya untuk menduduki
jabatan mahapatih sudah terbayang di depan mata. Soal itu
hanya menunggu waktu saja.
Tetapi patih itu lupa bahwa segala sesuatu dalam
kehidupan ini sudah tergaris menurut kodrat masing2.
Memang rencana patih itu amatlah teliti dan sempurna, namun
Prakitri menentukan lain.
Pertama-tama yang mengunjuk tanggapan tak puas adalah
golongan Dharmaputera, yakni pangalasan atau abdi dhalem
Wineh suka, atau yang diberi kesukaan yang agak
diistimewakan. Mereka terdiri dari tujuh orang: Kuti, Semi,
Pangsa, Wedeng, Yuyu, Tanca dan Banyak. Ketujuh
dharmaputera itu diam2 makin tak senang karena baginda
makin menaruh kepercayaan kepada patih Aluyuda.
Sebenarnya mereka termasuk golongan yang menentang
Jayanagara. Mereka lebih cenderung mendukung kedua puteri
Tribuanatunggadewi dan Wijayadewi untuk duduk di tahta
kerajaan. Kuti dan Semi mendapat gelar rakryan, gelar yang
diberikan oleh raja Kertarajasa atau raden Wijaya kepada
orang2 kepercayaan atau kadehannya yang telah membantu
perjoangannya. Antara rakryan Kuti dan Semi walaupun
tergabung dalam dharmaputera, tetapi pendirian keduanya
agak berbeda. Rakryan Semi lebib cenderung memihak kepada
mahapatih Nambi. Tetapi rakryan Kuti mempunyai cita2
seperti yang dimiliki patih Aluyuda. Yalah hendak menjabat
kedudukan mahapatih. Sejak peristiwa lolosnya demang Suryanata, Kuti merasa
gelisah sekali. Ia kuatir rahasia persekutuan gelap untuk
menyingkirkan Jayanagara dari tahta kerajaan, akan boror.
Maka cepat mereka bertindak. Keluar mereka menyebar orang
untuk mencari dan menangkap demang Suryanata. Ke dalam,
mereka berusaha mati-matian untuk mengambil hati baginda
Sekalipun dalam hati membenci, namun demi keselamatan
jiwa, terpiksa mereka harus mengimbangi selera baginda.
Mereka tahu kelemahan dan kegemaran raja. Yalah wanita
cantik dan sanjung pujian mulut manis. Sebagai rakryan, Kuti
dan Semi mendapat kebebasan penuh untuk masuk keluar
keraton Tikta Sripala menghadap raja. Dengan kepandaiannya
bicara dan persembahan wanita2 cantik, akhirnya raja
Jayanagara terpikat perhatiannya dan mengangkat mereka
bertujuh sebagai Dharmaputera. Patih Aluyuda terkejut
mendengar pengangkatan itu tetapi ia kalah cepat. Sejak itu
patih Aluyuda memasukkan ketujuh Dharmaputera itu dalam
daftar saingannya yang berat, disamping mahapatih Nambi.
Ketika rencana pengangkatan kedua puteri Tribuana
tunggadewi dan Wijayadewi, diberitahukan baginda kepada
ketujuh dharmaputera itu, Kuti terkejut. Diam2 ia cemas
karena nyata2 bahwa lingkaran mereka untuk menjaga supaya
baginda jangan mengadakan hubungan dengan patih A luyuda,
ternyata dapat dibobolkan oleh patih itu. Mereka mendapat
kesan, bahwa baginda masih bahkan makin menaruh
kepercayaan kepada patih A luyuda.
"Titah paduka memang tepat" kata Kuti walaupun dalam
hati berkata lain "memang Kahuripan dan Daha merupakan
daerah aseli kerajaan paduka. Apabila Kahuripan dan Daha
hanya diperintah oleh mentri, dikuatirkan akan timbul hal2
yang dapat menyulitkan kerajaan. Tetapi apabila kedua tuanku
puteri Tribuanatunggadcwi dan Wijayadewi yang memerintah
di-kedua daerah itu, lebih kokohlah kekuasaan baginda.
Karena bagindapun juga, kedua tuanku puteri itu adalah
ayunda tuanku sendiri. Tentu tetap akan menjunjung
kesetyaan kepada kerajaan yang didirikan oleh Rahyang
ramuhun Kertarajasa"
"Ya, memang benar demikian paman " kata baginda.
"Bila paduka berkenan, hamba hendak mengajukan sedikit
perobahan tentang susunan mentri yarg menyertai kedua
tuanku puteri itu" kata Kuti.
"O, katakanlah" ujar baginda.
"Pengangkatan Kebo Taruna sebagai patih Kahuripan itu
pada hemat hamba, tidak sesuai gusti"
"O. apa sebabnya, paman?" tegur baginda.
"Kebo Taruna adalah putera dari mendiang Adipati Kebo
Anabrang yang telah membunuh Rangga Lawe tetapi
kemudian dibunuh oleh Lembu Sora. Rongga Lawe
memberontak terhadap rahyang ramuhun Kertarajasa karena
tak puas dengan pengangkatan Nambi sebagai mahapatih.
Dengan demikian walaupun melakukan tugas sebagai senopati
kerajaan, namun tak lepas dari penilaian, bahwa Kebo
Anabaran itu berfihak pada rakryan Nambi. Sudah tentu Kebo
Taruna juga segaris ,dalam pendiriannya dengan sang ayah
...." "Bukankah paman mahapatih Nambi itu juga setya padaku"
Apa halangan Kebo Taruna itu orang kepercayaan paman
Nambi" Adakah engkau hendak mengatakan bahwa paman
Nambi itu juga tak senang kepadaku?"
"Ampun, tuanku" sembah Kuti yang tak kalah pandainya
bersilat lidah untuk mengambil muka baginda daripada patih
Aluyuda "menurut pandangan patih yang picik, pendirian
rakryan Nambi itu memang belum meyakinkan. Masih seolaholah bunglon yang berobah-robah warna kulitnya"
"Bagaimana mamanda dapat mengatakan demikian?" ujar
baginda. "Sebagai seorang kadehan dari rahyang ramuhun Sri
Kertarajasa. sudah tentu rakryan Nambi setya kepada
kerajaan dan berjuang mati2an untuk mempertahankan
kedudukannya sebagai mahapatih, penguasa tertinggi
dibawah paduka. Tetapi dalam hati sesungguhnya rakryan
Nambi itu lebih cenderung mendukung kedua tuanku puteri
Tribuanatunggadewi dan Mahadewi untuk dinobatkan sebagai
ratu Majapahit. Tetapi karena rakryan Nambi itu seorang ahli
negara yang tua dan kaya akan pengalaman maka setiap
tindakannya tentu selalu ber-hati2 sehirgga orang sukar
merabanya" Tampak raja Jayanagara termenung diam dalam keraguan.
"Gusti" cepat2 Kuti menyusuli kata2 "dan hamba yakin,
peristiwa Rara Sindura dan pemberontakan buyut Mandana itu
tentu akan lebih menggores luka dalam hati rakryan Nambi"
Baginda mengangguk pelahan.
"Maka apabila paduka berkenan mendahar usul patik,
seyogyanya janganlah Kebo Taruna itu didudukkan sebagai
patih Kahuripan" "Hm" baginda mendesuh "lalu siapa kiranya yang paman
pandang sejuai untuk menggantikan Kebo Taruna?"
"Tuanku Wuruju, gusti. Adalah orang yang tepat menjabat
kedudukan itu"kata Kuti
"O, si Adityawarman itu?" ulang baginda.
"Benar, gusti" sembah rakryan Kuti "pertama, gusti
Adityawarman itu masih mempunyai hubungan darah dengan
gusti puteri Indreswari, jadi masih mempunyai ikatan sebagai
saudara sepupu dengan paduka. Jelas tuanku Adityawarman
tentu akan membela paduka. Ini sudah pasti, gusti"
"Hm, benar juga kata-katamu, paman" akhirnya baginda
menyetujui pengangkatan itu.
Adityawarman berasal dari kerajaan Malayu yang berpusat
di Malayu-pura atau Pagarruyung di tanah Minangkabau,
Sumatra. Ayahandanya bernama Adwayawarman, keturunan Kulisadharawarmca atau Siguntur. Kulisa dalam bahasa
Minangkabau berarti guntur atau kilat. Sedang ibundanya
bukan lain yalah puteri Dara Jingga, saudara dari puteri Dara
Petak. Dalam kitab Pararaton dikatakan bahwa setebh
rrengiiinglan adiknya yakni Dyah Dara Petak ke Majapahit dan
kemudian Dyah Dara Petak diperisteri oleh Raden Wijaya atau
baginda Kertarajasa Jayawardana, Dyah Dara Pelak berganti
nama dengai puteri Indeswari. Tak lama kemudian puteri Dara
Jingga kembali ketanah Malayu dan menikah dengan seorang
raja bernama Aji Mantrolot atau Tuhan Janaka, gelar
abiselanya yalah Sri Marmadewa. Puteri Dara Jingga inilah
yang menjadi ibunda dari Adityawarman. Sedang puteri Dara
Petak atau disebut juga puteri Indreswari itu adalah ibunda
dari baginda Jayanagara. Dengan demikian menurut hukum
adat tanah Minangkabau, antara Adityawarman dan baginda
Jayanagara itu masih mempunyai pertalian 'urang nan saparui'
artinya, orang yang seperut atau sanak. Karena kedua ibunya
bersaudara. Ksatrya muda Adityawarman mengunjungi Majapahit
dengan beberapa tujuan. Yang penting ia hendak mengaji
pengalaman dan pengetahuan dalam hal pemerintahan di
kerajaan Majapahit. Di samping itu ia hendak menjenguk
bibinya gusti puteri Indrcswari agar hubungan di antara kedua
kerajaan Majapahit dan Malayu itu tak putus. Walaupun
selama di Majapahit, Adityawarman tak memangku jabatan
dalam pemerintahan, tetapi ia banyak membantu menegakkan
kewibawaan Majapahit. Dia hanya bekerja di dalam, tak mau
mengunjukkan diri. Namun pengaruh tali kepemimpinannya
terasa dalam pemerintahan. Pun di kalangan rakyat, ia
disegani dan dihormati sebagai seorang ksatrya dari tanah
seberang yang mengabdikan diri untuk kejayaan Majapahit.
Kuti memang cerdik dan licin. Seimbang dengan patih
Aluyuda. Keduanya sama2 memiliki Keinginan besar untuk
menjabat kedudukan yang tertinggi dipusat kerajaan. Hanya
cara perjuangannya berbeda. Patih Aluyuda menggunakan
siasat mengadu domba untuk menyingkirkan saingannya. Kuti,
sebagai salah seorang kadehan dari rahyang ramuhun
Kertarajasa, mengambil cara langsung untuk menyingkirkan
Jayanagara, mendudukkan kedua puteri Tribuanatunggadcwi
dan Mahadewi sebagai raja puteri dan ia menjadi patih
amangkubhumi. Kuti mengajukan Adityawarman dengan dua maksud. Ia
hendak menguji betapa kepercayaan baginda terhadap patih
Aluyuda. Dan ternyata Kuti lebih menang.
Kedua kalinya, ia tak menyukai beradanya Adityawarman
dalam keraton Tikta Sripala. Dengan menyingkirkannya berarti
akan mengurangi kekuatan puteri Indreswari dan baginda
Jayanagara. Raja yang hendak disingkirkan dari singgasana
itu..... 0oo-dw-oo0 III BAGAI bulan purnama siddhi, demikian seulas kata untuk
melukiskan kuntum bunga melati yang sedang mekar. Dan
kemekaran sang bunga nan cantik permai itu selalu disertai
pula oleh aroma ganda yang harum semarbak. Dikala itulah
sang Angin seolah olah berebutan menjadi bentara atau
utusan yang membawa berita kemekaran sang bunga itu ke
seluruh penjuru alam. Berita yang dibawa sang duta Bayu itu tentu cepat tercium
para kumbang. Karena hanya kumbanglah yang merupakan
penggemar, pemuja dan pencinta sang bunga. Tanpa sari
madu sang bunga, kumbang akan gersang dan kelaparan.
Karena madu sang bunga itulah sari kehidupannya. Sari yang
akan menggelorakan semangat, menyalakan api kehidupan
sang kumbang. Dan sang Bunga pun demikian. Ia rela menyerahkan zat
sari madunya untuk kebahagiaan sang kumbang. Ia
menyambut kunjungan sang Kumbang dengan penuh gairah.
Menyerahkan sari madunya dengan penuh kemesraan. Karena
hisapan sang Kumbang itulah akan menyuburkan putik2,
tumbuh menjadi buah atau biji, Dan biji2 itulah yang akan
bersemi pula dalam tanah lalu tumbuh berkembang-biak
menjadi batang2 pohon yang akan menebarkan kuntum2
bunga lagi. Bunga dan Kumbang merupakan pertautan kodrati yang
saling butuh membutuhkan, bahagia membahagiakan.
Demikian yang terjadi pada diri puteri Tribuanatunggadewi
Jayawisnuwardhana, rani Kahuripan. Usia yang menjenjang
masa mekar itu, laksana harum bunga yang dibawa sang
bayu. Cepat sekali pengangkatan sang puteri sebagai rani di
Kahuripan itu tersiar luas di seluruh telatah Majapahit, bahkan
meluas sampai ke daerah Mandalika.
Berita itu menimbulkan bermacam sambutan. Dikalangan
rakyat, mereka bersyukur gembira karena puteri dari rahyang
ramuhun baginda Kertarajasa telah diangkat juga sebagai raja
puteri atau rani dari warisan kerajaan ayahandanya. Bagi
kaum ksatrya, para raden atau putera para bangsawan dan
penguasa daerah, berita itu merupakan suatu genta yang
mencanangkan, bahwa kesempatan untuk mempersunting
puteri raja yang cantik itu, telah terbuka. Sungguhpun
demikian mereka masih jera akan pengalaman yang mereka
alami ketika kedua puteri raja itu masih bersemayam di pura
Tikta Sripala. Mereka yang pernah hendak mencoba
peruntungan untuk meminang sang puteri, harus merasakan
peraturan yang keras, perlakuan yang kasar bahkan tak jarang
meningkat sebagai hukuman dari para narapraja yang
dititahkan baginda Jayanagara untuk membendung arus
kedatangan ksatrya2 muda ke pura Majapahit itu.
Ada yang di tengah jalan dihadang oleh prajurit yang
bertenaga kuat. Diajak berkelahi. Apabila kalah, pemuda itu
menerima hajaran, ditempeleng dan disepak seperti pencuri
yang tertangkap. Apabila pemuda itu menang, dia akan dikerubut oleh


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa prajurit. Dan apabila masih menang pula, maka dia
akan ditangkap dengan tuduhan mengacau keamanan.
Dengan adanya tindakan2 itu, tak ada lagi seorang ksatrya
atau pemuda yang berani menginjakkan kaki ke pura
kerajaan. Maka kini walaupun sang dyah ayu Tribuanatunggadewi
sudah pindah ke Kahuripan, para ksatrya muda itupun tak
berani gegabah berangkat ke Kahuripan. Mereka bersiap
menunggu dulu "Kakanda Aditya" pada suatu hari berkatalah puteri
Tribuanatunggadewi rani Kahuripan kepada patih. Walaupun
Aditaiwarman itu sebagai patih, tetapi karena masih terikat
sanak atau jelasnya saudara sepupu dengan baginda
Jayanagara, maka puteri Tribuana-tunggadewi berbahasa
dengan sebutan kakanda "sudah hampir setahun lamanya aku
menjadi rani di Kahuripan sini, tetapi selama ini belum pernah
aku melihat keadaan daerah2 di lingkungan Kahuripan.
Bagaimana pendapat kakanda, apabila aku akan mengadakan
kunjungan ke daerah, meninjau keadaan dan kehidupan
rakyat di desa2" "Tindakan yang amat bijak, gusti" demikian Adityawarman
memberi tanggapan. Sebagai patih, sekalipun masih ada
hubungan keturunan darah dengan sang prabu, tetapi
Adityawarman tetap menghormati sang rani dan menyebutnya
sebagai gusti "tindakan tuanku itu, selain dapat mengetahui
keadaan dan kehidupan rakyat yang sesungguhnya, pun dapat
mendekatkan hubungan rakyat dengan tuanku. Perhatian
tuanku yang tercurah kepada rakyat akan menarik perhatian
mereka dan menumbuhkan hormat serta ketaatan mereka
terhadap tuanku rani"
Memang Adityawarman amat tenar dikalangan rakyat.
Rakyat menaruh rasa hormat kepada ksatrya dari tanah
Malayu itu dan menyebutnya sebagai tuan Wuruju atau
bungsu. Rakyat menghormat Adityawarman bukan karena
takut bahwa Adityawarman itu masih mempunyai hubungan
keluarga dengan baginda, melainkan karena sikap
Adityawarman yang ramah dan mau bercampur gaul dengan
rakyat. "Bilakah kiranya kakanda patih anggap waktu yang tepat
untuk melaksanakan peninjauan itu?" tanya sang Rani pula.
Adityawarman tak lekas menjawab melainkan menekuk2
jarinya seperti orang sedang menghitung "Menurut hemat
hamba, baiklah peninjauan itu tuanku lakukan pada nanti
bulan Kartika tanggal sepuluh" sahutnya beberapa saat
kemudian. "Mengapa kakanda memilih hari itu?"
"Karena pada saat itu, bulan terang sedang naik.
Kedudukan bintang tetap sedang di barat laut. Menurut
perbintangan, di utara muncul bintang Badrapada. Dewa yang
menjaga Ahirbuda. Yoganya: Bajra. Hari yang cerah di musim
permulaan kemarau. Alam masih membekas kesegaran musim
hujan, margasatwa mulai berkeliaran"
"Ah, bagus benar saat itu, kakanda patih. Layakkah aku
sebagai seorang puteri, mengadakan perburuan di hutan?"
tanya Rani Kahuripan. Adityawarman tertawa "Mengapa tak layak, tuanku" Tuanku
adalah puteri rahyang ramuhun prabu Kertarajasa yang
termasyhur gagah berani, sakti mandraguna. Seorang ksatrya
yang mahir akan ilmu perang dan putus dalam ilmu
kedigdayaan. Walaupun puteri, tuanku adalah keturunan
seorang senopati, seorarg raja yang gagah. Dahulu ayahanda
tuanku, juga gemar berburu. Dan memang berburu itu pada
hakekatnya suatu latihan dari ketangkasan, keberanian dan
hiburan yang membentuk kesegaran semangat. Tuanku tentu
mahir juga melepas busur....."
"Ah, janganlah kakanda patih memuji diriku setinggi langit"
puteri Tribuanatunggadewi tertawa "memang semasa kecil
aku senang sekali ikut ayahandaku berburu. Ayahanda prabu
menitahkan seorang guru untuk mengajar ilmu memanah
kepadaku. Sayang sejak ayahanda prabu wafat, aku tak
pernah mendapat kesempatan untuk berlatih memanah"
"Dalam peninjauan nanti, tuanku akan
kesempatan luas untuk melatih ilmu itu pula"
mendapat Rani Kahuripan mengangguk lalu bertanya "Masih berapa
lama lagikah saat pemberangkatan itu dari saat sekarang ?"
"Sepuluh hari, tuanku"
"Baiklah, kakang patih. Kuharap kakang patih suka
menitahkan persiapan peninjauan itu" kata sang puteri. Tiba2
ia bertanya pula "Pada peninjauan nanti, kuminta kakang
Aditya ikut serta" "Mohon dimaafkan, tuanku. Sebaiknya hamba tak ikut" di
luar dugaan Adityawarman menolak.
"Mengapa kakang ?" Rani Kahuripan heran.
"Negara tak boleh sehari tiada rajanya" menerangkan
Adityawarman "apabila tuanku mengadakan peninjauan ke
telatah Kahuripan tentulah makan waktu berhari-hari. Dan
selama ini tampuk pimpinan pemerintahan Kahuripan harus
tetap berjalan. Manakala hamba ikut, bukankah Kahuripan
akan kosong?" "Sungguh bijak pandangan kakanda" puji sang Rani setelah
mendengar penjelasan. Iapun tak berani memaksa patih itu
ikut "Baiklah, kakanda patih. Selama aku mengadakan
peninjauan itu, memang tiada lain orang yang dapat
menampung kepercayaanku untuk memimpin pemerintahan
Kahuripan kecuali kakanda patih sendiri"
Demikian setelah hari itu tiba, berangkatlah sang Rani
bersama rombongannya untuk mengadakan peninjauan ke
daerah2, desa2 dan berziarah ke candi2, mengunjungi
asrama2 para pendeta dan brahmana, sudharmma2 atau
rumah2 suci. Rani Tribuanatunggadewi naik sebuah ratha atau kereta
yang berbentuk seekor garuda. Titian ratha sang Rani it"u
disebut Garudaninditya. Dipulas dengan warna kuning emas
bersalut merah Jingga dan dihela oleh empat ekor kuda tegar
dari tanah Dompo (Sumbawa), Sadomas atau empatpuluh
prajurit berpakaian lengkap, mengiring di belakang ratha sang
Rani. Sepintas pandang, apabila rombongan puteri agung itu
meluncur di-sepanjang jalan, ditingkah sinar Surya yang
gemilang, tampaklah seperti sang Betari Kama Ratih sedang
bercengkerama di mayapada.....
Senopati yang mengepalai rombongan pengiring sang Rani
itu berpangkat rangga, yakni Rangga Tanding. Seorang
panglima setengah tua yang kenyang makan asam garam
dalam pertempuran. Sesungguhnya dia adalah orang
kepercayaan patih Aluyuda untuk mengawasi gerak gerik sang
Rani Kahuripan. Tetapi dalam hati kecil, rangga Tanding itu
tak suka kepada patih Aluyuda. Apalagi setelah tahu akan
perbuatan patih Aluyuda yang gemar mengadu domba dan
memfitnah, diam-diam hatinya menentang. Namun karena
dalam keadaan terpaksa, ia masih belum berani berbuat atau
menyatakan sikap keras dan menentang patih itu. Ia gembira
sekali karena dipindah ke Kahuripan mengikuti sang puteri.
Perintah patih Aluyuda supaya ia mengirim laporan apabila
puteri itu sampai melakukan gerak gerik untuk menentang
baginda, walaupun mulutnya mengiakan tetapi dalam arti ia
menertawakan patih itu. Kali ini ia mendapat kesempatan
untuk menyiasati patih itu. Ia hendak mengunjukkan
pengabdiannya kepada sang Rani. Laporan2 yang diberikan
kepada patih itu, tentu akan lain dari kenyataannya.
Gemparlah rakyat di Rani. Berduyun-duyun pengareng areng' atau hasil bumi, ternak dan Kesemuanya itu oleh desa yang menerima kunjungan sang
mereka menghaturkan 'gelondong
bulu bekti kepada sang Rani, berapa
buah-buahan hasil tanaman mereka.
kepala desa diperuntukkan untuk
mengadakan pesta besar menghormati kunjungan sang Rani
yang mereka cintai. Apabila tiba di candi maka Ranipun singgah untuk
melakukan upacara sesaji. Memohonkan berkah keselamatan
dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Bila mengunjungi
asrama kebikuan maupun kebrahmana-an, maka para biku
pendeta dan brahmana wipra, selalu mengadakan upacara doa
suci untuk memanjatkan permohonan kepada Dewata, agar
sang Rani selalu diberkahi dengan keselamatan dan
kesentausaan untuk memegang tampuk pemerintahan.
Tak terperikan sukacita sang Rani melihat penyambutan
rakyat di daerah2 itu. Memang sesungguhnya rakyat lebih
mencintai dan setya kepada puteri Tribuanatunggadewi
daripada kepada baginda Jayanagara. Puteri Tribuanatunggadewi adalah puteri raja Kertanagara dari
kerajnan Singosari dan permaisuri dari rajakulakara Majapahit
yakni rahyang ramuhun Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana. Sedang Jayanagara adalah putera baginda
Kertarajasa Jaywardana dari permaisuri Indreswari, puteri dari
tanah Melayu yang semula bernama Dara Petak. Dan
rakyatpun mendengar tentang derita bathin yang dialami
kedua puteri itu dari perlakuan Jayanagara yang tak senonoh.
Rasa tak puas di kalangan rakyat terhadap Jayanagara makin
besar, sedang rasa sayang terhadap sang puteri makin
meluap. Bagi Rani Kahuripan, bukan pesta pora, bukan upacara
sesaji memintakan berkah dari para pendeta dan brahmana,
bukan pula segala persembahan bulu bekti, melainkan
penyambutan yang hanya dari rakyat. Penyambutan itu
bermakna, suatu sikap yang menyatakan rasa kesetyaan dan
pengabdian rakyat kepada sang Rani. Dan hal itu menjadi
sebuah jembatan yang menghubungkan dan mendekatkan
hati rakyat kepada sang Rani.
Demikian setelah beberapa hari dalam perjalanan pada hari
itu rombongan puteri agung itu tiba di desa Tebu. Setelah
bermalam sehari, keesokan harinya mereka melanjutkan
perjalanan lagi ke selaian. Tak berapa lama mereka memasuki
hutan Pandawa. Rani Kahuripan tertarik akan keindahan alam
hutan itu. Dilihatnya binatang2 kijang berlari-larian di
sepanjang sebuah danau. Rusa2 berkeliaran di semak dan
kelinci2, kera dan beraneka unggas banyak menghuni dalam
hutan iiu. "Paman Tanding, aku hendak berburu di hutan ini" kata
sang Rani kepada rangga Tanding. Walaupun kedudukan
sebagai seorang Rani atau raja puteri, namun puteri
Tribuanatunggadewi tetap bersikap ramah kepada orang
sebawahannya. Kepada patih Tanding, ia berbahasa dengan
sebutan "paman' . Sikap itulah yang membuat rangga Tanding
benar2 takluk dalam kepatuhan dan kesetyaan yang tulus
ikhlas. Demikianpun dengan para narapraja pemerintahan
Kahuripan. Mereka sesungguhnya adalah orang2 yang ditanam
patih Aluyuda untuk memata-matai gerak gerik Rani
Kahuripan. Tetapi akibatnya hati mereka terpikat oleh
keramahan dan keluhuran budi sang Rani.
"Mana2 titah gusti, tentu akan hamba laksanakan" sembah
patih Tanding. Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk
mendirikan perkemahan, semacam pesanggrahan di hutan
Pandawa situ. Setelah kemah selesai dibangun, maka mulailah sang Rani melakukan perburuan. Sebelum berangkat Rani memberi
perintah "Agar binatang perburuan itu tak terkejut dan
melarikan diri, sebaiknya jangan-lah kita berkelompok dalam
jumlah besar. Maka dalam perburuan ini, aku mempunyai
rencana yang menarik, paman Rangga. Tak usah para prajurit
mengawal aku, cukup paman beserta dua tiga orang sajalah
yang menyertai aku. Sedang prajurit2 yang lain, kuberi
kesempatan untuk mengadakan perburuan juga. Bahkan
untuk memberi perangsang, kepada yang dapat berburu
binatang yang paling besar, paling liar dan buas dia akan
kuberi hadiah" Tatkala hal itu disampaikan oleh Rangga Tanding kepada
anakbuahnya, mereka bersorak gegap gempita. Gembira dan
menyalalah semangat prajurit2 itu. Hadiah dari sang Rani
merupakan kebanggaan bagi setiap prajurit.
Demikian setelah sang putri berangkat dengan hanya diiring
oleh Rangga Tanding dan dua orang prajurit yang gagah
perkasa, prajurit yang lainpun segera mulai melakukan
perburuan. Tak berapa lama setelah menyusup hutan maka berhentilah
sang Rani. Dia memberi isyarat kepada pengikutnya supaya
berdiam diri. Sambil memandang ke atas sebatang dahan
pohon yang tinggi, ia mulai memasang anakpanah pada
busurnya. Ternyata yang hendak dipanah sang Rani itu adalah
seekor burung kepodang. Tali busur sudah direntang, arahpun
sudah dibidik, hanya tinggal melepaskan tangan maka
anakpanah tentu akan meluncur kearah burung itu. Dan
rupanya burung itu tak menyangka bahwa jiwanya sedang
terancam maut. Dia masih merenung diam seolah-olah
menunggu sesuatu. Tepat pada d etik jari sang Rani hendak melepas tali busur,
sekonyong konyong melayanglah seekor burung berbulu
kuning kearah burung kepodang tadi. Kedatangan burung, itu
disambut dengan kicau riang gembira oleh burung kepodang
tadi. Mulutnya mematuk sekeping makanan. Selekas hinggap
disisi kep6dang pertama, kepodang itu segera menyusupkan
makanan di perutnya, ke mulut kepodang pertama. Ternyata
kepodang yang hendak dipanah sang Rani seekor betina dan
yang datang itu kepodang jantan.
Sang Rani tertegun dan tak jadi lepaskan busur. Dilihatnya
tingkah laku sepasang kepodang yang sedang berkasihkasihan itu. Sehabis melolohkan makanan, kepodang jantan
lalu berbunyi dengan suaranya yang merdu. Kemudian sehabis
menelan makanan dari si jantan, si betinapun lalu menutuli


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala, leher dan tubuh si jantan. Rupanya betina itu sedang
membersihkan kotoran bahkan mungkin kutu di tubuh sang
kekasih. Mereka tampak amat bahagia sekali ....
Rani Kahuripan tundukkan kepala. Anakpanah yang sudah
siap dibidikkan itupun dilepas lagi. Ia tak jadi memanah
burung kepodang itu. "Mengapa tuanku tak jadi memanah burung itu" tanya
rangga Tanding dengan agak heran.
Rani Kahuripan menghela napas, wajahnya bertebaran
warna merah semu. Lalu mengulum seulas senyum "Paman
Tanding, mereka adalah sepasang burung yang sedang
berkasih-kasihan. Mengapa harus kuganggu kebahagiaan
mereka, paman" Kalau kupanah yang betina, bukankah yang
jantan akan bersedih hati dan mengutuk kepadaku?"
Rangga Tanding tertawa "Burung adalah bangsa khewan,
mahluk yang terendah martabatnya. Bagaimana mungkin
mereka akan mengutuk tuanku?"
Berkata sang Rani dengan kerut wajah bersungguh: "Dari
eyang resi yang mengajar ilmu kepandaian membaca dan
menulis, dahulu aku sering mendengarkan beliau bercerita.
Menurut cerita, pada jaman dahulu Sang prabu Pandudewanata ketika berburu, telah memanah mati seekor
rusa yang sedarg bercumbu-cumbuan dengan sang betina.
Rusa jantan itu mati dan meninggalkan kutukan. Apabila sang
prabu menggauli isterinya, dia akan segera mati. Sang prabu
menyesal dan berduka. Ia mengambil keputusan untuk
bertapa menebus dosa. Kedua permaisurinya Dewi Kunti dan
Dewi Madri menyertai Sri Pandu ke dalam hutan. Setelah
sekian lama bertapa, akhirnya ia terpengaruh juga oleh nafsu
yang lazim dipunyai seorang lelaki. Pada saat ia berkumpul
dengan permaisuri Dewi Madri, seketika itu juga ia meninggal
dalam pelukan sang permaisuri. Demikianlah paman.
Walaupun khewan tetapi mereka juga titah Hyang Widdhi. Apa
beda rusa jantan yang dipanah oleh Sri Pandudewanata
dengan burung kepodang yang hendak kupanah tadi?"
Walaupun dalam hati agak kurang yakin akan hal itu namun
diam2 Rangga Tanding memuji keluhuran budi sang Rani yang
menjunjung sifat2 Welas Asih terhadap setiap titah ....
Demikian mereka melanjutkan pula menyusup ke dalam
hutan. Sang Rani ingin sekali menemukan harimau. Ia anggap
harimau itu binatang buas yang mengganas sesama penghuni
hutan. Tetapi yang dicari tak bersua, seolah-olah raja hutan
itu sudah mempunyai naluri tajam. Tak berani menampikkan
diri di hadapan seorang putri utama.
Tiba di ujung hutan mereka melihat sebuah danau. Kembali
sang Rani berhenti dan memberi isyarat kepada pengiringnya
supaya berhenti. Sang Rani siapkan pula busur dan
anakpanah. Di tepi danau yang tak berapa jauh tampak seekor
rusa sedang minum air. Rani Kahuripan tertarik akan
kemolekan kulit rusa yang penuh bintik2 kembarg. Ketika ia
mengambil arah dan siap lepaskan anakpanah, tiba2
muncullah dua ekor rusa kecil menghampiri rusa yang tengah
minum itu. Dengan serta merta kedua ekor rusa kecil itu
segera susupkan kepalanya ke perut rusa. Ah, kedua rusa kecil
itu sedang menyusu induknya. Induk rusa menjilat jilat tubuh
kedua anaknya itu dengan penuh kemesraan . . .
Kembali sang Rani batalkan rencananya untuk membunuh
induk rusa itu. la menghela napas kecil.
"Bukankah gusti tak sampai hati membunuh induk rusa
itu?" tanya Rangga Tanding.
"Kalau induknya mati kupanah, bukankah aku berdosa
kepada kedua anak rusa itu karena mereka pasti akan mati
kelaparan, paman ?" sahut sang Rani "walau manusia dengan
khewan, tetapi aku dan induk rusa itu juga bangsa wanita.
Bagaimana mungkin aku sampai hati untuk membunuh seekor
induk yang sedang menyusui anak-anaknya!"
Rangga Tanding benar2 takluk dalam hati akan keluhuran
sang Rani yang amat tinggi rasa Welas Asihnya itu. Kemudian
ia bertanya "Apabila tuanku selalu memiliki pertimbargan
demikian, dapatkah tuanku nanti akan memperoleh binatang
perburuan?" Rani Kahuripan tertawa "Berburu adalah semacam hiburan
untuk mendekatkan kita pada alam. Untuk melatih
ketangkasan memanah atau menombak mangsa yang kita
buru itu, kiranya masih ada lain sasaran"
Rangga Tanding tak mengerti jelas apa yang dimaksud
sang Rani. Tak berapa lama melanjutkan perjalanan, tiba2
Rani berhenti dan mengambil busur
"Lihatlah, paman, bibit buah maja yang kecil dan
tergantung di cabang pohonnya yang tertinggi itu, akan
kupanah agar aku dapat berlatih ilmu yang sudah lama tak
kugunakan itu" Rangga Tanding agak terkesiap. Pentil buah maja yang
disebut sang Rani itu amat tinggi dan teraling oleh cabang
serta ranting2 yang cukup lebat. Ia sangsi adakah sang Rani
dapat memanah pentil buah itu.
Ketika anakpanah terlepas dari busur sang Rani,
terdengarlah Rangga Tanding dan kedua prajurit, berteriak
kaget "Hebat! Ilmu memanah gusti benar2 luar biasa.....!"
Ternyata yang dipanah sang Rani itu adalah tangkai pentil
Perburuan Busur Maut 2 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Sang Penebus 12
^