Pencarian

Gajah Kencana 13

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 13


maja. Tangkai sudah tentu jauh lebih kecil dari buahnya.
Namun anakpanah itu berhasil mengenai tangkai dan gugurlah
pentil mrja itu ke tanah. Rani Kahuripan memerintahkan
prajurit untuk mengambil pentil maja itu. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan. Karena hari sudah petang, mereka
kembali ke pesanggrahan dengan hasil perburuan sebuah
pentil buah maja..... Ketika malam tiba, rombongan prajurit yang berburu tadi,
pun sudah berbondong-bondong pulang dengan membawa
hasil perburuannya. Malam itu, sang Rani membuka sidang
kecil untuk membagi hadiah dari sayembara yang diadakan
siang tadi. Setiap prajurit mempersembahkan hasil perburuannya.
Berjenis-jenis binatarg telah dapat diperoleh. Akhirnya sang
Rani memutuskan bahwa prajurit yang memburu harimau dan
ular besar, diberi hadiah uang masing2 rong tali atau duaribu.
Demikian yang lain2 juga diberi hadiah hiburan menurut besar
kecil nilai ukuran yang ditentukan dalam sayembara.
Sekalian prajurit bersukacita atas pemberian hadiah dari
sang Rani itu. Setelah rasa kegembiraan hati mereda, timbulah
rasa ingin tahu dalam hati mereka, apakah hasil perburuan
yang diperoleh Sang Rani sendiri. Namun tiada seorangpun
yang berani menanyakan hal itu.
"Tuanku" akhirnya seorang prajurit yang menjadi
kepercayaan rangga Tanding bertanya kepada rangga itu
"apakah gerangan hasil perburuan gusti puteri?"
Rangga Tanding mengulum senyum. Setelah memberi
isyarat kepada anakbuahnya supaya diam, maka ia berseru
lantang "Dengarkanlah hai para prajurit Kahuripan yang
mengiring perlawatan seti raja puteri. Janganlah hendaknya
kalian berbangga karena telah menerima hadiah dari
junjungan kita sang Rani Kahuripan. Dalam hal itu gusti puteri
kita hanya ingin menetapi janji kepada kalian. Sesungguhnya
menurut penilaian, tiada seorang dari kalian yang mampu
menandingi hasil perburuan gusti puteri . ..."
Sekalian prajurit terbeliak kejut.
"Itulah hasil perburuan paduka yang mulia Rani Kahuripan"
seru Rangga Tanding seraya menunjuk pada sebuah pentil
buah maja yang terletak di atas tilam kencana "gusti Rani
dengan tepat mengarahkan anakpanahnya ke arah tangkai
pentil maja yang tergantung di puncak pohonnya. Dapatkah
kalian menyamai kesaktian ilmu memanah sedemikian itu?"
Rangga Tanding lalu menuturkan semua peristiwa yang
dialaminya ketika mengiring sang Rani dalam perburuan siang
tadi. Mendengar itu serta merta sekalian prajurit berlutut
menyembah ke arah sang Rani dan serempak mengumandangkan doa pujian yang menggemuruh "Dhirgahayu prabu puteri Tribuanatunggadewi, Rani Kahuripan yang
kami muliakan! Kami bersedia mengabdikan jiwa raga ke
hadapan duli tuanku puteri!"
Agak tersipu-sipu sang Rani menerima sembah pujian dan
pernyataan pengabdian dari prajurit2 itu. Ia segera
memerintahkan membuka perjamuan untuk menghibur para
prajurit. Keesokan harinya sang Rani menitahkan supaya
membongkar perkemahan. Setelah itu merekapun berangkat
melanjutkan perjalanan pula.
Saat itu sang Surya masih belum berapa tinggi ketika roda2
dari ratha Garudaninditya yang membawa Rani Kahuripan
mulai berputar dan meluncur di jalan belahan hutan Pandawa.
Pada waktu ratha masih berada di tengah hutan yang lebat
dengan semak belukar dan gerumbul pohon, sekonyongkonyong
timbullah suatu peristiwa aneh yang menggemparkan. Dari samping kanan dan kiri jalan yang
penuh semak gerumbul, meluncurlah berpuluh-puluh ekor
ular, besar kecil, panjang pandak, ketengah jalan dan
menyerang rombongan puteri agung itu.
Seketika keempat kuda ratha sang Rani melonjak-lonjak
dan meringkik sekeras kerasnya lalu lari membinal. Para
prajuritpun menjerit-jerit hiruk pikuk sambil sibuk membela diri
dari serangan kawanan ular berbisa itu. Mereka tak sempat
lagi untuk menolong ratha sang Rani yang meluncur kencang.
Sais pun tak kuasa lagi menghentikan keempat kuda yang
karena kakinya dililit ular, lari meliar seperti anakpanah lepas
dari busurnya..... Berderak-derak roda ratha sang Rani menggelinding cepat
di sepanjang jalan belahan hutan yang masih penuh dengan
lekuk-lekuk naik turun. Rani Kahuripan terkejut. Ia hendak
melongok dari jendela kereta untuk melihat apa yang telah
terjadi. Akan tetapi karena gerbong kereta bergoncang keras
dan deras, sang Rani tak kuasa menahan keseimbangan
badan dan terpaksa harus mencekal bingkai jendela kereta
erat2 sehingga tak sempat melihat keluar.
Ratha sang Rani meluncur keras, setelah melintai ujung
hutan, lalu menurun kearah lembah. Sais makin, pucat
wajahnya. Ia tahu bahwa saat itu ia bertanggung jawab atas
keselamatan jiwa raja puteri Kahuripan. Apabila terjadi
sesuatu, ia pasti akan menerima hukuman mati. Dengan
sekuat tenaga, ia berusaha untuk menghentikan kereta itu.
Tetapi tetap ia kewalahan menahan tenaga keempat ekor
kuda yang terlanjur meliar.
"Celaka . . . . !" tiba2 mulutnya mendesuh kejut dan
wajahnya pucat lesi. Darahnya serasa berhenti dan mata
membelalak lebar ketika melihat kereta meluncur makin turun
dan menuju ke sebuah.....jurang!
Dengan kerahkan seluruh sisa tenaga yang masih dimiliki,
sais itu menarik tali kendali sekuat kuatnya. Sedemikian hebat
ia menguras tenaga sehingga matanya sampai berbinar-binar
dan kepala berdenyut denyut dirangsang ketegangan syaraf.
Namun kereta tetap meluncur deras ke bawah.....
Sais itu makin gugup dan bingung. Ia benar2 sudah
kehilangan faham dan keputusan daya untuk menghentikan
lari keempat kudanya. Huak .... karena menahan luapan
kemarahan, ketakutan dan keputus-asaan, dadanya serasa
meledak dan tiba2 segumpal darah meluap keluar dari
mulutnya. Ia muntah darah.....
Kepalanya makin pening dan pandang matanyapun makin
gelap, tubuhnya gemetar keras. Pada saat ia hampir rubuh sekonyong2 dari balik sebuah gunduk batu besar, melompatlah
sesosok tubuh seorang pemuda tanggung dan dengan sigap
sekali pemuda tanggung itu menyongsong kedua ekor kuda
depan. Ia loncat menerkam kulit perakit di bagian mulut kuda
lalu menahannya. Tubuh pemuda tanggung yang tak dikenal
itu ikut terseret beberapa belas langkah ke belakang. Tetapi
jelas lari kuda makin lama makin pelahan dan beberapa
langkah lagi, keempat ekor kuda itupun berhenti.....
Sais terlongong-longong menyaksikan peristiwa luar biasa
yang tak diduga-duga itu. Sampai beberapa jenak baru ia
percaya bahwa ratha sang Rani benar2 telah berhenti karena
ditahan seorang pemuda tanggung. Setelah pulih kesadarannya, cepat sais itu loncat turun. Lebih dulu ia
membuka pintu ratha untuk menjenguk keadaan sang Rani.
Rani Kahuripan tampak pucat tetapi tak kurang suatu apa.
"Gusti" sais berdatang sembah dengan masih terengahengah "berkat lindungan Dewata, ratha paduka selamat dari
malapetaka terguling ke dalam jurang . . . ."
Rani Kahuripan menanyakan apakah yang telah terjadi tadi.
Sais segera menghaturkan keterangan tentang munculnya
secara tiba2 kawanan ular berbisa yang menyerang kuda dan
para prajurit "Gusti.....sembah syukur hamba persembahkan
kepada Dewata yang telah mengirim utusan untuk menolong
ratha paduka" "Apa katamu " Siapakah yang menghentikan kuda penghela
ratha ini?" tanya sang Rani heran2 kaget.
"Seorang pemuda tanggung, gusti. Entah dari mana
datangnya, dia muncul dari balik gunduk batu dan terus loncat
menghentikan kedua kuda di muka"
"Oh, tirahkan dia menghadap ke mari" seru Rani Kahuripan.
Tepat pada saat itu terdengar derap puluhan kuda lari
menghampiri. Ternyata Rangga Tanding dengan rombongan
prajurit2 datang menyusul. Setelah berhasil membasmi
kawanan ular berbisa yang menyerangnya, mereka segera
bergegas-gegas mengejar ratha sang Rani.
"Jatra, bagaimana gusti Rani!" selekas tiba Rangga Tanding
segera berseru kepada sais ratha. Belum sais menyahut. Rani
Kahuripan sudah melongok keluar jendela dan berseru "Aku
tak kurang suatu a-pa, paman. Lalu bagaimana dengan para
prajurit?" Rangga Tanding menerangkan bahwa para prajurit terkejut
dan lari pontang panting. Tetapi setelah dapat menguasai diri,
inerekapun segera membasmi kawanan ular itu.
Kemudian sang Rani menitahkan memanggil anak yang
menghentikan ratha tadi. Tak berapa lama, sais Jantra
mengiring seorang pemuda tanggung, kira2 berumur dua
tigabelas tahun. Tubuhnya kekar, mata bundar, dahi lebar.
Serta merta anak itu berlutut, duduk menyembah sang Rani.
"Engkaukah yang dapat menghentikan ratha ini?" tegur
sang Rani. "Benar, gusti . . ." sahut anak itu agak tersipu ketakutan.
"O, kuat benar engkau, anakmuda" seru sang puteri "aku
adalah Rani Kahuripan. Besar sekali jasamu menolong jiwaku.
Siapakah namamu ?" "Hamba bernama Dipa. Tetapi orang lebih suka menyebut
dengan nama Gajah" Sang Ranipun tersenyum, demikian dengan sekalian orang.
Mereka mendapat kesan bahwa anak itu seorang anak desa
yang jujur dan kemalu-maluan.
"Dari desa mana asalmu ?" tanya sang Rani pula,
"Kata nenek, hamba dilahirkan di desa Mada..." Rani
Kahuripan kerutkan kening, mengulang "Kata nenek" Lalu ke
manakah kedua orang tuamu?"
"Entah, gusti. Sejak kecil hamba sudah tinggal bersama
nenek" "Tidakkah engkau tanyakan pada nenekmu tentang ibu
bapamu?" sang Rani makin tertarik perhatiannya.
"Karena masih kecil hamba belum mempunyai pengertian
demikian. Setelah agak besar, memang hamba hendak
menanyakan hal itu tetapi nenek keburu meninggal ...."
Rani Kahuripan menghela napas rawan "Ah, kasihan
engkau, anak. Lalu mengapa engkau berada di lembah ini ?"
Dipa mengatakan bahwa ia memang hendak mengembara.
Terutama hendak melihat pura kerajaan.
"Apa tujuanmu ke pura kerajaan?"
"Hamba hendak mencari seorang kenalan yang pernah
menolong diri hamba, seorang brahmana muda"
Rani Kahuripan mengangguk "Dipa, terimalah uang ini
sebagai tanda terima kasihku kepadamu"
"Dipa, sejak saat ini kuangkat engkau menjadi prajurit
Kahuripan dan kuberi anugerah nama Kerta Dipa" titah Rani
Kahuripan puteri Tribuanatunggadewi seraya menyerahkan
sebentuk cincin "dan cincin ini adalah selaku tanda
pengangkatanmu sebagai prajurit Kahuripan,. terimalah......."
"Hamba mempersembahkan beribu terima kasih, gusti.
Tetapi beinar2 hamba tak berani menerima anugerah paduka.
Brahmana kenalan hamba itu mengajarkan bahwa menolong
orang yang tertimpah kesusahan itu adalah wajib. Tak boleh
memiliki pamrih lain . .."
Rani Kahuripan mengangguk "Itu memang benar. Sekarang
begini Dipa. Engkau menolong aku karena merasa wajib demi
melihat ratha ini hampir meluncur ke jurang. Akupun akan
meringankan penderitaanmu karena aku merasa wajib
menolong seorang kawula kerajaanku yang sedang dirundung
papa. Jadi pemberianku ini jangan engkau artikan sebagai
hadiah karena pertolonganmu tadi. Melainkan karena wajibku
seorang yang berkuasa menolong yang lemah ..."
"Tidak gusti," Dipa tetap menolak "hamba menolong
menghentikan kuda binal itu karena jelas ratha paduka akan
dibawa ke dalam jurang. Paduka hendak menolong hamba
karena menganggap hamba tentu menderita hidup. Tetapi
sudah sejak lahir, hamba bergelimpangan dalam genangan
papa derita. Jadi papa itu adalah kelahiran hamba dan derita
itu kehidupan hamba. Hamba sama sekali tak merasa
menderita.." "Bagaimana engkau dapat mengembara tanpa membawa
bekal?" Rani Kahuripan makin bersitegang.
"Asal ringan tangan membantu pekerjaan setiap rumah
yang hamba datangi, hamba tentu diberi makan"
Rani Kahuripan benar2 keputusan akal untuk memaksa Dipa
mau menerima hadiah uang. Rangga Tanding dan sekalian
prajurit geleng2 kepala. Mereka anggap Dipa bodoh tetapi
berhati polos, berwatak jujur.
Akhirnya setelah merenung sejenak, sang Rani tiba2
berkata "Dipa, maukah engkau menjadi prajurit di Kahuripan
ikut padaku?" "Sendiko, gusti" serta merta Dipa menyembah. Memang ia
bercita-cita menjadi prajurit bhayangkara negara "tetapi
mohon ampun, gusti. Bila sekarang hamba belum sanggup
karena harus mencari kenalan hamba brahmana di pura
kerajaan Majapahit itu dulu"
"Tak apa, Dipa. Carilah dahulu brahmana itu. Setelah itu
baru engkau mulai tugasmu sebagai prajurit Kahuripan" Rani
Kahuripan meluluskan pula. Kemudian ia berpaling ke arah
Rangga Tanding dan para prajurit sekalian.
"Paman Rangga Tanding dan para prajurit sekalian,
dengarkanlah keputusanku. Dipa ini kuangkat sebagai prajurit
Kahuripan dan kuhadiahi nama K e r t a D i p a"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalian prajurit berlutut dan menyambut keputus-an sang
Rani dengan sorak bergelora.....
"Kerta Dipa" kata sang Rani pula kepada Dipa "terimalah
cincinku ini selaku tanda bahwa engkau seorang prajurit
Kahuripan. Setelah urusanmu selesai, segeralah engkau
datang ke Kahuripan. Tunjukkan cincin ini kepada senopati
Kahuripan yalah paman Rangga Tanding ini agar engkau
dibawa menghadap kepadaku. Dan uang ini juga harus
engkau terima sebagai pengukuh pengangkatanmu sebagai
prajurit Kahuripan. Jika engkau menolak, engkau akan
menerima hukuman!" Dipa terlongong longong......
O0o-dw-o0O 11 MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
Jilid 11 I CAKRAM ANA HATA atau pusat jantung, merupakan sumber
kehidupan jiwa manusia. Denyut2 jantung melancarkan
peredaran darah, membentuk perasaan, menimbulkan pikiran
dan melahirkan keinginan2. Selama jantung masih berdetak,
berderai-derailah nafsu Keinginan manusia bagaikan arus
sungai yang tak pernah berlabuh di pantai kepuasan.....
Sebanyak jenis ragam Keinginan, sebanyak itu pula ragam
dan cara manusia untuk mencapainya. Pada umumnya,
Keinginan itu tentu bersifat Memiliki, bernaluri Penguasaan
dan bertujuan mencari Kepuasan. Jarang kiranya suatu
Keinginan seperti yang dikandung sang Rani Kahuripan Dyah
puteri Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Keinginannya
yalah hendak memberi hadiah kepada Dipa.
Tetapi dalam bentuk dan ragam apapun jua, karena
Keinginan itu mempunyai hakekat mencari Kepuasan, apabila
tak tercapai tentu menimbulkan kekecewaan hati. Dimikian
dengan sang Rani. Puteri itu kecewa karena keinginannya
hendak memberi balas jasa kepada Dipa, ditolak anak itu.
Dua macam perasaan menghantui pikiran dua insan. Yang
memberi dan yang hendak diberi, yalah Rani Kahuripan dan
Dipa. Penolakan Dipa untuk menerima hadiah uang, telah
menyebabkan sang Rani kecewa. Bukan rasa kecewa karena
hati penasaran melainkan kecewa karena tak dapat membalas
jasa anak itu. Bagi Tribuanatunggadewi sang puteri utama,
Budi adalah sebuah mahkota yang dijunjung diatas kepala.
Cinta kasih sebagai baju keratuan yang melambangkan
Keagungan. Dan Kebaikan sebagai tongkat kekuasaan untuk
menjalankan dharma seorang raja puteri yang mengayomi
seluruh kawula. Beda pula dengan letupan dalam hati Dipa. Dalam
sepanjang kehidupannya, belum pernah ia berjumpa dengan
seorang manusia, apalagi seorang raja puteri, yang hendak
memberi hadiah secara paksa. Dahulu semasa masih menjadi
penggembala di tempat buyut Madan Teda, belum pernah ia
menerima hadiah uang. Yang diterimanya hanyalah sepinggan
nasi, seperangkat pakaian dan hardik makian ...
Rani Kahuripan terkejut karena belum pernah berjumpa
dengan seorang anak yang tak mau menerima hadiah uang
sedemikian besarnya. Dipapun terlongong heran karena belum
pernah bersua dengan seorang yang bersikeras hendak
memberinya uang. Sesungguhnya Dipa tetap akan berpegang pada pendirian
atas ajaran brahmana Anuraga tetapi ketika sang Rani
menggunakan hak sebagai seorang junjungan kepada prajurit
bawahannya, Dipa tak dapat melepaskan diri lagi.
"Duh, gusti puteri" Dipa memberi sembah "alangkah besar
budi paduka terhadap diri hamba, seorang anak gunung.
Tetapi gusti, hamba merasa kuatir. .."
Rani Kahuripan heran mendengar ucapan anak itu "Apakah
yang engkau kuatirkan?"
"Begini, gusti" jawab Dipa "hamba seorang anak desa yang
hendak menuju ke pura kerajaan. Tempat yang baru pertama
kali ini hendak hamba lihat. Menurut keterangan brahmana
Anuraga, di pura kerajaan, penuh dengan pembesar yang
berpangkat tinggi, senopati yang berkuasa, kepala2 agama
dan para narapraja. Pura kerajaan berhias istana Tikta Sripala
yang indah megah. Merupakan pusat pemerintahan yang amat
ramai dan makmur ...."
"Benar" Rani Kahuripan mengiakan "memang demikianlah
keadaan pura Tikta Sripala itu"
"Tetapi gusti, dicelah celah kemegahan dan keramaian itu,
pura kerajaanpun menjadi pusat gerak gerik dari beberapa
golongan. Yang menentang baginda, yang ingin merebut
kekuasaan, yang memburu kedudukan dan yang tak suka
kerajaan Majapahit tumbuh subur. Pura kerajaan menjadi
kedung pertikaian dan pertentangan dari orang2 itu ...."
Rani Kahuripan agak terkesiap "Eh, Kerta Dipa, engkau
mengatakan belum pernah ke pura kerajaan tetapi mengapa
engkau dapat menceritakan keadaannya?"
Dipa memberi sembah pula "Memang sesungguhnya, gusti,
hamba belum pernah melihat wajah dan keadaan pura
kerajaan. Apa yang hamba katakan tadi adalah menurut centa
dari paman brahmana Anuraga itu"
"O" desuh sang Rani "rupanya brahmana itu amat sayang
kepadamu, Dipa. Ia menceritakan segala apa kepadamu.
Berapa usianya" Kelak apabila engkau berjumpa padanya
ajaklah ia ke Kahuripan menghadap aku. Dia tentu seorang
brahmana yang luas pengetahuan"
"Paman brahmana Anuraga masih muda, sederhana dan
ramah" kata Dipa "baiklah, gusti, akan hamba ajak brahmana
itu menghadap tuanku"
Rani Kahuripan tak berkata kata. Hanya wajahnya tampak
agak bersemu merah. "Apakah hubungan kekuatiranmu dergan keadaan di pura
kerajaan itu, Dipa?" selang beberapa saat kemudian
bertanyalah sang Rani. "Pada hemat hamba, apabila hamba membawa sekian
banyak uang yang paduka anugerahkan itu, tentulah akan
membahayakan diri hamba. Uang itu akan mengundang orang
jahat untuk mencelakai hamba. Bahwa hamba seorang anak
desa memiliki sekian banyak uang, tentulah akan
menimbulkan kecurigaan orang. Mungkin hamba akan dituduh
sebagai pencuri dan ditangkap"
Rani Kahuripan tak menjawab kecuali mendesuh pelahan.
Memang pernyataan anak itu beralasan juga. Dan ia cukup
tahu bagaimana sikap dan sepak terjang para penguasa di
pura kerajaan itu. Kecewa dan penasaranlah sang Rani karena
siasatnya untuk memberi hadiah kepada Dipa dengan disertai
ancaman hukuman, tetap terbentur karang kegagalan. Dan ia
menyadari pula, bahwa apabla ia tetap hendak memaksa,
bukan tujuannya menolong akan tercapai tetapi kebalikannya
bahkan akan mencelakai diri anak itu.
Karena keputusan akal, sang Rani berpaling kepada Rangga
Tanding "Paman, bagaimanakah pendapat paman untuk
mengatasi persoalan ini?"
Rangga Tanding tersipu-sipu menghaturkan sembah "Pada
hemat hamba, Dipa tak boleh menolak anugerah paduka.
Kirena penolakan itu dapat dianggap suatu penghinaan
terhadap raja. Tetapi kitapun tak dapat menutup kenyataan
akan akibat2 yang akan diderita anak itu. Maka sebagai jalan
tengah, hamba mohon mengunjuk saran. Dipa harus
menerima anugerah paduka hanya saja jumlahnya
dikurangkan" "Tepat, paman Tanding" ujar sang Rani "hal itu memang
sesuai dengan pikiranku"
Demikian kepada Dipa, diberikanlah uang sekedarnya
sebagai bekal dalam perjalanan ke pura kerajaan. Kemudian
setelah hal itu selesai, Rani Kahuripanpun mempersilahkan
Dipa melanjutkan peijalanannya.
Setelah Dipa pergi, Rani Kahuripan mengutarakan
kandungan hatinya "Paman Tanding, menurut naluriku, dalam
peristiwa munculnya beratus-ratus ekor ular yang berbisa tadi,
tentulah bukan merupakan suatu kejadian yang wajar. Kurasa
tak mungkin beratus ratus ular dari berbagai jenis, akan
muncul dengan serempak pada saat yang bersamaan.
Tentulah binatang-binatang itu dilepas oleh tangan jahil dari
manusia yang hendak mencelakai rombongan kita"
"Benar, gusti" sahut Rangga Tanding "hambapun
mempunyai perasaan demikian. Kawanan ular itu berjumlah
ratusan ekor dan terdiri dari berbagai jenis. Tak mungkin
mereka akan berkumpul bersama untuk menyerang kita"
"Hm" Rani Kahuripan mendesuh pelahan lalu berdiam diri
sampai beberapa saat "Aneh . .. siapakah yang memusuhi
diriku " Seingatku, aku tak pernah melakukan perbuatan yang
dapat menyebabkan orang begitu mendendam sehingga
hendak melakukan pembunuhan terdapat diriku ...."
gumamnya seorang diri. "Gusti puteri" tiba2 Rangga Tanding bersambut kata "untuk
menimbulkan dendam seseorang, bukanlah karena kita pernah
menyakiti hatinya atau melakukan sesuatu perbuatan yang
mencelakainya" "O, aneh" desis sang Rani "kalau kita tak menghina atau
mencelakai orang, betapa mungkin orang akan mendendam
sakit hati terhadap kita?"
"Hal itu mungkin saja terjadi, gusti" kata Rangga Tanding
"misalnya begini. Hamba diangkat sebagai kepala pasukan
Kahuripan, menjaga dan melindungi keselamatan gusti serta
tanah Kahuripan. Walaupun hamba tak pernah berbuat salah
terhadap orang, tetapi orang dapat mendendam kepada diri
hamba karena merasa kecewa, iri dan marah atas
pengangkatan diri hamba itu. Untuk melampiaskan rasa
ketidak-puasan hati, ada kalanya mereka tak segan2
membunuh hamba atau mencelakai diri hamba"
"Ya, benar juga ucapanmu itu, paman" kata Rani Kahuripan
"bertolak pada alasan yang engkau ungkapkan itu, tentulah
ada sementara orang yang tak puas atas duduknya diiiku
sebagai Rani di Kahuripan. Beuarkah begitu, paman Tanding?"
"Benar, gusti" "Tetapi pengakatanku sebagai rani di Kahuripan itu adalah
atas titah adindaku baginda Jayanegara sendiri?"
Rangga Tanding mengiakan.
"Siapakah menurut pandangan paman, yang tak puas atas
pengangkatanku itu?"Rani Kahuripan bertanya letbih lanjut.
Rangga Tanding terkesiap. Jantungnya mendebur keras.
Pikirannya menimang nimang, bagaimana ia harus menjawab
pertanyaan sang puteri. Adakah ia harus membuka rahasia
dari tindakan patih Aluyuda yang menempatkan dirinya di
Kahuripan agar dapat memata-matai gerak gerik puteri itu"
Memang benar, ia sudah sadar dan tak senang atas perbuatan
patih Aluyuda selama ini. Begitu pula, iapun sudah berjanji
dalam hati untuk melindungi putri Tribuanatunggadewi sang
Rani Kahuripan dengan memberi laporan2 yang tak sesuai
kepada patih Aluyuda. Adakah andai ia memberi keterangan
terus terang tentang sepak terjang patih Aluyuda kepada Rani
Kahuripan, akan dapat menolong keselamatan puteri itu"
"Ah, kurasa belum tiba saatnya" akhirnya ia menyimpul
keputusan dalam hati "biarlah rahasia patih itu tak kuceritakan
kepada sang puteri. Cukup kuatasi sendiri. Dengan begitu aku
masih tetap dianggap sebagai orang kepercayaan oleh patih
dan dapat mengetahui segala tindakan yang akan
direncanakan terhadap gusti Rani Kahuripan"
"Ampun gusti" cepat ia mengatar dalam penyahutannya
"pada hemat hamba memang tentu ada orang yang tak puas
atas pengangkatan paduka sebagai yang dipertuan daerah
Kahuripan. Tetapi siapa dan golongan mana yang
mengandung perasaan tak senang itu, hamba belum
mengetahui pasti. Dalam pura kerajaan bertebaran orang2
dan golongan2 yang hendak mengacau kewibawaan kerajaan.
Tetapi yang jelas, orang yang melepas gerombolan ular
berbisa itu, tentulah fihak yang tak senang kepada padaku.
Hemat hamba, orang atau golongan yang tak suka kepada
gusti, cenderung termasuk pada golongan yang mendukung
baginda Jayanagara.. . . ?"
Rani Kahuripan kerutkan sepasang alisnya yang indah bagai
bulan tanggal satu "Tetapi paman" ujarnya sesaat kemudian
"pengangkatan diriku sebagai rani di Kahuripan ini
sesungguhnya mengandung tujuan tersembunyi untuk
menyingkirkan diriku dari tampuk pimpinan pusat kerajaan.
Kedua kalinya, untuk menenteramkan kegelisahan dan
kekecewaan rakyat yang nyata2 sebagian besar masih setya
kepadaku ...." Rani Kahuripan berhenti sejenak untuk menyelimpatkan
pandang mata ke arah rangga Tanding. Dilihatnya rangga itu
mengangguk angguk kepala.
"Aku menyadari hal itu, paman. Tetapi apa dayaku"
Walaupun aku keturunan dari bunda Tribuana, puteri nenekda
baginda Kertanegara, namun aku hanya seorang puteri.
Ayahda baginda Kertanegara lebih senang mengangkat
puteranya sebagai raja. Dalam hal itu, tidak setitikpun dalam
hati aku memiliki rasa tak puas. Karena walaupun berlainan
bunda, tetapi baginda Jayanegara itu adalah adindaku ...."
"Benar gusti" sembah rangga Tanding.
"Oleh karena itu maka kuterima dengan lapang hati
pengangkatanku sebagai rani di Kahuripan itu" sang rani
melanjutkan ucapannya pula "dan jelas pengangkatan itu
disetujui oleh baginda Jayanegara sendiri. Tetapi mengapa
masih ada orang atau golongan yang tak puas kepada diriku,
paman?" "Duh gusti junjungan hamba" sembah rangga Tanding
"memang manusia itu gemar berhamba pada Nafsu dan
Keinginan. Tetapi hamba percaya, gusti, betapa pahit dan
sukar jalan kehidupan yang akan kita derita, namun akhirnya
Kejahatan selalu terkalahkan oleh Kesucian, Keculasan oleh
Kebenaran dan Kelaliman oleh Kebijaksanaan ...."
Rani Kahuripan membenarkan ucapan rangga itu "Semoga


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hyang Widi dan Dewata melimpahkan berkah kekuatan
kepadaku agar dapat melintasi segala coba dan derita yang
akan menimpa diriku"
"Hamba dan seluruh prajurit serta rakyat Kahuripan akan
selalu setya mengabdi kepada gusti" sambut rangga Tanding.
"Terima kasih, paman" ujar sang Rani "marilah kita
lanjutkan perjalanan pulang ke Kahuripan. Kuharap paman
meningkatkan kewaspadaan dan mudah-mudahan kita takkan
menemui aral rintangan dalam perjalanan"
Rombongan puteri agung itupun melanjutkan perjalanan
menuju ke Kahuripan. Belum berapa lama keluar dari
lingkungan hutan Pandawa, tiba2 Rangga Tanding melihat tiga
orang lelaki sedang berjalan dengan langkah bergegas.
Melihat rombongan prajurit mengiring sebuah kereta
berbentuk seekor garuda yang indah, ketiga orang itu terkejut
dan cepat menyingkir ketepi.
"Berhenti!" tiba2 rangga Tanding berseru memberi perintah
kepada rombongannya. Sedang ia sendiri cepat memutar
kuda, menghampiri ketiga orang itu. Mereka terdiri dari
seorang pemuda yang cakap wajahnya dan dua orang lelaki
setengah tua. Baik pemuda itu maupun kedua kawannya,
mengenakan dandanan sebagai orang biasa. Walaupun
demikian, kecakapan wajah pemuda itu masih tetap menonjol,
tidak memadai dengan pakaiannya yang amat bersahaja itu.
Sedang salah seorang dari lelaki setengah tua itu, lehernya
berkalung seekor ular sebesar lengan orang. Ular itu
kepalanya menjalai kedada orang itu, tak bergerak. Rupanya
binatang itu sudah mati. Kawannyapun memanggul seekor
babi hutan yang sudah mati.
Perhatian rangga Tanding tertarik akan keadaan ketiga
orang itu. Apalagi demi melihat salah seorang berkalung
bangkai ular, timbullah kecurigaan rangga itu "Hai, ki bagus"
tegurnya kepada si pemuda "dari mana kalian ini " Kalian
tentu bukan rakyat Kahuripan"
Bermula pemuda itu memang terkesiap melihat seorang
penunggang kuda berpakaian sebagai kepala prajurit,
menghampirinya. Lebih terkejut pula ketika ia mendengar
tegur sapa rangga Tanding yang bernada kuring ramah.
Namun disambutnya pertanyaan rangga itu dengan sabar
"Kami habis berburu dihutan sana" katanya sambil
menunjuk ke arah selatan "memang kami bukan kawula
Kahuripan. Tetapi bagaimana ki lurah mengetahui hal itu ?"
"Cara dandananmu itu lain dengan adat orang Kahuripan"
sahut rangga Tanding "benarkah kalian tadi dari hutan
Pandawa ?" "Ya" "Hm" dengus rangga Tanding "mengapa masih engkau
sisakan seekor" Adakah hendak engkau bakar di rumah ?"
Pemuda dan kedua kawannya setengah tua itu terkesiap.
Mereka saling bertukar pandang.
"Hai, mengapa engkau tak menjawab pertanyaanku" Apa
engkau gagu!" teriak rangga Tanding mengulang pertanyaannya. Kedua lelaki setengah tua itu berpaling ke belakang lalu ke
kanan kiri, akhirnya menghadap ke muka lagi "Engkau bicara
dengan siapa?" seru lelaki yang berkalung ular pada lehernya.
"Adakah di sini terdapat lain Orang kecuali kalian bertiga?"
rangga Tanding balas bertanya dengan nada mengkal.
"Tidak ada" sahut orang itu.
"Lalu mengapa engkau membisu?"
"Siapa" A ku?"
"Ya !" "Mengapa tak memanggil namaku " Apakah aku ini bukan
manusia?" "Gila!" bentak rangga Tanding "melihat tampang
mukamupun baru kali ini, bagaimana aku kenal namamu!"
Orang itu menyeringai "Gila! Kalau tak tahu mengapa tak
bertanya !" Rangga Tand ng tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Berpaling ke arah seorang prajurit, ia berseru "Tangkap orang
gila itu!" Seorang prajurit bertubuh tinggi besar tampil ke muka dan
menghampiri ke tempat lelaki berkalung ular. Sikapnya seram,
wajahnya membengis. "Tunggu dulu!" lelaki berkalung ular itu cepat mencegah
seraya tebarkan tangannya ke muka
"Walaupun engkau prajurit dan aku rakyat biasa, tetapi
jangan main tangkap! Apa kesalahanku" serunya.
"Engkau berani bersikap tak menghormat kepada pemimpin
kami, rangga Tanding" seru prajurit tinggi besar.
"Apakah hanya itu kesalahanku?" lelaki berkalung ular
menegas "aku merasa tak bersalah dan tak merasa menghina
pemimpinmu. Kalau dia tanya kepadaku, tentu akan kujawab.
Tetapi dia tak bertanya kepadaku karena tak menyebut
namaku. Ketahuilah, prajurit, aku ini seorang manusia yang
punya nama" Prajurit menggeram "Engkau memang manusia tetapi
manusia gila! Kami belum kenal padamu bagaimana harus
menyebut namamu?" "Bukankah dia dapat menanyakan namaku dulu ?"
"Sarpa, tangkaplah! Dia tentu penjahat yang melepas
gerombolan ular tadi!" seru rangga Tanding.
Prajurit tinggi besar yang disebut Sarpa itu mengiakan.
Tetapi baru maju selangkah, lelaki berkalung ular sudah cepat
berteriak pula "Berhenti! Apa katamu" Aku penjahat yang
melepas gerombolan ular?"
"Ya!" hardik Sarpa "engkau tentu penjahat yang melepas
ratusan ekor ular untuk mencelakai rombongan Rani
Kahuripan" Sambil berkata prajurit Sarpa lanjutkan langkah
menghampiri ketempat lelaki berkalung ular."Engkau mau
menyerah atau melawan?"
Mendengar disebutnya Rani Kahuripan, pemuda cakap itu
terkesiap. Cepat2 ia tampil selangkah menyongsong Sarpa
"Apa katamu " Apakah ki prajurit ini rombongan pengawal
gusti Rani Kahuripan?"
Prajurit itu hentikan langkah "Adakah engkau tak melihat
ratha keranian Kahuripan itu ?"
"Oh" pemuda itu mendesuh kejut "jadi gusti Rani Kahuripan
berada dalam ratha itu?"
"Jangan pura2 tak tahu !" bentak Sarpa "mengaku dan
menyerahlah agar ringan hukumanmu !"
Pemuda cakap itu kerutkan dahi "Mengaku bagaimana?"
"Mengapa engkau berani melepas ratusan ekor ular untuk
mencelakai gusti Rani Kahuripan ?"
"Apa ?" pemuda itu makin merentang mata lebar2 "sama
sekali kami tak melakukan hal itu! Jangan menuduh semenamena ...."
"Eh, berani engkau menyangkal" Memang kalau tidak
dihajar, kalian tentu tak mau mengaku" prajurit itu terus maju
menghampiri. "Ki prajurit, jangan ...." belum sempat pemuda itu
menyelesaikan kata2 mencegah, tinju prajurit tinggi besarpun
sudah melayang "sabar, ki prajurit ...." pemuda itu menyingkir
kesamping "kami tak bersalah ...."
"Jangan banyak mulut!" teriak prajurit tinggi besar seraya
loncat menerjang pula. Serangan pertama gagal membuat ia
malu. Namun pemuda itu dapat melakukan suatu gerak
penghindaran yang cepat dan bagus. Karena malu prajurit
Sarpa mulai marah. Dikalangan prajurit Kahuripan, ia terkenal
paling kuat sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar gagah
perkasa. Melihat pemuda lawannya itu bertubuh lebih kecil
dan tampaknya sebagai pemuda yang tak pernah bekerja
berat, Rangga Tanding dan sekalian prajurit yakin bahwa
Sarpa tentu dapat meringkus lawan.
Tetapi betapalah heran mereka ketika menyaksikan
jalannya pertempuran. Sampai beberapa belas serangan tinju,
sepakan kaki dan terkaman telah dilancarkan Sarpa, namun
tetap tak berhasil mengalahkan lawan. Pada hal sampai sekian
lama, si pemuda tak pernah balas menyerang melainkan
hanya menghindar diri saja.
Rasa heran itu makin membesar dan kecemasanpun mulai
bertebaran dihati kawan-kawannya prajurit. Jelas Sarpa mulai
menurun daya serangannya. Mukanya merah padam, tubuh
bersimbah peluh dan napas pun berkejaran deras. Seorang
prajurit bertubuh kekar hendak tampil kemuka membantu
Sarpa. Ia kawan baik Sarpa,
"Berhenti!" baru ia melangkah setapak, rangga Tandingpun
sudah mencegahnya "kita prajurit Kahuripan harus jaga
martabat. Pemuda itu tak balas menyerang. Salah Sarpa
sendiri kalau tak mampu menangkapnya !"
Prajurit bertubuh kekar itu tertegun. Memang yang
dikatakan pemimpin mereka itu benar. Pemuda itu memang
belum pernah balas menyerang. Kalau Sarpa rubuh tentu
karena kehabisan napas, bukan karena dibalas pemuda itu.
Jelas pemuda itu tak bermaksud melukai Sarpa.
Baru ia menduga-duga hal itu, tiba2 terjadilah adegan yang
mengejutkan. Sarpa yang sudah terengah-engah napasnya,
menerjang pula. Kali ini serangannya tak menyerupai lagi
dengan gerak ilmu tata-laga, melainkan lebih cenderung
dengan gaya orang mabuk. Ia tidak memukul tetapi
menerkam orang. Seperti yang telah berlangsung selama ini, selalu tenang2
saja pemuda itu menanti serangan lawannya. Apabila tinju
atau kaki lawan sudah bergerak, barulah ia bergerak juga
untuk menghindar. Demikianpun dengan kali ini. Sesaat
terkaman tiba, dengan cepat dan tepat arahnya, ia
menyelimpat ke samping. Sarpa menerkam angin. Karena terkaman itu menggunakan
seluruh sisa tenaganya, ia kehilangan keseimbangan badan
dan terus meluncur ke muka. Kebetulan pula, huyung
tubuhnya itu menjurus ke tempat lelaki setengah tua yang
berkalung ular. Lelaki itu terkejut dan agak gugup menyingkir
ke samping. Tetapi rupanya lelaki berkalung ular itu lebih jahil.
Sambil menghindar, ia lintangkan sebelah kakinya mengait
kaki Sarpa "Huh ...." mulut Sarpa mendengus kaget ketika ia tak dapat
menahan tubuhnya yang terpelanting menyusur tanah,
menyelundup masuk ke dalam gerumbul semak berduri .....
Prajurit bertubuh kekar hendak mengulang keinginannya. Ia
marah sekali karena Sarpa sahabatnya yang baik, terjerumus
ke dalam semak berduri. Tetapi seperti yang tadi, rangga
Tandingpun melarangnya dan menyuruhnya menolong Sarpa
saja. Kiranya kepala prajurit bhayangkara Kahuripan itu sendiri
yang akan menghadapi ketiga orang yang mencurigakan itu.
Tiga langkah di muka si pemuda, rangga Tanding pun
berhenti, tegak menggagah. Pandang matanya berhamburan
menyusur dari kaki sampai ke atas kepala orang. Kerut
dahinya yang berkeliuk lipatan tebal, mengunjukkan
perhatiannya amat tegang. Puas meneliti, meluncurlah kata2
dari mulutnya "Hm, anakmuda, pantas engkau berani mencelakai
rombongan gusti puteri Kahuripan. Kiranya kulitmu memang
keras sekali. .." Pemuda itu terkesiap heran "Kami tak merasa..."
"Tetapi engkau pasti kecewa. Inilah rangga Tanding,
banteng Kahuripan yang akan menanduk hancur seuap
pengacau yang berani mengganggu junjungan rakyat
Kahuripan!" "Ki rangga" sahut pemuda itu tenang dan halus "benar2
kami tak dapat memahami kata2 tuan. Siapakah orang yang
mengacau rombongan gusti Rani Kahuripan itu?"
"Engkau!" rangga Tanding memekik keras seraya menuding
pemuda itu "kalian datang dari hutan Pandawa dan saat ini
masih ada yang membawa seekor ular. A pakah engkau masih
berani menyangkal?" "Ki rangga" sahut pemuda itu pula "untuk hal yang tak
merasa kami lakukan, sekarang, besok dan bilamana saja,
kami tetap menyangkal. Walau tuan bunuh sekalipun, kami
tetap tak merasa melakukan"
"Ho, rupanya walaupun masih muda tetapi engkau sudah
memenuhi syarat" seru rangga Tanding dengan nada
mengejek "Apa maksud tuan?"
"Syarat untuk menjadi penjahat gemblengan yalah berani
mati, berkulit tebal, bertulang keras, bermulut besi dan
berlidah lemas. Bahkan engkau masih memiliki sesuatu
kelebihan yang istimewa lagi, yalah berparas cakap. Jika tiada
bukti2 yang nyata, tak mungkin orang percaya pemuda
secakap engkau ini ternyata penjahat besar yang hendak
membunuh rombongan gusti Rani Kahuripan !"
"Ki rangga ...." belum selesai pemuda itu berseru, rangga
Tanding sudah menukas "Tetapi memang malang sekali
langkahmu kali ini karena engkau bertemu dengan rangga
Tanding. Akulah yang akan merobek keberanianmu, menepis
kulitmu yang tebal, melunakkan tulangmu yang keras,
menempa mulutmu besi dan mencabut lidahmu yang tajam.
Sckanng pilihlah. Menyerah baik2 agar ringan hukumanmu
atau melawan supaya tulang-tulangmu kuremuk redam?"
Tiba2 pemuda itu tertawa. Derai tawanya tersembunyi nada
kemengkalan. "Hai, pembunuh, apa yang engkau tertawakan?" hardik
rangga Tanding. "Kukira hanya di dalam rimba saja, tiada dikenal hukum,
tahu akan kebenaran dan kabur dan pertimbangan. Yang kuat
menindas yang lemah. Tetapi ternyata di telatah Kahuripan
yang termasuk daerah bagian kerajaan Majapahit yang
menjunjung hukum, terdapat orang2 yang menganut hukum
rimba. Bahkan lebih dari itu. Dalam rimba yang tak kenal
hukum itu, harimau siraja hutan masih memilih calon
korbannya yalah kambing, kerbau dan ternak ysng gemuk dan
enak dagingnya. Tetapi rupanya macan dari Kahuripan itu tak
pandang bulu, tak pilih korban ...."
"Keparat, engkau berani menghina rangga Tanding!" mu'ui
mendamprat, tanganpun melayang. Rupanya rangga itu sudah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak dapat menahan kesabarannya lagi. Tinjunya didaratkan ke
dada orang. Pemuda itu memang sudah menduga akan timbulnya
pertempuran. Kepala prajurit yang berpangkat rangga itu
seorang yang keras kepala, sukar diajak berunding. Iapun
sudah bersiap. Ketika rangga Tanding memukul, ia menyurut
selangkah ke belakarg. Selama mengamati pertempuran antara Sarpa dengan
pemuda itu, rangga Tanding sudah memiliki kesan bahwa
pemuda yang dituduh hendak membunuh sang Rani, memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi.
Walaupun gayanya keras, tetapi serangan rangga Tanding
yang pertama itu hanya bersifat menjajagi. Maka tak heran
kalau pada saat pemuda itu menyurut ke belakang, rangga
Tandingpun sudah membayangi dan menyusupkan jarinya ke
rusuk orang. Pemuda itu tampak terkejut juga melihat gaya tata-laga
lawan. Cepat ia menyadari bahwa rangga Tanding yang
dihadapinya itu, jauh lebih berat daripada prajurit tinggi besar
tadi. Untuk serangan ke rusuk lambungnya, pemuda itu cepat
loncat beberapa langkah ke samping. Maksudnya ia hendak
membebaskan diri dulu dari lingkupan serangan lawan. Tetapi
belum lagi sang kaki sempat menegakkan tubuh, rangga
Tandingpun sudah menerjang pula. Kedua tangannya
menyilang, ke leher dan ke lambung.
Gerakan menyilang rangga itu sedemikian cepatnya
sehingga tak memberi kesempatan lagi pada lawan. Dalam
keadaan terdesak dan gugup, pemuda itu mengendap ke
bawah dalam kedudukan seperti beijonglok. Dengan tindakan
itu memang ia dapat terhindar dari penyilangan rangga
Tanding, tetapi bahaya lain menimpah dirinya. Rangga
Tanding memang prajurit pilih tanding. Melainkan memiliki
ilmu tata-laga yang sakti, diapun seorang prajurit yang
berpengalaman. Kedudukan lawan yang lemah itu, cepat
dimanfaatkan. Secepat menarik kedua tangannya, iapun
menerkam punggung lawan. Dan selekas berhasil, ia segera
mencergkem sekuat-kuatnya. Kemudian ia kerahkan tenega
hendak mengargkat tubuh pemuda itu. Maksudnya hendak
dicampakkan ke arah segunduk batu karang.
Terdengar sorak sorai gegap gempita dari sekalian prajurit
ketika menyaksikan pemimpin mereka berhasil meringkus
pemuda itu. "Huh ..." rangga Tanding mendesuh kejut ketika tubuh
pemuda yang hendak diargkft itu tiba2 menyelimpat lepas dari
cengkamannya. Dan sorak sorai pujian dari para prajuritpun
seketika borobah menjadi pekik teriakan kejut
"Hai . . . . !"
Rangga Tanding benar2 termangu-mangu. Jelas ia merasa
telah mencengkam tubuh lawan tetapipun jelas ia merasa
kalau tubuh itu bergeliatan menyurut lolos lagi. Dan
terkejutlah ia ketika mendengar teriakan bernada kaget dari
para prajurit. Sejenak ia tertegun karena lawannya benar2
sudah tegak beberapa langkah di hadapannya.....
Rangga Tanding tersipu-sipu malu. Di hadapan sekalian
prajurit anakbuahnya tak dapat menundukkan seorang
pemuda desa, memang tak sedap bagi perasaan rangga
Tanding. Serentak dengan timbulnya rasa keangkuhan dalam
hati, ia segera mengikat diri dalam suatu rasa keharusan
memenangkan pertempuran itu. Serangan yang dilakukan
selanjutnya makin gencar. Bahkan karena masih belum
memperoleh hasil, maka dikerahkannyalah seluruh tenaga dan
kepandaiannya, menyerang deras.
Pemuda itu tampak sibuk juga menghadapi serangan
rangga Tanding. Sambil menghindar, iapun menimang-nimang
dalam hati. Adakah ia harus menyerahkan diri menjadi sasaran
serangan rangga itu atau haruskah ia merubuhkan lawan itu.
Sesungguhnya menurut tuduhan yang dilancarkan oleh rangga
itu, ingin ia memberi sedikit hajaran agar selanjutnya kelak
rangga itu jangan bersikap sewenang-wenang lagi. Ia benar2
tak mengerti, mengapa dituduh sebagai penjahat yang hendak
membunuh rombongan Rani Kahuripan.
Namun pertimbangan lain mengatakan bahwa jika ia
melukai rangga itu, urusan tentu akan berlarut-larut makin
panjang. Di antara sekian banyak akibatnya, yang paling ia
cemaskan adalah kalau sang Rani Kahuripan sampai murka.
Tetapi belum ia bertemu dengan akal yang sempurna,
sekonyong konyong ia terkejut sekali ketika tangan kanannya
dicengkeram tangan lawan dan secepat kilat terus diputar ke
belakang sekuat-kuatnya. Cepat iapun kerahkan tenaga untuk
bertahan. Saat itu segera terjadilah adu tenaga. Rangga
Tanding hendak memelintir tangan si pemuda ke belakang
tetapi pemuda itu berusaha dengan sekuat tenaga untuk
bertahan. "Berhenti . . . .!" tiba2 terdengar lengking suara yang halus
dari arah belakang. Nandanya lembut namun mengandung
wibawa. Seketika pemuda itu hentikan pancaran tenaga yang
dipusatkan kctangan kanan. Tetapi betapalah kejutnya ketika
merasa rangga Tanding bahkan malah melanjutkan
memutarnya ke belakang. Pemuda itu tak sempat
mengarahkan tenaga lagi sehingga tangannya terteliku ke
belakang. Kini ia telah dikuasai oleh rangga Tanding.
"Ki Rangga, engkau menang ...." seru pemuda itu
tersenyum. Ia tak dapat melanjutkan ucapannya karena ketika
memandang ke muka, tertumbuklah pandang matanya pada
seorang puteri cantik jelita diiring dua orang dayang. Pakaian
warna hijau pupus dan mahkota emas bertatahkan ratna mutu
manikam, memantulkan keserasian antara kecantikan dan
keagungan, kelembutan dan kewibawaan.
Pemuda itu terpukau dalam keasyikan pesona. Hampir ia
tak percaya pada pandang matanya sendiri manakala saat itu
ia tak merasa kesakitan karena tangannya yang terteliku di
belakang punggung itu di guncangkan ke atas oleh rangga
Tanding "Jangan kurang ajar terhadap gusti Rani Kahuripan"
"Paman rangga, apakah yang telah terjadi?" tiba2 Rani
Kahuripan menegur. "Gusti, hamba telah berhasil menangkap penjahat yang
melepas ular itu" rangga Tanding melapor.
"Apakah anakmuda yang engkau ringkus itu, paman ?"
"Benar, gusti. Masih adalagi dua orang kawannya yang
telah ditangkap oleh para prajurit" ia berpaling kearah
rombongan prajurit dan memberi isyarat agar kedua lelaki
setengah tua itupun di bawa menghadap sang Rani.
Kedua lelaki setengah tua kawan pemuda itu ternyata telah
diringkus oleh beberapa prajurit. Dengan diikat, keduanva
dihadapkan ke muka sang Rani.
"Hayo, haturkanlah sembah hormat kepada gusti Rani
Kahuripan" salah seorang prajurit memberi perintah.
"Tidak!" seru lelaki berkalung ular.
"Huh, engkau berani membangkang" prajurit yang
meringkusnya segera mencekik tengkuk orang itu sehingga dia
menjerit-jerit. "Prajurit, janganlah menyiksa kedua pamanku itu dengan
semena-mena" tiba2 pemuda itu berseru dengan nada keras
"silahkan engkau pikir. Bagaimana mungkin engkau suruh
pamanku menghaturkan sembah apabila kedua tangannya
engkau ikat?" Rupanya prajurit itu menyadari hal itu. Namun ia menekan
bahu orang tangkapannya ke bawah dan memaksanya supaya
duduk bersila di hadapan sang Rani.
"Jangan banyak tingkah engkau!" Rangga Tanding
menyentakkan tangan pemuda itu supaya jangan bicara lagi.
Karena menahan kesakitan, dahi pemuda itu bercucuran
keringat "Hm, rangga, andai bukan dihadapan sang Rani, aku
tentu sudah melepaskan diri .. ." kata pemula itu dalam hati.
"Paman, sudahlah, lepaskanlah orang itu" Rangga Tanding
terbeliak mendengar ucapan sang Rani. Bahkan pemuda itu
sendiripun tampak terkesiap. Rupanya mereka tak pernah
menduga sang Rani akan menitahkan begitu.
"Gusti" sahut Rangga Tanding "maafkan kesalahan hamba.
Bukan sekali kali hamba hendak menentang titah paduka
tetapi sesungguhnya pemuda ini amat berbahaya apabila
dilepaskan. Demi menunaikan tugas hamba sebagai kepala
bhayangkara pelindung keselamatan paduka, akan hamba
lepaskan dia setelah tangannya hamba ikat"
"O" Rani Kahuripan mendesuh "engkau takut paman?"
Agak tersipu merah wajah Rangga Tanding "Bukan gusti,
tetapi hamba berpendapat, memasukkan harimau kedalam
kandang, lebih selamat daripada melepaskannya keluar ...."
Rani Kahuripan hanya tersenyum. Ia tahu bahwa rangga itu
dihantui rasa kuatir. Namun ia dapat memaklumi juga bahwa
rangga itu benar2 bertanggung jawab akan keselamatan
rombongannya. Maka dibiarkan sajalah rangga itu mengikat
tangan pemuda itu. "Paman, siapakah Kahuripan bertanya. namanya?" sesaat kemudian Rani "Entah .... belum sempat hamba tanya, gusti"
"Lalu bagaimana paman mengatakan dia penjahat yang
hendak mengganggu rombongan kami?"
Rangga Tanding menceritakan tanya jawab dengan pemuda
itu, lalu "Merekapun baru keluar dari hutan Pandawa dan salah
seorang masih membawa bangkai ular. Tidakkah hal itu cukup
sudah menjadi bukti akan kejahatan yang mereka lakukan ?"
"Patut diduga demikian" kata Rani Kahuripan lalu merenung
diam, menyelimpatkan pandang matanya ke arah pemuda
yang saat itu duduk bersila tundukkan-kepala. Ketika
memandang wajah pemuda itu, darah sang puteri tersibak,
hati mendebur. Cepat ia mengangkat muka dan lanjutkan
kata-katanya pula "tetapi paman, segala tuduhan dan . . . dan
bukti yang memperkuat dugaan kita, belumlah berarti suatu
keputusan. Keputusan harus dilakukan melalui peradilan yang
layak" "Mana2 titah paduka, pasti hamba junjung di atas kepala,
gusti" sembah rangga itu. Kemudian ia mempersilahkan sang
Rani untuk memeriksa tangkapan itu.
"Orang muda, siapakah namamu dan di manakah tempat
asalmu?" Rani Kahuripan mulai mengajukan pertanyaan.
"Hamba bernama Kerta, gusti. Dari desa Sagenggeng
bawah telatah Singosari"
"Mengapa engkau datang ke tanah Kahuripan?"
"Bersama kedua paman Suta dan Naya, hamba berkelana
menjelajah negara untuk menambah pengalaman dan
pengetahuan" "Hm" desuh sang Rani "tetapi mengapa engkau melepaskan
gerombolan ular berbisa untuk mencelakai rombongan kami?"
"Duh, gusti Rani yang mulia. Sembah sujut hamba semoga
paduka berkenan menerima" kata pemuda itu dengan
rangkaian kata2 yang halus dan sedap "sekali-kali hamba tak
melakukan hal itu, gusti. Kedatangan hamba kemari adalah
karena hamba ingin melihat keindahan tanah Kahuripan serta
kemakmuran dan keagungan pemerintahannya yang konon
termasyhur amat maju dibawah pimpinan paduka"
Puteri Kahuripan itu terkesiap dalam hati. Diam2 ia merasa
heran. Tak mungkin seorang pemuda yang mengaku berasal
dari desa, dapat merangkai kata2 yang tersusun indah dan
membicarakan soal2 pemerintahan. Sepercik rasa ingin tahu
siapa sebenarnya pemuda itu, mulai membertik dalam hati
Rani itu "Adakah aku harus mempercayai keteranganmu
apabila kumelihat bukti yang ada pada kawanmu itu?"
"Oh, kiranya gusti tentu hendak mengatakan tentang ular
yang dibawa paman Naya itu. Begini, gusti, pada waktu
hamba bertiga masuk kehutan Pandawa, hampir saja salah
seorang mati disambar seekor ular besar yang tak kami
ketahui tengah menggelantung pada dahan pohon. Untunglah
paman Naya amat sigap dan dapat membunuh binatang itu,
gusti" "Hm, kalian memang ahli menundukkan ular . . . ." tiba2
Rangga Tanding menyelutuk kata sindiran "kiranya bukan
suatu hal yang mustahil apabila kalian dapat menangkap
ratusan ular dan melepasnya pula"
"Ah, ki rangga tentu hendak menjerat kami dalam
perangkap tuduhan sebagai yang melakukan perbuatan jahat
itu" sambut pemuda Korta.
"Apa salahnva orang mengatakan sesuatu yang nyata itu?"
balas Rangga Tanding dengan kata tajam.
"Begini Kerta" akhirnya Rani Kahuripan membuka suara
pula "memang pada tempatnya paman rangga menuduhmu
demikian. Kami diserang oleh ratusan ekor ular berbisa dan
kawamu membawa seekor ular. Memang penyangkalan adalah
sudah menjadi kebiasaan dari orang yang berbuat salah.
Namun penyangkalan itu hilang dayagunanya apabila dipadu
dengan bukti yang nyata"
"Jadi gusti juga percaya hamba ini seorang penjahat ?"
"Kerta, setiap manusia tentu pernah berbuat kesalahan.
Apabila engkau mengaku dengan jujur dan menyadari
kesalahanmu, aku bersedia memberi ampun ...." puteri
Tribuanatunggadewi hentikan kata-katanya dengan tiba2
ketika memperhatikan wajah pemuda itu tampak pucat lesi,
bibirnya agak gemetar. Rasa heran menyibak nurani sang
Rani. Perobahan airmuka merupakan pantulan suara hati. Dan
pada umumnya muka berobah pucat tentu mengandung rasa
salah. "Duh, gusti puteri Rani Kahuripan yang mulia" seru pemuda
itu dengan nada agak tergetar getar "jauh dari desa
Sagenggeng yang teraling oleh tiga puncak gunung Welirang,
Anjasmara dan Arjuna, hamba ayunkan langkah melintasi
hutan menurun lembah. Menempuh perjalanan panjang yang
beraral hujan angin, berkabut kedinginan dan kelaparan. Tak
lain tujuan hamba adalah untuk menurutkan suara hati yang
terpancar dalam impian hamba. Suatu impian yang amat
mustahil namun selalu membayang dalam pelupuk mata
hamba saja. Adalah karena menurut suara hati yang merintih
rintih itulah akhirnya hamba tinggalkan kampung halaman
yang melahirkan diri hamba, sekedar untuk membuktikan
kebenaran mimpi hamba itu . . ."
Entah bagaimana, suasana yang tegang dari pemeriksaan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang yang dituduh sebrgai penjahat, saat itu berobah
hening sunyi. Sekalian orang serasa terpikat perhatiannya
dengan kata2 pemuda Kerta itu.
"Apakah mimpimu itu Kerta?" di luar kesadaran sang
Ranipun terhanyut dalam rasa ingin tahu
"Dalam mimpi itu hamba melihat di atas dirgantara
terdengar letusan dahsyat. Langit seolah-olah terbelah. Dan
ketika keadaan reda hamba melihat pala suatu keajaiban yang
belum pernah hamba saksikan seumur hidup. Mungkin
sekalian bendara yang hadir di sini, juga belum pernah
menyaksikan" kembali Kerta berhenti sejenak.
Makin meluaplah hati sekalian orang mendengar cerita itu.
Bahkan kali ini rangga Tanding yang lebih dulu pecah
kesabarannya "Jangan mengili-ngili hati orang! Lekas ceritakan
yang lancar!" "Hamba saksikan di angkasa timbul tiga matahari. Yang
satu di selatan, satu di tengah dan yang satu di sebelah utara.
Lebih menakjubkan hati hamba lagi, bukan melainkan letaknya
yang berlain-lainan, pun, ketiga buah matahari itu berlainan
pula sinar cahayanya. Yang di sebelah selatan memancar sinar
lembayung. Yang di tengah bersinar warna emas dan yang di
utara memantulkan sinar putih bersih....."
"Oh ...." terdengar beberapa suara men-desuh
beberapa prajurit yang merasa heran.
dari "Hamba kesima memaksikan kegaiban alam itu. Hamba
bingung, berlari kian kemari untuk memberitahukan kepada
para tetangga. Tetapi aneh sekali. Hamba dapatkan desa
hamba kosong tiada orangnya sama sekali. Hamba makin
bingung karena hamba rasakan sekeliling empat penjuru gelap
gelita. Tak tahu arah mana yang harus hamba tuju. Karena
putus asa akhirnya hamba jatuhkan diri berlutut di tanah,
memohon pertolongan kepada Hyang Jagadnata. Beberapa
saat kemudian sayup2 hamba mendengar juara bisikan
lembut..... "Kulup, jangan engkau bingung atau cemas. Karena
rasa bingung dan cemas itu hanya akan memadarkan
pikiranmu. Cobalah angkat mukamu dan pandanglah ke
angkasa. Seksamakanlah mana di antara ketiga matahari itu
yang sesungguhnya sang Surya sejati yang akan membawa
sinar keberkahan bagi kehidupan negara ini .... ."
"Hambapun lakukan perintah sasmita gaib itu. Hamba
pandang dengan penuh seksama ketiga matahari itu. Hamba
pandang matahari yang bersinar warna lembayung. Sedap
dipandang. Demikian kesan hamba. Lalu hamba beralih
memandang matahari yang memancarkan sinar emas. Indah
megah, gilang gemilang, penuh kemeriahan. Tetapi beberapa
saat memandang, hamba rasa mata hamba silau. Sedemikian
perkasa sinar emas itu memancar mata hamba sehingga mata
hamba tak tahan dan buru2 pejamkan mata. Namun sinar
kemilau yang amat kuat itu terlanjur menerkam mata hamba
sehingga menimbulkan nyeri kesakitan. Ya, sakit sekali sampai
menumpahkan airmata .... Ah, terlampau megah nian
matahari bercahaya emas itu sehingga menyilaukan mata,
mengalirkan airmata .... Lalu hamba memandang ke utara.
Matahari itu menyinarkan cahaya putih jernih. Langit cerah,
bumipun tenang. Seketika terdamparlah perasaan hamba ke
alam kehidupan yang benar2 membangkitkan semangat hidup
dan menggairahkan kehidupan jiwa. Tanpa ragu2 pula hamba
segera berkata "Eyang, matahari di sebelah utara itulah
matahari yang sesungguhnya ...." Dan terdengar suara halus
itu menjawab "Engkau benar, angger. Matahari yang akan
menyinari bumi nuswantara dan membawa keberkahan pada
seluruh kawula adalah yang bersinar di sebelah utara itu.
Pergilah engkau menuju ke arah utara, di sanalah engkau
akan menemukan matahari kehidupanmu....."
"Ih...." tiba2 Rani Kahuripan mendesis seraya mendekapkan
tangan ke kening. Tubuhnya agak gemetar, wajahpun
bersemu pucat.. "Gusti, mengapa paduka ...."
menyongsong tubuh sang Rani.
kedua dayang cepat "Ah, tak apa2, nyai" sahut sang Rani sesaat kemudian
"hanya sedikit pening"
"Baiklah gusti beristirahat ke dalam ratha paduka. Tak baik
terlama lama berjemur diri di bawah terik matahari" kata
kedua nyai dayang itu. Demikian rangga Tandingpun juga mencinta agar Rani
beristirahat di dalam ratha. Puteri Tribuanatung-gadewi
akhirnya menurut juga. Setelah suasana agak hening2 tegang karena sekalian
orang mencemaskan kesehatan sang Rani, akhirnya rasa
cemas itu terlepas ketika sang Rani berkenan memanggil
rangga Tanding. Rani mengucapkan beberapa patah kata
kepada rangga Tanding. Karena diucapkan dengan pelahan,
tiada seorangpun yang dapat mendengarnya. Hanya tampak
rangga Tanding mengangguk kepala dan menghaturkan
sembah. Setelah itu ia menghampiri pula ke tempat Kerta dan
kedua kawannya. "Kerta" seru rangga Tanding dengan nada serius "menurut
kcputusan gusti Rani Kahuripan maka engkau dan kedua
kawanmu, tetap tersangka melakukan tindakan yang
membahayakan keselamatan gusti Rani dan rombongan
pengiring. Oleh karena itu selama pelaku yang sebenarnya
belum tertangkap, kalian bertiga tetap menjadi orang tawanan
dan akan kami bawa ke Kahuripan!"
"Tidak adil!" teriak Suta "kaum prajurit2 Kahuripan
bertindak sewenang-wenang hendak merampas kebebasan
orang ?" "Tutup mulutmu, babi!" bentak rangga Tanding dengan
mata membelalak geram. "Tidak! Kami diberi mulut tidak hanya untuk makan tetapi
pun untuk bicara. Membantah yang salah, menyanggah yang
tak adil !" tiba2 Nayapun berteriak "jelas kami tak bersalah,
mengapa kamu tangkap dan hendak kamu bawa ke
Kahuripan!" "Sudahlah, paman Suta dan Naya, biarkan mereka
membawa kita" di luar dugaan pemuda Kerta menyatakan
pendirian yang berlawanan dengan kedua kawannya.
"Hai, apa katamu" Kita bakal menjadi orang tawanan yang
kehilangan kebebasan!" teriak Suta dan Naya hampir
serempak. "Kutahu, paman" kata Kerta dengan sabar "tetapi
keputusan itu adalah kehendak gusti Rani Kahuripan. Kita
harus percaya penuh akan kebijaksanaan gusti puteri itu.
Nasib serabut, kita timbul. Nasib batu, kita tenggelam. Yang
salah, terbelah. Yang suci, pasti mukti ...."
Suta dan Naya tak berani membantah pula. Kepada pemuda
Kerta, mereka taat dan patuh. Walaupun mereka lebih tua.
Demikian sidang pemeriksaan yang berlangsung di tengah
jalan itu telah berakhir. Rombongan Rani Kahuripan segera
berangkat melanjutkan perjalanan. Kerta, Suta dau Naya
dengan tangan diikat, dinaikkan kuda dan dibawa ke
Kahuripan. Selama dalam perjalanan pulang ke Kahuripan itu, suasana
dalam kalangan rombongan puteri Tribuana nampak berbeda
dengan dikala mereka berangkat. Selain bertambah jumlahnya
karena membawa ketiga orang tawanan, pun bertambah berat
pula beban para prajurit pengiring Rani Kahuripan itu. Beban
tanggung jawab mereka akan keselamatan sang Rani setelah
terjadi peristiwa percobaan untuk mengancam jiwa puteri agung itu.
Tetapi yang paling tak tenang dan gelisah adalah dua insan.
Dan kedua insan itu tak lain yalah sang Rani sendiri dan
pemuda yang mengaku bernama Kerta itu. Entah bagaimana,
sejak berada dalam ratha, sang Rani selalu tampak
termenung. Lebih banyak berdiam diri memandang alam
bebas atau ke lautan mega yang berarak menyalut puncak
gunung. Sedang Kertapun tampak termenung-menung seperti
kehilangan semangat. Dicobanya untuk menggairahkan
semangat dengan memandang pohon2 dan hutan ataupun
gunung2 yang dilaluinya sepanjang jalan. Ia berusaha untuk
menikmati keindahan alam terbuka, menghayati hijaunya
daun, meraknya bunga, merdu kicau burung. Namun
kesemuanya itu dirasakan gagal. Benar2 ia tak dapat
menghapus kesan pertemuan dengan puteri Tribuanatunggadewi, Rani dari Kahuripan. Wajah ayu dari
sang puteri, selalu mengaca dimukaaya. Tegur sapanya yang
halus lembut, bagaikan alun kumandang seruling nafiri yang
mengiang di malam sunyi. Dan sayup2 serasa terdengar pula
ucapan dari orang gaib dalam sasmita mimpinya ....
" matahari disebelah utara itu, adalah matahari yang akan
menyinari kehidupanmu . . . ."
Pun sang Rani juga sedang mengalami pergolakan bathin.
Ia menyangsikan diri pemuda itu. Tak mungkin seorang
pemuda desa memiliki wajah yang sedemikian cakap dan sikap
yang sedemikian santun serta rangkaian kata2 yang tersusun
dalam irama indah. "Dia tentu bukan anak desa. Tetapi mengapa ia harus
menyembunyikan diri peribadinya " Ah ...." Rani Kahuripan tak
berani melanjutkan renungannya lebih jauh.
Keindahan itu suatu kebahagiaan. Ia tak menginginkan
kesan yang indah itu akan terhapus oleh kenyataan yang
buruk. Biarlah kesan itu tumbuh berkembang kenangan indah.
"Ah ...." ia mengeluh dalam hati dan tersipu merah
wajahnya "mengapa kuserahkan pikiranku terjelajah lamunan
melambung " Bukankah aku seorang puteri raja yang kini
diangkat sebagai Rani Kahuripan, salah sebuah dari ketiga
wilayah aseli Majapahit" Betapa akan cemar namaku bila
rakyat mengetahui angan-anganku yang tak sesuai itu" Dia ....
dia hanya anak desa....."
Puteri Tribuanatunggadawi Jayawisttuwhardani katupkan
pelapuk mata, mengendorkan kejang2 urat syaraf-nya. Ia
ingin marah, marah kepada dirinya sendiri mengapa dinding
imamnya selemah itu. Ia ingin menghapus kesan yang
menumbuhkan kenangan itu. Ia ingin menjerit, ingin
menangis, ingin .... ingin .... ah, betapa besar dan banyak
keinginan yang hendak ditumpahkan dari dalam hatinya,
namun sang hati tetap melantang, merintih dan
mendendargkan kenangan nan indah itu ... .
Rani Kahuripan merasa kehilangan pegangan. Semangat
serasa melayang layang dalam alamloka yang tiada menentu
parannya. Suatu perasaan yang belum pernah dikenyam
selama hidup. Sejak menjadi rani Kahuripan, belum pernah
hatinya seresah saat itu. Akhirnya ia menyerahkan diri,
pejamkan mata bersemedhi memohon sasmita petunjuk dari
Dewata..... Demikian perjalanan rombongan Rani Kahuripan itu berjalan
lancar tiada menemui suatu aral rintangan. Setelah tinggalkan
desa Kapulurgan, rombongan puteri afung itu menuju ke desa
Rabut Carat disebelah utara.... Kala itu sang Surya sudah
condong kebanat. Karena mengalami kerusakan kecil pada
roda ratha, maka perjalanan rombongan sang Rani agek
lambat. Menjelang rembang petang mereka baru memasuki
hutan di luar desa Rabut Carat.
Sekonyong-konyong barisan perintis depan yang terdiri dari
empat penunggang kuda, berteriak keras seraya mengacungkan tangan ke atas
"Berhenti. . . !"
Sais ratha cepat menahan tali kendali. Demikian dengan
empatpuluh prajurit berkuda. Terdengar bunyi derap
menggemuruh menguak debu tebal, ketika berpuluh-puluh
kuda itu berhenti dengan serentak.
Sejak peristiwa munculnya ratusan ular di hutan Pandawa,
rangga Tanding mengatur cara pengawalan dengan lebih
ketat. Empat orang prajurit berkuda menjadi perisai di muka
ratha sang Rani. Di kanan kiri ratha, masing2 dikawal empat
prajurit berkuda. Sisanya mengiring di belakang ratha. Rangga
Tanding sendiri mondar mandir kian kemari untuk mengawasi
suasana perjalanan. Salah seorang prajurit yang di muka tadi, segera
mencongklargkan kudanya ke tempat rangga Tanding yang
saat itu berada di samping ratha
"Ki rangga, hamba menghaturkan laporan, di tengah jalan
terdapat sebatang pohon besar yang merintangi perjalanan"
Rangga Tanding terkesiap "Akan kuperintahkan sepuluh
prajurit untuk menyingkirkan pohon itu"
"Tetapi pohon itu rubah tak sewajarnya, ki rangga" kata
prajurit itu pula. "Apa maksudmu?"
"Menurut pemeriksaan kami, pohon itu bukan tumbang
karena dilanda angin, melainkan karena dipenggal orang"
"Hah . . . . ?" rangga Tanding meregang dahi "engkau
maksudkan ada orang yang hendak merintangi perjalanan kita
dengan melintangkan pohon di jalan?"
"Mohon ki rangga suka memeriksa sendiri" Tanpa
menjawab rangga Tanding cepat memacu kuda menuju ke
arah pohon di muka. Sebatang pohon anji-luang yang
besarnya sepemeluk orang, rebah melintang di tengah jalan.
Dahan dan daunnya bertebaran memenuhi sekitar tempat.
Rangga Tanding ajukan kuda mendekati. Ia curahkan pandang
mata menyusuri pangkal pohon yang berasal dari samping
kanan jalan. Segera perhatiannya terpancang pada sesuatu
yang menegangkan. Apa yang dikatakan prajurit tadi memang
benar. Pangkal pohon itu jelas bekas ditabas dengan senjata
tajam, bukan karena tumbang sewajarnya.
Pikiran rangga Tandingpun cepat dapat menanggapi
kegawatan suasana. Pohon ditebang, sengaja untuk merintang
jalan. Yang melakukan tentulah gerombolan penjahat atau


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyamun. Adakah hal itu sengaja ditujukan untuk mencegat
perjalanan rombongan Rani Kahuripan, rangga Tanding belum
yakin dalam merangkai kesimpulan. Namun lepas dari hal itu,
perbuatan itu jelas suatu tindakan jahat dari kawanan
penyamun yang harus diberantas.
Rangga Tanding cepat bertindak. Ia memerintahkan
sepuluh prajurit untuk menyingkirkan rintangan pohon itu,
sedang prajurit2 yang lain tetap berjaga ditem-pat masing2.
Pengawalan ratha sang Rani makin diperketat.
Karena pohon itu cukup besar maka pekerjaan
menyingkirkan ketepi jalan, memakan beberapa waktu. Saat
itu mataharipun sudah terbenam dibalik gunung. Cuaca mulai
meremang gelap. Pada saat pekerjaan menyingkirkan
rintangan itu hampir selesai, tiba2 dari dalam hutan terdengar
suara burung kulik melantang riuh.....
Rangga Tanding dan para prajurit terkesiap. Rasa heran
segera merayapi benak rangga itu. Hari baru saja mulai gelap
mengapa burung kulik sudah berbunyi. Biasanya burung itu
berbunyi pada waktu tengah malam.
Rangga Tanding mempertajam telinganya. Dan cepat ia
dapat mengenali bahwa suara burung kulik itu beda dengan
suara kulik sesungguhnya, walaupun sepintas dengar hampir
menyerupai. Makin keras dugaan rangga itu bahwa
rombongannya sedang menghadapi ancaman gerombolan
penjahat. Dugaan rangga itu memang tak salah. Sirapnya suara
burung kulik segera disusul dengan munculnya empat orang
lelaki berpakaian hitam dari arah belakang rombongan prajurit
Kahuripan. Mereka bersenjata pedang dan klewang.,
"Basmi!" teriak rangga Tanding kepala rombongan prajurit
yang mengiring dibelakang ratha. Rupanya rangga itu sudah
dicengkam ketegangan sehingga perintah yang dikeluarkan
yalah 'basmi' bukan penangkapan. Dan karena tidak
ditegaskan berapa orang yang harus menyerbu penjahat itu,
maka prajurit2 itu berebut langkah. Sepuluh prajurit segera
berhamburan menyerbu. Rupanya melihat jumlah prajurit sedemikian banyak,
keempat penyamun itu ketakutan. Mereka mundur dengan
gerak seperti orang takut. Melihat itu kesepuluh prajurit itu
makin mendapat hati. Mereka cong-klangkan kuda makin
kencang seolah olah saling berlomba untuk membunuh
penyamun itu. Dihadapan sang Rani dan rangga Tanding,
apabila dapat membasmi penjahat, tentu akan memperoleh
pahala dan ganjaran besar.
Keempat penyamun itupun percepat larinya. Mereka
menyelinap kesebuah tikung jalan. Kesepuluh prajurit itupun
dengan cepat menyusul. Tepat pada saat mereka masuk
kedalaai tikungan, terdengarlah pekik teriakan menggemuruh.
Teriak yang bernada kejut dan kesakitan .....
Jarak rombongan rangga Tanding dengan tikung jalan itu
terpaut seratusan langkah. Pekik teriak kesepuluh prajurit itu
terdengar jelas. Rangga Tanding terkejut. Belum sempat ia
memberi perintah, beberapa prajurit terus hendak menyusul.
Tetapi serempak pada saat itu, suara burung kulik tadipun
terdengar meriuh lagi. Bahkan kali ini bukan melainkan dari
sebelah timur, pun dari hutan sebelah barat jalan juga.
Rangga Tanding makin tegang. Ia hendak memerintahkan
supaya prajurit2 itu jangan menyusul ke-tikung jalan tetapi
tepat pada saat itu rombongan prajurit yang sedang
menyingkirkan pohon disebelah muka, berteriak-teriak gempar
dan melonjak kian kemari. Ternyata mereka telah diserang
dengan hujan batu. Siapa penyerangnya tak diketahui. Tetapi
jelas berasal dari arah hutan di tepi jalan.
Rangga Tanding tegang. Namun cepat ia dapat mengatasi
kekacauan. Ia berseru memerintahkan prajurit itu bergabung
diri dalam lingkungan pengawalan ratha sang Rani. Dan
perintah untuk siap tempur segera dikeluarkan. Prajurit2 pun
menghunus senjata masing2 dan siap siaga.
Baru saja prajurit2 itu memusat diri dalam rantai lingkaran
yang rapat, timbul pula lain serangan yang lebih berbahaya.
Dari arah kedua hutan yang mengge-rumbul pada kanan dan
kiri jalan, berhamburanlah anakpanah berapi. Berpuluh batang
anakpanah berapi itu meluncur ke arah rombongan prajurit.
Sibuk juga prajurit itu menangkis dan menghalau serangan itu.
Ternyata anakpanah itu bukan seperti anakpanah yang
umumnya runcing ujungnya. Melainkan berujung tumpul tetapi
pangkalnya merupakan lipatan dami kering yang menyala.
Pada waktu ditangkis dan dihantam dengan tombak atau
pedang oleh prajurt2 itu, ikat dami berapi pada pangkal
anakpanah itu berhamburan
dan bertebaran menimpa orang. Akibat yang lebih parah terjadi. Walaupun prajuritprajurit itu tak ada yang
menderita luka terbakar, tetapi
kuda mereka terkejut melihat
hujan anakpanah yang memuncratkan api itu. Kuda
terkejut dan melonjak lonjak
sambil meringkik ringkik. Bahkan ada beberapa ekor kuda karena kaget, terus kabur membawa sang penunggang. Suasana makin
gempar. Bunga api berhamburan memenuhi tanah, kuda meringkik dan meliar.
Tata barisanpun kacau tak terkendalikan lagi. Binatang2 itu
meliar dan mencongklang kabur.....
"Berhenti, jangan tinggalkan penjagaan!" teriak rangga
Tanding menguasai kekacauan, Tetapi walaupun prajurit2 itu
ingin mentaati perintah namun kuda mereka tetap binal.
Betapa tenang dan berpengalaman, namun dalam
menghadapi keadaan yang sekrcau itu, rangga Tanding tak
kuasa mengatasi lagi. Dengan sekuat tenaganya ia telah
berhasil menguasai kudanya dan tetap tak meninggalkan ratha
sang Rani. Ia tahu bahwa serangan yang sesungguhnya pasti
segera tiba. Walaupun hanya seorang diri, ia harus menjaga
keselamatan sang Rani. Naluri rangga itu cukup tajam. Dalam keadaan rombongan
prajurit Kahuripan kacau balau dan tinggalkan penjagaan,
muncul tiga sosok tubuh dalam pakaian warna hitam. Yang
dua langsung menghampiri rangga Tanding yang berada di
atas kuda, menjaga di samping kiri ratha. Sedang yang
seorang dengan gerakan yang tangkas, cepat menyelinap ke
samping kanan ratha. "Hm, keparat, besar benar nyalimu berani mengganggu
rombongan gusti Rani Kahuripan!" bentak kepala prajurit
Kahuripan. "Ha, ha" salah seorang dari penyamun itu tertawa
mengejek "justeru rombongan semacam raja puteri Kahuripan
inilah yang kami harap-harapkan. Karena hasilnya tentu
memadai dengan jerih payah kami!"
"Mungkin nyawamu rangkap tujuh karena berani mengusik
harimau Kahuripan !"
"Justeru bangsa harimaulah yang kami buru karena kulitnya
amat berharga ...." "Keparat, kucabut nyawamu !" rangga Tanding cepat
menerjang dan menusukkan tombak trisulanya kepada kedua
penyamun itu. Kedua penyamun itu bersenjata pedang. Yang satu
menghindar sambil menangkis serangan trisula. Yang satu
loncat menyelundup ke samping memapas kaki kuda rangga
Tanding. Untung rangga itu cukup pertempuran. Walaupun terkejut
pengalamannya dalam namun ia tak sampai kehilangan faham. Cepat ia alihkan trisula untuk menyapu
lawan yang menyerang kudanya. Orang itu dengan lincah
loncat menghindar ke belakang. Dan serempak pada saat itu,
kawannya tadi mengendap dan menabas kaki depan kuda
rangga Tanding. Seperti yang dilakukan tadi, rangga
Tandingpun cepat membalikkan arah tombaknya untuk
menghalau lawan. Tetapi rupanya kedua penyamun itu menggunakan siasat
untuk mengacau perhatian rangga Tanding. Jika rangga itu
menghalau ke muka, penyamun yang di belakang menyerang
kaki belakang kuda. Bila rangga Tanding menombak
penyerang di belakang, penyamun yang di muka tentu akan
menyerang. Sasaran kedua penyamun itu yalah ditujukan
untuk menabas kaki kuda rangga Tanding. Karena rangga
Tanding naik kuda dan kedua penyerang itu berdiri di atas kaki
serta melakukan serangan ke bawah, agak sibuk juga rangga
itu untuk melayani. Untunglah kudanya kuda pilihan yang
terlatih baik dan memiliki pengalaman pertempuran di medan
perang. Kuda itu daptt mengimbangi kehendak dan gerak
tuannya serta amat peka terhadap serangan kedua
penyerangnya. Maka untuk beberapa saat, kuda itu dengan
melonjak dan berputar-putar dapat menghindari serangan
musuh. Namun kedua penyamun itu nyata bukan bangsa penyamun
biasa. Keduanya memiliki geiak tata-rrga yang amat lincah dan
cepat. Walaupun belum berhasil merubuhkan lawan, tetapi
mereka dapat membuat rangga itu sibuk bukan kepalang
sehingga tubuhnya bermandi keringat.....
Dilain fihak, orang ketiga yang menyelinap ke srm-ping
kanan ratha sang Rani, berusaha hendak mendekati pintu
ratha. Tetapi sais ratha yang tahu akan bahaya itu, segera
ayunkan cambuknya untuk menghajar.
"Enyah engkau, penyamun.....!"
Orang hu tertawa, mencabut kain ikat kepala ditebarkan
lalu menyambut serangan cambuk. Ujung cambuk terlilit kain
kepala dan secepat kilat tangan orang itu menyambar lalu
menarik cambuk sekuat kuatnya
"Hayo, turun engkau . . . . !"
"Uh ...." sais ratha menjerit tertahan ketika tubuhnya
tertarik jatuh ke bawah. Tenaga tarikan penyamun itu amat
kuat sehingga sais tak mampu menahan. Plak .... tubuh sais
yang melayang jatuh disambut dengan sebuah tendangan oleh
penyamun itu. Sais terlempar beberapa langkah dan
pingsan..... Setelah dapat menyingkirkan rintangan, orang itu cepat
berusaha membuka pintu ratha. Dayang yang menjaga sang
Rani menjerit-jerit sambil menahan daun pintu. Tetapi dengan
sekali tarik, pintupun terbuka sehingga dayang itu ikut
terlempar keluar dan pingsan di tanah.
Penyamun itu bertindak cepat. Mencabut belati ia terus
hendak masuk ke dalam ratha. Tetapi belum sempat ia
membuka mulut, sekonyong-konyong bahu kirinya dicengkeram sebuah tangan kuat. Sebelum sempat pula ia
berpaling melihat penyerangnya, ia sudah disentakkan ke
belakang. Sedemikian kuat tenaga orang itu sehingga
penyamun tak mampu menjaga keseimbangan diri. Ia
terpelanting beberapa belas langkah, terhuyung-huyung dan
jatuh. Namun secepat itu pula melenting bangun, loncat ke
muka penyerangnya. "Kerta, engkau . ." . ." Rani Kahuripan berseru tersekat
ketika mengetahui penolongnya itu bukan lain Kerta, pemuda
desa yang menjadi tawanannya.
Kerta berpaling menjawab "Harap gusti jangan bercemas
hati...." belum sempat ia menyelesaikan ucapannya,
penyamun itu sudah loncat menikam dadanya. Syukur Kerta
sudah bersiap. Sambil berkisar tubuh menghindar, ia balas
menempa tangan penyamun. "Hm, sakti juga" dengus penyamun itu sambil loncat
mundur lalu membuka serangan lagi. Kini ia memindahkan
belati ke tangan kiri, sedang tangan kanan mencabut klewang.
Dengan sepasang senjata tajam ia lancarkan serangan yang
dahsyat. Kerta tak gentar menghadapi ancaman maut itu. Dengan
tata gerak kaki yang lincah dan teratur, ia menghindari
serangan lawan. Penyamun, seorang lelaki bertubuh kekar dan
memelihara kumis tebal, makin marah. Serangan dilancarkan
bagai hujan mencurah. Ia benar2 geram terhadap pemuda
desa yang berani mengacau pekerjaannya.
Malam makin gelap. Karena bertangan kosong, walaupun
dapat terhindar dari serangan maut, namun Kerta tampak
sibuk juga. Dan malang baginya, pada saat menghindar
mundur, tiba2 kakinya terantuk pada sosok tubuh yang rebah
di tanah. Ia terjerembab jatuh ke belakang.....
Melihat kesempatan itu, dengan sebuah gerak gaya
harimau menerkam, penyamun itupun loncat menerkam
seraya menghunjamkan pedang dan belatinya.
"Uh....." ia mendesus kaget. Tak pernah ia menyangka
bahwa dalam keadaan jatuh terjerembab ke tanah, pemuda
desa. itu masih dapat menggeliat berguling-guling ke samping.
Penyamun itupun cepat mengisar arah untuk mengejar.
Tetapi sebelum ia loncat menerjang, terdengarlah bunyi
menggeletar yang tajam dan tahu2 tangannya kanan
terdampar oleh ujung cambuk. Tar.... rasa kejut dan sakit,
menyebabkan penyamun itu lepaskan pedangnya. Tar ....
terdengar cambuk itu menggeletar pula. Menyadari bahwa
lawan mempunyai senjata cambuk, penyamun itupun cepat
loncat mundur. Tetapi cambuk lebih cepat. Bahunya kiri
terdera ujung cambuk. Rasa kesemutan serentak merayap ke
lengan, tangan serasa lunglai tak kuat mencekal belati. Tar . .


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. cambuk menggeletar pula dan kepala orang itu serasa
pening, pandang mata meremang gelap ketika lehernya
tersabat ujung cambuk. Tar.... ketika cambuk menggeletar
pula, dengan kerahkan seluruh sisa tenaga, penyamun itu
ayunkan tubuh loncat ke muka terus lari tunggang langgang,
meninggalkan pedang dan belati, membawa luka2 berdarah
yang menyalur melingkari lehernya ....
Kerta hendak mengejar tetapi terdengar sang Rani berseru
mencegah "Jangan, Kerta. Dia melarikan ke dalam hutan yang
gelap. Berbahaya jika engkau mengejarnya....."
Kerta menurut. Memang mengejar ke dahm hutan gelap itu,
menanggung kemungkinan yang berbahaya. Apabila kawanan
penyamun itu mempunyai kawan yang bersembunyi di hutan,
tentulah berbahaya, ia lari menyelinap ke samping kiri ratha.
Dilihatnya Rangga Tanding masih sibuk bertempur dengan
kedua penyamun. Seringan gerak kaki seekor kucing, Kerta melompat ke
muka dan ayunkan cambuk. Cambuk itu milik sais ratha sang
Rani yang terkapar di samping sais. Pada waktu bergulingguling di tanah menghindari terkaman penyamun tadi, tangan
Kerta tertumbuk cambuk dan cepat2 ia menjemputnya untuk
menghajar lawan. Tar .... karena tak menduga-duga, lawan yang menyerang
di depan rangga Tanding itu, menjerit kaget dan kesakitan.
Tubuh terhuyung ke muka. Melihat itu, rangga Tanding cepat
menyongsongkan trisula, cres . . . . terdengar jeritan ngeri
ketika ujung trisula terbenam di perut orang itu, tembus
sampai ke pinggang belakang
Penyamun yang menyerang di belakang terkesiap. Tar. . . .
hanya sekejab ia tertegun dan iapun menjerit ketika lehernya
tersabat ujung cambuk. Sebelum ia sempat berusaha untuk
melepaskan ujung cambuk yang melilit lehernya, tiba2 cambuk
itu ditarik sekuat-kuatnya. Rasa sakit yang mencekik leher dan
kuatnya tenaga o-rang yang menarik itu, menyebabkan
penyamun itu tak kuasa lagi untuk mempertahankan
kekokohan kuda2 kakinya. Bagai kerbau tercocok hidung, ia
menurut saja tarikan orang itu
"Aduhhh ...." ia memekik ngeri ketika punggung tertusuk
benda tajam yang tembus keluar dari dadanya.
Rangga Tanding memang marah sekali. Perut penyamun
yang pertama tadi ditusuknya hingga tembus ke pinggang
belakang. Dan penyamun yang kedua itupun ditusuk
punggungnya hingga menyusup keluar dari dada.
"Oh, engkau ..." seru rangga itu demi melihat yang
menghajar kedua penyamun dengan cambuk itu, ternyata
Kerta. "Maaf, ki rangga" sahut Kerta.
"Mengapa?" rangga Tanding terkesiap heran.
"Karena aku lancang menghajar kedua penjahat itu" jawab
Kerta. "O... . . tak apalah" kata rangga Tanding agak sendat.
Menurut susila ksatryaan, apabila tak diminta, seseorang tak
boleh memberi bantuan kepada kawannya yang sedang
bertempur. Apalagi bila kawan itu termasuk orang yang lebih
tua dan lebih tinggi kedudukannya. Itulah sebabnya Kerta
minta maaf. "Bagaimana gusti Rani?" rangga Tanding bertanya cemas.
"Gusti ratu tak kurang suatu apa"
"Ah, syukurlah" rangga itu menghela napas longgar "mari
kita menghadap" Rangga Tanding dan Kerta menghadap Rani Kahuripan.
Dalam pada itu berderu-deru para prajurit tadi berdatangan
pula. Demikian dengan kesepuluh prajurit berkuda yang
mengejar ketikung jalan, pun datang. Ketika membiluk di
tikungan, kuda mereka telah dijerat dengan tali oleh kawanan
penyamun. Tetapi dalam pertempuran, kawanan penyamun
itu kalah dan melarikan diri.
Setelah mencacahkan jumlah anakbuahnya masih lengkap,
rangga Tanding lalu memberi laporan kepada sang Rani.
Disertainya juga dengan permohonan maaf karena kurang
mampu mengatasi kekacauan sehingga mengejutkan Rani.
"Ah, paman sudah berusaha tetapi musuh memang sudah
mempersiapkan rencana yang masak" kata Rani Kahuripan,
kemudian berpaling ke arah Kerta "Kerta, jasamu takkan kami
lupakan. Kini aku takkan ragu2 memutuskan bahwa engkau
memang bukan gerombolan yang melepas ular untuk
mencelakai rombongan ini"
"Belum saja hamba menghaturkan permohonan paduka
sudah melimpahkan keputusan" kata Kerta.
"Apakah permohonanmu?"
"Hamba mohon supaya tangan hamba diikat lagi"
"Eh....." Rani Kahuripan kerutkan alisnya yang melingkar
rebah seperti bulan tanggal satu "mengapa engkau
menghendaki begitu, Kerta?"
"Gusti" kata Kerta "hamba mohon agar hamba tetap
menjadi tawanan, selama penjahat yang melepas gerombolan
ular itu belum tertangkap. Hamba mohon hendaknya tindakan
hamba menghalau kawanan penyamun tadi, janganlah tuanku
jadikan sebagai jasa penebus kesalahan yang tertuduhkan
pada diri hamba" "Karena dengan tindakan itu jelas mengunjuk bahwa
engkau tak memiliki niat jahat kepada rombongan kami"
"Maaf, gusti" sambut Kerta "sesungguhnya tindakan hamba
tadi, tidak layak mendapat anugerah suatu apa dari paduka.
Karena sebagai seorang tawanan hamba telah lancang
melepaskan tali ikatan tangan hamba"
"Tetapi nyata2 engkau telah menolong kami" ujar sang
Rani. "Kenyataan memang membantah "namun andai
melarikan diri, bukankah melakukan karena hamba tangan hamba itu?" demikian, gusti" Kerta tetap
hamba mempunyai pikiran untuk
dengan leluasa hamba dapat
sudah memutuskan tali pengikat
"Ah, engkau mengada-ada, Kerta" Rani Kahuripan
tersenyum "aku tak percaya engkau mempunyai pikiran
begitu" "Mengapa, gusti" "
"Karena walaupun sudah kuberi kebebasan, engkau tetap
bersikeras minta ditawan"
Kerta menghela napas. Entah apa yang dipikirkan.
Kemudian ia berkata pula "Hamba ingin membersihkan nama
dengan jalan yang wajar, yalah ingin menangkap penjahat
yang melepas ular2 jahat itu. Hamba tak ingin membersihkan
diri hamba karena jasa hamba menghalau kawanan penyamun
tadi" "O, begitu" Rani Kahuripan mengangguk pelahan "baiklah.
Tetapi akan kuperintahkan supaya tanganmu tak perlu diikat,
begiti pun dergan kedua kawanmu itu"
"Apakah gusti tak menguatirkan hamba akan melarikan
diri?" "Engkau memang kubebaskan. Tetapi aku percaya engkau
takkan melarikan diri"
"Terima kasih, gusti puteri" Kerta menyembah "walaupun
hamba seorang anak desa tetapi orangtua hamba mengajar
agar hamba menjadi manusia utama. Nama adalah ibarat jiwa.
Nama cemar, jiwapun binasa. Lebih baik hamba mati daripada
melarikan diri membawa nama tercemar tuduhan sebagai
penjahat" Tampaknya Rani Kahuripan tampak puas dengan tutur kata
dan pendirian Kerta. Merasa tak enak dengan rangga Tanding
dan para prajurit yang sejak tadi hanya menjadi pendengar
saja, Rani Kahuripan lalu mengalihkan pembicaraan "Paman,
peristiwa penyamunan ini, juga mencurigakan. Bagaimana
pendapat paman rangga ?"
"Hamba sependapat dengan tuanku bahwa peristiwa
penyamun ini memang agak mencurigakan. Pertama,
penyamun yang bertanding lawan hamba itu, tentulah bukan
sembarang penyamun. Keduanya memiliki ilmu kepandaian
yang sakti. Kedua, mereka nyata2 tak berniat melakukan
pembunuhan. Ketiga, penyamun yang dapat dihajar Kerta
tadi, jelas hendak mengancam paduka, gusti"
"Benar, paman. Sayang sebelum ia sempat membuka mulut
menyatakan kehendaknya, Kerta sudah menyentaknya jatuh
ke belakang. Maka masih menjadi suatu pertanyaan, apakah
maksudnya hendak mengancam diriku itu " Apakah dia
hendak merampas perhiasan berharga yang ada padaku ?"
Sejenak merenung, rangga Tanding memberi sambutan
"Menurut hemat hamba, penyamun itu rupanya bukan
menghendaki emas permata paduka, gusti"
"Lalu ?" "Apabila hamba kaitkan peristiwa penyamun ini dengan
peristiwa gerombolan ular, rasanya mempunyai hubungan.
Dan . . . ah, mungkinkah hal itu , . ."
"Katakanlah, paman"
"Pengkhayalan yang hamba reka dalam pikiran hamba itu,
suatu kemungkinan yang jauh dari jangkauan kenyataan.
Maka hamba belum berani mengutarakan sebelum mendapat
bukti2 yang meyakinkan"
"Paman rangga, suatu kemungkinan itu memang belum
menjamin kepastian. Tetapi tak apalah katakan saja, paman"
"Sebelumnya hamba mohon ampun apabila dugaan yang
hamba reka itu tak berkenan pada hati paduka", kata rangga
Tanding "begini gusti hamba mencemaskan dalam kedua
peristiwa itu, tersembunyi suatu tujuan buruk terhadap ....
paduka" "Tegasnya ?" Rani menuntut penegasan.
"Ada suatu usaha jahat untuk menculik paduka, gusti, . . .
ah, mudah-mudahan rekaan hamba ini tidak benar. Dan
andaikatapun benar, mereka pasti akan berhadapan dengan
rangga Tanding dan seluruh prajurit2 Kahuripan yang akan
membela paduka sampai pada titik darah yang terakhir, gusti
...." "Baik, paman" jawab sang Rani "tegak rebahnya keranian
Kahuripan, bukan tergantung besar kecilnya daerah dan
prajurit-prajuritnya, Melainkan dari teguh kokohnya semangat
pengabdian dan kesetyaan dari para prajurit bhayangkara
negara itu!" Rangga Tanding dan sekalian prajurit serentak menegakkan
kepala, menyambut ucapan sang Rani sebagai suatu Yajna
atau titah narpati. Diam2 Kerta memuji dan mengagumi Rani
Kahuripan sebagai seorang raja puteri yang berwibawa,
pandai dan bjaksana. "Apabila reka paman itu benar, lalu siapakah kiranya orang
yang melakukan hal itu ?" tanya Rani Kahuripan pula.
"Ini ... . hamba belum dapat menerka, gusti" sembah
rangga Tanding "semoga dalam waktu mendatang yang tak
berapa lama lagi, hamba dapat menghadap paduka untuk
menghaturkan laporan"
Rani Kahuripan cepat dapat menanggapi maksud rangga
itu. Kemungkinan rangga Tanding sudah tahu pelaku yang
dicurigai itu, namun dihadapan para prajurit tentu tak mau
memberitahukan rahasia itu, Iapun tak mau mendesak lebih
lanjut dan perintahkan supaya rombongan melanjutkan
perjalanan lagi. Demikian walaupun mengalami dua buah peristiwa yang
menegangkan tetapi akhirnya sang Rani dan rombongannya
dapat kembali lagi ke Kahuripan dengan selamat.
0oo-dw-oo0 II APABILA membayangkan pertemuannya dengan Rani
Kahuripan, terbetiklah bermacam perasaan dalam hati Dipa.
Sesungguhnya ia tak pernah menyangka bakal berjumpa
dengan rombongan puteri agung dari Kahuripan. Dalam
perjalanan ke desa Palungan untuk meninjau kendi
peninggalan Empu Barada, dengan tak tersangka sangka ia
melihat sebuah ratha indah sedang meluncur pesat ke arah
lembah. Sais tak kuasa menahan laju keempat ekor kudanya.
Serentak jiwanya tergugah, semangat bangkit. Ia harus
menolong ratha yang terancam masuk ke dalam jurang itu. Ia
tak yakin ka'au mampu menghentikan keempat kuda yang
binal itu. Tetapi ia harus cepat2 menolong. Tanpa menghirau
kan suatu apa lagi, ia terus loncat ketengah jalan. Setelah
kuda tiba, dengan sebuah loncatan ia menerkam perakit dan
dengan sekuat tenaga coba menghentikannya. Namun
keempat kuda tegar yang binal itu terlampau kuat baginya. Ia
terdampar mundur beberapa puluh kngkah. Tetapi ia tetap nekad, pantang menyerah.
Akhirnya berkat pembawaan tenaganya
berhasillah ia menghentikan ratha itu.....
yang kuat, Membayangkan peristiwa yang telah dialami itu, heran dan
ngerilah perasaan Dipa. Heran atas terjadinya peristiwa yang
tak pernah disangka, yalah bertemu dengan raja puteri dari
Kahuripan dan diangkat sebagai prajurit. Ngeri apabila
membayangkan detik2 penuh ketegangan pada saat ia
berjuang mengerahkan tenaga untuk menghentikan keempat
kuda tegar yang membinal itu. Betapa tidak! Saat itu ia
merasa seperti terangkat dari tanah dan diseret ke belakang
oleh keempat kuda itu. Dengan kerahkan seluruh sisa tenaga, ia menahan perakit
kuda seraya berseru "Kuda, berhentilah, jangan terjun ke
jurang . . . . !" Entah bagaimana rupanya kuda itu mengerti akan itikad
baik dari anak itu. Merekapun berhenti. Demikian kisahnya.
Habis mengenangkan peristiwa itu, beralihlah pikiran Dipa
pada desa Palungan yang hendak ditujunya. Ingin benar ia
melihat kendi sakti yang dipergunakan Empu Barada untuk
menentukan garis wilayah Panjalu dan Daha. Ia duga pendeta
Padapaduka tentu sudah pernah menyelidiki kendi itu tetapi
tak berhasil menemukan sesuatu yang dapat menjadi
pegangan untuk mencari kitab pusaka. Jika seorang sakti
semacam pendeta Padapaduka tak berhasil, bagaimana
mungkin anak desa seperti dirinya dapat berhasil"
Tetapi Dipa seorang anak yang keras hati. Dalam
melakukan suatu pekerjaan, bukan hasil atau tidak berhasil
yang dipikirkan. Tetapi ia selalu mengutamakan melakukan
pekerjaan itu. Apalagi walaupun tak berhasil, sekurang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurangnya ia akan bertambah pengalaman karena melihat
sebuah benda yang keramat dan beisejai ah.
Karena tertahan sampai berjam-jam dalam pembicaraan
dengan Rani Kahuripan maka pada waktu siang, baru Dipa
berangkat ke desa Palungan. Ketika tiba di desa itu, haripun
sudah petang. Disebut desa, tetapi sesungguhnya Palungan itu lebih
banyak menyerupai sebuah tanah kosong. Karena penduduk
desa disitu sudah pindah kelain tempat. Kamal pandak atau
pohon asam yang disumpahi Empu Barada hingga menjadi
pohon pandak, dianggap sebagai lambang kesialan. Kutukan
Empu Barada tentu mempunya daya pengaruh buruk kepada
penduduk desa. Itulah sebabnya maka mereka berbondongbondong pindah kelain desa.
Menurut petunjuk pendeta Padapaduka, kendi wasiat itu
ditaruh dalam sebuah sudharma atau rumah suci. Karena desa
tak berapa luas maka dengan mudah dapatlah Dipa mencari
rumah suci itu, Ketika menginjak halaman luar dari rumah suci itu, terasa
suasananya sunyi senyap, menambah rasa seram.
Sesaat mendekati rumah suci itu, tiba2 ia terkejut
mendengar suara orang bercakap cakap didalamnya, Dipa
heran, Kecuali penjaga rumah sudharma, tak mungkin
terdapat seseorang manusia lagi yarg berada dalam rumah
suci itu. Karena desa kosong, tiada berpenduduk. Namun
siapakah lawan bicaranya itu "
Takut dianggap kurang susila mengganggu orang yang
tengah bercakap cakap, maka Dipa menyelinap kesamping
rumah dan bersembunyi ditempat yang gelap. Suasana sunyi
senyap dan apa yang dipercakapkan kedua orang dalam
rumah sudharma itu terdengar keluar dengan jelas, Dipa
pasang telinga. "Bagaimana cara kita agar sinar rembulan masuk kedalam
rumah ini ?" tanya seseorang yang nadanya agak parau
karena pembawaan usianya yang tua,
"Hm. memang sulit juga. Bila perlu kita buka saja tirap
genteng rumah ini" kata yang seorang, Nadanya sarat tetapi
lebih jernih dari kawannya "tetapi adakah sumber yang
engkau peroleh itu dapat dipercaya, kakang Kalpika" Dari
manakah sumber itu ?"
"Ah, tak perlu kukatakan sumbernya. Yang penting kita
buktikan. Bukankah tiada ruginya kita coba ?" jawab orang
yang dipanggil Kalpika "sumber itu mengatakan jelas bahwa
pada bulan Asadha tanggal satu kresnapaksa tengah makna,
bayangan kendi itu akan menunjukkan peta dan arah tempat
penyimpanan kitab suci itu. Jelas engkau, Parapara?"
"Kalau begitu, kita harus lekas bekerja" kata Parapara
"bulan sudah naik tinggi, sebentar lagi tentu sudah berada di
tengah udara. Akan kubuka tirap genteng rumah ini" ia terus
hendak melangkah ke luar.
Kalpika buru2 mencegah "Jangan tergopoh-gopoh,
Parapara. Kurasa ada lain cara daripada harus menurunkan
tirap2 genteng" "Bagaimana?" "Kita bawa ke luar kendi itu dan letakkan menurut
kedudukannya. Bukankah hal itu lebih mudah?"
"Ah, engkau benar, kakang Kalpika !" seru Parapara girang
"saat ini sudah hampir tengah malam, mari kita segera
bekerja!" Demikian percakapan itu berakhir dan Dipa yang berada di
luar rumah hanya mendengar langkah kaki mereka. Ia duga
kedua orang itu tentu mulai hendak memindahkan kendi ke
luar. "Parapara, hati hati. . . . !" tiba2 Kalpika berteriak nyaring
penuh kecemasan. Ternyata entah bagaimana, Parapara yang
mendahului mengangkat kendi, terhuyung huyung mau jatuh.
Untunglah Kalpika cepat menolong menyangga tubuhnya lalu
berkata "Berikan kepadaku Parapara, agar kendi pusaka itu
jangan sampai jatuh !"
"Apakah engkau tak merasakan apa2, kakang ?" tanya
Parapara setelah menyerahkan kendi itu kepada Kalpika.
"Tidak" "Tidak berat ?"
"Tidak" "Aneh ...." gumam Parapara keheran-heranan "mengapa
pada waku kuangkat tadi, kendi itu amat berat sekali sehingga
tubuhku gemetar ...."
Dalam pada berbicara itu,
keduanya sudah berada di luar rumah sudharmma lalu
menuju ke tengah halaman dan dengan hati2 Kalpika meletakkan kendi itu. Dipa agak terkejut ketika
melihat kedua orang itu. Kiranya kedua orang itu berpakaian sebagai pertapa,
menyerupai dandanan yang dikenakan brahmana Anuraga. Yang seorang berusia setengah tua, berwajah bersih. Sedang yang seorang lebih muda, kedua kelopak matanya cekung, hidung agak melengkung. Dipa menduga-duga, yang
tua itu tentulah Kalpika dan yang muda Parapara.
Kemudian perhatian Dipa tertarik akan sebuah kendi yang
terletak ditengah halaman. Ia heran mengapa kendi yang
besar dan bentuknya menyerupai kendi biasa, tak kuat dibawa
oleh Parapara. Dan mengapa pula Kalpika dapat membawanya
dengan mudah. Adakah memang pertapa yang lebih tua itu
lebih kuat tenaganya dari pertapa yang lebih muda. Atau
adakah kendi itu memang memiliki tuang yang sakti"
Dilihatnya pula kedua pertapa itu menyingkir ke-tepi
halaman dan meneduh di bawah sebatang pohon. Dengan
hati2, Dipa merayap mendekati mereka. Ia bersembunyi
dibalik sebuah gerumbul yang gelap tak jauh dari tempat
kedua pertapa itu. "Kakang Kalpika" tiba2 Parapara berkata dalam mengisi
waktu menunggu rembulan naik di tengah angkasa "adakah
kitab suci itu benar2 akan dapat ngangkat derajat kaum kita
madzab Waisnawa?" "Benar, Parapara" sahut yang ditanya "kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan itu sesungguhnya milik kaum agama Hindu,
karena ditulis dalam bahasa Sanskerta dan bersumber pada
ajaran2 Maharesi Arya. Tetapi dari golongan kaum Budha,
merekapun mengaku kitab suci itu sebagai milik mereka. Pada
hal jelas kaum Budha memiliki kitab suci yang disebut
Tripitaka atau tiga jenis kitab yang kesemuanya ditulis dalam
bahasa Pali ...." "Hm, lebih2 madzab Tantrayana dari golongan Budha
Mahayana itu, seringkali mengunjuk ilmu kesaktian untuk
menarik penganut" "Ah, sesungguhnya dengan dijadikan agama Syiwa sebagai
agama negara Majapahit itu, kita kaum agama Hindu harus
bergirang hati. Tetapi nyatanya?"
"Bagaimana kakang ?" tanya Parapara.
"Kita dari golongan madzab Waisnaswa yang menganut
ajaran Ke Wisnu an dan madzab Syiwa yang menganut ajaran
Ke Syiwa-an, sesungguhnya serumpun; sama2 tergolong
dalam agama Hindu. Tetapi setelah agama Syiwa diakui
sebagai agama negara, madzab Syiwa melupakan kita bahkan
memusuhi" "Oh" Parapara mendesus geram.
"Oleh karena itu apabila kita berhasil menemukan kitab suci
itu, bukan saja pengikut2 Waisnawa akan bangkit dan
berkembang lebih besar lagi, pun madzab Syiwa dan golongan
Baddha tentu tak berani meremehkan kita"
"Benar" sahut Parapara "saat ini kaum Waisnawa seperti
anak ayam yang kehilangan induk. Mereka bingung tiada yang
dipandang sebagai pimpinan. Apabila kita dapat menemukan
kitab suci itu, kita nanti akan tampil sebagai pemimpin madzab
Waisnawa, ajaran ke-Waisnawan akan memancar lagi"
Pertapa Kalpika membenarkan ucapan Parapara yang
menurut kedudukan dalam golongannya, merupakan setingkat
di bawahnya atau adik seperguruan.
Dalam pada berkata kata itu, rembulanpun makin merayap
ke tengah angkasa. Rupanya keduanya menyadari hai itu dan
merekapun berdiam diri, menumpahkan seluruh perhatian
pada saat2 sinar rembulan akan menimpa kendi pusaka itu.
Dipa mengerti apa yang sedang ditunggu mereka. Diam2 ia
ikut tegang hatinya. Keadaan makin sunyi hening sehingga
apabila ada selembar daun yang gugur dari tangkainya,
tentulah akan terdengar suaranya. Oleh karena itu Dipapun
mengatur pernapasannya agar jangan sampai terdengar oleh
mereka. "Kakang Kalpika, lihatlah, rembulan sudah tiba ditengahtengah angkasa. Mari kita lihat keadaan kendi itu, kakang"
kata Parapara. Keduanya berbangkit lalu berjalan menghampiri ke tengah
halrman. Memang saat itu rembulan benar2 sedang berada di
tengah angkasa sehingga kendi itu mengambangkan
bayangan bundar melingkar.
"Kakang Kalpika, mengapa tak tampak suatu tanda apaapa?" berselang beberapa saat, Parapara berseru.
"Hm, engkau kurang waspada. Seksamakanlah lagi!" sahut
pertapa Kalpika. Pertapa Parapara menurut. Namun sampai beberapa saat
pula, ia tetap tak mengetahui suatu apa "Ah, tak ada sesuatu
yang luar biasa, kakang. Hanya sebuah lingkaran bayangan
yang mempunyai sebuah jalur yaitu bayangan dari mulut
kendi" "Itulah, Parapara" seru Kalpika "engkau tahu lukisan apakah
itu ?" Kembali pertapa Parapara mengerut dahi, memeras otak.
Tetapi kembali pula ia mengeluh dan menyatakan tak
mengerti. "Parapara" kata Kalpika dengan nada sarat "lukisan
bayangan itu merupakan lambang Bajraghanta. Bajra itu petir
dan Ghanta itu lonceng. Kedua senjata sakti milik dari Batara
Indra.....?" "Tetapi kakang Kalpika" Parapara menyanggah "kaum
Buddha madzab Mi-hayana menganggap Bajraghanta itu
lambang untuk sang Dhyani Buddha"
"Benar" jawab Kalpika "dan Empu Barada itu sendiri juga
penganut Biddha. Tetapi hendaknya kita jangan lupa,
Parapara. Bahwa dalam soal yang kita hadapi saat ini adalah
mencari arah letak tempat penyimpanan kitab suci
peninggalannya. Dan karena ajaran-ajaran Buddha itu
sebagian juga dipengaruhi oleh ajaran2 Hindu, maka bukan
mustahil kalau Empu Berada mengartikan Bajraghanta itu
bukan sebagai sang Dhyani Biddha melainkan sebagai Batara
Indra, pemilik dari kedua senjata sakti itu"
"Hm, ada kemungkinan juga" akhirnya pertapa Parapara
menerima. , "Nah, sekarang marilah kita menjelajah dalam alam
penafsiran menurut agama Hindu. Oleh karena pemegang
senjata Bajra dan Gharta itu adalah Batara Indra maka marilah
kita telaah diri batara itu" kata pertapa Kalpika "Batara Indra
adalah putera dari Hyang Guru. Dewa ini terhitung yang
berkuasa disebagian Jonggring Salaka, tempat bersemayam
Batara Guru. Tempat bersemayam Batara Indra, disebut
Kaindran. Nah, Parapara, kiranya cukup sudah uraian diri
Batara Indra untuk bahan pemecah persoalan yang kita hadapi
sekarang ini" "Benar, kakang Kalpika" seru Parapara berseri cerah "aku
setuju dengan uraianmu. Sekarang mari kita cari nama tempat
yang mempunyai kaitan dengan Batara Indra"
"Tepat, Parapara" sambut Kalpika "sejauh pengetahuanku
ada dua tempat yang namanya berkaitan dengan Batara
Indra. Kesatu, Indrakilo dan kedua, Jonggring Salaka.
Indrakilo sebuah candi di sebelah selatan Tretes. Sedangkan
Jonggring Salaka itu kawah dari gunung Semeru"
"Kurasa candi Indrakilo itu lebih banyak kemungkinannya
karena sudah selayaknya apabila sebuah kitab suci disimpan
dalam sebuah candi" kata pertapa Parapara "jika Jonggring
Salaka, rasanya agak jauh kemungkinannya. Betapa mungkin
sebuah kitab suci disimpan dalam kawah berapi ?"
"Tetapi menilik bentuk dari bayangan kendi yang
merupakan sebuah jalur menjulang ke atas, bukan suatu
kemustahilan kalau hal itu diartikan sebagai puncak sebuah
gunung" sanggah Kalpika.
"Ya, memang kemungkinan bisa juga" balas Parapara
"tetapi tipis. Kecuali ada lain petunjuk dari suatu tempat
tertentu di sekitar kawah itu"
"Hai, engkau benar Parapara!" tiba2 pertapa Kalpika
berseru "lihatlah bayangan kendi ini! Bukankah bayangan
bundar itu hanya melingkar di sekeliling" Dengan begitu
bukankah yang bagian tengah itu merupakan sebuah tempat
kosong" Ya, walaupun tempat kosong itu karena terisi oleh
kendi sehingga sinar rembulan tak dapat menembus ke tanah,
tetapi kita dapat menafsirkannya begitu, Parapara"
"Maksud kakang ?"
"Tempat koguha. Kemungkinan besar di sekitar kawah itu, tentu terdapat
sebuah guha dan di situlah kitab suci disimpan. Mengingat
kitab suci itu tiada ternilai pentingnya, maka bukan mustahil
kalau Empu Barada menyimpannya di situ"
"Ah, kurasa sedikit sekali kemungkinannya" kata Parapara
Lalu berdiam diri beberapa saat. Kemudian ia berkata pula
"Kakang Kalpika....."
Kalpika terkejut mendengar nada suara Parapara agak
gemetar. Dan lebih terkejut pula ketika melihat wajah
pertapa muda itu pucat "Mengapa engkau, Parapara?" tegur
Kalpika penuh keheranan.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan aku, kakang" kata Parapara masih bergetar nada
suaranya "engkau katakan bahwa dengan memperoleh kitab
suci itu, kita tentu dapat membangun kembali madzab
Wainaswa....." "Hm, benar" "Usaha membangun madzab itu tentu memerlukan
pimpinan yang dianggap mempunyai wibawa dan jasa"
"Ya" "Dasar daripada wibawa dan jasa itu tentulah berlandaskan
pada kitab suci Sanghyang Kamahayani-kan. Barangsiapa
yang menemukan kitab suci itu dapatlah dipandang sebagai
orang yang direstui oleh Dewata untuk memimpin madzab
Wainaswa atau orang yang menerima wahyu"
"Ya, dapat dianggap begitulah"
"Sesungguhnya apabila yang menemukan kitab itu aku,
dengan tulus hati akan kuserahkan kepadamu, kakang. Tetapi
adakah hal itu tak diketahui Dewa2 dan mereka tentu akan
menurunkan kemarahannya kepada kami berdua ?"
"Benar" sahut Kalpika "lalu maksudmu bagaimana?"
"Kitab suci itu penting sekali artinya bagi kebangkitan
madzab Waisnawa. Setelah mendapat pengetahuan tentang
letak penyimpanannya, kita haius cepat-cepat mengambilnya.
Agar menghemat waktu, maka baiklah kita membagi kerja.
Aku yang mencari ke candi Indrakilo dan kakang yang mencari
ke puncak jonggring Salaka di gunurg Semeru. Dan agar kita
jangan mengingkari kehendak Dewata. Bahwa siapa yang
beruntung mendapatkan kitab suci itu, adalah yang direstui
oleh Hyang Wisnu untuk memimpin dan mengembangkan
ajaran agama Wisnu, kakang"
"Hm" desuh pertapa Kalpika "baiklah, Parapara, kalau
memang demikian kehendakmu. Bagilu, siapapun yang kelak
menjadi pemimpin madzab Waisnawa, bukanlah soal. Yang
penting yalah ajaran ke-Wisnu-an harus berkembang luas dan
penganut2 Wais-nawa akan bangun kembali....."
"Ha, ha, ha ... ." tiba2 terdengar suara tertawa nyaring dan
memanjang "enak benar kalian berdua membagi rejeki. Seolah
olah kitab suci itu milik kalian....."
Pertapa Kalpika dan Parapara serentak melonjak kejut dan
berpaling ke arah suara tertawa itu. Demikianpun Dipa. Ia
jaga terkejut akan munculnya seseorang di tempat itu.
Padahal jelas tadi ia sudah memperhatikan bahwa tempat itu
sunyi senyap bagai kuburan. Iapun cepat memalingkan
pandang matanya. Seorang pendeta setengah tua bertubuh
agak gemuk dan memelihara kumis serta janggut yang
memanjang turun menutupi dada, tampak muncul dari balik
sebatang pohon. Ia berjalan dengan sebatang tongkat beruas
macam bambu wulurg. "Siapa engkau, tuan pendeta?" tegur pertapa Kalpika
dengan nada yang agak sember karena menekan getarnya
sang hati. "Aku pendeta Pratiwara dari madzab Wajrayana" sahut
pendeta itu. "O, dari aliran Buddha Tantrayana?" pertapa Kalpika
menegas. "Benar" "Apa bedanya dengan madzab Amoghawajra?"
"Keduanya sama2 dari aliran Buddha Tantrayana. Hanya
bedanya, Wajrayina merupakan madzab kanan dan
Amoghawajra itu madzab kiri"
"Lalu apa maksud kedatangan tuan?" tanya pertapa Kalpika.
"Aku telah mengikuti seluruh gerak gerik kalian di sini. Ho,
enak benar kalian membagi rejeki seolah-olah kitab suci itu
milik orang Waisnawa"
Pertapa Kalpika kerutkan dahi. Parapara memberingas
tegang "Hm, engkau juga akan memburu kitab suci itu ?"
"Benar" sahut pendeta Pratiwara "kaum Wajrayana merasa
berhak memiliki kitab suci itu karena kitab suci itu berisi
ajaran2 tentang Wajra"
"Kami tak perlu berbantah dan takkan bertengkar. Siapapun
yang mengaku berhak atas kitab itu, silahkan mencarinya!"
seru pertapa Kalpika tenang.
"Engkau amat bijak, pertapa" sambut pendeta Pratiwara
"dan kurasa engkau tentu tak berkeberatan pula untuk
memberitahukan tempat penyimpanan kitab suci itu, bukan ?"
Pertapa Parapara terbeliak "Apa katamu ?"
"Demi sesama kaum agama, kiranya kalian berdua tentu tak
menolak permohonanku ini. Demi mengembangkan ajaran
Wajrayana, demi kehidupan dan kesejahteraan kaum Buddha
Tantrayana, kumohon pertapa berdua rela memberitahukan
rahasia dari tempat penyimpanan kitab suci yang kupercaya
tuan2 tentu sudah mengetahuinya"
"Cukup, pendeta" tukas pertapa Kalpika "bersediakah tuan
memberikan jasa sebagai timbal balik dari bantuan kami itu ?"
Pertapa Parapara terkejut dan cepat memandang ke arah
pertapa Kalpika "Kakang ...." serunya seraya menghambur
pandang bertanya. Namun pertapa Kalpika tetap tenang, tak mengacuhkan
gerak gerik adik seperguruannya.
"Bersedia" sahut pendeta Pratiwara "katakan apakah
permintaan tuan ?" "Amat sederhana sekali, tuan pendeta "seru pertapa Kalpika
pula "kami mohon tuan membalas jasa kami dengan tindakan
'jangan tuan bertanyakan soal tempat kitab suci itu' karena
kami benar2 tak tahu!"
Semula kerut dahi pendeta Pratiwara meregang oleh karena
mencurahkan perhatiannya akan permintaanitu.
Tetapi demi mendengar ucapan pertapa Kalpika, seketika
kerut itu melusuh dan berganti dengan tebaran warna merah
padam pada wajahnya. "Engkau seorang pertapa mengapa kata-katamu seperti
anak kecil !" tegur pendeta Pratiwara dengan nada marah.
"Apa bedanya dengan engkau seorang pendeta yang
hendak meminta milik orang secara paksa?" jawab pertapa
Kalpika tak kurang tajam.
Pratiwara menggeram permintaanku, bukan?"
"Ho, artinya engkau menolak "Kalau engkau meluluskan memberi timbal balik seperti
Si Jenius Dungu 1 Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh Pedang Kiri 24
^