Sang Penebus 12
Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 12
satu, menegaskan bahwa kota itu hanya empat jam jauhnya naik kereta api. Kami
berdua berbisik-bisik dalam bahasa Inggris tentang kesempatan kerja di pabrik
tekstil dan kekhawatiran Pasquale dibunuh oleh Indian. Pustakawati itu
tersenyum dan berkata padaku agar mengatakan pada Pasquale bahwa dia harus
bepergian lebih jauh dari Conneticut untuk menjalani kehidupan sebagai seorang
koboi! Tidak ada suku liar yang bersembunyi di perbukitan Connecticut.
Pasquale dan Vincenzo juga tersenyum, meskipun mereka berdua tak banyak bisa
bicara bahasa Inggris selain, Please, dan Thank you, dan How much" Vincenzo
berkata pada Pasquale dalam bahasa Italia. "Cewek bermata satu ini pasti
bernegosiasi pada Domenico berapa harganya melewatkan satu malam yang
menyenangkan denganku di ranjang."
Tawa Pasquale bergema cukup keras di ruangan yang hening beratap tinggi itu
sehingga kepala beberapa pengunjung menengok ke arah kami dan wajah temanku sang
pustakawati jadi cemberut.
"Please1." Aku memperingatkan kedua adikku dalam bahasa Italia. "Kau ada di
ruangan yang berisi buku-buku berharga! Bertingkahlah sesuai dengan kehormatan
nama Tempesta!" Aku meneruskan percakapanku dengan sang pustakawati.
"Badanku yang tegap dan ketampananku merangsang cewek ini," kata Vincenzo pada
Pasquale, "dia melucuti pakaianku dengan satu matanya itu. Sebaiknya hati-hati,
belladonna, atau sosis besarku terbangun dan menusuk matamu yang lain juga!"
Sekarang tawa terbahak Pasquale membuat buku-buku di rak terguncang. Pustakawan
dan pengunjung dari segala arah memandang marah pada kami. "Aku minta maaf, adik-
adikku memang penuh stupidness. Maafkan mereka," kataku pada si Mata Satu.
"Stupidity," dia mengoreksiku. "Katakan, stupidity."
"Ya, ya, grazie, stupidity," ulangku. Lalu aku menjewer telinga kedua adikku dan
menyeret mereka keluar. Keesokan harinya, hari Sabtu, kami naik kereta dari New York ke Three Rivers.
Kami suka pabrik dan kotanya. Upahnya bagus, sewa kamar murah, dan makan steik
dan kentang di pusat kota lebih murah dua puluh lima sen daripada di Brooklyn.
Dan porsinya juga lebih banyak!
Kami bertiga adik-adikku dan aku dipekerjakan sebagai buruh pencelup di Pabrik? ?Nomor 2 Perusahaan American Woolen and Textile. Kami menyewa kamar di rumah kos
Signora Saveria Siragusa di Pleasant Hill. Signora Siragusa lahir di perbukitan
Sisilia dan senang membagi rumahnya dengan kami hanya dengan sewa satu dolar
lima puluh sen per orang, dibayar setiap minggu setelah makan pagi pada hari
Sabtu. 21 Juli 1949 Aku bekerja di shift kedua di American Woolen and Textile dan dengan cepat
mengesankan bos pabrik dengan kerajinan dan keseriusanku. Temanku sang
pustakawati, rupanya benar sekaligus salah. Tak ada Indian yang bersembunyi di
balik pepohonan bukit Connecticut, tapi salah satu dari mereka bekerja denganku di pabrik.
Namanya Nabby Drinkwater. Dia partnerku di pabrik celup, tapi dia malas dan
membuat pekerjaan jadi lamban. Kami dibayar sesuai dengan hasil yang kami celup
dan kemalasan Drinkwater membuatku terhambat dan aku jadi kehilangan uang.
"Lebih cepat!" kataku pada figiiu d'una mingia. "Bekerjalah lebih cepat!"
Drinkwater mencoba berteman denganku berusaha mengundangku ke rumahnya atau
?pergi ke bar bersama tapi aku mengabaikan omongan bodohnya dan berpura-pura tak
?mengerti dia. Siciiiani percaya pada keluarga dulu, lalu penduduk desa, lalu
teman sebangsa. Aku tak memercayai siapa pun lagi, terutama Indian berkulit
gelap jorok yang kemalasannya membuatku kehilangan uang.
Aku tak bisa memukul kepala Drinkwater untuk membuatnya bekerja lebih cepat,
tapi aku bisa memukul adikku Pasquale atau Vincenzo. Kalau salah satu dari
mereka jadi partnerku di pabrik pencelup, pikirku, kami akan bisa menunjukkan
pada para 'Mericani itu apa yang dimaksud dengan kerja keras. Maka suatu Sabtu,
pada akhir shift-ku, saat pekerja lain terburu-buru pulang ke rumah untuk tidur
atau mencari hiburan, aku mengikuti bos pencelup, Bryce, ke kantor agen yang
berdinding kaca. Sepanjang siang itu dan malam sebelumnya, aku sudah berlatih
dalam bahasa Inggris, alasan mengapa akan lebih baik bagi American Woolen and
Textile untuk menarik salah satu adikku dari pekerjaan mereka dan memindahkannya
untuk bekerja denganku. Sekarang aku akan mengetuk pintu agen. Aku tidak hanya akan
bertemu dengan Bryce, tapi juga sang big boss, Flynn, sang agen-pezzo gros so.
Bryce dan Flynn tersenyum sinis ketika melihatku berdiri di depan pintu. Asap
cerutu mereka menggantung di udara seperti awan di atas Gunung Etna. "Siapa
orang bodoh ini?" tanya Flynn.
Mereka berdua tersenyum dan memandangku. "Buruh celup baru," kata Bryce. "Baru
masuk minggu ini." Dia berpaling padaku, bertanya apa yang kuinginkan, berkata
dengan suara yang dimaksudkan untuk menakutkanku.
"Orang Indian itu membuatku lamban," kataku. "Aku bisa mendapatkan upah yang
lebih baik kalau pekerjaanku tidak berhubungan dengan pekerjaannya."
"Siapa yang dia bicarakan?" tanya Flynn.
"Nabby Drinkwater," kata Bryce.
"Hmm, tepat seperti yang kita butuhkan," gumam sang bos. "Orang baru dan bodoh
yang berusaha sok pintar. Terima saja tantangannya (call his biuff). Beri dia
pelajaran. Cuma jangan ganggu produktivitas."
Otakku berputar. Caii his biuff" Caii his biuff" Aku tak tahu apa maksudnya.
Dasar bahasa Inggris gila.
Bryce melingkarkan lengannya di bahuku pura-pura sok akrab. Dia bilang dia
senang telah mempekerjakan karyawan yang berdedikasi seperti aku, dan juga
genius. "Kau sangat pandai, mungkin
sebaiknya kau saja yang jadi bos celup dan bukannya aku. Bagaimana menurutmu?"
Berbahaya bagiku kalau mengatakan apa yang kupikirkan sebenarnya: bahwa itu
memang ide yang bagus. Tapi, aku berdiri diam dan menutup mulutku.
"Jadi, Drinkwater membuatmu lambat, ya?" kata Bryce. "Yah, begini saja. Mulai
besok, Nabby akan kupindah ke bagian finishing. Kau bisa bekerja
sendirian melakukan pekerjaanmu dan pekerjaannya sekaligus dengan kecepatanmu ?yang luar biasa. Bagaimana menurutmu?"
Suara tawa mereka yang mencemoohku terdengar bahkan sebelum aku menutup pintu.
"Aku akan menyuruh Indian itu membersihkan gudang dan mengembalikannya ke sini
sebelum orang baru yang sombong ini bertekut lutut," kata Bryce pada Flynn,
sotto voce. "Dia akan kewalahan setelah satu jam. Setelah itu pasti dia kapok."
Pagi itu, aku kembali ke tempat kos, tapi tak bisa tidur. Sekarang mereka akan
mengerjai Domenico Tempesta. Menjatuhkan orang yang hanya ingin mendapatkan uang
halal dari kerja yang bagus. Aku sadar rasa iri terhadap orang yang lebih
superior ada di mana-mana di kedua sisi lautan. Bahkan mandor dan agen pun iri
?padaku. Shift pertama tanpa orang Indian itu adalah yang terburuk. Aku terus bekerja
sepanjang istirahat makan malam, peluh membasahi seluruh tubuh, dan aku bahkan
tak sempat melihat pekerja lain. Tapi aku tahu mereka menertawakanku. Aku
kehilangan uang malam itu. Malam kedua agak lebih
baik (aku impas malah). Dan malam ketiga lebih mudah lagi. Pada akhir minggu
itu, aku berhasil mengondisikan diriku untuk mengerjakan pekerjaan dua orang
yang dimaksudkan untuk membuatku kapok. Bekerja sendirian, aku berhasil
meningkatkan produksi shift yang dimaksudkan untuk dua orang! Setelah itu, semua
suara yang mengejekku terhenti. Pencelup lain benci padaku, demikian juga Bryce.
Tapi aku berhasil mendapatkan perhatian Flynn. Flynn mulai memandangku sebagai
pekerja yang harus diamati dan dipertimbangkan.
Pelan-pelan, aku naik jabatan dari buruh ke asisten. Lalu pada 1916, pembuluh
darah otak Bryce pecah. Kepergian yang pantas bagi orang berengsek seperti dia.
Di pemakamannya, aku mendekati Flynn dan menanyakan pekerjaan yang ditinggalkan
Bryce. "Kita lihat nanti," kata Flynn. "Tapi ya ampun, setidaknya tunggulah
sampai mayatnya dingin." Selama tiga malam, aku menunggu keputusan Flynn. Lalu
berita baik itu datang. Flynn memanggilku ke kantornya sehingga kami bisa
"sedikit berbincang". Saat aku keluar, aku sudah menjadi bos pencelup American
Woolen and Textile pertama yang keturunan Italia!
Wahai putra-putra Italia, bagaimana hal besar ini terjadi padaku" Semua itu
terjadi karena kerja keras dan keseriusan. Keduanya adalah kunci sukses di Stati
Uniti! Ketekunan seperti yang kumiliki inilah yang membuat Amerika jadi besar!
24 Juli 1949 Flu berat selama tiga hari. Aku sudah bilang pada putriku yang tak berguna itu
untuk memotong bawang dan membungkusnya dengan kain flanel supaya bisa
kulingkarkan di kepalaku dan mengeluarkan lendir, tapi dia bilang,
"Berbaringlah, Papa. Istirahatlah."
"Apa yang mau kulakukan adalah urusanku, Signorina Kepala-Kosong!" bentakku
padanya. "Lakukan apa yang seperti kuperintahkan dan buatkan ramuan itu
untukku!" Aku tak ingin dia mengintip-intip kata-kataku ini .... Sampai di mana
aku tadi" Promosiku" Ah, ya.
Tak ada lagi kerja kasar untuk Domenico Tempesta! Selain bekerja di pabrik
dengan upah tetap tiga puluh lima sen per jam, aku bekerja sebagai tukang batu
dan reparasi sepanjang bulan-bulan musim semi dan musim panas. Pelan-pelan, sen
demi sen, aku menabung uangku dan tidak menghambur-hamburkannya untuk kesenangan
seperti wanita, minum, dan pertunjukan. Aku sengaja berteman dengan peternak
Yankee tua bernama Rosemark. Waktu Rosemark sudah hampir habis: dia punya tanah
di puncak Hollyhock Hill, tapi tak punya putra untuk mewarisinya. Dia bilang
padaku bahwa dia sudah bicara pada pembesar-pembesar di Three Rivers Shanley, ?si walikota berengsek yang bungkuk itu, dan kroninya. Rosemark ingin menjamin
bahwa kehidupan istrinya terjamin setelah dia meninggal nanti. Aku melihat
peluang. Kalau Rosemark menjual lahannya ke kota, katanya padaku, maka kota akan membagi
lahannya ke kapling setengah ekar untuk permukiman.
Terlalu sakit hari ini, terlalu banyak lendir di kepalaku. Aku akan mendengar
pertandingan Dodgers yang tak berguna itu di radio dan tidur siang sekarang,
tapi bukan karena putriku yang tak berguna itu menyuruhku begitu. Aku sudah
memikirkan itu sebelum dia mengatakannya.
26 Juli 1949 Kedua adikku tak bertahan lama bekerja di pabrik. Segera setelah dipekerjakan,
Vincenzo dipindahkan ke bagian pemetikan, penurunan, lalu dipecat karena menjadi
bandar judi beberapa karyawan pabrik. Beberapa mandor sering ikut main judi
bersama Vincenzo, tapi mereka jadi sok suci ketika sersan polisi datang untuk
menyelidiki bersama Flynn, sang agen. Tentu saja, aku tak dicurigai sama sekali
selama investigasi kecil itu. Aku tak akan membuang-buang uangku untuk judi
ketika ada lahan bagus yang sebentar lagi akan dijual. Tapi adikku Vincenzo
dipecat. Vincenzo kemudian bekerja sebagai penjaga stan sayur dan buah di Hurok's Market,
tempat ketampanan dan tingkah lakunya memikat pelanggan wanita untuk membeli
lebih banyak pisang dan buncis lebih daripada yang mereka perlukan. Pelanggan
Cranston's Market yang ada di seberang jalan, mulai menyeberang jalan hanya
untuk membeli dari adikku yang gila. Pasangan
Hurok adalah Yahudi tapi mereka bertahan dengan kegilaan Vincenzo asalkan itu
?mendatangkan untung bagi mereka. "Adikmu itu anak yang baik," kata Mrs. Hurok
padaku suatu kali, ketika aku membeli kacang panggang. "Dia anak bodoh,"
jawabku, tapi tetap merasa sedikit bangga mendengar ucapan wanita itu. Pujian
terhadap Vincenzo memang jarang, tapi mungkin, teladan baik dariku mulai
sedikit-sedikit meresap ke cocuzzanya yang keras itu.
Pelanggan biasanya mengikuti Vincenzo berkeliling toko, memandang atau
memanggilnya ini aku saksikan sendiri. Vincenzo akan membisikkan rayuan ke
? telinga seseorang, berbalik dan menyanyikan sepotong opera Verdi ke wanita lain.
Dia menjajakan buah setiap hari seakan-akan sebuah hiburan seni!
"Hurok meningkatkan gajiku jadi tujuh dolar seminggu!" bual Vincenzo suatu malam
di rumah. "Itu karena aku baik untuk bisnis!"
"Huh," kataku melambaikan tangan mencemooh. "Aku mendapat dua puluh tiga dolar
dan lima puluh sen seminggu. Bakat apa yang dibutuhkan hanya untuk mengelap dan
menumpuk buah?" Tapi, aku tetap menulis kartu pos ke Mama, menceritakan
kesuksesan kecil Vincenzo padanya dan pencapaianku yang lebih penting. Petani di
Hollyhock Hill itu mati tiba-tiba dan aku dengar pemerintah kota akan membeli
lahannya dan menjualnya kembali. Aku menulis pada Mama kalau sebentar lagi aku
akan menjadi pemilik tanah seperti kakek nenekku, The Ciccias.
Sayang sekali! Kebangganku terhadap pencapaian adikku Vincenzo seperti kapal
rapuh yang segera tenggelam. Banyak wanita yang mendatanginya di toko pada siang
hari mengundangnya untuk mengunjungi mereka pada malam hari. Meskipun nama
baikku tak bisa disentuh, para siciliani penggosip mulai berdengung seperti
nyamuk tentang kehidupan adikku di balik selimut dengan sejumlah wanita tidak ?hanya wanita Italia, tetapi juga Irlandia, Polandia, Ukraina bahkan juga janda
?Hongaria bopeng yang punya salon di River Street. Janda itu usianya hampir
sebaya Mama dan punya kumis cukup tebal! Memang memalukan, tapi juga
mengherankan: bahwa Vincenzo akan memasukkan barangnya itu ke mana saja.
Suatu hari, si berengsek McNulty, uskup gereja St. Mary Jesus Christ, datang ke
ruang pencelup di American Woolen and Textile untuk bicara padaku. Di
sebelahnya, Flynn, sang agen sang big boss. Seperti adik-adikku dan aku, Flynn
?juga jemaat di gereja St. Mary. Dia juga teman sang uskup dan penyandang dana
gereja. Uskup mengingatkan itu pada kami setiap Minggu, mengangguk dan tersenyum
pada Flynn, yang duduk dengan keluarganya di bangku terdepan yang dikhususkan
untuk Mr. Pezzo Gros so. Flynn bilang padaku untuk mengikutinya bersama uskup ke kantornya. Di sana, dia
tersenyum palsu dan menyuruhku duduk, duduklah, biar kakimu tidak pegal, haha.
Dua pikiran melintas di kepalaku saat
aku duduk mematuhi ajakan Flynn: dipecat atau aku akan diperintahkan untuk
meletakkan uang yang kudapat dengan kerja keras di kotak sumbangan saat Misa
Minggu nanti! Persetan mereka, pikirku sembari duduk. Pengalamanku belajar
sebagai calon pastor di Roma pasti sudah melebihi pengetahuan uskup bodoh ini.
Aku bekerja keras untuk uangku sementara Flynn duduk saja seharian. Ke mana aku
akan meletakkan uangku adalah urusanku.
"Nah, Mr. Tempesta, aku tahu kalian orang Italia terlalu besar libido seksnya,"
kata sang uskup memulai mengatakan itu pada-ku yang masih suci seperti
?dia lebih suci mungkin! Dari pengalaman remajaku di sekolah Nicosia, aku tahu
?semua tentang tangan pastor sok suci yang suka meraba-raba! "Dan meskipun aku
paham dan menerima bahwa itu adalah bagian dari sifat kalian," lanjutnya, "aku
memohon agar kau melakukan sesuatu tentang adikmu yang liar itu."
"Aku punya dua adik," kataku. "Adik yang mana maksudmu?"
"Si penjaja buah," jawab Flynn. "Si Romeo kampungan di Hurok's Market."
Telah terjadi peristiwa yang kurang menguntungkan, jelas uskup. Seorang gadis
Irlandia yang berasal dari keluarga baik-baik telah dihamili oleh Vincenzo. Dia
masih polos dan Vincenzo sudah memanfaatkan kepolosannya itu. Dan meskipun
orangtua gadis itu tak ingin putrinya menikah dengan orang seperti
adikku mereka telah ?menikahkannya dengan seorang imigran dari Limelick mereka tetap ingin mencegah
?agar kejadian seperti ini tak terulang lagi. Kata uskup, demi nama baik Tempesta
aku harus bertemu dengan Vincenzo dan menyuruhnya untuk menahan diri.
"Asistenku, Pastor Guglielmo, akan senang membantumu dalam pertemuan ini untuk
membantumu tentang nilai-nilai moral dan mungkin mendengar pengakuan dari adikmu
dan doa untuk menunjukkan penyesalannya," kata uskup. "Aku sendiri sebenarnya
akan senang sekali bisa ikut dalam pertemuan itu, tapi mungkin akan lebih baik
kalau berandalan muda mendengarkan pesan dari orang muda sejenisnya pula."
Sejenisnya ha! Meskipun dengan semua kelemahannya, adikku, seperti aku, ?tetaplah anak seorang pahlawan yang menantang gunung api dan menerima medali
emas atas usahanya! Apa yang dipunyai Pastor Guglielmo kurus itu selain nama
Italianya" Memangnya siapa pendeta palsu itu, kok berani-beraninya menasihati
seorang Tempesta" "Aku yakin Domenico bisa mengendalikan semuanya," kata Flynn. "Dia tidak seperti
orang Italia yang aku angkat dari bawah. Dia menjaga dirinya dan melakukan
pekerjaannya." Domenico Tempesta melakukan pekerjaan dua orang, aku ingin mengingatkan si
ipocrita (munafik) kaya itu! Awal tahun lalu, Flynn berselingkuh dengan Alma,
seorang gadis Jerman salah seorang pemintal. Ketika perut gadis itu membesar,
?dia terburu-buru dipindahkan ke pabrik cabang American Woolen and Textile di
Massachusetts dan dinikahkan dengan seorang pemotong bulu biri-biri. Uskup
sialan itu seharusnya mengumumkan kejadian itu pada jemaatnya di misa Minggu.
Tapi aku setuju untuk melakukan permintaan pastor dan agenku itu. Lebih baik
menguliahi adik bodohku Vincenzo memukul cocuzzanya sekali dua kali daripada
? ?kehilangan pekerjaan atau menyumbangkan seluruh uang hasil kerja kerasku ke
kotak sumbangan si uskup. Setidaknya, pertemuan di kantor bos itu membuatku lega
karena aku tak dipecat ataupun kehilangan uangku.
Pastor kurus Guglielmo datang ke rumah pada Minggu sore. Dari cara Signora
Siragusa menepukkan tangannya dan membuka pintu, kau mungkin mengira yang datang
adalah Paus dan bukannya pastor kurus kering itu. Dia dan aku mendudukan
Vincenzo di ruang tamu signora. Vincenzo, anak muda yang ramah meskipun
perilakunya tak terlalu baik, menyalakan cerutu untuk kami semua sebelum kami
mulai. Saat Pastor Guglielmo mengisap cerutunya, kupikir dia akan mati karena
batuk-batuk. Batuknya bahkan lebih buruk daripada batuk anjing di tengah badai.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Vincenzo," kataku, memulai orasi. "Kami bicara padamu hari ini karena
perilakumu membuat malu mendiang ayah kita dan ibu kita tercinta di Negara Tua.
Sepatu botmu yang naik ke ranjang orang lain mencoreng nama Tempesta."
Wajah Vincenzo memandangku dengan ekspresi
yang sama ketika dia merangkak ke kakiku saat masih bayi di Giuliana.
"Perilakuku?" katanya. "Sepatu botku" Non capiso un cavaio, Domenico!"' Lalu
sadar bahwa perkataannya itu tak pantas didengar pastor, dia berpaling ke
Guglielmo. "Scusa, Padre. Scusa."
"Sepatu botmu di bawah ranjang para wanita itu," kataku. Tapi Vincenzo masih
memandangku dengan mata tak berdosa, seakan-akan dia tak melakukan dosa apa pun
sejak datang ke Amerika. Aku mulai hilang kesabaran. "Fungo! Fungo!" teriakku."
Dari belakang pintu dapur aku mendengar signora menarik napas keras terkejut.
Sekarang, giliranku untuk minta maaf pada pastor kurus itu.
Sekarang Vincenzo tersenyum lebar, seakan-akan perilakunya adalah sesuatu yang
membanggakan, bukan memalukan. Tapi aku akan menghapus senyum itu dari wajah
adikku yang sombong. "Sudah saatnya kau menikah, menetap dan meninggalkan perilakumu itu," kataku.
"Atau kalau kau masih mau membujang, kendalikan nafsumu."
Vincenzo tertawa kecil, mengatakan sebuah peribahasa dan mengangkat bahu. "Si
hai poivere, spara.'t Benar bukan, padre?" katanya pada pastor.
Aku menghantam lengan kursi signora Siragusa dengan keras, sehingga debu
beterbangan. "Kalau begitu tembakkan saja mesiumu di antara kaki signora kambing
yang tidak akan hamil!" teriakku.
* "fiku tak mengerti sama sekali apa yang kau bicarakan, Domenico."
** "Fucaking! Fucking!"
+ "Kalau kau punya mesiu, tembakkan!"
Terdengar helaan napas terkejut dari balik pintu dapur. Wajah Pastor Guglielmo
memerah dan dia membuat tanda salib.
Vincenzo mengisap cerutunya dan tertawa. "Kalau begitu katakan padaku kambing
mana yang jadi pacarmu. Jadi aku nanti tidak melangkahimu."
Di seluruh rumah, gerakan dan suara terhenti. Telinga-telinga yang menguping
seakan-akan menembus dinding.
Aku menjelaskan pada pastor dan pada semua penguping yang menempelkan telinga ?di dinding bahwa apa yang baru dikatakan Vincenzo itu hanyalah gurauan, haha.
?Lalu aku meneruskan, memperingatkan adikku, bahwa sebagai anggota tertua dari
keluarga Tempesta di Giuliana, aku memerintahkannya untuk meneladani perilakuku.
Vincenzo tertawa dan menjawab bahwa dia lebih memilih mendapatkan perawan
daripada jadi perjaka lagi.
"Santa Agrippina, Sang Martir Perawan sendiri tak mungkin lebih suci daripada
kakakku, Domenico," Vincenzo bercanda pada sang pastor yang pucat,
menyenggolnya. "Kau mungkin sudah pernah mengalami kesenangan bersama wanita
bahkan sebelum Domenico, iya kan, padre?" Pastor Guglielmo semakin memucat dan
membuat tanda salib lagi.
Aku sudah hilang sabar dengan adikku yang berandalan itu. Aku berdiri, mendekati
Vincenzo dan menamparnya.
Vincenzo berdiri mengangkat tinjunya. Dan aku
juga mengangkat tinjuku. Kami berdiri saling pelotot, kakak melawan adik, kami
sama-sama berusaha garang. Tapi di mata Vincenzo, aku melihat wajahnya saat dia
masih kecil .... Aku melihat Mama dan Papa, alun-alun desa. Gunung Etna di bawah
langit Sisilia. Aku tak bisa mengangkat tinjuku pada adikku sendiri. Tapi aku
juga tak bisa menyerah begitu saja.
"Bah!" kataku, menjatuhkan tangannya. "Dengan Tuhan dan pastor ini sebagai
saksiku, Vincenzo, sejak saat ini kita tak jadi saudara lagi! Kau mencoreng nama
keluarga dan sekarang kau mencemoohkanku! Aku tak mengakuimu sebagai adikku! Aku
tak akan bicara denganmu lagi." Dan aku langsung meninggalkan ruangan, membuat
semua penguping berhamburan pergi ....
* Bagaimana menceritakan kepedihan yang terjadi selanjutnya"
Malang sekali, sumpah siienzio-ku tak sulit dipenuhi. Sabtu malam berikutnya,
seorang sersan polisi Three Rivers (seorang berengsek bernama O'Meara) sakit
gigi dan pulang awal. Ketika dia menyalakan lampu dan masuk kamarnya, hal
pertama yang dia lihat adalah pantat adikku Vincenzo. Saat sersan itu terpaku
karena syok, Vincenzo mengerang dan berguling, menatap pada bulan dan sang
sersan dan senyum puas di wajah pelacur istri O'Meara. Polisi itu menarik
revolvernya, awalnya membidik ke istrinya yang menjerit ketakutan, dan lalu berubah pikiran
dan menembak selakangan Vincenzo.
Polisi melakukan penyelidikan. Hah! Seperti anjing yang mencari kutu anjing
lainnya! Sersan itu tidak dihukum karena telah membuat "babi kecil jorok" itu
sadar akan tempatnya. (Itulah yang dikatakan kepala polisi sendiri, aku
mendengarnya dari Golpo Abruzzi yang mendengarnya dari saudara iparnya) Istri
O'Meara-puttana 'Mehcana yang tidak berguna itu berlagak hingga puluhan tahun ?kemudian, seakan-akan suaminya bukanlah setan pembunuh berdarah dingin yang
menjadi bahan tertawaan semua orang siciliano di kota!
Adikku, Vincenzo, a boun'anima, meninggal karena infeksi sembilan hari setelah
penembakan. Adikku Pasquale dan Pastor Guglielmo menunggu hingga ajalnya di sisi
ranjang rumah Signora Siragusa. Pastor Guglielmo memberikan Ekaristi pada
Vincenzo dan pemberkatan terakhir sebelum dia meninggal. Ini memang yang
kuinginkan. Dan sudah kurencanakan.
Segerombolan wanita muda yang tersedu-sedu, dari beberapa bangsa, datang ke Misa
pemakaman dan pemakaman adikku di pemakaman St. Mary of Jesus Christ. Aku
mendapatkan cerita ini dari Pasquale; sedangkan aku sendiri tak melihatnya. Aku
memang membayar semuanya, tapi menolak datang ke pemakaman adikku yang telah
mencemoohkan kesucianku dan meremehkan kepala keluarga. Biarkan orang suci dan
wanita saja yang memberi ampun! Bagi seorang Sisilia, harga diri kehormatannya adalah yang
? ?terpenting, figii d'Italia! Apa yang dipunyai seorang pria kalau ia menukar
harga dirinya seperti medali emas"
Setelah kematian Vincenzo, sudah menjadi tugasku untuk sekali lagi menulis surat
pada Mama mengabarkan berita sedih kematian anak bungsunya. Dua atau tiga minggu
kemudian, aku menerima kartu pos dari seberang lautan, dari wakil si idiot buta
huruf Paman Nardo, tertulis: "Ibu meninggal 24 Juni. Malaria."
Dengan hati yang berat aku cepat-cepat membalas berita Nardo. Atas nama ibuku,
aku meminta Wajah Babi serakah itu untuk pergi ke rumah magistrate-dan
menegosiasikan pengembalian medagiia emas ayahku padaku, anak sulung Giacomo dan
Concettina Tempesta, dan pemilik medali yang paling berhak. Aku menulis,
setidaknya itu adalah hal termudah yang bisa dilakukan Nardo si berengsek, untuk
menebus semua penderitaan yang telah dia sebabkan pada keluarga Tempesta. Tak
ada jawaban. Aku menulis dua kali lagi ke Nardo, tapi si figiiu d'una mingia itu
mengabaikan setiap usahaku mendapatkan apa yang telah diambil dariku dengan
curang oleh pejabat bungkuk itu.
Sedangkan adik tengahku, satu-satunya yang masih hidup, Pasquale, dia tak begitu
peduli tentang kehormatan keluarga, keadilan ataupun siapa pemilik yang paling
berhak sepanjang makan malamnya tersedia di meja. Pasquale memang
seorang pria yang sederhana ....
Bagaimana aku akan mengisahkan nasib aneh adikku Pasquale" Aku tak punya
kekuatan tersisa untuk hari ini. Besok, aku akan mengisahkannya. Tidak hari ini.
Tiga Puluh Empat Dr. Patel bilang dia sangat senang bertemu denganku lagi. Dia baru saja akan
minum teh. Kalau dia tak salah ingat, aku suka teh Bengal Spice bukan"
"Baiklah," kataku. "Hebat. Apa saja." Aku bilang padanya bahwa aku suka warna
bajunya: merah, emas, dan ... apa nama jenis warna kuning seperti itu"
Jingga, katanya. "Jingga" Yeah" Aku pernah mengecat dapur seseorang dengan warna itu. Tapi warna
itu terlihat lebih indah padamu dibandingkan dinding dapur itu." Dr. Patel
tertawa kecil, berterima kasih atas pujianku, kalau memang maksudku memujinya.
"Kau ketemu kakakku hari ini?" tanyaku.
Ya, katanya. Benar. Tapi tak banyak perubahan.
"Saat menuju ke sini aku baru berpikir betapa anehnya dia: sebelum perang
dimulai, itu saja yang dia bicarakan. Lalu, ketika mereka mulai benar-benar
saling menembakkan rudal Scud dan bom pintar, dia sama sekali tak bereaksi.
Menurutmu kenapa dia begitu, Dok" Apakah ada hal lain selain efek
pengobatannya?" Dr. Patel bilang dia akan senang bicara denganku tentang kakakku, tapi mungkin
dia akan menjadwalkan itu untuk lain kali. Lagi pula, katanya, bukankah kita
berdua sudah menyisihkan waktu satu jam ke depan untuk bicara tentang aku.
Air di poci teh mendidih. Sementara menunggu, aku memegang kruk dan berjalan
terpincang-pincang menyeberangi ruangan. Memandang ke luar jendela. Terakhir aku
ke sini adalah bulan Oktober. Sekarang, pada tengah musim dingin, sungai
terlihat dari sini di sela-sela pepohonan yang meranggas.
Dr. Patel bertanya tentang lukaku kemajuanku dengan terapi fisik.?"Sebenarnya, aku lebih maju daripada rencana," kataku. "Tak seorang pun di pusat
rehabilitasi percaya berapa banyak yang telah kucapai hanya dalam tiga bulan.
Mereka bilang mereka akan mengangkatku jadi poster boy."
"Poster boy" Apa itu poster boy?" Aku sudah lupa bagaimana biasanya dengan
dia betapa banyak salah mengerti karena bahasa. Kenapa pula aku menelepon dia"
?Memulai semua terapi ini lagi" Buang-buang Waktu dan Uang Episode II.
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh kepala patung Shivanya. "Oh, ngomong-
ngomong, aku berterima kasil atas, uh .... atas adik kecil patung ini." Dr. Patel
?terlihat bingung. "Hadiah yang kau titipkan pada Lisa Sheffer" Saat aku masih di
rumah sakit?" "Ah, ya," katanya, tersenyum. "Kau suka hadiah kecilku?"
"Memang, yeah. Aku suka. Aku bermaksud menulis ucapan terima kasih padamu
berkali-kali, tapi tak jadi."
"Yah, sekarang kau sudah berterima kasih secara langsung," katanya. "Dan itu
lebih baik, bukan" Silakan duduk." Meletakkan nampan teh di antara kami, Dr.
Patel duduk. "Kita tunggu dulu tehnya terseduh, sementara kita saling memberi
kabar." Dia telah mengkaji kembali catatanku, kata Dr. Patel. Sesi terakhir kami adalah
tanggal dua puluh dua Oktober. Dia mengingatkan kalau kami belum mendiskusikan
untuk menghentikan pertemuan ini. Aku sudah menemuinya tiga kali, membatalkan
dua perjanjian berturut-turut, dan lalu tak pernah menelepon lagi. Kalau
pekerjaan kami akan diteruskan, Dr. Patel bilang dia mengharapkan komitmen lebih
dariku. "Komitmen?" Aku bergeser di kursiku. "Ya ampun, kau tidak mengajakku berpacaran,
bukan?" Dr. Patel tidak tersenyum mendengar gurauanku. Mungkin, katanya, kita bisa
bertemu sekali seminggu selama empat kali dan lalu memutuskan bersama apakah
sebaiknya kita meneruskan proses ini atau tidak.
"Yeah," kataku. "Tentu. Tak masalah." Apa yang akan terjadi kalau aku tidak
memenuhi 'komitmenku1" Mengeluarkan anjing pemburu" Melaporkan pada polisi
psikologi" Dr. Patel membuka teko teh dan mengintip. "Belum siap," katanya.
Kami duduk diam. Dr. Patel tersenyum melihatku
meremas-remas jari dan bergerak gelisah. "Aku ... aku menempatkannya di rak
bukuku." "Maaf?"
"Patung kecilmu. Aku meletakkannya di ruang bacanya ... itu adalah hal yang bisa
kau lakukan saat kau jatuh dari atap dan tak bisa ke mana-mana: membaca."
"Benarkah" Aku iri. Apa yang kau baca, Dominick?"
"Di antaranya Injil."
"Ya?" Dia tak terlihat senang ataupun tak senang.
"Aku ... yah sebenarnya itu adalah sebuah kebetulan. Aku sedang mencoba mengambil
buku lain dari rak teratas dengan krukku. Shogun, kurasa. James Clavell. Aku
ingin membacanya lagi. Tapi kemudian aku meruntuhkan semua buku sehingga ?berjatuhan di atasku. Dan aku menemukan Injil itu. Aku bahkan tak tahu aku masih
punya buku sialan itu. Ibuku memberikannya padaku saat konfirmasiku dulu saat
aku kelas enam. Thomas dan aku kami masing-masing dapat satu. Punyaku bentuknya
?masih lebih baik daripada punyanya."
Dr. Patel tersenyum. "Bagian mana yang kau baca" Perjanjian Lama atau Baru?"
"Lama." "Ah, cerita-cerita masa lalu. Dan kau merasa dirimu tercerahkan" Apakah
'kejatuhan buku' itu membawa keuntungan bagimu?"
Apakah dia mengejekku" Membalas dendam karena aku pernah dua kali membatalkan
perjanjian" "Kurasa ... kurasa aku bisa melihat mengapa ada orang yang menganggap membaca
Injil itu berguna." Dr. Patel mengangguk. "Tapi, aku bertanya apakah kau mendapatkan manfaat
darinya." "Aku" Secara pribadi maksudmu" Tidak, sepertinya tidak. Kukira aku lebih
tertarik pada Injil dalam perspektif historis. Atau sosiologis atau apalah ...
yah, mungkin ya, dalam satu hal. Kisah tentang Ayub misalnya, aku bisa mengerti
itu." "Ayub" Ya" Kenapa demikian?"
Aku mengangkat bahu dan bergeser di kursiku untuk kesekian kalinya. "Aku tak
tahu. Pria itu hanya mengurusi urusannya sendiri, mencoba melakukan hal yang
benar dan dia ditipu habis-habisan. Menjadi kelinci percobaan Tuhan."
"Begitukah perasaanmu" Seakan-akan kau adalah kelinci percobaan Tuhan?"
Aku mengingatkan padanya bahwa aku tak percaya Tuhan.
"Kalau begitu kau mungkin bisa menjelaskan padaku mengapa kau"
"Kelinci percobaan nasib mungkin. Kakak skizofrenik, anak yang mati, pacar yang
.... Tapi, sudahlah, hal buruk memang terjadi, bukan?"
"Ya, memang," kata Dr. Patel. "Kadang tak peduli bagaimana kita menjalani hidup,
hal buruk memang terjadi dan kadang juga tak terjadi. Kisah mana lagi di
Perjanjian Lama yang kau anggap relevan?"
Aku mengangkat bahu. "Dengar, jangan salah sangka. Ini bukan berarti Injil itu
jatuh sendiri dari rak menimpa kepalaku dan sekarang tiba-tiba aku terlahir kembali atau
semacamnya. Aku tak akan pergi ke perpustakaan dan memotong tanganku untuk
Yesus." Dr. Patel menunggu. "Tapi, yah ... ada lagi kisah yang relevan kukira: Kain dan Habel. Tuhan
menciptakan semesta, Adam dan Hawa punya sepasang anak, dan voila. Persaingan
antarsaudara. Satu saudara membunuh yang lainnya."
"Ya" Tolong teruskan."
"Apa" Aku ... itu cuma lelucon."
"Ya, aku mengerti dari nada bicaramu. Tapi tolong jelaskan sedikit lagi saja."
"Aku tak bermaksud bahwa ini punya makna yang dalam. Hanya ... masalah
antarsaudara." Dr. Patel menunggu. Tak mau mengalihkan pandangan dariku.
"Aku hanya ... yah, aku mengerti mengapa dia sangat marah. Itu saja."
"Siapa yang sangat marah?"
"Kain." "Ya" Dan mengapa dia marah?" "Hai, kaulah yang punya gelar antropologi. Bukan
aku." "Dan kaulah yang menyebutkan Perjanjian Lama. Benar bukan" Tolong jawab
pertanyaanku." "Hei, Dok, apa aku sudah bilang betapa aku sangat menyukai aksenmu" 'Tolong
jawab pertanyaannya'. 'Mengapa dia marah"'" Dr. Patel tak tersenyum. Diam saja.
Aku mengetuk-ngetukkan jari ke lutut. Mengembuskan napas. "Aku tak tahu. Dia
cuma ... dia melakukan pekerjaannya, membuat persembahan seperti orang lain, dan ...
dan satu-satunya pengorbanan yang diterima Tuhan adalah pengorbanan saudaranya.
Itu sangat tipikal."
"Apanya yang tipikal?"
"Bahwa semua penghargaan jatuh pada Tuan Sok Baik. Dan apa yang didapatkan
satunya" Kuliah tentang dosa 'yang menunggu di pintu'. Seperti dosa si Serigala
Jahat atau semacamnya .... Itu membuatku ingat. Aku sudah membaca dua buku yang
kau sarankan. Tentang mitos atau fabel atau apalah. Ingat, kan" Kau membuat
daftarnya?" Ya, katanya. Dia ingat. "Seseorang meminjamkan buku itu padaku. Mantan istriku sebenarnya. Perpustakaan
Three Rivers tak punya buku itu, tapi dia berhasil mendapatkannya melalui
pinjaman antarperpustakaan." "Kalau begitu, Dessa membantumu?"
Apakah dia memang mengingat nama Dessa atau membacanya dari file-ku sebelum aku
sampai" "Dia, uh ... dia membawakan makanan beberapa kali, melakukan beberapa
pekerjaan rumah buatku." Aku bersidekap. Aku pernah membaca dulu bahwa
bersidekap adalah insting manusia sejak zaman manusia gua: melindungi hatimu.
"Semua orang membantu. Bahkan juga Ray."
"Ayah tirimu?" "Yah, dia, uh ... dia sedang punya banyak waktu
luang. Di-PHK bulan Desember lalu. Selamat Hari Raya dari para bos di Electric
Boat. Dia memberikan hampir empat puluh tahun hidupnya, dan, beberapa saat
sebelum pensiun, mereka memecatnya. Mereka menjanjikan akan mempekerjakan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali pekerja lama, tapi mereka bohong."
Dr. Patel mengangguk simpati. "Jadi, ngomong-ngomong akhir-akhir ini dia punya
banyak waktu luang. Mengantar dan menjemputku ke dokter selama dua bulan
pertama, juga ke terapi fisik. Aku bahkan minta tolong dia untuk belanja
kebutuhan sehari-hari. Sebelum aku bisa menyetir lagi. Agak lucu, bukan?"
"Apa yang lucu, Dominick?"
"Yah, setahun lalu kau bilang padaku bahwa Ray Birdsey akan menjadi sopirku,
tukang belanjaku ...." Aku berdiri. Berjalan ke jendela.
"Istilah yang kau gunakan menarik," kata Dr. Patel.
Aku berpaling dan memandangnya. "Apa maksudmu?"
"Komentarmu tadi tentang Ray. Dengan membantumu saat kau membutuhkan, apakah dia
sedang menjadi 'pembantu pribadimu' atau sebagai ayahmu" Maksudku, dengan
mengesampingkan kegagalannya pada masa lalu. Meskipun dia bukan ayah kandungmu.
Bukankah itu yang dilakukan seorang ayah" Membantu putra mereka saat
dibutuhkan?" Dr. Patel melihat teko tehnya lagi, mengatakan bahwa tehnya sudah siap. Kau
harus hati-hati dengan Dr. Patel kau harus selalu waspada bahkan sebelum teh dituangkan. ?Setelah tak bertemu selama dua bulan, aku rupanya sudah mulai lupa bagaimana
menghadapi Dr. Patel. "Katakan padaku," katanya. "Yang mana di antara buku-buku yang kurekomendasikan
yang sudah kau baca?"
"Yah, aku tidak ... aku cuma membuka-bukanya. Yang Hero with a Thousand Faces dan
... apa yang dikarang oleh pria yang belajar denganmu di Chicago?"
"Dr. Bettelheim?"
"Yeah. Buku tentang Freud bertemu si Kerudung Merah itu."
Dia tertawa. "Yang juga dikenal dengan The Uses of Enchantment. Dan apakah kau
menemukannya?" "Menemukan apa?"
"Penggunaan pesona?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Sepatu
kaca Cinderella yang hilang sebenarnya adalah
ketakutan atas pengekangan diri: pohon kacang
yang dinaiki Jack sebenarnya adalah representasi
dari Oedipus Complex. Kurasa memang menarik, tapi ii
"Tapi apa?" Dr. Patel memandangku dengan pandangan nakal. Apakah ini berarti aku
baru saja menyetujui diriku untuk melakukan empat sesi lagi dengannya, atau kami
baru saja membicarakan kemungkinannya"
"Kurasa .... Kukira sebaiknya kita membiarkan
dongeng tetap menjadi dongeng. Bukannya mengubah mereka menjadi analisis
mendalam dan gelap tentang ... sebaiknya kita tidak melakukan autopsi psikologis
pada mereka. Kau tahu maksudku?" Aku duduk, tak memandangnya, mencabuti benang
yang lepas di sweterku. Dr. Patel bilang, dia dulu suka menggoda Dr. Bettelheim hal yang sama. "Aku dulu
bilang, 'Berhati-hatilah, Bruno, atau makhluk-makhluk dari dongeng itu akan
menjadi takut dan bersembunyi di hutan legenda.' Tapi tentu saja, aku bisa
mengatakan itu padanya karena aku sangat menghargai hasil karyanya. Buku itu
membuatku bebas bermain sebagai makhluk dongeng."
Aku mengangkat bahu, menghirup teh. "Yah, kau dan aku mungkin membaca bukunya
dalam dua level yang sama sekali berbeda .... Tapi menarik, kok. Makasih."
Dia tak bertanya lagi, tak membuat analisis. Hanya memandangku yang duduk di
depannya, melepaskan benang di lengan sweterku.
"Kau, uh, ... kau tahu apa yang mulai kubaca pagi ini" Ngomong-ngomong tentang
autopsi psikologi" Tulisan kakekku. Ayah ibuku."
"Ya" Kakekmu seorang pengarang, Dominick?"
"Huh" Oh, bukan .... Itu cuma tulisan pribadi. Sejarah pribadinya atau apalah.
Kami tak pernah mengenalnya, Thomas dan aku dia meninggal sebelum kami lahir. ?Tapi, dia, uh ... dia mendiktekan kisah yang panjang ini kisah
?hidupnya bagaimana dia datang ke sini dari Italia, dan seterusnya dan
?seterusnya. Yah, mendiktekan sebagian kurasa, dan menulis sisanya. Dia menyewa
mesin Dictaphone, dan seorang stenografer. Pria Italia yang datang setelah
perang. Dia bekerja di pengadilan atau apa."
Angelo Nardi, kataku dalam hati: tersangka utama dalam kasus ayah yang hilang.
Bukannya aku akan membagikan teoriku ini pada Dr. Patel.
"Dia, uh, ... meninggal setelah menyelesaikan kisah itu, kurasa. Begitu menurut
cerita ibuku. Dia sedang di halaman belakang, membacanya lagi, dan ketika Ma
keluar untuk mengeceknya, dia hanya duduk diam, mulutnya terbuka mati karena
?stroke. Ma bilang, halaman-halaman manuskripnya bertebaran di seluruh halaman ....
Hidup memang mengesalkan, ya" Mengerjakan kisah itu sepanjang musim panas lalu
mati begitu saja." "Kalau begitu yang kau baca adalah transkrip dari sejarah kakekmu yang
diceritakan secara lisan?"
"Yeah, sebagian. Sebagian lisan sebagian tertulis. Aku ingat Ma bilang dia
memecat stenografer itu di tengah jalan. Lalu menulis sisanya sendiri. Semuanya
dalam bahasa Italia: aku meminta seseorang menerjemahkannya .... Sebagian memang
sejarah lisan sebagian tertulis, dan tujuh puluh lima persennya adalah omong
kosong." Dr. Patel bertanya apa maksudku. "Oh. Aku tak tahu .... Dia sangat membanggakan
dirinya sendiri." "Tolong jelaskan?"
"Yah, semuanya ... setidaknya yang kubaca sejauh ini terus-menerus membicarakan
? ?betapa hebat dirinya. Dibandingkan semua orang lain di desanya, dibandingkan dengan dua
adiknya ... aku bahkan tak tahu manuskrip ini ada hingga sekitar empat atau lima
bulan sebelum ibuku meninggal. Aku pergi menjenguknya suatu sore dan dia
memberikannya padaku, begitu saja. Manuskrip tebal yang selama ini disimpannya
di brankas. Lebih dari seratus halaman .... Saat itu sakitnya sudah sangat
parah ketika dia memberikannya padaku. Ma bilang aku boleh membaginya dengan ?Thomas kalau Thomas boleh membacanya tapi dia ingin memberikannya pada-ku."
? ?"Kisah ayahnya" Kenapa kamu?"
"Aku juga tak tahu. Aku tak bertanya padanya ... 'Kisah Pria Besar yang Berangkat
dari Nol'. Aku mendapatkan gagasan besar, menerjemahkan kisah ini untuk ibuku.
Memberikannya sebagai hadiah. Menyuruh seseorang menerjemahkannya dan
menjilidnya jadi buku atau apalah sehingga dia bisa membaca sejarah ayahnya
sebelum meninggal." "Apakah ibumu tak pernah membacanya?"
"Tidak. Ma bilang dia tahu sepatah dua patah bahasa Sisilia, tapi tidak cukup
mengerti untuk membacanya. Tapi ngomong-ngomong, aku menjalankan gagasanku itu
tadi. Menyewa penerjemah."
"Sungguh perbuatan yang baik," kata Dr. Patel. "Ibumu pasti sangat senang
menerima hadiah itu."
"Dia tak pernah menerimanya. Penerjemahan itu memakan waktu lebih lama daripada
yang kuduga. Lalu kondisi ibuku bertambah parah. Kondisinya
turun drastis .... Dan lalu, manuskrip sialan itu hilang."
"Hilang" Kisahnya?"
"Yah, tidak hilang sebenarnya. Ceritanya panjang." Aku tak akan mau bercerita
tentang Nedra Frank padanya bagaimana dia tiba-tiba muncul dengan pakaian
?koboi, di kaki ranjangku di rumah sakit, seolah menjadi salah satu mimpi burukku
akibat morfin. Thunkf Dia hampir saja menjatuhkan manuskrip sialan Domenico ke
kakiku yang remuk. "Tapi, untung juga Ma tak pernah membacanya," kataku. "Sekarang, setelah aku
punya waktu membacanya sendiri kurasa aku tak akan memberikannya padanya."
"Kenapa tidak?"
"Karena ... yah, salah satu alasannya, kakekku menjelek-jelekkan ibuku di kisah
itu." "Ibumu" Mengapa kau ?"
?"Di tengah-tengah dia mendiktekan kisah hidupnya. Membicarakan betapa dia adalah
orang yang hebat bagaimana semua 'Putra-Putra Italia' harus meneladaninya, dia
?mulai mengoceh tentang betapa ibuku sangat menjengkelkan. Menyebutnya 'muka
kelinci'. 'Guci retak'. Mengatakan bahwa putrinya sangat jelek, sehingga tak
bisa punya suami. Tidak bisa memberinya cucu seperti yang seharusnya .... Wajah
kelinci: apa yang dia pikirkan" Bahwa ibuku ingin dilahirkan dengan bibir yang
sumbing" Bahwa itu adalah kesalahannya".... Dan yang mengibakan adalah, ibuku
memuja kakekku. Saat kami kecil, Thomas dan aku, ibuku selalu berkata, 'Papa
bilang begini, Papa begitu1 .... Aku tak tahu. Aku bersyukur Ma tak pernah membacanya.
Membaca kisah itu hanya akan melukai perasaannya."
"Dominick?" "Hmm?" "Kau terlihat sangat tegang. Mengapa kau pikir-?"
"Kau tahu apa alasan kakekku menulis kisah hidupnya" Apa aku sudah mengatakannya
padamu" Dia ingin semua pemuda Italia membaca kisahnya dan ... mendapatkan
inspirasi atau apalah. Kau bisa tahu betapa sombongnya dia. Terus-menerus
mengoceh tentang betapa 'spesialnya' dia. Betapa dia adalah seorang martir
karena harus menahan diri terhadap semua orang di sekitarnya yang tak sempurna
seperti dia." "Dalam hal apa kakekmu merasa dia spesial?"
"Dalam setiap hal. Inteligensi, moral. Dia melihat dirinya sebagai pilihan Tuhan
"Mengapa kau berhenti, Dominick" Apa yang kau pikirkan?"
Yang kupikirkan adalah Thomas. Pilihan Tuhan bagian kedua. Tapi aku mengabaikan
pertanyaan Dr. Patel. "Aku tak tahu. Aku belum membaca banyak sekitar lima ?belas atau dua puluh halaman. Aku mungkin tak akan menyelesaikannya."
"Dominick" Ceritakan padaku tentang kedekatan kakekmu dengan Tuhan."
"Hmmm" Oh dia, ... dulu waktu masih di Italia. Saat masih kecil. Dia mengklaim
bahwa patung di desanya menangis, dan dia Domenico adalah
? ?orang pertama yang melihatnya."
"Domenico" Kalau begitu, kau dinamakan seperti kakekmu, ya?"
Aku mengangguk. "Aku mengaku bersalah. Pokoknya, kurasa karena masalah patung
itu orang di desanya menganggap dia ditakdirkan jadi pastor. Dengan sumbangan
orang desa, dia dikirim untuk sekolah. Lalu semuanya jadi berantakan. Dia punya
adik-" Masalah saudara, pikirku tiba-tiba. Kami punya persamaan dalam hai itu, Papa dan
aku. "Aku tak tahu. Aku cuma tak begitu suka orang itu. Anggapannya bahwa aku lebih
baik, semua omong kosongnya. Dia apa \st\ahnya"-grandiose (membanggakan diri
?sendiri) .... Tapi kisah itu menarik juga dilihat dari perspektif sejarah
keluarga. Bagaimana dia pergi dari Italia. Bagaimana dia membangun hidupnya
sesampai di sini. Mengisi beberapa kekosongan."
"Ya" Ceritakan padaku."
"Yah, ada satu orang yang dia sebut bernama Drinkwater Nabby Drinkwater. Mereka
?bekerja di pabrik tekstil bersama Drinkwater dan kakekku. Dan itu agak aneh,
?karena, Thomas dan aku pernah bekerja dengan Ralph Drinkwater pada suatu musim
panas. Ingat" Kita pernah membicarakan itu: musim panas ketika Thomas mulai
sakit" Ketika kami dalam kru kerja itu. Pasti keturunan keluarga yang sama. Suku
Wequonnoc bernama Drinkwater .... Jadi, itu lumayan menarik: kebetulan. Melihat
bagaimana generasinya dan generasi kami
Dr. Patel memandangku beberapa saat sehingga aku merasa tak nyaman lalu menulis
ke catatan di pangkuannya.
"Apa yang baru kukatakan?" Dr. Patel memiringkan kepalanya sedikit. "Kau menulis
sesuatu." "Ya, memang." "Nah" Apakah aku baru saja mengatakan sesuatu yang mencerahkan atau aku
membuatmu bosan sehingga kau menulis daftar belanjaanmu atau apa" Apa yang kau
tulis?" "Aku menulis grandiose."
"Ya" Kenapa?"
"Aku rasa aku sudah mengatakannya, sebelum kau datang kemari hari ini, bahwa aku
sudah mengkaji sesi kita dahulu. Dan tadi aku tertegun saat kau menggunakan kata
grandiose." "Yeah" Kenapa" Karena tukang cat tak biasanya mengatakan kata dengan tiga suku
kata?" "Tidak. Karena kau sudah menggunakan kata itu di sini sebelumnya. Kau ingat
tidak konteksnya?" Aku menggeleng. "Berhubungan dengan kakakmu. Kau sedang mengutarakan maksudmu, dengan jelas,
bahwa ada hal yang grandiose terkait dengan posisi kakakmu."
"Posisinya dalam hal apa?"
"Keyakinannya bahwa Tuhan memilihnya sebagai alat-Nya untuk mencegah konflik
antara Amerika Serikat dan Irak. Bahwa Tuhan telah 'memilih'nya. Dan sekarang,
menggunakan kata yang sama-grandiose-kau baru saja bilang padaku bahwa kakekmu
dari ibu juga merasa 'terpilih1. Jadi, aku
menganggap itu menarik. Perlu diekplorasi lebih lanjut, mungkin."
Aku bergerak di kursiku. "Yeah, tapi ... Thomas bahkan tak pernah membaca kisah
kakekku ini. Dia tak mungkin mendapatkan gagasan dari Domenico. Kalau itu yang
kau pikir." "Aku tidak memikirkan apa-apa, Dominick," kata Dr. Patel. "Aku hanya menulis
sebuah pengamatan. Mencari pola yang mungkin bisa kita pelajari kemudian."
"Dalam autopsi besarnya?"
"Ah," kata Dr. Patel. "Sekarang sudah ketiga kalinya kau menggunakan kata itu.
Bolehkan aku bertanya kenapa kau menggunakan metafora itu, Dominick" Kalau kau
melihat sesi kita di sini sebagai autopsi, bolehkah aku bertanya siapa yang jadi
mayatnya?" "Aku cuma"
"Itu kunci resepnya, bukan" Mayat" Jadi katakan padaku, mayat siapa yang kita
selidiki?" "Kenapa .... Untuk apa kau bersikap sarkastis seperti itu?"
"Kau salah duga. Aku tidak menulis daftar belanjaan ataupun bersikap sarkastis.
Tolong jawab pertanyaanku. Mayatnya adalah
"Kakekku?" Aku bisa melihat dari ekspresinya bahwa itu bukanlah jawaban yang ditunggunya.
"Kakakku" .... Aku?"
Dr. Patel tersenyum tenang seperti Shiva. "Itu adalah metaforamu, Dominick.
Bukan aku. Bolehkah aku bertanya lagi, mumpung kita masih mendiskusikan subjek kebanggaan diri" Apa
kau merasa kata-grandiose-b'\sa mendeskripsikan
dirimu?" "Aku?" Aku tertawa. "Joe Shmoe" Kurasa tidak .... Sejauh yang kutahu Yesus tak
pernah meminta-/cu untuk menghentikan perang. Tak ada patung yang menangis di
depanku." "Namun, tadi kau mendeskripsikan dirimu sebagai kelinci percobaan nasib.
Membandingkan cobaan dan ujian yang kau hadapi seperti apa yang dihadapi Ayub,
yang tentu saja, legendaris karena cara bagaimana Tuhan mengetes keimanannya.
Jadi, aku bertanya-tanya .... Teh lagi?"
Dr. Patel mengatakan bahwa aku seharusnya meneruskan membaca buku-buku itu ?adalah cermin yang memberikan bayangan diri kita dengan cara tak terduga. Apa
yang dia maksud bahwa aku membanggakan diri, grandiose" Dari mana anggapan itu
berasal" "Dengar," kataku. "Bisakah kita langsung ke pokok masalahnya" Berapa lama lagi
waktu yang kupunyai di sini?"
Dr. Patel melihat jam dinding, yang dipasang secara strategis sehingga pasien
tidak bisa melihatnya. "Sekitar tiga puluh lima menit lagi," katanya.
"Karena, bukan bermaksud kasar, aku tidak datang ke sini hanya untuk
mendiskusikan buku."
Dia mengangguk. "Kenapa kau datang ke sini, Dominick" Katakan padaku."
Aku mengatakan padanya tentang melihat wajah Rood di jendela loteng.
Tentang kehamilan Joy bagaimana dia mencoba menganggapku sebagai ayah bayinya.
?Tentang malam ketika aku hampir bunuh diri dan melihat bayanganku di cermin
kotak obat. Dr. Patel bertanya apakah aku terus berpikir untuk bunuh diri sejak malam
itu apakah aku terus memikirkan rencana bagaimana mengakhiri hidupku. Aku
?menggeleng. Kukatakan padanya bahwa keputusasaan yang paling buruk sudah
berlalu bahwa aku berhasil mengatasinya.
?"Kau yakin?" Aku mengangguk. Aku yakin. Aku tidak membohonginya. Malam itu membuatku sangat
ketakutan sehingga aku mundur dari bibir jurang dan menjauh. Mulai berpikir
bahwa mungkin ada kehidupan di balik ... setelah ....
Aku mengambil kaset Joy dari saku jaketku dan tape kecil yang kubawa. Aku
menceritakan pada Dr. Patel tentang malam di rumah sakit saat aku terbangun dan
menemukan The Duchess berdiri di sisi ranjangku. "Bajingan tak punya malu itu
mencoba mengendapendap dan meletakkannya di mejaku lalu pergi," kataku. "Dia
sangat pintar mengendapendap. Dia ahlinya. Hanya saja aku terbangun.
Menggagalkan usaha pelariannya. Dengarkan ini."
Aku menekan tombol piay. Mengamati Dr. Patel
saat dia mendengarkan pengakuan Joy
Saat selesai, Dr. Patel menarik napas. "Apa yang dilakukan pacarmu adalah
pengkhianatan yang sangat buruk," katanya. "Jelas bahwa dia adalah seorang
wanita muda yang sangat bermasalah. Tapi ...." Untuk beberapa saat Dr. Patel
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti kehilangan kata-kata. Berpikir. "Tapi, Dominick, seperti kau dan
aku seperti kita semua dia sedang berjuang. Kurasa dia berusaha mendapatkan
? ?pemahaman. Menjadi orang yang lebih baik. Bukan berarti itu menghapuskan apa
yang telah dia lakukan sama sekali tidak. Katakan padaku, bagaimana perasaanmu
?beberapa saat lalu ketika kau mendengarkan lagi kata-katanya?"
?"Aku ... aku tak tahu. Aku sudah mendengarkan kaset sialan itu berkali-kali. Aku
tidak ... kurasa aku mati rasa."
"Mengapa kau perdengarkan rekaman itu padaku dan bukannya menceritakannya saja
padaku?" "Aku cuma ... aku ingin kau mendengar apa yang mereka lakukan padaku. Maksudku,
merampas hal terintim yang bisa dilakukan oleh dua orang yang berpasangan dan ...
aku hanya ingin kau mendengarnya dari kata-katanya sendiri."
"Jadi, kau tidak tertarik mengeksplorasi perasaanmu tentang pengkhianatan Joy.
Atau kegagalan hubunganmu. Kau cuma memberiku tur di museum."
"Museum" ... Aku tak mengerti."
"Museum sakit hatimu. Perlindunganmu untuk menjustifikasi kemarahanmu." "Aku, uh
...." "Kita semua punya tempat seperti itu, kukira," katanya, "walaupun beberapa dari
kita lebih detail dalam merasakan sakit hatinya dibandingkan yang lain. Kau
masuk kategori ini, Dominick. Kau sangat teliti dan cermat dalam menganalisis
rasa sakit dan ketidakadilan yang ditimpakan orang lain padamu. Atau, kita bisa
mengatakan bahwa kau adalah koroner rasa sakitmu sendiri yang sangat teliti."
"Apa ... apa maksudmu" Merasakan lebih detail" "Coba kita lihat. Di museummu kau
punya monumen yang memperingati penderitaanmu pada masa kecil bersama Thomas.
Dan pameran ketidakadilan yang dilakukan ayah tirimu. Dan tentu saja, monumen
penolakan: altarmu untuk mantan istrimu?"
"Uh ...?" "Dan sekarang pameran yang paling baru. Rekaman yang kau perdengarkan
padaku yang seperti kau bilang tadi kau sudah mendengarkannya berkali-kali. ?Berkali-kali sehingga membuatmu mati rasa." Dr. Patel menghirup tehnya,
tersenyum manis. "Museum Ketidakadilan dan Penderitaan Dominick Birdsey,"
katanya. "Buka sepanjang tahun."
Sepanjang sisa sesi itu aku bersikap sopan. Tak banyak bicara. Aku tak mau
memberikan apa yang dia inginkan: kemarahan yang membuka kebenaran, kemarahan
yang menelanjangi jiwaku sehingga dia bisa membedahku seperti temannya yang
membedah semua kisah dongeng itu. Dr. Patel ini benar-benar berbahaya. Licik.
Pertama dia menipuku untuk mau datang menjalani empat sesi lagi, lalu dia
menghantam tepat di mukaku secara langsung.
Dr. Patel mengantarku sampai ke pintu. Sarannya, katanya padaku, ada-lah terus
membaca kisah kakekku. Apa pun yang kurasakan pada lelaki itu sebagai pribadi,
dia telah memberiku sebuah hadiah sesuatu yang sangat jarang diberikan oleh
?leluhur pada keturunannya.
"Yeah?" kataku. "Apa itu?"
"Suaranya dalam halaman-halaman manuskrip itu. Sejarahnya. Langsung atau tak
langsung, Dominick, kakekmu sedang bicara padamu."
Aku menyalakan Ford Escortku, keluar dari tempat parkir orang cacat. Aku sudah
ada di jalan raya sebelum sadar bahwa aku berhasil turun di tangga dari kantor
Dr. Patel tanpa merasa takut jatuh. Tanpa sadar bahwa aku sedang turun tangga.
Suara Papa. Suara Thomas. Suara Joy di kaset itu ....
Museum Penderitaan Dominick Birdsey. Persetan dia. Di lampu merah, saat menunggu
untuk masuk ke jalan tol, aku mengeluarkan kaset Joy dari sakuku. Melemparkan
benda sialan itu ke luar jendela. Sungguh menyenangkan melakukan itu.
Rasanya sangat menyenangkan.
Seperti itulah aku merasakan sakit di museumku.
Tiga Puluh Lima 28 Juli 1949 Dua malam sudah aku tak bisa tidur. Aku ingin melupakan, tapi hanya bisa
menangis mengingat hari-hari aneh ketika adikku Pasquale tak lagi menjadi pria
yang paling sederhana, tetapi paling membingungkan ....Omerta, Omerta, jiwa
Sisiliaku berbisik. Siienzio! Di Negara Tua, kode untuk diam adalah batu yang
dijatuhkan ke kolam. Lingkaran riak airnya melebar dan melingkupi semua.
Siciliani ingat, tapi tak berkata apa-apa. Namun otakku ingin memahami membuka ?rahasia adikku dan melihat ke dalam. Pasquale, aku bicara bukan untuk memalukan
namamu, tapi mencoba untuk terakhir kalinya agar bisa mengerti dan memaafkan ....
Putra kedua Mama dan Papa ini tidak diberkati dengan kecerdasan superior seperti
aku atau keinginan untuk meraih takdir sepertiku. Tidak seperti adik kami
Vincenzo yang tampan dan dipuja wanita, Pasquale tidak menggoda wanita dan
wanita tidak tertarik padanya. Berkahnya adalah untuk kerja buruh sederhana,
keras kepala, dan makan banyak. Setiap minggu, dia membayar Signora Siragusa
tujuh puluh lima sen untuk
makanan ekstra yang ditambahkannya ke kotak makan Pasquale untuk dibawa ke
pabrik: setengah lusin telur rebus, roti satu papan dan bukannya setengah,
sepotong besar keju, dan satu atau dua saisiccia panas bikinan signora.
Kadang, signora menambahkan makanan ekstra ke kotak makan Pasquale sebotol
?acar, favorit adikku. Kebiasan Pasquale adalah makan acar itu dengan
jarinya seperti insaiata improvvisata-\a\u meminum kuah acar itu. "Adikmu itu
?punya selera makan milik tiga orang sekaligus!" kata signora padaku, selalu
dengan tawa kecil seperti seorang ibu yang puas dengan selera makan anaknya.
Pada tahun-tahun saat dia bekerja di pabrik, Pasquale terkenal di antara para
pekerja karena selera makannya itu dan dihargai oleh para bos karena kerja
kerasnya yang didorong oleh energi yang dihasilkan oleh makanannya. Flynn, sang
agen, satu kali pernah berkata padaku bahwa Domenico Tempesta bekerja seperti
mesin dengan pelumas yang baik dan adiknya Pasquale bekerja seperti kuda bajak!
Dia tak banyak bicara, adikku yang satu itu. Apakah tahun-tahun saat dia bekerja
di tambang belerang sebagai caruso ayahku membuatnya sangat tertutup dan
pendiam" Masa kecilnya dihabiskan di lorong bawah tanah yang kotor dan bekerja
keras, sangat berbeda dengan masa mudaku yang bahagia di sekolah biara, tempat
aku dikirim karena natura speciaie-ku dan karena patung Vergine menangis di
depanku. Pada usia lima belas tahun, aku sudah melihat Palermo dan
Potenza! Aku sudah berenang di Adriatico, berdiri di antara reruntuhan Roma!
Tapi adikku yang malang dan sederhana hanya mengenal bebatuan dan kegelapan
perut bumi, bau menyengat belerang ....
Namun, aku ingat Pasquale sebagai seorang anak yang bahagia. Setiap Minggu,
ketika keluarga kami berkumpul, dia tertawa dan berlarian di desa dan perbukitan
dengan teman-temannya, sesama carus/-anak-anak sepucat jamur yang hanya
menikmati satu hari dalam seminggu di bawah matahari Sisilia. Mereka seperti
sekumpulan anjing muda, dengan permainan dan giuoco vioiento-nya. Para wanita
desa biasanya akan memarahi dan mengejar mereka dengan sapu di tangan, cemberut
sekaligus tersenyum melihat kenakalan anak-anak itu. Pemimpin dari para carusi
nakal ini adalah teman baik Pasquale, Filippo, yang wajah pucat dan tirusnya,
serta mata hitamnya, masih kuingat. Tanah longsor yang mengambil jiwa Papa juga
mengambil jiwa teman tersayang Pasquale, Filippo. Pada hari itu, bagian bahagia dari hidup Pasquale terkubur di tambang
selamanya. Si bajingan Indian malas, Drinkwaterlah, yang menghancurkan pekerjaan Pasquale
di pabrik tekstil. Suatu malam, dia menyelundupkan wiski ke pabrik dan membuat
adikku mabuk. Ketika Flynn keluar dari kantornya untuk melihat apa yang
menyebabkan keributan, dia memergoki Pasquale bernyanyi dan mengencingi cairan
pencelup sementara para gadis
penenun menjeritjerit dan mengintip di antara jari-jarinya yang mereka tutupkan
ke muka. Flynn memecat Pasquale, tapi dia tidak memecat Indian berengsek itu, sebuah
ketidakadilan yang membuatku marah hingga sekarang. Kalau situasinya berbeda,
aku mungkin memprotes tindakan Flynn atau bahkan berhenti dari pabrik demi nama
dignita di famigiia. Ha! Aku akan membiarkan Flynn menerangkan pada Baxter,
menantu pemilik pabrik, apa yang menyebabkan hilangnya dua pekerja malam terbaik
di pabriknya. Tapi seorang pria yang bersumpah untuk memenuhi takdirnya harus
siap ketika kesempatan datang! Awal minggu itu, koran telah memberitakan
transaksi antara kota Three Rivers dengan janda tua Rosemark. Akhirnya, lahan
petani itu akan dipecah menjadi kapling-kapling dan dijual. Jalan akan dibangun,
menurut koran, dan nama jalannya juga sudah dipilih: Hollyhock Avenue. Kapling-
kapling itu akan dijual pada akhir musim semi dengan harga lima ratus hingga
enam ratu dolar per kapling. Saat itu, tabunganku sudah mencapai seribu dua
ratus dolar. Aku memerlukan tabungan itu dan lebih banyak lagi jika aku ingin
menjadi Itaiiano pertama di Three Rivers Connecticut yang bisa memiliki tanah
sendiri. Karena itu, meskipun ketidakadilan sudah ditimpakan pada adikku
Pasquale oleh American Woolen and Textile, aku tak bisa mempertahankan nama
keluarga sekaligus mengorbankan kesempatan mempunyai rumah.
Untungnya, adikku dipecat saat musim semi. Pasquale langsung mendapatkan
pekerjaan baru sebagai pemasang atap di Werman Construction Company. Suatu
malam, mabuk di bar yang dia datangi bersama teman-teman kerjanya, Pasquale
membeli seekor monyet dari seorang pelaut yang baru saja kembali dari
Madagaskar. Monyet kurus itu tak lebih besar daripada kucing dengan bulu oranye,
mata dan jari seperti manusia. Pasquale menamai monyet itu Filippo untuk
menghormati sahabat masa kecilnya dan membuatkan kandang yang atas izin Signora
Siragusa ditempatkan Pasquale di beranda depan. Monyet itu langsung menjadi
attrazione para tetangga karena spesiesnya yang eksotik dan kondisinya yang
rapuh. Makhluk sialan itu hamil!
Filippo dengan cepat berganti Filippa. Beberapa gadis dari West Side merajut dan
menjahit topi dan baju untuk makhluk bodoh itu. Pemondok lain di Signora
Siragusa, seorang penyetel piano bergigi emas (namanya lupa), bahkan menulis
lagu tentang monyet itu yang berjudul "La Regina Piccoia".' Si strombazzatore
ini memainkan lagunya, basso profondo, di beranda depan sepanjang musim panas.
Setiap permainannya membuat para wanita meneteskan air mata. Sedangkan aku, aku
memilih menutup telinga dengan kedua tanganku dan menutup jendela.
Bulan Agustus, bayi monyet Filippa lahir mati. Dia memeluk bam-binonya yang
kaku, mati, dan * Sang Ratu Kecil mengerut itu selama dua, tiga hari penuh, dan ketika akhirnya dia bisa dibujuk
untuk menyerahkan mayat bayinya, dia meneteskan air mata yang kulihat dengan
mata kepalaku sendiri! Adikku Pasquale juga menangis menangis seperti dia tak ?pernah menangisi Papa atau Mama atau Vincenzo atau bahkan temannya Filippo. Dia
mengubur bayi monyet itu di halaman belakang dan memeluk sang ibu yang berduka
di pangkuannya, mengelus dan mengayunnya selama berjam-jam menggumamkan "Sang
Ratu Kecil" bukan dengan gaya opera seperti sang penyetel piano, tapi sebagai
?senandung untuk menenangkan, sedih tapi menenangkan. Adikku hampir tak pernah
bicara dan sekarang, untuk scimmia kecil sialan itu dia menangis dan bernyanyi!
Pasquale berduka seakan-akan bayi Filippa adalah bayinya juga ....
Omerta, ucapku sendiri! Omerta! Tapi aku adalah pria tua dengan punggung seperti
zuppa dan kepala dibebani dengan memori .... Aku bicara tidak untuk membuatmu
malu, Pasquale, tapi untuk mengerti kenapa.
Kenapa, Pasquale" Kenapa"... Adikku mulai membuka kandang Filippa dan membawa
monyet bau itu ke tempat kerja. Setiap pagi, keduanya berangkat dari rumah
signora, Pasquale berjalan kaki dan Filippa nangkring di bahunya. Sepanjang hari
Pasquale akan memalu, mengangkat genteng dan bersiul-siul, setengah hari dengan
kotoran monyet yang mulai mengering di belakang baju atau mantelnya. Kadang saat
adikku bekerja, Filippa bertengger di puncak bangunan yang setengah selesai atau pohon
di dekat situ, mencari kutu di rambutnya dan memakannya tak peduli sementara dia
memandang dan dipandangi Pasquale.
Saat musim dingin datang, Pasquale membuat perjanjian dengan signora Siragusa.
Sebagai imbalan mengizinkan Filippa masuk rumah dan tinggal di ruang bawah tanah
tempat penyimpanan batu bara selama musim dingin, Pasquale akan mengurus pemanas
dan membawa ranjangnya ke bawah tanah, sehingga kamarnya di atas bisa digunakan
untuk pemondok baru. Musim dingin itu adikku terlihat bahagia, kembali hidup di bawah tanah seperti
saat jadi caruso, keluar dari ruang bawah tanah signora hanya untuk makan atau
pergi ke bar. Monyet bodohnya selalu menemani, dimasukkan ke depan mantelnya,
kepala kurusnya nongol di antara lubang kancing.
La lingua non ha ossa, ma rompe ii dorso!' Saat musim semi, para wanita Italia
mulai bergosip, terkikik, dan bertanya-tanya kapan Pasquale Tempesta dan "istri"
kecilnya yang manis akan punya bambino lagi, ha-ha-ha. Signora Siragusa sendiri
berbisik padaku kalau dia pernah melihat Pasquale dan monyet penyihir itu
berpegangan tangan dan saling berbisik, bahkan berciuman bibir! Para pria juga
bicara. Mereka tak lebih baik. Colosanto, tukang roti, menghentikanku di jalan
suatu hari dan bertanya padaku, dengan tertawa,
* Lidah memang tak bertulang, tapi bisa mematahkan punggung!
apakah benar adikku yang gila itu mengajari monyetnya bagaimana memainkan
"pipanya?" "Bah!" kataku padanya, dan mendorongnya ke samping. "Masukkan saja pipamu ke
adonan dan panggang di oven!"
Suatu kali aku sedang berada di rumah potong rambut Salvatore Tusia, bercukur
dan mengurusi urusanku sendiri, ketika Picicci, tukang es masuk. "Hei, janggut
siapa yang kau cukur itu, Salvatore?" tanya Picicci ke Tusia. Picicci adalah
pria sok pintar dengan senyum sok di faccia brutta-nya.
Tusia bilang ke Picicci kalau dia tahu benar siapa aku. Aku adalah Tempesta,
seorang pencelup di American Woolen and Textile.
"Oh, ternyata Tempesta, ya" Paman sang monyet!"
Setiap orang di tempat pangkas itu menertawakanku pagi itu, bahkan juga si
tukang cukur sialan yang kubayar untuk mencukur mukaku. Aku berdiri, walau belum
selesai dan mengatakan persetan pada mereka semua keluar dari sana dengan muka ?masih bersabun dan kain Tusia menggantung di dadaku. Dalam perjalanan pulang,
aku mengusap mukaku dan membuang kain sialan itu di got daripada
mengembalikannya lagi ke Tusia. Biarkan dia membeli lagi dan tertawa! Aku juga
membalas Picicci. Minggu depannya, di kota, dia memanggilku dari seberang jalan
dan bertanya mengapa induk semangku, signora Siragusa, membeli es dari
Rabinowitz si Yahudi dan bukannya membeli dari seorang paisano. Aku ingat, hari
itu jalan lumayan penuh, dan di depan Picicci ada tiga atau empat pelanggan menunggu
giliran. Aku berteriak padanya kalau es Rabinowitz harganya lebih murah dan
Rabinowitz juga tidak mengencingi esnya sebelum membekukannya. Dua pelanggan
pergi dari kereta es Picicci dan dia mengangkat tinju, memakiku, dan menendang
kudanya. Kalau si bajingan itu memanggilku "paman monyet" maka dia akan
membayarnya dengan mahal!
Tapi nama baik keluarga adalah beban yang berat kalau semuanya harus ditanggung
oleh anak sulung. Adikku Pasquale terus tersenyum dan membawa Filippa keliling kota, telinganya
tuli terhadap lelucon dan ejekan dari para paisani. Setiap hari, setiap aku
pulang kerja, aku akan berbaring di ranjang dan memejamkan mata, menggertakkan
gigi dan menggenggam tinju. Aku bisa mendengar semua orang Three Rivers
menertawai nama Tempesta karena Pasquale dan monyet sialannya itu. Sekali lagi,
aku terpanggil untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan adikku.
Pikiran pertamaku adalah mengendapendap ke ruang bawah tanah signora pada tengah
malam dan mencekik leher kurus binatang bodoh itu! Tapi aku sudah belajar dari
pengalamanku dengan Vincenzo, a buon'anima, tak ada gunanya memaksakan kehendak
pada adik yang keras kepala. Maka aku memilih jalan yang lebih halus dan lebih
cerdik, yang membutuhkan kesabaran dan bakatku sebagai seorang perencana. Aku
menyusun rencanaku sepanjang musim dingin, dengan gambaran lahan Rosemark itu selalu dalam
pikiranku. Pada 13 Februari 1914, aku membeli seperempat ekar kapling di bagian barat
Hollyhock Avenue dengan harga tiga ratus empat puluh dolar. Aku cukup pintar
untuk menyadari bahwa dua bersaudara yang bekerja dengan tekun dapat membangun
sebuah rumah dengan cepat dan casa di due appaetamenti' itu akan memberikan
tempat berlindung sekaligus pendapatan sewa bagi pemiliknya. Aku sudah berusia
tiga puluh enam tahun. Meskipun aku bukan kambing tua dengan cazzu beku seperti
adikku Vincenzo, aku juga punya gairah pria dan keinginan kuat meneruskan nama
Tempesta untuk putra Italia-Amerikaku! Aku juga menganggap adikku Pasquale punya
gairah dan dorongan yang sama, tak peduli berapa banyak monyet sialan itu
berhasil mengalihkan perhatiannya, dan aku memasukkan dugaan itu dalam
rencanaku. Dua rumah berdampingan, pasti membutuhkan dua keluarga.
Aku menulis pada sepupuku di Brooklyn, menanyakan tentang gadis Italia,
khususnya siciiiani yang bisa berkenalan dengan kami. Aku tak mau istri
kelahiran kota untuk adikku dan aku jadi mereka tak akan punya ide aneh-aneh. ?Siciiiani adalah wanita paling sederhana dan wanita sederhana akan menjadi istri
yang paling baik. Sebagai pemilik tanah, aku ingin menerapkan syarat yang ketat.
Mereka harus perawan, tentu saja.
* Rumah kopel Untuk alasan ini, aku sudah mendiskualifikasi semua signorini di Three Rivers.
Siapa yang tahu gadis mana yang sudah dinodai Vincenzo" Mereka semua mungkin
saja! Istri-istri Domenico dan Pasquale Tempesta juga harus enak dipandang dan
berbakat memasak serta mengurus rumah. Selain itu, mereka harus bermartabat dan
berbakti serta rendah hati. Dan yang paling penting, mahar yang diberikan
keluarga mereka harus cukup besar untuk mengisi dua appartamenti besar.
Tuhan menganugerahiku musim semi yang datang lebih awal tahun itu. Bulan Maret,
salju sudah mencair dan saat Paskah, Pasquale dan aku sudah membersihkan lahanku
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mulai menggali, sekop demi sekop, fondasi untuk rumah kopelku.
Rumahmu akan jadi magnifico-gaya Amerika di depan dan Sisilia di belakang.
Setiap apartemen akan punya tujuh kamar, dua lantai, dan saluran pipa di dalam
rumah. Rumahku harus seperti istana bagi siciiiano pertama yang menjadi pemilik
tanah di Three Rivers, Connecticut! Dan di belakang, tangga semen akan membawaku
ke Sisilia! Aku akan menanam honeysuckle, pohon peach, anjangan anggur, dan
kebun tomat. Rempah ditanam di pot, kandang ayam, kandang kelinci, dan mungkin
kambing yang makan rumput di halaman belakang untuk sedikit susu. Di halaman
belakang rumah besarku, aku akhirnya berada di rumah lagi!
Ketika Pasquale dan aku bekerja bersisian musim panas itu, aku bicara tentang
semua rencana ini dan tentang masa kecil bahagia kami di Sisilia dan
tentang ibu kami yang penuh kasih. Dengan kata-kata puitis, aku bicara tentang
kebangkitan kembali hidup. Kami akan menjadi dua saudara paling bahagia nanti
apabila di rumah kami yang baru bergema suara tawa bambini-apabWa aroma roti
panggang, saus, dan bawang yang digoreng dalam minyak zaitun mengambang keluar
dari jendela dapur yang terbuka di rumah yang kami bagi, satu untuk setiap sisi.
Dan sekarang mumpung kita membangun rumah, bukankah sudah saatnya kita mencari
istri" Pasquale mengangkat bahu dan terus menyekop. Dia bilang masih bisa mendengar
Mama berteriak, tapi sudah lupa wajahnya.
Aku bilang padanya kalau aku baru berkomunikasi dengan surat dan teiegramma
dengan Lena dan Vitaglio, sepupu kami di Brooklyn. Tetangga sepupu kami, Iaccoi
bersaudara apa Pasquale masih ingat dua tukang pipa dari Palermo itu" Iaccoi ?bersaudara punya berita besar. Adik tiri mereka, Ignazia, tujuh belas tahun,
akan datang musim panas ini dari Italia, dengan seorang cugina wanita,
Prosperine, usia delapan belas tahun. Kedua gadis itu adalah gadis yang
berbakti, dan ingin menyenangkan suami. Mereka juga pintar memasak! Dan cantik
wajah maupun tubuhnya montok dan siap untuk dipetik!
?Sepanjang sore, aku bicara tentang anak-anak dan dorongan alami pria, serta
kebahagiaan punya rumah dan istri. Saat matahari tenggelam, ketika kami berdua
berjalan pulang ke pemondokan sambil
memanggul sekop, aku mengajukan usul yang murah hati: Pasquale dan aku akan naik
kereta ke Brooklyn saat Natal nanti, mengunjungi sepupu kami dan Iaccoi
bersaudara yang tinggal di sebelah, dan memutuskan apakah kami menyukai yang
kami lihat. Mungkin akan lebih masuk akal untuk memasangkan gadis yang lebih tua
dengan kakak, dan viceversa, tapi itu bisa diputuskan nanti. Lagi pula, apa
masalahnya kalau kedua wanita muda itu sama-sama perawan cantik di puncak usia
?kesuburannya" Bukankah mereka berdua bisa memuaskan gairah pria" Kalau adik
tercintaku mau menikahi adik tiri Iaccoi maka dia boleh tinggal di sisi kiri
rumah kopelku. Aku tak akan menarik sewa untuk setahun pertama. Setelah itu,
Pasquale bisa merundingkan sewa tahun berikutnya, dengan harga yang tak terlalu
mahal tentunya jumlahnya bisa ditentukan kemudian. Mengapa terburu-buru, ya,
?kan" Pasquale juga tak perlu khawatir tentang mahar. Sebagai putra tertua
Tempesta dan seorang pemilik tanah bernaluri bisnis tinggi, akan menjadi sebuah
kehormatan bagiku untuk melakukan negosiasi itu atas namanya, hahaha.
Mendapatkan mahar yang pantas untuknya. Kalau Pasquale membutuhkan bantuan untuk
biaya pernikahan, aku juga akan senang membantu. Lagi pula seorang bos pencelup
penghasilannya pasti lebih besar daripada seorang pemasang atap. Itu memang
kenyataan ha ha! Dan begitu rumah selesai dibangun dan para pengantin muda kami
?menjemur seprai bernoda darah perawan mereka di halaman
belakang, Pasquale, tentu saja pasti akan menyingkirkan monyet bodoh itu.
Pasquale meludah, ludah tembakau yang di-kunyanya dan menggeleng.
Pasquale Tempesta, a buon'anima, kadang bisa keras kepala seperti keledai
seperti kakaknya Domenico yang pintar! Aku tak ingin membangunkan muio di dalam
dirinya hari itu. Baiklah, baiklah, kataku pada adikku, menepuk punggungnya dan
tersenyum lebar. Monyet itu boleh tinggal di kandang di halaman belakang hingga
dia mati nanti. Tapi senyampang kita mendiskusikan masalah ini, kataku, Pasquale
sebaiknya berhenti membawa Filippa bekerja bersamanya. Orang-orang mengatakan
hal buruk, membuat lelucon jorok. Nanti apabila dia sudah punya istri cantik
yang bisa mengalihkan perhatiannya dan memberinya kesenangan, Pasquale tak lama
lagi akan punya "monyet-monyet kecil" sendiri. Dia akan segera melupakan tikus
berekor panjang itu. Adikku yang keras kepala seperti keledai itu melemparkan
sekopnya dan mengatakan padaku tak akan lagi mau mengerjakan rumah di mana
Filippa tidak diperbolehkan masuk ke dalam.
"Ke dalam?" teriakku. "Ke dalam?"
Negosiasi berlangsung saat makan malam hingga larut malam, dan kadang menjadi
sangat keras sehingga pemondok lain mengeluh dan Signora Siragusa terpaksa turun
tangga dengan rambut terkepang dan gaun tidur, memintaku dan Pasquale berbicara
dengan berbisik atau dia akan mengusir
kami keluar. Adikku, keledai keras kepala itu, bergeming di ruang tengah signora
dan menggelengkan kepala seperti metronom. Apa pun yang telah kujanjikan pada
Iaccoi bersaudara, katanya, dia tak tertarik punya istri titik. Dia bersedia
mematahkan punggungnya membantuku membangun rumahku. Dia bahkan bersedia mati
untukku. Tapi dia tak akan menggantikan Filippa kecilnya dengan istri dan tak
akan mau lagi bekerja di rumah di mana monyetnya tak diterima.
Ketika aku dan Pasquale akhirnya berdiri dari kursi ruang duduk Signora Siragusa
pada tengah malam yang panjang dan sulit itu, wajahku panas dan tubuhku basah
berkeringat. Aku mengumpat dan meludah di tempat ludah signora lalu dengan
enggan menjabat tangan adikku. Ha! Ataukah lebih tepat kukatakan kalau aku
menjabat kaki depan keledai yang keras kepala" Sebagai ganti dari bantuannya
membangun casa di due appartamentiku hingga selesai, Pasquale mendapatkan dua
dari empat ruangan di sisi rumah bagianku, bebas sewa bukan hanya setahun, tapi
selamanya! Satu kamar akan menjadi tempatnya tidur dengan Filippa dan ruang lain
adalah kamar bermain yang khusus diperuntukkan bagi ruang ricreazione monyet
sialan itu! Tapi apa yang bisa kulakukan" Membayar dua atau tiga pekerja malas
untuk melakukan apa yang dilakukan adikku secara gratis, meskipun itu mematahkan
punggungnya" Setelah tidur, aku jadi tenang lagi. Aku sudah mulai punya rencana baru di
otakku yang superior. Diam-diam aku akan meneruskan negosiasi dengan Iaccoi bersaudara, menikahi
sepupu mereka yang cantik dan membawa adik tiri mereka yang cantik ke Three
Rivers untuk tinggal bersama kami. Lalu alam akan mengaturnya sendiri. Sebagai
suami yang bahagia, aku seperti biasanya akan menjadi teladan bagi adikku. Adik
tiri itu pasti akan membangunkan keinginan lelaki dalam diri Pasquale. Akhirnya,
adikku yang keras kepala itu akan menyerah juga.
1 Agustus 1949 Sepanjang musim panas dan musim gugur itu aku bekerja pada malam hari dan
membangun rumah baruku saat siang hari, berhenti hanya pada sore hari untuk
makan dan tidur. Pasquale memasang atap rumah untuk Werman hingga pukul empat
sore tiap hari, lalu bekerja di Hollyhock Avenue hingga malam selalu bersama ?monyet sialan itu di dekatnya atau nangkring di bahunya. Adikku dan aku
menyantap makan malam dingin bersama di dapur signora sebelum dia turun ke ruang
bawah tanah untuk tidur dan aku berjalan ke pabrik untuk bekerja. Pada hari
Minggu, Pasquale dan aku bekerja berdampingan membangun rumah baruku. Hari-hari
Minggu itu adalah hari-hari yang terbaik: dua pria muda bersaudara yang kuat
mewujudkan mimpi jadi kenyataan, papan demi papan, bata demi bata ....
Ketika musim dingin membekukan tanah tahun itu dan menghentikan proses
pembangunan hingga musim semi, aku dan Pasquale pergi ke bar tempat
para pekerja bangunan minum aku tidak bermaksud membuang uangku untuk bir dan
?wiski, tapi aku ingin duduk di kursi bar dan mencuri isi otak para pekerja itu.
Instai/atori, eiettricisti: aku membujuk para pekerja yang sedang tak ada
pekerjaan sepanjang musim dingin itu untuk bicara dan menggambar di tisu,
berbagi detail pekerjaan mereka. Sepanjang musim dingin itu aku bertanya, men-
de-ngar, dan belajar apa yang aku butuhkan. Dan aku tak mengeluarkan uang
sepeser pun! Kadang setelah semalam mencelup wol di pabrik, aku akan berjalan ke rumah
pemondokan Signora Siragusa terus ke Boswell Avenue dan Summit Street ke
Hollyhock Avenue di mana matahari pagi menyinari batu bata, papan, batu rumahku
yang baru setengah dibangun. Saat itu, aku teringat kerja keras Papa sepanjang
hidupnya di tambang belerang yang kotor dan panas di Giuliana dan membayangkan
dia berdiri di sampingku dalam udara pagi Connecticut yang segar. Aku
membayangkan dia melihat apa yang kulihat menggelengkan kepala dengan bangga ?dan tak percaya. Tapi bukan darah Papa yang kurasakan mengalir deras dalam
diriku saat aku menatap rumah dan tanahku. Aku merasakan darah Ciccia darah
?leluhur ibuku pemilik tanah seperti itu, Domenico Tempesta, yang dibuahi saat
?Gunung Api Etna bergemuruh dan siap memuntahkan isi perutnya! Domenico Onofrio
Tempesta yang dipilih sendiri oleh Sang Perawan Suci!
Bulan Desember tahun itu, aku menerima
telegramma dari Iaccoi di Brooklyn. Mereka menanyakan kapan kami, Tempesta
bersaudara, akan datang untuk mengambil para calon istri kami. "Kerabat kami
yang cantik dan muda menunggu dengan sabar," kata pesan itu, "tapi hanya masalah
waktu sebelum pengaruh 'Mericano mulai memengaruhi kepala mereka." Industri
garmen di Manhattan sangat membutuhkan tenaga kerja wanita, tulis dua bersaudara
itu. Maka cukup adil kalau salah satu atau kedua wanita muda itu berusaha
membantu pendapatan, kecuali jika aku dan Pasquale berencana untuk bertindak
cepat. Aku mengirim telegramma yang mendorong mereka mengizinkan kedua gadis itu
bekerja, apa saja dan menyisihkan lebih dari separuh upah mereka untuk
meningkatkan jumlah mahar mereka, yang masih akan dinegosiasikan kemudian. Aku
tak merasa perlu tergesa-gesa. Lagi pula, aku adalah bos pencelup dan pemilik
casa di due appartamenti yang spektakuler ini meskipun baru setengah selesai.
Aku juga seorang pria kalau cermin setinggi badan di lorong depan rumah Signora
?Siragusa tak berbohong yang sangat tampan memakai setelan three pieces. Apa
?gunanya bersikap rendah hati" Tak ada salahnya membiarkan wanita menunggu; itu
membuat mereka tahu siapa bosnya dan siapa yang bukan. Menunggu juga baik bagi
wanita. Juga baik bagi Iaccoi bersaudara. Mereka akan lebih menghargai hadiah
yang diberikan Pasquale dan aku terhadap para wanita mereka nanti. Lagi pula
sedikit kegugupan di pihak
mereka akan menaikkan mahar, aku akan meminta tujuh ratus dolar untuk menikahi
Prosperina dan empat ratus untuk menikahkan adikku dengan Ignazia. (Tentu saja
aku harus menegosiasikan perkawinan adikku tanpa sepengetahuan Pasquale). Iaccoi
bersaudara pasti akan berkeberatan dengan mahar itu, tapi aku akan tegas. Dengan
semua toilet dalam yang sedang tren di Amerika, dua tukang pipa itu mungkin bisa
membayar mahar tiga kali lipat.
Pada awal musim semi, 1915, Pasquale dan aku meneruskan pekerjaan menyelesaikan
pafazzo-ku, memasang beton penyangga lantai dua dan menempatkan kosen jendela
granit, lantai marmer Sisilia di de-pan dan di belakang. Kami memaku jendela dan
kosen pintu dan engsel, membangun cerobong asap, dan dinding antarruang. Di
dinding depan lantai dua, aku memasang batu bata secara diagonal dalam bentuk
huruf T setinggi tiga kaki agar bisa dilihat oleh seluruh kota! Ini kulakukan
untuk menghormati ayahku dan meningkatkan nama Tempesta. Pada musim gugur akhir
tahun itu, kerangka batu bata, batu, dan kayu rumah sudah selesai. Pada musim
dingin nanti atapnya sudah akan terpasang.
Selama musim pembangunan itu, orang-orang Italia di Three Rivers mampir untuk
berkunjung dan memberikan selamat atas "istana" yang hampir selesai. Pasquale
dan aku mendapat hadiah kue, keju, dan anggur buatan sendiri disertai doa
keberuntungan. Ha! Setiap orang ingin berada di
dekat kemurahan hati seorang pria yang sukses.
Aku menangis apabila ingat apa yang terjadi kemudian. Pada 12 Oktober 1915,
tragedia terjadi di rumah nomor 66 dan 68 Hollyhock Avenue.
Saat itu, aku sedang mengaduk semen untuk jalan di depan. Pasquale duduk di
tangga beranda, mengunyah makan siangnya dengan porsi untuk tiga pekerja.
"Lihat, Domenico, dua gagak mendekat," dia menggerutu, mengarahkan janggutnya ke
jalan. Uskup McNulty dan monyet kecilnya, si kurus Pastor Guglielmo, berdiri
memandangi kami dengan jubah hitam mereka. Lebih baik abaikan saja, kataku dalam
hati, dan terus mengaduk semen. Kalau uskup tua itu menemukan lagi seorang anak
bastardo Vincenzo, apa hubungannya denganku" Vincenzo sudah mati, a buon'anima.
Anak haram yang dia tinggalkan bukanlah tanggung jawabku.
Mereka berdua mendekat; pastor tua itu mulai dengan pujian. Pembangunan rumah
yang mengesankan ini dan statusku sebagai bos di pabrik telah membuatku sebagai
seorang pemimpin di tengah komunitas Italia. Apa aku tahu itu"
Ya, aku tahu itu, kataku padanya. Sepanjang hidupku aku selalu menjadi teladan
untuk diikuti orang lain. Adikku Pasquale diam saja mengunyah rotinya dan
menganggukkan kepala tanda setuju.
Ya, ya, ya, Domenico Tempesta memang pria yang patut dihormati dan ditiru, kata
uskup. Dia memoles kata-katanya dengan manis sehingga perkataan pahit yang dia katakan
selanjutnya sangat mengejutkanku.
McNulty berdiri sangat dekat denganku sehingga aku bisa melihat pembuluh darah
di pipinya, bopeng di hidungnya. "Karena itu," bisiknya, "kau berdosa
besar karena mengabaikan misa Minggu! Kegagalan untuk menghormati Tuhan pada ?hariNya! Mencemooh hukum suci." Tepat saat itu, Pasquale bersendawa karena
meminum kuah acarnya sendawa yang panjang dan lama dengan klimaks seperti suara
?petir saat udara bergerak dari kerongkongannya dan keluar dari mulut. Mata
Pastor Guglielmo kecil membelalak ketakutan mendengar sendawa itu dan dia
meletakkan jari di depan mulutnya meminta Pasquale untuk diam. Tingkat kehadiran
orang "Eyetalian" di kedua gereja turun drastis kata sang uskup, dan dia maupun
Tuhan Yang Mahakuasa menganggapku bertanggung jawab. McNulty bilang
ketidakhadiranku di Misa Minggu membuatku menanggung tak hanya dosaku sendiri,
tapi dosa semua orang Italia yang tak pergi ke gereja. Aku harus mendahulukan
Roh Kudus dibandingkan dengan setumpukan batu bata dan mengakui kesalahanku, dan
kembali ke Misa agar bisa dilihat semua orang pada hari Minggu nanti. Pada
bagian ini, Pasquale berdiri dari duduknya, berjalan ke samping rumah dan
kencing. Lalu dia melemparkan isyarat ciuman ke Filippa, dan bersiap-siap
kembali bekerja. Awalnya aku berusaha bersikap hormat pada pastor berwajah anjing itu. Aku
tersenyum dan berjanji akan kembali ikut Misa Minggu begitu empat pintu di
rumahku selesai dipasang, dua puluh dua jendela sudah dipasangi kaca, dan
atapnya terpasang. Aku menunjukkan jempolku ke arah Pasquale, yang sekarang
sedang menaiki tangga ke atap yang baru setengah terpasang, dengan Filippa di
salah satu bahunya, dan setumpuk kayu di bahu yang lain. "Dan sekarang setelah
Pasquale makan siang," gurauku, "dia mungkin akan selesai memasang atap itu
malam nanti, meskipun ukurannya memang besar. Orang sering bilang kalau aku
bekerja seperti mesin yang berpelumas baik dan adikku bekerja seperti kuda
bajak." Uskup McNulty bilang bahwa kesombongan mungkin adalah dosa terbesar dan
kebanggaanku terhadap kepemilikan duniawi di atas kesalehan sangat mengejutkan
dan sesat. Dia bilang, dia berharap dan berdoa tak akan ada azab yang ditimpakan
padaku. Lalu dia menurunkan suaranya dan membuat komentar tentang pria dan
monyet yang membuat Pastor Guglielmo memerah wajahnya.
Aku berhenti mengaduk semen. Di tanganku, sekop terasa seperti senjata pembunuh.
"Vai in mona di tua soreiia!" kataku padanya.
"Terjemahkan! Terjemahkan!" pinta pastor tua itu pada Pastor Guglielmo yang
pendiam, tapi tulus. Dengan terbata-bata, pastor muda itu bilang kalau aku meminta mereka berdua
pergi sekarang. "Aku bilang pergi kalian berdua dari sini, Sialan!"
teriakku pada uskup Wajah-Anjing kali ini dalam bahasa Inggris. "Aku bilang,
pulang sana dan tiduri saja adik perempuanmu!"
Pastor Guglielmo mengangkat kedua tangannya dalam usaha untuk menegosiasikan
perdamaian, tapi sang uskup mengulurkan tangan dan memukul kepalanya. Lalu dia
berjalan cepat ke jalan memerintahkan Guglielmo untuk mengikutinya. Ketika
pastor kecil itu sudah mengikutinya, McNulty mengarahkan telunjuknya padaku dan
berteriak dengan suara keras untuk mempermalukanku dan bangsaku. Sebuah rumah di
mana pemiliknya telah mengusir utusan Tuhan, katanya dan mengusir dengan kata-?kata yang sangat vulgar yang hanya bisa diucapkan oleh orang Italia maka rumah
?itu akan ditinggalkan Tuhan, terkutuk dari puncak hingga dasarnya! "Tunggu dan
lihat saja, Tempesta!" teriak uskup tua itu. "Camkan kata-kataku ini!"
Ketika dia berpaling, aku menyekop semen dan melemparnya. Semen itu jatuh
mengenai punggung sang uskup, menetes di jubahnya seperti kotoran monyet. Pastor
tua dan muda itu terburu-buru lari turun bukit, McNulty berteriak-teriak dan
memukuli asistennya beberapa kali lagi, dan bahkan menendangnya sekali.
Rumahku yang dikutuk oleh utusan Tuhan bukanlah masalah sepele, tapi Pasquale
tidak paham seriusnya peristiwa yang baru terjadi. Di atap, suara tawanya
menggelegar hingga ke pepohonan.
"Tutup mulut dan mulai bekerja!" teriakku, dan melemparkan semen ke arahnya dan
Filippa. Tindakanku itu menakutkan monyet sialan Pasquale, dan monyet itu
melompat dari bahu tuannya, berlari-lari di puncak atap. Dengan satu lompatan
besar dia mendarat di pohon maple besar.
Saat makan siang tadi, adikku Pasquale juga telah meminum sebagian besar anggur
keberuntungan kiriman Pippo Conti, sesama pemasang atap yang berkunjung pagi itu
saat akan berangkat ke Misa Minggu. Pasquale sedang bersiul-siul dan memasang
atap ketika dia mendengar, mengatasi suara palunya, jeritan minta tolong
Filippa. Monyet itu duduk di puncak pohon terdekat, dan tiba-tiba dikerumuni
sekelompok burung bluejay yang marah. Pasquale berdiri dan lari untuk membantu
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
binatang peliharaannya, melupakan ruang kosong di antara atap dan pohon.
Dia jatuh. Aku melihatnya sendiri. Palu di tangan, dia jatuh menimpa tangga ke fondasi di bawah.
Aku melihatnya dan mendengar suara tulang belulang adikku yang patah saat
menimpa lantai ruang bawah tanahku. Saat aku berlari mendekatinya dan mengangkat
kepalanya ke pangkuanku, kepalanya tergolek lemas seperti boneka yang patah.
"Dio di scampi! Dio di scampi!" teriakku, lagi dan lagi. Seandainya tadi aku
menahan lidahku menghadapi pastor tua itu! Seandainya saja aku tidak melempar
semen padanya! Filippa yang sudah berhasil melarikan diri dari burung-burung bluejay itu dan
turun dari pohon, meringkuk di dada Pasquale, salah satu jarinya memilin rambut
Pasquale. Mulut Pasquale bergerak-gerak, kata-kata terakhirnya, "Filippa ...
Filippa." Dengan kepedihan yang sangat mendalam aku melihat sinar kehidupan meninggalkan
adikku! "Filippa ... Filippa," bibirnya terus bergerak, dan aku bersumpah pada
adikku yang sekarat, demi leluhur dan keturunan kami, aku akan merawat monyet
kecilnya. Lalu tubuh Pasquale bergetar untuk terakhir kalinya, dia muntah darah
dan matanya menjadi kosong.
Sekarang, aku sendirian ....
Pasquale disemayamkan selama tiga hari di ruang duduk rumah pemondokan. Signora
Siragusa menangisi adikku seperti ibu menangisi anaknya. Posisiku yang terhormat
di kota, juga besarnya efek tragedi ini, membuat sebagian besar orang Italia di
Three Rivers datang menyampaikan bela sungkawa. Flynn, sang bos pabrik, datang
dengan istrinya. Werman, pemilik perusahaan konstruksi tempat Pasquale bekerja,
datang dengan dua putranya. Saat misa pemakaman di gereja St. Mary of Jesus
Christ yang penuh sesak, uskup muka anjing itu tetap bersikap sok yang sangat
menyinggungku. Setelah adikku dimakamkan di sebelah Vincenzo,
aku duduk dan menulis surat keluhan pada Paus di Roma. (Tak pernah dijawab.)
3 Agustus 1949 Pencernaanku bermasalah sejak Selasa. Rematik membuat persendianku sakit.
Tubuhku memang tak kuat lagi, tapi memoriku masih kuat!
Meskipun Pastor Guglielmo menghiburku pastor kecil itu mengunjungiku beberapa ?kali setelah kematian Pasquale aku tidak kembali ke gereja saat salju mencair.
?Aku bersumpah tak akan lagi menginjakkan kaki ke rumah Tuhan selama uskup
berengsek itu masih hidup. Dan aku menuliskan dengan bangga bahwa aku memenuhi
sumpah itu! Setelah kematian tuannya, Filippa, si "ratu kecil" yang manja yang telah
menyebabkan kematian adikku, meringkuk gemetaran di pojok kandangnya di beranda
rumah. Kadang pada malam hari, melalui jendela yang terbuka, aku mendengar
ocehan dukanya yang aneh suara berisik saat dia membenturkan badan ke
?kandangnya. Signora Siragusa, wanita tua yang paling percaya takhayul, mulai melihat // mai
occhio-mata setan di pandangan monyet itu. Anak-anak dan para nenek mulai
?menghindari makhluk itu dan membuat tanda salib setiap kali keluar masuk rumah
pemondokan. Signora mendesak agar aku memindahkan kandang makhluk itu ke beranda
belakang. Di sana, anak-anak lelaki meludahinya dan menusuk-nusuknya dengan
tongkat, dan monyet itu duduk, mendesis, dan gemetaran.
Americo Cavoli, keponakan signora, punya hobi menyiksa makhluk malang itu. Aku
tahu hal itu terus berlangsung, tapi apa yang bisa kulakukan" Berhenti bekerja"
Tidak tidur untuk terus mengawasi monyet sialan itu"
Sebagai bos pencelup dan pemilik tanah, aku tentu saja menganut ide modern,
menganggap adanya // mai occhio di mata monyet itu hanya kebodohan wanita. Aku
tidak menganggap Filippa sebagai penyihir, tetapi sebagai pengganggu satu lagi
?beban pengeluaran di antara berbagai pengeluaran yang harus kutanggung karena
pembangunan rumah baruku dan biaya pemakaman adikku. Dengan pikiran yang lebih
praktis, aku mulai melihat betapa tidak menguntungkannya janji yang kubuat
dengan terburu-buru di depan adikku yang sekarat. Untuk penghematan, aku
mengganti campuran pisang, gandum, dan madu yang biasa diberikan Pasquale pada
Filippa dan memberinya makan kulit kentang dan sampah lain dari dapur Signora
Siragusa. Signora mulai mengeluh tentang kutu Filippa dan bau diarenya karena
makanan barunya. Musim dingin akan segera tiba. Dan Signora tak ingin monyet
setan yang jorok itu tinggal di ruang bawah tanah, menimbulkan masalah dan
menularkan kutu lewat lubang pemanas. Kalau itu terjadi, semua orang yang
tinggal di rumahnya akan mulai gatal-gatal, atau pindah, atau mendapatkan
tragedi seperti adikku yang malang! Rumahnya adalah rumah pemondokan, bukan
giardino zooiogico. Dia memintaku untuk melakukan
sesuatu. Malam itu, ketika aku memasukkan tangan ke kandang jorok Filippa untuk
memberinya makan, monyet sialan itu membuka mulutnya dan menggigit pergelangan
tanganku. Aku mengumpatinya, mengisap lukaku dan membuat rencana.
Minggu paginya, aku membayar satu nikel pada Cavoli muda untuk lari ke Hollyhock
Avenue membawa karung, mengisi bawahnya dengan pecahan batu bata dan menarik
karung itu ke jembatan Dungai Sachem. Aku memerintahkan anak itu untuk
menungguku di sana. Hati-hati, aku membuka kandang Filippa dan mengikat monyet
yang berontak itu. Kami berdua berjalan ke sungai. Beberapa kali aku terpaksa menyeret makhluk itu
yang sepertinya mengerti nasib apa yang menunggunya. Dan ketika kami sampai di
tujuan, Filippa berpegangan erat ke pagar jembatan dan menjerit.
Aku memegang rantai lehernya dan Cavoli membuka karungnya. Kami berdua berhasil
memaksanya masuk ke karung yang sudah dibebani batu bata itu dan mengikat bagian
atasnya. Filippa mencakar dan menggigit kami berdua dalam usahanya melepaskan
diri dan sekarang dia berjuang dengan kekuatan luar biasa untuk membebaskan
dirinya dari karung. Namun, kami akhirnya berhasil mengangkat karung yang berisi
monyet sialan yang menjeritjerit itu dan melemparnya ke sungai.
Karung itu langsung tenggelam.
Apa yang harus dilakukan sudah dilakukan dan sekarang sudah selesai. Ha!
Tapi, aku salah duga! 9^-
Tiga Puluh Enam "Jadi dia menyeret monyet itu ke jembatan, memasukkannya ke karung yang sudah
diberi beban dan melemparnya ke sungai. Menenggelamkannya." "Karena ...."
"Karena lebih mudah membunuh makhluk sialan itu daripada memenuhi janjinya." Aku
berdiri di depan jendela kantor Dr. Patel, memandang Sungai Sachem mengalir
deras di balik pepohonan. Selama seminggu ini cuaca mulai menghangat: aliran
sungai lumayan deras karena lelehan salju sisa musim dingin. "Aku tak tahu, Dok.
Mungkin seharusnya aku berhenti membaca kisah sialan itu. Melemparkannya ke
perapian atau semacamnya."
"Membakar sejarah keluargamu, Dominick" Kenapa kau mau melakukan itu?"
"Karena itu membuatku emosi .... Tadi malam setelah aku membaca cerita tentang
monyet itu, aku tak bisa tidur." Aku berpaling dan menghadap ke Dr. Patel. "Kami
mirip dia, kau tahu" Thomas dan aku."
"Kakekmu" Ya" Kau punya fotonya?"
Aku mengangguk, "Ibuku dulu menyimpan album besar semua foto keluarganya. Ya ?Tuhan, dia selalu membawa benda itu ke mana-mana, dia
bahkan pernah menyelamatkan benda itu suatu kali." Aku ingat bagaimana Ma
berlari keluar dari rumah yang terbakar, menjeritjerit album itu didekap erat
?di dada. "Menyelamatkannya?"
"Rumah kami kebakaran. Saat Thomas dan aku masih kecil .... Kau tahu apa yang aneh
dari kisah itu" Semakin aku membacanya, semakin aku benci bajingan
itu bagaimana dia memperlakukan orang lain, menganggap dirinya lebih baik ?daripada semua orang tapi pada saat yang sama, aku hampir mengenalinya, kau
?tahu" Aku bisa berhubungan dengannya, dalam level tertentu."
"Kau bicara lebih dari kemiripan fisik bukan?"
"Kurasa. Va .... Tadi malam, setelah aku membaca bagaimana dia menenggelamkan
monyet itu, aku mulai berpikir tentang bagaimana aku juga terjebak dalam sebuah
janji, sama seperti dia. Sama seperti Papa .... Janji itu adalah hal terakhir yang
pernah kukatakan padanya. Apa aku sudah pernah menceritakan itu padamu?"
"Hal terakhir yang kau katakan pada siapa?"
"Ibuku. Aku berjanji aku akan menjaganya. Melindunginya si kelinci kecilnya ....
?Itu adalah hal terakhir yang kukatakan padanya sebelum Ma meninggal." Aku
mendekapkan tangan ke dada. Memandang dua anak laki-laki berjalan di sepanjang
tepi sungai. "Dan kau pikir kau bisa menyamakan dirimu dengan kakekmu dalam beberapa hal
karena ?" ?"Karena kami berdua menyalahi janji kami.
Termakan kata-kata sendiri."
Dr. Patel bilang dia tak mengerti bagaimana aku bisa sampai pada kesimpulan itu.
Bukankah selama ini aku tanpa kenal lelah dengan agresif, dalam kondisi apa
?pun melakukan apa pun untuk kebaikan kakakku" Apa yang membuatku berpikir aku
?gagal memenuhi janjiku pada ibuku"
Pertanyaan itu membuatku tertawa. "Lihat saja di mana dia sekarang," kataku.
"Terkurung di kandangnya di sana. Minimal selama setahun, dengan kemungkinan
satu tahun lagi. Bersinggungan dengan para psikopat sialan yang .... Ya, Dok, aku
melakukan pekerjaan hebat dalam menjaganya, bukan?"
"Dominick, kita sudah membahas ini sebelumnya. Kalau kau berusaha bertanggung
jawab lebih daripada yang bisa kau kontrol itu tak produktif dan"
"Dengar, kau bisa mengatakan apa pun yang menurutmu bisa membuatku merasa lebih
baik atau apalah, tapi kenyataannya adalah aku mengecewakannya. Jatuh dari atap,
tak hadir dalam sidangnya, dan lalu bam! Dia menginap dalam jangka waktu lama di
Hotel Hatch." Dr. Patel menggelengkan kepala. Pertama, katanya, dia meragukan kalau
kehadiranku dalam sidang Thomas akan mengubah keputusan yang sebenarnya sudah
jelas. Dan kedua, janji yang kubuat pada ibuku saat dia akan meninggal
?meskipun murah hati dan dengan niat baik telah menuntut pengorbanan yang sangat
?besar dariku. Terlalu besar, menurut pendapatnya. Itu membuatku tidak bahagia,
tidak sehat dan bahkan berniat bunuh diri, meskipun dalam jangka waktu pendek
?pada musim gugur lalu. Pasti ibuku tak ingin aku mengorbankan kesehatan-Zcu
sendiri dalam usaha sia-sia untuk melindungi kakakku.
"Itu masih bisa diperdebatkan," gumamku.
"Ya" Mengapa kau berkata seperti itu?"
Aku mengangkat bahu, melengos. "Tak ada alasan. Tidak apa-apa."
Aku bisa merasakan dia memandangiku. Kami berdua terdiam.
"Dominick," Dr. Patel akhirnya berkata. "Saat membicarakan kakekmu, kau sangat
kritis berkaitan dengan apa yang kau anggap sebagai delusi kebesaran dirinya.
Aku memintamu untuk mempertimbangkan apakah itu, mungkin, juga merupakan
kemiripan lain yang juga kau punyai."
Aku tertawa pendek bertanya padanya apa maksudnya.?"Itu berarti bahwa Thomas menderita skizofrenia dan kau tidak karena Tuhan atau
nasib atau seleksi alam membuatnya demikian. Itu berarti kakakmu harus tinggal
setahun lagi di Hatch karena negara berpikir bahwa itu adalah tempat terbaik
baginya. Kau tidak bisa mengontrol hal-hal ini, tak peduli janji seperti apa
yang telah kau buat, atau pada siapa."
"Ya, kalau aku butuh pengacara untuk membantuku, aku akan meneleponmu, Dok. Tapi
sebenarnya, aku bisa saja mengeluarkannya dari sana. Aku tahu, aku bisa."
Dia tak setuju, kata Dr. Patel.
"Oke, baiklah. Kita setuju untuk tak setuju."
Dr. Patel berdiri dan berjalan ke jendela. Berdiri di sebelahku memandang ke
luar. "Aku sudah sering memandangimu berdiri di depan jendela ini dan memandang
ke luar," katanya. "Apa sih, yang kau lihat?"
Tak ada, kataku. Hanya sungai. "Ah," katanya. "Kalau begitu, tolong aku, ya.
Beri aku demonstrasi kekuatan besar yang kau punyai untuk mengarahkan segala
sesuatu. Buka jendela ini, dan berteriaklah pada sungai. Katakan padanya kau
ingin sungai itu berhenti mengalir ke arah biasanya dan berbalik arah. Biarkan
aku melihat kekuatanmu."
Aku memandang matanya yang bersinar nakal. "Kurasa kau mencoba mengatakan
sesuatu?" "Ada sedikit maksud, dan sedikit gurauan," katanya. "Bukankah akan sia-sia saja
kau membuat perintah seperti itu" Berasumsi bahwa sungai akan berbalik arah dan
menuruti keinginanmu" Kau punya keterbatasan, Temanku, dalam hal apa yang bisa
dan tak bisa kau kontrol, seperti kita semua. Kalau kau ingin sehat, kau harus
mengakui kemustahilan mengubah kondisi kakakmu. Akuilah keterbatasanmu dalam
menentukan situasi, Dominick. Dan itu akan membebaskanmu. Itu akan membantumu
sehat." Aku melihat senyumnya dan beralih ke senyum patung Shiva di sebelahnya. "Jadi,
apa yang harus aku lakukan?" kataku. "Masukkan dia dalam karung" Menyeretnya ke
sungai dan melemparkannya?"
Dr. Patel mengulurkan tangan dan menyentuh
tengkukku. Memandang ke sungai bersamaku. "Apakah itu yang ingin kau lakukan,
Dominick?" tanyanya. Aku memejamkan mata dan kembali teringat mimpiku saat masih
dalam pengaruh morfin: melihat dan merasakan diriku mencekik kakakku,
menurunkannya dari pohon, membawanya ke sungai yang sama seperti sungai yang
mengalir di kejauhan itu. "Tolong jawab pertanyaanku," katanya. "Apa kadang kau
ingin menghancurkan kakakmu?"
"Tidak," kataku, berusaha mempertahankan ketenangan diri. "Ya."
Dia menunggu. Melihatku terguguk.
"Tidak! Ya! Tidak! Ya! Tidak! Ya!"
Aku mungkin menangis selama semenit atau lebih, dan ketika akhirnya aku
berhenti kelelahan karena pengakuanku Dr. Patel membimbingku menjauh dari
? ?jendela dan kembali duduk. Mengajakku menarik napas panjang. Menunggu hingga aku
sangat tenang, sehingga aku mengantuk.
Dr. Patel berkata, hanya ketika aku sudah mengakui keterbatasanku dalam hal
kakakku, aku mulai bisa memahami berkecamuknya perasaanku tentangnya.
Membebaskan diri. Bergerak maju.
"Aku menyayanginya," kataku. "Dia kakakku. Tapi sepanjang hidup kami, dia
membuatku merasa sangat ...."
"Teruskan. Dia membuatmu merasa ...T'
"Malu. Terhina. Setiap orang berbisik tentang betapa anehnya dia. Membuatnya
seperti lelucon .... Dan setengah dari dirimu ingin melindunginya, kau tahu" Memukul mereka saat
mereka menjelek-jelekkannya. Dan setengah lainnya ... setengah lainnya ... ingin
lari ke arah sebaliknya. Menjauh darinya sehingga kau tidak tertular
keanehannya. Jadi, tak ada yang masuk padamu." "Tak ada apa?"
"Penghinaan itu. Penyakitnya .... Kelemahannya. "
Dr. Patel membuka tutup penanya dan menulis sesuatu. "Jadi, kau mengatakan kalau
menjadi adik Thomas membuatmu merasa terpecah?"
"Terpecah?" aku mengangkat pandanganku. "Aku tak bisa bilang, Dok. Aku tak
mengerti maksudmu." "Terbelah, Dominick. Terpisah. Simpatik dan kesal sekaligus."
Aku mengangguk, menghela napas. "Dan takut setengah mati. Jangan lupa itu."
"Takut apa" Tolong jelaskan."
Aku berdiri lagi, berjalan kembali ke jendela. "'Oh, lihat, Martha! Di
sana kembar identik! Apa kau ibunya" Bagaimana kau bisa membedakan mereka ?berdua"' ... Kau tahu bagaimana rasanya tumbuh besar dan selalu mendengar itu"
Bahwa kembar adalah jalanmu untuk jadi terkenal" Sepanjang hidupmu mendengar
ucapan orang bahwa kau bisa dipertukarkan dengannya atau semacamnya" Dan setelah
dia sakit, setelah dia mulai kehilangan dirinya, aku menunggu ... hanya menunggu.
Sepanjang usia dua puluh tahun, tiga pu\uh-menunggu kapan penyakit itu juga akan
menyerangku .... Dan ibuku: Ia mengharapkannya!
Mengharapkan aku menjaganya, menguatkan diriku
sehingga aku bisa melindunginya. Menjadi pelindung
pribadinya atau apalah. Itulah fungsiku dalam hidup
ini. Melindungi kakakku dari Ray, dari anak-anak
nakal di sekolah .... Dan bahkan sekarang. Kau tahu
bagaimana kadang-kadang aku merasa sangat panik
saat akan datang ke sini" Menaiki tangga ke
kantormu" Menemui psikiater" Karena aku
seharusnya tidak butuh disembuhkan; aku adalah si
kembar yang kuat sang penjaga. Setelah ...
?setelah dia memotong tangannya Oktober lalu, saat
diberitakan di TV dua detik sekali, dan ada di
halaman depan New York Post .... Dan aku ...
kadang masih seperti itu hingga sekarang. Saat aku
berhenti mengisi bensin, minum kopi, atau apalah.
Aku mulai santai, melihat sekeliling dan memergoki
seseorang memandangiku. Memandangiku seperti ii
"Selesaikan." "Seperti aku/ah si kembar yang lemah. Seperti aku ...."
"Seperti kaulah Thomas."
Aku mengangguk. "Aku tak tahu. Mungkin aku harus membuat tato di dahiku
bertuliskan: aku si kembar yang lain."
Dr. Patel tersenyum sedih, menuliskan sesuatu di catatannya. "Menurutku itu tak
perlu," katanya. "Meskipun kalian sangat mirip, dari berbagai ciri genetika, kau
dan kakakmu sangat bisa dibedakan."
"Ya," kataku. "Aku yang punya dua tangan."
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, benar juga, tapi bukan itu maksudku, Temanku," katanya. "Dalam beberapa
hal, kau lebih terlihat sebagai kembar tidak identik. Bahkan kalian sangat
berbeda kadang sehingga ketika aku masih merawat Thomas dulu aku harus ? ?mengecek catatan medisku untuk meyakinkan kalian berdua sudah dites."
"Dites untuk apa?"
"Untuk menentukan monozygosismu. Dan tentu saja kalian sudah dites. Dalam hal
genetika kau dan dia memang identik. Namun demikian, Dominick, kau benar-benar
berbeda dengan karakteristik keturunanmu. Tidak hanya keberuntunganmu tidak
menderita apa yang diderita kakakmu, tapi juga dalam hal lain."
Aku mengangguk, ekspresiku datar. Tapi dalam hati aku bersyukur.
"Dan tentu saja, kau sudah berusaha keras mengolah dan menonjolkan perbedaan
itu. Mendedikasikan seluruh hidupmu untuk menonjolkan perbedaan itu. Bahkan bisa
dibilang kau sampai kelelahan karena mengusahakan itu. Jadi yang kurang jelas
bagiku adalah perbedaan mana di antara kalian berdua yang berdasarkan genetika
dan yang mana yang telah kau ciptakan sendiri."
Aku tertawa. "Perbedaan mana yang telah kami ciptakan?"
"Bukan 'kami1, Dominick. Kau saja. Kau dan ketakutanmu bahwa apa yang mengenai
kakakmu juga akan mengenaimu juga."
Dr. Patel berhenti, menuliskan sesuatu. Semua
yang telah dia tulis selama dua sesi terakhir ini membuatku gugup. Ketika dia
mengangkat kepala lagi, aku menganggukkan kepala ke arah catatannya. "Apa yang
kau tulis di sana?" Tentang aku, katanya. Dilemaku. Ketakutanku menjadi semakin jelas baginya. Dia
baru saja menuliskan daftarnya. Apa aku mau dengar daftarnya"
Tak yakin apa yang kuinginkan dan apa yang tak kuinginkan, aku bilang ya.
Pertama dan yang paling penting, katanya, aku takut bahwa bayangan skizofrenia
akan menurun juga padaku tentu saja aku pantas takut. Sebagai kembar identik,
?bagaimana mungkin aku tak takut" Kedua, aku sepertinya menurut frasa yang
? kugunakan"takut setengah mati" bahwa dunia akan gagal membedakan aku dan
Thomas memahami bahwa kami adalah dua orang yang berbeda. "Dan ada lagi ?kekhawatiranmu yang ketiga," katanya, "yang baru saja mulai kupahami."
"Benarkah?" kataku. "Apa itu?"
Kekhawatiranku yang ketiga adalah, menurut Dr. Patel, sepertinya aku khawatir
melihat ternyata perbedaan antara aku dan kakakku lebih sedikit daripada yang
kuduga sebelumnya. Lebih sedikit daripada yang kuakui.
"Apa maksudmu?" kataku.
"Yah, misalnya, Thomas sangat lembut hati dia sangat peka terhadap orang lain
?yang bahkan kadang-kadang masih terlihat hingga sekarang, walaupun sudah
bertahun-tahun mentalnya terganggu. Dan dari yang kau bilang padaku tentang masa kecil dan masa remajamu,
kelembutannya kebaikannya lebih terlihat
? ?sebelum dia mulai sakit. 'Dia si kembar yang lebih manis' kau sering bilang
padaku begitu. Dengan itu kukira maksudmu adalah dia lebih peka dan lebih
rentan. Benar?" "Ya ... ya."
"Thomas adalah saudara kembar, yang dalam hal-hal tertentu, lebih mudah
dicintai?" Aku melengos.
Dominick adalah kera kecilku, dan kau adalah kelinci kecilku yang enak dipeluk.
Prahara Raden Klowor 1 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Pendekar Tanpa Tanding 4
satu, menegaskan bahwa kota itu hanya empat jam jauhnya naik kereta api. Kami
berdua berbisik-bisik dalam bahasa Inggris tentang kesempatan kerja di pabrik
tekstil dan kekhawatiran Pasquale dibunuh oleh Indian. Pustakawati itu
tersenyum dan berkata padaku agar mengatakan pada Pasquale bahwa dia harus
bepergian lebih jauh dari Conneticut untuk menjalani kehidupan sebagai seorang
koboi! Tidak ada suku liar yang bersembunyi di perbukitan Connecticut.
Pasquale dan Vincenzo juga tersenyum, meskipun mereka berdua tak banyak bisa
bicara bahasa Inggris selain, Please, dan Thank you, dan How much" Vincenzo
berkata pada Pasquale dalam bahasa Italia. "Cewek bermata satu ini pasti
bernegosiasi pada Domenico berapa harganya melewatkan satu malam yang
menyenangkan denganku di ranjang."
Tawa Pasquale bergema cukup keras di ruangan yang hening beratap tinggi itu
sehingga kepala beberapa pengunjung menengok ke arah kami dan wajah temanku sang
pustakawati jadi cemberut.
"Please1." Aku memperingatkan kedua adikku dalam bahasa Italia. "Kau ada di
ruangan yang berisi buku-buku berharga! Bertingkahlah sesuai dengan kehormatan
nama Tempesta!" Aku meneruskan percakapanku dengan sang pustakawati.
"Badanku yang tegap dan ketampananku merangsang cewek ini," kata Vincenzo pada
Pasquale, "dia melucuti pakaianku dengan satu matanya itu. Sebaiknya hati-hati,
belladonna, atau sosis besarku terbangun dan menusuk matamu yang lain juga!"
Sekarang tawa terbahak Pasquale membuat buku-buku di rak terguncang. Pustakawan
dan pengunjung dari segala arah memandang marah pada kami. "Aku minta maaf, adik-
adikku memang penuh stupidness. Maafkan mereka," kataku pada si Mata Satu.
"Stupidity," dia mengoreksiku. "Katakan, stupidity."
"Ya, ya, grazie, stupidity," ulangku. Lalu aku menjewer telinga kedua adikku dan
menyeret mereka keluar. Keesokan harinya, hari Sabtu, kami naik kereta dari New York ke Three Rivers.
Kami suka pabrik dan kotanya. Upahnya bagus, sewa kamar murah, dan makan steik
dan kentang di pusat kota lebih murah dua puluh lima sen daripada di Brooklyn.
Dan porsinya juga lebih banyak!
Kami bertiga adik-adikku dan aku dipekerjakan sebagai buruh pencelup di Pabrik? ?Nomor 2 Perusahaan American Woolen and Textile. Kami menyewa kamar di rumah kos
Signora Saveria Siragusa di Pleasant Hill. Signora Siragusa lahir di perbukitan
Sisilia dan senang membagi rumahnya dengan kami hanya dengan sewa satu dolar
lima puluh sen per orang, dibayar setiap minggu setelah makan pagi pada hari
Sabtu. 21 Juli 1949 Aku bekerja di shift kedua di American Woolen and Textile dan dengan cepat
mengesankan bos pabrik dengan kerajinan dan keseriusanku. Temanku sang
pustakawati, rupanya benar sekaligus salah. Tak ada Indian yang bersembunyi di
balik pepohonan bukit Connecticut, tapi salah satu dari mereka bekerja denganku di pabrik.
Namanya Nabby Drinkwater. Dia partnerku di pabrik celup, tapi dia malas dan
membuat pekerjaan jadi lamban. Kami dibayar sesuai dengan hasil yang kami celup
dan kemalasan Drinkwater membuatku terhambat dan aku jadi kehilangan uang.
"Lebih cepat!" kataku pada figiiu d'una mingia. "Bekerjalah lebih cepat!"
Drinkwater mencoba berteman denganku berusaha mengundangku ke rumahnya atau
?pergi ke bar bersama tapi aku mengabaikan omongan bodohnya dan berpura-pura tak
?mengerti dia. Siciiiani percaya pada keluarga dulu, lalu penduduk desa, lalu
teman sebangsa. Aku tak memercayai siapa pun lagi, terutama Indian berkulit
gelap jorok yang kemalasannya membuatku kehilangan uang.
Aku tak bisa memukul kepala Drinkwater untuk membuatnya bekerja lebih cepat,
tapi aku bisa memukul adikku Pasquale atau Vincenzo. Kalau salah satu dari
mereka jadi partnerku di pabrik pencelup, pikirku, kami akan bisa menunjukkan
pada para 'Mericani itu apa yang dimaksud dengan kerja keras. Maka suatu Sabtu,
pada akhir shift-ku, saat pekerja lain terburu-buru pulang ke rumah untuk tidur
atau mencari hiburan, aku mengikuti bos pencelup, Bryce, ke kantor agen yang
berdinding kaca. Sepanjang siang itu dan malam sebelumnya, aku sudah berlatih
dalam bahasa Inggris, alasan mengapa akan lebih baik bagi American Woolen and
Textile untuk menarik salah satu adikku dari pekerjaan mereka dan memindahkannya
untuk bekerja denganku. Sekarang aku akan mengetuk pintu agen. Aku tidak hanya akan
bertemu dengan Bryce, tapi juga sang big boss, Flynn, sang agen-pezzo gros so.
Bryce dan Flynn tersenyum sinis ketika melihatku berdiri di depan pintu. Asap
cerutu mereka menggantung di udara seperti awan di atas Gunung Etna. "Siapa
orang bodoh ini?" tanya Flynn.
Mereka berdua tersenyum dan memandangku. "Buruh celup baru," kata Bryce. "Baru
masuk minggu ini." Dia berpaling padaku, bertanya apa yang kuinginkan, berkata
dengan suara yang dimaksudkan untuk menakutkanku.
"Orang Indian itu membuatku lamban," kataku. "Aku bisa mendapatkan upah yang
lebih baik kalau pekerjaanku tidak berhubungan dengan pekerjaannya."
"Siapa yang dia bicarakan?" tanya Flynn.
"Nabby Drinkwater," kata Bryce.
"Hmm, tepat seperti yang kita butuhkan," gumam sang bos. "Orang baru dan bodoh
yang berusaha sok pintar. Terima saja tantangannya (call his biuff). Beri dia
pelajaran. Cuma jangan ganggu produktivitas."
Otakku berputar. Caii his biuff" Caii his biuff" Aku tak tahu apa maksudnya.
Dasar bahasa Inggris gila.
Bryce melingkarkan lengannya di bahuku pura-pura sok akrab. Dia bilang dia
senang telah mempekerjakan karyawan yang berdedikasi seperti aku, dan juga
genius. "Kau sangat pandai, mungkin
sebaiknya kau saja yang jadi bos celup dan bukannya aku. Bagaimana menurutmu?"
Berbahaya bagiku kalau mengatakan apa yang kupikirkan sebenarnya: bahwa itu
memang ide yang bagus. Tapi, aku berdiri diam dan menutup mulutku.
"Jadi, Drinkwater membuatmu lambat, ya?" kata Bryce. "Yah, begini saja. Mulai
besok, Nabby akan kupindah ke bagian finishing. Kau bisa bekerja
sendirian melakukan pekerjaanmu dan pekerjaannya sekaligus dengan kecepatanmu ?yang luar biasa. Bagaimana menurutmu?"
Suara tawa mereka yang mencemoohku terdengar bahkan sebelum aku menutup pintu.
"Aku akan menyuruh Indian itu membersihkan gudang dan mengembalikannya ke sini
sebelum orang baru yang sombong ini bertekut lutut," kata Bryce pada Flynn,
sotto voce. "Dia akan kewalahan setelah satu jam. Setelah itu pasti dia kapok."
Pagi itu, aku kembali ke tempat kos, tapi tak bisa tidur. Sekarang mereka akan
mengerjai Domenico Tempesta. Menjatuhkan orang yang hanya ingin mendapatkan uang
halal dari kerja yang bagus. Aku sadar rasa iri terhadap orang yang lebih
superior ada di mana-mana di kedua sisi lautan. Bahkan mandor dan agen pun iri
?padaku. Shift pertama tanpa orang Indian itu adalah yang terburuk. Aku terus bekerja
sepanjang istirahat makan malam, peluh membasahi seluruh tubuh, dan aku bahkan
tak sempat melihat pekerja lain. Tapi aku tahu mereka menertawakanku. Aku
kehilangan uang malam itu. Malam kedua agak lebih
baik (aku impas malah). Dan malam ketiga lebih mudah lagi. Pada akhir minggu
itu, aku berhasil mengondisikan diriku untuk mengerjakan pekerjaan dua orang
yang dimaksudkan untuk membuatku kapok. Bekerja sendirian, aku berhasil
meningkatkan produksi shift yang dimaksudkan untuk dua orang! Setelah itu, semua
suara yang mengejekku terhenti. Pencelup lain benci padaku, demikian juga Bryce.
Tapi aku berhasil mendapatkan perhatian Flynn. Flynn mulai memandangku sebagai
pekerja yang harus diamati dan dipertimbangkan.
Pelan-pelan, aku naik jabatan dari buruh ke asisten. Lalu pada 1916, pembuluh
darah otak Bryce pecah. Kepergian yang pantas bagi orang berengsek seperti dia.
Di pemakamannya, aku mendekati Flynn dan menanyakan pekerjaan yang ditinggalkan
Bryce. "Kita lihat nanti," kata Flynn. "Tapi ya ampun, setidaknya tunggulah
sampai mayatnya dingin." Selama tiga malam, aku menunggu keputusan Flynn. Lalu
berita baik itu datang. Flynn memanggilku ke kantornya sehingga kami bisa
"sedikit berbincang". Saat aku keluar, aku sudah menjadi bos pencelup American
Woolen and Textile pertama yang keturunan Italia!
Wahai putra-putra Italia, bagaimana hal besar ini terjadi padaku" Semua itu
terjadi karena kerja keras dan keseriusan. Keduanya adalah kunci sukses di Stati
Uniti! Ketekunan seperti yang kumiliki inilah yang membuat Amerika jadi besar!
24 Juli 1949 Flu berat selama tiga hari. Aku sudah bilang pada putriku yang tak berguna itu
untuk memotong bawang dan membungkusnya dengan kain flanel supaya bisa
kulingkarkan di kepalaku dan mengeluarkan lendir, tapi dia bilang,
"Berbaringlah, Papa. Istirahatlah."
"Apa yang mau kulakukan adalah urusanku, Signorina Kepala-Kosong!" bentakku
padanya. "Lakukan apa yang seperti kuperintahkan dan buatkan ramuan itu
untukku!" Aku tak ingin dia mengintip-intip kata-kataku ini .... Sampai di mana
aku tadi" Promosiku" Ah, ya.
Tak ada lagi kerja kasar untuk Domenico Tempesta! Selain bekerja di pabrik
dengan upah tetap tiga puluh lima sen per jam, aku bekerja sebagai tukang batu
dan reparasi sepanjang bulan-bulan musim semi dan musim panas. Pelan-pelan, sen
demi sen, aku menabung uangku dan tidak menghambur-hamburkannya untuk kesenangan
seperti wanita, minum, dan pertunjukan. Aku sengaja berteman dengan peternak
Yankee tua bernama Rosemark. Waktu Rosemark sudah hampir habis: dia punya tanah
di puncak Hollyhock Hill, tapi tak punya putra untuk mewarisinya. Dia bilang
padaku bahwa dia sudah bicara pada pembesar-pembesar di Three Rivers Shanley, ?si walikota berengsek yang bungkuk itu, dan kroninya. Rosemark ingin menjamin
bahwa kehidupan istrinya terjamin setelah dia meninggal nanti. Aku melihat
peluang. Kalau Rosemark menjual lahannya ke kota, katanya padaku, maka kota akan membagi
lahannya ke kapling setengah ekar untuk permukiman.
Terlalu sakit hari ini, terlalu banyak lendir di kepalaku. Aku akan mendengar
pertandingan Dodgers yang tak berguna itu di radio dan tidur siang sekarang,
tapi bukan karena putriku yang tak berguna itu menyuruhku begitu. Aku sudah
memikirkan itu sebelum dia mengatakannya.
26 Juli 1949 Kedua adikku tak bertahan lama bekerja di pabrik. Segera setelah dipekerjakan,
Vincenzo dipindahkan ke bagian pemetikan, penurunan, lalu dipecat karena menjadi
bandar judi beberapa karyawan pabrik. Beberapa mandor sering ikut main judi
bersama Vincenzo, tapi mereka jadi sok suci ketika sersan polisi datang untuk
menyelidiki bersama Flynn, sang agen. Tentu saja, aku tak dicurigai sama sekali
selama investigasi kecil itu. Aku tak akan membuang-buang uangku untuk judi
ketika ada lahan bagus yang sebentar lagi akan dijual. Tapi adikku Vincenzo
dipecat. Vincenzo kemudian bekerja sebagai penjaga stan sayur dan buah di Hurok's Market,
tempat ketampanan dan tingkah lakunya memikat pelanggan wanita untuk membeli
lebih banyak pisang dan buncis lebih daripada yang mereka perlukan. Pelanggan
Cranston's Market yang ada di seberang jalan, mulai menyeberang jalan hanya
untuk membeli dari adikku yang gila. Pasangan
Hurok adalah Yahudi tapi mereka bertahan dengan kegilaan Vincenzo asalkan itu
?mendatangkan untung bagi mereka. "Adikmu itu anak yang baik," kata Mrs. Hurok
padaku suatu kali, ketika aku membeli kacang panggang. "Dia anak bodoh,"
jawabku, tapi tetap merasa sedikit bangga mendengar ucapan wanita itu. Pujian
terhadap Vincenzo memang jarang, tapi mungkin, teladan baik dariku mulai
sedikit-sedikit meresap ke cocuzzanya yang keras itu.
Pelanggan biasanya mengikuti Vincenzo berkeliling toko, memandang atau
memanggilnya ini aku saksikan sendiri. Vincenzo akan membisikkan rayuan ke
? telinga seseorang, berbalik dan menyanyikan sepotong opera Verdi ke wanita lain.
Dia menjajakan buah setiap hari seakan-akan sebuah hiburan seni!
"Hurok meningkatkan gajiku jadi tujuh dolar seminggu!" bual Vincenzo suatu malam
di rumah. "Itu karena aku baik untuk bisnis!"
"Huh," kataku melambaikan tangan mencemooh. "Aku mendapat dua puluh tiga dolar
dan lima puluh sen seminggu. Bakat apa yang dibutuhkan hanya untuk mengelap dan
menumpuk buah?" Tapi, aku tetap menulis kartu pos ke Mama, menceritakan
kesuksesan kecil Vincenzo padanya dan pencapaianku yang lebih penting. Petani di
Hollyhock Hill itu mati tiba-tiba dan aku dengar pemerintah kota akan membeli
lahannya dan menjualnya kembali. Aku menulis pada Mama kalau sebentar lagi aku
akan menjadi pemilik tanah seperti kakek nenekku, The Ciccias.
Sayang sekali! Kebangganku terhadap pencapaian adikku Vincenzo seperti kapal
rapuh yang segera tenggelam. Banyak wanita yang mendatanginya di toko pada siang
hari mengundangnya untuk mengunjungi mereka pada malam hari. Meskipun nama
baikku tak bisa disentuh, para siciliani penggosip mulai berdengung seperti
nyamuk tentang kehidupan adikku di balik selimut dengan sejumlah wanita tidak ?hanya wanita Italia, tetapi juga Irlandia, Polandia, Ukraina bahkan juga janda
?Hongaria bopeng yang punya salon di River Street. Janda itu usianya hampir
sebaya Mama dan punya kumis cukup tebal! Memang memalukan, tapi juga
mengherankan: bahwa Vincenzo akan memasukkan barangnya itu ke mana saja.
Suatu hari, si berengsek McNulty, uskup gereja St. Mary Jesus Christ, datang ke
ruang pencelup di American Woolen and Textile untuk bicara padaku. Di
sebelahnya, Flynn, sang agen sang big boss. Seperti adik-adikku dan aku, Flynn
?juga jemaat di gereja St. Mary. Dia juga teman sang uskup dan penyandang dana
gereja. Uskup mengingatkan itu pada kami setiap Minggu, mengangguk dan tersenyum
pada Flynn, yang duduk dengan keluarganya di bangku terdepan yang dikhususkan
untuk Mr. Pezzo Gros so. Flynn bilang padaku untuk mengikutinya bersama uskup ke kantornya. Di sana, dia
tersenyum palsu dan menyuruhku duduk, duduklah, biar kakimu tidak pegal, haha.
Dua pikiran melintas di kepalaku saat
aku duduk mematuhi ajakan Flynn: dipecat atau aku akan diperintahkan untuk
meletakkan uang yang kudapat dengan kerja keras di kotak sumbangan saat Misa
Minggu nanti! Persetan mereka, pikirku sembari duduk. Pengalamanku belajar
sebagai calon pastor di Roma pasti sudah melebihi pengetahuan uskup bodoh ini.
Aku bekerja keras untuk uangku sementara Flynn duduk saja seharian. Ke mana aku
akan meletakkan uangku adalah urusanku.
"Nah, Mr. Tempesta, aku tahu kalian orang Italia terlalu besar libido seksnya,"
kata sang uskup memulai mengatakan itu pada-ku yang masih suci seperti
?dia lebih suci mungkin! Dari pengalaman remajaku di sekolah Nicosia, aku tahu
?semua tentang tangan pastor sok suci yang suka meraba-raba! "Dan meskipun aku
paham dan menerima bahwa itu adalah bagian dari sifat kalian," lanjutnya, "aku
memohon agar kau melakukan sesuatu tentang adikmu yang liar itu."
"Aku punya dua adik," kataku. "Adik yang mana maksudmu?"
"Si penjaja buah," jawab Flynn. "Si Romeo kampungan di Hurok's Market."
Telah terjadi peristiwa yang kurang menguntungkan, jelas uskup. Seorang gadis
Irlandia yang berasal dari keluarga baik-baik telah dihamili oleh Vincenzo. Dia
masih polos dan Vincenzo sudah memanfaatkan kepolosannya itu. Dan meskipun
orangtua gadis itu tak ingin putrinya menikah dengan orang seperti
adikku mereka telah ?menikahkannya dengan seorang imigran dari Limelick mereka tetap ingin mencegah
?agar kejadian seperti ini tak terulang lagi. Kata uskup, demi nama baik Tempesta
aku harus bertemu dengan Vincenzo dan menyuruhnya untuk menahan diri.
"Asistenku, Pastor Guglielmo, akan senang membantumu dalam pertemuan ini untuk
membantumu tentang nilai-nilai moral dan mungkin mendengar pengakuan dari adikmu
dan doa untuk menunjukkan penyesalannya," kata uskup. "Aku sendiri sebenarnya
akan senang sekali bisa ikut dalam pertemuan itu, tapi mungkin akan lebih baik
kalau berandalan muda mendengarkan pesan dari orang muda sejenisnya pula."
Sejenisnya ha! Meskipun dengan semua kelemahannya, adikku, seperti aku, ?tetaplah anak seorang pahlawan yang menantang gunung api dan menerima medali
emas atas usahanya! Apa yang dipunyai Pastor Guglielmo kurus itu selain nama
Italianya" Memangnya siapa pendeta palsu itu, kok berani-beraninya menasihati
seorang Tempesta" "Aku yakin Domenico bisa mengendalikan semuanya," kata Flynn. "Dia tidak seperti
orang Italia yang aku angkat dari bawah. Dia menjaga dirinya dan melakukan
pekerjaannya." Domenico Tempesta melakukan pekerjaan dua orang, aku ingin mengingatkan si
ipocrita (munafik) kaya itu! Awal tahun lalu, Flynn berselingkuh dengan Alma,
seorang gadis Jerman salah seorang pemintal. Ketika perut gadis itu membesar,
?dia terburu-buru dipindahkan ke pabrik cabang American Woolen and Textile di
Massachusetts dan dinikahkan dengan seorang pemotong bulu biri-biri. Uskup
sialan itu seharusnya mengumumkan kejadian itu pada jemaatnya di misa Minggu.
Tapi aku setuju untuk melakukan permintaan pastor dan agenku itu. Lebih baik
menguliahi adik bodohku Vincenzo memukul cocuzzanya sekali dua kali daripada
? ?kehilangan pekerjaan atau menyumbangkan seluruh uang hasil kerja kerasku ke
kotak sumbangan si uskup. Setidaknya, pertemuan di kantor bos itu membuatku lega
karena aku tak dipecat ataupun kehilangan uangku.
Pastor kurus Guglielmo datang ke rumah pada Minggu sore. Dari cara Signora
Siragusa menepukkan tangannya dan membuka pintu, kau mungkin mengira yang datang
adalah Paus dan bukannya pastor kurus kering itu. Dia dan aku mendudukan
Vincenzo di ruang tamu signora. Vincenzo, anak muda yang ramah meskipun
perilakunya tak terlalu baik, menyalakan cerutu untuk kami semua sebelum kami
mulai. Saat Pastor Guglielmo mengisap cerutunya, kupikir dia akan mati karena
batuk-batuk. Batuknya bahkan lebih buruk daripada batuk anjing di tengah badai.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Vincenzo," kataku, memulai orasi. "Kami bicara padamu hari ini karena
perilakumu membuat malu mendiang ayah kita dan ibu kita tercinta di Negara Tua.
Sepatu botmu yang naik ke ranjang orang lain mencoreng nama Tempesta."
Wajah Vincenzo memandangku dengan ekspresi
yang sama ketika dia merangkak ke kakiku saat masih bayi di Giuliana.
"Perilakuku?" katanya. "Sepatu botku" Non capiso un cavaio, Domenico!"' Lalu
sadar bahwa perkataannya itu tak pantas didengar pastor, dia berpaling ke
Guglielmo. "Scusa, Padre. Scusa."
"Sepatu botmu di bawah ranjang para wanita itu," kataku. Tapi Vincenzo masih
memandangku dengan mata tak berdosa, seakan-akan dia tak melakukan dosa apa pun
sejak datang ke Amerika. Aku mulai hilang kesabaran. "Fungo! Fungo!" teriakku."
Dari belakang pintu dapur aku mendengar signora menarik napas keras terkejut.
Sekarang, giliranku untuk minta maaf pada pastor kurus itu.
Sekarang Vincenzo tersenyum lebar, seakan-akan perilakunya adalah sesuatu yang
membanggakan, bukan memalukan. Tapi aku akan menghapus senyum itu dari wajah
adikku yang sombong. "Sudah saatnya kau menikah, menetap dan meninggalkan perilakumu itu," kataku.
"Atau kalau kau masih mau membujang, kendalikan nafsumu."
Vincenzo tertawa kecil, mengatakan sebuah peribahasa dan mengangkat bahu. "Si
hai poivere, spara.'t Benar bukan, padre?" katanya pada pastor.
Aku menghantam lengan kursi signora Siragusa dengan keras, sehingga debu
beterbangan. "Kalau begitu tembakkan saja mesiumu di antara kaki signora kambing
yang tidak akan hamil!" teriakku.
* "fiku tak mengerti sama sekali apa yang kau bicarakan, Domenico."
** "Fucaking! Fucking!"
+ "Kalau kau punya mesiu, tembakkan!"
Terdengar helaan napas terkejut dari balik pintu dapur. Wajah Pastor Guglielmo
memerah dan dia membuat tanda salib.
Vincenzo mengisap cerutunya dan tertawa. "Kalau begitu katakan padaku kambing
mana yang jadi pacarmu. Jadi aku nanti tidak melangkahimu."
Di seluruh rumah, gerakan dan suara terhenti. Telinga-telinga yang menguping
seakan-akan menembus dinding.
Aku menjelaskan pada pastor dan pada semua penguping yang menempelkan telinga ?di dinding bahwa apa yang baru dikatakan Vincenzo itu hanyalah gurauan, haha.
?Lalu aku meneruskan, memperingatkan adikku, bahwa sebagai anggota tertua dari
keluarga Tempesta di Giuliana, aku memerintahkannya untuk meneladani perilakuku.
Vincenzo tertawa dan menjawab bahwa dia lebih memilih mendapatkan perawan
daripada jadi perjaka lagi.
"Santa Agrippina, Sang Martir Perawan sendiri tak mungkin lebih suci daripada
kakakku, Domenico," Vincenzo bercanda pada sang pastor yang pucat,
menyenggolnya. "Kau mungkin sudah pernah mengalami kesenangan bersama wanita
bahkan sebelum Domenico, iya kan, padre?" Pastor Guglielmo semakin memucat dan
membuat tanda salib lagi.
Aku sudah hilang sabar dengan adikku yang berandalan itu. Aku berdiri, mendekati
Vincenzo dan menamparnya.
Vincenzo berdiri mengangkat tinjunya. Dan aku
juga mengangkat tinjuku. Kami berdiri saling pelotot, kakak melawan adik, kami
sama-sama berusaha garang. Tapi di mata Vincenzo, aku melihat wajahnya saat dia
masih kecil .... Aku melihat Mama dan Papa, alun-alun desa. Gunung Etna di bawah
langit Sisilia. Aku tak bisa mengangkat tinjuku pada adikku sendiri. Tapi aku
juga tak bisa menyerah begitu saja.
"Bah!" kataku, menjatuhkan tangannya. "Dengan Tuhan dan pastor ini sebagai
saksiku, Vincenzo, sejak saat ini kita tak jadi saudara lagi! Kau mencoreng nama
keluarga dan sekarang kau mencemoohkanku! Aku tak mengakuimu sebagai adikku! Aku
tak akan bicara denganmu lagi." Dan aku langsung meninggalkan ruangan, membuat
semua penguping berhamburan pergi ....
* Bagaimana menceritakan kepedihan yang terjadi selanjutnya"
Malang sekali, sumpah siienzio-ku tak sulit dipenuhi. Sabtu malam berikutnya,
seorang sersan polisi Three Rivers (seorang berengsek bernama O'Meara) sakit
gigi dan pulang awal. Ketika dia menyalakan lampu dan masuk kamarnya, hal
pertama yang dia lihat adalah pantat adikku Vincenzo. Saat sersan itu terpaku
karena syok, Vincenzo mengerang dan berguling, menatap pada bulan dan sang
sersan dan senyum puas di wajah pelacur istri O'Meara. Polisi itu menarik
revolvernya, awalnya membidik ke istrinya yang menjerit ketakutan, dan lalu berubah pikiran
dan menembak selakangan Vincenzo.
Polisi melakukan penyelidikan. Hah! Seperti anjing yang mencari kutu anjing
lainnya! Sersan itu tidak dihukum karena telah membuat "babi kecil jorok" itu
sadar akan tempatnya. (Itulah yang dikatakan kepala polisi sendiri, aku
mendengarnya dari Golpo Abruzzi yang mendengarnya dari saudara iparnya) Istri
O'Meara-puttana 'Mehcana yang tidak berguna itu berlagak hingga puluhan tahun ?kemudian, seakan-akan suaminya bukanlah setan pembunuh berdarah dingin yang
menjadi bahan tertawaan semua orang siciliano di kota!
Adikku, Vincenzo, a boun'anima, meninggal karena infeksi sembilan hari setelah
penembakan. Adikku Pasquale dan Pastor Guglielmo menunggu hingga ajalnya di sisi
ranjang rumah Signora Siragusa. Pastor Guglielmo memberikan Ekaristi pada
Vincenzo dan pemberkatan terakhir sebelum dia meninggal. Ini memang yang
kuinginkan. Dan sudah kurencanakan.
Segerombolan wanita muda yang tersedu-sedu, dari beberapa bangsa, datang ke Misa
pemakaman dan pemakaman adikku di pemakaman St. Mary of Jesus Christ. Aku
mendapatkan cerita ini dari Pasquale; sedangkan aku sendiri tak melihatnya. Aku
memang membayar semuanya, tapi menolak datang ke pemakaman adikku yang telah
mencemoohkan kesucianku dan meremehkan kepala keluarga. Biarkan orang suci dan
wanita saja yang memberi ampun! Bagi seorang Sisilia, harga diri kehormatannya adalah yang
? ?terpenting, figii d'Italia! Apa yang dipunyai seorang pria kalau ia menukar
harga dirinya seperti medali emas"
Setelah kematian Vincenzo, sudah menjadi tugasku untuk sekali lagi menulis surat
pada Mama mengabarkan berita sedih kematian anak bungsunya. Dua atau tiga minggu
kemudian, aku menerima kartu pos dari seberang lautan, dari wakil si idiot buta
huruf Paman Nardo, tertulis: "Ibu meninggal 24 Juni. Malaria."
Dengan hati yang berat aku cepat-cepat membalas berita Nardo. Atas nama ibuku,
aku meminta Wajah Babi serakah itu untuk pergi ke rumah magistrate-dan
menegosiasikan pengembalian medagiia emas ayahku padaku, anak sulung Giacomo dan
Concettina Tempesta, dan pemilik medali yang paling berhak. Aku menulis,
setidaknya itu adalah hal termudah yang bisa dilakukan Nardo si berengsek, untuk
menebus semua penderitaan yang telah dia sebabkan pada keluarga Tempesta. Tak
ada jawaban. Aku menulis dua kali lagi ke Nardo, tapi si figiiu d'una mingia itu
mengabaikan setiap usahaku mendapatkan apa yang telah diambil dariku dengan
curang oleh pejabat bungkuk itu.
Sedangkan adik tengahku, satu-satunya yang masih hidup, Pasquale, dia tak begitu
peduli tentang kehormatan keluarga, keadilan ataupun siapa pemilik yang paling
berhak sepanjang makan malamnya tersedia di meja. Pasquale memang
seorang pria yang sederhana ....
Bagaimana aku akan mengisahkan nasib aneh adikku Pasquale" Aku tak punya
kekuatan tersisa untuk hari ini. Besok, aku akan mengisahkannya. Tidak hari ini.
Tiga Puluh Empat Dr. Patel bilang dia sangat senang bertemu denganku lagi. Dia baru saja akan
minum teh. Kalau dia tak salah ingat, aku suka teh Bengal Spice bukan"
"Baiklah," kataku. "Hebat. Apa saja." Aku bilang padanya bahwa aku suka warna
bajunya: merah, emas, dan ... apa nama jenis warna kuning seperti itu"
Jingga, katanya. "Jingga" Yeah" Aku pernah mengecat dapur seseorang dengan warna itu. Tapi warna
itu terlihat lebih indah padamu dibandingkan dinding dapur itu." Dr. Patel
tertawa kecil, berterima kasih atas pujianku, kalau memang maksudku memujinya.
"Kau ketemu kakakku hari ini?" tanyaku.
Ya, katanya. Benar. Tapi tak banyak perubahan.
"Saat menuju ke sini aku baru berpikir betapa anehnya dia: sebelum perang
dimulai, itu saja yang dia bicarakan. Lalu, ketika mereka mulai benar-benar
saling menembakkan rudal Scud dan bom pintar, dia sama sekali tak bereaksi.
Menurutmu kenapa dia begitu, Dok" Apakah ada hal lain selain efek
pengobatannya?" Dr. Patel bilang dia akan senang bicara denganku tentang kakakku, tapi mungkin
dia akan menjadwalkan itu untuk lain kali. Lagi pula, katanya, bukankah kita
berdua sudah menyisihkan waktu satu jam ke depan untuk bicara tentang aku.
Air di poci teh mendidih. Sementara menunggu, aku memegang kruk dan berjalan
terpincang-pincang menyeberangi ruangan. Memandang ke luar jendela. Terakhir aku
ke sini adalah bulan Oktober. Sekarang, pada tengah musim dingin, sungai
terlihat dari sini di sela-sela pepohonan yang meranggas.
Dr. Patel bertanya tentang lukaku kemajuanku dengan terapi fisik.?"Sebenarnya, aku lebih maju daripada rencana," kataku. "Tak seorang pun di pusat
rehabilitasi percaya berapa banyak yang telah kucapai hanya dalam tiga bulan.
Mereka bilang mereka akan mengangkatku jadi poster boy."
"Poster boy" Apa itu poster boy?" Aku sudah lupa bagaimana biasanya dengan
dia betapa banyak salah mengerti karena bahasa. Kenapa pula aku menelepon dia"
?Memulai semua terapi ini lagi" Buang-buang Waktu dan Uang Episode II.
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh kepala patung Shivanya. "Oh, ngomong-
ngomong, aku berterima kasil atas, uh .... atas adik kecil patung ini." Dr. Patel
?terlihat bingung. "Hadiah yang kau titipkan pada Lisa Sheffer" Saat aku masih di
rumah sakit?" "Ah, ya," katanya, tersenyum. "Kau suka hadiah kecilku?"
"Memang, yeah. Aku suka. Aku bermaksud menulis ucapan terima kasih padamu
berkali-kali, tapi tak jadi."
"Yah, sekarang kau sudah berterima kasih secara langsung," katanya. "Dan itu
lebih baik, bukan" Silakan duduk." Meletakkan nampan teh di antara kami, Dr.
Patel duduk. "Kita tunggu dulu tehnya terseduh, sementara kita saling memberi
kabar." Dia telah mengkaji kembali catatanku, kata Dr. Patel. Sesi terakhir kami adalah
tanggal dua puluh dua Oktober. Dia mengingatkan kalau kami belum mendiskusikan
untuk menghentikan pertemuan ini. Aku sudah menemuinya tiga kali, membatalkan
dua perjanjian berturut-turut, dan lalu tak pernah menelepon lagi. Kalau
pekerjaan kami akan diteruskan, Dr. Patel bilang dia mengharapkan komitmen lebih
dariku. "Komitmen?" Aku bergeser di kursiku. "Ya ampun, kau tidak mengajakku berpacaran,
bukan?" Dr. Patel tidak tersenyum mendengar gurauanku. Mungkin, katanya, kita bisa
bertemu sekali seminggu selama empat kali dan lalu memutuskan bersama apakah
sebaiknya kita meneruskan proses ini atau tidak.
"Yeah," kataku. "Tentu. Tak masalah." Apa yang akan terjadi kalau aku tidak
memenuhi 'komitmenku1" Mengeluarkan anjing pemburu" Melaporkan pada polisi
psikologi" Dr. Patel membuka teko teh dan mengintip. "Belum siap," katanya.
Kami duduk diam. Dr. Patel tersenyum melihatku
meremas-remas jari dan bergerak gelisah. "Aku ... aku menempatkannya di rak
bukuku." "Maaf?"
"Patung kecilmu. Aku meletakkannya di ruang bacanya ... itu adalah hal yang bisa
kau lakukan saat kau jatuh dari atap dan tak bisa ke mana-mana: membaca."
"Benarkah" Aku iri. Apa yang kau baca, Dominick?"
"Di antaranya Injil."
"Ya?" Dia tak terlihat senang ataupun tak senang.
"Aku ... yah sebenarnya itu adalah sebuah kebetulan. Aku sedang mencoba mengambil
buku lain dari rak teratas dengan krukku. Shogun, kurasa. James Clavell. Aku
ingin membacanya lagi. Tapi kemudian aku meruntuhkan semua buku sehingga ?berjatuhan di atasku. Dan aku menemukan Injil itu. Aku bahkan tak tahu aku masih
punya buku sialan itu. Ibuku memberikannya padaku saat konfirmasiku dulu saat
aku kelas enam. Thomas dan aku kami masing-masing dapat satu. Punyaku bentuknya
?masih lebih baik daripada punyanya."
Dr. Patel tersenyum. "Bagian mana yang kau baca" Perjanjian Lama atau Baru?"
"Lama." "Ah, cerita-cerita masa lalu. Dan kau merasa dirimu tercerahkan" Apakah
'kejatuhan buku' itu membawa keuntungan bagimu?"
Apakah dia mengejekku" Membalas dendam karena aku pernah dua kali membatalkan
perjanjian" "Kurasa ... kurasa aku bisa melihat mengapa ada orang yang menganggap membaca
Injil itu berguna." Dr. Patel mengangguk. "Tapi, aku bertanya apakah kau mendapatkan manfaat
darinya." "Aku" Secara pribadi maksudmu" Tidak, sepertinya tidak. Kukira aku lebih
tertarik pada Injil dalam perspektif historis. Atau sosiologis atau apalah ...
yah, mungkin ya, dalam satu hal. Kisah tentang Ayub misalnya, aku bisa mengerti
itu." "Ayub" Ya" Kenapa demikian?"
Aku mengangkat bahu dan bergeser di kursiku untuk kesekian kalinya. "Aku tak
tahu. Pria itu hanya mengurusi urusannya sendiri, mencoba melakukan hal yang
benar dan dia ditipu habis-habisan. Menjadi kelinci percobaan Tuhan."
"Begitukah perasaanmu" Seakan-akan kau adalah kelinci percobaan Tuhan?"
Aku mengingatkan padanya bahwa aku tak percaya Tuhan.
"Kalau begitu kau mungkin bisa menjelaskan padaku mengapa kau"
"Kelinci percobaan nasib mungkin. Kakak skizofrenik, anak yang mati, pacar yang
.... Tapi, sudahlah, hal buruk memang terjadi, bukan?"
"Ya, memang," kata Dr. Patel. "Kadang tak peduli bagaimana kita menjalani hidup,
hal buruk memang terjadi dan kadang juga tak terjadi. Kisah mana lagi di
Perjanjian Lama yang kau anggap relevan?"
Aku mengangkat bahu. "Dengar, jangan salah sangka. Ini bukan berarti Injil itu
jatuh sendiri dari rak menimpa kepalaku dan sekarang tiba-tiba aku terlahir kembali atau
semacamnya. Aku tak akan pergi ke perpustakaan dan memotong tanganku untuk
Yesus." Dr. Patel menunggu. "Tapi, yah ... ada lagi kisah yang relevan kukira: Kain dan Habel. Tuhan
menciptakan semesta, Adam dan Hawa punya sepasang anak, dan voila. Persaingan
antarsaudara. Satu saudara membunuh yang lainnya."
"Ya" Tolong teruskan."
"Apa" Aku ... itu cuma lelucon."
"Ya, aku mengerti dari nada bicaramu. Tapi tolong jelaskan sedikit lagi saja."
"Aku tak bermaksud bahwa ini punya makna yang dalam. Hanya ... masalah
antarsaudara." Dr. Patel menunggu. Tak mau mengalihkan pandangan dariku.
"Aku hanya ... yah, aku mengerti mengapa dia sangat marah. Itu saja."
"Siapa yang sangat marah?"
"Kain." "Ya" Dan mengapa dia marah?" "Hai, kaulah yang punya gelar antropologi. Bukan
aku." "Dan kaulah yang menyebutkan Perjanjian Lama. Benar bukan" Tolong jawab
pertanyaanku." "Hei, Dok, apa aku sudah bilang betapa aku sangat menyukai aksenmu" 'Tolong
jawab pertanyaannya'. 'Mengapa dia marah"'" Dr. Patel tak tersenyum. Diam saja.
Aku mengetuk-ngetukkan jari ke lutut. Mengembuskan napas. "Aku tak tahu. Dia
cuma ... dia melakukan pekerjaannya, membuat persembahan seperti orang lain, dan ...
dan satu-satunya pengorbanan yang diterima Tuhan adalah pengorbanan saudaranya.
Itu sangat tipikal."
"Apanya yang tipikal?"
"Bahwa semua penghargaan jatuh pada Tuan Sok Baik. Dan apa yang didapatkan
satunya" Kuliah tentang dosa 'yang menunggu di pintu'. Seperti dosa si Serigala
Jahat atau semacamnya .... Itu membuatku ingat. Aku sudah membaca dua buku yang
kau sarankan. Tentang mitos atau fabel atau apalah. Ingat, kan" Kau membuat
daftarnya?" Ya, katanya. Dia ingat. "Seseorang meminjamkan buku itu padaku. Mantan istriku sebenarnya. Perpustakaan
Three Rivers tak punya buku itu, tapi dia berhasil mendapatkannya melalui
pinjaman antarperpustakaan." "Kalau begitu, Dessa membantumu?"
Apakah dia memang mengingat nama Dessa atau membacanya dari file-ku sebelum aku
sampai" "Dia, uh ... dia membawakan makanan beberapa kali, melakukan beberapa
pekerjaan rumah buatku." Aku bersidekap. Aku pernah membaca dulu bahwa
bersidekap adalah insting manusia sejak zaman manusia gua: melindungi hatimu.
"Semua orang membantu. Bahkan juga Ray."
"Ayah tirimu?" "Yah, dia, uh ... dia sedang punya banyak waktu
luang. Di-PHK bulan Desember lalu. Selamat Hari Raya dari para bos di Electric
Boat. Dia memberikan hampir empat puluh tahun hidupnya, dan, beberapa saat
sebelum pensiun, mereka memecatnya. Mereka menjanjikan akan mempekerjakan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali pekerja lama, tapi mereka bohong."
Dr. Patel mengangguk simpati. "Jadi, ngomong-ngomong akhir-akhir ini dia punya
banyak waktu luang. Mengantar dan menjemputku ke dokter selama dua bulan
pertama, juga ke terapi fisik. Aku bahkan minta tolong dia untuk belanja
kebutuhan sehari-hari. Sebelum aku bisa menyetir lagi. Agak lucu, bukan?"
"Apa yang lucu, Dominick?"
"Yah, setahun lalu kau bilang padaku bahwa Ray Birdsey akan menjadi sopirku,
tukang belanjaku ...." Aku berdiri. Berjalan ke jendela.
"Istilah yang kau gunakan menarik," kata Dr. Patel.
Aku berpaling dan memandangnya. "Apa maksudmu?"
"Komentarmu tadi tentang Ray. Dengan membantumu saat kau membutuhkan, apakah dia
sedang menjadi 'pembantu pribadimu' atau sebagai ayahmu" Maksudku, dengan
mengesampingkan kegagalannya pada masa lalu. Meskipun dia bukan ayah kandungmu.
Bukankah itu yang dilakukan seorang ayah" Membantu putra mereka saat
dibutuhkan?" Dr. Patel melihat teko tehnya lagi, mengatakan bahwa tehnya sudah siap. Kau
harus hati-hati dengan Dr. Patel kau harus selalu waspada bahkan sebelum teh dituangkan. ?Setelah tak bertemu selama dua bulan, aku rupanya sudah mulai lupa bagaimana
menghadapi Dr. Patel. "Katakan padaku," katanya. "Yang mana di antara buku-buku yang kurekomendasikan
yang sudah kau baca?"
"Yah, aku tidak ... aku cuma membuka-bukanya. Yang Hero with a Thousand Faces dan
... apa yang dikarang oleh pria yang belajar denganmu di Chicago?"
"Dr. Bettelheim?"
"Yeah. Buku tentang Freud bertemu si Kerudung Merah itu."
Dia tertawa. "Yang juga dikenal dengan The Uses of Enchantment. Dan apakah kau
menemukannya?" "Menemukan apa?"
"Penggunaan pesona?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Sepatu
kaca Cinderella yang hilang sebenarnya adalah
ketakutan atas pengekangan diri: pohon kacang
yang dinaiki Jack sebenarnya adalah representasi
dari Oedipus Complex. Kurasa memang menarik, tapi ii
"Tapi apa?" Dr. Patel memandangku dengan pandangan nakal. Apakah ini berarti aku
baru saja menyetujui diriku untuk melakukan empat sesi lagi dengannya, atau kami
baru saja membicarakan kemungkinannya"
"Kurasa .... Kukira sebaiknya kita membiarkan
dongeng tetap menjadi dongeng. Bukannya mengubah mereka menjadi analisis
mendalam dan gelap tentang ... sebaiknya kita tidak melakukan autopsi psikologis
pada mereka. Kau tahu maksudku?" Aku duduk, tak memandangnya, mencabuti benang
yang lepas di sweterku. Dr. Patel bilang, dia dulu suka menggoda Dr. Bettelheim hal yang sama. "Aku dulu
bilang, 'Berhati-hatilah, Bruno, atau makhluk-makhluk dari dongeng itu akan
menjadi takut dan bersembunyi di hutan legenda.' Tapi tentu saja, aku bisa
mengatakan itu padanya karena aku sangat menghargai hasil karyanya. Buku itu
membuatku bebas bermain sebagai makhluk dongeng."
Aku mengangkat bahu, menghirup teh. "Yah, kau dan aku mungkin membaca bukunya
dalam dua level yang sama sekali berbeda .... Tapi menarik, kok. Makasih."
Dia tak bertanya lagi, tak membuat analisis. Hanya memandangku yang duduk di
depannya, melepaskan benang di lengan sweterku.
"Kau, uh, ... kau tahu apa yang mulai kubaca pagi ini" Ngomong-ngomong tentang
autopsi psikologi" Tulisan kakekku. Ayah ibuku."
"Ya" Kakekmu seorang pengarang, Dominick?"
"Huh" Oh, bukan .... Itu cuma tulisan pribadi. Sejarah pribadinya atau apalah.
Kami tak pernah mengenalnya, Thomas dan aku dia meninggal sebelum kami lahir. ?Tapi, dia, uh ... dia mendiktekan kisah yang panjang ini kisah
?hidupnya bagaimana dia datang ke sini dari Italia, dan seterusnya dan
?seterusnya. Yah, mendiktekan sebagian kurasa, dan menulis sisanya. Dia menyewa
mesin Dictaphone, dan seorang stenografer. Pria Italia yang datang setelah
perang. Dia bekerja di pengadilan atau apa."
Angelo Nardi, kataku dalam hati: tersangka utama dalam kasus ayah yang hilang.
Bukannya aku akan membagikan teoriku ini pada Dr. Patel.
"Dia, uh, ... meninggal setelah menyelesaikan kisah itu, kurasa. Begitu menurut
cerita ibuku. Dia sedang di halaman belakang, membacanya lagi, dan ketika Ma
keluar untuk mengeceknya, dia hanya duduk diam, mulutnya terbuka mati karena
?stroke. Ma bilang, halaman-halaman manuskripnya bertebaran di seluruh halaman ....
Hidup memang mengesalkan, ya" Mengerjakan kisah itu sepanjang musim panas lalu
mati begitu saja." "Kalau begitu yang kau baca adalah transkrip dari sejarah kakekmu yang
diceritakan secara lisan?"
"Yeah, sebagian. Sebagian lisan sebagian tertulis. Aku ingat Ma bilang dia
memecat stenografer itu di tengah jalan. Lalu menulis sisanya sendiri. Semuanya
dalam bahasa Italia: aku meminta seseorang menerjemahkannya .... Sebagian memang
sejarah lisan sebagian tertulis, dan tujuh puluh lima persennya adalah omong
kosong." Dr. Patel bertanya apa maksudku. "Oh. Aku tak tahu .... Dia sangat membanggakan
dirinya sendiri." "Tolong jelaskan?"
"Yah, semuanya ... setidaknya yang kubaca sejauh ini terus-menerus membicarakan
? ?betapa hebat dirinya. Dibandingkan semua orang lain di desanya, dibandingkan dengan dua
adiknya ... aku bahkan tak tahu manuskrip ini ada hingga sekitar empat atau lima
bulan sebelum ibuku meninggal. Aku pergi menjenguknya suatu sore dan dia
memberikannya padaku, begitu saja. Manuskrip tebal yang selama ini disimpannya
di brankas. Lebih dari seratus halaman .... Saat itu sakitnya sudah sangat
parah ketika dia memberikannya padaku. Ma bilang aku boleh membaginya dengan ?Thomas kalau Thomas boleh membacanya tapi dia ingin memberikannya pada-ku."
? ?"Kisah ayahnya" Kenapa kamu?"
"Aku juga tak tahu. Aku tak bertanya padanya ... 'Kisah Pria Besar yang Berangkat
dari Nol'. Aku mendapatkan gagasan besar, menerjemahkan kisah ini untuk ibuku.
Memberikannya sebagai hadiah. Menyuruh seseorang menerjemahkannya dan
menjilidnya jadi buku atau apalah sehingga dia bisa membaca sejarah ayahnya
sebelum meninggal." "Apakah ibumu tak pernah membacanya?"
"Tidak. Ma bilang dia tahu sepatah dua patah bahasa Sisilia, tapi tidak cukup
mengerti untuk membacanya. Tapi ngomong-ngomong, aku menjalankan gagasanku itu
tadi. Menyewa penerjemah."
"Sungguh perbuatan yang baik," kata Dr. Patel. "Ibumu pasti sangat senang
menerima hadiah itu."
"Dia tak pernah menerimanya. Penerjemahan itu memakan waktu lebih lama daripada
yang kuduga. Lalu kondisi ibuku bertambah parah. Kondisinya
turun drastis .... Dan lalu, manuskrip sialan itu hilang."
"Hilang" Kisahnya?"
"Yah, tidak hilang sebenarnya. Ceritanya panjang." Aku tak akan mau bercerita
tentang Nedra Frank padanya bagaimana dia tiba-tiba muncul dengan pakaian
?koboi, di kaki ranjangku di rumah sakit, seolah menjadi salah satu mimpi burukku
akibat morfin. Thunkf Dia hampir saja menjatuhkan manuskrip sialan Domenico ke
kakiku yang remuk. "Tapi, untung juga Ma tak pernah membacanya," kataku. "Sekarang, setelah aku
punya waktu membacanya sendiri kurasa aku tak akan memberikannya padanya."
"Kenapa tidak?"
"Karena ... yah, salah satu alasannya, kakekku menjelek-jelekkan ibuku di kisah
itu." "Ibumu" Mengapa kau ?"
?"Di tengah-tengah dia mendiktekan kisah hidupnya. Membicarakan betapa dia adalah
orang yang hebat bagaimana semua 'Putra-Putra Italia' harus meneladaninya, dia
?mulai mengoceh tentang betapa ibuku sangat menjengkelkan. Menyebutnya 'muka
kelinci'. 'Guci retak'. Mengatakan bahwa putrinya sangat jelek, sehingga tak
bisa punya suami. Tidak bisa memberinya cucu seperti yang seharusnya .... Wajah
kelinci: apa yang dia pikirkan" Bahwa ibuku ingin dilahirkan dengan bibir yang
sumbing" Bahwa itu adalah kesalahannya".... Dan yang mengibakan adalah, ibuku
memuja kakekku. Saat kami kecil, Thomas dan aku, ibuku selalu berkata, 'Papa
bilang begini, Papa begitu1 .... Aku tak tahu. Aku bersyukur Ma tak pernah membacanya.
Membaca kisah itu hanya akan melukai perasaannya."
"Dominick?" "Hmm?" "Kau terlihat sangat tegang. Mengapa kau pikir-?"
"Kau tahu apa alasan kakekku menulis kisah hidupnya" Apa aku sudah mengatakannya
padamu" Dia ingin semua pemuda Italia membaca kisahnya dan ... mendapatkan
inspirasi atau apalah. Kau bisa tahu betapa sombongnya dia. Terus-menerus
mengoceh tentang betapa 'spesialnya' dia. Betapa dia adalah seorang martir
karena harus menahan diri terhadap semua orang di sekitarnya yang tak sempurna
seperti dia." "Dalam hal apa kakekmu merasa dia spesial?"
"Dalam setiap hal. Inteligensi, moral. Dia melihat dirinya sebagai pilihan Tuhan
"Mengapa kau berhenti, Dominick" Apa yang kau pikirkan?"
Yang kupikirkan adalah Thomas. Pilihan Tuhan bagian kedua. Tapi aku mengabaikan
pertanyaan Dr. Patel. "Aku tak tahu. Aku belum membaca banyak sekitar lima ?belas atau dua puluh halaman. Aku mungkin tak akan menyelesaikannya."
"Dominick" Ceritakan padaku tentang kedekatan kakekmu dengan Tuhan."
"Hmmm" Oh dia, ... dulu waktu masih di Italia. Saat masih kecil. Dia mengklaim
bahwa patung di desanya menangis, dan dia Domenico adalah
? ?orang pertama yang melihatnya."
"Domenico" Kalau begitu, kau dinamakan seperti kakekmu, ya?"
Aku mengangguk. "Aku mengaku bersalah. Pokoknya, kurasa karena masalah patung
itu orang di desanya menganggap dia ditakdirkan jadi pastor. Dengan sumbangan
orang desa, dia dikirim untuk sekolah. Lalu semuanya jadi berantakan. Dia punya
adik-" Masalah saudara, pikirku tiba-tiba. Kami punya persamaan dalam hai itu, Papa dan
aku. "Aku tak tahu. Aku cuma tak begitu suka orang itu. Anggapannya bahwa aku lebih
baik, semua omong kosongnya. Dia apa \st\ahnya"-grandiose (membanggakan diri
?sendiri) .... Tapi kisah itu menarik juga dilihat dari perspektif sejarah
keluarga. Bagaimana dia pergi dari Italia. Bagaimana dia membangun hidupnya
sesampai di sini. Mengisi beberapa kekosongan."
"Ya" Ceritakan padaku."
"Yah, ada satu orang yang dia sebut bernama Drinkwater Nabby Drinkwater. Mereka
?bekerja di pabrik tekstil bersama Drinkwater dan kakekku. Dan itu agak aneh,
?karena, Thomas dan aku pernah bekerja dengan Ralph Drinkwater pada suatu musim
panas. Ingat" Kita pernah membicarakan itu: musim panas ketika Thomas mulai
sakit" Ketika kami dalam kru kerja itu. Pasti keturunan keluarga yang sama. Suku
Wequonnoc bernama Drinkwater .... Jadi, itu lumayan menarik: kebetulan. Melihat
bagaimana generasinya dan generasi kami
Dr. Patel memandangku beberapa saat sehingga aku merasa tak nyaman lalu menulis
ke catatan di pangkuannya.
"Apa yang baru kukatakan?" Dr. Patel memiringkan kepalanya sedikit. "Kau menulis
sesuatu." "Ya, memang." "Nah" Apakah aku baru saja mengatakan sesuatu yang mencerahkan atau aku
membuatmu bosan sehingga kau menulis daftar belanjaanmu atau apa" Apa yang kau
tulis?" "Aku menulis grandiose."
"Ya" Kenapa?"
"Aku rasa aku sudah mengatakannya, sebelum kau datang kemari hari ini, bahwa aku
sudah mengkaji sesi kita dahulu. Dan tadi aku tertegun saat kau menggunakan kata
grandiose." "Yeah" Kenapa" Karena tukang cat tak biasanya mengatakan kata dengan tiga suku
kata?" "Tidak. Karena kau sudah menggunakan kata itu di sini sebelumnya. Kau ingat
tidak konteksnya?" Aku menggeleng. "Berhubungan dengan kakakmu. Kau sedang mengutarakan maksudmu, dengan jelas,
bahwa ada hal yang grandiose terkait dengan posisi kakakmu."
"Posisinya dalam hal apa?"
"Keyakinannya bahwa Tuhan memilihnya sebagai alat-Nya untuk mencegah konflik
antara Amerika Serikat dan Irak. Bahwa Tuhan telah 'memilih'nya. Dan sekarang,
menggunakan kata yang sama-grandiose-kau baru saja bilang padaku bahwa kakekmu
dari ibu juga merasa 'terpilih1. Jadi, aku
menganggap itu menarik. Perlu diekplorasi lebih lanjut, mungkin."
Aku bergerak di kursiku. "Yeah, tapi ... Thomas bahkan tak pernah membaca kisah
kakekku ini. Dia tak mungkin mendapatkan gagasan dari Domenico. Kalau itu yang
kau pikir." "Aku tidak memikirkan apa-apa, Dominick," kata Dr. Patel. "Aku hanya menulis
sebuah pengamatan. Mencari pola yang mungkin bisa kita pelajari kemudian."
"Dalam autopsi besarnya?"
"Ah," kata Dr. Patel. "Sekarang sudah ketiga kalinya kau menggunakan kata itu.
Bolehkan aku bertanya kenapa kau menggunakan metafora itu, Dominick" Kalau kau
melihat sesi kita di sini sebagai autopsi, bolehkah aku bertanya siapa yang jadi
mayatnya?" "Aku cuma"
"Itu kunci resepnya, bukan" Mayat" Jadi katakan padaku, mayat siapa yang kita
selidiki?" "Kenapa .... Untuk apa kau bersikap sarkastis seperti itu?"
"Kau salah duga. Aku tidak menulis daftar belanjaan ataupun bersikap sarkastis.
Tolong jawab pertanyaanku. Mayatnya adalah
"Kakekku?" Aku bisa melihat dari ekspresinya bahwa itu bukanlah jawaban yang ditunggunya.
"Kakakku" .... Aku?"
Dr. Patel tersenyum tenang seperti Shiva. "Itu adalah metaforamu, Dominick.
Bukan aku. Bolehkah aku bertanya lagi, mumpung kita masih mendiskusikan subjek kebanggaan diri" Apa
kau merasa kata-grandiose-b'\sa mendeskripsikan
dirimu?" "Aku?" Aku tertawa. "Joe Shmoe" Kurasa tidak .... Sejauh yang kutahu Yesus tak
pernah meminta-/cu untuk menghentikan perang. Tak ada patung yang menangis di
depanku." "Namun, tadi kau mendeskripsikan dirimu sebagai kelinci percobaan nasib.
Membandingkan cobaan dan ujian yang kau hadapi seperti apa yang dihadapi Ayub,
yang tentu saja, legendaris karena cara bagaimana Tuhan mengetes keimanannya.
Jadi, aku bertanya-tanya .... Teh lagi?"
Dr. Patel mengatakan bahwa aku seharusnya meneruskan membaca buku-buku itu ?adalah cermin yang memberikan bayangan diri kita dengan cara tak terduga. Apa
yang dia maksud bahwa aku membanggakan diri, grandiose" Dari mana anggapan itu
berasal" "Dengar," kataku. "Bisakah kita langsung ke pokok masalahnya" Berapa lama lagi
waktu yang kupunyai di sini?"
Dr. Patel melihat jam dinding, yang dipasang secara strategis sehingga pasien
tidak bisa melihatnya. "Sekitar tiga puluh lima menit lagi," katanya.
"Karena, bukan bermaksud kasar, aku tidak datang ke sini hanya untuk
mendiskusikan buku."
Dia mengangguk. "Kenapa kau datang ke sini, Dominick" Katakan padaku."
Aku mengatakan padanya tentang melihat wajah Rood di jendela loteng.
Tentang kehamilan Joy bagaimana dia mencoba menganggapku sebagai ayah bayinya.
?Tentang malam ketika aku hampir bunuh diri dan melihat bayanganku di cermin
kotak obat. Dr. Patel bertanya apakah aku terus berpikir untuk bunuh diri sejak malam
itu apakah aku terus memikirkan rencana bagaimana mengakhiri hidupku. Aku
?menggeleng. Kukatakan padanya bahwa keputusasaan yang paling buruk sudah
berlalu bahwa aku berhasil mengatasinya.
?"Kau yakin?" Aku mengangguk. Aku yakin. Aku tidak membohonginya. Malam itu membuatku sangat
ketakutan sehingga aku mundur dari bibir jurang dan menjauh. Mulai berpikir
bahwa mungkin ada kehidupan di balik ... setelah ....
Aku mengambil kaset Joy dari saku jaketku dan tape kecil yang kubawa. Aku
menceritakan pada Dr. Patel tentang malam di rumah sakit saat aku terbangun dan
menemukan The Duchess berdiri di sisi ranjangku. "Bajingan tak punya malu itu
mencoba mengendapendap dan meletakkannya di mejaku lalu pergi," kataku. "Dia
sangat pintar mengendapendap. Dia ahlinya. Hanya saja aku terbangun.
Menggagalkan usaha pelariannya. Dengarkan ini."
Aku menekan tombol piay. Mengamati Dr. Patel
saat dia mendengarkan pengakuan Joy
Saat selesai, Dr. Patel menarik napas. "Apa yang dilakukan pacarmu adalah
pengkhianatan yang sangat buruk," katanya. "Jelas bahwa dia adalah seorang
wanita muda yang sangat bermasalah. Tapi ...." Untuk beberapa saat Dr. Patel
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti kehilangan kata-kata. Berpikir. "Tapi, Dominick, seperti kau dan
aku seperti kita semua dia sedang berjuang. Kurasa dia berusaha mendapatkan
? ?pemahaman. Menjadi orang yang lebih baik. Bukan berarti itu menghapuskan apa
yang telah dia lakukan sama sekali tidak. Katakan padaku, bagaimana perasaanmu
?beberapa saat lalu ketika kau mendengarkan lagi kata-katanya?"
?"Aku ... aku tak tahu. Aku sudah mendengarkan kaset sialan itu berkali-kali. Aku
tidak ... kurasa aku mati rasa."
"Mengapa kau perdengarkan rekaman itu padaku dan bukannya menceritakannya saja
padaku?" "Aku cuma ... aku ingin kau mendengar apa yang mereka lakukan padaku. Maksudku,
merampas hal terintim yang bisa dilakukan oleh dua orang yang berpasangan dan ...
aku hanya ingin kau mendengarnya dari kata-katanya sendiri."
"Jadi, kau tidak tertarik mengeksplorasi perasaanmu tentang pengkhianatan Joy.
Atau kegagalan hubunganmu. Kau cuma memberiku tur di museum."
"Museum" ... Aku tak mengerti."
"Museum sakit hatimu. Perlindunganmu untuk menjustifikasi kemarahanmu." "Aku, uh
...." "Kita semua punya tempat seperti itu, kukira," katanya, "walaupun beberapa dari
kita lebih detail dalam merasakan sakit hatinya dibandingkan yang lain. Kau
masuk kategori ini, Dominick. Kau sangat teliti dan cermat dalam menganalisis
rasa sakit dan ketidakadilan yang ditimpakan orang lain padamu. Atau, kita bisa
mengatakan bahwa kau adalah koroner rasa sakitmu sendiri yang sangat teliti."
"Apa ... apa maksudmu" Merasakan lebih detail" "Coba kita lihat. Di museummu kau
punya monumen yang memperingati penderitaanmu pada masa kecil bersama Thomas.
Dan pameran ketidakadilan yang dilakukan ayah tirimu. Dan tentu saja, monumen
penolakan: altarmu untuk mantan istrimu?"
"Uh ...?" "Dan sekarang pameran yang paling baru. Rekaman yang kau perdengarkan
padaku yang seperti kau bilang tadi kau sudah mendengarkannya berkali-kali. ?Berkali-kali sehingga membuatmu mati rasa." Dr. Patel menghirup tehnya,
tersenyum manis. "Museum Ketidakadilan dan Penderitaan Dominick Birdsey,"
katanya. "Buka sepanjang tahun."
Sepanjang sisa sesi itu aku bersikap sopan. Tak banyak bicara. Aku tak mau
memberikan apa yang dia inginkan: kemarahan yang membuka kebenaran, kemarahan
yang menelanjangi jiwaku sehingga dia bisa membedahku seperti temannya yang
membedah semua kisah dongeng itu. Dr. Patel ini benar-benar berbahaya. Licik.
Pertama dia menipuku untuk mau datang menjalani empat sesi lagi, lalu dia
menghantam tepat di mukaku secara langsung.
Dr. Patel mengantarku sampai ke pintu. Sarannya, katanya padaku, ada-lah terus
membaca kisah kakekku. Apa pun yang kurasakan pada lelaki itu sebagai pribadi,
dia telah memberiku sebuah hadiah sesuatu yang sangat jarang diberikan oleh
?leluhur pada keturunannya.
"Yeah?" kataku. "Apa itu?"
"Suaranya dalam halaman-halaman manuskrip itu. Sejarahnya. Langsung atau tak
langsung, Dominick, kakekmu sedang bicara padamu."
Aku menyalakan Ford Escortku, keluar dari tempat parkir orang cacat. Aku sudah
ada di jalan raya sebelum sadar bahwa aku berhasil turun di tangga dari kantor
Dr. Patel tanpa merasa takut jatuh. Tanpa sadar bahwa aku sedang turun tangga.
Suara Papa. Suara Thomas. Suara Joy di kaset itu ....
Museum Penderitaan Dominick Birdsey. Persetan dia. Di lampu merah, saat menunggu
untuk masuk ke jalan tol, aku mengeluarkan kaset Joy dari sakuku. Melemparkan
benda sialan itu ke luar jendela. Sungguh menyenangkan melakukan itu.
Rasanya sangat menyenangkan.
Seperti itulah aku merasakan sakit di museumku.
Tiga Puluh Lima 28 Juli 1949 Dua malam sudah aku tak bisa tidur. Aku ingin melupakan, tapi hanya bisa
menangis mengingat hari-hari aneh ketika adikku Pasquale tak lagi menjadi pria
yang paling sederhana, tetapi paling membingungkan ....Omerta, Omerta, jiwa
Sisiliaku berbisik. Siienzio! Di Negara Tua, kode untuk diam adalah batu yang
dijatuhkan ke kolam. Lingkaran riak airnya melebar dan melingkupi semua.
Siciliani ingat, tapi tak berkata apa-apa. Namun otakku ingin memahami membuka ?rahasia adikku dan melihat ke dalam. Pasquale, aku bicara bukan untuk memalukan
namamu, tapi mencoba untuk terakhir kalinya agar bisa mengerti dan memaafkan ....
Putra kedua Mama dan Papa ini tidak diberkati dengan kecerdasan superior seperti
aku atau keinginan untuk meraih takdir sepertiku. Tidak seperti adik kami
Vincenzo yang tampan dan dipuja wanita, Pasquale tidak menggoda wanita dan
wanita tidak tertarik padanya. Berkahnya adalah untuk kerja buruh sederhana,
keras kepala, dan makan banyak. Setiap minggu, dia membayar Signora Siragusa
tujuh puluh lima sen untuk
makanan ekstra yang ditambahkannya ke kotak makan Pasquale untuk dibawa ke
pabrik: setengah lusin telur rebus, roti satu papan dan bukannya setengah,
sepotong besar keju, dan satu atau dua saisiccia panas bikinan signora.
Kadang, signora menambahkan makanan ekstra ke kotak makan Pasquale sebotol
?acar, favorit adikku. Kebiasan Pasquale adalah makan acar itu dengan
jarinya seperti insaiata improvvisata-\a\u meminum kuah acar itu. "Adikmu itu
?punya selera makan milik tiga orang sekaligus!" kata signora padaku, selalu
dengan tawa kecil seperti seorang ibu yang puas dengan selera makan anaknya.
Pada tahun-tahun saat dia bekerja di pabrik, Pasquale terkenal di antara para
pekerja karena selera makannya itu dan dihargai oleh para bos karena kerja
kerasnya yang didorong oleh energi yang dihasilkan oleh makanannya. Flynn, sang
agen, satu kali pernah berkata padaku bahwa Domenico Tempesta bekerja seperti
mesin dengan pelumas yang baik dan adiknya Pasquale bekerja seperti kuda bajak!
Dia tak banyak bicara, adikku yang satu itu. Apakah tahun-tahun saat dia bekerja
di tambang belerang sebagai caruso ayahku membuatnya sangat tertutup dan
pendiam" Masa kecilnya dihabiskan di lorong bawah tanah yang kotor dan bekerja
keras, sangat berbeda dengan masa mudaku yang bahagia di sekolah biara, tempat
aku dikirim karena natura speciaie-ku dan karena patung Vergine menangis di
depanku. Pada usia lima belas tahun, aku sudah melihat Palermo dan
Potenza! Aku sudah berenang di Adriatico, berdiri di antara reruntuhan Roma!
Tapi adikku yang malang dan sederhana hanya mengenal bebatuan dan kegelapan
perut bumi, bau menyengat belerang ....
Namun, aku ingat Pasquale sebagai seorang anak yang bahagia. Setiap Minggu,
ketika keluarga kami berkumpul, dia tertawa dan berlarian di desa dan perbukitan
dengan teman-temannya, sesama carus/-anak-anak sepucat jamur yang hanya
menikmati satu hari dalam seminggu di bawah matahari Sisilia. Mereka seperti
sekumpulan anjing muda, dengan permainan dan giuoco vioiento-nya. Para wanita
desa biasanya akan memarahi dan mengejar mereka dengan sapu di tangan, cemberut
sekaligus tersenyum melihat kenakalan anak-anak itu. Pemimpin dari para carusi
nakal ini adalah teman baik Pasquale, Filippo, yang wajah pucat dan tirusnya,
serta mata hitamnya, masih kuingat. Tanah longsor yang mengambil jiwa Papa juga
mengambil jiwa teman tersayang Pasquale, Filippo. Pada hari itu, bagian bahagia dari hidup Pasquale terkubur di tambang
selamanya. Si bajingan Indian malas, Drinkwaterlah, yang menghancurkan pekerjaan Pasquale
di pabrik tekstil. Suatu malam, dia menyelundupkan wiski ke pabrik dan membuat
adikku mabuk. Ketika Flynn keluar dari kantornya untuk melihat apa yang
menyebabkan keributan, dia memergoki Pasquale bernyanyi dan mengencingi cairan
pencelup sementara para gadis
penenun menjeritjerit dan mengintip di antara jari-jarinya yang mereka tutupkan
ke muka. Flynn memecat Pasquale, tapi dia tidak memecat Indian berengsek itu, sebuah
ketidakadilan yang membuatku marah hingga sekarang. Kalau situasinya berbeda,
aku mungkin memprotes tindakan Flynn atau bahkan berhenti dari pabrik demi nama
dignita di famigiia. Ha! Aku akan membiarkan Flynn menerangkan pada Baxter,
menantu pemilik pabrik, apa yang menyebabkan hilangnya dua pekerja malam terbaik
di pabriknya. Tapi seorang pria yang bersumpah untuk memenuhi takdirnya harus
siap ketika kesempatan datang! Awal minggu itu, koran telah memberitakan
transaksi antara kota Three Rivers dengan janda tua Rosemark. Akhirnya, lahan
petani itu akan dipecah menjadi kapling-kapling dan dijual. Jalan akan dibangun,
menurut koran, dan nama jalannya juga sudah dipilih: Hollyhock Avenue. Kapling-
kapling itu akan dijual pada akhir musim semi dengan harga lima ratus hingga
enam ratu dolar per kapling. Saat itu, tabunganku sudah mencapai seribu dua
ratus dolar. Aku memerlukan tabungan itu dan lebih banyak lagi jika aku ingin
menjadi Itaiiano pertama di Three Rivers Connecticut yang bisa memiliki tanah
sendiri. Karena itu, meskipun ketidakadilan sudah ditimpakan pada adikku
Pasquale oleh American Woolen and Textile, aku tak bisa mempertahankan nama
keluarga sekaligus mengorbankan kesempatan mempunyai rumah.
Untungnya, adikku dipecat saat musim semi. Pasquale langsung mendapatkan
pekerjaan baru sebagai pemasang atap di Werman Construction Company. Suatu
malam, mabuk di bar yang dia datangi bersama teman-teman kerjanya, Pasquale
membeli seekor monyet dari seorang pelaut yang baru saja kembali dari
Madagaskar. Monyet kurus itu tak lebih besar daripada kucing dengan bulu oranye,
mata dan jari seperti manusia. Pasquale menamai monyet itu Filippo untuk
menghormati sahabat masa kecilnya dan membuatkan kandang yang atas izin Signora
Siragusa ditempatkan Pasquale di beranda depan. Monyet itu langsung menjadi
attrazione para tetangga karena spesiesnya yang eksotik dan kondisinya yang
rapuh. Makhluk sialan itu hamil!
Filippo dengan cepat berganti Filippa. Beberapa gadis dari West Side merajut dan
menjahit topi dan baju untuk makhluk bodoh itu. Pemondok lain di Signora
Siragusa, seorang penyetel piano bergigi emas (namanya lupa), bahkan menulis
lagu tentang monyet itu yang berjudul "La Regina Piccoia".' Si strombazzatore
ini memainkan lagunya, basso profondo, di beranda depan sepanjang musim panas.
Setiap permainannya membuat para wanita meneteskan air mata. Sedangkan aku, aku
memilih menutup telinga dengan kedua tanganku dan menutup jendela.
Bulan Agustus, bayi monyet Filippa lahir mati. Dia memeluk bam-binonya yang
kaku, mati, dan * Sang Ratu Kecil mengerut itu selama dua, tiga hari penuh, dan ketika akhirnya dia bisa dibujuk
untuk menyerahkan mayat bayinya, dia meneteskan air mata yang kulihat dengan
mata kepalaku sendiri! Adikku Pasquale juga menangis menangis seperti dia tak ?pernah menangisi Papa atau Mama atau Vincenzo atau bahkan temannya Filippo. Dia
mengubur bayi monyet itu di halaman belakang dan memeluk sang ibu yang berduka
di pangkuannya, mengelus dan mengayunnya selama berjam-jam menggumamkan "Sang
Ratu Kecil" bukan dengan gaya opera seperti sang penyetel piano, tapi sebagai
?senandung untuk menenangkan, sedih tapi menenangkan. Adikku hampir tak pernah
bicara dan sekarang, untuk scimmia kecil sialan itu dia menangis dan bernyanyi!
Pasquale berduka seakan-akan bayi Filippa adalah bayinya juga ....
Omerta, ucapku sendiri! Omerta! Tapi aku adalah pria tua dengan punggung seperti
zuppa dan kepala dibebani dengan memori .... Aku bicara tidak untuk membuatmu
malu, Pasquale, tapi untuk mengerti kenapa.
Kenapa, Pasquale" Kenapa"... Adikku mulai membuka kandang Filippa dan membawa
monyet bau itu ke tempat kerja. Setiap pagi, keduanya berangkat dari rumah
signora, Pasquale berjalan kaki dan Filippa nangkring di bahunya. Sepanjang hari
Pasquale akan memalu, mengangkat genteng dan bersiul-siul, setengah hari dengan
kotoran monyet yang mulai mengering di belakang baju atau mantelnya. Kadang saat
adikku bekerja, Filippa bertengger di puncak bangunan yang setengah selesai atau pohon
di dekat situ, mencari kutu di rambutnya dan memakannya tak peduli sementara dia
memandang dan dipandangi Pasquale.
Saat musim dingin datang, Pasquale membuat perjanjian dengan signora Siragusa.
Sebagai imbalan mengizinkan Filippa masuk rumah dan tinggal di ruang bawah tanah
tempat penyimpanan batu bara selama musim dingin, Pasquale akan mengurus pemanas
dan membawa ranjangnya ke bawah tanah, sehingga kamarnya di atas bisa digunakan
untuk pemondok baru. Musim dingin itu adikku terlihat bahagia, kembali hidup di bawah tanah seperti
saat jadi caruso, keluar dari ruang bawah tanah signora hanya untuk makan atau
pergi ke bar. Monyet bodohnya selalu menemani, dimasukkan ke depan mantelnya,
kepala kurusnya nongol di antara lubang kancing.
La lingua non ha ossa, ma rompe ii dorso!' Saat musim semi, para wanita Italia
mulai bergosip, terkikik, dan bertanya-tanya kapan Pasquale Tempesta dan "istri"
kecilnya yang manis akan punya bambino lagi, ha-ha-ha. Signora Siragusa sendiri
berbisik padaku kalau dia pernah melihat Pasquale dan monyet penyihir itu
berpegangan tangan dan saling berbisik, bahkan berciuman bibir! Para pria juga
bicara. Mereka tak lebih baik. Colosanto, tukang roti, menghentikanku di jalan
suatu hari dan bertanya padaku, dengan tertawa,
* Lidah memang tak bertulang, tapi bisa mematahkan punggung!
apakah benar adikku yang gila itu mengajari monyetnya bagaimana memainkan
"pipanya?" "Bah!" kataku padanya, dan mendorongnya ke samping. "Masukkan saja pipamu ke
adonan dan panggang di oven!"
Suatu kali aku sedang berada di rumah potong rambut Salvatore Tusia, bercukur
dan mengurusi urusanku sendiri, ketika Picicci, tukang es masuk. "Hei, janggut
siapa yang kau cukur itu, Salvatore?" tanya Picicci ke Tusia. Picicci adalah
pria sok pintar dengan senyum sok di faccia brutta-nya.
Tusia bilang ke Picicci kalau dia tahu benar siapa aku. Aku adalah Tempesta,
seorang pencelup di American Woolen and Textile.
"Oh, ternyata Tempesta, ya" Paman sang monyet!"
Setiap orang di tempat pangkas itu menertawakanku pagi itu, bahkan juga si
tukang cukur sialan yang kubayar untuk mencukur mukaku. Aku berdiri, walau belum
selesai dan mengatakan persetan pada mereka semua keluar dari sana dengan muka ?masih bersabun dan kain Tusia menggantung di dadaku. Dalam perjalanan pulang,
aku mengusap mukaku dan membuang kain sialan itu di got daripada
mengembalikannya lagi ke Tusia. Biarkan dia membeli lagi dan tertawa! Aku juga
membalas Picicci. Minggu depannya, di kota, dia memanggilku dari seberang jalan
dan bertanya mengapa induk semangku, signora Siragusa, membeli es dari
Rabinowitz si Yahudi dan bukannya membeli dari seorang paisano. Aku ingat, hari
itu jalan lumayan penuh, dan di depan Picicci ada tiga atau empat pelanggan menunggu
giliran. Aku berteriak padanya kalau es Rabinowitz harganya lebih murah dan
Rabinowitz juga tidak mengencingi esnya sebelum membekukannya. Dua pelanggan
pergi dari kereta es Picicci dan dia mengangkat tinju, memakiku, dan menendang
kudanya. Kalau si bajingan itu memanggilku "paman monyet" maka dia akan
membayarnya dengan mahal!
Tapi nama baik keluarga adalah beban yang berat kalau semuanya harus ditanggung
oleh anak sulung. Adikku Pasquale terus tersenyum dan membawa Filippa keliling kota, telinganya
tuli terhadap lelucon dan ejekan dari para paisani. Setiap hari, setiap aku
pulang kerja, aku akan berbaring di ranjang dan memejamkan mata, menggertakkan
gigi dan menggenggam tinju. Aku bisa mendengar semua orang Three Rivers
menertawai nama Tempesta karena Pasquale dan monyet sialannya itu. Sekali lagi,
aku terpanggil untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan adikku.
Pikiran pertamaku adalah mengendapendap ke ruang bawah tanah signora pada tengah
malam dan mencekik leher kurus binatang bodoh itu! Tapi aku sudah belajar dari
pengalamanku dengan Vincenzo, a buon'anima, tak ada gunanya memaksakan kehendak
pada adik yang keras kepala. Maka aku memilih jalan yang lebih halus dan lebih
cerdik, yang membutuhkan kesabaran dan bakatku sebagai seorang perencana. Aku
menyusun rencanaku sepanjang musim dingin, dengan gambaran lahan Rosemark itu selalu dalam
pikiranku. Pada 13 Februari 1914, aku membeli seperempat ekar kapling di bagian barat
Hollyhock Avenue dengan harga tiga ratus empat puluh dolar. Aku cukup pintar
untuk menyadari bahwa dua bersaudara yang bekerja dengan tekun dapat membangun
sebuah rumah dengan cepat dan casa di due appaetamenti' itu akan memberikan
tempat berlindung sekaligus pendapatan sewa bagi pemiliknya. Aku sudah berusia
tiga puluh enam tahun. Meskipun aku bukan kambing tua dengan cazzu beku seperti
adikku Vincenzo, aku juga punya gairah pria dan keinginan kuat meneruskan nama
Tempesta untuk putra Italia-Amerikaku! Aku juga menganggap adikku Pasquale punya
gairah dan dorongan yang sama, tak peduli berapa banyak monyet sialan itu
berhasil mengalihkan perhatiannya, dan aku memasukkan dugaan itu dalam
rencanaku. Dua rumah berdampingan, pasti membutuhkan dua keluarga.
Aku menulis pada sepupuku di Brooklyn, menanyakan tentang gadis Italia,
khususnya siciiiani yang bisa berkenalan dengan kami. Aku tak mau istri
kelahiran kota untuk adikku dan aku jadi mereka tak akan punya ide aneh-aneh. ?Siciiiani adalah wanita paling sederhana dan wanita sederhana akan menjadi istri
yang paling baik. Sebagai pemilik tanah, aku ingin menerapkan syarat yang ketat.
Mereka harus perawan, tentu saja.
* Rumah kopel Untuk alasan ini, aku sudah mendiskualifikasi semua signorini di Three Rivers.
Siapa yang tahu gadis mana yang sudah dinodai Vincenzo" Mereka semua mungkin
saja! Istri-istri Domenico dan Pasquale Tempesta juga harus enak dipandang dan
berbakat memasak serta mengurus rumah. Selain itu, mereka harus bermartabat dan
berbakti serta rendah hati. Dan yang paling penting, mahar yang diberikan
keluarga mereka harus cukup besar untuk mengisi dua appartamenti besar.
Tuhan menganugerahiku musim semi yang datang lebih awal tahun itu. Bulan Maret,
salju sudah mencair dan saat Paskah, Pasquale dan aku sudah membersihkan lahanku
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mulai menggali, sekop demi sekop, fondasi untuk rumah kopelku.
Rumahmu akan jadi magnifico-gaya Amerika di depan dan Sisilia di belakang.
Setiap apartemen akan punya tujuh kamar, dua lantai, dan saluran pipa di dalam
rumah. Rumahku harus seperti istana bagi siciiiano pertama yang menjadi pemilik
tanah di Three Rivers, Connecticut! Dan di belakang, tangga semen akan membawaku
ke Sisilia! Aku akan menanam honeysuckle, pohon peach, anjangan anggur, dan
kebun tomat. Rempah ditanam di pot, kandang ayam, kandang kelinci, dan mungkin
kambing yang makan rumput di halaman belakang untuk sedikit susu. Di halaman
belakang rumah besarku, aku akhirnya berada di rumah lagi!
Ketika Pasquale dan aku bekerja bersisian musim panas itu, aku bicara tentang
semua rencana ini dan tentang masa kecil bahagia kami di Sisilia dan
tentang ibu kami yang penuh kasih. Dengan kata-kata puitis, aku bicara tentang
kebangkitan kembali hidup. Kami akan menjadi dua saudara paling bahagia nanti
apabila di rumah kami yang baru bergema suara tawa bambini-apabWa aroma roti
panggang, saus, dan bawang yang digoreng dalam minyak zaitun mengambang keluar
dari jendela dapur yang terbuka di rumah yang kami bagi, satu untuk setiap sisi.
Dan sekarang mumpung kita membangun rumah, bukankah sudah saatnya kita mencari
istri" Pasquale mengangkat bahu dan terus menyekop. Dia bilang masih bisa mendengar
Mama berteriak, tapi sudah lupa wajahnya.
Aku bilang padanya kalau aku baru berkomunikasi dengan surat dan teiegramma
dengan Lena dan Vitaglio, sepupu kami di Brooklyn. Tetangga sepupu kami, Iaccoi
bersaudara apa Pasquale masih ingat dua tukang pipa dari Palermo itu" Iaccoi ?bersaudara punya berita besar. Adik tiri mereka, Ignazia, tujuh belas tahun,
akan datang musim panas ini dari Italia, dengan seorang cugina wanita,
Prosperine, usia delapan belas tahun. Kedua gadis itu adalah gadis yang
berbakti, dan ingin menyenangkan suami. Mereka juga pintar memasak! Dan cantik
wajah maupun tubuhnya montok dan siap untuk dipetik!
?Sepanjang sore, aku bicara tentang anak-anak dan dorongan alami pria, serta
kebahagiaan punya rumah dan istri. Saat matahari tenggelam, ketika kami berdua
berjalan pulang ke pemondokan sambil
memanggul sekop, aku mengajukan usul yang murah hati: Pasquale dan aku akan naik
kereta ke Brooklyn saat Natal nanti, mengunjungi sepupu kami dan Iaccoi
bersaudara yang tinggal di sebelah, dan memutuskan apakah kami menyukai yang
kami lihat. Mungkin akan lebih masuk akal untuk memasangkan gadis yang lebih tua
dengan kakak, dan viceversa, tapi itu bisa diputuskan nanti. Lagi pula, apa
masalahnya kalau kedua wanita muda itu sama-sama perawan cantik di puncak usia
?kesuburannya" Bukankah mereka berdua bisa memuaskan gairah pria" Kalau adik
tercintaku mau menikahi adik tiri Iaccoi maka dia boleh tinggal di sisi kiri
rumah kopelku. Aku tak akan menarik sewa untuk setahun pertama. Setelah itu,
Pasquale bisa merundingkan sewa tahun berikutnya, dengan harga yang tak terlalu
mahal tentunya jumlahnya bisa ditentukan kemudian. Mengapa terburu-buru, ya,
?kan" Pasquale juga tak perlu khawatir tentang mahar. Sebagai putra tertua
Tempesta dan seorang pemilik tanah bernaluri bisnis tinggi, akan menjadi sebuah
kehormatan bagiku untuk melakukan negosiasi itu atas namanya, hahaha.
Mendapatkan mahar yang pantas untuknya. Kalau Pasquale membutuhkan bantuan untuk
biaya pernikahan, aku juga akan senang membantu. Lagi pula seorang bos pencelup
penghasilannya pasti lebih besar daripada seorang pemasang atap. Itu memang
kenyataan ha ha! Dan begitu rumah selesai dibangun dan para pengantin muda kami
?menjemur seprai bernoda darah perawan mereka di halaman
belakang, Pasquale, tentu saja pasti akan menyingkirkan monyet bodoh itu.
Pasquale meludah, ludah tembakau yang di-kunyanya dan menggeleng.
Pasquale Tempesta, a buon'anima, kadang bisa keras kepala seperti keledai
seperti kakaknya Domenico yang pintar! Aku tak ingin membangunkan muio di dalam
dirinya hari itu. Baiklah, baiklah, kataku pada adikku, menepuk punggungnya dan
tersenyum lebar. Monyet itu boleh tinggal di kandang di halaman belakang hingga
dia mati nanti. Tapi senyampang kita mendiskusikan masalah ini, kataku, Pasquale
sebaiknya berhenti membawa Filippa bekerja bersamanya. Orang-orang mengatakan
hal buruk, membuat lelucon jorok. Nanti apabila dia sudah punya istri cantik
yang bisa mengalihkan perhatiannya dan memberinya kesenangan, Pasquale tak lama
lagi akan punya "monyet-monyet kecil" sendiri. Dia akan segera melupakan tikus
berekor panjang itu. Adikku yang keras kepala seperti keledai itu melemparkan
sekopnya dan mengatakan padaku tak akan lagi mau mengerjakan rumah di mana
Filippa tidak diperbolehkan masuk ke dalam.
"Ke dalam?" teriakku. "Ke dalam?"
Negosiasi berlangsung saat makan malam hingga larut malam, dan kadang menjadi
sangat keras sehingga pemondok lain mengeluh dan Signora Siragusa terpaksa turun
tangga dengan rambut terkepang dan gaun tidur, memintaku dan Pasquale berbicara
dengan berbisik atau dia akan mengusir
kami keluar. Adikku, keledai keras kepala itu, bergeming di ruang tengah signora
dan menggelengkan kepala seperti metronom. Apa pun yang telah kujanjikan pada
Iaccoi bersaudara, katanya, dia tak tertarik punya istri titik. Dia bersedia
mematahkan punggungnya membantuku membangun rumahku. Dia bahkan bersedia mati
untukku. Tapi dia tak akan menggantikan Filippa kecilnya dengan istri dan tak
akan mau lagi bekerja di rumah di mana monyetnya tak diterima.
Ketika aku dan Pasquale akhirnya berdiri dari kursi ruang duduk Signora Siragusa
pada tengah malam yang panjang dan sulit itu, wajahku panas dan tubuhku basah
berkeringat. Aku mengumpat dan meludah di tempat ludah signora lalu dengan
enggan menjabat tangan adikku. Ha! Ataukah lebih tepat kukatakan kalau aku
menjabat kaki depan keledai yang keras kepala" Sebagai ganti dari bantuannya
membangun casa di due appartamentiku hingga selesai, Pasquale mendapatkan dua
dari empat ruangan di sisi rumah bagianku, bebas sewa bukan hanya setahun, tapi
selamanya! Satu kamar akan menjadi tempatnya tidur dengan Filippa dan ruang lain
adalah kamar bermain yang khusus diperuntukkan bagi ruang ricreazione monyet
sialan itu! Tapi apa yang bisa kulakukan" Membayar dua atau tiga pekerja malas
untuk melakukan apa yang dilakukan adikku secara gratis, meskipun itu mematahkan
punggungnya" Setelah tidur, aku jadi tenang lagi. Aku sudah mulai punya rencana baru di
otakku yang superior. Diam-diam aku akan meneruskan negosiasi dengan Iaccoi bersaudara, menikahi
sepupu mereka yang cantik dan membawa adik tiri mereka yang cantik ke Three
Rivers untuk tinggal bersama kami. Lalu alam akan mengaturnya sendiri. Sebagai
suami yang bahagia, aku seperti biasanya akan menjadi teladan bagi adikku. Adik
tiri itu pasti akan membangunkan keinginan lelaki dalam diri Pasquale. Akhirnya,
adikku yang keras kepala itu akan menyerah juga.
1 Agustus 1949 Sepanjang musim panas dan musim gugur itu aku bekerja pada malam hari dan
membangun rumah baruku saat siang hari, berhenti hanya pada sore hari untuk
makan dan tidur. Pasquale memasang atap rumah untuk Werman hingga pukul empat
sore tiap hari, lalu bekerja di Hollyhock Avenue hingga malam selalu bersama ?monyet sialan itu di dekatnya atau nangkring di bahunya. Adikku dan aku
menyantap makan malam dingin bersama di dapur signora sebelum dia turun ke ruang
bawah tanah untuk tidur dan aku berjalan ke pabrik untuk bekerja. Pada hari
Minggu, Pasquale dan aku bekerja berdampingan membangun rumah baruku. Hari-hari
Minggu itu adalah hari-hari yang terbaik: dua pria muda bersaudara yang kuat
mewujudkan mimpi jadi kenyataan, papan demi papan, bata demi bata ....
Ketika musim dingin membekukan tanah tahun itu dan menghentikan proses
pembangunan hingga musim semi, aku dan Pasquale pergi ke bar tempat
para pekerja bangunan minum aku tidak bermaksud membuang uangku untuk bir dan
?wiski, tapi aku ingin duduk di kursi bar dan mencuri isi otak para pekerja itu.
Instai/atori, eiettricisti: aku membujuk para pekerja yang sedang tak ada
pekerjaan sepanjang musim dingin itu untuk bicara dan menggambar di tisu,
berbagi detail pekerjaan mereka. Sepanjang musim dingin itu aku bertanya, men-
de-ngar, dan belajar apa yang aku butuhkan. Dan aku tak mengeluarkan uang
sepeser pun! Kadang setelah semalam mencelup wol di pabrik, aku akan berjalan ke rumah
pemondokan Signora Siragusa terus ke Boswell Avenue dan Summit Street ke
Hollyhock Avenue di mana matahari pagi menyinari batu bata, papan, batu rumahku
yang baru setengah dibangun. Saat itu, aku teringat kerja keras Papa sepanjang
hidupnya di tambang belerang yang kotor dan panas di Giuliana dan membayangkan
dia berdiri di sampingku dalam udara pagi Connecticut yang segar. Aku
membayangkan dia melihat apa yang kulihat menggelengkan kepala dengan bangga ?dan tak percaya. Tapi bukan darah Papa yang kurasakan mengalir deras dalam
diriku saat aku menatap rumah dan tanahku. Aku merasakan darah Ciccia darah
?leluhur ibuku pemilik tanah seperti itu, Domenico Tempesta, yang dibuahi saat
?Gunung Api Etna bergemuruh dan siap memuntahkan isi perutnya! Domenico Onofrio
Tempesta yang dipilih sendiri oleh Sang Perawan Suci!
Bulan Desember tahun itu, aku menerima
telegramma dari Iaccoi di Brooklyn. Mereka menanyakan kapan kami, Tempesta
bersaudara, akan datang untuk mengambil para calon istri kami. "Kerabat kami
yang cantik dan muda menunggu dengan sabar," kata pesan itu, "tapi hanya masalah
waktu sebelum pengaruh 'Mericano mulai memengaruhi kepala mereka." Industri
garmen di Manhattan sangat membutuhkan tenaga kerja wanita, tulis dua bersaudara
itu. Maka cukup adil kalau salah satu atau kedua wanita muda itu berusaha
membantu pendapatan, kecuali jika aku dan Pasquale berencana untuk bertindak
cepat. Aku mengirim telegramma yang mendorong mereka mengizinkan kedua gadis itu
bekerja, apa saja dan menyisihkan lebih dari separuh upah mereka untuk
meningkatkan jumlah mahar mereka, yang masih akan dinegosiasikan kemudian. Aku
tak merasa perlu tergesa-gesa. Lagi pula, aku adalah bos pencelup dan pemilik
casa di due appartamenti yang spektakuler ini meskipun baru setengah selesai.
Aku juga seorang pria kalau cermin setinggi badan di lorong depan rumah Signora
?Siragusa tak berbohong yang sangat tampan memakai setelan three pieces. Apa
?gunanya bersikap rendah hati" Tak ada salahnya membiarkan wanita menunggu; itu
membuat mereka tahu siapa bosnya dan siapa yang bukan. Menunggu juga baik bagi
wanita. Juga baik bagi Iaccoi bersaudara. Mereka akan lebih menghargai hadiah
yang diberikan Pasquale dan aku terhadap para wanita mereka nanti. Lagi pula
sedikit kegugupan di pihak
mereka akan menaikkan mahar, aku akan meminta tujuh ratus dolar untuk menikahi
Prosperina dan empat ratus untuk menikahkan adikku dengan Ignazia. (Tentu saja
aku harus menegosiasikan perkawinan adikku tanpa sepengetahuan Pasquale). Iaccoi
bersaudara pasti akan berkeberatan dengan mahar itu, tapi aku akan tegas. Dengan
semua toilet dalam yang sedang tren di Amerika, dua tukang pipa itu mungkin bisa
membayar mahar tiga kali lipat.
Pada awal musim semi, 1915, Pasquale dan aku meneruskan pekerjaan menyelesaikan
pafazzo-ku, memasang beton penyangga lantai dua dan menempatkan kosen jendela
granit, lantai marmer Sisilia di de-pan dan di belakang. Kami memaku jendela dan
kosen pintu dan engsel, membangun cerobong asap, dan dinding antarruang. Di
dinding depan lantai dua, aku memasang batu bata secara diagonal dalam bentuk
huruf T setinggi tiga kaki agar bisa dilihat oleh seluruh kota! Ini kulakukan
untuk menghormati ayahku dan meningkatkan nama Tempesta. Pada musim gugur akhir
tahun itu, kerangka batu bata, batu, dan kayu rumah sudah selesai. Pada musim
dingin nanti atapnya sudah akan terpasang.
Selama musim pembangunan itu, orang-orang Italia di Three Rivers mampir untuk
berkunjung dan memberikan selamat atas "istana" yang hampir selesai. Pasquale
dan aku mendapat hadiah kue, keju, dan anggur buatan sendiri disertai doa
keberuntungan. Ha! Setiap orang ingin berada di
dekat kemurahan hati seorang pria yang sukses.
Aku menangis apabila ingat apa yang terjadi kemudian. Pada 12 Oktober 1915,
tragedia terjadi di rumah nomor 66 dan 68 Hollyhock Avenue.
Saat itu, aku sedang mengaduk semen untuk jalan di depan. Pasquale duduk di
tangga beranda, mengunyah makan siangnya dengan porsi untuk tiga pekerja.
"Lihat, Domenico, dua gagak mendekat," dia menggerutu, mengarahkan janggutnya ke
jalan. Uskup McNulty dan monyet kecilnya, si kurus Pastor Guglielmo, berdiri
memandangi kami dengan jubah hitam mereka. Lebih baik abaikan saja, kataku dalam
hati, dan terus mengaduk semen. Kalau uskup tua itu menemukan lagi seorang anak
bastardo Vincenzo, apa hubungannya denganku" Vincenzo sudah mati, a buon'anima.
Anak haram yang dia tinggalkan bukanlah tanggung jawabku.
Mereka berdua mendekat; pastor tua itu mulai dengan pujian. Pembangunan rumah
yang mengesankan ini dan statusku sebagai bos di pabrik telah membuatku sebagai
seorang pemimpin di tengah komunitas Italia. Apa aku tahu itu"
Ya, aku tahu itu, kataku padanya. Sepanjang hidupku aku selalu menjadi teladan
untuk diikuti orang lain. Adikku Pasquale diam saja mengunyah rotinya dan
menganggukkan kepala tanda setuju.
Ya, ya, ya, Domenico Tempesta memang pria yang patut dihormati dan ditiru, kata
uskup. Dia memoles kata-katanya dengan manis sehingga perkataan pahit yang dia katakan
selanjutnya sangat mengejutkanku.
McNulty berdiri sangat dekat denganku sehingga aku bisa melihat pembuluh darah
di pipinya, bopeng di hidungnya. "Karena itu," bisiknya, "kau berdosa
besar karena mengabaikan misa Minggu! Kegagalan untuk menghormati Tuhan pada ?hariNya! Mencemooh hukum suci." Tepat saat itu, Pasquale bersendawa karena
meminum kuah acarnya sendawa yang panjang dan lama dengan klimaks seperti suara
?petir saat udara bergerak dari kerongkongannya dan keluar dari mulut. Mata
Pastor Guglielmo kecil membelalak ketakutan mendengar sendawa itu dan dia
meletakkan jari di depan mulutnya meminta Pasquale untuk diam. Tingkat kehadiran
orang "Eyetalian" di kedua gereja turun drastis kata sang uskup, dan dia maupun
Tuhan Yang Mahakuasa menganggapku bertanggung jawab. McNulty bilang
ketidakhadiranku di Misa Minggu membuatku menanggung tak hanya dosaku sendiri,
tapi dosa semua orang Italia yang tak pergi ke gereja. Aku harus mendahulukan
Roh Kudus dibandingkan dengan setumpukan batu bata dan mengakui kesalahanku, dan
kembali ke Misa agar bisa dilihat semua orang pada hari Minggu nanti. Pada
bagian ini, Pasquale berdiri dari duduknya, berjalan ke samping rumah dan
kencing. Lalu dia melemparkan isyarat ciuman ke Filippa, dan bersiap-siap
kembali bekerja. Awalnya aku berusaha bersikap hormat pada pastor berwajah anjing itu. Aku
tersenyum dan berjanji akan kembali ikut Misa Minggu begitu empat pintu di
rumahku selesai dipasang, dua puluh dua jendela sudah dipasangi kaca, dan
atapnya terpasang. Aku menunjukkan jempolku ke arah Pasquale, yang sekarang
sedang menaiki tangga ke atap yang baru setengah terpasang, dengan Filippa di
salah satu bahunya, dan setumpuk kayu di bahu yang lain. "Dan sekarang setelah
Pasquale makan siang," gurauku, "dia mungkin akan selesai memasang atap itu
malam nanti, meskipun ukurannya memang besar. Orang sering bilang kalau aku
bekerja seperti mesin yang berpelumas baik dan adikku bekerja seperti kuda
bajak." Uskup McNulty bilang bahwa kesombongan mungkin adalah dosa terbesar dan
kebanggaanku terhadap kepemilikan duniawi di atas kesalehan sangat mengejutkan
dan sesat. Dia bilang, dia berharap dan berdoa tak akan ada azab yang ditimpakan
padaku. Lalu dia menurunkan suaranya dan membuat komentar tentang pria dan
monyet yang membuat Pastor Guglielmo memerah wajahnya.
Aku berhenti mengaduk semen. Di tanganku, sekop terasa seperti senjata pembunuh.
"Vai in mona di tua soreiia!" kataku padanya.
"Terjemahkan! Terjemahkan!" pinta pastor tua itu pada Pastor Guglielmo yang
pendiam, tapi tulus. Dengan terbata-bata, pastor muda itu bilang kalau aku meminta mereka berdua
pergi sekarang. "Aku bilang pergi kalian berdua dari sini, Sialan!"
teriakku pada uskup Wajah-Anjing kali ini dalam bahasa Inggris. "Aku bilang,
pulang sana dan tiduri saja adik perempuanmu!"
Pastor Guglielmo mengangkat kedua tangannya dalam usaha untuk menegosiasikan
perdamaian, tapi sang uskup mengulurkan tangan dan memukul kepalanya. Lalu dia
berjalan cepat ke jalan memerintahkan Guglielmo untuk mengikutinya. Ketika
pastor kecil itu sudah mengikutinya, McNulty mengarahkan telunjuknya padaku dan
berteriak dengan suara keras untuk mempermalukanku dan bangsaku. Sebuah rumah di
mana pemiliknya telah mengusir utusan Tuhan, katanya dan mengusir dengan kata-?kata yang sangat vulgar yang hanya bisa diucapkan oleh orang Italia maka rumah
?itu akan ditinggalkan Tuhan, terkutuk dari puncak hingga dasarnya! "Tunggu dan
lihat saja, Tempesta!" teriak uskup tua itu. "Camkan kata-kataku ini!"
Ketika dia berpaling, aku menyekop semen dan melemparnya. Semen itu jatuh
mengenai punggung sang uskup, menetes di jubahnya seperti kotoran monyet. Pastor
tua dan muda itu terburu-buru lari turun bukit, McNulty berteriak-teriak dan
memukuli asistennya beberapa kali lagi, dan bahkan menendangnya sekali.
Rumahku yang dikutuk oleh utusan Tuhan bukanlah masalah sepele, tapi Pasquale
tidak paham seriusnya peristiwa yang baru terjadi. Di atap, suara tawanya
menggelegar hingga ke pepohonan.
"Tutup mulut dan mulai bekerja!" teriakku, dan melemparkan semen ke arahnya dan
Filippa. Tindakanku itu menakutkan monyet sialan Pasquale, dan monyet itu
melompat dari bahu tuannya, berlari-lari di puncak atap. Dengan satu lompatan
besar dia mendarat di pohon maple besar.
Saat makan siang tadi, adikku Pasquale juga telah meminum sebagian besar anggur
keberuntungan kiriman Pippo Conti, sesama pemasang atap yang berkunjung pagi itu
saat akan berangkat ke Misa Minggu. Pasquale sedang bersiul-siul dan memasang
atap ketika dia mendengar, mengatasi suara palunya, jeritan minta tolong
Filippa. Monyet itu duduk di puncak pohon terdekat, dan tiba-tiba dikerumuni
sekelompok burung bluejay yang marah. Pasquale berdiri dan lari untuk membantu
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
binatang peliharaannya, melupakan ruang kosong di antara atap dan pohon.
Dia jatuh. Aku melihatnya sendiri. Palu di tangan, dia jatuh menimpa tangga ke fondasi di bawah.
Aku melihatnya dan mendengar suara tulang belulang adikku yang patah saat
menimpa lantai ruang bawah tanahku. Saat aku berlari mendekatinya dan mengangkat
kepalanya ke pangkuanku, kepalanya tergolek lemas seperti boneka yang patah.
"Dio di scampi! Dio di scampi!" teriakku, lagi dan lagi. Seandainya tadi aku
menahan lidahku menghadapi pastor tua itu! Seandainya saja aku tidak melempar
semen padanya! Filippa yang sudah berhasil melarikan diri dari burung-burung bluejay itu dan
turun dari pohon, meringkuk di dada Pasquale, salah satu jarinya memilin rambut
Pasquale. Mulut Pasquale bergerak-gerak, kata-kata terakhirnya, "Filippa ...
Filippa." Dengan kepedihan yang sangat mendalam aku melihat sinar kehidupan meninggalkan
adikku! "Filippa ... Filippa," bibirnya terus bergerak, dan aku bersumpah pada
adikku yang sekarat, demi leluhur dan keturunan kami, aku akan merawat monyet
kecilnya. Lalu tubuh Pasquale bergetar untuk terakhir kalinya, dia muntah darah
dan matanya menjadi kosong.
Sekarang, aku sendirian ....
Pasquale disemayamkan selama tiga hari di ruang duduk rumah pemondokan. Signora
Siragusa menangisi adikku seperti ibu menangisi anaknya. Posisiku yang terhormat
di kota, juga besarnya efek tragedi ini, membuat sebagian besar orang Italia di
Three Rivers datang menyampaikan bela sungkawa. Flynn, sang bos pabrik, datang
dengan istrinya. Werman, pemilik perusahaan konstruksi tempat Pasquale bekerja,
datang dengan dua putranya. Saat misa pemakaman di gereja St. Mary of Jesus
Christ yang penuh sesak, uskup muka anjing itu tetap bersikap sok yang sangat
menyinggungku. Setelah adikku dimakamkan di sebelah Vincenzo,
aku duduk dan menulis surat keluhan pada Paus di Roma. (Tak pernah dijawab.)
3 Agustus 1949 Pencernaanku bermasalah sejak Selasa. Rematik membuat persendianku sakit.
Tubuhku memang tak kuat lagi, tapi memoriku masih kuat!
Meskipun Pastor Guglielmo menghiburku pastor kecil itu mengunjungiku beberapa ?kali setelah kematian Pasquale aku tidak kembali ke gereja saat salju mencair.
?Aku bersumpah tak akan lagi menginjakkan kaki ke rumah Tuhan selama uskup
berengsek itu masih hidup. Dan aku menuliskan dengan bangga bahwa aku memenuhi
sumpah itu! Setelah kematian tuannya, Filippa, si "ratu kecil" yang manja yang telah
menyebabkan kematian adikku, meringkuk gemetaran di pojok kandangnya di beranda
rumah. Kadang pada malam hari, melalui jendela yang terbuka, aku mendengar
ocehan dukanya yang aneh suara berisik saat dia membenturkan badan ke
?kandangnya. Signora Siragusa, wanita tua yang paling percaya takhayul, mulai melihat // mai
occhio-mata setan di pandangan monyet itu. Anak-anak dan para nenek mulai
?menghindari makhluk itu dan membuat tanda salib setiap kali keluar masuk rumah
pemondokan. Signora mendesak agar aku memindahkan kandang makhluk itu ke beranda
belakang. Di sana, anak-anak lelaki meludahinya dan menusuk-nusuknya dengan
tongkat, dan monyet itu duduk, mendesis, dan gemetaran.
Americo Cavoli, keponakan signora, punya hobi menyiksa makhluk malang itu. Aku
tahu hal itu terus berlangsung, tapi apa yang bisa kulakukan" Berhenti bekerja"
Tidak tidur untuk terus mengawasi monyet sialan itu"
Sebagai bos pencelup dan pemilik tanah, aku tentu saja menganut ide modern,
menganggap adanya // mai occhio di mata monyet itu hanya kebodohan wanita. Aku
tidak menganggap Filippa sebagai penyihir, tetapi sebagai pengganggu satu lagi
?beban pengeluaran di antara berbagai pengeluaran yang harus kutanggung karena
pembangunan rumah baruku dan biaya pemakaman adikku. Dengan pikiran yang lebih
praktis, aku mulai melihat betapa tidak menguntungkannya janji yang kubuat
dengan terburu-buru di depan adikku yang sekarat. Untuk penghematan, aku
mengganti campuran pisang, gandum, dan madu yang biasa diberikan Pasquale pada
Filippa dan memberinya makan kulit kentang dan sampah lain dari dapur Signora
Siragusa. Signora mulai mengeluh tentang kutu Filippa dan bau diarenya karena
makanan barunya. Musim dingin akan segera tiba. Dan Signora tak ingin monyet
setan yang jorok itu tinggal di ruang bawah tanah, menimbulkan masalah dan
menularkan kutu lewat lubang pemanas. Kalau itu terjadi, semua orang yang
tinggal di rumahnya akan mulai gatal-gatal, atau pindah, atau mendapatkan
tragedi seperti adikku yang malang! Rumahnya adalah rumah pemondokan, bukan
giardino zooiogico. Dia memintaku untuk melakukan
sesuatu. Malam itu, ketika aku memasukkan tangan ke kandang jorok Filippa untuk
memberinya makan, monyet sialan itu membuka mulutnya dan menggigit pergelangan
tanganku. Aku mengumpatinya, mengisap lukaku dan membuat rencana.
Minggu paginya, aku membayar satu nikel pada Cavoli muda untuk lari ke Hollyhock
Avenue membawa karung, mengisi bawahnya dengan pecahan batu bata dan menarik
karung itu ke jembatan Dungai Sachem. Aku memerintahkan anak itu untuk
menungguku di sana. Hati-hati, aku membuka kandang Filippa dan mengikat monyet
yang berontak itu. Kami berdua berjalan ke sungai. Beberapa kali aku terpaksa menyeret makhluk itu
yang sepertinya mengerti nasib apa yang menunggunya. Dan ketika kami sampai di
tujuan, Filippa berpegangan erat ke pagar jembatan dan menjerit.
Aku memegang rantai lehernya dan Cavoli membuka karungnya. Kami berdua berhasil
memaksanya masuk ke karung yang sudah dibebani batu bata itu dan mengikat bagian
atasnya. Filippa mencakar dan menggigit kami berdua dalam usahanya melepaskan
diri dan sekarang dia berjuang dengan kekuatan luar biasa untuk membebaskan
dirinya dari karung. Namun, kami akhirnya berhasil mengangkat karung yang berisi
monyet sialan yang menjeritjerit itu dan melemparnya ke sungai.
Karung itu langsung tenggelam.
Apa yang harus dilakukan sudah dilakukan dan sekarang sudah selesai. Ha!
Tapi, aku salah duga! 9^-
Tiga Puluh Enam "Jadi dia menyeret monyet itu ke jembatan, memasukkannya ke karung yang sudah
diberi beban dan melemparnya ke sungai. Menenggelamkannya." "Karena ...."
"Karena lebih mudah membunuh makhluk sialan itu daripada memenuhi janjinya." Aku
berdiri di depan jendela kantor Dr. Patel, memandang Sungai Sachem mengalir
deras di balik pepohonan. Selama seminggu ini cuaca mulai menghangat: aliran
sungai lumayan deras karena lelehan salju sisa musim dingin. "Aku tak tahu, Dok.
Mungkin seharusnya aku berhenti membaca kisah sialan itu. Melemparkannya ke
perapian atau semacamnya."
"Membakar sejarah keluargamu, Dominick" Kenapa kau mau melakukan itu?"
"Karena itu membuatku emosi .... Tadi malam setelah aku membaca cerita tentang
monyet itu, aku tak bisa tidur." Aku berpaling dan menghadap ke Dr. Patel. "Kami
mirip dia, kau tahu" Thomas dan aku."
"Kakekmu" Ya" Kau punya fotonya?"
Aku mengangguk, "Ibuku dulu menyimpan album besar semua foto keluarganya. Ya ?Tuhan, dia selalu membawa benda itu ke mana-mana, dia
bahkan pernah menyelamatkan benda itu suatu kali." Aku ingat bagaimana Ma
berlari keluar dari rumah yang terbakar, menjeritjerit album itu didekap erat
?di dada. "Menyelamatkannya?"
"Rumah kami kebakaran. Saat Thomas dan aku masih kecil .... Kau tahu apa yang aneh
dari kisah itu" Semakin aku membacanya, semakin aku benci bajingan
itu bagaimana dia memperlakukan orang lain, menganggap dirinya lebih baik ?daripada semua orang tapi pada saat yang sama, aku hampir mengenalinya, kau
?tahu" Aku bisa berhubungan dengannya, dalam level tertentu."
"Kau bicara lebih dari kemiripan fisik bukan?"
"Kurasa. Va .... Tadi malam, setelah aku membaca bagaimana dia menenggelamkan
monyet itu, aku mulai berpikir tentang bagaimana aku juga terjebak dalam sebuah
janji, sama seperti dia. Sama seperti Papa .... Janji itu adalah hal terakhir yang
pernah kukatakan padanya. Apa aku sudah pernah menceritakan itu padamu?"
"Hal terakhir yang kau katakan pada siapa?"
"Ibuku. Aku berjanji aku akan menjaganya. Melindunginya si kelinci kecilnya ....
?Itu adalah hal terakhir yang kukatakan padanya sebelum Ma meninggal." Aku
mendekapkan tangan ke dada. Memandang dua anak laki-laki berjalan di sepanjang
tepi sungai. "Dan kau pikir kau bisa menyamakan dirimu dengan kakekmu dalam beberapa hal
karena ?" ?"Karena kami berdua menyalahi janji kami.
Termakan kata-kata sendiri."
Dr. Patel bilang dia tak mengerti bagaimana aku bisa sampai pada kesimpulan itu.
Bukankah selama ini aku tanpa kenal lelah dengan agresif, dalam kondisi apa
?pun melakukan apa pun untuk kebaikan kakakku" Apa yang membuatku berpikir aku
?gagal memenuhi janjiku pada ibuku"
Pertanyaan itu membuatku tertawa. "Lihat saja di mana dia sekarang," kataku.
"Terkurung di kandangnya di sana. Minimal selama setahun, dengan kemungkinan
satu tahun lagi. Bersinggungan dengan para psikopat sialan yang .... Ya, Dok, aku
melakukan pekerjaan hebat dalam menjaganya, bukan?"
"Dominick, kita sudah membahas ini sebelumnya. Kalau kau berusaha bertanggung
jawab lebih daripada yang bisa kau kontrol itu tak produktif dan"
"Dengar, kau bisa mengatakan apa pun yang menurutmu bisa membuatku merasa lebih
baik atau apalah, tapi kenyataannya adalah aku mengecewakannya. Jatuh dari atap,
tak hadir dalam sidangnya, dan lalu bam! Dia menginap dalam jangka waktu lama di
Hotel Hatch." Dr. Patel menggelengkan kepala. Pertama, katanya, dia meragukan kalau
kehadiranku dalam sidang Thomas akan mengubah keputusan yang sebenarnya sudah
jelas. Dan kedua, janji yang kubuat pada ibuku saat dia akan meninggal
?meskipun murah hati dan dengan niat baik telah menuntut pengorbanan yang sangat
?besar dariku. Terlalu besar, menurut pendapatnya. Itu membuatku tidak bahagia,
tidak sehat dan bahkan berniat bunuh diri, meskipun dalam jangka waktu pendek
?pada musim gugur lalu. Pasti ibuku tak ingin aku mengorbankan kesehatan-Zcu
sendiri dalam usaha sia-sia untuk melindungi kakakku.
"Itu masih bisa diperdebatkan," gumamku.
"Ya" Mengapa kau berkata seperti itu?"
Aku mengangkat bahu, melengos. "Tak ada alasan. Tidak apa-apa."
Aku bisa merasakan dia memandangiku. Kami berdua terdiam.
"Dominick," Dr. Patel akhirnya berkata. "Saat membicarakan kakekmu, kau sangat
kritis berkaitan dengan apa yang kau anggap sebagai delusi kebesaran dirinya.
Aku memintamu untuk mempertimbangkan apakah itu, mungkin, juga merupakan
kemiripan lain yang juga kau punyai."
Aku tertawa pendek bertanya padanya apa maksudnya.?"Itu berarti bahwa Thomas menderita skizofrenia dan kau tidak karena Tuhan atau
nasib atau seleksi alam membuatnya demikian. Itu berarti kakakmu harus tinggal
setahun lagi di Hatch karena negara berpikir bahwa itu adalah tempat terbaik
baginya. Kau tidak bisa mengontrol hal-hal ini, tak peduli janji seperti apa
yang telah kau buat, atau pada siapa."
"Ya, kalau aku butuh pengacara untuk membantuku, aku akan meneleponmu, Dok. Tapi
sebenarnya, aku bisa saja mengeluarkannya dari sana. Aku tahu, aku bisa."
Dia tak setuju, kata Dr. Patel.
"Oke, baiklah. Kita setuju untuk tak setuju."
Dr. Patel berdiri dan berjalan ke jendela. Berdiri di sebelahku memandang ke
luar. "Aku sudah sering memandangimu berdiri di depan jendela ini dan memandang
ke luar," katanya. "Apa sih, yang kau lihat?"
Tak ada, kataku. Hanya sungai. "Ah," katanya. "Kalau begitu, tolong aku, ya.
Beri aku demonstrasi kekuatan besar yang kau punyai untuk mengarahkan segala
sesuatu. Buka jendela ini, dan berteriaklah pada sungai. Katakan padanya kau
ingin sungai itu berhenti mengalir ke arah biasanya dan berbalik arah. Biarkan
aku melihat kekuatanmu."
Aku memandang matanya yang bersinar nakal. "Kurasa kau mencoba mengatakan
sesuatu?" "Ada sedikit maksud, dan sedikit gurauan," katanya. "Bukankah akan sia-sia saja
kau membuat perintah seperti itu" Berasumsi bahwa sungai akan berbalik arah dan
menuruti keinginanmu" Kau punya keterbatasan, Temanku, dalam hal apa yang bisa
dan tak bisa kau kontrol, seperti kita semua. Kalau kau ingin sehat, kau harus
mengakui kemustahilan mengubah kondisi kakakmu. Akuilah keterbatasanmu dalam
menentukan situasi, Dominick. Dan itu akan membebaskanmu. Itu akan membantumu
sehat." Aku melihat senyumnya dan beralih ke senyum patung Shiva di sebelahnya. "Jadi,
apa yang harus aku lakukan?" kataku. "Masukkan dia dalam karung" Menyeretnya ke
sungai dan melemparkannya?"
Dr. Patel mengulurkan tangan dan menyentuh
tengkukku. Memandang ke sungai bersamaku. "Apakah itu yang ingin kau lakukan,
Dominick?" tanyanya. Aku memejamkan mata dan kembali teringat mimpiku saat masih
dalam pengaruh morfin: melihat dan merasakan diriku mencekik kakakku,
menurunkannya dari pohon, membawanya ke sungai yang sama seperti sungai yang
mengalir di kejauhan itu. "Tolong jawab pertanyaanku," katanya. "Apa kadang kau
ingin menghancurkan kakakmu?"
"Tidak," kataku, berusaha mempertahankan ketenangan diri. "Ya."
Dia menunggu. Melihatku terguguk.
"Tidak! Ya! Tidak! Ya! Tidak! Ya!"
Aku mungkin menangis selama semenit atau lebih, dan ketika akhirnya aku
berhenti kelelahan karena pengakuanku Dr. Patel membimbingku menjauh dari
? ?jendela dan kembali duduk. Mengajakku menarik napas panjang. Menunggu hingga aku
sangat tenang, sehingga aku mengantuk.
Dr. Patel berkata, hanya ketika aku sudah mengakui keterbatasanku dalam hal
kakakku, aku mulai bisa memahami berkecamuknya perasaanku tentangnya.
Membebaskan diri. Bergerak maju.
"Aku menyayanginya," kataku. "Dia kakakku. Tapi sepanjang hidup kami, dia
membuatku merasa sangat ...."
"Teruskan. Dia membuatmu merasa ...T'
"Malu. Terhina. Setiap orang berbisik tentang betapa anehnya dia. Membuatnya
seperti lelucon .... Dan setengah dari dirimu ingin melindunginya, kau tahu" Memukul mereka saat
mereka menjelek-jelekkannya. Dan setengah lainnya ... setengah lainnya ... ingin
lari ke arah sebaliknya. Menjauh darinya sehingga kau tidak tertular
keanehannya. Jadi, tak ada yang masuk padamu." "Tak ada apa?"
"Penghinaan itu. Penyakitnya .... Kelemahannya. "
Dr. Patel membuka tutup penanya dan menulis sesuatu. "Jadi, kau mengatakan kalau
menjadi adik Thomas membuatmu merasa terpecah?"
"Terpecah?" aku mengangkat pandanganku. "Aku tak bisa bilang, Dok. Aku tak
mengerti maksudmu." "Terbelah, Dominick. Terpisah. Simpatik dan kesal sekaligus."
Aku mengangguk, menghela napas. "Dan takut setengah mati. Jangan lupa itu."
"Takut apa" Tolong jelaskan."
Aku berdiri lagi, berjalan kembali ke jendela. "'Oh, lihat, Martha! Di
sana kembar identik! Apa kau ibunya" Bagaimana kau bisa membedakan mereka ?berdua"' ... Kau tahu bagaimana rasanya tumbuh besar dan selalu mendengar itu"
Bahwa kembar adalah jalanmu untuk jadi terkenal" Sepanjang hidupmu mendengar
ucapan orang bahwa kau bisa dipertukarkan dengannya atau semacamnya" Dan setelah
dia sakit, setelah dia mulai kehilangan dirinya, aku menunggu ... hanya menunggu.
Sepanjang usia dua puluh tahun, tiga pu\uh-menunggu kapan penyakit itu juga akan
menyerangku .... Dan ibuku: Ia mengharapkannya!
Mengharapkan aku menjaganya, menguatkan diriku
sehingga aku bisa melindunginya. Menjadi pelindung
pribadinya atau apalah. Itulah fungsiku dalam hidup
ini. Melindungi kakakku dari Ray, dari anak-anak
nakal di sekolah .... Dan bahkan sekarang. Kau tahu
bagaimana kadang-kadang aku merasa sangat panik
saat akan datang ke sini" Menaiki tangga ke
kantormu" Menemui psikiater" Karena aku
seharusnya tidak butuh disembuhkan; aku adalah si
kembar yang kuat sang penjaga. Setelah ...
?setelah dia memotong tangannya Oktober lalu, saat
diberitakan di TV dua detik sekali, dan ada di
halaman depan New York Post .... Dan aku ...
kadang masih seperti itu hingga sekarang. Saat aku
berhenti mengisi bensin, minum kopi, atau apalah.
Aku mulai santai, melihat sekeliling dan memergoki
seseorang memandangiku. Memandangiku seperti ii
"Selesaikan." "Seperti aku/ah si kembar yang lemah. Seperti aku ...."
"Seperti kaulah Thomas."
Aku mengangguk. "Aku tak tahu. Mungkin aku harus membuat tato di dahiku
bertuliskan: aku si kembar yang lain."
Dr. Patel tersenyum sedih, menuliskan sesuatu di catatannya. "Menurutku itu tak
perlu," katanya. "Meskipun kalian sangat mirip, dari berbagai ciri genetika, kau
dan kakakmu sangat bisa dibedakan."
"Ya," kataku. "Aku yang punya dua tangan."
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, benar juga, tapi bukan itu maksudku, Temanku," katanya. "Dalam beberapa
hal, kau lebih terlihat sebagai kembar tidak identik. Bahkan kalian sangat
berbeda kadang sehingga ketika aku masih merawat Thomas dulu aku harus ? ?mengecek catatan medisku untuk meyakinkan kalian berdua sudah dites."
"Dites untuk apa?"
"Untuk menentukan monozygosismu. Dan tentu saja kalian sudah dites. Dalam hal
genetika kau dan dia memang identik. Namun demikian, Dominick, kau benar-benar
berbeda dengan karakteristik keturunanmu. Tidak hanya keberuntunganmu tidak
menderita apa yang diderita kakakmu, tapi juga dalam hal lain."
Aku mengangguk, ekspresiku datar. Tapi dalam hati aku bersyukur.
"Dan tentu saja, kau sudah berusaha keras mengolah dan menonjolkan perbedaan
itu. Mendedikasikan seluruh hidupmu untuk menonjolkan perbedaan itu. Bahkan bisa
dibilang kau sampai kelelahan karena mengusahakan itu. Jadi yang kurang jelas
bagiku adalah perbedaan mana di antara kalian berdua yang berdasarkan genetika
dan yang mana yang telah kau ciptakan sendiri."
Aku tertawa. "Perbedaan mana yang telah kami ciptakan?"
"Bukan 'kami1, Dominick. Kau saja. Kau dan ketakutanmu bahwa apa yang mengenai
kakakmu juga akan mengenaimu juga."
Dr. Patel berhenti, menuliskan sesuatu. Semua
yang telah dia tulis selama dua sesi terakhir ini membuatku gugup. Ketika dia
mengangkat kepala lagi, aku menganggukkan kepala ke arah catatannya. "Apa yang
kau tulis di sana?" Tentang aku, katanya. Dilemaku. Ketakutanku menjadi semakin jelas baginya. Dia
baru saja menuliskan daftarnya. Apa aku mau dengar daftarnya"
Tak yakin apa yang kuinginkan dan apa yang tak kuinginkan, aku bilang ya.
Pertama dan yang paling penting, katanya, aku takut bahwa bayangan skizofrenia
akan menurun juga padaku tentu saja aku pantas takut. Sebagai kembar identik,
?bagaimana mungkin aku tak takut" Kedua, aku sepertinya menurut frasa yang
? kugunakan"takut setengah mati" bahwa dunia akan gagal membedakan aku dan
Thomas memahami bahwa kami adalah dua orang yang berbeda. "Dan ada lagi ?kekhawatiranmu yang ketiga," katanya, "yang baru saja mulai kupahami."
"Benarkah?" kataku. "Apa itu?"
Kekhawatiranku yang ketiga adalah, menurut Dr. Patel, sepertinya aku khawatir
melihat ternyata perbedaan antara aku dan kakakku lebih sedikit daripada yang
kuduga sebelumnya. Lebih sedikit daripada yang kuakui.
"Apa maksudmu?" kataku.
"Yah, misalnya, Thomas sangat lembut hati dia sangat peka terhadap orang lain
?yang bahkan kadang-kadang masih terlihat hingga sekarang, walaupun sudah
bertahun-tahun mentalnya terganggu. Dan dari yang kau bilang padaku tentang masa kecil dan masa remajamu,
kelembutannya kebaikannya lebih terlihat
? ?sebelum dia mulai sakit. 'Dia si kembar yang lebih manis' kau sering bilang
padaku begitu. Dengan itu kukira maksudmu adalah dia lebih peka dan lebih
rentan. Benar?" "Ya ... ya."
"Thomas adalah saudara kembar, yang dalam hal-hal tertentu, lebih mudah
dicintai?" Aku melengos.
Dominick adalah kera kecilku, dan kau adalah kelinci kecilku yang enak dipeluk.
Prahara Raden Klowor 1 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Pendekar Tanpa Tanding 4