Pencarian

Gajah Kencana 14

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 14


yang kuminta tadi, akupun akan meluluskan permintaanmu
juga ...." "Tutup mulutmu, pertapa gila!" Pratiwara mendamprat
"karena dengan cara damai engkau menolak, akupun
terpaksa menempuh jalan kekerasan"
"O, rupanya engkau seorang pendeta yang gemar
melakukan kekerasan" ejek pertapa Kalpika "atau memang
demikianlah ajaran kaummu ?"
"Engkau pertapa tua tetapi mulutmu berbisa" sahut pendeta
Pratiwara "tiada agama di dunia yang mengajarkan cara
kekerasan kepada penganutnya. Tetapi engkaupun harus
mengerti, pertapa. Bahwa didalam mencapai sesuatu yang
penting bagi kelangsungan dan kejayaan hidup agama itu, aku
sendiri pendeta Pratiwara akan mengorbankan diri untuk
menjadi tumbal kaumku. Engkau tahu apa maksud gelar
namaku Pratiwara itu" Pratiwara berarti Mengorbankan diri!"
Pertapa Kalpika tertawa penuh ejek "Engkau mengorbankan
diri untuk kelargsungan dan kejayaan kaummu, itu sudah
selayaknya. Tetapi hal itu adalah urusanmu sendiri. Asal
jangan dalam mengorbankan diri itu engkau merugikan
kepentingan lain madzab. Karena setiap orang, seperti yang
tertanam dalam pendiriannya, masing2 tentu mempunyai
tekad dan pengabdian seperti engkau juga, Dan ketahuilah
wahai Pendeta Wajrayana. Yang bersedia mengorbankan diri
untuk kepentingan kaum dan madzabnya, bukan hanya
engkau seorang. Tetapi setiap orang dari setiap madzab baik
dari golongan Hindu maupun Buddha dan lain2!"
"Cakap tak perlu panjang, mulut tak perlu ber-manis kata"
seru pendeta Pratiwara dalam nada yang keras "sekarang
jawablah. Engkau mau memberitahukan rahasia itu atau
tidak?" "Kakang Kalpika, pendeta itu terlampau kurang susila.
Jangan memberitahu kepadanya!" seru pertapa Parapara yang
sejak tadi merenung diam.
"Pendeta Pratiwara" seru pertapa Parapara "kami sendiri
belum tahu jelas akan rahasia itu dan masih mencari-cari.
Kalau engkau melarang, kami rela pulang ke pertapaan. Tetapi
kalau engkau hendak memaksa meminta keterangan tentang
rahasia tempat itu, sungguh tak mungkin kami lakukan!"
"Pertapa" sambut Pratiwara "untuk yang terakhir kali, aku
memberi kesempatan kepadamu untuk menjawab pertanyaan
ini. Siapakah namamu ?"
"Mengapa engkau menanyakan hai itu?"
"Untuk pertanggungan jawab kepada pemimpin-ku dan
seluruh penganut agama dari berbagai golongi an bahwa aku
pendeta Pratiwara, tak membunuh orang yang tak ternama.
Bahwa aku, membunuh karena membunuh, melainkan karena
hendak membangun madzab golonganku, karena hendak
mengembangkan ajaran agamaku"
"Baik, sang pendeta. Akan kulengkapi keinginanmu agar
sempurnalah engkau menjadi pahlawan golonganmu.
Dengarkanlah, namaku resi Kalpika dan saudaraku itu adalah
resi Parapara" "Bagus" seru pendeta Pratiwara "sekarang bersiaplah
engkau menerima ajalmu, sang resi"
Resi Kalpika tertawa tawar "Seolah olah seperti engkaulah
yang menentukan mati hidupku, sang pendeta...."
"Resi Kalpika, sanggupkah engkau menerima pukulanku
yang berlambar aji Bajrodaka ini ?" kata pendeta Pratiwara
seraya bersiap siap. Resi Kalpika terkejut. Aji Bajrodaka adalah suatu kekuatan
tenaga inti dalam tubuh yang dapat menciptakan daya
penghancuran. Bajiodaka berarti petir air, bukan sembarang
air melainkan air dari naraka yang dapat menimbulkan
penderitaan dan kemusnahan. Walaupun belum diketahui
sampai pada tataran berapa tinggi kepandaian yang telah
dicapai Pratiwara, namun dengan memiliki aji itu, jelas bahwa
pendeta Pratiwara itu tak boleh dipandang ringan.
Resi Kalpika cepat bersiap. Iapun seorang resi yang putus
segala aji jayakawijayan dan mantra2 kesaktian. Segera ia
memperkokoh pertahanan diri dengan aji Liman Satubanda.
Suatu pengerahan diri tenaga inti dalam tubuh yang akan
membajakan diri bagaikan seekor gajah yang tak tergoyah
oleh kekuatan apapun. Tarr.... terdengar letupan dahsyat ketika angin pukulan
pendeta Pratiwara melanda tubuh sang resi. Aji Bajrodaka
yang menghamburkan petir air kemusnahan, terdampar
lenyap oleh hembusan angin keras dari aji Liman Satubanda.
Sebenarnya aji Bajrodaka itu, teramat sakti. Tetapi karena
pendeta Pratiwara belum dapat mencapai tataran yang tinggi
maka pukulannyapun tak berhasil memusnakan lawan.
"Hayo pendeta Pratiwara, keluarkanlah aji kesaktianmu
yang lain !" resi Kalpika menantang.
"Hm, jangan sumbar dulu, resi Kalpika" Pratiwara
mendengus geram "terimalah pukulan aji Bajroagni ini!"
Resi Kalpika terkejut pula. Jika aji Bajrodaka tadi
merupakan petir air adalah aji Bajroagni itu, petir api. Resi
Kalpika segera memasang aji Prakam
Untuk yang kedua kalinya gagallah pendeta Pratiwara untuk
menghancurkan lawan. Pukulan Bajroagni yang dahyat dapat
d lenyapkan daya kesaktiannya oleh aji Prakam, suatu pukulan
yang dilambari tenaga-inti napas.
Kegagalan pendeta Pratiwara itu bukan disebabkan karena
aji Bajroagni itu kalah sakti dengan aji Prakam. Melainkan
karena tataran yang dicapai pendeta itu memang belum tinggi.
Namun pendeta itu kurang menyadari kekurangan pada
dirinya. Ia anggap lawan terlalu sombong, mengagulkan
kedigdayaan. Maka merahlah mata Pratiwara dibakar oleh api
kemarahan. Tanpa mengantar kata2, ia loncar menerjang resi Kalpika,
bagai harimau yang menerkam korbannya. Resi Kalpika
terpaksa melayani serangan itu. Keduanya-pun segera terlibat
dalam serang menyerang dan pukul memukul yang seru.
Pertempuran antara pendeta dan resi itu, tak ubah seperti
pertempuran seekor harimau lawan banteng. Tampaknya
kekuatan dan kesaktian kedua lawan itu, himpir berimbang.
Debu berhamburan memenuhi sekeliling tempat mereka
berkelahi. Daun2 pohon yang tumbuh di dekat tempat itu, pun
berguguran jatuh dilanda angin yang timbul dari pukulan
mereka. Selang beberapa saat kemudian, pada saat pertempuran
memuncak kedahsyatan, sekonyong konyong terdengar gelak
tawa yang membatu roboh. Riuh gemuruh dalam nada
mengejek. Masih kumandang tawa itu bergema, terdengarlah
lantang sebuah nada seram2 mengejek "Ho, jika dua ekor
harimau berebut bangkai, serigalalah yang akan mendapat
keuntungan ...." Kedua sosok yang merapat dan berputar-putar deras
seperti angin lesus, tiba2 sama2 loncat mundur. Resi Kalpika
dan pendeta Pratiwara tegak terpisah beberapa langkah.
Mereka serempak berpaling ke arah suara itu. Seorang lelaki
berpaling ke arah suara itu. Seorang lelaki bertubuh tinggi
besar mengenakan dandanan bagai seorarg brahmana, tegak
memandang kedua orang itu dengan pandang mata penuh
ejek. "Siapa engkau!" hampir serempak resi Kalpika dan pendeta
Pratiwara berseru menegur.
"Brahmana Ganggadara" sahut orang itu ringkas.
"Apa maksudmu menertawakan dan mengucap kata2 tadi?"
seru Pratiwara. "Engkau belum menyadari, tuan pendeta ?" brahmana itu
balas bertanya. Pratiwara terkesiap "Aku tak mengerti maksud ucapanmu"
sahutnya sesaat kemudian.
"Siapakah lawan yang engkau hadapi itu ?"
"Resi Kalpika dari madzab Waisnawa"
"Hanya dia seorang ?" brahmana itu menegas.
"Bersama seorang saudara seperguruannya, Resi Parapara"
"Lalu ke manakah resi Parapara itu"
"Dia di si ... ." sambil menjawab pendeta itu palingkan
pandang mata ke arah tempat resi Parapara. Tetapi seketika
itu ia terbeliak kejut sehingga lidahnya berhenti melanjutkan
kata-kata "Hai, ke manakah resi Parapara ?"
"Ah, dia melenyapkan diri . . . ?" resi Kalpikapun mendesuh
kaget. Sesaat kemudian ia memandang ke arah brahmana
Ganggadara "ki brahmana, adakah tuan melihat langkahnya ?"
Brahmana dari madzab Syiwa itu tertawa "Itulah sebabnya
kutamsilkan kalian sebagai dua ekor harimau yang sedang
berebut kambing, pada hal kambing itu telah dilarikan serigala
...." "Adakah tuan tahu akan kepergian Parapara ?" resi Kalpika
mengulang pertanyaannya. "Sudah tentu tahu, sang resi" sahut brahmana itu dengan
senyum penuh arti "karena sejak tadi aku sudah bersembunyi
di atas pohon dan melihat semua yang telah terjadi di tanah
lapang ini" "Ke mana ?" desak resi Kalpika pula.
"Dia menuju ke utara ...."
"Ke utara " A h . . ." resi Kalpika mendesah keluh.
"Mengapa " Ke manakah dia ?" serentak pendeta Pratiwara
bertanya tegang. Ia yakin resi Parapara tentu diam2 telah
menyelinap pergi ke tempat penyimpanan kitab.
Tetapi resi Kalpika cepat menyadari apa yang terkandung
dalam pertanyaan pendeta itu. Cepat ia menghapus jejak
"Bagaimana aku tahu " Tanyakan sendiri kepadanya"
Brahmana Ganggadara tertawa ricuh "Tepat sekali kata
sebuah peribahasa 'harimau yang berselimut kulit keledai akan
dikenal karena bunyinya'. Demikian manusia jahat yang pura2
alim akan diketahui belangnya karena tingkah lakunya"
"Apa maksudmu, ki brahmana!" teriak resi Kalpika agak
berobah seri wajahnya. "Sudah jelas" sahut brahmana itu "Parapara itu seorang
harimau yang berselimut kulit keledai. Dia pura2 tunduk
kepadamu, Tetapi sebenarnya ia hanya menunggu
kesempatan untuk menghianati engkau, Sayang, engkau
terlalu bodoh, resi Kalpika"
Merah muka resi itu mendengar dampratan halus dari
brahmana Ganggadara. Ia menyahut "Tidak, tak mungkin dia
akan menghianati aku! Dia pergi demi menyelamatkan kitab
itu dari tangan lain orang, Dan akupun rela apabila kitab itu
jatuh ketangannya daripada jatuh ketangan orang lain"
"Murkhasya nasty ausadham. Untuk orang bodoh, tak ada
obatnya" seru brahmana Ganggadara "jelas begaikan matahari
bersinar ditengah hari bahwa adik seperguruanmu itu bernafsu
besar untuk merebut kitab itu dan merebut pula kedudukanmu
sebagai pemimpin madzab Waisnawa, engkau masih kematimatian membeli dirinya. Amboi....."
Resi Kalpika terkesiap. Memang apa yang diucapkan
brahmana itu, patut dipertimbangkan. Menilik usul yang
diajukan Parapara untuk mencari kitab itu secara terpisah, ia
kegunung Mahameru dan Parapara ke candi Indrakilo,
memang tampaknya Parapara itu mengandung maksud
tertentu. Benarkah Parapara, adik seperguruannya, akan
sampai hati hendak merebut kedudukan pemimpin madzab
Waiswa"....." Belum sempat ia menarik kesimpulan tentang tindakan
Parapara yang diam2 telah meninggalkan gelanggang
pertempuran itu, tiba2 brahmana Ganggadara berseru pula
"Resi Kalpika, kami dapat membantu kesukaranmu asal
engkau berlaku terus terang....."
"Mengatakan tentang tempat penyimpanan kitab itu,
bukan?" cepat Kalpika mendahului mengulas maksud orang.
"Ah, ternyata angkau bukan orang bodoh, melainkan hanya
terlalu jujur, sang Resi" sambut brahmana Ganggadara
"memang begitulah maksudku. Katakanlah tempat itu agar
kami dapat menghalangi tindakan adik seperguruanmu yang
berhianat itu" "Walaupun lain jenis, tetapi serigala dan harimau itu sama2
binatang buas" Kalpika menyambut dengan kata2 tajam
"engkau ki brahmana, serupa pula dengan pendeta Pratiwara
meskipun kalian berdua berlainan madzab!"
"Jangan membawa-bawa namaku, tuan resi" serentak
pendeta Pratiwara memberi peringatan "aku bukan merebut
melainkan hendak mengambil kitab yang memang menjadi
milik madzab Wajrayana"
"Setiap orang bebas mengaku" sahut Kalpika "tetapi
pemiliknya hanyalah satu"
"Benar, sang Resi" seru brahmana Ganggadara "agama
Syiwa adalah agama negara, sejak dari Empu Sindok atau
baginda Sri Isyana Wakrama Dharmottunggadewa, pendiri dari
kerajaan di dataran sungai Brantas, hingga sampai pada raden
Wijaya atau baginda Kertarajasa Jayawardana, pendiri kerjaan
Majapahit yang sekarang, agama Syiwalah yang paling
dimuliakan. Oleh karena itu sudah selayaknya kalau kitab suci
Sanghyang Kamahayanikan yang bersumber pada ajaran Arya
itu, menjadi milik kaum agama Syiwa. Dan akulah yang
menjadi utusan kaum Syiwa untuk mencari kitab pusaka itu" '
"Brahmana" sambut resi Kalpika "tampaknya enak benar
engkau menggoyangkan lidah, mengaku-aku benda yang
bukan milikmu dan memfitnah orang agar aku mau menerang
tempat penyimpanan kitab itu. Tetapi ketahuilah, wahai ki
brahmana, aku tak berhak menghalangi cita citamu tetapi
berusahalah sendiri untuk mencarinya"
"Madhu tisthati jihvagre hrdaye tu halahalam. Dipucuk
lidahnya bermadu tetapi dalam hatinya ber-racun" seru
pendeta Pratiwara "engkau bertindak tepat sekali, resi Kalpika.
Sesungguhnya tiada rasa malu pada diri brahmana
Ganggadara itu untuk mengaku-aku kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan itu sebagai milik kaum Syiwa. Yang benar,
kitab suci itu adalah milik kaum Buddha. Aku dapat
mengungkapkan sejarah kitab suci itu dan membuktikan
bahwa kitab itu adalah milik kaum Buddha"
"Hm, ingin kudengar pengungkapanmu itu dan akan kuuji
kebenarannya" seru brahmana Ganggadara.
"Baik" pendeta Pratiwara sejenak menelan ludahnya untuk
menenangkan ketegangan hatinya "kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan itu ditulis oleh Sri Sambarasuryawarana,
seorang pendeta Buddha yang sakti, menjadi guru di desa
perdikan Wanjang.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selain kitab suci Sanghyang Kamahayanikan, pendeta itupun mengarang kitab TanteraSuburi yang kemudian diresapi oleh raja Kertanegara dari
kerajaan Singosari. Inilah suatu bukti bahwa kitab suci
Sanghyang Kamahayanikan itu mutlak peninggalan pusaka
kaum Buddha" Resi Kalpika agak terpukau. Tetapi tidak demikian dengan
brahmana Ganggadara yang cepat menyambut
"Pendeta Pratiwara, tahukah engkau siapa Sri Sambarasuryawarana itu " Dan apakah hubungannya dengan
Empu Sindok?" Pendeta Pratiwara tertegun tak dapat menyahut.
"Ho, jangan malu untuk mengatakan bahwa engkau tak
tahu. Dan ketidak-tahuan itulah yang menyesatkan titik tolak
pemikiranmu" seru brahmana Ganggadara "ketahuilah, wahai
pendeta madzab Wajrayana, Sri Sambarasuryawarana itu
adalah saudara tunggal guru dengan Empu Sindok. Dan
karena Empu Sindok itu penganut agama Syiwa, maka ilham
yang menghayati pikiran Sri Sambarasuryawarana dalam
menulis kitab suci itu tentulah bersumber pada ajaran Syiwa.
Jelas, bukan?" "Suatu pengaitan yang engkau reka sendiri, ki brahmana"
akhirnya pendeta Pratiwara menangkis "yang benar engkau
tentu tak dapat menyangkal bahwa Sri Sambarasuryawarana
itu adalah seorang pendeta Buddha. Hal itu sudah cukup
berbicara" Resi Kalpika yang sejak tadi diam merenung, tiba2
menyelutuk "Sudahlah, tak perlu kalian berdua bersitegang
leher adu lidah perang alasan. Karena akhirnya hanya
menjurus pada kesimpulan bahwa masing2 merasa berhak
atas kitab suci itu ... ."
Baik pendeta Pratiwara maupun brahmana Ganggadara
tertegun, Serempak mereka memandang kepada pertapa itu.
"Pratiwara dan Ganggadara" seru resi Kalpika dengan
lantang "tidak kusebut kalian dengan gelar kalian sebagai
pendeta dan brahmana karena kuanggap kalian saat ini sudah
bukan golongan itu. Sudah tak layak menjadi pendeta maupun
brahmana. Karena kalian sudah menanggalkan sifat2
keluhuran martabat orang agama, baik agama Syiwa maupun
Buddha" Pratiwara dan Ganggadara makin terkesiap.
"Dengan bersikeras memperebutkan kitab suci itu kalian
sudah kehilangan sifat sebagai pendeta maupun brahmana
yang berhati suci, berbudi luhur dan bersifat utama. Adakah
kalian masih tak malu untuk tetap mengaku sebagai pendeta
dan brahmana, hai Pratiwara dan Ganggadara ?"
Kedua pendeta dan brahmana itu merah mukanya. Adalah
brahmana Ganggadara yang cepat lebih dulu cepat2 membuka
suara "Dan kamu sendiri, hai Kalpika, apakah engkau juga
masih mempunyai muka untuk menepuk dada sebagai
seorang resi ?" Kalpika tertawa hambar "Tidak, karena aku masih
terbelenggu oleh nafsu Keinginan. Walaupun keinginan itu
demi mempertahankan dan memancarkan sinar ajaran Wisnu
...." "Akupun juga begitu" seru Pratiwara.
"Demikianpun aku!" susul Ganggadara.
"Oleh karena itu kita harus jujur-jujur kepada lain orang,
terutama kepada bathin kita sendiri-sambut Kalpika "saat ini
lebih tepat kalau kita golongkan diri kita pada golongan
Ksatrya. Ksatrya yang masih terikat akan Karma Yoga dan
masih terlekat debu2 Keinginan dan Ke Aku-an ....."
"Kalpika, jangan mengoceh berkepanjangan. Aku tak perlu
akan wejanganmu. Katakan saja apa maksudmu, ringkas dan
jelas!" seru Ganggadara.
"Baik" sahut Kalpika "oleh karena kita sudah menanggalkan
keresian, kependetaan dan kebrahma-naan, maka sekarang
kita harus berpikir dan berbuat sebagai kaum ksatrya. Kalian
menghendaki keterangan tempat penyimpanan kitab suci itu,
bukan" Tetapipun kalian tentu menghendaki hanya kalian
seorang saja yang mengetahui rahasia tempat itu. Oleh karena
kalau kuberitahukan kepada Pratiwara, Ganggadara tentu
marah. Pun apabila kuberitahu kepada Ganggadara, Pratiwara
pasti murka, maka baiklah kuputuskan hal itu dengan cara
Ksatrya. Barangsiapa diantara kalian berdua yang lebih sakti
dalam ilmu kedigdayaan, maka kepadanyalah akan
kuberitahukan rahasia tempat itu. Setuju?"
Kini barulah Pratiwara dan Ganggadara tahu kemana arah
jatuhnya perkataan Kalpika. Mereka mengkal tetapi terpaksa
mengakui bahwa jalan yang diusulkan resi itu, memang
merupakan jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi
saat itu. "Ya ... ." akhirnya kedua pendeta dan brahmana itu
terpaksa memberi persetujuan.
"Akulah yang menjadi saksi, juru pemisah dan juru penilai
yang menentukan siapa kalah dan menang" kata Kalpika lebih
lanjut "dan kukira pertandingan adu ilmu kepandaian itu tak
perlu harus sampai mengorbankan jiwa. Cukup siapa yang
terdesak keluar dari garis lingkaran gelanggang, dialah yang
kalah" Tanpa menunggu pernyataan mereka, resi Kalpika segera
melangkah ke tengah tanah lapang, lalu membuat garis
lingkaran dengan menggunakan batu. Setelah selesai, ia
berpaling ke arah kedua orang itu "Untuk menghindari
pertumpahan darah, cukuplah kalian bertempur dengan
pukulan saja. Barang siapa terdesak keluar dari garis lingkaran
ini, dia kalah. Atau lebih baik kalau memang tak tahan jangan
memaksa diri dan keluarlah sendiri dari lingkaran itu. Agar
jangan terjadi hal2 yang tak diharapkan"
Entah karena menganggap usul resi itu tepat, entah karena
dirangsang oleh nafsu keingingan untuk segera mengetahui
tempat penyimpanan kitab itu, entah karena yakin tentu akan
memenangkan pertandingan. Tetapi yang jelas, pendeta
Pratiwara dan brahmana Ganggadara tak berbanyak hati lagi.
Tanpa mempertimbangkan adakah usul resi Kalpika itu suatu
siasat untuk mengadu domba atau kemungkinan resi Kalpika
akan meloloskan diri dikala keduanya tengah bertempur,
Pratiwara dan Ganggadara serempak menerima usul Kalpika.
Mereka segera melangkah ketengah gelanggang yang
sekelilingnya diberi garis lingkaran. Garis lingkaran itu
berbentuk lundar, luasnya tiga tombak.
Dipa yang menyaksikan semua peristiwa itu ditempat
gerumbul persembunyiannya, makin tertarik melihat ulah
tingkah beberapa lelaki2 tua yang aneh itu. Dan tadipun ia
melihat juga bagaimana resi Parapara dengan diam2 telah
menghilang didalam gerumbul yang gelap.
"Ganggadara!" terdengar pendeta Pratiwara berseru :"untuk
menyingkat waktu, bagaimana kalau kita percepat
pertandingan ini?" "Maksudmu?" tanya Ganggadara.
"Kita bertukar pukulan tiga kali. Engkau memukul aku tiga
kali akupun memukulmu tiga kali"
"Lalu siapa yang harus memukul lebih dulu ?"
"Ini .... kita undi" jawab Pratiwara,
Tiba2 resi Kalpika berseru "Jangan! Kalau kalian mau
mendengar kata kataku, janganlah bertanding dengan cara
begitu. Cara itu dapat menimbulkan akibat yang parah dan
akhirnya akan mengikat dendam permusuhan antara kedua
fihak golonganmu ...."
Pratiwara berpaling "Lalu bagaimana pendapat-mu, cara
yang terbaik?" "Aku mempunyai dua macam cara, entah kalian dapat
menyetujui atau tidak" kata resi Kalpika.
"Katakanlah!" seru Pratiwara.
"Kuusulkah supaya mengambil cara begini. Pertama adu
kekuatan tenaga, dorong mendorong sampai ada yang keluar
dari garis. Kedua, adu ketangkasan ilmu tata-laga dengan
tangan kosong." "Ya, baiklah" kata Pratiwara yang terus hendak bersiap.
"Nanti dulu" tiba2 Ganggadara berseru "bagaimana kalau
dalam dua pertandingan itu, kita masih berimbang, sekali
kalah sekali menang " Bukankah tiada keputusannya?"
"Ya, benar, bagaimana kalau sampai terjadi begitu?"
Ganggadara ikut bicara. "Hm" resi Kalpika mendengus "kalau dua kali pertandingan
itu masih berimbang nilainya, tiada lain jalan kecuali cara yang
engkau usulkan tadi yalah saling tukar pukulan"
"Baik, mari kita segera mulai saja sang brahmana.
Mumpung rembulan masih bersinar" kata Pratiwara terus
pasang kuda2. Brahmana Ganggadara terpaksa mengikuti. Setelah
mengerahkan tenaga, ia ulurkan tangan ke muka, disambut
oleh tangan Pratiwara. Setelah itu mereka mulai saling
mendorong. Brahmana Ganggadara memasang aji Bandungbandawasa, aji kekuatan yang pernah dimiliki oleh
sang Bima. Sedang pendeta Pratiwara memancarkan aji
Dhanapalaka atau gajah liar. Beradunya dua buah aji kekuatan
yang hebat itu, bagaikan dua ekor banteng yang saling
berserudukan..... Memang ada kalanya manusia itu lalai dan menyimpang
dari keperibadiannya. Seperti manusia2 yang telah mencapai
tingkat kesadaran tinggi macam pendeta Pratiwara dan
brahmana Ganggadara, pun demikian. Keduanya lalai akan diri
peribadinya. Karena betapapun dalih yang mereka gunakan
yalah demi kepentingan golongan dan madzab masing2,
namun hal itu tak lepas dari dorongan nafsu Keinginan. Nafsu
Keinginan itulah yang melelapkan kesadaran mereka sehingga
mereka tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tak
ubah seperti ulah anak kecil.....
Rembulan makin naik tinggi. Angin malam berhembus
mengantar awan. Makin lama makin menebal sehingga
rembulan seolah olah seperti seorang dewi yang tengah
bermuram durja. Suasana dalam gelanggang pertandingan
itupun makin meremang gelap.
Pratiwara dan Ganggadara tak menghiraukan kesemuanya
itu dan memang mereka tak sempat untuk memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Saat itu mereka tengah berjuang matimatian untuk mengerahkan seluruh tenaga agar dapat
mendorong lawan keluar dari garis lingkaran. Namun sampai
sekian lama, keduanya sama2 tegak kokoh laksana batu
karang. Sebentar tampak Ganggadara terdorong mundur
selangkah tetapi beberapa kejab kemudian ia berhasil
mendorong lawannya menyurut selangkah ke belakang. Kaki
kedua pendeta dan brahmana itu seperti berakar dalam tanah.
Baik mundur atau maju, kaki mereka meninggalkan bekal
telapak yang dalam pada tanah yang berupa tanah padas.
Wajah keduanya merah padam, tubuh bersinbah peluh dan
gerahampun beideruk-deruk, napas menderu-deru bagai
kerbau menarik beban yang sarat. Entah berapa lama keadaan
tegang itu berlangsung tanpa surut. Tiba2 mereka dikejutkan
oleh suara kokok ayam hutan yang memberi tanda tak lama
lagi malam segera berlalu.....
"Celaka, hampir terang tanah. Kalau terus menerus begini,
bilakah pertandingan akan berakhir?" serentak timbullah
pemikiran dalam bathin Ganggadara. Dan ternyata
Pratiwarapun memiliki keluhan semacam itu juga. Dan secara
kebetulan pula, keduanya sama2 timbul suatu keputusan
untuk menyudahi pertempuran.
"Pratiwara, kalau kita bertanding begini terus menerus,
bilakah kita dapat menyelesaikan pertandingan ini ?" tiba2
Ganggadara mendahului mengutarakan isi hatinya.
"Hm, benar, kesaktian
dengan aku, Ganggadara?"
tenagamu ternyata berimbang
"Adakah engkau masih berkeras hendak melanjutkan
pertandingan ini?" tanya Ganggadara.
"Bagaimana pendapatmu?" Pratiwara balas bertanya. Ia
ingin mengetahui pendirian lawan lebih dahulu sebelum
memberi pernyataan. "Bagaimana kalau kita berganti saja dengan cara kedua?"
tanya Ganggadara. "Baiklah" sahut
pertandingan ini?" Pratiwara "tetapi bagaimana hasil "Hm, kita anggap saja tak ada yang kalah dan menang.
Kalau engkau setuju, akan kuberitahu kepada resi itu" kata
Ganggadara. "Baik" jawab Pratiwara.
Setelah tercapai persetujuan itu, mereka saling menarik
pulang aji kekuatannya dan lepaskan cekalannya. Ganggadara
berdiam diri sejenak untuk mengatur pernapasan.
Demikianpun Pratiwara. Beberapa saat kemudian barulah
Ganggadara berpaling mencari Kalpika "Kalpika, kami berdua
setuju untuk mengakhiri pertandingan adu tenaga ini tanpa
ada yang kalah dan menang. Engkau ...."
Baru brahmana itu berkata demikian, tiba2 berhenti dan
membeliak, mata merei.tang dan membelalak lebar2 "Hai,
Kalpika, kemana engkau . . . . !
Ganggadarapun tak berhasil melihat bayangan resi itu,
serunya "Hai, Kalpika, dimana engkau" Apakah ..... ah, celaka,
kita tertipu oleh resi itu!" ia menutup kata2 dengan loncat
keluar gelanggang. Lari kian kemari mencari Kalpika.
"Ki brahmana, engkau benar, kita tercocok hidung
mentah2. Resi itu mempermainkan dan menipu kita. Dia tentu
sudah meloloskan diri . . . . !"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, celaka . . . . !" brahmana Ganggadara meloncat
seperti orang menginjak ular "kurang ajar, tadi aku
mengatakan 'kalau dua ekor harimau saling berebut kambing,
serigala yang mendapat keuntungan'. . . . ternyata dia
menggunakan kata-kataku itu untuk memukul aku. Senjata
makan tuan, keparat .. . !" brahmana itu terus loncat kedalam
kegelapan tanpa menghiraukan pendeta Pratiwara lagi.
"Hai, jangan main gila . . .!" Pratiwarapun ayunkan tubuh.
Cepat sekali ia sudah menghilang dalam kegelapan, menyusul
Ganggadara. Suasana di halaman muka dari rumah sudharma
hening lelap pula. Hanya Dipa seorang diri yang
termangu-mangu menyaksikan peristiwa yang
beberapa saat tadi. Timbul beberapa pertanyaan dalam
anak itu. itupun masih terjadi benak "Heran, mengapa ketiga pendeta, resi dan brahmana itu
bertingkah laku sedemikian aneh" Mereka pertapa, brahmana
dan pendeta yang memiliki ilmu pengetahuan tentang ajaran2
agama. Tetapi mengapa mereka tak berbeda dengan orang
biasa, dikala hendak memperebutkan kitab suci?" tanya Dipa
kepada dirinya sendiri. Dan belum pertanyaan itu terjawab,
timbul pula pertanyaan yang lain "Bukankah pendeta
Padapaduka menceritakan kepadanya bahwa kitab suci
peninggalan Empu Barada itu pemberian seorang pendeta suci
dari tanah kerajaan Kapilavatthu tempat asal kelahiran sang
Budha" Tetapi mengapa tadi pendeta itu mengatakan bahwa
kitab itu berasal dari tulisan seorang pendeta sakti bernama
Sri Sambarasuryawarana didesa Wanjang pada jeman Empu
Sindok" Siapakah yang benar" Ah . . . akan kutanyakan hal itu
kepada pendeta Padapaduka nanti" akhirnya larilah keputusan
untuk menemukan jawabannya kepada diri pendeta
Padapaduka. Teringat akan diri pendeta Padapaduka, serentak pikiran
Dipapun teringat akan pesan pendeta tua itu kepadanya
"Anakku, bila engkau berhasil mendapatkan kendi pusaka dari
Empu Barada itu, cobalah engkau teliti dengan cermat kendi
itu. Siapa tahu engkau lebih beruntung dapat menemukan
sesuatu petunjuk mengenai tempat penyimpanan kitab suci
itu. Tetapi apabila engkau tak menemukan suatu apa, cobalah
engkau bersemedhi meminta petunjuk gaib dari sang Adi
Budha. Siapa tahu anakku, kalau engkau memang dikehendaki
sebagai sarana timbulnya kitab suci itu di dunia, engkau tentu
akan menerima wangsit . . ."
Setelah teringat akan pesan itu, mulailah hati Dipa tenang.
Tiada guna ia memikirkan tingkah laku ketiga pertapa tadi.
Dengan langkah hati2, ia menghampiri kendi di tengah
halaman itu. Ia tahu bahwa kendi itu sebuah pusaka, sebuah
benda yang bersejarah dan keramat. Itulah sebabnya maka
kerajaan telah membangun sebuah sudharma untuk
menangkal atau menolak dayapetaka kendi itu. Rakyat di d esa
situ, pun kuatir menerima kutuk kendi itu maka mereka sama
pergi ke lain tempat sehingga desa itu menjadi desa kosong.
Tiba di muka kendi, Dipa berjongkok. Sebelum
mengangkat, lebih dulu ia memeriksa kandi itu dengan penuh
perhatian. Tetapi karena rembulan remang ia tak dapat
melihat keadaan kendi itu. Namun ia tak lekas berputus asa,
tak lekas pula terangsang oleh keinginan hendak buru2
mengangkat kendi ke dalam rumah sudharmma. Ia memang
menyadari bahwa benda sekeramat kendi Empu Barada itu
harus ditaruh di tempat yang sesuai, agar jangan sampai
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
tertimpa sesuatu kerusakan atau pecah.
Namun anak itu masih tertegun dalam rasa keinginan tahu.
Ia hendak mencari-cari sesuatu pada kendi itu sesuai dengan
pesan pendeta Padapaduka. Akhirnya ia duduk bersila,
memandang kendi itu lekat2.
Beberapa saat kemudian rembulan memancar pula.
Ternyata sudah condong ke barat. Gumpal awan yang
menutupi, berarak-arak melayang ke lain tempat. Saat itu
sinar rembulan meningkah pula pada kendi, sehingga Dipa
dapat memandangnya dengan jelas.
"Ih ..." beberapa waktu kemudian, ia mendesir perlahan.
Kendi itu mengingatkan pikirannya pada sebuah bangunan
yang pernah dilihat. Tetapi untuk sesaat ia ingat2 lupa di
mana dan bilakah ia pernah melihat bangunan semacam kendi
itu. Dipa pejamkan mata untuk mengkhususkan perhatiannya
menggali lubuk ingatannya "Ah, benar, kendi itu menyerupai
bentuk sebuah candi yang pernah kulihat disebuah desa"
akhirnya beberapa saat kemudian ia berhasil menemukan
sumber ingatannya. Penemuan itu disertai pula dengan pengamatan yang lebih
cermat pada kendi itu. Bertitik tolak pada penemuannya itu,
kini gambaran yang dilihatnya pada kendi itupun makin jelas.
Bagian bawah kendi berbentuk bulat bundar, tiada berujung
tiada berpangkal. Sepanjang pinggang atau sambungan antara
bagian bawah dan bagian atas, terdapat gurat2 yang
menyerupai bentuk genta tengkurap. Pada pangkal mulut
kendi, samar samar seperti membekas lukisan sebuah patung
dewa. Pengetahuan Dipa hanya terbatas bahwa patung yang
bercorak demikian tentulah memperlambangkan dewa,
sebagaimana yang sering ia lihat dalam candi2. Tetapi dewa
siapa ia tak dapat mengetahui jelas. Karena lukisan sudah
kurang tegas dan pengertian Dipapun terbatas.
Kemudian tutup kendi itupun agak aneh bentuknya. Tidak
serupa dengan kendi2 pada umumnya, melainkan berbentuk
stupa, macam genta tengkurap.
Setelah menamatkan perhatiannya, diam2 timbullah suatu
kesan dalam benak Dipa "Hanya dengan sebuah kendi itukah
Empu Barada sanggup terbang diangkasa dan mencurahkan
airnya untuk membagi batas kerajaan Panjalu menjrdi dua"
Adakah seorang manusia itu benar2 dapat terbang diangkasa"
Dan mengapa Empu sakti itu tak dapat menghindari rintangan
pohon kamal sehingga bajunya tersangkut dan terpaksa harus
turun kebumi lagi?" Demikian pada setiap menghadapi peristiwa, setiap kali itu
pula Dipa selalu merenungkan, menelaah, mencari2
pertanyaan. Tetapi setiap kali ia tentu terbentur pada jalan
buntu. Ia selalu tak mampu membeii jawaban dari pertanyaan
yang ditimbulkannya sendiri itu. Namun hal itu bukan
membuatnya jera, bahkan kebalikannya makin menyadarkan
dirinya bahwa ketidakmampuannya menjawab pertanyaan
pertanyaan itu tentulah karena pengetahuan dan pengalamannya masih hijau sekali.
Keadaan itu makin menambah keyakinannya bahwa hanya
pengetahuan dan pengalaman itulah sumber, dari jawaban
yang dikehendakinya. Kehausan akan pengalaman makin
menggelora. Kerinduannya akan ilmu pengetahuanpun makin
menyala-nyala. Sampai beberapa saat ia masih termangu-mangu dalam
kepukauan. Setelah akhirnya ia menyerah pada ketidaktahuan
akan makna dari garis2 lukisan yang tergores pada kendi itu,
maka ia segera hendak mengulurkan tangan untuk
mengangkat kendi itu dibawa masuk ke dalam rumah
sudharma. Tetapi baru saja tangan menjulur, tiba2 matanya
tertumbuk akan suatu pemandangan yang aneh. Sebujur
bayangan hitam tiba2 merentang di tanah. Pada hal jelas tadi
di sekeliling tempat ia duduk di muka kendi itu, tiada tampak
suatu apa. Naluri Dipa yang tajam cepat menyadari bahwa
bayangan yang muncul itu tentulah timbul dari seorang
manusia yang datang. Menurut bujur bayangan itu, pandang matanya menyusur
ke belakang dan ah......tepatlah dugaannya itu. Kira2
beberapa belas langkah dari tempatnya, muncul seorang
kakek tua renta, tegak dengan bertopang sebatang tongkat.
Mengenakan celana tetapi tak berbaju. Segulung kain
melintang simpang pada tubuhnya. Rambutnya yang putih
terurai demikian pula kumis dan janggutnya yang putih,
tumbuh berkeliaran menutup dada.
Dipa terperanjat dan melonjak bangun.
"Jangan takut, anak. Aku seorang manusia seperti dirimu"
sebelum Dipa sempat menegur, kakek tua renta itu sudah
mendahului menenangkan kecemasan Dipa.
"Kakek .... kakek siapa?" setelah mendengar tutur sapa
orang, Dipa memberanikan diri berkata.
"Namaku Empu Panangkar, penunggu tanah kuburan di
Wurare dan penjaga patung Joko Dolog"
"Tanah kuburan Wurare" Penjaga patung Joko Dolog?" Dipa
mengulang dengan heran "mengapa harus ditunggu" Siapakah
yang menyuruh eyang?"
"Aku diperintah sang prabu Kertanagara untuk menjaga
kuburan dan patung itu"
"Prabu Kertanagara?" Dipa mengulang. Keheranannya
makin menjadi "bukankah prabu Kertanagara itu raja dari
Singosari?" tanyanya pula sesaat ia teringat akan cerita yang
dituturkan oleh demang Suryanata mengenai sejarah raja2
yang pernah memerintah di nuswantara.
"Benar, angger. Rupanya engkau mengerti juga tentang
raja2 dahulu" sahut Empu Panangkar "raja Singosari itulah
yang menitahkan aku"
"Mengapa kuburan Wurare itu harus dijaga dan mengapa
pula patung itu juga" Apakah patung Joko Dolog itu, eyang
resi?" "Kuburan Wurare adalah tempat Empu Barada mengumpulkan kesaktian tenaga, mencipta kendi pusaka ini
untuk membagi kerajaan Panjalu. Tenaga sakti Empu Barada
itu hebat sekali pengaruhnya. Membawa akibat suatu
malapetaka yang berupa perpecahan di-antara kerajaan Daha
dan Panjalu. Bahkan bukan melainkan itu saja, pun tuahnya
masih tetap berlangsung sehingga kerajaan Daha dan
Singosari terpecah belah dan selalu bermusuhan ...." empu tua
itu berhenti sejenak untuk mengatur napas "Empu Barada
adalah seorang pendeta yang telah putus akan segala ilmu
mantra. Dia telah mencapai tingkat mahayogiiswara yang
memiliki tenaga sakti hebat. Prabu Kertanagara pun juga
tinggi tenaga-sakti yang dipancarkan Empu Barada dalam
melakukan pembagian telatah kerajaan Panjalu itu membawa
pengaruh yang buruk. Oleh karena itu maka baginda
Kertanagara mendirikan patung Joko Dolog yalah patung
perlambang peribadi baginda sendiri di dekat kuburan Wurare
itu, agar dapat menolak atau menangkal pengaruh buruk dari
tenaga sakti Empu Barada....."
Kembali resi tua yang menamakan diri sebagai Empu
Panangkar itu berhenti sejenak, lalu "sesungguhnya aku ini
salah seorang guru dari sang prabu Kertanagara. Umurku
sudah seratus tahun lebih. Sebagai seorang guru dan demi
memulihkan kesatuan negara, aku bersedia melaksanakan
titah baginda. Menjaga kuburan Wurare agar tenaga-sakti
Empu Barada yang menyumber di situ, takkan memancar
keluar. Bahkan baginda sendiripun menyediakan diri dalam
bentuk patung Joko Dolog untuk mendampingi aku,
menangkal tenaga-petaka yang sakti itu. Tetapi ...."
Empu Panangkar menghela napas "Jerih payah baginda itu
rupanya sia2 jua . . . akhirnya timbul peperangan antara
Singosari dengan Daha. Singosari runtuh, prabu Kertanagara
tewas dan kerajaan Singosari diduduki prabu Jayakatwang dari
Daha. Tenaga-sakti pemecah dari Empu Barada mengunjuk
kesaktiannya. Tuah petakanya sukar kubendung ...."
Dipa mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Ia
tak berani mengusik dengan pertanyaan.
"Tetapi baginda Jayakatwangpun tak dapat bertahan lama.
Atas nasehat dari adipati Wiraraja, raden Wijaya, calon
menantu dari mendiang prabu Kertanagara, pura2 takluk pada
raja Jayakatwang. Setelah mendapat kepercayaan lalu diberi
tanah Terik yang masih berupa hutan belantara. Lama
kelamaan raden Wijaya berhasil membangun sebuah kota dan
memiliki banyak prajurit. Kebetulan pula tentara Tartar datang
hendak menghukum prabu Kertanagara yang berani menghina
seorang utusan dari kerajaan Tartar. Kesempatan itu
digunakan dengan cerdik oleh raden Wijaya untuk
membilukkan serangan Tartar itu kepada prabu Jayakatwang.
Perang terjadi pula dan akhirnya raja Jayakatwang dapat
dialahkan oleh raden Wijaya yang bekerja sama dengan
tentara Tartar itu. Tenaga-sakti pemecah dari Empu Barada
jatuh pula pada diri raja Jayakatwang ...."
Dipa makin terpikat perhatiannya.
"Kemudian raden Wijaya berhasil mengusir tentara Tartar
itu dan mengangkat diri menjadi raja Kertarajasa dari kerajaan
Majapahit yang sekarang. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa
tenaga-pemecah yang sakti dari Empu Barada sudah lumpuh
daya. Karena setelah baginda mangkat dan diganti oleh
puteranda baginda Jayanagara yang sekarang, didalam negeri
selalu ricuh dengan, pemberontakan dan perebutan kekuasaan
yang tak kunjung habis. Rupanya tenaga-sakti Empu Barada
mulai bergolak pula . . . ah" kembali empu tua itu menghela
napas rawan "aku sudah berusaha menangkis, tetapi dia lebih
kuat..." "Bagaimanakah wujut tenaga-sakti itu, eyang?" karena tak
tahan, Dipa bertanya juga.
Empu Panangkar pejamkan mata sejenak lalu berkata
"Empu Barada seorang mahayogiiiwara yang sakti dalam ilmu
mantra. Sumber tenaga-sakti yang telah dikumpulkan empu
itu merupakan aji muntra yang dapat mengejawantah dalam
berbagai bentuk raksasa, jin, peri dan makhluk2 yang
mengerikan. Tiap kali aku selalu bertempur melawan mereka.
Dan setiap kali aku kalah maka timbullah peperangan dan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

huru-hara dalam negara ini. Demikian halnya dalam waktu
terakhir ini, aku kalah lagi. Rupanya raja Jayanagara akan
tertimpah malapetaka, negara dilanda kerusuhan pula ...?"
"Eyang, adakah tiada lain jalan untuk menolak malapetaka
itu?" tanya Dipa. Sepasang mata Enpu Panangkar berkilat terang. Ditatapnya
wajah Dipa dengan tajam, katanya "Itulah sebabnya maka aku
bergegas datang kemari, nak. Dalam semedhi aku mendapat
wangsit supaya menuju kemari. Orang yang dapat menangkal
tenaga-sakti Empu Barada itu akan kujumpai di Palungan sini"
"Oh, adakah eyang sudah menemukannya?" seru Dipa
tegang. "Sudah" "Siapa?" teriak Dipa makin tegang regang.
"Engkau!" "Hai!"serentak Dipa melonjak bangun. Seumur hidup belum
pernah ia menderita rasa kejut seperti saat itu "eyang ..."
Empu Panangkar tersenyum tenang "Tenangkanlah hatimu,
angger. Aku seorang empu tua yang mengabdikan seluruh
umurku demi kesatuan dan kesejahteraan negara. Akupun
seorang resi yang pantang berbohong. Apa yang kukatakan itu
memang sesungguhnya. Engkaulah, ngger, yang rupanya
dipilih oleh Hyang Widdhi untuk menangkal pengaruh buruk
dari tenaga pemecah Empu Barada. Engkaulah rupanya yang
dititahkan untuk mengamankan dan mempersatukan negara
ini.." "Duh, eyang resi, jangan eyang memperolok diri hamba"
serta merta Dipa jatuhkan diri menyembah kaki Empu
Panangkar. "Anakku, kutahu isi hatimu. Tetapi percayalah kepada
kekuasaan Hyang Murbenggesang. Segala yang tak mungkin
akan mungkin, yang tak terjadi akan terjadi jika dikehendaki
olehNYA. Rasanya aku tak pernah khilaf menerima wangsit itu.
Namun untuk membuktikan kebenarannya, marilah ikut aku
kekuburan Wurare, agar keyakinanku dan kepercayaanmu
tumbuh" "Mengapa kekuburan Wurare, eyang?"
"Engkau harus melawan tenaga-sakti Embu Barada itu.
Engkau harus mengalahkan serangan dari mahluk mahluk
yang mengerikan itu dan engkau harus menang, angger"
Empu Panangkar memimpin tangan Dipa supaya bangun, lalu
diajaknya pergi "beranikah engkau menghadapi mereka,
angger?" Dipa mengangguk..... 0ooo-dw-ooo0 JILID 12 I TAK KUNJUNG hentinya Dipa dirundung peristiwa-peristiwa
yang aneh. Rupanya lembaran hidupnya memang harus
mengalaini kejadian-kejadian yang menegangkan, menggoncangkan dan menggolakkan perasaannya.
Dia pernah berkelahi dengan ular besar karena hendak
mencari jamur Brahmacahya pengobat luka brahmana
Anuraga. Pernah menggemparkan desa Madan Teda karena
dapat mengangkat patung dewa Ganesya. Bertemu dengan
demang Surya, salah seorang narapraja kerajaan yang
melarikan diri ke dalam hutan. Berjumpa dengan pendeta
Padapaduka yang memintanya supaya mencari kitab suci
Sanghyang Kamahayanikan. Pernah melihat kendi bertuah dari
Empu Barada. Dan kini berjumpa dengan Empu Panangkar
yang memintanya supaya menempur tenaga-sakti dari Empu
Barada yang selalu membawa benih malapetaka bagi negara.
Adakah memang demikian garis hidupnya "
Dipa tak sempat dan memang belum dapat mencapai
renungan garis hidupnya. Baginya selalu merasa bergairah
apabila dapat melakukan sesuatu untuk membantu orang.
Terutama apabila untuk kepentingan negara.
Bilakah tumbuhnya perasaan semacam itu dalam hati
sanubarinya, ia tak tahu. Namun sejak ia mulai kenal keadaan
negara, sejarah raja2 di Daha, Singosari dan Majapahit. Sejak
ia tinggalkan desa berkelana menikmati keindahan alam dan
kesuburan bumi tanah air, mulailah terpercik rasa cintanya
kepada bumi negaranya. Rasa cinta harus dilambari dengan
kewajiban untuk melindungi dan menyayangnya. Untuk
melaksanakan kewajiban itu, ia harus berbuat sesuatu. Bila
perlu dengan pengorbanan jiwa.
Amat bersahaja dasar pikiran anak itu. Sederhana pula ia
mengenyam lambaran hatinya. Ia merasa dilahirkan,
mengenyam hidup dan akan mati di bumi kelahirannya. Olch
karena itu ia harus menjaga, melindungi dan berkorban untuk
tanah air. Ia merasa hal itu wajar dan wajib. Jauh dari
jangkauan pemikirannya bahwa dalam melakukan kewajiban
itu, ia menginginkan suatu balas jasa apapun jua. Baginya,
membela negara bukan suatu jasa yang berlebihan, melainkan
suatu kewajiban yang wajar dan harus.
Maka hilanglah keraguan dalam hatinya demi mendengar
keterangan Empu Panangkar bahwa kepergiannya ke kuburan
Wurare untuk berhadapan dengan tenaga-sakti Empu Barada
itu, adalah demi kepentingan negara. Ia tak yakin dirinya
dapat menanggulangi tenaga sakti dari Empu Barada itu.
Bukankah seorang resi sakti seperti Empu Panangkar sendiri
merasa kewalahan menghadapi tenaga-sakti Empu Barada itu"
Namun Dipa percaya penuh akan ucapan Empu Panangkar.
Andai dalam menghadapi tenaga-sakti Empu Barada itu ia
gagal bahkan menderita kematian sekalipun, ia rela. Karena ia
merasa kematiannya itu tiada yang harus disayangkan. Ia
seorang anak desa, lagi pula sudah sebatang kara. Ia merasa
bahagia dengan kematiannya apabila kematian itu akan
berguna untuk bumi negara kelahirannya.
Demikian bekal kebulatan tekad yang dibawa Dipa ketika
bersama Empu Panangkar tiba di tanah pekuburan Wurare.
"Kita sudah tiba di kuburan Wurare" kata Empu Panangkar
"kita beristirahat dulu di bawah pohon itu. Setelah hari gelap
akan kuantar engkau ke dalam candi kuburan itu."
Diam2 Dipa menggigil mendengar ucapan empu itu.
Serentak terkenanglah ia akan kehidupannya semasa masih
kocil, sebelum dan sesudah menjadi orang gajihan buyut
Madan Teda sebagai penggembala kambing. Sering ia
mendengar cerita orang2 tua tentang setan yang
gentayangan, tentang hantu di tanah kuburan, tentang peri,
jin dan makhluk jejadian yang sering mengganggu manusia.
Kawanan setan, hantu, iblis dan makhluk jejadian itu tentu
berwajah seram mengerikan.
Setiap mendengar cerita itu, timbullah rasa ngeri dalam hati
Dipa. Kemudian untuk Iebih meyakinkan hatinya, sering ia
bertanya kepada orang yang menceritakan itu adakah dia
pernah melihat setan. "Goblok gumam orang itu tidak pernah melihat itu jauh
lebih baik. Karena apabila engkau melihat perwujudannya,
engkau pasti pingsan."
"Adakah pernah ada orang yang melihat bangsa setan dan
hantu itu"." Dipa tetap menuntut keterangan.
"Huh," dengus orang itu, "jika ada namanya tentulah ada
wujudnya. Dan kalau ada wujudnya, orang tentu pernah
melihatnya." "Siapakah orang yang pernah melihat setan itu"."
"Gila!," damprat orang itu," sudah tentu aku tak dapat
menunjukkan siapa orangnya itu "
Dipa tak mau mendesak lebih lanjut. Tetapi diam2 ia tetap
meragu tentang kebenaran hal itu. Ia harus membuktikan
sendiri, baru ia dapat percaya. Dan kini keinginannya untuk
berhadapan dengan bangsa setan, rupanya akan terlaksana.
Namun dalam menghadapi saat2 seperti itu, mau tak mau ia
merasa gelisah juga. "Nak," tiba2 Empu Panangkar berkata, "untuk menghadapi
tenaga-sakti Empu Barada dalam berbagai bentuk yang
menyeramkan, ada beberapa syarat yang harus engkau
penuhkan." "Apakah syaratnya?" tanya Dipa.
"Disebut tenaga-sakti karena memang sakti sesungguhnya.
Dengan ilmu Mantra yang tinggi, Empu Barada telah
menciptakan tenaga-sakti itu dalam berbagai bentuk makhluk
jejadian. Hantu, setan, iblis, peri, jin dan makhluk jejadian itu,
termasuk badan halus yang hidup di alam lain. Untuk
menjumpai mereka harus disertai dengan tapa tak makan dan
minum selama beberapa hari. Entah sampai beberapa hari
engkau harus pantang makan dan minum itu, tergantung dari
mereka. Apabila mereka menganggap engkau sudah
memenuhi syarat, mereka tentu akan muncul menemuimu."
"0, aku harus berpantang makan dan minum?" Dipa
menegas. "Benar, anakku," kata Empu Panangkar sambil menghela
napas, "sesungguhnya tak sampai hatiku untuk meminta
engkau melakukan hal ini. Tetapi apa boleh buat. Wangsit
yang kuterima itu tak mungkin salah lagi. Aku harus
melakukannya." "Apakah eyang menganggap aku tentu dapat menunaikan
pekerjaan itu ?" Dipa agak bersangsi akan kemampuan
dirinya. "Ya," Empu Panangkar mengiakan mantap, "engkaulah
yang dipilih oleh Eyang Jagadnata untuk menyelesaikan hal
itu. Adakah engkau mempunyai kepercayaan kepada dirimu?"
"Sesuai dengan keadaan diriku yang sudah sebatang kara,
tiada yang dapat kupercaya kecuali diriku sendiri," sahut Dipa.
"Bagus, anakku," seru Empu Panangkar "memupuk
kepercayaan pada diri sendiri itu merupakan kekuatan yang
tiada nilai besamya. Dan kekuatan itulah yang akan menjadi
senjata ampuh bagimu untuk mengatasi segala apa yang akan
terjadi " Dipa mengangguk sebagai pernyataan ia dapat meresapi
ucapan mutiara dari empu itu.
"Tetapi karena aku yang meminta bantuanmu, sudah tentu
aku wajib melindungi dirimu. Bila setelah di dalam lubang
kuburan, engkau merasa takut dan tertimpa bahaya, lekaslah
engkau berteriak agar aku dapat lekas datang menolongmu."
"Baik, eyang," jawab Dipa.
Saat itu matahari masih tampak bersinar di sebelah barat.
Masih ada waktu untuk bercakap-cakap.
"Siapa namamu, nak?" tanya orangtua itu.
"Dipa, eyang. Tetapi orang menyebut aku si Gajah," jawab
Dipa. "0, bagus sekali nama itu," seru Empu Panangkar, "dari
mana asalmu, Dipa?" "Aku dari desa Mada. Sejak kecil bekerja sebagai
penggembala kambing pada buyut Madan Teda," dengan
ringkas Dipa menuturkan riwayatnya sehingga ia sampai di
desa Palungan melihat kendi Empu Barada dan bertemu
dengan Empu Panangkar. Empu Panangkar mengangguk. "Ah, kiranya riwayat
hidupmu penuh berhias dengan peristiwa2 yang bergejo!ak.
Dan setiap kali engkau tentu bertemu dengan orang berbudi
dan orang besar." "Aku sendiri juga heran, eyang. Pada hal aku hanya
seorang anak desa. Tak sepadan kiranya peristiwa itu
menimpa pada diriku."
"Ah, semua-semuanya itu sudah tergaris dalam kodrat
hidupmu. Seperti yang kulihat sendiri. Dalam wangsit yang
kuterima itu, aku disuruh mencarimu. Bukankah hal itu suatu
pertanda bahwa dirimu kelak akan menerima beban pekerjaan
besar?" "Ah, eyang, bagaimana mungkin hal itu akan terjadi?"
"Dipa," kata Empu Panangkar dengan nada berat, "kita
manusia ini hanyalah sebagai titah yang harus tunduk pada
kehendak Hyang Widi. Aku, kau dan semua manusia, hanya
sekedar menjalankan titah-NYA" Oleh karena itu,
bersyukurlah nak, bahwa engkau kelak akan ditunjuk sebagai
manusia mangsakala yang mengemban tugas penting."
"Ah, eyang ... . ."
"Dipa, di manakah pendeta Padapaduka itu ?" Pertanyaan
Empu Panangkar secara tiba2 itu, membuat Dipa tertegun. Ia
harus melaksanakan pesan pendeta Padapaduka agar jangan
mengatakan kepada siapapun tentang tempat persembunyiannya. Namun untuk tak mengatakan, ia sungkan
kepada Empu Panangkar. "Mengapa engkau diam saja, Dipa " Adakah sesuatu yang
menyulitkan dirimu ?" tegur Empu Panangkar pula.
"Benar, eyang. Aku sudah berjanji kepada pendeta itu
takkan mengatakan kepada orang di mana tempat
persembunyiannya." "0" desuh Empu Panangkar "bagaimana kalau kuminta
kepadamu supaya memberitahukan tempatnya " Adakah
engkau keberatan, nak ?"
Dipa termangu sejenak. Lalu menjawab dengan pertanyaan
"Apakah kepentingan eyang hendak mengetahui tempat
persembunyiannya?" "Dikata penting, tidak penting. Dikata tidak penting, tetapi
penting " kata Linpu Panangkar "aku ingin berkenalan dengan
pendeta sakti itu. Mungkin dapat kuperolch pengalaman dan
pelajaran bila bercakap-cakap dengan dia."
Dipa meragu. Memang maksud empu tua itu tak
mengandurig sesuatu tujuan buruk. Tidak pula membahayakan keselamatannya. Tiada alasan ia tak
memberitahukan tempat pendeta itu.
"Eyang... . " serentak ia terus hendak mengatakan di mana
tempat persembunyian pendeta itu. Tetapi tiba2 ia terhenti.
Terlintas dalam benaknya. Ia sudah berjanji kepada pendeta


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, mengapa sekarang ia akan melanggarnya " Betapa baik
tujuan Empu Panangkar tetapi apabila ia mengatakan tempat
persembunyian pendeta Padapaduka, berarti ia sudah
melanggar janji kepada pendeta itu.
"Mengapa, nak ?" tegur Empu Panangkar.
"Maaf, eyang. Sebesar keinginanku hendak memberi,tahu
kepada eyang, sebesar itu pula berat hatiku hendak
memegang janji kepada pendeta Padapaduka."
"Artinya engkau menolak ?" Empu Panangkar menegas.
"Demikianlah, eyang. Karena menurut ajaran paman
brahmana Anuraga dan eyang demang Suryanata, janji itu
harus kita tepati. Karena janji itu sama dengan kehormatan
kita." "Bagus. anakku !" tiba2 Empu Panangkar menepuk bahu
Dipa, "engkau seorang anak yang lulus dari ujian."
Dipa tercengang, Ia tak menyangka bahwa orang tua itu
tidak marah bahkan kebalikannya marah memujinya. Ia
tersipu sipu. "Ah, mengapa eyang memuji diriku " Bukankah
eyang layak marah kepadaku ?"
"Marah" Ha, ha" Empu Penangkar tertawa, "mengapa aku
harus marah kepada anak yang sejujur engkau" Begitulah
yang kucari, Dipa. Aku merindukan orang yang benar2 mau
memegang janji. Tetapi ah " selama ini aku belum pernah
bersua dengan orang semacam engkau, anakku. Jangan kecil
hati, Dipa. Apa yang kukatakan kepadamu tadi hanyalah
sekedar untuk menguji watak hatimu. Dan ternyata engkau
memang anak yang berhati jujur dan teguh pendirian. Janji,
ya janji mudah diucap, sukar dilaksanakan. Karena janji aku
harus menjadi penjaga kuburan ini ..."
Empu Panangkar mengadah memandang cakrawala.
Pandang matanya mengikuti tebaran awan putih yang
berarak-arak bagai sebuah pawai dewa dewi. Pikirannya jauh
melayang kembali ke masa yang lampau"..
Bermula Dipa tak berani mengganggu. Tetapi karena sekian
saat belum juga orangtua itu menyudahi renungannya,
akhimya ia memberanikan diri juga untuk membuka mulut.
"Eyang, adakah sesuatu yang meresahkan pikiran eyang ?"
Empu Panangkar pejamkan mata lalu memandang Dipa,
"Tidak, nak. Aku tak resah. Aku hanya terkenang akan
peristiwa yang lampau ...."
Dipa memperhatikan bagaimana wajah empu itu menampil
kerut kerawanan yang beriba. Maka bertanyalah ia, "Adakah
peristiwa itu peristiwa yang sedih, eyang"."
Empu Panangkar menghela napas. "Biasanya yang sedih
itulah yang selalu membekas dalam renungan hati kita. Dikata
sedih, memang tak menyimpang dari kenyataan. Sebenarnya
orang yang setua diriku, harus menyadari bahwa segala
peristiwa yang lampau, tak perlu disesali, tiada guna dikenang.
Karena yang lampau takkan kembali lagi. Namun ada kalanya
hatiku pepat dan ingin menumpahkan ke luar. Tetapi setiap
kali kuingat bahwa tak baiklah membagi kesedihan hati kita
kepada orang lain ?"
"Kalau eyang tak keberatan, aku bersedia menerima
percikan peristiwa yang menyedihkan eyang itu " kata Dipa
serentak. Empu Panangkar menatap Dipa lekat2. Sejenak kemudian ia
menghela napas. "Sesungguhnya ingin kubawa kenangan itu
sampai ke liang kubur. Tetapi tergerak akan kejujuranmu,
akan kuceritakan peristiwa itu kepadamu."
"Terima kasih, eyang," sahut Dipa.
Setelah memperbaiki sikap duduknya dan menenangkan
diri, mulailah Empu Panangkar bercerita.
"Sewaktu muda, aku tergolong anak nakal, berani, gemar
berkelahi, mabuk dan berjudi. Aku berkecimpung dalam dunia
kemaksiatan. Orangtuaku seorang buyut desa yang kaya dan
berpengaruh. Tiada orang yang berani menegur aku dan
menghalangi perbuatanku. Apalagi orangtuaku memanjakan
aku. Oleh karena urusan pembagian tanah, ayahku telah
bermusuhan dengan salah seorang kepala desa yang
daerahnya di bawah perintah ayah. Tetapi karena kepala desa
itu mempunyai saudara yang menjabat pangkat tinggi di
kerajaan maka kepala desa itu berani menentang ayah. Dan
ayah pun cukup memaklumi tiang andalan lurah desa itu.
Diantara ayah dan lurah desa itu tak saling tegur menyapa,
tak sudi kenal mengenal lagi "
Sejenak berhenti, Empu Panangkar melanjutkan lagi, "Pada
suatu hari ketika aku berburu dengan beberapa kawan dalam
hutan, kulihat serombongan anak perawan sedang mandi di
sebuah pancuran. Seketika timbullah kenakalan darah muda
gorombolanku itu. Kita bersepakat untuk mencuri pakaian
perawan2 itu. Demikian kami berhasil dapat mencuri pakaian
mereka." Empu Panangkar tampak berseri wajahnya ketika
mengenangkan kenakalannya pada masa muda. Sedang Dipa
pun makin tertarik mendengar penuturan itu.
"Setelah habis mandi barulah rombongan anak perawan itu
berteriak-teriak hiruk-pikuk karena kehilangan pakaiannya.
Mereka menjerit jerit, menyumpah-nyumpah dan ngamuk tak
keruan. Namun mereka tak berani naik ke daratan dan tetap
membenam diri dalam telaga. Mereka terkejut ketika
mendengar gelak tertawa aku dan rombonganku yang
bersembunyi di atas pohon. Setelah mengetahui siapa
pencurinya, rombongan anak perawan yang berjumlah tujuh
orang itu makin kalap. Sumpah serapah, namun makian makin
menggencar dari mulut ke tujuh gadis itu. Namun aku dan
kawan-kawan hanya menyambut dengan gelak tertawa dan
tepuk tangan. Akhimya karena hari menjelang petang dan
sudah lama membenam diri dalam air, mereka menggigil
kedinginan. Tiada sumpah-serapah, tiada hamun makian.
Yang terdengar hanya isak tangis dari perawan2 itu. Mereka
merengek rengek minta pakaiannya dikembalikan.
"Akan kami kembalikan," seru kawanku yang terkenal nakal
dan gemar melucu, "tetapi ada syaratnya "
Gadis2 itu mendesis, kemudian serempak berseru, "Syarat
apa?" "Mudah dan sederhana serta "enak! "
Terdengar kawanan gadis itu berbincang-bincang beberapa
saat lalu berseru pula, "Katakanlah! Apakah kalian
menghendaki tebusan uang" "
"Hi, hi " kawanku itu tertawa mengikik, "uang aku tak
kekurangan. Bukan itu!"
"Lalu?" "Kalian harus membayar dengan ".. haha ". ciuman ?""
Riuh rendah gadis2 itu menjerit dan memaki-maki. Tetapi
kawan-kawanku hanya menyambut dengan gelak tertawa
"Terserah kalau kalian bersedia membenam diri dalam air
semalam suntuk .... ! "
Karena tak berdaya akhimya gadis itu menyerah dan
menyetujui syarat yang diajukan kawan-kawanku. Demikian
pakaian mereka pun segera diletakkan di tempat semula dan
kawan-kawanku pun disuruh pergi agak jauh karena mereka
hendak berganti pakaian. Tetapi alangkah kejut rombonganku
ketika kembali ke telaga itu ternyata gadis2 itu sudah lari,
kecuali hanya tinggal seorang saja.
Secara kebetulan pula, rombonganku terdiri dari tujuh
pemuda. Masing2 mencuri seperangkat pakaian dari seorang
gadis itu. Aku terbelalak ketika melihat bahwa pakaian yang
kuambil dan kuletakkan lagi di atas batu, ternyata masih
berada di situ. Cepat dapat kuduga bahwa pakaian itu tentulah
milik gadis yang masih membenam diri dalam air.
"Hai, nini, ke manakah kawan-kawanmu?" seru salah
seorang kawanku kepada gadis itu.
"Pulang" sahutnya ringkas.
"Pulang" Kurang ajar ! Mereka menipu kami," teriak
kawanku itu. "hayo kita kejar !"
Demikian enam orang kawanku segera lari mengejar
rombongan gadis itu. Tetapi aku tak ikut serta karena gadis
yang kucuri pakaiannya itu masih berada di situ. Kupandang
gadis itu lekat2. Ah, seorang dara yang cantik benar. Kulitnya
kunirg langsat, rambutnya ikal mayang, alisnya bak bulan sabit
menaungi sepasang mata yang berseri laksana bintang kejora.
Bibirnya semerah delima. "Hm, pemuda brandal, apakah engkau tak pernah melihat
orang?" tegur dara itu dengan tajam.
Aku gelagapan dan cepat menyahut "Su .. . . dah, tetapi
yang secantik engkau baru pertama kali ini."
"Apa pedulimu aku cantik atau tidak ?"
"Sudah tentu aku harus mempedulikan, nini" sahutku
tenang " karena .. .. karena . .. "
"Karena apa?" "Karena setelah melihat engkau, aku merasa malu kepada
diriku." "Malu" Mengapa?"
"Malu karena berbuat tak senonoh kepadamu. Ambillah
pakaianmu, nini, dan pulanglah. Aku tak menuntut suatu apa
darimu ?" kataku sambil menundukkan kepala tersipu-sipu.
Aku sendiri tak tahu, biasanya aku bersikap garang terhadap
siapapun juga termasuk kepada wanita. Tetapi entah
bagaimana ketika bertemu pandang dengan dara itu,
lenyaplah kegaranganku. A ku seperti kena pesona.
Gadis itu memandang sejenak kepadaku "Benarkah katakatamu itu?"
"Semoga dewa mengutukku apabila aku culas."
"Baiklah, pergilah engkau jauh dari sini karena aku hendak
berpakaian." Seperti seekor domba, akupun menurut saja apapun
perintahnya. Sepengunyah sirih lamanya, baru aku berani
kembali lagi ke tepi telaga. Ternyata dara itu masih berada di
situ, duduk di atas batu.
"Nini, mengapa engkau tak melarikan diri seperti kawankawanmu itu?" tegurku heran.
"Mengapa aku harus melarikan diri" Bukankah engkau tak
menuntut syarat seperti kawanmu itu!"
"Benar, " aku mengiakan, "silahkan engkau pulang."
"Engkau mengusir?"
"Tidak, nini. Tetapi hari sudah malam, engkau harus pulang
agar orangtuamu tak gelisah."
"Terlambat," sahut dara itu "mereka tentu sudah gelisah
karena sampai saat ini aku belum pulang. Dan aku takut
pulang pada waktu malam begini."
Aku merasa bersalah dan meminta maaf kepadanya.
Sebagai penebus dosa, aku bersedia mengantarnya pulang.
Bermula ia menolak tetapi karena kudesak, akhirnya ia mau
juga. Tetapi pada waktu melintasi sebuah gerumbul,
serombongan orang yang terdiri dari lima lelaki, mencegat
perjalananku. Ternyata rombongan itu yalah kakak dari si dara beserta
empat orang kawannya. "Andini, siapa pemuda itu?"
"Entahlah, kakang," sahut si dara yang ternyata bernama
Andini. "Engkau tidak tahu " Mengapa engkau
bersamanya?" tegur kakak dari A ndini pula.
berjalan "Dia hendak mengantarkan aku pulang."
"Hai, anakmuda, siapakah engkau?" kini kakak Andini
beralih menegur kepadaku.
"Aku Panangkar, putera buyut Kedung Biru."
"Hai !" tiba2 kakak Andini melonjak kaget, "engkau anak
dari buyut serakah itu" Bukankah engkau salah seorang dari
keenam pemuda berandal yang mengejar gadis2 dari desaku
itu?" Aku terkejut mendengar kakak Andini mendamprat ayahku.
Namun di hadapan Andini, aku harus bersikap jantan dan
jujur. "Benar, aku memang salah seorang dari mereka.
Siapakah engkau, kakang?"
"Bedebah, haram! jangan engkau sebut diriku kakang. Aku
adalah putera dari lurah Bureng !"
"Oh .... " aku mendesuh kejut ketika mengetahui hal itu.
Lurah Bureng itu adalah musuh dari ayahku "jadi Andini ini
puteri lurah Bureng " "
"Hajar!" sebagai jawaban kakang A ndini segera memerintah
orang orangnya menyerang aku. Mereka berjumlah lebih
banyak dan bertenaga kuat. Dan entah begaimana, ada suatu
perasaan dalam hatiku. Bahwa aku tak boleh melukai orang2
lurah Bureng, ayah sidara Andini yang telah mencuri hatiku
itu. Aku hanya menghindar tak mau balas menyerang.
Akhirnya aku dihajar pontang panting dan terakhir rubuh tak
sadarkan diri. Entah berselang berapa lama, ketika membuka mata,
kudapatkan diriku terbaring dalam sebuah guha. Di sampingku
tampak duduk A ndini, dara yang menambat hatiku. Buru2 aku
hendak bangun tetapi tulang-tulangku serasa nyeri kesakitan.
"Jangan bergerak dulu, tidurlah lagi," kata Andini dengan
suara lembut. Menjawab pertanyaanku, ia mengatakan bahwa aku berada
dalam sebuah guha dan menderita luka2 akibat hajaran
rombongan kakangnya. Aku makin heran, "Mengapa engkau
berada di sini" Apakah engkau tak ikut kakangmu pulang?"
Dengan berlinang-linang airmata ia menceritakan bahwa
ketika melihat aku rubuh, ia terus melarikan diri ke dalam
hutan. Kakak dan rombongannya mencari ke mana-mana
tetapi tak bertemu. Keesokan hari ia baru muncul dari tempat
persembunyiannya dan membawa aku ke dalam guha.
"Mengapa engkau rela tak pulang karena menolong aku?"
tanyaku terkejut. Ia memandang aku, tundukkan kepala dan mengucurkan
dua tetes airmata. "Andini, engkau " menangis .... ?" belum
sempat kulanjutkan kata2ku ia sudah lari ke luar. Kudengar ia
menangis terisak-isak. Hatiku makin kacau. Dengan paksakan
diri aku merangkak ke luar, "Kakang, jangan ke luar ... " ia
menubruk tubuhku dan membawa masuk ke dalam lagi, ah
..... Empu Panangkar menghela napas, memandang jauh ke
cakrawala. Awan berarak namun pikirannya jauh menembus
tinggi ..... "Semuanya telah terjadi dan apa yang telah terjadi
tak mungkin kembali pula?" sesaat kemudian kedengaran
empu tua itu mengingau seorang diri, "seorang dara dan
seorang pemuda berada berduaan dalam sebuah tempat yang
sunyi. Setan berbisik, iblispun merayu... aku dan Andini terlena
dalam buaian asmara, membentuk persada pelaminan dalam
sebuah guha karang, memadu kasih sebagai mempelai baru.
Malam itu berhias seribu impian dan kenyataan yang syahdu


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

....." Dipa terlongong mendengar ingau Empu Panangkar. la
menduga-duga tetapi tak dapat memastikan maknanya.
Akhirnya karena empu tua itu termangu dalam lamunan, ia
memberanikan diri menegur, "Eyang menjadi mempelai
dengan gadis itu?" Empu Panangkar tersenyum sipu "Begitulah, nak, ternyata
aku tidak bertepuk sebelah tangan. Andini pun menyambut
cintaku. Dan malam itu " . ya, malam itu kami melakukan
perbuatan yang sebenarnya belum boleh kami lakukan. Sejak
malam itu Andini telah menjadi isteriku ?"
Dipa terkejut. Walaupun pikirannya masih belum dapat
menjangkau apa yang disebut 'melakukan perbuatan yang
sebenarnya belum boleh dilakukan', tetapi ia menjadi
gamblang dengan keterangan kalau Andini sudah diperisteri
empu Panangkar. Serentak bertanyalah ia dengan heran,
"Eyang, mengapa eyang memperisterinya" Bukankah keluarga
eyang bermusuhan dengan keluarga ayahnya?"
"Justeru karena itulah maka aku dan Andini makin bulat
memadu tekad untuk mentautkan tali kasih itu. Apabila aku
dan Andini menjadi suami isteri, kedua orangtua kami tentu
akan damai. Permusuhan antara kedua keluarga itu harus
diakhiri " Dipa menganggak. "Tetapi itikad baik itu ternyata mendapat tentangan hebat
dari sikap ayah Andini yang keras kepala sehingga aku dan
Andini harus mengalami penderitaan yang hebat "." kata
Empu Panangkar pula "setelah lukaku sembuh, kuantarkan
Andini pulang ke desanya. Lurah desa Bureng menyambut
kedatangan kami dengan kemarahan yang meluap-luap.
Namun makian, cemooh hinaan dilontarkan kepada diriku
sebagai anak buyut Kedung Biru yang mencuri anak perawan.
Kakak dari Andini beserta beberapa orang gajihannya segera
menghajar aku lagi. Melihat itu Andini tak tahan. Cepat ia
melindungi aku dan mengancam. Apabila kakak dan ayahnya
tetap hendak mempersakiti aku, ia akan bunuh diri. Sikap
yang gigih dari Andini dapat meredakan suasana pembunuhan
atas diriku. Aku diusir dengan diantar ucap hinaan yang
nista..." "Kuterima kesemuanya itu sebagai akibat hukumanku atas
kesalahan yang kulakukan. Tak kuadukan hal itu kepada
ayahku. Dan sejak itu sikapku berobah jadi pendiam, tak mau
bercampur gaul dengan kawan-kawanku. Beberapa bulan
kemudian aku mendapat berita yang menggemparkan hatiku.
Andini telah dikirim kepada pamannya di Singosari, hendak
dinikahkan dengan seorang bekel kerajaan. Saat itu aku
benar2 lupa diri. Serentak kudatangi lurah desa Bureng. "Mana
isteriku Andini !" kuminta pertanggungan jawab kepada lurah
ayah Andini. "Isterimu ?" ejek lurah Bureng "bilakah engkau menikah
dengan Andini " Yang jelas dia adalah puteriku dan sekarang
telah menikah dengan seorang bekel kerajaan Singosari?"
"Setan tua, kembalikan isteriku !" belum selesai ia
mengucap, aku sudah menggerung dan laksana seekor
harimau, kuterkam lurah itu. Hendak kurobek dadanya.
Tetapi putera lurah itu, yalah kakak dari Andini segera
menyerang aku, dibantu oleh beberapa orang gajihannya. Jika
dalam perkelahian yang lalu, dua kali aku selalu mengalah,
tetapi pada saat itu aku tak mau mengalah lagi. Kuhantam
mereka sepuas-puasku hingga tak dapat bangun lagi.
Kuobrak-abrik rumah lurah itu. Lurah pun kuhantam sampai
pingsan. Ketika aku hendak mengamuk lebih lanjut, muncullah
nyi lurah, ibu Andini. Dengan beriba-iba ia berlutut mencium
kakiku dan memohonkan ampun atas kesalahan suaminya.
"Ayah Andini malu pada aib yang diderita Andini sehingga
untuk menutup malu itu, ia mengirim Andini kepada
pamannya di Singosari dan dinikahkan dengan seorang bekel,"
kata nyi lurah. "Malu " Mengapa ?" tanyaku.
"Ah, sesungguhnya hal itu tak perlu harus merasa malu,"
nyi lurah menghela napas "nak, bukankah engkau berani
mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepada Andini?"
"Bumi dan langit menjadi saksi, betapa besar cintaku
kepada puteri ibu," sahutku.
"Duh, Dewa yang agung, ampunilah kekhilafan kami ..... "
nyi lurah pun menangis terisak-isak. Setelah kudesak, barulah
ia menjawab dengan terbata-bata, "Angger Panangkar, aib
yang diderita oleh Andini itu bukan lain yalah ia sudah
mengandung tiga bulan ..... "
Mendengar itu bumi yang kupijak serasa amblong dan
hampir saja aku rubuh pingsan apabila tak ditolong nyi lurah.
Setelah memberi sembah kepada nyi lurah aku segera lari
menuju ke Singosari. Aku tak mau pulang sebelum
mendapatkan Andini. Karena kalap dan marah, sampai lupa
kutanyakan siapa nama saudara lurah Bureng yang berada di
kota kerajaan Singosari itu. Berbulan-bulan aku tak dapat
menemukan dia. Hampir dua tahun kemudian barulah aku
berhasil mendapatkan Andini. Pertemuan itu amat
mengharukan sekali. Andini minta ampun kepadaku karena
telah menikah dengan bekel. Ia mengatakan tak berdaya
menghadapi tekanan ayah dan pamannya. Ia mau menikah
dengan bekel itu apabila syaratnya dipenuhi. Syarat itu yalah
walaupun menikah, tetapi bekel itu tak boleh mengganggunya
sebelum ia melahirkan anak. Karena syarat itu diluluskan,
akhirnya ia menerima juga.
Seorang anak lelaki berumur dua tahun diunjukkan ke
hadapanku "Kakang Panangkar, inilah puteramu ..... "
"Betapa hancur hatiku saat itu, dapatlah engkau
bayangkan, Dipa," kata Empu Panangkar, "aku mempunyai
isteri dan putera tetapi tak dapat berkumpul. Timbul dalam
pikiranku untuk mengajak Andini dan puteranya melarikan diri.
Tetapi entah bagaimana, tiba-tiba terlintaslah suatu kesadaran
dalam bathinku. Cinta yang murni, bukan bersifat angkara.
Asal Andini dan puteraku sudah hidup layak dan bahagia, aku
sudah puas. Bagiku sendiri, ah ".."
"Andini," kataku lembut, "kita tak boleh menentang kodrat
hidup. Mungkin sudah digariskan oleh Hyang Widdhi bahwa
kita harus mengalami kehidupan yang begini. A ndini, rawatlah
puteraku. Namakan dia Raganata. Aku hendak bertapa dan tak
akan menikah seumur hidup. Akan kugenturkan tapa-brataku
agar kelak puteramu Raganata menjadi manusia berguna dan
ternama ....." "Ah, rupanya doa tapaku dikabulkan oleh Dewata. Raganata
menjadi seorang yang cerdik dan pandai sehingga diangkat
sebagai patih oleh sang prabu Kertanegara?"
Dipa ikut berseru girang "Eyang sungguh berbahagia sekali
mempunyai seorang putera demikian. Eyangpun tentu
menikmati kebahagiaan hidup yang serba tak kekurangan."
Di luar dugaan Empu Panangkar gelengkan kepala, "Tidak,
nak, aku tetap seorang pertapa dan puteraku Raganata tetap
sang patih kerajaan Singosari."
"Mengapa " Apakah eyang tak tinggal bersama putera
eyang?" tanya Dipa heran.
Empu Panangkar menghela napas, "Ah, aku tak mau
mengganggu kebahagiaan puteraku. Aku melihatnya besar,
pandai dan menjadi priagung. Tetapi tak pernah bicara
dengannya. Dia tak tahu bahwa akulah ayahnya yang
sebenarnya. Dan menganggap bekel itulah ayahnya."
"Apakah ibunya tak memberitahukan hal itu kepadanya ?"
"Kurasa tidak, agar jangan menggelisahkan perasaannya."
"Tetapi bukankah eyang dapat menemui isteri eyang itu dan
minta kepadanya supaya menjelaskan peristiwa itu kepada
patih Raganata?" "Ah, tak mungkin."
"Mengapa tak mungkin?"
"Karena ibunya sudah meninggal dunia."
"Oh?" Dipa mendesah kaget "lalu?"
"Soal itu tak kuanggap penting. Bagiku soal puteraku itu
sudah bahagia, akupun ikut bahagia. Aku seorang pertapa
yang sudah menjauhkan diri dari soal keduniawian. Tetapi
rupanya hidup manusia ini memang tidak langgeng. Raganata
tak disukai lagi oleh prabu Kertanagara yang lebih percaya
kepada Mahisa Anengah dan Apanji Angragani. Akhirnya
karena mendapat fitnah Angragani, Raganata dipecat dan
dihukum. Kemudian prabu Kertanagara hendak menangkal,
pengaruh buruk dari tenaga sakti Empu Raja itu mendapatkan
aku dan minta supaya aku menjaga kuburan Wurare ini untuk
menyirap tenaga-sakti Empu Barada. Kesempatan ini
kupergunakan untuk mengajukan tuntutan kepada baginda.
Aku mau melakukan tugas yang baginda titahkan asal
Raganata dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan pada
kedudukannya sebagai patih Singosari. Baginda meluluskan
dan akupun segera melakukan tugas di sini. Tetapi ah,
ternyata baginda tidak seluruhnya memenuhi janji...."
Empu Panangkar kembali menghela napas. Sesaat
kemudian ia melanjutkan pula "Raganata dibebaskan dari
hukuman tetapi hanya diangkat menjadi dyaksa Tumapel,
tidak menjadi patih Singosari lagi. Ketika aku hendak
menghadap baginda untuk memperingatkan janjinya, saat itu
Singosari diserang pasukan Daha. Peperangan sedang
berkobar antara Singosari dan Daha. Terpaksa kubatalkan
niatku dan kuperkeras tapaku untuk menyirap tenaga sakti
Empu Barada. Kemudian kudengar Singosari jatuh, prabu
Kertanagara gugur dan Raganata binasa... habis... habislah
harapanku... " empu Panangkar berhenti sejenak "kini aku
tiada mempunyai harapan apa2 dalam dunia. Kutumpahkan
sisa hidupku untuk menindas tenaga-sakti Empu Barada yang
selalu menimbulkan peperangan dan perpecahan. Akan
kuserahkan sisa hidupku untuk keselamatan ncgara dan
kesejahteraan rakyat . ... "
Dipa tertarik hatinya mendengar akhir kissah hidup Empu
Panangkar itu. Ternyata didunia ini terdapat banyak sekali
orang yang nasibnya buruk seperti dirinya. Ia seorang anak
sebatang kara dan Empu Panangkar itupun seorang kakek
yang sebatang kara. Jika seorang setua Empu itu mau
mengorbankan hidupnya demi keselamatan negara, mengapa
ia seorang anak muda tak mau membantu usaha empu tua
itu. Diam2 bulatlah tekad Dipa untuk menghadapi apapun
yang akan terjadi pada tenaga-sakti Empu Barada nanti .....
"Ah, nak, hari sudah malam. Berkemaslah, segera akan
kuantarkan engkau masuk ke dalam kuburan itu," tiba2 Empu
Panangkar berkata. Ia mengeluarkan sebuah kantong dan
sebuah kendi "Dipa, bawalah ransum kering yang berada
dalam kantong ini. Serta air dalam kendi itu. Engkau harus
duduk bersemedhi sampai nanti muncul sesuatu yang aneh.
Mungkin berwujut setan yang mengerikan, ular besar, harimau
buas dan lain2 makhluk yang menakutkan. Tetapi janganlah
engkau takut. Kesemuanya itu hanya makhluk jejadian. Jika
engkau tabah menghadapinya, mereka akan lebur. Tetapi
kalau engkau takut, engkau akan kalah dan binasa. Setelah
berhasil mengatasi segala godaan itu, engkau akan
berhadapan dengan seseorang atau mendengar suara tanpa
melihat orang. Itulah yang disebut wangsit, anakku. Ingatlah
baik2, Dipa. Dalam keadaan bagaimanapun juga, yang penting
engkau harus menekankan bahwa tenaga-sakti Empu Barada
itu harus lenyap atau sekurang- kurangnya silam, jangan
timbuh lagi dan mengganggu ketenteraman ncgara."
"Baik, eyang," sahut Dipa.
"Jangan lupa, anakku. Hematlah dengan ransum dan air itu.
Siapa tahu nak, engkau harus berpuasa sampai tujuh hari atau
mungkin lebih lama lagi."
Dipa mengiakan. "Mari kita ke sana," Empu Panangkar pun berbangkit dari
tempat duduk. Ia membawa Dipa menuju ke sebuah makam.
Makam itu berbentuk seperti sebuah candi kecil.
Sekelilingnya ditumbuhi pohon nagapuspa dan alang-alang
yang tinggi. Melangkah ke dalam pintu, Dipa melihat segunduk
batu nisan. Kanan kiri nisan itu terdapat dua buah patung
sebesar anak kecil. Berwujut seorang raksasa berwajah seram
dengan mencekal sebuah gada berduri. Rupanya sepasang
patung itu merupakan penunggu dari makam.
Tersirap darah Dipa pada waktu pertama kali merasakan
suasana dalam kuburan itu. Namun cepat ia dapat
menenangkan perasaannya sesaat teringat akan petuah Empu
Panangkar tadi. "Nak, duduklah dimuka makam ini. Bersemedhi pusatkan
seluruh pikiranmu sampai mencapai kehampaan " kata Empu
Panangkar "bukankah engkau sudah mendapat pelajaran
tentang ilmu bersemadhi ?"
"Sudah, eyang," sahut Dipa lalu mengatur duduk bersila di
hadapan makam. "Baik, Dipa " kata Empu Panangkar "aku menunggu di luar.
Menjaga keamanan makan ini. Jika engkau takut atau merasa
tertimpa sesuatu bahaya, lekaslah engkau berteriak."
"Baik, eyang " Demikian Empu Panangkar pun melangkah keluar. Ia duduk
bersemedhi di luar pintu. Hari pun makin kelam. Suasana
dalam makam itu gelap gulita. Dipa mulai pejamkan mata
menurut ilmu semedhi yang diajarkan oleh brahmana Anuraga
dan demang Surya. Bermula pikirannya masih ricuh. Walaupun mata
dipejamkan, pikiran dikosongkan namun keadaan dalam
makam seperti yang dilihatnya tadi, masih menghantui
benaknya. Kesiur angin malam yang betapapun lembutnya,
cepat membangkitkan suatu pengadaan pada pikirannya. Ia
merasa sepasang patung penunggu itu bergerak-gerak hendak
menghantamnya dengan gada. Seperti ada sosok bayangan
hitam yang berdiri di belakangnya. Sesaat pula seperti
dihampiri oleh beberapa ekor ular. Bahkan merasa seperti
bahunya dijamah oleh sebuah tangan yang dingin. Mukanya
ditiup oleh seorang kakek bercaling. Dan seribu satu
perasaan... Malam itu Dipa harus berjuang melawan gejolak perasaan
hatinya yang membangkitkan berbagai pengadaan. Begitu
pula pada malam kedua dan ketiga, ia masih belum berhasil
menghampakan pikirannya dari gangguan perasaan hatinya.
0odwo0 II "Ha, ha, ha, haaa! Setan kecil, engkau berani mengganggu
ketenangan keratonku di sini " Hayo enyah engkau sebelum


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuremas tulang lehermu!"
Dipa merasa ngeri melihat perwujutan mahluk yang
menggagah di hadapannya. Tinggi besar berkulit hitam.
Sepasang matanya sebesar kepal tangan, giginya bertaring,
mukanya sehita, pantat kuali "Engkau manusia atau setan ?"
tegurnya. "Aku adalah Buta Locaya, baureksa tanah Daha. Aku
diperintah Empu Barada untuk mempertahankan bumi Daha.
Barang siapa menduduki bumi Daha, pasti akan kuserang !"
Dipa seperti merasa bahwa saat itu ia mengerti persoalan
yang terjadi di kerajaan Majapahit. Serentak ia menjawab
"Hai, Buta Locaya, jaman Daha sudah lampu. Prabu
Jayakatwang sudah meninggal. Yang menjadi raja sekarang
yalah prabu Jayanagara, putera dari raden Wijaya pendiri
kerajaan Majapahit. Jaman beredar, masa beralih. Majapahit
adalah kerajaan yang syah, besar dan berpengaruh. Daha,
Singosari, Kahuripan dan seluruh telatah nuswantara harus
dipersatukan. Hanya dengan persatuan dan kesatuan negara
kita akan kuat dan jaya."
"Setan kecil ! Menilik perwujutanmu, engkau masih kecil.
Tetapi bicaramu sudah seperti orang tua. Aku tak peduli siapa
raden Wijaya, siapa Jayanagara. Aku hanya tunduk pada
perintah Empu Barada untuk menjaga bumi Daha. Empu
Barada telah melaksanakan titah baginda Panjalunata untuk
membagi kerajaan menjadi dua, Daha dan Singosari. Dan aku
dipetintah Empu untuk menjaga bumi Daha."
"Buta Locaya, sudah kukatakan panjang lcbar tadi. Bahwa
Panjalunata, Empu Barada, Jayakatwang sudah tiada di dunia
lagi. Daha, Singosari dan Kahuripan sudah dipersatukan
menjadi kerajaan Majapahit yang sekarang dipimpin oleh
baginda Jayanagara. Tetapi mengapa engkau masih hendak
mengganggu keamanan negara, menciptakan kekacauan dan
pemberontakan di mana-mana ?"
"Setan cilik, aku tak perlu nasehatmu. Pergi atau kurobekrobek tulang-tulangmu."
"Hm, dasar buta pengung. Akan kucabut calingmu yang
masih tinggal satu itu... . " Dipa loncat menghantam Buta
Locaya. Buta Locaya pun segera melawannya.
Demikian terjadilah pertempuran antara Dipa dengan Buta
Locaya. Dahsyat dan gempar. Beberapa jurus kemudian tiba
tiba Buta Locaya menjerit kesakitan "Aduh, setan kecil .. .
mengapa engkau memiliki pukulan aji Kumbalageni seperti . .
seperti . . hai " engkau!" tiba2 Buta Locaya yang memandang
lekat pada lawannya, berteriak kaget "engkau setan tua
Panangkar ..... ! " "Ha, ha, ha," Dipa tertawa. Ia merasa nada suaranya
berobah agak parau "matamu tajam juga Buta Locaya. Apakah
engkau tetap berkeras berani melawan aku " Aji Kumbalageni
akan ".." "Terkutuklah engkau setan tua..." teriak Buta Locaya seraya
lari melenyapkan diri. Dipa memandang setan itu dengan tersenyum "Hm, Buta
Locaya, kalau engkau tak lari, engkau pasti akan terbakar
hangus oleh aji Kumbalageni."
"Ho, Panangkar keparat, jangan bersorak kegirangan
dahulu. Jangan kira aji Kumbalageni yang engkau lancarkan
kepadaku dahulu dapat mematikan Kala Johar. Lihatlah Kala
Johar sudah segar bugar dan siap menghancurkan
tubuhmu......" tiba2 terdengar suara menggeledek dan
serempak muncullah mahluk aneh. Kepala gundul besar, mata
hidung lebar, mulut berpagar gigi panjang2, leher panjang
junjang, dada sempit, perut buncit, mencekal sebatang
tongkat yang berkepala tengkorak.
Dipa tenang2 saja menghadapi setan perut buncit itu. Ia
merasa seperti sudah pernah melihatnya. Bahkan tahu akan
kepandaian setan kurus itu "Kala Johar, jika tak kasihan akan
perwujutanmu, perutmu yang buncit itu tentu sudah pecah
berhamburan isinya. Ketahuilah, kala itu aji Kumbalageni
belum kulambari tenaga penuh. Kumaksud sekedar untuk
memberi peringatan, agar engkau menurut kehendakku.
Tetapi bangsa setan iblis macam engkau ini. memang tak
dapat disuruh berobah baik. Engkau masih suka mengacau
dan menimbulkan ketegangan2 suasana negara dan
ketenteraman rakyat."
"Panangkar keparat " seru Kala Johar dengan nada yang
menyayat hati macam batang bambu saling bergosok "aku
hanya tunduk pada Empu Barada yang menugaskan aku untuk
menjaga keselamatan bumi Singosari. Bumi Singosari hanya
dibenarkan diperintah keturunan prabu Airlangga. Siapa pun
yang berani menguasai bumi Singosari pasti akan kukacau "
"Setan buncit, sudah kukatakan berulang kali. Barada,
Airlangga sudah mati. Yang ada sekarang yalah sang prabu
Jayanagara, raja Majapahit. Engkau harus bersembunyi atau
kuhancutkan!" "Jangan membanggakan aji Kumbalageni. Sekarang Kala
Johar sanggup menumpas aji itu."
Karena tak tercapai sepakat, Dipa pun bertempur dengan
setan Kala Johar, baureksa Singosari.
Beratus-ratus buah kepala tengkorak berhamburan
menyerang Dipa. Saat itu Dipa merasa membekal tongkat
bambu. Cepat ia putar tongkatnya untuk menangkis serangan
kepala tengkorak itu. Setiap terkena pukulan, batang kepala
tengkorak itu tentu hancur dan lenyap. Tetapi karena
jumlahnya beratus-ratus, ada sebuah kepala tengkorak yang
lolos dari hantaman tongkatnya, pyur". dahi Dipa terkena, ia
terhuyung-huyung ke belakang. Dahinya berlumuran darah.
"Hi, hi, hi" Kala Johar tertawa seram dan ayunkan tongkat
kepala tengkorak pula. Beratus-ratus buah kepala tengkorak
segera mencurah laksana hujan deras.
"Setan buncit, pulanglah engkau ke neraka," tiba2 Dipa
memekik dan menghantam dengan aji Kumbalageni. Dess,
doss .... terdengar suara macam api tersiram air. Beratus
kepala tengkorak itu terbakar dan meledak, berhamburan
pecah dan lenyap. Dan pada lain saat terdengar jerit lolong
Kala Johar yang mengerikan dan lenyaplah setan buncit itu
dalam gulungan asap tebal ?"
Lenyapnya asap tebal, muncullah seorang tua renta
berjenggot putih, mencekal sebatang tongkat bambu. Melihat
itu Dipa hampir melonjak kaget "Empu Panangkar .... !"
"Hm, benar" sahut kakek tua yang menyerupai Empu
Panangkar "anak kecil, kiranya engkau masih kenal padaku...
." "Bohong !" teriak Dipa "engkau bukan Empu Panangkar !"
Kakek tua itu tertawa parau "Kalau perwujutan begini
bukan Empu Panangkar, lalu yang manakah Empu Panangkar
itu ?" "Hm, mungkin lain orang mudah engkau tipu, tetapi aku
tidak !" "Mengapa tidak " Dan memang akulah Empu Panangkar
itu." "Engkau bangsa setan," seru Dipa "akulah Empu Panangkar
.... " tiba2 Dipa berobah menjadi Empu Panangkar "hayo,
setan, unjuklah dirimu siapa!"
Empu Panangkar yang muncul tadi tertawa keras lalu
berseru mengejek "Hm, kiranya memang benar engkau
Panangkar. Jika aku tak bersalin rupa menjadi engkau tentu
tak mau unjuk dirimu yang sejati. Engkau pikat seorang anak.
Engkau suruh dia bersemedhi. Engkau hias alam pikirannya
dengan cerita2 bualan sehingga ia mau engkau peralat.
Setelah itu engkau gunakan ilmu Meraga suksma untuk
memasuki tubuhnya. Engkau pinjam tubuh anak itu untuk
menempur kami karena ia tahu bahwa anak itu mempunyai
wibawa yang hebat ...."
"Hm, rupanya mengerti juga engkau akan kodrat alam"
jawab Empu Panangkar "bahwa kerajaan Majapahit akan
menjadi sebuah kerajaan yang besar dan akan mencapai
puncak kejayaan yang tiada taranya. Hayo, sebutkanlah siapa
dirimu!" "Aku Empu Panangkar! "
"Iblis laknat, akan kusuruh engkau memperlihatkan
bentukmu yang aseli," seru Empu Panangkar seraya
menghajar dengan tongkat.
Wut". Empu Panangkar yang pertama itu tiba2 lenyap. Dan
saat itu muncul seekor kumbang yang mendengung2
menyerang Empu Panangkar. Suaranya membisingkan telinga
dan terbangnya amat cepat. Empu Panangkar kewalahan
menghadapi serangan kumbang bersengat racun. Ayunan
tongkatnya tak berhasil menghajar kumbang itu dan beberapa
kali mukanya hampir kena disengatnya.
Karena kewalahan, tiba2 Empu Panangkar menjelma
sebagai seekor burung cucak. Ia melayang-layang mematuk
kumbang itu. Kumbang berhadapan dengan burung tak
berdaya. Kumbang itu kini sibuk menghadapi serangan burung
cucak. Tiba2 kumbang itu lenyap dan sebagai gantinya tampak
seekor kucing hitam. Lincah dan tangkas sekali.
Saat ini burung cucaklah yang pontang panting harus
menghindari terkaman kucing. Sekonyong-konyong pula,
burung cucak itu lenyap dan berganti rupa sebagai anjing
besar berbulu hitam. Anjing hitam menyalak keras dan loncat
menubruk kucing. Kucing dan anjing merupakan musuh bebuyutan. Apabila
berjumpa kedua binatang itu tentu akan berkelahi. Karena
kalah besar dan kuat, kucing melengking-lengking dan
melenyapkan diri. Pada saat anjing hitam sedang terengah-engah menanti
munculnya lawan, tiba2 terdengar suara aum harimau yang
mengerikan. Seekor harimau loreng muncul dan terus
menerkam anjing hitam. Anjing terkejut. Cepat ia loncat
menghindar dan berguling-guling di tanah lalu lenyap. Pada
lain saat tampak seekor ular
besar, menyerupai seekor naga. Merentang mulut lebar2, ular naga itupun menegakkan kepalanya dan mengangakan mulut, wut ....
segulung asap kehitam hitaman berhamburan ke arah harimau loreng "...
Harimau cepat loncat ke samping untuk menghindar.
Rupanya harimau itu merasa
tak dapat melawan seekor ular naga yang besar dan dapat menyemburkan gulungan asap beracun. Berhasil menghindari serangan ular naga, harimau
itu tiba2 mengaum keras dan loncat ke udara, lenyap "..
Seketika di utara muncul seekor burung garuda yang amat
gagah perkasa. Sambil merentang sayap, garuda itu berputarputar melayang-layang lain tiba2 menukik ke bawah dan
menyambar kepala ular naga. Ular naga terkejut sekali karena
garuda itu mengarahkan serangan untuk mematuk kedua
matanya. Beberapa kali ular naga itu menyemburkan asap
beracun tetapi setiap kali hamburan asap itu dapat dihembus
buyar oleh garuda dengan menamparkan kedua sayapnya.
Rupanya ular naga itu kehabisan daya untuk bersalin rupa
menjadi suatu jenis binatang yang mampu untuk mengalahkan
garuda. Ular naga teramat sibuk sekali menyelamatkan
sepasang matanya dari paruh garuda. Tiba2 ular naga itu
meringkik dahsyat, bergeliatan dan melingkar-lingkar, makin
lama makin kecil dan lenyap !
Burung garuda terbang terkapar-kapar karena kehilangan
sasaran. Rupanya mata garuda itu amat tajam. Ia tahu
kemana larinya naga tadi. Ia pun segera bersalin rupa menjadi
seekor anak ayam mematuki tanah. Kiranya yang hendak
ditutul itu adalah seekor semut hitam yang berlari cepat dan
liar. Walau pun anak ayam itu tak mudah untuk mematuk
korbannya, namun semut itupun tak kurang bingungnya.
Sekonyong-konyong semut menghilang dan pada lain saat
muncullah Empu Panangkar dengan mencekal tongkat bambu.
Cepat pula empu tua itu ayunkan tongkatnya menggebuk anak
ayam. Anak ayam menciap-ciap dan lari menghindar ....
"Mati engkau!" Empu Panangkar ayunkan tongkatnya
menghantam kepala anak ayam. Anak ayam itu terkapar
ketanah dan lenyap".
"Setan," desis empu Panangkar ketika melihat seorang
kakek tua tegak berdiri beberapa langkah dihadapannya,
"engkau menyaru jadi diriku !"
"Bedebah, setan kuburan," balas kakek tua itu, "engkaulah
yang menyaru jadi diriku."
"Engkau Panangkar palsu!"
"Hm, engkaulah Panangkar gadungan!" sahut Empu
Panangkar yang berasal dari penyalinan rupa anak ayam.
"Hayo, tidak mudah mengaku sebagai Empu Panangkar,
setan" desah Empu Panangkar yang berasal dari penyalinan
bentuk semut hitam "Panangkar seorang empu yang sakti.
Engkau harus mengunjukkan kesaktian yang memadai
kesaktian empu Panangkar baru engkau berhak mengaku
dirimu sebagai Panangkar."
"Engkau mengajak adu kesaktian?" sahut Empu Panangkar
yang kedua. "Hanya dengan jalan itu."
"Baik, apa gendingmu, Panangkar sanggup melayani,"
sahut kakek tua itu. "Jangan menyebut dirimu sebagai Panangkar dulu sebelum
engkau dapat membuktikan dirimu benar2 sesakti Empu
Panangkar." "Lekas katakan bagaimana kehendakmu!"
"Kita adu kesaktian," kata Empu Panangkar yang berasal
dari penyalinan rupa semut hitam tadi "tetapi bukan dengan
cara bertempur ataupun cara bersalin rupa seperti tadi."
"Lain?" "Ada dua cara untuk menguji kesaktian. Dan dengan kedua
cara itu, siapa yang lulus dialah yang benar2 Empu Panangkar


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aseli," kata kakek yang pertama-tama menjelma menjadi
Empu Panangkar. Dipandangnya Empu Panangkar yang lain
dengan pandang menantang "Setuju ?"
"Sudah kukatakan, apapun kehendakmu, akan kulayani.
Cepat sebutkan cara yang engkau inginkan itu."
Sejenak Empu Panangkar yang pertama muncul itu,
termenung. Sesaat wajahnya menampil keraguan, sesaat
bersinar cerah dan sesaat pula mengerut tegang. Rupanya ia
sedang mempertimbangkan sesuatu yang amat berat
"Sesungguhnya hal itu melanggar pantangan empu tetapi apa
boleh buat " akan kugunakan demi melaksanakan
perintahnya"," gumamnya seorang diri dengan lirih.
"Apa yang engkau renungkan itu, hai, setan yang menyaru
peribadi Panangkar?" seru Empu Panangkar yang berasal dari
penjelmaan anak ayam "aku tak mempunyai waktu untuk
menunggu lama!" "Hm, sebenarnya aku masih memberi kesempatan beberapa
waktu kepadamu untuk bernapas," sahut Empu Panangkar
penjelmaan dari semut tetapi karena rupanya engkau ingin
lekas2 ke akhirat, baiklah. Begini, untuk menguji kesaktian diri
seseorang, tiada lain senjata yang lebih ampuh daripada
senjata Gada Intan "
"Gada Intan?" Empu Panangkar yang kedua mengulang
kaget. "Ya! " "Pusaka apakah itu?"
"Ho, engkau berani menyebut diri sebagai Empu Panangkar
tetapi pusaka Gada Intan saja, engkau tak tahu," ejek Empu
Panangkar yang pertama "dengarkanlah! Gada Intan itu
adalah senjata pusaka milik Empu Barada, tahu?"
Sesungganya Empu Panangkar yang kedua, hendak
mendamprat kepada Empu Panangkar yang kesatu itu. Bahwa
yang tahu akan pusaka Gada Intan dari Empu Barada itu jelas
bangsa setan. Empu Panangkar yang aseli, tentu tak dapat
mengetahui hal itu. Namun ia batalkan maksudnya. Ia ingin
mendengar lebih lanjut tentang gada pusaka itu.
"Hm, dimanakah gada itu" " tanyanya.
"Ini kembali mengunjukkan betapa jelas kepalsuanmu
sebagai Empu Panangkar," ejek Empu Panangkar yang kesatu
itu pula, "dengarkan lagi. Engkau tahu siapa yang dikubur
dalam makam ini?" "Hm, tidak," Empu Panangkar yang kedua tetap menahan
kesabarannya. "Dengarkan lagi, hai Panangkar palsu," seru Empu
Panangkar yang kesatu "makam ini sebenarnya tak terisi
jenazah siapapun, melainkan terisi pusaka Gada Intan milik
Empu Barada?"" Empu Panangkar yang kedua mengeriput alis. Pertanda dari
kegoncangan hatinya yang ditekan. Bukan karena hal itu
makin mengunjuk jelas tentang kepalsuan diri Empu
Panangkar yang kesatu itu. Melainkan karena adanya
keterangan tentang makam yang berisi senjata gada itu.
Benar2 baru pertama kali itu ia mendengar. Pada waktu prabu
Kertanagara menitahkan ia menjaga kuburan Wurare disitu,
baginda, tak menerangkan tentang makam itu. Dan hanya
mengatakan bahwa ditempat kuburan situlah dahulu Empu
Barada mengumpulkan tenaga-sakti untuk melaksanakan titah
prabu Airlangga membagi kerajaan Panjalu.
"Uu," desuhnya "lalu maksudmu ?" cepat ia menyusuli
pertanyaan untuk mengabut kejut hatinya.
"Dengan pusaka itu akan kita uji kesaktian kita masing2.
Siapa yang lebih sakti."
"Caranya?" "Akan kuhantam engkau tiga kali dengan gada pusaka itu.
Setelah itu barulah giliranmu menghantam aku sampai tiga
kali juga. Engkau berani?"
Empu Panangkar yang kedua, merenung diam. Ia belum
tahu bagaimana bentuk Gada Intan itu. Namun karena pusaka
itu milik Empu Barada, tentulah ampuh. Diam2 ia menggali
ilmu yang dimilikinya. Untuk menghancurkan lawan, ia
memiliki aji Kumbalageni. Pukulan yang dilambari dengan aji
Kumbalageni itu dapat memancarkan hawa panas. Dengan
pukulan aji Kumbalageni itulah tadi ia dapat mengalahkan
Buto Locaya setan penunggu bumi Daha dan Kala Johar
baureksa bumi Singosari. Untuk penjagaan diri, iapun memiliki
aji Palambaran yang membuat dirinya kebal akan pukulan dan
senjata tajam. "Bagaimana, takutkah engkau, hai Panangkar palsu?" tiba2
Empu Panangkar yang kesatu, berseru menegas.
"Tidak sama sekali," sahut Empu Panangkar yang tengah
merenung itu "hayo, kita mulai. Tetapi siapakah yang lebih
dulu menghantam dan dihantam?"
"Sudah tentu akulah yang pertama mendapat giliran
menghantammu tiga kali."
"Mengapa?" Empu Panangkar yang kedua kerutkan dahi.
"Karena akulah yang tahu akan gada pusaka itu dan yang
dapat mengambilnya dari dalam makam. Ho, rupanya engkau
takut, bukan?" "Tidak" sahut Empu Panangkar yang kedua. Secara tak
disadari ia telah terperangkap dalam siasat lawan yang selalu
memancing hati panas. "Baik, segera kuambil gada itu," kata Empu Panangkar
pertama seraya hendak pergi.
"Tunggu dulu," tiba2 Empu Panangkar yang kedua berseru
mencegah, "Auh" Mengapa" "
"Engkau belum mengatakan cara kedua yang engkau
kehendaki. Katakan dulu hal itu!"
Empu Panangkar yang pertama hentikan langkah lalu
berpaling menghadap lawan, "Ya, benar. Cara yang kedua itu
yalah suatu cara yang aneh tetapi mengunjukkan suatu
kesaktian yang ampuh. A kan kuambil kendi pusaka milik Empu
Barada yang diletakkan di desa Palungan itu ke mari. Aku dan
engkau akan membuktikan kesaktian masing2, memasuki
kendi pusaka itu. Bararg siapa yang tak dapat masuk, dia
kalah dan jelas bukan Empu Panangkar."
Empu Panangkar yang kedua merenung pula. Ia memiliki
ilmu yang disebut Meraga sukma. Dapat bersalin rupa dalam
bentuk apapun juga. Misalnya dengan bersalin rupa dalam
bentuk seekor lalat. Bukankah dengan mudahnya ia pasti
dapat memasuki kendi itu" "Ah, setan tolol," diam2 ia
mengumpat lawan. "Baik, lekas ambillah kedua benda itu," sahutnya.
Tetapi di luar dugaan, Empu Panangkar pertama yang
semula sudah hendak pergi mengambil gada, saat itu tak mau
bergerak dari tempatnya. "Tidak! Aku hampir melupakan suatu
hal yang penting." "Apa" " Empu Panangkar yang kedua heran.
"Dalam adu kesaktian ini, apabila hanya berlangsung antara
kita berdua, mungkin akan terjadi sesuatu yang tak jujur."
"Tak jujur ?" "Ya, misalnya engkau kalah tetapi bisa saja engkau
mengingkari perjanjian dan tetap ngotot menyerang aku.
Demikian sebaliknya aku juga begitu."
"Lain maksudmu?"
"Harus ada orang ketiga yang menyaksikan adu kesaktian
ini. Selain menjadi saksi, diapun akan memberi keputusan
siapa yang kalah dan menang. Karena kita yang
menghendakinya, maka segala keputusannya itu berlaku dan
kita harus tunduk." "Hm, beralasan juga," kata Empu Panangkar yang kedua,
"tetapi siapakah yang dapat kita undang menjadi saksi itu ?"
"Mudah saja," sahut Panangkar yang pertama, "kembalikan
roh anak itu ke dalam raganya. Dia seorang anak jujur tentu
adil juga dalam memberi keputusan."
Saat itu teringatlah Empu Panangkar yang kedua akan diri
Dipa yang raganya ia pinjam tadi. Kini karena ia kembali pada
sifat peribadinya maka raga anak itu masih terhampar di
tanah. Benar, raga Dipa tak boleh lama2 ditinggalkan rohnya.
"Baik" sahutnya, "karena engkau mengaku sebagai Empu
Panangkar aseli, silahkan engkau yang mengembalikan roh
anak itu ke dalam raganya."
Empu Panangkar yang pertama, tampak terkesiap. Tak
pernah disangkanya bahwa tindakannya untuk mengundang
anak itu sebagai saksi, ternyata merupakan senjata bagi lawan
untuk mempersulit dirinya. Namun cepat2 dapat menemukan
pemecahannya. Tertawalah ia menggerenyah. "Soal siapakah
Empu Panangkar yang aseli, saat ini belum dapat ditentukan.
Simpan saja kata katamu itu dahulu. Walaupun kita menjadi
lawan, tetapi harus berpijak pada keadilan... "
"Hm, masih dapatkah engkau menyebut-nyebut tentang
Keadilan ?" Empu Panangkar yang kedua kini balas mengejek.
"Puaskanlah ejckanmu selagi engkau masih dapat
mengejek," seru Empu Panangkar yang pertama "tetapi aku
hendak bicara menurut Keadilan. Oleh karena aku sudah
menjalankan dua macam tugas, mengambil Gada Intan dan
kendi pusaka maka secara adil, kita harus membagi tugas.
Engkaulah yang mengembalikan roh anak itu ke dalam
raganyanya." "Hm, licik benar engkau, setan," gumam Empu Panangkar
kedua, "agar adu kesaktian ini cepat berlangsung dan engkau
cepat hancur, baiklah. Aku yang akan mengembalikan roh
anak itu krpada raganya. Sekarang lekas engkau pergi
mengambil kedua benda itu."
Tanpa bicara pula, Empu Panangkar yang pertama itu
segera melenyapkan diri. Empu Panangkar kedua pun segera
bersemedhi. Beberapa kejab kemudian, tepat dikala
Panangkar kedua, berhasil mengembalikan roh Dipa ke dalam
raganya, Empu Panangkar yang pertama tadi, pun sudah
muncul dengan membawa dua buah benda.
Empu Panangkar kedua, lekatkan pandang matanya ke arah
kedua benda itu. Yang sebuah, cepat ia dapat mengetahui
sebagai sebuah kendi. Tentulah kendi pusaka Empu Barada.
Tetapi yang sebuah lagi, hanya tampak ujungnya yang putih.
"Kendi ini engkau tentu mengetahui dan dapat menduga
tepat. Ya, benar memang kendi pusaka dari Empu Barada
yang digunakan untuk membagi kerajaan Panjalu dahulu,"
kata Empu Panangkar pertama.
"Hm " desus Empu Panangkar yang kedua.
"Tetapi gada pusaka yang kugenggam dalam tanganku ini
engkau pasti belum pernah melihatnya," kata Empu Panangkar
pertama. "Ya, karena Empu Panangkar ini seorang manusia biasa
....." "Engkau ingin melihat ?"
"Meminjam kata katamu tadi, secara Keadilan engkau harus
memperlihatkan gada itu kepadaku karena aku yang akan
menerima hantaman pusaka itu lebih dulu. Dan juga setelah
itu, aku akan mendapat giliran untuk menghantammu dengan
gada itu. Apakah engkau tak ingin memperlihatkan benda itu
?" "Mengapa tidak?" balas Empu Panangkar pertama "memang
sudah adil dan layak apabila engkau mengetahui senjata yang
akan mengantarmu pulang ke tempat asalmu yang langgeng.
Lihatlah pusaka ini .... !"
Empu Panangkar yang kedua terkesiap memandang sebuah
benda berkilau-kilauan di tangan lawan. Matanya silau.
Disebut gada, memang bentuknya menyerupai. Tetapi
panjangnya hanya sejengkal jari tangan sehingga kalau
digenggam hanya ujungnya saja yang kelihatan.
"Hm, itukah yang disebut Gada Intan ?" serunya menegas.
"Benar, inilah pusaka Gada Intan milik Empu Barada."
"Mengapa berada dalam kuburan ini ?" tanya Empu
Panangkar yang kedua pula.
Dengan nada penuh kebanggaan, berkatalah Empu
Panangkar yang pertama itu, "Gada Intan adalah sebuah
pusaka yang amat ampuh. Gada ini telah diberi tuah oleh
Empu Barada sehingga mempunyai daya kesaktian dapat
menindas bangsa setan iblis jejadian. Barang siapa memiliki
gada ini dia dapat menguasi para jin setan. Walaupun
bentuknya pandak tetapi kedahsyatannya jauh melebihi gada
biasa. Sudah jelaskah ?"
"Engkau belum memberi keterangan pada pertanyaanku
tadi. Mengapa pusaka ini ditanam dalam makam ini ?" seru
Empu Panangkar yang kedua.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa Gada Intan ini dapat
menguasai para jin setan " Dengan ditanam dalam makam ini
dan dilambari dengan mantra bertuah dari Empu Barada maka
dapatlah Empu Barada menguasai setan, jin dan roh alus
penunggu bumi berbagai telatah. Jelas?"
Empu Panangkar yang kedua hanya mendesuh.
"Ha, bocah itu sudah memiliki rohnya lagi," tiba2 Empu
Panangkar yang membawa Gada Intan berkata seraya
memandang Dipa yang berdiri beberapa langkah dari
tempatnya "Hai, anak laki2, engkau akan kami jadikan saksi
dan memberi keputusan siapa di antara kami berdua ini yang
lebih Sakti." "Apakah eyang akan bertanding adu kesaktian dengan
orang" " tanya Dipa.
"Benar, lihatlah wujut kakek tua itu. Bukankah dia juga
menyerupai diriku Empu Panangkar ini ?" kata Empu
Panangkar yang membawa gada.
Dipa berpaling kepada Empu Panangkar yang seorang. Ia
terbelalak seketika. Memang benar. Kedua orang itu Empu
Panangkar semua. Seperti pinang dibelah dua, mirip keduanya
itu. Dipa terlongong longong. Tak tahu siapakah di antara
kedua orang itu yang Empu Panangkar sesungguhnya.
"Nak, jangan bimbang. Akulah Empu Panangkar yang aseli,"
kata Empu Panangkar yang seorang itu "Empu Panangkar
yang membawa gada itu adalah palsu. Dia adalah bangsa
setan lelembut yang bersalin rupa sebagai Empu Panangkar
....." "Jangan percaya omongannya, anak laki2," seru Empu
Panangkar yang membawa gada "tak perlu engkau ragu dan
bimbang hatimu. Kita hendak adu kesaktian untuk
menentukan siapakah Empu Panangkar yang sebenarnya ....."
"0 " desuh Dipa.
"Adu kesaktian itu akan berlangsung dalam dua cara.
Pertama, masing2 secara bergilir harus menerima tiga buah
pukulan dengan gada ini. Kedua, harus dapat masuk ke dalam


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kendi ini. Lihat saja siapa yang lebih unggul, janganlah engkau
ragu untuk mengatakan siapa yang menang nanti. Mengerti?"
Dipa mengangguk. Pikirannya yang cerdas seketika dapat
merasakan suatu perbedaan di antara kedua Empu Panangkar
itu. Empu Panangkar yang membawa gada, menyebutnya
dengan kata 'anak" Sedang Empu Panangkar yang seorang itu,
memanggilnya seperti biasa yalah 'nak atau angger'. Dari
panggilan itu ia segera mendapat kesan bahwa Empu
Panangkar yang menggunakan sebutan 'nak dan angger' itulah
yang aseli. Karena sejak bertemu dengan dia, Empu itu selalu
menyebut begitu. Namun Dipa belum berani menyimpul keputusan. Ia hendak
menantikan bagaimana perkembangannya nanti. Tetapi satu
hal sudah pasti baginya yalah bahwasanya di antara kedua
Empu Panangkar kembar, yang satu tentulah Empu Panangkar
aseli dan yang lain tentulah palsu. Empu Panangkar palsu itu
tentu jejadian dari bangsa setan yang menyaru sebagai empu
itu. "Karena segala persiapan sudah selesai, kita segera mulai
saja," kata Empu Panangkar yang membawa gada pusaka
"hayo, lekaslah engkau bersiap untuk menerima tiga kali
hantaman gada ini." "Baik, aku sudah siap " sahut Empu Panangkar yang
seorang seraya bersiap-siap.
Empu Panangkar yang membawa gada tertawa meloroh.
Nadanya penuh keseraman "Gada Intan adalah pusaka Empu
Barada. Jangankan badan manusia, batu karang bahkan
gunung pun akan hancur-lebur terhantam pusaka ini... ."
"Jangan banyak tingkah, lekas engkau jatuhkan gada itu ke
tubuhku" seru Empu Panangkar yang hendak dipukul itu.
Diam2 ia kerahkan aji Pelambaran untuk membajakan kulit
tubuhnya. "Satu .... ! " teriak Empu Panangkar sembari ayunkan Gada
Intan, ke dada orang, duk .....
"Huh .. .. Empu Panangkar yang manerima hantaman gada
itu mendesus tertahan. Hampir saja ia muntah darah.
Untunglah ia cepat2 dapat menahan diri dengan mengerahkan
tenaga-inti. Berpuluh tahun lamanya, ia pernah menempuh
pengalaman bertempur dengan lawan. Baik yang lebih sakti,
kalah sakti dan berimbang kekuatannya dengan dia. Pernah
juga ia menerima pukulan bindi, gada dan lain2 senjata berat.
Tetapi pukulan yang dapat menghamburkan darahnya
sehingga memancar deras bagai air bah yang tak terkendali
lagi, barulah pertama kali itu. Hampir saja darah itu akan
meluap dan menyembur ke luar dari mulutnya apabila ia tak
cepat2 menahan. Diam2 ia terkejut dan amat mengagumi
keampuhan pusaka Gada Intan itu. Dalam pada itu, diam2
iapun agak menyesal mengapa dengan mudah sampai
terkecoh dalam tipu muslihat lawan yang licik. Namun nasipun
sudah menjadi bubur. Ia harus berusaha menghadapinya
dengan ketahanan yang tangguh.
"Dua ...." kembali Empu Panangkar ayunkan gada pusaka.
Kali ini mengarah ke pusar lawan. Pada saat mendengar bunyi
menyerupai buah kelapa jatuh ke tanah terdengarlah suara
aum tertahan dari Empu Panangkar yang menerima hantaman
gada. Empu Panangkar yang menerima serangan atau Empu
Panangkar kedua, merasa pandang matanya berbinar-binar,
benda2 di empat penjuru serasa berputar-putar. Tubuhnya
pun berguncang-guncang dan jatuhlah ia terduduk di tanah.
Hantaman Gada Intan yang kesatu yang diarahkan ke dada,
membuat orangtua itu kehilangan daya kekebalannya. Aji
Palambaran yang dimilikinya, hancur berantakan. Pukulan
kedua yang ditujukan pada perutnya pun membawa akibat
yang mengerikan. Pusar perut atau Cakram Manipura
merupakan pusat pengumpulan tenaga inti. Pusatnya
tergempur, tenaga-inti pun berantakan. Empu Panangkar yang
kedua itu, telah kehilangan dua buah milik yang paling
berharga. Aji Palambaran dan kemampuan mengumpulkan
tenaga-inti. Aji Palambaran berarti daya kekebalan. Dan
hilangnya kemampuan untuk mengumpulkan tenaga-inti
berarti dia akan menyerupai orang biasa, orang yang memiliki
ilmu kedigdayaan. Namun Empu Panangkar yang kedua itu rupanya pantang
menyerah. Ia bersedia menerima tiga pukulan dan la tetap
akan menerimanya sampai selesai.
Di fihak Empu Panangkar yang mencekal Gada Intan pun
tak kurang kejutnya. Diam2 menggigillah hatinya melihat
kesaktian lawan. Ia tak tahu bahwa sebenarnya saat itu lawan
sudah kosong. Ia melihat lawan tak rubuh dan hanya jatuh
terduduk lalu berbangkit lagi. Pada hal Gada Intan itu senjata
pusaka yang ampuh sekali. Jangankan manusia, batu karang
dan gunung pun akan hancur apabila dihantam dengan gada
pusaka itu. Namun ia masih mempunyai kesempatan satu kali
lagi. Dan kesempatan yang terakhir itu harus ia gunakan
sebaik-baiknya. Musuh harus hancur atau ia yang kalah.
Setelah mengerahkan seluruh perhatian dan tenaga, Empu
Neraka Hitam 1 Bayangan Darah Karya Pho Interview With Nyamuk 3
^