Pencarian

Gajah Kencana 2

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 2


untuk beranjak kemuka. Crek....serempak dengan sakit akibat sekelumit daging
pahanya terkupas, terdengarlah kudanya meringkik keras dan
roboh. Kuda itu mati tertikam Ranggu Lawe. Untunglah luka di
paha Kebo Anabrang itu hanya kecil. Secepat terlempar
ketanah, iapun segera melonjak bangun lalu loncatkan
kudanya kemuka sehingga bebas dari tikaman lawan.
Kemudian ia memut ar kuda Nila Ambara kearah Kebo
Anabrang lalu menerjang. Anak prajurit dari pasukan Kebo Anabrang terkejut sekali
ketika melihat senopatinya terjungkal dari kudanya yang
tertikam mati oleh lawan. Dan lebih kaget pula tatkala melihat
Rangga Lawe hendak menyerang lagi. Karena jaraknya jauh,
mereka tak sempat lagi untuk menyelamatkan senopatinya.
Satu-satunya jalan yang dapat menolong Kebo Anabrang,
hanyalah menghujani anakpanah pada Adipati Tuban.
"Pengecut kamu Kebo Anabrang! Keparat kamu, hai orang
Majapah it!" Rangga Lawe mendamprat seraya putar pedang
untuk menghalau anakpanah yang berhamburan sederas
hujan mencurah. Perut Nila Ambar dicepit kencang2. Kuda itu
beranjak ke atas lalu loncat membawa tuannya kabur. Rangga
Lawe menyadari bahwa jika t ak lekas melo loskan diri, ia t entu
akan rubuh berhias panah seribu.
Bila Rangga Lawe kembali ke dalam pasukannya dengan
disambut gembira dan dielu-elu oleh anakbuah pasukan
Tuban. Adalah Kebo Anabrang yang termenung masygul
dalam pesanggrahan pasukan Majapahit. Senopati Pamalayu
itu kecewa, malu, geram dan marah atas kekalahan yang
dideritanya hari itu. Ia malu menghadap raja Kertarajasa.
Tekadnya, sebelum membawa batang kepala Adipati Lawe, ia
tak mau menghadap baginda. Dan apabila gagal mengalahkan
Lawe, lebih baik ia bunuh diri.
Malam itu ia tak dapat tidur. Dan keluarlah ia dari
pesanggrahan, berjalan-jalan di sepanjang t epi sungai T ambak
Beras. T iba2 ia teringat akan pesan mendiang gurunya. Bahwa
apabila menghadapi persoalan yang sulit, supaya ber-sidhikara
atau bersemedhi memohon berkah kepada Dewata. Serentak
timbullah hasratnya untuk melaksanakan pesan gurunya itu. Ia
mencari sebuah tempat, di bawah sebuah batu besar yang
terletak di tepi sungai. Mulailah ia bersemedhi. Mengheningkan cipt a, menghampakan pikiran, menunggalkan
jiwa dan keAku-an, mengembara ke alam sonya runyi, laksana
musafir mencari air dingin.
Entah berapa lama ia terbenam dalam alam kehampaan
yang luas bebas tiada ujung pangkal itu, tiba2 ia terkejut
melihat secercah benda putih yang bersinar dan bergerak
menghampiri. Makin dekat, benda bersinar itu makin besar
dan akhirnya pecah berhamburan berobah menjadi sesosok
tubuh seorang kakek tua yang rambut, janggut, alis dan
pakaiannya serba putih semua.
"Siapa engkau, eyang . . . !" teriak Kebo Anabrang dalam
nada suara dari alam bawah sadar.
Kakek berpakaian putih itu menatapnya "Aku adalah AKU
dalam ciptamu. Namaku pun dalam alam ciptaanmu.
Sudahlah, apa yang engkau kehendaki?"
Dalam keadaan sadar-tak-sadar d icengkam alam bawah
sadarnya, Kebo Anabrang tak dapat meraih makna ucapan
orangtua aneh itu. Kecuali pertanyaannya. Maka menjawablah
ia "Eyang, hamba mohon petunjuk dalam peperangan ini"
"Maksudmu untuk mengalahkan Rangga Lawe?"
Kebo Anabrang rnengiakan.
"Ah, permohonanmu terlampau jauh jangkauannya. Itu
melanggar garis pant angan Hyang Widdhi bila engkau
memaksa ingin mengetahui tabir rahasia Kodrat alam. Engkau
mendahului kehendak Yang Menciptakan Jagad!"
"Tetapi eyang, memang demikianlah suratan hidup hamba.
Sebagai senopati perang, hamba harus dapat mengalahkan
musuh. Hamba tak sampai hati melihat darah ribuan prajurit
Majapah it mengalir ke sungai T ambak Beras ini"
"Usahakan segenap kekuatan dan kesaktianmu sebagai
seorang senopati" "Tetapi eyang, musuh terlampau kuat. Maka hamba
terpaksa mohon petunjuk eyang ..."
"Engkau tetap berkeras hendak melanggar pantangan
Kodrat" Ada siku dendanya, angger"
"W alaupun hancur binasa, hamba tetap rela. Asal Rangga
Lawe lenyap dari bumi!"
Terdengar suara helaan napas halus "Baiklah, insan
mayapada diberi kebebasan berbuat menurut sekehendak
hatinya karena set iap gerak perbuatan itu sudah mengandung
Karma. Eyang akan memberi petunjuk kepadamu. Lihatlah
kuku ibu jarimu. Engkau tentu melihat jelas apa yang harus
engkau lakukan!" Tergopoh Kebo Anabrang melakukan perint ah.
"Bagaimana, sudah jelas ?"
"Y a, eyang ...."
"Tetapi ingatlah Kebo Anabrang! Barang siapa berhut ang,
harus membayar!" "Hamba rela menebus dengan jiwa. Terima kasih, eyang ....
hai!" tiba2 Kebo Anabrang tersentak bangun dari
persemedhiannya. Orangtua serba putih itu sudah lenyap. Dan
serempak itu terdengarlah ayam hut an berkokok dari hut an ke
jauhan. Cuacapun tampak memburat merah. Kebo Anabrang
segera kembali ke pasanggrahan pasukannya. Hanya
beberapa waktu ia beristirahat, fajarpun sudah tiba. Ia
menyuruh seorang prajurit untuk menyampaikan surat kepada
Lembu Sora, Kemudian ia lolos dari pasanggrahan menuju ke
tepi sungai T ambak Beras.
Kebo Anabrang dengan kudanya melint asi sungai Tambak
Beras lalu membenam diri dalam air untuk menyegarkan
badannya yang lesu. Ia mempersiapkan diri untuk mencegat
Rangga Lawe. Ia hendak membalas kekalahan yang diderita
kemarin. Rupanya gerak gerik Kebo Anabrang itu dapat diketahui
oleh mata2 Tuban yang bertugas di penyeberangan sungai.
Cepat ia melapor pada Adipati Tuban. Seketika loncatlah
Rangga Lawe kepunggung kuda dan mencongklang ke sungai
Tambak Beras. Demi melihat Kebo Anabrang sedang
membenam diri dalam air bersama kudanya, Rangga Lawe
serentak lompatkan kudanya menerjang.
Pertarungan sengit antara kedua seteru itu berlangsung
amat dahsyat sekali. Akhirnya Rangga Lawe mati lemas karena
tak tahan dipiting dan dibenamkan dalam air sampai sek ian
lama . . . . ! Kedatangan Lembu Sora menyusul ke sungai Tambak Beras itu karena kuatir Kebo Anabrang kalah. Dan ketika Kebo Anabrang serta Rangga Lawe t enggelam ke dalam sungai sampai beberapa lama tak muncul, Lembu Sbrapun bergegas menghampiri ke tepi sungai. Ia hendak memberi pertolongan apabila Kebo Anabrang sampai celaka. Tetapi demi melihat Rangga Lawe kalah dan binasa secara begitu mengerikan sekali,
bergolaklah darah Lembu Sora seketika. Ia anggap Kebo
Anabrang keliwat ganas menganiaya Rangga Lawe.
Seperti pudar alam kesadaran p ikiran dan pertimbangannya
bahw a Kebo Anabrang itu adalah kawan yang sama2
mengemban tugas dari raja untuk menumpas Rangga Lawe,
Lembu Sora serasa terbakar hangus oleh api kemarahan.
Rangga Lawe itu adalah anak kemanakannya. Ia tak
merelakan kemanakannya disiksa begitu kejam oleh Kebo
Anabrang. Dan seperti didorong oleh sesuatu kekuatan ajaib, Lembu
Sora serentak loncat ke dalam sungai tempat kedua orang itu
bertempur seraya mencabut pedang.
Kebo Anabrang tak tahu bahwa Lembu Sora telah datang ke
sungai menyusulnya. Dan secara kebetulan pula, ketika
menyembul kepermukaan air itu, ia menghadap ke arah
membelakangi t empat Lembu Sora. Pula karena habis bergulat
mati-matian dengan Rangga Lawe sampai sekian lama. dalam
air, napasnyapun ter-engah2. Pandang matanyapun masih
kabur nanar. Cret. .. Ia rasakan punggungnya tertusuk senjata tajam.
Karena sakit sekali, ia hendak menjerit. Tetapi ternyata tak
sempat lagi. Sebelum membuka mulut, ujung senjata itu telah
menembus keluar dari dadanya dan rubuhlah ia bersama
Rangga Lawe ke dalam air lagi.
Seluruh permukaan sungai Tambak Beras berwarna merah
karena darah kedua senopati yang mati sampyuh. Kebo
Anabrang mati karena terkena sumpah yang telah
diperingatkan oleh Atma gaib yang dalam cipta,
persemedhiannya berupa seorang kakek tua berambut dan
berpakaian serba putih. Setiap hutang harus dibayar. Hutang
jiwa, bayar jiwa. Rangga Lawe mati karena membela suatu pendirian yang
dianggapnya benar. Demi pengabdiannya kepada raja. Dan
sungai Tambak Beraslah yang mendapat kehormatan
menampung jenazah kedua putera terbaik dari Majapahit itu
... . Jenazah Rangga Lawe diangkut ke pura Majapahit, Adipati
Wiraraja yang diberitahukan, lalu bersama Kiageng
Palandongan, kedua isteri Rangga Lawe serta puteranya Kuda
Anjampiani, segera bergegas menuju ke Majapahit. Setelah
Mertaraga dan Tirtawati melakukan upacara belapati terjun
dalam kancah api atau mati obong, maka Wiraraja dan
Kiageng Palandonganpun kembali lagi ke Tuban. Sesuai
dengan pesan Rangga Lawe maka Kuda Anjampiani
diserahkan kepada eyangnya, Kiageng Palandongan.
"Ah, demikianlah akhir h idup seorang senopati yang mati
karena berkeras untuk membela pendirian. Dan selesailah
sudah ceritaku ini, nak" terdengar suara orang menghela
napas panjang dari dalam sebuah hutan yang terletak di
daerah lembah bengawan Brantas.
Di bawah sebuah pohon majakeling yang besar dalam
hutan perawan yang belum pernah diinjak kaki manusia itu,
duduklah seorang brahmana muda di atas salah satu akar
besar dari pohon itu. Di hadapannya duduk pula seorang anak
lelaki kecil. Rupanya beberapa waktu tadi, hutan sedang bermandi air
hujan yang mencurah deras dari langit. Pohon2 tampak segar,
daun-daunnya masih menampung butir2 air. Suasana terasa
cerah riang, sejuk menyegarkan.
Rupanya sambil meneduh, brahmana muda itu menceritakan tentang kissah Rangga Lawe, Adipati Tuban
yang memberontak kepada Majapahit.
"Hujan sudah reda" kata brahmana muda itu "baiklah
engkau segera membawa kambingmu pulang. Agar jangan
kemalaman di tengah jalan, Dipa. Eh...benarkah namamu tadi
Dipa?" "Benar tuan ..." sahut anak penggembala itu.
"Ah, tak usah engkau berbahasa tuan kepadaku! Cukup
sebut paman saja atau paman brahmana!"
Anak itu terlongong. Tubuhnya agak gemetar. Karena
dingin, pun karena tergetar hatinya mendengar ucapan
brahmana muda itu "Ah, t uan, jangan berolok-olok. Masakan
aku berani berlaku sekurang adat begitu" Bendaraku yakni
buyut desa yang memelihara diriku, pernah mengatakan
kepadaku. Bahwa aku ini anak orang Sudra, harus tahu diri.
Tak boleh kurang tata kepada bendaraku itu yang katanya
termasuk orang Waisya. Orang Sudra yang kurang ajar kepada
orang Waisya, bisa dihukum rangket. Tuan tentu seorang
Waisya, bukan?" Brahmana muda itu terkesiap. Dipandangnya wajah anak
penggembala itu lekat2. Seorang anak laki2 berumur sekitar
tujuh tahun. Dahinya lapang, mata bundar, hidung besar,
mulut lebar dan bibir tebal. Tubuhnya yang agak pendek itu
walaupun kurus tetapi kokoh sehat. Brahmana muda itu agak
terpukau melihat raut wajah anak penggembala yang duduk di
hadapannya. Agak luar biasa, pikirnya. Ia tertarik atas katakata anak itu tadi. Bahwa anak sekecil itu sudah ditekan
batinnya oleh buyut desa yang empunya ternak. Jiwanya
sudah dibayang-bayangi rasa rendah diri. Semangatnyapun
dipatahkan belenggu ikatan kasta.
Brahmana muda itu menghela napas iba "Ah, aku bukan
kaum Waisya tetapi seorang brahmana. Memang benar,
menurut ajaran agama Syiwa, kita manusia dalam masyarakat
negara ini, dibagi menjadi empat golongan kasta. Yakni,
Brahmana, ksatrya, waisyia dan Sudra. Aku termasuk kasta
Brahmana " Anak itu makin menggigil ketakutan. Serentak ia meluncur
dari akar pohon yang didudukinya lalu duduk di tanah "Ah,
maafkan hamba, tuan brahmana . ." ia menyembah dengan
hormat. Brahmana muda itu geleng2 kepala "Benar2 kasihan sekali
anak ini. Jiwa dan semangatnya sudah dimatikan oleh buyut
itu" diam2 ia berkata dalam hati. Kemudian cepat ia meraih
tangan anak itu lalu diangkat supaya duduk diakar pohon lagi
"Dipa, memang kaum brahmana itu merupakan kasta yang
tertinggi. Tetapi aku peribadi, t ak suka engkau berlaku begitu


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghormat kepadaku. Karena aku sudah berhutang jiwa
kepadamu. Jika tiada anak kambingmu yang mengembik lari
masuk kehutan ini, aku t entu sudah disambar ular besar itu ...
." Brahmana muda itu berpaling kearah kiri. Pada jarak
beberapa tombak dari tempatnya, tampak seekor ular besar
yang melingkar mati. Kepalanya pecah berhamburan.
"Sesungguhnya membunuh itu, sekalipun membunuh
bangsa khewan, merupakan pantangan bagi kaum brahmana.
Tetapi tadi aku terpaksa melakukan pembunuhan kepada ular
yang telah memakan kambingmu" kata brahmana muda
dengan nada rawan2 sesal. Kemudian ia menghadap kepada
anak itu lagi "Dipa, adalah karena tadi engkau berteriak
memperingatkan aku, maka aku sempat loncat menghindar
dari sambaran ular besar itu. Tetapi kasihan, kambingmu yang
dijadikan pengganti sasaran u lar itu. Sebagai seorang
brahmana, aku wajib menjunjung budi. Jiwaku engkau yang
menolong maka tiada lagi batas kasta diant ara kita berdua.
Kumint a engkau menggunakan sebutan 'paman brahmana'
kepadaku. Dan untuk kambingmu yang mati itu, akan kuganti
harganya" Brahmana muda itu mengambil sekeping emas, diberikan
kepada Dipa. Anak itu gemetar dan pucat.
"Terimalah, Dipa, agar engkau jangan menderita
kemarahan buyut desa itu" kata brahmana muda seraya
susupkan keping emas itu ketangan Dipa.
Peringatan brahmana muda itu, cepat mengesan dalam
benak Dipa. Ia membayangkan perlakuan buyut itu
kepadanya. Setiap pagi, ia harus mencari air ke pancuran,
mencuci piring mangkuk, menyapu pekarangan rumah lalu
pergi menggembalakan kambing. Apabila jambangan mandi,
gentong dan kendi untuk minum tak penuh terisi air. Apabila
mangkuk piring kurang bersih cucinya atau pekarangan masih
terdapat tebaran daun kering, ia tentu menerima dampratan
keras dari bendaranya. Bahkan pernah sekali karena tak
sengaja, ia telah memecahkan sebuah mangkuk, nyi Buyut
marah2 dan menghajarnya dengan batang sapu.
Anak itu menyadari bahw a bilamana ia pulang dengan
kehilangan seekor kambing, ia pasti akan menerima hukuman
keras dari buyut t uannya. Membayangkan hal itu, t erpaksa ia
menerima pemberian brahmana muda "Terima kasih, pa . .
man brahmana. Emas ini tentu akan kuserahkan kepada
bendaraku ..." Brahmana muda itu tersenyum puas. Walaupun nilai keping
emas itu jauh lebih tinggi dari harga seekor kambing, namun
ia rela memberikan agar anak itu jangan sampai menderita
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
siksaan dari tuannya. T iba2 mata brahmana muda itu berkilat
tajam. Ditatapnya anak itu "Dipa, mengapa engkau sekurus
itu" Apakah engkau sering sakit?"
Dipa terkejut, sahutnya gopoh "Tidak paman brahmana.
Aku tak sakit dan jarang sekali sakit!"
Brahmana muda itu mengangguk "Hm, kutahu, Dipa. Buyut
itu tentu tak memberi makan yang cukup kepadamu.
Tenagamu diperas tetapi makanmu t ak diperhatikan. Tak apa,
Dipa, jangan bersedih hati. Engkau tahu apa yang disebut
bertapa itu?" "Tak tahu" sahut Dipa.
"Orang yang bertapa itu ialah orang yang mempunyai suatu
cita2 tujuan. Agar cita2 tujuannya itu terkabul, maka ia
melakukan tapabrata dengan jalan mengurangi bahkan ada
pula yang" meniadakan makan tidur dan hanya bersemedhi
memohon restu kepada Dewata. Maka, Dipa, anggaplah
penderitaanmu kurang makan, kurang tidur selama in i,
sebagai laku tapabrata. Agar kelak segala cita2 tujuanmu
terkabul...." Tersentuh seketika hati Dipa mendengar ucapan brahmana
itu. Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, baru sekali itu ia
mendengar ucapan begitu. Bermula ia terharu mengenangkan
nasib hidupnya. Tetapi angin baru yang dihembuskan
brahmana itu, menimbulkan rasa segar dalam sanubarinya.
Semangatnyapun mengembang gairah.
"Dipa" tiba2 brahmana muda itu berseru pula "adakah
engkau sering berkelahi?"
Pertanyaan yang jauh arahnya dari pembicaraan yang
semula tadi, benar2 mengejutkan Dipa "Tidak, paman
brahmana ....." "Itu baik sekali "
"Tetapi aku sering dihina dan diejek oleh anak2 didesaku
Karena melihat daun telingaku lebar, hidung, kaki dan
tanganku serba besar, mereka memperolok diriku dengan
sebutan Gajah. Sebenarnya tak kuhiraukan ejekan mereka itu.
Tetapi suatu waktu, putera dari ndara Buyut, menyuruh aku
supaya berkelahi dengan anak2 nakal itu!"
"Engkau menang atau kalah?" tanya brahmana.
"Jika satu lawan satu, bahkan dikeroyok dua anak, aku
selalu menang. Tetapi mereka sering maju empat lima anak.
Dan kalau dikeroyok empat lima anak, aku t entu kalah!"
Brahmana itu lekatkan pandang matanya, menyelusur
seluruh indera dan sekujur tubuh anak itu. Ucapnya sesaat
kemudian "Tulang-tulangmu bagus, tubuhmu kuat dan iman
supingi-mu serba besar. Kelak engkau tentu menjadi orang
ternama" "Ah, jangan paman brahmana mengolok-olok
sedemikian" Dipa setengah meratap malu.
diriku "Tidak, Dipa. Apa yang kukatakan ini memang suatu
kenyataan yang ada pada dirimu. Sayang sekali, Dipa ..."
"Mengapa paman brahmana?"
"Saat ini aku sedang mengemban suatu tugas yang penting.
Andaikata tidak, tentu akan kuberimu pelajaran ilmu bela diri.
Ilmu itu merupakan suatu ajaran melatih gerakan t angan, kaki
dan tubuh apabila menghadapi gangguan orang. Selain untuk
bela diri, pun latihan-latihan itu akan membuat tubuh kita
sehat dan kuat!" "O, berkelahi itu ada juga ilmunya?"
"Ada" jawab brahmana muda "dengan ilmu yang disebut
tata-gerak tubuh itu, tangan kaki dan anggauta tubuh kita
teratur dalam suatu tata gerak. Misalnya, cara untuk
menangkis pukulan, menghindar tendangan, membalas
serangan. Bahkan kalau sudah mencapai latihan tataran tinggi,
gerakan tubuh kita akan menjadi amat tangkas dan gesit.
Mudah sekali unt uk mengalahkan lawan"
"Ah, apakah mampu menghadapi keroyokan?"
Brahmana itu mengangguk tertawa "Apabila sudah
mencapai t ataran t inggi, jangankan hanya dikeroyok beberapa
lawan, sekalipun dikepung oleh beberapa belas orang, tetap
akan dapat mengalahkannya. Selain ilmu tata-gerak dengan
tangan kosong, pun masih ada ilmu tata berkain senjata.
Rangga Lawe Adipati Tuban yang kuceritakan kepadamu itu,
seorang senopati yang amat digdaya dalam ilmu bermain
tombak dan pedang. Dalam medan pertempuran di mana
beribu-ribu prajurit sedang berjuang mati-matian bunuh
membunuh, Rangga Lawe dapat bergerak lint ang pukang
bebas menyerang kemana-mana ...."
"Ah, kalau aku faham ilmu tata-gerak itu, tentu apabila
berkelahi dengan anak2 nakal itu, aku tak perlu menderita
telingaku digigit sampai berdarah, baju kojak2 dan kulitku
babak belur karena dicakari dengan kuku. Jika keesokan
harinya bangun, ah, sakitnya menyeri sampai ke tulangtulang...."
Brahmana muda menghela napas kecil "Ah, jangan berkecil
hati, Dipa. Kelak apabila tugasku selesai dan datang ke daerah
ini, tentu akan kuberimu ilmu t ata-gerak itu"
"Hendah kemanakah tujuan paman brahmana?"
Brahmana itu agak tertegun. Ia t ebarkan pandang matanya
ke sekeliling penjuru. Sesaat kemudian ia berkata pelahan
"Aku hendak menuju ke pura Majapahit"
"Tempat apakah pura Majapahit itu" Jauhkah dari sini ?"
tanya Dipa. "Pura Majapahit i itu tempat baginda raja bersemayam.
Para rakryan, ment ri, demang, pembesar berpangkat tinggi,
kaum Brahmana dan Ksatrya, penuh berkumpul di pura itu.
Letaknya amat jauh dari sini. Dipa, kelak apabila engkau
sudah besar, engkau harus mengunjungi pura kerajaan itu.
Siapa t ahu, kelak derajatmu akan terangkat di sana"
"Tetapi bolehkah seorang anak Sudra seperti diriku in i
datang ke pura kerajaan itu ?"
"Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra hanya beda golongan
kastanya. Tetapi semua sama-sama kawula kerajaan. Sudah
tentu boleh saja mengunjungi pura itu" sahut brahmana muda
lalu menengadah memandang kecakrawala. Awan putih
berselaput hitam, masih berarak di langit. Kemungkinan hujan
masih ingin bercengkerama ke bumi lagi.
"Dipa, akan kuberimu ajaran ilmu bernapas. Apabila
engkau, rajin melakukan setiap malam dan pagi, semangatmu
tentu bertambah segar dan tubuhmu tentu makin sehat, jauh
dari penyakit. Ini sebagai latihan dasar memperkokoh tubuh
sebelum besok kuajarkan ilmu tata-gerak kepadamu" kata
brahmana muda. Dipa menurut. Ia segera disuruh duduk bersila "Jangan
pikirkan apa2, pandanglah ujung hidungmu dan lakukan
pernapasan. Tariklah napasmu panjang2 lalu hembuskan
pelahan-lahan. Ulangi terus sampai beberapa kali sehingga
kelak engkau dapat melakukan pernapasan itu sampai beratus
kali" Setelah melihat anak itu dapat melakukan menurut
petunjuk yang diberikan, brahmana muda itu lalu mengulang
permint aannya tadi, supaya Dipa segera pulang.
Dipa menghaturkan terima kasih kepada brahmana yang
baik budi itu "Sebelum berpisah, bolehlah aku mengetahui
nama paman brahmana, agar dapat kuingat selama-lamanya?"
Brahmana muda itu terkesiap tetapi sesaat kemudian ia
tersenyum "Akan kuuji betapa kecerdasan benakmu. Dipa,
cobalah engkau terka siapakah namaku in i?"
Dipa terbeliak. Namun mau juga ia mengasah ot ak untuk
melakukan perint ah brahmana itu. Tetapi tetap ia tak dapat
menemukan jawaban. Ia seorang anak penggembala yang
gelap keadaan dunia luar.
"Ah, aku benar2 tak tahu. paman . . . ."
Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa
menggemuruh "Ha, ha, ha . . . brahmana gila, sudah tentu
engkau dapat mengelabuhi orang anak gembala!"
BrahmanA muda terbeliak kaget. Belum sempat ia menekan
rasa kejut, sesosok tubuh melompat keluar dari sebuah
gerumbul semak dan tegaklah seorang pendeta setengah tua
di hadapannya. "Betapapun engkau hendak menyamar sebagai brahmana
dan menyelundup dalam lindungan Pamegat Ranu Kebayan,
Dang A carrya Samaranata di dalam pura kerajaan, namun tak
mungkin engkau lolos dari pengamatanku, hai putera
pemberontak Rangga Lawe!"
Seketika pucat lesi wajah brahmana muda sehingga sesaat
ia terpaku membisu "Siapa engkau hai pendeta" Mengapa
engkau menghambur fitnah semena-mena kepada diriku?"
akhirnya ia berseru setelah dapat menguasai ketenangan
hatinya. Pendeta setengah tua yang bermata dendam itu tertawa
meloroh. Nadanya geram seram.
"Sebelum kuberitahukan namaku, lebih dulu engkau harus
menjawab tiga buah pertanyaanku. Pertama, bukankah
engkau ini Kuda Anjampiani, putera Adipati Tuban yang
memberontak dahulu itu" Kedua, dimanakah gerombolan
Gajah Kencana menyembunyikan arca Aksobya candi
Kagenengan" Ketiga, siapakah pemimpin gerombolan Gajah
Kencana it u?" Mendengar itu menggigillah
Wajahnya membara merah tubuh ))O00^dw^00O(( brahmana muda. Jilid 2 BRAHMANA muda itu tertegun. Pikirannya me-lingkar2
menyusup awan kemarahan yang mengabut dalam hatinya.
Hanya beberapa saat terpckat nafsu angkara murka alam
Janaloka maka meningkatlah penyusupannya ke alam
Guruloka. Alam kesadaran dari perasaan manusia akan
kedudukan peribadinya. "Musuh tersakti dari jagat peribadimu, adalah nafsu
Amarah. Selama jagad-ragamu masih penuh diliputi nafsu itu,
tak mungkin engkau hendak mencapai alam Kesadaran yang
sempurna. Dan selama engkau masih dikuasai o leh nafsu
Amarah itu, sukar bagimu untuk menyelesaikan tugas maha
penting yang terletak di bahumu. Berat nian beban yang
engkau sanggul, namun perjuangan kita ini perjuangan luhur
untuk menyelamatkan negara ..."
Demikian terngiang dalam nurani brahmana muda itu akan
pesan yang ditanamkan oleh gurunya. Bagaikan gelombang
pasang, menyurutlah seketika amarah yang berteleran dalam
hatinya. Wajahnya pun teduh kembali ....
Ia menghambur tertawa kecil "Pendeta, tuan khilaf. Aku
brahmana Anuraga yang sedang menjalankan tapabrata
mengembara. Siapa yang tuan maksudkan Kuda Anjampani itu
" Lebih mengherankan pula pertanyaan tuan yang kedua.
Gerombolan Gajah Kencana, hilangnya patung Aksobya dari
candi di sebelah selatan Kagenengan, benar2 baru pertama
kali ini kudengar. Pertanyaan tuan yang ketiga, kiranya layak
kukembalikan saja padamu"
Pendeta itu tertawa menggelegar "Anuraga, jika engkau
benar2 seorang brahmana, kiranya engkau tentu terikat akan
ajaran2 suci dalam agamamu. Bukankah seorang brahmana
itu tabu akan berdusta ?"
"Benar" brahmana muda it u menyahut sarat.
"Anuraga, penyahutanmu bernada sarat itu, mencerminkan
akan kebimbangan hatimu. Benarkah engkau tak berdusta ?"
"Pendeta, aku tak kenal padamu dan merasa t ak tersangkut
sesuatu dengan engkau. Tetapi mengapa engkau bersikap
begitu mendendam kepadaku ?" brahmana Anuraga cepat
mengisar pembicaraan. Pendeta tak dikenal itu tertawa mencemoh "Jangan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersikap seperti anak kecil atau berpura-pura. Engkau tak
kenal padaku, tetapi aku cukup kenal dirimu. Engkau bohong,
brahmana. Apa katamu kalau aku dapat mengungkap rahasia
dirimu?" "Terserah, engkau bebas berbuat demikian. Tetapi akupun
bebas untuk menolak segala tafsiran atas diriku"
"Kalau engkau benar2 seorang brahmana ksatrya, engkau
wajib menjunjung kejujuran, berani mengakui kenyataan yang
benar...." Cepat brahmana Anuraga menukas "Wajibku hanya
kupersembahkan kepada yang kuanggap wajib menerima.
Bukan kepada yang bersifat memaksa"
Pendeta itu terkesiap. Tetapi cepat ia membalas kata
"Tetapi selama dirimu berlumuran tindak pidana negara dan
engkau berkecimpung dalam debu kotoran keduniawian,
engkau tak mungkin membebaskan diri dari t untutan wajib!"
"Adakah saat ini aku berhadapan dengan seorang narapraja
kerajaan Majapahit?" seru brahmana Anuraga.
"Ketahuilah hai Anuraga" seru pendeta yang tak keputusan
dalih itu "urusan negara bukanlah semata-mata terletak pada
kaum narapraja. Tetapi merupakan kewajiban dan hak dari
seluruh kawula untuk memikirkannya. Sudahlah, Anuraga,
jangan engkau berkeras kepala. Demi memandang kita in i
sesama kaum beragama, maka baiklah engkau suka berlaku
terus terang. Apabila engkau suka bekerja sama dengan
golonganku, jasamu pasti akan kami balas yang sepadan!"
Anuraga terhening sejenak lalu berseru "Apakah yang harus
kukatakan?" "Jawablah sejujurnya ketiga pertanyaanku itu"
Brahmana Anuraga tertawa hambar "Engkau
menginginkan apa yang tak mungkin pada diriku?"
tetap "Kalau demikian, perlukah suatu paksaan harus kutindakkan
kepadamu?" seru pendeta mulai memancar kegeraman.
"Begitukah cara lazim yang dianut golonganmu kaum
pendeta?" balas Anuraga.
"Anuraga!" teriak pendeta tak dikenal itu makin keras
"kuperingatkan kepadamu bahwa saat ini, kita sama berpijak
pada kepentingan perjuangan masing2. Tanggalkan jubah
kebrahmanaanmu. Marilah kita unjuk warna. Tak perlu kita
memagar diri dengan dalih2 ajaran agama yang suci. Karena
kepentingan perjuangan, berbagai cara terpaksa ditempuh.
Antara lain kekerasan !"
Brahmana Anuraga mengerinyitkan kening. Mencurah
pandang kearah pendeta tak dikenal itu lalu berseru tenang
"Apabila jalan membuntu pada kekerasan, pastilah kekerasan
itu akan menemui kesirnaan"
"Apabila penyadaran halus tak berhasil menghilangkan
kebohongan rnaka kekerasanlah yang akan menunaikan
tugasnya" "Adakah engkau yakin akan berhasil?"
"Mari kita buktikan" jawab pendeta "tetapi sekali lagi
kuberimu sebuah kesempatan terakhir. Beranikah engkau
menerima suatu persetujuan yang kuajukan ini?"
"Silahkan bilang. Mungkin aku bersedia"
"Akan kujelaskan dirimu, gerombolan Gajah Kencana dan
pertalian d irimu dengan mereka. Sebagai seorang brahmana,
kalau penjelasanku itu benar, engkau harus berani mengakui.
Tetapi apabila salah, aku bersedia memint a maaf kepadamu
dan akan tinggalkan tempat ini!"
Brahmana Anuraga mengicup mata, sahutnya "Aku merasa
tak terikat akan suatu wajib kepadamu, pendeta. Baiklah tuan
jangan bersusah payah hendak mengikat kebebasanku.
Silahkan tuan mempertekun ibadah pada pemujaan sang
Budha dan aku kepada pemujaan agama Syiwa. T ak perlu kita
saling mengganggu karena kedua aliran agama itu telah
direstui oleh baginda raja"
"Anuraga, lebih baik mendengar burung berkicau daripad a
mendengar ocehanmu, seorang brahmana palsu!"
Diluar dugaan, hinaan itu malah mendapat sambutan girang
dari Anuraga "Benar, benar! Memang jauh lebih nikmat
mendengar kicau burung mendambakan puji syukur kepada
Hyang Widdhi, dari pada bersitegang leher mengurus orang.
Silahkan tuan melanjutkan perjalanan dan akupun juga akan
segera tinggalkan tempat ini . . ."
"Keparat engkau Anuraga" teriak pendeta itu seraya loncat
menerkam. Rupanya ia marah benar2. Hampir kering ludah
dimulut , hampir habis napas menghambur, namun sia2 belaka
ia hendak menggali keterangan dari Anuraga. Hanya
kekerasan yang dapat mewujutkan keinginannya.
Dipa yang sejak tadi berdiri terlongong mendengarkan
percakapan brahmana muda dengan pendeta tak dikenal itu,
terkejut sekali melihat serangan itu. Belum ia sempat berbuat
sesuatu, tiba2 bahunya didorong oleh brahmana Anuraga
sehingga ia terlempar ke dalam semak "Dipa, lekas pulang!"
Bruk . . . Dipa tersuruk ke dalam semak. Ia terkejut
merasakan tenaga brahmana sedemikian kuatnya. Dan lebih
heran pula, walaupun dilempar begitu keras, namun ia tak
menderita suatu cidera. Sadarlah ia bahwa brahmana muda itu
tak bermaksud buruk kepadanya. Jelas brahmana itu
menyuruhnya pulang agar tak menderita sesuatu dari
perkembangan perkelahian yang t ak dapat diduga akibatnya.
"Ah, paman brahmana itu sungguh sayang kepadaku. Aku
harus menurut perintahnya agar dia tidak kecew a" kata Dipa
dalam hati. Secepat menentukan keputman, anak itu terus
beringsut menyurut keluar dari semak. Tetapi baru berjalan
beberapa langkah ia berhenti.
"Ah, paman brahmana itu seorang berbudi. Saat ini ia
sedang menghadapi bahaya. Pendeta itu marah dan benci
sekali kepada paman brahmana. Kemungkinan dia dapat
membunuh paman brahmana. Kalau aku pulang bukankah aku
tak mempunyai kesempatan untuk menolong paman
brahmana?" Dipa me-nimang2.
Cepat sekali ia mengambil keputusan untuk sembunyi
dalam semak lagi dan menyaksikan perkelahian mereka "Kalau
paman brahmana menang, aku t ak perlu unjuk diri dan terus
menyelinap pulang. Tetapi apabila paman brahmana kalah,
dapatlah aku membantu sekuat kemampuanku"
Dengan langkah ber-jingkat2 agar jangan menerbit kan
suara, anak itu menyusup kedalam gerumbul. Dari celah2
daun rant ing, ia menyingkap dan memandang kearah tempat
pertempuran. Hampir ia bersorak girang karena melihat
paman brahmana Anuraga masih tetap t ak kurang suatu apa.
Kemudian t imbul rasa kagumnya menyaksikan kelincahan dan
ketangkasan Anuraga bergerak. Diam2 ia mengakui apa yang
dituturkan brahmana muda tadi bukan cerita khayal. Bahwa
berkelahi itu ada juga caranya yang disebut ilmu Tata-gerak.
Dan bahwasanya yang telah mencapai latihan pada tataran
tinggi, akan dapat bergerak selincah burung sikatan, segesit
kijang lari. "Ah, mudah2an paman brahmana dapat menang agar
kelak aku mendapat kesempatan menerima ilmu ajarannya" diam2 Dipa berdoa.
Anak itu hanya menilai dari
pandang matanya. Ia tak mengetahui bahwa sesungguhnya, brahmana Anuraga harus mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghindari serangan pendeta
yang meng-gebu2 seperti harimau buas hendak menerkam. Ternyata keangkuhan dan kebengisan pendeta tak dikenal
itu memang mempunyai dasar. Ia mengandalkan akan
kedigdayaannya dalam ilmu kelahi. Walaupun hanya
menyerang dengan tangan kosong, pukulannya itu
menimbulkan sambaran angin tajam yang keras. Dan set iap
pukulan, terkaman maupun tusukan dengan jari, selalu
mengarah bagian tubuh lawan yang berbahaya. Sifat
keperibadiannya sebagai seorang pendeta, lenyap berganti
dengan sikap seorang pembunuh yang haus darah.
Brahmana Anuraga terkejut. Ia menyadari bahwa pukulan
pendeta itu dilambari dengan pancaran tenagamu dari Cakram
Manipura. Ialah pemusatan sumber tenaga dan kekuatan
hidup dalam tubuh manusia. Letaknya dibagian pusar.
Dengan penyaluran tenaga-int i dari pusat Cakram Manipura
itu, akan menimbulkan daya gerak yang bukan olah2
dahsyatnya. Kedahsyatannya tak dibawah dari beberapa aji
pukulan yang sakti. Hanya bedanya, bila segala aji pukulan itu
pada umumnya dilambari dengan pengantar mantra, tenagaint i dari sumber Cakram Manipura itu dapat dilatih sedemikian
rupa sehingga dapat disalurkan kebagian tubuh yang
dikehendaki. Brahmana Anuraga bertambah heran. Makin membesarlah
rasa keinginan tahu, siapakah gerangan pendeta yang
memusuhinya itu. Telah disingkap dalam timbun ingatannya
untuk mengenal pendeta itu. Namun sia2. Tak pernah ia
bersua dengan pendeta itu. Ada juga yang ditemukan, namun
ia merasa ingat2 lupa. Ialah nada suara pendeta itu. Rasanya
ia pernah mendengar tetapi entah dimana.
Sesaat timbullah keputusannya. Betapapun halnya jelas
pendeta itu memang bertujuan untuk mencari dan
menekannya. Takkan terpisah jauh dari dugaannya, bahwa
pendeta itu tentulah anakbuah dari seseorang atau suatu
persekutuan yang bertujuan mencari patung Budha Aksobya
yang hilang dan mazhab Gajah Kencana. Sekurang-kurangnya
pendeta it u tentu mempunyai latar belakang yang mendendam
permusuhan kepada dirinya.
Serempak meremanglah buluroma brahmana Anuraga
ketika terlint as dalam benaknya untuk menggunakan ilmu
tenaga sakti Rajah Kalacakra. Masih berkesan dalam
ingatannya ketika gurunya memberi pesan. Bahwa ilmu sakti
Rajah Kalacakra itu bukan olah2 akibatnya. Apabila telah
mencapai tataran tinggi, ilmu itu dapat menghantam hancur
batu gunung. Merupakan ilmu pamungkas untuk menyirnakan
kejahatan. Oleh karena akibat2 yang ditimbulkan oleh
kedahsyatannya maka ilmu itu tak boleh digunakan
sembarangan. Tak boleh digunakan kepada kaum pemeluk
agama Tripaksa, narapraja yang jujur dan berjasa, orang2
yang berbudi baik. Ilmu Rajah Kalacakra hanya dibenarkan
untuk menghadapi lawan yang jahat atau untuk membela diri
dari bencana maut. "Pendeta ini angkuh dan ganas. Setiap saat jiwaku
terancam dari maut yang dihamburkan pukulannya. Dan dia
memiliki ilmu kepandaian hebat. Terpaksa aku harus
mengeluarkan ilmu Rajah Kalacakra untuk menanggulanginya
...." Pada saat brahmana Anuraga hendak melaksanakan
keputusannya, se-konyong2 pendeta itu merobah gaya
serangannya. Sepasang tangan berhamburan menyilang dan
menggunting, menjepit dan menggapit. Tak ubah Seperti
bentuk Selo-penangkep atau sepasang pintu batu. Dan bahkan
kedua tangan pendeta itu bergerak sedemikian cepat sekali
sehingga saat itu leher Anuraga terancam dari kanan dan kiri.
Anuraga serasa hilang semangatnya. Cepat ia menyurut
mundur lalu hendak menghindar kesamping. Namun ia
terlambat sudah. Bahu sebelah kanannya telah terjepit oleh
sepasang tangan yang keras seperti baja. Seketika lumpuhlah
separoh tubuhnya. Dalam keadaan sadar tak sadar, pikiran
brahmana Anuraga yang mulai melayang ke alam tanpa
pegangan itu, tiba2 memancarkan sepercik cahaya kilat.
Cahaya yang segera menerangi kesadaran hatinya. Bahwa
saat itu merupakan saat mati hidup baginya. Bahw a apabila ia
tak mengadakan gerak perlawanan, tulang bahunya tentu
remuk redam dihimpit sepasang tangan Selo-penangkep dari
pendeta itu. Dan bahwa kematiannya itu akan menggagalkan
cita2 perjuangannya untuk menyelamatkan
kerajaan Majapah it. Saat itu barulah ia menyadari betapa arti dirinya
dalam ikatan kelompok. "Ih . . ." ia mendesis menahan kesakitan hebat ketika saat
itu pendeta memperkeras jepit an t angannya. Anuraga merasa
pening, pandang matanya ber-binar2, napas terhimpit amat
sesak. Beberapa detik lagi, tak boleh tidak urat2 jantungnya
pasti remuk. Anuraga kerahkan sisa kekuatan yang masih d imilikinya.
Diantar oleh hamburan hardik menggeledek, ia ayunkan
tangan kiri menghantam dada pendeta.
"Auh ..." Anuraga terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang dan rubuh terduduk ditanah. Separoh tubuhnya
masih peka dan mati-rasa. Karena terlepas dari jepitan baja,
darah pada separoh tubuhnya itu lari sekencang kuda binal.
Apabila tak cepat di kendalikan, tentu akan nyasar melanda
sekujur tubuhnya. Akibatnya ia tentu cacad salah sebuah
anggauta badannya. Cepat ia melirik ke muka. Tampak pendeta itu pun terhuyung2 beberapa depa dan jatuh terduduk di tanah. Dari
mulut nya masih terlihat darah segar. Jelas bahw a dia telah
muntah darah terkena pukulan Rajah Kalacakra. Andaikata
separoh tubuh Anuraga tidak mati-rasa sehingga pukulan
Rajah Kalacakra itu dapat dilambari dengan tenaga penuh,
pendeta it u pasti hancur dadanya.
Melihat pendeta itu pejamkan mata untuk melakukan
pernapasan,

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anuragapun segera meramkan mata, mengosongkan pikiran dan mulai menyalurkan napas untuk
menguasai peredaran darahnya yang bergolak kencang.
Demikian suasana yang dihant ui maut, saat itu telah tenang
kembali. Keduanya sedang giat melakukan pernapasan untuk
memulihkan cidera yang mereka derita.
Dipa menyaksikan apa yang telah berlangsung. Betapa ingin
sekali ia keluar dari semak persembunyiannya untuk memberi
pertolongan kepada paman brahmana yang baik budi itu.
Namun ia takut brahmana itu marah karena menganggap ia
tak mau menurut perint ahnya. Sesaat belum menemukan
langkah yang harus dilakukan, teringatlah ia akan
pembicaraan sengit antara paman brahmana dengan pendeta
tak dikenal itu. "Kuda Anjampiani. . ." Rangga Lawe . . . ?" ulangnya
dalam hati "bukankah paman brahmana tadi menceritakan
tentang Rangga Lawe" Benarkah dia Kuda Anjampiani, putera
Rangga Lawe yang mint a dibelikan mainan kereta perang itu?"
Dipa meng-angguk2 "bukankah dahulu Kuda Anjampiani ingin
jadi senopati perang seperti ayahnya" Mengapa sekarang
menjadi seorang brahmana" Ah, mungkin pendeta itu ngawur.
Tetapi. . . menilik paman brahmana itu dapat menuturkan
cerita Rangga Lawe begitu jelas, kemungkinan bukan mustahil
kalau dia benar Kuda Anjampiani"
Demikian Dipa menelusur kecerdasannya untuk menyingkap
takbir rahasia yang menyelubungi diri brahmana Anuraga itu.
Kemudian meningkatlah perhatiannya kepada pendeta itu
"Siapakah pendeta itu" Mengapa ia mencari paman
brahmana" Mengapa pula ia berkeras memaksa paman
brahmana supaya mengakui namanya sebagai Kuda
Anjampiani" Mengapa ia memaksa paman brahmana supaya
mengatakan dimana arca Aksobya disimpan" Siapa yang
dimaksud dengan Gajah Kencana itu ... ?"
Gairah anak itu makin meluap. Sesaat ia lupa bahw a pada
saat seperti itu, ia harus sudah kembali pulang memasukkan
kambing gembalanya ke kandang. Lupa pula ia akan wajah
bengis dari ny i buyut yang akan menyambutnya dengan
hamun makian. Lupa sudah ia akan lapar yang harus
dideritanya malam itu karena nyi buyut tak mau memberi
makan apabila ia terlambat pulang. Seluruh perhatian Dipa
terkait pada brahmana dan pendeta yang saat it u sedang
duduk pejamkan mata. Ia ingin tahu bagaimana kesudahan
peristiwa itu. Keinginan keluar mendapatkan brahmana itu
terpaksa ditekan. Jelas dilihatnya bagaimana tadi pendeta itu
terhuyung-huyung mundur dan muntah darah. Tentu pendeta
itu menderita luka karena hantaman brahmana Anuraga.
Tepat pada saat pikiran Dipa tiba pada kesimpulan itu, sekonyong2 pendeta itu berbangkit seraya maju menghampiri
ketempat brahmana Anuraga. Anuraga masih duduk pejamkan
mata. "Hai, Kuda Anjampiani" teriak pendeta itu seraya hent ikan
langkah dihadapan brahmana "t ak kukira engkau memiliki ilmu
pukulan yang sedemikian dahsyat! Tetapi jangan engkau cepat
mengira aku sudah hancur. Hayo, bangkitlah, kita adu
kesaktian lagi?" Namun brahmana Anuraga tetap membisu. Sedikitpun ia
tak bergerak dari semedhinya. Hanya wajahnya tampak
memburat merah. "Hai, Kuda Anjampiani, apakah engkau tuli" Aku tak mau
mencari kemenangan secara licik. Kuberimu kesempatan
untuk bangun dan melawan. Agar engkau mati dengan puas!"
seru pendeta itu pula. Tetapi Anuraga tetap diam tak berusik.
"Kuda Anjampiani" teriak pendeta itu makin keras "jika
engkau tetap ber-pura2 mematung, kuanggap engkau
meremehkan kemurahan hatiku. Aku muak melihat tingkah
begitu. Namun kalau engkau memang benar-benar terluka
parah, baiklah engkau menyerah saja. Kita dapat bekerja
sama dan akan kuhapus semua dendam permusuhan kita ..."
Anuraga tetap tak bergerak.
"Kuda Anjampiani, rupanya engkau memang keras kepala
atau memang sengaja hendak mempermainkan diriku. Baiklah,
memang sukar untuk bicara padamu dengan bahasa halus.
Rupanya orang semacam engkau ini hanya mengenal bahasa
kekerasan" seru pendeta seraya melolos kalung tasbih yang
melingkar dilehernya "mudah2an engkau mendapat kesadaran
setelah berkenalan dengan tasbih ini!"
Syiut, syiut, syiut . . . kalung itu diput ar oleh pendeta,
secepat angin menyambar. Suaranya mendengung-dengung
laksana prahara bertiup. Dipa amat terkejut sekali. Sejak tadi ia sudah merasa
gelisah melihat paman brahmana itu duduk seperti patung.
Benarkah paman brahmana itu menderita luka parah" Ah,
kalau benar demikian, tentu berbahaya sekali. Sedangkan t adi
ketika saling berhadapan bertempur, pendeta itu mampu
menjepit bahu brahmana. Apa pula sekarang. Brahmana itu
duduk pejamkan mata dan pendeta siap menghajar dengan
kalung tasbih. Dipa kucurkan keringat dingin ketika melihat pendeta itu
memutar kalung tasbih dan hendak dihantamkan kearah
brahmana Anuraga. Cepat ia hendak menerobos keluar dari
persembunyiannya untuk merint angi perbuatan pendeta itu.
Tetapi terlambat. Kalung tasbih pendeta itu tampak berobah
seperti segulung cahaya hitam yang melayang kearah kepala
brahmana Anuraga. "Pa . . ." baru Dipa hendak menjerit memanggil brahmana
Anuraga, tiba2 mulutnya terhenti menganga di tengah jalan.
Apa yang disaksikannya, benar2 tak pernah dibayangkan.
"Ih . . ." bahkan pendeta itupun mendesis kejut juga ketika
hamburan tasbihnya menghantam tempat kosong. Brahmana
Anuraga dengan masih duduk pejamkan mata, menyurut
mundur. Teriakan terhenti dari Dipa itu, cukup mengusik perhatian
brahmana dan pendeta, Sejenak pendeta itu melirik kearah
gerumbul tempat Dipa bersembunyi. Namun secepat kilat ia
arahkan perhatian kepada Anuraga pula, serunya "Hm, nyata
engkau hendak mempermainkan aku" dengan sebuah gerak
harimau menerkam, ia loncat menyabat brahmana. Namun
untuk yang kedua kalinya, ia harus mengeluh kejut karena
taburan t asbihnya hanya menyasar angin kosong. Masih diam
seperti patung, Anuraga melayang kesamping.
"Bedebah, engkau berani menghina aku" teriak pendeta
makin kalap dan makin gencarlah ia merangsangkan
tasbihnya. Kiranya but ir2 biji t asbih itu terbuat daripada bahan
batu hitam yang luar biasa kerasnya. Ditangan pendeta itu,
tasbih dapat dijadikan alat penghancur batu dan logam.
Apabila tubuh manusia terhantam, pasti leburlah tulangnya.
Pendeta itu melakukan serangan ber-tubi2 sampai berpuluh
kali. Namun hasilnya tetap nihil. Sesungguhnya dengan
peristiwa itu, ia sudah harus insyaf bahwa kepandaian
brahmana muda itu memang lebih unggul dari dirinya. Tetapi
rupanya pendeta itu bahkan makin kalap. Tiba2 ia tertawa
keras sekali. Nadanya bagai guruh memekik-mekik diudara.
Tiba2 pula ia hent ikan tertawanya dan berseru
menggeledek "Hm, Kuda Anjampiani, jangan cepat berbangga
dulu. Aku masih mempunyai cara untuk menghajarmu sampai
engkau me-rangkak2 minta ampun ..."
Sekali tangannya berayun maka kalung tasbih itupun
menjulur lurus memanjang, terus ditusukkan kepada
brahmana. Dan serentak dengan gerakan itu, tangan
kirinyapun berayun menghantam. Pada saat brahmana
menghindar kesamping, tasbihpun sudah cepat bergerak
menyapu. Brahmana itu kerutkan dahi. Rupanya ia mengalami
kesulitan dalam menghadapi serangan lawan yang merobah
siasatnya. Sesungguhnya dengan duduk pejamkan mata itu, ia
lebih berhasil menghadapi serangan lawan. Ia kembangkan
ilmu Genta Kaleleng ialah pemusatan seluruh semangat dan
pikiran kearah penajaman indera pendengaran, Hamburan
daun kering yang bertebaran ke tanah, layang burung
berterbangan dapat didengar dan dibedakan arahnya.
Brahmana, wikutama, pendeta yang telah mencapai tataran
tinggi dalam persamadhian, dapat meningkatkan ilmu Genta
Kaleleng itu untuk menangkap getaran2 semu dari alam halu s
atau alam Guru-loka. Namun pendeta itu ternyata bukan tokoh sembarang tokoh,
melainkan seorang pendeta yang berilmu tinggi. Anuraga
sibuk juga dibuatnya. Cepat dan derasnya pukulan yang
dilancarkan pendeta itu, menimbulkan kesiur angin yang
membingungkan bahkan hampir mengaburkan pendengaran
telinganya. Tambahan pula, dahan dan rant ing pohon yang
silih menyilang, gerumbul onak yang membiak hendak
meluaskan daerah kekuasaannya, amat memancang gerakan
Anuraga. Pada saat Anuraga mempertimbangkan hendak mengakhiri
ilmu Genta Kaleleng dan berganti dengan lain siasat, se
konyong2 tubuhnya disambar angin keras. Ia tak sempat
membuka mata. Kedua tangan menekan tanah dan
tubuhnyapun melambung keudara. Duk, kepalanya terbentur
dahan kayu dan serempak dengan itu pula, tubuhnyapun
melanggar gerumbul rant ing yang lebat. Benturan itu
menyebabkan kepalanya membenjul berdarah dan patahnya
sebatang rant ing besar. Ketika meluncur turun dan tegak di
tanah, t iba2 ia mendapat pikiran. Dipungutnya batang ranting
lebat itu. Serta pendeta maju menyerang, cepat ia
songsongkan batang ranting itu.
"Uh ..." mulut pendeta it u mendesus kejut ketika tasbihnya
terlibat dalam silang2 rant ing dan pada saat itu juga,
Anuragapun melonjak menerkam kepalanya.
Pendeta it u dihadapkan diant ara dua pilihan. Lepaskan
tasbih dan loncat mundur atau kepalanya termakan tangan
lawan. Tetapi rapanya pendeta itu menghendaki keduaduanya, Serent ak ia condongkan kepala kesamping sambil
menarik t asbih. Tetapi tiba2 Anuraga merobah siasat. Genggam tinjunya
ditebarkan untuk menyambar. Karena jarak amat dekat dan
gerak sambaran itu amat cepatnya, pendeta itu tak sempat
menghindar lagi. Namun masih ia berusaha untuk menunduk
agar mengurangi ancaman lawan.
"Ah . . ." brahmana mendesus kejut. Ia dapat menjamah
kepala lawan lalu mencengkeramnya. Tetapi alangkah
kejutnya ketika gundul pendeta itu tertanggal dan pendeta
itupun segera menggelincir beberapa langkah kesamping.
Anuraga tegak t erlongong memandang seungkap kulit tipis
yang berada di tangannya. Kemudian ia memandang kemuka
kearah lawan. "Hai . . . engkau" serentak Anuraga berteriak kaget demi
melihat perwujutan pendeta itu. Tidak lagi pendeta itu
berkepala gundul melainkan telah tumbuh rambut secara
mendadak. A nuraga cepat dapat menyadari apa yang terjadi.
Pendeta itu bukan pendeta sesungguhnya melainkan orang
biasa yang menyamar dan menutup kepalanya dengan
seungkap kulit. Pendeta yang tegak beberapa langkah disebelah muka
itupun tampak pucat wajahnya. Tetapi cepat pula ia tenang
kembali lalu tertawa renyah "Ha, ha, apakah engkau masih
menyangkal Kuda Anjampiani?"
"Bukankah engkau kakang Windu Janur yang menjadi
pembantu pada sang Arya Dhiraya Dang Acarrya Kanakamuni
yang mengepalai Dharmadhyaksa ring Kasogatan?"
"Ingatanmu t ajam benar" penyamaran pendeta itu tertawa
hina "benar, aku memang Windu Janur, seperti halnya engkau
adalah Kuda Anjampiani!"
"W indu Janur, mengapa engkau membayangi jejakku"
Siapakah yang menugaskanmu?"
Windu Janur tertawa nyaring.
"Kuda Anjampiani, pertanyaanmu it u .dapat engkau jawab
sendiri. Karena kita in i justeru melakukan tugas yang sama,
mengemban tugas serupa!"
"Maksudmu?" "Kuda Anjampiani, engkau menyaru jadi brahmana Anuraga
dan menyelundup kedalam lingkungan pemerint ahan pusat.
Berkat lindungan sang Dharmadyaksa Pameti Rangkuhan
Dang Acarrya yang ditugaskan kerajaan untuk melindungi para
brahmana dan pemeluk agama Syiwa, engkau memang
leluasa sekali untuk mengetahui keadaan pura Majapahit.
Kut ahu engkau tentu mempunyai tujuan tertentu. Begitupun
diriku. Tahukah engkau siapakah diriku yang engkau kenal
sebagai W indu Janur ini?"
Brahmana Anuraga menggeleng kepala.
"Baiklah, akan kukatakan" kata Windu Janur dengan kerut
wajah penuh kepercayaan "W indu Janur ini adalah put era dari
Rangga Janur, seorang senopati Daha yang gugur dalam
medan peperangan melawan raden Wijaya dan pasukan
Tartar. Siapakah yang membinasakan ayahku" Ha, tak lain
adalah ayahmu, si pemberont ak Rangga Lawe itu!"
Brahmana meregang wajahnya. Apa yang dikatakan Windu
Janur itu memang benar. Banyak senopati kerajaan Daha yang
dibinasakan oleh Rangga Lawe.
"Adakah engkau hendak menuntut balas atas kematian
orangtuamu itu?" sesaat kemudian brahmana Anuraga
berseru. "Kuda Anjampiani, soal balas dendam, memang menjadi
salah satu tujuan hidupku. Tetapi dendam peribadi itu,
kuendapkan dulu demi kepentingan perjuangan yang
kulaksanakan. Jika engkau mau menerima tawaranku untuk
kerjasama, dendam peribadi keluarga, akan kuhapus."
Brahmana Anuraga terhening. Lekuk dahinya menggelombang pasang surut. Beberapa jenak kemudian ia
berkata tenang "Kakang Windu Janur, hendaknya engkau suka
menjelaskan lebih dahulu apa dan bagaimana bent uk
kerjasama yang engkau maksudkan itu. Agar aku dapat
mempertimbangkan dengan sungguh2 dan sesuai"
Windu Janur kerutkan kening, menyelami maksud
permint aan brahmana itu "Tidak, Kuda Anjampiani" sesaat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian ia berseru "akan kujelaskan hal itu tetapi engkau
harus bersumpah menyatakan bersedia menjadi w arga W UKIR
POLAMAN!" "Wukir Polaman?" A nuraga berteriak kaget "apakah itu?"
Sejenak Windu Janur menatap brahmana itu tajam lalu
berseru "Wukir Polaman adalah pusat perhimpunan .. . uh,
sebuah kelompok putera2 Daha"
"O" Anuraga mendesis "apa tujuannya?"
Windu Janur merentang pandang matanya dan tertawa
mengejek "Jangan engkau diburu nafsu, Anjampiani. Engkau
harus memberi pernyataan itu dulu baru nanti kujelaskan
tujuan dan rencana perjuangan kami"
Anuraga mendengus keluh dalam hati "Hm, pintar sekali
orang ini. Tetapi aku harus berusaha menggali keterangan dari
mulut nya" Maka segera ia menghias tertawa kecil pada
ucapannya "Ah, bagaimana mungkin hal itu" Misalnya engkau
sendiri, kakang Janur. Maukah engkau masuk menjadi warga
sebuah himpunan apabila engkau tak tahu tujuannya?"
"Akulah yang menjadi jaminannya!"
"Kakang Janur yang menjadi pimpinannya?"
"Kelak engkau tentu mengetahui sendiri" sahut Windu Janur
serentak "sudahlah Anjampiani, tak perlu engkau berbanyak
hati lagi!" Anuraga tertawa renyah "Kakang Janur! Kita bukan anak
kecil, melainkan orang dewasa yang sudah tahu menggunakan
pertimbangan budi dan akal untuk membedakan putih dari
hitam. Mungkinkah kita percaya pada sesuatu yang belum kita
camkan?" "Tak percayakah engkau kepadaku?" Windu Janur menukas
lantang. Brahmana Anuraga mendesah "Ah, kepercayaan itu suatu
peresapan keyakinan hati secara wajar dan ikhlas. Bukan
suatu paksaan. Dan keyakinan itu membutuhkan pembuktian.
Jangan memaksakan kepercayaan pada lain orang apabila kita
sendiri, aku misalnya, tak berani percaya penuh pada diri
sendiri..." "Engkau gila Anjampiani" lengking Windu Janur "masakan
kepada dirimu sendiri engkau tak percaya penuh?"
Brahmana Anuraga tertawa redup "Janggal memang
kedengarannya kata2ku it u. Tetapi kenyataan memang sering
mengganjilkan yang ganjil. Apakah engkau percaya bahwa
dirimu itu pasti selalu benar dan baik" Kita manusia in i terdiri
dari darah dan daging yang diseliputi Nafsu dan Keinginan
dengan segala sifat Kekurangannya. Mudah sekali imam kita
terbujuk oleh nafsu Ahangkara. Kebenaran dan kejujuran yang
kita tonjolkan itu masih belum murn i dari selubung ke-Akuan
dan pamrih. Dalam hal itu dapatkah kepercayaan itu kita
letakkan bulat2 pada orang bahkan kepada diri k ita sendiri?"
"Hanya orang gila atau orang yang sudah terbalik kiblatnya,
tak percaya pada diri sendiri" seru W indu Janur.
"Oleh karena itu kita harus senantiasa berhati-hati agar
dengan segala kerendahan hati kita selalu mawas diri, meneliti
dan bertindak penuh kesadaran. Adalah karena tak percaya
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
pada diri k ita, maka kita harus berusaha selalu menumbuhkan,
memelihara dan memperkembangkan kepercayaan itu . . ."
"Sudahlah, aku tak butuh mendengar falsafah sekarat
semacam itu. Jelaskan jawabanmu" kerat Windu Janur tak
senang. Rupanya ia muak mendengar ocehan brahmana itu.
Dalam hati brahmana itu geli dapat mengeruhkan pikiran
orang. Namun ia sengaja mempersungguh kerut wajahnya
"Pendirianku sudah jelas. Katakan dulu bagaimana tujuan
Wukir Polaman. Setelah itu baru kupertimbangkan dapat
tidaknya aku masuk!"
Merah wajah Windu Janur. Darahnya menyalur keras,
membentuk sebuah gelombang dalam dadanya. Setiap saat
gelombang itu akan meluap dan membobol tambak dan
bendungan kesabarannya. Hampir ia tak dapat menguasai diri.
Untunglah pada saat2 yang gawat, kesadarannya mengembang. Dalam diri brahmana itulah ia akan menemukan
ujung permulaan mazhab Gajah Kencana yang selama in i
selalu bergerak dibawah tanah untuk merint angi sepak terjang
Wukir Polaman. Jika ia menggunakan kekerasan, tentulah
Kuda Anjampiani akan menutup mulut rapat2.
Ia merenung beberapa saat. Tiba2 berserulah ia dengan
lantang "Baik, Kuda Anjampiani. Akan kujelaskan tujuan dari
himpunan Wukir Polaman itu. Tetapi ingat, Apabila engkau
ingkar janji atau t idak setuju masuk menjadi w arganya, jangan
harap engkau pergi dengan membawa nyawamu!"
Brahmana itu mendengus pelahan "Kutahu!"
Setelah memandang kesekeliling penjuru lalu menghela
napas maka berkatalah Windu Janur "Wukir Polaman
sesungguhnya nama dari kitab yang ditulis baginda raja
Jayakatwang, ketika kerajaan Daha diserang pasukan Tartar
dan pasukan Majapahit, baginda ditawan oleh pasukan Tartar.
Didalam penjara dibenteng pertahanan di Ujung Galuh,
baginda menulis kakawin Wukir Polaman. Bagi kami, putera2
Daha, kakawin itu berisi pesan baginda agar putera2 Daha
berjuang untuk membangun kerajaan Daha lagi. Oleh karena
itu maka terhimpunlah berpuluh putera keturunan senopati,
nayaka dan ksatrya2 pejuang Daha kedalam sebuah wadah.
Untuk memulyakan dan melaksanakan mendiang baginda
Jayakatwang maka wadah kesatuan itu mengambil nama
Wukir Polaman" Brahmana Anuraga mengangguk lirih, tanyanya "Siapakah
diant ara putera2 keturunan senopati Daha yang menggabungkan diri pada kesatuan itu?"
"Mereka2 yang ayahnya mati terbunuh dalam peperangan
dengan pasukan T artar dan pasukan Majapahit yang dipimpin
oleh Wijaya. Antara lain aku sendiri. Ayahku Rangga Janur
telah mati ditangan ayahmu, Rangga Lawe. Lalu putera2 dari
senopati Jaran Gujang, Sagara Winotan, Kebo Rubuh, Mahisa
Antaka, Bowong, Panglet, bekel Bango Dolog, Prutung, Pencok
Sahang, Liking Kangkung, Kampinis dan lain2. Putera-putera
mereka itu akan meneruskan perjuangan orangtua mereka
dan akan melaksanakan pesan mendiang baginda Jayakatwang untuk membangun kerajaan Daha. Kami puteraputera Daha, keturunan dari prajurit ut ama kerajaan Daha
yang besar, akan menuntut balas pada raden Wijaya yang
telah menghianati kebaikan baginda Daha. Kerajaan Majapahit
yang dibangun raden Wijaya dan d ikuasai o leh keturunannya
akan kami hancurkan"
Lupa rupanya Windu Janur bahwa saat itu ia sedang
berhadapan dengan Kuda Anjampiani, putera Rangga Lawe
yang ikut menyerang pura Daha. Dilarut oleh semangatnya
yang meluap-luap bagaikan air bah menumpahlah seluruh isi
kandungan hatinya. Sebagai putera dari seorang ayah yang
mati dalam peperangan. Sebagai seorang kawula dari sebuah
kerajaan yang dihancurkan musuh. Ia melant ang!
Meremang buluroma Anuraga mendengar tekad yang
diikrarkan Windu Janur. Sesaat menebarlah rasa kesadaran
akan tanggung jawab yang tengah disanggahnya. Kerajaan
Majapah it memang benar2 sedang terancam bahaya. Ia cepat
dapat menduga bahwa gerakan sisa2 orang Daha dan putera
keturunannya itu tentu dilakukan dibawah tanah, menyusup
kesetiap bagian alat pemerint ahan dipura Majapahit.
"Adakah himpunan Wukir Polaman itu yang melakukan
siasat mengadu domba selama ini" Mengapa beberapa
kadehan kepercayaan raja Kertarajasa, banyak yang
memberontak" Mengapa tampaknya ada seseorang dibelakang
tabir yang menjerumuskan orang2 kepercayaan raja itu
memberontak kepada junjungannya?" demikian Anuraga
mengejar ketajaman otaknya untuk merangkai kesimpulan.
Tiba2 ia tersentak kaget ketika Windu Janur menegurnya
keras "Hai, Kuda Anjampiani, mengapa engkau termenung
diam" Bukankah penjelasanku sudah cukup jelas" Hayo,
sekarang nyatakanlah keputusanmu!"
Anuraga sejenak memandang segan kearah Windu Janur
lalu tundukkan kepala berdiam diri.
"Bagaimana" Apakah engkau tak dapat memberi keputusan.
Bersikaplah sebagai ksatrya, Anjampiani. Katakanlah terus
terang, engkau setuju atau tidak?" Windu Janur mengulang
makin keras. Anuraga mengangguk-angguk kecil. Lalu berkata "Aku
seorang brahmana yang mengabdikan diri kepada agama yang
kuanut. Dalam kerajaan Majapahit, berkembanglah dengan
suburnya ketiga agama: Syiwa, Budha dan Tantrayana.
Kehidupan para brahmana, wiku, resi, pendeta, bhiku dan
para pemeluk agama itu, menikmati ketenangan dan
pengayoman. Bukankah suatu perbuatan bathil apabila kaum
pemeluk agama itu masih kurang berterima kasih dan hendak
merobohkan negara. Raja J ayanagara yang sekarang, seorang
junjungan yang memulyakan agama Sy iwa dan melindungi
kaum pemeluk agama. Adakah aku seorang brahmana, harus
menentang seorang junjungan seperti itu?"
"Raja Jayanagara oleh rakyat diberi nama Kala Gemet,
penjahat yang lemah. Dia seorang raja yang bertubuh lemah
dan tidak senonoh kelakuannya. Kiranya walaupun engkau
menyikap diri dalam lindungan Pamegat Ranu Kebayan Dang
Acarrya Samaranata, t etapi tentulah pendengaranmu t ak peka
akan berita2 yang tersiar luas d i dalam pura kerajaan maupun
diluar. Bahwa raja Jayanagara itu bertindak kurang senonoh
terhadap kedua saudaranya dari lain ibu yakni kedua puteri
keturunan puteri Gayatri. Dapatkah engkau hai, Kuda
Anjampiani yang mengaku sebagai seorang brahmana, h idup
tenang dan melakukan ibadat agamamu dengan lapang hati
dibawah lindungan seorang raja yang tak senonoh itu?"
Anuraga terbeliak mendengar bantahan Windu Janur yang
sedemikian tajam. Sejenak ia kerlingkan pandang mata
keujung cakrawala, ia menjawab.
"Betapapun tak senonoh perbuatan baginda, namun hal itu
menyangkut lingkungan keluarga kerajaan sendiri. Dan apa
tujuan dari raja Jayanagara hendak mengawini kedua
saudaranya sendiri itu, kita masih belum jelas. Seburuk-buruk
perangainya, sekotor-kotor nafsunya, namun beliau tentu
menyadari perbuatannya it u. Bahwa baginda tetap hendak
melaksanakan maksudnya itu, tentulah mempunyai maksud
tertentu. Cobalah kita bayangkan. Sebagai seorang raja yang
berkuasa, baginda tentu mampu mencari puteri yang lebih
cant ik. Tetapi mengapa baginda mencurahkan pilihannya
kepada saudara sendiri, tentulah mempunyai t ujuan tertentu .
." "Jadi engkau tetap akan set ya pada raja Jayanagara yang
tak senonoh itu?" Windu Janur menegas.
"Dijaman pemerint ahan raja Kertajaya atau prabu Dandang
Gendis dari Daha, para pendeta dan brahmana ber-bondong2
menyingkir mencari pengayoman ke Singosari, karena mereka
dipaksa menyembah raja. Peristiwa itu merupakan pendirian
dari kaum pendeta dan brahmana bahwa lebih baik bernaung
dibawah pengayoman kerajaan Majapahit dari pada harus
menderita hinaan dari Daha. Dan ingatlah kakang Janur,
bahw a kodrat masa itu merupakan kenyataan mangsakala
yang tak dapat dihapus oleh t angan manusia. Matahari telah
terbenam dari langit Daha dan terbit pula dibumi Wilwatikta
dengan sinarnya yang gilang gemilang! Dapatkah aku, engkau
dan kawan2mu itu akan melenyapkan matahari?" kata
Anuraga dengan mata berkilat-kilat.
Merah padam wajah Windu Janur. Cepat ia dapat
mengetahui arah pendirian brahmana itu. Se-konyong2 ia
menghambur tawa yang keras dan panjang. Nadanya penuh
dendam kegeraman. Kumandangnya menyelimut i seluruh
hutan. "Kuda Anjampiani" teriaknya "jangan menganggap dirimu
lebih pintar karena dapat mempermainkan Windu Janur.
Kaukira aku sebodoh it u untuk memberi keterangan tentang
himpunan pejuang2 Daha itu kepadamu" Ketahuilah, bahw a
apa yang kuterangkan t adi hanya sekelumit keadaan kulitnya
saja. Isi yang sesungguhnya, jangan harap engkau mampu
mengetahui. Yang nyata hendak kuperingatkan kepadamu,
bahw a, pengaruh Wukir Polaman itu sudah menyusup dalam2
ketubuh pemerint ahan Majapahit. Sedemikian besar dan luas
pengaruh kami sehingga setiap gerak gerikmu tentu t ak lepas
dari pengawasan orang Wukir Polaman. Buktinya, penyamaranmu sebagai brahmana Anuraga yang bersembunyi
sebagai calon upapati dari Dharmadyaksa Dang Acarrya
Samaranata pun kami ketahui. Bahwa engkau seorang w arga
gerombolan Gajah Kencana, sudah bukan rahasia bag i
pengetahuanku. Pun lolosmu secara diam2 dari pura Majapahit
untuk memberi laporan kepada pimpinanmu juga tak luput
dari pengamatanku. Sayang aku terlambat bertindak sehingga
engkau sudah dalam perjalanan kembali ke pura Majapahit
lagi. Dan ketahuilah bahwa Wukir Polaman sudah
menjatuhkan keputusan kepada dirimu. Engkau mau bekerja
sama atau dibunuh!" Diam2 Anuraga terkejut dalam hati. Ia tak pernah
menyangka bahwa susunan himpunan orang2 Daha itu
sedemikian rapi dan pengaruh mereka sedemikian ketatnya.
Serentak timbul dalam keputusannya. Windu Janur itu harus
dapat ditawannya agar ia dapat menggali keterangan yang
lebih lengkap dari gerakan orang2 Daha.
"Kuda Anjampiani keparat! Bersiaplah

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima kematianmu. Engkau harus mewakili ayahmu unt uk membayar
hutang jiwa ayahku!" seru W indu Janur seraya mengeluarkan
sebilah ujung trisula. Pisau bermata tiga itu dikaitkan pada
ujung tasbih. Seketika itu jadilah sebuah senjata yang
istimewa. Sebuah trisula berant ai.
Terdengar desing sambaran angin tajam ketika trisula
berantai itu diayunkan dalam bentuk sebuah lingkaran. Makin
lama makin cepat dan trisula itu lenyap berganti dengan
sebuah lingkaran sinar putih yang berhamburan mencurah
pada brahmana Anuraga. Anuraga terkesiap. Ia tak menyangka kalau Windu Janur
memiliki kepandaian memainkan senjata yang sedemikian
hebatnya. Cepat iapun mengambil tongkatnya lalu dilolosnya.
Ternyata tongkat itu merupakan sebatang tombak pandak
yang lebih kecil dari tombak biasa tetapi lebih tajam. Ia
bersiap. Tongkat runcing dipegang tangan kanan. Kerangkanya ditangan kiri.
Ditempat gerumbul persembunyiannya, Dipa ternganga
mulut nya menyaksikan pertempuran yang belum pernah
dilihat sepanjang hidupnya. Hampir ia tak dapat membedakan
lagi mana si pendeta dan mana paman brahmana. Keduanya
se-olah2 tergabung dalam dua gulung sinar yang sebentar
merapat, menggabung jadi satu. Sebentar pula tercerai berai
bagai awan bertebaran dilangit mendung.
Diam2 anak kecil itu makin terpikat. Kiranya yang dikatakan
paman brahmana itu memang sesungguhnya. Ada ilmu tatagerak, berkelahi dengan tangan kosong. Ada pula ilmu
bermain senjata. Dan melayanglah pikiran anak itu makin jauh
. . . Apabila ia kelak memiliki ilmu kepandaian begitu, tentulah
ia akan masuk menjadi prajurit untuk membela negara.
Berdering-deringlah bunyi kedua senjata mereka saling
beradu. Hutan yang sunyi senyap it u seolah-olah berobah
menjadi tempat seorang empu menempa keris.
Tiba2 terdengar suara hardikan mengeledek "Anjampiani
keparat, mampuslah engkau sekarang!"
Dipa terkejut. Dilihatnya brahmana Anuraga terhuyung
mundur sambil mendekap lengan kirinya. Sementara Windu
Janur loncat menikamnya. Dalam keadaan yang amat
berbahaya bagi jiwa Anuraga yang sudah terdesak tak dapat
menghindar lagi karena dibelakangnya terpancang segunduk
batu besar, Anuraga siap mengadu jiwa. Dengan seluruh sisa
tenaganya, ia mengangkat tangan kanan untuk menghantam
lawan dengan ilmu Rajah Kalacakra. Telah diperhitungkan,
sekalipun ia tertikam senjata Windu Janur tetapi ia yakin
lawan pasti hancur binasa karena pukulan Rajah Kalacakra.
Dipa terbeliak kaget. Ia tahu bahwa paman brahmana itu
akan terancam bahaya maut. Cepat ia menerobos keluar dan
berteriak keras "Hai, jangan membunuh ..." t iba2 teriakannya
terhenti seketika serempak dengan ayun langkahnya. Karena
saat itu se-konyong2 dari balik gerumbul lebat, melayang
sesosok tubuh. Hanya dua kali melompat, orang itu sudah
berada di belakang Windu Janur. Dan sebelum Windu Janur sempat menduga siapa
pendatang itu, tiba2 tengkuk
dan pinggangnya telah dicengkeram oleh t angan yang
amat kuat. Dan belum sempat
ia mengatur siasat perlawanan,
tubuhnyapun tersentak kebelakang. Belum pula ia
dapat memulihkan keseimbangan badan, tiba2
tubuhnya terangkat keatas.
Dan belum sempat ia meront a,
dengan sebuah gemboran menggeledek, orang itupun
melemparkannya kedalam gerumbul pohon onak. . .
Dipa terlongong-longong. Hampir ia tak percaya apa yang
disaksikan. Pendeta yang garang tingkah dan bengis tangan
itu, ternyata tak berdaya sama sekali. Ditangan pendatang itu,
Windu Janur benar2 diperlakukan seperti anak kecil belaka.
Dicengkeram, di angkat dan di lontarkan ....
Dipa girang sekali. Karena memusuhi si pendeta, pendatang
itu jelas tentu hendak menolong paman brahmana. Maka
iapun segera menyurut masuk kedalam gerumbul persembunyiannya lagi. Apabila paman brahmana benar2
sudah aman dari bahaya, barulah ia pulang.
Dalam pada itu tinju Anuraga yang telah dilontarkan kedada
Windu Janur masih menjulur kemuka. Dipandangnya lelaki
pendatang itu dengan heran "Siapakah tuan ini?" tegurnya.
Orang itu tertawa tenang "Ah, tak perlu engkau mengejang
urat. Simpanlah tinjumu dan marilah kita bicara dengan
tenang" Brahmana Anuraga agak ter-sipu2 dan menarik tinjunya.
Setelah mendapat kesan bahwa pendatang itu tak
menampakkan sikap bermusuhan, iapun mengulang pula
pertanyaannya. "Apa yang engkau percakapkan dengan Windu Janur, t elah
kudengar semua" jawab orang itu lalu mengajak "Kuharap
pembicaraan kita akan lancar"
"Apa yang engkau kehendaki?" setelah sesaat tertegun
mendengar jawaban orang itu, Anuraga berusaha untuk
mengembalikan ketenangannya.
Orang itu tertawa lepas "Telah kukatakan tadi, hendaknya
engkau bebaskan urat2mu yang tegang. Karena aku berdiri
difihak yang lain pendiriannya dengan Windu Janur.
Brahmana, benarkah engkau ini Kuda Anjampiani seperti yang
dikatakan Windu Janur tadi?"
Anuraga terperanjat. Ia tak menyangka kalau akan
menerima pertanyaan begitu dalam pembuka kata orang itu.
Betapapun sikap dan ucapan yang diunjuk orang itu bernada
sahabat namun ia tetap harus memagar diri dengan dinding2
kecurigaan. "Kita belum pernah saling mengenal. Maaf, aku tak dapat
memberi jawaban. Sekiranya tuan hendak menjalin
persahabatan, baiklah memberitahu sesuatu tentang diri tuan
sendiri" sahut Anuraga sesaat kemudian.
Orang itu tertawa lagi, serunya "Baik engkau memberi
keterangan atau tidak, akupun sudah mendengar jelas dari
kata2 Windu Janur tadi. Untuk menghapus rasa kecurigaanmu,
akan kusebut siapa diriku in i"
Orang itu berhenti sejenak lalu memandang kesekeliling.
Setelah itu ia berkata pula "Aku adalah Kebo Lembana, prajurit
bhayangkara yang bertugas menjaga puri keputrian dalam
keraton Majapahit. Penempatanku pada tugas itu memang
telah diatur oleh rakryan patih Amangkubhumi Nambi untuk
menjaga keamanan kedua puteri T ribuanatunggadewi dan Haji
Rajadewi dari gargguan baginda Jayanagara ..."
Anuraga terbeliak. Walaupun peristiwa itu memang sudah
didengarnya dikalangan ke-dharmadyaksaan yang dibawahi
Dang Acarrya Samaranata, namun ia masih belum yakin betul
akan kebenarannya. Maka tak terhindarlah rasa kejutnya
ketika mendengar keterangan Kebo Lembana itu "Ah,
bukankah baginda Jayanagara itu saudara seayah dengan
kedua puteri itu" Apakah yang engkau maksudkan dengan
gangguan itu?" Kebo Lembana tertawa kecil "Peristiwa baginda bertindak
tak senonoh terhadap kedua saudaranya sendiri, sudah
menjadi rahasia umum dikalangan rakyat Majapahit. Orang
tentu heran mengapa baginda bertindak begitu"
"Benar" sahut Anuraga serentak. Iapun juga belum jelas
apa yang menjadi landasan raja bertindak begitu "apakah
alasannya?" Kebo Lembana tersenyum girang. Ia berkesan bahwa
Anuraga mulai terpikat. Maka mulailah ia menerangkan
"Baginda Jayanagara adalah putera dari almarhum baginda
Kertarajasa dengan Dyah Dara Petak puteri dari Malayu. Oleh
karena kedua permaisuri baginda yani puteri Tribuana dan
puteri Gayatri hanya menurunkan puteri Tribuanatunggadewi
dan Haji Rajadewi, maka baginda Kertarajasa lalu menobatkan
Jayanagara putera dari Dyah Dara Petak itu menjadi putera
mahkot a. Sedang Dyah Dara Petakpun diangkat menjadi stri
tinuheng pura atau isteri yang di-tua-kan dalam pura. Sudah
barang tentu permaisuri T ribuana dan Gayatri tak puas. Diamdiam timbul persaingan hebat diantara permaisuri baginda itu.
Setelah baginda Kertarajasa wafat maka Jayanagarapun
diangkat menjadi raja. Baginda yang masih muda belia in i
tahu pula akan peristiwa diri ibundanya dengan permaisuripermaisuri ayahandanya yang lain. Maka timbullah gagasan
pada baginda. Untuk memperkokoh kedudukannya haruslah ia
mengawini kedua puteri saudaranya itu. Pertama, agar
persaingan diant ara para ibundanya itu lenyap. Kedua, untuk
mencegah agar janganlah terjadi perkawinan kedua puteri itu
dengan orang luar sehingga akan menimbulkan masalah
keributan soal t ahta kerajaan"
"O, begitu" desus Anuraga.
"Tetapi tindakan baginda itu amat tercela dan mendapat
tentangan dari beberapa mentri. Terutama golongan mentri
yang mendukung pada keturunan raja Kertanagara dari
Singasari. Ibunda dari puteri Tribuanatunggadewi dan Haji
Rajadewi itu adalah put ri dari raja Kertanagara. Rakryan patih
Amangkubhumi Nambi segera mengatur langkah. Beliau
memasukkan beberapa orang yang berkepandaian tinggi
kedalam pasukan bhayangkara keraton. Orang kepercayaan
itu diberi tugas rahasia untuk melindungi keselamatan puteri
Tribuanatunggadewi dan putri Haji Rajadewi"
Kebo Lembana berhenti sejenak untuk mengatur napas.
Beberapa saat kemudian ia berkata pula "Kiranya sudah
jelaslah sekarang bagaimana keadaan dirimu, ini. Engkau
berhak menyangkal keras, tetapi akupun bebas untuk
beranggapan bahwa engkau ini Kuda Anjampiani putera
Rangga Lawe dan bahwa engkaupun merupakan salah
seorang w arga dari mazhab Gajah Kencana ......Eh, tak perlu
engkau mengerat kata-kataku "tiba2 Kebo Lembana berseru
memperingatkan demi melihat brahmana Anuraga hendak
membuka mulut. "W alaupun tak kuketahui nyata tetapi dapat kurasakan,
bahw a Gajah Kencana yang bergerak secara rahasia itu
bertujuan untuk melindungi kerajaan dari bahaya dalam yang
ditimbulkan oleh tangan2 kotor yang bertujuan untuk
menumbangkan kerajaan Majapahit. Oleh karena itu maka tak
sangsi2 lagi kuceritakan keadaan diriku kepadamu"
Anuraga termenung. Diam2 ia mendapat kesan baik
terhadap Kebo Lembana itu. Juga tindakan Kebo Lembana
yang tepat pada waktunya dapat melemparkan Windu Janur,
makin mempertebal kepercayaan Anuraga kepada bhayangkara keraton itu. T iba2 ia teringat sesuatu dan cepat
berkata "Tadi kakang Lembana mengatakan sebagai
bhayangkara yang ditugaskan dikeputren. Tetapi mengapa
saat ini kakang berada disini?"
"Ha, ha, belum lagi kut erangkan hal itu kepadamu" Kebo
Lembana berkata "saat in i aku sedang mengemban tugas dari
sang puteri Tribuanatunggadewi untuk menghadap Dang
Acarrya Ratnamsa, kepala penjaga silsilah dimakam raja2
Singosari" Sejenak Anuraga bersangsi tetapi akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya juga "Maaf, kakang
Lembana, sekiranya pertanyaanku ini kakang anggap amat
lancang ...." Kebo Lembana tertawa "Bukankah engkau hendak
menanyakan tentang maksud tujuanku menghadap Dang
Acarrya Ratnamsa itu" Ya, memang akan kuterangkan juga.
Tak perlu engkau terburu nafsu"
Anuraga agak tersipu merah mukanya karena masih kurang
dapat menahan diri. "Puteri Tribuanatunggadew i bermaksud untuk mengetahui
silsilah nenek moyang sang puteri ialah raja2 Singosari.
Pengetahuan itu amat diperlukan puteri untuk mengetahui
berapa banyak dan berapa besarkah pengaruh keturunan
Singosari itu pada dewasa ini. Selanjutnya akan dijadikan
dasar pertimbangan apabila sang puteri harus mengambil
langkah tegas terhadap baginda Jayanagara"
Anuraga mengangguk-angguk. Diam2 kecerdasan puteri T ribuanatunggadewi.
ia memuji "Dan langkah kedua, puteri hendak mohon kepada Dang
Acarrya Ratnamsa supaya mencipt akan sebuah mantra sakti
untuk penolak bahaya dari gangguan raja Jayanegara!"
"O, dapatkah Dang Acarrya Ratnamsa memenuhi harapan
sang puteri?" tanya Anuraga.
"Sudah tentu dapat. Dang Acarrya Ratnamsa itu seorang
sadhaka atau ahli dalam ilmu tantrayana Subuthi. Seorang
yang mahir dalam ilmu mantra dan samadhi sehingga mampu
menguasai segala kekuatan menurut kehendaknya. Konon
kabarnya Dang Acarrya Ratnamsa itu tunggal guru dengan
mendiang baginda Kertanagara dari Singosari"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam2 Anuraga terpengaruh atas kepercayaan orang. Ingin
juga rasanya ia menceritakan tentang dirinya. Tetapi terngiang
ia akan pesan gurunya. Bahwa dalam keadaan bagaimanapun
dan kepada siapapun juga, janganlah sampai ia membuka
rahasia dirinya. Anuraga tertegun. T ak pernah ia menyangka bahwa pesan
gurunya yang tampaknya begitu sederhana mudahnya
ternyata hampir saja ia gagal melaksanakan.
"Kakang Lembana, betapa rasa terima kasihku atas
kepercayaan yang kakang berikan" katanya lalu menghela
napas "maafkan, aku tak dapat mengimbangi kepercayaan
kakang itu karena aku telah bersumpah untuk tidak
mengatakan tentang diriku kepada siapapun jua. Y ang penting
kuminta kepercayaanmu pula bahw a aku adalah salah seorang
kawula yang berusaha hendak menyelamatkan kerajaan
Majapah it. Aku dan kawan2 benar2 tak rela kerajaan
Majapah it akan digerogoti rapuh dari dalam. Cobalah kita
renungkan. Bukankah suatu keheranan yang tak dapat
diterima pada akal bahw a para kadetaan dari raden Wijaya
atau baginda Kertarajasa, satu demi satu telah memberontak.
Dimulai dari Rangga Lawe Adipati Tuban lalu Lembu Sora yang
diangkat menjadi rakryan demang itu, telah memberontak dan
dibinasakan ...." Setelah berhenti sejenak, Anuraga melanjutkan pula
"Mengapa seolah-olah baginda Kertarajasa tak sayang
kehilangan seorang senopati seperti Rangga Lawe. Dan
seolah-olah baginda tak menghiraukan akan Adipati Wiraraja
yang telah menolong baginda untuk mendapat tanah Terik
dan mendirikan kerajaan Majapahit. Demikian pula halnya
dengan rakryan demang Lembu Sora. Bahwa menurut kitab
undang2 Kutaramanawa, karena membunuh Kebo Anabrang,
Lembu Sorapun harus dihukum mati. Baginda Kertarajasa
pada waktu itu berkenan memberi keringanan. Lembu Sora
tidak dihukum mati melainkan dipindahkan ke Tulembang.
Menurut Pamegat Ranu Kebayan Dang Acarrya Samaranata,
firman yang dikeluarkan baginda pada saat itu memang
berbunyi begitu. Dan karena merasa bersalah, Lembu Sora
bersama beberapa kawan, hendak menghadap baginda untuk
menyerahkan jiwa raganya. Tetapi mengapa Lembu Sora
dituduh hendak memberontak lalu diserang oleh pasukan
Majapah it sehingga gugur dalam pertempuran?"
Kembali Anuraga berhenti untuk menyelidik kesan pada
sikap Kebo Lembana. Tampak Kebo Lembana mengerut dahi.
"Menurut perasaanku, kematian Lembu Sora itu memang
tak wajar" kata Anuraga pula "seperti ada tangan kotor yang
memutar balikkan kenyataan dan memfitnah Lembu Sora
sebagai pemberontak. Siapakah dibelakang tabir yang
mengatur siasat keji untuk menghancurkan para kadehan
raden Wijaya itu?" Kebo Lembana mengangguk "Benar, memang keadaan
dalam keraton pura Majapahit penuh dengan pertentangan2,
persaingan dan usaha-usaha untuk merebut kekuasaan. Bukan
mustahil apabila orang-orang Daha yang bergabung dalam
himpunan Wukir Polaman itulah yang mengadakan
pengacauan. Disamping persaingan antara para permaisuri
dari Singasari dengan puteri Malayu ibunda raja Jayanagara,
pun pertentangan gelap namun tajam, antara kaum agama
Syiwa dengan kaum Budha. Candi Kagenengan yang dibangun
raja Kertanegara, merupakan candi Syiwa-Budha. Dalam candi
itu terdapat arca Syiwa dan arca Budha Aksobya. Tetapi arca
Budha Aksobya hilang musna d iambil orang. Juga dikalangan
para mentri2 kerajaan, diam2 telah timbul keretakan saling
berebut kedudukan dan pengaruh. Maka apabila engkau
kembali ke pura Majapahit, hendaknya berhati-hatilah dalam
ucapan dan tingkah laku. Tiang2 dan dinding2 keraton,
seolah-olah tumbuh mata dan telinga. Setiap fitnah cepat
tumbuh sesubur bibit padi dalam persemaian ..."
Anuraga menghaturkan terima kasih. Tiba2 ia tampak
meringis menahan sakit. Lalu mendekap lengan bahunya yang
kiri. Ternyata dalam pertempuran dengan Windu Janur tadi,
lengannya kena tergurat ujung trisula. Bajunya robek,
dagingnya pecah. Karena perhatiannya tercurah mengikuti
pembicaraan Kebo Lembana, ia masih tak merasa. Tetapi
disaat berhenti bicara, sakit pada luka itu mulai terasa. Ia
terkejut karena lengannya terasa kaku.
Kebo Lembana terkesiap. Cepat ia maju menghampiri dan
memeriksa luka Anuraga. Ia kerutkan dahi "Senjata Windu
Janur itu tentu dilumur racun. Lukamu berwarna biru. Kukuatir
racun itu ganas. Dapat merusakkan anggauta tubuh sehingga
engkau akan menderita cacat seumur hidup!"
Anuraga agak pucat. Sesaat ia amat gelisah mendengar
keterangan Kebo Lembana it u. Seperti sebuah mantra
bertuah, perkataan Kebo Lembana itu sangat mempengaruhi
perasaan Anuraga. Dan seketika itu ia rasakan lengannya
seperti lumpuh tak bertenaga lagi.
Anuraga makin resah gelisah.
"Sayang aku tak membekal obat" tiba2 Kebo Lembana
garuk2 kepala. Kemudian diam merenung.
Anuraga seperti disadarkan. Namun kesadaran untuk
segera mengusahakan pengobatan, hanya menambah
kekecewaan hatinya belaka. Ia juga tak membekal obat. Masih
tertinggal di pura Majapah it semua. Terlint as dua pilihan
dalam benaknya. Cepat2 menuju ke pura Majapahit atau balik
kembali ketempat gurunya. Kedua tempat tujuan, itu sama
jauhnya. "Hai, tunggu . . ." tiba2 Kebo Lembana berseru terus loncat
lari kedalam hutan. Anuraga tercengang heran. Tak tahu ia
apa yang tengah dilakukan bhayangkara keraton Majapahit
itu. Namun cepat ia lepaskan pemikirannya terhadap orang
itu. Ia harus memikirkan lukanya. Serentak dengan terbukanya
kesadaran pikirannya, iapun lalu duduk bersila, pejamkan
mata melakukan samadhi. Setelah mencapai penyatuan
semangat dan pikiran maka mu lailah digerakkannya tenaga
int i dari pusat Cakram Man ipura, kemudian ditingkatkan
kebagian Cakram Ana Hata lalu disalurkan keseluruh
peredaran darah dalam tubuhnya....
Beberapa saat kemudian terdengar derap langkah orang
berlari. Anuraga cepat membuka mata. Tampak Kebo
Lembana keluar dari hutan dan lari menghampiri "Heran!
Windu Janur lenyap!"
:"Windu Janur?" Anuraga kerutkan alis "mengapa kakang
mencarinya?" "Akan kuambil obat darinya apabila d ia sudah mati karena
kulempar tadi. Kalau masih hidup, akan kupaksanya supaya
mengobati lukamu!" "O" Anuraga mendesus. Diam2 ia memuji buah pikiran Kebo
Lembana. Katanya "mungkin dia hanya menderita luka lalu
meloloskan diri" "Mudah-mudahan begitu" kata Kebo Lembana. Tiba2 ia
kerutkan dahi "A sal jangan karena ditolong oleh lain anakbuah
Wukir Polaman. Ah, sayang, mengapa tadi tak kubunuhnya
saja !" "Maksud kakang?" Anuraga menegas,
"Dengan lolosnya Windu Janur, kedudukanmu makin
bertambah bahaya. Warga Wukir Polaman tentu makin
berusaha keras untuk membunuhmu. Dan penyusupanmu ke
pura kerajaan, telah diketahui mereka. Mudah sekali mereka
turun tangan. Baik secara langsung membunuhmu atau secara
tak langsung memfitnah dirimu. Apalagi saat in i engkau
sedang menderita luka"
Anuraga terlongong. Apa yang diuraikan Kebo Lembana itu
memang benar. Ia menyadari bahw a perjalanan ke pura
Majapah it kali in i tentu penuh aral bahaya yang merint angi.
Sesaat ia bingung bagaimana harus mengatur langkah.
"Anuraga" tiba2 Kebo Lembana berkata pula "dapatlah
kuselami kesibukan hatimu saat ini. Bagaimana kalau engkau
ikut aku bersama-sama menuju ke Singosari " Kurasa. Dang
Acarrya Ratnamsa tentu dapat mengusahakan pengobatan
lukamu. Di samping itu, untuk sementara kau dapat
menyembunyikan diri dari pengint aian orang2 Wukir Polaman.
Setelah menghadap Dang Acarrya Ratnamsa, kita atur langkah
lagi bagaimana supaya engkau dapat kembali ke pura
Majapah it dengan aman"
Anuraga mengerut dahi berpikir. Lalu tanyanya
"Berapa lamakah perjalanan ke S ingosari dan kembali ke
Majapah it itu akan memakan waktu?"
"Ah, tak lama. Apabila tiada aral melint ang, paling lama
sepuluh hari lagi k ita tentu sudah berada di pura kerajaan"
Anuraga menimang. Ia mendapat tugas penting untuk
segera kembali ke pura kerajaan. Ada desas desus bahwa di
kalangan ment ri kerajaan yang tak senang kepada raja
Jayanegara hendak mengadakan komplotan untuk membunuh
baginda. Anuraga ditugaskan untuk menyelidiki kebenarannya
desas desus itu dan mencari siapakah yang menyebarkan
desas desus itu. Apabila penyelidikan itu membuahkan
kenyataan bahwa komplotan itu memang ada, ia harus
berusaha untuk menggagalkan dan mengirim laporan kepada
gurunya. Apabila desas desus itu tidak nyata, haruslah
ditanggapi bahwa itu merupakan suatu siasat dari seseorang
yang hendak mengadu domba dengan tujuan agar raja
bertindak membasmi ment ri2 itu.
Tugas itu amat penting dan harus segera dilaksanakan.
Keterlambatan bertindak, mungkin akan mengakibatkan
hancurnya mentri2 set ya. Rangga Lawe, Lembu Sora, Gajah
Biru dan Juru Demung, merupakan serentetan peristiwa
korban finah adu domba. Dan pasti akan menyusul pula
jatuhnya beberapa mentri tua lainnya lagi. Rupanya biang
keladinya menghendaki para kadehan dari mendiang raja
Kertarajasa dahulu, supaya dilenyapkan bersih dari pucuk
pimpinan pemerintahan. Sepuluh hari bukanlah waktu yang pendek. Dalam waktu
sepuluh hari itu dapat terjadi bermacam peristiwa penting
yang menyangkut keselamatan kerajaan. Demikian pertimbangan Anuraga. Ia kuatir kepergiannya ke Singosari itu
akan. melalaikan t ugas yang diembannya.
"Terima kasih, kakang Lembana" kata Anuraga setelah
menentukan keputusannya "Kurasa aku dapat menahan luka
bahuku ini sampai ke pura kerajaan. Akan kulaksanakan
peringatanmu tentang bahaya yang membayangi kedatanganku ke sana. Telah kupikirkan langkah-langkah yang
aman untuk menghindari int aian orang Wukir Polaman.
Silahkan kakang melanjutkan perjalanan ke Singosari. Kelak
kita tentu berjumpa lagi dan Anuraga takkan melupakan budi
pertolongan kakang hari in i!"
Kebo Lembana mengulang ajakannya serta memberi
penjelasan panjang lebar bahwa lebih aman kiranya kalau
Anuraga ikut ke Singosari. Namun karena Anuraga tetap
menolak, akhirnya pengalasan dari puteri T ribuanatunggadewi
itupun berpisah dan melanjutkan perjalanan ke Singosari
sendiri. Kini tinggallah Anuraga seorang diri. Ia memeriksa luk a
pada bahunya itu pula. Hanya selebar mulut dan tak berapa
dalam. Tetapi darah yang mengucur berwarna merah gelap.
Daging sekitar luka itupun kebiru-biruan warnanya. Menilik
rasa kaku yang menyerang lengannya, ia membenarkan katakata Kebo Lembana tadi. Seketika tergetarlah hatinya. Adakah
ia bakal menjadi seorang cacad" Adakah lengan kirinya itu
bakal lumpuh selama-lamanya"
"Ah ..." ia tersenyum rawan dan bertanya dalam hati
"beginikah hasil yang harus diterima seorang pejuang" Cacad
dan dihina, mati tak dikenal alas kuburnya ..." ia merenung
sunyi. "Ah, setiap perjuangan tentu menuntut pengorbanan. Dan
seorang pejuang sejati harus rela berkorban, tak pernah
menuntut balas. Walaupun sebelah lenganku lumpuh tetapi
aku masih dapat bergerak dan berjuang. Sedetik aku masih
bernapas, sedetik itu pula aku harus berjuang melaksanakan
cita2ku" serempak bangkitlah semangat Anuraga. Cepat ia
bangun dan ayunkan langkah. Ia hendak cepat2 menuju ke
pura Majapahit. Tetapi baru beberapa langkah, ia sudah terhuyung2. Ia rasakan kepalanya pening, mata berbinar-binar.
Melihat keadaan brahmana itu, Dipa tak kuasa menahan diri
lagi. Cepat ia menerobos keluar dari gerumbul semak dan lari
menghampiri "Paman brahmana, engkau masih terluka,
jangan pergi dulu!" Anuraga terbeliak kaget dan berhenti. Sesaat melihat siapa
yang muncul ia menegur "Hai, engkau Dipa! Mengapa engkau
masih di sin i?" Dipa tersipu-sipu mfnghindari pandang mata brahmana itu.
Ia merasa t akut karena tak mengindahkan perint ah. Tubuhnya
agak gemetar. "DiPa aPakah engkau belum pulang?" tanya Anuraga
dengan nada ramah. Ia iba hati melihat anak itu gemetar.
"Be . . . lum" sahut Dipa tersendat.
"Mengapa ?" "Karena ... karena aku tak sampai hati meninggalkan
paman dalam bahaya. Pendeta itu bengis sekali"
"Jadi egkau bersembunyi dalam gerumbul" Apa perlunya ?"
tanya Anuraga pula. "Paman baik sekali kepadaku. Akupun harus membalas
kebaikan Paman, apabila Paman sampai t erancam bahaya, aku
akan keluar dan berusaha merint anginya"
"Hm, apa kemampuanmu ?"
"Akan kulontarnya dengan batu. Bila perlu akan kusekap
pinggangnya kencang2 supaya Paman dapat memukulnya"
-Bodoh sekali engkau! Dia amat kuat dan digdaya Kalau
bertempur dengan aku, hanya aku seorang yang menjadi
korban. Tetapi kalau engkaupun ikut, berarti akan jatuh dua
korban! Hm, Dipa, adakah engkau lihat aku benar2 kalah
dengan pendeta it u?"
"Kulihat paman menderita luka dan terdesak. Pendeta itu
hendak menyerang lagi, untunglah segera muncul paman
yang gagah perkasa t adi"
"Hm, itu menurut apa yang engkau lihat. Tetapi


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesungguhnya aku tidak kalah, Dipa. Pendeta itu termakan
pukulanku Rajah Kalacakra. Itulah sebabnya mengapa kakang
Lembana yang muncul untuk menolong aku itu, dapat dengan
mudah melemparkan pendeta itu ke dalam hut an"
"O" Dipa mendesus. Ia percaya penuh pada keterangan
paman brahmana itu, katanya "tetapi paman pun terluka dan
kudengar tadi senjata pendeta yang melukai bahu paman itu
beracun. Jika tak lekas mendapat obat yang mujarab, lengan
paman tentu lumpuh. Benarkah itu ?"
Brahmana Anuraga mengangguk "Benar. Itulah sebabnya
aku hendak bergegas pulang ke pura Majapahit untuk
berobat" "Tetapi paman" kata Dipa "perjalanan itu tentu amat jauh.
Paman terluka dan musuh2 paman selalu mengintai. Bukankah
itu amat berbahaya?"
Anuraga lepaskan pandang ke arah anak itu. Diam2 ia
memuji kelurusan hati anak itu. Kemudian ia menghela napas
"Ah, tiada lain pilihan bagiku kecuali harus menempuh bahaya
itu. Tetapi aku mempunyai siasat untuk mengaburkan mata
mereka" Dipa kerutkan dahi lalu menggelengkan kepala "Sekalipun
paman dapat melakukan hal itu, tetapi luka paman belum
tentu dapat bertahan lama"
"Habis, apa dayaku" Aku tak membekal obat kecuali harus
cepat2 mencapai pura Majapahit"
Tiba2 Dipa tegakkan kepala dan wajahnyapun meregang
kesungguhan, katanya "Paman, jika percaya padaku, harap
paman beristirahat di sin i. Akan kucarikan obat untuk luka
paman itu!" Alis brahriiana itu menjungkat ke atas, serunya "Obat
apakah itu " Jangan menggunakan obat yang engkau belum
tahu gunanya. Berbahaya. Apalagi lukaku ini luka yang t erkena
racun. Bila salah mengobati, akan lebih mengembangkan
daya-kerja racun itu. Dan lagi akan memperlambat
perjalananku ke pura Majapapahit. Berarti memperkecil
kesempatanku untuk lekas2 ber-obat"
"Tidak, paman!" seru Dipa dengan nada yakin "aku sendiri
pernah digigit ular beracun. Oleh kakek Draka yang tinggal di
desaku, aku dapat disembuhkan dengan jamur Bromo. Dia
menerangkan, bahwa segala macam racun dapat disembuhkan dengan jamur itu"
Anuraga kerutkan dahi. "Aku tahu tempat dimana jamur itu tumbuh. Di t erowongan
lembah gunung Kawi yang merebah ke sungai Brant as.
Tunggulah di sini, paman. Aku akan ke sana mengambil jamu r
itu" Dipa terus berputar tubuh dan hendak lari.
"Tunggu dulu, Dipa!" tiba2 Anuraga mencegah
"berapa lamakah engkau mencapai tempat itu" Hari sudah
malam, marilah k ita bersama ke sana!"
, "Tidak paman. Paling lama hanya memakan waktu sejam.
Sekalipun malam tetapi aku faham jalannya. Kalau paman
ikut , kukuatir luka paman tentu akan menebar kesakitan.
Tunggulah saja, paman. Aku tentu segera kembali" tanpa
menunggu persetujuan Anuraga lagi, Dipa t erus loncat dan lari
ke luar hutan. Anak itu memang tangkas dan gesit. Ia lupa
akan kambing gem- ba anya dan lupa pula bahw a saat itu ia
sudah harus pulang. Seluruh pikiran dan perhatiannya
tertumpah untuk mengusahakan obat kepada brahmana yang
baik budi itu. Ia menuju ke sebuah lembah yang subur. Rumput dan
tanaman rambat seolah-olah berlomba untuk menguasai
lembah itu. Pohon2 yang besarpun seolah-olah bersaing
mencapai ketinggian yang teratas. Dipa sering membawa
kambing gembalanya ke situ..Maka ia faham Sekali akan
jalan2 di daerah itu. Ia segera menuruni lembah dan menghampiri sebuah
gunduk karang yang merentang panjang. Langsung ia menuju
kesebuah lubang batu karang yang menyerupai terowongan
guha. Karena acapkali menggembala kelembah itu maka ia
tahu bahwa dicelah dan didalam terowongan karang, banyak
terdapat tumbuhan jamur. Dan diket ahuinya pula bahw a
dalam lubang yang besar dari karang itu, tumbuh sebatang
jamur besar. Berbeda dengan jamur2 yang berserakan
tumbuh disekitar tempat situ. Penampangnya atau daunnya
dibagian atas yang berbentuk seperti payung, berwarna merah
darah. Batangnya kuning emas.
"Ih "tiba2 anak itu mendesis kaget ketika melangkah
masuk. Dalam terowongan yang gelap gulita itu, penampang
jamur itu tampak bersinar merah, macam gumpal sekam yang
membara. Sedang dibawah batang jamur itu tampak dua buah
benda sebesar gundu memancar sinar terang. Mirip dengan
batu mustika yang bergemerlapan dimalam hari.
Walaupun ia tahu bahwa terowongan itu terdapat sebatang
jamur besar, namun sesungguhnya ia belum masuk
melihatnya. Apa yang disaksikan saat itu, benar2 tak pernah
disangkanya. Setelah menenangkan kejut hatinya, Dipa melangkah maju
selangkah demi selangkah. Ketika hanya terpisah tiga empat
langkah dari tempat jamur itu, t iba2 hidungnya mencium bau
yang aneh. Harum2 anyir. Ia terkejut dan cepat2 menyurut
mundur "Ular ..." desuhnya. Sebagai anak gembala, ia sering
keluar masuk hutan dan dapat mengenal bau binatang2 buas
yang terbawa angin. Bau anyir yang d iciumnya itu, jelas
berasal dari binatang ular. Dan seketika ia menyadari pula
bahw a dua Jauah benda sebesar gundu yang memancar sinar
terang itu tentulah sepasang mata dari ular itu. Ia t ermenungmenung diluar terowongan.
"Sungguh berbahaya" diam2 ia berkata dalam hati "apabila
aku langsung memetik jamur itu, tentu digigit ular "meremang
bulu romanya membayangkan peristiwa itu. Walaupun karena
gelap ia t ak mengetahui jenis dan bagaimana keadaan ular itu,
namun dari kedua matanya yang sebesar gundu, dapatlah ia
menduga bahwa ular itu tentu sebangsa ular yang beracun
dan ular yang besar. Tiba2 pula ia teringat akan bau harum yang menyerbak
bercampur bau anyir tadi. Bau anyir itu jelas tentu berasal dari
ular. Tetapi apakah bau harum itu" Adakah bau itu berasal
dari jamur yang luar biasa itu" Heran, adakah jamur dapat
memancarkan bau sedemikian harumnya" Demikian Dipa
bertanya dalam hati. Namun tak pernah ia menemukan
jawabannya. Akhirnya ia lepaskan pemikirannya. Y ang penting
ia harus cari akal bagaimana dapat menghalau ular itu. Ia
harus dapat memetik jamur itu untuk menolong brahmana
yang baik budi itu. Sampai beberapa waktu anak itu duduk di sebuah gunduk
karang sambil bertopang dagu. Tiba2 ia melonjak dari tempat
duduk "Hai, ada akal! Ya, hanya dengan cara itu barulah aku
dapat memetik jamur itu.."
Serentak anak itu lari mendaki ke atas lembah. Di malam
yang gelap, ia berlari-larian menuju ke hutan tempat
brahmana menunggu tadi. Tetapi ia tak menemui brahmana
itu melainkan menuju ketempat kambing yang digembalakan.
Diambilnya salah seekor kambing lalu d ipanggulnya dan
berlarilah ia kembali pula ke terowongan karang di bawah
lembah. Terdorong oleh semangatnya untuk menolong
brahmana Anuraga, sedikitpun ia tak merasa letih menempuh
perjalanan sampai tiga kali ke lembah itu sambil memanggul
seekor kambing. Tiba di muka terowongan, ia berhenti. Dilepaskannya
kambing itu ketanah. Sambil membelai-belai kepala kambing
itu ia berkata dengan rawan "Bukan aku kejam kepadamu.
Tetapi terpaksa kulakukan ini dengan berat hati karena
hendak menolong paman brahmana. Pengorbananmu, akan
kuingat selama-lamanya"
Beberapa butir airmata berderai-derai membasah i kedua
celah pipinya. Hatinya serasa tersayat sembilu. Kawanan
kambing yang digembalakan itu serasa sudah menjadi kawan
sepergaulan yang karib. Pernah ketika buyut desa yang
empunya kambing itu mengadakan selamatan sesaji, dia
mengambil salah seekor kambing untuk disembelih. Semalam
suntuk, Dipa menangis. Dan ketika ia diberi makan dengan
gulai kamb ing, ia menolak. Ia rela sehari itu tak makan.
Ia menemukan rasa aman dalam hati bergaul dengan
kambing2 itu. Jauh bedanya dengan anak2 dalam desanya
yang selalu mengejek, menghina dan ada kalanya mengolokolok dan mengajaknya berkelahi. Jauh pula bedanya dengan
sikap put era dari majikannya yang angkuh dan ringan t angan.
Demikian pula dengan nyi buyut yang banyak mulut dan suka
memakinya. Ia heran mengapa orang2 itu bersikap demikian
terhadap dirinya. Dan apabila hatinya pepat, ia segera
menumpahkan pelipur lara dengan kambing2 gembalanya itu.
Dalam lingkungan hidup yang menyesakkan hati itulah
maka ia amat berkesan kepada brahmana muda itu.
Kebenciannya terhadap orang, terhibur dengan sikap yang
ramah budi dari brahmana itu. Ternyata di dunia ini, tidak
semua orang sejahat dan sebengis orang dalam desanya.
Masih ada orang yang baik budi dan menyayanginya. Kesan
itulah yang mendorong tekadnya untuk memperoleh jamur
pengobat luka brahmana itu. Betapa berat rasa hatinya untuk
mengorbankan kambing yang disayanginya itu, namun ia tak
dapat mencari lain jalan. Seberat-berat mata memandang,
masih berat bahu memikul Serentak anak itu melangkah masuk ke dalam terowongan.
Ia berhenti pada jarak empat lima langkah. Dic iumnya
kambing yang dipondongnya itu lalu diturunkan ke t anah dan
didorongnya ke muka. T angan Dipa gemetar. Hampir tak kuat
ia menahan isaknya Walaupun tidak memiliki kecerdasan dan budi perasaan
set inggi manusia, namun bangsa khewan itu mempunyai
Kodrati naluri. Kambing itu menganggap Dipa sebagai kawan
dan pelindung. Kambing itu percaya penuh pada Dipa. Ia
mengira Dipa tentu menyuruhnya masuk dalam terowongan
beristirahat, seperti adat kebiasaan set iap malam apabila
dimasukkan ke dalam kandang. Maka berlarilah kambing itu ke
dalam. Sekonyong-konyong terdengar suara kambing itu mengembik nyaring. Nadanya penuh rint ihan kesakitan yang
menyayat. Jauh lebih mengharukan dari pada anak kambing
yang mengembik-embik mencari induknya karena kehausan
.... Dipa tergetar hatinya. Tak pernah ia menyangka bahwa
suara kambing itu sedemikian mengoyak perasaannya. Tubuh
anak itu menggigil, pandang matanya berbinar-binar. Dada
serasa pecah berhamburan bagai butir2 padi yang dihunjam
alu buruh perempuan penumbuk padi di lumbung buyut
pemilik kamb ing itu. Hampir Dipa tak dapat menahan hatinya. Ia hendak
menyerbu ular itu untuk menolong kambingnya. Syukurlah
pada detik2 yang menegangkan it u, ia terlint as akan bayangan
brahmana Anuraga. Seketika pulanglah kesadarannya. Ia
harus menahan perasaan hati. Pengorbanan kambing itu harus
ditebus dengan hasil memperoleh jamur. Kesadaran itu telah
memulihkan ketenangan hatinya. Segera ia curahkan pandang
matanya ke dalam terowongan. Dilihatnya sepasang mata ular
yang memancar sinar di kaki batang jamur itu sudah hilang.
Suatu tanda bahwa ular itu sudah berkisar dari tempatnya,
karena menyergap kambing. Setelah beberapa saat
membiasakan pandang matanya dalam kegelapan tempat itu,
segera ia mu lai ayunkan kaki melangkah hati2 ke muka.
Selangkah, dua langkah, tiga empat langkah, ternyata ia tak
mendapat gangguan suatu apa. Kini jaraknya dengan jamur
itu tidak jauh hanya terpisah tiga langkah. Hidungnyapun
terbaur bau harum yang lebih keras dari ketika pertama kali ia
masuk tadi. Dipa berhenti. Ia memperhitungkan langkah. Apabila ia
bergerak cepat, sekali loncat tentu tiba di tempat jamur itu. Ia
harus secepat kilat mencabut tumbuhan itu dan terus lari
keluar sebelum ular sempat menyambarnya.
Demikian set elah bulat ketetapan hatinya, Dipa sejenak
mengencangkan kaki, memusatkan perhatian dan mengumpulkan tenaga untuk mengantar loncatannya. Dan
pada lain saat, kakinya menekan tanah maka meluncurlah
tubuhnya ke muka. "Uh ..." secepat kilat ia menyambar batang
jamur itu dan dengan kedua tangannya ia cepat mencabut
sekuat-kuatnya. Karena batangnya digoyah-goyah, jamur itu
menghamburkan bau yang amat harum sekali sehingga Dipa
merasa pening kepalanya. Anak itu telah menghisap bau
harum yang luar biasa. Dan karena digoncang-goncang tangan
Dipa, penampang jamurpun bergoncang keras. Air sari putik
jamur berhamburan menabur muka Dipa. Tanpa disengaja,
segumpal air sari putik jamur meluncur kemulut Dipa yang
sedang ternganga karena mengeluarkan tenaga mencabut
batang jamur. Serentak mulut anak itu mengatup. Air sari
jamur itu ternyata manis dan tanpa disadari pula, Dipapun
meneguknya. Pada saat anak itu merasa hampir dapat mencabut batang
jamur, sekonyong-konyong ia rasakan kedua kakinya
mengejang. Suatu benda lunak2 licin melingkari kakinya, lut ut ,
paha dan makin lama makin naik ke pinggang. Dipa terkejut
sekali. Karena gelap ia belum mengetahui benda apakah yang
melibat tubuhnya itu. Tetapi nalurinya cepat dapat menduga
bahw a yang melilit badannya itu tentulah si ular penunggu
jamur tadi! Pikiran anak itu terlint as bayang2 yang ngeri. Lilitan ular itu
makin lama makin mengencang dan pastilah ia akan mati
karena tulang belulangnya hancur remuk.
Mempertahankan hidup, memang sudah menjadi sifat Alami
manusia. Demikian dengan Dipa. Ia harus berjuang melawan
maut. Ia menyadari bahwa saat itu ia h idup dengari dua jiwa.
Jiwanya sendiri dan jiwa brahmana Anuraga. Serentak
menggeloralah darahnya, meluapkan semangat keberanian
yang menyala-nyala. Tetapi sebelum ia sempat memikirkan langkah yang akan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diambil, tiba2 ia rasakan bahu kirinya sakit sekali, tergigit
benda2 runcing. Ah, tentulah ular itulah yang menggigit
bahunya. Serentak ia gerakkan tangan kanan untuk
mencengkeram ke arah bahunya yang sakit itu. Tangannya
mencekal sebuah benda lunak2 keras. Secepat kilat ia menarik
benda itu sekuat-kuatnya. Seketika rasa g igitan yang amat
sakit pada bahunya itu hilang dan sesaat itu iapun gerakkan
tangan kiri untuk mengimbangi cengkeraman tangan
kanannya. Setelah benda yang diduganya kepala ular itu
tercengkeram kedua tangannya, anak itu segera kerahkan
seluruh tenaganya untuk memperkeras cengkeramannya.
"Uh ..." ia mendesuh kesakitan ketika lilitan pada tubuhnya
itu makin mengencang keras sekali. Sedemikian kerasnya
sehingga Dipa makin merasa lemas karena tenaganya makin
lenyap "Celaka, aku tak kuat bertahan lebih lama. Lilitan ular
itu makin kencang, tubuhku makin lemas ...."
Dalam menghadapi renggutan maut itu, tiba2 timbul pikiran
Dipa untuk bertindak nekad. Serentak tangannya menyongsong benda yang dicengkeramnya itu ke atas lalu
digigit sekuat-kuatnya. Karena gelap ia tak menyadari bahw a
yang digigitnya itu adalah jampang ular.
Kiranya jamur Brama yang tumbuh dalam terowongan
karang itu, bukanlah jamur biasa. Tetapi merupakan
tumbuh2an yang sudah berumur entah berapa puluh tahun.
Jamur yang sudah tua itu penampangnya berwarna terdapat
dalam dunia. Jamur Bromo yang berumur hampir seratus
tahun dan penampangnya berwarna merah darah yang dapat
memancarkan sinar bara itu. disebut jamur Bromocahyo.
Mengandung khasiat tinggi sebagai obat penyembuh sakit
kusta dan segala keracunan darah.
Namun sudah lazim berlaku dalam dunia bahw a set iap
benda pusaka dan mustika, baik t umbuh2an maupun khewan,
senantiasa tentu menjadi pusat pembangkit nafsu keinginan
untuk memiliki. Dalam hal itu, bangsa khewanpun mempunyai
naluri setajam manusia sebagai insan yang mendambakan diri
pada Nafsu dan Keinginan. Demikianpun dengan jamur
Bromocahyo. Penampang jamur yang memancar sinar
membara itu, membaurkan hawa harum yang mengandung
zat penyubur tubuh. Perjuangan memenuhi Nafsu dan Keinginan dalam dunia
khewan, pun tak kalah hebatnya dengan manusia. Bagai
semut mengerumuni gula maka berbondong-bondong
mengalirlah beberapa jenis binatang untuk mendapatkan
jamur Bromocahyo itu. Namun mereka harus mundur teratur
karena gentar pada penunggunya, seekor ular sanca
berjampang yang sudah berpuluh-puluh tahun bertapa dalam
terowongan karang. Ada juga beberapa binatang yang nekad
hendak meraih jamur itu. Tetapi mereka terpaksa harus
tinggal dalam terowongan karang di situ selama-lamanya
sebagai t umpukan tulang penghias guha.
Selama berpuluh t ahun hanya ular berjampang itulah yang
berhasil menghaki dan memanfaatkan khasiat sari hawa jamu r
Bromocahyo itu. Ular itu menyangka bahwa dengan sari zat
hawa jamur Bromocahyo, ia akan dapat bertahan hidup
sampai beratus tahun. Namun sesuai dengan sifat Maya dari
dunia yang fana in i, set iap benda dan keadaan itu selalu tak
kekal, selalu tak lepas dari Kodrat hakiki Kehidupan. Lahir,
hidup dan mati. Ketamakan ular berjampang yang ingin hidup melampaui
ketentuan kodrat, telah t erhapus oleh kemunculan Dipa. Anak
yang rupanya ditentukan Hyang Widdhi untuk mengemban
tugas melenyapkan kejahatan dan kekacauan.
Belum pernah dalam sepanjang hidupnya, anak itu
menghayati daya-juang yang sedemikian besar seperti saat
itu. Kelahirannya yang membaca ciri kaum Sudra, kasta yang
dianggap golongan hina. Lingkungan hidup yang bersuasana
cemoh olok anak2 di desanya, dera cerca keluarga buyut yang
memeliharanya, hampir memudarkan semangat hidup anak
itu. Matahari yang dinikmati orang2 itu, beda dengan matahari
yang dirasakan. Karena sinar matahari yang panas itu masih
kalah panas dengan sinar mata bengis dari keluarga buyut itu
dan sinar mata penuh olok cemohan dari anak2 desa. Bahkan
nama pengasih orangtua yani Dipa, tidaklah diaku i oleh
keluarga buyut, kawanan anak nakal dan masyarakat desanya.
Ia hanya dikenal dengan nama-menurut selera cemohan
mereka: si Gajah. Namun anak itu tak menghiraukan adakah ia dipanggil Dip a
atau Gajah, seperti halnya ia t ak mengacuhkan sinar matahari
dan nasib hidupnya. Ada kalanya ia mengeluh dan mengiri
pada kucing Candramawa kesayangan nyi buyut. Betapa
mesra nyi buyut membelai-belai kepala kucing itu. Betapa
besar perhatian yang dicurahkan nyi buyut untuk menyediakan
makanan enak bagi kucing itu. Memang iapun sering dibelaibelai kepalanya oleh nyi buyut. Tetapi beda belaian nyi Buyut
kepada kucing Candramawa dengan dirinya. Belaian nyi buyut
kepada si Candramawa itu menyebabkan kucing itu liyer2
dibuai kantuk yang nikmat. Tetapi belaian tangan nyi buyut
pada kepala Dipa, menyebabkan anak itu meringis kesakitan
karena kepalanya berhias benjul2 tamparan dan totokan
tangan yang gemas2 ganas. Acapkali bertanyalah anak itu
dalam hati. Adakah anak manusia seperti dirinya itu, kalah
berharga dengan seekor kucing"
Ada kalanya pula pada hari2 tertentu ia melihat orang2 di
desanya berbondong-bondong menuju ke candi. Bersujut
merta dan menyajikan hidangan lezat pada arca yang terdapat
di situ. Ia t ak tahu apa artinya kesemua itu. Yang diketahuinya
Panji Wulung 1 Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan Istana Sembilan Iblis 1
^