Pencarian

Istana Sembilan Iblis 1

Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis Bagian 1


ISTANA SEMBILAN
IBLIS Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memper-
banyak sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari pe-
nerbit http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 "Dungu! Apa maksudmu mengajakku ke
sini"!" Seruan yang terdengar membentak menggema di seluruh Hutan Angkoso yang
lebat ini. "Aku" Mengajak ke sini" He he he.... Jan-
gan mengigau, kawan. Bukankah kau yang men-
gajakku ke sini?" balas suara lain seperti tanpa merasa bersalah.
Agaknya, dunia memang kurang ramai ka-
lau tanpa seteru. Harus ada saling berlawanan.
Ada lelaki, ada perempuan. Ada gelap, ada terang.
Ada tua, ada muda. Ada benar, ada salah. Begitu-
lah yang terjadi terhadap Lelaki Berbulu Hitam,
yang saat ini diajak oleh Pendekar Dungu ke se-
buah hutan sangat lebat. Satu sama lain saling
membenarkan dan menyalahkan, siapa yang men-
gajak mereka ke sini.
Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu to-
koh persilatan yang menjadi sahabat Andika, alias Pendekar Slebor. Padahal
Andika sendiri malas
untuk bersahabat dengannya. Selain bermulut
bawel, lelaki keturunan serigala itu juga berperan-gai kasar.
Makanya, untuk mengobati 'penyakitnya'
itu, Lelaki Berbulu Hitam mendapat wangsit untuk menemui Pendekar Slebor. Tak
heran kalau Lelaki
Berbulu Hitam terus mengejar-ngejar Pendekar
Slebor. Bukan karena cinta, tapi Andika memang
sudah dianggap sebagai Tuan Penolongnya.
Sedangkan lelaki bangkotan satu lagi yang
berjuluk Pendekar Dungu, bodohnya memang ti-
dak ketulungan. Sudah bau tanah, tapi kedun-
guannya terus saja dipelihara. Dia juga salah satu sahabat Pendekar Slebor.
"Enaknya kau ngomong! Kau memang sela-
lu bikin kepalaku mau meledak, tahu"!" bentak Lelaki Berbulu Hitam. Seketika
diserangnya Pendekar Dungu yang masih menatap dengan wajah
ke bodoh-bodohan.
Dan begitu Lelaki Berbulu Hitam menye-
rang, dengan sigap Pendekar Dungu berkelit lin-
cah. Bahkan kemudian segera membalas. Maka
antar dua tokoh aneh yang sama-sama tua bangka
bau tanah itu terjadi pertarungan. Dan ini bukanlah sebuah pertarungan enteng,
melainkan sebuah
pertarungan penuh jurus-jurus maut.
"Kepalamu memang keras, eh! Maksudku,
kau memang keras kepala. Apa kau memang ingin
mampus"!" seru Pendekar Dungu sambil terus meladeni serangan Lelaki Berbulu
Hitam. "Dasar tua-tua belekan! Kau yang mesti
mampus lebih dulu!"
"Enaknya! Kalau aku mampus pun, cacing-
cacing geli memakan daging ku!"
Tubuh mereka saling berkelebat, menim-
bulkan angin menderu tajam. Serangan keduanya
dilakukan silih berganti, dengan jurus-jurus me-
nakjubkan. Hingga pertarungan berlangsung seratus
jurus, tak ada yang kelihatan mengalah. Kedua-
duanya masih terus menyerang, tetapi lama-
kelamaan Pendekar Dungu mengangkat tangan-
nya. "Berhenti dulu!" ujar tua bangka yang to-lolnya minta ampun itu. Dia
berusaha mengatur
nafasnya yang dicicil.
"Kenapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam, seraya menghentikan serangan.
"Kenapa" Lho, kok tanya padaku" Bukan-
kah tadi kau yang menyuruhku menghentikan
pertarungan ini?" tanya Pendekar Dungu lugu.
Wajahnya menggambarkan rasa tak bersalah.
"Wuuaah...!"
"Dasar, Dungu! Heran! Tujuh turunan aku
tak mau bertemu denganmu, kini kenapa bisa ber-
temu lagi hah?" Lelaki Berbulu Hitam menyumpah-nyumpah.
Pendekar Dungu tersenyum. Wajahnya jadi
sangat jelek sekali.
"Itu tandanya jodoh," sahutnya, enteng.
Mata Lelaki Berbulu Hitam membelalak.
"Jodoh" Apa kita mau main pedang-
pedangan"!"
Bukannya menyahuti, Pendekar Dungu ju-
stru menyerang dengan kecepatan sangat luar bi-
asa disertai tenaga dalam tinggi.
"Jangan mengkhayal kau, ya"! Mana sudi
aku berjodoh denganmu?" maki lelaki tua bodoh itu. Lelaki Berbulu Hitam
menggaruk-garuk
kepalanya sendiri sambil bersalto untuk menghin-
dar. Gerakan itu dilakukan dengan sikap biasa sa-ja, seolah sedang berdiri
tegak. "Wauah! Dasar dungu, ya tetap dungu! Su-
dah, sudah! Berhenti dulu!" teriak Lelaki Berbulu Hitam. "Tarik lagi kata-katamu
tadi! Enaknya bilang aku berjodoh denganmu!" ujar Pendekar
Dungu, masih menyerang gencar, seolah tak kenal
lelah. "Kau yang bilang berjodoh! Bukan aku!"
maki Lelaki Berbulu Hitam sengit.
"Kau yang bilang!"
"Kau!"
"Kau!"
"Iya, iya aku bilang! Hentikan serangan-
mu!" Pendekar Dungu melenting ke belakang.
Setelah berputaran beberapa kali. Dia hinggap di bumi bagai sehelai kapas sambil
terkekeh-kekeh.
"Nah! Akhirnya kau ngaku juga, kan?" usik Pendekar Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam mendengus.
"Sudah, sudah! Sekarang katakan, menga-
pa kau mengajakku ke sini?"
"Hei, kau masih tidak mau mengatakan
yang sebenarnya, hah"! Kaulah yang justru men-
gajakku!" bentak Pendekar Dungu. Tetapi tiba-tiba dia terdiam, lalu tertawa. "Ha
ha ha...! Memang aku yang mengajak mu ke sini, kan" Ah..., ternyata aku memang
pintar!" Lelaki Berbulu Hitam melongo. Tetapi di-
biarkannya saja Pendekar Dungu.
"Apa kau tidak tahu kalau di sebelah timur
hutan ini ada sebuah lembah?" jelas Pendekar Dungu. "Lembah apa?" tanya Lelaki
Berbulu Hitam. "Mana aku tahu! Aku saja ingin tahu!"
"Iya, iya! Lalu kenapa?"
"Menurut wangsit yang kuterima dua
minggu lalu, di lembah itu ada sebuah istana yang sangat bagus. Ha ha ha..., aku
jadi ingin tidur di ranjang yang empuk," kata Pendekar Dungu sambil memejamkan
matanya yang selalu dihiasi be-
lek. "Lalu, apa yang dikatakan wangsit dalam
mimpimu itu?"
"Aku melihat Tuan Penolong kita si Andika,
mampus," papar Pendekar Dungu.
"Jangan mengigau!" dengus Lelaki Berbulu Hitam. Mana mungkin tuan penolong kita
mampus! Dia itukan pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan"!"
"Aku juga tidak percaya! Tetapi mimpi ku
mengatakan demikian! Makanya, aku ingin meno-
longnya!" "Sok tahu! Dengan tubuhmu yang kering
kerontang begitu, kau bisa apa?" ejek manusia keturunan serigala itu.
Pendekar Dungu melotot.
"Aku?" tukas Pendekar Dungu, menatap
Lelaki Berbulu Hitam. "Sudah jelas aku bisa makan. Aku tau, di mana letak
mulutku! Hm.... Jan-
gan-jangan..., kau yang dungu. Karena, tidak tahu di mana letak mulutmu
sendiri?" Lelaki Berbulu Hitam mendengus. Kesal
juga dia dengan lelaki dungu ini. Namun kali ini dia berusaha meredam amarahnya
ketika teringat
dengan mimpi yang diceritakan Pendekar Dungu.
"Hei! Bagaimana dengan Tuan Penolong-
mu"!" tanya Lelaki Berbulu Hitam.
"Nah! Tadi kau bilang kau dan aku jodoh"
Lalu mengapa menanyakan pemuda itu" Dasar ti-
dak setia!"
Lelaki Berbulu Hitam menghentakkan ka-
kinya saking jengkelnya.
"Heran! Kenapa ada manusia yang dun-
gunya tidak hilang-hilang sepertimu, ya?"
Bukannya marah, Pendekar Dungu justru
menepuk-nepuk dadanya.
"Siapa dulu dong?" tukas lelaki berotak bebal itu, bangga.
"Sudah, sudah! Aku mencari Pendekar Sle-
bor, karena ingin melihat keadaannya. Itu saja!"
ujar Lelaki Berbulu Hitam seraya melangkah me-
ninggalkan Pendekar Dungu.
"He he he.... Kalau begitu kebetulan, Aku
juga ingin menemuinya! Hei, mau ke mana kau?"
"Bukankah tadi kau bilang di lembah sebe-
lah timur hutan ini ada sebuah istana?" tukas Lelaki Berbulu Hitam, langsung
menghentikan lang-
kahnya. "Benar."
"Kau bilang juga. Pendekar Slebor akan
mampus di sana."
"Benar."
"Dan kau bilang...." "Benar."
"Aku belum ngomong!"
Pendekar Dungu mengibaskan tangannya.
"Aku sudah tahu! Tidak usah dikasih tahu!
Belum budek!"
Lelaki Berbulu Hitam kembali melangkah.
Pendekar Dungu menggeleng-geleng.
"Heran! Kok ada orang yang pemarah se-
perti itu ya" Hmmm.... Jangan-jangan dia Lelaki
Berbulu Hitam! Lho" Dari tadi aku ngomong den-
gan siapa" Bukankah dia Lelaki Berbulu Hitam"
Ah, dasar bodohnya aku!"
*** Dua tokoh aneh yang sering berbeda pen-
dapat itu terus melangkah, mencari istana yang disebutkan Pendekar Dungu.
Sesekali mereka bertengkar.
Ketika mereka keluar dari hutan, menda-
dak saja satu sosok gemulai muncul dari balik
semak. Rambutnya panjang, wajahnya jelita, ku-
litnya putih bersih ditunjang pakaian berwarna
kuning. Pas sekali! Ketika Kakinya melangkah,
pinggulnya yang indah itu bergerak.
Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam
berhenti sambil menelan ludah. Suara ludah yang
ditelan Pendekar Dungu terdengar lebih kencang.
"Memalukan!" maki Lelaki Berbulu Hitam.
"Apa urusanmu" Ludah-ludah ku sendiri!"
Sementara gadis jelita itu terus melangkah.
Seperti acuh saja pada kedua pendekar tua bang-
ka ini. "Neng..., apa kau tahu kalau ada istana di sini?" tanya Pendekar Dungu.
Gadis jelita itu berhenti melangkah seraya
berbalik. Matanya lantas mengerling dengan ge-
nitnya, membuat Pendekar Dungu mencolek bahu
Lelaki Berbulu Hitam.
"Jangan iri. Biar sudah tua begini, aku ma-
sih ganteng, kan?" oceh lelaki berotak tumpul itu.
"Paman.... Apa yang Paman tanyakan ta-
di?" tanya gadis jelita itu sambil tersenyum malu-malu. Pendekar Dungu langsung
menegakkan badannya yang keropos. Setelah menarik rambut-
nya yang tipis, dia melangkah bagai perjaka ku-
rang makan. "Istana," kata Pendekar Dungu dengan suara yakin. Lalu tahu-tahu kepalanya
menoleh pa- da Lelaki Berbulu Hitam. "Bukankah tadi aku menanyakan istana, kan?"
"Mana aku tahu!" sahut Lelaki Berbulu Hitam, semaunya.
"Dungu!" dengus Pendekar Dungu, lalu
menoleh kembali pada gadis jelita yang tersenyum simpul. "Iya, iya.... Aku
yakin, yang kutanyakan tadi padamu adalah istana. Apa kau tahu, kalau di sini
ada istana?"
Gadis itu menggeleng.
"Maaf, Paman.... Aku tidak tahu. Permi-
si...." Pendekar Dungu hanya manggut-manggut saja seperti orang kena sirep.
Bahkan matanya memperhatikan langkah gadis itu yang meng-
goyangkan pinggulnya sambil menggeleng-geleng
kepala. "Hei" Apakah kau tidak merasa heran, mengapa di hutan seangker ini
muncul gadis jelita?" tanya Lelaki Berbulu Hitam, mengusik perhatian Pendekar
Dungu pada gadis itu.
Pendekar Dungu seketika menoleh.
"Memangnya dia siapa?" tanya Lelaki tolol itu lugu.
"Kuntilanak barangkali!"
"Ih! Teganya kau bilang begitu" Mana ada
kuntilanak penunggu cantik seperti itu" Kalau kau yang sebut genderuwo, aku
percaya...."
"Tampangku masih lebih cakep daripada
kau, tahu!"


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho, lho..." Masa memperebutkan siapa
yang paling jelek saja sampai ngotot. Sudahlah,
aku rela kalau kau menganggap dirimu paling je-
lek," tukas Pendekar Dungu dengan ringan, lalu melangkah santai.
Tetapi tangan Lelaki Berbulu Hitam lebih
cepat menahan tangannya.
"Kau lihat di mana gadis itu sekarang?" tanyanya. "Pergi."
"Iya, ke mana?"
"Mana aku tahu" Dia tidak bilang apa-
apa?" Dengan gemas Lelaki Berbulu Hitam meno-lehkan kepala Pendekar Dungu pada
arah yang di- tempuh oleh gadis tadi.
"Kau lihat! Dia sudah tidak ada!" ujar Lelaki Berbulu Hitam, kesal.
"Oh! Hitam, kau lihat ke mana gadis itu?"
tanya Pendekar Dungu, makin bodoh saja.
Lelaki Berbulu Hitam menggeram gemas.
Ingin rasanya dia meremas tubuh keropos itu.
"Sudah kubilang tadi, dia termasuk kuntilanak hutan ini!"
Pendekar Dungu menggeleng-geleng.
"Sayang, ada kuntilanak secantik itu dilewatkan.
Kalau saja muncul lagi, aku mau menjadi keka-
sihnya," gumam Pendekar Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam sudah benar-benar
putus asa menghadapi Pendekar Dungu. Tetapi
sebelum dia berkata-kata, gadis tadi sudah mun-
cul dari arah pertama kali datangnya tadi.
"Hei!" desis lelaki keturunan serigala itu terkejut. "Nah! Apa kubilang" Matamu
saja yang kurang waras. Buktinya, dia berada di sini, kan"
Hei, Neng Geulis.... Katanya kau ini sebangsa kuntilanak" Apa iya, ya?" tegur
Pendekar Dungu.
Dengan lugunya lelaki tua keropos ini
mendekati. Lalu diraba-rabanya sekujur tubuh
gadis itu. "Auuw!"
Tanpa mempedulikan teriakan-teriakan
gadis itu, Pendekar Dungu menoleh pada Lelaki
Berbulu Hitam. "Lihat! Dia bisa kupegang tubuhnya. Kau
ini suka mengigau saja! Makanya, jangan menu-
duh gadis jelita ini sebangsa kuntilanak!"
Plak! Gadis itu tahu-tahu menampar pipi Pende-
kar Dungu yang seketika menoleh pada Lelaki
Berbulu Hitam. "Tamparannya pun ku rasakan, kok," kata Pendekar Dungu yakin.
Sekali lagi Lelaki Berbulu Hitam menghen-
takkan kakinya. Lalu didekatinya gadis itu yang
cemberut. "Nona Manis..., maafkan temanku yang
dungu ini. Dia memang...."
"Enaknya kau ngomong!" potong Pendekar Dungu."Sudah, sudah! Biar aku yang
menghadapi! Kalau memang wangsit mimpi ku benar, Pendekar
Slebor berarti dalam bahaya besar! Kita harus menolongnya."
"Aku kenal pemuda ganteng itu." Sebelum ditanya, gadis berbaju kuning itu sudah
berkata lebih dulu "Hah" Kau mengenalnya?" sentak Pendekar Dungu. "Bagus, bagus.... di mana dia
sekarang?"
Gadis itu tersenyum penuh rahasia.
"Hei. Jangan senyum-senyum saja! Kau
memang cantik! Tetapi nanti dong, kalau mau
main senyum-senyuman!" seru Pendekar Dungu.
Lelaki Berbulu Hitam menarik lengan Pen-
dekar Dungu ke belakang. Dia berpikir, kalau be-
gini caranya, tidak akan pernah selesai.
"Nona Manis..., apakah kau bertemu den-
gannya?" tanya Lelaki Berbulu Hitam.
Gadis itu mengangguk.
"Di mana dia sekarang?"
Gadis itu menunjuk suatu tempat.
"Oh! Keadaannya baik-baik saja?"
Gadis itu mengangguk.
"Bisakah kau mengantarkan kami ke sa-
na?" "Bisa, Paman?"
"Kalau begitu..., antarkan kami sekarang.
Kau bersedia, bukan?"
Gadis itu kembali mengangguk.
Lelaki Berbulu Hitam menoleh pada Pen-
dekar Dungu. "Kau mau ikut tidak?" tanya lelaki keturunan serigala ini.
"Aku sudah dengar semuanya. Ya, mau!
Toh, aku ingin melihat keadaan Tuan Penolong.
"Sudah, jangan banyak bicara!"
"Lho" Hanya sedikit saja! Justru kau yang
banyak bicara! Dasar! Sudah tua masih ganjen sa-
ja!" seru Pendekar Dungu.
Pendekar Dungu lantas berbalik, membela-
kangi Lelaki Berbulu Hitam yang mendengus jeng-
kel. "Mari..., antarkan kami sekarang juga, No-
na...," pinta Pendekar Dungu.
Gadis itu sudah melangkah duluan. Se-
mentara Lelaki Berbulu Hitam bermaksud hendak
menyusul. Tetapi, tangannya dipegang Pendekar
Dungu yang melotot.
"Kau tidak mau aku ikut kan" Dasar sirik!"
*** 2 Di sebuah lembah yang terletak di sebelah
timur hutan Angsoko memang berdiri sebuah ista-
na yang sangat megah. Bangunannya mirip seperti
candi, namun di sana-sini sudah diperbaharui.
Dinding yang memagari istana terbuat dari
batu yang keras. Pintu gerbangnya tinggi. Di de-
pan istana, membentang halaman berumput hijau,
sedap dipandang.
Dalam istana sebuah ruangan yang besar
dan indah tampak tertata apik sebuah meja yang
penuh buah-buahan dan makanan lezat serta
tuak dikelilingi sembilan orang laki-laki berwajah menyeramkan. Sambil tertawa
terbahak-bahak masing-masing memangku seorang gadis jelita
yang kelihatan hanya pasrah dan tidak bisa ber-
buat apa-apa ketika diciumi.
"Ha ha ha.... Rasanya aku tidak pernah
puas membayangkan apa yang akan kita da-
patkan," kata seorang laki-laki yang matanya pi-cak sebelah kiri.
Rambut lelaki ini panjang. Badannya besar
dengan kulit keras. Pakaian terbuat dari sutera halus. "Rasanya, persatuan kita
yang dijuluki Sembilan Iblis akan menguasai rimba persilatan.
Dan aku bangga dengan kalian! Upasonto yang
berjuluk Iblis Baju Sutra, Jenggolo yang berjuluk Iblis Tangan Dewa, Majenar
yang berjuluk Iblis Cakar Harimau, Sridorsa yang berjuluk Iblis Kahyangan,
Dwipolko yang berjuluk Iblis Rembulan,
Grisoko yang berjuluk Iblis Pincang, Kahyunputi
yang berjuluk Iblis Lidah Api, Bresalar yang berjuluk Iblis Kaki Seribu, dan
Wediwoso yang berjuluk Iblis Juling, adalah nama-nama yang patut diper-hitungkan
dalam rimba persilatan!" Lanjut lelaki yang berjuluk Iblis Baju Sutera itu.
Mereka memang dikenal sebagai Sembilan
Iblis, yang tergolong jajaran kaum sesat. Setelah malang melintang di kancah
dunia persilatan dengan sepak terjang yang menggemparkan, mereka
menemukan sebuah tempat di lembah yang terle-
tak di sebelah timur Hutan Angkoso. Hingga seka-
rang, hutan itu dikenal dengan nama Istana Sem-
bilan Iblis! Setelah lima tahun berdiam di sana sudah
banyak tokoh persilatan golongan putih yang ingin memusnahkan mereka. Namun
semuanya harus menemui ajal. Bahkan saat menjadi mayat pun,
tubuh mereka dicabik-cabik dengan buas.
Pagi ini, seperti biasa Sembilan Iblis me-
nikmati kemenangan setelah membunuh Panem-
bahan Reso Tunggal yang menguasai Gunung Ro-
go Jembangan di tengah pulau Jawa ini. Tubuh
Panembahan Reso Tunggal yang berusia kira-kira
tujuh puluh enam tahun ini pun ditemukan terpi-
sah-pisah. Tubuhnya dirancah dengan kejam oleh
Sembilan Iblis.
"Kau tahu, Upasonto," kata Jenggolo yang berjuluk Iblis Tangan Dewa. "Sebentar
lagi, kita akan memusnahkan pendekar muda yang sepak
terjangnya akhir-akhir ini banyak dibicarakan
orang. Aku muak mendengarnya! Dan dia ingin ku
kubur bersama jiwa besarnya itu!"
Upasonto terbahak-bahak. Diciuminya lagi
gadis yang berada di pangkuannya.
"Sebentar lagi dia akan mampus, Jenggolo!
Pendekar muda yang berjuluk Pendekar Slebor
memang satu-satunya penghalang kita yang akan
dihancurkan! Tokoh-tokoh yang lain adalah masa-
lah kecil! Buktinya, Panembahan Reso Tunggal
yang perkasa itu kini sudah menjadi santapan
cacing-cacing tanah!"
Kata-kata Upasonto disambut tawa saha-
bat-sahabatnya. Namun tiba-tiba saja tawa mere-
ka terhenti. karena....
"Bagus! Rupanya kalian bersenang-senang
di sini!" Mendadak terdengar sebuah suara bernada membentak, yang diikuti
berkelebatnya satu sosok tubuh. Dan tahu-tahu sosok tubuh tinggi besar
sudah berada di ruangan ini. Wajahnya dingin
dengan kedua tangan terlipat di dada. Rambutnya
panjang acak-acakan. Ada bekas luka memanjang
di pipi sebelah kiri. Sosok tinggi besar dengan tatapan mata dingin dan
memancarkan kekejaman
itu mengenakan pakaian berwarna merah.
"Siapa kau"!" bentak Bresatar yang berjuluk Iblis kaki Seribu sambil bangkit
berdiri. Gadis yang berada di pangkuannya pun terjatuh, tak di-
pedulikan lagi.
Sosok yang tiba-tiba muncul itu terse-
nyum. Dingin, mengundang hawa kematian.
"Namaku Tidar, berjuluk Raja Akherat!"
Mendengar julukan itu bukannya terlon-
goh-longoh atau ketakutan, Sembilan Iblis malah terbahak-bahak. Bresatar yang
bertubuh jangkung
dengan wajah panjang dan mata sipit, melangkah.
"Rupanya..., Raja Akherat yang berada di
hadapanku ini" Tak kusangka, rupanya kedatan-
ganmu hanya untuk mati!"
Raja Akherat menyipitkan matanya.
"Sudah lama aku mendengar tentang Ista-
na Sembilan Iblis yang dikuasai orang-orang dun-
gu semacam kalian! Dan tanganku menjadi gatal
untuk mencobanya!"
Bresatar menoleh ke arah teman-
temannya. Dan secara bersamaan mereka terba-
hak-bahak. "Lucu, lucu sekali! Raja Akherat! Meskipun
kita sama-sama dari golongan sesat namun orang
yang lancang berani-beraninya menantang Sembi-
lan Iblis pasti akan mampus!"
"Itulah sebabnya aku ingin mencoba ka-
lian! Bila aku menang, kalian akan menjadi pengikut ku. Dan akulah yang akan
menguasai Istana
Sembilan Iblis ini!"
"Bila kau menang?" ejek Bresatar. "Ha ha ha...! Rupanya setelah takluk di bawah
kaki Pendekar Slebor, kau ingin mengadu nasib dengan
kami" Berhadapan dengan pendekar picisan itu
saja, kau tidak mampu. Apalagi menghadapi kami,
hah"!" Mata sipit Raja Akherat itu terbuka. Sinar-nya penuh bahaya. Raja Akherat
jelas-jelas tidak
akan bisa melupakan kekalahannya di tangan
Pendekar Slebor ketika ingin menguasai Kerajaan
Pakuan. Dendamnya pada pendekar itu semakin
tinggi saja. Bahkan dia selalu berusaha mencari Pen-
dekar Slebor untuk dibuat perkedel! (Untuk men-
getahui siapa Raja Akherat dan pengalaman pa-
hitnya di tangan Pendekar Slebor, silakan baca ep-isode: "Raja Akherat" dan
"Neraka Di Keraton Ba-rat"). "Hhh! Rupanya Sembilan Iblis hanya bisa menjual
omong! Lihat!"
Tiba-tiba saja Raja Akherat menggerakkan
tangannya. Wusss! Seketika serangkum angin kencang mende-
ru ke arah Bresatar yang sedang tertawa. Iblis Ka-ki Seribu ini bisa menangkap
adanya serangan
berbahaya dari deru angin yang bergerak mende-
katinya. Maka dengan gerakan ringan sekali tu-
buhnya melenting ke alas, menghindari serangan.
"Hebat! Tetapi, nama Raja Akherat akan
mampus di Istana Sembilan Iblis!" seru Bresatar setelah mendarat.
Iblis Kaki Seribu langsung menyerang Raja
Akherat dengan cepatnya. Begitu tubuhnya melu-
ruk, kakinya menjelma bagaikan menjadi seribu.
Bahkan yang aneh, serangannya dalam keadaan
kepala di bawah dengan kaki berputar mencari
mangsa. Raja Akherat mendengus geram. Lalu tan-
gan kanannya dikibaskan.
Plak! Tetapi Iblis Kaki Seribu tidak tergempur
oleh serangan yang berisi penuh tenaga dalam itu.
Masih dalam gerakan terbalik, serangannya terus
terlihat keganasannya. Bahkan lebih dahsyat dari semula. Kakinya benar-benar
menjelma menjadi
banyak, membuat kepala Raja Akherat puyeng.
Belum lagi Raja Akherat bisa menandingi
Iblis Kaki Seribu, Grisoko yang melangkah pincang sudah melompat dengan gerakan
sangat aneh. Serangannya bagaikan terbawa oleh kedua kakinya


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang penuh tenaga, menendang ke arah Raja Ak-
herat. Sebelah kakinya yang pincang seolah tidak menimbulkan masalah baginya.
Dikeroyok Iblis Kaki Seribu dan Iblis Pin-
cang, Raja Akherat hanya mendengus. Bahkan dia
membalas serangan dengan serangan-serangan
dahsyat. Suasana pesta pora itu pun menjadi beran-
takan. Gadis-gadis yang berada di pangkuan para
Sembilan Iblis itu pun berlarian, dan meringkuk di pojok ruangan sambil
berpelukan ketakutan. Tak
seorang pun yang menahan mereka. Rupanya, ke-
datangan Raja Akherat justru sangat menarik per-
hatian Sembilan Iblis. Karena manusia yang bera-
ni datang ke sini berarti berani mati!
Raja Akherat sendiri sudah memperguna-
kan jurus 'Himpunan Surya-Bayu-Tanah' yang
luar biasa dahsyat. Bahkan pada satu kesempatan
berhasil mendaratkan pukulan di tubuh Iblis Kaki Seribu dan Iblis Pincang,
hingga jatuh terjengkang. Melihat dua kawannya berhasil dikalahkan, Majenar yang
berjuluk Iblis Cakar Harimau dan
Jenggolo yang berjuluk Iblis Tangan Dewa segera
menyerbu berbarengan.
Wuuuttt! "Heaaa!"
Kali ini serangan kedua dari sembilan Iblis
itu benar-benar dahsyat karena merupakan ga-
bungan dua tenaga dalam yang luar biasa. Maje-
nar meluruk dengan gerakan-gerakan mematikan.
Tangannya yang membentuk cakar mengibas ce-
pat, terarah pada bagian-bagian yang sangat me-
matikan. Begitu pula Jenggolo. Setiap kali tangannya berkelebat, menimbulkan
suara ledakan ke-
ras. Kali ini Raja Akherat terlihat benar-benar
terdesak. Apalagi setelah Bresatar kembali menyerang dengan jurus 'Kaki
Seribu'nya. Bagi Sembilan Iblis, mengeroyok adalah hal
yang biasa. Asal keinginan mereka tercapai, apa
pun bisa dihalalkan.
Kali ini Raja Akherat benar-benar kewala-
han. Dia bukan hanya tidak mampu menyerang,
bahkan menghindar pun sangat sulit. Dan men-
dadak Iblis Tangan Dewa berhasil menjatuhkan
pukulan keras, mengandung kekuatan sangat
dahsyat. Des! Des! Akibatnya tubuh Raja Akherat terhuyung
dan belum lagi dia menguasai keseimbangan, Iblis Cakar Harimau sudah meluruk
maju sambil mengibaskan tangannya yang berkuku tajam bagai
ujung anak panah.
Bret! Cakar lelaki bernama asli Majenar bukan
hanya membuat pakaian Raja Akherat sobek.
Bahkan kulit dadanya pun tergores, menimbulkan
luka mengerikan.
Penderitaan yang dialami oleh Raja Akherat
bukan hanya sampai di situ saja. Karena Iblis Kaki Seribu sudah menghantam
berkali-kali dengan
tendangan-tendangan dahsyat.
Des! Des! Kepala Raja Akherat tak ubahnya sebuah
bola yang dipermainkan kaki Bresatar. Lalu diirin-gi teriakan sangat keras,
kedua kaki Iblis Kaki Seribu yang menjelma menjadi seribu menghantam
dada Raja Akherat yang penuh luka.
Buggghhh! "Ughh...!"
Sebentar Raja Akherat sempoyongan diser-
tai lenguh kesakitan.
Sembilan Iblis memang tergolong orang
yang sangat kejam. Bahkan Upasonto mendadak
saja berteriak keras. Tubuhnya bergerak setengah lingkaran dengan kaki
menghantam kepala Raja
Akherat! Prakk! Terdengar suara berderak keras, menanda-
kan kepala Raja Akherat pecah. Saat itu juga tu-
buhnya ambruk bergelimang darah.
Sembilan Iblis terbahak-bahak melihat ha-
sil kerjasama mereka.
"Hanya orang dungu yang berani datang ke
sini!!" seru Upasonto. "Siapa saja yang berani muncul di sini, mati taruhannya.
Kini, kita bersiap-siap untuk mencari dan membunuh Pendekar
Slebor!" Mereka terbahak-bahak dan masing-
masing kembali ke kursinya. Bersamaan mereka
mengangkat guci berisi tuak. Namun belum lagi
mereka menenggaknya....
"Kalian jangan berbangga dulu! Raja Akhe-
rat tidak mudah dipecundangi!"
"Hah"!"
Sembilan Iblis tersentak dan menoleh keti-
ka tiba-tiba terdengar suara bernada melecehkan.
Tampak satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian
warna merah dengan wajah menyeramkan, berdiri
sambil terbahak-bahak.
*** Lelaki Berbulu Hitam semakin geram saja.
Rasanya sudah cukup jauh mereka berjalan na-
mun gadis jelita berbaju kuning itu terus saja melangkah.
"Jangan-jangan, memang benar dugaanku"
Dia pasti tergolong bangsa kuntilanak. Dan seka-
rang akan memperangkap aku dan si Dungu di sa-
rangnya!" kata hati Lelaki Berbulu Hitam, lalu melirik Pendekar Dungu yang tetap
melangkah san- tai. Memang benar-benar dungu! Apa dia tidak
bisa mencium kalau sedang dijebak" Lelaki Berbu-
lu Hitam terus merutuk dalam hati.
"Nona Manis..., masih jauhkan tempat
Pendekar Slebor...?"
Langkah gadis itu terhenti. Lalu, matanya
mengerling dengan genit.
"Memangnya kenapa, Paman?"
Lelaki Berbulu Hitam menggaruk-garuk
rambutnya yang panjang acak-acakan.
"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu den-
gannya." "Sebentar lagi kita akan bertemu dengan-
nya, Paman."
"Tetapi mengapa sampai sejauh ini?"
Gadis itu mengerling dengan bibir terse-
nyum. "Paman takut, ya?" tukasnya dengan suara mendayu-dayu.
Lelaki Berbulu Hitam melengak. "Tidak ada
yang aku takuti di dunia ini!"
"Hei! Siapa yang bilang aku penakut, hah?"
seru Pendekar Dungu tiba-tiba. "Ingin kupecahkan kepalanya rupanya! Hitam!
Bilang, siapa yang
mengatakan aku penakut?"
"Diam kau!"
"Aha!"
Pendekar Dungu menggoyang-goyangkan
telunjuknya di depan wajah Lelaki Berbulu Hitam.
"Rupanya kau yang mengatakan seperti itu,
ya" Aku sudah curiga sejak lama, kalau kau me-
mang sirik padaku," tuding Pendekar Dungu.
"Kenapa tidak kau sumpal saja mulutmu
yang cerewet itu, hah"!" bentak lelaki keturunan serigala itu.
"Hei" Menghina, ya" Apa kau pikir mulut-
mu bagus?"
Pendekar Dungu langsung membuat kuda-
kuda. Sikapnya siap menyerang Lelaki Berbulu Hi-
tam. "Sudah, sudah," ujar gadis berbaju kuning, sebelum Lelaki Berbulu Hitam
berkata. "Kalian ini bercanda saja kerjanya!"
Pendekar Dungu melotot.
"Bercanda katamu" Sejak tadi aku memang
ingin mengemplang monyet ini!"
"Kalau begitu, mengapa tidak kau laku-
kan?" tantang Lelaki Berbulu Hitam.
"Eh! Benar juga, ya?" Pendekar Dungu cekikikan. "Ya, ya.... Aku akan
mengemplangnya!
Hei, Hitam! Kau dengar itu! Cepat sini, copot kepalamu biar ku kemplang! Setelah
itu, kau bisa me-
masangnya lagi! He he he..., pasti kepalamu benjol!"
Lelaki Berbulu Hitam semakin curiga melihat si-
kap gadis jelita itu. Dan mendadak saja, di tu-
bruknya gadis itu. Menurut perhitungannya, tu-
brukannya pasti bisa dielakkan karena gadis ini
bangsa dedemit. Namun di luar dugaan, justru ga-
dis itu berhasil ditangkapnya. Bahkan dipeluknya, karena kedua tangan Lelaki
Berbulu Hitam terbu-
ka. "Lepaskan, lepaskan aku! Paman Pendekar
Dungu..., mengapa tidak menolongku?" seru gadis itu, yang sepertinya sudah
mengenal lelaki bangkotan ini.
Pendekar Dungu bukannya berbuat sesua-
tu, malah menoleh ke sana kemari.
"Eh! Dia memanggil siapa, ya?"
"Lepaskan, lepaskan!"
Lelaki Berbulu Hitam jadi blingsatan sendi-
ri. Buru-buru dilepaskannya gadis itu yang kemu-
dian tertunduk menangis.
Mendengar tangis gadis berbaju kuning,
Pendekar Dungu marah-marah.
"Kurang ajar! Liar! Cabul! Kenapa kau me-
meluk dia hah"!" bentaknya pada Lelaki Berbulu Hitam. Dan sebelum Lelaki Berbulu
Hitam menja-wab, Pendekar Dungu sudah menyerang dengan
cepat. "Uts!"
Seketika lelaki keturunan serigala ini men-
gelak. "Punya kebolehan juga kau ya?" dengus Pendekar Dungu seolah baru
menyadari kehebatan Lelaki Berbulu Hitam. Padahal dia sering bertarung dengannya
tanpa sebab apa-apa.
Lelaki Berbulu Hitam yang malu sendiri
karena gadis itu dipeluknya tadi, harus mengelakkan serangan-serangan cepat
Pendekar Dungu.
"Tidak kusangka! Ternyata selama ini aku
berjalan dengan orang cabul!" leceh lelaki keropos itu.
"Hentikan seranganmu dulu! Biar aku je-
laskan!" ujar Lelaki Berbulu Hitam sambil membalas.
Sementara gadis jelita itu tersenyum sendi-
rian. Dia benar-benar geli melihat sikap kedua tokoh aneh ini, yang satu sama
lain tidak pernah
cocok. Herannya, mereka selalu berjalan beririn-
gan. "Masa bodoh! aku ingin mengemplang kepalamu! Copot dulu, biar gampang
mengemplang- nya!" "Dasar dungu! Aku bisa mampus kalau begitu!" "Toh nanti akan kukembalikan
lagi!" sahut Pendekar Dungu sambil terus menyerang gencar.
Lelaki Berbulu Hitam pun membalas tak
kalah cepat dan hebat. Keduanya memang sama-
sama sakti. Satu sama lain tak ada yang bisa
mengalahkan. Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam ber-
seru keras. "Dungu! Kalau wangsit mimpimu benar,
jangan-jangan Pendekar Slebor sudah ditawan di
Istana Sembilan Iblis! Lalu, mereka membunuh-
nya!" "Masa bodoh! Aku ingin mengemplang kepalamu dulu! Makanya, copotlah! Biar
aku mudah melakukannya!!"
"Kau akan menyesal tidak berhasil meno-
long Pendekar Slebor!" seru Lelaki Berbulu Hitam.
"Biar saja, toh dia punya kepandaian! Pasti dia bisa membela diri! Otaknya juga
cerdik! Sama seperti aku! Tidak seperti kau yang dungu!"
Sementara keduanya bertarung sambil berkata-
kata, gadis berbaju kuning itu bertepuk tangan.
"Cepat kemplang kepalanya! Atau, kau ta-
rik kulit wajahnya yang jelek itu. Jangan-jangan dia memakai topeng!"
Lelaki Berbulu Hitam terbelalak mendengar
ejekan gadis berbaju kuning. Otaknya terus berpikir sambil menghindari serangan
Pendekar Dungu.
Sementara gadis berbaju kuning terus ber-
tepuk tangan mulutnya tak henti-hentinya mengo-
ceh. Dan mendadak saja Lelaki Berbulu Hitam
yang sedang menghindari serangan memutar tu-
buhnya. Langsung dikirimkannya pukulan jarak
jauhnya ke orang lelaki tua berotak bebal itu.
Tepat ketika Pendekar Dungu melompat,
kesempatan itu dipergunakan Lelaki Berbulu Hi-
tam untuk melakukan sesuatu yang telah dipikir-
kannya. Di saat tak terduga dijambaknya rambut gadis berbaju kuning.
Bukan hanya itu yang dilakukan Lelaki
Berbulu Hitam. Dia juga berguling sambil me-
nyambar pakaian yang dikenakan gadis itu.
Breet! Seketika terlihatlah pakaian berwarna hi-
jau pupus. Baju berwarna kuning dan sebuah
rambut palsu telah ada di tangan Lelaki Berbulu
Hitam. "Andika!" seru lelaki keturunan serigala itu.
Sementara Pendekar Dungu tak jadi melan-
jutkan serangan. Kepalanya menoleh ke sana ke-
mari. "Di mana Andika" Di mana Pendekar Slebor" Hei, Hitam! Jangan main-main,
ya" teriak
Pendekar Dungu.
"Dasar Dungu! Kita dipermainkan Pende-
kar Slebor! Coba kau lihat itu" Siapa gadis jelita sialan yang membiarkan kita
saling tarung, hah"!
Dia Pendekar Slebor!!" kata Lelaki Berbulu Hitam, gemas. Gadis berbaju kuning
yang tadi bersuara
kenes, manja, dan menggemaskan itu tiba-tiba tertawa. Suaranya sudah berubah,
lebih tegas dan
mengandung kekocakan.
"Hebat, hebat! Rupanya kau memang tokoh
aneh yang hebat!" puji gadis berbaju kuning yang sekarang terlihat aneh ini.


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Dungu yang belum menyadari
sepenuhnya apa yang telah terjadi mendekati ga-
dis itu. "Kau..., Andika?"
Gadis berbaju kuning yang memang Andika
alias Pendekar Slebor terkekeh-kekeh.
"Kenapa" Naksir" Kirim surat saja...."
"Sialan!"
Hanya itu yang dikatakan Pendekar Dun-
gu. Lantas didekatinya Lelaki Berbulu hitam.
"Apa kubilang tadi.... Gadis itu bukan de-
demit! Iya kan, Bor?" kata Pendekar Dungu.
Pendekar Slebor tertawa seraya menghapus
pupur yang dipergunakan untuk menutupi wajah-
nya. Bibirnya yang merah menggiurkan dihapus
punggung tangannya. Sisa pakaiannya yang ber-
warna kuning di sobeknya. Kini, terlihat seluruh pakaiannya sekarang. Berwarna
hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang tersampir di punggung.
Dia memang Pendekar Slebor! Pendekar sa-
tu ini sekarang memang ahli menyamar. Ilmu itu
diperoleh dari Raja Penyamar, salah seorang tokoh aneh seangkatan Pendekar Dungu
dan Lelaki Berbulu Hitam. Mereka itulah yang pernah membuat
Hakim Tanpa Wajah harus kehilangan pamor ka-
rena ternyata ilmunya masih ada yang menandin-
gi. Bahkan tokoh sesat itu berkali-kali membuat
onar di rimba persilatan, semata untuk memaksa
ketiga tokoh aneh ini tunduk.
Namun, tiga tokoh tua itu bukanlah orang
yang mudah ditundukkan. Apalagi ketika Pende-
kar Slebor turun tangan membantu membasmi
Hakim Tanpa Wajah (Baca: "Manusia Dari Pusat
Bumi" dan "Pengadilan Perut Bumi").
Andika sendiri sebelum mengerjai kedua
tokoh ma itu, sedang tidur di sebuah dahan pohon yang menjulang tinggi. Dan dia
terpaksa terban-gun ketika mendengar suara orang sedang ber-
tengkar mulut. Ketika melihat siapa yang bertengkar, timbul sifat jahilnya
paling tidak untuk seka-dar hiburan, karena menyangka tidak akan per-
nah lagi berjumpa dengan dua tokoh aneh namun
berilmu tinggi yang di kaguminya. Pendekar Dun-
gu dan Lelaki Berbulu Hitam.
Karena sifatnya yang slebor, Andika pun
bermaksud mempermainkan keduanya dengan ca-
ra menyamar sebagai gadis jelita. Untung saja, kebetulan Andika membawa
peralatan untuk me-
nyamar. Kini Pendekar Slebor terpingkal-pingkal
melihat kelucuan yang telah terjadi.
Lelaki Berbulu Hitam mendengus.
"Diamlah Tuan Penolong!! tawamu tidak
merdu!" "He he he..., tetapi lumayan bukan, buat menghibur diri setelah
disuguhkan dagelan lucu?"
"Sudah, sudah! Sifat slebormu tidak hi-
lang-hilang juga! Hei, Bor! Apa kau sudah tahu kalau Pendekar Dungu melihatmu
sudah mampus dalam mimpinya?"
"Sudah."
"Tapi aku kan belum menceritakannya pa-
damu!" sambar Pendekar Dungu. "Hayo, ralat ka-ta-kata itu! Bilang kau belum
tahu, karena aku ingin menceritakannya!"
Andika hanya tersenyum mendengarnya.
Akan tetapi, dituruti juga kata-kata Pendekar
Dungu. Lalu Di bawah pohon yang rindang, Pende-
kar Slebor mendengarkan Pendekar Dungu bcrce-
rita tentang mimpinya.
*** 3 Sembilan Iblis menatap tak percaya pada
Raja Akherat yang masih ketawa terbahak-bahak.
Memang sulit dipercayai apa yang mereka lihat.
Raja Akherat tampak berdiri dalam keadaan segar
bugar! Ketika melihat tempat Raja Akherat tadi
tergeletak, tak ada lagi mayatnya yang penuh luka mengerikan dengan kepala pecah
rebah di sana. "Ha... ha... ha...! Rupanya Sembilan Iblis
adalah manusia-manusia dungu! Tak seorang pun
yang bisa mengalahkan ajian 'Melayang Dua' yang
kumiliki!" kata Raja Akherat disertai tawa mengge-legar penuh kejumawaan.
Ajian 'Melayang Dua' yang dimiliki Raja Akherat memang sangat mengerikan.
Karena, tubuhnya bi-sa menjadi dua. Dan masing-masing mempunyai
kekuatan sama hebatnya, sama-sama sukar un-
tuk dikalahkan. Sulit ditentukan, mana asli dan
mana jelmaan. Dengan Ajian itulah Pendekar Slebor harus
memeras otak untuk mengalahkan Raja Akherat.
Upasonto yang tadi berbangga karena ber-
hasil mengakhiri hidup Raja Akherat, kini berdiri tegap menatap tak percaya.
Kedua kakinya terbuka, kedua tangannya mengepal. Matanya nyalang
memperhatikan wajah Raja Akherat.
"Apa maumu sebenarnya, Raja Akherat"!"
tanya Iblis Baju Sutera dengan suara berwibawa.
"Ha... ha... ha...! Bukankah tadi sudah ku-
katakan, kalau aku menghendaki menjadi pemim-
pin kalian," sahut Raja Akherat enteng.
"Bodoh! Kau tahu, Istana Sembilan Iblis
tak ada yang memimpin! Semuanya berkedudukan
sama. Bila kau memang berkeinginan untuk ber-
gabung, pintu selalu terbuka. Tentunya..., ha ha ha...! Bila kau berhasil
mengalahkan kami. Tetapi, jangan terlalu banyak berharap. Karena, nyawa
busukmu akan melayang-layang meninggalkan ja-
sad mu!" Kata-kata Iblis Baju Sutera disambut tawa
yang lainnya. Gegap gempita dan penuh ejekan.
Sementara para gadis yang meringkuk di pojok
ruangan semakin ketakutan saja.
Dan tawa yang menggema itu pun runtuh
ketika terdengar suara tawa Raja Akherat yang
sangat keras berisi tenaga dalam tinggi.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali! Sekarang kalian lihat baik-baik...."
Wusss! Mendadak saja tubuh Raja Akherat menja-
di dua orang. Kedua-duanya mirip satu sama lain.
"Hhhh! Ilmu siluman!" desis Dwipolko alias Iblis Rembulan.
Lelaki ini paling pendek di antara Sembilan
Iblis. Tubuhnya setengah bulat. Di kedua tangan-
nya terdapat gelang bahar yang besar. Kepalanya
mengenakan ikat berwarna merah, di tengah-
tengahnya bergambar bulan sabit.
Dwipolko sudah berdiri. Kesaktian yang
dimiliki mampu menghancurkan bangsa siluman.
Makanya, melihat Raja Akherat memperlihatkan
kembali ajian 'Melayang Dua'nya dia hanya men-
dengus saja, seperti menganggap ringan. Dalam
benaknya, sekali gebrak saja Raja Akherat sudah terkapar. Bahkan lelaki berwajah
seram ini akan segera mengakui kalau ajian 'Melayang Dua'nya
bukanlah suatu ilmu yang sangat dahsyat.
"Ha... ha... ha.... Buntet! Apakah kau me-
rasa mampu menghadapiku?" kata Raja Akherat mengejek. "Lebih baik kalian semua
maju menyerangku. Karena kali ini..., aku tidak ingin main-main lagi! Kalian
akan menyesal karena masih
membangkang pada Raja Akherat!"
Iblis Rembulan tidak mau banyak omong
lagi. Tubuhnya yang bulat tiba-tiba bergerak, bagaikan berguling! Putaran
tubuhnya sangat cepat, mengarah pada salah satu Raja Akherat yang masih
terbahak-bahak.
"Grrrrr! Kau akan menyesal karena berani
bertingkah di Istana Sembilan Iblis!" geram Dwipolko, langsung menyerang gencar.
Raja Akherat bergerak ke kiri, langsung
memapak serangan. Dan tangannya kontan berge-
tar hebat. Seketika Raja Akherat yakin kalau manusia
bertubuh bulat ini memang mempunyai ajian un-
tuk melawan sihir.
Sementara itu, Sembilan Iblis yang lain ha-
rus berpencaran. Karena Raja Akherat yang seo-
rang lagi tiba-tiba menyerbu. Upasonto yang sangat penasaran sekali segera
mengurung dibantu
Sridorsa, Majenar, dan Wediwoso. Sementara
Jenggolo, Grisoko, Kahyunpati, Bresatar telah terjun membantu Dwipolko.
Maka pertarungan sengit tak dapat dihin-
dari lagi, sampai menggetarkan dinding Istana
Sembilan Iblis. Padahal, istana itu dibangun dari kumpulan tanah dan batu-batu
yang sangat kuat.
Meskipun Raja Akherat yang telah meng-
gunakan ajian 'Melayang Dua' dikeroyok Sembilan
Iblis, namun belum kelihatan terdesak. Bahkan
serangan kedua Raja Akherat terlihat tangguh dan mengerikan.
"Sridorsa! Gunakan ajian mu yang hebat
itu!" Tiba-tiba Upasonto berseru sambil menghindari gempuran sengit Raja
Akherat. Sridorsa pun mendadak saja berputar beberapa
kali, sehingga menimbulkan pusaran angin yang
kuat sekali. Bukan hanya bekas makanan dan
kendi-kendi tuak saja yang berterbangan, kursi
dan meja yang tadi habis digunakan berpestapun
berterbangan. Seketika terdengar jeritan gadis-gadis yang
meringkuk tadi. Namun mereka segera beringsut
masuk ke dalam. Dan kesempatan itu diperguna-
kan untuk melarikan diri melalui pintu belakang.
Melihat Sridorsa berputar kencang, semen-
tara yang lainnya bersiap pula untuk menyerang,
Raja Akherat hanya tertawa terbahak-bahak saja.
"Bagus! Tetapi, mengapa kalian tidak lang-
sung mengeroyokku saja seperti tadi, hah"! Biar
kalian cepat mampus!"
Begitu ejekan Raja Akherat terlontar, tu-
buh Sridorsa tiba-tiba melayang cepat. Serangan-
nya mengandung hawa panas luar biasa. Itulah
ajian 'Mambang Kahyangan' yang memang diper-
gunakan untuk menghancurkan bangsa siluman.
Namun ajian 'Mambang Kahyangan' yang dile-
paskan Sridorsa rupanya tidak membawa hasil
yang diharapkan. Bahkan justru Sridorsa yang
melayang ke belakang hingga menabrak dinding,
ketika tangan Raja Akherat menghantam telak da-
danya. Gerakan Raja Akherat memang sungguh
tidak terlihat mata. Tahu-tahu, tubuh Sridorsa
sudah melayang ke belakang.
Bukan hanya Upasonto saja yang terkejut
melihatnya. Begitu pula yang lain. Maka, serentak
mereka kembali mengeroyok Raja Akherat yang
semakin membabi buta menyerang.
Sementara Raja Akherat yang satunya
mengamuk pula. Serangan demi serangan yang di-
lakukannya benar-benar luar biasa, mampu me-
rontokkan jantung siapa pun juga. Bahkan Dwi-
polko yang dibantu tiga orang temannya yang lain, justru harus pontang-panting
menyelamatkan diri.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kalian tidak mau mengakui aku ini sebagai raja
kalian hah"! Daripada kalian mati konyol?"
Tetapi, tak seorang pun dari Sembilan Iblis
yang berniat menyerahkan kekuasaan ke tangan
Raja Akherat. Kalaupun Raja Akherat ingin berga-
bung, sudah tentu akan diizinkan. Toh, mereka
sama-sama dari golongan sesat yang berniat
menghancurkan golongan lurus.
Namun, kedatangan Raja Akherat yang in-
gin dianggap sebagai ketua tentu saja ditolak mentah-mentah.
Dan sekarang, kenyataan yang sangat ti-
dak mengenakan di hati harus ditelan Sembilan
Iblis. Terbukti, mereka kini terdesak dengan hebat.
Bahkan Bresatar pun sudah ambruk pingsan sete-
lah kaki Raja Akherat menyampok kepalanya.
Menyusul Wediwoso yang juga telah mem-
pergunakan ajian 'Mata Maut'nya. Ajian yang me-
mancarkan kekuatan dahsyat itu rupanya tak ada
gunanya menghadapi Raja Akherat. Iblis Juling
yang berambut panjang itu pun jatuh pingsan, se-
telah menerima hantaman telak di dadanya.
Menyadari hal itu, sisa dari Sembilan Iblis
yang lain, semakin meningkatkan tempo serangan.
Namun meskipun mereka telah bergerak laksana
kilat dengan susul-menyusul yang gencar, jelas
terlihat kalau Raja Akherat tidak goyah sedikit
pun. Namun, Sembilan Iblis tetap berusaha
mempertahankan harga diri, jangan sampai Istana
Sembilan Iblis dikuasai Raja Akherat!
*** "Sudah, sudah!" ujar lelaki Berbulu Hitam ketika melihat Pendekar Dungu hendak
berbicara lagi. Lelaki keturunan serigala itu bosan melihat te-
mannya yang dungu itu berbicara. Hari pun sudah
menjelang senja. Sebentar lagi, malam akan da-
tang. "Tuan Penolong pasti sudah jelas dengan kata-katamu yang panjang lebar
itu!" lanjut Lelaki Berbulu Hitam.
"Nah! Apa kubilang?" Pendekar Dungu justru berkata dengan bangganya. "Dia pasti
men-gertikan" Huh! Tidak sepertimu yang dungu itu!"
Sedangkan Andika tetap terdiam. Otaknya
tengah merenungkan kata-kata Pendekar Dungu.
Istana Sembilan Iblis" Hmmm... samar-samar te-
linganya memang pernah mendengar istana yang
katanya dikuasai manusia-manusia kejam berju-
luk Sembilan Iblis.
Tetapi, Pendekar Dungu mengatakan kalau
dalam mimpinya Andika telah tewas di istana itu"
Dan ini justru membuat Pendekar Slebor menjadi
penasaran. "Hei! Sudah jangan bertengkar terus! Ka-
lian ini kok seperti anak kecil saja?" seru Andika pada Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu

Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang berdebat mulut.
"Dia ini!" seru Pendekar Dungu, seraya dengan enaknya mendorong kening Lelaki
Berbulu Hitam yang langsung melotot. "Orangnya memang dungu! Masa kau dibilang tidak
mengerti penjela-sanku?"
"Siapa bilang?" sambar Lelaki Berbulu Hitam sewot. "Aku tidak mengatakan seperti
itu?" "Nah, benarkah kubilang" Tuan Penolong!
Jangan bergaul dengan dia! Nanti kau ketularan
dungu! Andika terbahak-bahak mendengar kata-
kata Pendekar Dungu yang mengejek temannya.
Terkadang si pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan tidak mengerti dengan sifat dua to-
koh aneh yang berilmu tinggi ini. Mereka sama-
sama keras kepala dan mau menang sendiri. Teta-
pi, meskipun mereka terkadang kelihatan berjalan beriring, tetap saja
pertengkaran terus berlangsung. "Kalau begitu, siapa yang tahu di mana letak
Istana Sembilan Iblis?" tanya Andika kemudian. "He he he... yang tahu kuberi
hadiah!" "Aku!" Pendekar Dungu langsung men-
gangkat tangannya.
"Dimana?"
Pendekar Dungu menunjuk ke satu tem-
pat. Dan Lelaki Berbulu Hitam langsung mendo-
rong kepalanya.
"Dasar dungu! Andika, kita akan mencari
Istana Sembilan Iblis! Dasar mimpi manusia dun-
gu ini saja yang tidak karuan! Masa ia mengata-
kan kau sudah mampus" Eh! Kau tahu, aku se-
nang bertemu denganmu lagi!"
"Genit!" cibir Pendekar Dungu, cemberut.
"Apa urusannya denganmu?"
"Mana aku tahu?"
Andika mengangguk dalam hati, sebenar-
nya Pendekar Slebor segan berjalan bersama ke-
dua tokoh yang aneh ini. Lebih baik menunggu
malam saja. Dan bila mereka lengah, dia akan
mencari Istana Sembilan Iblis sendirian.
"Kalau begitu, kita bermalam saja di sini.
Setelah fajar esok pagi, kita akan segera berangkat mencari Istana Sembilan
Iblis!" ujar Pendekar Slebor.
"Cihui!" Pendekar Dungu bersorak. "Kita akan berjalan-jalan! Bor! Yang jauh,
ya?" Lelaki Berbulu Hitam mencibir. "Lebih ce-
pat memang lebih baik. Terus terang, aku tidak
percaya dengan mimpi Pendekar Dungu! Sok he-
bat! Masa cuma dia saja yang diberi wangsit sih?"
kata Lelaki Berbulu Hitam.
"Sudah! Lebih baik kita beristirahat saja
dulu! Aku mau mencari sungai mau mandi!" ujar Andika. Lelaki Berbulu Hitam
mengangkat sebelah
tangannya dan mencium pangkal lengannya. Bi-
birnya meringis.
"Kecut! Aku juga ingin mandi!" Pendekar Dungu melotot.
"Jangan sembarangan omong! Tadi sudah
kukatakan, aku tidak tahu di mana Istana Sembi-
lan Iblis! Kau justru menghasut Pendekar Slebor, ya, dengan mengatakan aku tahu
di mana letak Istana Sembilan Iblis?" sambarnya salah arah.
*** 4 "Gila yang iseng begini"!" rutuk Andika.
Karena begitu selesai mandi, pakaiannya tidak ada di tempat. "Ini namanya
nekat!" Sebentar Pendekar Slebor celingukan, mencari-cari. Namun sampai
sejauh itu tak juga ditemukan pakaiannya.
"Kodok jelek! Monyet buduk! Keluar kau!
Kembalikan pakaianku! Hei, orang jelek! Aku kedinginan nih!" teriak Andika,
memaki-maki. Tak ada sahutan apa-apa. Dan Andika jadi
gemas. Rupanya, dia terlalu asyik berenang-
renang, hingga tidak memperhatikan pakaiannya.
Toh, pikirnya dia meletakkannya di tempat yang
agak tersembunyi.
Apakah Lelaki Berbulu Hitam atau Pendekar Dun-
gu yang mengerjainya"
"Dunguuuu! Hitaaam! Jangan main-main
dong! Aku malu kalau keluar, nih!" teriaknya lagi.
Bahkan lebih keras daripada yang pertama. "Hei, jangan main-main! Aku bisa
kedinginan nih! Hei,
Dunguuu! Hitaaam! Ayo cepat berikan pakaian itu
kepadaku!"
"Kenapa tidak keluar saja?"
Mendadak terdengar sahutan.
"Hei!"
Andika celingukan. Jelas, sahutan itu bu-
kan suara Pendekar Dungu atau Lelaki Berbulu
hitam. "Siapa kau" Keluar cepat dan kembalikan pakaianku! Kita bertarung seribu
jurus!" "Dalam keadaan seperti itu, apakah kau bi-
sa bertarung?"
"Makanya, berikan dulu pakaianku!"
"Keluar dari sungai itu, baru kita berta-
rung." "Masa bodoh! Kembalikan pakaianku!"
"Kalau itu maumu, baik, baik!"
Mendadak saja satu sosok tubuh melenting
dari sebuah pohon. Gerakannya sangat ringan.
Andika yang sudah jengkel dan bermaksud mengi-
rimkan pukulan jarak jauhnya cepat mengurung-
kan niatnya, Ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Di tanah pinggir sungai berdiri gadis cantik
dengan rambut digelung ke atas. Sepasang ma-
tanya indah dengan bulu mata lentik. Dua alis hitam yang berbentuk bagai
gemulainya seorang pe-
nari, menghiasi kedua matanya. Pipinya memerah
delima. Hidungnya bangir dengan sepasang bibir
tipis menggairahkan. Gadis itu berpakaian putih-
putih, dengan sebuah ikat pinggang terbuat dari
sutera berwarna merah. Di pinggangnya terdapat
sebuah pecut yang tergulung rapi.
Bukan hanya itu saja yang membuat Andi-
ka mengurungkan niatnya untuk menyerang. Ka-
rena di tangan kanan gadis itu terlihat onggokan pakaian berwarna hijau pupus
dan selembar kain
bercorak catur.
"Pencuri iseng! Kembalikan pakaianku!"
bentak Pendekar Slebor.
"Enaknya menuduhku pencuri!" semprot
gadis itu. "Kalau tidak pencuri, apa namanya" Mal-
ing" Ya sama saja toh, Manis," tukas Andika.
"Aku menemukan pakaian ini di tanah.
Aku tidak mencurinya. Jadi yang tepat, aku me-
nemukan pakaian ini!"
"Sudah, sudah! Kembalikan!"
Kali ini dara jelita itu tersenyum manis.
"Banyak omong! Tadi katanya kau berani
menantang aku, hah"! Aku terima tantangan itu,
hingga seribu jurus! Kalau menang, kau akan
mendapatkan pakaianmu ini kembali. Tetapi kalau
kalah, kau akan menanggung malu seumur hi-
dup," kata gadis ini penuh ejekan.
Andika memaki-maki tanpa suara. Siapa
sih gadis ini" Nekat amat! Kalau melihat sikapnya
yang setengah berandalan, menandakan kalau ga-
dis ini dari rimba persilatan yang bebas. Tetapi bi-la mendengar nada suaranya,
gadis ini tampak
terlatih yang penuh disiplin.
"Ayo, kalau kau berani! Hhh! Memang, ke-
banyakan pemuda cuma hanya berani jual lagak
saja! Padahal kosong setengah mati!" kata gadis ini, melecehkan.
Sebenarnya hati Andika panas sekali men-
dengar ejekan itu. Tetapi mau bagaimana" Kalau
keluar dari sungai ini, sudah jelas 'barang rahasia'nya akan kelihatan. Kalau
tidak keluar, akan menjadi bahan ejekan dara jelita ini.
"Hei, Nona! Kalau aku keluar dari sungai
ini dan bertarung denganmu, apakah kau tidak
akan lari"!" seru Andika, sambil nyengir.
"Memangnya kenapa?" tanya gadis itu lugu.
"Pakai bertanya lagi! Memang kau mau li-
hat burung kesayanganku" He he he...."
Wajah dara jelita itu memerah mendengar-
nya. "Jorok! Jorok!" seru gadis itu setengah menjerit. Gadis itu membuang
pakaian Andika ke tanah.
"Nah, ambillah sendiri!"
Andika tersenyum geli. Hatinya merasa
menang karena bisa membuat gadis itu justru
menjadi malu. "Iya! Tetapi pergilah dari sini!" ujar Andika
"Kalau aku mau di sini, kau mau apa,
hah"!" balas gadis itu membentak.
"Aha..., ketahuan, kan" Kau memang mau
melihat burungku yang indah itu?"
Gadis itu mengangkat dagunya dengan si-
kap sombong. Tangannya di lipat, seolah tidak
mendengar selorohan Andika.
"Kenapa kau tidak segera keluar, hah"!"
tantang gadis ini, membuat Andika melongo.
Gila! Kok ada ya gadis yang tak tahu malu"
tetapi diam-diam Andika yakin kalau gadis itu sebenarnya hanya menahan diri
saja. Padahal, da-
lam hatinya malu juga, itu terlihat dari sikapnya yang mengangkat kepala.
"Hei!" seru Andika sambil tertawa. "Kalau kau memang ingin melihat burungku,
kenapa tidak lebih dekat lagi" Bagaimana?"
"Iih! Jorok!"
Andika terbahak-bahak. Kena juga! Bisa
terlihat jelas kalau kedua telinga gadis itu semakin memerah. Mimik dari
wajahnya yang kelihatan
menjadi gelisah sekarang.
Tiba-tiba saja tanpa berkata apa-apa, gadis
itu bersiul cukup nyaring. Lalu, mendadak terdengar suara ringkikan sangat
keras, disusul mun-
culnya seekor kuda tinggi besar berwarna hitam
pekat mendekati gadis itu.
"Manis! Kau lihat itu! Ada pemuda jelek se-
dang kedinginan! Hhh! Ternyata dia sebangsa ma-
nusia cabul juga!" leceh gadis itu.
Si gadis lantas menaiki kudanya, lalu me-
noleh pada Andika.
"Hei, Jorok! Kau ambil pakaianmu itu! Se-
telah berpakaian, aku akan datang lagi ke sini! Ki-ta akan bertarung sampai
mampus!" ujar si gadis, menantang.
"Lho, Iho..." Kenapa lagi ini?" seru Andika yang masih geli melihat sikap gadis
itu. Apalagi wajah si gadis memancarkan sinar bermusuhan.
"Diaaam! Pokoknya, kenakan kembali pa-
kaianmu! Kita akan bertarung nanti! Karena...,
kau adalah bangsa cabul yang memang harus di-
bunuh! Heaaa!"
Si Gadis langsung menggebuk kudanya
yang langsung melesat cepat.
"Hei!"
Teriak Andika "Kenapa harus pergi?"
Tak ada sahutan. Dan Andika celingukan
sebentar, sebelum merangkak keluar dari sungai
sambil menutupi barang rahasianya. Lalu dengan
cepat disambarnya pakaian yang menumpuk di
tanah. Kini dia merasa terbebas dari 'belenggu'
yang membuatnya kerepotan.
"He he he.... Kok, dia malah kabur" Dasar,
gadis iseng! Tahu-tahu menyembunyikan pakaian
saja! Tetapi, dia cantik juga, ya" Ilmunya cukup tinggi. Buktinya aku tidak tahu
saat dia mengambil pakaianku" Alah..., itu kan hanya kebetulan
saja. Sayang..., aku tidak tahu namanya!"
"Untuk apa kuberitahu namaku padamu,
hah"!" Mendadak terdengar bentakan keras, disusul bersaltonya satu sosok
berpakaian putih.
Dan tahu-tahu sosok itu mendarat ringan di ha-
dapan Andika sambil menatap tajam.
*** Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Lho, lho...! Apakah kau penasaran ingin
melihat burungku?" seloroh Pendekar Slebor sambil nyengir.
Gadis itu mendengus gemas. Tangannya menud-
ing. "Hei, Pemuda Otak Kotor! Katakan siapa
namamu, hah"! Apakah kau sebangsa manusia
busuk seperti Sembilan Iblis yang telah membu-
nuh kakekku?" bentaknya, penuh amarah.
Sementara Andika jadi mengerutkan ken-
ing. Lagi-lagi Sembilan Iblis. Dan rasa penasarannya pun semakin menjadi-jadi
saja untuk menge-
tahui, siapakah sesungguhnya Sembilan Iblis itu.
"Tenang dulu, tenang dulu. Aku tidak men-
genalmu, kakekmu, dan Sembilan Iblis. Tetapi..., he he he..., aku yakin, kau
pasti sudah mengenalku, kan" Siapa sih yang tak kenal pemuda berwa-
jah ganteng seperti ini?"
Gadis itu menghentakkan kakinya.
"Diaaam! Namaku Lasni! Kakekku Panem-
bahan Reso Tunggal yang dibunuh Sembilan Iblis.
Kau puas itu" Sekarang, mengaku saja. Siapa kau
sebenarnya" Tetapi aku yakin, kau pasti salah
seorang dari Sembilan Iblis!"
"He he he.... Kau salah. Heeeiitt!"
Andika langsung melompat ketika merasa-
kan hawa dingin menderu ke arahnya. Rupanya
Lasni sudah cepat menyerangnya.
"Hei, sabar dulu! Kita salah paham! Aku
orang baik-baik! Masa tampang ganteng begini
disamakan dengan Sembilan Iblis!" ujar Andika mencegah serangan.
"Jangan banyak mulut! Kau harus mem-
bayar nyawa kakekku yang kalian bunuh dengan
kejam!" bentak gadis bernama Lasni sambil terus menyerang ganas.


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serangan demi serangan gadis ini benar-
benar mematikan. Dan setiap kali tangan atau ka-
kinya digerakkan serangkum angin berhawa din-
gin selalu mengancam keselamatan Pendekar Sle-
bor. "Aduh..., ini salah paham, Nona! Aku tidak
mengenal kakekmu! Tetapi terus terang, nama be-
sar Panembahan Reso Tunggal pernah kudengar!
Nah, kau sendiri ke mana saat kakekmu dibunuh
Sembilan Iblis?" kata Andika sambil berkelebatan menghindari serangan Lasni.
Pendekar Slebor memang tidak mau mem-
balas, karena tahu ini hanyalah salah paham be-
laka. Akan tetapi, matanya pun harus benar-benar jeli dan waspada, karena setiap
serangan Lasni begitu mematikan. Tidak mengherankan kalau il-
mu gadis ini cukup tinggi, karena merupakan cu-
cu Panembahan Reso Tunggal.
"Kau dan teman-teman busukmu memang
manusia sesat yang harus dimusnahkan! Kalau
saja kakekku tidak diserang selagi bertapa, mungkin meskipun kalian berjumlah
dua puluh orang,
tidak akan mampu membunuhnya! Jangankan
membunuhnya. Mengalahkannya saja kalian akan
mendapat kesulitan yang sangat besar!" desis Lasni sambil menyerang dengan
gencar. Saat pertama kali bertemu Andika tadi, se-
benarnya Lasni tidak tahu kalau pakaian berwar-
na hijau pupus dengan sehelai kain bercorak catur yang tergeletak di tanah itu
ada yang punya. Saat gadis ini melihat pakaian, Andika sedang menyelam. Tanpa
maksud mencuri dan didasari rasa in-
gin tahu, Lasni meraih seluruh pakaian Andika.
Tetapi ketika melangkah tiga tindak, gadis
ini mendengar suara riak air, disusul munculnya
sebuah kepala dari air. Dengan cepatnya Lasni
melenting ke atas. Dan tanpa sadar pakaian Andi-
ka ikut terbawa. Diperhatikannya pemuda yang
baru mandi itu.
Begitu sadar kalau pakaian yang dipegang-
nya itu adalah milik si pemuda, Lasni sebenarnya ingin mengembalikan secara
baik-baik. Tetapi karena sikap si pemuda sudah menjengkelkannya,
makanya dia mempermainkan Andika. Sayang
yang dihadapi adalah Pendekar Slebor yang ter-
kenal sebagai Pendekar Urakan. Maka hasilnya ju-
stru berganti arah. Karena, justru Lasni sendiri yang kena dipermainkan oleh
pemuda itu. Hingga
kemudian disadari kalau perjalanannya ini adalah untuk mencari Sembilan Iblis
yang telah membunuh kakeknya selagi bertapa di tepi Sungai Kun-
ing. "Hei, aku tidak bertanya itu! Aku bertanya
ke mana kau sebelumnya?" sergah Andika.
"Kalau kau tahu, saat itu aku pun hendak
kalian bikin mampus, bukan?" tukas Lasni dengan kegeraman semakin menjadi-jadi.
Dia tidak bisa lagi membayangkan, bagaimana hancur hatinya
melihat jasad kakeknya yang telah terpisah-pisah.
"Lalu dari mana kau tahu kalau Sembilan
Iblis yang melakukannya?" caci Andika, tidak mempedulikan seruan marah Lasni.
Pendekar Slebor benar-benar penasaran
ingin mengetahui siapa Sembilan Iblis itu. Apalagi menurut wangsit mimpi yang
diterima Pendekar
Dungu, dirinya dinyatakan telah tewas. Kini di-
tambah lagi dengan kabar kalau Panembahan Re-
so Tunggal telah tewas di tangan mereka. Maka
semakin geram saja pemuda dari Lembah Kutukan
ini. "Dan kau ketakutan sekarang, bukan" Ka-
rena aku mengetahui kau adalah salah seorang
dari anggota Sembilan Iblis?" tuding Lasni.
"Salah besar! Kau salah, Nona! Namaku
Andika..., aku...."
"Tidak peduli siapa namamu! Pokoknya
kau harus membayar nyawa kakekku!" potong
Lasni. Serangan gadis ini semakin dipergencar.
Namun lama-kelamaan hatinya merasa kesal sen-
diri, karena sampai tiga puluh jurus berlangsung belum sekali pun berhasil
menjatuhkan pukulan
pada pemuda yang dianggapnya sebagai salah seo-
rang anggota Sembilan Iblis.
Tiba-tiba saja Lasni melenting ke belakang.
Dan ketika hinggap di bumi di tangannya sudah
tersampir sebuah pecut yang cukup panjang den-
gan hulu terbuat dari tembaga hitam.
Ctarr...! Gadis ini memain-mainkan pecutnya, se-
hingga menimbulkan suara cukup keras.
"Pemuda setan! Kau akan merasakan
keampuhan Pecut Brajakirana ku ini! Kalau kau
memang bisa lolos dari pecut ini, itu hanya kebe-runtungan saja! Jangan terlalu
bangga! Ketahui-
lah! Justru kau akan mampus dengan tubuh te-
rencah pecah seperti yang dialami kakekku!"
Tiba-tiba saja si gadis berbibir tipis meme-
rah itu menggerakkan tangan kanannya.
Ctaaarr! Andika cukup tercekat mendengar ledakan
pecut. Untung saja Pendekar Slebor sudah melent-
ing ke belakang, sehingga jelas-jelas luput dari sambaran pecut.
Namun yang mengejutkan, mendadak Pen-
dekar Slebor merasakan kedua kakinya bagaikan
dililit hawa dingin yang cepat merambat ke seku-
jur tubuhnya. Saat itu juga Andika mengalirkan
hawa panas dari tubuhnya untuk mengusir hawa
dingin yang menjalar itu.
Kini, Pendekar Slebor dapat membayang-
kan bagaimana jadinya bila salah satu anggota tubuhnya termakan pecut itu. Hawa
dingin yang mengenainya bisa membuat jantungnya membeku!
Lasni yang melihat keterkejutan di wajah
pemuda itu tersenyum penuh kemenangan.
"Kau akan mampus, Pemuda Busuk!" desis gadis ini.
"Hei, hei! Tahan dulu kenapa sih" Kita
ngomong-ngomong saja dulu" Soalnya ini hanya
salah paham belaka. Nanti kalau salah satu dari
kita sudah celaka, maka...."
Ctar! Kata-kata Andika terpotong oleh sambaran
pecut Brajakirana yang dikibaskan Lasni kembali.
Dengan ringannya, pemuda sakti pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu melenting ke bela-
kang. Baru saja Andika mendarat kembali Lasni
mengibaskan kembali jurus-jurusnya dengan ce-
pat. Bahkan kali ini terlihat jurus-jurusnya dikeluarkan disertai permainan
pecut yang sangat di-
andalkannya. Dia yakin, pemuda yang dihada-
pinya ini adalah salah seorang dari Sembilan Iblis.
"Hei, mana kebisaan mu hah"!" ejek Lasni sambil terus mengejar Andika.
Sampai sekarang ini Pendekar Slebor be-
lum juga mau membalas. Karena dia merasa ini
hanyalah kesalahpahaman belaka, yang harus se-
gera diluruskan.
Namun untuk menenangkan kemarahan si
gadis sangat sulit sekali. Dan Andika masih bin-
gung, kenapa dirinya dianggap sebagai anggota
Sembilan Iblis"
Pendekar Slebor hanya bisa memaki dalam
hati. Tetapi biar bagaimanapun Andika harus me-
nenangkan gadis ini. Karena bila diteruskan,
hanya membuang waktu dan tenaga percuma.
Namun yang jelas sekarang ini dia tahu, siapa gadis ini. Dan, apa yang sedang
dialaminya. Mendadak saja pemuda sakti itu bergerak
tak ubahnya kilat yang menyambar. Gerakannya
begitu cepat sehingga Lasni tidak merasakan ka-
lau tangannya tahu-tahu kaku dan pecut Brajaki-
rana yang sangat dibanggakannya sudah berpin-
dah tangan ke tangan Andika.
"Kau?" seru gadis ini terkejut.
Pendekar Slebor tersenyum.
"Nona manis..., kita ini salah paham. Kok
kau masih terus menyerangku saja" Apakah kau
tidak kasihan melihat pecut mu yang mengerikan
ini menggores kulitku?"
"Lepaskan totokan sialan ini! Ayo kita ber-
tarung! Bertarung hingga seribu jurus!!"
"Nyebut, nyebut. But, but, begitu. He...,
he..., he.... Pertama-tama hendak kukatakan seju-jurnya, kalau aku tidak pernah
berjumpa Panem-
bahan Reso Tunggal meskipun namanya pernah
kudengar. Kedua, aku tidak pernah membunuh-
nya. Ketiga, aku bukanlah anggota Sembilan Iblis yang telah membuat hatimu
terluka, karena kakek
yang kau sayangi mereka bunuh. Keempat, nama-
ku Andika.... Orang-orang menjuluki Pendekar
Slebor." Lasni mendengus.
"Pantas kau dijuluki seperti itu! Memang
edan! Sudah, sudah! Lepaskan totokanmu ini! Kau
harus mampus!"
"Lho?" Andika menggaruk-garuk kepa-
lanya. "Apakah kau masih belum mengerti dengan kata-kataku tadi?"
"Kembalikan pecut ku!" seru Lasni tiba-tiba. Andika tersenyum.
"Berjanjilah untuk tidak menyerangku
kembali. Aku akan mengembalikan pecut ini ke-
padamu, asal kau segera menyimpannya. Janji?"
ujar Pendekar Slebor.
"Iya!"
"Jangan membentak, dong" Senyum di-
kit..., ya! Jelek!"
"Biar!" seru Lasni. "Kembalikan pecut ku!
Dan, lepaskan totokan ini!"
"Janji tidak akan menyerangku lagi?" cecar Andika. "Iya, ya!"
"Nah! Begitu lebih bagus. Kita akan mem-
bicarakan kembali soal kakekmu yang dibunuh
Sembilan Iblis."
Andika segera menggerakkan tangan ka-
nannya. Seketika, tangan Lasni yang kaku tadi bi-sa diturunkan.
"Kembalikan pecut ku!" bentak gadis ini langsung, dengan mata melotot.
Andika hanya nyengir saja dilemparkannya
pecut itu yang langsung ditangkap dengan sigap
oleh Lasni. Lalu seperti yang dilakukan semula,
gadis itu bersiul cukup keras. Maka kembali kuda hitam kesayangannya muncul.
"Kita pergi dari sini, Manis!" serunya seraya melompat ke punggung kudanya.
"Hei! Kenapa tidak sama-sama?" tegur Andika. "Jalan dengan pemuda cerewet
sepertimu pasti akan makan hati!" sahut gadis itu sambil menggebrak kudanya.
Andika menggaruk-garuk kepalanya. Ah!
Banyak sekali dia berjumpa gadis-gadis jelita yang sakti dalam perjalanannya.
Rata-rata bertabiat ga-lak. Dan diam-diam, Andika juga cemas memikir-
kan nasib Lasni yang diyakini sedang berusaha
mencari Sembilan Iblis.
Kalau begitu, Lasni memang harus diban-
tu. Maka saat itu juga Pendekar Slebor melesat
kembali ke tempat semula. Dan yang dilihatnya
justru membuatnya menggeleng-gelengkan kepala.
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu
sedang beradu mulut dengan sengitnya.
"Kau memang penghasut!" maki Pendekar
Dungu. "Kau ini benar-benar dungu! Nggak ketulungan! Aku tidak mengatakan
seperti itu!" sahut Lelaki Berbulu Hitam sambil menghentakkan kakinya jengkel.
"Meskipun pendengaranmu baik, tetapi otakmu tetap saja dungu!"
"Ala, kau memang pandai bicara!"
"Hei! Kau bisa mampus kubunuh!"
"Enaknya ngomong! Apa kau pikir kepala-
ku ini kusediakan untuk di pukul, hah"!"
Andika tersenyum memperhatikan dua to-
koh aneh yang berilmu tinggi itu saling ngotot. Justru ini kesempatan yang
ditunggu-tunggunya.
Tanpa banyak kata lagi, Pendekar Slebor pun me-
lesat ke arah timur.
Hendak dicarinya Istana Sembilan Iblis,
sekaligus membalaskan sakit hati Panembahan
Reso Tunggal yang telah dibunuh secara kejam.
*** 5 Pertarungan antara Sembilan Iblis mela-
wan Raja Akherat berlangsung hingga tiga hari
lamanya. Meskipun dikeroyok, Raja Akherat tetap
menunjukkan kehebatan daya tahannya. Dia bah-
kan tak pernah kelihatan letih. Bila lawan-
lawannya berhasil membunuh salah satu Raja Ak-
herat justru yang terbunuh bisa bangkit kembali.
Ilmu 'Melayang Dua' yang dimilikinya memang be-
nar-benar tak ada tandingannya!
Malam ini pun pertarungan masih berlang-
sung sengit. Kini yang bertahan tinggal Upasonto saja, karena satu persatu
kawan-kawannya sudah
ambruk pingsan. Mereka tak mampu menandingi
ilmu Raja Akherat.
Sementara itu Upasonto alias Iblis Baju Sutera
masih berusaha menaklukkan Raja Akherat yang
tetap dengan ilmu 'Melayang Dua'nya ganti menge-
royok Upasonto. Hasilnya, sudah tentu Iblis Baju Sutera itu terdesak hebat.
"Ha... ha... ha...! Kau akan mengakui kehe-
batanku, Iblis Goblok!" ejek salah seorang Raja Akherat.
Wusss! Wuuut! Berkali-kali anggota tubuh Iblis Baju Sute-
ra terhantam serangan yang sangat dahsyat. Sa-
kitnya sudah tidak alang-kepalang. Serangan yang datang beruntun dan susul-
menyusul itu bukan
hanya membuatnya kewalahan. Bahkan mem-
buatnya yakin kalau ajal akan segera menjemput-
nya. Mungkin ia tidak hanya dibuat pingsan seper-ti yang lain, malah dibunuhnya!


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika dua Raja Akherat menyerang ke
arah Upasonto secara serentak, Upasonto men-
gangkat kedua tangannya.
"Tahan! Aku mengakui keunggulanmu!" cegah Iblis Baju Sutera dengan suara geram.
Seketika serangan dua Raja Akherat ter-
henti, menyusul suara terbahak-bahak keras. Be-
gitu kerasnya, sehingga mampu mengguncangkan
Istana Iblis yang kokoh itu. Lalu perlahan-lahan dua sosok tubuh Raja Akherat
menyatu kembali.
Semuanya tak luput dari perhatian Upasonto yang
kali ini benar-benar sudah kehabisan tenaga.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak mau
mengakuinya sejak semula, hah"!"
Upasonto meskipun geram bukan alang
kepalang, diam-diam masih merasa beruntung.
Karena, toh yang mengalahkannya adalah orang
yang sealiran dengannya. Kalau misalnya yang di-
hadapinya dari golongan lurus, semua ini tidak
akan dibiarkan terjadi.
Ia melirik delapan kerabatnya yang dalam keadaan terkapar pingsan.
"Sekarang katakan, apa maumu?" tanya Iblis Baju Sutera penuh geram.
"Bagus, bagus sekali! Pertama, akui aku
sebagai ketua kalian. Dan, ingat! Kalian harus
mengikuti seluruh kata-kataku! Bila membantah,
aku tak segan-segan untuk menghancurkan ka-
lian!" ujar Raja Akherat dengan tatapan terbuka lebar. Matanya memancarkan sinar
merah berkila-tan.
Upasonto hanya menganggukkan kepala.
Sembilan Iblis memang tak pernah menganggap
seseorang sebagai ketua. Namun tak ada salahnya
bila sekarang Raja Akherat mengakui dirinya se-
bagai ketua. Namun diam-diam, Iblis Baju Sutera
berniat untuk menghancurkannya. Saat ini, lebih
baik menurut daripada nyawa melayang.
"Kuakui kau sebagai ketua dari Sembilan
Iblis, sekaligus menduduki kursi tertinggi di Istana Sembilan Iblis," katanya
sambil menekan semua kegeraman.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali! Ketahuilah! Hidupku tidak akan pernah
tenang bila belum memusnahkan musuh besarku! Sembilan
Iblis kuperintahkan untuk mencari!" ujar Raja Akherat. "Siapa yang kau
maksudkan?" tanya Iblis Baju Sutera, meski sudah bisa menduga.
Tangan Raja Akherat tiba-tiba bergerak.
Wussss! Des! Tubuh Upasonto kontan terguling ke bela-
kang. Dia hanya sanggup bangun dengan merang-
kak. Dadanya nyeri luar biasa, setelah muntah darah. "Panggil. aku Ketua!!"
perintah Raja Akherat, tak ubahnya lolongan Serigala.
Upasonto terpaksa menganggukkan kepala.
Dia benar-benar merasa kalau kebebasan Sembi-
lan Iblis kini sudah terinjak-injak.
"Baik, Ketua...."
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali! Aku suka mendengarnya! Ketahuilah,
Upasonto.... Musuh besarku adalah Pendekar Slebor! Cari dia
sampai dapat! Hidup atau mati. Dan, hadapkan
kepadaku! Mengerti?"
"Baik, Ketua...."
Tiba-tiba Raja Akherat melemparkan sebu-
tir benda bulat kecil berwarna hitam seperti obat pulung kepada Upasonto.
"Telan!" ujar Raja Akherat, setelah Iblis Ba-ju Sutera menangkapnya.
"Untuk apa?" tanya Upasonto sambil menatap obat yang kini berada di tangannya.
"Jangan banyak tanya kalau tidak ingin
mampus!" Dengan kegeraman yang menjadi-jadi,
Upasonto menelan pil itu.
Raja Akherat terbahak-bahak melihatnya.
"Bagus! Bagus sekali! Yang kau telan baru-
san itu adalah hati burung padang pasir yang te-
lah ku campur dengan bisa ular sendok. Setiap
minggu, bila masih ingin hidup, kau akan kuberi-
kan obat pemusnahnya. Tetapi bila memberontak
dari perintahku, maka kau akan mampus secara
perlahan-lahan!"
Sambil terbahak-bahak Raja Akherat melangkah
mendekati delapan iblis lain yang pingsan. Dengan paksa dimasukkannya benda
hitam itu ke mulut
mereka. Semua tindakannya diperhatikan oleh
Upasonto penuh kegeraman yang semakin menja-
di-jadi. Raja Akherat kemudian menyadarkan me-
reka. Begitu bangun, mereka siap menyerang Ra-
ja Akherat. "Jangan bertingkah bila kalian tidak ingin
mampus!" seru Raja Akherat.
Biang tokoh sesat ini terbahak-bahak, lalu
melangkah tenang. Dan pantatnya di henyakkan
di sebuah kursi yang masih utuh.
"Kalian telah menelan racun racikan ku
sendiri yang sangat berbahaya! Bila kalian masih ingin hidup, silakan bersikap
hormat kepadaku!
Seperti Upasonto yang telah menyerahkan seluruh
hidupnya kepadaku! Kalian dengar itu?"
Mereka saling pandang, tak percaya. Tetapi ketika Upasonto menganggukkan kepala,
mereka pun yakin apa yang dikatakan laki-laki bercodet di pipi kirinya itu benar.
Lalu satu persatu para iblis ini berdiri den-
gan geram. "Apa maumu sebenarnya?" bentak Ka-
hyunputi dengan tatapan geram.
"Ha... ha... ha...! Seperti yang tadi sudah kukatakan, aku ingin kalian
menganggapku sebagai Ketua. Dan, ingat! Jangan ada yang memban-
tah perintah ini!"
Kahyunputi mengepalkan tangannya. Se-
mentara Raja Akherat terbahak-bahak kembali.
"Tak ada gunanya kalian melawanku! Lebih
baik turuti perintahku saja! Cari Pendekar Slebor sampai dapat! Hidup, atau
mati!" Tak ada yang membantah. Masing-masing
dari Sembilan Iblis hanya mengangguk meskipun
kegeraman sudah menjadi-jadi. Memang, mereka
telah merencanakan untuk membunuh Pendekar
Slebor. Tetapi, bukan diperintah semacam ini!
Namun saat ini, mereka tak berani mem-
bantah. Kalau melawan, toh tak ada gunanya.
Apalagi, nyawa mereka berada di tangan Raja Ak-
herat. "Kami akan mencarinya, Ketua...," kata Upasonto pelan sambil menekan
seluruh dendam-nya. "Ha... ha... ha...! Aku senang mendengarnya! Bila kalian
taat kepadaku, setiap minggu
akan kuberikan penangkal dari racun yang kalian
telan! Tetapi yang perlu diketahui, bila dalam
tenggang seminggu racun itu tidak diberikan pe-
nangkalnya, maka kalian akan mati perlahan-
lahan." *** "Sudah, sudah! Memang tak ada gunanya
berbicara denganmu!"
Di Hutan Angsoko, Lelaki Berbulu Hitam
berseru keras pada Pendekar Dungu.
"Ala! Jangan mempermainkan aku! Otakku
cerdik! Aku tahu, kau hendak mengatakan aku
dungu, kan?" Dengus Pendekar Dungu.
"Dengar! Ke mana Tuan Penolong kita"!"
tanya Lelaki Berbulu Hitam sambil mengedarkan
pandangannya. "Nah, nah! Mau main-main lagi! Kapan kita
pernah melihat Pendekar Slebor, hah"!"
Manusia Berbulu Hitam menggeleng-geleng
dengan gemas. "Masa kau lupa, sih?"
"Lupa! Oho, ingatanku masih sehat, Ka-
wan. Sudah, ayo kita berkelahi saja! Aku masih
ingin mengemplang kepalamu! Jangan mencari
alasan! Kalau kau takut, bilang saja takut?"
"Jangan sesumbar!"
"Buktinya, kau tidak mau berkelahi lagi
denganku, kan" ayo, sini maju! Maju!"
"Dengar, Dungu!" ujar lelaki Berbulu Hitam, jengkel. "Sebelumnya Pendekar Slebor
bilang hendak mandi! Lalu dia muncul di sini. Dan sekarang, sudah tidak ada! Ke
mana dia?"
"Mana aku tahu" Dia tidak bilang kepadaku, kok.
Atau...." Pendekar Dungu menyipitkan matanya.
"Jangan-jangan, kau tahu ke mana dia pergi!"
"Kalau aku tahu, kenapa harus bertanya?"
tukas Lelaki Berbulu Hitam.
"Nah! Kalau aku tahu, aku kan bisa men-
jawab! Memang pusing punya teman dungu seperti
kau ini!" cibir Pendekar Dungu sambil menggeleng-geleng. "Kasihan, punya kawan
sudah pikun."
Lelaki Berbulu Hitam tidak lagi menghi-
raukan kata-kata Pendekar Dungu. Dia tidak tahu
secara pasti, sudah berapa lama bertarung dengan Pendekar Dungu. Dan tahu-tahu
baru disadari kalau Pendekar Slebor sudah tidak ada di tempat.
Dengan cepat tubuh lelaki keturunan seri-
gala ini berkelebat ke satu tempat.
"Hei! Mau tinggal aku, ya"! Sana pergi! Aku tidak takut!" seru Pendekar Dungu
sambil mengibaskan tangannya. "Hhh! Memangnya dipikir aku takut" Tetapi, lho..."
Jangan-jangan si Hitam memang benar. Tadi ada Pendekar Slebor di sini. Dan dia
tidak tahu kalau dalam wangsit mimpi ku
Pendekar Slebor akan tewas di Istana Sembilan Iblis" Hei, Hitam! Keluar kau! Kau
harus mengaku kepadaku kalau tadi Pendekar Slebor ada di sini!
Hei, Hitam jelek! Keluar! Kita berkelahi lagi!"
Untuk sesaat, sosok Lelaki Berbulu Hitam
belum keluar dari balik semak.
Pendekar Dungu semakin sewot.
"Hei! Kalau kau takut bilang saja takut! Tidak usah berlagak berani!"
Lelaki Berbulu Hitam belum keluar juga.
Seketika Pendekar Dungu mengibaskan
tangannya dengan jengkel.
Wusss! "Blaaarrr!"
Sebatang pohon besar kontan ambruk ba-
gaikan disambar kilat yang dahsyat. Suaranya
menimbulkan bunyi berdebam keras. Seketika, so-
sok lelaki Berbulu Hitam keluar dari sana. Wajahnya nampak jengkel sekali.
"Brengsek! Lihat-lihat dong, kalau ingin
menebang pohon!" makinya jengkel.
"Mengapa kau tidak bergeser saja tadi?"
Lelaki Berbulu Hitam membuang kekesalan
dengan melepas napas melalui hidungnya.
"Ke mana sih pemuda itu" Brengsek! Pa-
dahal begitu banyak yang aku ingin ngobrolkan?"
maki Lelaki Berbulu Hitam.
"Bagus itu. Aku juga! Tetapi, di mana dia
sekarang?"
"Sudah kubilang aku tidak tahu!"
"Ala, kau ini memang licik!" Tadi kau bilang dia ada di sini" Nah, mana dia?"
"Dungu! Aku tidak tahu!" jerit lelaki Berbulu Hitam keras sambil membuang rasa
jengkelnya pada kawannya yang dungunya tidak ketulungan
lagi. "Dasar licik! Memangnya dia apamu sih"
Pacarmu" Istrimu" Kan bukan" Jadi aku boleh
bertemu dengannya, kan?" sahut Pendekar Dun-gu, semakin dungu saja.
Lelaki Berbulu Hitam tidak meladeni kata-
kata Pendekar Dungu.
"Hitam! Kau tahu, di mana Istana Sembilan
Iblis?" tanya Pendekar Dungu, membuat Lelaki Berbulu Hitam menoleh.
Lelaki keturunan Serigala ini menggeleng.
"Jangan-jangan si Slebor itu ke sana," tunjuk Pendekar Dungu ke satu arah. Kali
ini sikap- nya kelihatan yakin.
Lelaki Berbulu Hitam langsung menoleh-
kan kepala pada Pendekar Dungu. Lalu bibirnya
tersenyum yang justru membuat wajahnya sema-
kin jelek. "Tumben kau bisa punya pikiran yang ce-
merlang itu," puji Lelaki Berbulu Hitam. Pendekar Dungu tersenyum.
"Kalau dia ke sana, kita harus mencarinya.
Nanti kita tanya di mana letak Istana Sembilan Iblis. Baru kita menyusul dia ke
sana!" *** Lelaki Berbulu Hitam menghentakkan ka-
kinya. Kalau begitu caranya sama saja bohong!
"Kau ini benar-benar dungu tak ketulun-
gan!" semburnya kesal.
"Lho, lho" Kenapa lagi sih?" seru Pendekar Dungu tersinggung.
"Aku sudah mengatakan apa adanya! Me-
mang susah punya teman dungu seperti kau!"
"Sudah, sudah! Kita harus segera mencari
pemuda sakti itu! Aku juga ingin membuktikan
kebenaran mimpimu! Masa iya sih, dia bisa dika-
lahkan Sembilan Iblis!"
"Eh, kau tidak percaya" Aku juga tidak!
Mungkin mimpi ku itu hanya gombal saja, ya?"
"Atau kau mengada-ada?" tebak Lelaki
Berbulu Hitam. Pendekar Dungu melotot.
"Enaknya kau ngomong! Aku ini orang pili-
han dewa!" Sahut Pendekar Dungu bangga sambil menepuk dadanya. "Setiap kali aku
bermimpi, pasti itu wangsit yang benar. Tetapi..., ah! Itu bohong. Benar,
bohong. Masa pemuda sakti itu bisa
mati, ya?"
"Kubilang apa! Kau mengakuinya juga,
kan?" seru Manusia keturunan Serigala ini dengan wajah puas.
Pendekar Dungu hanya menggedikkan ba-
hunya saja. Kelihatan jengkel pada kawannya ini.
"Memang, sekali-sekali orang yang cerdik
dan pintar itu berbuat salah. Buktinya... ya, seperti aku ini," kata Pendekar
Dungu, bernada sombong. Lelaki Berbulu Hitam terbahak-bahak


Pendekar Slebor 28 Istana Sembilan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar kata-kata Pendekar Dungu yang di-
ucapkan dengan nada sombong sekali.
"Sekarang, bagaimana?" kata Lelaki Berbulu Hitam, bernada mengejek.
Pendekar Dungu menyeringai menang.
"Nah! Memang, orang dungu sering bertanya kepada yang pintar. Silakan, Hitam....
Kau mau bertanya apa?"
Lelaki Berbulu Hitam memaki-maki me-
nyadari kesalahan bicaranya. "Aku akan mencari Pendekar Slebor! Sialan juga dia,
main tinggal sa-ja! Akan ku jitak kepalanya!"
"Aku juga! Kau sebelah kanan atau kiri?"
"Kiri!"
"Aku ambil yang kanan!" kata Pendekar
Dungu. Dan tahu-tahu di jitaknya kepala Lelaki
Berbulu Hitam. Bletak! "Waadddooowww!"
Jitakan Pendekar Dungu mengandung te-
naga dalam kuat. Hingga tak heran kalau Lelaki
Berbulu Hitam menjerit keras.
"Sialan! Kurang ajar! Dungu!" maki Lelaki Berbulu Hitam sewot.
Kening Pendekar Dungu berkerut.
"Heran! Dia yang menyuruh aku menjitak
kepalanya bagian kanan! Kok, aku yang dimaki-
maki! Memang susah berteman dengannya!" kata Pendekar Dungu.
"Ada orang dungu, tetapi tidak seperti kau!"
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 6 Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua Pedang Pusaka Naga Putih 3
^