Pencarian

Gajah Kencana 3

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 3


jelas, arca itu terbuat dari pada batu. Bagai seorang anak
sekecil usianya dan sesempit pengetahuannya, wajarlah
kiranya kalau ia berpikir menurut apa yang dilihatnya. Dan
bagi seorang anak Sudra yang semiskin hidupnya seperti Dipa,
tentu akan melandaskan segi pemikirannya itu dari sudut
keadaan hidupnya yang penuh derita. Maka timbul pula
pertanyaan dalam hati anak itu. Adakah arca batu itu lebih
berharga dari seorang anak manusia seperti ia " Ah, kalau
demikian halnya, betapalah bahagia apabila dahulu ia
dijelmakan sebagai arca saja ... .
Pertemuannya dengan brahmana Anuraga, benar2
merupakan t itik-tolak dari kebangkitan jiwanya. Bertolak pada
kesan bahwa ternyata masih ada manusia seperti brahmana
Anuraga yang bersikap baik kepadanya, ia mendapat
kesimpulan bahw a dunia tidaklah segelap dan seburuk
perlakuan yang diterimanya dari masyarakat desanya. Tetapi
tentulah masih banyak manusia2 berbudi seperti brahmana
itu. Mulai saat itu anak yang hidup sebagai katak dalam
tempurung mendapat pengertian bahwa dunia itu tidaklah
hanya selebar daun kelor seperti luasnya desa tempat
tinggalnya itu. Melainkan masih ada dunia luar yang lebih luas
dan lebih ramai. Ant ara lain seperti pura Majapah it yang
dikatakan brahmana Anuraga.
Dalam diri brahmana Anuraga, ia seperti menemukan
sesuatu yang amat berharga. Kebangkitan jiwanya yang
hampir tenggelam, pengertian tentang luasnya dunia dan
kemesraan budi kepada brahmana muda itu. Kesadaran itulah
yang menimbulkan pikirannya terbuka. Bahwa ia harus
mempertahankan jiwanya dari lilitan maut ular berjempang. Ia
tak rela mati sebelum memperoleh jamur Brahmacahya untuk
menolong Anuraga. Dengan kemati-matian digigitnya daging lunak pada kepala
ular itu. Takkan dilepaskan sebelum putus. Dibiarkan darah
daging kepala ular itu mengalir ke dalam mu lut nya. Dan
apabila darah itu sudah memenuhi mulut , diteguknya ke
dalam kerongkongan. Ia tak menghiraukan bagaimana akibat
menelan darah ular itu. Baginya yang ut ama, ular itu harus
digigitnya sampai mati! Tiba2 ia merasa kepala ular itu
meronta keras. Rupanya ular itu
merasa kesakitan dan berusaha
melepaskan diri. Dipa terkejut. Ia
menyadari bahw a apabila u lar itu
sampai lepas, tentu akan balas
menggigitnya. Ketakut an itu menyebabkan ia makin nekad.
Cengkeraman kedua tangannya
pada tenggorokan ular itu makin
diperkeras. Ia kerahkan seluruh
tenaga, mencekik sekuat-kuatnya.
Ular yang mati atau ia yang mati
.... Nama julukan si Gajah yang diberikan oleh penduduk di
desanya kepada Dipa, bukan melainkan karena bentuk indera
dan tubuhnya yang serba besar menyerupai gajah. Pun juga
karena Dipa dikenal memiliki t enaga yang kuat.
Perjuangan anak itu berhasil. Lilitan ular pada kaki dan
tubuhnya mulai mengendor. Tetapi alangkah kejutnya ketika
ular itu bergerak meregang-regang, menamparkan ekornya.
Dipa seperti didera tongkat keras. Sakitnya lebih hebat dari
pukulan nyi Buyut . Apabila berlangsung terus, ia takut tulangtulangnya akan mumur remuk.
Tetapi Dipa adalah seorang anak yang keras hati. Baginy a
derita sakit itu sudah menjadi hidangan tiap harinya. Ia
menggeretakkan geraham untuk menahan kesakitan itu. Tiba2
ia rasakan tubuhnya dicengkam hawa panas. Mula2 hawa
panas itu menghambur dari perut lalu bertebaran menjalar
keseluruh tubuh. Makin lama makin sepanas bara api.
Luka pada bahu kirinyapun mulai mengungkit sakit terbakar
api. Biji matanya merembang panas seperti tercolok cabai.
Kepala berdenyut-denyut memar, serasa berput ar-putar
macam kisaran air dalam sungai. Tubuhnya makin lama makin
terasa ringan. Anak itu gugup, bingung dan ketakutan. Ia kerahkan
seluruh sisa tenaga untuk menggertakkan gigi dan t angannya.
Uh ... . ia berhasil menggigit putus daging di atas kepala ular
itu. Tetapi saat itu pula pandang matanya terasa gelap pekat
dan bumi yang dipijaknya serasa berput ar-putar tenggelam
kebawah. Bluk .... rubuhlah anak it u ke tanah. Krak ....
terdengar suara berderak keras sekali macam tulang pecah
dihantam gada besi. Guha kembali sunyi senyap dicengkam
kebisuan malam. Dua sosok benda berserakan rebah di atas
tanah. Dipa terkapar entah mati entah hidup. Ular membujur
kaku karena kepalanya pecah!
Keajaiban telah terjadi dalam guha karang itu. Seorang
anak gembala dapat membunuh seekor ular sanca yang
bertapa selama seratusan tahun dalam guha.
Khayal, mustahil! Namun sungguh2 terjadi!
Adakah Dipa itu seorang anak ajaib" Adakah ia juga t itisan
dari Wisnu seperti halnya dengan Ken Arok dahulu menurut
anggapan brahmana Lohgawe dari t anah India itu"
Ketika brahmana Lohgawe sedang bersamadhi mempersembahkan puja di candi Wisnu, melalu i getaran alam
halus ia mendapat w angsit bahwa Wisnu dalam candi di situ
sudah musna dan menitis pada diri seorang anak bernama
Ken Arok di tanah Jawa. Maka bergegas-gegas datanglah
Lohgawe ke Tumapel mencari Ken Arok yang kemudian hari
menjadi raja Singasari yang pertama.
Tetapi t iada seorang brahmana atau w ikut ama dari penjuru
jagat manapun yang mencari Dipa sebagai titisan Wisnu. Ia
memang hanya anak biasa. Dan kemenangannya atas ular
berjampang itu, memang suatu keajaiban, T etapi bukan suatu
keajaiban yang bersumber pada suatu kekuatan sakti yang
gaib. Melainkan suatu keajaiban dalam rangkaian hal2 yang
disebut Kebetulan atau ketiada sengajaan.
Andaikata ia melihat keadaan ular itu pada siang kari,
betapapun besar nyalinya, tak mungkin anak itu berani masuk
kedalam guha. Andaikata secara tak sengaja, anak itu tak
menggigit jampang ular, tentulah ular itu tak mungkin kalah.
Karena daging merah pada kepala u lar itu berisi sari zat hawa
jamur Bramacahya yang berpuluh tahun dihisap si ular. Karena
jampang digigit, ular yang sudah amat tua itupun kehilangan
tenaga. Dan karena darah jampang itu mengalir kedalam
tubuh Dipa maka anak itu telah memperoleh suatu kekuatan
tenaga yang luar biasa. Tetapi karena darah jampang ular itu
amat panas, Dipapun serasa terbakar tubuhnya. Ia berhasil
menggigit putus jampang dan mencekik leher ular itu sampai
lemas lunglai. Tetapi iapun rubuh karena tak kuat menahan
rasa panas yang membakar dirinya. Secara kebetulan pula,
ketika ia jatuh bersama ular, ular itu berada dibawah
kepalanya. Lebih dulu ular jatuh kekarang yang keras lalu
disusul dengan jatuhnya kepala Dipa yang tepat menghantam
kepala ular itu. Tulang kepala ular itu pecah, kepala Dipapun
terluka berdarah. Ular mati tetapi Dipa hanya pingsan.
Serentetan hal yang terjadi secara tak disengaja dan diluar
kesadaran anak itu, telah marangkai langkah2 Kebetulan dan
tercipt alah apa yang disebut Keajaiban.
Sungguhpun demikian, namun keajaiban itu memang dapat
terjadi dalam peristiwa yang penuh kemustahilan dan dapat
dilakukan oleh siapapun, apabila d ikehendaki oleh Hyang
Murbeng Gesang, Pencipt a seluruh semesta alam jagad raya.
Dipa, anak gembala tak terkenal dan terhina oleh
masyarakat desanya, ternyata dipilihNYA sebagai in san
mangsakala yang mengemban tugas menyirnakan ular tamak
yang hendak mengingkari kodrat hidup . . .
o)o0od"wo0o(o II ENTAH selang berapa lama Dipa t erkapar tak sadarkan d iri.
Pada saat membuka mata, tampak di sekelilingnya gelap
gelita. Ia terkejut dan mulai menyingkap-nyingkap kabut
ingatannya untuk menembus peristiwa yang dialaminya.
Beberapa saat kemudian, ia melonjak bangun.
Ia telah menyadari kembali apa yang telah terjadi! Dan
mulailah berlapis-lapis rasa keheranan melanda pikirannya.
Tubuhnya sudah tak membara panas, luka bahunyapun tiada
menyeri sakit. Bahkan saat itu ia rasakan tubuhnya ringan,
semangat segar bugar! Bau harum menampar-nampar hidung.
Keajaiban telah menimpa diri anak itu secara lengkap dan
menyeluruh. Karena menggigit dan menghisap darah jampang
ular yang berisi zat hawa sari penampang jamur yang amat
berkhasiat, sekalipun ia harus menderita siksaan seperti
terbakar, tetapi anak itu mendapat manfaat besar sekali
karena tenaganya bertambah kuat. Dan karena ia jatuh
pingsan di dekat jamur Bramacahya, maka melalui pernapasan
hidungnya, hawa harum berisi zat jamur itu telah mengalir ke
dalam tubuh Dipa. Panas badan anak itu cepat reda dan luka
gigitan ular beracun pada bahunya pun hilang
Walaupun ia teringat juga akan ular dan kambing, tetapi ia
tak sempat menyelidiki keadaan mereka. Ia harus cepat2
menolong brahmana Anuraga. Dihampirinya tumbuhan itu
terus dicabut batangnya. Karena gelap dan terburu nafsu,
maka Dipa kurang liati2 mencabut jamur itu. Putik di tengah
penampangpun putus. Dengan semangat gembira, anak itu segera membawa
jamur kembali kehutan tempat brahmana menunggu. Karena
putiknya patah, pucuk jamur bercucuran air. Walaupun tak
tahu apa khasiatnya, tetapi karena sayang kalau air jamur itu
terbuang ketanah, Dipa menampungnya dalam telapak
tangan. Apabila sudah penuh terus diteguknya.
Selama dalam perjalanan, ia meneguk sampai empat lima
kali. Dan set iba di hut an, berserulah ia dengan getar2 gembira
"Paman brahmana, jamur itu telah kudapatkan!"
Brahmana Anuraga masih duduk bersamadhi. Ia terkajut
ketika mendengar derap langkah orang berlari mendatangi
dan heran karena hidungnya mecium angin yang membawa
bau harum lembut. Tetapi sesaat kemudian rasa kejut itu
berobah menjadi rasa girang lega karena mendengar teriakan
Dipa. "Ah ... ." brahmana muda itu mendesis kejut ketika
menerima jamur itu dari Dipa. Belum pernah sepanjang
hidupnya ia melihat jamur yang sedemian besar dan aneh
serta mengeluarkan bau harum yang begitu keras. Setelah
memeriksa beberapa jenak, ia segera menanyakan cara2
mengobatkannya. "Hisap lah air sari dari pucuk jamur itu dan remaslah
panampangnya lalu lumurkan pada luka" kata Dipa. Ia lalu
menuturkan apa yang telah dialami dalam terowongan karang.
Anuraga terbeliak kaget dan tak henti-hentinya mendesis
heran. Setengahnya ia kurang percaya dan meragukan anak
itu membual. Tetapi melihat kesungguhan kerut wajah dan
nada anak itu apalagi setelah melihat bahunya benar2 terluka,
barulah brahmana itu percaya.
Sejenak dipandangnya wajah anak itu lekat2. Searang anak
gembala yang bersahaja, lurus hati dan keras kemauan. Makin
mendalam kesan hatinya bahwa anak itu kelak tentu
mempunyai perjalanan hidup yang cemerlang.
"Mengapa paman brahmana?" karena merasa
dipandang sedemikian lekat, anak it u bertanya.
heran "Ah, tak apa2" Anuraga mengicup mata "aku amat
berterima kasih kepadamu. Kelak apabila urusanku sudah
selesai, tentu akan kuberimu ilmu2 yang berguna"
Brahmana Anuragapun segera mengobati luka bahunya
sesuai dengan cara yang dikatakan Dipa. Setelah selesai ia
memperingatkan Dipa "Rembulan sudah mulai condong ke
barat, anginpun makin dingin. T ak berapa lama lagi, hari t entu
sudah fajar. Baiklah engkau bermalam di hutan ini, besok
kuant arkan engkau pulang. Akan kutemui buyut desa dan
kuterangkan apa sebab engkau tak pulang malam in i"
"Ah, paman masih terluka. Baiklah beristirahat malam in i.
Aku berani pulang sendiri. Besok pagi aku akan datang lagi
menjenguk paman di sini" kata Dipa lalu mint a diri kepada
brahmana itu. "Jauhkah desa tempat tinggalmu itu ?"
"Ah, tak jauh. Hanya teraling sebuah bukit terus menurun
ke utara. Setelah melint asi sebuah hut an dan dua buah bulak,
di situlah desa tempat, tinggalku"
Anuraga mengangguk. Ia mengantar kepergian anak itu
bersama kambingnya dengan pandang mata terharu syukur.
Ia tak menyangka bahwa malam itu, dua kali jiwanya
diselamatkan Dipa. Pertama, karena meneduh dari serangan
hujan deras, hampir saja ia disambar ular besar. Kedua kali,
luka yang d ideritanya dari trisula beracun milik Windu Janur.
Apabila anak itu tak muncul memberi pertolongan, jiwanya
tentu sudah melayang atau sekurang-kurangnya ia pasti
menderiia cacad seumur hidup. Dan untuk menolongnya itu,
Dipa telah kehilangan dua ekor kambing. Ia menghela napas
lalu pejamkan mata. Rupanya Batara Surya masih segan melepaskan
peraduannya hingga sinar merah pudar amat lambat sekali
memburat cakrawala diufuk timur. Namun tampaknya sang
Dewipun sudah lelah menunaikan tugas semalam sunt uk.
Cepat2 Dewi itu mengemasi selimut malam yang menebari
bumi. Margasatwa dan unggas penghuni hutan itupun mulai
bangun, bersolek dan sibuk ber-kemas2 menghadapi tugas
hari itu. Burung2 berkicau, ayam hutan berkokok, kelinci
mencicit, ular mendesis, babi hut an mendengkur. Riuh rendah
para penghuni hutan itu melantangkan puji syukur
menyambut kehadiran Batara Surya. Walaupun nun jauh
ditengah hutan belantara, sang raja hutanpun tak mau
ketinggalan menggemakan aum yang dahsyat. Sebagai
canang peringatan kepada seluruh rakyat penghuni hutan
bahw a sang raja itu masih segar bugar, gagah perkasa dan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwibawa. Tetapi tidaklah aum siraja hutan itu kuasa menggetarkan
nyali para penghuni hutan. Mereka tetap bersuka ria dengan
cara dan langgam masing2, menyambut kehadiran surya
kehidupan yang cerah gemilang. Bahkan silemah cacing, pun
tak ketinggalan pula Unt uk bergeliatan melemaskan tubuh
agar dapat lebih lincah dan kuatlah pekejaan mereka menyusup2 tanah.
Kawanan margasatwa hutan itu tak pernah jemu akan
pekerjaannya. Tak pernah mengeluh akan hasil pencariannya
tiap hari. Tak pernah pula mencemaskan kehidupan sehari
yang akan dialaminya itu. Mereka dengan tulus murni paserah
akan kekuasaan Hyang Widdhi yang bersifat Maha Pemurah,
Adil, Pengasih dan Penyayang kepada ummatNYA.
Anuraga benar2 terpukau dalam alam pesona. Hatinya
bergetaran rasa kagum. Nurani tersentuh rasa sadar dan
malu. Betapa ia sebagai Manusia yang dianggap makhluk
tertinggi dari semua makhluk ciptaan Hyang Murbeng Dumadi,
ternyata mrsih kalah murni dengan sifat ke-Paserah-an yang
tulus ikhlas dari kawanan pengisi hutan itu. Ia benar2 merasa
kecil dengan kebesaran yang dinikmati dalam hutan pada
waktu dinihari itu Brahmana muda itu lanjutkan kelana lamunannya.
Menyusur jalan panjang, melalu i hutan belantara, melint as
gunung dan lembah, akhirnya terbayanglah kota nan megah
indah, pura kerajaan Majapah it. Betapa beda suasana
kehidupan di pura kerajaan itu dengan hutan dimana saat itu
ia berada. Di hut an burung2 berkicau bebas gembira. Di pura kerajaan
para menteri dan pembesar2 berbisik-bisik menghambur
fitnah. Di hutan kawenan binatang mengetahui siapa2 yang
mencintai jiwanya. Di pura kerajaan sukar orang mengetahui
siapa musuh di balik selimut wajah ramah bermurah senyum.
Di hut an harimau si raja hut an jelas mengunjukkan belangnya
sebagai penguasa dan pemakan si lemah. Di pura kerajaan si '
harimau' berselimut kan kulit domba, sehingga belum diketahui
siapakah biang keladi yang menjatuhkan beberapa mentri tua
yang setya. Di hutan cacing2 bergeliatan dalam tanah untuk
inembongkah bumi supaya subur. Di pura kerajaan, komplotan
manusia2 cacing bergeliatan dalam keraton untuk menggerogoti kerajaan supaya hancur. Di hutan matahari
merupakan berkah sebagai sinar kehidupan. Di pura kerajaan,
matahari merupakan penghambat sang malam, saat yang
aman bagi kasak kusuk yang bertujuan jahat. Di hutan hawa
udara bersih dan menyegarkan. Di pura kerajaan udara penuh
berlumuran hembusan napas2 kenafsuan dan keangkaraan ....
"Ah, betapa jauh beda suasana pura kerajaan dengan hutan
ini" akhirnya Anuraga menghela napas penghambur kekesalan
hati. Tiba2 sesuatu merekah dalam alam kesadarannya "dan
akupun termasuk mereka yang berkecimpung dalam arus
pergolakan di pura kerajaan ...." ia tersipu-sipu merah
wajahnya. "Ah, Anjampiani, mengapa engkau ikut terjun dalam kancah
pergolakan yang penuh debu2 kenafsuan Manusiawi itu .... ?"
diluar kesadaran, Anuraga menyidangkan dirinya kehadapan
Dharmadyaksa hatinya "bukankah eyangmu Kiageng
Palandonga.n telah banyak2 menasehati agar engkau
menjauhkan diri dari pertikaian keduniawian dan menganjurkan supaya engkau menyepikan diri dalam ajaran
agama Syiwa yang keramat agar memperoleh kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Lihatlah ayahmu, adipati T uban itu! Apakah
yang diperolehnya" Akhirnya ia harus menerima nasib menjadi
mayat penasaran yang diperabukan dalam api peleburan ...."
Anuraga terpukau tak dapat menangkis tuduhan yang
dilancarkan oleh sang Dharmadyaksa hatinya. Hampir ia
hendak menghela napas sebagai tanda menyerah salah.
Tetapi belum lagi napas menghambur, secercah sinar melintas
alam renungannya dan sesaat tersembullah wajah seorang
kakek bungkuk yang dijumpainya ketika ia sedang berburu di
tengah hutan. "Kut ahu siapa bapakmu. Dia seorang senopati yang berjiwa
ksatrya. Dia rela mengorbankan pangkat dan kemewahan
hidup bahkan jiwanya demi membela pendiriannya. Baginda
Kertarajasa almarhum, ayahanda baginda Jayanegara yang
sekarang, amat sedih atas peristiwa pemberontakan ayahmu.
Maka bagindapun menitahkan supaya jenazah ayahmu dibawa
ke pura Majapah it dan diperabukan dengan upacara
kebesaran. Eyangmu Ki Wirarajapun tetap dipenuhi janjinya,
diberi tanah Lumajang. Jelas bahw a baginda Kertarajasa itu
tetap menghargai jasa2 ayahmu. Kin i set elah ayahmu
meninggal dan bagindapun mangkat, maka kerajaan Majapahit
mulai ricuh. Ada seseorang yang secara bersembunyi pandai
melancarkan siasat mengadu domba dan memfitnah sehingga
satu demi satu, para bekas kadehan baginda Kertarajasa
dahulu, sama terperangkap dalam tindakan memberontak.
Tujuannya jelas, hendak menyingkirkan para ment ri tua yang
set ya agar dia dapat merebut kedudukan t inggi. Ayahmu ikut
serta menyumbangkan tenaga, pikiran dan jiwa raga untuk
mendirikan kerajaan Majapahit. Mengapa engkau sebagai
puteranya tak ikut serta membela kerajaan itu ... ."
Demikian ucapan kakek bungkuk yang masih mengiang di
telinganya. Dan serentak bangkitlah semangat Anuraga
menangkis tuduhan Dharmadyaksa hatinya tadi "Benar! Aku
adalah keturunan dari senopati yang ikut mendirikan kerajaan
Majapah it. Apabila ayah masih hidup, beliaupun tentu akan
menitahkan aku untuk membela kerajaan ...."
Untuk yang kesekian kali, pikiran Anuraga terpukau dalam
persimpangan jalan. Ant ara anjuran eyangnya Kiageng
Palandongan, dengan pesan seorang tua bungkuk yang
ditemui dalam sebuah guha. Menuruti anjuran eyangnya
Kiageng Palandongan, berarti ia harus menjadi seorang
brahmana yang tinggal di asrama atau candi tempat pemujaan
Syiwa. Ia harus mengabdikan hidupnya pada keagungan
agama yang dipuja dan tak mencampuri urusan keduniawian.
Dalam kedudukan itu ia tak harus memikirkan pergolakan
jaman dan suasana kericuhan dalam kerajaan Majapahit, agar
ia benar-benar dapat mensucikan jiwa mencapai peningkatan
kehidupan di Alam Kelanggengan.
Namun Anuraga masih muda. Warisan keturunan dari
seorang senopati yang berdarah panas, rupanya amat
mempengaruhi pertumbuhan jiwanya. Ia lebih berkesan pada
orangtua bungkuk dalam guha. Sesaat terngianglah
percakapannya dengan orangtua bungkuk dalam guha dahulu
.... "Negara itu kumisalkan sebuah wadah dan rakyat adalah
isinya. Apabila wadahnya rusak atau menderita suatu
gangguan, apakah isinya tak ikut menderita akibat" Maka
jelaslah sudah, bahwa pasang surutnya kejayaan negara itu,
akan mempengaruhi seluruh segi kehidupan rakyat. Apabila
kerajaan Majapahit yang jelas menjunjung dan melindungi
perkembangan agama Syiwa, Budha dan Tantrayana sampai
roboh dan berganti raja, dapatkah perkembangan agama itu
terjamin perkembangannya" Marilah kita menarik pelajaran
dari peristiwa sejarah yang lampau. Kertajaya atau prabu
Dandang Gendis dari kerajaan Kediri dahulu, pernah membuat
peraturan yang amat menyinggung perasaan kaum beragama.
Raja itu hendak memaksa kaum brahmana, wipra, wiku dan
pendeta tuduk dan menyembah kepadanya. Padahal dalam
urut2an kasta, brahmana itu lebih tinggi dari raja dan ksatrya.
Walaupun akhirnya prabu Dandang Gendis kena tulah dan
dapat dikalahkan oleh Ken Arok, namun kita tak boleh
menutup mata akan pengalaman semacam itu. apabila
peristiwa semacam itu terjadi di kerajaan Majapahit pula maka
pastilah sendi2 ketenangan kehidupan agama Syiwa dan
Budha akan goyah ...."
"Lalu maksud eyang?" tanya Anuraga.
"Dewasa in i kerajaan sedang diliputi kabut hitam. Sejak
ayahmu berontak dan dibinasakan, kemudian menyusul
Lembu Sora, Gajah Biru dan Juru Demungpun didesak dan
dituduh memberontak sehingga mereka terpaksa mengangkat
senjata. Walaupun akhirnya mereka dapat dihancurkan binasa
tetapi bukanlah huru hara akan berhenti. Masih banyak
mentri2 tua bekas kadehan baginda Kertarajasa dahulu, yang
masih memegang jabatan2 penting dalam kerajaan. Ant ara
lain, Nambi yang Sekarang menjabat Mahapatih, Pamandana,
Mahisa Pawagal, Panji Anengah, Panji Samara, Panji
Wiranagari, Jaran Bungkal, Jangkung, Teguh, Semi, Lasem,
patih Emban, Lembu peteng, Ikal-ikalan Bang, Jabung
Tarewes dan lain2. Tak ketinggalan pula, eyangmu Adipati
Wiraraja itu. Satu demi satu, mereka pasti akan dijerumuskan
dalam perangkap supaya memberontak agar dapat ditumpas.
Ada seseorang atau mungkin suatu komplotan yang
menyiapkan rencana licik, untuk menyingkirkan seluruh bekas
orang kepercayaan almarhum baginda Kertarajasa . . . ."
"Siapakah orang itu?" Anuraga mulai t ertarik.
"Itulah yang akan kumint a engkau menyelidiki dan
mencarinya!" kata orangtua bungkuk itu. Sejenak berhenti
memulangkan napas, ia me lanjutkan "di samp ing itu, pura
Majapah it terancam pula oleh gerombolan sisa2 orang Daha
yang hendak melakukan balas dendam pada kerajaan
Majapah it dengan jalan mengadakan pengacauan dari dalam.
Pun dalam kalangan para ment ri kerajaan rupanya timbul
persaingan dan pertentangan sendiri. Mereka terpecah dalam
dua golongan. Golongan yang mendukung raja Jayanagara
yang sekarang dan golongan yang menentang raja dan
mendukung keturunan puteri Tribuana dan puteri Gayatri dari
Singosari. Suasana dalam pura-kerajaan ibarat api dalam
sekam. Di luar tampak tenang tetapi di dalam panas
membara" Anuraga tampak terpukau. Baru pada saat itulah ia
mendapat pengetahuan akan suasana gawat dalam kerajaan.
Ia merenung dalam2. "Memang berat nian tugas yang kuletakkan di bahumu itu"
tiba2 orangtua bungkuk itu berkata pula "tetapi engkau tak
perlu meragu lagi, putera Rangga Lawe. Engkau pasti berhasil
mengemban tugas itu. Karena tugas itu adalah pengejawantahan dari mangsakala. Mangsakala itu adalah
Waktu yang menjadi kodrat jaman. Bahwa kerajaan Majapahit
memang sudah merupakan mangsakala dari suatu jaman yang
gilang gemilang. Dan engkau sebagai prajurit mangsakala,
prajurit yang diembani oleh sang Waktu, pasti berhasil
melaksanakan tugas itu. Maka atas nama ayahmu, Rangga
Lawe, kuminta engkau menerima tugas pengabdian itu"
Tersentuhlah hati kecil Anuraga mendengar ucapan
orangtua bungkuk yang menyinggung-nyinggung nama
ayahnya "Siapakah engkau ini?" serunya menegas.
Orangtua bungkuk itu tertawa. Nadanya penuh menghambur kerawanan dan kekecewaan "Dahulu aku
memang mempunyai nama. Tetapi karena diriku telah
dimatikan jaman maka aku t ak memiliki nama lagi. Bila engkau
suka, sebut sajalah Eyang Wungkuk"
"Tetapi siapakah nama eyang yang dahulu ?" masih
Anuraga mendesakkan pertanyaan ingin tahu.
Eyang Wungkuk menghela napas "Ah, mengapa engkau
masih menyibukkan soal nama" Bunga dipuja bukan karena
namanya melainkan harumnya. Pahlawan dipuja bukan karena
namanya tetapi karena amal jasanya. Baiklah" cepat2 Eyang
Wungkuk mencegah Anuraga yang bibirnya tampak bergerak
hendak bicara "panggillah aku eyang Lembu Wungkuk. Lalu
bagaimana dengan keteranganmu, anakmuda. Bersediakah
engkau mengemban tugas itu?"
Anuraga masih merenungkan dalafn2 keputusannya.
Melihat agaknya pemuda it u masih meragu, eyang Lembu
Wungkuk berkata pula "Tugas itu merupakan Kewajiban luhur
yang berlandaskan sumber Kesadaran. Apabila engkau tak
sanggup, janganlah memaksa dirimu. Silahkan pulang dan
tinggalkan aku seorang diri. Tiada yang dapat kuperbuat selain
dari menghela napas karena kasihan kepada Rangga Lawe
yang mempunyai putera tetapi tak mau melanjutkan cita2
pengabdian kepada negara seperti ayahnya. Memang benar
kenyataan itu ...." "Kenyataan bagaimana?" tiba2 Anuraga berseru keras.
Sesungguhnya ia sudah tak dapat menguasai diri mendengar
ucapan kakek bungkuk yang jelas mencemohkan dirinya.
Namun ia masih meluangkan sepercik kelapangan dadanya
untuk bertanya. "Bahw a harimau itu tentu beranak harimau. Tetapi tidak
demikian pada manusia. Senopati yang gagah perkasa, belum
tentu puteranya juga seorang ksatrya yang perwira. Bahkan
ada kalanya puteranya itu seorang yang bernyali t ikus ...."
"Bungkuk, jangan terlalu menghina Kuda Anjampiani,
putera Rangga Lawe ini!" serentak hilanglah kesabaran hati
pemuda itu. Ia mendamprat kakek bungkuk itu "Aku sedang
merenungkan hal itu. Bukan berarti aku sudah menolaknya!"
Dampratan itu tak membuat Lembu Wungkuk marah
melainkan tertawa gersang "Girang benar hatiku karena
engkau masih memiliki perasaan yang mudah tersinggung.
Suatu tanda bahwa rasa Kesadaranmu masih belum peka.
Apabila rasa tersinggung itu masih menyala dalam hatimu,
makilah aku sampai puas!"
Anuraga tersipu-sipu merah wajahnya. Ia menyadari
keliaran ucap kepada kakek itu"Maafkan aku, eyang. Aku tak
dapat menguasai rangsang hatiku. Sesungguhnya tanpa eyang
mengucap kata2 itu, memang sudah siap kuputuskan untuk
menerima tugas itu" "Ah, putera Rangga Lawe" Lembu Wungkuk menghela
napas keharuan "jangankan hanya cerca maki, bahwa derita
tusukan senjata tajam yang bagaimana sakitnya, pun aku rela


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima asal kerajaan terlindung dari kekacauan dan
kehancuran ...." kata2 kakek bungkuk itu terhenti oleh
kucuran beberapa tetes airmatanya.
Demikian Anuraga segera memint a petunjuk akan tugas
yang harus dilakukan. Eyang Wungkuk itu segera
menyerahkan sepucuk surat "Serahkan surat ini kepada
Pamegat Ranu Kebayan Dang Acarrya Samaranata di pura
kerajaan. Engkau pasti akan diterima sebagai pekatik atau
orang magangan. Beliau adalah salah seorang Dharmadyaksa
urusan agama Syiwa yang bertugas untuk melindungi kaum
brahmana" Sebagai bekal terakhir, kakek Lembu Wungkuk memberikan
suatu ilmu kawijayan yang disebut Rajah Kalacakra.
Ditekankan pesan keramat kepada Anuraga.
"Ilmu pukulan Rajah Kalacakra, merupakan ciri pengenal
dari para pejuang pembela negara Majapah it yang tergabung
dalam Gajah Kencana ..."
"Gajah Kencana" Apakah itu, eyang?"
"Gajah kencana adalah perserekatan para pejuang yang
set ya mengabdi pada kerajaan Majapahit. Dalam pengabdian
itu, mereka akan berjuang sebagai Manggala Majapah it.
Warga Gajah Kencana tidak banyak jumlahnya karena
penerimaan anggauta dilakukan dengan cara penyaringan
yang keras dan cermat. Kebanyakan anggauta-anggautanya
itu terdiri dari put era2 keturunan senopati dan mentri kerajaan
yang setya. Tiada orang yang mengetahui, baik kawan
maupun lawan, apa dan bagaimanakah susunan serekat Gajah
Kencana itu. Tetapi mereka dapat merasakan betapa luas dan
besar pengaruh serekat itu dalam tindakannya membela dan
menyelamatkan kerajaan Majapahit. Gajah Kencana bergerak
secara rahasia tetapi dengan tujuan yang nyata" demikian
panjang lebar Lembu Wungkuk menguraikan azas tujuan dan
peraturan2 yang dianut Gajah Kencana. Kemudian setelah
cukup banyak memberi wejangan2 penggemblengan jiwa
kepada Anuraga, kakek bungkuk itupun segera melepaskan
berangkat ke pura kerajaan.
Demikian tersentaklah Anuraga dalam kenangannya ketika
pertama kali berjumpa dengan Eyang Wungkuk. Setelah
beberapa bulan bernaung sebagai pekatik pada Pamegat Ranu
Kebayan Dang Acarrya Samaranata, banyaklah pengetahuan
tentang keadaan dalam pura kerajaan yang diperolehnya.
Setahun kemudian ia pulang memberi laporan kepada Eyang
Wungkuk dengan membawa berita yang amat penting.
Setelah mendapat petunjuk seperlunya dari Eyang Wungkuk
iapun kembali kepura kerajaan. Tetapi ketika melalui hut an itu
telah dicegat Windu Janur. Demikianlah asal usu l brahmana
muda itu. Seperti pagi itu ketika terbenam akan ketenangan dan
kebesaran alam hutan, memang beberapa kali ia mengalami
keraguan batin. Membandingkan antara anjuran eyangnya
Kiageng Palandongan dengan tugas yang diterimanya dari
Eyang Wungkuk. Hal itu memang dapat dimaklumi karena
sejak kecil sampai berangkat menjadi seorang dewasa,
ajaran2 falsafah keagamaan Sy iwa-Budha yang ditanamkan
oleh Kiageng Palandongan, amat besar pengaruhnya dalam
pertumbuhan jiwanya. Bahkan ia telah masuk menjadi seorang
brahmana dengan nama abhiseka Anuraga. Namun goyahlah
pendiriannya ketika ia bertemu dengan Eyang Wungkuk dan
menghayati wejangannya. Setiap hatinya bimbang merenungkan anjuran Kiageng Palandongan, setiap kali pula ia
segera meneguk gemblengan semangat dari Eyang Wungkuk.
Dan seperti yang sudah dialami beberapa kali, pagi itu
hatinya yang kena pesona menikmati kebesaran alam hutan,
pun tergugah pula akan pesan dan wejangan Eyang Wungkuk.
Anuraga serentak berbangkit. Wajahnya tampak setenang
suasana hutan saat itu. Memandang kelangit, ia menggumam
lirih "Ih, matahari sudah hamp ir menjenjang ditengah langit,
mengapa anak itu masih belum datang juga. . ." tiba2 ia
tertegun ketika membayangkan sesuatu "ah, mungkinkah
terjadi sesuatu pada anak itu" Mungkinkah ia mendapat
hukuman dari buyut desa karena telah menghilangkan dua
ekor kambing yang digembalakan itu?"
Teringat akan ucapan Dipa betapa bengis keluarga buyut
itu memperlakukannya, kecemasan Anuraga makin menjadi.
"Ah, anak itu berhati lurus. Tak mungkin ia tak menepati
janji apabila tak mengalami sesuatu. Aku harus menolongnya"
akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari Dipa d i
desanya. Sesuai dengan petunjuk Dipa, Anuragapun menempuh
perjalanan kearah barat laut. Mendaki sebuah bukit dan
melint asi dua buah bulak persawahan. Ia tertarik akan pad i
yang sudah mulai menguning subur. Terkesanlah dalam hati,
bahw a penduduk desa di situ tentu hidup tiada kekurangan.
Tanahnya subur, air berlimpah ruah di mana-mana, ternak
berkembang biak. Keadaan itu mencerminkan sebuah desa
yang berkembang makmur. Dan seketika Anuragapun
merasakan betapa penting kaitannya antara kemajuan desa
dengan kemakmuran negara. Desa merupakan sendi
perumahan negara dan sumber kesejahteraan kehidupan
rakyat. Merenungkan hal2 mengenai perkembangan desa,
terlint aslah benak Anuraga akan para pamong desa yang
menjalankan pimpinan pemerint ahannya. Kesan bahwa desa
yang akan dimasuki itu sebuah desa yang makmur,
menimbulkan kesimpulan bahwa buyut yang mengepalai desa
itu tentu seorang yang pandai, jujur dan bijaksana. Tak
mungkin seorang buyut yang tak pandai dan cakap, mampu
membawa desanya kearah kemajuan. Namun kepandaian dan
kecakapan masih belum cukup. Masih harus disertai dengan
kejujuran yang bersifat Sepi ing Pamrih. Karena tak kurang
banyaknya buyut desa yang pernah dijumpainya, merupakan
pimpinan desa yang pandai dan cakap. Tetapi sayang, buyut
itu seorang pimpinan yang tak jujur. Sehingga kepandaian dan
kecakapannya itu hanyalah untuk kepentingan memperkaya
diri sendiri tanpa menghiraukan keluh kesah rakyatnya yang
menderita. Dan sebagai pelengkap syarat yang terakhir dari
seorang pemimpin desa, ialah Kebijaksanaan. Karena
Kebijaksanaan itu merupakan sarana pemersatu Langkah dan
Tujuan, sumber pengerahan tenaga dan pikiran seluruh rakyat
untuk menanggulangi segala sesuatu masalah yang
berhubungan dengan kemajuan desanya.
Berdasarkan pada penilaian itu, maka ia mempunyai kesan
baik kepada buyut desa yang menjadi majikan Dipa itu. Dan
serentak timbullah pertanyaan dalam hati "Apakah seorang
buyut desa yang pandai, jujur dan bijaksana, dapat bertindak
sewenang-wenang kepada seorang anak kecil yang menjadi
orang upahannya?" ia gelengkan kepala dan mengatakan tak
mungkin. Tetapi pada lain saat, ia bertanya dalam hati pula
"Apakah Dipa, anak yang menurut penilaiannya berhati lurus
jujur, akan mengatakan hal yang t ak sesuai dengan diri buyut
itu?" kembali ia gelengkan kepala dan menggumam "Ah, tak
mungkin .... Tetapi pada saat ia tiba akan pemikiran mengenai diri buyut
desa, iapun sudah tiba di ujung akhir dari bulak yang
dilint asinya. Saat itu ia disongsong dengan jalan datar yang
merentang panjang ke muka. Dan tak berapa lama ia berjalan,
tiba2 dari kejauhan tampak sebuah gapura batu yang
berbentuk sebagai belahan candi.
"Ah, gapura batu itu tentu merupakan pintu masuk ke desa"
ia merangkai kesimpulan seraya mempercepat langkah.
Gapura desa itu didirikan di atas sebuah tanah tanjakan. Mulai
memasuki gerbang itu, ia harus turun ke sebidang tanah
lapang yang mendatar di bawah.
Semangat Anuraga makin menggelora. Langkah kakinyapun
makin diperpesat. Ia ingin lekas2 menemui Dipa. Tetapi baru
berjalan menurun beberapa langkah, ia terbeliak kaget ketika
melihat sebuah pemandangan yang berlangsung di tanah
lapang bawah. Sekawan anak2 yang terdiri dari enam orang, tengah mengeroyok dan memukuli seorang anak yang rebah di t anah. Dan
tak jauh dari tempat pengeroyokan itu, tampak seorang anak lelaki yang agak besar sedang berdiri dengan sebelah kaki menginjak segunduk batu dan tangan menuding-nuding memberi perint ah kepada kawanan anak2 itu. Perhatian Anuraga tertarik dan mencurahlah pandang matanya ke arah bocah
yang menjadi sasaran pengeroyokan itu. Dan alangkah
kejutnya ketika yang dicemaskan itu benar2 terjadi. Anak yang
menjadi mangsa keliaran tingkah laku kawanan anak2 nakal
itu, bukan lain ialah Dipa!
"Ah, kasihan anak itu .." serentak Anuragapun percepat
langkah turun ke tanah lapang. Setelah nyata bahwa anak
yang dikeroyok itu benar2 Dipa, pada saat ia masih beberapa
belas langkah jauhnya, berserulah ia menghentikan perbuatan
anak2 nakal itu "Hai, berhentilah dulu ! Jangan menyiksa
Dipa..." Kawanan keenam anak2 nakal itu terkejut. Mereka
serempak hentikan penyiksaannya kepada Dipa. Sedang anak
yang agak besar dan tegak menginjak sebelah kakinya di atas
segunduk batu, pun terbeliak rentangkan mata lebar2.
Memang kedatangan seorang brahmana dari gapura di atas
tanah tanjakan, diket ahuinya juga. Tetapi set itikpun ia tak
pernah menyangka bahwa brahmana pendatang itu akan
menghentikan pemukulan. Serentak anak itu bercekak
pinggang, membengiskan kerut wajahnya.
Keenam anak2 it u setelah berhenti memukul, segera
menghamburkan pandang kearah anak yang bercekak
pinggang itu. Rupanya anak itulah yang menjadi pemimpin
mereka dan yang memerint ahkan pemukulan itu. Anak
bercekak pinggang itupun memberi isyarat dengan anggukan
kepala dan keenam anak itu cepat berputat diri, tegak berjajar
menghadang dihadapan Anuraga.
"Mengapa engkau memukuli Dipa " Apakah salahnya ?"
serta tiba pada jarak tiga langkah dengan kawanan anak2
nakal itu, Anuraga berhenti dan bertanya.
Salah seorang anak bertubuh gemuk kekar dan
mengenakan baju warna hijau daun, membent ak "Siapa yang
engkau tanyakan" Dipa" Siapakah Dipa itu?"
Anuraga menjawab tenang "Bukankah anak yang engkau
pukuli itu Dipa ?" "Tidak! Disin i t ak ada anak yang bernama Dipa!"
Anuraga kerutkan dahi "Anak itu jelas Dipa. Harap kalian
menyisih, aku hendak bicara kepadanya"
"Tidak! Dia bukan Dipa tetapi si Gajah, anak gembala
gajihan buyut desa" sahut anak bertubuh kekar dengan
garang. Anuraga memandang anak itu dan kawan2nya. Sikap, katakata dan pakaian yang mereka kenakan, cepat memberi kesan
bahw a saat itu ia sedang berhadapan dengan sekawanan
anak-anak nakal yang gemar berkelahi dan menimbulkan onar.
Anuragapun segera teringat akan keterangan Dipa bahwa
namanya itu tak diakui oleh masyarakat desanya. Penduduk
dan anak2 didesa itu memanggilnya si Gajah
"Y a, benar si Gajah. Aku hendak bicara kepadanya" cepat ia
beralih nada. "Siapa engkau, brahmana" mengapa engkau kenal Gajah?"
anak bertubuh kekar itu balas bertanya.
Sebelum Anuraga menyahut, tiba2 salah seorang anak lain
berseru "Tentu brahmana yang menjelajahi desa2 untuk
memungut sedekah!" "Benar! Benar" sambut kawannya yang lain pula "memang
desa kita sering didatangi brahmana dan pendeta yang minta
sedekah. Katanya untuk wakaf asrama dan candi. Ada
beberapa yang minta dengan cara memaksa ..."
"Tentulah brahmana ini juga begitu!"
"Y a, mereka memang mengganggu. Silih berganti yang
datang. Ada saja alasannya untuk meminta sedekah it u. Ayah
pernah didatangi dan karena takut digertak, akhirnya ayah
terpaksa memberi uang beberapa tali ..."
Demikian h iruk pikuk kawanan anak2 itu berteriak-teriak
mengumpat brahmana dan pendeta. Tiba2 anak bertubuh
kekar itu mengacungkan tangan ke atas dan seketika
berhentilah anak2 itu berteriak. Anak bertubuh kekar itu tampil
ke muka. "Brahmana" katanya berlagak "pergilah kelain tempat. Desa
kami sudah banyak memberi sumbangan kepada kaum
brahmana dan pendeta!"
Merah wajah Anuraga karena tersinggung oleh kata2 yang
bernada menghina itu. Ia dianggap seorang brahmana yang
hendak memungut sedekah. Untunglah ia cepat dapat
menyadari kedudukannya dengan keadaan anak2 itu. Kelirulah
kalau ia menghendaki anak2 itu harus berpikir dan berlaku
seperti dirinya. Sesalah orang yang marah terhadap seekor
ayam yang masuk kedalam rumah dan bertelek diatas meja.
Lalu ayam itu di pukul dan dimaki-maki tak kenal aturan. Ia
anggap dan mempersamakan ayam itu supaya berpikir seperti
dirinya seorang manusia. Bahwa bertelek diatas meja itu
perbuatan yang kurang ajar.
Sejenak Anuraga merenung, bagaimana ia harus bertindak
menghadapi anak2 nakal itu. Pada lain kejab iapun tertawa
ringan. "Kamu salah faham. Sama sekali aku tak bermaksud mint a
derma kedesa in i. Aku hendak mencari si Gajah yang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolong jiwaku ketika aku hendak disambar ular dalam
hutan ..." "Gajah menolong jiwamu" Ah, tak mungkin! Bagaimana
anak semacam si Gajah dapat menolong seorang brahmana
yang masih muda perkasa seperti engkau! Benar aku anak
desa t etapi t ak mudah orang hendak menipu aku!" seru anak
bertubuh kekar itu sambil t egakkan kepala beranjak.
Anuraga tetap memelihara kesabarannya, katanya "Aku tak
ingin membohongimu. Terserah kalau engkau tak mempercayai keteranganku. Tetapi ingin kutanya, apa sebab
engkau dan kawan2mu memukuli Gajah" Apakah kesalahannya?" "Dia mencuri dua ekor kambing milik buyut desa yang
disuruhnya menggembalakan!"
"Karena tuduhan it u maka kalian terus bertindak main
menjadi hakim sendiri?" cepat Anuraga menumpangi
pertanyaan. "Hai, engkau hendak membela seorang pencuri" Apakah
engkau ingin kami perlakukan seperti si Gajah?" anak
bertubuh kekar itu menantang sambil mengepal-ngepal tinju.
Namun Anuraga tetap tenang.
"Enyahlah sebelum kupaksa dengan kekerasan!" anak itu
melangkah maju diikut i kelima kawannya. Karena Anuraga
tetap tak berkisar, mereka menganggap brahmana itu
membangkang. Keenam anak itu serempak mengangkat t inju
hendak memukul. "W awa, berhenti!" t iba2 putera buyut desa yang berada di
belakang, berseru melarangnya.
Wawa, anak bertubuh kekar itu serentak berhenti. Dia anak
pandai besi yang terkenal kuat dan pemberani. Tiada seorang
anak dalam desa itu yang berani kepadanya, kecuali putera
buyut desa. Karena putera buyut it u selalu memanjakan
dengan hadiah2 uang dan barang. Kawanan anak2 itu tunduk
pada perintah buyut desa.
"Brahmana, mengapa engkau t ak tahu undang2 , negara"
Bukankah pencuri itu harus ditangkap dan boleh dihajar
sampai mati?" putera buyut itu maju menghampiri.
Anuraga terkesiap. Tetapi cepat ia menghias senyum dalam
jawabannya "Benar, hal itu termaktub X.dalam pasal 59 dalam
kitab Agama, kitab undang2 tindak pidana yang berlaku di
kerajaan Majapahit. Benar atau tidak?"
Putera buyut desa terbeliak pucat. Sesungguhnya ia belum
pernah membaca kitab undang2 negara. Ia hanya mendengar
dari ajaran ayahnya. "Karena engkau tahu undang2 negara, tentulah engkau
tahu perbuatan yang dianggap penghinaan atau Parusya ?"
Anak itu gelengkan kepala dan makin pucat.
"Hm, akan kujelaskan" Anuraga mendesuh "Jika seorang
ksatrya memaki-maki brahmana, dendanya dua tali. Jika
waisya memaki-maki brahmana, dendanya ]jma tali. Jika sudra
memaki-maki brahmana, dikenakan hukuman mati. Nah,
kalian in i termasuk kasta mana agar dapat ditentukan
hukumannya atas perbuatan kalian menghina aku seorang
brahmana" "Tidak! Bohong! Engkau bukan brahmana sejati! Jangan
main gertak!" t eriak Wawa seraya mengajak kawan2nya maju
mengeroyok. "Jangan kurang ajar" se-konyong2 Anuraga membentak
sekeras2nya. Anak2 itu tersentak kaget seperti mendengar
letusan petir "bawalah aku kepada buyut desa. Kalau aku
seorang brahmana palsu, aku bersedia dihukum mati. Tetapi
kalau aku brahman sejati, kalian harus menerima hukuman
sesuai dengan perbuatan Parusya!"
Demi melihat kesungguhan sikap dan ucapan brahmana itu,
putera buyut desa gelisah resah. Cepat ia menyahut "Ayahku,
buyut desa in i, sedang pergi ke Canggu membayar cukai!
Sudahlah, tak perlu urusan ini berkepanjangan. Gajah takkan
kuhajar dan akan kubawa pulang kuserahkan pada keputusan
ayah apabila sudah pulang. Sedang tuan brahmanapun
kuminta suka melanjut kan perjalanan"
Jika putera buyut bersikap lunak, t idaklah demikian dengan
Anuraga. Ia ingin memberi pelajaran kepada anak2 yang liar
itu. "Baik, aku mau pergi dari sin i t etapi dengan sebuah syarat!"
"Syarat apa?" putera buyut terbeliak heran. Diam-d iam ia
menduga brahmana itu tentu akan mint a uang. Tetapi
ternyata dugaannya keliru.
"Apabila Wawa dapat mengalahkan Gajah, segera kuangkat
kaki dari sini!" "Setuju!" serentak Wawa berseru mendahului putera buyut
desa. Kawan-kawanyapun mendukung.
Anuraga menghampiri Gajah yang masih duduk di tanah
sambil membersihkan badan yang berlumuran debu.
"Dipa, beranikah engkau melawan Wawa?" tanya Anuraga
dengan pandang beriba melihat keadaan anak itu.
"Tidak berani" Gajah gelengkan kepala.
"Ha, ha, ha . . . !" serempak anak2 itu tertawa mengejek,
riuh rendah. "Dipa, kut ahu engkau tentu mampu mengalahkan anak itu.
Tetapi apa sebab engkau takut?"
"Aku seorang anak Sudra dan mereka anak petani yang
tergolong kasta Waisya. Jika aku berani melawan mereka, aku
yang dihukum" "Ah" Anuraga menghela napas lalu berpaling kepada putera
buyut "engkau akan kubebaskan dari segala tuntutan apabila
engkau suka membebaskan Gajah dari hukuman berkelahi
dengan Wawa" Putera buyut itu tahu bahwa Gajah tentu kalah melawan
Wawa yang lebih besar dan kuat. Maka cepat ia memberikan
persetujuannya. "Dipa, putera tuanmu sudah meluluskan engkau takkan
dihukum. Hayo, berdiri dan hadapilah Wawa!" kata Anuraga
seraya memimpin anak itu bangun.
"Tetapi, paman..."
"Jangan berbanyak hati, Dipa. Semua akibat dari peristiwa
itu, akulah yang bertanggung jawab!"
Mendengar itu hilanglah semua keraguan hati Dipa. Diam2
ia merasa penasaran kepada Wawa yang tadi paling banyak
menghujani pukulan kepadanya.
Dipa maju menghampiri W awa, anak yang lebih besar, lebih
kuat dan paling pemberani dalam desa ...
o)0oood^wooo0( Jilid 3 I Dipa benar2 menjadi bayangan sanubari brahmana
Anuraga. Derita nasib anak itu serta kelurusan hatinya
merupakan imbauan kicau burung dipagi hari. Imbauan yang
membangkit kan alam perasaan hati brahmana muda itu.
"Om awighnam astu namas siddham ...." demikian mu lut
Anuraga mendamba puji doa. Artinya: Tuhan, Pencipta,
Pelindung dan Pengakhir alam. Semoga tiada aral kepada
sujudku yang sesempurna-sempurnanya'. "Semoga anak itu
diberi kekuatan lahir bathin dalam mengarungi lautan derita
...." Entah bagaimana, melalui getaran halus dalam alam bawah
sadarnya, Anuraga mempunyai suatu naluri tajam. Bahwa
anak gembala yang memiliki jasmaniah yang luar biasa itu,
kelak akan menjadi orang yang tumbuh cemerlang.
Rasa sayang itu menumbuhkan suatu janji dalam hati
brahmana muda itu. Bahwa kelak apabila tugasnya sudah
selesai, ia pasti akan datang menebus kebebasan anak
bhaktadasa itu dan hendak diserahkan kepada Eyang Lembu
Wungkuk supaya diasuh. Namun lamunannya buyar bagai awan tertiup angin ketika
pandang matanya tertumbuk pada diri Dipa. Pakaian anak itu
compang ramping, dada dan lengannya babak belur, begab2
membiru telur. Itulah hasil dari keliaran anak2 yang
mengeroyok dan memukulinya t adi.
Serentak timbul rasa sesal beriba dakm hati brahmana
muda itu. Jika tahu keadaan itu, tentu tak sampai hati ia
menyuruhnya berkelahi lawan Wawa. Diam2 brahmana itu
menghela napas. Ketika selam sesalnya t iba di dasar sanubari,
memerciklah suatu rasa kekaguman terhadap anak itu. Sejak
turun dari tanah tanjakan dan menyaksikan perkelahian itu,
tak sepatahpun didengarnya mulut anak itu merint ih dan
mengerang. Bahkan pada saat disuruhnya berkelahi melawan
Wawa, anak itu tak mau menyatakan penderitaannya.
Perpaduan rasa sesal dan rasa kagum itu melahirkan rasa
malu dalam hati Anuraga. Mengapa ia seorang brahmana
harus melayani tingkah ulah kawanan anak2 liar" Mengapa ia
mempunyai pikiran untuk mengadu anak2 itu" Bukankah
dengan tindakan itu, ia juga diliputi-oleh pikiran dan sikap
seperti anak2 liar" Ah ... . sesaat kemudian ia membant ah dalam hati. Sekalikali ia tak memiliki p ikiran mengadu anak seperti hendak
melihat adu cengkerik. Tetapi tujuannya ialah hendak
memberi pelajaran supaya anak2 itu insyaf. Dan satu-satunya
jalan untuk melaksanakan hal itu, ialah dengan menundukkan
Wawa, pemimpin anak2 nakal itu. Kedudukan sebagai
brahmana, tak memungkinkan ia berkelahi dengan anak2.
Maka terpaksa dipinjamnya tangan Dipa untuk melakukan
rencananya itu. Masalah kenakalan anak2 memang banyak sumber sebab
musababnya. Karenanya, cara pemecahannyapun harus
disesuaikan dengan keadaan dan sifat kenakalan mereka.
Namun lazimnya, ciri khas dari sifat kenakalan anak2 itu,
bertolak pada pengembangan masa kedewasaan mereka.
Masa dewasa itu, merupakan titik permulaan baru dalam alam
pikiran, sikap dan peribadi mereka. Sesuai dengan jasman iah
yang tumbuh besar, besar pula jiwa dan keberanian mereka.
Sok-pemberani, sok jagoan dan tingkah yang sok itu paling
menonjol. Menghadapi sikap demikian, sering tindakan yang
bersifat keras harus diambil. Karena dengan bahasa itulah
kiranya mereka baru mau mendengar kata dan insyaf akan
kesalahannya. Semisal hanya dengan apilah maka besi itu
baru dapat diluluhkan ....
Kedua kalinya, Anuraga memang ingin meneliti lebih lanjut,
sampai dimanakah peribadi, semangat, nyali dan t ulang2 Dipa
itu dapat ditempa menjadi bahan manusia pilihan yang akan
mengemban tugas mangsakala. Demikian tak ubah Anuraga
seperti seorang Empu yang sedang meneliti bahan wesi-aji
yang akan ditempanya menjadi keris pusaka yang bertuah
kesaktian. Kerajaan Majapah it adalah kerajaan bssar yang
tentu akan menempuh peristiwa2 sejarah besar. Hanya tunas2
gemblengan yang kelak sanggup menghadapi peristiwa2
jaman yang akan datang. Namun setelah menyadari keadaan tubuh Dipa, Anuraga
diam2 menyesal dalam hati. Tetapi sebagai seorang
brahmana, ia t ak mau menarik kembali ucapannya. Betapapun
rasa sesalnya, namun ia harus merelakan Dipa berkelahi
dengan Wawa. T iada lain jalan untuk menebus kekhilafannya
itu kecuali suatu janji dalam hati. Bahwa ia harus melindungi
keselamatan jiwa anak itu. Apabila terjadi sesuatu pada diri
Dipa, ia pasti takkan berpeluk tangan dan akan berusaha
menolongnya dengan jalan apapun juga.
"Ho, Gajah, engkau berani melawan aku?" ejek Wawa
ketika Dipa berdiri di hadapannya.
"Sejak dahulu sebenarnya aku tak berani . . . ."
"Lalu mengapa sekarang kau berani?" t anya Wawa.
Dipa tersipu berpaling kearah Anuraga "Karena melakukan
perint ah paman brahmana itu ... ."
"Paman brahmana " Ha, ha, ha" Wawa tertawa terbersitbersit "sejak kapankah engkau mempunyai paman seorang
brahmana ?" Wajah Dipa pucat lesi, sahutnya t ersendat "Tidak .... t etapi
brahmana itu yang minta kusebut paman...."
"Sudahlah, jangan pedulikan hal itu. Itu urusanku dengan
Gajah, tak perlu engkau ikut campur. Kalau engkau berani,
segera saja mu lai berkelahi. Kalau takut, bilang saja terus
terang!" seru Anuraga.
"Ho, jangan kuatir brahmana" sahut Wawa dengan nada
mengejek "jagomu pasti akan kupatahkan tulang lehernya!"
Kemudian Wawa maju selangkah merapat Dipa "Gajah,
apakah yang engkau andaikan hendak melawan aku " Lihatlah
lenganku ini" Wawa menekuk lengan kanannya lalu
dikencangkan sekuatnya hingga daging lengan sebelah atas
membenjul besar. Dipa hanya menyeringai dan memuji secara jujur "Uh, kuat
benar tenagamu ..." Wawa tersenyum bangga, tegurnya "Cobalah engkau
tunjukkan kekuatanmu!"
"Ah, tidak, aku tak sekuat engkau!" Dipa tersipu2 malu.
"Lalu apa yang engkau andalkan " Lebih baik engkau
berjongkok menyembah kakiku, nanti kuampuni daripada
tulang lehermu kupatahkan!"seru Wawa dengan congkaknya.
"Kalau aku mau saja menyembah kakimu" sahut Dipa
tenang "tetapi karena paman brahmana yang menyuruh, aku
tak dapat mengecewakan hatinya. Biarlah tulangku remuk,
aku harus melakukan perintahnya"
Saat itu tampak muka Wawa merah padam. Rupanya ia
sudah dimanjakan oleh puji dan ketaatan dari kawankawannya. Tak pernah ada kawannya yang berani menolak
perint ahnya. Maka kata2 Dipa itu dianggapnya amat
menyinggung. Untuk menjaga gengsi di hadapan kawankawannya, ia harus menghajar Dipa sampai remuk.
"Monyet kecil, rasakan ketupatku ini!" serentak Wawa
ayunkan tinju kanan kearah muka Dipa. Ia percaya, sekali
pukul, anak itu tentu rubuh.
Namun tak pernah ia menyangka bahwa tinju yang
dilayangkan amat cepat dan keras itu, hanya menerpa angin
saja. Ketika mencari Dipa, ternyata anak itu tegak berdiri d i
sebelah kiri "Uh, dia dapat menghindar ..." saat itu barulah ia
tersadar. Marahnya makin meluap "Setan, engkau berani
mempermainkan aku!" ia loncat menerjangkan tinju ke dada
Dipa. Dan untuk menjaga kemungkinan anak itu akan
menghindar lagi, ia menyerempaki dengan gerakan t angan kiri
untuk menampar lambung.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wut, wut . .. terdengar angin berkesiur, disusul dengan
keluh tertahan bernada hamburan kejut "Uh, luput ..."
Untuk yang kedua kalinya, serangan Wawa itu tak menemui
sasarannya karena Dipa loncat menghindar mundur. Anak itu
masih meragukan dirinya sendiri adakah ia kuat beradu
pukulan dengan Wawa jagoan dalam desanya. Maka tetap ia
menggunakan cara yang pertama, menghindar ke belakang.
Sesungguhnya kawanan anak2 yang lain itu terkejut dan
kagum melihat ketangkasan Dipa menghindarkan diri. Namun
karena takut membuat Wawa marah, merekapun tak berani
bersorate memuji. Tetapi mereka adalah anak2 yang mudah
terperangsang hatinya dan sukar menutup mulut apabila
menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Dengan cerdik, salah
seorang dari anak2 itu alihkan keinginan mulut nya, untuk
menganjurkan Wawa "Kang W awa, jangan kasih hati pada si
Gajah! T erus hajar dia sampai mati!"
Kawan-kawannyapun segera mengikuti. Mereka ber-sorak2
memberi anjuran kepada Wawa supaya meremuk Gajah.
Bagai api dihembus angin, berkobarlah kemarahan Wawa.
Sepasang gundu matanya merah mengembang keluar seolaholah hendak meluncur dari kelopaknya. Gerahamnya
bergemerutukan seperti penderita sakit demam. Kedua t angan
dikembangkan dimuka dada. Kemudian dengan diant ar teriak
makian yang kotor, ia segera loncat menerkam Dipa.
Wawa seorang anak t ukang pandai besi. Karena set iap hari
ia d isuruh ayahnya membant u pekerjaan menempa besi,
Wawa tumbuh menjadi seorang anak yang bertubuh kekar
dan bertenaga kuat. Diapun pandai bergumul dan gelut .
Memang yang dikatakan tadi, bukan membual. Apabila
berhasil mencengkeram leher Dipa, anak pandai besi itu tentu
sanggup meremukkan tulang lehernya. Lingkungan hidup
pandai besi yang kasar, membuatnya seorang anak yang
gemar dan pandai memaki-maki.
Melihat sikap dan gaya serangan yang dilancarkan Wawa,
bersoraklah kawanan anak2 yang lain. Mereka bersiap-siap
untuk menyambut rubuhnya Gajah dengan tempik sorak yang
meriah. Merekapun membayangkan apa yang harus dilakukan
untuk mengantar kepergian brahmana akibat kekalahan
Gajah. Yang jelas, mereka tentu akan bersorak-sorak gembira
mengejek brahmana. Namun sampai beberapa jenak, belum juga peristiwa yang
dinantikan itu tiba. Wawa masih bergerak menerkam2 si
Gajah. Dan Gajah masih tetap berlincahan menyusup kesana
menyelinap kemari, menghindar kekanan dan menyelundup
kekiri. Sepintas pandang menyerupai serangan harimau yang
buas kepada si pelanduk yang cerdik dan tangkas.
Tangan anak2 yang sedianya hendak ditepukkan, tetap
terhenti di tempatnya. Mulut mereka yang akan meletuskan
sorak sorai, tetap ternganga. Dan akhirnya wajah merekapun
mulai mengerut gelisah. Keadaan mereka, berlawanan dengan brahmana Anuraga.
Jika bermula brahmana itu tegang2 cemas melihat gerakan
Wawa, akhirnya ia berseri gembira menyaksikan tingkah ulah
si Gajah. Anuraga kejut-kejut girang. Sama sekali ia tak
pernah menyangka bahwa Gajah ternyata seorang anak yang
berotak cerdas dan tajam ingatan.
"Ah, mengapa hanya dengan melihat aku bertempur
melawan Windu Janur semalam, Gajah sudah dapat
menirukan gerakanku. Hm, sayang ia hanya dapat menirukan
tetapi tak mengerti int i gerak tata kelahi yang kulakukan itu.
Untunglah yang dihadapinya itu hanya seorang anak macam
Wawa" diam2 ia menghela napas longgar.
Apa yang dikatakan Anuraga itu memang benar. Gajah
melakukan gerakan brahmana Anuraga yang diingatnya dalam
hati. Seperti Anuraga mampu bertahan menghadapi serangan
Windu Janur, iapun dapat juga menyelamatkan diri dari
terkaman W awa. Putera buyut dosapun terkejut sekali. Ia tak pernah
menyangka bahwa si Gajah dapat berkelahi sedemikian
bagusnya melawan Wawa. Padahal W awa adalah anak jagoan
yang paling tangguh dan ditakuti dalam desa. Gajah yang
diket ahuinya, hanyalah anak yang d isuruh menggembalakan
kambing. Anak yang selalu takut kepada siapapun juga. Anak
yang selalu menjadi sasaran ejekan dan sasaran tangan anak2
yang lain. "Hm, mengapa tiba2 Gajah mengerti ilmu tatakelahi"
Siapakah yang mengajarkan kepadanya" Setan, kalau begitu
selama ini dia hanya berpura-pura penakut saja. Awas, setelah
perkelahian ini se lesai, tentu akan kutanyai siapa, dari mana ia
memperoleh ajaran berkelahi itu" diam2 putera buyut itu
merancang. Dikala anak2 itu mulai lemas semangat karena Wawa tak
mampu mengalahkan Gajah. Diwaktu Anuraga berseri gembira
melihat ulah gerakan Gajah dan disaat putera buyut desa
tengah merancang-rancang apa yang akan dilakukan kepada
si Gajah nant i, tiba-tiba di gelanggang perkelahian itu telah
terjadi suatu peristiwa perobahan yang tak terduga-duga.
Dengan rentangkan kedua belah tangannya, Wawa maju
menyergap. Dan tampaknya Dipa terkejut. Hanya sejenak ia
tertegun lalu loncat pula kesamping. Namun kali ini, ia kalah
cepat. Tangan Wawa yang menebar hendak mencengkeram
bahu Dipa, sekonyong-konyong dikepalkan untuk meninju.
Bluk .... bahu Dipa tertinju sehingga anak itu terhuyung.
Wawa menyusuli pula dengan sebuah tendangan keras ke
pant at lawan. Plak .... bagai layang2 putus tali, tubuh Dipa
makin deras terlempar kemuka. Ia kehilangan keseimbangan
badan dan jatuh tersungkur menyusur tanah
Sorak sorai bergemuruh memenuhi celah2 tebing dan
ngarai yang mengelilingi tanah lapang it u. Walaupun hanya
lima orang anak yang bersorak, namun ramainya seperti orang
merencak harimau yang nyasar ke dalam desa.
Anuraga tersentak kaget. Cepat ia hendak menolong anak
itu. Tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat Wawa tak
menyerang lagi melainkan tegak berdiri bercekak pinggang.
Sikapnya tak ubah seperti seekor ayam jago yang berkokok
membanggakan kemenangannya.
Namun karena kaki sudah terlanjur diayun, Anuragapun
tetap lanjutkan langkah menuju ke gelanggang. Ia tetap
menghampiri Dipa yang saat itu masih tersungkur di tanah.
Rupanya berat juga anak itu rubuh sehingga beberapa saat
matanya masih terasa berkunang-kunang, kepala pening.
Anuraga tahu apa sebab Dipa menderita kekalahan itu.
Anak itu, berkat ingatannya yang tajam, dapat menirukan
gerakannya ketika ia bertempur lawan W indu Janur. Dan apa
yang diketahui Dipa, amat terbatas sekali. Maka setelah semua
gerak yang diingatnya it u habis ditirukan seluruhnya, ia
bingung. T ak tahu bagaimana ia harus menghadapi sergapan
Wawa. Kebingungan itulah yang menyebabkan Dipa tertegun.
Dan kelambatan yang hanya beberapa kejab itu harus dibayar
mahal. Tubuhnya terbanting, mukanya menumbuk tanah
keras. Kulit muka anak itu lecet, hidungnya berdarah.
"Dipa, engkau terluka ?" tegur Anuraga dengan nada
lembut beriba-iba. "Ho, brahmana, jagomu jago kapuk. Baru termakan pukulan
sekali saja, suduh jera!" teriak Wawa "bagaimana" Sudah
menyerah kalah atau masih mint a kuhajar sampai remuk!"
Anuraga tak menghiraukan kesombongan anak itu. Ia
curahkan perhatian untuk membangkitkan semangat Dipa
"Nak, sakitkah engkau ?" ulangnya.
Dipa menggeliat duduk. Diusapnya muka dan hidungnya
yang berdarah itu dengan ujung baju, lalu menjawab "Sakit
sedikit tetapi sekarang sudah tak terasa"
Anuraga mengangguk kagum, la tahu bahwa anak itu
memang keras hati dan tak pernah merint ih walaupun
menderita kesakitan yang bagaimanapun juga.
"Dipa, engkau seorang anak laki2 yang jantan. Indahnya
langit karena bertabur bintang2 bergemerlapan. Indahnya
hidup karena berhias derita. Menang atau kalah sudah jamak
dalam peperaigan atau perkelahian. Yang menang bisa kalah,
yarg kalah akan dapat menang. Apabila yang menang itu
dimabuk kemenangan dan yang kalah itu mau meneliti sebab2
kekalahannya...." Anuraga berhenti sejenak untuk menyelidik kesan di wajah
anak itu. Dilihatnya Dipa mendengarkan dengan penuh
perhatian. "Setelah mendengar keteranganmu bahwa engkau telah
minum darah ular berjampang, kutahu secara ajaib engkau
telah memperoleh suatu anugerah yang jarang diperolah
orang. Engkau telah mendapat kekuatan tenaga alamiah yang
besar. Karena itulah maka kusuruh engkau melawan Wawa
karena kupercaya engkau mempunyai kemungkinan besar
untuk mengalahkannya. Dan benar-benar tidak pernah kuduga
sebelumnya bahwa berkat ingatanmu yang tajam, engkau
dapat menirukan gerakanku semalam ketika aku melawan
pendeta Windu Janur. Aku gembira sekali atas kecerdasanmu.
Seharusnya engkau dapat memenangkan pertempuran itu
apabila engkau tak bingung. Setelah habis melakukan gerak
itu seluruhnya, jangan gugup, ulangilah lagi dari permulaan.
Tetapi hal itu memang tak dapat menialahkanmu. Karena
engkau hanya meniru, tak pernah menerima pelajaran ilmu
tata-gerak itu secara langsung"
"Y a, paman ...."
Rupanya Wawa tak sabar menunggu lebih lama, teriaknya
"Hai, Gajah, saat ini engkau sedang bertanding lawan aku.
Engkau masih berani berkelahi lagi atau sudah menyerah
kalah?" Dipa terbeliak. Ia hendak menjawab tetapi didahului
Anuraga "Dipa, kut ahu sumber penyebab kekalahanmu.
Sekalipun tanpa menirukan tata-gerak yang kulakukan
semalam, engkau tetap akan mengalahkan anak itu. Yang
ut ama dalam menghadapi lawan, janganlah sekali-kali engkau
menilai siapakah d iri lawanmu itu dan siapakah dirimu. Karena
penilaian itu akan memberi akibat kurang baik. Jika engkau
menganggap dirimu lebih unggul, mudahlah engkau dikuasai
rasa congkak dan memandang rendah lawan. Jika engkau
merasa dirimu lebih rendah atau lemah, tentu engkau segera
dihinggapi rasa takut dan hilang kepercayaan pada dirimu.
Oleh karena itu, janganlah menilai lawan dari kedudukan,
golongan dan kekuatannya. Melainkan anggaplah lawanmu itu
sebagai seekor harimau. Jika engkau tak menghancurkannya,
dia pasti akan memakanmu"
Dipa hanya terdiam mengangguk-angguk.
Anuraga menyadari bahw a Dipa itu masih diselimut i ketat
oleh rasa rendah diri dari kelahirannya. Anak sekecil itu sudah
mengerti bahwa dirinya seorang anak Sudra, kasta yang paling
rendah. Bahwa sebagai anak Sudra, ia harus menghormat
set iap orang, harus mengalah dan menerima perlakuan
apapun dari mereka. "Apabila alam pikiran dan jiwa anak itu tak dibangun, kelak
dia tentu sukar berkembang" Anuraga menimang dalam hati.
Diam2 iapun merencanakan, pada lain kesempatan yang
luang, ia akan menceritakan kepada anak itu tentang sejarah
kehidupan Ken Arok yang penuh noda hitam. Lahir dari
hubungan gelap dan dibuang oleh ibunya. Dibesarkan oleh
seorang pencuri yang mendidiknya dalam b idang kemaksiatan.
Akhirnya membunuh Akuwu Tumapel dan merebut isteri dan
kedudukan Akuwu itu lalu melangkah pula pada puncak
tangga yang teratas sebagai raja pertama dari Singosari
dengan gelar Rajasa Bhatara sang Amurwabumi.
"Dipa" katanya "dua kali engkau telah menderita kekerasan
tangan Wawa. Pertama, engkau dikeroyok dan dipukuli lalu
engkau dihantam dan ditendang. Kukuatir apabila engkau
masih berani melawannya lagi engkau pasti akan menderita
cedera yang lebih hebat lagi. Mungkin lehermu akan dipelint ir,
tubuhmu akan dibanting sampai tulang-tulangmu pecah.
Memang begitulah nasib orang yang kalah. Diejek, dihina dan
ditindas. Kebalikannya apabila engkau dapat mengalahkan
Wawa, engkau pasti bebas dari gangguan anak2 nakal itu.
Mereka tentu jeri kepadamu dan t ak berani menghinamu lagi.
Tetapi ah . . aku yang salah. Mengapa tahu kalau engkau
kalah kuat dari Wawa, kusuruhmu melawannya. Dipa, ikut lah
pulang dengan putera buyut itu dan akupun hendak
melanjutkan perjalanan kepura kerajaan ..."
"Hai, Gajah, sudah jemu aku menunggumu. Kalau engkau
tetap duduk disitu, kepalamu akan kuinjak-injak" tiba2 Wawa
berseru seraya maju menghampiri.
Tiba2 Dipa beranjak bangun. Kelesuan wajahnya lenyap.
Sepasang gundu matanya yang bundar tampak menggelimang
minyak. Bulu alisnya yang lebat meregang tegak. Hidungnya
yang besar mengembang basah seperti singa yang
menghadapi lawan. "Dipa .... engkau hendak melanjutkan berkelahi lagi?" seru
Anuraga kejut2 girang. Dipa t ak sempat menyahut. Ia hanya anggukkan kepala lalu
maju selangkah. Wawa agak terbeliak melihat sikap si Gajah.
Namun secepat itu pula ia menghardik "Bagus, Gajah.
Gembira sekali hatiku mendapat lawan senekad engkau.
Biasanya lawanku tentu suka lari terkencing-kencing setelah
merasakan t injuku!"
"Memang benar" sahut Dipa "tinjunya amat keras sekali.
Aku sendiripun heran mengapa t ulangku tak patah menerima
pukulanmu" "Baiklah" seru Wawa "kali ini tulangmu tentu remuk.
Kumulai sekarang!" Anak yang lebih besar badannya dan lebih tua umurnya itu,
segera layangkan tinju kearah muka lawannya. Dan seperti
pertempuran yang tadi, Dipa si Gajahpun menggunakan tatagerak dari Anuraga untuk menghindar. Pertempuran
berlangsung seru. W awa tampak amat bernapsu sekali untuk
memukul rubuh lawannya. Tangan dan kaki serempak
digerakkan untuk meninju dan menyepak. Menghadapi
serangan gencar itu, mau tak mau Gajah tampak terdesak.
Anak itu mulai gugup sehingga gerak penghindarannya mulai
kacau. Dan akhirnya terbawalah ia dalam irama serangan
lawan. Makin jauh gerakannya dari tata-gerak yang dilakukan
Anuraga. Anuraga mulai gelisah. Bermula ia tak puas. Dianggapnya
Dipa lemah nyali, cepat gugup. Tetapi pada lain saat,
brahmana itu cepat menyadari bahw a si Gajah itu memang
seorang anak penggembala yang tak tahu pengalaman. Dan
tata-gerak yang dilangsungkan itu, hanya hasil melihat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anuraga berkelahi. Dan bukan langsung menerima pelajaran
ilmu itu. Bahwa Gajah gugup dan bingung, memang dapat
dimaklum i. Lawannya seorang anak yang lebih besar, lebih
kuat dan lebih kejam. Membayangkan hal itu, kecemasan Anuraga makin
meningkat. Ia kuatir anak itu akan menderita lebih parah
Tetapi sebelum ia sempat memikirkan daya untuk menolong,
digelanggang telah terjadi perobahan yang mengejutkan.
Wawa berhasil mendaratkan pukulannya ke bahu Dipa
sehingga anak itu terpontang panting kebelakang. Wawa tak
mau memberi ampun lagi. Dihunjamnya sebuah tinju lagi
kedada lawan, duk. . . Dipa sempat miringkan t ubuh sehingga
bahunya yang menderita. Tubuh anak itu berguncangguncang keras. Belum sempat ia menegakkan diri, pukulan
Wawa melayang pula. Bagai hujan mencurah, tinju Wawa
berhamburan menabur tubuh Dipa. Anak itu benar2 tak
berdaya namun walaupun hidung dan mulutnya mengucur
darah, ia masih kuat bertahan tak sampai rubuh.
Setiap t inju W awa mendera tubuh Dipa, kawanan anak2 itu
selalu menyambut dengan sorak sorai "Bagus, hajar terus
sampai mati!" Jika Dipa menderita siksaan badan, adalah Anuraga
menderita siksaan batin. Brahmana itu benar2 gelisah sekali
Lebih gelisah dari pada ketika semalam ia bertempur lawan
Windu Janun Akhirnya karena tak tahan melihat penderitaan
Dipa, ia terus hendak loncat ke tengah gelanggang untuk
mencegah Wawa. Biarlah Dipa d inyatakan kalah dan ia
tinggalkan desa itu daripada Dipa menderita kesakitan.
Tetapi keputusannya itupun terlambat. Sebuah hantaman
keras dari Wawa, membuat Dipa terhuyung-huyung ke
belakang dan rubuh. Dan pada saat itu Wawapun loncat
menerkamnya .... "Hai, berhenti ...." Anuraga t ak dapat bersabar diri lagi. Ia
loncat dan meneriaki W awa.
Tetapi brahmana itu mendadak terhenti ditengah jalan.
Suatu peristiwa yang tak terduga-duga telah terjadi. Pada saat
Wawa tiba dan ulurkan kedua tangan hendak mencekik leher
Dipa, tiba2 Dipa melonjak bangun dan menyongsong perut
Wawa dengan kepalanya, duk .... Wawa tak menyangka
bahw a si Gajah yang sudah rubuh tak berdaya itu masih
mampu bergerak. Ia yakin pukulannya yang t erakhir itu tentu
membuat Dipa pingsan. Maka dengan hati longgar, ia
menghampiri hendak mencekik leher anak itu. Karena gerakan
Dipa itu tak disangkanya sama sekali dan dilakukan pada jarak
yang amat dekat, Wawa tak mampu menghindar dan
melindungi diri lagi. Perutnya serasa terbentur batu keras,
napas serasa berhenti seketika dan kekuatannyapun hilang
sama sekali. Tubuh Wawa terdorong jatuh kebelakang, duk ....
kepalanya terantuk batu dan
rebahlah ia tak dapat berkutik
lagi! Sementara sehabis membenturkan kepala keperut
Wawa, pandang mata Dipapun
berkunang-kunang lalu gelap
semakin gelap dan akhirnya
iapun rubuh juga . . . Pecahlah jerit pekikan dari
kawanan anak2 nakal itu ketika melihat Wawa terkapar
rebah ditanah. Mereka berhamburan menghampiri "W awa, Wawa! Mengapa engkau " Bangunlah ...."
mereka sibuk mengguncang-guncang tubuh Wawa seraya
memanggilnya. Namun Wawa tetap pejamkan mata. Mereka
tetap berusaha membangunkannya,
"Hai, kepalanya berdarah!" tiba2 salah seorang anak
memekik kaget ketika melihat kepala Wawa bergenang darah.
"Tubuhnya kaku!" teriak lain anak.
"Mulut nya berbuih . . . . !" sambung kawannya.
"Celaka! Wawa mati . . . !"tiba2 seorang anak menjerit
kaget "hayo kita laporkan pada bapaknya!" anak itu terus lari
seraya berteriak-teriak "W awa mati! Wawa mati dibunuh si
Gajah ....!" Laksana tawon dionggok dari sarangnya, berhamburanlah
anak2 itu lari ke dalam desa. Sepanjang jalan mereka
berteriak-teriak sekuat-kuatnya bahwa Wawa mati dibunuh si
Gajah. Melihat itu, putera buyut desapun juga hendak menyusul
mereka. Tetapi Anuraga mencegahnya "Baiklah engkau t inggal
disin i dulu. Kurasa Wawa tidak mati. Mungkin dia hanya
pingsan!" Lebih dulu Anuraga menghampiri Dipa. Dirabanya dad a
anak itu. Ternyata pernapasannya masih berjalan lancar. Ia
segera mengurut-urut tubuh anak itu. Beberapa saat
kemudian, anak itupun tersadar "Bagian mana yang engkau
rasakan sakit ?" tanya Anuraga.
Tetapi Dipa menggeleng "Tidak ada yang sakit, hanya lelah"
Setelah menyuruhnya beristirahat, Anuraga lalu menghampiri Wawa. Juga ia memeriksa detak pernapasan
anak itu. W alaupun agak lemah, tetapi masih berdetak. Jelas
anak itupun hanya pingsan. Anuraga juga memberi
pertolongan dengan mengurut tubuhnya. Beda dengan Dipa,
rupanya karena kepala Wawa terbentur batu sehingga
berdarah, anak itu lebih payah keadaannya. Maka sampai
beberapa saat, belum juga Anuraga dapat menyadarkannya.
"Bagaimana keadaannya" tanya putera buyut desa dengan
rasa cemas. "Kepalanya luka terbentur batu. Rupanya agak berat t etapi
dia tidak mati, hanya p ingsan" sahut Anuraga. Kemudian ia
mengatakan, kalau pendarahan itu tak lekas dihentikan, Wawa
tentu sukar disadarkan "jika rumahmu mempunyai persediaan
obat, silahkan pulang mengambilnya"
"Y a, baiklah. Dalam desa ada seorang dukun yang pandai
mengobati. Akan kubawanya kemari" putera buyut segera lari
ke dalam desa untuk memanggil dukun.
"Paman, apakah W awa . . . mati?" tanya Dipa ketakutan. Ia
pernah mendengar cerita orang bahwa barang siapa
membunuh orang, tentu akan dihukum mati.
Anuraga gelengkan kepala "Dia tidak mati t etapi luka parah.
Mungkin apabila sembuh, dia tentu cacad kepalanya!"
"Cacad . . . !" Dipa makin ketakutan.
"Kemungkinan begitu, mudah-mudahan tidak" kata Anuraga
"tetapi andaikata dia cacad, bahkan mati sekalipun, tak
perlulah engkau takut. Akulah yang bertanggung jawab!"
"Ah, jangan paman. Aku yang melukainya, aku pula yang
harus menerima hukuman"
"Engkau melakukan itu atas perint ahku. Maka akulah yang
harus dituntut" jawab Anuraga. Kemudian ia alihkan
pembicaraan, bertanya "eh, Dipa, mengapa t adi engkau tiba2
melakukan serangan dengan kepala?"
"Itupun hanya menirukan paman ketika melawan pendeta.
Bukankah pada saat itu paman juga terdesak lalu tiba2 paman
menghantamnya" Karena tak tahu ilmu pukulan apa yang
paman gunakan, maka kugunakan saja kepalaku untuk
membentur dadanya" Anuraga tertawa "Benarlah, Dipa. Memang dalam berkelahi,
sering orang menggunakan siasat pura2 kalah sehingga lawan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
mencurahkan perhatiannya untuk menyerang tetapi lengah
dalam penjagaan diri. Disaat itulah, secara tak terduga-duga,
kita memberinya suatu pukulan yang mematikan. Bagus, Dipa,
tak kukira engkau dapat menirukan siasatku!"
Tengah keduanya bercakap-cakap memperbincangkan
perkelahian tadi, sekonyong-konyong dari arah desa terdengar
orang berteriak-teriak riuh rendah. Ketika memandang kearah
suara itu, Anuraga terkejut. Berpuluh-puluh penduduk desa
tampak berlari-lari mendatangi dengan membawa bermacammacam alat senjata, lembing, arit, kapak, linggis, alu bahkan
pedang dan tombak. "Bunuh si Gajah! Cincang anak bhaktadasa itu! Tangkap
brahmana yang menyuruh si Gajah!" riuh rendah barisan
penduduk itu berteriak-teriak dengan marah.
Melihat kedatangan berpuluh-puluh penduduk desa yang
hendak membunuh si Gajah, Anuraga cepat menyadari bahaya
yang mengancam. Tentulah kawan2 Wawa tadi yang
memberitahukan kepada penduduk desa tentang kematian
Wawa. Sudah tentu laporan anak2 itu dititik-beratkan pada
kematian Wawa sehingga menimbulkan kegemparan
pendukuk. Pandai besi ayah W awa terkejut marah. Serentak ia
menyambar palu besi yang biasa d igunakan menempa besi,
terus lari kejalan. Pada saat itu terdengar kentongan di balai
desa bertalu-talu dalam irama titir. Suatu bunyi pertandaan
terjadinya peristiwa 'raja pati' atau pembunuhan. Munculnya
pandai besi Panca disambut oleh berpuluh penduduk yang siap
dengan senjata masing2. Mereka lalu berlari menuju ke t anah
lapang datar dekat gapura desa.
Untuk menghadapi ancaman penduduk yang kemungkinan
akan menumpahkan dendam kemarahannya dengan t indakan
main hakim sendiri itu, Anuraga cepat menarik Dipa supaya
berlindung dibelakangnya.
"Hai, brahmana, mana si Gajah yang membunuh anakku
itu!" teriak seorang lelaki bertubuh kekar. Dia tak mengenakan
baju hingga tampak dadanya yang bidang itu berhias urat2
yang menonjol. Kumisnya yang lebat hingga menutup
mulut nya, makin menambah keseramannya. Apalagi saat itu
dia mencekal sebatang palu besi yang besar. Dan
wajahnyapun merah padam seperti besi terbakar.
Anuraga tahu bahwa berhadapan dengan penduduk yang
sedang marah, terutama pandai besi yang menjadi ayah
Wawa, ia harus bertindak tenang dan hati-hati. Tak perlu ia
harus mengimbangi kata2 dan sikap mereka yang kasar.
"Puteramu tidak mati" sahut Anuraga menyimpang dari
pertanyaan orang "dia hanya pingsan"
Pandai besi Panca terbeliak. Tiba2 ia membentak "Bohong!
Kawan-kawannya mengatakan dia jatuh ditanduk dengan
kepala oleh Gajah" "Dan engkau lebih percaya pada keterangan anak2 itu dari
pada kata-kataku" Silahkan memeriksa anakmu" Anuraga
menunjuk ke bawah pohon. Ia memang mengangkat Wawa ke
bawah pohon supaya jangan tertimpa panas matahari.
Pandai besi Panca seperti terjaga dari mimpi. Setiba di
tanah lapang situ, bukan menyelidiki keadakan anaknya tetapi
langsung hendak membunuh Gajah. Peringatan brahmana itu
membuatnya tergopoh menghampiri ketempat Wawa.
Beberapa penduduk, menyertai di belakangnya. Sedang
sebagian masih tetap berbaris mengelilingi Anuraga. Rupanya
mereka hendak menjaga supaya Anuraga jangan melarikan
diri. Pandai besi itu seorang yang kasar dan pemarah. Namun
melihat keadaan anaknya yang rebah tak sadarkan diri,
tersentuhlah naluri ke-ayah-annya. Ia tahu Wawa itu nakal
dan gemar berkelahi, suka memukul. Iapun tahu bahwa Gaiah
itu lebih kecil dan kalah kuat dengan Wawa. Seharusnya ia
menyelidiki apa sebab anaknya yang terkenal pemberani dan
jagoan dalam desi situ, sampai kalah dengan Gajah anak
gembala kambing buyut desa. Namun demikianlah gejala yang
menghinggapi orang2 tua pada umumnya. Betapapun jahat
dan nakal anaknya, namun dia tetap membela anaknya. Salah
sekalipun anaknya, tetap yang dicari kesalahannya fihak anak
lain. Sifat pembelaan pandai besi kepada anaknya itu ada dua
unsur. Pertama, karena ia sayang anak. Kedua, karena malu
kalau anaknya yang bersalah.
Demikian perasaan yang d ikandung hati pandai besi Panca.
Ia tetap menganggap Gajah si anak gembala itu telah
melakukan kekejaman kepada Wawa. Dengan penuh rasa
cemas, ia segera meraba dada Wawa lalu berusaha untuk
memberi pertolongan. Namun sampai beberapa saat, belum juga ia dapat
menyadarkan Wawa "Hai, darah . . . !"tiba2 pandai besi itu
berteriak kaget seraya memandang tangannya yang
berlumuran darah. Darah itu berasal dari kepala Wawa ketika
tangan pandai besi itu meraba kepala anaknya.
Pandai besi Panca membelalak, wajahnya merah membara.
Sekonyong-konyong ia melonjak bangun lalu menghampiri
Anuraga "Gajah, harus mengganti darah anakku. Lekas
serahkan anak itu!" bentaknya menggeledek.
"Sabar, ki sanak ..." baru Anuraga berkata begitu, pandai
besi itu sudah menghardiknya pula "T ak perlu banyak omong,
serahkan Gajah atau engkau yang kuhajar sendiri!"
"Engkau tak takut dihukum karena memukul seorang
brahmana?" "Persetan segala brahmana, pendeta dan wiku! Aku tak
takut dihukum asal sudah mcndapat ganti jiwa anakku"
"Tetapi anakmu belum mati. Mengapa engkau hendak
menuntut ganti jiwa?"
"Darah!" kata pandai besi seraya songsonskan telapak
tangannya kemuka brahmana "lihatlah darah Wawa ini! Gajah
harus mengganti darah!"
"Anakmu berdarah karena berkelahi dengan Gajah. Dalam
perkelahian memang sering mengucurkan darah. Gajah
hampir mati dicekik anakmu sehingga ia terpaksa
membenturkan kepalanya kedada Wawa"
"Sekarang aku hendak mewakili Wawa untuk mencekik
Gajah" t eriak pandai besi Panca.
Anuraga memandang lekat2 kepada pandai besi yang
sedang dilanda kemarahan itu, katanya "Ki sanak negara
Majapah it itu suatu nejara hukum. Negara kita mempunyai
kitab undang-undang yang disebut kitab Agama atau
Kut aramanawa, yang mengatur dengan lengkap semua t indak
pidana.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hukum yang mengayomi dan melindungi kesejahteraan rakyat ..."
"Aku tak butuh segala hukum. Hutang darah, bayar darah!"
pandai besi Panca melangkah maju dan membentak "serahkan
anak itu!" Berpuluh penduduk desa itupun segera merapat maju
dengan sikap siap menyerang. Keadaan benar2 amat gawat.
Anuraga terancam jiwanya. Ia menyadari bahw a yang
dihadapi saat itu adalah penduduk desa yang kasar dan
marah. Mereka memandang peristiwa itu dari sudut
pembunuhan. Bahwa siapa yang membunuh harus dibunuh.
Hukum darah. Anuraga makin cemas. Harapannya tunggal,
dicurahkan pada putera buyut yang sedang memanggil dukun.
Tetapi sampai pada detik itu tak kunjung datang.
Anuraga tak mau menanggapi sikap kasar dari penduduk
yang sedang dilanda kemarahan itu. Ia masih berusaha untuk
menempuh jalan damai. Serunya "Ki sanak sekalian, harap
jangan bertindak jadi hakim sendiri. Kumint a kalian suka
menunggu kedatangan putera buyut yang sedang memanggil
dukun. Soal si Gajah, mari kita serahkan pada buyut desa
untuk diadili. Jika dia memang bersalah, aku takkan
melindungi, biarlah dia d ihukum!"
Namun pandai besi sudah gelap pikiran, buta alasan.
Tujuannya hanya hendak menghajar Gajah yang dianggapnya
melukai Wawa "Brahmana, karena jelas engkau hendak
melindungi seorang pembunuh, terpaksa aku akan
menindakmu ..." Pandai besi itu menutup kata-katanya dengan
pukul besi menghantam kepala Anuraga. Melihat
pandai besi, Anuragapun putus asa. Tak mungkin
menyelesaikan persoalan itu dengan damai kecuali ia
Gajah. Suatu hal yang tak mungkin ia lakukan.
ayunkan tindakan ia dapat serahkan "Dipa, lekas naik kepunggungku, agar aku dapat bergerak
leluasa..." cepat ia menyuruh Dipa.
Setelah mendukung Dipa, Anuraga cepat menghindar
kesamping. Tetapi dari samping ia sudah disambut bacokan
arit dan kapak dari beberapa penduduk. Ketika Anuraga
menyingkir kebelakang, beberapa senjatapun sudah menyongsongnya pula. Muka, belakang, kanan dan kiri, ia
sudah diancam dengan serangan senjata tajam. Berpuluh
penduduk mengepung rapat dan bersorak-sorak samb il
ayunkan senjatanya. Diam2 Anuraga mengeluh. Dalam beberapa kejab lagi,
kepungan penduduk itu tentu makin rapat dan pada saat itu
tak mungkin lagi ia hendak menghindar dan meloloskan diri.
Dalam keadaan terdesak sedemikian rupa, Anuraga tak dapat
memikirkan lain cara yang aman kecuali harus membuka suatu
jalan darah untuk lolos. Dan cepatlah ia menemukan akal
"Hm, hanya dengan cara itu, mungkin dapat kukuasai mereka
. . ." Pada saat itu Anuraga sengaja menghadap keutara dan
membelakangi pandai besi Panca. Melihat kesempatan itu,
pandai besi cepat maju merapat. Lalu ayunkan pukul besinya
menghantam Gajah yang memeluk punggung brahmana.
Melihat itu Gajah cepat membisiki Anuraga "Pandai besi menyerang
dari belakang ...." Tetapi Anuraga diam saja seolah-olah tak mengetahui serangan dari belakang itu. Pada saat palu besi melayang, tiba2 Anuraga mengendap kebawah lalu secepat kilat berputar tubuh dan mencengkeram pergelangan tangan pandai besi terus diputar
balikkan kebelakang. "Uh ..." mulut pandai
besi mendesis kejut dan kesakitan. Ia t ak berdaya bertahan diri dan t erpaksa tubuhnya
terputar kebelakang. Dan pada lain kejab tangan kiri
Anuragapun sudah merampas palu besi lalu diacungkan keatas
kepala pandai besi "Jika kisanak sekalian masih menyerang
aku, kepalanya terpaksa kupukul sampai hancur!"
Menyaksikan pandai besi Panca terancam jiwanya,
penduduk itu serempak berhenti menyerang. Mereka
tercengang melihat keterangan Anuraga. Kedua kalinya,
mereka kuatir brahmana itu akan membuktikan ancamannya.
Mereka hendak menunggu apa yang akan dilakukan brahmana
itu. Anuraga lega karena siasatnya berhasil. Namun ia tetap
berusaha untuk menjernihkan suasana "Ki sanak sekalian, aku
seorang brahmana yang menjunjung welas asih dan menyebar
perdamaian. Jauh dari maksudku untuk menganiaya pandai
besi ini . . ." "Jangan percaya omongannya! Hayo, serang . ." tiba2
pandai besi Panca berteriak menyuruh kawan-kawannya.
Tetapi sebelum ia menyelesaikan k ata-katanya Anuraga sudah
mendorong lengan pandai besi itu makin keatas sehingga
pandai besi mengaduh kesakitan.
"Hai, jangan menyiksa kakang Panca! Kalau dia sampai
mati, engkau harus mengganti jiwa!" teriak beberapa
penduduk yang marah karena brahmana itu memperlakukan
Panca sedemikian rupa. Anuraga tertawa "Telah kukatakan, aku seorang brahmana
yang pantang membunuh. Namun kalau kalian tetap bertindak
liar, terpaksa pandai besi in i akan kusiksa lebih hebat. Sekali
lagi kut andaskan, aku tak mempunyai maksud jahat. Soal
Wawa dan Gajah, baiklah kita serahkan pada buyut desa
supaya diad ili. Kumint a kalian jangan bertindak jadi hakim
sendiri. Kita harus percaya pada keadilan undang2 negara.
Barang siapa bertindak sendiri, dialah yang melanggar hukum"
Rombongan penduduk desa itu saling berpandangpandangan. Tak tahu mereka apa yang harus dilakukan.
Sekonyong-konyong salah seorang diantara mereka menunjuk
kearah desa dan berteriak
"Hai, buyut desa datang!"
Sekalian orangpun serempak berpaling dan memandang
kearah yang ditunjuk orang itu. Dari ujung jalan yang
merentang masuk ke desa, tampak empat sosok tubuh
berjalan mendatangi. Seorang lelaki set engah tua berwajah bersih, putera buyut
desa, seorang kakek berbaju hitam dan seorang lelaki
bertubuh tegap, cepat tiba di tanah lapang dan disambut
dengan salam kehormatan oleh berpuluh penduduk yang
berada di situ. Lelaki set engah tua itu memberi isyarat agar
para penduduk tenang, kemudian memandang kesekeliling.
Cepat pandang matanya terhenti pada brahmana Anuraga
yang tengah meneliku pandai besi Panca. Lelaki setengah tua
itu mengeriputk"n dahi. Sungguh ganjil pemandangan itu.
Panca seorang pandai besi yang bertubuh kekar dan
bertenaga kuat. Brahmana masih muda dan tampak bersahaja
sekali. Dan yang lebih mengherankan, si Gajah tampak
melingkar di punggung brahmana itu memeluknya erat2.
"Itulah, pak. Brahmana yang kukatakan tadi" tiba2 putera
buyut berseru seraya menunjuk A nuraga. Lelaki setengah tua
itu mendesuh. Dipandangnya wajah brahmana itu lekat2.
Kemudian serunya "Ki brahmana, mengapa tuan menyiksa
pandai besi itu" Apakah salahnya?"
Anuraga cepat dapat menduga bahwa lelaki set engah tua
yang menegurnya itu tentulah buyut desa. Belum sempat ia
menjawab, tiba2 Dipa meluncur turun dari punggungnya dan
terus melangkah kehadapan lelaki itu lalu menyembahnya.
"Gajah, menyisih lah. Aku belum
engkau!" bentak lelaki setengah tua itu.
sempat memeriksa Gajah pun gemetar dan cepat2 beringsut kesamping. Wajah
anak itu tampak ketakutan seperti t ikus melihat kucing.
"Ki sanak, bukankah tuan ini buyut desa?" cepat Anuraga
mengisi keluangan dengan bertanya diri lelaki Setengah tua
itu. "Benar, aku buyut Tayaka dari desa Madan Teda" sahut
lelaki setengah tua. Kemudian ia balas bertanya diri brahm ana
muda itu. Brahmana itu tertawa meramah "Aku brahmana Anuraga
yang sedang menjalankan tapa lelana dan kebenaran lewat
desa ini. Sama sekali aku t ak merasa menyiksa pandai besi in i
.." "Ah, ki brahmana bergurau" seru buyut T ayaka "bukankah
tuan sedang meneliku tangan pandai besi Panca" Cobalah
tuan perhatikan wajahnya yang menyeri kesakitan itu!"
"Benar, ki buyut, brahmana in i hendak membunuh aku.
Coba ki buyut terlambat datang, lenganku tentu sudah diputar
remuk" teriak Panca.
Buyut Tayaka tertawa ringan "Aneh benar, mengapa
engkau seorang yang bertenaga sekuat kerbau, tiba2 dapat
diteliku oleh seorang brahmana yang lemah?"
"Ini.. . ini...." pandai besi tersendat-sendat kata karena
kerongkongannya serasa tersumbat oleh rasa geram2 malu
yang meluap menyesakkan napasnya "dia . . . curang
menyiasati aku!" Buyut Tayaka memang sudah mengandung prasangka
bahw a tentu ada sesuatu yang tak wajar mengapa orang
sekuat pandai besi Panca dapat diteliku tangannya oleh
brahmana muda itu. Prasangka itu cepat menumbuhkan
kepercayaan kepada keterangan pandai besi itu. Dipandangnya Anuraga dengan mata menuntut, serunya "Ki
brahmana ..." "Memang pada tempat yang layak apabila ki buyut percaya
akan kata2 pandai besi ini" belum buyut T ayaka berkata lebih
lanjut, Anuraga cepat menukas
"Pertama, aku seorang pendatang asing dan pandai besi in i
penduduk desa t uan. Rasa sebagai orang sekampung, sedesa,
sedaerah memang lebih meresap dalam hati. Dan apabila hati
sudah terisi oleh rasa kedaerahan itu, maka terpengaruhlah
rasa pertimbangan hati kita akan sifat Keadilan dan Kebenaran
yang murni. Kedua, tuan tentu tak mudah percaya bahwa
seorang yang bertenaga kuat dapat ditundukkan oleh seorang
lemah. Faham "Yang kuat tentu yang Menang" memang dianut
oleh ratusan ribu orang, termasuk tuan sendiri. Faham itu
berlaku pada hukum rimba yang rakyatnya hanya kenal
bahasa kekerasan. Tetapi tidak sesuai dalam dunia kita.
Kemenangan manusia tidak semata ditentukan oleh Kekuatan.
Tetapi ditentukan pada keteguhan jiwa dan kecerdasan
ot aknya. Otak yang menciptakan budi akal, merupakan
senjata yang paling ampuh bagi kita manusia. Dan yang paling
ampuh adalah keteguhan jiwa yang bersenyawakan
Pengabdian. Tiada kekuatan dan senjata didunia yang mampu
mengalahkannya..." "Ah, benarkah kata2 pandai besi Panca bahwa tuan curang
kepadanya?" seru buyut Tayaka.
"Benar, memang aku menggunakan siasat" serentak
Anuraga menanggapi "siasat itu berupa suatu ilmu yang
disebut Tata-gerak untuk membela diri. Adakah ki buyut
menganggap bahwa pada saat pandai besi itu hendak
menghantam kepalaku dengan palu besi lalu aku menghindar
dan mencengkeram lengannya itu, suatu siasat curang" Kalau
demikian halnya, jelas bahw a tuan membenarkan tindakan
pandai besi yang menyerang aku dari belakang itu" Jadi jelas
pula tuan menghendaki bahw a aku harus berdiam diri
menerima pukulan pandai besi itu karena pandai besi itu
menyerang secara jujur. Benarkah demikian pandanganmu, ki
buyut?" Merah padam muka buyut desa itu. Cepat ia beralih
memandang pandai besi "Panca, benarkah begit u?"
Panca tersipu-sipu t undukkan kepala "Y a ..."
"Keparat! Berani benar engkau membuat aku malu, Panca!"
teriak Tayaka "andaikata anakmu tak terluka, lidahmu tentu
kupotong!" Kemudian ia berseru kepada brahmana Anuraga
"Tuan seorang brahmana, yang putus akan segala ilmu. T etapi
mengapa tuan mengadu anak supaya berkelahi" Adakah
memang demikian kegemaran tuan?"
Anuraga tertawa merenyah "Pandai juga engkau
mengembalikan kata2 ki buyut ! Rasanya aku belum gila unt uk
mengadu anak. Sebelumnya telah kutempuh jalan penyadaran
untuk melerai. Tetapi aku mendapat tentangan keras,
terutama dari putera tuan. Kurasa percumalah aku berkering
ludah semisal orang meniup seruling nafiri dihadapan kerbau.
Mana mungkin kerbau tahu keindahan irama nafiri yang
syahdu" Kerbau hanya tahu menguak seperti kawanan anak2
nakal itupun hanya tahu bersorak mengejek. Kutanya apa
kesalahan Gajah yang mereka keroyok dan pukuli, mereka
malah menghina dan mengusir aku!"
Buyut Tayaka berpaling benarkah itu?"

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kearah puteranya " Rambi, Putera buyut yang bernama Rambi itu mengiakan. "Benar,
Gajah telah menghilangkan dua ekor kambing, yang
digembalakan tetapi t ak mau bilang!"
Pandang mata buyut Tayaka segera mencurah kepada
Gajah dan anak itupun tahu apa arti pandang mata tuannya
itu. Tubuhnya gemetar seperti melihat kucing "Gajah,
mengapa engkau tak melaporkan kepadaku?"
"A... a . . . ndara tiada dirumah . . . aku harus berangkat
menggembala karena hari sudah siang . . ." sahut Gajah
tersekat-sekat. "Bukankah engkau dapat melaporkan itu kepada nyi buyut
atau kepada bendaramu kecil Rambi?"
Kata2 buyut itu membuat Gajah tersumbat mulutnya.
Memang ia tak sampai pada pemikiran itu. Karena buyut t iada
dirumah dan hari sudah siang, maka bergegaslah ia.
membawa kambingnya ke padang rumput. Bukan karena ia
tak mau melapor melainkan hendak menunda laporannya
sampai ia pulang pada sore harinya. Tetapi pada saat berjalan
sampai d i tanah lapang dekat gapura desa, putera buyut
membawa gerombolan anak2 nakal, mengejar dan
mengerojoknya. Namun Dipa tak berani mengatakan hal itu.
Ia merasa bersalah seperti yang dikata buyut itu.
"Gajah, tulikah engkau" Mengapa engkau diam saja?" t eriak
buyut Tayaka menggeram. Gajah menggigil ketakutan.
"Gajah, kalau engkau tak mau menjawab, tentu kupotong
lidahmu!" buyut T ayaka melangkah ketempat Gajah. Rupanya
ia hendak membuktikan ucapannya. Tetapi Anuraga cepat
mencegah "Sabarlah ki buyut . Lihatlah, anak itu gemetar
badannya. Ia tentu ketakutan ..."
Sejenak berhenti brahmana itu berkata pula "Ki buyut
memiliki kewibawaan yang mengesankan. Sampai gembala
gajihan tuan menggigil apabila mendengar suara tuan. Tetapi
heran mengapa kawanan anak2 itu tetap meliar dan tak
mengindahkan tata tertib keamanan desa" Mereka tak mau
tunduk pada perint ah tuan. Mereka hanya mengakui dan
melaksanakan perint ah dari putera buyut. Kenyataan itu
menimbulkan pertanyaan dalam hatiku. Adakah kewibawaan ki
buyut itu hanya terbatas pengaruhnya pada Gajah sianak
gembala itu saja?" Buyut Tayaka mendelik. Ucapan brahmana itu seperti
mencekik kerongkongannya "Siapa bilang anak2 itu tak mau
tunduk pada perint ahku" Jangankan mereka, bahkan orang2
tuanya pun dapat kutindak apabila melanggar hukum.
Puteraku dan anak2 itu menindak Gajah karena
menghilangkan kambing. Apakah dalam hal itu kewibawaanku
harus dibawa-bawa?" "Adakah kewibawaan tuan merestui putera t uan dan anak2
itu bertindak menjadi hakim sendiri?"
"Gajah seorang anak Sudra yang menjadi bhaktadasa
dirumahku. Kami berhak penuh menindak dirinya. Apalagi dia
terbukti bersalah!" Bhaktadasa adalah anak kecil yang belum dapat bekerja
dan ngenger atau berhamba pada orang karena membutuhkan
makan. Jika kemudian ia meninggalkan orang yang
ditumpangi itu, ia wajib membayar hutang makan sebesar
delapan tali atau delapan ribu uang. Pada masa itu dalam
kerajaan Majapahit terdapat empat macam hamba, yakni:
DWAYAHERA, hamba yang kehilangan kebebasannya karena
menjadi tawanan perang. GREHAYA, hamba yang kehilangan
kebebasannya akibat kelahirannya. BHAKTADASA orang yang
berhamba karena makanan. DANDADASA, orang yang
berhamba karena harus membayar hutang atau denda.
Hamba2 itu menjadi hak penuh dari pemiliknya. Dapat
diperjual-belikan, diwariskan dan diberikan oleh pemiliknya
kepada orang lain. Mereka dapat memperoleh kebebasan
apabila telah membayar uang tebusan.
Anuraga terkejut mendengar keterangan buyut Tayaka
tentang diri Dipa. Namun cepat pula brahmana itu menghapus
getar perasaannya. Ia mempunyai rencana tertentu untuk
anak itu. "Apapun sifat keadaan diri Gajah, namun dia adalah anak
manusia juga. Hendaknya ki buyut memperlakukan menurut
cara kemanusiaan" kata Anuraga.
Buyut Tayaka kerutkan dahi, kerlingkan gundu matanya
me-lingkar2 lalu berseru heran "Ki brahmana, bukankah
agama tuan yang membawa ajaran tentang pembagian kasta
itu" Mengapa sekarang tuan hendak membela seorang anak
Sudra apalagi seorang bhaktadasa" Apakah tuan tak
melanggar peraturan agama tuan?"
Anuraga tak pernah membayangkan bahwa ia akan
menerima teguran setajam itu dari buyut desa. Namun cepat
ia dapat menangkis "Memang benar, agama Syiwa memang
mengadakan pembagian empat kasta. Pembagian itu
disesuaikan dengan tingkat dan keadaan hidup dan kedudukan
masing2 dalam masyarakat. Tetapi tak pernah mengatakan
bahw a kasta Sudra yang paling rendah itu, bukan insan
manusia! Rendah dan hina sekalipun kasta Sudra itu, namun
mereka tetap tit ah manusia. Bagi peribadiku, kasta itu
bukanlah mengunjukkan harkat dan martabat jiwa seseorang,
melainkan hanya penggolongan dari asal kelahirannya saja ..."
Buyut Tayaka terkesiap dan tertawa semu "Benar2 baru
pertama kali in i aku berjumpa dengan seorang brahmana yang
mempunyai faham aneh"
Anuraga tak tersinggung atas ejekan buyut itu. Bahkan ia
tertawa secerah kicau burung kutilang dipagi hari "Memang
apabila kendi itu hanya berisi set engah, airnya tentu mudah
bergolak. Lain halnya kendi yang berisi penuh"
"Sudah, jangan banyak bicara! Lekas tolong anakku Wawa!"
tiba2 pandai besi Panca memekik dan meronta sekuat-kuatnya
untuk membebaskan diri dari telikuan Anuraga. Tetapi makin
keras ia meront a, makin ia menyeringai kesakitan. Anuragamendorong tangan pandai besi itu naik makin keatas.
"Lepaskan!" hardik buyut Tayaka. Ia tak senang suatu
kekerasan terjadi dihadapannya. Apalagi kekerasan itu
dilakukan seorang brahmana tak dikenal terhadap penduduk
desanya. Anuraga tetap memikirkan keselamatan Dipa. Ia menyadari
kedudukannya yang tak menguntungkan. Apabila buyut desa
itu mempunyai pandangan yang sama dengan penduduk yang
kalap itu, bukankah jiwa Dipa akan terancam" Apabila terjadi
titik pendirian yang bertentangan, bukankah kekerasan akan
terulang lagi" Bukan karena takut menghadapi keroyokan
penduduk desa itu, tetapi sedapat mungkin ia hendak
menjauhkan diri dari peristiwa berdarah yakni dari penduduk
yang tiada sangkut pautnya.
"Baik "sahut Anuraga "tetapi kumint a janji dari ki buyut
bahw a anak itu takkan diperlakukan semena-mena sebelum
mendapat peradilan yang layak"
Buyut Tayaka tak lekas menjawab. Ia kerutkan dahi. Ia
tersinggung atas permint aan brahmana itu. Ia menafsirkan
permint aan itu sebagai suatu tekanan. Ia adalah seorang
buyut yang berkuasa penuh atas desanya dan brahmana itu
seorang pendatang asing serta Gajah itupun hamba
gajihannya "Perlukah tuan mengatakan hal itu kepadaku?"
serunya kurang senang. "Jangan salah faham, ki buyut " sambut Anuraga "tetapi
hendaknya tuan dapat memahami akibat2 yang ditimbulkan
oleh kemarahan rakyat. Kemarahan mereka laksana air bah
yang melanda dan menghempaskan segala hukum dan
ketertiban" Diam2 buyut Tayaka dapat menerima alasan itu
"Baik, mari kita ke balai kebuyutan untuk memberi
peradilan kepada Gajah"
Demikian sekalian penduduk segera mengikuti kepala desa
mereka menuju ke balai kebuyutan, ialah t empat memutuskan
perkara apabila terjadi suatu peristiwa dalam desa itu.
Ternyata balai kebuyut an itu terletak di ruang pendapa dari
rumah kediaman buyut Tayaka. Penuh sesak ruang pendapa
itu dengan berpuluh-puluh rakyat desa yang hendak mengikuti
sidang peradilan peristiwa berdarah itu.
Gajah tegak berdiri dengan gemetar di hadapan buyut
Tayaka yang duduk di belakang meja dan bertindak sebagai
hakim. Brahmana Anuraga berdiri di samping bersama pandai
besi Panca dan kawan2nya. Diatas meja yang dihadap buyut
itu terletak sebuah kitab.
"Gajah, kau pengapakan kedua ekor kambing yang kau
gembalakan itu" Kau jual, hilang atau mati dimakan binatang
buas?" mulailah buyut Tayaka memeriksa Gajah.
Anak itu gemetar menjawab "Dimakan ular"
"Hm" buyut Tayaka mendengus "dengan begitu engkau
tahu kehilangan itu?"
Dipa mengiakan. "Dan engkau tak melapor pada-tuanmu?"
Dipa memberi alasan seperti yang tadi. Karena buyut desa
sedang pergi dan hari sudah siang, maka ia bergegas pergi
hendak menggembalakan kambing dan sorenya setelah pulang
baru akan melapor. "Itu alasanmu" seru buyut T ayaka "yang nyata engkau tak
melapor dan itu suatu kelalaian" ia berhenti lalu mengambil
kitab dihadapannya dan membolak-balikkan lembarannya.
Beberapa saat kemudian ia berseru "Gajah, jelas engkau
bersalah karena melalaikan tugasmu. Menurut Undang2 pasal
249 mengenai bab Kelalaian, engkau dikenakan denda
selaksa. Demikianlah keputusan ini agar didengar oleh seluruh
rakyat Madan-Teda tentang landasan peradilan yang
dikenakan pada dirimu, maka akan kubacakan bunyi undangundang itu:
"Barang siapa diserah i tuannya untuk menjaga binatang
seperti burung, anjing, babi, angsa, kambing, kerbau dan sapi.
Jika binatang itu hilang atau mati akibat kelalaiannya, harus
membayar ganti kerugian delapan tali untuk tiap binatang
yang mati atau hilang itu. Jika ia tidak tahu bahw a binatang
yang dijaganya itu hilang atau mati, dikenakan denda lima tali.
Jika tahu tetapi tidak memberi laporan, dendanya selaksa.
Demikianlah bunyi undang2 itu" buyut Tayaka menyudahi
pembacaannya lalu menutup kitab. Kemudian ia menatap
Gajah dan bertanya "Bagaimana Gajah, sanggupkah engkau
membayar denda itu?"
Keputusan yang dibacakan oleh buyut desa, telah
menimbulkan berisik kegemparan dari rakyat desa yang
mengikuti persidangan itu. Denda selaksa atau sepuluh ribu
uang, merupakan denda yang tertinggi dalam perkara
DANDAPARUSYA atau hukuman denda. Bagaimana mungkin
seorang anak gembala semiskin Gajah, mampu membayar
denda sekian besar! Kecuali pandai besi Panca dan kawan2nya
yang merasa girang atas keputusan itu, sebagian besar rakyat
yang hadir, merasa kasihan kepada Gajah.
Gajah merogoh saku celana dan mengeluarkan sekeping
benda bulat berwarna kuning kemilau "Ndara buyut, apakah
benda ini cukup untuk pembayar denda?" Dipa angsurkan
benda itu kehadapan buyut.
Melihat benda ditangan Gajah itu, terbelalaklah mata buyut
Tayaka. Demikianpun sekalian rakyat yang hadir. Buyut
Tayaka cepat menyambar benda it u dari tangan Gajah lalu
diamat-amatinya sampai beberapa saat. Pada lain saat ia
kerutkan dahi sebagi tanda keheranan. Tetapi sesaat
kemudian ia mengangguk pelahan.
"Gajah!" t iba2 buyut itu berteriak lantang "darimana engkau
peroleh emas ini" Engkau jual kedua ekor kambing itu dengan
emas ini" Atau . . . engkau curi milik orang?"
Gajah terbeliak pucat. Ia menggigil karena dituduh sebagai
pencuri. Ia merasa selama h idup belum pernah melakukan
perbuatan mencuri "Tidak, ndara buyut, aku tak mencuri.
Benda itu adalah pemberian seseorang untuk pembayar harga
kedua ekor kambing yang dimakan ular"
"Siapakah orang itu?" tanya buyut Tayaka.
"Ini ... . ini... ." Gajah tersekat dalam kebingungan. Jika ia
mengaku terus terang, tentulah brahmana Anuraga akan
tersangkut dalam perkara itu. Padahal
mempertanggung-jawabkan peristiwa it u sendiri.
ia hendak "Akulah yang memberinya" t iba2 Anuraga menyelutuk "agar
dibayarkan sebagai pengganti kedua ekor kambing yang mati
digigit ular" Anuraga segera menuturkan apa yang telah terjadi pada
Gajah dalam usahanya mencari jamur obat untuk menolong
lukanya "Kut ahu bahwa si Gajah tentu akan mendapat
hukuman dari ki buyut , maka kuberinya emas itu selaku
pengganti harga kedua ekor kambing yang hilang itu"
"Hm" buyut itu mendesus. Dahinya mengeriput dalam "dari
manakah ki brahmana memperoleh emas sebanyak itu"
Bukankah itu bekas gelang wanita?"
Anuraga menyadari bahwa buyut itu tentu menduga apa2
kepada dirinya. Namun ia dapat menyelami perasaan orang
maka menyahutlah ia dengan tenang "Benar, memang keping
emas itu berasal dari gelang yang dipakai ibuku semasa masih
hidup. Sesungguhnya benda itu merupakan w arisan orangtua
yang tak layak kujual. Namun demi menghargai usaha Gajah
yang telah menolong jiwaku, keping gelang itu kuberikan
untuk mengganti kambing yang mati"
"Adakah tuan benar2 rela?" buyut Tayaka menegas.
"Gelang, kalung, cincin dan segala macam perhiasan
berharga, hanya ibarat pakaian. Yakni benda pelengkap
lahiriyah. Bagiku benda2 keduniawian itu hanya barang
pinjaman, semisal hidup kita inipun hanya sekedar mampir,
tak kekal sifatnya. Mengapa kemurnian hati kita harus dikotori
oleh pemikiran benda2 semacam itu?" sahut Anuraga "silahkan
ki buyut mengambilnya sebagai pembayaran denda Gajah"
Buyut Tayaka termenung beberapa saat. Tetapi hanya
sekilas hati-nurani tersentuh oleh kata2 sang brahmana
karena secepat itu benaknyapun dihuni oleh keping emas yang
menyilaukan mata itu "Baiklah, karena dalam undang2
diperbolehkan denda itu dibayar lain orang, maka emas
kuterima sebagai pembayaran denda Gajah"
Terdengar suara berisik dari para penduduk.
"Soal menghilangkan kambing sudah selesai. Namun Gajah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih harus diad ili lagi karena menyebabkan Wawa terluka
parah" tiba2 buyut Tayaka berseru pula seraya membuka kitab
dihadapannya. "Dalam pasal 227 bab DANDAPARUSYA, disebut: Jika
seorang Sudra menyakiti seorang Brahmana dengan
menggunakan tangan, kaki, mulut , kepala, dada, punggung,
bahu, kemaluan, jubur sebagai alat, bila yang disakiti itu tinggi
kedudukannya, anggauta badan yang digunakan sebagai alat
itu supaya dipotong"
Buyut Tayaka lepaskan pandang mata kearah kitab yang
dibacanya lalu mengangkat muka memandang kearah Gajah,
serunya "Gajah, engkau anak Sudra dan telah menyakiti Wawa
seorang anak Waisya dengan kepalamu. Menurut bunyi
undang-undang itu, kepalamu harus dipotong ..."
Terdengar berisik hiruk diant ara penduduk yang menghadiri
persidangan itu. Gajah makin menggigil.
"Tidak adil!" tiba2 Anuraga berteriak menyanggah. Ia tak
puas atas keputusan buyut itu.
"Apakah yang tak adil?" t erkesiap buyut Tayaka mendengar
suara brahmana muda itu. Ia mint a penjelasan.
"Gajah tidak menyakiti tetapi disakiti oleh Wawa. Karena
hendak dicekik lehernya, terpaksa Gajah menumbukkan
kepalanya kedada Wawa. Dengan begitu, peristiwa itu
peristiwa perkelahian karena dilakukan oleh dua fihak!" sahut
Anuraga. Buyut Tayaka kerutkan dahi. Diam2 iapun merasa bahw a
keputusannya tadi memang terlampau berat. Ia membalikkan
lembaran kitab lagi dan berseru "Alasan yang dikemukakan
tuan brahmana dapat diterima. Keputusan tadi dirobah dan
diganti dengan pasal 231 yang berbunyi demikian: Barang
siapa menyakiti binatang ternak atau menyakiti orang dengan
alat kayu atau batu, besar kecilnya denda supaya
diperhitungkan. Jika pemukulan, pemerangan dan pelemparan
itu mengakibatkan penderitaan ringan, dendanya seribu. Jika
lukanya berat sampai mengikis tulang hingga patah dendanya
dua laksa. J ika ku litnya merah seolah-olah akan mengeluarkan
darah, dendanya dua tali. Sedangkan orang yang menyakiti itu
dikenakan Apatiba-jampi atau pembayaran uang obat hingga
luka penderita itu sembuh!"
Buyut Tayaka menutup kitab lalu berseru kepada Gajah
"Oleh karena engkau telah melukai Wawa sehingga kepalanya
pccah maka engkau dikenakan denda dua laksa"
Gajah pucat dan gemetar. Bagaimana mungkin anak
semiskin dirinyja akan mampu membayar denda sekian
banyak. "Tidak setuju!" kembali brahmana Anuraga berseru
menyanggah "pasal 231 itu bersifat tindakan menyakiti yang
dilakukan oleh sefihak. Sedang fihak yang disakiti tak
mengadakan perlawanan. Pada hal jelas kedua anak itu saling
sakit menyakiti. Maka lebih tepat kalau digolongkan sebagai
perkara Kroda atau perkelahian!"
Merahlah muka buyut it u. Dua kali ia memutuskan dua kali
itu pula disanggah oleh brahmana muda. Hatinya tersinggung
dan bertebaranlah rasa malu dalam perasaannya sebagai
seorang buyut desa, orang yang paling berkuasa dalam desa
itu. Apalagi disaksikan oleh ber-puluh2 penduduk yang
mengikuti persidangan itu. Rasa malu itu cepat bersarang
pada rasa keangkuhan sebagai seorang buyut. Rasa
keangkuhan pun cepat membentuk rasa ke-Aku-an. Rasa
Kodrati yang menjadi unsur pembentukan sifat Manusiawi.
Tidak lagi buyut itu menimbang sanggahan Anuraga dari
sudut undang2, melainkan dari rasa keangkuhannya sebagai
seorang buyut dan berkatalah ia dengan nada tinggi "Desa
Madan-Teda ini merupakan desa pelayangan atau penyeberangan sungai. Telatah Madan-Teda dinyatakan
sebagai desa Swatantra ialah desa yang berdiri sendiri dan
diberi kekuasaan penuh untuk mengatur peperint ahan desa.
Aku sebagai buyut, diberi hak penuh untuk memimpin
Golok Sakti 11 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Rahasia 180 Patung Mas 15
^