Pencarian

Gajah Kencana 21

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 21


Serentak pula tumenggung Ikal-ikalan Bang menemukan arti
jawaban Kuda Lampeyan ketika melarikan kudanya. Ya,
senopati itu masih anak kemanakan mahapatih Nambi, bukan
mustahil brahmana itu dapat membujuknya agar berbalik
haluan membantu mahapatih. Itulah sebabnya maka Kuda
Lampeyan mengatakan hendak ke Lumajang.
"Serbu !" serentak menyadari apa yang telah terjadi, bahwa
Kuda Lampeyan telah berhianat ikut pada kaum pemberontak,
maka Ikal-ikalan Bang terus
memberi perintah kepada pasukannya untuk menyerang Anuraga. Ia sendiri pun mempelopori menerjang brahmana itu. Pertempuran meletus antara Anuraga seorang diri
melawan serbuan beratus prajurit Majapahit. Brahmana
yang tampaknya lembah lembut dan halus tindak tanduknya, saat itu berobah
bagaikan seekor harimau yang mengamuk. Karena prajuritprajurit itu menggunakan senjata terpaksa Anuraga pun merebut tombak dari seorang prajurit, dengan tombak itu ia
menahan arus serangan musuh. Setiap ia bergerak dan ke
arah mana ia bergerak, tentu terdengar jerit erang kesakitan
dari prajurit-prajurit yang rubuh. Anuraga mengamuk tetapi
tak mau membunuh lawan ......
Saat itu bukanlah brahmana Anuraga yang tegak di tengah
gelanggang pertempuran tetapi Kuda Anjampiani, putera
Rangga Lawe adipati Tuban yang pernah menggoncangkan
kerajaan Majapahit. Tumenggung lkal-ikalan Bang terlongong heran. Belum
pernah sepanjang pengalamannya bertempur di medan
perang, ia melihat seorang senopati yang sedemikian hebat
sepak terjangnya seperti brahmana Anuraga. Tandangnya
benar2 menyerupai seekor harimau diantara gerombolan
kambing. Berpuluh-puluh prajurit bersenjata lengkap itu tak
kuasa menahan amukan Anuraga.
Akhirnya karena melihat pasukannya menderita kerusakan
besar, tumenggung Ikal ikalan Bang yang mengambil alih
pimpinan, memerintahkan untuk mundur. Ia hendak
memperbaiki barisan dan mempersiapkan rencana untuk
menghancurkan musuh tunggal itu.
Ketika pasukan Majapahit ditarik mundur keluar desa, saat
itu haripun sudah petang. Anuraga masih berada di dalam
hutan yang terletak tak berapa jauh dari mulut desa.
Tekadnya ia tetap akan menjaga tempat itu agar pasukan
Majapahit tak dapat masuk ke Pajarakan.
Haripun makin gelap dan ia mulai merasa letih. Maka
duduklah ia diatas akar batang pohon besar, pejamkan mata
dan bersenaedhi melakukan ilmu prana untuk mengembalikan
tenaganya. Sunyi senyap makin melelap ke seluruh penjuru
hutan. Entah berapa lama ia terbenam dalam alam
kehampaan itu, ketika membuka mata tampak sinar rembulan
terpecah belah menyeruak diantara sela-sela daun. Ada yang
hanya tertahan sampai pada gerumbul daun yang tumbuh
pada dahan pohon, ada pula yang berhasil menembus sampai
ke bumi. Sesaat pandang mata Anuraga bercengkerama meninjau
keadaan hutan dikehidupan malam, tiba-tiba tertumbuklah
matanya akan sesuatu yang aneh. Segunduk benda setinggi
anak kecil, berbentuk bulat dan berwarna. hitam. Menyerupai
segunduk batu tetapi dapat bergerak dan ...... mendeburlah
jantung Anuraga ketika memperhatikan benda itu bergerak
menuju ke tempatnya. Dalam suasana dan tempat seperti saat itu, terkecuh juga
ketenangan Anuraga. Benda itu bergerak makin dekat dan
serentak berbangkitlah Anuraga dari tempat duduknya. Kini ia
mengetahui bahwa benda itu bukan makhluk aneh melainkan
seorang manusia. Dan ketika terpisah tiga langkah dari tempat
Anuraga, tiba2 orang itu mengangkat muka dan
memandangnya. "Eyang .... !" serentak menjeritlah Anuraga serta
mengetahui siapa pendatang itu. Serta merta ia berlutut
meniarap di kaki orang itu.
Orang itu menyingkap kain penutup mukanya dan dari
percik2 sinar rembulan yang membaur ke arahnya, dapatlah
diketahui pendatang itu seorang kakek tua yang berwajah
seram. Sebelah matanya buta, hidung dan bibirnya hilang
sehingga datar pada pipinya yang cekung dan penuh gurat2
bekas luka. Punggungnya bungkuk, kaki pincang. Apabila
Anuraga belum mengenal, tentulah ia akan mendapat kesan
kalau berhadapan dengan makhluk jejadian yang sering
berkeliaran di tengah malam.
"Anjampiani, bangunlah," kakek itu mengusap-usap kepala
Anuraga dan menyuruhnya berdiri.
"Eyang Wungkuk, mengapa eyang berkunjung ke mari ?"
bertanya Anuraga setelah tegak di hadapan kakek itu.
"Mari kita duduk di bawah pohon itu," sahut kakek yang
disebut eyang Wungkuk. Kemudian setelah keduanya duduk
berhadapan, berkata pula eyang Wungkuk itu "Anjampiani,
mengapa engkau mengumbar hawa kemarahan mengamuk
bagai seekor banteng ketatom?"
Anuraga terkesiap, "Adakah eyang menyaksikan pertempuranku melawan prajurit2 Majapahit tadi ?"
"Kudengar tentang huru hara yang terjadi di tanah
Lumajang dan Pajarakan. Bahwa baginda sampai, memimpin
pasukan sendiri, benar2 membangkitkan keinginanku untuk
mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi."
"Baginda telah termakan hasutan patih Aluyuda dan
menganggap mahapatih Nambi serta beberapa mentri dan
senopati yang berada di Lumajang itu hendak memberontak."
"Ya" sahut eyang Wungkuk "memang patih itulah yang
selalu menjadi biang keladi kekeruhan di dalam kerajaan
Majapahit. Lalu mengapa engkau mengamuk pasukan
Majapahit?" Brahmana Anuraga segera menuturkan pertemuannya
dengan eyangnya, adipati Wiraraja, yang ikut menggabung
pada rombongan mahapatih untuk melawan pasukan
kerajaan. "Dan engkau setuju membantu eyangmu?" tegur eyang
Wungkuk. Anuraga menghela napas, "Sebenarnya sudah kuperingatkan kepada eyang Wiraraja bahwa kurang layak
apabila membantu mahapatih Nambi karena jelas mahapatih
Nambi itulah yang menjadi musabab dari kematian ayah.
Tetapi eyang Wiraraja berkeras hendak menuntut balas atas
kematian ayah dan mengata-ngatai aku dengan tajam,
sebagai seorang anak yang tak tahu membalas budi orang tua
. , ....." Eyang Wungkukpun menghela napas, "Ah, untunglah aku
datang, Anjampiani. Apabila tidak, bukankah pasukan
Majapahit itu akan porak poranda" Siapakah yang mampu
menanggulangi tandang amukan Kuda Anjampiani yang gagah
perkasa itu?" "Duh, eyang guru, Anjampiani tak kuasa menahan luapan
nafsu kemarahan ......"
"Demikianlah keadaan alamiah batin manusia, cucuku.
Memang mara itu tak pernah lenyap, setiap saat akan meluap
dan meletus. Engkau seorang manusia, tentu tak terluput dari
godaan2 mara itu," eyang Wungkuk menghiburnya, "tetapi
aku gembira karena selama engkau bertempur dengan prajurit
prajurit itu engkau tak mengeluarkan aji Kalacakra yang
dahsyat. Prajurit2 itu hanya menderita luka tetapi tak sampai
membahayakan jiwa mereka. Anjampiani, adakah engkau
masih ingat apa pesan eyang ketika menurunkan ilmu aji
Kalacakra itu?" "Aji Kalacakra adalah ilmu pukulan pamurgkas dari
persekutuan Gajah Kencana. Tidak boleh digunakan kecuali
terdesak dalam bahaya."
"Baik, Anjampiani," seru eyang Wungkuk, "camkanlah hal
itu benar2 agar tujuan kaum Gajah Kencana dapat
terlaksana." Anuraga mengiakan. "Tetapi Anjampiani, adakah engkau anggap tindakanmu
menuruti anjuran eyangmu Wiraraja itu sudah benar?"
"Aku hanya menunaikan kewajiban sebagai seorang putera
kepada ayahnya." Eyang Wungkuk mendesuh, "Hm, memang kita manusia
hidup ini terikat dengan beberapa Wajib. Wajib menyembah
kepada Hyang Widdhi Agung, wajib mengunjuk bakti kepada
orangtua, wajib membela nusa dan bangsa, wajib beramal
baik kepada sesama titah manusia. Wajib, ah, masih banyak
nian wajib-wajib yang mengikat diri kita ke arah jalan
keutamaan. Saat ini engkau sedang menghadapi dua macam
Wajib: Wajib kepada negara dan wajib terhadap orangtua.
Dalam hal itu, engkau tengah berada di persimpangan jalan.
Engkau membela kematian ayahmu berarti engkau melawan
negara. Engkau membela negara, tentu akan dianggap tak
menetapi wajibmu sebagai seorang putera. Bukankah begitu,
Anjampiani"." Anuraga mengangguk dan menyahut lirih, "Ya"
"Sebelum kutingkatkan kearah pertanyaan yang menentukan, ingin eyang bertanya dahulu kepadamu. Apakah
tujuan dari Gajah Kencana itu, Anjampiani?"
Sejenak Anuraga tertegun lalu menyahut dengan kepada
menegak, "Gajah Kencana bertujuan membela, menegakkan
dan melangsungkan kejayaan negara Majapahit."
"Bagus, cucuku," eyang Wungkuk meagangguk, "sekarang
jawablah, apabila engkau menghadapi dua keadaan yang
bertentangan, manakah yang lebih engkau utamakan.
Kepentingan negara atau kepentingan keluargamu ?"
Saat itu Anuraga menyadari kemanakah jatuhnya
pertanyaan eyang gurunya itu. Ia tertegun. Beberapa saat
kemudian ia menjawab, "Kepentingan negara!"
"Mengapa" "tanya eyang Wungkuk pula.
"Kepentingan negara menyangkut seluruh kawula,
kepentingan keluarga hanya menyangkut diri penbadi."
"Menjadi pahlawan negara tetapi mengingkari Wajibmu
kepada orangtua, atau berbakti sebagai putera orangtua tetapi
berhianat kepada negara. Mana yang engkau pilih,
Anjampiani?" Makin jelaslah Anuraga akan arah tujuan kata2 eyang
Wungkuk itu. Namun kata2 adipati Wiraraja masih mengiang
pula ditelinganya bahwa dia seorang putera yang tak
mempedulikan kematian ayahnya. "Duh, eyang, Anjampiani
mohon petunjuk ...... " akhirnya ia berkata.
"Kutahu isi hatimu bahwa engkau masih bimbang dan takut
karena akan dianggap sebagai putera yang tak mau
membalaskan kematian ayahmu. Tetapi ketahuilah, Anjampiani, Rangga Lawe itu bertindak terlalu menuruti
luapan kemarahannya. Dia tak puas dan marah karena Nambi
diangkat sebagai mahapatih. Lalu dia pulang ke Tuban dan
mengerahkan kekuatan untuk menandingi kerajaan. Benarkah
tindakannya itu Anjampiani?" sejenak Eyang Wungkuk
berhenti untuk menenangkan napas, "seorang ksatrya sejati,
tentu mengutamakan gawe daripada pamrih, ramai ing gawe
sepi ing pamrih. Adakah tujuan Rangga Lawe berjuang
membantu raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan Majapahit
itu hanya untuk cita-cita hendak menduduki jabatan
mahapatih" Mengapa hanya karena soal kedudukan saja, ia
lantas marah dan menentang kerajaan yang ia ikut berjuang
mendirikan" Adakah itu sifat seorang ksatrya utama ?"
Anuraga termenung dalam2.
"Anjampiani, dikala ayahmu marah2, telah kunasehati ..... "
tiba2 eyang Wungkuk terhenti dari ucapannya. Ia menyadari
kalau kelepasan omong. Ia cepat hendak alihkan pembicaraan
tetapi Anuraga sudah mendahului berteriak "Eyang! Jadi eyang
sudah kenal kepada ayahku " Dan eyang menasehatinya" Ah,
jika demikian dahulu eyang tentulah seorang mentri kerajaan
yang berpangkat tinggi!"
"Ah" eyang Wungkuk menghela napas penuh sesal karena
tanpa sengaja ia telah mengunjukkan pribadi dirinya. la
menggelengkan kepala. "Eyang tentu memendam suatu rahasia hidup yang besar.
Maaf, eyang, sekira eyang tak keberatan, sudilah kiranya
eyang menceritakan kisah hidup eyang yang lampau,"
Anuraga mendesak lebih lanjut.
"Anjampiani, engkau menyulitkan aku," eyang Wungkuk
mengeluh. Sesaat kemudian tiba2 ia berkata pula, "tetapi
bukan kesalahanmu, angger. Kesemuanya itu, lambat atau


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat, tentu akan terurai dalam kenyataan. Baik, Anjarnpiani,
dalam sisa hidup eyang yang sudah tak berapa lama ini, eyang
tak mau berbohong, terutama kepadamu. Tetapi maukah
engkau berjanji untuk menyimpan rahasiaku dalam hatimu
sendiri ?" "Aku bersumpah," Anuraga menegakkan kepala.
"Aku percaya kepadamu, A njampiani," kata eyang Wungkuk
lalu mulai membuka tabir rahasia dirinya "sebenarnya aku ini
adalah Lembu Sora, mentri berpangkat demung dalam
kerajaan Majapahit, seorang kadehan raden Wijaya di samping
Nambi, ayahmu dan lain-lain ....."
"Eyang ! " Anuraga berteriak kaget "bukankah Lembu Sora
sudah gugur dalam pertempuran melawan pasukan
Majapahit?" "Benar, memang karena hasutan Aluyuda, atas kesalahanku
membunuh Kebo Anabrang, baginda memindahkan aku ke
Tulembang. Tetapi aku mohon tetap di Majapahit dan rela
menerima hukuman. Atas fitnah Aluyuda pula, akhirnya
baginda menitahkan pasukan untuk membunuh aku karena
aku dituduh hendak memberontak. Aku rubuh menderita luka2
yang parah dan dianggap sudah mati. Tetapi ketika aku
membuka mata, ternyata aku berada dalam sebuah pondok
seorang penduduk yang kasihan kepadaku. Berkat
perawatannya yang tekun, aku dapat hidup tetapi bukan lagi
Lembu Sora yang gagah perkasa melainkan seorang manusia
yang penuh cacad dan bungkuk seperti aku sekarang ini.
Tetapi aku tak bersedih karena cacad itu bahkan kebalikannya
aku gembira karena dapat hidup menjadi manusia lain yang
tak mungkin dikenal orang sebagai Lembu Sora lagi ......."
"Walaupun tubuhku cacad namun jiwaku tak pernah padam
untuk mengabdi kepada negara Majapahit. Aku mengasingkan
diri kepegunungan yang sepi, bertapa mencari ilmu kesaktian.
Bertahun-tahun aku menyiksa diri hidup penuh derita. Hanya
berkat keteguhan tekadku untuk mengabdi negara Majapahit
itulah yang memberi kekuatan kepadaku hingga dapat hidup
sampai saat ini. Setelah berhasil mencapai ilmu kesaktian,
mulailah aku membentuk sebuah himpunan, mengumpulkan
putera2 para mentri dan senopati tua dari Majapahit dan
lahirlah persekutuan Gajah Kencana yang bertujuan untuk
membela tegaknya kerajaan Majapahit sampai di akhir jaman."
Anuraga terpukau dalam menung yang dalam. Perasaannya
dihempas oleh gelombang kekaguman dan hormat kepada
eyang Wungkuk. Manusia yang pantang mundur dalam
pangabdiannya kepada negara. Cacad tubuh tak kuasa
mengendapkan jiwa pangabdiannya.
"Anjampiani" tiba2 eyang Wungkuk berkata pula, "Gajah
Kencana berjuang hanya demi menyelamatkan Majapahit
bukan demi mencapai kedudukan dan pangkat. Walaupun
pendirian mendiang ayahmu tidak segaris dengan Gajah
Kencana, tetapi senafas pula. Dia berjuang untuk membangun
Majapahit dan sudah tentu takkan berhenti berjuang untuk
menyelamatkan negara itu. Walaupun dia terlena oleh nafsu
dan kemarahan dalam peristiwa pemberontakan itu. Namun
kutahu dia seorang ksatrya berjiwa perwira. Apa yang
dilakukan, ditanggungnya sendiri. Ia tak menghendaki
ayahnya, adipati Wiraraja, dan kawan-kawannya menuntut
balas. Demikian tentulah dia tak mengharap puteranya akan
membalas dendam juga ......."
Eyang Wungkuk berhenti sejenak menyelidik
Didapatinya Anuraga masih termenung-menung.
kesan. "Rangga Lawe telah melakukan kesalahan kepada kerajaan
Majapahit, engkau Anjampiani, seharusnya menebus
kesalahan ayahmu itu tidak dengan melawan kepada kerajaan
tetapi dengan membela dan menjaga ke sejahteraan
Majapahit. Dan ini, cucuku, sesuai dengan tujuan Gajah
Kencana. Lihattah, aku sendiri, Anjampiani. Bukankah layak
kalau aku membenci dan sakithati kepada kerajaan" Tetapi
aku tak mempunyai perasaan demikian. Aku tetap mengabdi
kepada kerajaan, bukan karena baginda yang sekarang ini
putera rahyan ramuhun Kertarajasa, tetapi karena negara
Majapahit itu adalah negara kita !"
"Eyang, kini pikiranku sudah terbuka dari kegelapan. Terima
kasih, eyang," Anuraga menyembah pula "bagaimana dengan
nasib mahapatih Nambi dan menteri2 yang berada di
Lumajang itu, eyang?"
"Nambi memetik buah yang ditanamnya. Karena dialah
maka ayahmu telah gugur. Dan dia pulalah yang terkena
hasutan Aluyuda untuk mengepung aku dan menitahkan
prajurit2 untuk membunun diriku. Sekarang diapun harus
menerima buah yang pahit dari Aluyuda."
"Lalu bagaimana dengan Aluyuda " Bukankah enak saja ia
memfitnah orang dan merebut kedudukan mahapatih ?" tanya
Anuraga. Eyang Wungkuk menghela napas "Jangan mengatakan dia
enak, angger. Dan jangan menganggap dia tak akan
menerima akibat. Soalnya hanya belum waktunya. Tetapi
percayalah, akan keagungan dan keadilan Hyang Jagadnata
bahwa setiap tindak tentu akan menerima akibat, sesuai
dengan kodrat Karma."
Anuraga dapat menerima keterangan eyang guru yang
menjadi pimpinan Gajah Kencana. Kemudian orang tua itu
mengajak Anuraga bersama ke Lumajang. Tetapi Anuraga
menolak. "Maaf, eyang, aku hendak menghadap eyang
Wiraraja untuk memberi penjelasan kepadanya."
Setelah eyang Wungkuk berlalu, Anuraga pun segera
menghadap adipati Wiraraja, "Eyang, pasukan Majapahit telah
kuundurkan. Kurasa kewajibanku telah selesai dan aku hendak
mohon diri." "Bagus, cucuku, engkau ternyata tak mengecewakan
sebagai putera adipati Rangga Lawe," puji adipati Wiraraja,
"tetapi mengapa tergesa-gesa benar engkau hendak pergi "
Bukankah pasukan Majapahit akan datang lagi?"
"Itutah maka kumohon eyang berkenan menerima
anjuranku, agar eyang menarik diri dan jangan ikut campur
dalam peperangan ini."
"Anjampiani, mengapa engkau berkata begitu!" adipati
Wiraraja berseru kejut. "Eyang," kata Anuraga dengan nada sarat "walaupun
dengan alasan menuntut keadilan tetapi nyata2 ayah telah
mengangkat senjata melawan kerajaan Majapahit. Untuk
membersihkan keluhuran nama ayah dalam sejarah
perkembangan Majapahit, marilah kita berjuang untuk
membela dan menegakkan kejayaan Majapahit. Dan janganlah
kita coba menentang kodrat Prakitri karena Majapahit
merupakakan negara yang sedang bertumbuh, mekar dan
menjelang kejayaan yang gemilang. Jangan pula pikiran kita
terpancang akan kepentingan keluarga tetapi seharumya kita
menjunjung kepentingan rakyat dan negera Majapahit."
Adipati Wiraraja tertegun mendengar rangkaian kata2
Anuraga. Lama sekali ia terbenam dalam renungan dan
pertimbangan. Akhirnya ia berkata sarat, "Baik, Anjampiani,
silahkan engkau melanjutkan perjalananmu. Beri lah eyang
waktu berpikir, esok eyang tentu sudah mengambil
keputusan." Anuraga menyembah mencium kaki adipati Wiraraja,
setelah itu iapun melangkah keluar tinggalkan desa Pajarakan.
0oo-dw-oo0 II Setelah menerima rintangan dari prajurit penjaga pintu pura
Tikta Sripala, Dipa melarikan diri ke dalam hutan. Ia mengkal
mengapa prajurit2 itu mengganggunya. Untunglah karena ia
menyimpan pusaka Gada Intan dalam baju, maka tabasan
pedang prajurit itu tak dapat melukainya dan kutunglah
pedang prajurit itu karena membentur Gada Intan.
Dua rasa kejut telah menggetar hati anak itu. Pertama,
karena ia terhindar dari bahaya maut. Apabila tiada pusaka
Gada Intan itu, pinggangnya tentu sudah terbelah. Kedua, ia
tak menyangka bahwa Gada Intan itu sebuah pusaka yang
sedemikian dahsyat, sehingga mampu mengutungkan pedang.
Namun dibalik itu Dipa pun tertikam kesan, mengapa
prajurit itu melarangnya masuk ke dalam pura. Adakah pura
kerajaan itu hanya diperuntukkan keluarga raja, mentri,
narapraja dan prajurit2 " Bukankah dahulu paman brahmana
Anuraga pernah mengatakan bahwa setiap orang, tanpa
membedakan derajat keturunan, boleh mengunjungi pura
Majapahit " Hampir Dipa kecewa atas pengalaman yang dideritanya itu.
Namun terlintas juga dalam kesannya, mungkin yang
diperbolehkan masuk ke luar pura kerajaan itu hanyalah
penduduk yang tinggal di situ.
Malam itu Dipa terpaksa tinggal di dalam hutan. Sambil
bergolek di atas permadani rumput dan menghitung-hitung
bintang kemintang di langit biru. Dipa pun mulai memikirkan
rencana, ke manakah ia hendak pergi. Mencari demang
Suryanata dan cucunya, perawan cilik Indu, meninjau paman
brahmana Anuraga yang konon kabarnya tinggal di pura
kerajaan, rasanya sukar terlaksana. Ia sudah berketahi dengan
prajurit penjaga gapura, apabila ia muncul lagi, tentulah
mereka tetap akan menangkapnya.
Demikian alam pikiran Dipa karena ia tak tahu bahwa
penjagaan pintu gapura kerajaan itu, sesungguhnya dilakukan
secara bergilir. Jumlah penjaganya pun cukup banyak. Apabila
ia datang he pintu gerbang lagi, belum tentu prajurit yang
menggagunya itu yang menjaga di situ. Tetapi ia tak tak tahu
hal itu dan menganggap bahwa prajurit yang menyerangnya
itu tentu selalu berjaga di situ. Karena takut, terpaksa ia
batalkan keinginannya untuk masuk ke dalam pura kerajaan.
Hendak berkelana" Ah, ke manakah ia harus ayunkan
langkah" Ia tak tahu arah dan tak kenal jalanan serta tak
faham nama2 desa dan kota. Pulang" Ah Dipa tersenyum
meringis. Bagi lain orang dan anak2 pada umumnya, kata
pulang itu tentu disambut dengan rasa gembira. Karena
sesungguhnya tiada tempat yang lebih menyenangkan hati
daripada rumah kediamannya sendiri. Tetapi bagi Dipa, kata2
pulang itu amat menyinggung perasaannya. Ke manakah ia
harus pulang" Ia seorang anak sebatang kara, tiada sanak
tiada kadang, tiada rumah tiada ladang .......
Dua butir airmata menitik turun dari pelapuknya. Namun
tiba-tiba ia tersentak bangun dari lamunannya. Serasa
terngiang ngiang pula petuah-petuah dari pendeta
Padapaduka dan empu Panangkar, bahwa seorang anak lelaki
harus berani menghadapi kesukaran hidup. Tak boleh
menitikkan airmata karena dapatlah melemahkan semangat,
menipiskan kulit daging. Serentak pula Dipa menegakkan
kepala ketika teringat akan ucapan brahmana Anuraga,
demang Surya, pendeta Padapaduka, empu Panangkar dan
siapa saja yang pernah dijumpainya. Bahwa mereka sama
mengatakan, kelak ia akan menempuh hari depan yang
gemilang. "Ah, mungkin mereka hanya menghibur hatiku saja," sesaat
kemudian kepala Dipa terkulai lemas. Sampai pada akhirnya ia
mengambil kesimpulan. Masa depan ia belum tahu dan tak
berani mempercayai ucapan orang2 itu. Namun yang nyata ia
harus berani menghadapi masa sekarang. Apabila ia dapat
mengatasi masa sekarang dengan baik, tak perlulah ia
menguatirkan hari depan lagi.
"Baik" akhirnya ia membajakan semangat, "aku akan pergi
ke Kahuripan menghadap sang Rani dan menetapi janjiku
untuk masuk menjadi prajurit Kahuripan. Setelah mendapat
tempat yang tetap, barulah apabila ada kesempatan, aku akan
mengunjungi pura Majapahit lagi. Tak lari gunung dikejar,
selama hayat masih dikandung badan, pada suatu saat aku
pasti akan berjumpa pula dengan kakek demang Surya dan
Indu serta paman brahmana Anuraga."
Setelah memiliki keputusan itu maka terlelaplah Dipa dalam
tidur yang nyenyak. Ketika keesokan hari bangun, ternyata
surya sudah naik tinggi. Bergegas ia bangun dan melanjutkan
perjalanan. Beberapa hari kemudian tibalah ia di tanah
Kahuripan. Ia terkejut ketika berpapasan dengan seorang bentara yang
berjalan membawa bende. Setiap tiba di rumah penduduk,
bentara itu segera memukul bende dan berteriak-teriak.
"Dengarlah, wahai segenap kawula Kahuripan. Berkat titah
Rani Kahuripan yang bijak dan dikasihi Dewata, maka kamu
sekalian terutama para kaum muda, diminta menyumbangkan
pengabdiannya pada kerajaan Kahuripan, mencatatkan diri
sebagai prajurit pembela negara!"
"Ah, Kahuripan sedang membentuk pasukan penjaga
negara," pikir Dipa. Timbul pikirannya untuk ikut mencatatkan
diri menjadi prajurit. Sesungguhnya Dipa sudah diangkat menjadi prajurit
Kahuripan oleh Rani Tribuanatunggadewi dan bahkan sudah
dianugerahi nama Kerta Dipa. Hal itu terjadi ketika ia dapat
menolong menghentikan kuda ratha sang Rani yang lari
membinal hendak meluncur ke dalam jurang. Namun Dipa
mempunpai pendapat sendiri. Ia hendak mencatatkan diri
sebagai prajurit dan akan ikut serta dalam prajurit2 yang
ditetapkan dalam penerimaannya.
Kebetulan pula lurah prajurit yang bertugas mencatat
penerimaan calon prajurit, tak kenal pada Dipa karena dahulu
ia tak ikut serta dalam rombongan pengawal yang mengantar
sang Rani berkeliling meninjau desa2 dalam telatah Kahuripan.
Puteri Tribuanatunggadewi seorang Rani atau raja puteri
yang amat dicintai seluruh kawula Kahuripan. Beratus ratus
anakmuda Kahuripan berbondong-bondong untuk memenuhi
panggilan negara, mencatatkan diri sebagai prajurit.
Hari kedua setelah penerimaan selesai, maka diadakan
ujian. Ujiannya hanya sekadarnya, yalah adu kekuatan dan
kepandaian melepas anakpanah. Ujian itu disaksikan oleh
demang Saroyo sebagai kepala keamanan pura Kahuripan.
"Para calon prajurit," demikian, bekel Murgangga selaku
pimpinan penyelenggara ujian, tampil membuka acara, "ujian
terdiri dari dua acara, tiap acara dibagi dua macam. Pertama,
adu kekuatan. Terdiri dari dua macam yakni mengangkat batu
dan adu tenaga dengan seorang wakil kami. Kedua, melepas
anakpanah. Terdiri dari memanah sebuah sasaran dan
melepas panah dengan naik kuda."
Beratus-ratus calon prajurit yang saat itu berkumpul di


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah lapangan, menganggukkan kepala.
"Ujian2 itu hanya sekedar untuk niengetahui bakat
kepandaian saudara masing2 sehingga dapat kami tempatkan
pada pasukan yang sesuai," seru bekel Muringga menutup
pembicaraan. Kemudian ia menyatakan bahwa ujian dimulai,
"di tengah lapangan itu, telah kami sediakan beberapa gunduk
batu. Paling kecil batu itu berat sepuluh gantang atau satu
pikul. Batu kedua, berat lima belas gantang. Batu ketika,
duapuluh gantang. Demikian seterusnya, setiap batu selalu
tambah lima gantang beratnya. Silahkan saudara2 memilih
mana yang sesuai dengan kekuatan masing2."
Beratus anakmuda segera tampil dan mengangkat batu itu.
Bermacam-macam hasil yang ditunjukkan mereka. Rata2
mereka dapat mengangkat batu seberat sepuluh gantang. A da
juga yang limabelas sampai duapuluh gantang. Ada pula
sementara anakmuda yang coba2 hendak mengangkat batu
yang melampaui batas kekuatannya. Akibatnya, terjadi
beberapa kecelakaan yang tak diinginkan. Seorang anakmuda
yang setelah berhasil mengangkat batu berat duapuluh
gantang, tak mau berhenti tetapi terus mengangkat yang
berat tigapuluh gantang. Ketika batu terangkat ke atas kepala,
tiba2 ia tak kuat dan rubuh ke belakang. Untung batu itu tak
menimpah kepalanya. Ada lagi seorang anakmuda yang juga
memaksa diri mengangkat batu diluar kekuatannya. Akibatnya
ia muntah darah. Lalu seorang anakmuda lain, karena kurang
hati2 dan terlalu memaksa batu jatuh menimpah tangannya.
Ia pingsan, tulang tangannya patah.
Tetapi ada juga yang mempesonakan orang. Seorang
anakmuda yang bertubuh kekar, mengangkat batu berat
duapuluh gantang. Setelah terangkat di atas kepala, ia lari
berputar mengelilingi lapangan dan meletakkan batu itu di
tempatnya semula. Tampik sorak memenuhi segenap penjuru.
Seorang anakmuda yang bertubuh kuat, lengannya besar
dengan berhias otot2 yang melingkar-lingkar, dapat
mengangkat batu berat limapuluh gantang. Pemuda itu
mendapat tepuk pujian yang gemuruh.
Berselang beberapa saat kembali terdengar sorak sorai
bergemuruh ketika seorang anakmuda berhasil mengangkat
batu yang beratnya empatpuluh gantang.
Kemudian giliran Dipa tampil ke tengah lapangan.
Bermula ia masih sangsi akan kekuatannya. Ia tak mau
memaksa diri melampani kekuatannya.
"Uh ...... " setelah mengerahkan tenaga, ia mengangkat
batu berat sepuluh gantang. Diam2 ia girang karena dapat
mengangkat sampai ke atas kepala. Dalam pada itu, timbullah
suatu perasaan bahwa batu itu masih ringan, masih kurang
berat baginya. Rasanya tenaganya masih berkelebihan. Maka
setelah meletakkan batu itu, ia berganti mengangkat yang
berat limabelas gantang Uh ....... " kembali ia berhasil
mengangkatnya. Dan kembali pula ia mempunyai perasaan
bahwa tenaganya masih berkelebihan. Diletakkan batu itu lalu
mengangkat yang berat duapuluh gantang, ah .... berhasil
juga. Pada saat meletakkan batu yang ketiga itu, sesungguhnya
ia sudah akan berheuti. Teringat ia akan pesan paman
brahmana Anuraga dan beberapa orangtua bahwa tak baiklah
untuk menonjolkan diri sebagai yang paling pandai, paling
kuat, paling digdaya. Tetapi ketika ia hendak ayunkan langkah, tiba2
terdengarlah teriak seruan dari para anak2 muda yang
menganjurkan supaya ia melanjutkan mengangkat batu yang
lebih berat. Ia bersangsi.
"Kalau memang masih dapat mengangkat, cobalah dengan
batu yang keempat, kelima, syukur keenam dan ketujuh, asal
jangan memaksa diri melampaui kekuatan mu," melihat Dipa
ragu2, bekel Muringga berseru menganjurkan juga. Ia melihat
wajah anakmuda itu masih tak ada perobahan, pertanda
bahwa Dipa tentu belum mencoba tenaganya yang penuh.
Dipa menimang. Ujian itu memang sengaja diadakan untuk
mengetahui kekuatan setiap calon. Kalau ia mengangkat batu
kelanjutannya, tentu bukan dianggap menonjolkan diri tetapi
memang memenuhi peraturan. Akhirnya Dipa menghampiri
batu yang berat duapuluh lima gantang. Setelah mengerahkan
tenaga, ia mengangkatnya, "Uh ......" ternyata ia berhasil. Dan
kembali datanglah suatu perasaan dalam hatinya, bahwa ia
masih mempunyai tenaga lebih untuk mengangkat
kelanjutannya. Diletakkan batu itu lalu tangannya mulai mengangkat batu
yang lain. Kembali ia berhasil mengangkat batu seberat 30
gantang. Pada saat itu entah bagaimana, Dipa merasa amat
gembira sekali karena menyadari bahwa sebenarnya ia
memiliki tenaga yang cukup besar. Entah karena setiap hari ia
giat melakukan ilmu semedhi, entah karena umumya kini
bertambah besar, atau entah karena kedua-duanya. Memang
ia merasa bahwa dalam ilmu semedhi menjalankan prana, ia
telah mencapai kemajuan yang pesat sehingga dapat
memusatkan tenaganya dalam pusat pusar atau yang disebut
Cakram Mampura. Dan dari pusat pengumpulan tenaga ia
dapat menyalurkan pula ke arah anggauta tubuh yang
dikehendaki. Sesuatu yang mengejutkan perasaan akan menimbulkan
tanggapan besar. Bahkan kadang2 tanggapan itu lebih besar
dari rasa kejut yang dideritanya. Demikian seperti yang dialami
Dipa. Apalagi dia masih muda belia, seorang pemuda yang
menjelang akan menginjak alam kedewasaan, seorang jejaka
tanggung. Dilanda oleh luap kegirangan karena mengetahui
tenaga alamiah yang dimilikinya, Dipa tak dapat menguasai
diri lagi. Sesaat menurunkan batu, tiba2 timbul pikirannya
untuk melakukan sesuata yang mengejutkan orang. Tiba2 ia
melontarkan batu itu ke atas sampai beberapa puluh depa
tingginya. Setelah batu meluncur turun, dengan cepat dan
tepat disambutnya dengan kedua tangan. Seketika gegap
gempitalah sorak sorai sekalian hadirin menyaksikan apa yang
dilakukan Dipa. Bekel Muringga terlongong-longong, demang Saroyo
tertegun. Sesaat kemudian demang itu memberi isyarat
kepada bekel Muringga supaya datang kepadanya. "Ki bekel,
siapakah pemuda pendek kekar itu?"
Ketika bekel Muringga memberitahu nama Dipa, diam2
demang Saroyo mencacat dalam hati. Rupanya ia mempunyai
perhatian lain terhadap Dipa.
Demikian berakhirlah ujian pertama. Pada umumnya,
walaupun nilai hasilnya tak sama, tetapi seluruh calon prajurit
telah lulus. Maka bekel Muringga pun memerintahkan orang
untuk menyingkirkan batu itu lalu memberi pengumuman
"Ujian pertama acara adu kekuatan sudah selesai. Sekarang
meningkat pada acara kedua yalah adu tenaga dan
ketangkasan bergumul. Oleh karena ujian ini hanya sekedar
untuk mengetahui keadaan masing2, maka bagi siapa yang
merasa tak sanggup, tidak diharuskan memaksa diri."
Selesai mengumumkan, bekel itu mengangkat tangannya ke
atas dan muncullah seorang lelaki yang bertubah
menyeramkan. Seorang yang tinggi besar, muka brewok,
kumis lebat, dada bidang, lengan besar, dada dan lengan
berlimpah bulu bagaikan padang rumput yang subur.
"Inilah Gajah Barong, tamtama yang bertugas menghukum
prajurit2 yang bersalah melanggar peraturan keprajuritan,"
kata bekel Muringga, "sekarang ini dia bertugas untuk menguji
tenaga dan ketangkasan calon2 prjurit. Jangan takut, dia
takkan membunuh saudara. Apabila tak kuat, cukup saudara
mengatakan, dia tentu berhenti. Maka yang merasa gentar,
jangan memaksa diri. Dan yang merasa sanggup menghadapi,
silahkan." Suasana hening seketika. Beratus-ratus calon prajurit itu
tengah menimang nimang dalam hati, dan memperhitungkan
kesanggupan dirinya. Tiba2 seorang anakmuda yang dalam
acara mengangkat batu tadi berhasil mengangkat batu seberat
duapuluh gantang, segera melangkah ke tengah gelanggang.
"Bagus, englcau sungguh berani, seru Gajah Barong ketika
anakmuda itu bersiap di hadapannya. Dan tanpa berpanjang
bicara ia terus menerkam lawan.
Pemuda itu berusaha untuk menyelinap kesamping lalu
hendak menerkam punggung Gajah Barong. Tetapi ternyata
walaupun bertubuh tinggi besar, Gajah Barong dapat bergerak
gesit. Ia berputar tubuh dan menyambar tangan orang lalu
dicengkamnya sehingga anak muda itu tak dapat berkutik lagi.
Akhirnya berteriak menyerah kalah.
Peristiwa itu hanya berlangsung dalam beberapa kejab.
Benar2 suatu hal yang mengejutkan sekalian orang dan
meruntuhkan nyali para calon prajurit. Rupanya hal itu
dirasakan juga oleh Gajah Barong maka ia segera berseru "Ho,
para calon prajurit, jangan takut. Aku takkan melukai kalian.
Hajo majulah." Pemuda yang dapat mengangkat batu seberat empat puluh
gantang dan membawa batu itu lari mengelilingi lapangan,
tergugah semangatnya. Serentak ia loncat ketengah
gelanggang dan menghampiri ketempat Gajah Barong. "Ki
Gajah Barong, aku bernama Prakosa. sejak kecil aku gemar
berlatih tenaga dan gulat. Aku senang sekali mendapat
kesempatan ini agar pengalamanku bertambah."
"Engkau memang kuat Prakosa. Aku senang mendapat
lawan yang dapat mengimbangi aku sampai beberapa saat,"
kata Gajah Barong dengan congkak.
Demikian keduanya segera pasang kuda2 dan mulai sambar
menyambar, cengkam mencengkam, dan angkat mengangkat.
Untuk beberapa saat keduanya tampak berimbang
kekuatannya. Beberapa waktu kemudian tampak Prakosa
mulai letih, kebalikannya Gajah Barong makin perkasa. Setelah
melangsungkan pertarungan tenaga yang meaegangkan,
akhirnya Gajah Barong dapat mengangkat tubuh Prakosa lalu
dibanting ke tanah, bum .....
Gegap gempita teriak orang memenuhi penjuru alam.
Teriak yang bernada kecemasan dan kekejutan. Cemas akan
nasib Prakosa yang dibanting Gajah Barong dan terkejut
karena menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu.
Prakosa pingsan ! Peristiwa itu benar2 menghapus nyali setiap calon prajurit.
Masih terngiang dalam telinga mereka akan ucapan Gajah
Barong yang berjanji takkan melukai setiap lawan tetapi
kenyataan memang lain dari janji. Prakosa telah dibanting
sedemikian rupa hingga kepalanya berlumuran darah dan
orangnya tak ingat diri .....
Memang timbul suatu tanggapan yang tak senang dalam
hati para calon prajurit itu. Namun mereka ngeri akan
kekuatan dan keperkasaan serta kekejaman tamtama Gajah
Barong. Tiada seorang pun yang berani tampil ke gelanggang
lagi. Rasa tak puas dan tak senang pun menginggapi hati Dipa.
Terutama setelah melihat betapa tingkah laku Gajah Barong
setelah dapat membanting Prakosa. Tamtama itu menengadahkan kepala, mendebarkan dada bagai seekor
ajam jantan yang berkokok karena dapat mengalahkan lawan.
Sesungguhnya Dipa masih ragu-ragu antara rasa tak puas
dengan kenyataan yang berada ditengah gelanggang. Seorang
lelaki bertubuh tinggi besar, gagah perkasa tengah tegak
ditengah gelanggang drngan sikap yang garang. Bagaimana
mungkin ia dapat mengalahkan Gajah Barong " Karena
melihat laku Gajah Barong, ia pejamkan mata agar tak tampak
pada matanya. Beberapa saat kemudian, suasana hiruk
pikukpun reda dan saat itu tak kedengaran suara apa2 lagi
seolah olah lapangan itu kosong tiada orangnya. Karena
heran, Dipa membuka mata dan amboi ..... ternyata beratusratus pasang mata tengah mencurah ke arah dirinya. Pandang
mata mereka mamanearkan suatu harapan agar ia mau turun
ke gelanggang untuk menghajar Gajah Barong.
"Hayo, kawan," seru seorang anakmuda yang berada dekat
di sampingnya dengan nada setengah berbisik, "hajarlah si
congkak Gajah Barong."
"Ya, benar, hanya engkaulah yang ada harapan untuk
menandinginya," seru seorang anakmuda yang berdiri di
sebelah kirinya. "Benar, kawan, majulah untuk membalaskan calon kawan
kita tadi," terdengar pula beberapa anakmuda yang berada di
belakangnya menganjurkan.
Memang watak Dipa itu tak senang melihat perbuatan yang
sewenang-wenang. Dahulu oleh brahmana Anuraga ia pernah
diadu berkelahi dengan seorang anak yang lebih besar.
Demikian pula ketika di candi desa Madan-Teda ia pernah
menolong seorang anak kecil yang tangannya terjepit kaki
patung Ganesya. Diangkatnya patung itu, walaupun karena itu
ia hampir dibunuh oleh penduduk desa karena dianggap
berani mengangkat patung batara Ganesya sehingga
menimbulkan suatu musibah pada desa Madan-Teda.
Kini ia dihadapi pula suatu peristiwa yang tak
menyenangkan hatinya. Seorang tamtama yang sudah berjanji
bertindak sebagai penguji, ternyata melanggar janji dan
melukai seorang calon prajurit. Entah bagaimana ketika ia
memandang ke tengah lapangan, dalam pandang matanya
tamtama Gajah Barong itu menyerupai seorang raksasa yang
galak, raksasa yang gemar makan manusia. Seketika
menggeloralah darah Dipa, makin lama makin meluap
sehingga ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Di luar
kesadarannya ia segera ayunkan tubuh ke tengah gelanggang
..... Sorak sorai terdengar memecah keheningan ketika melihat
Dipa muncul. Mereka tahu pemuda tanggung yang bertubuh
pendek tegap itu, memiliki tenaga yang hebat. Rupanya rasa
tak puas akan tindakan Gajah Barong terhadap Prakosa tadi,
menghuni dalam dada setiap calon prajurit. Karena diri sendiri
tak mampu menumpahkan kemarahan maka mereka
serempak menumpahkan harapan kepada Dipa. Secara tak
disadari, puji doa sekalian calon prajurit menyertai langkah
Dipa. "Ho, engkau, anakmuda," sambut Gajah Barong ketika Dipa
berada di hadapannya "kulihat tadi engkau dapat
melemparkan batu ke udara dan menyambutinya. Gembira,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh gembira sekali hatiku hari ini karena mendapat lawan
yang keras." "Ki Gajah Barong," sahut Dipa "batu hanya Benda yang tak
bernyawa, betapapun beratnya masih tak sesukar melemparkan seorang manusia seperti yang andika lakukan
tadi." Gajah Barong seorang kasar yang bertenaga kuat. Kata2
Dipa yang mengandung teguran tajam atas perbuatannya
membanting Prakosa tadi, tak dimengerti olehnya. Maka iapun
hanya tertawa bangga, "Anakmuda, seorang prajurit harus
berani mati apalagi hanya menderita luka. Maka engkau harus
hati2, jangan lengah menghadapi aku. Jagalah supaya tulang
lehermu tidak patah seperti pemuda tadi."
"Baik," kata Dipa agak geram. Diam2 ia menimang-nimang
rencana untuk menghadapi raksasa itu.
"Awas," teriak Gajah Barong seraya menyambar kepala
Dipa. Apabila berhasil terus hendak ditarik lalu ditekan supaya
rubuh ke tanah. Tetapi alangkah kejutnya ketika hampir
berhasil ternyata tak mengenai sasaran. Diulanginya pula dan
iapun harus terkejut lagi. Tangannya selalu masih kurang
sekilan dari tubuh Dipa. Sampai beberapa kali begitu
keadaannya, menyebabkan darahnya meluap. Terutama ketika
mendengar pada setiap kali ia luput menyambar tubuh Dipa
tentu sekalian calon prajurit yang berjumlah beratus ratus
orang itu ber-sorak2 mengejeknya tetapi memuji Dipa.
Amarah Gajah Barong mulai metuap-luap.
"Setan," ia menggeram marah "jangan menghindar-hindar
seperti orang berkelahi. Kita bergumul adu kekuatan."
Dipa diam saja tetapi para calon prajurit yang berjajar di
sekeliling lapangan tertawa geli. Setengahnya mengejek Gajah
Barong. Memang Dipa menggunakan aji Lembu sekilan ajaran
pandita Padapaduka. Keterangan Padapaduka tentang aji itu
memang benar. Aji Lembu-sekilan merupakan suatu ilmu bela
diri yang hebat. Sambaran tangan Gajah Barong selalu terpaut
sekilan dari dirinya. Dan Dipa bukan tak tahu bahwa saat itu ia
harus bertanding gelut. Tetapi sengaja ia melakukan gerak
penghindaran aji Lembu-sekilan untuk membangkitkan
kemarahan lawan. Apabila dirangsang amarah, Gajah Barong
tentu akan ngawur serangannya. Dan rupanya rencana Dipa
berhasil. Gajah Barong makin marah makin kalap dan makin
ngawur. "Baik, sekarang mari kita adu kekuatan," seru Dipa ketika
melihat kesempatan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Saat itu
kedua tangan Gajah Barong marangsang hendak mencengkam
bahu. Kali ini Dipa pun tak mau menghindar dan seolah-olah
memberikan bahunya dicengkeram.
Gajah Barong terkejut. Diam2 ia girang karena jelas
anakmuda lawannya itu tak menghindar lagi, maka dengan
bernafiu sekali ia songsongkan tubuh ke muka dan mengganti
gerak cengkeraman dengan gaya menerkam. Ia tak
menghendaki Dipa lolos. Bagai seekor harimau yang
menerkam kelinci, demikianlah gaya Gajah Barong saat itu.
Sekonyong-konyong Dipa menyusup maju sehingga kedua
tangan Gajah Barong yang hendak menerkam bahunya itu
jatuh di belakangnya. Kemudian dengan gerak yang amat
cepat ia berputar diri membelakangi lawan. Dengan demikian
kini kedua tangan Gajah Barong itu tertumpang pada kedua
bahunya. Sebelum Gajah Barong sempat mengatupkan kedua
tangannya untuk menjepit leher Dipa, anak itu secepat kilat
mencengkeram kedua siku lengan orang, diserempaki dengan
gerak mengendapkan tubuh ke bawah. Cengkeraman Dipa
pada persambungan siku lengan Gajah Barong menyehabkan
tamtama itu sakit dan kehilangan tenaga sehingga tubuhnya
terdorong maju merapat punggung Dipa. Saat itulah yang
dikehendaki Dipa. Selekas dada Gajah Barong melekat pada
punggungnya, dengan kerahkan seluruh tenaga, julangkan
bahu keatas dan seketika terjadilah suatu pemandangan yang
menggemparkan ..... Tubuh Gajah Barong yang menyerupai seorang raksasa itu
terangkat ke atas dengan kepala menukik ke muka dada Dipa
dan kedua kakinya menjulang keudara lalu, bum .... sekali
Dipa mengayun Langan, terbantinglah tubuh tamtama itu
ketanah. Lapangan seolah olah tergetar oleh sorak sorai
yang gegap gempita dari beratus-ratus calon prajurit
ketika menyaksikan Gajah Barong menyusur tanah dan
rebah tengkurap tak sadarkan diri. Mereka girang
sekali karena puas melihat
hasil pertandingan gamul itu.
Gajah Barong telah menimbulkan rasa tak senang pada sekalian calon
prajurit katena tindakannya
membanting Prakosa sampai
berlumuran darah. Dan kini
tamtama tinggi besar itu harus mengenyam pembalasan yang
pahit. Bekel Muringga kesima. Ia tak menduga sama sekali bahwa
Dipa yang masih muda belia itu mampu membanting Gajah
Barong yang terkenal sebagai momok yang paling ditakuti di
kalangan prajurit Kahuripan. Demikian pun demang Saroyo.
Kesannya terhadap Dipa makin membesar, hatinya makin
mantap kepada anak itu. Setelah Gajah Barong diangkut keluar lapangan, ujian
kedua acara memanah sebuah sasaran dimulai. Ternyata
banyak juga diantara calon2 prajurit itu yang pandai dalam
ilmu memanah. Tetapi Dipa tak ikut karena ia tak pernah
berlatih memanah. Demikian pada acara kedua yaitu naik kuda
sambil melepas anakpanah, Dipa juga mengundurkan diri
karena ia tak pandai naik kuda dan memanah. Banyak juga
calon2 prajurit yang serupa keadaannya dengan Dipa dan tak
ikut dalam ujian itu. Menjelang petang hari, ujian pun selesai. Sekalian calon
prajurit dipersilahkan pulang. Dua hari kemudian mereka
disuruh datang ke pendapa Manguntur untuk ikut dalam
pelantikan resmi. Ketika Dipa hendak melangkahkan kaki, tiba2 ia terkejut
karena bahunya digamit orang dari belakang. "Anakmuda,
jangan pulang dahulu," kata orang itu.
Dipa terkejut dan berpaling. Ternyata yang berkata bekel
Muringga. "Ah, apakah ki bekel hendak memberi pidana
kepadaku ?" tanyanya agak cemas karena merasa telah
membanting seorang tamtama hingga pingsan.
Bekel itu gelengkan kepala, "Tidak, engkau dipanggil ki
demang Saroyo supaya menghadap."
"0" Dipa mendesuh kejut namun ia ikut juga mengiringkan
langkah bekel itu ke hadapan demang Saroyo.
"Bekel Muringga, silahkan pulang. Aku hendak bicara
dengan pemuda ini," kata demang Saroyo.
"Baik, ki demang," bekel Muringga memberi hormat lalu
melangkah pergi. Setelah hanya dua "Siapakah namamu ?"
orang, demang Saroyo berkata, Dipa memberitahukan namanya. Dan atas pertanyaan
demang itu, iapun memberi keterangan tentang asal usulnya.
"Dipa" kata demang itu "aku membutuhkan seorang
pengawal yang dapat menjaga keselamatan gedung
kademangan. Kulihat engkau bertenaga kuat dan jujur,
maukah engkau bakerja padaku ?"
Dipa tertegun. Tujuannya mencatatkan diri menjadi prajurit
adalah untuk mengabdi kepada rani Kahuripan. Apabila ia
bekerja pada demang itu, bukankah ia tak mempunyai
kesempatan mengabdi negara"
Rupanya keraguan Dipa itu diketahui demang Saroyo. Cepat
demang itu menyusuli kata2 "Dipa, aku adalah kepala
keamanan pura Kahuripan. Dengan bekerja padaku,
kedudukanmu pun sebagai prajurit. Dan bukan hanya
bertugas menjaga kademangan, pun ada kalanya akan
kutugaskan engkau untuk melakukan tugas2 keamanan pura
Kahuripan." Dipa masih merenung. "Ketahuilah Dipa" kata demang itu pula "aku mempunyai
kekuasaan dan pengaruh besar dikalangan prajurit Kahuripan.
Apabila engkau bekerja baik, kelak tentu kuusulkan kenaikan
pangkat. Setiap prajurit takut kepadaku dan tak berani
membantah perintahku."
Dipa yang cerdas segera dapat menangkap makna daripada
ucapan demang itu. Demang itu jelas memberi peringatan
halus kepadanya bahwa apabila dia berani menolak
perintahnya, tentu akan mendapat kesulitan. Diam2 Dipa
menghela napas dalam hati. Ia mengeluh heran, mengapa
selama ini setiap tujuan yang hendak diarahnya selalu
mendapat rintangan. Adakah memang demikian garis
hidupnya " Sesaat kemudian terbetiklah dalam pikiran Dipa, apa
jeleknya kalau ia memenuhi perintah demang itu. Ia masih
muda, harapannya masih penuh, kesempatan2 yang akan
diperolehnya masih terbentang luas. Demang Saroyo telah
menaruh kepercayaan besar kepada dirinya. Semoga dengan
bekerja kepada demang yang menjadi kepala keamanan pura
Kahuripan itu, ia dapat memperoleh pengalaman2 yang
berharga sebagai bekal perjalanan hidupnya menempuh hari
depan. "Baik, ki d emang " akhirnya Dipa menyatakan kesediaannya
bekerja pada demang Saroyo.
Demang Saroyo girang dan membawanya pulang. Sejak itu
Dipa mulai menuntut penghidupan baru sebagai prajurit
penjaga kademangan. Demang Saroyo mempunyai lima orang
pengawal peribadi. Kebetulan kepala dari pengawal
kademangan itu meninggal maka oleh demang Saroyo, Dipa
diangkat sebagai gantinya. Tetapi Dipa menolak, "Hamba
orang baru dan masih muda tak punya pengalaman apa2.
Seyogyanya salah seorang dari keempat pengawal itu yang ki
Demang tetapkan menjadi kepala."
Demang Saroyo mengangguk gembira. Ia makin senang
mengetahui peribadi Dipa, yang jujur, setya dan tidak tamak
akan kedudukan. Demang Saroyo setuju mengangkat Gubar,
sebagai kepala dari pengawal kademangan.
Waktu para pengawal itu mendapat keterangan dari
demang Saroyo tentang sikap Dipa, mereka mempunyai kesan
baik terhadap pemuda itu. Terlebih pula ketika melihat
kenyataan beberapa waktu kemudian bahwa Dipa itu seorang
anakmuda yang jujur, rajin, setya dan suka mengalah, mereka
makin suka kepadanya. Dipapun mulai dapat menyesuaikan
diri dengan suasana kademangan.
Demang Saroyo mempunyai dua orang putera. Yang sulung
bernama Puranta dan yang kedua seorang puteri bernama
Puranti. Puranta seorang pemuda yang tampan, berani serta
digdaya. Sayang wataknya suka hadigang-hadigung,
menonjolkan keberanian, memamerkan kedigdayaan dan
mengandalkan pengaruh ayahnya. Seluruh rakyat kademangan takut kepada putera demang Saroyo itu.
Beda dengan kakaknya, Puranti seorang dara remaja yang
sedang -menjelang masa keremajaan. Ibarat kuncup bunga
sedang menanti kemekarannya. Puteri demang itu halus budi,
baik hati dan welas asih. Walaupun berparas cantik dan puteri
dari seorang demang yang berkedudukan tinggi, namun
tidaklah Rara Puranti itu membanggakan diri, tinggi hati dan
angkuh. Ia selalu ramah kepada setiap orang. Mempunyai
puteri seperti Puranti, demang Saroyo suami isteri seperti
mendapat mustika yang tiada ternilai harganya. Ditimangkan
harapan kepada puterinya agar kelak mendapat suami seorang
priagung yang luhur keturunannya dan tinggi kedudukannya.
Suatu harapan yang wajar bagi orangtua yang mempunyai
anak gadis ayu. Kahuripan mempunyai dua orang kepala penjaga
keamanan. Rangga Tanding menjabat sebagai kepala
bhayangkara, prajurit yang menjaga keselamatan keraton dan
demang Saroyo menjabat sebagai kepala keamanan kota.
Keduanya bersahabat baik demikian dengan putera mereka.
Rangga Tanding mempunyai seorang putera bernama Jaka
Damar. Pemuda itu bersahabat baik dengan Puranta, putera
demang Saroyo. Jaka Damar lebih tua setahun dan Puranta. Karena
kenakalannya ketika masih kanak2, ia telah jatuh dari kuda
dan sebelah kakinya cacad pincang. A pabila kedua pemuda itu
berjalan bersama, tampak jelas perbedaannya. Puranta
berwajah cakap, berkulit kuning, tinggi semampai, layak
sebagai putera priagung. Hanya sayang dia memiliki sepasang
mata yang nakal, mata keranjang dan licin. Sedangkan Jaka
Damar bertubuh pendek gemuk, berkulit hitam dan pincang.
Hanya satu hal, Jaka Damar dapat melebihi Puranta yalah
dalam soal kedigdayaan dan ilmu berkelahi. Walaupun sebelah
kakinya pincang, namun tak mengurangi kegagahan putera
rangga itu. Kalau hanya dikeroyok empat lima orang, ia tantu
tenang.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesungguhnya rangga Tanding menaruh harapan besar
kepada puteranya menjadi prajurit bhayangkara keraton dan
kelak dapat menggantikan kedudukannya. Tetapi Jaka Damar
menolak dengan alasan merasa malu karena cacad kakinya.
Sekalipun demikian, tak putus-putusnya Jaka Damar mencari
guru sakti untuk memperlengkapi diri dengan ilmu kosaktian
dan kekebalan. Rakyat pura Kahuripan yang mengetahui
kegagahan putera rangga Tanding itu, menyanjungnya
dengan sebuah gelar Macan Pincang dari Kahuripan.
Jaka Damar tak marah bahkan gembira mendapat gelar
nama Macan Pincang. "Walaupun Pincang, tetapi macan tetap
raja hutan yang ditakuti seluruh penghuni rimba," katanya
berbangga diri. Seluruh penduduk pura Kahuripan tahu siapa kedua
pemuda itu dan kenal pula tingkah laku mereka. Apabila Jaka
Damar dan Puranta bercengkerama keliling kota, cemaslah
hati penduduk. Terutama keluarga yang mempunyai anak
gadis cantik. Kedua pemuda itu sering mengganggu wanita2
dan anak perawan. Tiada seorang pun yang berani
mengadukan perbuatan kedua pemuda itu karena mereka
anggap sia-sia belaka. Yang akan menerima pengaduan
tentulah demang Saroyo sendiri, ayah Puranta. Pernah terjadi
seorang penduduk mengadu karena isterinya diganggu
Puranta. Demang Saroyo yang menerima pengaduan itu
karena malu lalu marah. Bukan pengaduan itu diurus
sebagaimana layaknya tetapi si pengadulah yang ditangkap
dan dihukum 40 gebug karena dianggap memfitnah nama baik
putera demang itu. Sejak itu tak ada lagi penduduk yang
berani mengadukan Puranta dan Jaka Damar. Kedua pemuda
itu makin merajalela perbuatannya.
Belum berapa lama bekerja sebagai pengawal gedung
kademangan, Dipa diperintahkan demang Saroyo untuk
melakukan ronda keliling pura. "Akhir2 ini keamanan kota
agak terganggu. Di beberapa tempat terjadi pencurian. Karena
aku tak enak badan, engkau sajalah yang meronda malam
ini," kata demang Saroyo. Dipa disertai salah seorang
pengawal kademangan. Malam itu tiada berbintang. Rembulan tertutup gumpalan
awan. Cakrawala berselang seling memancar guratan kilat,
disusul dengan letupan anak guruh. Suatu gejala akan
datangnya hujan. Dipa dan kawannya yang bernama Sura
tengah berjalan menyusur sepanjang jalan yang gelap dan
sepi di tepi kota. "Dipa," tiba2 Sura membuka suara "rupanya ki demang
tahu malam jang gelap pekat dan mendung maka kita yang
disuruh meronda." "Ki demang mengatakan kalau sedang tak enak badan,"
sahut Dipa. "Hm, itu alasannya," kata Sura dengan nada mengejek
"tetapi tahukah engkau bagaimana keadaan ki demang malam
ini?" Dipa memandang Sura dengan pandang bertanya, "Orang
yang tak enak badan tentu akan sore2 masuk tidur agar lekas
sembuh." Sura tertawa hambar "Hm, karena orang baru maka engkau
tak tahu sifat dan kegemaran ki demang."
Dipa mengiakan. "Demang Saroyo itu walaupun sudah tua dan puteranya
sudah seorang jejaka tetapi masih gemar wanita ayu ......"
"Kakang Sura!" tukas Dipa penuh kejut.
"Jangan heran, Dipa," Sura tersenyum, "soal itu memang
sudah jamak menjadi naluriah kaum pria. Walaupun tua,
anaknya sudah jaka bahkan sudah mempunyai cucu sekalipun,
kalau berpangkat tinggi dan beruang, tentu masih senang cari
hiburan wanita ayu."
"Apakah ki demang tak malu kepada den bagus Puranta" "
tanya Dipa pula. "Malu" Ha, ha, ha," Sura tertawa "den bagus Puranta itu
sendiri juga pemuda mata keranjang. Dia sering mengganggu
wanita." "Apakah ki demang tak tahu perbuatan puteranya ?" tanya
Dipa dengan wajar. "Tahu tetapi den bagus Puranta pun tahu gerak gerik
ayahnya maka ki demang tak berani marah kepada
puteranya," kata Sura pula.
"0," desuh Dipa "tetapi bagaimana kakang tahu kalau ki
demang malam ini tidak sakit dan"."
"Ah, engkau memang masih hijau, Dipa." Sura tertawa
"malam ini kademangan akan menerima kedatangan
serombongan pininglai, penabuh gamelan, bersama seorang
swarawati yang aduhai cantiknya."
"0, mungkin ki demang hendak menghibur dari kesibukan
kerja sehari-hari," kata Dipa "ada hubungan apa maka kakang
menuduh ki demang hendak bersenang- senang dengan
wanita pada malam ini?"
"Cek, cek," mulut Sura berdecak- decak. "Dipa, engkau
memang sehijau anak ayam. Ketahuilah, swarawati Niken lrim
itu selain memiliki suara yang semerdu barung kepodang, pun
seorang wanita muda yang amat cantik. Dia amat kesohor di
te!atah Kahuripan karena pembayarannya amat mahal.
Langganannya hanyalah para mentri, senopati dan priagung
yang berpangkat tinggi. Dan Dipa," berkata sampai di sini Sura
mengendapkan suaranya agak pelahan, "setelah selesai
mengalunkan suaranya yang merdu, swarawati itu disuruh
bermalam di gedung kademangan. Di situlah ki demang akan
menikmati wanita itu ......."
"Uh ......." serasa telinga Dipa tergetar letupan kilat, ia
meregang kejut. Ia tak menyangka bahwa di kalangan
narapraja ternyata terdapat hal-hal yang sedemikian. Bermula
ia mengira ki demang dan lain2 priagung itu adalah mentrimentri dan narapraja yang hanya mencurahkan waktu, tenaga
dan pikirannya kepada kerajaan. Demikian pandangannya
menurut hati pikiran yang masih murni.
Tiba2 mereka dikejutkan oleh sebuah suara jeritan
tertahan. Nadanya seperti suara orang perempuan dan
datangnya dari arah balik gerumbul pohon diujung jalan yang
menjurus ke luar kota. "Kakang Sura, engkau dengar suara jeritan" " tanya Dipa
mencari kepastian. Sura mengangguk. "Benar seperti ada
seorang wanita menjerit tetapi mulutnya tersumbat."
"Hajo, kita ke sana," seru Dipa seraya lari menuju arah
suara itu. Ketika melintasi gerumbul, tampak sebuah
perkebunan nanas yang luas. Di ujung kebun terdapat sebuah
rumah pondok. Dipa yakin suara jeritan itu berasal dari dalam
pondok. Ia cepat menyusur pematang kebun,menghampiri
pondok. Makin dekat makin ia mendengar jelas suara ribut2 antara
seorang wanita dengan seorang lelaki.
"Jangan ..... jangan memaksa aku. Siapa engkau ini,
penjahat ......." teriak wanita itu terputus putus.
"Jangan banyak mulut! Lekas buka pakaianmu! Berani
membangkang tentu kubunuh, lihat apa yang kupegang ini,"
seru si lelaki mengancam. Rupanya dia membawa senjata
tajam. "Tetapi siapa ....... siapa engkau ..."
"Jangan banyak bicara! Lekas .... !" teriak si lelaki dengan
bengis dan tiba2 terdengar suara kain robek disertai jeritan
tertahan. Rupanya lelaki itu tak sabar lagi menunggu dan
terus dengan paksa merobek baju siwanita.
"Tolong .... !" tiba2 wanita itu berteriak seraya memandang
kearah pintu. Si lelaki cepat berputar tubuh menghadap ke
pintu dan kejutnva bukan kepalang ketika tampak sesosok
tubuh tegak diambang pintu yang sudah terbuka. Rupanya
karena perhatiannya tertumpah pada wanita itu, maka silelaki
sampai tak medengar akan kedatangan seorang.
Dipa pun tak kurang kejutnya. Lelaki yang betada dalam
pondok itu mengenakan kerudung muka warna hitam.
Sepasang matanya berapi-api laksana hendak menghanguskan
pendatang itu. "Siapa engkau! " teriak orang itu dengan penuh dendam.
"Aku petugas kademangan yang melakukan
keamanan. Siapa engkau dan mengapa wanita itu ?"
ronda Belum orang itu menjawab, wanita cantik yang bajunya
koyak2 itu berteriak "Dia menculik aku kemari hendak
mencemar".." "Setan!" orang itu berputar tubuh dan ayunkan tangan kiri,
plak".. "aduh," wanita itu menjerit kesakitan, mulutnya
berdarah menderita tamparan.
Melihat kebengisan orang itu meluaplah amarah Dipa.
"Penjahat, jangan engkau beraja dihati, berbuat sekehendak
hatimu. Akhir2 ini pura Kahuripan memang sering terjadi
pencurian harta dan wanita. Adakah engkau yang
melakukannya?" "Huh, pemuda pendek, rupanya engkau orang baru
sehingga tak tahu kesaktianku. Benar, memang aku yang
melakukan, engkau mau apa?"
"Serahkan dirimu kubawa ke kademangan!" seru Dipa.
Orang itu tertawa mengejek "Untuk yang terakhir kalinya
kuperingatkan kepadamu. Kalau engkau masih ingin
menikmati matahari esok pagi, enyahlah engkau dari sini dan
jangan mengganggu kesenanganku."
Dipa menggeram, "Baru kali ini terjadi, petugas keamanan
diusir oleh seorang penjahat. Bukan penjahat takut pada
petugas tetapi petugas yang harus menurut perintah
penjahat." "Lekas enyah, jangan banyak mulut!" bentak orang itu
dengan melangkah maju. Dipa tahu bahwa suatu pertarungan tak dapat dielakkan
lagi. Ia anggap penjahat itu terlalu bersimaharaja berani
menghina petugas. Dan jelas pula bahwa orang itu menculik
seorang wanita dan hendak merusak kehormatannya.
Bagaimanapun penjahat itu harus ditangkap. "Hayo, kita
keluar untuk menentukan siapa yang harus tunduk," ia segera
mendahului melangkah keluar. Ruangan pondok amat sempit
dan terdapat seorang wanita. Selain kurang leluasa untuk
berkelahi pun kemungkinan dapat mengakibatkan celaka pada
wanita itu. Orang berkeradung muka itu amat marah sekali. Ia merasa
baru pertama kali itu ada seorang petugas keamanan yang
berani menantangnya berkelahi.
Demikian keduanya segera berhadapan di tengah
perkebunan yang lapang. Bintang2 mulai bermunculan di
cakrawala. Rupanya mereka ingin menyaksikan pertempuran
Dipa melawan seorang penjahat yang berani.
"Sekarang aku yang memberi kesempatan terakhir supaya
engkau menyerah saja," kata Dipa.
"Jangan banyak mulut," teriak orang itu seraya membuka
serangan. Rupanya ia ingin menyelesaikan pertarungan itu
dengan cepat agar cepat pula ia dapat melanjutkan
kesenangannya kepada wanita dalam pondok. Walaupun
serangan itu tidak menggunakan pedang, tetapi pukulan yang
dilancarkan sehebat gelombang laut kidul yang mendampar
karang. Belum pukulan tiba sudah nimbulkan hamburan angin
yang keras sehingga meremangkan bulu roma.
Dipa diam2 terkejut merasakan tenaga sedemikian hebat
dari penjahat itu. Timbullah kesannya bahwa penjahat itu
tentulah bukan penjahat biasa atau golongan pencuri kecil
tetapi tentulah seorang yang berkepandaian tinggi. Seketika
timbul pula keinginan Dipa untuk mengetahui siapakah
sebenarnya wajah yang ditutup dengan kain hitam itu. Untuk
mengetahuinya, hanya kalau ia dapat merobohkan penjahat
itu atau sekurang-kurangnya ia dapat menyingkap kain
kerudung muka. Dipa menyurut mundur selangkah lalu mengisar ke samping
untuk menghindari hembusan angin. Setelah itu ia menyambar
tangan orang, apabila berhasil hendak ditelikunya ke
belakang. Tentulah penjahat itu dapat dibekuk. Demikian ia
mengatur rencana. Sebagaimana penjahat itu terkejut karena Dipa dapat
menghindari pukulannya demikianpun Dipa terperanjat karena
orang itu dapat meloloskan lengannya dari sambaran Dipa.
Keduanya mulai dihinggapi penilaian lain terhadap lawan.
Dipa menyusuli kegagalannya menyambar lengan orang
dengan sebuah gerakan kaki, untuk menyapu, tangannya yang
masih menjulur ke muka itu pun serempak memapas datar ke
tubuh lawan. Dua gerakan tangan dan kaki itu apabila berhasil
tentu akan membuat orang terpelanting jatuh seperti
dibanting. "Uh .... " tiba2 Dipa mendesuh kejut ketika kedua
serangannya itu hanya menerpa angin. Lawan melenting ke
udara dan meluncur ke belakangnya. Sebelum Dipa sempat
berputar tubuh, orang itupun sudah menerjang sekuat tenaga.
Kedua tangannya serempak memukul punggung dan
menyodok lambung. Dengan serangan itu, ia dapat merubah
keadaan, dari yang diserang menjadi penyerang.
Dipa terpaksa loncat ke muka hendak membebaskan diri
dari serangan lawan tetapi orang itu teramat gesit. Pada saat
Dipa loncat ke muka, orang itupun ayunkan tubuhnya ke muka
juga, tepat di belakang Dipa pada jarak sepenggapai.
Karena diserang dari belakang, sukar Dipa menentukan
arah serangan itu sehingga tak dapat menggunakan aji Lembu
sekilan. Satu-satunya hanya harus loncat ke muka lagi lalu
cepat berputar tubuh menghadapi lawan. Tetapi orang itu
rupanya memiliki pandangan tajam dan pengalaman dalam
soal bertempur. Setelah berhasil menguasai Dipa dari
belakang, ia tak mau memberi kesempatan lagi pada Dipa
untuk dapat berputar diri. Bagaikan bayangan, iapun loncat
merapat di belakangnya. Dan karena dua kali serangannya tak
berhasil, orang itu marah sekali. Secepat kilat ia mencabut
pedang dan membabat punggung Dipa. Tetapi hal itu bahkan
menguntungkan Dipa. Gerakan tangan lebih sukar dielakkan
karena tangan dapat dirobah gayanya, menebas, mencengkeram, menyambar atau menusuk. Tidak demikian
dengan pedang yang hanya dapat digunakan untuk menabas.
Ketika tabasan pedang itu menimbulkan desing angin yang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam, cepat Dipa mengendap kebawah terus hendak
menggelincir ke samping dan lolos dari pembayangan lawan.
Tindakan Dipa itu memang bagus dan mengejutkan. Tetapi
ternyata lawan tidaklah semudah itu dapat dikecohnya.
Walaupun orang itu terkejut ketika pedangnya menabas angin,
namun ia masih sempat ayunkan kakinya menendang
punggung Dipa yang mengendap ke bawah, bluk ....... Dipa
terlempar beberapa puluh depa, terguling-guling di tanah dan
lebih naas pula, ia menyusur ke arah gerumbul daun nenas
yang penuh duri. Mukanya berlumuran darah karena tergurat
daun nenas. Namun ia tahankan rasa nyeri kesakitan. Tekad
untuk membekuk penjahat yang ganas itu, membakar
semangat dan menggelorakan kemarahannya. Karena marah,
rasa sakitpun tak terasa.
Dipa menggeliat bangun. Terasa tulang pantat masih sakit
namun tak dihiraukannya. Untung penjahat itu amat congkak.
Melihat Dipa menyusur ke dalam gerumbul nenas, ia tak mau
memburu tetapi tertawa menghina "Hm, begitulah upahnya
orang yang berani mengganggu kesenanganku."
Ketika melihat Dipa bangkit, orang itupun berseru "Ho,
engkau mau minta ampun atau mau melawan lagi ?"
"Selama nyawa masih terkandung dalam hayat, selama itu
pula takkan kuhentikan usahaku untuk membekuk batang
lehermu," sahut Dipa sambil bersiap-siap.
"Bagus, akan kuhajarmu sampai engkau tak dapat
berkutik," orang itu maju menyerang pula. Dipa pun
menyambutnya dan mereka bertempur lagi dengan seru.
Selama berhadapan dengan penjahat itu, Dipa sempat
memperhatikan bahwa sebelah kaki orang itu pincang. Tetapi
ia heran mengapa orang itu dapat bergerak sedemikian lincah
dan gesit, tak ubah seperti orang yang tak cacat kakinya.
Pertempuran berjalan amat seru. Walaupun beberapa kali
Dipa dan orang itu saling membagi pukulan dan saling
menerima pukulan, namun mereka belum tampak ada yang
kalah dan menang. Hanya jelas bahwa orang itu mulai
mengunjuk tanda2 kehabisan napas dan tenaga, kebalikannya
Dipa makin segar dan bersemangat. Pada suatu kesempatan,
Dipa berhasil memperdayai lawan. Ia sengaja memberikan
bahunya terpukul tinju lawan tetapi serempak dengan itu ia
dapat menyelundupkan tinjunya menghantam dada lawan.
Duk, duk ...... terdengar dua buah suara tinju menghantam
tubuh. Dipa terhuyung tiga empat kaki tetapi lawan terlempar
sampai dua tombak jauhnya, terhuyung-huyung lalu jatuh
terduduk di tanah. Secepat menahan keseimbangan tubuh, Dipa cepat loncat
ke muka hendak menerkam penjahat itu. Tetapi sekonyong
konyong orang itu ayunkan tangannya berseru "Bangsat,
matilah engkau!" Ternyata orang itu menderita luka. Pukulan Dipa serasa
menghentikan debur jantungnya. Napasnya sukar berhembus.
Diam2 ia mengeluh. Kalau melanjutkan pertarungan, jelas ia
tentu kalah karena kehabisan tenaga. Lebih baik ia cari siasat
untuk membalas dendam. Bukankah Dipa itu seorang petugas
kademangan " Ah, mudahlah untuk mencari keterangan
kepada Puranta, putera demang Saroyo. Namun sekalipun
sudah memutuskan lolos, pun tetap harus mengusahakannya
dengan siasat karena jelas Dipa tentu tak membiarkan ia lari.
Akhirnya ia menentukan keputusan. Dengan kerahkan
seluruh sisa tenaganya, ia lontarkan pedangnya ke arah Dipa
yang hendak manghampiri. Sring, anginpun mendesing tajam
ketika kilatan mata pedang yang tampak memancar terang di
malam gelap saat itu meluncur bagai sebuah teluk braja.
Dipa tepat menginjakkan kaki ke tanah ketika pedang
menabur ke arahnya. Ia belum sempat berdiri tegak dan
lontaran pedang itu pesat sekali layangnya
"Mati aku ......." Dipa mengeluh lalu berusaha sedapat
mungkin untuk menyelamatkan diri menurut kemampuan yang
dapat dilakukan. Ia terpaksa membuang tubuh ke samping
dan jatuh ke tanah, berguling guling beberapa kaki kemudian
cepat2 melenting bangun. Tetapi alangkah kejutnya ketika
lawan sudah lenyap. Ia mendengar suara derap kaki menyiak
gerumbul pohon tetapi jaraknya sudah beberapa puluh
tombak jauhnya. Malam itu amat gelap. Ia tak tahu arah yang ditempuh
orang itu. Hendak dikejarnya, bukan saja kecil kemungkinan
berhasil, pun di samping itn masih mengandung bahaya.
Dalam malam segelap itu, mudahlah lawan untuk
menyergapnya dengan serangan atau lontaran senjata secara
tak terduga duga. Lebih baik la menolong wanita itu. "Ya,
wanita itu harus kuantarkan ke tempat tinggalnya." Dipa
segera ayunkan langkah menuju ke dalam pondok.
"Hai ......" tiba Dipa menjerit kaget ketika mendapatkan
pondok itu kosong. Wanita yang hendak di beri pertolongan
itu, sudah lenyap entah kemana. "Ah, tak mungkin penjahat
itu yang melarikannya. Jelas penjahat itu menderita luka dan
meloloskan diri. Kemungkinan besar, wanita itu karena
ketakutan tentu diam2 sudah meninggalkan pondok ini,"
setelah menimang akhirnya Dipa menyimpulkan dugaan.
Tiba2 ia teringat akan Sura ini "ke manakah gerangan
kakang Sura ini " Mengapa tak kunjung muncul ke tempat ini.
Pertempuranku dengan penjahat tadi cukup makan waktu,
rasanya apabila menyusul ke mari kakang Sura tentu sudah
tiba." Dipa tinggalkan pondok lalu kembali ke tempat ia
bersama Sura tadi. Tetapi di situpun ia tak dapat menemukan
Sura "Hai, kemanakah gerangau kakang Sura ini ?" demikian
Dipa bingung memikirkan kawannya itu. Kemudian ia
memutuskan menuju ke tempat ia berpisah dengan Sura tadi.
Tetapi di situ pun ia tak menjumpahinya, Dipa makin heran
dan bingung. "Ah, apakah kakang Sura pulang ke kademangan
memanggil bantuan?" akhirnya dugaan Dipa menjurus kearah
itu. Namun cepat dibantahnya sendiri "tetapi jam kakang Sura
belum tiba di pondok, belum tahu bahwa penjahat itu hanya
seorang. Mengapa ia harus lari pulang meminta bantuan " Ah,
bukan bukan ?"."
"Tentulah terjadi sesuatu pada diri kakang Sura," akhirnya
ia lebih cenderung pada persangkaan begitu. Kemudian ia
memutuskan langkah. "Daripada kembali ke kademangan
baiklah aku melanjutkan perjalanan meronda sekalian untuk
mencari kakang Sura."
Setelah mengalami peristiwa dengan penjahat berkaki
pincang yang mengenakan kerudung muka tadi, makin Dipa
bersemangat untuk melakukan tugas meronda malam itu.
Setiap penjahat baik golongan pencuri, penggarong ataupun
penculik wanita, tetap merugikan kepentingan rakyat.
Keamanan terganggu, rakyatpun gelisah. Kegelisahan rakyat
dapat mengurangi kewibawaan rani Kahuripan, dapat
merosotkan kepercayaan mereka terhadap pimpinan sang
Rani. Renungan Dipa itu diakhiri dengan tekad. Ia akan mengabdi
kepada sang Rani, kepada Kahuripan dan kepada rakyat.
Untuk mengabdi kepada rani dan rakyat, tidak semata-mata
harus langsung menjadi pengawal istana atau narapraja,
tetapi banyak sekali macam dan jalannya. Melakukan ronda
keamanan dapat menjaga rakyat dari gangguan penjahat dan
pengacau. Membasmi penjahat dan pengacau, berarti pula
mengabdi kepada kepentingan negara, sang Rani dan rakyat
Kahuripan, baginya yang penting yalah suatu pengabdian yang
nyata dan sepenuh hati. Adakah hal itu akan diketahui
atasannya, oleh sang Rani, oleh rakyat, bukan merupakan
pemikirannya yang utama. Sambil berjalan menyusur lorong yang gelap, Dipa
meningkatkan kewaspadaan. Setiap gerak daun pohon, setiap
desir angin berhembus, setiap lengking tenggoret berbunyi,
selalu tak lepas dari perhatian Dipa. Tiba2 ia terkejut
mendengar derap orang berlari. Dalam malam sesenyap saat
itu, bunyi yang berlainan dari apa yang didengarnya dari
sekeliling, tentu cepat ditangkapnya. Dan orang itu makin
lama makin jelas. Dipa pun dapat membedakan bahwa
langkah kaki orang itu agak sarat. Suatu gejala dari orang
yang sudah kehabisan napas atau seorang yang menderita
luka. Dipa cepat menyelinap bersembunyi di balik pohon yang
tumbuh di tepi jalan. Ia tak mau langsung menyongsongnya
tetapi hendak mengetahui dulu siapa pendatang itu.
Tak berapa lama tampak sesosok tubuh orang lelaki berlari
lari mendatangi. Ketika orang itu tiba dimuka pohon, Dipa
serentak memanggilnya "Kakang Sura, engkau .... !"
Orang itupun terkejut dan berhenti serentak. Tetapi pada
lain saat iapun berseru girang ketika mengetahui siapa yang
loncat menghadang jalan, "Oh, Dipa, kebetulan sekali. Aku
memang hendak mencarimu."
"Dari manakah kakang tadi" Mengapa tak lekas menyusul
ke perkebunan nenas itu" " tegur Dipa.
Sura tak cepat menjawab melainkan berdiam diri untuk
memulangkan napasnya yang tersengal-sengal keras.
"Dipa, sebenarnya tadi akupun hendak menyusul engkau.
Tetapi ketika hampir dekat perkebunan, kulihat seorang
wanita tengah berlari masuk ke dalam gerumbul pohon.
Karena curiga, kukejar wanita itu?""
"Kakang berhasil menangkapnya ?" tukas Dipa.
"Ya, wanita itu koyak2 bajunya, rambut terurai. Namanya
Niken Irim ....." "Hai, bukankah itu swarawati yang kakang katakan malam
ini dipanggil ki demang?" tukas Dipa terkejut.
Sura mengiakan "Benar, memang wanita itulah. Tetapi
dalam perjalanan menuju ke kademangan, ditengah jalan
dihadang seorang lelaki berkerudung muka. Para pininglai
dihajar pontang panting dan lari tunggang langgang lalu
wanita itu dibawa lari ....."
"Ke pondok di tengah perkebunan dan hendak dicemarkan,"
sambut Dipa. "Benar," kata Sura "kukatakan kepadanya bahwa aku
pengawal kademangan yang melakukan ronda keamanan
pada malam itu. Ia girang dan minta tolong supaya aku
mengantarkannya ke kademangan."
"Kakang mengantarkannya ?" tanya Dipa.
"Ya," kata Sura lalu menghela napas "tetapi ah, ketika
melalui jalan di kampung sebelah barat kademangan, aku
berpapasan dengan seorang pemuda. Pemuda itu meminta
kepadaku supaya wanita cantik itu diserahkan kepadanya. Ia
mengancam akan menghajar aku apabila aku tak
menyerahkan wanita itu."
"Dan kakang menyerahkannya " "
"Ya.." Dipa terbelalak "Mengapa " Apakah kakang takut kepada
pemuda itu " Apakah pemuda itu tak sejenis dengan penjahat
berkerudung muka tadi?"
"Ya, pemuda itu tentu juga akan mencemarkan Niken Irim.
Tetapi aku tak berdaya dan terpaksa menyerahkan wanita
cantik itu." Dipa makin heran "Mengapa " Bukankah kakang seorang
petugas keamanan yang wajib melindungi orang yang
diganggu penjahat ?"
"Apa dayaku, Dipa" " jawab Sura putus asa.
"Siapa pemuda itu, kakang " " Dipa makin tegang.
"Den bagus Paranta, putera ki demang sendiri"
"Hai! " Dipa melonjak kaget seperti dipagut ular, "den
bagus Puranta merampas wanita itu?"
"Apakah kakang tak memberitahukan kepadanya bahwa
swarawati itu dipanggil ki demang?"
"Sudah " sahut Sura.
"Lalu apakah den bagus Puranta masih tetap berani?"
Sura mengangguk "Ya, dia mengancam kepadaku supaya
jangan memberitahukan hal itu kepada ki demang. Kalau ki
demang sampai mendengar, aku akan dibunuhnya."
Dipa terbeliak, "Oh, begitulah den bagus Puranta?" ia
terdiam beberapa saat lalu katanya pula dengan tegas,
"kakang Sura, mari kita temui dia dan meminta wanita itu."
"Ah, sia2 Dipa" Sura gelengkan kepala, "dia tentu menolak
dan marah kepada kita."
"Tetapi bukankah ki demang, akan marah apabila tahu
peristiwa kita menyerahkan wanita itu kepada den bagus
Puranta?" Sura tertegun lalu garuk2 kepala, "Ya, benar, kita ini serba
sulit. Kalau memberitahu kepada ki demang kita tentu dibunuh
den bagus Puranta. Kalau tak melapor, kelak ki demang tentu
akan menghukum kita."
"Kita minta kembali wanita itu kepada den bagus Puranta,"
kata Dipa. "Akibatnya kita tentu akan dihajarnya babak belur" sambut
Sura. "Hm" Dipa mendesuh, merenung lalu berkata, "kakang
Sura, kita telah dipercaya ki demang untuk mengawasi dan
menjaga keamanan pura Kahuripan. Apabila kita tak
bertindak, tentu kita dihukum. Aku tak takut menerima
hukuman, kakang. Yang kutakuti yalah kita takkan dipercaya
orang lagi. Kita memperkosa naluri hati kita sendiri,
mempunyai kewajiban tetapi tak berani berani bertindak.
Kalau kita bicara dengan baik2 masakan den bagus Puranta
akan marah ?" "Ah, engkau belum kenal wataknya yang sewenangwenang itu !" seru Sura.
Tetapi Dipa tetap bersitegang "akan kucoba kakang. Andai
aku dihajar, biarlah, asal aku sudah menunaikan kewajiban."
"Dipa ....... " teriak Sura hendak mencegah tetapi
anakmuda itu sudah ayunkan langkah. Terpaksa Sura
menyusul. Ia mulai suka akan sifat Dipa. Ia kuatir anak itu
akan dihajar Puranta maka ia rela menyertainya.
Atas penunjuk Sura, mereka menghampiri sebuah rumah
yang terletak agak diujung kota yang sepi. Sekeliling rumah itu
dipagari dengan pohon. Ketika melangkah ke dalam halaman,
dua orang lelaki segera menyambut "Mau apa kalian malam2
datang ke mati" " tegur kedua orang itu dengan nada bengis.
"Aku petugas kademangan yang melakukan ronda
keamanan pada malam ini," sahut Dipa "aku hendak
menghadap raden Puranta, putera ki demang."
"Apa maksudmu ?"
"Meminta seorang wanita yang dibawanya ke rumah ini."
"Enyah !" bentak salah seorang penjaga, "jangan engkau
berani mengganggu kesenangan den bagus Puranta," sambil


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata orang itu mendorong tubuh Dipa. Tetapi ia terkejut
ketika Dipa mengisar ke samping dan orang itu menjorok ke
muka, buk ....... ia mengaduh dan menyusur tanah ketika kaki
Dipa mengait kakinya. Melihat kawannya rubuh, orang yang kedua pun segera
menghantam Dipa. Tetapi iapun mengalami nasib serupa. Dipa
berkelit lalu mendupak lutut orang itu, bluk .... rubuhlah ia
mencium tanah. "Kakang Sura, tolong ikatlah tangan kedua orang itu. Aku
hendak masuk menemui den Puranta," seru Dipa seraya
lanjutkan langkah menuju ke pintu.
Pintu terkancing rapat. Dipa mendeburnya namun karena
sampai beberapa saat tak mendapat penyahutan terpaksa ia
mendorong dangan paksa. Brak ..... daun pintu terentang
lebar dan Dipa pun melangkah masuk. Langsung ia
menghampiri sebuah bilik yang tertutup.
"Bukalah pintu, den," Dipa berseru seraya mendebur pintu.
Tetapi tiada penyahutan. Samar2 ia mendengar isak tangis
tertahan dari seorang wanita. Makin keras dugaannya bahwa
Puranta tentu berada didalam bersama wanita itu. Pintupun
dideburnya makin keras "kalau den Puranta tak mau
membuka, maaf, terpaksa akan kubuka sendiri dengan paksa
......." Karma tak sabar menunggu, Dipa segera gunakan bahunya
untuk membentur daun pintu. Brak ...... pada saat bahu
hampir membentur sasaran, tiba2 pintu terbuka dan sebuah
tinju menghamjam dada Dipa sekeras-kerasnya.
Dug .... pukulan itu amat keras dan Dipa tak menyangka
sama sekali. Tubuhnya terhuyung huyung ke belakang sampai
beberapa langkah, membentur dinding rumah dan terkulai di
lantai. Kepalanya pening, mata berbinar-binar.
"Anjing keparat ! Engkau berani mengganggu kesenanganku !" penyerang dari dalam bilik mendamprat dan
laksana harimau lapar melihat anak kambing ia loncat
menerkam. Dipa masih pejamkan mata ......
0oodwoo0 JILID 17 I HAK dan KEWAJIBAN. Dua unsur yang menghayati gerak hidup manusia. Kita mempunyai Hak hidup, hak itu menuntut
heberapa kewajiban. Memelihara hidup, manembah kepada yang memberi hidup, menghormat
kepada yang mengantar hidup, seiya kepada yang memberi hidup, menunaikan
tugas yang menjadi sarana
hidup. Demikian wajib2 dan
kewajiban dari hak yang kita
terima. Tiada Hak tanpa Wajib, demikian pula Wajib tanpa Hak.
Namun kenyataan yang sudah nyata, masih dikaburkan
o!eh yang kabur. Yang kabur karena pengaburan yang
berselubung kebijaksanaan. Manusia dengan bobot kadar
Nafsu dan Mara ingin selalu menggunakan kebijaksanaan
pikiran untuk menilai dan mengolah Hak dan Kewajiban. Oleh
karena penilaian dan pengolahan itu pada dasarnya,
menggunakan teraju Nafsu dan Mara maka bobot daripada
timbangannya pun selalu condong pada Hak. Ingin menuntut,
meminta dan menikmati Hak tetapi sedikit mungkin, apabila
mungkin, melakukan kewajiban.
Demikian naluri manusia dengan segala kebijaksanaan
menurut selera pemikirannya.
Anak manusia Dipa si Gajah, pun demikan. Ia merasa
menikmati hak sebagai penjaga kademangan. Hak yang
berupa jaminan hidup sebagaimana layaknya seorang
pengalasan atau petugas kademangan. Dan untuk menikmati
kelengkapan2 hidup itu, tak pernah ia ingkar akan kewajiban
yang diwajibkan kepadanya.
Tugas kewajiban Dipa pada malam itu adalah meronda
keamanan kademangan dan lingkungan pura Kahuripan.
Penculikan dan pemerkosaan atas diri wanita, harus dianggap
sebagai pelanggaran keamanan. Dalam hal itu iapun sudah
menunaikan tugas dan bertarung dengan orang yang berkaki
pincang dan mengenakan kain selubung muka warna hitam.
Kini dia harus berhadapan dengan Puranta, putera demang
Saroyo. Betapapun, ia adalah seorang manusia. Manusia yang
dilengkapi pikiran dan hati, perlengkapan yang tak dimiliki oleh
makhluk lain kecuali manusia. Pikiran yang menciptakan
pertimbangan dan Hati yang melahirkan perasaan. Adakah
pikiran dan hati itu suatu berkah bagi manusia haruslah
ditinjau dari sudut bagaimana dan betapakah cara manusia
mengetrapkannya. Tak jarang pula karena pikiran dan hati itu
lalu melahirkan suatu kebijaksanaan yang tidak bijaksana.
Puranta itu putera demang Saroyo, demang yang ia abdi.
Adakah kalau ia menindak Puranta, demang Saroyo takkan
marah atau sekurang-kurangnya takkan menegurnya"
Tetapi Puranta tak memberi banyak kesempatan untuk Dipa
berpikir dan melamun. Putera demang itu cepat melakukan
suatu gerak terkaman yang ganas dan dahsyat. Sedahsyat
seekor harimau menerkam anak kambing. Dipa harus cepat
mengambil keputusan. Melawan atau membiarkan dirinya
diterkam, dicabik-cabik, dihantam dan diinjak-injak.
"Huh ......." Puranta menggeram ketika ia berhasil
menerkam Dipa lalu ditindih dan dicekik lehernya. Dipa
terkejut dan menyadari, namun terlambat.
Dipa harus menggigit gigi kencang2 untuk menahan rasa
sakit yang membegap mukanya. Belum rasa sakit itu dapat
dikuasai, tinju Puranta pun sudah menimpah tepat ke
hidungnya, bluk ...... cur ...... darah menyembur dari hidung
anak itu. Duk ... kembali gigi alat penahan rasa sakit itu
dibobolkan oleh tinju Puranta yang keras. Mulut Dipa
mengucur darah lagi .......
Puranta tak kenal kasihan. Pikirannya telah dikuasai oleh
dendam kemarahan. Bara nafsu naluriah kelakiannya yang
telah terganggu karena kedatangan Dipa, saat itu menyala
dan berkobar menjadi api kemarahan. Belum puas rasanya
kalau ia belum membunuh penjaga gedung kediamannya.
Sekali lagi ia mengangkat tinju hendak dihunjamkan ke dada
Dipa. "Jangan!" tiba2 terdengar lengking jeritan seorang wanita
dan terasalah sebuah jari jemari yang halus mencekal
tangannya. Rupanya tegang sekali hati orang itu sehingga
jarinya bergemetaran. Puranta terkejut, berpaling dan melihat Niken Irim tengah
mencekal tangannya dengan wajah penuh kecemasan
"Jangan, jangan membunuh anakmuda itu. Aku .... aku
bersedia menuruti kehendakmu ....."
"Jangan! Jangan mencemarkan dirimu. A ku tak kena apa2!
" belum Puranta menyahut, tiba2 Dipa sudah berseru. Karena
Puranta berpaling kearah Niken Irim, walaupun hanya sedetik,
tetapi kesempatan itu tak disia-siakan Dipa yang segera dapat
menjulurkan tangannya yang semula tertindih kaki Puranta.
Perobahan itu memberinya kelonggaran untuk mengumpulkan
tenaga. Puranta makin murka. Ia menyiak tangan Niken Irim lalu
ayunkan tinju hendak menghajar lawan yang sudah
dikuasainya itu. Tetapi saat itn Dipa sudah mengadakan
persiapan. Dengan kerahkan seluruh tenaga dan memusatkan
ke arah kaki, tiba2 ia menggeliatkan kedua kakinya ke atas
dan secepat kilat, dengan diantar oleh peregangan seluruh
bayu2 nadinya, kaki itu merentang lalu mengatup ke leher
Puranta. Cret ...... Puraata terkejat ketika lehernya terjepit
oleh kedua kaki Dipa dan lebih terkejut pula ketika jepitan
yang sekeras baja membawa kepalanya rebah ke belakang
sehingga tinju yang dihunjamkan tadi tak dapat mencapai
sasarannya. Puranta cepat gerakkan kedua tangannya untuk mencekal
dan mengorak jepitan kedua kaki Dipa. Tetapi usahanya itu
tak pernah berhasil karena jepitan kaki Dipa itu sedemikian
kerasnya sehingga lehernya tercekik, darah dan napas
tersumbat pada kerongkongan. Terhentinya peredaran darah
itu menyebabkan wajah Puranta yang tampan berobah
menyeramkan. Kulit wajahnya yang kuning, berobah merah
padam, urat2 dahinya melingkar lingkar jelas, hidungnya
mengembang seringai dan yang paling ngeri adalah matanya.
Sepasang gundu matanya yang melongok keluar dari kelopak,
penuh dengan urat2 yang merah dan burat2 cahaya darah.
Puranta kehilangan kesadaran diri sehingga ia tak dapat
berbuat apa2 ketika kepalanya direbahkan ke belakang
"Huhhh ........" dilambari dengan sebuah gemboran keras,
dengan mudah Dipa dapat mencengkeram kedua kaki Puranta
lalu dengan sebuah gerakan serempak dari ayunan tangan dan
kakinya, tubuh Pucanta dilempar ke udara. Brak .....
setelah membentur dinding
ruangan maka terkaparlah tubuh Puranta ke lantai. Putera demang itu pingsan !
"Ih ......." Niken Irim
menjerit tertahan melihat
peristiwa itu. "Tak apa, dia hanya pingsan," kata Dipa yang
sementara itu sudah melonjak berdiri sembil menghapus darah pada hidung dan mulutnya. "Engkau terluka?" tanya
Niken Irim. "Sedikit " kata Dipa "tetapi tak apa2. Engkau tahu siapa
pemuda itu ?" "Tidak" "Dia Puranta, putera ki demang Saroyo."
"Hai ! " Niken Irim berteriak kaget.
"Itulah sebabnya aku tak berani melawannya tadi" tiba2
terdengar orang berseru dan pada lain saat Sura pun
melangkah masuk. "0, kakang Sura," sambut Dipa "bagaimana dengan kedua
penjaga tadi ?" "Beres!" sahutnya lalu berpaling ke arah Niken Irim,
"tahukah engkau siapa anakmuda yang menolongmu?"
Pertanyaan itu membuat Niken Irim tersadar bahwa ia
belum memberi pernyataan apa2 kepada pemuda yang
menolongnya. "Terima kasih, nden." katanya disertai
melingkupkan kedua tangannya mengunjuk sembah.
Dipa tersentak kaget dan pucat. Sepanjang hidupnya baru
pertama kali itu ia mendapat perlakuan yang luar biasa.
Dipanggil nden dan di sanjung sembah, walaupun hanya
sembah rasa terima kasih. Sesuatu yang luar biasa, memang
menimbulkan tanggapan yang luar biasa. Biasanya apabila
mendapat penyanjungan yang besar, orang itu akan risih,
malu hati dan merahlah mukanya. Tetapi tidak demikian
dengan Dipa. Dia pucat. "Sudahlah," cepat2 ia getarkan kedua tangan meminta
wanita itu jangan menghormatnya sedemikian rupa "jangan
panggil aku `nden`, aku hanya seorang petugas
kademangan." "Petugas kademangan," kini Niken Irim yang terkejut
"kademangan yang dibawahi ki demang Saroyo, maksudmu" "
Dipa mengiakan. "Ah," wanita itu menesuh lusuh "jadi ". engkau berani
melawan putera demang itu?"
"Apa boleh buat," sahut Dipa "bukankah engkau
menyaksikan sendiri betapa buas dia hendak membunuh aku?"
"Ya" Niken Irim mengangguk "seharusnya dia tahu akan
dirimu dan tugas yang diberikan ki demang kepadamu. Tetapi
nyatanya dia berani hendak membunuh engkau."
"Apa engkau kira ki demang akan memarahi puteranya
karena memukul aku dan bahkan andai membunuh aku
sekali?" Niken Irim kerutkan dahinya yang halus, "Tentu. Karena hal
itu berarti merendahkan kewibawaan ki demang."
Dipa tersenyum semu "Mudah-mudahan demikian hendaknya peribadi ki demang Saroyo. Tetapi aku tak berani
mengharap terlalu besar," berhenti sejenak Dipa berkata pula
"tetapi kemungkinan besar kali ini ki demang tentu marah
kepada puteranya." "Benar" Sura menyelutuk "kemarahan ki demang itu tentu
bukan karena Puranta berani menghajarmu tetapi karena
puteranya itu berani menyambar Niken Irim "


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa tersenyum. Niken Irim merah wajahnya, "Ah, tak
kunyana putera demang itu seberani itu menginjak
kewibawaan ayahnya."
Dipa mengangkat bahu "Kita orang bawahan, hanya
paserah saja bagaimana pertimbangan ki demang. Lalu
bagaimanakah maksudmu" Apakah engkau hendak pulang
atau melanjutkan perjalanan ke kademangan?"
Wanita itu berdiam beberapa saat kemudian ia memberi
keterangan "Baju dan kainku koyak2 dan hatiku pun
menderita kegoncangan. Tetapi tak apalah. Aku tetap akan
menuju ke kademangan memenuhi panggilan ki demang ....."
"Ah, kurasa kurang prayoga," kata Sura "dalam keadaan
seperti saat ini, kedatanganmu tentu akan menimbulkan
keterkejutan ki demang. Apabila ki demang bertanya
kepadamu ......" "Akan kuceritakan semua yang telah kualami," tukas Niken
Irim. "Jangan!" seru Dipa "dengan demikian Puranta tentu akan
dipanggil ki demang. Apabila mendapat dampratan,
kemungkinan putera demang itu tentu mendendam pada
engkau dan aku. Tentu akan dicarinya jalan untuk
melampiaskan dendam itu."
"Lalu" " tanya Niken Irim.
"Pulanglah dahulu. Setelah itu barulah engkau bersama
para pininglai itu menuju lagi ke kademangan. Berilah alasan
kepada ki demang bahwa engkau tak dapat datang dengan
tepat karena berhalangan. A taukah karena sakit atau lain2 hal,
dapat engkau mencari sendiri mana yang tepat. Jangan
meayinggung nyinggung goal puteranya."
Wanita itu meagangguk "Ya benar ..... tetapi bukankah
putera demang itu takkan mendapat pengajaran dari ki
demang, sehingga ia tetap mempunyai kesempatan untuk
melakukan perbuatannya terhadap lain wanita?"
"Adakah kalau engkau melaporkan dia kepada ki demang,
engkau yakin ki demang akan menghukum puteranya "." Dipa
balas bertanya, "bahwa seorang putera telah berani berbuat
sedemikian jauh, sudah merupakan suatu pernyataan
bagaimana ki demang telah memanjakan puteranya."
"Dan dengan laporanmu yang mungkin tak mendatangkan
hasil yang engkau inginkan itu, kebalikannya bahkan akan
menimbulkan dendam putera demang itu kepadamu," kata
Dipa melengkapi keterangannya.
Wanita itu tertegun. Suatu rasa heran2 kagum tercurah
pada pandang matanya yang menatap Dipa.
"Ah, tak nyana semuda itu usiamu ternyata engkau memiliki
pandangan yang tajam dan luas," puji Niken Irim.
"Sesungguhnya Kehidupan itu suatu guru yang luas
pengetahuan. Derita hidup sebagai pelajaran yang baik
nilainya " sahut Dipa. Kemudian ia berkata kepada kawannya
"kakang Sura, kurang layak kiranya seorang wanita berjalan
seorang diri pada malam hari. Bersediakah kakang
mengantarkannya pulang ?"
"Lalu engkau" " Sura bertanya tanpa menjawab.
"Aku akan melanjutkan tugas meronda keamanan lagi "
jawab Dipa. "Dan bagaimana dengan den Puranta itu ?"
Sambil memandang ke arah putera demang yang masih
rebah di lantai, Dipa menerangkan "Dia tak menderita luka
yang berbahaya. Beberapa waktu lagi tentu sudah siuman."
Demikian merekapun segera berpisah. Sura trengantar
Niken Irim pulang ke tempat tinggalnya dan Dipa melanjutkan
perjalanan meronda keliling kota.
Malampun makin pekat dan lelap.
Demang Saroyo memang marah2. karena wanita dan
rombongan yang dipanggilnya tak datang. Tetapi kemarahan
itu segera reda manakala pada malam berikutnya Niken Irim
dan rombongannya datang. Wanita itu memberi alasan kalau
kesehatannya terganggu. Sama sekali ia tak menyinggung soal
peristiwa yang dialaminya pada malam
menyebut-nyebut diri Puranta.
itu. Tak pula Sesungguhnya Puranta sudah berdebar-debar di cengkam
kecemasan. Tetapi ternyata ia tak dipanggil ayahnya. Diam2 ia
girang karena menduga tentulah Niken Irim tak melaporkan
kepada ayahnya. "Hm, rupanya wanita itu takut akan
pembalasanku," pikirnya dalam hati. Ia dapat membebaskan
wanita itu dari sasaran kemarahannya tetapi tak pernah
melepaskan perbuatan Dipa terhadap dirinya. Namun
walaupun dicari-cari alasan, belum juga ia menemukan jalan
untuk menumpahkan dendamnya kepada Dipa.
Beberapa hari kemudian, bertemulah ia dengan Jaka
Damar, putera ki Ringga Tanding. Keduanya bersama memiliki
sebuah tempat di tepi pura kota yang digunakan untuk tempat
bersenang-senang. Banyak pula putera2 dari sementara
narapraja dan orang2 kaya yang ikut dalam kelompok mereka.
Di tempat itu mereka sering berjudi, mabuk mabukan, main
wanita dan lain2 kesenangan yang didambakan golongan
anakmuda yang nakal. Karena tahu mereka itu putera2 orang
berpangkat dan orang kaya, penduduk yang tinggal di sekitar
tempat itu tak berani berbuat apa2. Disamping itu, pun
dipelihara juga beberapa penjaga yang bertenaga kuat dan
jago berkelahi. "Eh, Puranta, mengapa beberapa hari engkau tak datang"
Apakah engkau sudah dipingit sebagai anak perempuan" "
tegur Jaka Damar tertawa.
Puranta tak mau menuturkan peristiwa yang dialaminya. Ia
malu hati dan takut ditertawakan karena kalah berkelahi
dengan Dipa. "Aku menderita sakit perut, kakang. Ibu
melarang aku keluar," ia memberi alasan.
"Ha, ha, kudengar paman demang memanggli rombongan
pininglai yang mempunyai swarawati cantik. Adakah perutmu
sakit karena itu?" Jaka Damar berkelakar.
"Ah, tidak. Musim hujan berganti kemarau. Hawa dalam
musim pancaroba sering mengejutkan tubuh kita, mendatangkan beberapa macam penyakit. Antaranya sakit
perut seperti yang kuderita," sahut Puranta.
"Eh, Puranta, penjaga rumahmu yang bertubuh pendek itu
agaknya orang baru."
Puranta mengiakan. "Dia rupanya bertenaga kuat
sombong," kata Jaka Damar pula.
sekali maka sikapnya Puranta kerutkan dahi. "Dua hari yang lalu aku datang ke rumahmu. Dengan
mementang mata dan sikap menantang, dia menjawab
pertanyaanku bahwa engkau
sedang tidur. Bukan mempersilahkan aku masuk, kebalikkannya habis memberi
keterangan dia lalu mempersilahkan aku kembali besok hari.
Hm, andaikata aku mempunyai orang gajihan semacam itu,
tentu sudah kuhajar ...."
"Mungkin dia tak tahu siapa kakang."
"Tak tahu" Huh, masakan dia tuli ketika kuperkenalkan
siapa diriku." "Oh, lalu bagaimana sikapnya" "
"Sedingin patung dalam candi itu," gumam Jaka Damar,
"dengan mempersilahkan supaya aku kembali saja esok hari,
bukankah dia mengusirku secara halus?"
Karena tak tahu bahwa sesungguhnya Jaka Damar juga
menderita hajaran Dipa, maka Puranta tak enak hati kepada
kawannya itu. "Ah, aku sendiri memang tak menyukainya,
kakang. Tetapi ayahlah yang mengundangnya bekerja
dirumahku." "Apakah alasan paman demang memanggilnya menjadi
penjaga Kademangan?"
Puranta pun menceritakan apa yang telah didengarnya dari
katerangan ayahnya. "Sebenarnya dia akan masuk menjadi
prajurit tetapi karena mengagumi kekuatannya, ayahnya
memakainya sendiri sebagai penjaga kademangan."
"Uh sampai di manakah kehebatan kekuatan orang itu,"
Jaka Damar mendecak-decak mulut.
"Dia dapat mengalahkan Gajah Barong!"
"Astaga!" Jaka Damar melonjak dari tempat duduk, "apa
katamu" Dia dapat mengalahkan Gajah Barong tamtama yang
amat perkasa itu?" Puranta mengangguk lalu menurutkan apa yang didengar
dari demang Saroyo. Dahi Jaka Damar mengerut lipatan yang
dalam, "Hm" dengusnya "itulah sebabnya maka ia tak
memandang mata kepadaku."
"Bukan melainkan engkau yang memiliki perasaan itu,
kakang. Akupun juga. Beda sekali sikapnya dengan lain orang
gajihan rama. Dia tak begitu mengacuhkan aku." Puranta
mulai mencari kesempatan untuk mengembangkan pembangkitan rasa tak puas agar tersalur dalam suatu
langkah membalas dendam. Setelah beberapa jenak berdiam, akhirnya Jaka Damar
berkata "Puranta, bukan aku hendak melanggar kewibawaan,
paman demang, bukan pula hendak mengganggu ketenangan
kademangan. Tetapi aku benar-benar penasaran atas sikap
dan gerak gerik penjaga kademangan yang sombong itu. Dia
bukan orang Kahuripan, pun hanya seorang penjaga gedung
kademangan. Mengapa ia bersikap begitu congkak" Bukankah
dia seperti hendak meremehkan anak2 muda Kahuripan?"
"Hm "Puranta hanya mendesuh.
"Aku seorang pemuda Kahuripan. Takkan kurelakan
seseorang menghina para pemuda Kahuripan," tiba-tiba Jaka
Damar berhenti dan menatap Puranta "Puranta, apakah
engkau dapat men)etujui rencanaku?"
"Silahkan kakang menerangkan," samar2 Puranta dapat
manduga apa yang hendak diucapkan putera rangga itu.
"Begini, Puranta. Penjaga kademangan itu harus diberi
pengajaran agar dia mau merobah sikap. Jangan dia berani
lagi memandang sebelah mata kepada anak2 muda Kahuripan.
Agar dia melek, bahwa anak2 muda Kahuripan itu tak boleh
dibuat main2. Setujukah engkau?"
Diam2 tertawalah Puranta dalam hati karena kesempatan
untuk membalas dendam kepada Dipa mulai menampak.
Namun ia tak mau cepat2 menyetujui melainkan meminta
keterangan "Sebelum aku menyatakan setuju atau tidak, ingin
kudengar bagaimana rencana kakang untuk menghajar adat
pada orang itu." "Mudah saja, Puranta " kata Jaka Damar "kita pancing dia
supaya dia datang kepada kita. Kita siapkan beberapa orang
untuk menyergap dan menghajarnya sampai dia minta ampun
......" "Lalu caranya memancing?"
"Dia harus melakukan tugas meronda keamanan lagi.
Apabila tiba di luar pura, barulah kita pikat perhatiannya.
Suruh orang kita mambawa seorang wanita dan suruhlah
wanita itu menjerit-jerit agar dia menyangka kalau terjadi
peristiwa perkosaan. Dia tentu akan menghampiri ke tempat
kita." "Bagus, kakang ......" baru mengucap begitu, tiba2 Puranta
bethenti, "eh, tetapi tugasnya hanya menjaga gedung
kademangan. Bagaimana mungkin dia. melakukan ronda
keamanan.?" Saat itu juga sebenarnya Jaka Damar hendak mengatakan
mengapa pada malam itu Dipa lah yang melakukan tugas
ronda. Tetapi cepat kata2 yang sudah meluap di ambang
kerongkongannya, buru2 diendapkan lagi. Dengan pertanyaan
itu, ia kuatir Puranta tentu akan mengetahui peristiwa
perkelahiannya dengan Dipa. "Tak pernahkah dia ditugaskan
paman demang untuk melakukan ronda keamanan keluar?"
"0, pernah juga," akhirnya Puranta teringat juga "tetapi hal
itu jarang terjadi kecuali rama sedang lelah atau tak enak
badan." "Kita atur rencana supaya dia ditugaskan meronda keluar."
"Dengan. cara?" Puranta mengernyit kening, "maksudku,
bagaimana mungkin kita-menyuruh rama berbuat demikian?"
"Paman demang harus sakit sehingga terpaksa akan
menyuruh penjaga itu yang meronda keluar. Hah?" Puranta
tercengang. Jaka Damar tertawa seraya merogoh saku baju dan
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil "Jangan kuatir Puranta.
Dengan minum bubuk ini, paman demang tentu akan sakit"."
Serentak pucatlah wajah Puranta. Betapapun rasa tak
mengindahkan kepada sang ayah, betapa pun pula besar
keinginan untuk membalas dendam kepada Dipa, namun
Puranta masih mempunyai setitik hati kesadaran bahwa
perbuatan untuk membuat ayahnya menderita sakit seperti
yang dianjurkan Jaka Damar itu, ia belum sampai hati
melakukannya. "Ha, ha, Puranta," Jaka Damar tertawa "adakah engkau kira
aku sudah segila itu hendak meracuni paman demang" Ah,
tidak, Puranta, tidak. Betapapun kepuasan hatiku apabila
dapat menghajar adat pada penjaga yang congkak itu, namun
masih besar rasa hormat dan sayangku kepada paman
demang. Masakan aku segila itu hendak mencelakai beliau?"
"Lalu obat itu?"
"Ini hanya bubuk kecubung. Kalau diminum dalam jumlah
banyak, membahayakan jiwa. Tetapi kalau hanya sedikit dapat
membuat perut orang sakit dan buang-buang air. Cukup
sedikit saja dan campur dalam minuman paman demang.
Malam hari, beliau tentu akan buang air beberapa kali. Tetapi
esok harinya tentu sudah sembuh kembali," Jaka Damar
memberi keterangan. "Puranta, tiada setitik terkandung dalam
hatiku untuk memaksa engkau melakukan hal itu. Kalau
engkau tak setuju akupun takkan memaksamu ....."
"Tetapi kakang ... "


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya Jaka Damar dapat mengetahui keraguan hati
Puranta maka cepatlah ia menukas, "Apabila paman demang
sampai menderita sakit yang membahayakan jiwanya, aku
sanggup mengganti dengan jiwaku! Ya, bunuhlah aku,
Puranta." Nada dan sikap dari putera rangga itu amat mempengaruhi
kesan Puranta. Ia menimang dalam hati. Baiklah ia terima
bubukan itu dulu kemudian ia akan bertanya kepada beberapa
orangtua tentang khasiat dari obat itu. Kalau benar seperti
yang dikatakan Jaka Damar, barulah ia akan. mencampurkan
ke dalam minuman ayahnya. "Baiklah, kakang," katanya
seraya meminta obat. Jaka Damar menyerahkan dan memberi pesan tentang cara
pemakaiannya. Kemudian ia menanyakan bilakah Puranta
akan melaksanakan rencana itu.
"Besok siang kita bertemu disini lagi," sahut Puranta.
Kemudian mereka pun merundingkan tentang jago-jago yang
akan dipersiapkan untuk menghajar Dipa besok malam.
Sepulangnya di rumah, Puranta mencari keterangan kepada
beberapa bujang dan orang-orang tua di kademangan tentang
kebenaran khasiat kecubung seperti yang diuraikan Jaka
Damar. Ternyata mereka memberi keterangan sesuai dengan
Jaka Damar. Demikianlah dengan hati2 sekali-kali Puranta dapat
menyelinap dari perhatian bujang yang bertugas membuat
minuman. Ia menuangkan sedikit bubuk kecubung ke dalam
cawan minuman demang Saroyo.
Setelah menunggu beberapa waktu dengan bardebar-debar
akhirnya ia mendangar keterangan dari ibunya bahwa ki
demang sakit perut, beberapa kali buang air. Puranta pucat
wajahnya. Diam-diam ia menundukkan kepala, memohon
ampun kepada ayahnya serta berdoa kepada dewata agar
ayahnya lekas sembuh. "Ah, kalau terjadi sesuatu pada diri ayah, akulah yang
berdosa," diam2 iapun menyesali dirinya yang karena
menurutkan panas hati, telah melakukan hal yang seharusnya
tak layak kepada ramanya. Batapapun sesat perja!anan hidup
putera demang itu namun ia tetap masih memiliki setitik
cahaya kasih terhadap orangtua.
"Hm, kalau sampai terjadi sesuatu pada diri rama, Jaka
Damar tentu kubunuh! " tiba-tiba ia menggeram, mengepal
tinjunya kencang-kencang. Sekalipun sudah beberapa kali
merasa menyesal, berdoa mohon ampun dan mohon
kesembuhan untuk ayahnya, bahkan sudah pula menumpahkan ikrar untuk meminta pertanggungan jawab
kepada Jaka Damar, namun hatinya masih tetap dicengkam
kecemasan dan kegelisahan. Akhirnya ia berlari menjenguk
ayahnya. Betapa kejut dan cemas hatinya ketika melihat ki demang
rebah di atas pembaringan dengan wajah yang pucat. Ketika
merabah kakinya, ia rasakan kaki ramanya pun dingin. Puranta
makin berkabut sesal dan cemas. Serta merta ia berlutut di
depan pembaringan ramanya dan menyembah mohon ampun
lalu berdoa kepada dewata.
"Eh, siapa engkau ".. eh, Puranta, engkau ?"." beberapa
waktu kemudian tiba2 demang Sarayo terjaga dan melihat
puteranya berlutut di depan pembaringan.
"Ya, rama, aku Puranta," sahut pemuda itu, "bagaimana
sakit rama" " Demang Saroyo merentang mata lebar2. Hampir ia tak
percaya bahwa Puranta berada disitu. Biasanya anak itu tak
pernah berada di rumah. Sampai jauh malam baru pulang dari
bermain- main diluar. Bahkan sekalipun ibu dan ki demang
sakit, tak pernah Puranta mau tinggal di rumah walaupun
hanya untuk semalam saja. Rasa terhibur atas perobahan diri
puteranya itu mengurangkan rasa sakit perut yang diderita ki
demang . "Ah, hanya sakit perut, seperti diremas-remas
rasanya dan beberapa kali buang air."
"Apakah rama tak minum obat?"
"Sudah" jawab demang Saroyo "aku sendiri heran mengapa
tiba2 saja sore tadi perutku sakit. Padahal aku tak merasa
makan suatu apa, kecuali hidangan yang disediakan ibumu.
Jelas tentu terkena keracunan, entah dari makanan entah
minuman." Mendengar itu gemetarlah tubuh Puranta. Wajahnya pucat
lesi. Untunglah karena terkabur oleh rasa girang atas
kehadiran pateranya itu, ki demang tak memperhatikan
perobahan air muka Puranta.
"Maka kusuruh orang mencarikan kelapa hijau dan
kuminum. Air kelapa hijau itu mempunyai daya khasiat hebat
untuk melunturkan keracunan makanan."
"Ah, syukur, rama," Puranta menghela napas longgar
"bagaimana sekarang rama rasakan?"
"Rasa sakit di perut sudah banyak berkurang tetapi aku
merasa letih." "0, harap rama beristirahat dan tidur saja."
Demang Saroyo tersenyum "Baiklah, aku akan beristirahat
malam ini. Dan tugas meronda keamanan kota sudah kuatur
juga." "Siapakah yang rama titahkan untuk menjalankan. tugas
itu?" "Tadi kusuruh Puranti adikmu, memberitahu kepada Dipa
penjaga yang baru itu, agar nanti malam bersama Sura
melakukan ronda keamanan."
"Ah".." "Mengapa Puranta?"
"Tak apa2, rama. Hanya mengapa rama menyuruh Puranti
manemui penjaga baru itu. Apakah rama menganggap hal itu
layak?" "0, maksudmu menguatirkan kalau2 Dipa itu akan berbuat
kurang ajar terhadap adikmu" Ah, tidak, Puranta, jangan
kuatir. Selama ini kuamati tingkah laku Dipa itu cukup baik
dan rendah hati. Karena mengira engkau tak ada di rumah
maka kusuruh saja adikmu yang menyampaikan pesan rama
kepadanya." "Ah, tidak rama, malam ini aku akan tinggal di rumah
menjaga rama," karena malu hati, Puranta tersipu-sipu
berkata. Diam-diam ki demang makin terhibur hatinya karena
melihat perobahan puteranya. la mengharap mudah-mudahan
puteranya benar-benar akan berobah baik. "Baiklah, Puranta,
rama hendak tidur. Nanti bila perlu tentu kupanggil."
"Ah, walaupun rama tak memanggil tetapi setiap jam aku
tentu akan menjeuguk ke mari," kata Puranta lalu minta diri
ketuar. Kini jelas rencana Jaka Damar berhasil. Malam ini Dipa dan
seorang penjaga lain akan melakukan ronda keamanan
berkeliling seluruh penjuru pura. Cepat2 ia pergi ke rumah di
ujung pura menemui Jaka Damar.
"Bagaimana Puranta," sambut Jaka Damar.
"Berhasil kakang," sahut Puranta malam ini rama tak dapat
meronda, ingin beristirahat. Tugas meronda keamanan
diserahkan kepada Dipa penjaga kademangan yang bertubuh
pendek itu." "Bagus! " Jaka Damar menyambut girang," nanti malam kita
atur orang2 kita yang akan menyergap si Dipa itu."
"Tetapi kakang, maaf, malam nanti aku terpaksa tak dapat
ikut serta " tiba2 Puranta memberi pernyataan.
"Mengapa?" "Pertama, karena rama minta aku tinggal di rumah untuk
menjaganya. Dan kedua, apabila aku ikut dalam penyergapan,
tentulah Dipa dan kawannya itu dapat mengenal ciri2 diriku.
Dan kurasa orang2 kita yang sudah berjumlah cukup banyak
itu tentu dapat mengatasi seorang Dipa. Besok pagi aku akan
datang lagi untuk mendengar beritanya."
Jaka Damar merenung lalu mengangguk "Ya, tak apa,
engkau tetap tinggal di rumah agar jangan menimbulkan
kecarigaan paman demang. Paman demang tentu menyangka
bahwa yang mengeroyok Dipa itu tentu gerombolan penjahat
biasa," kata Jaka Damar "baiklah Puranta, besok pagi engkau
tentu mendapat berita yang menggirangkan."
Demikian maka Puranta pun kembali pulang. Malam itu
sangat tampak sekali gerak geriknya yang luar biasa dalam
menjaga ki demang. Dipa menganggap suatu tugas itu suatu kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Menurut ajaran brahmana Anuraga,
Dewa Mimpi Merajalela 1 Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat Tabib Setan 2
^