Pencarian

Dewa Mimpi Merajalela 1

Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 14 :781 Wiro Sableng -
Kiamat Di Pangandaran782 Wiro Sableng - Tua Gila Dari Andalas783 Wiro Sableng -
Asmara Darah Tua Gila784 Wiro Sableng - Lembah Akhirat785 Wiro Sableng - Pedang
Naga Suci 212786 Wiro Sableng - Jagal Iblis Makam Setan787 Wiro Sableng - Utusan
Dari Akhirat788 Wiro Sableng - Liang Lahat Gajahmungkur789 Wiro Sableng -
Rahasia Cinta Tua Gila790 Wiro Sableng - Wasiat Malaikat791 Wiro Sableng -
Dendam Dalam Titisan792 Pendekar Rajawali Sakti - Iblis LembahTengkorak793
Pendekar Rajawali Sakti - Bidadari Sungai Ular794 Pendekar Rajawali Sakti -
Sepasang WaletMerah795 Pendekar Rajawali Sakti - Kitab Tapak Geni796 Pendekar
Rajawali Sakti - Naga Merah797 Pendekar Rajawali Sakti - Prahara Gadis Tumbal798
Pendekar Rajawali Sakti - Pertarungan di BukitSetan799 Pendekar Rajawali Sakti -
Iblis Berwajah Seribu800 Pendekar Rajawali Sakti - Manusia BertopengHitam801
Pendekar Rajawali Sakti - Pengantin Berdarah802 Pendekar Rajawali Sakti - Jago-
Jago Bayaran803 Pendekar Rajawali Sakti - Rahasia Puri Merah804 Pendekar
Rajawali Sakti - Api Di Karang Setra805 Pendekar Rajawali Sakti - Durjana
PemetikBunga806 Pendekar Rajawali Sakti - Rahasia KalungKeramat807 Pendekar
Rajawali Sakti - Perawan RimbaTengkorak808 Pendekar Rajawali Sakti - Darah
Pendekar809 Pendekar Rajawali Sakti - Putri Kerudung Hijau810 Pendekar Rajawali
Sakti - Penyair Maut811 Pendekar Pulau Neraka - Geger Rimba Persilatan812
Pendekar Pulau Neraka - Pembalasan Ratu Sihir813 Pendekar Pulau Neraka - Lambang
Kematian814 Pendekar Pulau Neraka - Cinta Berlumur Darah815 Pendekar Pulau
Neraka - Pengantin DewaRimba816 Pendekar Pulau Neraka - Pendekar Kembar817
Pendekar Pulau Neraka - Jago Dari Seberang818 Pendekar Pulau Neraka -
Pesanggrahan GoaLarangan819 Pendekar Pulau Neraka - Menembus LorongMaut820
Pendekar Pulau Neraka - Mustika Dewi Pelangi821 Pendekar Pulau Neraka - Bunga
Dalam Lumpur822 Pendekar Pulau Neraka - Gadis Buronan823 Pendekar Pulau Neraka -
Istana Iblis824 Pendekar Pulau Neraka - Di Balik Caping Bambu825 Pendekar Pulau
Neraka - Lingkaran RantaiSetan826 Pendekar Pulau Neraka - Rahasia BungaCubung
Biru827 Pendekar Pulau Neraka - Rahasia Dara Ayu828 Pendekar Pulau Neraka -
Titisan Dewi Iblis829 Pendekar Pulau Neraka - Pertentangan DuaDatuk830 Suro
Bodong - Pedang Jitu Sakti831 Suro Bodong - Pedang Urat Petir832 Suro Bodong -
Pedang Kerak Neraka833 Suro Bodong - Iblis Hutan Tengkorak834 Suro Bodong -
Pertarungan Bukit Asmara835 Suro Bodong - Rahasia Tombak Dewa836 Suro Bodong -
Tumbal Mahkota Ratu837 Suro Bodong - Dendam Perempuan Sepi838 Suro Bodong -
Adipati Bukit Sekarat839 Suro Bodong - Geger Pusaka Matsuri840 Suro Bodong -
Menembus Kabut Berdarah
PUSPARINI tak tahu mengapa tiba-tiba dirinya be-
rada di tempat itu. Tempat di sekelilingnya berkabut.
Yang dirasakan hanya kesepian semata. Dia merasa
dirinya terbaring di atas rerumputan. Dia ingin bangkit, tapi tak kuasa. Seolah
ada beban berat membe-
lenggu geraknya.
Ketika dia mencoba mengawasi menembus kabut,
dengan samar-samar tampak sesosok tubuh mendeka-
tinya. Seorang laki-laki tanpa bisa dilihat wajahnya dengan jelas, kini berdiri
di hadapannya. Kemudian dengan kasar laki-laki itu merenggut
kemben Pusparini tanpa mampu dicegah. Dia ingin
berteriak, tapi rasanya mulutnya bagai disumbat oleh gumpalan yang menyesakkan
napas. Laki-laki itu kemudian bertindak lebih jauh. Dia
meraba dada yang terbuka membukit indah. Pusparini
mencoba meronta. Tapi kekuatan tenaga laki-laki itu melindas geraknya. Dengan
bernafsu sekali, laki-laki itu melumat bagian tubuhnya yang mengundang gairah.
Yang mana saja! Baru saat tulah dia mampu ber-
teriak...! Dan Pusparini terbangun! Tubuhnya tersentak, tegak
dari pembaringan.
"Ooohhh!" keluhnya pelan. "Untung hanya mimpi!"
Peluh dingin membasahi tubuhnya.
Dia masih termenung membayangkan mimpi yang
baru dialami. Terasa memusingkan kepala. Di sekeli-
lingnya sepi. Hanya suara serangga berdendang meng-
isi suasana malam. Pusparini turun dari balai-balai, lalu mengambil air minum di
kendi yang tersedia di po-
jok ruangan kamarnya. Diteguknya air itu, terasa segar.
Sekilas pikirannya terkait pada mimpi yang baru di-
alami. Perasaannya bergidik kalau mengingatnya. Tempat di mana dia berada
sekarang adalah Desa Randu-
blatung. Orang bilang sebuah desa yang ' loh jinawi'.
Makmur karena kesuburan tanahnya. Pengembaraan
yang dilakukan melibatkan dirinya selalu tinggal di suatu tempat untuk sementara
waktu. Di sini dia mem-
bantu suatu keluarga menggarap tanah pertanian,
atau apa saja untuk mencari dana bekal perjalanan-
nya. Seperti halnya di desa ini, dia berkenalan dengan
keluarga kalangan petani di Desa Randublatung. Per-
kenalan ini tidak sekedar perkenalan, tapi lewat suatu peristiwa yang hampir
mencelakakan anak gadis Ki
Langkir, petani itu....
Seekor kerbau telah lari dari kandangnya. Lari de-
ngan liar ke tengah jalan raya. Tak ada seorang pun bisa menangkapnya. Beberapa
pedagang di pinggir jalan jadi korban amukan kerbau itu. Orang-orang pa-
nik. Saat itu Ranti, anak Ki Langkir, sedang berbelanja
ke pasar. Kerbau yang kalap itu mengamuk di sana.
Pada saat akan menubruk Ranti, Pusparini bertindak
dengan menendang binatang tersebut. Kerbau itu
oleng dan roboh. Ranti terhindar dari bahaya. Tapi tak berarti Pusparini memberi
pertolongan hanya sampai
disitu. Karena kerbau tersebut bangkit lagi dan mulai mengganas. Pusparini
terpaksa bertindak fatal. Dia
melesat ke arah binatang itu dan mendarat di leher.
Tangannya segera menjangkau kedua tanduk kerbau.
Dengan berpegangan tanduk kerbau, Pusparini men-
coba mengendalikan keganasan binatang itu. Tapi ra-
sanya sulit sekali. Bahkan tubuhnya jadi bulan-bu-
lanan diguncang lonjakan tingkah polah sang kerbau.
Dicari akal lain. Kedua kakinya dijepitkan pada leh-er kerbau dengan memberi
tekanan dengan tenaga da-
lam. Usaha ini berhasil. Sang kerbau mulai tersengal napasnya, dan ambruk.
Lalu berapa orang datang membawa tali dan mengi-
kat kerbau itu. Pemiliknya datang. Dan atas kesepakatan orang-orang di sana,
kerbau tersebut dibantai, karena pemiliknya tak dapat mengganti kerugian yang
ditimbulkan. Dagingnya jadi obralan siapa saja yang
menginginkannya. Pusparini tak bisa mencegah tinda-
kan orang-orang di sana. Ketika hendak berlalu me-
ninggalkan tempat itu, datanglah gadis yang ditolongnya tadi beserta orang
tuanya. "Terima kasih atas pertolonganmu, Nduk!" ucap
orang tua si gadis, "Kalau tidak ada kau, bagaimana jadinya anakku Ranti ini."
Lalu dibuntuti pembicaraan singkat, yang akhirnya
membawa Pusparini dipersilahkan tinggal di rumah Ki Langkir....
Itu peristiwa tiga hari yang lalu. Dan malam ini telah tiga malam menempati
kamar yang disediakan un-
tuk dirinya di rumah Ki Langkir. Malam ini pula dia bermimpi yang sangat
mengguncang perasaannya. Dia
nyaris diperkosa oleh seorang laki-laki yang tak bisa dilihat dengan jelas raut
wajahnya. "Baru kali ini aku bermimpi seperti itu," keluhnya
dalam hati. Pusparini merenungkan keadaan dirinya. Gadis
seusianya kebanyakan telah menikah. Bahkan telah
mempunyai anak. Paling tidak sudah dua orang. Kini
umurnya telah sembilan belas tahun. Umur termasuk
golongan perawan kasep (perawan tua) pada zamannya.
Dan mimpi semacam tadi, benar-benar mengaduk
sanubarinya sebagai seorang gadis yang terkadang
rindu akan belaian lelaki. Selama pengembaraannya
ini memang ada beberapa orang yang bisa memberi pe-
luang untuk itu. Tapi bagaimana kelanjutannya" Lagi pula dia belum menemukan
sosok lelaki yang pas untuk tambatan hatinya. Apakah pengembaraan ini ha-
nya untuk mencari jodoh setelah disadari tak ada sanak keluarganya lagi"
"Ah, persetan dengan jodoh," keluhnya lagi. "Kau
bukan dilahirkan untuk seperti gadis-gadis itu, Pusparini. Kau punya embanan
tugas demi kemanusiaan,"
katanya untuk dirinya sendiri....
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh derit pintu kamarnya yang terbuka. Ditolehnya ke
arah pintu. Di sana muncul sesosok tubuh. Si Ranti.
"Kak Rini"! Kau tidak tidur semalaman?" tegur Ran-
ti dengan terus mendekat.
"Eh... enghmm... aku baru saja terbangun. Udara
terasa gerah malam ini. Mendung kalau tidak hujan ya begini. Panas, walaupun
malam hari. Kau sendiri bagaimana" Belum tidur juga?" tanya Pusparini.
"Aku baru saja mimpi yang tidak mengenakkan,"
jawab Ranti sambil membenahi rambutnya yang kusut.
"Mimpi tidak mengenakkan" Mimpi apa itu" Digigit
ular?" "Tidak. Bukan itu. Pokoknya... ngeri gitu."
"Ngeri yang bagaimana?" desak Pusparini serius.
Ranti membisu, tidak cepat menjawab pertanyaan
itu. "Aku... aku... diperkosa! Akan diperkosa oleh laki-laki yang tidak saya
kenal," terdengar pengakuan Ranti dengan suara lirih.
"Apa" Kau... mimpi akan diperkosa oleh seseorang?"
tanya Pusparini seakan tidak percaya dengan ucapan
Ranti. Bicara soal mimpi memang tidak aneh. Tapi kalau
mimpi itu sama dengan yang baru saja dialami, itu
yang aneh... dan tidak wajar! Pusparini tidak cepat menanggapi mimpi yang
diceritakan oleh Ranti. Dia tidak ingin membicarakan tentang mimpi macam gituan.
Rasanya ada tata krama yang harus dilakukan agar
pembicaraan tentang mimpi semacam itu tidak berla-
rut-larut dibuat masalah. Anggap saja sebagai 'bunga tidur'.
"Hari masih malam. Apakah Dik Ranti tidak ngan-
tuk" Atau... ingin tidur di sini?" kata Pusparini meng-alihkan pembicaraan.
"Tidur di sini saja dengan Kak Rini. Boleh?"
"Boleh-boleh saja. Kan di sini rumahmu. Aku seke-
dar numpang tinggal untuk beberapa hari saja," jawab Pusparini dengan mengumbar
senyum. Dia mengharapkan Ranti tidak akan membicarakan tentang mimpi
tersebut. Dan ternyata gadis itu tidak mempedulikan dengan mimpi yang baru
diomongkan. "Jadi... setelah ini, Kak Rini akan mengembara lagi"
Apa to, enaknya mengembara?" tanya Ranti dengan
melempar tubuhnya di atas balai-balai.
"Mengembara memang tidak ada enaknya. Apalagi
seperti aku yang kini tidak mempunyai sanak kelu-
arga. Rasanya seperti orang ' kabur kanginan'. Oh, ya.
Bagaimana" Apakah kita besok jadi ke tempat nenek-
mu seperti yang kau katakan kemarin?"
"Tentu! Kalau dia tahu Kak Rini seorang pendekar,
wah, seneng banget. Sebab nenek dulu katanya punya
saudara yang juga pendekar. Tapi sekarang entah di
mana," jawab Ranti dengan menguap lebar. Gadis be-
rumur lima tahun lebih muda dari Pusparini itu ke-
mudian lelap lagi dirangkul rasa kantuknya.
*** Kicau burung klangenan Ki Langkir mengusik telinga Pusparini pada esok harinya.
Dia cepat-cepat terjaga. Dilihat, Ranti sudah tidak ada lagi di sampingnya. Dia
bangun kesiangan. Ini gara-gara semalam ter-ganggu mimpi yang membuat setengah
bergadang ka- rena kedatangan Ranti. Seperti yang telah direncanakan, hari ini Pusparini akan
mengantarkan Ranti men-gunjungi neneknya yang bertempat tinggal di Desa
Bayeman yang setengah hari perjalanan dari Randu-
blatung. "Nenekmu tinggal dengan siapa di sana?" tanya
Pusparini. "Dengan Ken Akung dan para pembantu yang lain."
"Ken Akung"! Masih termasuk keluarga?"
"Bukan. Kira-kira dua bulan lalu dia datang ke Ba-
yeman sebagai orang yang lontang-lantung. Lalu oleh nenek disuruh tinggal di
rumahnya sebagai teman. Dia diberi tugas menggarap sawah," kata Ranti
menjelaskan. Pusparini hanya manggut-manggut mendengar ceri-
ta itu. Kiranya banyak juga orang yang lontang-lantung yang akhirnya mengabdi
kepada seseorang untuk
menyambung hidup. Tapi lontang-lantungnya Puspa-
rini lain. Dia bukan orang yang mencari pekerjaan. Dia mengemban tugas demi
kemanusiaan. Menjadi
bhayangkara masyarakat tanpa pamrih.
"Kita istirahat di warung itu," kata Ranti dengan
menunjuk suatu warung di bawah pohon beringin.
Pusparini mengekor langkah Ranti, dan keduanya
cepat mengambil tempat duduk di bangku panjang.
Ranti memesan minuman, karena sarana itulah yang
sangat dibutuhkan pada saat matahari memanggang
bumi. "Eh, kalian dari mana hendak kemana?" tanya sese-
orang yang duduk di bangku seberangnya.
Melihat penampilan Pusparini dan Ranti dengan wa-
jah enak dipandang, kontan keramah-tamahannya
muncul. Mereka terdiri dari tiga orang. Senjata mereka terselip di pinggang.
Lewat penampilan yang diamati, Pusparini jadi tahu bahwa ketiga orang laki-laki
itu adalah orang yang sering terlibat dengan kerusuhan.
Orang urakan yang kerjanya bikin gara-gara. Atau
anak buah dari suatu kelompok persekutuan.
Pusparini menjawil Ranti agar tidak meladeni teguran orang itu.
"Hei, ditanya baik-baik tidak menjawab," kata orang itu lagi. "Kalau kalian akan
melewati jembatan itu, harus membayar dulu dua kepeng kepada kami."
Ranti terdesak untuk tahu. "Apa benar, Pak" Sejak
kapan peraturan itu berlaku" Rasanya dulu tidak begi-tu."
Tak jauh dari tempat itu memang terbentang jemba-
tan di atas sebuah sungai. Lalu lintas di sana terlihat sepi. Tak ada seorang
pun yang tampak melintas melewati jembatan itu.
"Sekarang peraturannya, satu orang satu kepeng.
Kalau tidak, boleh ke seberang sana dengan melewati jalan putar di sana itu.
Lewat gumuk bukit kecil itu.
Jembatan itu pernah runtuh dan diperbaiki lagi oleh Den Bagus Panggelaran," kata
orang itu lagi sambil
berdiri mendekati Pusparini. Tangannya usil meraba
pedang yang diletakkan Pusparini di sampingnya.
"Pedang yang bagus. Kau... berniat menjualnya"
Aku mau membelinya," kata orang itu lagi dengan di-
dampingi dua orang kawan yang telah berdiri dari
bangku duduknya.
"Lepaskan tangamu dari pedangku," kata Pusparini
dengan suara tenang.
Orang itu pura-pura tidak mendengar ucapan ter-
sebut. Dia tidak saja menyentuh pedang itu, bahkan


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambilnya. Tapi begitu terangkat, yang dilihat hanya sarung pedangnya. Sedang
bilah pedang ternyata sudah berada di tangan Pusparini. Dan pedang Merapi Dahana
yang punya ciri khas kalau tertimpa cahaya
matahari dapat memancarkan cahaya merah, maka
ketiga orang itu mundur ke belakang.
"Hah" Pep... pep... pedang itu bercahaya merah...!"
seru salah seorang di antara mereka.
Belum lenyap rasa terpukau mereka melihat kehe-
batan pedang di tangan Pusparini, maka dirasakan
kain yang mereka pakai kedodoran jatuh. Itu hanya
satu kali tebasan yang dilakukan oleh Pusparini untuk memberi pelajaran kepada
mereka. "Aku bisa melakukan untuk yang kedua kalinya.
Untuk yang kedua, kalian akan telanjang bulat. Dan
kalau ingin pelajaran ketiga, maka nyawa kalian akan melayang. Cepat berikan
sarung pedangku, dan kalian enyah dari hadapanku!" kata Pusparini dengan nada
ketus "Iii... iiya. Ini... ss... sarung pedangmu. Jangan melakukan lagi...!" kata
salah seorang yang tadi banyak berlagak. Dia menyerahkan sarung pedang kepada
Pusparini, lalu hengkang dari sana dengan langkah
cepat. "Lho, Pak, jangan lakui. Saya tidak apa apa kok,"
kata Pusparini kepada pemilik warung yang ndepis di pojok. "Orang macam itu
memang perlu di beri pelajaran. Jangan takut. Saya tidak akan menindak orang
yang baik-baik."
Sementara peristiwa itu telah berlalu, yang terce-
kam kagum tidak saja pemilik warung dan pembantu-
nya, tapi juga Ranti.
"Whuuah! Bukan main!" seru Ranti yang tak henti-
hentinya mengawasi pedang milik Pusparini. "Pedang
ajaib!" "Bukan ajaib. Cuma kekuatan alam yang tersimpan
dalam pedang ini," kata Pusparini. "Lho, Pak! Mengapa tetap ndepis di situ" Saya
ingin membayar harga minuman tadi."
"Iii... ya. Mohon cepat pergi dari sini. Tidak usah bayar ya nggak apa-apa.
Cepat, Nduk Pendekar. Bisa
gawat nanti kalau mereka datang lagi kemari dengan
membawa banyak teman," ratap si pemilik warung.
Pusparini mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang di-
pikirkan. "Saya jadi ingin tahu tentang mereka, Pak," kata
Pusparini. "Yang bikin gara-gara kan bukan saya. Ka-mi berdua hanya akan
menyeberang lewat jembatan
itu. Ini kan jalan umum. Bukan milik perseorangan?"
"Rupanya kalian ini belum tahu siapa Den Bagus
Panggelaran. Wah, pokoknya nyingkir saja, Nduk!" ka-ta si pemilik dengan
perangai was-was.
"Baik, Pak. Kalau itu yang Bapak takutkan, kami
akan segera berlalu dari sini," kata Pusparini setelah memberikan uang pembeli
minuman. Mereka berdua melewati jembatan yang memben-
tang sepanjang tak kurang dari seratus meter terbuat dari kayu dan bambu. Mereka
berjalan dengan tenang.
Sampai di tengah jembatan, mereka terpaksa ber-
henti, karena dari ujung sana muncul sekelompok
orang. Lalu dari ujung satunya muncul pula sekelom-
pok orang serupa. Dengan pelan mereka melangkah ke
arah Pusparini dan Ranti.
"Aku sudah menduga kalau yang begini bakal terja-
di. Jangan jauh-jauh dariku, Ranti. Kau akan tahu betapa kejamnya hidup ini.
Kadang-kadang orang terlalu memandang rendah harga nyawa manusia," kata
Pusparini dengan membenahi dirinya.
Dia harus memperhitungkan serangan dari arah
yang berlawanan. Ditambah keberadaan Ranti maka
keadaannya harus diperhitungkan pula. Pusparini ti-
dak ingin basa-basi lagi. Dia melihat ketiga orang yang tadi menghindarkan diri,
kini muncul lagi. Hanya saja langkahnya sudah berubah. Dengan didampingi bantuan
tenaga sebanyak itu, nyalinya jadi membengkak.
"Lewat jembatan ini kalian harus bayar tidak dua
kepeng lagi, tapi kalian harus ikut kami!" kata orang itu dengan suara lantang.
"Minggirlah. Kami akan lewat. Kalau tidak, tukang
kubur akan borongan kerja karena akan mengubur
mayat kalian!" ancam Pusparini. Kali ini dia tak sudi bermanis-manis lagi
menghadapi orang-orang macam
itu. Selalu saja dia ketanggor dengan orang-orang yang penampilannya kelas
kambing pada awal petualangan-nya.
"Kalian dengar itu omongannya?" kata orang itu ke-
pada teman di sampingnya. "Dia memang perlu diha-
jar. Kita harus bisa merampas pedangnya itu!"
Kemudian isyarat diberikan. Lawan di belakang
Pusparini bergerak serentak.
Tapi Pusparini waspada. Walaupun yang bergerak
adalah lawan dari belakang, tapi pandangannya tetap ditujukan ke arah lawan yang
berada di muka.
Ranti cemas. Dasar gadis ingusan yang tak tahu
taktik silat. Melihat lawan di belakang semakin dekat, dia menjerit.
Tapi jeritan itu tidak menggoyahkan rencana Puspa-
rini yang tetap tenang. Indera telinganya memantau
langkah lawan dari arah belakang. Dia tahu, sudah berapa dekat mereka akan
menyerbu dari belakang. Ke-
tika perkiraannya sesuai dengan perhitungannya, Pusparini barulah mencabut
pedangnya. Shriing!!! Dan berpijarlah Pedang Merapi Dahana di-
timpa cahaya matahari. Bilah pedang bercahaya me-
rah. Orang-orang yang akan menyerang dari belakang
kontan mundur beberapa langkah. Karena hal itu ter-
jadi karena terkejut dan panik, maka ada yang terlempar ke luar jembatan karena
terdesak tubuh lawan.
Pagar jembatan bobol, dan orang itu tercebur ke su-
ngai. Pusparini mengacungkan pedangnya ke depan, ke
arah lawan yang sejak tadi belum bergerak maju lagi.
Melihat acungan pedang yang membiaskan cahaya
merah, mereka pun mundur.
Pusparini terus maju dengan langkah pelan.
Orang-orang yang akan menyerang terus mundur.
Mundur dan mundur yang akhirnya ke luar dari jem-
batan. Pusparini dengan leluasa menyeberang. Tapi tak be-
rarti hal itu aman baginya. Tiba-tiba terdengar de-
singan dari arah samping. Cepat dia menoleh. Dia tahu apa yang sedang melewat ke
arahnya. Pusparini cepat menggaet tubuh Ranti untuk mele-
sat menghindar.
Benda yang melesat, menyambar pada tempat sasa-
ran yang kosong. Dalam kesempatan ini Pusparini
sempat melihat sebuah benda pipih berbentuk siku-
siku bergerak berputar sebagai senjata yang luput menyerang dirinya. Anehnya
benda itu dapat kembali kepada pelemparnya setelah menerjang ke arah sasaran
yang kosong. Pusparini belum tahu bahwa senjata se-
macam itu namanya 'boomerang'.
Rupanya pemilik boomerang masih penasaran ka-
rena serangannya luput. Untuk kedua kalinya senjata itu dilemparkan lagi ke arah
sasaran. Pusparini segera mempersiapkan dirinya. Pedang
Merapi Dahana dipersiapkan untuk menghadapi boo-
merang. Dan....
Thrrraanngg!!!!
Boomerang terpental. Senjata itu juga terbuat dari
logam. Tapi kena gempuran pedang milik Pusparini tidak hancur, berarti senjata
boomerang itu terbuat dari logam yang sama ampuhnya dengan yang dibuat untuk
membentuk Pedang Merapi Dahana.
Melihat senjatanya terpental, maka pemilik boome-
rang segera tampil mendekat. Langsung dia menerjang ke arah Pusparini. Dia
seorang wanita yang lebih tua dari usia Pusparini, memakai kemben biru. Pedang
yang bertengger di punggungnya segera dicabut begitu telah dekat dengan sasaran.
Masalahnya memang belum jelas siapa wanita itu.
Dugaan Pusparini, pasti sesepuh orang-orang yang
mencoba menghadangnya di tengah jembatan.
Perang tanding jurus pertama terawali. Seperti hal-
nya senjata boomerang tadi, maka pedang wanita ber-
kemben biru ini juga mampu bertahan terhadap gem-
puran Pedang Merapi Dahana di tangan Pusparini. Ju-
rus-jurus berikutnya masih dalam penjajakan mengu-
kur kemampuan lawan.
Baru pada jurus kesekian kalinya, jurus yang dite-
rapkan mulai mengarah pada usaha untuk melukai
lawan. Tapi tiba-tiba Pusparini terpaksa menghentikan perang tandingnya ketika
terdengar suara ancaman.
"Hentikan perkelahian kalian! Atau gadis ini kuban-
tai dengan golokku!"
Suara itu berkumandang dengan keras. Perang tan-
ding terhenti. Satu hal yang tak dimengerti oleh Pusparini, yaitu sikap
lawannya, si wanita berkemben biru, yang tampaknya tak bisa bertindak apa-apa
terhadap tindakan orang-orang yang kini menyandera Ratih.
Pusparini mencoba menguak teka-teki ini. "Orang-
orangmu pengecut!"
"Apa kau bilang" Mereka bukan kelompokku!" sa-
hut wanita berkemben biru.
"Bukan kelompokmu" Kau bukan sesepuh mere-
ka?" tanya Pusparini.
"Jangan menghina. Kalau aku butuh anak buah, ti-
dak akan memilih macam mereka!" jawab wanita itu
dengan ketus. "Jadi?"
"Akan kubantu kau untuk membebaskan saudara-
mu itu," kata wanita berkemben biru dengan meng-
ambil sesuatu dari dalam stagen ikat pinggangnya. Geraknya begitu cepat. Dan
detik selanjutnya, orang yang menyandera Ratih menggeliat dengan meneriakkan
aduhan. Kiranya wanita itu telah mencabut senjata ra-hasianya, dan dilempar ke
arah penyandera.
Teman-temannya yang melihat peristiwa ini terpe-
rangah. Yang lain mencoba menggaet Ratih. Tapi gerak mereka tersendat di saat
sebuah logam kecil berbentuk bintang menancap pada dahi mereka. Ratih segera
menghindar dari mereka dan bergabung dengan Pus-
parini. Sisa orang-orang itu belum jera. Mereka nekad un-
tuk menyerang secara serentak. Melihat kemapuan la-
wan cuma dipandang sebagai tenaga kelas kambing,
wanita berkemben biru itu menghadapi lawan hanya
dengan tangan kosong.
Prak! Dhieg! Djes!!!
Pukulan beruntun hanya dilakukan dengan sekali
gebrak telah menyikat tiga rahang lawan. Lalu yang
lain mencoba membantu. Tapi yang ini segera disam-
but oleh Pusparini dengan klebatan hantaman dengan gaya gemulai. Siapa sangka
kalau gerakan seperti tangan penari itu mampu merontokkan gigi lawan"
Tak banyak tenaga untuk menghadapi mereka. Ke-
ringat pun tak banyak menetes. Lawan-lawan itu cuma
' bondo-nekad' untuk menghadapi Pusparini dan wanita berkemben biru. Karena
dipandang sia-sia, maka mereka mengundurkan diri.
Pusparini kini harus tahu siapa wanita berkemben
biru itu. Sebelum dia bertanya, wanita itu telah memberi penjelasan, seakan-akan
tahu apa yang hendak
diucapkan Pusparini.
"Namaku Sri Tanjung."
"Aku Pusparini."
Wanita bernama Sri Tanjung tertawa.
"Mengapa ketawa?" tanya Pusparini.
"Lucu sekali pertemuan ini. Nama kita sama-sama
dari kelompok bunga."
"Bunga mencerminkan keharuman dan kelembu-
tan. Kuharap namamu punya arti yang bisa mencer-
minkan perangaimu," sambut Pusparini dengan mak-
sud menjajaki siapa sebenarnya wanita bernama Sri
Tanjung ini. "Kau pasti menuduhku orang yang senang bikin ga-
ra-gara. Aku tadi menyerangmu untuk menjajaki sam-
pai di mana keampuhan pedang yang memiliki panca-
ran cahaya merah itu. Kudengar senjata semacam itu
disebut Pedang Merapi Dahana. Pedang itu sudah be-
rumur ratusan tahun, dibuat sekitar kurun waktu
pembuatan Candi Borobudur," Sri Tanjung memberi-
kan pandangannya.
"Jadi kau tahu juga perihal Pedang Merapi Dahana.
Apakah... lalu kau ingin memiliki dan merampas dari tanganku?" tanya Pusparini.
"Oh, tidak! Tidak sama sekali. Aku dengar pedang
itu harus 'ada jodo' bagi pemiliknya. Kalau tidak, malah akan bikin celaka. Dan
kulihat, pedang itu ada jo-do denganmu," Sri Tanjung menjelaskan. Terdengar
kejujuran dari ucapannya.
Pusparini mulai menaruh kepercayaan.
"Kalau boleh tahu, sebenarnya kau sedang dalam
perjalanan ke mana?" tanya Pusparini.
"Mencari Dewa Mimpi!"
"Dewa Mimpi" Siapa itu?"
"Kau belum tahu bahwa tokoh itu telah bikin geger"
Konon dia mempunyai ilmu kanuragan yang bisa me-
nyusup ke dalam mimpi seseorang," Sri Tanjung men-
jelaskan sambil mengajak ke tempat yang agak teduh.
Panas semakin membakar dengan keberadaan mata-
hari di atas ubun-ubun kepala.
"Dia bisa menyusup ke dalam mimpi seseorang?"
tanya Pusparini lirih. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya dengan perihal
mimpi. Dia pernah bermimpi yang sama dengan mimpi Ranti. Mimpi di mana dia
nyaris diperkosa. Apakah itu ada hubungannya de-
ngan Dewa Mimpi yang disebut oleh Sri Tanjung"
"Lalu... kau hendak ke mana?" tanya Sri Tanjung.
"Mengantar Ranti ke rumah neneknya di Desa
Bayeman," jawab Pusparini.
"Ah, kebetulan sekali. Kita bisa sejalan kalau begitu.
Aku pun sedang menuju ke sana. Maksudku, desa itu
akan kulewati."
*** DUA DESA BAYEMAN terlihat tenang dan damai. Seba-
gian besar dari penduduknya yang hidup sebagai pe-
tani, membuat lumbung-lumbung tempat penyimpa-
nan padi terlihat pada halaman rumah penduduk.


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Termasuk rumah nenek Ranti, di mana orang tua ini
menyambut dengan gembira kedatangan cucunya.
Langsung kedatangan mereka disambut dengan
perjamuan yang sangat akrab. Sedangkan Sri Tanjung
terpaksa singgah sebentar di sana setelah diharap untuk sekedar mencicipi
hidangan yang disediakan.
Dalam kesempatan ini mereka bertemu dengan pe-
muda bernama Ken Akung yang telah tinggal beberapa
bulan lalu di sana. Pertemuannya dengan Ken Akung
membuat Sri Tanjung dibebani teka-teki tentang pe-
muda itu. "Mengapa kau tertarik dengan Ken Akung?" tanya
Pusparini. "Rasanya aku pernah melihat pemuda itu. Tapi en-
tah di mana," kata Sri Tanjung sambil mengingat-ingat tentang pemuda itu yang
tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap kedatangan mereka.
"Lalu setelah pernah melihat dia di suatu tempat,
kau hendak mengapa?" tanya Pusparini.
"Dia itu bukan pemuda biasa yang tampaknya ha-
nya pandai mencangkul."
"Oh, ya"!"
"Dia memiliki ilmu bela diri!"
"Sangat hebat?"
"Mungkin tak pernah kau bayangkan apa yang bisa
dia lakukan."
"Kehebatannya di mana?"
"Ilmu kanuragannya!" jawab Sri Tanjung mulai ya-
kin bahwa yang pernah di lihat dalam peristiwa beberapa waktu yang lalu adalah
pemuda bernama Ken
Akung itu. Pusparini termenung. Kalau ada orang berbicara
soal kanuragan, pasti menyangkut kemampuan bela
diri yang lebih ampuh, sebab hal-hal yang menyangkut penyadapan kekuatan alam
akan ikut berperan. Orang
bisa mengeluarkan kobaran api pada telapak tangan-
nya, sebab orang yang bersangkutan dapat menyadap
kekuatan alam unsur api yang berasal dari bumi.
Karena adanya Ken Akung di tempat itu, maka Sri
Tanjung minta ijin untuk menginap barang satu atau
dua malam di sana.
Tentu saja permintaan tersebut mendapat sambu-
tan dengan baik. Rumah nenek Ranti yang besar itu
tak akan jadi masalah untuk menampung keinginan
Sri Tanjung. Tentu saja alasannya tidak dikatakan karena adanya Ken Akung di
sana. Sampai pada malam
harinya.... Sri Tanjung sudah terlihat mendekam di kamarnya
sejak malam mulai merangkak, sementara Pusparini
dan Ranti masih omong-omong di ruangan tengah. Ken
Akung sendiri masih sibuk di belakang rumah. Ada sa-ja yang dikerjakan pemuda
itu walaupun sudah di-
sarankan untuk istirahat.
"Apakah Ken Akung selalu begitu setiap hari, Nyai?"
tanya Pusparini kepada nenek Ranti yang dipanggil
dengan sebutan Nyai. Namanya sendiri adalah Nyai
Sandhing. "Wah, kalau Ken Akung belum beres tugas-tugas-
nya, dia tak mau istirahat. Tampaknya dia tak punya udel. Tak punya rasa lelah,
maksudku. Lihat saja lumbung padi di halaman rumah itu. Semua ditata dengan
rapi sehingga pembantu yang lain menganggapnya se-
bagai pekerja yang patut diteladani. Semua segan terhadap Ken Akung," kata Nyai
Sandhing dengan me-
nikmati ramuan kinang di mulutnya. "Eh, kau tidak
ngantuk, Nduk?" katanya lagi kepada cucunya si Ran-
ti. "Sebenarnya ngantuk. Tapi senang mendengarkan
orang ngobrol," jawab Ranti sambil menguap. Dia me-
langkah ke kamarnya. "Kak Rini tidak tidur?" katanya kepada Pusparini.
"Lho! Kalau ngantuk silakan tidur lo, Nak Rini. Aku tidak biasa tidur sore.
Tengah malam nanti nenek baru tidur, dan bangun sebelum fajar menyingsing. Itu '
ilmu tuwo' yang mungkin sudah jarang dianut oleh orang-orang sekarang," ujar
Nyai Sandhing. Akhirnya Pusparini mohon pamit untuk masuk ka-
mar. Dia sekamar dengan Ranti walaupun telah dise-
diakan kamar sendiri. Rantilah yang ingin sekamar.
Ketika Pusparini memasuki ruang kamarnya, ter-
nyata Ranti telah terlelap tidur. Di kamar itu ada dua balai-balai yang jaraknya
terpisah. Sejenak pikirannya menerawang memikirkan masalah-masalah yang baru
dialami. Tentang Sri Tanjung yang hendak mencari seseorang yang menyebut dirinya
sebagai 'Dewa Mimpi'
yang memiliki ilmu kanuragan bisa menembus mimpi
seseorang! Itu peristiwa aneh yang menarik perhatiannya. Se-
bab beberapa waktu lalu dia dan Ranti telah bermimpi dengan peristiwa yang sama.
Nyaris diperkosa oleh seseorang. Apakah ini ada kaitannya dengan Dewa Mim-
pi" Untung saja dia tidak menceritakan kepada Ranti bahwa dia telah mimpi
serupa. Kalau tidak, gadis itu pasti telah panik ketika Sri Tanjung mencari
orang yang bergelar Dewa Mimpi yang bisa menyusup masuk
ke dalam mimpi seseorang. Dan malam ini Pusparini
berniat untuk tidak tidur. Dia ingin tahu apa yang terjadi terhadap Ranti.
Mungkinkah gadis itu bermimpi
seperti itu lagi"
Sedang tekunnya Pusparini bergadang dalam ka-
mar, tiba-tiba perasaannya terusik oleh langkah te-
nang sedang menuju ke kamarnya. Dia menunggu be-
berapa saat dan mengawasi arah pintu. Ditunggu sejenak, tak ada perkembangan
apa-apa. Tapi dia tahu
bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di balik pin-tu di luar kamarnya.
Kemudian dirasanya bahwa orang itu menjauhi tempat itu. Pusparini mempertajam
indera pendengarannya.
"Dia telah pergi," pikir Pusparini, "Sebaiknya ku-
selidiki siapa dia."
Pusparini dengan langkah hati-hati mencoba meng-
intai. Dia terlambat mengetahui sebab sosok tubuh itu telah melesat keluar.
Pusparini semakin penasaran.
Dia membuntuti langkah sosok tubuh itu. Bayangan
berkelebat dia lihat menuju halaman belakang. Akhirnya sosok tubuh itu bisa
dilihat dengan nyata walaupun cuma sekelebat.
"Sri Tanjung?" pikir Pusparini. "Apa kerjanya dia
berlaku melapati kamarku yang kemudian ke halaman belakang itu" Bukankah di sana
tempat kamar Ken
Akung" Waktu siang tadi perhatiannya tiba-tiba saja beralih kepada pemuda itu.
Katanya dengan alasan il-mu kanuragan yang pernah dilakukan oleh Ken
Akung. Akan kuikuti saja dari jauh. Siapa buntut peristiwanya membuatku harus
turun tangan"!" pikir
Pusparini yang kini telah bertengger di atas atap rumah.
Sementara itu Sri Tanjung yang mengendap ke arah
kamar Ken Akung telah sampai di depan pintu. De-
ngan tindak hati-hati dia memeriksa pintu kamar tersebut. Ternyata tidak
dikunci. "Gila," pikir Pusparini yang mengawasi dari atas
atap. "Sri Tanjung masuk ke kamar itu!"
Apa yang terjadi di dalam kamar, Pusparini tidak
tahu. Dia menunggu beberapa saat. Tak ada peristiwa apa-apa.
"Aneh! Sri Tanjung nggak keluar-keluar. Apakah
mereka... oh, tak mungkin! Sri Tanjung berkata kalau dia belum kenal dengan Ken
Akung sebelumnya. Hanya tahu bahwa pemuda itu pernah dilihatnya me-
ngerahkan ilmu kanuragan sewaktu membela diri pada
suatu bentrokan. Ataukah perkenalan siang tadi mem-
buat malam ini mereka bisa berkenalan lebih intim?"
Pikiran Pusparini tiba-tiba menjadi kacau. Hal-hal begini membuat perasaannya
tiba-tiba menggelegak. Ada rangsangan yang membuat napasnya berpacu dengan
cepat. Kemudian dia nekad! Dengan gerakan meringankan
tubuh secermat mungkin dia mendekati kamar itu. Dia ingin mengintip ke dalam!
"Oh!" hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini. Dia tidak melanjutkan
intipannya. Dia bergerak menghindari tempat itu. Semua dilakukan dengan cepat
tanpa suara. Lalu masuk kamar. Napas Pusparini berpadu.
Dia memejamkan mata, seolah ingin menghapus pe-
mandangan yang baru dilihatnya. Tapi bagaimanapun
dia berusaha melupakan, gambaran tersebut semakin
nyata membenam dalam ingatannya.
"Tak kuduga!" bisik hatinya. "Bagaimana Sri Tan-
jung bisa terlibat dalam perbuatan itu" Pasti dia bohong kalau tidak kenal
dengan Ken Akung. Tampaknya
mereka telah kenal cukup lama. Tak mungkin kalau
belum saling bengenal bisa bertindak seperti itu...!"
"Kak, Rini"!"
Pusparini terkejut. Dilihat Ranti terjaga dari tidurnya mengawasi dirinya.
"Ranti"! Kau... mimpi buruk lagi?"
"Tidak! Hanya tiba-tiba terjaga. Dan kulihat kau belum tidur," kata Ranti sambil
bangkit dari tidurnya.
Ranti turun dari balai-balai dan hendak keluar ka-
mar. "Mau ke mana?" tanya Pusparini.
"Pipis!" jawab Ranti singkat. "Bisa mengantar, Kak?"
Pusparini menghela napas. Dia tahu kamar mandi
rumah itu terletak di belakang. Dan kamar mandi tersebut tak jauh dari kamar Ken
Akung. Tiba-tiba pikiran Pusparini usil. Dia mau saja mengantar Ranti untuk ke
belakang dengan harapan memergoki Sri Tan-
jung seandainya keluar kamar.
Mereka berdua melangkah ke sana. Tak ada perca-
kapan. Tapi hati Pusparini harap-harap cemas se-
sampai di depan kamar Ken Akung. Kamar itu masih
tertutup. Pusparini membayangkan apa yang terjadi di dalamnya. Dan selama Ranti
masuk ke kamar mandi,
maka Pusparini tetap tegak di depan kamar Ken
Akung. Dia berdehem kecil agar mengundang perhatian me-
reka yang ada di dalam. Lalu mondar-mandir di sana.
Inderanya dipertajam untuk memantau suara-suara di
dalam kamar Ken Akung. Kalau bukan orang yang ter-
latih, pasti tidak akan bisa mendengarkan seperti itu.
Bahkan sebatang jarum akan bisa didengar sean-
dainya jatuh di dalam kamar yang tertutup tersebut.
Dan Pusparini memang mendengar suara-suara di
dalam kamar. Tampaknya keadaan di dalam tidak
mempedulikan apapun yang terjadi di luar. Lalu sikap usil pun dilakukan oleh
Pusparini. "Cepetan Ranti, kalau pipis! Aku kedinginan di luar.
Mendingan di dalam kamar. Anget!" kata Pusparini
dengan ketawa cekikikan dalam hatinya sendiri. Dilihatnya Ranti telah keluar
dari kamar mandi.
"Sudah"!" tanya Pusparini.
Ranti mengangguk. Tapi gadis itu heran ketika dili-
hatnya Pusparini tetap berlama-lama di depan pintu
kamar Ken Akung.
"Ayoh, Kak! Katanya dingin di luar. Aku sudah sele-
sai pipis, kok!" kata Ranti.
Mereka berdua kembali ke dalam. Tapi sesampai di
depan kamar Sri Tanjung, Pusparini berhenti.
"Ada apa?" tanya Ranti.
"Aku ingin menengok Sri Tanjung," jawab Pusparini.
Dia tahu bahwa Sri Tanjung tidak bakalan ada di
dalam kamarnya. Sri Tanjung sekarang berada dalam
dekapan Ken Akung di kamar belakang. Mereka se-
dang bercinta di sana. Dan semua itu persetan bagi
Pusparini. Dia merasa dikibuli oleh Sri Tanjung yang katanya tidak mengenal Ken
Akung. Hanya pernah melihat sewaktu pemuda itu mengerahkan ilmu kanu-
ragan dalam suatu bentrokan. Tak lebih dari itu. Dan siang tadi ada kesempatan
untuk berkenalan. Siapa
menyangka kalau buntutnya dilanjutkan dengan ber-
main cinta pada malam harinya. Dan Pusparini meli-
hat bahwa Sri Tanjung berada di pihak yang penasa-
ran. Sri Tanjung masuk ke dalam kamar Ken Akung!
Lalu kamar Sri Tanjung dibuka oleh Pusparini. Ka-
mar yang daun pintunya tidak dikunci itu kini terkuak lebar. Dugaan yang
mengarah kepada balai-balai yang pasti tidak ditempati, ternyata meleset. Di
sana terlihat sesosok tubuh terbaring! Perasaan Pusparini tersirap.
"Sri"! Sri Tanjung?" sapa Pusparini ragu-ragu.
Sri Tanjung tampak pulas tidur. Tiba-tiba perasaan
Pusparini tercekam rasa curiga. Jadi siapa yang berada di kamar Ken Akung"
Padahal terlihat dengan jelas beberapa saat yang lalu Sri Tanjung memasuki kamar
Ken Akung, dan di sana terjadi peristiwa yang Pusparini sendiri tak bisa
membayangkan. "Ini pasti ada yang tidak beres," pikir Pusparini.
Ranti yang sejak tadi mengawasi, jadi heran melihat Pusparini tiba-tiba berlari
ke belakang rumah. Sesampai di depan kamar Ken Akung, langsung Pusparini
menggedor pintu.
"Ken Akung! Buka pintunya!" seru Pusparini tegas.
Pintu terbuka. Ken Akung muncul di ambang pintu.
"Pusparini" Ada apa?" tanyanya.
Pusparini menjengukkan kepala ke dalam. Dia ce-
pat-cepat menarik tubuhnya keluar, "Maaf! Kukira ada pencuri masuk ke kamarmu."
Pusparini berlalu dari sana. Langkahnya diawasi
dengan pandangan tajam oleh Ken Akung. Lalu terlihat sesungging senyum menghias
bibir pemuda ini sambil
kembali masuk ke dalam kamar.
*** Esok harinya....
Sejak subuh Pusparini telah menyatroni depan ka-
mar Sri Tanjung. Dia melihat Sri Tanjung keluar ka-
mar untuk pergi mandi.
"Nyenyak tidurmu semalam?" tanya Pusparini.
Sri Tanjung menguap.
"Tampaknya begitu. Aku hampir saja kesiangan ka-
lau tak kudengar suaramu di depan kamar. Tumben
kau pagi-pagi sudah necis!"
"Aku mau pergi!"
"O, ya" Ke mana?" tanya Sri Tanjung menunda
langkahnya yang hendak terus ke kamar mandi.
"Ya... ada urusan sedikit."
"Ranti ikut?"
"Tidak!" jawab Pusparini singkat. "Justru kalau kau masih berada di sini, aku
minta tolong agar dia kau awasi."
Sri Tanjung tak sempat berkata apa-apa di saat
Pusparini melangkahkan kaki dari sana.
Apa yang akan dilakukan oleh Pusparini" Yang je-
las, sampai sore dia belum kembali ke sana. Sampai
pada malam harinya, juga belum muncul.


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh. Kak Rini pergi tanpa memberi tahu untuk
urusan apa," kata Ranti kepada Sri Tanjung yang me-
nemani tidur pada malam harinya.
"Siapa tahu urusan orang, Dik Ranti", jawab Sri
Tanjung. "Sudah, ah. Aku mau tidur!"
Ranti masih belum memejamkan mata ketika dili-
hatnya Sri Tanjung telah lelap terseret rasa ngantuk.
Ranti merasa tidak seperti biasanya. Walaupun ada
yang menunggu tidur sekamar, rasanya tidak tenang.
Sebentar tengkurap, sebentar terlentang. Dan sikap ini ternyata dilirik oleh Sri
Tanjung yang sebenarnya pura-pura tidur.
"Tidak bisa tidur, Dik Ranti?" sapa Sri Tanjung.
"Oh! Enghm... sukar untuk tidur. Kak Sri belum ti-
dur juga?"
"Tadi cuma sekelebat saja tertidur. Aku agak terjaga ketika kulihat kau masih
resah," kata Sri Tanjung
sambil bangkit dari balai-balainya. "Kalau sukar tidur, aku punya obatnya."
"Obat tidur?" tanya Ranti sungguh-sungguh.
"Yah, semacam itu. Tapi caraku lain. Mau coba?"
Ranti mengawasi Sri Tanjung dengan penuh ragu-
ragu. "Baik! Dengan cara apa?"
"Pijit!" jawab Sri Tanjung singkat. "Tenang. Seka-
rang terlentanglah."
Ranti menurut apa yang dikatakan Sri Tanjung.
Kemudian tangan Sri Tanjung menotok urat jalan da-
rah Ranti pada leher dan kening. Sekejap kemudian
gadis ini memejamkan mata. Tertidur!
Sri Tanjung tersenyum. "Apa susahnya membuat
orang tertidur" Kalau tidak begitu, akan menjadi peng-ganggu acaraku." Lalu dia
keluar kamar. Dengan langkah tenang, Sri Tanjung menuju kamar belakang. Ke
kamar Ken Akung!
"Kukira kau tidak datang lagi," sambut Ken Akung
terlentang di balai-balai.
"Ya, hampir saja, kalau Ranti tak tidur-tidur. Aku
terpaksa menotok jalan darahnya agar dia tertidur,"
jawab Sri Tanjung yang langsung bertengger di atas
perut Ken Akung.
"Kau tetap saja binal, seperti kemarin malam itu,"
kata Ken Akung dengan membiarkan Sri Tanjung
membelai-belai dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu ha-
lus. "Kemarin kita tak sempat bercakap-cakap kecuali kau sibuk menggelutiku. Itu
luapan kerinduanmu?"
"Ledakan birahiku!" jawab Sri Tanjung terus mema-
gut bibir Ken Akung.
Laki-laki ini mengimbangi. Untuk beberapa saat tak
terdengar pembicaraan. Hanya desah napas yang kian
berpacu. Dan mereka tak peduli keadaan di sekitarnya, karena mereka merasa aman.
Dan balai-balai itu untuk selama dua malam menjadi saksi bisu perbuatan
mereka. Saksi bisu" Betulkah"
Tidak!!! Ternyata ada saksi lain yang hidup. Ya, hidup. Dia sebagai orang ketiga
di kamar itu. Dia menahan napas dan perasaan selama dua insan itu
mengobral kedahagaan birahi. Sebab, dia berada di kolong tempat tidur itu.
Bersembunyi di sana sejak pagi.
Sejak Ken Akung pergi ke sawah, dia dengan cepat
menyelinap ke dalam kamar itu. Siapakah dia" Tiada
lain adalah Pusparini!!! Ya, si gadis pendekar yang bergelar Walet Emas, telah
berada di sana. Dia bertindak begitu untuk mengungkap rahasia Sri Tanjung dan
Ken Akung. Dia ingin menjebak, karena merasa dike-
labuhi. Betapa mangkelnya dia ketika Sri Tanjung
mengaku bahwa tidak kenal dengan Ken Kaung. Ka-
tanya hanya tahu sewaktu pemuda itu mengerahkan
ilmu kanuragan sewaktu bentrok dengan seseorang.
"Seseorang tahi kucing," gerutu Pusparini dalam ha-
ti yang tetap tenang bersembunyi di kolong tempat tidur. Dia dengan tekun
mengikuti apa saja yang diden-garnya. Mulai desah napas, rintihan, sampai
tingkah polah sehingga balai-balai itu terasa seperti dilanda gempa bumi, semua
direkam dengan baik dalam ingatannya. Dan hampir semalaman Pusparini merasa ter-
siksa. Bukannya karena lapar karena sehari semalam
tidak makan dan minum, tapi tersiksa mendengar sua-
ra-suara Sri Tanjung dan Ken Akung bermain cinta di atasnya, sementara dia
sendiri mendekam di kolong
balai-balai. "Bagaimana dengan Pusparini" Pergi kemana dia?"
terdengar suara Ken Akung.
Dan entah apa yang dilakukan, tiba-tiba terdengar
suara rintihan Sri Tanjung kegelian. Lalu diam beberapa saat. Hanya napas
berpacu yang terdengar. Ke-
mudian hening lagi.
"Pusparini ada urusan. Entah kemana dia," terde-
ngar suara Sri Tanjung. Dia menghela napas panjang.
"Aku tak tahu apa kerjanya selama ini. Kelihatannya menghayati naluri
kependekaran dengan mengembara.
Orang seperti dia biasanya lebih condong membela kepada kaum yang lemah. Dan dia
cukup tangguh."
"Lalu kau sendiri bagaimana setelah beberapa bu-
lan ini kita berpisah" Apakah jejak mencari Dewa Mim-pi telah kau peroleh?"
tanya Ken Akung.
"Belum. Tapi kudengar berita slentingan, bahwa
Dewa Mimpi bercokol di daerah sekitar Gunung Wilis,"
sahut Sri Tanjung dengan suara mendesah pelan, lalu merintih, dan merintih. Dan
napas keletihan terdengar serentak.
Pusparini menggigit bibirnya. Peluh dinginnya ke-
luar. Mau rasanya dia keluar dari kolong balai-balai dan menghajar mereka. Tapi
benarkah tindakannya"
Apalagi kalau dia diketahui berada di kolong balai-
balai untuk memata-matai kedua insan yang lagi
asyik-masyuk itu. Lantas yang tak bermoral siapa" Dia atau mereka"
Kemudian tak terdengar percakapan lagi. Pusparini
menunggu lama sekali.
"Mereka tertidur?" pikirnya.
Dengan hati-hati Pusparini mengubah posisi tubuh-
nya yang sejak tadi tertelungkup. Kini dia terlentang di bawah balai-balai.
Timbul rasa was-wasnya kalau gerakannya terdengar oleh mereka. Kalau mau mereka
pasti bisa mempertajam indera pendengarannya dan
mengetahui apa yang terdapat di kolong balai-balai.
Ternyata tidak. Mereka tak curiga sedikit pun, dan
tak pernah terbetik prasangka bahwa ada seseorang
yang menyaksikan perbuatan mereka, walaupun lewat
pendengaran semata.
Dan... ketika fajar hampir merekah....
"Sialan! Hampir saja kesiangan. Sri, cepat kembali
ke kamarmu!" gugah Ken Akung dengan menggosok-
gosok punggung Sri Tanjung.
"Mengapa mesti cemas" Pusparini yang suka ba-
ngun pagi itu sedang tidak ada. Sedang Nyai Sandhing tidak akan ke rumah
belakang kalau matahari belum
tinggi. Itu kebiasaannya seperti yang kau katakan kepadaku. Tapi kemarin,
Pusparini nyaris memergoki
aku. Untung aku cepat melesat keluar dari kamarmu
lewat jendela. Dan aku masuk kamar lewat jendela pu-la. Tampaknya dia curiga.
Tapi tak bisa membuktikan bahwa kita telah tidur bersama," kata Sri Tanjung
sambil bangkit dari balai-balai. Dia membenahi pa-
kaiannya. Selagi asyik begitu, tiba-tiba tusuk kondenya jatuh.
Perasaan Pusparini tersirap. Dia melihat tusuk konde Sri Tanjung jatuh. Kalau
Sri Tanjung mengambilnya,
pasti akan melongok ke bawah. Tapi ternyata tidak.
Ken Akung yang mengambilkan, tanpa melongok ke
bawah! Pusparini bernapas lega. Kemudian dilihatnya kaki Sri Tanjung melangkah
keluar. Lalu tak berapa
lama kemudian diikuti Ken Akung.
Kini kamar itu sepi. Tak ada siapa-siapa kecuali
Pusparini yang masih mendekam di bawah balai-balai.
"Aku harus keluar sekarang sebelum Ken Akung da-
tang lagi ke kamarnya. Pasti dia sedang mandi," pikir Pusparini yang kemudian
keluar dari tempat itu.
Pusparini terus melesat ke teritisan rumah. Dia akan berlaku seolah-olah baru
datang dari kepergiannya kemarin.
Memang tak ada yang curiga. Bahkan nyai Sandh-
ing menyapa ketika berpapasan di halaman. Pusparini terus memasuki halaman
belakang. Di sini dia melihat Sri Tanjung keluar dari kamar Ranti.
"Hei, kau sepagi ini sudah datang. Bagaimana hasil
kerjamu?" tanya Sri Tanjung.
"Lumayan," jawab Pusparini terus berlalu untuk
masuk kamar. "Lumayan bagaimana?" tanya Sri Tanjung yang ti-
dak mengerti sama sekali tujuan kepergian Pusparini.
"Lumayan yang... ya... mengasyikkan sekali. Tapi..., mengapa kau kelihatan awut-
awutan pagi ini" Apakah
tidurmu semalam gelisah?" ledek Pusparini dengan
melempar senyum penuh arti.
"Eh, aku... ya, memang sulit tidur. Semalam rasa-
nya gerah sekali. Panas!" jawab Sri Tanjung terus menuju kamar mandi.
Pusparini mengawasi langkah Sri Tanjung yang
ngeblas ke belakang. Dia berharap sindiran itu me-nyengat perasaan Sri Tanjung.
"Tampaknya dia tetap stel ndableg (masa bodoh, cuek bebek)," pikir Pusparini
sambil menghempaskan
diri di atas balai-balai kamarnya.
Tempat itu semalam tidak dihuni oleh Sri Tanjung.
Wanita itu mendekam di kamar Ken Akung. Sedang-
kan Ranti sudah tak ada di kamarnya lagi. Rupanya
Sri Tanjung telah melepaskan totok jalan darahnya,
sehingga bisa bangun lagi dan gadis itu pergi mandi.
Di rumah itu terdapat dua buah sumur dan bebera-
pa kamar mandi. Satu sumur untuk laki-laki, yang sa-tu untuk wanita. Nyai
Sandhing termasuk tokoh tua
yang kolot. Jadi hal-hal seperti itu diperhatikan betul.
Tapi sejak kedatangan Pusparini dan Sri Tanjung, di sana telah terjadi peristiwa
di luar sepengetahuannya.
Kalau saja hal itu dipergoki oleh Nyai Sandhing, Pusparini tak bisa membayangkan
apa yang bakal terjadi.
Hari itu suatu rahasia telah tergenggam di tangan
Pusparini. *** TIGA KETIKA Sri Tanjung mendesak Pusparini dengan tu-
juan kepergiannya kemarin lalu dijawab mencari se-
seorang ke Gunung Wilis, rasanya jawaban itu sangat menarik perhatiannya.
Padahal Pusparini hanya me-nyindir Sri Tanjung sendiri tentang Gunung Wilis, di
mana masalah tersebut dijawab ketika Ken Akung bertanya tentang Dewa Mimpi.
"Kau akan mencari seseorang ke Gunung Wilis"
Siapa yang kau cari?" tanya Sri Tanjung mulai ter-
pancing. "Kekasihku! Sebetulnya kami akan menikah dua
bulan lalu. Entah karena apa maka dia sampai seka-
rang belum pulang dari Gunung Wilis," kata Pusparini berbohong. Hati kecilnya
ketawa ketika melihat Sri
Tanjung tampak serius menanggapi.
"Kekasihmu ke Gunung Wilis" Siapa namanya?" de-
sak Sri Tanjung.
"Namanya..." Enghm... kukira aku berhak meraha-
siakan. Jadi maaf saja," jawab Pusparini dengan nada santai. "Itu rahasia
pribadi, Sri! Kalau aku bertanya kepadamu siapa kekasihmu, maukah kau menjawab
dengan jujur" Tidak, bukan" Aku tahu itu."
"Aku juga hendak ke Gunung Wilis," kata Sri Tan-
jung. "Oh, ya?" sela Pusparini. "Kapan berangkat?"
"Dalam satu atau dua hari ini. Atau kalau ada pe-
rubahan pikiran, bisa lebih cepat. Mungkin besok," ka-ta Sri Tanjung yang
rupanya mencoba mengimbangi
omongan Pusparini. Dia ingin memberi kesan bahwa
dirinya pun punya urusan lebih penting.
"Apakah itu tentang... Dewa mimpi?"
"Oh, ya! Bukankah aku pernah mengatakan hal itu
kepadamu, bukan" Memang itu urusanku. Tapi... aku
tak akan sendirian lagi. Ken Akung akan menemani
aku," kata Sri Tanjung dengan menggigit-gigit bibirnya menandakan bahwa dia pun
tidak mau kalah kalau
Pusparini telah berbicara soal kekasih.
"Dengan Ken Akung" Ah, bukan main. Begitu ce-
patnya kau berakrab-akrab dengan pemuda itu. Tentu
kau akan minta ijin Nyai Sandhing untuk memba-
wanya," reaksi Pusparini ketika mendengar rencana Sri Tanjung.
"Kau pikir aku akan menghadapi kesulitan untuk
minta ijin kepada beliau?" sanggah Sri Tanjung.
Pusparini hanya mengangkat bahu, lalu ngeluyur
pergi. Langkahnya dilirik oleh Sri Tanjung dengan
pandangan ketus. Sri Tanjung merasa omongan Pus-
parini seperti penuh nada sindiran. Dia khawatir Pusparini telah tahu banyak
tentang hubungannya dengan Ken Akung. Tapi benar-benar tak menduga kalau
Pusparini telah nekad mendekam di bawah balai-balai Ken Akung selama sehari
semalam. Kalau saja tahu... ah...!
"Melamun"!" teguran ini membuat Sri Tanjung ka-
get. Ranti menegurnya sehabis mandi. "Ayo, cepetan
makan. Kata Nenek akan ada perlombaan tanding di
Oro-oro Ombo. Aku ingin sekali melihat. Setelah sarapan, Nenek mengajakku ke
sana. Kak Sri tidak ikut
nonton?" Lalu mata gadis ini berpaling. Dia melihat Pusparini membenahi
bungkusannya. Lalu pedang ampuhnya yang disebut Pedang Merapi Dahana dibersih-
kan dengan menggosok celah ukiran sarungnya.
"Jadi ikut nonton perlombaan tanding?" tanya Ranti
kepada Pusparini.
Perlombaan tanding adalah keramaian tradisi se-
tempat yang menunjukkan adu ketangkasan untuk
menyambut saat panen. Dan lima hari lagi Desa Ba-
yeman memasuki masa panen padi. Seperti yang telah
direncanakan, Nyai Sandhing dan Ranti berangkat ke
Oro-oro Ombo yang terletak di tengah Desa Bayeman.
Di sana ada lapangan sangat luas. Kedua orang ini
membaur di antara orang-orang yang berjubel untuk
menyaksikan perlombaan tanding.
Pusparini, Sri Tanjung, dan Ken Akung menyusul
belakangan. Mereka bertiga berangkat bersama, tapi
sesampai di sana, Sri Tanjung memisahkan diri, entah ke mana. Sedang Pusparini
dengan Ken Akung masih
berdua di tengah berjubel orang-orang yang menonton di sana.
"Sri Tanjung ke mana?" tanya Ken Akung pura-pura
tak tahu tentang Sri Tanjung, padahal ketika memi-


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahkan diri sempat memberi isyarat.
"Seharusnya aku yang bertanya kepadamu," jawab
Pusparini. Ken Akung merasa tersindir. Dalam desakan orang-
orang di sana, mereka berdua terpaksa berhimpitan
sewaktu tegak melongokkan leher agar bisa jelas menyaksikan acara pertunjukan.
Dada Ken Akung me-
nempel ke punggung Pusparini. Terasa bahwa Ken
Akung mempergunakan kesempatan ini untuk bisa
berhimpit-himpitan dengan Pusparini.
Tangan Ken Akung entah usil atau tidak, yang jelas
Pusparini merasakan bahwa tangan laki-laki itu telah mengelus pantatnya. Untuk
beberapa saat Pusparini
membiarkan tangan itu bergerak seenaknya. Dan ke-
simpulannya, memang Ken Akung telah dengan se-
ngaja berbuat seperti itu.
"Kau memang pemuda kurang ajar," kata Pusparini
lirih tanpa melihat Ken Akung. Pandangannya tetap
tertuju ke depan.
Ucapan ini belum mengendorkan sikap Ken Akung.
Tangan itu tetap mengelus dengan lembut, bahkan
merayap kemana-mana. Kadang-kadang disertai teka-
nan dengan ujung-ujung jarinya.
"Mengapa kau bersembunyi di kolong tempat tidur-
ku dan memata-matai perbuatanku dengan Sri Tan-
jung?" kata Ken Akung membuka rahasia.
Kalau saat itu ada halilintar meledak, Pusparini tidak akan terkejut. Justru
ucapan Ken Akung dirasa-
kan sebagai ledakan seribu halilintar di sampingnya.
Betapa malunya dia! Jadi Ken Akung tahu" Bagaimana
mungkin" Mengapa dia tidak menindak perbuatannya
yang bersembunyi di kolong tempat tidur Ken Akung
pada saat itu"
"Kau... mengetahui kehadiranku di sana?" terdengar
suara Pusparini lirih dan tersendat di tenggorokannya.
Tubuhnya rasanya lunglai kehilangan otot penyangga.
Kalau tidak disangga Ken Akung, mungkin tubuhnya
telah limbung ke tanah. Betapa perkasanya Pusparini sebagai pendekar, tapi
ketika ketanggor masalah ini, dia benar-benar kehilangan muka. Oh, betapa
malunya dia! Mau ditaruh ke mana mukanya"
Orang-orang bersorak-sorai menyaksikan pertunju-
kan ketangkasan di sana. Ada panahan, gulat, meniti tambang dan lain-lain. Tapi
semua itu sirna dari mata Pusparini. Semua itu tak ada yang mengusik indranya
yang kini terasa dibelenggu rasa malu yang tidak ketu-lungan!
"Kau tadi bilang aku pemuda kurang ajar. Apakah
aku kini boleh bilang bahwa kau pemudi yang kurang
ajar?" kata Ken Akung tanpa menghentikan tindakan-
nya yang kian berani meraba-raba pinggulnya di an-
tara himpitan orang-orang yang berjubel di kanan-
kirinya. "Apa yang harus dikatakan terhadap seorang
gadis semacam kau yang dengan sengaja memasuki
kamar laki-laki hanya untuk mengintip orang bermain cinta?"
Pusparini mencoba menguasai perasaannya yang
terguncang. Masalah itu harus diselesaikan tanpa tedeng aling-aling. Artinya,
dia akan berterus-terang kepada Ken Akung mengapa dirinya sampai berbuat se-
perti itu. Dia hanya ingin membuktikan kebohongan
Sri Tanjung. Bahwa Sri Tanjung mengatakan tidak
pernah kenal dengan Ken Akung. Tapi kenyataannya"
Mereka terlibat main cinta di ranjang.
"Jadi begitu alasannya?" bisik Ken Akung di sam-
ping telinga Pusparini. "Lalu kesimpulanmu bagaima-
na" Adakah yang membahayakan dirimu setelah tahu
bahwa kami sebenarnya saling mengenal?"
"Sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang me-
ngandung teka-teki, hal itu selalu menggelitik hasrat-ku untuk kuselidiki. Siapa
tahu akan mempunyai
dampak membahayakan orang lain?" ungkap Puspari-
ni mencoba mencari jalan keluar dari perasaannya
yang masih tercekam.
"Hei! Kalian masih di situ?" tiba-tiba teriakan ini menyadarkan mereka. Suara
teguran Sri Tanjung. Dia
datang lagi menghampiri Ken Akung dan Pusparini.
Melihat Sri Tanjung muncul, cepat-cepat Ken Akung
merenggangkan tubuhnya dari tubuh Pusparini yang
sejak tadi dihimpit. Orang-orang di sekitarnya memberi jalan kepada Sri Tanjung.
"Aku telah mendaftar untuk ikut lomba itu. Kalian
juga sudah kudaftar," kata Sri Tanjung tanpa curiga sedikit pun terhadap Ken
Akung dan Pusparini yang
telah mengungkap peristiwa itu.
"Kau gila!" sanggah Ken Akung. "Aku tak mau jadi
tontonan."
"Aku juga, Sri. Seharusnya kau mengatakan hal itu
terlebih dulu. Jangan hantam kromo," seru Pusparini pula. Keadaan ini ada
untungnya. Sebab masalah dengan Ken Akung terhadap peristiwa tersebut, agaknya
tergeser. Kesimpulan lain yang bisa diketahui oleh
Pusparini, bahwa Ken Akung tidak membeberkan per-
buatan Pusparini tersebut kepada Sri Tanjung. Ini
yang membuat Pusparini agak lega.
"Hei, kalian jangan memalukan aku," sahut Sri Tan-
jung. "Hei, Rini, kau tau nggak, siapa orang yang
menggelar adu tanding ini" Dia adalah kepala pimpi-
nan orang-orang yang bentrok denganmu di jembatan
beberapa hari yang lalu! Namanya Den Bagus Pangge-
laran!" "Den Bagus Panggelaran?" tanya Pusparini ingin
kepastian. Walaupun dia belum tahu dan kenal de-
ngan tokoh ini, menurut cerita pemilik warung tempo hari, bahwa dia tak boleh
main-main apabila telah be-rurusan dengannya. "Nah, tuh, kalian lihat beberapa
laki-laki bertampang kasar yang melihat ke arah kita"
Mereka anak buahnya. Mereka telah tahu kita semua
akan ikut adu tanding. Tak boleh ada yang surut mengundurkan diri kalau sudah
tercatat sebagai peserta,"
kata Sri Tanjung menganggap ringan masalah itu.
"Kau gila, Sri," sahut Pusparini jengkel.
Ken Akung cuma diam. Dia merasa keberatan un-
tuk tampil ke sana. "Kalian saja yang tampil duluan.
Aku nanti menyusul."
"Apa" Sekarang ini kita ke sana untuk mengambil
nomor undian. Di sana nanti akan tahu lomba apa
yang harus kita lakukan," gertak Sri Tanjung. "Jangan mempermalu aku. Hadiah
bagi yang menang kukira
cukup lumayan. Sapi sepasang!"
"Tak kuduga kau cuma tergiur hadiahnya. Kau ti-
dak mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Ku-
kira adu tanding ini berlatar belakang mencari orang-orang tangguh," sela
Pusparini. "Aku sependapat begitu," sambung Ken Akung.
"Wah, wah! Baru beberapa kejap saja kalian kuting-
gal, rupanya telah sehati untuk menentang kehendak-
ku," kata Sri Tanjung dengan nada sengol.
"Hei! Kalian bertiga!" tiba-tiba terdengar seruan dari orang yang sejak tadi
memperhatikan mereka. "Jangan buang waktu. Ayo ambil nomor undian!"
"Dia yang ikut lomba. Bukan aku!" sanggah Puspa-
rini. "Tidak bisa!" seru orang brewok itu lagi. "Kalian ta-hu apa akibatnya kalau
merusak acara ini?"
"Rini! Sebaiknya kita ikuti saja," kata Ken Akung
dengan tatapan mata penuh arti kepada Pusparini.
Wanita yang punya gelar kependekaran Walet Emas
ini mengerti. Dia jadi segan terhadap Ken Akung. Dia khawatir kalau Ken Akung
membuka rahasia tersebut
kepada Sri Tanjung.
"Baik! Mari kita ke sana," jawab Pusparini enggan.
Sri Tanjung melempar senyum lega. Kemudian me-
reka bertiga beranjak dari sana menuju ke tempat pa-nitia.
*** EMPAT ADALAH seorang tokoh bernama Den Bagus Pang-
gelaran yang duduk dengan penuh kebesaran di pang-
gung yang menghadap tempat arena adu tanding. Laki-
laki berumur sekitar empat puluhan tahun ini berwa-
jah klimis, artinya pesolek. Tak ada kumis dan jenggot seperti anggota
bawahannya yang banyak bertampang
angker. Ketika Pusparini, Sri Tanjung dan Ken Akung tampil
untuk mengambil nomor undian, seseorang membisik-
kan kepada Den Bagus Panggelaran dengan panda-
ngan mata ditujukan ke arah Pusparini. Den Bagus
Panggelaran manggut-manggut dengan melempar pan-
dangan dingin ke arah Pusparini. Kemudian tokoh ini memberi isyarat kepada salah
seorang bawahannya
yang berpakaian sangat minim, cuma mengenakan
cawat berwarna merah. Sosok tubuhnya dempal, wa-
laupun agak gendut. Ternyata orang inilah yang akan memberikan undian kepada
Pusparini, Sri Tanjung
dan Ken Akung. Beberapa pertunjukan adu tanding telah terjalani
dengan baik. Semua mengandung hiburan, dan peme-
nangnya mendapat imbalan hadiah seekor sapi pada
urutan pertama, lalu kambing, ayam, dan bebek.
Kini mereka bertiga telah mengambil undian berupa
lembaran daun lontar yang berada di sebuah kendil.
Lalu masing-masing membaca tulisan yang tertulis di situ. Sesaat kemudian mereka
bertiga berpandangan.
"Pertandingan khusus"!" Ken Akung mencetuskan
omongan yang ditujukan kepada dua wanita di sam-
pingnya. "Aku juga," sahut Sri Tanjung. "Kau, Rini?"
"Pertandingan khusus juga. Apa artinya ini" Coba
kau tanyakan kepada si cawat merah itu," kata Pusparini kepada Ken Akung.
Pemuda ini segera menghadap laki-laki bercawat
merah. "Kami tidak mengerti dengan 'Pertandingan
Khusus' yang harus kami hadapi."
Laki-laki bercawat merah mengumbar senyum. Ter-
lihat gigi-giginya yang besar dan jarang. Bibirnya yang tebal mengembang. "Kalau
kalian ingin tahu arti 'Pertandingan Khusus', itu artinya bertarung menghadapi
aku!" katanya dengan bangga.
Pusparini, Sri Tanjung, dan Ken Akung saling ber-
pandangan dan mengangkat bahu. Karena mereka ber-
tiga datang ke tempat itu tanpa membawa senjata,
maka sudah dipastikan mereka akan bertarung de-
ngan tangan kosong. Kecuali kalau pihak penyelengga-ra menyediakan sarananya.
"Di sana tempatnya," kata laki-laki bercawat merah
dengan menunjuk ke suatu tempat.
Di sana terdapat sebatang kayu pohon jambe yang
ditanam tegak di tengah kubangan pasir. Batang jambe itu sebelumnya dilumuri
dengan lemak sehingga licin apabila dipanjat. Sedangkan pada pasir di
sekelilingnya disiram dengan minyak. Di ujung atas batang po-
hon jambe setinggi dua belas meter itu dibangun panggung kecil yang cukup
diduduki oleh satu orang. Jadi pertandingannya, siapa yang bisa mencapai tempat
di atas dan duduk di panggung kecil itu, maka dialah
pemenangnya. Sedangkan yang kalah akan mengalami
nasib celaka, sebab pasir yang berminyak itu akan dibakar. Pusparini, Sri
Tanjung dan Ken Akung harus
berlomba naik ke atas sana kalau tubuhnya tidak ingin dijilat api. Sedangkan
peranan laki-laki bercawat merah itu hanya menggagalkan atau menghalang-
halangi agar ketiganya tidak bisa memanjat batang pohon jambe itu. Jarak pasir
yang akan menyala api
dengan batang jambe hanya sekitar satu depa. Di ba-
wah batang pohon itu berdiri laki-laki bercawat merah.
Sebelum pasir berminyak dibakar, secara aman Puspa-
rini, Sri Tanjung, dan Ken Akung dengan leluasa bisa tegak di sana. Tapi kalau
api sudah dinyalakan, mereka harus berlomba naik ke atas!
"Hm, maut juga acaranya," komentar Sri Tajung.
"Kita berlomba untuk bisa naik ke atas dan duduk di sana. Berarti ada empat
masalah. Pertama, kita tak ingin terbakar. Dua, di antara kita harus berebut
naik ke atas. Tiga, si cawat merah akan menggagalkan kita.
Empat, batang berlemak itu sangat licin untuk dipanjat!"
"Ya, ini gara-garamu juga. Sok usil mendaftarkan
diri dalam lomba. Kalau kita menolak, kita bisa berhadapan dengan jago-jago
kepruknya itu. Tapi terhadap warga desa kalau kita tidak melakukan, bisa dituduh
penghinaan terhadap adat setempat," komentar Pusparini ketus.
Dalam hati mereka sebenarnya punya jalan keluar.
Apa susahnya memanjat batang pohon jambe yang li-
cin berlemak itu" Bukankah dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh hal itu bisa teratasi" Masalahnya sekarang adalah, mereka
harus saling berebut, belum lagi halangan dari laki-laki bercawat merah itu.
Mereka harus memanjat. Tidak boleh melompat ke
atas walaupun kemampuan untuk itu bisa mereka la-
kukan. Sebelum pertandingan dimulai, seseorang tampil
memberi pengumuman, bahwa seperti tahun-tahun
kemarin di mana lomba macam ini telah diselenggara-
kan, belum pernah ada seorang pun yang berhasil
memanjat ke atas. Beberapa orang telah tewas terba-
kar. Paling tidak menderita luka bakar yang cukup parah, cacat seumur hidup.
Untuk itu hadiah lomba disediakan semakin tinggi saja. Kali ini hadiahnya sebuah
sabuk emas! Semua telah diumumkan. Baik penonton maupun
peserta lomba telah memahami aturan main serta ha-
diahnya. "Gila! Itu kan Kak Rini dan Sri Tanjung serta Ken
Akung!" seru Ranti di samping neneknya, Nyai Sandh-
ing. Orang tua ini hanya menyipitkan mata mengawasi
panggung tempat Den Bagus Panggelaran duduk dike-
lilingi anak buahnya,
"Dia rupanya semakin kaya saja," gumamnya dalam
hati. Dengan langkah pelan dia menuju ke depan agar bisa melihat dengan jelas
jalannya pertandingan.
Ranti sangat heran melihat sikap neneknya. Kalau
tadi dia hadir secara sambil lalu, kini tampaknya sungguh-sungguh untuk ingin
tahu lebih banyak. Apakah
karena hal ini karena tampilnya ketiga orang yang
menginap di rumahnya" Merasa tidak dipedulikan oleh neneknya, maka Ranti
mengekor saja di belakang
orang tua itu. Pertandingan dimulai dengan awalan penabuhan
gong yang besar. Kemudian keempat orang bersiap di
dekat batang pohon jambe yang lemaknya telah dicairkan sehingga licin kalau


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipanjat. Disusul dengan
pembakaran pasir berminyak yang mengelilingi me-
reka. Kubangan pasir seluas lingkaran bergaris tengah enam tombak, segera
dijilat api yang kian berkobar ganas.
Begitu api menyala, Pusparini, Sri Tanjung dan Ken
Akung segera berebut untuk memanjat batang pohon
jambe itu. Tentu saja tindakan mereka dihalangi oleh laki-laki bercawat merah.
Para penonton bersorak-sorai. Meerka tidak menghiraukan bahwa tontonan
yang mereka nikmati mengundang resiko nyawa.
Tegasnya, laki-laki bercawat merah itu pada babak
pertama menghadapi tiga orang pengroyok. Tak ayal
lagi, baku hantam terjadi di sana. Kiranya tidak per-cuma Den Bagus Panggelaran
memasang gaco seperti
laki-laki bercawat merah itu. Tenaganya ampuh. Pukulan ketiga orang yang mencoba
menyingkirkan dirinya, tak membuat dirinya bergetar sedikitpun. Bahkan Ken Akung
yang mencoba mencari kelemahan lawannya
dengan memukul ke arah kemaluan, tak membuahkan
hasil. Entah makan apa orang bercawat merah itu se-
hingga punya tenaga seperti sepuluh ekor gajah. Tapi ketiga pengroyok itu,
Pusparini, Sri Tanjung serta Ken Akung, harus waspada dengan gerakan tangan
lawan yang bisa melemparkan tubuh mereka ke tengah api
yang berkobar. Pada akhirnya mereka bertiga terpaksa mengerah-
kan tenaga dalam lewat pukulan yang dilancarkan se-
cara bertubi-tubi kepada laki-laki bercawat merah. Di sini sumber penghalang itu
agak goyah, tapi dia segera bisa menguasai keadaan. Kentara sekali bahwa dia
pun mengimbangi dengan serangan tenaga dalam pula.
Memang tak bisa diremehkan dia.
Di sisi lain Pusparini mencoba menjajagi taktik la-
wan. Dia memberi peluang kepada Sri Tanjung dan
Ken Akung menghadapi orang tersebut. Sebenarnya ini tidak jujur. Kesannya hanya
mencari peluang secara
enak sementara yang lain berusaha menghilangkan si
penghalang itu. Sekilas Pusparini bisa melihat, bahwa sudah sekujur tubuh laki-
laki bercawat merah itu ke-na serangan. Tapi rasanya semua kebal. Sepertinya
punya tameng yang tak terlihat. Tapi Pusparini yakin, ilmu apapun, pasti ada
kelemahannya. Baku hantam dalam jarak dekat itu memang sulit
untuk membaca kelemahan lawan. Apalagi mereka
bertiga juga ingin mendapatkan kesempatan pertama
untuk bisa merobohkan sang penghalang itu. Sebab
dengan berhasil merobohkan si penghalang, maka
orang yang bersangkutan bisa memanjat batang jambe
yang berlemak itu pada kesempatan pertama.
Pusparini tidak berleha terlalu lama untuk menjaja-
gi kelemahan lawan. Sekilas dia mengetahui bagian
tubuh si penghalang yang belum terjamah serangan,
yaitu arah tenggorokan, tepatnya pada jakun di leher.
Punya pilihan pada sasaran ini, maka dia menerjang
ke depan dan memberi serangan pada jakun si peng-
halang dengan tonjokan dua jari tangan kanannya.
Chraass!!! Kontan darah muncrat dari mulut si penghalang.
Tubuh gendut itu oleng, dan kesempatan ini dipakai
oleh Pusparini untuk melesat memanjat batang jambe.
Mengetahui Pusparini berhasil melumpuhkan si
penghalang, Sri Tanjung berusaha memburunya de-
ngan memanjat batang jambe itu. Sedangkan Ken
Akung yang akan menyusul memanjat, tiba-tiba harus
menghadapi sergapan si penghalang yang menyambar
kakinya. Tak diduga bahwa si penghalang masih mam-
pu bergerak yang semula terlihat ndlosor di bawah batang jambe itu.
Karena keadaannya telah luka parah akibat tonjo-
kan Pusparini pada arah jakunnya, maka tindakannya
itu tidak dapat berhasil dengan baik. Bahkan menam-
bah sengsaranya saja, sebab tendangan kaki Ken
Akung segera menghunjam ke rahangnya, sehingga
merompalkan beberapa giginya. Kemudian Ken Akung
hanya melihat Pusparini dan Sri Tanjung yang saling berebut untuk naik lebih
tinggi. Meskipun masing-masing mengerahkan ilmu mengentengkan tubuh, tapi
dalam keadaan berebut seperti itu ternyata mendapat kesulitan untuk bisa dengan
cepat sampai ke atas sa-na. Mereka saling menghalangi, dan sementara itu masih
terlihat jujur.
Jujur" Benar! Sebab dalam peluang seperti itu se-
benarnya di antara mereka dapat bertindak lebih keras dengan menendang
saingannya. Peristiwa inilah yang
mengundang sorak-sorai penonton.
"Salah satu harus mengalah, Rini! Kalau tidak,
sampai ubanan kita akan berebut seperti ini," kata Sri Tanjung dengan menarik
kaki Pusparini.
Yang ditarik terpaksa melorot ke bawah. Tapi de-
ngan cepat dia berjuang untuk naik ke atas lagi de-
ngan membebani lengan Sri Tanjung agar tidak dapat
lebih ke atas. "Aku harus menolong salah seorang di antara me-
reka," pikir Ken Akung yang tetap menyaksikan dari
bawah. Banyak suara penonton yang menyerukan agar Ken
Akung memanjat batang jambe itu, tapi dia tidak me-
lakukannya. Lalu dengan diam-diam Ken Akung me-
ngerahkan ilmu kanuragannya. Dengan gerak cepat
yang tak bisa dilihat dengan mata manusia biasa, kini di tangannya telah
tergenggam sebutir batu kecil di dekat kakinya yang berhasil digenggamnya.
Kemudian batu kecil itu disentilkan ke atas. Tujuannya untuk menotok jalan darah
Pusparini agar geraknya tersendat tanpa menimbulkan kecurigaan.
Thasshh!!! Batu kecil itu melesat ke atas! Hanya sekejap peristiwanya berlangsung. Batu
kecil itu memang meluncur
ke arah kaki Pusparini. Tapi mendadak dalam kecepa-
tan serupa Sri Tanjung tanpa sengaja bergerak untuk meraih kaki Pusparini.
Maunya menarik agar saingannya ini melorot ke bawah. Tepat dengan peristiwa itu,
lemparan batu kecil mengenai bahu Sri Tanjung.
Kontan wanita ini tersendat geraknya, sebab batu kecil tersebut menotok jalan
darahnya sehingga gerakannya lumpuh.
Sri Tanjung meluncur ke bawah. Keadaan ini mem-
buat Ken Akung terkejut dan cepat menangkap tubuh
yang sial itu. Sorak-sorai penonton terdengar gegap gempita, sebab mereka
melihat Pusparini dengan cepat meraih puncak dan duduk di panggung kecil di atas
batang jambe itu.
"Sial! Ada yang mencundangi aku!" seru Sri Tanjung
yang kini berhasil ditahan dengan bopongan Ken
Akung. Kalau tidak, tubuhnya pasti menimpa tubuh
laki-laki bercawat merah yang ndlosor tak sadarkan di-ri. "Nek, Kak Rini
berhasil!" seru Ranti jingkrak-jingkrak.
Nyai Sandhing tetap tenang.
"Nenek tidak gembira?" tanya Ranti ketika melihat
neneknya tak ada gairah kegirangan melihat Pusparini berhasil duduk di panggung
itu. "Mereka sebenarnya seimbang. Sayang ada yang usil!"
kata Nyai Sandhing lirih.
"Apa kata Nenek?" tanya Ranti. "Usil" Siapa yang
usil?" Sayang, Ranti tak tahu, bahwa neneknya yang se-
lama ini dipandang tak tahu apa-apa, ternyata mampu melihat peristiwa yang
membuat Pusparini berhasil
meraih kemenangan. Tapi satu hal yang tak diketahui oleh orang tua ini yaitu,
kepada siapa lemparan batu
kecil itu sebenarnya diperuntukkan"
*** LIMA PUSPARINI menerima hadiah sabuk emas dari Den
Bagus Panggelaran. Penyerahan hadiah tidak dilaku-
kan pada saat itu seperti hadiah lain-lainnya, tapi dia diundang khusus lewat
suatu perjamuan. Ketika menerima hadiah ini, dia mengajak Ranti saja, sebab Ken
Akung dan Sri Tanjung tak mau menemani.
"Mereka nggondok rupanya," kata Pusparini kepada Ranti ketika sore harinya
berangkat ke tempat Den Bagus Panggelaran.
Rupanya ada perlakuan khusus di sini, sebab me-
reka dijemput dengan kereta. Perjamuan itu cukup
meriah, diselenggarakan sebagai puncak acara. Den
Bagus Panggelaran menyerahkan hadiah itu dan me-
ngenakan sabuk emas ke pinggang Pusparini.
"Aku tak menduga bahwa hadiah ini jatuh pada wa-
nita secantik kau," kata Den Bagus Panggelaran. "Beberapa anak buahku telah
menceritakan peristiwa di
jembatan itu."
"Oh, ya"! Lalu bagaimana" Saya harus juga mem-
bayar 'dua kepeng' karena belum membayar pajak-
nya?" jawab Pusparini berseloroh.
"Ah, jangan menghinaku. Bagaimana aku bisa me-
nerima pembayaran 'dua kepeng' di sini" Sebenarnya
itu tidak terlalu ketat. Kalau orang tidak mampu, boleh saja lewat di sana tanpa
membayar. Hanya orang-orangku yang rupanya sangat patuh pada perintah
yang kucanangkan. Tapi untuk membebaskan begitu
saja agar tidak dikenakan pajak siapa saja yang lewat
di sana, rasanya tidak adil. Jembatan itu yang mem-
bangun aku. Bukan pihak kadipaten yang menguasai
wilayah ini."
Kalau saja Pusparini mau berdebat soal tersebut,
pasti bisa bertele-tele. Karena dia ingin cepat kembali ke tempat Nyai Sandhing,
maka dirinya mohon pamit.
"Oh, tentu saja kalian berdua boleh meninggalkan
acara pesta ini. Tapi apakah tidak sebaiknya kita menikmati hidangan yang telah
disajikan oleh pelayan-
pelayan" Mari. Jangan mengecewakan kami," tutur
Den Bagus Panggelaran dengan ramah.
Karena dipikir waktunya masih sore, maka tawaran
tersebut diterima oleh Pusparini. Hidangan makan disajikan dengan cara lesehan.
Beberapa wanita muda
melayani perjamuan itu. Suara gending menyemarak-
kan suasana, membuat Pusparini jadi krasan di sana.
Maulah rasanya untuk berlama-lama di sana menik-
mati suasana yang menyenangkan ini. Tapi pertimba-
ngan untuk pulang tidak terlalu larut malam, mem-
buat Pusparini cepat-cepat mohon pamit setelah per-
jamuan makan selesai.
Den Bagus Panggelaran mempersilahkan. Pusparini
dan Ranti diantar dengan kereta. Dalam perjalanan
pulang, mereka terlibat obrolan tiada berkesudahan.
"Enakan tidak pulang ya, Kak"!" kata Ranti.
"Maunya begitu. Tapi nenekmu pasti mencari kita.
Rupanya Den Bagus Panggelaran menikmati hidup se-
perti di kalangan istana raja. Sangat berkecukupan,"
kata Pusparini dengan membetulkan letak pedangnya
yang disanding.
"Apakah Kak Rini tidak pernah meninggalkan senja-
ta itu di manapun berada?" tanya Ranti.
"Ya... melihat keadaan. Seperti tadi siang, aku tidak membawanya ketika melihat
adu tanding yang kemu-
dian terlibat di dalamnya."
"Tapi... sewaktu menerima hadiahnya, mengapa ha-
rus membawa pedang segala?" tanya Ranti yang sok
ingin tahu. "Hmmm... untuk jaga-jaga saja. Kau ingat ketika ki-
ta terlibat pertikaian dengan orang-orang Den Bagus Panggelaran di jembatan itu"
Tadi aku khawatir semua itu hanya topeng untuk menjebak kita. Tidak tahunya aku
benar-benar menerima hadiah sabuk emas ini. Bi-sa dibayangkan nanti bagaimana
nggondok Sri Tanjung melihat hadiah ini. Kan semua gara-gara dia sendiri?" kata
Pusparini. Maunya dia akan berbicara lagi. Tapi tiba tiba ke-
reta berhenti. Pusparini melongokkan kepalanya ke-
luar. "Ada apa, Pak" Mengapa berhenti di sini?"
Pusparini curiga, karena kereta berhenti dengan
tersentak. Kusir kereta itu tetap tegak di tempatnya.
Dia tidak menjawab pertanyaan Pusparini.
"Pak Kusir! Ada apa?" ulang Pusparini sambil keluar kereta. Tapi begitu dia
Terbang Harum Pedang Hujan 14 Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Suramnya Bayang Bayang 15
^