Pencarian

Gajah Kencana 23

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 23


Niken Irim dan harus berhadapan dengan Puranta putera
demang Saroyo, ketika menghadapi Rani Kahuripan. Ia selalu
berusaha menempatkan duduk dirinya dengan letak persoalan
yang dihadapinya. Banyak hal sudah dialami dan dirasakannya. Dan selama
itupun ia berhasil dapat melampaui dengan lancar. Namun
diantara sekian banyak peristiwa itu, hanya satu yang ia
benar-benar kehilangan faham yalah dikala berhadapan
dengan Puranti, puteri ki demang Saroyo.
Ada suatu perasaan lain apabila ia berhadapan dengan dara
itu. Perasaan yang menghanyut ia ke alam rendah diri, malu,
kikuk dan hilang faham. Tetapi pun ada suatu perasaan lain
yang mengangkat semangatnya menjulang ke angkasa,
megah, perkasa, penuh alam kejantanan. Dua macam
perasaan itu saling desak mendesak, ingin menerobos ke
dinding hatinya, mendetak-detak jantung dan meluap-luap
hendak memancar keluar .....
Ketika Dipa melangkah keluar dari pintu alun-alun, haripun
sudah rembang petang. Suasana sunyi di empat penjuru.
Lampu2 minyak damar mulai berkelap-kelip mengintip di
antara celah2 dinding rumah penduduk.
"Hari sudah malam, aku harus lekas mencapai
kademangan," gumam Dipa seorang diri. Dan tangkahnya pun
diayun cepat, secepat keinginan hatinya tiba di kademangan.
Dan ia merasakan suatu kelainan pada langkahnya. Suatu
perasaan bahwa kakinya amat ringan. Pun pandang matanya
terasa terang, hatipun cerah. Rumah2 rakyat yang berhias
pelita penerangan itu, tampak seindah bagai cahaya batu
permata di alas permadani hitam.
Rembulan di pertengahan tanggal cuklapaksa, menyembul
kemalu-maluan dari balik tirai beludru awan putih. Bagai dewi
yang belum selesai bersolek muncullah sang bulan untuk
menyongsong langkah Dipa. Seolah olah sang Dewi Malam itu
ingin menyampaikan rasa gembira atas pengangkatan Dipa
menjadi bhayangkara keraton Kahuripan.
Menengadah ke langit, Dipa terkesiap. Ia merasa ada suatu
kelainan dalam pandangannya.. Rembulan malam itu, tampak
berbeda dengan malam kemarin dan malam2 yang lampau,
yang pernah dilihatnya. Dalam bentuknya yang menyerupai
sabit, dalam perasaan Dipa, seperti selingkap bibir yang
tengah tersenyum lebar. Senyum yang menandakan
kegirangan dan kebahagiaan kepadanya.
"Ah, jangan terlalu mengada-ada," hardik pikiran Dipa
kepada perasaan hatinya. Dan ia merasa perasaan itu telah
menghambat langkah kakinya. Maka diayunkan lah kakinya
lebih cepat. Ketika melalui jalan yang merentang panjang dibelah
sebuah hutan kecil, tiba-tiba tampak sosok2 tubuh hitam
berloncatan dan melonjak kian kemari. Ditingkah pekik jerit,
namun makian. Di sela2 jeritan itu, Dipa dapat membedakan
sebuah nada yang berlainan dan tersendiri. Yang lain-lain
bernada menghardik, memaki dan menggembor. Tetapi yang
satu itu jelas jeritan dari seorang perempuan melengking
tinggi. Bagai gajah dilepas dari ikatan, maka berlari setengah
meloncatlah Dipa memburu ke tempat itu. Makin dekat makin
jelas siapa yang berada di tempat keributan itu. Dan teganglah
seketika urat2 Dipa manakala mengetahui bahwa gerak
berhamburan dari sosok-sosok tubuh itu, adalah orang yang
tengah berbaku hantam. Dan serasa terhentilah darah Dipa
mengalir ketika mengetahui bahwa Sura sedang diserang oleh
beberapa belas anak-anak muda. Bahwa ada beberapa
anakmuda yang tengah merejeng Puranti!
"Hai, jangan kamu mengganggu anak puteri !" pada jarak
belasan depa dari tempat anak-anak muda Dipa
menghentakkan kaki ke tanah untuk melambungkan tubuh
melayang ke udara, menghardik seraya meluncur turun ke
arah mereka. Beberapa anak muda yaag tengah menarik-narik Puranti itu
terkejut dan berpaling. Belum sempat mereka melepaskan
Puranti, sesosok tubuh dari seorang pemuda tampak berdiri
menggagah di hadapan mereka.
"Lepaskan!" serunya menuding dan membentak marah.
Beberapa anakmuda yang mencekal tangan Puranti, cepat
lepaskan tangan lalu bersiap menghadapi Dipa.
"Engkau yang memukul kawanku di alun-alun pagi tadi?"
seru salah seorang anakmuda yang bertubuh kekar.
"Ya, sahut Dipa, "engkau kawannya " Hendak mencari
balas" Aku siap menghadapi kalian. Sekarang dan di manapun
tempatnya. Tetapi mengapa engkau mengganggu anak gadis
di tengah jalan!" "Ho, sombong benar dia," gumam anakmuda bertubuh
kekar itu. "Benar, kakang Gedug, memang dia teramat sombong,
hajariah ! " seru beberapa anakmuda di sekelilingnya.
"Ya, lihat saja " sahut pemuda kekar itu yang dipanggil
Gedug. Ia singsingkan lengan baju dan melangkah maju ke
hadapan Dipa. Sengaja dikencangkannya kedua lengan
sehingga tampak urat-uratnya melingkar-lingkar membesar.
Dipa tak mengacuhkan, tiba-tiba ia berpaling dan barseru
"Kakang Sura, berhentilah!"
Memang saat itu Sura masih berhantam dengan lima enam
anakmuda. Mendengar teriakan Dipa, Sura pun hendak
berhenti tetapi anak-anak muda yang mengeroyoknya itu
bahwa mempergencarkan serangan.
"Suruh kawan kawanmu itu berhenti" hardik Dipa kepada
Gedug. Suara Dipa memang mempunyai nada yang berwibawa
sehingga di luar kehendaknya, Gedug pun melakukan
perintah. Ia berteriak menghentikan kawan kawannya. Dan
rupanya Gedug lah pemimpin gerombolan anak-anak muda
itu. Perintahnya ditaati.
Setelah berhenti, Sura hendak menghampiri ke tempat Dipa
tetapi beberapa anak muda itu merintangi. Melihat itu Dipa
berseru pula "Mengapa kawanku tak boleh datang ke sini,
takut ?" "Berikan jalan padanya," karena diejek Dipa. Gedug marah
dan berseru kepada kawan-kawannya. Anak-anak muda itupun
menyisih dan memberi jalan kepada Sura.
"Nah, sekarang bagaimana maksudmu?" tanya Dipa kepada
pemimpin gerombolan anak-anak muda itu.
"Sudah jelas" kata Gedug sambil busungkan dada "engkau
harus minta maaf kepada Paraji yang engkau cekik lehernya
pagi tadi. Begitu pula kepadaku dan kawan kawanku sekalian."
"0, begitu," sahut Dipa "baiklah. Silahkan kawanmu Paraji
keluar." Gerombolan anakmuda itu agak terkejut ketika mendengar
penyahutan Dipa. Mereka tak sangka bahwa tuntutan Gedug
akan begitu mudah dipenuhi Dipa. Dan seorang anakmuda
yang bertubuh kurus, tampil ke muka.
Dipa mengenali anakmuda itu sebagai yang dilemparkannya
pagi tadi. Ia segera melangkah maju tetapi tiba-tiba lengannya
dicegah Sura "Dipa, mengapa engkau melakukan hal itu"
Apakah engkau takkan dicemohkan mereka ?"
Dipa sudah mempunyai pertimbangan mengapa ia mau
meluluskan permintaan Gedug. Ia tak ingin ribut-ribut dengan
anak-anak muda itu agar lekas dapat mengantar Puranti
pulang. Hari sudah malam, ki demang tentu akan camas
apabila puterinya belum tampak pulang. Walau pun ia sudah
diangkat sebagai bhayangkara keraton Kahuripan, namun
pada saat itu ia masih merasa terikat dalam tugas sebagai
seorang pengalasan kademangan. Dan kewajiban itu harus ia
penuhi. "Tak apa kakang," Dipa memberi penjelasan lalu lanjutkan
langkah ke hadapan Paraji dan mengucapkan kata-kata minta
maaf. "Belum cukup!" teriak Gedug "orang yang bersalah tak
cukup hanya minta maaf dengan kata-kata tetapi harus
dengan perbuatan." "Perbuatan bagaimana ?" Dipa berpaling ke arah pemimpin
gerombolan anakmuda itu. "Menyembah kakinya!"
Seketika gemparlah gerombolan anakmuda itu ketika
mendengar pernyataan Gedug. Mereka sendiri agak terkejut.
Dan yang paling terkejut adalah Sura. Merah padam lah
wajahnya mendengar permintaaan yang melampaui batas itu.
Dipa tertegun juga. Sesaat ia tak dapat mengambil keputusan,
melakukan permintaan itu atau meno!ak. Melakukan berarti
menderita hinaan, menolak tentu akan timbul perkelahian.
Bukan ia takut menghadapi gerombolan anakmuda yang liar
ltu tetapi yang menjadi titik tolak pemikirannya yalah diri
Puranti. Bukankah puteri demang itu akan lebih terhambat
perjalannya pulang" "Kakang Dipa, jangan mau!" tiba-tiba terdengar suara
seorang gadis melengking. Dan ketika anak-anak muda itu
berpaling, tampak Puranti tegak dengan wajah marah. Karena
gerombolan anakmuda itu sedang mencurahkan perhatian
kepada Dipa, maka Puranti pun bebas dari gangguan mereka.
Mendengar suara Puranti, seketika tegaklah kepala Dipa.
Rasa kejantanannya pun tergugah. Baru ia hendak inembuka
mulut, tiba-tiba Sura sudah mendahului "Hai, kawanan
anakmuda yang kurang tata, jangan terlalu menghina orang.
Tahukah siapa yang engkau hadapi ini" "serunya seraya
menunjuk Dipa. "Anak desa yang berani menghina pemuda Kahuripan! "
sahut Gedug lantang. "Setan engkau" Sura menggeram "dia adalah prajurit
bhayangkara keraton yang diangkat oleh gusti Rani. Apabila
gusti Rani mendengar peristiwa ini, kalian tentu akan disikat
habis habisan !" Beberapa anggauta gerombolan anakmuda itu agak gentar
mendengar pernyataan itu. Tetapi tidaklah demikian Gedug.
Rupanya dia memang layak menjadi pemimpin gerombolan
pemuda liar. "Keraton Kahuripan mempunyai peraturan dan hukuman.
Kamipun memiliki peraturan dan hukuman juga. Barangsiapa
yang menyalahi anggauta kami, harus menurut apa yang kami
perintahkan. Dia telah meneekik salah seorang kawanku.
Sudah amat ringan kalau hanya kusuruh dia meminta maaf
dengan mencium kaki kawanku itu!"
"Dia seorang bhayangkara sang Rani, engkau berani
menghinanya?" Sura masih ngotot.
"Di dalam keraton, dia adalah bhayangkara. Tetapi di sini,
dia adalah orang yang bersalah menghina anakbuahku!" balas
Gedug tak kalah keras. "Engkau ......." Sura hendak mendamprat dan karena tak
kuasa menahan luapan kemarahannya, ia terus hendak maju
menghajar anakmuda yang lancang mulut itu. Tetapi cepat
dicegah Dipa. "Jangan kakang biarlah aku yang
menghadapinya." Dipa tampil selangkah, berhadapan dengan Gedug. "Gedug,
aku mempunyai jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan
ini." "Ho, engkau tentu akan menantang berkelahi?" seru Gedug.
"Belum saatnya," sahut Dipa "masih ada sebuah jalan yang
dapat kita tempuh." "Katakan" "Apa yang kulakukan terhadap kawanmu pagi tadi, aku
bersedia untuk menerima balasannya. Kalau dia merasa
kucekik, sekarang cekiklah leherku.
Kalau merasa kulemparkan, boleh dia melemparkan aku juga. Aku berjanji
takkan membalas" Sura terkejut mendengar pernyataan Dipa. Demikian
dengan anggauta2 gerombolan anakmuda itu. Mereka merasa
Dipa sudah banyak mengalah.
"Tidak! "seru Gedug getas.
"Mengapa?" tanya Dipa.
"Yang hadir di sini hanya engkau dan kawanmu seorang
lalu beberapa belas kawan-kawanku. Kalau engkau
menghendaki demikian, haruslah engkau memanggil rakyat ke
alun-alun, di tempat yang sama itulah, engkau akan
diperlakukan oleh Paraji seperti apa yang engkau lakukan
kepadanya pagi tadi!"
"Kurang ajar!" teriak Sura. Tetapi ia terdiam ketika Dipa
berpaling dan memberi isyarat kepadanya supaya tenang.
Pun gerombolan anakmuda itu terkesiap ketika mendengar
permintaan Gedug. Diam-diam mereka merasa was-was juga
dalam hati. "Baik," di luar dugaan Dipa menerima "besok pagi akan
kulakukan apa yang engkau minta itu."
Terdengar erang menggeram dan mendesuh dari mulut
Sura dan beberapa anakmuda itu. Mereka hampir tak percaya
apa yang dikatakan Dipa. "Tidak !" kembali suara Gedug melantang bagai petir yang
menyentakkan semangat "kalau engkau hendak melakukan hal
itu, lakukanlah sekarang juga, jangan besok pagi!"
Terdengar pula hiruk yang lebih berisik dari tadi.
Gerombolan anakmuda dan Sura menggumam-gumam
panjang pendek. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa yang
nyaring, berkumandang memanjang, penuh getar2 dari
perasaan yang meluap luap. Dan ketika pandang2 mata
mencurah ke arah orang yang tertawa, mereka segera
mengerutkan wajah, tertegun dan terkesiap. Dipa tengah
menengadahkan kepala, menghambur tertawa. Seolah-olah
hendak mencurahkan seluruh isi kemuakan hatinya ke
angkasa. Gedug yang sudah mengatur rencana untuk mendesak Dipa
ke sudut yang pojok, mau tak mau ikut tergetar juga
menyaksikan sikap apa yang sedang mencurah tawa itu. Pada
lain saat, cepat ia membentak untuk mematahkan kegarangan
"Berhenti! " Dipa hentikan tawa, mengatur letak tegaknya lalu
mencurah pandang kepada Gedug "Gedug, engkau salah
raba! Jika sikap mengalahku tadi engkau artikan aku takut
kepadamu. Aku sudah banyak mengalah tetapi engkau selalu
mendesak. Engkau seorang anak laki, demikianpun aku.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Engkau muda, akupun muda. Darahmu panas, adakah engkau
kira darahku dingin ?"
"Bagus, itulah yang kuharapkan dari engkau!" sambut
Gedug seraya menggosok-gosok tinju.
"Gedug," seru Dipa pula "kesabaranku telah habis kuberikan
kepadamu. Sekarang engkau takkan memperoleh apa2 lagi
dari aku. Namun kalau engkau berkeras hendak memaksa,
hanya kerat2 tulang tinju yang akan engkau dapatkan."
"Bagus, memang itulah yang kunantikan !" Gedug
menyambut gembira, "anak-anak muda Kahuripan memang
gemar mengencangkan urat, mengeraskan pukulan. Hanya
pemuda yang kuat dan sakti, akan mendapat perindahan
kaum muda Kahuripan."
Selama Gedug membuka suara itu, Dipa menyempatkan diri
untuk menyelinapkan pandang mata, memperhatikan anakanak muda yang menjadi anakbuah Gedug. Ia mendapat
kesan, bahwa mereka jeri terhadap Gedug "Hm, agaknya
Gedug telah berhasil menundukkan mereka dengan
keberanian yang amat garang," pikir Dipa. Dan cepat ia tahu
bagaimana harus bertindak.
"Gedug, hari makin larut, mari kita selesaikan urusan ini
secepat mungkin. Apa yang engkau kehendaki" " seru Dipa.
"Berkelahi mengadu kerasnya pukulan, tangkasnya tangan "
sahut Gedug. "Baik" sambut Dipa "kita berkelahi seorang lawan seorang,
atau secara serempak ?"
"Cukup engkau menghadapi aku saja!"
"Dengan tangan kosong atau pakai senjata?"
"Engkau menghajar kawanku dengan tangan kosong,
sekarang akupun hendak menghajarmu dengan tangan
kosong juga !" jawab Gedug dengan dada membusung.
"Baiklah, silahkan engkau mulai dulu!"
Gedug memang sudah sejak tadi telah memasang sikap.
Selekas mendengar pernyataan Dipa, cepat ia membuka
serangan dengan sebuah terjangan. Tangan kanan
menghantam kepala, tangan kiri meninju perut. Ternyata dia
memiliki gerak tata-kelahi yang dahsyat, terarah dan cepat.
Dipa sudah memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian
itu secepat mungkin. Cuaca malam menghantui pikirannya
yang merasa bertanggung jawab akan keselamatan puteri
demang Saroyo. Dengan tata-langkah yang pernah dipelajari dari brahmana
Anuraga, Dipa menghindar ke samping, menyelinap maju dan secepat kilat tangannya meraih bahu dan
dengan sekuat tenaga ia mencengkeram ketiak Gedug. "Auh ........" Gedug menjerit keras ketika merasa
bahunya tercengkeram oleh
tangan besi sehingga separoh dari tubuhnya tak
dapat digerakkan. Menyaksikan peristiwa itu,
kejut anakbuah gerombolan
anak-anak muda itu bukan kepalang. Beberapa anak muda segera hendak maju
menyerang Dipa untuk menolong Gedug. Tetapi baru langkah
diayun, Dipa pun sudah berseru lantang "Berhenti, barang
siapa yang berani datang mendekat ke mari, Gedug tentu
kubunuh?" Dipa memperlihatkan ancamannya sambil tangan
kiri mencekik leher Gedug.
Anak-anak muda itupun menyurut nyalinya. Gedug
dianggap dan diakui sebagai pemimpin gerombolan mereka
karena kekuatan, keberanian dan kelebihannya dalam
perkelahian. Setitik pun mereka tak menyangka, bahwa hanya
dalam satu gebrak saja, Gedug dapat diringkus tak berkutik.
"Hai ........ kawan-kawan ..... hayo serang jahanam .... ini "
masih Gedug coba meronta dan berteriak-teriak memberi
perintah. Namun anak-anak muda itu masih maju mundur
dicengkam keraguan. "Kang Gedug, kalau kami maju, engkau tentu dibunuh!"
teriak beberapa anakmuda.
"Biar ........ biar aku mati .......... jangan kamu bersikap
pengecut .......... seperti jahanam ini ....... " teriak Gedug
makin kalap. Melihat semangat Gedug yang menyala-nyala, mau tak mau
gentar juga hati anakbuahnya. Mereka kenal bagaimana watak
Gedug yang kejam dan tanpa kasihan apabila menghajar
anakbuahnya yang bersalah. Beberapa anak, serempak
hendak maju. "Berhenti! " bentak Dipa pula. Kemudian ia melepaskan
Gedug dengan sedikit mendorong tubuhnya ke mereka. Gedug
baru dapat berdiri tegak setelah tertatih tatih langkah. Rasa
sakit pada separoh tubuh masih meremang remang di seluruh
jalur-jalur urat-uratnya. Terpaksa ia harus berdiam diri,
menunggu pulihnya kekuatan.
"Gedug, tahu apa sebab engkau kulepaskan " tegur Diva.
"Mungkin engkau anggap aku sudah kalah," sahut Gedug.
"Tidak " sambut Dipa "kutahu engkau tentu masih
penasaran, masih mengira kejagoanmu masih perkasa. Maka
akan kuberimu kesempatan lagi. Mari kita bertanding pula!"
Memang apa yang diungkap Dipa itu benar. Gedug masih
belum mengakui kekalahannya. Karena hal itu akan
menyebabkan ia kehilangan muka di mata anakbuahnya. Dan
rasa malu itu makin meluap manakala ia teringat akan ucapanucapan yang didesakkan kepada Dipa tadi.
"Engkau seorang anak jantan," serunya memuji walaupun
pujian itu hanya sekedar untuk menutupi kelicikannya "anakanak Kahuripan selalu menghargai lelaki jantan !"
"Dengan ukuran apa yang dapat mengalahkan engkau" "
selutuk Dipa. Merah muka Gedug. Apabila sebelum menderita kekalahan
tadi, ia pasti serentak mengiakan. Tetapi setelah menerima
kekalahan itu, ia harus membatasi ucapan-ucapannya yang
tekebur sebelum nanti ia mampu menebus kekalahan itu.
"Tak perlu banyak cakap. Mari kita tentukan lagi siapa
sesungguhnya yang lebih perkasa!" cepat ia menukas.
"Nah, silahkanlah !" Dipa pun mengambil sikap.
Kali ini Gedug berhati hati melakukan serangan. Tak mau ia
mengalami kekalahan secepat tadi. Malangkah maju, tinju
dilayangkan ke dada Dipa. Dipa pun sudah menentukan siasat
untuk menghadapi jagoan itu. Ia gunakan aji Lembu sekilan
ajaran dari pandita Padapaduka. Cukup dengan mengisar
tubuh, pukulan Gedug pun melayang sekilan jaraknya dari
dada Dipa. Semula Gedug hanya mengira, penghindaran Dipa itu hanya
suatu hasil yang kebetulan saja. Tetapi setelah diulang dua,
tiga sampai beberapa kali tetap tinjunya selain terpisah sekilan
dari sasarannya, mulailah Gedug terangsang. Gerakan pukulan
yang semula lambat, kini dilancarkan secepat hujan mencurah
dari langit. Sekalian anakmuda anggauta gerombolan yang dipimpin
Gedug mulai membayangkan kemenangan bagi Gedug.
Tampak tubuh Dipa yang lebih pendek itu seolah olah
ditelungkupi oleh sepasang tinju Gedug. Tetapi di samping
timbul harapan, anak-anak muda itupun mulai dirayapi debardebar keheranan. Mengapa serangan Gedug yang menggebugebu itu tak juga menyebabkan Dipa terpelanting rubuh.
Mereka saling bertukar pandang dengan kawan-kawan.
Tiba-tiba salah seorang anakmuda yang sejak tadi selalu
melekatkan perhatian pada jalannya pertempuran, berteriaklah
"Lihatlah?"."
Serentak mencurahlah pandang mata sekalian anak muda
itu ke muka. Apa yang terjadi saat itu benar-benar hampir
membuat mereka melonjak kaget. Tubuh Gedug dipanggul di
punggung Dipa dan tangannya dicengkeram Dipa ke muka.
Pada saat gerombolan anak muda itu masih terpesona, tibatiba kaki Dipa menghentak tanah dan melayanglah tubuh
Gedug ke udara, melayang dan meluncur ke tanah, bum .....
Terdengar pekik jerit anak-anak muda itu dan larilah
mereka berhamburan menghampiri ke tempat Gedug. Mereka
meneriaki nama Gedug, mengurut urut tubuh dan memijatmijat kaki tangannya. Tetapi Gedug tetap tak sadarkan - diri.
"Dia pingsan, tapi tidak menderita luka. Bawa lah pulang,
nanti tentu sembuh lagi" tiba-tiba Dipa menghampiri ke
tempat kerumun anak-anak muda itu.
Rupanya beberapa anakmuda itu masih ragu-ragu. Melihat
itu Dipa berkata lagi "Kukatakan dia tidak apa2 hanya pingsan.
Apabila ia sampai mati, besok kalian boleh datang mencari aku
di kademangan ki Saroyo."
Tiba-tiba terdengar derap langkah orang. Sesosok tubuh
muncul dari ujung jalan dan berlari menghampiri dengan
langkah yang aneh. Orang itu lari dengan tubuh naik turun.
Rupanya kedua kakinya pincang.
"0, den Damar " seru Sura ketika pendatang itu tiba.
"Benar, kang Sura " sahut pendatang itu yang bukan lain
memang Joko Damar, putera ki Rangga Tanding "apa yang
terjadi ini" Mengapa Puranti berada di sini" Siapakah
rombongan anak-anak muda yang berkerumun itu?"
"Habis melihat sayembara di alun-alun, kami hendak
pulang. Tetapi di tengah jalan, dicegat oleh gerombolan anakanak itu," Sura memberi keterangan.
"Mengapa mereka berani berbuat seliar itu?" desak Jaka
Damar. "Waktu menyaksikan pertandingan adu banteng, seorang
pemuda dari gerombolan itu hendak mengganggu den rara
Puranti. Pemuda itu dilempar oleh Dipa ini " Sura menunjuk
pada Dipa "rupanya dia mengadu pada gerombolannya maka
waktu kami tiba di sini mereka segera menyergap. Untung
juga Dipa dapat membanting pemimpin mereka yang bernama
Gedug." "Ho, Gedug dapat dibanting?" Jaka Damar terkesiap kaget
tetapi cepat ia menyusuli kata-kata "hm, dia memang terkenal
anak yang berani dan jagoan. Kalau tak diberi hajaran yang
layak, dia tentu tak jera melakukan keonaran saja," habis
berkata Jaka Damar terus menghampiri ke tempat anak-anak
muda itu. "Den, Gedug sudah pingsan " cegah Sura. Tanpa berpaling
Jaka Damar berseru "tetapi gerombolannya belum mendapat
bagian." Setiba di tempat anak-anak muda itu berkerumun tanpa
mengucap apa apa, Jaka Damar terus mengamuk, memukul,
menyepak dan menghajar. Belasan anak muda itu tampak
gentar menghadapi Jaka Damar. Mereka berhamburan
mengambil langkah seribu, meninggalkan Gedug yang masih
menggeletak pingsan. "Hayo, jangan lari pengecut ! Panggillah kawan-kawanmu
semua untuk menghadapi Jaka Damar ini!" putera ki Rangga
Tanding itu melantang. Tetapi anak-anak muda itu seolah olah
tak mau menghiraukan dan terus lari.
Jaka Damar lalu menghampiri Gedug, menggolek-golekkan
tubuhnya beberapa saat lalu kembali ke tempat Sura dan
Puranti. Seolah olah tak mau menghiraukan kehadiran Dipa di
situ, putera rangga itu berkata pula kepada Puranti "Puranti,
maafkan karena aku terlambat memberi pertolongan
kepadamu." Sebenarnya, Puranti tak senang melayani bicara pada
putera rangga itu. Demikian seperti yang biasa ia lakukan
dikala Jaka Damar berkunjung ke kademangan. Tetapi saat itu
karena berada di jalan dan pula Jaka Damar mengunjuk sikap
memberi pertolongan, terpaksa Puranti menyahut, "Terima
kasih kakang, untunglah kakang Dipa dapat menghalau
mereka." "Ya "sahut Jaka Damar tak puas "tanpa dia turun tangan,
asal engkau mau menyebut namaku di hadapan mereka,
mereka tentu sudah terbirit-birit lari. Masih untung Gedug.
Kalau aku yang mengerjakan, dia tentu cacad tubuhnya. Hm,
mengapa hanya Gedug seorang yang dibanting, bukankah
anakbuahnya masih banyak" Apakah dia gentar menghadapi
sekian banyak anak- anak muda itu ?"
"Seorang Gedug kalah, sudah cukup meruntuhkan nyali
kawan kawannya," Puranti memberi penjelasan.
"Keliru," cepat Jaka Damar berkata "tak mungkin pemuda
liar itu akan berhenti setelah Gedug rubuh. Mereka tentu akan
mempersiapkan serangan lebih besar. Mereka pemuda2 yang
nekad dan berani mati. Untung aku datang, Puranti, sehingga
mereka lari tunggang-langgang. Coba aku tak kebetulan lalu di
sini, mungkin akan terjadi pertumpahan darah. Dan ah,
Puranti, mereka tentu akan membawamu, ah ..... sudahlah,
tak perlu kukatakan berbanyak-banyak. Mereka sudah kuhajar
tunggang-langgang dan engkau sudah selamat. Mari kuantar
pulang, Puranti!" "Aku sudah diantar kakang Dipa dan paman Sura," Puranti
menolak. Tetapi pada lain saat ia teringat bahwa hal itu
mungkin dapat menyinggung perasaan Jaka Damar. Ia tak
tahu mengapa pula sebabnya putera ranggga itu tiba-tiba lalu
di tempat itu. Namun yang jelas, putera rangga Tanding itu
telah mengeluarkan tenaga untuk menghantar rombongan
anak muda anakbuah Gedug. Dan kini pemuda itu
menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang. Apabila ia
menolak bukankah pemuda itu akan merasa tak puas "namun
kalau kakang mau meluangkan waktu untuk berkunjung ke
kademangan, sudah tentu rama dan ibu akan menyambut
dengan senang hati."
Jaka Damar tertawa renyah, "Sudah barang tentu paman
dan bibi Saroyo akan senang hati. Tetapi hagaimana engkau
sendiri, Puranti" Adakah engkau merasa terganggu apabila
aku bertamu ke kademangan?"
"Ah, tidak raden," sahut Puranti tersenyum di mulut,
tertawa dalam hati "aku seorang anak gadis yang masih di
bawah pengasuhan rama ibu. Apapun yang rama dan ibu
mengatakan, tentu akan kuturut."
Menggerenyit longgar kerut dahi Jaka Damar mendengar
pernyataan itu. Seolah-olah anai2 yang melihat sinar cahaya,
iapun menyambut dengan semangat penuh harap. "Itu laku
seorang puteri utama, Puranti. Wajib seorang puteri menurut
kata ayahbundanya." Puranti dapat pula menyelami apa yang tersembunyi dalam
ucapan putera rangga itu. Namun pada saat dan tempat
seperti detik itu, ia tak mau mengecewakan perasaan orang.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iapun hanya tersenyum lalu melanjutkan perjalanan.
Jaka Damar bersama Puranti berjalan di muka. jauh
meninggalkari Sura dan Dipa di belakang.
Kerut masam pada wajah demang Saroyo seperti awan
tertiup angin ketika melihat kehadiran Jaka Damar bersama
Puranti ke kademangan "Ah, nak Damar... "
"Ya, paman," tersipu-sipu Jaka Damar menyambut teguran
tuan rumah "perlu mengantar Puranti paman."
"0 " desis demang Saroyo "adakah sesuatu yang terjadi
padamu, Ranti ?" Puranti agak heran mengapa tak sedikit tampak suatu
kemarahan pada nada ramanya. Namun cepat pula ia
mengetahui sebabnya. Sahutnya, "Ya, rama, memang ada
sedikit gangguan di tengah jalan ........"
"Anu, paman," cepat Jaka Damar pun menyerempaki kata
"memang dalam waktu akhir2 ini, timbul gejala2 yang tak
menyenangkan di alam kehidupan daerah Kahuripan."
"Apakah itu angger," kata demang Saroyo.
"Sejak gusti Rani memegang tampuk pimpinan rupanya
kerajaan ingin membangkitkan semangat kesatryaan pada jiwa
kaum muda Kahuripan. Dianjurkan kaum muda itu untuk
berlatih dan menuntut ilmu jaya kawjayan dan agar memenuhi
seruan kerajaan untuk masuk menjadi prajurit pembela bumi
Kahuripan." Demang Saroyo mengangguk.
"Suatu tujuan yang baik sekali " kata Jaka Damar pula,
"karena memang kaum mudalah pada hakekatnya yang
merupakan tulang punggung kekuatan negara, kesuma
bangsa. Tetapi disamping hal2 yang baik itu, pun timbul pula
hal2 yang kurang baik. Sebagaimana air dari sumber. Bermula
dari mata air mengalirlah air yang bening dan jernih. Tetapi
lama kelamaan, di tengah jalan mereka tercampur dengan
kotoran bahkan menyimpang dari arah alirannya. Demikian
pula dengan keadaan kaum muda di daerah kita ini, paman."
Jaka Damar berhenti sejenak untuk mengamati kesan.
Tampak pada wajah demang berkabut dengan kerut2
perhatian. "Mereka2 yang berlatih ilmu tataraga, ilmu jaya
kawijayan, ilmu kekebalan, bukan diabdikan kepada negara
melainkan dijadikan hiasan diri. kebanggaan peribadi ......."
katanya pula. "Itupun masih baik " Jaka Damar melanjutkan lagi "karena
membela diri, melindungi diri, merupakan sebuah bantuan
pada kerajaan yang mengurus dan memelihara keamanan.
Apabila setiap orang dapat melindungi diri dari gangguan
pengacau atau penjahat, keamanan pun tentu berangsur baik.
Tetapi yang patut disayangkan," kata Jaka Damar dengan
nada agak tinggi "yang giat mencari ilmu bela diri, menuntut
ilmu kekebalan dan berlatih ilmu kesaktian itu, kebanyakan
adalah para anakmuda. Dan para muda itu pada galibnya
tentu suka bergaul, membentuk kelompok2. Di mana
anggauta2 kelompok itu terdiri dari kaum muda yang
menganggap telah memiliki ilmu kekebalan dan lain-lain, maka
meningkatlah tujuan kelompok itu pada hal2 yang
mengganggu keamanan. Masing2 kelompok ingin menguasai
lain kelompok, ingin merebut pengaruh dan daerah gerak
lingkupnya. Dan karena itu seringlah timbul perkelaian
diantara kelompok2 pemuda itu."
"Ya, memang pada akhir2 ini keamanan daerah Kahuripan
terutama dalam pura, sering mengalami gangguan dari kaum
muda," demang Saroyo memberi tanggapan.
"Itulah paman, sebab musabab daripada timbulnya
kelompok2 para muda," kata Jaka Damar memang orang
hanya melihat sesuatu dari akibatnya. Jarang yang mau
meneliti dari sudut Sebabnya. Menurut keterangan rama
rangga " kata Jaka Damar "sejak timbulnya pemberontakan
adipati Tuban Rangga Lawe, lalu baginda Sri Kertarajasa wafat
dan diganti puteranya, baginda Jayanagara yang sekarang ini,
api pomberontakan tak pernah padam. Silih berganti senopati
dan mentri-mentri kerajaan Majapahit yang memberontak.
Sejak naik tahta, boleh dikata baginda rayanagara hanya sibuk
untuk membasmi pemberoatalan. Sedikit sekali beliau
mempunyai kesempatan untuk membangun negara. Benarkah
demikian, paman?" Demang Saroyo agak terkecoh menerima pertanyaan
semacam itu. Bukan karena tak tahu akan persoalannya
melainkan ia memang segan membicarakan urusan negara
dengan orang yang tak berkepentingan terutama dengan anak
muda. Namun karena yang mengajak bicara itu putera dari ki
Rangga Tanding, terpaksa ia menjawab "Apa yang ki Rangga
ungkapkan memang benar" sahutnya hati2 "anjuran
keberanian Kahuripan kepada rakyat terutama para muda
Kahuripan adalah dalam rangka untuk memperkokoh
kekuatan, menjaga keamanan negara Kahuripan agar jangan
terombang ambing dalam gelombang pemberontakan yang tak
menentu." Jaka Damar berseri girang karena pembicaraarnya tampak
mendapat perhatian yang penuh dari demang Saroyo. Ia
hendak melanjutkan pula tetapi ki demang cepat mendahului
"Lepas dari persoalan yang angger kemukakan itu, peristiwa
apakah yang telah mengganggu perjalanan pulang Puranti
tadi?" Jaka Damar tertawa dalam hati. Rupanya iapun tahu kalau
tuan rumah hendak mengalihkan pembicaraan. Dan sebagai
seorang tetamu yang ingin mendapat perhatian, iapun tak
mau mendesak "0, tak lain juga dari kelompok pemuda2 liar
itu, paman," katanya dengan nada banglas "diantara
tindakan2 ke!ompok pemuda yang sering mengganggu
keamanan itu, antara lain yalah suka mencegat wanita dan
meigganggunya. Demikian seperti yang dialami Puranti tadi
sewaktu berada di jalan yang sepi, telah dicegat oleh
sekelompok pemuda2 liar. Untung akupun kebetulan dalam
perjalanan pulang. Kuhajar mereka sampai ter-birit2 lari."
"Angger seorang diri saja" " demang Saroyo menegas....
"Ah, apakah arti pemuda2 liar itu bagi kami paman" Bukan
aku hendak membanggakan diri, paman. Tetapi memang
kenyataannya, semua kelompok para muda di seluruh daerah
Kahuripan ini tentu menyurut nyalinya apabila mendengar
namaku," kata putera rangga itu dengan dada agak
membusung. "0 " demang Saroyo mendesus "memang kudengar hal itu
dari Puranta. Dan aku sebagai kepala penjaga keamanan pura
Kahuripan harus berterima kasih kepada angger. Kuharap
angger suka membantu paman mengatasi kekacauan2 dari
mereka." Makin meluap hati Jaka Daman "Tentu, paman. Puranta
tentu mengerti bagaimana sikapku terhadap kelompok2
pemuda liar itu." Demang Saroyo menghela napas kecil "Ah, Puranta itu
memang gemar bermain di luar. Kuharap angger suka bantu
paman mengawasinya, agar jangan dia berlarut-larut
terjerumus ke jalan yang sesat."
"Tentu, paman, tentu" kata Jaka Damar riang. "Puranta
kuanggap sebagai adikku sendiri. Dan paman demang pun
kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Aku selalu bersedia
membantu kesulitan paman."
Demang Saroyo mengucapkan terima kasih lalu suruh
Puranti menghaturkan terima kasih juga kepada Jaka Damar
"Ah, rama, masakan aku seperti anak kecil. Sudah sejak tadi
aku telah. menyatakan terima kasih kepada kakang Damar."
Jaka Damar mengiakan dengan tertawa gembira. "Ah,
mengapa paman begitu sungkan seperti terhadap lain orang.
Sudah tentu aku merasa wajib melindungi Puranti. Dan
rasanya di bawah lindungan Jaka Damar tiada seorang
manusia di Kahuripan ini yang berani mengganggunya."
Puranti minta diri masuk kebelakang. Putera rangga itu
sampai jauh malam masih bercakap cakap dengan demang
Saroyo, sehingga demang itu tak sempat lagi memanggil Dipa.
Dipa dan Surapun kembali ke pondok peristirahatannya.
Sepatah pun Dipa tak mau mengunjukkan tentang usahanya
untuk membela rara Puranti. Walaupun ia mendengar bahwa
jasa-jasa melindungi Puranti itu telah habis diborong Jaka
Damar, namun ia tetap gembira. Baginya bukan soal jasa atau
pujian, tetapi yang penting yalah Puranti telah diselamatkan
dari gangguan gerombolan anakmuda. Dan ia merasa telah
menunaikan apa yang dapat dilakukan oleh seorang penjaga
kademangan. Malam pun kelam dan makin larut. Tengah malam Dipa
terpaksa bangun sebagaimana yang biasa ia lakukan tiap
malam. Ia harus berjalan meronda mengelilingi kademangan.
Walaupun sudah jelas bahwa dua hari lagi ia harus
meninggalkan kademangan dan masuk menjadi prajurit
bhayangkara keraton Kahuripan, namun sedetik ia masih
menjadi penjaga kademangan, sedetik itu pula ia harus
menunaikan kewajibannya sebagai seorang penjaga.
Sambil membawa tombak, ia membangunkan Sura "Kakang
Sura, sudah tengah malam, kita harus mengelilingi " katanya.
Sura menguak "Ah, aku lelah sekali hari ini. Dan masih
ngantuk ...." Dipa mengetahui bahwa memang sehari itu amat.
melelahkan. Mengantar Puranti ke alun-alun, berhadapan
dengan banteng, menghadap sang Rani, pulang menghantarkan Puranti dan di tengah jalan berkelahi dengan
gerombolan anak-anak muda. Tetapi bagaimana lagi. Tugas
harus tetap dijalankan. la hendak memaksa Sura bangun
tetapi melihat kawan itu sudah mendengkur lagi, tahulah ia
kalau Sura memang letih sekali., Tak sampai hatinya untuk
mengusik kawan itu. Akhirnya ia berangkat tendiri.
Saat itu rembulan tak tampak. Cuaca langit diterangi oleh
ribuan bintang kemintang. Dipa ayunkan langkah perlahanlahan sambil mempertajam mata dan telinganya, memandang
dan mendengarkan setiap gerak yang harus diperhatikan.
Bahkan kesiur angin malam, derak ranting bergesek dan
hambutan daun kering gugur ke tanah, tak lepas dari
jangkauan indra pengawasannya.
"Lakukanlah kewajibanmu karena setiap kewajiban itu
mengandung keindahan .........."
Demikian Dipa tak pernah lupa akan kata-kata dari
brahmana Anuraga yang dipesankan ketika mereka berdua
berada dalam hutan. Dan memang banyak kali Dipa
menjumpai kenyataan itu dalam setiap kewajiban yang
dilakukannya. Oleh karena itu, dapatlah ia bekerja dengan ringan, pikiran
mantap. Tugas yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang
dianggap berat melainkan sebagai suatu pengabdian, suatu
keindahan. Demikianpun dengan pekerjaan ronda keamanan
di kademangan itu. Dalam malam2 yang gelap dan sunyi, ia
menemukan sesuatu yang indah. Sesuatu yang memberinya
banyak keheningan indera dan kejernihan pikiran. Didalam
kesunyian yang membisu itu, tergugahiah getar2 urat2 halus
yang menyerap di lapisan terbawah dari sekujur tubuhnya.
Berbicaralah seolah-olah segenap indera jasadnya. Dan
apabila ia gagal untuk menghidupkan sesuatu indera maka
diheningkannyalah semangat dan batinnya agar mengendap
dan mengendap, sesuai seperti ilmu Semedhi yang pernah
diajarkan kepadanya oleh brahmana Anuraga, demang
Suryanata, pandita Padapaduka dan eyang Panangkar."
Keheningan dan pengendapan semangat dan pikiran ke
dasar jagadraya dalam tubuh, merupakan sumber kekuatan
yang tiada taranya pada manusia.
Demikian Dipa tak menganggap ronda malam di
kademangan itu sebagai suatu tugas yang menyiksa
melainkan sebagai suatu kesempatan untuk melatih ketajaman
indera tubuhnya seperti yang dipancarkan dalam
semedhi. ilmu Dan dikala ia tengah memusatkan seluruh keheningan
pikiran itu, cepatlah ia dapat menangkap suatu bunyi macam
ranting yang bergesek. Namun ketajaman indera pendengarannya yang sedang memancar itu cepat pula dapat
membedakan bahwa bunyi itu sangat berlainan dengan suara
ranting bergesek. Lain pula halnya dengan hembusan angin
malam yang betapapun halusnya.
Serentak timbullah keinginan tahu di samping suatu rasa
kecurigaan. Mengapa sebabnya, pada waktu malam selarut itu
terdengar bunyi yang agak tak wajar. Dipa pun hentikan
langkah, lalu dengan berjingkat-jingkat ia menuju ke arah
suara aneh itu. Ah, langkahnya pun menuju ke halaman
belakang dari rumah ki demang. Sebuah halaman yang
berpagar dinding batu dan pohon2 nagasari.
Dipa cukup kenal akan keadaan rumah ki demang maka
dengan leluasa ia dapat mencapai halaman itu. Serentak ia
tertegun langkah ketika pandang matanya tertumbuk akan
sesosok tubuh kecil langsing yang tengah berdiri di bawah
sebatang pohon nagarasi sambil merangkai kedua tangan ke
dada dan menengadah memandang ke langit raya.
"Ah .......... " terdengar desah orang itu, lembut dan
panjang, kemudian suaranya pun melancar halus sehingga
hampir seperti orang berbisik.
Dipa terpukau dan makin heran. Kiranya tubuh yang tengah
berdoa atau bicara seorang diri di bawah pohon itu, bukan lain
adalah Puranti. Ya, ia tak pernah melupakan bayangan dara
itu. Dipa gelisah, bingung untuk mengambil langkah. Hendak
ditegurnyakah atau dibiarkannya saja puteri demang itu "
Apabila akan ditegur, ia kuatir akan membuat dara itu
terkejut. Kemungkinan lain dapat menimbulkan kesan pada
Puranti bahwa dia seorang pengalasan yang tak tahu adat
karena tengah malam begini masuk ke halaman belakang.
Namun apabila ia tinggalkan saja, andaikata terjadi sesuatu
pada diri puteri demang itu, bukankah ia dapat dianggap
melalaikan tugas. Dan dalam hati iapun merasa kuatir apabila
puteri demang itu akan menderita sakit karena berada di alam


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka pada waktu tengah malam. Dan bukankah embun
sering bertaburan pada malam hari"
Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sampai Puranti
selesai berdoa atau menyelesaikan keperluannya berada di
halaman belakang, baru ia hendak menghampiri dan
memintanya supaya lekas masuk ke dalam gedung.
Beberapa saat kemudian tampak Puranti mengisar tubuh
seperti telah menyelesaikan doanya. Saat itu segera
dipergunakan Dipa untuk melangkah maju.
"Rara ....." Dipa berseru pelahan karena takut akan mengejutkan puteri
demang itu dan iapun girang karena Puranti tampak tenang
"Ya, mengapa kakang Dipa?"
Dipa heran mengapa tanpa menghadap kearahnya, Puranti
sudah dapat mengetahui dirinya. Dan rasa heran itu makin
meluap, melingkar-lingkar dan akhirnya membentuk awan
kecurigaan. "Rara, engkau tahu kalau aku di sini?"
"Ya "sahut Puranti.
"Sejak tadi" "Ya "Oh " Dipa agak tergetar suaranya "maafkan aku."
Puranti tertawa tetapi dalam hati "Mengapa kakang minta
maaf " " tegurnya.
"Karena aku kurang tata berani masuk ke halaman sini dan
menunggumu berdoa." "Tetapi aku tak merasakan suatu hal yang mengurangi
ketenangan doa yang kupanjatkan itu. Perlukah aku memberi
maaf kepadamu?" Dipa terkesiap mendengar ucapan yang tepat dari puteri
demang itu. Suatu pemaafan yang tak memerlukan maaf. Bagi
Puranti. Tapi tidak bagi perasaannya. Maka ia masih
menyanggah "Apabila demikian dan apabila engkau anggap
hal itu sesuatu yang berkelebihan, adalah padamu untuk tidak
memberikan maaf itu. Namun bagi seorang yang merasa telah
berbuat sesuatu yang melanggar batas peraturan dan
kesusilaan, seperti yang kulakukan saat ini, memang wajib
untuk memohon maaf. Dapatkah engkau ....."
"Engkau merasa bersalah dan meminta maaf, itu adalah
hak kewajibanmu. Tetapi aku merasa engkau tak menyalahi
aku, pun hak dan kewajibanku untuk menganggap tak perlu
memberikan maaf itu. Bukankah demikian kakang?" kata
Puranti berhias senyum. Dipa terpaksa tertawa. Demikian tawa itu timbul pula dalam
hatinya. Sejenak hampir ia menganggap pernyataan Puranti
benar. Tetapi pada lain kejab ia merasa ada sesuatu dalam
ucapan Puranti itu yang masih dapat diperbincangkan "Rara,
mampunyai anggapan, memang dibenarkan bagi setiap orang.
Kemudian anggapan dari setiap orang itu, apabila memang
benar, tentu akan menjadi anggapan umum. Anggapan umum
ini menjadi dasar terbentuknya peraturan tata kehidupan kita.
Baik mengenai tata susila, tata praja, tata hukum dan tata
kehidupan .... Dipa berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Nah,
berdasarkan tata susila yang herlaku dalam kehidupan kita,
masuk halaman belakang rumah orang, mendengarkan
seorang gadis yang tengah berdoa, adalah suatu perbuatan
yang melanggar susila. Bahwa engkau mengauggap hal itu tak
mengganggu ketenanganmu dan tak perlu memberi maaf, itu
memang hak dan kewajibanmu. Tetapi anggapan itu adalah
anggapan peribadimu, maaf, bukan anggapan umum seperti
yang tertuang pada tata susila itu.
Puranti tertawa kecil "Karena itu aku harus memberi maaf
kepada mu ?" Dipa tersipu-sipu. Agak sukar untuk menjawab. Maaf yang
dipaksakan, bukanlah suatu maaf yang tulus.
"Kakang, kalau memang ucapanmu itu sesuai dengan
anggapan umum, maupun dengan tata- susila, aku bersedia
untuk memberikan maaf itu," kata Puranti pula "tetapi
sebelum hal itu dapat meyakinkan pikiranku, ingin aku
mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, kakang."
Puranti hentikan ucapannya dan melangkah ke bawah
sebatang pohon, mengambil tempat duduk dan mempersilahkan Dipa pula. "Duduklah kakang. Mari kita bicara
dengan tenang." Setelah Dipa duduk, bertanyalah Puranti "Bersediakah
kakang menjawab pertanyaanku itu ?"
"Tentu, rara" Dipa mengangguk walaupun dalam hati agak
heran dan menduga-duga apa yang akan diajukan puteri
demang itu kepadanya. "Dalam kedudukan sebagai apakah maka kakang malam ini
masuk ke halaman belakang gedung kademangan?"
pertanyaan segera meluncur dari bibir dara itu.
"Sebagai petugas yang melakukan ronda keamanan
kademangan " tanpa terasa Dipa terbawa dalam pertanyaan
itu. "Hal apakah yang menyebabkan kakang sebagai petugas
ronda sampai masuk ke halaman ini?"
Sejenak Dipa kerutkan dahi lalu menjawab "Kudengar bunyi
macam ranting bergesek tetapi jelas bukan ranting."
"Setelah mendengar bunyi aneh itu, bukankah kakang
timbul rasa curiga?"
"Benar "Karena curiga jangan2 bunyi itu timbul dari hal yang dapat
mengganggu keamanan, misalnya penjahat atau pencuri,
maka kakang lalu masuk ke halaman ini."
"Benar." "Bukankah yang mendorong langkah kakang itu kewajiban
kakang sebagai petugas keamanan ?"
"...ya." "Adakah seorang peronda yang masuk ke halaman karena
hendak sesuatu yang mencurigakan, itu suatu pelanggaran
susila?" "0," Dipa mendenah terbata-bata "ya, benar penilaianmu
itu." Puranti tertawa, "Maaf, kakang, bukan aku hendak mencari
menang dalam pembicaraan ini. Sama sekali tidak. Aku hanya
ingin mencari kebenaran yang dapat engkau rasakan dan
terasa pula bagiku. Maka hendak kulanjutkan pertanyaan pula.
Maukah engkau menjawab lagi ?"
Dipa mengangguk. Ia merasa puteri demang itu bukanlah
gadis biasa tetapi seorang gadis yang tajam pikiran, luas
pandangan. "Kemudian engkau berdiri menunggu aku selesai berdoa.
Apakah maksudmu, kakang?"
"Agar engkau ketenanganmu." jangan terkejut dan mengganggu "Hanya itu?" Puranti menegas.
"Aku takut dianggap melanggar susila maka aku menunggu
sampai engkau selesai berdoa."
"Hanya itu" Tidak ada lagi?"
"Ya, memang hanya itu," sahut Dipa.
"Ah, tidak, kakang. Eagkau tentu masih mempunyai lain
pendirian." "Tidak, rara" "Benar" Ah, kakang. Cobalah engkau jawab pertanyaanku
ini. Selain dari hal yang meliputi anggapan itu tadi, tidaklah
kakang juga mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga
leselamatanku. Misalnya, kemungkinan apabila ada penjahat
yang hendak mengganggu aku. Kemungkinan pula, kakang
hendak berusaha menasehati aku supaya masuk ke dalam
gedung agar jangan terkena angin malam atau embun upas
dan lain-lain" Seketika pucatlah Dipa mendengar uraian Puranti yang
sedemikian mengena tepat sekali pada lubuk hatinya, "Ya,
benar," sahutnya tersekat sekat.
"Itulah kakang," Puranti tertawa riang "adakah seorang
petugas yang melakukan tindakan dalam rangka tugasnya itu
dapat ditafsirkan sebagai tindakan pelanggaran susila?"
Dipa tak dapat menyahut. Ia menunduk.
"Oleh karena itulah maka tak perlu kuberikan maaf
kepadamu. Bahkan seharusnva akulah yang layak
mengucapkan terima kasih atas perhatianmu itu."
Dipa terbelalak dan tersipu-sipu menolak. "Tidak, tidak rara.
Jika engkau tak pelu memteri maaf, hendaknya eugkaupun tak
perlu mengucap terima kasih. Karena apa yang kulakukan
tadi, seperti yang engkau katakan, adalah dalam rangka tugas
kewajibanku sebagai petugas keamanan."
Puranti pun tertawa cerah "sudahlah, kakang, mari kita
bicara lain soal saja. Mengapa kakang masih melakukan tugas
ronda. Pada hal besok lusa kakang sudah pindah ke keraton
Kahuripan ........" Ada suatu nada aneh, nada yang penuh getar keharuan dan
kerawanan dalam ucapan Puranti yang terakhir itu. Dan getar
itu menyentuh hati Dipa, menimbulkan suatu perasaan yang
tak diketahui namanya namun terasa dalam hati. Dipa
mengangkat muka memandang gadis itu. Ah iapun menghela
napas "sebenarnya tak pernah kuduga akan secepat itu pula
aku harus masuk ke dalam keraton."
"Ah, bukankah hal itu suatu peningkatan dari kedudukan"
Mengapa kakang menghela napas" Adakah kakang tak
menyukai kedudukan yang tinggi ?"
Dipa menunduk pula "Sesungguhnya beratlah nilai daripada
suatu kedudukan itu. Kedudukan bukan semata mata harus
ditafsirkan sebagai suatu kenikmatan. Melainkan sebagai suatu
kewajiban yang lebih berbobot. Makin tinggi kedudukan,
makin berat bobot tanggungjawabnya."
"Ah, itu menurut anggapan seorang yang menyadari akan
tanggung jawab. Pada umumnya, orang tentu menginginkan
kenikmatan dari kedudukan itu lebih dahulu, daripada
memikirkan tentang tanggung jawabnya,"sahut Puranti.
Dipa menghela napas "Itulah kodrat manusia, Puranti.
Manusia selalu menginginkan kenikmatan. Dan karena
keinginan itulah yang menyebabkan mereka menderita.
Karena Keinginan itu tak kunjung habis."
"Kata-kata yang indah bernilai," seru Puranti "tak kukira
engkau dapat mengucapkan kata-kata yang begitu baik,
kakang." Dipa tersipu sipu malu, katanya terus terang, "Itulah ajaran
yang pernah kuterima dari paman brahmana Anuraga dan
beberapa orang tua. Oleh karena itu, akupun berusaha untuk
tak berbanyak keinginan mendapat kedudukan yang tinggi "
kemudian Dipa pun menuturkan tentang kissah pertemuannya
dengan Rani Kahuripan dan pengangkatannya sebagai prajurit
sehingga ia bekerja di kademangan.
Puranti mendengarkan dengan penuh perhatian dan diamdiam makin dalam kesannya terhadap anakmuda itu. "Kakang,
kalau engkau tak menginginkan kedudukan, lalu apakah yang
menyenangkan hatimu?"
"Ketenangan dan ketenteraman."
"Adakah engkau menjumpahi hal itu di kademangan sini ?"
"Aku merasakan, menginginkan dan mengusahakannya.
Walaupun harus mengalami gangguan dan kegagalan."
"Yang engkau maksud itu tentu perbuatan kakang Puranta
dan sikap ramaku kepadamu, kakang."
Dipa tertawa "Itu hanya sekelumit bagian kecil. Dan
kuanggap hal itu sudah jamak sebagaimana yang biasa
diderita oleh orang bawahan. Bagian yang besar dari sesuatu
yang mengganggu pikiranku yalah suasana dalam telatah
kademangan. Penduduk kademangan ini masih ter!alu
mengutamakan kesenangan hidup. Mereka menyerahkan diri
pada belenggu kesenangan minum tuak, berjudi dan main
wanita. Kebiasaan orang2 tua itu merupakan cermin yang
ditauladani oleh para mudanya. Karena itu maka di
kademangan pun tak sedikit timbul kelompok2 pemuda yang
sering mengganggu ketenangan suasana."
Puranti mengangguk "Engkau memiliki pandangan yang
tajam dan penilaian yang tepat, kakang. Bukan aku tak tahu
bahwa rama dan kakang Puranta itu, pun teijerumus dalam
kebiasaan2 hidup yang berlebihan, bukan pula aku tak
mengetahui tindak tanduk rama dan kakangku dalam hal-hal
yang engkau singgung sebagai suatu penghambaan pada
kenikmatan hidup itu. Namun aku hanya seorang anak
perempuan, mereka tak pernah naenerima kata kataku.
Bahkan menotak untuk mendengarkan."
Dipa menyadari kalau ia telah kelepasan bicara sehingga
cepat menyinggung perasaan rara Puranti yang halus dan
nalurinya yang tajam itu. Maka cepat pula ia
>
mudah untuk merobah tata kehidupan yang telah tumbuh
dalam suatu masyarakat. Ibarat pohon yang sudah berakar,
kebiasaan itu memang seolah telah menjadi darah daging.
Namun seperti kehidupan pohon, yang tumbuh tentu akan
layu. Demikian pula dengan kebisaan yang hidup dan tumbuh
dalam masyarakat. Pada suatu waktu tentu akan terjadi
perobahan dan timbul suatu iklim baru. Mudah-mudahan
perobahan itu menuju kearah perbaikan yang sesuai untuk
kesejahteraan hidup."
Puranti lirih mengiakan. Kemudian ia mengangkat kepala
dan setelah tertegun sejenak, ia pun berkata "Kakang, adakah
alam pikiranmu itu hanya penuh dengan hal2 semacam itu?"
"Selama mataku melihat, telingaku mendengar, tentu
pikiranku akan selalu merana mencari jawaban dari persoalan2
yang timbul dalam hatiku " jawab Dipa.
"Mata hanya dapat melihat, telinga mendengar. Tetapi
masih kurang satu yang paling penting.."
Dipa kerutkan kening "Apakah itu, rara?"
"Hati " sahut Puranti "hati yang dapat merasa sesuatu yang
mungkin tak dapat dilihat oleh mata, tak dapat didengar oleh
telinga." Dipa terkesiap. Sesaat ia masih belum dapat menyerapi apa


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tersembul dalam kata-kata puteri demang itu. Ia
menengadahkan kepala memandang ke taman angkasa yang
penuh bintang kemintang. Sampai beberapa saat ia terdiam.
Terdiam dalam percakapan hati dengan bintang di langit, yang
dipancarkan melalui renungan pandang matanya.
Melihat sampai beberapa saat Dipa belum juga membuka
mulut, Puranti menyelinapkan pandang mata kearahnya.
Dilihatnya mata anakmuda itu tengah memandang jauh ke
angkasa. Tanpa disadari, pandang mata Peranti pun terbawa,
mengikuti arah yang tengah dihadap mata Dipa. Bintang
kemintang berkelap-kelip bagaikan ribuan permata berhamburan diatas beludru hitam. Indah kemilau. Tiada
terperikan keindahan dan kebesaran ciptaan Hyang Maha
Agung. Serba indah, serba lengkap dan serba sempurna. Hanya
manusia yang selalu kurang puas, kurang mengagungkan
keagunganNYA . "Kakang ....... " tiba-tiba Puranti berbisik.
"Ya " sahut Dipa lirih seraya masih memandang ke
cakrawala. "Betapa indah malam ini, kakang. Sunyi tenang di sekeliling
jagad. Bintang kemintang bertaburan mengagungkan
kebesaran malam. Memberi penerangan kepada sekalian
manusia agar jangan selalu dirundung kegelapan hati dan
pikiran ....... " "Benar " sahut Dipa "kesunyian merupakan sumber
keheningan dan malam sumber renungan hati kita akan
segata sesuatu yang telah kita lakukan hari ini. Bintang
kemintang merupakan sinar yang menerangi hati dan pikiran
kita." "Engkau merasa bahagia dengan malam?"
"Begitulah" "Dan malam ini juga?"
"Ya" "Ah, akupun demikian kakang " kata Puranti "apa yang
kuucapkan dalam doaku tadi?"
"Entahlah ..... "
"Kumohon agar malam ini jauh lebih panjang dari malam2
biasanya. Kumohon agar aku selalu mengalami malam yang
seindah ini bersamamu....."
Dipa menghela napas. "Mengapa engkau menghela napas, kakang?" tegur Puranti
agak terkejut. "Bagaimanapun, malam tentu akan berlalu."
"Benar, tetapi besok akan tiba pula malam itu."
"Ya." "Tidakkah engkau menginginkan malam besok dan malam2
berikutnya, juga akan seindah malam ini"."
Dipa terkejut. Rupanya ia makin dapat menemukan arah
ucapan puteri demang itu. Ia berpaling memberanikan diri
memandang Puranti ..........
Tak terasa Puranti pun mengisar pandang dan tertumbuk
lah dua pasang mata dalam pandang yang memancarkan
beribu bahasa hati. Bahasa yang sukar dimengerti dan
memang tak perlu diartikan, sukar didengar dan memang tak
perlu dikecapkan, sukar diutarakan dan memang tak, perlu
diterangkan. Namun dapat terasa, dimengerti dan diresapi,
karena bahasa itu. merupakan getaran kodrat manusia.
Dipapun menghela napas lalu meaunduk.
Dipa seorang jejaka sudah yang menjelang akil balig.
Bahkan karena tempaan pengalaman dan penderitaan,
pikirannya lebih cepat mendahului dewasa daripada umumya.
Sentuhan halus dari kata dan sikap puteri demang itu
kepadanya, walau pun masih samar, namun ia dapat
merasakannya. Dan perasaan itupun cepat meagembang biak,
membangkit gelora hatinya. Sebelum ia dapat menemukan
arah dari langkah yang akan diambil, tiba-tiba terpeciklah
gumpal2 cahaya yang memantulkan bayang2 hidupnya yang
lampau. Bayang -yang penuh dengan derita hidup.
"Rara ........" tiba-tiba ia mengucap.
Tetapi secepat itu pula Puranti pun menjawab, "Kakang,
janganlah memanggil aku dengan sebutan rara, panggil saja
namaku." "Ah," kembali Dipa menghela napas "aku seorang paria
........" "Paria pun seorang manusia, sama2 titah Hyang Maha
Agung." "Akupun sadah sebatang kara ......."
"Engkau dikelilingi orang2 yang mengasihimu."
"Kita ........ kita .......... terpisah oleh jarak perbedaan kasta
dan lingkungan hidup yang jauh?""
"Itu hanya buatan manusia, perbedaan yang diadakan oleh
manusia2 yang angkuh, yang ingin mempertahankan
keniknatan hidupnya."
Dipa gelengkan lepala. "Nilai manusia, bukan tergantnng pada kasta, bukan pula
pada asal keturunannya, melainkan dari harkat peribadinya,
nilai amal dharmanya sebagai manusia."
Dipa menegakkan kepala, memandang puteri demang itu
"Puranti, semuda usiamu tetapi engkau dapat menjadikan
ucapanmu, sumber2 ajaran yang bernilai."
"Ah, aku gemar membaca veda2 dan pitaka2 yang
meresapkan ajaran2 hidup," kata Paranti "tetapi engkau belum
menjawab pertanyaanku tadi, kakang."
"Soal apa?" "Tidakkah engkau menginginkan tiap malam akan seindah
malam ini?" "0, aku berharap juga," sahut Dipa pelahan.
"Hanya berharap saja ?"
"Lalu ?" "Berharap itu baik, tetapi masih lemah, belum menyatakan
ketegasan. Menginginkan lebih baik daripada mengharap.
Tetapi itupun masih belum tegas. Berusaha itulah yang paling
baik, paling tegas."
"Dapatkah aku berusaha untuk membuat malam seindah
malam ini ?" "Sudahkah engkau berusaha?"
"Ah, Puranti ....." kembali Dipa mendesah.
"Jangan mengesah kakang. Aku bersedia membantumu
.........." "Puranti ....... " karena getaran hati yang meluap, tanpa
disadari Dipa pun mendekap tangan gadis itu. Dan Puranti pun
merelakannya. Ketika tangan mereka bersentuhan, keduanya
pun saling pejamkan mata, menghayati arus kehangatan
darah yang mengalir dan memancar di seluruh tubuh masing2.
Keduanya terbenam dalam pagutan keterkejutan yang
penuh nikmat, debaran jantung yang membahana merdu.
Mereka tak bicara apa2 dan memang tak mau bicara karena
kuatir pembicaraan itu akan mengganggu keindahan rasa hati
yang belum pernah mereka alami sepanjang hidupnya.
Malam makin larut, makin sunyi. Dan bintang kemintang
pun makin bersinar terang dan penuh. Sunyi senyap sekeliling
penjuru halaman gedung ki demang Saroyo. Yang terdengar
hanya detak jantung kedua insan remaja dan debur darah
mereka yang berpasang surut bagai gelombang laut.
Keduanya terpukau dalam kebisuan yang syandu. Hati mereka
setenang malam itu, secerah bintang2 yang bergemerlapan di
langit. Lama keduanya berada dalam keadaan itu, tiba-tiba
terdengarlah kentongan gardu kademangan bertalu-talu,
menggemakan waktu lewat tengah malam menjelang ayam
berkokok. Dipa terbeliak dari kehanyutan semangat. Serentak ia
teringat akan tugasnya yang masih belum selesai. Maka
dengan pelahan-lahan iapun menarik tangannya "Puranti,
cukuplah kiranya apa yang kita rasakan malam ini. Aku masih
harus melakukan tugas meronda. Malampun makin larut,
silahkan engkau masuk kedalam gedung .........."
"Kakang" ujar puteri demang dengan nada enggan melepas
"lihatlah bintang yang mencorong paling terang itu," ia
menunjuk ke langit "itulah yang disebut lintang Panjer-rino.
Dia telah menyaksikan persembahanku kepadamu tadi,
kakang." "Puranti .........."
"Besok lusa engkau akan berangkat meninggalkan
kademangan dan selanjutnya engkau tentu tak mempunyai
banyak kesempatan untuk menjenguk ke kademangan. Tetapi
aku tetap akan berbicara kepadamu, kakang. Melalui lintang
Panjer rino akan kubisikkan kata-kata kepadamu .........."
"0, Puranti ........"
"Dan selama lintang Panjer rino bercahaya, selama itu pula
hatiku akan bergemerlapan suara hatiku yang memancar
kepadamu. Pandang dan amatilah kakang. Lintang Panjer rino
itu adalah cermin hatiku. Dia suram, hatikupun suram. Dia
terang, hatiku pun terang. Dia tetap berada di angkasa,
hatikupun tetap berada dalam hatimu .........."
Dipa berbangkit, sejenak memandang Puranti lalu berputar
tubuh dan melangkah keluar halaman. Sayup2 ia masih
mendengar helaan napas Puranti yang lembut. Ia menyusur
jalan yang melingkar-lingkar dan tak berapa lama lenyap
ditelan kegelapan malam. Menjelang subuh, iapun kembali ke rumah kediaman ki
demang Saroyo yang merupakan markas keamanan.
Hari itu adalah hari yang kedua atau hari yang terakhir Dipa
tinggal di kademangan. Besok ia harus menghadap Rani
Kahuripan di keraton. Oleh karena semalam habis meronda
dan hari itu ia harus berkemas maka ia mendapat libur. Pagi
itu agak siang ia bangun. Dan sore harinya, ia menghadap ki
demang untuk mohon diri. Ki demangpun mengadakan
selamatan sekadarnya. Sebagai tanda perpisahan doa bagi
Dipa di dalam menghadapi tugas baru. Berbanyak-banyak
kata, ki Demang memberi nasehat dan petuah kepada Dipa.
Pada akhirnya ki demangpun menghadiahi seperangkat
pakaian yang indah. Sepulang menghadap ki demang, Dipa terkejut ketika
seorang perempuan setengah tua telah menunggu dalam
pondoknya. Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai
pengasuh Puranti dan kedatangannya ke situ karena disuruh
puteri demang untuk mengantarkan bingkisan.
"Rara minta agar angger selalu memakai kain ikat pinggang
pemberiannya ini. Sehelai kain cindai berumbai hasil
buatannya," kata pengasuh itu.
Dipa mengucap terima kasih dan minta kepada inang
pengasuh itu menyampaikan hormat dan terima kasihnya
kepada Puranti. Setelah perempuan itu pergi, Dipa
menghempaskan diri diatas perbaringannya. Pikirannya
melayang-layang akan peristiwa yang telah dialaminya
semalam. "Ah, aku telah bertindak terlalu jauh," ia menghela
napas "mungkinkah hal itu akan terjadi?"
Terbayang pula wajah ki demang Saroyo yang bengis,
Puranta yang kejam dan kemewahan hidup dalam lingkungan
keluarga ki demang. Makin membayangkan, makin jauhlah
rasanya jarak pemisah antara dirinya dengan Puranti. Namun
apabila ia mengenangkan sikap Puranti, terhiburlah hatinya.
Kesungguhan dari ketulusan hati dara itu, bagai hembusan
angin lembut yang menyejukkan jiwa. Dipa merasa seolaholah dihadapkan oleh dua buah unsur. Yang satu, api yang
panas membara, memancarkan amarah, kebencian dan
keganasan dari sikap demang Saroyo, Puranta dan lingkungan
hidup keluarga demang itu. Dan yang satu adalah angin sejuk
yang dihembuskan dari pancaran hati Puranti.
Dipa agak bingung dan makin bingung. Akhirnya ia
menyerah pada suatu penyerahan. Apapun yang akan
digariskan oleh Hyang Widdhi kepadanya, akan ia terima
dengan ketulusan hati. Bukan karena ia lemah dan menyerah.
Tetapi karena ia tahu, merasakan dan mengalami sendiri,
betapa garis2 perbedaan kasta itu masih amat tajam dan
melingkupi alam kehidupan dewasa itu.
Setelah dapat mengendapkan perasaan hatinya dalam
suatu landasan alam kesadaran, maka menguak pula lain
perasaan. Perasaan akan jabatan baru yang akan dijenjangnya
di dalam keraton Kahuripan. Bhayangkara adalah suatu
kedudukan yang mulia karena berkecimpung dalam suasana
kehidupan keraton, tempat yang menjadi pusat pimpinan
negara. Suatu kehidupan yang akan membuka sejarah
kehidupan ke pintu gerbang hari depan yang lebih cemerlang.
Namun disadarinya pula akan makin lebih berat kewajiban dan
tanggungjawab yang dituntut oleh pekerjaan itu. Bhayangkara
adalah pengawal keraton yang bertanggungjawab akan
keselamatan sang Rani dan seluruh isi keraton. Tanggung
jawab itu jiwalah taruhannya.
Demikian bayang2 renungan yang melalu lalang dalam
benak Dipa. Makin merenung makin luaslah lingkupan
renungan yang direnungkan sehingga akhirnya karena terlalu
padat, benaknya letih dan tertidurlah ia dalam kelenaan yang
nyenyak. Dan ia bermimpi. Mimpi yang aneh. Seolah ia melihat dua
orang dara. Yang seorang tersenyum, memanggilnya. Yang
seorang duduk menelungkupkan kepala keatas lutut, seperti
orang menangis. Berpaling kesebelah kiri, ia segera mengenali
bahwa dara yang bersenyum dan memanggilnya itu, adalah
Puranti, puteri demang Saroyo. Tetapi siapakah dara yang
menelungkupkan kepalanya itu" Aneh, ia sendiripun tak
menyadari, mengapa ia tak menghiraukan panggilan Puranti,
tetapi menghampiri dara yang menangis itu. Ketika tiba
dihadapannya, dara itu tetap tak menghiraukan dan tetap
menelungkupkan mukanya. Ditegurnya, pun dara itu tetap tak
mau menyahut. Akhirnya karena tak kuasa menahan
kesabaran, Dipa mengulurkan kedua tangan, memegang
kepala dara itu lalu diangkatnya keatas
"Indu, engkau ...."
Karena terkejut, Dipa pun tersentak bangun. Ia menggosokgosok pelapuk matanya, menggumam seorang diri "Aneh, ya,
tak salah lagi, gadis itu Indu, cucu ki demang Suryanata.
Mengapa dia bersedih sedemikian rupa ...."
Serentak berhamburanlah kenangan lampau di taman hati
Dipa. Kenangan ketika ia bersama Indu dan demang
Suryanata masih berada di pondok tengah hutan. Betapa


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

indah dan bahagia hari2 itu. Bersama si dara Indu yang ramah
dan rajin, bersama demang Suryanata yang sabar dan banyak
ceritanya .......... "Indu, dimanakah engkau sekarang?"
kembali Dipa bertanya dalam hati. Ia mendapat keterangan
dari demang Suryanata bahwa Indu telah diculik kelompok
Dharmaputera, dibawa ke pura Majapahit. Sayang pada waktu
ia hendak mencari ki demang dan Indu ke pura Majapahit, ia
harus kembali dengan menggigit jari. Karena berkelahi dengan
prajurit penjaga pintu gerbang yang hendak mengganggunya,
terpaksa ia harus melarikan diri dan batal masuk ke dalam
pura kerajaan. "Adakah saat ini Indu berada dalam kesulitan dan minta
pertolongan kepadaku ?" tak henti hentinya Dipa berusaha
mengupas dan menafsirkan mimpinya yang aneh itu.
Kehadiran Indu, walaupun hanya dalam impian, namun telah
membangkitkan kenangan Dipa akan gadis kecil Indu. Dan
pikirannya terus melamun, melamun jauh kemasa yang
lampau. Tiba-tiba ia terkejut ketika pintu pondok didebur orang2.
Dan sebelum ia sempat berbangkit, pintu pun sudah terbuka
dan masuklah Prana, seorang pekatik atau tukang kuda. "Adi,
Sura sakit, harap engkau menjenguknya," katanya.
Dipa terkejut. Sura, sahabatnya yang paling baik di
kademangan. Bergegas Dipa datang ke pondok Sura. Kawan
itu masih terbaring di tempat tidur dan mengenakan selimut
"Kakang Sura, bagaimana engkau ?"
Sura menguak pelahan, sahutnya "Entah bagaimana, sejak
bangun pagi tadi, badanku terasa demam, kepala pusing dan
beberapa kali muntah2"
Dipa merabah dahi. Panas. Tetapi kaki dan tangannya
terasa dingin. "Kakang, biarlah kulaporkan kepada ki demang
agar diberi obat." "Tak perlu Dipa," cegah Sura "aku pun sudah minum obat.
Asal malam ini dapat tidur, esok tentu sudah sembuh. Dan lagi
malam ini ki demang sedang sibuk menerima tetamu."
"Tetapi dari mana ?"
"Entahlah. Tetapi rupanya kedua tetamu
berpangkat juga. Ki demang amat menghormati."
itu orang Dipa heran "Eh, kakang, engkau sakit, bagaimana engkau
tahu kalau ki demang menerima tetamu dari luar daerah ?"
"Sejak pagi tadi ada saja kawan yang berkunjung kemari.
Dan terakhir kakang Wira yang menyampaikan perintah bahwa
malam ini jatuh giliranku yang meronda."
"Tetapi engkau sakit, kakang. Biarlah lain orang yang
menggantikan." Sura menghela napas "Ah, malam ini ki demang memberi
perintah yang agak luar biasa. Tiap penjaga, harus siap di
tempatnya masing2. Keamanan kademangan harus diperketat." "Ih " Dipa mendesis penuh keheranan. Namun karena Sura
pun tak dapat memberi keterangan ia tak perlu bertanya pula.
"Kakang Sura, beristirahatlah. Akulah yang akan mewakili
engkau meronda malam ini."
"Tetapi Dipa," Sura terbelalak "bukankah engkau sudah
bebas dari tugasmu di kademangan" Bukankah esok pagi
engkau sudah pindah ke keraton?"
"Benar, kakang," sahut Dipa "memang besok pagi aku akan
meninggalkan kademangan dan masuk ke keraton. Tetapi
karena malam ini aku masih berada di kademangan, akupun
masih merasa terikat oleh kewajiban. Kewajiban membantu
seorang kawan yang sedang sakit dan kewajiban menjaga
keamanan kademangan ini."
Sura mencegah tetapi Dipa tetap pada pendiriannya.
"Apabila kakang memang sungguh2 ingin bersahabat dengan
Dipa, engkau harus meluluskan aku mewakili tugasmu,"
akhirnya agak keras nada Dipa mendesak Sura.
Dan akhirnya Surapun mengalah "Dipa, engkau benar-benar
seorang berhati mulia. Semoga dalam perjalanan hidupmu,
engkau selalu mendapat berkah dari dewata"
Maka malam itu Dipa pun meronda lagi. Memang ia melihat
di gedung kademangan dijaga keras. Dan memang tahu pula
bahwa ada dua orang tetamu naik kuda yang berkunjung pada
ki demang. Tetapi ia tak dapat melihat siapakah tetamu itu.
Dan pikirnya pun tak perlu harus mengetahui urusan ki
demang. Menjelang tengah malam ketka ia sedang menyusur jalan di
sebelah luar kademangan, tiba-tiba ia mendengar suara orang
bercakap-cakap "Aneh " pikirn)a. "Mengapa di tempat yang
sesunyi seperti daerah yang sedang dilalui itu, pula pada
waktu tengah malam, terdapat orang yang sedarg bercakapcakap."
Naluri Dipa yang tajam cepat dapat merasakan sesuatu
yang tak wajar. Suatu gerak gerik yang layak mendapat
pengawasan. Dengan berindap-indap ia menghampiri.
Sedemikian hati2 ia mengatur langkah agar jangan didengar
oleh mereka. Ia berhasil menyembunyikan diri dibalik sebuah
gerumbul tak jauh dari tempat mereka. Setelah meyakinkan
diri bahwa gerak geriknya itu tak terdengar oleh mereka,
barulah Dipa mulai berusaha untuk mengarahkan pandang
kepada orang itu. Ia menyiak serumpun daun yang mengaling
di hadapannya dan melalui sebuah lubang celah2 gerumbul,
dapatlah pandang matanya mencurah ke muka, menyasar ke
arah dua lelaki yang tengah duduk di atas batu. Yang seorang
karena menghadap ke arah Dipa, dapatlah ia melihat
potongan wajahnya. Seorang lelaki berumur lebih kurang
tigapuluh tahun, memelihara kumis lebat dan nada suaranya
agak kecil. Sedang yang seorang karena duduk menghadap ke
arah sana, maka Dipa tak dapat melihat raut wajahnya. Ia
hanya mengenal nada suaranya yang besar dan tubuhnya
yang agak pendek. "Darwis, apakah engkau tak keliru tentang tempat
penginapan dari rakryan Tadah itu?" tiba-tiba terdeagar lelaki
yang agak pendek berkata.
"Tidak salah lagi, kakang sahut lelaki yang bernada suara
kecil "siang tadi telah kukirim seorang anakbuah kita masuk ke
dalam pura Kahuripan dengan menyaru sebagai rakyat biasa.
Dia berhasil mendapat keterangan tempat penginapan rakryan
itu. Dan bukankah Saroyo tadipun mengatakan tempat itu
juga?" "Hm, ya, tetapi sebaiknya kita harus hati2 sendiri" kata
lelaki bertubuh agak pendek, "ketahuilah Darwis, tugas ini
penting tetapi pun berbahaya sekali. Dan ingat, apabila gagal,
kita harus lekas meloloskan diri."
Darwis mengiakan. "Dan jangan lupa akan pesan yang telah disumpahkan
kepada kita. Bahwa apabila tertangkap, kita harus bunuh diri.
Jangan sekali-kali mau memberi keterangan siapa yang
memerintahkan. "Ya, kakang Dandaka," sahut Darwis "telah kucamkan
sumpah itu kepada anakbuah kita. Dan yang penting mereka
tak tahu siapa sesungguhnya yang memerintahkan rencana
ini. Mereka hanya tahu bahwa kitalah yang bertanggung
jawab." "Bagus" seru Dandaka "sudah engkau janjikan upah besar
kepada mereka ?" "Sudah." "Dan apa lagi?"
"Apa lagi, kakang ?" Darwis balas bertanya agak heran.
"Ah, jangan lupa akan janji yang berharga, bahwa apabila
tugas ini berhasil, mereka akan dibebaskan dari segala
kesalahan dan hukuman."
"0, itu" Sudah, kakang. Sudah kutegaskan kepada mereka
akan hal itu juga." Dandaka mendesuh "Ya, mereka itu adalah orang2
tangkapan negara. Bekas gerombolan penjahat, penyamun,
perampok dan pembunuh. Gusti patih telah menahan mereka
di sebuah tempat tersendiri. Lalu kepada mereka diberi
kesempatan untuk melakukan tugas ini. Apabila berhasil akan
mendapat pengampunan dan hadiah."
"Menilik sikap dan sambutan mereka, rupanya mereka
bersemangat sekali untuk melakukan tugas ini" kata Darwis.
Mereka berhenti sejenak. Sedang Dipa pun mulai
merangkai-rangkai dugaan. Menilik pembicaraannya, mereka
adalah orang yang diberi perintah oleh ki patih. Tetapi patih
siapa dan patih dari kerajaan mana"
"Ah, tentulah gusti patih dari Majapahit." Dipa menarik
kesimpulan sendiri, "lalu tugas apakah yang mereka lakukan
ke Kahuripan" Siapakah rakryan Tadah yang mereka sebut2
itu " ......." "Kakang Dandaka" tiba-tiba Darwis berkata pula, "sudah
jelas bahwa peristiwa ini akan menimbulkan kegemparan
besar. Tetapi mengapa gusti patih tetap hendak
melakukannya?" "Sst " Dandaka mendesis "jangan keras2 bicara. Angin
dapat membawa suara orang."
"Ah " desah Darwis mengangkat bahu "tetapi pada saat dan
tempat seperti ini, masakan ada manusia yang berada di sini."
"Ya, benar," jawab Dandaka "tetapi hati2 itu lebih baik," ia
berhenti, memandang ke sekeliling untuk memastikan bahwa
pembicaraannya itu takkan didengar orang. Saat itu barulah
Dipa dapat melihat bagaimana raut wajah Dandaka. Sesaat
kemudian barulah Dandaka melanjulkan kata katanya pula,
"rakryan Arya Tadah, saat ini merupakan orang yang paling
berpengaruh di bawah rakryan mahapatih Nambi. Saat ini
baginda Jayanagara sedang memimpin pasukan untuk
menindas mahapatih Nambi dan beberapa mentri yang
dituduh memberontak di Lumajang. Gusti Patih pun diajak ikut
serta." "Ya, kutahu," kata Darwin.
"Gusti Patih seorang yang cerdik dan besar inginannya
untuk menggantikan kedudukan patih amangkubumi kerajaan
Majapahit. Melihat gejala2 mendapat saingan berat dari
rakryan Arya gusti Patih pun cemas. Maka sebelum hal itu
berlarut-larut memberi pengaruh kepada baginda, gusti Patih
cepat bertindak lebih dahulu. Diam-diam ia telah mengirim
perintah rahasia kepadaku, untuk menyingkirkan rakryan Arya
Tadah yang saat ini berada di Kahuripan.
Darwis mengangguk. "Tetapi apakah hal
membawa akibat besar bagi kita, kakang?"
itu takkan "Lempar batu sembunyi tangan. Demikian siasat yang
digunakan gusti Patih," jawab Dandaka "peristiwa itu terjadi di
Kahuripan dengan demikian tanggung jawab tentu menumpah
pada Kahuripan." "0, benar," kata Darwis pula. Kemudian memandang ke
langit ia berkata "rasanya sudah lewat terigah malam. Mari
kita berangkat. Begaimana dengan kuda kita ?"
"Setelah bergabung dengan anakbuah kita, tinggalkan saja
kuda di tempat !tu." kata Dandaka seraya berbangkit, menuju
ke gerumbul pohon. Darwis pun mengikutinya.
Dipa gelisah bukan main. Percakapan itu telah menimbulkan
pergolakan hebat dalam hatinya. Ia dapat mencium suatu
rencana pembunuhan yang hebat. Rakryan Arya Tadah"
Siapakah rakryan itu" Ia tak pernah mendengar nama itu.
Namun dari pembicaraan mereka, ia dapat menarik
kesimpulan bahwa rakryan Arya Tadah itu, utusan Majapahit
yang berada di Kahuripan. Dan menurut pembicaraan kedua
orang itu, rakryan Tadah merupakan seorang menteri yang
berkuasa di pura Majapahit.
"Bagaimana aku harus bertindak untuk menggagalkan
rencana mereka?" Dipa bingung. Dan kebingungan itu
meningkat menjadi suatu kegelisahan yang makin lama makin
menyesakkan pikirannya "benar, apabila pembunuhan itu
berhasil, Kahuripan tentu harus bertanggung jawab ......"
pikirnya. Sesaat kemudian ia menggeram "Tidak, tidak boleh
hal itu terjadi di keraton Kahuripan. Aku harus bertindak. Ya,
aku harus mendahului mereka memberi tahu kepada para
penjaga tempat penginapan rakryan Tadah."
Cepat ia ayunkan langkah, menyusup ke luar dari gerumbul
tempat persembunyiannya terus lari menyusup ke sebuah
hutan. Ia tahu suatu jalan singkat untuk mencapai jalan besar
yang menuju ke pura Kahuripan. Setelah hampir ke luar ke
jalan besar, tiba-tiba ia hentikan langkah "Ah, salah ......"
gumamnya "saat ini sudah larut malam. Dan aku tak tahu di
manakah tempat penginapan rakryan itu. Kemungkinan besar
tentu di dalam keraton. Ah, untuk masuk ke dalam keraton
pada malam begini, tentu menimbulkan kecurigaan para
penjaga. Dan andaikata aku dapat masuk ke dalam keraton,
pun belum tentu pula rakryan itu mau mempercayai
keteranganku." Ia tertegun penuh keraguan. Tiba-tiba ia teringat akan
kata-kata kedua orang itu "Ya, mereka hendak berkumpul
dengan para anakbuahnya di suatu tempat. Dimanakah
tempat itu" A h, kemungkinan, tentulah di luar gapura ....... hai
....... " tiba-tiba pula ia berseru seorang diri seraya kepalkan
tinju, "ya, benar, hanya dengan cara itulah aku dapat
menggagalkan rencana mereka! Aku harus bertindak seorang
diri!" Cepat ia lari sepanjang jalan. Menuju ke luar pura dan
berhenti di sebuah tempat yang diperhitungkannya bahwa
kedua orang tadi tentu akan mengambil jalan di situ. "Mudahmudahan mereka melalui akan tempat ini."
Dipa mencari suatu tempat yang terlindung dari pandang
mata orang. Di sebuah tepi jalan kecil yang kebetulan terdapat
sebatang pohon tumbuh di tepinya. Ia menunggu dengan
penuh ketegangan. Tombak pun disiapkannya. Ia sudah
memutuskan suatu rencana. Hendak meaghadapi kedua orang
itu seorang diri, agar mereka jangan sempat bergabung
dengan anakbuahnya dan agar rencana pembunuhan int
gagal. Ia duga kedua orang itu adalah pemimpin dari
gerombolan yang dititahkan rakryan patih Majapahit untuk
membunuh rakryan Arya Tadah. Apabila kedua orang itu dapat
ditangkapnya, anakbuah mereka tentu takkan melanjutkan
rencana itu. Dengan demikian selamatlah rakryan Arya Tadah
dari bencana pembunuhan gelap.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa tak sempat memikirkan, adakah ia mampu mengatasi
kedua orang itu. Tetapi ia tak melihat jalan lain kecuali dengan
langkah itu. Soal berhasil atau gagal, ia tak menghiraukan lagi.
Waktu sudah amat mendesak. Dan dia harus bertindak.
Ketegangan makin memuncak ketika tak berapa lama
kemudian terdengar derap lari kuda dari jauh. Makin lama
makin jelas dan pada lain saat di ujung jalan, muncul dua
penunggang kuda. Keduanya melarikan kuda dengan pelahan.
Mungkin untuk menjaga agar derap kuda mereka tak sampai
menimbulkan kecurigaan. Rupanya mereka bekerja dengan
hati2 sekali. Ketika makin dekat. Dipa pun dapat melihat jelas bahwa
pendatang itu memang kedua orang yang tengah berbincangbineang di tepi hutan tadi. Dipa pun bersiap-siap.
"Apakah mereka sudah datang, kakang?" kedengaran
Darwis bertanya. "Mudah mudahan saja," sahut Dandaka "menempuh jalan
dari utara dan kita dari selatan. Setelah keluar dari jalan kecil
ini, baru dapat kita ...."
Dandaka tak dapat melanjutkan kata-katanya ketika
sesosok tubuh loncat keluar dari balik pohon yang tumbuh di
tepi jalan, "Hai, berhenti !"
Dandaka dan Darwis cepat menghentikan kuda. Mereka
terkejut ketika melihat seorang anakmuda menghadang di
tengah jalan dengan tombak melintang dan memerintahkan
berhenti. Dandaka dan Darwis cepat mencabut senjata lalu
membentak "Hai, siapa engkau!"
"Aku peronda keamanan!" sahut Dipa.
"Mengapa engkau menghadang jalan kami?" seru Dandaka.
"Aku berhak menghentikan dan menanyai setiap orang
yang mencurigakan tingkahnya! Dari mana engkau dan
hendak kemana?" Dandaka tertegun tetapi cepat pula ia menjawab, "Aku
berdua dari pura Majapahit, hendak menghadap rakryan
Tadah yang berkunjung di Kahuripan."
"Siapa yang menugaskan kamu?"
"Rakryan Kuti, mentri kerajaan."
"Ada surat perintah"."
Dandaka tertawa "Tidak ada!" sahutnya "dan memang tidak
lazim harus membawa Surat perintah. Apabila sudah
menghadap rakryan Tadah, beliau tentu sudah mengenal
kami." Dipa memang tak jelas apakah perintah yang diberikan oleh
seorang mentri itu harus memakai surat atau tidak. Namun ia
tahu apa dan siapa maksud kedua orang itu.
"Mengapa harus pada malam selarut ini?"
"Kami tertimpa hujan dalam perjalanan dan terpaksa
meneduh sehingga begini malam baru tiba di sini" Dandaka
memberi alasan. "Pentingkah berita yang hendak kalian sampaikan pada
rakryan patih Tadah itu?"
"Maha penting" cepat Dandaka menyahut, "gusti patih
Tadah dititahkan baginda supaya pulang ke pura Majapahit
malam ini juga." Dipa kerutkan dahi, "Mengapa?"
Dandaka mengkal juga melihat sikap seorang peronda
keamanan yang begitu melampaui batas tugasnya, "Eh, ki
sanak, mengapa sedemikian melilit engkau bentanya" Perintah
itu titah raja, apa sebabnya sudah tentu aku tak tahu. Pun
andaikata tahu, engkau tak berhak untuk mengetahui rahasia
tugas negara!" "Hai, tukang ronda," tiba-tiba Darwis ikut menyelutuk
dengan nada geram, "tahukah engkau dengan siapa engkau
bicara ini?" Dipa tertawa ringan "Orang yang harus kucurigai."
"Setan!" Darwis menghambur maki "kakang Dandaka ini
adalah seorang tamtama Majapahit, demikian pula aku.
Engkau harus hati2 bicara!"
"0" Dipa mendesuh "tetapi di sini bukan Majapahit tetapi
tanah Kahuripan. Dan kurasa di Majapahit pun tak banyak
bedanya dengan peraturan di sini, bahwa petugas keamanan
itu berhak untuk menahan orang yang dicurigai. Bahwa tidak
layak kiranya kalau seorang prajurit itu hendak menghadap
seorang rakryan pada waktu tengah malam begini buta."
"Tukang ronda!" bentak Darwis marah "engkau berani
menahan perjalanan kami?"
"Ya, ki sanak berdua terpaksa harus kubawa ke
kademangan menghadap ki demang Saroyo yang menjabat
kepala keamanan pura Kahuripan."
Darwis bertukar pandang dengan Dandaka, lalu berseru
"Demang Saroyo, dia sahabat kami ...." Dandaka cepat
mencegah kawannya lalu berkata kepada Dipa dengan nada
ramah, "Tukang ronda, begini sajalah. Tak perlu kita ributribut. Pulanglah engkau ke kademangan dan sampaikan
kepada ki demang Saroyo bahwa karena sedang mengemban
tugas panting, aku Dandaka dan Darwis, tak sempat
berkunjung ke kademangan. Dan sebagai terima kasih kami
kepadamu, nih, terimalah hadiah uang rong tali. Jumlah yang
tentunya lebih dari cukup untuk membeli pakaian dan
bersenang-senang diri " Dandaka terus mengeluarkan sebuah
pundi2 uang dan hendak menyerahkan uang rong tali atau
dua ribu kepada Dipa. "Haram! "teriak Dipa "rupanya sudah menjadi kebiasaan
dalam lingkungan kalian untuk memberi dan menerima uang
sogok. Tetapi engkau salah tafsir. Kami petugas2 keamanan
Kahuripan, tabu akan uang haram semacam itu. Kami telah
disumpah dan bersumpah seadiri untuk tidak melakukan hal2
senista itu. Simpanlah uangmu, mari kalian ikut aku ke
kademangan." Dandaka menyeringai merah mukanya.
"Ho, tukang ronda, garang benar lagakmu! kalau aku tak
mau ikut, engkau Akan bertindak bagaimana!"
Diam-diam Dipa telah membuat rencana. Ia hendak
mengulur waktu sepanjang mungkin agar malam berlalu dan
fajar segera tiba. Apabila hari sudah pagi, andaikata kedua
orang itu berhasil lolos dari tindakan menghalanginya, pun
tentu para penjaga dan pengawal rakryan patih Tadah sudah
bangun dan dapat menghadapi tindakan kedua orang itu.
"Kalau ki sanak tak mau ikut aku ke kademangan," kata
Dipa dengan tenang "akupun tak dapat memaksa. Dan akulah
yang akan mengikuti perjalanan ki sanak."
"Tidak perlu," seru Darwis agak mengendap suaranya
"engkau masih bertugas meronda, kami dapat menghadap
gusti patih sendiri."
"Perlu" sahut Dipa "karena kuanggap dengan mengikuti
kalian ke pura Kahuripan itu, aku pun melakukan tugas
keamanan." Muka Darwis menghambur denyut panas. "Tidak!
Dengarkan, jangan mengikuti langkah kami. Kalau tak
menurut, terpaksa kuambil kekerasan."
Tiba-tiba Dipa mencurah tawa, "Ho, engkau marah, bukan"
Itu pertanda engkau merasa salah. Dan memang kelalahan2
itu sudah nampak nyata dalam keterangan2 yang engkau
berikan atas pertanyaanku tadi ....... "
Dipa berhenti sejenak untuk menyelidik kesan. Rupanya
kedua orang itu hendak merangsang kemarahan maka Dipa
tak mau memberi kesempatan mereka berbicara, terusmendahului "Pertama, engkau mengatakan kalau tertimpah di
tengah hujan. Benarkah itu" Pada hal masa ini masa kering,
hujan tak pernah turun. Bukankah Majapahit dan Kahuripan
mempunyai musim yang sama" Andai engkau masih
mempertahatakan alasan itu, namun bukti yang lebih jelas
lagi, akan menyangkal alasanmu. Apabila melalui jalan yang
tertimpah hujan telapak kaki kuda tentu akan berlumuran
lumpur. Tetapi mengapa kaki kudamu sedemikian kering
kerontang?" Dada Darwis dan Dandaka berkembang kempis macam
katak yang tengah mendengkung. Namun Dipa tak
menghiraukan "Engkau mengatakan diperintah oleh baginda,
tetapi tak membawa surat perintah. Engkau hendak
menghadap rakryan patih Arya Tadah tetapi menolak kukawal.
Apakah maksudnya" Bukankah dengan pengawalanku itu, para penjaga pura akan lebih dapat mempercayai" Dengan
demikian aku terpaksa menarik kesimpulan bahwa kalian ini jelas ......."
"Jelas hendak menghajarmu !" teriak Darwis yang sudah tak kuasa
menahan luapan amarahnya dan ayunkan batang tombak
untuk memukul Dipa. Tetapi
ia memang sudah menduga akan hal itu dan sudah pula
mengadakan persiapan. Ia loncat ke samping dan secepat kilat
loncat ke belakang Darwis, menyambar ikat pinggangnya terus
ditarik ke bawah. "Uh .......... Darwis terpelanting jatuh dari kudanya.
Gerakan Dipa itu dilakukan teramat cepat sekali sehingga
Dandaka tak sempat menolong. Walaupun demikian berusaha
juga Dandaka untuk memutar arah kudanya ke belakang lalu
ayunkan cambuknya, tar ..... Aduh .... terdengar dua buah
jerit kesakitan dan tampak Dipa serta Darwis yang masih di
kuasainya itu berguling ke tanah. Melihat itu Dandaka cepat
loncat dari pelana kudanya. Ia hendak menolong Darwis dan
menghajar Dipa. Tetapi pada saat tumit kakinya menyentuh tanah, pahanya
telah dihantam oleh batang tombak sekeras-kerasnya. Prak
....... Dandaka dapat menahan jerit kesakitannya tetapi tak
kuasa mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Tulang
pahanya serasa hancur, sakitnya benar-benar sampai
menggigit ulu hati. Mata serasa pekat dan kepala berdenyutdenyut, serasa kepekatan alam di sekelilingnya makin gelap
dan gelap sehingga ia tak tahu lagi apa yang telah terjadi
pada dirinya. Tamtama dari Majapahit itu pingsan.
Dipa melonjak bangun setelah melepaskan tubuh Darwis
yang terkulai lemas di tanah. Ketika Dandaka menghajarkan
cambuk, dengan tangkas sekali Dipa menyorongkan tubuh
Darwis. Cambuk tepat menghajar kepala Darwis sehingga
seketika itu juga Darwis pingsan. Sebelumnya ia harus
menderta suatu rasa kesakitan yang belum pernah di alami
seumur hidup. Rasa sakit dari kepala yang rasanya seperti
berhamburan pecah .... Dipa memang sengaja masih mendekap tubuh Darwis untuk
di bawanya berguling-guling ke tanah. Agar dapat memancing
perhatian Dandaka. Dan siasat itu ternyata berhasil. Dandaka
loncat dari kudanya dan dengan bantuan suasana malam yang
gelap, Dipa menyambar tombak lalu di sapukan ke kaki
Dandaka. Hasilnya, tamtama Majapahit itu harus menggeletak
di tanah. Setelah membereskan kedua orang itu, Dipa lalu mengikat
tubuh mereka berdua pada sebatang pohon dan kedua ekor
kuda dihalaunya ke dalam hutan. Lalu ia melanjutkan pula
tugasnya meronda.... Dipa tak mau membawa kedua orang itu ke kademangan
karena teringat akan keterangan mereka tadi, bahwa ki
demang itu bersahabat baik dengan mereka. Bahkan terpaksa
timbul suatu pemikiran dalam hari Dipa, mungkinkah kedua
orang itu tetamu yang berkunjung ke kademangan tadi " "Ah,
jangan mengada-ada. Masakan ki demang bersekutu dengan
komplotan yang hendak membunuh patih Arya Tadah"
akhirnya ia menghapus pemikiran semacam itu.
"Tiap kewajiban mengandung keindahan....... " gumamnya
seorang diri berjalan. Ia selalu mengenang ucapan dari
brahmana Anuraga. Dan apa yang dialami pada saat itu,
mengingatkan pula pikirannya akan petuah itu. Saat itu ia
benar-benar mendapatkan suatu keindahan dalam kewajibannya. Tanpa diketahui orang, diam-diam ia telah
dapat mencegah suatu rencana pembunuhan yang hebat.
Membunuh seorang patih kerajaan, bukan olah2 akibatnya.
Walaupun ia tak yakin bahwa mereka akan dapat
melaksanakan rencana pembunuhan itu dengan mudah.
Karena penginapan yang disediakan untuk rakryan patih itu
tentu dijaga ketat oleh pengawal. Begitu pula rakryan patih itu
tentu membawa pengiring. "Tetapi mengherankan juga, mengapa mereka begitu yakin
dapat melakukan pembunuhan itu," masih benak Dipa
berkeliaran mengungkap peristiwa itu sebagaimana adat
kebiasaannya apabila ia mengalami sesuatu. Tentu selalu
diteliti dan direnungkan "adakah mereka sudah mempersiapkan rencananya sedemikian rupa sehingga .......
ah, mungkinkah hal itu dapat terjadi" Mungkinkah mereka
sudah menanam orang didalam " Mungkinkah diantara para
pengiring rakryan patih itu terdapat orang yang bersekutu
dengan kawanan pembunuh itu ?"
Karena tegang menerima pertanyaan2 yang makin lama
makin tajam, akhirnya Dipa berhenti dan duduk di bawah
sebatang pohon randu alas. Hatinya tak tenang dibawa
berjalan selama ia belum menemukan jawaban dari
pertanyaan2 itu. Pertanyaan yang dirangkainya sendiri,
diajukan kepada dirinya sendiri dan harus dijawabnya sendiri
pula.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan mustahil" akhirnya ia tersentak sendiri ketika
perangkaian pikirannya tertumbuk pada bayang2 kesimpulan
yang dibayangkan, "paman brahmana Anuraga dan ki demang
Suryanata pernah menceritakan bahwa di dalam lingkungan
pura kerajaan memang penuh dengan golongan-golongan
yang saling bertentangan. Dan golongan-golongan itu demi
melaksanakan tujuannya, tak segan2
merencanakan pembunuhan. Eyang demang Suryanata sendiri menjadi salah
seorang korban yang hendak dibunuh oleh golongan
Dharmaputera ..... " sampai pada pemikiran itu pikiran Dipa
makin menjernih, "dengan demikian bukan mustahil apabila
dalam rombongan pengiring rakryan patih Tadah itu terdapat
kaki tangan dari komplotan pembunuh itu ..... "
Baru pikirannya mencapai tingkat penitalan begitu, tiba-tiba
ia terkejut karena mendengar derap langkah kaki orang yang
bergemuruh. Malam itu teramat senyap sehingga sehelai daun
kering yang gugur ke tanah pun dapat terdengar. Dan langkah
kaki orang berjalan yang sedemikian gemuruh itu menandakan
bahwa bukan seorang melainkan belasan atau bahkan puluhan
orang yang berjalan. Pada saat Dipa masih dicengkam rasa kejut dan heran,
derap langkah orang itupun makin dekat dan makin jelas pula.
Dipa tersadar dari kelongongan. Entah siapa yang datang,
tetapi lebih baik ia menyembunyikan diri dulu dari perhatian
mereka. Dan tepat pada saat ia bersembunyi di balik gerumbul
semak, maka muncullah dua belas orang lelaki berseragam
pakaian hitam. Dipa berdebar.
Tiba-tiba mereka berhenti tepat di jalan yang berada di
muka Dipa. Dipa makin berdebar. Untunglah lebih dahulu ia
telah mengamankan diri dalam persembunyian yang cukup
lebat dan gelap. "Ho, mengapa ki lurah Dandaka dan ki Darwis belum
datang?" seru salah seorang dari mereka.
"Ya, aneh benar " sahut seorang kawannya, "saat ini adalah
yang terbaik untuk turun tangan. Para penjaga gedung
penginapan rakryan patih Tadah tentu sedang dilelap
kenyenyakan tidur. Mudah bagi kita untuk bekerja."
"Engkau benar" seru seorang pula "dua jam lagi hari sudah
terang tanah. Para penjaga tentu ada yang sudah bangun."
Dipa terkejut. Kiranya rombongan ke duabelas orang itu
adalah anakbuah Dandaka dan Darwis yang menunggu
kedatangan mereka berdua. Dan jelas sudah bahwa mereka
akan menuju ke gedung penginapan patih Arya Tadah untuk
membunuhnya "Berbahaya sekali," guman Dipa dalam hati "kedua
tamtama itu tak berjumpa dengan aku, rencana pembunuhan
ini tentu terlaksana."
"Sebenarnya ke manakah gerangan ki lurah berdua, itu" "
tiba-tiba pula seorang bertanya.
"Mereka berkunjung ke tempat demang Saroyo."
"Siapakah demang Saroyo itu?"
"Kepala keamanan Kahuripan."
"Aneh, mengapa kedua ki lurah kita berkunjung ke sana"
Bukankah hal itu tak seperti ular mencari gebuk ?"
Orang yang memberi jawaban tadi tertawa "Ah, mengapa
engkau setolol itu" Mereka berani berkunjung ke kademangan
karena tentu yakin tempat itu aman."
"Engkau maksudkan, ki demang itu juga orang kita yang
akan membantu rencana itu ....."
"St, jangan keras2 bicara. Sudahlah, itu urusan ki lurah
Dandaka dan Darwis. Kita tak perlu pusing2 menduga-duga.
Tunggu saja kedatangan kedua lurah kita."
Mereka berdiam diri. Tetapi Dipa gelisah sekali. Kiranya
tetamu penting yang berkunjung ke kademangan sore tadi
yalah Dandaka dan Darwis.
Pengetahuan itu makin membuat Dipa serasa disambar
pear "Ki demang berkawan dengan komplotan orang2
Majapahit yang hendak membunuh patih Arya Tadah" tidak,
tidak mungkin. Tentulan gerombolan itu hendak memfitnah
.......... " Dipa membantah prkirannya sendiri. Tetapi segera la
berhadapan dengan kenyataan yang didengarnya "Mengapa
mereka hendak memfitnah" Bukankah mereka tak tahu kalau
aku bersembunyi di sini" Dan bukankah pala mereka tak kenal
aku ini seorang pengalasan kademangan" Benar, tak ada
alasan mengapa mereka hendak menifitnah ki demang...."
"Kalau demikian adakah ki demang itu menjadi kaki tangan
dari fihak golongan di Majapahit yang hendak melenyapkan
patih A rya Tadah ?" akhirnya Dipa tiba pada suatu pertanyaan.
Namun tak berani ia menetapkan kesimpulan "Ah, soal itu
baiklah kulihat dari perkembangan selanjutnya. Yang penting
sekarang ini bagaimana aku bertindak terhadap gerombolan
pembunuh ini " "
Ia bingung untuk menentukan langkah. Apabila ke luar dari
tempat persembunyian dan menyergap mereka, ia tak yakin
kalau dengan tenaganya seorang diri ia mampu menghadapi
sekian banyak lawan. Dan kalau tertangkap oleh mereka, ia
tentu akan dibunuh. Bukan karena ia takut mati. Tetapi ia
anggap kematian itu kurang perlu. Ia masih dapat berdaya
lain cara untuk menggagalkan rencana mereka daripada harus
menggunakan cara mempertaruhkan jiwa.
Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba salah seorang dari
gerombolan itu tak dapat bersabar lebih panjang. Serunya
"Mengapa sampai begini lama, belum juga ki lurah Dandaka
datang" A dakah kita harus tetap menunggu di sini?"
"Lalu apa daya kita" " seru seorang lain.
Terdengar pula seorang lagi dengan nada suara yang
keparau parauan, menggumam, "Menunggu, pun tak apa. Asal
kedua ki lurah itu datang. Tetapi yang dikuatirkan, mereka
lupa dengan janji kita."
"Apa alasanmu menguatirkan hal itu?"
"Ada" sahut orang itu pula "engkau tentu maklum
bagaimana sambutan lurah2 dan buyut2 di desa apabila
menerima kunjungan tetamu dari pura kerajaan ?"
"Perjamuan besar, minum tuak, menyaksikan tari dan. Lainlain."
"Nah, kiranya engkau sudah tahu !" kata orang itu "lalu
salahkah kalau kukatakan ki lurah Dandaka dan Darwis itu
sampai melupakan janji dengan kita karena kebanyakan
minum tuak ?" "Hah ?" serempak berserulah beberapa kawannya "kalau
begitu apa guna kita menunggu di sini ?"
Terdengar suara hingar bingar dari beberapa orang yang
terpengaruh rasa tak puas. Seorang tinggi yang rupanya
dipandang sebagai pemuka gerombolan itu, berseru "Jangan
terburu nafsu, kawan ! Baiklah kita tunggu saja di sini."
"Sampai fajar ?"
"Tidak" sahut orang bertubuh tinggi itu "kalau sampai ayam
hutan berkokok, belum juga kedua ki lurah itu datang, kita
susul ke kademangan."
Sekalian anakbuah gerombolan itu setuju. Dalam pada itu
Dipa pun mendapat pikiran. Alangkah baiknya apabila ia terus
menyelinap pulang, menyiapkan kawan-kawan di kademangan
untuk menangkap gerombolan ini. Setelah menetapkan
keputusan, segera ia hendak beringsut dari tempat
persembunyiannya. Tetapi pada lain saat, ia tertegun pula
"Ah, kalau gerak gerikku sampai terdengar mereka, bukankah
mereka tentu akan menangkap aku ?"
Ia meragu. Mencari akal untuk meloloskan diri. Suasana
malam Makin gelap. Tiba-tiba ia mendapat akal pula.
Tangannya mulai meraba-raba tanah dan berhasillah ia
mendapatkan sebutir batu sebesar biji salak. Kemudian
dengan hati-hati ia beringsut mengeluarkan tubuh dari
dekapan semak. Setelah berhasil menempat diri di balik
sebatang pohon, segera ia membidikkan pandang mata ke
arah gerombolan itu. Diantara kepekatan malam, dilihatnya
mereka duduk berpencaran. Kebetulan ada seorang yang
duduk membelakangi seorang kawannya. Dan diperhatikan
Dipa bahwa yang duduk di depan itu bertubuh tinggi. Tentulah
orang yang menyuruh kawan-kawannya bersabar menunggu
sampai ayam hutan berkokok tadi. Pikir Dipa, orang bertubuh
tinggi itu sasaran yang tepat baginya. Dan iapun segera
bersiap-siap melontar batu.
Tiba-tiba orang bertubuh tinggi itu berbangkit, melongok ke
jalan. Rupanya iapun mulai gelisah menunggu kedatangan
kedua tamtama itu. Pucuk dicinta ulam tiba. Pikir Dipa. Dan
segeralah dilayangkannya batu yang berada di genggaman
tangan itu. Cuaca malam yang gelap, melindungi Dipa dari
perhatian gerombolan itu.
Duk ....... "Aduh ...." orang bertubuh tinggi itu menjerit seraya
mendekap kepalanya yang membenjul. Bukan hanya sakit
tetapi rasa kejut karena belakang kepalanya dihantam batu,
membuat orang tinggi itu marah bukan kepalang. Serentak ia
berputar diri, membelalak dan menuding kawannya yang
duduk di belakangnya lalu memaki, "Jahanam, engkau berani
menghantam kepalaku dengan batu, Muar" Nih, rasakanlah
juga ....." Orang yang dipanggil Muar itu masih enak-enak duduk. Ia
terbeliak kaget ketika tahu2 kawannya yang bertubuh tinggi
itu menuding dan memakinya. Dan lebih kaget pula ketika,
kawan itu teras meninju mukanya. Prak ".. aduh ..... Muar
menjerit dan tersungkur ke tanah. Cepat ia meloncat bangun.
Walaupun kawannya yang bertubuh tinggi itu memang
terkenal paling sakti, tetapi karena merasa tak bersalah, Muar
pun meluap darahnya. Serentak ia loncat balas memukul
"Keparat Tugur, jangan kira aku takut padamu."
Keduanya segera berhantam. Kawan-kawannya sibuk
melerainya. Sedang Dipa tak menghiraukan lagi adakah kedua
orang itu masih berhantam atau sudah mau didamaikan. Pada
saat mereka ribut-ribut, ia terus menyelinap bagai seekor
kucing melihat tikus dan berhasil meloloskan diri jauh dari
mereka. Dengan mengambil jalan kecil, cepat2 ia pulang ke
kademangan, mengumpulkan beberapa kawan. "Kawankawan, kademangan akan kedatangan gerombolan pengacau,
mari kita songsong mereka di luar kademangan. Agar jangan
mengganggu ketenangan ki demang."
"Gerombolan dari mana?" tanya Rudra, salah seorang
pengalasan kademangan. Dipa segera menuturkan apa yang dilihatnya dalam
perjalanan meronda tali. Namun ia cukup mengatakan bahwa
gerombolan itu gerombolan penjahat yang hendak
mengadakan pengacauan. Ia anggap tak perlu menerangkan
tentang rencana mereka hendak membunuh rakryan patih
Arya Tadah dari Majapahit.
Demikian terkumpullah lima orang pengalasan kademangan
yang menyertai Dipa, menuju di luar kademangan, menunggu
kedatangan gerombolan. Tak berapa lama, muncul
sekelompok orang yang berbaris menuju ke kademangan.
"Berhenti " Dipa tampil menegur mereka "gerombolan dari
mana kamu ini?" Orang bertubuh tinggi yang dilempar dengan batu oleh
Dipa, maju selangkah "Kami rombongan prajurit Majapahit
yang hendak mencari lurah kami ki Dandaka dan ki Darwis."
"Kademangan ini dibawahi ki demang Saroyo, tak pernah
kami menerima kedatangan lurah prajurit dari Majapahit,"
jawab Dipa. "Siapa kamu ini" " tegur orang tinggi itu.
"Kami peronda keamanan kademangan."
"0" desuh orang tinggi yang bernama Tugur, "harap
antarkan kami kepada ki demang."
"Tidak" sahut Dipa "bukan waktunya malam selarut ini
orang mengadakan kunjungan. Silahkan kembali saja ."
Tugur terkesiap. Memandang dan menilai-nilai Dipa dan ke
lima orang yang berjajar di sampingnya. "Kami rombongan
prajurit Majapahit yang diutus gusti mahapatih untuk
menjemput gusti patih Tadah yang berkunjung ke Kahuripan.
Harap kamu jangan mempersulit perjalanan kami."
"Kamipun petugas kademangan yang menjaga keamanan
kademangan ini. Kedatangan kalian, kami anggap melanggar
peraturan. Nanti setelah hari pagi, baru dapat kami bawa
menghadap ki demang."
"Jangan kuatir" kata Tugur pula "apabila ki demang marah,
kamilah yang akan bertanggung jawab."
"Tidak bisa," Dipa tetap pada penolakannya, "ki demang
sudah mengeluarkan peraturan, setiap tetamu baik dari dalam
pura maupun dari luar daerah apabila hendak menghadap ki
demang harus pada siang hari."
"Mengapa?" "Demi menjaga keselamatan. Karena akhir2 ini banyak
timbul gerombolan2 pengacau yang mengganggu keamanan."
"Tetapi ki sanak," seru Tugur "kami bukan gerombolan
pengacau melainkan rombongan prajurit dari Majapahit yang
menjalankan perintah gusti mahapatih."
"Gusti mahapatih siapa?"
"Mahapatih Nambi" sahut Tugur tanpa banyak pertimbangan. Mahapatih Nambi cukup terkenal di kalangan
rakyat seluruh daerah2 telatah Majapahit. Dengan menyebut
nama itu, ia yakin peronda2 kademangan itu tentu tahu.
Tetapi di luar persangkaannya, Dipa berteriak "Bohong!"
Tugur terbeliak "Bohong?"
"Ya, engkau bohong!" ulang Dipa "bagaimana gusti
mahapatih Nambi berada di pura Majapahit" Bukankah dia
berada di Lumajang dan sedang digempur pasukan kerajaan
karena dianggap memberontak"."
Pucatlah wajah Tugur seketika. Ia tak nyana sama sekali
bahwa para petugas di lapisan terbawah seperti peronda
keamanan di kademangan wilayah Kahuripan mendengar juga
berita pemberontakan Nambi di Lumajang. Namun ia sudah
kelepasan salah omong. Akan menarik kembali tentu akan
menimbulkan cemoohan. Maka ia tetap melanjutkannya
dengan kata-kata untuk memperkuat keterangan itu
"Jangan engkau merasa tahu segala. Yang memberontak itu
hanya beberapa mentri dan senopati. Mahapatih Nambi tetap
setya pada kerajaan dan saat ini sudah kembali ke pura
Majapahit." "Ah"

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa mendesah "sukar aku mempercayai keteranganmu itu seperti sukar aku hendak percaya bahwa
engkau dan, rombonganmu ini benar-benar prajurit dari
Majapahit." Kata Dipa itu menimbulkan sambutan yang menggelinjangkan sikap gerombolan itu. Dan Tugur segera
membentak, "Kurang ajar, engkau berani menghina kami!"
"Jangan marah dulu," Dipa tetap tenang "dengarkan
alasanku mengapa aku mengatakan begitu. Seorang petugas
keamanan harus cermat dan tak mudah menerima sesuatu
keterangan. Setiap keterangan harus diperiksa teliti dan
disesuaikan dengan keadaan yang memberi keterangan. Kalian
mengaku sebagai rombongan prajurit Majapahit, tetapi
keadaan kalian, tidaklah menampilkan kesesuaian dari
keterangan itu. Prajurit, kemanapun dan bilamanapun mereka,
harus tetap mengenakan pakaian keprajuritan. Apalagi kalian
sedang menjalankan tugas negara. Nah, jawablah, mengapa
kalian tak memakai pakaian keprajuritan?"
Tugur, orang yang bertubuh tinggi dan anak buah
gerombolannya terkejut. Mereka saling bertukar pandang,
gelisah bercampur marah "soal itu," jawab Tugur belum mau
menyerah "kami hanya menurut perintah dari kedua tamtama
yang memimpin rombongan ini. Tanyakan saja kepada mereka
apabila kita nanti berhadapan muka!"
"Hm, boleh engkau menjawab begitu" kata Dipa "tetapi
kami pun tetap mengatakan bahwa kedua tamtama yang
kalian hendak cari itu, tidak berada di kademangan sini. Dan
kalau kalian hendak menghadap pada ki demang, supaya
kalian menunggu setelah hari pagi."
Rupanya gerombolan itu sudah tak dapat menguasai
kemarahannya. Beberapa anggautanya, segera maju
menyerang Dipa dan kawan kawannya. Segera terjadi
perkelahian tanpa dapat dicegah Tugur. Akhirnya Tugur pun
ikut juga. Ternyata gerombolan itu membekal senjata tajam.
Karena jumlahnya lebih banyak dan rupanya mereka terpilih
dari jagoan2 yang berani dan kebal, maka fihak Dipa mulai
terdesak. Hal itu Makin menambah semangat gerombolan.
Mereka menyerang makin hebat.
Tiba-tiba seorang pengalasan kademangan itu lari ke arah
kademangan dan seiring dengan gerakan orang itu, Dipa pun
menyelimpatkan pandang, lalu berseru "Hai, kawan, lekas
panggil pasukan kita!"
Tugur dan gerombolannya terkesiap. Mereka heran bahwa
kademangan mempunyai pasukan. Setitik pun mereka tak
menyangka bahwa hal itu sebenarnya hanya siasat yang
dirancang Dipa. Sebelum ke luar menghadapi gerombolan,
memang Dipa sudah menerangkan siasatnya apabila fihaknya
terdesak oleh gerombolan. Salah seorang kawan, harus lekas
lari ke dalam kademangan dan Dipa akan menyerempaki
dengan perintah untuk memanggil bala bantuan.
Siasat itu berhasil. Rupanya gerombolan itu terpengaruh
dengan kata-kata Dipa. Tugur pun segera memekikkan katakata sandi yang mengajak kawan-kawannya mundur. Sebuah
serangan keras dilancarkan, setelah Dipa dan kawan
kawannya mundur, gerombolan itupun terus melarikan diri
Kelima pengalasan kademangan tertawa dan memuji siasat
Dipa. Dalam perjalanan kembali ke kademangan, Dipa minta
agar peristiwa itu tak perlu dilaporkan ki demang. "Yang
penting, gerombolan pengacau itu sudah dapat kita halau dan
kademangan selamat dari pengacauan.
Kelima orang itu agak heran mendengar permintaan Dipa.
Namun mereka mentaati permintaan anak itu.
0oodwkz-mch-oo0 II "Dimas Wijaya, ada sesuatu yang ingin kusampaikan
kepadamu. Tetapi terlebih dahulu aku minta maaf apabila
kata-kata itu tak berkenan pada hatimu. Ataupun engkau
anggap ucapanku itu bernada lancang."
Demikian kata raden Kertawardana ketika berkunjung ke
bangsal penginapan dari raden Wijaya, pangeran anom
kerajaan Wengker. "Ah, mengapa kakangmas memiliki angan2 sedemikian.
Bukankah kakangmas sudah amat faham akan hatiku terhadap
kakangmas?" raden Wijaya tertawa.
Kedua pemuda bangsawan itu memang bersahabat baik.
Sukar untuk mengatakan siapakah di antara kedua pemuda itu
yang lebih cakap, lebih gagah. Yang berbeda hanya dalam
soal keadaan. Kertawardana putera dari akuwu Tumapel yang
dulu. Sedangkan Wijaya adalah putera mahkota dari raja
Wengker yang sekarang. Namun kedudukan dan kekuasaan
yang memisahkan keadaan kedua pemuda itu, tidaklah kuasa
untuk memisahkan persahabatan mereka. Tidak pula kuasa
membedakan kewibawaan dan keluhuran-martabat keduanya.
"Kakangmas kuangap sebagai saudara tua, apabila aku
bertindak salah, berucap keliru, hendaknya kakangmas suka
menegur dan memberi petunjuk " kata raden Wijaya pula.
Kertawardana tertawa cerah, "Ah, dimas Wijaya dimas
seorang pangeran yang luhur budi, cerdas dan bijak. Sungguh
tak ternilai kekagumanku kepadamu dimas."
"Ah, bisa saja kakangmas merangkai suatu pengadaan yang
tak ada," raden Wijaya tertawa.
"Begini, dimas" Kertawardana mulai berkemas sikap dan
nada "berat nian sesungguhnya hatiku hendak menyampaikan
hal ini kepada dimas Wijaya. Namun seberat-berat tangan
menjinjing, masih berat bahu memikul. Seberat berat mulut,
hendak berkata, masih berat perasaan hati bertanggung
jawab, dimas." "Ah, silahkan kakangmas segera memberitakan kepadaku.
Apapun hal yang akan kudengar, tetap akan kuterima dengan
kepercayaan penuh kepada kakangmas," kata Wijaya.
"Baiklah, dimas" kata Kertawardana
menghadap gusti Rani sang Tribuanatunggadewi?"."
"aku dititahkan dyah puteri "Ah, dewata yang Maha Agung, benarkah itu" Betapa
gembira hatiku mendengar itu," tiba-tiba raden Wijaya berseru
girang. Kertawardana terkesiap heran "Mengapa dimas sedemikian
gembira mendengar hal itu ?"
Wijaya tersenyum simpul "Ada suatu perasaan yang
mengajak hatiku bergembira. Entahlah kakangmas, apa
Fitnah Berdarah Tanah Agam 2 Pendekar Rajawali Sakti 14 Api Di Karang Setra Anak Rajawali 2
^