Pencarian

Anak Rajawali 2

Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung Bagian 2


kakinya meninggalkan gedungnya Bin Wan-gwe.
Bin Hujin yang melihat Hok An hendak berkata, telah berteriak:
"Hok An.....!" tergetar suaranya, dan dia telah terlambat, sebab Hok
An telah lenyap di balik tembok itu, malah tidak terdengar suaranya
maupun terlihat bayangannya lagi.
Bin Hujin menutupi wajahnya dengan ke dua tangannya dan
menangis terisak-isak, tubuhnya gemetaran. Akan tetapi setelah
berhasil menguasai perasaan dan goncangan hatinya, dia berlari
ke dalam gedung buat melihat keadaan suaminya.
Waktu Bin Hujin tengah berlari-lari memasuki ruangan di dalam
gedung tersebut, dia berpapasan dengan puterinya, yang segera
dirangkulnya. "Mana ayahmu.....?" tanya Bin Hujin dengan suara tergetar di
antara isak tangisnya. 106 "Tadi..... tadi ayah berlari masuk ke dalam kamar!" kata gadis cilik
itu. Bin Hujin mengajak puterinya pergi ke kamar Bin Wan-gwe. Waktu
pintu kamar di buka, tampak sesosok tubuh menggeletak di lantai.
Bin Hujin menjerit keras dengan hati pilu, karena yang rebah di atas
lantai tidak lain dari Bin Wan-gwe, yang rebah dengan muka pucat
pias. Dia pingsan, karena tengah dalam ketakutan bukan main,
setelah berhasil melarikan diri ke dalam kamarnya, pingsan.....
terlebih lagi memang dia terluka di dalam yang cukup parah, di
mana dia telah memuntahkan darah yang banyak sekali.
Setelah sadar apa yang terjadi, Bin Hujn menjerit-jerit memanggil
para pelayan dan anak buah Bin Wan-gwe, buat mengangkat Bin
Wan-gwe ke atas pembaringan. Kemudian memanggil tabib guna
mengobati luka Bin Wan-gwe, luka di dalam tubuh yang parah
sekali. Karena sepanjang hari itu Bin Wan-gwe tetap dalam
keadaan pingsan tidak sadarkan diri, Bin Hujin dan puterinya hanya
menangis terisak-isak saja dengan segala macam perasaan
menggoncangkan hatinya.....
Rembulan tergantung di langit dengan sinarnya yang sangat
terang benderang, di samping itu juga terlihat jelas sekali pohon107
pohon yang terhembus oleh siliran malam, bagaikan bayangan
raksasa. Di bawah sebatang pohon yang cukup besar di tepi jalan di luar
pintu kampung sebelah barat, tampak duduk sesosok tubuh
dengan bercakung diri, ke dua tanganya bertopang pada dagunya.
Dia memandang dengan sikap yang muram sekali kepada
rembulan, matanya yang kuyu tidak bersinar itu mengandung
kepedihan yang mendalam. "Cinta..... apakah cinta itu"!" menggumam orang tersebut dengan
suara yang serak. Dia seperti juga tidak merasakan dinginnya
angin malam yang menerpah tubuhnya.
"Dan apakah artinya semua perjalanan hidupku ini yang hanya
dipermainkan oleh cinta belaka" Atau memang dia masih
mencintai aku" Ohhh, aku benar-benar seperti juga orang sinting
yang mengharapkan yang tidak-tidak! Dia sangat mencintai dan
menyayangi suaminya, dan diapun begitu menguatirkan suaminya..... juga dari perkawinannya telah diperoleh anak.....
"Bagaimana mungkin aku masih bisa mengharapkan yang tidaktidak" Bukankah satu-satunya yang cukup bisa membahagiakan
108 dan menghibur hatiku adalah membiarkan dia hidup bahagia di
samping suami dan anaknya"!"
Sosok bayangan itu menghela napas lagi beberapa kali, angin
malam berhembus semakin dingin.
Sosok tubuh yang tengah duduk terpekur di bawah sebatang
pohon tersebut tidak lain dari Hok An, yang sikapnya bagaikan
orang mabok cinta dan sinting. Dia selalu duduk terpekur begitu
menangisi cintanya yang kandas.
Jika sebelumnya, selama bertahun-tahun, dia begitu giat mencari
jejak kekasihnya, di mana dia berusaha menyelidiki di mana
beradanya Un Kim Hoa. Akan tetapi sekarang, setelah dia
memperoleh kenyataan Un Kim Hoa resmi sebagai Bin Hujin, dia
jadi begitu putus asa dan kecewa. Apalagi memang dilihatnya Un
Kim Hoa begitu sayang dan menguatirkan keselamatan suaminya,
maka semakin tawar juga hati Hok An.
Dulu memang dia dengan Un Kim Hoa menjalin hubungan mesra
dan juga masing-masing telah bersumpah akan tetap setia,
walaupun apa yang terjadi, tidak ada suatu kekuatan apapun yang
akan sanggup memisahkan mereka. Namun kenyataan yang ada,
justru Un Kim Hoa melanggar sumpahnya sendiri, di mana Kim
109 Hoa telah menjadi isteri orang lain, menjadi nyonya Bin, dan malah
sekarang telah mempunyai anak hasil dari perkawinan mereka itu.
Hok An menghela napas. Di bawah sinar rembulan yang redup,
tampak berkilauan butir-butir air mata yang mengenai dan mengalir
di pipi Hok An. Semua kenangan manis waktu ia bercinta dengan Un Kim Hoa
terbayang kembali di pelupuk matanya. Akhir-akhir ini karena putus
cinta ditinggal kekasih, yang kawin dengan orang lain, lagak Hok
An sampai mirip-mirip orang sinting! Semua itu karena dia patah
hati mengalami kegagalan cinta.
Dan sekarang, dalam malam yang demikian sunyi dan sepi, justru
perasaan Hok An begitu kosong dan tawar, karena sekarang dia
telah memperoleh kenyataan impian telah buyar, di mana dia tidak
bisa mengharapkan lagi kasih dari orang yang telah menjadi milik
orang lain..... Tiba-tiba sekali, Hok An tersentak dari lamunannya, dia
mendengar di kejauhan suara orang menjerit-jerit: "Kembalikan
anakku! Kembalikan anakku! Ohh, biadab kau..... kembalikan
anakku!" 110 Suara jeritan itu adalah suara jeritan wanita, di mana sambil
menjerit-jerit, wanita itu berlari-lari dalam kegelapan malam.
Hati Hok An jadi berdebar keras sekali, tergoncang oleh peristiwa
tersebut, dan bukan soal jeritan wanita itu, akan tetapi justeru dia
mengenali suara wanita tersebut di samping memang diapun
mengenali potongan tubuh wanita itu, yang tidak lain dari pada Un
Kim Hoa! Waktu itu Un Kim Hoa berlari-lari dengan pakaian yang tidak teratur
letaknya, rambutnya juga tidak tersusun rapi, telah ada yang beriap
sebagian. Akan tetapi wanita itu tidak memperdulikan keadaan
dirinya, malah dengan isak tangis dan air mata yang bercucuran
deras, dia telah berteriak-teriak dengan jeritan yang sangat
mengenaskan hati. "Kembalikan anakku! Kembalikan anakku! Oh, biadab sekali kau
jika mengganggu anakku itu, terkutuklah kau.....!"
Dalam keadaan seperti itu, mata Hok An yang juga tengah
digenangi air mata, sebenarnya tidak melihat jelas. Akan tetapi
setelah agak berkurang rasa kagetnya, segera dia menghapus air
matanya, maka dia segera melihat di kejauhan berlari-lari sesosok
tubuh, yang mengenakan pakaian serba hitam, dengan gerakan
111 yang gesit sekali, tengah berlari-lari meninggalkan perkampungan
itu. Di tangannya menggendong sesosok tubuh kecil.
Hok An segera juga tersadar! Dia mengetahui apa yang terjadi!
Tentunya Lung Hie telah menculik puteri Bin Wan-gwe dan Bin
Hujin mengetahuinya, sehingga nyonya itu mati-matian mengejar
Lung Hie. Akan tetapi Bin Hujin mana bisa mengejar Lung Hie, karena Lung
Hie memiliki ginkang yang tinggi, walaupun di tangannya
menggendong puteri Bin Wan-gwe, namun dia tetap bisa berlari
cepat seperti itu. Bin Hujin semakin tertinggal jauh.
Bagaikan tersengat kalajengking, tampak Hok An melompat dari
tempat duduknya, dia berlari seperti terbang saja.
"Kim Hoa, jangan kuatir, aku akan segera merebut kembali
puterimu itu.....!" berseru Hok An waktu dia melampaui Bin Hujin
buat menyusul Lung Hie. Bin Hujin terkejut, namun kemudian berganti menjadi girang yang
tidak kepalang bercampur haru.
"Hok An.....!" suaranya serak, dan dia telah berlari terus. "Tolonglah
aku Hok An..... tolonglah puteriku itu.....!"
112 Hok An sudah tidak mendengar perkataan Bin Hujin, yang
suaranya tergetar dan serak seperti itu, dia terus juga
mengejarnya. Sedangkan Lung Hie jadi mendongkol sekali. Semula dia girang,
telah berhasil menculik puteri Bin Wan-gwe, yang kelak akan
dipergunakan buat pancingan agar Bin Wan-gwe datang ke
tempatnya dan nanti membinasakan hartawan itu guna membalas
sakit hatinya. Akan tetapi sekarang dia mengetahui dirinya tengah dikejar oleh
seseorang, yang memiliki ginkang tidak berada di sebelah bawah
ginkangnya, yang dapat mengejarnya dengan cepat sekali.
Gerakan orang itu juga malah lebih cepat dari larinya, karena Lung
Hie merasa terganggu dengan puteri Bin Wan-gwe yang
digendongnya dan selalu meronta itu, sehingga memperlambat
larinya. Dalam keadaaan seperti itu, juga Lung Hie dapat mengenalinya
bahwa orang tengah mengejarnya itu tidak lain dari Hok An,
manusia yang seperti sinting karena mabok kepayang oleh
kandasnya sang cinta..... Lung Hie mengempos semangatnya,
berusaha berlari lebih cepat lagi.
113 Akan tetapi puteri Bin Wan-gwe masih saja meronta terus
menerus, maka dia telah jengkel bukan main. Dengan gusar dia
mengayunkan tangan kanannya menghantam kepala gadis cilik
tersebut, maka puteri Bin Wan-gwe itu tidak bisa meronta lagi dia
telah jatuh pingsan. Sedangkan Hok An berlari cepat sekali, dia berlari sekuat
tenaganya. Jarak antara dia dengan Lung Hie semakin dekat juga.
Mengetahui bahwa dirinya jika berlari terus menerus seperti itu,
akhirnya akan dapat terkejar oleh Hok An, maka segera juga Lung
Hie merobah arah larinya, dia menuju ke arah sebuah gunung yang
terpisah cukup jauh dari perkampungan itu.
Namun Hok An tetap saja mengejarnya, mengejar dengan semakin
cepat. Dengan mengambil jalan di dalam hutan-hutan tidak gampang buat
Hok An menemui jejak Lung Hie. Inilah yang akhirnya
menguntungkan Lung Hie, yang bisa menjauhi diri dari Hok An.
Dengan panik Hok An mencari-cari ke sana ke mari, dia bingung
bukan main, dan terus juga menerobos hutan-hutan yang terdapat
di kaki gunung, sampai akhirnya dia menemui juga jejak Lung Hie.
114 Dilihatnya Lung Hie sedang mendaki gunung itu, rupanya pemuda
itu bermaksud hendak menghindarkan diri dari kejarannya dengan
mendaki gunung tersebut. Hok An sambil berseru nyaring telah mengempos semangatnya.
Dia mengejar dengan pesat sekali. Dia kuatir, kalau saja Lung Hie
kurang begitu baik-baik menguasai dirinya, sehingga terjerumus ke
dalam jurang, berarti puteri Bin Wan-gwe akan mengalami
kecelakaan juga. Semakin lama Hok An semakin kalap, mengejar semakin cepat
juga, diapun berulang kali berseru dan membentak agar Lung Hie
menghentikan larinya, di mana Hok An berjanji tidak akan
menganggu, asal dia bersedia memulangkan puterinya Bin Wangwe itu.
Di waktu itu Lung Hie seperti kalap, sudah tidak memperdulikan
suatu apapun, dia berlari terus mendaki gunung itu.
Setengah harian mereka lari saling kejar di gunung itu, dan
akhirnya Lung Hie tiba di tepi jurang yang curam sekali. Dia
memandang bingung sekelilingnya, karena sudah tidak ada jalan
lain lagi buat dia meloloskan diri, sedangkan Hok An telah
mengejarnya semakin dekat.
115 Muka Lung Hie agak pucat. Dia tidak jeri dengan Hok An, akan
tetapi dia telah merasakan, betapa manusia yang otaknya seperti
sinting disebabkan merana putus
cintanya, sangat hebat tangannya. Maka dari itu terlebih lagi dia dalam keadaan
menggendong puteri Bin Wan-gwe, jelas dia tidak akan bisa
berbuat banyak menghadapi Hok An.
Waktu itu Hok An telah tiba di dekat tempat itu. Dia berhenti berlari
dan memandang Lung Hie dengan tajam, katanya: "Kembalikan
puteri Bin Wan-gwe, dan kau boleh pergi, aku tidak akan
mengganggumu......!"
"Hemmm, memulangkan kembali puteri si bangsat ini" Jika kau
berani maju satu tindak lagi, tentu aku akan menghantam hancur
batok kepala anak si bangsat ini..... Cepat kau tinggalkan tempat
ini!" Hok An mencilak-cilak matanya, dia memandang beberapa saat
dengan bingung. Jika dia menerjang maju, di belakang Lung Hie
terdapat jurang yang dalam. Dan jika Lung Hie terjerumus masuk
ke dalam jurang itu, berarti puteri Bin Wan-gwe akan mengalami
kecelakaan juga. Karena dari itu, Hok An tidak segera menyerbu
maju. 116 "Ayo, kau kembalikanlah puteri Bin Wan-gwe.....!" kata Hok An
berusaha membujuknya. "Cisss, manusia hina dan rendah, setelah kau ditinggalkan kawin,
dan juga engkau telah disakiti seperti itu, engkau masih mau
menolongi hartawan bangsat itu, heh"!"
Sengaja Lung Hie mengeluarkan kata-kata yang pedas seperti itu,
karena dia ingin mengingatkan kepada Hok An, bahwa Bin Wangwe itu seteru dan musuh Hok An yang telah mengambil
kekasihnya, sehingga Hok An merana dan menderita dari tahun ke
tahun. Akan tetapi Hok An menggeleng cepat.
"Aku telah memutuskan, bahwa urusan yang lalu itu tidak perlu
kuingat lagi! Aku ikut gembira dan bahagia melihat Kim Hoa hidup
bahagia dengan suaminya, di mana mereka bisa merawat puteri
mereka baik-baik.....! Nah, kau kembalikanlah puteri Bin Wan-gwe
itu...... Bin Wan-gwe tentu akan berterima kasih sekali padamu!"
"Bin Wan-gwe berterima kasih kepadaku?" tanya Lung Hie tibatiba, dia tertawa dengan suara yang nyaring sekali, sampai
tubuhnya tergoncang sangat keras.
117 "Bin Wan-gwe itu seorang bangsat yang tidak punya malu,
bagaimana dia bisa berterima kasih atas kebaikanku" Hemmm,
sedangkan harta warisanku saja telah dirampas dan diserakahinya
di mana seperti juga dia sudah menjadi setan. Ibu dan adik-adikku
dibunuhnya semua.....!" Dan Lung Hie tergelak-gelak nyaring


Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Hok An melangkah setindak-setindak mendekati Lung Hie waktu
pemuda ita berkata-kata, karena jika memang terdapat kesempatan dia bermaksud hendak mempergunakannya untuk
menyerbu dan merebut puteri Bin Wan-gwe.
Akan tetapi, dia tidak bisa melangkah lebih jauh sebab Lung Hie
telah melihat sikapnya itu, di mana Lung Hie membentak bengis:
"Berhenti! Jika kau berani melangkah maju satu tindak lagi, puteri
si bangsat ini akan ku lemparkan ke dalam jurang itu....."
Bingung bukan main hati Hok An, karena dia menyadari, jika Lung
Hie terdesak, pemuda seperti Lung Hie tentu tidak segan-segan
akan membuktikan ancamannya itu. Tentu dia akan melemparkan
puteri Bin Wan-gwe itu ke dalam jurang. Itulah hebat, kalau sampai
hal itu terjadi, tentu Un Kim Hoa akan berduka sekali.
Teringat kepada Un Kim Hoa, semangat Hok An terbangun.
118 "Baiklah, apa yang kau kehendaki"!" tanya Hok An kemudian.
"Hemm, anak ini tetap akan kutahan, sampai manusia she Bin itu
datang sendiri ke mari agar dapat kubinasakan, puterinya baru
kubebaskan! Dia harus menebus jiwa puterinya ini dengan jiwanya
sendiri....." menyahuti Lung Hie.
Hok An berdiri tertegun bengong di tempatnya, sampai akhirnya
dia menghela napas dalam-dalam.
"Bin Wan-gwe hidup bahagia dengan isteri dan puterinya itu,
biarkanlah mereka hidup bahagia seterusnya. Dan aku bersedia
menggantikan Bin Wan-gwe, buat menebus jiwa puteri Bin Wangwe itu. Kau boleh membunuhku, dan selanjutnya engkau tidak
boleh memusuhi keluarga Bin Wan-gwe....."
Waktu berkata begitu, wajah Hok An tampak murung sekali.
"Cisss.....!" meludah Lung Hie. "Siapa yang menghendaki
jiwamu"!" Hok An menghela napas lagi.
"Tetapi aku rela berkorban demi kebahagiaan Un Kim Hoa!" kata
Hok An dengan suara yang sayu.
119 "Cisss, laki-laki tidak memiliki harga diri!" bentak Lung Hie sengit.
"Berkorban buat wanita yang telah menyakiti hatimu dan
mengkhianati cintamu"!"
Diwaktu itu Hok An melangkah lagi maju setindak, dengan mata
yang memandang tajam mencari kesempatan.
"Ingat, selangkah lagi engkau maju maka engkau akan menyesal
seumur hidupmu, puteri Bin Wan-gwe akan kulemparkan ke jurang
itu.....!" mengancam Lung Hie.
Namun Hok An nekad, dia melangkah maju terus. Dia yakin tentu
Lung Hie akan gugup tidak akan membuktikan ancamannya dalam
waktu yang singkat ini. "Berhenti!" teriak Lung Hie dengan muka yang menyeringai bengis.
Tetapi Hok An masih melangkah juga maju.
Lung Hie mengangkat puteri Bin Wan-gwe.
"Kau maju selangkah lagi, anak ini akan kulemparkan ke dalam
jurang.....!" mengancam Lung Hie dengan muka meringis seperti
mau menangis, karena ancamannya seperti tidak diacuhkan oleh
Hok An. 120 Hok An terpisah dua tombak lebih dengan Lung Hie. Dia melihat,
jika waktu itu Lung Hie melemparkan puteri Bin Wan-gwe dia bisa
melompat dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan
menjambret tubuh puteri Bin Wan-gwe. Dengan begitu jelas dia
masih bisa menolongi puteri Bin Wan-gwe.
Akan tetapi Hok An belum berani mengambil resiko seperti itu, dia
masih melangkah maju satu tindak lagi, memperdekat jarak
mereka. "Ohh, kau memaksa aku membunuh anak ini"!" berseru Lung Hie.
Dan dia bukan hanya berseru saja, sebab tangannya bergerak, dia
telah melontarkan puteri Bin Wan-gwe itu, yang meluncur ke
tengah mulut jurang tersebut.
Hok An tidak menyangka Lung Hie akan melaksanakan
ancamannya dalam waktu yang begitu cepat. Dengan mengeluarkan jeritan, segera juga dia menjejakkan ke dua
kakinya, tubuhnya melompat ke tengah udara, dia meluncur sambil
mengulurkan ke dua tangannya buat menjambret baju puteri Bin
Wan-gwe. Lung Hie melihat Hok An bermaksud menolongi puteri Bin Wangwe dengan mempertaruhkan jiwanya, karena jika Hok An gagal
121 menjambret tepi jurang, berarti diapun akan terjerumus masuk ke
dalam jurang tersebut dan terbanting mati di dasar jurang itu.
Waktu itu tubuh Hok An tengah melayang di tengah udara,
tangannya yang diulurkan itu hanya terpisah beberapa dim lagi dari
baju puteri Bin Wan-gwe. Lung Hie mana mau membiarkan Hok An menolongi puteri Bin
Wan-gwe. Mempergunakan kesempatan itu, Lung Hie telah menghantam
dengan ke dua tangannya. Dia memukul dengan pukulan udara
kosong, angin serangannya menghantam tubuh Hok An.
Merasakan menyambarnya angin serangan tersebut, Hok An
mengeluh. Dirinya tengah melayang di tengah udara, dan jika saja
dia gagal menjambret baju puteri Bin Wang- gwe karena harus
menangkis serangan Lung Hie, berarti sudah habislah kesempatan
baginya untuk menolongi gadis cilik itu.
Sedangkan waktu itu pukulan Lung Hie pun bukan pukulan yang
perlahan, akan tetapi mengandung maut, mengincar ke arah
punggungnya. 122 Karena ingin menolongi puteri Bin Wan-gwe, Hok An jadi nekad.
Dia telah mengempos semangatnya, dan tenaganya dikerahkan
pada pundaknya, dia menerima serangan itu tanpa menangkis.
Dan juga tangannya tetap terjulurkan ke depan, dia ingin
menjambret baju puteri Bin Wan-gwe.
Pukulan Lung Hie mengenai telak pundak Hok An, menyebabkan
tubuh Hok An tergetar keras! Dan akibat gempuran itu justeru
tubuh Hok An jadi mencong arah, tangannya yang diulurkan
menjambret puteri Bin Wan-gwe gagal mengenai sasarannya,
tubuh puteri Bin Wan-gwe terus juga meluncur masuk ke dalam
jurang itu. "Ohhh....." Hok An mengeluh kecewa. Akibat pukulan dari Lung
Hie, sehingga usahanya itu gagal buat menolongi puteri Bin Wangwe.
Hok An segera juga berjumpalitan di tengah udara, kemudian
tangan kanannya menepuk tepi jurang itu, tubuhnya melentik ke
tengah udara dan hinggap kembali di atas tepi jurang tersebut
tanpa kurang suatu apapun juga, dia tidak sampai terjerumus
masuk ke dalam jurang itu!"
123 Dengan muka yang merah padam karena gusar, Hok An berseru
mendelik pada Lung Hie "Kau....., kau manusia kejam....., kau.....
kau menyebabkan puteri Bin Wan-gwe tidak bisa tertolong....."
Belum lagi habis perkataannya, Hok An telah melompat akan
menghantam Lung Hie. Namun Lung Hie tidak mau melayaninya, dia memutar tubuhnya
dan meninggalkan tempat itu dengan berlari cepat sekali.
Hok An hendak mengejarnya, akan tetapi waktu itu, di bawah sana
terdengar suara Un Kim Hoa: "Mana anakku" Ohhh Tuhan.....
mana anakku yang dilarikan si biadab itu" Mana anakku......?"
Sambil menjerit-jerit dan menangis seperti itu, Bin Hujin terus
mendaki gunung itu. Hok An batal mengejar Lung Hie, dia menantikan kedatangan Bin
Hujin. Wajah Hok An muram bukan main.
Tidak lama kemudian Bin Hujin tiba di dekat tempat Hok An.
Segera juga wanita tersebut menjatuhkan dirinya berlutut di
hadapan Hok An dan sesambatan:
124 "Hok..... Hok An bsgaimana dengan puteriku" Apakah engkau
telah dapat menyelamatkannya?"
Hok An menghela napas perlahan.
"Aku gagal.....!" kata Hok An dengan suara tersendat di
tenggorokannya. "Kau..... kau gagal" Jadi..... puteriku itu"!" suara Bin Hujin
tersendat seperti juga lehernya tercekik, mukanya pucat pias
dengan di wajahnya dilumuri air matanya yang mengucur deras
sekali. Keadaannya sudah tidak teratur, dengan rambutnya yang
terurai dan juga pakaian yang tidak benar letaknya.
"Pemuda itu..... telah melemparkan puteri kalian ke dalam..... ke
dalam.....!" Hok An tidak bisa meneruskan perkataannya itu.
"Maksudmu..... puteriku telah dilemparkan ke dalam jurang
itu....."!" menegasi Bin Hujin.
Hok An hanya bisa mengangguk tanpa bisa menyahuti.
"Ohhh!" mengeluh Bin Hujin, yang seketika pingsan tidak sadarkan
diri, di dekat kaki Hok An.
Cepat-cepat Hok An menolonginya buat menyadarkan Bin Hujin.
125 Tidak lama kemudian Bin Hujin tersadar dari pingsannya, akan
tetapi begitu siuman segera juga nyonya tersebut berseru kalap:
"Mana anakku"!" Dan Bin Hujin berlari ke jurang.
Hok An segera mencekal tangan Bin Hujin.
"Tenang..... tenang.....," hibur Hok An dengan segera berusaha
mengatasi Bin Hujin yang tengah kalap seperti itu.
Namun Bin Hujin sama sekali tidak memperdulikan Hok An, ia
meronta dan menarik tangannya dari cekalan Hok An. Tidak
disangka-sangka dia telah menjatuhkan dirinya duduk menangis
menggerung-gerung sambil katanya: "Celakalah aku! Sungguh
perempuan pembawa sial....." sesambatan Bin Hujin.
"Tenanglah..... Kim Hoa..... tenanglah..... mengapa kau harus
kalap seperti itu, tokh puterimu itu akan segera kucari kalau-kalau
dia masih bisa tertolong......" hibur Hok An.
Bin Hujin masih menangis dengan kepala yang digelengkan tidak
hentinya dan sikap tetap kalap.
"Suamiku.....! Suamiku telah meninggal dunia akibat pukulan
manusia biadab itu, waktu siang itu..... di mana dia sudah tertolong
126 walaupun aku telah memanggilkan tabib, dua jam sejak ia dilukai,
ia menghela napas yg terakhir.
"Dan malam ini, manusia biadab itu telah datang kembali, buat
mencari suamiku. Akan tetapi tidak disangka-sangka, dia bertemu
dengan puteriku, sehingga segera juga dia menangkap dan
menawannya, dibawa lari. Aku berusaha mengejarnya..... Ohhh,
benar-benar aku perempuan pembawa celaka..... Sekarang
puteriku telah terkubur di dasar jurang itu.....!"
Dan Bin Hujin menangis terisak-isak semakin hebat, dia
mengucapkan beberapa patah perkataan lagi, akan tetapi Hok An
tidak mendengarnya dengan jelas.
Hok An juga ikut berduka dan terharu, dia hanya menundukkan
kepala dalam-dalam, tidak disangkanya bahwa Bin Wan-gwe
karena luka-lukanya itu, akhirnya telah menghembuskan napasnya
yang terakhir. Dan juga sekarang puteri Bin Wan-gwe, telah
dilemparkan masuk ke dalam jurang itu.
Jurang tersebut sangat curam sekali, maka jika memang puteri Bin
Wan-gwe itu telah terjatuh di dasar jurang tersebut, tidak mungkin
puteri Bin Wan-gwe masih hidup dan dapat ditolong, karena
127 tubuhnya pasti telah terbanting hancur dan remuk di dasar jurang
itu.....!" Tiba-tiba Hok An terkejut, karena Bin Hujin menjerit, "Anakku,
tunggulah ibu......!"
Hok An dongak, dia memandang ke arah tempat duduk Bin Hujin.
Semangat Hok An jadi terbang meninggalkan raganya, sebab
waktu itu tubuh Bin Hujin tengah melompat ke dalam jurang itu.
Rupanya Bin Hujin telah kalap, maka dia menjadi nekad begitu
buat bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang tersebut.
"Kim Hoa....." menjerit Hok An dengan suara tersendat di lehernya,
dia melompat menjambret Kim Hoa.
Akan tetapi gagal, dia hanya berhasil menjambret ujung badju Un
Kim Hoa dan tubuh Bin Hujin telah meluncur terus masuk ke dalam
jurang. Tidak lama kemudian, terdengar suara pekiknya yang menyayatkan dari dasar jurang itu, pekik kematian.
Hok An menutupi mukanya dengan sepasang tangannya, dia
menangis sejadi-jadinya. 128 "Kim Hoa! Kim Hoa! Mengapa engkau begitu nekad"!" menjerit Hok
An dengan kalap. Sampai akhirnya Hok An berdiri tertegun mematung di tepi jurang
itu, mengawasi ke dalam jurang dengan butir-butir air mata
berlinang, dari sepasang matanya.
Lama, lama sekali Hok An berdiri begitu dengan sikap seperti juga
arwahnya sudah meninggalkan raganya, dan diapun tampaknya
sudah tidak memiliki semangat. Waktu matahari fajar menampakkan diri, dia masih tetap berdiri mematung di tepi jurang
tersebut. Sama sekali Hok An tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya,
tidak memperdulikan juga siliran angin yang begitu dingin
menggigilkan tubuh. Dan hanya mulutnya yang selalu berkemakkemik perlahan, berkata-kata dengan suara tidak jelas, hanya
samar-samar terdengar. "Kim Hoa....., Kim Hoa..... sekarang kau telah beristirahat dengan
tenang di tempatmu..... Kim Hoa.....!"
Setelah matahari naik tinggi dan udara menjadi cerah dan terik,
Hok An baru seperti tersadar dari tidurnya, dia menghela napas
dalam dalam, kemudian duduk numprah di tepi jurang itu.


Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

129 Hanya saja karena dia terlalu letih, jiwa dan raganya, akhirnya
setelah mengeluh, Hok An pingsan tidak sadarkan diri.
Lama juga Hok An pingsan tidak sadarkan diri, sampai akhirnya dia
tersadar juga dari pingsannya. Waktu itu tepat tengah hari dan
matahari sangat terik sekali.
Dengan lesu, tampak Hok An telah bangkit dan berdiri di tepi jurang
itu, berdiri bengong mengawasi ke arah dalam jurang itu, karena
juga tidak puas untuk mengawasi jurang ini, di mana di dalam
dasar jurang tersebut terdapat wanita yang sangat dicintainya,
yang tentu rebah dengan sekujur tubuhnya yang remuk......
Bagaikan tersentak, tiba-tiba Hok An teringat sesuatu, segera juga
dia mengangguk-angguk sambil katanya seorang diri: "Ya,
mengapa aku tidak melihatnya saja ke bawah" Mengapa aku tidak
turun ke dasar jurang itu"!"
Lama setelah berkata seperti itu Hok An berdiri termenung di
tempatnya, sampai akhirnya dia telah menghela napas. Perlahanlahan
dia menuruni jurang itu. Dengan merambat dan mengandalkan ginkangnya, dia bisa menuruni jurang itu dengan
mudah, dia telah dapat menuruninya sampai ke dasar jurang
tersebut. 130 Jurang itu ternyata sangat dalam sekali. Waktu Hok An tiba di
dasar jurang tersebut, di saat itu hampir menjelang sore hari.
Yang pertama-tama dilihatnya adalah Bin Hujin, yang rebah
tengkurap dengan keadaan yang sangat mengiriskan hati.
Tubuhnya hancur dan juga tentunya tulang-tulang di tubuhnya
telah patah dan remuk. Hok An segera menjatuhkan dirinya berlutut di dekat mayat Bin
Hujin. Dengan air mata berlinang-linang dia berkata:
"Kim Hoa, Kim Hoa..... aku tidak menyangka bahwa engkau akan
pergi lebih dulu meninggalkan aku..... Kim Hoa..... Kim Hoa.....
mengapa engkau begitu nekad, sehingga engkau membunuh diri"
Bukankah segala persoalan apapun juga masih bisa diselesaikan"
Bukankah masih ada aku, yang bersedia buat melakukan suatu
apapun juga demi kebahagiaanmu"!"
Terus menerus Hok An menangis dan juga menyesali kenekadan
Kim Hoa, sampai akhirnya dia telah menangis terisak-isak.
Selama bertahun-tahun dia telah berkelana mencari jejak Kim Hoa.
Selama itu pula Hok An selalu diliputi oleh khayalannya.
131 Jika saja dia berhasil menemui jejak Kim Hoa, betapa akan
membahagiakannya. Secuil kegembiraan tentu akan diperolehnya,
dan juga sedikit kebahagiaan yang masih bersisa di hatinya pasti
akan hidup kembali..... Tentu Kim Hoa pun akan gembira dan
bahagia bisa bertemu dengannya. Masih mencintai dan mengasihinya. Akan tetapi kenyataan yang ada justeru berlainan sama sekali
dengan apa yang dikhayalkannya itu, bahkan juga memang di
waktu itu Kim Hoa telah menjadi milik orang. Dengan demikian
membuat kandas seluruh harapan Hok An.
Dan sekarang justeru diapun harus menghadapi peristiwa seperti
ini, di mana Kim Hoa telah menghabisi jiwanya sendiri dengan
membuang diri ke dalam jurang. Sedangkan suami Kim Hoa juga
telah menghembuskan napasnya, karena telah terluka berat di
tangan Lung Hie. Malah yang membuat Hok An semakin sedih, karena puteri Bin
Wan-gwe pun telah terbinasa dilempar ke dalam jurang ini. Semua
kehancuran keluarga Bin tersebut sejak kemunculannya, membuat
Hok An menjadi menyesal bukan kepalang.
132 Teringat kepada puteri Bin Wan-gwe, segera juga dia menoleh ke
kiri ke kanan, dia mencari-cari mayat puteri Bin Wan-gwe.
Di saat itu, dia tidak melihat mayat puteri Bin Wan-gwe, sehingga
membuat Hok An terheran-heran. Dia berdiri dari duduknya
dengan segera dan matanya telah memandang ke sana kemari
mencari-cari mayat puteri Bin Wan-gwe.
Tetap saja dia tidak berhasil menemui mayat puteri Bin Wan-gwe.
"Ohhh, ke manakah mayat puteri Bin Wan-gwe, apakah memang
mayat puteri Bin Wan-gwe telah dibawa oleh binatang buas yang
mendiami dasar jurang ini"!" menggumam Hok An dengan hati
yang berdebar keras. "Apakah mayatnya telah dijadikan santapan
binatang buas itu....."!"
Hok An jadi penasaran, dia telah mencari terus ke sana ke mari.
Sampai akhirnya hatinya berdebar keras sekali, dia melihat
sesosok tubuh kecil yang rebah di atas tumpukan rumput, rebah
dalam keadaan diam tidak bergerak sedikitpun juga.
Cepat-cepat Hok An melompat dan memeriksa sosok tubuh kecil
itu. 133 Seorang gadis cilik dan tidak lain dari puteri Bin Wan-gwe!
Waktu Hok An memeriksa keadaannya, dia memperoleh kenyataan puteri Bin Wan- gwe itu masih bernapas. Hati Hok An
semakin berdebar. Tidak terlihat luka sedikitpun juga di tubuh puteri Bin Wan-gwe.
Diam-diam Hok An pun heran, mengapa puteri Bin Wan-gwe bisa
terlontar dan jatuh di tempat yang sejauh ini dari sasaran tempat
jatuhnya yang semula" Malah mengapa bisa jatuh di atas
tumpukan rumput-rumput yang tumbuh tebal sekali di bagian
tempat tersebut" Hok An dongak mengawasi ke atas, dia melihat ke mulut jurang itu,
dan juga memperoleh kenyataan, seperti ada kekuatan yang tidak
tampak, yang pasti telah melemparkan puteri Bin Wan-gwe ke arah
tumpukan rumput ini! Dan itulah kekuasaan Tuhan, di mana puteri
Bin Wan-gwe belum saatnya menemui ajal.
Gembira juga hati Hok An, dia merasa agak terhibur setelah
memperoleh kenyataan puteri Bin Wan-gwe itu tidak mati
terbanting di dasar jurang.
134 Akan tetapi tiba-tiba sekali Hok An teringat sesuatu. Perasaan
menyesal jadi tumbuh hebat di hatinya, dia sampai membantingbanting kakinya dengan penyesalan yang hebat menggoda
hatinya, dan diapun menangis dengan keras.
"Kim Hoa.....! Kim Hoa! Ohhh, engkau terlalu kalap dan tergesagesa menghabisi jiwamu sendiri! Sesungguhnya, jika saja engkau
mau bersabar dulu, sampai aku memeriksa keadaan di dalam
jurang ini, mencari puterimu tentu kau tidak akan menemui ajalmu.
Karena puterimu sendiri sesungguhnya tidak mati terbanting di
dasar jurang ini.....! Kim Hoa! Kim Hoa! Ohhh, Kim Hoa.....!"
Dan Hok An terus menerus menangis setengah harian dengan hati
yang berduka dan luluh sekali. Di waktu itu sudah menjelang
malam dan keadaan gelap sekali.
Mengapa puteri Bin Wan-gwe bisa berada ditumpukan rumput
yang tebal itu" Sesungguhnya, semua itu terjadi karena memang atas kekuasaan
Thian juga, sehingga puteri Bin Wan-gwe tidak menemui ajalnya di
dasar jurang tersebut. Waktu dia dilontarkannya, tubuh puteri Bin Wan-gwe memiliki daya
lempar dari Lung Hie, dan juga waktu Hok An menjambret
135 mengenai tempat kosong karena dihantam oleh pukulan Lung Hie,
angin pukulan itu seperti juga mendorong tubuh puteri Bin Wangwe, sehingga terpental ke samping.
Karena itu, waktu tubuhnya meluncur jatuh, diapun dalam keadaan
pingsan, sehingga tidak melakukan gerakan yang bisa merobah
arah meluncur tubuhnya. Dia telah terdorong ke samping dan
tubuhnya kebetulan jatuh di atas tumpukan rumput yang tumbuh
tebal sekali. Dengan demikian, walaupun terbanting keras sekali, puteri Bin
Wan-gwe tidak mengalami cidera apapun juga, hanya saja dia
tentu akan merasa sakit-sakit pada sekujur tubuhnya, namun tidak
membahayakan keselamatan jiwanya.
Lama juga Hok An menangisi kemalangan nasibnya, yang selain
kandas dalam cintanya, dan juga harus menghadapi semua
peristiwa yang menyedihkan ini. Dengan begitu Hok An tidak
menyesali akan kemalangan diri dan nasibnya.
Sedangkan puteri Bin Wan-gwe, yang telah pingsan satu hari satu
malam, akhirnya bergerak perlahan mulai siuman, juga mengeluarkan suara rintihan perlahan.
136 Hok An jadi terhenti dari tangisnya, dia telah memandang dengan
penuh perhatian kepada puteri Bin Wan-gwe tersebut.
Waktu itu tubuh Puteri Bin Wan-gwe telah bergerak perlahan-lahan
dan kemudian bangun duduk.
"Ibu..... Thia (ayah).....!" berseru gadis kecil itu yang seketika
menangis keras sekali, waktu memperoleh kenyataan di sekelilingnya gelap pekat.
Hok An cepat-cepat melompat berdiri dari duduknya. Dia telah
mengulurkan ke dua tangannya memegang ke dua lengan gadis
cilik tersebut. "Jangan takut, jangan menangis, ada paman di sini! Jangan takut!
Tidak ada orang jahat yang akan mengganggumu lagi! Diamlah,
jangan menangis....!" menghibur Hok An.
Sedangkan waktu itu puteri Bin Wan-gwe masih menangis dengan
keras, dia juga meronta dari cekalan tangan Hok An.
"Jangan ganggu aku..... lepaskan! Kau orang jahat! Kau telah
menculikku dan menganiaya ayahku dan ibuku......!"
137 "Bukan aku..... orang itu sudah melarikan diri!" kata Hok An dengan
segera. "Kau! Kau yang telah menganiaya ayahku dan juga menculikku!"
kata puteri Bin Wan-gwe tersebut.
Hok An tertawa di antara sendat tangisnya karena gembira melihat
anak tersebut telah tersadar dari pingsannya.
"Coba kau perhatikan dengan seksama dan baik-baik, apakah
paman yang telah menganiaya ayah dan ibumu atau menculik
engkau"!" kata Hok An dengan suara yang sabar sekali.
Gadis cilik tersebut berhenti menangis, dia menyusut air matanya
dan memperhatikan Hok An dengan sejelas-jelasnya, dia
mementang ke dua matanya lebar-lebar.
Lama sekali gadis cilik itu memperhatikan Hok An, keadaan di
dasar jurang itu gelap sekali, sampai akhirnya dia berkata: "Ohh.....
memang bukan engkau..... bukan engkau! Lalu kau siapa.....
tetapi..... tetapi engkau......engkau adalah orang yang telah datang
bersama-sama dengan orang jahat itu.....!"
Hok An tersenyum. 138 "Akan tetapi aku tidak bermaksud jahat kepada keluargamu, malah
aku telah berusaha menolongi engkau dari tangan orang yang
menculik kau itu..... hanya sayang aku gagal, engkau telah
dilemparkan masuk ke dalam jurang ini.....!" kata Hok An
menjelaskan. Gadis cilik itu jadi tidak begitu ketakutan lagi, dia telah berkata
dengan suara agak ragu-ragu: "Mana ibuku..... mana ibuku"!"
"Ibumu"!" Hok An seperti tersentak kaget, untuk sejenak dia raguragu dan kemudian dia telah berkata dengan suara tidak lampias:
"Nanti aku akan menceritakan mengenai ibumu"!"
"Mengapa tidak sekarang saja"!" tanya puteri Bin Wan-gwe
tersebut. "Nanti..... nanti jika engkau telah sehat benar! Sekarang engkau
perlu istirahat..... engkau perlu mengasoh dulu. Nanti jika engkau
telah sehat kembali, di waktu itu barulah aku akan menceritakan
perihal diri ibumu itu.....!"
Gadis cilik tersebut berdiam diri, namun tiba-tiba sekali dia
menangis terisak-isak lagi.
139 "Sudahlah anak..... kau jangan menangis lagi, kau tidak perlu
merasa takut, paman berada disini yang akan melindungi
dirimu....., engkau tidak perlu takut dan tidak akan ada orang yang
mengganggu dirimu.....!"
Gadis cilik tersebut masih juga menangis terisak-isak memanggilmanggil ibunya.
Bukan main bingungnya Hok An, dia menghela napas berulang kali
dengan bingung karena tidak tahu dengan cara bagaimanakah dia
harus menghibur gadis tersebut, dan juga bagaimana dia harus
menghentikan tangis dari gadis cilik itu, sampai akhirnya dia bilang,
"Baiklah adik kecil, jika memang engkau hendak menangis terus,
menangislah..... menangis sampai puas, dan nanti setelah air
matamu habis, barulah engkau berhenti!"
Gadis cilik tersebut masih juga menangis dengan terisak-isak,
bagaikan ia tengah dirundung kedukaan yang sangat. Sesungguhnya gadis cilik itu tengah dicekam rasa takut pula, dia
mengetahui dan mengenal siapa adanya Hok An, orang yang
pernah datang mengacau di rumahnya dan hendak membunuh
ayahnya. 140 Di samping itu Hok An pun pernah membantu orang yang
menculiknya, untuk menimbulkan kekacauan ke dua kalinya di
rumahnya. Dengan demikian jelas gadis cilik tersebut memiliki
dugaan bahwa Hok An bukanlah sebangsa manusia baik-baik.
Sekarang mereka berada di dasar jurang seperti ini, telah membuat
gadis cilik puteri dari Bin Wan-gwe tambah ketakutan, sedih dan


Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penasaran, karena untuk selanjutnya sulit buat dia meninggalkan
dasar jurang tersebut. Sulit pula buat menghadapi Hok An, karena
di dekat mereka sudah tidak ada orang lain yang bisa menolongnya
jika saja Hok An hendak membunuhnya atau menyiksanya.
Terlebih lagi gadis cilik ini teringat, sebelum dia diculik oleh Bin
Lung Hie, yang ternyata adalah pamannya, dia mengetahui
ayahnya telah meninggal akibat luka yang parah. Dan sekarang ia
menangis disebabkan teringat kepada nasibnya, di mana ia telah
kehilangan ayahnya. Kini dia terkurung di dasar jurang, membuat gadis cilik ini tidak
mengetahui apakah dia harus menangis terus atau berhenti
menangis di saat dia mendengar perkataan Hok An yang terakhir
itu. 141 Bin Wan-gwe merupakan seorang hartawan yang terkaya di
kampung mereka, karena itu gadis cilik ini juga telah diperlakukan
oleh penduduk kampung dengan penuh hormat dan sanjung. Dia
biasa hidup mewah di dalam gedung dengan seluruh barangbarang yang serba mahal harganya, semua kebutuhannya selalu
terpenuhi. Akan tetapi sekarang dia berada di dasar jurang, dengan begitu
sulit buat dia mengecap kenikmatan seperti di masa yang lalu, di
mana dia hidup sebagai puteri hartawan kaya raya. Sekarang dia
kedinginan, ketakutan dan juga tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Gadis cilik itupun belum lagi mengetahui bahwa ibunya kini telah
meninggal dunia juga menyusul ayahnya buat selama-lamanya,
sehingga puteri Bin Wan-gwe itu jadi hidup sebatang kara, di masamasa mendatang sebagai anak yatim piatu. Jika memang dia
mengetahui ibunya telah meninggal dunia, niscaya gadis cilik itu
akan menangis keras dan jatuh pingsan.
Hok An yang telah kewalahan sebab gadis cilik itu tidak juga mau
berhenti menangis, telah membiarkannya saja, karena Hok An pikir
jika tokh dia membujuknya akan sia-sia, gadis cilik itu tetap
menangis saja. 142 Ketika melihat Hok An berdiam diri saja, gadis cilik itu jadi sering
melirik kepadanya, sampai akhirnya dia berhenti menangis dengan
sendirinya. Malah kemudian gadis cilik itu yang berkata lebih dulu:
"Kau..... kau harus mengantarkan aku pulang ke rumahku.....!"
Melihat gadis cilik itu telah berhenti menangis, dan mau berbicara,
Hok An jadi girang. "Tentu! Tentu! Jika memang kau hendak pulang ke rumahmu, aku
tentu bersedia mengantarkan engkau pulang ke rumahmu..... Akan
tetapi, apakah di dalam rumah itu masih ada orang yang memiliki
hubungan dekat denganmu," kata Hok An kemudian.
Gadis cilik tersebut menyusut air matanya yang bersisa di pelupuk
matanya, kemudian katanya: "Masih ada ibuku..... memang ayahku
telah meninggal dunia, akan tetapi ibuku masih berada di sana.....
Tentu ibuku berkuatir sekali memikirkan aku yang telah diculik oleh
laki-laki jahat itu......!"
Hok An tertegun sejenak di tempatnya, lama dia tidak bisa berkatakata, karena waktu itu dia menyadari bahwa gadis cilik ini
sebenarnya memang belum mengetahui perihal kematian ibunya.
Untuk menyampaikan hal itu kepada gadis cilik tersebut, Hok An
merasakan bibirnya berat sekali mengucapkannya.
143 Melihat Hok An berdiam diri, gadis cilik itu sambil membuka
matanya lebar-lebar, telah bertanya: "Apakah engkau tidak
bersedia menolongku dan mengantarkan pulang ke rumahku?"
Hok An cepat-cepat mengangguk. "Aku bersedia..... aku bersedia.
Akan tetapi ibumu.....!"
"Ibuku" Ibuku tentu menantikan dengan kuatir dan tengah
menangis..... karena ibuku tentu memikirkan keselamatanku!"
Harap kau mau cepat-cepat mengantarkan aku pulang ke rumah
agar cepat-cepat dapat bertemu dengan ibuku, sehingga ibuku
tidak akan menangis terlalu lama dan berduka terus menerus......!"
Hok An menghela napas dalam-dalam, kemudian katanya:
"Dengarlah baik-baik, nak, sebenarnya..... sebenarnya ibumu telah
meninggal dunia..... karena jika engkau pulang ke rumahmu, itupun
akan sia-sia belaka, engkau tidak akan menemui ibumu itu......!"
Gadis cilik itu memandang Hok An dengan mata terbuka lebarlebar, seperti juga tidak mempercayai apa yang diucapkan Hok An.
"Kau..... kau bilang ibuku sudah meninggal juga" Ohhh, tentu kau
ingin mendustai aku.....!" kata gadis cilik itu kemudian dengan
suara tergagap. 144 "Sungguh...... aku tidak bermaksud mendustaimu..... memang
sebenarnya ibumu telah meninggal.....! Bahkan meninggal di dasar
jurang itu juga......!" kata Hok An sambil menghela napas dalamdalam.
"Gadis cilik itu jadi menangis sejadinya, katanya: "Tentu..... tentu
dicelakai oleh laki-laki jahat itu.....!"
"Bukan.....!" kata Hok An ingin menjelaskan.
Akan tetapi, gadis cilik itu telah memotongnya: "Tentu saja kau
membela lelaki jahat itu, karena dia memang kawanmu yang ingin
membunuh ayah dan ibuku! Sekarang kalian telah berhasil
membinasakan ayah dan ibuku..... Kau tidak memiliki perasaan
dan kejam! Kau telah mencelakai ayah dan ibuku tanpa mengenal
kasihan.....!" Sambil berkata seperti itu gadis cilik tersebut
menangis terisak-isak sedih sekali.
Hok An jadi bengong, diapun tidak mengetahui apa yang harus
dikatakannya. Sikapnya seperti orang tolol saja, hanya mengawasi
bengong pada gadis cilik yang tengah menangis terisak-isak.
Tiba-tiba gadis cilik tersebut mengangkat kepalanya, dengan air
mata mengucur deras dari sepasang matanya, dia bilang dengan
suara yang cakup nyaring: "Jika memang kalian telah berhasil
145 membinasakan ayah dan ibuku, mengapa sekarang kau tidak
membunuhku" Bunuhlah! Aku tidak takut!"
Hok An masih tetap tertegun di tempatnya, dia tidak tahu apa yang
harus dikatakannya, sampai akhirnya dia bilang: "Tenanglah.....
tenanglah nak...... aku bukan orang jahat, dan akupun tidak
bermaksud buat mencelakai ayah dan ibumu......, percayalah.....
tidak pernah aku berpikir hendak mencelakai ke dua orang
tuamu.....!" "Kan bohong! Kau dusta!" teriak gadis cilik itu. "Pertama-tama
engkau yang datang hendak membunuh ayahku kemudian engkau
datang dengan laki-laki jahat itu, di mana ayahku terluka oleh
pukulannya, akhirnya ayahku meninggal karena luka-lukanya!
Kemudian malam ini, laki-laki jahat itu telah menculikku dan
menurut keterangan yang kau berikan tadi, ibuku pun telah
dibinasakan olehnya......"
Setelah berkata begitu, gadis cilik puteri Bin Wan-gwe ini menangis
terisak-isak lagi, tampaknya dia sedih bukan main.
Hok An baru saja mau menghibur gadis cilik itu, tiba-tiba tubuh
gadis cilik tersebut terkulai dan pingsan tidak sadarkan diri......!
146 Cepat-cepat Hok An memeriksanya, dia berusaha menotok
beberapa jalan darah gadis itu, agar kedukaan si gadis yang terlalu
hebat itu tidak menyebabkannya terluka di dalam tubuhnya.
Selesai menotok beberapa jalan darah di tubuh gadis cilik itu, Hok
An duduk bengong. Dia jadi teringat semua peristiwa yang telah dialaminya, semua
peristiwa yang begitu manis antara dia dengan Un Kim Hoa.
Sampai akhirnya sekarang dia harus menghadapi kenyataan yang
pahit. Dalam saat hatinya tengah hancur karena melihat Kim Hoa telah
menjadi isteri Bin Wan-gwe, juga seperti tidak mengacuhkannya,
lalu sekarang diapun harus melihat Un Kim Hoa menemui
kematiannya yang mengenaskan seperti itu! Malah puteri Un Kim
Hoa, yang merupakan keturunan yang diperoleh dari Bin Wangwe, telah menuduh dirinya sebagai manusia jahat.
Angin di dasar lembah tersebut dingin sekali, Hok An menoleh
kepada gadis cilik itu yang masih rebah pingsan tidak sadarkan diri.
Akhirnya Hok An menghela napas dalam-dalam. Betapa miripnya
wajah gadis cilik itu dengan wajah Un Kim Hoa.
147 Perlahan-lahan Hok An bangkit dari duduknya, dia membuka baju
luarnya dan menyelimuti gadis cilik tersebut, agar terhindar dari
siliran angin yang begitu dingin. Barulah kemudian Hok An duduk
termenung lagi mengenang seluruh pengalamannya, baik pengalaman yang manis maupun yang pahit. Akan tetapi sekarang
Hok An bagaikan memiliki rasa tanggung jawab dan kasihan
terhadap puterinya Bin Wan-gwe, di mana jika memang gadis cilik
tersebut tidak keberatan, Hok An berhasrat melindunginya,
merawat dan membesarkannya.
Lama juga gadis cilik tersebut pingsan, sampai akhirnya waktu dia
siuman, yang pertama-tama dilakukannya adalah menangis
terisak-isak sedih sekali.
"Sudahlah jangan menangis. Mari kutunjukkan padamu di mana
jenasah ibumu berada.....!" kata Hok An.
Gadis cilik itu tidak menyahuti dia hanya mengawasi Hok An yang
pada waktu itu tengah berdiri, dengan air mata yang tetap berlinang
deras sekali dari matanya.
Tanpa memperdulikan gadis cilik itu bersedia atau tidak ikut
dengannya, Hok An telah melangkah untuk menuju ke tempat di
mana mayat Bin Hujin berada.
148 Gadis cilik itupun merasa takut jika harus berada di dasar jurang
ini, dia kuatir kalau-kalau Hok An akan meninggalkannya. Terlebih
lagi mendengar Hok An akan menunjukkan padanya tempat di
mana beradanya mayat ibunya. Segera dia berdiri dan mengikuti
Hok An. Berjalan belum jauh, gadis cilik itu telah melihat sesosok tubuh
yang rebah di dasar jurang ini juga. Segera pula dia mengenali
bahwa sosok tubuh itu tidak lain dari ibunya!
Dengan disertai pekik dan tangis, gadis cilik itu menubruk mayat
ibunya, yang digoncang-goncangkan dan berseru dalam menangis: "Ibu..... ibu..... mengapa kau meninggalkan aku pula"
Ibu....."!" Hok An membiarkan gadis cilik itu menangis, dia mengambil
sebatang cabang pohon yang cukup besar, kemudian dia menggali
tanah. Setelah menggali lobang yang cukup besar, dia bilang pada
gadis cilik itu: "Sudahlah jangan ditangisi seperti itu. Walaupun
engkau menangisi sampai mengeluarkan air mata darah, tetap
saja ibumu tidak bisa hidup lagi...... lebih baik-baik engkau
membantuku buat menguburnya."
149 Gadis cilik itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dia hanya
menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Hok An bekerja cepat, dia telah memasukkan mayat Bin Hujin ke
dalam lobang yang telah digalinya, kemudian ditutupnya kembali
dengan tanah. Kuburan yang sederhana sekali, sedangkan gadis
cilik itu yang tidak bisa menahan kedukaan hatinya, dalam
ketakutan dan kebingungan juga, akhirnya jatuh pingsan tidak
sadarkan diri. Hok An menghela napas dalam-dalam sambil menghapus keringat
di keningnya, karena dia pun letih sekali.
Kasihan gadis cilik ini, tampaknya menderita sekali menerima
gempuran perasaan harus kehilangan ke dua orang tuanya dan
wajar pula dia memiliki kesan buruk padaku, di mana dia menduga
akulah yang telah mencelakai ke dua orang tuanya bersama-sama
dengan pemuda itu.....!" Dan Hok An menghela napas lagi
beberapa kali. Kali ini gadis cilik itu pingsan tidak terlalu lama, tetapi tetap saja
seperti tadi, begitu tersadar dari pingsannya ia menangis lagi.
Hok An menyadarinya, tidak bisa ia membuang-buang waktu di
dasar jurang yang sangat dingin ini. Jika saja gadis cilik ini masuk
150 angin jahat dan jatuh sakit, niscaya dia yang akan menghadapi
kesulitan lagi buat merawatnya.
"Baiklah nona kecil.....!" kata Hok An akhirnya. "Mari kita tinggalkan
tempat ini..... nanti terserah kepadamu, apakah engkau ingin ikut
serta denganku atau memang ingin kembali ke rumahmu, tetapi
yang terpenting sekarang engkau bersamaku harus meninggalkan
dasar jurang ini......!"
Gadis cilik itu masih menangis beberapa saat lamanya, sampai
akhirnya dia berdiri juga ketika melihat Hok An bersiap-siap hendak
berlalu. "Kau jangan takut, pejamkan mata rapat-rapat..... aku akan
menggendongmu dan membawa naik ke atas tebing ini!" kata Hok
An. Gadis cilik itu membuka matanya lebar-lebar.
"Ini..... ini....." tergagap sekali suaranya, tangisnya berkurang,
tampaknya dia ketakutan sekali. "Aku....., aku tidak berani"..!"
Namun Hok An tanpa membuang-buang waktu pula, belum lagi
gadis cilik tersebut selesai demgan kata-katanya, dia telah
melompat ke dekatnya, tangannya segera menjambret pinggang
151 gadis itu, yang dipeluknya kuat-kuat. Kemudian membawa lari
dengan segera. Dengan mempergunakan ginkangnya, Hok An mudah saja
membawa gadis cilik itu mendaki tebing tersebut, sebentar saja ia
sudah berhasil membawa puteri Bin Wan-gwe tiba di atas tepi
jurang tersebut, barulah gadis cilik itu diturunkannya!"
"Kita telah sampai!" kata Hok An kemudian.
Sejak tadi gadis cilik itu telah memejamkan matanya rapat-rapat
karena diapun merasakan tubuhnya seperti melayang-layang di
tengah udara. Hatinya juga berdebar-debar keras sekali, waktu dia
merasakan tubuhnya diturunkan oleh Hok An memberitahukan
mereka telah sampai, gadis cilik tersebut membuka matanya
perlahan-lahan, sedangkan tubuhnya masih bergoyang-goyang
dengan kepala pening, dia masih merasakan tubuhnya seperti juga
dibawa lari oleh Hok An, agak pening.
Hok An tersenyum. "Sekarang apakah kau ingin kembali ke rumahmu"!" tanya Hok An.
Gadis cilik itu hanya mengangguk saja.
152 Hok An telah mengangguk sambil katanya: "Baik! Baik! Aku akan
mengantarkan kau ke rumahmu. Akan tetapi untuk mempersingkat
waktu agar kita sampai ke rumah lebih cepat, aku akan
menggendongmu!" Setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban gadis cilik itu,
Hok An telah menggendong gadis cilik itu lagi dengan tangan
kanan melingkari pinggangnya. Kemudian melesat cepat sekali.


Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam waktu yang singkat mereka telah tiba di depan gedung Bin
Wan-gwe. Waktu itu menjelang larut malam, rupanya mereka berada di dasar
jurang tersebut selama hampir dua hari. Dan waktu itu keadaan di
gedung Bin Wan-gwe sangat sunyi sekali.
Hok An menjejakkan kakinya, dia memasuki gedung itu tanpa
mengetuk pintu lagi, melainkan melewati dinding yang cukup tinggi
itu. Setelah berada di dalam gedung Hok An melepaskan lingkaran
tangannya pada pinggang gadis cilik itu.
153 "Sudah sampai!" kata Hok An. "Nah, masuklah kau ke dalam, aku
ingin pergi lagi. Mungkin masih ada para pembantu ke dua orang
tuamu.....!" Gadis cilik itu melihat keadaan di dalam gedung tersebut gelap
sekali, entah mengapa dia jadi menggidik. Lebih-lebih teringat
ayahnya baru saja meninggal dan tidak ada api penerangan di
dalam gedung. Rupanya lilin-lilin dan lentera tidak dinyalakan oleh
para pembantu rumah tangga Bin Wan-gwe.
"Aku..... aku takut.....!" kata gadis cilik itu kemudian.
Hok An tersenyum. "Mari kuantarkan ke dalam.....!" katanya sambil melangkah lebih
dulu untuk masuk ke dalam gedung tersebut. Gadis cilik itu
mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar-debar.
Waktu sampai di dekat ruangan tengah, tiba-tiba Hok An mencium
bau anyir yang amis sekali. Dia jadi mengerutkan sepasang
alisnya, memperhatikan sekitar tempat tersebut. Segera juga
dilihatnya, sesosok tubuh menggeletak di lantai tidak bergerak.
Cepat Hok An melompat mendekatinya, dan dia terkejut, sebab
itulah sesosok mayat dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.
154 Sepasang mata mayat tersebut juga terpentang lebar-lebar seperti
juga orang itu sebelum menemui ajalnya sangat menderita dan
ketakutan sekali. Gadis cilik puteri Bin Wan-gwe menjerit perlahan ketakutan, dia
sampai menubruk Hok An dan memegang lengan Hok An erat-erat.
"Dia..... dia telah dibunuh.....!" kata puteri Bin Wan-gwe ketakutan.
"Tenang..... mari kita tanya kepada pembantu rumah tangga orang
tuamu yang lainnya, tentu mereka bisa memberikan keterangan.....!" kata Hok An.
Dengan menuntun tangan gadis cilik tersebut, Hok An memasuki
ruangan tersebut lebih jauh. Tiba-tiba dia melihat ada dua sosok
tubuh yang menggeletak di lantai sebelah dalam, dalam keadaan
tidak bergerak. Itupun dua sosok mayat!
Rupanya dua orang pembantu rumah tangga dari Bin Wan-gwe
telah dibinasakan orang pula! Malah bau anyir dan busuk dari
tubuh mereka menerjang hidung. Tampaknya mereka telah
dibinasakan dalam waktu yang lebih dari sehari.
Hok An segera menduga, pasti telah terjadi sesuatu yang hebat di
dalam rumah ini. Setelah memeriksa sejenak pada ke dua sosok
155 mayat tersebut, segera juga Hok An mengajak puteri Bin Wan-gwe
memasuki lebih dalam lagi.
Kembali mereka menemui empat sosok mayat kemudian dua
sosok mayat lagi, lalu di dekat ruangan belakang enam sosok
mayat! Semuanya mati dengan mata mendelik lebar-lebar.
Hok An sendiri yang menyaksikan mayat-mayat malang melintang
di dalam rumah ini, dengan bau anyir dan busuk, membuatnya jadi
bergidik juga. Terlebih lagi di dalam gedung ini tidak ada api
penerangan. Puteri Bin Wan-gwe sudah tidak bisa menahan isak tangisnya, di
samping ketakutan bukan main gadis cilik itu juga segera menduga
bahwa seluruh isi rumah ini telah dibinasakan seseorang.
Hok An segera mengajak gadis cilik itu memeriksa bagian lainnya
dari rumah itu. Peti mati Bin Wan-gwe masih terdapat di ruang
depan, dan juga di samping peti mati itu menggeletak tiga sosok
mayat! Hok An menghela napas dalam-dalam.
"Pembunuhan masal yang kejam luar biasa!" menggumam Hok An
dengan suara mengandung kemarahan, karena walaupun 156 bagaimana menyaksikan kekejaman seperti itu membuat darahnya
meluap juga. Tiba-tiba dari sudut ruangan yang gelap di sebelah kanan
terdengar suara rintihan perlahan. Hok An gesit sekali melompat
ke arah sudut ruangan itu. Sesosok bayangan menggeletak di
lantai, dengan sepasang tangannya masih bisa bergerak perlahan.
Orang inilah yang telah mengeluarkan suara rintihan perlahan.
Gadis cilik itu yang ketakutan berada di dalam rumah yang penuh
dengan mayat yang malang melintang, segera menyusul Hok An
memegang tangan Hok An kuat-kuat dengan jari-jari tangan terasa
dingin. Sedangkan orang yang rebah di lantai masih juga merintih
perlahan, tampaknya dia menderita kesakitan, disusul lagi dengan
suaranya yang lemah: "Apakah..... apakah Bin Kouwnio?"
Gadis cilik itu kaget, dia memperhatikan orang itu. Ternyata
seorang wanita tua yang rambutnya sudah putih.
"Lo Ma.....!" seru si gadis cilik itu yang segera menubruknya dan
menangis. "Mengapa bisa terjadi semua ini, Lo Ma?"
157 Ternyata wanita tua itu tidak lain dari pengasuh puteri Bin Wangwe ini. Rupanya dari sekian banyak pegawai rumah tangga dan
pelayan Bin Wan-gwe, hanya dia yang belum menemui ajal dan
hanya terluka parah. "Pemuda itu..... pemuda itu datang lagi..... dia kejam sekali.....
dia..... dia yang telah menyiksa dan membunuh kami.....!" kata Lo
Ma dengan suara yang lemah.
"Pemuda yang telah melukai ayahku?" tanya puteri Bin Wan-gwe
menahan isak tangisnya dan menyusut air matanya.
"Benar dia..... dia..... dia begitu kejam..... ooh sungguh mengerikan
sekali, seperti juga di dalam rumah ini tidak diijinkannya ada
makhluk berjiwa. Dia membasmi semua penghuni rumah ini, baik
laki-laki maupun perempuan, tua atau muda dan juga para
binatang semuanya ingin dibinasakannya dengan kejam!"
Setelah berkata sampai di situ, napas Lo Ma mendesah keras
memburu seperti juga dia sangat letih. Sedangkan puteri Bin Wangwe jadi menangis terisak-isak.
Hok An jadi gusar bukan main. Dia bisa menduga tentunya yang
dimaksudkan Lo Ma adalah Bin Lung Hie. Dia tidak menyangka
tangan pemuda yang tampaknya tampan dan lemah lembut itu
158 begitu telengas. Setelah membinasakan Bin Wan-gwe, kemudian
secara tidak langsung merupakan penyebab kematian Bin Hujin,
dan sekarang telah membasmi dan membunuh seluruh penghuni
keluarga Bin Wan-gwe tersebut.
"Jadi tidak seorangpun yang lolos dari kematian"!" tanya Hok An
pada akhirnya. "Ya..... ya..... tidak ada seorangpun yang lolos dari kematian..... dia
begitu kejam dan telengas sekali, melebihi kejamnya iblis.....
sungguh mengerikan sekali..... Ohh!" Dan Lo Ma telah mengerang
lagi kesakitan, suaranya semakin lemah di samping napasnya
semakin memburu. Gadis cilik itu menangis semakin keras saja. "Lo Ma, jangan
tinggalkan aku..... Lo Ma..... ayah telah meninggal, dan ibupun
telah dibunuhnya......!"
Lo Ma menghela napas, dia mengusap-usap tangan gadis cilik itu.
"Kasihan nasibmu Bin Kouwnio..... aku..... aku memikirkan
bagaimana keadaanmu nanti dengan segalanya yang terjadi ini, ke
dua orang tuamu telah dibinasakan pemuda jahat itu..... kami
semuanya telah dicelakai..... oooh, kau sudah tidak mempunyai
159 orang-orang yang bisa memperhatikan dirimu lagi.....!" Berkata
sampai di situ, Lo Ma telah mengerang kesakitan lagi.
Hok An menghela napas, katanya menghibur: "Kau tenangkan
hatimu, aku yang akan merawat nona majikan kecilmu ini..... aku
akan berusaha merawatnya......!"
"Kau.....!" berkata sampai di situ, kembali Lo Ma mengerang
kesakitan. Malah selanjutnya dia tidak bisa berkata-kata lagi.
Sesungguhnya masih banyak yang hendak dikatakannya, akan
tetapi dia sudah tidak bisa mengeluarkan kata-kata pula. Dia hanya
mengerang kesakitan, sampai akhirnya, dengan tubuh berkelejotan, napasnya berhenti dan dia telah meninggal.
Gadis kecil itu menangis terisak-isak, puteri hartawan she Bin
tersebut tidak mengetahui kepada siapa dia harus mengadu dan
akan menggantungkan nasibnya.
Hok An menepuk bahunya, katanya: "Dia sudah mati..... mari kita
pergi..... kita harus mencari pemuda she Bin itu, dia harus dihajar
untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang
sangat kejam ini..... tentu dia belum pergi jauh!"
160 "Tetapi..... tetapi ayahku..... ayahku belum lagi dikubur.....!" kata
gadis cilik itu. "Nanti bisa kita minta bantuan dari pemilik toko peti mati untuk
bantu mengurus jenazah ayahmu..... juga semua pembantu rumah
tangga keluargamu ini..... sedangkan kita bisa pergi mencari jejak
pembunuh kejam itu......!"
Gadis cilik yang memang masih kanak-kanak itu tidak mengetahui
apa yang harus dilakukannya. Apa yang dialaminya selama
beberapa hari ini benar-benar membuat hatinya tergempur hebat
dan jiwanya mengalami goncangan tidak kecil.
Hok An tanpa menantikan persetujuan gadis cilik itu, telah
menyambar pinggangnya dan membawanya lari meninggalkan
rumah tersebut. Pertama-tama Hok An mendatangi sebuah toko
peti mati, kepada pemiliknya Hok An meminta agar pemilik toko
peti mati itu mengurus semua mayat-mayat yang terdapat di dalam
gedung Bin Wan-gwe sebaik-baiknya dengan penguburan yang
sederhana. Seluruh biaya perongkosan untuk mengubur telah
diberikan Hok An. Kemudian dengan mengajak gadis cilik itu, Hok An meninggalkan
perkampungan itu, karena dia ingin mencari jejak Bin Lung Hie,
161 kepada siapa Hok An ingin melakukan perhitungan dengan
pemuda she Bin itu. Apa yang telah dilakukan Bin Lung Hie benarbenar melewati batas dan membuat hati Hok An diliputi kemarahan
yang luar biasa. Satu alasan lainnya membuat Hok An jadi begitu marah dan
berusaha mencari jejak Bin Lung Hie, ialah kematian Bin Hujin,
wanita yang sangat dicintainya. Hok An beranggapan, jika saja Bin
Lung Hie tidak menculik puteri Bin Wan-gwe dan membawa
tingkahnya seperti itu, niscaya Bin Hujin tidak akan berlaku nekad
menghabisi jiwanya sendiri dengan terjun ke dalam jurang......
Waktu matahari naik cukup tinggi, Hok An mengajak gadis cilik itu
telah cukup jauh meninggalkan perkampungan tersebut, di mana
Hok An masih tidak berhasil menemui jejak Bin Lung Hie. Akan
tetapi Hok An bertekad, walaupun bagaimana ia akan mencari jejak
Bin Lung Hie sampai berhasil ditemuinya, buat mengadakan
perhitungan dengannya. Belasan jiwa yang terbinasa ditangan Bin
Lung Hie dengan cara yang begitu mengerikan.
Hok An dapat menduga-duga peristiwa yang terjadi itu, di mana
setelah melemparkan puteri Bin Wan-gwe ke dalam jurang dan Bin
Lung Hie melarikan diri. Dia bukan pergi ke mana-mana, melainkan
kembali ke gedung Bin Wan-gwe.
162 Semua penghuni gedung itu dibinasakannya, tidak besar tidak
kecil, tidak muda tidak tua, semuanya telah dibinasakan dengan
tangan yang telengas dan kejam sekali. Bahkan Bin Lung Hie
kemudian membawa uang dan harta kekayaan Bin Wan-gwe, yang
telah digondolnya pergi. Karena dari itu, Hok An ingin mengadakan perhitungan dengan
Lung Hie, sebab yang benar-benar menyakit hatinya, dia
menyaksikan belasan pembantu rumah tangga Bin Wan-gwe yang
telah dibinasakan begitu kejam oleh Lung Hie, sehingga dia dapat
menduganya bahwa Bin Lung Hie bukan sebangsa pemuda baikbaik! Disamping itu juga kematian Bin Hujin merupakan salah satu
alasan mengapa Hok An berusaha mencari jejak Bin Lung Hie.
Puteri Bin Wan-gwe yang telah diajak berlari-lari oleh Hok An
meninggalkan perkampungan itu, letih bukan main. Akhirnya ketika
mereka tiba di persimpangan jalan, di mana pada ke dua tepi jalan
tersebut tumbuh banyak pohon yang tinggi dan besar, dengan
daun-daunnya yang rindang, puteri Bin Wan-gwe meminta Hok An
agar mau beristirahat dulu.
Hok An seperti baru tersadar dari tidurnya, dia segera ingat
keadaan gadis cilik itu. Memang buat Hok An sendiri, walaupun dia
tidak tidur tiga hari tiga malam, hal itu tidak menjadi persoalan
163 haginya, akan tetapi bagi gadis cilik itu, niscaya perjalanan ini
meletihkan sekali. Terutama sekali memang puteri Bin Wan-gwe
tengah berduka sangat atas kematian ke dua orang tuanya.
Cepat-cepat Hok An mengiyakan, diapun telah menurunkan puteri
Bin Wan-gwe tersebut, katanya: "Bin Kouwnio..... kau beristirahatlah.......!"
Puteri Bin Wan-gwe hanya mengangguk, dia menjatuhkan diri
duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, kemudian dengan
sikap ragu-ragu katanya: "Aku..... aku lapar.....!"
Hok An mengangguk, katanya: "Kau tunggu di sini sebentar saja,
aku akan pergi mengambil makanan, segera akan kembali....!"
Sebenarnya puteri Bin Wan-gwe tengah ketakutan, namun dia
memaksakan diri buat mengangguk juga.
Selama berada di tempat itu seorang diri, puteri Bin Wan-gwe telah
memandang sekitarnya tidak hentinya. Dia kuatir kalau-kalau Bin
Lung Hie, pemuda yang diketahuinya sangat kejam itu, bisa
muncul di situ. Akan tetapi Hok An pergi tidak lama, karena dia segera kembali
membawa ayam panggang dan beberapa macam sayur. Hok An
164

Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga segera mempersilahkan puteri Bin Wan-gwe buat memakan
barang makanan yang dibawanya.
Karena perutnya terlampau lapar, gadis cilik tersebut tanpa malumalu lagi telah memakan ayam panggang dan beberapa macam
sayur yang dibawa Hok An. Rupanya Hok An telah membeli
makanan itu dari seorang penduduk di sekitar tempat tersebut.
Sambil mengawasi gadis cilik yang tengah makan dengan lahap,
Hok An menghela napas berulang kali. Sampai akhirnya puteri Bin
Wan-gwe mengangkat kepalanya, dia melihat sikap Hok An yang
tengah memandanginya seperti itu! Gadis cilik ini jadi malu dengan
sendirinya. "Paman, kau tidak ikut makan"!" tanyanya perlahan.
Hok An menggeleng perlahan.
"Kau makanlah..... aku tidak lapar.....!" kata Hok An kemudian. "Jika
aku lapar, aku akan makan.....!"
Gadis cilik itu tidak memaksa, sedangkan Hok An masih
mengawasi gadis cilik itu dengaa berbagai perasaan, di mana dia
merasa berkasihan sekali atas nasib gadis cilik ini, yang
tampaknya begitu buruk, di mana dia harus menjadi seorang anak
165 yatim piatu, kehilangan orang tua dan juga kini hidup terlunta-lunta
di luar rumahnya. Sesungguhnya gadis cilik ini hidup bahagia, jika
saja ke dua orang tuanya tidak dibinasakan oleh Bin Lung Hie.
Dan Hok An sendiri teringat, betapa buat kebahagiaan Un Kim
Hoa, sesungguhnya dia sendiri rela mengorbankan perasaannya
dan membiarkan Un Kim Hoa hidup bahagia di sisi suami dan
puterinya ini. Akan tetapi justru dengan munculnya Bin Lung Hie,
telah membawa perobahan besar atas nasib si gadis cilik ini.
"Siapa namamu?" tanya Hok An setelah melihat gadis cilik itu
selesai makan, sebagian dari ayam panggangnya tidak dihabisinya. Gadis cilik itu mengangkat kepalanya, dia telah mengawasi Hok An
beberapa saat lamanya. Jika dilihat dari apa yang dilakukan Hok
An selama ini, gadis cilik tersebut melihatnya bahwa Hok An tidak
memiliki maksud buruk, baik kepada dirinya maupun terhadap
keluarganya. Malah selama dalam perjalanan Hok An telah menjelaskan
padanya, bahwa dia ingin mencari Bin Lung Hie buat melakukan
perhitungan, karena Lung Hie telah melakukan pembunuhan
kejam seperti itu pada keluarga Bin Wan-gwe.
166 Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya gadis cilikitu berkata: "Panggil
saja aku si Giok.....!" kata gadis cilik tersebut dengan disusul juga
pertanyaannya: "Sebenarnya kau memusuhi keluargaku atau
tidak"!" Hok An menghela napas. Wajahnya seketika berobah muram.
"Jika kuceritakan, engkaupun tidak mengerti, karena engkau masih
terlampau kecil"!" kata Hok An. "Karenanya, jika nanti engkau telah
dewasa, engkau akan mengetahuinya dengan jelas! Hanya saja di
sini kukira ada baiknya jika kujelaskan, bahwa sebenarnya aku
sama sekali tidak memiliki maksud buruk terhadap keluargamu.....!" "Lalu mengapa waktu pertama kali kau datang ke rumah kami, kau
marah-marah dan hendak memukul ayah"!" tanya gadis cilik itu.
Hok An tertegun, wajahnya tambah muram malah dia telah
menghela napas beberapa kali.
"Sebenarnya..... sebenarnya......!" kata Hok An yang kemudian
tidak bisa meneruskan perkataannya.
167 "Sebenarnya kenapa" Bukankah memang benar, bahwa pertama
kali engkau datang, engkau memperlihatkan sikap bermusuhan
kepada ayahku"!"
Hok An akhirnya mengangguk, dia menyahut: "Bukan permusuhan, waktu itu memang benar aku marah sekali, sebab
mengetahui ayahmu telah mengawini ibumu.....!"
"Mengapa begitu" Ada sangkutan apakah dengan kau perihal
perkawinan ke dua orang tuaku itu"!" tanya si Giok sambil
membuka matanya lebar-lebar mengawasi Hok An.
Hok An tambah muram, dia menunduk, lama..... lama sekali
sampai akhirnya dari pelupuk matanya menitik butir-butir air mata.
"Ibumu telah mengkhianati cinta kami..... sebenarnya antara aku
dengan ibumu itu saling mencintai! Akan tetapi akhirnya dia
menikah dengan ayahmu, bahkan waktu bertemu dengan ku, dia
memperlihatkan sikap tidak acuh sama sekali, bagaikan aku orang
yang sangat memuakkan di matanya, membuat aku marah.
"Namun setelah kupikir-pikir, dan kuketahui mereka telah memiliki
seorang anak, yaitu engkau, maka aku mengambil keputusan buat
membiarkan ibumu hidup bahagia bersama ayahmu dan engkau!
Sama sekali aku tidak memiliki maksud buruk. Sebab aku malah
168 ingin melihat ibumu itu hidup bahagia. Siapa tahu, justru akhirnya
aku harus menyaksikan kematian ibumu itu, wanita yang sangat
kucintai itu, tanpa aku berdaya dan tidak berhasil menolonginya.....!" Si Giok ini memang masih kecil, karena itu dia hanya bisa
mengawasi Hok An tanpa mengerti. Dan si Giok memang
merupakan gadis yang masih polos, dia belum mengerti apa yang
dimaksudkan Hok An dengan mencintai ibunya. Dia hanya
mengetahui bahwa Hok An memang membawa sikap seperti
seorang yang merasa bingung dan kaku.
Hok An waktu itu telah berkata lagi dengan suara yang perlahan
mengandung sesal. "Jika saja aku mengetahui sebelumnya bahwa
ibumu itu hendak bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang,
niscaya aku akan berusaha menahannya dan menyelamatkannya.
Justeru aku tidak mengetahuinya, waktu dia melompat ke dalam
jurang, aku hanya berhasil menjambret ujung bajunya yang robek
dan tubuhnya meluncur ke dasar jurang, akhirnya dia terbanting di
dasar jurang.....!" Masih gadis cilik yang minta agar dipanggil si Giok itu tidak
mengerti urusannya, dia bertanya. "Mengapa ibu sampai
membunuh diri seperti itu?"
169 "Karena dia mendengar engkau telah mati dilempar ke dalam
jurang tersebut oleh si pemuda yang bertangan telengas itu!" kata
Hok An. "Karena dalam kedukaan yang sangat seperti itu, dan juga
putus asa, di mana suaminya juga telah menemui ajalnya.
"Kini mengetahui engkau telah dilempar ke dalam jurang itu, di
mana tidak mungkin ada seorang manusia yang terjerumus ke
dalam jurang itu bisa mempertahankan hidupnya, pasti tubuhnya
akan terbanting di dasar jurang dan menemui kematian..... maka
dari itu, ibumu tidak menyangka sama sekali akan terjadi suatu
kemujijatan pada dirimu. Engkau ternyata tidak mati, sedangkan
ibumu dalam keputus asaan dan juga kedukaan yang sangat
mendalam itu telah terjatuh ke dalam jurang dan menemui
ajalnya.....!" Gadis cilik itu baru mengerti sedikit duduk persoalannya, tanya:
"Jadi kau ingin mengatakan, bahwa orang yang melemparkan
diriku ke dalam jurang itu adalah pemuda jahat bertangan telengas
dan berhati kejam itu"!"
Hok An mengangguk. "Waktu dia melihatku dan yakin tidak bisa menandingi kepandaianku, pemuda itu rupanya jadi bingung, dia melemparkan
170 engkau ke dalam jurang setelah gagal dengan ancamannya
padaku, di mana waktu tengah sibuk berusaha menolongi dirimu,
dia mempergunakan kesempatan tersebut buat melarikan diri. Aku
tidak berhasil menahan dirimu yang meluncur dengan cepat ke
dalam jurang, sampai akhirnya ibumu telah datang menyusul.
Waktu aku memberitahukan apa yang telah terjadi, dia akhirnya
mengambil jalan nekad seperti itu.....!"
Setelah berkata begitu Hok An menghela napas dalam-dalam, dia
mengambil sepotong sisa ayam panggang yang tidak dihabisi oleh
puteri Bin Wan-gwe. Gadis cilik yang minta dipanggil dengan sebutan Giok itu, jadi
berdiam diri dengan sikap tertegun. Dia seperti tengah membayangkan, betapa dirinya dilemparkan ke dalam jurang oleh
Bin Lung Hie, kemudian ibunya datang menyusul dan telah ikut
menerjunkan diri ke dalam jurang buat membunuh diri. Betapa
menyedihkan sekali. Hok An melihat gadis cilik itu berdiam diri, telah menghela napas,
katanya: "Sekarang engkau tidak perlu bersedih hati lagi, karena
semuanya terjadi..... dan engkau masih boleh bersyukur, karena
jika kelak engkau telah dewasa, engkau bisa membalas dendam
dan sakit hatimu, mencari jejak orang she Bin itu!
171 "Memang sekarang aku pun ingin sekali mencari jejaknya, buat
memperhitungkan segalanya padanya namun aku kurang yakin
bisa mencari jejaknya, sebab aku berada di dasar jurang cukup
lama, di mana aku tengah berusaha menolongi dirimu! Karena itu,
engkau jangan terlalu berduka. Dan mulai sekarang, engkau
memikirkan, bagaimana caranya engkau bisa mempelajari ilmu
silat yang liehay buat kelak dipergunakan mengadakan perhitungan dengan Bin Lung Hie!"
Gadis cilik itn berdiam diri bagaikan tengah berpikir dengan hati
dan pikiran yang melayang-layang. Sampai akhirnya dia bilang:
"Jika memang demikian, baiklah!
Aku mau mempercayai keteranganmu itu..... ternyata engkau bukan seorang jahat.....
engkau hanya mempunyai urusan dengan ibuku belaka dan
kepada ayahku merasa marah karena ayahku kau anggap telah
merebut kekasihmu, yaitu ibuku! Benarkah itu"!" tanya gadis cilik
tersebut. Hok An mengangguk. "Ya, garis besarnya memang begitu, akan tetapi urusan demikian
berbelit, karenanya jika aku menjelaskan sejelas-jelasnya sekarang kepadamu, pun akan sia-sia belaka, akan percuma di
mana engkau tidak akan dapat memahami keseluruhannya.....
172 Nanti saja jika memang engkau telah dewasa dan kita masih bisa
bertemu, aku akan menceritakan yang sejelas-jelasnya.....!"
Gadis cilik itupun tidak memaksa, sampai akhirnya dia merebahkan dirinya buat tidur.
Hok An membiarkan gadis cilik itu tidur sedangkan dia sendiri telah
duduk termenung, memikirkan nasibnya yang selalu sial.
Tengah Hok An duduk terpekur seperti itu, tiba-tiba terdengar
samar-samar suara bentakan yang tidak begitu jelas. Dia
memasang pendengarannya lebih tajam, sampai dia bisa
mendengar lebih jelas, bahwa bentakan-bentakan yang didengarnya itu bagaikan ada beberapa orang yang tengah
bertempur dan saling serang di tempat yang terpisah cukup jauh.
Cepat-cepat Hok An berdiri, akan tetapi waktu dia ingin
membangunkan gadis cilik itu, dia bimbang. Dilihatnya gadis cilik
itu tengah tertidur nyenyak sekali, karenanya dia tidak sampai hati
buat membangunkannya, mengganggu tidurnya.
Akhirnya Hok An tidak membangunkan gadis cilik itu, hanya
dengan mempergunakan ginkangnya, dia berlari pesat sekali ke
arah datangnya suara bentakan-bentakan tersebut. Hok An ingin
173 melihat siapakah yang tengah bertempur itu, dan dia pikir,


Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan si Giok sebentar saja pun tidak ada halangannya.
Setelah berlari-lari beberapa saat, akhirnya Hok An tiba di sebuah
persimpangan jalan, di hadapannya tampak sebuah ladang rumput
yang subur, di kejauhan juga terlihat sebuah empang yang cukup
besar. Di dalam empang itu terdapat banyak sekali pohon-pohon
bunga teratai yang tengah bermekaran, yang mengambang di
permukaan air empang tersebut. Pemandangan di sekitar tempat
itupun cukup indah. Akan tetapi yang membuat Hok An jadi berdiri tertegun, dia melihat
empat sosok tubuh yang tengah bergerak-gerak di atas daun-daun
pohon teratai itu dengan gerakan yang ringan sekali, melompat ke
sana kemari dengan lincah.
Dengan melihat seperti itu saja Hok An dapat mengetahui ke empat
orang tersebut tentunya orang-orang liehay yang memiliki
kepandaian tinggi. Jika saja ginkang mereka tidak tinggi, niscaya
mereka tidak akan bisa melompat-lompat di atas daun-daun pohon
teratai itu, dari daun teratai yang satu melompat ke daun pohon
teratai yang satunya lagi, namun daun pohon teratai yang
174 diinjaknya itu tidak melesak tenggelam ke dalam air walaupun
menahan berat tubuhnya. Malah air empang itupun tidak bergerak sama sekali. Hal ini benarbenar membuktikan bahwa ginkang ke empat orang itu tinggi
sekali. Lama Hok An tertegun di tempatnya menyaksikan pemandangan
yang ada seperti itu, sampai akhirnya Hok An menghampiri lebih
dekat. Ke empat orang yang tengah bergerak-gerak dan melompat dari
daun teratai yang satu ke daun teratai yang lainnya pula seperti
juga tidak memperdulikan kehadiran Hok An, mereka tetap saja
dengan saling serang satu dengan yang lain, karena ke empat
orang tersebut tengah terlibat dalam suatu pertempuran yang seru.
Yang membuat Hok An heran, setelah mengawasi sekian lama, ke
empat orang yang tengah bertempur di atas pohon teratai di
permukaan air empang itu, adalah empat orang lawan, mereka
saling serang satu dengan yang lainnya, tanpa pilih bulu, karena
seperti juga memang pertempuran itu berlangsung di antara
mereka berempat dan juga tidak ada di antara mereka yang
berkawan. Jadi jika memang yang seorang gagal dengan
175 penyerangannya kepada lawannya yang satu, dia akan menyusuli
menyerang kepada lawannya yang lain.
Jika sebelumnya Hok An menduga bahwa ke empat orang ini pasti
merupakan dua pasang musuh yang tengah saling bertempur, di
mana dari ke empat orang itu, menjadi dua kelompok. Akan tetapi
dugaan Hok An meleset sama sekali. Ke empat orang itu masingmasing tidak memiliki kerja sama satu dengan yang lainnya.
Tegasnya mereka berempat bertempur terus tanpa saling ada
kerja sama di antara mereka. Dengan begitu pula, maka mereka
selalu menyerang kepada lawan yang terdekat dengan mereka.
Yang membuat Hok An jadi kagum justeru ginkang ke empat orang
ini yang sangat tangguh, yang dapat bertempur di atas daun teratai
dan juga di permukaan empang itu. Malah setiap gerakan mereka
tidak menyebabkan teratai itu tenggelam atau air empang itu
bergerak. Setelah menantikan sekian lama, dan menyaksikan jalannya
pertempuran itu, Hok An sempat menyaksikan, seorang lelaki yang
berpakaian biru tua, dengan kumis panjang sampai di dadanya.
Salah seorang di antara ke empat orang yang tengah bertempur
itu, telah menghantam dengan gerakan tangan yang aneh sekali,
176 karena dia bukan menyerang ke arah dada atau bagian lain di
tubuh lawannya, dia hanya menyerang bagian kaki dari lawannya
yang diserang. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hok An segera
dapat menduganya maksud orang itu menyerang lawannya
dengan cara seperti itu, karena orang tersebut tentu ingin
menyerang kelemahan lawannya, yaitu kuda-kuda kedua kakinya.
Jika kuda-kuda ke dua kaki lawannya bisa digempur, sehingga
lawannya kehilangan keseimbangan tubuhnya, menyebabkan dia
menginjak daun teratai itu lebih keras dan kuat, sehingga
kakinyapun akan tenggelam!"
Mungkin di antara ke empat orang itu terdapat satu pertaruhan,
yaitu siapa yang kakinya menginjak tenggelam daun teratai atau
juga kakinya itu menginjak air empang tersebut, dialah yang
dihitung kalah. Akan tetapi lawan dari si baju biru itu, seorang laki-laki yang tua,
yang berusia hampir enampuluh tahun, dengan kumis yang tipis
terpilin rapi dan mengenakan baju singsat warna jingga telah
tertawa. 177 "Aha, licik sekali kau, Lam-siong.....!" katanya, nyaring suaranya.
Berbeda dengan wajah nya yang tampaknya bengis, namun
suaranya halus sekali. "Bukan licik! Pak-kiang! Dengarlah baik-baik, walaupun bagaimana
Lam-siong harus memperoleh kemenangan hari ini! Pak-kiang,
See-bun dan Tong-ling, semuanya harus tunduk pada Lamsiong.....!"
"Jangan bicara tekebur!" kata orang yang memakai baju warna
jingga ketika orang yang berbaju biru itu selesai dengan katakatanya. "Karena bukannya aku yang rubuh, malah hari ini
merupakan keruntuhan dari Lam-siong.....!"
Setelah berkata begitu, orang yang dipanggil dengan sebutan Pakkiang, tertawa terbahak-bahak, dia menggerakkan ke dua kakinya
dengan lincah dan ringan, belum lagi serangan dari Lam-siong
mengenai sepasang kakinya, Pak-kiang telah pindah ke daun
teratai lainnya pula. Sedangkan seorang lainnya, yang mengenakan baju warna merah,
dengan celananya juga warna merah, telah berkata: "Kalian
berdua jangan mengoceh tidak karuan, karena semua itu hanya
kentut kosong belaka! Baik Lam-siong maupun Pak-kiang ataupun
178 Tong-ling, semuanya harus mengakui keunggulan See-bun! Kalian
boleh membuktikan hari ini, bahwa See-bun merupakan satusatunya jago yang paling hebat di kolong jagat ini!"
Setelah berkata begitu, orang tersebut, yang menyebut dirinya
sebagai See-bun, tertawa gelak-gelak.
"Tidak mungkin!" tiba-tiba salah seorang di antara ke empat orang
itu, yaitu yang memakai baju warna hijau dengan celana warna
abu-abu, telah berteriak dengan suara yang nyaring sekali: "Tongling yang akan memegang peranan dan menjagoi rimba persilatan
di seluruh jagat ini..... See-bun, Pak-kiang atau juga Lam-siong,
kalian semua tidak mungkin nempil dengan kepandaianku.....!"
Akan tetapi Lam-siong dan Pak-kiang sudah tidak banyak bicara
lagi, karena ke duanya telah saling menerjang maju dan
menyerang. Kepandaian mereka memang tinggi dan sama liehaynya, di mana
walaupun mereka bertempur di tengah-tengah empang, dengan
daun teratai sebagai tempat menginjak, tokh mereka bisa bergerak
gesit sekali. Hok An yang menyaksikan pertandingan yang tengah berlangsung
di antara ke empat orang itu, diam-diam jadi merasa kagum sekali.
179 Sedangkan Lam-siong waktu itu dengan diiringi peringatan agar
Pak-kiang berlaku hati-hati, menyerang beruntun sampai empatpuluh jurus. Anakrawali 03.015. Namun memang kepandaian Lam-siong maupun Pak-kiang
tampaknya berimbang, usahanya itu tidak berhasil. Malah
lawannya telah balas menyerang.
Berbareng dengan itu, See-bun juga telah menyerang kepada
Lam-siong, dengan begitu Lam-siong menghadapi seranganan
dari dua jurusan. Sedangkan Tong-ling tidak tinggal diam, diapun
menyerang Pak-kiang. Dengan begitu, mereka jadi saling serang silih berganti, mereka
tidak memiliki sistim kawan, karena ke empat orang ini sama-sama
bertempur dan merupakan lawan! Mereka bertempur untuk
kepentingan dan keselamatan diri mereka. Jika dapat mereka
masing-masing ingin sekaligus merubuhkan ke tiga orang lawan
mereka. Sedangkan Tong-ling yang nampaknya agak berangasan, dan
juga selalu menyerang dengan mempergunakan kekuatan dan
tenaga yang dahsyat, sudah tidak sabar, karena dia berulang kali
180 membuka serangan serangannya itu bisa tanpa memperdulikan menimbulkan lagi goncangan apakah pada air permukaan empang itu. Padahal, setiap kali tenaga serangan dari
Tong-ling berhasil dielakkan lawannya, tenaga serangannya
menghantam permukaan air empang, membuat air empang itu
bergolak cukup keras. Dengan terjadinya gerakan pada permukaan air empang, juga
terjadi gerakan pada daun-daun teratai itu, sehingga membuat ke
empat orang yang tengah bertempur di atas daun-daun teratai di
permukaan air empang tersebut, lebih sulit lagi mengimbangi
dirinya. Tong Ling berulang kali gagal dengan serangannya, sampai
akhirnya Lam-siong membentak nyaring, menyusul mana dia
bilang: "Kau hanya mengacau saja. Jangan anggap bahwa
ginkangmu yang paling sempurna, walaupun air permukaan
empang ini bergolak, aku tidak akan menyerah.....!"
Setelah berkata begitu, Lam-siong melayani setiap serangan
Tong-ling. Dan juga tenaga pukulan yang dipergunakannya
memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.
181 Tong-ling tidak menyahuti bentakan dan ejekan Lam-siong, hanya
saja dia menyambuti serangan lawannya itu. Akan tetapi begitu
tenaga dalamnya tengah berusaha membendung tenaga serangan
Lam-siong, justru di saat bersamaan, Pak-kiang telah menyerang
kepadanya dengan pukulan yang tidak kurang kuatnya.
Dengan bersiul nyaring, Tong-ling kemudian melompat ke tengah
udara. Gerakan yang dilakukannya luar biasa gesitnya. Dengan
melompat seperti itu, tenaga serangan dari Lam-siong jadi lenyap
karena tenaga itu tidak memperoleh tenaga melawan, dan lenyap
di udara. Sedangkan gempuran dari Pak-kiang pun telah mengenai
tempat kosong. Namun Tong-ling sendiri tidak tinggal diam. Dia melihat ke dua
lawannya telah gagal menyerangnya, cepat sekali dia membarengi
buat menyerang Lam-siong.
Di waktu tubuh Lam-siong tengah doyong ke depan, waktu itulah
tenaga serangan dari Tong-ling telah tiba. Memang Tong-ling
menyerang di saat tubuhnya berada di tengah udara, diapun telah
menghantam begitu tiba-tiba sekali, di saat dia telah berhasil
memunahkan dan mengelakkan serangan ke dua lawannya.
182 Walaupun diserang secara hebat seperti itu, Lam-siong pun bukan
orang lemah. Tiba-tiba dia membuka mulutnya, dia memonyongkan dan menyemburnya dengan kuat. Luar biasa
sekali. Angin semburan mulut Lam-siong justru telah berhasil
menangkis dan memunahkan tenaga serangan Tong-ling.
Waktu itu See-bun pun tidak tinggal diam, melihat tubuh Tong-ling
tengah meluncur turun, dia membarengi dengan uluran tangan
kanannya, yang hendak mencengkeram. Yang membuat Hok An
jadi memandang terpaku di tempatnya menyaksikan cara
menyerang See-bun, waktu tangan See-bun diulurkan seperti itu,
justru telah keluar asap yang tebal dari telapak tangannya! Itulah
menunjukkan lwekang See-bun telah mencapai tingkat yang tinggi!
Tong-ling tidak gugup. "Hu, hu, cara permainan anak-anak hendak dipergunakan di
hadapanku! Jika memang, terkena air empang ini, tentunya panas
telapak tanganmu itu akan lenyap.....!"
Walaupun berkata begitu, di saat tubuhnya tengah meluncur turun,
Tong-ling tidak tinggal diam. Dia bukan menangkis, hanya saja dia
mengelakkan dengan tubuh yang dimiringkan dengan gerakan
yang manis sekali. 183 See-bun penasaran bukan main, dia tidak menarik pulang
tangannya yang masih mengeluarkan asap tebal dari telapak
tangannya itu, dia hanya memiringkan telapak tangannya dan
merobah arah serangannya, tetap mengincar ke arah diri Tongling, ke arah perutnya.
Tong-ling telah menjejakkan kakinya waktu hinggap di atas sehelai
daun teratai, sehingga dia melompat menjauhi See-bun. Dan
sebagai pengganti Tong-ling, justru Pak-kiang yang berada dekat
dengan See-bun, karena dari itu, serangan telapak tangan Seebun, yang rupanya mengandung hawa panas seperti api
menyambar kepada Pak-kiang.
Pak-kiang sesungguhnya waktu itu tengah bersiap-siap hendak
menyerang kepada See-bun juga, dan justru sekarang melihat
See-bun telah mendahului menyerang kepadanya. Dia tertawa,
dan menangkisnya dengan berani sekali.
"Tasss.....!" suara ini seperti juga api yang disiram air, kemudian
tampak See-bun melompat mundur, begitu juga Pak-kiong
melompat mundur ke daun teratai di seberangnya.
"Oho, rupanya engkau telah memperoleh kemajuan dengan
telapak apimu itu....!" mengejek Pak-kiang, "Akan tetapi terhadap
184 Pak-kiang, walaupun bagaimana liehaynya telapak api mu itu,
tetap saja tidak berarti apa-apa malah tadi jika aku hendak
mempergunakan serangan telapak Es, niscaya kau akan terluka di
dalam.....!" See-bun menyadari, dengan disebutnya Telapak Es, memang
Pak-kiang hendak menyindirnya, karena ilmu yang dipergunakan
See-bun merupakan ilmu yang mengandung unsur panas, yang
diberi nama Telapak Api. "Tunggu saja, sekarang tokh kita baru mulai..... nanti juga engkau
akan mengakui bahwa See-bun merupakan satu-satunya jago
yang

Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terliehay di jagat ini.....!" kata See-bun sambil memperdengarkan suara tertawa dingin.
Sedangkan Pak-kiang beberapa kali telah berusaha melompat
menyerang Tong-ling, setelah gagal dengan serangannya, dia
menyerang kepada Lam-siong. Begitulah, mereka berempat
memang terdapat saling serang satu dengan yang lainnya.
Hok An yang menyaksikan jalannya pertandingan ke empat orang
itu, yang memang aneh sekali, karena mereka bertempur bukan di
darat, melainkan di atas daun-daun teratai yang memang banyak
sekali di permukaan air empang itu.
185 Pertandingan seperti ini jarang sekali terjadi dan dapat disaksikan
di dalam rimba persilatan, juga orang-orang yang bisa bergerak
begitu ringan di atas daun-daun teratai di permukaan air empang
itu memiliki ginkang yang telah mahir sekali.
Sebagai orang berpengalaman di dalam rimba persilatan, Hok An
juga kaget mendengar ke empat orang itu saling menyebut dan
membahasakan diri mereka masing-masing mempergunakan
sebutan Pak-kiang (Si Edan dari Utara), Lam-siong (Si Alim dari
Selatan), Tong-ling (Si Bego dari Timur), dan See-bun (Si Bengis
dari Barat). Hok An mengetahui siapa ke empat orang itu, yang
tidak lain dari empat orang tokoh rimba persilatan, yang masingmasing memiliki daerah kekuasaan di Selatan, Utara, Timur dan
Barat. Dan sekarang, ke empat tokoh sakti dari empat penjuru rimba
persilatan telah berkumpul di tempat itu, tengah mengadakan
pertandingan di atas permukaan air empang itu, di mana mereka
saling mengukur ilmu dan kepandaian. Karenanya, Hok An sampai
menyaksikan dengan tubuh yang berdiri tertegun tanpa bergerak
sama sekali, dia telah mengawasi tertarik sekali.
Ke empat orang yang tengah bertanding itu pun bukannya tidak
mengetahui kedatangan Hok An, akan tetapi mereka tidak acuh
186 atas kehadiran Hok An di tempat itu. Karena ke empat orang ini,
tokoh-tokoh sakti dari empat penjuru rimba persilatan, tengah asyik
dengan permainan mereka, yaitu bertempur di atas permukaan air
empang, di atas daun-daun teratai itu.
Apa yang diduga oleh Hok An memang tidak meleset, karena Lamsiong, Pak-kiang, Tong-ling san See-bun merupakan empat orang
tokoh rimba persilatan yang memiliki keharuman nama tidak kecil.
Hanya saja ke empat orang ini memiliki perangai yang aneh, sama
halnya dengan bunyi julukan mereka yang tidak karuan itu, yaitu
mereka sama sekali tidak usil terhadap urusan di dalam rimba
persilatan. Sejak berusia duapuluh tahun lebih, waktu mereka
berempat berusia muda, ke empat orang ini selalu mengadakan
pertemuan buat mengadu kepandaian.
Dan mereka selalu bertanding hanya berempat, tidak pernah
mengundang jago rimba persilatan lainnya. Walaupun mereka
mendengar juga perihal banyaknya jago-jago sakti lainnya di
dalam rimba persilatan, ke empat tokoh sakti rimba persilatan yang
memiliki perangai aneh ini tidak tertarik buat piebu dengan mereka.
Dan ke empat tokoh sakti ini hanya berkenan jika mereka dapat
bertanding berempat, buat menemukan kepandaian siapa di
antara mereka yang tertinggi.
187 Akan tetapi, selama itu mereka tidak pernah dapat merubuhkan
atau dikalahkan. Mereka tidak pernah berhasil untuk merebut
kedudukan yang terjago di antara mereka berempat. Itulah
sebabnya, setiap lima tahun sekali ke empat orang ini mengadakan
pertemuan buat bertanding.
Tempat bertanding ke empat orang inipun tidak tetap. Mereka
selalu menemukannya selang satu tahun sebelum tiba waktunya
pertandingan itu. Karenanya, mereka selalu memilih tempattempat yang aneh, dan tidak diduga. Misalnya seperti sekarang.
Ke empat jago itu telah memilih empang tersebut, buat bertanding
di atas daun-daun teratai. Karena dari itu, ke empat tokoh rimba
persilatan ini memang selalu berusaha membuktikan kepandaian
mereka sangat tinggi dan berlomba juga buat merebut kedudukan
sebagai jago nomor satu di antara mereka berempat.
Dengan demikian, tempat-tempat yang sulit dan juga keadaan
yang boleh dibilang hampir tidak memungkinkan dipergunakan
sebagai arena pertempuran, telah mereka pilih dan sangat menarik
hati mereka. Sekarang ke empat orang itu masing-masing telah berusia
enampuluh tahun lebih, namun kebiasaan mereka untuk setiap
188 lima tahun sekali mengadakan pertemuan buat mengadu
kepandaian tetap saja berlangsung.
Jika memang ada seseorang yang sakit atau berhalangan,
sehingga tidak bisa datang buat bertanding, maka tiga orang
lainnya mengundurkan waktu pertandingan itu. Mereka akan
menantikan sampai yang seorang dapat hadir.
Dalam pertandingan itupun mereka telah mengeluarkan seluruh
kepandaian mereka yang dapat diandalkan. Jika dalam pertempuran yang pertama mereka seri dan tidak ada yang
menang atau kalah, maka segara juga mereka berjanji lima tahun
lagi akan bertemu dan mengadakan pertandingan lagi. Mereka
mempergunakan waktu selama lima tahun itu buat melatih diri
dengan giat, untuk menciptakan ilmu yang lebih dahsyat.
Karena keranjingan sampai begitu untuk melatih dan menciptakan
ilmu silat yang lebih hebat, ke empat orang itu boleh dibilang sudah
tidak mau diganggu dengan urusan lainnya.
Mereka sama sekali tidak mau mencampuri urusan di dalam rimba
persilatan, seperti juga mereka berempat hanya dapat mengurusi
diri mereka masing-masing belaka.
189 Apa yang telah disaksikan oleh Hok An sekarang ini, benar-benar
tidak pernah diduganya, karena tidak mudah orang bisa
menyaksikan ke empat tokoh persilatan yang sangat dimalui oleh
orang-orang rimba persilatan, bisa dijumpainya tengah bertempur
secara luar biasa ini. Malah, perkembangan selanjutnya di antara ke empat orang yang
tengah bertanding di permukaan air empang itu berlangsung lebih
aneh lagi. Waktu itu, setelah mengelakkan diri dari totokan tangan
Pak-kiang, tampak See-bun telah duduk di atas sehelai daun
teratai, dia duduk bersila, tubuhnya seperti juga mengambang,
ringan sekali! Itulah ginkang yang benar-benar terlatih mahir sekali.
Pak-kiang yang gagal dengan serangannya, cepat-cepat membarengi dengan serangan berikutnya. Dia melatih semacam
ilmu yang luar biasa sekali, di mana setiap kali dia menyerang,
angin serangan yang dipergunakannya sangat dingin sekali, juga
tidak terasa berkesiuran.
Jika lawan yang memiliki kepandaian tanggung-tanggung menghadapi serangan Pak-kiang seperti itu, siang-siang lawan
tersebut akan terbinasa. Tanpa adanya kesiuran angin tentu
lawannya tidak akan dapat mengetahui ke arah mana sasaran
190 yang tengah diincar Pak-kiang. Karena itu, di situlah letak
keistimewaan ilmu Pak-kiang.
Sedangkan See-bun yang telah duduk di atas sehelai daun teratai
sama sekali tidak bergerak. Dia tetap saja duduk diam malah
dengan sepasang mata terpejam.
Benar-benar See-bun seperti tidak mengetahui serangan Pakkiang yang tidak menerbitkan kesiuran angin itu, tengah datang
menyambar ke dadanya. "Bukkkk!" telapak tangan Pak-kiang telah hinggap di dada See-bun
namun segera juga tubuh See-bun seperti dapat ciut, dadanya itu
seperti juga balon, setelah melesak dan menyebabkan tenaga
serangan Pak-kiang lenyap, dia mengembang lagi, membusung
dan memiliki daya tarik yang kuat sekali pada telapak tangannya
Pak-kiang. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, Pak-kiang
mengetahui bahwa lawannya tengah mempergunakan tenaga
dalam menghisap. Karena itu, jika dia mengempos semangatnya
dan berusaha untuk menarik tetapak tangannya, dia akan
menghadapi kesukaran. 191 Semakin kuat dia mengerahkan dan mempergunakan tenaga
dalamnya, semakin kuat juga tenaga menghisap di dada See-bun.
Maka dari itu menyadari bahaya yang bisa menimpah dirinya,
karena jika dia mengerahkan pula tenaga yang mengandung
kekerasan, injakannya pada daun teratai itu akan bertambah berat
dan daun teratai itu akan tenggelam, juga kaki Pak-kiang akan
menginjak permukaan air empang itu. Karenanya, segera dia
cepat-cepat duduk bersila, diapun mengempos semangat dan
hawa murninya. See-bun tetap diam dalam keadaan memejamkan sepasang
matanya dan duduk bersila di atas daun teratai itu. Hanya saja, dia
tidak tinggal diam belaka dengan tenaga dalamnya, karena dia
telah mengempos dan menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya itu
untuk berusaha menindih kekuatan lawannya.
Belum lagi See-bun bisa mengatasi kekuatan tenaga Pak-kiang,
yang telah mempergunakan tenaga menghisap dan mendorong ke
dada See-bun, waktu itu Tong-ling yang rupanya tertarik dengan
cara bertempur seperti itu, cepat-cepat telah duduk. Diapun
kemudian menghantam dengan ke dua telapak tangannya. Dia
menyerang bukan ke tubuh See-bun, karena setiap kali telapak
tangannya hampir mengenai sasarannya di tubuh See-bun dia
memiringkan dan mengalihkan sasaran ke arah lainnya.
192 Dengan ke dua telapak tangan yang digerakkannya pulang pergi
seperti itu, membuat angin yang berkesiuran pun sangat kuat
sekali. Semakin lama semakin kering dan kuat bagaikan
hembusan angin di gurun pasir. Dan keringat di tubuh See-bun
semakin deras mengucur keluar, dia seperti juga dimasukkan ke
dalam perapian dan terpanggang panasnya angin serangan Tongling yang begitu kering.
Lam-siong pun tidak tinggal diam. Dia telah memilih sehelai daun
teratai di dekat See-bun, kemudian ikut pula buat mengerahkan
kekuatan tenaga dalam dan hawa murninya, sepasang tangannya
itu bergerak-gerak dengan lincah juga. Namun berbeda dengan
angin serangan Tong-ling yang kering dan tandus, seperti api
perapian, dia telah menyerang dengan serangan yang dingin
seperti es. Dengan begitu, hawa angin serangan yang memiliki sifat-sifat
berlawanan membuat See-bun menerima tindihan yang kurang
menggembirakan. Pak-kiang sendiri, yang tidak menerima serangan langsung
merasakan tubuhnya seperti dibakar oleh api gurun yang tandus
dan dinginnya es di kutub.
193 Begitulah, ke empat orang aneh itu tengah mengadu kepandaian
mereka, sedangkan Hok An yang berdiam di tempatnya berdiri
terpaku memandang takjub atas semua peristiwa yang dapat
disaksikannya itu. Dengan ke empat orang itu mengadu kekuatan tenaga dalam,
maka keadaan di sekitar tempat itu hanya terdengar suara "srrr,
wuttt, derrr" dari suara angin serangan tenaga dalam ke empat
orang itu. Angin pukulan itu juga merupakan angin yang cukup kuat
menggoncangkan permukaan air empang yang jadi bergerakgerak.
Dari sebelah selatan empang itu, tiba-tiba tampak mendatangi
seorang lelaki berusia masih muda sekali, baru berumur duapuluh
tiga atau duapuluh empat tahun, mengenakan pakaian pelajar
berwarna putih, dengan kopiah Siauw-yau-kin nya yang berwarna
putih, dan sepatunya pun berwarna putih. Sambil melangkah
perlahan-lahan, dia menggoyang-goyangkan kipasnya, yang juga
berwarna putih, hanya saja terdapat lukisan yang terdiri dari warna
merah dan hijau serta kuning, warna-warna yang tampak manis
dalam keadaan serba putih di dekatnya seperti itu. Sikap pelajar itu
tenang sekali, dia sambil mengipas dan melangkah seperti juga
194 seorang yang benar-benar tengah kesima menikmati keindahan di
sekitar tempat itu. Hok An mengawasi pelajar itu, dia tidak kenal, dan tidak
mengetahui entah siapa pelajar itu. Hok An hanya menduga
tentunya pelajar ini tentunya tengah pesiar di tempat tersebut.
Cepat-cepat Hok An menjejakan ke dua kakinya, tubuhnya
melompat ke dekat pelajar itu.
Pelajar itu terkejut, dia mundur dua langkah ke belakang sambil
melipat dan menutup kipasnya.
"Jangan lewat di tempat ini, lebih baik kau kembali saja!" kata Hok
An sambil menunjuk ke tengah empang itu. "Lihatlah, di sana
tengah ada orang yang sedang bertempur!"
Pemuda pelajar itu tidak bilang suatu apapun juga, dia hanya
mementang matanya lebar-lebar menoleh memandang ke tengah
empang, sampai dia bisa melihat See-bun berempat dengan Pakkiang, Tong-ling dan Lam-siong tengah saling mengadu kekuatan.
"Ihhh!" pemuda itu mengeluarkan suara tertahan.
195 "Benar-benar menakjubkan, seperti juga tengah menyaksikan
sebuah peristiwa di dalam dongeng saja! Sungguh menarik!
Sungguh menarik!" Melihat pemuda pelajar itu seperti seorang yang tolol dan tidak
mengenal bahaya yang bisa mengancam dirinya, Hok An jadi
banting-banting kakinya, katanya: "Kau jangan berayal lagi, jika
nanti mereka telah selesai bertempur dan juga kalau saja mereka
hendak mengganggumu, niscaya engkau akan memperoleh
kesukaran yang tidak kecil..... cepat kau pergi meninggalkan
tempat ini..... jangan berayal.....!"
Pelajar itu melihat Hok An sibuk demikian rupa, telah membuka
matanya lebar-lebar menatap Hok An, kemudian dia membuka
lipatan kipasnya, dia tertawa, katanya sambil mengipas perlahanlahan.
"Kau

Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampaknya begitu menguatirkan keselamatanku, menganjurkan agar aku segera meninggalkan tempat ini! Akan
tetapi Siauwte melihat engkau sendiri berada di tempat ini dan tidak
cepat-cepat meninggalkan tempat ini, jika memang benar ke empat
orang itu merupakan manusia-manusia kurang baik......"!"
196 Hok An mendongkol sekali melihat pemuda pelajar ini demikian
tolol. "Jika aku memiliki kepandaian yang sekiranya bisa dipergunakan
melindungi diriku! Sedangkan engkau hanya seorang pelajar
lemah, jika memang nanti engkau memperoleh kesukaran, niscaya
engkau akan memperoleh bahaya yang tidak kecil buat
keselamatan dirimu....., cepat kau berlalu sebelum terlambat!"
Akan tetapi pemuda pelajar itu telah menggeleng.
"Pemandangan yang terdapat di daerah ini sangat menarik sekali.
Sekarang juga terdapat pemandangan yang luar biasa, aneh dan
menarik hati, di mana empat orang dapat duduk di atas daun teratai
di permukaan air empang! Bukankah itu merupakan tontonan yang
sangat menarik sekali dan tidak mudah untuk bisa melihatnya
dalam kesempatan lainnya" Mengapa justeru aku harus meninggalkan tontonan bagus yang menarik hati ini?"
Sambil berkata begitu, pelajar tersebut, tanpa memperdulikan Hok
An, telah melangkah menghampiri tepi empang sambil menggerakkan kipasnya perlahan-lahan, mengipas dengan sikap
yang tenang sekali. 197 Hok An tertegun mendengar jawaban dan sikap terakhir dari
pelajar baju putih itu. Dia akhirnya menghela napas sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pemuda dungu.....!" menggumam Hok An, dan dia tidak memaksa
lagi pemuda baju putih itu buat meninggalkan tempat tersebut.
Sedangkan pelajar baju putih itu berdiri di tepi empang
memperhatikan ke empat orang, yang tengah mengukur ilmu
tersebut. Tampaknya pelajar ini tertarik sekali.
See-bun waktu itu telah mengempos dan mempergunakan hawa
murninya yang paling tinggi, demikian juga ke tiga orang lawannya,
masing-masing mengerahkan tenaga murni mereka yang tertinggi,
karena mereka berusaha untuk saling tindih. Mereka berempat
mempergunakan kekuatan tenaga murni yang seluruhnya dari
Tan-tian, maka mereka jadi tidak menggerakkan tangan lagi, cukup
asal tangan mereka dapat saling menempel, maka hawa murni itu
bisa disalurkan buat menyerang lawan.
Melihat ke empat orang yang tengah bertanding di tengah
permukaan air empang, pemuda pelajar tersebut jadi heran,
karena ke empat orang itu duduk diam bersemedhi dengan tubuh
198 diam tidak bergerak, hanya saja dari atas kepala mereka masingmasing mengepul uap yang tipis.
"Hemm, mereka berempat tentunya tengah berdoa.....!" menggumam pelajar berbaju putih tersebut. "Coba, aku lihat,
apakah mereka akan kaget jika permukaan air empang itu
bergerak dan menyebabkan daun teratai, mereka yang duduki itu
bergerak-gerak"!"
Setelah menggumam seperti itu, pelajar berbaju putih itu
membungkuk mengambil beberapa batu kerikil.
Melihat apa yang dilakukan pelajar baju putih itu, Hok An kaget.
"Hei, kau cari mati"!" bentak Hok An perlahan, sambil tubuhnya
telah melompat ke dekat pelajar baju putih itu, berusaha merebut
batu-batu kerikil di tangan pelajar baju putih itu.
Namun pelajar baju putih tersebut seperti tidak mendengar
bentakan perlahan Hok An, dia membungkukkan tubuhnya lagi,
mengambil dua butir batu kerikil.
Karena pelajar baju putih itu demikian tiba-tiba membungkukkan
tubuhnya lagi, sambaran tangan Hok An jatuh di tempat kosong,
199 tidak berhasil merebut batu kerikil di tangan pemuda pelajar baju
putih tersebut. Sedangkan pelajar baju putih itu telah berdiri tegak lagi, dia
memperlihatkan sikap terheran-heran.
"Mengapa kau tampaknya begitu gugup!" tanyanya kemudian
memperlihatkan sikap heran karena Hok An tengah memandangnya tajam sekali, juga tampaknya Hok An seperti
tengah kebingungan. "Kau ingin mencari mati"!" kata Hok An dengan suara perlahan,
akan tetapi nadanya mengandung kegugupan. "Jika engkau
melemparkan batu itu ke empang dan menyebabkan ke empat
orang yang tengah mengadu kepandaian tersebut merasa
terganggu, jiwamu sulit dilindungi lagi!"
"Kenapa"!" tanya pelajar baju putih itu seperti orang yang benarbenar tolol.
Muka Hok An jadi berobah merah karena mendongkol menghadapi
sikap tolol pelajar ini. 200 "Tentu saja mereka akan membunuhmu, karena kau telah
mengganggu ketenangan mereka dalam mengadu ilmu!" menyahuti Hok An. Pemuda pelajar itu tertawa.
"Kau jangan takut-takuti aku....." katanya kemudian. "Aku tidak
percaya mereka bisa membunuhku! Justeru aku ingin melihat,
betapa sekarang mereka tengah duduk di atas daun teratai, di
permukaan air empang itu. Jika aku menimpukkan batu ini, air
empang itu bergerak, dan daun teratai yang mereka duduki itu
bergerak, apakah mereka akan gugup dan cepat-cepat naik
kedarat"!" Bukan main kagetnya Hok An.
"Gila kau!" bentak Hok An. "Kau jangan mencari penyakit.....
karena jika ke empat orang telah gusar dan marah. walaupun aku
bersedia menolongmu, akan tetapi aku tentu tidak berdaya buat
menolongi dirimu.....!"
Pemuda pelajar itu tersenyum, tiba-tiba dia menggerakkan tangan
kanannya, menimpukkan batu kerikil yang tadi diambilnya. Sekali
meluncur dua butir. 201 Bahkan batu kerikil itu jatuh tepat di pinggiran daun teratai yang
diduduki See-bun, sehingga air empang itu muncrat dan membuat
daun teratai yang tengah diduduki oleh See-bun jadi bergoyanggoyang.
Waktu itu See-bun tengah mengerahkan tenaga dalam dan hawa
murni tingkat tinggi, sebetulnya perhatiannya tidak boleh terpecah.
Sekarang daun teratai tempat dia duduk itu bergoyang,
sesungguhnya See-bun merasa heran, namun dia tidak membuka
matanya, dia tetap memusatkan seluruh perhatiannya buat
mengempos semangatnya Akan tetapi pelajar itu, yang telah membuat Hok An jadi kaget tak
terkira, dan belum lagi Hok An sempat buat menegur dan
mencegah perbuatannya, pelajar itu mengulangi lagi timpukan
batu kerikilnya itu. Kali ini jatuh di samping daun teratai Pak-kiang,
di mana Pak-kiang pun tidak berani membuka matanya walaupun
merasakan teratai yang didudukinya itu bergoyang-goyang.
Hok An sudah tidak bisa menahan diri.
"Hai, gila kau"!" bentak Hok An sambil menerjang dan berusaha
merebut batu kerikil yang masih bersisa dan terdapat di tangan
pelajar baju putih itu. 202 Pelajar baju putih itu telah mundur tiga tindak.
"Kau jangan kurang ajar!" bentaknya berani dan tenang sekali.
"Aku tidak mengganggu dirimu, akan tetapi sejak tadi kau selalu
mengganggu diriku, selalu melarang aku agar tidak menikmati
pemandangan indah di tempat ini" Jika memang engkau kuatir
nanti dianiaya ke empat orang itu, pergilah engkau yang angkat
kaki meninggalkan tempat ini......!"
Pipi Hok An berobah merah.
"Semua ini demi keselamatan dirimu!" kata Hok An. "Aku kasihan
jika engkau teraniaya dan terbinasa di tangan keempat orang itu.
Pelajar itu tersenyum tawar, katanya: "Aku tidak membutuhkan
kasihanmu..... kukira aku cukup makan dan cukup pakaian, tidak
patut dikasihani orang!"
Disanggapi seperti itu, muka Hok An berobah merah lagi. Bukan
main mendongkolnya. "Hemm, pelajar tidak berbudi!" pikir Hok An. Walaupun mendongkol, namun dia tidak memiliki alasan buat bersikeras
melarang pelajar baju putih itu menimpukkan batu kerikilnya.
203 Sedangkan pelajar baju putih itu seperti sudah tidak ingin melayani
Hok An, dia berdiri membelakangi Hok An, tangan kanannya
bergerak, "Plunggg, plunggg!" beberapa butir batu kerikil telah melayang dan
jatuh tenggelam di empang itu.
Akan tetapi ke empat orang itu tetap saja dengan sikap mereka,
duduk di atas daun teratai tanpa bergerak dan dengan sepasang
mata tetap terpejamkan. Pelajar baju putih itu tertawa-tawa girang.
"Jika melihat mereka seperti juga melihat empat orang dewa yang
tengah duduk bersemedhi di atas daun teratai!" kata pelajar itu
sambil menoleh dan melirik pada Hok An.
Hok An mengambil sikap seperti tuli tidak mendengar perkataan
pemuda itu. Dia mendongkol karena tadi disanggapi seperti itu oleh
pemuda tersebut, maka sekarang dia yang tidak mau melayani
pelajar itu. Melihat Hok An berdiam diri saja, pelajar berbaju putih itu tidak
tersinggung, dia tertawa lagi, kemudian langan kanannya
204 melontarkan batu kerikilnya lagi, sehingga batu itu meluncur
dengan cepat. Kali ini, mungkin juga karena perhitungan tenaga menimpuknya
tidak tepat, batu kerikil tersebut tidak jatuh di permukaan air
empang, melainkan meluncur dan menghantam kepada Pakkiang. Agak keras benturan itu, sampai terdengar suara "Tukkk!"
Hok An tercekat hatinya, tetapi dia hanya melirik kepada pelajar
tersebut, sedangkan pelajar itu tampak kaget melihat batu yang
ditimpukkannya mengenai kepala Pak-kiang.
"Ohhh, maaf, maaf, aku tidak sengaja!" Pelajar itu berseru-seru
sendirinya. Pak-kiang sesungguhnya masih bermaksud hendak menyalurkan
Kitab Pusaka 14 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 5
^