Pencarian

Gajah Kencana 24

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 24


sebabnya. Hanya kuberdoa, semoga kegembiraan itu dapat
pula menggembirakan harapanku."
"Harapan apakah yang dimas kandung dalam hati?"
Kertawardana makin heran. Nalurinya yang tajam cepat dapat
merasakan sesuatu dalam ucapan pangeran dari Wengker itu.
"Mudah mudahan rasa gembira dapat kupaparkan kepada
kakangmas. Tetapi janganlah hal itu sampai mengganggu
suasana pembicaraan kita saat ini. Silahkan kakangmas
melanjutkan berita yang kakangmas hendak berikan
kepadaku." Kertawardana mengemasi letak duduknya di samping untuk
menenangkan hati untuk membawakan kata-katanya. Sesaat
kemudian, iapun terkata dalam nada yang penuh
pengekangan ketenangan. "Dimas Wijaya, berita yang hendak
kusampaikan ini, sesungguhnya, suatu berita yang
menggembirakan hatiku. Demikian kuharap juga dari dimas
dapat kurasakan kegembiraan itu. Tak lain dimas, dalam
pembicaraan dengan gusti Rani Kahuripan, aku dititahkan
untuk menemui dimas dan mengetahui bagaimana sikap
dimas Wijaya terhadap ......."
"Terhadap siapa, kakangmas?" Wijaya makin meningkat
keheranannya. Bukan adat sarinya, Kertawardana bicara
dengan dia dalam sikap dan nada yang berat untuk
melepaskan kata seperti saat itu.
"Terhadap sang Rani Daha, dimas ......."
"Oh" Wijaya terbeliak kaget. Tak pernah ia menyangka akan
mendengar pertanyaan itu. Apalagi pertanyaan itu dari fihak
Rani Kahuripan. Adakah ia harus bergirang mendengar hal itu"
Ataukah hanya terbatas pada rasa kejut saja" Sesaat
terdiamlah pangeran dari Wengker itu karena tercengkam oleh
luapan perasaan yang mangabut dalam hatinya.
Kertawardana mananti dengan penuh harap. Masih cemas
ia untuk menemukan kesan yang dapat menggambarkan
jawaban pangeran dari Wengker itu.
"Kakangmas Wardana," sesaat kemudian Wijaya berkata
"tidakkah pendengaranku khilaf mendengar kata-kata
kakangmas tadi?" Kertawardana tertawa ringan "Tidak, dimas. Memang hal itu
suatu kenyataan. Dan maafkan dimas apabila aku engkau
anggap lancang ucap."
"Lancang ucap" Ha, ha, ha " tiba-tiba Wijaya menghambur
tawa. Tawa yang cerah "benar-benar suatu keanehan yang
aneh ......." Kini giliran Kertawardana yang terbeliak. Apakah di balik
kata-kata pangeran Wengker itu" Mengapa pangeran itu
tertawa" Adakah pangeran itu menertawakan kata-katanya "
Dan tersipu sipu merahlah wajah Kertawardana. Ia merasa
malu. Tetapi pada lain kilas, ia dapat menyadari bahwa dirinya
hanya sebagai utusan sang Rani. Pun tugas yang dilakukannya
itu hanya bersifat penjajagan. Sifat penjajagan itu hanya
menyelidiki, belum suatu kepastian keputusan. Keputusan
harus melalui pertimbangan, penilaian dan pengamatan yang
seksama. Apabila memikir begitu, lenyaplah warna cerah pada
wajahnya dan tenang pula hatinya menghadapi apa yang akan
dinyatakan Wijaya. "Dimas " katanya tenang, "tawa dimas membangkitkan rasa
keherananku. Ucapan dimas menimbulkan kabut kegelapan
dalam hatiku. Dapatkah dimas menjernihkan perasaanku itu ?"
Wijaya hentikan tawa namun masih tersenyum.
"Kakangmas Wardana, maafkan, apabila tawaku itu
menimbulkan perasaan tak enak bagi kakangmas. Namun jauh
dari itu maksudku. Aku tertawa karena terpaksa harus
tertawa. Dan kupercaya, kakangmas tentu akan mendukung
tertawaku itu apabila kakangmas sudah mengetahui duduk
perkaranya." "Karena itu kuharap dimas suka memberi penerangan agar
dapat menikmati tawa itu bersama dimas."
Wijaya mengangguk-angguk "Begini, kakangmas, sesungguhnya sebelum kakangmas berkunjung ke mari,
akupun hendak mengunjungi kakangmas."
"0, tentu pentinglah kiranya berita yang dimas hendak
berikan kepadaku itu," seru Kertawardana.
"Ya, begitulah yang kuharapkan."
"Bukankankah sekarang aku sudah berada di sini" Dapatkah
kuterima berita itu sekarang ?"
Wljaya tertawa pula "Sebenarnya berita itu harus
kuhaturkan di tempat kediaman kakangmas, agar janganlah
kakangmas mempunyai kesan buruk terhadap diriku."
"Ah, dimas Wijaya, mengapa engkau masih berpegang pada
hal-hal yang seharusnya sudah tak perlu berlangsung di antara
kita," kata Kertawardana. "dimas, apabila tak keberatan,
katakanlah hal itu saat ini, agar hatiku tak selalu dicengkam
perasaan tak menentu."
"Baiklah kakangmas," kata Wijaya lalu mengemasi sikapnya,
"sebenarnya berita yang hendak kuhaturkan kepada
kakangmas itu tak lain, sama dengan apa yang kakangmas
beritakan kepadaku tadi ......."
"Hah" " Kertawardana terbelalak.
"Hanya bedanya, bila kakangmas dititahkan oleh gusti Rani
Kahuripan, aku diutus oleh gusti Rani Daha."
"0, Dewa yang Maha Agung ......."
"Ingin gusti Rani Daha mengetahui bagaimana sikap
kakangmas terhadap gusti Rani Kahuripan. Aku dititahkan
untuk memberi kesan kepada gusti Rani Daha."
"Ah ......." untuk kesekian kali, Kertawardana hanya
mendesuh dan mendesah, kemudian menghela napas panjang
sekali. "Itulah sebabnya kakangmas" kata Wijaya pula, "aku
tertawa tadi. Tertawa karena harus tertawa mengalami suatu
keanehan yang aneh. Kakangmas dititahkan untuk menyelidiki
diriku dan aku diutus untuk menjajagi diri kakangmas. Gusti
Rani Kahuripan memikirkan kepentingan dindanya, gusti Rani
Daha memperhatikan kepentingan ayundanya di Kahuripan.
Tidakkah kakangmas merasakan keanehan itu seperti yang
kurasakan" Tidakkah kakangmas akan membagi gelak riang
seperti yang kutawakan tadi?"
Mendengar itu Kertawaidarta lepaskan tawanya walaupun
nadanya masih terkekang oleh getar2 perasannya yang
tegang. Setitik pun ia tak pernah menyangka bahwa Rani
Daha akan bertindak sedemikian dalam memikirkan
kepentingan Rani Kahuripan.
Setelah mengakhiti tawa, bertanyalah Kertawardana, "Lalu
siapakah yang harus memberi jawaban lebih dulu?"
"Kakangmas" "Tetapi menurut waktunya, aku yang datang terlebih dahulu
ke sini dan bertanya lebih dahulu kepada dimas. Seharusnya
dimas Wijaya yang menjawab lebih dahulu pula."
"Soal waktu dan pengajuan pertanyaan masih kalah
tingkatnya dengan kedudukan dan usia. Kakangmas lebih tua,
yang muda harus mengindahkan yang tua. Pun kedudukan
gusti Rani Kahuripan itu lebih tua dari gusti Rani Daha. Maka
tidak ada kelayakan yang lebih layak daripada kakangmas
yang lebih dahulu memberi jawaban."
"Ha, ha, ha" kali ini Kertawardana benar-benar tertawa
lepas. Betapapun ia geli juga mengalami peristiwa yang aneh
itu. Setelah berhenti tertawa, ia berkata "Dimas Wijaya,
jawabanku adalah serupa dengan jawaban dimas."
Wijayapun tertawa "Dan jawabanku pun sama dengan
jawaban kakangmas Wardana."
Kedua pemuda bangsawan itu sama2 tertawa riang.
"Kiranya tak perlu kuutarakan dengan kata-kata, dimas
tentu sudah tahu jawabanku," kata Kertawardana.
"Tetapi aku belum tahu, kakangmas."
"Kalau dimas tak tahu, tanyakanlah pada hati dimas. Dan
jawabannya, itulah jawabanku," Kertawardana tertawa.
"Baiklah, kakangmas" akhirnya Wijayapun menyerah
"apabila gusti Rani Kahuripan meminta keterangan kepada
kakangmas, mohon kakangmas sampaikan kepada beliau
bahwa jawabanku adalah apa yang kakangmas hendak
haturkan kepada gusti Rani, ha, ha, ha, ha ......."
Keduanya tertawa pula. Memang hubungan kedua pemuda
itu akrab sekali sehingga mereka tak kikuk untuk berkelakar
dan bersenda gurau. Sesaat kemudian, tiba-tiba Wijaya berkata "Kakangmas
Wardana, aku mempunyai saran. Entah kakangmas dapat
menyetujui atau tidak."
"Cobalah dimas katakan," kata Kertawardana.
Wijaya tertawa, "Bagaimana andaikata kakangmas Wardana
minta bantuan kepada gusti Rani Kahuripan untuk
menanyakan bagaimana sikap Rani Daha kepada Wijaya. Dan
Wijaya pun akan minta tolong kepada gusti Rani Daha untuk
menanyakan sikap Rani Kahuripan terhadap kakangmas
Kertawardana." Kertawardana tertawa, "Kedua gusti Rani tentu akan
mengalami peristiwa seperti yang kita alami saat ini, bukan?"
Wijayapun tertawa. "Ah, dimas Wijaya " kata Kertawardana "kuserahkan saja
bagaimana dimas hendak menghaturkan laporan kepada gusti
Rani Daha mengenai sikapku kepada gusti Rani Kahuripan.
Sikap dimas terhadap gusti Rani Daha adalah sikapku juga
terhadap gusti Rani Kahuripan."
"Baiklah " sahut Wijaya "semua Dewata berkenan merestui
cita-cita kakangmas itu sehingga Majapahit akan mengalami
ketenangan dan kesejahteraan."
"Dimas Wijaya," kata Kertawardana pula "selain soal itu,
apakah selama berapa hari beberada di keraton Kahuripan ini,
dimas tak mengalami sesuatu yang aneh ?"
"0, tidak .......... " Wijaya merenung lalu "ya, memang ada
sebuah hal yang aneh tetapi kuanggap hal itu kurang
penting." Kertawardana kerutkan kening "Bolehkah aku mendengar
hal itu, dimas ?" "Tentu kakangmas" sahut Wijaya "yah, hanya sepucuk surat
yang tak berarti." "0," Kertawardana terkesiap "dari siapa ?"
"Entahlah, kulihat sampul itu sudah terletak di lantai
belakang pintu. Dan pengirimnya pun tidak menyebut
namanya yang jelas melainkan dari seorang sahabat."
"Isinya?" "Memberi peringatan agar aku berhati-hati dan waspada
terhadap kemungkinan pembunuhan gelap."
"Ah," tiba-tiba Kertawardana menghela napas "aneh. sekali.
Mengapa akupun menerima surat semacam itu juga, dimas."
"0" Wijaya mendesuh kejut "benar-benar aneh. Lalu
bagaimana menurut pendapat kakangmas."
"Terhadap hal itu kita harus mengambil sikap tengahtengah. Jangan tidak percaya, tetapi pun jangan mudah
percaya. Yang penting kita harus meningkatkan kewaspadaan.
Siapa tahu golongan-golongan yang bertentangan di Pura
Majapahit itu, Kahuripan." pun sudah mengulurkan tangannya ke Wijaya mengangguk. Diam-diam ia membenarkan
pandangan Kertawardana. Memang sejak ia berkunjung ke
Kahuripan, walaupun hanya dalam beberapa hari saja, namun
ia sudah dapat merasakan suatu suasana yang tidak lancar.
Seolah-olah para mentri dan narapraja Kahuripan bersikap
hati2 satu sama lain. "Kakangmas," kata pangeran dari Wengker itu "mengapa
sebab kita akan dibunuh " Dan siapakah kira2 yang melakukan
atau yang menyuruh melakukan pembunuhan itu ?"
Kertawardana merenung sejenak "Masih sulit untuk
menentukan dugaan. Apabila akan terjadi pembunuhan,
tentulah harus kita nilai dari fihak yang tak menyukai kita,
dimas." "Dari segi kepentingan apakah mereka hendak membunuh
kita, kakangmas?" Kertawardana menghela napas "Ah, banyak nian penilaian
yang dapat kita rangkai. Mungkin untuk menimbulkan
kekacauan suasana. Mungkin untuk mengadakan adu domba
antara Kahuripan dengan Wengker. Mungkin pula untuk
menyingkirkan kita dari hubungan dengan kedua gusti Rani
itu." Wijaya mengangguk. "Benar, kakangmas. Rupanya diantara
beberapa kemungkinan itu, kemungkinan yang terakhir lebih
besar kemungkinannya," demikian menurut perasaan Wijaya.
Kertawardana mermandang pangeran Wengker itu lekat2,
lalu bertanya, "Dengan dasar apakah maka dimas Wijaya
menarik kesimpulan."
"Ah, masakan kakangmas melupakan tindakan baginda
Jayanagara terhadap kedua gusti Rani itu semasa masih di
keraton Majapahit" Bukankah sudah merupakan rahasia umum
di kalangan rakyat pura Majapahit betapa perbuatan baginda
yang kurang senonoh terhadap kedua puteri itu?"
"Benar, dimas" sahut Kertawardana "memang semasa
kedua gusti Rani itu masih di pura kerajaan, para pangeran
dan putera2 raja di daerah tak berani datang ke Majapahit.
Tetapi rupanya baginda tak pernah melonggarkan penjagaannya yang keras terhadap kedua Rani itu walaupun
sudah diangkat menjadi Rani Kahuripan dan Rani Daha."
Itulah sebabnya maka kita harus berhati-hati. Dan atas
dasar peristiwa itu maka aku lebih cenderung untuk
mempercayai peringatan yang tertulis dalam Surat gelap itu,"
kata Wijaya. "Benar, dimas." sahut Kertawardana "betapapun hati2 itu
memang lebih baik." "Kakangmas," tiba-tiba pula pangeran dari Wengker itu
berkata "menjaga bahaya, lebih baik dari melawan bahaya.
Tetapi menghindar dari bahaya adalah jauh lebih baik
daripada menjaga."

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"0, maksud dimas Wijaya, lebih baik kita tinggalkan
Kahuripan?" tanya Kertawardana.
Wijaya tetsenyum, "Benar, kakangmas. Apabila kita tak
berada di Kahuripan, bukankah berarti kita menghindar dari
bahaya?" Kertawardana mengangguk "Benar, memang cara itulah
yang terbaik. Tetapi dimas Wijaya, ada sesuatu yang
memberatkan hatiku ....."
Wjaya menukas tawa, "0, kutahu kakangmas, apa yang
memberatkan hatimu ....."
"Benar," sambut Kertawardana "dimas Wijaya tentu hendak
mengatakan bahwa aku berat untuk berpisah dengan gusti
Rani Kahuripan, bukan" Ya, memang demikian, dimas. Tetapi
dasar daripada rasa berat hatiku meninggalkan gusti Rani,
tentulah dimas salah sangka."
Wijaya tertawa pula. "Mengapa aku dapat salah sangka"
Menyangka isi hati kakangmas, tak ubah seperti membaca isi
hatiku sendiri. Bagaitnana mungkin aku dapat salah
menyangka isi hatiku sendiri?"
"Itulah kesalahannya, dimas," sambut Kertawardana
"kutahu dimas Wijaya tentu hendak mengatakan bahwa hatiku
sudah ..... ah, seperti yang dimas anggap itu. Tetapi
keenggananku pergi dari Kahuripan bukan semata-mata
karena suara hati, tetapi berdasarkan suatu pengabdian
kepada Kahuripan. Aku takkan lari karena ancaman orang
yang hendak membunuh aku. Akupun takkan mundur
menghadapi bahaya apapun yang akan menimpa diriku. Akan
kuhadapi kesemuanya itu dengan iklas walaupun harus
berkorban jiwa. Jika aku pergi, berarti akan membiarkan gusti
Rani tetap berada dalam cengkeraman Majapahit. Ibarat
burung dalam sangkar emas tetapi kehilangan kebebasan."
Raden Wijaya termangu. Diam-diam ia malu dalam hati
mengapa mengarjurkan Kertawardana pergi dari Kahuripan.
Kemudian pun timbul suatu kesadaran, bahwa hendaknya ia
harus bersikap seperti pendirian Kertawardana, untuk
melindungi Rani Daha. "Kakangmas, ucapan kakangmas itu bagai lintasan sinar
kilat yang merekah menerangi kegelapan pikiranku. Benar
kakangmas Wardana " katanya "justeru dalam saat ini kita
harus berbuat untuk menyelamatkan gusti Rani."
Demikian keduanya telah mencapai kebulatan tekad dan
kesatuan pendirian. Keduanya telah menyadari akan harapan
kedua Ratu itu kepada mereka. Dan untuk mencapai suatu
kebahagiaan besar, tentu besar pula usaha dan perjuangan
yang harus ditempuh. Besar pula bahaya dan rintangan yang
akan dialami. Jer basuki mawa bea.
Sehingga sampai sore hari, barulah Kertawardana minta diri
kembali ke dalam penginapannya. Keduanya telah mengetahui
apa yang harus dihaturkan sebagai hasil dari tugas yang
dititahkan sang Ratu. Besok mereka akan menghadap Ratu.
Malam itu, bulan remang bersabut awan tipis.
Kertawardana tak dapat tidur. Pikirannya masih merenungkan
dua peristiwa yang dialami sore tadi. Pertama, tindakan Rani
Daha yang mengutus Wijaya untuk menanyakan sikapnya
terhadap Rani Kahuripan. Dan kedua tentang surat peringatan
mengenai keselamatan jiwanya.
Mengapa Rani Daha memerlukan untuk mengutus Wijaya
bertanyakan hal itu kepadanya " Adakah Rani Kahuripan telah
mengetahui dan menyetujui tindakan Rani Daha itu " apakah
Rani Daha bertindak sendiri karena mengetahui gejala2 sikap
ayundanya terhadap Kertawardana " Demikian lingkaran
pertanyaan yang menghuni dalam benak Kertawardana.
Kemudian meningkatlah pemikirannya kepada tindakan Rani
Kahuripan yang juga mengutus ia untuk menanyakan sikap
pangeran Wijaya. Apabila mencapai pada hal itu, tertumbuklah
perangkaian pikirannya akan sebuah sumber. Sumber yang
dapat menguraikan kebingungan hatinya.
Bahwa kedua Rani itu telah bertindak sama dan mengambil
langkah yang serupa, kemungkinan besar tentu bukan karena
secara kebetulan. Melainkan karena sebelumnya sudah
terdapat persepakatan ........ Benar, kedua puteri agung itu
rupanya sudah sepakat untuk mengatur tindakan yang sama
agar dengan demikian kedua pemuda itu dapat menerima
kesan yang jelas, betapa sikap kedua Rani itu terhadap kedua
pemuda itu. "Ah ........." Kertawardana mendesuh panjang lalu
merenung tidakkah Rani Kahuripan itu sudah menangkap
makna isi hatiku yang kutuangkan dalam persembahanku
tentang mimpi yang kualami itu ?" Ia tersenyum. Senyum
yang membayangkan kebahagiaan. "Ah, Rani Kahuripan
seorang puteri agung. Sifat seorang kenya itu tentu pemalu
dan rela memendam suara hatinya. Apalagi Rani Kahuripan
tentu menyadari bagaimana kedudukanku yang lebih rendah.
Maka dengan halus ia mengambil jalan, bersepakat dengan
Rani Daha untuk menitahkan kepada aku dan Wijaya.
Maknanya, secara halus kedua Rani itu telah membuka tangan
kepada kami berdua. Hm, baiklah gusti puteri. Memang sudah
menjadi hasrat Kertawardana, bagaimana dan apapun yang
akan terjadi, aku tetap akan melaksanakan cita-cita hidupku.
Mengabdi kepada Matahari yang bersinar putih bersih di
Kahuripan ......." Kertawardana melangkah ke luar dari bangsal penginapannya yang terletak di ujung barat keraton. Ia
berjalan-jalan menyejukkan pikiran dan menenangkan
darahnya yang bergolak golak tak tentram. Saat itu sudah
lewat tengah malam. Ia masih bercengkerama dalam halaman
keraton yang amat luas. Menikmati bangunan2 dan pendapa2
yang indah megah dari keraton Kahuripan. Pikirannyapun
mulai melayang-layang, berusaha untuk menembus dinding2
tembok keraton yang tebal. Ingin ia mengetahui bagaimana
keadaan sang Rani saat itu.
Sekonyong-konyong di kegelapan malam yang senyap itu,
ia melihat sesosok tubuh hitam berindap-indap menyelimpat
dari balik sebuah bangunan ke lain bangunan. Seketika
lenyaplah lamunan yang menghuni benaknya. Siapakah sosok
tubuh itu " Penjaga keraton" Ah, tak mungkin. Penjaga
keraton tentu berjalan dengan derap langkah yang rapi dan
tentu pula melalui lorong2 yang terang. Orang itu jelas
bersikap seperti menyelundup, menghindari perhatian para
penjaga. Seketika teringatlah ia akan surat peringatan yang
diterimanya itu. Segera iapun ringankan langkah, menyelinap
ke tempat gelap dan dengan hati2 ia segera mengikuti orang
itu dari jarak yang diperhitungkan takkan menimbulkan
kecurigaan. Setelah melalui beberapa lorong dan bangunan
lalu melintas sebuah halaman luas, orang itu menuju ke
bangsal samping, tempat penginapan dari para tetamu.
Keheranan Kertawardana makin meningkat dan kecurigaannya pun mulai timbul manakala diketahui bahwa
orang itu menuju ke sebuah bangunan yang diketahuinya
sebagai tempat penginapan Wijaya pangeran dari Wengker.
Serentak timbullah kesadaran dalam pikiran Kertawardana
bahwa orang itu jelas mengandung maksud buruk terhadap
raden Wijaya. Kertawardana cepat berusaha untuk mendekati.
Tetapi saat ia tiba di serambi orang itupun sudah berhasil
membuka daun jendela dan loncat ke dalam.
Kertawardana benar-benar terkejut. Apabila terjadi sesuatu
pada diri pangeran Wengker itu, ialah salah seorang yang
memikul tanggung jawab kesalahan.
Bagai seekor burung belibis, cepat ia apungkan tubuh
melayang ke lubang jendela dan meluncur turun ke dalam
ruangan. Saat itu serasa terbanglah semangatnya ketika melihat
orang itu sedang ayunkan sebatang keris menikam ke tempat
tidur ..... O0odwkz-mchooO JILID l9 I HARIMAU mengaum karena marah. Karena lapar atau karena sesuatu yang mengejutkan perasaannya. Demikian dengan manusia yang sudah beralih sifat sebagai harimau sebagaimana
halnya dengan seorang pembunuh. Pembunuh yang menghujamkan keris ke tempat
pembaringan pangeran Wijaya
dari Wengker, pun mengaum
laksana seekor harimau yang
terkejut. Benda yang rebah di
tengah pembaringan dan terbungkus dengan selimut itu,
ternyata bukan tubuh Wijaya seperti yang disangkanya.
Karena ia merasakan ujung kerisnya terbenam ke dalam
gumpal benda yang lunak "Ah ......." cepat ia menarik keris,
berputar tubuh hendak melarikan diri.
"Ahhh ......" orang itu mendesis kejut. Cukup keras
walaupun alun suaranya tersekat oleh secarik kain hitam yang
menyelimuti separoh mukanya, dari batas batang hidung
sampai ke bawah dagu. Di hadapannya tegak sesosok tubuh
dari pemuda yang tampan. "Aneh" ucap pemuda tampan yang bukan lain adalah
Kertawardana mengapa seorang pembunuh yang berhati
dingin masih memiliki rasa kejut"
"Siapa engkau?" teriak orang bersalut kain hitam pada
mukanya itu. Matanya membelalak lebar2. Rupanya ia ingin
menembus kegelapan dalam ruang yang tiada penerangannya
itu, untuk mengamati wajah orang yang tegak di hadapannya.
"Kertawardana ....... "
"Hai, Kertawardana raden dari Singasari itu?" teriak orang
itu dalam nada kejut2 gemetar.
"Ya, mengapa engkau terkejut?"
"Aneh" guman orang itu keheran-heranan.
"Mengapa?" tegur Kertawardana "adakah suatu keanehan
apabila aku mengatakan namaku Kertawardana" Cobalah
engkau katakan siapa namamu. Aku tentu tak terkejut."
"Apa maksud kedatanganmu?"
dengan menyusuli pertanyaan.
orang itu menghindar Kertawardana tertawa mengejek "Memang sudah kuduga
bahwa golongan penjahat semacam engkau tentu tak berani
mengatakan namamu yang terang, sebagaimana halnya tak
berani pula menunjukkan wajahmu."
"Itu bukan urusanmu," tukas orang itu setengah
menghardik "lekas katakan, apa maksud kedatanganmu
kemari?" Kertawardana tertawa pula, "Perlu harus kujawab" Padahal
aku tak perlu mendapat jawabanmu mengapa engkau berada
dalam tempat ini." "O, hendak merangkap aku" " desis orang itu.
"Kiranya engkau sudah tahu, mengapa perlu bertanya pula.
Hanya perlu kuberi pengertian yang lebih jelas bahwa keraton
Kahuripan ini bukan tempat bersenang-senang bagi kaum
penjahat." Orang itu menggeram "Hm, kutahu."
"Dan engkau tetap berani masuk kesini."
"Ya" sahut orang itu mulai timbul nyalinya "karena aku
mempunyai pengawal yang dapat kuandalkan."
"Siapa?" Kertawardana agak heran
penjahat itu hanya seorang diri.
karena dilihatnya "Keris pusaka ini," sahut penjahat itu seraya acungkan keris
ke atas, "sejak bertahun-tahun ikut menjadi pengawalku yang
dapat dipercaya. Tak pernah dia gagal melindungi tuannya
dari gangguan orang!"
"Terlalu besar engkau menaruh kepercayaan itu. Terlalu
berani engkau menghinanya!" seru Kertawardana.
"Apa maksudmu?"
"Kalau benar keris itu sebuah pusaka, malam ini dia harus
meninggalkan engkau. Sebuah pusaka yang suci hanya mau
mengeluarkan kesaktiannya untuk tujuan yang suci.
Membunuh orang secara menggelap seperti yang engkau
lakukan malam ini, jelas suatu perbuatan yang nista!"
Orang itu tertawa, penuh kegeraman yang gelisah "Raden
Kertawardana, kutahu maksudmu hendak menahan aku
dengan ucapan2 yang tajam. Bukankah sebentar lagi pasukan
bhayangkara keraton akan menyergap ke mari ?"
"Kalau mereka datang, itu memang sudah tugas mereka.
Tetapi aku tak mengundangnya " sahut Kertawardana "adakah
engkau kira, seorang diri aku tak mampu menghadapi
engkau?" "Hal itu masih harus dibuktikan dengan kenyataan" kata
orang itu "memang kudengar beberapa hari yang lalu ketika
diadakan adu banteng di alun-alun raden dapat menghantam
remuk kepala binatang itu. Tetapi banteng dan keris, tiadalah
sama. Betapapun ganas binatang itu namun tak sebanyaklah
kiranya dengan korban2 yang pernah dicabut nyawanya oleh
keris pusaka ini. Raden, kuharap suka menyingkir, jangan ikut
campur urusan ini." "Aku adalah seorang tetamu yang oleh gusti Rani
dipersilahkan bertempat di lingkungan keraton. Apabila terjadi


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembunuhan, bukankah diriku juga terlibat dalam dugaan"
Dan wajib pula kiranya seorang tetamu ikut melindungi
keselamatan tuan rumah."
"Kalau demikian mari kita selesaikan di luar keraton. Itupun
kalau raden memang bersikap ksatrya. Apabila tidak, akupun
bersedia juga menghadapi raden di sini. Adakah raden perlu
menunggu kedatangan prajurit2 bhayangkara?"
Kertawardana tahu apa maksud orang melantangkan katakata yang tajam itu. Namun ia hanya tertawa, "Tak perlu
engkau berkering lidah hendak membakar hatiku supaya kita
bertempur di luar keraton. Kutahu bahwa di sana, kawankawanmu sudah menunggumu. Namun memang itulah yang
kuharap agar sekaligus saja aku dapat meringkus engkau dan
gerombolanmu. Akupun tak percaya bahwa tulang kepalamu
lebih keras dari kepala banteng!"
Penjahat itu merah mukanya. Ia hendak membuka mulut
tetapi Kertawardana sudah loncat keluar. Walaupun penasaran
karena tak dapat menjawab ejekan raden itu, tetapi diamdiam ia gembira juga karena keinginannya untuk memancing
pemuda itu keluar keraton sudah terlaksana. Iapun segera
menyusul. Kertawardana berhenti di sebuah tanah kosong tak berapa
jauh dari tembok keraton. Keadaan di situ sunyi senyap.
Hanya gerumbul pohon yang berjajar-jajar menyaksikan
pertempuran itu. "Kalau engkau membawa kawan, suruhlah mereka keluar
dari tempat persembunyiannya" Kertawardana membuka jalan
pembicaraan. Penjahat itu tertawa. Nadanya lebih bebas dan berani
daripada ketika masih dalam keraton tadi "Raden, aku hendak
bicara kepadamu." "Masih kurangkah pembicaraan kita di dalam keraton tadi" "
tanya Kertawardana. "Ya, masih ada lagi yang penting" sahut orang itu, "kutahu
raden hendak menangkap aku karena menginginkan hadiah
dari Rani Kahuripan, bukan?"
"Sama sekali tidak" sahut Ketawardana "di keraton, di jalan,
di hutan dan di manapun juga apabila aku melihat kejahatan
berlangsung tentu aku akan memberantasnya. Lebih-lebih
kejahatan yang berupa pembunuhan gelap."
"Tetapi bukankah pembunuhan gelap itu tak terjadi?"
bantah orang itu "mengapa raden terkeras hendak menangkap
diriku" Ah, raden, apabila raden suka menerima usulku ini,
tentu raden akan mendapatkan kebahagiaan yang besar."
Kertawardana tertegun, merenung lalu tertawa, "Katakanlah
apa maksudmu?" Orang itu menatap tajam-tajam akan perobahan wajah
Kertawardana. Demi melihat raden itu berseri wajahnya, iapun
segera berkata, "Apabila raden menangkap aku dan
mempersembahkan ke hadapan Rani Kahuripan raden hanya
mendapat pujian dan terima kasih. Tetapi kalau raden
bersedia melepaskan aku dan syukur lagi raden suka bekerja
sama dengan aku, wah, ganjarannya tentu lebih besar lagi.
Pangkat tinggi dan harta benda yang berlimpah-limpah."
Kertawardana terkesiap pula. Mulailah ia makin yakin akan
dugaannya bahwa di balik usaha pembunuhan terhadap
pangeran Wijaya dari Wengker itu tersembunyi tangan-tangan
kotor yang merancangnya. Namun siapakah manusia yang
bertangan kotor itu" Segera perhatian Kertawardana tertarik
untuk menyingkap tabir kegelapan yang mengabut peristiwa
itu. Ia mencerahkan sebuah senyuman "Ah, meluluskan atau
tidak, tergantung pada persoalannya. Orang yang menilai soal,
bukan soal yaug menentukan orang."
"Maksud raden?"
"Katakan dulu yang jelas, siapa yang memberi ganjaran itu
dan untuk apakah ganjaran itu diberikan."
Cepat orang itu menjawab kesemuanya itu dan raden permintaanku." "Aku yang mengurut hanya melaksanakan "Dengan begitu aku harus mempercayai engkau dengan
penuh?" desuh Kertawardana "wah, engkau memperlakukan
aku sebagai anak kecil. Atau apabila kutarik lebih dalam,
engkau menganggap aku seorang budak."
"Tidak, raden" orang itupun tersipu-sipu menyangkal "sama
sekali tiada anggapan begitu dalam perasaanku. Raden kami
dudukkan dalam peran yang penting dan kami hargai sebagai
tenaga yang berharga."
"Paling tidak, aku harus mengetahui siapakah dirimu!" tukas
Kertawardana. Orang itu mendesah "Ah, harap raden percaya kepadaku.
Bukan aku tak mau menyebut siapa diriku tetapi baiklah hal itu
kita bicarakan lain waktu saja ....."
"Ha, ha" Kertawardana tertawa "engkau bicara, berpikir,
dari segi kepentinganmu sendiri. Engkau mengharuskan aku
percaya tetapi engkau sendiri tak percaya kepadaku. Jika
kukatakan engkau menganggap aku seperti anak kecil atau
seperti budak, engkau menyangkal. Engkau tidak memberi
penerangan sama sekali kepadaku, walaupun hanya setitik.
Tentang tujuan dan maksud dari rencana yang hendak engkau
minta aku melakukannya itu."
Orang itu terdiam. Rupanya ia sangat hati-hati sekali
memagari kata katanya. "Pertama" katanya beberapa saat
kemudian "rencana pembunuhan terhadap pangeran Wijaya
ini, termasuk rencana tingkat atas. Dirancang dan
diperintahkan oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan
besar di pura kerajaan"
"Majapahit?" Kertawardana menegas.
Orang itu mengangguk. "Benar. Pangeran Wijaya tak
dibenarkan berada di Kahuripan."
"Mengapa?" tanya Kertawardana mengulas rasa kejutnya
dengan menekan nada setenang mungkin.
"Mengganggu ketenangan gusti Rani Kahuripan"
"O, termasuk diriku, tentunya!" seru Kertawardana.
Orang itu tak lekas menjawab. Rupanya ia terlalu hati-hati
untuk bicara. Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga.
Karena sepatah ucap, akan rusaklah seluruh pembicaraan
yang sudah mulai menguncupkan buah. Ia menyadari hal itu.
"Sesungguhnya demikian" katanya kemudian "namun masih
ada perbedaannya. Apalagi jika raden bersedia membantu
kami persoalan raden itu akan berganti warna."
"Ki sanak, eh, bagaimana aku harus menyebut dirimu" "
tanya Kertawardana. "Kidang Soka." "Kidang Soka?" Kertawardana menegas "aneh rasanya aku
pernah mendengar nama itu. Tetapi ..... itu bukan nama
orang." Orang itu tertawa semu "Raden luas pengalaman. Memang
nama itu nama keris pusakaku ini. Dan setiap anggauta kami
memiliki nama senjata yang dipakainya"
"O" desis Kertawardana. Ia tak mau mendesak nama yang
sesungguhnya dari orang itu karena yakin takkan memperoleh
hasil "Kidang Soka, aku masih belum jelas apa yang engkau
maksudkan dengan perbedaan antara diriku dengan pangeran
Wijaya." "Ah, raden sudah melangkah agak jauh," orang itu tertawa
"tetapi semoga dengan pengetahuan itu, kesetiaan raden
untuk membantu kami akan lebih mantap. Perbedaan itu
hanya didasarkan atas besar kecilnya akibat dari gangguan
yang timbul karena kehadiran raden berdua di Kahuripan.
Dalam hal ini, pimpinan kami telah mengadakan penilaian
yang teliti." Orang itu berhenti sejenak untuk menyelidik kesan. Tampak
- Kertawardana tenang2 saja.
"Maaf, raden, apabila aku terpaksa mengatakan hal itu.
Penilaian pimpinan kami didasarkan atas tinggi rendahnya
derajat diri raden berdua. Raden Wijaya adalah pangeran
adipati anom dari kerajaan Wengker. Kelak dia tentu yang
akan menjadi raja Wengker. Dengan demikian gangguan yang
ditimbulkannya akan membawa akibat yang besar. Sedangkan
diri raden, beda dengan keadaan pangeran Wijaya."
Kertawardana tahu bahwa orang itu tak mau mengatakan
kalau dirinya bukan seorang anak raja. Sesungguhnya ia
merasa agak tersinggung tetapi pada lain kilas, ia bahkan
merasa gembira karena hal itu meringankan keselamatan
jiwanya. "Tetapi hal itupun tergantung pada keadaan selanjutnya,"
kata orang itu pula seolah tahu apa yang bersemi dalam hati
Kertawardana. Ia cepat memagari kuncup itu agar jangan
tumbuh di luar batas pagar itu "dan keadaanpun tergantung
pada raden sendiri" Kertawardana tertawa di mulut dan dalam hati. Orang itu
jelas memancarkan ancaman di balik selubung ucapannya.
Agar Kertawardana mau menurut kepada mereka. Diam-diam
pemuda itupun sudah mengangankan suatu rencana.
"Kidang Soka" katanya "marilah kita persingkat
pembicaraan ini. Jelasnya pangeran Wijaya tak dibenarkan
berada di Kahuripan karena mengganggu rani Kahuripan.
Dikuatirkan pangeran itu akan dapat merebut hati gusti Rani.
Demikian pula dengan diriku. Dengan demikian jelas fihak
pimpinanmu itu tak menyukai raden Wijaya, aku dan semua
pemuda yang lain, mengganggu gusti Rani Kahuripan.?"
Orang itu mengangguk lirih.
"Dengan demikian jelaslah bahwa pucuk pimpinanmu itu
orang yang menaruh maksud terhadap gusti Rani. Di dalam
pura kerajaan, berita telah tersiar luas, betapa perlakuan yang
diderita kedua gusti rani itu tatkala berada dalam pura. Dari
peritiwa itu dapat kiranya kurangkai suatu kesimpulan bahwa
yang merancang rencana ini ....."
"Ah, kiranya pengetahuan raden cukup luas, penelitian
raden amat tajam," tukas orang itu. Rupanya ia kuatir
pembicaraan akan menyelinap makin jauh sehingga membawa
dia kepada suatu pengakuan tentang diri orang yang memberi
perintah pembunuhan itu, "raden, aku setuju akan pernyataan
raden tadi untuk mempersingkat pembicaraan ini. Ringkasnya,
bukankah raden setuju menerima permintaanku" Tentang
soal-soal lain, akan raden ketahuilah segera setelah rencana
itu selesai." "Baik, katakanlah apa yang harus kulakukan," kata
Kertawardana yang sudah mempunyai rencana.
"Kuminta raden jangan menceritakan kepada siapa pun
tentang peristiwa malam ini. Terutama kepada pangeran
Wijaya" kata orang itu lalu tiba-tiba mengajukan pertanyaan
"bilakah raden dan pangeran Wijaya akan meninggalkan
Kahuripan?" "O" seru Kertawardana "hal itu tergantung pada gusti Rani.
Mungkin dua hari mungkin tiga hari lagi kami akan pulang!
Tetapi ada kemungkinan lain, pangeran Wijaya akan dititahkan
untuk mengiringkan gusti Rani Daha kembali ke Daha."
"Bagus, raden" seru orang itu gembira "apapun yang akan
berlangsung, adakah pangeran Wijaya menyertai rombongan
Rani Daha pulang ke Kediri ataukah ia terus pulang ke
Wengker, tetapi usahakanlah agar raden menyertainya dan
mengambil jalan di kaki gunung Wilis"
"Maksudmu?" "Kurasa raden tentu sudah dapat memaklumi sendiri.
Karena perintah yang kuterima yalah untuk melenyapkah
putera raja Wengker itu agar kelak jangan menimbulkan
gangguan pada kedua Rani itu."
"O" desuh Kertawardana "haruskah pembunuhan itu
dilaksanakan " Adakah tiada jalan lain, misalnya memberi
peringatan agar pangeran Wengker itu jangan berani pula
mengunjungi daerah kekuasaan kedua rani."
"Aku hanya menjalankan titah. Selama tiada perobahan
perintah dari pimpinanku, titah itu tetap terlaku." Jawab orang
itu. Kertawardana merenung. Ia berusaha membayangkan,
menyelami kemungkinan yang mungkin dilakukan oleh orang
itu dengan gerombolannya. Serentak timbul suatu kesimpulan
yang menggerenyutkan rasa kecemasannya. Pernyataan orang
itu bahwa ia akan diberi kebebasan apabila mau membantu
rencana mereka masih harus disangsikan. Bukankah apabila ia
menyertai pangeran Wijaya melalui jalan di kaki gunung Wilis,
mereka akan menyergapnya " Adakah pembunuhan itu hanya
ditujukan kepada diri pangeran Wijaya saja" Apakah tidak
mungkin sekaligus mereka juga akan membunuh dirinya "
"Hm, licin benar penjahat ini " pikirnya "aku harus melaporkan
peristiwa ini kepada rangga Tanding agar dalam mengantar
Rani Daha pulang ke Daha, disertai dengan pengawalan
pasukan yang kuat. Untuk menjaga keselamatan Rani, pun
untuk membekuk kawanan penjahat itu."
Setelah menetapkan rencana, Kertawardanapun berkata
"Sebaiknya engkau mengetahui tanggal keberangkatan
pangeran Wijaya pulang ke Wengker. Lalu dengan cara
bagaimanakah aku dapat menyampaikan berita itu?"
Kertawardana berusaha untuk melangkahkan penyelidikan
sejauh yang dapat diperolehnya.
"Soal itu" kata yang ditanya "tak usah raden menyibukkan
diri. Apa yang terjadi di keraton Kahuripan tentu sudah sampai
di tangan kami." Kertawardana terkejut. Namun cepat ia mengendapkan
ketegangan kerut wajahnya "Adakah engkau mempunyai
orang-dalam di keraton Kahuripan?"
"Herankah raden akan hal itu?"
"O, tidak" cepat Kertawardanapun dapat menanggapi
"bertolak pada keteranganmu bahwa yang menggerakkan
rencana ini yalah seorang yang berkuasa besar di pura
Majapahit, kurasa memang dapat juga pengaruhnya
menyusup ke dalam tubuh mentri narapraja Kahuripan."
"Oleh karena itu tak perlulah kiranya raden berbimbang hati
karena kita mempunyai sandaran yang begitu kuat," orang
itupun tertawa. Kertawardana tertegun. Pikirannya pun berangan-angan
pula, "Ah, sudah sedemikian besarkah pengaruh baginda
menggenggam pura Kahuripan " Jika demikian, aku wajib
meninjau lagi soal rencanaku tadi. Layakkah aku melapor
kepada rangga Tanding" Ah, bila perlu aku akan menghadap


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang Rani sendiri." "Raden" tiba-tiba orang itu mengemasi pembicaraan "oleh
karena tiada yang perlu kita bicarakan pula. Akupun hendak
mohon diri. Sekali lagi kumohon kepercayaan raden kepada
diriku. Dan akupun berjanji, demi para dewa yang agung,
akan melaksanakan kepercayaan raden itu sebaik-baiknya."
Orang itu memberi hormat lalu berputar diri dan ayunkan
langkah. Tepat beberapa langkah tiba di tepi sebuah gerumbul
semak, sekonyong-konyong sesosok tubuh loncat ke tengah
jalan menghadangnya. "Hai, siapa !" orang itupun terkejut, menyurut mundur,
menghunus keris siap menerjang.
Penghadang itu bertubuh agak pendek. Dalam keremangan
sinar bulan, tampak dia mengenakan pakaian keprajuritan.
Usianya masih muda. Berwajah bulat dengan jidat lebar dan
mata bundar yang bersinar tajam.
"O, engkau seorang prajurit Kahuripan" seru orang itu pula
ketika menerima tatap pandang penghadang itu seolah,
memancar, jawaban. "Itu tidak penting" sahut penghadang itu dengan nada
mantap "masih ada yang lebih penting dari itu."
"Wah, wah" desis orang itu "kulihat engkau masih muda
tetapi tampaknya ingin mengunjukkan wibawa atau sengaja
berhias wibawa untuk menyelubungi ketakutanmu."
"Terserah kepadamu" sahut prajurit muda itu "tetapi perlu
menjadi pengertianmu, bahwa bukan kali ini aku berhadapan
dengan penjahat secongkak engkau. Tetapi sayang akhirnya
mereka harus merangkak-rangkak."
"Hebat, hebat!" seru orang itu "selama berpuluh kali
berhadapan dengan mereka2 yang berani melawan aku,
belum pernah aku berhadapan dengan seorang anak muda
yang segarang engkau."
"Dipa ..." tiba-tiba karena melihat orang itu berhenti dan
bercakap-cakap dengan seseorang, Kertawardana segera
menghampiri. Serta melihat prajurit muda itu Dipa, ia pun
memanggilnya. Dipa berpaling "Raden, nanti kita bicara lagi. Aku hendak
menyelesaikan penjahat ini" ia terus berpaling ke muka pula
dan melanjutkan kata-kata kepada orang itu, "Tidak perlu
berbanyak kata. Bilanglah dengan tegas, engkau menyerahkan
diri atau hendak melawan?"
"O, prajurit" seru orang itu dengan nada yang tenang,
seolah menganggap ancaman Dipa itu bagai angin lalu, "aku
suka dengan sikapmu yang tangkas dan berani. Rasa suka itu
menimbulkan rasa sayang dalam hatiku apabila engkau
seorang prajurit yang masih muda belia, harus lekas menutup
riwayat. Ketahuilah, keris pusaka Kidang Soka ini sudah
banyak mengantar jwa orang ke neraka."
"Ya, kutahu" "Engkau tahu" Adakah engkau mendengar pembicaraanku
dengan raden Kertawardana tadi?" seru orang itu agak
terkejut. "Bahkan tingkah laku di dalam puri keraton tadi akupun
melihatnya." "Hai !" orang itu menyurut selangkah ke belakang. Hampir
ia tak percaya akan hal itu. Dan cepat ia dapat menduga
bahwa prajurit muda itu tentu hanya hendak menggertaknya
belaka, "hm, engkau benar2 bermulut besar. Menilik umurmu
engkau tentu baru beberapa bulan atau paling lama tentu
baru setahun menjadi pajurit. Bagaimana engkau hendak main
gertak di hadapan seorang pengalasan yang setua diriku?"
"Kenyataan bukan ditentukan oleh tua muda, pengalaman
atau belum pengalaman. Karena kenyataan itu memang
kudengar dan kulihat dengan mata kepalaku sendiri."
Sejenak meregang dahi, Kidang Soka pun menghambur
tawa. "Bagus, prajurit muda, menilik raut wajahmu dan
mendengar ketangkasanmu berbicara, engkau memang bakal
menjadi prajurit gemblengan. Makin besarlah rasa sayangku
apabila engkau tak dapat mengenyam hari depan yang
gemilang. Tentunya engkau sudah mendengar apa
pembicaraanku dengan raden Kertawardana. Dan kukira,
engkaupun tentu suka untuk mengikuti jejak raden Wardana
karena langkah itu langkah kanan, langkah yang akan
menjenjang kebahagiaan hidupmu, prajurit muda."
Dipa tertawa ejek. "Kami akan menerima dirimu dengan gembira sekali. Dan
akulah yang kelak akan mengusulkan engkau ke atas titian
pangkat yang lebih tinggi. Paling tidak engkau tentu diangkat
sebagai bekel atau tamtama," Kidang Soka menyusulkan pula
kata-katanya untuk memikat perhatian Dipa.
"Pembicaraanmu dengan raden Kertawardana, tidak
mengikat diriku. Raden Kertawardana adalah raden
Kertawardana dan aku adalah aku, prajurit yang mengemban
tugas untuk menyapu setiap penjahat yang berani mengacau
keamanan puri Kahuripan ...."
"Dipa ..." terdengar pula Kertawardana cemas. Ada sesuatu
yang tersumbat dalam kerongkongan. Ingin ia hendak
menerangkan tetapi sukar untuk mengatakan pada saat itu.
"Aku berdiri di atas pijakan pendirianku sendiri. Mengapa
engkau membujuk aku harus mengikuti jejak raden
Kertawardana" Semisal engkau pun tentu mempunyai
landasan dalam melakukan pekerjaanmu itu. Engkaupun tentu
tak mau apabila kuanjurkan supaya menurut kehendakku."
"Hebat!" Kidang Soka untuk kesekian kalinya harus
menghambur puji. Ia terperanjat berhadapan dan
mendengarkan ucapan2 yang tajam dari seorang prajurit yang
masih sedemikian muda belia, "kemampuanku hanya
menasehati dan memberi petunjuk namun keputusan adalah
pada dirimu sendiri. Apabila engkau tetap berkeras kepala
hendak menangkap aku, akupun akan melawanmu. Tetapi
untuk yang terakhir kalinya aku perlu memberi peringatan
kepadamu bahwa keris pusaka Kidang Soka yang terselip di
pinggangku ini, terlalu ampuh bagi setiap orang yang hendak
melawan aku." "Aku akan mati dengan rela kalau memang harus mati
berkalang keris pusakamu itu. Karena kutahu kematianku itu
tak sia2. Sekurang-kurangnya akan memberi peringatan
kepadamu dan kepada siapa saja yang bertujuan seperti
engkau, bahwa pura Kahuripan itu bukan suatu taman yang
indah bagi para petualang jahat."
Orang yang memakai nama kerisnya, Kidang Soka,
membelalak. Sesungguhnya ia merasa tertarik akan peribadi
dan sikap Dipa. Namun karena jelas anak itu keras kepala,
pula karena ia harus lekas2 tinggalkan tempat itu, terpaksa ia
harus segera menyelesaikannya. "Dia hanya prajurit biasa,
kalau memang tak dapat kubujuk, baiklah kusirnakan saja.
Seorang raden Kertawardana, seratus kali lebih berharga
daripada prajurit semacam itu," pikirnya.
"Hunuslah senjatamu" serunya kepada Dipa sedang ia
sendiripun sudah mempersiapkan keris pusakanya yang
dibanggakan itu. Sebenarnya Dipa enggan untuk bertempur dengan senjata.
Ia merasa lebih dapat mengembangkan tenaganya apabila
berkelahi dengan tangan kosong. Namun karena orang sudah
bersiap dengan keris pusaka, iapun segera mengeluarkan
Gada Intan, gada pusaka yang diperolehnya dari kuburan
Wirare dahulu. "Aku tak mempunyai senjata apa2 kecuali
sepotong besi bulat pandak ini. Marilah."
"Memang benar," seru Kidang Soka tertawa renyah, "bahwa
anak kambing itu tak takut pada harimau."
"Memang benar," sambut Dipa "karena harimau itu
sesungguhnya bukan binatang yang berani. Maka dia selalu
menggemparkan aumnya untuk meruntuhkan nyali musuh."
"Apa katamu" Harimau itu bukan binatang pemberani?"
teriak Kidang Soka. "Dia seorang pembunuh yang licik. Tak berani berhadapan,
maka ia selalu menerkam dari belakang, seperti engkau....."
"Keparat!" karena tak dapat menahan luapan kemarahan,
Kidang Soka loncat menikam dengan keris pusaka. Sekali
gerak, ingin ia merobek dada Dipa maka tusukan keris pun
dilambari dengan tenaga yang penuh.
Dipa menghindar ke samping walaupun sesungguhnya ia
ingin mengadu senjata. Apabila keris penjahat itu sudah dapat
dihancurkan, mudahlah untuk menangkapnya hidup. Dan
memang sedapat mungkin ia akan berusaha untuk
menawannya agar dapat dipersembahkan ke hadapan
pimpinan prajurit Kahuripan.
Gerak penghindaran Dipa, mulai membuka mata Kidang
Soka, bahwa prajurit muda yang dihadapinya itu memiliki tata
gerak yang tangkas, bahkan dirasakannya lebih tangkas dari
dirinya. Namun ia adalah seorang jago pilih tanding yang telah
ditunjuk untuk melakukan pembunuhan gelap terhadap
pangeran Wijaya. Penunjukan itu tentu atas dasar penilaian
dari ilmu kekebalan dan kesaktian yang dimiliki, kesetyaan dan
keberaniannya yang menonjol pula.
"Bagus prajurit muda," serunya seraya berputar arah,
melingkar-lingkar bagai seekor ular lalu tiba-tiba pula
menusukkan ujung keris ke lambung Dipa. Suatu gerak tata
kelahi yang menyerupai ular menerkam korbannya.
"Ih" tiba-tiba ia mendesis kejut karena sasaran yang
diperhitungkan tentu akan dapat ditusuknya, tiba-tiba berkisar
sedikit, lebih kurang sekilan dari ujung keris, sehingga hanya
angin kosong yang diterpa keris itu. Dan manakala tusukan
kedua yang diulang dngan gerak yang cepat, pun menyambar
sekilan jaraknya di sisi bahu Dipa, serentak berteriaklah
pengalasan Kidang Soka, "Aji Lembu sekilan.....!"
"Apa pedulimu" sahut Dipa mengejek walaupun diam-diam
ia terkejut karena lawan mengetahui nama tata-gerak yang
dilakukan. Pun Kidang Soka tak kurang kejutnya. Setitik pun ia tak
menyangka bahwa prajurit yang masih berumur di bawah
duapuluh tahun itu, ternyata memiliki suatu ilmu tata langkah
yang jarang dipunyai sembarang orang. Bahkan sejauh
pengalamannya bertempur dengan musuh, belum pernah
terdapat seorang lawan yang memiliki ilmu kepandaian itu.
Dahulu ketika ia belajar ilmu pada gurunya di gunung Wilis,
pernah juga gurunya menceritakan tentang ilmu itu. Namun
gurunya tak memberi ajaran kepandaian itu. Mungkin karena
tak memiliki, Mungkin pula karena belum waktunya. Tetapi
yang jelas ia tak pernah menerima ilmu itu dari gurunya.
Hanya gurunya pernah berpesan bahwa aji Lembu-sekilan itu
sebenarnya suatu aji semu. Aji yang mengaburkan pandangan
mata karena tampaknya sudah mengenai, tetapi sebenarnya
masih terpisah sekilan jauhnya.
Untuk memecahkan ilmu itu, demikian wejangan guru
Kidang Soka, yalah harus membantah apa yang dirasakan oleh
pandang mata. Teruskan pukulanmu ataupun tusukan
senjatamu ke muka. Jangan merasa kalau sudah mengena
sasaran apabila tangan atau senjatamu belum terasa
menumbuk tubuh lawan. Dan saat itu teringatlah Kidang Soka
akan pesan gurunya. "Jangan bertepuk dada dulu, prajurit" seru Kidang Soka,
"lihatlah bagaimana kuhancurkan ilmumu itu!"
Kidang Soka menutup kata-kata dengan sebuah terjangan
yang telah dipersiapkan dengan perhitungan masak2, sesuai
dengan pesan gurunya. "Hm, yang itu-itu lagi" seperti yang telah diduga pandang
matanya merasa kalau ujung keris sudah mengenai bahu kiri
Dipa tetapi ia belum merasa kalau ujung keris itu membentur
tubuh lawan. Maka dengan menggerung keras, ia terus
condongkan tubuh ke muka untuk mengejarkan ujung keris ke
depan - Tring ......."
Kidang Soka tertegun, terlongong-longong memandang
keris pusakanya yang tinggal tangkainya. Batang keris
melenting jatuh akibat terbentur dengan gada Intan. Baik keris
Kidang Soka maupun gada Intan, keduanya termasuk senjata
pusaka. Kerasnya hantaman gada telah menyebabkan keris
terobek pecah tangkainya dan memberojot jatuh ke tanah.
Sesaat menyadari bahwa yang dialaminya itu benar2 Suatu
kenyataan, Kidang Sokapun terhentak dari kemenungan dan
serempak dengan itu ia mulai merasakan telapak tangannya
terasa sakit. Dan ketika diamatinya ternyata telapak tangan
bagian bawah tergurat robek dan berdarah. Namun hal itu tak
dihiraukannya karena pikirannya segera tertumpah pada
batang keris yang terkapar di tanah. Cepat ia loncat hendak
menjemput tetapi sebuah kaki orang telah mendahului
menginjak batang keris itu.
"Kalau kuhantamkan gada ini, kepalamu tentu hancur.
Menyerahlah!" seru sebuah suara bernada mantap, berasal
dari orang yang menginjak batang keris itu.
Kidang Soka menyadari bahwa yang menginjak dan
mengancam itu adalah lawannya, Dipa prajurit taruna dari
Kahuripan. Sesungguhnya ia harus mau mengakui
kekalahannya namun keangkuhannya sebagai seorang yang
lebih tua dan yang menurut anggapannya lebih sakti, lebih
pengalaman, menghapus suara hatinya, serentak timbullah
rasa penasaran terhadap lawan yang dipandangnya sebagai
anak kemarin sore. Maka tanpa menjawab, ia terus
mengangkat tubuh dan menikamkan tangkai keris itu ke perut
Dipa. "Ya, inilah penyerahanku ......."
Pyar.....Kidang Soka mengaduh, terhuyung-huyung dua tiga
langkah ke belakang sambil mendekap tangan kanannya yang
berlumuran darah. Pada saat ia menikam dengan tangkai keris, Dipa pun
menyerempaki dengan ayunan gada pusakanya.
Selemikian tepat hantaman gada itu hingga tangkai keris
pecah berhamburan dan meledak pula kulit telapak tangan
Kilang Soka hingga berlumuran darah.
"Sekali lagi kukatakan, jika kuayunkan gada ini, kepalamu
tentu pecah!" seru Dipa yang sudah berayun kehadapan
orang. "Bunuhlah aku!" Kidang Soka menengadahkan kepala,
menyahut dengan penuh keangkuhan.
"Aku tak berkuasa menjatuhkan hukuman, hanya
berwewenang menangkapmu dan menghadapkan kepada
yang berwajib mengadili dirimu" kata Dipa, "adakah engkau
masih hendak melawan?"
"Engkau bersenjata gada, aku bertangan kosong. A pa guna


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku melawanmu?" sahut Kidang Soka masih bernada
penasaran. Dipa cepat menyimpan gada lalu menjawab, "Mari, kita
teradu pukulan." Melihat prajurit muda itu mau menyimpan gada dan mau
menawarkan tantangan, timbul pula semangat Kiding Soka. Ia
tegakkan kepala, membusungkan dada. "Bagus, prajurit muda,
engkau memang jantan. Mari kita adu kerasnya tulang
tangan." "Segeralah mulai saja!" sambut Dipa seraya bersiap-siap.
Dan memang cepat sekali pukulan Kidang Soka segera
melayang ke arah dada. Dan Dipa sudah mempunyai rencana.
Ia hendak menyelesaikan orang itu secepat mungkin,
menangkapnya dan membawa kepada rangga Tanding, kepala
bhayangkara keraton. Kecongkakan Kidang Soka, makin
menimbulkan kegairahan Dipa untuk menghancurkannya.
Pukulan Kidang Soka disambar dengan kedua tangan, terus
dipelintir sekeras-kerasnya.
"Auh....." Kidang Soka menjerit tertahan, dan untuk
meringankan rasa sakit yang hebat pada lengannya, terpaksa
ia harus ikut berputar tubuh sehingga ia berdiri membelakangi
Dipa. Baru ia agak merasa longgar dari nyeri kesakitan, tibatiba pula tubuhnya terasa terangkat ke belakang lalu
melambung ke udara, menukik ke bumi, bluk .... Sendi2
tulang, urat-urat nadi bagai terlolos dari persambungan. Darah
meluap ke kepala, mencengkam dan meledak, berhamburan
menenggelamkan kedasaran pikirannya.....
Kidang Soka terkapar tak sabarkan diri. mencengkeram lengannya, memutar tubuh menggentakkannya keatas dan membantingnya.
selesailah sudah pertempuran itu.
Dipa lalu Dan "Dipa, engkau hebat" Kertawardana menghampiri.
"Ya, kepada kaum penjahat, memang harus diperlakukan
begitu" sahut Dipa dalam nada agak tak senang. Ditatapnya
Kertawardana dengan lekat.
Agak terkesiap juga kiranya Kertawardana menderita
pandang mata Dipa yang penuh pertanyaan dan kesangsian
sebagaimana halnya terhadap seseorang yang belum dikenal.
Bahkan lebih dari itu, sinar mata Dipa itu mengandung pula
tuntutan "Dipa, adakah engkau menyaksikan diriku ?" karena tak
tahan, akhirnya Kertawardana meluapkan perasaannya.
"Andai aku tak mendengar pembicaraan raden dengan
orang itu, alangkah baiknya" sahut Dipa.
"Kutahu engkau tentu curiga kepadaku" kata Kertawardana
sambil menghias senyum. "Salahkah kalau aku memiliki perasaan demikian?" tanya
Dipa. "Tidak" jawab Kertawardana "tetapi kuhadap, engkau pun
mau mendengar keteranganku bahwa apa yang kubicarakan
dan janjikan kepada orang itu hanyalah sekedar suatu siasat
agar dapat membongkar siapakah yang berdiri di belakang
komplotan pembunuh itu"
Dipa tertawa gersang, "Memang seseorang yang akan
melakukan perbuatan jahat, sebelum dan apabila kepergok,
tentu sudah mempersiapkan pembelaan."
"O, jadi engkau tak mau menerima penjelasan itu ?"
Kertawardana menegas, "engkau tak percaya kepadaku?"
Dipa cepat menjawab, "Kepercayaan lahir dari kenyataan.
Aku tak ingin memperkosa batinku untuk menaruh
kepercayaan lain dari apa yang kudengar dan kulihat dengan
mata kepala. Dan lebih dari itu pula, tugasku sebagai seorang
prajurit mengharuskan aku menjunjung Kewajiban daripada
lain2 kepentingan peribadi termasuk hubungan persahabatan.
Yang kuhadapi saat tadi, mewajibkan aku harus membawa
raden kepada pucuk pimpinanku."
"Siapa?" seru Kertawardana penuh cemas. Bukan karena ia
takut mempertanggung jawabkan pembicaraannya dengan
Kidang Soka tadi. Melainkan ia masih ingat dan mencatat
dalam hati apa yang diucapkan Kidang Soka tadi bahwa di
dalam kalangan mentri narapraja dan senopati Kahuripan,
terdapat banyak sekali orang2 yang menjadi kaki tangan fihak
kerajaan Majapahit. Fihak yang akan menguasai dan
mengekang gerak gerik sang Rani.
"Rangga Tanding, kepala bhayangkara Kahuripan" sahut
Dipa. "O" Kertawardana mendesuh kejut. Apa yang diduga
memang menjadi kenyataan. Apabila rangga itu seorang
senopati setya dari Rani Kahuripan, persoalannya memang
mudah diselesaikan. Tetapi bagaimana andai rangga itu salah
seorang kaki tangan Majapahit" Bukankah, demi siasat untuk
melenyapkan orang yang hendak menentang rencana dari
kerajaan itu, rangga itu dapat menuduhnya sebagai komplotan
Kidang Soka " Dan apabila sampai pada persoalan itu, tentu
akan hancurlah namanya di dalam pandangan sang Rani.
Kehancuran itu akan membawa akibat lain yang lebih
menderita. Perhatian dan kepercayaan sang Rani yang sudah
mulai bersedia kepada dirinya, tentu akan tumbang tercabut
sampai akar-akarnya. "Dipa, mengapa engkau tak percaya kepadaku ?" bergegas
ia menyusuli kata-kata. "Maaf, raden, saat ini aku seorang prajurit yang sedang
melakukan tugas. Janganlah raden memaksakan Kepercayaan
untuk menyuruh aku mengabaikan tugas. Aku tak
berwewenang memberi keputusan."
Kertawardana makin gelisah, "Dipa" serunya gegas,
"percayalah kepadaku. Pembicaraanku tadi hanyalah suatu
siasat. Aku bukan manusia yang mengabdi pada ganjaran
pangkat." "Raden, apabila raden memang merasa bersih, mengapa
pula raden takut berhadapan dengan ki rangga" Raden dapat
menjelaskan keterangan raden di hadapannya."
Kertawardana menghela napas, "Ah, aku kuatir Dipa, ada
sesuatu yang kuduga itu akan terbukti. Bahwa dalam keraton
Kahuripan sudah berlumuran jejak musuh dalam selimut.
Untuk menjaga hal semacam itulah maka kuminta engkau
jangan membawa aku kepada ki rangga."
"Kalau seorang yang kuanggap sebagai seorang sahabat
seperti dirimu, pun tak percaya kepadaku, mustahilkah kalau
ki rangga akan menolak keteranganku juga?" seru
Kertawardana semu mengkal.
Dipa terkesiap mendengar ucapan tajam dari Kertawardana.
Namun sesaat kemudian ia dapat menjawab, "Raden, sudah
kukatakan, harap jangan memaksakan kepercayaan yang
berlainan dengan kenyataan yang kulihat dan kudengar. Lain
Dipa lain ki rangga. Dipa masih hijau, beda dengan ki rangga
yang banyak pengalaman. Apabila dia menganggap
keterangan raden itu beralasan, tentulah akan diterima
dengan kepercayaan penuh."
Kertawardana menghela napas, "Artinya engkau tetap
bersikeras hendak membawa aku ke hadapan ki rangga,
bukan?" "Kurasa raden tentu tak keberatan," Dipa menanggapi.
"Apabila aku mengecewakan harapanmu?"
"Ah, semoga tidak, raden"
Kertawardana tertawa, "Dipa, janganlah engkau memaksakan kepercayaan pada dirimu bahwa aku tentu
menerima permintaanmu. Engkau harus percaya pada
kenyataan saat ini bahwa Kertawardana takkan menyerah
begitu saja kepada seseorang yang sudah tak percaya
kepadanya ..." "Raden!" teriak Dipa "jadi maksud raden menolak maksudku
menghaturkan raden ke hadapan ki rangga?"
"Benar, Dipa" sahut Kertawardana "telah kupikirkan hal itu
semasak-masaknya sampai pada akibat2 apa yang akan
kuhadapi." Dipa kerutkan alis, "Adakah dengan sikap raden itu takkan
menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya raden memang
mempunyai rencana seperti dalam pembicaraan dengan orang
itu?" Kertawardana tertawa mencemoh, "Percuma aku harus
berkering lidah untuk memberi penjelasan. Karena segala
penjelasanku itu engkau abaikan bagaikan angin lalu belaka.
Maka tidaklah lebih baik bila aku mengambil cara lain dari itu?"
Merah muka Dipa. Hatinya tegang sekali, dilanda
pertentangan bathin yang dahsyat. Antara dua pertimbangan
yang bersimpang arah. Bila ia melepaskan Kertawardana
berarti ia mengingkari kenyataan dari apa yang dilihat dan
didengarnya dari pembicaraan antara Kertawardana dengan
Kidang Soka tadi. Dengan demikian iapun mengabaikan tugas
karena mengutamakan kepentingan persahabatan. Namun
kalau ia tetap berkeras hendak membawa raden itu ke
hadapan rangga Tanding, tentulah akan terjadi salah faham
dengan Kertawardana karena jelas raden itu tetap menolak.
Dan salah faham itu mungkin akan meletus menjadi
perkelahian. Sejenak ia menatap wajah Kertawardana. Dari pancaran
wajah raden itu, ia menemukan kesan bahwa mustahil
seorang pemuda seperti Kertawardana akan bersekutu dengan
komplotan pembunuh. Namun kalau ia teringat akan
pembicaraan mereka tadi, sudah jelas bahwa raden itu
memang sudah menyatakan persetujuannya untuk bersekutu
dengan mereka ..."Ah, karena orang itu sudah kutangkap
maka raden Kcrtawaredana pun berusaha untuk menyangkal
dan membersihkan diri," akhirnya ia menarik kesimpulan.
"Raden Kertawardana" serunya kemudian "aku amat
menghormati raden dan menghargai kepercayaan raden yang
telah sudi memandang diiiku sebagai sahabat. Namun aku
lebih menghormati dan menghargai tugas yang telah
dipercayakan diatas bahuku. Bukan karena aku gila pangkal
daripada persahabatan tetapi tugas harus kuutamakan diatas
segala" Dipa berhenti sejenak, lalu "dan pedoman daripada
tugasku itu yalah kenyataan."
"O, artinya engkau tetap hendak membawa aku kepada ki
rangga?" masih Kertawardana menegas walaupun sudah
dapat menduga. "Benar, raden," sahut Dipa.
"Baiklah, Dipa," kata Kertawardana, "memang jalan itu tidak
selalu rata, demikian dengan kehidupan manusia, demikian
pula dengan persahabatan. Kutahu bahwa keadaan kita ini
takkan berlangsung lama karena setiap salah faham itu tentu
akan menemukan penjernihan. Lambat atau cepat, tergantung
pada waktu. Namun untuk mempertahankan faham masing2
itu, memang ada kalanya terjadi pengujian dimana apabila
cara2 penjelasan tak mampu mencari jalan keluar, seringlah
ditempuh cara2 kekerasan walaupun sifat kekerasan itu pada
hakekatnya suatu pemaksaan."
"Tetapi ada kalanya memang diperlukan, sebagaimana besi
yang keras itu harus dibakar dan ditempa supaya dapat
diciptakan benda seperti yang hendak kita bentuk," kata Dipa.
"Tepat" seru Kertawardana, "hanya dalam persoalan kita
ini, entah siapa besinya siapa apinya"
"Itu bukan soal raden" Dipa menanggapi, "yang penting
yalah tercapainya bentuk seperti yang kita kehendaki itu."
"Baik, Dipa. Marilah kita sekedar bermain-main. Kutahu
engkau gagah, kuat dan tangkas. Aku amat gembira
mendapat kawan berlatih yang tentu akan menggairahkan."
"Baik raden" jawab Dipa pula, "aku akan gembira sekali
karena raden berkenan memberi pelajaran yang bermanfaat."
Keduanya telah menggunakan kata-kata yang halus agar
tak menyinggung perasaan masing2. Namun keduanya pun
menyadari bahwa saat itu mereka harus menempuh jalan
yang terakhir. Jalan yang diambil oleh kaum satrya.
Dipa menyadari bahwa Kertawardana itu memiliki kesaktian
yang berlebihan. Semisal ketika harus bertempur melawan
rangga Tanding pada waktu Rani Kahuripan mengadakan
kunjungan ke daerah2. Pun pukulan Kertawardana, sangat
meyakinkan di dalam menghadapi banteng yang mengamuk.
Dipa memperingatkan dirinya supaya berhati-hati menghadapi
raden itu. Terutama ia harus menjaga agar pertempuran itu
jangan berakhir dengan pertumpahan darah.
Pun Kertawardana juga mengetahui bahwa anak muda
lawannya itu, memiliki tenaga-pembawaan yang luar biasa.
Dapat menahan ratha Rani Kahuripan yang akan meluncur ke
dalam jurang, dapat pula menolak terjangan banteng. Diam2
iapun merasa sayang kepada anak itu yang walaupun saat itu
berani menentangnya tetapi benar2 melakukan tugasnya. Ia
mengakui pula andaikata tadi belum mendapat pengetahuan
dari Kidang Soka tentang pengaruh fihak kerajaan Majapahit
yang telah menyusup di kalangan mentri narapraja.
Kahuripan, tentulah ia akan bersedia menerima permintaan
Dipa untuk menghadap rangga Tanding. Namun kesemuanya
itu telah terjadi dan ia harus menghadapi hal itu dengan
penuh kebijaksanaan agar jangan sampai menimbulkan hal2
yang tak diharapkan. "Siapkah engkau Dipa?" serunya.
"Silahkan raden" sambut Dipa.
Kertawardana ingin menjajal kepandaian anak itu. Ia
membuka serangan dengan sebuah terjangan yang cepat dan
tamparan ke dada. Pikirnya, apabila tebasan tangannya benar
benar akan mengenai dada, iapun tentu akan mengurangi
tenaganya, agar anak itu jangan sampai terluka.
Tetapi alangkah kejutnya ketika dada Dipa yang dikiranya
tentu terkena tamparan itu, ternyata masih sekilan jaraknya.
Dengan demikian tamparan tangannya itupun hanya
menempa angin saja. Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata
Kidang Soka pada saat bertempur dengan Dipa tadi.
Pengalasan dari Mojopahit itu mengatakan bahwa Dipa
memiliki aji Lembu-sekilan. Pukulan lawan selalu terpisah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekilan jaraknya dari tubuh anak itu.
"Benarkan demikian" Kertawandana masih meragu dan
keraguan itu meningkat menjadi rasa agak penasaran. "Akan
kucobanya lagi." Serangan kedua di lancarkan dengan gerak yang lebih
cepat dan sambaran tangan yang lebih dahsyat. Oleh karena
jauh lebih hebat dari serangan pertama, agar jangan sampai
timbul hal yang tak diinginkan maka Kertawardana tak mau
memukul atau menerpa, melainkan mencengkeram lengan
Dipa. Tetapi seperti yang pertama tadi, cengkeramannya pun
tak mengenai sasaran. Kertawardana makin terperangsang
oleh rasa penasaran. Dan setelah serangan ketiga, keempat
dan kelima tetap gagal, Kertawardana makin terhanyut dalam
arus penasaran yang lebih besar. Mulailah pula ia tak mau
bertindak dengan pertimbangan rasa sungkan. Serangan
dilancarkan dengan penuh semangat dan tenaga. Seketika
Dipa seperti ditelungkupi oleh puluhan tangan Kertawardana
yang mencurah laksana hujan mencurah dari langit.
Dipa diam2 pun terkejut. Selama ini dia tak mau
melancarkan serangan balasan. Ia ingin mengetahui lebih
dahulu betapa anehnya ilmu tata-kelahi dari Kertawardana itu.
Untuk menghadapinya, ia hanya bisa mengembangkan tata
largkah seperti yang sudah diajarkan brahmana Anuraga dan
aji Lembu-sekilan yang diajarkan oleh pandita Padapaduka. Ia
tak mau adu kekerasan tangan melainkan hendak membuat
Kertawardana kehabisan napas lalu hentikan serangannya dan
menyerah. Namun ketika Kertawardana merobah gaya serangannya,
Dipa terkejut dan gugup. Gaya serangan Kertawardana
memang aneh. Tampaknya memukul, menghantam ataupun
menampar dan menerpa, tetapi ternyata hanya setengah jalan
berhenti dan cepat diganti dengan gerak lain. Tiap kali Dipasudah siap berkisar tubuh, tiap kali itu pula ia terkejut karena
lawan tak jadi melanjutkan serangannya dan berganti lain
arah. Dengan demikian Dipa terpaksa harus cepat2
menghindar lagi. Oleh karena serangan Kertawardana itu
dilakukan dengan gencar dan sukar diduga-duga arahnya,
Dipa makin sibuk dan kacau gerakannya.
Dalam serangkaian serangan deras yang dilancarkan
Kertawardana, karena terlambat menghindar, bahu Dipa kena
terlanda pukulan sehingga anak itu terpelanting beberapa
langkah. Tetapi untung walaupun terhuyung pontang-panting,
ia tak sampai rubuh. "Ah ..." Kertawardana sendiripun terkejut dan tegak
tertegun. Ia kuatir anak itu terluka. Tetapi ketika melihat Dipa
sudah berdiri tegak walaupun wajahnya bermuram merah,
diam2 Kertawardana bersyukur dalam hati. Ia hendak maju
menghampiri tetapi ternyata Dipa sudah mendahului
melangkah kehadapannya. "Terima kasih raden" kata anak itu
"pelajaran yang raden berikan tadi amat berharga sekali.
Namun jika raden mengira bahwa Dipa akan mengurungkan
niatnya mengantar raden menghadap ki rangga, raden khilap."
"Kutahu" Kertawardana tertawa "tak mungkin engkau akan
merobah pendirianmu seperti juga halnya dengan aku yang
takkan mengurungkan pendirianku. Engkau tangkas dan sakti,
Dipa. Sayang engkau tak mengerti maksudku."'
Dipa tertawa tawar. "Tak apa raden. Sekalipun aku harus
mengecewakan harapan raden tetapi aku tak mengecewakan
harapan tugasku." "Sebaiknya kita lanjutkan lagi latihan tadi," kata
Kertawardana, "tetapi engkau juga harus melalukan serangan
Dipa. Agar latihan ini benar2 menggairahkan."
Dipa mengiakan. Kemudian mereka melanjutkan pertarungan yang belum selesai itu. Ternyata Kertawardana
lebih masak pengalaman, lebih banyak ragam ilmu kelahinya
sehingga dalam beberapa waktu sejak pertempuran dibuka
lagi, Dipa pun terkurung pula dalam lingkupan gerak tangan
Kertawardana. Dipa belum sempat melakukan serangan dan
kesempatan itupun tampaknya hampir terhapus oleh serangan
Kertawardana. Dipa hanya mengembangkan dua macam ilmu
yang disenanginya, tata-langkah ajaran brahmana Anuraga
dan aji Lembu- sekilan. Setelah menderita pukulan tadi, Dipa
mulai sadar. Bahwa dalam setiap pertempuran, syarat utama
untuk menyelamatkan diri ataupun untuk mengalahkan lawan,
hanyalah ketenangan. Kekalahan yang dideritanya tadi, adalah
akibat dari kegugupan dan kebingungannya.
Demikianlah setelah membajakan semangatnya dengan
ketenangan yang mantap, Dipa pun mulai mengeyam
manfaatnya. Walaupun dalam curahan pukulan yang sederas
hujan, namun ia tetap dapat menempatkan penjagaan diri di
tempat yang aman. Rupanya Kertawardana pun dapat memperhatikan hal itu.
Diam2 ia terkejut dan kagum kepada lawan yang dalam
kekalahan, cepat dapat menarik pengalaman untuk
memperkokoh ketahanannya. Dalam pada itu, Kertawardana
pun teringat akan ucapannya tadi, meminta supaya Dipa
melakukan serangan balasan. Segera timbul keinginannya
untuk mengetahui betapa tinggi kepandaian Dipa yang
sesungguhnya. Dengan pemikiran itu, Kertawardana pun
mengendorkan tekanannya. Dan kesempatan itupun
digunakan juga oleh Dipa. Ia mulai mengirim serangan
balasan. Kini kedudukan berobah. Dipa yang menyerang
Kertawardana yang bertahan. Bermula Kertawardana masih
mengira, bahwa ia tentu dapat menyelimpatkan suatu
kesempatan, menciptakan serangan balas. Tetapi bukan saja
kesempatan itu tak kunjung tampak, pun kebalikannya ia
malah dirundung kesibukan yang makin lama makin
meningkat menjadi suatu keadaan yang membuatnya benar2
kewalahan. Suasana kesibukan, akan menciptakan kebingungan dan
kebingungan akan melahirkan kelemahan. Kertawardana
terdesak sampai ke tepi gerumbul. Tiba-tiba ia nekad. Ia lupa
akan pertimbangan2 dari langkah yang telah dirumuskan tadi.
Yang memenuhi benaknya pada saat itu, hanyalah suatu cara
untuk melepaskan diri dari libatan Dipa. Dan keputusan itu
telah merangsang sedemikian rupa sehingga ia terus bergerak
tanpa banyak pemikiran lagi. Sebuah pukulan Dipa yang
mencurah telah disongsongnya dengan pukulan menyilang
yang dahsyat. Dan penyilangan itu dilambari dengan aji
Esmugunting. Apabila mengenai, tangan Dipa tentu hancur.
Paling tidak tentu patah tulangnya.
Krak .... terdengar dua kerat tulang saling beradu keras.
Tetapi bukan lengan Dipa yang tergunting melainkan
sepasang tangan Kertawardana sendiri yang saling berbentur.
Sedangkan Dipa ternyata sudah menyelinap ke samping dan
secepat kilat mencengkeram
bahu Kertawardana hendak disentakkan ke belakang. "Berhenti..... !" ketika
Dipa akan melakukan rencananya, sekonyongkonyong dari balik gerumbul
terdengar suara orang berseru dan sesosok tubuh
yang loncat keluar. Sebelum
Dipa sempat berpaling, orang itupun--sudah menghardik, "Lepaskan ..."
Dipa terkejut dan terpaksa
lepaskan cengkeramannya serta terus loncat ke belakang untuk menghindari pukulan pendatang itu. Sesaat ia
menegakkan kaki, berserulah ia dengan nada kejut, "Raden
Wijaya ..." "Benar, Dipa" sahut pangeran dari Wengker itu.
"Mengapa engkau Kertawardana?" berkelahi dengan kakangmas Sebelum Dipa menjawab, Kertawardana sudah buka suara,
"Tidak berkelahi dimas, hanya sekedar berlatih."
"Berlatih ?" agak heran rupanya Wijaya mendengar
keterangan yang bernada ringan dan diiring senyum dari
Kertawardana. "Ya," kata Kertawardana pula "dan Dipa ternyata memang
hebat." "Di ...." baru Wijaya hendak bertanya kepada Dipa, tiba-tiba
matanya tertumbuk pada tubuh Kidang Soka yang masih
rebah terkapar di tanah, "hai,, siapakah itu ?"
"Seorang penjahat yang menamakan dirinya Kidang Soka,
raden," sahut Dipa. Raden Wijaya makin heran, "Lalu mengapa dia terkapar di
tanah" Siapakah yang merubuhkannya" Engkau Dipa ?"
Dipa mengangguk pelahan, "Karena dia menolak kubawa ke
hadapan ki rangga." "O" seru raden Wijaya. "tetapi-bagaimana engkau tahu dia
seorang penjahat ?" Berobah seketika wajah Dipa mendengar pertanyaan itu.
Untunglah saat itu sinar rembulan teraling gumpal awan
sehingga suasana di tempat itu remang2 redup dan perolahan
airmuka Dipa pun tak sampai terlihat raden Wijaya. Rupanya
agak sulit juga Dipa hendak memberi keterangan.
"Akulah yang menemukan penjahat itu di tempatmu, dimas"
tiba-tiba Kertawardana berkata, "dia hendak membunuhmu,
dimas . ....." "Hai !" raden Wijaya melonjak kaget sekali "benarkah
begitu" Ah, mengapa akupun mengalami peristiwa yang
sama?" "Apa katamu, dimas?" sekarang giliran Kertawardana yang
seperti terpagut ular kejutnya.
"Apa yang kakangmas alami di tempat penginapanku, pun
kualami di tempat penginapan kakangmas."
Kertawardana terbeliak. Demikianpun Dipa.
"Agar kita dapat mengetahui jelas persoalan ini, kumohon
kakangmas suka menuturkan tentang diri penjahat ini. Setelah
itu baru aku akan menceritakan pengalamanku,"kata Wijaya.
Dengan nada cerah dan ringan, Kertawardana pun lalu
menuturkan pengalamannya malam itu sehingga sampai Dipa
muncul. "Itulah awal dari salah faham yang terjadi antara aku
dan Dipa. Dalam hal ini, akupun tak dapat menyesalkan
tindakan Dipa. Tetapi akupun merasa bahwa tindakan yang
kulakukan itu, mempunyai alasan yang cukup beralasan."
Setelah mendengar penuturan itu, Wijaya tidak lekas
merenggut kesimpulan tetapi lalu menceritakan juga. "Sampai
malam aku tak dapat tidur. Lalu aku keluar mencari angin.
Tengah menikmati pemandangan dalam lingkungan keraton,
tiba-tiba kulihat sesosok tubuh dengan gerak gerik yang
mencurigakan tengah berindap-indap menuju ke gedung
penginapan kakangmas. Dia mengungkit daun jendela.
Harapanku semoga kakangmas cepat keluar membekuk
penjahat itu ternyata tak kunjung datang. Segera aku hendak
keluar membekuknya tetapi pada lain saat aku teringat,
kemungkinan kakangmas memang sengaja hendak memasang
perangkap. Kulihat penjahat itu berhasil membuka daun
jendela lalu loncat masuk. Aneh, mengapa tak dengar suara
orang berkelahi. Mungkinkah kakangmas masih tertidur. Ah,
berbahaya ......" Raden Wijaya berhenti sejenak, lalu, "Cepat aku
menghampiri ke jendela dan melongok ke dalam. Alangkah
kejutku ketika melihat penjahat itu menghunus keris dan
kemudian menyingkap kain kelambu lalu menikam ke tempat
pembaringan. Cepat aku loncat masuk dan menerjangnya.
Hampir saja dadaku tertembus ujung keris penjahat itu.
Untunglah aku masih sempat menghindar. Tetapi kesempatan
itu digunakan oleh si penjahat untuk loncat ke luar dari
jendela terus kabur. Akupun segera berusaha untuk mengejar
tetapi dia dapat menghilang lebih dulu. Terpaksa aku kembali
ke gedung penginapan lagi tetapi kakangmas tak berada di
dalamnya. Akupun heran dan cemas. Kemanakah kakangmas
saat itu. Lalu aku mencari ke segenap perjuru keraton.
Akhirnya kudapatkan kakangmas berada di sini sedang
bergulat dengan Dipa."
"Ah, dimas Wijaya," kata Kertawardana, "rupanya makin
jelaslah sekarang siapa fihak yang akan menghendaki jiwa kita
berdua itu. Walaupun siasatku untuk masuk ke dalam sarang
ular supaya dapat menangkap ular yang berbahaya itu gagal
karena Dipa turun tangan, namun persoalan itu kini sudah
dapat kita simpulkan. Mereka menguatirkan kita makin
berhubungan erat dengan kedua gusti Rani. Suatu hal yang
mereka anggap membahanakan kedudukan dan mengacau
rencana mereka terhadap kedua gusti Rani itu."
"O" raden Wijaya mendesuh, "kalau demikian lebih baik kita
lekas pulang ke negeri kita."
"Tidak, dimas Wijaya," sanggah Kertawardana, "kita harus
mengunjuk keberanian untuk menghadapi apapun yang akan
menimpa diri kita. Keputusan untuk meninggalkan Kahuripan,
terserah saja kepada gusti Rani."
"Bukan aku takut, kakangmas," kata Wijaya, "tetapi aku tak
menghendaki sikap keberanian kita itu akan membuat gusti
Rani makin menderita tekenan mereka."
Kertawardana tertegun. "Ya, engkau benar dimas. Lalu
bagaimana langkah kita sekarang?"
"Kurasa lebih baik kita laporkan peristiwa ini kepada gusti


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rani agar beliau dapat membuat persiapan. Terutama untuk
membersihkan mentri2 narapraja Kahuripan yang menjadi
musuh dalam selimut itu."
"Bagus, dimas," seru Kertawardana, "silahkan dimas
menghadap gusti Rani dan menghaturkan peristiwa malam ini
ke hadapannya." Wijaya terbeliak, "Mengapa aku sendiri yang menghadap
sang Rani " Lalu kakangmas hendak ke mana " Bukankah
lebih baik kalau kita berdua menghadap ?"
"Aku hendak ikut Dipa menghadap ki rangga"
Wijaya terkejut, Dipa terbeliak, "Raden ..... ," belum sempat
Dipa melanjutkan kata-katanya, Wijaya pun sudah menukas,
"Dipa, kuminta engkau hapuskan niatmu hendak membawa
kakangmas Kertawardana kepada ki rangga. Engkau harus
menyadari apa yang dikuatirkan kakangmas itu. Bahwa di
kalangan mentri narapraja Kahuripan, sudah banyak yang
menjadi kaki tangan kerajaan Majapahit yang bertujuan
hendak menguasai ruang gerak gusti Rani."
"Raden ..." "Kesetyaan dan kejujuran kakangmas Kertawardana
terhadap Kahuripan, janganlah engkau sangsikan" kembali
Wijaya menerkam dengan kata-kata sehingga Dipa tak sempat
melanjutkan pembicaraannya, "apabila kakangmas Kertawardana bertindak yang tak sesuai dengan kepentingan
Kahuripan, akulah yang akan memberi tanggung jawab
kepadamu." "Jangan dimas," seru Kertawardana, "terima kasih atas
kepercayaanmu tetapi kurasa saat ini belumlah perlu dimas
melimpahkan jaminan itu kepada Dipa," ia beralih pandang
kepada Dipa, "Dipa, aku tetap hendak ikut engkau menghadap
rangga Tanding. Walaupun akan terjadi sesuatu pada diriku,
aku tak kuatir lagi karena dimas Wijaya sudah mengetahui hal
ini." "Tidak, raden," tiba-tiba Dipa melantang, "aku takkan
membawa raden ke hadapan ki rangga lagi."
"Aneh engkau," guman Kertawardana "bukankah tadi
engkau begitu kemati-matian membela tindakanmu hendak
membawa aku kepada ki rangga" Mengapa tiba-tiba sekarang
engkau merobah pendirian itu?"
Dipa tertawa, "Karena setelah raden Wijaya membawakan
peristiwa yang dialami malam ini, barulah aku menyadari
bahwa pendirian raden untuk menolak permintaanku itu
memang benar." "Ah, Dipa." Kertawardana tersenyum, "bukankah engkau
harus mengutamakan tugas di atas kepentingan lain" Apakah
engkau hendak mengingkari kepercayaan yang tersirat dalam
tugasmu itu?" "Memang sekarang dan kelak, aku tentu akan tetap berpijak
pada kepentingan tugas, raden," sahut Dipa, "pun saat ini
bukan karena berobah pendirian maka aku membatalkan
rencanaku membawa raden kepada ki rangga. Tetapi saat ini
aku telah menyadari bahwa cara yang kutempuh itu kurang
mengena. Jadi bukan hakiki daripada tugas itu, melainkan
caranya untuk mengisi terwujutnya tugas itu dengan, tepat."
"Lalu maksudmu?" tanya Kertawardana.
"Aku setuju dengan saran raden Wijaya. Bahwa kita harus
menghadap gusti Rani, bukan ki rangga. Dengan demikian
tercapailah tujuan kita. Tugas yang kusandang itu telah
sampai pada pucuk penguasa tertinggi di Kahuripan. Dan
mereka2, para mentri narapraja yang mengabdi pada
kepentingan kerajaan Majapahit, tentu tak dapat bertindak
terhadap raden Kertawardana."
"Bagus Dipa, engkau memang cerdas dan cepat bertindak,"
raden Wijaya memberi pujian, "mari kita segera menghadap
gusti Rani." "Ah, saat ini masih malam hari. Baiklah, kita tunggu saja
setelah pagi, baru kita menghadap ke dalam keraton," kata
Kertawardana. Demikian pagi itu, Rani Kahuripan telah menerima
Kertawardana, Wijaya, Dipa dan seorang tawaran yalah
Kidang Soka. Kertawardana dan Wijaya segera mengunjuk
laporan ke hadapan Rani, tentang peristiwa yang dialami
semalam. Rani terkejut tetapi cepat dapat menguasai
perasaan hatinya. Iapun suruh Dipa memberi laporan. Laporan
Dipa sesuai dengan peristiwa yang terjadi malam itu.
"Hm, rupanya sekalipun sudah dipindah ke Kahuripan, dia
masih tak pernah melepaskan pengawasan dan kekuasaan
atas diriku." Rani Kahuripan menghela napas.
"Baiklah" kata Rani pula, "akan kulakukan pembersihan di
kalangan mentri hulubalang Kahuripan ......."
Oo-dw.kz=mch-oO II Raja puteri Tribuanatunggadewi menerima laporan
peristiwa itu dengan penuh perhatian. Ia membenarkan sikap
Kertawardana tetapi pun memuji tindakan Dipa yang
melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Kemudian Rani Kahuripan itu mengatur langkah. Untuk
menjaga keselamatan Rani Daha yang akan pulang, raden
Wijaya dan Kertawardana diminta menyertainya. Setelah tiba
di Daha, raden Wijaya dipersilahkan pulang ke Wengker dan
raden Kertawardana, apabila tiada lain urusan dan setuju,
supaya kembali ke Kahuripan. Rani hendak minta bantuan
raden itu dalam usahanya untuk membersihkan para mentri
seropati Kahuripan yang menghambakan diri kepada kerajaan
Majapahit. Kedua pemuda itu menyambut titah sang Rani dengan
penuh kerelaan dan kegembiraan. Terutama Kertawardana
amat bererima kasih atas kepercayaan sang Rani yang
dilimpahkan kepada dirinya.
Kemudian Rani menitahkan Dipa supaya mengawal
rombongan patih arya Tadah. "Paman patih jelas terancam
bahaya akan dilenyapkan oleh musuh yang tersembunyi di
pura Wilwatikta," kata sang Rani, "di samping itu, apabila
engkau sudah tiba di pura kerajaan, engkau harus menghadap
kakangmas Adityawarman. Mohon kepadanya supaya datang
ke Kahuripan." Dipa pun menghaturkan sembah lalu mengundurkan diri
untuk berkemas kemas. Besok pagi rombongan patih arya
Tadah akan berangkat pulang ke Majapahit.
Bermula raden Wjaya dan Kertawardana yang mengadakan
pembicaraan dengan Rani Daha, telah merencanakan untuk
meninggalkan Kahuripan, sehari setelah keberangkatan
rombongan patih arya Tadah, tetapi tiba-tiba Kertawardana
memperoleh pikiran lain. "Sebaiknya kita berangkat juga
bersama dengan rombongan patih arya Tadah. Dengan
demikian apabila musuh memang akan mengarah jiwa kita,
mereka harus mengerahkan banyak tenaga."
"Tetapi kakangmas," sanggah raden Wijaya, "apabila kita
berangkat bersama rombongan patih arya Tadah, bukankah
kita memberi peluang kepada musuh untuk sekaligus
menjaring kita dalam jala maut?"
Kertawardana tertawa, "Sudah tentu dapat terjadi
kemungkinan begitu, dimas. Yang kumaksudkan bukanlah kita
bersama sama satu rombongan dengan patih arya Tadah. Kita
tetap berangkat dalam rombongan sendiri. Hanya harinya saja
yang sama, yalah besok pagi. Dengan begitu, kekuatan musuh
tentu akan terpecah belah. Tetapi kalau kita berangkat sehari
atau dua hari kemudian, musuh tentu mempunyai kesempatan
untuk turun tangan lebih dahulu kepada rombongan patih arya
Tadah, setelah itu baru kepada rombongan kita.
"O, benar" akhirnya raden Wijaya dapat menyelami rencana
itu. Dan ternyata Rani Daha pun menyetujui.
Oo-dw.kz=mch-oO Gapura Majapahit yang tegak bagaikan raksasa penunggu
pura, memberi kenangan yang tak mudah dilupakan Dipa.
Kenangan pahit di mana ia harus menderita pukulan dan
gangguan dari prajurit penjaga gapura. Dua tahun yang lalu ia
pernah menginjakkan kaki di ambang gapura kerajaan dengan
tujuan hendak mencari brahmana Anuraga dan demang
Suryanata yang konon menetap di pura kerajaan. Namun
maksudnya itu tak pernah terlaksana karena ia harus
melarikan diri dari kemarahan penjaga gapura yang hendak
mengganggunya. Brahmana Anuraga pernah mengatakan bahwa Tikta Sripala
itu sebuah pura yang ramai dan makmur, pusat pemerintahan,
sumber budaya agama, mercu kejayaan negara Majapahit.
Dikatakan pula oleh brahmana itu bahwa pura kerajaan
terbuka bagi seluruh kawula. Dan gandrunglah Dipa untuk
melihat dunia itu, istilah yang ditamsilkan Anuraga untuk pura
Wilwatikta. Tetapi kenyataan yang dideritanya, jauh berbeda
dengan yang dilukiskan Anuraga. Bermula Dipa memang
merasa kecewa, hampir putus asa. Namun setelah
pengalamannya meningkat dan pendengarannya bertambah,
segera ia mulai mengerti akan keterangan dari demang
Suryanata, bahwa pura Majapahit itu memang menjadi kedung
pertikaian dan gelanggang pertentangan dari mereka-mereka
yang haus akan kekuasaan.
Ada suatu perasaan tak wajar dalam sanubari Dipa ketika
untuk yang pertama kali ia melangkahkan kaki melintasi
gapura kerajaan. Prajurit penjaga gapura memberi hormat
kepada rombongan patih Arya Tadah di mana Dipa ikut
sebagai salah seorang pengiring. Walaupun hormat itu
ditujukan kepada patih Arya Tadah, namun dalam pandangan
Dipa, hormat para penjaga gapura itu seolah-olah suatu
pernyataan dari penyambutan yang akan mengantarnya ke
gerbang yang gemilang. Sebuah dunia baru telah terbentang
di hadapannya. Dan kesemuanya itu tak mungkin dapat dirasakan apabila
Dipa tak pernah menderita pengalaman yang pahit. Tanpa
mengenal apa artinya pengalaman pahit, ia takkan dapat
menghayati apa arti yang sebenarnya dari penghormatan yang
diberikan oleh para penjaga gerbang itu. Dan bumi dalam pura
itu seolah-olah terasa sehalus kain beledu. Bangunan keraton
yang megah, jalan-jalan yang penuh manusia serasa
bersemarak. Dan langit pun cerah, angin berhembus semilir.
Seluruh alam seolah beriak dalam kegembiraan, menyambut
kedatangan seorang manusia yang akan membawa kerajaan
Wilwatikta ke puncak kejayaan dan kemegahan.
Dipa merasakan suatu sentuhan halus dari alam dan
suasana pura Wilwatikta. Sentuhan yang membangkitkah
gelora semangat dan getaran jiwanya.
Dipa ditempatkan di gedung kepatihan, tempat kediaman
patih arya Tadah. Patih arya Tadah ini sebelumnya menjabat
sebagai patih Daha. Sehubungan dengan keberangkatan
baginda Jayanagara bersama patih Aluyuda untuk memimpin
pasukan menindas pemberontakan Nanibi di Lnmajang, maka
patih arya Tadah dititahkan untuk menjabat patih di
Majapahit. Dan kedudukan patih Daha, diganti oleh arya
Tilam. Setiba di gedung kepatihan, segera Dipa merasakan
kesibukan2 dalam kepatihan. Patih arya Tadah seolah-olah
ditimbuni pekerjaan2, baik menerima laporan-laporan maupun
memberi keputusan dan mengambil langkah untuk mengatur
pemerintahan. Dan yang terutama yalah menerima laporan
tentang keadaan peperangan di Lumajang.
Dipa benar-benar merasakan suatu perbedaan yang
menonjol, antara pemerintahan di Kahuripan dengan
pemerintahan di pura kerajaan. Memang hal itu dapat
dimaklumi. Mahapatih Nambi tersama beberapa mentri dan
senopati telah meninggalkan pura kerajaan dan dituduh
mengadakan pemberontakan di Lumajang. Baginda Jayanagara dan patih Aluyuda berangkat ke Lumajang untuk
menindas pemberontakan itu. Sehingga dengan demikian pura
Wilwatikta seolah-olah kosong. Segala beban kewajiban dan
semua tugas-tugas pemerintahan bercurah seluruhnya pada
bahu patih Arya Tadah. Untunglah patih yang sudah berusia
lanjut itu memiliki pengalaman yang luas dan kebijaksanaan
besar untuk menanggulangi timbunan pekerjaan itu. Yang
penting ia harus menjaga keamanan dan kelancaran roda
pemerintahan. Demikian setelah beristirahat sehari, pada hari kedua Dipa
segera mohon ijin untuk menghadap kepada Adityawarman
atau yang lebih terkenal dengan sebutan Tuan Waruju.
Adityawarman masih mempunyai hubungan darah dengan
baginda Jayanagara. Karena ibunda Adityawarman itu masih
saudara dari ibunda Jayanagara, yalah puteri Dara Petak yang
kemudian berganti nama puteri Indreswari. Oleh baginda
Kertarajasa, puteri Indreswari telah diangkat sebagai istri
tinuheng pura atau isteri yang tertua walaupun puteri dari
Melayu itu adalah isteri yang terakhir sendiri dari baginda
Kertarajasa. Dan karena puteri Indreswari berputera lelaki
yalah raden Kala Gemet, maka raden Kala Gemet itulah yang
dinobatkan sebagai raja Jayanagara menggantikan ayahandanya yang telah wafat. Baginda Jayanagara memakai
nama abhisena Maharaja Adiraja Parameswara sri Wiralanda
gopala. Bermula Adityawarman bertempat di Kahuripan untuk
mengembani pemerintahan raja puteri Tribuana-tunggadewi
yang diangkat sebagai Rani Kahuripan. Tetapi pada waktu
baginda berangkat memimpin pasukan ke Lumajang, maka
Adityawarman dititahkan baginda supaya kembali ke pura
kerajaan untuk menjaga keselamatan keraton. Dengan
demikian Dipa harus menghadap ke keraton Tikta - Sripala,
pura kediaman baginda Jayanagara.
Agak gemetar ketika Dipa melangkahkan kaki ke paseban
witana yang dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata. Untuk
pertama kali dalam sejarah hidupnya, baru saat itu Dipa
masuk ke dalam istana raja yang menguasai seluruh
nusantara. Setelah menyerahkan surat kepercayaan dari Rani


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kahuripan maka Dipa dipersilahkan duduk. Tak berapa lama
masuk ke dalam untuk menghaturkan laporan, maka prajurit
itupun keluar pula. Dinding yang kokoh, saka besar yang diukir dan dihias
warna emas dan merah, lantai marmar yang mengkilap
laksana kaca, mengayun langkah Dipa dalam dunia lain.
"Tunggulah di sini" kata prajurit itu, "gusti Adidityawarman
sedang bercakap-cakap dengan gusti ratu Indreswari"
Dipa duduk bersila di dalam sebuah ruang. Ia menunduk,
merenung dan menenangkan pikiran, mendudukkan jiwanya
dalam singgasana keperibadiannya.
Tiba-tiba suasana yang hening sunyi itu terpecahkan oleh
suara orang bercakap cakap dari dalam ruang. "Aditya,
sesungguhnya aku merasa iba melihat puteraku Jayanagara
itu. Cobalah engkau renungkan. Sejak ia naik tahta, tak
pernah ia mengenyam ketenangan. Pemerintahannya selalu di
rongrong dengan kekacauan, pemberontakan dan huru hara
..." Suara itu jelas suara seorang wanita. Dan menilik nadanya,
tentulah seorang wanita yang sudah setengah tua.
"Aku sebagai seorang ibu, sudah tentu kuatir dan kasihan
kepada puteraku itu. Seharusnya dalam usia sekarang ini, dia
sudah memangku seorang permaisuri. Tetapi karena
disibukkan dengan urusan negara, seolah-olah dia tiada waktu
lagi untuk memikirkan soal itu," kembali suara wanita itu
terdengar berkata. Dipa terkejut ketika wanita itu menyebut dirinya sebagai
ibunda baginda Jayanagara.
"Kanjeng bibi" tiba-tiba terdengar suara orang lelaki yang
Dipa tak asing sebagai suara Adityawarman. "memang hamba
juga perihatin atas diri baginda. Baginda berhati keras.
Mungkin dalam tubuh baginda mengalir darah moyang kita
keturunan Mauliwarman. Keras dan tegas. Semoga Dewata
melindungi baginda dari segala petaka dan memberkahi
dengan kejayaan. Jaya jagadisya hare !"
Setelah hening beberapa saat, terdengar pula ratu
Indreswari berkata, "sudah beberapa kali kutanya kepada
puteraku Gemet itu, adakah sudah ada seorang putri yang
telah berkenan dalam hatinya. Tetapi puteraku Gemet selalu
tertawa dan menghibur hatiku supaya jangan menguatirkan
soal itu. Apabila sudah tiba waktunya, puteraku Gemet tentu
akan menghadap sendiri kepadaku ....."
"Demikianlah kanjeng bibi, memang seorang putera lelaki
sering masih suka bermanja kesenangan dan tak mau lekas2
terikat dengan wanita."
"Tetapi Aditya" seru ratu Indreswari pula, "Gemet seorang
raja yang menguasai sebuah kerajaan besar. Bagaimana kalau
dia tak mempunyai keturunan. Siapakah yang akan
menggantikan kedudukannya kelak kemudian hari?"
"Ah, harap kanjeng bibi dapat mengendapkan kecemasan2
itu" Adityawarman menghibur, "baginda seorang pria yang
penuh dengan sifat2 kepriaan. Saat ini baginda memang
sedang bermanja dalam kesenangan alam kemudaan. Tetapi
hamba yakin, kesemuanya itu tentu akan berakhir dengan
suatu rasa kejemuan. Dan pasti baginda akan menghendaki
seorang permaisuri sebagai kelengkapan dari kedudukannya,
sebagai pasangan beliau bercengkerama dalam kebahagiaandan ketenangan. Dan sebagai penyambung dari
keturunan yang akan menduduki singgasana kerajaan."
"Ya" kata ratu Indreswari pula, "memang kudengar
puteraku Gemet itu gemar sekali kepada wanita cantik. Tetapi
dalam soal itu, puteraku pun berulang kali menderita
kekecewaan. Rara Sindura yang kabarnya cantik seperti
bidadari dan yang paling memikat hati puteraku, telah
melarikan diri. Demikianpun akhir2 ini kudengar seorang gadis
cantik yang bernama Damayanti yang berhasil melawan hati
puteraku, pun telah dibawa lari oleh Kebo Taruna. Ah, kalau
mengingat hal itu, akupun tak dapat mempersalahkan Gemet
apabila dia sampai berbuat....."
Tiba-tiba ratu Indreswari berhenti. Rupanya ia merasa telah
kelepasan bicara. Namun hal itu telah tertangkap oleh
perhatian Adityawarman "Berbuat bagaimana, kanjeng bibi.?"
Ratu Indreswari menghela napas. Ia agak gugup namun
karena menyadari hal itu tak mungkin ditarik kembali, akhirnya
ia memberi keterangan juga, "Ah, berbuat sesuatu yang
umum dilakukan oleh seorang pria muda terhadap seorang
anak perawan. A palagi puteraku itu seorang raja diraja, hal itu
sesungguhnya bukan suatu peristiwa yang mengejutkan
ataupun mencemarkan ...."
Adityawarman seorang yang cerdik dan tajam naluri
perasaannya. Bahwa Ratu Indreswari sampai perlu
mengutarakan peristiwa itu, tentulah bukan suatu peristiwa
biasa. Tentulah peristiwa itu mengandung hal-hal yang luar
biasa, setidak tidaknya mempunyai hubungan yang penting
dengan peribadi raja Jayanagara. Maka iapun segera
menghaturkan sembah, "Kanjeng bibi, hamba Adityawarman
bukanlah orang luar, tetapi masih kemanakan kanjeng bibi
sendiri. Apabila hamba tak salah bertafsir, kiranya dalam
peristiwa yang kanjeng bibi ungkapkan tadi, tentulah
mengandung sesuatu yang apabila kanjeng bibi berkenan
membagikannya kepada hamba, tentulah hamba akan ikut
memikirkan dan. menyumbangkan tenaga hamba?"
"Ah, Aditya, tajam nian hidungmu" kata ratu Indreswari,
"memang bibipun agak perihatin untuk menyelesaikan
peristiwa itu" "Ah, makin besar permohonan hamba agar kanjeng bibi
berkenan membagikan kesukaran itu kepada diri hamba."
Hening sejenak. Rupanya ratu Indreswari sedang berkemas
untuk memberi keterangan, "Aditya, lebih kurang dua tahun
yang lalu, bibi telah mendapat seorang anak gadis, anak dari
Bandupoyo buyut dari Banyubiru, kujadikan anak perempuan
itu menjadi juru tebah. Karena kelihat dia amat rajin sekali
membersihkan ruang dan pembaringanku, maka kusuruh
perawan itu menjadi juru tebah peraduan puteraku raja
Jayanagara. Maklum, karena puteraku masih jejaka, maka tak
ada yang membersihkan pembaringannya."
"O," Adityawarman mendesuh. Rupanya ia sudah mampu
mereka- reka peristiwa apa yang telah terjadi. "Siapakah nama
gadis itu ?" "Salupi" "Ah, nama yang bagus," puji Adityawarman.
"Ya, nama itu nama pemberianku. Eh, siapa namanya
semula, aku lupa," kata ratu Indrejwari "kalau tak salah, itu
waktu puteraku Jayanagara sedang murung dan marah2
karena wanita cantik yang bernama Rara Sindura telah lolos
dari keraton. Pada malam itu puteraku pulang. Hari kebetulan
hujan dan suasana amat dingin dan senyap. Entah bagaimana
puteraku Gemet mengambil tuak dan minum sampai mabuk.
Rupanya Gemet hendak menghibur perasaannya yang geram,
pikirannya yang kusut. Kemudian dia masuk ke ruang
peraduannya. Seperti biasa, Salupi selalu menjaga tempat
peraduan raja. Sebelum raja masuk, Salupi tak meninggalkan
tempat peraduan. Entah bagaimana, mungkin karena
pengaruh tuak, mungkin karena hendak menghibur perasaan
hatinya yang muram atau mungkin karena Gemet itu tak
pernah melepaskan wanita cantik yang dilihatnya, terjadilah
hal yang tak pernah kuduga. Salupi telah direnggut
keperawanannya oleh Gemet......."
"Ah ....." Adityawarman mendesah.
"Tetapi Salupi tak berani melaporkan hal itu kepadaku.
Mungkin malu atau mungkin takut kepada raja. Atau mungkin
juga karena ia merasa mendapat kebahagiaan besar karena
dikehendaki oleh raja. Akupun tak tahu hal itu. Tetapi sesuatu
yang di luar kewajaran itu akhirnya tentu akan tertampak.
Akhirnya kutahu dari laporan para dayang bahwa Salupi makin
besar perutnya. Segera kupanggilnya. Dengan menangis
tersedu-sedu, Salupi menuturkan apa yang telah terjadi pada
dirinya. Dan saat itu dia sudah mengandung tujuh bulan."
"Ah" kembali Adityawarman mendesah seraya memandang
ratu dengan pandang kecemasan.
"Ah. Betapapun," kata ratu Indreswari "putraku itu seorang
raja diraja. Harus kuselamatkan dari cemooh hinaan yang
dapat memerosotkan kewibawaannya. Apalagi aku kuatir, hal
itu akan dijadikan suatu alat untuk menjatuhkan nama baik
raja oleh fihak yang menentang puteraku Gemet ...."
"Kanjeng bibi amat bijak sekali," puji Adityawarman, "lalu
bagaimanakah tindakan kanjeng bibi?"
"Bermula hendak kusuruh saja menggugurkan kandungannya, agar lembu peteng itu jangan sempat lahir
untuk mengotori pura Tikta-Sripala yang agung ini" kata ratu
Indreswari pula "tetapi Gemet segera menghadap dan
mengatakan hendaknya jabang bayi itu jangan sampai
dibunuh. Lebih baik Salupi dibuang ke desa dan dinikahkan
dengan seseorang. Dan hendaknya Salupi jangan sekali-kali
memberitahu kepada puteranya kelak, bahwa ayahnya itu
baginda Jayanagara. Aku setuju. Salupi lalu kutitahkan dibawa
ke sebuah desa yang jauh dari pura kerajaan dan diberikan
kepada seorang lurah atau siapa saja untuk menjadi isterinya."
"Langkah kanjeng bibi itu memang tepat sekali. Adakah
sesuatu yang masih merisaukan hati kanjeng bibi?"
"Benar Aditya," kata ratu Indreswari, "aku masih kuatir,
adakah Salupi itu dapat dipercaya. Apabila kelak pada suatu
hari Salupi memberitahukan ayah dari anaknya itu, bukankah
akan timbul kehebohan lagi?"
Adityawarman tertawa, "Dalam hal itu harap kanjeng bibi
jangan kuatir. Apabila anak itu datang ke pura kerajaan dan
mengaku sebagai putera dari baginda, baginda dapat memberi
titah kepada seorang senopati untuk menangkap anak itu dan
menghukumnya." "Ah, adakah cara itu dapat menjamin keamanan dari nama
baik puteraku Jayanagara?"
"Hamba rasa dapat"
"Adakah tidak lebih baik, kita suruh orang untuk
melenyapkan anak itu agar kelak jangan menjadi bahaya di
kemudian hari?" Adityawarman terkesiap lalu termenung panjang. Menung
berkabut keraguan. Kabut keraguan yang membertikkan
pancawarna. Warna biru kehijau hijauan, perlambang sifat
Welas asih. Warna putih kekuning-kuningan, perlambang
Kerelaan hati. Warna kuning kunyit, perlambang dari sifat
Kelapangan hati. Warna kuning keungu unguan, perlambang
sifat Jahat, dan dengki. Warna ungu kemerah merahan,
perlambang dari sifat Angkara murka.....
Selaput demi selaput dari warna2 yang memperlambangkan sifat2 manusiawi Adityawarman, bertaburan
menyinari angkasa hatinya, kemudian kelima warna itu
berhamburan lenyap. Jelas bahwa dalam batin Adityawarman
telah mengalami pertentangan hebat. Pertentangan antara
sifat Baik dengan sifat Jahat. Sifat Baik yang menentang
kehendak ratu Indreswari dan sifat Jahat yang menerima
rencana itu. Jabang bayi itu tidak berdosa. Dia dilahirkan atas perbuatan
baginda Jayanagara. Dan dia adalah darah daging baginda
sendiri. Itu suatu kenyataan walaupun kenyataan itu dibuat
tak nyata oleh rasa keangkuhan manusia. Manusia yang
kebetulan dilahirkan sebagai raja. Diciptakan oleh manusia2
itu suatu istilah Lembu Peteng, untuk meniadakan sesuatu
yang sudah ada. Anak haram adalah hukuman yang pahit bagi
seorang anak yang telah dihianati ayahnya sendiri. Dia sudah
menderita lebih dari penderitaan seorang manusia. Adakah dia
masih harus dibunuh pula" Demikian bertanya-tanya
Adityawarman dalam hatinya.
"Tetapi karjeng bibi, bukankah ibu dan anak itu sudah
cukup menderita" Bukankah mereka sudah dibuang keluar dari
lingkungan garis darah keraton?" --akhirnya warna biru
kehijau-hijauan lambang sifat Welas asih menggumpal dan
menyelubungi batin Adityawarman.
Ratu Indreswari menantang pandang, penuh keangkuhan
penuh kekerasan hati. "Tidak, Aditya. Manusia itu adalah
makhluk yang serba mungkin dan Kehidupan sebuah lautan
yang tak menentu. Bukan mustahil apabila Dewata hendak
menyolokkan peristiwa itu sehingga dalam kemungkinan
setipis kulit bawang disayat tujuh lapis, kelak dapat juga
muncul seorang pemuda yang menyebut dirinya putera raja
Jayanagara dan menuntut hak tahta kerajaan Majapahit.
Kemungkinan inilah, Aditya. yang selalu menghantui pikiranku.
Aku benar2 tak rela Aditya, apabila singgasana Tikta Sripala
akan diduduki oleh raja yang berdarah kasta waesya atau
Sudra" Adityawarman tersentak. Sifat Welas asih dalam nuraninya
tadi, terhembus lenyap oleh kata-kata Indreswari yang tajam.
Dan mulai kabut2 berwarna kuning keungu-unguan bertebaran
memenuhi bilik hatinya. "Aku memandang persoalan ini dari
sudut Kemanusiaan dan Kewelasan Asih. Tetapi kanjeng bibi
ratu menilai dari sudut kewibawaan darah keturunan dan
silsilah raja. Memang kedua hal itu apabila dalam kedudukan
yang saling bertentang, sukar untuk dipertemukan ujungnya.
Dan karena hal itu sudah menjadi keputusan kanjeng bibi,
rasanya sukar untuk merobah pendiriannya. Dalam hal ini" ia
mengerut dahi dalam2 "aku dapat mengusahakan suatu
pertemuan yang memuaskan di antara kedua penilaian itu.
Aku harus berusaha agar perintah untuk membunuh itu
diberikan kepadaku atau sekurang-kurangnya orang yang
dapat kupercaya ..."
"Baiklah kanjeng bibi," akhirnya ia mengalah, "apabila
memang demikian pendirian kanjeng bibi, akupun hanya
menurut saja." Ratu Indreswari tersenyum. "Kutahu Aditya, apa yang
terkandung dalam sanubarimu. Tetapi keadaan itu harus
engkau terima demi kepentingan garis keturunan raja2
Majapahit." "Baiklah, kanjeng bibi."


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau tangkas berpikir, cepat memutus kesimpulan,
Aditya," puji ratu Indreswari, "soal ini amat rahasia sekali.
Hanya engkau yang kuberitahu. Kuminta engkau dapat
menyimpannya sendiri. Demikian pula dengan pelaksanaannya, tiada lain orang yang lebih tepat daripada
engkau. A kan kuserahkan hal itu kepadamu, A ditya."
Walaupun sudah menduga hal itu namun Aditya masih
bergetar kejut juga. "Kanjeng bibi, sesungguhnya berat nian
titah yang kanjeng bibi limpahkan kepada diri hamba. Namun
karena kanjeng bibi yang menitahkan, hamba tentu akan
menjunjung sepenuh hati."
Selama kedua bangsawan itu bercakap-cakap, Dipa telah
memusatkan semangat dan mengheningkan gerak inderanya
pada suatu arah menunggal. Dengan demikian dapatkah ia
menangkap seluruh pembicaraan. Dan betapalah kejutnya
ketika mendengar kesimpulan yang telah dicapai.
Pembunuhan agung yang berdarah. Anak tetesan darah
baginda Jayanagara, akan dilenyapkan. Mustahil, moqal, tak
masuk akal! Tetapi memang suatu kenyataan. "Adakah
manusia itu lebih kejam dari harimau" Sebuas buas harimau,
namun masih takkan memakan anaknya sendiri. Tetapi
mengapa manusia, ya bahkan manusia yang tinggi derajat
kedudukannya, sampai hati untuk membunuh anak cucunya
sendiri?" Dipa gelisah tetapi tak tahu apa artinya kegelisahannya itu.
Dan kegelisahannya itu hanya membawa pecahnya pemusatan
pikirannya. Lalu terjagalah ia dari kemenungan cipta demi
terdengar derap langkah kaki muncul di paseban. "O, engkau
Kerta Dipa" seru orang yang muncul itu.
"Benar gusti." Dipa menyongsong sembah tergesa.
"Sudah lamakah engkau menunggu disini?" Aditya bertanya
dengan lontaran pandang menyelidik.
"Belum berapa lama, gusti" Adityawarman menghela napas
pelahan dan kerut dahinya pun berhamburan mendatar pula.
Ia percaya keterangan anakmuda itu. Dan pula iapun tak
menaruh syak wasangka akal tebalnya dinding ruangan yang
memisahkan paseban dengan ruang dalam tempat ia
menghadap ratu Indreswari tadi. "Lalu apakah maksud
kedatanganmu menghadap aku ?"
Dipa memasukkan tangan ke dalam baju dan mengambil
sepucuk surat, "Hamba diutus gusti Rani untuk menghaturkan
surat ini kepada paduka, gusti."
Adityawarman menyambuti dan membaca.
"Baiklah Kerta Dipa" kata Adityawarman selesai membaca
isi surat "sampaikan pada sang Rani, aku masih ada suatu
pekerjaan yang harus kuselesaikan. Selekas hal itu selesai, aku
tentu segera menghadap Rani di Kahuripan."
Dipa menghatur sembah. "Baik, gusti," kemudian ia terus
hendak mohon mengundurkan diri.
"Bila engkau akan pulang ?" tanya Adityawarman.
"Besok, gusti" "Ah, jangan cepat2 pulang dulu, Dipa. Tinggallah barang
tiga empat hari di pura kerajaan sini. Agar menambah
pengetahuan dan pengalamamu."
Dipa menghaturkan terima kasih. "Tetapi hamba tak faham
jalan dan tak punya kenalan. Lalu bagaimana hamba dapat
melihat-lihat keadaan pura?"
Adityawarman tertawa, "O, itu mudah saja. Akan kusuruh
seorang prajurit untuk menemani dan membawa engkau
berjalan jalan." "Terima kasih, gusti." Dipa girang. Adityawarman pun
menitahkan seorang prajurit untuk membawa Dipa jalan-jalan
berkeliling pura. Demikian dengan mendapat seorang penunjuk jalan, Dipa
pun berkeliling pura. Baik di dalam maupun di luar lingkungan
keraton, Dipa pun dibawa meninjau dan diberi keterangan
tentang nama dari setiap tempat.
"Ki prajurit" kata Dipa, "adakah dika kenal dengan ki
demang Suryanata?""
"O, ki demang sepuh itu " Ya, kenal namanya walaupun
belum kenal orangnya."
"Di manakah tempat kediamannya?"
"Dia tinggal di sebuah rumah di sebelah selatan tembok
keraton." "O, engkau tahu tempatnya" Apakah aku dapat memohon
bantuanmu untuk membawa aku kesana ?"
"Engkau kenal demang itu ?"
"Ya". Prajurit itupun segera membawa Dipa menuju ke selatan
puri keraton. Agak di ujung pura, mereka berhenti di sebuah
rumah batu. "Inilah tempat kediamannya."
Kepada prajurit yang mengantarkan, Dipa minta supaya
pulang lebih dahulu. Apabila ki patih Arya Tsdah menanyakan,
agar diberi keterangan bahwa malam ini Dipa menginap di
rumah kediaman demang Suryanata. Kemudian Dipa pun
dibawa masuk oleh penjaga.
"Eyang demang" serta merta Dipa menyembah,
menelungkupi dan mencium kaki demang tua itu. Rasa rindu
dan haru meluap dan membuat anak itu mengucurkan
airmata. "O, engkau Dipa" demang Surya pun memeluknya, erat dan
mesra. Demang yang sudah lanjut usia itu pun tak kuasa
menahan kucuran airmatanya. Keduanya serentak terkenang
pada masa-masa yang lampau. Ketika mereka tinggal bersama
dalam pondok di tengah hutan. Dalam alam yang sunyi dari
keramaian itulah mereka mengenyam hari2 yang penuh
ketentraman dan kedamaian. Betapa ingin Dipa dan demang
tua itu dapat kembali kepada alam kehidupan itu.
Dan ada suatu perasaan yang menggores tajam di hati
sanubari demang tua itu. Suatu perasaan yang tiada dapat
dirasakan oleh Dipa. Berhadapan dengan Dipa, makin
terkenanglah demang Surya akan cucu perempuannya, si dara
Indu. Dan kenangan itu menghanyutkan perasaan ki demang
ke laut nestapa. Hampa dan sunyi.
Demikian setelah beberapa saat menyerahkan diri dalam
buaian rindu, akhirnya demang Surya menanyakan
keselamatan dan keadaan Dipa selama ini. Dipa menceritakan
semua pengalaman yang dialaminya selama ini. Memang
terhadap demang Surya, Dipa sudah menganggap sebagai
orangtuanya sendiri. Demikian juga perasaan demang itu
terhadap Dipa. "Ah, banyak sekali perobahan pada dirimu, Dipa," demang
Surya menghela nafas dan memang semua telah berobah.
Manusia, alam dan kehidupan ....."
"Bagaimanakah eyang demang selama ini ?"
"Akupun juga berobah, Dipa. Berobah tua. Rambutku makin
putih, wajahku penuh keriput, tubuhku makin usang dihanyut
Pendekar Bayangan Setan 13 Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang Sembilan Bintang Biru 4
^