Pencarian

Gajah Kencana 26

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 26


gerakannya untuk berputar-putar memaksa ki demang
mengikuti gerakannya. Makin lama makin cepat ia berputar2
mengelilingi demang itu. Demang Surya terkejut. Diam-diam iapun tahu apa yang
dilakukan lawan. Namun apa boleh buat, ia terpaksa harus
mengikuti gerak perputarannya. Apabila tidak, tentulah dirinya
akan menderita tusukan pedang. Lama kelamaan, mulailah
demang tua itu kehabisan napas. Dan tenaganya pun
menurun. "Mampus engkau, keparat!" dalam sebuah peluang, Kalkasa
sehabis menghindari tusukan pedang lawan, terus maju
merapat dan balas menusuk perut orang. Jaraknya dekat dan
dada lawan tak terlindung. Kalkasa penuh kepercayaan bahwa
tusukannya kali ini tentu dapat menembus perut lawan.
Bluk .... tepat pada saat ujang pedang Kalkasa hampir
menyentuh perut lawan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi
sesosok tubuh manusia yang rubuh ke tanah. Kemudian
disusul dengan gelak tertawa bernada ejek. "Tua bangka,
akhirnya ke mana lagi engkau kalau tidak menyerah ......"
"Kalkasa tak khilaf lagi bahwa suara orang itu yalah
penyamun yang bertempur dengan demang Surya. Dan
dengan demikian jelas bahwa yang rubuh itu tentulah demang
Surya. Kalkasa terkejut dan taupa disadari berpaling muka
sehingga gerakan pedangnya terhenti. Memang ia melihat
demang Surya rubuh dan saat itu lawannya menghampiri
hendak membekuk, tanpa menghiraukan suatu apa, Kalkasa
segera hendak loncat menolong. Tetapi serempak dengan
kakinya bergerak, tiba-tiba ia menjerit kaget ketika perutnya
termakan kaki lawannya, "Aduh ......" dan rubuhlah Kalkasa
terkapar di tanah. Malam makin gelap makin pekat. Segelap nasib demang
Surya dan Kalkasa yang ditawan dan dibawa pergi oleh kedua
orang yang tak di kenal itu.
Pada malam itu pula di rumah kediaman buyut Lodaya telah
terjadi suatu peristiwa yang tak pernah diduga-duganya. Buyut
telah menerima kedatangan dua orang tetamu yang
memperkenalkan diri sebagai Galis Konang dan Kebo Buntung,
utusan ra Kembar. "Oh" buyut Lodaya mengeryit kejut keheranan "tentulah
tuan berdua membawa perintah penting. Karena sejauh aku
menjabat buyut di Lodaya ini, belum pernah terjadi tali
hubungan dengan kanjeng tumenggung Kembar."
Demikian buyut Lodaya membuka pembicaraan setelah
mempersilahkan kedua utusan itu duduk dan menjamunya
dengan hidangan minuman. "Ah, ki buyut memang tajam pandangan dan cepat
merangkai kesimpulan" kata Galis Konang yang lebih tua dari
Kebo Bantung. Keduanya berpangkat bekel dan menjadi
pengawal terpercaya dari ra Kembar. Seorang tamtama yang
gajah perkasa dan berhias jasa2 dalam peperangan.
"Memang hal yang tentu takkan ki buyut pernah
menyangka bahwa ki tumenggung Kembar akan mengirim
kami berdua kemari" kata bekel Galis Konang pula.
"Memang demikian, ki bekel" kata buyut Lodaya "adakah
kanjeng tumenggung Kembar hendak menjatuhkan hukuman,
teguran atau panggilan kepadaku?"
"Tidak, ki buyut" Galih Konang gelengkan kepala.
"Ataukah kanjeng tumenggung menghendaki sesuatu dari
daerah Lodaya?" tanya ki buyut pula.
"Ya, memang serupa dengan itu" kata Galis Konang
"bahkan lebih bersifat peribadi"
Buyut Lodaya termangu "Sukalah ki bekel memberi tahu
dengan jelas karena aku benar2 tak mengerti apa yang ki
bekel maksudkan itu."
Bekel Galis Konang tak cepat menyahut melainkan
mengangkat cangkir minuman dan meneguknya, "Ah, nyaman
benar minuman daun jeruk ini. Jarang kujumpai di karang
pedesaan orang dapat menyedu minuman selezat begini.
Hanya di kediaman para mentri priagung di pura kerajaan
terdapat minuman semacam ini. Siapakah yang membuatnya,
ki buyut?" Buyut Lodaya berseri girang mendengar pujian itu,
sahutnya, "Ah, ki bekel berkelebihan puji. Yang membuat
minuman itu yalah isteriku"
"Amboi" seru bekel Galis Konang "sungguh beruntung benar
ki buyut mendapat isteri yang sedemikian. Kurasa nyi buyut itu
tentu berasal dari pura kerajaan, bukan?"
Seketika berobahlah warna muka buyut Lodaya mendengar
kata2 itu. Tetapi ia tak tahu apa sifat perasaan yang meluap
dari lubuk hatinya saat itu. Marahkah" Girangkah" Sesaat
kemudian barulah ia dapat membuka suara "Ah, kurasa ki
tumenggung ra Kembar tentu sudah menceritakan hal itu
kepada ki bekel berdua"
"Benar ki buyut" seru Galis Konang "justeru untuk soal
itulah maka gusti ratu Indreswari mengutus tumenggung
Kembar kemari. Dan kami berdualah yang diperintah
tumenggung untuk melaksanakan titah itu"
Buyut Lodaya terbeliak. Rona mukanya mengembang
kelesian "Apakah perintah gusti ratu?"
"Buyut Lodaya" tiba-tiba Galis Konang berseru dengan nada
keras. Buyutpun terkesiap kaget "Ya"
"Engkau buyut dari kerajaan mana?"
Alis buyut Lodaya menjungkat dan dahinya pun membentuk
garis2 kerut yang dalam, "Majapahit" sahutnya.
"Siapakah rajanya?"
"Baginda Jayanagara"
"Adakah engkau setya kepada baginda dan kerajaan
Majapahit?" tanya Galis Konang pula.
"Dengan segenap jiwa ragaku" sahut buyut Lodaya.
"Hm, pernyataan yang bagus, ki buyut" seru Galis Konang
"namun masih harus dibuktikan bagaimana kenyataannya. Bila
engkau diminta pengorbananmu sebagai bukti dari
kesetyaanmu terhadap kerajaan dan baginda, adakah engkau
siap melakukan?" Bayut Lodaya tetap berkabut keremangan akan tujuan yang
sesungguhnya dibalik ucapan bekel Majapahit itu. Namun
gelombang pertanyaan yang mendamparnya itu harus
dijawabnya. "Setiap saat aku bersedia
pengabdian kepada kerajaan dan baginda"
menyerahkan "Benar?" Galis Konang menegas.
"Demi Dewa yang Agung" buyut Lodaya menegakkan
kepala bagai seorang prajurit yang tengah menanti perintah.
"Bagus, ki buyut" kata Galis Konang lalu berpaling kepada
kawannya "engkau sudah mendengarkan sendiri, adi Buntung"
"Ya, kakang Konang. Aku menjadi saksi pernyataan ki
buyut" sahut Kebo Buntung.
Tampak wajah Galis Konang berhamburan keramahan pula.
Dan berkatalah ia dengan nada yang penuh ketenangan, "Ki
buyut, kami membawa perintah dari tumenggung Kembar
untuk membawa nyi buyut dan puteranya ke pura kerajaan."
Apabila mendengar halilintar meletus di siang bolong,
tidaklah kejut buyut Lodaya sebesar pada saat ia mendengar
ucapan bekel dari Majapahit itu. Sesaat ia sampai tak dapat
bicara. Kerongkongannya serasa tersumbat.
"Ki buyut" Galis Konang cepat menyusuli kata-kata "rasanya
telingaku dan telinga adi Buntung masih berkumandang
pernyataan kesetyaanmu tadi. Dan saat inilah kesetyaanmu itu
mendapat ujian." Sejenak setelah menenangkan ketegangan hatinya,
berkatalah buyut Lodaya, "Apakah maksud ki tumenggung
memberi perintah demikian?"
"Tumenggung Kembar hanya melaksanakan titah gusti ratu
dan tak diberitahukan apa maksud perintah itu"
Tampak buyut Lodaya kerutkan dahi. Wajahnya muram.
Rupanya ia tengah berpikir keras.
"Eh, ki buyut" tegur Galis Konang "agaknya engkau tak
meluluskan, bukan" Adakah engkau menolak titah gusti ratu?"
Wajah buyut Lodaya bertebaran warna merah dan
menyahutlah ia "Ki bekel, sebelum hal itu kuterima atau tidak,
lebih dahulu aku hendak mohon mengajukan pertanyaan. Dan
jawaban ki bekel berdua nanti akan menjadi pedoman
keputusanku" "Silahkan" seru Galis Konang.
"Layakkah seorang pandita itu menjilat ludah yang telah
dilontarkan ke tanah?"
Bekel Galis Konang menjawab, "Maksudmu, menarik
kembali apa yang telah diucapkan" Tentu tidak, ki buyut."
"Layak pulalah seorang ratu itu menarik kembali titahnya?"
Rupanya bekel itu tak begitu amat jelas tentang peristiwa
terjadinya pernikahan buyut Lodaya dengan isterinya. Maka
cepatlah ia menyahut, "Sabda pandita ratu, ki buyut. Ratu tak
layak menarik kembali sabdanya"
"Itulah yang menjadi kebingunganku, ki bekel" kata buyut
Lodaya, "terus terang kuberitahukan kepada ki bekel berdua,
bahwa isteriku itu adalah puteri anugerah dari kerajaan, ya,
jelasnya dari gusti ratu. Titah gusti ratu, supaya wanita itu
kuambil sebagai isteri dan harus kuperlakukan baik2 bersama
jabang bayinya yang akan lahir."
Galis Konang dan Kebo Buntung terbeliak.
"Lalu ki bekel berdua diutus kemari untuk mengambil
isteriku ke pura kerajaan lagi. Layakkah kululuskan hal itu "
Bukankah apabila kuserahkan, akan membawa akibat
kecemaran keluhuran nama gusti ratu. Sabda pandita ratu,
akan tercemar kewibawaannya"
Setitikpun Galis Konang tak menyangka akan menerima
sanggahan yang sedemikian mengena. Dan justeru senjata
pemukul dari buyut itu adalah berasal dari ucapannya tadi.
"Hm" ia menggeram, "sabda pandita ratu tetap
bersemayam dalam singgasananya. Yang lain hanyalah orang
yang menerimanya. Bagimu, ki buyut, mungkin akan
menganggap 'sabda pandita ratu' dari gusti ratu itu sudah
tercemar. Tetapi bagiku dan adi Kebo Buntung, 'sabda pandita
ratu' yang tertuang pada titah gusti ratu itu, tetap murni"
Wajah buyut Lodayapun berseri muram, "Jangan,
mempersamakan dua hal yang tak sama sifatnya. Apa yang
diucapkan gusti ratu kepadaku, benar-benar suatu 'sabda'.
Tetapi yang diberikan kepadamu, bukan sabda melainkan
perintah atau titah."
"Sabda atau titah, bagiku sama" kata Galis Konang, "aku
seorang prajurit yang harus menjalankan perintah
junjunganku. Dan engkau buyut Lodaya nyata lancang dalam
ujian. Pernyataanmu setya kepada baginda dan kerajaan
hanyalah hiasan bibir belaka."
"Ah, jangan buru-buru ki bekel menjatuhkan tuduhan
seberat itu" tangkis buyut Lodaya, "baiklah, kita tak perlu
memperbincangkan soal 'sabda pandita ratu'. Aku rela
menyerahkan isteriku ..."
"Bagus ki buyut" seru Kebo Buntung serentak "engkau
nyata2 seorang hamba kerajaan yang setya"
Buyut Lodaya tertawa datar "jangan terburu menukas
dahulu, ki bekel. Kerelaanku menyerahkan isteri itu bukanlah
semata mata begitu saja, melainkan dengan syarat."
Galis Konang dan Kebo Buntung serempak membeliakkan
mata "Syarat" Engkau menghendaki syarat bagaimana?" seru
Galis Konang. "Begini ki bekel" kata buyut Lodaya "aku tak menghendaki
persyaratan yang sukar dan aneh, cukup kumohon ki demang
yang dahulu membawa isteriku kemari, supaya yang
mengambilnya lagi." "Bukankah aku ini utusan tumenggung ra Kembar ?" seru
Galis Konang. "Mudah mudahan" sahut buyut Lodaya "tetapi sekalipun ki
bekel ini benar utusan kanjeng tumenggung, masihlah tidak
sepadan dengan kehormatan yang menyertai kedatangan
isteriku dahulu. Dahulu yang mengantar seorang narapraja
berpangkat demang, mengapa sekarang yang mengambil
hanya bekel prajurit?"
"Ho, engkau menghina aku ?" teriak Galis Konang.
Buyut Lodaya menyangkal tenang "Sekali-kali tidak ada
maksudku mengandung pikiran begitu. Justeru aku hendak
meluhurkan kewibawaan gusti ratu. Agar anugerah yang
diberikan itu benar2 memiliki suatu kewibawaan sebagai
anugerah dari seorang ibunda raja Majapahit."
"Maksudmu?" Galis Konang menegas.
"Mohon ki demang yang mengantar kemari dahulu itu yang
mengambil lagi. Atau sekurang-kurang ki tumenggung ra
Kembar sendiri yang berkunjung kemari"
"Buyut Lodaya!" teriak Galis Konang "tidak mungkin
kanjeng tumenggung sudi datang ke mari. Karena untuk
membunuh jiwa isterimu, cukuplah kami yang melakukan !"
"Kakang Konang ....... !" tiba-tiba Kebo Buntung berseru
kaget ketika mendengar Galis Konang mengungkapkan
maksudnya dengan terus terang.
Memang karena dirangsang oleh kemarahan, Galis Konang
mengatakan terus terang apa yang akan dilakukannya
terhadap isteri buyut itu. Serta mendengar teriakan Kebo
Buntung, ia tersadar. Tetapi terlambat. Buyut Lodaya sudah
mendengar jelas. "O" desuh buyut Lodaya terperanjat, "kiranya begitulah
maksud kedatangan tuan berdua ini ?"
Karena sudah terlanjur kelepakan bicara, Galis Konang Uk
mau menyangkal lagi "Ya, dan ini titah gusti ratu"
Buyut Lodaya terhenyak diam. Ia menengadahkan kepala
memandang ke wuwungan. Lama ia terbenam dalam
renungan yang tak menentu.
"Bagaimana, ki buyut?" tegur Galis Konang karena sudah
cukup lama ia menanti. "Aku setya kepada baginda Jayanagara!" tiba-tiba buyut itu
berseru dengan tegas. "Bagus ki buyut" seru Galis Konang tertawa girang
"memang telah kuduga engkau tentu berpijak pada pendirian
utama itu. Kalau begitu, silahkan ki buyut masuk
memberitahukan nyi buyut supaya berkemas-kemas ikut kami"
Buyut Lodaya tertawa "Baiklah, harap tunggu sebentar"
katanya seraya beranjak dari tempat duduk dan melangkah
masuk ke dalam. Sepengunyah sirih lamanya, masih juga buyut Lodaya


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum muncul. Sudah tentu Galis Konang dan Kebo Buntung
mulai gelisah "Huh, mengapa sampai sekian lama belum juga
mereka keluar?" Kebo Buntung lebih tak sabar lagi. Segera ia berbangkit dan
melangkah ke dalam rumah. Tetapi tepat pada saat itu
muncullah buyut Lodaya dengan paras berseri "Maaf, kalau
harus membuat ki bekel berdua menunggu lama"
"Mana isterimu?" teriak Kebo Buntung.
"O, isteriku?" sahut buyut Lodaya tenang, "silahkan duduk
dahulu ki bekel" Setelah tuan rumah dan kedua tetamunya duduk,
berkatalah buyut Lodaya, "Adakah ki bekel berdua tak dapat
mencamkan arti daripada pernyataanku tadi?"
"Pernyataan bagaimana?"
"Bahwa buyut Lodaya hanya setya kepada baginda
Jayanagara!" "Benar, lalu maksudmu?" masih Galis Konang belum dapat
menyelami arti kata2 buyut Lodaya.
"Siapakah yang mengutus ki bekel berdua kemari?"
"Tumenggung ra Kembari"
"Siapa yang menitahkan ki tumenggung?"
"Gusti ratu" "Adakah hal itu sepengetahuan baginda?" tanyanya.
Galis Konang tertegun sejenak lalu menjawab "Itu tak
penting. Pokok, titah itu berasal dari gusti ratu .... ?"
"Justeru itulah yang penting sekali karena merupakan
sumber yang harus kita turut" Tukas buyut Lodaya
"Engkau tak berhak mengurus hanya diwajibkan menurut
perintah saja ?" seru Galis Konang.
Buyut Lodaya mendengus "Baiklah, sekarang pertanyaanku
yang terakhir. Siapakah yang memerintah kerajaan
Majapahit?" "Gila" gumam Galis Konang "sudah tentu seri baginda
Jayanagara" "Terima kasih ki bekel" seru buyut Lodaya "oleh karena kita
tahu bahwa yang berkuasa di kerajaan Majapahit itu baginda
Jayanagara, maka akupun hanya taat dan patuh pada titah
baginda." Galis Konang dan Kebo Buntung terbeliak. Akhirnya mereka
menyadari arah yang dituju buyut itu. Dan arah itu, jelas
berlainan jalan dengan perintah yang dibawanya. Titah
membunuh Indu, berasal dari gusti ratu Indreswari. Sedang
buyut Lodaya hanya taat pada perintah raja.
"Lalu maksudmu?" sesaat kemudian Galis Konang bertanya.
"Terpaksa aku harus mohon maaf kepada ki bekel berdua
karena tak dapat memenuhi permintaan ki bekel" kata buyut
Lodaya. Galis Konang mendengus "Hm, soal ini tiada sangkut
pautnya dengan baginda. Dahulu yang menganugerahkan
wanita untuk isteri ki buyut juga bukan baginda tetapi gusti
ratu. Sekarang mengapa ki buyut hendak menyandarkan diri
pada kekuasaan baginda?"
"Ha, ha" buyut Lodaya teitawa, "setiap barang yang sudah
diberikan kepada orang, menjadi hak orang itu. Demikian
dengan wanita yang dianugerahkan gusti ratu. Sejak itu
akulah yang berhak atas diri isteriku. Akulah yang menjadi
pelindungnya. Terus terang saja, bila baginda yang
menitahkan, tentu dengan sepuluh jari akan kuhaturkan.
Tetapi lain dari baginda, dengan sepuluh jari pula akan
kutolak!" Brak .... tiba2 Kebo Buntung menampar meja dan serentak
berbangkit lalu menuding tuan rumah "Buyut Lodaya, jangan
bersilat lidah. Pendek kata, engkau menyerahkan wanita itu
atau tidak!" Rupanya Kebo Buntung lebih berangasan. Dia seorang
prajurit yang telah kehilangan sebelah lengannya yang kiri.
Dengan demikian maka orangpun lalu memberinya sebuah
gelar Buntung. Namun sekalipun lengannya hanya tinggal
satu, dia masih tetap disegani orang.
Buyut Lodaya pun menyurut mundur selangkah, serunya,
"Ki bekel, kuhormati kalian sebagai utusan tumenggung ra
Kembar. Tetapi hendaknya penghormatanku itu, jangan kalian
injak2. Kalian adalah bekel prajurit tetapi akupun seorang
buyut. Silahkan kalian menghaturkan laporan kepada
Tumenggung ra Kembar tentang pendirianku. Apapun yang
akan ditindakkan oleh gusti tumenggung, itu menjadi
tanggung jawabku." "Ho, buyut Lodaya, ketahuilah" seru Kebo Buntung "bahwa
aku dan kakang Konang memang sudah diberi hak penuh
untuk menyelesaikan persoalan ini. Kalau engkau menolak,
purba wisesa sudah berada di tangan kami!"
Buyut Lodaya tertawa nyaring dan panjang, "Ki bekel, buyut
Lodaya hanya memiliki selembar jiwa. Besok atau sekarang
tentu akan mati. Akan kuserahkan jiwaku demi membela
pendirianku." "Buyut Lodaya, rupanya engkau tentu masih keras kepala
kalau tak merasakan tanganku" seru Kebo Buntung seraya
maju dan menghantamnya. Tetapi dengan mengisar langkah ke samping, dapatlah
buyut Lodaya menghindarkan diri dari pukulan Kebo Buntung.
Melihat itu Galis Konang pun berdecak. Disergapnya buyut itu
dengan sebuah gerak terkaman. Namun buyut Lodaya misih
sempat meloloskan diri juga.
Demikian segera terjadi perkelaian antara buyut Lodaya
dengan kedua bekel prajurit dari Majapahit.
Kebo Buntung marah. Serentak ia mencabut pedang dan
berseru "Kakang Konang, minggirlah!" kemudian ia berseru
pula kepada tuan rumah "buyut Lodaya, hayo hunuslah
senjatamu!" Buyut Lodaya mengambil sebatang tongkat dari galih akar
pohon asem yang berumur seratus tahun
"Ki bekel" serunya tertawa "untuk menghadapi seorang
lurah prajurit, tongkat akar asem ini sudah jauh lebih dari
cukup" Kebo Buntung marah sekali. Pedang ditaburkan ke atas,
menimbulkan angin yang menderu deru dan lingkaran sinar
putih yang menyilaukan. Sebelumnya Kebo Buntung hendak
mempamerkan kehebatannya ilmu pedang agar lawan rontok
nyalinya. Makin lama makin mendekati ke tempat buyut
Lodaya. Buyut Lodaya tetap tenang. Hanya sepasang matanya
yang memandang tajam2, mengikuti setiap gerak pedang
lawan. Pada saat sinar pedang itu hampir menimpa ke atas
kepalanya, Buyut Lodaya menyurut mundur selangkah lalu
gerakkan tongkatnya menghantam. Wut.....
Tiba-tiba Kebo Buntung hentikan pedangnya sehingga
tongkat buyut Lodaya menerpa angin. Dan serentak itu pula,
Kebo Buntung berpaling, "Kakang Konang, lekaslah masuk ke
dalam dan menyeret wanita itu keluar!"
Buyut Lodaya terkejut tetapi ia tak sempat untuk berbuat
apa2 karena Kebo Buntung pun sudah hamburkan sinar
pedangnya pula. Serempak dengan itu, Galis Konang pun
loncat menyerbu ke dalam rumah. Tring, tring, berdering
dering ujung tongkat beradu dengan pedang. Ternyata
tongkat dari galih akar asem tua itu amat keras sekali. Tahan
beradu dengan pedang. Buyut Lodaya ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
cukup memadai. Walaupun tidak sehebat dengan Kebo
Buntung, namun buyut itu masih dapat bertahan sampai
beberapa puluh gebrak. Kebo Buntung makin marah. Ia yang
di kalangan prajurit2 pura kerajaan terkenal sebagai macan
yang menerkam setiap lawan ternyata tak mampu
mengalahkan lawan dalam waktu yang dikehendakinya.
Beberapa saat kemudian pada saat Kebo Buntung berputarputar dan menghadap ke arah pintu, sekonyong-konyong ia
memekik, "Hai, engkau .......... !" dan ia-pun terus loncat ke
samping hentikan serangan pedang. Lalu menatap ke arah
seseorang yang tegak berdiri di ambang pintu. Seorang lelaki
bertubuh tinggi besar, gagah perkasa, menyelip senjata
pedang kangkam di pinggang.
"Mengapa berhenti ?" seru orang itu dengan nada nyaring
"bukankah Kebo Buntung amat termasyhur di pura Majapahit
sebagai bekel prajurit yang sakti mandraguna" Tetapi
mengapa berhadapan dengan seorang buyut desa saja, tak
mampu merubuhkan?" Ejekan yang membangkitkan kemarahan itu, hampir
membakar hati Kebo Buntung. Tetapi untunglah Kebo Buntung
yang biasanya marah, saat itu dapat menahan amarahnya.
Dengan geram ia menegur "Siapa engkau!"
"Engkau tak kenal aku " Ha, ha, pantas, pantas" orang itu
tertawa "engkau terbuai kemasyhuran namamu sehingga tak
kenal pada lain orang. Terus terang, aku juga berasal dari
pura kerajaan seperti engkau"
"Siapa namamu?" seru Kebo Buntung.
"Aku diutus ke mari untuk melindungi buyut Lodaya dan
isterinya ...." "Siapa namamu !" bentak Kebo Buntung sembari mengisar
langkah maju setapak. "Aku juga bangsa Kebo seperti engkau, hanya saja tidak
buntung, melainkan Abang !"
Merah padam muka Kebo Buntung seketika, "Engkau
prajurit dari kesatuan mana?"
Kebo Bang tertawa mengejek "Jangan terlalu melonjak
jauh. Cakup engkau mengetahui namaku, tak perlu
kesatuanku. Itu suatu rahasia tugas!"
"Siapa yang mengirim engkau ke mari?" tanya Kebo
Buntung pula. Kembali Kebo Bang tertawa, "Itupun suatu rahasia yang
harus kujaga, kecuali aku sudah menjadi mayat"
"Hm, mudah saja kalau engkau minta jadi mayat. Selesai
engkau menjawab pertanyaanku, tentu engkau akan melayang
ke neraka" "Apa yang perlu kutanyakan lagi"
kukatakan dengan jelas?" seru Kebo Bang.
Bukankah sudah "Belum yang penting" sahut Kebo Buntung, "mengapa
engkau dikirim untuk melindungi jiwa buyut desa ini dan
isterinya?" "Aku tak diberitahu secara terperinci melainkan hanya
diperintah untuk melakukan pengamanan terhadap jiwa buyut
Lodaya dan isterinya. Karena kedua suami isteri itu
mempunyai rahasia penting yang menyangkut kerajaan."
Kebo Buntung menggeram, "Hm, kalau begitu, siapkanlah
senjatamu untuk menghadapi pedangku ini"
Kebo Bang tertawa, "Bagus, ki sanak. Memang semasa di
pura kerajaan, aku sudah mengandung cita2 untuk
berhadapan dengan seorang tokoh berlengan buntung yang
termasyhur sebagai macan. Dan itulah pula sebabnya
mengapa aku menerima tugas itu agar harapanku terkabul"
"Keparat!" Kebo Buntung terus hendak loncat menyerang
tetapi serempak pada saat itu dari dalam rumah buyut, Galis
Konang lari ke luar dengan wajah amat tegang, "adi Buntung,
celaka ...." Kebo Buntung terpaksa hentikan gerakannya dan bertanya
"Mengapa kakang?"
"Ternyata waktu buyut masuk ke dalam rumah tadi dia
menyuruh beberapa orang pengalasan untuk membawa lari
isteri buyut dan puteranya. Rumah ini sudah kosong......"
Kebo Buntung terkejut. Bahkan Kebo Bangpun tampak
terkesiap. Keduanya serentak mencurah pandang ke arah
Buyut itu. Bayut Lodaya hanya tertawa.
"Buyut, berbahaya sekali! Kemanakah larinya nyi buyut ?"
Bayut Lodaya terbeliak heran. Ia sudah menduga bahwa
Kebo Buntung akan mengajukan pertanyaan begitu dan iapun
sudah bersedia jawabannya. Tetapi di luar dugaan, yang
bertanya itu bukan Kebo Buntung, melainkan Kebo Bang.
Suatu hal yang menimbulkan keheranan dan menumbuhkan
kecurigaan. "Ki Kebo Bang, bagaimana engkau dapat
memastikan isteriku berada dalam bahaya?" serunya.
"Ketahuilah, ki buyut" kata Kebo Bang, "bahwa perintah
dari gusti ratu Indreswari untuk membunuh isteri tuan dan
puteranya, telah diketahui oleh golongan2 yang saat ini
sedang meningkatkan gerakannya untuk berebut pengaruh di
dalam kerajaan. Titah gusti ratu itu merupakan suatu sasaran
penting yang akan diperebutkan untuk kepentingan masing2
golongan. Maka mereka pun segera mengirim orang-orang
dan pengalasan untuk berduyun-duyun ke Lodaya"
"Siapakah golongan2 yang saling berebut kekuasaan itu?"
tanya buyut Lodaya. "Diantaranya golongan Dharmaputera yang dipimpin oleh ra
Kuti, golongan patih Aluyuda, golongan pengikut gusti ratu
Indreswari dan masih banyak golongan atau orang-orang yang
memancing di air keruh. Mencari keuntungan dari pertikaian
golongan2 itu" Kebo Bang membatasi diri dengan keterangan
yang sudah diketahui para kawula pura kerajaan.
Buyut Loiaya mengangguk, tanyanya pula, "Lalu dari
golongan manakah ki sanak ini?"
Kebo Bang terkesiap. Ia heran mengapa buyut masih
menanyakan dirinya. Pada hal tadi ia sudah menyatakan
pendiriannya kepada Kebo Buntung. Dan ia pun segera
mengulang keterangannya tadi. "Tugas mewajibkan aku untuk
menyimpan rahasia itu. Yang nyata, aku adalah utusan dari
golongan yang hendak melindungi ki buyut berdua"
"Terima kasih ki Kebo Bang" sahut buyut Lodaya "tuan
telah melakukan tugas dengan baik dan akupun telah
berusaha untuk menyelamatkan isteriku"
"Tetapi ki buyut" sanggah Kebo Bang "hendaknya tuan
jangan curiga kepadaku dan suka memberi tahu ke manakah
gerangan lari nyi buyut tadi " Ingat ki buyut, di sekeliling desa
Lodaya sini penuh bersiap orang-orang dari pura Majapahit
yang hendak mengganggu keselamatan jiwa nyi buyut dan
puteranya." Buyut Lodaya tertawa datar "Ya, aku tahu. Tetapi akupun
telah tahu pula cara menyelamatkan isteriku"
Kebo Bang melangkah maju mendekati tuan rumah
"Ah, ki buyut, percayalah kepadaku" kemudian dengan
berbisik ia berkata "aku adalah utusan dari golongan
Dharmaputera untuk membantu ki buyut"
Buyut Lodaya kerutkan sepasang alis. Beberapa saat
kemudian baru ia berkata "Ki bekel, sampaikan kepada beliau2


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tergabung dalam Dharmaputera bahwa buyut Lodaya
amat berterima kasih sekali atas bantuannya. Tetapi .... hai! "
tiba-tiba buyut itu menjerit sekeras kerasnya sehingga Kebo
Bangpun ikut tersentak kaget "lihatlah ! Mereka sudah lenyap
!" seru buyut Lodaya.
Dan ketika Kebo Bang berpaling ke belakang, ia pun
terkejut. Kebo Buntung dan Galis Konang sudah tak tampak.
Entah bilamana kedua orang itu menyelinap pergi.
Kemungkinan pada saat Kebo Bang maju menghampiri ke
hadapan buyut Lodaya, Kebo Buntung dan Galis Konang diamdiam telah angkat kaki untuk mengejar nyi buyut.
Hanya sekejab kejut itu menghinggapi Kebo Bang karena
pada lain saat ia sudah berpaling menghadap buyut pula.
"Itulah, ki buyut, kita harus cepat2 menolong isteri tuan.
Katakanlah ke arah mana nyi buyut meloloskan diri?"
Bayut Lodayapun cepat dapat menguasai keguncangan
hatinya. Ia menjawab "Daripada ki sanak mendesak aku,
bukankah lebih baik ki sanak cepat2 menyusul jejak mereka,
agar mereka jangan sampai mengganggu isteriku ?"
"Ah, aneh sekali engkau ini ki buyut" gumam Kebo Bang
"dari pura kerajaan yang jauh aku dikirim ke mari untuk
menyelamatkan jiwa keluargamu, tetapi engkau bahkan malah
mempersulit pekerjaanku. Mengapa sepelit itu engkau
memberitahukan tentang arah kepergian isterimu ?"
"Terima kasih, ki bekel" kata buyut Lodaya "amat kuhargai
bantuan tuan kepadaku. Tetapi telah menjadi pendirianku
bahwa seorang isteri itu harus menjadi tanggungan suami.
Dan dalam hal ini kurasa, aku sudah cukup mampu untuk
melindungi isteriku"
Tiba2 Kebo Bang mencabut pedang kangkam dari
pinggangnya, "Buyut Lodaya, ku berimu kesempatan yang
terakhir kalinya. Katakanlah di mana arah larinya nyi buyut?"
"Kalau aku tak mau memberi keterangan?"
"Terpaksa pedang ini akan kubelahkan dadamu"
Buyut Lodaya tertawa nyaring "Aneh, aneh! Kalau bekel
Kebo Buntung menyerang aku tadi adalah karena terangterangan dia mengatakan hendak membunuh isteriku. Aku
dapat menghargai tugasnya. Tetapi apabila seorang yang
menyatakan hendak menolong lalu memaksakan kekerasan
untuk mencampuri urusan dari orang yang menolak
pertolongan itu, bukankah pertolongan itu tidak lagi murni
sifatnya melainkan mempunyai maksud tertentu?"
"Jangan banyak bicara! Engkau mau memberita-tahu atau
tidak!" bentak Kebo Bang.
"Tidak" sahut buyut Lodaya.
"Hm" Kebo Bang menggeram menyerempaki ayunan
pedangnya ke arah kepala buyut. Tring, buyut itupun dengan
tangkas mcnangkiskan tongkatnya. Tetapi Kebo Bang rupanya
lebih licik dari Kebo Buntung. Pada saat ia menabas, ia sudah
menduga buyut tentu akan menangkis. Maka diam-diam iapun
sudah kisarkan langkah maju merapat. Pada saat pedang
beradu dengan tongkat, pada w aktu perhatian buyut tercurah
pada benturan tongkatnya, secepat kilat dan tak terduga-duga
kaki kiri Kebo Bangpun sudah berayun ke lambung. Prak......
Tubuh buyut itupun terhuyung huyung ke belakang,
membentur dinding ruang. Sebelum ia sempat memperbaiki
kedudukannya, ujung pedang Kebo Bang sudah melekat di
dadanya. "Sekarang engkau mau mengatakan atau ujung
pedang ini akan menembus ulu hatimu !"
"Tusukkanlah!" seru buyut itu dengan garang "paling2
engkau hanya dapat membunuh seorang buyut. Tetapi engkau
akan kehilangan kepercayaan dari tuanmu!"
"Apa maksudmu?" Kebo Bang menegas.
"Aku mati tetapi engkaupun kehilangan waktu dan
kesempatan untuk berlomba dengan mereka yang
menghendaki jiwa isteriku. Mungkin saat ini kedua orang tadi
sudah dapat menyusul isteriku !"
"Mengapa engkau tak mau memberitahu arah larinya
isterimu agar jangan sampai aku membuang waktu dan
tenaga menyusulnya ?" seru Kebo Bang.
Buyut Lodaya tertawa "Mengapa engkau tetap berkeras
hendak memaksa aku " Bukankah jalan di desa Lodaya ini tak
berapa jumlahnya! Kukatakan percuma kalau engkau akan
menggunakan paksaan. Aku sudah mengiklaskan jiwaku !"
"Keparat!" tiba-tiba Kebo Bang membacok bahu buyut
Lodaya lalu loncat keluar dari rumah. Ia lari sekencang
kencangnya untuk memburu waktunya yang telah terbuang
sia2. Memang pada saat buyut Lodaya mempunyai kesempatan
masuk ke dalam, ia segera menemui isterinya "Indu, lekas
engkau berkemas membawa puteramu lari dari pintu
belakang!" "Mengapa?" Indu terkejut sekali.
"Tumenggung ra Kembar telah mengirim dua orang
pengalasan kemari untuk menjalankan titah gusti ratu
Indeswari supaya membunuh engkau dan puteramu."
Indu menjerit tertahan "Bagaimana mungkin...."
"Sudahlah, Indu" kata buyut Lodaya, waktu amat berharga
sekali. Kedua orang itu sudah menunggu di luar dan suruh aku
menjemputmu kepada mereka."
"Tetapi kalau aku melarikan diri, bagaimana dengan
dirimu?" Indu makin tegang.
Buyut Lodaya tersenyum menghibur. "Aku sudah
mempunyai cara untuk menghadapi mereka. Yang penting
engkau harus dapat menyelamatkan diri dan puteramu."
Indu memandang buyut itu dengan penuh rasa haru.
Terlintas suatu kenangan hidup yang hampir menghancurkan
asa dan semangat jiwanya. Ia hampir bunuh, diri asal tertepas
dari aib sengsara. Namun apabila mengingat jabang bayi yang
berada dalam kandungan perutnya, lunglailah tekadnya.
Jabang bayi itu tak berdosa, demikian pun dirinya. Akhirnya ia
memutuskan untuk terus bertahan hidup demi kelangsungan
hidup bayi itu. Semangat hidupnya makin menyala manakala
buyut yang dititahkan supaya menjadi suaminya itu ternyata
seorang lelaki yang luhur budi.
Walaupun resminya mereka itu suami isteri tetapi dalam
kenyataannya, tidaklah buyut itu menuntut haknya sebagai
seorang suami. Ia rela menunggu sampai jabang bayi lahir
barulah ia akan mengambil Indu sebagai isteri yang
sesungguhnya. Itupun apabila Indu rela. Jika tidak, iapun tak
akan memaksanya. Pendiriannya, hanya akan menyelamatkan
jiwa Indu dan puteranya. Demi rasa perikemanusiaan dan
keadilan. Perlakuan dari buyut itu lambat laun telah menyegarkan
pula jiwa Indu yang sudah layu. Ia mendapatkan bahwa
diantara sifat-sifat Jahat, Kejam, Angkara yang telah
menguasai manusia2, terutama di pura kerajaan dan terutama
pula seorang manusia yang paling berkuasa di seluruh
kerajaan, ternyata masih terdapat manusia yang belum
terlumuri oleh sifat2 jahat itu. Dan manusia itu ia dapatkan
pada diri buyut Lodaya. Buyut yang apabila ditilik usianya,
lebih sesuai menjadi ayahnya.
Penyegaran jiwa itu mulai menumbuhkan kepercayaan
untuk berani mengarungi kehidupan yang penuh derita dan
cobaan. Tujuan hidup Indu makin jelas. Pertama, untuk
mengasuh puteranya dan kedua untuk membalas budi buyut
Lodaya. Ia tak menghiraukan perbedaan usia, tidak pula
memandang akan baik buruknya wajah. Yang penting baginya
yalah suatu sandaran yang dapat mengayomi dan memberi
ketenteraman hidupnya. Tetapi rupanya nasib Indu memang selalu dirundung
kemalangan. Ibarat bibit, barulah akan tumbuh dan bersemi
lalu tiba-tiba datanglah babi hutan yang menginjak injak
dengan ganasnya. Demikian keadaan Indu. Barulah Indu
bersiap memaserahkan diri pada prakitri hidupnya, atau
datanglah orang-orang pengalasan dari kerajaan Majapahit
yang hendak mencabut jiwanya.
"Indu, janganlah engkau berbanyak hati. Inilah perlindunganku yang terakhir kepadamu. Semoga engkau dan
putera dilindungi para dewata," kata buyut Lodaya mendesak.
Indu bercucuran airmata, "Mungkin aku tak dapat
membalas budimu, kakang. Tetapi kelak puteraku itu akan
kuberitahu bahwa ayahnya adalah buyut Lodaya. Agar dia
dapat mengabdikan hidupnya untuk membalas segala budi
kebaikanmu....." Demikian serangkai kata perpisahan yang terjadi antara
buyut Lodaya dengan Indu. Singkat menyayat hati.....
Indu dengan menggendong puteranya yang masih bayi
lolos dari pintu belakang, diantar oleh seorang pengalasan,
orang kepercayaan buyut Lodaya. Dari kebuyutan, mereka
mengambil jalan kecil, menyusup hutan, melintas lembah,
menyusur jalan2 tikus diantara pematang2. Malam hari dan
dalam keadaan tegang ketakutan, langkah kakipun tiada
menurut arah tertentu. Lari sejauh mungkin dari desa Lodaya.
Malam pun lalu dan cuaca mulai merekah kecerahan pagi.
Hampir semalam mereka menempuh peijalanan berat. Saat itu
mereka tiba diujung hutan dan akan mencapai sebuah jalan
yang merentang panjang ke arah utara.
Pengalasan itu bernama Wuluh, seorang jujur dan setya.
Karena kasihan melihat Indu sudah amat lelah, berkata, "Nyi
buyut, baiklah kita beristirahat di sini dahulu. Melanjutkan
perjalanan pada siang hari, mudah diketahui mereka. Nanti
malam kita berjalan lagi"
Indu menurut karena merasa kasihan kepada puteranya
yang belum cukup setahun umurnya. Demikian mereka
beristirahat di bawah batu karang yang cekung, menyerupai
sebuah guha. "Nyi buyut, silahkan tidur, aku akan pergi membeli
makanan" kata Wuluh.
"Jangan, Wuluh" cegah Indu "aku tak lapar"
"Tak apa nyi buyut" kata Wuluh "aku akan mencari sebuah
pedesaan yang dekat. Orang tentu mengira aku seorang
desa." "Tetapi ..." Wuluh cepat menyahut pula, "Harap nyi buyut jangan
mencemaskan. Aku dapat membawa diriku supaya terhindar
dari gangguan. Yang penting nyi buyut harus tetap sehat agar
tidak mengganggu kesehatan putera ni buyut"
Indu terpaksa menurut. Memang kata2 Wuluh itu benar. Ia
memang tahan lapar tetapi hal itu tentu mengurangi air susu
untuk puteranya. Apalagi kalau ia sampai jatuh sakit,
kesehatan puteranya tentu terganggu.
Wuluh berjalan secepat kakinya dapat berlari. Namun
sekalipun sudah sekian lama, belum juga ia bertemu dengan
sebuah pedesaan. Baru setelah urat-urat kakinya terasa mulai
lunglai, sepemanah jauhnya ia melihat gunduk2 rumah di balik
gerumbul pohon anjiluang. Memang pada jeman itu, pohon2
berduri atau yang berbuah masam, misalnya pohon kamal,
anjiluang, jeruk kingkit dan pohon maja, ditanam untuk tapal
batas sebuah desa atau daerah.
Telapak kaki dan lutut Wuluh yang sudah mulai gemetar
lemas, serentak kencang pula. Dan larilah pengalasan dari
Lodaya itu menghabiskan napasnya. Kadang-kadang ia merasa
sudah berada beberapa tombak di sebelah muka, pada hal
kakinya masih berderap-derap di belakang. Biasanya di desa
Lodaya, jarak antara sebuah karang desa dengan lain desa,
dirasakan dekat sekali, walaupun sesungguhnya terpisah
sebuah hutan atau lorong2 gerumbul pohon yang panjang
sekali, Saat itu barulah ia benar benar merasa, betapalah jarak
yang sebenarnya dari apa yang disebut letak sebuah desa
dengan lain desa. Menjelang napasnya hampir habis, barulah kakinya dapat
mencapai mulut desa. Betapapun luapan semangatnya untuk
segera menghampiri sebuah rumah yang terletak paling ujung
dari mulut desa itu, namun sang kaki rupanya mogok. Tak
mau menurut lagi keinginan hatinya. Bluk, jatuhlah terduduk
dibawah sebuah pohon. Ia pejamkan mata untuk
mengheningkan denyut kepalanya yang serasa membawa
pandang matanya melihat sesuatu yang belum pernah
dirasakan. Alam di sekelilingnya berputar-putar, pohon2,
gunduk2 rumah bahkan rumput2 seperti menari-nari mengitari
dirinya .... Hampir sepengunyah sirih lamanya dalam keadaan hilang
penguasaan diri, barulah pelahan lahan Wuluh tenang.
Napasnya berangsur-angsur mengendap, denyut kepalanya
pun surut. Ketika membuka mata, ia dapat melihat jelas
batang2 pohon yang tumbuh subur, gunduk2 rumah yang
seolah menanti kedatangannya. Serentak ia berbangkit dan
ayunkan langkah menghampiri sebuah rumah. Tetapi ia
kecewa ketika mendapat jawaban bahwa di desa yang kecil itu
tiada kedai yang menjual makanan. Pun hari itu bukan hari
pasaran maka pasar pun sepi.
"Celaka" diam-diam Wuluh mengeluh. Akhirnya ia
menyatakan kepada penghuni rumah itu hendak minta
makanan dengan bersedia mengganti kerugian.
"Fuh, dari manakah ki sanak ini?" penghuni rumah terkejut
mendengar permintaan itu.
Wuluh mendesak. Ia mengatakan bahwa isterinya Sedang
menderita sakit dan terpaksa harus minta pertolongan.
"Tolonglah kisanak" katanya "karena di sini tiada kedai
makanan dan pasar pun sepi terpaksa aku ingin mendapat
makanan sekedarnya dari dika"
Akhirnya penghuni rumah itupun meluluskan. Dibungkusnya nasi dan lauk pauk serta sebuah kendi berisi air.
Tetapi ia tak mau menerima uang dari Wuluh. "Orang desa di
sini tak memerlukan uang, tak seperti orang kota. Kami di sini
hidup bergotong royong mengolah bumi dan membangun
desa. Karena tak menggunakan mata uang, hidup kami
tenang" Wuluh serta merta menghaturkan terima kasih lalu minta
diri. Dia bergegas melarikan kakinya. Sudah setengah hari
lamanya ia meninggalkan nyi buyut. Apabila berjalan biasa,
tentu petang hari baru tiba di sana. Tetapi karena baru
beristirahat beberapa waktu, cepatlah ia merasa letih lagi.
Setelah menuruni sebuah lereng bukit, betapa ingin ia
terbang meluncur di sepanjang jalan yang merentang jauh ke
muka. Tetapi ketika ia hendak paksakan diri berlari, serentak
teringatlah apa yang dideritanya tadi. Napasnya pasti habis
kaki lentuk lututpun lunglai dan akibatnya ia tentu rubuh.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berjalan sepelontar tombak, ia menengadah ke langit. Ah,
surya sudah agak condong ke barat dan serentak berontaklah
semangatnya. Lari. Demikian sang kaki terpaksa harus
menuruti kehendak hatinya. Ujung jalan sudah tampak. Dari
situ ia akan membiluk sebuah tikungan, melintas dua tiga
gerumbul hutan kecil, menuruni sebuah tanah tanjakan dan
tibalah sudah di tempat nyi buyut menunggunya.
"Ah, nyi buyut tentu gelisah" pikirnya "dan apabila dia
sampai ketakutan lalu tinggalkan tempat itu, ah....." tiba-tiba
timbul suatu reka dalam hatinya.
Dan reka itupun cepat berkembang menjadi kegelisahan.
Hati gelisah, kakipun segera berpacu tanah. Larilah ia
sekencang kencangnya. Beberapa tombak lagi ia akan tiba di tikung jalan. Tetapi
sang kakipun sudah tiada bertenaga lagi. Bluk .......... ia jatuh.
Walau pun ia tak harus menderita mukanya menyapu tanah
apabila ia mau menggunakan tangan untuk menyanggah
tanah, tetapi ia rela meaderita mukanya yang membelur
seperti tergosok daun empelaa daripada harus melepaskan
bungkusan nasi dan kendi yang dipegangnya.
"O, Dewa yang maha Agung, berilah hamba kekuatan untuk
lekas tiba di tempat nyi buyut" ia tak merintih kesakitan
melainkan berdoa dalam hati. Dan dipaksanya sang kaki
mengangkat tubuhnya bangun dan membawanya lari pula.
Tetapi baru beberapa puluh langkah, ia pun jatuh pula tepat
beberapa depa dari tikung jalan.
"Mengapa tenagaku merana sama sekali ?" ia heran sendiri.
Tiba-tiba ia teringat bahwa sejak semalam sampai saat itu
belum menelan sebutir nasi, minum seteguk air. Pula semalam
suntuk tak tidur. Serentak timbul pikirannya untuk mengambil
sedikit nasi dalam bungkusan yang dibawanya itu. Untuk
menimbulkan tenaganya. "Tidak, Wuluh, engkau seorang lelaki, seorang pengalasan
yang telah bersedia menerima tugas buyut Lodaya untuk
menyelamatkan nyi buyut. Nasi itu amat penting untuk
keselamatan jiwa nyi buyut dan putera-nya" tiba-tiba
pikirannya membantah keinginan hatinya. Dan bangkit pulalah
semangatnya lalu berlari pula. Ia berhasil melintas tikung jalan
lalu mulai pesatkan larinya di sepanjang jalan pegunungan.
Bluk, kembali ia jatuh. Jatuh yang benar membuat tulang
sendi2 dan tubuhnya mengejang kaku. Kepalanya membentur
batu. Kendi pecah dan ia tak ingat apa yang terjadi lagi.
Beberapa saat kemudian, ketika membuka mata ia terkejut
ketika melihat dua orang lelaki berjongkok di dekatnya.
Mereka serentak mengangkatnya bangun. "Ah, engkau tentu
terantuk batu, ki sanak. Dahinya berdarah" kata lelaki yang
lebih tua "hendak kemanakah engkau dan di manakah tempat
tinggalmu ?" tanyanya pula dengan nada ramah.
Wuluh tak lekas menyahut melainkan menghamburkan
pandang matanya meneliti keadaan kedua orang itu dari ujung
kaki sampai ke atas kepala. Yang agak tua tadi tak memakai
baju, bercelana hitam. Sedang yang lebih muda, memakai
baju yang berlengan panjang sehingga menutupi jari tangan.
Sepanjang ingatannya, Wuluh tak pernah melihat penduduk
Lodaya yaig berwajah seperti kedua orang itu
"Siapa tuan berdua?" tanyanya.
"Aku dan adikku dari Daha" sahut lelaki tak berbaju itu.
"O" masih Wuluh lekatkan pandang matanya ke tubuh
orang "adakah tuan seorang prajurit?"
Lelaki itu tertawa kecil "Ah, tidak. Kami blantik kuda dari
Daha yang sedang berkeliling ke daerah2 untuk membeli
kuda." "O" Waduh menghela napas longgar dan pejamkan mata
sehingga ia tak sempat mengetahui betapa senyum yang
menyeringai di mulut kedua lelaki itu, "maaf, aku hendak
minta pertolongan tuan ..."
"Manusia hidup wajib tolong menolong. Apa yang engkau
perlukan kepada kami berdua?"
Sejenak bersangsi, obat untuk isterinya merasa letih sekali. menyewa kuda tuan katanya. Waluh berkata bahwa ia habis mencari
yang sedang sakit. Tetapi saat itu ia
"Apabila tuan meluluskan aku hendak
agar dapat lebih cepat tiba di rumah"
Lelaki itu tertawa ringan, "O, itukah " Tak perlu engkau
sewa. Mari engkau naik kuda bersamaku. Nanti kuantar
sampai di rumahmu." Wuluh girang. Segera ia dengan lelaki itu naik kuda dan
lelaki yang berbaju hitam pun naik kuda sendiri, mengikuti di
belakang. Kedua orang itu ternyata hanya mencekal dua ekor
kuda. Cepat merekapun tiba di jalan dekat hutan tempat Indu
bersembunyi. Wuluh minta diturunkan di situ. "Terima kasih
atas pertolongan tuan berdua. Rumahku di ujung hutan ini.
Silahkan tuan melanjutkan perjalanan lagi" katanya seraya
memberi hormat. "Eh, kita antar saja sampai di rumahmu."
"Terima kasih" tersipu-sipu Wuluh menolak, "jalanan dalam
hutan ini kecil dan banyak semak2 berduri. Kasihan kuda tuan.
Lebih baik aku pulang sendiri" habis berkata Wuluh terus
ayunkan langkah masuk ke dalam hutan.
Kedua orang itu saling bertukar pandang lalu sama-sama
turun dari kudanya. Kuda dilepaskan di tepi jalan dan
keduanya dengan langkah ringan dan hati2 segera mengikuti
langkah Wuluh secara diam-diam.
"Paman Wuluh, engkau....." seru Indu demi melihat Wuluh
muncul dengan membawa bungkusan makanan.
"Ah, maiif, nyi buyut. Ternyata desa yang terdekat itu amat
jauh sekali. Selelah sampai di desa itu ternyata tak ada kedai
makanan, pun bukan hari pasaran pula. Untung seorang
penduduk yang baik hati telah memberikan sebungkus nasi
ini" Wuluh segera menyerahkan bungkusan nasi kepada Indu.
Indu menerimanya dengan rasa haru. Ia hanya makan
beberapa kepal, selebihnya ia berikan lagi kepada Wuluh.
"Paman harus makan, supaya tenaga paman pulih."
Selesai makan maka Wuluh pun berkata, "Setelah hari
gelap, kita lanjutkan perjalanan lagi. Bagaimana dengan
putera nyi buyut" Apakah tidak rewel?"
"Ah, dia anak baik. Rupanya dia tahu akan kesusahan
orangtuanya. Sehari ini dia tak menangis" kata Indu "lalu ke
manakah tujuan kita nanti?"
"Tempat yang jauh dari Lodaya dan aman untuk tempat
persembunyian, kurasa di gunung Lawu"
"Di manakah letak gunung itu?" tanya Indu.
"Kita menuju ke Daha terus ke barat, melalui Wengkcr lalu
ke barat lagi dan tibalah di gunung itu?" kata Wuluh "konon
kata orang di gunung itu diam seorang pertapa yang sakti dan
budiman. Suka menolong orang yang kesusahan."
"Apakah utusan2 dari kerajaan Majapahit itu
mengejar kita?" tanya Indu.
takkan "Itulah sebabnya mengapa kita mengatur siasat. Kalau
siang bersembunyi di hutan, malam hari baru menempuh
perjalanan" Indu mengangguk lalu katanya, "Paman, engkau harus tidur
dulu, agar tenagamu segar kembali"
"Baiklah" kata Wuluh lalu mencari tempat agak diluar dan
terus berbaring. Tetapi seiring dengan rebahnya kepala
menyertai tubuhnya di tanah, serentak membelalaklah ia
bagaikan melihat hantu bertaring "hai ....." cepat2 ia
mengayunkan kepalanya ke atas pula dan terus melonjak
bangun "mengapa kalian menyusul kemari ?"
Ternyata saat itu di atas batu cekung di mana Indu berada,
tampak dua orang lelaki tengah berjongkok. Mereka bukan
lain yalah kedua orang yang mengaku sebagai blantik kuda
dan mengantarkan Wuluh tadi.
Lelaki yang agak tua tertawa "Mengapa engkau terkejut
seperti melihat hantu?" ia terus ayunkan tubuh loncat ke
bawah. Kawannya pun segera menyusul.
Timbullah kecurigaan Wuluh atas sikap kedua orang itu.
Lebih2 ketika menyaksikan bagaimana mereka dapat loncat
turun dari batu yang dua tombak tingginya, dapat berdiri
tegak tak kurang suatu apa. Namun karena ia merasa telah
ditolong maka iapun harus mengendalikan diri
"Ki sanak" tegurnya dengan nada datar "apakah maksud ki
sanak berdua menyusul aku ke mari?"
Orang itu tertawa "Ah, kurasa ingin menyempurnakan
pertolongan kami kepadamu, agar jangan kepalang tanggung.
Akan kami ajak engkau dan isterimu berobat kepada dukun
yang pandai" "Ah, tak perlu" kata Wuluh "dia sudah baik"
"Aha" seru orang itu pula "apakah begitu pondokmu itu"
Kasihan benar, tak layak isterimu yang masih mempunyai anak
bayi itu harus tinggal di dalam cekung padas. Hayo ikutlah
kami pindah ke kota. Nanti kuberi rumah dan pekerjaan
kepadamu !" "Terima kasih" Wuluh tertawa hambar "kami sudah biasa
tinggal di sini dan lebih tenang di tempat ini daripada di kota"
"Ah, engkau benar-benar seorang lelaki yang tak
memikirkan kebahagiaan isterimu. Bagaimanapun senangnya
tinggal di tempat semacam ini tentu masih kalah senang
dengan tinggal di kota yang ramai dan makmur" habis berkata
orang itupun terus ayunkan langkah menghampiri ke tempat
Indu. Wuluh terkejut dan cepat menghadang "Jangan ki sanak.
Kuharap ki sanak jangan mengganggu isteriku yang habis sakit
itu" "Aku tak mengganggu, hanya ingin menjenguk saja. Kalau
memang sakit, akan kuusahakan obatnya" kata lelaki itu masih
tetap ayunkan langkah. "Terima kasih, ki sanak" Wuluh mencegah dengan
songsongkan kedua tangan kemuka "benar* kuharap ki sanak
jangan mengganggu isteriku"
Orang itu tertawa "Engkau ini benar2 aneh, ki sanak. Aku
bermaksud baik kepadamu dan isterimu, mengapa engkau
begitu ketakutan dan melarang aku menemuinya?"
"Maafkan, aku ki sanak"
"Eh, apakah isterimu itu menderita sakit sehingga wajahnya
rusak dan malu bertemu orang?" tanya orang itu pula.
Secerah cahaya merekah pada wajah Wuluh. Ya, mengapa
ia tak mengiakan kata2 orang itu. Bukankah dengan alasan itu
cukup kuat untuk menolak maksud orang "Benar ki sanak"
katanya serentak "memang saat ini isteriku sedang menderita
penyakit bisul berair pada wajahnya sehingga malu dilihat
orang" "O, sungguh beruntung sekali engkau, ki sanak" tiba-tiba
orang itu berseru "aku justeru membawa obat yang mujarab
sekali untuk penyakit itu. Hayo, bawalah aku kepada isterimu"
"Jangan, jangan ki sanak" tergopoh Wuluh mencegah "jika
memang engkau hendak menolong berikanlah obat itu
kepadaku. Nanti aku sendiri yang melumurkan kepadanya"
"Tidak bisa" kata orang itu "aku harus memeriksa
keadaannya agar dapat memberikan obatnya yang tepat"
"Jangan ki sanak" makin tegang Wuluh mencegah
"kukatakan tak perlu. A ku dapat mengobatinya sendiri."
Rupanya orang itu mulai kehilangan kesabarannya. "Aneh,
engkau ini benar2 aneh sekali ki sanak. Aku bermaksud baik
untuk memberi pertolongan tetapi engkau kemati-matian
menolak. Apa sebabnya" Hm, kurasa hanya ada dua alasan.
Isterimu itu tentu bukan bangsa manusia! Tentu bangsa hantu
yang menyeramkan." "Dia manusia biasa!"
"Kalau manusia tentulah dia itu amat cantik sehingga
engkau takut dilihat oiang"
Wuluh mendengus "Hm, jangan berolok, ki sanak"
"Atau dia itu seorang wanita yang mengandung rahasia
penting....." "Ki sanak, silahkan tinggalkan tempat ini" cepat Wuluh
menukas. "Hm, engkau tak membantah pernyataanku, berarti diamdiam engkau membenarkan" kata orang itu" apalagi menilik
sikapmu yang begitu kemati-matian menghalangi aku, jelaslah
tentu ada sesuatu dengan isterimu" ia berpaling kepada
kawannya dan berseru "ayo, ringkuslah orang ini!"
Kawannya yang sejak tadi berada di belakang cepat loncat
maju dan terus menerkam lengan Wuluh. Tetapi Wuluhpun tak
mau semudah itu ditangkap. Ia menghindar ke samping lalu
berteriak kuat-kuat, "Nyi buyut, lekaslah engkau lari .......... "'
Dia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu
diserang lagi. Bahkan serangan kali ini dilancarkan dengan
gerak yang lebih cepat. Bret.....
"Uh....." orang itu terkejut ketika tangan Wuluh
menghantannya. Bukan karena pukulan Wuluh itu teramat
keras melainkan karena lengan baju yang menutupi tangan
kirinya menjadi kutung separoh. Jelas tentu bukan karena
pukulan tangan melainkan karena senjata tajam. Dan ketika
memperhatikan Wuluh, dilihatnya tangan Wuluh bertambah
dengan sebatang pedang pandak. Seketika mekarlah
kemarahannya, "Ho, engkau mengajak bertempur dengan
senjata" Itu berarti engkau menghendaki lekas mati!"
Wuluh memang mencabut pedang pandak. Ia ingin
membabat lambung orang tetapi sayang yang kena hanya
lengannya. Tetapi serempak dengan itu meledaklah rasa
kejutnya. Lengan baju lawan terpapas kutung, mengapa
lengannya tak ikut kutung" Dan ketika dipandangnya dengan
seksama ternyata orang itu memang tak berlengan. "Hai,
engkau .... engkau utusan dari Majapahit yang berlengan
buntung itu ......" "Tepat" sahut si lengan buntung atau tak lain dari Kebo
Buntung sendiri "setepat engkau ini orang pengalasan buyut
Lodaya dan wanita yang engkau aku sebagai isteri itu, isteri ki
buyut sendiri!" "Jahanam, jangan harap engkau mampu menangkap nyi
buyut sebelum engkau dapat merubuhkan Wuluh !" kata
pengalasan Lodaya itu seraya menyerang dengan sebuah
tikaman keras ke dada. Kebo Buntung menghindar lalu balas memukul muka orang.
Ia ingin mencoba dahulu sampai di mana kesaktian orang itu.
Kemudian akan

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipertimbangkan lagi, perlukah ia menghadapinya dengan pedang.
Dalam pada itu lelaki yang seorang atau Galis Konang yang
mengaku sebagai blantik kuda, setelah terhindar dari
penghadangan Wuluh, pun cepat lari ke arah tempat Indu.
Tetapi segera ia menjerit kaget.
"Hai, wanita itu sudah lenyap!"
Kebo Buntung ikut terkejut juga. Cepat ia berseru, "Kejarlah
kakang. Selekas aku menyelesaikan babi ini, aku segera
menyusulmu !" "Baik, cepatkan saja engkau membunuhnya. Adi, aku
mengejarnya" sahut Galis Konang.
Kiranya sewaktu Wuluh bertukar kata dengan Galis Konang
dan mendengarkan pengakuan utusan Majapahit itu, diamdiam Indu sudah meloloskan diri bersama puteranya. Semula
ia merasa berat hati untuk meninggalkan Wuluh seorang diri
dalam bahaya. Tetapi pada lain kilas ia teringat akan
keselamatan jiwa puteranya. Dan itulah tujuan hidupnya.
Terpaksa ia menghapus segala pertimbangan lain dan terus
membawa puteranya lari. Itulah sebabnya mengapa beberapa
saat kemudian ketika Galis Konang datang, dia menjerit kaget.
Indupun lari tanpa mengetahui arah dan tujuan. Yang
penting ia harus dapat menghindarkan diri dari kedua utusan
Majapahit itu. Makin jauh makin baik. Ia pun tak
menghiraukan adakah jalan yang diterjang itu penuh dengan
gerumbul onak ataukah terdapat binatang buas. Tak pula
dipedulikannya adakah jalan yang ditempuhnya itu akan tiba
dijalan lain atau bukit atau karang pedesaan ataukah akan
buntu. Baginya, berjalan melintasi hutan, bukanlah hal yang baru.
Sewaktu ia masih kecil berada di tengah hutan dengan
eyangnya demang Suryanata, tiap hari keluar masuk
menyusup hutan. Tetapi sejak pindah ke pura kerajaan dan
masuk ke dalam keraton Tikta-Sripala, kehidupannya berobah.
Ia harus menempuh adat kehidupan sebagai dayang perwara
yang mengutamakan kehalusan gerak dan sikap. Hanya dalam
beberapa tahun saja menjalankan kehidupan itu, maka
berobahlah ia sebagai seorang perawan yang lemah.
Kelemahan urat2 kaki dan tubuhnya itu sangat dirasakan
sekali oleh Indu ketika pada malam itu ia harus melintasi
hutan. Hanya karena kemauan yang besar dan tekad yang
bulat maka ia tak menghiraukan segala derita kesakitan dan
jerih payah. Entah berapa lama ia menempuh perjalanan yang penuh
siksa itu, sayup2 ia mendengar ayam hutan berkokok.
Pertanda bahwa malam sudah akan menjelang pergi. Dan
seiring dengan kokok ayam hutan itu, tibalah ia diujung hutan.
Tepi hutan di belah sebuah jalan yang merentang jauh ke
muka. Pada seberang jalan itu terdapat pula sebuah hutan.
Indu tak mau mengambil jalan itu karena kuatir dapat
dikejar utusan Majapahit. Setelah menyeberangi jalan ia
masuk lagi ke dalam hutan. Tetapi tiba-tiba ia melihat sesosok
tubuh manusia tengah duduk bersila dan pejamkan mata di
bawah sebatang pohon maja. Ia terkejut dan nyalangkan
pandang mata untuk menembus kabut kegelapan malam yang
masih memekat suasana sekeliling tempat itu.
"Ah, seorang brahmana muda" serentak ia berkata seorang
diri setelah memandang dengan seksama. Harapannya timbul.
Brahmana selalu menolong orang. Kalau ia meminta
pertolongan, brahmana itu tentu mau meluluskan. Cepat ia
maju menghampiri. Tetapi baru dua tiga langkah, tiba-tiba ia
berhenti pula. Benar brahmana itu suka menolong orang tetapi
brahmana itu seorang suci, seorang yang mengutamakan ilmu
ajaran agama. Tentu akan mendapat kesulitan apabila
berhadapan dengan utusan dari Majapahit yang gagah
perkasa itu. Ah, tak maulah Indu mencelakai orang demi
kepentingan dirinya. Lebih baik ia teruskan lari ke dalam hutan
saja. Dan ia terus menyelinap ke samping.
"Nini, mengapa langkahmu menampilkan ketakutan?" tibatiba terdengar suara orang menegur Indu.
Indu berhenti. Ia memandang ke sekeliling tetapi tak
melihat lain orang kecuali brahmana yang masih duduk
bersamadhi itu "Adakah ki brahmana yang bicara ?"
"Benar, nini" sahut brahmana itu.
Indu heran benar. Kalau benar, brahmana itu yang bicara,
tentulah bibirnya bergerak. Tetapi mengapa mulut brahmana
itu masih terkatup rapat seperti sepasang matanya"
"Adakah sang brahmana yang berkata tadi?" kembali Indu
menegas. "Benar" sahut brahmana itu" karena hatimu gelisah maka
engkau tak percaya pada pendengaranmu"
"Oh, maafkan aku tuan brahmana" Indu tersipu-sipu.
"Mengapa hari masih malam begini, engkau berjalan
menerobos hutan" Adakah seruatu yang terjadi pada dirimu"
Ah, engkau mengemban bayi. Adakah itu puteramu?"
"Duh sang brahmana, hamba memang sedang melarikan
diri dari kejaran orang Majapahit"
Brahmana terkejut "Engkau dikejar orang Majapahit" Apa
sebabnya?" ia menegas heran.
"Panjang sekali ceriteranya, tuan" kata Indu "pokoknya,
entah golongan mana yang berada di pura kerajaan, telah
mengirim orang untuk membunuh aku dan anakku ini"
"Dimanakah suamimu nini?"
Indu tersipu merah. Ia teringat pada keadaan dirinya.
Sudah bersuami tetapi belum menjadi isteri dalam arti yang
sesungguhnya. Cepat ia menjawab "Suamiku, buyut Lodaya,
sedang menghadapi salah seorang dari utusan Majapahit itu.
Entah bagaimana nasibnya saat ini. Tetapi dia suruh aku cepat
membawa lari anakku."
"O" desuh brahmana muda itu "engkau tiba disini dan
melihat aku, mengapa sebabnya engkau hendak terus
melarikan diri ke dalam hutan?"
"Duh sang brahmana" kata Indu "kutahu tuan tentu akan
menolong diriku. Tetapi utusan2 Majapahit itu terdiri dari
prajuri2 yang sakti. Aku tak mau mencelakai diri tuan untuk
menolong aku." Brahmana muda itu tersenyum "Luhur sekali budimu, nini.
Tetapi engkau salah menilai diriku. Duduk dan beristirahatlah
di sini, nini. Apabila utusan Majapahit itu mengejar kemari,
akulah yang akan menyambutnya"
"Terima kasih, tuan brahmana" kata Indu setengah masih
bersangsi "tetapi ..."
Brahmana muda menukas tertawa "Tenangkanlah hatimu
nini. Aku seorang brahmana, tentu takkan bohong kepadamu"
Melihat sikap yang yakin dan nada suara brahmana yang
begitu tenang, Indu pun terpengaruh. Ia segera berhenti dan
duduk di bawah pohon, kira2 tiga empat tombak jauhnya dari
tempat sang brahmana. Setelah mempersilahkan Indu
beristirahat dengan tenang, brahmana itu pun tetap
melanjutkan persemadhiannya. Kedua matanya dipejamkan
rapat2. Pelahan-lahan selimut malam mulai menyiak dan cuaca pun
mulai menampil kecerahan. Indu masih memangku anaknya
dan duduk sandarkan kepalanya pada batang pohon. Ia
meramkan mata antara tidur2 ayam.
Tiba-tiba terdengar derap orang berlari dari kejauhan. Dan
cepat sekali orang itu sudah tiba di tepi hutan tempat Indu
beristirahat. Sebenarnya orang itu akan lari terus manakala
tidak terjadi sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba anak Indu
menangis. Indu gelagapan dan orang itupun hentikan langkah.
Ketika memandang ke arah tangis bayi itu, serentak loncatlah
orang itu seraya berseru girang, "Ho, nyi buyut, kiranya
engkau berada di sini ......."
Indu terperanjat sekali. Ia yakin orang itu tentulah utusan
Majapahit yang hendak mengejarnya. Cepat ia mendekap
bayinya terus lari ke dalam hutan. Tetapi baru dua tiga
langkah, tiba2 bahunya terasa dicekal oleh tangan
orang yang bertenaga kuat
"Jangan lari nyi buyut..."
"Lepaskan!" teriak Indu
meronta sekuat-kuatnya. Namun tangan orang itu sekeras jepitan besi Indu
merasa tulang bahunya seperti pecah "Aduh ...."
Orang itu tertawa. Ia ulurkan tangan kiri untuk
melengkapi tangan kanannya yang mencekal bahu Indu. Indu hendak dipeluknya. Dan Indu sudah
tak berdaya. Apabila ia hendak menyiak tangan orang itu, berarti ia harus melepaskan
puteranya. Dan tentulah bayi itu akan terlepas jatuh ke tanah.
"Tolong.....!" Indu menjerit keras.
"Ho, jangan berteriak, percuma sajalah" kata orang itu
seraya mendekap mulut Indu dengan tangan kirinya "di sini
tiada seorang manusiapun ...."
Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba
bahunya terasa dicengkeram oleh lima buah jari yang kuat
dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu maka tubuhnyapun
tersentak ke belakang. Heran benar Galis Konang saat itu. Ia
merasa tenaganya merana sehingga tubuhnya pun melayang
layang ke belakang masuk ke dalam semak "Uh ..." ia menjerit
kaget ketika dagingnya tertusuk beratus-ratus ujung duri.
Rasanya seperti digigit ratusan ekor semut. Ia hendak
meronta bangun tetapi makin bergerak, makin menggigitlah
ujung2 duri yang tajam itu.
"Maaf, nini, engkau tentu menderita kejut" kata brahmana
muda itu "tetapi janganlah engkau takut. Tenangkanlah
hatimu, nini" Menyaksikan betapa brahmana muda itu sekali sentak telah
melemparkan utusan Majapahit ke dalam gerumbul onak,
terkejutlah Indu. Sesaat kemudian ia menyadari bahwa
brabmana itu tentu bukan sembarang brahmana. Kesadaran
itu telah menumbuhkan harapannya "Terima kasih, tuan
brahmana" katanya serta merta.
Brahmana itupun mempersilahkan Indu kembali ke tempat
peristirahatannya lagi. Sedang iapun duduk di tempatnya yang
tadi "Nini, ke manakah tujuanmu sekarang ini?"
"Aku tak kenal arah tak tahu jalan. Akupun tak tahu harus
ke manakah bersembunyi. Pokok, asal dapat terhindar dari
kejaran orang-orang Majapahit yang hendak membunuh
puteraku ini" "O" brahmana itu mendesuh. Tiada kelanjutan kata.
Rupanya dia tengah merenung sebagaimana tampak pada
kerut dahinya yang meliuk dalam.
"Sang brahmana" kata Indu pula dengan berbisik
"pengiringku, seorang pengalasan kebuyutan yang diperintah
suamiku untuk mengawal, mengatakan bahwa sebaiknya aku
meni'ju ke gunung Lawu. Di sana terdapat seorang wiku sakti
yang suka menolong orang"
"O, di manakah pengiringmu sekarang ini?"
"Dia sedang berkelahi dengan seorang kawan dari orang
yang mengejar aku tadi" kata Indu.
"Oh" kembali brahmana itu mendesuh "di mana?"
"Di sebuah hutan jauh dari sini" Brahmana itu merenung
sejenak lalu "Baiklah kita ke sana. Aku hendak membantu
pengiringmu ..." "Ha, ha, ha" tiba-tiba terdengar sebuah gelak tawa keras
"tak usah ke sana, aku sudah datang sendiri ke mari!"
Seiring dengan kumandang kata2 yang masih menggema
itu, muncullah seorang lelaki berlengan satu di tempat itu
"Brahmana, engkau tak perlu membantunya. Dia sudah
melarikan diri dengan membawa luka berlumuran darah !"
"Ih....." Indu menjerit kaget "engkau .... engkau seorang
pembunuh ...." "Ha, ha" orang itu tertawa "Kebo Buntung hanya melakukan
tupas. Siapa yang menentang, dia tentu melentang di tanah.
Dan apakah engkau menginginkan supaya aku diam saja
ditabasnya ?" "Ki sanak" tegur brahmana muda itu "mengapa engkau
hendak membunuh wanita dan puteranya itu?"
Sejenak Kebo Buntung melirik brahmana itu tajam2,
kemudian berkata "Engkau salah, brahmana. Aku tidak
membunuhnya melainkan hendak membawanya ke pura
kerajaan" "Ke pura kerajaan?" brahmana itu mengulang kaget
"mengapa " Siapakah yang menitahkan engkau ?"
Kebo Buntung tertawa datar "Itu bukan urusanmu,
brahmana. Aku hanya menjalankan titah saja"
Sahut brahmana itu "Brahmana itu seorang manusia,
engkau dan wanita itu pun juga manusia. Setiap manusia
dapat mengurus urusan manusia"
"Tetapi engknu manusia yang tak berhak mengurus soal
ini!" Kebo Buntung mulai keras.
"Rasa peri kemanusiaan memberi hak bagi setiap manusia
untuk mengurus soal2 manusia. Apa lagi soal-soal yang di luar
peri-kemanusiaan" "Ho, rupanya engkau seorang brahmana yang bermulut
tajam" seru Kebo Buntung "dan rupanya ..." belum ia
menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba ia terkejut mendengar
suara seseorang memanggil namanya "adi Kebo Buntung ..."
Kebo Buntung berpaling, memandang ke sekeliling dan
melihat sebuah gerumbul onak berguncang-guncang keras.
Cepat ia lari menghampiri. "O, engkau kakang Konang ..."
cepat2 ia menolong Galis Konang keluar dari gerumbul onak.
Tangan, kaki, muka dan dada Galis Konang penuh berhias
gurat2 warna merah "mengapa engkau berada dalam semak
duri itu, kakang?" tegur Kebo Buntung.
"Brahmana keparat itulah yang menyentakkan bahuku ke
belakang sehingga aku terlempar masuk ke situ" kata Galis
Konang seraya menuding brahmana muda dengan geram.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebo Buntung menggeram "Hm, kiranya engkau seorang
brahmana yang suka berkelahi.. Bagus, brahmana, engkau
akan mendapat kawan bermain yang tentu akan memuaskan
seleramu!" Brahmana muda itu hanya tertawa kecil "Akan lebih
menggairah pula sekiranya kalian berdua maju serempak
berdua" "Huh, sombong benar engkau, brahmana" kata Kebo
Buntung seraya menghunus pedang "untuk menutup
kekurangan dari sebelah lenganku yang hilang, aku biasa
menggunakan pedang. Silahkan engkaupun mengeluarkan
senjatamu, brahmana!"
"Ki sanak" seru brahmana muda dengan sarat "engkau
terlalu memandang hina kepada seorang brahmana. Pertama,
engkau mengajak berkelahi. Dan kedua engkau suruh aku
membunuh dengan senjata. Pada hal engkau tentu sudah
mengetahui bahwa seorang brahmana itu pantang membunuh
jiwa. Bahwa seorang brahmana itu hanya memiliki senjata
kesucian hati dan keteguhan iman. Kesucian adalah pedang
pusakaku, Kebenaran tombakku, Keadilan itu gadaku dan
keteguhan iman itulah perisaiku!"
"Adi" tiba-tiba Galis Konang berseru "tak perlu kita
membuang waktu beradu lidah. Marilah kita hancurkan
brahmana itu!" Kebo Buntung mengiakan. Ia segera membuka serangan
pertama dengan kiblatkan pedangnya sepesat angin menderu.
Dan serempak dengan itu, Galis Konang-pun membabat kaki
brahmana. Ia benar2 marah karena menderita siksaan dalam
gerumbul onak tadi. Walaupun telah menyaksikan betapa kesaktian brahmana
muda itu melempar Galis Konang tadi, namun melihat
brahmana itu diserang oleh dua lelaki bersenjata pedang,
diam-diam Indu cemas juga. Namun ia tak dapat berbuat apa2
untuk membantu sang brahmana. Ia hanya dapat memanjat
doa kepada dewata agar brahmana itu dapat terhindar dari
bencana. Baik Kebo Buntung maupun Galis Konang mendesuh geram
ketika pedang mereka hanya menerpa angin kosong. Dengan
sebuah gerakan yang manis, brahmana itu telah loncat
mundur. Cepat ia mematahkan sebuah dahan dari sebatang
pohon yang tumbuh di dekat situ. Kemudian ia tegak sambil
menopangkan dahan kayu itu ke tanah.
Galis Konang mendahului menyerang. Kebo
menyelinap ke belakang brahmana, lalu menikam.
Buntung Pada saat kedua pedang hampir tiba ke tubuh brahmana,
barulah brahmana itu bergerak. Ia memutar dahan kayu
sekencang angin meniup. Sedemikian cepat ia memutar dahan
kayu itu sehingga tubuhnya seperti terselubung oleh bayangan
sinar hijau. Cres, cres, cres .... terbentur dengan pedang tajam dari
Kebo Buntung dan Galis Konang, ujung dahan terpapas
kutung beberapa kali sehingga makin lama makin gundul
daunnya dan makin pandak batangnya.
"Bagus, ki sanak" serunya "kini aku memperoleh sebatang
tongkat yang sudah bersih dari daun?"
Kebo Buntung dan Galis Konang tertegun. Kiranya
brahmana itu memang sengaja memberikan ujung dahan
berulang kali terpapas pedang, sehingga dahan itu bersih dan
menjadi sebatang tongkat.
"Sekarang aku dapat bergerak leluasa" seru pula brahmana
muda itu lalu memainkan tongkat dari dahan kayu itu untuk
menyerang dan menangkis. Ternyata walaupun hanya bersenjata tongkat dahan kayu
dan dikerubut dua orang prajurit yang bersenjata pedang
tajam, brahmana itu dapat memberikan perlawanan yang
seru. Bahkan bukan melainkan menangkis dan bertahan, pun
ia dapat juga melancarkan serangan balasan. Berulang kali
Galis Konang dan Kebo Buntung hampir lepaskan pedangnya
katena pergelangan tangannya terancam tusukan ujung dahan
kayu dari brahmana itu. Permainan tongkat dahan kayu dari
brahmana itu memang aneh dan luarbiasa. Dia selalu
menghindari beradu dengan pedang. Tongkat itu menjulur dan
menyurut seperti gerak ular menyerang lawan. Apabila
ditabas, tongkat itu menyurut. Tetapi selekas tabasan berlalu,
tongkat itu secepat kilat menjulur untuk menusuk tubuh
lawan. Galis Konang menggeram. Kebo Buntung bahkan meraungraung seperti singa kelaparan. Ia yang di pura kerajaan diberi
gelar orang sebagai macan, tetapi ternyata menghadapi
seorang brahmana muda yang tak terkenal dan hanya
bersenjata tongkat dahan kayu saja, ia tak mampu
mengalahkan. "Brahmana, sambutlah serarganku!" tiba-tiba Kebo Buntung
maju menyerang laksana banteng ketaton.
0oo-dw"kz-mch-oo0 BERSAMBUNG KE-XX1 MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
JILID 21 I GARIS antara Baik dan Buruk, sering kabur. Tetapi
sesungguhnya pengaburan itu
hanya terletak pada pandangan
dari perbedaan segi kepentingan. Dua tokoh ksatrya dalam cerita Ramayana, Kumbakarna
dan Gunawan Wibisana, masing-masing sering menjadi
buah pembahasan yang menarik. Kumbakarna berpijak
pada kepentingan negara. Negara yang telah melahirkan,
menghidupi, mengayomi dan
akan menjadi bumi persemayaman jasadnya yang terakhir. Dia
melawan rama, bukan karena hendak membela saudaranya
prabu Rahwanaraja, tetapi membela tanah air yang
dicintainya. Gunawan Wibisana memandang dari segi
Kebenaran dan Kebaikan. Ksatrya yang berpijak pada
Kebenaran tak boleh terpengaruh oleh ikatan sanak hubungan
keluarga. Yang hitam itu hitam, yang putih itu putih.
Tetapi betapapun hendak dikaburkannya garis perbedaan
itu, namun pada akhirnya akan tampak jualah warna
perbedaannya. Baik itu Benar dan Kebenaran itu hanya
tunggal. Pohonnya pohon peri kemanusiaan, sarinya sari dzat
Hyang Widdhi, bunganya bunga Welas asih dan buahnya buah
budi perilaku, tumbuhnya berpijak bumi kebenaran, tegaknya
lurus menjulang ke angkasa kesucian.
Galis Konang dan Kebo Buntung, menganggap tindakan
untuk menangkap Indu Salupi itu benar. Karena melakukan
tugas, karena taat pada perintah. Brahmana muda itupun
merasa memenuhi panggilan dharma untuk menolong orang
yang membutuhkan pertolongan. Dua tindakan dari dua
panggilan kewajiban itu saling bertemu dalam garis yang
bertentangan. Masing-masing berpijak pada pendirian,
masing-masing merasa bahwa tindakan menurut kepentingan
masing-masing itu saling beradu, maka berhamburanlah
kebenaran itu menjadi keping-keping kekaburan, lalu
berguguran ke dalam laut penyaringan.
Sepintas memang hampir tiada beda antara kebenaran
yang satu dengan yang lain sehingga orang bimbang akan
sifat Kebenaran itu. Namun beberapa, waktu kemudian, sari
kebenaran itu segera tampak. Kebenaran yang murni akan
mengendap, mengempal keras dan kokoh, takkan terhanyut
oleh gelombang laut yang bagaimanapun dahsyatnya.
Kebenaran yang semu, cepat akan cair, merambang ke atas
permukaan air dan terus dihanyut oleh gelombang laut ke
delapan penjuru dan ditemu oleh incan-incan yang
menginginkan mencari kebenaran yang sesuai dengan
kepentingannya. Kebo Buntung merasa bahwa brahmana itu menghalangi
tugasnya dan diserangnyalah brahmana itu dengan sekuat
tenaga. Namun kekalapan itu hanya menambah kekacauan
pikirannya, mengganggu ketenangan permainannya. Dan hal
itu memberi peluang bagi brahmana muda untuk
menyusupkan ujung tongkat dahan kayu, mengarah bagian
yang lemah. Tring.... tiba-tiba ujung dahan terpapas kutung oleh pedang
Kebo Buntung tetapi serempak dengan itu pula, Kebo Buntung
pun menjerit, terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang lalu rubuh. Peristiwa itu terjadi terlalu amat cepatnya sehingga Galis
Konang tak mengetahui apa yang terjadi. Dan iapun tertegun,
memalingkan pandang ke arah kawannya.
"Ki sanak sambutlah dahan kayu ini" tiba-tiba brahmana
melompat maju lalu taburkan dahan yang tinggal sedepa
panjangnya ke muka Galis Konang.
Galis Konang terkejut sekali. Biji matanya seperti hendak
dipagut oleh seekor ular buntung. Dan ia masih tercengkam
dalam getar ketegunan. Untuk menghindar atau menangkis,
dia sudah tak mempunyai kesempatan lagi. Satu satunya jalan
hanyalah dengan cara menggembor sekeras kerasnya. Mudahmudahan dengan gemboran itu lawan akan terkejut sehingga
tertegun. Atau kalau tak dapat menghentikan serangannya,
pun akan berkurang lajunya, Atau mungkin pula ujung kayu
itu akan menyisih mengenai lain anggauta tubuhnya, asal
jangan mata. Walaupun sudah terlintas akan rencana itu tetapi karena tak
mempunyai cukup waktu untuk membuat persiapan
mengerahkan seluruh tenaga-inti dalam perut atau Cakram
Manipura, gemboran yang menggunakan aji Senggara Macan
itu tak dapat mengembangkan kedahsyatan sepenuhnya.
Untunglah di samping menggembor itu, ia juga berusaha
untuk menundukkan kepala sehingga ujung dahan lawan itu
hanya mengenai alis. Ia dapat menyelamatkan biji matanya
tetapi tusukan kearah alis itu cukup pula untuk membuatnya
terhuyung-huyung dengan mata berbinar-binar dan kepala
berdenyut-denyut. "Rubuhlah ...." sekonyong - konyong dari balik sebuah
gerumbul muncul sesosok tubuh orang lelaki menyambut Galis
Konang dengan sebuah tebasan tangan ke belakang
tengkuknya, krek .... Seketika Galis Konang pun rubuh
terkapur di tanah tak berkutik lagi.
Brahmana terkejut melihat kemunculan lelaki itu. Bahwa
lelaki itu memukul seorang musuh yang sudah tak berdaya,
manimbulkan rasa tak puas pada hati brahmana, Ia belum
mengenal siapa pendatang itu. Walaupun tindakan orang itu
hendak membantunya, namun ia tetap tak menyutujui.
Diwaspadakannya orang itu dengan pandang selidik yang
tajam. "Tuan brahmana tentu tak kenal kepadaku, bukan?" seru
pendatang itu lebih dahulu.
Brahmana mengangguk. "Tetapi aku tak kenal siapa tuan" kata orang itu pula
"bukankah tuan ini brahmana Anuraga"
Brahmana muda itu terbeliak. Namun cepat pula ia
mengendapkan nyalang matanya "Benar, siapakah ki sanak
ini?" "Ah, tuan amat pelupa" sahut orang itu "pada hal aku masih
dan selalu mengingat akan kegagahan tuan waktu mengamuk
di medan perang Pajarakan yang lalu"
"O" desuh brahmana muda Anuraga "lupakanlah peristiwa
itu, Tetapi aku benar-benar tak ingat di manakah ki sanak saat
itu" "Tuan tentu masih ingat akan ki tumenggung Ikal-ikalan
Bang, bukan " Aku salah seorang senopati gusti tumenggung
Ikal-ikalan Bang itu"
Brahmana Anuraga merenungkan keterangan orang itu,
Apabila dia senopati dari tumenggung Ikal-ikalan Bang,
tentulah seorang tamtama dari pasukan Kerajaan Majapahit.
Namun ia masih belum jelas, di fihak maknakah dia bekerja.
"Kalau tuan menginginkan tahu, namaku yalah Kebo Bang
......." "O, lalu maksud ki sanak datang ke mari?" tukas Anuraga.
Kebo Bang tertawa ramah "Tak lain hanya bertujuan untuk
menyelamatkan wanita itu dengan anaknya. Syukurlah tuan
sudah membantu kami untuk menghajar kedua utusan itu"
"Siapakah kedua orang itu?" tanya Anuraga.
"Yang berlengan satu itu bernama Kebo Buntung dan yang
kupukul tengkuknya itu Galis Konang"
"Utusan siapakah mereka itu?" tanya pula Anuraga.
"Ra Kembar, tumenggung Kembar menitahkan mereka
membunuh wanita itu dan puteranya" Kebo Bang memberi
keterangan. "Hm, aneh" gumam Anuraga "mengapa ra Kembar hendak
membunuh mereka " Apa salah mereka?"
Kebo Bang tertawa datar "Dia tak bersalah kepada siapapun
kecuali terhadap baginda Jayanagara."
"Kepada baginda?" Anuraga terbelalak makin.
"Ya" sahut Kebo Bang "karena wanita itu telah mengandung
putera baginda." "Itulah suatu kebahagiaan bahwa baginda telah mempunyai
keturunan. Mengapa ra Kembar hendak membunuhnya ?" seru
Anuraga. "Karena baginda tidak bermaksud mencari keturunan,
melainkan hanya bersenang-senang belaka" kata Kebo Bang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"dan ibunda baginda kanjeng ratu Indrcswari malu.
Singgasana kerajaan tak dapat menerima seorang putera raja
dari ibu keturunan kasta Sudra, hasil hubungan gelap dengan
seorang wanita yang menjadi dayang. Kerajaan tak dapat
menyambut kehadiran seorang lembu peteng!"
Anuraga mendesuh panjang "ah, manusia! Manusia yang
dilahirkan dari sumber kedosaan, tetap tak dapat melepaskan
diri dari lumpur kedosaan. Dosa itu tetap melekat dalam
hayatnya, dibawa mati dan disandang pula dalam
penitisannya" "Hm" Kebo Bang mendesuh.
"Kebo Bang, ingin kutanya kepadamu!" sesaat kemudian
tiba-tiba Anuraga berseru kerat "siapakah yang membedabedakan manusia yang satu dengan manusia yang lain itu?"
Kebo Bang tertawa "Engkau seorang brahmana bagaimana
engkau bahkan bertanya kepadaku" Bukankah agama Syiwa
mengadakan pembagian kasta itu" Bukankah pada hakekatnya
memang beda seorang raja dengan seorang sudra, seorang
pandita dengan seorang waisya, seorang ksatrya dengan
seorang pandita?" "Beda tetapi serupa" sahut Anuraga "beda kedudukannya,
kelahirannya dan kekayaannya tetapi serupalah manusianya.
Memang karena dalam kehidupannya yang lalu mereka telah
memupuk dosa maka dalam kelahirannya yang sekarang
mereka harus menderita. Tetapi bukanlah mereka itu akan
tetap seperti mereka, dari kehidupan yang lalu, sekarang dan
kelak. Mereka akan mengalami perobahan sesuai dengan
perobahan yang mereka lakukan. Tiada yang dapat merobah
keadaan mereka kecuali diri mereka sendiri. Demikian pulalah
halnya dengan mereka-mereka yang menurut anggapanmu
berada dalam kasta tinggi. Pun akan mengalami perobahan
sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan saat ini."
"Ah, brahmana" sambut Kebo Bang "janganlah meluaskan
pembicaraan ke angkasa yang tiada berbatas. Kita berbicara
pada soal kenyataan yang ada pada saat ini saja. Sebagai
lambaran kita berpegang pada ajaran agama Syiwa yang
menciptakan pembagian kasta"
"Baik" sahut Anuraga "tetapi engkau harus menjawab
pertanyaanku. Jika tak mampu, pembicaraan ini kuanggap
angin lalu belaka." "Silahkan bertanya!"
"Siapakah ayahanda dari baginda prabu Jayanagara itu?"
Anuraga mulai mengajukan pertanyaan.
"Rahyang ramuhun baginda Kertarajasa"
"Putera siapakah baginda itu?"
"Dyah Lembu Tal"
"Siapa ayahanda dari Dyah Lembu Tal?"
"Mahesa Campaka atau Batara Narasinga" jawab Kebo
Bang. "Putera siapakah Batara Narasinga itu?"
"Putera Mahisa Wonga Teleng"
"Siapakah ayah dari Mahisa Wonga Teleng?"
"Baginda Rajasa sang Amurwabumi"
"Siapakah baginda Rajasa sang Amurwabumi itu?"
"Maksudmu?" Kebo Bang kerutkan dahi.
"Siapakah baginda Rajasa sang Amurwabumi itu sebelum
menjadi raja Singasari?"
"Ken Arok" "Siapakah ayah Ken Arok?" masih brahmana Anuraga
mendesak pertanyaan. "Dewa Brahma" "Dewa Brahma" Bagaimana engkau tahu kalau ayahnya
seorang dewa?" tanya.
"Brahmana" kata Kebo Bang dengan wajah menggelap
"engkau seorang pandita, mengapa engkau tak mengerti akan
hal itu bahkan tampaknya engkau menyangsikannya?"
Anuraga tertawa "Bukan menyangsikan lagi tetapi memang
tak percaya. Adakah engkau dapat membuktikan hal itu?"
Kebo Bang tertegun, sesaat ia baru dapat menjawab
"Demikianlah menurut kata orang."
"Itulah manusia" sahut Anuraga "yang pandai merangkai
kata, menjalin kissah. Demi mengagungkan kawibawaan
seorang raja maka dirangkailah suatu pcnyanjungan bahwa
Ken Arok itu adalah putera dari batara Brahma. Lepas dari
benar tidaknya hal itu, yang nyata dan disaksikan oleh orang,
Ken Arok itu adalah putera dari Ken Endok yang bersuamikan
Gajah Para. Kemudian entah karena apa, maka hamillah Ken
Endok tanpa sepengetahuan suaminya. Karena malu atas
perbuatan isterinya maka meninggallah Gajah Para ......"
Kebo Bang tertegun tak dapat membantah.
"Ken Endok bukan dari kasta brahmana ataupun ksatrya
melainkan dari kasta sudra. Dan Ken Arok tidak di ketahui
siapa ayahnya. Tetapi akhirnya diapun dapat menjadi raja
yang pertama dari kerajaan Singasari. Dan dia pulalah yaag
menjadi moyang dari baginda Jayanagara yang sekarang.
Apakah engkau masih tetap mempertahankan ke kastaan itu?"
"Brahmana" teriak Kebo Bang "ajaran Syiwa tetap
mengadakan kasta karena hal itu sudah menjadi garis kodrat
setiap insan. Ken Arok bukan seorang anak haram, anak yang
tak diketahui ayahnya, melainkan putera dari batara Brama
sehingga walaupun dilahirkan dari rahim seorang wanita
sudra, tetapi jiwanya tetap besar dan luhur"
"Bagus, Kebo Bang" tiba-tiba brahmana Anuraga berseru
girang "jika demikian anggapanmu, akupun amat setuju
sekali" Kebo Bang terkesiap. Ia tak mengerti kemana arah
jatuhnya kata-kata brahmana muda itu.
"Walaupun bayi itu dilahirkan dari rahim seorang dayang,
tetapi jiwanya tetap luhur karena dia adalah tetesan darah
seorang raja" seru A nuraga.
Secepat itu pula Kebo Bangpun menanggapi "Itulah ki
brahmana mengapa sebabnya gusti ratu Indieswari
menitahkan ra Kembar untuk membunuh wanita itu bersama
puteranya. Dan itu pula sebabnya maka akupun menyusul
kemari untuk menyelamatkannya!"
Brahmana Anuraga terdiam, lalu bertanya "Siapakah yang
menyuruh tuan melindungi wanita itu?"
"Adakah hal itu perlu tuan ketahui?" Kebo Bang balas
bertanya. "Perlu sekali" jawab Anuraga "karena akan
pertimbangan langkah yang akan kuambil"
menjadi "Langkah apa?" tanya Kebo Bang "apakah engkau
bermaksud untuk menghalangi maksudku apabila engkau tak
segaris dalam pendirian?"
"Jangan terburu menyimpulkan pembicaraan dulu ki sanak"
jawab Anuraga "katakanlah siapa yang menitahkan engkau
kemari?" "Seorang penguasa pemerintah yang besar pengaruhnya"
"Namanya?" "Cukup, ki brahmana" cepat Kebo Bang memberantas
"jangan engkau menghendaki terlampau jauh dari batas yang
menjadi wewenangku !"
Anuraga tertawa "Tak apa, karena akupun sudah dapat
menduga siapa orang itu"
"Siapa?" kini Kebo Bang terpancing untuk mengetahui.
"Cukup, ki sanak" cepat pula Anuragapun membatasi
pembicaraan "jangan engkau menginginkan tahu apa yang
kuduga" "Itu lain" bantah Kebo Bang "karena kalau engkau menduga
salah, tentu lain pula pendirianmu terhadap diriku, bukan?"
"Memang benar" sahut Anuraga "tetapi yang penting bukan
siapa orangnya melainkan bagaimana alasannya. Alasan itulah
yang kunilai sebagai pendiriannya"
"O" Kebo Bang hanya mendesuh.
Sejenak Anuraga lontarkan sebuah pandang pengamatan
kepada Kebo Bang, kemudian berkata "Bagaimana alasanmu
hendak menyelamatkan wanita dan puteranya itu?"
"Bayi itu adalah tetesan darah keturunan baginda, harus
diselamatkan dari kebinasaan yang sewenang-wenang" kata
Kebo Bang "ki brahmana, apa yang kuperbincangkan panjang
lebar dengan tuan mengenai kasta tadi adalah pendirian gusti
ratu Indreswari. Hendaknya tuan jangan mencampur adukkan
faham itu dengan tujuanku"
Anuraga tertawa tawar. "Itu memang baik. Asal benarbenar alasan itu tidak engkau gunakan untuk kepentingan
tujuanmu hendak mengambil wanita itu. Sekarang ingin
kutahu, dengan cara bagaimana engkau dapat menyelamatkan
wanita dan puteranya itu" Bukankah fihak keraton memusuhi
dan bahkan sudah menurunkan titah untuk membunuhnya?"
Kebo Bang tertawa "Engkau lupa kepada apa yang
kuterangkan tadi, ki brahmana. Orang yang mengutus aku itu
adalah seorang mentri yang amat berkuasa dan berpengaruh
kepada baginda. Beliau lebih dari mampu untuk
menyelamatkan jiwa seorang wanita dengan seorang bayi"
"Agar dengan demikian wanita dan puteranya itu dapat
dijadikan alat untuk menekan baginda?" seru A nuraga.
"Itu bukan urusanmu dan bukan urusanku pula" seru Kebo
Bang "eh, ki brahmana, tuan seorang pandita, mengapa tuan
masih mencampuri urusan duniawi bahkan suatu masalah
yang melibat diri seorang wanita" A pakah tuan tak takut akan
terlumur hinaan sebagai seorang brahmana yang tak suci" A pa
pula tuan masih muda belia"
Anuraga tertawa nyaring dan panjang "Bunga teratai tetap
putih bersih walaupun tumbuh di payau yang kotor. Jika
engkau menolong orang karena engkau mengharapkan suatu
pujian, jelas kalau amal pertolonganmu itu berlekat debu
keinginan atau pamrih. Demikian pula halnya bila engkau
takut menolong karena takut dihina orang, engkau pun masih
terlekat debu Keinginan. Ketahuilah, wahai Kebo Bang, kita
menolong karena kita wajib menolong kepada orang yang
benar-benar memerlukan pertolongan, Jangan takut dihina
orang, jangan pula gentar menghadapi akibat dari
pertolonganmu itu dan yang penting janganlah engkau
menolong karena mengharapkan sesuatu pamrih .........."
Berhenti sejenak, Anuraga melanjutkan pula "Wanita pun
juga manusia seperti kaum pria. Adakah engkau anggap
menolong wanita itu suatu tindakan yang tidak suci " Aha,
Kebo Bang, yang menganggap demikian, itu menandakan
kalau batinnya tidak suci sendiri. Orang yang tidak suci
batinnya tentu akan merangkai dan memandang sesuatu dari
sifat batinnya." "Sudahlah ki brahmana" akhirnya Kebo Bang tak sabar lagi
"silahkan engkau serahkan wanita itu kepadaku agar dapat
kuantarkannya kepada gusti junjunganku di pura kerajaan"
"Begini ki sanak" kata Anuraga kemudian "kalau aku
menolak engkau pasti menuduh aku merintangi maksudmu.
Sekarang marilah kita tanya sendiri pada wanita yang
bersangkutan. Apabila dia setuju ikut engkau, silahkan
membawanya. Tetapi kalau dia tak mau, janganlah pula
engkau memaksanya" "Hm, tanyalah!" seru Kebo Bang menahan geram.
Anuraga berkisar langkah dan berpaling ke arah Indu,
serunya "Nini, ki Kebo Bang ini diutus oleh menteri kerajaan
untuk menjemputmu pulang. Menteri itu hendak menyelamatkan jiwamu dan jiwa anakmu dari ancaman
orang2 yang akan membunuhmu"
"Duh, sang brahmana" Indu serentak berlutut, "aku sudah
jenuh hidup dilingkungan dinding2 keraton. Akupun tak
senang tinggal di pura kerajaan yang penuh pertikaian dan
kepalsuan. Aku hendak menyepikan diri hidup di alam bebas
dengan anakku" "Ho, jangan takut, nini" seru Kebo Bang seraya maju
selangkah "gustiku pasti akan melindungi dirimu"
"Terima kasih ki Kebo Bang" sahut Indu "tetapi hatiku
sudah tawar akan kehidupan di pura kera-jaan. Aku ingin
hidup tenang di alam pegunungan yang sunyi. Hidupku hanya
untuk anak ini, aku sendiri sudah tak mengharap apa-apa...."
"Nini" seru Kebo Bang "engkau masih muda belia, mengapa
harus berputus asa" Hidupmu masih panjang dan masih
menjelang sinar surya gemilang."
Indu tertawa kering, sekering daun dimusim kemarau
"Tidak, ki Kibo Bang, pendirianku sudah tetap, Aku tak mau
diganggu lagi." "Tetapi nini ..."
"Cukup ki Kebo Bang" cepat Anuraga menukas "jangan
hendaknya engkau memaksakan kehendakmu pada lain orang.
Dia sudah cukup menderita, jangan engkau mengganggunya
lagi" Kebo Bang berpaling memandang Anuraga dengan sinar
raata berkilat-kilat "Engkau boleh mengatakan apa saja. Tetapi
tindakanku ini bukanlah suatu pemerkosaan kehendak,
melainkan suatu langkah melaksanakan tugas. Dia tak
meminta pertolonganmu, janganlah engkau memaksakan
kehendakmu untuk menolongnya"
Anuraga tidak menyahut melainkan berpaling ke arah Indu,
serunya "Nini, katakanlah bagaimana kehendakmu sekarang?"
"Duh, sang brahmana yang hamba hormati" kata Indu
sambil menelungkupkan kedua tangannya memberi sembah
"apabila tuan berkenan hati, hamba akan mohon pertolongan
tuan untuk membawa hamba ke suatu pegunungan yang jauh
dari keramaian dunia"
"Tenangkan hatimu, nini, seorang brahmana takkan ingkar
janji" kata Anuraga lalu berpaling kepada Kebo Bang "nah,
engkau dengar atau tidak. Wanita itu meminta pertolonganku
dan akupun wajib menolongnya"
"Jadi artinya engkau akan menghalangi tindakanku untuk
membawanya ke pura kerajaan?" Kebo Bang menyalang
pandang penegasan. "Semoga jangan terjadi hal itu dan ki Kebo Bang rela
meninggalkannya dalam ketenangan" sahut Anuraga.
"Jika harapanmu tak kululuskan?" tanya Kebo Bang pula.
"Ah, engkau berdosa ki sanak, karena engkau
membangkitkan kemarahan seorang brahmana" jawab
Anuraga. Kebo Bang tertawa mengejek "Aku lebih suka tertimpah
dosa semacam itu daripada harus meninggalkan tugasku"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi?" Anuragapun menegas.
"Aku tetap hendak membawa wanita itu ke pura kerajaan.
Apabila engkau hendak menghalangi berarti kita harus
berkelahi" "O" desuh Anuraga "memang telah kuduga sejak tadi
bahwa akhirnya kita harus berhadapan. Ketahuilah, bahwa
caramu memukul tengkuk orang yang sudah tak berdaya tadi,
memang sudah membangkitkan kemuakanku ...."
"Jangan bermulut besar, brahmana, sambutlah tinjuku ini"
seru Kebo Bang terus menerjang dan menghunjamkan
tinjunya ke dada brahmana. Brahmana muda itu menyurut
mundur dua langkah sehingga Kebo Bang menerpa angin. Ia
marah. Sebuah loncatan yang,, dilambari dengan pijakan kaki
ke tanah sekuat kuatnya, mengantar tubuhnya melayang ke
muka. Anuraga terkejut. Ia tak pernah mengira bahwa Kebo Bang
akan berlaku senekad itu. Cepat ia hendak menyingkir tetapi
ternyata Kebo Bang terlalu cepat sekali menubruknya. Tubuh
Anuraga kena tersikap oleh kedua tangan Kebo Bang. Ia
meronta sekuat kuatnya tetapi Kebo Bangpun makin
memperkokoh jepitan tangannya.
Rupanya Kebo Bang pernah menyaksikan betapa sakti
brahmana muda itu mengamuk para prajurit Majapahit ketika
di medan pertempuran Pajarakan. Maka ia harus
menggunakan siasat lain. Tak mau ia bertempur mengadu
ketangkasan pukulan. Ia tahu bahwa brahmana itu memiliki
ilmu tata-kelahi yang hebat. Tak mungkin ia dapat
mengalahkannya. Maka ia berganti siasat untuk mengajaknya
bergumul. Demikian segera terjadi pergumulan yang seru. Pergumulan
yang memerlukan tenaga dan kekuatan. Hanya saja Anuraga
difihak yang harus melepaskan diri dan Kebo Bang menduduki
fihak yang hendak menghancurkan.
Ternyata Kebo Bang memang memiliki tenaga yang kuat.
Kedua lengannya mengandung kekuatan seekor gajah.
Anuraga harus mengerahkan tenaga agar tulang rusuknya tak
sampai tercengkam patah. Beberapa saat kemudian timbullah
kesadaran Anuraga bahwa ia harus bertahan sekedarnya, tak
boleh terlalu memaksa diri. Setelah lawan mulai menurun
kekuatannya barulah ia nanti kerahkan seluruh tenaganya
untuk berontak melepaskan diri.
Tengah pergumulan itu berlangsung seru, sekonyongkonyong dari balik sebuah gerumbul pohon melompat seorang
lelaki tinggi besar. Dan tanpa
berkata suatu apa, ia terus
taburkan dua batang pisau.
Sebatang ditujukan ke arah
Kebo Bang dan sebatang kepada Anuraga. Yang pertama mengetahui kemunculan orang itu yalah
Anuraga karena dia kebetulan berdiri menghadap
ke arah orang itu. Sedangkan Kebo Bang karena tegak membelakangi,
terlambat untuk mengetahuinya. "Awas, seorang lelaki menaburkan pisau ke arah kita!"
cepat A nuraga berseru kepada Kebo Bang. Kebo Bang terkejut
dan berpaling. Tetapi saat itu pisau belati sudah amat dekat
sekali kepadanya. Tak mungkin ia dapat menghindar. Seketika
timbul siasatnya yang licik. Dengan sekuat tenaga ia mengisar
tubuh Anuraga ke samping. Untuk di jadikan perisai
melindungi dirinya dari serangan pisau itu.
Cret, cret...... Anuraga terkejut. Ia tahu akan maksud Kebo Bang hendak
menjadikannya sebagai perisai. Tetapi karena tangannya
masih dicengkam kuat-kuat oleh Kebo Bang, terpaksa ia tak
dapat menangkis. Untunglah dalam detik-detik yang
berbahaya itu ia masih dapat mengerahkan seluruh tenaga
untuk mengisar tubuh sehingga dadanya terhindar dari belati.
Belati itu bersarang pada lengan bahunya sebelah kiri. Dan
karena dalam mengerahkan tenaga tadi, ia telah mengundang
seluruh tenaga-inti dalam tubuhnya maka lengannyapun
meregang kencang dan keras sekali. Belati hanya menancap
tak berapa dalam lalu jatuh ke tanah.
Dan seiring dengan peristiwa itu, Kebo Bangpun lepaskan
pelukannya dan mendekap bahu kanannya. Sebatang belati
dari lelaki tak dikenal itu telah menancap pada bahu
belakangnya. Darah mengucur deras sehingga punggung
bajunya pun berwarna merah.
"Keparat" Kebo Bang mendamprat seraya mencabut belati
dari bahunya, berputar tubuh menghadap penyerang licik itu
"siapa engkau !"
0rang itu tertawa mengejek "Engkau harus bersyukur
kepada brahmana itu. Apabila dia tak meronta dan
mengisarkan tubuhmu, saat ini engkau tentu sudah terkapar
dengan punggung berhias belati"
"Jahanam" teriak Kebo Bang pula dengan merah padam
karena marah "sebutkan dulu namamu sebelum engkau
menuju ke neraka! Dan apa sebab engkau menyerang aku dan
brahmana itu?" "Sayang. Sayang ...." gumam orang itu.
"Apa maksudmu ?" seru Kebo Bang.
"Sayang aku terburu nafsu mengunjuk diri. Seharusnya aku
menunggu dulu sampai kalian sudah sama2 kehabisan tenaga,
barulah kulenyapkan semua. Ah, kukira tenaga kalian sudah
habis, tak tahu kalau brahmana itu masih begitu kuat"
"Siapa engkau?" kembali Kebo Bang berseru.
"Ada peribahasa mengatakan 'bila gajah berkelahi dengan
gajah, matilah pelanduk di tengah'. Ha, ha, tetapi aku bukan
pelanduk. Aku adalah harimau. Apabila kedua gajah itu sudah
sama2 rubuh, barulah harimau yang akan mengganyang habis
daging mereka. Ha, ha" orang itu tertawa seenaknya sendiri.
Kebo Bang mencabut pedang dan melangkah maju "Hanya
dua macam manusia engkau ini. Seorang manusia tuli atau
manusia yang keras kepala!"
"Kedua duanya tidak!" seru orang itu "yang jelas aku adalah
orang yang mendapat rejeki besar karena tanpa banyak
mengeluarka tenaga, sekali gus dapat menyingkirkan dua
manusia yang hendak membawa wanita dan anaknya itu."
"Ho, engkau juga menginginkan wanita itu?" seru Kebo
Bang agak terbeliak "siapa yang mengutus engkau?"
"Ada" sahut orang itu "seorang narapraja berpangkat tinggi,
amat berpengaruh sekali!"
"Siapa?" Kebo Bang mendesak.
"Yang jelas bukan junjungan yang menyuruhmu menawan
wanita itu" sahut yang ditanya.
Kebo Bang menggeram "Baik, tetapi kalau engkau jantan,
engkau harus berani menyebutkan namamu"
"Mengapa tak berani?" seru orang itu "aku Gagak Bongkol
......." "Gagak Bongkol?" Kebo Bang mengulang dengan nada agak
kejut "engkau ....... engkau kadehan dari patih A luyuda?"
Gagak Bongkol terkejut juga. Namun cepat pula ia
menghapus rasa kejutnya dengan sebuah tertawa ejek "Eh,
tak kira kalau engkau tahu juga diriku"
"Hai, siapa yang tak tahu Gagak Bongkol, algojo berhati
dingin yang selalu bekerja secara rahasia. Siapa yang
membunuh berpuluh narapraja di dalam dan di luar pura
Wiiwatikta atas perintah patih Aluyuda, kecuali manusia hantu
yang bernama Gagak Bongkol?"
"Tepat" seru orang yang menyebut dirinya Gagak Bongkol
itu "setepat dirimu itu yalah Kebo Bang, pengawal
Dharmaputera!" Seketika pucatlah wajah Kebo Bang ketika peribadi dirinya
dilucuti. Namun selintas kemudian, cerah pula wajahnya dan
berserulah ia dengan nada lantang "Sa bidalah kukkurad
bibheti. Kucing hutan itu takut kepada anjing. Karena kucing
hutan itu liar, gesit dan ganas, karena anjing itu tajam hidung
dan tajam pengamatannya"
"Dan karena anjing itu merupakan pengawal yang setya
dari tuannya" seru Gagak Bongkol tak kalah tangkasnya.
"Memang benar" jawab Kebo Bang pula "karena itulah dia
selalu disayang o!eh tuannya dan dipelihara dengan baik.
Beda dengan kucing hutan yang liar dan tak berani
mengunjukkan diri" "Sudahlah, Kebo Bang, jangan banyak cakap. Daripada kita
membuang waktu untuk beradu lidah, akhirnya kitapun akan
menyelesaikan dengan kekerasan. Mengapa tidak sekarang
juga kita melaksanakan penyelesaian itu. Atau apakah ada
kemungkinan dalam pikiranmu untuk menyurut langkah
memberi kesempatan kepadaku
tugasku?" tanya Gagak Bongkol.
untuk melaksanakan Kebo Bang tertawa riuh rendah "Mungkin semalam engkau
bermimpi kejatuhan rembulan, Gagak Bongkol, sehingga
engkau melamunkan akan menerima ganjaran dari tuanmu
karena berhasil menunaikan tugasmu."
"Tidak bermimpi tetapi menghadapi kenyataan begitu"
sahut Gagak Bongkol. "Eh, apakah engkau anggap Kebo Bang itu sebatang
tonggak bernyawa?" seru Kebo Bang.
"Mudah mudahan jadilah engkau seperti yang engkau
katakan itu!" sambut Gagak Bongkol.
Merah muka Kebo Bang "Bedebah! Aku masih berhutang
sebuah belati dari engkau. Nah, hutang itu akan kubayar
sekarang, terimalah ..."
Sring ....... sekali mengayunkan tangan, sebatang pisau
belati pun melayang ke arah Gagak Bongkol. Lontaran yang
dilambari dengan pemusatan semangat dan pengerahan
tenaga itu, menimbulkan layang yang cepat laksana kilat
menyambar. Tetapi ternyata Gagak Bongkol sudah memasang
kesiagaan. Seiring dengan gerak ayunan tangan Kebo Bang
iapun sudah mengendapkan tubuh ke bawah sehingga belati
itupun melayang di atas kepala dan langsung menyambar
batang pohon randu alas yang tumbuh beberapa puluh
langkah jauhnya. Batang belati menyusup seluruhnya ke
batang pohon, hanya tinggal tangkainya yang bergetar-getar
di luar. Betapa hebatlah tenaga lontaran Kebo Bang itu !
Namun Gagak Bongkol tak sempat menyaksikan karena
saat itu juga, tubuh Kebo Bang pun sudah mengapung di
udara lalu meluncur dengan ujung pedang mengancam
tenggorokan. Sepintas pandang gerakan Kebo Bang itu
menyerupai seekor burung alap2 yang hendak menyambar
anak ayam. Saat itu Gagak Bongkol masih dalam kedudukan menekuk
kaki mengendapkan tubuh. Sukar baginya untuk menghindar.
Pun untuk menangkis, ia tak sempat pula karena tak siap
dengan senjata. Namun untunglah dia seorang jago yang
banyak pengalaman dalam soal berkelahi. Pada saat yang
berbahaya itu, tak sampai ia kehilangan pikiran. Ia anggap,
tiada lain jalan yang lebih baik daripada melakukan
penghindaran secara melemparkan tubuh berguling-guling di
tanah. Cret .... tepat pada saat ia melaksanakan rencananya,
ujung pedang Kebo Bang pun sudah menusuk. Benar-benar
Gagak Bongkol terkejut sekali karena tak pernah
memperhitungkan bahwa sedemikian cepat kiranya gerak
luncuran lawan menukik dari udara itu. Gagak Bongkol
miringkan tubuh sehingga tenggorokannya terhindar dari
ujung pedang tetapi lengan bahunya sebelah kanan harus
menderita luka yang segera menghamburkan darah. Darah itu
berceceran di sepanjang tanah pada saat ia melakukan gerak
membuang tubuh ke tanah dan berguling-guling sejauh tujuh
delapan langkah ..... Walaupun berhasil melukai bahu lawan, namun tampaknya
Kebo Bang masih belum puas manakala belum dapat
membunuh lawan. Sebuah loncatan yang laju dan deras
serentak dilancarkan untuk menguasai gerak lawan agar
jangan sempat berbangkit. Namun Gagak Bongkol pun
seorang yang banyak pengalaman dalam soal menghadapi
maut. Pada saat berguling di tanah tadi, iapun sudah
mencabut pedang dan melonjak bangun, ia terus menyambut
kaki lawan yang hendak meluncur ke tanah.
Tring, terjadilah benturan keras dari pedang kedua orang
itu. Kebo Bang tertegun, Gagak Bongkol cepat melenting
bangun lalu membentuk sikap bersiap.
Demikian kedua pengalasan dari Majapahit itu segera
terlibat dalam pertempuran yang asik dan seru. Keduanya
memang jago2 pilih tanding yang telah dipilih oleh pimpinan
masing-masing untuk melakukan tugas menawan Indu dan
puteranya. Memang titah gusti ratu Indreswari kepada raden
Adityawarman untuk melenyapkan Indu dai anaknya, selekas
raden itu bertemu dengan ra Kembar dan menyerahkan tugas
itu kepadanya maka bocorlah rahasia itu kepada fihak2 yang
saling mengintai kesempatan. Dan selekas itu seolah-olah
berpaculah golongan-golongan itu untuk mengirim orang
kepercayaannnya menuju ke Lodaya.
Ra Kembar memang cermat sekali. Disamping mengutus
Kebo Buntung dan Galis Konang untuk langsung mengambil
Indu dari rumah buyut Lodaya, pun ditengah jilan ra Kembar
mempersiapkan orangnya untuk menghadang setiap orang
yang hendak mencampuri urusan di Lodaya itu. Ia
menggunakan orang2 Daha yang tak suka kepada kekuasaan
Majapahit. Tetapi yang menderita gangguan dari orang2 Dana
itu ternyata demang Surya dan Kalkasa, pengalasan ra Kuti.
Tetapi ra Kuti pun tak kalah licin. Kecuali mengirim Kalkasa
untuk menyertai demang Surya ke Lodaya, diam2 dia sudah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menitahkan Kebo Bang menuju ke Lodaya dengan menempuh
lain jalan. Masih terdapat pula golongan lain yang mengetahui
peristiwa dan bergegas-gegas mengambil langkah. Golongan
itu yalah dari patih Aluyuda. Walaupun patih itu sedang
berada dalam medan peperangan di Lumajang, namun tak
pernah ia melepaskan pengawasannya terhadap suasana
dalam pura kerajaan. Dia mempunyai beberapa orang
kepercayaan yang berada dalam pura kerajaan. Selekas
mencium peristiwa itu, segeralah mereka memutuskan
mengirim Gagak Bongkol, seorang pembantu patih Aluyuda
yang amat cemerlang. Memang semua gerak gerik Kebo Buntung dan Galis
Konang serta Kebo Bang tak luput dari pengamatan Gagak
Bongkol. Tetapi selama itu dia tak mau unjuk diri melainkan
menyelundup secara sembunyi --untuk membayangi mereka.
Ia terkejut ketika melihat kemunculan brahmana Anuraga.
Tetapi rasa kejut itu cepat berganti rasa girang ketika
mendapatkan Galis Konang dan Kebo Buntung telah bentrok
dengan brahmana muda itu lalu dirubuhkan. Lebih girang pula
ketika ia menyaksikan brahmana iiu terlibat dalam
perbantahan seru dengan Kebo Bang lalu keduanya saling
bergumul dahsyat. Gagak Bongkol terlalu hati2 sekali untuk tak lekas2 unjuk
diri. Ia menunggu sampai kedua orang itu sudah sama-sama
menderita luka dan kehabisan tenaga, barulah ia muncul.
Tetapi pada saat melihat Kebo Bang berhasil mencengkam
tubuh brahmana sekuat-kuatnya, Gagak Bongkol tak dapat
menahan kesabaran lagi. Dilihatnya brahmana Anuraga sudah
tak berdaya melepaskan diri dan diperhitungkannya bahwa
Kebo Bang tentu tak mau melepaskan cengkamannya. Maka
serentak ia loncat ke luar dari tempat persembunyiannya dan
secepat kilat ia taburkan dua buah belati maut kepada ke dua
orang itu. Tetapi ternyata Gagak Bongkol salah hitung. Ia salah
menilai keadaan brahmana Anuraga. Dikiranya brahmana
muda itu sudah tak berdaya. Pada hal itu hanya suatu siasat
untuk menghabiskan tenaga Kebo Bang. Salah tafsir itu, besar
akibatnya. Kini Gagak Bongkol harus bertempur kemati-matian
melawan Kebo Bang. Bahkan dia harus menderita bahunya
tertusuk ujung pedang Kebo Bang. Sekarang tiada lagi ia
dapat meluangkan waktu untuk merangkai rencana. Ia harus
memusatkan segenap perhatiaannya untuk menumpas Kebo
Bang. Dalam pada itu Anuraga pun sudah menyelesaikan
usahanya bersemedhi untuk memulihkan tenaganya. Kini
semangatnya sudah pulih segar kembali. Andaikata dirinya itu
mempunyai pikiran seperti Gagak Bongkol, tentu kesempatan
sebagus saat itu takkan disia-siakannya. Ia tentu akan
berusaha untuk merubuhkan kedua orang yang sedang
bertempur itu. Tetapi Anuraga bukanlah Gagak Bongkol. Dan
yang penting baginya bukanlan menundukkan atau
membunuh orang, melainkan menyelamatkan Indu dengan
anaknya. "Nini" segera dengan langkah hati2 ia menghampiri ke
tempat Indu lalu memberi isyarat agar Indu segera mengikuti
langkahnya meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa lama kemudian, barulah Anuraga tak
mendengarkan lagi dering senjata dari kedua orang yang
sedang menyabung nyawa itu.
"Ah" ia menghela napas longgar "mudah-mudahan kita
dapat lolos dari kejaran mereka."
Indu mengiakan dan mulutnyapun segera berkemak- kemik
memanjatkan doa kepada Hyang Jagadnata agar melindungi
pelariannya. Sesungguhnya dari tempat itu ke gunung Lawu, harus
menempuh ke arah barat. Tetapi Anuraga tidak menurutkan
arah itu melainkan menuju ke utara.
"Ki brahmana" kata Indu "berapa lamakah kita dapat
mencapai gunung Lawu ?"
"Nini" kata Anuraga "arah yang tepat ke gunung itu yalah
menuju ke barat. Tetapi langkah kita ini mengayun ke utara."
Indu terkesiap "Mengapa?"
"Memang menuju ke barat akan lebih cepat mencapai
gunung itu. Tetapi hal itupun mudah menerima gangguan.
Aku kuatir mereka telah mengetahui langkah kita dan
melakukan pengejaran. Maka kupikir, baiklah kita gunakan
siasat untuk menyesatkan langkah mereka, dengan jalan
menuju ke arah utara. Jalan yang kita tempuh ini memang
melingkar dan memutar, lebih jauh dan lebih lama tibanya
digunung Lawu. Tetapi pun kecil kemungkinan untuk
mendapat gangguan orang-orang itu"
Indu mengangguk "Jiwaku dan nyawa anakku kuserahkan
kepada tuan" Demikian setelah berjalan dua hari lamanya, merekapun
tiba di kaki gunung Butak. Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke utara.
Hari itu tibalah mereka di sebuah daerah pegunungan yang
indah alamnya. Ketika bertanya kepada seorang desa yang
bermukim di tepi hutan, barulah mereka mengetahui bahwa
mereka tiba di gunung Kawi.
"Ah, gunung ini merupakan perbatasan dari daerah
Jenggala dan Singasari" kata Anuraga" bahkan di lereng
gunung ini terdapat desa Panawijen tempat empu Parwa
dahulu" "Siapakah empu Parwa itu?" karena sudah beberapa hari
bergaul, mulailah Indu lebih ramah kepada brahmana itu.
"O, engkau belum pernah mendengar sejarah dari empu
Parwa itu?" tanya Anuraga.
Indu gelengkan kepala "Belum, paman brahmana. Alangkah
gembira hatiku apabila paman brahmana suka bercerita
sekedar pelipur dalam perjalanan"
"Empu Parwa hidup bersama seorang puterinya di lalahan
Panawijen sebelah timur gunung Kawi sini. Semula empu
hidup dengan tenang dan bahagia. Puterinya bernama Ken
Dedes, teramat cantik dan cerdas. Makin dewasa, kecantikan
Ken Dedes makin merekah gemilang cehingga termasyhur
sampai ke beberapa negara. Tunggul Ametung, akuwu
Tumapel, mendengar juga tentang kecantikan puteri Kawi itu.
Segera dia berangkat menuju ke Panawijen. Apa yang
disaksikan memang benar-benar telah mempesoaakan
hatinya. Wajah Ken Dedes bersinar gemilang laksana bulan
purnama, kecantikannya bagaikan seorang bidadari turun dari
Pedang Darah Bunga Iblis 2 Setelah Kau Menikahiku Karya Novia Stephani Para Ksatria Penjaga Majapahit 4
^