Pencarian

Gajah Kencana 25

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 25


usia" "Ah, eyang masih sehat dan masih terang pikiran."
Demang Surya tertawa rawan. "Memang hidupku di sini tak
kekurangan suatu apa tetapi hanya jiwaku yang merasa
terbelenggu." Dipa terkesiap, "Terbelenggu?"
"St" demang Surya memberi isyarat supaya Dipa bicara
pelahan, "engkau melihat bagaimana keadaanku ini?"
"Tenang dan kecukupan" kata Dipa "eyang tinggal di rumah
bagus dan serba lengkap."
"Ah, Dipa" demang Surya menghela napas "tahukah engkau
rumah apa ini?" Dipa kerutkan dahi dan menggeleng.
"Rumah ini adalah milik rakryan Kuti yang khusus
disediakan untuk tempat tinggalku. Bujang dan penjaga di sini
semua orang kepercayaan rakryan Kuti."
Dipa terbeliak kejut, "O," desuhnya, "jadi eyang ini di tahan
secara halus?" Demang Surya mengangguk. "Ya, ibarat burung dalam
sangkar emas. Disuruh beristirahat, disediakan makanan,
dilayani bujang tetapi tak bebas bergerak."
"Oh" kembali Dipa mendesah, "apakah eyang tak berdaya
untuk membebaskan pengaruhnya?"
Demang Surya menghela napas pula, "Ah, Dipa, bagaimana
mungkin hal itu kulakukan" Rakryan Kuti adalah kepala dari
Dharmaputera yang menjadi kepercayaan baginda. Pengaruhnya amat besar. Apalagi setelah mahapatih Nambi
tergelincir dalam perangkap lawan yang telah berhasil
mensiasatinya supaya memberontak, pengaruh rakryan Kuti
makin kuat walaupun masih mempunyai saingan berat yalah
patih Aluyuda." "O, mahapatih Nambi telah memberontak?"
"Bukan begitu yang kumaksudkan," kata demang Surya,
"mahapatih Nambi telah menderita siasat lawannya sehingga
ia dituduh memberontak oleh kerajaan. Pada hal kuyakin
benar, tak mungkin seorang mentri tua yang begitu setya
sebagai rakryan Nambi dapat mengandung maksud begitu."
Dipa termenung sesaat lalu bertanya, "Menurut wawasan
eyang demang, siapakah kiranya lawan dari mahapatih yang
begitu pandai dan licin sehingga dapat memfitrah mahapatih?"
Demang Surya sejenak beranjak dada, ujarnya, "Karena
keadaan yang kuderita, aku tak bebas lagi untuk menyelidiki
beritanya. Tetapi menurut wawasanku, hanya ada dua
golongan yang patut diduga sebagai biangkeladi yang
menghancurkan mahapatih Nambi. Kesatu, patih Aluyuda dan
kedua, rakryan Kuti. Memang masih ada lagi golongan2 lain,
tetapi kurasa tipislah kemungkinan mereka yang melakukan
hal itu." "Eyang" Dipa mulai terpikat perhatiannya. "apakah tujuan
golongan-golongan yang saling bertentang itu?"
"Dipa" kata demang Surya, "seperti yang telah kuceritakan
kepadamu ketika masih di hutan dahulu, golongan2 itu
terpecah-belah dan saling bersaing serta bertentangan. Secara
garis besarnya, tujuan mereka hanya dua. Kesatu, karena
mengandung keinginan untuk memegang kekuasaan
pemerintahan. Kedua, tak menyukai duduknya raja
Jayanagara sebagai raja Majapahit. Rakryan Kuti dan
kelompoknya yang tergabung dalam Dharmaputera itu
termasuk dalam golongan kedua, yalah yang tak menyukai
raja Jayanegara. Patih Aluyuda termasuk golongan kesatu. Dia
tampak besar sekali nafsunya untuk merebut kedudukan
mahapatih dari tangan rakryan Nambi. Lalu ada pula golongan
ketiga yang dikemudikan oleh ratu Indreswari yang bertujuan
untuk melindungi kelangsungan puteranya, baginda Jayanagara sebagai yang dipertuan dari kerajaan Majapahit.
Ada pula sebuah perkumpulan yang menyebut dirinya dengan
nama Gajah Kencana dengan tujuan untuk menyelamatkan
kerajaan Majapahit dari mereka yang hendak merongrong
kewibawaan kerajaan."
"Gajah Kencana ?" ulang Dipa agak terkejut. "adakah eyang
pernah bertemu dangan orang-orang persekutuan Gajah
Kencana itu?" Demang Surya gelengkan kepala, "Belum, nak. Dan
memang orang sukar untuk mengetahui anggauta2 dari
persekutuan itu. Tetapi mereka dapat merasakan adanya
gerakan mereka itu dan pengaruhnya."
"Ah" Dipa menghela napas longgar. Kemudian ia alihkan
pertanyaan, "eyang, bagaimana berita yang eyang dengar
mengenai pemberontakan mahapatih Nambi itu ?"
Demang Surya menghela napas kecil. "Seperti yang telah
kukatakan tadi, aku telah dipagari pengawasan dari rakryan
Kuti sehingga tak dapat bebas bergerak. Entah bagaimana
dengan kesudahan peperangan itu. Tetapi sampai saat ini
baginda Jayanagara masih belum kembali ke pura. Rupanya
peperangan itu memang cukup menghabiskan waktu, uang
dan prajurit. Mentri2 yang menyertai mahapatih Nambi pulang
ke Lumajang itu adalah mentri2 tua yang harum namanya di
kalangan rakyat. Demikian pula senopati2 yang ikut dalam
rombongan mahapatih Nambi itu senopati2 tua yang banyak
pengalaman dan gagah perkasa. Pada akhirnya, kurasa
baginda tentu berhasil mengalahkan mereka. Tetapi pun
kerajaan akan menderita kerugian yang besar. Suatu
kemenangan menyedihkan. Kemenangan yang harus ditebus
dengan kehilangan seorang mahapatih yang setya sebagai
rakryan Nambi, mentri2 dan senopati yang ternama. Dengan
demikian sesungguhnya, kerajaan Majapahit akan lemah dan
kedudukan baginda pun makin terancam."
"Adakah baginda tak menyadari hal itu, eyang?" tanya Dipa
pula. "Kiranya baginda tentu menyadari juga. Tetapi ada dua hal
yang menyebabkan baginda melanjutkan tindakannya untuk
menggempur Lumajang itu. Pertama memang sudah menjadi
pendirian dari baginda yang berwatak keras untuk
menjalankan pemerintahan Majapahit dengan cara gitik
pentung. Siapa yang salah, akan diambil tindakan tegas. Dan
kedua kalinya, kemungkinan besar baginda pun termakan
omongan manis dari patih Aluyuda sehingga baginda makin
murka kepada rakryan mahapatih Nambi dan rombongan
mentri2 itu." "Hm" Dipa mendesuh agak geram. "dengan demikian, patih
Aluyuda itulah yang harus bertanggung jawab tentang
kerusakan kerajaan Majapahit."
"Dia tak memikirkan hal itu, pokok cita-citanya untuk
menjadi mahapatih kerajaan dapat terlaksana."
"Tetapi eyang, bukankah dengan begitu dia menikmati
kemewahan hidup di atas mayat orang?" sanggah Dipa.
"Tepat dan tajam benar ulasanmu, nak" demang Surya
menghela napas, "namun pikiranmu masih seperti kuncup
bunga." Dipa terkesiap dan meruntuhkan pandang kepada demang
yang sudah lanjut usia itu.
"Kuncup bunga yang masih membungkus diri memandang
hanya dari celah lubang kuncup-kuncup yang mengarah ke
atas. Ia memandang dunia itu bagai rona langit nan lazuardi,
cakrawala malam nan bertabur bintang kemerlap, berhias
bulan. Tetapi setelah kuncup itu merekah, barulah ia dapat
mengetahui bahwa dunia itu bukan berwarna lazuardi, bukan
pula bergemerlapan dengan bintang kemintang. Tetapi penuh
dengan segala jenis makhluk dan benda. Sampai kemudian
yang terakhir, datanglah tangan si dara yang akan
memetiknya untuk sunting rambut penambah kecantikan. Di
atas rambut perawan itu barulah bunga dapat merasakan
bahwa ternyata di dunia ini terdapat insan yang menikmati
keindahan dirinya dengan memaksa memisahkan dari tangkai
pohonnya." "Demikian anakku," kata demang Surya pula, sejenak
berhenti mengambil napas. "salah sebuah tamsil daripada
peristiwa dan kehidupan yang terdapat di mayapada ini. Dan
pandanganmu kuumpamakan sebagai kuncup bunga yang
hanya memandang alam kehidupan dari sudut keindahan.
Demikianpun tentu akan kau alami, apabila kau sudah makin
dewasa dan makin bertambah pengalaman engkau bakal
mengetahui hal2 semacam perawan dengan bunga itu. Dan
salah satu contoh yang nyata yalah patih Aluyuda. Ia hendak
mencabut-kedudukan rakryan Nambi,
kedudukannya sebagai mahapatih."
untuk menikmati "O" desuh Dipa, "adakah kehidupan itu memang harus
demikian, eyang?" Demang Surya tertawa. "Semisal gadis itu tanpa harus
mematahkan kesegaran bunga dari tangkai, pun tetap akan
cantik. Demikianpun kita manusia. Tidak suatu keharusan
yang mengharuskan manusia kecuali Nafsu dan Keinginan.
Mereka adalah budak2 dari nafsu dan keinginan itu."
Dipa mengernyitkan alis, tanyanya pula, "Tetapi eyang,
mungkinkah manusia hidup tanpa Nafsu dan Keinginan itu?"
"Engkau bertanya baik sekali, Dipa" demang Surya
tersenyum, "mendengar uraianku tentang Kehidupan tadi,
tidak mudah. Bertanya tentang hal yang kupaparkan tadi,
lebih tidak mudah lagi. Ternyata engkau dapat mendengarkan
dan bertanya dengan baik. Suatu hal bahwa engkau lebih
cepat mengalami perkembangan kedewasaan pikiranmu. Dipa,
unsur-unsur alam dalam hayat kita, memang amat lengkap.
Diantaranya unsur Nafsu dan Keinginan itu. Untuk melawan
Nafsu dan Keinginan, memang diperlukan suatu ketabahan
dan keberanian yang luar biasa. Jarang orang dapat memiliki
kekuatan itu kecuali mereka-mereka yang sudah mengabdikan
diri pada suatu jalan kehidupan tersendiri misalnya para yogi,
wiku, pandita, brahmana dan pertapa. Bagi manusia biasa,
pada umumnya memang masih besarlah lekatan Nafsu dan
Keinginan itu. Namun dalam ke-umumannya itu terdapat
garis2 yang tidak umum atau yang aku katakan garis
Kewajaran. Berbuat dan bertindaklah menurut Nafsu dan
Keinginan yang wajar dan batasi nafsu-nafsu dalam batasbatas tertentu menurut kewajarannya ...."
Demang Surya hentikan uraian karena ia memperhatikan
Dipa tampak kesima dalam alam kebingungan. Demang tua itu
cepat dapat menyadari alam pikiran Dipa maka segera ia
menurunkan tingkat penjelasannya dengan kata-kata yang
bersahaja dan mudah dimengerti.
"Misalnya begini Dipa," katanya mulai dengan acara baru,
"engkau biasa makan yang lezat. Apabila engkau menghadapi
ikan, nafsu makanmu bertambah besar. Pada suatu hari,
engkau hanya makan nasi dan gulai tanpa ikan. Dan engkau
merasa tak enak lalu kehilangan nafsu makan. Ini berarti
engkau telah membelenggu dirimu dengan nafsu kelezatan.
Pada hal nafsu makan yang sewajarnya, bukanlah terletak
pada kelezatan hidangan, melainkan dari rasa lapar. Benar
tidak, Dipa?" "Benar, eyang" Dipa mengangguk.
"Kemudian karena engkau terbelenggu dengan nafsu
kelezatan itu, karena engkau tak terpenuhi, lalu timbullah
keinginanmu untuk mengadakan kelezatan itu. Dan orang
yang sudah terbelenggu oleh nafsu itu, akan lupa adakah cara
yang ditempuhnya untuk mencapai keinginannya itu, halal
atau tak halal, baik atau buruk, sah atau tidak sah. Pokok
dengan jalan apapun juga, asal dapat mencapai keinginan itu,
tentu akan engkau jalani. Disitulah sumber dari timbulnya
segala kejahatan dan kebhatilan. Manusia menjadi budak dari
setan nafsu dan keinginannya. Contoh yang kugambarkan itu,
bukan hanya tertuju pada soal kelezatan makan, tetapi-pun
pada keseluruhan hidup manusia. Jadi, tiada suatu keharusan
yang mengharuskan manusia kecuali Nafsu dan Keinginannya.
Oleh karena itu, dudukkanlah nafsu dan Keinginan itu pada
kedudukannya yang wajar dan jadilah engkau penguasa dari
nafsu dan keinginan-anmu, Dipa!"
Rupanya dengan penjelasan yang bersahaja itu, dapatlah
Dipa menerima uraian demang Surya. Demang tua itu gembira
karena wejangannya dapat dimengerti... Dipapun girang
karena mendapat wejangan yang berharga.
"Eyang demang" tiba-tiba Dipa berkata, "dengan demikian
jelas diantara golongan-golongan yang saling bertentangan
itu, golongan Dharmaputera, golongan patih Aluyuda dan
golongan Gajah Kencana yang memegang peranan penting"
"Ya" "Jika golongan Dharmaputera merampas kebebasan eyang,
mengapa eyang tak menggabung saja pada golongan patih
Aluyuda?" Demang Surya gelengkan kepala, "Tak jauh bedanya antara
Dharmaputera dengan patih Aluyuda. Ibarat harimau dengan
buaya. Apa guna aku meloloskan diri dari cengkeraman
harimau kalau hanya akan masuk ke mulut buaya" Rasanya
masih mending harimau daripada buaya itu"
"Mohon suka menjelaskan hal itu"
"Harimau hanya memakan makhluk yang hidup. Apabila kita
pura2 mati, dia segan memakannya. Tetapi lain dari buaya.
Dia adalah pemakan bangkai. Demikian pun dengan
Dharmaputera, apabila aku bergerak, mereka akan
membunuhku. Tetapi kalau aku diam, mereka pun
membiarkan saja. Tetapi kalau patih Aluyuda sekalipun aku
diam, dia tetap akan membunuhku."
"Mengapa, eyang?" seru Dipa.
"Karena dia tahu pendirianku bertentangan dengan dia. Dia
tentu takkan membiarkan aku hidup karena kuatir aku akan
timbul sebagai bahaya, di kemudian hari."
"O" desah Dipa "lalu sudahkah eyang mempunyai pemikiran
untuk menggabung pada Gajah Kencana."
Demang Surya menghela napas. "Ah, aku tak tahu siapa
mereka. Kudengar, kurasakan ada suatu kelompok dari
putera2 keturunan mentri dan

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senopati jaman pemerintahan rahyang ramuhun baginda Kertarajasa yang membentuk diri dalam persekutuan Gajah Kenccana. Tetapi belum pernah aku melihatnya. Mereka itu diibaratkan sebagai angin. Aku dapat mendengar kesiurnya, pun dapat merasakan hembusannya tetapi tak pernah kulihat bagaimana ujut angin itu." "Dalam keadaan tertentu,
memang persekutuan Gajah Kencana itu tepat seperti yang eyang tamsilkan. Tetapi
sesungguhnya tidak demikian. Jika eyang merasa bahwa
eyang akan membela kepentingan negara Majapahit, eyang
adalah warga dari persekutuan Gajah Kencana, walaupun
tanpa pengakuan resmi. Kurasa pimpinan dan warga Gajah
Kencana tentu sudah mengetahui keadaan eyang. Soalnya
mereka belum bertindak menolong eyang, mungkin karena
mengetahui keadaan eyang belum tergesa gesa harus
ditolong." Demang Surya menghela napas pula. "Ya, benar. Mungkin
mereka menganggap aku seorang kakek tua yang sudah tiada
gunanya." "Ah, harap eyang jangan mengandung pemikiran begitu.
Bagi setiap perjuangan, setiap orang yang ingin berjuang,
semua ada gunanya. Baik tua, muda, wanita, pria bahkan
anak kecil pun. Masih banyak yang harus diperjuangkan untuk
negara Majapahit. Pembangunan, kesejahteraan, kehidupan
rakyat, pengolahan bumi, kekuatan negara dan keluhuran
bangsa....." Kata-kata Dipa terkerat putus oleh derap langkah manusia
yang memasuki ruangan itu. Dipa cepat berpaling. Tampak
dua orang berpakaian seperti prajurit berderap masuk dan
langsung berhenti di hadapan demang Suryanata. "Kami
diutus rakryan Kuti untuk mengundang ki demang ke gedung
kediaman-nya." "O" desus demang Suryanata sambil menyelinapkan
pandang mata ke arah Dipa, lalu cepat-cepat memandang
kedua orang pengalasan itu pula, "mengapa semalam ini ra
Kuti memanggil aku" Bukankah esok hari lebih leluasa kita
bicara." Salah seorang prajurit yang bertubuh kekar menyahut, "Ki
demang, kami hanya mengemban perintah untuk mengundang ki demang. Apabila ki demang hendak
menyatakan keberatan, silahkan ki demang nanti berbicara
sendiri dengan rakryan Kuti."
"Katakan saja kepada ra Kuti bahwa malam ini aku sedang
menerima kunjungan seorang keluarga yang datang dari
daerah jauh. Besok aku tentu akan menghadap ra Kuti."
"Maksud ki demang anakmuda ini?" kata prajurit bertubuh
kekar sejaya melirik ke arah Dipa, "karena dia datang dari
jauh, minta saja dia bermalam di sini. Sehabis kembali dari
menemui rakryan Kuti, ki demang dapat melanjutkan
percakapan dengan dia lagi."
Demang Suryanata tertawa menggeram. Saat itu dia ibarat
seekor harimau ompong. Dapat mengaum tetapi tak mampu
menggigit. Andaikata masih seperti dahulu, tentulah lain
ceritanya. Tak mungkin prajurit berani selantang itu bicaranya.
Pun pada saat ia hendak mendamprat mereka, tiba-tiba
terkilas dalam pikirannya akan diri Dipa. Betapapun ia harus
menyelamatkan diri anak itu dari gangguan. Dan pemikiran itu
segera melahirkan keputusan, lebih baik ia menerima
undangan untuk menghadap ra Kuti. Dan setelah itu barulah
ia cepat-cepat pulang untuk bercakap-cakap dengan Dipa
pula. "Baiklah, aku hendak ganti busana dulu," kata demang itu
lalu mengajak Dipa masuk ke dalam dan suruh kedua prajurit
itu menunggu. Dalam kesempatan sambil salin pakaian, demang Surya
berkata, "Aneh, mengapa pada waktu semalam ini ra Kuti
memanggil aku" Tentulah ada suatu urusan penting," ia
berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "aku kuatir jangan2
dirimulah yang akan menjadi bahan pertanyaannya."
"Mengapa, eyang?"Dipa terkejut.
"Ah, ra Kuti dan Darmaputera itu memang amat
berpengaruh dan mempunyai banyak sekali kaki tangan. Dia
tentu segera mendapat laporan tentang kedatanganmu
kemari." "Oh, maafkan, eyang," serta merta Dipa memohon maaf,
"aku tak mengerti keadaan eyang di sini. Andai tahu bahwa
kedatanganku ini memberi kesulitan kepada eyang, tentulah
aku takkan begitu ceroboh secara terang-terangan
menghadap eyang." "Tak apa, angger," kata demang Surya dengan nada
mantap, "eyang sudah tua. Akan kupertaruhkan jiwa eyang ini
untuk keselamatanmu. Apabila ra Kuti berani mengganggumu,
aku akan mengadu jiwa dengan dia!"
Dipa terpukau dalam cengkam keharuan, yang amat
menyentuh dinding serabut hatinya. Ia pun sudah
menganggap demang sepuh itu sebagai eyang sendiri.
"Terima kasih eyang," sambutnya dengan penuh tekad.
"Akupun demikian juga. Apabila rakryan Kuti berani
mengganggu keselamatan eyang, pasti akan kuanggap
sebagai seorang musuh bebuyutan. Andai tidak sekarang
tetapi tetap pada suatu hari aku pasti akan memperhitungkan
dosanya." Demang Surya memeluk Dipa erat-erat. Dua butir air mata
menitik turun dari ujung seluput kelopak matanya. Ujung
kelopak yang sudah menjulaikan keriput-keripu usia tua. "Dipa
jagalah dirimu baik2 di rumah. Selekas eyang sudah selesai
menghadap ra Kuti, eyang tentu segera pulang."
"Jangan kuatir eyang. Aku tentu dapat menjaga diri" Dipa
menghibur demang itu. Demikian demang Surya segera menghadap ra Kuti yang
tinggal dalam lingkungan pura, sesuai dengan kedudukannya
sebagai Dharmaputera. "Ki demang" kata ra Kuti setelah mempersilahkan demang
Surya duduk, "ada sebuah soal penting yang akan kutanyakan
kepadamu." "Silahkan" sambut demang Surya.
"Sebenarnya yang tersangkut amat berkepentingan dalam
soal ini adalah engkau, ki demang. Yalah mengenai diri
cucumu perempuan Indu Salupi."
Demang Surya terkejut dan memandang rakryan itu dengan
pandang menuntut penjelasan. "Mengapa?"
Ra Kuti menyambut dengan tatapan mata yang lekat.
"Sesungguhnya soal itu suatu rahasia yang tak mungkin bocor
kepada siapapun, terutama kepadamu. Engkau tentu sudah
mengetahui bahwa atas permintaan ratu Indreswari, Indu
telah dibawa masuk ke dalam keraton sebagai dayang
keraton. Bermula dia melayani keperluan sang ratu. Tetapi
dua tahun yang lalu ratu Indrewari telah menitahkan Indu
menjadi juru tebah tempat peraduan baginda"
"O" Demang Surya mendesuh gersang.
"Tetapi engkau tentu tak tahu peristiwa apa yang menimpa
cucumu itu, bukan?" "Benar, memang aku belum tahu."
"Dan engkau, aku tentu tak tahu andai tak ada kehadiran
Tuanku Wuragil Adityawarman berada di puri Sripala tikta"
kembali ra Kuti berhenti sejenak.
"Ra Kuti, harap jangan sepelit itu memberi keterangan.
Katakanlah dengan terus terang dan segera saja" desak
demang Surya. "Ratu Indreswari telah menitahkan raden Adityawarman
untuk membunuh putera Indu ...."
Apabila ada petir meletus ditengah hari, mungkin demang
Surya tak sekaget seperti dikala ia mendengar keterangan ra
Kuti tentang diri Indu itu. Seketika berkemerutukanlah
geraham demang tua itu. "Apa katamu .....?" ia menegas.
"Dengarkanlah ki demang" kata ra Kuti "semalam raden
Adityawarman telah menghadap ratu Indreswari di keraton.
Ternyata ratu Indieswari menitahkan pangeran Adityawarman
untuk membunuh Indu ...."
"Ra Kuti!" serentak menjeritlah demang Surya bagai seekor
singa kelaparan, "mengapa mereka hendak membunuh Indu"
Apakah salah cucuku itu !"
Ra Kuti tersenyum dalam hati dan melumas dinding bibirnya
dengan senyum, "Ki demang, inilah yang hendak
kuberitahukan kepadamu. Karena selama engkau belum
mengetahui rahasia itu, tentu pikiranmu masih terselubung
kabut ketidak-tahuan."
"Silahkan ra Kuti."
"Aku mendapat laporan bahwa cucumu Indu itu telah
dititahkan ratu Indreswari untuk menjadi juru tebah di tempat
peraduan baginda Jayanagara. Engkau tentu ingat akan
peristiwa Rara Sindura yang menjadi alat permainan dari si
Aluyuda sehingga baginda seperti orang yang menderita sakit
demam itu. Nah, sejak kehilangan si jelita, pikiran baginda
menjadi rusuh dan resah. Raja yang besar nafsunya itu telah
menumpahkan dendam keinginannya kepada siapapun juga
asal wanita itu bersih dan cantik. Dan salah satu dari korban
kenafsuannya yalah cucumu itu, ki demang."
"Hai!" tiba-tiba demang Surya melonjalak dari tempat
duduknya dan hendak menerkam ra Kuti. Tetapi secepat itu
pula seorang pengawal yang selalu berada di samping ra Kuti
untuk menjaga keselamatannya, serentak loncat menahan
demang itu. "Ki demang, silahkan duduk lagi," katanya seraya
acungkan ujung tombak ke dada demang Surya.
"Ah ...." demang Suryanata hempaskan diri ke atas kursi
dengan tulang2 yang dirasakan tiada bersungsum lagi.
"Ki demang" kata ra Kuti dengan nada yang sabar, "harap
engkau suka menyadari keadaan saat ini. Aku sedang
berusaha untuk menempatkan diriku sebagai seorang sahabat
yang hendak menyampaikan berita tentang keadaan diri
cucumu. Dan bila berita itu menggambarkan suatu keadaan
yang buruk pada diri cucumu, bukan aku yang melakukan
tetapi mereka. Engkau harus mencari mereka."
Demang Surya menghela napas untuk mengurangkan
ketegangan perasaannya. "Aku tahu ra Kuti."
"Semoga engkau mendapat kekuatan batin untuk
menghadapi kesemuanya itu, ki demang," kata ra Kuti, "sebab
segala kesulitan dan musibah itu, tidaklah cukup kita hadapi
dengan kemarahan, kesedihan ataupun keputus-asaan. Tidak
pula cukup kita renungi dan pikiri tetapi harus kita tanggulangi
dengan tindakan dan langkah2 yang terarah."
Demang Surya mengangguk. "Sebenarnya manusia seumur
aku, harus sudah mencamkan pertimbangan-pertimbangan
begitu. Tetapi ada kalanya, batin kita memang sering
mengunjuk kelemahan-kelemahan apabila diuji dengan
kesulitan dan persoalan yang mencengkam. Sekarang harap
tuan suka melanjutkan cerita itu."
"Aku sering masuk ke dalam keraton tetapi sepanjang itu,
aku tak pernah mendengar peristiwa yang telah menimpa diri
cucumu. Pertama, tentulah hal itu dirahasiakan oleh fihak
keraton, dalam hal ini kuduga tentulah ratu Indreswari. Dan
kedua, terus terang memang aku tak pernah menaruh
perhatian pada diri cucumu. Karena kuanggap dia tentu sudah
aman dan senang tinggal dalam keraton."
Demang Surya mengangguk pelahan.
"Rahasia itu baru tercium pada saat raden Adityawarman
menghadap ratu Indreswari. Aku mendapat laporan bahwa
cucumu sudah setahun yang lalu di-pergikan dari keraton,
dibawa ke suatu daerah di selatan dan dinikahkan dengan
seorang buyut desa dan kini telah berputera....."
"O" demang Surya mendesuh, "adakah putera itu tetesan
darah sang prabu sendiri?"
Ra Kuti mengiakan, "Benar ki demang. Bayi itu seorang
Lembu peteng. Oleh karena itulah maka ratu Indreswari
hendak membunuhnya karena kuatir kelak apabila dewasa,
anak itu akan membuat gara-gara mencemarkan kewibawaan
raja." "Kejam!" kembali demang Surya terbakar oleh rangsang
kemarahan yang menyala-nyala, "kejam benar ratu dari
Malayu itu! Anaknya yang berbuat salah bayi tak berdosa yang
harus menanggung akibatnya. Kejam, benar-benar kejam."
"Sabarlah ki Surya," kata ra Kuti pula, "telah kukatakan
bahwa segala persoalan dan musibah itu tak cukup kita kutuk,
kita maki tetapi yang penting harus kita tanggulangi. Dengan
maksud itulah maka kuundang engkau kemari agar aku dapat
membantu, sekiranya engkau akan berusaha untuk
menyelamatkan jiwa cicitmu itu."
Ra Kuti mencurahkan pandang mata ke arah demang tua
itu. Tampak demang Surya termenung-menung. Dari urat-urat
yang bertebaran meregangkan keriput dahinya, jelas bahwa
demang itu sedang bergelut dalam pertimbangan yang keras.
"Ki Surya" kata ra Kuti pula, "adakah engkau sedang
merancang suatu usaha untuk menolong cicitmu itu" Apabila


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar, aku bersedia mengulurkan bantuan. Tetapi apabila
karena pertimbangan usia dan tenaga, engkau sudah
merelakan nasib mereka di tangan dewata, akupun takkan
memaksa engkau. Dan mudah-mudahan berita yang kuberikan
ini, dapat menambah sekedar pengetahuan tentang keadaan
cucumu." Demang Surya membelalak dengan pandang menyalang.
"Ra Kuti, ketahuilah. Bahwa sisa hidupku ini hanya
kuperuntukkan untuk kebahagiaan cucuku Indu. Itulah
sebabnya maka aku pun rela kembali ke pura Majapahit, rela
menderita apapun yang engkau timpahkan kepada diriku."
Ra Kuti tertawa, "Engkau salah, ki demang. Andaikata
dahulu dalam permusyawarahan kita bertujuh, engkau tak
setuju, akupun tentu takkan memaksa engkau dan
mempersilahkan engkau keluar dari ruang perapatan rahasia
itu ..." "Ah, ra Kuti, sekarang tuan baru mengatakan begitu. Tetapi
bukanlah pada waktu itu tuan telah memberi tekan kepadaku"
Bukanlah tuan sudah menyiapkan beberapa pengawal untuk
membunuh aku dan siapa saja yang tak setuju dengan
permufakatan itu?" Ra Kuti tertawa pula, "Ah, demang Surya, seorang berjiwa
ksatrya seperti ki Surya, masakan gentar menghadapi segala ancaman, bahkan sekalipun ancaman akan dibunuh " Sungguh
mati ki Surya, apabila saat itu engkau tetap berkeras kepala
tak setuju, akupun takkan membunuhmu, melainkan akan
mengusirmu keluar dari ruang itu. Dan karena engkau,
walaupun dalam keadaan tertekan, menyatakan setuju maka
waktu engkau lolos dari pura kerajaan, aku merasa terancam.
Rahasia yang kita sepakatkan itu, amat gawat dan berbahaya.
Apabila karena engkau bocorkan ataupun karena terdengar
oleh baginda lewat lain orang, jiwa kami bertujuh pasti akan
dibasmi. Kekuatiran itulah yang memaksa aku harus
mencarimu ke seluruh penjuru dan memaksamu kembali ke
pura kerajaan. Memang kubatasi gerak gerikmu dalam rumah
yang kusediakan itu. Tetapi tujuanku hanyalah supaya engkau
tak bergerak, sekali-kali bukan hendak membunuhmu."
Ra Kuti menghentikan penjelasannya. Melihat demang
Surya tertegun, ia pun cepat menambah penjelasan pula.
"Kurasa tindakanku itu memang wajar. Andaikata engkau
bertukar tempat dengan aku, tentulah engkau akan bertindak
seperti yang kulakukan itu. Dan cobalah engkau renungkan
lebih dalam, demang Surya. Sekarang ini sesungguhnya tiada
gunanya engkau kutahan atau kubebaskan. Ingatlah, aku
sekarang sudah diangkat sebagai kepala Dharmaputera.
Kepercayaan baginda sudah penuh kepada diriku dan kawankawan yang sepaham dengan aku. Tanpa Suryanata, kami
tetap tegak pada landasan yang kokoh."
Goyahlah renungan demang Surya sesaat mendengar
uraian ra Kuti. Memang apa yang dikatakan ra Kuti itu suatu
kenyataan. Dharmaputera telah diangkat sendiri oleh baginda
sebagai penasehat dan orang kepercayaan baginda... Tak
mungkin baginda akan berkenan menerima pengaduan
demang Surya atas permufakatan rahasia yang pernah
dilakukan oleh ra Kuti dan kawan-kawannya dahulu itu.
"Ki Surya, lupakanlah hari kemarin dan masa yang lampau.
Anggaplah itu sebagai suatu impian buruk. Hidup, berpikir dan
berbuatlah pada kenyataan hidupmu hari ini" kata ra Kuti.
"sekarang bagaimana kehendakmu menghadapi musibah yang
akan menimpah jiwa cicitmu itu?"
"Telah kukatakan, jiwa dan ragaku akan kuserahkan untuk
keselamatan jiwa cucuku. Ra Kuti, aku akan mencegah
keputusan ratu Indreswari dengan suatu usaha untuk
menyelamatkan jiwa Indu dan anaknya ke lain tempat."
"Ternyata pandangan seorang ksatrya itu tentu sama
dengan ksatrya lain. Akupun menduga engkau tentu akan
bertindak begitu. Dan karena itu, akupun harus tepat
menetapi janjiku untuk membantumu."
Demang Surya terkesiap. Ia tak pernah menduga bahwa
mengapa tiba-tiba saja sikap ra Kuti berobah terhadap dirinya.
Dari musuh, kini ia diperlakukan sebadai seorang kawan.
Tetapi ia masih meragu. Ia tahu siapa ra Kuti itu. Perobahan
sikap itu tentu mengandung tujuan tertentu. Tetapi ia belum
tahu. "Ah, apapun tujuannya, aku tak perlu menghiraukan
lagi. Yang penting aku harus dapat bertindak untuk
menyelamatkan Indu dan puteranya" akhirnya ia membulatkan
keputusan hatinya. "Terima kasih, ra Kuti" katanya serta merta, "te:api ke
manakah aku harus mencari tempat tinggal Indu?"
Ra Kuti tertegun tetapi sesaat kemudian ia sudah dapat
memberi jawaban. "Sesungguhnya aku sendiripun tak tahu
pasti tempat tinggai Indu. Karena seperti yang telah
kukatakan, fihak keraton sangat merahasiakan peristiwa itu
sehingga sampai sekian lama tiada seorangpun yang
mengetahui. Namun hal itu bukan suatu rintangan bagi kita.
Akan kusuruh orangku mengamati dan segera memberi
laporan apabila utusan ratu Indreswari itu sudah mulai
bergerak." Demang Surya meliukkan tubuh untuk mengendorkan rasa
kejang pada punggungnya karena selama berada dalam ruang
ra Kuti ia terus menerus duduk bertegak mengejang urat.
Setelah itu ia berkata, "Lalu bagaimana aku harus bertindak ?"
"Engkau bebas memilih," kata ra Kuti dalam nada
senggang, "akan bertindak sendiri atau bergabung dengan
orang orang yang akan kuperintahkan tuk menyertaimu."
Demang Surya terhening. Dua kesulitan menantang
pertimbangannya. Apabila ia berusaha sendiri, mengingat
usianya, kemungkinan besar tentu akan mengalami kegagalan.
Namun kalau ia menerima uluran tangan ra Kuti, berarti ia
menyerahkan dirinya pada ikatan yang akan dikenakan oleh ra
Kuti kepada dirinya. Ia tak tahu ikatan apa yang tersembunyi
dibalik keringanan mulut ra Kuti untuk memberi bantuan itu.
Namun yang jelas, ra Kuti tentu takkan membantunya tanpa
pamrih. Teraju timbangan hatinya akhirnya condong kearah
satu fihak. Demi kepentingan menyelamatkan jiwa Indu dan
puteranya, ia harus menerima bantuan ra Kuti. Apapun ikatan
yang akan dilakukan ra Kuti. ia harus berani menerima.
"Ra Kuti, baiklah ..." tiba-tiba ia hentikan kata-kata yang
sudah siap meluncur dari kerongkongannya. Saat itu
terlintaslah benaknya akan Dipa yang masih menunggu di
rumah. Bukankah anakmuda itu tentu bersedia membantu
usahanya mencari Indu" Bukankah Dipa seorang jauh lebih
berharga dari sepuluh orang pengalasan ra Kuti " Dan
bukankah dengan memilih Dipa, ia bebas dari menerima
bantuan ra Kuti " Ah, hampir saja ia melupakan anak itu.
Karena sampai beberapa jenak belum juga demang itu
melanjutkan kata-katanya, ra Kuti segera menegur, "Lalu
bagaimana keputusan ki Surya ?"
"Aku hanya memerlukan bantuan tuan tentang arah yang
akan dituju pengalasan ratu Indreswari itu" kata demang
Surya. "Artinya ki demang hendak bekerja sendiri untuk
menyelamatkan cucumu ?" ra Kuti menegas agak kejut.
Demang Surya mengangguk, "Benar, ra Kuti, telah menjadi
ikrar hidupku, bahwa betapapun juga keadaan diriku, namun
aku tetap akan melindungi cucuku sampai diakhir hayatku."
"Tidakkah engkau memerlukan tenaga2 pembantu uatuk
mendampingimu ?" tanya ra Kuti pula.
"Memang seharusnya demikian, ra Kuti," sahut demang
Surya, "tetapi kurasa cucuku yang sedang mengunjungi aku di
rumah itu, cukup untuk menjadi pembantuku. Namun bantuan
tentang gerak arah yang akan dituju oleh utusan keraton itu,
sangat kuhargakan dan akupun bersedia memenuhi
permintaanmu, sekiranya tuan menghendaki sesuatu dari
demang Surya ini." Ra Kati tersenyum karena tahu bahwa demang itu telah
dapat membaca isi hatinya. Dalam hal menyelamatkan jiwa
putera dari Indu, seungguhnya tiadalah banyak kepentingan
yang diperoleh ra Kuti. Yang penting ia dapat memegang
bukti-bukti tentang seorang anak gelap atau lembu peteng
dari raja Jayanegara. Dan bukti itu memerlukan seorang saksi
hidup yalah demang Suryanata. Kemudian dengan bukti-bukti
itu, dapatlah ia pergunakan untuk kelengkapan dalam
usahanya mendongkel baginda.
"Anak itu harus diselamatkan dari pembunuhan yang
kejam" kata ra Kuti, "hanya itulah keinginanku, ki demang."
"Mengapa?" "Karena dia adalah anak keturunan raja. Demi menegakkan
garis keturunan darah raja Majapahit, agar bilamana terjadi
keadaan yang sulit dan terpaksa, singgasana kerajaan tetap
diperintah oleh Kertarajasa." keturunan rahyang ramuhun perabu "Hanya itu ?" masih demang Surya menegas dalam nada
masih setengah meragu. Ra Kuti tertawa, "Sudah tentu pengetahuan tentang tempat
persembunyian cucumu itu, baru kumiliki, agar setiap waktu
yang diperlukan, dapatlah aku mengemukakannya."
"Adakah hal itu termasuk syarat dari bantuan kepada
usahaku itu?" tanya demang Surya pula.
"Aku tak memaksa, ki demang," ra Kuti berkata ringan,
"karena engkau tentu maklum bahwa orang-orangku tentu
mampu untuk mengetahui hal itu juga. Hanya jika engkau
bersedia memberikan laporan itu kepadaku, dapatlah orangorangku itu kugunakan pada lain bidang keperluan lagi."
"Baik, ra Kuti. Kali ini demang Surya akan bekerja sama
dengan tuan." Ra Kuti tersenyum dibibir, geli di hati. Ia merasa geli karena
melihat sikap demang Surya yang seolah-olah masih begitu
besar semangatnya dan merasa besar dengan dirinya.
Padahal, demang Surya itu sudah tak berarti apa-apa baginya.
Hanya karena secara kebetulan telah timbul peristiwa Indu,
maka tergeraklah hati ra Kuti untuk menggunakan tenaga
demang tua itu. Sesungguhnya tentang pembuktian dari anak
gelap putera Indu Salupi itu, dapatlah ia menitahkan orangorangnya untuk menyelidiki. Tetapi ia menginginkan suatu
saksi hidup yang sekuat namanya seperti demang Surya. Ia
berharap mudah-mudahan dalam perkembangan suasana
yang akan datang, demang Surya akan merupakan alat yang
penting baginya. Demikian demang Surya diantar pulang lagi. Demang itu
membayangkan tentulah Dipa belum tidur dan masih
menunggu kedatangannya dengan cemas. Ia sendiripun tak
pernah menduga bahwa pertemuannya dengan ra Kuti itu
telah menghasilkan suatu soal yang besar sekali
kepentingannya. Dan tak pernah diduganya bahwa ada
kelainan yang menonjol pada sikap ra Kuti terhadap dirinya.
Dipa tentu terkejut mendengar berita yang akan
disampaikannya itu. Pikir demang Suryanata.
Tetapi alangkah kejutnya ketika ia melihat Dipa sedang
duduk bersila di lantai dengan mata terpejam. Dan menilik alat
pekakas dalam rumah itupun, ternyata kacau dan porak
poranda keadaannya. Bahkan di lantaipun tampak ceceran
darah merah. "Dipa, apakah artinya ini " Engkau kenapa, nak?" serentak
demang Surya lari menghampiri.
Dipa membuka mata. Wajahnya serentak bertebar cerah
ketika melihat demang Surya pulang tak kurang suatu apa.
"Eyang, adalah engkau tak kurang suatu apa?" ia balas
bertanyakan dahulu keselamatan ki demang daripada
menuturkan apa yang telah dialaminya.
"Ya," demang Surya menyahut ringkas lalu mengulang
pertanyaannya tadi, "apa yang telah terjadi sepergiku dari
rumah ini, nak ?" Dipa menyudahi persemedhinya lalu berbangkit dan
mengajak ki demang duduk pada kursi yang tersudut di
dinding. Diambilnya dua buah kursi setelah keduanya duduk
maka Dipa pun mulai bercerita.
"Tak lama setelah eyang pergi, maka datanglah dua orang
lelaki bertubuh kuat. Dengan bengis mereka memaksa aku
supaya ikut mereka. Kutanya kemanakah aku akan
dibawanya" Mereka tak mau mengatakan terus terang dan
hanya menyuruh aku ikut. Pun ketika kutanyakan siapakah
yang memerintahkan mereka mengambil aku. Kedua orang itu
tetap gelengkan kepala. Kutolak permintaan mereka. "Tidak,
selama kalian tak mau memberi keterangan siapa dan
kemanakah kalian hendak membawa aku, akupun tak dapat
meluluskan permintaan kalian" kataku.
"Kedua orang itu marah. Salah seorang segera menerkam.
Tetapi akupun sudah siap juga. Aku loncat menghindar. Yang
seorang lagi cepat menerjang, pun dapat kuhindari. Akhirnya
terjadilah perkelahian yang cukup seru. A ku gemas dan marah
sekali terhadap kedua orang itu. Masakan aku sebagai seorang
utusan Rani Kahuripan, akan dibawa begitu saja kepada
seorang yang tak diketahui dan kemungkinan tentulah orang
yang mengandung maksud tak baik kepada diriku.
Kupertaruhkan seluruh tenagaku untuk melindungi tugas yang
dititahkan gusti Rani Kahuripan kepada diriku. Kedua orang itu
memang kasar, kejam dan kuat tetapi untunglah aku
mengatasi mereka. Mereka terpaksa lari pontang panting
membawa luka2 berdarah dan akupun hampir kehabisan
tenaga." "Syukurlah anakku" demang Surya menghela napas
longgar, "sedemikian gelaplah suasana dalam pura ini.
Keamanan tak terjamin, setiap saat dapat terjadi penculikan,
perampasan dan pembunuhan. Di sana-sini orang saling intai
mengintai, curiga mencurigai, tuduh menuduh. Cumi2 hidup
subur, bisik2 merajalela. Tampaknya di luar tenang, tetapi
sesungguhnya ketenangan itu hanya menyerupai api dalam
sekam. Di dalam berkemelut pertentangan antara satu
golongan dengan lain golongan."
Kini Dipa baru benar-benar dapat menyelami apa yang
pernah dituturkan demang Surya ketika masih berada di
pondok tengah hutan dahulu.
"Mengapa baginda tak bertindak tegas untuk membersihkan
tubuh pemerintahan di pura ini, eyang" tanyanya.
"Ada dua hal yang selalu menggoda ketenangan baginda.
Pertama, timbulnya pemberontakan dari para mentri narapraja
tua akibat rasa tak puas dan ada pula yang menjadi korban
fitnah. Pemberontakan dan kerusuhan itu menyerap pikiran,
tenaga dan waktu baginda. Kedua, musuh-musuh dalam


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selimut itu tahu akan kelemahan baginda dan memanfaatkan
kelemahan itu untuk mengacau ketenteraman hati baginda"
"Apakah kelemahan baginda itu, eyang?" tanya Dipa pula.
Rupanya ia makin besar keinginannya untuk mengetahui seluk
beluk keadaan pura kerajaan.
Demang Surya menghela napas panjang dan dalam
sehingga mengumandangkan gelombang suara hembusan
angin. "Kelemahan baginda Jayanagara itu yalah terletak pada
soal wanita. Baginda gemar sekali kepada wanita. Dan
kelemahan itulah yang dipergunakan mereka untuk
merongrong ketenangan baginda. Dan memang baginda itu
juga terlalu bermanjakan diri dalam kesenangan itu sehingga
..." Dipa heran mengapa tiba-tiba demang Surya hentikan katakatanya. Ditatapnya demang itu. Tampak wajahnya bermuram
durja. Dipa gopoh bertanya, "Eyang, adakah sesuatu yang
mengganggu pikiran eyang" Mengapa eyang tak melanjutkan
keterangan eyang itu?"
Demang Surya menatap Dipa dengan pandang sayu kuyu.
Bahkan pada pancaran bola mata demang tua itu berkabut
linang airmata, "Nak, sanggupkah engkau mendengarkan
kelanjutan dari keteranganku itu?"
Dipa makin heran, "Mengapa eyang" Adakah sesuatu yang
eyang anggap akan menyinggung hatiku?"
"Semoga tidak, Dipa" demang Surya mendesah pula, "dan
sesungguhnya bukan engkau tetapi akulah yang paling
menderita dalam soal ini."
Mendengar itu Dipa makin heran dan makin besar
keinginannya untuk mengetahuinya. "Eyang, apapun yang
akan kudengar, aku tentu sanggup untuk menerimanya, baik
atau buruk. Silahkan eyang melanjutkan cerita eyang."
Sejenak demang Surya berdeham untuk mengendapkan
napas yang bergejolak menyekat kerongkongannya. Setelah
itu dengan nada penuh terkekang perasaan, ia melanjutkan.
"Perbuatan baginda itu telah mengakibatkan hancurnya hati
dari banyak wanita dan dara, Diantaranya yang menjadi
korban nafsu baginda yalah .... yalah ......."
Walaupun sudah berkemas-kemas untuk menguasai
perasaan hatinya namun pada saat kata kata itu berada di
ambang bibir, tetap demang itu tak kuasa mengucapkannya.
"Siapa eyang?" Dipa makin menggelora keinginan tahunya.
"A ..... ku ....."
"Eyang?" Dipa terperanjat.
"Ya, aku yang menderita karena ..... karena ..... yang
menjadi korban itu ..... Indu ....."
"Eyang!" serentak Dipa menjerit dan melonjak dari tempat
duduknya, menerkam lengan demang itu dan diguncang
guncangkannya, "apa kata eyang?"
"Indu pun telah menjadi korban baginda ....."
"Eyang" karena getaran hati yang meletus bagai halilintar
memecah angkasa, Dipa mencengkeram lengan demang itu
sekeras kerasnya sehingga demang itu menderita kesakitan.
Namun demang Surya membiarkan dan menahan rasa sakit
itu, "benarkah keterangan eyang itu?"
Setelah membiarkan dirinya diguncang dan dicengkeram
oleh Dipa, demang Surya menatap anak itu lekat-lekat.
Rupanya Dipa menyadari bahwa perbuatannya itu telah
menyebabkan eyang demang menderita, Ia pun melonggarkan
cengkeramannya dan balas menatap pandang mata demang
Surya. "Dipa" sesaat kemudian demang Surya dapat menemukan
keperibadiannya yang hampir lenyap diguncang ledakan
hatinya, "hal itu memang terjadi sesungguhnya. Eyang
sendiripun tak tahu. Setelah menghadap ra Kuti barulah eyang
mendengar berita itu."
"Ra Kuti kepala Dharmaputera itu?" seru Dipa, "ah,
mungkin dia hanya merangkai keterangan kosong untuk
mematahkan semangat eyang."
"Kutahu" kata demang Surya, "tetapi keterangannya kali ini
memang sungguh2 nyata. Dan akupun percaya."
"Ah ...." Dipa jatuhkan diri di kursi dengan tubuh yang
lunglai. Melihat itu demang Surya segera memperingatkan.
"Dipa, bukankah engkau tadi sudah berjanji pada eyang akan
sanggup mendengar cerita yang akan eyang tuturkan,
betapapun keadaannya, baik atau buruk. Engkau seorang
anak lelaki, Dipa. Harus berani menghadapi kenyataan. Dan
suatu kenyataan itu hanya dapat dihadapi daripada dihindari."
Berbanyak- banyak demang Surya membesarkan semangat
Dipa walaupun dalam hati sendiri, demang tua itu amat
menderita sekali. Dan setelah perasaan Dipa agak tenang
maka demang Surya pun mulai menuturkan apa yang telah
dibicarakan dengan ra Kuti tadi.
"Hai" tiba-tiba Dipa berteriak, "jika demikian yang kudengar
di keraton itu ternyata menyangkut diri Indu!" ia lalu
menceritakan apa yang didengarnya ketika ia masuk ke dalam
keraton menghadap Adityawarman.
"Oh, jadi memang benar?" kini demang Surya yang meluap,
"jika demikian gusti Adityawarman lah yang akan
melaksanakan titah sri ratu itu. Ah, aku harus menghadap
gusti Adityawarman!"
"Untuk apa eyang ?" tanya Dipa.
"Gusti Adityawarman itu terkenal dan disayangi para
kawula. Beliau seorang yang bijaksana dan baik budi. Akan
kujelaskan kepada beliau bahwa Indu itu cucuku dan kumohon
supaya beliau jangan membunuhnya."
Dipa merenung sejenak lalu berkata, "Tetapi apa jawab
eyang apabila gusti Adityawarman bertanya dari sumber
manakah maka eyang dapat mengetahui titah rahasia dari sri
ratu itu?" Demang Surya terhentak diam. Memang pertanyaan Dipa
itu tepat. Apabila ia mengatakan bahwa sumber itu berasal
dari ra Kuti, tentu akan menimbulkan hal yang
berkepanjangan dan tak baik bagi ra Kuti. Apabila ia
mengatakan sumber itu dari Dipa, tentulah Dipa yang akan
menderita akibat. Dan yang jelas ratu Indreswari tentu murka
karena masalah Indu itu suatu rahasia yang tak boleh
diketahui orang. Demang Surya terlongong-longong.
"Lalu bagaimana kita harus bertindak?" akhirnya demang
tua itu bertanya. Kini Dipa yang berbalik termangu mangu. Ia pun menyadari
tepatnya ulasan demang itu. Sesaat ia tiba pada
pertimbangan. Lebih baik menunggu keterangan yang akan
diberikan ra Kuti tentang keberangkatan orang pengalasan
ratu Indreswari. Dengan secara diam-diam mengikuti langkah
mereka, tentulah dapat mengetahui tempat tinggal Indu.
Karena pertanyaannya tak terjawab, demang Surya
menyusuli kata-kata pula, "Kurasa, baiklah kita menanti saja
keterangan dari ra Kuti."
Dipa mengangguk. Tetapi pada lain saat tiba-tiba ia
menyalangkan mata, meregang dahi. Rupanya timbul
pemikiran baru dalam benaknya.
"Eyang, aku hendak menemui gusti Adityawarman" katanya
sesaat kemudian. Demang Suryanata terkesiap.
=o00o-dw.kz-mch-o00o= JILID 20 I TERBANGLAH sang burung berkelana mencari makan. Di sebuah hutan ia
menemukan sebatang pohon, yang masak buahnya. Disergapnya buah
itu dan diterbangkannya pulang untuk burung2 kecil
yang menunggu kepulangan induknya di sarang. Di kala memberikan buah itu kepada anaknya, bcrguguranlah biji buah jatuh ke bumi. Bumi dengan
segala kerelaan merekahkan
tanahnya, mengayomi dan menghidupi. Dan bersemilah bibit itu menguntum batang
tunas, makin lama makin bertumbuh.
Bumi subur, pohonpun mulai menyemi putik bunga. Alam
tenang, langit pun cerah. Tetapi tiba-tiba datanglah prahara.
Awan tebal menghitam langit dan turunlah hujan lebat. Angin
pun mengunjukkan angkara murka kekuasaannya. Batang
pohon itu ditumbangkan, dan hancur pula putik bunga
sebelum berkembang .... Demikian nasib yang mempermainkan Dipa.
Nasib telah mempertemukan perkelanaan Dipa pada
demang Surya dan cucunya si dara Indu dalam sebuah hutan.
Dipa dan Indu bergaul erat dan demang Surya pun gembira.
Kehidupan di tengah hutan tenang tenteram. Tiba-tiba
datanglah musibah. Ra Kuti mengirim orang untuk mencari
demang Surya, menculik Indu ke pura Majapahit untuk
memaksa demang Surya menyerahkan diri kepada ra Kuti.
Demang Surya terpaksa menyerah dan berpisahlah ia dengan
Dipa. Bertahun-tahun Dipa berkelana untuk mencari demang
Surya dan cucunya. Setelah berhasil bertemu hanya berita
duka yang dijumpai. Indu diambil ratu Indreswari sebagai
dayang, dianugerahi nama Salupi lalu dijadikan juru tebah
tempat peraduan baginda Jayanagara. Jayanagara habis
minum tuak pulang dan melihat Indu Salupi dara yang tengah
mekar. Nafsu bertebaran mengoyak-ngoyak naluri kejantanan
baginda dan hancurlah putik bunga yang tengah menjenjang
kemekaran itu. Indu Salupi, bunga yang gugur sebelum mekar.
Kini hanya tinggal demang Surya dan Dipa yang terhempas
dalam renungan nestapa. Untunglah kedua manusia itu,
insan2 yang sudah menghayati gelombang kehidupan yang
penuh badai cobaan. Demang Surya, seorang kadehan dari
raden Wijaya. Setelah ikut menikmati kehidupan sebagai
demang dalam kerajaan yang didirikan raden Wijaya, ia telah
dipaksa menjadi warga dari persekutuan yang dibentuk ra Kuti
untuk menentang baginda Jayanagara. Karena tak setuju, ia
melarikan diri bersembunyi dalam hutan. Dipa, seorang anak
manusia yang dibesarkan dalam alam kehidupan yang penuh
derita. Dalam menghadapi musibah saat itu, demang Surya
dan Dipa cepat dapat melepaskan diri dari cengkaman duka
dan kesedihan. Hanya sejenak mereka terpukau lunglai,
kemudian bangkit pulalah semangat mereka untuk berjuang
mengatasi kesulitan. Hidup itu gerak dan gerak itu suatu
perjuangan. Tiap saat manusia harus bergerak, harus
berjuang. Berjuang dalam bathin dan alam kelahiran.
"Dipa," berserulah demang Surya ketika mendengar
pernyataan Dipa hendak menemui raden Adityawarman, "apa
yang hendak engkau katakan kepada pangeran Aditya?"
"Akan kuceritakan bahwa Indu itu cucu Eyang. Lalu
kumohon pertimbangannya dan akan kuketuk nurani hati
raden itu agar ditiadakan rencana pembunuhan terhadap Indu
dan puleranya," kata Dipa, "kukenal raden Adityawarman itu
seorang pangeran yang bijaksana, berbudi luhur."
Demang Surya menghela napas, "Benar, pangeran itu
memang dihormati dan disayangi para kawula. Karena
keluhuran budi dan peribadinya yang ramah terhadap para
kawula. Tetapi hendaknya engkau dapat mencamkan, Dipa.
Yang menitahkan perintah itu adalah gusti ratu Indreswari,
ibunda baginda Jayanagara yang besar pengaruh dan
kekuasaannya. Dapatkah pangeran Adityawarman mengingkari
titah itu?" Dipa tertegun. Teringatlah ia akan peristiwa yang
dialaminya di Kahuripan. Karena menjunjung tugas sebagai
prajurit keraton terpaksa ia harus berkelahi dengan raden
Kertawardana. Demikianlah beratnya seorang prajurit yang
menjunjung tugas. Demikian pula kiranya seorang ksatrya
seukur peribadi Adityawarman. Kata-kata demang Surya
menembus keremangan pikiran Dipa, memancarkan sinar
terang. Bahwa tugas itu, di tangan seorang yang jujur dan
setya, tak mungkin tergoyah oleh kepentingan lain. Ataukah
kepentingan itu kepentingan peribadi, kekeluargaan, persahabatan bahkan sekali pun kepentingan yang dilambari
dasar-dasar pertimbangan rasa kemanusiaan.
"Adakah tiada lain jalan untuk mempengaruhi pikiran raden
Adityawarman, eyang?" berkatalah Dipa beberapa saat
kemudian. Demang Surya merenung diam. Kepalanya menengadah
memandang atap wuwungan. Gelap pekat. Beberapa saat
kemudian, titian pandang matanya tertumbuk pada sebuah
benda putih. Dan ketika diseksamakan benda putih itu
merupakan lubang tiris pada atap. Ia tersentak dari renungan.
Selebar luas atap wuwungan yang dicengkam kegelapan itu,
nyata terdapat juga setitik lubang yang walaupun hanya
sebesar ujung lidi, namun dapat memercikkan cahaya terang.
Dan serentak dengan itu pula, terbetiklah sepercik sinar dalam
kegelapan yang mencengkam lubuk hatinya.
"Dipa," serunya dalam nada agak gairah, "bagaimana
hubunganmu dengan pangeran Aditya?"
"Baik, eyang," kata Dipa ikut beriak harap.
"Ada suatu kemungkinan baru," kata demang Surya "yang
mungkin dapat menolong Indu."
Dipa terbeliak, "Bagaimana, eyang?" serunya gegas.
"Kurasa baik juga apabila engkau menghadap pangeran
Adityawarman untuk mencoba kemungkinan itu," kata demang
Surya. "O," seru Dipa makin tumbuh harapan, "lalu bagaimana aku
harus mengatakan kepada raden Adityawarman?"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak demang Surya menenangkan napas lalu berkata,
"Aku teringat akan sebuah cerita, Dipa. Cerita tentang seorang
raja yang menghukum pemaisurinya karena dituduh tak setya.
Yang dititahkan untuk menjalankan hukuman itu patih. Patih
membawa puteri itu ke hutan untuk dibunuhnya. Tetapi patih
itu seorang bijaksana. Ia tahu bahwa puteri tak bersalah.
Tuduhan itu hanya suatu fitnah yang dilontarkan oleh seorang
puteri cantik yang hendak diambil permaisuri oleh raja. Raja
sudah dimabuk kepayang, apapun yang dikatakan puteri
cantik itu tentu diluluskan ..."
Demang Surya berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula,
"Patih mendapat akal. Ia tak sampai hati membunuh
permaisuri yang; tak berdosa. Namun titah raja harus
dilaksanakan. Maka dibunuhnyalah seekor kambing dan
dimintanya pakaian permaisuri itu. Permaisuri dipersilahkan
menyembunyikan diri dalam hutan itu dan patih pun pulang
dengan membawa pakaian sang puteri yang telah dilumuri
darah kambing. Ia menghaturkan pakaian berlumur darah itu
ke hadapan baginda dan baginda pun percayalah....."
"O," teriak Dipa, "maksud eyang hal semacam itu dapat
dilaksanakan oleh raden Adityawarman?"
"Benar, Dipa," sahut demang Surya, "tetapi itupun
tergantung pada pangeran Aditya. Jika beliau tak meluluskan,
kita akan berusaha sendiri untuk mencegah peristiwa itu."
"Baik eyang," kata Dipa lalu hendak ayunkan langkah. Baru
beberapa langkah, tiba-tiba demang Surya bereru pula,
"Dipa," anak itu terkejut, hentikan langkah dan berpaling,
"ingat, jangan memaksa pangeran Aditya harus menerima
permintaanmu....." Dipa mengiakan lalu berjalan pula. "Dipa," kembali demang
Surya berseru manakala baru dua langkah kaki Dipa berayun,
"dan ingat nak, jangan pula engkau meratap-ratap meminta
belas kasihannya. Percayalah kepada diri kita sendiri, nak ...."
Kali ini Dipa mengiakan namun tak cepat melanjutkan
langkah. "Baiklah, eyang. Apakah eyang masih hendak
memberi petunjuk lagi?"
"Pergilah, anakku, semoga
langkahmu," kata demang Surya.
Dewa Agung merestui Ayun kaki Dipa agak berat membawa sang tubuh. Bukan
berat karena tubuh anak itu makin menggemuk, bukan pula
karena tenaganya masih letih-akibat berkelahi dengan kedua
orang yang hendak menculiknya tadi. Tetapi berat karena
benaknya masih melingkar-lingkar, merancang, mereka dan
merangkai ucap dan tindak manakala ia berhadapan dengan
Adityawarman nanti. Pikiran berat menjadikan langkahpun
sarat. Malam makin pekat makin kelam. Lorong-lorong yang
membelah belah telatah pura Tikta-Sripala, kota kerajaan
Majapahit, membentuk garis-garis bangunan tempat kediaman
para mentri, senopati, narapraja menurut tingkat pangkat dan
kedudukannya. Atas petunjuk demang Surya, dapatlah Dipa menemukan
lorong jalan yang menuju ke tempat kediaman raden
Adityawarman, di daerah kediaman keluarga raja. Namun ia
masih belum tahu pasti, manakah diantara sekian banyak
bangunan-bangunan gedung yang menjadi tempat kediaman
raden Adityawarman. Tetapi menyusur lorong yang remang tertimpah bayangbayang deretan bangunan yang tinggi, pandang mata Dipa
yang tajam cepat menangkap sebuah benda hitam yang
beringsut-ingsut menyusup ke sebuah simpang lorong kecil
yang gelap. Perhatian Dipa meningkat ke arah kecurigaan
manakala merenungkan gerak gerik benda hitam yang ia yakin
tentu sosok tubuh seseorang.
Cepatlah ia pesatkan langkah. Namun langkah kakinya
harus diperingan sedemikian rupa agar tak menimbulkan
perhatian orang itu. Dalam hal itu Dipa tak mengalami
kesulitan karena ia telah memiliki ilmu tata-langkah yang
diberikan brahmana Anuraga. Diam-diam ia merasa berterima
kasih kepada brahmana muda itu. Nyata ilmu tata langkah
yang diajarkannya, bukan semata untuk berkelahi menghadapi
lawan, pun dalam keadaan tertentu dapat juga digunakan
untuk mengikuti jejak seseorang.
Tiba di ujung tikung lorong, iapun segera lari memburu ke
muka agar jangan kehilangan jejak orang itu. Tetapi alangkah
kejutnya, ketika bayangan orang itu sudah tak tampak lagi.
Betapapun dipertajamkan pandang matanya untuk menembus
kabut kegelapan lorong itu, tiada juga ia melihat sosok hitam
tadi. "Ah, ternyata dalam pura kerajaan ini penuh dengan
orang-orang yang berilmu," diam-diam Dipa menimang dalam
hati. Tiba-tiba ia tersentak, "tetapi siapakah orang itu" Apakah
tujuannya " Makin hebat ilmu kepandaian orang itu, makin
penting untuk dikejar. Karena apabila orang itu seoang
penjahat bukankah membahayakan keamanan puri keraton
....." Sejak meresapi sumpah seorang prajurit di Kahuripari, Dipa
pun menghayati apa arti tugas dan kewajiban seorang prajurit.
Prajurit adalah pembela tanah air, pelindung rakyat dan
pemberantas kejahatan. Bila dan di manapun ia berada,
tribrata itu harus menjadi pedoman langkahnya.
Dan saat itu, bangkitlah rasa tanggung jawab Dipa akan
kedudukannya sebagai seorang prajurit. Siapa dan betapapun
orang itu, harus ia sergap untuk memberi keterangan. Dan
gopohlah langkah Dipa didesak suara hatinya.
"Hurdah ...." tiba-tiba pada gunduk kegelapan yang
menyudut ditepi lorong, sesosok tubuh menyelinap keluar,
menghadang langkah Dipa. Sebenarnya Dipa sudah
mengemasi diri dengan kewaspadaan dan kesiap-siagaan.
Walaupun kemungkinan-kemungkinan seperti yang dihadapinya itu sudah terbayang dalam benaknya namun
gerak kemunculan orang yang serba cepat dan tak terdugaduga itu, meruntuhkan ketenangan Dipa. Anakmuda itu
menyurut mundur dua tiga langkah.
"Siapa!" seru Dipa sambil pasang sikap siap menghadapi
setiap kemungkinm berbahaya.
Orang itu tertawa ringan. "Seorang sahabat, ki sanak !
Hapuslah ketegangan hatimu."
Namun Dipa tak mudah mempercayai kata2 orang itu. "Apa
maksudmu menghadang aku?"
Orang itu membersit tawa kecil, "Engkau salah ucap, ki
sanak. Bukan aku yang menghadang tetapi engkau yang
mengejar langkahku."
Merah muka Dipa karena ucapan orang itu kena sekali.
Untunglah dalam kegelapan, perobahan air mukanya tak
terlihat orang itu. "Benar, memang aku mengejar jejakmu.
Setiap gerak-gerak yang menusuk pandang mataku, tentu
ingin kuketahui." "Itulah yang kukehendaki darimu, Dipa ..." Mendengar
orang itu menyahut namanya, Dipa laksana tersengat lebah.
"Siapa engkau" Mengapa engkau kenal namaku?"
"Namamu mulai mendapat tempat di hati kita" kata orang
itu. "Kita" Maksudmu bukan hanya engkau seorang?" Dipa
makin tergetar heran. Orang itu tetap tenang, setenang nada kata kata
jawabannya. "Engkau menanyakan hal itu seperti engkau
mengacai dirimu pada cermin. Siapa dan bagaimana dirimu,
adalah diriku, diri kita yang berjuang di bawah naungan panji
kerajaan Majapahit....."
"Apa .......... !" teriak Dipa tertahan. "engkau ...........
engkau warga....." "Stt, jangan keras2, lorong, tembok bahkan tiap batang
pohon dalam puri Tikta-Sripala ini mempunyai telinga" cepat
orang itu melintang kata, "ucapkanlah apa yang hendak
engkau inginkan itu dalam hati saja, usah dengan mulut."
Dipa tertegun, menyalangkan pandang mata untuk melihat
wajah orang itu. Seorang lelaki tegap seperti perawakan
seorang prajurit. Tiada yang luar biasa pada raut wajahnya
kecuali sepasang bola matanya yang tajam di bawah naungan
batang alis yang rimbun. "Ki sanak" katanya dalam nada masih kencang, "menilik
sikap dan ucap yang engkau bawakan, tampaknya engkau
memang seorang sahabat, bahkan lebih dari itu. Namun
kepercayaanku takkan selekas itu kuruntuhkan sebelum aku
mendapat bukti-bukti yang meyakinkan."
"Itu benar," sahut orang itu, "karena dalam pura kerajaan
ini penuh dengan serigala yang berkeliaran mencari mangsa.
Lalu bukti apakah yang engkau kehendaki ?"
"Bersiaplah untuk menyambut seranganku!" seru Dipa.
Orang itu terkejut namun pada lain saat ia seperti
menyadari sesuatu. "Baik, segeralah engkau mulai."
Dipa tak mau berkepanjangan bicara. Segera ia membuka
sebuah serangan dengan gerak pukulan yang cepat. Orang
itupun terkejut melihat ketangkasan Dipa. Dan rupanya ia tak
mau menangkis, melainkan hanya menghindar ke samping.
Maksudnya agar menghindari suatu kecideraan. Adu kerasnya
pukulan dapat membawa akibat patah tulang atau kesakitan.
Akibat yang lebih parah yalah mudah menimbulkan kepanasan
hati dan dendam kemarahan. Sehingga ujian untuk mencari
bukti itu akan berobah menjadi perkelahian yang ganas.
Namun perhitungan orang itu salah tempat. Ia tak pernah
menyangka bahwa Dipa yang masih semuda itu memiliki gerak
yang amat tangkas dan tata langkah yang hebat. Belum
sempat ia mengatur langkah lebih lanjut, Dipa pun sudah
membayangi di belakangnya. Bahkan saat itu terasa punggung
orang itu terhembus angin deras. Orang itupun cepat ayunkan
tubuhnya ke muka dan cepat hendak berputar tubuh. Tetapi
untuk yang kedua kalinya, ia terkejut ketika angin santer
menerpa lambungnya. "Hebat" seru orang itu pula sambil melakukan gerak
penghindaran yang telah diangankan dirinya dibayangi Dipa
untuk yang kedua kalinya tadi.
"Uh" desuh Dipa terkejut karena ia telah tertipu oleh gerak
langkah orang yang tak diduga-duga. Orang itu berayun maju
lalu menyamping kesebelah kiri tetapi baru setengah jalan
sudah melambung kesebelah kanan, berjumpalitan dan tegak
berdiri menghadap ke arah Dipa.
Dipa tak mau memberi kesempatan. Kesalahannya
termakan siasat orang harus ditebus dengan serangan yang
mengurung kebebasan gerak orang. Tetapi pada saat tubuh
maju menerjang, tiba-tiba ia berteriak tertahan, "Rajah Kala
cakra.....!" Dipa paksakan diri untuk menghentikan gerak terjangan
dengan membuat suatu gerak, membuang tubuh berjungkir
balik ke belakang. Namun ternyata orang itu tak mau menarik
keuntungan dari kedudukan Dipa yang dilanda kesibukan itu.
Orang itu tetap tegak berdiri di tempatnya, tersenyum
memandang Dipa. "Maafkan, paman" tersipu sipu Dipa pun segera memberi
hormat. Pada saat ia melancarkan gerangan tadi dilihatnya
kedua tangan orang itu membentuk suatu sikap yang aneh.
Tangan kiri melintang di muka dada, kedua jari telunjuk
melingkar pada ibu jari dan ketiga jari lainnya tegak
memancang ke atas. Sedangkan tangan kanan diangkat ke
atas kepala dalam bentuk seperti tangan kiri. Telunjuk jari
berlekat dengan ibu jari dan ketiga jari lainnya tegak lurus.
Itulah sikap pembukaan dari pukulan aji Rajah Kala-cakra. Aji
yang menjadi ciri pengenal warga Gajah Kencana seperti yang
pernah dikatakan Eyang Wungkuk kepada Dipa dahulu.
"Apakah engkau sudah dapat mempercayai diriku, nak ?"
tegur orang itu datar dari nada kemarahan.
Dipa mengiakan. Kemudian ia menanyakan apa maksud
orang itu kepadanya. "Kepergianmu menuju gedung kediaman raden Aditya telah
kami ketahui maka akupun menunggu di sini dan memikat
perhatianmu supaya mengejar jejakku ke mari" menerangkan
orang itu, "tujuanku hanyalah ingin bertemu muka dengan
engkau sebagai perkenalan. Mudah mudahan pula dapat
menambahkan kemantapan hatimu selama engkau berada di
pura sini" "Terima kasih, paman. Apabila paman meluluskan,
pengetahuanku tentu akan bertambah lengkap bilamana aku
dapat mengenal nama paman."
"Nama?" ulang orang itu, "kurasa hal itu belum penting.
Bagi warga dan kawan-kawan kita, sikap yang kutunjukkan
tadi adalah ciri pengenal yang paling dibutuhkan."
Dipa pun tak terlalu mendesak. Ia menanyakan kelanjutan
dari kepentingan orang itu kepadanya. Orang itu menjawab,
"Kepergianmu kepada pangeran Aditya telah kami ketahui
tetapi apa maksud tujuanmu menemuinya, kami belum jelas."
"Adakah hal itu perlu ?" Dipa menegas. Diam-diam ia masih
mempertimbangkan juga di antara kemungkinan meluluskan
atau menolak. Rupanya orang itu dapat membaca isi hati Dipa, katanya,
"Gerak gerik pangeran Aditya telah terjaring dalam
pengawasan orang-orang ra Kuti. Mereka tahu apa yang telah
dibicarakan pangeran Aditya dengan ratu Indreswari. Dan
mereka pun mempersiapkan rencana untuk menanggapi
tindakan pangeran Aditya. Dalam hal itu, sudah tentu setiap
orang yang akan bertemu dengan pangeran Aditya, mendapat
pengawasan yang ketat dari fihak ra Kuti.
Dipa terkesiap. Kiranya sudah sedemikian rupa keadaan di
pura kerajaan. Mata mematai, awas mengawasi telah
meningkat dalam bentuk jaringan yang tersusun rapi. Fihak ra
Kuti tahu apa yang dibicarakan Adityawarman dengan ratu
Indreswari, seperti yang disampaikan kepada demang Surya.
Tetapi orang Gajah Kencana pun tahu akan gerak gerik fihak
ra Kuti. "Mungkin masih ada fihak lain ....... ah" tiba-tiba Dipa
terkesiap dalam hati ketika pemikirannya tertumbuk pada
golongan patih Aluyuda, golongan yang seimbang pengaruh
dan kekuasaannya dengan fihak Dharmaputera.
"Memang suatu kelengkapan yang penting bagi kami
apabila engkau mau menerangkan tujuanmu menghadap
raden Aditya. Dengan demikian kami dapat mengatur langkah
yang perlu" kata orang itu pula.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi apabila engkau tak menghendaki hal itu entah
karena engkau menganggap dapat mengatasinya sendiri.
Entah karena engkau tak ingin rahasia itu diketahui orang atau
entah karena engkau masih mempunyai setitik rasa ketidak
kepercayaan kepada diriku, akupun takkan memaksa," kata
orang itu pula demi melihat keragu-raguan pada sikap dan
kerut wajah Dipa. Laksana awan berarak-arak lenyap tertiup angin,
demikianlah kerut wajah Dipa yang mengeriput keraguan itu
segera beriak riak lenyap. "Ya, memang aku hendak berusaha
mempengaruhi raden Aditya supaya bertindak bijaksana dalam
soal itu." "Maksudmu hendak memintanya membatalkan perintah
itu?" Dipa gelengkan kepala, "Ah, tak sejauh itu".
"Lalu?" desak orang itu pula.
"Suatu langkah yang dapat menyelamatkan kepentingan
kedua belah fihak. Sang ratu puas, yang akan dibunuhpun
selamat." "Ah, hebat sekali" seru orang itu memuji, "apabila pangeran
Aditya mau menerima saranmu. Bukankah rencanamu akan
meminta pangeran Aditya supaya menyelamatkan Salupi dan
puteranya dengan mengganti lain orang sebagai korban?"
Dipa termangu agak kejut. Tetapi sebelum ia sempat
mengembangkan pikirannya, orang itupun sudah menyusuli,
"Memang banyak cara untuk melaksanakan rencana serupa
itu. Diantaranya yang paling baik yalah suruh Salupi melarikan
diri, sebagai gantinya dicarikan korban lain, manusia atau
binatang." "Binatang?" Dipa mengulang agak kaget.
Orang itu tertawa datar. "Ya, yang penting yalah darah.
Asal membawa pakaian Salupi yang berlumuran darah
kehadapan gusti ratu, tentulah gusti ratu akan percaya.
Bukankah pangeran Adityawarman itu masih kemanakan
dengan gusti ratu" Dalam anggapan gusti ratu, tak mungkin
pangeran Aditya akan menghianatinya."
Diam-diam Dipa memuji dalam hati akan kecerdasan orang
itu. Dan meluaplah rasa girang dalam hatinya karena orang itu
bukan dari fihak musuh melainkan warga Gajah Kencana.
Rupanya perobahan wajah Dipa itu tak luput dari pengawasan
orang itu. "Dipa," katanya "baiklah kita sudahi pembicaraan
kita sampai di sini. Silahkan engkau lanjutkan langkahmu.
Akupun segera akan mengatur langkah-langkah pengamanan
seperlunya." Demikian keduanya segera berpisah. Oleh karena sudah
mendapat petunjuk dari orang itu, maka dapatlah Dipa
langsung tiba di gedung kediaman pangeran Adityawarman.
Seorang penjaga pintu segera menegur dan menanyakan
keperluannya. "Utusan dari gusti Rani Kahuripan?" penjaga itu
membelalak, memandang lekat2 ketika Dipa memberi
keterangan maksud kedatangannya. Beberapa jenak
kemudian, penjaga itupun berkata, "Hari sudah malam baiklah
engkau kembali besok pagi saja"
Dipa terkejut, agak gelisah. Betapapun ia harus dapat
menemui pangeran Aditya. "Tetapi aku membawa berita
penting dari gusti Rani kepada pangeran Aditya."
"Kalau begitu" kata penjaga pintu dengan nada santai,
"kasih tahu saja kepadaku, nanti tentu kulaporkan kepada
pangeran" "Tidak!" seru Dipa agak mengkal "berita ini harus diterima
pangeran sendiri. Tolong engkau laporkan kepada pangeran."
"Kemana?" penjaga picingkan mata.
"Kawan" kata Dipa bertekan nada, "aku prajurit, engkaupun
prajurit. Mengapa engkau tak mau menolong keperluan
sesama kawan prajurit?"
"Maksudmu?" "Jangan berolok-olok kepadaku. Aku sedang melakukan
tugas penting," kata Dipa.
Tenang2 saja prajurit penjaga pintu itu menjawab, "Siapa
yang berolok olok kepadamu" Engkau suruh aku melapor
kepada pangeran. Lalu kutanya, kemana aku harus
menghadap pangeran Aditya ..."
"Sudah tentu ke dalam gedung kediamannya ini."
"Tak perlu engkau katakan aku tentu sudah bertindak
begitu, apabila pangeran ada."
"Apa katamu?" dirumah?" ulang Dipa "pangeran Aditya tiada Penjaga itu tertawa. "Kemanakah pangeran?" tanya Dipa. Penjaga pintu itu
mengangkat bahu, "Aku hanya seorang penjaga pintu.
Masakan pangeran kepadaku?" sudi memberitahu kepergiannya Dipa menghela napas kecewa. Ia tak ingin tarik urat dengan
penjaga itu. Segera ia ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba ia mendengar penjaga itu
tertawa mengikik. Tawa yang dalam pendengaran Dipa saat
itu seperti suara burung kukukbeluk menusuk-nusuk
keseraman. Dipa berhenti lalu berputar tubuh menghampiri ke
tempat penjaga pula. "Engkau bohong! Tak mungkin pada malam
pangeran ke luar rumah."
begini, "Eh, mengapa tiba-tiba engkau menuduh aku bohong?"
penjaga itu membeliak. "Karena tawamu macam tawa kukukbeluk" Penjaga itu
makin heran. "Apa makna tawa kukuk-beluk itu?"
"Artinya macam tikus menangisi kucing mati. Demikian
burung kukukbeluk menangisi mayat yang dikubur, demikian
pula engkau dengan tawamu."
Penjaga itu merah mukanya, "Eh, ki sanak, seharusnya
engkau sudah bersyukur bahwa aku Yama hari ini sedang
memiliki selera baik untuk bercakap-cakap dengan engkau.
Biasanya orang tentu merintih-rintih dan terbirit-birit lari
apabila berhadapan dengan Yama. Maka sebelum darah
kepalaku naik, baiklah engkau pergi dan kembali saja besok
hari" "Ki Yama" seru Dipa "engkau memang seorang penjaga
yang baik tetapi seorang pengalasan yang buruk."
"Hah?"mata Yama membelalak "apa katamu?"
"Engkau seorang penjaga yang setya. Tetapi kesetyaanmu
itu hanya pada gedung ini bukan kepada tuanmu. Karena
engkau tak mau menyampaikan berita penting yang berguna
kepada raden Aditya. Engkau menghias keburukanmu dengan
mengatakan raden Aditya tak ada di dalam kediamannya."
"Bedebah, engkau berani menghina Yama," tiba-tiba
prajurit penjaga pintu itu segera maju dan memukul Dipa.
Dipa menghindar. Penjaga itu makin bernafsu. Kedua tangan
dan kaki silih berganti memukul dan menendang. Rupanya ia
ingin membuktikan kata-katanya bahwa setiap orang yang
berani berhadapan dengan dia tentu akan merintih rintih minta
ampun. Dipa agak sulit menentukan langkah. Ia tahu bahwa apabila
ia menggunakan kekerasan dan berhasil merubuhkan Yama, ia
tak enak hati kepada Adityawarman. Maka ia memutuskan
untuk memeras tenaga penjaga itu supaya habis dan lemas
sendiri. Demikian di halaman muka gedung keiiaman raden
Adityawarman telah berlangsung perkelahian yang seru antara
penjaga pintu Yama lawan Dipa. Apa yang diperhitungkan
Dipa memang hampir mendekati kenyataan. Yama tampak
mulai terengah engah napasnya. Memang gerak serangannya
masih gencar dan seru tetapi hal itu jelas suatu pemaksaan
yang segera akan mengakibatkan keruntuhannya belaka.
"Mampus engkau babi" tiba-tiba Yama mengaum ketika
melihat suatu kesempatan terbuka pada dada Dipa. Peluang
itu cepat diisinya dengan menggerakkan kedua tinjunya,
serempak menghunjam dada Dipa dengan sekuat tenaga, "Uh
..." jeritnya tersekat ketika sasaran yang sudah tersentuh
dengan tinju itu tiba-tiba lenyap sehingga ia terlanjur maju ke
muka. Pukulan yang tepat mengenai sasaran, terasa enak dan
puas. Sekalipun sasaran itu benda keras yang memberi rasa
sakit pada tulang tinju. Beda halnya dengan pukulan yang
luput, yang menerpa angin kosong. Menimbulkan rasa kejut
dan rasa sakit pada perasaan hati. Demikian yang diderita
Yama ketika kedua tinjunya menghantam tempat kosong.
Tubuhnya menjorok ke muka dan lebih sial pula ketika Dipa
menggerakkan ujung kakinya untuk mengait kaki Yama.
Penjaga itu terhuyung seperti burung seriti yang menukik ke
bawah laut .... Pada saat kedua tangannya hampir menyentuh tanah tibatiba sesosok tubuh loncat menyauggapinya, "Yama, mengapa
engkau" seru pendatang itu.
Yama memperbaiki tegak kakinya lalu memandang
penolong itu, "Ah, raden ..." tersipu sipu ia berjongkok
memberi sembah kepada pendatang itu yang bukan lain
adalah raden Adityawarman.
"Mengapa engkau?" Adityawarman mengulang tegurannya.
Sambil menunjuk ke arah Dipa yang tegak pada jarak dua
tombak jauhnya, Yama berkata, "Dia berkeras hendak masuk
ke dalam gedung." Adityawarman berpaling, "Engkau sia .... hai, Dipa!" tibatiba ia berteriak kaget ketika melihat Dipa.
Serta merta Dipa pun menghampiri dan berjongkok
memberi hormat "Benar, raden. Hamba Dipa."
"Apakah maksud kedatanganmu kemari" Apa engkau
hendak kembali besok pagi?" tanya Aditya.
"Tidak raden. Hamba mempunyai suatu keperluan lain
kepada raden." "O, baiklah. Mari ikut aku masuk ke dalam" kata Aditya
seraya mendahului melangkah masuk.
Dipa tak lekas2 mengikuti melainkan lebih dahulu
menghampiri Yama yang masih tegak terlongong-longong
karena menyaksikan betapa akrab hubungan tuannya dengan
Dipa. "Maaf, ki Yama, atas tingkahku yang tak tahu adat.
Engkau seorang jujur" setelah memberi hormat tanpa
menunggu Yama memberi pernyataan, Dipa terus menyusul
masuk ke dalam gedung. "Dipa, tentulah engkau membawa urusan penting sehingga
memerlukan datang ke mari" Adityawarman memulai
pembicaraan setelah berada dalam ruang belakang.
"Demikianlah raden" kata Dipa, "semoga
melapangkan maaf atas kelancangan hamba ini."
raden "Aku kenal padamu sejak berada di Kahuripan. Tiada
tingkahmu yang tercela, tiada pernah pula kudengar tentang
celaan yang terlontar pada namamu. Dan engkaupun tentu
tahu bagaimana sikapku kepadamu, Dipa. Mengapa engkau
berulah seperti seorang baru?" tegur Adityawarman.
"Terima kasih, raden" kembali Dipa mengunjuk hormat,
"sesungguhnya urusan itu bukan menyangkut kepentingan
hamba, namun hamba ikut perihatin atas peristiwa itu."
Adityawarman kerutkan dahi, "Eh, Dipa, jangan menjual
kucing dalam karung. Katakanlah terus terang tentang
persoalan yang hendak engkau unjukkan kepadaku itu."
Namun Dipa tetap mengekang nafsu dan membatasi diri
dengan ucapan2 yang tersusun. "Ketika hamba berkunjung ke
rumah ki demang Surya, hamba terkejut mendapatkan
demang sepuh itu sedang bermuram durja menangis duka.
Namun ketika hamba desak, ki demang tetap tak mau
memberi keterangan apakah yang menyebabkan kesedihannya
itu." "O," desuh Adityawjrman "lalu ?"
"Melalui pembicaraan yang panjang dan berjerih payah,
akhirnya ki demang mau juga membagi kedukaannya kepada
hamba. Namun itupun masih membingungkan pikiran hamba."
Adityawarman benar2 seperti diselubungi kabut mendengar
kata2 Dipa yang masih samar2 itu. "Dipa, apa yang demang
Surya katakan kepadamu?"
"Ki demang mengatakan bahwa bila hamba ingin
mengetahui kedukaan hatinya, supaya menghadap kepada
raden di sini." "Oh ..." Adityawarman mendesuh serasa orang terlepas dari
kesesakan napas yang menghimpit dada. Tetapi sesaat
kemudian tiba-tiba pangeran itu mengerut dahi, "aneh ..."
Dipa tahu apa yang dirasakan oleh pangeran itu namun
tetap ia bertanya, "Apakah yang raden anggap aneh itu?"
Adityawarman tak lekas menjawab. Ia masih merenung.
Beberapa saat kemudian kerut dahinya mulai bertebaran datar
pula. "Lalu bagaimana tanggapanmu setelah mendengar
ucapan ki demang itu?"
Dipa menyadari bahwa raden itu memang seorang yang
penuh pengalaman. Dapat menghadapi sesuatu keadaan yang
bagaimanapun sifatnya, dengan tenang. "Hamba mohon
petunjuk kepadanya, apa yang harus hamba persembahkan
kepada raden. Dan ki demang hanya menjawab singkat bahwa
ia menyerahkan segala-galanya di tangan raden."
"O" Adityawarman mengulum desuh, "mengapa ki demang
bersikap begitu?" "Karena ki demang menaruh kepercayaan penuh atas
kebijaksanaan raden ..."
Adityawarwan berdiam diri dalam renungan yang dalam.
Seolah olah getar2 renungan itu mengalun jauh sampai ke
dasar laut sanubarinya. Menyiak tiap serabut halus alam
bawah sadar. Kemudian merayap halus dan pelahan,
menembus alam Cakram Ana Hata dipusat peredaran darah
dan berhamburan menuju ke titik alam kesadaran pikiran ....
"Dipa" akhirnya meluncurlah ucapan dari mulut pangeran
itu, "betapalah ingin aku bertukar tempat dengan ki demang.
Karena aku

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar kehilangan faham untuk menyelesaikan hal itu."
"Ah, raden mengharap hal yang tak mungkin. Dan
andaikata mungkin, tentulah demang yang sudah lanjut usia
itu tak dapat berbuat suatu apa."
Adityawarman mengangguk. Kemudian ia menatap Dipa.
"Dipa, andai kemungkinan itu terjadi pada dirimu, artinya,
apabila engkau mengganti tempatku saat ini, dapatkah engkau
menyelesaikan soal itu dengan tenang?"
"Kesempatan" telah terbentang bagi Dipa. Namun ia tak mau
diburu keinginan hatinya. Masih ia menempatkan diri sebagai
orang yang seolah berada di luar garis persoalan antara
demang Surya dengan raden Adityawarman, "raden,
bagaimana mungkin hamba dapat memecahkan persoalan itu
apabila hamba tak tahu soal apa yang harus hamba pecahkan
itu." Sejenak terdiam maka akhirnya Adityawarman memutuskan
untuk memberitahu kepada Dipa tentang titah ratu Indreswari
untuk melenyapkan Indu dan puteranya. Walaupun sudah
mengetahui hal itu, namun tiap saat mendengar pembicaraan
mengenai diri Indu, darah Dipa selalu tersirap, hatinya
menggigil. "Demikianlah Dipa, sumber dari kedukaan hati
demang tua itu dan mengapa pula ia menyuruh engkau
menghadap aku dan menyerahkan persoalan itu kepadaku.
Dalam hal itu, memang sudah kurangkai beberapa jalan untuk
memecahkannya tetapi belum juga bersua ..."
"Raden......." tiba-tiba
tetapi selintas pikir, Adityawarman sudah "Bagaimana, Dipa?" tegur
Dipa hendak mengadakan sesuatu
ia hentikan ucapannya. Tetapi
terlanjur memberi perhatian. pangeran itu. Dipa tersipu mengunjuk sembah, "Sebelumnya hamba
mohon maaf, sekira ucapan yang hamba persembahkan ini
suatu kelancangan yang menyinggung perasaan raden."
"Sudahlah Dipa, jangan banyak peradatan!"
"Raden" Dipa mulai kata2 "dahulu semasa kecil, hamba
pernah mendengar cerita orang tua di desa tentang seorang
raja yang menitahkan patih untuk membunuh permaisuri
baginda. Baginda percaya pada keterangan seorang selirnya
bahwa tuan puteri bertindak tak setya. Tetapi patih itu
seorang bijaksana ..."
Demikian Dipa mengulang apa yang diceritakan demang
Surya. Hanya cerita itu seolah-olah dia yang menuturkan
bukan dari demang Surya. "Dipa!" serentak Adityawarman berteriak keras sesaat Dipa
menyudahi ceritanya "ah, terlambat ...."
Dipa terkejut "Bagaimana raden?"
"Pagi tadi ra Kembar berkunjung kemari. Dia seorang
menteri berpangkat tumenggung yang besar pengaruhnya di
pura kerajaan. Dan rupanya
kepercayaan ratu Indreswari"
pula ia menjadi orang "O" Dipa mendesuh risau.
"Rupanya ia tahu juga bahwa aku dipanggil menghadap
gusti ratu di keraton. Ia menyatakan bersedia membantu
apabila aku mempunyai kesulitan. Maka karena aku sendiri tak
sampai hati melaksanakan titah sang ratu, kuserahkan
persoalan itu kepada ra Kembar. Dengan serta merta ia
menerima tugas itu ......."
"Oh ..." Dipa berteriak kaget "dan ....... dan tentulah ra
Kembar sudah berangkat?"
"Ya, pagi tadi dia sudah berangkat"
Kejut Dipa lebih dari mendengar halilintar meletus di terang
hari. "Raden, hamba mohon diri ..." serentak ia teras bergegas
keluar dengan langkah setengah berlari.
Adityawarman termangu. Sesaat kemudian ia memburu
keluar tetapi ternyata Dipa sudah tak tampak. Pangeran itu
menghela napas ....... Dipa pesatkan langkah. Ia ingin cepat2 menemui demang
Surya dan malam itu juga ia ingin berangkat untuk mejelajah
bahaya yang mengancam Indu. Cepat sekali ia sudah tiba di
ujung akhir lorong lalu membiluk ke lorong yang menuju ke
tempat kediaman demang Surya.
"Ah ......." tiba-tiba ia hentikan langkah ketika teringat
sesuatu "tetapi kemanakah aku harus mengejar jejak ra
Kembar ..." dan serentak timbullah penyesalan "mengapa tak
kutanyakan hal itu kepada raden Aditya" Dia tentu tahu
dimana letak desa tempat Indu bermukim" Ya, benar ... "ia
terus berputar tubuh, kembali hendak menuju ke gedung
kediaman Adityawarman. Baru beberapa langkah, ia terkejut melihat sesosok tubuh
bergerak-gerak dengan cepat, menyelinap dari satu ke lain
tempat yang gelap. Cepat ia mengejarnya. Orang itupun
rupanya mengetahui jejaknya telah diketahui Dipa. Ia makin
mempercepat larinya. Demikian setelah melintas beberapa
lorong dan melingkar lingkar di antara gunduk2 bangunan
gedung, akhirnya Dipa dapat mengejar orang itu di luar
lingkungan keraton. Rupanya orang itu tahu kalau dikejar dan sengaja ia
menuju ke sebuah tempat di luar keraton lalu menyusup ke
dalam sebuah semak pohon.
Dipa terkejut dan berhenti di dekat semak itu. Ia tak mau
menerobos karena berbahaya. Musuh sudah siap dan ia tak
tahu tempatnya yang tepat. Sesaat kemudian setelah
menunggu tak melihat suatu gerakan apa2, iapun mulai maju,
menyiak semak-semak, ranting dan berseru, "Hai, hayo
keluar!" Karena tiada jawaban dan gerak suatu apa, Dipa menerjang
masuk. Tetapi ia tak menemukan orang itu. Orang itu
bagaikan lenyap ditelan semak. "Aneh" gumamnya. Tiba-tiba
suatu perabaan seram merayapi hatinya. Makin lama makin
keras, mengguncangkan debur jantungnya dan meregangkan
bulu tengkuknya, "Setan ....?"
Perasaan seram itu sesaat telah menguasai hatinya dan
serentak iapun loncat keluar dari gerumbul, "Ah........." ia
mendesah kejut ketika melihat seseorang berdiri sambil
berteliku tangan ke dada, mengawasi tingkah lakunya. Dan
jelas, orang yang berdiri terpisah lima enam langkah dari
tempatnya itu bukan lain yalah orang yang dikejarnya itu.
"Engkau ..." seru Dipa agak terkejut karena diam-diam ia
merasa kagum atas kelicinan orang bergerak melepaskan diri
dari intaiannya. "Ya, siapa engkau" Mengapa engkau memburu aku?" tegur
orang itu dalam nada tak puas.
Dipa menyadari bahwa yang dihadapannya itu tentu
seorang yang berilmu. Ia meningkatkan kesiagaan, sahutnya
"Aku seorang prajurit keraton yang tengah meronda. Malam
hari engkau berani masuk ke dalam lingkungan puri keraton,
lekas engkau serahkan dirimu"
Orang itu tertawa mengejek "Huh, aku tahu bagaimana
dandanan pasukan bhayangkara puri Tikta Sripala, tetapi tak
ada seorang pun yang seperti dirimu! Engkau minta aku
menyerahkan diri atau engkau yang hendak serahkan diri."
Dipa terkesiap. Jelas orang itu tentulah salah seorang
anggauta prajurit Majapahit. Sekurang-kurangnya seseorang
yang sudah biasa keluar masuk dalam keraton. Namun karena
sudah terlanjur memberi keterangan sebagai prajurit
Majapahit, Dipa tetap berpegang kukuh. "Maling biasanya suka
berteriak maling. Karena jejakmu ketahuan maka engkau
menuduh aku bukan prajurit keraton. Lekas serahkan diri
sebelum aku bertindak dengan kekerasan."
Orang itu tertawa. menangkap aku." "Silahkan kalau engkau mampu Dipa agak terpengaruh oleh ketenangan orang itu. Makin
besar rasa ingin tahunya, siapakah dia. Namun dengan
pertanyaan kata, terang orang itu tentu tak mau mengaku.
Caranya hanya memakai kekerasan. "Hm, engkau memang
keras kepala" serunya seraya loncat menyergap. Tetapi orang
itu amat gesit. Sergapan Dipa hanya menemukan tempat
kosong. Setelah dua tiga kali tak berhasil, Dipa segera
merobah gaya serangannya. Ia memperketat serangan
dengan pukulan yang gencar.
Rupanya orang itu mulai sibuk dan makin mulai kewalahan.
Beberapa kali ia nyaris menderita pukulan Dipa. Semula ia
bermaksud hendak mengetahui kepandaian Dipa. Setelah itu
baru ia akan bertindak mengatasinya. Tetapi setelah Dipa
melancarkan serangan yang deras, orang itupun terkejut.
Jangankan berangan angan hendak balas menyerang, bahkan
untuk bertahan diri dari pukulan2 yang berbahaya itu, ia harus
mencurahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya.
Tiba-tiba orang itu memperhatikan Dipa menggerakkan kaki
kanannya untuk menyapu kakinya. Diam-diam ia memperoleh
pikiran untuk melepaskan diri dari serangan lawan yang
mengurungnya rapat itu. Dibiarkannya kakinya disapu Dipa.
Bahkan ia bersikap seperti tak mengetahui hal itu. Selekas kaki
Dipa menyentuh kakinya, orang itupun berteriak kaget dan
dalam gaya seperti orang rubuh ke belakang, ia membuang
tubuhnya ke belakang, berjumpalitan dan tegak berdiri tujuh
langkah jauhnya. Dipa terkesiap. Segera ia hendak loncat menerjang lagi
tetapi tiba-tiba orang itu menggerakkan kedua tangannya
dalam sikap siap menghantam.
"Hai ....... !" Dipa menjerit kaget dan hentikan langkah
dengan serentak, "engkau .... engkau ..."
"Apa maksudmu?" tegur orang itu.
"Rajah Kalacakra!" sahut Dipa. Dan orang itupun terkejut
lalu cepat2 menurunkan tangannya.
"Siapa engkau?"
"Dipa, prajurit Kahuripan"
"Siapa Dipa itu?"
"Aneh" Dipa mendengus
heran, "mengapa engkau tak
kenal aku?" "Hm, nama itu belum pernah kudengar." Dipa
terkesiap. Padahal menurut
anggauta Gajah Kencana yang tadi, kedatangannya di
pura Majapahit itu sudah diketahui mereka. Sesaat ia
agak bingung, kemudian ia
berusaha mengajukan pertanyaan lagi. "Kenalkah
engkau pada brahmana Anuraga?" "Anuraga?"orang itu gelengkan kepala.
Dipa makin heran. A dakah penilaiannya terhadap diri orang
itu salah" Mengapa orang itu tak kenal pada brahmana
Anuraga. Namun jelas sikap tangan yang diperlihatkan orang
itu adalah sikap pembukaan dari ilmu pukulan Rajah
Kalacakra. "Apa maksudmu berhenti menyerang, menyerukan ilmu
Rajah Kalacakra, menyebut nyebut nama Anuraga."
Karena terdesak oleh pertanyaan itu, Dipa berkata dalam
nada agak beranjak keras, "Bukankah itu sudah jelas" Perlu
kujelaskan lagi?" "Ya, aku ingin mendengar sendiri"
"Pembukaan sikap ilmu pukulan Rajah Kalacakra itu
merupakan ciri pengenal dari seorang warga Gajah Kencana
..." "Cukup!" cepat orang itu menukas, "dan siapa engkau?"
katanya dengan nada bengis. Matanya berkilat2 mencurah
kepada Dipa dengan pandang kecurigaan. Suatu hal yang
berlawanan dengan apa yang disangka Dipa. Setelah memberi
keterangan, semula Dipa menyangka, orang itu tentu akan
bersikap bersahabat kepadanya. Tetapi di luar dugaan, malah
sikapnya makin memberingas dan meregang curiga.
"Dipa" sahut anak itu "waktu kecil terkenal dengan nama
Gajah dan setelah menjadi prajurit Kahuripan diberi nama
Kerta Dipa oleh gusti Rani."
"Bagaimana engkau dapat mengetahui makna daripada ilmu
pukulan?" tanya pula orang itu dalam nada masih tegang.
Terbawa oleh arus ketegangan maka meluncurlah kata2
dari mulut Dipa, "Eyang Wungkuk yang memberitahukan
kepadaku!" Orang itu terbeliak lalu berobahlah cahaya airmukanya,
"Engkau ....... engkau ....... pernah bertemu dengan eyang ..."
"Hm" dengus Dipa "mungkin engkau tak percaya. Tetapi tak
apalah. Aku bersedia untuk mempertanggung jawabkan
kesemua itu!" Di luar dugaan sikap dan nada orang itupun meluncur
dalam keadaan yang cerah ramah penuh pancaran
persahabatan. "Nama eyang cukup menjamin kepercayaanku.
Lebih dari ilmu pukulan itu" katanya "engkau tentu tak puas
atas sikap yang kuperlihatkan kepadamu. Tetapi tempat dan
suasana, mengharuskan aku demikian. Tak mudah percaya
pada setiap orang yang mengaku-aku."
Dipa mengangguk, "Ya, memang demikian seharusnya.
Tetapi kuheran, adakah semua sahabat anak asuhan eyang itu
sedemikian juga sikapnya ?"
"Ya,"

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh, mengapa tadi ada seorang sahabat yang cepat
sekali percaya kepadaku setelah kusebut nama ilmu pukulan
yang diunjukkan ketika berkelahi dengan aku?"
"Ha?" orang itu terbeliak, "adakah sebelum engkau
berjumpa dengan aku, ada pula seorang warga golonganku
yang menemui engkau?"
Dipa mengiakan. "O," desuh orang itu lalu merenung diam. Beberapa saat
kemudian tiba-tiba ia meminta, "engkau mengatakan bahwa
dia mengunjukkan sikap pembukaan ilmu pukulan Rajah
Kalacakra. Apa engkau tak khilaf melihat?"
"Ah, bagaimana mungkin aku salah" kata Dipa agak
mengkal "bukankah akupun dapat mengenali sikap
pembukaan yang engkau perlihatkan tadi ?"
"Tetapi" kata orang itu kerutkan kening, "cobalah engkau
tirukan bagaimana sikap gerakan orang itu tadi?"
Dipa hampir menolak. Ia merasa tersinggung karena tak
dipercaya. Tetapi mengingat bahwa yang dihadapinya itu
seorang warga Gajah Kencana, terpaksa ia harus menekan
perasaannya. "Adakah kelainan sikap pembukaan ilmu dari
seorang dengan seorang lain ?"
"Justeru itulah yang akan kunilai" kata orang itu pula.
Dengan menahan kemengkalan hatinya, Dipa pun segera
menirukan sikap pembukaan pukulan Rajah Kalacakra seperti
yang diunjukkan oleh orang tadi.
"Salah!" tiba-tiba orang itu berteriak kaget.
"Apa ?" Dipa pun setengah memekik "adakah ini tak sama
seperti yang engkau lakukan tadi ?"
Wajah orang itu tampak meregang "Tidak! Tidak sama.
Memang kalau tak hati2, tentu mudah terkecoh oleh gaya
yang hampir bersamaan itu"
"Dimana letak ketidak-samaan itu?" Dipa makin tegang.
"Sikap mengangkat tangan kanan ke atas kepala dan
tangan kiri mendatar di muka dada, memang termasuk gerak
aji pukulan Rajah Kalacakra. Tetapi sikap itu adalah gerak
penutupannya. Sedang gerak pembukaan ilmu pukulan itu,
yalah terbalik. Tangan kiri yang diangkat dan tangan kanan
yang melindungi dada. Dan ini merupakan bahasa untuk
pengenal diri dari setiap warga kami"
"Oh ...." Dipa mendesuh "tetapi bukankah gerak itu berasal
dari satu sumber. Mungkin karena lalai atau gugup, dia bukan
mengunjukkan sikap pembukaan, melainkan gerak penutupannya" "Tidak !" seru orang itu tegas "masih ada kelainan dari cara
meliukkan jari tangan. Bukan telunjuk jari berlingkar dengan
ibu jari tetapi hanya ibu jari yang agak ditekuk ke bawah,
keempat jari melekat tegak kencang seperti begini....." orang
itu segera menunjukkan contoh dengan tangan kanannya.
"Oh ..." kembali Dipa mendesuh kaget "kalau begitu.......
orang itu tentu bukan anggauta Gajah ...."
"Jelas bukan !" tukas orang itu serentak "lalu apa
keperluannya dia menemui engkau ?"
Karena merasa telah melakukan kekhilafan, Dipa pun lalu
menuturkan apa yang dibicarakan dengan orang tadi.
"Celaka!" seru orang itu menggeram "engkau tertipu siasat
orang. Dengan pengetahuan yang engkau berikan itu, dia
tentu akan mendahului engkau untuk membunuh nyi Salupi
dan puteranya." "Ah" Dipa tundukkan kepala, lemas dan lunglai "aku ... aku
membunuh....... Indu......." serasa kepalanya berputar,
pandang matanya berbinar-binar dan tubuhpun berayun-ayun
hendak rubuh..... "Mengapa engkau ?" cepat orang itu menyang-gapi tubuh
Dipa. Diam-diam ia terkejut mengapa mendadak anakmuda itu
gemetar. Memang ia dapat menduga bahwa Dipa tentu marah
dan menyesal karena telah ditipu oleh orang yang mengaku
sebagai warga Gajah Kencana. Tetapi ia tak dapat
membayangkan bagaimana hubungan Dipa dengan Indu.
"Adakah keteranganmu itu benar?" sesaat kemudian setelah
mendapat kembali ketenangan hati, Dipa menegas.
"Mengapa aku harus berbohong?"
"Hm, dengan begitu, diantara golongan Gajah Kencana
telah diselundupi mata2 musuh. Adakah engkau tak pernah
menyadari hal itu?" Orang itu terkesiap. Rupanya ucapan Dipa itu termakan
dalam hatinya "rupanya telah terjadi perembesan atau
mungkin....." "Mungkin bagaimana?" tanya Dipa.
"Mungkin penghianat. Ada anggauta kami yang berhianat,
hm" dengus orang itu "memang golongan lain telah berusaha
keras untuk mendapatkan keterangan dan rahasia dari
parsekutuan Gajah Kencana. Tentulah mereka menggunakan
segala macam daya termasuk gemerincingnya dinar emas
untuk memikat anggauta kita."
Dipa terdiam. Rupanya ia ikut perhatian. Nyata bukan
melainkan ia saja yang telah menderita kerugian dari pada
penyiasatan itu, pun tanpa diduga-duga, Gajah Kencana juga
menderita. Diam-diam Dipa agak terhibur. Walaupun ia
menderita, tetapi pederitaan itu telah menghasilkan
diketemukannya suatu lubang bahaya dalam tubuh Gajah
Kencana. Lubang yang merupakan pecahnya kesetyaan
seorang anggauta karena berhianat.
"Hm" orang itu mendesuh "akan kulaporkan hal iri kepada
pucuk pimpinan agar segera diadakan perobahan pada sandi
pengenal kita" Sebenarnya Dipa ingin sekali hendak mengatakan bahwa ia
ingin mendapat keterangan, tentang perobahan itu. Namun
pada lain kilas, ia terpaksa menahan hati agar tak
menimbulkan kecurigaan orang.
"Apabila ada perobahan, kelak engkaupun tentu akan
diberitahu" rupanya orang itu dapat menyelidik kesan pada
kerut wajah Dipa. Kemudian ia menerangkan pula.
"Sebenarnya aku sedang berusaha untuk menyelidiki gedung
kediaman ra Kuti. Kudengar malam ini Dharmaputera sedang
mengadakan rapat untuk membahas keadaan dalam puri
Tikta-Sripala" "Adakah menyangkut soal titah gusti ratu itu?"
"Diantaranya memang soal itu" kata orang itu pula "tetapi
tentu masih ada lain soal yang penting lagi. Mungkin tentang
berita dari Lumajang."
"Lalu sudahkah dika memperoleh hasil?" tanya Dipa tak
sadar. Orang itu menghela napas "Ah, sayang. Karena aku harus
berada di sini terpaksa penyelidikan itu terhalang"
Dipa tersipu-sipu merah mukanya. Ia merasa kalau
menghalangi gerakan penyelidikan itu. "Maaf, aku tak sengaja.
Apabila hendak ke sana, silahkan dika segera pergi"
"Terlambat" kata orang itu "biarlah. Tetapi dengan
pertemuan ini aku pun telah mendapat suatu hasil yang
berguna. Yaitu tentang tumbuhnya penghianat dalam tubuh
persekutuan kita." Sejenak terdiam, Dipa mengajukan pertanyaan, "Siapakah
ra Kembar itu?" "Dia putera raja Pamelekahan yang bekerja pada kerajaan
Majapahit dan berpangkat sebagai mentri ara-raman.
Pengaruhnya cukup besar di kalangan prajurit dan tamtama.
Seorang yang mulai menjulang dalam gelanggang kericuhan
dalam puri Tikta Sripala. Haus kekuasaan dan angkuh. Dia
mulai giat menyebar bisik-bisik untuk membentuk komplotan."
"Terima kasih" kata Dipa "apabila tak ada lain keperluan,
aku terpaksa harus mohon diri untuk menemui ki demang
Surya dan mengatur langkah mengejar ra Kembar."
Tiba di kediaman demang Surya, haripun hampir terang
tanah. Dua kali bertemu dengan dua orang melalui dua kali
pula pertempuran dan mendapat dua macan "pengalaman dari
pengenal anggauta Gajah Kencana yang beda satu sama lain,
telah menghabiskan waktu Dipa. Dan yang paling
menghunjam perasaan hatinya yalah keterangan dari
pangeran Adityawatman bahwa titah ratu Indreswari itu telah
diterimakan kepada mentri ara-raman ra Kembar untuk
melaksanakannya. "Eyang ...." sebelum kaki melangkah masuk ke dalam
rumah, Dipa pun sudah berseru tegang. Namun cepat ia
menyadari kesalahan langkahnya. Demang Surya pasti akan
lebih besar lagi rasa kejutnya apabila mendengar berita itu.
Dan demang itu sudah berusia lanjut. Suatu goncangan batin,
akan dapat membahayakan jiwanya. Maka buru2 Dipa
tenangkan hati dan mengatur langkah kakinya, "Eyang ...." ia
mengulang seruannya dengan nada tenang.
"Ki demang sudah berangkat" tiba-tiba terdengar sebuah
suara dan muncullah seorang dari pintu samping. Seorang
bujang setengah tua. Dipa terbeliak "Apa?"
"Lebih kurang dua jam yang lalu, ki demang bersama
seorang lelaki bertubuh tegap, telah berangkat dengan
mengendarai kuda" "Siapakah lelaki itu?" Dipa makin tegang.
"Entah" bujang itu gelengkan kepala "hanya ki demang
memang meninggalkan pesan, apabila tuan pulang supaya
lekas menyusul ke utara"
"Oh" desuh Dipa memandang bujang tua itu lekat2 "apa
kata ki demang lebih lanjut ?"
Bujang tua itu gelengkan meninggalkan pesan apa2 lagi"
kepala. "Hanya itu, tak "Baik, jagalah rumah ini baik2" Dipa terus berputar tubuh
dan ayunkan langkah. Tiba-tiba di ambang pintu, ia berhenti
dan berpaling pula. "Paman, dari sini menuju ke selatan, desa
manakah yang akan kita capai?"
"Ada dua jurusan" kata bujang itu "yang ke timur selatan
melalui Sima, Rabut Carat, Kapunjungan, Kedungpeluk terus
ke Singasari. Yang ke barat selatan akan tiba di Bekel, Bajralaksmi, Jukung, Palah, Pola-mau dan Daha, Lawang Wentar,
Blitar Jimbe, Lodaya, Simping....."
"O, rupanya paman faham tempat2 di telatah Majapahit Singasari dan Daha" kata Dipa.
"Ah, begitulah kegemaranku semasa muda, suka berkelana
jajah praja milang kori"
"Adakah ki demang meninggalkan pesan yang lebih jelas ke
arah mana beliau akan menuju?" tanya Dipa pula.
"O, ya benar" kata bujang tua itu "ki demang
menambahkan bahwa jalan yang akan ditempuh itu menuju
ke Daha, mungkin Blitar Jimbe."
Dipa mengeluh dalam hati. Peijalanan begitu jauh. Ia tak
mempunyai kuda dan seorang diri. Dapatkah ia menyusul
demang Surya" Dipandangnya bujang tua itu dengan pandang
menuntut suatu keterangan ataupun saran2 yang perlu.
Namun wajah bujang itu menampil kehampaan, kosong dari
sesuatu yang dibutuhkan. Dipa segera berangkat.
Pagi masih sunyi terbungkus kabut dingin. Semalam suntuk
tak tidur dan habis melakukan dua kali pertempuran dengan
dua orang yang mengaku sebagai warga Gajah Kencana.
Tetapi rasa kantuk dan letih itu bagaikan tak terasa sama
sekali karena ketegangan yang berkecamuk dalam hati Dipa.
Banyak hal yang menyebabkan ia merasa ikut bertanggung
jawab atas peristiwa yang akan menimpah diri Indu. Dan yang
paling berat ia merasa telah menggagalkan usaha demang
Surya untuk mempengaruhi pangeran Adityawarman. Secara
tak langsung pula, seolah olah ia membantu kepada mereka
yang hendak melakukan pembunuhan terhadap diri Indu. Ah
....... Namun apapun yang akan terjadi, bulat sudah tekad Dipa
untuk menghadapi kesemuanya itu dengan segala akibat. Ia
takkan kembali ke Kahuripan sebelum peristiwa itu selesai.
Oo-dw.kz=mch-oO II DEMANG SURYA terkejut ketika menerima kedatangan
seorang pengalasan dari ra Kuti. Pengalasan itu membawa
berita dari ra Kuti bahwa titah ratu Indreswari yang diberikan
kepada pangeran Adityawarman akan dilaksanakan oleh ra
Kembar. "Ki demang, malam ini juga kita harus berangkat karena
siang tadi ra Kembar sudah mengutus orangnya untuk
berangkat melaksanakan perintah gusti ratu" kata pengalasan
dari Kuti. "Baik" kata demang Surya "tetapi kita sudah terlambat
setengah hari. Bagaimana mungkin kita dapat mengejar
pengalasan ra Kembar?"
"Jangan kuatir" kata pengalasan itu yang memperkenalkan
namanya sebagai Kalkasa, "aku telah membawa dua ekor
kuda tegar yang pesat larinya"
Demang Surya gembira sekali. "Sampaikan kepada ra Kuti,
apabila kali ini kita berhasil menyelamatkan cucuku, demang
Surya akan mengabdi kepada ra Kuti"
"Mari kita berangkat, ki demang" kata Kalkasa.
"Tunggu dulu" kata demang Surya, "apakah tak lebih baik
kita menanti kedatangan cucuku Dipa. Dia hendak ikut serta"
Kalkasa kerutkan dahi. "Kurasa tak perlu, makin cepat kita
berangkat makin besar terjaminnya keselamatan jiwa cucumu.
Ingat ki demang, fihak lain sudah mendahului berangkat. Dan
sampai berapa lama kita harus menunggu kedatangan cucu ki
demang yang bernama Dipa itu ?"
Demang Surya memang hanya dicengkam rasa kegelisahan
memikirkan keselamatan Indu. Kata-kata orang itu memang
dapat diterima. Kemudian ia meninggalkan pesan kepada
bujang tua agar apabila Dipa pulang supaya diberitahukan
arah kepcrgiannya. Demikian malam itu juga demang Surya dan Kalkasa
berangkat menuju ke barat lalu membiluk ke selatan. Diamdiam demang tua itu memperhatikan bahwa perjalanan yang
ditempuhnya itu menuju ke Daha. Namun ia tak menaruh
suatu perasaan apa2. Tujuannya utama yalah menolong Indu
dari rencana maut. Pada hari kedua menjelang petang, mereka tiba di daerah
sebuah gunung. Empat penjuru sunyi senyap, sekeliling alam
sedang bermandikan cahaya kuning lembayung dari surya


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang bersemayam di balik gunung. Margasatwa
beterbangan pulang ke sarang. Alam tengah sibuk menyambut
kehaditan malam. Kedua ekor kuda yang menempuh perjalanan sejak pagi
pun mulai mengunjukkan tanda2 kelesuan. Namun tidak
demikian dengan penunggangnya, terutama demang Surya.
Demang itu bahkan masih merasa bahwa kuda yang lelah
membawanya lari secepat angin masih kurang cepat. Ia ingin
agar kuda itu dapat tumbuh sayap dan terbang bagai burung
jentayu mengejar prabu Rahwanaraja yang melarikan dewi
Shinta. Di sebelah muka, jalan membentuk liku sebuah tikugan.
Bayang-bayang pohon dan batu karang yang menggunduk di
tepi jalan, rebah menebar memenuhi sekeliling jalan.
Menambah keremangan senja petang makin pekat.
"Uh ...."tiba-tiba demang Surya mendesuh keras ketika
kudanya terpelanting menukik kemuka dan mulutnya
menyusur tanah. Demang tua itu seperti dilemparkan kemuka,
jatuh berguling-guling di tanah.
"Hai ..." Kalkasa pun menjerit kaget ketika kudanya juga
menderita nasib seperti kuda ki demang. Hanya masih untung
karena ia sudah melihat kuda ki demang jatuh secara tibatiba, ia pun cepat berjaga jaga. Namun hal itu sudah
terlambat. Karena hanya terpaut sekejab mata jangka
waktunya dengan kuda ki demang kuda Kalkasa pun
terserimpat kakinya dan menjorok jatuh ke tanah. Untung
karena sudah berjaga diri, Kalkasa dapat ayunkan tubuh
melambung ke udara dan melayang turun ke muka.
Tepat pada saat ia berdiri tegak, dari balik sebuah batu
karang yang menggunduk di tepi jalan, berloncatan dua sosok
tubuh ke tempat demang Surya. Kalkasa cepat menyadari apa
yang dihadapi saat itu. Kecurigaannya tadi ternyata memang
beralasan. Ada sesuatu yang tak wajar atas jatuhnya kedua
kuda itu. Dan munculnya kedua orang tak dikenal itu jelas
tentu hendak bermaksud buruk terhadap demang Surya.
"Jahanam, jangan mengganggu orang!" teriak Kalkasa
dikala tubuhnya berayun ke muka ki demang untuk
melindunginya. Kedua orang itu hentikan langkah. Mereka sukar dibedakan
satu dengan kain. kecuali dari perawakannya yang seorang
agak pendek dari yang lain. Pakaian mereka serba hitam,
demikian pula ikat kepala dan robekan kain hitam yang
menutup dari hidung sampai ke bawah dagu.
Orang yang bertubuh lebih tinggi tertawa dingin, "Akan
kulunaskan keinginanmu, setelah kau ketahui siapakah diri
kalian berdua ini!" Kalkasa mendengus, "Hak apalah engkau hendak
menanyakan diriku" Andai engkau bertanya secara baik,
mungkin akan kuberitabu. Tetapi caramu yang liar itu adalah
cara bangsa penyamun."
Kembali orang itu terlawa, "Daerah ini adalah daerah
kekuasaan putera2 Daha. Tanpa ijin kami jangan harap
engkau dapat melintasi tempat ini."
Dalam pada itu demang Surya pun sudah memperbaiki diri
dan tegak berdiri pula. Mendengar kata2 orang itu, serentak ia
berseru, "Hai, dengarkanlah putera2 Daha, aku adalah
demang Suryanata narapraja kerajaan Majapahit"
"O" orang itu hanya mendesus,
kedudukanmu dengan tempat ini?"
"apa hubungan Demang Surya kerutkan dahi. "Bukankah Daha di bawah
perintah gusti Rani Daha yang menjadi ayunda dari baginda
Jayanagara dari Majajahit?"
"Ha, ha" kembali orang itu tertawa setengah mengejek,
"apa peduli dengan hubungan mereka?"
"Eh, bukankah Daha itu juga daerah kekuasaan Majapahit?"
"Itu anggapan raja Majapahit dan menteri2 se-bawahannya
seperti dirimu" kata orang itu "tetapi putera2 Daha pantang
mengakui Daha itu daerah kekuasaan Majapahit. Daha adalah
kerajaan yang diperintah oleh raja Kertajaya kemudian prabu
Jayakatwang" Rupanya Kalkasa tak sabar mendengar pembicaraan orang
itu yang dianggapnya menentang kekuasaan Majapahit.
Segera ia menyelutuk, "Tidak ada Kertajaya, tidak pula
Jayakatwang. Yang ada hanyalah baginda Jayanagara yang
telah mempersatukan Daha dan Singasari menjadi sebuah
kerajaan besar di bawah naungan panji kerajaan Majapahit"
"Engkau hamba Majapahit, tak heran kalau engkau bicara
menurut apa yang diharuskan oleh rajamu" seru orang itu
"dan akupun bicara menurut kedudukan sebagai putera Daha
yang tak mengakui lain kerajaan menguasai bumi kami."
"Katakan maksud mu !" bentak Kalkasa.
"Kembalilah ke Majapahit. Jangan menginjakkan kakimu di
telatah Daha!" "Kalau aku tetap melintas?" seru Kalkasa.
"Artinya engkau hendak menantang ajalmu!" Kalkasa
tertawa datar "Ketahuilah kawan, kami mempunyai suatu
urusan penting menuju ke Blitar Jim-be. Perjalanan kami ini
sama sekali tak mengganggu keamanan dan ketenteraman
Daha. Harap jangan mempersulit"
"Mudah saja bagimu untuk terhindar dari kesulitan ini"
sahut orang itu "kembali ke Majapahit atau serahkan dirimu
kami tawan." Kalkasa tertawa keras. Agar-meruntuhkan nyali orang dan
menambah semangatnya sendiri. "Memang telah kuduga.
Bahwa dari caramu menjerat kuda kami tadi, tentulah kalian
hendak menyamun." "Maka segera sajalah engkau tentukan pilihan. Diantara
pulang ke Majapahit atau serahkan diri" sambut orang itu.
Sambil mencabut pedangnya, Kalkasa berseru, "Mari kita
bicara dengan bahasa yang kau hendaki" Kemudian berpaling
kearah demang Surya, Kalkasa berkata pelahan, "Ki demang,
adakah ki demang masih sanggup berkelahi" Apabila tidak,
silahkan menyingkir ke tepi jalan. Biarlah kedua penyamun ini
kuhadapinya sendiri."
"Walaupun tulang-tulangku sudah rapuh, tetapi kurasa
masihlah aku sanggup untuk menghajar mereka" sahut
demang Surya. "Bagus demang tua" seru orang tadi "akan kami percepat
kepergianmu ke alam baka."
Kalkasa menggeram. Sambil menggentakkan pedang untuk
mempertunjukkan kemahirannya bermain pedang, ia terus
maju menyerang orang tadi. Orang itupun segera melolos
pedang, menyambut serangan Kalkasa.
Demang Surya pun membolang-balingkan tongkatnya untuk
menyerang orang yang bertubuh agak pendek, agar jangan
sampat orang itu membantu kawannya mengerubuti Kalkasa.
Demikian keempat orang itu segera terlibat dalam
pertempuran yang seru. Kalkasa dapat mengimbangi kesaktian
lawan. Sampai beberapa waktu, belum juga dapat dinilai siapa
diantara kedua orang itu yang akan menang.
Sementara itu, penyamun yang bertubuh agak pendek
tampaknya terkejut ketika melayani demang Surya. Semula ia
mengira bahwa demang yang sudah setua itu tentu dapat
dirubuhkannya dalam waktu yang singkat. Tetapi ternyata
demang tua itu masih memiliki tenaga yang hebat serta ilmu
permainan tongkat yang berbahaya. Berulang kali muka,
kepalanya nyaris terhantam tongkat demang Surya.
"Hm" diam-diam orang itu menimang, "baiklah kugunakan
siasat untuk menghabiskan tenaganya. Jika kupaksa untuk
mengalahkannya dengan cepat, kemungkinan akulah yang
akan menderita kekalahan. Tetapi kalau kuperas tenaganya,
tentulah mudah kurubuhkan. Dan orang yang sudah setua itu
masakan kuat bertahan lama."
Demikian dengan keputusan itu, ia merobah gaya
Bandit Di Hotel Istana 2 Suro Bodong 03 Pedang Kerak Neraka Pendekar Aneh Naga Langit 20
^