Pencarian

Gajah Kencana 32

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 32


untuk menghentikan kata-kata puterinya. Ia kuatir akan
menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan antara Puranti
dengan Jaka Damar. "Rama Demang" tiba-tiba pula Jaka Damar berkata "biarlah
Puranti bicara dengan dia. Jika memang jodohku, tentulah
Puranti akan kembali kepadaku"
Rupanya putera patih itu malu dalam hati. Ia merobah
haluan. Akan merebut hati Puranti dengan langkah dan sikap
ksatrya. Puranti pun tak mau berbanyak kata. Ia terus melangkah ke
tempat Dipa yang sementara itu masih tegak termangu
"Kakang Dipa ..." dara itu memulai kata-kata dengan nada
sendat. Dipa mengangkat muka. Pandang mereka beradu. Penuh
dengan luapan hati haru dan pilu. Saat itu baru keduanya
menyadari betapa besar rasa kasih yang telah tumbuh dalam
hati masing2. Apabila selalu bergaul, tiap hari berjumpa dan tiap hari
bercakap cakap, setitik pun mereka tak tahu dan menyadari
bahwa bagaikan benih yang terpendam dalam bumi, diamdiam telah tumbuh dan merekah. Kini hal itu baru diketahui
dan dihayati pada saat mereka harus berpisah dan dipisahkan
oleh suatu kekuatan. Kekuatan yang merupakan belenggubelenggu adat istiadat dan tata susila bahkan pun telah diatur
oleh perundang-undangan kerajaan Majapahit. Bahwa seorang
pria tak boleh berbicara bebas dengan seorang wanita yang
sudah atau akan bersuami.
Betapalah detik-detik yang bahagia di hari-hari yang telah
lampau itu. Demikian halnya dengan setiap keadaan. Pada
umumnya kita menganggap kepala, mata, hidung, tangan,
kaki bahkan tubuh kita itu memang suatu pembawaan
lahiriyah yang wajar. Karena anggapan itulah maka acapkali
pula kita lupa untuk mendambakan puji syukur kepada Hyang
Purba Wisesa, bahwa kita telah dikaruniai anggauta tubuh
yang lengkap dan sehat. Adalah setelah kita menderita suatu
cedera atau luka pada salah sebuah anggauta tubuh, barulah
kita dapat menghayati betapa penting anggauta tubuh itu bagi
kita. Betapa bahagia di kala anggauta tubuh itu sehat tak
cedera. Di situlah baru manusia lari tergesa-gesa menghadap
Hyang Widdhi Agung untuk memohon pengampunan.
Adakah sesuatu penderitaan itu merupakan berkah yang
terselubung bagi manusia" Adalah setelah kita menderita baru
kita ingat akan Hyang Widdhi, akan kebcsaranNYA"
Jika demikian halnya, tidakkah lebih baik manusia itu
menderita saja" Agar dengan begitu manusia akan ingat
kepada Yang Mencipta dan Yang Menghidupkan kita"
Demikian pikiran dari mereka yang hidup di tengah-tengah
kehidupan manusia tetapi yang jemu melihat ulah manusia.
Yang hidup sebagai manusia tetapi muak akan kehidupan
manusia. Kemudian karena kecewa dan putus asa, mereka
membuat suatu pelarian. Entah menyepikan diri di pertapaan,
entah membentuk suatu sikap tak acuh kepada manusia.
Benarkah manusia harus lebih baik menderita agar ingat
dan menyembah kepada Yang Maha Kuasa"
Pada masa kerajaan Majapahit berdiri, maka pengaruh
agama Buddha dan Syiwa amatlah besar. Dalam alam
kehidupan agama itulah mereka telah meneguk suatu falsafah
hidup tentang derita dan bahagia, tentang kehidupan di alam
niskala dan alam kasunyatan atau dunia fana. Tentang asalnya
hidup, kelangsungan hidup dan kembalinya hidup kepada
asalnya atau dalam ilmu kesepuhan disebut Sangkan Paraning
Dumadi. Dalam alam falsafah yang telah mempengaruhi alam pikiran
dan kehidupan jiwa, mereka telah menyadari bahwa
sesungguhnya hidup itu suatu derita, suatu coba, suatu
samsara. Unjuk menghapus derita, untuk lulus dari coba dan
untuk melepaskan samsara, pertama-tama harus mengetahui
dan menyadari akan Yang Mencipta Hidup yang Memberi
Hidup, Yang menguasai Hidup. Tidaklah cukup hanya
mengetahui dan menyadari pengertian itu, tctapipun masih
harus menjalankan ajaran2 agung dan suci, melakukan amal
yang baik dan dharma yang luhur berdasarkan sifat Kasih.
Dengan bekal dan keadaan hidup yang menyertai
kelahirannya itu, sesungguhnya manusia itu sudah berada
dalam derita dan samsara. Tanpa harus tambah dengan
penderitaan lahiriyah mau pun batiniyah, haruslah manusia
selalu manyembah kepada Yang Maha Kuasa.
Tetapi manusia tetap manusia yang masih penuh dengan
kekurangan dan kelemahan. Demikian kata orang. Tetapi
sesungguhnya kelemahan dan kekurangan itu, pada dasarnya
bersumber pada silat Kesenangan. Suatu sifat yang tergolong
salah satu Nafsu yang menguasai batin manusia. Suatu sifat
yang karena hampir terdapat pada diri maniuia dan
didambakan oleh manusia, maka dianggaplah sifat itu suatu
sifat yang wajar, yang harus ada pada manusia.
Pendambaan akan nafsu Kesenangan yang satu itu, sering
menghanyutkan pikiran manusia bahwa dia adalah yang paling
berkuasa, paling tinggi. Pada hal nafsu Kesenangan itu hanya
merupakan sumber dari segala malapetaka yang akan
menimpa pada manusia. Tetapi manusia memang tak mudah terlepas dari sifat itu
sehingga hidup ini penuh dengan kisah dan cerita dari
manusia dan peristiwanya.
Demikian seperti yang dirasakan oleh Dipa dan Puranti pada
saat itu. Oleh karena keduanya membayangkan kebahagiaan
dan kesenangan di hari-hari yang lampau ketika masih berada
di kademanjan, maka perpisahan pada saat itu dirasakan
bagai suatu siksa yang besar. Bukanlah mereka takkan
bertemu pula untuk waktu yang tak diketahui lamanya"
"Kutahu, Puranti" akhirnya Dipa dapat memaksakan katakata "karena akupun merasakan juga"
"Kakang ...." "Tabahkanlah hatimu, teguhkan imanmu, Puranti dan makin
gencarkanlah persembahan doamu kepada Hyang Widdhi.
Karena hanya kepadaNYA engkau akan menemukan
kebahagiaan yang sejati"
"Kakang ...." "Mungkin besok mungkin lusa, aku tentu segera dititahkan
berangkat ke pura Majapahit"
Puranti bercucuran airmata.
"Jangan mengucurkan airmata, Puranti" kata Dipa pula
"kenyataan harus kita hadapi, pahit atau manis, senang atau
susah. Hidup hanya terbentuk dalam dua keadaan, suka dan
duka. Jika kita tertawa dalam keadaan suka, mengapa kita
harus menangis bila berduka?"
Puranti hentikan isaknya.
"Kini baru kurasakan betapa tepat ucapan dari seorang
pandita tua yang mengatakan 'dari rasa sayang timbullah
kesedihan'. Janganlah melekatkan diri pada yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan. Puranti,
marilah kita tegakkan kepala, lapangkan dada, putihkan hati
agar dapat kita resapi bahwa segala sesuatu yang menimpa
diri kita ini, adalah Prakitri hidup kita. Dan marilah kita
tingkatkan kesadaran kita tentang arti sejati daripada rasa
Kasih dalam hati kita"
Berhenti sejenak, Dipa melanjutkan pula "Cinta itu suatu
derita yang meminta pengorbanan. Marilah kita persembahkan
pengorbanan demi kemurnian cinta kita. Cinta murni bukanlah
bersifat kemilikan peribadi, melainkan saling membahagiakan.
Aku bahagia karena engkau akan mendapat seorang suami
yang tinggi keturunannya ...."
"Kakang!" "Benar, Puranti" cepat Dipa mendahului "memang
demikianlah perasaan hatiku. Aku merasa bahagia karena
orang yang kucintai hidup bahagia. Mungkin engkau
mengatakan aku seorang lelaki yang lemah tak berani
menempuh bahaya untuk membawamu pergi dari Kahuripan.
Mungkin engkau mengatakan aku seorang lelaki pengecut dan
penakut. Ataupun engkau menuduh aku tak setya dan tak
mencintai engkau dengan sungguh hati"
"Tetapi tidak demikian menurut fahamku" kata Dipa lanjut
"sebagaimana aku tak menginginkan engkau menjadi seorang
puteri yang tak berbakti kepada ayahbunda, demikian pula
engkau tentu tak menginginkan aku menjadi seorang
pembunuh dari seorang demang dan putera patih dan
puteranya, seorang atau beberapa pengalasan. Mungkin
engkau beranggapan bahwa jalan yang terbaik, kita bunuh diri
berdua demi pengabdian kepada cinta kita. Tetapi kurasa,
bunuh diri itu dilakukan oleh manusia2 yang takut melihat
kenyataan, yang ingin melarikan diri dari kesulitan, yang tak
kuat imannya" "Puranti, rupanya ki demang dan Jaka Damar sudah mulai
tak sabar menunggu pembicaraan kita" kata Dipa pula "doaku
kepadamu, semoga engkau hidup bahagia. Dan kalau engkau
benar-benar ingin membahagiakan hatiku, hiduplah bahagia.
Karena tiada kebahagiaan yang dapat kurasakan kecuali
melihat engkau bahagia"
Air mata Puranti mulai bercucuran lagi "Kakang, aku dapat
meresapi ucapamu. Indah benar alam pikiranmu, luhur benar
batinmu. Kakang Dipa, walaupun dalam kehidupan sekarang
aku tak dapat menjadi kawan hidupmu, tetapi hatiku, jiwaku
selalu beserta engkau, kakang. Jaka Damar hanya
memperisteri badanku tetapi jiwa Puranti adalah milikmu. Dan
akupun bersumpah kakang Dipa. Bahwa dalam penitisanku
yang akan datang, aku tentu akan menjadi isterimu"
"Puranti" kata Dipa sedu "tiada yang lebih bahagia dalam
hidupku seperti pada saat ini. Akupun berjanji demikian,
Puranti....." "Puranti, lekas, mari kita pulang!" tiba-tiba terdengar
demang Saroyo berseru memanggil.
"Puranti, kembalilah kepada ramamu. Doaku, semoga
engkau berbahagia ....."
"Kakang Dipa, jiwaku tetap milikmu ...."
Belum Puranti menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Dipa
berputar tubuh dan terus lari menjelang kegelapan malam.
Puranti menangis tersedu-sedu.
)o0dw-kz=mch0o( II Hari mendung. Awan hitam memekat cuaca. Senja makin
tampak kuyup. Empat penunggang kuda tampak menyusur
jalan yang membelah pegunungan. Yang tiga orang amat
bernafsu sekali mencongklangkan kuda, seolah-olah hendak
berpacu. Tanah yang gersang dan jalan yang kering
kerontang, memercikkan hamburan debu di penghujung
kemarau. Hanya penunggang kuda bulu hitam seorang saja yang
tampak tenang sekali. Bahkan tidaklah ia menghiraukan
ancaman mendung dan kecemasan ketiga kawannya. Bahkan
pula seolah dilepaskannya tali kendali kuda dan membiarkan
dirinya diayun oleh langkah menurut sekehendak kudanya.
Mendung di udara, mendung di hatinya. Demikian tampak
wajah penunggang kuda yang bermuram durja itu.
Berulang kali terdengar helaan napas dari mulutnya dan
berulang kali pula ia berpaling ke belakang, memandang jauh
ke arah tempat yang di tinggalkannya. Serasa beratlah hatinya
untuk melakukan perjalanan.
"Ah, aku telah berdosa karena menghancurkan hati seorang
gadis" gumam orang itu seorang diri "Mudah-mudahan dia
terhibur oleh kata-kataku itu. Bahkan mudah mudahan dia
membenci diriku" "Hm" ia mengeluh pula "mudah-mudahan ia tak
mengetahui keadaan hatiku. Betapa rendam sesungguhnya
derita hatiku ...." Kemudian ia pejamkan mata, melayangkan pikirannya jauh
ke masa yang lalu. Dan seketika terbayanglah wajah seorang
dara yang lincah sedang mandi bersamanya di bawah air
terjun "Kakang kecil, hayo tangkaplah aku kalau engkau
mampu" teriak dara itu.
Seorang pemuda tanggung yang bertubuh agak pendek dan
padat menjawab "Mengapa tak dapat " Tetapi apa upahnya?"
"Uh, anak rakus, sedikit2 minta upah" gerutu dara kecil itu
"baiklah, nanti kuberimu seekor ikan lele bakar untuk makan
malam, mau?" "Sungguh?" seru anak laki tanggung itu "jangan
membohongi lagi seperti. dulu. Masakan pespesan ikan hanya
berisi tulang saja".
"Hi, hi, hi .........." dara kecil itu tertawa mengikik "ya, ya,
jangan kuatir, kali ini aku tentu akan memberimu ikan yang
masih utuh. Hayo, kakang cilik, tangkaplah aku"
Dara itu terus terjun ke dalam telaga. Sebuah telaga
penampung airterjun yang cukup luas dan dalam. Dan
pemuda tanggung itupun segera berenang ke dalam telaga
untuk nengejar. "Hi, hi .......... aku di sini, kakang kecil" seru dara itu
tertawa riang ketika anak laki itu menyergap tempat kosong.
Anak laki itu menyelam lagi dan meluncur ke tempat dara
kecil. Tetapi ketika ia sudah mencapai tempat itu, si dara pun
sudah menyelinap jauh ke sebelah sana. Dengan tawa ejek,
dara kecil itu memperolok-olok anak laki kawannya. Walaupun
berlangsung sampai beberapa kali, tetap juga pemuda
tanggung itu tak mampu menangkap si dara.
"Bagaimana kakang kecil" Engkau ingin makan lele bakar
atau tidak?" ejek dara itu.
Napas pemuda tanggung tampak terengah-engah. Rupanya
dalam ilmu berenang, ia kalah lincah dengan dara itu. Hampir
ia putus asa dan menyerah tetapi karena terus diejek si dara,
akhirnya ia menyelam lagi.
"Aduh, tolong kakang ....... !" terdengar dara itu berteriak
minta tolong. Kedua tangannya bergeleparan ke atas. Setelah
meluncur dari sergapan, dara itu berada pada jarak beberapa
belas langkah dari tempat anak lelaki.
Anak lelaki itu terkejut. Walaupun dia terengah-engah
kehabisan napas tetapi karena melihat kawannya minta
tolong, ia terus ayunkan tubuh ke dalam air dan dengan
sekuat tenaga berenang menuju ke tempat dara itu.
Untunglah ia dapat mencapai tempat itu tepat pada saat si
dara sudah menurun ke bawah telaga hingga hanya separoh


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari lengannya yang masih tampak bergeleparan di
permukaan air. Secepat kilat ia menyambar tangan dara itu
lalu dibawanya berenang ke tepi telaga.
Anak laki itu bingung sekali ketika kawannya rebah tak
bergerak. Ia segera memangku tubuh dara itu lalu
ditelungkupkan kepalanya ke bawah sehingga air telaga
muntah ke luar dari mulutnya. Kemudian ia memijat-mijat dan
mengurut-urut kaki dan tangan dara itu.
"Ah ..." sesaat kemudian dara itu terdengar mengerang dan
membuka mata. Atas pertanyaan anak lelaki, ia menerangkan
"kakiku terkilir pada batu di dasar telaga dan kejang sehingga
aku tak kuat berdiri."
Anak laki itu girang dan mengurut-urut kaki si dara yang
terkilir itu. "Cobalah engkau berdiri dan berjalan"
Dara itu dapat berdiri tapi tertatih-tatih jalannya. "Jangan
paksakan diri, mari kuangkat. "Dan segera pula anak laki itu
mengangkat tubuh si dara terus di-bawanya berjalan pulang.
"Engkau sungguh kuat, kakang kecil" seru dara itu sambil
rebahkan kepalanya di dada pemuda kecil.
"Engkau jauh lebih ringan dari patung dewa Gajah yang
pernah kuangkat di desa dahulu" sahut pemuda itu.
"O, engkau pernah mengangkat patung gajah " Kalau
begitu tepat sekali orang menyebut dirimu si Gajah."
"Tiada jelek disebut gajah karena gajah itu binatang yang
maha besar dan kuat" sahut pemuda itu.
Dara kecil tertawa "Kakang, senangkah engkau hidup di
tengah hutan ini?" Pemuda tanggung mengangguk "Senang sekali karena
mempunyai teman seperti engkau dan kakek seperti kakek
demang yang luas pengetahuan itu"
"Kakang, apakah sampai besar engkau juga ingin berkawan
dengan aku?" "Betapa tidak, Indu" sahut pemuda itu "kita akan hidup
bersama-sama dengan tenang dan gembira di sini"
Pemuda itu lanjutkan perjalanan pulang. Ketika melalui
sebuah gerumbul pohon, tiba-tiba pemuda itu menjerit "Aduh
.... mengapa engkau menggigit dadaku ?"
"Mengapa engkau mencubit betisku?"
Pemuda itu terbeliak "Siapa yang mencubit engkau" Aku
tidak mencubit .......... o, kakimu digigit semut" kata pemuda
itu seraya menghapus seekor semut merah yang hinggap di
kaki si dara. Demikian kehidupan kedua anak laki dan dara. yang sedang
mulai menjenjang alam kedewasaan. Sedemikian akrab dan
mesra kedua insan kecil itu sehingga mereka tak mempunyai
rasa malu akan batas2 pergaulan antara lelaki dan
perempuan. Mereka masih kecil, masih murni pikirannya dan
masih suci batinnya. Mereka hanya memiliki suatu rasa gembira apabila bermain
berdua, mandi ke telaga dan mengerjakan pekerjaan rumah
bersama. Bahkan makan pun bersama. Mereka tak tahu apa
nama perasaan yang hinggap dalam hati masing2. Karena
perasaan itu masih asing, belum pernah dideritanya.
Demikian kenangan penuh bahagia yang saat itu melalu
lalang di benak orang yang sedang menunggang kuda. Dan
kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya. Bahkan
setelah ia mengembara dan berada di Kahuripan, bertemu
dengan puteri demang Saroyo, masihlah kenangan pertama
itu menggores dalam-dalam pada lubuk hatinya.
Kemudian terbayanglah sikap puteri demang yang amat
baik dan amat menaruh perhatian terhadap dirinya. Kala itu ia
sudah bertambah usia dan pikirannya-pun semakin meningkat
dibawa kelajuan usia. Dia mulai mengerti apa yang
tersembunyi di balik sikap dan ucapan puteri demang. Namun
masih ia meragu. Bukan saja merasa rendah diri akan asalusul diri dan kedudukannya, pun karena ia masih belum dapat
menghilangkan kenangannya bersama dara Indu. Kenangan
pertama itu, tak dapat ia hapus dalam kalbunya.
Maka selama di Kahuripan, tidaklah ia memberi tanggapan
yang tegas terhadap sikap puteri demang. Ia masih ingin
mencari Indu, dara yang pernah mencuri kenangan hatinya.
Dan kesempitan ketika diutus ke pura Majapahit tak disiasiakan. Ia hendak mercari Indu. Tetapi alangkah pedih hatinya
ketika mendapatkan Indu dalam keadaan yang tak pernah
disangkanya. Indu telah melahirkan anak dan menjadi isteri
buyut Lodaya. Ada sesuatu kehilangan yang dirasakan dalam hatinya,
namun ia tak mengerti apa, bagaimana dan betapakah arti
kehilangan itu. Hanya ia merasa buluh2 serabut lembut putik
hatinya telah putus dan darahpun mengalir. Pertama kali
dalam hidupnya ia telah merasakan suatu derita yang jauh
lebih sakit dan pedih dari dampratan buyut Madan Teda,
pukulan anak-anak nakal di desa itu bahkan masih lebih sakit
pula dari ujung pedang yang pernah menghias tubuhnya.
Untunglah pada saat2 semangatnya hampir lunglai karena
kesedihan itu, ia teringat akan wejangan Eyang Wungkuk atau
Patiraga "Ingatlah, anakku. Suatu perbuatan itu tentu tak
benar apabila setelah engkau kerjakan, mendatangkan
penyesalan, ratap tangis dan kesedihan ..."
"Ah, benar" katanya dalam hati "kekecewaan dan kesedihan
yang memukat hatiku ini tentulah karena aku tak benar
melakukan hal itu. Wajiblah aku tak memiliki suatu Keinginan
terhadap Indu kecuali hanya satu keinginan yalah untuk
membahagiakan hidupnya. Ya, dia harus bahagia hidupnya!"
Dengan keputusan itu ia berusaha untuk menyelamatkan
Indu dari rencana pembunuhan yang hendak dititahkan ratu
Indreswari. Dan setelah hal itu selesai barulah ia pulang ke
Kahuripan dengan hati yang lapang.
Kelapangan hatinya itu cepat terisi oleh bayangan Puranti,
puteri demang Saroyo. Tetapi betapalah kejutnya ketika
malam itu ia harus mendengar dan menyaksikan tangis Puranti
karena telah dipinang oleh Jaka Damar.
Yang dikejar tiada dapat, yang dikandung berceceran.
Demikianlah bunyi sebuah pepatah. Demikian pula keadaan
orang itu. Karena masih setya akan kenangan lama, ia mencari
Indu tetapi yang dicari ternyata sudah berobah keadaan.
Sedang Puranti yang mengharapkan, karena ditinggal
beberapa lama telah dipinang oleh orang.
Kehancuran yang kedua kalinya itu, bukan hanya
memutuskan urat2 halus hatinya, bahkan telah menghancurkan putik hatinya. Ia meninggalkan Kahuripan
dengan hati yang remuk, semangat lunglai. Ia tak
menghiraukan suatu apa, cuaca mendung ataupun hari yang
menjelang petang. Untunglah kuda bulu hitam itu seolah tahu akan keadaan
penunggangnya. Tak mau ia lari kencang walaupun kawankawannya sudah jauh mendahului di muka.
Kesunyian senja hari dalam hutan di kala langit mendung,
tentu akan menggelisahkan setiap orang yang sedang
menempuh perjalanan. Tetapi tidak demikian dengan
penunggang kuda bulu hitam itu. Kebalikannya ia malah
merasa senang dengan suasana saat itu. Ia muak dengan
kehidupan di kota yang ramai, iapun jemu dengan suasana
ketenangan hidup, kehalusan tingkah ulah orang, kemerduan
nada ucapan dan pergaulan yang seiba ramah.
"Palsu ! Culas ......." demikian hati meluap, mulut menguap
"alam lebih jujur, mendung lebih manjur. Setiap senja hari,
alam tentu redup dan sayu. Takkan dia menunjuk keriangan
dan kemeriahan. Tidak demikian dengan manusia. Hui sedih,
berhias tawa gembira. Awan mendung tentu hitam dan akan
membawa hujan. Tidak demikian dengan manusia, hatinya
hitam tetapi berhias kata-kata ramah dan merdu. Ah, culas
...." Sekonyong-konyong terdengar guruh bergemuruh, sepercik
cahaya kilat merekah dan tiba-tiba terdengar letusan dahsyat
halilintar. Bumi seolah pecah, pohon-pohon dalam hutan
berderak-derak, burung-burung riuh rendah berhamburan ke
luar dari sarang. Mereka terkejut dan bingung karena
sarangnya berayun keras. Namun penunggang kuda bulu hitam itu tenang2 belaka.
Tiada sedikitpun ia terbeliak atau tersentak karena ledakan
halilintar itu. Bagi seorang yang sudah hilang keinginan hidup
dan nafsu kesenangan, jangankan halilintar, bahkan gunung
rubuh di hadapannya, pun ia tak terkejut atau kecakutan.
Tidak demikian dengan kuda bulu hitam itu. Ia memiliki
naluri yang tajam bahwa halilintar itu akan mengantar hujan
deras. Bahwa ledakan dahsyat itu, mungkin dapat msmbawa
tumbangnya pohon dan lain2 malapetaka. Maka larilah kuda
itu bagaikan anakpanah lepas dari busur. Ia tak menghiraukan
suatu apa. Bahkan lupa bahwa ia sedang membawa tuannya.
Halilintar dahsyat yang meledakkan bumi itu, telah
meledakkan pula nyali kuda itu.
Penunggang kuda tersentak kaget ketika rasakan tubuhnya
diayun-ayun keras. Dan sebelum ia sempat untuk menyambar
tali kendali yang dilepaskannya tadi, tubuhnya telah
dilemparkan ke samping dan jatuh ke dalam sebuah gerumbul.
Rupanya kuda hitam sudah kehilangan naluri. Binatang itu
tetap mencongklang sekencang-kencangnya.
Hanya gelap yang tampak di sekeliling, ketika penunggang
kuda itu memandang dengan keremangan mata yang
berpudar-pudar. Itupnn hanya dapat bertahan beberapa
kejab, karena pada lain jenak dia pejamkan mata tak sadarkan
diri. Ketika membuka mata ia rasakan tubuhnya basah kuyup.
Didengarnya pula bunyi gemercik air mencurah dari atas.
"Ah, hujan ..." gumamnya lalu bergeliat bangun. Ia rasakan
badannya tidak selunglai tadi. Tetapi ia tak menyadari bahwa
air hujanlah yang berjasa ke padanya.
Segera ia ayunkan langkah untuk mencari tempat meneduh.
Akhirnya ia menemukan sebuah guha karang yang
sekelilingnya ditumbuhi pohon dan semak yang rimbun.
Malam makin gelap dan hujan masih mencurah. Pakaiannya
basah kuyup, tubuhnya mulai terasa dingin. Namun apa daya.
Ia terpaksa harus meneduh dalam guha itu. Besok terang
tanah, baru ia dapat melanjutkan perjalanan. "Ah, selalu saja
melintang halangan dalam perjalananku" gumamnya seorang
diri. Namun ia tak pernah menyesal bermalam di tempat itu
karena ia memang hendak mencari kesunyian.
Maka duduklah ia bersila dalam sikap bersemedhi. Untuk
menyalurkan darah dan napas agar tubuhnya tetap hangat,
kuat menahan dingin. Semedhi, sudah menjadi adat kebiasaan
hidupnya. Tiap malam ia selalu melakukan semedhi.
Entah selang beberapa lama, ketika ia hampir mencapai ke
tingkat alam penyatuan hampa, tiba-tiba, indera pendengarannya yang tajam, mendengar aum harimau.
Walaupun lapat2 dan hilang2 lenyap namun ia dapat
memastikan bahwa aum itu adalah suara binatang harimau.
Makin lama makin jelas. Suatu tanda bahwa harimau itu
sedang menuju ke arah guha tempat ia meneduh.
Ada dua hal yang membuat harimau mengaum dahsyat di
tengah malam. Binatang itu sedang marah atau karena lapar.
Karena sejak kecil hidup di alam pedesaan gunung dan hutan
belantara maka dapatlah ia membedakan aum harimau yang
marah dengan yang lapar. Harimau yang mengaum ngaum
saat itu jelas harimau yang sedang mengunjuk kemarahan.
Dan pada umumnya, harimau marah karena kehdangan anak
ataupun kalau harimau itu jantan tentu sedang mencari
betinanya. Setiap raja yang murka, tentu akan menakutkan para
kawulanya. Demikian pula dengan harimau, raja hutan itu.
Ketika mendengar aum sang raja hutan, maka margasatwa
dan unggas dalam hutanpun menggelepar-gelepar kebingungan. Mereka segera berusaha untuk mencari tempat
persembunyian yang rapat.
Orang itu terpaksa harus terkejut ketika mendengar aum
harimau sudah tak jauh dari guha tempat persembunyiannya.
"Ah, binatang itu tentu sudah mencium bauku. Memang tajam
sekali penciuman hidung harimau itu. Dapat membedakan
mana angin yang mengantar bau binatang mana yang
membaurkan bau manusia"
Dan belum hilang rasa kejutnya, harimau itupun sudah tiba
di muka guha, mengaum-aum makin dahsyat. Orang itu
menyadari bahwa bau dirinya telah tercium oleh hidung
harimau yang amat tajam itu.
"Celaka, haruskah aku mati berkubur di perut harimau ?" ia
mengeluh dalam hati. Sesaat ia menjawab sendiri "ah, tidak.
Aku tak boleh mati sia2. Gusti Rani telah melimpahkan suatu
kesempatan besar kepada diriku. Dan kepercayaan sang Rani
itu harus kujaga sekuat tenaga. Aku harus dapat
melaksanakan titah gusti Rani menjadi bhayangkara di keraton
Majapahit" Ia membulatkan tekad, sebulat buluh. Bahwa sebagai
seorang prajurit, ia harus berjuang melawan musuh. Ia harus
memperlakukan harimau itu sebagai seorang musuh yang
hendak membunuhnya di medan pertempuran. Menghadapi
musuh, tidak boleh lemah kecuali memang hendak
menyerahkan jiwa. Serentak ia mengeluarkan gada pusaka Gada Intan yang
dahulu diketemukan dalam kuburan Wurare. "Semoga Gada
Intan peninggalan empu Barada itu akan bertuahkan kesaktian
untuk menghancurkan harimau" ia berdoa.
Gada Intan digenggamnya erat2. Ia tak mau ke luar dari
guha melainkan tetap menunggu di dalam. Jika ia sampai ke
luar, lingkaran gerak untuk harimau tentu meluas dan
menyulitkan. Tetapi apabila ia menunggu di mulut guha,
mudahlah ia hantamkan gada pusaka ke kepala harimau
apabila binatang itu berani masuk.
Memang harimau itu dengan hidungnya yang tajam segera
dapat mencium bau manusia yang diantar kesiur angin malam.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan meniti arah dari sumber bau itu, cepat ia tiba di muka
guha. Namun ia tak mau terus menerjang masuk melainkan
berhenti dan mengaum-aum. Memang demikian senjata yang
dimiliki raja hutan. Aumnya merupakan senjata untuk
meruntuhkan nyali lawan. Setelah melancarkan serangan suara, harimaupun mulai
bersiap-siap. Kaki belakang ditekuk mengendap ke bawah dan
kaki depan mulai menggaruk-garuk tanah untuk mengambil
ancang2 loncatan. Dari dalam guha yang gelap, orang itu dapat melihat
gerakg-gerik si raja hutan. Hatinyapun amat tegang. Segenap
semangat dan perhatian ditumpahkan untuk mengikuti gerakgerik harimau agar janganlah ia sampai lengah dan terlambat
untuk menyambut dengan gada pusaka.
Saat itu hujan sudah berhenti. Tiba-tiba dari balik sebuah
gerumbul yang lebat, terdengar bunyi bergemerisik yang keras
dari daun2 yang tersiak. Orang itupun terkejut. Ia tahu bahwa
hujan sudah berhenti maka suara gemerisik itu tentulah bukan
curahan air hujan melainkan berasal dari sebuah benda.
Namun kalau benda tak mungkin dapat membawa bunyi
gemerisik itu bergerak- gerak makin dekat.
Sesaat kemudian dalam keremangan cuaca malam,
muncullah sepasang benda bulat sebesar buah sawo muda
yang bersinar tajam. Hampir menyerupai api dari lelatu.
Dipa terkejut sekali. Sepasang bola merah cemerlang yang
seperti lampu perahu di malam hari, makin lama makin melaju
ke muka. Manusia mempunyai kecerdasan pikiran. Sedang bangsa
khewan memiliki naluri. Melalui penciuman hidung yang tajam
maka timbullah kepekaan naluri bangsa khewan itu. Harimau
yang disebut sebagai raja hutan, memiliki pula kelebihan2
dalam hal penciuman hidungnya. Cepat sekali binatang itu
dapat mengetahui apa yang sedang merayap di belakangnya
dan apa artinya, apabila ia terlambat untuk berputar diri.
Lompatan yang sudah tersusun pada kedua kakinya segera
dilanjutkan dengan sebuah gerak putaran ke belakang.
Gerak putaran harimau itu memang luar biasa cepatnya.
Namun masih juga ia agak terlambat selangkah. Benda
sebesar buah kelapa yang memiliki dua buah bola merah tadi,
laksana halilintar cepatnya telah menyambar punggung
harimau. Tepat pada saat itu, harimau berputar ke belakang
maka sambaran benda hitam itu tak mengenai. Tetapi
ternyata benda hitam itu bukanlah semata sebuah benda
bundar melainkan mempunyai tubuh bulat yang memanjang
sampai dua tiga tonbak. Seiring dengan gerak sambaran sang
kepala, maka tubuh panjang itupun ikut meluncur deras dan
dengan kecepatan yang sukar dibayangkan telah melilit tubuh
harimau. Orang yang bersembunyi dalam guha hampir menjerit keras
karena kejutnya. Setelah beberapa saat berada dalam
kegelapan malam maka dapatlah ia melihat jelas apa yang
telah berlangsung di halaman muka guha itu. Ternyata benda
hitam yang bertubuh panjang itu tak lain yalah seekor ular
sanca yang buas. Ia heran mengapa ular itu sedemikian
marah sehingga berani menyerang harimau. Dan heran pula ia
mengapa sedemikian kebetulan sekali, harimau datang ular
pun muncul. Seolah-olah ular itu memang hendak mengejar
langkah si raja hutan. Apakah yang terjadi di balik peristiwa
aneh itu" Namun orang itu tak sempat melanjutkan renungannya.
Perhatiannya lebih tertarik untuk mengikuti pertempuran
dahsyat antara harimau dengan ular sanca. Dua raja yang
paling ditakuti oleh segenap penghuni hutan.
Tidaklah kecewa harimau diagungkan oleh rakyat hutan
sebagai raja. Karena binatang itu memang sakti, kuat dan
ganas. Sebelum seluruh tubuh ular membelit badannya maka
harimau itupun segera bergelimpangan berguling-guling ke
tanah. Meronta-ronta, menggelepar-gelepar dengan tenaganya yang maha kuat. Ia hendak menggagalkan lilitan
ular. Rupanya ular itupun memiliki naluri yang tajam sekali.
Dibawa berguling-guling sedemikian kerasnya, terpaksa ia
harus mengerahkan tenaga untuk menahan agar badannya
tidak pecah. Oleh karena itu maka tenaga untuk melilit lawan
pun berkurang. Tetapi itu bukan berarti bahwa ia akan
mengorak lilitannya. Selekas harimau itu berhenti, ia akan
mengencangkan lilitannya lagi.
Harimau cepat dapat menyadari bahwa siasatnya itu terlalu
menghabiskan kekuatan. Dan berbahaya sekali apabila ia
sampai habis tenaganya. Jalan satu satunya hanyalah
menampar kepala ular dan mencuri suatu kesempatan untuk
menggigit lehernya. Serentak harimau itupun melonjak bangun dan mulai
menggerakkan tangan depan untuk menampar kepala ular.
Ular pun cepat tahu akan perobahan serangan lawan. Ia
menggeliat-geliatkan kepalanya kian kemari, untuk menghindari tamparan harimau dan di samping itu berusaha
untuk mendekati muka harimau. Apabila mendapat
kesempatan, ia segera akan menyemburkan bisa ke muka
lawan. Tetapi tidaklah semudah itu untuk mendekat ke muka
harimau. Ular tahu bahwa saat itu merupakan saat mati atau
hidup. Ia harus berhemat menggunakan bisa. Karena apabila
semburannya luput, ia akan kehilangan senjatanya yang paling
ampuh. Maka diam-diam ia berusaha untuk mengencangkan
lilitannya. Demikian pertarungan antara harimau dan ular sanca telah
berlangsung dengan hebat. Walaupun harimau terancam
hancur tulangnya karena dililit ular tetapi ularpun terancam
hancur kepalanya karena tamparan tangan harimau yang luar
biasa ampuhnya. Pemuda yang berada dalam guha, menumpahkan seluruh
perhatian untuk mengikuti pertarungan maut itu dengan
seksama. Dan mulailah tumbuh bermacam kesan dalam
hatinya. Kehidupan dunia rimba, berlaku suatu hukum. Siapa
kuat menang, siapa lemah kalah. Alam kehidupan rimba
seolah tak kenal damai dan tenteram. Setiap saat, mereka
harus waspada akan ancaman dari sesama bangsa khewan,
sesama penduduk rimba tetapi lain jenis dan lain golongan.
Lengah mendatangkan susah, menimbulkan resah, menderita
darah, menghilangkan nyawa. "Mengapa mereka tak kenal damai dan persahabatan?" diam-diam
timbul pertanyaan dalam hati pemuda itu. Dia termenung dan merenung akan kemudian tiba pada suatu titik penemuan "tetapi
suasana kehidupan yang sedemikian penuh dengan ancaman itu telah memberi
kesadaran kepada mereka bahwa mereka diharuskan memiliki kewaspadaan yang
tinggi. Tetapi ah, betapalah gelisah hidup dalam suasana alam
kehidupan yang sedemikian itu ?"
"Manusia lebih bahagia" renungnya lebih lanjut "karena
memiliki kesadaran pikiran dan perasaan yang kuat. Pikiran
untuk membedakan yang salah dengan yang benar, yang
jahat dengan yang baik. Perasaan, untuk merasakan segala
sesuatu tindakan pikiran. Ah, bahagialah manusia karena
menjadi titah yang dikasihi Hyan Maha Agung"
"Tetapi karunia Hyang Maha Agung itu meminta suatu
pertanggungan jawab" pikir orang itu berkelanjutan "bahwa
Pikiran dan Perasaan itu supaya di pergunakan dalam
mewujutkan nilai Kemanusiaan. Kemanusiaan yang didasarkan
pada amal dan budi kebaikan serta welas asih. Tanpa
menyadari hal itu, tiadalah beda manusia itu dengan khewan
yang buas. Kalaupun manusia sudah meninggalkan sifat2
Pikiran dan Perasaan kemanusiaannya maka dia tentu akan
terjerumus dalam nilai hidup yang lebih kejam dari khewan.
Khewan masih bersifat jujur dan terang-terangan akan
membunuh setiap khewan lain yaag lebih lemah. Tetapi
manusia menggunakan siasat dan sifat2 licik untuk mencelakai
lain manusia" Tetapi orang itu harus menghentikan renungannya ketika
menyaksikan bahwa pertempuran antara harimau dengan ular
sanca itu telah mencapai babak yang menegangkan.
Lilitan ular sanca makin mengencang dan tampak harimau
itu sudah mengendap duduk untuk menahan sakit. Tetapi
karena mengencangnya lilitan itu, ularpun terpancang
gerakannya. Hanya leher dan kepalanya yang masih dapat
bergerak untuk menghindari tamparan harimau.
Crek ....... tiba-tiba harimau berhasil menampar muka ular
sanca. Ketika ular itu menggeliatkan kepala karena kesakitan,
dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang masih
dipunyai, harimau itu menyambar dan tepat dapat menggigit
leher kepala ular. Terjadi adu kekuatan maut. Dengan sekuat tenaga harimau
menggigit leher ulir dan karena kesakitan ular pun
mengerahkan lilitannya. seluruh tenaganya untuk mengencangkan Gres .... putuslah leher ular tetapi serempak dengan itu
harimau pun mengaum sekuat-kuatnya dan terus menggelepar ke tanah dan tak bergerak lagi.
"Ah, pertempuran yang dahsyat benar" kata orang itu
"kedua-duanya sama2 mati. Perut harimau itu tentu hancur
karena lilitan ular"
Dia hendak ke luar dari guha tempat persembu-nyiannya.
Maksudnya hendak memeriksa kedua binatang yang telah
menyabung nyawa itu. Tetapi sekonyong-konyong ia
mendengar aum harimau pula. Bahkan aum itu tak berapa
jauhnya.. Terpaksa ia menahan diri dan bersembunyi rapat2
dalam guha. Dalam beberapa kejab saya aum itu makin dekat dan
muncullah seekor harimau besar. Bahkan lebih besar dari
harimau yang mati tadi. Ketika merlihat harimau yang
menggeletak di tanah, harimau gembong itu cepat melompat
menghampiri. Rupanya ia marah karena melihat harimau yang
mati itu dililit ular. Segera ia menerkam badan ular dan
menggigitnya sampai hancur. Setelah harimau yang
menggeletak itu terlepas dari lilitan ular, harimau gembong
pun lalu menjilat-jilat mukanya. Tetapi harimau itu tetap tak
dapat bergerak. "Ah, rupanya harimau itu yang jantan. Dia mencari
betinanya ...." pikir pemuda di dalam guha.
Setelah beberapa saat menjilati tetapi harimau betina itu
masih tetap menggeletak, maka mengaumlah harimau
gembong dengan dahsyat dan panjang. Iramanya mirip
dengan lolong serigala di tengah malam. Berulang kali
harimau gembong itu mengaum panjang sampai akhirnya
suaranya makin rendah dan makin pelahan. Dia meraungraung seperti orang meratap-ratap. Dijilatinya muka dan
kepala harimau betina dengan penuh kemesraan.
"Ah, harimau itu tentu meratapi betinanya yang mati"
tersentuh hati pemuda itu melihat tingkah harimau gembong
"nyata tidak bedalah mahluk hidup itu. Binatang maupun
manusia. Harimau raja hutan yang terkenal buas itu juga
memiliki rasa kasih kepada betinanya. Harimau yang buas juga
dapat menderita kehancuran hati ...."
Tiba pada pemikiran itu, serentak teringatlah akan kissah
hidupnya sendiri. Bukankah sudah dua orang gadis yang
menyebabkan ia menderita kehancuran hati"
Setelah berhenti mengaum, harimau gembong itu lalu
menggigit tengkuk harimau betina dan dibawanya pergi.
Kembali tersentuh hati pemuda itu melihat tingkah harimau
gembong terhadap betinanya yang sudah tak bernyawa itu.
Beberapa saat ia termenung-menung dalam kesunyian.
Bagaikan awan mendung berarak di cakrawala, demikian
hati pemuda itu seperti berkabut dengaa kenangan sedih.
Entah selang berapa lama, setelah puas melayang-layang
dalam kabut kesedihan, tiba-tiba terpancarlah sepercik sinar
dalam hatinya. "Walaupun betinanya mati, tetapi harimau gembong itu
tetap akan hidup dan harus hidup. Dan selama hidup dia tentu
akan berusaha menegakkan kewibawaannya sebagai raja
hutan. Yang mati tak mungkin dapat hidup lagi tetapi yang
hidup masih mempunyai tugas-tugas hidup yang harus
ditanggulangi" "Harimau dipandang sebagai raja hutan karena dia perkasa.
Hukum rimba hanya mengenal kekuatan dan keperkasaan.
Tetapi bukankah demikian pula hidup manusia itu" Sudah
bertahun-tahun aku hidup dalam alam kehidupan yang papa.
Dan selama itu, banyak sudah penderitaan yang kukenyam.
Aku tak ubah seperti kambing dalam dunia khewan. Kambing
yang lemah dan selalu menjadi korban. Diterkam harimau,
disambar ular. Pun kalau memang selamat dari gangguan itu,
akhirnya akan disembelih juga oleh manusia untuk hidangan.
Adakah demikian kambing itu dihidupkan di dunia?"
Ia merenung dan merenung. Mencari-cari mengapa dalam


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia khewan dijelmakan berjenis binatang. Yang kuat, yang
buas, yang liar, yang lemah dan yang lain2. Walaupun setiap
jenis binatang telah memiliki senjata pelindung diri, tetapi
tetap mereka dijelmakan dengan keadaan dan bentuk
jasmaniah yang berbeda. Tidak demikian dengan manusia. Hanya dalam bentuk
lahiriyah atau keadaan lingkungan, mereka dilahirkan berbeda.
Tetapi dalam bentuk jasmaniah, manusia itu dilahirkan sama.
Kecuali hanya sedikit yang menderita cacad kelahiran, baik
jasmaniah maupun batin dan pikirannya.
"Bagi kambing untuk menjadi harimau, memang suatu hal
yang mustahil. Tetapi bagi manusia yang lemah untuk menjadi
yang kuat, yang bodoh untuk menjadi yang pintar, yang malas
untuk berobah rajin, bukanlah suatu hal yang langka
terlaksana. Ah, mengapa aku harus berlemah-lemah seperti
kambing" Mengapa aku tak bercita-citakan menjadi harimau
yang perkasa" Bukan harimau yang buas dan kejam suka
memakan korban, melainkan harimau yang disegani oleh
seluruh penghuni hutan. Seorang harimau yang berwibawa
dan dihormati, bukan karena kekejamannya, melainkan karena
kekerasannya untuk melaksanakan tanggungjawab kewajiban
dan keadilan ...." Serentak berkembanglah suatu nyala pada semangat
pemuda itu. "Namun untuk menjadi harimau, pun bukan hanya berkulit
warna loreng2 melulu. Tetapi yang penting adalah
semangatnya. Semangat harimau yang pantang patah karena
menghadapi kesedihan dan kegagalan. Jika harimau itu
dengan cepat dapat bangkit dari kelunglaian semangat,
mengapa aku harus menyerah pada kesedihan dan
kemasygulan" Bukankah aku ingin menjadi harimau?" Makin
berkembanglah nyala api itu dalam semangatnya. Dan sesaat
ia teringat sendiri akan kata-katanya kepada Rara Puranti
bahwa asmara murni itu harus bersifat ikhlas dan
membahagiakan "Dia sudah mendapat suami keturunan
priagung berpangkat. Hidupnya tentu akan bahagia. Bukankah
aku harus merasa berbahagia juga?"
"Kerta Dipa, jadilah engkau seorang prajurit bhayangkara
yang sejati. Melindungi raja, negara dan rakyat Majapahit ..."
Serentak mengianglah dalam telinga pemuda itu akan
pesan terakhir dari Rani Kahuripan dikala melepaskannya
menuju ke pura Majapahit.
"Benar" sesaat benar-benar berkobarlah nyala api dalam
semangatnya "aku tak boleh patah hati. Masih banyak tugas
dan kewajiban yang dapat kulakukan demi untuk negara dan
rakyat Majapahit. Dan gusti Rani telah memberikan
kesempatan yang luas kepadaku. Bangkitlah, hayo, engkau
Dipa! Bukankah penderitaan itu sudah biasa engkau derita"
Seharusnya engkau kebal akan penderitaan. Dengarkanlah
ayam hutan sudah berkokok" Bukankah suatu pertanda bahwa
fajar segera tiba" Songsonglah hai, Dipa, fajar hari itu dengan
semangat yang segar dan tekad yang kokoh. Surya akan
terbit, memaacarkan sinarnya yang gilang gemilang.
Sambutlah kehadiran sinar surya itu dengan kecerahan hati
dan jadikanlah hari itu menjadi harimu yang gilang gemilang
..." Ucapan itu berhamburan meledak-ledak dalam hati pemuda
Dipa yang tengah bersemedhi dalam guha. Sedemikian keras
rangsang ketegangan dalam sanubari sehingga tanpa disadari
iapun serentak berbangkit dan tegak berdiri dengan semangat
yang meluap. "Ah, memang ayam hutan sudah berkokok" serentak ia
membuka mata dan memandang ke luar guha "haripun mulai
terang cuaca ..." Tetapi ia masih segan untuk melanjutkan perjalanan. Ia
duduk lagi dan rebahkan diri. Beda dengan waktu bersemedhi
tadi, tak kunjung semangat dan perhatiannya terlelap karena
hatinya masih risau. Tetapi setelah merenung dan
mengesankan peristiwa pertarungan antara harimau dengan
ular sanca, semangatnya pun tumbuh dan pikiran tenang.
Hanya dalam beberapa waktu merebah, diapun segera terlena
dalam kelelapan tidur. Ketika bangun ternyata hari sudah terang, surya sudah
memancar gemilang. Keadaan dalam guha yang semula gelap,
saat itupun tampak terang.
"Hai" tiba-tiba ia memekik kejut ketika menyaksikan sesuatu
dalam ruang guha itu. Ia segera menghampiri ke sebuah
penampang batu yang agak tinggi dari tanah "Bukankah ini
telur ....... telur ular?"
Di atas batu berbentuk penampang itu, terdapat dua butir
telur putih yang besar. Dan karena sudah biasa hidup di hutan
pegunungan dapatlah ia segera mengenal telur itu.
"Ah" serentak ia terhinggap oleh suatu pemikiran "itulah
sebabnya mengapa ular sanca tadi bergegas-gegas muncul
dan menyerang harimau. Ternyata guha ini menjadi sarang
ular sanca. Karena mengira harimau hendak masuk dan
mengganggu telur di dalam guha ini, ular sanca marah dan
melilitnya" Kini jelaslah ia akan peristiwa yang aneh tadi. Harimau
mencium bau manusia di dalam guha - dan hendak
menyerang. Tetapi disangka oleh ular sanca hendak
mengganggu telurnya. Ya, benar, tentu demikian halnya.
"Tetapi mengapa harimau betina itu tampak gopoh dan
marah sekali" Adakah ia juga kehilangan anaknya?" pikirnya.
Demikian setelah hari makin tinggi, Dipa pun segera
ayunkan langkah ke luar dari guha.
Tiba-tiba ia kembali masuk ke dalam guha lagi langsung
menghampiri ke tempat telur ular. Dengan pedang, ia
membelah kedua butir telur itu. Ular binatang yang
berbahaya. Walaupun ia berdosa kepada anak ular yang tak
mengganggunya tetapi ia merasa telah menyelamatkan
penghuni hutan dari malapetaka di kelak kemudian hari.
"Ah, syukurlah telur ini masih berupa cairan air, belum
berbentuk anak ular" ia menghela napas. Sedianya ia hendak
membunuh anak ular dalam telur itu.
Demikian Dipa segera tinggalkan guha dan melanjutkan
perjalanan dengan langkah yang mantap. Belum berapa lama
ia berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh derap kuda yang lari
menuju ke arahnya. Siapakah gerangan mereka " Jika ketiga
kawannya yang semalam berkuda mendahului, terang tak
mungkin. Karena mereka tentu sudah amat jauh, pikirnya.
"Ah, baiklah aku bersembunyi di balik gerumbul pohon itu"
katanya seraya loncat menyelinap ke balik gerumbul pohon
tak jauh dari tepi jalan.
Tak berapa lama muncul dua orang penunggang kuda.
Serta lalu di tempat Dipa bersembunyi, Dipa pun serentak
loncat ke luar dan berseru "Hai, kakang Sampada,
Niratma.....!" Kedua penunggang kuda itu cepat hentikan kuda dan
memalingkan ke arah Dipa, lalu turun "Engkau Dipa, ke
manakah gerangan engkau semalam?"
Dipa mengatakan bahwa karena didera hujan, terpaksa ia
meneduh dalam sebuah guha.
"Ah, kami bingung mencarimu" kata Sampada yang
bertubuh tinggi besar. "Tetapi mana kakang Yuda ?" tanya Dipa.
Sampada tak lekas menyahut melainkan berpaling
memandang kawannya, Niratma. Niratma tampak tundukkan
kepala. "Mengapa, kakang" A dakah terjadi sesuatu pada diri kakang
Yuda?" Dipa berseru cemas.
Sampada menghela napas "Benar, Yuda telah menderita
kecelakaan ...." "O, di manakah dia sekarang?"
Sampada geleng-geleng kepala "Dia sudah mendahului kita"
"Apa maksudmu, kakang Sampada?" Dipa makin gelisah
"dia mendahului kita ke pura Majapahit?"
"Tidak, Dipa" kata Sampada dengan nada sendat "dia
mendahului kita ke alam kelanggengan ...?"
"Kakang Sampada!" teriak Dipa terkejut "kakang Yuda
meninggal " Mengapa ?"
Sejenak menghela napas maka menuturlah Sampada
"Peristiwa itu terjadi karena Yuda terlalu usil. Ketika hujan
turun, kami bertiga segera mencari tempat berteduh dan
kebetulan melihat sebuah guha. Ah, ternyata guha itu sebuah
sarang harimau. Untunglah induk harimau tak ada dan yang
ada hanya dua ekor anak harimau yang masih kecil sekali.
Rupanya Yuda senang sekali dengan anak harimau itu. Ketika
hujan sudah reda, kedua ekor anak harimau itupun
dibawanya. Katanya hendak dipelihara nanti apabila berada di
pura Majapahit" "Oh" Dipa mendesuh. Serentak ia teringat dan menyadari
apa sebab harimau betina meraung- raung marah dan hendak
menyerang dirinya di dalam guha. Ternyata harimau itu
sedang mencari anaknya yang hilang "apakah kakang tak
mencegahnya jangan mengganggu binatang itu?"
"Sudah"kata Sampada "tetapi ia tak menghiraukan dan
kedua anak harimau itupun tetap dibawanya. Ketika hujan
sudah reda, karena kuatir induk harimau akan datang, maka
Yuda mengajak berangkat pada malam itu juga. Tetapi lewat
tengah malam, tiba-tiba muncullah seekor harimau gembong
yang menyerang Yuda. Dahsyat sekali harimau itu loncat
menerkam Yuda sehingga dia tak sempat menghindar dan
membela diri. Selekas jatuh maka Yuda terus digigit kepalanya
dan seluruh tubuhnya dihancurkan dengan kuku yang tajam.
Aku dan Niratma cepat melontarkan tombak. Tombak tepat
bersarang di perut harimau. Harimau itupun mati tetapi Yuda
sudah tak dapat ditolong lagi. Kepalanya pecah, badannya
hancur lebur ..." "Uh" Dipa mendesuh ngeri. Ia lalu menuturkan juga
peristiwa yang dialaminya semalam "harimau gembong itu
tentulah harimau yang kehilangan betinanya. Dan harimau
betina itu tentulah yang kehilangan anaknya. Lalu bagaimana
dengan kedua anak harimau itu?"
"Aku tak ingin menderita hal-hal yang sengeri itu lagi"
jawab Sampada "anak harimau itu kulepaskan lagi"
"Kasihan," gumam Dipa.
"Mengapa kasihan?"
"Kedua anak harimau itu telah kehilangan kedua induknya.
Mereka masih kecil, bagaimana mereka dapat mencari
makan?" Sampada tertawa "Ah, engkau terlalu baik hati, Dipa. Masih
baik hanya kulepas saja. Paling tepat sebenarnya harus
kubunuh mereka. Ingatlah sebuah tamsil yang mengatakan
'ibarat memelihara anak harimau Kita memelihara mereka
tetapi kelak apabila sudah besar, mereka tentu akan mencari
kesempatan untuk menelan kita. Dan apakah guna harimau itu
bagi manusia" Bahkan terhadap margasatwa dan binatang2
dalam hutan, harimau itu amat berbahaya"
Dipa diam. Ia teringat bahwa ia sendiri pun telah
menghancurkan dua butir telur ular.
"Dipa, haruskah kita laporkan peristiwa ini kepada gusti
Rani agar dapat dikirim pengganti Yuda?" tanya Sampada.
"Kurasa tak perlu, kakang" kata Dipa "apabila prajurit2 yang
terbaik dikirim semua ke pura Majapahit, bagaimana dengan
Kahuripan sendiri" Kurasa kita bertiga sudahlah cukup untuk
menyumbangkan tenaga kepada baginda"
Demikian ketiga prajurit Kahuripan itu segera melanjutkan
perjalanan. Kuda hitam Dipa dapat diketemukan pula sedang
makan rumput di sebuah tegal.
Perjalanan mereka tak menemui suatu halangan. Dan pada
suatu hari yang cerah, tibalah mereka di Majapahit.
Dipa merasakan cahaya matahari pagi itu lebih cerah, lebih
cemerlang. Langit pun bersih dan angin berhembus lembut. Di
antara bangunan2 gedung yang menggunduk dalam pura
Tikta-Sripala, tampak keraton Majapahit menjulang tinggi
dengan megah serta perkasa.
Dipa menengadahkan kepala, memasuki pintu gerbang pura
Majapahit yang termasyhur. Tiba-tiba dalam pandang matanya
pintu gerbang itu memancarkan sinar kuning emas yang
berkilau-kilauan. Seolah mengayu bagya atau menyambut
hangat akan kedatangannya.
Di pura Tikta-Sripala, ibu kota kerajaan Majapahit itulah
Dipa akan memulai lembaran baru dari kehidupan yang gilang
gemilang. )o0dw-kz=mch0o( BERSAMBUNG KE XXVI convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Bulan Sabit Bukit Patah 2 Ali Topan Anak Jalanan Karya Teguh Esha House Of Hades 1
^