Pencarian

Seribu Hawa Kematian 1

Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian Bagian 1


TDS (TIGA DALAM SATU)
" WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN
" ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU
" KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN PDF E-Book: kiageng80
WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN
1 KALUNG KEPALA SRIGALA
DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah.
Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak
dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto Gendeng duduk tak bergerak.
Dua tangan dirangkapkan di depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya
keluar suara mendengkur.
"Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia enak-enakan ngorok!" Wiro
mengomel sendiri dalam hati.
Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya.
Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang surya belum muncul. Tiba-
tiba Wiro menangkap suara
sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa tapi yakin
sekali ada beberapa orang berkelebat dalam kegelapan.
"Eyang, aku mendengar sesuatu..." Wiro berucap
dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha yang ditepuk tidak merasa
apa-apa karena berada dalam keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar
Pemancung Roh tempo hari.
"Eyang..." Karena tidak mendapat sahutan Wiro
memanggil kembali. "Lekas bangun! Ada orang..."
"Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau
kukencingi tengkukmu"!"
"Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di sekitar kita..."
"Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut"!"
tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang sepasang tangan masih
bersidekap di depan dadanya yang kurus tipis.
"Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya
mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencari saat yang tepat untuk
melakukan sesuatu..."
"Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan
mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka!" kata Sinto Gendeng pula. Lalu
masih dengan mata terpejam dia meneruskan. "Mereka berempat. Mengenakan jubah
hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung hitam..."
"Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan
Lima Laknat Malam Kliwon!"
"Bukan," jawab si nenek. "Yang empat ini tidak
mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di dada pakaian masing-
masing. Anak setan, aku mau
meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau menggerogoti lehermu atau
mengorek jantungmu!"
"Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku
terancam bahaya!" Pendekar 212 jadi jengkel.
"Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa
cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti terdengar suara dengkurnya.
Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat larinya. Dalam gelap empat
bayangan berkelebat
mengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya kesempatan melihat jelas
siapa adanya orang-orang itu, di satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya
dan membentak. "Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri!
Jangan berani berlaku keji!"
Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelah
kiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin.
Wiro memandang berkeliling.
"Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut!
Tidak berani unjukkan diri!" Pendekar 212 memaki. Dia memandang berkeliling
sekali lagi. Tetap saja tidak melihat apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan
perjalanan kembali.
Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang berkelebat dan tahu-tahu
empat tangan berbentuk cakar mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak
satu jengkal! Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin memercik di keningnya.
Matanya mendelik tak berkedip memperhatikan empat tangan berbentuk cakar,
mencuat keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang mengurungnya
saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto Gendeng, orang-orang ini menutupi
kepala dan mukanya dengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada gambar
kepala srigala berwarna putih perak bermata
merah mencorong.
"Siapa kalian! Apa mau kalian"!" Wiro ajukan
pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga dalam dan mencekal betis
Sinto Gendeng yang ada di atas dukungannya.
"Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau
menyerahkan kalung perak kepala srigala!" Salah seorang dari empat pengurung
membuka suara. Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. "Eh, kau
perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek seperti yang aku dukung
ini"!"
"Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalau
memang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala srigala terbuat dari perak
itu!" "Benda yang kau cari tidak ada padaku!" jawab Wiro.
Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial sebelumnya (Laknat
Malam Kliwon) setelah diserbu oleh lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang
menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putih yang talinya telah
putus. Kalung itu saat itu disimpannya di balik pakaiannya.
"Seorang pendekar tidak layak berdusta!" Orang
berkerudung di sebelah kiri membentak.
"Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini
perempuan semua"!" tanya Wiro.
"Seorang pendekar tidak layak berdusta!" Orang yang tadi berkata ulangi
ucapannya. "Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangan
nenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri!" kata Wiro pula lalu tertawa gelak-
gelak. "Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa tololnya!" Orang berkerudung
di samping kanan berucap.
Dia memberi isyarat pada tiga kawannya.
Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. "Kami
tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kami melihat sendiri kau
memasukkannya ke balik pakaian.
Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu"!"
"Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula
bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian"
Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian adalah bangsa penjahat
malam. Kalau bukan rampok,
pasti maling!"
"Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi pemuda ini!" Orang di
samping kiri hilang kesabarannya.
Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di depan leher Pendekar
212 berkelebat ke depan.
Breeeetttt! Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak
lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapi tenggorokannya yang
jebol! Empat suitan keras menggelegar di malam dingin.
Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat.
Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis
Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam
keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan.
Wuuuuutttt! Wutttt!
Bukkk! Bukkk! Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil
menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan Wiro sebagai senjata
penangkis menghantam pergelangan mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri
karena lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja duduk pejamkan mata di
atas pundak muridnya!
Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar
menderu ganas. Breeeettt! Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada
pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan
pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan jurus Kincir Padi Berputar
dia hantamkan tendangan ke arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto
Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis dan
pahanya yang dipakai menendang telah berada dalam
cengkeraman dua tangan berbentuk cakar! Sedikit saja dia bergerak dan kalau dua
lawan mau, maka daging betis dan pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang
membuat nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah menempel di
batang lehernya!
"Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum mau
menyerahkan kalung perak kepala srigala itu"!" Orang berkerudung di depan Wiro
membentak. Sepasang
matanya berkilat-kilat.
"Tenang... Sabar..." kata Wiro dengan suara bergetar dan tengkuk dingin. "Kau
bunuh diriku tak ada gunanya.
Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!"
"Dusta besar! Bohong!"
"Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda
yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi awas! Kalau kepala srigala
itu tidak kalian temukan, jangan iseng mencari kepalaku yang lain! Ha... ha...
ha!" Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu
merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Tidak satupun dari
empat orang itu bertindak hendak menggeledah.
"Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam"!" tanya
Wiro. "Siapa sudi menggeledah tubuhmu!" teriak orang
berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu saja merasa jengah
menggerayangi sosok Pendekar 212.
"Panggil Ki Tawang Alu!" Salah satu dari empat orang berkerudung berkata. Lalu
salah seorang dari mereka keluarkan suitan keras.
Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar
hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk.
Pandangan matanya tajam angker.
"Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung kepala srigala ada
padanya!" Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya
pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendeng yang ada di atas pundak
Wiro. Kakek muka putih ini punya banyak pengalaman dan pandai menilai orang.
Sesaat dia tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di samping
kanan membentak.
"Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!"
Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan dua tangannya. Caranya
menggeledah Wiro aneh dan
cepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu
menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang berkerudung kecewa besar
ketika si kakek kemudian
berkata sambil mundur.
"Kalung itu tidak ada padanya...!"
"Mana bisa jadi!"
"Tidak mungkin!"
"Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di
balik pakaiannya...!"
Ki Tawang Alu menggeleng. "Aku sudah mencari. Tak
mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini.
Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari benda lain yang dapat
menyembuhkan pimpinan kita dari sakitnya..."
Empat orang berkerudung memandang tidak percaya
pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk-
garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi, empat orang berkerudung
hitam mau tak mau akhirnya
tinggalkan pula tempat itu.
Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam
kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perak
kepala srigala itu"!"
Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya.
Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak
berbentuk kepala srigala bermata merah.
"Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang
berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka putih itu! Dari tampangnya
kentara kulihat dia bangsa manusia yang mempergunakan kesempatan dalam
kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan.
Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih jauh dari sini! Belum lagi
Teluk Akhirat!"
*** WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN
2 KAKEK SEGALA TAHU
BUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun.
Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang
kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di salah satu puncak bukit
di sebelah timur kelihatan berdiri sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang
terbuat dari rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa
menahan sinar matahari. Anehnya di dalam teratak atau gubuk itu tampak seorang
kakek duduk di atas gundukan batu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tam-
balan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya hawa yang keluar dari
tanah bukit kapur itu seolah tidak terasa olehnya.
Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan
kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping lebar terbuat dari
bambu yang diputar-putar demikian rupa hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata
si kakek jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih rata. Buta!
Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng penyok-penyok tak karuan
rupa. Dengan tangan kanannya kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya.
Suara berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek tertawa mengekeh
seolah bunyi kerontang kaleng rombeng itu lucu menyenangkan. Dia angkat lagi
tangannya lebih tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan itu terasa
sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang tua ini jadi berubah. Dua matanya
yang putih bergerak berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap saja
tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam dan geleng-gelengkan
kepala. "Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggu
kesenanganku!" kakek itu berhenti memutar caping di tangan kiri. Caping bambu


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu diletakkannya di atas kepala sementara tangan kanannya yang memegang kaleng
masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk tak bergerak seperti
merenung. Lalu dia mendongak sambil menghirup siliran angin yang lewat di bawah
teratak. Di antara bau hawa kapur yang mengambang di udara dia
membaui sesuatu. Kakek ini menyeringai. Sesaat kemu-
dian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit kapur. Bersamaan dengan
itu dirasakannya satu kekuatan yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan
tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya yang memegang kaleng
rombeng lalu berkata.
"Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamu
geblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar berhenti aku jadi tua
bangka! Ha... ha... ha...!" Lalu si kakek goyangkan tangannya. Suara kerontangan
kaleng rombeng yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur itu.
Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan.
"Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup
hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka"!"
Kakek mata putih terkesiap. "Astaga! Ternyata bukan dia! Celaka! Dugaanku
meleset! Tapi..." Kakek ini kembali menghirup udara dalam-dalam. "Tapi bau
pesing itu! Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang dengan orang lain. Tapi
mengapa aku hanya mendengar langkah-langkah kaki satu orang saja" Aku rasa-rasa
kenal suara orang yang barusan bicara!"
Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. "Aneh, bagaimana mungkin ada
makhluk yang namanya manusia
setinggi itu!" Si kakek membatin.
"Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa
yang tengah kau lakukan"!" Kakek mata putih berteriak.
Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa cekikikan. Sesaat
kemudian muncullah si nenek sakti dari Gunung Gede itu, didukung di atas pundak
oleh muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
Walau dua matanya buta namun kakek di dalam
teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat lewat penciuman, perasaan
dan pendengarannya.
"Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa yang kau jadikan
tunggangan untuk datang ke bukit kapur ini! Edan betul!"
"Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama Wiro Sableng!"
"Huaaaa... ha... ha...! Guru dan murid sama sintingnya!
Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian hanya datang percuma
mencari angin!"
Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi
kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto Gendeng dan Wiro. Seperti
dituturkan dalam serial terda-
hulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kema-
sukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan
Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya masih tertolong karena
seorang kakek kekasihnya di masa muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau
demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari
pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiro mau tak mau terpaksa
mendukungnya. "Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama
ini baik-baik saja"!" Sinto Gendeng bertanya.
Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk-
kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek Segala Tahu.
Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mata
putihnya. "Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak bisa berjalan sendiri.
Kau diturunkan dan didudukkan.
Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau pesing, apa yang
terjadi denganmu?"
"Dua kakiku lumpuh!" berkata Sinto Gendeng.
Rahangnya menggembung.
"Lumpuh" Kau kesambat setan di mana"!" Kakek
Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto
Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. "Tunggu!"
Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng
rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek
Segala Tahu di bukit kapur itu.
"Tua bangka geblek! Apa yang lucu!" membentak Sinto Gendeng.
"Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau sampai lumpuh begini rupa!
Ini akibat terlalu mengobar cinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan
jadi lumpuh! Ha... ha... ha...!"
"Tua bangka sinting!" maki Sinto Gendeng. "Enak saja kau bicara! Wiro! Ceritakan
pada kakek gila ini apa yang telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menu-
duh yang bukan-bukan!"
Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sang guru dia lalu tuturkan
malapetaka yang menimpa Sinto Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng
rombengnya dan tarik nafas panjang berulang kali.
"Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek," kata Wiro
memberi tahu. "Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh itu harus dibasmi..."
Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang.
"Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah menyingkirkan makhluk
kelelawar itu selama dia mengua-
sai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari atas ke bawah, sulit
dihindari. Satu-satunya cara, kalian harus menghindari tempat terbuka..."
"Bagaimana mungkin Kek!" kata Wiro pula.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yang putih berputar-putar. Lalu
orang tua ini bertanya. "Sinto, apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang
disebut Sepasang Sinar Inti Roh?"
Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro
langsung saja memberi tahu. "Eyang memang sudah
memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan darinya. Tapi guru
menyuruh aku menunggu sampai empat puluh sembilan tahun!"
Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya.
"Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa menghancurkan Kelelawar
Pemancung Roh..."
"Nah Nek, apa kataku!" Wiro menyeletuk. "Kalau saja kau telah mengajarkan padaku
ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah
turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku
sendiri bisa membereskannya!"
"Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan
dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti ini hatiku jadi leleh dan
mengajarkan ilmu itu padamu.
Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat
puluh sembilan tahun lagi!"
"Nasibku jelek!" kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempat
dan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan
Seribu Hawa Kematian itu..."
"Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk minta petunjukmu..." kata
Wiro mulai jengkel melihat tingkah si kakek.
"Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati
jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan!" jawab Kakek Segala Tahu lalu
kerontangkan kaleng bututnya.
Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan hitam membuat udara
menjadi mendung. Petir menyambar beberapa kali dan guntur menggelegar
menggetarkan bukit kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya dan
goyangkan tangannya berulang kali.
"Itu! Itu kelemahannya!" Si kakek berteriak.
Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu
lalu kedipkan matanya pada Wiro. "Apa yang dikatakan tua bangka sinting ini..."
bisik Sinto Gendeng pada muridnya.
"Kek, kalau kau memang sudah mengetahui
kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera memberi tahu pada kami?"
ujar Wiro pula.
"Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut, tidak bisa bergerak kalau
ada hujan. Begitu juga Seribu Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatan
membunuhnya pada saat hujan turun!"
"Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan
lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah
disekapnya dengan hawa maut itu!" Sinto Gendeng berkata setengah mengomel. Lalu
dia berpaling pada muridnya.
"Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja!
Kau juga harus mencari akal!"
"Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku lagi butek!" jawab Wiro.
"Kalau sulit menghadapi makhluk kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian
pada hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan kelumpuhan yang kau
derita." "Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si
Raja Obat sanggup menyembuhkannya?"
"Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan. Juga
tidak ada satu obat pun.
Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil..." Kakek Segala Tahu memandang ke
arah Wiro. Dia pegang tangan kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya.
"Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu
petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisa menyembuhkan gurumu. Harap
kau ceritakan padaku..."
"Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa
tahu hal itu!" membatin Wiro.
"Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa
tidak menjawab ucapanku!" Kakek Segala Tahu
membentak. Bola matanya yang putih memandang
berputar ke langit.
"Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek
bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan
kelumpuhan Eyang adalah
sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap
matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami gerhana."
"Weehhhhh!" Sinto Gendeng monyongkan mulutnya
yang perot. "Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma satu urusan gila!
Mencari bunga matahari mungkin
gampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih mungkin. Tapi yang mekar
pada saat gerhana matahari dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar
gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru akan terjadi seratus tahun
lagi. Saat itu aku sudah jadi bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu
buat apa aku pikirkan! Hik... hik... hik!"
"Sinto," kata Kakek Segala Tahu setelah
menggoyangkan kalengnya dua kali. "Yang berkata adalah Suro Ageng. Orang yang
bisa dipercaya. Ucapannya
mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu merupakan satu tamsil
yang harus diselidik dan dikaji lebih dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan
sekarat. Lalu apa kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernah ada
satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga
matahari?"
"Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak ingat hal itu!" kata Sinto
Gendeng pula. Sesaat wajahnya yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya
memancarkan sinar penuh harapan.
"Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhana
matahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari
sungguhan?"
"Mungkin memang perlu diselidiki." kata Sinto Gendeng sambil manggut-manggut
hingga lima tusuk konde perak yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang
dan berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian berpaling pada
muridnya. "Wiro, kau harus bawa aku ke puncak Pegunungan Dieng!"
"Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa
sembuh!" jawab Wiro namun dalam hati mengeluh,
"Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan aku musti mendukung nenek
bau pesing ini! Remuk aku!"
Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada
Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan berbisik. "Aku tahu
omelan yang barusan kau ucapkan dalam hati..."
"Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek
itu mengomel kalang kabut!" kata Wiro balas berbisik.
"Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini"!"
Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. "Aku tahu Pegunungan Dieng jauh dari
sini! Sedang Teluk Akhirat lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu
apa yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuh
sangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar Pemancung Roh itu lebih
dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat lebih dulu! Kau dengar itu anak setan"!"
"Aku dengar nenek set..." Wiro tertawa cekikikan dan cepat tutup mulutnya,
"Maafkan aku Nek. Karena kau
terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah ikut-ikutan memanggilmu
nenek set... Ha... ha... ha!"
Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar
seperti mau melompat dari rongganya.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah
goyangkan kaleng rombengnya dia berkata, "Aku
merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu Sinto. Anak muda, benda
apakah itu" Coba keluarkan, mau kulihat!"
Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis pikir bagaimana orang tua
yang matanya buta ini mampu mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda
asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu
menembus pandang dan mengetahui apa yang
disimpannya di balik baju.
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepala
srigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di telapak kiri Kakek
Segala Tahu lalu jari-jari si kakek ditekuknya hingga membentuk genggaman.
"Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam
tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan"!"
bertanya Kakek Segala Tahu.
Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, "Waktu
pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa
semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku.
Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat dari perak putih.
Memiliki sepasang mata merah." Lalu Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan
benda itu. "Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang benda ini!" kata Kakek
Segala Tahu seraya mendongak ke langit, "Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau
sampai salah memberikan pada orang lain. Aku mencium bau
penyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda banyak malapetaka
mengelilingi kalung ini..."
"Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus susah memikirkan!" kata
Sinto Gendeng. Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, "Wiro, simpan
benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau
menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selama kalung kepala srigala itu
ada padamu, kau bakal
menghadapi cobaan berat..."
"Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu
Kek," menyahuti Wiro.
Kakek Segala Tahu tersenyum, "Bagaimana kau bisa
tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam keadaan bugil rela
menyerahkan kehormatannya asal
kalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!"
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada
gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan, "Anak setan!
Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun
untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku khawatir kau tidak
sanggup menghadapi cobaan sekali ini.
Hik... hik... hik..."
Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala
mendengar ucapan dan kekehan sang guru.


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN
3 EMPAT GADIS BUGIL
SEBENTAR lagi malam akan turun. Sebaiknya kau
menyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada mata air.
Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus sekali!"
Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam
saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang
didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan pakaiannya basah oleh
keringat. Namun dasar pemuda
konyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan, "Eyang, sebenarnya kau lebih
baik tidak terlalu banyak minum.
Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus-
terusan!" "Anak setan!" Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar
dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar
meringis kesakitan. "Kau benar-benar murid tidak berbudi.
Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau
mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek mempermainkanku!"
"Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku sangat letih. Apa kita boleh
berhenti barang sebentar?"
Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga
muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. "Kita baru berhenti kalau sudah
sampai di kaki bukit sana!"
"Eyang..."
"Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin yang kuajarkan padamu. Selama
perjalanan kulihat kau tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat
perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu"!"
"Eyang, aku tak punya maksud memperlambat
perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya sudah cukup cepat.
Kalau kupergunakan ilmu lari Kaki Angin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap
di atas pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu hilang
keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau sampai begitu nanti aku lagi
yang kena omelan..."
"Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari
mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu!" kata Sinto Gendeng.
"Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja," kata Wiro.
Dalam hati dia berucap, "Nenek cerewet! Awas kau! Akan kukerjai kau agar tahu
rasa!" Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke
kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat laksana anak panah lepas
dari busur. Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlari membuat tubuhnya dan
tubuh sang guru yang didukung
laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak tenggelam itu. Wiro
sengaja lari secepat yang bisa
dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya berlari biasa tetapi
sesekali melompat atau berjingkrak atau menikung tak karuan hingga tubuh si
nenek yang didukungnya terlontar-lontar malang melintang di atas pundaknya.
Kadang-kadang dia memperlambat larinya
dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke
depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong muridnya niscaya akan
terlempar jatuh!
Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah pohon-pohon bercabang
rendah. Kalau Sinto Gendeng
tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh ke belakang atau ke samping
niscaya kepala atau dadanya akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu
cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah cabang pohon besar Sinto
Gendeng tidak keburu
rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek
berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya tinggal kulit membalut
tulang dihantamkan ke depan.
Braaaakkk! Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancur
berantakan. "Anak setan! Kau mau membunuh aku"!" Si nenek
menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak
rambut Wiro. "Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang agar aku mempergunakan ilmu
lari Kaki Angin. Aku mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku mau
membunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil mendukungmu dengan ilmu lari
itu bisa berbahaya!"
"Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau
mengerjai diriku!" kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala muridnya dua kali
hingga Wiro terpekik kesakitan. "Sudah!
Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki Angin! "
Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, "Nah sekarang akhirnya kau menyerah
juga! Rasakan..."
Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya
dikucuri cairan hangat.
"Nek! Kau kencing ya"!" teriak Wiro sambil pencongkan mulut dan hidungnya.
"Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangan
kira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa!
Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa cekikikan. Kalau saja
yang ada di atas pundaknya itu bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro
membantingkan orang itu ke tanah!
*** BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan
malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu
sampai di tepi rimba belantara yang membentang
sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro melihat sebuah telaga
kecil di antara pohon-pohon besar.
Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera menurunkan si nenek
lalu mandi membersihkan diri.
Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bau oleh pesing kencingnya
sang guru. Namun ketika sampai di tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap.
"Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi
menyejukkan diri..."
"Wah, aku keduluan..." ucap Wiro dalam hati.
"Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau
menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintip orang!"
"Nek!" kata Wiro jadi kesal, "Perawan saja yang mandi belum tentu aku intip.
Apalagi kau yang sudah tua renta begini! Apa untungnya"!"
Sinto Gendeng tertawa panjang. "Mengintip anak gadis mandi sudah biasa! Tapi
mengintip nenek-nenek bugil jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin
tahu bagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik... hik...
hik!" "Kalau aku amit-amit Nek!" jawab Wiro.
Mereka sampai di tepi telaga. Wiro langsung
menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro berkata, "Eyang, kau boleh
mandi sampai pagi. Biar aku bisa istirahat yang lama..."
"Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil
kau harus segera datang!"
Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu pohon besar dia duduk
bersandar dan lunjurkan kaki.
Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa kali. Sesaat ketika dia
hendak memejamkan mata dari atas pohon besar tiba-tiba dia melihat empat
bayangan hitam berkelebat, melayang turun laksana empat burung
raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling dia jadi terkejut
lalu menyeringai.
"Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat apa lagi"! Mau membetot
putus leherku atau menjebol jantungku dengan cakar srigala kalian"!"
Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi
kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah masing-masing terpampang
gambar kepala srigala
berwarna putih perak dengan mata merah menyorot.
Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh yang kemarin malam
sebelumnya telah mencegat
Pendekar 212. Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah
lalu berkata, "Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala srigala itu ada padamu!
Kau sembunyikan di satu tempat di balik pakaianmu!"
Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah berubah seperti kaki srigala
lengkap dengan cakarnya. Lalu dia menyambung ucapan temanya, "Kemarim malam kami
masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika
kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!"
"Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan
sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah sekujur tubuhku! Dia tidak
menemukan kalung itu! Mana kakek muka mayat itu" Siapa namanya"!"
"Dia tidak ada di sini!" jawab orang berkerudung di ujung kiri.
"Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!"
"Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak mempercayai dirinya!"
"Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan
urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!"
"Bagaimana aku harus menerangkan!" kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling.
"Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangi sendiri menggeledah
tubuhku! Silahkan saja!" Wiro lalu kembangkan dada pakaiannya.
Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang
pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah kanan yang sejak tadi
diam saja maju mendekati Wiro.
"Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu.
Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu dicuri orang sepuluh hari
lalu. Kami tidak tahu siapa pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon,
mungkin juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami tidak perlu nyawa
ataupun darahmu. Kami sangat
memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai penukarnya akan kami
penuhi!" "Apakah kalung itu memang milik kalian?" Wiro
bertanya. "Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarang dia sedang terbaring
sakit. Hanya kalung itu..."
"Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!"
tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong ucapan temannya.
"Namamu Rembulan...?" ujar Wiro seraya menatap
sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua lobang kecil di bagian
depan kerudung hitam. Wiro garuk-garuk kepala. "Kalau saja aku bisa melihat
wajahmu, pasti kau secantik bulan purnama empat belas hari..."
Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari
mulutnya. Dalam hati dia membatin. "Apa yang orang
bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi ah... Mengapa aku merasa
tertarik padanya?" Di balik kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah.
Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan
Wiro. "Namaku Mentari Pagi..."
"Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak!" kata Wiro sambil tersenyum
Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi
lanjutkan ucapannya, "Kalung itu bagi kami sama nilainya dengan jiwa kami. Kami
benar-benar membutuhkan. Kami tidak tahu mengapa kau punya niat jahat
menyembunyikan kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!"
"Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku.
Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki Tawang Alu menggeledah
diriku. Selain itu bagaimana aku tahu pasti kalung itu memang milik kalian?"
Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak di dada jubah hitamnya.
"Kau saksikan sendiri. Gambar kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada
padamu!" "Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar
kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh sekaligus! Lalu apa itu
berarti kalung kepala srigala perak itu milikku!"
Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata-
kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, "Kalau kubunuh pemuda ini lalu ternyata
kalung itu memang tidak ada padanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu
tidak mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar.
Tapi aku yakin kalung itu ada padanya!" Mentari Pagi memandang pada ketiga
kawannya, memberi tanda
dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung
satu persatu anggukkan kepala.
Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya pada
Pendekar 212. "Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami menyirap kabar bahwa kau
adalah seorang pemuda hidung belang..."
"Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa
menuduh aku hidung belang"!" kata Wiro dengan suara keras sambil usap-usap
hidungnya. "Eh! Kalian dengar baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku
yang akan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian
berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku"
Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang" Aku atau kalian berempat!"
Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan
keluarkan suara-suara marah. "Kau enak saja bicara
ngacok!" bentak Mentari Pagi.
Wiro tertawa gelak-gelak.
Mentari Pagi kembali membuka mulut, "Kau mau
mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika kau mau menyerahkan
kalung kepala srigala itu kami
bersedia menyerahkan diri kami padamu..."
"Menyerahkan diri bagaimana"!" tanya Wiro setengah
melongo. "Jangan berpura-pura!" jawab Mentari Pagi. "Kau boleh memiliki diri kami malam
ini..." "Kalian... Empat-empatnya"!"
Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung
lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke balik semak belukar
setinggi dada. "Eh! Kau mau ke mana"!" tanya Pendekar 212.
Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di balik semak-semak dia
tanggalkan jubah hitamnya.
Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau
tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar yang jadi penghalang
tidak seberapa lebat lagi pula demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas
sosok tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu.
Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang
berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semak belukar yang sama.
Seperti Mentari Pagi satu persatu mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua
mata Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari
rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang mengalir dalam pembuluh di
sekujur badannya menjadi panas. Jantungnya berdegup keras.
"Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidak tahu wajah kalian,
jangan-jangan kalian empat nenek yang punya kesaktian menipu pandangan
mataku..." Ucapan itu keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke
telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh tiga kawannya tiba-
tiba gerakkan tangan masing-masing, menarik lepas kerudung hitam yang selama ini
menutupi kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihat wajah ke empat
orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut dua langkah sambil garuk-garuk kepala!
*** WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN
4 SINTO GENDENG LENYAP
"YA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyata empat gadis berwajah


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik!" Wiro tegak terkesiap sambil garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan
ternyata paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah cantik, namun ada
bayangan sifat angkuh serta kehendak memaksakan wibawa. "Ini rupanya cobaan yang
dikatakan Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah
menghadapi cobaan ini" Gila! Mengapa urusan bisa jadi kapiran seperti ini"!"
"Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh datang ke balik semak
belukar ini!" Mentari Pagi berkata.
"Aku... Tidak... tidak!" kata Wiro sambil goyangkan kepala.
"Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak akan memenuhi janji, kalau
begitu datanglah ke sini. Kau boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa
saja pada kami..."
Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah
mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain.
"Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa menolong akan kulakukan! Aku
bukan manusia yang
menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi
melakukan seperti apa yang kalian katakan...!"
Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya.
"Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!"
Rembulan tiba-tiba berkata, "Mentari, lihat! Dia
mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu kalung kepala srigala
perak yang kita cari!"
Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke arah Wiro yang saat itu
memang sudah mengeluarkan
kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itu dia masih berdiri
dengan kepala mengarah ke jurusan lain, tak berani memandang ke arah semak
belukar. "Lekas kenakan jubah dan kerudung!" Mentari Pagi
berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari
rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya
segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing.
Lalu melangkah ke hadapan Wiro.
Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di
hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang
memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah
Mentari Pagi. "Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah
memberikan barang ini pada kalian!"
"Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalah milik pimpinan kami dan
segera akan kami sampaikan
kepadanya!" kata Mentari Pagi pula.
"Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah,
hatiku lega sekarang..." kata Wiro pula lalu tersenyum.
"Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang
sangat berharga ini!" Mentari Pagi cepat-cepat
memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kain
yang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya.
"Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu yang hendak kau minta dari
kami?" "Tidak... Aku tidak minta apa-apa..." jawab Wiro.
"Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai imbalan?" tanya Mentari
Pagi. "Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi..."
Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali memandang pada Pendekar
212. "Jika kau tidak meminta apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa
kami jawab?"
"Pertanyaan...?" Wiro garuk-garuk kepala. "Kalau
pertanyaan memang banyak!"
"Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu
persatu." kata Mentari Pagi pula.
"Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakan
pakaian dan kerudung serba hitam seperti ini" Lalu
gambar kepala srigala itu" Aku juga melihat tangan kalian bisa berubah menjadi
seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Kata kalian kalung perak itu
adalah milik pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang menderita
sakit apa?"
"Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!"
Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk
menjawab. Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan sesaat jadi kikuk. Matanya
menatap wajah Pendekar 212
sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya jadi gemetar.
"Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebut Bumi Hitam. Kami bermukim di
lereng bukit timur Gunung Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi
Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang konon hanya bisa
disembuhkan dengan Kalung Perak
Kepala Srigala. Selain itu kalung tersebut adalah pusaka Kelompok Bumi Hitam
yang merupakan pertanda bahwa
pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagai
pimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai
bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan
kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan
karena kami semua adalah
perempuan yang rata-rata berusia muda..."
"Dan cantik-cantik!" sambung Wiro lalu tertawa lebar.
"Apakah kau masih ada pertanyaan lain?" ujar gadis
bernama Mentari Pagi.
Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah
yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara ringkas pada empat orang
gadis lalu bertanya, "Apa kalian pernah mendengar asap beracun yang disebut
Seribu Hawa Kematian itu" Lalu apakah kalian tahu kelemahan serta cara
menghadapinya" Menurut seorang sahabat
dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus menghindari tempat terbuka dan pada
saat hujan turun.
Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan sahabatku itu?"
Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung.
Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. "Apa yang dikatakan sahabatmu itu
memang betul. Tetapi ada satu cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat
mematikan itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dari api. Api
bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak selamanya. Api yang telah
berubah menjadi asap atau hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api
juga." Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. "Terima kasih
Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau pimpinan kalian sedang
sakit dan kalian sudah dapatkan kalung kepala srigala itu sebagai obatnya,
sebaiknya kalian lekas-lekas menemuinya."
"Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada orang ini. Jika kau
mengizinkan..."
Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan
bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap.
"Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia tidak pernah jauh dari
air. Konon dia bisa dilukai tapi tak bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada
dalam jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup yang tidak diketahui apa dan
di mana beradanya..."
"Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam dirinya sendiri. Tapi
dititipkan pada makhluk lain." Wiro geleng-geleng kepala.
"Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami
tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam
rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan bernama Wiro
Sableng?" Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan
Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. "Apa artinya satu nama, apa pula artinya
sebuah julukan" Aku ya manusia biasa, begini saja adanya seperti yang kalian
lihat. Aku ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku Eyang Sinto Gendeng
mengalami kelumpuhan akibat Seribu Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat
atau cara penyembuhannya?"
"Kami tidak bisa memberikan jawaban," kata Mentari
Pagi. "Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke tempat kami di lereng
timur Gunung Merapi. Mungkin
pimpinan kami bisa menolong..."
"Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat kalian..." kata Wiro pula.
"Satu lagi pertanyaan dariku," Rembulan kini yang
berkata, "Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak"
Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang
bernama Anggini?"
Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu dia
tertawa gelak-gelak. "Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa berkata begitu.
Rembulan, dari mana kabar itu kau
dapatkan?"
"Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah diundang datang ke lereng
timur Gunung Merapi. Dalam satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan
dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut si kakek sudah lama sekali dia
tidak bertemu denganmu dan tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena
katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang bernama Anggini itu..."
Wiro garuk kepalanya habis-habisan. "Maksud kakek itu baik. Tapi..."
"Tapi apa?" tanya Mentari Pagi. "Anggini tidak suka padamu, atau kau yang tidak
tertarik padanya?"
"Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas sana..." kata Wiro sambil
menunjuk ke atas. "Siapa tahu Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku
berjodoh dengan salah satu dari kalian!"
Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil.
Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada kawan-kawannya lalu
berkata, "Kami pergi sekarang!
Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikan Kalung Kepala Srigala..."
Keempat gadis itu lalu menjura.
Wiro balas menghormat seraya berkata, "Aku juga
berterima kasih. Kalian semua telah memberikan
kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan
kulupakan seumur hidup!"
Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah
karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya,
"Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan kuceritakan bagaimana
hebatnya kesetiaan kalian
padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya..."
"Kami harap..." kata Mentari Pagi dengan suara agak gemetar, "Hal itu jangan kau
ceritakan pada Pelangi Indah.
Kami..." "Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidak akan menceritakan
apapun pada pimpinan kalian," kata Wiro pula sambil tersenyum.
"Terima kasih..." kata Mentari Pagi seraya menjura
sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya.
Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak
meninggalkan tempat itu.
"Ada apa...?" tanya Wiro agak heran.
"Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada artinya kalau tidak
disertai satu tindakan yang tulus..."
"Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan,
Mentari Pagi. Apakah..."
Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan
ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu cepat sekali keempatnya
berkelebat, dua dari kiri, dua dari kanan.
Cup! Cup! Cup! Cup! "Hai!"
Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia
melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan yang barusan dicium oleh
empat gadis itu. Pipi sang pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas
gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wiro hanya bisa bertegak diam.
Di kejauhan, dalam gelapnya malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu.
*** DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis
lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat Mentari Pagi mendekati
Rembulan dan berkata, "Sahabatku
Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama
Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan keras..."
"He, apa maksudmu Mentari Pagi?" tanya Rembulan.
Mentari Pagi tersenyum. "Dari caramu menghadapi
pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta dari
pandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau
suka padanya..."
Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata-
kata Mentari Pagi. "Kau menggodaku! Kalau dua teman yang lain sempat mendengar,
kabar yang bukan-bukan
pasti akan segera menebar..."
Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulan yang untuk beberapa saat
lamanya masih tegak tertegun.
"Anggini..." katanya dalam hati. "Aku juga belum pernah melihatmu. Secantik
apakah dirimu?"
*** TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis dari
kelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di tempat itu. "Dewa Tuak...
Bagaimana orang tua itu
seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan muridnya?" Wiro garuk-garuk
kepala. "Ah! Mengapa hal itu harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto
Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku.
Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu Seribu Hawa Kematian
sudah kuketahui."
Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang Sinto
Gendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian.
Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang
berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di sekitarnya. Eyang Sinto
Gendeng tidak kelihatan.
"Ke mana perginya orang tua itu?" pikir Wiro. "Kalau masih mandi mengapa tak ada
dalam telaga. Pakaiannya tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai
mandi mengapa tidak memanggil aku, memberi tahu"
Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu..."
Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang
menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut benda itu. Ketika
diperhatikan berdebarlah dada Pendekar 212.
"Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng..." katanya dengan suara bergetar. Wiro
memandang berkeliling. Hanya
kegelapan yang kelihatan.
"Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana"!" Wiro berteriak
memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung
suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. "Nek!
Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak akan kudukung lagi kau!"
Wiro terdiam sesaat. "Tidak mungkin nenek itu
bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari dalam telaga! Setahuku
sekitar kawasan ini tidak ada binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol
macan! Lalu kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya menculik nenek
tua bangka dan bau pesing begitu?"
Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi,
"Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang Sinto Gendeng. Jika
sampai menancap di batu mungkin sekali telah dipergunakan untuk menyerang
seseorang! Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di tempat ini!"
Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah belakang. Wiro cepat
berpaling sambil hantamkan tangan kirinya.


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukkkk! Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa perih panas. Di depan sana
seorang kakek muka putih berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia
mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan tadi namun dia masih bisa
keluarkan ucapan.
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata
memang bukan nama kosong belaka!"
Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia
segera mengenali kakek muka putih itu.
"Ki Tawang Alu!" teriak Wiro geram.
TAMAT Episode Berikutnya: SRIGALA PERAK
BASTIAN TITO P E N D E K A R K E R I S T U J U H
ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU
(BAGIAN 2) PDF E-Book: kiageng80
ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU
7 PERTEMPURAN DI SENJA HARI
KI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalau
nenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan
menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu diserang dengan satu
gerakan cepat dia miringkan badan dan kepala ke kiri.
Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat
ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang tua berjubah putih itu.
Lalu craasss! Ujung lidah menancap dalam di batang pohon tempat di mana
sebelumnya Ki Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu lobang besar
mengepulkan asap di batang pohon!
Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi hitam gosong seperti
terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan kepala tertawa lantang. Lidahnya yang
panjang basah keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan semburkan
ludah berwarna merah ke tanah.
Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada
kakek di hadapannya.
Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri.
Tangan kirinya memegang Kitab "Hikayat Keraton Kuno"
sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat bambu berwarna kuning.
Sebelumnya Ki Suro memang
telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya nenek yang ada di hadapannya
itu. Namun dia tidak
menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat
mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat
mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang begitu kokoh bisa dibuat
berlubang dan hangus laksana dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau
hatinya tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh ketenangan.
Malah dengan suara lembut dia menegur,
"Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain secara tidak sah merupakan
satu perbuatan tidak terpuji.
Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan
membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang
barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang
paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam kebaikan dan persahabatan
antara sesama kita umat
Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang."
Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh.
Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam
kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak hidup seperti tumbuhan
laut. "Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini
sungguh enak didengar!" kata Si Lidah Bangkai lalu
tertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah.
"Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa
begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing-
masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan atau dalam berkah di
jalan lurus yang telah disediakan Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha
Kuasa agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yang benar dan keluar
dari kesesatan."
Si Lidah Bangkai mendengus.
"Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan jalan hidupmu! Setiap
manusia punya cara berpikir dan jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah
merasa hidup dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri hingga
pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidak terpuji! Tapi aku sendiri
mengatakan perbuatanku itu justru sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin
menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak berada di tanganmu!"
"Pusaka keraton" Apa maksud sampeyan?" tanya Ki
Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar
kata-kata Si Lidah Bangkai.
"Kitab di tangan kirimu itu!" kata Si Lidah Bangkai sambil menuding dengan
telunjuk tangan kirinya, "Itu yang kumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan
kitab itu padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti
pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!"
Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh daun lontar di tangan
kirinya lalu gelengkan kepala. "Aku tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka
keraton. Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka dan
membaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun
kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan.
Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang titipan. Berarti harus
kujaga baik-baik."
"Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus
mengambil kitab itu bersama nyawamu!" kata Si Lidah Bangkai pula. Begitu selesai
berucap nenek jahat ini menerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan
merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah
panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang itu mematuk. Yang jadi
sasaran kali ini adalah dada Ki Suro Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya.
"Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku.
Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hati sampeyan agaknya telah
menjadi batu, hingga tak mau mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali.
Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk
pada sampeyan..." Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro dengan cepat gerakkan
tangan kanannya. Tongkat bambu kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya,
menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk.
Desss... desss!
Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali berturut-turut. Ki Suro
merasakan tangan kanannya
bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya Si Lidah Bangkai
kelihatan mengernyit seperti menahan sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang
luar biasa. Lidah si nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit tongkat
bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan lidahnya maka
tongkat itu tertarik keras.
Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap
saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus amblas ke dalam perut!
Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda.
Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang yang kenyang habis
menyantap makanan enak. Mulutnya yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-
gigi besar berwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah berlelehan ke
dagunya. "Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu
supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer, hatimu dibuat leleh dan
kau mau menyerahkan kitab itu padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan
tongkatmu dalam perut besarku!"
Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek.
Dengan tenang dia menjawab, "Memohon pada Tuhan
adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon untuk hal yang tidak baik
dan bukan bersifat kebajikan.
Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan
hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya
sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada tempatnya. Sampeyan
keliru, bukan di dalam perut
sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala
sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang Maha Kuasa. Jadi harap
sampeyan suka mengembalikan
tongkatku!"
Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan
kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjuk diarahkan ke pusar Si Lidah
Bangkai. Ketika jari itu digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang
membuat si nenek berseru kaget.
Breeettt! Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari robekan itu perlahan-lahan
menyembul keluar tongkat bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi
ditelannya! Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Suro
gerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti orang memanggil. Settt!
Tongkat kuning melesat dan
kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua itu. Dengan mata mendelik
si nenek perhatikan dan
pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari perutnya lewat pusar,
jangan-jangan pusarnya telah
bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidak cidera. Tapi tengkuknya
telah terlanjur dingin karena kecut.
Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak
memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan.
Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di atas dada Ki Suro berkata,
"Cukup sudah kita berlaku seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir.
Saat bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyan suka pergi dengan
tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang telah terjadi telah kulupakan." Ki Suro
membungkuk memberi hormat pada si nenek.
Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan.
Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke
tanah dia berkata, "Ki Suro, jangan bertingkah sombong, menyuruh aku pergi! Aku
tidak angkat kaki dari tempat ini tanpa kitab itu!"
Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah merah menyembur disusul
dengan gulungan lidahnya yang menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan
tangan kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali dibetot lidah
itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar ludah merah bermuncratan
membasahi wajah dan jubah
putih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya.
Taarrr! Taaarrr!
Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk.
Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah, menghantam ke arah Ki
Suro Gusti Bendoro!
"Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran
menghadapi manusia sesat lupa diri ini," kata Ki Suro. Lalu dia cepat
menghindar. Bummmm! Kraaak! Satu letusan keras disusul suara patahnya batang
pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat
hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk.
"Luar biasa... Luar biasa!" kata Ki Suro dalam hati,
"Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan sesat!"
Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah
Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar suara seperti petir
berkiblat. Cahaya merah bergulung-gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan
diri Ki Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek ini digempur habis-
habisan. Walau tidak sekalipun cambuk lidah di tangan lawan mengenai diri atau
pakaiannya, namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu tidak dapat
dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh noda-noda merah seperti diperciki
darah. "Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu!
Pergilah dari sini!" Ki Suro memberi ingat. Dia masih berharap agar si nenek
sadar dari perbuatannya.
"Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan tidak bisa dibuat sadar..."
begitu kiai berhati tulus ini berpikir.
*** ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU
8 KALA SRENGGI NENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitab
"Hikayat Keraton Kuno" mana mau perdulikan teriakan Ki Suro Gusti Bendoro. Malah
dia lancarkan serangan lebih gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba
hitam lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya merah redup
membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana curahan hujan mengurung si kakek.
Karena mengambil
sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang, lama-lama Ki Suro jadi
terdesak dan jurus demi jurus keadaannya semakin berbahaya.
"Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di tangan perempuan sesat
ini bisa-bisa aku tidak akan tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika
aku berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk
menghadapinya." Setelah berucap di dalam hati seperti itu Ki Suro masih belum
mau turun tangan. Dia memberi
kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak
mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu pergi dari situ.
Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah
memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro
tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di
pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt!
Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan
jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat keluar dari gulungan
serangan lawan. Untung senjata lawan tidak sampai melukai kulitnya.
"Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar
hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau menyudahi urusan dan pergi
dari sini!" Ki Suro memberi ingat untuk kesekian kalinya.
"Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan
urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur
menentukan minta kitab dan juga nyawamu!" menjawab Si Lidah Bangkai lalu
didahului tawa bergelak dia kiblatkan kembali cambuk lidahnya.
Taaarrr! Taarrr! Taaarrr!
Cambuk merah mendera udara senja yang semakin
gelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu menghantam ke arah kepala Ki
Suro. Satu lagi menyambar ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan
kiri yang memegang kitab daun lontar.
Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai memang luar biasa. Ki Suro
tidak tahu mana dari tiga ujung lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya.
Karenanya untuk membentengi diri dia putar tongkat bambu
kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran.
Wuutttt! Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua
cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas karena memang bukan ujung
cambuk sebenarnya. Tapi
ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telah menyambar pergelangan


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kiri Ki Suro, langsung melilit naik ke arah kitab daun lontar yang
dipegangnya! Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih
tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas orang. Begitu ujung cambuk
lidah melesat ke arah kitab daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke
udara. Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangan
kirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti ada satu kekuatan
raksasa menarik tangannya hingga dua kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh
lawan melayang di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak
menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh
lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini
melancarkan tendangan sekuat tenaga.
Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah
Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mental
sampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah
terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki Suro pergunakan
kesempatan untuk menyambut dan
menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke tanah dengan ujung tongkat
bambu kuningnya. Dengan
tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga
melayang masuk ke dalam tangan kirinya!
"Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!" teriak Si Lidah Bangkai. Dengan cepat
dia melompat bangkit tapi agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya
akibat 'tempelan' kaki Ki Suro tadi.
"Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan
berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati sendiri. Sampeyan
menjual, aku terpaksa membeli.
Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi.
Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap
keras hati keras kepala..."
"Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di depan mata!" teriak Si
Lidah Bangkai. Laksana terbang tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya
didorongkan ke depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyembur
keluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat ganas dalam keadaan
saling bergerak bersilangan satu sama lain seperti mata gunting.
"Gunting Iblis!" seru Ki Suro yang mengenali ilmu kesaktian yang dipergunakan si
nenek untuk menyerang.
Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia pernah mendengar, selama
malang melintang di kawasan timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi
momok nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan yang tidak mampu
menyelamatkan diri dari serangan ini.
Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat
mengerikan seumur hidup!
Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki
Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu Gunting Iblis-nya. Tetapi
betapa terkejutnya si nenek ketika tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah
putih itu lenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan saktinya
menghantam tempat kosong lalu merambas
serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar.
Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan!
"Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!"
teriak Si Lidah Bangkai.
"Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurang
memasang mata!" tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di belakang. Si nenek cepat
membalik sambil kembali hendak menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi
sebelum dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia melihat satu benda
panjang berwarna merah berkelebat ke arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini
Bangau Sakti 43 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Pendekar Pengejar Nyawa 14
^