House Of Hades 1
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades Bagian 1
The Heroes of Olympus 4: The House of Hades
-Rick Riordan- BAB SATU HAZEL SAAT SERANGAN KETIGA BERLANGSUNG, HAZEL nyaris menelan sebongkah batu besar. Dia sedang
menatap ke dalam kabut, bertanya-tanya mengapa sulit sekali terbang melintasi sebuah jajaran gunung
tolol, ketika bel peringatan kapal berbunyi. "Segera belok kiri!" Nico berseru dari tiang depan kapal layar
terbang itu. Di bagian kemudi kapal, Leo menyentakkan roda kemudi. Argo 2 membelok ke kiri, bilahbilah dayung terbangnya mem-belah awan bagaikan deretan bilah pisau. Hazel melakukan kesalahan
dengan menatap ke seberang langkan. Sebentuk benda bundar berwarna gelap meluncur ke arahnya.
Dia bertanya-tanya: Mengapa bulan mendatangi kami" Kemudian, dia memekik dan mengempas ke
geladak. Sebongkah batu besar melintas begitu dekat di atas kepalanya sampai-sampai rambutnya
tertiup ke belakang. KRAK! Tiang depan ambruk"layar, tiang kapal, dan Nico, semuanya jatuh
menghantam geladak. Batu besar itu, yang kira-kira seukuran
truk pikap, terguling jatuh ke dalam kabut seakan-akan terburu-buru karena urusan penting di tempat
lain. "Nico!" Hazel bergegas menghampirinya, sementara Leo menyeimbangkan kapal. "Aku tidak apaapa," gumam Nico, sambil menendang lipatan kain kanvas hingga lepas dari kakinya. Hazel membantu
Nico berdiri, lalu mereka berjalan tertatih-tatih menuju haluan. Hazel memeriksa dengan lebih cermat
kali ini. Awan-awan memisah cukup lama sehingga puncak gunung di bawah mereka sempat terlihat:
ujung batu hitam mencuat dari lereng-lereng hijau berlumut. Sesosok dewa gunung berdiri di
puncaknya"salah satu dari numina montanum, demikian Jason menyebut mereka. Atau, ourae dalam
bahasa Yunani. Apa pun sebutannya, mereka sangat keji. Seperti dewa gunung lain yang pernah mereka
hadapi, dewa yang ini mengenakan tunik putih sederhana di atas kulit yang sekasar dan segelap basal.
Tingginya sekitar enam meter dan tubuhnya sangat berotot, janggut putihnya berkibar, rambut acakacakan, dan sorot matanya liar, seperti petapa gila. Dia meraungkan sesuatu yang tak dipahami Hazel,
tetapi jelas tidak sedang menyambut mereka dengan ramah. Dengan tangan kosong, dia mencungkil
sepotong batu lagi dari gunungnya dan mulai membentuk potongan batu itu menjadi bola. Adegan itu
menghilang di balik kabut, tetapi ketika si dewa gunung meraung lagi, numina lain menimpali di
kejauhan, suara mereka menggema di sepanjang lembah. "Dasar dewa batu dungu!" pekik Leo dari
kemudi. "Ini ketiga kalinya aku harus mengganti tiang itu! Apa kalian pikir tiang kapal tumbuh dari
pohon?" Nico mengerutkan dahi. "Tiang kapal memang berasal dari pohon."
"Bukan itu masalahnya!" Leo menyambar salah satu alat kendalinya, yang terbuat dari stik Nintendo Wii,
lalu memutar-mutarnya. Beberapa meter dari situ, sebuah pintu membuka di geladak. Meriam
perunggu udara pun melayang naik. Hazel nyaris tak sempat menutup telinga sebelum benda itu
dilepaskan ke angkasa, menyemburkan selusin bola logam yang meninggalkan ekor api hijau. Di udara,
paku-paku besar bermunculan pada bola-bola logam itu, seperti baling-baling helikopter, dan bola-bola
itu pun meluncur memasuki kabut. Sesaat kemudian, serangkaian ledakan terdengar di sepanjang
pegunungan itu, diikuti oleh raungan murka dewa-dewa gunung. "Ha!" seru Leo. Sayangnya, Hazel
menebak, berdasarkan dua perjumpaan terakhir mereka, senjata terbaru Leo hanya membuat jengkel
numina. Sebongkah batu besar lain mendesis di udara menuju sisi kanan kapal. Nico berseru, "Bawa kita
keluar dari sini!" Leo menggumamkan beberapa komentar kasar tentang numina, tetapi dia
membelokkan kemudi. Mesin menderum. Tali-temali sihir kapal mengetatkan diri, dan kapal pun siap
bergerak ke kiri. Argo II melaju kian cepat, mundur ke barat laut, seperti yang mereka lakukan selama
dua hari belakangan ini. Hazel tidak bisa santai sampai mereka keluar dari pegunungan itu. Kabut telah
menghilang. Di bawah mereka, sinar matahari pagi menyinari pedesaan Italia"perbukitan hijau
bergelombang dan ladang-ladang keemasan yang tak jauh berbeda dengan yang ada di California Utara.
Hazel hampir bisa membayangkan dirinya tengah berlayar pulang ke Perkemahan Jupiter. Pikiran itu
membebani dadanya. Perkemahan Jupiter baru menjadi rumahnya selama sembilan bulan, sejak Nico
membawanya kembali dari Dunia Bawah. Namun, Hazel lebih merindukannya daripada tempat
kelahirannya di New Orleans, dan jelas lebih merindukannya daripada Alaska, tempat wafatnya pada
1942. Dia merindukan tempat tidurnya di Barak Kohort V. Dia kangen makan malam di ruang tnakan,
dengan roh-roh angin menyapu pinggan-pinggan di udara dan anggota bala tentara bersenda gurau
tentang permainan perang. Dia ingin keluyuran di jalan-jalan Roma Baru, bergandengan tangan dengan
Frank :hang. Dia ingin merasakan menjadi gadis biasa sekali saja, dengan paean yang sungguh-sungguh
manis dan penuh perhatian. Dan, yang paling diinginkannya adalah merasa aman. Dia lelah merasa
ketakutan dan khawatir sepanjang waktu. Dia berdiri di geladak belakang saat Nico memunguti serpihan
tiang kapal dari lengannya dan Leo menekan tombol-tombol di konsol kapal. "Yah, yang tadi itu supermenyebalkan," kata Leo. "Haruskah aku membangunkan yang lain?" Hazel tergoda untuk mengiakan,
tetapi anggota kru yang lain sudah menjalani giliran jaga malam dan berhak istirahat. Mereka kelelahan
mempertahankan kapal. Sepertinya, setiap beberapa jam sesosok monster Romawi memutuskan bahwa
Argo 2 terlihat seperti makanan lezat. Beberapa minggu silam, Hazel tak akan percaya ada orang yang
bisa tidur saat terjadi serangan numina, tetapi kini dia membayangkan teman-temannya masih
mendengkur pulas di bawah geladak. Setiap kali dia sendiri mendapat kesempatan tidur, Hazel terlelap
seperti pasien yang sedang koma. "Mereka perlu istirahat," jawabnya. "Kira harus bisa menemu-kan
jalan lain sendiri."
"Hah." Leo membersut pada monitornya. Dalam balutan kemeja kerjanya yang lusuh dan celana jin yang
penuh noda minyak, dia terlihat seperti barn saja kalah pertandingan gulat melawan lokomotif Sejak
Leman mereka, Percy dan Annabeth, terjatuh ke dalam Tartarus, Leo bekerja nyaris tanpa henti. Dia
menjadi lebih pemarah dan amat termotivasi dibandingkan biasanya. Hazel mengkhawatirkannya.
Namun, sebagian dari dirinya lega melihat perubahan itu. Setiap kali Leo tersenyum dan bergurau, dia
sungguh terlalu mirip dengan Sammy, kakek buyut Leo ... pacar pertama Hazel, dulu pada 1942. Uh,
mengapa hidupnya harus serumit ini" "Jalan lain," gumam Leo. "Apakah kau melihat jalan lain?" Di
monitor Leo sebuah peta Italia bersinar. Pegunungan Apenina membentang di tengah negara yang
berbentuk sepatu bot itu. Sebuah titik hijau yang mewakili Argo 2 berkedip-kedip di sebelah barat
pegunungan itu, beberapa ratus kilometer di utara Roma. Rute mereka seharusnya sederhana. Mereka
perlu mencapai sebuah tempat bernama Epirus di Yunani dan menemukan sebuah kuil tua bernama
Gerha Hades (atau Pluto, sebagaimana sebutan bangsa Romawi; atau sebagaimana yang senang
dibayangkan oleh Hazel: Ayah Mangkir Terburuk di Dunia ). Untuk mencapai Epirus, mereka hanya
tinggal mengarah lurus ke timur melewati Apenina dan menyeberangi Laut Adriatik. Namun, itu tidak
terjadi. Setiap kali mereka berusaha menyeberangi tulang punggung Italia itu, dewa-dewa gunung
menyerang. Selama dua hari terakhir ini, mereka menyusur ke utara, berharap menemukan jalan aman,
tetapi gagal. Numina montanum adalah putra-putra Gaea, dewi yang paling tidak disukai. Hazel. Hal itu
menjadikan mereka musuh yang amat gigih. Argo2 tidak
bisa terbang cukup tinggi untuk menghindari serangan mereka. Bahkan, dengan segala pertahanannya,
Argo 2 tidak bisa melintasi pegunungan tanpa menjadi hancur lebur. "Ini salah kami," kata Hazel. "Salah
Nico dan aku. Para numina bisa merasakan keberadaan kami." Hazel melirik kepada saudara tirinya itu.
Sejak mereka menyelamatkan Nico dari para raksasa, kekuatannya sudah mulai pulih, tetapi badannya
masih sangat kurus. Kemeja hitam dan celana jinnya menggantung pada tubuhnya yang kerempeng.
Rambut hitam panjang membingkai kedua matanya yang cekung. Kulitnya yang dulu sewarna zaitun
telah berubah berwarna putih pucat kehijauan, seperti warna getah pohon. Dalam hitungan tahun
manusia, usia Nico persis empat belas tahun, hanya setahun lebih tua daripada Hazel, tetapi cerita tidak
berhenti sampai di situ. Seperti Hazel, Nico di Angelo adalah demigod yang berasal dari zaman berbeda.
Dia memancarkan sejenis energi tua"kemurungan yang muncul dari pengetahuan bahwa tempatnya
bukanlah di dunia modern. Hazel belum lama mengenal Nico, tetapi dia memahami, bahkan ikut
merasakan, kesedihan Nico. Anak-anak Hades (Pluto"apa pun sebutannya) jarang mengalami
kehidupan yang bahagia. Selain itu, berdasarkan apa yang disampaikan Nico kepadanya tadi malam,
tantangan terbesar mereka baru muncul setelah mereka mencapai Gerha Hades"tantangan yang
diminta Nico agar dirahasiakan Hazel dari yang lain. Nico mencengkeram gagang pedang besi Stygiannya. "Roh-roh tanah tidak suka anak-anak Dunia Bawah. Itu memang benar. Kami membuat mereka
jengkel. Namun, kurasa bagaimanapun juga numina tetap bisa merasakan keberadaan kapal ini. Kita
mengangkut .Athena Parthenos. Benda itu seperti suar sihir."
Hazel bergidik, memikirkan patung raksasa yang menyita sebagian besar ruang palka. Begitu banyak
yang mereka korbankan untuk menyelamatkan patung itu dari gua di bawah Roma, tetapi mereka sama
sekali tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan benda itu. Sejauh ini satu-satunya kegunaan patung
itu sepertinya hanyalah memberitahukan keberadaan mereka pada lebih banyak monster. Leo
menyusurkan jari pada peta Italia. "Jadi, menyeberangi gunung tidak mungkin. Masalahnya, pegunungan
membentang sangat panjang di kedua arah." "Kita bisa lewat laut." Hazel mengusulkan. "Berlayar
mengitari ujung selatan Italia." "Itu jauh sekali," kata Nico. "Lagi pula, tidak ada ...." Suaranya pecah.
"Kau tahu pakar taut kita, Percy." Nama itu menggantung di udara seperti bakal badai. Percy Jackson,
putra Poseidon ... barangkali demigod yang paling dikagumi oleh Hazel. Percy telah begitu sering
menyelamatkan nyawanya sepanjang pengembaraan mereka ke Alaska, tetapi ketika dia membutuhkan
bantuan Hazel di Roma, Hazel gagal membantunya. Hazel hanya menatap tanpa daya saat Percy dan
Annabeth jatuh ke dalam lubang itu. "Bagaimana kalau terus ke utara?" tanyanya. "Pasti ada celah di
pegunungan ini, atau entah apa." Leo memain-mainkan bola mekanis perunggu Archimedes yang dia
pasang pada konsol"mainan terbarunya dan yang paling berbahaya. Setiap kali Hazel memandang
benda itu, mulutnya menjadi kering. Dia khawatir Leo memutar kombinasi yang salah pada bola itu dan
tanpa sengaja melempar mereka semua dari geladak, atau meledakkan kapal, atau mengubah Argo II
menjadi pemanggang roti raksasa.
Untunglah, mereka masih bernasib baik. Muncul sebuah kamera pada bola itu dan menayangkan
gambar 3-D Pegunungan Apenina di atas konsol. "Entahlah." Leo mengamati hologram itu. "Aku tidak
melihat ada ruse yang bagus di utara. Tapi, aku lebih suka gagasan itu ketimbang kembali ke selatan.
Aku sudah tak mau berurusan dengan Roma." Tak ada yang membantah hal itu. Roma bukanlah
pengalaman yang menyenangkan. "Apa pun yang kita lakukan," kata Nico, "kita harus bergegas. Setiap
hari yang dihabiskan Annabeth dan Percy di Tartarus ...." Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya.
Mereka harus berharap Percy dan Annabeth bisa bertahan cukup lama untuk menemukan Pintu Ajal
yang ada di sisi Tartarus. Kemudian, dengan asumsi Argo II bisa mencapai Gerha Hades, mereka mungkin
bisa membuka pintu itu di sisi dunia manusia, menyelamatkan teman-teman mereka, dan menyegel
pintu masuknya, mencegah pasukan Gaea bereinkarnasi lagi dan lagi di dunia manusia. Ya tak mungkin
ada masalah dengan rencana yang itu. Nico mengernyitkan dahi ke arah area pedesaan Italia di bawah
mereka. "Mungkin seharusnya kita membangunkan yang lain. Keputusan ini memengaruhi kita semua."
"Tidak," Lukas Hazel. "Kita bisa menemukan solusi." Hazel tidak yakin mengapa perasaannya sangat kuat
tentang hal ini, tetapi sejak meninggalkan Roma, awak kapal mereka mulai kehilangan kekompakan.
Mereka sudah belajar untuk bekerja sama sebagai tim. Kemudian bum ... dua anggota paling penting
jatuh ke Tartarus. Percy merupakan andalan mereka. Dia memberi mereka kepercayaan diri saat
berlayar menyeberangi Samudra Atlantik dan memasuki wilayah Mediterania. Sementara Annabeth,
dialah pemimpin yang sebenarnya dalam ekspedisi mereka. Dia merebut
Athena Parthenos seorang diri. Dialah yang paling cerdas di antara mereka bertujuh, yang selalu
memiliki jawaban untuk berbagai hal. Jika Hazel membangunkan awak kapal yang lain setiap kali
menghadapi masalah, mereka hanya akan mulai bertengkar lagi, merasa semakin tak berdaya. Dia harus
membuat Percy dan Annabeth bangga kepadanya. Dia harus mengambil inisiatif. Dia tidak percaya satusatunya peran yang dia miliki dalam perjalanan ini hanyalah menyingkirkan halangan yang menunggu
mereka di Gerha Hades"seperti yang diucapkan Nico. Dia menepis pikiran itu. "Kita perlu sedikit ide
kreatif," katanya. "Cara lain untuk me-nyeberangi gunung-gunung itu, atau cara untuk menyembunyikan
diri kita dari numina." Nico mendesah. "Jika aku sendirian, aku bisa melakukan perjalanan bayangan.
Tapi, itu tak akan berhasil untuk seisi kapal. Lagi pula, sejujurnya, aku tak yakin masih punya kekuatan
untuk bahkan memindah diriku sendiri." "Aku mungkin bisa membuat sejenis kamuflase," kata Leo,
"seperti tirai asap untuk menyembunyikan kita di dalam awan." Suaranya tidak terdengar sangat
antusias. Hazel menatap ke bawah pada tanah pertanian yang ber-gelombang, berpikir tentang apa yang
ada di bawahnya"dunia ayahnya, penguasa Dunia Bawah. Dia baru sekali bertemu Pluto, dan dia
bahkan tak menyadari siapa gerangan Pluto. Dia jelas tak pernah mengharapkan bantuan dari Pluto"
baik pada kehidupan pertamanya, atau pada kehidupannya sebagai roh di Dunia Bawah, ataupun sejak
Nico membawanya kembali ke dunia fana. Pelayan ayahnya, Thanatos, dewa kematian, sempat
mengata-kan bahwa mungkin diabaikan oleh Pluto adalah hal yang baik bagi Hazel. Bagaimanapun,
Hazel tidak seharusnya hidup. Jika
Pluto memperhatikannya, dia mungkin mengembalikan Hazel ke negeri orang mati. Artinya, meminta
bantuan Pluto merupakan gagasan yang sangat buruk. Tapi Tolonglah, Yah, Hazel mendapati dirinya
memohon. Aku harus menemukan jalan menuju kuilmu di Yunani"Gerha Hades. Jika kau di bawah sang,
tunjukkan kepadaku apa yang harus kulakukan. Di ujung cakarawala, sekilas gerakan tertangkap oleh
matanya"sesuatu berukuran kecil dan berwarna abu-abu cokelat melesat melintasi ladang-ladang
dengan kecepatan luar biasa, meninggalkan jejak asap seperti sebuah pesawat terbang. Hazel tak bisa
memercayainya. Dia tidak berani berharap, tetapi itu pastilah "Anion." "Apa?" tanya Nico. Leo bersorak
gembira saat kepulan debu itu mendekat. "Itu kuda Hazel, Bung! Kau sama sekali belum tahu tentang ini.
Kami belum melihatnya lagi sejak di Kansas!" Hazel tertawa"pertama kalinya dia tertawa setelah
berhari-hari. Rasanya begitu menyenangkan melihat sobat lamanya lagi. Sekitar satu kilometer di utara,
titik kecil berwarna abu-abu kecokelatan itu mengitari sebuah bukit dan berhenti di puncaknya.
Sosoknya sulit ditangkap mata, tetapi ketika kuda itu berdiri pada kaki belakangnya dan meringkik,
suaranya terbawa jauh hingga mencapai Argo II. Hazel sangat yakin"itu Anion. "Kita harus
menemuinya," kata Hazel. "Dia di sini untuk membantu." "Yeah, baiklah." Leo menggaruk-garuk
kepalanya. "Tapi, eh, kita sudah membahas soal tidak mendaratkan kapal ini di tanah lagi, ingat" Kau
tahu mengingat Gaea ingin menghancurkan kita."
"Pokoknya bawa aku mendekat, dan akan kugunakan tangga tali." Jantung Hazel berdebar kencang.
"Kurasa Anon ingin menyampaikan sesuatu kepadaku."[]
BAB DUA HAZEL HAZEL TAK PERNAH MERASA SEBAHAGIA ITU. Yah, kecuali mungkin pada malam pesta kemenangan di
Perkemahan Jupiter, ketika dia mencium Frank untuk kali pertama tetapi ini hampir menyamai saat itu.
Begitu menjejak tanah, Hazel berlari menuju Anion dan mengalungkan tangan ke leher hewan itu. "Aku
kangen padamu!" Hazel menempelkan wajah ke panggul hangat kuda itu, yang berbau asin lautan dan
apel. "Dari mana saja kau?" Arlon meringkik pelan. Hazel berharap dia bisa berbicara bahasa kuda
seperti Percy, tetapi dia bisa menangkap gagasan besarnya. Anion terdengar tak sabar, seolah-olah
mengatakan, Tidak ada waktu untuk bersikap sentimental, Non! Ayolah! "Kau ingin aku pergi
bersamamu?" tebak Hazel. Anion mengangguk-anggukkan kepala, sambil menderapkan kaki di tempat.
Kedua matanya yang berwarna cokelat gelap berbinar-binar mendesak. Hazel masih belum bisa
memercayai kuda itu sungguh-sungguh ada di sini. Arlon bisa berlari melintasi segala permukaan,
bahkan lautan. Namun, Hazel selama ini khawatir Anion tidak mau mengikuti mereka ke Negeri Kuno.
Mediterania terlalu berbahaya untuk para demigod dan sekutu-sekutu mereka. Anion tidak akan datang
kecuali Hazel sangat membutuhkan. Dan, Anion tampak begitu gelisah Apa pun yang bisa membuat
seekor kuda pemberani menjadi gugup semestinya membuat takut Hazel. Sebaliknya, Hazel justru
merasa sangat gembira. Dia sudah sangat letih mengalami mabuk laut dan udara. Di atas Argo 2, dia
merasa sama bergunanya seperti sekotak tolak bara(Pemberat yang terdiri atas cairan yang dimuat di
kapal, ditempatkan di bagian dasar kapal dan bagian lain untuk tujuan stabilitas kapal dan balas atau
rem kapal. "peny. ). Dia sangat senang bisa kembali menginjak tanah padat walau itu adalah daerah
kekuasaan Gaea. Dia siap menunggang kuda. "Hazel!" Nico berteriak dari atas kapal. "Ada apa?" "Tidak
ada apa-apa!" Hazel berjongkok dan memanggil sebuah magnet emas dari tanah. Dia semakin mahir
mengendalikan kekuatannya. Batu-batu mulia sudah jarang muncul di sekitarnya secara tak sengaja, dan
mengambil emas dari tanah adalah hal yang mudah. Dia menyuapkan bongkahan emas itu pada Anion
kudapan favorit kuda itu. Dia lantas tersenyum ke arah Leo dan Nico, yang tengah memandanginya dari
ujung tangga, sekitar tiga ratus meter di atasnya. "Anion ingin membawaku ke suatu tempat." Kedua
anak lelaki itu bertukar pandangan gugup. "Mmm ...." Leo menunjuk ke utara. "Tolong, katakan
kepadaku dia tidak membawamu memasuki itu?" Sedari tadi Hazel begitu memusatkan perhatian pada
Anion sehingga dia tidak memperhatikan gangguan cuaca. Sekitar satu
kilometer dari situ, di atas puncak bukit sebelah, badai telah berkumpul di atas sebuah puing-puing batu
tua"mungkin sisa sebuah kuil Romawi atau sebuah benteng. Sebentuk awan berbentuk corong
merayap turun menuju bukit itu seperti sebuah jari sehitam tinta. Mulut Hazel terasa seperti mencecap
darah. Dia menatap Anion. "Kau ingin pergi ke sana?" Anion meringkik, seolah berkata, Menurutmu"
Yah ... Hazel tadi meminta bantuan. Apakah ini jawaban ayahnya" Dia berharap begitu, tetapi dia
merasakan ada sesuatu selain Pluto yang tengah bekerja dalam badai itu sesuatu yang gelap, kuat, dan
belum tentu bersahabat. Namun, inilah kesempatannya untuk membantu kawan-kawannya"untuk
memimpin alih-alih menjadi pengikut. Hazel mengencangkan tali-tali pedang kavaleri emas kerajaannya
dan menaiki punggung Anion. "Aku akan baik-baik saja!" Dia berseru ke arah Nico dan Leo. "Tetap di situ
dan tunggu aku." "Tunggu berapa lama?" tanya Nico. "Bagaimana kalau kau tidak kembali?" "Jangan
khawatir, aku akan kembali." Hazel berjanji, seraya berharap itu benar. Dia memacu Anion, dan mereka
melesat melintasi wilayah pedesaan, langsung menuju tornado yang sedang membentuk itu.[]
BAB TIGA HAZEL BADAI ITU MENELAN BUKIT DALAM pusaran asap hitam yang berputar-putar. Anion menyerbu ke
dalamnya. Hazel mendapati dirinya berada di atas bukit, tetapi rasanya seperti berada di dalam dimensi
yang berbeda. Dunia kehilangan warna. Dinding-dinding badai mengepung bukit itu dalam warna hitam
kelam. Langit bergolak abu-abu. Puing-puing rusak tadi menjadi berwarna sedemikian putih hingga
nyaris bersinar, bahkan Anion berubah warna dari cokelat karamel menjadi abu-abu gelap. Di dalam
mata badai, udara bergeming. Kulit Hazel menggelenyar dingin, seolah-olah dia Baru saja digosok
dengan alkohol. Di hadapannya, sebuah pintu lengkung mengarah ke dinding-dinding berlumut
memasuki semacam area berpagar. Tak banyak yang bisa dilihat Hazel dalam kegelapan itu, tetapi dia
merasakan keberadaan sesuatu di dalam sana, seolah-olah dirinya adalah sebongkah besi di dekat
sebuah magnet besar. Tarikan magnet itu tak bisa ditolak, menyeretnya maju.
Namun, dia bimbang. Dia menarik tali kekang Anion, dan kuda itu menderap-derap tak sabar, tanah
mendedas di bawah kakinya. Di mana pun kuda itu menjejak, rumput, tanah, dan bebatuan berubah
putih seperti es. Hazel teringat Gletser Hubbard di Alaska"betapa permukaannya retak di bawah kaki
mereka. Dia teringat lantai gua mengerikan di Roma yang remuk menjadi debu, menjerumuskan Percy
dan Annabeth ke dalam Tartarus. Hazel berharap puncak bukit hitam-putih ini tidak buyar di bawahnya,
tetapi dia memutuskan sebaiknya terus bergerak. "Kalau begitu, ayo pergi, Kawan." Suaranya tak
terdengar jelas, seolah-olah dia terbekap bantal. Arion berderap memasuki pintu lengkung batu itu.
Dinding-dinding rusak menghiasi tepian halaman dalam yang berbentuk persegi dengan ukuran kira-kira
seluas lapangan tenis. Tiga pintu gerbang lain, satu di bagian tengah setiap dinding, mengarah ke utara,
timur, dan barat. Di bagian tengah halaman, dua jalan setapak yang terbuat dari batu bulat saling
memotong, membentuk silang. Kabut menggayut di udara"utas-utas putih samar yang bergelung dan
mengombak seakan-akan hidup. Hazel menyadari itu bukan kabut biasa. Sang Kabut. Sepanjang
hidupnya, dia telah mendengar tentang Kabut-- selubung supernatural yang menutupi dunia mitos dari
pandangan manusia biasa. Kabut ini bisa menipu manusia, bahkan demigod, membuat mereka melihat
monster sebagai hewan tak berbahaya, atau melihat dewa sebagai manusia biasa. Hazel tak pernah
mengira Kabut adalah asap sungguhan, tetapi saat dia melihatnya bergulung di sekitar kaki Anion,
melayang melewati lengkung-lengkung rusak di halaman yang kacau itu, bulu roma di kedua lengannya
berdiri. Entah bagaimana dia tahu: benda putih ini benar-benar ajaib.
Di kejauhan, seekor anjing menggonggong. Arion biasanya idak takut apa-apa, tetapi dia mengangkat
kedua kaki depannya, seraga mendengus-dengus gelisah. "Tidak apa-apa." Hazel mengelus leher Anion.
"Kita hadapi ini bersama. Aku turun, ya?" Hazel meluncur menuruni punggung Arion. Seketika itu juga
Arion berbalik dan lari. "Anion, tung?" Namun, kuda itu telah lenyap seperti ketika ia tadi datang.
Selesai sudah soal menghadapi bersama. Suara gonggongan lain membelah udara"kali ini lebih dekat.
Hazel melangkah menuju bagian tengah halaman. Kabut menggayutinya seperti uap ruang pembeku
lemari es. "Halo?" seru Hazel. "Halo," jawab sebuah suara. Sosok pucat seorang perempuan muncul di
gerbang utara. liukan, tunggu dulu dia berdiri di pintu timur. Bukan, di barat. riga citra sosok wanita
berasap bergerak serempak menuju bagian tengah reruntuhan. Sosoknya samar, terdiri dari Kabut, dan
ia d iikuti oleh dua gumpalan asap yang lebih kecil, melesat di dekat tumitnya seperti binatang. Sejenis
hewan peliharaan" Wanita itu mencapai bagian tengah halaman dan ketiga sosoknya bergabung
menjadi satu. Ia memadat menjadi seorang wanita muda yang mengenakan gaun tanpa lengan
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna gelap. Rambutnya yang keemasan diikat dalam kucir kuda yang tinggi. Gaya Yunani Kuno.
Gaunnya begitu lembut sehingga tampak seperti bergelombang, seolah-olah kain gaunnya adalah tinta
yang tumpah dari bahunya. Dia terlihat berusia tak lebih dari dua puluh tahun, tetapi Hazel tahu itu
tidak berarti apa-apa. "Hazel Levesque," kata wanita itu.
Dia wanita yang cantik, tetapi teramat pucat. Dulu di New Orleans, Hazel pernah terpaksa melayat
jenazah seorang teman sekolah. Dia teringat jasad tak bernyawa gadis muda itu di dalam peti mati.
Wajahnya dibuat cantik, seolah-olah tengah beristirahat, yang menurut Hazel malah menakutkan.
Wanita ini mengingatkan Hazel kepada gadis itu"hanya saja mata wanita ini terbuka dan hitam
sepenuhnya. Ketika menelengkan kepala, dia seperti memecah menjadi tiga sosok yang berbeda lagi
jejak-jejak citranya yang samar memudar bersamaan, seperti foto seseorang yang bergerak terlalu cepat.
"Siapa kau?" Jari-jemari Hazel langsung menyentuh pangkal pedangnya. "Maksudku dewi apa?" Hazel
yakin sampai sejauh itu. Wanita ini memancarkan kekuatan. Segala sesuatu di sekitar mereka"Kabut
yang berputar-putar, badai monokrom, suasana seram reruntuhan"disebabkan kehadiran wanita ini.
"Ah." Wanita itu mengangguk. " Biar kuberi sedikit penerangan." Dia mengangkat tangannya. Tiba-tiba
saja dia memegang dua obor buluh kuno, dengan api yang berkedip-kedip. Kabut menyurut ke tepian
halaman. Di kaki bersandal wanita itu, dua hewan berkabut mulai mengambil bentuk yang utuh. Salah
satunya adalah seekor anjing labrador retriever. Satu lagi seekor hewan pengerat berbulu panjang
berwarna abu-abu yang mengenakan topeng putih di wajahnya. Seekor musang, mungkin" Wanita itu
tersenyum tenang. "Dewi sihir. Banyak yang harus kita bicarakan jika kau ingin tetap hidup setelah
malam ini."[] BAB EMPAT HAZEL HAZEL INGIN LARI, TETAPI KAKI-KAKINYA seperti menempel di tanah berlapis putih itu. Di kedua sisi jalan
yang bersilangan tadi, dua tiang dudukan obor yang terbuat dari logam- berwarna gelap mencuat dari
tanah seperti batang tanaman. Hecate memasang obornya pada kedua tiang itu, kemudian melangkah
pelan mengitari Hazel, mengamat-amatinya seolah-olah mereka adalah pasangan dalam suatu tarian
yang seram. Anjing hitam dan musang itu mengikuti di belakangnya. "Kau seperti ibumu." Hecate
memutuskan. Tenggorokan Hazel seperti tercekik. "Kau mengenalnya?" "Tentu saja. Marie adalah
peramal. Dia berurusan dengan jampi-jampi, kutukan, dan gris-gris(Talisman.). Aku adalah dewi sihir."
Mata yang hanya dihiasi warna hitam kelam itu seperti rnenarik-narik Hazel, seolah berusaha memeras
jiwanya. Pada kehidupan pertamanya di New Orleans, Hazel diganggu oleh anak-anak di Sekolah St. Agnes gara-gara
ibunya. Mereka menyebut Marie Levesque penyihir. Para biarawati berbisik-bisik bahwa ibu Hazel
membuat perjanjian dengan setan. Hazel bertanya-tanya, jika para biarawati takut kepada ibunya,
bagaimana reaksi mereka terhadap dewi ini" "Banyak yang takut kepadaku," kata Hecate, seolah-olah
membaca pikiran Hazel. "Tapi, sihir tidaklah jahat atau baik. Sihir adalah alat, seperti pisau. Apakah pisau
jahat" Hanya jika pemegangnya jahat." "Ibu"ibuku ...." Hazel berkata terbata-bata. "Dia tidak percaya
pada sihir. Tidak benar-benar percaya. Dia hanya pura-pura, demi uang." Si musang bergetar dan
menyeringai. Kemudian, hewan itu mengeluarkan suara mendecit dari bagian belakang tubuhnya.
Dalam situasi lain, kentut seekor musang mungkin terasa lucu, tetapi Hazel tidak tertawa. Kedua mata
hewan pengerat itu menatapnya dengan penuh ancaman, seperti batu bara berukuran kecil. "Tenang,
Gale," kata Hecate. Dia mengangkat bahu sebagai permintaan maaf kepada Hazel. "Gale tidak sutra
mendengar tentang orang-orang yang tidak percaya sihir dan berpura-pura menjadi penyihir. Perlu kau
ketahui, Gale sendiri dulu penyihir." "Musangmu dulu penyihir?" "Sebenarnya itu sigung," kata Hecate.
"Tapi, benar"Gale dulu adalah seorang penyihir manusia yang pemarah. Kesehatannya buruk, dan dia
menderita"ehm, masalah pencernaan." Hecate mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya. "Itu
merusak reputasi para pengikutku yang lain."
"Baiklah." Hazel berusaha tidak menatap si mti4ng. Dia I irnar-benar tidak ingin tahu tentang masalah
pertit hewan .engerat itu. "Dulu," kata Hecate, "aku mengubahnya men jagi seekor Keadaannya jauh
lebih baik sebagai sigung." Hazel menelan ludah. Dia menatap pada si anjing hitam, yang Irngan penuh
kasih menggosok-gosokkan moncong ke tangan ,.t ng dewi. "Dan, labradormu ...?"
"Oh, itu Hecuba, bekas Ratu Troy," jawab Hecate,
Seolah olah itu seharusnya sudah sangat gamblang. Anjing itu mendengus. "Kau benar, Hecuba," sahut
Hecate. "Kita tidak rya waktu n tuk berkenalan panjang lebar. Intinya, Hazel Levesqi, "e, ibumu nmngkin
mengaku tak percaya, tetapi dia benar-benar memiliki sihir. Pada akhirnya, dia menyadari hal ini. Ketika
dia triencari mantra untuk memanggil dewa Pluto, akulah yang merqantunya menemukan mantra itu."
"Kau ...?" "Ya." Hecate terus mengitari Hazel. "Aku melihat potensi dalam diri ibumu. Aku melihat lebih
banyak potensi dalam diri mu." Kepala Hazel terasa berputar-putar. Dia ingat Ntigakuan ibunya persis
sebelum meninggal dunia: bagaimana diatilanggil Pluto, bagaimana dewa itu jatuh cinta kepadanya, dan
bagaimana, karena keserakahannya, Hazel terlahir dengan membawa c.utukan. Hazel bisa memanggil
benda-benda berharga dari tarla siapa saja yang menggunakannya akan menderita dan mati,. Sekarang
dewi ini mengatakan dialah yang telah menyebabkan semua hal itu terjadi. "Ibuku menderita gara-gara
sihir itu. Seluruh "Hidupmu tak akan terjadi tanpaku," kata Hecate datar. "Aku tak punya waktu untuk berurusan dengan
amarahmu. Begitu pula dirimu. Tanpa bantuanku, kau akan coati." Anjing hitam tadi menggeram. Si
sigung mengertakkan gigi dan membuang gas. Hazel merasa seakan-akan paru-parunya disarati pasir
panas. "Bantuan apa?" Hecate mengangkat kedua tangannya yang pucat. Tiga pintu gerbang tempatnya
datang"utara, timur, dan barat"mulai dikitari Kabut. Sekumpulan gambar hitam-putih bersinar dan
berkedip-kedip, seperti film bisu tua yang masih diputar di bioskop beberapa waktu ketika Hazel masih
kecil. Di pintu sebelah barat, demigod-demigod Romawi dan Yunani dengan pakaian perang lengkap
saling bertempur di lereng sebuah bukit di bawah sebatang pohon pinus besar. Rumput diseraki sosoksosok yang terluka dan sekarat. Hazel melihat dirinya tengah menunggangi Anion, menyerbu ke dalam
pertempuran sambil berteriak"berusaha menghentikan kekerasan itu. Di pintu gerbang timur, Hazel
melihat Argo II menukik menembus angkasa di atas Apenina. Tali-temalinya terbakar. Sebongkah batu
besar menghancurkan geladak belakang. Sebongkah batu lain menghantam lambung kapal. Kapal itu
pecah seperti labu kuning buruk, dan mesinnya meledak. Gambar di pintu utara lebih buruk lagi. Hazel
melihat Leo, dalam keadaan tak sadarkan diri"atau mati"jatuh menembus awan. Dia melihat Frank
terhuyung-huyung sendirian menyusuri sebuah terowongan panjang, sambil mencengkeram lengannya,
kemejanya basah kuyup berlumuran darah. Hazel juga melihat dirinya sendiri berada di sebuah gua
besar yang penuh berkas-berkas cahaya bak jaring laba-laba yang berkilauan. Dia sedang berjuang untuk
menerobos masuk, sementara di kejauhan, Percy
Annabeth terkapar tak bergerak di kaki dua buah pintu logam it warna hitam dan perak. "Pilihan," kata
Hecate. "Kau berada di persimpangan, Hazel Ievesque. Sementara aku adalah dewi persimpangan."
Tanah bergetar di kaki Hazel. Dia memandang ke bawah da n melihat kilauan koin-koin perak ribuan
uang denarii )inawi keno menerobos permukaan di sekelilingnya, seolah-olah pu !leak bukit itu mulai
mendidih. Hazel sangat terganggu oleh pemandangan di pintu-pintu gerbang tadi sehingga dia pastilah
?lab memanggil semua keping perak yang ada di wilayah pedesaan cl:itar. "Masa lalu berada dekat
dengan permukaan di tempat ini," kata Hecate. "Pada zaman dulu, dua jalan besar Romawi bertemu di
sini. Kabar-berita dipertukarkan. Pasar digelar. Kawan bertemu, da n musuh bertempur. Pasukan hares
memilih arah. Persimpangan selalu menjadi tempat pengambilan keputusan." "Seperti seperti Janus."
Hazel teringat Kuil Janus di Bukit K ail dekat Perkemahan Jupiter. Para demigod biasa pergi ke sana tin
tuk mengambil keputusan. Mereka melempar koin, gambar atau dan berharap dewa berwajah ganda itu
akan membimbing mereka dengan baik. Dari dulu Hazel membenci tempat itu. Dia idak pernah paham
mengapa teman-temannya dengan sukarela inembiarkan sesosok dewa mengambil alih tanggung jawab
nereka untuk memilih. Setelah segala yang dialami Hazel, tingkat kepercayaannya pada kebijaksanaan
para dewa sama dengan kepercayaannya pada mesin penjual kudapan otomatis di New Orleans. Si dewi
sihir mengeluarkan suara desisan jijik. "Janus dan pintu-pintunya. Dia membuatmu percaya bahwa
segala pilihan itu hitam-putih, ya atau tidak, masuk atau keluar. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Setiap
kali kau tiba di persimpangan, selalu
ada paling sedikit tiga jalan yang bisa dilalui empat, jika kita menghitung rute mundur. Kau sekarang
berada di persimpangan semacam itu, Hazel." Hazel kembali memandangi setiap pintu gerbang yang
berpilin itu: perang demigod, kehancuran Argo 2, malapetaka untuk dirinya sendiri dan teman-temannya.
"Semua pilihan itu buruk." "Semua pilihan mengandung risiko," koreksi sang dewi. "Tapi, apa
tujuanmu?" "Tujuanku?" Hazel mengayunkan tangan tanpa daya ke arah pintu-pintu gerbang tadi.
"Bukan semua ini." Si anjing Hecuba menggeram. Gale si sigung berlari kecil di sekitar kaki sang dewi
sambil mengeluarkan gas dan mengertakkan gigi. "Kau bisa mundur," saran Hecate, "menyusuri kembali
rutemu menuju Roma ... tapi pasukan Gaea mengharapkan itu. Tak seorang pun di antara kalian yang
akan selamat." "Jadi, maksudmu apa?" Hecate melangkah menuju obor terdekat. Dia menciduk
segenggam api dan mengukir api itu hingga dia memegang sebuah peta relief mini Italia. "Kau bisa pergi
ke barat." Hecate mengayunkan jarinya menjauh dari peta api itu. "Kembali ke Amerika beserta benda
berhargamu, Athena Parthenos. Rekan-rekanmu di sana, bangsa Yunani dan Romawi, berada di
penghujung peperangan. Pergi sekarang, kau mungkin bisa menyelamatkan banyak nyawa." "Mungkin,"
ulang Hazel. "Tapi, Gaea seharusnya bangkit di Yunani. Di situlah para raksasa berkumpul." "Benar. Gaea
telah menetapkan 1 Agustus, Hari Spes, dewi harapan, sebagai saat kebangkitannya ke tampuk
kekuasaan. Dengan bangkit pada Hari Harapan, dia berniat menghancurkan
segala harapan selamanya. Bahkan, jika kau sampai di Yunani pada saat itu, bisakah kau
menghentikannya" Aku tidak tahu." ecate menyusurkan jemarinya di sepanjang puncak Apenina api.
"Kau bisa pergi ke timur, menyeberangi gunung, tapi Gaea :akan melakukan apa saja untuk
mencegahmu menyeberangi Italia. dia telah membangkitkan dewa-dewa gunungnya untuk melawan
kalian." "Kami sudah tahu itu," kata Hazel. "Segala upaya untuk menyeberangi Apenina akan berujung
pada kehancuran kapalmu. Ironisnya, ini mungkin pilihan terbaik bagi kru-mu. Ramalanku, kalian semua
akan selamat dari ledakan kapal. Masih ada kemungkinan, walau kecil, kalian mencapai Epirus dan
menutup Pintu Ajal. Kahan mungkin bisa menemukan Gaea dan mencegah kebangkitannya. Tapi, pada
saat itu, kedua perkemahan demigod pasti telah hancur. Tak akan ada rumah untuk tempat kalian
kembali." Hecate tersenyum. "Kemungkinan lebih besar, hancurnya kapal akan membuat kalian
terdampar di pegunungan. Itu berarti perjalanan berakhir, tapi kau dan teman-temanmu terhindar dari
rasa sakit dan penderitaan pada hari-kari selanjutnya. Kalah atau menang dalam perang melawan para
raksasa akan dicapai tanpa kalian." Kalah atau menang tanpa kami. Satu bagian kecil dari din Hazel yang
dilanda rasa bersalah merasa itu pilihan menarik. Dia telah lama mengharapkan kemungkinan menjadi
gadis biasa. Dia tidak ingin dirinya dan teman-temannya merasakan sakit atau penderitaan lagi. Sudah
terlalu banyak yang mereka lalui. Dia memandang ke pintu gerbang tengah di belakang Hecate. Dia
melihat Percy dan Annabeth tergeletak tanpa daya di depan pintu-pintu hitam dan perak. Sesosok
berukuran besar dan gelap,
yang agak mirip manusia, sekarang menjulang di atas mereka, kakinya terangkat seolah-olah hendak
meremukkan Percy. "Bagaimana dengan mereka?" Hazel bertanya, suaranya parau. "Percy dan
Annabeth." Hecate mengangkat bahu. "Barat, timur, atau selatan mereka mati." "Bukan pilihan," kata
Hazel. "Kalau begitu, kau tinggal memiliki satu jalan walau itu yang paling berbahaya." jari Hecate
melintasi miniatur Apenina, meninggalkan selarik garis putih yang bersinar dalam nyala api merah. "Ada
sebuah celah rahasia di utara, suatu tempat yang kukuasai, tempat Hannibal dulu pernah melintas ketika
dia membawa pasukan melawan Romawi." Sang dewi membuat lengkungan lebar ke bagian atas Italia,
kemudian ke arah timur menuju laut, lantas menyusuri pesisir barat Yunani. "Begitu melewati celah itu,
kau ke utara menuju Bologna, lantas ke Venesia. Dari sana, layari Laut Adriatik ke tempat tujuanmu, di
sini: Epirus di Yunani." Hazel tak tahu banyak soal geografi. Dia sama sekali tidak tahu seperti apa Laut
Adriatik itu. Dia tidak pernah mendengar soal Bologna, dan yang dia tahu tentang Venesia hanyalah
cerita-cerita samar tentang kanal dan gondola. Namun, ada satu hal yang jelas. "Itu menyimpang jalur
sangat jauh." "Itu sebabnya Gaea tidak akan menduga kau mengambil rute ini," kata Hecate. "Aku bisa
sedikit menyamarkan pergerakan kalian, tapi keberhasilan perjalanan kalian bergantung kepadamu
Hazel Levesque. Kau harus belajar menggunakan Kabut." "Aku?" Jantung Hazel serasa jatuh
menggelindingi sangkar rusuknya. "Menggunakan Kabut dengan cara apa?"
Hecate memadamkan peta Italianya. Dia mengibaskan tangan ke arah si anjing hitam Hecuba. Kabut
berkumpul di sekitar anjing Labrador itu sampai is sepenuhnya tertutupi selongsong putih. Kabut lenyap
diiringi suara puf yang cukup keras. Di tempat anjing tadi berada sekarang berdirilah seekor kucing
hitam bermata keemasan yang tampak jengkel. "Meong." Hewan itu mengeluh. "Aku adalah dewi
Kabut," jelas Hecate. "Aku bertanggung jawab menjaga selubung yang memisahkan dunia para dewa
dari dunia manusia. Anak-anakku belajar menggunakan Kabut untuk kepentingan mereka, menciptakan
ilusi atau memengaruhi pikiran manusia. Demigod-demigod lain juga bisa melakukan ini. Kau pun harus
bisa melakukannya, Hazel, jika hendak membantu teman-temanmu." "Tapi ...." Hazel memandang
kucing itu. Dia tahu hewan itu sebenarnya adalah Hecuba, si labrador hitam, tetapi dia tidak bisa
meyakinkan dirinya. Kucing itu tampak begitu nyata. "Aku tak bisa melakukan itu." "Ibumu punya
bakat," kata Hecate. "Bakatrnu bahkan lebih besar. Sebagai anak Pluto yang telah kembali dari kematian,
kau memahami selubung antardunia lebih daripada kebanyakan orang. Kau bisa mengendalikan Kabut.
Jika tidak yah, saudaramu Nico sudah memperingatkan. Roh-roh telah membisikinya, memberitahunya
tentang masa depanmu. Setibamu di Gerha Hades, kau akan menemui musuh yang sangat berat. Dia
tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan atau pedang. Hanya kau yang bisa mengalahkannya, dan kau
akan membutuhkan sihir." Kedua kaki Hazel terasa goyah. Dia ingat raut muka Nico yang suram, jarijemari Nico mencengkeram tangannya. Kau tak boleh memberi tabu yang lain. Tidak sekarang.
Keberanian mereka sudah mencapai batasnya.
"Siapa?" Hazel bertanya dengan suara parau. "Siapa musuh itu?" "Aku tak akan menyebutkan
namanya," kata Hecate. "Itu akan membuatnya menyadari kehadiranmu sebelum kau siap
menghadapinya. Pergilah ke utara, Hazel. Saat kau menempuh perjalanan, berlatihlah memanggil Kabut.
Sesampai di Bologna, carilah dua orang cebol. Mereka akan mengantarmu ke suatu benda berharga
yang bisa membantumu bertahan di Gerha Hades." "Aku tidak mengerti." "Meong," keluh si kucing. "Ya,
ya, Hecuba." Sang dewi mengayunkan tangannya lagi, dan kucing itu pun menghilang. Si labrador hitam
kembali ke tempatnya semula. "Kau akan mengerti, Hazel," janji sang dewi. "Dari waktu ke waktu, aku
akan mengirim Gale untuk memeriksa kemajuanmu." Si sigung mendesis, mata merahnya yang bundar
berkilauan penuh kebencian. "Hebat," gerutu Hazel. "Sebelum mencapai Epirus, kau harus bersiap," kata
Hecate. "Kalau kau berhasil, barangkali kita akan bertemu lagi untuk pertempuran terakhir."
Pertempuran terakhir, pikir Hazel. Oh, senangnya. Hazel bertanya-tanya apakah dia bisa mencegah
penampakan yang dia lihat dalam Kabut"Leo jatuh menembus langit; Frank terhuyung-huyung
menyusuri kegelapan seorang diri dalam keadaan luka parah; Percy dan Annabeth dalam kekuasaan
sesosok raksasa berkulit gelap. Dia benci kebiasaan para dewa berteka-teki dan saran mereka yang tak
jelas. Dia sekarang mulai membenci persimpangan jalan.
" Mengapa kau membantuku?" desak Hazel. "Di Perkemahan jupiter, mereka bilang kau berpihak pada
para Titan dalam pertempuran terakhir." Mata hitam Hecate berkilat-kilat. "Karena aku memang putri
dari Perses dan Asteria. Jauh sebelum para dewa olympia memegang kekuasaan, aku berkuasa atas
Kabut. Meskipun demikian, pada Perang Titan pertama, ribuan tahun silam, aku berpihak pada Zeus
untuk melawan Kronos. Aku tdak buta terhadap kekejaman Kronos. Aku berharap Zeus akan terbukti
sebagai raja yang lebih baik." Dia mengeluarkan sekilas tawa getir. "Ketika Demeter kehilangan putrinya,
Persephone, diculik oleh ayahmu, aku mcmbimbing Demeter melalui malam gelap dengan obor-oborku,
tnembantu pencariannya. Dan, ketika raksasa-raksasa bangkit untuk pertama kalinya, aku kembali
berpihak pada para dewa. Aku bertempur melawan musuh bebuyutanku, Clytius, yang diciptakan Gaea
untuk menyerap dan mengalahkan seluruh sihirku." "Clytius." Hazel belum pernah mendengar nama itu--Clai-ti-us"tetapi mengucapkannya membuat tungkai-tungkainya terasa berat. Dia melirik gambar di
pintu utara"sosok besar dan gelap menjulang di atas Percy dan Annabeth. "Apakah dia ancaman yang
ada di Gerha Hades?" "Oh, dia menunggumu di sana," sahut Hecate. "Tapi, pertama-tama kau harus
mengalahkan penyihir itu. Kalau kau tidak berhasil melakukannya Dia menjentikkan jari, dan semua
pintu gerbang tadi berubah gelap. Kabut menghilang, gambar-gambar lenyap. "Kim semua menghadapi
pilihan," kata sang dewi. "Ketika Kronos bangkit untuk kedua kalinya, aku melakukan kesalahan. Aku
mendukungnya. Aku sudah bosan diabaikan oleh mereka yang disebut sebagai dewa-dewi besar.
Meskipun sudah bertahuntahun mengabdi dengan setia, mereka tidak memercayaiku, tidak memberiku tempat duduk di aula
mereka ...." Gale, si sigung, bergetar marah. "Itu tidak penting lagi." Sang dewi mendesah. "Aku telah
berdamai lagi dengan Olympus. Bahkan, saat ini, ketika mereka sedang lemah"sosok-sosok Yunani dan
Romawi mereka saling bertarung"aku akan membantu mereka. Yunani atau Romawi, aku selalu
menjadi sekadar Hecate. Aku akan membantumu melawan para raksasa jika kau membuktikan diri layak
dibantu. Jadi, sekarang ini pilihanmu, Hazel Levesque. Apakah kau akan memercayaiku atau
mengabaikanku, sebagaimana yang terlalu sering dilakukan para dewa-dewi Olympia?" Darah menderu
di telinga Hazel. Bisakah dia memercayai dewi kelam ini, yang telah memberi ibunya sihir yang
menghancurkan hidupnya" Maaf, tidak. Dia tidak terlalu menyukai anjing Hecate atau sigung tukang
kentutnya. Namun, Hazel juga tahu dia tak bisa membiarkan Percy dan Annabeth mati. "Aku akan ke
utara," putusnya. "Kami akan melalui celah rahasiamu menembus pegunungan." Hecate mengangguk,
sekilas rant puas terlihat di wajahnya. "Kau telah memilih dengan baik walau jalan itu tidak akan mudah.
Banyak monster yang akan bangkit melawanmu. Bahkan, beberapa pelayanku sendiri telah berpihak
kepada Gaea, berharap menghancurkan dunia manusiamu." Sang dewi mengambil kedua obornya dari
tempatnya. "Persiapkan dirimu, wahai Putri Pluto. Jika kau berhasil melawan si penyihir, kita akan
bertemu lagi." "Aku akan berhasil." Hazel berjanji. "Dan, Hecate" Aku tidak memilih salah satu jalanmu.
Aku membuat jalanku sendiri."
Sang dewi menaikkan alis matanya. Sigungnya menggeliat dan anjingnya menggeram. "Kami akan
menemukan cara untuk menghentikan Gaea," I. ata Hazel. "Kami akan menyelamatkan teman-teman
kami dari tarus. Kami akan mempertahankan keutuhan kru dan kapal, elan kami akan mencegah
pertempuran antara Perkemahan Jupiter dan Perkemahan Blasteran. Kami akan melakukan itu semua."
Badai menderu, dinding-dinding hitam awan berbentuk corong berpusar lebih cepat. "Menarik,"
komentar Hecate, seolah-olah Hazel adalah hasil yang tak diduga-duga dalam sebuah eksperimen sains.
"Itu akan menjadi sihir yang layak disaksikan." Segelombang kegelapan menghitamkan dunia. Ketika
peng-lihatan Hazel kembali, badai, sang dewi, dan kaki-tangannya telah lenyap. Hazel berdiri di lereng
bukit dalam siraman cahaya matahari pagi, seorang diri di tengah puing-puing hanya ditemani Anion,
yang melangkah di sebelahnya, meringkik tak sabar. "Aku sepakat," kata Hazel pada kuda itu. "Mari kita
keluar an sini." "Apa yang terjadi?" Leo bertanya saat Hazel menaiki kapal Argo 2. Kedua tangan Hazel masih gemetar
akibat perbincangannya dengan sang dewi. Dia melirik ke seberang langkan dan melihat debu yang
mengepul di jalan yang ditinggalkan Arion, membentang sepanjang perbukitan Italia. Hazel berharap
sobatnya itu tinggal, tetapi dia tidak bisa menyalahkan Anion bila ingin pergi dari tempat ini secepat
mungkin. Wilayah pedesaan itu berkilauan saat matahari musim panas mengenai embun pagi. Di atas
bukit, berdirilah puing-puing tua
Tamat, pikir Hazel. Semua pintu menutup. Seluruh harapan padam. Nico telah memperingatkannya. Dia
pernah berkomunikasi dengan yang mati, mendengar mereka membisikkan tanda-tanda tentang masa
depan. Dua anak Dunia Bawah akan memasuki Hades. Mereka akan menghadapi lawan yang sangat
berat. Hanya salah seorang di antara mereka yang akan berhasil mencapai Pintu Aj al. Hazel talc sanggup
menatap mata saudara lelakinya. "Akan kuceritakan nanti." Dia berjanji, berusaha menjaga suaranya
supaya tidak bergetar. "Saat ini, kita harus beristirahat selagi masih bisa. Malam ini, kita menyeberangi
Apenina."[] BAB LIMA ANNABETH SEMBILAN HARI. Saat jatuh, Annabeth memikirkan Hesiod, pujangga Yunani two yang berspekulasi
bahwa diperlukan waktu sembilan hari jatuh dari permukaan bumi ke Tartarus. Annabeth berharap
Hesiod salah. Dia sudah tak bisa menghitung berapa lama dia dan Percy jatuh"beberapa jam" chari"
Rasanya lama sekali. Mereka berpegangan tangan sejak jatuhke dalam jurang itu. Sekarang Percy
menariknya mendekat, memeluknya erat saat mereka terjun menembus kegelapan absolut. Angin
bersiut di telinga Annabeth. Udara menjadi lebih panas dan lembap, seolah-olah mereka terjatuh ke
dalam kcrongkongan seekor naga raksasa. Pergelangan kakinya yang baru patah berdenyut-denyut
walaupun dia tidak tahu apakah masih terbungkus jaring laba-laba. Monster terkutuk Arachne, wanita
laba-laba, itu walau terjebak dalam jaringnya sendiri, terhantam mobil, dan terjatuh ke Tartarus,
berhasil membalas dendam. Entah bagaimana benang
sutranya membelit kaki Annabeth dan menyeretnya ke tepian jurang, dengan diikuti oleh Percy.
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Annabeth talc bisa membayangkan bahwa Arachne masih hidup, di suatu tempat di bawah mereka
dalam kegelapan. Dia tidak ingin bertemu monster itu lagi saat mereka mencapai dasar jurang. Sisi
baiknya, dengan asumsi jurang itu memang memiliki dasar, badan Annabeth dan Percy mungkin akan
luluh lantak saat menghantamnya. Jadi, laba-laba raksasa bukanlah kekhawatiran utama mereka.
Annabeth merangkul Percy dan berusaha tidak terisak-isak. Dia tak pernah mengharapkan hidupnya
mudah. Sebagian besar demigod mati pada usia muda di tangan monster-monster mengerikan. Memang
begitulah keadaannya sejak zaman kuno. Masyarakat Yunani adalah pencipta tragedi. Mereka tahu
pahlawan-pahlawan terhebat tidak mendapat akhir yang menyenangkan. Tetap saja, ini tidak adil. Dia
sudah melalui begitu banyak hal untuk mengambil patung Athena itu. Persis ketika dia telah berhasil,
ketika situasi terlihat membaik dan dia kembali bertemu dengan Percy, mereka jatuh menjemput maut.
Bahkan, para dewa talc bisa menciptakan takdir seaneh ini. Namun, Gaea tidak seperti dewa-dewi lain.
Sang Ibu Bumi lebih tua, lebih keji, lebih haus darah. Annabeth bisa membayangkan Gaea sedang
tertawa saat mereka jatuh ke kedalaman ini. Annabeth menempelkan bibirnya ke telinga Percy. "Aku
mencintaimu." Dia tidak yakin Percy bisa mendengarnya"tetapi jika mereka mati, dia ingin itu adalah
kata-kata terakhirnya. Annabeth berusaha mati-matian memikirkan cara untuk menyelamatkan diri
mereka. Dia adalah putri Athena. Dia telah membuktikan diri di terowongan di bawah Roma,
mengalahkan serangkaian tantangan hanya dengan menggunakan kecerdikannya.
Namun, dia tidak bisa memikirkan cara untuk membalik atau bahkan memperlambat kejatuhan mereka.
Mereka berdua tak memiliki kemampuan untuk terbang_ tidak seperti Jason, yang bisa mengendalikan
angin, atau Frank, yang bisa berubah menjadi hewan bersayap. Jika mereka mencapai dasar jurang
dengan kecepatan ekstrem yah, dia cukup punya pengetahuan sains untuk tahu bahwa akibatnya akan
ekstrem Annabeth sedang mempertimbangkan secara serius apakah mereka bisa membuat parasut dari
pakaian mereka"dia sudah seputus asa itu"ketika sekeliling mereka berubah. Kegelapan mulai dihiasi
warna merah-kelabu. Annabeth menyadari dia bisa tnelihat rambut Percy saat memeluknya. Bunyi
suitan di telingauya berubah menjadi lebih mirip bunyi deru. Udara menjadi panas tak tertahankan,
dipenuhi bau seperti telur busuk. Tiba-tiba saja, lorong tempat mereka jatuh membuka menjadi gua
yang luas. Dalam jarak mungkin sekitar setengah kilometer di bawah mereka, Annabeth bisa melihat
dasar gua itu. Sesaat dia terlalu kaget sehingga tak bisa berpikir dengan jernih. Seluruh Palau Manhattan
bisa muat dalam gua ini"padahal dia tak bisa tnelihat seluruh luas tempat itu. Awan-awan merah
menggantung di udara seperti darah yang menguap. Pemandangan di san.a_ setidaknya yang bisa dia
lihat"terdiri dari dataran hitam berbatu, disela-selai oleh pegunungan bergerigi dan jurang-jurang
berapi. Di sebelah kiri Annabeth, tanah menukik dalam serangkaian karang terjal, laksana tangga raksasa
yang mengarah ke dalam jurang. Bau busuk belerang membuat sulit untuk berkonsentrasi, tetapi dia
memusatkan perhatian pada tanah persis di bavval, tnereka dan melihat sejalur panjang cairan hitam
berkilauat sebuah sungai. "Percy!" Dia berseru di telinga Percy. "Air!"
annabeth memberi isydrat dengan panik. Wajah Percy di baca dalam cahaya merah remang-remang ini.
Percy tampak terguncang dan ketakutan, tetapi dia mengangguk seolah-olah pahain. Percy bisa
mengendalikan air"dengan asumsi memang air yang ada di bawah mereka. Dia mungkin bisa
mengurangi efek jatuh mereka entah bagaimana. Tentu saja Annabeth sudah pernah mendengar ceritacerita seram tentang sungai di Dunia Bawah. Sungai di sini bisa merenggut ingatan kita, atau membakar
tubuh dan jiwa kita hingga menjadi abu. Namun, Annabeth memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
Ini adalah satu-satunya kesempatan mereka. Sungai itu melesat ke arah mereka. Pada detik terakhir,
Percy berseru penuh perlawanan. Air meledak dalam bentuk air mancur raksasa dan menelan mereka
bulat-bulat.[] BAB ENAM ANNABETH BENTURAN ITU TIDAK MENEWASKANNYA, TETAPI rasa dingin tiyaris menghabisinya. Air dingin yang
membekukan membuat udara tersentak keluar dari paru-paru Annabeth. Tubuhnya menjadi kaku, dan
dia kehilangan pegangan kepada Percy. Dia mulai tenggelam. Suara-suara ratapan memenuhi
telinganya"jutaan suara pilu, seolah-olah sungai itu terbuat dari kepedihan yang disuling menjadi
cairan. Suara-suara itu lebih buruk daripada rasa dingin. Suara-suara itu menggelayutinya dan
membuatnya mati rasa. Apa gunanya melawan" kata suara-suara itu kepadanya. Kau, toh, sudah mati.
Kau tak Akan pernah meninggalkan tempat ini. Dia bisa tenggelam ke dasar sungai dan terhanyut,
membiarkan sungai membawa pergi tubuhnya. Itu pasti lebih mudah. Dia bisa sekadar memejamkan
matanya Percy mencengkeram Langan Annabeth dan menyentaknya kembali ke realitas. Annabeth tak
bisa melihat Percy dalam air yang gelap itu, tetapi mendadak dia tidak ingin mati. Bersama-sama mereka
mendorong tubuh ke atas dan memecah permukaan.
Annabeth tersengal-sengal, bersyukur atas udara yang ada walaupun sarat dengan bau belerang. Air
berpusar di sekitar mereka, dan dia menyadari bahwa Percy tengah menciptakan pusaran air untuk
menahan mereka tetap di atas. Meskipun tidak bisa melihat jelas sekeliling mereka, Annabeth tahu
bahwa ini adalah sungai. Sungai memiliki tepian. "Tanah," ujarnya parau. "Bergeraklah ke samping."
Percy tampak nyaris mati kelelahan. Biasanya, air menyegar-kannya, tetapi bukan air yang ini.
Mengendalikan air sungai ini menguras seluruh tenaga Percy. Pusaran air mulai menghilang. Annabeth
mengaitkan satu tangannya ke pinggang Percy dan berjuang melawan arus. Sungai itu melawan
upayanya, ribuan suara meratap berbisik di telinganya, mencoba merasuki otaknya. Hidup adalah
keputusasaan, kata mereka. Semua tak ada gunanya, dan akhirnya kau mati. "Tak ada gunanya," gumam
Percy. Giginya bergemeletuk karena dingin. Dia berhenti berenang dan mulai tenggelam. "Percy!" jerit
Annabeth. "Sungai ini mengacaukan pikiranmu. Ini Cocytus"Sungai Ratapan. Tercipta semata-mata dari
kesengsaraan!" "Kesengsaraan." Percy mengamini. "Lawan!" Annabeth menendang-nendang dan
meronta, berusaha menjaga agar mereka berdua tetap mengambang. Satu lagi lelucon besar untuk
ditertawakan Gaea: Annabeth mati saat berusaha mencegah pacarnya, si putra Poseidon, tenggelam.
Tidak akan terjadi, Wanita Tua Jelek, pikir Annabeth. Dia memeluk Percy erat-erat. "Ceritakan kepadaku
tentang Roma Baru," desaknya. "Apa rencanamu untuk kita?" "Roma Baru .... Untuk kita
"Iya, Otak Ganggang. Kau bilang kita mungkin punya masa Iv pan di sana! Ceritakan kepadaku!"
Annabeth tak pernah ingin meninggalkan Perkemahan iilasteran. Itulah satu-satunya rumah yang dia
tahu. Namun, beberapa hari lalu, di atas Argo 2. Percy mengatakan kepadanya bahwa dia
membayangkan masa depan bagi mereka berdua di antara para demigod Romawi. Di kota Roma Baru
mereka, para veteran legiun bisa bermukim dengan aman, pergi kuliah, menikah, bahkan punya anak.
"Arsitektur," gumam Percy. Kabut mulai hilang dari matanya. " Kupikir kau akan suka rumah-rumahnya,
taman-tamannya. Ada satu jalan yang dihiasi banyak air mancur keren." Annabeth mulai membuat
kemajuan dalam melawan arus. Kaki dan tangannya terasa seperti karung-karung berisi pasir basah,
tetapi kini Percy membantunya. Dia bisa melihat garis tepian sungai yang gelap dalam jarak sekitar
sepelemparan batu. "Kuliah," ujarnya tersengal-sengal. "Bisakah kita melakukannya bersama-sama?" "Yya." Percy mengiakan, sedikit lebih percaya diri. "Kau akan mempelajari apa, Percy?" "Tidak tahu," aku
Percy. "Ilmu kelautan," usul Annabeth. "Oseanografi?" "Ilmu berselancar?" tanya Percy. Annabeth
tertawa, dan suara tawanya menimbulkan gelombang kejut di sepanjang perairan. Suara ratapan
memudar ke latar belakang. Annabeth bertanya-tanya apakah ada yang pernah tertawa di dalam
Tartarus sebelum ini"tawa karena senang yang murni dan sederhana. Dia meragukannya. Annabeth
menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk mencapai tepian sungai. Kedua kakinya menancap ke dasar
sungai yang berpasir. Dia dan Percy menghela diri ke tepian, sambil menggigil dan terengah_engah, lantas ambruk
ke atas pasir hitam. Annabeth ingin meringkuk di sebelah Percy dan tidur. Dia ingin mernejamkan mara,
berharap sernua hanyalah mimpi buruk, dan bangun mendapati dirinya kembali berada di atas Argo
aman bersama teman-temannya (yah ... seaman yang rnungkin dialami oleh demigod). Tetapi, tidak.
Mereka benar-benar berada di Tartarus. Di kaki mereka, Sungai Cocytus bergemuruh mengalir, aliran
kepiluan. Udara penuh belerang menyengat paru-paru Annabeth dan mentisuk-nusuk kulitnya. Ketika
memandang tangannya, dia melihat kedua tangannya dipenuhi main merah membakar. Dia mencoba
duduk dan tersengal kesakitan. Tepian sungai itu bukanlah pasir. Mereka duduk di atas sebidang
serpihan kaca hitam bergerigi tajam, yang sebagian di antaranya sekarang menancap di telapak tangan
Annabeth. Jadi, udaranya mengandung asam, airnya adalah penderitaan, sedangkan tanahnya terdiri
dari pecahan kaca. Segala sesuatu di sini dirancang untuk menyakiti dan membunuh. Annabeth menarik
napas gemetar dan bertanya--tanya apakah suara-suara yang dia dengar di dalam Cocytus tadi benar.
Mungkin berjuang untuk hidup tidak ada gunanya. Mereka pasti mati beberapa jam lagi. Di sebelahnya,
Percy terbatuk-batuk. "Bau tempat ini seperti bau mantan ayah tiriku." Annabeth berhasil menampilkan
seulas senyinn lemah. Dia belum pernah bertemu dengan Gabe si Ban, tetapi cukup banyak cerita yang
telah dia dengar. Dia senang sekali Percy berusalia mengangkat semangatnya. Jika dia jatuh ke dalam
Tartarus sendirian, Annabeth menduga riwayatnya pastilah tamat. Setelah semua yang dia alami di
bawah Roma, mencari Athena Parthenos, ini benar-benar keterlaluan.
pasti telah meringkuk dan menangis sampai menjadi satu lagi meleleh ke dal-am Cocytus. Namun,
Annabeth tidak sendirian. Ada Percy. Itu berarti dia tidak bisa menyerah. Annabeth memaksa diri untuk
menilai situasi. Kakinya masih la Itchat penyangga darurat yang terbuat dari papan dan plastik hel gel
embung, juga masih terbelit jaring laba-laba. Namun, ika dia menggerakkannya, tidak terasa sakit.
Ambrosia yang ha makan di dalam terowongan di bawah Roma pasti akhirnya menyembuhkan
tulangnya. Tas ranselnya tidak ada--hilang saat terjatuh, atau mungkin lyawa anus sungai. Dia tidak suka
kehilangan laptop Daedalus, lengan segala data dan programnya yang fantastis, tetapi dia melighadapi
masalah yang lebih buruk. Pisan perunggu langitnya Ienyap"senjata yang telah dia bawa sejak berusia
tujuh tahun. Kesadaran ini nyaris menghan.curkannya, tetapi dia tidak bisa tilembiarkan diri berlarutlarut memikirkann.ya. Sekarang bukan wakamya untuk meratap. Apa lagi yang mereka punya" Tidak ada
makanan, tidak ada air ... pokoknya tidak ada nl-bekala.n sama sekali. Yap. Awal yang menjanjikan.
Annabeth melirik ke arah Percy. Kondisi Percy tampak cukup parah. Rambut hitamnya menempel di dahi,
kausnya sobek-sobek. Iari-jemarinya tergores parah karena. berpegangan pada langkan ,,.belum mereka
jatuh. Yang paling mengkhawatirkan, Percy %cinetaran dan bibirnya membiru. "Kita harus terus
bergerak. Kalau tidak, kita bisa terserang potermia," kata Annabeth. "Bisakah kau berdiri?" Percy
mengangguk. Mereka berdua berjuang untuk bangkit. Annabeth menaruh lengannya di sekitar pinggang
Percy walaupun dia tidak yakin sebenarnya siapa yang memapah siapa.
Dia memeriksa sekeliling. Di atas, dia tak melihat tanda-tanda lorong tempat mereka jatuh. Dia bahkan
tak bisa melihat bagian atas gua itu"hanya awan-awan sewarna darah yang melayang di udara kelabu
berkabut. Rasanya seperti menatap ke balik campuran tipis sup tomat dan semen. Pantai serpihan kaca
hitam membentang ke daratan sekitar lima puluh meter, kemudian menukik turun di tepian sebuah
jurang. Dari tempatnya berdiri, Annabeth tak bisa melihat apa yang ada di bawah sana, tetapi tepiannya
berpendar-pendar dengan cahaya merah seolah diterangi nyala api berukuran besar. Sepenggal ingatan
yang jauh menarik-nariknya"sesuatu tentang Tartarus dan api. Sebelum Annabeth sempat memikirkan
hal itu cukup lama, Percy terkesiap. "Lihat." Percy menunjuk ke arah hilir. Sekitar seratus meter dari situ,
sebuah mobil Italia berwarna biru muda yang tampak familier telah jatuh ke dalam pasir dengan
moncong terlebih dulu. Mobil itu terlihat persis sekali dengan Fiat yang menabrak Arachne dan
membuatnya jatuh ke dalam lubang ini. Annabeth berharap dia salah, tetapi seberapa banyak mobil
sport Italia yang bisa berada di dalam Tartarus" Sebagian dari dirinya tidak ingin berada dekat-dekat
mobil itu, tetapi dia harus mencari tahu. Dia mencengkeram tangan Percy, dan mereka berdua berjalan
terhuyung-huyung ke arah bangkai mobil itu. Salah satu ban mobil itu telah lepas dan tengah
mengambang di pusaran air Sungai Cocytus yang tertahan. Jendela-jendela mobil Fiat itu remuk,
mengirim serpihan kaca yang lebih cerah seperti lapisan es di sekujur pantai hitam itu. Di bawah kapnya
yang hancur, terdapat sisa-sisa kepompong sutra raksasa yang koyak dan berkilauan"jebalcan yang atas
muslihat Annabeth dibuat oleh Arachne. Benda itu jelas kosong. Bekas-bekas sayatan di pasir
wen inggalkan jejak ke arah bibir ".sungai seolah-olah sesuatu yang berat berkaki banyak telah berlari
memasuki kegelapan. "Dia masih hidup." Annabeth begitu terkejut, begitu marah ketidakadilan semua
ini, tetapi dia harus menekan dorongan untuk muntah. "Ini Tartarus," sahut Percy. "Kandang para
monster. Di bawah mungkin mereka tidak bisa dibunuh." Percy melemparkan tatapan malu kepada
Annabeth, seolah tiyadari bahwa dia tidak membantu mengangkat semangat tim. "Atau, mungkin dia
terluka parah, dan merayap pergi untuk mati." "Mari pilih kemungkinan itu." Annabeth menyetujui.
Percy masih gemetar. Annabeth juga tidak merasa lebih ti 'gat walau udara begitu panas dan lengket.
Sayatan beling pada angannya masih mengucurkan darah, yang sungguh tidak biasa I Biasanya dia
sembuh dengan cepat. Napasnya menjadi sL tliakin berat. "Tempat ini membunuh kita," kata Annabeth.
"Maksudku, benar-besar hendak membunuh kita, kecuali ...." Tartarus. Api. Ingatan yang jauh itu mulai
terfokus. Annabeth inemandang ke daratan ke arah jurang yang diterangi nyala api dari bawah. Itu
gagasan yang jelas-jelas gila. Tetapi, mungkin hanya itu satu-satunya kesempatan mereka. "Kecuali
apa?" desak Percy. "Kau punya rencana cemerlang,
ya?" "Punya rencana," gumam Annabeth. "Aku tidak tahu soal cemerlangnya. Kita perlu menemukan
Sungai Api."[] BAB TUJUH ANNABETH KETIKA MEREKA MENCAPAI TEPIAN TEBING, Annabeth yakin ini sama saja dengan menandatangani
surat perintah eksekusi untuk diri mereka sendiri. Ketinggian tebing itu lebih dari dua puluh lima meter.
Di dasarnya membentanglah versi ngeri dari Grand Canyon: sebuah sungai api melintasi suatu celah
obsidian yang tajam bergerigi, arusnya yang merah menyala memunculkan bayang-bayang mengerikan
di sepanjang muka tebing. Bahkan, dari puncak ngarai, hawa panas terasa sangat hebat. Rasa dingin
Sungai Cocytus belum meninggalkan tulang-belulang Annabeth, tetapi kini wajahnya terasa perih dan
seperti terbakar matahari. Setiap helaan napas membutuhkan upaya yang lebih besar, seolah-olah
dadanya dipenuhi biji styrofoam. Sayatan di tangannya berdarah semakin banyak. Kaki Annabeth, yang
sebelumnya sudah hampir sembuh, seperti melukai diri sendiri lagi. Dia telah melepas balutan
daruratnya, tetapi sekarang dia menyesali tindakannya itu. Setiap langkah membuatnya mengernyit.
Dengan asumsi mereka berhasil turun ke sungai api, yang .igukan oleh Annabeth, rencananya tampak
benar-benar sinting. "Uh ...." Percy memeriksa tebing. Dia menunjuk ke sebuah ceIah kecil yang
merentang diagonal dari tepian tebing ke dasar tebing "Kita bisa mencoba tonjolan di sana itu. Mungkin
bisa dituruni." Percy tidak mengatakan mereka pasti gila mau mencoba ini. I dia berhasil terdengar
penuh harap. Annabeth bersyukur atas hal itu, tetapi dia juga khawatir dirinya membawa Percy menuju
akhir hayatnya. Tentu saja jika mereka tetap di sini, mereka tetap akan mati. Luka-luka lepuh mulai
terbentuk pada lengan mereka akibat terkena udara Tartarus. Seluruh lingkungan itu kira-kira sama
sehatnya dengan sebuah zona ledakan nuklir. Percy bergerak terlebih dulu. Tonjolan itu nyaris tidak
cukup Icbar untuk menjadi tempat pijakan jari kaki. Tangan mereka mencakar celah apa pun yang ada di
karang licin itu. Setiap kali Annabeth memberi tekanan pada kakinya yang sakit, dia ingin menjerit. Dia
telah merobek lengan kausnya dan menggunakan kain itu untuk membungkus telapak tangannya yang
berdarah, tetapi jari-jarinya masih licin dan lemah. Beberapa langkah di bawah Annabeth, Percy
mendengus saat I is meraih pegangan tangan yang lain. "Jadi apa nama sungai api ini?" "Phlegethon,"
jawab Annabeth. "Kau seharusnya ber-konsentrasi untuk turun." "Phlegethon?" Percy merayap
sepanjang tonjolan tebing itu. Mereka telah mencapai kira-kira sepertiga jalan menuruni tebing"masih
cukup tinggi untuk menimbulkan akibat fatal jika mereka jatuh. "Terdengar seperti perlombaan
mengeluarkan dahak." "Tolong jangan buat aku tertawa," kata Annabeth.
"Hanya mencoba membuat suasana sedikit santai." "Terima kasih," dengus Annabeth, kakinya yang sakit
nyaris terlepas dari tonjolan tebing. "Wajahku akan tersenyum saat terjun menjemput maut." Mereka
terus bergerak, sedikit demi sedikit. Mata Annabeth perih terkena keringat. Lengannya gemetar. Namun,
yang mengherankan Annabeth, mereka akhirnya berhasil mencapai dasar tebing. Ketika dia mencapai
tanah, Annabeth sempoyongan. Percy menangkapnya. Annabeth terkejut mendapati betapa kulit Percy
terasa panas. Bisul bernanah bermunculan di wajahnya sehingga Percy terlihat seperti penderita cacar.
Pandangan Annabeth sendiri samar. Tenggorokannya terasa melepuh, dan perutnya mengejang lebih
kencang ketimbang kepalan tangan. Kami harus bergegas, pikir Annabeth. "Cuma ke sungai," katanya
kepada Percy, berusaha agar suaranya tidak terdengar panik. "Kita bisa melakukan ini." Tertatih-tatih,
mereka berjalan melewati padas kaca licin, mengitari batu-batu besar, menghindari stalagmit yang akan
menghunjam bila kaki mereka tergelincir sedikit saja. Pakaian mereka yang sobek-sobek berasap garagara panas sungai, tetapi mereka terus bergerak sampai jatuh berlutut di tepi Phlegethon. "Kita harus
minum," kata Annabeth. Tubuh Percy oleng, matanya setengah terpejam. Perlu waktu tiga hitungan bagi.
Percy untuk menanggapi. "Uh minum api?" "Phlegethon mengalir dari Kerajaan Hades memasuki
Tartarus." Annabeth nyaris talc bisa bicara. Kerongkongannya tersumbat panas dan udara yang
mengandung asam. "Sungai ini digunakan untuk menghukum yang jahat. Tetapi, selain itu beberapa
legenda menyebutnya Sungai Penyembuhan."
" Beberapa legenda?" Annabeth menelan ludah, berusaha tetap sadar. "Phlegethon menjaga keutuhan
orang jahat supaya bisa memikul siksaan di ladang Penghukuman. Kurasa ... itu mungkin padanan Dunia
bawah untuk ambrosia dan nektar." Percy mengernyit saat abu memercik dari sungai, meliuk-liuk
disekitar wajahnya. "Tapi, ini api. Bagaimana kita bisa?"i"Seperti ini." Annabeth memasukkan
tangannya ke dalam ungai. Bodoh" Ya, tetapi dia yakin mereka tidak punya pilihan. Jika , nunggu lebih
lama lagi, mereka pasti pingsan dan mati. Lebih baik mencoba sesuatu yang konyol dan berharap itu
berhasil. Pada sentuhan pertama, api tidak menyakitkan. Rasanya dingin, yang mungkin berarti suhunya
begitu panas hingga Iebihi ambang batas saraf Annabeth. Sebelum sempat berubah pikiran, Annabeth
menciduk cairan api itu dengan telapak tgannya dan mengangkatnya ke mulut. Dia mengira akan terasa
seperti bensin. Ternyata jauh lebih buruk. Dulu, di sebuah restoran di San Francisco, dia melakukan .
kesalahan dengan mencicipi cabai setan superpedas yang disajikan bersama sepiring masakan India.
Setelah menggigitnya sedikit, dia merasa sistem pernapasannya akan meledak. Minum dari phlegethon
rasanya seperti menelan jus cabai setan. Sinusnya di penuhi api cair. Mulutnya terasa seperti digoreng
dengan banyak minyak. Matanya mencucurkan air mata yang panas, dan setiap pori-pori di wajahnya
meletus. Annabeth ambruk, sambil muntah-muntah, seluruh tubuhnya bergetar hebat. "Annabeth!"
Percy mencengkeram lengan Annabeth dan berhasil mencegahnya terguling memasuki sungai. Serangan
kejang itu berlalu. Annabeth menarik napas tak tcratur dan berhasil duduk tegak. Dia merasa sangat
lemah dan mual, tetapi napas berikutnya terasa lebih mudah. Lepuhan di kedua lengannya mulai memudar.
"Berhasil," ujarnya parau. "Percy, kau harus minum." "Aku ...." Bola mata Percy berptitar, dan dia
ambruk menimpa Annabeth. Dengan panik, Annabeth menciduk api lagi dengan telapak tangannya. Tak
memedulikan rasa sakitnya, dia meneteskan cairan itu ke dalam mulut Percy. Percy tidak merespons.
Annabeth berusaha lagi, menuangkan segenggam cairan berapi ke tenggorokan Percy. Kali ini Percy
tersedak dan terbatuk-batuk. Annabeth memeluknya saat Percy gemetaran, api sihir mengalir dalam
tubuhnya. Demam Percy menghilang. Boroknya memudar. Dia berhasil duduk dan mencecap-cecap
bibirnya. "Uh," katanya. "Pedas, tapi menjijikkan." Annabeth tertawa lemah. Dia begitu lega sampaisampai kepalanya terasa pusing. "Yeah. Itu gambaran yang cukup pas." "Kau menyelamatkan kita."
"Untuk sementara," sahut Annabeth. "Masalahnya, kita masih di Tartarus." Percy mengedip-ngedipkan
mata. Dia memandang ke sekeliling seolah-olah baru menyadari lingkungan tempat mereka berada.
"Demi Hera yang Suci, aku tak pernah menduga yah, aku tak yakin apa yang kuduga. Mungkin Tartarus
adalah ruang kosong, jurang tanpa dasar. Tapi, ini tempat yang nyata." Annabeth teringat pemandangan
yang dia lihat saat mereka jatuh"serangkaian dataran tinggi yang menukik ke dalam kegelapan. "Kita
belum melihat semuanya." Annabeth memperingatkan. "Ini bisa jadi baru bagian kecil, awal dari jurang
ini, seperti tangga depannya." "Keset selamat datang," gumam Percy.
Mereka berdua menatap awan-awan berwarna darah yang putar-putar dalam kabut kelabu. Tidak
mungkin mereka punya I kuatan untuk kembali naik merayapi tebing itu walau mereka login
melakukannya. Sekarang hanya ada dua pilihan: hulu atau menyusuri tepian Sungai Phlegethon. "Kita
akan menemukan jalan keluar," kata Percy. "Pintu Ajal." Annabeth menggigil. Dia ingat apa yang
dikatakan Percy persis sebelum mereka jatuh ke dalam Tartarus. Dia telah membuat Nico di Angelo
berjanji untuk memimpin Argo II ke Epirus, ke manusia Pintu Ajal. Kami akan menemui kalian di sang,
kata Percy. Gagasan itu bahkan terasa lebih gila daripada meminum i)i. Bagaimana mungkin mereka
berdua berkeliling Tartarus dan menemukan Pintu Ajal" Mereka nyaris talc sanggup berjalan tanpa
terseok-seok seratus meter dalam tempat beracun ini dan menjadi sekarat. "Kita harus
menemukannya," kata Percy. "Bukan hanya untuk kita. Untuk semua orang yang kita cintai. Pintu-pintu
itu harus ditutup dari kedua sisi. Kalau tidak, para monster hanya akan terus hermunculan. Pasukan
Gaea akan membanjiri dunia." Annabeth tahu Percy benar. Meskipun demikian ketika dia berusaha
membayangkan rencana yang mungkin berhasil, detailnya membuat Annabeth kewalahan. Mereka tak
mungkin menemukan Pintu itu. Mereka tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan, atau bahkan
apakah waktu bergerak dengan kecepatan yang sama di Tartarus. Bagaimana mungkin mereka
mengatur pertemuan dengan teman-teman mereka" Nico juga menyinggung tentang pasukan monster
Gaea yang terkuat yang menjaga Pintu Ajal di sisi Tartarus. Annabeth dan Percy tak bisa begitu saja
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melancarkan serangan frontal.
Annabeth memutuskan untuk tidak mengutarakan serr itu. Mereka berdua tahu peluang yang ada
sungguh buruk. L pula, setelah berenang di Sungai Cocytus, Annabeth sudah cuk mendengar ratapan
dan keluhan untuk jangka waktu seuri hidup. Dia berjanji kepada dirinya untuk tidak mengeluh lagi
"Yah." Annabeth menarik napas dalam, bersyukur kar minimal paru-parunya tidak terasa sakit. "Jika kita
tetap ber di dekat sungai, kita punya cara untuk menyembuhkan diri. J kita ke hilir?" Kejadiannya
sangat cepat sehingga Annabeth pasti sudah rr bila dia sendirian. Mata Percy terpaku pada sesuatu di
belakang Annabe Annabeth berputar ketika sosok berukuran besar dan ge meluncur ke arahnya"
sebuah gumpalan mahabesar ya menggeram dengan kaki-kaki panjang kurus berduri dan m berkilat-
kilat. Annabeth masih sempat berpikir: Arachne. Tetapi, membeku ketakutan, pancaindranya
dilumpuhkan oleh bau ma yang memuakkan. Kemudian, dia mendengar bunyi SING yang akrab d pulpen
Percy yang berubah menjadi pedang. Mata pedang Pe mengayun di atas kepala Annabeth dalam bentuk
lengkunE berwarna perunggu berkilauan. Suara erangan mengerit menggema di sepanjang ngarai.
Annabeth berdiri, terkesima, sementara debu kuning"sisisa
Arachne"berjatuhan di sekitarnya seperti
serbuk sari. "Kau tidak apa-apa?" Percy memeriksa tebing dan batu-b besar, bersiaga menghadapi
monster lain, tetapi tidak ada lagi yo muncul. Debu keemasan sang laba-laba hinggap di atas batu-batu
obsidian. Annabeth memandangi pacarnya dengan takjub. Mata prdang perunggu langit Riptide berbinar semakin
terang dalam keremangan Tartarus. Saat membelah udara panas yang pekat, Clang itu mengeluarkan
suara desisan penuh perlawanan seperti kor ular yang terusik. "Ia ia tadi bisa membunuhku," kata
Annabeth dengan tcrbata-bata. Percy menendang debu di atas batu itu, raut mukanya suram dan penuh
ketidakpuasan. "Kematiannya terlalu gampang, mengingat betapa banyak siksaan yang ditimpakannya
kepadamu. la pantas menerima kematian yang lebih buruk." Annabeth tidak bisa mendebat hal itu,
tetapi nada sengit yang tajam dalam suara Percy membuatnya tidak tenang. Annabeth ak pernah
melihat ada orang yang begitu marah atau penuh 'dam demi dirinya. Itu nyaris membuat Annabeth
merasa I tang Arachne tewas dengan cepat. "Bagaimana kau bisa bergerak a.gitu cepat?" Percy
mengangkat bahu. "Kita harus saling melindungi, bukan" Nah, kau tadi bilang ke hilir?" Annabeth
mengangguk, masih linglung. Debu kuning membuyarbuyar di tepi sungai berbatu, berubah menjadi uap.
Setidaknya kini mereka tahu monster bisa dibunuh di Tartarus ... walau 1 nabeth tidak tahu berapa lama
Arachne akan tetap mati. Annabeth lak berencana tinggal cukup lama untuk mengetahuinya. "Yeah, ke
hilir." Akhirnya Annabeth berhasil menyahut. "Jika sungai ini berasal dari bagian atas Dunia Bawah,
seharusnya ia mengalir semakin jauh ke dalam Tartarus?" "Jadi, menuju ke wilayah yang lebih
berbahaya." Percy ineneruskan. "Yang mungkin merupakan tempat Pintu itu berada. Beruntungnya
kita."[] BAB DELAPAN ANNABETH MEREKA BARU BERJALAN BEBERAPA RATUS meter ketika
Annabeth mendengar suara-suara. Annabeth berjalan terseok-seok, separuh tak sadar, berusaha
membuat sebuah rencana. Karena dia adalah putri Athena, rencana seharusnya merupakan keahliannya.
Namun, sulit menyusun strategi dengan perut keroncongan dan kerongkongan terbakar. Air api
Phlegethon mungkin telah menyembuhkan dan memberinya kekuatan, tetapi tidak berpengaruh apaapa pada rasa lapar dan hausnya. Sungai itu tidak berniat membuat orang merasa nyaman, tebak
Annabeth. Ia hanya memungkinkan orang bertahan hidup agar bisa mengalami kian banyak rasa sakit
yang menyiksa. Kepala Annabeth mulai lunglai kelelahan. Kemudian, dia mendengarnya"suara-suara
perempuan yang sedang dalam semacam pertengkaran"dan dia langsung waspada. Annabeth berbisik.
"Percy, merunduk!" Dia menarik Percy ke balik batu terdekat, menempatkan diri begitu dekat dengan
tepi sungai sehingga sepatunya nyaris menyentuh api sungai. Di sisi yang lain, di jalan sempit antara
Sungai dan tebing suara-suara terlontar kasar, semakin nyaring saat mendekat dari arah hulu. Annabeth
berusaha menstabilkan napasnya. Suara-suara itu r"tr agak mirip manusia, tetapi itu tak berarti apa-apa.
Dia insikan apa saja yang ada dalam Tartarus adalah musuh mereka. Dia tidak tahu mengapa para
monster itu belum juga ,melihat mereka. Lagi pula, monster bisa mencium bau demigod"terutama
yang kuat seperti Percy, putra Poseidon. Annabeth ragu hunyi di balik batu besar akan ada gunanya
ketika para menangkap aroma mereka. Meskipun demikian, saat para monster mendekat, nada suara
mereka tidak berubah. Langkah kaki mereka yang tidak seimbang"krosak, gleng, krosak, gleng"tidak
menjadi lebih cepat. "Sebentar lagi?" Salah seorang di antara mereka bertanya gan suara serak, seolaholah dia sedang berkumur di dalam phlegethon. "Oh, demi dewa-dewi!" kata sebuah suara lain. Suara
yang ini lengar jauh lebih muda dan lebih mirip manusia, seperti seorang i is remaja yang jengkel dengan
temannya di mal. Karena alasan entu, suara yang ini terdengar begitu akrab bagi Annabeth. kalian ini
benar-benar menyebalkan! Sudah kubilang kira-kira iga hari dari sini." Percy mencengkeram
pergelangan tangan Annabeth. Dia menatap Annabeth dengan waspada, seolah-olah mengenali juga
suara gadis mal itu. Terdengar paduan suara geraman dan gerutuan. Makhluk-air makhluk itu"
jumlahnya mungkin setengah lusin, menurut dugaan Annabeth"berhenti persis di sisi seberang batu,
tetapi mereka tetap tidak menunjukkan tanda-tanda telah menangkap aroma demigod. Annabeth
bertanya-tanya apakah bau para demigod
tidak sama di Tartarus, atau apakah bau-bau lain sedemikian kuatnya di sini sampai-sampai menutupi
aura demigod. "Aku penasaran," kata sebuah suara ketiga, yang terdengar parau dan tua seperti suara
pertama, "apakah jangan-jangan kau tidak tabu jalannya, Anak Muda." "Oh, tutup lubang taringmu itu,
Serephone," sahut si gadis mal. "Kapan terakhir kali kau berhasil lari ke dunia manusia" Aku di sana
beberapa tahun lalu. Aku tabu jalannya! Lagi pula, aku paham apa yang akan kita hadapi di sana. Kau
sama sekali tidak punya bayangan!" "Ibu Bumi tidak mengangkatmu menjadi bos!" pekik suara keemp at.
Terdengar lagi suara desisan, gemeresak, serta erangan buas"seolah ada beberapa kucing liar raksasa
yang sedang berkelahi. Akhirnya yang dipanggil dengan sebutan Serephone tadi berteriak, "Cukup!"
Bunyi gemeresak berhenti. "Untuk sementara ini, kami akan mengikutimu," kata Serephone. "Tapi, jika
kau tidak memandu kami dengan jika kami mendapati bahwa kau berbohong tentang panggilan Gaea?"
"Aku tidak bohong!" tukas si gadis mal. "Percayalah, aku punya alasan kuat untuk terjun ke dalam
pertempuran ini. Ada beberapa musuh yang ingin kumangsa, dan kau akan berpesta dengan darah para
pahlawan. Asal tinggalkan satu potong istimewa untukku"yang bernama Percy Jackson." Annabeth
berjuang menahan geraman dari mulutnya sendiri. Dia sudah melupakan rasa takutnya. Dia ingin
melompati bongkahan batu itu dan mengiris_ monster-monster itu menjadi debu dengan pisaunya
hanya saja dia sudah tidak punya pisau.
" Percayalah kepadaku," kata si gadis mal. "Gaea telah anggil kita, dan kita akan bersenang-senang.
Sebelum perang ini usai, manusia dan demigod akan gemetar mendengar "Kelli!" annabeth nyaris
memekik kencang. Dia melirik Percy. Lan, dalam cahaya merah Phlegethon, wajah Percy tampak sepucat
Empousai, Annabeth berujar tanpa suara. Vampir. Percy mengangguk muram. Annabeth ingat Kelli. Dua
tahun silam, saat orientasi siswa in! Percy, dia dan teman mereka, Rachel Dare, diserang oleh tousai
yang menyamar sebagai pemandu sorak. Salah satunya adalah Kelli. Kemudian, empousa yang sama
menyerang mereka bengkel Daedalus. Annabeth menusuk punggungnya dan iltengirimnya ke sini. Ke
Tartarus. Makhluk-makhluk itu berjalan dengan langkah terseret-seret, .ttara mereka semakin lama
semakin samar. Annabeth merayap , ke tepian batu dan mengambil risiko untuk mengintip sekilas. tak
diragukan lagi, lima perempuan berjalan terhuyung-huyung Iengan kaki yang tak seimbang"kaki
perunggu mekanis di sebelah kiri, kaki berambut dan berkuku belah di sebelah kanan. Rambut mereka
terbuat dari api, kulit mereka seputih tulang. Scbagian besar mengenakan gaun Yunani Kuno yang sudah
vompang-camping, kecuali satu yang memimpin, Kelli. Dia mengenakan blus yang telah koyak dan
terbakar serta rok lipit pendek seragam pemandu soraknya. Annabeth mengertakkan gigi. Dia sudah
menghadapi banyak monster seram beberapa tahun ini, tetapi empousa-lah yang paling dia , benci.
Selain taring dan cakar yang mengerikan, mereka punya kemampuan hebat untuk memanipulasi Kabut.
Mereka bisa berubah bentuk dan menggunakan guna-guna, memperdaya manusia sehingga melonggarkan
kewaspadaan. Para lelaki, terutama yang rentan, menjadi korban. Taktik favorit empousa adalah
membuat seorang cowok jatuh hati kepadanya, kemudian meminum darah dan memakan daging cowok
itu. Bukan kencan pertama yang menyenangkan. Kelli nyaris membunuh Percy. Dia juga memperdaya
teman lama Annabeth, Luke, mendorongnya melakukan berbagai perbuatan yang semakin jahat atas
nama Kronos. Annabeth benar-benar berharap masih membawa pisaunya. Percy berdiri. "Mereka
menuju Pintu Ajal," gumamnya. "Kau tahu apa artinya itu?" Annabeth tidak ingin memikirkan hal itu,
tetapi sayangnya, pasukan perempuan pemakan daging yang berpenampilan mengerikan ini mungkin
adalah hal yang paling mendekati keberuntungan yang akan mereka dapat di Tartarus. "Yeah," sahut
Annabeth. "Kita harus mengikuti mereka."[]
BAB SEMBILAN LEO , LEO MENGHABISKAN SEPANJANG MALAM BERGULAT dengan athena setinggi dua betas meter itu.
Sejak mereka menaikkan patung itu ke atas kapal, Leo robsesi untuk mengetahui cara kerjanya. Dia
yakin benda itu cngandung kekuatan mahabesar. Pasti ada semacam tombol hasia, pelat tekan, atau
entah apa. Dia seharusnya tidur, tetapi tidak bisa. Dihabiskannya waktu berrj am-jam untuk merayapi
patung itu, yang menyita sebagian besar ruang di geladak bawah. Kedua kaki Athena masuk ke dalam
ruang klinik sehingga kita harus menyelip melewati jari-jari kaki gadingnya jika ingin mengambil obat.
Tubuh patung I merentang di sepanjang koridor sebelah kiri, tangannya yang , terbentang mencuat ke
dalam ruang mesin, menawarkan sosok dewi Nike seukuran manusia yang berada di telapak tangannya,
mengatakan, Nih, silakan ambil Kemenangan! Wajah damai Athena menyita sebagian besar istal pegasus
di buritan, yg untungnya sedang kosong. Jika Leo adalah seekor kuda sihir,
dia tidak ingin hidup di kandang dengan diawasi sesosok dewi kebijaksanaan berukuran raksasa. Patung
itu menempel rapat di koridor sehingga Leo hams memanjati bagian atasnya dan menggeliat-geliat di
bawah badan patung, mencari tuas dan tombol. Seperti biasa, dia tidak menemukan apa-apa. Dia sudah
mencari informasi tentang patting itu. Dia tahu patting itu terbuat dari rangka kayu kosong yang ditutupi
dengan gading dan emas, yang menjelaskan mengapa bobotnya sangat ringan. Kondisinya cukup bagus,
mengingat usianya sudah lebih dari dua ribu tahun, pernah dijarah dari Athena, dipikul ke Roma, dan
disembunyikan di gua laba-laba hampir sepanjang dua ribu tahun terakhir ini. Sihir tentunya yang
membuat patung ini tetap utuh, pikir Leo. Digabungkan dengan keahlian pertukangan yang sangat baik.
Annabeth pernah mengatakan Yah, dia berusaha tidak memikirkan Annabeth. Dia masih merasa
bersalah karena Annabeth dan Percy jatuh ke Tartarus. Leo tahu itu adalah kesalahannya. Dia
seharusnya memastikan semua orang terangkut dengan aman di atas Argo II terlebih lulu sebelum mulai
mengamankan patung ini. Dia seharusnya menyadari lantai gua tidak stabil. Meski demikian, meratapi
nasib tidak akan membuat Percy dan Annabeth kembali. Dia harus berkonsentrasi memperbaiki masalah
yang bisa diperbaikinya. Yang pasti, Annabeth pernah mengatakan bahwa patung ini adalah kunci untuk
mengalahkan Gaea. Patung ini bisa memulihkan kerenggangan antara demigod Yunani dan Romawi. Leo
berpikir seharusnya benda ini mengandung lebih dari sekadar simbolisme. Mungkin mata Athena
menembakkan laser, atau ular di belakang perisainya bisa meludahkan racun. Atau, barangkali
sosok dewi Nike yang lebih kecil bisa hidup dan mengeluarkan
beberapa gerakan ninja. membayangkan segala hal sera yang bisa dilakukan oleh itu andai dialah yang
merancangnya, tetapi semakin lama dia meneliti patung itu, semakin dia merasa frustrasi. Athena
parthenos ini memancarkan sihir. Bahkan, dirinya saja bisa merasakan hal itu. Namun, pancaran sihir itu
tampaknya tidak memberi manfaat apa-apa kecuali membuatnya terlihat keren. Ka pal miring ke satu
sisi, mengambil manuver mengelak. Leo menahan dorongan untuk berlari menuju kemudi. Jason, Piper
dan frank sedang bertugas bersama Hazel sekarang. Mereka bisa apa pun yang tengah terjadi. Lagi pula,
Hazel telah bersikeras memegang kemudi untuk memandu mereka melewati rahasia yang disampaikan
dewi sihir kepadanya. leo berharap Hazel benar tentang rute memutar yang jauh keutara ini. Leo tidak
memercayai si perempuan Hecate itu. Dia mengerti mengapa dewi seram semacamnya mendadak
memutuskan untuk memberi bantuan. saja, Leo tidak percaya sihir secara umum. Itu sebabnya
inengalami kesulitan besar dengan Athena Parthenos. Benda itu tak punya bagian yang bergerak. Apa
pun yang dilakukannya, .tampak beroperasi berdasarkan sihir saja dan Leo tidak menghargai hal itu. Dia
ingin benda itu bisa dipahami, seperti Akhirnya Leo terlalu lelah sehingga sulit berpikir jernih. Dia
meringkuk dengan selimut di ruang mesin dan mendengarkan igung generator yang menenangkan.
Buford si meja mekanis I wrada di sudut ruangan dalam mode tidur, mengeluarkan suara dengkur lirih
berasap: shhh, pfift, shhh, pfift. Leo senang-senang saja dengan kamarnya, tetapi dia merasa paling
aman di sini, di jantung kapal"dalam ruangan yang
dipenuhi dengan mekanisme yang dia tahu cara mengendalikannya. Lagi pula, mungkin jika dia
menghabiskan lebih banyak waktu di dekat Athena Parthenos, pada akhirnya dia akan menyerap
rahasia-rahasia patung itu. "Pilihannya kau atau aku, Nyonya Besar," gumamnya saat menarik selimut ke
dagunya. "Pada akhirnya kau akan bekerja sama. Dia menutup matanya dan tidur. Sayangnya, itu berarti
rnimpi. Leo sedang berlari menyelamatkan diri di bengkel tua ibunya, tempat ibunya meninggal dalam
kebakaran ketika Leo masih berusia delapan tahun. Dia tidak yakin apa yang sedang mengejarnya, tetapi
dia merasakan makhluk itu mendekat dengan cepat"sesuatu yang besar dan gelap dan penuh
kebencian. Leo tersandung bangku kerja, menggulingkan kotak perkakas, dan tersangkut kabel-kabel
listrik. Dia melihat jalan keluar dan berlari cepat ke arahnya, tetapi sebuah sosok menjulang di
hadapannya"sesosok perempuan berbalut jubah tanah kering yang berpusar, wajahnya tertutup
selubung debu. Kau mau ke mana, Pahlawan Kecil" tanya Gaea. Tetaplah di sini dan temuilah anak
kesayanganku. Leo melesat ke kiri, tetapi tawa sang dewi Bbumi mengikutinya. Pada malam ibumu
meninggal, aku sudah memperingatkanmu. Kukatakan kepadamu bahwa Takdir tidak mengizinkanku
membunuhmu saat itu. Namun, kini kau telah memilih jalanmu. Kematianmu sudah dekat, Leo Valdez.
Leo menabrak meja gambar"tempat kerja ibunya dulu. Dinding di belakangnya dihiasi gambar krayon
Leo. Leo terisak Putus asa dan berbalik, tetapi makhluk yang mengejarnya sekarang berdiri menghalangi jalannya"sosok
berukuran luar biasa besar rerbungkus bayang-bayang, bentuknya agak menyerupai isia, kepalanya
nyaris menyentuh langit-langit yang berada Hu meter dari lantai. Kedua tangan Leo berubah menjadi api.
Dia menembak aksasa, tetapi kegelapan melahap apinya. Leo meraih sabuk kakasnya. Saku-sakunya
tertutup jahitan. Dia berusaha bicara", .ngucapkan apa saja yang bisa menyelamatkan nyawanya"
tetapi tak bisa mengeluarkan bunyi apa pun, seolah-olah udara telah rggut dari paru-parunya. Anakku
tak akan mengizinkan ada api malam ini, kata Gaea dari dalam gudang. Dia adalah kehampaan yang
menelan segala . dingin yang menelan segala api, senyap yang menelan segala 'ucapan. Leo ingin
berteriak: Dan, aku adalah orang yang akan segera keluar dari sini! Suaranya tidak berfungsi, dia pun
menggunakan kakinya. Dia luolesat ke kanan, merunduk di bawah kedua tangan raksasa gelap .yg
hendak mencekalnya dan kabur melalui pintu terdekat. Tiba-tiba saja dia mendapati diri berada di
Perkemahan I asteran, hanya saja perkemahan itu tinggal reruntuhan dok-pondoknya tinggal bagian luar
yang gosong. Ladang-ladang yang terbakar mengepulkan asap dalam cahaya bulan. Aula tnakan telah
ambruk menjadi gundukan puing-puing berwarna putih, dan Rumah Besar terlalap api, jendelajendelanya menyala .seperti mata setan. Leo terus berlari, yakin bahwa raksasa bayangan masih berada
di belakangnya. Dia meliuk-liuk melewati mayat-mayat demigod Yunani dan Romawi. Dia ingin
memeriksa apakah mereka masih hidup. Dia
ingin membantu mereka. Namun, entah bagaimana Leo tahu waktunya hampir habis. Dia berlari kecil
menuju satu-satunya kerumunan manusia hidup yang dia lihat"sekelompok orang Romawi berdiri di
lapangan bola voli. Dua centurion menyandar santai pada lembing mereka, mengobrol dengan seorang
cowok kurus tinggi berambut pirang yang mengenakan toga ungu. Leo terhuyung. Itu si aneh Octavian,
augur dari Perkemahan Jupiter, yang selalu meneriakkan perang. Octavian berbalik menghadap Leo,
tetapi dia sepertinya sedang kesurupan. Roman mukanya kendur, kedua matanya terpejam. Ketika dia
berbicara, suara Gaea-lah yang terdengar: Tak mungkin dicegah. Demigod Romawi bergerak ke timur
dan New York. Mereka bergerak menuju perkemahanmu, dan tidak ada yang bisa memperlambatnya.
Leo tergoda untuk meninju muka Octavian. Tetapi, dia terus berlari. Dia menaiki Bukit Blasteran. Di
puncak bukit, petir telah menghancurkan sebatang pohon pinus raksasa. Dia terhuyung berhenti.
Punggung bukit itu telah menjadi gundul. Di seberangnya, seluruh dunia menghilang. Leo tidak melihat
apa-apa kecuali awan nun jauh di bawah sana"sehelai karpet perak bergulung di bawah langit nan
gelap. Sebuah suara tajam berkata, "Jadi, bagaimana?" Leo tersentak. Di dekat pohon pinus yang
terbelah tadi, seorang wanita berlutut di lubang masuk sebuah gua yang membuka di sela-sela akar
pohon. Wanita itu bukan Gaea. Dia terlihat lebih mirip Athena Parthenos yang hidup, lengkap dengan
jubah keemasan dan lengan
terbuka berwarna gading yang sama. Ketika dia berdiri, Leo nyaris tersandung jatuh dari tepian dunia.
Wajah wanita itu memancarkan kecantikan yang agung, dengan tulang pipi tinggi, mata hitam lebar, dan
rambut berkepang area akar manis yang ditata dengan gaya Yunani mewah,di tahan dengan spiral
zamrud dan berlian sehingga mengingatkan Ieo pada sebuah pohon Natal. Raut wajahnya memancarkan
I wncian mendalam. Bibirnya tertekuk. Hidungnya mengerut. "Anak dewa tukang patri," cemoohnya.
"Kau bukan ancaman, tpi kurasa balas dendamku harus dimulai dari sesuatu. Tentukan Leo mencoba
berbicara, tetapi dia sudah panik setengah mati. diantara ratu kebencian ini dan raksasa yang
mengejarnya, dia ak tahu harus berbuat apa. "Dia akan tiba di sini sebentar lagi." Wanita itu memper"Teman hitamku tidak akan memberimu kemewahan memilih. Tebing atau gua, Nak!" Mendadak Leo
paham maksud wanita itu. Dia tersudut. Dia bisa melompat dari tebing, tetapi itu bunuh diri. Bahkan,
jika ada mil di bawah awan-awan itu, dia akan mati karena jatuh, atau mungkin dia hanya akan jatuh
selama-larnanya. Namun, gua itu .... Dia menatap bukaan gelap di sela-sela akar pohon itu. Tercium bau
busuk dan kematian. Dia mendengar tnayat-mayat berjalan terseret-seret di dalamnya, suara-suara I
rbisik dalam bayang-bayang. Gua itu adalah rumah orang mati. Jika turun ke sana, dia tak Ic an pernah
kembali. "Ya," kata wanita itu. Di lehernya tergantung liontin aneh I rwarna perunggu dan zamrud,
seperti labirin bundar. Matanya hegitu marah, sampai-sampai akhirnya Leo menyadari mengapa kata
mad, marah, bisa berarti gila. Wanita ini dibuat gila oleh
kebencian. "Gerha Hades menanti. Kau akan menjadi tikus kecil pertama yang mati dalam labirinku. Kau
hanya punya satu kesempatan untuk melarikan diri, Leo Valdez. Ambillah." Wanita itu memberi isyarat
ke arah tebing. "Kau sinting." Leo berhasil berkata. Perkataan yang salah. Wanita itu mencengkeram
pergelangan tangannya. "Barangkali aku harus membunuhmu sekarang, sebelum teman hitamku
datang?" Langkah kaki menggetarkan lereng bukit. Raksasa itu datang, berselubung bayang-bayang,
besar, berat, dan bertekad membunuh. "Pernahkah kau mendengar tentang mati di dalam mimpi, Nak?"
tanya wanita itu. "Itu bisa terjadi, di tangan seorang penyihir wanita!" Lengan Leo mulai berasap.
Sentuhan wanita itu seperti air keras. Leo berusaha membebaskan diri, tetapi cengkeraman wanita itu
seperti baja. Dia membuka mulut untuk berteriak. Sosok besar raksasa itu menjulang di atasnya, ditutupi
oleh lapisan-lapisan asap hitam. Raksasa itu mengangkat kepalan tangannya, dan sebuah suara
menerobos ke dalam mimpi Leo. "Leo!" Jason mengguncang-guncang bahunya. "Hei, Bung, mengapa
kau memeluk Nike?" Mata Leo mengerjap-ngerjap membuka. Kedua lengannya tengah memeluk patung
seukuran manusia yang ada di tangan Athena. Dia pastilah bergerak-gerak dalam tidurnya. Dia memeluk
dewi kemenangan itu seperti dulu dia biasa memeluk bantalnya ketika mendapat mimpi buruk saat
masih kecil. (Kejadian seperti itu sungguh memalukan di rumah singgah.) Dia melepaskan diri dan duduk
tegak, menggosok-gosok wajahnya.
tidak apa-apa," gumamnya. "Kami hanya berdekapan. Ehm, ada apa" jason tidak mengejeknya. Itu satu
hal yang dihargai Leo tentang temannya itu. Mata Jason yang sebiru es tetap tenang I Bekas luka kecil di
mulut Jason berdenyut seperti biasa I ada kabar buruk yang hendak disampaikannya. "Kira berhasil
melewati pegunungan," katanya. "Kita hampir .ipai Bologna. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di
aula Nico punya informasi baru."[]
BAB SEPULUH LEO LEO TELAH MERANCANG DINDING-DINDING AULA makan supaya menampilkan adegan-adegan terkini
dari Perkemahan Blasteran. Awalnya dia beranggapan gagasan itu cukup hebat. Sekarang dia tidak yakin.
Adegan-adegan dari rumah mereka"nyanyi bersama di sekeliling api unggun, makan malam di paviliun,
permainan bola voli di luar Rumah Besar"sepertinya hanya membuat teman-temannya sedih. Semakin
jauh mereka dari Long Island, semakin buruk keadaannya. Zona waktu terus berubah, membuat Leo
merasakan jauhnya jarak setiap kali dia menatap dinding-dinding itu. Di Italia sini, matahari baru terbit.
Sementara di Perkemahan Blasteran masih larut malam. Obor-obor mendedas di pintu-pintu kabin.
Cahaya bulan gemerlapan di atas ombak Selat Long Island. Pantai itu penuh jejak kaki, seolah-olah
sekerumunan besar orang baru saja meninggalkannya. Sedikit tersentak, Leo menyadari bahwa
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarin"tali malam, terserahlah"adalah empat Juli. Mereka melewatkan pesta tahunan Perkemahan
Blasteran di pantai dengan kembang api
menawan yang disiapkan oleh saudara-saudara Leo di Pondok Dia memutuskan untuk tidak
menyinggung-nyinggung hal kepada kru yang lain, tetapi dia berharap teman-temannya umah
mengalami perayaan yang meriah. Mereka juga perlu it u untuk mengangkat semangat mereka. Dia
teringat gambaran-gambaran yang dia lihat dalam pinya"perkemahan tinggal puing-puing, mayat
berserakan; Avian berdiri di lapangan bola voli, berbicara lepas dengan
suara Gaea. Leo menatap hidangan telur dan dagingnya. Dia berharap mcmatikan video dinding itu.
Nah," kata Jason, "karena kita sudah di sini ...." Jason duduk di ujung meja, bisa dibilang karena tidak ada
I lain. Semenjak mereka kehilangan Annabeth, Jason berusahasemampunya untuk bertindak sebagai
pemimpin kelompok itu karena di Perkemahan Jupiter, dia adalah Praetor, Jason mungkin .sudah
terbiasa, tetapi Leo tahu temannya itu tertekan. Kedua matanya lebih cekung ketimbang biasanya.
Rambut pirangnya -acakan tidak seperti biasa, seakan-akan dia lupa menyisirnya. Leo melirik pada kru
lain di sekeliling meja. Mata Hazel juga marah tetapi tentu saja dia tidak tidur semalaman memandu
kapal nelewati gunung. Rambut ikalnya yang berwarna kayu manis diikat dengan lipatan saputangan,
memberi Hazel tampang militer ing dirasa Leo agak seksi"tetapi dia langsung merasa bersalah
setelaahnya. Di sebelah Hazel duduk pacarnya, Frank Zhang, yang niengenakan celana olahraga hitam
dan kaus wisatawan Roma bertuliskan CIAO! (apakah kata itu ada artinya"). Lencana enturion lama
Frank tersemat di kausnya walaupun para demigod Argo II sekarang adalah musuh nomor 1 sampai 7 di
Perkemahan Jupiter. Ekspresi muram Frank semakin memperkuat kemiripannya dengan pegulat sumo. Lalu, ada
saudara tiri Hazel, Nico di Angelo. Duh, anal( itu membuat Leo merasa tidak nyaman. Dia duduk
menyandar dalam balutan jaket kulit penerbang, kaus hitam, dan celana jin, cincin tengkorak perak di
jarinya, dan pedang Stygian di pinggangnya. Matanya sedih dan agak hampa, seolah-olah dia telah
melihat ke kedalaman Tartarus--yang memang telah dilakukannya. Satu-satunya demigod yang tidak
hadir adalah Piper, yang sedang menjalankan giliran di kemudi bersama Pak Pelatih Hedge, satir
pengawal mereka. Leo berharap Piper ada di sini. Piper punya cara untuk menenangkan situasi dengan
Dendam Jago Kembar 2 Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence Pertapa Cemara Tunggal 3
The Heroes of Olympus 4: The House of Hades
-Rick Riordan- BAB SATU HAZEL SAAT SERANGAN KETIGA BERLANGSUNG, HAZEL nyaris menelan sebongkah batu besar. Dia sedang
menatap ke dalam kabut, bertanya-tanya mengapa sulit sekali terbang melintasi sebuah jajaran gunung
tolol, ketika bel peringatan kapal berbunyi. "Segera belok kiri!" Nico berseru dari tiang depan kapal layar
terbang itu. Di bagian kemudi kapal, Leo menyentakkan roda kemudi. Argo 2 membelok ke kiri, bilahbilah dayung terbangnya mem-belah awan bagaikan deretan bilah pisau. Hazel melakukan kesalahan
dengan menatap ke seberang langkan. Sebentuk benda bundar berwarna gelap meluncur ke arahnya.
Dia bertanya-tanya: Mengapa bulan mendatangi kami" Kemudian, dia memekik dan mengempas ke
geladak. Sebongkah batu besar melintas begitu dekat di atas kepalanya sampai-sampai rambutnya
tertiup ke belakang. KRAK! Tiang depan ambruk"layar, tiang kapal, dan Nico, semuanya jatuh
menghantam geladak. Batu besar itu, yang kira-kira seukuran
truk pikap, terguling jatuh ke dalam kabut seakan-akan terburu-buru karena urusan penting di tempat
lain. "Nico!" Hazel bergegas menghampirinya, sementara Leo menyeimbangkan kapal. "Aku tidak apaapa," gumam Nico, sambil menendang lipatan kain kanvas hingga lepas dari kakinya. Hazel membantu
Nico berdiri, lalu mereka berjalan tertatih-tatih menuju haluan. Hazel memeriksa dengan lebih cermat
kali ini. Awan-awan memisah cukup lama sehingga puncak gunung di bawah mereka sempat terlihat:
ujung batu hitam mencuat dari lereng-lereng hijau berlumut. Sesosok dewa gunung berdiri di
puncaknya"salah satu dari numina montanum, demikian Jason menyebut mereka. Atau, ourae dalam
bahasa Yunani. Apa pun sebutannya, mereka sangat keji. Seperti dewa gunung lain yang pernah mereka
hadapi, dewa yang ini mengenakan tunik putih sederhana di atas kulit yang sekasar dan segelap basal.
Tingginya sekitar enam meter dan tubuhnya sangat berotot, janggut putihnya berkibar, rambut acakacakan, dan sorot matanya liar, seperti petapa gila. Dia meraungkan sesuatu yang tak dipahami Hazel,
tetapi jelas tidak sedang menyambut mereka dengan ramah. Dengan tangan kosong, dia mencungkil
sepotong batu lagi dari gunungnya dan mulai membentuk potongan batu itu menjadi bola. Adegan itu
menghilang di balik kabut, tetapi ketika si dewa gunung meraung lagi, numina lain menimpali di
kejauhan, suara mereka menggema di sepanjang lembah. "Dasar dewa batu dungu!" pekik Leo dari
kemudi. "Ini ketiga kalinya aku harus mengganti tiang itu! Apa kalian pikir tiang kapal tumbuh dari
pohon?" Nico mengerutkan dahi. "Tiang kapal memang berasal dari pohon."
"Bukan itu masalahnya!" Leo menyambar salah satu alat kendalinya, yang terbuat dari stik Nintendo Wii,
lalu memutar-mutarnya. Beberapa meter dari situ, sebuah pintu membuka di geladak. Meriam
perunggu udara pun melayang naik. Hazel nyaris tak sempat menutup telinga sebelum benda itu
dilepaskan ke angkasa, menyemburkan selusin bola logam yang meninggalkan ekor api hijau. Di udara,
paku-paku besar bermunculan pada bola-bola logam itu, seperti baling-baling helikopter, dan bola-bola
itu pun meluncur memasuki kabut. Sesaat kemudian, serangkaian ledakan terdengar di sepanjang
pegunungan itu, diikuti oleh raungan murka dewa-dewa gunung. "Ha!" seru Leo. Sayangnya, Hazel
menebak, berdasarkan dua perjumpaan terakhir mereka, senjata terbaru Leo hanya membuat jengkel
numina. Sebongkah batu besar lain mendesis di udara menuju sisi kanan kapal. Nico berseru, "Bawa kita
keluar dari sini!" Leo menggumamkan beberapa komentar kasar tentang numina, tetapi dia
membelokkan kemudi. Mesin menderum. Tali-temali sihir kapal mengetatkan diri, dan kapal pun siap
bergerak ke kiri. Argo II melaju kian cepat, mundur ke barat laut, seperti yang mereka lakukan selama
dua hari belakangan ini. Hazel tidak bisa santai sampai mereka keluar dari pegunungan itu. Kabut telah
menghilang. Di bawah mereka, sinar matahari pagi menyinari pedesaan Italia"perbukitan hijau
bergelombang dan ladang-ladang keemasan yang tak jauh berbeda dengan yang ada di California Utara.
Hazel hampir bisa membayangkan dirinya tengah berlayar pulang ke Perkemahan Jupiter. Pikiran itu
membebani dadanya. Perkemahan Jupiter baru menjadi rumahnya selama sembilan bulan, sejak Nico
membawanya kembali dari Dunia Bawah. Namun, Hazel lebih merindukannya daripada tempat
kelahirannya di New Orleans, dan jelas lebih merindukannya daripada Alaska, tempat wafatnya pada
1942. Dia merindukan tempat tidurnya di Barak Kohort V. Dia kangen makan malam di ruang tnakan,
dengan roh-roh angin menyapu pinggan-pinggan di udara dan anggota bala tentara bersenda gurau
tentang permainan perang. Dia ingin keluyuran di jalan-jalan Roma Baru, bergandengan tangan dengan
Frank :hang. Dia ingin merasakan menjadi gadis biasa sekali saja, dengan paean yang sungguh-sungguh
manis dan penuh perhatian. Dan, yang paling diinginkannya adalah merasa aman. Dia lelah merasa
ketakutan dan khawatir sepanjang waktu. Dia berdiri di geladak belakang saat Nico memunguti serpihan
tiang kapal dari lengannya dan Leo menekan tombol-tombol di konsol kapal. "Yah, yang tadi itu supermenyebalkan," kata Leo. "Haruskah aku membangunkan yang lain?" Hazel tergoda untuk mengiakan,
tetapi anggota kru yang lain sudah menjalani giliran jaga malam dan berhak istirahat. Mereka kelelahan
mempertahankan kapal. Sepertinya, setiap beberapa jam sesosok monster Romawi memutuskan bahwa
Argo 2 terlihat seperti makanan lezat. Beberapa minggu silam, Hazel tak akan percaya ada orang yang
bisa tidur saat terjadi serangan numina, tetapi kini dia membayangkan teman-temannya masih
mendengkur pulas di bawah geladak. Setiap kali dia sendiri mendapat kesempatan tidur, Hazel terlelap
seperti pasien yang sedang koma. "Mereka perlu istirahat," jawabnya. "Kira harus bisa menemu-kan
jalan lain sendiri."
"Hah." Leo membersut pada monitornya. Dalam balutan kemeja kerjanya yang lusuh dan celana jin yang
penuh noda minyak, dia terlihat seperti barn saja kalah pertandingan gulat melawan lokomotif Sejak
Leman mereka, Percy dan Annabeth, terjatuh ke dalam Tartarus, Leo bekerja nyaris tanpa henti. Dia
menjadi lebih pemarah dan amat termotivasi dibandingkan biasanya. Hazel mengkhawatirkannya.
Namun, sebagian dari dirinya lega melihat perubahan itu. Setiap kali Leo tersenyum dan bergurau, dia
sungguh terlalu mirip dengan Sammy, kakek buyut Leo ... pacar pertama Hazel, dulu pada 1942. Uh,
mengapa hidupnya harus serumit ini" "Jalan lain," gumam Leo. "Apakah kau melihat jalan lain?" Di
monitor Leo sebuah peta Italia bersinar. Pegunungan Apenina membentang di tengah negara yang
berbentuk sepatu bot itu. Sebuah titik hijau yang mewakili Argo 2 berkedip-kedip di sebelah barat
pegunungan itu, beberapa ratus kilometer di utara Roma. Rute mereka seharusnya sederhana. Mereka
perlu mencapai sebuah tempat bernama Epirus di Yunani dan menemukan sebuah kuil tua bernama
Gerha Hades (atau Pluto, sebagaimana sebutan bangsa Romawi; atau sebagaimana yang senang
dibayangkan oleh Hazel: Ayah Mangkir Terburuk di Dunia ). Untuk mencapai Epirus, mereka hanya
tinggal mengarah lurus ke timur melewati Apenina dan menyeberangi Laut Adriatik. Namun, itu tidak
terjadi. Setiap kali mereka berusaha menyeberangi tulang punggung Italia itu, dewa-dewa gunung
menyerang. Selama dua hari terakhir ini, mereka menyusur ke utara, berharap menemukan jalan aman,
tetapi gagal. Numina montanum adalah putra-putra Gaea, dewi yang paling tidak disukai. Hazel. Hal itu
menjadikan mereka musuh yang amat gigih. Argo2 tidak
bisa terbang cukup tinggi untuk menghindari serangan mereka. Bahkan, dengan segala pertahanannya,
Argo 2 tidak bisa melintasi pegunungan tanpa menjadi hancur lebur. "Ini salah kami," kata Hazel. "Salah
Nico dan aku. Para numina bisa merasakan keberadaan kami." Hazel melirik kepada saudara tirinya itu.
Sejak mereka menyelamatkan Nico dari para raksasa, kekuatannya sudah mulai pulih, tetapi badannya
masih sangat kurus. Kemeja hitam dan celana jinnya menggantung pada tubuhnya yang kerempeng.
Rambut hitam panjang membingkai kedua matanya yang cekung. Kulitnya yang dulu sewarna zaitun
telah berubah berwarna putih pucat kehijauan, seperti warna getah pohon. Dalam hitungan tahun
manusia, usia Nico persis empat belas tahun, hanya setahun lebih tua daripada Hazel, tetapi cerita tidak
berhenti sampai di situ. Seperti Hazel, Nico di Angelo adalah demigod yang berasal dari zaman berbeda.
Dia memancarkan sejenis energi tua"kemurungan yang muncul dari pengetahuan bahwa tempatnya
bukanlah di dunia modern. Hazel belum lama mengenal Nico, tetapi dia memahami, bahkan ikut
merasakan, kesedihan Nico. Anak-anak Hades (Pluto"apa pun sebutannya) jarang mengalami
kehidupan yang bahagia. Selain itu, berdasarkan apa yang disampaikan Nico kepadanya tadi malam,
tantangan terbesar mereka baru muncul setelah mereka mencapai Gerha Hades"tantangan yang
diminta Nico agar dirahasiakan Hazel dari yang lain. Nico mencengkeram gagang pedang besi Stygiannya. "Roh-roh tanah tidak suka anak-anak Dunia Bawah. Itu memang benar. Kami membuat mereka
jengkel. Namun, kurasa bagaimanapun juga numina tetap bisa merasakan keberadaan kapal ini. Kita
mengangkut .Athena Parthenos. Benda itu seperti suar sihir."
Hazel bergidik, memikirkan patung raksasa yang menyita sebagian besar ruang palka. Begitu banyak
yang mereka korbankan untuk menyelamatkan patung itu dari gua di bawah Roma, tetapi mereka sama
sekali tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan benda itu. Sejauh ini satu-satunya kegunaan patung
itu sepertinya hanyalah memberitahukan keberadaan mereka pada lebih banyak monster. Leo
menyusurkan jari pada peta Italia. "Jadi, menyeberangi gunung tidak mungkin. Masalahnya, pegunungan
membentang sangat panjang di kedua arah." "Kita bisa lewat laut." Hazel mengusulkan. "Berlayar
mengitari ujung selatan Italia." "Itu jauh sekali," kata Nico. "Lagi pula, tidak ada ...." Suaranya pecah.
"Kau tahu pakar taut kita, Percy." Nama itu menggantung di udara seperti bakal badai. Percy Jackson,
putra Poseidon ... barangkali demigod yang paling dikagumi oleh Hazel. Percy telah begitu sering
menyelamatkan nyawanya sepanjang pengembaraan mereka ke Alaska, tetapi ketika dia membutuhkan
bantuan Hazel di Roma, Hazel gagal membantunya. Hazel hanya menatap tanpa daya saat Percy dan
Annabeth jatuh ke dalam lubang itu. "Bagaimana kalau terus ke utara?" tanyanya. "Pasti ada celah di
pegunungan ini, atau entah apa." Leo memain-mainkan bola mekanis perunggu Archimedes yang dia
pasang pada konsol"mainan terbarunya dan yang paling berbahaya. Setiap kali Hazel memandang
benda itu, mulutnya menjadi kering. Dia khawatir Leo memutar kombinasi yang salah pada bola itu dan
tanpa sengaja melempar mereka semua dari geladak, atau meledakkan kapal, atau mengubah Argo II
menjadi pemanggang roti raksasa.
Untunglah, mereka masih bernasib baik. Muncul sebuah kamera pada bola itu dan menayangkan
gambar 3-D Pegunungan Apenina di atas konsol. "Entahlah." Leo mengamati hologram itu. "Aku tidak
melihat ada ruse yang bagus di utara. Tapi, aku lebih suka gagasan itu ketimbang kembali ke selatan.
Aku sudah tak mau berurusan dengan Roma." Tak ada yang membantah hal itu. Roma bukanlah
pengalaman yang menyenangkan. "Apa pun yang kita lakukan," kata Nico, "kita harus bergegas. Setiap
hari yang dihabiskan Annabeth dan Percy di Tartarus ...." Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya.
Mereka harus berharap Percy dan Annabeth bisa bertahan cukup lama untuk menemukan Pintu Ajal
yang ada di sisi Tartarus. Kemudian, dengan asumsi Argo II bisa mencapai Gerha Hades, mereka mungkin
bisa membuka pintu itu di sisi dunia manusia, menyelamatkan teman-teman mereka, dan menyegel
pintu masuknya, mencegah pasukan Gaea bereinkarnasi lagi dan lagi di dunia manusia. Ya tak mungkin
ada masalah dengan rencana yang itu. Nico mengernyitkan dahi ke arah area pedesaan Italia di bawah
mereka. "Mungkin seharusnya kita membangunkan yang lain. Keputusan ini memengaruhi kita semua."
"Tidak," Lukas Hazel. "Kita bisa menemukan solusi." Hazel tidak yakin mengapa perasaannya sangat kuat
tentang hal ini, tetapi sejak meninggalkan Roma, awak kapal mereka mulai kehilangan kekompakan.
Mereka sudah belajar untuk bekerja sama sebagai tim. Kemudian bum ... dua anggota paling penting
jatuh ke Tartarus. Percy merupakan andalan mereka. Dia memberi mereka kepercayaan diri saat
berlayar menyeberangi Samudra Atlantik dan memasuki wilayah Mediterania. Sementara Annabeth,
dialah pemimpin yang sebenarnya dalam ekspedisi mereka. Dia merebut
Athena Parthenos seorang diri. Dialah yang paling cerdas di antara mereka bertujuh, yang selalu
memiliki jawaban untuk berbagai hal. Jika Hazel membangunkan awak kapal yang lain setiap kali
menghadapi masalah, mereka hanya akan mulai bertengkar lagi, merasa semakin tak berdaya. Dia harus
membuat Percy dan Annabeth bangga kepadanya. Dia harus mengambil inisiatif. Dia tidak percaya satusatunya peran yang dia miliki dalam perjalanan ini hanyalah menyingkirkan halangan yang menunggu
mereka di Gerha Hades"seperti yang diucapkan Nico. Dia menepis pikiran itu. "Kita perlu sedikit ide
kreatif," katanya. "Cara lain untuk me-nyeberangi gunung-gunung itu, atau cara untuk menyembunyikan
diri kita dari numina." Nico mendesah. "Jika aku sendirian, aku bisa melakukan perjalanan bayangan.
Tapi, itu tak akan berhasil untuk seisi kapal. Lagi pula, sejujurnya, aku tak yakin masih punya kekuatan
untuk bahkan memindah diriku sendiri." "Aku mungkin bisa membuat sejenis kamuflase," kata Leo,
"seperti tirai asap untuk menyembunyikan kita di dalam awan." Suaranya tidak terdengar sangat
antusias. Hazel menatap ke bawah pada tanah pertanian yang ber-gelombang, berpikir tentang apa yang
ada di bawahnya"dunia ayahnya, penguasa Dunia Bawah. Dia baru sekali bertemu Pluto, dan dia
bahkan tak menyadari siapa gerangan Pluto. Dia jelas tak pernah mengharapkan bantuan dari Pluto"
baik pada kehidupan pertamanya, atau pada kehidupannya sebagai roh di Dunia Bawah, ataupun sejak
Nico membawanya kembali ke dunia fana. Pelayan ayahnya, Thanatos, dewa kematian, sempat
mengata-kan bahwa mungkin diabaikan oleh Pluto adalah hal yang baik bagi Hazel. Bagaimanapun,
Hazel tidak seharusnya hidup. Jika
Pluto memperhatikannya, dia mungkin mengembalikan Hazel ke negeri orang mati. Artinya, meminta
bantuan Pluto merupakan gagasan yang sangat buruk. Tapi Tolonglah, Yah, Hazel mendapati dirinya
memohon. Aku harus menemukan jalan menuju kuilmu di Yunani"Gerha Hades. Jika kau di bawah sang,
tunjukkan kepadaku apa yang harus kulakukan. Di ujung cakarawala, sekilas gerakan tertangkap oleh
matanya"sesuatu berukuran kecil dan berwarna abu-abu cokelat melesat melintasi ladang-ladang
dengan kecepatan luar biasa, meninggalkan jejak asap seperti sebuah pesawat terbang. Hazel tak bisa
memercayainya. Dia tidak berani berharap, tetapi itu pastilah "Anion." "Apa?" tanya Nico. Leo bersorak
gembira saat kepulan debu itu mendekat. "Itu kuda Hazel, Bung! Kau sama sekali belum tahu tentang ini.
Kami belum melihatnya lagi sejak di Kansas!" Hazel tertawa"pertama kalinya dia tertawa setelah
berhari-hari. Rasanya begitu menyenangkan melihat sobat lamanya lagi. Sekitar satu kilometer di utara,
titik kecil berwarna abu-abu kecokelatan itu mengitari sebuah bukit dan berhenti di puncaknya.
Sosoknya sulit ditangkap mata, tetapi ketika kuda itu berdiri pada kaki belakangnya dan meringkik,
suaranya terbawa jauh hingga mencapai Argo II. Hazel sangat yakin"itu Anion. "Kita harus
menemuinya," kata Hazel. "Dia di sini untuk membantu." "Yeah, baiklah." Leo menggaruk-garuk
kepalanya. "Tapi, eh, kita sudah membahas soal tidak mendaratkan kapal ini di tanah lagi, ingat" Kau
tahu mengingat Gaea ingin menghancurkan kita."
"Pokoknya bawa aku mendekat, dan akan kugunakan tangga tali." Jantung Hazel berdebar kencang.
"Kurasa Anon ingin menyampaikan sesuatu kepadaku."[]
BAB DUA HAZEL HAZEL TAK PERNAH MERASA SEBAHAGIA ITU. Yah, kecuali mungkin pada malam pesta kemenangan di
Perkemahan Jupiter, ketika dia mencium Frank untuk kali pertama tetapi ini hampir menyamai saat itu.
Begitu menjejak tanah, Hazel berlari menuju Anion dan mengalungkan tangan ke leher hewan itu. "Aku
kangen padamu!" Hazel menempelkan wajah ke panggul hangat kuda itu, yang berbau asin lautan dan
apel. "Dari mana saja kau?" Arlon meringkik pelan. Hazel berharap dia bisa berbicara bahasa kuda
seperti Percy, tetapi dia bisa menangkap gagasan besarnya. Anion terdengar tak sabar, seolah-olah
mengatakan, Tidak ada waktu untuk bersikap sentimental, Non! Ayolah! "Kau ingin aku pergi
bersamamu?" tebak Hazel. Anion mengangguk-anggukkan kepala, sambil menderapkan kaki di tempat.
Kedua matanya yang berwarna cokelat gelap berbinar-binar mendesak. Hazel masih belum bisa
memercayai kuda itu sungguh-sungguh ada di sini. Arlon bisa berlari melintasi segala permukaan,
bahkan lautan. Namun, Hazel selama ini khawatir Anion tidak mau mengikuti mereka ke Negeri Kuno.
Mediterania terlalu berbahaya untuk para demigod dan sekutu-sekutu mereka. Anion tidak akan datang
kecuali Hazel sangat membutuhkan. Dan, Anion tampak begitu gelisah Apa pun yang bisa membuat
seekor kuda pemberani menjadi gugup semestinya membuat takut Hazel. Sebaliknya, Hazel justru
merasa sangat gembira. Dia sudah sangat letih mengalami mabuk laut dan udara. Di atas Argo 2, dia
merasa sama bergunanya seperti sekotak tolak bara(Pemberat yang terdiri atas cairan yang dimuat di
kapal, ditempatkan di bagian dasar kapal dan bagian lain untuk tujuan stabilitas kapal dan balas atau
rem kapal. "peny. ). Dia sangat senang bisa kembali menginjak tanah padat walau itu adalah daerah
kekuasaan Gaea. Dia siap menunggang kuda. "Hazel!" Nico berteriak dari atas kapal. "Ada apa?" "Tidak
ada apa-apa!" Hazel berjongkok dan memanggil sebuah magnet emas dari tanah. Dia semakin mahir
mengendalikan kekuatannya. Batu-batu mulia sudah jarang muncul di sekitarnya secara tak sengaja, dan
mengambil emas dari tanah adalah hal yang mudah. Dia menyuapkan bongkahan emas itu pada Anion
kudapan favorit kuda itu. Dia lantas tersenyum ke arah Leo dan Nico, yang tengah memandanginya dari
ujung tangga, sekitar tiga ratus meter di atasnya. "Anion ingin membawaku ke suatu tempat." Kedua
anak lelaki itu bertukar pandangan gugup. "Mmm ...." Leo menunjuk ke utara. "Tolong, katakan
kepadaku dia tidak membawamu memasuki itu?" Sedari tadi Hazel begitu memusatkan perhatian pada
Anion sehingga dia tidak memperhatikan gangguan cuaca. Sekitar satu
kilometer dari situ, di atas puncak bukit sebelah, badai telah berkumpul di atas sebuah puing-puing batu
tua"mungkin sisa sebuah kuil Romawi atau sebuah benteng. Sebentuk awan berbentuk corong
merayap turun menuju bukit itu seperti sebuah jari sehitam tinta. Mulut Hazel terasa seperti mencecap
darah. Dia menatap Anion. "Kau ingin pergi ke sana?" Anion meringkik, seolah berkata, Menurutmu"
Yah ... Hazel tadi meminta bantuan. Apakah ini jawaban ayahnya" Dia berharap begitu, tetapi dia
merasakan ada sesuatu selain Pluto yang tengah bekerja dalam badai itu sesuatu yang gelap, kuat, dan
belum tentu bersahabat. Namun, inilah kesempatannya untuk membantu kawan-kawannya"untuk
memimpin alih-alih menjadi pengikut. Hazel mengencangkan tali-tali pedang kavaleri emas kerajaannya
dan menaiki punggung Anion. "Aku akan baik-baik saja!" Dia berseru ke arah Nico dan Leo. "Tetap di situ
dan tunggu aku." "Tunggu berapa lama?" tanya Nico. "Bagaimana kalau kau tidak kembali?" "Jangan
khawatir, aku akan kembali." Hazel berjanji, seraya berharap itu benar. Dia memacu Anion, dan mereka
melesat melintasi wilayah pedesaan, langsung menuju tornado yang sedang membentuk itu.[]
BAB TIGA HAZEL BADAI ITU MENELAN BUKIT DALAM pusaran asap hitam yang berputar-putar. Anion menyerbu ke
dalamnya. Hazel mendapati dirinya berada di atas bukit, tetapi rasanya seperti berada di dalam dimensi
yang berbeda. Dunia kehilangan warna. Dinding-dinding badai mengepung bukit itu dalam warna hitam
kelam. Langit bergolak abu-abu. Puing-puing rusak tadi menjadi berwarna sedemikian putih hingga
nyaris bersinar, bahkan Anion berubah warna dari cokelat karamel menjadi abu-abu gelap. Di dalam
mata badai, udara bergeming. Kulit Hazel menggelenyar dingin, seolah-olah dia Baru saja digosok
dengan alkohol. Di hadapannya, sebuah pintu lengkung mengarah ke dinding-dinding berlumut
memasuki semacam area berpagar. Tak banyak yang bisa dilihat Hazel dalam kegelapan itu, tetapi dia
merasakan keberadaan sesuatu di dalam sana, seolah-olah dirinya adalah sebongkah besi di dekat
sebuah magnet besar. Tarikan magnet itu tak bisa ditolak, menyeretnya maju.
Namun, dia bimbang. Dia menarik tali kekang Anion, dan kuda itu menderap-derap tak sabar, tanah
mendedas di bawah kakinya. Di mana pun kuda itu menjejak, rumput, tanah, dan bebatuan berubah
putih seperti es. Hazel teringat Gletser Hubbard di Alaska"betapa permukaannya retak di bawah kaki
mereka. Dia teringat lantai gua mengerikan di Roma yang remuk menjadi debu, menjerumuskan Percy
dan Annabeth ke dalam Tartarus. Hazel berharap puncak bukit hitam-putih ini tidak buyar di bawahnya,
tetapi dia memutuskan sebaiknya terus bergerak. "Kalau begitu, ayo pergi, Kawan." Suaranya tak
terdengar jelas, seolah-olah dia terbekap bantal. Arion berderap memasuki pintu lengkung batu itu.
Dinding-dinding rusak menghiasi tepian halaman dalam yang berbentuk persegi dengan ukuran kira-kira
seluas lapangan tenis. Tiga pintu gerbang lain, satu di bagian tengah setiap dinding, mengarah ke utara,
timur, dan barat. Di bagian tengah halaman, dua jalan setapak yang terbuat dari batu bulat saling
memotong, membentuk silang. Kabut menggayut di udara"utas-utas putih samar yang bergelung dan
mengombak seakan-akan hidup. Hazel menyadari itu bukan kabut biasa. Sang Kabut. Sepanjang
hidupnya, dia telah mendengar tentang Kabut-- selubung supernatural yang menutupi dunia mitos dari
pandangan manusia biasa. Kabut ini bisa menipu manusia, bahkan demigod, membuat mereka melihat
monster sebagai hewan tak berbahaya, atau melihat dewa sebagai manusia biasa. Hazel tak pernah
mengira Kabut adalah asap sungguhan, tetapi saat dia melihatnya bergulung di sekitar kaki Anion,
melayang melewati lengkung-lengkung rusak di halaman yang kacau itu, bulu roma di kedua lengannya
berdiri. Entah bagaimana dia tahu: benda putih ini benar-benar ajaib.
Di kejauhan, seekor anjing menggonggong. Arion biasanya idak takut apa-apa, tetapi dia mengangkat
kedua kaki depannya, seraga mendengus-dengus gelisah. "Tidak apa-apa." Hazel mengelus leher Anion.
"Kita hadapi ini bersama. Aku turun, ya?" Hazel meluncur menuruni punggung Arion. Seketika itu juga
Arion berbalik dan lari. "Anion, tung?" Namun, kuda itu telah lenyap seperti ketika ia tadi datang.
Selesai sudah soal menghadapi bersama. Suara gonggongan lain membelah udara"kali ini lebih dekat.
Hazel melangkah menuju bagian tengah halaman. Kabut menggayutinya seperti uap ruang pembeku
lemari es. "Halo?" seru Hazel. "Halo," jawab sebuah suara. Sosok pucat seorang perempuan muncul di
gerbang utara. liukan, tunggu dulu dia berdiri di pintu timur. Bukan, di barat. riga citra sosok wanita
berasap bergerak serempak menuju bagian tengah reruntuhan. Sosoknya samar, terdiri dari Kabut, dan
ia d iikuti oleh dua gumpalan asap yang lebih kecil, melesat di dekat tumitnya seperti binatang. Sejenis
hewan peliharaan" Wanita itu mencapai bagian tengah halaman dan ketiga sosoknya bergabung
menjadi satu. Ia memadat menjadi seorang wanita muda yang mengenakan gaun tanpa lengan
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna gelap. Rambutnya yang keemasan diikat dalam kucir kuda yang tinggi. Gaya Yunani Kuno.
Gaunnya begitu lembut sehingga tampak seperti bergelombang, seolah-olah kain gaunnya adalah tinta
yang tumpah dari bahunya. Dia terlihat berusia tak lebih dari dua puluh tahun, tetapi Hazel tahu itu
tidak berarti apa-apa. "Hazel Levesque," kata wanita itu.
Dia wanita yang cantik, tetapi teramat pucat. Dulu di New Orleans, Hazel pernah terpaksa melayat
jenazah seorang teman sekolah. Dia teringat jasad tak bernyawa gadis muda itu di dalam peti mati.
Wajahnya dibuat cantik, seolah-olah tengah beristirahat, yang menurut Hazel malah menakutkan.
Wanita ini mengingatkan Hazel kepada gadis itu"hanya saja mata wanita ini terbuka dan hitam
sepenuhnya. Ketika menelengkan kepala, dia seperti memecah menjadi tiga sosok yang berbeda lagi
jejak-jejak citranya yang samar memudar bersamaan, seperti foto seseorang yang bergerak terlalu cepat.
"Siapa kau?" Jari-jemari Hazel langsung menyentuh pangkal pedangnya. "Maksudku dewi apa?" Hazel
yakin sampai sejauh itu. Wanita ini memancarkan kekuatan. Segala sesuatu di sekitar mereka"Kabut
yang berputar-putar, badai monokrom, suasana seram reruntuhan"disebabkan kehadiran wanita ini.
"Ah." Wanita itu mengangguk. " Biar kuberi sedikit penerangan." Dia mengangkat tangannya. Tiba-tiba
saja dia memegang dua obor buluh kuno, dengan api yang berkedip-kedip. Kabut menyurut ke tepian
halaman. Di kaki bersandal wanita itu, dua hewan berkabut mulai mengambil bentuk yang utuh. Salah
satunya adalah seekor anjing labrador retriever. Satu lagi seekor hewan pengerat berbulu panjang
berwarna abu-abu yang mengenakan topeng putih di wajahnya. Seekor musang, mungkin" Wanita itu
tersenyum tenang. "Dewi sihir. Banyak yang harus kita bicarakan jika kau ingin tetap hidup setelah
malam ini."[] BAB EMPAT HAZEL HAZEL INGIN LARI, TETAPI KAKI-KAKINYA seperti menempel di tanah berlapis putih itu. Di kedua sisi jalan
yang bersilangan tadi, dua tiang dudukan obor yang terbuat dari logam- berwarna gelap mencuat dari
tanah seperti batang tanaman. Hecate memasang obornya pada kedua tiang itu, kemudian melangkah
pelan mengitari Hazel, mengamat-amatinya seolah-olah mereka adalah pasangan dalam suatu tarian
yang seram. Anjing hitam dan musang itu mengikuti di belakangnya. "Kau seperti ibumu." Hecate
memutuskan. Tenggorokan Hazel seperti tercekik. "Kau mengenalnya?" "Tentu saja. Marie adalah
peramal. Dia berurusan dengan jampi-jampi, kutukan, dan gris-gris(Talisman.). Aku adalah dewi sihir."
Mata yang hanya dihiasi warna hitam kelam itu seperti rnenarik-narik Hazel, seolah berusaha memeras
jiwanya. Pada kehidupan pertamanya di New Orleans, Hazel diganggu oleh anak-anak di Sekolah St. Agnes gara-gara
ibunya. Mereka menyebut Marie Levesque penyihir. Para biarawati berbisik-bisik bahwa ibu Hazel
membuat perjanjian dengan setan. Hazel bertanya-tanya, jika para biarawati takut kepada ibunya,
bagaimana reaksi mereka terhadap dewi ini" "Banyak yang takut kepadaku," kata Hecate, seolah-olah
membaca pikiran Hazel. "Tapi, sihir tidaklah jahat atau baik. Sihir adalah alat, seperti pisau. Apakah pisau
jahat" Hanya jika pemegangnya jahat." "Ibu"ibuku ...." Hazel berkata terbata-bata. "Dia tidak percaya
pada sihir. Tidak benar-benar percaya. Dia hanya pura-pura, demi uang." Si musang bergetar dan
menyeringai. Kemudian, hewan itu mengeluarkan suara mendecit dari bagian belakang tubuhnya.
Dalam situasi lain, kentut seekor musang mungkin terasa lucu, tetapi Hazel tidak tertawa. Kedua mata
hewan pengerat itu menatapnya dengan penuh ancaman, seperti batu bara berukuran kecil. "Tenang,
Gale," kata Hecate. Dia mengangkat bahu sebagai permintaan maaf kepada Hazel. "Gale tidak sutra
mendengar tentang orang-orang yang tidak percaya sihir dan berpura-pura menjadi penyihir. Perlu kau
ketahui, Gale sendiri dulu penyihir." "Musangmu dulu penyihir?" "Sebenarnya itu sigung," kata Hecate.
"Tapi, benar"Gale dulu adalah seorang penyihir manusia yang pemarah. Kesehatannya buruk, dan dia
menderita"ehm, masalah pencernaan." Hecate mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya. "Itu
merusak reputasi para pengikutku yang lain."
"Baiklah." Hazel berusaha tidak menatap si mti4ng. Dia I irnar-benar tidak ingin tahu tentang masalah
pertit hewan .engerat itu. "Dulu," kata Hecate, "aku mengubahnya men jagi seekor Keadaannya jauh
lebih baik sebagai sigung." Hazel menelan ludah. Dia menatap pada si anjing hitam, yang Irngan penuh
kasih menggosok-gosokkan moncong ke tangan ,.t ng dewi. "Dan, labradormu ...?"
"Oh, itu Hecuba, bekas Ratu Troy," jawab Hecate,
Seolah olah itu seharusnya sudah sangat gamblang. Anjing itu mendengus. "Kau benar, Hecuba," sahut
Hecate. "Kita tidak rya waktu n tuk berkenalan panjang lebar. Intinya, Hazel Levesqi, "e, ibumu nmngkin
mengaku tak percaya, tetapi dia benar-benar memiliki sihir. Pada akhirnya, dia menyadari hal ini. Ketika
dia triencari mantra untuk memanggil dewa Pluto, akulah yang merqantunya menemukan mantra itu."
"Kau ...?" "Ya." Hecate terus mengitari Hazel. "Aku melihat potensi dalam diri ibumu. Aku melihat lebih
banyak potensi dalam diri mu." Kepala Hazel terasa berputar-putar. Dia ingat Ntigakuan ibunya persis
sebelum meninggal dunia: bagaimana diatilanggil Pluto, bagaimana dewa itu jatuh cinta kepadanya, dan
bagaimana, karena keserakahannya, Hazel terlahir dengan membawa c.utukan. Hazel bisa memanggil
benda-benda berharga dari tarla siapa saja yang menggunakannya akan menderita dan mati,. Sekarang
dewi ini mengatakan dialah yang telah menyebabkan semua hal itu terjadi. "Ibuku menderita gara-gara
sihir itu. Seluruh "Hidupmu tak akan terjadi tanpaku," kata Hecate datar. "Aku tak punya waktu untuk berurusan dengan
amarahmu. Begitu pula dirimu. Tanpa bantuanku, kau akan coati." Anjing hitam tadi menggeram. Si
sigung mengertakkan gigi dan membuang gas. Hazel merasa seakan-akan paru-parunya disarati pasir
panas. "Bantuan apa?" Hecate mengangkat kedua tangannya yang pucat. Tiga pintu gerbang tempatnya
datang"utara, timur, dan barat"mulai dikitari Kabut. Sekumpulan gambar hitam-putih bersinar dan
berkedip-kedip, seperti film bisu tua yang masih diputar di bioskop beberapa waktu ketika Hazel masih
kecil. Di pintu sebelah barat, demigod-demigod Romawi dan Yunani dengan pakaian perang lengkap
saling bertempur di lereng sebuah bukit di bawah sebatang pohon pinus besar. Rumput diseraki sosoksosok yang terluka dan sekarat. Hazel melihat dirinya tengah menunggangi Anion, menyerbu ke dalam
pertempuran sambil berteriak"berusaha menghentikan kekerasan itu. Di pintu gerbang timur, Hazel
melihat Argo II menukik menembus angkasa di atas Apenina. Tali-temalinya terbakar. Sebongkah batu
besar menghancurkan geladak belakang. Sebongkah batu lain menghantam lambung kapal. Kapal itu
pecah seperti labu kuning buruk, dan mesinnya meledak. Gambar di pintu utara lebih buruk lagi. Hazel
melihat Leo, dalam keadaan tak sadarkan diri"atau mati"jatuh menembus awan. Dia melihat Frank
terhuyung-huyung sendirian menyusuri sebuah terowongan panjang, sambil mencengkeram lengannya,
kemejanya basah kuyup berlumuran darah. Hazel juga melihat dirinya sendiri berada di sebuah gua
besar yang penuh berkas-berkas cahaya bak jaring laba-laba yang berkilauan. Dia sedang berjuang untuk
menerobos masuk, sementara di kejauhan, Percy
Annabeth terkapar tak bergerak di kaki dua buah pintu logam it warna hitam dan perak. "Pilihan," kata
Hecate. "Kau berada di persimpangan, Hazel Ievesque. Sementara aku adalah dewi persimpangan."
Tanah bergetar di kaki Hazel. Dia memandang ke bawah da n melihat kilauan koin-koin perak ribuan
uang denarii )inawi keno menerobos permukaan di sekelilingnya, seolah-olah pu !leak bukit itu mulai
mendidih. Hazel sangat terganggu oleh pemandangan di pintu-pintu gerbang tadi sehingga dia pastilah
?lab memanggil semua keping perak yang ada di wilayah pedesaan cl:itar. "Masa lalu berada dekat
dengan permukaan di tempat ini," kata Hecate. "Pada zaman dulu, dua jalan besar Romawi bertemu di
sini. Kabar-berita dipertukarkan. Pasar digelar. Kawan bertemu, da n musuh bertempur. Pasukan hares
memilih arah. Persimpangan selalu menjadi tempat pengambilan keputusan." "Seperti seperti Janus."
Hazel teringat Kuil Janus di Bukit K ail dekat Perkemahan Jupiter. Para demigod biasa pergi ke sana tin
tuk mengambil keputusan. Mereka melempar koin, gambar atau dan berharap dewa berwajah ganda itu
akan membimbing mereka dengan baik. Dari dulu Hazel membenci tempat itu. Dia idak pernah paham
mengapa teman-temannya dengan sukarela inembiarkan sesosok dewa mengambil alih tanggung jawab
nereka untuk memilih. Setelah segala yang dialami Hazel, tingkat kepercayaannya pada kebijaksanaan
para dewa sama dengan kepercayaannya pada mesin penjual kudapan otomatis di New Orleans. Si dewi
sihir mengeluarkan suara desisan jijik. "Janus dan pintu-pintunya. Dia membuatmu percaya bahwa
segala pilihan itu hitam-putih, ya atau tidak, masuk atau keluar. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Setiap
kali kau tiba di persimpangan, selalu
ada paling sedikit tiga jalan yang bisa dilalui empat, jika kita menghitung rute mundur. Kau sekarang
berada di persimpangan semacam itu, Hazel." Hazel kembali memandangi setiap pintu gerbang yang
berpilin itu: perang demigod, kehancuran Argo 2, malapetaka untuk dirinya sendiri dan teman-temannya.
"Semua pilihan itu buruk." "Semua pilihan mengandung risiko," koreksi sang dewi. "Tapi, apa
tujuanmu?" "Tujuanku?" Hazel mengayunkan tangan tanpa daya ke arah pintu-pintu gerbang tadi.
"Bukan semua ini." Si anjing Hecuba menggeram. Gale si sigung berlari kecil di sekitar kaki sang dewi
sambil mengeluarkan gas dan mengertakkan gigi. "Kau bisa mundur," saran Hecate, "menyusuri kembali
rutemu menuju Roma ... tapi pasukan Gaea mengharapkan itu. Tak seorang pun di antara kalian yang
akan selamat." "Jadi, maksudmu apa?" Hecate melangkah menuju obor terdekat. Dia menciduk
segenggam api dan mengukir api itu hingga dia memegang sebuah peta relief mini Italia. "Kau bisa pergi
ke barat." Hecate mengayunkan jarinya menjauh dari peta api itu. "Kembali ke Amerika beserta benda
berhargamu, Athena Parthenos. Rekan-rekanmu di sana, bangsa Yunani dan Romawi, berada di
penghujung peperangan. Pergi sekarang, kau mungkin bisa menyelamatkan banyak nyawa." "Mungkin,"
ulang Hazel. "Tapi, Gaea seharusnya bangkit di Yunani. Di situlah para raksasa berkumpul." "Benar. Gaea
telah menetapkan 1 Agustus, Hari Spes, dewi harapan, sebagai saat kebangkitannya ke tampuk
kekuasaan. Dengan bangkit pada Hari Harapan, dia berniat menghancurkan
segala harapan selamanya. Bahkan, jika kau sampai di Yunani pada saat itu, bisakah kau
menghentikannya" Aku tidak tahu." ecate menyusurkan jemarinya di sepanjang puncak Apenina api.
"Kau bisa pergi ke timur, menyeberangi gunung, tapi Gaea :akan melakukan apa saja untuk
mencegahmu menyeberangi Italia. dia telah membangkitkan dewa-dewa gunungnya untuk melawan
kalian." "Kami sudah tahu itu," kata Hazel. "Segala upaya untuk menyeberangi Apenina akan berujung
pada kehancuran kapalmu. Ironisnya, ini mungkin pilihan terbaik bagi kru-mu. Ramalanku, kalian semua
akan selamat dari ledakan kapal. Masih ada kemungkinan, walau kecil, kalian mencapai Epirus dan
menutup Pintu Ajal. Kahan mungkin bisa menemukan Gaea dan mencegah kebangkitannya. Tapi, pada
saat itu, kedua perkemahan demigod pasti telah hancur. Tak akan ada rumah untuk tempat kalian
kembali." Hecate tersenyum. "Kemungkinan lebih besar, hancurnya kapal akan membuat kalian
terdampar di pegunungan. Itu berarti perjalanan berakhir, tapi kau dan teman-temanmu terhindar dari
rasa sakit dan penderitaan pada hari-kari selanjutnya. Kalah atau menang dalam perang melawan para
raksasa akan dicapai tanpa kalian." Kalah atau menang tanpa kami. Satu bagian kecil dari din Hazel yang
dilanda rasa bersalah merasa itu pilihan menarik. Dia telah lama mengharapkan kemungkinan menjadi
gadis biasa. Dia tidak ingin dirinya dan teman-temannya merasakan sakit atau penderitaan lagi. Sudah
terlalu banyak yang mereka lalui. Dia memandang ke pintu gerbang tengah di belakang Hecate. Dia
melihat Percy dan Annabeth tergeletak tanpa daya di depan pintu-pintu hitam dan perak. Sesosok
berukuran besar dan gelap,
yang agak mirip manusia, sekarang menjulang di atas mereka, kakinya terangkat seolah-olah hendak
meremukkan Percy. "Bagaimana dengan mereka?" Hazel bertanya, suaranya parau. "Percy dan
Annabeth." Hecate mengangkat bahu. "Barat, timur, atau selatan mereka mati." "Bukan pilihan," kata
Hazel. "Kalau begitu, kau tinggal memiliki satu jalan walau itu yang paling berbahaya." jari Hecate
melintasi miniatur Apenina, meninggalkan selarik garis putih yang bersinar dalam nyala api merah. "Ada
sebuah celah rahasia di utara, suatu tempat yang kukuasai, tempat Hannibal dulu pernah melintas ketika
dia membawa pasukan melawan Romawi." Sang dewi membuat lengkungan lebar ke bagian atas Italia,
kemudian ke arah timur menuju laut, lantas menyusuri pesisir barat Yunani. "Begitu melewati celah itu,
kau ke utara menuju Bologna, lantas ke Venesia. Dari sana, layari Laut Adriatik ke tempat tujuanmu, di
sini: Epirus di Yunani." Hazel tak tahu banyak soal geografi. Dia sama sekali tidak tahu seperti apa Laut
Adriatik itu. Dia tidak pernah mendengar soal Bologna, dan yang dia tahu tentang Venesia hanyalah
cerita-cerita samar tentang kanal dan gondola. Namun, ada satu hal yang jelas. "Itu menyimpang jalur
sangat jauh." "Itu sebabnya Gaea tidak akan menduga kau mengambil rute ini," kata Hecate. "Aku bisa
sedikit menyamarkan pergerakan kalian, tapi keberhasilan perjalanan kalian bergantung kepadamu
Hazel Levesque. Kau harus belajar menggunakan Kabut." "Aku?" Jantung Hazel serasa jatuh
menggelindingi sangkar rusuknya. "Menggunakan Kabut dengan cara apa?"
Hecate memadamkan peta Italianya. Dia mengibaskan tangan ke arah si anjing hitam Hecuba. Kabut
berkumpul di sekitar anjing Labrador itu sampai is sepenuhnya tertutupi selongsong putih. Kabut lenyap
diiringi suara puf yang cukup keras. Di tempat anjing tadi berada sekarang berdirilah seekor kucing
hitam bermata keemasan yang tampak jengkel. "Meong." Hewan itu mengeluh. "Aku adalah dewi
Kabut," jelas Hecate. "Aku bertanggung jawab menjaga selubung yang memisahkan dunia para dewa
dari dunia manusia. Anak-anakku belajar menggunakan Kabut untuk kepentingan mereka, menciptakan
ilusi atau memengaruhi pikiran manusia. Demigod-demigod lain juga bisa melakukan ini. Kau pun harus
bisa melakukannya, Hazel, jika hendak membantu teman-temanmu." "Tapi ...." Hazel memandang
kucing itu. Dia tahu hewan itu sebenarnya adalah Hecuba, si labrador hitam, tetapi dia tidak bisa
meyakinkan dirinya. Kucing itu tampak begitu nyata. "Aku tak bisa melakukan itu." "Ibumu punya
bakat," kata Hecate. "Bakatrnu bahkan lebih besar. Sebagai anak Pluto yang telah kembali dari kematian,
kau memahami selubung antardunia lebih daripada kebanyakan orang. Kau bisa mengendalikan Kabut.
Jika tidak yah, saudaramu Nico sudah memperingatkan. Roh-roh telah membisikinya, memberitahunya
tentang masa depanmu. Setibamu di Gerha Hades, kau akan menemui musuh yang sangat berat. Dia
tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan atau pedang. Hanya kau yang bisa mengalahkannya, dan kau
akan membutuhkan sihir." Kedua kaki Hazel terasa goyah. Dia ingat raut muka Nico yang suram, jarijemari Nico mencengkeram tangannya. Kau tak boleh memberi tabu yang lain. Tidak sekarang.
Keberanian mereka sudah mencapai batasnya.
"Siapa?" Hazel bertanya dengan suara parau. "Siapa musuh itu?" "Aku tak akan menyebutkan
namanya," kata Hecate. "Itu akan membuatnya menyadari kehadiranmu sebelum kau siap
menghadapinya. Pergilah ke utara, Hazel. Saat kau menempuh perjalanan, berlatihlah memanggil Kabut.
Sesampai di Bologna, carilah dua orang cebol. Mereka akan mengantarmu ke suatu benda berharga
yang bisa membantumu bertahan di Gerha Hades." "Aku tidak mengerti." "Meong," keluh si kucing. "Ya,
ya, Hecuba." Sang dewi mengayunkan tangannya lagi, dan kucing itu pun menghilang. Si labrador hitam
kembali ke tempatnya semula. "Kau akan mengerti, Hazel," janji sang dewi. "Dari waktu ke waktu, aku
akan mengirim Gale untuk memeriksa kemajuanmu." Si sigung mendesis, mata merahnya yang bundar
berkilauan penuh kebencian. "Hebat," gerutu Hazel. "Sebelum mencapai Epirus, kau harus bersiap," kata
Hecate. "Kalau kau berhasil, barangkali kita akan bertemu lagi untuk pertempuran terakhir."
Pertempuran terakhir, pikir Hazel. Oh, senangnya. Hazel bertanya-tanya apakah dia bisa mencegah
penampakan yang dia lihat dalam Kabut"Leo jatuh menembus langit; Frank terhuyung-huyung
menyusuri kegelapan seorang diri dalam keadaan luka parah; Percy dan Annabeth dalam kekuasaan
sesosok raksasa berkulit gelap. Dia benci kebiasaan para dewa berteka-teki dan saran mereka yang tak
jelas. Dia sekarang mulai membenci persimpangan jalan.
" Mengapa kau membantuku?" desak Hazel. "Di Perkemahan jupiter, mereka bilang kau berpihak pada
para Titan dalam pertempuran terakhir." Mata hitam Hecate berkilat-kilat. "Karena aku memang putri
dari Perses dan Asteria. Jauh sebelum para dewa olympia memegang kekuasaan, aku berkuasa atas
Kabut. Meskipun demikian, pada Perang Titan pertama, ribuan tahun silam, aku berpihak pada Zeus
untuk melawan Kronos. Aku tdak buta terhadap kekejaman Kronos. Aku berharap Zeus akan terbukti
sebagai raja yang lebih baik." Dia mengeluarkan sekilas tawa getir. "Ketika Demeter kehilangan putrinya,
Persephone, diculik oleh ayahmu, aku mcmbimbing Demeter melalui malam gelap dengan obor-oborku,
tnembantu pencariannya. Dan, ketika raksasa-raksasa bangkit untuk pertama kalinya, aku kembali
berpihak pada para dewa. Aku bertempur melawan musuh bebuyutanku, Clytius, yang diciptakan Gaea
untuk menyerap dan mengalahkan seluruh sihirku." "Clytius." Hazel belum pernah mendengar nama itu--Clai-ti-us"tetapi mengucapkannya membuat tungkai-tungkainya terasa berat. Dia melirik gambar di
pintu utara"sosok besar dan gelap menjulang di atas Percy dan Annabeth. "Apakah dia ancaman yang
ada di Gerha Hades?" "Oh, dia menunggumu di sana," sahut Hecate. "Tapi, pertama-tama kau harus
mengalahkan penyihir itu. Kalau kau tidak berhasil melakukannya Dia menjentikkan jari, dan semua
pintu gerbang tadi berubah gelap. Kabut menghilang, gambar-gambar lenyap. "Kim semua menghadapi
pilihan," kata sang dewi. "Ketika Kronos bangkit untuk kedua kalinya, aku melakukan kesalahan. Aku
mendukungnya. Aku sudah bosan diabaikan oleh mereka yang disebut sebagai dewa-dewi besar.
Meskipun sudah bertahuntahun mengabdi dengan setia, mereka tidak memercayaiku, tidak memberiku tempat duduk di aula
mereka ...." Gale, si sigung, bergetar marah. "Itu tidak penting lagi." Sang dewi mendesah. "Aku telah
berdamai lagi dengan Olympus. Bahkan, saat ini, ketika mereka sedang lemah"sosok-sosok Yunani dan
Romawi mereka saling bertarung"aku akan membantu mereka. Yunani atau Romawi, aku selalu
menjadi sekadar Hecate. Aku akan membantumu melawan para raksasa jika kau membuktikan diri layak
dibantu. Jadi, sekarang ini pilihanmu, Hazel Levesque. Apakah kau akan memercayaiku atau
mengabaikanku, sebagaimana yang terlalu sering dilakukan para dewa-dewi Olympia?" Darah menderu
di telinga Hazel. Bisakah dia memercayai dewi kelam ini, yang telah memberi ibunya sihir yang
menghancurkan hidupnya" Maaf, tidak. Dia tidak terlalu menyukai anjing Hecate atau sigung tukang
kentutnya. Namun, Hazel juga tahu dia tak bisa membiarkan Percy dan Annabeth mati. "Aku akan ke
utara," putusnya. "Kami akan melalui celah rahasiamu menembus pegunungan." Hecate mengangguk,
sekilas rant puas terlihat di wajahnya. "Kau telah memilih dengan baik walau jalan itu tidak akan mudah.
Banyak monster yang akan bangkit melawanmu. Bahkan, beberapa pelayanku sendiri telah berpihak
kepada Gaea, berharap menghancurkan dunia manusiamu." Sang dewi mengambil kedua obornya dari
tempatnya. "Persiapkan dirimu, wahai Putri Pluto. Jika kau berhasil melawan si penyihir, kita akan
bertemu lagi." "Aku akan berhasil." Hazel berjanji. "Dan, Hecate" Aku tidak memilih salah satu jalanmu.
Aku membuat jalanku sendiri."
Sang dewi menaikkan alis matanya. Sigungnya menggeliat dan anjingnya menggeram. "Kami akan
menemukan cara untuk menghentikan Gaea," I. ata Hazel. "Kami akan menyelamatkan teman-teman
kami dari tarus. Kami akan mempertahankan keutuhan kru dan kapal, elan kami akan mencegah
pertempuran antara Perkemahan Jupiter dan Perkemahan Blasteran. Kami akan melakukan itu semua."
Badai menderu, dinding-dinding hitam awan berbentuk corong berpusar lebih cepat. "Menarik,"
komentar Hecate, seolah-olah Hazel adalah hasil yang tak diduga-duga dalam sebuah eksperimen sains.
"Itu akan menjadi sihir yang layak disaksikan." Segelombang kegelapan menghitamkan dunia. Ketika
peng-lihatan Hazel kembali, badai, sang dewi, dan kaki-tangannya telah lenyap. Hazel berdiri di lereng
bukit dalam siraman cahaya matahari pagi, seorang diri di tengah puing-puing hanya ditemani Anion,
yang melangkah di sebelahnya, meringkik tak sabar. "Aku sepakat," kata Hazel pada kuda itu. "Mari kita
keluar an sini." "Apa yang terjadi?" Leo bertanya saat Hazel menaiki kapal Argo 2. Kedua tangan Hazel masih gemetar
akibat perbincangannya dengan sang dewi. Dia melirik ke seberang langkan dan melihat debu yang
mengepul di jalan yang ditinggalkan Arion, membentang sepanjang perbukitan Italia. Hazel berharap
sobatnya itu tinggal, tetapi dia tidak bisa menyalahkan Anion bila ingin pergi dari tempat ini secepat
mungkin. Wilayah pedesaan itu berkilauan saat matahari musim panas mengenai embun pagi. Di atas
bukit, berdirilah puing-puing tua
Tamat, pikir Hazel. Semua pintu menutup. Seluruh harapan padam. Nico telah memperingatkannya. Dia
pernah berkomunikasi dengan yang mati, mendengar mereka membisikkan tanda-tanda tentang masa
depan. Dua anak Dunia Bawah akan memasuki Hades. Mereka akan menghadapi lawan yang sangat
berat. Hanya salah seorang di antara mereka yang akan berhasil mencapai Pintu Aj al. Hazel talc sanggup
menatap mata saudara lelakinya. "Akan kuceritakan nanti." Dia berjanji, berusaha menjaga suaranya
supaya tidak bergetar. "Saat ini, kita harus beristirahat selagi masih bisa. Malam ini, kita menyeberangi
Apenina."[] BAB LIMA ANNABETH SEMBILAN HARI. Saat jatuh, Annabeth memikirkan Hesiod, pujangga Yunani two yang berspekulasi
bahwa diperlukan waktu sembilan hari jatuh dari permukaan bumi ke Tartarus. Annabeth berharap
Hesiod salah. Dia sudah tak bisa menghitung berapa lama dia dan Percy jatuh"beberapa jam" chari"
Rasanya lama sekali. Mereka berpegangan tangan sejak jatuhke dalam jurang itu. Sekarang Percy
menariknya mendekat, memeluknya erat saat mereka terjun menembus kegelapan absolut. Angin
bersiut di telinga Annabeth. Udara menjadi lebih panas dan lembap, seolah-olah mereka terjatuh ke
dalam kcrongkongan seekor naga raksasa. Pergelangan kakinya yang baru patah berdenyut-denyut
walaupun dia tidak tahu apakah masih terbungkus jaring laba-laba. Monster terkutuk Arachne, wanita
laba-laba, itu walau terjebak dalam jaringnya sendiri, terhantam mobil, dan terjatuh ke Tartarus,
berhasil membalas dendam. Entah bagaimana benang
sutranya membelit kaki Annabeth dan menyeretnya ke tepian jurang, dengan diikuti oleh Percy.
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Annabeth talc bisa membayangkan bahwa Arachne masih hidup, di suatu tempat di bawah mereka
dalam kegelapan. Dia tidak ingin bertemu monster itu lagi saat mereka mencapai dasar jurang. Sisi
baiknya, dengan asumsi jurang itu memang memiliki dasar, badan Annabeth dan Percy mungkin akan
luluh lantak saat menghantamnya. Jadi, laba-laba raksasa bukanlah kekhawatiran utama mereka.
Annabeth merangkul Percy dan berusaha tidak terisak-isak. Dia tak pernah mengharapkan hidupnya
mudah. Sebagian besar demigod mati pada usia muda di tangan monster-monster mengerikan. Memang
begitulah keadaannya sejak zaman kuno. Masyarakat Yunani adalah pencipta tragedi. Mereka tahu
pahlawan-pahlawan terhebat tidak mendapat akhir yang menyenangkan. Tetap saja, ini tidak adil. Dia
sudah melalui begitu banyak hal untuk mengambil patung Athena itu. Persis ketika dia telah berhasil,
ketika situasi terlihat membaik dan dia kembali bertemu dengan Percy, mereka jatuh menjemput maut.
Bahkan, para dewa talc bisa menciptakan takdir seaneh ini. Namun, Gaea tidak seperti dewa-dewi lain.
Sang Ibu Bumi lebih tua, lebih keji, lebih haus darah. Annabeth bisa membayangkan Gaea sedang
tertawa saat mereka jatuh ke kedalaman ini. Annabeth menempelkan bibirnya ke telinga Percy. "Aku
mencintaimu." Dia tidak yakin Percy bisa mendengarnya"tetapi jika mereka mati, dia ingin itu adalah
kata-kata terakhirnya. Annabeth berusaha mati-matian memikirkan cara untuk menyelamatkan diri
mereka. Dia adalah putri Athena. Dia telah membuktikan diri di terowongan di bawah Roma,
mengalahkan serangkaian tantangan hanya dengan menggunakan kecerdikannya.
Namun, dia tidak bisa memikirkan cara untuk membalik atau bahkan memperlambat kejatuhan mereka.
Mereka berdua tak memiliki kemampuan untuk terbang_ tidak seperti Jason, yang bisa mengendalikan
angin, atau Frank, yang bisa berubah menjadi hewan bersayap. Jika mereka mencapai dasar jurang
dengan kecepatan ekstrem yah, dia cukup punya pengetahuan sains untuk tahu bahwa akibatnya akan
ekstrem Annabeth sedang mempertimbangkan secara serius apakah mereka bisa membuat parasut dari
pakaian mereka"dia sudah seputus asa itu"ketika sekeliling mereka berubah. Kegelapan mulai dihiasi
warna merah-kelabu. Annabeth menyadari dia bisa tnelihat rambut Percy saat memeluknya. Bunyi
suitan di telingauya berubah menjadi lebih mirip bunyi deru. Udara menjadi panas tak tertahankan,
dipenuhi bau seperti telur busuk. Tiba-tiba saja, lorong tempat mereka jatuh membuka menjadi gua
yang luas. Dalam jarak mungkin sekitar setengah kilometer di bawah mereka, Annabeth bisa melihat
dasar gua itu. Sesaat dia terlalu kaget sehingga tak bisa berpikir dengan jernih. Seluruh Palau Manhattan
bisa muat dalam gua ini"padahal dia tak bisa tnelihat seluruh luas tempat itu. Awan-awan merah
menggantung di udara seperti darah yang menguap. Pemandangan di san.a_ setidaknya yang bisa dia
lihat"terdiri dari dataran hitam berbatu, disela-selai oleh pegunungan bergerigi dan jurang-jurang
berapi. Di sebelah kiri Annabeth, tanah menukik dalam serangkaian karang terjal, laksana tangga raksasa
yang mengarah ke dalam jurang. Bau busuk belerang membuat sulit untuk berkonsentrasi, tetapi dia
memusatkan perhatian pada tanah persis di bavval, tnereka dan melihat sejalur panjang cairan hitam
berkilauat sebuah sungai. "Percy!" Dia berseru di telinga Percy. "Air!"
annabeth memberi isydrat dengan panik. Wajah Percy di baca dalam cahaya merah remang-remang ini.
Percy tampak terguncang dan ketakutan, tetapi dia mengangguk seolah-olah pahain. Percy bisa
mengendalikan air"dengan asumsi memang air yang ada di bawah mereka. Dia mungkin bisa
mengurangi efek jatuh mereka entah bagaimana. Tentu saja Annabeth sudah pernah mendengar ceritacerita seram tentang sungai di Dunia Bawah. Sungai di sini bisa merenggut ingatan kita, atau membakar
tubuh dan jiwa kita hingga menjadi abu. Namun, Annabeth memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
Ini adalah satu-satunya kesempatan mereka. Sungai itu melesat ke arah mereka. Pada detik terakhir,
Percy berseru penuh perlawanan. Air meledak dalam bentuk air mancur raksasa dan menelan mereka
bulat-bulat.[] BAB ENAM ANNABETH BENTURAN ITU TIDAK MENEWASKANNYA, TETAPI rasa dingin tiyaris menghabisinya. Air dingin yang
membekukan membuat udara tersentak keluar dari paru-paru Annabeth. Tubuhnya menjadi kaku, dan
dia kehilangan pegangan kepada Percy. Dia mulai tenggelam. Suara-suara ratapan memenuhi
telinganya"jutaan suara pilu, seolah-olah sungai itu terbuat dari kepedihan yang disuling menjadi
cairan. Suara-suara itu lebih buruk daripada rasa dingin. Suara-suara itu menggelayutinya dan
membuatnya mati rasa. Apa gunanya melawan" kata suara-suara itu kepadanya. Kau, toh, sudah mati.
Kau tak Akan pernah meninggalkan tempat ini. Dia bisa tenggelam ke dasar sungai dan terhanyut,
membiarkan sungai membawa pergi tubuhnya. Itu pasti lebih mudah. Dia bisa sekadar memejamkan
matanya Percy mencengkeram Langan Annabeth dan menyentaknya kembali ke realitas. Annabeth tak
bisa melihat Percy dalam air yang gelap itu, tetapi mendadak dia tidak ingin mati. Bersama-sama mereka
mendorong tubuh ke atas dan memecah permukaan.
Annabeth tersengal-sengal, bersyukur atas udara yang ada walaupun sarat dengan bau belerang. Air
berpusar di sekitar mereka, dan dia menyadari bahwa Percy tengah menciptakan pusaran air untuk
menahan mereka tetap di atas. Meskipun tidak bisa melihat jelas sekeliling mereka, Annabeth tahu
bahwa ini adalah sungai. Sungai memiliki tepian. "Tanah," ujarnya parau. "Bergeraklah ke samping."
Percy tampak nyaris mati kelelahan. Biasanya, air menyegar-kannya, tetapi bukan air yang ini.
Mengendalikan air sungai ini menguras seluruh tenaga Percy. Pusaran air mulai menghilang. Annabeth
mengaitkan satu tangannya ke pinggang Percy dan berjuang melawan arus. Sungai itu melawan
upayanya, ribuan suara meratap berbisik di telinganya, mencoba merasuki otaknya. Hidup adalah
keputusasaan, kata mereka. Semua tak ada gunanya, dan akhirnya kau mati. "Tak ada gunanya," gumam
Percy. Giginya bergemeletuk karena dingin. Dia berhenti berenang dan mulai tenggelam. "Percy!" jerit
Annabeth. "Sungai ini mengacaukan pikiranmu. Ini Cocytus"Sungai Ratapan. Tercipta semata-mata dari
kesengsaraan!" "Kesengsaraan." Percy mengamini. "Lawan!" Annabeth menendang-nendang dan
meronta, berusaha menjaga agar mereka berdua tetap mengambang. Satu lagi lelucon besar untuk
ditertawakan Gaea: Annabeth mati saat berusaha mencegah pacarnya, si putra Poseidon, tenggelam.
Tidak akan terjadi, Wanita Tua Jelek, pikir Annabeth. Dia memeluk Percy erat-erat. "Ceritakan kepadaku
tentang Roma Baru," desaknya. "Apa rencanamu untuk kita?" "Roma Baru .... Untuk kita
"Iya, Otak Ganggang. Kau bilang kita mungkin punya masa Iv pan di sana! Ceritakan kepadaku!"
Annabeth tak pernah ingin meninggalkan Perkemahan iilasteran. Itulah satu-satunya rumah yang dia
tahu. Namun, beberapa hari lalu, di atas Argo 2. Percy mengatakan kepadanya bahwa dia
membayangkan masa depan bagi mereka berdua di antara para demigod Romawi. Di kota Roma Baru
mereka, para veteran legiun bisa bermukim dengan aman, pergi kuliah, menikah, bahkan punya anak.
"Arsitektur," gumam Percy. Kabut mulai hilang dari matanya. " Kupikir kau akan suka rumah-rumahnya,
taman-tamannya. Ada satu jalan yang dihiasi banyak air mancur keren." Annabeth mulai membuat
kemajuan dalam melawan arus. Kaki dan tangannya terasa seperti karung-karung berisi pasir basah,
tetapi kini Percy membantunya. Dia bisa melihat garis tepian sungai yang gelap dalam jarak sekitar
sepelemparan batu. "Kuliah," ujarnya tersengal-sengal. "Bisakah kita melakukannya bersama-sama?" "Yya." Percy mengiakan, sedikit lebih percaya diri. "Kau akan mempelajari apa, Percy?" "Tidak tahu," aku
Percy. "Ilmu kelautan," usul Annabeth. "Oseanografi?" "Ilmu berselancar?" tanya Percy. Annabeth
tertawa, dan suara tawanya menimbulkan gelombang kejut di sepanjang perairan. Suara ratapan
memudar ke latar belakang. Annabeth bertanya-tanya apakah ada yang pernah tertawa di dalam
Tartarus sebelum ini"tawa karena senang yang murni dan sederhana. Dia meragukannya. Annabeth
menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk mencapai tepian sungai. Kedua kakinya menancap ke dasar
sungai yang berpasir. Dia dan Percy menghela diri ke tepian, sambil menggigil dan terengah_engah, lantas ambruk
ke atas pasir hitam. Annabeth ingin meringkuk di sebelah Percy dan tidur. Dia ingin mernejamkan mara,
berharap sernua hanyalah mimpi buruk, dan bangun mendapati dirinya kembali berada di atas Argo
aman bersama teman-temannya (yah ... seaman yang rnungkin dialami oleh demigod). Tetapi, tidak.
Mereka benar-benar berada di Tartarus. Di kaki mereka, Sungai Cocytus bergemuruh mengalir, aliran
kepiluan. Udara penuh belerang menyengat paru-paru Annabeth dan mentisuk-nusuk kulitnya. Ketika
memandang tangannya, dia melihat kedua tangannya dipenuhi main merah membakar. Dia mencoba
duduk dan tersengal kesakitan. Tepian sungai itu bukanlah pasir. Mereka duduk di atas sebidang
serpihan kaca hitam bergerigi tajam, yang sebagian di antaranya sekarang menancap di telapak tangan
Annabeth. Jadi, udaranya mengandung asam, airnya adalah penderitaan, sedangkan tanahnya terdiri
dari pecahan kaca. Segala sesuatu di sini dirancang untuk menyakiti dan membunuh. Annabeth menarik
napas gemetar dan bertanya--tanya apakah suara-suara yang dia dengar di dalam Cocytus tadi benar.
Mungkin berjuang untuk hidup tidak ada gunanya. Mereka pasti mati beberapa jam lagi. Di sebelahnya,
Percy terbatuk-batuk. "Bau tempat ini seperti bau mantan ayah tiriku." Annabeth berhasil menampilkan
seulas senyinn lemah. Dia belum pernah bertemu dengan Gabe si Ban, tetapi cukup banyak cerita yang
telah dia dengar. Dia senang sekali Percy berusalia mengangkat semangatnya. Jika dia jatuh ke dalam
Tartarus sendirian, Annabeth menduga riwayatnya pastilah tamat. Setelah semua yang dia alami di
bawah Roma, mencari Athena Parthenos, ini benar-benar keterlaluan.
pasti telah meringkuk dan menangis sampai menjadi satu lagi meleleh ke dal-am Cocytus. Namun,
Annabeth tidak sendirian. Ada Percy. Itu berarti dia tidak bisa menyerah. Annabeth memaksa diri untuk
menilai situasi. Kakinya masih la Itchat penyangga darurat yang terbuat dari papan dan plastik hel gel
embung, juga masih terbelit jaring laba-laba. Namun, ika dia menggerakkannya, tidak terasa sakit.
Ambrosia yang ha makan di dalam terowongan di bawah Roma pasti akhirnya menyembuhkan
tulangnya. Tas ranselnya tidak ada--hilang saat terjatuh, atau mungkin lyawa anus sungai. Dia tidak suka
kehilangan laptop Daedalus, lengan segala data dan programnya yang fantastis, tetapi dia melighadapi
masalah yang lebih buruk. Pisan perunggu langitnya Ienyap"senjata yang telah dia bawa sejak berusia
tujuh tahun. Kesadaran ini nyaris menghan.curkannya, tetapi dia tidak bisa tilembiarkan diri berlarutlarut memikirkann.ya. Sekarang bukan wakamya untuk meratap. Apa lagi yang mereka punya" Tidak ada
makanan, tidak ada air ... pokoknya tidak ada nl-bekala.n sama sekali. Yap. Awal yang menjanjikan.
Annabeth melirik ke arah Percy. Kondisi Percy tampak cukup parah. Rambut hitamnya menempel di dahi,
kausnya sobek-sobek. Iari-jemarinya tergores parah karena. berpegangan pada langkan ,,.belum mereka
jatuh. Yang paling mengkhawatirkan, Percy %cinetaran dan bibirnya membiru. "Kita harus terus
bergerak. Kalau tidak, kita bisa terserang potermia," kata Annabeth. "Bisakah kau berdiri?" Percy
mengangguk. Mereka berdua berjuang untuk bangkit. Annabeth menaruh lengannya di sekitar pinggang
Percy walaupun dia tidak yakin sebenarnya siapa yang memapah siapa.
Dia memeriksa sekeliling. Di atas, dia tak melihat tanda-tanda lorong tempat mereka jatuh. Dia bahkan
tak bisa melihat bagian atas gua itu"hanya awan-awan sewarna darah yang melayang di udara kelabu
berkabut. Rasanya seperti menatap ke balik campuran tipis sup tomat dan semen. Pantai serpihan kaca
hitam membentang ke daratan sekitar lima puluh meter, kemudian menukik turun di tepian sebuah
jurang. Dari tempatnya berdiri, Annabeth tak bisa melihat apa yang ada di bawah sana, tetapi tepiannya
berpendar-pendar dengan cahaya merah seolah diterangi nyala api berukuran besar. Sepenggal ingatan
yang jauh menarik-nariknya"sesuatu tentang Tartarus dan api. Sebelum Annabeth sempat memikirkan
hal itu cukup lama, Percy terkesiap. "Lihat." Percy menunjuk ke arah hilir. Sekitar seratus meter dari situ,
sebuah mobil Italia berwarna biru muda yang tampak familier telah jatuh ke dalam pasir dengan
moncong terlebih dulu. Mobil itu terlihat persis sekali dengan Fiat yang menabrak Arachne dan
membuatnya jatuh ke dalam lubang ini. Annabeth berharap dia salah, tetapi seberapa banyak mobil
sport Italia yang bisa berada di dalam Tartarus" Sebagian dari dirinya tidak ingin berada dekat-dekat
mobil itu, tetapi dia harus mencari tahu. Dia mencengkeram tangan Percy, dan mereka berdua berjalan
terhuyung-huyung ke arah bangkai mobil itu. Salah satu ban mobil itu telah lepas dan tengah
mengambang di pusaran air Sungai Cocytus yang tertahan. Jendela-jendela mobil Fiat itu remuk,
mengirim serpihan kaca yang lebih cerah seperti lapisan es di sekujur pantai hitam itu. Di bawah kapnya
yang hancur, terdapat sisa-sisa kepompong sutra raksasa yang koyak dan berkilauan"jebalcan yang atas
muslihat Annabeth dibuat oleh Arachne. Benda itu jelas kosong. Bekas-bekas sayatan di pasir
wen inggalkan jejak ke arah bibir ".sungai seolah-olah sesuatu yang berat berkaki banyak telah berlari
memasuki kegelapan. "Dia masih hidup." Annabeth begitu terkejut, begitu marah ketidakadilan semua
ini, tetapi dia harus menekan dorongan untuk muntah. "Ini Tartarus," sahut Percy. "Kandang para
monster. Di bawah mungkin mereka tidak bisa dibunuh." Percy melemparkan tatapan malu kepada
Annabeth, seolah tiyadari bahwa dia tidak membantu mengangkat semangat tim. "Atau, mungkin dia
terluka parah, dan merayap pergi untuk mati." "Mari pilih kemungkinan itu." Annabeth menyetujui.
Percy masih gemetar. Annabeth juga tidak merasa lebih ti 'gat walau udara begitu panas dan lengket.
Sayatan beling pada angannya masih mengucurkan darah, yang sungguh tidak biasa I Biasanya dia
sembuh dengan cepat. Napasnya menjadi sL tliakin berat. "Tempat ini membunuh kita," kata Annabeth.
"Maksudku, benar-besar hendak membunuh kita, kecuali ...." Tartarus. Api. Ingatan yang jauh itu mulai
terfokus. Annabeth inemandang ke daratan ke arah jurang yang diterangi nyala api dari bawah. Itu
gagasan yang jelas-jelas gila. Tetapi, mungkin hanya itu satu-satunya kesempatan mereka. "Kecuali
apa?" desak Percy. "Kau punya rencana cemerlang,
ya?" "Punya rencana," gumam Annabeth. "Aku tidak tahu soal cemerlangnya. Kita perlu menemukan
Sungai Api."[] BAB TUJUH ANNABETH KETIKA MEREKA MENCAPAI TEPIAN TEBING, Annabeth yakin ini sama saja dengan menandatangani
surat perintah eksekusi untuk diri mereka sendiri. Ketinggian tebing itu lebih dari dua puluh lima meter.
Di dasarnya membentanglah versi ngeri dari Grand Canyon: sebuah sungai api melintasi suatu celah
obsidian yang tajam bergerigi, arusnya yang merah menyala memunculkan bayang-bayang mengerikan
di sepanjang muka tebing. Bahkan, dari puncak ngarai, hawa panas terasa sangat hebat. Rasa dingin
Sungai Cocytus belum meninggalkan tulang-belulang Annabeth, tetapi kini wajahnya terasa perih dan
seperti terbakar matahari. Setiap helaan napas membutuhkan upaya yang lebih besar, seolah-olah
dadanya dipenuhi biji styrofoam. Sayatan di tangannya berdarah semakin banyak. Kaki Annabeth, yang
sebelumnya sudah hampir sembuh, seperti melukai diri sendiri lagi. Dia telah melepas balutan
daruratnya, tetapi sekarang dia menyesali tindakannya itu. Setiap langkah membuatnya mengernyit.
Dengan asumsi mereka berhasil turun ke sungai api, yang .igukan oleh Annabeth, rencananya tampak
benar-benar sinting. "Uh ...." Percy memeriksa tebing. Dia menunjuk ke sebuah ceIah kecil yang
merentang diagonal dari tepian tebing ke dasar tebing "Kita bisa mencoba tonjolan di sana itu. Mungkin
bisa dituruni." Percy tidak mengatakan mereka pasti gila mau mencoba ini. I dia berhasil terdengar
penuh harap. Annabeth bersyukur atas hal itu, tetapi dia juga khawatir dirinya membawa Percy menuju
akhir hayatnya. Tentu saja jika mereka tetap di sini, mereka tetap akan mati. Luka-luka lepuh mulai
terbentuk pada lengan mereka akibat terkena udara Tartarus. Seluruh lingkungan itu kira-kira sama
sehatnya dengan sebuah zona ledakan nuklir. Percy bergerak terlebih dulu. Tonjolan itu nyaris tidak
cukup Icbar untuk menjadi tempat pijakan jari kaki. Tangan mereka mencakar celah apa pun yang ada di
karang licin itu. Setiap kali Annabeth memberi tekanan pada kakinya yang sakit, dia ingin menjerit. Dia
telah merobek lengan kausnya dan menggunakan kain itu untuk membungkus telapak tangannya yang
berdarah, tetapi jari-jarinya masih licin dan lemah. Beberapa langkah di bawah Annabeth, Percy
mendengus saat I is meraih pegangan tangan yang lain. "Jadi apa nama sungai api ini?" "Phlegethon,"
jawab Annabeth. "Kau seharusnya ber-konsentrasi untuk turun." "Phlegethon?" Percy merayap
sepanjang tonjolan tebing itu. Mereka telah mencapai kira-kira sepertiga jalan menuruni tebing"masih
cukup tinggi untuk menimbulkan akibat fatal jika mereka jatuh. "Terdengar seperti perlombaan
mengeluarkan dahak." "Tolong jangan buat aku tertawa," kata Annabeth.
"Hanya mencoba membuat suasana sedikit santai." "Terima kasih," dengus Annabeth, kakinya yang sakit
nyaris terlepas dari tonjolan tebing. "Wajahku akan tersenyum saat terjun menjemput maut." Mereka
terus bergerak, sedikit demi sedikit. Mata Annabeth perih terkena keringat. Lengannya gemetar. Namun,
yang mengherankan Annabeth, mereka akhirnya berhasil mencapai dasar tebing. Ketika dia mencapai
tanah, Annabeth sempoyongan. Percy menangkapnya. Annabeth terkejut mendapati betapa kulit Percy
terasa panas. Bisul bernanah bermunculan di wajahnya sehingga Percy terlihat seperti penderita cacar.
Pandangan Annabeth sendiri samar. Tenggorokannya terasa melepuh, dan perutnya mengejang lebih
kencang ketimbang kepalan tangan. Kami harus bergegas, pikir Annabeth. "Cuma ke sungai," katanya
kepada Percy, berusaha agar suaranya tidak terdengar panik. "Kita bisa melakukan ini." Tertatih-tatih,
mereka berjalan melewati padas kaca licin, mengitari batu-batu besar, menghindari stalagmit yang akan
menghunjam bila kaki mereka tergelincir sedikit saja. Pakaian mereka yang sobek-sobek berasap garagara panas sungai, tetapi mereka terus bergerak sampai jatuh berlutut di tepi Phlegethon. "Kita harus
minum," kata Annabeth. Tubuh Percy oleng, matanya setengah terpejam. Perlu waktu tiga hitungan bagi.
Percy untuk menanggapi. "Uh minum api?" "Phlegethon mengalir dari Kerajaan Hades memasuki
Tartarus." Annabeth nyaris talc bisa bicara. Kerongkongannya tersumbat panas dan udara yang
mengandung asam. "Sungai ini digunakan untuk menghukum yang jahat. Tetapi, selain itu beberapa
legenda menyebutnya Sungai Penyembuhan."
" Beberapa legenda?" Annabeth menelan ludah, berusaha tetap sadar. "Phlegethon menjaga keutuhan
orang jahat supaya bisa memikul siksaan di ladang Penghukuman. Kurasa ... itu mungkin padanan Dunia
bawah untuk ambrosia dan nektar." Percy mengernyit saat abu memercik dari sungai, meliuk-liuk
disekitar wajahnya. "Tapi, ini api. Bagaimana kita bisa?"i"Seperti ini." Annabeth memasukkan
tangannya ke dalam ungai. Bodoh" Ya, tetapi dia yakin mereka tidak punya pilihan. Jika , nunggu lebih
lama lagi, mereka pasti pingsan dan mati. Lebih baik mencoba sesuatu yang konyol dan berharap itu
berhasil. Pada sentuhan pertama, api tidak menyakitkan. Rasanya dingin, yang mungkin berarti suhunya
begitu panas hingga Iebihi ambang batas saraf Annabeth. Sebelum sempat berubah pikiran, Annabeth
menciduk cairan api itu dengan telapak tgannya dan mengangkatnya ke mulut. Dia mengira akan terasa
seperti bensin. Ternyata jauh lebih buruk. Dulu, di sebuah restoran di San Francisco, dia melakukan .
kesalahan dengan mencicipi cabai setan superpedas yang disajikan bersama sepiring masakan India.
Setelah menggigitnya sedikit, dia merasa sistem pernapasannya akan meledak. Minum dari phlegethon
rasanya seperti menelan jus cabai setan. Sinusnya di penuhi api cair. Mulutnya terasa seperti digoreng
dengan banyak minyak. Matanya mencucurkan air mata yang panas, dan setiap pori-pori di wajahnya
meletus. Annabeth ambruk, sambil muntah-muntah, seluruh tubuhnya bergetar hebat. "Annabeth!"
Percy mencengkeram lengan Annabeth dan berhasil mencegahnya terguling memasuki sungai. Serangan
kejang itu berlalu. Annabeth menarik napas tak tcratur dan berhasil duduk tegak. Dia merasa sangat
lemah dan mual, tetapi napas berikutnya terasa lebih mudah. Lepuhan di kedua lengannya mulai memudar.
"Berhasil," ujarnya parau. "Percy, kau harus minum." "Aku ...." Bola mata Percy berptitar, dan dia
ambruk menimpa Annabeth. Dengan panik, Annabeth menciduk api lagi dengan telapak tangannya. Tak
memedulikan rasa sakitnya, dia meneteskan cairan itu ke dalam mulut Percy. Percy tidak merespons.
Annabeth berusaha lagi, menuangkan segenggam cairan berapi ke tenggorokan Percy. Kali ini Percy
tersedak dan terbatuk-batuk. Annabeth memeluknya saat Percy gemetaran, api sihir mengalir dalam
tubuhnya. Demam Percy menghilang. Boroknya memudar. Dia berhasil duduk dan mencecap-cecap
bibirnya. "Uh," katanya. "Pedas, tapi menjijikkan." Annabeth tertawa lemah. Dia begitu lega sampaisampai kepalanya terasa pusing. "Yeah. Itu gambaran yang cukup pas." "Kau menyelamatkan kita."
"Untuk sementara," sahut Annabeth. "Masalahnya, kita masih di Tartarus." Percy mengedip-ngedipkan
mata. Dia memandang ke sekeliling seolah-olah baru menyadari lingkungan tempat mereka berada.
"Demi Hera yang Suci, aku tak pernah menduga yah, aku tak yakin apa yang kuduga. Mungkin Tartarus
adalah ruang kosong, jurang tanpa dasar. Tapi, ini tempat yang nyata." Annabeth teringat pemandangan
yang dia lihat saat mereka jatuh"serangkaian dataran tinggi yang menukik ke dalam kegelapan. "Kita
belum melihat semuanya." Annabeth memperingatkan. "Ini bisa jadi baru bagian kecil, awal dari jurang
ini, seperti tangga depannya." "Keset selamat datang," gumam Percy.
Mereka berdua menatap awan-awan berwarna darah yang putar-putar dalam kabut kelabu. Tidak
mungkin mereka punya I kuatan untuk kembali naik merayapi tebing itu walau mereka login
melakukannya. Sekarang hanya ada dua pilihan: hulu atau menyusuri tepian Sungai Phlegethon. "Kita
akan menemukan jalan keluar," kata Percy. "Pintu Ajal." Annabeth menggigil. Dia ingat apa yang
dikatakan Percy persis sebelum mereka jatuh ke dalam Tartarus. Dia telah membuat Nico di Angelo
berjanji untuk memimpin Argo II ke Epirus, ke manusia Pintu Ajal. Kami akan menemui kalian di sang,
kata Percy. Gagasan itu bahkan terasa lebih gila daripada meminum i)i. Bagaimana mungkin mereka
berdua berkeliling Tartarus dan menemukan Pintu Ajal" Mereka nyaris talc sanggup berjalan tanpa
terseok-seok seratus meter dalam tempat beracun ini dan menjadi sekarat. "Kita harus
menemukannya," kata Percy. "Bukan hanya untuk kita. Untuk semua orang yang kita cintai. Pintu-pintu
itu harus ditutup dari kedua sisi. Kalau tidak, para monster hanya akan terus hermunculan. Pasukan
Gaea akan membanjiri dunia." Annabeth tahu Percy benar. Meskipun demikian ketika dia berusaha
membayangkan rencana yang mungkin berhasil, detailnya membuat Annabeth kewalahan. Mereka tak
mungkin menemukan Pintu itu. Mereka tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan, atau bahkan
apakah waktu bergerak dengan kecepatan yang sama di Tartarus. Bagaimana mungkin mereka
mengatur pertemuan dengan teman-teman mereka" Nico juga menyinggung tentang pasukan monster
Gaea yang terkuat yang menjaga Pintu Ajal di sisi Tartarus. Annabeth dan Percy tak bisa begitu saja
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melancarkan serangan frontal.
Annabeth memutuskan untuk tidak mengutarakan serr itu. Mereka berdua tahu peluang yang ada
sungguh buruk. L pula, setelah berenang di Sungai Cocytus, Annabeth sudah cuk mendengar ratapan
dan keluhan untuk jangka waktu seuri hidup. Dia berjanji kepada dirinya untuk tidak mengeluh lagi
"Yah." Annabeth menarik napas dalam, bersyukur kar minimal paru-parunya tidak terasa sakit. "Jika kita
tetap ber di dekat sungai, kita punya cara untuk menyembuhkan diri. J kita ke hilir?" Kejadiannya
sangat cepat sehingga Annabeth pasti sudah rr bila dia sendirian. Mata Percy terpaku pada sesuatu di
belakang Annabe Annabeth berputar ketika sosok berukuran besar dan ge meluncur ke arahnya"
sebuah gumpalan mahabesar ya menggeram dengan kaki-kaki panjang kurus berduri dan m berkilat-
kilat. Annabeth masih sempat berpikir: Arachne. Tetapi, membeku ketakutan, pancaindranya
dilumpuhkan oleh bau ma yang memuakkan. Kemudian, dia mendengar bunyi SING yang akrab d pulpen
Percy yang berubah menjadi pedang. Mata pedang Pe mengayun di atas kepala Annabeth dalam bentuk
lengkunE berwarna perunggu berkilauan. Suara erangan mengerit menggema di sepanjang ngarai.
Annabeth berdiri, terkesima, sementara debu kuning"sisisa
Arachne"berjatuhan di sekitarnya seperti
serbuk sari. "Kau tidak apa-apa?" Percy memeriksa tebing dan batu-b besar, bersiaga menghadapi
monster lain, tetapi tidak ada lagi yo muncul. Debu keemasan sang laba-laba hinggap di atas batu-batu
obsidian. Annabeth memandangi pacarnya dengan takjub. Mata prdang perunggu langit Riptide berbinar semakin
terang dalam keremangan Tartarus. Saat membelah udara panas yang pekat, Clang itu mengeluarkan
suara desisan penuh perlawanan seperti kor ular yang terusik. "Ia ia tadi bisa membunuhku," kata
Annabeth dengan tcrbata-bata. Percy menendang debu di atas batu itu, raut mukanya suram dan penuh
ketidakpuasan. "Kematiannya terlalu gampang, mengingat betapa banyak siksaan yang ditimpakannya
kepadamu. la pantas menerima kematian yang lebih buruk." Annabeth tidak bisa mendebat hal itu,
tetapi nada sengit yang tajam dalam suara Percy membuatnya tidak tenang. Annabeth ak pernah
melihat ada orang yang begitu marah atau penuh 'dam demi dirinya. Itu nyaris membuat Annabeth
merasa I tang Arachne tewas dengan cepat. "Bagaimana kau bisa bergerak a.gitu cepat?" Percy
mengangkat bahu. "Kita harus saling melindungi, bukan" Nah, kau tadi bilang ke hilir?" Annabeth
mengangguk, masih linglung. Debu kuning membuyarbuyar di tepi sungai berbatu, berubah menjadi uap.
Setidaknya kini mereka tahu monster bisa dibunuh di Tartarus ... walau 1 nabeth tidak tahu berapa lama
Arachne akan tetap mati. Annabeth lak berencana tinggal cukup lama untuk mengetahuinya. "Yeah, ke
hilir." Akhirnya Annabeth berhasil menyahut. "Jika sungai ini berasal dari bagian atas Dunia Bawah,
seharusnya ia mengalir semakin jauh ke dalam Tartarus?" "Jadi, menuju ke wilayah yang lebih
berbahaya." Percy ineneruskan. "Yang mungkin merupakan tempat Pintu itu berada. Beruntungnya
kita."[] BAB DELAPAN ANNABETH MEREKA BARU BERJALAN BEBERAPA RATUS meter ketika
Annabeth mendengar suara-suara. Annabeth berjalan terseok-seok, separuh tak sadar, berusaha
membuat sebuah rencana. Karena dia adalah putri Athena, rencana seharusnya merupakan keahliannya.
Namun, sulit menyusun strategi dengan perut keroncongan dan kerongkongan terbakar. Air api
Phlegethon mungkin telah menyembuhkan dan memberinya kekuatan, tetapi tidak berpengaruh apaapa pada rasa lapar dan hausnya. Sungai itu tidak berniat membuat orang merasa nyaman, tebak
Annabeth. Ia hanya memungkinkan orang bertahan hidup agar bisa mengalami kian banyak rasa sakit
yang menyiksa. Kepala Annabeth mulai lunglai kelelahan. Kemudian, dia mendengarnya"suara-suara
perempuan yang sedang dalam semacam pertengkaran"dan dia langsung waspada. Annabeth berbisik.
"Percy, merunduk!" Dia menarik Percy ke balik batu terdekat, menempatkan diri begitu dekat dengan
tepi sungai sehingga sepatunya nyaris menyentuh api sungai. Di sisi yang lain, di jalan sempit antara
Sungai dan tebing suara-suara terlontar kasar, semakin nyaring saat mendekat dari arah hulu. Annabeth
berusaha menstabilkan napasnya. Suara-suara itu r"tr agak mirip manusia, tetapi itu tak berarti apa-apa.
Dia insikan apa saja yang ada dalam Tartarus adalah musuh mereka. Dia tidak tahu mengapa para
monster itu belum juga ,melihat mereka. Lagi pula, monster bisa mencium bau demigod"terutama
yang kuat seperti Percy, putra Poseidon. Annabeth ragu hunyi di balik batu besar akan ada gunanya
ketika para menangkap aroma mereka. Meskipun demikian, saat para monster mendekat, nada suara
mereka tidak berubah. Langkah kaki mereka yang tidak seimbang"krosak, gleng, krosak, gleng"tidak
menjadi lebih cepat. "Sebentar lagi?" Salah seorang di antara mereka bertanya gan suara serak, seolaholah dia sedang berkumur di dalam phlegethon. "Oh, demi dewa-dewi!" kata sebuah suara lain. Suara
yang ini lengar jauh lebih muda dan lebih mirip manusia, seperti seorang i is remaja yang jengkel dengan
temannya di mal. Karena alasan entu, suara yang ini terdengar begitu akrab bagi Annabeth. kalian ini
benar-benar menyebalkan! Sudah kubilang kira-kira iga hari dari sini." Percy mencengkeram
pergelangan tangan Annabeth. Dia menatap Annabeth dengan waspada, seolah-olah mengenali juga
suara gadis mal itu. Terdengar paduan suara geraman dan gerutuan. Makhluk-air makhluk itu"
jumlahnya mungkin setengah lusin, menurut dugaan Annabeth"berhenti persis di sisi seberang batu,
tetapi mereka tetap tidak menunjukkan tanda-tanda telah menangkap aroma demigod. Annabeth
bertanya-tanya apakah bau para demigod
tidak sama di Tartarus, atau apakah bau-bau lain sedemikian kuatnya di sini sampai-sampai menutupi
aura demigod. "Aku penasaran," kata sebuah suara ketiga, yang terdengar parau dan tua seperti suara
pertama, "apakah jangan-jangan kau tidak tabu jalannya, Anak Muda." "Oh, tutup lubang taringmu itu,
Serephone," sahut si gadis mal. "Kapan terakhir kali kau berhasil lari ke dunia manusia" Aku di sana
beberapa tahun lalu. Aku tabu jalannya! Lagi pula, aku paham apa yang akan kita hadapi di sana. Kau
sama sekali tidak punya bayangan!" "Ibu Bumi tidak mengangkatmu menjadi bos!" pekik suara keemp at.
Terdengar lagi suara desisan, gemeresak, serta erangan buas"seolah ada beberapa kucing liar raksasa
yang sedang berkelahi. Akhirnya yang dipanggil dengan sebutan Serephone tadi berteriak, "Cukup!"
Bunyi gemeresak berhenti. "Untuk sementara ini, kami akan mengikutimu," kata Serephone. "Tapi, jika
kau tidak memandu kami dengan jika kami mendapati bahwa kau berbohong tentang panggilan Gaea?"
"Aku tidak bohong!" tukas si gadis mal. "Percayalah, aku punya alasan kuat untuk terjun ke dalam
pertempuran ini. Ada beberapa musuh yang ingin kumangsa, dan kau akan berpesta dengan darah para
pahlawan. Asal tinggalkan satu potong istimewa untukku"yang bernama Percy Jackson." Annabeth
berjuang menahan geraman dari mulutnya sendiri. Dia sudah melupakan rasa takutnya. Dia ingin
melompati bongkahan batu itu dan mengiris_ monster-monster itu menjadi debu dengan pisaunya
hanya saja dia sudah tidak punya pisau.
" Percayalah kepadaku," kata si gadis mal. "Gaea telah anggil kita, dan kita akan bersenang-senang.
Sebelum perang ini usai, manusia dan demigod akan gemetar mendengar "Kelli!" annabeth nyaris
memekik kencang. Dia melirik Percy. Lan, dalam cahaya merah Phlegethon, wajah Percy tampak sepucat
Empousai, Annabeth berujar tanpa suara. Vampir. Percy mengangguk muram. Annabeth ingat Kelli. Dua
tahun silam, saat orientasi siswa in! Percy, dia dan teman mereka, Rachel Dare, diserang oleh tousai
yang menyamar sebagai pemandu sorak. Salah satunya adalah Kelli. Kemudian, empousa yang sama
menyerang mereka bengkel Daedalus. Annabeth menusuk punggungnya dan iltengirimnya ke sini. Ke
Tartarus. Makhluk-makhluk itu berjalan dengan langkah terseret-seret, .ttara mereka semakin lama
semakin samar. Annabeth merayap , ke tepian batu dan mengambil risiko untuk mengintip sekilas. tak
diragukan lagi, lima perempuan berjalan terhuyung-huyung Iengan kaki yang tak seimbang"kaki
perunggu mekanis di sebelah kiri, kaki berambut dan berkuku belah di sebelah kanan. Rambut mereka
terbuat dari api, kulit mereka seputih tulang. Scbagian besar mengenakan gaun Yunani Kuno yang sudah
vompang-camping, kecuali satu yang memimpin, Kelli. Dia mengenakan blus yang telah koyak dan
terbakar serta rok lipit pendek seragam pemandu soraknya. Annabeth mengertakkan gigi. Dia sudah
menghadapi banyak monster seram beberapa tahun ini, tetapi empousa-lah yang paling dia , benci.
Selain taring dan cakar yang mengerikan, mereka punya kemampuan hebat untuk memanipulasi Kabut.
Mereka bisa berubah bentuk dan menggunakan guna-guna, memperdaya manusia sehingga melonggarkan
kewaspadaan. Para lelaki, terutama yang rentan, menjadi korban. Taktik favorit empousa adalah
membuat seorang cowok jatuh hati kepadanya, kemudian meminum darah dan memakan daging cowok
itu. Bukan kencan pertama yang menyenangkan. Kelli nyaris membunuh Percy. Dia juga memperdaya
teman lama Annabeth, Luke, mendorongnya melakukan berbagai perbuatan yang semakin jahat atas
nama Kronos. Annabeth benar-benar berharap masih membawa pisaunya. Percy berdiri. "Mereka
menuju Pintu Ajal," gumamnya. "Kau tahu apa artinya itu?" Annabeth tidak ingin memikirkan hal itu,
tetapi sayangnya, pasukan perempuan pemakan daging yang berpenampilan mengerikan ini mungkin
adalah hal yang paling mendekati keberuntungan yang akan mereka dapat di Tartarus. "Yeah," sahut
Annabeth. "Kita harus mengikuti mereka."[]
BAB SEMBILAN LEO , LEO MENGHABISKAN SEPANJANG MALAM BERGULAT dengan athena setinggi dua betas meter itu.
Sejak mereka menaikkan patung itu ke atas kapal, Leo robsesi untuk mengetahui cara kerjanya. Dia
yakin benda itu cngandung kekuatan mahabesar. Pasti ada semacam tombol hasia, pelat tekan, atau
entah apa. Dia seharusnya tidur, tetapi tidak bisa. Dihabiskannya waktu berrj am-jam untuk merayapi
patung itu, yang menyita sebagian besar ruang di geladak bawah. Kedua kaki Athena masuk ke dalam
ruang klinik sehingga kita harus menyelip melewati jari-jari kaki gadingnya jika ingin mengambil obat.
Tubuh patung I merentang di sepanjang koridor sebelah kiri, tangannya yang , terbentang mencuat ke
dalam ruang mesin, menawarkan sosok dewi Nike seukuran manusia yang berada di telapak tangannya,
mengatakan, Nih, silakan ambil Kemenangan! Wajah damai Athena menyita sebagian besar istal pegasus
di buritan, yg untungnya sedang kosong. Jika Leo adalah seekor kuda sihir,
dia tidak ingin hidup di kandang dengan diawasi sesosok dewi kebijaksanaan berukuran raksasa. Patung
itu menempel rapat di koridor sehingga Leo hams memanjati bagian atasnya dan menggeliat-geliat di
bawah badan patung, mencari tuas dan tombol. Seperti biasa, dia tidak menemukan apa-apa. Dia sudah
mencari informasi tentang patting itu. Dia tahu patting itu terbuat dari rangka kayu kosong yang ditutupi
dengan gading dan emas, yang menjelaskan mengapa bobotnya sangat ringan. Kondisinya cukup bagus,
mengingat usianya sudah lebih dari dua ribu tahun, pernah dijarah dari Athena, dipikul ke Roma, dan
disembunyikan di gua laba-laba hampir sepanjang dua ribu tahun terakhir ini. Sihir tentunya yang
membuat patung ini tetap utuh, pikir Leo. Digabungkan dengan keahlian pertukangan yang sangat baik.
Annabeth pernah mengatakan Yah, dia berusaha tidak memikirkan Annabeth. Dia masih merasa
bersalah karena Annabeth dan Percy jatuh ke Tartarus. Leo tahu itu adalah kesalahannya. Dia
seharusnya memastikan semua orang terangkut dengan aman di atas Argo II terlebih lulu sebelum mulai
mengamankan patung ini. Dia seharusnya menyadari lantai gua tidak stabil. Meski demikian, meratapi
nasib tidak akan membuat Percy dan Annabeth kembali. Dia harus berkonsentrasi memperbaiki masalah
yang bisa diperbaikinya. Yang pasti, Annabeth pernah mengatakan bahwa patung ini adalah kunci untuk
mengalahkan Gaea. Patung ini bisa memulihkan kerenggangan antara demigod Yunani dan Romawi. Leo
berpikir seharusnya benda ini mengandung lebih dari sekadar simbolisme. Mungkin mata Athena
menembakkan laser, atau ular di belakang perisainya bisa meludahkan racun. Atau, barangkali
sosok dewi Nike yang lebih kecil bisa hidup dan mengeluarkan
beberapa gerakan ninja. membayangkan segala hal sera yang bisa dilakukan oleh itu andai dialah yang
merancangnya, tetapi semakin lama dia meneliti patung itu, semakin dia merasa frustrasi. Athena
parthenos ini memancarkan sihir. Bahkan, dirinya saja bisa merasakan hal itu. Namun, pancaran sihir itu
tampaknya tidak memberi manfaat apa-apa kecuali membuatnya terlihat keren. Ka pal miring ke satu
sisi, mengambil manuver mengelak. Leo menahan dorongan untuk berlari menuju kemudi. Jason, Piper
dan frank sedang bertugas bersama Hazel sekarang. Mereka bisa apa pun yang tengah terjadi. Lagi pula,
Hazel telah bersikeras memegang kemudi untuk memandu mereka melewati rahasia yang disampaikan
dewi sihir kepadanya. leo berharap Hazel benar tentang rute memutar yang jauh keutara ini. Leo tidak
memercayai si perempuan Hecate itu. Dia mengerti mengapa dewi seram semacamnya mendadak
memutuskan untuk memberi bantuan. saja, Leo tidak percaya sihir secara umum. Itu sebabnya
inengalami kesulitan besar dengan Athena Parthenos. Benda itu tak punya bagian yang bergerak. Apa
pun yang dilakukannya, .tampak beroperasi berdasarkan sihir saja dan Leo tidak menghargai hal itu. Dia
ingin benda itu bisa dipahami, seperti Akhirnya Leo terlalu lelah sehingga sulit berpikir jernih. Dia
meringkuk dengan selimut di ruang mesin dan mendengarkan igung generator yang menenangkan.
Buford si meja mekanis I wrada di sudut ruangan dalam mode tidur, mengeluarkan suara dengkur lirih
berasap: shhh, pfift, shhh, pfift. Leo senang-senang saja dengan kamarnya, tetapi dia merasa paling
aman di sini, di jantung kapal"dalam ruangan yang
dipenuhi dengan mekanisme yang dia tahu cara mengendalikannya. Lagi pula, mungkin jika dia
menghabiskan lebih banyak waktu di dekat Athena Parthenos, pada akhirnya dia akan menyerap
rahasia-rahasia patung itu. "Pilihannya kau atau aku, Nyonya Besar," gumamnya saat menarik selimut ke
dagunya. "Pada akhirnya kau akan bekerja sama. Dia menutup matanya dan tidur. Sayangnya, itu berarti
rnimpi. Leo sedang berlari menyelamatkan diri di bengkel tua ibunya, tempat ibunya meninggal dalam
kebakaran ketika Leo masih berusia delapan tahun. Dia tidak yakin apa yang sedang mengejarnya, tetapi
dia merasakan makhluk itu mendekat dengan cepat"sesuatu yang besar dan gelap dan penuh
kebencian. Leo tersandung bangku kerja, menggulingkan kotak perkakas, dan tersangkut kabel-kabel
listrik. Dia melihat jalan keluar dan berlari cepat ke arahnya, tetapi sebuah sosok menjulang di
hadapannya"sesosok perempuan berbalut jubah tanah kering yang berpusar, wajahnya tertutup
selubung debu. Kau mau ke mana, Pahlawan Kecil" tanya Gaea. Tetaplah di sini dan temuilah anak
kesayanganku. Leo melesat ke kiri, tetapi tawa sang dewi Bbumi mengikutinya. Pada malam ibumu
meninggal, aku sudah memperingatkanmu. Kukatakan kepadamu bahwa Takdir tidak mengizinkanku
membunuhmu saat itu. Namun, kini kau telah memilih jalanmu. Kematianmu sudah dekat, Leo Valdez.
Leo menabrak meja gambar"tempat kerja ibunya dulu. Dinding di belakangnya dihiasi gambar krayon
Leo. Leo terisak Putus asa dan berbalik, tetapi makhluk yang mengejarnya sekarang berdiri menghalangi jalannya"sosok
berukuran luar biasa besar rerbungkus bayang-bayang, bentuknya agak menyerupai isia, kepalanya
nyaris menyentuh langit-langit yang berada Hu meter dari lantai. Kedua tangan Leo berubah menjadi api.
Dia menembak aksasa, tetapi kegelapan melahap apinya. Leo meraih sabuk kakasnya. Saku-sakunya
tertutup jahitan. Dia berusaha bicara", .ngucapkan apa saja yang bisa menyelamatkan nyawanya"
tetapi tak bisa mengeluarkan bunyi apa pun, seolah-olah udara telah rggut dari paru-parunya. Anakku
tak akan mengizinkan ada api malam ini, kata Gaea dari dalam gudang. Dia adalah kehampaan yang
menelan segala . dingin yang menelan segala api, senyap yang menelan segala 'ucapan. Leo ingin
berteriak: Dan, aku adalah orang yang akan segera keluar dari sini! Suaranya tidak berfungsi, dia pun
menggunakan kakinya. Dia luolesat ke kanan, merunduk di bawah kedua tangan raksasa gelap .yg
hendak mencekalnya dan kabur melalui pintu terdekat. Tiba-tiba saja dia mendapati diri berada di
Perkemahan I asteran, hanya saja perkemahan itu tinggal reruntuhan dok-pondoknya tinggal bagian luar
yang gosong. Ladang-ladang yang terbakar mengepulkan asap dalam cahaya bulan. Aula tnakan telah
ambruk menjadi gundukan puing-puing berwarna putih, dan Rumah Besar terlalap api, jendelajendelanya menyala .seperti mata setan. Leo terus berlari, yakin bahwa raksasa bayangan masih berada
di belakangnya. Dia meliuk-liuk melewati mayat-mayat demigod Yunani dan Romawi. Dia ingin
memeriksa apakah mereka masih hidup. Dia
ingin membantu mereka. Namun, entah bagaimana Leo tahu waktunya hampir habis. Dia berlari kecil
menuju satu-satunya kerumunan manusia hidup yang dia lihat"sekelompok orang Romawi berdiri di
lapangan bola voli. Dua centurion menyandar santai pada lembing mereka, mengobrol dengan seorang
cowok kurus tinggi berambut pirang yang mengenakan toga ungu. Leo terhuyung. Itu si aneh Octavian,
augur dari Perkemahan Jupiter, yang selalu meneriakkan perang. Octavian berbalik menghadap Leo,
tetapi dia sepertinya sedang kesurupan. Roman mukanya kendur, kedua matanya terpejam. Ketika dia
berbicara, suara Gaea-lah yang terdengar: Tak mungkin dicegah. Demigod Romawi bergerak ke timur
dan New York. Mereka bergerak menuju perkemahanmu, dan tidak ada yang bisa memperlambatnya.
Leo tergoda untuk meninju muka Octavian. Tetapi, dia terus berlari. Dia menaiki Bukit Blasteran. Di
puncak bukit, petir telah menghancurkan sebatang pohon pinus raksasa. Dia terhuyung berhenti.
Punggung bukit itu telah menjadi gundul. Di seberangnya, seluruh dunia menghilang. Leo tidak melihat
apa-apa kecuali awan nun jauh di bawah sana"sehelai karpet perak bergulung di bawah langit nan
gelap. Sebuah suara tajam berkata, "Jadi, bagaimana?" Leo tersentak. Di dekat pohon pinus yang
terbelah tadi, seorang wanita berlutut di lubang masuk sebuah gua yang membuka di sela-sela akar
pohon. Wanita itu bukan Gaea. Dia terlihat lebih mirip Athena Parthenos yang hidup, lengkap dengan
jubah keemasan dan lengan
terbuka berwarna gading yang sama. Ketika dia berdiri, Leo nyaris tersandung jatuh dari tepian dunia.
Wajah wanita itu memancarkan kecantikan yang agung, dengan tulang pipi tinggi, mata hitam lebar, dan
rambut berkepang area akar manis yang ditata dengan gaya Yunani mewah,di tahan dengan spiral
zamrud dan berlian sehingga mengingatkan Ieo pada sebuah pohon Natal. Raut wajahnya memancarkan
I wncian mendalam. Bibirnya tertekuk. Hidungnya mengerut. "Anak dewa tukang patri," cemoohnya.
"Kau bukan ancaman, tpi kurasa balas dendamku harus dimulai dari sesuatu. Tentukan Leo mencoba
berbicara, tetapi dia sudah panik setengah mati. diantara ratu kebencian ini dan raksasa yang
mengejarnya, dia ak tahu harus berbuat apa. "Dia akan tiba di sini sebentar lagi." Wanita itu memper"Teman hitamku tidak akan memberimu kemewahan memilih. Tebing atau gua, Nak!" Mendadak Leo
paham maksud wanita itu. Dia tersudut. Dia bisa melompat dari tebing, tetapi itu bunuh diri. Bahkan,
jika ada mil di bawah awan-awan itu, dia akan mati karena jatuh, atau mungkin dia hanya akan jatuh
selama-larnanya. Namun, gua itu .... Dia menatap bukaan gelap di sela-sela akar pohon itu. Tercium bau
busuk dan kematian. Dia mendengar tnayat-mayat berjalan terseret-seret di dalamnya, suara-suara I
rbisik dalam bayang-bayang. Gua itu adalah rumah orang mati. Jika turun ke sana, dia tak Ic an pernah
kembali. "Ya," kata wanita itu. Di lehernya tergantung liontin aneh I rwarna perunggu dan zamrud,
seperti labirin bundar. Matanya hegitu marah, sampai-sampai akhirnya Leo menyadari mengapa kata
mad, marah, bisa berarti gila. Wanita ini dibuat gila oleh
kebencian. "Gerha Hades menanti. Kau akan menjadi tikus kecil pertama yang mati dalam labirinku. Kau
hanya punya satu kesempatan untuk melarikan diri, Leo Valdez. Ambillah." Wanita itu memberi isyarat
ke arah tebing. "Kau sinting." Leo berhasil berkata. Perkataan yang salah. Wanita itu mencengkeram
pergelangan tangannya. "Barangkali aku harus membunuhmu sekarang, sebelum teman hitamku
datang?" Langkah kaki menggetarkan lereng bukit. Raksasa itu datang, berselubung bayang-bayang,
besar, berat, dan bertekad membunuh. "Pernahkah kau mendengar tentang mati di dalam mimpi, Nak?"
tanya wanita itu. "Itu bisa terjadi, di tangan seorang penyihir wanita!" Lengan Leo mulai berasap.
Sentuhan wanita itu seperti air keras. Leo berusaha membebaskan diri, tetapi cengkeraman wanita itu
seperti baja. Dia membuka mulut untuk berteriak. Sosok besar raksasa itu menjulang di atasnya, ditutupi
oleh lapisan-lapisan asap hitam. Raksasa itu mengangkat kepalan tangannya, dan sebuah suara
menerobos ke dalam mimpi Leo. "Leo!" Jason mengguncang-guncang bahunya. "Hei, Bung, mengapa
kau memeluk Nike?" Mata Leo mengerjap-ngerjap membuka. Kedua lengannya tengah memeluk patung
seukuran manusia yang ada di tangan Athena. Dia pastilah bergerak-gerak dalam tidurnya. Dia memeluk
dewi kemenangan itu seperti dulu dia biasa memeluk bantalnya ketika mendapat mimpi buruk saat
masih kecil. (Kejadian seperti itu sungguh memalukan di rumah singgah.) Dia melepaskan diri dan duduk
tegak, menggosok-gosok wajahnya.
tidak apa-apa," gumamnya. "Kami hanya berdekapan. Ehm, ada apa" jason tidak mengejeknya. Itu satu
hal yang dihargai Leo tentang temannya itu. Mata Jason yang sebiru es tetap tenang I Bekas luka kecil di
mulut Jason berdenyut seperti biasa I ada kabar buruk yang hendak disampaikannya. "Kira berhasil
melewati pegunungan," katanya. "Kita hampir .ipai Bologna. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di
aula Nico punya informasi baru."[]
BAB SEPULUH LEO LEO TELAH MERANCANG DINDING-DINDING AULA makan supaya menampilkan adegan-adegan terkini
dari Perkemahan Blasteran. Awalnya dia beranggapan gagasan itu cukup hebat. Sekarang dia tidak yakin.
Adegan-adegan dari rumah mereka"nyanyi bersama di sekeliling api unggun, makan malam di paviliun,
permainan bola voli di luar Rumah Besar"sepertinya hanya membuat teman-temannya sedih. Semakin
jauh mereka dari Long Island, semakin buruk keadaannya. Zona waktu terus berubah, membuat Leo
merasakan jauhnya jarak setiap kali dia menatap dinding-dinding itu. Di Italia sini, matahari baru terbit.
Sementara di Perkemahan Blasteran masih larut malam. Obor-obor mendedas di pintu-pintu kabin.
Cahaya bulan gemerlapan di atas ombak Selat Long Island. Pantai itu penuh jejak kaki, seolah-olah
sekerumunan besar orang baru saja meninggalkannya. Sedikit tersentak, Leo menyadari bahwa
The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarin"tali malam, terserahlah"adalah empat Juli. Mereka melewatkan pesta tahunan Perkemahan
Blasteran di pantai dengan kembang api
menawan yang disiapkan oleh saudara-saudara Leo di Pondok Dia memutuskan untuk tidak
menyinggung-nyinggung hal kepada kru yang lain, tetapi dia berharap teman-temannya umah
mengalami perayaan yang meriah. Mereka juga perlu it u untuk mengangkat semangat mereka. Dia
teringat gambaran-gambaran yang dia lihat dalam pinya"perkemahan tinggal puing-puing, mayat
berserakan; Avian berdiri di lapangan bola voli, berbicara lepas dengan
suara Gaea. Leo menatap hidangan telur dan dagingnya. Dia berharap mcmatikan video dinding itu.
Nah," kata Jason, "karena kita sudah di sini ...." Jason duduk di ujung meja, bisa dibilang karena tidak ada
I lain. Semenjak mereka kehilangan Annabeth, Jason berusahasemampunya untuk bertindak sebagai
pemimpin kelompok itu karena di Perkemahan Jupiter, dia adalah Praetor, Jason mungkin .sudah
terbiasa, tetapi Leo tahu temannya itu tertekan. Kedua matanya lebih cekung ketimbang biasanya.
Rambut pirangnya -acakan tidak seperti biasa, seakan-akan dia lupa menyisirnya. Leo melirik pada kru
lain di sekeliling meja. Mata Hazel juga marah tetapi tentu saja dia tidak tidur semalaman memandu
kapal nelewati gunung. Rambut ikalnya yang berwarna kayu manis diikat dengan lipatan saputangan,
memberi Hazel tampang militer ing dirasa Leo agak seksi"tetapi dia langsung merasa bersalah
setelaahnya. Di sebelah Hazel duduk pacarnya, Frank Zhang, yang niengenakan celana olahraga hitam
dan kaus wisatawan Roma bertuliskan CIAO! (apakah kata itu ada artinya"). Lencana enturion lama
Frank tersemat di kausnya walaupun para demigod Argo II sekarang adalah musuh nomor 1 sampai 7 di
Perkemahan Jupiter. Ekspresi muram Frank semakin memperkuat kemiripannya dengan pegulat sumo. Lalu, ada
saudara tiri Hazel, Nico di Angelo. Duh, anal( itu membuat Leo merasa tidak nyaman. Dia duduk
menyandar dalam balutan jaket kulit penerbang, kaus hitam, dan celana jin, cincin tengkorak perak di
jarinya, dan pedang Stygian di pinggangnya. Matanya sedih dan agak hampa, seolah-olah dia telah
melihat ke kedalaman Tartarus--yang memang telah dilakukannya. Satu-satunya demigod yang tidak
hadir adalah Piper, yang sedang menjalankan giliran di kemudi bersama Pak Pelatih Hedge, satir
pengawal mereka. Leo berharap Piper ada di sini. Piper punya cara untuk menenangkan situasi dengan
Dendam Jago Kembar 2 Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence Pertapa Cemara Tunggal 3