Pencarian

Gajah Kencana 7

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 7


candi itu akan suka melu luskan permint aanku. Tolonglah
bebaskanlah diriku dari cengkeraman orang2 Wukir Po-laman
itu" "Ah . ." Wilupa mendesah lalu pejamkan mata. ,Karena
sampai lama belum juga brahmana itu membuka mata,
akhirnya S indura tak kuasa menahan kesaba-rannya
"Bagaimana, kibrahmana, dapatkah tuan meluluskan
permint aanku itu?" Wilupa menghela napas lalu menjawab "Jangan salah
faham, nini. Bukan aku menolak tetapi aku mempertimbangkan akibatnya. Untuk membebaskan andika
dari tangan orang2 itu, tidaklah sukar. Tetapi bagaimana
akibatnya apabila baginda Jayanagara mendengar engkau
berada dalam candi sini?"
Sindura terkesiap. Namun cepat pula ia menjawab "Y ang
kumohon kepada ki brahmana yalah pembebasan diriku dari
tangan orang W ukir Polaman. Setelah itu aku hendak pulang
ketempat orangtuaku di Mandana"
Brahmana W ilupa mengangguk "O, baiklah, nini. Kami akan
berusaha tetapi bagaimana hasilnya, kami tak dapat
mengatakan lebih dahulu"
"Duh, ki brahmana, betapa besar rasa t erima kasih Sindura"
serta merta Sindura terus berlut ut hendak mencium kaki
Wiliupa. Brahmana muda itu tersipu-sipu mengangkat bangun
"Jangan bersikap begitu, nini. Walaupun menyanggupi, tetapi
aku masih menyangsikan kemampuanku untuk berhasil.... "
Demikian S indura kembali ke dalam pondok asrama para
murid2 brahmana itu lagi. Didengarnya kedua orang Wukir
Polaman itu masih mendengkur keras. Iapun masuk ke dalam
biliknya dan beristirahat.
Entah berapa lama Sindura tertidur, ketika bangun ternyata
hari sudah hampir petang. Dan tak lama kemudian terdengar
pintu diketuk orang. W aktu pintu dibuka, t ernyata Antaka dan
Sapara sudah siap menunggu di luar "Setelah'makan malam,
kita nanti berangkat lagi" kata Antaka.
"Mengapa tidak besok pagi ?"tanya Sindura.
"Perjalanan pada malam hari lebih aman dari kejaran
pasukan kerajaan. Saat ini raja tentu sudah mengetahui
engkau lolos dari keraion dan tentu mengerahkan pasukan
untuk mengejar kita"
Sindura tak dapat membantah. Setelah makan dan
mengemasi bekalan, Antaka bertiga segera menghadap
brahmana Satmaka untuk mint a diri. Diam2 Sindura heran
karena tak melihat kehadiran brahmana Wilupa. Antaka,
Sapara dan Sindura melanjutkan perjalanan menuju ke Ujung
Galuh di sebelah timur. Makin malam perjalanan makin gelap. Tetapi setelah tidur
sehari, Antaka dan Sapara t ampak segar. Demikianpun kedua
ekor kuda putih dan hitam it u. Mencongklang pesat
menembus kegelapan malam. Saat itu mereka... akan
memasuki sebuah hutan. Lebatnya daun2 pohori, sukar
ditembus sinar rembulan. Tiba di muka hutan, mereka
dikejut kan oleh suara burung kulik mengimbau gencar.
"Kakang ... " seru Sapara
seraya hentikan kuda. "Mengapa, Sapara" Jangan
takut, itu hanya suara burung
kulik " selutuk Antaka seraya
memacu kuda mendahului masuk ke dalam hutan. Tetapi
kuda putih tunggangannya itu
segera melonjak ke atas dan
meringkik keras. Ant aka cepat
menguasai kendali dan memaksa
kuda putih turunkan kedua kaki
depan ke tanah lagi. Serempak
pada saat kuda berdiri tegak, terdengarlah suara ketawa yang
seram. Dan lebih terkejut pula Antaka ketika melihat sesosok
tubuh aneh menghadang di sebelah muka. Penghadang itu
wajahnya berselubung kain hitam
"Berhenti!" "Hai, siapa engkau!" teriak Antaka getar.
"Tak perlu bertanya. Pilihlah, serahkan wanita itu atau
jiwamu!" lengking orang aneh itu.
"Keparat!" Antaka gentakkan kendali dan ku-dapun
menerjang kemuka, tar . . . Antaka ayunkan cemetinya
menghajar. "Uh..... " orang itu mendesuh dan menghindar kesamping
lalu hendak balas, menyerang.
Tetapi s-konyong-konyong dari arah belakang terdengar
derap kuda menerjangnya. Ternyata Sapara yang menyusul masuk ke dalam hutan
terkejut ketika melihat Antaka bertempur dengan seorang
berselubung muka. Cepat ia menerjang maju dan tusukkan
tombaknya ke punggung orang.....
o)==odwo==(o MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
Jilid 6 I SATWA, RAYAS dan TAMAS merupakan triguna yang
mengikat Roh manusia di dalam badan.
Ikatan dari Satwa adalah murni, terang dan menimbulkan
budi luhur. Sifat Rayas adalah hawa nafsu. Sedang Tamas, sifatnya
masa bodoh, membiaskan dan tak bertanggungjawab.
Ketika di medan perang Kurusetra berhadapan dengan
kaum Korawa, Arjuna tampak bimbang dan bingung karena
harus berperang melawan sanak keluarganya sendiri itu, maka
berhamburanlah mutiara wejangan dari Sri Batara Kreshna
tentang dharma, arti dan tujuan peperangan besar itu.
"Barang siapa yang melakukan kewajiban sebaik-baiknya
tanpa terikat pada kesudahan hasilnya, maka dia menjalankan
sifat Satwa. Tidak menghindarkan pekerjaan yang maha
sulitnya, pula tidak terikat pada pekerjaan yang
menyenangkan saja, itulah yang dinamakan tyaga satwa...."
Demikian wejangan Sri Kreshna mengenai Mokswa Sanyasa
Yoga, salah sebuah dari delapanbelas yoga yang diuraikan
kepada Arjuna di medan perang Kurusetra. Kedelapan belas
yoga atau ilmu pengetahuan itu telah diabadikan dalam kitab
BHAGAWAD GITA yang menjadi landasan falsafah hidup kaum
brahmana dalam mencapai kesempurnaan bathin.
Demikian dengan brahmana Wilupa. Alam pikirannya
terlingkup dalam lingkungan yoga2 itu. Sesungguhnya setelah
menyanggupkan janji kepada Sindura, ia termenung dalam
kebimbangan. Bimbang karena besarnya beban untuk
menolong wanita itu, dengan piciknya ilmu ajaran keagamaan
dan ilmu kanuragan yang telah diserapnya selama ini. Ragu
pula ia adakah tindakannya itu dibenarkan oleh gurunya,
brahmana Satmaka. Namun ia sudah memberi janji. Seorang brahmana pantang
mengingkari janji. Apapun yang akan terjadi, ia harus
menetapi ucapannya. Dan awan kebimbangan hatinya mulai
tersiak cerah ketika ia teringat akan wejangan Sri Kresshna
kepada Arjuna itu. Makin cerah makin berhamburan sinar terang dalam
jangkau renungannya. Tertumbuk pula ia akan petuah Prabu
Ramawijaya kepada Anoman ....
"Apabila hanya gemar akan yang mudah dan takut yang
bersifat Sukar, segala cita2 tentu takkan terlaksana ...."
Serentak hapuslah segala keraguan Wilupa. Tiada lagi ia
meragukan akan hasil tindakannya menolong Rara Sindura.
Tiada ia gentar akan kesukaran2 yang akan dihadapinya. Ia
hendak menetapi janji yang telah diucapkannya, lepas
daripada perhitungan hasil atau gagal.
Setelah mengetahui rencana Antaka yang hendak
melanjutkan perjalanan pada malam itu, Wilupa mendahului
langkah. Diam2 ia tinggalkan candi dan menunggu disebuah
hutan. Ia memperhitung kan Antaka dan rombongannya tentu
akan menempuh hutan itu. Dan agar tak diketahui ciri
peribadinya oleh Antaka sehingga akan menimbulkan akibat
lebih lanjut kepada para brahmana candi Jeglong, maka ia
menghias diri dalam penyamaran pakaian hitam dan menutup
muka dengan kerudung hitam.
Sebenarnya Sindura tak tahu langkah yang akan diambil
Wilupa untuk menolong dirinya. Namun terdorong keinginan
berusaha melepaskan diri dari kedua orang Wukir Polaman itu,
ia sampai terpaksa minta pertolongan Wilupa. Maksudnya agar
brahmana itu suka melaporkan hal itu kepada brahmana
Satmaka dan brahmana kepala candi itu tentu akan
menggunakan segala kemampuan yang ada padanya, untuk
memberi pertolongan. Setitikpun Sindura tak menyangka bahwa Wilupa akan
bertindak seorang diri. Hal itu baru diketahuinya ketika ia
melihat perawakan dari orang kerkerudung muka yang
menghadang dalam hutan itu.
Hampir Sindura menjerit ketika orang berkerudung muka itu
ditusuk dari belakang dengan tombak oleh Sapara. Untunglah
sebelum ia mengeluarkan suara, Wilupa ternyata sudah loncat
menghindar ke samping. Sapara terkejut ketika tombaknya
menampar angin dan lebih kejut pula ia sesaat menyadari
kudanya hendak membentur kuda putih yang dinaiki Antaka.
Untunglah ia cukup cekat dan tangkas. Ia lepaskan tangan
kanan sehingga tombak itu hanya dipegangnya dengan tangan
kiri lalu secepat kilat tangan kanannya menyambar kendali
kuda untuk ditariknya kuat2 ke samping kiri. Dalam pada itu
Antakapun tak tinggal diam. Ia cepat mendorong kudanya ke
muka. Dengan demikian terhindarlah tubrukan antara kedua
ekor kuda itu. Namun belum sempat Sapara menempatkan dirinya dengan
tegak di atas punggung kuda hitam, orang berkerudung itupun
sudah loncat menahasnya. Memang gerakan orang itu amat
tepat waktu dan tempatnya. Dalam keadaan tubuh condong
ke samping untuk memaksa kudanya membiluk, Sapara tak
mempunyai peluang untuk menangkis atau menghindari
serangan lawan. Tiada lain jalan baginya, kecuali harus
luncurkan tubuh ke tanah. Walaupun dengan gerakan itu kuda
hitamlah yang akan menerima tabasan, tetapi Sapara terpaksa
melakukannya. "Uh . . . ." Sapara mendesus ketika ia harus meluncur ke
tanah. Tetapi serempak dengan itu, terdengar dering senjata,
disusul dengan suara bentakan keras dari A ntaka "lepaskan . .
. !" Ternyata pada saat Sapara terancam tabasan pedang orang
berkerudung muka itu, dengan sigap Antaka yang sudah
membebaskan kudanya ditcmpat luang segera ayunkan cemeti
kearah pedang orang itu. Kiranya tak sia-sialah ia dipilih
persekutuan Wukir Polaman untuk melaksanakan tugas
penculikan yang amat berbahaya itu. Antaka mahir dalam ilmu
cemeti yang ujungnya dilengkapi dengan benda berduri
macam buah rambutan. Sedang cemeti itu terbuat daripada
bahan kulit ular yang lemas tetapi tak mempan ditabas senjata
tajam. Setelah berhasil melibatkan ujung cemeti kebatang pedang
lawan, Antaka menghardik dan menarik sekuat-kuatnya.
Wilupa terkejut. Iapun segera kerahkan seluruh tenaga untuk
mempertahankan pedangnya. Maka terjadilah adu kekuatan
tarik menarik diantara kedua orang itu.
Tiba2 Sapara yang sudah dapat memperbaiki kedudukannya, segera bertindak. Ia malu dan marah karena
walaupun dapat terhindar dari maut, tetapi ia harus
bergelundungan di tanah. Maka sesaat ia dapat loncat bangun,
secepat itu pula ia tusukkan tombak ke punggung lawan pula.
Kaii ini ia tak mau menderita kekalahan seperti tadi. Walaupun
dengan gaya yang keras, namun tusukannya itu sebuah
gerakan yang terkendali. Artinya tidak menusuk secara lepas
seperti tadi lagi. Wilupa terkejut. Ia berhadapan dengan dua kemungkinan.
Melepaskan pedang dan menghindar atau mempertahankan
pedang dan menderita tertusuk tombak. Tetapi rupanya
brahmana muda itu memilih kedua duanya atau tidak
menghendaki kedua-duanya. Ia tetap hendak mempertahankan pedangnya, pun dapat menghindari tusukan
tombak.Dan untuk mencapai hal itu, ia tak mau loncat
menghindar, melainkan beringsut mengisar tubuhnya ke
samping. Dengan gerak yang sederhana itu dapatlah ia
melaksanakan rencananya. Terhindar dari tusukan maut, pun
masih dapat mempertahankan pedangnya.
Tetapi seperti yang telah dikatakan di atas, kali ini tusukan
tombak Sapara itu terkendali. Selekas lawan mengisar tubuh
ke samping, gerakan tombak Saparapun ikut berhenti dan
tiba2 diayunkan membabat tubuh lawan.
Gerakan itu dilakukan secara tak terduga-duga dan amat
cepat sekali. Setitikpun Wilupa tak pernah membayangkan
bahwa lawan memiliki ilmu permainan tombak yang
sedemikian hebatnya. Karena babatan tombak itu mengarah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dada, Wilupa sukar untuk menghindar. Kalau loncat ke
atas, tertahan oleh pedang yang digubat kencang oleh Antaka.
Namun kalau mengendap ke bawah pun terpancang oleh adu
tenaga dengan Antaka itu. Dan celakanya, ia tak dapat
menghindar ke samping lagi.
"Ah ...." ia tak dapat berpikir lama karena saat itu tombak
sudah hampir menyentuh dadanya. Karena gugup, ia lepaskan
pedangnya dan terus loncat ke muka. Ia dapat menghindari
tusukan tombak tetapi ia harus melepaskan pedangnya.
"Ho, hanya begitulah kepandaianmu, ki sanak berkerudung
muka?" ejek Antaka seraya menyambuti pedang yang ditarik
ke arahnya. Lalu berseru "Jangan mati tanpa nama! Siapakah
engkau?" Namun orang itu tak mengacuhkan. Dan memang tak
sempat membagi perhatiannya kepada pertanyaan Antaka.
Karena saat itu, Saparapun sudah hentikan batang tombak
dan mulai menyerang pula dengan sebuah tusukan kearah ulu
hati lawan. Masih dengan gerak lemah gemulai, Wilupa berhasil
menghindari tombak Sapaia. Tetapi pada saat ia hendak
tegakkan tubuh, tombakpun sudah menyapu kedua kakinya.
Keras dan cepat sekali sehingga menimbulkan tamparan angin
yang menderu-deru. Wilupa mengeluh dalam hati. Ia menyadari bahwa kedua
orang Wukir Polaman itu nyata lebih tangkas dan lebih sakti
dari dirinya. Karena tubuhnya masih membungkuk dan belum
sempat menegak, maka ia meliukkan tubuhnya ke bawah,
secepat tangan menjamah tanah, dengan menekan keras, ia
mengantar tubuhnya berjumpalitan di udara. Sambil
menghindar dari tombak, ia hendak melayang turun di
belakang lawan. Demikian rencana yang direkanya.
Rencana itu memang amat bagus. Sayang ia lupa
memperhitungkan kehadiran Aritaka di situ.
Pada saat tubuhnya melayang di udara, Antakapun cepat
ayunkan cemetinya menghajar punggung brahmana muda itu.
Tar... bahu Wilupa termakan ujung bandul yang berduri. Baju
robek, kulit terkupas, darah mengucur dan tubuhnyapun
melayang jatuh ke tanah. Sebenarnya Antaka hendak mengejar punggung orang
berkerudung itu. Tetapi tiba2 Rara Sindura bergeliat
menegakkan tubuhnya. Karena gerakan sijelita itu, Antaka
cepat menekankan tangan kiri ke tali kendali. Maksudnya agar
jelita itu jangan sampai jatuh karena dilempar kuda putih.
Tetapi karena gerakan itu, maka tangan kanan yang
mengayun cemeti itupun menderita goncangan.
Akibatnya cemeti tak sampai mengenai
melainkan hanya singgah di bahu Wilupa.
sasarannya Sekalipun begitu, sudah cukuplah membuat Wilupa
menderita kesakitan dan menukik turun ke bumi dengan bahu
berlumuran darah. Prek .... sebelum kaki Wilupa menginjak tanah, Sapara
sudah cepat maju untuk menyerernpaki dengan sebuah
tendangan yang tepat mengenai pantat brahmana itu.
Tendangan itu benar2 membuat Wilupa kehilangan
keseimbangan tubuh. Bagai sebuah layang2 putus tali, tubuh
orang berkerudung muka itu melayang beberapa langkah d.tn
jatuh ke tanah dengan keras.
Wilupa berkunang kunang mata. Kepalanya serasa
berputar-putar deras. Bumi yang dipijaknya seperti amblong.
Untung pada saat ia akan rubuh pingsan, masih ada sepercik
kesadaran pikirannya yang memerintahkan supaya ia cepat2
mengembangkan seluruh daya kekuatan ciptanya. Berkat
latihan2 saniadhi selama ini, dengan cepat ia dapat
mengumpulkan pula daya kesadaran pikiran yang hampir
merana itu dan dengan demikian ia terhindar dari pingsan.
"Sudahlah, kakang, tak perlu membunuhnya!" teriak Rara
Sindura ketika melihat Sapara hendak memburu ketempat
brahmana yang tengah duduk memejamkan mata itu.
"Ya, Sapara, mari kita cepat lanjutkan perjalanan. Agar tak
keburu kawan2 orang itu datang menyergap kita di sini!" seru
antaka seraya mencongklangkan kuda putih melintasi hutan.
Sapara terpaksa loncat ke punggung kuda hitam dan
menyusul Antaka. Ia anggap peringatan Antaka itu benar.
Apabila orang berkerudung muka itu mempunyai gerombolan,
pastilah gerombolannya itu akan segera datang. Dan bila
melihat kawannya terluka, mereka tentu akan menuntut balas
kepadanya. Peristiwa itu membuat Antaka makin berhati-hati
menempuh perjalanan. Ia kuatir apabila kawan-kawan
gerombolan orang yang memakai kerudung muka itu akan
muncul menghadang atau mengejarnya.
Tetapi syukurlah tak terjadi suatu apa. Antaka dapat
melintasi hutan dengan selamat.
"Kakang" tiba2 Sapara membuka mulut "siapakah kiranya
orang berkerudung muka yang menghadang kita itu" "
Sejenak Antaka kerutkan kening lalu "Kemungkinan besar tentu bangsa penyamun "
menyahut "Tetapi mengapa dia menghendaki Sindura" Kalau bangsa
penyamun tentulah menghendaki harta benda" masih Sapara
menyatakan keraguannya. Jawab Antaka "Tetapi hal itu mungkin saja, Sapara "
"Mungkin bagaimana " "
"Mungkin dia terpikat oleh kecantikan Sindura ini. Apabila
benar demikian, dia memang tak salah. Bila disuruh memilih
antara Sindura dengan harta benda, tentulah orang akan
memilih orang cantik ini. Benar atau tidak, Antaka" Coba
engkau sendiri bagaimana hendak menjatuhkan pilihanmu" "
Sapara hanya mendesis. Dengan cerdik ia mengembalikan
pertanyaan itu "Dan engkau sendiri bagaimana kakang" "
"Aku" Ah, sudah tentu memilih wanita dihadapanku
ini"sahut Antaka serempak" pun nanti apabila tiba di Wukir
Polaman, akupun hendak minta agar keselamatan dan
pengamanan Rara Sindura ini diserahkan padaku. Dan kalau
pemimpin kita hendak memberi balas jasa aku tak mau
menerima apa2 kecuali wanita ini ... . "
"Huh ...." Sapara mendengus. Untuk menghindari
percakapan itu, ia sengaja memperlambat lari kudanya ke
belakang kuda putih. Diam2 ia masih merenungkan ucapan
kawannya itu. Dan makin direnungkan makin menggejolaklah
rasa ke tidak puasan dalam hatinya.
Pun diam2 Sindura mengeluh dan mengutuk orang Wukir
Polaman yang membawanya itu. Namun ia tak berdaya sama
sekali. Ia hanya berdoa kepada Dewata semoga dalam
perjalanan yang penuh bahaya itu, ia mendapat pertolongan.
Andai ia masih berada di keraton Majapahit dan terpaksa
menurut kepada Jayanagara, itu masih layak. Karena dirinya
bakal dipersunting oleh seorang raja gung binatara. Tetapi
saat itu ia jatuh ke tangan orang Wukir Polaman, gerombolan
orang kasar yang jahat. Suatu jurang perbedaan yang jauh
sekali, sejauh langit dengan bumi.
Bebasnya dari ancaman Jayanagara ke tangan orang Wukir
Polaman, tak ubah seperti pergantian dari mulut harimau ke
mulut buaya. Malam itu mereka melanjutkan perjalanan. Selama dalam
perjalanan itu, Rara Sindura mengalami perlakuan yang
mengejutkan dari Antaka. Tangan orang Wukir Polaman itu
berulang kali mengerut kencang seperti hendak memeluk
tubuh wanita yang duduk di hadapannya. Setiap hal itu terjadi,
maka Sindura cepat berusaha untuk menyiak tangan Antaka.
"Engkau tidak dingin, Sindura ?" tanya Antaka dengan
berbisik pelahan. "Tidak" sahut Sindura singkat.
"Saat ini sudah lewat tengah malam dan tak lama lagi tentu
akan menjelang fajar. Biarlah kulindungi tubuhmu dari
serangan embun" bisik Antaka seraya lingkupkan tangannya
menelungkupi tubuh Sindura.
"Tidak" Sindura cepat menyiak "aku merasa tak tercurah
embun. Ingat, engkau seorang utusan, jangan berbuat tak
senonoh terhadap tugasmu "
"Ah, aku nanti hendak menuntut balas jasa berupa dirimu
.... " "Itu persoalan nanti dan nanti saja kita percakapkan "
Rupanya percakapan mereka berdua walaupun dilakukan
sepelahan mungkin, tetap terdengar juga oleh Sapara.
Walaupun ia tidak begitu jelas tentang apa yang
dipercakapkan tetapi timbullah rasa cemburu dalam hati
Sapara. Cepat ia larikan kudanya ke samping kuda putih lalu
berseru "Kakang, di manakah kita nanti berhenti " "
"Di desa yang pertama kita capai" sahut Antaka.
"Kakang, rupanya saat ini sudah mendekati pukul tiga dan
sebentar lagi tentu sudah dinihaii. Hawa makin dingin dan tak
lama angin sepoi basah, tentu akan berhembus. Apakah
Sindura tak perlu diberi selimut ?" tanya Sapara pula.
"Engkau mimpi barangkali, Sapara" Antaka tertawa "mana
kita membawa selimut ?"
"Kurela memberikan bajuku sebagai selimut" seru Sapara
serempak. Lalu hendak membuka baju luarnya.
"Apa guna engkau sibuk begitu, Sapara" tegur Antaka
"maksudmu itu memang baik, tetapi sia2 saja. Kebalikannya
engkau malah menyiksa Sindura"
"Menyiksa " Mengapa menyiksa ?" Sapara tercengang
heran. "Bajumu itu tentu sudah kotor dengan debu yang melekat
pada peluhmu. Tentu akan menimbulkan bau yang menyiksa
hidung Sindura, bukan " Ha, ha, ha ..."
Sapara tersipu-sipu merah mukanya. Ia malu dan geram.
Sesaat kemudian ia berseru "Kalau bajuku tak sedap baunya,
apakah bajumu tidak begilu juga?"
"Ya, memang benar" sahut Antaka tenang "oleh karena itu
aku tak mau menyelimutinya dengan bajuku"
"Lalu apakah engkau biarkan ia menderita kedinginan dan
kena angin bersepoi embun ?"
"Sudah tentu tidak" sahut Antaka dengan nada masih
tenang "kedua tanganku cukup untuk menggantikan selimut
...." "Uh . . ." desuh Sapara terkejut "kalau begitu biarlah ia
pindah ke atas kudaku sini. Akupun sanggup melindunginya"
"Eh, Sapara" tiba2 Antaka menggeram "apa maksudmu "
Engkau hemdak berbuat tak senonoh kepadanya ?"
"Sama sekali tidak" bantah Sapara "aku hanya bermaksud
hendak melindunginya dan menyelamatkan tugas kita"
"Sapara, aku yang diangkat sebagai petugas utama untuk
menyelamatkan Sindura. Dan engkau hanya sebagai
pembantuku. Aku berhak memberi perintah kepadamu.
Selama aku tak meminta pertolongan, usah engkau
menyodorkan tenagamu. Sindura ini cukup aman dibawah
lindunganku!" "Baik, kakang" kata Sapara yang masih taat akan peraturan
dalam Wukir Polaman. Ia lambatkan kuda hitam lagi dan berjalan mengikuti di
belakang kuda Antaka. Tetapi diam2 ia mengutuk Antaka yang
hendak mengambil manfaat atas diri wanita yang diculiknya
itu. Rasa tidak puas itu mendorong matanya untuk
memperhatikan gerak gerik Antaka. Apabila Antaka bertindak
tak senonoh kepada wanita itu, kelak di hadapan pemimpin
Wukir Polaman ia hendak melaporkannya.
Tak lama kemudian, cakrawala di bang wetan mulai
merhburat merah. Suatu pertanda bahwa dinihari sudah tiba
dan tak lama lagi fajar akan menyingsing.
Saat itu mereka menyusur jalan yang menuju ke sebuah
hutan kecil. Sejauh-jauh mata memandang, di belakang hutan
kecil itu masih tak tampak gerumbul pohon sebuah pedesaan.
Rupanya sampai fajar, mereka takkan bertemu dengan sebuah
desa. Tak berapa lama cuacapun makin cerah. Fajar mulai
merayap datang. Tibalah mereka dihutan kecil. Sayup2
terdengar gemuruh air mengalir. Rupanya dibelakang hutan
itu terdapat sebuah sungai.
Sekonyong-konyong Antaka hentikan kuda "Kita beristirahat
disini dulu, Sapara" katanya serentak meluncur turun dari
kuda. Setelah menurunkan Sindura dan menuntun kuda putih
kebawah pohon bulu, tiba2 orang Wukir Polaman itu berteriak
"aduh, perutku ...." sambil mendekap perut, ia terus lari
menuju kebelakang hutan. "Hai, mengapa engkau kakang?" seru Sapara terkejut. Ia
memburu karena mengira Antaka menderita luka.
"Uh, mengapa engkau" Kembali sana! Aku hendak buang
hajat kesungai, perutku mulas sekali" kata Antaka terus lari
terbirit-birit. Saparapun kembali dan duduk didekat Sindura. Dan
mulailah ia membuka pembicaraan "Nini apakah engkau tak
kedinginan?" "Yah, terpaksa kutahankan" sahut Sindura agak beriba.
"Hm, kakang Antaka memang kejam" desus Sapara
"mengapa dia menolak persembahanku baju untuk selimut
dirimu. Dia sendiri memang bermaksud tak senonoh...."
"Ih, benar, kakang" desis Sindura lirih "memang beberapa
kali ia mendekapkan tangannya ketubuhku"
"Kurang ajar!" serempak Sapara memberingas "dia pasti
akan kulaporkan pada pemimpin. Tetapi nini .... apakah
engkau merelakan dirimu diperlakukan begitu oleh kakang
Antaka ?" "Tidak! Aku tak senang melihat tingkah ulahnya yang kasar
itu. Tetapi ah ... . aku hanya seorang wanita lemah, apa
dayaku" Siapakah yang dapat menolong diriku?"
Mendengar keluhan jiwa, serentak tergugahlah semangat
kejantanan Sapara "Sindura, jangan takut. Akulah yang akan
melindungi dirimu apabila kakang Antaka hendak berbuat tak
senonoh kepadamu" "Tetapi kakang" kata Sindura dalam nada tak yakin "dia
lebih perkasa, apakah kakang mampu menghadapinya ?"
Sapara makin terbakar hatinya. Serentak ia busungkan dada
"Sindura ketahuilah, Sapara ini putera Pencok Sahang,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang bekel prajurit Daha yang termasyhur kegagahannya.
Bapaknya harimau, anaknya tentu harimau juga. Ayahku
adalah seorang bekel prajurit yang dipilih prabu Jayakatwang
untuk membantu senopati Jaran Guyang menggempur
Singosari...." "O" seru Sindura dengan nada dikejutkan "jadi kakang ini
keturunan seorang prajurit utama. Tetapi mengapa dalam
tugas membawa diriku lolos dari keraton Majapahit itu, kakang
Antaka yang dipilih dan kakang hanya pembantunya "
Siapakah kakang A ntaka itu ?"
"Antaka itu putera Liking Kangkung, juga seorang tamtama
Daha yang gagah. Sesungguhnya tiada berkelebihan asal
keturunannya, demikianpun dengan kegagahan kami berdua.
Hanya karena kakang Antaka lebih dulu menggabung pada
Wukir Polaman dan aku yang datang lebih belakang, maka
pemimpin kita lebih mempercayainya"
"Apakah sesungguhnya Wukir Polaman itu, kakang?" tanya
Sindura sambil menatap Sapara.
Sebenarnya persekutuan Wukir Polaman itu merupakan
suatu gerakan di bawah tanah yang harus dirahasiakan.
Kecuali para warganya, tiada seorangpun yang boleh
mengetahui. Tetapi entah bagaimana, saat itu Sapara seperti
orang yang kena pesona. Tatapan mata Rara Sindura yang
kilau-kemilau laksana bintang Agra, membuat jantung Sapara
seperti berayun-ayun. Tak kuasa lagilah ia mengunci mulutnya
"Wukir Polaman itu ada sebuah himpunan dari putera2
keturunan senopati dan nayapraja kerajaan Kediri yang
hendak merubuhkan kerajaan Majapahit sekarang ini . . . ."
"Mengapa hendak merubuhkan kerajaan Majapahit ?" tanya
Sindura pula. "Untuk menuntut balas kepada keturunan dan kerajaan
yang didirikan raden Wijaya"
"Raden Wijaya pendiri dari kerajaan Majapahit yang
bergelar prabu Kertarajasa itu ?"
"Ya" "Apa kesalahan sang prabu ?"
"Dia telah menghianati kebaikan prabu Jayakatwang raja
Daha" "O" desis Rara Sindura. Ia mulai mendapat gambaran
tentang keadaan orang2 Wukir Polaman.
Tiba2 ia melihat sosok tubuh Antaka timbul tenggelam di
sela2 gerumbul pohon. Iapun tahu bahwa Sapara memiliki
rasa cemburu terhadap Antaka. Dan sesungguhnya Antaka itu
memang memperlihatkan tanda2 hendak mengganggu dirinya.
Dan secepat itu ia dapat membayangkan betapa nasibnya
pabila sampai jatuh ditangan orang Wukir Polaman. Siapakah
yang dapat ia harapkan untuk memberi pertolongan setelah
brahmana Wilupa gagal "
Untunglah walaupun hanya seorang anak buyut tetapi
Sindura memiliki pengetahuan yang cukup dari brahmana
yang mengrjarnya ajaran2 kitab weda. Untuk menyelamatkan
diri dari kedua orang Wukir Polaman itu tiada lain daya kecuali
harus memanfaatkan kelemahan kedua orang itu.
"Aduh....." tiba2 ia menjerit pelahan seraya menekan kaki.
"Mengapa Sindura ?"
"Kakiku.....kakiku digigit semut api"
"Oh, cobalah kuperiksa" tanpa meminta persetujuan yang
empunya lagi, Sapara terus mencekal tumit Sindura.
Didapatinya seekor semut merah tengah merayapi betis si
jelita. Sapara cepat menjentiknya ke tanah lalu hendak dilumat
dengan jari. "Jangan kakang, oh, aku takut ..." tiba2 Sindura menjerit
sekeras-kerasnya. Pada penangkapan Sapara, jelita itu tentu takut melihat
pembunuhan binatang semut itu. Maklum memang kaum
wanita mudah sekali gentar nyalinya melihat sesuatu yang
mengerikan. Setiap pembunuhan, walau terhadap binatang
semacam semut, pun dapat menggoncangkan perasaan
hatinya. Tetapi tidak demikian maksud yang dikandung Sindura. Ia
tahu bahwa Antaka sudah mendatangi.
Dan setelah diperhitungkan orang itu berada pada jarak
dapat menangkap pembicaraannya dengan Sapara, maka
menjeritlah ia dengan suara yang sengaja dilantangkan
sekeras mungkin. Ia mengharap mudah-mudahan Antaka
memberi tafsiran lain atas kata2 dalam teriaknya itu.
Dan apa yang direka oleh Sindura itu memang dapat
memenuhi harapannya. Mendengar jeritan itu, Antaka
serentak loncat menerobos gerumbul semak dan lari
menghampiri seraya berseru "Hai, kenapa engkau Sindura ..."
Sindura pura2 terkejut dan berseru dengan nada girang2
harap "Oh, engkau datang kakang. Ah, kemana saja engkau
tadi" Mengapa begitu lama?"
"Kenapa engkau menjerit?" tanya Antaka.
"Ah, hanya sedikit terkejut, tak kena apa2" sahut Sindura
"marilah kita lanjutkan perjalanan lagi"
"Ya, tetapi tunggu sebentar lagi" kata Antaka "apakah
engkau tak ingin membasuh muka dahulu" Di belakang hutan
ini, terdapat sebuah sungai kecil yang jernih dan sejuk airnya"
Sindura gelengkan kepala "Tidak"
Sikap dan penyahutan si jelita yang bernada lesu dan
muram itu menimbulkan pertanyaan dalam hati Antaka. Ia
mengaitkan sikap Sindura dengan kata2 dalam jeritannya tadi.
Lalu ia mengerut dahi merenung. Beberapa saat kemudian, ia
berpaling ke arah Sapara "Sapara, bawalah kedua ekor kuda
itu ke sungai. Mandikan kuda kita supaya segar semangatnya
dan berilah minum supaya tambah kekuatannya"
"Tetapi kakang, marilah kita bersama-sama ke sungai itu"
sahut Sapara seraya lepaskan sekilas kilatan pandang ke arah
Sindura. Ingin ia memberi isyarat kepada si jelita, bahwa ia
kuatir kalau Sindura berada seorang diri dengan Antaka.
Maksudnya supaya Sindura ikut bersama-sama ke sungai.
Bukan tak tahu Sindura akan isyarat lontaran pandang mata
Sapara itu. Namun ia pura2 tak tahu dan diam saja. Sindura
memang sengaja hendak mengeruhkan suasana hubungan
kedua orang Wukir Polaman itu.
"Hm, mengapa harus kita bersama;sama ke sana?" dengus
Antaka "adakah engkau takut pergi seorang diri ?"
Antakapun diam2 memperhatikan gerak gerik Sapara. Demi
melihat kawannya itu tak ingin meninggalkan Sindura, makin
besarlah rasa kecurigaan dalam hati Antaka "Hm, jelas dia tadi
tentu akan berbuat sesuatu yang tak senonoh terhadap
Sindura maka Sindura menjerit kaget....." katanya dalam hati.
"Ah, hawa masih sepagi ini, aku tak berani mandi. Dan
karena semalam suntuk tak tidur, buluromaku meruduk
kedinginan...." Penolakan itu makin menebalkan kecurigaan Antaka.
Dengan nada agak mengkal ia berseru "Kalau engkau takut
mandi, tetapi kuda tunggangan kita tentu tidak. Berilah
mereka minum air supaya kekuatannya pulih kembali"
Karena didesak, Sapara terpaksa tak dapat menolak.
Walaupun dalam hati ia memaki Antaka yang hendak
memergikannya dari tempat itu, namun ia tetap mematuhi
peraturan perhimpunan Wukir Polaman. Orang bawahan harus
tunduk pada perintah atasannya. Akhirnya ia mengiakan dan
menghampiri kuda. Dituntunnyalah kedua ekor kuda putih dan
hitam menuja ke sungai di belakang hutan.
Setelah memastikan bahwa Sapara sudah menyusup jauh
ke belakang hutan, barulah Antaka membuka mulut "Sindura,
mengapa engkau tadi menjerit" Apakah Sapara mengganggumu?" "Ah, hanya soal tak berarti, harap kakang jangan marah
kepadanya" "Tidak, Sindura. Katakanlah hal yang sebenarnya.
Kedudukan Sapara hanyalah sebagai pembantuku. Apabila dia
berbuat salah, aku wajib memberi nasehat dan petunjuk.
Bahkan kalau perlu memberinya hajaran atau pukulan"
"Apakah engkau marah kepadanya?"
"Hendak kulihat dulu bagaimana persoalannya"
"Tidak, kakang. Kalau engkau berjanji tak marah, aku baru
mau menceritakan peristiwa tadi" Sindura menuntut janji.
Makin teballah awan kecurigaan yang menyelimuti hati
Antaka. Sejenak merenung, akhirnya ia dapat menyetujui.
Walaupun ia berjanji takkan marah dan mengambil tindakan
suatu apa tetapi ia bakal mendapat keterangan tentang
tingkah laku Sapara "Baik, Sindura"
Sindurapun mulai menutur "Tadi aku terkejut karena kakiku
dirayapi seekor semut. Kakang Sapara, tanpa meminta idin
dahulu kepadaku, sudah terus mencekal kakiku dan
mengusap-usapnya. Katanya memang ada seekor semut.
Tetapi ternyata ..."
"Ternyata bagaimana" Katakanlah!"
"Ternyata ia tak mau lepaskan cekalannya dan bahkan
tangannya makin jahil hendak . . . menyusur ke atas paha ..."
"Keparat, dia berani bertindak sekurang ajar itu. Awas
engkau Sapara ..." "Kakang Antaka, mengapa belum pula kering lidahmu,
engkau sudah mengingkari janji" Bukankah engkau sudah
berjanji takkan marah kepada kakang Sapara?" tukas Sindura.
"Uh ..." Antaka mendesuh "ya, aku tak kan ingkar, Sindura.
Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Aku meronta dan cepat menjerit tadi" kata Sindura dengan
nada gemetar. Sesungguhmu sejak kecil ia tak pernah
bohong. Dan guru brahmana yang mendidiknya itu, pun
menekankan akan buruknya berbuat bohong itu. Namun
terpaksa saat itu Sindura bicara bohong. Karena ia tahu bahwa
diantara perbuatan dusta itu, adalah sebuah yang disebut
dosa sembada atau dosa wajib.
Demi menyelamatkan diri dari genggaman orang jahat,
dosa sembada atau berdusta karena kewajiban itu, bukanlah
suatu perbuatan dosa. "Hm ..." desis Antaka menahan geram.
"Untunglah engkau keburu datang, kakang. Kalau tidak
tentu dia makin berani"kata Sindura pula.
"Uh" Antaka menggeram "tetapi mengapa engkau mengikat
aku dengan janji bahwa aku tak boleh marah kepadanya" A pa
maksudmu?" "Tiada lain maksud kecuali aku tak suka andai kata kalian
berdua sampai saling mendendam permusuhan satu dengan
lain. Walaupun dia melanggar susila tetapi dilakukan tanpa
sadar" "Hm, kali ini dapat kumaafkan. Tetapi kalau kelak berani
berbuat lagi, janganlah engkau membatasi hakku sebagai
seorang atasannya" Diam2 Sindura girang. Hanya dengan cara memperkeruh
hubungan kedua orang itu, barulah akan timbul suasana yang
menguntungkan dirinya. Antaka dan Sapara dipilih himpunan Wukir Polaman untuk
melakukan tugas menculik Sindura atas penilaian bahwa
kedua orang muda itu berani, digdaya dan tegas dan dingin
terhadap wanita. Tetapi pimpinan Wukir Polaman lupa
memperhitungkan diri Rara Sindura.
Mereka mengira Sindura itu tak tentulah hanya wanita
cantik biasa. Tak mungkin Antaka dan Sapara yang terkenal
berhati baja dan dingin terhadap wanita itu akan terkecuh
hatinya. Tetapi pimpinan Wukir Polaman itu meleset. Rara
Sindura takkan menggonjingkan hati raja Jayanagara apabila
ia tak mempunyai kelebihan. Takkan kaum muda di tanah
Mandana sering berbaku hantam kalau Sindura tiada memiliki
kecantikan yang mempesonakan.
Maka sekeras-keras hati Antaka dan sedingin-dingin hati
Sapara, akhirnya luluh bagai lilin dibakar api ketika mereka
berhadapan dengan si jelita Rara Sindura. Mereka merasa
Sindura bagaikan penjelmaan Dewi Ratih yang turun ke
mayapada .... Ksatrya bermahkota kegagahan tetapi mahkota dari wanita
adalah kecantikannya. Ksatrya tak gentar menghadapi senjata
yang bagaimanapun tajamnya. Tetapi mereka akan tunduk
bersimpuh di bawah pancaran gilang-gemilang dai i kecantikan
wanita..... Alkisah, dahulu prabu Danapati dari negeri Lokapada ingin
meminang Dewi Sukeksi, puteri prabu Sumali dari negeri
Alengka. Sebelum menerima pinangan itu, sang Dewi
mengadakan sayembara. Barang siapa dapat menguraikan
dengan tepat isi dari ilmu SASTRA JENDRA HAJUNENG RAT,
jika seorang wanita akan di aku sebagai saudara sekandung.
Bila seorang pria akan diambilnya sebagai suami.
Oleh karena prabu Danapati tak tahu akan ilmu itu maka ia
minta kepada ayahnya, bhagawan Kiswara untuk mewakili
dirinya ke Lokapala, memecahkan sayembara sang puteri itu.
Bhagawan Kiswara berhasil menguraikan ilmu itu tetapi ia
gagal membebaskan diri dari nafsu yang terpancar dari sinar
kecantikan sang puteri. Bhagawan yang tersohor luhur pekerti
dan tinggi ilmu itu, akhirnya luluh kesadarannya. Lupa bahwa
sebenarnya ia hanya sebagai wakil dari puteranya. Lupa pula
bahwa sebagai seorang ayah, ia harus mengalah kepada
puteranya. Lengah pula bahwa sebagai seorang wiku ia harus
menjauhi apa yang disebut nafsu Supyah atau nafsu birahi.
Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah, ia seorang pria
dan Sukesi seorang wanita. Maka diterimanyalah puteri itu
sebagai isterinya. Demikian seorang bhagawan, demikian pula seorang raja,
Jayanagara. Maka tak mengherankan bilamana lelaki2 Antaka
dan Sapara tergoyah hatinya. Lupalah kedua orang itu bahwa
mereka sebenarnya hanya sebagai utusan. Tetapi bila Antaka
dan Sapara mengandung hati birahi terhadap Sindura,
memang hal itu wajar. Keduanya menghabiskan masa mudanya dalam kancah
perjuangan. Mereka hampir tak sempat memikirkan wanita.
Dan sesungguhnya selama ini belum pernah mereka melihat
seorang wanita secantik Rara Sindura.
Demikian karena terjadi peristiwa yang ditimbulkan Rara
Sindura itu, maka mulailah meretak jurang pemisah dalam hati
kedua orang Wukir Polaman itu. Curiga, cemburu dan geram
mulai bersemi dalam hati keduanya.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibit itu cepat akan permusuhan. tumbuh dan berbuah dendam "Sapara, sudahkah engkau mandikan kedua kuda itu" tegur
Antaka ketika melihat Sapara muncul dengan menuntun kedua
ekor kuda putih dan hitam.
"Ya" sahut Sapara singkat seraya melirik kearah Sindura.
Wanita itu duduk tak berapa jauh di hadapan Antaka.
"Baik, mari kita berangkat" kata Antaka seraya bangun lalu
ulurkan tangan untuk menolong Sindura. Tetapi si cantik
beringsut mundur dan berbangkit sendiri.
"Kakang, kulihat kuda kakang itu sudah lebih payah dari
kudaku" tiba2 Sapara berkata sambil mempersiapkan perakit
kuda hitamnya. "Lalu maksudmu?" tanya Antaka.
"Kuda adalah kawan kita yang setya. Banyaklah bantuan
dan jasa kedua binatang itu kepada kita. Dan kita sebagai
tuannya, haruslah dapat menghargai binatang itu"
"Lalu bagaimana?" Antaka menyelutuk.
"Hendaknya janganlah kita manusia tak kenal budi dan tak
tahu kasihan pada binatang yang telah membantu kita"
"Eh, Sapara, apakah yang engkau ocehkan itu" Siapa yang
engkau maksudkan harus tahu budi dan kasihan itu?" karena
mengkal Antaka menegur. "Begini kakang" kata Sapara tenang2 "karena jelas kuda
putih kakang itu sudah payah semalam suntuk membawa
beban dua orang, maka sekarang baiklah kuda kakang itu
diberi kelonggaran" "Jadi?" "Nini Sindura biar naik kuda hitam ..."
"Dengan engkau?"
"Ya, sudah tentu. Karena kuda hitam itu milikku dan
keadaannya belum sepayah kuda putih punya kakang itu"
sahut Sapara. "Mengapa bukan aku saja yang naik bersama Sindura di
punggung kudamu itu?"
"Mengapa harus kakang" Apakah salahnya kalau nini
Sindura naik bersama aku?" balas Sapara.
"Ho, engkau hendak berbuat tak senonoh terhadap
Sindura?" Antaka membelalakkan mata. Wajahnya mulai
memberingas. "Mengapa kakang mengatakan begitu" Jika demikian
kakangpun juga berbuat tak senonoh kepadanya"
"Sapara!" bentak Antaka keras "akulah yang menerima
tugas utama untuk menyelamatkan Sindura dan engkau hanya
sebagai pembantuku. Mengapa engkau berani bicara tak patut
kepadaku?" "Kakang, dalam melaksanakan tugas ini, tanggung jawab
bukanlah semata-mata pada dirimu sendiri. Walaupun aku
hanya sebagsi pembantu tetapi juga tak luput dari beban
pertanggungan jawab. Apakah kalau misalnya kita tertangkap
oleh prajurit pura keraton Majapahit, hanya engkau sendiri
yang dibunuh dan aku dibebaskan" Dan kalau berhasil, apakah
engkau sendiri yang diberi balas jasa dan aku hanya disuruh
menggigit jari" Tentu tidak, bukan" Memang sebagai petugas
utama, jasamu lebih besar dan anugerah balasnyapun tentu
lebih besar. Tetapi akupun juga tentu mendapat penghargaan
dari pimpinan kita. Oleh kaitmu itu, walaupun sebagai
pembantu, tetapi akupun berhak untuk bicara dan
bertindakdemi kelangsungan tugas kita" laksana hujan
mencurah maka berderai-derai lah kata2 meluncur dari mulut
Sapara. "Aku bukan anak kecil, Sapara. Dan sebagai orang yang
lebih tua, kiranya aku tak membutuhkan petuahmu. Jelas ada
'udang di balik batu' dalam tawaranmu tadi. Tetapi aku tetap
pada keputusanku. Biarlah Sindura naik bersamaku di atas
kuda putih. A ndai kuda pulih itu sampai tak kuat jalan, biarlah
kita jalan kaki saja"
"Jadi kakang tak kasihan pada kuda putih dan tak
mempercayai pada diriku !" Sapara menegas.
"Ini" perintahku, Sapara. Aku pemimpinrnu !" Antaka
menghardik keras. "Kakang Antaka" balas Sapara "titik tolak rasa perindahanku
kepada kakang sebagai pemimpin itu terletak pada cara dan
tindakan kakang dalam melakukan kepemimpinan. Sekali-kali
bukan karena diri peribadi kakang!"
"Engkau hendak membantah?" Antaka menegas.
"Bukan membantah hanya menyampaikan isi hatiku.
Selama kakang bersikap dan bertindak jujur sebagai
pemimpin, aku tentu akan mentaati. Tetapi apabila kakang
menyeleweng, marilah kita bicara lain lagi. Kakang adalah
putera paman Pencok Sahang dan aku putera Liking
Kangkung. Ayah kita berdua adalah tamtama2 utama dari
kerajaan Daha. Perang sudah menjadi latihan kita, darah
menjadi keringat kita dan kematian menjadi pengantar tidur
kita ke alam Swargaloka. Antaka atau Sapara yang akan
beristirahat ke alam kelanggengan nanti ...."
"Ho, engkau kemarahan. menantang Sapara?" Antaka melantang
"Ah, mengapa kalian ramai2 bersitegang leher seperti
hendak berkelahi?" tiba2 Sindura menyela "mengapa diriku
pula yang menjadi pangkal perselisihan?"
"Ho, aku tidak berkelahi tetapi Saparalah yang mencari
gara-gara" kata Antaka.
"Bukan nini, aku hanya menuntut keadilan" seru Sapara
membela diri. Rara Sindura tertawa mengejek "Ih, keadilan" Adakah
kalian orang2 Daha itu masih mau bicara soal Keadilan?"
"Hai, siapakah yang mengatakan kami ini orang Daha ?"
teriak Antaka seketika. Dalam detik-detik tenggelam di dalam lautan asmaranya
kepada Rara Sindura, ternyata Antaka masih memiliki sepercik
kesadaran. Bahwa sifat dan rahasia himpunan Wukir Polaman
itu harus dipegang teguh. Ia terkejut karena Sindura
mengetahui keadaan dirinya.
Mendengar pertanyaan itu berdebarlah hati Sapara Ia tahu
kalau tadi telah kelepasan bicara. Dan iapun menyadari apa
hukuman bagi anggauta Wukir Polaman yang membocorkan
rahasia. Potong lidah, demikian hukuman yang berlaku.
Dengan cemas2 harap ia memandang ke arah Sindura,
mudah-mudahan wanita itu tak mengatakan tentang dirinya.
Sindura tampak tenang2 menjawab "Kakang, bukan soal
siapa yang mengatakan andika berdua ini orang Daha. Karena
selama dalam keraton Majapahit, aku sudah mendengar hal
itu. Tetapi yang penting yalah, soal Keadilan tadi. Adakah
andika berdua ini masih menjunjung Keadilan ?"
"Justeru karena hendak menuntut Keadilan kepada kerajaan
Majapahit, maka kami rela mengabdikan diri pada perjuangan
ini" sahut Antaka. "Itu hanya Keadilan sekelumit saja. Kawan-kawan andika
hendak menuntut Keadilan kepada raja Majapahit karena raja
itu tak kenal budi kebaikan prabu Daha. Tetapi bagaimanakah
tindakan kerajaan Daha terhadap kerajaan Singosari yang
dilenyapkan itu " Bukankah raja Singosari juga dibunuh oleh
pasukan Daha " Mengapa Daha sakit hati kepada raden Wijaya
karena raden Wijaya membalas dendam atas kehancuran
kerajaan Singosari " Bukankah raden Wijaya itu putera
menantu dari baginda Kenanagara ?"
Rara Sindura. berhenti sejenak lalu melanjutkan pula
"Keadilan itu memang ada. Tetapi sudah lama sekali hal itu
dilempar ke samping oleh makhluk mayapada ini. Keadilan itu
hanya dipunyai oleh harimau siraja hutan karena gagah
perkasa. Tetapi dapatkah kambing dan kelinci melolong lolong
Keadilan ?" Baik Antaka maupun Sapara terlongong mendengar kata2
itu. Tak pernah mereka menyangka bahwa Sindura mampu
menguraikan masalah yang tak pernah menemukan
pemecahan yang layak. "Demikian dengan andika berdua. Keadilan yang andika
kehendaki itu hanya hiasan bibir. Hanya untuk mengulas
keinginan dalam hati andika masing2 ...."
"Tidak nini, aku memang menghendaki Keadilan yang
sesungguhnya" seru Sapara.
"Dan engkau tentu demikian juga, bukan ?" Sindura
berpaling memandang Antaka.
Antaka hanya mendesuh angguk.
"Kalau andika benar2 hendak menjunjung Keadilan,
tentulah takkan keberatan atas keputusanku ini" kata Sindura
lebih lanjut. "Katakanlah" seru Antaka.
"Kakang Antaka dan Sapara berdua naik kuda hitam dan
kuda putih yang menurut kakang Sapara sudah letih itu akulah
yang menaiki seorang diri"
Antaka terkejut dan hendak menyanggah tetapi secepat itu
Sapara sudah mendahului menyetujui. Apa boleh buat, karena
malu hati terpaksa Antakapun setuju. Dengan demikian,
berkat ketajaman lidah dan kewibawaan kecantikannya,
dapatlah Sindura terlepas dari gangguan kedua orang Wukir
Polaman itu. Sekalipun hal itu bukan berarti sudah bebas dari
bahaya, namun untuk sementara waktu dapatlah ia
menghindarkan diri. Lebih kurang sepengunyah sirih lamanya berkuda, masih
belum juga mereka melihat suatu desa. Bahkan saat itu
mereka akan"melintasi lagi sebuah hutan yang lebih besar dari
yang tadi. Tiba2 timbullah sekilas gagasan dalam benak Sindura.
Bukankah saat itu ia berkuda seorang diri " Bukankah ia bebas
untuk mencongklangkan kuda itu " Mengapa ia tak berusaha
untuk menyelinap ke dalam hutan dan melarikan diri "
Benak Sindura melingkar-lingkar, mengitari kabut keraguan,
melintas segumpal awan ketakutan dan menembus cakra
penerangan. Ia merasa dirinya sel.d u menjadi permainan
nasib buruk. Mengapa ia tak berusaha untuk merobah nasib
itu " Dan mulailah ia mendapat kesadaran bahwa hanya
dirinyalah yang dapat merobah nasibnya itu.
Setelah mantap dengan keputusan hatinya, maka
dipacunyalah perut kuda pulih itu. Rupanya binatang itu
terlatih baik. Ia cepat dapat mengerti apa yang dikehendaki
penunggangnya. Seketika mencongklanglah kuda itu dengan
pesat menyusup ke dalam hutan.
"Hai, tunggu !" teriak Antaka. Ia duduk di muka Sapara
"cepat Sapara, kejarlah Sindura!"
"Ia hendak melarikan diri ?" tanya Sapara sambil memacu
kuda hitam. "Mungkin tidak!" balas Sapara.
"Eh, mengapa ?"
"Mungkin kuda putih itu tiba2 binal dan ia tak kuasa
mengendalikan lagi" "Oh, lekas cepatkan kudamu ini. Kita harus cepat
menolongnya sebelum terjadi sesuatu yang tak diharap"
Antaka cemas. "Jatuh ?" "Ya, atau tersesat kelain tempat" jawab Antaka.
Kuda hitam dipacu kencang. Tetapi beberapa saat
memasuki hutan, tetap mereka tak melihat bayangan Sindura.
Antaka makin gelisah. Ia merasa kuda hitam itu terlalu lambat
larinya. Ah, mungkin karena membawa dua orang, pikirnya.
Segera ia sendiri suruh Sapara turun agar ia sendiri yang naik
kuda hitam itu. Dengan demikian tentulah ia dapat mengejar
Sindura. Tetapi baru ia hendak membuka mulut, sekonyongkonyong ia teringat, menilik sikap Sapara dalam perbantahan
tadi, tentulah Sapara akan menolak perintah seperti itu.
"Berbahaya" gumam Antaka dalam hati "Sapara keras
kepala dan tak mudah diberi penjelasan. Rupanya pikirannya
sudah gelap dipudar asmara. Tetapi kalau Sindura sampai
lolos, celakalah aku. Aku tentu akan dihukum oleh sesepuh
Wukir Polaman yang amat bengis memegang peraturan
himpunan" Karena gelisah, timbullah kenekadan dalam hati Antaka.
Soal Sapara, dapat dibereskan kemudian. Yang penting saat
itu, ia harus dapat mengejar Sindura. Maka setelah
dipertimbangkan masak, ia segera menetapkan keputusan.
Pada saat itu kuda masih berlari. Antaka mulai mencari
kesempatan. Tiba2 ia melihat sebatang pohon besar rubuh
melintang di sebelah muka. Seketika timbullah pikirannya.
Ketika Sapara hendak membilukkan kuda mengitari rintangan
pohon itu, cepat Antaka berseru "Jangan, Sapara, terus lurus
ke muka saja. Sindura menuju ke sana!"
Sambil berkata Antakapun merebut tali kendali dari tangan
Sapara lalu menggentakkannya. Kuda hitam terkejut dan
melesat lari ke muka. Ketika kuda itu loncat melampaui batang
pohon, Antaka tak mau mensia-siakan kesempatan. Apabila
kuda melompat tinggi, tentulah kedua kaki mukanya yang
lebih dulu menjulang ke atas. Dan karena kaki kuda hitam itu
melonjak ke atas, tubuh Antaka dan Sapara menukik ke
belakang. Pada saat melorot ke belakang itulah Antaka menyerempaki dengan mendorong tubuhnya dengan keras. Setelah tali kendali direbut Antaka, Sapara terpaksa kehilangan pegangan. Maka tatkala tiba2 Antaka membenturkan
tubuhnya, Sapara benar2 kehilangan keseimbangan diri. Seperti didorong

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekuatnya, Saparapun terpelanting jatuh ke belakang. Bluk .... ia terbanting ke dalam gerumbul onak ....
Antaka memacu kudanya sepesat anakpanah lepas dari
busur. Tak dihiraukannya lagi Sapara yang jatuh itu. Yang
penting ia harus dapat mengejar Sindura atau ia tentu
mendapat hukuman berat dari himpunan Wukir Polaman.
Tak berapa lama setelah melintas sebuah hutan, di sebelah
muka tampak sebuah gerumbul pohon, suatu ciri dari
kelompok pedesaan. Setelah tiba di tempat itu, memang
terasalah suasananya sebuah desa. Tetapi tiada rumah, tiada
manusia. Sebuah desa yang tinggal bekas. Mungkin pada
belasan tahun yang lampau, dilanda oleh bencana alam. Satusatunya bangunan yalah sebuah candi rusak berpagar
gerumbul pohon dan semak2 liar.
Antaka melanjutkan pengejarannya. Setelah ke luar dari
hutan kecil itu, cepat pandang matanya terkait pada seekor
kuda putih yang tengah makan rumput di tepi jalan. Ah, itulah
kuda putih yang membawa Sindura lari.
Cepat ia larikan kuda menghampiri "Hai, Sindura, mengapa
engkau ...." teriaknya kaget ketika melihat sesosok tubuh
wanita tertelentang tak bergerak beberapa belas langkah dari
kuda putih. Laksana burung alap-alap, Antaka loncat melayang dari
kuda dan tiba di dekat Sindura. Dengan sebuah gerak
loncatan, iapun melayang ke tempat si jelita dan terus
menubruk tubuh wanita itu
"Sindura, mengapa engkau....." digolek-golekkannya tubuh
Sindura tetapi Sindura tetap tak sadarkan diri. Rupanya ia
pingsan. Antaka tampak gugup dan bingung. Tak tahu bagaimana ia
harus memberi pertolongan. Tiba2 ia teringat akan candi tua
dalam hutan kecil. Segera dipondongnya tubuh Sindura lalu
dibawanya ke candi itu. Candi itu mempunyai ruang yang cukup besar dan
walaupun keadaannya sudah rusak tetapi lantainya masih
bersih. Diletakkannya tubuh Sindura ke lantai lalu pergilah ia
mencari air. Ternyata di belakang hutan terdapat sebuah
sungai kecil yang jernih airnya.
"Ah, engkau kakang Antaka ...." demi dibasuh dan diminumi
air dingin, maka Sindurapun dapat tersadar. Tetapi katakatanya itu terputus seketika "aduh, kakiku ...." ia tak jadi
menggeliat bangun dan mendekap kakinya.
"Kenapa Sindura?" cepat Antaka memegang kaki Sindura
dan memeriksa. Ternyata mata kakinya lecet dan berdarah
"Mengapa ini" Engkau jatuh?"
"Ya, dilempar kuda putih sekeras-kerasnya" sahut Sindura
"pada waktu aku naik, bermula kuda itu penurut sekali. Tetapi
entah bagaimana tiba2 saja dia binal dan lari kencang2. Aku
tak kuasa mengendalikannya lagi maka kupegang tali kendali
erat2 supaya jangan jatuh, aduh ...." ia menekan
pinggangnya. "Mengapa Sindura ?" Antaka makin gugup.
"Ah, pinggangku serasa patah.....kuda itu terlampau keras
sekali melempar diriku ...."
"Bagaimana kuda itu dapat melemparkan engkau?" tanya
Antaka meminta keterangan.
Sindura tak cepat menjawab. Ia menunggu setelah rasa
sakit pada pinggangnya mengendap barulah ia membuka
mulut "Entah bagaimana, kuda putih itu lari seperti dikejar
setan. Tiba di tanah datar tadi, sekonyong-konyong kuda itu
berhenti dengan serentak. Karena amat mendadak sekali,
tubuhku seperti diayun keras dan terlemparlah aku jatuh ke
tanah. Aku tak ingat diri lagi. Tahu2 begitu membuka mata
aku sudah berada dalam candi ini"
"Jadi engkau tak bermaksud melarikan diri?" Antaka
menegas. "Sama sekali tidak! Karena bagaimana mungkin aku
seorang wanita lemah yang tak kenal jalan, berani mencoba
melarikan diri?" Karena rencananya gagal maka Sindura mencari alasan
untuk menyelimuti kesalahannya. Dan ternyata Antakapun
cepat mau menerima alasan itu. Tetapi sesungguhnya
penerimaan alasan itu lebih banyak dipengaruhi peribadi si
jelita yang memiliki tatapan mata berkuasa, daripada
kenyataan peristiwanya. Demikianlah sifat kaum lelaki yang sedang dirundung
asmara. Emas dikata loyang, loyang dianggap emas.
"Mana kakang Sapara" Mengapa dia tak ikut menyertai
engkau?" tiba Sindura bertanya.
Antaka tampak gelagapan menghadapi pertanyaan itu.
Sahutnya tersekat "Anu . . . karena kuda loncat melampaui
sebatang pohon yang melintang di tengah jalan, Sapara
terlempar jatuh dan kutinggalkan di belakang"
"Mengapa tak engkau tolong?"
"Ah, bagiku engkau jauh lebih penting dari dia" kata A ntaka
dengan menyertakan senyum rayu "aku masih belum jelas,
mengapa kuda putih itu berhenti dengan mendadak?"
"Rupanya kuda putih itu lapar sekali. Mungkin sudah sehari
semalam dia tak makan. Maka begitu melihat rumput ditepi
jalan, ia terus berhenti"
"Hm" Antaka mengangguk-angguk. Diam2 ia membenarkan
keterangan Sapara yang mengatakan bahwa kuda putih itu
sudah letih dan lapar. Teringat akan lapar, cepat Antaka
menyadari keadaan Sindura. Ya, wanita cantik itu tentu lapar
juga "Sindura, mari kita lanjutkan perjalanan. Kita nanti
singgah disebuah pedesaan untuk membeli makanan" katanya
serentak. "Ah, pinggang dan mata kakiku masih sakit. Jangankan
untuk berjalan, bergerak sajapun tulang hendak lepas dari
ruasnya. Aku benar2 tak dapat melanjutkan perjalanan hari
ini. Biarlah aku beristirahat dulu barang sehari disini. Besok
pagi2 kita berangkat"
Antaka tak berani dan hendak memaksa. Ia tahu wanita
cantik itu tentu merasa sakit dilempar kuda. Menunda sehari,
tiada halangan. Saat itu iapun teringat bahwa Sindura tentu
lapar sekali. Katanya "Sindura, tentu engkau lapar. Aku
hendak mencari makanan di sebuah desa yang terdekat di
sekitar tempat ini" "Lama?" "Ah, tidak. Selekas mendapat makanan, tentu cepat2 aku
kembali ke sini. Gandi ini kosong, jangan takut"
Setelah Antaka pergi herbangkitlah Sindura. Ia tersenyum
seorang diri "Hm, sesungguhnya luka yang kuderita ini, tidak
parah. Aku masih dapat berjalan walaupun agak sarat. Tetapi
aku memang sengaja mencari akal untuk menghambat
perjalanan ini. Mudah-mudahan akan muncul pertolongan
yang tak terduga-duga ...."
Saat itu pagi hari. Tetapi keadaan di dalam dan di luar candi
sunyi senyap bagai sebuah pekuburan. Sindura termenungmenung seorang diri. Tiba2 memerciklah sekilas cahaya pada
benaknya. Segera ia melangkah keluar. Maksudnya hendak
menaiki kuda putih meninggalkan Antaka.
Tetapi alangkah kejut dan kecewanya ketika tak melihat
kuda putih itu "Hm, tentulah kuda itu dibawa Antaka; Dia
tentu menaruh kecurigaan bahwa aku akan meloloskan diri
dengan kuda putih itu...."
Terpaksa ia kembali masuk ke dalam candi dan duduk
bersila di lantai. Ia berusaha untuk menenangkan pikiran,
memohon doa. Tiba2 ia mendengar suara helaan napas.
Walaupun suara itu selembut angin berhembus namun karena
suasana amat sunyi, dapatlah ia menangkapnya. Dilontarkan
pandang matanya menjelajahi segenap penjuru candi. Ia
lepaskan perhatiannya dan mulai mengheningkan cipta pula.
Pengheningan cipta itu diakhiri dengan helaan napas "Ah, apa
dayaku .... ." Tepat pada saat ia mengakhiri ucapan kepaserahan asa itu,
terdengarlah suara orang menghela napas pelahan sekali. Kali
ini ia benar-benar terkejut. Jelas yang menghela napas itu
bukan dia. Ia tak merasa menghela napas lagi. Kesunyian yang lelap
sering menimbulkan pengadaan khayal. Dan meremanglah
buluroma Sindura. Sejak kecil ia sudah diisi pengertian bahwa
candi itu sebuah tempat yang keramat. Patung dan arca para
dewa yang dipuja di situ mempunyai tuah kesaktian. Demikian
ajaran ayah bunda, demikian pula pitutur para orang2 tua
dalam desanya. Kesan2 yang membenam dalam lubuk pikiran
Sindura itu, cepat menguap dalam gumpalan kabut khayat
bahwa candi tua itu tentu keramat dan bahwa patung2 dan
arca2 yang sudah rusak itupun tetap bertuah. Mereka tentu
mengetahui ratapan kalbu penderitaannya.
Sindura keliarkan pandang mata menelusur dinding demi
dinding. Tetapi ia tak berhasil bersua dengan sesuatu yang
dapat melandaskan khayalannya itu. Gandi itu benar2 kosong,
tiada patung dan arca, tiada brahmana dan pendeta. Tetapi
siapakah gerangan yang menghela napas tadi" Apakah ia
salah dengar, angin berhembus disangkanya helaan napas
orang" Ah, mungkin, mungkin ....
Ia menganjurkan diri supaya tak memikirkan soal itu lagi.
Tetapi baru beberapa saat perhatiannya terlena, tiba2
terdengar pula sebuah helaan napas. Bahkan kali ini lebih
jelas. "Tak mungkin hembusan angin", pikir Sindura.
Serentak ia berbangkit menghampiri arah suara itu. Ia
melangkah kebagian ruang dalam. Tetapi pun tak melihat
suatu apa. Keheranan mulai menyerbak. Tengkuk mulai
dirayapi denyut2 kesemutan. Benakpun bertebaran khayal,
membayangkan wajah2 ngeri dari setan dan iblis dalam
bermacam bentuk yang seram. Akhirnya ketika tebaran khayal
itu menggumpal dalam bentuk bayangan Batara Kala yang
menyeramkan, meledaklah nyali Sindura pecah berhamburan.
Ia lari . . . . Tiba diambang pintu candi, tiba-tiba ia teringat akan ajaran
gurunya. Bahwa apabila dirinya dirundung rasa ketakutan dan
kebingungan, ia harus lekas bersamadhi mengucapkan'
mantra penyirapan. Segera iapun melaksanakan ajaran itu.
Tiba2 terdengar bunyi lantai berderak-derak. Ia terkejut
dan membuka mata. Amboi .... membelalaklah mata Sindura.
Keringat dingin bersimbah deras. Ingin ia menjerit tetapi
lidahnya terasa kaku. Sepetak lantai di sudut dinding candi,
menjungkat ke atas didorong sebuah tangan manusia dan
terbukalah sebuah lubang. Pada lain saat, menyembullah
sesosok tubuh. Seorang manusia yang jangkung. Muka
tertutup oleh segumpal rambut putih. Kelopak matanya
cekung sehingga kedua bola matanya yang besar tampak
menonjol keluar. Pipi kempot sehingga geraham giginya
berlomba-lomba menjulang keluar.
Seketika terbanglah semangat Sindura melihat perwujudan
orang itu. Seorang kakek tua yang bertubuh tinggi kurus. Ia
kerahkan seluruh tenaga hendak berbangku "Jangan takut,
anak perempuan. Aku bangsa manusia seperti dirimu....."
tiba2 terdengar orang aneh itu berseru. Nadanya kering parau.
"Si ... . apa . . . engkau . . . . ?" seru Sindura.
"Aku Jangkung Angilo, pengawal raja Jayakatwang ...."
"Raja Jayakatwang dari kerajaan Daha itu ?" Sindura
mengulang heran. "Benar" "Bukankah raja Jayakatwang sudah meninggal " Mengapa
kakek berada di sini ?"
Kakek itu menghela napas "Ah, panjang sekali kalau
kuceritakan. Apabila engkau ingin mendengarkan, marilah
masuk ke dalam tempat persembunyianku"
"Di bawah lantai itu ?" Sindura menunjuk ke sudut ruang.
Walaupun tahu kalau kakek tadi keluar dari lubang lantai di
tempat itu, namun ia masih menginginkan penegasan.
Kakek itu mengangguk "Ya, aman dan tak diketahui orang.
Tetapi kalau engkau takut, akupun tak memaksa. Hanya
maukah engkau menolong aku?"
Sindura terkesiap. Bagaimana mungkin seorang gadis
selemah dirinya mampu menolong kakek aneh itu. Bukankah
dirinya sendiri sedang terancam bahaya" Namun ingin juga ia
mengetahui apa pertolongan yang dikehendaki kakek itu. Ia
merasa senang sekali apabila dapat membantunya
"Pertolongan apakah yang kakek kehendaki dari aku" Apabila
dapat, tentu senang sekali hatiku"
"Sederhana sekali, engkau tentu dapat melakukannya" kata
kakek aneh itu "yalah supaya jangan sekali2 engkau katakan
tentang tempat ini dan diriku kepada siapapun juga ...."
"Mengapa?" gairah Sindura makin melonjak.
"Aku tak ingin diriku diketahui oleh orang. Bagi mereka
Jangkung A ngilo sudah mati. Dan itu jauh lebih baik dari pada
mereka tahu kalau aku masih hidup"
Sindura mendapat kesan bahwa kakek itu bukan seorang
manusia tanpa riwayat. Tentu seorang yang memendam
rahasia besar. Kemungkinan tentu rahasia sejarah kehidupan
yang berhias derita. Tak mungkin mempunyai maksud hendak
mencelakai dirinya "Kakek, aku bersedia ikut ke tempat
kediamanmu" katanya kemudian.
"O, engkau tak takut" Marilah" kakek itu membuka lantai
penutup dan terbukalah sebuah lubang yang cukup besar
untuk tubuh seorang. Setelah masuk maka lantaipun
dikatupkan pula. Mereka menuruni sebuah titian batu sebanyak duabelas
tingkat dan tiba di dasar tanah. Setelah berjalan beberapa
langkah, mereka memasuki sebuah ruang yang cukup besar.
Ruang itu bersih, terang dan silir. Ada pula batu berbentuk
pesegi panjang seperti meja dan dua keping batu untuk
tempat duduk serta sebuah batu panjang beralas rumput
kering. "Penerangan dan hawa silir dalam ruang sini berasal dari
lubang itu" kakek Jangkung Angilo menunjuk sebuah lubang
besar di dekatnya "lubang ini merupakan sebuah terowongan
di bawah tanah yang menembus kesebuah sungai. Melalui
lubang itulah aku keluar masuk mencari air dan makanan"
Sindura mengangguk menetap disini?" "Sudah berapa lamakah kakek Kakek itu tak menjawab melainkan meliuk-liuk jarinya


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti orang menghitung "Baginda Jayakatwang naik tahta pada tahun candra
sengkala ULAR-MUKA-DARA-TUNGGAL atau tahun Saka 1198.
Baginda memerintah Daha selama dua puluh tahun baru
berhasil membalas pada kerajaan Singosari. Tetapi dua tahun
kemudian, baginda dikhianati oleh raden Wijaya yang
membawa tentara Tartar, menyerang Daha. Akhirnya baginda
tertangkap dan dipenjarakan di Ujung Galuh. Beberapa tahun
kemudian baginda wafat. Ya, sejak baginda Jayakatwang
wafat itulah aku segera kembali ke Daha, tetapi mereka
curang dan hendak mencelakai aku. Oleh karesa itu aku
segera melarikan diri dan sembunyi di sini..."
Sindura terlongong. Ia tak tahu kemana arah tujuan kata2
kakek yang menyebut dirinya sebagai Jangkung Angilo itu
"Kakek Jangkung, aku tak mengerti apa yang kakek
maksudkan. Aku ingin mengetahui, berapa lamakah kakek
tinggal di sini?" Rupanya kakek Jangkung Angilo itu menyadari bahwa
dirinya melantur maka cepat ia menjawab "Ya, lebih kurang
dua puluh tahun" "Mengapa kakek bersembunyi disini" Adakah kakek tinggal
seorang diri saja?" "Uh" kakek Jangkung Angilo mendesuh "jangan terburuburu menghujani pertanyaan dulu, anak perempuan. Makan
dan minumlah dulu, engkau tentu lapar"
Mendapat tawaran makan, seketika bangkitlah rasa lapar
dan dahaga Sindura. Memang hampir sehari semalam ia tak
makan. Tetapi apa yang dihidangkan kakek itu, benar2
membuatnya terlongong-longong. Kakek itu memberikan
sebuah inangkok kecil terbuat daripada batu. Isinya hanya dua
butir benda berwarna hitam sebesar biji buah ceremai. Dan
sebuah kendi batu. "Makanlah" kata kakek itu. Sindura terbelalak memandang
kakek itu dengan pandang keheranan.
"Ya" sahut Jangkung Angilo "engkau tentu heran. Memang
hidangan yang kumakan bukanlah seperti kebanyakan orang,
melainkan suatu ramuan dari sari jelai dan palapa. Ramuan itu
warisan nenek moyangku. Pernah baginda Jayakatwang
menitahkan aku membuat ramuan itu sebanyak-banyaknya
untuk ransum prajurit2 Daha di medan porang. Mungkin
engkau kurang percaya. Cobalah buktikan sendiri. Mungkin
dua butir itu sudah terlalu kekenyangan bagimu"
Walaupun setengah meragu namun Sindura sudah menaruh
kepercayaan kepada kakek itu. Iapun menelannya sebutir lalu
meminum air kendi. Tak selang berapa lama, rasa laparnya
makin hilang. Kakek itu memberinya sebungkus ramuan
makanan kering itu kepada Sindura "Mungkin dapat berguna
padamu apabila engkau keputusan makanan dijalan "
Selesai makan maka kakek itupun mulai bercerita
"Sesungguhnya aku ini, Jangkung Angilo, adalah salah
seorang mentri dari kerajaan Daha. Akulah bersama Sagara
Winotan yang diutus baginda Jayakatwang untuk menjemput
raden Wijaya ke Jung Biru. Dalam peperangan melawan
serangan tentara Tartar, aku selalu mendampingi baginda.
Kala itu banyak sudah mentri dan senopati Daha yang gugur.
Sedianya aku hendak mengamuk tetapi baginda mencegah.
Demi untuk mennyelamatkan jiwa beribu prajurit Daha,
baginda rela menyerah. Terpaksa aku menyertai baginda
dibawa ke penjara Jung Biru ...."
Kakek Jangkung Angilo berhenti sejenak untuk mengenangkan kembali peristiwa pada duapuluh tahun yang
lalu. Pada lain saat ia melanjutkan pula
"Selama dalam penjara, baginda telah menulis kakawin
Wukir Polaman. yang berisi sejarah kerajaan Daha dan cita2
baginda. Setelah selesai, tak lama kemudian bagindapun
menutup mata. Tetapi sebelum wafat, baginda sempat
memberi pesan kepadaku, agar aku berusaha meloloskan diri
dari penjara dan membawa kakawin Wukir Polaman itu kepada
rakyat Daha. Baginda seorang yogiswara yang putus akan ilmu
yoga. Selama melayani baginda dalam penjara itu, baginda
telah memberikan ilmu pelajaran yang dalam tentang agama
Buddha serta tujuh tingkat ilmu Samadhi, yani Jambhala
samadhi, Wagiswara samadhi, Lokeswara samadhi, Bayrasatwa samadhi, Mahamunicintaniani samadhi, Swetaketu
samadhi dan Kumaranirbhana samadhi. Walaupun aku
mengetahui tentang ketujuh jenis samadhi itu namun apa
yang diajarkan oleh baginda itu, benar2 telah menyempurnakan pengertianku tentang intisari dan kegunaan
samadhi itu. Aku diperintahkan untuk menjalankan Jambhala
samadhi yaitu menutup nafas sampai beberapa jam.
Sebelumnya, berkat petunjuk dan latihan2 yang diberikan
baginda, aku berhasil mencapai tataran dapat menutup nafas
sampai sehari semalam ...."
"Untuk apakah kakek menggunakan Jambhala samadhi
menutup napas itu?" tanya Sindura.
"Untuk menyiasati para penjaga penjara agar mereka
mengira aku sudah mati dan tentu dibawa keluar dan dikubur
di hutan" "O" desuh Sindura.
"Memang dengan siasat itu penjaga penjara segera
mengeluarkan aku dari penjara, lalu dibawa dan dibuang ke
laut. Setelah mereka pergi, akupun berenang kedaratan lalu
menuju ke Daha" Jangkung Angilo menghela napas
"Ah, tetapi mereka tak mau mengindahkan pesan baginda.
Mereka menafsirkan salah isi dari kakawin Wukir Polaman itu.
Dalam kakawin itu, baginda jelas menulis begini:
Tustha ngwangahyun walesing winehan
Apan prabhawe salesing paweweh.
Wruh nistha yan tan winales pawehnya
Candala karma pihutang paweweh.
"Ah, aku tak tahu maksudnya, kakek" keluh Sindura yang
mengira kakek itu mengingau.
"Eh, anak perempuan. Itulah ajaran kebatinan tinggi
mengenai amal dana. Cobalah engkau dengarkan artinya:
Hinalah orang pemberiannya yang berkehendak balasan dari Karena perbuatannya itu ditekankan kepada balasan dari
pemberiannya itu Tahu hina orang bila tidak terbalas pemberiannya
Perbuatan orang hina yang berhutang pemberian.
Jika kita memberi dana atau memberi pertolongan,
janganlah disertai pamrih akan mengharap balas dan
janganlah membeda bedakan siapa yang akan kita beri dana
atau pertolongan itu"
Sindura tercengang-cengang. Mulai timbul pikirannya untuk
menduga duga adakah kakek itu seorang yang masih waras
pikirannya. Maka bertanyalah ia "Kakek, apakah hubungan
falsafah itu dengan kedatanganmu di Daha?"
"Disitulah titik tolak perbedaan pendapat kita. Dan
perbedaan pendapat itulah yang menimbulkan kekecewaan
hatiku sehingga aku lari menyembunyikan diri di bawah candi
ini" kata Jangkung A ngilo.
Sindura terlongong. Ia benar2 mendengar tetapi tak
mengerti. Rupanya hal itu diketahui kakek Jangkung. Maka
berkatalah kakek itu "Mereka menafsirkan kata2 candala karma pihutang
paweweh' atau perbuatan orang hina yang berhutang
pemberian, sebagai pesan rahasia dari baginda Jayakatwang
supaya rakyat Daha jangan mau berhutang pemberian pada
Majapahit. Mereka merasa hina kalau berhutang pemberian
pada kerajaan Majapahit. Oleh karena itu mereka akan
menghapus pemberian itu ... ."
"Kakek, siapakah yang engkau maksudkan dengan mereka
itu" Dan apakah yang dimaksud dengan 'pemberian' itu?"
karena tak tahan lagi maka Sindura menyelutuk pertanyaan.
"Ah, aku lupa menerangkan kepadamu, anak perempuan.
Ketika aku tiba ke Daha aku mengumpulkan dan mengadakan
pertemuan dengan sisa2 narapraja dan senopati Daha yang
masih hidup. Tetapi kebanyakan mereka telah tiada, kalau
tidak gugur dalam pertempuran melawan pasukan Tartar, pun
meninggal karena usianya. Satu-satunya senopati yang masih
hidup dan menyamar sebagai petani yalah ki Bango Dolog.
Yang menghadiri pertemuan itu sebagian besar adalah putera2
dari menteri narapraja dan senopati Daha yang sudah
meninggal dunia. Ternyata walaupun sudah tua, tetapi darah
prajurit dari ki Bango Dolog itu masih meluap-luap. Dialah
yang menafsirkan bahwa pesan baginda Jayakatwang itu berisi
suatu amanat halus agar putera2 Daha bangkit dan menolak
pemberian atau penjajahan Majapahit. Dan serentak pada saat
itu juga mereka telah membentuk himpunan putera2 Daha
yang diberi nama Wukir Polaman dan akan melaksakan
amanat baginda untuk membebaskan Daha dari kekuasaan
Majapahit. Serta mereka lalu meminta harta itu untuk
membasahi perjuangan mereka. Aku terkejut dan hendak
membantah" "Harta apakah itu?" sela Sindura pula.
"Eh, mengapa .... ah, aku lupa menceritakan lagi. Selain
kakawin Wukir Polaman, bagindapun menyerahkan kepadaku
sehelai peta tempat penyimpanan harta kekayaan baginda.
Dengan pesan agar harta kekayaan itu diperuntukkan
membangun tanah Daha dan menolong penderitaan, rakyat
Daha. Jelas baginda mengamanatkan agar dalam memberikan
dana itu jangan membeda-beda golongan dan kasta.
Pokoknya, seluruh kawula Daha harus hidup sejahtera di atas
kaki sendiri, jangan menerima pemberian budi dari Majapahit.
Tetapi Wukir Polaman yang disesepuhi oleh ki Bango Dolog itu
hendak menggunakan harta itu untuk perjuangan melawan
Majapahit. Aku tak berani menghianati amanat baginda dan
dengan alasan hendak mengambil peta itu diieinpat
persembunyiannya, aku tinggalkan mereka dan terus lolos dari
Dalfa. Kutahu mereka tentu marah dan mencari aku. Bila aku
menolak menyerahkan peta itu, tentu mereka akan
membunuhku. Oleh sebab itulah maka aku melarikan diri
kemari dan bersembunyi di bawah candi tua ini"
Kakek Jangkung Angilo mengakhiri ceritanya dengan
menghela napas panjang, penuh berkabut nada penyesalan
dan kekecewaan. Setelah termenung beberapa wakiu, kakek
itu tiba2 meminta Sindura menerangkan asal mula ia tiba di
candi tua itu. Sindurapun segera menuturkan apa yang telah terjadi pada
dirinya selama ini. "O, jadi engkau dibawa oleh dua orang Wukir Polaman?"
seru Jangkung Angilo terkejut.
Sindura mengiakan. "Lalu kemanakah mereka?"
Sindura menuturkan pula semua yang dialami selama dalam
perjalanan dengan Antaka dan Sapara "Sapara jatuh dari
kuda, entah berada dimana. Antaka sedang pergi mencari
makanan" "O, mereka orang Wukir Polaman! Tetapi Antaka .... Sapara
.... ah, siapakah mereka" Rasanya aku tak pernah mendengar
nama itu" seru Jangkung Angilo.
"Mungkin putera2 dari mentri narapraja Daha dahulu "kata
Sindura. "Hm, walaupun aku tak setuju akan gerakan Wukir
Polaman, tetapi akupun tak menentang. Maka aku rela
menyelubungi sisa hidupku dalam kesunyian. Tetapi sayang,
angkatan muda yang tergabung dalam Wukir Polaman itu
tidak mempunyai rasa tanggung jawab yang penuh. Seperti
halnya dengan Antaka dan Sapara itu, mereka telah
melacurkan tugasnya dengan nafsu peribadi. Mudah goncang
iman karena silau akan kecantikan wanita"
Kakek Jangkung Angilo berhenti sejenak lalu melanjutkan
"Lepas dari kedudukan sebagai musuh, tetapi para senopati
dari raden Wijaya dahulu memang mempunyai kesetyaan yang
tulus di samping keperibadian yang beriman teguh. Misalnya
senopati Lembu Sora. Dalam peperangan dengan Daha,
Lembu Sora telah berhadapan dengan patih Kebo Mundarang
dari Daha. Kebo Mundarang kalah dan hendak ditangkap
Lembu Sora. Kebo Mundarang berjanji hendak menyerahkan
anak perempuannya yang cantik asal dia jangan dibunuh.
Tetapi Lembu Sora tak menghiraukannya. Tetapi amboi..
Antaka dan Sapara kedua orang muda itu lekas benar terpikat
oleh kecantikanmu, anak perempuan. Aku sebagai bekas
senopati Daha, merasa malu sekali"
"Ah, bukan salah mereka" sahut Sindura seraya
menundukkan kepala "tetapi memang nasibku yang selalu
dirundung malang. Sejak masih perawan kecil sampai
berangkat dewasa, kemudian menikah dan dibawa ke keraton
Majapahit lalu diculik, diriku selalu menjadi tumpuan selera
kaum pria. Duh, kakek Jangkung, berilah aku suluh
penerangan: apakah yang harus kuperbuat dengan berkah
kesaktian yang kumiliki ini?""
Jangkung Angilo menghela napas "Ah, Sindura, tampaknya
engkau bingung, gelisah dan tak tenterrm. Kesemuanya itu
hanyalah bayang2 dari pikiran dan bathin. Memang pikiran itu
maha binal, makin ditekan makin melonjak. Maka menurut
ajaran Budha, diantara Tri-kaya yaitu Kayakamma atau
tingkah laku, vasi Kamma atau mulut dan kata2, Manokamma
atau pikiran itulah yang terpenting. Sebab segala tingkah laku
yang dilahirkan dengan tenaga dan kata2, berpangkal pada


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiran dan bathin kita. Apabila bathin kita tenang, dapatlah
mengekang segala nafsu yang tidak layak sehingga tingkah
laku itu dapat menuruti kesusilaan dan peri kemanusiaan.
Pada hakekatnya, kehidupan kita manusia ini, berkendaraan
pikiran dan bathin. Untuk mengatasi kericuhan pikiran dan
bathin hendaknya kita mencamkan apa yang disebut Ksanti
Paramita. Yalah pikiran yang tenang seita tahan terhadap
durhaka manusia. Jangan terkejut dan janganlah engkau sakit
hati. Tetapi terimalah kesemuanya itu sebagai keadaan
purwakarma yang engkau dapati. Pun janganlah hendaknya
engkau cepat berobah pikiran atau bathinmu, manakala
engkau mendapat penghinaan atau sanjungan. Demikianlah
yang disebut laku Ksanti paramita"
Jangkung Angilo berhenti sejenak untuk menilik keadaan
Sindura. Wanita jelita itu tampak tertegun diam.
"Dahulu pernah kubaca dalam kitab NITI SASTRA, sebuah
kata2 mutiara yang mengatakan begini! Yan wwanten sira
sang dhaneswara surupa guna dhana kulina yowana. Yan tan
mada maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita
...."Artinya dengan kata2 yang sederhana yalah : Bila ada
orang kaya atau cantik rupanya atau pandai, bangsawan dan
muda belia. Tetapi ia tidak sombong dan congkak maka
layaklah ia disebut maharddhika atau pinandita yang suci
bathinnya" "Sudah jelaskah engkau sekarang, anakku ?" Jangkung
Angilo mengakhiri pituturnya dengan bertanya "Jadi segala
sesuatu peristiwa yang engkau alami, senang susah, suka
duka, tangis tawa, dendam kasih dan baik buruk, semata-mata
tergantung pada cara pikiran atau bathinmu menerimanya"
"Tetapi kakek Jangkung, aku masih belum jelas mengapa
wanita cantik selalu diburu kemalangan nasibnya " Adakah
kecantikan itu sesungguhnya suatu berkah atau kutukan ?"
tanya Sindura, "Anakku Sindura" kata Jangkung Angilo "cantik jelek, kaya
miskin, hina mulia itu sudah karunia Hyang Widdhi. Maka
terimalah karunia itu dengan segenap rasa syukurmu.
Memang pohon itu makin tinggi tentu makin dirangsang oleh
angin. Demikianpun dengan orang cantik, orang berkuasa.
Makin seorang wanita itu memiliki kecantikan yang gilang
gemilang, makin ia dilanda oleh gangguan dan godaan . kaum
pria. Makin seseorang berkuasa, makin ia disorot oleh rakyat
danorangbawahannya. Jadi ke;einaauya itu hanyalah sebagai
akibat penambah kesemarakan. Jang penting janganlah
engkau 'lapuk dijenjang uji, mabuk disanjung puji'"
Sindura mengangguk-angguk "O, kini baru kabut hatiku
memancar terang . . . . ."
"Sst . . . . !" tiba2 Jangkung Angilo mendesis seraya
memberi isyarat agar Sindura jangan bicara. Kemudian
tampak kakek itu memejamkan mata "Uh. kudengar suara
orang bertengkar di luar candi" kata kakek Jangkung sesaat
kemudian "ah, gemerincing senjata beradu " Siapakah yang
berkelahi itu ?" Sindura terkejut. Sama sekali ia tak mendengar apa2. Di
ruang guha tempat persembunyian si kakek Jangkung, ia
merasa terpisah dari dunia luar. Seketika timbul rasa kagum
semu2 terhadap kakek itu. Kagum atas ketajaman indera
pendengarannya tetapipun masih meragukan kebenarannya
"Benarkah " Mengapa aku tak mendengar apa2 ?" katanya.
Jangkung A ngilo tertawa pelahan "Itulah anakku, kesaktian
dari ketujuh ilmu Samadhi kaum Buddha. Jangankan hanya
teraling dinding lantai tebal dari candi ini, bahkan apabila
sudah mencapai tataran tertinggi yang disebut Kumara
nirbbhana-cintamani samadhi, tiada lagi batas samudera dan
benua yang memancang karena kita sudah tiba pada pintu
masuk menjenjang k a m o k s w a n.'. . . ."
"Kakek, ajarkanlah aku ilmu itu. Aku ingin mencari
ketenteraman bathin di bawah naungan Sang Batara Buddha"
pinta Sindura. "Jangan, anakku, jangan! Engkau masih mempunyai purwakarma yang belum himpas. Perjalananmu masih harus
menempuh liku2 kehidupan. Sekarang belum masanya engkau
bersimpuh di hadapan sang Batara Buddha" kata Jangkung
Angilo seraya berbangkit "mari kita jenguk keluar siapakah
yang sedang bertempur itu"
Kakek itu terus mendaki titian batu, mendorong lantai penutup dan menyembul ke atas. Sejenak ia memandang ke sekeliling penjuru lalu berpaling ke bawah "Aman, mari kita keluar"
katanya seraya mesyusup keluar. Sindurapun mengikuti. Tiba di pintu mereka turun keluar. Di sebidang
tanah datar di balik gerumbul pohon, tampak dua orang lelaki tengah bertempur dengan menggunakan senjata. Sindura menahan napas ketika
mengetahui bahwa yang melayang-layangkan cemeti itu
Antaka dan yang me-nusuk2 dengan tombak itu Sapara. Ia
ingin berseru memperingatkan mereka. Tetapi sekilas suara
membisiki hatinya "Jangan, biarkan mereka berhantam sendiri
. . . ..." Dan Sindura sependapat. Apabila mereka sama2
menderita luka, tentu leluasalah ia melarikan diri.
Memang yang bertempur itu adalah Antaka lawan Sapara.
Pada saat Antaka kembali membawa makanan, ia terkejut
melihat Sapara berdiri di ambang pintu candi dengan wajah
merah membara. Antaka berhenti terpukau. Tetapi sebelum ia
sempat membuka mulut, Sapara sudah mendahului mendamprat "Antaka, bagus
benar perbuatanmu ...."
"Sapara, jangan kurang tata terhadap atasanmu!" bentak
Antaka "engkau kutinggalkan karena aku harus mengejar
Sindura. Apabila Sindura sampai menghilang, kita tentu
mendapat hukuman!" Sapara tertawa hina "Alasan menuang dapat dirangkai,
tetapi buktilah yang berbicara! Jelas engkau memang
menghendaki Sindura ...."
"Sapara . . . . !"
"Antaka, sudahlah, jangan melengking lengking macam
anjing bercawat ekor. Camkanlah, yang berdiri di hadapanmu
saat ini adalah Sapara anak Liking Kangkung dengan Antaka
anak Pencok Sahang. Dahulu Liking Kangkung dan Pencok
Sabang bersatu membela Daha, meliwan pasukan Tartar.
Tetapi kini putera. kedua senopati itu, saling berhadapan
sebagai lawan. Dahulu Liking Kangkung dan Pencok Sahang
setya kawan, setya perjuangan. Kini putera mereka,
nyeleweng tujuan, menohok kawan seiring. Sapara dan Antaka
memang putera Liking Kangkung dan Pencok Sahang. Tetapi
Sapara bukan Liking Kangkung dan Antaka bukan Pencok
Sahang. Lain ayah, lain puteranya. Antaka, rnari kita adu,
tulang siapa yang lebih keras, mana yang lebih sakti, cemeti
atau tombak!" "Sapara, engkau salah faham! Aku bertindak demi
menyelamatkan tugaskira. Itulah Sindura berada dalam candi
tak kurang suatu apa. Mari kita menemuinya dan tanyakanlah
sendiri kepadanya, apakah aku berbuat tak senonoh terhadap
dirinya. Kalau aku tak lekas datang, dia tentu masih pingsan
karena dilempar kuda putih. Kakinya terluka ...."
"Terluka?" Sapara terkejut dan sesaat lupa akan
kemarahannya "mana dia" Apabila engkau berdusta.
tombakku akan bersarung kulit dadamu!"
Antaka tak mau menyahut melainkan terus lari ke dalam
candi. Saparapun mengikutinya. Tetapi ternyata Sindura tiada
tampak di ruang candi itu. Dicarinya keseluruh ruang dan
sudut tembok candi, tetap tak ketemu. Ia berteriak memanggil
"Sindura, di mana engkau" Aku membawa makanan untukmu!
Keluarlah, jangan bersembunyi. Saparapun sudah datang!"
Namun diulang beberapa kali, tetap tiada penyahutan dan
tanda2 beradanya Sindura dalam candi itu "Heran, benar2
mengherankan. Jelas ia berada dalam ruang candi ini pada
saat kutinggal pergi mencari makanan. Apakah ia melarikan
diri" Ah, mungkin . . ." Antaka lari ke luar dari candi dan
hendak menyelidiki sekeliling tempat itu. Tetapi baru tiba di
tanah datar di balik gerumbul pohon, tiba2 ia berhenti "Ah, tak
mungkin. Kakinya terkilir, tak dapat ia berjalan. Tetapi ke
manakah gerangan wanita itu . . .. ?" timangnya dalam hati.
Setelah beberapa jenak menggembalakan tingkah ulah
Antaka, akhirnya Sapata tak tahan berdiam diri, serunya
"Antaka, di antara segala jenis ilmu, ilmu Berpura-pura
memang sukar di pelajari. Tetapi aku bukan seorang anak
kemarin sore maka sukar untuk terperosok dalam tipu
muslihatmu. Di mana Sindura engkau sembunyikan?"
"Sapara, demi sumpah aku berani mengatakan bahwa pada
saat kutinggal pergi, Sindura memang berada dalam ruang
candi ...." "Kalau begitu ia dapat terbang atau menghilang?" ejek
Sapara. "Jangan menghambur fitnah kepadaku" hardik Antaka "aku
sendiripun merasa heran mengapa wanita lemah itu lenyap
dari candi ini" "Memang untuk meyakinkan orang agar percaya pada
kebohongan kita, terpaksa kita bertingkah pura2 untuk
membangkitkan kepercayaan oratig. Tetapi siapa tahu isi
hatimu?" "Sapara, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau menuduh
secaa membabi buta.'"
"Huh, Antaka aku muak menyaksikan segala permainan,muslihatmu. Keluarkan Sindura dan mari kita
lanjutkan perjalanan atau.. engkau hendak menguji tajamnya
pedangku!" Antaka terkesiap. Wajahnya membesi. Sudah terlalu jauh ia
mengalah. Iapun seorang darah senopati. Bukan karena takut
kepada Sapara, melainkan ia memang merasa tak
menyembunyikan Sindura. Tetapi karena Sapara tetap
mendesak dengan tuduhan yang disertai sikap menantang,
meluap jugalah darahnya. Hampir ia hendak loncat menghajar
Sapara. Tetapi tiba2 pikirannya memercik dan serentak
tertawalah ia tergelak-gelak penuh ejek "Ha, ha, Sapara,
jangan engkau anggap hanya dirimu seorang lelaki. Akupun
juga seorang jantan. Bukan karena aku takut kepadamu tetapi
sebelumnya aku memang hendak menyelamatkan persoalan
secara terang dulu baru kita nanti bertempur sampai mati"
"Bagus, Antaka! Memang sudah lama kudengar cemeti
Braja senjatamu itu, jarang yang mampu menghadapi. Hendak
kubuktikan kebenaran hal itu"
"Sapara" bentak Antaka nyaring "ketika aku kembali ke
candi sini ternyata engkau sudah menunggu di ambang pintu.
Jelas engkau tentu dulu datang dari aku. Dan jelas pula ketika
kutinggalkan candi, Sindura masih berada di dalamnya.. Maka
seharusnya bukan engkau tetapi akulah yang layak menuduh
engkau menyembunyikan Sindura"
"Memang aku lebih dulu datang sebelum engkau. Tetapi
Sindura tak kujumpai di dalam candi"
"Ha, ha" Antaka tertawa hina "kalau aku dituduh
menyembunyikan Sindura, itu pikiran orang gila atau memang
pura-pura gila. Tetapi orang yang waras pikirannya tentu tak
mungkin membayangkan yang seganjil itu. Bukankah
sebelumnya aku tak mengetahui kalau engkau sudah
menyusul ke candi itu" Perlu apakah aku harus sudah kembali
ke candi membawa makanan ini apabila memang Sindura
sudah kusembunyikan" Bukankah sudah jelas bahwa karena
aku menganggap Sindura memang masih berada didalam
candi maka aku baru kembali lagi ke candi itu . "
"Antaka ..." pembelaan. teriak Sapara hendak melantangkan Tetapi Antaka sudah cepat mendahului "Memang benar.
Maling tentu berteriak maling. Untuk menghapus jejak agar
tak dituduh maling. Tetapi ketahuilah hai Sapara. Maling
adalah maling dan tetap maling. Sapara" tiba2 Antaka berseru
dengan nada bengis "jelas tentu Sindura engkau sembunyikan.
Kuperingatkan kepadamu. Bawalah ia keluar dan kumaafkan
perbuatanmu. Tetapi kalau engkau menolak, cambuk Braja ini
akan kusuruh memijati tubuhmu!"
"Setan engkau Antaka" teriak Sapara kalap "Engkau yang
menyembunyikan tetapi engkau putar balikkan tuduhan itu
kepadaku!" "Keparat!" balas Antaka makin memberingas "memang
engkau pandai membuang bekas. Sindura tentu engkau
sembunyikan!" "Engkau pencurinya!" teriak Sapara.
"Bukan, engkau malingnya!"
"Kembalikan Sindura!"
"Keluarkan Sindura!" balas Antaka,
Sapara tak dapat menahan ledakan amarahnya. Cepat
menombak dada Antaka. Tetapi Antakapun sudah siap.
Mengisar kesarnping, ia ayunkan cemeti menghajar muka
Sapara. Sapara songsongkan tombak menangkis tetapi
sebelum saling berbentnr, Antaka sudah menarik kembali


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemeti lalu disapukan kekaki Sapara.
"Bagus!" seru Sapara loncat ke atas dan menusuk
tenggorokan lawan. Gerak menghindar sambil menyerang itu,
mengejutkan Antaka. Ia tak menduga bahwa Sapara ternyata
memiliki ilmu permainan tombak yang mengagumkan. Pantas
kalau Sapara congkak sikapnya.
Kedua kawan yang beralih jadi lawan itu, bertempur makin
lama makin seru. Keduanya sama mencurahkan seluruh
kebisaannya. Namun ternyata tingkat kepandaian mereka
berimbang. Sama2 merasa sukar untuk mencari lubang
kelemahan lawan. Pertempuran yang makin lama makin
berlangsung cepat itu, sepintas pandang tak ubah seperti
pertempuran maut antara burung rajawali melawan ular naga.
Ayunan cemeti Braja laksana gerak burung rajawali
menyambar-nyambar. Tusukan tombak tak ubah seperti ular
yang memagut-magut musuh.
Setelah berlangsung berpuluh jurus kemudian barulah
keduanya menyadari bahwa kepandaian mereka memang
seimbang. Dan sadar pula bahwa pertempuran itu tentu akan
berlangsung lama. Diam2 keduanya sudah merancang siasat
untuk mengharcurkan lawan.
Pada saat itu cemeti Braja tengah melayang akan menimpa
kepala Sapara. Sapara tak mau menyingkir melainkan sudah
siap melakukan siasat untuk menghadapi serangan tombak
itu. Sapara diam2 bersyukur karena menggunakan tombak
yang lebih panjang dari pada cemeti. Dengan kelebihan itu, ia
dapat menyerang lebih leluasa. Andai saat itu ia menusuk
kaki, tentulah Antaka loncat menghindar ke belakang atau ke
samping. Dalam penghindaran itu mau tak mau ia tentu
menarik pulang serangan cemetinya.
Cepat berpikir, cepat pula Sapara terus melaksanakan.
Sambil agak mengendap, ia terus maju setengah langkah dan
menusuk kaki lawan. Bermula Antaka terkejut dan hendak bergerak menghindar
seperti yang dibayangkan Sapara. Tetapi tiba2 ia mendapat
pikiran lain. Ia harus berani berkorban, baru dapat
mengalahkan Sapara. Apabila tombak itu mengenai kaki,
lukanya tentu tak berapa parah. Kebalikannya bila cemeti
braja itu berhasil menyambar kepala atau sekurang-kurangnya
bahu Sapara, lukanya tentu jauh lebih berat. Hanya dengan
pengorbanan itu, barulah ia dapat mengakhiri pertempuran
itu. Maka Antaka tak mau menghindar dan tak mata menarik
pulang cemeti. Ia sudah bertekad hendak sama2 menderita
luka, dengan perhitungan bahwa lukanya tentu lebih ringan
dari Sapara. Sapara terkejut. Namun kejadian yang tak pernah
disangkanya itu sudah tiba di depan mata. Ia sudah tak
sempat menarik pulang tombak atau mempergunakannya
untuk menangkis. Pada saat cemeti menghantam mukanya ia
berusaha untuk condongkan muka ke samping agar wajahnya
jangan sampai termakan habis-habisan. Krak . . . Sapara
mengerang tertahan ketika bahunya kanan terhantam cemeti.
Tulang bahunya serasa remuk, sakitnya sampai membuat
pandang matanya berbintang-bintang. Dalam pada itu iapun
masih merasa bahwa ujung tombaknya mengenai tubuh
lawan. Tetapi ia tak mampu memeriksa lebih lanjut bagaimana
keadaan Antaka. Karena saat itu ia terhuyung-huyung rubuh
ke tanah. Hantaman cemeti itu benar2 melumpuhkan
tenaganya Jika Sapara rubuh dengan menderita luka parah,
kebalikannya Antakapun juga terluka hebat. Untunglah karena
perhatian Sapara agak terganggu oleh serangan cemeti itu
maka tenaganyapun berkurang. Namun tombaknya itu dapat
memberi tusukan yang membuat Antaka rubuh. Pada saat
menaburkan cemeti, Antakapun sudah siap untuk menjaga diri
dari tusukan tombak. Ia miringkan tubuh kesamping. Memang
hal itu dapat menyelamatkan dadanya tetapi lengan bahunya
tersusup ujung tombak Sapara sehingga tembus kebelakang.
Antakapun meraung rubuh ....
Kedua kawan yang berbalik jadi lawan itu, sama2 rubuh
mandi darah. Dan dua-duanyapun pingsan karena sama2
menderita luka parah. Rara Sindura benar-benar kesima melihat kesudahan
pertempuran antara kedua orang Wukir Polaman itu. Ia benarngeri melihat darah yang melumuri tubuh rncicka. Tiba-tiba ia
tersentak kaget karena melihat Jangkung Angilo menghampiri
ketempat kedua orang itu "Kakek, mengapa "
"Anakku, mereka terluka, aku wajib menolongnya" sahut
kakek aneh itu. "Tetapi bukankah mereka orang Wukir Polaman" Bukankah
berbahaya bagi kakek apabila mereka tersadar dan tahu siapa
yang menolong?" seru Sindura cemas.
"Perasaan untuk mengharap balas, perasaan takut
menerima hukuman atau celaka, termasuk pamrih. Nistalah
orang yang memberi pertolongan karena mengharap dan
memikirkan sesuatu" kata Jangkung Angilo seraya lanjutkan
langkah "dan walaupun mereka menyeleweng dari tugas,
tetapi mereka membuat penyelesaian secara ksatrya maka
wajiblah kutolong" Lebih dulu kakek itu tiba ditempat A ntaka. Diperikianya luka
orang itu. Ia geleng2 kepala dan menghela napas. Kemudian
ia mengurut urut dada A ntaka. Tak berselang beberapa saat,
Antaka kedengaran mengerang dan membuka mata. Ia
terkejut dan hendak menegur tetapi Jangkung Angilo cepat
memberi isyarat supaya diam "Jangan bicara dulu, lukamu
berat, pejamkan mata dan lakukanlah penyaluran napas" kata
Jangkung Angilo lalu cepat menghampiri ketempat Sapara.
Pun setelah diurut-urut kakek Jangkung Angilo, Sapara
tersadar. Jangkung Angilo menyuruhnya jangan bicara tetapi
melakukan pernapasan untuk menyalurkan peredaran
darahnya. Jangkung Angilo berbangkit lalu melangkah pergi
"Sindura, jagalah mereka, aku hendak mengambil obat ke
dalam guha" Beberapa jenak setelah Jangkung Angilo masuk ke dalam
tempat persembunyiannya, Antaka dan Sapara membuka
mata. Demi melihat Sindura berada di situ, serempak
keduanya berteriak kaget "Hai, engkau Sindura..!"
"Ya, memang aku di sini" sahut Sindura.
"Eh, bukankah engkau disembunyikan kakang Antaka"
Bilanglah Sindura" seru Sapara.
"Tidak, aku tak disembunyikannya" Sindura gelengkan
kepala. "Hai, Sindura, tentu Sapara yang menyembunyikan engkau,
bukan?" seru A ntaka.
Sindura gelengkan kepala "Tidak"
Antaka dan Sapara saling berpandangan lalu tiba8 mereka
serentak berseru "Lalu kemana engkau?"
"Aku" Aku ikut pada kakek itu"
"Siapakah dia" Dimana tempat tinggalnya?" seru Sapara
makin ngotot. Tetapi setelah berseru keras ia tampak meringis
kesakitan. Luka pada bahunya itu mengucurkan darah lebih
deras. "Aku terpaksa tak dapat menjawab pertanyaan itu. Pokok
dia seorang kakek yang baik dan suka menolong orang yang
menderita kesusahan. Seperti halnya dengan engkau berdua"
"Hai, jangan bangun!" tiba2 Jangkung Angilo berteriak
memeringatkan Sapara yang hendak berbangku. Kakek itu
membawa obat untuk menghentikan pendarahan. Lebih dulu
ia melumuri luka Sapara kemudian Antaka "Kalian harus
beristirahat dan benar2 merawat luka. Kalau tidak kalian tentu
akan cacat seumur hidup!"
Baik Antaka maupun Sapara terkesiap ketika melihat
pervvujud m Jangkung Angilo. Sesaat kemudian Antaka
bertanya "Siapakah kakek ini?"
"Sst ..." tiba2 Jangkung Angilo menutup mulut dengan jari
sebagai isyarat supaya Antaka jangan bicara "kudengar derap
kaki kuda tengah berlari menuju kesini" kata Jangkung A ngilo.
Antaka terdiam memasang telinga. Tetapi beberapa saat
kemudian ia menvelutuk "Ah, mana ada derap kuda lari
kemari" Engkau mungkin salah dengar, paman!"
"Telingaku tak pernah salah dengar" sahut Jangkung A ngilo
"mereka masih sepemanah jauhnya tetapi tak lama lagi tentu
akan tiba di hutan ini"
Apa yang dikatakan kakek berambut putih, memang cepat
menjadi kenyataan. Tak berapa lama Antaka dan Sapara
terbeliak karena mendengar derap kuda mencongklang. Makin
lama makin jelas. "Engkau benar, paman" seru Antaka "ada orang berkuda
mencongklang kemari. Bahkan menilik suaranya yang riuh,
tentulah sebuah rombongan ...."
"Pasukan kerajaan ?" teriak Sapara.
"Atau mungkin orang2 patih Aluyuda atau mahapatih
Nambi...." "Atau orang2 Gajah Kencana !" cepat Sapara mcnyanggapi
dengan suara gentar dan wajah pucat.
"Ah, kita tentu ditangkap" seru Smdura penuh kecemasan.
"Engkau hanya diangkut kembali ke keraton, tapi aku tentu
dibunuh" seru Antaka geram2 gelisah.
"Akupun tentu dibunuh juga" sahut Sapara "tetapi tenagaku
lemah, tak dapat melawan mereka. Ah, daripada mati
ditangan lawan, lebih baik aku bunuh diri sajalah ...." habis
berkata Sapara terus mencabut pisau belati dan hendak
dibenamkan ke dadanya sendiri.
"Tunggu!" cegah Jangkung Angilo" jangan lekas berputus
asa, anak muda . . . ."
"Lalu maksud paman?" Sapara menegas.
"Aku akan berusaha menyelamatkan jiwa kalian berdua.
Tetapi kuminta kalian jangan mengatakan kepada siapapun
juga, bahwa kalian telah berjumpa dengan diriku. Maukah ?"
Antaka dan Sapara cepat dapat menyetujui. Sudah
selayaknya mereka membalas budi pertolongan kakek itu.
"Aku adalah Jangkung Angilo ...."
"O, rasanya kami pernah mendengar nama paman.
Bukankah paman seangkatan dengan ayah kami Liking
Kangkung dan Pencok Sahang ?"
"Ya" sahut Jangkung Angilo ringkas "waktu sudah amat
mendesak sekali ...." Jangkung Angilo cepat menyambar tubuh
Antaka lalu dinaikkan ke punggung kuda putih "mudahmudahan engkau selamat dan ingatlah permintaanku tadi" ia
menampar perut kuda itu. Karena terkejut, kuda segera
mencongklang pesat. Setelah itu, Jangkung Angilo
mengangkat tubuh Sapara dan dinaikkan ke punggung kuda
hitam. Setelah mengulangi pesannya, Jangkung Angilo segera
menyuruh kuda hitam lari.
Setelah kedua orang itu lenyap dari pandang mata,
Jangkung Angilopun segera mengajak Sindura "Mari, kitapun
harus lekas2 kembali ke dalam guha lagi . . ..." tetapi baru
beberapa langkah mereka berjalan, tiba2 muncullah beberapa
penunggang kuda. "Ah, terlambat" Jangkung Angilo mengeluh dalam hati
"Sindura, apabila mereka hendak menangkapmu, akan
kurintangi. Tetapi engkau harus cepat2 masuk ke dalam guha
persembunyianku. Dan bila terjadi sesuatu pada diriku, carilah
di bawah tumpukan alas rumput kering tempat tidurku itu.
Engkau akan menemukan sebuah bungkusan kulit ular. Isinya
peta dari tempat penyimpanan harta karun raja Jayakatwang.
Ambillah harta karun itu untuk keperluanmu, yang separoh
bagian berikanlah pada rakyat Daha ...."
Kakek Jangkung Angilo tak dapat melanjutkan pesannya
karena pada saat itu rombongan penunggang kuda yang
terdiri dari tiga orang lelaki berpakaian serba hitam, tiba
dihadapannya. Mereka cepat berhenti dengan serentak dan salah seorang
berseru gembira "Hai, Rara Sindura, akhirnya engkau dapat
kami ketemukan juga. Marilah ikut kami"
"Siapa kalian ?" sahut Sindura gemetar.
"Kami orang suruhan mahapatih rakryan Nambi untuk
mencarimu dan membawamu pulang" kata orang itu pula.
"Ah, tidak mudah mengaku-ngaku sebagai utusan paman
rakryan Nambi. Apa buktinya?" seru Sindura.
Orang itu terkesiap, demikianpun dengan kedua kawannya.
Mereka tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam
itu dari Sindura "O, ketahuilah, satelah diketahui engkau
menghilang dari keraton, baginda raja amat murka sekali.
Baginda membebankan tanggung jawab akan kembalinya
dirimu ke pura kerajaan kepada mahapatih rakryan Nambi.
Gusti mahapatih lalu menyebar orang untuk mengejar jejakmu
ke seluruh pelosok telatah Majapahit."
Hampir Sindura percaya. Ia anggap keterangan orang itu
masuk akal. Tetapi untunglah sebelum menjawaban, Sindura
berpaling kearah Jangkung Angilo "Kakek, bagaimana ini . . ."
"Hm, suruh mereka minta idin kepadaku" jawab Jangkung
Angilo ringkas. "Karena kalian tak membawa tanda2 perintah dari paman
rakryan Nambi, maka silahkan kalian minta idin kepada kakek
ini apakah kalian diluluskan olehnya membawa aku?"
"Hai, kakek berambut putih, kami adalah utusan gusti
mahapatih Nambi untuk membawa pulang Rara Sindura
keMijipahit. Harap kakek suka meluluskan" seru salah seorang
dari ketiga penunggang kuda itu.
"Boleh saja, asal ia setuju. Cobalah tanyakan kepadanya
sendiri" sahut Jangkung A ngilo.
"Hai, Rara Sindura, kami benar2 utusan dari gusti
mahapatih Nambi untuk menjemputmu pulang. Harap engkau
lekas berkemas kemas ..."
"Mengapa paman mahapatih hendak menjemput aku
pulang ke pura Majapahit?" tanya Sindura.
"A.. anu .. . aku dipersembahkan kepada baginda karena
baginda membebankan pertanggungan larimu itu kepada gusti
mahapatih" "O, percuma saja. Akhirnya aku tentu harus kembali pada
baginda dalam keraton lagi ..." serunya memberi penolakan.
"Engkau menolak?" orang itu menegas "ingat kami adalah
utusan dari mahapatih Nambi, orang yang tinggi
kekuasaannya setelah baginda Jayanagara. Apabila engkau
menolak, kami telah diberi kuasa untuk bertindak"
Tiba2 Jangkung Angilo tertawa "Ah, kalian hendak
menggunakan kekuasaan untuk memaksanya" Ah, itu tak
baik. Sindura sudah menyerahkan keselamatan dirinya


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku. Wajiblah aku menjaga dan melindunginya ...."
"Ho, engkau hendak merintangi kakek tua renta" Apa
kemampuanmu untuk melindunginya" Bukankah lebih baik
engkau tak perlu ikut campur agar kelak engkau dapat mati
dengan tenang" seru orang aneh itu.
Jangkung Angilo tertawa hambar "Ah, memang orang muda
sering meremehkan bahkan mencemohkan kaum tua.
Terutama orang2 muda yang merasa sudah berisi kepandaian
dan kedigdayaan, tetapi yang baru setengah matang. Memang
tulang si tua renta ini sudah rapuh. Tetapi masih kusangsikan
apakah orang2 gagah semacam kalian bertiga ini mampu
mematahkan tulang2 tua ini?"
Ketiga pendatang yang mengaku sebagai utusan,
mahapatih Nambi, setitikpun tak memandang mata kepada
Jangkung Angilo yang sudah amat tua itu "Akan kulihat
bagaimana engkau hendak melindungi Sindura" kata yang
pertama bicara dan bertubuh gagah perkasa. Rupanya dia
pemimpin dari ketiga penunggang kuda itu.
Dihampiri Sindura dengan langkah mantap. Melihat itu
Sindura segera beringsut kebelakang Jangkung Angilo. Kakek
itu kebalikannya tenang2 belaka. Ia duduk bersila dalam sikap
anggranasika yalah mata lurus memandang keujung hidung.
Kemudian meletakkan tangan kiri keatas pangkuan dan
telapak kanan diatas lutut kanan, menunjuk bumi "Om . . .
bajrodaka .... ah ... . um ..." mulut berkemak kemik mengucap
Mantranyana. Orang bertubuh gagah itu terkesiap sejenak. Ia mengira
kakek itu sedang sidhikara atau samadhi memanjatkan doa
kepada dewata. Diam2 ia tertawa kecil dalam hati dan
lanjutkan langkah, lalu ulurkan tangan hendak menyambar
lengan Sindura .... Sesungguhnya saat itu Jangkung Angilo sedang melakukan
m u d r a , yalah gerakan tangan sebagai alat gerak Bodhi
Satwarn, inti pusat batin yang suci luhur. Pertama-tama tadi,
ia melakukan gerak Bumispars a mundra, menunjukkan bumi
sebagai saksi. Dan ketika orang gagah itu hendak menyambar
Sindura, Jangkung Angilo tiba2 membuka telapak tangan kiri
dan tangan kanan. Dan tiba2 pula mulutnya mendendang
kidung "Sabda papassa akaranam
Kusalassa upasampada Sacitta pariyo dapanam Etam Buddhanusasanam ...."
artinya: Janganlah berbuat jahat Tambahlah kebaikan
Sucikanlah hati dan fikiran Ini adalah pelajaran semua
Buddha. Mendengar kidung gaib itu, seketika menyurut mundurlah
orang yang hendak mengganggu Sindura itu. Entah
bagaimana, mukanya serasa tertampar oleh setiup angin
dingin, darah serasa membeku. Ia terkejut dan buru2
kerahkan tenaga-murni untuk menyalurkan darahnya yang
membeku itu. Setelah berhasil menyalurkan darah, timbullah
perasaan lain dalam hati pikirannya. Ia tiada bernafsu untuk
mengganggu Sindura lagi, pikiran hampa dari segala
kehendak. Ia terus menyurut mundur ke tempat kedua
kawannya .... Kedua kawannya itu terlongong-longong heran. Jelas
mereka tak melihat sikakek menyerang tetapi mengapa
pemimpin mereka seperti patung yang tak bernyawa "Kakang
Wimba, mengapa engkau . . . ."
Orang tinggi gagah yang dipanggil Wimba itu hanya
geleng2 kepala "Hatiku amat tentram . . . ."
Kedua orang itu bersaudara, Brastha dan Brasthi. Mereka
terkejut karena melihat keadaan Wimba, pemimpin mereka.
Tanya Brastha yang mukanya berlumuran jenggot, kumis lebat
dan sekujur dada serta kedua tangannya bersubur rambut
"Kakang Wimba, engkau kenapa" Mengapa hatimu tentram "
Apakah kakang tak jadi membawa wanita itu?"
"Ho, mengapa kita harus berbuat kejahatan" Bukankah kita
harus melakukan perbuatan baik . . . ?" Wimba mengoceh
seperti bukan keluar dari kemauannya sendiri.
Brastha dan Brasthi terbelalak. Benar2 mereka heran
mengapa tiba2 saja Wimba berobah sedemikian rupa, dari
seekor inacan menjadi seekor domba. Tiba2 Brastha membisiki
telinga Brasthi dan Brasthi mengangguk-angguk. Pada lain
saat, Brastha segera melangkah maju menghampiri Jangkung
Angilo. Sedang Brasthi melangkah ketempat Wimba. Ia terus
menarik Wimba beberapa langkah kedekat pohon dan tiba2
berseru "Maafkan aku, kakang Wimba . . ." plok! secepat kilat
ia menampar kepala Wimba sekeras-kerasnya. Wimba pingsan
seketika Dalam pada itu Brasthapun sudah tiba dihadapan Jangkung
Angilo yang masih bersidhikara "Hai, kakek gila, ilmu iblis
apakah yang engkau gunakan terhadap kakangku tadi?"
Jangkung Angilo tetap diam laksana
anggranasika masih tetap tak berobah.
patung. Sikap "Hai, kakek tua, jelas engkau tidak bisu, tidak tuli. Mengapa
engkau diam saja" Apakah engkau memang hendak menghina
aku" Brasiha maju pula selangkah mendekat kemuka
Jangkung Angilo lalu mengangkat kepalan tangan kanan
"Lekas jawab atau kuhajar kepalamu sampai hancur . . . !"
Sindura ngeri melihat ancaman Brastha yang sebengis itu.
Melihat kepalan tangan orang yang sebesar buah maja kecil, ia
kuatir kakek Jangkung Angilo tak kuat bot tahan. Cepat ia
hendak berseru memperingatkan kepada kakek itu tetapi
sebelum sempal membuka mulut, Jangkung Angilo sudah
berganti mudra, telapak tangan kiri ditaruh dipargkuan dan
telapak tangan kanan ditaruh di atas telapak tangan kiri itu.
Itulah yang disebut Dhyana mudra, pengheningan cipta. Mulut
memantra aji Genta-pinarapitu. Seketika memancarlah
gelombang hawa beriak tenaga lembut, menghambur ke
dalam telinga Brastha. Brastha mendadak rasakan anak telinganya diledak lengking
genta yang bertalu-talu amat dahsyatnya sehingga anak
telinganya serasa pecah dan urat syaraf kepalanya berdenyutdenyut kencang sekali. Cepat2 ia mendekap kedua telinganya
dengan sepasang tangan lalu melonjak-lonjak seperti orang
menginjak kawanan ular berbisa. . . . Seperti Wimba,
Brasthapun melonjak-lonjak kembali ke tempat Brasthi.
Brasthi yang tengah menolong Wimba, terkejut melihat
keadaan kakangnya. Cepat ia tinggalkan Wimba yang belum
sadar dari pingsan, lalu loncat menyongsong Brastha "Kakang,
mengapa engkau . . . . ?"
Namun Brastha tak dapat menyahut melainkan masih melonjak-lonjak dan mendekap
telinganya erat2. Ulahnya tak
ubah seperti orang menari-nari
di atas unggun api. Melihat keadaan saudaranya,
timbullah segera gagasan Brasthi "Ah, kakang Brastha
tentu terkena ilmu setan dari
kakek itu. Aku harus cepat
menolong dengan cara seperti
yang kulakukan terhadap kakang Wimba tadi" "Maaf, kakang," serunya dan secepat kilat ia menyelinap ke
belakang Brastha lalu memukul tengkuk lehernya. Seketika
Brastha mengaduh dan rubuh tak sadarkan diri.
"Hai, mengapa engkau memukul saudaramu juga !" tiba2
terdengar Wimba berteriak seraya loncat bangun. Ternyata ia
sudah dapat sadar dari pingsannya.
"Dia terkena ilmu setan dari kakek itu" sahut Brasthi "kalau
tadi kakang terlongong-longong seperti orang yang kehilangan
semangat, kakang Brastha ini menutup telinganya sembari
melonjak-lonjak. Seperti terhadap diri kakang, terpaksa aku
harus menolong kakang Brastha dengan cara memukulnya
sampai pingsan. Hanya dengan cara itulah ia dapat
diselamatkan dari ilmu setan kakek keparat itu"
Semula Wimba hendak marah terhadap Brasthi yang
memukulnya sampai pingsan. Tetapi setelah mendapat
penjelasan, iapun segera merenungkan apa yang telah
dialaminya tadi. Pada lain saat ia dapat menerima penjelasan
itu "O, jadi kakek itu menggunakan ilmu setan kepada kita
Pendekar Misterius 6 Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi Neraka Hitam 4
^