Pencarian

Gajah Kencana 8

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 8


berdua?" Brasthi mengiakan "Nyata dia tak bergerak sama sekali
kecuali mulutnya yang berkomat-kamit mendoa mantra dan
kakang berdua lalu kehilangan kewajaran peribadi!"
"Keparat!" dengan
marah Wimba terus hendak menghampiri kakek itu pula tetapi cepat dicegah Brasthi
"jangan kakang, biarlah aku yang berganti menghadapinya.
Silahkan kakang menolong kakang Brastha"
Brasthi terus maju ketempat Jargkung Angilo. Ia telah
mempunyai pengalaman dengan kedua kawan tadi. Maka
diam2 ia sudah meluapkan tenaga murni dari dalam Cakram
Manipura, siap menolak setiap serangan hawa iblis dari kakek
itu. Sesungguhnya walaupun lebih muda, tetapi ilmu dari
Brasthi memang lebih tinggi dari kakaknya.
Tampak Jangkung Angilo tak merobah sikap mudrajtya. Ia
tetap melakukan mudra Dhyanamudra. Rupanya ia hendak
membuat Brasthi melonjak-lonjak seperti Brastha. Tetapi
Brasthipun sudah waspada. Demi melihat mulut kakek itu
mulai berkomat kamit, serentak iapun menghambur sebuah
pekik sedahsyat halilintar meledak. Daun2 disekeliling tempat
itu sampai bergetaran. Sindurapun hampir terjerembab
kebelakang karena dilanda kejut besar.
Brasthi menghamburkan aji Guntur-saketi untuk menindas
aji Genta-pinara-pitu dari Jangkung Angilo,
Diam2 Jangkung A ngilo terkejut. Walaupun daya aji Gentapinara-pitu yang dihamburkan melalui mantra sakti itu masih
dapat menembus hamburan pekik Guntur-saketi, namun hal
itu cukup menimbulkan pertimbangan dalam hatinya. Pertama,
sebagai seorang yogi, ia tak mau melakukan kekerasan
terhadap sesama manusia, sekalipun seorang musuh.
Tujuannya hanyalah hendak menghalau ketiga orang yang
akan mengganggu Sindura itu. Kedua kali, iapun ingin
mengetahui sampai tataran manakah hasil ketekunannya
memperdalam ilmu Pranamaya atau ilmu mengatur
pernapasan yang dipancarkan melalui sikap mudra atau gerak
ulah tangan sebagai alat penyalur penguasaan batin dan
pikiran. Sudah duapuluh tahun lamanya sejak lari bersembunyi
didalam gua dibawah candi tua itu, ia selalu tekun membenam
diri dalam ilmu samadhi untuk mencapai tataran Kumaranirbhana-sramadhi, samadhi tingkat tujuh atau yang terakhir,
menjenjang pintu masuk menemui kamokswan.
Maka iapun segera mengganti dengan apa yang disebut
Abhayamudra. Telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan,
telapak tangan kanan diletakkan diatas lutut kanan dengan
jari-jarinya terbuka keatas ....
Brasthi terkejut melihat perobahan sikap mudra dari kakek
itu. Namun sebelum ia sempat menjaga diri, tiba2 dadanya
serasa terbaur setiup gelombang hawa lembut teras meresap
kedalam hati dan memancar kelubuk benaknya. Dan saat itu
suatu perasaan aneh segera mencengkam lubuk pikirannya. Ia
merasa dirinya seorang pemberani sekali, tak kenal takut pada
siapapun juga. Dan diluar kesadarannya, ia ingin menunjukkan
diri sebagai seorang pemberani itu. Maka dadapun
dibusungkan, tangan bercekak pinggang dan kepala
menengadah memandang kelangit lalu melangkah pergi
Saat itu Wimbapun berhasil menyadarkan Brastha dari
pingsannya. Baru iu memberi penjelasan tentang apa yang
telah terjadi pada diri Brastha, tiba2 mereka dikejutkan oleh
tingkah ulah Brasthi yang pergi tanpa menghiraukan suatu apa
itu. Serempak keduanya loncat dan mengejar "Hai, Brasthi
kemana engkau!" teriak Wimba. Namun Brasthi tak
mengacuhkan dan terus lanjutkan langkah.
"Hm, Brasthi tentu terkena ilmu hitam dari kakek itu. Hanya
dengan cara memukulnya seperti yang ia lakukan kepada
diriku, barulah ia dapat tertolong" pikir Wimba. Diluar dugaan,
Brastha pun memiliki pertimbangan begitu pula. Dialah yang
tadi mengajarkan Brasthi bagaimana untuk menolong Wimba
dari pengaruh ilmu hitam si kakek.
Maka tanpa bersepakat, Wimba dan Brastha serempak
loncat dan memukul Brasthi, duk, duk .... Brasthi seketika
jatuh tersungkur ke tanah tak kabarkan diri lagi.
"Oh .... uh ... ." Wimba dan Brastha mendesus kejut dan
saling berpandangan. Brastha terus berjongkok menolong
adiknya. Sedangkan Wimbapun menuju ke arah si kakek
"Kakang Wimba" tiba2 Brastha meneriakinya" baiklah kita
tolong Brasthi dahulu. Rupanya kita harus mengatur siasat
untuk menghadapi kakek itu. Jika kakang maju seorang diri,
kukuatir kakakang akan menderita ilmu setan dari kakek itu
lagi" Wimba berhenti. Ia anggap peringatan Brastha itu memang
dapat diterima. Iapun segara ikut menolong Brasthi. Setelah
menyadarkan Brasthi, mereka lalu berrunding "Bagaimana
tindakan kita terhadap kakek itu, kakang" tanya Brastha
kepada Wimba. Sejenak merenung orang tinggi besar yang menjadi
pemimpin rombongan itu, menjawab "Kita serbu dengan
serempak!" "Benar" sambut Brasthi "tetapi serbuan itu harus menurut
langkah dan arah yang teratur"
"Maksudmu ?" tanya Wimba,
"Jika kita serempak menyerbu dari satu arah, kemungkinan
tentu akan gagal. Maka baiklah kita atur begini" kata Brasthi
"aku menyerang dari muka agar kakek itu mencurahkan
perhatiannya kepadaku. Dalam hal itu aku masih sanggup
untuk bertahan diri dari ilmu setannya. Sedang kakang Brastha
menyerbu dari samping dan kakang Wimba menerjang dari
belakang. Yang penting kakang Wimba harus dapat
menangkap wanita itu dan melarikannya. Apabila kakek itu
hendak menolong maka aku dan kakang Brastha yang akan
merintanginya" "Bagus Brasthi, aku setuju" seru Wimba lalu hendak
melangkah. Tetapi dicegah oleh Brastha "Nanti dulu, kakang
Wimba. Walaupun siasat Brasthi itu cukup baik, tetapi kurasa
masih belum sempurna. Bagaimana apabila kakek itu berputar
tubuh ketiga arah untuk menghalau kita " Bukankah kita tetap
akan menderita serangan ilmu setan ?"
"Lalu apakah engkau mempunyai lain rencana yang lebih
baik ?" tanya Wimba.
"Begini kakang" Brastha segera memaparkan rencananya
"lebih baik kita gunakan kuda supaya menerjang kakek itu.
Sekali gus kita suruh ketiga ekor kuda kita menerjangnya dari
sebelah muka. Sementara kuda menerjang, kita serempaki
dengan menyerbu wanita cantik itu lalu kita larikan. Perhatian
kakek itu tentu akan terpancang pada ketiga ekor kuda kita"
"Bagus sekali, Brastha!" seru Wimba gembira "aku setuju
sepenuhnya. Mari kita kerjakan sekarang!"
"Tunggu kakang, jangan terburu-buru dulu "kali ini Brasthi
yang berganti mencegah "akupun setuju akan siasat kakang
Brastha itu. Tetapi dengan tambahan supaya lebih berhasil.
Agar kita aman dari hamburan daya ilmu setan kakek itu,
sebaiknya waktu menyerbu kita gunakan senjata, kita putar
untuk melindungi diri dari hamburan tenaga gaib kakek itu.
Dengan demikian rasanya kita tentu lebih aman dan berhasil"
Wimba dan Brastha gembira dan menyetujui usul itu.
Merekapun segera menghampiri kuda masing2.
"Sindura, anakku" tiba2 Jangkung Angilo berbisik "mereka
hendak lepaskan kuda untuk menerjang aku lalu
menyergapmu. Maka bilamana mereka melakukan hal itu,
cepatlah engkau lari menuju ke dalam candi dan terus masuk
ke bawah guhaku" Kiranya walaupun ketiga orang itu berunding dengan suara
pelahan dan terpisah beberapa belas langkah dari tempat
Jangkung Angilo, namun kakek itu dengan indera
pendengarannya yang telah dipertajam oleh pengendapan
Bodhi-Satwam atau batin, telah dapat menangkap semua
pembicaraan mereka. Dan setelah menyaksikan kesaktian
kakek itu, Sindurapun tak ragu2 lagi. la mengiakan dan siap2.
"Jangan was-was, Sindura. Akan kulindungi larimu dengan
mantrayana penolak bahaya. Nah, siaplah, bila kuberi
perintah, engkau harus lekas lari" kata Jangkung Angilo pula.
Dalam pada itu Wimba bertigapun sudah siap. Brasthi yang
menguasai ketiga kuda. Wimba menyelinap ke belakang
Jangkung Angilo dan Brastha berjaga di samping. Rupanya
selama berjalan menghampi ke tempat kuda mereka, Wimba
menambah beberapa cara untuk penyerbuan itu. Ia dan
Brastha hendak membuka penyerangan dulu agar perhatian
kakek itu terpecah. Dan pada saat itulah maka Brasthi harus
segera lepaskan ketiga ekor kuda untuk menerjang kakek itu.
Maka setelah masing2 sudah siap, Wimba dan Brastha
mencabut senjatanya. Wimba menggunakan pedang dan
Brastha sebuah bindi. Wimba menyerang dari belakang dan
Brastha dari samping kanan.
Sindura terkejut dan ketakutan, serunya "Kakek, mereka
mulai menyerang kita ...."
"Jangan takut, Sindura" jawab Jangkung Angilo amat
tenang "serangan mereka itu hanya suatu siasat untuk
memancing perhatianku. Yang penting yalah serangan ketiga
ekor kuda dari muka itu"
Memang sesungguhnya demikian. Serangan dari Wimba
dan Brastha itu hanya suatu siasat untuk memecah belah
perhatian Jangkung Angilo. Mereka takkan menyerang
sungguh2. Tetapi demi melihat kakek itu tetap diam saja,
tiba2 berobahlah rencana kedua orang itu. Bermula hanya
untuk memancing perhatian, saat itu berganti dengan
menyerang benar2. Mereka terus hendak menyergap Sindura.
"Kakek, tolonglah ...." Sindura menjerit ketika saat itu
Wimba sudah berada dua langkah dari tempatnya. Selangkah
lagi pasti ia sudah dapat diraih orang itu.
Teriakan Sindura itu benar2 menggetarkan pemusatan
pikiran Jangkung Angilo. Dan serentakpun timbul keraguan
dalam hati kakek itu kalau2 Wimba dan Brastha memang
berganti siasat menyerang sungguh2. Dan kalau benar
demikian, ia harus tak boleh tinggal diam.
Pikiran itu maha binal. Sekali pikiran terganggu oleh suatu
perasaan atau bayang2, maka runtuhlah gunung karang
pemusatan pikiran Jangkung Angilo. Ia mulai mengisar
kepalanya ke samping, terus ke belakang. Tetapi belum
sempat ia melancarkan mantranya yang dilambari oleh
hembusan Prana atau napas, sekonyong-konyong terdengar
derap kaki kuda berlari menggemuruh riuh. Kiranya Brasthi
yang sejak tadi memperhatikan setiap gerak gerik Jangkung
Angilo, saat itu merasa sudah mendapat kesempatan untuk
lepaskan ketiga ekor kudanya. Kuda ditampar pantatnya dan
bagaikan prahara melanda, ketiga ekor kuda itupun
mencongklang keras menerjang ke arah Jangkung Angilo.
Jangkung Angilo terkesiap. Jika ia mencurahkan perhatian
untuk menghadapi ketiga ekor kuda itu, Sindura pasti
tertangkap oleh musuh di belakang. Namun kalau ia menolong
Sindura, dirinya tentu dilanda ketiga ekor kuda.
Sudah duapuluh tahun lamanya Jangkung Angilo
menyembunyikan diri dan tekun mendambakan hidupnya
dalam mengarungi cakrawala kesempurnaan ilmu samadhi.
Selama duapuluh tahun itu ia tak pernah berjumpa manusia,
tak pernah bicara. Oleh karena itu maka berhasillah ia
memperagakan BodhiSatwam atau bathin dan pikirannya
dalam lingkungan ketanangan yang teratur. Namun saat itu,
demi melihat tindakan dan tingkah ketiga orang itu licik dan
ganas, retaklah dinding istana Bodhi-Satwam yang telah
dibangunnya selama duapuluh tahun itu.
Bergolaklah bathin manusia Jangkung Angilo. Ia memikirkan
diri Rara Sindura. Karena timbul pemikiran itu maka timbullah
kerisauan dalam bathinnya. Timbulnya riak kerisauan itu,
berarak-arak menuju rasa tak puas terhadap tindakan Wimba
bertiga. Himpunan riak rasa tak puas itu akhirnya melahirkan
suatu gelombang kemarahan yang meledakkan dinding BodhiSatwam Jangkung Angilo. Manusia Jangkung Angilo yang
sudah padam nyala nafsunya, saat itu berkobar-kobar pula
membakar hangus rongga dadanya "Hm, manusia2 kurang
tata, lihatlah kesaktian Jangkung Angilo . . . !" tiba2 ia
melengking dan tubuhnyapun tiba2 melonjak ke belakang
Sindura. Dengan sebuah gerak yang luar biasa cepatnya, ia
menyambar tubuh wanita itu terus dibawa loncat ke udara
"Hai. . . !" terdengar riuh gemuruh teriakan kejut dari
Wimba dan Bratha Brasthi ketika menyasikan pemandangan
yang luar biasa itu. Dan lebih kejut pula karena setelah Wimba
dan Brastha luput menyambar Sindura, saat itu ketiga ekor
kuda yang karena luput menerjang Jangkung Angilo, saat
itupun melanda mereka berdua. Karena gugup kedua orang itu
terpaksa layangkan tubuh ke tanah dan berguling guling
menghindar ke samping Brasthi yang melepas ketiga ekor kuda, juga tak kepalang
kejutnya. Ia tak pernah menduga bahwa rencana penyerbuan
yang sudah diatur sedemikian rapi, tetap akan menderita
kegagalan juga. Ia hendak mengejar untuk menahan ketiga
ekor kuda itu jangan menerjang Wimba dan Brastha. Tetapi
sudah tak keburu. Untunglah dilihatnya Wimba dan Brastha
dapat menghindar dari terjangan maut ketiga ekor kuda itu.
Dan bahkan dilihatnya pula Brastha dan Wimba cepat
melonjak bangun lalu menyerbu kakek Jangkung Angilo yang
saat itu sudah meluncur ke tanah. Tiba2 pada saat kaki
hendak menginjak bumi, tiba2 kakek itu songsongkan tubuh
Sindura ke muka seraya berseru "Lekas, larilah nak . . . . . !"
Sindurapun lari sekuat kemampuan kakinya.
Apa yang disaksikan itu cepat membangkitkan pikiran
Brasthi. Biarlah Wimba dan Brastha menyerang kakek itu dan
ia harus mengejar Sindura. Cepat ia melaksanakan
keputusannya itu. Diantar oleh dua tiga kali gerak loncatan,
dapatlah ia tiba pada jarak dua tiga langkah di belakang
Sindura "Hai, wanita cantik, mengapa engkau melarikan diri "
Ikutlah kami antarkan kepada mahapatih Nambi!" serunya
seraya ulurkan tangan hendak meraih bahu Sindura.
Serasa terbanglah semangat Sindura ketika mendengar
Brasthi berteriak pada jarak yang begitu dekat sekali di
belakangnya. Sertmpak iapun berpalirg ke belakang. Waktu
melihat tangan Brasthi mengulur hendak menerkam bahunya,
Sindura makin terperanjat sekali. Ia menjerit! "Tolongngng ....
uh ... ." belum sempat ia menyelesaikan jerit kejutnya, tiba2
karena berpaling ke belakang, bahunya telah membentur
sebatang pohon. Dan karena sedang lari maka benturan itu


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup keras. Seketika Sindura teipelanting ke samping dan
rubuh ke tanah Saat itu Jangkung Angilo sedang diserang dengan pedang
dan bindi oleh Wimba dan Brastha. Kedua orang itu mendapat
pengalaman bahwa hanya dengan cara menyerang rapat,
barulah kakek itu tak mempunyai kesempatan untuk
melancarkan mantra ilmu hitamnya. Dan memang untuk
beberapa saat, siasat mereka tampaknya membuat Jangkung
Angilo sibuk menghindarkan diri. Kakek itu tak mau balas
menyerang disebabkan karena ia hendak menahan kedua
orang itu supaya jangan sempat mengejar Sindura. Demikian
beda siasat Wimba dan Brastha, beda pula siasat Jangkung
Angilo. Tetapi untuk yang kedua kali, kemantapan pikiran Jangkung
Angilo terganggu pula oleh jerit teriakan Sindura. Secepat
menyeiimpatkan pandang mata, segera kakek itu tahu bahwa
Sindura sedang terancam oleh Brasthi. Dan belum sempat ia
memikirkan langkah yang akan diambilnya, tiba2 ia terkejut
melihat Sindura terpelanting ke tanah. Lagi2 dinding
ketenangan bathin Jangkung Angilo pecah dan mengalir
pulalah getar2 kemarahan ....
"Manusia kotor ..." desis mulut kakek itu dan setelah
menghindari serangan kedua senjata lawan, ia cepat
mengendapkan tubuh ke bawah dan menjemput segenggam
batu kerikil, terus ditaburkan ke arah Brasthi yang saat itu
tengah ulurkan kedua tangan hendak mendekap Sindura.
"Aduh..." Brasthi menjerit kesakitan dan kedua kakinyaputi
meneliku ke muka, tubuh rubuh ketanah. Lontaran batu kerikil
Jangkung Angilo itu tepat mengenai bagian belakang dari lutut
Brasthi. Brasthi merasa kedua lututnya seperti ditabas
kutung.... Melihat adiknya rubuh, Brastha terus loncat menghampiri.
Wimba tertegun menyaksikan peristiwa itu. Tetapi cepat ia
menyadari bahwa seorang diri tak mungkin ia mampu
menghadapi kakek itu. Maka iapun cepat loncat menyusul
Brastha. Tetapi apabila Brastha datang untuk menolong
adiknya, tidaklah demikian dengan Wimba. Bermula ia
memang mempunyai angan2 begitu. Tetapi demi melihat
Sindura menggeletak di tanah tak jauh dari tempat Brasthi,
tiba2 timbullah pikiran lain dalam hatinya. Ia menyelinap di
samping Brastha terus menghampiri Sindura. Apabila berhasil
menguasai Sindura, ia mempunyai rencana untuk memberi
tekanan kepada kakek itu.
Rencana Wimba itu mennng bagus sekali. Tetapi ia lupa
memperhitungkan diri kakek Jangkung Angilo yang sakti.
Rupanya kakek itu cepat dapat menduga apa yang terkanlung
dai im pikiran Wimba. Maka secepat kilat iapun sudah
menjemput segenggam kerikil pula dan berseru "Hai, berhenti!
Apabila engkau berani menjamah wanita itu, tubuhmu pasti
akan kuhantam dengan kerikil ini ... ."
Wimba tertegun dan hentikan gerakan mendekap Sindura.
Ia menyadari, kakek itu seorang berilmu. Jika ia nekad
melanjutkan rencananya, pastilah ia rubuh seperti Brasthi.
Sejenak ia menyelimpatkan pandang mata ke samping.
Dilihatnya Brastha masih sibuk menolong adiknya yang belum
juga sadar. Diam2 gentarlah had Wimba. Tiba2 ia memperoleh
pikiran. Ya, hanya dengan jalan itu baru dapatlah menekan si
kakek. Demikian pikiran Wimba. Dan cepat pula ia mencabut
pedang lalu dilempangkan ke arah tubuh Sindura, serunya
"Kakek, jangan coba menghampiri kemari. Selangkah lagi
engkau berani maju, wanita cantik ini tentu akan kubunuh ...."
Jangkung Angilo terkesiap. Ia tak mengira lawan yang
sudah terdesak itu masih mampu mencari daya untuk
menguasai dirinya. Ia geram namun sadar. Sadar bahwa bila
ia tetap melangkah maju, Wimba pasti akan melaksanakan
ancamannya kepada Sindura. Namun ia tak rela melepaskan
Sindura ke tangan orang itu. Maka cepatlah ia membalas "Hm,
baiklah. Aku takkan melangkah maju lagi. Tetapi engkaupun
jangan coba berani menjamah tubuh wanita itu. Melanggar
peringatanku berarti membebaskan diriku dari janji kita ini...".
Diam2 Wimba girang dalam hati. Kemudian berseru
menegas "Hm, baiklah. Tetapi benar2 aku heran sekali,
mengapa engkau sedemikian kemati-matian hendak melindunginya ?" "Sudah terikat dalam kewajibanku !"
Wimba membelalakkan mata "Siapa yang mengikat engkau
pada kewajiban itu ?" serunya heran.
"Janji yang kuucapkan"
Wimba tertegun sejenak. Benaknya merekah suatu gagasan
pula. Dalam soal kanuragan dan kedigdayaan, ia sudah
menyadari keunggulan si kakek. Ia merasa mendapat
kesukaran untuk mengalahkannya. Mengapa saat itu ia tak
mencoba untuk menundukkan kakek itu dengan adu lidah
tajam saja " "Engkau khilaf" serunya agak bernada ramah" berbicara
soal kewajiban, akulah yang lebih besar dan sah. Karena gusti
mahapatih Nambi telah membebankan kewajiban membawa
pulang Sindura diatas bahuku bertiga. Dan sesungguhnya,
kewajibanmu untuk melindunginya itu sudah berakhir dikala
kami datang menjemputnya saat ini. Bukankah Sindura itu
isteri Kuda Lampeyan dan Kuda Lampeyan itu anak
kemanakan gusti mahapatih" Mengapa engkau begitu
bersitegang leher merintangi kami?"
Untuk yang pertama sejak duapuluh tahun, maka
tertawalah Jangkung Angilo. Tetapi suara tawa itu bernada
kering kerontang, bagai suara burung gagak menguak di
tengah kerumun burung kutilang "Ki sanak, ada beberapa
alasan mengapa aku bersitegang leher tak melepaskan
Sindura padamu. Pertama, Sindura tak kenal kalian sebagai
orang pengalasan mahapatih Nambi. Kedua, kalian tak dapat
mengunjuk tanda yang membuktikan orang pengalasan
mahapatih. Dan ketiga kali, tujuan membawa pulang Sindura
itu bukan untuk melindungi tetapi untuk diserahkan kepada
raja Jayanagara. Hm, madhu tisthati yihvagre hrdaye tu
halahalam!" "Apa maksudmu?" Wimba menegas.
"Di pucuk lidahnya ada madu, tetapi dalam hatinya
mengandung racun" "Tetapi gusti mahapatih adalah seorang hamba kerajaan.
Wajiblah kalau harus tunduk akan perintah baginda" masih
Wimba berusaha menyanggah.
Kembali Jangkung Angilo tertawa.. Walaupun nada tawanya
masih kering parau namun iramanya tak sehambar burung
gagak "Seorang narapraja terikat oleh kewajiban kepada
junjungannya. Seorang brahmana pendeta terikat pada sila2
keagamaannya. Bhineka kewajiban, eka pengabdiannya. Di
antara dharma yang mengikat keutamaan pengabdian itu,
yalah mentaati janji yang telah diucapkan. Sabda pandita ratu,
merupakan mahkota keutamaan dan keluhuran harkat kaum
brahmana, raja dan ksatrya. Mahapatih Nambi tunduk pada
perintah raja, aku taat akan janjiku pada Sindura"
Wimba terpukau. Ia kehilangan faham untuk meucapan si
kakek. Sekali lagi ia selimpatkan ekor mata kearah Brastha.
Brasthi mulai meregang-regang hendak siuman. Tetapi
sebelum Wimba dapat memperhatikan keadaan Brasthi lebih
lanjut, tiba2 ia terkejut mendengar derap kuda lari
bergemuruh. Dan sebelum ia sempat .menentukan langkah,
derap kuda itu sudah tiba di hutan situ. Serombongan prajurit
berkuda berjumlah duabelas orang, muncul di bawah pimpinan
seorang prajurit yang bertubuh gagah perkasa.
"Berhenti!" teriak kepala prajurit itu sambil acungkan
tangannya ke atas. Terdengar gemerincing riuh ketika kedua
belas ekor kuda itu berhenti dengan serempak "Brehaspati,
lihatlah wanita itu ! Apakah bukan Rara Sindura?"
Kiranya keduabelas penunggang kuda itu adalah
rombongan prajurit keraton Majapahit yang diutus mahapatih
Nambi untuk mengejar jejak Sindura. Lurah prajurit yang
memimpin, yalah Kebo Lembana. Dan Brehaspati ditunjuk
sebagai pembantu. "Hai....!" pekik Brehaspati yang bertubuh kasar "benar
kakang Lembana, memang Rara Sindura! Tetapi eh.. mengapa
ia berbaring diam di tanah " Ho, siapakah orang2 yang berada
didekatnya itu?" "Periksalah mereka!" perintah Kebo Lembana. Dengan
tangkas, Brehaspati loncat turun terus menghampiri ketempat
Sindura "Hai, ki sanak, siapakah engkau !" bentaknya kepada
Wimba. Wimba mengkal atas kekerasan sikap orang. Namun
ditekannya perasaan kemarahannya. Setelah memperoleh
kesan bahwa rombongan pendatang itu prajurit dari kerajaan
Majapahit, ia hendak menyelidiki lebih lanjut latar belakang
mereka "Aku pangalasan dari gusti mahapatih Nambi untuk
membawa pulang Rara Sindura ..."
"Bohong!" bentak Brehaspati marah sekali "gusti mahapatih
Nambi hanya menitahkan rombongan kami pimpinan kakang
Kebo Lembana ini untuk mencari Rara Sindura! Ho, keparat,
berani benar engkau melumuri keluhuran nama gusti
mahapatih! Enyah.. eh, engkau hendak membunuh Rara
Sindura?" Saat itu Wimba memang masih mengancamkan pedangnya
ke tubuh Sindura. Teguran Brehaspati cepat membangkitkan
pikirannya "Soal siapa yang diutus gusti mahapatih Nambi, itu
dapat kita selesaikan nanti. Tetapi aku harus melindungi
wanita iiu lebih dulu"
"Dengan cara mengancamkan pedang itukah engkau
hendak melindungi Sindura?" dengus Brehaspati
"siapa yang hendak mengganggunya ?"
"Kakek itu!" serentak Wimba berseru seraya menunjuk
Jangkung Angilo "jika engkau dapat menghalaunya,
kuserahkan keselamatan wanita itu kepadamu"
"Baik, tinggalkanlah!" seru Brehaspati dengan yakin.
Tetapi Wimba menolak "Tidak! Sebelum engkau benar2
mimpu mengusir kakek itu, aku takkan pergi. Karena
kucemaskan, engkau tak mampu menandingi kesaktiannya!"
"Hm, setan, jangan ingkar janji" guman Brehaspati seraya
maju selangkah kemuka Jangkung Angilo
"Hai, kakek tua renta, pergilah
mengganggu wanita itu!" serunya garang.
engkau, jangan "MURKHASYA NASTY AUSADHAM" seru Jangkung Angilo.
"Apa yang engkau ocehkan itu" Gilakah engkau"
"Untuk orang bodoh tak ada obatnya" Jangkung Angilo
menerangkan ucapannya tadi.
"Keparat! Engkau berani memaki aku bodoh"
"Orang yang cepat percaya omongan orang jahat tak beda
dengan kerbau yang dicocok hidungnya" jawab Jangkung
Angilo "dia yang jelas berbohong menipumu, engkau percaya.
Bukankah ia mengaku sebagai pengalasan mahapatih Nambi"
Benarkah keterangannya itu" Mengapa engkau masih percaya
pada lain2 omongannya" Maka semakin yakinlah aku akan
kebenaran kata2 yang kuucapkan tadi. Segala macam
penyakit masih dapat diobati. Tetapi kalau otak bodoh, tiada
obatnya. Cobalah engkau ajar bicara pada kerbau .."
Brehaspati merah padam mukanya. Ia merasa kata kakek
itu memang benar. Tetapi ia malu mengakui karena merasa
dihina "MADO MUNIH, pendeta yang menyombongkan
kepandaian! Soal dia menipu aku, tentu akan, kubereskan
sendiri. Usah engkau ikut campur. Tetapi engkaupun harus
menjawab, mengapa engkau hendak merebut wanita ayu itu"
Engkau seorang kakek tua renta, umurmu sudah dapat
dihitung dengan jari. Mengapa engkau masih menginginkan
wanita muda?" Merahlah selebar muka Jangkung Angilo yang penuh
berhias keriput kemasaian itu. Untunglah ia cepat dapat
menekan luap perasaannya karena menyadari bahwa prajurit
yang dihadapannya itu memang kasar dan bodoh "Prajurit
Majapahit, engkau salah faham. Aku bukan menginginkan
wanita itu dengan maksud tak senonoh, melainkan hendak
melindunginya dari gangguan ketiga orang itu"
Brehaspati membelalakkan mata "Engkau hendak melindungi wanita itu" Uh, betapa benar kesombonganmu itu,
kakek tua. Bagaimana kalau aku yang membawanya pergi ?"
"Tiada bedanya! Barangsiapa berani mengganggu Sindura,
tentu akan kurintangi" jawab Jangkung A ngilo.
"Ha, ha, ha ... ." Brehaspati tertawa terbahak-bahak penuh
ejek. "Hai, jangan memandang rendah pada kakek itu. Dia mahir
ilmu hitam, engkau tentu kalah !"
Brehaspati terkejut dan berpaling. Ketika mengetahui yang
berseru itu Wimba, meluaplah keeongkaannya "Huh, engkau
tikus, bukalah matamu agar engkau dapat menyaksikan
bagaimana tulang belulang kakek itu akan kupatahkan satu
demi satu!" Habis berkata, Brehaspati busungkan dada dan ayunkan
langkah lebar ke muka Jangkung Angilo .....
0ooo8dw8ooo0 Jilid 7 I MUSUH berbahaya dari manusia adalah Nafsu jagad
pcribadinya. Jumlahnya empat, tiga yang bersifat buruk yani
AHANGKARA, AMARAH dan BERAHI. Dan satu yang bersifat
baik yalah BUDI BAIK. AHANGKARA, AMARAH dan BERAHI
selalu membujuk, merayu dan mendorong bathin atau pikiran
kita supaya melakukan ketiga sifat buruk itu. Budi baik selalu
merintangi bujukan2 itu. Kemudian masih ada yang disebut
sifat Nimpuna yalah Kesadaran atau Kewaspadaan. Sifat
kelima inilah yang selalu memberi petunjuk dan bimbingan ke
arah jalan yang lurus suci, menuju ke arah kesempurnaan
hidup yang sejati. Dalam ilmu Kesepuhan, kelima sifat dalam peribadi manusia
itu disebut SAUDARA EMPAT, LIMA PANCER.
Ketiga Sifat atau Nafsu buruk itu, memang bermulut madu,
bertutur merdu, pandai merayu, penyenang kalbu. Sehingga
bathin atau pikiran kita, mudah sekali mengikuti bujukan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Hanya manusia yang sadar dan waspada, dapat
membebaskan diri dari rayuan ketiga Nafsu buruk itu.
Diantara ketiga nafsu buruk itu, Amarahlah yang paling
sukar diatasi. Sesungguhnya cerita RAMAYANA itu adalah
pengejawantahan dari keempat sifat manusia yang
diperlambangkan Dasamuka sebagai sifat Amarah. Kumbakarna sifat Hangkara, Sarpakenaka sifat Berahi dan
Gunawan Wibisana sifat Budi Baik. Sedang Prabu Ramawijaya
merupakan Kesadaran atau Kewaspadaan yang mengunjukkan
jalan ke arah yang lurus dan suci.
Akibat dari nafsu Amarah atau perbuatan dari prabu
Dasamuka yang tak dikendalikan itu, maka rusaklah negara
Alengka dan sengsaralah rakyatnya. Walaupun akhirnya prabu
Dasamuka itu dapat dialahkan oleh Anoman, wanara putih
lambang Kebenaran dan Kesucian, namun Dasamuka yang
ditindih gunung itu tetap tak mati karena memiliki apa yang
disebut aji Pancasona. Demikian pula dengan nafsu Amarah
dalam alam peribadi manusia. Namun Amarah itu dapat
dikendalikan tetapi bukan berarti sudah dilenyapkan. Setiap
waktu Amarah itu akan timbul dan membakar hangus bathin
kita. Oleh karmanya, kaum yogi memperlakukan Amarah itu
sebagai musuh yang harus dilenyapkan.
Lebih hebat pula apabila Amarah itu meledak dari peribadi
yang berilmu. Amarah mpu Gandring telah melahirkan kutukan
maut kepada Ken Arok dan tujuh keturunannya. Umpat yang
diucapkan mpu Parwa, ayah Ken Dedes, kepada Tunggul
Ametung yang melarikan Ken Dedes, berakhir dengan
terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Ken Arok.
Demikian pula Jangkung Angilo. Sudah duapuluh tahun
lamanya ia menyepi diri menuntut kesempurnaan yoga.
Hampirlah ia berhasil mencapai tataran ilmu Samadhi yang
tinggi. Hampir pula ia dapat menguasai alam Bodhi-Satwam
untuk bersiap-siap menyongsong Sanghyang Bajra-ghanta,
yalah suara bathin yang sangat suci menyerupai suara genta.
Orang yang mendengar suara itu, menjadi tanda bahwa
bathinnya telah meningkat suci, lepas dari gangguan pikiran
yang mementingkan keduniawian.
Tetapi dikala ia melihat ulah Wimba dan kedua saudara
Brastha-Brasthi terhadap Rara Sindura, meluaplah endapan
Amarah yang terkubur dalam hatinya. Bagaikan ledakan lahar
panas yang meluap dari kerak bumi, getaran Amarah itu
menimbulkan gelombang prahara yang menggoncangkan
pusat Cakram Manipura di pusar perut lalu meluap ke arah
Cakram Hata Gina di bagian jantung kemudian menggetar ke
seluruh uratnadi. Semua anggauta dalam tubuh yang semula
sunyi tenang, saat itu seperti dilanda oleh banjir lahar yang
membara panas, Jangkung Angilo terkejut ketika rasakan napasnya sesak,
kepala berbinar-binar. Cepat ia menyadari apa yang telah
terjadi pada dirinya. Buru2 ia melakukan Prana atau ilmu
pernapasan untuk menenangkan darah yang meregangtegangkan uratnadinya. Namun hal itu tak mudah dilakukan
dalam waktu yang singkat. Darahnya masih mengalir panas
ketika Brehaspati menghampiri dan hendak menyerangnya.
Jangkung Angilo gelisah. Bukan karena gentar berhadapan
dengan Brehaspati tetapi kuatir akan akibatnya. Ia menyadari
bahwa darah dalam tubuhnya masih bergolak keras. Apabila ia
terjerumus dalam rayuan Amarah, Brehaspati tentu akan
menjadi korban. Maka berusahalah ia sekuat mungkin untuk
merangkan diri. "Prajurit Majapahit, jangan mendesak aku ke tebing
kehancuran" serunya "aku hanya seorang tetapi mereka
berjumlah tiga orang. Jika kita berkelahi, yang kalah jelas akan
remuk. Tetapi yang menangpun juga akan menderita luka.
Tidakkah terlintas dalam pikiranmu bahwa mereka memang
sengaja hendak mengadu kita lebih dulu, setelah itu baru
mereka turun tangan. Cobalah engkau camkan. Pertama,
mereka jelas berani mengaku sebagai utusan mahapatih
Nambi. Dan kedua, mereka menyatakan rela menyerahkan
Sindura tetapi tetap tak mau pergi. Adakah engkau percaya
saja pada ucapan seorang yang tak jujur pengakuannya?"
Brehaspati tertegun. "Lebih dulu halaulah mereka, baru nanti kita bicara lagi"
seru Jangkung Angilo pula.
"Jangan percaya omongan kakek itu!" teriak Wimba kepada
Brehaspati. Bhavangkara keraton itu tak menghiraukan
Wimba, melainkan berseru meminta penegasan kepada
Jangkung Angilo "Apakah engkau bersedia menyerahkan
wanita itu setelah kuhalau mereka?"
"Ya, tetapi dengan sebuah syarat" sahut Jangkung A ngilo.
"Katakanlah syaratmu itu!" seru Brehaspati.
"Tidak" Jangkung A ngilo menolak "suruh mereka pergi dulu
nanti kuberitahukan"
Brehaspati garuk2 kepala, la bingung untuk bertindak.
Akhirnya ia mengisar langkah kearah Kebo Lembana "Kakang
Kebo Lembana, bagaimana aku harus bertindak ?"
Kebo Lembana mengikuti semua pfmbicaraan mereka. Ia
memang mempunyai kesan tak percaya kepada Wimba
bertiga. Tetapi karena Brehaspati sudah bertindak, iapun tak
mau menegurnya karena kuatir akan menyinggung perasaan
orang. Adalah saat itu setelah Brehaspati menanyakan
pendapatnya, barulah Kebo Lembana menyahut "Sesungguhnya apa yang dikatakan kakek itu memang benar.
Tetapi .." "Tetapi bagaimana, kakang ?" desak Brehaspati
"Untuk membuktikan sampai di mana pernyataan mereka
itu dapat dipercaya" kata Kebo Lembana" baiklah ke dua2nya
disuruh tinggalkan tempat ini"
"Ho, benar, benar!" seru Brehaspati gembira lalu berseiu
kepada Jangkung Argilo "hai, kakek, silahkan engkau pergi
dari sini bersama ketiga orang itu" kemudian ia berpaling
kearah Wimba bertiga "hai, kamu bertiga harus angkat kaki
dari sini dan wanita itu akan kami bawa!"
"Tidak!" teriak Wimba serentak "suruh kakek itu pergi dulu,
baru kami bertiga angkat kaki !"
"Engkau harus pergi lebih dahulu karena kakek itu masih
hendak mengajukan syarat!" seru Brehaspati.
"Tetapi aku baru mau pergi setelah kakek itu mati atau
enyah dari sini!" Wimba membantah.
Brehaspati tertegun sejenak. Setelah itu ia menghampiri
Jangkung Angilo dan minta kakek itu berangkat lebih dulu.
Jangkung Angilo mempunyai pertimbangan lain. Pada saat ia
belum dapat mengendalikan peredaran darah dalam tubuhnya,
baiklah ia gunakan kata2 untuk menghadapi rombongan
prajurit itu. Maka tertawalah ia ringan "Sesungguhnya untuk
angkat kaki dari sini, tidaklah sukar. Tetapi dengan demikian.
engkau bakal menderita beban yang berat ...."
"Beban apakah itu?" Brehaspati terlongong.
"Andaikata tak kurintangi, bukankah Sindura sudah dibawa
oleh ketiga orang itu?" seru Jangkung A ngilo "cobalah engkau
pikir dan renungkan. Bukan aku hendak menampilkan jasa,
tetapi kenyataan memang demikian. Bukan terima kasih yang
engkau berikan kebalikannya malah engkau hendak mengusir
aku karena takut kepada ketiga orang yang hendak menculik
Sindura. Tahukah engkau apa maksud mereka mendesak
engkau supaya menyuruh aku pergi?"
Brehaspati memang tak pandai dalam soal siasat dan tipu
muslihat. Dia seorang prajurit yang mengagungkan kegagahan
dan keperkasaan. Maka bertanyalah ia "Apakah maksudnya?"
Jangkung Angilo tertawa. Suatu gerak yang amat
diperlukan untuk melonggarkan ketegangan uratnadinya "Hm,
hm, ajata mrta murkhanam varam adyau na cantimah. Sakri
duhkha karav adyav antimas tu pade pade ...."
."Gila, aku tak mengerti
bersungut-sungut. apa maksudmu" Brehaspati
"Itulah pepatah bahasa Sanskerta yang artinya begini" dari
anak yang tak lahir, yang mati atau yang bodoh. Dua hal yang
pertama itu, lebih baik daripada yang terakhir. Anak yang tak
lahir dan yang mati, hanya satu kali memberi kesedihan.
Sedargkan anak yang bodoh, memberi kesedihan tiap2 hari"
"Ho, engkau menghina aku bodoh" seru Brehaspati.
"Apakah engkau merasa pandai?" balas Jangkung Angilo
"mengapa engkau tak mengerti muslihat orang yang hendak
menyiasati dirimu?" "Aku seorang prajurit. Perang adalah pelajaranku,
bertempur latihanku. Terhadap musuh hanya dua cara:
membunuh atau dibunuh. Tetapi secara terang-terangan" seru
Brehaspati. "Tetapi prajurit itu seorang manusia yang mempunyai
pikiran. Bukan benda atau alat yang mati. Dan sesungguhnya
berperang atau bertempur itupun menggunakan siasat.
Bukankah engkau akan mengelak apabila hendak ditusuk
musuh" Nah, itu siasat namanya. Bukankah engkau harus
mengatur barisanmu untuk menyerang kedudukan musuh"
Nah, itupun siasat lagi namanya. Jadi setiap gerak pikiran itu,
melahirkan sesuatu yang disebut rencana atau siasat. Adakah
engkau telan saja hidangan yang engkau makan itu ?"
"Huh .... tidak!" gumam Brehaspati.
"Itulah" seru Jangkung Angilo "makanpun engkau
menggunakan pikiran. Bagaimana supaya jangan ikut
termakan tulang dari ikan yang menjadi lauk pauk
hidanganmu. Bagaimana engkau membagi jemput demi
jemput dari daging atau ikan ke dalam nasi, agar setiap suap
yang engkau telan itu mempunyai keseimbangan rasa yang
mencocoki selera lidahmu. Pikiran yang tanpa engkau sadari
tercurah kesitu itu, berarti suatu rencana atau siasat.
Mengertikah engkau?"
Brehaspati mengkal dalam hati, tetapi entah bagaimana, ia
anggap kata2 kakek itu memang sukar dibantah. Ia tak dapat
menjawab kecuali mendesuh. "Hm . . ."
"Nah, oleh karena jelas dalam setiap gerak pikiranmu,
engkau tak terlepas dari melahirkan rencana. Maka sudah
sewajarnya kalau engkau mau menelaah apa yang tersirat
dalam kata2 ketiga orang itu tadi"
"Sudahlah, kakek, jangan berkepanjangan" tukas Brehaspati
tak sabar "katakanlah segera!"
"Hm, baiklah" kata Jangkung Angilo "mengapa mereka
amat bernafsu untuk mengusir aku, tak lain karena selama
aku disini, mereka tentu tak dapat membawa Sindura.
Bukankah sebelum engkau dan rombonganmu datang, mereka
dapat kugagalkan rencananya " Maka mereka berkeras hendak
minta engkau mengusir aku. Setelah engkau menurut
perintahnya dan aku pergi, dengan mudah mereka dapat
melanjutkan rencananya membawa Sindura"
"Tidak mungkin!" pekik Brehaspati "selama Brthaspati masih
di sini, tak mungkin mereka mampu melakukan tindakan itu!"
"Ah, engkau amat congkak, orang Majapahit?" ejek
Jangkung Angilo "mereka hanya takut kepadaku, tidak
kepadamu ...." "Setan" teriak Brehaspati seraya melangkah ke tempat
Wimba "hai, engkau, mau enyah atau tidak!?"
Sebagaimana halnya seperti Jangkung Angilo, Wimbapun
cepat dapat mengetahui bahwa Brehaspati itu seorang prajurit
yang kasar tetapi tolol, mudah diombang-ambingkan "Ha, ha"
Wimba tertawa menggelak "memang yang dikatakan kakek itu
benar. Untuk anak yang bodoh, orangtuanya harus bersedih
tiap2 hari. Tetapi sayangnya, untuk kebodohanmu ini, bukan
orangtuamu yang bersedih tetapi aku. Mengapa engkau
mudah percaya akan omongan kakek itu " Telah kukatakan
taji, aku bersedia menyerahkan wanita ini kepadamu asal
kakek itu sudah engkau halau pergi. Karena ketahuilah, dia
mengaku bernama Jangkung Angilo dan mempunyai ilmu
hitam yang sakti. Buktinya, hanya dengan beberapa patah
kata saja, pikiranmu sudah diterbalikkannya ...."
Sejenak Brehaspati tertegun lalu mendamprat "Bedebah !
Kakek itu mendamprat aku bodoh dan sekarang engkaupun
memaki aku bodoh. Tetapi kenyataan baik dia maupun
engkau, sama2 tak mau pergi dari sini. Hm, apakah perlu
kubertindak dengan kekerasan ?"
Wimba tertawa hina "Jika engkau memang menurut
perintah kakek itu, silahkan miju. Tetapi ingat, selangkah lagi
engkau berani ayunkan kaki ke muka, dengan tidak segan2
pedangku ini tentu akan kutanam di dada wanita inil"
Brehaspati tertegun ketika melihat Wimba makin
melekatkan ujung pedangnya ke dada Sinduia yang masih
belum sadar. Apabila Sindura terbunuh, sekalipun orang yang
membunuhnya itu dapat ditangkap, pun ia dan rombongan
kawan2 prajurit, tentu tetap akan menerima hukuman dari
baginda. "Kakang Lembana, bagaimana ?" sesaat kemudian ia
berpaling kearah Kebo Lembana. Kebo Lembana tak dapat
seketika memberi keputusan. Iapun agak bingung menghadapi
keadaan saat itu. Jika menggunakan kekerasan, dikuatirkan
orang itu akan melaksanakan ancamannya sungguh2. Tiba2 ia
mendapat pikiran, serunya "Rombongan kita pecah dua, yang
sekelompok mengepung ketiga orang itu dan yang
sekelompok mengepung kakek itu. Kurasa kedua duanya
sama2 berbahaya" Brehaspati mengiakan. Segera ia memberi isyarat kepada
rombongan prajurit2 berkuda. Mereka dipecah menjadi dua
kelompok. Kelompok kesatu dipirrpin Kebo Lembana
mengepung Jangkung Angilo. Kelompok kedua dipimpin
Biehaspati mengepung Wimba bertiga.
Jangkung Angilo terkejut. Jika terjadi sesuatu pada diri
Sindura, jelas ia tak dapat memberi bantuan. Ia harus mencari
daya agar rombongan prajurit Majapahit itu dapat bertempur
dengan Wimba dan kedua kawannya.
Belum ia sempat menemukan akal, tiba2 dari arah barat
terdengar derap kaki kuda menyongklang riuh. Cepat sekali
rombongan kuda itu sudah tiba dihutan situ.
Sepuluh penunggang kuda berpakaian warna hitam muncul.
Serentak seorang bertubuh kekar dan menyelipkan sebatang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang dipelana kudanya, berseru keras "Hai, kakek Jangkung
Angilo, akhirnya dapat kuketemukan juga engkau!"
Jangkung Angilo agak terkejut. Tetapi cepat ia tenangkan
diri agar darahnya tak melancar deras lagi "Siapakah kalian
ini" Mengapa kalian kenal namaku"
"Seluruh rakyat pejuang Daha tak pernah melupa nama
Jangkung Angilo, manusia yang telah menghianati harta
peninggalan baginda Jayakatwang!"
Ucapan orang itu bagaikan ledakan kilat. Seketika
gemparlah sekalian orang yang berada disitu. Rombongan
prajurit Majapahit terpukau, Kebo Lembana merentang mata
lebar, Brehaspati mendelik. Sedang Wimba, Brastha dan
Brasthi terlongong-longong.
Tetapi diluar dugaan, kakek Jangkung Angilo tampak
tenang2 saja. Ia memandang pendatang itu lekat2. Tak
berapa lama muncul pula beberapa orang lelaki berpakaian
hitam. Jumlahnya tak kurang dari limabelas orang. Mereka
tegak berjajar disebelah kanan dan kiri dari lelaki bertubuh
kekar itu. Masing2 menyelip tabung anak panah pada ikat
pinggangnya dan menyanggul busur pada bahunya.
Suasana beralih pada lain ketegangan. Seluruh mata
tercurah pada diri Jangkung Angilo. Sesaat persoalan Rara
Sindura seolah-olah terlupakan.
"Sudah lengkapkah semua
Jangkung Angilo berseru. kawan-kawanmu?" tiba2 "Ya, apa katamu?" kata lelaki bertubuh kekar itu tanpa
menghiraukan rombongan Kebo Lembana maupun rombongan
Wimba. "Siapakah yang memberitahukan
diriku?" tanya Jangkung Angilo.
kepadamu tentang "Seorang kawan"
"Antaka atau Sapara?" Jangkung A ngilo menegas.
"Salah seorang" sahut lelaki bertubuh kekar itu "keduanya
adalah kawan kita" "Kutahu" tukas Jangkung Angilo "tetapi tak kusangka
mereka benar2 mengandung hati untuk menghianati diriku"
"Mereka bukan menghianati, tetapi menunaikan tugasnya"
bantah orang bertubuh kekar itu.
"Kalau mereka sebelumnya tak berjanji, memang benar
katamu itu. Tetapi mereka tak mungkin dapat berjumpa
kepadamu apabila jiwanya tak kutolong. Dan mereka telah
berjanji untuk tak mengabarkan diriku kepada siapapun juga.
Tetapi ah, memang aku bersalah. Mengukur jiwa orang
dengan ukuran hatiku . ...." ia menghela napas.
"Itulah yang disebut Karma" seru orang itu "engkau
menghianati perjuangan rakyat Daha, sekarang engkau
dihianati orang." Jangkung Angilo tertawa hambar "Karma, tidaklah
sesederhana itu libatannya. Dan sesungguhnya tindakanku itu
bukanlah suatu Karma. Tetapi pada saat dan tempat seperti
ini, tiadalah tepat kuuraikan apa yang disebut Karma itu. Mari
kita bicara mengenai soal2 yang penting. Apakah maksudmu
mengejar aku ke sini ?"
"Sudah jelas!" seru orang itu "seperti yang kulantangkan
pada ucapanku pertama tadi. Berikanlah peta itu !"
"Kalau aku menolak ?"
"Hukum perjuangan, barang siapa menghianati, penggal
kepala !" seru orang itu tegas.
"Siapa yang menghianati dan siapa yang dihianati?"
"Yang menghianati adalah Jangkung A ngilo, kakek yang kini
berada di hadapanku. Dan yang dihianati adalah pejuang2
Daha yang bergabung dalam Wukir Polaman!"
"Adakah kalian ini orang Wukir Polaman ?"
"Ya" Tiba2 Jangkung Angilo berpaling kearah rombongan Kebo
Lembana, seru "Tuan2, perkenalkanlah, rombongan yang baru
datang ini adalah orang2 Wukir Polaman !"
Tanpa menilik lebih lanjut bagaimana tanggapan Kebo
Lembana dan rombongannya pada saat mendengar
pernyataan itu, Jangkung Angilo berpaling pula ke arah orang
bertubuh kekar itu "Engkau menuduh aku menghianati
perjuangan pejuang Daha yang tergabung dalam Wukir
Polaman. Apakah yang diperjuangkan Wukir Polaman itu "
Membangun kerajaan Daha kembali dan menuntut balas atas
kematian baginda Jayakatwang ! Dengan begitu teiatu harus
melawan kekuasaan Majapahit?"
"Ya" sahut orang itu serentak.
"Dengarlah tuan2" seru Jangkung Angilo kepada
rombongan Kebo Lembana "begitulah pendirian pejuang Wukir
Polamanl" Karena setiap kali Jangkung Angilo berseru kepada
rombongan prajurit Majapahit, timbullah kecurigaan orang
bertubuh kekar itu "Siapakah mereka" Apakah hubungannya
dengan persoalan kita sehingga tiap kali engkau selalu
memberitahukan kata2ku kepada mereka?"
"Engkau tak tahu mereka" Ah, sungguh naif benar" seru
Jangkung Angilo "mereka adalah rombongan prajurit
Majapahit yang hendak menjumpai aku?"
"O" desuh orang itu "juga hendak meminta peta?"
"Bukan" sahut Jangkung Angilo "mereka hendak meminta
seorang wanita" "Wanita?" ulang orang itu agak heran.
"Aneh, mengapa engkau tak tahu" Bukankah Antaka dan
Sapara kedua kawanmu itu ditugaskan untuk membawa
wanita itu ke Wukir Polaman?" seru Jangkung Angilo.
Orang bertubuh kekar itu mendesis "Itu urusan sesepuh
kami. Soal wanita itu kami tak diberitahu oleh sesepuh kami.
Tugas karni hanyalah menjaga keamanan markas"
"Dan engkau tak pernah ke pura kerajaan?"
"Apa perlunya" Tugas kami hanya di markas!" seru orang
itu agak geram. "O, pantas" desuh Jangkung Angilo "kalau engkau seperti
katak dalam tempurung. Sekarang sudah jelas siapakah
prajurit itu, bukan?"
Orang bertubuh kekar itu mendengus "Huh, kutahu
muslihatmu. Engkau hendak menganjurkan supaya mereka
menangkap aku, bukan?"
"Engkau makin pintar sekarang" Jangkung Angilo tertawa
kecil. "Ha, ha" orang itu tertawa ringan "barangsiapa
menganggap dirinya pintar, sesungguhnya dia bodoh.
Tahukah engkau apa yang disandang oleh anak buahku ini?"
"Anakpanah, senjata yang digunakan oleh mereka yang
takut berkelahi secara merapat" jawab Jangkung Angilo
tenang. "Belum lengkap keteranganmu itu" seru orang itu "karena
anakpanah yang dimiliki orang2ku itu berlumur racun yang
akan membuat daging tubuh membusuk"
"Lalu mati?" Jangkung Angilo melanjutkan kata2 orang
seolah-olah tak merasa ngeri akan keganasan senjata beracun
itu. "Benar, dalam waktu sehari semalam apabila tak mendapat
obat yang mujarab, jiwanya tentu melayang"
Mulut Jangkung Angilo mendecak-decak "Cet, cet " ada
kalanya manusia memang lebih kejam dari hewan.
Menghadapi binatang buas, manusia hanya menggunakan
tombak dan anakpanah biasa. Tetapi mengapa menghadapi
sesama manusia, harus menggunakan anakpanah berlumur
racun ...." Kebo Lembana, Brehaspati dan rombongan prajurit
Majapahit tergetar hatinya. Wimba, Brastha dan Brasthipun
merasa seram. "Tetapi terhadap orang yang tak mengganggu kami dan
musuh yang sudah menyerah, sekali-kali kami tak
menggunakan senjata beracun itu" orang itu menambahi
keterangannya. "Misalnya kepada rombongan prajurit Majapahit yang
engkau musuhi itu?" Jangkung Angilo mendesak pertanyaan.
"Kedatangan kami kemari adalah untuk meminta peta itu
dari engkau. Tidak ada hubungan dengan mereka. Selama
mereka tak mengganggu urussun kami, kamipun takkan
memusuhi mereka" Diam2 Kebo Lembana dan Brehaspati menghela napas
longgar. Demikian pun Wimba dan kedua kawannya.
"Benarkah kata-katamu itu?" Jangkung Angilo menegas.
"Ya" "Engkau tidak menghendaki wanita itu" Bukankah kedua
kawanmu itu diutus oleh pimpinanmu untuk membawa wanita
itu ?" Orang itu terkesiap, mengerut dahi. Sebelum ia mencapai
suatu tanggapan, tiba2 Jangkung Angilo berpaling kearah
rombongan prajurit Majapahit "Ki bekel" serunya pada Kebo
Lembana" karena soal ini sudah terdengar oleh rombongan ki
bekel maka baiklah kuterangkan apakah sebenarnya peta yang
dikehendaki oleh orang Wukir Polaman itu. Peta itu adalah
tempat penyimpanan harta kekayaan baginda Jayakatwang
dari kerajaan Daha. Harta karun yang berupa ratna mutu
manikam yang tak ternilai harganya itu, takkan habis dinikmati
sampai tujuh turunan. Harta itu menurut pesan baginda
Jayakatwang, supaya dibagikan kepada rakyat Daha agar
meningkatkan pengidupan mereka. Tetapi oleh para pejuang
Daha, harta itu akan diperuntukkan bekal perjuangan mereka
melawan kerajaan Majapahit dan membangun kerajaan Daha
lagi. Jadi jelas apabila harta karun itu jatuh ketangan mereka,
Majapahit pasti akan menghadapi perlawanan yang dahsyat
...." "Jangkung Angilo .. . !" teriak orang bertubuh kekar sesaat
menyadari apa yang bersembunyi dalam keterangan kakek itu
kepada orang Majapahit. Ada dua hal yang paling mudah menggerakkan nafsu
kemilikan orang. Pertama Harta dan kedua Wanita. Mendengar
keterangan Jangkung Angilo itu, gempakah dalam hati
sekalian orang yang berada disitu. Seperti lebah yang
dionggok dari sarang, mendengung-dengunglah suara hati
setiap orang. Nafsu Angkarapun mulai menari-nari sambil
menebarkan bujuk rayuannya. Hatipun serasa tergelitik,
pikiran melingkar-lingkar
Kebo Lembana, Brehaspati, prajurit2, Wimba, Brastha dan
Brasthi tampak memerah wajahnya. Mata merekapun mulai
bergenang minyak. "Setelah kuberi penjelasan" kata Jangkung Angilo tanpa
menghiraukan teriakan orang bertubuh kekar "adakah engkau
hanya menginginkan wanita itu saja" Jika benar persoalan ini
mudah. Wanita itu silahkan engkau bawa pergi dan peta harta
karun itupun akan kuberikan kepada orang Polaman"
Kebo Lembana tertegun merenung. Tidak demikian dengan
Brehaspati yang kasar. Serentak ia berseru
"Wanita itu akan kubawa pulang, petapun akan kuambil
juga!" "Engkau temaha sekali" olok Jangkung Angilo "perlu apakah
engkau menghendaki peta itu" Ingat, peta dan harta karun itu
adalah milik rakyat Daha"
"Uh" Brehaspati menggumam "tetapi harta itu hendak
dipergunakan untuk melawan kerajaan Majapahit maka aku
berhak merebutnya!" "Engkau tak takut akan senjata panah beracun mereka?"
seru Jangkung Angilo mengejek.
"Uh .... ini ... ." Brehaspati tak dapat memberi jawaban dan
terus berpaling memandang Kebo Lembana. Kebo Lembana
mengerti apa yang dikehendaki kawannya yang kasar itu,
serunya "Kakek, jika engkau sudah tahu bahwa peta itu adalah
milik orang Daha, mengapa engkau menawarkan pada kami"
Bukankah engkau jelas mempunyai maksud tertentu?"
Jangkung Angilo tertawa merenyah "Ah, rupanya engkau
dapat berpikir, ki bekel. Benar, memang peta itu adalah milik
orang Daha. Tetapi karena hal itu sudah diketahui oleh orang
banyak, maka hilanglah sifat hak-milik itu. Setiap orang yang
mendengar, berhak untuk mencari dan memilikinya. Sudah
tentu ia harus berani menghadapi akibat2 perbuatannya itu.
Misalnya seperti saat ini. Setiap orang yang hadir disini,
berhak untuk berusaha mencari harta karun itu. Namun kalau
ia tak berani menghadapi bahaya yang menjadi akibatnya,
silahkan mundur saja";
"Jangkung Angilo, jangan banyak cakap!" tiba-tiba orang
bertubuh kekar itu barseru "Ayo serahkan peta itu sekarang
juga!" "Dan wanita itu?"Jangkung Angilo menegas.
"Akan kubawa juga!"
Tiba2 terdengar suara tertawa dingin "Huh, enak sekali
engkau bicara, ki sanak. Soal peta mungkin aku takkan turut
campur. Tetapi wanita ini, hm, jangan menghapus diriku, ki
sanak!" Ketika sekalian orang berpaling kearah pembicara itu,
ternyata Wimba yang sejak tadi tak buka suara.
Orang bertubuh kekar itu berpaling, serunya "Kalau aku tak
mengganggu wanita itu, apakah engkau benar2 tak mengusik
kami?" "Ya, silahkan engkau membawa peta itu dan aku wanita ini"
sahut Wimba. "Bagus, janji seorang lelaki
harus ditepati" kata orang
bertubuh kekar itu seraya
maju ketempat Jangkung Angilo. "Berhenti!" tiba2 Kebo Lembana berseru keras "masih
ada aku dan rombongan prajurit Majapahit yang melarang engkau" Mendengar

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemimpinnya sudah menyatakan pendiriannya, Brehaspatipun
segera buka suara "Orang
Wukir Polaman, sudah jelas
bahwa kalian adalah musuh kerajaan Majapahit. Dan wajiblah
kahu ki mi tangkap. Tetapi karena kalian telah mengunjukkan
peta itu, maka kali ini dapat kuberi kelonggaran, kubebaskan
pulang." Orang bertubuh kekar itu tertawa mengejek "Uh, garang
benar ucapanmu ki sanak. Sayang kebaikanmu itu tak dapat
kami terima. Dan memang kami haram menerima budi
kebaikan ataupun pertolongan orang Majapahit. Maka kalau
engkau dapat membebaskan kami, kebalikannya kami tak
dapat membebaskan engkau dan rombonganmu" orang itu
menutup kata-katanya dengan mengacungkan tangan keatas.
Serentak kelimabelas anakbuahnya bersiap dengan busur dan
anakpanah, diarahkan kepada Brehaspati.
Saat itu sang Suryapun sudah mulai condong ke balik
gunung. Suasana indah meresapkan dari pohon2 hijau
bersalut sinar keemasan sang Surya, tak dihiraukan oleh
orang2 yang sedang dicengkam ketegangan saat itu. Kebo
Lembana terkejut karena Brehaspati sudah bertindak
mendahului rencananya. Sebenarnya ia sedang melaksanakan
siasat mengulur waktu. Apabila matahari sudah lenyap
berganti malam, tentulah barisan pemanah dari orang2 Wukir
Polaman itu akan kehilangan ketepatan arah bidiknya. Dan
pada saat itulah ia akan bertindak menyerang mereka.
Kebo Lembana cemas. Cepat ia hendak mencegah
Brehaspati. Tetapi prajurit yang berwatak kasar itu sudah
terlanjur terbenam dalam suasana tantang menantang dengan
lawan. "Ho, orang Wukir Polaman" seru Brehaspati sebelum Kebo
Lembana tempat mencegah "kalau engkau hendak membunuh
aku dengan melepaskan hujan anakpanah, silahkan. Tetapi
setelah mati, aku Birehaspati, pasti akan menjadi setan
berkeliaran yang akan mengejarmu. Kemenanganmu adalah
kemenangan licik. Kalau engkau benar2 seorang jantan, hayo,
kita berhadapan satu lawan satu. Apabiia engkau sanggup
mengalahkan Brehaspati, aku bersedia menjadi hambamu!"
Orang bertubuh kekar itu bernama Bango Pinoleh, seorang
yang berwatak keras dan bertenaga kuat. Dia adalah kepala
penjaga keamanan markas Wukir Polaman di gunung Polaman
telatah Daha. Ketika sedang melakukan ronda di kaki gunung,
ia berjumpa dengan Antala yang pulang dengan membawa
luka. Setelah mendapat keterangan dari Antaka, ia segera
memimpin anakbuahnya untuk mencari Jangkung Angilo.
Sesuai dengan wataknya yang keras dan jujur, ia tak marah
mendengar pernyataan Brehaspati. Bahkan kebalikannya
malah merasa gembira. Timbul dalam angan-angannya untuk
menguji kesaktian dengan Brehaspati. Ia merasa selama
berada digunung Poliman itu, ia tak pernah berkelahi dengan
musuh. Suatu hal yang membuatnya dihinggapi rasa jemu.
Maka ingin sekali ia adu tenaga dengan seorang prajurit tinggi
besar seperti Brehaspati itu. Ingin ia mengunjukkan
kepandaiannya di hadapan aaakbuahnya.
"Kuterima tantanganmu, prajurit Majapahit"
"Benarkah ?" seru Brehaspati "apakah engkau tak kuatir
kalah" Bukankah-lebih mudah bagimu untuk memberi perintah
kepada anakbuahmu supaya melepaskan panah beracun
kepadaku ?" "Pejuang Wukir Polaman adalah lelaki2 yang berjiwa jantan.
Apa yang kukatakan, adalah janji seorang ksatrya. Jangan
kuatir, mereka takkan bergerak tanpa perintahku. Dan aku
takkan memberi perintah memanahmu"
Brehaspati segera singsingkan lengan baju dan melangkah
maju "Walaupun musuh, tetapi apabila pendirian orang Wukir
Polaman seperti yang engkau katakan itu, aku menyongsong
kehormatan yang setinggi-tingginya?"
"Haram dengan pujian orang Majapahit. Lebih baik engkau
maki diriku!" seru Bango Pinoleh.
Saat itu Brehaspati berdiri pada jarak dua langkah di
hadapan Bango Pinoleh "Cukup! Hayo, katakan, dengan cara
apa kita akan bertempur" Dengan tinju atau senjata ?"
"Aku ingin menjajal tenagamu. Kita berkelahi dengan
tangan kosong sajalah!"
"Siapa yang mulai lebih dulu ?"
"Engkau" "Baik, terimalah tinjuku ini" seru Brehaspati
layangkan tinjunya yang besar ke dada orang. .
seraya Bango Pinoleh menyurut mundur setengah langkah.
Karena menerpa angin, Brehaspati maju kejarkan tinjunya.
Tiba-tiba Bango Pinoleh mengisar tubuh ke samping, secepat
kilat ia menerkam tangan Brehaspati.
Tetapi walaupun kasar, Brehaspati amat lincah dalam
bertempur. Cepat ia menarik tangannya dan mengganti
dengan gerakan menabas muka orang dengan tangan kiri.
Bango Pinoleh menghindar ke samping.
Demikian kedua orang yang memiliki watak sama kasar dan
sama kuat tenaganya, terlibat dalam pertempuran yang amat
seru. Terkam menerkam, tinju meninju, sepak menyepak, silih
berganti terjang menerjang
Kebo Lembana mengikuti pertempuran itu dengan penuh
perhatian dan rencana. Ia masih menanti supaya hari cepat
gelap barulah ia bertindak. Saat itu sang suryapun sudah
menyilam di balik gunung. Namun sinarnya masih membayang
cakrawala, sehingga malam masih remang2 samar.
Anak buah Wukir Polaman tetap siapkan anakpanah pada
busurnya. Tetapi mereka tak berani bertindak sebelum
menerima perintah dari Bango Pinoleh.
Jangkung Angilo mengisi kesempatan itu dengan duduk
bersila pejamkan mata melakukan Prana. Untuk menenangkan
kembali arus darahnya yang bergolak.
Wimba, Brasthi dan Brastha mengikuti pertempuran itu
sambil merundingkan rencana. Apabila pertempuran itu
mencapai pada puncak ketegangan, tentulah akan timbul
kekacauan. Dan pada saat itu dimana perhatian fihak Kebo
Lembana dan Bango Pinoleh tercurah pada pertempuran
dahsyat, mereka akan menggunakan kesempatan untuk
secara diam2 membawa lari Sindura dan tinggalkan tempat
itu. Rupanya dalam hal kekuatan, Brehaspati dan Bango Pinoleh
itu berimbang. Tetapi Bango Pinoleh lebih unggul dalam hal
ketangkasan dan napas. Tampak wajah Brehaspati makin lama
makin merah padam, kepalanya basah kuyup dengan keringat.
Gerak serangannya makin mengunjuk gejala kelambanan.
Beda dengan Bango Pinoleh yang masih tetap tangkas dan
lincah. Agaknya Brehaspati menyadari akan kekuatan daya
tahannya. Ia mulai gelisah. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengakhiri pertempuran itu secepat mungkin. Apabila
berlangsung lama, ia tentu kehabisan tenaga. Suatu hai yang
berbahaya yang akan mendorongnya ketebing kekalahan.
Brehaspati mencari kesempatan. Segera kesempatan itupun
tiba. Pada saat itu Bango Pinoleh melancarkan serangan yang
hebat. Kedua tangannya serempak menabas lambung, macam
gerak menggunting. Brehaspati nekad. Kesempatan itu harus
digunakan sebaik-baiknya. Ia tak mau menghindar maupun
menangkis, melainkan bahkan maju menhunjam dada lawan
yang tiada terlindung. Kali ini ia yakin tentu dapat merubuhkan
lawan maka seluruh tenaganya dicurahkan.
"Uh . . ." tiba2 prajurit bhayangkara itu mendesus kaget
ketika tiba2 tubuh Bango Pinoleh menghilang dari hadapannya
dan serentak pada saat itu, tangannya dicengkeram oleh dua
buah tangan yang keras, tubuhnya terangkat dan dibanting,
bluk ... ia menyusur tanah. Sejenak mengebas-kebaskan
kepalanya yang memar pening, Brehaspatipun cepat melonjak
bangun, terus hendak menyerbu lagi.
"Berhenti, Brehaspati!" tiba2 sesosok tubuh berseru seraya
loncat ketengah gelanggang "engkau termakan siasatnya dan
dibanting. Beristirahatlah, aku yang akan menghadapinya!"
"Tetapi aku belum kalah, kakang Lembana" seru Brehaspati
kepada orang itu atau Kebo Lembana.
"Kau sudah lelah, beristirahatlah dulu" seru Kebo Lembana.
"Huh, ilmu apakah yang digunakannya tadi?" masih
bhayangkara kasar itu tak mengerti akan kekalahannya."
"Entahlah...." "Ha, ha" tiba2 Bango Pinoleh tertawa "sudah tentu kalian
prajurit-prajurit Majapahit tak tahu ilmu yang telah kugunakan
tadi. Itulah yang disebut ilmu Alang-alang Kumilir. Sekalipun
kalah, tetapi engkau hebat juga, ki sanak!" seru Bango Pinoleh
kepada Brehaspati "biasanya musuh yang termakan ilmuku
Alang-alang Kumilir itu tentu akan terlempar ke udara dan
jatuh beberapa belas depa jauhnya. Dan engkau hanya
terlempar beberapa langkah saja, hebat juga !"
Brehaspati merah mukanya "Setan bermulut besar ...." ia
terus melangkah maju tetapi dicegah Kebo Lembana dan
disuruhnya beristirahat ke samping. Setelah itu Kebo Lembana
berseru kepada Bango Pinoleh
"Dalam pertempuran, menang kalah sudah wajar, tak perlu
berkokok macam ayam sabung. Akupun ingin mencoba ilmu
Alang2 Kumilir yang engkau banggakan itu."
"Kau bersedia enyah apabila kalah ?" seru Bango Pinoleh
agak memicingkan mata. "Bukan hanya enyah, pun akan kutinggalkan kepalaku di
sini" sahut Kebo Lembana mantap.
"Bagus, ki lurah prajurit" seru Bango Pinoleh
"kalau aku yang kalah, akupun bersedia menarik pulang
anakbuahku" "Marilah kita mulai" kata Kebo Lembana seraya bersiap.
Demikian kedua kepala rombongan itu segera mulai
melakukan serangan. Cepat sekali timbul rasa kejut dan
kecewa dalam hati Bango Pinoleh. Ia dapatkan baik gerakan
maupun tenaga, ternyata kepala prajurit Majapahit itu lebih
rendah dari sikasar Brehaspati tada. Mengapa bukan sikasar
Brehaspati yang menjadi kepala rombongan prajurit Majapahit
itu tetapi orang yang lebih rendah kepandaiannya "
"Ah itu urusan mereka" akhirnya Bango Pinoleh menghapus
keheranannya "itu malah menguntungkan bagiku karena
setelah dapat kupukul rubuh orang ini, prajurit2 itu tentu
enyah dari sini" Tetapi selang beberapa saat kemudian, bangkit pula rasa
keheranan dalam hati orang Wukir Polaman itu. Walaupun
gerakannya kaku dan sederhana tetapi kepala prajurit itu
selalu dapat menghindar dan pukulannya. Setiap ia sudah
yakin pukulannya tentu dapat mengenai, ternyata selalu masih
kurang sekiian jaraknya. Herannya makin menjadi, ketika
dicurahkan seluruh perhatian dan tenaga untuk menghantamnya. Uh. . . dengan gerak yang lamban dan kaku,
Kebo Lembana beringsut dan pukulan Bango Pinoleh masih
kurang sekilan pula dari sasarannya.
Tengah pertempuran masih berlangsung ramai, tiba-tiba
Sindura mengerang pelahan. Ia sadar dari pingsan. Ketika
membuka mata dan melihat ujung pedang tertuju kedadanya,
ia menjerit kaget. Brastha terkejut. Cepat ia mendekap mulut
wanita itu. Dan sesuai dengan rencana yang telah
diperundingkan bertiga, Brasthapun segera memondong
Sindura, hendak dibawa lari.
Sindura terkejut. Ia meronta-ronta. Digigitnya tangan
Brastha "Aduh. . ." Brastha mengaduh kesakitan dan kesempatan
itu digunakan Sindura untuk berteriak minta tolong pada
kakek Jangkung Angilo "Kakek, tolonglah ..." tetapi ia tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena mulutnya didekap lagi
oleh Brastha. Bahkan Brasthipun ikut mencekal kedua kakinya
sehingga Sindura tak dapat meronta lagi.
Saat itu Jangkung Angilo hampir dapat menyelesaikan
Prana untuk menindas golak darahnya. Tiba2 ia tersentak
kaget mendengar jerit lolong Sindura. Dan pada saat
membuka mata, menyaksikan Sindura digotong oleh kedua
saudara Brastha-Brasthi, Jangkung Angilo tak dapat berpeluk
tangan lebih lama. Walaupun saat itu hari sudah gelap namun
ia masih dapat melihat jelas arah lari mereka. Dengan sekali
loncat, ia sudah sepenggapai tangan di belakang mereka.
"Huh, enyah engkau!" bentak Wimba seraya menetakkan
pedang ke bahu Jangkung Angilo.
Saat itu Jangkung Angilo sudah bertekad bulat untuk
menolong Rara Sindura. Sedapat mungkin ia memang
menjauhi korban jiwa atau mengalirnva darah tetapi ia sendiri
tak berani memastikan terlaksananya ltu. Sabatan pedang
Wimba, dapat dikelitnya dan secepat kilat kakek Jangkung
Angilo mencengkeram siku lengan orang, ditekan sekuatnya
lalu diputarnya kebelakang sehingga pedangnya terlepas
jatuh. Sekali Jangkung Angilo mendorongnya ke muka,
Wimbapun terjerembab mencium tanah dan meluncur sampai
beberapa langkah macam ular berenang di air
Namun Jangkung Angilo tak sampai memperhatikan
keadaan orang itu. Secepat mendorong iapun sudah beralih
sasaran, loncat menerkam punggung Brastha dan Brasthi.
Kedua orang itu karena tengah memondong Sindura, pula
karena cepatnya kakek Jangkung Angilo bergerak, mereka tak
sempat berpaling dan menghindar lagi. Tengkuk mereka
serasa mengencang keras dan napaspun serentak berhenti
tenaga merana sehingga tak kuasa lagi mereka menyanggah
tubuh Sindura. Jelita itu jatuh ke tanah tetapi serempak
dengan itu, tubuh Brastha dan Bristhipun terangkat ke atas.
Sebelum mereka mengetahui siapa yang memperlakukan
mereka begitu, tubuh mereka sudah dilempar ke udara. Brak .
. . . keduanya membentur batang pohon dan meluncur jatuh
ke dalam semak, tiada bersuara dan berkutik lagi.
Setelah menyelesaikan ketiga orang itu, jangkung Angilo
cepat mengangkat tubuh Sindura. Untunglah karena tak
berapa tinggi, Sindura tak menderita cidera apa2. Cepat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangkung Aogilo memondongnya lalu lari menuju ke arah
seekor kuda, entah milik siapa.
Sepak terjang kakek itu benar2 menggemparkan
rombongan orang Wukir Polaman. Tetapi mereka tetap patuh
akan pimpinan. Sebelum mendapat perintah, mereka tak
berani bertindak. Bango Pinoleh sesungguhnya tahu juga akan perbuatan
Jangkung Angilo. Namun karena saat itu ia tengah
menghadapi serangan Kebo Lembana maka tak sempatlah ia
memberi perintah kepada anakbuahnya. Tetapi setitikpun ia
tak pernah menyangka bahwa kakek itu mampu mengalahkan
ketiga orang yang menguasai Sindura. Ia benar2 amat terkejut
ketika menyaksikan bagaimana dalam waktu beberapa kejab
saja, kakek itu telah dapat melempar ketiga lawannya dan kini
sedang melarikan Sindura. Bango Pinoleh benar2 gelisah
sekali. Cepat ia mencari kesempatan dan berpaling kearah
anakbuahnya serta cepat berteriak
"Gerimis..." Kata2 itu merupakan sebuah kata sandi dari orang Wukir
Polaman. Artinya, supaya mereka lepaskan anakpanah kearah
Jangkung Angilo tetapi jangan seluruhnya melepas panah,
cukup dua tiga orang saja. Dan siapa2 yang melakukan,
memang sebelumnya sudah ditentukan. Dipilihnya yang
benar2 ahli. Sebagai sambutan, tiga batang anakpanahpun
segera meluncur kearah Jangkung Angilo. Saat itu Jangkung
Angilo sedang menaikkan Sindura ke atas pelana dan
menepuk supaya lari "Larilah dan jagalah dirimu baik-baik, nak
...." Tetapi pada saat ia mengakhiri ucapan selamat jalan dan
kudapun lari membawa Sindura, sebatang anakpanah tepat
menancap pada bahu lengannya sebelah kiri. Sedang dua
batang anakpanah yang lain menyambar di atas kepala dan di
sisi lehernya. Jangkung Angilo menahan sakit sekuat mungkin.
Ia tak mau mengerang karena kuatir terdengar Sindura. Ia tak
menghendaki jelita itu akan terpengaruh apabila mengetahui
peristiwa itu dan akan memutar kudanya balik kembali.
Cepat ia melakukan ilmu Prana untuk menyalurkan hawa
murni dalam tubuh, membendung racun dari anakpanah itu.
Kemudian ia mencabut anakpanah itu dan bahu kirinya, auh. .
. . sakitnya bukan kepalang sampai menggigit ke ulu hati.
Kepalanya segera terasa berbinar-binar, mata pudar dan
bluk...rubuhlah ia duduk ke tanah.
"Tangkap!" kembali Bango Pinoleh berseru memerintahkan
anakbuahnya. Rombongan Wukir Polaman pun serempak
menyerbu ke tempat Jangkung A ngilo. Mereka berebut hendak
dahulu mendahului meringkus kakek itu seperti kawanan
anjing berebut tulang. Sekonyong-konyong kakek itu mengaum keras. Dahsyatnya
tak ubah seperti aum harimau lapar. Seram, sehingga
terhentilah denyut jantung orang-orang Wukir
Walaupun jatuh tetapi Jangkung Angilo masih dapat
menguasai kesadaran pikirannya. Cepat ia merangkai siasat.
Ia hendak pura2 menderita agar orang2 Wukir Polaman
mengira ia terluka dan tentu akan menyerbu untuk
menangkapnya. Kiranya siasat itu memang tepat. Ketika
mereka lari menyerbu, ia sudah siap. Dilambari dengan
pengerahan hawa murni dalam Cakram Mani pura, segera ia
menghambur sebuah aum pekikan yang dahsyat. Seketika
terbanglah nyali orang2 Wukir Polaman. Mereka serasa
disambar petir berganda tujuh.
"Orang2 Wukir Polaman, terima kembalilah pemberianmu
tadi!" Jangkung Angilo berseru seraya loncat bangun. Kakek
yang bertubuh jangkung kurus yang tampaknya lemah renta,
saat itu benar2 berobah sifatnya seperti seorang raksasa
Brahala. Dengan mencekal batang anak panah beracun yang
dicabutnya dan bahunya tadi, ia menerjang orang2 Wukir
Polaman yang musih terpukau dicengkam kedahsyatan
pekikan kakek tadi. "Aduh . . . auh . . . aduh ..." terdengar jerit erang
mengaduh kesakitan dari mulut kemulut orang Wukir
Polaman. Ada vang mendekap tenggorokan ada yancr
mendekap dada, ada yang memeluk perut, bahkan ada pula
yang melonjak-lonjak sambil mencekal pahanya ....
Jangkung Angilo benar2 sudah kehilangan ketenangan
peribadinya. Bathinnya sudah dikuasai Kemarahan. Ia merasa
mungkin tak dapat hidup lagi karena racun anak panah itu.
Maka sebelum ajal menjelang, ia hendak memberi hajaran
kepada rombongan orang Wukir Polaman. Dengan
ketangkasan yang luar biasa, ia memberi tujukan dengan
ujung anak panah pada setiap orang Wukir Polaman. Ditusuk
dan ditikamnya tenggorokan, dada, perut dan paha mereka.
Kelima belas orang Wukir Polaman itu tak sempat
melepaskan anak panah lagi. Mereka berlari bebas untuk
menangkap Jangkung Angilo yang dikiranya terluka Dan gerak
amukan Jangkung Angilo itu memang tak diduga-duga. Pun
mereka tak pernah membayangkan bahwa seorang kakek
serenta itu, ternyata memiliki gerakan tubuh yang sedemikian
tangkas. Dalam beberapa kejab saja, kelima belas orang Wukir
Polaman itupun susul menyusul rubuh ketanah.
Setelah merubuhkan orang yang terakhir, Jangkung Angilo
tertegun sejenak. Ia rasakan lengan kirinya kaku tak dapat
digerakkan. Karena melancarkan amukan tadi, ia tak dapat
mengerahkan hawa murni untuk menahan perkembangan
racun cli bahunya. Racun itu memang ganas sekali. Terbuat
dari campuran beberapa jenis ular berbisa. Maka cepat sekali
racun itu menjalar keseluruh lengan Jangkung Angilo.
Jangkung Angilo sesungguhnya sudah menyadari akan
bahaya yang sedang mengancam dirinya. Namun ia sudah
terlanjur terbakar hangus oleh nafsu Amarah. Ia merasa sudah
cukup bahkan terlalu lama hidup didunia. Matipun tiada yang
perlu dirisaukan. Tetapi ia benar2 marah terhadap orang2
Wukir Polaman yang melukainya secara licik itu. Makin lebar
pula jurang dendam kemarahan kepada orang Wukir Polaman
sesaat ia teringat bahwa karena orang2 Wukir Polaman itulah
maka ia terpaksa menyembunyikan diri dari dunia ramai
selama duapuluh tahun. Mengingat bahwa merekapun sesama
rakyat Daha, ia tak mau bermusuhan dan rela mengasingkan
diri. Ia menjauhkan diri tetapi mereka tetap mencarinya. Ia
ingin hidup tenang tetapi mereka tetap mengganggunya. Ia
ingin meloloskan diri tetapi mereka melukainya dengan
anakpanah beracun. Betapa besar sifat kesabaran Jangkung
Angilo, namun menerima perlakuan yang sedemikian kejam
itu, tak dapat ia menindas kemarahannya lagi. Dan
mengamuklah Jangkung Angilo, senopati Daha yang tetap
setya mengawal raja Jayakatwang dalam penjara musuh.
Saat itu pertempuran antara Kebo Lembana lawan Bango
Pinoleh mengalami perobahan genting. Karena semangatnya
dia terbagi untuk memperhatikan gerak gerik Jangkung Angilo,
maka lengahlah ia. Sebuah gerak terkaman yang dilancarkan
Kebo Lembana berhasil mencengkeram tangan Bango Pinoleh,
diputar kebelakang terus hendak diangkat keatas. Sekonyongkonyong Jangkung Angilo loncat menghampiri. Rupanya akibat
racun, pandang mata kakek itu sudah gelap. Dan memang ia
tak menghiraukan siapa2 lagi. Pokok semua orang yang
berada disitu, harus dihajarnya.
"Oh ... uh ... ."
terdengar mulut Kebo Lembana dan Bango Pinoleh mengeluh ketika rambut kepala mereka dicengkeram oleh Jangkung Angilo. Dan sebelum mereka sempat berusaha untuk meronta, Jangkung Angilo cepat sudah gerakkan kedua tangannya untuk membenturkan kepala kedua orang itu. Krak . . . .
. terdengar suara berderak
keras disusul dengan mancurnya darah. Sekali tangan kakek itu melepas, terkulai
Kebo Lembana dan Bango Pinoleh ketanah.
Kini habislah sudah pendatang2 yang hendak merebut
Sindura. Jangkung Angilo memandang kesekeliling. Yang
tampak hanya orang2 yang mengerang-erang di tanah. Tiada
yang masih berdiri tegak lagi. Maka kakek itu menengadah
memandang ke cakrawala dan tertawalah ia senyaringnyaringnya. Kumandangnya menggelegar bagai guruh
menggema dilangit. Nadanya penuh kemarahan bercampur
kepedihan hati .... Tiba2 ia terdiam dan rubuh ke tanah. Karena mengumbar
kemarahan, ia hamburkan hawa dan tenaga murni dalam
tubuhnya, melukai dan merobohkan beberapa belas orang.
Tetapi ia lupa untuk menahan racun yang mengalir dalam
urat2 nadinya. Karena tak terkendalikan, racun meliar bersama
darah berkelana menjelajah seluruh jalur2 urat nadi dan
akhirnya bermuara di bagian dada Cakram Ana Hata dan
rubuhlah hekas senopati tua dari kerajaan Daha yang masih
hidup. Angin malam berhembus makin dingin ....
o)0oo0d0w0oo0(o II Bagaikan gunung Mahameru meletus, demikianlah
kemarahan raja jayanagara ketika menerima laporan tentang
peristiwa terculiknya Rara Sindura dari puri keraton. Hilangnya
patung Aksobya dari candi Syiwa Buddha di Kagenengan,
tidaklah menimbulkan kemurkaan sehebat lenyapnya Rara
Sindura dari puri keraton. Baginda Jayanagara murka benar2.
Mahapatih rakryan Nambi, dipanggil dan ditegur keras
sebagai seorang mahapatih yang tak mampu menjaga
kewibawaan kerajaan. "Ampun gusti" sembah rakryan Nambi "sesungguhnya
hamba sudah tua dan tiada berguna. Kesalahan itu menjadi
tanggung jawab hamba dan hamba berjanji akan mencari
Sindura sampai ketemu"
Patih Aluyudapun mendapat dampratan yang tak kurang
kerasnya. Hanya saja patih itu cukup licin untuk
membersihkan diri "Duh, gusti, mohon diampunkan sekiranya
dosa itu hendak paduka timpahkan kepada diri patik. Tetapi
sesungguhnya pada malam itu karena ba-ginda berkunjung ke
tempat hamba maka hamba sampai tak sempat melakukan
perondaan. Mohon gusti berkenan menghukum diri patik"
Jayanagara tertegun. Memang ia merasa telah mengunjungi
rumah Aluyuda dan mengajaknya minum tuak sehingga pada
malam terjadinya peristiwa itu Aluyuda tak dapat melakukan
tugas. Rupanya baginda masih belum puas menumpahkan
kemurkaannya. Dayang2 keputren dipanggil dan dicerca.
Kemudian disuruh masukkan ke dalam tahanan
Prajurit bhayangkara yang malam itu bertugas menjaga
dipanggil dan dimaki habis-habisan. Merekapun dijebluskan
dalam penjara. "Hamba mohon sudi apakah kiranya gusti berkenan
memberi kesempatan kepada kami untuk mengejar penculik
itu Apabila gagal, hamba rela menyerahkan kepala hamba"
demikian Kebo Lembana dan Brehaspati mengajukan
permohonan. "Gusti, apapun yang terjadi, telah terjadi. Dan kesemuanya
itu adalah kelalaian hamba" kata mahapatih Nambi "hamba
berpendapat, yang penting yalah menyiapkan rencana untuk
mengejar jejak penculik itu. Hamba tak rela keluhuran paduka
dicemarkan orang" Setelah agak reda dari badai kemurkaan, Jayanagara
anggap pernyataan mahapatih itu memang tepat.
Tiada guna marah2 karena kemarahan itu takkan dapat
mengembalikan Rara Sindura ke keraton. Yang penting harus
segera ditempuh jalan untuk mengejar kawanan penjahat itu.
Beliau meluluskan permohonan
"Selain itu, paman Nambi. Masih ada sebuah hal yang
hendak kutitahkan paman segera melaksanakannya" ujar
baginda pula. Rakryan Nambi gopoh menjelang kata "Mohon paduka
segera mencurahkan titah. Mana2 titah paduka tentu hamba
lakukan sepenuh tenaga"
"Segera paman siapkan beberapa utusan untuk memanggil
pulang Kuda Lampeyan"
Rakryan Nambi terkejut. Namun tak dapat ia menyelami
maksud baginda "Baik tuanku, tetapi dapatkah hamba mohon penjelasan
akan titah paduka itu?"
"Anak polah, bapak kepradah!" ujar baginda "setiap
perbuatan si anak, bapak harus bertanggung jawab. Demikian
pula dengan seorang suami. Setiap ulah isteri, suami harus
bertanggung jawab" "Tetapi Kuda Lampeyan baru saja menikah dengan Sindura.
Mereka masih mempelai baru"
"Lama atau baru itu hanya soal waktu. Tetapi yang pokok
mereka sudah menjadi suami isteri. Sejak saat itu, Kuda
Lampeyan harus bertanggung jawab. Demikian ayahnya,
buyut Mandana!" Nambi tak dapat berbuat apa2 kecuali melakukan perintah.
Mahapatih itu pulang membawa kegaduhan hati. Pikirannya
resah gelisah. Rasa geram dan malu berkecamuk dalam
hatinya. Geram karena tindakannya untuk menolong Sindura,
telah didahului orang. Malu karena sebagai mahapatih, ia telah
disiasati mentah-mentah oleh fihak penculik, sehingga ia
mendapat teguran yang amat pedas dari baginda. Belum
pernah sejak mengabdi pada raden Wijaya hingga sampai
dinobatkan sebagai raja Kertarajasa, ia mendapat malu yang
sedemikian besarnya. Belum pernah raden Wijaya berani


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendampratnya sedemikian keras seperti puteranya yang
sekarang, Jayanagara. Dari pengakuan nyai Cempaka, dayang yang menyaru
sebagai Rara Sindura dan dibawa ke gedung mahapatih
Nambi, ternyata diketahui bahwa nyai Cempaka itu adalah
dayang yang bekerja untuk patih Aluyuda. Tetapi mahapatih
Nambi segan untuk meminta keterangan lebih jelas kepada
Aluyuda. Karena tindakan menculik Sindura itu bersifat rahasia
dan tak boleh diketahui oleh siapapun juga.
Juga dalam hal itu fihak2 yang berusaha membawa Sindura
lolos dari dalam keraton, sama menggigit jari. Bukannya Rara
Sindura melainkan Rara Sindura palsu atau dayang2 yang
menyarulah yang mereka dapatkan. Aluyuda mendapat
dayang nyai Mandira. Mahapatih Nambi memperoleh nyai
Cempaka. fihak rakryan Kuti hanya menemu nyai Wuni. Hanya
fihak Wukir Polaman yang berhasil memboyong Rara Sindura
aseli keluar dari keraton. Baik fihak2 mahapatih Nambi, patih
Aluyuda dan Kuti, masing2 tak berani menghebohkan
peristiwa yang dialami. Mereka sama2 menutup rahasia.
Dengan demikian mereka tak dapat melakukan penyelidikan,
siapakah yang melarikan Sindura itu.
Mahapatih Nambi bermuram durja. Kali ini ia benar2
kehilangan faham. Tak tahu dari mana ia harus mulai
bertindak. Namun kalau tak cepat bertindak ia takut akan
kemurkaan raja. Terpaksa ia memanggil beberapa lurah
prajurit. Mereka dipecah menjadi empat kelompok. Setiap
kelompok terdiri dari lima prajurit pilihan dengan seorang
lurah prajurit. Empat kelompok itu ditugaskan melakukan
pengejaran secara terpencar, masing2 menuju ke arah barat,
timur, utara dan selatan. Dipesan kepada mereka, apabila tak
mampu melawan penculik2 itu dan membutuhkan tenaga,
supaya menghubungi kepada daerah setempat untuk minta
bantuan. Setelah keempat kelompok prajurit pilihan itu berangkat,
mahapatihpun membentuk pula sebuah kelompok sebagai
utusan untuk mencari Kuda Lampeyan dan memanggilnya
pulang ke puri kerajaan. Demikian tindakan darurat yang
dilakukan mahapatih Nambi untuk melaksanakan titah raja.
Namun ia sendiri mempunyai rencana. Setiap saat menerima
laporan tempat beradanya kawanan penculik2 itu, ia segera
mengirim prajurit bhayangkara untuk menangkapnya. Maka
tenaga2 penting seperti Kebo Lembana dan Brehaspati masih
ditahannya. Merekalah yang akan dipercayakan untuk
melaksanakan tugas penangkapan itu.
Malam itu langit hanya ditaungi bintang2 btrsahaja.
Agaknya dewi Malam ikut perihatin atas peristiwa malang yang
menimpali puri kerajaan. Hilangnya Rara Sindura dari puri
keraton, dianggap sebagai suatu tamparan hebat bagi
kewibawaan baginda dan gengsi bhayangkara yang bertugas
menjaga keselamatan keraton Majapahit. Suasami berkabung
terasa mencengkam. Berkabung atas hilangnya kewibawaan
keraton sebagai pusat kekuasaan kerajaan.
Sejak peristiwa itu, pasukan bhayangkara keraton Majapahit
telah dibubarkan lalu dilakukan penyaringan yang lebih keras.
Pun ditambah jumlahnya, diambilkan dari Daha, Kahuripan,
Mataun, Pajang dan berbagai daerah. Mereka2 yang diangkat
sebagai bhayangkara, harus melalui pemilihan yang berat.
Kesaktian, kecerdasan dan yang penting kesclyaan dalam
pengabdian kepada raja. Baginda Jayanagara memang keras. Ia menjalankan
pimpinan pemerintahan dengan cara gitik pentung atau
kekerasan yang tegas. Tak mau beliau mengalami peristiwa
penculikan Sindura terjadi untuk yang kedua kalinya dalam
keraton Majapahit. Demikian suasaiia yang terjadi dalam puri kerajaan
Majapahit. Penjagaan siang malam dilakukan amat ketat.
Dalam malam yang gelap itu tiba2 sesosok tubuh tampak
beringsut-ingsut dalam kegelapan. Orang itu menuju
kegedung mahapatih Nambi. Tetapi entah bagaimana rupanya
orang itu melangkah secara bersembunyi seperti tak ingin
diketahui orang. Setiap berjalan beberapa langkah, ia tentu
menyelinap ketepi lorong dan bersembunyi didalam
kegelapan. Gedung mahapatih tampak tak berapa jauh lagi. Orang itu
tampak makin tegang. Sebelum mencapai pintu gerbang yang
dijaga oleh dua orang prajurit, lebih dulu ia menyelinap
kedalam sebuah gerumbul pohon lebat. Ia berdiam diri sampai
beberapa saat. Setelah memastikan bahwasanya tiada orang
yang mengikuti jejaknya, barulah ia bersiap menerobos keluar
terus hendak menuju ke pintu gedung. Tetapi alangkah
kejutnya ketika tubuhnya terasa sarat sekali sehingga sang
kaki tak kuasa melangkah. Ah, ternyata bahunya telah
dipegang sebuah tangan yang kuat. Cepat ia berpaling dan
serentak terdengarlah sebuah suara pelahan "Ki sanak, jangan
berteriak atau kuremas hancur tulang bahumu!" Nadanya
lembut tetapi kata2 itu jelas suatu ancaman halus, berasal dari
seorang brahmana muda. "Ah, apa maksud ki brahmana menahan diriku ?" tegurnya.
"Hendak ke manakah paman ini " Mengapa langkah paman
seperti orang yang ketakutan ?" kata brahmana muda itu pula.
Orang yang ditahan brahmana muda itu ternyata seorang
tua yang rambut dan janggutnya sudah menjunjung uban.
Seorang kakek yang tua renta.
"Aku hendak menghadap gusti mahapatih rakryan Nambi"
sahut kakek itu "mengapa tuan bersembunyi di sini dan apa
perlunya menahan aku ?"
Sambil tangannya masih mencengkeram bahu orang tua
itu, brahmana muda menjawab "Ah. akupun sedianya hendak
menghadap gusti mahapatih juga. . "
"O" desuh kakek itu pelahan "mengapa ki brahmana tak
langsung menemui penjaga dan bersembunyi di sini ?"
"Pertanyaan sejenis itu justeru yang hendak kumintakan
jawaban kepada paman lebih dulu" balas brahmana muda,
lepaskan tangannya. "Ah, harap ki brahmana jangan bergurau. Aku mempunyai
suatu urusan penting yang hendak kusampaikan kepada
mahapatih sendiri. Dan karena hal itu teramat rahasia, maka
aku tak mau langkahku diketahui orang"
Brahmana muda itu merenung. Menilik mahapatih Nambi itu
seorang menteri tua yang setya mengabdi kerajaan maka ia
mempunyai dugaan bahwa kakek tua itu tentulah orang2 dari
golongan pengabdi kerajaan.
"Paman" tuturnya ramah "akupun setujuan dengan paman.
Adakah paman tak keberatan untuk memberitahukan nama
paman?" Kakek tua berjanggut lebat itu menatap brahmana muda
sejenak. Ia mempunyai kesan baik kepada brahmana itu. Pun
jalan pikirannya serupa dengan brahmana itu. Karena hendak
berjumpa mahapatih Nambi, tentulah brahmana itu termasuk
orang yang mendukung kerajaan. Kesan dan pertimbangan
saling berpadu lalu melahirkan kepercayaan "Aku demang
Suryanata" katanya memperkenalkan diri.
"O, terima kasih ki demang. Aku brahmana Anuraga"
brahmana muda itupun segera menyebut namanya sebelum
ditanya. Suatu pernyataan untuk menanggapi sikap terus
terang dari demang tua itu. Bahkan untuk menghilangkan
keraguan orang, Anmraga menambahkan keterangan pula
"aku diutus Pamegat Ranu Kebayan Dang Acarrya Samaranata
untuk menyampaikan berita penting kepada gusti mahapatih"
"Berita mengenai urusan keagamaan Syiwa?"
"Bukan" jawab Anuraga.
"Urusan negara?"
"Juga bukan" "Lalu . . . . ?" demang Suryanata kerutkan dahi.
Dengan setengah berbisik, Anuraga berkata "Berita
mengenai kawanan " penculik yang melarikan Rara Sindura"
"O" demang Suryanata mendesus agak kejut. Ia hendak
menanyakan lebih lanjut tetapi ia kuatir akan menimbulkan
kecurigaan orang. "Maaf, ki demang" kata Anuraga lebih lanjut "adakan berita
penting yang ki demang hendak haturkan kepada rakryan
Nambi itu dari ki demang peribadi atau sebagai utusan?"
"Dari aku sendiri" jawab demang Suryanata "berita tentang
gerak gerik rakryan Kuti yang mengirim orang untuk
melakukan pengejaran pada kawanan penculik wanita itu"
"O" Anuraga mendesus kaget "apakah tindakan rakryan Kuti
atas titah baginda?"
"Tidak, atas kehendaknya sendiri dan secara rahasia"
"O". kembali Anuraga mendesuh makin kejut "tetapi maaf,
ki demang, bagaimana ki demang tahu akan hal itu ?"
"Aku bekerja padanya"
Mendengar itu hampir Anuraga berteriak. Untunglah ia
cepat menyadari suasana saat itu. Namun rasa kejut tetap tak
dapat dikuasainya sehingga ia.menyurut mundur setapak "Jadi
engkau .... orangnya rakryan Kuti?"
"Benar" sahut demang Suryanata tenang "bukankah
rakryan Kuti juga seorang menteri kerajaan yang setya?"
Anuraga tertegun. Sesaat baru ia berkata dalam nada
keraguan "Kudengar rakyan Kuti telah membentuk sebuah
komplotan untuk menjatuhkan baginda Jayanegara"
"Dari mana engkau mendengar desas desus itu?"
"Hasil pengawasan dan penyelidikan sumber2 berita yang
kukumpulkan selama ini" sahut Anuraga.
"Dan engkau percaya?"
"Cepat pcrcaya, tidak... tidak percaya pun tidak. Justeru
itulah yang akan kuselidiki kebenarannya" sahut Anuraga.
"Tetapi bukankah rakryan Kuti, Semi dan lain2 itu telah
diangkat baginda sebagai Dharmaputera " Tidaklah hal itu
merupakan bukti dari kepercayaan baginda atas kesetiaan
mereka?" tanya demang Suryanata pula.
Anuraga terdiam. Sahutnya agak lamban "Justeru itulah
yang membingungkan pikiranku"
Demang Suryanata tertawa tetapi tak berkata apa2 lagi.
Namun bagi Anuraga, tawa demang itu mengandung sesuatu
yang ditujukan kepada dirinya.
"Mengapa paman tertawa?" akhirnya ia bertanya karena tak
menemukan sesuatu itu pada dirinya.
"Ah, aku tertawa karena gembira berkenalan dengan
engkau, ki brahmana. Apabila engkau sudah tak perlu meneliti
apa2 lagi, segera sajalah kita menghadap gusti mahapatih
Nambi" kata demang Surya seraya beranjak dari tempatnya.
"Tunggu dulu paman" tiba2 benak Anuraga terkilas sesuatu
"aku hendak meminta penjelasan sedikit lagi, paman"
Demang Suryanata tertawa mengiakan.
"Ada sesuatu yang ganjil pada tindakan paman ini" kata
Anuraga "jika benar2 rakryan Kuti dan Semi itu menetri2 yang
setya, mengapa paman melaporkan gerakan mereka mengirim
orang memburu kawanan penculik itu kepada rakryan Nambi"
Bukankah hal itu bertentangan antara kata dan perbuatan
paman?" "Bagus brahmana muda" demang Surya tertawa renyah
"pertanyaan itulah yang sesungguhnya kunantikan dari mu.
Tadi kutertawakan mengapa engkau tak menanyakan hal itu.
Ketahuilah, ki brahmana" demang Surya berhenti sejenak,
keliarkan pandang mata ke sekeliling lalu berkata dengan
bisik2 "prasangkamu terhadap rakryan Kuti dan semi itu
memang suatu kenyataan "
Anuraga tercengang bagai kena pesona.
"Rakryan Semi dan ketujuh Dharmaputera yang diangkat
baginda Jayanagara itu, sesungguhnya adalah komplotan yang
hendak menggulingkan baginda. Tetapi mereka amat licin dan
baginda kurang waspada. Maka keadaan baginda sekarang
adalah ibarat memelihara kawanan harimau buas. Setiap saat,
harimau itu pasti akan menerkam tuannya"
"Dan paman rela mengabdi kepada mereka" Mengapa
paman tak melaporkan gerak gerik komplotan itu kepada
baginda?" berderai-derai Anuraga menuntut penjelasan.
"Justeru karena menentang itulah maka aku mengalami
nasib begini" demang Surya menghela napas. Memandang ke
langit kelam, ia berkata pula "malam makin menjenjang mari
kita cepat menghadap gusti mahapatih"
Anuraga tetap tertegun "Aku benar2 tak mengerti arah
kata2 paman itu. Nasib apakah yang paman derita" Daa
mengapa pula paman tampak tergesa-gesa sekali ?"
"Aku seorang tahanan bebas. Apabila tengah malam tiba,
mereka tentu akan memeriksa tempat tinggalku. Bila aku tak
berada ditempat, mereka tentu akan mencari aku ke seluruh
penjuru ...." "Siapakah yang menahan paman ?"
dirangsang ketegangan. Anuraga makin "Rakryan Kuti" sahut demang Surya.
"O" desuh Anuraga terkejut "mengapa paman ditahannya "
Adakah itu atas titah raja " Mengapa paman tak meminta
keaadilan kepada baginda ?"
"Atas kehendak rakryan Kuti sendiri, bukan atas titah
baginda. Rakryan Kuti menggunakan siasat menekan diriku
sehingga aku tak berdaya. Ah, panjang sekali ceritanya. Kelak
pada lain kesempatan, tentu akan kututurkan sejelas-jelasnya.
Waktu amat berharga, mari kita lekas menghadap gusti
mahapatih" Demikian keduanya segera diterima oleh penjaga pintu lalu
dibawa masuk ke dalam gedung.
"O, kalian sudah saling kenal?" tegur mahapatih Nambi
ketika melihat demang Surya menghadap bersama brahmana
Anuraga. "Hanya secara kebetulan saja bertemu dijalan dan karena
sama2 tujuan maka kami berdua bersama-sama menghadap
gusti" kata demang Surya.
Mahapatih Nambi mengangguk lalu suruh demang Surya
mengatakan maksud kedatangannya.
"Gusti mahapatih" demang Suryapun mulai memberi
laporan "Hari ini rakryan Kuti telah mengirim sebuah regu
untuk memburu jejak kawanan penculik itu"
"O" seru Nambi agak heran "adakah dia sudah mengetahui
arah larinya penculik itu?"
"Agaknya sudah, gusti. Yalah ke gunung Polaman .. ."
"Hai" tiba2 Anuraga berseru kaget "mengapa rakryan Kuti
tahu juga akan tempat itu ... ." sesaat Anuraga hentikan kata2
karena menyadari bahwa saat itu pandang mata mahapatih


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nambi terarah kepadanya. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala
karena merasa telah melanggar susila mengerat kata2 orang.
"Brahmana, mengapa engkau herankan keterangan demang
Surya itu?" tegur mahapatih Nambi.
"Kedatangan hamba kemari adalah diutus oleh Dang
Acarrya Samaranata. Bahwa pagi ini Dang Acarrva Samaranata
telah menerima kedatangan seorang brahmana dari candi
Jedong yang mengabarkan bahwa dua orang lelaki dan
seorang wanita muda cantik bermalam dalam candi itu.
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke
gunung Polaman" "Pantas ki brahmana terkejut mendengar laporan demang
Surya tadi" kata rakryan Nambi.
"Benar, mengapa hal itu cepat sekali diketahui oleh rakryan
Kuti. Adakah ..." Anuraga tak melanjutkan kata2nya yang
terakhir. "Apa yang hendak engkau
mahapatih Nambi mendesak.
utarakan, ki brahmana?" "Begini gusti" kata Anuraga "pengetahuan rakryan Kuti akan
tempat itu, tentulah ada sumber yang memberitahukan.
Hanya ada dua kemungkinan, atau brahmana yang diutus
brahmana candi Jedong itu memang menjadi orang rakryan
Kuti. Atau di dalam lingkungan ke Dharma-dyaksaan di Ranu
Kebayan itu terdapat kaki tangan rakryan Kuti"
"Hm, patut dipertimbangkan juga" kata mahapatih Nambi
singkat. "Benar gusti" demang Suryapun ikut menyatakan
pendapatnya "memang suasana dalam lingkungan puri
keraton Majapahit itu, penuh dengan mata2 dari golongan2
yang mengeruhkan kewibawan kerajaan. Udara keraton
berkabut curiga, berhawa tegang, berangin panas. Ibarat api
dalam sekam Rakryan Nambi tertawa "Karena nila setitik maka rusaklah
susu sebelanga. Karena kekeruhan suasana dalam keraton
maka segala sesuatu tentu dihubungkan dengan kekeruhan itu
sebagai sumber asalnya. Misalnya, pengetahuan rakryan Semi
tentang arah larinya kawanan penculik Sindura cepat kalian
kaitkan dengan kekeruhan itu. Tetapi ki brahmana, demang
Surya, aku mempunyai pendapat lain dalam mengupas soal
itu. Jika rakryan Kuti dapat mengetahui jejak penculik itu, tak
boleh tidak diapun tentu menyuruh orang untuk membawa lari
Sindura dari keraton. Ya, terus terang, akupun bertindak
demikian juga" Rakryan Nambi berhenti sejenak untuk menyelidik kesan.
Tampak wajah kedua orang itu melipat kerut pada dahinya
tetapi tak menyatakan sesuatu.
"Dan sebagaimana halnya orang pengalasanku, orang yang
dikirim rakryan Kuti untuk melarikan Sindura itu pasti juga
senasib, mendapat Rara Sinduia palsu yalah salah seorang
dayang yang menyaru. Dan kebetulan pula, dayang yang
menyaru Sindura itu, tentulah dayang yang bekerja pada
orang Wukir Polaman. Dayang itu disuruh menyaru Sindura.
Dengan mendapatkan dayang itu, sudah tentu rakryan Kuti
dapat memaksanya supaya memberitahukan siapa penculik
yang sesungguhnya dan ke mana arah lari mereka"
Baik Anuraga dan demang Surya diam2 memuji kecerdasan
mahapatih Nambi yang mempunyai pandangan cermat serta
teliti. Mereka menyetujui pendapat mahapatih itu.
"Baiklah, ki brahmana dan demang Surya. Laporan kalian
itu tetap penting artinya. Besok segera kusiapkan orang untuk
mengejar ke gunung Polaman" kata mahapatih Nambi. Dan
setelah tiada yang perlu dibicarakan lagi demang Surya dan
Anuragapun minta diri. Demikianlah pada esok harinya, mahapatih Nambi segera
perintahkan Kebo Lembana dan Brehaspati membawa
duabelas prajurit pilihan berangkat ke gunung Polaman.
Mereka berhasil menemukan Sindura di candi tua tatapi dalam
koadaan sudah dikuasai oleh Wimba, Brastha dan Brasthi.
Kemudian datanglah rombongan orang Wukir Polaman
dipimpin Bango Pinoleh. Tujuannya hendak meminta peta
harta peninggalan baginda Jayakatwang kepada Jangkung
Angilo. Sebagaimana yang telah dituturkan dibagian muka,
tiada seorangpun yang berhasil mendapatkan yang
dikehendaki. Jangkung A ngilo marah melihat perbuatan orang
Wukir Polaman yang ganas. Ia mengamuk dan merubuhkan
semua rombongan dari tiga fihak, Wimba bertiga, Kebo
Lembana dengan kedua belas prajurit pilihan dan orang Wukir
Polaman sejumlah lima belas orang.
Kemarahan seorang yogiswara macam Jangkung Angilo,
sedahsyat kutukan mpu Gandring kepada Ken Arok dan mpu
Purwa kepada akuwu Tumapel, Tunggul Ametung!
Sekeluarnya dari gedung mahapatih, sedianya Anuraga
hendak mnta kepada demang Surya agar menuturkan pula
perihal dirinya yang menjad tawanan gelap dari rakryan Kuti.
Tetapi demang Surya mengatakan lain kali saja karena saat itu
sudah menjelang tengah malam. Ia harus berada di
tempatnya agar jangan diketahui oleh pesuruh rakiyan Kuti.
"Tetapi bagaimanakah aku dapat berjumpa dengan ki
demang?" tanya Anuraga.
"Aku ditempatkan disebuah rumah tersendiri di belakang
gedung rakryan Kuti. Apabila ki brahmana hendak menemui
aku, berilah sandi dengan lontaran tiga buah kerikil. Aku tentu
segera keluar" "Apakah di belakang gedung terdapat pintu?"
"Ada" sahut demang Sutya.
"Dijaga?" "Tidak"' "O, mengapa ki demang tidak berusaha meloloskan diri
saja?" tanya Anuraga agak heran.
Demang Surya menghela napas "Ah, ada suatu senjata
yang dimiliki rakryan Kuti sehingga aku harus tetap tinggal di
situ. Nanti pada lain kesempatan bertemu, tentu akan
kuceritakan" Anuraga terpaksa menahan keinginannya. Mereka pun
bercerai. Demang Surya kembali ke tempat penahanannya.
Anuraga ke gedung Dharma-dyaksa Pamegat Ranu Kebayan
Dang Acarrya Samaranata. Malam makin kelam dan ia harus
berjalan hati2 agar jangan kesompokan orang. Terpaksa ia
berjalan melalui sela2 gerumbul pohon di tepi jalan.
Ketika pada satu saat ia hendak muncul dari balik sebatang
pohon, tiba2 pandang matanya dikejutkan oleh sebuah
pemandangan yang ganjil. Sesosok tubuh tengah berjalan
pesat menuju kearahnya. Anuraga cepat menyelinap ke balik
pohon pula. Dalam beberapa kejab, bayangan hitam itu sudah
lalu di jalan tempat pohon itu tumbuh di tepinya. Dalam
keremangan malam, Anuraga masih dapat melihat jelas bahwa
pendatang itu seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba
hitam. Sebentar2 orang itu berpaling kebelakang, memandang
ke kanan, melihat ke kiri. Seolah-olah takut kalau dirinya
diketahui orang. Seketika timbullah kecurigaan dalam hati Anuraga. Siapakah
orang itu dan hendak ke manakah tujuannya berjalan pada
saat malam selarut itu " Demikian pertanyaan yang timbul
dalam hatinya. Pertanyaan itu cepat membangkitkan rasa
ingin tahu jawabannya. Dan tergeraklah hatinya untuk
mengikuti jejak orang itu. Setelah orang itu beberapa langkah
jauhnya, Anuragapun mulai bergerak. Dengan hati2 sekali ia
mengikuti di belakang orang itu. Karena dikejar rasa kuatir
dan diburu keinginan supaya cepat2 tiba di tempat yang
ditujunya, orang itupun tak merasa kalau dirinya dibayangi
Anuraga. Setelah berjalan beberapa jenak, ternyata orang itu menuju
ke sebuah bangunan gedung di sebelah timur keraton.
Langsung ia menghampiri orang penjaga pintu dan penjaga
itupun segera. membawanya masuk.
Anuraga terperanjat. Gedung besar itu dikenalnya sebagai
kediaman patih Aluyuda. Seketika teringatlah ia akan
kekeruhan suasana dalam keraton. Jika mahapatih Nambi
mempunyai orang2 yang setiap saat memberi laporan tentang
segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan keraton,
misalnya yang dilakukannya bersama demang Surya tadi,
bukan suatu hal yang mustahil apabila patih Aluyuda juga
menanam orang untuk memata-matai keadaan keraton.
"Hm, orang itu tentulah kaki tangan patih Aluyuda yang
hendak memberi laporan" pikir Anuraga "karena yang menjadi
persoalan hangat saat ini adalah kawanan penjahat yang
menculik Rara Sindura, kemungkinan besar orang itupun tentu
akan melaporkan hal2 yang menyangkut soal itu"
Sudah terlanjur mengikuti sampai sekian jauh dan tertarik
pula akan berita2 yang berhubungan dengan kawanan
penculik Sindura, Anuraga memutuskan untuk menyusup ke
dalam gedung kepatihan. Keputusan itu makin mantap ketika
dilihatnya penjaga pintu yang terdiri dari dua prajurit, ikut
masuk mengantarkan orang tadi "Selagi pintu kosong
penjagaan, aku harus cepat menyelinap masuk"
Dengan dua tiga kali loncatan, Anuragapun tiba dipintu
gedung kepatihan dan cekat laksana burung sikatan, ia
ayunkan tubuh kedalam pintu, terus meluncur ketempat yang
gelap. Dengan langkah yang ringan, ia menyusur lorong
serambi. Karena sudah malam, maka suasana gedung
kepatihan itupun sunyi senyap. Penghuni gedung tidur
nyenyak karena sudah menyerahkan keamanan gedung
kepada penjaga pintu. Seteiah melalui liku2 lorong dan beberapa bangunan,
akhirnya ia berhasil mencapai sebuah ruang tengah yang
masih terang penerangannya. Dengan mengembangkan ilmu
Prana, ia dapat membuat langkahnya seringan daun kering
jatuh ketanah. Ia menghampiri sebuah jendela yang daunnya
hanya tertutup separoh. Dari lubang jendala itulah ia dapat
mendengar pembicaraan orang dalam mang. Ternyata
beberapa orang tengah borbicara.
"Gusti" tiba2 terdengar seseorang berkata "maaf, adakah
jendela itu tak perlu kita tutup ?"
Terdengar orang tertawa segan "Hm, tak perlu kuatir!
Penjagaan gedung ini cukup kuat. Selain menjaga pintu pun
setiap jam mereka melakukan ronda. Segera katakan saja apa
yang kalian hendak laporkan"
Waktu mendengar orang hendak menutup jendela, Anuraga
terkejut. Tetapi untunglah yang disebut gusti itu tak
mengidinkan. Ia duga orang itu tentulah pemilik gedung
kepatihan itu yalah patih Aluyuda sendiri. Tetapi lain
kekuatiran mulai timbul mendengar keterangan patih Aluyuda
tentang cara2 penjagaan gedung itu dilakukan.
"Gusti" terdengar suara orang yang mengusulkan supaya
jendela ditutup lagi, berkata "Rakryan Kuti dan ketujuh
Dharmaputera hendak mengusulkan supaya baginda
memanggil buyut Mandana, ayah Sindura, kepuri kerajaan.
Sebagai seorang ayah, buyut itu supaya dipersalahkan tak
dapat mendidik puterinya sehingga puterinya bersekutu
dengm penjahat dan melarikan diri dari keraton. Hal itu dapat
dianggap sebagai menghina raja. Sebagai hukuman supaya
hak perdikan tanah Mandana dicabut!"
"Oh" patih Aluyuda mimdesus "hal itu pasti menimbulkan
akibat besar. Bila buyut dan rakyat Mandana tak puas dengan
keputusan baginda itu, mudahlah timbul perlawanan. Ha, ha,
bagus" tiba2 patih Aluyuda tertawa cerah "menurut
wawasanku, sejak pengangkatan sebagai Dharmaputera, Kuti
dan kawan-kawannya berusaha keras untuk mengambil hati
dan merebut kepercayaan baginda. Tentu ada udang dibalik
batu dalam tindakan mereka itu. Hm, mereka adalah mentri2
tua dari raja Kertarajasa almarhum yang tak menyukai
pengangkatan baginda Jayanagara. Tak mungkin mereka akan
merebut kepercayaan baginda dengan sungguh hati apabila
tiada mengandung maksud tertentu. Dengan demikian aku
mempunyai bahan untuk mengatur langkah terhadap mereka"
Kemudian patih Aluyuda memberi isyarat kepada orang
kedua yang menghadapnya "Kreta, bagaimana perkembangan
hasil penyelidikanmu?"
"Ada usaha dari Dang Acarrya Kanakamuni untuk
mengundang beberapa pamegat, antara lain pamegat
Kandangan Rare Dang Acarrya Candranatha, pamegat
Kandangan Atuha Dang Acarrya Mahanatha. Keduanya adalah
hakim Upapati urusan agama Buddha. Maksud tujuan
undangan itu yalah hendak merundingkan tentang hilangnya
patung Aksobya dalam candi Syiwa Budha di Kagenengan"
kata orang yang disebut Kreta itu.
Brahmana Anuraga terkejut. Dang Acarrya Kanakamuni
adalah dharmmadhyaksa ring Kasogatan, atau pembesar
tinggi agama Bidha. Sedang pamegat atau pameget adalah
empu2 yang telah putus dalam pengetahuan agama dan
berdiri sebagai guru agama. Anuraga tumpahkan seluruh
perhatian untuk menangkap pembicaraan yang akan
berlangsung nanti. "Lalu apakah tujuan gagasan dari
Kanakamuni itu?" tanya patih Aluyuda.
Dang Acarrya "Hamba belum tahu gusti" sahut Kreta "tetapi tentulah akan
membicarakan masalah penting mengenai hilangnya patung
Aksobya itu. Dan keputusan yang akan dihasilkannya tentulah
amat penting sekali"
"Hm, benar ...." tukas patih Aluyuda "hilangnya patung
Aksobya itu tentu menimbulkan kekecewaan dan kegelisahan
penganut Buddha. Dan rupanya walaupun resminya negara
Majapahit ini menganut agama Tripaksa: Brahma, Syiwa dan
Buddha tetapi dalam kenyataan, ada kecenderungan baginda
raja condong pada agama Syiwa. Buktinya agama Syiwa
dianjurkan dimanapun tetapi agama Buddha hanya boleh
disiarkan di kerajaan bagian timur. Kemudian tejadi peritiwa
sangat menggelisahkan para pamegat Buddha yalah hilangnya
arca Aksobya itu, hm . . . kalau saja ..." patih Aluyuda
mendesuh dan tak melanjutkan kata2nya.
Setelah beberapa saat menunggu belum juga patih itu
melanjutkan ucapannya, Kretapun memberanikan diri bertanya
"Benar, gusti, hilangnya

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arca Aksobya itu pasti menggoncangkan ketenangan para penganut agama Buddha.
Dan Acarrya Kanakamuni seorang empu yang luas
pengetahuan, putus pengajian agama besar sikap tawakkalnya. Bahwa kalau seorang empu semacam Dang
Acarrya Kanakamuni sudah mulai berusaha mengadakan
perundingan dengan beberapa pamegat kasogatan, tentulah
masalahnya sudah mencapai tingkat yang gawat ...."
"Begitulah yang kuharapkan" patih Aluyuda cepat mengerat
"agar terjadi perpecahan antara kedua agama Syiwa dan
Buddha. Dan hilangnya arca Aksobya itu merupakan percikan
api yang akan menyulut bara permusuhan kedua fihak itu. Hai,
Kreta, usahakanlah penyebaran berita desas desus seluasluasnya, bahwa hilangnya arca Aksobya itu tentu karena
diambil oleh fihak kaum penganut Syiwa. Desas desus itu
harus terdengar oleh para pamegat itu agar menjadi bahan
perundingan yang penting dengan Dang Acarrya Kanakamuni
nanti" Mendengar itu mengucurlah keringat dingin di kepala
Anuraga. Tanpa disadari karena terkejut mendengar rencana
beracun dari palih Aluyuda, dadanya terasa terhimpit sesak
dan mulutnyapun menghembus napas keras
"Hai, siapakah itu" tiba2 Gupita berseru kaget "gusti,
rupanya di luar ruangan ini terdapat seseorang yang mencuri
pembicaraan kita. Mohon kiranya gusti meluluskan hamba
memeriksa ke luar jendela"
Dan sebelum patih Aluyuda memberi pernyataan apa2,
Gupitapun terus berbangkit dan menghampiri jendela ......
Tetapi setelah melongok keluar jendela, Gupita tak melihat
suatu apa. Sejenak menyusurkan pandang matanya sampai ke
ujung lorong serambi, tetap tak melihat apa2. Terpaksa ia
kembali. "Ah, engkau terlalu ketakutan sendiri Gupita" patih Aluyuda
tertawa "mungkin angin malam berhembus engkau sangka
orang bernapas. Percayalah, di gedung kepatihan sini aman
sekali" Kiranya waktu mendengar kata2 Gupita tadi, serasa
terbanglah semangat Anuraga. Ia harus cepat menyingkir atau
ia tentu tertangkap. Menilik bahwa patih Aluyuda itu ternyata
mempunyai jaring mata2 yang luas, ia tentu mengandung
persiapan2 yang berbahaya. Entah kearah manakah tujuan
Aluyuda karena ia belum jelas akan warna dan corak pendirian
patih itu. Saat itu Anuraga benar2 menghadapi tantangan. Maka
iapun menuntut pada dirinya untuk mengembang selunsh
kepandaiannya dalam ilmu yang disebut Tapakangin. Ilmu itu
sesungguhnya bersumber pada ilmu Prana atau pernapasan,
yang dikembangkan untuk mengumpulkan seluruh hawa murni
dalam tubuh kearah Cakram Manipura. Pembekuan hawa
murni dalam Cakram Manrpura itu akan menyebabkan tubuh
kehilangan bobot. Pada saat itulah Anuraga segera apungkan
tubuh. Laksana langkah seekor kucing yang ringan tanpa
mengeluarkan suara, dalam dua tiga kali loncatan, dapatlah
Anuraga mencapai ujung lotong terus cepat menyelinap ke
samping dan hilang dari pandangan. Itulah sebabnya maka
Gupita yang menggunakan beberapa langkah untuk
menghampiri jendela, tak dapat menemukan apa2.
Namun Anuraga masih bingung dan cemas. Bagaimanakah
ia harus keluar dari lingkungan gedung kepatihan itu. Ia
bersembunyi di sebuah sudut yang gelap untuk melihat
Pengelana Rimba Persilatan 2 Pendekar Slebor 06 Bangkitnya Ki Rawa Rontek Gempar Aji Karang Rogo 2
^