Pencarian

Gajah Kencana 9

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 9


perkembangan selanjutnya dan mencari kesempatan
meloloskan diri. Hampir sepengunyah sirih ia menanti, karena tiada kejadian
apa2 maka mulailah ia bergerak menyusur maju menuju
kebagian belakang. Karena berhati-hati, perjalanannya itu
terasa lama sekali tetapi akhirnya berhasil juga ia mencapai
taman di belakang gedung.
Dilihatnya sebatang pohon tiktiki atau asam tumbuh dekat
pagar tembok. Melalui pohon itu, ia dapat loncat keatas
tembok, melayang turun keluar dan bebas.
Malam makin membuta pekat. Tak tahu dimana saat itu ia
berada. Sekeliling penjuru sunyi senyap. Tanah lapang di
belakang gedung kepatihan penuh ditumbuhi pohon
brahmastana. Serta merta teringatlah Anuraga akan
pernyataan patih Aluyuda bahwa gedung kepatihan itu tak
putus-putusnya dikelilingi oleh peronda. Maka ia tak mau
berhenti lama di luar tembok situ dan terus melangkah
melintasi tanah lapang da muka. Tak tahu pula ia akan arah
yang ditujunya itu. Pokok ia harus menyingkir jauh2 dari
gedung kepatihan. Setelah tiba di balik gerumbul pohon
brahmastana, agar jangan tersesat jalan, ia beristirahat di
bawah salah sebuah pohon itu.
Setelah menenangkan napas, mulailah ia merenungkan
perjalanan malam itu yang penuh peristiwa2 baru. Menghadap
mahapatih Nambi dan bertemu dengan demang Suryanata. Ia
heran mendengar keterangan demang tua itu. Kalau benar
demang itu menjadi tawanan rakryan Kuti, mengapa tak mau
meloloskan diri atau melapor pada baginda. Alasannya,
rakryan Kuti mempunyai senjata ampuh yang membuatnya tak
dapat berkutik. Apakah sesungguhnya senjata itu" Ah, pada
suatu hari ia pasti akan mengunjungi demang itu. Ia benar2
menaruh minat besar akan diri demang tua itu . . .
Kemudian pikirannya melavar"g ke gedung kepatihan. Baru
saat itu ia benar2 mengetahui bahwa patih Aluyuda
memelihara beberapa orang untuk memata matai semua
mentri kerajaan. Bahkan ke dharma-dyaksaan Kasogatan atau
urusan agama Buddha tak lepas dari pengawasannya. Diam2
mereganglah bulu kuduknya dikala teringat rencana patih
Aluyuda untuk mengail di air keruh dalam peristiwa hilangnva
arca Aksobya itu. Golongan agama Syiwa hendak diadu
domba dengan fihak golongan kaum Buddha. Sungguh
berbahaya. Setelah dinihari tiba, barulah Anuraga tinggalkan tempat
itu, menuju ke Ranu Kebayan
-o)Ooo-dw-ooO(o- III "Kuda Lampeyan!" teriak raja Jayanagara lantang "tahukah
engkau apa sebab kutitahkan pulang ke puri kerajaan ?"
"Duh gusti junjungan hamba" sembah Kuda Lampeyan yang
sudah tiba di puri kerajaan dan menghadap baginda di
balairung kerajaan "hamba mohon sudilah paduka berkenan
melimpahkan titah. Apapun titah paduka, pasti akan hamba
junjung di atas ubuna kepala hamba. Bila dalam melakukan
tugas yang paduka titahkan itu hamba bersalah, hamba
mohon hukuman paduka"
Jayanagara tertawa hambar "Tugas negara, memang
engkau lakukan dengan baik. Tetapi dalam tugas peribadimu,
engkau lalai" Memang pada waktu dijemput oleh utusan mahapatih
Nambi, Kuda Lampeyan sudah mendapat keterangan tentang
lenyapnya Rara Sindura dari keraton. Ia terkejut mendengar
laporan itu. Ia masih samar2 akan maksud baginda
mcnitahkannya kembali ke puri kerajaan.
"Mohon paduka berkenan menunjukkan kelalaian hamba,
gusti" katanya. "Sindura itu isterimu, bukan?" seru baginda.
"Benar, gusti" "Pada waktu engkau kuangkat sebagai nayaka yang
bertugas sebagai duta kerajaan untuk meninjau keadaan
wilayah di seluruh telatah perumahan Majapahit, engkau rela
menyerahkan isterimu supaya dididik tata santun kalangan
keraton agar kelak dapat menyesuaikan
kehidupanmu sebagai priagung, benarkah itu?"
diri dalam "Sembah keluhuran titah paduka"
"Bagaimana tanggapanmu atas segala tindakanku kepada
dirimu itu?" "Anugerah yang paduka limpahkan pada diri hamba itu,
benar2 membuat hati hamba gelisah ..."
"Gelisah?" tukas raja Jayanagara "engkau menguatiikan
isterimu yang cantik itu tak aman dalam keraton ?"
Kuda Lampeyan gopoh mengunjuk sembah "Duh, gusti
junjungan hamba, setitikpun tiada perasaan demikian dalam
hati nurani hamba. Paduka adalah junjungan seluruh kawula
Majapahit. Paduka yang berwewenang menentukan mati
hidupnya seseorang kawula, termasuk diri hamba. Bagaimana
mungkin hamba berani mengandung hati wasangka kepada
duli tuanku. Hamba gelisah karena menerima anugerah
paduka yang tak pernah harnba impikan itu. Hamba merasa
kecil diri karena merasa tak mungkin dapat membalas budi
yang paduka limpahkan itu. Sekalipun tubuh Kuda Lampeyan
hancur lebur, kiranya masih belum memadai budi yang paduka
limpahkan pada diri hamba itu"
"Hm, engkau cukup berjiwa seorang ksatrya yang tahu
akan pengabdian budi" seru baginda Jayanagara "hanya
sayang rnasih ada kekurangan pada dirimu. Sebagai seorang
ksatrya engkau wajib meresapkan ajaran keksatryaan pada
lain orang. Sebagai seorang suami, wajiblah engkau
menanamkan rasa susila budi-dharma kepada isteri yang
menjadi wajib pemangkuanmu"
Kuda Lampeyan mengunjuk sembah pula tetapi tak
mengucap apa2. Tanda bahwa ia mengerti dan menyetujui
ucapan baginda. "Isterimu dilarikan oleh kawanan penjahat dari keraton
sini!" tiba2 baginda berseru dalam suara lantang yang bernada
tuntutan. Walaupun oleh para utusan dari mahapatih Nambi yang
menjemputnya pulang ia sudah mendapat berita itu, namun
tatkala diucapkan raja, hal itu mempunyai getaran wibawa
yang membuat jantung Kuda Lampeyan mendebur-debur
laksana gelombang pasang.
Memang lautan hati Kuda Lampeyan tengah mengalami
prahara. Oleh utusan yang menjadi kepercayaan mahapatih
Nambi, ia telah diberi gambaran tentang hal yang dialami
Sindura selama dalam keraton dan peristiwa yang terjadi pada
dirinya. Diam2 ia menyesal karena tak mau mempertimbangkan kecemasan Sindura ketika hendak
ditinggal dalam keraton tempo hari. Semula ia sudah mengisi
hatinya dengan rasa tak puas terhadap tindakan raja. Raja tak
puas itu ia tingkatkan lagi pada kemantapan tekad. Lebih baik
ia meletakkan jabatan dan membawa Sindura pulang dan
hidup tenteram sebagai rakyat biasa.
Tetapi ketika ia menghadap baginda di balairung yang
dihadiri oleh beberapa menteri, narapraja, nayaka dan
senopati, kemantapan tekadnya semula bagaikan kunang2
membentur bola api. Tekad hati Kuda Lampeyan sirna
dayanya dalam sarnudera kewibawaan sidang istimewa
balairung Majapahit. Di bangsal kencana balairung situlah,
ditentukan roda pemerintahan Majapahit. Di balairung yang
bersinggasana ratna mutu manikam itu, memancarkan cahaya
gilang gemilang yang menyilaukan mata. Di atas singgasana,
duduklah raja yang dipertuan dari seluruh telatah Majapahit.
Dihadap para mentri narapraja yang putus segala ilmu
pemerintahan, nayaka bupati yang menjadi tulang punggung
kerajaan dan senopati hulubalang yang menjadi bebantenging
atau banteng-bantengnya Majapahit.
Angan2 dalam hati Kuda Lampeyan yang terbekukan dalam
karang ketekadan, seketika cair hanyut larut dalam pancaran
kewibawaan sidang istimewa keraton Majapahit. Hilangnya
kemantapan hati, segera menimbulkan kembali cita2 yang
tertimbun dalam endapan lubuk hatinya. Cita2 mencapai
tangga kedudukan tinggi, angan2 menjadi rayaka kerajaan.
Itulah sebalnya maka pada waktu terjadi percakapan dengan
baginda, Kuda Lampeyan sudah kehilangan sifat keperibadian
dan tujuannya. Dan ucapan Jayanagara terakhir yang lantang
nyaring itu, membuat darah pemuda itu mengalir deras.
Mukanya merah padam "Apa katamu, Kuda Lampeyan!" tiba2 baginda berseru pula.
"Hambalah yang bersalah, mohon paduka menghukum
hamba!" sahutnya gegas.
"Adakah engkau rela ternoda karena membela isterimu?"
"Itu sudah menjadi kewajiban hamba sebagai seorang
suami, gusti" sahut Kuda Lampeyan.
"Apakah engkau tak bercita-cita menjadi senopati kerajaan,
mengabdi pada Majapahit?" tanya Jayanagara pula.
"Itulah cita2 hidup hamba, gusti"
"Berat manakah dalam pertimbangan antara Cita2 dengan
Kewajibanmu sebagai suami?"
"Cita2 adalah tujuan hidup hamba dan Kewajiban sebagai
suami itu suatu kenyataan hidup, gusti. Karena isteri itu hak
suami, suamilah pang berkewajiban melindunginya"
"Apabila isterimu lapuk dijenjang uji, apakah engkau tetap
melindunginya?" "Hamba akan menggunakan hak sebagai suami untuk
menghukumnya!" "Bagus, Kuda Lampeyan" seru Jayanagara "sekarang
cobalah engkau jawab. Andaikata engkau disuruh memilih,
berat cita2 atau kewajibanmu kepada isteri jatuh ke manakah
pilihanmu?" Kuda Lampeyan mengerut dahi sejenak. Tetapi pada lain
saat, iapun sudah menjawab "Duh, gusti junjungan hamba,
mohon paduka berkenan mendengarkan isi hati hamba. Citaitu ridalah tujuan Hidup. Menjadi suami hanya sarana
kewajiban hidup. Setiap manusia tentu mengalami tiga jenis
kodrat: lahir, menikah dan mati. Kodrat merupakan sifat
pembawaan yang wajar. Sedangkan cita2 merupakan
pancaran citarasa. Karena setiap peribadi lain citarasanya
maka berbedalah keinginannya dan tak sama pula cita-citanya.
...." "Kuda Lampeyan" tukas baginda "tak perlu berkepanjangan.
Katakanlah pilihanmu "
"Hamba memilih cita2, gusti. Kewajiban sebagai suami itu
tak perlu dipilih karma sudah wajar pada hidup hamba"
"Engkau berat kedudukan yang kuberikan
daripada isterimu, bukan?"
kepadamu "Keluhuran titah baginda" Kuda Lampeyan mengiakan
"pilihan hamba itu bukan semata-mata bertitik tolak pada
keinginan hamba untuk mengabdi pada kerajaan"
"Engkau tetap setya mengabdi kepadaku ?"
"Dengan seluruh jiwa dan jasad hamba, gusti"
"Akan kauberikan jiwamu apabila kukehendaki?"
"Tiada keraguan serambut dibelah tujuh dalam hati hamba,
gusti" "Bagus, Kuda Lampeyan, aku menuntut bukti" tiba2
baginda mencabut keris yang
terselip di belakang pinggang,
titahnya "Kuda Lampeyan keris
Pusaka Pasopati ini buatan empu
Ramayadi pada jeman sang Prabu
Sri Maha Dewa Buda. Ampuhnya
bukan alang kepalang. Terimalah"
Kuda Lampeyan gopoh menyembah lalu menyambuti keris
itu. Ia tak tahu apa maksud
baginda. "Lakukanlah perintahku !" seru
Jayanagara. "Sembah hamba, gusti"
"Kuda Lampeyan, engkau bersalah karena tak mampu
mengurus isteri. Sebagai hukuman, tusukkan keris itu ke
dadamu!" Sekalian mentri dan nayaka yang mendengar titah itu,
terbeliak kejut. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu tiba2
Kuda Lampeyan ayunkan keris pusaka Pasopati ke dadanya
"Tahan!" tiba2 pula baginda Jayanagara berteriak
mencegah seraya menamparkan tangan kanan. Kuda
Lampeyan tersentak kaget. Saat itu pikirannya sudah
meninggalkan jasad. Mati melaksanakan titah raja adalah mati
utama. Ia pejamkan mata melelapkan seluruh indera agar
menunggal untuk mengiring atma yang akan meninggalkan
raga. Maka bukan kepalang kejutnya ketika mendengar
teriakan baginda serta hembusan angin yang mendorong keris
pusaka itu tersiak ke samping.
"Baginda ...." belum Kuda Lampeyan menyelesaikan katakatanya, Jayanagarapun cepat menukas "Kuda Lampeyan,
engkau benar2 seorang ksatrya. Aku hanya ingin menguji
kepatuhanmu dan engkau lulus dari ujian itu. Kini akan
kuberimu tugas. Bawalah buyut Mandana, ayah mentuamu itu
ke mari untuk menerima hukuman. Kesalahannya, dia seorarg
ayah yang tak mampu mendidik anak sehingga anak itu berani
menghina raja. Jika buyut itu menolak, bunuhlah dengan keris
Pasopati itu!" "Sen .... dika .... gusti" Kuda Lampeyan menyambut dengan
kata tersendat. "Setelah itu, carilah wanita Sindura itu. Bunuhlah penjahat
yang melarikannya dan bawalah isterimu itu ke sini juga.
Apabila ia tak mati, sirnakan sekali !"
Titah raja itu menimbulkan gempa besar yang
menggoncang hati sekalian mentri nayaka yang hadir di
balairung. Tetapi tiada seorangpun yang berani membuka
mulut.

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada suatu hal yang ganjil dalam sidang darurat di balairung
kerajaan saat itu. Dari sekian banya'k mentri, tanda, gusti dan
narapraja, hanya mahapatih Nambi yang tak hadir. Dapat
dikata, seluruh mentri narapraja bertanya-tanya dalrm hati
akan ketidak hadirnya mahapatih itu. Kecuali hanya seorang,
vani patih Aluyuda yang tak heran. Karena dialah yang
mengusulkan kepada baginda agar mahapatih Nambi diberi
tugas yang tak memungkinkan menghadiri sidang darurat itu.
Alasan yang dikemukakan patih Aluyuda bahwa kehadiran
mahapatih Nambi dalam sidang itu akan dapat mempengaruhi
pikiran dan jiwa Kuda Lampeyan, dapat diterima baginda.
Maka pada hari itu, mahapatih Nambi dititahkan untuk
memeriksa keadaan candi Kagenengan, candi tempat
pemujaan patung A ksobya yang hilang itu.
"Bagaimana Kuda Lampeyan!" tiba2 baginda Jayanagara
berseru menegur Kuda Lampeyan yang tampak terpukau.
Memang titah raja yang terakhir itu, benar2 seperti petir
berbunyi ditengah hari. Semangat Kuda Lampeyan serasa
tersambar berantakan. Sesungguhnya hati Kuda Lampeyan itu
berisi dua bobot: Sindura dan pangkat. Ia mencintai Sindura,
pun mencintai pangkat. Bukankah suatu kebahagiaan hidup
apabila memiliki isteri cantik dan pangkat tinggi ". Oleh karena
itu ia ingin meraih kedua duanya. Tetapi ternyata nasib
menentukan lain. Oleh baginda Jayanagara, ia disuruh memilih
diantara kedua hal itu. Walaupun akhirnya dengan dalih untuk
mengabdi negara, ia memilih kedudukan Namun hal itu bukan
berarti api cintanya kepada Sindura sudah padam. Api
asmaranya masih tetap membara.
Apabila angin berembus, maka berkobar pulalah api itu
dalam hatinya. Titah raja agar membunuh Sindura, bukan lagi
sekedar angin berhembus, tetapi benar2 sebuah prahara. Dan
makin besar angin prahara itu, makin besar pula nyala bara
asmaranya, berkobar-kobar membakar naluri kejantanannya.
Seketika terbayanglah kenangan masa2 yang bahagia
dengan Sindura Betapa ia mempertaruhkan jiwa untuk
mengatasi kegaduhan dari kaum muda tanah Mandana, dalam
persaingan merebut hati Sindura. Betapa besar cinta kasih
sang isteri yang tercurah kepadanya. Smdura telah
menyerahkan mustika kesuciannya sebagai saorang wanita,
kepadanya. Berpuluh bahkan beratus pemuda menginginkan
milik sijelita yang syahdu. Bahkan baginda rajapun
menghasratkan juga. Tetapi Sindura tetap hanya memberikan
kepada suaminya. Tetapi mengapa ia sampai hati untuk
menghianati kepercayaan dan kecintaan isterinya itu . . .
Pendakian ke puncak alam renungan, membuat Kuda
Lampeyan kehilangan pegangan, serasa tergantung di
awang2. Ia tersentak kaget ketika ditegur baginda "Ba . . .
iklah . . . gusti ..." sahutnya sarat.
"Hm, rupanya engkau masih sayang kehilangan seorang
isteri yang cantik" guman baginda.
"Gusti ...." "Apabila engkau tak dapat menunaikan titahku itu, engkau
harus bunuh diri dihadapanku" cepat baginda menyusuli pula.
Kuda Lampeyan terpukau. "Kuda Lampeyan" ujar baginda kemudian "aku tak
menginginkan senopati yang berhati lemah. Aku menjalankan
tampuk pemerintahan dengan cara Gitikpentung maka aku
menghendaki mentri2 dan senopati2 bawahanku, orang2 yang
tegas dan kuat. Dibawah pimpinan raja yang keras, tak ada
mentri senopati yang lemah. Tugas negara masih banyak.
Membersihkan kutu-kutu negara, memulihkan keamanan,
mengembangkan agama dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Hendaknya tugas2 itu jangan terhalang karena wanita.
Telatah Mijapahit penuh dengan wanita2 cantik. Apabila
engkau sudah berhasil menunaikan tugas, kelak engkau
kuperkenankan mengambil engkau kehendaki!" "Sendika, gusti" Kuda
lunglai. puteri cantik manapun yang Lampeyan menghatur sembah
"Kuda Lampeyan, sekarang juga kuberi hak memilih
anakbuah rombonganmu dan hari ini segeralah engkau
berangkat!" Demikian persidangan di balairung yang dipimpin raja
Jayanagara sendiri, segera dibubarkan. Dan Kuda
Lampeyanpun berangkat melakukan perintah.
o)Oo-dw-oO(o IV "Paman demang, besok aku akan tinggalkan puri kerajaan
untuk melakukan perintah Dang Acarrya Samaranatha" kata
Anuraga pula malam itu, sehari setelah Kuda Lampeyan
berangkat mengemban titah raja "maka kuperlukan
berkunjung ke tempat paman. Pertama, untuk minta diri dan
kedua, untuk mendengarkan keterangan tentang diri paman
demang" Demang Suryanata menghela napas "Ah, perintah apakah
yang ki brahmana peroleh dari Dang Accarya Samaranatha itu
?" "Dang Acarrya Samaranathapun mendengar j.uga tentang
pertemuan antara Dang Acarrya Kanakamuni dengan
beberapa pamegat agama Buddha. Maka beliau telah
mengambil langkah kebijaksanaan, mengutus aku untuk
meninjau asrama2, kuil, candi dan rumah2 suci. Supaya kepala
para wiku, resi, brahmana, wipra dan pemuka2 mazhab,
diresapkan ajaran Syiwa-Buddha yang menjunjung kedamaian
dan Cinta-kasih. Supaya dalam menanggapi peristiwa
hilangnya patung Aksobya dari candi Kegenengan itu, jangan
sampai timbul perpecahan dengan penganut2 agama Buddha.
Jangan mudah terpancing di air keruh, tergelincir dalam adu
domba" Pamegat Ranu Kcbayan Samaranatha, benar2 seorang dang
acarrya yang bijak bestari" puji demang Surya "tepatlah
langkah yang diambilnya untuk mencegah kemungkinan2 yang
berbahaya itu. Kerajaan cukup keruh dengan kegiatan2
beberapa golongan yang mendukung dan menentang raja
Jayanegaia. Apabila ditambah pula dengan pertikaian agama,
keadaan tentu akan lebih runyam"
"Ki brahmana tentu belum tahu bilamana akan pulang ke
puri kerajaan lagi, bukan" ?" kata demang Surya pula.
"Benar, paman demang, oleh karena itu kuperlukan
berkunjung ke mari untuk mengharap kesediaan paman
demang menceritakan diri paman"
"Baiklah" demang Surya menghela napas untuk
melonggarkan kesesakan napasnya. Setelah itu iapun
bercerita. Mulai dari pengabdiannya kepada raden Wijaya, lalu
dipaksa ikut dalam persekutuan rahasia yang dipimpin rakryan
Kuti, kemudian meloloskan diri mengunjungi
anak perempuannya yang menjadi isteri buyut Bayu Mredu. Utusan
yang dikirim Kuti untuk rrtenjemputaya pulang, ditolak dan
terjadi perkelahian berdarah. Sejak itu bersama cucu
perempuan kecil yang bernama Indu, ia bersembunyi tinggal
di tempat yang terasing. Sampai pada suatu hari bertemu
dengan seorang anak lelaki kecil yang pingsan dalam hutan
karena dihajar rakyat Madan Teda. Kemudian karena hendak
membeli bumbu keperluan dapur, Indu menuju ke pasar dan
diculik oleh anakbuah rakryan Kuti dan dibawa ke puri
kerajaan. Demi keselamatan jiwa cucunya itu, terpaksa
demang Surya menyusul ke puri Majapahit dan ditawan Kuti.
"Demikianlah kissah diriku, ki brahmana" demang Surya
mengakhiri ceritanya. "Nanti dulu, paman demang" tiba2 Anuraga menyelutuk
"paman tadi mengatakan bertemu dengan seorang anak kecil
yang dihajar rakyat Madan Teda. Kalau begitu, anak itu tentu
berasal dari desa Madan Teda?"
"Benar" demang Surya mengiakan.
"Siapakah namanya?"
"Gajah atau Dipa ...."
"Hai!" Anuraga memekik kaget "benarkah dia?"
Demang Suryapun tertegun melihat ulah Anuraga terkejut
itu. Ia memberi penegasan "Ya, si Gajah anak penggembala
kambing milik buyut desa Madan-Teda"
"Oh ..." desuh Anuraga "kiranya benar dia. Mengapa ia
dihajar rakyat Madan-Teda?"
Demang Surya menuturkan piiristiwa hilangnya patung
Ganesya di candi kecil desa Madan-Teda. Patung itu diangkat
si Gajah dari tempatnya karena hendak menolong tangan
seorang anak kecil yang tertindih. Tetapi beberapa hari
kemudian, patung itupun hilang. Rakyat marah dan menuduh
si Gajah yang menjadi gara2. Mereka percaya dewa Ganesya
tentu marah dan melenyapkan diri.
"Hm, kepercayaan yang buta, memang dapat menimbulkan
kelucuan ...." "Kelucuan tidak soal, tetapi sering pula menjurus kearah
tindakan yang berbahaya. Aku yakin dalam peristiwa hilangnya
patung itu tentu ada tangan jahil yang hendak menfitnah si
Gajah. Sayang aku tak sempat membongkar rahasia itu karena
keburu harus kepuri kerajaan sini" tukas demang Surya.
"Benar paman" Anuraga memberi dukungan "semisal
dengan peristiwa hilangnya patung Aksobya di candi
Kagenengan ini, tentulah digerakkan oleh tangan yang hendak
mengadu domba dan memecah belah kerukunan antara kaum
agama Syiwa dan Buddha. Lalu dimanakah anak itu
sekarang?" "Kuharap dia masih tinggal dalam pondok tempat
persembunyianku dalam hutan di luar desa Madan-Teda"
jawab demang Surya lalu menceritakan tentang pesannya
kepada si Gajah ketika hendak ditinggal pergi. Tiba2 demang
itu merenung diam. Beberapa saat ia memandang Anuraga
"Menilik besar perhatian ki brahmana terhadap anak itu,
apakah andika itu bukan brahmana yang sering disebut-sebut
anak itu?" "Benar paman demang. Aku adalah Anuraga yang ditolong
dan menolong si Dipa. Telah kujanjikan kepada buyut desa
Madan-Teda untuk membayar uang penebus kebebasan si
Dipa sebagai bhaktadasa. Tetapi ah, rupanya ia tertimpa lain
kemalangan lagi" "Suratan hidup anak itu memang belum saatnya bebas dari
kemalangan. Tetapi kulihat ia seorang anak yang besar
rejekinya. Ada suatu firasat dalam hatiku bahwa kelak anak itu
tentu menjadi orang besar yang termasyhur"
"Pandangan paman demang itu sesuai dengan perasaanku.
Entah bagaimana, pada waktu pertama kali bertemu, naluri
hatiku tergores kesan bahwa anak itu kelak tentu mempunyai
garis hidup yang luar biasa. Nanti dalam perjalanan keliling ini,
tentu akan kuperlakukan mencarinya ke Madan Teda. Aku
akan berusaha sekuat mungkin untuk mengangkat anak itu"
"Bagus ki brahmana" demang Surya menyambut cerah
"ibarat batu permata yang belum tergosok, apabila jatuh
ditangau seorang inaniinpiki yang pandai, tentu akan menjadi
peimata yang gilang gemilang"
"Ah, semoga demikian" tanggap Anuraga "tetapi ibarat batu
permata yang masih terbungkus, makin jatuh bergelimpangan,
makin dibanting bei hamburan, batu pembungkusnya akan
makin hancur lepas dan permata itu akan memancarkan
sinarnya." Rupanya kedua orang itu sesuai dalam faham dan penilaian
terhadap diri si Gajah Dipa. Sesaat kemudian Anuraga beralih
pertanyaan "O, jadi rakryan Kuti menggunakan cucu paman
sebagai sandera untuk mengikat kebebasan paman"
Dimanakah cucu paman itu?"
"Selalu berpindah pindah" sahut demang Surpa.
Anuraga kerutkan alis "Paman demang sudah pernah
bertemu?" "Bertemu berhadapan belum tetapi sering melihatnya.
Setiap bulan aku dibawa beberapa orang bawaan Kuti untuk
melihat anak itu" "Kemana?" "Setiap kali kesebuah gedung yang berbeda dengan bulan
yang lalu. Apabila pergi tentu pada petang hari. Pun hanya
menunggu diluar pagar gedung. Kemudian muncul cucuku
Indu dibawa berjalan-jalan oleh seorang dayang kehalaman.
Hanya sebentar lalu masuk ke dalam gedung lagi. Akupun
dibawa pulang kemari"
"Hm, licin sekali rakryan Kuti" guman Anuraga "tatapi
bukankah rakryan itu sudah diangkat baginda sebagai Sapta
Dharmaputera?" "Disitulah letak kelicinan dan kegesitan Kuti" sahut demang
Surya "selekas aku lolos, cepat ia menutup bahaya itu dengan
usaha merebut kepercayaan baginda. Akhirnya ia diangkat
menjadi Dharmaputera atau orang kepercayaan yang
ditugaskan melindungi keselamatan raja"
"Ah, sampai sedemikian jauhkah baginda menaruh
kepercayaan?" Anuraga terheran "bagaimanakah asal mula hal
itu terjadi?" "Sesungguhnya para mentri narapraja dalam kerajaan
Majapahit sudah mengetahui kelemahan dan sifat baginda
yang jelek. Baginda gemar sekali dengan wanita cantik
sehingga sering menimbulkan tindakan2 yang kurang sesuai
dengan kedudukannya. Dari kelemahan raja itulah maka
beberapa golongan mencari keuntungan sendiri2. Golongan
yang mendukung raja, berusaha untuk meluruskan dan
memperbaiki. Golongan yang menentang raja, memanfaatkan
untuk senjata mereka menggulingkan baginda. Sedang ada
golongan ketiga yang hendak memancing di air keruh.
Memanfaatkan untuk kepentingan mencari muka agar
mendapat anugrah harta dan pangkat!"
Demang Surya berhenti sejenak lalu berkata puia
"Dalam hal itu rakryan Kutipun tak mau mensia-siakan
manfaat dari kelemahan baginda itu. Sebagaimana sudah
menjadi rahasia umum dikalangan narapraja maupun kawula
kerajaan, baginda Jayanagara mempunyai minat untuk
mengawini kedua saudaranya

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri yani puteri Tribuanatunggadewi dan puteri Haji Rajadewi. Baginda kuatir
apabila kedua saudaranya itu menikah dengan orang luar
tentu akan timbul persoalan rebutan warisan tahta kerajaan.
Maka baginda berusaha keras untuk menghalau ksatrya2
muda dari daerah Mandalika dan tanah2 seberang, yang
datang ke pura Majapahit hendak meminang kedua puteri itu"
Sejenak pula demang yang sudah menjunjung uban di
kepala itu berhenti meluangkan napas. Kemudian melanjutkan
lagi "Sesungguhnya sejak rahyang ramuhun raja Kertarajasa
masih hidup itu akan dijodohkan pada putera2 raja daerah
Mandalika, agar dengan pernikahan itu dan ah Mandalika
terikat dibawah naungan kerajaan Majapahit. Kemudian
setelah baginda wafat, ibunda kedua puteri Tribuanatunggadewi dan Haji Rajadewi, melanjutkan usahanya
meneliti beberapa calon suami untuk kedua puterinya. Telah
diusahakan supaya tumbuh jalinan hubungan antara puteri
Tribuanatunggadcwi dengan raden Kertawardana putera
bangsawan kerajaan Singosari. Dan puteri Haji Rajadewi
dengan raden Kuda Amerta dari kerajaan Wengker. Tetapi
usaha yang baru dalam taraf penjajagan itu cepat sekali
hancur berantakan ketika raja Jayanagara tampil menggantikan rahyang ramuhun ayahanda Kertarajasa ...."
"Sejauh manakah peran rakryan Kuti dalam hubungan
dengan peristiwa itu, paman" tanya Anuraga.
"Kuti mengetahui bahwa baginda Jayanagara ingin
mengawini kedua saudara puteri itu dan tak menyukai
pemuda2 bangsawan yang hendak dicalonkan sebagai suami
kedua puteri itu. Maka dengan restu baginda, Kuti telah
melakukan suatu siasat yang licin. Akhirnya raden
Kertawardana terjebak dengan wanita dan raden Kuda Amerta
terlumur fitnah mempunyai rencana hendak melarikan puteri
Haji Rajadewi Maharajasa. Dan turunlah titah baginda,
melarang kedua putera bangsawan itu serta para ksatryamuda
dari daerah manapun juga untuk menginjak puri Majapahit. .."
"Dan karena jasanya itu maka rakryan Kuti mendapat
kepercayaan penuh dari baginda?" tanya Anuraga.
Demang Surya mengiakan "Kepercayaan itu dikembangkan
sedemikian rupa sehingga dia diangkat sebagai Dharmaputera" "Tetapi paman, bukankah rakryan Kuti itu tak menyukai
duduknya baginda Jayanagara disinggasana?"
"Disitulah letak kelicinan rakryan Kuti. Setelah aku
meloloskan diri dari persekutuan mereka, Kuti amat ketakutan
sekali. Ia harus menempuh jalan yang bertentangan dengan
pendiriannya. Ia mendukung kedua puteri itu sebagai
pimpinan kerajaan, tetapi demi mengamankan rencananya, ia
rela mengorbankan kepentingan puteri itu"
Anuraga mengangguk-angguk. Makin pengalamannya tentang isi keraton Majapahit.
bertambah "Ki brahmana, rupanya tuan menaruh minat besar sekali
tentang urusan kerajaan. Dan tuanpun menanam harapan
kepada si Gajah Dipa. Pendirian dan tujuan kita berdua
serupa. Dalam hal itu kiranya ki brahmana tentu tak keberatan
untuk memenuhi kehausan keinginanku mengenal peribadi
tuan. Siapakah sesungguhnya ki brahmana ini" Naluriku
membisiki bahwa tuan ini sesungguhnya bukan seorang
brahmana biasa" Anuraga tertegun sejenak lalu tersenyum "Tajam nian
pengawasan paman" kemudian dengan suara setengah
berbisik, Anuraga memperkenal dirinya.
"O" demang Surya mendesuh kejut "kiranya ki brahmana ini
putera dari A dipati Rangga Lawe. Dia seorang sahabatku yang
baik. Mengapa engkau perlu bersembunyi di balik baju
seorang brahmana?" Anuraga menghela napas pelahan "Paman demang,
mendiang ayahku dianggap sebagai seorang pemberontak ...."
"Bukan!" tukas demang Surya cepat "dia adalah seorang
kadehan kesayangan Rahyang Ramuhun baginda Kertarajasa.
Ayahmu memberontak karena tak puas atas pengangkatan
rakryan Nambi sebagai mahapatih. Ia kuatir pengangkatan itu
akan menurunkan derajat kewibawaan Majapahit"
"Benar, paman" kata Anuraga "tetapi kenyataan ayah telah
mati di medan pertempuran melawan tentara Majapahit. Maka
demi menyelamatkan diri dan menghindari gangguan musuh2
mendiang ayah, terpaksa aku menjadi seorang brahmana.
Dengan baju dan ruang gerak yang bebas, aku tentu dapat
lebih leluasa berusaha untuk menjaga keselamatan kerajaan.
Ayah ikut serta membangun kerajaan Majapahit dan aku
dipesan supaya ikut serta menjaga kerajaan itu"
"Suatu pambeg yang luhur, anakku" kata demang Surya
seraya menghela napas "sayang aku sudah tua. Seperti surya
menjelang silam, tenagaku pudar sisa hidupku tak lama,
jagadu makin sempit"
"Ah, harap paman jangan memiliki pikiran demikian" kata
Anuraga "Menurut Karma Yoga, tiada seorang makhluk
sungguh2 diam sejenak dengan tak melakukan pergerakan
apa saja. Sebab mau tak mau, akibat Prakitri atau kodrat alam
maka dengan sendirinya dia akan bergerak. Sedetik kita masih
bernapas, sedelik itu pula kita akan bergerak. Soal usia tua,
hendaknya paman tak perlu was was dan kecewa. Roh atau
Atma tak dapat dihancurkan dan meliputi semesta alam. Tiada
seorang juapun dapat menghancurkannya. Yang tak kekal
adalah raga kita, sedangkan yang kekal adalah yang mengisiraga kita. Atma itu bersifat abadi. Sepeni maiusia
menanggalkan pakaian tua dan mengenakan pakaian baru,
demikianpun pendukung raga atau Atma itu melepaskan raga
yang sudah usang dan berai,h ke raga yang baru. Maka
janganlah paman ragu2 menjalankan dharma-hidup paman.
Karena dharma itu tidaklah berhenti dengan usangnya raga
tetapi terus lanjut berkesambungan dalam raga baru pada
penjelmaan hidup yang mendatang"
"O, brahmana muda Laweputra, kata-katamu itu bagai
pelita yang menerangi kegelapan hatiku atau bagai securah air
yang menyegarkan kelayuan jiwaku. Aku akan menurut
dharma sisa hidupku. Aku bersedia membantumu, anakku.
Katakanlah, bagaimana aku harus bertindak"
"Paman demang" kata Anuraga penuh haru "marilah kita
bekerja melaksanakan cita2 juang untuk membela tegaknya
kerajaan Majapahit. Baiklah paman tetap tinggal di pura
kerajaan sini agar dapat mengawasi gerak gerik rakryan Kuti
dan kawan-kawannya. Derfgan demikian paman dapat
menjaga salah satu dari sekian banyak golongan yang hendak
menggerogoti dan merubuhkan kerajaan Majapahit"
Demang Surya memeluk Anuraga dengan mesra. Larut
malam Anuraga baru minta diri pulang.
Sinar Hyang Bagaskara yang merekah di bang wetan
bagaikan bokor kencana yang memancar sinar keemasan.
Silau kemilau, gilang gemilang menerangi jagad semesta.
Ketika saat itu Anuraga melangkahkan kaki melintas batas
terakhir dari puri kerajaan, ia tertegun sejenak. Lalu berpaling
memandang ke pura .... Dinding batu merah lagi tinggi, tegak menjulang mengitari
keraton. Pohon2 brahmastana tumbuh seiring lingkaran
dinding batu merah itu. Empat buah gapura besi yang kokoh
senantiasa dijaga oleh beberapa prajurit bersenjata. Didalam
pura yang penuh bangunan-bangunan gedung indah mewah
itu, bersemayamlah baginda Jayanagara yang memerintah
seluruh wilayah kerajaan Majapahit yang luas.
Bhumi aseli atau daerah aseli dari negara Majapahit itu
sendiri, sesungguhnya hanya meliputi Tumapel atau Singosari,
Kediri atau Daha dan Kahuripan. Majipahit berkedudukan di
Kahuripan. Menurut bentuk, ketiga daerah aseli Majapahit itu
dirasakan sebagai dahan maja yang terbagi atas tiga lembar
daun. Selain ketiga bumi aseli itu, kerajaan Majapahit
menguasai pula apa yang disebut daerah Mandalika, terdiri
dari Mataram, Pajang, Paguhan, Lasem, Wengker dan
Matahun. Kerajaan Majapahit yang luas dan besar itu, asal mulanya
dibangun dari daerah tanah Terik oleh raden Wijaya. Ketika
sedang membabat hutan Terik, seorang pekerja Madura
karena kehabisan bekal, memetik sebiji buah maja. Tetapi
ketika dimakan rasanya pahit. Sejak itu desa Terik diberi nama
Wilwatikta atau Majapahit.
Mengenangkan akan perjuangan raden Wijaya dan para
pengikutnya termasuk Rangga Lawe mendiang ayahnya,
mendeburlah darah Anuraga. Keringat mencucur, darah
mengalir dan entah berapa banyak korban yang telah jatuh
sebagai tumbal kebangunan kerajaan M ijapahit. Diatas jerih
payah, derita pengorbanan ayahandanya baginda Kertarajasa
dan para pejoang itulah maka kini raja Jayanagara duduk
diatas mahligai singgasana ratna manikam. Baginda raja
mengenyam puncak kenikmatan dari hasil karya mendiang
ayahandanya. Sebagai seorang putera, sudah layak anak
menerima warisan orangtua "Tetapi kami benar2 tak rela
apabila baginda Jayanagara akan mesia-siakan pusaka warisan
itu. Lebih tak-ikhlas lagi apabila kerajaan Majapahit sampai
menderita kehancuran, baik karena serangan dari luar maupun
penggerogotan musuh dari dalam. Kerajaan Majapahit benar
didirikan oleh rahyang ramuhun. raja Kertarajasa tetapi
keringat dan darah mendiang ayahku dan para pejuang2 ikut
menjadi campuran bahan pembuatan dinding pura kerajaan ...
." Anuraga menimang tekad.
Anunaga tersentak dari lamunan ketika pandang matanya
tersilau bola api raksasa yang timbul di kaki crakrawala timur.
Ah. matahari menyingsing. Ia segera berbalik tubuh dan
melanjutkan perjalanan. Pada langkah yang pertama, segera
pikirannya melayang pada diri si Gajah Dipa. Setelah
meninggalkan rumah buyut desa Madan Teda, tentulah anak
itu makin menderita hidupnya. Untunglah bertemu dengan
demang Suryanata dan disuruh tinggal di pondok dalam
hutan. Tetapi ternyata demang itu menjadi tawanan rakryan
Kuti dan tak dapat pulang ke pondoknya lagi. Lalu bagaimana
dengan anak itu" Apakah ia tak takut tinggal seorang diri
dalam hutan" Dan siapakah yang akan mengurus keperluan
hidupnya" Merenung sampai disitu, timbullah kecemasan hati
Anuraga bahwa kemungkinan besar, anak itu tentu pergi lagi
kelain tempat untuk mencari makan.
"Betapapun halnya, aku harus ke Madan Teda lebih dahulu
untuk mencari anak itu. Mudah-mudahan dia masih disana
agar dapat kubawa ketempat Eyang Wungkuk" kata Anuraga
dalam hati. Ia hendak menyerahkan anak itu kepada Eyang
Wungkuk agar kelak dapat ditempa menjadi sebuah permata
yang gemilang. Kemudian pikiran Anuraga terkenang akan Kiageng
Palandongan, eyang yang merawat dan mendidiknya sejak
kecil sampai dewasa. Ia merasa berhutang budi kepada
orangtua itu. Setelah selesai mengurus si Gajah, ia hendak
mengunjungi desa Palandongan.
Terkenang akan nasibnya sejak kecil, mengembanglah
kenangan Anuraga akan bumi Tuban tempat tumpah
darahnya. Bayang2 kenangan masa kecil mulai melalu lalang
dalam benaknya. Sebagai putera Adipati Rangga Lawe yang
menguasai wilayah Tuban, Anuraga hidup dimanjakan
kemewahan, digenangi kasih sayang kedua ayahbunda dan
disanjung kehormatan para kawula Tuban. Tetapi sejak
ayahnya gugur dan dituduh sebagai pemberontak, bumi Tuban
yang menimangnya dengan kenikmatan hidup itu, berobah
menjadi tanah gersang yang panas membara. Ia harus ikut
pada eyangnya, Kiageng Palandongan. Dan kini ia menjadi
brahmana demi menghindari kemungkinan2 yang membahayakan keselamatan dirinya. Di samping mempunyai
kawan2 yang karib, pun Adipati Rangga Lawe mempunyai
musuh2 yang mendendam. Bukan suatu hal yang mustahil
terjadi apabila musuh2 itu demi membalas dendam kepada
Rangga Lawe akan menumpahkan kemarahan kepada
puteranya. "Walaupun dengan cara yang berlainan tetapi aku harus
melanjutkan cita2 perjuangan mendiang ayah untuk menjaga
keselamatan Majapahit" demikian kemantapan hati A nuraga.
Berjalan di alam pedesaan sambil melamun, memang tak
menimbulkan perasaan lelah. Alam sekeliling jangkauan
pandang matanya, menimbulkan pantulan warna hijau kemilau
yang sedap. Jauh di sebelah muka tampak rangkaian
pegunungan Wtlirang, Kawi, Butak dan Anjasmara. Gunduk2
tanah yang menjulang tinggi hendak menggapai langit itu,
bagaikan raksasa2 penjaga ketiga telatah Majapahit. Silih
berganti pohon2 tiktiki, anjiluang, maja, jeruk kingkit dan
brahmastana menampakkan diri di sepanjang jalan yang
dilalui. Apabila mata bersua pandang dengan jajaran pohon2
itu, tahulah Anuraga bahwa ia tengah melintasi tanda batas
dari sebuah desa. Karena pohon2 itulah yang umumnya
ditanam sebagai pertandaan tapal batas sebuah desa atau
daerah. Makin ia menikmati pemandangan alam yang bebas, makin
lepaslah untaian kericuhan yang melingkar-lingkar dalam
bathin dan pikirannya. Serasa jelas benar perbedaan suasana


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pura kerajaan dengan pedesaan yang sunyi tenteram.
Di pura kerajaan warna hijau itu belum tentu hijau. Tetapi di
pedesaan hijau tetap hijau. Di hutan pedesaan, kicau burung
yang merdu itu adalah suatu pernyataan syukur gembira.
Tetapi di lingkungan keraton, kata2 yang merdu belum tentu
semerdu pernyataan hati orangnya. Di hutan, kelinci yang
takut dimangsa binatang buas, tentu akan lari bersembunyi.
Tetapi di lingkungan keraton, yang takut pada orang yang
lebih berkuasa, belum tentu melarikan diri tetapi kebalikannya
malah mendekat dan merapat diri pada orang yang
ditakutinya. Kesimpulannya, suasana pedesaan dan hutan
lebih bebas, hawa udarapun lebih menyegarkan dari suasana
kehidupan dalam lingkungan keraton Majapahit.
Karena benak diisi dengan berbagai kenangan dan kesan,
perjalanan sehari itu berlangsung cepat sekali. Tahu2 haripun
mulai petang. Anuraga terpaksa bermalam di bawah sebatang
pohon besar. Dalam perjalanan hari kedua, ia tak menemui suatu
rintangan maupun hal2 yang aneh. Setelah sehari suntuk
melakukan tugas, Hyang Bagaskarapun letih dan hendak
masuk ke dalam peraduannya. Saat itu Anuraga tiba di sebuah
tempat belantara yang tiada berpenduduk sama sekali.
Anuraga terkejut. Apakah ia harus bermalam dalam hutan
lagi" Anuraga percepat langkahnya dengan lari pesat. Pada saat
ia hendak menyusup ke dalam hutan, sekonyong-konyong
terdengar derap kuda mencongklang dan beberapa kejab
kemudian, dari hutan muncul empat penunggang ku Ia.
Anuraga kerutkan dahi. Ia merasa heran karena pada salah
seorang penunggang kuda yang datang itu, terdapat seorang
wanita muda yang amat cantik. Mereka serempak hentikan
kuda memandang lekat kepada Anuraga yang berada di
sebelah muka. Belum terjadi tanya jawab, tiba2 lelaki yang
menunggang kuda bersama wanita cantik itu menyumbat
mulut si cantik dengan sehelai kain.
Anuraga terkesiap. Ia merasakan sesuatu yang tak wajar
pada pemandangan yang muncul dihadapannya itu. Empat
lelaki tegar menunggang kuda membawa seorang wanita
muda yang cantik dengan mulut tersumbat. Hanya dua
kemungkinan pada keadaan semacam itu. Wanita itu tertuduh
membunuh orang. Atau keempat lelaki itu sekawan penjahat
yang sedang menculik wanita cantik. Tetapi kalau menilik raut
wajah wanita yang sedemikian gemilang kecantikannya dan
sedemikian lembut gerak sikapnya, ia lebih cenderung pada
syak-wasangka bahwa keempat lelaki itu kawanan penjahat
yang sedang melarikan seorang korbannya. Memang pada
umumnya, kawanan penyamun itu tidak terbatas menghendaki harta benda, pun apabila mendapatkan
korbannya itu wanita cantik, mereka tentu timbul nafsu
keinginannya. "Hai, brahmana, mengapa engkau diam saja di tengah
jalan" Adakah engkau tak kuatir diterjang kuda?" seru salah
seorang dari keempat penunggang kuda yang berada dimuka.
Dibelakangnya, penunggang kuda yang membawa wanita
cantik. Dikanan kirinya dikawal oleh dua orang kawannya.
"Kusadari juga bahaya itu" sahut Anuraga tenang "bahkan
kakikupun cepat2 hendak membawa diriku menyingkir ketepi.
Tetapi mataku keberatan ..."
Penunggang kuda yang bertubuh gempal itu terbeliak.
Rupanya ia heran mendengar ucapan brahmana yang
mengada-ada itu "Brahmana, apa yang menjadi keberatanmu
itu?" tanyanya. "Rasa heran, ki sanak" jawab Anuraga "atas gerak gerik
yang kalian lakukan saat ini. Mengapa kalian membawa
seorang wanita muda itu" Apabila sudah mendapat
keterangan yang memadai, segera aku akan menyingkir ketepi
jalan" "O, jadi wanita cantik itukah yang menarik perhatianmu?"
seru orang itu dengan nada mengejek "baru sekarang aku
mendapat pengetahuan bahwa kaum brahmana ternyata juga
memperhatikan wanita cantik"
Terdengar gelak tertawa dari ketiga kawannya yang berada
dibelakang. Mereka geli mendengar kata2 sindiran yang
berselubung kelucuan itu.
"Benar" sahut Anuraga "tugas kami adalah untuk
mengamalkan ajaran suci. Memberi penerangan kepada yang
gelap, menyadarkan yang sesat, meluruskan yang bengkok
dan menolong yang membutuhkan pertolongan. Ke atas kami
bertanggung jawab kepada para dewata, ke bawah kami
mengayu hayuning bawana Karena wanita itu termasuk titah
Hyang Jagadnata dalam bawana, maka termasuklah dalam
lingkungan dharma Karma Yoga kaum brahmana"
"Cet, cet...." orang bertubuh gempal itu mendecak bibir
"luhur nian dharma seorang brahmana itu. Tetapi kami tak
membutuhkan pertolongan, tak memerlukan penerangan dan
tak perlu diluruskan. Wanita itu adalah isteri kakangku yang
minggat dari rumah. Maka setelah dapat kami cari, sekarang
akan kami bawa pulang. Kurasa dalam urusan suami isteri, ki
brahmana tentu takkan merasa mempunyai hak untuk campur
tangan, bukan?" "Semoga demikian, kisanak" jawab Anuraga "tetapi
perasaan hatiku masih menuntut penjelasan. Kalau wanitaku
benar isteri kakangmu, mengapa perlu disumbat mulutnya"
Adakah ia seorang wanita yang buas dan gemar menggigit"
Ah, rasanya wanita secantik itu, bukan jenis wanita demikian.
Lebih kasar kemungkinannya, bahwa kalian takut kalau wanita
itu berteriak minta tolong kepada orang yang dijumpai di
perjalanan" '"Ki brahmana, tidakkah haram bagi seorang pertapa
sebagai tuan, melekatkan pandang mata ke arah seorang
wanita cantik! Bukanlakuseorang brahmanayang berhati suci
apabila masih memiliki mata yang liar. Karena mata adalah
cermin sang hati. Mata memandang, hati bersuara dan
pikiranpun tentu bergolak-golak . . . , ."
Kembali terdengar gelak penunggang kuda di belakang.
tawa cemoh dari ketiga Namun Anuraga tetap tenang bahkan mengulum senyum
dibibir "Tepat sekali ucapanmu itu, kisanak. Mataku
memandang seorang wanita cantik kalian bawa dengan mulut
tersumbat. Lalu hatiku bersuara bahwa tindakan kalian itu
tidaksesuai dengan seorang suami yang membawa pulang
isterinya, melainkan lebih cenderung dengan ulah kawanan
penyamun yang membawa tawanan wanita cantik. Kemudian
pikirankupun bergolak-golak menuntut ingin mengetahui,
siapakah sebenarnya kalian ini dan siapakah wanita yang
kalian bawa itu?" Orang bertubuh gempal itu tertawa kerontang "Kalau aku
tak mau memberi keterangan?"
"Menandakan hatimu tak bersih,
menyalahi hukum" sambut Anuraga.
tindakanmu tentu Dahi orang bertubuh gempal itu meliuk lingkar lipatan,
serunya "Telah kuberi keterangan tetapi engkau tak mau
percaya. Haiklah, akupun akan menurutkan persangkaanmu.
Kalau benar kami culik wanita itu, bagaimanakah tindakanmu,
brahmana muda?" "Akan kuberi penerangan atas pikiranmu yang gelap"
"Kalau tak kuterima?" balas orang itu.
"Akan kusadarkan pikiranmu bahwa tindakan yang kalian
lakukan itu, perbuatan yang sesat"
"Kalau kutetap melakukannya?"
"Akan kuluruskan tindakanmu yang bengkok itu"
"Kalau tetap kutentang?"
"Akan kutolong kepada yang membutuhkan pertolongan"
"Siapa?" "Wanita itu tentunya" sahut Anuraga.
"Ia tak membutuhkan pertolonganmu!?"
"Silahkan engkau buka kain penyumbat mulutnya. Kalau
benar ia mengatakan tak butuh pertolongan, silahkan ki sanak
membawanya pergi. Akupun akan melanjutkan perjalananku"
"Dengan dasar apakah ki brahmana merasa mempunyai hak
untuk mengajukan permintaan itu?"
"Demi "mengayu hayuning bawana' . . . ."
Orang beirtubuh gempal itu tertegun tetapi pada lain kejab
ia tertawa "Ha, ha, memang lain Sifat lain pula Ajar. Kata
orang tua 'Ajar kalah dehgan Dasar'. Kalau dasarnya mata
keranjang, walaupun diajar dongan ilmu agama yang suci,
tetap masih mata keranjang juga "
"Dasar dan Ajar merupakan loro-loroning atunggal yang
saling isi mengisi. Jika Ajar kehilangan kewibawaannya untuk
merobah Dasar tetapi sekurang-kurangnya Ajar masih
mempunyai pengaruh untuk menyalurkan Dasar kearah yang
sesuai. Misalnya, seseorang yang mempunyai Sifat Dasar
sebagai pencuri, jika sukar untuk mengajarnya supaya jangan
mencuri, sekurang-kurangnya dapat memberi arah saluran
yang sesuai. Janganlah mencuri hak miiik orang miskin,
benda2 milik rumah suci, narapraja yang jujur, ksatria
pembela negara dan orang2 yang baik budi. Curilah saja harta
kekayaan dari orang kaya yang menumpuk harta kekayaannya
dengan jalan tak halal, narapraja yang rakus dan suka
memeras rakyat, orang2 yang jahat serta kikir ...."
Orang itu terkesiap mendengar uraian Anuraga. Belum
pernah sepanjang hidupnya ia mendengar uraian yang
sedemikian ganjil, apalagi dari mulut seorang brahmana.
Biasanya kaum brahmana dan pendeta hanya bersitegang
leher mengutuk orang yang mencuri. Tak ada yang memakai
embel2 bahwa mencuri dan mencuri itu ada dua jenis. Mencuri
asal mencuri secara membabi buta. Dan mencuri dengan
saluran yang terarah. Untuk memberi rasa pahit pada mereka2
yang menumpuk kekayaan secara tak halal itu. Agar mereka
menyadari betapa rasanya kerugian negara dan orang2 yang
dirugikan akibat perbuatan mereka itu.
"Ho, brahmana, apakah engkau membenarkan seorang
pencuri?" tanyanya sesaat kemudian.
"Aku hanya bicara menurut jalan pikiranmu mengenai
falsafah Dasar dan Ajar" sahut Anuraga "pada hakekatnya aku
peribadi masih belum yakin benar akan kebenaran Dasar dan
Ajar itu. Misalnya, dahulu orang2 yang mengenal Ken Arok,
tentu mengatakan bahwa anak itu dasarnya seorang pencuri,
penjudi dan gemar kemaksiatan. Tetapi nyatanya setelah
menjadi raja, dia dijunjung rakyat sebagai raja yang luhur
bijaksana. Oleh karena itu. setiap persoalan tidaklah cukup
digaris dengan falsafah Dasar dan Ajar, melainkan harus
ditinjau pada lingkungan hidup keseluruhannya. Jangan salah
faham, ki sanak. Akupun juga menentang setiap perbuatan
curi. Mencuri itu dosa. Mencuri apapun juga, termasuk
mencuri wanita seperti yang kalian lakukan saat ini ...."
Orang itu terkejut seperti disengat kala.
"Kakang Pratha, hari makin petang. Kita harus lekas
mencapai pedesaan. Jangan layani brahmana itu, usirlah dia!"
tiba2 penunggang kuda yang membawa wanita cantik itu
berteriak marah. "Hm, benar, hari sudah hampir malam. Menyisihlah
brahmana, jangan menghadang jalan" seru orang bertubuh
gempal itu kepada Anuraga.
"Maaf, sebelum engkau beri kesempatan padaku berbicara
dengan wanita itu ... ."
"Hm, rupanya engkau memang hendak cari gara-gara"
orang itu mencabut cambuk dan menghardik "menyingkirlah,
brahmana!" Anuraga tertawa. Orang itu marah melihat Anuraga menertawakannya. Tar,
tar, cambuk yang terbuat daripada kulit yang keras, segera
menggelegar di udara lalu berhamburan meluncur ke tubuh
Anuraga 0oo-^dw^-oo0 MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
Jilid 8 I Gerakan Anuraga itu amat tepat sekali sehingga orang
bertubuh gempal itu tak sempat pula untuk berbuat sesuatu.
Tepat pada saat tangan Anuraga menjamah dada lawan, maka
dari kanan dan kiri berhamburanlah dua batang cambuk
menghajar dirinya. Kedua kawan dari lelaki bertubuh gempal
itu, berusaha menolong kawannya.
Anuraga menghadapi dua macam pilihan. Pabila ia tetap
menarik kaki orang bertubuh gempal itu, dirinyapun tentu
menderita hajaran cambuk. Namun bila menghindari cambuk,
ia harus lepaskan kaki orang bertubuh gempal itu. Dan untuk
menimang pemilihan, ia tak mempunyai banyak waktu.
Secepat menarik kaki orang bertubuh gempal itu, Anuragapun
terus menyusup ke bawah perut kuda dan loncat ke luar.
Tar .... tar ... . cambuk menggelegar melecut kepala dan
tubuh orang gempal itu "Aduh . . . . aduh .... " orang iiu
mengaduh dan berguling-guling di tanah. Tubuh dan mukanya
berhias guratan merah memanjang. Tengah kedua orang yang
menyerang dengan cambuk itu terpesona dirundung kejut dan
sesal karena telah menghajar kawannya sendiri, tiba2 mereka
dikejutkan oleh teriakan dari pemimpinnya yang berkuda
bersama dengan wanita cantik itu. Cepat kedua orang itu
berpaling dan apa yang mereka saksikan benar2 membuat hati
mereka tersentak dan mata terbelalak.
Sehabis menyusup ke luar dari perut kuda, Anuraga


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung loncat ke tempat lelaki yang berkuda bersama
wanita cantik. Ia loncat hendak meraih kain penyumbat mulut
wanita itu. Maksudnya agar ia dapat kesempatan untuk
bertanya. Tetapi tepat pada saat ia berhasil menyambar kain
penyumbat dari mulut wanita cantik, lelaki di belakang wanita
itupun cepat menusuknya dengan pedang. Jarak yang amat
dekat sekali dan perhatian yang telah dicurahkan untuk meraih
kain penyumbat, telah melumpuhkan daya perlawanan
Anuraga. Untung ia masih berusaha untuk rebahkan tubuh ke
belakang sehingga ujung pedang tak sampai bersarang ke
dada melainkan menyusup ke bahu kiri, cret .... darah
merahpun mengucur deras membasahi lengan baju. Anuraga
merasa agak pening dan pandang matanyapun melingkarlingkar. Memandang ke bahu kiri, terbeliaklah matanya. Warna
darah yang merah seketika membara matanya. Alam pikiran
yang selama ini ditahtai keluhuran jiwa brahmana, saat itu
terdampar oleh gelombang darah mudanya. Saat itu ia bukan
lagi brahmana Anuraga, melainkan pemuda Kuda Anjampiani,
putera senopati Rangga Lawe yang gagah perkasa. Jiwa
keksatryaannya bertebaran mendenyut-denyutkan darah
mudanya " Bukan putera senopati Rangga Lawe yang
termasyhur apabila tak mampu mengalahkan lawan .... "
Sejenak kerahkan hawa murni ke pusat Cakram Minipura, ia
menghimpun segenap tenaga-murni, lalu ditingkatkan ke
Cakram Ana Hata lalu disalurkan ke tangan kanan. Saat itu
lawan menarik keluar pedang dari bahu Anuraga dan segera
diayunkan pula untuk meoabas kepala orang.
" Ki brahmana, awas" teriak wanita cantik yang sudah dapat
bersuara. Tetapi sebelum ia sempat menyelesaikan kata
peringatannya, brahmana muda itupun sudah ayunkan tangan
kanan kepada lawan. Rijah Kalacakra, ilmu pukulan maut, telah dihunjamkan
Anuraga ke dada lawan. Pada saat orang itu mengangkat
pedang, Anuraga cepat mendahului menghantamnya. Auh ....
orang itu menjerit ngeri ketika tubuhnya terlempar jatuh dari
kuda. Seperti halnya dengan kakek Jangkung Angilo, saat itu
Anuragapun sudah dikuasai oleh nafsu Amarah yang berkobarkobar. Sesungguhnya ia tak menghendaki pertumpahan darah.
Cukup apabila ia dapat menghalau keempat orang itu dan
menolong wanita cantik dari tangan mereka. Tetapi setelah
lawan melukai bahunya, naiklah darah Anuraga. Ia malu kalau
sebagai putera seorang senopati termasyhur, kalah dengan
lawan yang diduganya bangsa penyamun biasa. Maka
digunakanlah Rajah Kalacakra, ilmu pamungkas ajaran Eyang
Wungkuk. Pukulan yang dilambari dengan segenap tenaga
dan kemarahan itu, hebat sekali akibatnya. Pecahlah tulang
dada orang itu. Namun Anuraga yang sudah terlanjur dirangsang
kemarahan, masih belum puas ketika melihat orang Itu masih
meregang-regang bergeleparan bagai ikan di atas pasir. Ia
loncat menghampiri dan menyambar tubuh erang itu lalu
dilontarkan kc arah kedua orang yang menyerangnya dengan
cambuk tadi " Bawalah kawanmu pulang! "
Kedua orang itu masih terpesona di atas kuda. Mereka
berempat diutus oleh patih Alayuda untuk mengejar kawanan
penculik Rara Sindura. Kedatangan mereka di candi tua agak
terlambat sehingga merupakan rombongan yang datang
terakhir. Tetapi hal itu justeru kebetulan sekali. Mereka tak
mau unjuk diri melainkan bersembunyi dan menyaksikan
rombongan Wimba, rombongan Kebo Lembana dan kakek
Jangkung A ngilo saling adu mulut dan adu kekerasan. Mereka
bersorak dalam hati dan mengharap orang2 itu bertempur
sampai parah semua, baru mereka akan muncul untuk
menghancurkan orang2 itu. Tiba2 mereka terkejut melihat
ulah kakek Jangkung Angilo yang berusaha untuk
membebaskan Rara Sindura. Dan pada saat Rara Sindura
dibawa lari kuda, mereka berempatpun segera tinggalkan
gelanggang pertempuran. Mereka tak mempeduiikan orang2
yang sedang bertempur itu. Bagi mereka, bukan siapa di
antara rombongan itu yang akan menang tetapi yang penting
yalah harus dapat mendapatkan Rara Sindura. Dan itu
memang tugas yang diberikan oleh patih Aluyuda.
Untuk melaksanakan tugas merebut Rara Sindura, patih
Aluyuda menjatuhkan pilihan pada diri Tundung Barat, salah
seorang jago perkasa yang memang banyak dipelihara secara
rahasia oleh patih Aluyuda. Keheranan kedua orang yang
mengerti rombongan Tundung Barat tadi, memang pada
tempatnya. Mereka tahu bahwa Tundung Barat yang menjadi
pimpinan rombongan itu, seorang yang terkenal memiliki ilmu
kekebalan dan mahir ilmu kelahi. Maka terpesonalah kedua
orang itu demi menyaksikan brahmana muda yang tampaknya
berparas tampan dan bersikap halus seperti seorang putera
bangsawan, mampu menghantam pecah dada Tundung Barat.
Hampir mereka tak percaya akan peristiwa yang
disaksikannya itu apabila rasa keheranan meuka ilu tak
terpecahkan oleh rasa kejut yang tak terhingga. Tubuh
pemimpin mceka, diangkat dan dilontarkan brahmana itu
kepada mereka. Hampir saja kedua orang itu hendak
mencambuk sebagai gerak songsong yang merentak. Seperti
halnya apabila menyambut serangan musuh. Untunglah
kesadaran cepat mengembang pada pikiran mereka.
Sambutan dengan cambuk pasti akan mempercepat kematian
Tundung Barat. Pikiran adalah pusat penggerak indera dan anggauta tubuh
manusia. Selekas menyadari kesalahan, kedua orang itupun
cepat lepaskan cambuk dan merentangkan kedua tangan
untuk menyambuli tubuh pemimpin mereka "Uh. . ." salah
seorang yang menyambut tubuh Tundung Barat mendesuh
keras dan hampir terdorong jatuh dari kudanya. Untunglah
kawannya cepat menyanggahnya keseimbangan duduknya. untuk menahan Dua hal telah membuat kedua orang itu benar2 pecah
nyalinya. Pertama, lontaran brahmana itu mengandung tenaga
yang hebat. Dan kedua, ketika pandang mata mereka
tertumbuk pada keadaan tubuh Tundung Barat yang mandi
darah. Kedua hal itu cepat menimbulkan pertimbangan dalam
hati kedua orang itu. Bila seorang jago sekeras Tundung Barat
dapat dihancurkan, dapatkah mereka melawan brahmana itu"
Ah, betapa besar rasa setiakawan namun masih besar rasa
setia diri untuk menyelamatkan jiwa. Dan mereka pun segera
congklangkan kuda, melarikan diri membawa mayat Tundung
Barat .... " Hai, tunggulah aku!" tiba2 orang yang ditarik jatuh dari
kudanya oleh Anuraga tadi berteriak, loncat dari kudanya dan
menyusul kedua kawannya. Anuraga tersenyum hambar. Sesaat kemudian ia dekapkan
tangan kanan ke bahu kirinya yang terluka itu lalu melangkah
pergi terhuyung huyung ....
"Hai, ki brahmana, tunggulah . . . . ! " tiba2 wanita cantik
tadi mcluncur turun dari kudanya lalu lari menghampiri.
Anuraga berhenti dan berpaling. Rasa sakit lunglai dari luka
pada bahunya itu, mengaburkan alam bawah sadarnya.
Hampir ia melupakan diri wanita yang hendak ditolongnya itu.
Teriakan wanita itu memulangkan kesadarannya.
"Ki brahmana, engkau terluka. Jangan pergi, silahkan
beristirahat dulu " Kata wanita cantik yang saat itu sudah tiba
dihadapannya. Anuraga berusaha menghapus kecemasan orang dengan
berhias senyum " Ah, hanya luka kecil, tiada halangan bagiku
melanjutkan perjalanan "
"Tetapi bukankah tuan brahmana telah menolong diriku "
Aku amat berterima kasih kepada tuan dan takkan melupakan
budi pertolongan tuan untuk selama-lamanya "
Anuraga tertawa ringan " Ah, jangan engkau katakan hal itu
sebagai budi. Jangan pula engkau mengandung pikiran untuk
membalas. Karena apa yang kulakukan tadi hanya suatu
wajib. Wajib seorang manusia terhadap lain manusia dan
wajib seorang brahmana dalam menjalankan Karma Yoganya
.... " "Duh, sang brahmana, mulia benar ucapan tuan. Semulia
perbuatan yang tuan lakukan kepada diriku. Sudilah tuan
menerima sembah penghormatan Sindura " tiba2 wanita itu
berlutut dan hendak menyembah kaki Anuraga.
Anuraga tersipu-sipu mundur selangkah seraya angsurkan
kedua tangan kemuka seolah-olah bersikap hendak
mengangkat bangun si cantik " Bangunlah .... " ia tak dapat
melanjutkan kata2 karena bahunya yang terluka terasa
menyeri sakit. Buru2 ia berdiri tegak seraya mendekap
bahunya dengan tangan kanan.
Wanita cantik itu terbeliak cemas, serunya tergagap " Ih ...
. luka tuan berdarah lagi! "
"Ya, tetapi tak mengapa " Anuraga menggarang kata.
"Sang brahmana, adakah tuan sampai hati meninggalkan
orang yang tuan tolong tanpa memberi kesempatan
kepadanya untuk mengukir nama tuan dalam sanubarinya?"
"Ah, nini, aku tak mengharap balas"
"Tetapi tuan menyiksa bathinnya, semisal orang buta yang
kehilangan tongkat, meraba-iaba dalam kegelapan"
"Ah ... " Anuraga mendesah "jangan engkau anggap hal itu
sebagai suatu budi. Karena sudah kewajibanku menolong yang
sedang menderita " "Tetapi tuan tidak menolong sepenuhnya melainkan hanya
setengah8 saja " "O " Anuraga kerutkan dahi.
"Tuan membebaskan diriku dari cengkeraman orang orang
jahat tadi. Tetapi tuan meninggalkan aku seorang diri di
tengah hutan. Tuan menolong tetapi tuan menyiksa bathinku
karena tak dapat mengingat orang yang telah menolong
diriku. Dan . . . dan . . . "
Anuraga meliukkan alis. "Tuan terluka tetapi tuan tak mau memberi kesempatan
pada orang yang telah tuan tolong untuk membalas budi
pertolongan tuan agar dapat merawat luka tuan .... "
Kelembutan kata2 dan ketepatan arah sasarannya serta
kemerduan nada suara wanita cantik itu, menyentak Anuraga
dari kepekatan pikiran. Ia menyadari bahwa tindakannya"
hendak pergi dari tempat itu merupakan perbuatan yang
kurang bertanggung jawab. Rasa sakit pada lukanya itulah
yang menyebabkan pikirannya limbung "Siapakah engkau ini,
nini?" akhirnya ia berusaha untuk menebus kekhilafannya.
"Rara Sindura "
"Oh ... " Anuraga mendesuh kejut "bukankah engkau yang
diculik orang dari keraton Majapahit" "
"Benar ki Brahmana " sahut Sindura.
"Mengapa engkau dibawa keempat orang itu" Bukankah
perjalananmu itu akan menuju ke pura Majapahit" Apakah
mereka prajurit utusan baginda yang menyamar" "
"Siapa keempat orang itu, akupun tak jelas. Soal diriku
diculik oleh orang Wukir Poliman dari keraton Majapahit,
memang panjang ceritanya. Bila tuan berkenan mendengarkan
kissah diriku, marilah kita duduk beristirahat dulu di bawah
pohon itu " kata Sindura menunjuk sebuah pohon yang besar.
Anuraga kerutkan dahi " Tetapi nini, apakah kita takkan
dicelah orang" "
"Maksud ki brahmana" "
"Engkau isteri Kuda Lampeyan. Seorang wanita yang sudah
bersuami adalah wanita pelarangan. Apabila bicara dengan
lain lelaki sekalipun seorang brahmana, tentu dianggap
melanggar undang2 kerajaan dan akan menerima hukuman "
Sindura tertawa pelahan " Ki brahmana, tuan adalah
penolongku. Seberat-berat hukum negara, masih berat budi
pertolongan tuan kepada diriku. Hukuman apapun, aku
sanggup menerima " "Nini, hukum adalah hukum dan budi adalah budi. Kedua
hal itu berbeda dan tak boleh dicampur adukkan. Hukum
adalah tata ketertiban dan Budi itu soal perasaan"
"Benar, ki brahmana " sahut Sindura " aku mentaati hukum
tetapi menjunjung budi. A pabila dalam membalas budi itu aku
harus menerima hukuman akupun rela "
"Ah, nini .... "
"Sudahlah ki brahmana. Yang penting bumi, langit dan para
Dewa menjadi saksi bahwa batin kita ini bersih dan perbuatan
kitapun lurus, Sesungguhnya hal itu sudah sesuai dengan jiwa
Hukum. Hukum diciptakan untuk menjaga ketertiban dan
peraturan. Mari kita beristirahat, luka tuan memerlukan
perawatan " Sesungguhnya dahulu Rara Sindura seorang gadis pemalu
tetapi cerdas. Sejak menghadapi peristiwa dalam keraton
Majapahit dan dibawa oleh kawanan penculik, timbullah nyali
keberaniannya. Menghadapi seorang raja yang haus asmara
serta kawanan manusia2 kasar ia harus berjuang
mempertahankan diri.dan kehormatan. Serigala harus dihadap
bukan ditakuti. Sejenak Anuraga termenung. Terkesan ia atas ucapan
wanita-itu dan sekilas timbullah rasa malu dalam hati.
Mengapa ia sebagai seorang brahmana lebih mementingkan
hukum daripada memikirkan kesucian bathin. Iapun segera
menyetujui duduk, di bawah pohon. Kemudian meminta agar
Sindura mulai menuturkan pengalamannya.
"Ki brahmana " tiba2 Sindura berkata lembut " terlebih
dahulu aku hendak mengajukan permohonan kepada tuan.
Dapatkah tuan meluluskan " "
Anuraga kerutkan alis. Ia menduga-duga tetapi tiada bersua
kesimpulan " Silahkan " katanya.
"Jelas luka tuan parah dan harus dihentikan pendarahannya
" tiba2 Sindura mengorak ikat kain pinggang dan merobeknya
secarik panjang. Anuraga terkesiap. Tetapi sebelum ia tahu
apa yang akan dilakukan wanita itu, berkatalah sudah Sindura
" Idii,kaulah aku membalut luka tuan, agar berhenti darahnya
.. " ia terus hendak membalut bahu Anuraga yang luka.
Tanpa disadari, Anuragapun beringsut mundur
"Jangan. ... tak layak engkau melakukan itu . . . . . "
serunya tergagap dan pucat wajahnya.
Sindura terkesiap. Kulit mukanya yang kuning langsap,
menebar warna merah. Tampak sinar matanya yang bening,
benak riak, bagai air telaga yang teduh, tersibak guguran daun
" Duh, ki brahmana ... " serunya dengan nada. bergetar


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelahan. Jelas ia sedang berusaha menekan gejolak
perasaannya "Jika tahu ki brahmana bersikap demikian
kepada diriku, lebih baiklah tuan jangan melepaskan diriku
dari tangan kawanan orang jahat itu. Tuan adalah seorang
suci mengapa tuan mau mengotorkan tangan untuk menolong
aku.... " "Nini, jangan salah faham, jangan engkau membebani
perasaan hatimu dengan sesuatu yang tiada. Sudah kukatakan
bahwa hal itu bukan kumaksudkan apaa, kecuali hanya
kewajiban " "Kewajiban menolong kesukaran " " seseorang yang terlibat dalam
"Ya " sahut Anuraga.
"Adalah kewajiban itu hanya dimiliki kaum brahmana " "
desak Sindura. "Ah ... . tidak " Anuraga menjawab sendat. Entah
bagaimana, biasanya ia amat fasih dan tajam bicara. Tetapi
dikala berhadapan dengan Sindura, ia selalu tergagap ucap.
"Jadi kewajiban menolong orang itu, bukan melainkan
dimiliki oleh kaum brahmana tetapi oleh setiap insan yang
berhati nurani baik. Bukan manusia kuat yang disebut kaum
lelaki, pun wanita yang dianggap kaum lemah. Benarkah
demikian ki brahmana " "
Anuraga mengangguk. "Kalau demikian halnya, adakah ki brahmana tak merasa
bahwa tindakan tuan tadi berarti memandang rendah atau pun
menyakiti hatiku " "
"Nini, jangan salah faham .... "
"Dalam rangka dharma seorang brahmana itu yalah
menolong orang yang menderita, dapatkah kumohon pada
tuan agar meluluskan padaku untuk mengobati luka tuan " " .
"Adakah engkau menderita kesulitan karena mengangankan
keinginan itu " "
"Benar " "Tetapi engkau tak membawa obat "
"Akan kuusahakan ! "
"Tetapi. ... tetapi .... kita dianggap melanggar susila "
"Ah, andika hanya mengada-ada, ki brahmana" sambut
Sindura " sudah kujelaskan bahwa yang penting adalah
kesucian bathin kita. Dan pula tempat ini sebuah hutan
belantara, tiada orang yang tahu "
Anuraga kerutkan alis. Sesaat baru ia dapat berkata " Nini,
engkau salah faham. Penolakanku atas bantuanmu itu tiada
maksud menghina. Melainkan karena aku hendak menjunjung
keluhuran namamu sebagai seorang wanita pelarangan agar
jangan tercemar " Sindura menukas tawa " Ah, ki brahmana, semuda usiamu
namun sekaku alam pikiranmu. Jika seorang lelaki menjamah
seorang wanita pelarangan, dia bersalah melakukan
strisanggrahana. Tetapi ketahuilah, ki brahmana, bahwa raja
Jayanagara sendiri telah melakukan pelanggaran strisanggrahana itu terhadap diriku " "
Anuraga terbelalak. "Karena Hukum dan Undang2 dibuat oleh kerajaan maka
berarti rajalah yang menciptakannya. Tetapi kalau yang
membuat undang2 itu melanggarnya sendiri, mengapa tiada
dikenakan hukum " Maka kuanggap, kalau undang" itu sudah
diinjak-injak sendiri oleh yang membuatnya, akupun tak terikat
lagi kepada kewibawaan undang2 itu! "
"Nini. . . . ! " teriak Anuraga.
"Ki brahmana, jika tuan tidak meluluskan permintaanku,
silahkan tuan melanjutkan perjalanan ! "
"Dan engkau " "
"Sampai jumpa, ki brahmana, budimu takkan kulupakan
sampai akhir hayatku " Sindura berbangkit lalu ayunkan
langkah. Anuraga terkejut sekali seperti yang belum pernah
dialaminya sepanjang hidup. Ia mengakui bahwa semua yang
diucapkan wanita muda itu tepat. Jika ia membiarkan wanita
itu pergi seorang diri, beraiti ia meluluskan wanita itu tertimpa
bahaya. Dan hal itu sama dengan melepas tanggungjawab
kepada yang ditolongnya " Nini, berhentilah! " Anuraga
serentak melonjak bangun dan memburu.
Ketika Sindura berhenti, berkata pula Anuraga "Keinginanmu dapat kululuskan. Tetapi nini. apakah tidak lebih
seyogya kalau kubalut sendiri " "
Sindura tertawa " Jika ki brahmana menghendaki demikian,
akupun tak berani memaksa. Tetapi makin jelaslah kesan yang
tuan unjuk kepadaku, bahwa tuan selalu bersifat setengah
hati, bekerja maupun menolong orang "
"Engkau merajuk lagi " " tegur Anuraga " apa alasanmu
berkata demikian " "
"Ki brahmana meluluskan permintaanku untuk merawat
luka tuan. Tetapi untuk membalut saja, ki brahmana hanya
mau menerima kain pembalutnya dan akan membalut sendiri.
Bukankah itu setengah hati namanya " "
"Ah ... " Anuraga menghela napas. Berhadapan dengan si
jelita, ia rasakan lidahnya kaku dan pikiran buntu untuk
merangkai kata2 "silahkan nini.."
Maka duduklah kedua insan itu di bawah pohon. Sindura
sudah bertekad bulat untuk membalas budi pada brahmana
muda itu. Merawat luka, walau tak sebesar budi pertolongan
yang diberikan brahmana itu, pun sekurang-kurangnya ia
sudah mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu
pertolongan kecil kepada brahmana itu. Maka tanpa malu2
pula, ia mengisar diri merapat ke tempat duduk Anuraga lalu
menjamah lengan Anuraga dan memeriksa lukanya.
Sepanjang kehidupannya belum pernah Anuraga duduk
bersisih sedemikian rapat dengan seorang wanita yang muda
lagi cantik. Desir lembut dari napas jelita itu terasa sedap,
sanggul rambutnya membaur ganda harum. Banyak sudah
berbagai bunga yang dikenalnya. Namun bunga yang memiliki
ganda harum sebagai bunga penghias sanggul Sindura, belum
pernah ia bertema. Harum resap, membuai semangat. Dan . .
. dan desir lembut napas sijelita ba" gontaian lembut dari
bunga yang sedang diisap madunya oleh kumbang. Lemah
gemulai menghayut kalbu"
"Ki brahmana " tiba2 ia tersentak dari buaian lamun ketika
Rara Sindura menegur lirih " lukamu amat dalam. Harap dicuci
dengan air bersih, dilumur obat dan dibalut "
"Ya . . . "sadar2 tiada, Anuraga menyahut. Tiba2 ia terkejut
ketika Sindura berbangkit dan mengayun langkah " eh, hendak
ke mana engkau." serunya gugup.
"Mencari air dan obat " sahut Sindura "tunggulah di sini.
Tak lama aku tentu kembali "
Anuraga tak kuasa mencegah langkah Sindura yang
berayun ke tepi hutan. Beberapa saat kemudian, wanita itupun
lenyap menurun sebuah lembah kecil. Kini tinggallah Anuraga
seorang diri duduk bersandar pada batang pohon. Sesaat
lupalah ia akan rasa sakit pada bahunya.
Angin semilir, suasana sunyi lelap dan kehampaanpun
menebar. Dalam kesunyian yang hampa, mudahlah pikiran
merana, terkenang dan melamun. Pesona yang lahir dari
keharuman napas dan sanggul Sindura, cepat mengembang
dalam alam pikirannya pula, menumbuhkan khayal,
membumbung tinggi ke alam niskala....
"Kuda Arijampiani, ayahmu seorang senopati yang gagah
perwira. Ibumu wanita yang cantik jelita. Dan engkau
sesungguhnya seorang ksatrya muda yang tampan dan gagah,
keturunan priagung yang luhur. Mengapa engkau mensiasiakan masa mudamu dalam alam kehidupan berahmana yang
sunyi hampa itu" Ke-brahmanaan itulah yarg menutup
duniamu sehingga engkau tak tahu bahwa di tanah Mandana
tumbuh sekuntum bunga teratai yang cantik agung. Andai
engkau tak terbenam dalam alam ke-berahmanaan, tentulah
engkau akan mendengar tentang penjelmaan sang Dewi Ratih
di tanah Mandana. Dan engkau, Kuda Anjampiani, pasti
berhasil mempersunting padma itu. Tetapi kini bunga itu telah
dipersuating oleh orang dan tinggallah engkau dilapuk
kenangan lena .... "
Bagai awan berarak, pikiran Anuragapun bertebaran di
cakrawala lamunan, membubung tinggi tiada menentu. Tiba2
gumpalan awan dalam khayalnya itu mengelompok. Makin
lama makin padat dan akhirnya menyerupai bentuk wajah
eyangnya, Kiageng Palandengan.
Kiageng Palandongan tersenyum lembut " Kulup, sudah
kuperingatkan berulang kali, bahwa jalan untuk menuntut
balas atas kematian ayahandamu, bukanlah dengan jalan
memberontak. Tetapi dengan jalan mengabdi pada negara,
agar meluhurkan nama ayahandamu dari kecemaran noda
sebagai pemberontak. Jalan itu memang berat dan penuh
liku2 derita. Antara lain engkau harus menjadi seorang
brahmana agar dapat menghilangkan jejakmu sebagai putera
Rangga Lawe. Lebih baik engkau lepaskan cita2mu untuk
menuntut balas dan jadilah seorang kawula yang hidup
tenteram dan berkeluarga. Gadis mana yang engkau
kehendak., eyang tentu sanggup meminangnya. Tetapi
engkau tetap berkeras hendak meluhurkan nama mendiang
ayahandamu sekalipun harus menjadi brahmana. Mengapa
sekarang engkau kecewa atas jalan yang telah engkau p.bh
sendiri itu" Kulup, seorang ksatrya haram ingkar akan janjinya.
Dan seorang ksatryapun harus tahan uji melaksanakan
kewajibannya. Sebelum cita2 tercapai, pantang berhenti
setengah jalan. Adakah memang sifatmu selalu setengah2,
tepat seperti yang dikatakan wanita cantik itu" Ah, kulup,
engkau adalah putera Adipati Rangga Lawe dan cucu Kiageng
Palandongan Mengapa semudah itu imanmu goyah" Sadarlah
kulup, engkau harus bertahan menghadapi segala coba dan
ujian . . ." Anuraga tersentak dari lamunan. Katanya dalam hati "Ah,
petuah eyang Palandongan memang tepat Aku pasti
memalukan keluhuran nama mendiang ayah apabila aku jatuh
dalam ujian kali ini. Ah, Sindura . . . bukan aku tak memiliki
tanggung jawab kepada dirimu yang telah kutolong itu. Tetapi
demi ketenangan hatiku, terpaksa harus kutinggalkan engkau"
Mata adalah cermin hati, hati merupakan sumber pikiran
dan pikiran merupakan pusat penggerak tingkah ulah
manusia,- Kehidupan manusia pada hakekatnya berkendaraan
pikiran dan bathin. Pikiran itu maha binal. Bila mata
memandang sesuatu yang indah maka hati atau bathinmu
bergetar-getar melahirkan keinginnan indrinya. Pikiran lalu
meronta-ronta mencari daya upaya utuk meleksanakan
perintah sang Hati. Anuraga dengan jujur mengakui bahwa dirinya masih muda,
masih menggelora darahnya. Atap kali ia menemui kesukaran
untuk menundukkan debaran Nafsu yang meratap ratap
dipintu hatinya. Ia mencemaskan keadaan yang dihadapi saat
itu. Betapapun ia hanya seorang manusia. Manusia yang
terbuat daripada gumpal darah dan kerat daging. Sebagai
seorang yang masih muda usia, keadaan 'buana alit' atau
badan, musih berlumuran debu2 kotoran Stwam, Rayas dan
Tamas, atau T r i g u n a yalah tiga jenis sifat yang
menghayati jiwa manusia. " Apabila dekat Api, tentu mudah terbakar . . . " demikian
kesimpulan yang lahir dalam renungannya. Dan api yang
didekatnya itu, bukanlah api sembarang api. Melainkan Api
dari Hyang Kamajaya yang ajaib. Api yang tidak panas,
melainkan yang sejuk, nyaman, dan meresapkan. Namun
kalau Api itu sudah brrobah panas, panasnya lebih panas dari
api kawah Candradimuka. Anuraga tak kuasa bertahan menghadapi bara yang
memancar dari bola mata Rara Sindura. Ia sudah berusaha
sekuat tenaga untuk mengendapkan gejolak sang Hati dalam
laut yang dingin. Namun setiap kali terpancar oleh bara dari
pandang mata si jelita, laut yang dingin airnya itu seolah-olah
mendidih panah pula. Sebelum perasaan terbakar hangus, ia
harus meninggalkan jelita itu. Makin cepat makin baik.
Maka berbangkitlah Anuraga hendak melaksanakan
keputusannya. Tetapi duhai pada saat kaki menjenjang tegak
ditanah, muncullah Sindura dari hutan dan berlari-larian
menghampiri. Anuraga terbeliak.
"Hai, ki brahmana, mengapa tuan berdiri terlongonglongong " Apakah yang terjadi di sini " " tegur Sindura setelah
tiba di hadapan Anuraga. Tangan si jelita membawa sehelai
daun pinang yang dilipat seperti takir atau semacam baki,
berisi air. Anuraga tersipu-sipu menyahut " Ah, tak apa2. Ingin
kujenguk bagaimana engkau mencari air" "
Sindura tertawa renyah " Dahulu semasa kecil aku gemar
bermain 'pasaran', maka tahulah aku bagaimana cara
membuat takir seperti ini " ia mengunjukkan lipatan daun
pisang yang berisi air "dan ini beruntung juga dapat kupetik
beberapa biji buah pisang yang masak " ia tertawa pula
"sekedar pengisi perut kita. Bukankah ki brahmana sudah
lapar " " Anuraga terpaksa tertawa. Tawa yang tak diinginkan namun
tak dapat dicegah. Hatinya makin gundah, pikirannya makin
risau. Di hadapan Sindura, ia tak dapat mengunjuk sikap
membawa kemauannya sendiri. Seperti kerbau tercocok
hidung, mtnurut sajalah ia ketika diminta Sindura supaya
duduk di bawah pohon lagi. Dengan tiada canggung2 pula,
jelita itupun duduk bersimpuh di dekat Anuraga.
Setelah meletakkan takir air dan pisang di samping,
berkatalah jelita itu dengan nada lembut " Ki brahmana,
indinkanlah kucuci luka di bahu tuan itu ... "
"Nini. ... " belum sempat Anuraga menyatakan ucapannya,
Sindurapun sudah memegang bahunya dan terus mulai
membasuh luka brahmana itu. Hati2 dan cermat sekali si jelita
membersihkan noda2 darah yang melekat pada luka. Anuraga
pejamkan mata. Berderai2 napasnya menghambur, mengantar
layang pikiran membubung tinggi ke Inderaloka"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai mencuci, Sindura membuka
sebuah bungkusan kecil dari daun
pisang " Jamur impes yang kulumat
ini, khasiatnya dapat menghentikan
pendarahan " katanya seraya melumurkan remasan jamur itu pada
luka Anuraga. Setelah itu lalu dibalut
dengan robekan ikat kain pinggangnya
tadi. Walaupun Anuraga sudah pejamkan
mata, namun wajah si jelita sudah
terlanjur membekas di pelupuknya.
Dan karena si jelita duduk sedemikian merapat, dapatlah
Anuraga mendengarkan debur jantung si jelita bertalu merdu
bagai irama gamelan Lokananta. Nafas yang menghambur dari
hidung jelita, bagai angin semilir yang membisik imbauan
syahdu dalam telinganya. Sanggulnya yang berayun lembut
dihembus angin, membaur bau haram yang membuai
semangat. Seketika teringatlah Anuraga akan cerita orang tua
ketika ia masih kecil. Bahwa kahyangan tempat para dewa
bersemayam itu, terdiri dari tujuh lapis. Dan diantaranya yang
disebut Cakra Kembang tempat bersemayam Batara
Kamajaya, amatlah indahnya. Penuh dengan bidadari2 yang
cantik dan warna warni bunga nan indah permai.
Saat itu Anuraga kehilangan alam bawah sadarnya.
Pikirannya membuai, semangatnya melayang dan lupalah ia
akan keadaan dirinya. Atma serasa terbang meninggalkan
raga, membubung ke angkasa, menembus berlapis lapis awan
dan tibalah ia di Cakra Kembang yang indah gemilang.
Tiba2 ia mendengar mengumandang merdu suara alunan tembang, sayup2
Duh gustiku kang apinda Ratih
cahyanira sumunu kadya wulan
kang purnama siddhi wong kuning nemugiring duh jiwengsun, paringa usada
pun kakang rarasmara esemira lir gebyaring tatit
weh renyeping wardaya .....
Anuraga tersentak " Adakah itu suara Batara Kamajaya
yang tengah beriba-iba merindukan sang Dewi Ratih. .. ah,
ataukah dewa itu menyindir diriku.. ." " Tiba2 Anuraga
terkejut ketika tubuhnya didorong oleh sebuah tangan yang
kuat sehingga ia terpelanting di atas dirgantara dan serentak
terngiangtah suara Sindura " Sudah selesai, apakah masih
sakit " " Anuraga gelagapan dan gelengkan kepala " Tidak .... "
" Ki brahmana, lukamu amat parah. Darah banyak keluar,
harus beristirahat dulu " kata Sindura pula.
"Tetapi hari sudah mulai sore, apakah kita harus bermalam
di sini " " sanggah Anuraga.
"Kurasa tiada halangan. Yang penting luka andika harus
sembuh. Dan penyembuhan itu harus beristirahat, jangan
bergerak agar jangan luka itu berdarah lagi " sahut Sindura.
"Tetapi apakah engkau sanggup tidur di alam terbuka
seperti ini " Angin malam amat dingin "
Sindura tertawa " Harap ki brahmana jangan resahkan
diriku. Aku sudah biasa berjemur dalam angin malam "
Anuraga terpaksa hanya mengangguk. Diam2 ia memang
merasa lunglai, tenaganya lemas. Mungkin benar yang
dikatakan Sindura, karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Iapun anggap pernyataan wanita itu mungkin benar. Apabila
ia paksakan diri berjalan, tentulah lukanya akan berdarah lagi.
Akibat dari kehabisan darah, pasti lebih hebat pula. Akhirnya
terpaksa ia menurut saran Sindura untuk bermalam di hutan
situ. Pisang dari pohon yang tumbuh di hutan yang menjadi
hidangan malam itu, terasa nikmat sekali oleh Anuraga. Entah
sudah berapa ratus kali ia makan buah pisang, tetapi pisang
yang dimakannya kali ini, rasanya berbeda. Jauh lebih sedap
dan nikmat. Entah karena pisangnya, entah karena dikawani
oleh Sindura. Tak tahulah ia.
Di bawah sinar rembulan yang taram temaram, Anuraga
mendengarkan dengan penuh ketekunan penuturan Rara
Sindura tentang pengalaman yang dialaminya selama ini.
Anuraga terbawa hanyut dalam keharuan dan keperihatinan
atas nasib sijelita yang selalu dirundung kemalangan.
"Nini, manusia memang tak luput dari coba dan derita.
Sebagaimana dengan alam, tak terhindar dari hujan, angin,
badai p ahira. Kita, titah manusia, hanya sakdirma menjalani.
Namun didalam menjalani karma hidup ini, kita harus
menjalankan dharma kebaikan "
"Agar kita dapat mencapai Niiwana " "
"Tidak nini. Dalam melakukan dharma, janganlah kita
mengikat diri akan pamrih. Apabila engkau sudah
membebaskan diri dari ikatan keinginan memperoleh balas
dari dharmamu, pikiranmu akan tenang dan bebas. Engkau
tak mudah lekas bermanja dalam kegirangan dan bermuram
dalam kesedihan ... "Terima kasih, ki brahmana. Ucapanmu itu bagaikan pelita,
yang menerangi kegelapan malam hatiku" kata Sindura.
Anuraga mengangguk. Diam2 ia merasa girang karena
dapat menolong meringankan penderitaan bathin wanita itu.
Kemudian ia beralih pada lain soal "Nini, jadi engkau tetap
pada niatmu hendak pulang ke Mandana" "
Sindura mengiakan. "Adakah engkau tak takut akan kemurkaan baginda"
Adakah tiada setitik kesan terlintas dalam pikiranmu bahwa
kepuianganmu itu akan membawa akibat tak baik pada
keluargamu" " "Ki brahmana " Sindura mengemas rambutnya yang
terhembus angin " aku dilahirkan di Mandana dan ingin mati
pula ditanah tumpah darahku itu. Ayahku, seorang lelaki yang
tegak diatas pendiriannya. Beliau tak begitu menyetujui
pengangkatan baginda Jayanagara sebagai raja Majapahit.
Apabila mengetahui peristiwa diriku, beliau pasti takkan
tunduk pada kemurkaan raja!"
"Tetapi bukankah Kuda Lampeyan sudah menyerahkan
dirimu berada dalam keraton" Ingat, nini, dia adalah guru laki
mu yang wajib engkau turut "
Sindura tertawa hambar " Benar, memang sebagai seorang
wanita, aku harus taat dan ikut pada guru lakiku. Tetapi
masakan kakang Lampeyan akan mempersalahkan diriku
apabila sudah mengetahui perbuatan baginda" ".
"Bukankah Kuda Lampeyan sudah sedia diangkat menjadi
tumenggung dan ditugaskan memeriksa keadaan daerah di
seluruh telatah Majapahit" "
"Benar, hal itu justeru dapat menjadi penguji kesetyaannya
kepadaku. Adakah dia lebih mementingkan pangkat atau
mengutamakan kasih kepadaku"
"Tetapi nini, adakah engkau tak merasa tercela apabila
seperjalanan dengan aku" "
"Ki brahmana" kembali Sindura menyahut dengan nada
mantap " seperti yang kukatakan tadi. Yang penting adalah
kesucian bathin dan kebersihan hati kita. Jika memikirkan
tentang keluh kesah insan di mayapada ini, rasanya Dewi
Rembulan pasti berlalu dan segan muncul. Tetapi sang Dewi
Malam itu tetap melakukan tugasnya menerangi jagat raya
dengan wajahnya yang agung dan cahayanya yang sejuk
bersih. Demikianlah pendirianku, ki brahmana "
Anuraga tersenyum " Indah benar untaian kata2mu, nini "
"Tetapi tak seagung wejangan yang engkau berikan
kepadaku tadi, ki brahmana " sambut Sindura.
"Nini" tiba2 Anuraga berkata rendah " boleh kuminta
sesuatu kepadamu" "
Sindura terkesiap. Tetapi pada lain jenak, ia cepat
menyahut tanpa ragu " Siiahkan ki brahmana "
"Janganlah engkau menyebut aku dengan bahasa ki
brahmana... " "Mengapa" " Sindura agak heran.
"Karena usiaku masih belum tua "
"Lalu dengan sebutan bagaimana" "
"Kalau engkau suka, panggillah kakang brahmana atau
'brahmana' saja " "Baik, kakang .... brahmana " Sindura tertawa kecil " tetapi
janganlah memanggil aku 'nini' juga. Kata itu hanya dipakai
oleh seorang orang tua kepada anak perempuan yang jauh
lebih muda " "Lalu " " "Sindura, begitu sajalah! "
"Baiklah " sambut Anuraga tersenyum.
Saat itu malam makin merayap tinggi. Sindura minta supaya
Anuraga lekas tidur agar besok tenaganya pulih Ia sendiripun
segera tidur, sandarkan diri pada segunduk batu tak jauh dari
tempat Anuraga. Keesokan hari ketika membuka mata, Anuraga tersentak
kaget terus hendak beranjak bangun. Tetapi dicegah Sindura
"Tenanglah kakang brahmana. Adakah kepalamu tak terasa
panas lagi" Anuraga tak Iekas menyahut. Ia terbeliak melihat jari jemari
yang halus melekat di dahinya " Sindura, mengapa engkau
pegang dahiku . .. . " "
Sindura tersipu sipu menarik tangannya. Sepercik air
bercucuran ke muka Anuraga. Brahmana itu makin mengernyit
dahi. Tetapi sebelum ia membuka mulut, Sindura sudah
mendahului " Semalam badarmu panas sekali dan ....
mengingau .... " "Aku mengingau?" Anuraga membelalak.
"Bekerjanya jamur impes yang kulumatkan pada lukamu,
menyebabkan panas tubuhmu naik tinggi sehingga engkau
mengingau. Karena bingung, ku rendam saputangan dengan
air lalu kuletakkan pada dahimu. Untunglah menjelang subuh
panasmu turun " "Hai, apakah semalam engkau tak tidur" "
"Engkau berteriak-teriak mengancam dan menghardik,
tanganmu berayun-ayun seperti orang berkelahi. Mungkin
teringat perkelahian siang tadi "
"Hm, mungkin " gumam Anuraga " selain itu adakah lain
tingkah dan kata2 lagi dari mulutku" "
"Benar, kakang brahmana. Engkau menyebut-nyebut dan
menyembah eyang .... duh, eyang .... aku berjanji akan
mentaati pesan eyang.... tetap menjalankan dharma ksatrya
utama .... tetap mengabdi cita-citaku dan akan menjauhkan
segala goda rencana, eyang"
"Adakah aku mengingaukan namamu, Sindura" " tanya
Anuraga agak gelisah. Sindura tersenyum cerah " Mengapa engkau tampak
tegang, kakang brahmana" "
Anuraga tersipu sipu menunduk. Tak berani ia mendesak
pertanyaan yang belum terjawab itu. Senyum Sindura, sudah
mengandung jawaban. "Apakah engkau mempunyai eyang" " tanya Sindura.
"Ya, eyang Palandongan "
"O, engkau bahagia " ujar Sindura " kakang brahmana,
seseorang tentu bercita-cita. Lalu apakah cita-citamu"
Benarkah engkau sedang menghadapi goda" "
Anuraga terkesiap. Sesaat kemudian ia menghambur tawa
"Ah, hanya ingau dalam tidur. Aku tak memuja dalam Karma
kehidupanku. Tentang goda, memang setiap hari, setiap detik,
kita selalu dijelang. Karena goda itu, sesungguhnya adalah
getaran alam pikiran kita sendiri "
Jawaban yang disimpang dan diisi dengan falsafah bathin
oleh Anuraga, ternyata dapat diterima Sindura. Iapun
menanyakan kesehatan brahmana itu.
"Semangatku jauh lebih segar dan tenagapun hampir pulih
kembali " sahut Anuraga " mari kita lanjutkan perjalanan lagi "
Demikian keduanya segera tinggalkan hutan dan berangkat
menuju ke tanah Mandana. Sepanjang pedesaan yang dilalui,
selalu keduanya menjadi tumpuan pandang mata dan
perhatian penduduk. Setiap desa yang disinggahi A nuraga dan
Sindura, selalu monumbuhkan kembang bisik2 dari mulut ke
mulut. Terutama dikalangan kaum gadis dan wanita, tua
maupun muda. Rasanya hampir senadalah bisik2 yang
menjadi buah bibir penduduk dari desa ke desa " Amboi, sejoli
yang serasi benar. Yang perempuan cantik jelita, yeng lelaki
tampan rupawan. Sayang pemuda sebagus itu menjadi
seorang brahmana" Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di desa Madan
Teda. Anuraga tak mau menemui buyut Tayaka, melainkan
mencari pondok demang Surya di dalam hutan Tetapi Dipa si
Gajah itu, tak dapat diketemukan di dalam pondok.
"Siapakah anak yang hendak engkau cari itu kakang
brahmana" " tanya Sindr.ra.
"Dipa bergelar Gajah, seorang anak yatim piatu " kata
Anuraga. Iapun menuturkan perihal diri Dipa dan mula
perkenalannya dengan anak itu.
"Ah, kasihan benar anak itu " Sindura ikut terharu " tetapi
kemanakah kira2 ia pergi" "
Anuraga merenung sejenak, tiba2 " Hai, apakah tak
mungkin dia pulang ketempat neneknya di desa Mada" "
"Mari kita kesana kakang brahmana" ajak Sindura. Setelah
mendengar kisah si Gajah Dipa, terhiburlah kedukaan Sindura.
Ternyata didunia ini penuh dengan insan yang bernasib lebih
malang dari dirinya. Ia merasa kasihan kepada anak itu.
Dari Madan Teda mereka menuju kedesa Mada di lereng
pegunungan Kawi dekat perairan sungai Bengawan. Tetapi
disanapun mereka tak menjumpahi si Gajah. Pun nenek dari
anak itu, sudah beberapa waktu yang lalu meninggal dunia.
Terpaksa mereka melanjutkan perjalanan ke tanah Mandana.
"Tidak banyak yang terjadi selama dalam perjalanan.
Walaupun pergaulannya dengan Sindura makin erat namun
tidaklah hati Anuraga makin goyah. Sejak bertemu dengan
eyang Palandongan dalam mimpinya ketika badannya panas
dan mengingau, Anuraga berjanji pada peribadinya. Ia akan
menetapi kewajiban dan perilaku sebagai seorang brahmana.
Meningkatkan Badhi Satwam atau bathin kearah keluhuran


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kesucian. Membajakan diri untuk melaksanakan cita2
memulihkan nama baik keluarga dan membetengi pikirannya
dari segala godaan mata. Kini ia berani memandang wajah
Sindura dengan hati yang kosong dan tenang ....
Tetapi isi dunia ini memang beraneka, lengkap dengan
serba keanehannya. Jika Anuraga berusaha keras untuk
menghapus bayang2 Sindura dalam batinnya, adalah bayang2
Anuraga mulai berkesan dalam liang kalbu Sindura. Jelita itu
mulai mengada-ada, menghayatkan peribadi brahmana itu
dalam kumandang bahana kalbunya.
Anuraga, seorang brahmana yang masih muda, cakap dan
gagah lagi digdaya. Peribadinya menarik, budi bahasanya
lembut serta susila. Dalam mengada-ada pencerminan itu,
terlintaslah benak Rara Sindura akan diri suaminya. Ah ... ia
menghela napas. Kemudian terlintas akan wajah raja
Jayanagara, menyembullah rasa muak . . . Tetapi siapakah
sesungguhnya brahmana Anuraga itu" Tak pernah ia
mendapat jawaban jelas, setiap kali ia bertanya. Rasa ingin
tahu semakin membangkitkan perhatiannya kepada Anuraga.
Ah . . . tiba2 wajah Sindura tersipu merah. Dan serentak
pulanglah kesadarannya. Bahwa ia seorang wanita yang sudah
bersuami. Terngiang pula wejangan brahmana tua yang
merestui upacara pernikahannya dengan Kuda Lampeyan saat
itu: .... Yatomeniyate, tato me dharmah. Dimana suamiku
berada, disanalah terletak kewajibanku ....
Baik atau buruk, Kuda Lampeyan adalah suaminya. Suami
adalah guru laki yang wajib disanjung kesetyaannya, didamba
kepatuhan. Sebagai seorang wani.ta utama, wajiblah ia
meluhurkan guru lakinya. Betapa lebih tampan dan gagah
seorang pria lain, ia harus tetap setya-bhakti kepada suaminya
sendiri "Duh, kakang Kuda Lampeyan, aku berdosa kepadamu
.... " ia meratap maaf dalam hati.
Saat itu matahari menjelang masuk keperaduan ketika
mereka tengah melintasi sebuah pegunungan. Anuraga
barharap akan segera berjumpa dengan sebuah desa. Namun
harapan itu tak kunjung tiba. Jalan yang membentang dimuka,
hanya hutan pegunungan. " Kakang brahmana lihatlah, lihatlah! " tiba2 Sindura
berseru girang seraya menunjuk kemuka. Ketika Anuraga me
iurutkan arah yang ditunjuk si jelita, dilihatnya seorang lelaki
tengah menebang pohon dengan senjata beliung " Mari kita
bertanya kepadanya, kakang brahmana " kata Sindura pula.
Tiba dihadapan penebang kayu itu, Anuragapun memberi
hormat ".Ki sanak, kami pejalan yang kemalaman
dipegunungan ini. Adakah desa yang terdekat dari sini" "
Orang itu hentikan beliungnya. Namun tak lekas menyahut.
Ia memandang Anuraga dan Sindura. Dahinya mengerut
"Engkau seorang brahmana" "
"Benar" Mata penebang kayu sejenak meliar kearah Sindura lalu
bertanya "Dari mana asalmu" "
Anuraga tak puas melihat sikap orang yang tak menaruh
hormat sama sekali kepada seorang brahmana. Namun
disahutnya dengan menekan perasaannya " Majapahit "
"Hah" " orang itu terbelalak "engkau brahmana Majipahit"
Siapakah wanita cantik itu" "
Melihat kekasaran orang makin melonjak, Anuraga merasa
muak "Jika ki sanak tak mau memberitahukan pertanyaanku,
akupun tak memaksa" sahutnya seraya mengajak Sindura
berlalu. Sindurapun gemetar cemas melihat keliaran mata orang itu
menjelajahi dirinya. Ia segera ikut melangkah. Tetapi baru
Anuraga melangkah setapak, penebang kayu itu hadangkan
beliungnya. "Apa maksudmu?" tegur Anura"ga menatap orang itu
dengan tajam. "Hutan ini tabu bagi orang Majapahit! "
Dahi Anuraga meliuk-liuk "Aneh, hutan milik negara. Setiap
orang bebas melaluinya "
"Benar" sahut penebang kayu itu "kecuali orang Majapahit "
"Ah, apa sebabnya" Bukankah hutan ini termasuk daerah
kekuasaan Majapahit" "
"Bukan! Disini daerah Tuban! "
"Tetapi Tuban juga wilayah Majapahit "
"Bukan! Daerah Majapahit, aselinya hanyalah Jenggala,
Daha dan Kahuripan "
"Ki sanak, jangan bergurau" Anuraga mulai bersikap
sungguh2 "memang benarlah kata-katamu itu. Tetapi wilayah
kekuasaan Mijapahit meliputi daerah Mandalika. Tuban
termasuk daerah Mandahlika "
"Itu anggapan orang Majapahit seperti dirimu " penebang
kayu pantang mengakui "tetapi jelas hutan ini, milik kami.
Karena kami yang menghuni, merawat dan menjaga. Hutan ini
memberi kehidupan dan kesejahteraan kepada kami! "
"Kalian menentang kerajaan Majapahit?" Anuraga menegas.
"Sudah mendarah daging! "
"Engkau seorang diri?" selidik Anuraga.
"Tidak! Kawan-kawanku banyak. Tiap batang pohon, tiap
gerumbul semak dan tiap ekor margasatwa dalam hutan ini,
semua kawanku! " Anuraga terhening sejenak lalu bertanya pula "Dengan
golongan apakah aku berhadapan" Penyamun atau
pemberontak " "
"Terserah penilaianmu. Yang pokok, engkau harus kembali,
jangan melalui hutan ini! "
"Kalau aku tetap lanjut" "
Orang itu tertawa paksa "Mengingat engkau seorang
brahmana, kuberimu kelonggaran hanya kusuruh engkau
kembali. Andai engkau seorang Majapahit biasa, tentu
nyawamu yang kuminta ditinggalkan di sini! "
Anuraga mempertajam pandang matanya kepada penebang
kayu itu " Kisanak, kulihat engkau seorang lelaki yang sehat
dan kuat. Engkau tentu sanggup mencari nafkah yang halal.
Menjadi penyamun, penghidupan yang sesat dan melanggar
undang2 kerajaan. Kembalilah ke jalan benar sebelum engkau
berlarut-larut terjerumus dalam lembah kejahatan "
"Setan " gumam orang itu " aku bebas hidup menurut
pendirianku. Persetan dengan segala undang2 kerajaan
Majapahit. Hidupku, jiwaku, tidak ditentukan oleh undang2
kerajaan Majapahit. Aku lebih senang berkecimpung dalam
lembah kehidupan ini daripada berhamba kepada rajamu ! "
Anuraga terkesiap. Ucapan itu jelas suatu sikap pendirian
yang menentang kerajaan. Namun baru ia hendak membuka
mulut, orang itupun sudah menghardiknya "Jangan banyak
cakap, brahmana! Enyahlah atau terpaksa kugunakan
kekerasan menghalaumu! "
Sambil berkata orang itu terus mendorongkan batang
beliungnya be tubuh Anuraga. Tetapi cepat ia terkejut heran
ketika tubuh brahmana itu tak guncang sedikitpun jua. Kaki
sang brahmana tegak di atas tanah bagai tumbuh akar.
Memang sebelumnya Anuraga sudah bersiap. Ia mengkhawatirkan timbulnya tindak kekerasan dari penebang
kayu itu. Maka diam-diam ia sudah kerahkan tenaga dari pusat
Cakram Manipura dan membatukan diri laksana karang.
Rupanya penebang kayu cepat menyadari bahwa brahmana
itu seorang berisi. Namun ia masih belum yakin kalau
brahmana itu sanggup menerima tebangan beliungnya. Cepat
ia mengangkat beliung dan secepat itu pula dipenggalkan ke
leher Anuraga. Ia sudah biasa menebang kayu. Sekali ayun,
batang pohon sebesar paha, tentu kutung. Dan ia tak percaya
leher brahmana itu lebih keras dari batang pohon.
Tetapi alangkah kejutnya ketika pandang matanya terpudar
oleh sesosok tubuh yang loncat maju merapat. Sebelum ia
tahu apa yang terjadi, dadanya sudah terdampar oleh sebuah
tamparan keras. Karena sedang mengangkat beliung ke atas,
ia tak dapat menangkis. Dan.karena tamparan yang
menghunjam dadanya itu teramat kuat, tubuh penebang kayu
itu terlempar sampai beberapa langkah, bum .... ia jatuh
terjerembab ke belakang. Krek
.... beliungnyapun menghantam sebatang pohon. Pohon rubuh menimbuni
penebang kayu itu! "Sindura, mari kita lanjutkan perjalanan " kata Anuraga
seraya melangkah. Tetapi baru setapak, dari balik pohon dan
gerumbul semak, bermunculanlah beberapa sosok tubuh.
Anuraga terhenti. Karena terkejut takut, Sindurapun kisarkan
tubuhnya merapat ke bahu Anuraga.
"Ha, ha, ha, ha ... . " terdengar gelak tawa menggurah riuh
dan readah dari segenap penjuru. Berpuluh lelaki bersenjata
tajam, mengepung A nuraga dan Sindura. Mereka tak berbaju,
bercelana warna nila dan nila pula warna kain yang melingkari
kepala mereka. Anuraga membenam diri dalam sikap diam.
Diam sambil merangkai dugaan.
"Orang Majapahit memang termasyhur gemar wanita.
Rajanya mata keranjang, brahmananya suka menggerayang
.... " terdengar salah seorang dari kawanan orang itu berseru.
Disambut dengan gelak tawa bernada cemooh oleh kawankawannya.
"Ah orang secakap dan semuda itu masakan seorang
brahmana " Jangan2 brahmana gadungan" seru seorang pula.
"Bukan, bukan. Dia bukan brahmana gadungan tetapi
brahmana keranjingan ....!"
"Ha, ha, ha ... . ho, ho, ho" seketika meledaklah gelak tawa
yang mambatu roboh sehingga suasana dalam hutan dipetang
hari itu, tampak meriah cerah.
Sepasang pipi Sindura yang ba' duren sejuring atau biji
buah durian bertebaran warna merah. Namun tidak demikian
dengan Anuraga, Rupanya ia sudah bertemu dengan orang2
yang bermulut kasar bertingkah liar
"Siapakah kalian ini ?" serunya menegur.
Salah seorang bertubuh pendek padat, melangkah maju
setapak "Kawan2 dari si Denta yang engkau lempar itu! "
"O" Anuraga tak terkejut karena sudah menduga demikian,
" lalu apa maksud kalian ?"
"Serahkan dirimu kami bawa menghadap kepala kami "
"Mengapa " "
"Agar diberi hukuman yang sepadan! "
"Apa salahku " " tanya Anuraga.
"Pertama engkau berani menginjak hutan larangan bagi
orang MajaPahit. Kedua, engkau berani merubuh seorang
kawan kami. Dan ketiga engkau seorang brahmana cabul,
karena membawa seorang wanita cantik"
Anuraga menimang. Rasanya hanya membuang lidah saja
ia hendak menyangkal tuduhan mereka. Sampai kering
ludahnya, mereka tentu menolak keterangannya dan tetap
hendak menangkapnya. Diam2 pula ia memperhitungkan
kekuatan lawan dengan dirinya. Ia hanya seorang diri dan
mereka berjumlah puluhan orang. Lagi pula bersenjata
lengkap. Iapun merasa luka pada bahu kirinya itu masih belum
sembuh sama sekali. Andai ia melawan, belum tentu ia akan
menang. Yang jelas Sindura tentu akan ditawan mereka.
Setelah merenung beberapa jenak, menyahutlah ia " Aku
mau menyerah hanya apabila kalian mau meluluskan
permintaanku " "Apa yang engkau minta" "
"Bebaskan wanita perjalanannya " ini supaya dapat melanjutkan "O, tidak dapat!" seru orang itu.
"Mengapa" "
"Wanita muda secantik itu, berbahaya apabila jalan seorang
diri. Daripada diganggu orang, lebih baik ikut kami! "
"Tetapi dia bukan orang Majapahit, melainkan wanita dari
Mandana! " "Sudahlah, ikut saja pada karmi. Nanti dihadapan pemimpin
kami, boleh engkau memberi keterangan sepuas hatimu! "
Bermula Anuraga masih memikirkan kepentingan Sindura.
Tetapi setelah hal itu ditolak oleh kawanan penyamun,
meluaplah darah ksatrya Anuraga. Bangsa penyamun seperti
kawanan tikus. A pabila dapat dirobohkan beberapa orang saja,
yang lain2 tentu akan lari tunggang langgang. Demikian
pemikiran Anuraga. "Apabila kalian tak mau meluluskan permintaanku, akupun
menolak permintaan kalian untuk menyerah! " serunya.
"Ho, sampai dimana daya kekuatanmu brahmana!"
"Silahkan mencoba kalau engkau ingin mengikuti jejak
kawanmu tadi! " sambut Anuraga.
Peringatan itu. membangkitkan ketekunan orang. Menilik
sekali pukul brahmana dapat merobohkan Denta yang kuat,
diam2 orang pendek itu menunda nafsu penyerangannya.
Namun pada lain saat, rasa keangkuhannya timbul. Masakan
ia kalah melawan seorang brahmana muda yang bertubuh
kurus. Dan kakipun mulai melangkah maju.
"Aku saja menangkapnya, kakang Drepa! " tiba2 seorang
lelaki kekar loncat kehadapan Anuraga dan tanpa bertanya
apa2 lagi, ia terus membelah kepala orang dengan senjata
kapak. Sring, angin mendesir tajam ketika kapak itu menerpa
tempat kosong karena yang diserang sudah mengisar diri ke
samping. "Bedebah, engkau berani mempermainkan aku ! " lelaki
kekar itu makin marah dan layangkan pula kapaknya ke tubuh
Anuraga " Uh" terdengar mulutnya mendesus kejut ketika
untuk yang kedua kalinya, ia menerpa angin. Dan sebelum ia
sempat menarik kembali kapak serta memperbaiki kedudukan
diri, tiba2 siku lengannya dicengkeram sekeras kerasnya lalu
tubuhnya didorong ke belakang " Uhuh . . . " mulut mendesisdesis ketika ia bergeliatan untuk menahan keseimbangan
tubuhnya yang terhuyung-huyung hendak jatuh. Dan ketika ia
berhasil berdiri tegak, kejutnya bukan kepalang. Kapaknya
sudah berpindah ke tangan brahmana.,
"Masih berani lanjutkan?" tantang Anuraga. Orang kekar itu
pucat wajahnya. Kalau membawa kapak masih kalah, tak
mungkin ia menang dengan tangan kosong. Serentak berteriak


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu " Hayo, kawan2, serbulah brahmana itu! "
Beberapa belas orang, serempak maju menyerang. Anuraga
menghadapi mereka dengan kapak yang direbutnya dari
tangan lelaki bertubuh kekar. Betapapun gagahnya namun
karena menghadapi sekian banyak lawan, Anuraga sibuk juga.
Dan karena terlampau menggunakan tenaga, luka pada
bahunya mulai mengucur darah lagi.
"Jika pertempuran berkepanjangan lama, aku tentu
kehabisan darah. Aku harus mempercepat pertempuran ini"
demikian pikiran Anuraga menimang, keputusanpun segera
diambil. Ia hendak merubuhkan beberapa lawan dalam
serangan kilat. Tring, sambil menangkis sebuah tabasan pedang, cepat ia
ayunkan kakinya menendang lambung penyerangnya. Bluk,
rubuhlah orang itu. Tiing, sekali lagi ia dapat menahan
luncuran sebuah gada dan secepat kilat ia ayunkan kaki
menyapu kaki orang itu. Bluk . . .
"Berhenti! " tiba2 terdengar suara teriakan menggeledek.
Anuraga dan para penyerangnya itu serempak hentikan
serangannya. Ketika berpaling kebelakang, Anuraga dapatkan
Sindura tengah diteliku oleh orang pendek padat tadi. Orang
itu melekatkan sebilah belati kepunggung Sindura " Brahmana,
menyerahlah! Kalau engkau menolak, belati ini akan
kubenamkan kepunggung wanita kawanmu ini! "
"Engkau licik!" teriak Anuraga marah.
"Terhadap orang orang Majapahit, segala siasat dihalalkan!"
sahut orang pendek itu sambil tertawa menyeringai.
Dalam pada bertukar kata itu, perhatian Anuraga tercurah
pada diri Sindura sehingga ia tak menyadari bahwa beberapa
batang pedang telah melekat ditengkuk, punggung dan
pinggangnya "Berani bergerak, mati!" hardik penyergap2 itu.
Anuraga termangu kejut. Diam2 ia memuji kesigapan
mereka bertindak, menyelundup pada saat ia sedang lengah.
Jika ia keras kepala, ia pasti dibunuh dan Sindurapun ditawan.
Ah, lebih baik ia melihat gelagat. Menyerah sambil menunggu
kesempatan dalam perkembangannya nanti.
"Kalian menang, secara licik! Dan akupun menyerah secara
terpaksa " ia memberi jawaban.
"Lepaskan kapakmu!" perintah seorang gerombolan itu.
Dan tepat pada saat Anuraga lepaskan kapak, serentak ia
terus disekap dari belakang.
Dengan tangan diikat, Anuraga dan Sindura dibawa oleh
gerombolan itu menuju ke markas mereka. Setelah melintas
segerumbul semak dan pepohonan yang lebat, mereka
menuju kesebuah rumah papan. Ruangnya cukup luas,
diterangi oleh dua buah pelita. Seorang lelaki setengah tua
duduk diatas kuna menghadap sebuah meja. Dua orang lelaki
bertubuh tegap, mengawal tegak dikanan kiri.
Setelah membawa kedua orarig tawanan dihadapan lelaki
diatas kursi, orang bertubuh pendekpun segera memberi
laporan tentang peristiwa penangkapan diri brahmana dan
wanita cantik itu " Silahkan kakang Lancang, memeriksa
mereka! " "Baiklah" sahut lelaki dikursi yang dkebut Loncang itu.
Kemudian ia menatap Anuraga "Engkau orang Majapahit
berani menginjak di hutan larangan sini. Berani pula melukai
seorang anak buahku. Engkau seorang brahmana tetapi
berjalan bersama wanita muda lagi cantik. Berilah keterangan
yang jujur agar kuringankan hukumanmu dari ketiga
kesalahan itu!" Mengharap dengan memberi keterangan sebenarnya, ia
akan dibebaskan, maka Anuraga segera berkata " Aku
memang soorang brahmana dari pura Majapahit. Aku hendak
mengantar wanita ini pulang ketanah Mandana "
"Apakah dia isterimu" "
"Bukan! " "Adakah wanita itu sudah bersuami" "
"Sudah " "Mengapa bukan suaminya tetapi
engkau yang mengantarkannya" Apakah engkau sudah mendapat perkenan
dari suaminya" "
"Suaminya sedang bertugas dalam kerajaan. Ia sendiri yang
meminta pertolongan kepadaku "
"Bohong! " teriak Loncang Para.
"Benar! Memang akulah yang minta kepada ki brahmana
itu" Sindura memberi kesaksian.
"Bohong!" teriak Loncang Para pula "engkau sudah
mendapat idin dari suamimu"
"Belum, karena suamiku sedang melakukan tugas dari
baginda kelain daerah "
"Siapa nama suamimu" "
"Kuda Lampeyan, putera kemanakan rakryan mahapatih
Nambi " "Hai, si bedebah Nambi itu!" tiba2 Loncang Para berteriak
keras "o, Dewata benar2 memberi berkah kepada kami
dengan mengirim menantu kemanakan Nambi kemari! Engkau
tetap kutawan disini agar si bedebah Nambi itu pontang
panting mencarimu! "
"Bebaskan wanita itu. Semua hukuman, jatuhkan pada
diriku!" serentak Anuraga melantang demi mendengar kata2
kepala gerombolan itu. "Heh, engkau!" Loncang Para beralih memandang
brahmana itu "engkaupun tak terlepas dari hukuman "
"Aku sanggup menerima hukumanmu, betapapun beratnya.
Asal engkau bebaskan wanita itu " Anuraga tak gentar.
" Hukumanmu cukup berat, brahmana. Ingin mendengai?"
kata Loncang Para "setiap orang Majapahit yang berani
menapakkan kaki dibumi hutan ini, akan dibunuh atau
dipotong salah satu anggauta badannya. Setiap orang yang
berani melukai anak buahku, akan kami tabas tangannya. Dan
walaupun penyamun tetapi kami benci kepada tingkah
perbuatan vang tak senonoh. Seorang brahmana yang
membawa isteri orang tanpa seidin suaminya, merupakan
perbuatan yang mesum. Untuk ketiga jenis kesalahan itu,
tiada hukuman yang lebih sesuai daripada menghancurkan
kedua matamu agar engkau buta selama-lamanya "
"Keparat! Jika engkau berani melepas ikatan tanganku,
pasti kucincang tubuhmu!" teriak Anuraga.
Loncang Para tertawa "Nanti setelah selesai menjalani
hukuman, engkau akan kubebaskan! " Kepala gerombolan itu
segera memberi isyarat melaksanakan hukuman. kepada anakbuahnya agar Dua orang lelaki berpakaian serba merah, masuk ke dalam
ruang. Yang seorang membawa sebuah tungku api. Sebatang
besi bertangkai kayu, terbenam dalam api yang menyala keras
Perjodohan Busur Kumala 14 Pendekar Rajawali Sakti 27 Dendam Anak Pengemis Lembah Merpati 5
^