Pedang Jitu Sakti 1
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti Bagian 1
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 WAJAH-WAJAH bengis itu masih sabar menunggu dari
balik semak belukar. Pandangan kedua wajah bengis itu tertuju pada jalanan yang
lengang, berumput dan bertanah merah. Kedua wajah bengis itu masing-masing
bersenjata aneh.
Yang satu berpakaian serba hitam dengan senjata pedang
lengkung bercabang dua, namun pada gagang pedang terdapat
rantai yang diikatkan pada pergelangan tangannya. Pedang itu sewaktu-waktu dapat
dilemparkan menuju sasaran, lalu dengan sekali hentak pedang itu akan kembali ke
tangan pemiliknya.
Sedangkan wajah bengis yang satu berpakaian serba abu-abu.
Tingginya sama dengan orang berpakaian serba hitam itu. Namun yang berpakaian
abu-abu mengenakan ikat kepala hitam lusuh
berambut lebat mengempal, pertanda jarang kramas. Ia bersenjata tombak berujung
bola berduri sebesar buah jeruk nipis. Bukan hanya satu bola berduri, melainkan
ada empat bola berduri yang seakan saling melekat mirip sedompol anggur.
"Ssst..! Aku mendengar suara langkah orang, Rombal!" bisik yang bersenjata
tombak berujung bola berduri.
"Ya. Aku juga tidak tuli, Degom. Kupikir mereka sudah
dekat dan sedang menuju ke mari," jawab temannya yang bersenjata pedang lengkung
berantai itu. Rupanya dialah yang bernama
Rombal, sedangkan temannya yang berbusana serba abu-abu itu bernama Degom.
Dari arah tikungan bukit cadas muncul empat orang
pembawa tandu. Mereka memikul tandu berukir indah,
melambangkan tandu seorang bangsawan. Dua orang pengawal ada di depan mereka.
Kedua pengawal itu sama-sama memegang
tombak berujung trisula yang tajam. Keduanya sama-sama
berpakaian celana hijau tua dan baju lengan panjang warna hijau muda. Agaknya
pakaian itu merupakan seragam suatu kekuasaan dalam tingkat tertentu. Sebab,
keempat pemikul tandu itu
mempunyai seragam lain dengan kedua pengawal tersebut.
Keempat pemikul tandu itu berseragam celana hitam tanpa baju semua. Namun
masing-masing tetap menyelipkan pedang yang
sama bentuknya di pinggang mereka.
"Tak salah lagi, itulah mereka, Rombal..." bisik Degom.
Rombal hanya mengangguk dan tetap diam di tempat.
Mereka sama-sama menunggu sampai saat baik tiba di depan
mereka, sesuai dengan perhitungan. Sejenak, Rombal sempat
berbisik kepada temannya:
"Kau serang orang-orangnya, aku akan menuju ke tandu itu dan membunuh sasaran
kita." "Beres...!" kata Degom seraya mengepalkan tangannya, mengeraskan urat-uratnya,
besiap melompat ke luar dari
persembunyiannya.
Tepat ketika para pembawa tandu telah melewati depan
hidung mereka, maka kedua wajah bengis itu pun melompat dari tempat
persembunyian. "Ciaaat...!!" keduanya sama-sama langsung menyerang dua orang membawa tandu
bagian belakang.
"Aaaahh...!" pekik mengerikan terdengar lepas. Kedua tubuh pembawa tandu
belakang itu berdarah karena kibasan pedang
Rombal dan sabetan tombak berujung bola berduri dari Degom.
Dengan cekatan kedua pembawa tandu bagian depan segera
menurunkan tangkai tandu, sehingga tandu tidak sempat terguling jatuh. Pada saat
itu, Rombal segera menyerang ke arah tandu dengan gerakan melompat.
Namun salah seorang pengawal bersenjatakan tombak
trisula itu telah lebih dulu menghalanginya dengan tombak tersebut.
Ia mengibaskan tombak yang telah menghadang di depan pintu
tandu, nyaris membelah dada Rombal.
"Hiaaat...! Kunyuk sapi...!" Rombal mencaci maki seraya menghindar sabetan ujung
tombak yang bertubi-tubi itu.
Dua orang pemikul tandu depan menyerang Degom dengan
pedang mereka. Degom menggeram dengan mata melotot sambil
menangkiskan tombaknya untuk menghadang pedang lawannya.
Sesekali ia berguling di udara sambil menendang, dan sesekali pula tendangannya
membuat lawan terjengkang ke belakang.
Salah seorang pengawal berseragam hijau masih diam di
dekat tandu berukir. Ia tidak ikut menyerang, melainkan berjaga-jaga di depan
tandu. Ia membiarkan temannya yang sama-sama
bersenjata tombak trisula itu menerjang lawan yang bersenjata pedang berujung
dua yang melengkung ke arah berlawanan.
"Sanggu...! Bantu aku!" teriak pengawal yang sedang melawan Rombal. Pengawal
yang tadinya diam di depan tandu
segera menyerang Rombal dari belakang dengan menghujamkan
tombaknya ke punggung Rombal. Tapi agaknya Rombal sulit
dibokong. Secepatnya ia berkelit dari serangan pengawal yang pertama
menyerangnya, sambil ia mengibaskan pedang menangkis tombak orang yang dipanggil
Sanggu tadi. Kemudian Rombal
melompat beberapa kali menjauhi kedua pengawal.
Pada saat itu, tepat kedua kaki Degom menendang keras
dada kedua pemikul tandu yang menyerangnya. Kedua pemikul
tandu itu terpental beberapa langkah ke belakang, dan jatuh terguling-guling
bersamaan. Degom segera berdiri bersampingan dengan Rombal. Masing-masing siap
menghadapi serangan lawan.
"Sia-sia kalian menaruhkan nyawa...!" kata Degom. "Lebih baik kalian segera
pergi meninggalkan tandu itu!"
Sanggu, pengawal berkumis tipis itu menjawab dengan
suara lantang: "Kalian yang sia-sia bertindak! Kalian salah sasaran. Pasti kalian pikir kami
membawa harta berharga yang dapat kalian
rampok. Begitu, kau..." Hem...!" Sanggu mencibir.
Temannya menambahkan kata: "Rupanya kalian memang
perampok-perampok bodoh! Tidak bisa mencari mangsa yang
menguntungkan. Kalian dungu! Pikun...!"
"Diam...!" bentak Degom seraya mengacungkan tombaknya.
Rombal membentangkan tangan kirinya ke depan Degom,
pertanda memberi isyarat agar Degom jangan menyerang dulu.
Lalu, Rombal berkata kepada lawan-lawannya:
"Kami tahu kalian ini orang-orang Kedipaten Puspagiwang, bukan" Hem...! Kalian
tak perlu bohong. Kami tahu ciri-ciri pakaian seragam kalian!"
"Memang, kami orang-orang Kadipaten Puspagiwang.
Tetapi kami merasa tidak pernah bermusuhan dengan kalian.
Mengapa kalian menyerang kami dan menewaskan dua orang kami itu" Apa sebabnya?"
kata Sanggu. "Sebabnya... sebabnya kami ingin membunuh kalian semua!"
sahut Degom. Lalu, pengawal yang satu menyahut, "O, kalau begitu,
datanglah ke Kadipaten kami. Di sana banyak orang-orang
Kadipaten Puspagiwang. Kalian bisa memilih yang mana yang
kalian akan bunuh lebih dahulu. Itu kalau kalian mampu tiba di sana dengan
selamat..."
Kata-kata itu membuat panas hati Rombal dan Degom.
Dengan menggeram Rombal berkata: "Suatu penghinaan halus yang menyakitkan!
Serang..."!"
Sambil berteriak begitu, Rombal melayangkan tubuhnya
dengan posisi kaki kanan lurus ke depan dan kaki kiri bersiap menahan tubuh
apabila jatuh ke tanah. Tetapi sebelum kaki itu mengenai wajah pengawal, lebih
dulu kaki itu ditendang ke atas kuat-kuat oleh pengawal itu, sehingga tubuh
Rombal ikut terbawa melayang ke atas dan bersalto ke belakang. Sedangkan Degom
sendiri segera melayani kedua pemikul tandu yang melancarkan serangan dengan
pedang mereka. Degom mengibaskan tombaknya
sehingga kedua pedang yang menghantam ke arah tubuhnya nyaris terpental dari
tangan pemegangnya.
"Gempur dia dari dua arah!" teriak salah seorang lawan
Degom, "Ciaaat..."!"
Mereka bersalto ke samping kanankiri Degom, kemudian
dari sana mereka melancarkan pukulan seraya melayangkan tubuh ke arah Degom.
Kedua kaki Degom melompat ke atas, dan
membentang secara bersamaan.
"Aauuhh...! Huuggh...!"
Kedua kaki yang membentang ke samping secara bersamaan
itu tepat mengenai dagu dan leher kedua lawannya. Kedua pemikul tandu itu saling
bergulingan kembali. Degom melompat mundur, bagai sedang mengatur jarak. Kedua
pemikul tandu itu sama-sama bangkit dan melesat menyerang Degom. Namun dengan
gerakan tak disangka-sangka, Degom menyodokkan tombak berujung bola
berduri empat butir itu. Kedua pemikul tandu itu segera berhenti menyerang, dan
berkelit mundur sampai beberapa langkah.
"Mampus kalian sekarang, Babi...!" teriak Degom, lalu jempol tangannya menekan
ujung tombak yang dipegangnya.
Dengan tekanan jempol tangan itu, tiba-tiba keempat bola berduri itu melesat
dari tangkai tombak. Melayang ke depan dengan
membentuk empat jurusan.
Gemerincing rantai yang keluar dari ujung tombak itu
sangat mengagetkan kedua pemikul tandu tersebut. Karena
kagetnya, mereka sampai tidak menyadari kalau ada empat bola berduri yang
menyerang ke arahnya. Mereka segera memisahkan diri ke kanan kiri. Namun justru
keempat bola berduri itu
memisahkan diri juga ke empat arah.
"Crook...!"
Salah satu bola berduri itu mengenai tengkuk kepala salah
satu pemikul tandu.
"Aaaahh...!!" ia berteriak histeris dan matanya mendelik dengan tubuh kaku. Bola
berduri itu seakan terbenam di tengkuk kepalanya. Sementara itu, bola berduri
yang satunya lagi juga membenam di leher salah satu pemikul tandu itu. Ia juga
menjerit dan berkelojotan seraya berusaha mencabut bola besi berduri.
Namun bola besi berduri itu bagai sukar dicabut dan seakan
semakin terbenam di lehernya. Sedangkan kedua bola berduri
lainnya menembus tempat kosong.
Degom menghentakkan tangannya ke belakang. Seketika itu
rantai-rantai yang terjulur dari ujung tombak itu tertarik masuk ke dalam
tongkat tombak. Seiring dengan itu, kedua pemikul tandu semakin menjerit karena
bagian tubuhnya jebol. Bola berduri yang membenam di leher dan tengkuk terasa
bagai merobek bagian
tepian luka. Mereka roboh ke tanah dan berkelejotan tanpa suara lagi. Lalu,
tubuh mereka pun lama-lama diam melemas dan tak bergerak lagi.
Melihat keadaan anak buahnya seperti ayam disembelih,
Sanggu menjadi semakin marah. Ia meninggalkan Rombal yang
tengah sibuk menghadapi temannya, kini Sanggu menyerang ke
arah Degom dengan teriakan:
"Manusia binataaang...! Hiaaaat...!"
Sanggu bersalto beberapa kali, kemudian kakinya tepat
mengenai pundak Degom. Tubuh Degom terpelanting ke samping.
Bertepatan dengan itu, tombak trisula Sanggu dikibaskan ke arah perut Degom.
Namun tangan Degom cepat bergerak ke samping,
memegang tombaknya kuat-kuat dan menahan tombak Sanggu.
"Mampus kau, Bajingaaan...!" teriak Sanggu yang segera menyerang dengan
tendangan kaki kanannya ke samping.
Tendangan itu memang mengenai leher Degom, sehingga Degom
geloyoran membentur tubuh Rombal. Hampir saja pedang Rombal menebas kepalanya,
karena dikira yang menyentuh tubuhnya
adalah kepala Sanggu.
"Jangan ke mari, tolol!" bentak Rombal kepada Degom.
"Tidak sengaja...! Leherku hampir patah...!" Degom bergegas untuk berdiri dengan
benar. Ia siap dengan tombak menyilang di dadanya. Sanggu juga siap dengan
tombak trisula teracung ke arah tubuh Degom.
Saat itu, Rombal berhasil melayangkan tendangannya ke
dada lawannya dengan keras. Lawannya bagai melayang ke
belakang dalam posisi tubuh melengkung ke depan. Secepat itu pula Rombal
melemparkan pedangnya yang berujung bengkok ke dua
arah. Rantai yang mengikat gagang pedang gemerincing
mengantarkan pedang itu ke arah tubuh lawannya, sedangkan
ujung rantai yang lain terikat di pergelangan tangan Rombal.
"Traaang...!"
Nyala api memercik akibat benturan pedang pengawal
dengan pedang Rombal. Hampir saja dada pengawal terkena
lemparan pedang berujung dua itu. Untung ia gesit menangkis.
Pedang berujung dua itu ditarik kembali dan melayang mundur ke arah pemiliknya.
Pedang itu kembali dalam genggaman Rombal.
Pengawal teman Sanggu kembali berdiri dengan tegap, ia
menggerakkan pedangnya ke belakang dengan tubuh mulai
merendah, siap menyerang. Tapi di luar dugaan, Degom
melancarkan serangan mautnya. Keempat bola besi berduri itu hagai melesat dari
ujung tombaknya. Keempatnya menuju ke empat arah.
Saat itu sasarannya adalah tubuh Sanggu. Namun Sanggu mampu menangkis bola besi
yang mengarah padany.a Hanya saja, salah satu bola besi berduri itu ada yang
meluncur nyasar ke arah pengawal teman Sanggu. Bola itu tepat mengenai lengan
pengawal itu. "Crook...!"
"Aahh...!" Pengawal itu menjerit dalam keadaan kaget.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Rombal untuk
melayangkan pedangnya sekali lagi. Rantai pedang bergerincing, dan desau angin
pedang menuju ke arah leher pengawal itu.
Sambil menyeringai kesakitan, pengawal itu melengkungkan badan ke belakang, sehingga lehernya terhindar dari goresan
pedang. Tetapi dadanya yang menjadi sasaran
berikutnya. "Aaoow...! Aku kena lagi, Sanggu...!!" teriaknya ketika pedang berujung bengkok
dua arah itu mengenai dadanya. Lalu ia menjerit keras lagi. "Aaaauuhhh...!!"
Degom menarik tongkatnya, dengan demikian rantai
penghantar bola-bola besi berduri itu pun melesat kembali ke arahnya semula. Hal
itu mengakibatkan kulit tubuh yang tertancap bola tersebut menjadi semakin robek
bagai dipaksa ditarik dalam hentakan yang kasar.
Darah mengucur dari dada dan lengan pengawal itu.
Sanggu mulai gentar melihat temannya terluka. Ia bersalto ke arah Degom. Tombak
trisulanya dipakai untuk mencungkil kepala
Degom dari leher. Tapi gagal. Karena pada saat itu, pedang Rombal melayang
dengan cepat dan mengenai paha Sanggu. Paha itu robek di luar dugaan. Sanggu
memekik kesakitan, sehingga gerakan
tombak trisulanya menjadi salah sasaran, melesat dari leher Degom.
Kaki Dogemlah yang bekerja berikutnya.
"Hiaaat...! Huhh...! Modar kau...!" seru Degom seraya menghentakkan kaki ke
pelipis Sanggu. Hal itu membuat Sanggu terpental dan menyeringai kesakitan
segera memegangi pahanya yang terluka.
Degom dan Rombal sama-sama menertawakan kedua
pengawal yang sudah kepayahan itu.
"Saat-saat kematianmu sudah dekat, Kunyuk!" kata Degom kepada Sanggu.
Sanggu hanya menyeringai karena pahanya semakin
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiru. Jelas pedang Rombal yang mengenainya itu beracun,
demikian juga dengan luka pengawal yang satu. Dada pengawal itu mulai
menampakkan luka goresan yang membiru. Mereka sama-sama menyeringai dan
mengerang-erang tertahan.
"Rombal...! Hancurkan tandu itu seisinya!" perintah Degom seraya tertawa dan
bertolak pinggang.
Rombal ikut tertawa lebar seraya mendekati tandu tersebut.
Lalu segera melompat dengan jurus tendangan yang diarahkan ke tandu itu.
"Ciaaaatt...!!"
Rombal yang bertubuh kekar mempunyai kaki yang besar.
Tentu saja tandu kayu berukir itu akan hancur sekali ditendangnya.
Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Tepat pada saat kaki Rombal hampir menyentuh tandu,
tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melesat cepat dan berhenti di depan tandu.
Ia menangkis kaki Rombal dan bahkan membuat
tubuh Rombal berjumpalitan ke belakang.
"Bangsaaat..!!" Rombal jatuh dengan punggung duluan.
Sebongkah batu membentur punggung itu sehingga Rombal
mengerang dalam caciannya.
Mata Degom membelalak di sela kobaran amarah. Mata itu
memandang lebar ke arah tandu. Di sana telah berdiri seorang lelaki berambut
panjang tak teratur. Wajahnya cukup kasar. Alisnya tebal dan berkumis tebal
juga. Matanya bulat dan tajam, warna matanya kemerah-merahan. Ia berdiri tegak.
Kedua kakinya merenggang kekar. Lelaki berumur antara 40 tahunan itu mengenakan
baju jubah merah dan celana biru tua. Badannya sedikit gemuk, perutnya agak
membuncit dan pusarnya menonjol ke depan. Sekali pun ia mengenakan ikat pinggang
dari kain warna hijau, namun pusarnya tidak sempat tertutupi oleh ikat pinggang
itu. Melihat sosok
penampilannya yang angker, ditambah dengan ikat kepala yang berwarna merah
darah, jelas sekali ia bukan orang sembarangan di dunia persilatan.
Rombal mulai resah dan merasa sedikit gentar melihat
ketenangan lelaki itu, yang berdiri sambil menikmati jagung bakar.
Mata Rombal mengawasi penuh selidik. Dalam hati ia berkata:
"Orang gila dari mana dia" Datang-datang menyerangku
sampai tulang kakiku linu semua...! Hemm... agaknya ia tidak bersenjata apa pun.
Pasti dia mengandalkan pertarungan tangan kosong. Pasti dia tidak sanggup
bertarung dengan menggunakan senjata..."
Lelaki berjubah merah dan bercelana biru tua itu mengamati
tandu tersebut dari luar. Ia sendiri agaknya merasa heran, mengapa tandu itu
dijadikan masalah oleh kedua lelaki berwajah bengis itu.
Apa isinya" Menurut dugaannya, tandu tersebut memang bukan
berisi barang berharga atau emas permata. Sebab tadi ia melihat Rombal hendak
menghancurkan tandu tersebut. Jelas isinya pasti seorang putri cantik, gadis
anak bangsawan yang hendak
melakukan perjalanan ke suatu tempat. Buktinya ada dua pengawal yang ditugaskan
menjaganya. Degom tak sabar, ia segera mendekati lelaki berambut acak-
acakan namun berikat kepala merah darah.
"Hei, Kunyuk...!"
bentak Degom menampakkan keberaniannya. "Apa urusanmu mengganggu pekerjaan kami, hah"!"
Lelaki yang kelihatan pusernya itu seperti tidak mendengar
kata-kata Degom. Ia tetap asyik makan jagung bakar sambil meneliti tandu dan
keadaan sekitarnya. Ia juga memandang kedua pengawal yang kesakitan sambil
menatapnya pula itu. Degom merasa
disepelekan, amarahnya semakin naik.
"Kunyuk...! Jawab pertanyaanku! Apa urusanmu sehingga
kamu mengganggu kami berdua, hah" Ada hubungan apa kau
dengan orang-orang Kadipaten Puspagiwang itu"!"
Lelaki berambut panjang tak teratur itu masih tenang
menggigit-gigit jagung bakar, ia bahkan menyampar kedua
pengawal yang kelojotan menahan sakit karena luka-lukanya. Kedua pengawal itu
pun memandang heran kepada lelaki tersebut,
sehingga Rombal berbisik kepada Degom:
"Dia bukan orang Kadipaten Puspagiwang! Aku yakin, dia dan pengawal itu tidak
saling kenal...."
Degom manggut-manggut dan berbisik, "Tapi kita harus
hati-hati terhadap dia. Kulihat gerakannya tadi seperti angin setan dan membuat
kau terpental...."
Rombal menggumam dalam geram kedongkolan. Matanya
memandang lelaki berambut acak dan bertingkah laku seenaknya itu. Ketika lelaki
itu hendak mendekati tandu kembali, Rombal memberikan isyarat kepada Degom
dengan kerlingan mata Degom mengangguk samar. Kemudian tombak Degom bergerak
cepat, disodokkan ke arah punggung lelaki itu. Namun lelaki berjubah merah itu hanya
merundukkan badan dan jongkok sambil
menikmati jagung bakarnya. Sodokan tombak berujung bola besi berduri itu molos
melewati atas kepalanya. Degom menarik tombaknya, dan menggeram jengkel. Ia
berdiri dengan tangan kanan
bertolak pinggang dan tangan kiri memegangi tombak yang berdiri tegak di
sampingnya. "Kunyuk edan,..! Apa maumu sebenarnya, hah" Jawab!
Jangan menunggu kesabaranku habis!" seru Degom.
"Apa kamu bicara denganku"!" tanya lelaki itu seraya mengunyah jagung bakarnya.
"Iya! Tapi dari tadi kurasa kau memang tuli!"
"Ah, tidak," jawab lelaklitu tenang. "Aku tidak tuli. Cuma, kukira kau dari tadi
bicara dengan kunyuk, bukan denganku.
Makanya aku diam saja. Sebab aku bukan kunyuk. Aku belum jadi
kunyuk.?"Bangsat...!" Degom mau menghantam memakai tombaknya, tetapi Rombal
menahan tangan Degom. Kini Rombal sendiri yang menghadapi lelaki pemakan jagung
bakar. "Siapa kamu sebenarnya"
Mengapa kau tiba-tiba menyerangku, hah"!"
"Nah... ini baru pertanyaan yang baik. Sopan," katanya sambil memandang Degom
dan menuding Rombal.
"Namaku... Suro Bodong!"
Rombal menatap Degom, sama-sama merasa asing dengan
nama itu. Kemudian Rombal memandang Suro Bodong.
"Suro Bodong... kami baru kali ini mendengar namamu. Jadi, kita memang baru kali
ini berjumpa, bukan. Tetapi apa alasanmu tiba-tiba menyerangku"'
"Melindungi yang lemah," jawab Suro Bodong seraya memetik-metik jagung bakar,
dan melemparkan ke mulutnya.
"Hah...! Mau berlagak jadi pendekar kamu, ya"!" seru Degom. "Kamu belum tahu
siapa kami ini, hah"! Belum tahu"!"
"Ah, buat apa mengetahui kalian siapa. Kalian bukan jagoan yang kondang! Kalian
cuma pengganggu rakyat kecil. Jadi, kalian itu tidak lebih dari wereng hama
padi!" Degom semakin terpancing kemarahannya, demikian juga
dengan Rombal. "Suro Bodong, kuingatkan...!" kata Rombal. "Kau tidak akan mampu mengalahkan
kami berdua, tau"! Kau akan mati konyol
tanpa penghargaan dari Adipati Kusumadharma, sebab tak ada
orang yang selamat dari hadapan kami berdua! Tapi kalau kau ingin mati tidak
penasaran, yah... silahkan saja melawan kami!"
Suro Bodong bangkit. Berdiri seraya menggi-git-gigit jagung bakarnya. Iapun
berkata tak kalah sombong:
"Aku sanggup melawan kalian berdua, dengan satu syarat!"
"Bah...! Pakai syarat-syaratan segala...!" kata Degom.
Rombal menyahut, "Syarat apa maksudmu"!"
"Jika kalian bertarung melawanku, kalian tidak boleh mati terbunuh oleh
tanganku! Kalian harus bertahan untuk tetap hidup.
Itu syaratnya. Tapi kalau kalian tidak mau bertahan tetap hidup dan menyukai
kematian, sebaliknya kalian pergi saja dan batalkan pertarungan kita. Jelas?"
Rombal mencibir seraya memandang Degom yang berdiri di
samping kanannya. "Dia pikir kita ini mudah mati di tangannya..."
kata Rombal kepada Degom.
"Soalnya begini...." sahut Suro Bodong. "Aku sudah bosan membunuh lawanku.
Setiap kali aku mendapat lawan yang katanya tangguh, tapi nyatanya ia selalu
berhasil kubunuh dengan mudah.
Aaah... tidak seru kalau begitu, kan" Aku mau lawan yang tangguh dan mampu
bertahan supaya tidak mati di tanganku. Aku bosan kalau mendapat musuh kelas
nyamuk!" Suro Bodong menggigit-gigit jagung bakarnya lagi.
"Kau menghina kami"! Kau menyepelekan kesaktian kami,
ya?" "Yaaah... bagaimana aku tidak menyepelekan kalian," kata Suro Bodong seenaknya
seraya menikmati jagung bakar.
"Dari tadi kulihat kalian sulit membunuh kedua pengawal itu. Padahal, aku hanya
sekali gebrak membunuh mereka. Nah, kalau membunuh kedua pengawal itu saja lama,
apalagi kalian membunuhku... Huhh, mustahil saja itu!"
"Kunyuk Bodong...!! Bersiaplah melawan kami...!!" geram Degom. Tapi Suro Bodong
masih tenang dan berkata.
"Ah, malas...!" ia bersikap seenaknya saja, memperhatikan tandu tersebut. Ia
mendengar suara nafas yang gementar dari dalam tandu.
Saat itu Degom menyerang dengan tendangan kaki
kanannya. Kaki itu terarah ke pipi Suro Bodong. Tetapi dengan gerakan tangan
yang sukar dilihat, tahu-tahu Degom terpelanting hampir satu putaran tubuhnya.
Rombal sendiri tak dapat melihat gerakan tangan Suro Bodong yang menangkis
tendangan Degom
dengan satu pukulan yang sangat cepat dan kuat.
"Kalian mau melawanku sungguh" Tidak cuma dolanan...?"
kata Suro Bodong seraya melirik seram kepada Rombal. "Baiklah.
Aku akan melayani kalian, asal kalian punya niat yang baik, yaitu niat
bertarung, jangan niat coba-coba saja!"
"Tutup bacotmu, Bangsaat...!!" seraya berseru, begitu Rombal mengibaskan
pedangnya ke arah leher Suro Bodong.
Suro Bodong langsung tiarap. Lalu bangkit lagi. Ia baru saja menggerakkan
tangannya untuk mengambil sikap jurus pukulan, tahu-tahu tombak Degom menghantam
kepalanya. Sebelum
mengenai kepala, Suro Bodong langsung tiarap lagi. Tubuhnya rapat dengan tanah.
"Tidak kena, he, he, he... lumayan bisa selamat...." katanya seraya hendak
berdiri. Ia baru membersihkan tanah yang menempel pada pakaiannya, tahu-tahu
tendangan Rombal melesat ke arah dadanya. Suro Bodong menangkis kaki kiri
Rombal. Ia hendak
memukul dada Rombal, namun pedang Rombal segera menebas
lehernya, dan Suro Bodong buru-buru tiarap lagi dengan gerakan cepat. Tapi kaki
Rombal menginjaknya dengan keras sehingga
punggung Suro Bodong menjadi sasaran yang empuk.
"Huuugghh...!"
Suro Bodong mengejang. Rombal mengangkat kakinya dan hendak menginjaknya lagi. Tetapi Suro Bodong segera
telentang dengan satu gerakan kaki menendang ke arah kemaluan Rombal.
"Hiaaat...! Kena kamu...!"
"Aaakkh...! Uuuhh...!!" Rombal berlari terlonjak-lonjak seraya memegangi
'barangnya' yang terasa pecah itu. Suro Bodong bergegas bangun. Degom
melancarkan serangan dengan bola besi berduri yang melesat dari ujung tombaknya
ke empat penjuru. Suro Bodong berguling ke tanah beberapa kali dan berhenti
tepat di bawah kaki Degom. Lalu ia menggerakkan kakinya lurus ke atas dan
mengenai kemaluan Degom.
"Nah... kena lagi, kan" He, he, he...!" Suro Bodong bangkit sambil tertawa.
"Aaauuh...! Uuuh...! Aaaoooww...!!" Degom kelojolan dan berjingkrak-jingkrak
kesakitan seraya memegangi bagian vitalnya.
Suro Bodong terkekeh-kekeh.
"Ditendang kok malah jejingkrakan begitu" Gembira, ya?"
"Kau bangsat tak patut diberi ampun...!!" geram Rombal.
"Lho, memang jangan diberi ampun...!!" sahut Suro Bodong seraya merundukkan
kepalanya, karena Rombal melemparkan
pedang berujung bengkok dua arah. Dan pada kesempatan itu, Suro Bodong bergerak
menjauhi kedua lawannya.
"Hei, jangan lariii, Kunyuk...!!" teriak Degom.
"Tidak!" sahut Suro Bodong. "Aku cuma ambil jarak buat menyerang kalian. Tenang
sajalah...!"
Benar, Suro Bodong behenti di suatu tempat yang agak jauh
dari kedua lawannya. Lalu ia berseru, "Hei, para musuhku...." Ia bersikap
seperti orang hendak berkhotbah atau berpidato.
"Dengarlah baik-baik, aku akan melancarkan jurus saktiku.
Namanya, ilmu Pedang Jitu. Tahu artinya jitu" "
Degom dan Rombal masih menyeringai sukar berjalan
karena alat vitalnya terasa sakit sekali. Kedua pengawal yang masih hidup dalam
keadaan parah itu masih sempat merasa heran melihat cara berkelahi Suro Bodong.
"Jitu artinya: Siji dadi pitu. Satu jadi tujuh...! Kalau kalian mampu menerima
serangan ilmu Pedang jitu, kalian lulus menjadi musuh teladan dan akan
mendapatkan penghargaan dariku berupa jurus-jurus yang lain. Nah, sekarang
terimalah, ya..." Jangan berebut...!!"
Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya, lalu
menarik pergelangan tangan kiri itu. Dan mata mereka yang
memandangnya sama-sama terbelalak kaget, ternyata tangan kanan Suro Bodong telah
memegang sebilah pedang warna ungu. Pedang itu putih, tapi memancarkan sinar
warna ungu. Padahal dari tadi mereka tidak melihat ada pedang di tubuh Suro
Bodong. Dan kali ini, Suro Bodong menyeringai sinis.
Pedang itu dilemparkan, lalu ditendang ke udara sampai
berputar tujuh kali. Setelah berputar tujuh kali, pedang itu pecah atau
terpotong menjadi tujuh bagian. Ketujuh potongan itu melesat cepat bagai meteor
ke arah Rombal dan Degom. Empat potong
pedang menembus tempat kosong, dua potong menembus leher
Rombal dan satu potong lagi menembus dada Degom. Keduanya
menjerit bersamaan dengan nyaring. "Aaaaahh...!!"
Mereka kelojotan. Ketujuh potong pedang yang sudah tidak
bersinar ungu itu melayang kembali membentuk satu bagian.
Setelah kembali ke ujud semula, sebuah pedang bersinar ungu, pedang tersebut
melesat kembali ke pemiliknya.
Tangkas dan tegap Suro Bodong menangkap kembali
pedangnya. Ia membiarkan kedua lawannya mengeram, tersedak-
sedak dan berguling-guling di tanah seperti kambing disembelih.
Beberapa saat kemudian, Rombal dan Degom tak mampu bernafas sedikit pun. Mereka
mati. Dan Suro Bodong menghampiri dengan cemberut.
"Tuh, apa kubilang tadi..." Jangan mati! Berlarianlah untuk hidup. Tapi rupanya
kalian menyepelekan kata-kataku. Uhhh...!
Percuma kalau cuma mau mati saja harus bertarung melawanku.
Mendingan gantung diri aja di pohon...!"
Suro Bodong geleng-geleng kepala melihat kedua musuhnya
meregang dan kaku menjadi mayat.
Sanggu dan seorang pengawal lainnya masih memandangi
Suro Bodong seraya menahan sakit. Mereka sama-sama menjadi
terheran-heran lagi ketika menyaksikan suatu keanehan Suro
Bodong memasukkan pedang berwarna sinar ungu itu ke
pergelangan tangannya. Pedang itu menusuk kulit lengan kirinya dan kemudian
hilang tak terlihat lagi. Tetapi pergelangan tangan kirinya itu tidak berdarah
sedikit pun, bahkan tak ada bekas goresan atau tusukan pedang sekali pun sebesar
titik jarum. Ajaib! Aneh sekali ilmunya, pikir Sanggu. Suro Bodong tersenyum
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelek kepada Sanggu yang menyaksikan hal itu.
"Heran" Ah, pasti kalian heran melihat kesaktianku...!"
Sanggu mencoba tersenyum, tapi kaku karena menahan
sakit. Suro Bodong berkata: "Tidak usah memaksakan diri untuk tersenyum. Aku tahu
kalian kesakitan karena luka beracun itu.
Tetapi, tenang... ada aku!" seraya Suro Bodong menepuk dada dengan gayanya yang
tengil. "Nanti akan kusembuhkan...! Kalau aku bisa. Tapi...
ngomong-ngomong putri siapa yang ada dalam tandu itu" Mengapa kedua orang bengis
itu hendak membunuhnya?"
"Putri...?" Sanggu heran. "Dia.... dia bukan seorang putri."
"Lho, jadi siapa?" Suro Bodong tak sabar, lalu segera pergi mendekati tandu dan
membuka pintu tandu yang tertutup rapat Astaga...! Dia ternyata seorang nenek
peot! 2 SURO BODONG gondok sekali setelah mengetahui yang
berada dalam tandu berukir itu adalah seorang nenek peot. Sebagian gigi nenek
itu sudah ompong, mungkin hanya tinggal satu atau dua gigi yang masih melekat
pada gusinya. Berkali-kali Suro Bodong mendengus, dan akhirnya tertawa sendiri.
Ia menertawakan
bayangan dalam benaknya, yang semula mengira tandu itu berisi seorang putri
cantik dengan senyum dan bibir yang indah. Eh, ternyata cuma seorang nenek peot
yang untuk tersenyum saja
kelihatan susah.
"Kami utusan dari Kadipaten Puspagiwang," tutur Sanggu.
Suro Bodong sibuk merobek pakaian teman Sanggu yang
hendak diobatinya.
"Utusan untuk apa?"
"Untuk menjemput nenek Limbak. Dia seorang dukun bayi
yang terdekat tempat tinggalnya dari Kadipaten Puspagiwang. Dia juga yang dulu
menolong ibu Adipati Kusumadharma melahirkan adik Kanjeng Adipati sendiri. Jadi,
karena istri Kanjeng Adipati hendak melahirkan, kami diutus menjemput nenek
Limbak dalam suatu
penghormatan dan pengawalan yang bertujuan menyenangkan hati nenek Limbak."
"O, jadi sekarang ini istri Adipati akan melahirkan?"
"Benar, Paman...."
"Jangan panggil aku Paman. Aku belum pernah kawin
dengan bibimu. Panggil saja namaku: Suro Bodong."
"O, baiklah kalau itu pennintaanmu... Suro Bodong."
Suro Bodong meludah ke dada pengawal teman Sanggu.
Pengawal itu menghindari kendati tak berhasil.
"Hei, mengapa kau meludahi aku?"
Suro Bodong memandang gemas. "Kau mau mati apa mau
sembuh" Kalau mau mati ya sudah, kutinggal saja."
"Tentu aku mau sembuh. Mau selamat, sebab bulan depan
aku akan menikah. Tapi, jangan diludahi begitu dong...!"
"Memang itu caraku untuk menyembuhkan kamu dari
racun pedang itu, tolol!" bentak Suro Bodong. "Boro-boro aku mau meludai kamu.
Bukannya terima kasih malah sewot...!"
Sanggu menengahi "Maafkan temanku ini, Suro Bodong. Dia masih heran dan tidak
tahu caramu menyembuhkan luka."
Suro Bodong menggerutu tak jelas. Kemudian ia
membentak, "Mau disembuhkan apa tidak?"
"Mau...." jawab pengawal dengan lemah.
Suro Bodong meludahi luka di dada sebanyak tujuh kali.
Luka itu mengepulkan asap. Lalu Suro Bodong berdiri dan
menyuruh pengawal itu telentang. Setelah telentang, Suro Bodong menginjak-
injaknya selama 7 kali juga.
"Huuggh...! Huhhg...! Aauuhg...!" Orang itu kejot-kejot selama diinjak-injak
Suro Bodong. Tetapi ia tak jadi marah, karena melihat dadanya yang terinjak-
injak itu menjadi rapat. Luka yang menganga dan berwarna biru itu hilang sama
sekali bagai tak pernah ada luka.
"Gila...! Dadaku menjadi rata!" katanya.
Sanggu tertawa dalam senyum kelegaan. Kemudian Suro
Bodong menyembuhkan luka yang ada di lengan orang itu akibat bola besi berduri.
Cara penyembuhannya sama, dan hasilnya juga sama. Demikian pula dilakukan oleh
Suro Bodong kepada luka di paha Sanggu. Juga diludahi tujuh kali dan diinjak-
injak. Suatu pengobatan yang aneh dan mengherankan bagi kedua pengawal itu.
Sehingga ketika Sanggu berkata kepada temannya: "Hebat sekali dia itu,
ya?"Temannya menjawab sedikit bersungut-sungut, "Iya. Tapi cara pengobatannya
itu yang aku kurang setuju. Dadaku diinjak-injak dan diludahi seenaknya...!
Pengobatan tidak berdasarkan sopan santun itu namanya...."
Suro Bodong mendengar bisik-bisik itu, tapi dia tidak mau
menimpali dengan kata apa pun. Sebaliknya, Sanggu bahkan
berkata:"Aku sangat berterima kasih kepadamu, Suro Bodong. Aku yakin, kalau kau
mau ikut mengawal nenek Limbak ke Kadipaten, pasti Kanjeng Adipati mau memberimu
hadiah sebagai tanda ucapan terima kasih atas pertolonganmu ini...."
"Ah, itu tidak perlu. Aku ada urusan sendiri yang lebih penting,' kata Suro
Bodong seraya mencari-cari jagung bakarnya yang tadi terlempar entah ke mana.
"Kalau begitu, aku bisa mengusulkan kepada Kanjeng
Adipati agar beliau mau membantumu menyelesaikan urusan itu,"
bujuk Sanggu. Suro Bodong berhenti mencari, berpaling kepada Sanggu.
Lalu ia mendekat dan berkata:
"Apakah Adipati bisa menolongku menemukan kembali
seorang gadis yang bernama Ratna Prawesti."
"Ratna Prawesti...?" Sanggu dan temannya menggumam.
"Kalian pernah mendengar nama itu?"
"Belum. Siapa dia, Suro?"
"Dia adalah kekasihku. Gadis itu bertubuh lencir. Kulitnya kuning langsat.
Lehernya jenjang. Matanya indah bulat bening dengan bulu mata yang lentik dan
lebat, ia mempunyai bibir
semerah delima merekah. Selalu kelihatan basah dan menawan.
Hidungnya bangir. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya yang halus mulus
itu. Ia juga mempunyai buah dada yang sekal.
Tidak besar, tapi tidak termasuk kecil. Padat berisi. Ia suka mengenakan kaian
sutra berlengan panjang warna kuning gading.
Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sering diriap dengan jepit rambut di
kanan kiri kepalanya. Ia juga mengenakan gelang kaki dari perak putih bermata
batu merah delima... Apakah, kalian pernah melihatnya?"
Kedua pengawal itu menggeleng. Tetapi Sanggu menjawab,
"Barangkali Kanjeng Adipati bisa membantu mencarikan gadismu itu, Suro. Kita
coba saja...."
Suro Bodong menggumam, menerawang bagai membayangkan sosok Ratna Prawesti yang dirindukan selama ini.
Setelah ditimbang-timbangnya, Suro Bodong bermaksud
mencoba mencarinya di daerah Kadipaten Puspagiwang. Siapa tahu di sana ia
memperoleh petunjuk di mana Ratna Prawesti berada.
Syukur kalau memang bisa bertemu dengan gadis itu. Untuk itu, mau tak mau ia
ikut mengantar dan mengawal nenek Limbak ke
Kadipaten Puspagiwang.
Adipati Kusumadharma sangat berterima kasih kepada Suro
Bodong setelah Sanggu menceritakan pertempuran melawan dua
orang bertampang bengis itu. Suro Bodong berdiri saja dibelakang beberapa
pegawai kadipaten yang duduk bersila menghadap
Kanjeng Adipati Kusumadharma yang arif dan bijaksana itu.
"Suro Bodong, sebaiknya kau duduk bersila seperti yang lainnya. Kita ini
menghadap Kanjeng Adipati di Paseban harus menghormat...."
Suro Bodong berkata kepada Sanggu dengan suara lantang
dan membuat pegawai lainnya menengok ke belakang:
"Beginilah caraku menghormat. Kalau aku kau paksa untuk duduk bersila, lebih
baik aku keluar dari Paseban. Aku tak mau diperintah seperti itu! Aku mau
berdiri, ya berdiri. Kalau aku capek kan akan duduk sendiri. Kenapa kamu dari
tadi ribut melulu soal duduk bersila, Sanggu?"
"Maksudku supaya...."
' Kalau memang aku dianggap menghina, aku pulang saja!
Aku mohon pamit, Adipati!" kata Suro Bodong bagai tak mengenal tata krama
sedikit pun. Tetapi Adipati Kusumadharma tersenyum sabar dan berkata:
"Tinggallah beberapa hari di Kadipaten ini, Kakang Suro Bodong. Ada hal-hal yang
perlu kubicarakan denganmu."
"Tapi aku dipaksa duduk oleh Sanggu! Aku tidak mau kalau diperintah untuk
mengikuti peraturan di sini. Kurasa aku sudah cukup sopan dengan diam begini
tanpa mengganggu pertemuan ini.
Aku toh tidak membikin keributan di sini!"
"Benar! Kau yang benar,Kakang Suro Bodong. Dan kuharap kau mau memaklumi bahwa
Sanggu itu belum bisa berpikir dengan benar. Mungkin ia sangat mencintaiku,
sehingga semua orang maunya disuruh duduk menghormat seperti caranya. Ah,
sudahlah, lupakan saja hal itu, Kakang Suro Bodong."
Dilihat dari kerapian dan kebersihan wajahnya, Adipati
Kusumadharma memang kelihatan lebih muda dibandingkan usia
Suro Bodong. Namun sebenarnya usia Adipati itu sejajar dengan usia Suro Bodong.
Namun dalam memberi penghormatan yang
biasanya ia lakukan, Sang Adipati selalu memanggil 'kakang' kepada seseorang
yang perlu dihormatinya seperti Suro Bodong. Dengan panggilan itu, setidaknya
hubungan keduanya akan semakin lebih akrab dan tali persaudaraan terjalin secara
tak langsung. Adipati Kusumadharma memang orang yang cepat tanggap
terhadap sikap orang lain. Ia tahu bahwa Suro Bodong bukan
bermaksud berkurangajar kepadanya, tetapi kekakuan dan
kepolosan bertindak dari Suro Bodong sudah merupakan sikap
pembawaan hidupnya. Suro Bodong tidak mau bermuluk-muluk
dalam menghargai seseorang, namun ia juga tidak mau diperintah seperti kacung
atau pelayan yang hina. Dengan warna persaudaraan yang diciptakan Adipati
Kusumadharma, Suro Bodong lebih
menaruh rasa hormat dengan caranya sendiri. Dan keintiman itu pun terjalin
dengan lugas. Suro Bodong bahkan berani mengeluh di depan Adipati,
yaitu ketika mereka berdua di taman Kadipaten yang ditanami banyak bunga indah
warna-warni. "Kalau kau bertanya dari mana asalku, itu suatu pertanyaan yang sedang
kupikirkan, Adipati," kata Suro Bodong.
"Aneh," gumam Adipati Kusumadharma. Lalu berkata. "Jadi Kakang Suro Bodong
sendiri tidak tahu Kakang dari mana" Masa'
sampai begitu" Apakah Kakang juga tidak tahu siapa orang tua Kakang?"
Suro Bodong menggeleng. "Yang kutahu dan yang
kupikirkan; di mana Ratna Prawesti dan sedang apa dia" Bagaimana nasibnya" Itu
saja." Kusumadharma tertawa geli. Ia masih memegangi gelas
minuman yang terbuat dari perak putih.
"Hanya karena cinta Kakang Suro kepada perempuan yang
bernama Ratna Prawesti itu, maka kakang sampai lupa dari mana asalnya" Begitu"
Oh, sangat aneh, tapi juga mesra...."
Sekalipun Adipati Kusumadharma tertawa, namun Suro
Bodong hanya tersenyum tawar dan manggut-manggut sendiri, ia bagai merenungkan
sesuatu seraya memandang keindahan taman
berair mancur lebar itu.
"Sebelum aku mengenal Ratna Prawesti," kata Suro Bodong,
"Aku memang sudah tidak mengenali siapa diriku. Kadang-kadang aku bertanya
kepada Ratna, siapa diriku sebenarnya, tapi Ratna hanya tersenyum dan menganggap
pertanyaan itu aneh. Lalu
sepanjang hari aku bertanya-tanya pada diri sendiri, siapa aku" Tapi aku tak
pernah menemukan jati diriku. Aku serba bingung. Dan kalau sudah bingung, aku
tidak peduli lagi pada diriku sebenarnya.
Terserah; mau jadi raja, apa gelandangan, terserah Sang Nasib saja.
Namun aku percaya, suatu saat pasti aku tidak akan bingung lagi.
Suatu saat pasti aku tahu, siapa aku sebenarnya."
"Kalau begitu, bagaimana kalau Kakang kutawarkan untuk menetap di sini saja.
Kuangkat kau menjadi pengawal pribadiku, Kakang.?"Ah, males...!" jawab Suro
Bodong seperti bicara dengan rakyat jelata. "Kalau aku tinggal di sini, mana
mungkin aku bisa menemukan Ratna Prawestiku. Paling-paling ketemu kamu terus-
terusan, Adipati."
Adipati Kusumadharma tidak marah melihat sikap dan
penampilan Suro Bodong seenak udelnya sendiri itu. Memang
Adipati menyadari bahwa itulah sikap Suro Bodong yang asli.
Adipati bahkan berkata:
"Selama belum ada titik terang, Kakang bisa tinggal di sini.
Tetapi jika sudah ada titik terang di mana Ratna Prawesti itu, Kakang bisa pergi
mencarinya, lalu membawanya ke mari."
Suro Bodong menggeleng. "Ogah! Aku mempunyai sesuatu
yang hilang. Sesuatu yang hilang apabila tidak dicari tidak akan ketemu. Dan
lagi... kudengar kau sudah mempunyai dua orang
pengawal pribadi yang ampuh."
Mengangguklah Kusumadharma dalam senyumnya yang
berwibawa dan punya kharisma sendiri.
"Memang. Mereka adalah Mahesa Tameng dan Kebo Jagal."
"Nah, jadi untuk apa lagi kau mempunyai pengawal pribadi seperti aku ini" Kan
sudah ada Mahesa tameng dan Kebo Jagal" Apa masih kurang kuat orang
kepercayaanmu itu?"
"Kalau menurut cerita Sanggu, aku bisa menyimpulkan
bahwa kesaktian kedua pengawalku itu tidak sebanding dengan kesaktianmu, Kakang
Suro Bodong. Mereka tidak mempunyai
keistimewaan seperti yang kau miliki."
"Itu sudah pasti. Tapi apa perlunya kau memelihara
pengawal seperti aku" Apakah kau dalam keadaan ancaman
bahaya" Ada yang mengancammu?"
Kusumadharma masih memperlihatkan senyum yang
ramah. "Sejak peristiwa terbunuhnya keempat pemikul tandu itu, aku jadi khawatir
akan ada orang yang menyerangku secara diam-diam, Kakang,"
Suro Bodong berkerut dahi dan memandang Adipati
Kusumadharma. Ia baru berpikir kembali, mengapa nenek Limbak hendak dibunuh oleh
kedua orang berwajah bengis itu" Bukankah nenek Limbak tidak mempunyai kesaktian
apa-apa selain keahlian sebagai dukun bayi"
Hal itu dilontarkan kepada Adipati Kusumadharma, dan
Sang Adipati sendiri menghela nafas dan menggeleng samar.
"Itulah yang membuatku heran. Ada apa dan kenapa
mereka menghendaki kematian nenek Limbak" Dia bukan orang
kaya, bukan orang sakti dan bukan orang penting yang bisa
mempengaruhi rakyat. Bicaranya saja sudah tak selancar kita. Tapi mereka sangat
bernafsu untuk membunuh nenek Limbak" Apakah
ada persaingan dalam hal panggilan dukun bayi, atau ada
persaingan rebutan rezeki dari bayi yang akan ditolong kelahirannya" Itu sendiri
masih membingungkan aku, Kakang Suro.
Sekarang ini aku masih mencari-cari alasan mereka hendak
membunuh nenek Limbak."
Suro Bodong ikut termenung. Sebenarnya dia tidak ingin
turut pusing memikirkan nenek Limbak. Namun karena kejadian kemarin sore itu
merupakan kejadian yang ganjil, aneh, maka tak sadar ia jadi memikirkannya.
Pikirannya kian lama tidak saja tertuju pada nenek Limbak, melainkan kepada
Adipati Kusumadharma
sendiri, yang menurutnya sangat aneh dalam usia sebanyak itu baru akan mempunyai
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak pertama dari istrinya yang cantik dan masih muda itu.
"Ah, itu urusan dia...." gumam Suro Bodong seraya memandangi isi kamarnya. Ia
diberi kamar yang cukup bagus. Ada tempat tidur berlapis kain halus. Ada satu
set tempat minum dari perak putih. Ada satu guci arak mahal yang rasanya segar.
Suro Bodong hanya tersenyum sinis. "Pasti ini bujukan agar aku mau tinggal di
sini," pikirannya. Menurut Suro Bodong, membujuk orang dengan cara seperti ini
sudah terlalu umum. Ini pula yang membuat ia kurang menyukai cara berpikir
Adipati Kusumadharma.
"Kalau boleh, aku mau pergi sekarang juga," kata Suro Bodong ketika malam itu ia
ditemui Adipati Kusumadharma.
"Apa kamar dan pelayanan untuk Kakang Suro di sini
kurang memuaskan?"
"Memang memuaskan. Tapi aku jenuh hidup dalam kepura-
puraan seperti ini," seraya Suro Bodong garuk-garuk kepala.
"Penuh kepura-puraan bagaimana, maksudnya?"
Suro Bodong kebingungan. Akhirnya menjawab, "Tidak
tahulah. Aku cuma menirukan kata-kata orang yang pernah
kudengar: hidup penuh kepura-puraan. Begitu saja. Katanya, hidup seperti itu
tidak enak."
"Dan Kakang merasa tidak enak hidup di sini?"
Suro Bodong semakin bingung. Ia mengangguk walau
bersikap tenang.
"Enak. Memang enak. Tapi...."
"Sudahlah, tinggallah di sini semalam saja. Malam ini saja, Kakang. Ada dua hal
yang masih ingin kubicarakan." Adipati Kusumadharma tersenyum ramah. Suro Bodong
berkerut dahi dalam memandangnya.
"Pertama, aku ingin memberikan kabar gembira buat
Kakang Suro Bodong."
"Kabar apa?"
"Anakku telah lahir."
"O, ya"!" Suro terkejut. Lalu memandangnya gembira.
Adipati Kusumadharma lebih kelihatan gembira.
"Lelaki, Kakang. Kata nenek Limbak, wajahnya persis aku, dan... kuharap ia akan
menjadi serupa denganku."
"Aku ikut senang mendengar kabar itu. Istrimu selamat?"
"Ya. Dan... dia minta supaya kau tinggal di sini sampai besok. Dia ingin
mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, yang telah ikut mengawal nenek Limbak
tiba dengan selamat di sini."
Suro Bodong menggumam, menyerupai gerutu tak jelas.
Kemudian ia berkata terang-terangan tanpa memandang Adipati Kusumadharma.
"Lama-lama kau akan berhasil membujukku untuk menjadi
pengawalmu."
Adipati tertawa penuh kesabaran.
"Aku tak pernah mau membujuk jika sekali bujukanku
gagal. Soal tawaranku itu, terserah Kakang. Kalau kurang cocok, jangan segan-
segan menolaknya. Sebab apalah artinya bekerja dengan separuh hati" Bukankah
begitu, Kakang?"
Ternyata dugaan Suro Bodong salah. Adipati melayaninya,
memberi kamar bagus, bukan lantaran membujuk, melalaikan
semata-mata rasa ucapan terima kasih terhadap Suro Bodong yang telah ikut
menyelamatkan dukun bayi yang kini telah berhasil membantu melahirkan anak
pertamanya. Suro Bodong jadi kikuk sendiri berbaring di atas tempat tidur mewah
itu. Tidak seperti biasanya, malam ini ia cukup gelisah. Pikirannya semakin
bercampur aduk jika ia teringat khayalannya: betapa indah tidur berdua di
ranjang empuk seperti ini jika bersama Ratna Prawesti.
Sampai larut malam, Suro Bodong masih gelisah. Rupanya
itu adalah naluri yang ada pada dirinya. Naluri yang tak dapat ditipu oleh
hiburan batin apa pun. Sebab, antara menjelang fajar, dia dikejutkan oleh suara
gaduh di luar kamar. Ia bergegas bangun dan lari ke luar kamar.
"Ada apa. ."!" tanyanya kepada petugas Kadipaten yang berlari ke pintu regol
depan. Orang itu menjawab sambil lari:
"Bayi Kanjeng Adipati diculik orang...!"
"Apa..."!" pekik Suro Bodong. Tapi tidak dijawab lagi oleh orang tersebut. Suro
Bodong jadi kebingungan dan garuk-garuk kepalanya yang berambut tak teratur.
Kemudian ia bergegas ke dalam Kadipaten, dekat dengan ruang Paseban. Ia melihat
beberapa orang sibuk kebingungan. Ia tertegun beberapa saat di pojok, di bawah
pilar menuju Paseban.
"Ada apa, Bi?" tanyanya kepada emban yang menangis.
"Putra Dalem...! Bayi itu ada yang mencurinya...!"
"Siapa" Siapa pencurinya" Namanya siapa alamatnya di
mana" Katakan, biar aku yang ke sana!"
"Mana ada pencuri menyebutkan nama dan tempat
tinggalnya. Uuh... dasar Bodong...!" geram bibi Emban yang segera berlari ke
arah kamar-kamar punggawa Dalem.
Suro Bodong clingak-clinguk semakin tak jelas apa yang
harus dilakukan. Semua orang sibuk sendiri-sendiri dalam
kepanikannya. Semua mencari dengan gugup. Dan Suro Bodong tak tahu harus ikut
mencari atau diam.
"Hei, sudah tahu kalau bayi Kanjeng Adipati dicuri orang?"
kata Mahesa Tameng bernada sinis.
"Ya. Tahu...." jawab Suro Bodong seenaknya.
"Kenapa tidak ikut mencari" Hem...! Kurasa Kanjeng Adipati telah salah menilai
kamu jika benar ia mencalonkan kamu untuk menjadi pengawal pribadinya! Tidur
saja sana!"
Hati Suro Bodong bagai direbus mendengar ucapan Mahesa
Tameng yang berbadan lebih besar dari Suro Bodong. Namun untuk mendinginkan hati
yang seperti direbus itu, Suro Bodong berkata dengan tenang, seakan tidak
terjadi rasa apa pun saat itu.
"Mahesa Tameng... bagaimana kalau kita keluar dari gedung ini" Ada tempat yang
sedikit lega apa tidak, ya?"
"Mau apa kau"!" Mahesa Tameng tak tahu maksudnya.
"Tempat yang... yah, kira-kira lebar lima langkah dan
panjang lima langkah. Asal sepi. Ada apa tidak di sini?"
"Kalau ada mau apa" Mau ngumpet?"
"Sttt... jangan keras-keras...!" Kemudian Suro Bodong berbisik pelan, "Aku ingin
menghajarmu di tempat itu. Yuk?"
Sekarang Mahesa Tameng yang merasa hatinya bagai
tersundut kayu bakar. Ia menggeram, menggeletakkan gigi.
Tangannya mengepal. Namun buru-buru pergi, tidak melayani kata-kata Suro Bodong
mengingat saat itu ia ditugaskan menggeledah seluruh tempat yang ada di luar dan
dalam halaman Dalen
Kadipaten itu. Mahesa Tameng hanya menggeram dan menggumam
pelan, "Suatu saat, ku rontokkan gigimu dengan ujung kakiku, Bodong...!"
"Aku juga akan merontokkan jari kakimu dengan ujung
gigiku... Ayam!"
Suto Bodong mencibir saat Mahesa Tameng pergi
meninggalkannya. Suro memang sudah merasa ada gelagat tak baik dari Mahesa
Tameng maupun Kebo Jagal. Kedua pengawal pribadi Sang Adipati itu agaknya kurang
suka jika Suro Bodong diangkat oleh Sang Adipati untuk menjadi pengawal pribadi
juga. Paling tidak, mereka menganggap telah mendapat saingan atas rencana
pengangkatan itu. Karenanya, sikap Mahesa Tameng dan Kebo Jagal menunjukkan
adanya permusuhan batin. Tetapi, Suro Bodong tidak peduli dengan sikap mereka
itu, asal jangan membuat darahnya mendidih tanpa meminta maaf.
Ketika hari menjelang pagi. Adipati Kusumadharma
menemui Suro Bodong dengan raut muka penuh kesedihan. Saat itu, Suro Bodong
sedang hendak masuk ke kamarnya dan berkemas
untuk pergi. "Kakang Suro, sudah mendengar bencana yang menimpaku,
bukan?" ujar Adipati Kusumadharma dengan sedih.
Suro Bodong hanya mengangguk.
"Tolonglah aku sekali ini, Kakang. Jangan pergi dulu:
Tolonglah aku. Anakku, anak pertamaku yang kurindukan
kehadirannya, kini dicuri oleh seseorang."
"Kau punya dugaan siapa yang mencurinya?" tanya Suro Bodong setelah berdiam diri
beberapa saat. Saat itu, Adipati hanya menggeleng. Lalu Suro Bodong bertanya
lagi: "Siapa orang yang membencimu?"
Adipati diam saja. Suro berkata lagi setelah diam lama:
"Pasti ada orang yang memusuhimu, yang pernah cekcok
denganmu, atau yang pernah kau kecewakan. Siapa-siapa saja
mereka itu" Sebutkan!"
"Selama ini aku tidak pernah memusuhi dan dimusuhi
orang. Mereka berteman baik denganku. Kecuali...."
"Kecuali siapa" Sebutkan!" desak Suro Bodong ketika Adipati Kusumadharma diam
beberapa saat. "Kecuali... bekas istriku yang pertama. Rukmini! Dia
kuceraikan setelah tiga kali aku memergoki dia berbuat serong dengan pegawaiku.
Dan... untung kami tak dikarunia seorang anak dari perkawinan itu."
"Hemm... kalau begitu, dialah sumber malapetaka ini.
Dasarnya, rasa iri, sebab istrimu yang sekarang bisa memberimu keturunan. Jelas
dialah penyebabnya!"
3 RUKMINI, bekas istri pertama Sang Adipati, diperkirakan
dialah penculik bayi tersebut. Adipati Kusumadharma sempat
membantah dugaan Suro Bodong:
"Rukmini perempuan lemah. Ia tidak bisa melakukan
kekerasan. Untuk menculik bayiku itu, jelas ia membutuhkan suatu keberanian dan
kepandaian tersendiri, misalnya kepandaian menye-linap dan melompati pagar
tembok Dalem Kadipaten. Hal itu,
menurutku, tidak mungkin bisa dilakukan oleh Rukmini."
Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya dengan jari
telunjuk. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata pelan:
"Tapi Rukmini masih punya otak, bukan?"
"Maksudmu?"
"Ketika kau menceraikan dia, dia masih membawa otaknya di dalam kepalanya,
bukan?" Kusumadharma manggut-manggut dalam renungannya.
Suro Bodong melanjutkan kata-katanya:
"Dia bisa saja mengupah seseorang, atau lebih dari seorang untuk mencuri bayimu,
Adipati. Dia juga bisa membayar seseorang, atau lebih, untuk membunuh nenek
Limbak." Adipati Kusumadharma kaget dan memandang Suro
Bodong. "Apa hubungannya dengan nenek Limbak?"
Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya lagi yang tebal.
Lalu berkata dengan pelan, bagai berbisik:
"Dia tahu saat istrimu membutuhkan dukun bayi. Dia tahu, bahwa istrimu
membutuhkan nenek Limbak. Kemudian dia
menyuruh orang bayaran, yaitu kedua orang yang membunuh
keempat pemikul tandu. Dengan uang, ia bisa mengupah kedua
orang itu untuk membunuh, nenek Limbak. Kalau nenek Limbak
mati, maka pertolongan untuk melahirkan anakmu itu akan terlambat. Kalau istrimu
melahirkan tanpa pertolongan dukun bayi, ia akan mengalami masa bahaya. Besar
kemungkinan ia akan mati
bersama bayinya. Tetapi, karena nenek Limbak ternyata bisa selamat dan sempat
menolong kelahiran anakmu itu, maka satu-satunya jalan untuk memuaskan rasa
irinya adalah dengan mencuri bayimu.
Dengan mencuri bayimu itu, maka kau akan merasakan betapa
menderitanya hidup tanpa keturunan, sama halnya kau hidup
dengan Rukmini dulu...."
Adipati Kusumadharma tertegun dengan dada bagai
terbakar. Giginya menggeletuk dan wajahnya mulai memerah. Suro Bodong memberi
keterangan lagi dengan tenang:
"Rukmini memang terbuang. Lebih-lebih sejak ia mendengar istrimu hamil, ia
merasa benar-benar terhina dan tersisih. Ia tak ingin istrimu yang sekarang ini
bisa memberimu keturunan. Ia tak rela kalau istrimu yang sekarang ini bisa
memberimu keturunan.
Sebab itu, dia harus menghilangkan bayimu, supaya kedudukan Rukmini sama dengan
kedudukan istrimu, yaitu sama-sama tidak bisa memberimu keturunan. Jelas..."
Perlu penjelasan lagi?"
Hening menyiram mulut Adipati. Suro Bodong memperhatikan kesedihan di wajah Adipati yang bercampur baur dengan kemarahan
yang membara. Lalu, dengan suara pelan
Adipati Kusumadharma berkata seakan untuk dirinya sendiri:
"Dari mana dia tahu kalau istriku hamil, dan mau
melahirkan" Dari mana Rukmini tahu kalau nenek Limbak yang
akan menolong kelahiran anakku?"
"Jelas itu soal mata-mata. Pasti ada mata-mata di dalam sini.
Orang yang berpihak kepadanya itu pasti dibayar mahal untuk keterangan-
keterangan seperti itu. Tak perlu heran lagi. Itu soal kelicikan dan kejelian."
Adipati menghempaskan napas panjang-panjang.
"Kalau begitu, ada pengkhianat di dalam sini, Kakang."
'Tentu! Pengkhianat itu selalu ada di mana-mana. Kadang-
kadang kita berpacu dengan pengkhianat untuk memperoleh hidup yang sejati."
"Maksud, Kakang Suro, bagaimana itu?"
"Jangan tanyakan maksudnya...." Suro Bodong bersungut-sungut malu. "Aku cuma
menirukan omongan orang yang pernah kudengar. Kalau soal masudnya, ya tanyakan
saja sama orang yang pernah bicara begitu padaku...."
Sekali lagi. Adipati menghempaskan napas dengan
kedongkolan yang masih menyesak di dada.
"Apa menurut saran Kakang?"
"Cari bayi itu dan bawa dia kembali."
"Itu sudah jelas, Kakang. Aku sudah memerintahkan
Mahesa Tameng dan Kebo Jagal untuk memimpin pencarian bayi
itu. Tetapi, apakah mereka tahu kalau hal ini ada hubungannya dengan bekas
istriku?" "Kalau tidak tahu, ya diberi tahu! Gampang, kan"! Suruh kedua jagomu itu menemui
Rukmini dan menanyakan apakah benar dia yang mencuri bayimu. Kalau benar,
diminta. Kalau tidak, diseli-diki sampai benar. Begitu!"
Sanggu, salah satu pengawal yang pernah diselamatkan oleh
Suro Bodong, datang menghadap Adipati Kusumadhanna yang
tengah berbincang-bincang dengan Suro Bodong. Sanggu tampak tergesa-gesa,
sepertinya mempunyai suatu berita yang cukup
penting. "Kanjeng...."
ucapnya setelah duduk bersila dan menghaturkan sembah.
"Ada apa, Sanggu?"
"Nenek Limbak hilang dari kamarnya."
Adipati terkejut dan memandang Suro Bodong yang
disangkanya terkejut juga, ternyata tidak. Suro Bodong memperhatikan Sanggu dengan tenang, seakan berita itu berita yang biasa-biasa
saja. "Hilang bagaimana"!" kata Adipati. "Bukankah dia sedang pingsan ketika
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui bayiku hilang, lalu kau dan beberapa orang menggotong ke kamarnya?"
"Tapi ketika Emban masuk untuk membawakan minum
penghangat, dia sudah tidak ada di kamarnya. Kanjeng." Sanggu menegaskan.
Adipati Kusumadharma semakin tegang.
"Kakang Suro... nenek Limbak hilang dari kamarnya..!"
"Aku tidak menghilangkan lho...." jawab Suro spontan.
Adipati Kusumadharma bergegas ke kamar nenek Limbak,
yang ada di sebelah kamar bersalin. Suro Bodong mengikuti
langkahnya setelah Sanggu pergi mendampingi Sang Adipati. Suro Bodong kelihatan
tenang. Langkahnya pun tak secepat Adipati maupun Sanggu. Sambil melangkah ia
meneliti setiap jengkal
ruangan yang dilaluinya.
Di kamar nenek Limbak, ada beberapa orang yang saling
bertutur kata dengan tegang. Ribut. Para pelayan berwajah tegang, ketakutan.
Para pengawal hilir mudik, sibuk mencari, ada pula yang sibuk karena bingung apa
yang harus dilakukan.
Suro Bodong bertanya kepada salah seorang pelayan
perempuan yang paling tampak ketakutan.
"Bagaimana dia bisa hilang dari kamarnya?"
"Tidak tahu. Saya tidak tahu."
"Siapa yang mengetahui kehilangannya yang pertama?"
"Emban Surti...!" orang itu menunjuk seorang perempuan berkain sebatas dada.
Perempuan itu bertubuh sedikit gemuk dan berwajah bulat. Ia berdiri di pojokan
dengan jari digigit-gigit, penuh ketakutan.
"Kamu yang bernama emban Surti?" tanya Suro Bodong seraya garuk-garuk kumis
dengan telunjuk.
"Ya. Sa... saya emban Surti. Ada yang bisa kubantu?"
Suro Bodong tersenyum geli. Lagak bicara emban ini seperti
seorang pembesar saja. Pikir Suro Bodong. Tapi Suro menanggap, itu hanya cara
untuk menutupi ketakutannya.
"Kau yang pertama kali melihat nenek Limbak hilang?"
"Benar, Tuan..." jawab emban Surti polos.
"Bagaimana cara menghilangnya?"
Emban Surti sedikit bingung. "Ya... ya, hilang begitu saja.
Maksudku... waktu saya masuk, membawakan minuman... tahu-
tahu saya melihat kamar itu kosong. Lalu saya meletakkan minuman di meja dan
mencari nenek Limbak di kolong tempat tidur. Ternyata tidak ada. Saya membuka
almari..."
"Untuk apa?"
"Untuk melihat kalau-kalau nenek Limbak bersembunyi di dalam almari, ternyata
juga tidak ada."
"Lalu..."!" desak Suro Bodong "Lalu saya berteriak..."
"Keras atau pelan..." "
"Pelan, Tuan. Sebab saya takut mengagetkan Gusti Ayu
yang sedang tertidur lemas itu...."
"Itu namanya bukan teriak. Kalau teriak itu keras."
"Soalnya..."
"Sudah, sudah... Kita lupakan soal pelajaran teriak. Terus bagaimana setelah kau
berteriak itu" "
"Banyak yang datang. Dan saya bilang kalau nenek Limbak tidak ada di kamarnya.
Lalu beberapa orang terpekik dan saya memanggil pengawal, dan... dan beginilah
keadaannya...."
Suro Bodong menggumam, masih sesekali garuk-garuk
kumis yang tebal itu. Matanya yang tajam dan sedikit lebar itu memandang lurus
ke wajah emban Surti. Emban Surti menunduk
dan sedikit malu. Karena ia ditatap sampai beberapa lama, dan setiap ia
memandang ke atas selalu bertatapan mata, maka ia pun berkata dengan tersipu-
sipu: "Saya sudah punya calon suami sendiri, Tuan...."
"Brengsek...! Kau kira aku naksir kamu. Bah...!" Suro Bodong membentak dongkol,
lalu segera masuk ke kamar nenek Limbak dan menemui Adipati Kusumadharma.
"Aneh, ajaib sekali. Kamar tanpa jendela, tapi nenek Limbak bisa hilang. Jelas
dia bukan diculik tapi hilang secara ajaib," kata Adipati kepada Suro Bodong.
"Hilang lewat pintu kok dibilang ajaib. Itu wajar."
Adipati memandang Suro Bodong setelah mendengar
sanggahan Suro Bodong.
"Lewat pintu?" Adipati berkerut dahi.
"Kalau kamar ini tanpa jendela, tanpa jalan rahasia, jelas nenek itu keluar dari
pintu, Adipati. Bukankan pintu kamar tidak terkunci?"
Adipati manggut-manggut. "Dari pintu, ya" Hemm... atas perintah siapa dia keluar
dari kamar lewat pintu" Untuk keperluan apa" Dan mengapa sampai sekarang tidak
kembali lagi?"
Kepanikan menjadi bertambah setelah mereka mendengar
suara jeritan seorang perempuan. Jeritan itu begitu melengking dan bernada penuh
ketakutan yang mengagetkan. Mereka bergegas ke luar, karena jeritan itu berasal
dari belakang, tepatnya di taman keputren.
"Apa lagi itu..."!" Suro Bodong menggerutu seraya mengikuti Adipati yang
melangkah dengan tergesa-gesa. Sanggu berlari lebih dulu dan dua pengawal
lainnya masih mendampingi Adipati Kusumadharma. Orang-orang, para pelayan dan
beberapa emban ikut berhamburan ke arah jeritan itu terdengar.
Belum sempat mereka sampai ke taman keputren, seorang
perempuan ceking bertubuh pendek berlari-lari dalam hamburan tangis air matanya.
Ia langsung bersujud di hadapan Adipati dan menyembah.
"Ada apa, Nini Taman?" tanya Adipati, sementara beberapa orang mengerumuninya.
Nini Taman berkata dengan tangis yang terbata-bata:
"Kanjeng... ada... ada orang menyeret... menyeret nenek Limbak. Ia... ia
berusaha membawa mayat nenek Limbak ke luar dari tembok pertamanan..."
"Mayat nenek Limbak..."!" kata-kata Adipati sama persis dengan ucapan kaget yang
terlontar dari mulut orang-orang yang mengerumuni Nini Taman.
"Apakah nenek Limbak sudah mati?"
"Iya, benar...!" jawab Nini Taman terbata-bata. "Saya melihat... saya melihat
leher nenek Limbak hampir putus dan...
dan..." "Dan sekarang di mana orang itu"!" desak Suro Bodong.
"Ada di sudut taman...! Sedang berusaha... berusaha...
membunuh suami saya...."
Semua menghambur ke sudut taman keputren yang penuh
dengan pohon kemuning dan beberapa pohon besar yang rindang.
Seorang berpakaian serba hitam dan menyandang pedang di
pinggangnya sedang bertarung melawan Juru Taman, suami
perempuan yang menjerit tadi. Orang berpakaian serba hitam itu tak jelas
wajahnya, karena ia mengenakan topeng wajah yang
menyeramkan. Tapi gerakannya begitu gesit.
"Tangkal orang itu...!" perintah Sang Adipati kepada para pengawalnya.
Sanggu dan beberapa pengawal segera mengepung lelaki
bertopeng menyeramkan. Tetapi agaknya lelaki itu tidak peduli. Ia sedang
berusaha merubuhkan Juru Taman yang bertarung
menggunakan gagang sapu lidi yang panjang. Juru Taman kelihatan terteter oleh
serangan orang tersebut, dan akhirnya ia terpental jatuh karena satu tendangan
yang amat keras. Tubuh Juru Taman
melayang dan nyaris menabrak Adipati. Untung Suro Bodong
segera menangkapnya dan berseru:
"Kalau berkelahi yang niat! Jangan nubruk sana nubruk sini.
Sudah, diam saja kau di sini...!"
Nafas Juru Taman terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan
darah, ia menyeringai menahan sakit seraya memandang Sang
Adipati. Ia bagai anak yang ingin mengadu kepada ayahnya:
"Mereka... mereka telah membunuh nenek Limbak,
Kanjeng...."
"Mereka..."!" Suro Bodong berpaling dan menatap Juru Taman. Merasa heran.
"Orang-orang dari Gerombolan Topeng Setan itu...." kata Juru Taman seraya
menunjuk orang bertopeng seram.
"Tadi...." katanya lagi. "Saya melihat temannya telah berhasil lolos...
melompati pagar. Sedangkan orang itu... berusaha menyeret mayat nenek Limbak...
dan saya mencoba menahannya..."
"Kurangajar...!" geram Adipati yang kemudian terharu melihat mayat nenek Limbak
terhampar di rerumputan dengan
darah membasah di sekujur dadanya.
Beberapa orang, termasuk emban dan para pelayan,
menjauhi tempat tersebut. Mereka merasa ngeri melihat ketangkasan orang
bertopeng yang dengan ganas memukul para pengawal
hingga mereka berdarah.
"Gerombolan Topeng Setan...!" gumam Sang Adipati. "Ada urusan apa mereka
memusuhiku?"
"Jelas istrimu yang dulu telah berhasil bersekutu dengan Gerombolan yang
dipimpin Bayupati itu," jawab Suro Bodong seraya memandang perkelahian keempat
pengawal dengan lelaki bertopeng. Tak lupa, Suro tetap bergaruk-garuk kumis
dengan telunjuk kanannya.
"Rupanya kau sudah mengenal siapa Gerombolan Topeng
Setan, Kakang. Kau tahu nama pimpinan mereka"
"Aku selalu menghapalkan nama-nama mereka, sebab aku
punya tujuan untuk membenamkan mereka ke dasar neraka!"
Suro Bodong kelihatan menggeram dan memancarkan
kebencian. Namun buru-buru ia menghilangkan sikapnya itu. Ia kembali kelihatan
tenang dan berkata:
"Mereka berhutang beberapa nyawa padaku. Dan yang lebih parah lagi, mereka harus
bertanggung jawab atas hilangnya Ratna Prawesti. Merekalah yang membantai
keluarga Ratna Prawesti dan membumi hanguskan rumah Ratna sehingga rata dengan
tanah. Mayat bergelimpangan di Kabupaten Jangga. Namun, tak satu pun mayat yang
mencerminkan wajah Ratna Prawesti. Pasti mereka yang membawanya kabur. Jahanam-
Dendam Naga Merah 2 Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 7
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 WAJAH-WAJAH bengis itu masih sabar menunggu dari
balik semak belukar. Pandangan kedua wajah bengis itu tertuju pada jalanan yang
lengang, berumput dan bertanah merah. Kedua wajah bengis itu masing-masing
bersenjata aneh.
Yang satu berpakaian serba hitam dengan senjata pedang
lengkung bercabang dua, namun pada gagang pedang terdapat
rantai yang diikatkan pada pergelangan tangannya. Pedang itu sewaktu-waktu dapat
dilemparkan menuju sasaran, lalu dengan sekali hentak pedang itu akan kembali ke
tangan pemiliknya.
Sedangkan wajah bengis yang satu berpakaian serba abu-abu.
Tingginya sama dengan orang berpakaian serba hitam itu. Namun yang berpakaian
abu-abu mengenakan ikat kepala hitam lusuh
berambut lebat mengempal, pertanda jarang kramas. Ia bersenjata tombak berujung
bola berduri sebesar buah jeruk nipis. Bukan hanya satu bola berduri, melainkan
ada empat bola berduri yang seakan saling melekat mirip sedompol anggur.
"Ssst..! Aku mendengar suara langkah orang, Rombal!" bisik yang bersenjata
tombak berujung bola berduri.
"Ya. Aku juga tidak tuli, Degom. Kupikir mereka sudah
dekat dan sedang menuju ke mari," jawab temannya yang bersenjata pedang lengkung
berantai itu. Rupanya dialah yang bernama
Rombal, sedangkan temannya yang berbusana serba abu-abu itu bernama Degom.
Dari arah tikungan bukit cadas muncul empat orang
pembawa tandu. Mereka memikul tandu berukir indah,
melambangkan tandu seorang bangsawan. Dua orang pengawal ada di depan mereka.
Kedua pengawal itu sama-sama memegang
tombak berujung trisula yang tajam. Keduanya sama-sama
berpakaian celana hijau tua dan baju lengan panjang warna hijau muda. Agaknya
pakaian itu merupakan seragam suatu kekuasaan dalam tingkat tertentu. Sebab,
keempat pemikul tandu itu
mempunyai seragam lain dengan kedua pengawal tersebut.
Keempat pemikul tandu itu berseragam celana hitam tanpa baju semua. Namun
masing-masing tetap menyelipkan pedang yang
sama bentuknya di pinggang mereka.
"Tak salah lagi, itulah mereka, Rombal..." bisik Degom.
Rombal hanya mengangguk dan tetap diam di tempat.
Mereka sama-sama menunggu sampai saat baik tiba di depan
mereka, sesuai dengan perhitungan. Sejenak, Rombal sempat
berbisik kepada temannya:
"Kau serang orang-orangnya, aku akan menuju ke tandu itu dan membunuh sasaran
kita." "Beres...!" kata Degom seraya mengepalkan tangannya, mengeraskan urat-uratnya,
besiap melompat ke luar dari
persembunyiannya.
Tepat ketika para pembawa tandu telah melewati depan
hidung mereka, maka kedua wajah bengis itu pun melompat dari tempat
persembunyian. "Ciaaat...!!" keduanya sama-sama langsung menyerang dua orang membawa tandu
bagian belakang.
"Aaaahh...!" pekik mengerikan terdengar lepas. Kedua tubuh pembawa tandu
belakang itu berdarah karena kibasan pedang
Rombal dan sabetan tombak berujung bola berduri dari Degom.
Dengan cekatan kedua pembawa tandu bagian depan segera
menurunkan tangkai tandu, sehingga tandu tidak sempat terguling jatuh. Pada saat
itu, Rombal segera menyerang ke arah tandu dengan gerakan melompat.
Namun salah seorang pengawal bersenjatakan tombak
trisula itu telah lebih dulu menghalanginya dengan tombak tersebut.
Ia mengibaskan tombak yang telah menghadang di depan pintu
tandu, nyaris membelah dada Rombal.
"Hiaaat...! Kunyuk sapi...!" Rombal mencaci maki seraya menghindar sabetan ujung
tombak yang bertubi-tubi itu.
Dua orang pemikul tandu depan menyerang Degom dengan
pedang mereka. Degom menggeram dengan mata melotot sambil
menangkiskan tombaknya untuk menghadang pedang lawannya.
Sesekali ia berguling di udara sambil menendang, dan sesekali pula tendangannya
membuat lawan terjengkang ke belakang.
Salah seorang pengawal berseragam hijau masih diam di
dekat tandu berukir. Ia tidak ikut menyerang, melainkan berjaga-jaga di depan
tandu. Ia membiarkan temannya yang sama-sama
bersenjata tombak trisula itu menerjang lawan yang bersenjata pedang berujung
dua yang melengkung ke arah berlawanan.
"Sanggu...! Bantu aku!" teriak pengawal yang sedang melawan Rombal. Pengawal
yang tadinya diam di depan tandu
segera menyerang Rombal dari belakang dengan menghujamkan
tombaknya ke punggung Rombal. Tapi agaknya Rombal sulit
dibokong. Secepatnya ia berkelit dari serangan pengawal yang pertama
menyerangnya, sambil ia mengibaskan pedang menangkis tombak orang yang dipanggil
Sanggu tadi. Kemudian Rombal
melompat beberapa kali menjauhi kedua pengawal.
Pada saat itu, tepat kedua kaki Degom menendang keras
dada kedua pemikul tandu yang menyerangnya. Kedua pemikul
tandu itu terpental beberapa langkah ke belakang, dan jatuh terguling-guling
bersamaan. Degom segera berdiri bersampingan dengan Rombal. Masing-masing siap
menghadapi serangan lawan.
"Sia-sia kalian menaruhkan nyawa...!" kata Degom. "Lebih baik kalian segera
pergi meninggalkan tandu itu!"
Sanggu, pengawal berkumis tipis itu menjawab dengan
suara lantang: "Kalian yang sia-sia bertindak! Kalian salah sasaran. Pasti kalian pikir kami
membawa harta berharga yang dapat kalian
rampok. Begitu, kau..." Hem...!" Sanggu mencibir.
Temannya menambahkan kata: "Rupanya kalian memang
perampok-perampok bodoh! Tidak bisa mencari mangsa yang
menguntungkan. Kalian dungu! Pikun...!"
"Diam...!" bentak Degom seraya mengacungkan tombaknya.
Rombal membentangkan tangan kirinya ke depan Degom,
pertanda memberi isyarat agar Degom jangan menyerang dulu.
Lalu, Rombal berkata kepada lawan-lawannya:
"Kami tahu kalian ini orang-orang Kedipaten Puspagiwang, bukan" Hem...! Kalian
tak perlu bohong. Kami tahu ciri-ciri pakaian seragam kalian!"
"Memang, kami orang-orang Kadipaten Puspagiwang.
Tetapi kami merasa tidak pernah bermusuhan dengan kalian.
Mengapa kalian menyerang kami dan menewaskan dua orang kami itu" Apa sebabnya?"
kata Sanggu. "Sebabnya... sebabnya kami ingin membunuh kalian semua!"
sahut Degom. Lalu, pengawal yang satu menyahut, "O, kalau begitu,
datanglah ke Kadipaten kami. Di sana banyak orang-orang
Kadipaten Puspagiwang. Kalian bisa memilih yang mana yang
kalian akan bunuh lebih dahulu. Itu kalau kalian mampu tiba di sana dengan
selamat..."
Kata-kata itu membuat panas hati Rombal dan Degom.
Dengan menggeram Rombal berkata: "Suatu penghinaan halus yang menyakitkan!
Serang..."!"
Sambil berteriak begitu, Rombal melayangkan tubuhnya
dengan posisi kaki kanan lurus ke depan dan kaki kiri bersiap menahan tubuh
apabila jatuh ke tanah. Tetapi sebelum kaki itu mengenai wajah pengawal, lebih
dulu kaki itu ditendang ke atas kuat-kuat oleh pengawal itu, sehingga tubuh
Rombal ikut terbawa melayang ke atas dan bersalto ke belakang. Sedangkan Degom
sendiri segera melayani kedua pemikul tandu yang melancarkan serangan dengan
pedang mereka. Degom mengibaskan tombaknya
sehingga kedua pedang yang menghantam ke arah tubuhnya nyaris terpental dari
tangan pemegangnya.
"Gempur dia dari dua arah!" teriak salah seorang lawan
Degom, "Ciaaat..."!"
Mereka bersalto ke samping kanankiri Degom, kemudian
dari sana mereka melancarkan pukulan seraya melayangkan tubuh ke arah Degom.
Kedua kaki Degom melompat ke atas, dan
membentang secara bersamaan.
"Aauuhh...! Huuggh...!"
Kedua kaki yang membentang ke samping secara bersamaan
itu tepat mengenai dagu dan leher kedua lawannya. Kedua pemikul tandu itu saling
bergulingan kembali. Degom melompat mundur, bagai sedang mengatur jarak. Kedua
pemikul tandu itu sama-sama bangkit dan melesat menyerang Degom. Namun dengan
gerakan tak disangka-sangka, Degom menyodokkan tombak berujung bola
berduri empat butir itu. Kedua pemikul tandu itu segera berhenti menyerang, dan
berkelit mundur sampai beberapa langkah.
"Mampus kalian sekarang, Babi...!" teriak Degom, lalu jempol tangannya menekan
ujung tombak yang dipegangnya.
Dengan tekanan jempol tangan itu, tiba-tiba keempat bola berduri itu melesat
dari tangkai tombak. Melayang ke depan dengan
membentuk empat jurusan.
Gemerincing rantai yang keluar dari ujung tombak itu
sangat mengagetkan kedua pemikul tandu tersebut. Karena
kagetnya, mereka sampai tidak menyadari kalau ada empat bola berduri yang
menyerang ke arahnya. Mereka segera memisahkan diri ke kanan kiri. Namun justru
keempat bola berduri itu
memisahkan diri juga ke empat arah.
"Crook...!"
Salah satu bola berduri itu mengenai tengkuk kepala salah
satu pemikul tandu.
"Aaaahh...!!" ia berteriak histeris dan matanya mendelik dengan tubuh kaku. Bola
berduri itu seakan terbenam di tengkuk kepalanya. Sementara itu, bola berduri
yang satunya lagi juga membenam di leher salah satu pemikul tandu itu. Ia juga
menjerit dan berkelojotan seraya berusaha mencabut bola besi berduri.
Namun bola besi berduri itu bagai sukar dicabut dan seakan
semakin terbenam di lehernya. Sedangkan kedua bola berduri
lainnya menembus tempat kosong.
Degom menghentakkan tangannya ke belakang. Seketika itu
rantai-rantai yang terjulur dari ujung tombak itu tertarik masuk ke dalam
tongkat tombak. Seiring dengan itu, kedua pemikul tandu semakin menjerit karena
bagian tubuhnya jebol. Bola berduri yang membenam di leher dan tengkuk terasa
bagai merobek bagian
tepian luka. Mereka roboh ke tanah dan berkelejotan tanpa suara lagi. Lalu,
tubuh mereka pun lama-lama diam melemas dan tak bergerak lagi.
Melihat keadaan anak buahnya seperti ayam disembelih,
Sanggu menjadi semakin marah. Ia meninggalkan Rombal yang
tengah sibuk menghadapi temannya, kini Sanggu menyerang ke
arah Degom dengan teriakan:
"Manusia binataaang...! Hiaaaat...!"
Sanggu bersalto beberapa kali, kemudian kakinya tepat
mengenai pundak Degom. Tubuh Degom terpelanting ke samping.
Bertepatan dengan itu, tombak trisula Sanggu dikibaskan ke arah perut Degom.
Namun tangan Degom cepat bergerak ke samping,
memegang tombaknya kuat-kuat dan menahan tombak Sanggu.
"Mampus kau, Bajingaaan...!" teriak Sanggu yang segera menyerang dengan
tendangan kaki kanannya ke samping.
Tendangan itu memang mengenai leher Degom, sehingga Degom
geloyoran membentur tubuh Rombal. Hampir saja pedang Rombal menebas kepalanya,
karena dikira yang menyentuh tubuhnya
adalah kepala Sanggu.
"Jangan ke mari, tolol!" bentak Rombal kepada Degom.
"Tidak sengaja...! Leherku hampir patah...!" Degom bergegas untuk berdiri dengan
benar. Ia siap dengan tombak menyilang di dadanya. Sanggu juga siap dengan
tombak trisula teracung ke arah tubuh Degom.
Saat itu, Rombal berhasil melayangkan tendangannya ke
dada lawannya dengan keras. Lawannya bagai melayang ke
belakang dalam posisi tubuh melengkung ke depan. Secepat itu pula Rombal
melemparkan pedangnya yang berujung bengkok ke dua
arah. Rantai yang mengikat gagang pedang gemerincing
mengantarkan pedang itu ke arah tubuh lawannya, sedangkan
ujung rantai yang lain terikat di pergelangan tangan Rombal.
"Traaang...!"
Nyala api memercik akibat benturan pedang pengawal
dengan pedang Rombal. Hampir saja dada pengawal terkena
lemparan pedang berujung dua itu. Untung ia gesit menangkis.
Pedang berujung dua itu ditarik kembali dan melayang mundur ke arah pemiliknya.
Pedang itu kembali dalam genggaman Rombal.
Pengawal teman Sanggu kembali berdiri dengan tegap, ia
menggerakkan pedangnya ke belakang dengan tubuh mulai
merendah, siap menyerang. Tapi di luar dugaan, Degom
melancarkan serangan mautnya. Keempat bola besi berduri itu hagai melesat dari
ujung tombaknya. Keempatnya menuju ke empat arah.
Saat itu sasarannya adalah tubuh Sanggu. Namun Sanggu mampu menangkis bola besi
yang mengarah padany.a Hanya saja, salah satu bola besi berduri itu ada yang
meluncur nyasar ke arah pengawal teman Sanggu. Bola itu tepat mengenai lengan
pengawal itu. "Crook...!"
"Aahh...!" Pengawal itu menjerit dalam keadaan kaget.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Rombal untuk
melayangkan pedangnya sekali lagi. Rantai pedang bergerincing, dan desau angin
pedang menuju ke arah leher pengawal itu.
Sambil menyeringai kesakitan, pengawal itu melengkungkan badan ke belakang, sehingga lehernya terhindar dari goresan
pedang. Tetapi dadanya yang menjadi sasaran
berikutnya. "Aaoow...! Aku kena lagi, Sanggu...!!" teriaknya ketika pedang berujung bengkok
dua arah itu mengenai dadanya. Lalu ia menjerit keras lagi. "Aaaauuhhh...!!"
Degom menarik tongkatnya, dengan demikian rantai
penghantar bola-bola besi berduri itu pun melesat kembali ke arahnya semula. Hal
itu mengakibatkan kulit tubuh yang tertancap bola tersebut menjadi semakin robek
bagai dipaksa ditarik dalam hentakan yang kasar.
Darah mengucur dari dada dan lengan pengawal itu.
Sanggu mulai gentar melihat temannya terluka. Ia bersalto ke arah Degom. Tombak
trisulanya dipakai untuk mencungkil kepala
Degom dari leher. Tapi gagal. Karena pada saat itu, pedang Rombal melayang
dengan cepat dan mengenai paha Sanggu. Paha itu robek di luar dugaan. Sanggu
memekik kesakitan, sehingga gerakan
tombak trisulanya menjadi salah sasaran, melesat dari leher Degom.
Kaki Dogemlah yang bekerja berikutnya.
"Hiaaat...! Huhh...! Modar kau...!" seru Degom seraya menghentakkan kaki ke
pelipis Sanggu. Hal itu membuat Sanggu terpental dan menyeringai kesakitan
segera memegangi pahanya yang terluka.
Degom dan Rombal sama-sama menertawakan kedua
pengawal yang sudah kepayahan itu.
"Saat-saat kematianmu sudah dekat, Kunyuk!" kata Degom kepada Sanggu.
Sanggu hanya menyeringai karena pahanya semakin
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiru. Jelas pedang Rombal yang mengenainya itu beracun,
demikian juga dengan luka pengawal yang satu. Dada pengawal itu mulai
menampakkan luka goresan yang membiru. Mereka sama-sama menyeringai dan
mengerang-erang tertahan.
"Rombal...! Hancurkan tandu itu seisinya!" perintah Degom seraya tertawa dan
bertolak pinggang.
Rombal ikut tertawa lebar seraya mendekati tandu tersebut.
Lalu segera melompat dengan jurus tendangan yang diarahkan ke tandu itu.
"Ciaaaatt...!!"
Rombal yang bertubuh kekar mempunyai kaki yang besar.
Tentu saja tandu kayu berukir itu akan hancur sekali ditendangnya.
Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Tepat pada saat kaki Rombal hampir menyentuh tandu,
tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melesat cepat dan berhenti di depan tandu.
Ia menangkis kaki Rombal dan bahkan membuat
tubuh Rombal berjumpalitan ke belakang.
"Bangsaaat..!!" Rombal jatuh dengan punggung duluan.
Sebongkah batu membentur punggung itu sehingga Rombal
mengerang dalam caciannya.
Mata Degom membelalak di sela kobaran amarah. Mata itu
memandang lebar ke arah tandu. Di sana telah berdiri seorang lelaki berambut
panjang tak teratur. Wajahnya cukup kasar. Alisnya tebal dan berkumis tebal
juga. Matanya bulat dan tajam, warna matanya kemerah-merahan. Ia berdiri tegak.
Kedua kakinya merenggang kekar. Lelaki berumur antara 40 tahunan itu mengenakan
baju jubah merah dan celana biru tua. Badannya sedikit gemuk, perutnya agak
membuncit dan pusarnya menonjol ke depan. Sekali pun ia mengenakan ikat pinggang
dari kain warna hijau, namun pusarnya tidak sempat tertutupi oleh ikat pinggang
itu. Melihat sosok
penampilannya yang angker, ditambah dengan ikat kepala yang berwarna merah
darah, jelas sekali ia bukan orang sembarangan di dunia persilatan.
Rombal mulai resah dan merasa sedikit gentar melihat
ketenangan lelaki itu, yang berdiri sambil menikmati jagung bakar.
Mata Rombal mengawasi penuh selidik. Dalam hati ia berkata:
"Orang gila dari mana dia" Datang-datang menyerangku
sampai tulang kakiku linu semua...! Hemm... agaknya ia tidak bersenjata apa pun.
Pasti dia mengandalkan pertarungan tangan kosong. Pasti dia tidak sanggup
bertarung dengan menggunakan senjata..."
Lelaki berjubah merah dan bercelana biru tua itu mengamati
tandu tersebut dari luar. Ia sendiri agaknya merasa heran, mengapa tandu itu
dijadikan masalah oleh kedua lelaki berwajah bengis itu.
Apa isinya" Menurut dugaannya, tandu tersebut memang bukan
berisi barang berharga atau emas permata. Sebab tadi ia melihat Rombal hendak
menghancurkan tandu tersebut. Jelas isinya pasti seorang putri cantik, gadis
anak bangsawan yang hendak
melakukan perjalanan ke suatu tempat. Buktinya ada dua pengawal yang ditugaskan
menjaganya. Degom tak sabar, ia segera mendekati lelaki berambut acak-
acakan namun berikat kepala merah darah.
"Hei, Kunyuk...!"
bentak Degom menampakkan keberaniannya. "Apa urusanmu mengganggu pekerjaan kami, hah"!"
Lelaki yang kelihatan pusernya itu seperti tidak mendengar
kata-kata Degom. Ia tetap asyik makan jagung bakar sambil meneliti tandu dan
keadaan sekitarnya. Ia juga memandang kedua pengawal yang kesakitan sambil
menatapnya pula itu. Degom merasa
disepelekan, amarahnya semakin naik.
"Kunyuk...! Jawab pertanyaanku! Apa urusanmu sehingga
kamu mengganggu kami berdua, hah" Ada hubungan apa kau
dengan orang-orang Kadipaten Puspagiwang itu"!"
Lelaki berambut panjang tak teratur itu masih tenang
menggigit-gigit jagung bakar, ia bahkan menyampar kedua
pengawal yang kelojotan menahan sakit karena luka-lukanya. Kedua pengawal itu
pun memandang heran kepada lelaki tersebut,
sehingga Rombal berbisik kepada Degom:
"Dia bukan orang Kadipaten Puspagiwang! Aku yakin, dia dan pengawal itu tidak
saling kenal...."
Degom manggut-manggut dan berbisik, "Tapi kita harus
hati-hati terhadap dia. Kulihat gerakannya tadi seperti angin setan dan membuat
kau terpental...."
Rombal menggumam dalam geram kedongkolan. Matanya
memandang lelaki berambut acak dan bertingkah laku seenaknya itu. Ketika lelaki
itu hendak mendekati tandu kembali, Rombal memberikan isyarat kepada Degom
dengan kerlingan mata Degom mengangguk samar. Kemudian tombak Degom bergerak
cepat, disodokkan ke arah punggung lelaki itu. Namun lelaki berjubah merah itu hanya
merundukkan badan dan jongkok sambil
menikmati jagung bakarnya. Sodokan tombak berujung bola besi berduri itu molos
melewati atas kepalanya. Degom menarik tombaknya, dan menggeram jengkel. Ia
berdiri dengan tangan kanan
bertolak pinggang dan tangan kiri memegangi tombak yang berdiri tegak di
sampingnya. "Kunyuk edan,..! Apa maumu sebenarnya, hah" Jawab!
Jangan menunggu kesabaranku habis!" seru Degom.
"Apa kamu bicara denganku"!" tanya lelaki itu seraya mengunyah jagung bakarnya.
"Iya! Tapi dari tadi kurasa kau memang tuli!"
"Ah, tidak," jawab lelaklitu tenang. "Aku tidak tuli. Cuma, kukira kau dari tadi
bicara dengan kunyuk, bukan denganku.
Makanya aku diam saja. Sebab aku bukan kunyuk. Aku belum jadi
kunyuk.?"Bangsat...!" Degom mau menghantam memakai tombaknya, tetapi Rombal
menahan tangan Degom. Kini Rombal sendiri yang menghadapi lelaki pemakan jagung
bakar. "Siapa kamu sebenarnya"
Mengapa kau tiba-tiba menyerangku, hah"!"
"Nah... ini baru pertanyaan yang baik. Sopan," katanya sambil memandang Degom
dan menuding Rombal.
"Namaku... Suro Bodong!"
Rombal menatap Degom, sama-sama merasa asing dengan
nama itu. Kemudian Rombal memandang Suro Bodong.
"Suro Bodong... kami baru kali ini mendengar namamu. Jadi, kita memang baru kali
ini berjumpa, bukan. Tetapi apa alasanmu tiba-tiba menyerangku"'
"Melindungi yang lemah," jawab Suro Bodong seraya memetik-metik jagung bakar,
dan melemparkan ke mulutnya.
"Hah...! Mau berlagak jadi pendekar kamu, ya"!" seru Degom. "Kamu belum tahu
siapa kami ini, hah"! Belum tahu"!"
"Ah, buat apa mengetahui kalian siapa. Kalian bukan jagoan yang kondang! Kalian
cuma pengganggu rakyat kecil. Jadi, kalian itu tidak lebih dari wereng hama
padi!" Degom semakin terpancing kemarahannya, demikian juga
dengan Rombal. "Suro Bodong, kuingatkan...!" kata Rombal. "Kau tidak akan mampu mengalahkan
kami berdua, tau"! Kau akan mati konyol
tanpa penghargaan dari Adipati Kusumadharma, sebab tak ada
orang yang selamat dari hadapan kami berdua! Tapi kalau kau ingin mati tidak
penasaran, yah... silahkan saja melawan kami!"
Suro Bodong bangkit. Berdiri seraya menggi-git-gigit jagung bakarnya. Iapun
berkata tak kalah sombong:
"Aku sanggup melawan kalian berdua, dengan satu syarat!"
"Bah...! Pakai syarat-syaratan segala...!" kata Degom.
Rombal menyahut, "Syarat apa maksudmu"!"
"Jika kalian bertarung melawanku, kalian tidak boleh mati terbunuh oleh
tanganku! Kalian harus bertahan untuk tetap hidup.
Itu syaratnya. Tapi kalau kalian tidak mau bertahan tetap hidup dan menyukai
kematian, sebaliknya kalian pergi saja dan batalkan pertarungan kita. Jelas?"
Rombal mencibir seraya memandang Degom yang berdiri di
samping kanannya. "Dia pikir kita ini mudah mati di tangannya..."
kata Rombal kepada Degom.
"Soalnya begini...." sahut Suro Bodong. "Aku sudah bosan membunuh lawanku.
Setiap kali aku mendapat lawan yang katanya tangguh, tapi nyatanya ia selalu
berhasil kubunuh dengan mudah.
Aaah... tidak seru kalau begitu, kan" Aku mau lawan yang tangguh dan mampu
bertahan supaya tidak mati di tanganku. Aku bosan kalau mendapat musuh kelas
nyamuk!" Suro Bodong menggigit-gigit jagung bakarnya lagi.
"Kau menghina kami"! Kau menyepelekan kesaktian kami,
ya?" "Yaaah... bagaimana aku tidak menyepelekan kalian," kata Suro Bodong seenaknya
seraya menikmati jagung bakar.
"Dari tadi kulihat kalian sulit membunuh kedua pengawal itu. Padahal, aku hanya
sekali gebrak membunuh mereka. Nah, kalau membunuh kedua pengawal itu saja lama,
apalagi kalian membunuhku... Huhh, mustahil saja itu!"
"Kunyuk Bodong...!! Bersiaplah melawan kami...!!" geram Degom. Tapi Suro Bodong
masih tenang dan berkata.
"Ah, malas...!" ia bersikap seenaknya saja, memperhatikan tandu tersebut. Ia
mendengar suara nafas yang gementar dari dalam tandu.
Saat itu Degom menyerang dengan tendangan kaki
kanannya. Kaki itu terarah ke pipi Suro Bodong. Tetapi dengan gerakan tangan
yang sukar dilihat, tahu-tahu Degom terpelanting hampir satu putaran tubuhnya.
Rombal sendiri tak dapat melihat gerakan tangan Suro Bodong yang menangkis
tendangan Degom
dengan satu pukulan yang sangat cepat dan kuat.
"Kalian mau melawanku sungguh" Tidak cuma dolanan...?"
kata Suro Bodong seraya melirik seram kepada Rombal. "Baiklah.
Aku akan melayani kalian, asal kalian punya niat yang baik, yaitu niat
bertarung, jangan niat coba-coba saja!"
"Tutup bacotmu, Bangsaat...!!" seraya berseru, begitu Rombal mengibaskan
pedangnya ke arah leher Suro Bodong.
Suro Bodong langsung tiarap. Lalu bangkit lagi. Ia baru saja menggerakkan
tangannya untuk mengambil sikap jurus pukulan, tahu-tahu tombak Degom menghantam
kepalanya. Sebelum
mengenai kepala, Suro Bodong langsung tiarap lagi. Tubuhnya rapat dengan tanah.
"Tidak kena, he, he, he... lumayan bisa selamat...." katanya seraya hendak
berdiri. Ia baru membersihkan tanah yang menempel pada pakaiannya, tahu-tahu
tendangan Rombal melesat ke arah dadanya. Suro Bodong menangkis kaki kiri
Rombal. Ia hendak
memukul dada Rombal, namun pedang Rombal segera menebas
lehernya, dan Suro Bodong buru-buru tiarap lagi dengan gerakan cepat. Tapi kaki
Rombal menginjaknya dengan keras sehingga
punggung Suro Bodong menjadi sasaran yang empuk.
"Huuugghh...!"
Suro Bodong mengejang. Rombal mengangkat kakinya dan hendak menginjaknya lagi. Tetapi Suro Bodong segera
telentang dengan satu gerakan kaki menendang ke arah kemaluan Rombal.
"Hiaaat...! Kena kamu...!"
"Aaakkh...! Uuuhh...!!" Rombal berlari terlonjak-lonjak seraya memegangi
'barangnya' yang terasa pecah itu. Suro Bodong bergegas bangun. Degom
melancarkan serangan dengan bola besi berduri yang melesat dari ujung tombaknya
ke empat penjuru. Suro Bodong berguling ke tanah beberapa kali dan berhenti
tepat di bawah kaki Degom. Lalu ia menggerakkan kakinya lurus ke atas dan
mengenai kemaluan Degom.
"Nah... kena lagi, kan" He, he, he...!" Suro Bodong bangkit sambil tertawa.
"Aaauuh...! Uuuh...! Aaaoooww...!!" Degom kelojolan dan berjingkrak-jingkrak
kesakitan seraya memegangi bagian vitalnya.
Suro Bodong terkekeh-kekeh.
"Ditendang kok malah jejingkrakan begitu" Gembira, ya?"
"Kau bangsat tak patut diberi ampun...!!" geram Rombal.
"Lho, memang jangan diberi ampun...!!" sahut Suro Bodong seraya merundukkan
kepalanya, karena Rombal melemparkan
pedang berujung bengkok dua arah. Dan pada kesempatan itu, Suro Bodong bergerak
menjauhi kedua lawannya.
"Hei, jangan lariii, Kunyuk...!!" teriak Degom.
"Tidak!" sahut Suro Bodong. "Aku cuma ambil jarak buat menyerang kalian. Tenang
sajalah...!"
Benar, Suro Bodong behenti di suatu tempat yang agak jauh
dari kedua lawannya. Lalu ia berseru, "Hei, para musuhku...." Ia bersikap
seperti orang hendak berkhotbah atau berpidato.
"Dengarlah baik-baik, aku akan melancarkan jurus saktiku.
Namanya, ilmu Pedang Jitu. Tahu artinya jitu" "
Degom dan Rombal masih menyeringai sukar berjalan
karena alat vitalnya terasa sakit sekali. Kedua pengawal yang masih hidup dalam
keadaan parah itu masih sempat merasa heran melihat cara berkelahi Suro Bodong.
"Jitu artinya: Siji dadi pitu. Satu jadi tujuh...! Kalau kalian mampu menerima
serangan ilmu Pedang jitu, kalian lulus menjadi musuh teladan dan akan
mendapatkan penghargaan dariku berupa jurus-jurus yang lain. Nah, sekarang
terimalah, ya..." Jangan berebut...!!"
Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya, lalu
menarik pergelangan tangan kiri itu. Dan mata mereka yang
memandangnya sama-sama terbelalak kaget, ternyata tangan kanan Suro Bodong telah
memegang sebilah pedang warna ungu. Pedang itu putih, tapi memancarkan sinar
warna ungu. Padahal dari tadi mereka tidak melihat ada pedang di tubuh Suro
Bodong. Dan kali ini, Suro Bodong menyeringai sinis.
Pedang itu dilemparkan, lalu ditendang ke udara sampai
berputar tujuh kali. Setelah berputar tujuh kali, pedang itu pecah atau
terpotong menjadi tujuh bagian. Ketujuh potongan itu melesat cepat bagai meteor
ke arah Rombal dan Degom. Empat potong
pedang menembus tempat kosong, dua potong menembus leher
Rombal dan satu potong lagi menembus dada Degom. Keduanya
menjerit bersamaan dengan nyaring. "Aaaaahh...!!"
Mereka kelojotan. Ketujuh potong pedang yang sudah tidak
bersinar ungu itu melayang kembali membentuk satu bagian.
Setelah kembali ke ujud semula, sebuah pedang bersinar ungu, pedang tersebut
melesat kembali ke pemiliknya.
Tangkas dan tegap Suro Bodong menangkap kembali
pedangnya. Ia membiarkan kedua lawannya mengeram, tersedak-
sedak dan berguling-guling di tanah seperti kambing disembelih.
Beberapa saat kemudian, Rombal dan Degom tak mampu bernafas sedikit pun. Mereka
mati. Dan Suro Bodong menghampiri dengan cemberut.
"Tuh, apa kubilang tadi..." Jangan mati! Berlarianlah untuk hidup. Tapi rupanya
kalian menyepelekan kata-kataku. Uhhh...!
Percuma kalau cuma mau mati saja harus bertarung melawanku.
Mendingan gantung diri aja di pohon...!"
Suro Bodong geleng-geleng kepala melihat kedua musuhnya
meregang dan kaku menjadi mayat.
Sanggu dan seorang pengawal lainnya masih memandangi
Suro Bodong seraya menahan sakit. Mereka sama-sama menjadi
terheran-heran lagi ketika menyaksikan suatu keanehan Suro
Bodong memasukkan pedang berwarna sinar ungu itu ke
pergelangan tangannya. Pedang itu menusuk kulit lengan kirinya dan kemudian
hilang tak terlihat lagi. Tetapi pergelangan tangan kirinya itu tidak berdarah
sedikit pun, bahkan tak ada bekas goresan atau tusukan pedang sekali pun sebesar
titik jarum. Ajaib! Aneh sekali ilmunya, pikir Sanggu. Suro Bodong tersenyum
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelek kepada Sanggu yang menyaksikan hal itu.
"Heran" Ah, pasti kalian heran melihat kesaktianku...!"
Sanggu mencoba tersenyum, tapi kaku karena menahan
sakit. Suro Bodong berkata: "Tidak usah memaksakan diri untuk tersenyum. Aku tahu
kalian kesakitan karena luka beracun itu.
Tetapi, tenang... ada aku!" seraya Suro Bodong menepuk dada dengan gayanya yang
tengil. "Nanti akan kusembuhkan...! Kalau aku bisa. Tapi...
ngomong-ngomong putri siapa yang ada dalam tandu itu" Mengapa kedua orang bengis
itu hendak membunuhnya?"
"Putri...?" Sanggu heran. "Dia.... dia bukan seorang putri."
"Lho, jadi siapa?" Suro Bodong tak sabar, lalu segera pergi mendekati tandu dan
membuka pintu tandu yang tertutup rapat Astaga...! Dia ternyata seorang nenek
peot! 2 SURO BODONG gondok sekali setelah mengetahui yang
berada dalam tandu berukir itu adalah seorang nenek peot. Sebagian gigi nenek
itu sudah ompong, mungkin hanya tinggal satu atau dua gigi yang masih melekat
pada gusinya. Berkali-kali Suro Bodong mendengus, dan akhirnya tertawa sendiri.
Ia menertawakan
bayangan dalam benaknya, yang semula mengira tandu itu berisi seorang putri
cantik dengan senyum dan bibir yang indah. Eh, ternyata cuma seorang nenek peot
yang untuk tersenyum saja
kelihatan susah.
"Kami utusan dari Kadipaten Puspagiwang," tutur Sanggu.
Suro Bodong sibuk merobek pakaian teman Sanggu yang
hendak diobatinya.
"Utusan untuk apa?"
"Untuk menjemput nenek Limbak. Dia seorang dukun bayi
yang terdekat tempat tinggalnya dari Kadipaten Puspagiwang. Dia juga yang dulu
menolong ibu Adipati Kusumadharma melahirkan adik Kanjeng Adipati sendiri. Jadi,
karena istri Kanjeng Adipati hendak melahirkan, kami diutus menjemput nenek
Limbak dalam suatu
penghormatan dan pengawalan yang bertujuan menyenangkan hati nenek Limbak."
"O, jadi sekarang ini istri Adipati akan melahirkan?"
"Benar, Paman...."
"Jangan panggil aku Paman. Aku belum pernah kawin
dengan bibimu. Panggil saja namaku: Suro Bodong."
"O, baiklah kalau itu pennintaanmu... Suro Bodong."
Suro Bodong meludah ke dada pengawal teman Sanggu.
Pengawal itu menghindari kendati tak berhasil.
"Hei, mengapa kau meludahi aku?"
Suro Bodong memandang gemas. "Kau mau mati apa mau
sembuh" Kalau mau mati ya sudah, kutinggal saja."
"Tentu aku mau sembuh. Mau selamat, sebab bulan depan
aku akan menikah. Tapi, jangan diludahi begitu dong...!"
"Memang itu caraku untuk menyembuhkan kamu dari
racun pedang itu, tolol!" bentak Suro Bodong. "Boro-boro aku mau meludai kamu.
Bukannya terima kasih malah sewot...!"
Sanggu menengahi "Maafkan temanku ini, Suro Bodong. Dia masih heran dan tidak
tahu caramu menyembuhkan luka."
Suro Bodong menggerutu tak jelas. Kemudian ia
membentak, "Mau disembuhkan apa tidak?"
"Mau...." jawab pengawal dengan lemah.
Suro Bodong meludahi luka di dada sebanyak tujuh kali.
Luka itu mengepulkan asap. Lalu Suro Bodong berdiri dan
menyuruh pengawal itu telentang. Setelah telentang, Suro Bodong menginjak-
injaknya selama 7 kali juga.
"Huuggh...! Huhhg...! Aauuhg...!" Orang itu kejot-kejot selama diinjak-injak
Suro Bodong. Tetapi ia tak jadi marah, karena melihat dadanya yang terinjak-
injak itu menjadi rapat. Luka yang menganga dan berwarna biru itu hilang sama
sekali bagai tak pernah ada luka.
"Gila...! Dadaku menjadi rata!" katanya.
Sanggu tertawa dalam senyum kelegaan. Kemudian Suro
Bodong menyembuhkan luka yang ada di lengan orang itu akibat bola besi berduri.
Cara penyembuhannya sama, dan hasilnya juga sama. Demikian pula dilakukan oleh
Suro Bodong kepada luka di paha Sanggu. Juga diludahi tujuh kali dan diinjak-
injak. Suatu pengobatan yang aneh dan mengherankan bagi kedua pengawal itu.
Sehingga ketika Sanggu berkata kepada temannya: "Hebat sekali dia itu,
ya?"Temannya menjawab sedikit bersungut-sungut, "Iya. Tapi cara pengobatannya
itu yang aku kurang setuju. Dadaku diinjak-injak dan diludahi seenaknya...!
Pengobatan tidak berdasarkan sopan santun itu namanya...."
Suro Bodong mendengar bisik-bisik itu, tapi dia tidak mau
menimpali dengan kata apa pun. Sebaliknya, Sanggu bahkan
berkata:"Aku sangat berterima kasih kepadamu, Suro Bodong. Aku yakin, kalau kau
mau ikut mengawal nenek Limbak ke Kadipaten, pasti Kanjeng Adipati mau memberimu
hadiah sebagai tanda ucapan terima kasih atas pertolonganmu ini...."
"Ah, itu tidak perlu. Aku ada urusan sendiri yang lebih penting,' kata Suro
Bodong seraya mencari-cari jagung bakarnya yang tadi terlempar entah ke mana.
"Kalau begitu, aku bisa mengusulkan kepada Kanjeng
Adipati agar beliau mau membantumu menyelesaikan urusan itu,"
bujuk Sanggu. Suro Bodong berhenti mencari, berpaling kepada Sanggu.
Lalu ia mendekat dan berkata:
"Apakah Adipati bisa menolongku menemukan kembali
seorang gadis yang bernama Ratna Prawesti."
"Ratna Prawesti...?" Sanggu dan temannya menggumam.
"Kalian pernah mendengar nama itu?"
"Belum. Siapa dia, Suro?"
"Dia adalah kekasihku. Gadis itu bertubuh lencir. Kulitnya kuning langsat.
Lehernya jenjang. Matanya indah bulat bening dengan bulu mata yang lentik dan
lebat, ia mempunyai bibir
semerah delima merekah. Selalu kelihatan basah dan menawan.
Hidungnya bangir. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya yang halus mulus
itu. Ia juga mempunyai buah dada yang sekal.
Tidak besar, tapi tidak termasuk kecil. Padat berisi. Ia suka mengenakan kaian
sutra berlengan panjang warna kuning gading.
Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sering diriap dengan jepit rambut di
kanan kiri kepalanya. Ia juga mengenakan gelang kaki dari perak putih bermata
batu merah delima... Apakah, kalian pernah melihatnya?"
Kedua pengawal itu menggeleng. Tetapi Sanggu menjawab,
"Barangkali Kanjeng Adipati bisa membantu mencarikan gadismu itu, Suro. Kita
coba saja...."
Suro Bodong menggumam, menerawang bagai membayangkan sosok Ratna Prawesti yang dirindukan selama ini.
Setelah ditimbang-timbangnya, Suro Bodong bermaksud
mencoba mencarinya di daerah Kadipaten Puspagiwang. Siapa tahu di sana ia
memperoleh petunjuk di mana Ratna Prawesti berada.
Syukur kalau memang bisa bertemu dengan gadis itu. Untuk itu, mau tak mau ia
ikut mengantar dan mengawal nenek Limbak ke
Kadipaten Puspagiwang.
Adipati Kusumadharma sangat berterima kasih kepada Suro
Bodong setelah Sanggu menceritakan pertempuran melawan dua
orang bertampang bengis itu. Suro Bodong berdiri saja dibelakang beberapa
pegawai kadipaten yang duduk bersila menghadap
Kanjeng Adipati Kusumadharma yang arif dan bijaksana itu.
"Suro Bodong, sebaiknya kau duduk bersila seperti yang lainnya. Kita ini
menghadap Kanjeng Adipati di Paseban harus menghormat...."
Suro Bodong berkata kepada Sanggu dengan suara lantang
dan membuat pegawai lainnya menengok ke belakang:
"Beginilah caraku menghormat. Kalau aku kau paksa untuk duduk bersila, lebih
baik aku keluar dari Paseban. Aku tak mau diperintah seperti itu! Aku mau
berdiri, ya berdiri. Kalau aku capek kan akan duduk sendiri. Kenapa kamu dari
tadi ribut melulu soal duduk bersila, Sanggu?"
"Maksudku supaya...."
' Kalau memang aku dianggap menghina, aku pulang saja!
Aku mohon pamit, Adipati!" kata Suro Bodong bagai tak mengenal tata krama
sedikit pun. Tetapi Adipati Kusumadharma tersenyum sabar dan berkata:
"Tinggallah beberapa hari di Kadipaten ini, Kakang Suro Bodong. Ada hal-hal yang
perlu kubicarakan denganmu."
"Tapi aku dipaksa duduk oleh Sanggu! Aku tidak mau kalau diperintah untuk
mengikuti peraturan di sini. Kurasa aku sudah cukup sopan dengan diam begini
tanpa mengganggu pertemuan ini.
Aku toh tidak membikin keributan di sini!"
"Benar! Kau yang benar,Kakang Suro Bodong. Dan kuharap kau mau memaklumi bahwa
Sanggu itu belum bisa berpikir dengan benar. Mungkin ia sangat mencintaiku,
sehingga semua orang maunya disuruh duduk menghormat seperti caranya. Ah,
sudahlah, lupakan saja hal itu, Kakang Suro Bodong."
Dilihat dari kerapian dan kebersihan wajahnya, Adipati
Kusumadharma memang kelihatan lebih muda dibandingkan usia
Suro Bodong. Namun sebenarnya usia Adipati itu sejajar dengan usia Suro Bodong.
Namun dalam memberi penghormatan yang
biasanya ia lakukan, Sang Adipati selalu memanggil 'kakang' kepada seseorang
yang perlu dihormatinya seperti Suro Bodong. Dengan panggilan itu, setidaknya
hubungan keduanya akan semakin lebih akrab dan tali persaudaraan terjalin secara
tak langsung. Adipati Kusumadharma memang orang yang cepat tanggap
terhadap sikap orang lain. Ia tahu bahwa Suro Bodong bukan
bermaksud berkurangajar kepadanya, tetapi kekakuan dan
kepolosan bertindak dari Suro Bodong sudah merupakan sikap
pembawaan hidupnya. Suro Bodong tidak mau bermuluk-muluk
dalam menghargai seseorang, namun ia juga tidak mau diperintah seperti kacung
atau pelayan yang hina. Dengan warna persaudaraan yang diciptakan Adipati
Kusumadharma, Suro Bodong lebih
menaruh rasa hormat dengan caranya sendiri. Dan keintiman itu pun terjalin
dengan lugas. Suro Bodong bahkan berani mengeluh di depan Adipati,
yaitu ketika mereka berdua di taman Kadipaten yang ditanami banyak bunga indah
warna-warni. "Kalau kau bertanya dari mana asalku, itu suatu pertanyaan yang sedang
kupikirkan, Adipati," kata Suro Bodong.
"Aneh," gumam Adipati Kusumadharma. Lalu berkata. "Jadi Kakang Suro Bodong
sendiri tidak tahu Kakang dari mana" Masa'
sampai begitu" Apakah Kakang juga tidak tahu siapa orang tua Kakang?"
Suro Bodong menggeleng. "Yang kutahu dan yang
kupikirkan; di mana Ratna Prawesti dan sedang apa dia" Bagaimana nasibnya" Itu
saja." Kusumadharma tertawa geli. Ia masih memegangi gelas
minuman yang terbuat dari perak putih.
"Hanya karena cinta Kakang Suro kepada perempuan yang
bernama Ratna Prawesti itu, maka kakang sampai lupa dari mana asalnya" Begitu"
Oh, sangat aneh, tapi juga mesra...."
Sekalipun Adipati Kusumadharma tertawa, namun Suro
Bodong hanya tersenyum tawar dan manggut-manggut sendiri, ia bagai merenungkan
sesuatu seraya memandang keindahan taman
berair mancur lebar itu.
"Sebelum aku mengenal Ratna Prawesti," kata Suro Bodong,
"Aku memang sudah tidak mengenali siapa diriku. Kadang-kadang aku bertanya
kepada Ratna, siapa diriku sebenarnya, tapi Ratna hanya tersenyum dan menganggap
pertanyaan itu aneh. Lalu
sepanjang hari aku bertanya-tanya pada diri sendiri, siapa aku" Tapi aku tak
pernah menemukan jati diriku. Aku serba bingung. Dan kalau sudah bingung, aku
tidak peduli lagi pada diriku sebenarnya.
Terserah; mau jadi raja, apa gelandangan, terserah Sang Nasib saja.
Namun aku percaya, suatu saat pasti aku tidak akan bingung lagi.
Suatu saat pasti aku tahu, siapa aku sebenarnya."
"Kalau begitu, bagaimana kalau Kakang kutawarkan untuk menetap di sini saja.
Kuangkat kau menjadi pengawal pribadiku, Kakang.?"Ah, males...!" jawab Suro
Bodong seperti bicara dengan rakyat jelata. "Kalau aku tinggal di sini, mana
mungkin aku bisa menemukan Ratna Prawestiku. Paling-paling ketemu kamu terus-
terusan, Adipati."
Adipati Kusumadharma tidak marah melihat sikap dan
penampilan Suro Bodong seenak udelnya sendiri itu. Memang
Adipati menyadari bahwa itulah sikap Suro Bodong yang asli.
Adipati bahkan berkata:
"Selama belum ada titik terang, Kakang bisa tinggal di sini.
Tetapi jika sudah ada titik terang di mana Ratna Prawesti itu, Kakang bisa pergi
mencarinya, lalu membawanya ke mari."
Suro Bodong menggeleng. "Ogah! Aku mempunyai sesuatu
yang hilang. Sesuatu yang hilang apabila tidak dicari tidak akan ketemu. Dan
lagi... kudengar kau sudah mempunyai dua orang
pengawal pribadi yang ampuh."
Mengangguklah Kusumadharma dalam senyumnya yang
berwibawa dan punya kharisma sendiri.
"Memang. Mereka adalah Mahesa Tameng dan Kebo Jagal."
"Nah, jadi untuk apa lagi kau mempunyai pengawal pribadi seperti aku ini" Kan
sudah ada Mahesa tameng dan Kebo Jagal" Apa masih kurang kuat orang
kepercayaanmu itu?"
"Kalau menurut cerita Sanggu, aku bisa menyimpulkan
bahwa kesaktian kedua pengawalku itu tidak sebanding dengan kesaktianmu, Kakang
Suro Bodong. Mereka tidak mempunyai
keistimewaan seperti yang kau miliki."
"Itu sudah pasti. Tapi apa perlunya kau memelihara
pengawal seperti aku" Apakah kau dalam keadaan ancaman
bahaya" Ada yang mengancammu?"
Kusumadharma masih memperlihatkan senyum yang
ramah. "Sejak peristiwa terbunuhnya keempat pemikul tandu itu, aku jadi khawatir
akan ada orang yang menyerangku secara diam-diam, Kakang,"
Suro Bodong berkerut dahi dan memandang Adipati
Kusumadharma. Ia baru berpikir kembali, mengapa nenek Limbak hendak dibunuh oleh
kedua orang berwajah bengis itu" Bukankah nenek Limbak tidak mempunyai kesaktian
apa-apa selain keahlian sebagai dukun bayi"
Hal itu dilontarkan kepada Adipati Kusumadharma, dan
Sang Adipati sendiri menghela nafas dan menggeleng samar.
"Itulah yang membuatku heran. Ada apa dan kenapa
mereka menghendaki kematian nenek Limbak" Dia bukan orang
kaya, bukan orang sakti dan bukan orang penting yang bisa
mempengaruhi rakyat. Bicaranya saja sudah tak selancar kita. Tapi mereka sangat
bernafsu untuk membunuh nenek Limbak" Apakah
ada persaingan dalam hal panggilan dukun bayi, atau ada
persaingan rebutan rezeki dari bayi yang akan ditolong kelahirannya" Itu sendiri
masih membingungkan aku, Kakang Suro.
Sekarang ini aku masih mencari-cari alasan mereka hendak
membunuh nenek Limbak."
Suro Bodong ikut termenung. Sebenarnya dia tidak ingin
turut pusing memikirkan nenek Limbak. Namun karena kejadian kemarin sore itu
merupakan kejadian yang ganjil, aneh, maka tak sadar ia jadi memikirkannya.
Pikirannya kian lama tidak saja tertuju pada nenek Limbak, melainkan kepada
Adipati Kusumadharma
sendiri, yang menurutnya sangat aneh dalam usia sebanyak itu baru akan mempunyai
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak pertama dari istrinya yang cantik dan masih muda itu.
"Ah, itu urusan dia...." gumam Suro Bodong seraya memandangi isi kamarnya. Ia
diberi kamar yang cukup bagus. Ada tempat tidur berlapis kain halus. Ada satu
set tempat minum dari perak putih. Ada satu guci arak mahal yang rasanya segar.
Suro Bodong hanya tersenyum sinis. "Pasti ini bujukan agar aku mau tinggal di
sini," pikirannya. Menurut Suro Bodong, membujuk orang dengan cara seperti ini
sudah terlalu umum. Ini pula yang membuat ia kurang menyukai cara berpikir
Adipati Kusumadharma.
"Kalau boleh, aku mau pergi sekarang juga," kata Suro Bodong ketika malam itu ia
ditemui Adipati Kusumadharma.
"Apa kamar dan pelayanan untuk Kakang Suro di sini
kurang memuaskan?"
"Memang memuaskan. Tapi aku jenuh hidup dalam kepura-
puraan seperti ini," seraya Suro Bodong garuk-garuk kepala.
"Penuh kepura-puraan bagaimana, maksudnya?"
Suro Bodong kebingungan. Akhirnya menjawab, "Tidak
tahulah. Aku cuma menirukan kata-kata orang yang pernah
kudengar: hidup penuh kepura-puraan. Begitu saja. Katanya, hidup seperti itu
tidak enak."
"Dan Kakang merasa tidak enak hidup di sini?"
Suro Bodong semakin bingung. Ia mengangguk walau
bersikap tenang.
"Enak. Memang enak. Tapi...."
"Sudahlah, tinggallah di sini semalam saja. Malam ini saja, Kakang. Ada dua hal
yang masih ingin kubicarakan." Adipati Kusumadharma tersenyum ramah. Suro Bodong
berkerut dahi dalam memandangnya.
"Pertama, aku ingin memberikan kabar gembira buat
Kakang Suro Bodong."
"Kabar apa?"
"Anakku telah lahir."
"O, ya"!" Suro terkejut. Lalu memandangnya gembira.
Adipati Kusumadharma lebih kelihatan gembira.
"Lelaki, Kakang. Kata nenek Limbak, wajahnya persis aku, dan... kuharap ia akan
menjadi serupa denganku."
"Aku ikut senang mendengar kabar itu. Istrimu selamat?"
"Ya. Dan... dia minta supaya kau tinggal di sini sampai besok. Dia ingin
mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, yang telah ikut mengawal nenek Limbak
tiba dengan selamat di sini."
Suro Bodong menggumam, menyerupai gerutu tak jelas.
Kemudian ia berkata terang-terangan tanpa memandang Adipati Kusumadharma.
"Lama-lama kau akan berhasil membujukku untuk menjadi
pengawalmu."
Adipati tertawa penuh kesabaran.
"Aku tak pernah mau membujuk jika sekali bujukanku
gagal. Soal tawaranku itu, terserah Kakang. Kalau kurang cocok, jangan segan-
segan menolaknya. Sebab apalah artinya bekerja dengan separuh hati" Bukankah
begitu, Kakang?"
Ternyata dugaan Suro Bodong salah. Adipati melayaninya,
memberi kamar bagus, bukan lantaran membujuk, melalaikan
semata-mata rasa ucapan terima kasih terhadap Suro Bodong yang telah ikut
menyelamatkan dukun bayi yang kini telah berhasil membantu melahirkan anak
pertamanya. Suro Bodong jadi kikuk sendiri berbaring di atas tempat tidur mewah
itu. Tidak seperti biasanya, malam ini ia cukup gelisah. Pikirannya semakin
bercampur aduk jika ia teringat khayalannya: betapa indah tidur berdua di
ranjang empuk seperti ini jika bersama Ratna Prawesti.
Sampai larut malam, Suro Bodong masih gelisah. Rupanya
itu adalah naluri yang ada pada dirinya. Naluri yang tak dapat ditipu oleh
hiburan batin apa pun. Sebab, antara menjelang fajar, dia dikejutkan oleh suara
gaduh di luar kamar. Ia bergegas bangun dan lari ke luar kamar.
"Ada apa. ."!" tanyanya kepada petugas Kadipaten yang berlari ke pintu regol
depan. Orang itu menjawab sambil lari:
"Bayi Kanjeng Adipati diculik orang...!"
"Apa..."!" pekik Suro Bodong. Tapi tidak dijawab lagi oleh orang tersebut. Suro
Bodong jadi kebingungan dan garuk-garuk kepalanya yang berambut tak teratur.
Kemudian ia bergegas ke dalam Kadipaten, dekat dengan ruang Paseban. Ia melihat
beberapa orang sibuk kebingungan. Ia tertegun beberapa saat di pojok, di bawah
pilar menuju Paseban.
"Ada apa, Bi?" tanyanya kepada emban yang menangis.
"Putra Dalem...! Bayi itu ada yang mencurinya...!"
"Siapa" Siapa pencurinya" Namanya siapa alamatnya di
mana" Katakan, biar aku yang ke sana!"
"Mana ada pencuri menyebutkan nama dan tempat
tinggalnya. Uuh... dasar Bodong...!" geram bibi Emban yang segera berlari ke
arah kamar-kamar punggawa Dalem.
Suro Bodong clingak-clinguk semakin tak jelas apa yang
harus dilakukan. Semua orang sibuk sendiri-sendiri dalam
kepanikannya. Semua mencari dengan gugup. Dan Suro Bodong tak tahu harus ikut
mencari atau diam.
"Hei, sudah tahu kalau bayi Kanjeng Adipati dicuri orang?"
kata Mahesa Tameng bernada sinis.
"Ya. Tahu...." jawab Suro Bodong seenaknya.
"Kenapa tidak ikut mencari" Hem...! Kurasa Kanjeng Adipati telah salah menilai
kamu jika benar ia mencalonkan kamu untuk menjadi pengawal pribadinya! Tidur
saja sana!"
Hati Suro Bodong bagai direbus mendengar ucapan Mahesa
Tameng yang berbadan lebih besar dari Suro Bodong. Namun untuk mendinginkan hati
yang seperti direbus itu, Suro Bodong berkata dengan tenang, seakan tidak
terjadi rasa apa pun saat itu.
"Mahesa Tameng... bagaimana kalau kita keluar dari gedung ini" Ada tempat yang
sedikit lega apa tidak, ya?"
"Mau apa kau"!" Mahesa Tameng tak tahu maksudnya.
"Tempat yang... yah, kira-kira lebar lima langkah dan
panjang lima langkah. Asal sepi. Ada apa tidak di sini?"
"Kalau ada mau apa" Mau ngumpet?"
"Sttt... jangan keras-keras...!" Kemudian Suro Bodong berbisik pelan, "Aku ingin
menghajarmu di tempat itu. Yuk?"
Sekarang Mahesa Tameng yang merasa hatinya bagai
tersundut kayu bakar. Ia menggeram, menggeletakkan gigi.
Tangannya mengepal. Namun buru-buru pergi, tidak melayani kata-kata Suro Bodong
mengingat saat itu ia ditugaskan menggeledah seluruh tempat yang ada di luar dan
dalam halaman Dalen
Kadipaten itu. Mahesa Tameng hanya menggeram dan menggumam
pelan, "Suatu saat, ku rontokkan gigimu dengan ujung kakiku, Bodong...!"
"Aku juga akan merontokkan jari kakimu dengan ujung
gigiku... Ayam!"
Suto Bodong mencibir saat Mahesa Tameng pergi
meninggalkannya. Suro memang sudah merasa ada gelagat tak baik dari Mahesa
Tameng maupun Kebo Jagal. Kedua pengawal pribadi Sang Adipati itu agaknya kurang
suka jika Suro Bodong diangkat oleh Sang Adipati untuk menjadi pengawal pribadi
juga. Paling tidak, mereka menganggap telah mendapat saingan atas rencana
pengangkatan itu. Karenanya, sikap Mahesa Tameng dan Kebo Jagal menunjukkan
adanya permusuhan batin. Tetapi, Suro Bodong tidak peduli dengan sikap mereka
itu, asal jangan membuat darahnya mendidih tanpa meminta maaf.
Ketika hari menjelang pagi. Adipati Kusumadharma
menemui Suro Bodong dengan raut muka penuh kesedihan. Saat itu, Suro Bodong
sedang hendak masuk ke kamarnya dan berkemas
untuk pergi. "Kakang Suro, sudah mendengar bencana yang menimpaku,
bukan?" ujar Adipati Kusumadharma dengan sedih.
Suro Bodong hanya mengangguk.
"Tolonglah aku sekali ini, Kakang. Jangan pergi dulu:
Tolonglah aku. Anakku, anak pertamaku yang kurindukan
kehadirannya, kini dicuri oleh seseorang."
"Kau punya dugaan siapa yang mencurinya?" tanya Suro Bodong setelah berdiam diri
beberapa saat. Saat itu, Adipati hanya menggeleng. Lalu Suro Bodong bertanya
lagi: "Siapa orang yang membencimu?"
Adipati diam saja. Suro berkata lagi setelah diam lama:
"Pasti ada orang yang memusuhimu, yang pernah cekcok
denganmu, atau yang pernah kau kecewakan. Siapa-siapa saja
mereka itu" Sebutkan!"
"Selama ini aku tidak pernah memusuhi dan dimusuhi
orang. Mereka berteman baik denganku. Kecuali...."
"Kecuali siapa" Sebutkan!" desak Suro Bodong ketika Adipati Kusumadharma diam
beberapa saat. "Kecuali... bekas istriku yang pertama. Rukmini! Dia
kuceraikan setelah tiga kali aku memergoki dia berbuat serong dengan pegawaiku.
Dan... untung kami tak dikarunia seorang anak dari perkawinan itu."
"Hemm... kalau begitu, dialah sumber malapetaka ini.
Dasarnya, rasa iri, sebab istrimu yang sekarang bisa memberimu keturunan. Jelas
dialah penyebabnya!"
3 RUKMINI, bekas istri pertama Sang Adipati, diperkirakan
dialah penculik bayi tersebut. Adipati Kusumadharma sempat
membantah dugaan Suro Bodong:
"Rukmini perempuan lemah. Ia tidak bisa melakukan
kekerasan. Untuk menculik bayiku itu, jelas ia membutuhkan suatu keberanian dan
kepandaian tersendiri, misalnya kepandaian menye-linap dan melompati pagar
tembok Dalem Kadipaten. Hal itu,
menurutku, tidak mungkin bisa dilakukan oleh Rukmini."
Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya dengan jari
telunjuk. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata pelan:
"Tapi Rukmini masih punya otak, bukan?"
"Maksudmu?"
"Ketika kau menceraikan dia, dia masih membawa otaknya di dalam kepalanya,
bukan?" Kusumadharma manggut-manggut dalam renungannya.
Suro Bodong melanjutkan kata-katanya:
"Dia bisa saja mengupah seseorang, atau lebih dari seorang untuk mencuri bayimu,
Adipati. Dia juga bisa membayar seseorang, atau lebih, untuk membunuh nenek
Limbak." Adipati Kusumadharma kaget dan memandang Suro
Bodong. "Apa hubungannya dengan nenek Limbak?"
Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya lagi yang tebal.
Lalu berkata dengan pelan, bagai berbisik:
"Dia tahu saat istrimu membutuhkan dukun bayi. Dia tahu, bahwa istrimu
membutuhkan nenek Limbak. Kemudian dia
menyuruh orang bayaran, yaitu kedua orang yang membunuh
keempat pemikul tandu. Dengan uang, ia bisa mengupah kedua
orang itu untuk membunuh, nenek Limbak. Kalau nenek Limbak
mati, maka pertolongan untuk melahirkan anakmu itu akan terlambat. Kalau istrimu
melahirkan tanpa pertolongan dukun bayi, ia akan mengalami masa bahaya. Besar
kemungkinan ia akan mati
bersama bayinya. Tetapi, karena nenek Limbak ternyata bisa selamat dan sempat
menolong kelahiran anakmu itu, maka satu-satunya jalan untuk memuaskan rasa
irinya adalah dengan mencuri bayimu.
Dengan mencuri bayimu itu, maka kau akan merasakan betapa
menderitanya hidup tanpa keturunan, sama halnya kau hidup
dengan Rukmini dulu...."
Adipati Kusumadharma tertegun dengan dada bagai
terbakar. Giginya menggeletuk dan wajahnya mulai memerah. Suro Bodong memberi
keterangan lagi dengan tenang:
"Rukmini memang terbuang. Lebih-lebih sejak ia mendengar istrimu hamil, ia
merasa benar-benar terhina dan tersisih. Ia tak ingin istrimu yang sekarang ini
bisa memberimu keturunan. Ia tak rela kalau istrimu yang sekarang ini bisa
memberimu keturunan.
Sebab itu, dia harus menghilangkan bayimu, supaya kedudukan Rukmini sama dengan
kedudukan istrimu, yaitu sama-sama tidak bisa memberimu keturunan. Jelas..."
Perlu penjelasan lagi?"
Hening menyiram mulut Adipati. Suro Bodong memperhatikan kesedihan di wajah Adipati yang bercampur baur dengan kemarahan
yang membara. Lalu, dengan suara pelan
Adipati Kusumadharma berkata seakan untuk dirinya sendiri:
"Dari mana dia tahu kalau istriku hamil, dan mau
melahirkan" Dari mana Rukmini tahu kalau nenek Limbak yang
akan menolong kelahiran anakku?"
"Jelas itu soal mata-mata. Pasti ada mata-mata di dalam sini.
Orang yang berpihak kepadanya itu pasti dibayar mahal untuk keterangan-
keterangan seperti itu. Tak perlu heran lagi. Itu soal kelicikan dan kejelian."
Adipati menghempaskan napas panjang-panjang.
"Kalau begitu, ada pengkhianat di dalam sini, Kakang."
'Tentu! Pengkhianat itu selalu ada di mana-mana. Kadang-
kadang kita berpacu dengan pengkhianat untuk memperoleh hidup yang sejati."
"Maksud, Kakang Suro, bagaimana itu?"
"Jangan tanyakan maksudnya...." Suro Bodong bersungut-sungut malu. "Aku cuma
menirukan omongan orang yang pernah kudengar. Kalau soal masudnya, ya tanyakan
saja sama orang yang pernah bicara begitu padaku...."
Sekali lagi. Adipati menghempaskan napas dengan
kedongkolan yang masih menyesak di dada.
"Apa menurut saran Kakang?"
"Cari bayi itu dan bawa dia kembali."
"Itu sudah jelas, Kakang. Aku sudah memerintahkan
Mahesa Tameng dan Kebo Jagal untuk memimpin pencarian bayi
itu. Tetapi, apakah mereka tahu kalau hal ini ada hubungannya dengan bekas
istriku?" "Kalau tidak tahu, ya diberi tahu! Gampang, kan"! Suruh kedua jagomu itu menemui
Rukmini dan menanyakan apakah benar dia yang mencuri bayimu. Kalau benar,
diminta. Kalau tidak, diseli-diki sampai benar. Begitu!"
Sanggu, salah satu pengawal yang pernah diselamatkan oleh
Suro Bodong, datang menghadap Adipati Kusumadhanna yang
tengah berbincang-bincang dengan Suro Bodong. Sanggu tampak tergesa-gesa,
sepertinya mempunyai suatu berita yang cukup
penting. "Kanjeng...."
ucapnya setelah duduk bersila dan menghaturkan sembah.
"Ada apa, Sanggu?"
"Nenek Limbak hilang dari kamarnya."
Adipati terkejut dan memandang Suro Bodong yang
disangkanya terkejut juga, ternyata tidak. Suro Bodong memperhatikan Sanggu dengan tenang, seakan berita itu berita yang biasa-biasa
saja. "Hilang bagaimana"!" kata Adipati. "Bukankah dia sedang pingsan ketika
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui bayiku hilang, lalu kau dan beberapa orang menggotong ke kamarnya?"
"Tapi ketika Emban masuk untuk membawakan minum
penghangat, dia sudah tidak ada di kamarnya. Kanjeng." Sanggu menegaskan.
Adipati Kusumadharma semakin tegang.
"Kakang Suro... nenek Limbak hilang dari kamarnya..!"
"Aku tidak menghilangkan lho...." jawab Suro spontan.
Adipati Kusumadharma bergegas ke kamar nenek Limbak,
yang ada di sebelah kamar bersalin. Suro Bodong mengikuti
langkahnya setelah Sanggu pergi mendampingi Sang Adipati. Suro Bodong kelihatan
tenang. Langkahnya pun tak secepat Adipati maupun Sanggu. Sambil melangkah ia
meneliti setiap jengkal
ruangan yang dilaluinya.
Di kamar nenek Limbak, ada beberapa orang yang saling
bertutur kata dengan tegang. Ribut. Para pelayan berwajah tegang, ketakutan.
Para pengawal hilir mudik, sibuk mencari, ada pula yang sibuk karena bingung apa
yang harus dilakukan.
Suro Bodong bertanya kepada salah seorang pelayan
perempuan yang paling tampak ketakutan.
"Bagaimana dia bisa hilang dari kamarnya?"
"Tidak tahu. Saya tidak tahu."
"Siapa yang mengetahui kehilangannya yang pertama?"
"Emban Surti...!" orang itu menunjuk seorang perempuan berkain sebatas dada.
Perempuan itu bertubuh sedikit gemuk dan berwajah bulat. Ia berdiri di pojokan
dengan jari digigit-gigit, penuh ketakutan.
"Kamu yang bernama emban Surti?" tanya Suro Bodong seraya garuk-garuk kumis
dengan telunjuk.
"Ya. Sa... saya emban Surti. Ada yang bisa kubantu?"
Suro Bodong tersenyum geli. Lagak bicara emban ini seperti
seorang pembesar saja. Pikir Suro Bodong. Tapi Suro menanggap, itu hanya cara
untuk menutupi ketakutannya.
"Kau yang pertama kali melihat nenek Limbak hilang?"
"Benar, Tuan..." jawab emban Surti polos.
"Bagaimana cara menghilangnya?"
Emban Surti sedikit bingung. "Ya... ya, hilang begitu saja.
Maksudku... waktu saya masuk, membawakan minuman... tahu-
tahu saya melihat kamar itu kosong. Lalu saya meletakkan minuman di meja dan
mencari nenek Limbak di kolong tempat tidur. Ternyata tidak ada. Saya membuka
almari..."
"Untuk apa?"
"Untuk melihat kalau-kalau nenek Limbak bersembunyi di dalam almari, ternyata
juga tidak ada."
"Lalu..."!" desak Suro Bodong "Lalu saya berteriak..."
"Keras atau pelan..." "
"Pelan, Tuan. Sebab saya takut mengagetkan Gusti Ayu
yang sedang tertidur lemas itu...."
"Itu namanya bukan teriak. Kalau teriak itu keras."
"Soalnya..."
"Sudah, sudah... Kita lupakan soal pelajaran teriak. Terus bagaimana setelah kau
berteriak itu" "
"Banyak yang datang. Dan saya bilang kalau nenek Limbak tidak ada di kamarnya.
Lalu beberapa orang terpekik dan saya memanggil pengawal, dan... dan beginilah
keadaannya...."
Suro Bodong menggumam, masih sesekali garuk-garuk
kumis yang tebal itu. Matanya yang tajam dan sedikit lebar itu memandang lurus
ke wajah emban Surti. Emban Surti menunduk
dan sedikit malu. Karena ia ditatap sampai beberapa lama, dan setiap ia
memandang ke atas selalu bertatapan mata, maka ia pun berkata dengan tersipu-
sipu: "Saya sudah punya calon suami sendiri, Tuan...."
"Brengsek...! Kau kira aku naksir kamu. Bah...!" Suro Bodong membentak dongkol,
lalu segera masuk ke kamar nenek Limbak dan menemui Adipati Kusumadharma.
"Aneh, ajaib sekali. Kamar tanpa jendela, tapi nenek Limbak bisa hilang. Jelas
dia bukan diculik tapi hilang secara ajaib," kata Adipati kepada Suro Bodong.
"Hilang lewat pintu kok dibilang ajaib. Itu wajar."
Adipati memandang Suro Bodong setelah mendengar
sanggahan Suro Bodong.
"Lewat pintu?" Adipati berkerut dahi.
"Kalau kamar ini tanpa jendela, tanpa jalan rahasia, jelas nenek itu keluar dari
pintu, Adipati. Bukankan pintu kamar tidak terkunci?"
Adipati manggut-manggut. "Dari pintu, ya" Hemm... atas perintah siapa dia keluar
dari kamar lewat pintu" Untuk keperluan apa" Dan mengapa sampai sekarang tidak
kembali lagi?"
Kepanikan menjadi bertambah setelah mereka mendengar
suara jeritan seorang perempuan. Jeritan itu begitu melengking dan bernada penuh
ketakutan yang mengagetkan. Mereka bergegas ke luar, karena jeritan itu berasal
dari belakang, tepatnya di taman keputren.
"Apa lagi itu..."!" Suro Bodong menggerutu seraya mengikuti Adipati yang
melangkah dengan tergesa-gesa. Sanggu berlari lebih dulu dan dua pengawal
lainnya masih mendampingi Adipati Kusumadharma. Orang-orang, para pelayan dan
beberapa emban ikut berhamburan ke arah jeritan itu terdengar.
Belum sempat mereka sampai ke taman keputren, seorang
perempuan ceking bertubuh pendek berlari-lari dalam hamburan tangis air matanya.
Ia langsung bersujud di hadapan Adipati dan menyembah.
"Ada apa, Nini Taman?" tanya Adipati, sementara beberapa orang mengerumuninya.
Nini Taman berkata dengan tangis yang terbata-bata:
"Kanjeng... ada... ada orang menyeret... menyeret nenek Limbak. Ia... ia
berusaha membawa mayat nenek Limbak ke luar dari tembok pertamanan..."
"Mayat nenek Limbak..."!" kata-kata Adipati sama persis dengan ucapan kaget yang
terlontar dari mulut orang-orang yang mengerumuni Nini Taman.
"Apakah nenek Limbak sudah mati?"
"Iya, benar...!" jawab Nini Taman terbata-bata. "Saya melihat... saya melihat
leher nenek Limbak hampir putus dan...
dan..." "Dan sekarang di mana orang itu"!" desak Suro Bodong.
"Ada di sudut taman...! Sedang berusaha... berusaha...
membunuh suami saya...."
Semua menghambur ke sudut taman keputren yang penuh
dengan pohon kemuning dan beberapa pohon besar yang rindang.
Seorang berpakaian serba hitam dan menyandang pedang di
pinggangnya sedang bertarung melawan Juru Taman, suami
perempuan yang menjerit tadi. Orang berpakaian serba hitam itu tak jelas
wajahnya, karena ia mengenakan topeng wajah yang
menyeramkan. Tapi gerakannya begitu gesit.
"Tangkal orang itu...!" perintah Sang Adipati kepada para pengawalnya.
Sanggu dan beberapa pengawal segera mengepung lelaki
bertopeng menyeramkan. Tetapi agaknya lelaki itu tidak peduli. Ia sedang
berusaha merubuhkan Juru Taman yang bertarung
menggunakan gagang sapu lidi yang panjang. Juru Taman kelihatan terteter oleh
serangan orang tersebut, dan akhirnya ia terpental jatuh karena satu tendangan
yang amat keras. Tubuh Juru Taman
melayang dan nyaris menabrak Adipati. Untung Suro Bodong
segera menangkapnya dan berseru:
"Kalau berkelahi yang niat! Jangan nubruk sana nubruk sini.
Sudah, diam saja kau di sini...!"
Nafas Juru Taman terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan
darah, ia menyeringai menahan sakit seraya memandang Sang
Adipati. Ia bagai anak yang ingin mengadu kepada ayahnya:
"Mereka... mereka telah membunuh nenek Limbak,
Kanjeng...."
"Mereka..."!" Suro Bodong berpaling dan menatap Juru Taman. Merasa heran.
"Orang-orang dari Gerombolan Topeng Setan itu...." kata Juru Taman seraya
menunjuk orang bertopeng seram.
"Tadi...." katanya lagi. "Saya melihat temannya telah berhasil lolos...
melompati pagar. Sedangkan orang itu... berusaha menyeret mayat nenek Limbak...
dan saya mencoba menahannya..."
"Kurangajar...!" geram Adipati yang kemudian terharu melihat mayat nenek Limbak
terhampar di rerumputan dengan
darah membasah di sekujur dadanya.
Beberapa orang, termasuk emban dan para pelayan,
menjauhi tempat tersebut. Mereka merasa ngeri melihat ketangkasan orang
bertopeng yang dengan ganas memukul para pengawal
hingga mereka berdarah.
"Gerombolan Topeng Setan...!" gumam Sang Adipati. "Ada urusan apa mereka
memusuhiku?"
"Jelas istrimu yang dulu telah berhasil bersekutu dengan Gerombolan yang
dipimpin Bayupati itu," jawab Suro Bodong seraya memandang perkelahian keempat
pengawal dengan lelaki bertopeng. Tak lupa, Suro tetap bergaruk-garuk kumis
dengan telunjuk kanannya.
"Rupanya kau sudah mengenal siapa Gerombolan Topeng
Setan, Kakang. Kau tahu nama pimpinan mereka"
"Aku selalu menghapalkan nama-nama mereka, sebab aku
punya tujuan untuk membenamkan mereka ke dasar neraka!"
Suro Bodong kelihatan menggeram dan memancarkan
kebencian. Namun buru-buru ia menghilangkan sikapnya itu. Ia kembali kelihatan
tenang dan berkata:
"Mereka berhutang beberapa nyawa padaku. Dan yang lebih parah lagi, mereka harus
bertanggung jawab atas hilangnya Ratna Prawesti. Merekalah yang membantai
keluarga Ratna Prawesti dan membumi hanguskan rumah Ratna sehingga rata dengan
tanah. Mayat bergelimpangan di Kabupaten Jangga. Namun, tak satu pun mayat yang
mencerminkan wajah Ratna Prawesti. Pasti mereka yang membawanya kabur. Jahanam-
Dendam Naga Merah 2 Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 7