Pencarian

Tumbal Mahkota Ratu 1

Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu Bagian 1


TUMBAL MAHKOTA RATU
Oleh Barata Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Tumbal Mahkota Ratu
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0291.50.8
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Penghuni istana Kesultanan Praja menjadi gempar. Tubuh
Sendang Wangi melayang dalam keadaan terbaring tidur. Pintu
kamarnya terbuka sendiri setelah angin menderu dengan buas.
Bahkan hembusan angin sempat memporak-porandakan beberapa
barang. Tubuh Sendang Wangi bagai tersedot oleh suatu kekuatan gaib dalam
keadaan tertidur nyenyak.
Para pengawal dan penjaga di depan pintu kamarnya
menjadi tergagap-gagap melihat keanehan tersebut.
"Gusti Ayu terbang. .! Gusti Ayu terbang. .!! Tolong! Kejar dia. .! Kejar
dia. .!" beberapa pengawal berteriak. Ada yang membu-nyikan kentongan tanda
bahaya yang ditabuh berkali-kali. Semua penghuni barak keprajuritan tersentak
bangun dan berlarian.
Bahkan para perwira kesultanan, termasuk Demang
Sabrangdalu dan Patih Danupaksi juga ikut mengejar tubuh yang melayang di tengah
derasnya angin yang mengerikan. Sebatang
pohon di samping ruang paseban roboh, menimbulkan suara
berderak dan berdentam. Angin begitu kuatnya menghembus, bagai mengamuk,
menciptakan suatu topan yang dahsyat.
"Cegat, di luar benteng! Cepat, hadang di sana. .!!" teriak Ki Patih sambil
berusaha bertahan karena tubuhnya hampir saja
dihempaskan oleh kekuatan hembusan angin.
Suatu kekuatan maha tinggi telah menculik istri Suro
Bodong. Pada saat itu, Suro Bodong dalam keadaan sedang
berkeliling mengadakan patroli malam, sehingga ia tidak tahu kalau istrinya
disedot oleh tenaga maha dahsyat.
"Jangan berjalan tegak. .!" teriak Demang Sabrangdalu.
"Berjalanlah sedikit merendah biar tubuh kalian tidak dihempas oleh angin setan
ini. .!!" Para prajurit mengejar tubuh Sendang Wangi yang
melayang setinggi kepala manusia.
Tubuh itu melalui atas taman, lalu naik, dan melesat
perlahan-lahan melewati atap dapur.
"Siapkan beberapa orang untuk berdiri di atas benteng!"
teriak Danupaksi dengan berlari ke arah lain, menghadang gerakan tubuh Sendang
Wangi yang melayang tenang itu.
Beberapa orang yang menghadang di tembok atas benteng
ternyata kecele. Tubuh itu berhenti di udara, kemudian bergerak lagi ke arah
lain, seakan mencari jalan untuk melewati kepungan para prajurit.
"Setan mana yang membuat gara-gara tengah malam
begini"!" kata Demang kepada Ki Patih. Matanya menyipit dengan tangan menyilang
di depan mata menahan derasnya angin.
"Cari sumbernya!" teriak Ki Patih mengatasi deru angin.
"Pasti ada orang yang sedang mengerahkan ilmunya untuk mencuri Nyai Sendang
Wangi...!!"
Sementara itu. Sultan Jurujagad sendiri ikut mengepung ke
arah tubuh Sendang Wangi melayang. Tetapi ia gagal menghadang, karena tubuh
putrinya itu melayang ke tempat lain lagi. Sultan sempat berteriak kepada Patih
Danupaksi: "Paman Patih. .! Cari tambang dan ikat tubuhnya sebisa
mungkin. .!" Deru angin yang bergemuruh diimbangi dengan teriakannya, sekari pun
tidak memadai. Seorang prajurit terlempar oleh hempasan angin gila itu
hingga kepalanya terbentur tiang dan bocor dengan suka rela.
Prajurit itu segera bangkit tanpa menghiraukan kebocoran di
kepalanya. Ia mengambil tambang dari barak keprajuritan.
Membuat suatu jerat lebar dan memutar-mutarkan sesaat, kemudian tambang yang
berbentuk kolong jerat itu dilemparkan ke tubuh
Sendang Wangi yang melayang.
Prajurit itu sepertinya sudah terbiasa menjerat kuda liar,
sehingga dengan sekali lempar, tali itu telah mampu menjerat tubuh Sendang
Wangi. "Kena. .! Tubuhnya kena kujerat.. !" teriak prajurit itu.
Prajurit menarik, menahan tubuh yang telah terjerat. Tetapi
bagai ada kekuatan yang sungguh hebat, sehingga tubuh prajurit itu pun menjadi
terseret-seret.
"Tambah tenaga. .! Cepat, tahan dia. .!" teriak Patih Danupaksi. Lalu, beberapa
orang membantu prajurit tadi untuk
menahan agar tubuh Sendang Wangi tidak bergerak terus.
Tetapi, empat orang sudah ikut menahan, namun kekuatan
mereka tidak sebanding. Keempat orang itu bagai tersentak ke
depan dan menabrak pohon besar.
"Aaaoow. .!!" teriak mereka.
Angin masih menderu dengan kuat dan makin menggila.
Patih Danupaksi segera bersalto beberapa kali ke arah tubuh
Sendang Wangi yang melayang semakin meninggi. Maksudnya
ingin memegangi kaki Sendang Wangi supaya tidak terbawa
terbang. Namun, tubuh patih segera terhempas kuat ke belakang saat ia mendekati
tubuh Sendang Wangi. Suatu kekuatan besar
melemparkan patih hingga jatuh ke kolam di taman keputren.
Demang Sabrangdalu dan Sultan Jurujagad segera
mengambil tambang yang masih menjerat tubuh Sendang Wangi.
Keempat prajurit itu sebagian pingsan, sebagian mengaduh
kesakitan. Mereka tidak dihiraukan oleh Demang dan Sultan.
Mereka berdua sibuk mengikatkan tambang pada sebuah pohon
yang tak cukup dipeluk oleh tiga orang.
"Ikat yang kuat, Ki Demang. .!" perintah Sultan dengan gugup. "Ikat kuat-kuat,
jangan sampai lepas. Ini satu-satunya cara menahan tubuh anakku.. !"
Demang mengerahkan tenaganya untuk menarik tambang
kuat-kuat. Tambang telah dililitkan ke pohon, dan pohon besar itu menjadi
bergerak-gerak bagai ditarik oleh seratus ekor kuda jantan.
Sultan dan Demang serta beberapa orang yang ada di sekitar situ menjadi cemas.
Tetapi Sultan dan Demang masih bertahan untuk
memegangi ujung tali, menahannya agar ikatan tali pada pohon
tidak lepas. "Awas. .! Pohon mau rubuh...! Minggir. . minggir. .!" teriak beberapa orang yang
melihat pohon mulai tersumbul akarnya dari dalam tanah.
Demang Sabrangdalu tidak ikut lari tunggang-langgang,
melainkan justru mencoba menahan batang pohon. Dengan kaki
merendah dan tangan kiri menyangga batang yang hendak rubuh,
Demang menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ditariknya
turun ke dada dengan otot dan tubuh yang mengeras. Ia berusaha menahan gerakan
pohon besar yang makin condong akibat tarikan tambang yang terikat di tubuh
Sendang Wangi. "Hiaaaattt. .!!" Demang berusaha sekuat tenaga sampai wajahnya menjadi merah.
"Trass. .!"
Akhirnya tambang itu pun rantas dan putus. Tubuh
Sendang Wangi yang tertidur nyenyak bagai terkena pengaruh sihir itu masih
melayang dan bahkan semakin tinggi. Pohon tak jadi
rubuh, hanya miring dengan sebagian akarnya mencuat ke atas.
Demang Sabrangdalu meninggalkan pohon tersebut. Ia berlari dan bersalto ke arah
tubuh Sendang Wangi.
Tetapi nasibnya sama seperti Ki Patih Danupaksi. Sebelum
ia menyentuh kulit tubuh Sendang Wangi, ia telah terpental dengan hentakan
keras, dan jatuh di rumpun bunga berduri.
"Aaaaahh. .! Pinggangku.. aduuh. .!!"
Sultan Jurujagad mengeluarkan tombak pusakanya yang
bernama Kyai Jatayu. Sambil menggenggam tombak itu, sultan
mengejar raga putrinya yang melayang di atas benteng, sebagai batas luar dan
dalam istana kesultanan.
"Iblis. .! Tampakkan wajahmu dan lawanlah aku!" teriak Sultan Jurujagad dengan
geram kemarahan. Tetapi, matanya yang bergerak nanar itu sejak tadi tidak
menangkap sosok tubuh orang yang menggunakan ilmunya untuk mencuri Sendang Wangi
dengan kekuatan yang maha hebat. Tubuh Sendang Wangi masih melayang
pelan, sepertinya sengaja menggoda kemarahan orang-orang
kesultanan Praja.
Dengan kemarahan yang meluap. Sultan Jurujagad
melemparkan tombak Kyai Jatayu ke sembarang arah. Ia berseru:
"Kyai Jatayu.. cari iblis itu dan bunuh dia. .!!"
Tombak berwarna emas itu melesat tanpa tujuan. Tombak
itu mampu membelok ke beberapa tempat, bahkan menukik dan
bersalto balik juga bisa. Semua prajurit terkesima melihat tombak pusaka sultan
beraksi. Tombak itu bagai sedang mencari sasaran kian ke mari, sampai akhirnya
tombak itu berhenti bergerak di depan sultan dalam posisi melintang.
Sultan Jurujagad mendengus kesal. Tombaknya tak mampu
memburu lawan yang sedang mempermainkan putrinya. Ia meman-
dang Sendang Wangi dengan perasaan sedih dan marah. Tubuh itu berhenti di atas
tembok benteng. Semua mata memandang dalam
kebingungan. Eyang Panembahan mendekati Sultan Jurujagad dan
berbisik, "Ada suatu kekuatan yang tak dapat saya lacak sumbernya.
Sungguh hebat kekuatan itu, sehingga ia bisa bersembunyi tanpa bisa dilacak
dengan indra ke tujuh. Gawat ini, Kanjeng. .!"
"Lalu bagaimana nasib Sendang Wangi itu. ."!" gumam sultan bagai hendak putus
asa. Baru saja Eyang Panembahan hendak bicara lagi, tapi tiba-
tiba Suro Bodong muncul dari pintu gerbang dan setengah berlari mendekati
sultan. "Apa yang terjadi"! Kenapa jadi gaduh begini"!"
Sultan menjawab dengan berapi-api, "Istrimu.. ! Lihat, itu. .!
Ada yang mempermainkan istrimu seperti itu!"
Eyang Panembahan menyahut, "Suatu kekuatan yang maha
hebat, tak bisa dilacak sumbernya. .!"
Suro Bodong memandang dengan garuk-garuk kumisnya
yang tebal. Ia menggumam melihat istrinya tertidur di udara dengan nyenyak.
Bahkan sekarang kian bergerak lamban, menuju luar
benteng. Demang Sabrangdalu yang tubuhnya baret-baret karena
duri segera berteriak.
"Dia mau membawa Gusti Ayu.. !! Lihat itu. .!"
"Suro Bodong, bertindaklah. .!" geram Sultan Jurujagad.
Suro Bodong bagai tidak menghiraukan seruan mertuanya.
Ia masih garuk-garuk kumis beberapa saat, kemudian segera
meludahi kedua telapak tangannya, masing-masing tujuh kali.
Kedua telapak tangan itu saling digosok-gosokkan beberapa saat.
Posisi berdirinya mulai merendah dengan kaki renggang.
Tiba-tiba kedua tangan Suro Bodong menghentak ke atas
kepalanya, arahnya ke langit. Dan bersama dengan itu, meledaklah bunyi petir
perak. Di sela-sela sinar putih perak itu melesat beberapa kali sinar biru
berkelok-kelok dengan bunyi ledakan yang mengguntur,
"Oh, dia menggunakah aji Tapak Naga. ."!" Eyang
Panembahan yang mengetahui hal itu menjadi merinding ngeri.
Suro Bodong masih menengadahkan kedua tangannya ke atas ke-
pala dengan mata tak berkedip memandang langit.
Bunyi ledakan yang mengguntur itu sempat membuat
hembusan angin semakin kencang seperti topan mengamuk. Lalu,
tanah tempat mereka berpijak itu pun terasa bergetar. Tanaman-tanaman ikut
bergetar menimbulkan suara gaduh. Daun-daun mulai berhamburan, rontok. Semua
orang tercekam kengerian. Salah
seorang berbisik takut kepada temannya:
"Apakah ini mau kiamat, ya Kang. ."!"
"Entahlah. Mengapa tanah ini menjadi gemetar seakan
hendak meledak. .! Oh, aku takut sekali. .!"
Ada beberapa orang yang saling berpegangan untuk
menjaga keseimbangan, ada yang merangkul pohon atau tiang
untuk bertahan. Bunyi ledakan itu masih bersahut-sahutan. Dan setiap ledakan
memancarkan api di angkasa yang membuat langit membara bagai terpanggang
matahari. Suro Bodong berseru, "Kembalikan istriku!! Atau
kuhancurkan nyawamu.. "!"
Bumi masih bergetar, langit memerah sesekali dan kilatan
cahaya biru masih bersimpang -siur bagai benang-benang api yang menjilat kian ke
mari. Tiba-tiba, di langit muncul wajah yang samar-samar. Wajah seorang
perempuan berambut panjang namun
disanggul ke atas, hingga sisa rambutnya terjuntai ke dada kiri.
Wajah itu samar-samar, sepertinya dibungkus kabut putih. Semua orang berusaha
untuk memandangnya dengan jelas, namun tak ada yang berhasil memperjelas
penglihatannya.
"Kembalikan istriku, iblis. .!!" bentak Suro Bodong dengan kedua tangan masih
menengadah ke atas.
Lalu terdengar suara orang bicara dalam gema:
"Kami butuh tumbal seorang anak raja. .! Dan perempuan ini telah terpilih
sebagai tumbal kami. .! Siapa menentang, akan mati. .!"
Suara itu menyerukan sebuah gema yang kian lama-kian
mereda dan hilang. Bersamaan hilangnya suara, wajah yang terlihat samar-samar
itu pun hilang. Kemudian, semua orang menjadi
tegang, dan sangat tegang.
"Gusti Ayu akan menjadi tumbal. ."!" kata-kata itu hampir terlontar di setiap
mulut prajurit dan pegawai istana. Sultan Jurujagad sendiri kebingungan,
memandang Suro Bodong dengan
tenang. "Bangsat itu harus kubunuh. .!!" geram Suro Bodong.
Ketika ia hendak bergerak, tubuh Sendang Wangi telah
melesat lebih dulu, menjauhi benteng kesultanan. Suro Bodong
menghentakkan kakinya dan melejit bagai terbang ke tembok
benteng. Baju merah lengan panjang yang tak pernah dikancingkan itu mengiringi
kepergiannya, seperti sayap rajawali menepak-nepak.
Ketika kaki Suro Bodong berhasil mendarat di tembok benteng,
tubuh Sendang Wangi telah melesat jauh. Terpaksa ia mengejarnya dengan bersalto
beberapa kali. Kecepatan saltonya sangat
mengagumkan setiap orang yang memandangnya. Karena itu
berarti Suro Bodong telah menggunakan jurus Luing Ayan 1 sampai Luing Ayan 7,
dan diulang berkali-kali. Padahal, setiap ia bersalto di udara, tubuhnya akan
berubah ujud, sesuai dengan putaran
saltonya. Apabila ia bersalto dua kali, maka ia akan berubah menjadi Arum Sajen,
bersalto 3 kali berubah menjadi Tole, bersalto 4 kali berubah menjadi seekor
kera. . dan begitu seterusnya sampai tujuh kali putaran salto ia mampu berubah
ujud tujuh kali untuk mengejar istrinya yang terbawa oleh kekuatan dahsyat itu,
maka tubuh yang bersalto itupun berubah-ubah dengan cepat sehingga bagi orang
yang melihatnya akan terkagum-kagum, karena perubahannya yang cepat itu seperti
perubahan rangkaian burung yang terbang dengan berbagai gaya.


Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suro Bodong tidak perduli lagi dengan orang-orang
kesultanan Praja. Matanya masih tertuju pada gerakan Sendang
Wangi yang terus melayang dalam posisi tidur terlentang nyenyak sekali. Suro
Bodong bergerak mengejar raga istrinya dengan mulut menyumpah-nyumpah tak
karuan. Gerakan raga Sendang Wangi terasa melayang lebih cepat.
Suro Bodong tertinggal jauh, ia tambah kebingungan dan sepertinya tak tahu apa
yang harus dilakukan, kecuali mengejar dan mengejar terus ke arah melesatnya
raga istrinya. Ia tak kenal lagi di mana dia saat itu, sampai akhirnya ia
menghentikan gerakan karena tubuhnya yang melayang itu bagai dihantam sebuah
gada besar yang
membuat Suro Bodong keliyengan.
Tubuhnya yang besar namun tidak gemuk itu terpental
menghantam batang pohon. Ia dapat menjaga kepalanya agar tak
sampai terbentur, tetapi perutnya yang sedikit membuncit dengan puser yang
nongol keluar itulah yang menghantam batang pohon.
"Huuggh. .!!" Suro Bodong menyeringai kesakitan. Mules perutnya, sesak
pernafasannya. Ia jatuh ke tanah seperti nangka busuk. Ia bahkan sempat
terpekik, "Aaoww. .!!" karena pantatnya tertusuk ranting runcing. Untung tak
sampai menancap di daging pantat itu, sehingga Suro Bodong dapat segera bangkit
dengan tangan meraba-raba pantat dan tangan yang satu mengusap-usap
perutnya. Wajahnya masih menyeringai kesakitan. Meringis seperti anak kehilangan
makanannya. Celana biru yang longgar itu
diperhatikan sekali lagi, oh. . untung tidak sempat robek. Namun pada saat ia
hendak memandang ke depan lagi, mencari sumber
pukulan yang tadi menjatuhkan dirinya itu, tiba-tiba sebuah kaki mulus menendang
wajahnya dengan keras. "Iyaaaoouww. .!!"
Suro Bodong menjerit keras, antara kaget dan kesakitan.
Tubuhnya yang besar, bukan gendut itu, terpelanting ke belakang dan sekali lagi
punggungnya menghantam pohon. Tepat mengenai
salah satu bagian pohon yang menonjol sebesar genggaman
tangannya. "Uuhhff. .!!" Suro makin meringis.
Ia segera mengibaskan rambutnya yang panjangnya
sepundak, namun tidak terawat itu. Ia sengaja mengikat rambutnya dengan ikat
kepala warna merah, yang ternyata membuat
penampilannya semakin diperhitungkan oleh setiap lawannya.
Seperti kali ini, ia berhadapan dengan seorang perempuan cantik bertubuh lencir,
ramping. Perempuan itu berhenti menyerang
karena memandang kain merah yang diikatkan pada kepala
berambut panjang itu. Perempuan itu langsung berkata:
"Kau pasti orang andalan Sultan Jurujagad, bukan"!"
Suro Bodong menahan nafas sejenak, lalu menghembuskan
pelan-pelan guna memperoleh ketenangannya kembali. Matanya
yang sedikit lebar itu memandang acuh tak acuh kepada perempuan berpakaian biru
muda yang menyelipkan senjata cakra di pinggang.
"Siapa kau" Kenapa kau tahu-tahu menyerangku"!" bentak Suro Bodong.
"Aku yang berhasil kau singkap dari persembunyianku
lewat ilmu Tapak Nagamu itu. Aku Laras Peri. .!" perempuan itu menyunggingkan
senyum tipis, berdiri dengan tenang dan kedua
tangannya memegangi ikat pinggang di bagian perut. Ikat pinggang itu terbuat
dari kain panjang yang pantas dikatakan sebagai
selendang panjang. Karena jika dikatakan sebagai angkin terlalu pendek
ukurannya. Warna kain itu kuning, sama dengan ikat
pinggang yang dikenakan Suro Bodong.
"Baru sekarang ada orang bisa menyingkap kabut
persembunyianku. Menurut guruku, kabut pelapis diri itu hanya bisa disingkap
oleh ilmu Tapak Naga. Rupanya kaulah pemilik ilmu Tapak Naga. Uhh. . hebat juga
kamu, ya?"
Suro Bodong sudah berhasil menguasai diri sehingga ia
lebih berpenampilan tenang.
"Kalau begitu, gurumu pasti mengenal Suro Bodong! Siapa
gurumu itu sehingga ia tahu ilmuku"!" tanya Suro Bodong sedikit curiga.
"Itu tak perlu kau tanyakan, Suro Bodong. Yang penting kau ketahui, kau harus
segera pulang supaya kau bisa hidup sampai hari-hari tuamu nanti. Kalau kau
nekad mengikuti aku, kau akan mati dengan mendadak!" ancam Laras Peri.
"Kau memang perempuan cantik, Laras Peri. Tapi jangan
gede rasa dulu. Aku tidak mengikutimu! Aku mengikuti istriku.
Sendang Wangi, putri Sultan Praja itu. Aku tak mau istriku
dijadikan tumbal dengan alasan apa pun. Kecuali istri orang lain, terserah. Tapi
jangan istriku."
Laras Peri makin sinis saja senyumnya. Ia berjalan pelan,
bergerak ke samping dengan memandang Suro dalam lirikan yang
sebenarnya memukau hati: Tapi Suro Bodong berlagak tidak
mempunyai perasaan apa-apa. Ia garuk-garuk kumisnya dengan
telunjuk, sambil memperhatikan gerakan Laras Peri dalam sikap tenangnya.
"Laras Peri. . sayangilah kecantikanmu itu. Jangan sampai wajah cantik itu
bonyok oleh siksaanku jika kau tak mau
menyerahkan Sendang Wangi padaku!" Suro menggertaknya. Tapi Laras Peri bukan
anak kemarin sore yang takut akan gertakan
seperti itu. Ia bahkan berkata:
"Sebelum kau membuat wajahku bonyok, kurasa kau akan
kehilangan nyawa lebih dulu, Suro Bodong. .! Ciaaat.. !!"
"Hei, kau.. "!"
Suro Bodong tak sempat bicara karena tiba-tiba Laras
melompat seperti macan terbang. Kedua tangannya merenggangkan jari yang berkuku
tajam kendati tidak panjang. Gerakan kedua
tangan yang lurus itu tiba-tiba saling merobek ke kanan dan kiri.
Hampir saja wajah Suro Bodong menjadi sasaran ketajaman kuku
Laras Peri. Ia segera menghentakkan kepala ke belakang sambil kaki kanannya
melesat ke atas, dan mengenai perut Laras Peri.
"Aauh. .!!"
Laras Peri mengaduh dengan gerakan tubuh membalik,
bersalto di udara. Begitu ia mendarat, kaki kanannya mengibas seperti seekor
kuda menyepak batok kelapa. "Wess. .!"
Tendangan itu berhasil dihindari Suro Bodong dengan cara
merendahkan kepala. Namun bertepatan dengan kepala Suro
merunduk. Laras Peri menghentakkan telapak tangannya hingga
mengeluarkan percikan api dari telapak tangan itu. Percikan api mengenai
punggung Suro Bodong, lalu Suro Bodong menjerit bagai tersiram air panas. Ia
terguling-guling di tanah. Pinggangnya seperti patah seketika.
Suro Bodong bertahan memendam rasa sakitnya, ia
bergegas untuk berlari. Tetapi baru saja ia berdiri dengan lutut, tahu-tahu
tangan Laras Peri memercikkan api lagi ke arahnya. Suro buru-buru menjatuhkan
diri, terlentang. Tapi ia sedikit terlambat, karena percikan api itu telah
sebagian mengenai ujung pundaknya, sehingga tulang di ujung pundak itu bagai
dihantam dengan palu godam.
"Aaouuw. .!!"
Suro Bodong kelojotan. Ia berusaha berguling ke kiri
beberapa kali. Laras Peri mengejarnya dengan tendangan yang satu kali mengenai
dagu Suro Bodong, dan yang kedua berhasil
ditangkap oleh tangan Suro Bodong. Tangan itu bergerak cepat
memulir pergelangan kaki Laras Peri, hingga perempuan itu menyeringai kesakitan.
Tetapi, tanpa diduga-duga, dari ujung ibu jari kaki Laras
keluarlah jarum warna kuning emas. Jarum itu melesat cepat dan menancap di
telinga Suro Bodong. Kontan Suro menjerit keras dan kesakitan. Ia buru-buru
menghentakkan punggungnya yang sakit
itu untuk bisa berdiri. Lalu, ia buru-buru mencabut dua jarum yang menancap di
daun telinganya.
"Bangsat kau.. ! Hihhh. .!!" Suro Bodong melemparkan kedua jarum emas ke arah
Laras Peri yang hendak menyerangnya
dengan cakar mautnya. Ia pun menjerit kesakitan ketika kedua
jarum itu menancap di telapak tangan kirinya.
"Uuuhh. .!! Setan belang kau.. ! Hiaaaat.. !!"
Suro Bodong menangkis tendangan kaki Laras Peri dengan
kibasan tangan kirinya. Tendangan itu meleset dan kaki tersebut berhasil
terpelanting ke samping. Segera Suro Bodong memanfaatkan jurus Tendangan Ayam Kawin. Tubuh Laras yang
sempat terpelintir sedikit akibat kakinya terpental oleh kibasan tangan Suro
tadi dimanfaatkan untuk menjadi sasaran jurus
Tendangan Ayam Kawin. Suro Bodong melancarkan tendangan ke
pinggang Laras dengan cepat sebanyak tujuh kali, lalu kaki kirinya menyusul
menendang beruntun dengan tendangan ke arah
punggung Laras. Dan sekali lagi kaki kanan Suro Bodong meng-
hentak keras beruntun tujuh kali ke arah rusuk Laras Peri.
Perempuan itu hanya mengerang beberapa kali, tapi tidak
rubuh karena tendangan itu. Sebaliknya, ia justru semakin garang dan ganas. Ia
mencabut senjata cakranya, berupa lempengan
bergerigi dengan gagang berbentuk huruf L. Lempengan baja
bergerigi itu sebesar tutup cangkir, tetapi ada jurus yang dipermainkan sehingga
membuat benda seperti gir sepeda itu
berputar sendiri.
Laras Peri mengacungkan senjatanya ke arah Suro Bodong.
Saat itu, Suro hanya berdiri dengan kaki renggang dan siap
menerima serangan lawannya. Tanpa diketahui olehnya, bahwa
gerakan gerigi yang berputar makin cepat dan menimbulkan suara desing itu telah
berhasil menciptakan suasana lain.
Udara di sekitar Suro Bodong menjadi dingin, lama-lama
kedinginannya mencekam tulang. Suro sempat melihat beberapa
daun di sekitarnya menjadi layu, kemudian putih perlahan-lahan.
Suro Bodong baru sadar bahwa warna putih yang menempel pada
daun itu tak lain dari busa-busa salju yang dingin. Suro Bodong melihat
lengannya sendiri sudah menjadi seperti lengan mayat, putih dan berbintik-bintik
bagai dihinggapi serat-serat kapas.
"Heaaaaatt. .!!"
Suro Bodong menggerakkan kedua tangannya tak karuan, ke sana-sini untuk memperoleh udara panas dalam tubuhnya.
Senjata cakra itu semakin berputar kencang. Laras Peri hanya tersenyum tipis
seraya berkata:
"Tak ada yang pernah bisa lolos dari jurus Cakra Pembeku ini, Suro. . termasuk
kau pun akan mati dalam kedaan tetap segar bugar. .!"
"Heaaat.. !! Heaaaahh. .!! Huaaat.. !" Suro Bodong loncat sana-loncat sini
dengan tangan bergerak hendak menghantam Laras.
Namun ia sendiri mengakui bahwa gerakan tubuhnya menjadi berat dan kaku. Sampai
akhirnya ja benar-benar sadar bahwa beberapa jarinya tak dapat ditekuk lagi.
Tubuhnya menjadi semakin putih dan berbintik-bintik, ia menggigil dalam
keterbengongannya.
Dengan susah payah, Suro menggerakkan tangannya dan
membuka telapak tangan untuk diludahi. Tapi pada saat itu, Laras Peri menjerit
kesakitan dengan tubuh tersentak melayang, lalu menabrak pohon. Suro
terperanjat. Siapa yang telah menyerang
Laras Peri itu" Bahkan kini pelipis perempuan itu berdarah, dan ia sangat
kebingungan. 2 Seorang lelaki tua bertubuh kurus berdiri di depan Suro
Bodong. Ia mengenakan kain merah yang hanya disilangkan di dada melalui pundak
kanannya. Lelaki kurus, tinggal kulit dengan tulang itu jelas berusia lebih tua
dari Suro Bodong. Rambutnya yang putih digelung pada bagian atasnya, sedangkan
sisanya dibiarkan terurai sebatas punggung. Kendati kurus dan tua, namun lelaki
itulah yang berhasil membuat Laras Peri lari terbirit-birit karena serangannya
yang cepat dan beruntun itu.
"Siapa kau" Kenapa kau ikut campur urusanku, hah. ."!"
geram Suro Bodong setelah hawa dingin tidak mencekamnya lagi.
"Apakah kau belum mengenal ciri-ciri orang seperti aku?"
"Aku tidak pernah perduli dengan orang kurus," kata Suro Bodong kurang
bersahabat. "Aku Empu Segah."
"O, kamu yang bernama Empu Segah, ahli pusaka dari
gunung Sembur itu?"
"Benar," jawab Empu Segah tanpa tersenyum.
"Sakti juga kamu, ya" Laras Peri bisa lari terbirit-birit begitu mendapat
serangan darimu."
"Dia lari bukan karena aku, manusia tolol! Dia lari karena jarum emas yang kau
lemparkan dan menancap di telapak
tangannya."
Suro Bodong mengerutkan dahi, ia baru ingat tentang jarum
emas yang meluncur dari jempol kaki Laras Peri.
"Ada apa dengan jarum itu?" Suro bertanya segan-seganan.
"Dia harus segera mengambil penangkal racun jarum emas
itu. Karenanya, ia segera lari, tak mau terlambat.. !"
"Kalau begitu aku harus segera lari mengambil istriku dari tangannya. .!"
Dengan hentakan satu kaki, Suro Bodong melompat pergi.
Tetapi Empu Segah segera menghadangnya, lalu dengan gerakan
tangan kanan, Empu Segah menghentakkan tubuh Suro yang
melesat. Suro Bodong terjengkang ke belakang dalam posisi jatuh terduduk. Ia
meringis karena pantatnya terbentur batu sebesar tinjunya.
"Uuuhff. .! Kunyuk. .!" cacinya sambil berdiri dengan peringas-peringis. Ia
mengusap-usap pantatnya.
"Kuingatkan padamu, Suro Bodong. . jangan pergi ke sana!"
kata Empu Segah yang agaknya tadi sudah mendengar nama Suro
Bodong waktu Laras Peri mengenalkan dirinya.
"Persetan dengan kau, kakek keriput. .!"
Suro Bodong melesat ke atas pohon, lalu dari atas pohon ia
melompat ke pohon yang satunya. Dengan cara begitu maka Empu
Segah tak bisa menghalangi langkahnya. Tetapi, tiba-tiba tubuh Suro Bodong bagai
ada yang menyedot ke bawah hingga ia terjatuh dari atas pohon. Anehnya, gerakan
tubuh yang jatuh itu tidak secepat jika orang jatuh pada umumnya. Gerakan tubuh
itu sangat lamban, seakan hanya merendah dalam posisi kaki ke atas keduanya.
Kalau saja gerakan jatuh itu tidak lamban, maka sudah pasti tulang punggung Suro
akan patah seketika itu.
"Kau belum bisa menandingi Laras Peri. Apa lagi gurunya.
Aku yakin kau akan ditungging-tunggingkan jika nekad pergi ke Istana Awan."
"Apa perdulimu.. !" geram Suro Bodong sambil berdiri. "Aku harus merebut
istriku. Aku tidak mau istriku jadi tumbal di tempat mereka. Kalau istrimu yang
dijadikan tumbal, terserah. Yang
penting, aku tak mau kehilangan Sendang Wangi!"
Empu Segah menghadang langkah Suro. .
"Jangan nekad!"
"Jangan menghalangiku, minggirlah. .!"
"Batalkan niatmu!"
"Kakek bandel. ." geramnya. "Hiaaat.. !!"
Suro Bodong menyerang dengan pukulan tangan kanan,
tapi dengan cepat Empu Segah mengibaskan tangan kirinya hingga pukulan Suro
ditangkisnya. Suro tidak tinggal diam, ia segera melayangkan pukulan tangan
kirinya, seakan hendak menghantam
dada Empu Segah. Lelaki tua itu menangkis, tapi gerakan tangan Suro justru
menekuk ke atas, dan dagu Empu Segah berhasil
dipukulnya dengan pergelangan tangan. Empu tergeragap sebentar.
Kesempatan itu digunakan untuk memukul rusuk Empu Segah oleh
Suro Bodong. Kakek tua itu menyeringai menahan sakit. Dan Suro Bodong segera
kabur ke arah hilangnya Laras Peri tadi. Gerakan Suro sengaja dipercepat agar
tak tersusul Empu Segah. Tapi. . buru-buru ia menyadari kalau gerakan larinya


Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tidak mencapai tempat di depannya. Ia lari dalam keadaan tetap di tempat. Ia
berhenti dan berpaling; oh. . ternyata Empu Segah telah menahannya dengan
tenaga dalam yang berat dan membuat Suro tidak dapat melaju.
Empu Segah mengulurkan tangan kirinya dengan tangan kanan
melintang di depan dada. Kaku dan gemetar. Itulah jurus menahan gerakan dari
jauh. Dan pada saat Empu Segah menghentakkan
tangan kirinya ke belakang, tubuh Suro Bodong ikut tertarik dan melesat kembali
ke tempatnya, di depan Empu Segah.
Sudah tentu hal itu membuat Suro Bodong sangat dongkol.
Waktu Empu Segah berkata:
"Jangan menyusulnya sekarang. .!"
Suro Bodong tak menjawab, kecuali menghentakkan
kakinya ke depan, menendang Empu Segah. Tetapi gerakan kaki
Empu Segah pun bersamaan diadu oleh tendangan Suro Bodong.
Suro Bodong terpelanting ke belakang dan menggeloyor. Empu
Segah menyusulkan pukulan ke dada Suro Bodong yang tak sempat dilihat oleh mata
Suro. Tahu-tahu pukulan itu menyesakkan
pernafasan. Suro Bodong sempat terbatuk-batuk. Empu Segah berkata:
"Ikutlah aku, dan aku akan menolongmu, Suro."
"Brengsek kau, kakek ceking!" umpat Suro yang sudah terlanjur jengkel.
Tangan Suro Bodong mengibas ke samping bagai ia hendak
memotong pohon pisang. Empu Segah menahan gerakan tangan itu
dengan dua jari kanannya. Lalu, begitu tangan Suro sudah tertahan, ia memutar
jari tersebut dan menghentakkan pada salah satu bagian tangan itu, dekat dengan
sendi sikunya. Jari tangan menotok jalan darah di lengan Suro Bodong, dan hal
itu membuat Suro Bodong tak mampu bergerak banyak, kecuali menggerakkan kepala
dengan indranya, dan salah satu kaki kirinya dengan gerakan masih kaku.
"Hei, apa-apaan ini" Kau ini musuhku atau.. ."
"Aku ingin menolongmu, Suro Bodong! Tapi, aku tahu kau
tidak cukup mampu, melawan orang-orang dari Istana Awan. Kau
akan mati sia-sia jika sekarang juga kau ke sana!"
"Mau mati atau hidup, itu bukan urusanmu, melainkan
urusan paru-paruku, tahu"! Aku harus ke sana sekarang juga
sebelum terlambat istriku dijadikan tumbal!"
"Tidak. Kau tidak akan terlambat. Percayalah! Mereka hanya akan memanfaatkan
korban jika sudah tidak ada sinar bulan sedikit pun."
Suro Bodong diam. Ingin menggaruk kumisnya tak bisa,
karena semua tangan dalam keadaan kaku.
"Empu Segah. .! Tolong bebaskan totokan jalan darahku ini, dan mari kita bicara
empat mata. .!" kata Suro yang mulai menampakkan nada pasrahnya.
"Kau harus berjanji untuk tidak lari, Suro."
Sehela nafas dihempaskan lepas. Kesal sekali hati Suro
Bodong menghadapi kakek kurus ceking itu.
"Baiklah. Aku berjanji tidak akan lari. Tapi, lepaskan dulu pengaruh totokanmu
ini. Empu Segah. .!"
"Baik. Tapi ingat, kalau kau lari dan menipuku, kau akan mati di tempat jauh.
Aku dapat membunuhmu dari sini di mana pun kamu berada Suro."
"Silahkan. Dan aku tidak akan ingkar dari janjiku!"
Empu Segah menghantam tulang rusuk Suro Bodong
dengan kedua jarinya. Begitu jari itu telah menghantam kuat-kuat, maka Suro
Bodong pun meringis dan kedua tangannya bisa
digerakkan lagi.
Tak ada pilihan lain bagi Suro kecuali ikut Empu Segah ke
pondokannya, di lereng gunung Sembur. Memang, mulanya Suro
Bodong menolak ajakan Empu Segah untuk ke gunung Sembur,
tetapi setelah Empu Segah berkata:
"Telingamu harus diselamatkan, Suro. Apa kau tak ingat
telingamu yang terkena jarum emas Laras Peri itu?"
"Aku ingat. Tapi. . tidak apalah. Tidak terasa sakit lagi.
Tubuhku mampu menolak racun yang ganas," kata Suro dengan garuk-garuk kumisnya.
"Racun yang ini berbeda dengan racun yang pernah kau
kenal, Suro. Rabalah telingamu itu. . "
Suro Bodong dengan malas meraba daun telinga kirinya.
Ternyata ia sempat terbelalak kaget. Daun telinganya menjadi kecil dan berkerut
kriting. "Telingaku.. "! Jadi kecil"!"
"Racun itu mengisap semua benda yang dikenainya. Pohon
beringin yang besar akan menjadi kerdil sampai sekecil pohon toge, jika terkena
racun Jarum Malaikat," ujar Empu Segah yang kelihatan cukup menguasai di bidang
senjata dan pusaka beracun. "Setelah telingamu yang mengkerut dan menjadi kecil,
lalu hilang. . maka kepalamu pun akan menjadi mengkerut dan kecil. Bahkan
seluruh tubuhmu nanti akan menjadi kecil karena pengaruh racun Jarum
Malaikat."
Sekarang baru sadar Suro, bahwa Laras Peri tadi kabur
bukan karena enggan menghadapi Empu Segah, melainkan ingin
segera memperoleh penawar racun jarumnya sendiri. Kalau ia tidak segera
memperoleh penawar itu, maka tangannya akan menjadi
kecil dan tak berfungsi lagi.
Suro Bodong manggut-manggut, lalu dengan gerakan cepat
ia mengimbangi lompatan Empu Segah yang seperti terbang itu.
Mereka menuju gunung Sembur, tempat Empu Segah tinggal
bersama beberapa pusaka atau senjata ciptaannya.
Rumah yang dikatakan Pondok Sembur itu cukup besar
untuk ukuran satu orang. Terbuat dari belahan kayu-kayu jati yang rapat dan
tersusun rata sebagai dindingnya. Pondok Sembur itu berbentuk rumah panggung
berlantai kayu juga. Ruang dalamnya
tanpa kamar penyekat. Lebar dan luas. Hanya saja ada bagian-
bagian di mana untuk tidur, di mana untuk duduk-duduk dan lain sebagainya.
Tempat itu amat sunyi. Sepi sekali.
"Suro, sebelum kita bicara panjang lebar, mari kusembuhkan dulu racun di
telingamu itu. .!" kata Empu Segah.
Hati Suro lega mendengar kesanggupan Empu Segah. Tetapi
ia jadi terperanjat kaget ketika melihat Empu Segah mengeluarkan seekor ular
sebesar kelingking dari kandang yang ada di belakang rumah. Ular itu berwarna
merah cabe, dan panjangnya lebih dari lima jengkal.
"Mari, mendekatlah, Suro. . "
Bibir Suro kelihatan gemetar sambil mengusap-usap
telinganya. "Apa maksudmu memegang ular Sanca Welang begitu"
Aku tahu, Sanca Welang jika menggigit orang akan mematikan
orang tersebut dalam tiga hitungan, Kek."
"Justru telingamu harus digigit ular ini, Suro."
"Edan. .!" gerutu Suro. "Orang-orang akan lari terbirit-birit jika melihat ular
Sanca Welang, ini malah aku sengaja digigitkan ular jahat itu. Apa-apaan
kau.. ?" "Suro. . mendekatlah. Jangan mundur-mundur begitu!"
"Tidak! Aku tidak mau digigit ular seganas itu. Jangankan digigit, melihat pun
tidak berminat aku.. !"
"Hanya bisa dari ular ini yang dapat menawarkan Jarum
Malaikat itu Suro. Ayolah. . Sebelum racun Jarum Malaikat itu merambat
mengkerutkan kepalamu, tawarkanlah lebih dulu dengan racun ular ini. . "
Suro Bodong serba salah dan kebingungan. Ia meraba daun
telinganya yang kiri. Oh. . semakin mengkerut saja. Kecil. Sebesar jempol
tangannya. Wah. . gawat. Suro tak sanggup membayangkan bagaimana rupanya jika
kepalanya pun mengkerut sekecil jempol tangannya. Sudah jelas, sulit mengenakan
ikat kepala, dan mungkin ia tak akan bisa garuk-garuk kumis lagi.
Ketika sedang termenung membayangkan kengeriannya,
tahu-tahu kaki Empu Segah merangkul leher Suro, dan
menggamitnya kuat-kuat, dan menariknya ke bawah dengan cepat.
"Hei, hei. .! Jangan begini caranya, aaauhh. .!"
Suro Bodong berteriak ketika telinganya terasa digigit oleh
ular Sanca Welang. Panas sekali rasanya. Dan kaki Empu Segah pun melepaskan
jepitan lehernya.
"Aaooww. .!! Aaaahww. .!"
Suro Bodong berteriak-teriak sambil berguling-guling di
tanah. Empu Segah membiarkan. Ia bahkan berjalan dengan tenang meninggalkan Suro
Bodong, memasukkan ular merah cabe itu ke
dalam sangkarnya. Lalu, ia kembali lagi menyaksikan Suro Bodong gulung-koming di
pelataran pondoknya. Tubuh Suro Bodong
mengejang-ngejang, berkeringat dan menjadi pucat. Membiru.
Sekali pun Suro Bodong berteriak minta tolong sambil
kelojotan di tanah. Empu Segah hanya mengelus-elus jenggotnya yang panjang
sebatas dada berwarna putih. Semua cacian, kata-kata kotor, terlontar dari mulut
Suro Bodong. Apalagi setelah Suro Bodong menyadari bahwa telinganya yang
digigitkan ular itu
menjadi bengkak dan sakit disentuhnya. Suro mencaci maki Empu Segah tak ada
habis-habisnya. Namun yang dicaci hanya diam, memandang alam sekeliling yang
tipis akan hutan dan tanaman tinggi.
Hanya ada beberapa batang pohon yang ada di sekitar Pondok
Sembur, dan hal itu membuat pemandangan ke bawah semakin
jelas, enak dinikmati.
Beberapa lama setelah itu, Suro Bodong tidak terdengar
suaranya lagi. Ia lelap, setengah pingsan. Ia mengerang dengan tubuh menggigil.
Kemudian Empu Segah membawanya ke dalam
dengan setengah diseret. Suro Bodong dibaringkan di sebuah tikar tebal berlapis
daun-daun pandan kering.
"Aku haus. . aku haus. .!" Suro Bodong mengerang lemas.
Empu Segah memberikan minuman kepadanya seraya
berkata, "Peganglah telingamu itu. . sudah membesar lagi, bukan?"
"Ohh. . oouh. . tapi sakit jika tersentuh apa pun, Kek."
"Lebih baik sakit sesaat dari pada kecil selamanya, bukan?"
"Aku.. aku apakah bisa sembuh lagj. . uuh"!"
"Racun Sanca Welang sedang melumat habis racun Jarum
Malaikat. Keduanya akan menjadi tawar dan meleleh berupa cairan hitam dari bekas
gigitannya tadi. ."
"Waduuohh. .!
Tapi lain kali jangan melakukan penyembuhan dengan cara asal gigit begini, ah. .! Uuh. . sakitnya tidak tahan
aku.. !" "Usahakan tidur sesaat untuk mengurangi rasa sakit."
Empu Segah keluar pondok sampai beberapa lama. Suro tak
ingat lagi. Pandangannya tadi kabur, suram. Lalu ia pun tertidur.
Dan ketika bangun, pertama-tama yang dilihatnya adalah sinar dari lampu minyak
yang menempel pada salah satu saka menyangga
atap rumah. Ia menggeliat dengan suara erangan tipis.
Oh, tubuhnya jadi terasa ringan sekali. Gerakannya enteng.
Begitu pula dengan nafasnya, sangat lega. Segar sekali badannya ketika itu. Ia
mencoba meraba telinga kirinya dengan hati-hati. Wah, telinga itu telah menjadi
seperti biasa. Sama dengan daun telinga yang kanan. Juga tidak terasa sakit lagi
disentuh. Ia bergegas bangun, astaga. . Empu Segah mendengkur
dengan nyenyaknya. Agaknya hari sudah lewat tengah malam.
Karena sebentar kemudian ia mendengar cicit burung dan suara
ayam berkokok di kejauhan sana. Samar-samar sekali terdengarnya.
O, oh. . rupanya bukan tengah malam lewat saja, tapi
memang sudah pagi. Suro Bodong membuka jendela samping, dan
ia sempat melihat langit memerah dengan bias sinar di ufuk Timur yang membara.
Itulah sang surya yang hendak bangun dan
peraduannya. Segar sekali udara di luar. Suro Bodong pun keluar dengan pelan-
pelan agar tidak membangunkan tidur Empu Segah.
Di pekarangan Pondok Sembur, ia merentangkan tangannya
dan menghirup udara pagi yang dingin menyegarkan itu. Sekujur badannya benar-
benar nyaman, nafasnya pun sungguh lega dan
menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya. Suara cicit burung menambah
kesegaran bagi otak Suro Bodong di pagi itu.
Hanya saja, sewaktu ia masih merentangkan tangannya
lebar-lebar, tiba-tiba ada anak panah yang melesat terarah ke dadanya. Seketika
itu pula Suro Bodong melompat ke samping
sambil tangan kirinya bergerak melambai, menangkap anak panah tersebut.
"Jaab. !!"
Suro segera bangkit dengan lutut bertumpu pada tanah.
Pada saat itu, punggungnya terasa dihempas angin tipis yang kian lama, terasa
kian jelas. Seketika itu pula, Suro Bodong berguling sambil menggerakkan
tangannya ke belakang, dan ternyata ia
menangkap satu lagi anak panah dari orang yang bersembunyi.
"Apa-apaan ini. .?" pikir Suro Bodong. "Baru saja mau menikmati alam segar sudah
ada penyakit yang datang!"
Mata Suro Bodong bergerak liar dengan badan
membungkuk di balik pohon dadap. Ia mencari-cari seseorang dari rimbunan semak
atau belahan batu besar, namun ia tak menemukan seseorang di sana. Lantas siapa
yang telah berani memanahnya" Apa urusannya" Mungkinkah mereka anak buah Laras
Peri" "Pasti dua orang yang sengaja memanahku, karena dua anak panah ini datangnya
dari dua arah yang berbeda." Suro berkata sendirian dalam gerutu. Matanya masih
bergerak nanar meneliti tiap jengkal tanah dan tempat-tempat yang dicurigakan.
Tetapi, nalurinya segera mengatakan, ada orang yang
sedang mengendap-endap dari arah belakangnya. Oh, bukan dari
belakang persis, tetapi dari atas. . atas pohon" Oh, bukan. Bukan atas pohon,
melainkan. . atas genteng sirap rumah itu. Segera Suro Bodong berguling ke depan
dengan membiarkan tubuhnya
menerjang embun yang melekat di rerumputan. Tepat ketika ia
bergerak, seseorang meluncurkan anak panahnya dari atap rumah.
"Jeeuub. .!!" Panah tajam menancap pada pohon dadap, tempat yang dipakai Suro
Bodong berlindung.
Di tangan Suro Bodong masih menggenggam dua batang
anak panah yang berhasil ditangkapnya tadi. Salah satu segera dilemparkan dengan
hentakkan tenaga dalam yang kuat. Anak
panah itu melesat seperti terlepas dari busurnya.
"Weess. .!"
"Aaah. .!"
Orang di atas atap menggelinding dan menahan sakit. Ia tak
mampu berteriak lebih keras lagi, karena yang terkena panah
lemparan Suro adalah bagian lehernya. Tepat tengah leher dan
tembus ke belakang. Tentu saja hal itu membuat orang itu
menggeliat limbung dan jatuh ke tanah tanpa bisa bernafas lagi.
Pada saat itu, seorang lagi melayang dari atas sebuah pohon di belakang rumah.
Mungkin ia ingin menolong temannya, namun
gagal. Temannya sudah terlanjur jatuh dan ia sudah terlanjur dilihat oleh Suro
Bodong. Baru saja orang berpakaian hitam itu hendak berbalik
melarikan diri, Suro Bodong telah menyusulnya dengan satu kali lompatan tenaga
dalam. Suro berdiri di belakang orang itu, lalu mencolek punggung orang
tersebut. Yang dicolek berpaling, lalu ia tergagap karena wajahnya dihantam kuat
oleh kepalan tangan Suro Bodong yang tidak memegangi anak panah.
"Sapi Kempot.. ! Siapa kau sebenarnya, hah" Mengapa kau
hendak membunuhku"! Bangsat kodok. .!" dan sebuah tendangan bersarang di perut
orang yang mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala biru muda.
Orang itu hendak terguling jatuh, namun ia buru-buru
menghentakkan tangannya hingga membuat suatu lompatan yang
tak terduga oleh Suro Bodong. Lompatan itu membawa kedua
kakinya ke arah Suro Bodong, lalu keduanya dijejakkan secara
serentak. Dada dan pipi Suro Bodong dengan rela menjadi sasaran tendangan
berganda itu. Suro terpelanting jatuh di atas atap itu. Ia juga hampir saja
tergelincir jatuh ke bawah, untungnya ia segera memperoleh keseimbangan tubuh
dalam posisi setengah berdiri.


Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lututnya masih bertumpu sebagai ganti kaki kirinya, sedangkan kaki kanannya
menaplak di atas atap itu.
Namun, ternyata sebuah anak panah telah disiapkan oleh
lawannya. "Sreet.. !" Anak panah melesat cepat dalam jarak tak kurang dari lima
langkah. "Trak. .!"
Suro Bodong menangkis anak panah itu dengan anak panah
yang tadi berhasil ditangkapnya. Hampir saja telinga Suro menjadi sasaran anak
panah yang ditangkisnya kalau dia tidak segera
berguling ke arah kaki lawannya.
Orang berpakaian serba hitam segera mencabut goloknya
dari pinggang. Ia menebas tubuh Suro Bodong yang dilompatinya.
Dua kali tebasan kilat bisa dihindari Suro Bodong dengan satu tangkisan memakai
anak panah, dan satu lagi dengan cara berguling ke arah lain. Tetapi kaki Suro
Bodong tidak mau diam saja. Dengan menggunakan kedua tangannya sebagai ganti
kaki, ia menendang
lawan dengan kaki kanan. Tendangan itu cukup tinggi dan sampai ke dada lawan
sehingga lawan pun terpental jatuh di atap tersebut.
Empu Segah terbangun akibat suara bergedebuk di atapnya.
Ia melirik tempat Suro Bodong berbaring, ternyata sudah tidak ada penghuninya.
Ia bergegas keluar, dan menemukan mayat seseorang yang lehernya ditembus anak
panah. Suara orang bertarung masih terdengar di atas atap. Empu Segah berjalan
ke pekarangan dan memandang ke atas atap, ooh. . Suro Bodong sedang bermain-main
dengan seorang lawan yang lumayan tangguhnya, pikir Empu
Segah. Dan ia tidak banyak bertindak kecuali melipat kedua
tangannya di dada sambil nonton pertarungan tersebut.
Suro Bodong tidak sempat mengetahui bahwa Empu Segah
menyaksikan pertarungannya. Ia memadukan jurus kibasan golok
dengan hantaman busur yang agaknya terbuat dari kayu sawo
dengan masing-masing bagian ujungnya runcing, siap untuk
menusuk lawannya.
Suro Bodong lebih hati-hati lagi, karena kedua jurus yang
dipadukan itu mempunyai gerakan yang mengejutkan. Jika golok
melesat ke samping maka busur runcing itu menghunjam ke depan, entah ke bawah
atau ke atas. Jika busur menebas ke samping kanan, maka gerakan golok membelah
dari atas ke bawah atau sebaliknya.
Suro Bodong mulai terasa terteter oleh gerakan simpang siur
itu. Ia hanya bersenjatakan satu anak panah hasil tangkapannya tadi.
Kalau anak panah sering dipakai menangkis senjata lawan, sudah pasti akan patah
pada suatu ketika. Karena itu, Suro Bodong tidak banyak melakukan jurus
tangkisnya, selain gerakan menghindar
sambil menyerang sesekali. Terkadang ia merunduk mendadak,
menghindari tebasan golok ke leher, tapi tiba-tiba ia harus
menjatuhkan diri ke samping depan karena busur runcing itu
terhunjam ke arahnya. Dan pada saat ia menjatuhkan diri ke depan itulah ia
sempat menendang kemaluan lawannya dengan kerasnya.
Permainan itu sempat terulang untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini Suro
Bodong tidak mau hanya menendang bagian vital
lawannya, melainkan juga melemparkan anak panah dengan
kekuatan tenaga dalamnya, sehingga anak panah itu melesat bagai terlempar dari
tali busur yang keras.
"Juub. .!" Lalu disusul teriakan tertahan, "Aaauhh. .!"
Anak panah itu berhasil menancap di lambung lawannya.
Orang itu masih sempat bertahan dengan mengibaskan busurnya ke arah Suro Bodong.
Busur lewat dengan cepat di bawah kaki Suro Bodong yang melompat. Lalu, Suro pun
berteriak keras, "Mampus kau, heeaat.. !!"
"Aaakh. .! Uuukh. .!"
Lawan berpakaian serba hitam dengan ikat kepala biru
muda itu mengerang memegangi lambungnya, sebab kaki Suro
Bodong menendang anak panah yang menancap di lambung.
Tendangan itu berhasil membuat anak panah masuk ke lambung
seluruhnya. Tinggal sisa beberapa yang kelihatan pada bulu-
bulunya. Orang itu menggeliat lemas, dan jatuh terguling hingga ia
sampai ke tepian atap. Suro Bodong menyempatkan untuk menen-
dang kepala orang itu dengan keras, seperti ia menendang
rongsokan bakul nasi. Tak ayal lagi, orang itu terjungkal jatuh ke bawah, tepat
di samping kiri Empu Segah. Telinganya mengucurkan darah, namun ia tak mampu
berdiri lagi. Ia masih punya nafas sisa nafas yang tersengal-sengal. Empu Segah
segera jongkok dan bicara dengan tenang kepada orang itu:
"Siapa yang menyuruhmu ke mari" Apa maksudmu
membuat kekacauan di pondokku, hah" Kalau kau mau menjawab,
aku akan menolongmu. Aku bisa menyelamatkan kamu.. !"
"Tu.. tumenggung Simboyo. . me. . me. ." Orang itu tak sanggup bicara lagi.
Nafasnya menghempas panjang, dan ia pun
terkulai tanpa nyawa.
"Hei, kalau mau kusembuhkan jangan mati dulu.. !" kata Empu Segah seenaknya
saja. Kemudian geleng-geleng kepala sendiri memperhatikan kedua mayat tak
dikenal itu. Suro Bodong masih nongkrong di atas atap, di tepian. Dari
sana ia berseru:
"Siapa mereka, Kek" Kenapa mau membunuhku?"
"Kau disangka aku.. !" jawab Empu Segah.
"Apa ada orang yang mau membunuhmu?"
"Banyak! Di antaranya Tumenggung Somoboyo. Ia
memaksaku untuk membuat pedang pusaka tiruan. Tapi aku tidak
bersedia. Dia takut aku membocorkan rencananya, maka dia
mengirim kedua orang andalannya untuk membunuhku. Ternyata
mereka salah pilih. Kau disangka aku. Padahal kau dengan aku jauh berbeda,
terutama di dalam hal kesaktiannya. Betul, kan" "
Suro Bodong hanya nyengir sinis dan duduk di tepian atap.
3 Banyak hal yang harus diketahui Suro Bodong tentang
Istana Awan. Rupanya, Empu Segah banyak mengetahui siapa Laras Peri itu.
"Dia menyimpan cermin di balik pakaiannya. Apabila ia
ingin mati, maksudku dalam keadaan sekarat, ia akan segera
mengambil cerminnya, dan ia akan mengaca. Jika ia mengaca ia
memperoleh kekuatan kembali dan dapat hidup lagi. Cermin itu
yang dinamakan pusaka Benggala Titis."
Suro Bodong menyimak pembicaraan Empu Segah sambil
makan jagung bakar kesukaannya. Empu Segah masih menyimpan
persediaan makanan, termasuk beberapa buah jagung yang
kemudian dibakar oleh Suro. Ia paling suka makanan jagung bakar, sampai-sampai
ia merasa sehari semalam betah tidak makan nasi kecuali jagung bakar.
Sambil mengunyah-ngunyah jagung bakar itu, Suro Bodong
membiarkan Empu Segah membeberkan segala yang diketahui
mengenai Laras Peri.
"Jangan menganggap remeh Laras Peri. Ia orang
kepercayaan Ratu Istana Awan. Ilmunya cukup tinggi. Dan hati-hati dengan senjata
Cakranya itu. Itu senjata yang sangat berbahaya dan serba bisa. Kalau kau mau
merebut kembali istrimu, kau harus
membawa beberapa piranti; perlengkapan untuk menghadapi
orang-orang Istana Awan, terutama Laras Peri. ." Empu Segah meraih sebuah
kantong kecil dari kulit celeng.
"Apakah semua orang Istana Awan mempunyai ilmu
setinggi Laras Peri?" Suro Bodong bertanya sementara Empu Segah hendak
menjelaskan sesuatu.
"Tidak. Hanya Laras Perilah orang terkuat nomor dua di
Istana Awan itu."
"Yang nomor satu?"
"Ratu, yang acap kali dipanggil Sri Ratu Manis. .!"
Kepala berambut panjang tak teratur itu manggut-manggut
sambil mengunyah jagung bakar. Sesekali Suro menggaruk
kumisnya yang tebal sambil menggumam. Kemudian ia sempat
bertanya dengan suara tak jelas karena mulutnya penuh jagung:
"Di mana letak Istana Awan itu?"
"Sulit ditentukan."
Suro Bodong yang beralis tebal itu mengerutkan dahi.
"Kenapa sulit ditentukan?"
"Istana itu seperti berada di atas gumpalan awan, dan
karenanya istana itu berubah, berpindah-pindah tempat. Setiap mereka
mengorbankan tumbal, istana itu akan bergerak
meninggalkan tempat tersebut. Kemudian berhenti di suatu tempat untuk satu
purnama. Lalu mereka mencari tumbal lain yang pada umumnya adalah putri seorang
raja. Mereka tak berani pergi
sebelum mereka melakukan upacara adat yang membutuhkan
tumbal bagi dewa mereka."
"Jadi. ." gumam Suro Bodong termenung sesaat. "Jadi letak istana itu ada di atas
kepala manusia?"
"O, tidak! Istana Awan memang tidak menyentuh tanah.
Namun ketinggiannya dari tanah hanya satu meter. Kau bisa masuk melalui tangga,
menuju halaman luar Istana Awan.
Tetapi untuk mencari tangga itu tidak mudah. Kalau toh kau
berhasil menemukan tangga yang terdiri dari empat baris itu, maka begitu naik,
kau akan disambut oleh dua penjaga berseragam
pakaian kuning gading. . "
Suro Bodong tertegun beberapa saat, mengunyah jagungnya
dengan badan bersandar pada tiang penyangga atap.
"Bawalah kantong ini," Empu Segah menyerahkan sebuah kantong kecil bertali
pendek, warnanya hitam.
"Kantong apa ini"!" tanya Suro heran.
"Di dalamnya berisi biji-bijian sejenis kacang tanah.
Makanlah itu untuk bekal di perjalanan."
Suro Bodong mengamati kantong kecil itu, membuka
pengikatnya, dan melihat isinya yang memang terdiri dari biji-bijian seperti
kacang tanah namun lebih besar sedikit dan berwarna hijau kehitam-hitaman.
Mulanya Suro ingin mencicipinya, tapi ia takut mengganggu kelezatannya dalam
mengunyah jagung bakar.
Akhirnya ia simpan saja di balik sabuk kainnya yang berwarna
kuning itu. "Kalau kau mau menyelamatkan istrimu," kata Empu Segah.
"Kau harus menemukan Istana Awan sebelum rembulan tenggelam.
Sebab pada saat bumi tanpa bulan, ketika itulah ia akan dijadikan tumbal
masyarakat Istana Awan."
"Kenapa harus begitu" Kenapa tidak pada saat malam
diterangi rembulan?"
"Secara pasti, aku tidak tahu. Tetapi dugaanku mengatakan, bahwa pada saat bumi
tanpa bulan dan mereka mengorbankan tum-balnya, maka Istana itu sepertinya tetap
bercahaya bulan. Terang.
Dan Sri Ratu Manis menyukai cahaya bulan. Hati-hati kalau kau bertemu dengannya,
sorot mata Sri Ratu Manis dapat mengakibatkan kau lumpuh mendadak."
"Berarti dia berilmu tinggi, ya?"
"Kalau muridnya, seperti Laras Peri saja mempunyai
kekuatan yang hebat, apalagi gurunya."
Suro manggut-manggut lagi. Kemudian, Empu Segah
mengambil sepotong kayu dari meja yang penuh dengan senjata.
"Gunakan kayu ini. Apabila kau masuk ke halaman Istana
Awan, lemparkanlah kayu ini. Buang saja di sembarang tempat.
Kayu ini dapat menyelamatkan kamu."
"Cara kerja kayu ini bagaimana?"
"Kau akan tahu sendiri, nanti. Dan. . bawa juga tiga batu ini. ." Empu Segah
menyerahkan tiga batu kerikil seukuran ujung jempol kaki Suro Bodong. Ia
menambahkan: "Lemparkan tiga batu ini satu persatu ke tempat-tempat
yang kau anggap gawat. Jika tidak terpaksa, jangan untuk
melempar."
"Kalau sudah kulemparkan akan bagaimana?"
"Lakukanlah sendiri, baru kau tahu jawabannya."
Tak banyak tanya lagi, Suro Bodong memasukkan tiga butir
batu ke dalam ikat pinggangnya yang lebar. Kendati lebar, namun masih juga tak
berhasil menutup pusernya yang bodong itu.
"Dan. . ini adalah topeng. Bawalah topeng ini. ." kata Empu Segah seraya
menyerahkan sebuah topeng berwarna merah dengan
wajah seorang satria tampan. Topeng itu terbuat dari kayu, namun bagian dalamnya
berlapis kain empuk yang sedikit tebal. Suro
Bodong menerimanya dengan wajah heran, karena sejak tadi ia
dibekali banyak benda yang baginya aneh, sepertinya tak masuk akal jika benda
itu adalah piranti untuk menyerang ke Istana Awan.
"Suro, kalau kau tertangkap dan dipenjara, pakailah topeng itu. Paling tidak
bisa membuat penjaga kamar penjara terkejut melihat wajahmu, kemudian ia akan
membukakan pintu dan kau
bisa melakukan penyerangan."
"Oo. . begitu. Baiklah. Tapi, kalau boleh aku bertanya
padamu: mengapa kau membekaliku seperti ini" Kau sangat setuju kalau aku
menyerang ke sana. Ada apa sebenarnya" Dan. . mengapa kau seolah-olah hafal
betul dengan keadaan di Istana Awan itu"
Apakah kau bekas orang Istana Awan?"
"Bukan! Aku bukan orang Istana Awan. Tapi aku pernah
menjadi tawanannya. Lima tahun aku diperbudak dan dijadikan
tawanannya. Pada waktu itu, aku ingin membebaskan istriku yang ingin dijadikan
tumbal. . "
Suro buru-buru memotong, "Kalau begitu istrimu dulu juga putri seorang raja?"
"Benar. Putri raja di negeri Swaranadwipa. Peristiwanya
sama dengan yang kau alami. Aku ditawan karena ingin
membebaskan istriku. Aku disuruh memilih hidup di Istana Awan atau mati di luar
istana. Maka, aku memilih untuk hidup di sana sambil mempelajari cara meloloskan
diri. Dan aku berhasil. Lalu, aku menyiapkan beberapa cara untuk dapat
mengalahkan orang-orang Istana Awan. Termasuk dengan menggunakan cermin ini. ."
Empu Segah menunjukkan cermin bulat bersisi tiga. Jadi seperti segi tiga, namun
bidang miringnya itu berbentuk bulat.
"Bawalah pula cermin ini, dan usahakan bisa kau letakkan di tengah tempat lapang
di depan kamar atau serambi Sri Ratu Manis.
Di depan serambi itu ada tempat luas, biasanya untuk melakukan upacara korban,
atau untuk mengadakan malam sukaria. Di sana
ada lantai bergambar lingkaran dalam bentuk bunga matahari.
Letakkan cermin ini di tengah-tengah lingkaran itu, lalu tinggalkan saja dia,
sementara kau bisa melanjutkan mencari jalan keluar, atau mencari di mana
istrimu ditahan mereka."
Suro Bodong menghela nafas, lalu berkata, "Apa kau yakin aku akan bisa merebut
istriku kembali?"
"Tentu. Bahkan aku yakin kau bisa mengalahkan mereka."
"Dari mana kau bisa yakin begitu?" pancing Suro.
"Ilmu silatmu cukup tinggi. Kau pun mempunyai ketahanan
tubuh yang cukup kuat. Hanya saja, kau akan kalah akal dengan mereka jika tanpa
perabot yang kubekalkan kepadamu itu. Kuharap, kau mau menghancurkan mereka dan
hati-hati dengan jebakan
mesra, kau bisa mati kaku kehabisan darah karena mereka
mempunyai daya serap yang sungguh berbahaya dan mengagumkan."
Sekali pun semua kata-kata tidak diresapi, tapi Suro Bodong
kali ini hanya menangkap garis besar dari keterangan tadi. Ia tahu, bahwa di
sana banyak jebakan, dan ia diminta untuk hati-hati dalam melangkah.
"Apa aku perlu pusaka lain untuk membunuh Laras Peri?"
tanya Suro Bodong setelah mereka sama-sama bungkam beberapa


Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat. "Kau sudah punya" Kalau belum kau bisa kubekali keris
pusakaku yang pernah menjadi bahan rebutan oleh tokoh-tokoh
dunia persilatan, bahkan sampai geger besar di sebuah kadipaten sebelah Barat
Kediri." Setelah mempertimbangkan kerepotan membawa perabot
itu, Suro Bodong berkata:
"Aku punya pusaka sendiri."
"Aku tidak melihatnya!" bantah Empu Segah. Suro diam sejenak, lalu berkata lagi:
"Pedang Urat Petir, itu pusakaku. Apakah cukup"!"
Empu Segah bagai tersambar petir mendengar kata-kata
Suro Bodong. Ia terhenyak duduknya jadi bergeser mundur.
Wajahnya menjadi tegang dan matanya yang keriput itu
membelalak berapi-api.
"Kau.. kau memiliki pusaka Pedang Urat Petir"!" nada-nadanya Empu Segah kurang
percaya, paling tidak bimbang
terhadap pengakuan Suro Bodong.
"Kurasa lebih baik kau tidak percaya, daripada kau paksa aku untuk
membuktikannya."
Tetapi Empu Segah justru berbengong-bengong
memandang Suro Bodong. Mulutnya yang melongo itu seakan sulit bicara. Bibirnya
kelihatan gemetar ingin mengucapkan sesuatu.
"Kau.. kalau begitu. . kau anak Eyang buyut Birawa Paca
penguasa gunung Krakatau"!" Empu Segah menuding dengan jari gemetar.
"Eyang buyut?" Suro berkerut dahi. "Mengapa kau memanggil ayahku dengan sebutan
eyang buyut" Apa
hubungannya denganmu?"
"Eyang buyut Birawa Paca mempunyai kakak Jayeng
Wirobo. Dia adalah kakekku, yang melahirkan ayahku dengan nama Windusanja.
Akulah anak Windusanja. . "
Suro Bodong masih tercenung dengan dahi berkerut.
Matanya memandang Empu Segah yang berwajah tegang. Tapi tak
sebersit pun ada ingatan di benak Suro tentang nama-nama
keturunannya. Ia telah lupa sama sekali. Barangkali dulu ayahnya yang memang
penguasa gunung Krakatau itu pernah bercerita
tentang keluarganya, tapi Suro tidak ingat sama sekali. Bahkan kalau tidak
melalui bantuan Eyang Panembahan Purbadipa, Suro juga tak akan mengetahui siapa
ayahnya, siapa ibunya dan dari mana
asalnya. (Ada dalam kisah: Pertarungan Bukit Asmara).
Maka, ketika ia mendengar pengakuan Empu Segah bahwa
ia dan kakek berjenggot panjang itu masih ada hubungan darah per-saudaraan, Suro
Bodong tidak begitu tertarik. Menganggapnya hal yang biasa-biasa saja. Bahkan
ketika Empu Segah melepas
kepergiannya dengan hormat sebagai seorang yang merasa lebih tua dalam susunan
darah keturunan, Suro Bodong hanya tersenyum
tipis. Dalam hati merasa geli, sebab kakek setua itu masih mau memberi hormat
kepadanya sebagai saudara yang lebih tua dari
Empu Segah. Suro Bodong tidak pernah menghiraukan, apakah
pengakuan Empu Segah itu benar atau palsu. Yang penting baginya adalah
menyelamatkan Sendang Wangi agar jangan sampai menjadi korban tumbal orang-orang
Istana Awan. Hanya saja masalahnya
sekarang, di mana ia bisa menemukan negeri yang bernama Istana Awan itu" Dan
apakah benar bahwa Istana Awan itu adalah suatu tempat yang dapat berpindah-
pindah" Apakah benar Istana Awan
mempunyai tempat yang mengandung banyak jebakan"
Apa pun yang terjadi, dan bagaimana pun keadaannya, Suro
Bodong tetap ingin melacak istana itu, dan menyelamatkan istrinya.
Satu-satunya arah yang harus dituju adalah kembali ke tempat
pertemuannya dengan Empu Segah yang pertama, yaitu tempat ia
bertarung melawan Laras Peri. Dari sana Suro dapat mengingat-
ingat ke mana perginya raga istrinya yang ditarik melayang oleh kekuatan hebat
dalam keadaan tertidur nyenyak.
Langkah kaki Suro Bodong terhenti. Tempat pertarungannya dengan Laras Peri masih jauh. Tapi ia terpaksa menghentikan
langkah kakinya karena ia mendengar suara seorang mengerang dalam kesakitan. Ia
memasang telinga, menyimak asal suara tersebut. Ternyata dari arah kirinya.
Maka, bergegaslah Suro Bodong ke arah tersebut.
Astaga. .! Ia melihat seorang lelaki kurus dalam keadaan
terbaring tanpa busana dan berwajah pucat pasi. Lelaki itu
tergeletak di rerumputan semak sambil menangis dan mengerang.
Tubuhnya tak ada luka, tapi ia sangat pucat pasi seperti mayat.
Waktu Suro Bodong mendekat, lelaki itu memandangnya
dengan sorot mata yang redup. Layu.
"Hei, kenapa kau?" Suro Bodong bertanya tegas, karena ia ingin menutupi hatinya
yang terharu melihat keadaan lelaki tanpa busana itu. "Kenapa kau santai-santai
saja di sini" Istirahat, ya?"
"Ooh. . tolonglah. . tolonglah aku.. ."
"Apa yang harus kulakukan untukmu" Aku tidak tahu kau
kenapa dan siapa dirimu. Jadi, apa yang bisa kulakukan?"
"Nnnna. . namaku.. Sss. . Setu. . uuhh. .!" lelaki itu tersengal-sengal, sulit
bernafas. Suro menahan kepedihan dalam hati melihat kesengsaraan orang yang
mengaku bernama Setu itu.
"Apa yang telah terjadi padamu. Setu"!"
Setu semakin megap-megap. "Tolonglah. .
bunuh. . bunuh. . "
"Siapa yang harus dibunuh?"
"Aa. . ak. . aku.. !"
Suro Bodong terperanjat mendengar permintaan Setu. Ia
minta dibunuh. Aneh. Apa sebenarnya yang telah terjadi"
Setu menjelaskan lagi dengan suara pelan dan susah payah.
Suro Bodong benar-benar menyimak dengan hati trenyuh.
"Ak. . aku.. lumpuh, dan. . dan... luka parah. . "
Mata Suro meneliti keadaan Setu yang masih bugil itu,
namun ia tidak menemukan bekas luka atau memar sedikit pun di tubuh Setu. Hanya
warna kulit yang memucat saja yang terlihat oleh mata Suro Bodong.
Setu masih berusaha menjelaskan kendati ia sangat
kepayahan dalam menuturkan kata.
"Aku.. tid. . tidak tahan menderita sak. . kiit.. oh, oh. .
bunuhlah aku sekarang. . juga. Tolong. . "
Setu memohon dengan mata yang semakin sayu dan berair.
Suro Bodong menelan ludahnya sendiri menahan kenyeriandi
hatinya melihat keadaan Setu. Lelaki itu benar-benar tidak dapat menggerakkan
badannya lagi, kecuali hanya mulutnya yang mampu bergerak dengan susah. Bahkan
ia berpaling memandang Suro
Bodong pun tak sanggup.
"Siapa yang membuatmu sampai lumpuh begini?" Suro
bertanya dengan hati-hati, suaranya cukup pelan.
"Sss. . ss. . Sri. ." Setu menghela nafas dengan berat sekali.
Suro menyimak dan memperhatikan dengan teliti, sampai-sampai ia tak sadar kalau
dahinya berkerut kian tajam.
"Sri siapa?" desak Suro.
"Sss. . sri. . Sri Ratu. . Manniis. . Huugh. .!"
Terperanjat Suro mendengar nama Sri Ratu Manis
disebutkan oleh Setu. Pasti Setu dapat menunjukkan di mana letak Istana Awan
berada. Pasti bisa!
"Setu, di mana letak Istana Awan" Di mana"!" Suro kelihatan bersemangat sekali.
Setu masih tetap dalam posisi semula,
terlentang dengan keadaan kepala miring ke kiri, menghadap
tanaman semak belukar. Matanya yang basah memancarkan sinar
yang pudar. Bagai sorot mata di ambang kematian.
"Setu, lekas katakan di mana Istana Awan itu" Aku akan ke sana untuk membunuh
Sri Ratu Manis. . "
"Bun. . bunuhlah. . aku dulu. Tol. . tolong, bunuhlah. Aku tak tahan lagi. .
ooh, tak tahan. . "
"Katakan dulu di mana letak istana itu, nanti kau akan
kubunuh," desak Suro Bodong yang menjadi cemas kalau-kalau Setu mati sebelum
menyebutkan tempat Istana Awan.
"Ddd. . di. . di dekat telaga. . seb. . sebelah kiri. . "
Suro Bodong semakin mengerutkan dahi, wajahnya jadi
lebih kasar dari biasanya, ia memandang keadaan sekeliling. Ia masih bingung.
Tak ada tanda-tanda yang meyakinkan kalau Istana Awan ada di sekelilingnya.
"Mengapa kau minta dibunuh" Ini permintaan yang sukar
bagiku, karena kau tidak mempunyai kesalahan apa-apa padaku,
Setu. Sebaiknya, kau bertahan dan aku akan menolongmu sekarang juga."
"Per. . percuma." Setu berusaha menghirup nafas melalui mulut. "Akk. aku
terkena. . ilmu.. Suryapati. . Aku akan lumpuh, dan. . dan bagian dalamku rusak.
Dalam beberapa hari akan tersiksa merasakan. . sakit. Ooh. . sakit sekali. Ak. .
aku dibuang oleh mereka, setelah. . huuuugh! Setelah. ." Setu semakin parah.
Nafasnya tersendat-sendat. Tangannya bergerak karena sendatan nafas itu.
"Setu. ."! Hei, jangan mati dulu.. hei. ."!"
Suro Bodong mengangkat kepala Setu. Kemudian mulut
Setu mengeluarkan cairan hitam keputih-putihan, seperti busa yang kental. Suro
Bodong menyeringai jijik dan ngeri. Lalu, nafas Setu pun tersengal kuat satu
kali, kemudian hilang bersama terkulainya kepala yang melemas.
"Hei, Setuuu. ."!
Setuu.. !"
Suro Bodong berteriak membangunkan lelaki itu, tapi percuma. Tubuh itu menjadi kian dingin dan tanpa
nafas lagi. Akhirnya Suro sendiri yang menghempaskan nafas panjang
sambil berdiri. Tubuh Setu yang telah menjadi mayat masih
digeletakkan di rumput semak, sementara mata Suro memandang
lagi ke sekeliling sambil garuk-garuk kumisnya.
Merinding juga ia melihat keadaan korban kekejian Sri Ratu
Manis, terutama yang terjadi pada diri Setu. Tubuhnya menjadi lumpuh dan bagian
dalamnya rusak. Mungkin itu disebabkan oleh ilmu Suryapati yang dimiliki Sri
Ratu Manis. Menyesal sekali Suro tidak dapat memperoleh banyak keterangan dari
Setu mengenai Istana Awan. Tetapi paling tidak ia sudah dapat meraba, bahwa Istana Awan tidak
jauh dari tempatnya berdiri saat itu. Sebelah kiri"
Ya, di sebelah kiri dekat sebuah telaga. Di sebelah kiri telaga atau di sebelah
Tantangan Mesra 1 Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Kemelut Blambangan 9
^