Tumbal Mahkota Ratu 2
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu Bagian 2
kiri. ." Wah, ini membuat Suro Bodong bingung dan garuk-garuk kumis lagi.
Tetapi akhirnya naluri Suro memutuskan untuk berjalan ke
arah sebelah kiri mayat Setu yang terbujur seperti pada posisi semula itu.
Langkahnya cukup hati-hati, sebab Suro tahu kalau ia melangkah semakin dekat
dengan Istana Awan, paling tidak akan semakin banyak perintang yang akan
ditemuinya. Namun, sampai
sejauh ia melangkah, ia belum juga menemukan sebuah telaga yang menjadi patokan
letak Istana Awan. Suro masih harus bersabar dan melangkah dengan hati-hati
lagi. Matahari mulai condong ke Barat. Langkah kaki Suro yang
pelan-pelan menimbulkan rasa pegal yang menjengkelkan. Suro
berhenti sejenak. Ia mulai ragu, jangan-jangan ia salah arah. Ia menghempaskan
nafas seraya duduk di bawah pohon besar.
Perutnya yang tumben-tumbenan terasa lapar itu mengkeriuk minta diisi. Suro
ingat biji-bijian sejenis kacang pemberian Empu Segah.
Maka, satu demi satu ia memakan biji-bijian tersebut. Sedikit keras dan getir,
tapi lumayan sebagai pengganjal perut. Dua biji dimakan, terasa cukup untuk
membuat perut mulai kenyang.
"Aneh," gumam Suro sendirian. "Baru makan dua seperti sudah makan dua buah
pisang kepok. Lumayan juga, ya?"
Masih ada sebagian biji-bijian yang belum dimakan, tapi
Suro tak jadi melanjutkan melahapnya. Ia mulai curiga melihat tanah gembur dan
empuk. Semakin ia melangkah memperhatikan
tanah itu, semakin basah daerah sekelilingnya. Tanah itu
mengandung air. Ini berarti dekat dengan sumber air. Ya. Air telaga"
Semangat Suro Bodpng kembali menyala. Ia bergegas
melangkah maju. Ia yakin sudah dekat dengan telaga yang tadi
disebutkan oleh Setu. Dan, ternyata dugaannya itu benar. Suro melihat genangan
air telaga yang tidak terlalu luas. Garis tengah telaga itu kurang lebih hanya
15 meter. Akhirnya terlihat bening berkilauan. Di tepian telaga banyak tanaman
perdu dan pohon
menjulang. Beberapa daun sempat merimbun menaungi telaga.
Berkas sinar matahari masuk melalui celah-celah dedaunan,
mengakibatkan suasana di sekitar telaga menjadi lebih teduh dan nyaman.
"Ini telaga yang dikatakan Setu tadi. ." gumam Suro Bodong.
Tetapi ia melirik ke kanan-kiri, namun belum menemukan
bangunan yang layaknya disebut sebagai istana.
Suro melangkah semakin maju dengan penuh kewaspadaan.
Ternyata ketika ia membuka rumput ilalang di depannya, matanya menjadi
terbelalak melihat pemandangan yang mengherankan. Di
suatu sisi telaga, kira-kira 25 meter dari tepi telaga, terlihat suatu bentuk
gumpalan asap tebal yang menyerupai awan. Gumpalan
awan berwarna putih bagai sekumpulan kabut itu mengambang di
atas tanah. Tingginya sekitar satu meter dari permukaan tanah.
Sedangkan tebal awan itu sendiri satu meter lebih. Gumpalan awan itu melingkar,
bagai memagari sebuah bangunan indah yang
kelihatan samar-samar karena diselimuti asap-asap yang bergerak searah gerakan
matahari. Bagian ujung atap bangunan terlihat lebih jelas ketimbang bagian dasar
atau bangunan bawahnya.
Suro mengerjap-ngerjapkan mata, bagai tidak yakin dengan
keanehan yang dilihatnya. Sebuah bangunan indah dan megah
berdiri di atas gumpalan awan tebal, ini sungguh ajaib. Pantas rasanya jika
bangunan itu bisa berubah tempat sewaktu-waktu,
karena awan yang menggumpal dan seolah-olah dijadikan landasan itu juga mampu
bergerak kian ke mari.
Mata Suro Bodong mengawasi bangunan megah itu,
mencari-cari di mana letak tangga yang akan menghubungkan orang dari tanah naik
ke atas gumpalan awan. Sukar sekali meneliti tempat aneh itu dari kejauhan. Mau
tidak mau Suro harus berani mendekat dan mencari tangga tersebut. Ia juga ingat
kata-kata Empu Segah, bahwa mencari tangga itu sendiri merupakan pekerjaan yang
sulit. Selagi Suro Bodong merenung dari balik semak ilalang,
tahu-tahu leher kirinya terasa dingin. Ada logam yang menempel di lehernya, lalu
disusul dengan suara seorang perempuan yang
bernada rendah, kecil namun terlihat kecentilannya lewat suara:
"Apa yang kau lakukan di sini, hah"!"
Suro Bodong bagai tersiram air dingin. Merinding bulu
kuduknya, berdebar pula jantungnya dengan cepat. Ah. . menyesal sekali ia bisa
tertangkap dengan mudah. Padahal ia masih
membutuhkan waktu untuk menyelidiki daerah gumpalan awan itu.
"Bangun. .!" bentak perempuan berpakaian hitam dari kulit beruang. Ia
menodongkan tombak berujung runcing dengan kanan
kiri ujung terdapat semacam kail besar yang melengkung, seperti pancing ikan
raksasa. Ujung tombak itu sendiri cukup panjang dan tajam. Ada kira-kira
sejengkal dan berbentuk segi empat ketupat.
Ujung itu bagai semakin ditekankan ke leher begitu Suro Bodong bangkit dan
berdiri. "Apa yang kau lakukan di sini" Mengintai istana kami?"
hardik perempuan genit yang suka tersenyum namun agaknya
berdarah dingin yang tak kenal ampun kepada siapa pun.
"Aku.. aku hanya terheran-heran melihat istana itu," kata Suro Bodong mencoba
untuk tetap tenang. "Aku.. aku sangat senang lihat gumpalan awan yang membungkus
bangunan itu. Apakah aku tak boleh mengagumi bangunan itu?"
"Kau bohong. .!" bentak perempuan itu dengan lebih
menekankan tombaknya ke leher Suro. "Kau pasti memata-matai kami, bukan?"
"Bu.. bukan! Aku.. aku sekedar mengaguminya."
"Bohong!" bentakan itu seiring dengan gerakan tombak yang kian menahan dan
menekan leher Suro. Waduh. . bagaimana ini"
Haruskah Suro menyerah begitu saja"
4 Perempuan berpakaian kulit beruang itu menyeringai ketika
Suro Bodong berhasil dipepetkan ke pohon. Leher Suro digencet dengan batang
pohon dan ujung tombak. Bergerak sedikit, pasti
tombak akan menembus kulit leher. Sebab itu, Suro tidak berani memberi
perlawanan atau gerakan yang memancing kemarahan
perempuan itu. "Buka pakaianmu.. ! Lekas!" bentak perempuan itu dengan suara tidak terlepas
lantang, namun sedikit menggumam dan berbisik. Suro Bodong semakin kebingungan.
"Lekas buka semua pakaianmu!" ulang perempuan berikat kepala dari logam perak
tipis. "Ma. . maaf, aku.. aku tidak bisa tahan jika harus buka
pakaian di depan perempuan cantik. Pasti. . pasti gairahku berkobar-kobar,
bahkan. . bahkan bisa membabi buta. . oh, jangan. Jangan suruh aku buka pakaian
di depan perempuan secantik kamu. Aku
bisa nekad menggumulimu sampai esok pagi. ." Suro Bodong sengaja memancing
dengan lagak ketakutan, gemetar dan kata-kata yang memancing birahi perempuan
itu. Dan, ternyata pancingannya itu berhasil. Suro tahu tujuan perempuan itu
menyuruhnya membuka semua pakaian, karena itu Suro pun menciptakan alam
pikiran perempuan itu untuk semakin menyala-nyala dalam
bayangan pergumulan yang menggairahkan.
"Apa kau biasanya begitu?"
"Betul. .! Aku.. oh, aku malu. Aku punya keanehan jika
bercinta, selalu saja tak pernah lepas gairahku sebelum terdengar kokok ayam di
pagi hari. . ."
"Aneh. . tapi menarik sekali untuk dicoba. ." perempuan itu mulai mengendorkan
tekanan tombaknya. "Kau orang dari mana?"
"Aku.. " Suro masih berlagak bingung, gemetar dan
ketakutan. "Aku.. hanya seorang pencari madu hutan untuk dijual kepada para
bangsawan. Dan. . dan karena aku sering memakan
sarang lebah hutan, maka. . aku jadi mempunyai kelainan seperti yang kukatakan
tadi. Maaf, jangan paksa aku untuk berbuka
pakaian. Nanti aku nekad menggumulimu!"
Perempuan itu menyeringai dengan sorot mata yang
berbinar-binar penuh gairah. Lalu, ia pun melepaskan acungan
tombaknya. Kini ia berdiri dengan tombak di tangan dan dalam
keadaan tegak di depan kaki kanannya.
"Melihat badanmu yang berotot dan celanamu yang
menonjol, aku percaya kau memang orang kuat dalam hal
bercumbu. Sekarang, tolong layani aku di tempat yang rimbun itu."
Suro Bodong berlagak terkejut dan terbengong. "Aku.. oh, jangan. Nanti aku memaksamu bertarung sampai pagi. . "
"Itu yang kumau.. ! Ayo. ." perempuan itu benar-benar yakin bahwa Suro Bodong
punya kekuatan yang maha hebat dalam
bercinta. Sebab dari tadi matanya melirik ke celana Suro Bodong, dan ia melihat
sesuatu yang cukup menonjol di sekitar paha Suro Bodong. Gairahnya sudah bernada
pancingan untuk bercumbu. Ia
melangkah ke semak rimbun yang kelihatan lebih rapi dan lebih tersembunyi.
Ketika itu Suro Bodong berada di belakangnya. Perempuan
itu sesekali berpaling sambil tersenyum merangsang. Bahkan tali ba-junya sudah
mulai dilepas satu persatu.
"Ayolah. . jangan takut. Aku tidak akan membunuhmu
kalau kau mau memberiku kebahagiaan sampai esok pagi. ."
Tetapi, kali ini Suro Bodong sengaja berkata:
"Justru kau harus membunuhku dulu, baru arwahku mau
bergumul denganmu.. !"
Perempuan itu terkejut. Segera memandang Suro Bodong
dengan mata terbelalak dan menyimpan geram.
"Apa maksudmu berkata begitu, hah?" tombak mulai
diacungkan. Tetapi Suro Bodong tidak mau banyak bicara.
Sewaktu tombak hendak disodokkan ke leher Suro Bodong,
kaki Suro segera menghentak ke atas, menendang tombak itu
dengan kuat. Kaki kiri menendang tombak sampai tombak terangkat ke atas,
sementara kaki kanan segera masuk ke ulu hati perempuan itu dengan keras juga.
"Huuuggh. .!!"
Perempuan itu menyeringai menahan sakit di mana
nafasnya tak mampu dihirup lagi. Ia membungkuk menahan sakit
yang membuat matanya terpejam kuat-kuat. Posisi berdirinya mulai limbung. Suro
Bodong tak mau banyak membuang waktu. Ia segera menghantam pelipis perempuan
yang bertugas menjaga keamanan
di luar istana itu. Pukulan Suro membuat perempuan itu melintir dan rubuh ke
tanah. Tombaknya terlepas. Lalu, Suro buru-buru
memungut tombak itu, dan tanpa ampun lagi ia menancapkan
tombak tersebut ke perut perempuan itu.
"Mati sajalah kau, daripada nanti menjadi biang penghalang gerakanku.. !!" kata
Suro Bodong dengan geram dan suara pelan.
Setelah tombak itu menancap sampai tembus ke tanah, Suro
Bodong segera mengendap-endap mendekati gumpalan awan yang
memagari bangunan mewah dan indah itu. Suasananya cukup sepi.
Tak ada suara apa-apa, tak ada gerak apa pun juga, kecuali asap yang melilit-
lilit mengitari bangunan besar yang luas itu. Suro Bodong masih kebingungan
mencari tangga yang dapat untuk naik ke landasan apung bagi istana tersebut. Ia
belum berani mendekati terlalu nyata, takut kalau-kalau ada penjaga yang bisa
melihatnya dari atas awan tersebut. Barangkali saja orang-orang di atas
gumpalan awan itu dapat melihat dan mendengar keadaan di luar, sedangkan orang
yang di luar gumpalan awan tak bisa mendengar atau melihat apa pun yang terjadi
di atas gumpalan awan itu.
"Aku harus menggunakan jurus Luing Awan Empat, supaya
tidak menimbulkan kecurigaan bagi para pengawal yang pasti ber-jaga-jaga di
balik gumpalan awan itu," pikir Suro Bodong. Kemudian ia mencari tempat sedikit
lega, dan jurus Luing Ayan-4 segera dilakukan; Suro Bodong melompat ke udara dan
bersalto sebanyak 4
kali tanpa menyentuh tanah. Itulah Luing Ayan-4 yang langsung merubah ujud Suro
menjadi seekor monyet berbulu ungu.
Apabila monyet ungu itu melompat ke udara dan bersalto
satu kali putaran, maka ia akan berubah ujud menjadi Suro Bodong kembali. Namun,
untuk saat itu, Suro tidak mau melakukan dulu. Ia bergegas melompat-lompat dalam
ujud raga seekor monyet berbulu ungu kehitam-hitaman. Monyet itu dengan gerakan
yang lincah mendekati gumpalan awan, memandangnya dengan kepala
bergerak-gerak miring seperti seekor monyet yang terkagum-kagum melihat gumpalan
awan selebar itu. Bahkan kini monyet itu
bergerak mengelilingi lingkaran awan yang cukup luas dan lebar.
Sambil melompat-lompat selayaknya kera kebingungan, ia
menyelidiki di mana letak tangga yang dapat digunakan sebagai jalan naik ke
landasan apung dari istana tersebut.
Beberapa saat kemudian, Suro Bodong yang berujud seekor
monyet ungu itu menggerutu sendiri sambil garuk-garuk ketiaknya,
"Sialan. .! Di mana tangga itu, ya?"
Kemudian ia menemukan suatu gagasan unik. Monyet
melompat-lompat sambil menjerit-jerit. Gerakan dan suaranya mirip monyet kena
sawan celeng dan menjadi gila. Ia mengelilingi
lingkaran awan tebal, bahkan menyelusup masuk di bawah
lingkaran awan itu. Jeritannya diperkeras, dan ternyata pancingan itu berhasil.
Cara itu membuahkan hasil yang diharapkan. Seorang perempuan berpakaian kuning
gading turun dari tangga. Saat itu mata monyet membelalak, ia memperhatikan anak
tangga yang terdiri dari empat baris keluar dari gumpalan awan. Anak tangga itu seperti
sebuah bingkai kaca berlapis sinar yang dapat sewaktu-waktu padam sendiri.
Muncullah tangga berwarna sinar merah itu bukan dari atas ke bawah, namun
menyala secara tiba-tiba, bagai disorotkan dari atas ke bawah. Ini merupakan
tangga aneh dan unik yang baru pertama kali dilihat Suro Bodong, sekali pun
sekarang dia dalam ujud seekor monyet ungu.
Perempuan berseragam kuning gading, dan menyelipkan
sebilah pedang di punggungnya itu mendekati monyet ungu. Ia
tampak girang melihat monyet ungu melonjak-lonjak seraya
bergerak mundur. Perempuan itu, yang tentunya salah satu penjaga istana, dengan
sangat hati-hati mendekati monyet ungu. Jemarinya bercetek-cetek membujuk monyet
ungu agar jangan takut
kepadanya. "Kemarilah sayang. . kemarilah. . jangan takut, sayang. ."
perempuan itu membujuk sambil berjalan membungkuk. Suro
Bodong yang berujud monyet ungu memasang strategi. Ia diam
berlagak seperti monyet jinak. Sebenarnya, saat itu ia ingin
menyerang perempuan itu. Ia bisa saja melompat dan menerkam
leher perempuan itu hingga digigitnya sampai putus. Tapi, tiba-tiba ia mempunyai
rencana lain. Monyet ungu diusap-usapnya oleh perempuan itu. "Jangan
takut, sayang. . kami tak mungkin memakan dagingmu.. hi, hi. .
lucu sekali monyet ini," kata perempuan itu sendirian.
Hampir saja monyet ungu bicara dengan suara manusia,
tetapi Suro Bodong buru-buru menjaga suaranya agar jangan sampai menimbulkan
kecurigaan bagi lawan. Jika ia bicara dalam suara manusia, bisa jadi ia
dicurigai lalu dibunuh dan dijadikan santapan sebagai 'monyet guling'. Oh, Suro
tak ingin mati sebagai monyet.
Sebab itu ia tetap beker-beker seperti suara seekor monyet pada umumnya.
Ia membiarkan perempuan itu menggendongnya dengan
tetap mengusap-usap. Ia digendong dan diletakkan di dada
perempuan itu yang menonjol dan terasa hangat.
"Gawat.. " kata Suro Bodong dalam hati. Ia jadi kebingungan ketika wajahnya
disandarkan di tubuh perempuan itu, persis di antara belahan dadanya. Debar-
debar jantung monyet menjadi
keras, seperti umumnya debar-debar seorang lelaki yang
menempelkan kepalanya di dada seorang perempuan sexy seperti
penjaga berseragam kuning gading itu.
"Kau monyet lucu.. ! Monyet siapakah kau" Hemm. ." Ah,
ikut aku ke atas saja, yuk. .! Jangan takut, kau di sana akan menjadi hiburan
bagi kami. Hei. ." Wah, wah, wah. ."!"
Perempuan itu membelalakkan matanya dengan terperanjat
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menahan rasa geli. Ia akhirnya tertawa sambil melangkah
menaiki anak tangga yang sama-sama berseragam kuning gading
dengan pedang di punggung, hanya saja rambutnya lebih pendek
lagi dan tali kepalanya berwarna biru tua.
"Kenapa kau tertawa terpingkal-pingkal begitu, Nyumi?"
tanya temannya. Perempuan yang dipanggil Nyumi itu masih
menghabiskan tawa, dan ia bicara di sela tawanya:
"Lihat.. monyet ini ternyata monyet jantan. Lihat saja
barangnya, ketika kurebahkan di dadaku, ia menjadi kejang dan. . hi, hi, hi. .
lihatlah ini"!"
Perempuan berikat kepala biru itu memeriksa kejantanan
monyet ungu. Ia terperangah girang dan berkata:
"Astaga. . mirip sekali dengan barang manusia lelaki, ya"
Woow. . hi, hi, hi. . "
Perempuan itu ikut mengikik geli. Monyet ungu bagai
dipangku, dihadapkan ke depan dan perempuan berikat kepala
ungu itu mempermainkan dengan geli dan terkikik-kikik.
"Rupanya dia punya nafsu juga, ya Buli?" kata Nyumi kepada perempuan berikat
kepala biru yang dipanggil Buli itu.
Keduanya menjadi semakin mengikik geli setelah Buli
berbisik kepada Nyumi dengan kata-kata yang dapat didengar oleh monyet ungu:
"Siapa tahu monyet ini bisa bekerja seperti seorang lelaki dewasa. Ayo, kita
coba. .!" "Ah, gila kau! Masa aku harus tidur dengan seekor monyet"
Bagaimana nanti kata teman-teman kita, Buli?" seraya Nyumi tertawa geli.
"Ah, yang penting kan bisa dipakai! Siapa tahu lebih hebat dari pada seorang
lelaki. .! Eh, astaga. . Nyumi, lihat.. semakin besar saja dia. ."! Ih, aku jadi
berdebar-debar. .!"
Tiba-tiba, monyet ungu tak tahan dipermainkan oleh jari
jemari perempuan-perempuan berseragam kuning gading. Ia
melompat dan lepas dari pegangan Nyumi. Ia berlari menghindari kejaran Nyumi dan
Buli, lalu bertengger di sebuah atap dari
bangunan kecil yang rupanya sebagai pos penjagaan di luar benteng istana. Kedua
perempuan itu ribut membicarakan monyet tersebut, tetapi si Monyet tetap tidak
perduli. Ia terlanjur dongkol
dipermainkan anggota tubuhnya yang paling peka. Ia diam saja
bertengger di atas genting yang terbuat dari logam seperti baja putih itu. Dari
sana ia dapat melihat keadaan sekeliling istana tersebut.
Istana Awan ternyata dipagari oleh logam tebal yang
mengelilingi bangunan istana. Logam setebal satu jengkal itu
tampaknya bukan baja, bukan juga jenis kuningan. Warnanya abu-abu dan kekar
melebihi selempeng baja. Tingginya dua kali ukuran tombak, berkeliling menutup
ruang halaman dalam istana. Suro
Bodong yang sebagai monyet ungu bertengger di atap rumah
penjagaan itu dapat melihat isi di dalam benteng logam kekar itu.
Ada beberapa bangunan yang terbuat dari logam juga
berwarna putih perak, tetapi dari sekian bangunan, ada yang paling utama dan
terbuat dari logam yang memantulkan cahaya. Bersih
dan mengkilat. Bisa untuk bercermin dinding itu. Suro yakin itulah istana utama
bagi Sri Ratu Manis yang dikenal sebagai penguasa Istana Awan.
Tak banyak orang berlalu-lalang di dalam pagar istana.
Hanya terlihat beberapa orang perempuan saling membentuk
kelompok bicara sendiri-sendiri. Di sana juga ada tanaman. Pohon, bunga, dan
kolam air mancur. Pohon dan tanaman lainnya di taman dalam sebuah pot besar dan
panjang. Pot itu berisi tanah dilapisi rumput yang terawat rapi. Pot besar dan
panjang itu terbuat dari batu marmer hitam yang bersih dan indah. Bunga-bunga
juga tampak menghiasi halaman istana yang layaknya disebut sebagai taman.
Suro Bodong dalam ujud monyet ungu sempat menggumam
dan berdecak kagum melihat kemegahan dan keanehan istana tersebut. Luas, tapi
rapi. Di luar pagar hanya terlihat dua perempuan berseragam kuning gading tadi.
Selebihnya sepi. Tetapi lantai yang menjadi dasar berdirinya bangunan itu
terbuat dari sejenis logam tembus pandang. Seperti kaca, tapi bukan kaca.
Seperti baja, tapi tembus pandang. Entah dari bahan apa itu, Suro kurang jelas.
Dari luar pagar sampai di dasar taman semuanya berlantai bening, tembus pandang.
Setiap orang bisa melihat tanah atau tanaman yang ada di bawah komplek Istana
Awan itu. Kabut-kabut yang
membungkus daerah itu pun bisa dipakai melihat ke arah luar,
tetapi dari luar tidak bisa melihat ke dalam kabut yang menggumpal itu.
Lalu, di mana Sendang Wangi ditahan untuk menunggu
dijadikan tumbal" Suro Bodong belum dapat memastikan di mana
letak para tawanan mereka. Yang jelas ia harus segera bertindak.
Kedua perempuan berseragam kuning gading itu sedang sibuk
berupaya memegang monyet ungu. Saat itu juga monyet ungu
tersebut melompat dari atap dan bersalto satu kali. Jurus Luing Ayan-1 beraksi,
dan Suro Bodong yang asli muncul kembali. Kedua perempuan berseragam kuning
terkejut melihat monyet ungu yang tadi diusap-usapnya telah berubah ujud menjadi
seorang lelaki ber-baju merah tanpa dikancingkan, bercelana biru dan mengenakan
ikat kepala merah untuk mengikat rambutnya yang panjang sebahu.
Suro Bodong yang telah kembali dalam ujud aslinya segera
menyunggingkan senyum sinis seraya garuk-garuk kumisnya yang
tebal. Nyumi dan Buli bersiap siaga menghadapi Suro Bodong.
Mereka memisah menjadi dua arah, depan kiri dan depan kanan
dari Suro Bodong.
"Siapa kau"!" hardik Nyumi. Buli pun kelihatan tegang karena ia merasa lalai
dalam penjagaannya.
"Aku Suro Bodong. .! Istriku ditawan di sini, mau dijadikan tumbal," kata Suro
dengan tenang. Lalu sambungnya lagi, "Aku ingin mengambil istriku. Aku tidak
rela kalau istriku dijadikan tumbal. Cari saja istri orang lain, jangan istriku.
Soalnya. ." Suro nyengir seenaknya. "Aku belum menikah dengannya dan masih
gatal-gatalnya untuk saling berpacu di atas ranjang. Jadi, tolong keluarkan
istriku dari kamar tahanan. Keluarkan sekarang juga, sebelum aku hancurkan
istana ini. Mengerti"!"
"Mulut lancang!" geram Buli. "Kau tidak mungkin bisa lolos dari sini, karena kau
telah masuk ke wilayah istana kami maka kau harus pergi dalam keadaan sekarat.
Nyumi. . serang dia!"
"Ciaaaat.. !!" Nyumi menyerang dengan jurus tendangan salto yang telak mengenai
pundak Suro Bodong. Oh, terasa ngilu tulang Suro terkena tendangan yang begitu
gesit dan cepat itu. Suro terpelanting ke kanan, untung tak sampai jatuh,
sehingga ketika Buli menyerangnya dengan pukulan tangan kanannya, Suro dapat
menangkis dan segera lompat ke belakang, kemudian bersigap
menunggu serangan berikutnya.
Kedua perempuan itu segera mencabut pedang mereka dari
punggung. Suro Bodong garuk-garuk kumis dengan mata jeli
memandang tajam kepada kedua perempuan itu.
Nyumi memegang pedang dengan kedua tangannya,
menggerakkan ke atas kepala dengan kekar, posisi kaki merenggang dan merendah
miring, seakan siap menusukkan ujung pedangnya
ke tubuh Suro Bodong. Sedangkan saat itu, Buli juga memainkan jurus serupa.
Hanya saja Buli memegang pedang dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya teracung ke depan dengan kokoh.
Hanya dua jari yang ditekuk ke dalam sedangkan tiga jari, termasuk jempolnya,
berdiri tegak dan bertenaga hingga tampak getarannya.
"Hiaaaat.. !!" keduanya berteriak dan berguling ke lantai bersamaan. Pedang
mereka menebas perut dan kaki Suro Bodong
secara bersamaan. Suro Bodong tak kalah gesit. Ia segera melompat ke depan bagai
harimau menerkam anak ayam, lalu berguling-guling sampai tiga kali. Tapi bukan
bersalto, sebab itu ia tidak berubah ujud.
Suro Bodong lekas berdiri tepat pada saat kedua perempuan
itu telah siap menyerangnya kembali. Kali ini Buli melompat dari arah kiri ke
kanan, sedangkan Nyumi melompat dari arah kanan ke kiri. Mereka memainkan jurus
pedang silang, yang sempat
membingungkan Suro Bodong.
"Hiaaaat.. !" pedang Nyumi menebas leher Suro.
"Ciaaaatt. .!!" pedang Buli menebas tangan kanan Suro. Tak ada jalan lain bagi
Suro Bodong kecuali segera merebah untuk
menghindari tebasan kedua pedang yang bersilang itu. Begitu ia merebah di lantai
yang mirip kaca itu, kedua kakinya mengayun ke atas, menekuk sampai ke arah
belakang. Kaki kanannya sempat
menendang pinggang Buli dengan keras. Buli tersungkur ke lantai tanpa ada
keseimbangan. Sedangkan kaki kiri Suro hanya sempat menendang betis Nyumi yang
membuat Nyumi terpelanting sedikit, tapi tidak sampai jatuh. Suro Bodong buru-
buru mengayunkan
kedua kakinya ke depan, dan tangannya menghentak di samping
kedua telinganya. Sekali hentak, ia melayang dan jatuh dalam posisi berdiri
tegak memunggungi lawannya.
Nyumi melesat dengan satu lompatan bersalto tiga kali
dalam keadaan tangan tiga kali menyentuh lantai. Saat ia berhenti, langsung
menghunjamkan pedangnya ke tengkuk kepala Suro.
Seketika itu pula, Suro Bodong merunduk dan menendangkan
kakinya dengan tendangan belakang. Tumit kaki Suro Bodong tepat mengenai dada
Nyumi hingga Nyumi terpekik tertahan.
"Aakhh. .!!"
Suro Bodong membalikkan badan sambil mengibaskan kaki
kirinya ke wajah Nyumi. Tendangan berputar itu membuat Nyumi
terpental beberapa langkah dari tempatnya, dan jatuh dengan kepala membentur
lantai yang keras namun tembus pandang itu.
Suro Bodong segera berguling maju, karena dilihatnya Buli
hendak melompat menyerangnya. Tepat pada saat tubuh Buli
melayang dengan pedang diayunkan ke depan, pada saat itu Suro sudah berada di
bawah Buli, dan tendangan yang dinamakan jurus Ayam Kawin itu melesat ke atas.
Perut Buli terkena tendangan
beruntun tujuh kali. Cepat dan kuat kaki Suro menendang,
kemudian tubuh Buli melengkung dalam berdiri menahan sakit, dan kaki kiri Suro
melanjutkan jurus Tendangan Ayam Kawinnya, tujuh kali melancarkan tendangan
beruntun yang tak dapat dilihat oleh mata gerakan kaki itu.
Ada darah yang meleleh dari pinggiran mulut Buli.
Perempuan berikat kepala biru itu menyeringai dengan mata
terpejam. Kesempatan bagi Suro untuk melancarkan pukulan ke
arah pinggang Buli. Namun belum sempat ia menggerakkan
tangannya tiba-tiba sebilah pedang melesat dan tertuju ke arah perutnya.
Terpaksa Suro Bodong melompat dan tak jadi memukul
pinggang Buli. "Hiaaat.. !!" Nyumi yang melemparkan pedangnya segera melayang bagai macan
kumbang menerjang elang. Tangan Nyumi
keduanya teracung ke depan dan siap merobek wajah Suro dengan kukunya yang tajam
namun tidak panjang. Saat itu, mereka bertemu dalam keadaan sama-sama melompat
di udara. Suro segera
mengibaskan kakinya ke depan untuk menangkis serangan kedua
tangan Nyumi. Tangan itu ditendangnya kuat-kuat sampai ter-
angkat ke atas.
"Aaaow!!" Nyumi terpekik karena sikunya terasa mau patah terkena tendang Suro
Bodong. Mereka sama-sama turun dan
menapakkan kakinya ke lantai tersebut. Untung Suro Bodong sudah mempunyai
perkiraan kuat, bahwa ia akan diserang Buli kembali begitu ia turun. Dan
dugaannya itu benar. Dia diserang Buli, tapi bukan dengan pedang, melainkan
dengan telapak tangan kiri Buli yang mengeluarkan semacam serbuk biru
berhamburan. Suro buru-buru menghindar dengan cara berguling-guling menjauhi
Buli. Tahu-tahu serbuk biru itu meletup-letup di udara dan membuat
nyala api yang berpijar-pijar di udara. Lalu, padam karena habis masa kobarnya.
Suro Bodong berdiri hendak melancarkan serangan kepada
Buli. Tetapi tiba-tiba dari pintu gerbang benteng logam itu keluar beberapa
perempuan berseragam kuning gading. Mereka
menyerang Suro Bodong dengan tali-tali warna coklat. Tali-tali itu ditebarkan
dari berbagai arah, dan langsung dapat membelit tubuh Suro Bodong.
Ada sekitar tujuh tali dari tujuh perempuan yang membelit
tubuh Suro, dan anehnya lagi, tali-tali itu berkembang bagai
merayap di tubuh Suro Bodong. Tangan Suro Bodong mencoba
bergerak, meronta-ronta untuk melepaskan diri dari tali-tali yang berkembang
itu. Namun usaha tersebut sia-sia. Setiap tali berkembang makin lebar dan
membentuk suatu jaring yang kuat dan
lekat. "Huaaaaahhh. .!!" Suro Bodong meronta sekuat tenaga.
Namun ketujuh perempuan itu memegangi tali dengan kokoh.
Sampai akhirnya tubuh Suro Bodong benar-benar tak dapat
bergerak dililiti tali yangsungguh mengherankan itu. Tali-tali membentuk jaring
yang lengket dan kini bahkan membungkus
tubuh Suro Bodong dari kepala sampai ke kaki. Nyumi dan Buli
berhenti menyerang, mereka hanya memandang dengan senyum
seringai kemenangan.
"Seret dia ke dalam. .!!" teriak seseorang yang berdiri di ambang pintu gerbang
menuju dalam halaman istana. Mata Suro
sempat memandang perempuan itu yang ternyata adalah Laras Peri.
"Bawa dia ke kamar tahanan sekarang juga! Lekas!"
5 Ketujuh perempuan pemegang tali menyeret masuk Suro
Bodong ke dalam sebuah kamar yang berdinding logam, sama
dengan logam yang dipakai untuk membentengi halaman istana itu.
Suro Bodong seperti kepompong dibungkus jaring-jaring
aneh. Lebih aneh lagi ketika ketujuh perempuan itu menghentakkan talinya satu
persatu, ternyata tali-tali itu bisa mengkerut dan menyatu kembali menjadi satu
tali. Jaring tersebut bagai mengatup dan menggumpal, dengan masing-masing
perempuan memegang
satu tali utuh. Kemudian tali-tali yang sudah tidak berupa jaring itu ditarik
oleh ketujuh perempuan, maka bebaslah Suro Bodong dari jerat aneh yang sangat
mengherankan itu.
"Kau harus menyaksikan sendiri bagaimana istrimu
dijadikan tumbal pada malam tutup purnama nanti!" kata Laras Peri setelah
ketujuh perempuan berseragam kuning itu keluar dari
kamar, dan tinggal Suro Bodong dengan Laras sendiri.
Suro Bodong tak dapat bergerak leluasa untuk sementara
waktu, karena tulang-tulangnya terasa pegal dan linu-linu. Mungkin akibat daya
perekat pada jaring tali yang dirasakan semakin lama semakin merekat erat dan
seakan hendak meremukkan tulang. Suro Bodong menggerak-gerakkan persendian
tangannya, sementara
Laras Peri mengajaknya bicara dengan nada angkuh dan sinis.
"Tak kusangka kau akan senekad ini, Suro Bodong!"
"Mungkin akan lebih nekad lagi. .! Hiaaat.. !"
Di luar dugaan Suro Bodong menendang perut Laras Peri
dengan gerakan cepat. Laras Peri memang sempat mengibaskan
tangan kirinya untuk menangkis, tetapi kekuatan tendangan Suro Bodong tetap saja
membuat tubuh Laras Peri terpental ke belakang dan menabrak pintu penjara.
"Braak. .!"
Dua penjaga bergegas masuk, tetapi Laras Peri
memerintahkan agar pintu segera ditutup dan dikunci. Suro Bodong tersenyum
tenang sewaktu penjaga menutup pintu yang agaknya
terbuat dari logam serupa dinding tapi lebih tebal lagi. Suro sempat tertawa
pendek melihat Laras Peri menjadi tegang dan mengerang saat tubuhnya tahu-tahu
terpental karena tendangan Suro.
Pintu itu memang tebal dan kokoh, tetapi mempunyai
semacam jendela yang berjeruji. Ukuran jendela itu tidak terlalu lebar, hanya
cukup untuk menampakkan seraut wajah. Dan dari
jendela yang mempunyai pintu khusus itu wajah Laras muncul
dengan sorot mata kegeraman.
"Kau akan merasakan akibatnya, Suro! Kalau kau bisa tahan dalam penjara ini, aku
akan salut terhadapmu!" kemudian Laras Peri memerintahkan kepada penjaga, "Tutup
jendela ini. .!"
Suara jendela yang ditutup semacam lempengan baja itu
terdengar. Agaknya cukup rapat juga jendela itu ditutup oleh
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lempengan baja, karena ketika Suro memeriksanya, tak ada seberkas sinar yang
dapat dilihat dari luar tahanan. Ruangan itu cukup rapat.
Langit-langit kamar tinggi dan juga terbuat dari semacam almunium tebal yang
sulit dibocorkan. Ada tempat tidur yang terbuat dari logam juga, berbentuk kotak
panjang tanpa alas apa-apa. Sedangkan lantai kamar itu, tetap seperti lantai
tembus pandang yang dilihat di luar benteng tadi, namun lantai ini agak buram
dan tak bisa untuk melihat keadaan di bawah. Di kamar itu ada meja marmer ukuran
kecil, ada pot bunga dari kramik dan ada bunga segar, seperti bunga mawar namun
besar dan kelopak bunganya kecil-kecil. Bukan
mawar. Hanya semacam mawar. Ada tiga tangkai bunga yang
warnanya merah muda semua. Entah apa maksudnya kamar
tahanan diberi pot bunga kecil dengan tiga tangkai bunga.
Baru beberapa saat kemudian Suro Bodong menyadari
bahwa tiga tangkai bunga itu adalah pemberitahuan atas kematian yang akan tiba.
Sebab, dari dinding kamar penjara itu ternyata mempunyai beberapa lobang kecil
sebesar jarum. Tiap lobang
memyemburkan asap biru samar-samar.
"Racun. ."!" pekik Suro sendirian. Ia menjadi tegang. Asap berwarna biru muda
itu semakin banyak, dan menggumpal di
dalam kamar karena memang tak ada lobang pembuangan udara.
Mata Suro Bodong terbelalak melihat salah satu bunga itu layu, dan mengering.
Buru-buru Suro Bodong tahan nafas, menutup hidungnya
dan memandang sekeliling dengan tegang. Gawat! Ini pertanda dia akan mati karena
asap racun itu.
Untung ingatan Suro Bodong sempat melayang pada sebuah
topeng yang diberikan Empu Segah sebelum ia berangkat. Ia mengambil topeng
tersebut yang disimpan di balik baju merahnya. Ia memperhatikan topeng itu,
dalamnya berisi semacam kain tebal
yang empuk. Kendati tidak tahu persis manfaatnya, Suro Bodong segera mengenakan
topeng itu di wajahnya.
Topeng terbuat dari kayu berwarna merah dengan wajah
seorang satria tampan itu membungkus wajah Suro Bodong.
Pernafasan Suro sedikit terganggu, karena topeng itu ternyata tidak mempunyai
lobang yang cukup untuk menghirup udara. Memang
di bagian hidung topeng ada lobang, namun tak seberapa besar. Dan lobang pada
matanya itu ternyata dilapisi suatu bahan mirip kaca yang tidak tembus udara.
Suro Bodong berpendapat, lebih baik
mengenakan topeng itu dengan sedikit kesukaran bernafas daripada tanpa topeng
tapi ia harus menghirup udara beracun dalam kadar banyak. Kain yang melapisi
dalam topeng itulah yang menjadi
penghalang pernafasan Suro Bodong. Tapi dia tidak perduli, sebab dilihatnya,
kini tiga bunga itu telah layu dan menjadi kering semua.
Berarti asap racun yang tersembur dari lobang-lobang dinding itu sungguh
berbahaya jika terhisap oleh pernafasan manusia. Untung ia segera mengenakan
topeng tersebut yang ternyata mampu
menyaring racun melalui kain pelapis di dalam topeng itu.
Asap semakin banyak. Bunga telah kering dalam keadaan
layu, lemas. Suro Bodong masih duduk memojok sambil mencari
cara untuk keluar dari kamar tersebut. Hatinya sedikit tenang setelah dia
mengetahui, bahwa topeng itu ternyata mampu menjadi penangkal racun. Uap racun
yang masuk melalui lobang hidung
topeng telah disaring dan diubah oleh lapisan tebal dalam topeng tersebut
menjadi udara biasa. Jika tanpa kain tebal yang dilengkapi dengan ramuan khusus,
maka udara yang masuk melalui lobang
topeng akan tetap berupa udara racun. Rupanya Empu Segah
memang ahli dihidang senjata, seperti halnya penggunaan topeng anti racun itu.
Kendati uap itu bergulung-gulung memenuhi ruangan yang
sempit itu, namun Suro Bodong masih bisa bertahan tetap hidup dan menunggu saat
baik untuk lolos. Hanya saja, sebelum ia
menemukan cara untuk lolos, ternyata asap biru muda itu bagai tersedot kembali
dari lobang tempatnya menyembur tadi. Uap yang bergulung-gulung memenuhi ruangan
jadi menipis. Masing-masing lobang kecil pada dinding sekarang berfungsi sebagai
penyedot udara. Suro Bodong menunggu sampai udara menjadi bersih
kembali tanpa uap beracun. Dan setelah beberapa lama, maka ruangan itu pun
kembali menjadi seperti semula. Uap biru muda
sudah tersedot habis. Tak ada asap tipis sedikit pun. Kini bahkan yang ada udara
dingin yang samar-samar merambat di dinding.
Udaranya cukup sejuk, terasa jelas menyentuh pori-pori kulitnya.
Suro Bodong membuka topeng merah berwajah satria
tampan. Dan ia merasakan kesegaran bernafas. Ia tersenyum, lalu menyembunyikan
topengnya ke balik baju merah, diselipkan di
bagian belakang. Di pinggang.
Udara benar-benar segar dan sejuk. Tak ada kesesakan
bernafas. Yang ada kini rasa lapar. Ya, perut Suro sekarang menjadi terasa lapar
sekali. Untung dia masih menyimpan biji-bijian seperti kacang yang tadi
dimakannya sebagian. Kini ia memakan sisa biji-bijian itu dengan lahap. Sambil
mengunyah biji-bijian yang terasa seperti makan kacang kedelai itu, Suro
memeriksa seluruh ruangan tersebut. Ah, tak ada celah yang bisa memungkinkan
untuk lolos. Sambil duduk melonjor, punggung Suro Bodong bersandar
pada dinding. Ia menghadap ke pintu masuk yang cuma ada satu-
satunya itu. Ia sedang berpikir di mana kira-kira istrinya ditawan untuk
menunggu saat dijadikan tumbal" Lalu, ia memutuskan untuk berusaha lolos dari
kamar tahanan ini dengan cara tidak
menimbulkan keonaran, supaya ia dapat menyusup dan menyelidiki keadaan di dalam
istana yang merupakan ruang utama keratuan.
Tiba-tiba pintu tebal itu dibuka oleh penjaga. Seraut wajah
yang sudah dikenal muncul: wajah Laras Peri. Wajah itu terbelalak kaget melihat
Suro Bodong duduk dengan santainya. Hal itu pasti dikarenakan Laras Peri mengira
Suro Bodong telah mati, atau
setidaknya pingsan akibat racun yang disemburkan dari lobang
dinding itu. Tapi, nyatanya ia melihat Suro Bodong dalam keadaan segar bugar
tanpa kurang satu apa pun.
Keadaan Suro Bodong yang berhenti mengunyah makanan
yang terakhir itu membuat Laras Peri menjadi ragu-ragu untuk
mendekat. Hanya matanya yang tajam dan bening itu yang menatap Suro Bodong penuh
kesangsian. Dengan sengaja Suro Bodong tersenyum ramah, matanya
berkerling seakan menggoda Laras Peri.
"Kau memandangku seperti setan melihat kemenyan," kata Suro Bodong. "Apa kau
kira aku akan mati karena asap beracun itu"
O, tidak! Aku tidak akan bisa diracuni lagi, sebab tubuhku sudah penuh dengan
racun." Suro Bodong bahkan lebih merebah lagi, seakan tidak
perduli dengan kesempatan pintu terbuka itu. Laras Peri menjadi semakin ciut
nyalinya. Ia berkata dengan suara pelan dan datar:
"Kurasa kau iblis, bukan manusia! Kau bisa bertahan
menerima racun Naga Biru, ini sangat di luar dugaan. Biasanya setiap tawanan
akan mati dalam keadaan kering dan rapuh tulang-tulangnya jika menghirup racun
itu terlalu banyak. Tapi kau.. kau benar-benar iblis yang sulit dimatikan. . "
Sekali pun Suro Bodong sebenarnya merinding mendengar
keterangan itu, namun ia memaksakan diri untuk tertawa dengan tenang.
"Ha, ha, ha. . kau pikir aku ini lampu minyak yang gampang dimatikan"!" Suro
Bodong semakin menertawakan keadaan Laras Peri yang tertegun memperhatikannya.
"Sekarang, sebaiknya kembalikan istriku dan aku akan
membiarkan kalian hidup," ancam Suro Bodong dengan santai.
Laras Peri mulai mendengus.
"Jangan mengharap kami mundur karena gertakanmu. Kau
akan menemui ajal pada saatnya nanti, Suro Bodong!"
Laras Peri hendak pergi, tetapi Suro Bodong segera berseru,
"Tunggu.. !" ia bangkit dan berjalan dengan tenang
mendekati Laras Peri. Laras Peri sudah siap memegangi senjata cakra yang
terselip di pinggangnya. Matanya memandang tegang, seakan penuh waspada. Tetapi
yang dipandang hanya tersenyum-senyum dan tak perduli akan kesigapan Laras Peri.
Suro Bodong semakin dekat dan berhenti melangkah ketika Laras Peri sudah
mencabut senjata cakranya.
"Sebenarnya apa yang kalian butuhkan di sini?" kata Suro Bodong dengan suara
pelan, seakan bersungguh-sungguh dalam
berembuk. "Tumbal! Dan istrimu itulah yang menjadi pilihan kami!"
Laras Peri menjawab dengan tegas.
"Selain tumbal. .?" Suro memancing.
Laras Peri diam, matanya makin tajam karena Suro Bodong
semakin maju satu langkah.
"Apakah kau dan yang lainnya tidak membutuhkan seorang
lelaki?" bisik Suro Bodong.
Laras Peri diam. Masih belum mampu mengucapkan kata
apa pun. Bahkan kini Suro Bodong sangat dekat dengannya. Suro berbisik lagi:
"Bagaimana kalau kita tukar tawanan?"
Setelah diam beberapa saat, terdengar suara Laras Peri
dengan lirih, "Apa maksudmu.. ?"
"Lepaskan istriku, dan tawanlah aku sebagai teman
berkencan. Lalu, kita cari bersama putri raja lainnya untuk
pengganti tumbal pada saatnya nanti. ."
Wajah Suro Bodong tepat di depan wajah Laras Peri. Mata
yang kecil tapi bening dan tajam itu menatap Suro Bodong dalam kebimbangan.
Senjata cakra hanya dipegangnya tanpa digunakan
untuk berbuat sesuatu. Bahkan ketika Suro Bodong meraba pelan-pelan pipi Laras
Peri, perempuan itu masih mematung dengan
mulut sedikit terperangah.
"Jangan katakan kepada istriku tentang rencana ini.
Kuharap, kau dan ratumu mau menerima usulku ini. Dan. . kau
akan mendapat kesempatan yang istimewa dariku. Kau belum tahu siapa aku, bukan"
Mungkin kau bisa bertanya dulu kepada istriku tentang kekuatan suaminya dalam
malam-malam yang dingin
dicekam kesunyian. Tanyakanlah dulu, nanti kau baru tahu apa
yang seharusnya kau lakukan. "
Laras Peri tidak berkata apa pun. Ia memperhatikan Suro
Bodong dengan dada bergemuruh. Semakin Suro Bodong
menyentuh-nyentuh bibir Laras Peri yang mirip kuncup bunga
melati itu, semakin berdebaran hati Laras Peri dibuatnya. Ia hanya merenggangkan
sedikit bibirnya dan terpaku di tempat. Lebih-lebih setelah Suro Bodong
berbisik, "Ratu dan kau akan mendapat pelayanan yang berbeda.
Sebab, bagaimana pun juga, kau adalah perempuan yang memenuhi seleraku. Kau
cantik, tapi galak. Itu yang kusuka. Sebab itu aku bertekad menyusul ke mari
dengan alasan membebaskan istriku,
tapi sebenarnya kaulah yang kuburu."
Suro Bodong semakin mendekat wajah, lalu berbisik dengan
lebih pelan lagi:
"Kau mau membuktikannya nanti malam?"
Laras Peri seperti orang terkena hipnotis, diam tanpa bisa
bergerak sedikit pun. Ketika Suro Bodong mencium pipinya, dan kumisnya yang
tebal menggelitik kulit wajah Laras Peri, perempuan itu semakin gemetaran dan
berdebar-debar. Lalu, Suro Bodong
berbisik sangat pelan:
"Kurasa kau bisa membunuhku kalau aku bohong. .
nikmatilah tawanan ini, Laras. . nanti kita cari tumbal lain. ." Laras masih
terbungkam kendati ia mendesah lirih lewat hembusan
nafasnya yang tersendat-sendat.
"Kau setuju?" bisik Suro Bodong. "Kau yang istimewa. . "
Lama-lama Laras menjauh setelah Suro Bodong merenggangkan wajah. Kemudian mata yang masih menatap itu
berkedip lembut, dan suara Laras terdengar pelan: "Akan
kubicarakan dulu dengan ratu. . aahh. ." ia mendesah dan pergi.
Suro Bodong tersenyum lega. Ada usaha halus yang mulai
terlihat tanda-tandanya. Ia mulai mengerti bagaimana cara
menaklukkan orang-orang Istana Awan ini yang terdiri dari
perempuan semua. Salah satu cara untuk menaklukkannya adalah
dengan cara buaian asmara yang amat dikuasai oleh Suro Bodong.
Jika dengan kekerasan terlalu dini, bisa jadi istrinya yang akan mengalami
bencana menyedihkan. Dengan cara buaian asmara itu, Suro berharap agar istrinya
dapat diselamatkan tanpa luka sedikit pun.
Yang membuat Suro Bodong lebih lega lagi, adanya sebuah
hidangan yang diantar oleh seorang perempuan berseragam hijau tua. Hidangan itu
cukup mewah, buah-buahnya segar, dan
panggang ayam yang dimasak dengan sangat menarik itu membuat
Suro Bodong tersenyum-senyum. Bau masakan sedap sempat
membuat perut Suro Bodong berkuku-ruyuk karena seleranya
membara. "Makanan ini apa tidak terlalu mewah untuk seorang
tawanan seperti aku?" kata Suro kepada perempuan cantik berambut panjang terurai
yang membawakan makanan itu.
"Panglima Putri yang menyuruhku menghidangkan
makanan ini," jawab perempuan itu.
"Panglima Putri" Siapa dia" Aku belum kenal."
"Panglima Putri Laras Peri. . Masa' kau belum kenal
dengannya."
"O, Laras Peri" Dia itu panglima di sini?"
"Benar. Dan aku adalah kakaknya! Namaku Panjar Arum."
Perempuan itu tersenyum lebar, manis sekali. Bibirnya
memang lebih lebar dari bibir Laras, tapi bibir itu cukup tipis dan mengundang
gairah bila tersenyum. Suro Bodong memperhatikan
wajah Panjar Arum yang mempunyai kemiripan denjgan Laras Peri, terutama pada
matanya yang kecil tapi bening dan tajam. Bulu
matanya lentik dengan hiasan alis yang melengkung indah. Mata itu memang mirip
sekali dengan mata milik Laras Peri. Hanya saja, tubuhnya lebih padat dan
sedikit besar ketimbang tubuh Laras Peri.
Juga dada Panjar Arum kelihatan lebih menonjol dan berisi
ketimbang dada Laras Peri.
"Kenapa Laras Peri menyuruhmu memberikan hidangan
ini?" Suro Bodong ingin mengorek segalanya.
Panjar Arum yang mengenakan baju longgar warna hijau itu
duduk di kotak logam yang panjang. Ia menyibakkan rambutnya
yang panjang, yang jatuh ke dada dan dirapikan kebelakang.
"Banyak yang telah diceritakan oleh Laras Peri,"
Suro Bodong melirik ke pintu, oh. . agaknya pintu dikunci
kembali. Pasti penjaga takut kalau Suro Bodong menyempatkan diri untuk lolos
dari kamar tahanan itu.
"Apa yang kau dengar dari Laras Peri?" pancing Suro sambil mengambil buah anggur
berwarna hijau bening.
Panjar Arum tertunduk malu.
"Dia menceritakan tentang diriku?"
"Ya," jawab Panjar Arum yang merasa kikuk dipandang Suro Bodong senanap itu.
Suro Bodong sendiri mengakui bahwa
kulit Panjar Arum ini kelihatan lebih halus, lebih lembut dan lebih mulus
ketimbang kulit Laras Peri. Warnanya pun lebih kuning,
bersih, daripada kulit Laras Peri. Ini menandakan Panjar Arum tidak pernah
keluar dari istana dan lebih tekun merawat tubuhnya.
"Ceritakan apa yang kau dengar dari Laras Peri, kalau-kalau ternyata dia
menipumu; Aku bisa membetulkannya."
Setelah tersenyum malu. Panjar Arum mengatakan:
"Dia menceritakan telah bertemu dengan lelaki yang jantan dan perkasa.
Namanya. . Suro Bodong, dan dia ada dalam tahanan.
Tetapi. . kata Laras, tawanannya kali ini sungguh merupakan
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tawanan yang hangat."
"Dia bohong!"
"Dia pernah kau sentuh dengan kumisnya, bukan?"
"Ah, dia bohong! Aku hanya menciumnya tanda aku sangat
bergairah terhadapnya."
"Terhadapnya saja?"
Pancingan itu membuat Suro Bodong tersenyum. Bau harum
tercium dari tadi, namun kali ini lebih tajam dan nyata. Ini akibat Suro Bodong
berdiri tepat di depan Panjar Arum. Perempuan itu menengadah memandang wajah
Suro. Ia tetap duduk di depan Suro tanpa bergeser.
"Kudengar darinya, kau mau memberi sentuhan kepada
kami asal kau bertukar tawanan."
"Ya. Asal istriku dibebaskan dari genggaman Sri Ratu Manis.
Aku sanggup mencari penggantinya yang sama-sama putri raja ju-ga"
"Dan kau bersedia menjadi pelayan kenikmatan kami" Kau
mau membagi kehangatanmu itu, bukan?"
"Kalau memang aku mau, kenapa?"
"Itulah sebabnya aku dikirim ke mari untuk membuktikan
keterangannya tentang kamu."
Suro Bodong mengerti gelagat yang dihendaki perempuan
berkulit mulus itu. Maka, dengan tetap berdiri di depan Panjar Arum yang duduk
itu, Suro Bodong mengusap rambut Panjar
Arum. "Apakah aku harus memulai dari kamu?" kata Suro.
Panjar Arum menengadah dan berkata pelan, "Dia
mengizinkan kakaknya untuk menyelam dalam kehangatanmu lebih
dulu. Apa kau keberatan kalau aku mengawalinya?"
Tangan Panjar Arum mulai gerayangan tak karuan. Ada
sesuatu yang diremas lembut dan Suro Bodong mendesah lalu
berkata: "Tubuhku kotor. . aku harus membersihkan tubuh dulu.
Aku butuh mandi."
"Tak perlu. Justru yang dalam keadaan seperti ini yang
menjadi seleraku.. " Panjar Arum semakin berani, merayap kian ke mari seperti
tangan seorang dukun pijat.
"Bagaimana dengan penjaga di depan kamar ini?" bisik Suro Bodong ketika Panjar
Arum semakin menjadi binal.
Nafasnya sesekali tersengal dan ia pun menjawab, "Penjaga tetap akan menjaga
kita. Ohh. . ternyata Laras Peri tidak berbohong padaku."
"Soal apa?"
"Keperkasaanmu.. !" Panjar Arum mendengus-dengus.
"Sungguh di luar dugaan. Kukira hanya biasa-biasa saja, ternyata ini lebih dari
sekedar jarum. Kurasa. . kurasa ini sebuah tombak yang kucari selama ini. .
yaaah. .!" Panjar Arum dibiarkan melahap apa yang hendak dilahap. Tetapi dalam
hati Suro Bodong timbul
berbagai pertanyaan yang membingungkan diri sendiri.
Mengapa jadi seperti ini" Ia memandang pusakanya sendiri,
begitu hebatnya"! Dia heran. Dia nyaris tidak percaya kalau dia memiliki suatu
kebesaran yang memang amat besar dan menggugah birahi perempuan. Padahal
seingatnya, ia tidak memiliki senjata seperkasa sekarang. Mengapa kini ia
seperti memiliki barang baru yang lebih hebat dari barang miliknya semula" Aneh!
Ada suara benda bergeser, Suro Bodong melirik ke kiri, dan
ia melihat dinding bagian atas ternyata dapat digeser seukuran 3X4
jengkal tangan dewasa. Ada semacam kaca gelap di sana, dan Suro buru-buru
memahami, bahwa di balik kaca gelap itu pasti ada wajah manusia dua atau tiga
orang yang dapat memandang ke arah kamar itu. Pasti ada yang sengaja
memperhatikan adegan tersebut dari balik kaca hitam. Suro berlagak tidak tahu,
namun ia semakin
memainkan gaya yang mampu mengundang gairah bagi mereka.
Mungkin Sri Ratu Manis sendiri yang sengaja mengirim Panjar
Arum untuk menguji sampai di mana kehebatan Suro Bodong.
"Kenapa tidak kau lepas saja pakaianmu?" bisik Suro Bodong karena Panjar Arum
sudah melucuti busana yang dikenakan Suro Bodong.
"Panjar Arum. . kenapa tidak kau lepas saja perintangmu
itu. .?" ulang Suro Bodong yang diterkam terus oleh Panjar Arum.
Perempuan itu berhenti sebentar dan berkata,
"Kalau kau bisa melucutinya, kenapa tidak kau lakukan
saja. ." Lakukanlah dan aku akan bekerja untukmu.. Hmmm. .?"
Panjar Arum memandang dengan sorot mata sayu. Suro
Bodong tak mau mendapat izin dua kali, segera jari-jemarinya
beraksi di sekujur tubuh Panjar Arum.
Makin lama, Suro Bodong semakin heran dengan barang
miliknya. Sungguh heran. Karena selama ini ia merasa tidak
memiliki kebesaran dan kepanjangan senjata rahasia yang saat ini dilihatnya. Ia
sempat bertanya, senjata siapakah yang ia kenakan itu" Mengapa menjadi sebegitu
megah dan kokoh" Benar-benar
suatu kejantanan yang menggelitik hati perempuan. Panjar Arum sendiri menjadi
tergila-gila dan tidak memperdulikan lagi gincu tipis di bibirnya yang mempunyai
aroma harum itu. Ia menghapus gincu itu dengan kebesaran yang amat didambakan,
dan kebesaran itulah yang kini menjadi milik Suro Bodong.
"Lakukanlah. .! Lakukanlah apa kau mau.. !" bisik Panjar Arum. Suro Bodong
memanfaatkan perintah itu untuk hal lain. Ia berbisik ketika wajahnya naik,
menyusuri perut ke dada dan ke leher, kemudian ke telinga:
"Di mana Sendang Wangi" Lekas katakan. . "
"Ooh. . lakukanlah sekarang juga. . lakukanlah. .!" Panjar Arum merintih.
"Di mana tumbal itu ditawan" Di mana. ." Tidak akan
kulakukan sebelum kuketahui tempat tumbal itu ditawan"!"
"Oh, kau menyiksaku.. !" rengeknya. "Tawanan itu ada di ruang bawah tanah. .
Lekas lakukan, oooh. . tolonglah. ."
Suro Bodong menggeluti dengan desah berpacu dengan
desah. Ia masih sempat berbisik:
"Di ruang bawah tanah yang mana" Bukankah istana ini
tidak menyentuh tanah?"
"Bukan. . bukan di ruang bawah tanah, maksudku.. di
bawah kamar ratu. . di bawah kamar ratu. . "
"Aku ingin menemuinya. . "
"Lakukanlah dulu, ooh. . jangan siksa aku.. lakukanlah,
setelah itu kau bebas menemuinya di ruang berpintu bulat. Cepat..
aaah. .!!" rengekan itu semakin tajam dan jelas.
Akhirnya Suro Bodong melakukan apa yang diinginkan
Panjar Arum. Percaya atau tidak, Suro Bodong sudah punya sasaran, yaitu ruang di
bawah kamar ratu, berpintu bulat. Entah benar atau tidak, tapi Suro Bodong tetap
akan mencoba mendobrak pintu
kamar itu setelah melakukan keinginan Panjar Arum.
Ketika terkena udara di luar, sesuatu yang amat perkasa itu
telah menjadi mengendur, surut, dan mengecil kembali. Suro
Bodong sendiri memandang penuh keheranan dan merasa takut
yang membingungkan. Lalu ia teringat biji-bijian yang mirip kacang pemberian
Empu Segah. Apakah hal itu juga dikarenakan ia
memakan habis biji-bijian itu" Apakah kacang yang dimakan itu mempunyai
keistimewaan dapat membunuh perempuan dengan
kebesaran seperti itu" Entahlah.
Yang jelas, ia mendengar pintu kamar segera dibuka oleh
penjaga, lalu beberapa orang menghambur masuk dan berteriak:
"Sri Ratu. ."! Sri Ratu Manis dalam bahaya. .! Lekas bawa keluar beliau.. !"
Tetapi pada saat itu, semua orang yang ada di situ berteriak
nyaring karena Panjar Arum melepaskan nafasnya yang penghabis-an. Banjir darah
melimpah di lantai dan membuat suasana menjadi sangat mengerikan. Suro Bodong
buru-buru mengenakan pakaiannya termasuk perlengkapan yang diberikan oleh Empu
Segah. "Ratu tewas. .! Tidaaak. .!! Kau membunuh ratu kami!"
Suro Bodong mendesah oleh amukan orang-orang yang
berseragam kuning gading itu. Mereka menuduh Suro Bodong telah membunuh ratu
mereka. "Aku tidak membunuh ratumu! Itu Panjar Arum. .! Dan. ."
"Dialah ratu kami! Dia Sri Ratu Manis yang sengaja
menemuimu dengan menyamar sebagai perempuan biasa bernama
Panjar Arum. .!!"
"Mana aku tahu"! Dia tidak bilang kalau dia ratu. .! Dan lagi, dia mati karena
ulahnya sendiri. Aku tidak berbuat apa-apa, dia yang berbuat jingkrak-jingkrak
seenaknya!"
"Kau membunuh ratu kami, seraaaaang. .! Serang dia. .!"
Pedang dihunus oleh para perempuan berseragam kuning.
Suro Bodong ada dalam posisi tersudut. Ia kebingungan
menghindari pedang-pedang yang bersimpang siur hendak
membunuhnya. Bahkan pundaknya sempat tergores pedang salah
satu dari prajurit berseragam kuning itu.
Suro dapat memastikan ia akan mati dalam posisi terjepit
seperti itu. Maka, ia pun ingat tiga butir batu pemberian Empu Segah. Ia
mengambilnya sebutir dan melemparkannya kuat-kuat
hingga menghantam dinding. Dan, di luar dugaan, ternyata batu itu meledak dengan
cukup dahsyat dan kuat. Suro Bodong segera
merunduk di bawah kaki mereka. Ledakan itu menjebolkan dinding dan membuat
beberapa orang menjadi hancur, terutama yang dekat dengan ledakan tadi.
Sementara itu, Suro Bodong sendiri tertimbun dinding dan mayat orang-orang yang
berlumur darah. Tak satu pun yang hidup, kecuali Suro Bodong yang selamat karena
tertindih tubuh perempuan-perempuan itu.
Dengan susah payah Suro Bodong berusaha keluar dari
timbunan mayat dan logam kuat dari pecahan dinding itu. Oh,
ternyata hari sudah menjadi malam. Ia tak sadar akan hal itu. Sinar bulan masih
kelihatan memancarkan cahayanya ke bumi. Dan sinar bulan itu menampakkan betul
sosok orang-orang perempuan yang
berdiri membentengi reruntuhan kamar tahanan. Mereka semua
berpedang dan siap menghabisi nyawa Suro Bodong.
"Itu dia. .! Dia masih hidup.. !" teriak salah seorang.
Kemudian mereka beramai-ramai menyerbu Suro Bodong dengan
pedang terangkat ke atas dan siap ditebaskan.
Suro Bodong tergeragap sebentar. Kemudian ia mengeluarkan sepotong kayu pemberian Empu Segah. Ia tak tahu
kayu itu berguna untuk apa, tapi menurut pesan, kayu itu dibuang saja di
sembarang tempat. Karena Suro yakin bahwa Empu Segah
pasti tidak sia-sia memberikan kayu tersebut. Maka, ia pun
membuang kayu itu, seakan dilemparkan kepada kerumunan orang
yang hendak mendekatinya.
Dua orang maju dari belakang dan hendak menghunjamkan
pedangnya ke punggung Suro. Tetapi Suro segera melompat dan
menendang kedua tangan orang itu. Kedua pedang terlepas dari
genggaman lawan, lalu tangan Suro kedua-duanya menghantam ke
depan, dan kedua lawan itu terpental jatuh. Suro Bodong punya kesempatan untuk
melarikan diri. Seorang menghadang dengan
tombak di tangan. Suro Bodong melompat dengan gerak tendangan berputar di udara.
"Aaaooh. .!!" orang itu terpental terkena kibasan tendang kipas Suro Bodong.
Lalu ia berlari lagi ke suatu tempat, yaitu halaman depan istana. Namun
sebelumnya ia sempat mendengar
suara perempuan-perempuan berteriakan, menjerit dalam ketakutan dan berlarian
tunggang langgang. Suro berhenti dari larinya,
memandang ke arah mereka. Ia mengira ada bantuan dari pihak lain yang tak
dikenal, ternyata dugaannya meleset. Perempuan-perempuan itu menjerit-jerit
karena tubuh mereka disengat
kalajengking hitam. Banyak binatang kalajengking yang tersembul dari tanah dan
menyebar ke mana-mana. Jumlahnya lebih dari dua ratus ekor kalajengking hitam
berkepala besar. Mereka merayap ke setiap tubuh dan menyengatnya tanpa ampun
lagi. Suro Bodong segera menyadari bahwa kayu yang
dibuangnya tadi mengundang banyak ketonggeng atau kalajengking bermunculan dari
tanah. Tapi. . tapi bukankah istana ini
mengambang, tidak menyentuh tanah" Lantas dari mana binatang
itu bermunculan"
"Istana mendarat.. !! Istana mendarat.. !!" seru seorang yang keluar dari menara
pengawas. Dan seruan itu mebuat suasana
menjadi semakin kalang kabut. Rupanya istana sudah menapakkan landasannya ke
tanah dan barangkali segala kekuatan yang melapisi istana itu telah punah sejak
tewasnya Ratu Manis yang mengaku bernama Panjar Arum itu.
Suro Bodong hampir saja terkena lemparan tombak dari
seseorang yang muncul di belakangnya. Untung ia segera
menangkap tombak itu, dan kembali dilemparkan ke orang tersebut sehingga orang
itu tak sempat menghindar karena cepatnya.
Tombak menancap di pinggang orang itu, dan Suro Bodong berlari ke tengah
lapangan yang ada di depan serambi istana. Di sana
memang ada tempat luas, berbentuk lukisan bulat dengan wajah
bunga matahari. Suro Bodong buru-buru meletakkan cermin kecil berbentuk bulat
tapi bersusun segitiga. Tiga cermin bulat yang setiap sisinya bertautan itu
diletakkan persis di tengah lingkaran gambar bunga matahari. Pada saat itu.
Laras Peri berteriak sambil menghunus pedangnya:
"Suro. .!! Hentikan tindakanmu atau istrimu kubunuh
sekarang juga!!"
Laras mengancam Sendang Wangi dengan pedang di leher.
Suro Bodong menjadi tegang, kebingungan. Ia bergerak ke samping dengan hati-
hati. Ia ingin membujuk Laras Peri, namun pada saat itu ternyata cermin yang
diletakkan di tengah lingkaran itu
memancarkan sinar hijau bening. Sinar itu memancar ke mana-mana dan membuat
beberapa letupan, mengenai beberapa orang dan
membuat orang itu terbakar. Laras Peri sendiri tiba-tiba menjerit dan jatuh
terguling-guling dari serambi istana.
"Nyai. . cepat ke mari. .!" Suro Bodong segera menangkap istrinya yang melompat
kepadanya. Saat itu. Laras Peri masih
sempat berdiri.
"Kangmas. . hati-hati terkena sinar dari cermin itu. .!"
Rupanya cermin itu bukan sekedar cermin. Empu Segah
telah mengaturnya dan membuat sedemikian rupa, sehingga apabila cermin itu
terkena cahaya bulan, akan memantulkan suatu kilatan api warna hijau muda, api
itu berkelok-kelok dan menimbulkan
ledakan jika terkena tubuh orang-orang Istana Awan. Nyatanya, kilatan sinar itu
terkena di kaki Suro Bodong, tidak menimbulkan ledakan yang membakar.
"Kangmas. .! Awas senjata itu. .!"
Suro Bodong dengan istrinya sama-sama merunduk ketika
senjata cakra melesat dan berputar-putar mencari mangsa. Suro Bodong segera
mencabut pedang pusakanya yang tersimpan di
dalam kulit lengan kirinya. Begitu ia meraba lengan kirinya dan menariknya
dengan suatu hentakan khusus, maka tangan kanan
Suro Bodong pun telah memegang pedang yang berpijar
memancarkan sinar warna ungu. Laras Peri setengah terkejut
melihat Pedang warna ungu. Itulah Pedang Urat Petir yang menjadi pusaka Suro
Bodong. Ketika senjata cakra yang melayang-layang itu hendak
menghantam istri Suro dari belakang. Pedang Urat Petir segera ditebaskan dan
terjadilah percikan api dalam suatu letupan kecil akibat pedang Suro menebas
senjata cakra. Senjata itu sendiri hancur menjadi beberapa potong dan tak mampu
berbuat lebih banyak lagi kecuali menjadi sampah.
Laras Peri semakin turun nyalinya. Ia melarikan diri, tetapi
Suro Bodong segera melancarkan suatu jurus yang bernama Jurus Pedang Jitu.
Ia melemparkan Pedang Urat Petir ke udara sampai
berputar tujuh kali. Kemudian ia menyongsong turunnya pedang
dengan suatu tendangan yang mengenai gagang pedang. Maka
pedang itu melesat ke arah Laras Peri dalam keadaan pecah menjadi tujuh bagian.
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masing-masing bagian menyerang Laras Peri dan
beberapa orang yang ada di sekitarnya. Kemudian terdengar
teriakan Laras Peri yang dihunjam oleh salah satu pecahan pedang, juga teriakan
beberapa di sekitarnya yang juga terkena pecahan pedang. Ketika mereka
bergelimpangan, pecahan pedang itu
melayang terus dan kembali membentuk satu bagian, tergenggam
erat di tangan Suro Bodong.
"Lekas tinggalkan tempat ini. .!" teriak Suro Bodong sambil menggeret istrinya.
"Kakang, ada kalajengking banyak. .!!" Sendang Wangi menjerit. Ia jijik dengan
binatang kalajengking. Mau tak mau Suro Bodong segera memanggul istrinya ke
pundak. Dan ia segera berlari menjauh. Berhenti sebentar, lalu melemparkan dua
butir batu sisa pemberian Empu Segah itu. Satu batu dilemparkan ke serambi
istana dan satu dilemparkan ke kerumunan orang-orang yang
hendak mengejar Suro Bodong menjadi berkeping-keping karena
ledakan tersebut.
Kobaran api menyala di sana-sini, pekik dan jeritan mereka
menjadi seperti suara dari neraka. Suro Bodong segera melompat ke benteng
pembatas halaman, lalu melompat ke luar halaman. Istrinya diturunkan, dan ia
berseru: "Lekas lari. .! Ayo, lari sekencang-kencangnya. Di sini sudah tidak ada
kalajengking lagi. .!"
Suro Bodong dan istrinya melarikan diri masuk ke semak-
semak hutan belukar. Namun tiba-tiba tangan Suro Bodong ada
yang menyeretnya ke tempat lain, dan ternyata orang itu adalah Empu Segah.
"Cepat merunduk. . istana itu akan meledak. .!"
Tepat ketika istri Suro Bodong merunduk, ledakan tak
terhingga kerasnya berbunyi menggelegar. Tanah semakin bergetar dan air telaga
memercik ke mana-mana.
"Ada gas racun di sana yang bisa meledak apa bila terkena percikan api!" kata
Empu Segah. Suro dan istrinya menggumam terheran-heran. Suro
berbisik kepada Empu Segah, "Ratu mati ketika ia bercinta denganku. Tapi mengapa
bisa menjadi besar kekuatanku ini" Ka-sihan istriku nanti. . "
"Biji-bijian itu penyebabnya. Dan. . ketahuilah, bahwa darah dan cairan yang ada
dalam tubuh mereka berbeda dengan kita, sehingga bisa membuat kekuatanmu
bertambah. Mereka itu bukan
orang-orang kita."
"Maksudnya?"
"Orang-orang dunia lain. Dan istana itu menurutku hanya
sebuah kendaraan dari luar dunia kita. ." Suro Bodong menggumam sambil
menggenggam tangan istrinya. Ia tertegun kaku.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial SURO BODONG Pendekar 7 Keliling
Sengaja dibuat untuk Anda Penggemar
cerita silat yang mungkin bingung untuk
memilih serian mana yang akan dibaca.
Dengan gaya penulisan yang khas, ditambah
penggunaan bahasa yang indah serta isi cerita
yang menawan dan tegang,
menjadikannya semuanya itu terasa
pas untuk Anda. Buktikan sendiri!
Tersedia dalam kisah :
Pedang Jitu Sakti
Pedang Urat Petir
Pedang Kerak Neraka
Iblis Hutan Tengkorak
Pertarungan Bukit Asmara
Racun Madu Mayat
Rahasia Tombak Dewa
Tumbal Mahkota Ratu
Dendam Perempuan Sepi
Jerit Di Pucuk Rembulan
Adipati Bukit Sekarat
Geger Pusaka Matsuri
Sukma Pedang 1 Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa Manusia Harimau Marah 5
kiri. ." Wah, ini membuat Suro Bodong bingung dan garuk-garuk kumis lagi.
Tetapi akhirnya naluri Suro memutuskan untuk berjalan ke
arah sebelah kiri mayat Setu yang terbujur seperti pada posisi semula itu.
Langkahnya cukup hati-hati, sebab Suro tahu kalau ia melangkah semakin dekat
dengan Istana Awan, paling tidak akan semakin banyak perintang yang akan
ditemuinya. Namun, sampai
sejauh ia melangkah, ia belum juga menemukan sebuah telaga yang menjadi patokan
letak Istana Awan. Suro masih harus bersabar dan melangkah dengan hati-hati
lagi. Matahari mulai condong ke Barat. Langkah kaki Suro yang
pelan-pelan menimbulkan rasa pegal yang menjengkelkan. Suro
berhenti sejenak. Ia mulai ragu, jangan-jangan ia salah arah. Ia menghempaskan
nafas seraya duduk di bawah pohon besar.
Perutnya yang tumben-tumbenan terasa lapar itu mengkeriuk minta diisi. Suro
ingat biji-bijian sejenis kacang pemberian Empu Segah.
Maka, satu demi satu ia memakan biji-bijian tersebut. Sedikit keras dan getir,
tapi lumayan sebagai pengganjal perut. Dua biji dimakan, terasa cukup untuk
membuat perut mulai kenyang.
"Aneh," gumam Suro sendirian. "Baru makan dua seperti sudah makan dua buah
pisang kepok. Lumayan juga, ya?"
Masih ada sebagian biji-bijian yang belum dimakan, tapi
Suro tak jadi melanjutkan melahapnya. Ia mulai curiga melihat tanah gembur dan
empuk. Semakin ia melangkah memperhatikan
tanah itu, semakin basah daerah sekelilingnya. Tanah itu
mengandung air. Ini berarti dekat dengan sumber air. Ya. Air telaga"
Semangat Suro Bodpng kembali menyala. Ia bergegas
melangkah maju. Ia yakin sudah dekat dengan telaga yang tadi
disebutkan oleh Setu. Dan, ternyata dugaannya itu benar. Suro melihat genangan
air telaga yang tidak terlalu luas. Garis tengah telaga itu kurang lebih hanya
15 meter. Akhirnya terlihat bening berkilauan. Di tepian telaga banyak tanaman
perdu dan pohon
menjulang. Beberapa daun sempat merimbun menaungi telaga.
Berkas sinar matahari masuk melalui celah-celah dedaunan,
mengakibatkan suasana di sekitar telaga menjadi lebih teduh dan nyaman.
"Ini telaga yang dikatakan Setu tadi. ." gumam Suro Bodong.
Tetapi ia melirik ke kanan-kiri, namun belum menemukan
bangunan yang layaknya disebut sebagai istana.
Suro melangkah semakin maju dengan penuh kewaspadaan.
Ternyata ketika ia membuka rumput ilalang di depannya, matanya menjadi
terbelalak melihat pemandangan yang mengherankan. Di
suatu sisi telaga, kira-kira 25 meter dari tepi telaga, terlihat suatu bentuk
gumpalan asap tebal yang menyerupai awan. Gumpalan
awan berwarna putih bagai sekumpulan kabut itu mengambang di
atas tanah. Tingginya sekitar satu meter dari permukaan tanah.
Sedangkan tebal awan itu sendiri satu meter lebih. Gumpalan awan itu melingkar,
bagai memagari sebuah bangunan indah yang
kelihatan samar-samar karena diselimuti asap-asap yang bergerak searah gerakan
matahari. Bagian ujung atap bangunan terlihat lebih jelas ketimbang bagian dasar
atau bangunan bawahnya.
Suro mengerjap-ngerjapkan mata, bagai tidak yakin dengan
keanehan yang dilihatnya. Sebuah bangunan indah dan megah
berdiri di atas gumpalan awan tebal, ini sungguh ajaib. Pantas rasanya jika
bangunan itu bisa berubah tempat sewaktu-waktu,
karena awan yang menggumpal dan seolah-olah dijadikan landasan itu juga mampu
bergerak kian ke mari.
Mata Suro Bodong mengawasi bangunan megah itu,
mencari-cari di mana letak tangga yang akan menghubungkan orang dari tanah naik
ke atas gumpalan awan. Sukar sekali meneliti tempat aneh itu dari kejauhan. Mau
tidak mau Suro harus berani mendekat dan mencari tangga tersebut. Ia juga ingat
kata-kata Empu Segah, bahwa mencari tangga itu sendiri merupakan pekerjaan yang
sulit. Selagi Suro Bodong merenung dari balik semak ilalang,
tahu-tahu leher kirinya terasa dingin. Ada logam yang menempel di lehernya, lalu
disusul dengan suara seorang perempuan yang
bernada rendah, kecil namun terlihat kecentilannya lewat suara:
"Apa yang kau lakukan di sini, hah"!"
Suro Bodong bagai tersiram air dingin. Merinding bulu
kuduknya, berdebar pula jantungnya dengan cepat. Ah. . menyesal sekali ia bisa
tertangkap dengan mudah. Padahal ia masih
membutuhkan waktu untuk menyelidiki daerah gumpalan awan itu.
"Bangun. .!" bentak perempuan berpakaian hitam dari kulit beruang. Ia
menodongkan tombak berujung runcing dengan kanan
kiri ujung terdapat semacam kail besar yang melengkung, seperti pancing ikan
raksasa. Ujung tombak itu sendiri cukup panjang dan tajam. Ada kira-kira
sejengkal dan berbentuk segi empat ketupat.
Ujung itu bagai semakin ditekankan ke leher begitu Suro Bodong bangkit dan
berdiri. "Apa yang kau lakukan di sini" Mengintai istana kami?"
hardik perempuan genit yang suka tersenyum namun agaknya
berdarah dingin yang tak kenal ampun kepada siapa pun.
"Aku.. aku hanya terheran-heran melihat istana itu," kata Suro Bodong mencoba
untuk tetap tenang. "Aku.. aku sangat senang lihat gumpalan awan yang membungkus
bangunan itu. Apakah aku tak boleh mengagumi bangunan itu?"
"Kau bohong. .!" bentak perempuan itu dengan lebih
menekankan tombaknya ke leher Suro. "Kau pasti memata-matai kami, bukan?"
"Bu.. bukan! Aku.. aku sekedar mengaguminya."
"Bohong!" bentakan itu seiring dengan gerakan tombak yang kian menahan dan
menekan leher Suro. Waduh. . bagaimana ini"
Haruskah Suro menyerah begitu saja"
4 Perempuan berpakaian kulit beruang itu menyeringai ketika
Suro Bodong berhasil dipepetkan ke pohon. Leher Suro digencet dengan batang
pohon dan ujung tombak. Bergerak sedikit, pasti
tombak akan menembus kulit leher. Sebab itu, Suro tidak berani memberi
perlawanan atau gerakan yang memancing kemarahan
perempuan itu. "Buka pakaianmu.. ! Lekas!" bentak perempuan itu dengan suara tidak terlepas
lantang, namun sedikit menggumam dan berbisik. Suro Bodong semakin kebingungan.
"Lekas buka semua pakaianmu!" ulang perempuan berikat kepala dari logam perak
tipis. "Ma. . maaf, aku.. aku tidak bisa tahan jika harus buka
pakaian di depan perempuan cantik. Pasti. . pasti gairahku berkobar-kobar,
bahkan. . bahkan bisa membabi buta. . oh, jangan. Jangan suruh aku buka pakaian
di depan perempuan secantik kamu. Aku
bisa nekad menggumulimu sampai esok pagi. ." Suro Bodong sengaja memancing
dengan lagak ketakutan, gemetar dan kata-kata yang memancing birahi perempuan
itu. Dan, ternyata pancingannya itu berhasil. Suro tahu tujuan perempuan itu
menyuruhnya membuka semua pakaian, karena itu Suro pun menciptakan alam
pikiran perempuan itu untuk semakin menyala-nyala dalam
bayangan pergumulan yang menggairahkan.
"Apa kau biasanya begitu?"
"Betul. .! Aku.. oh, aku malu. Aku punya keanehan jika
bercinta, selalu saja tak pernah lepas gairahku sebelum terdengar kokok ayam di
pagi hari. . ."
"Aneh. . tapi menarik sekali untuk dicoba. ." perempuan itu mulai mengendorkan
tekanan tombaknya. "Kau orang dari mana?"
"Aku.. " Suro masih berlagak bingung, gemetar dan
ketakutan. "Aku.. hanya seorang pencari madu hutan untuk dijual kepada para
bangsawan. Dan. . dan karena aku sering memakan
sarang lebah hutan, maka. . aku jadi mempunyai kelainan seperti yang kukatakan
tadi. Maaf, jangan paksa aku untuk berbuka
pakaian. Nanti aku nekad menggumulimu!"
Perempuan itu menyeringai dengan sorot mata yang
berbinar-binar penuh gairah. Lalu, ia pun melepaskan acungan
tombaknya. Kini ia berdiri dengan tombak di tangan dan dalam
keadaan tegak di depan kaki kanannya.
"Melihat badanmu yang berotot dan celanamu yang
menonjol, aku percaya kau memang orang kuat dalam hal
bercumbu. Sekarang, tolong layani aku di tempat yang rimbun itu."
Suro Bodong berlagak terkejut dan terbengong. "Aku.. oh, jangan. Nanti aku memaksamu bertarung sampai pagi. . "
"Itu yang kumau.. ! Ayo. ." perempuan itu benar-benar yakin bahwa Suro Bodong
punya kekuatan yang maha hebat dalam
bercinta. Sebab dari tadi matanya melirik ke celana Suro Bodong, dan ia melihat
sesuatu yang cukup menonjol di sekitar paha Suro Bodong. Gairahnya sudah bernada
pancingan untuk bercumbu. Ia
melangkah ke semak rimbun yang kelihatan lebih rapi dan lebih tersembunyi.
Ketika itu Suro Bodong berada di belakangnya. Perempuan
itu sesekali berpaling sambil tersenyum merangsang. Bahkan tali ba-junya sudah
mulai dilepas satu persatu.
"Ayolah. . jangan takut. Aku tidak akan membunuhmu
kalau kau mau memberiku kebahagiaan sampai esok pagi. ."
Tetapi, kali ini Suro Bodong sengaja berkata:
"Justru kau harus membunuhku dulu, baru arwahku mau
bergumul denganmu.. !"
Perempuan itu terkejut. Segera memandang Suro Bodong
dengan mata terbelalak dan menyimpan geram.
"Apa maksudmu berkata begitu, hah?" tombak mulai
diacungkan. Tetapi Suro Bodong tidak mau banyak bicara.
Sewaktu tombak hendak disodokkan ke leher Suro Bodong,
kaki Suro segera menghentak ke atas, menendang tombak itu
dengan kuat. Kaki kiri menendang tombak sampai tombak terangkat ke atas,
sementara kaki kanan segera masuk ke ulu hati perempuan itu dengan keras juga.
"Huuuggh. .!!"
Perempuan itu menyeringai menahan sakit di mana
nafasnya tak mampu dihirup lagi. Ia membungkuk menahan sakit
yang membuat matanya terpejam kuat-kuat. Posisi berdirinya mulai limbung. Suro
Bodong tak mau banyak membuang waktu. Ia segera menghantam pelipis perempuan
yang bertugas menjaga keamanan
di luar istana itu. Pukulan Suro membuat perempuan itu melintir dan rubuh ke
tanah. Tombaknya terlepas. Lalu, Suro buru-buru
memungut tombak itu, dan tanpa ampun lagi ia menancapkan
tombak tersebut ke perut perempuan itu.
"Mati sajalah kau, daripada nanti menjadi biang penghalang gerakanku.. !!" kata
Suro Bodong dengan geram dan suara pelan.
Setelah tombak itu menancap sampai tembus ke tanah, Suro
Bodong segera mengendap-endap mendekati gumpalan awan yang
memagari bangunan mewah dan indah itu. Suasananya cukup sepi.
Tak ada suara apa-apa, tak ada gerak apa pun juga, kecuali asap yang melilit-
lilit mengitari bangunan besar yang luas itu. Suro Bodong masih kebingungan
mencari tangga yang dapat untuk naik ke landasan apung bagi istana tersebut. Ia
belum berani mendekati terlalu nyata, takut kalau-kalau ada penjaga yang bisa
melihatnya dari atas awan tersebut. Barangkali saja orang-orang di atas
gumpalan awan itu dapat melihat dan mendengar keadaan di luar, sedangkan orang
yang di luar gumpalan awan tak bisa mendengar atau melihat apa pun yang terjadi
di atas gumpalan awan itu.
"Aku harus menggunakan jurus Luing Awan Empat, supaya
tidak menimbulkan kecurigaan bagi para pengawal yang pasti ber-jaga-jaga di
balik gumpalan awan itu," pikir Suro Bodong. Kemudian ia mencari tempat sedikit
lega, dan jurus Luing Ayan-4 segera dilakukan; Suro Bodong melompat ke udara dan
bersalto sebanyak 4
kali tanpa menyentuh tanah. Itulah Luing Ayan-4 yang langsung merubah ujud Suro
menjadi seekor monyet berbulu ungu.
Apabila monyet ungu itu melompat ke udara dan bersalto
satu kali putaran, maka ia akan berubah ujud menjadi Suro Bodong kembali. Namun,
untuk saat itu, Suro tidak mau melakukan dulu. Ia bergegas melompat-lompat dalam
ujud raga seekor monyet berbulu ungu kehitam-hitaman. Monyet itu dengan gerakan
yang lincah mendekati gumpalan awan, memandangnya dengan kepala
bergerak-gerak miring seperti seekor monyet yang terkagum-kagum melihat gumpalan
awan selebar itu. Bahkan kini monyet itu
bergerak mengelilingi lingkaran awan yang cukup luas dan lebar.
Sambil melompat-lompat selayaknya kera kebingungan, ia
menyelidiki di mana letak tangga yang dapat digunakan sebagai jalan naik ke
landasan apung dari istana tersebut.
Beberapa saat kemudian, Suro Bodong yang berujud seekor
monyet ungu itu menggerutu sendiri sambil garuk-garuk ketiaknya,
"Sialan. .! Di mana tangga itu, ya?"
Kemudian ia menemukan suatu gagasan unik. Monyet
melompat-lompat sambil menjerit-jerit. Gerakan dan suaranya mirip monyet kena
sawan celeng dan menjadi gila. Ia mengelilingi
lingkaran awan tebal, bahkan menyelusup masuk di bawah
lingkaran awan itu. Jeritannya diperkeras, dan ternyata pancingan itu berhasil.
Cara itu membuahkan hasil yang diharapkan. Seorang perempuan berpakaian kuning
gading turun dari tangga. Saat itu mata monyet membelalak, ia memperhatikan anak
tangga yang terdiri dari empat baris keluar dari gumpalan awan. Anak tangga itu seperti
sebuah bingkai kaca berlapis sinar yang dapat sewaktu-waktu padam sendiri.
Muncullah tangga berwarna sinar merah itu bukan dari atas ke bawah, namun
menyala secara tiba-tiba, bagai disorotkan dari atas ke bawah. Ini merupakan
tangga aneh dan unik yang baru pertama kali dilihat Suro Bodong, sekali pun
sekarang dia dalam ujud seekor monyet ungu.
Perempuan berseragam kuning gading, dan menyelipkan
sebilah pedang di punggungnya itu mendekati monyet ungu. Ia
tampak girang melihat monyet ungu melonjak-lonjak seraya
bergerak mundur. Perempuan itu, yang tentunya salah satu penjaga istana, dengan
sangat hati-hati mendekati monyet ungu. Jemarinya bercetek-cetek membujuk monyet
ungu agar jangan takut
kepadanya. "Kemarilah sayang. . kemarilah. . jangan takut, sayang. ."
perempuan itu membujuk sambil berjalan membungkuk. Suro
Bodong yang berujud monyet ungu memasang strategi. Ia diam
berlagak seperti monyet jinak. Sebenarnya, saat itu ia ingin
menyerang perempuan itu. Ia bisa saja melompat dan menerkam
leher perempuan itu hingga digigitnya sampai putus. Tapi, tiba-tiba ia mempunyai
rencana lain. Monyet ungu diusap-usapnya oleh perempuan itu. "Jangan
takut, sayang. . kami tak mungkin memakan dagingmu.. hi, hi. .
lucu sekali monyet ini," kata perempuan itu sendirian.
Hampir saja monyet ungu bicara dengan suara manusia,
tetapi Suro Bodong buru-buru menjaga suaranya agar jangan sampai menimbulkan
kecurigaan bagi lawan. Jika ia bicara dalam suara manusia, bisa jadi ia
dicurigai lalu dibunuh dan dijadikan santapan sebagai 'monyet guling'. Oh, Suro
tak ingin mati sebagai monyet.
Sebab itu ia tetap beker-beker seperti suara seekor monyet pada umumnya.
Ia membiarkan perempuan itu menggendongnya dengan
tetap mengusap-usap. Ia digendong dan diletakkan di dada
perempuan itu yang menonjol dan terasa hangat.
"Gawat.. " kata Suro Bodong dalam hati. Ia jadi kebingungan ketika wajahnya
disandarkan di tubuh perempuan itu, persis di antara belahan dadanya. Debar-
debar jantung monyet menjadi
keras, seperti umumnya debar-debar seorang lelaki yang
menempelkan kepalanya di dada seorang perempuan sexy seperti
penjaga berseragam kuning gading itu.
"Kau monyet lucu.. ! Monyet siapakah kau" Hemm. ." Ah,
ikut aku ke atas saja, yuk. .! Jangan takut, kau di sana akan menjadi hiburan
bagi kami. Hei. ." Wah, wah, wah. ."!"
Perempuan itu membelalakkan matanya dengan terperanjat
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menahan rasa geli. Ia akhirnya tertawa sambil melangkah
menaiki anak tangga yang sama-sama berseragam kuning gading
dengan pedang di punggung, hanya saja rambutnya lebih pendek
lagi dan tali kepalanya berwarna biru tua.
"Kenapa kau tertawa terpingkal-pingkal begitu, Nyumi?"
tanya temannya. Perempuan yang dipanggil Nyumi itu masih
menghabiskan tawa, dan ia bicara di sela tawanya:
"Lihat.. monyet ini ternyata monyet jantan. Lihat saja
barangnya, ketika kurebahkan di dadaku, ia menjadi kejang dan. . hi, hi, hi. .
lihatlah ini"!"
Perempuan berikat kepala biru itu memeriksa kejantanan
monyet ungu. Ia terperangah girang dan berkata:
"Astaga. . mirip sekali dengan barang manusia lelaki, ya"
Woow. . hi, hi, hi. . "
Perempuan itu ikut mengikik geli. Monyet ungu bagai
dipangku, dihadapkan ke depan dan perempuan berikat kepala
ungu itu mempermainkan dengan geli dan terkikik-kikik.
"Rupanya dia punya nafsu juga, ya Buli?" kata Nyumi kepada perempuan berikat
kepala biru yang dipanggil Buli itu.
Keduanya menjadi semakin mengikik geli setelah Buli
berbisik kepada Nyumi dengan kata-kata yang dapat didengar oleh monyet ungu:
"Siapa tahu monyet ini bisa bekerja seperti seorang lelaki dewasa. Ayo, kita
coba. .!" "Ah, gila kau! Masa aku harus tidur dengan seekor monyet"
Bagaimana nanti kata teman-teman kita, Buli?" seraya Nyumi tertawa geli.
"Ah, yang penting kan bisa dipakai! Siapa tahu lebih hebat dari pada seorang
lelaki. .! Eh, astaga. . Nyumi, lihat.. semakin besar saja dia. ."! Ih, aku jadi
berdebar-debar. .!"
Tiba-tiba, monyet ungu tak tahan dipermainkan oleh jari
jemari perempuan-perempuan berseragam kuning gading. Ia
melompat dan lepas dari pegangan Nyumi. Ia berlari menghindari kejaran Nyumi dan
Buli, lalu bertengger di sebuah atap dari
bangunan kecil yang rupanya sebagai pos penjagaan di luar benteng istana. Kedua
perempuan itu ribut membicarakan monyet tersebut, tetapi si Monyet tetap tidak
perduli. Ia terlanjur dongkol
dipermainkan anggota tubuhnya yang paling peka. Ia diam saja
bertengger di atas genting yang terbuat dari logam seperti baja putih itu. Dari
sana ia dapat melihat keadaan sekeliling istana tersebut.
Istana Awan ternyata dipagari oleh logam tebal yang
mengelilingi bangunan istana. Logam setebal satu jengkal itu
tampaknya bukan baja, bukan juga jenis kuningan. Warnanya abu-abu dan kekar
melebihi selempeng baja. Tingginya dua kali ukuran tombak, berkeliling menutup
ruang halaman dalam istana. Suro
Bodong yang sebagai monyet ungu bertengger di atap rumah
penjagaan itu dapat melihat isi di dalam benteng logam kekar itu.
Ada beberapa bangunan yang terbuat dari logam juga
berwarna putih perak, tetapi dari sekian bangunan, ada yang paling utama dan
terbuat dari logam yang memantulkan cahaya. Bersih
dan mengkilat. Bisa untuk bercermin dinding itu. Suro yakin itulah istana utama
bagi Sri Ratu Manis yang dikenal sebagai penguasa Istana Awan.
Tak banyak orang berlalu-lalang di dalam pagar istana.
Hanya terlihat beberapa orang perempuan saling membentuk
kelompok bicara sendiri-sendiri. Di sana juga ada tanaman. Pohon, bunga, dan
kolam air mancur. Pohon dan tanaman lainnya di taman dalam sebuah pot besar dan
panjang. Pot itu berisi tanah dilapisi rumput yang terawat rapi. Pot besar dan
panjang itu terbuat dari batu marmer hitam yang bersih dan indah. Bunga-bunga
juga tampak menghiasi halaman istana yang layaknya disebut sebagai taman.
Suro Bodong dalam ujud monyet ungu sempat menggumam
dan berdecak kagum melihat kemegahan dan keanehan istana tersebut. Luas, tapi
rapi. Di luar pagar hanya terlihat dua perempuan berseragam kuning gading tadi.
Selebihnya sepi. Tetapi lantai yang menjadi dasar berdirinya bangunan itu
terbuat dari sejenis logam tembus pandang. Seperti kaca, tapi bukan kaca.
Seperti baja, tapi tembus pandang. Entah dari bahan apa itu, Suro kurang jelas.
Dari luar pagar sampai di dasar taman semuanya berlantai bening, tembus pandang.
Setiap orang bisa melihat tanah atau tanaman yang ada di bawah komplek Istana
Awan itu. Kabut-kabut yang
membungkus daerah itu pun bisa dipakai melihat ke arah luar,
tetapi dari luar tidak bisa melihat ke dalam kabut yang menggumpal itu.
Lalu, di mana Sendang Wangi ditahan untuk menunggu
dijadikan tumbal" Suro Bodong belum dapat memastikan di mana
letak para tawanan mereka. Yang jelas ia harus segera bertindak.
Kedua perempuan berseragam kuning gading itu sedang sibuk
berupaya memegang monyet ungu. Saat itu juga monyet ungu
tersebut melompat dari atap dan bersalto satu kali. Jurus Luing Ayan-1 beraksi,
dan Suro Bodong yang asli muncul kembali. Kedua perempuan berseragam kuning
terkejut melihat monyet ungu yang tadi diusap-usapnya telah berubah ujud menjadi
seorang lelaki ber-baju merah tanpa dikancingkan, bercelana biru dan mengenakan
ikat kepala merah untuk mengikat rambutnya yang panjang sebahu.
Suro Bodong yang telah kembali dalam ujud aslinya segera
menyunggingkan senyum sinis seraya garuk-garuk kumisnya yang
tebal. Nyumi dan Buli bersiap siaga menghadapi Suro Bodong.
Mereka memisah menjadi dua arah, depan kiri dan depan kanan
dari Suro Bodong.
"Siapa kau"!" hardik Nyumi. Buli pun kelihatan tegang karena ia merasa lalai
dalam penjagaannya.
"Aku Suro Bodong. .! Istriku ditawan di sini, mau dijadikan tumbal," kata Suro
dengan tenang. Lalu sambungnya lagi, "Aku ingin mengambil istriku. Aku tidak
rela kalau istriku dijadikan tumbal. Cari saja istri orang lain, jangan istriku.
Soalnya. ." Suro nyengir seenaknya. "Aku belum menikah dengannya dan masih
gatal-gatalnya untuk saling berpacu di atas ranjang. Jadi, tolong keluarkan
istriku dari kamar tahanan. Keluarkan sekarang juga, sebelum aku hancurkan
istana ini. Mengerti"!"
"Mulut lancang!" geram Buli. "Kau tidak mungkin bisa lolos dari sini, karena kau
telah masuk ke wilayah istana kami maka kau harus pergi dalam keadaan sekarat.
Nyumi. . serang dia!"
"Ciaaaat.. !!" Nyumi menyerang dengan jurus tendangan salto yang telak mengenai
pundak Suro Bodong. Oh, terasa ngilu tulang Suro terkena tendangan yang begitu
gesit dan cepat itu. Suro terpelanting ke kanan, untung tak sampai jatuh,
sehingga ketika Buli menyerangnya dengan pukulan tangan kanannya, Suro dapat
menangkis dan segera lompat ke belakang, kemudian bersigap
menunggu serangan berikutnya.
Kedua perempuan itu segera mencabut pedang mereka dari
punggung. Suro Bodong garuk-garuk kumis dengan mata jeli
memandang tajam kepada kedua perempuan itu.
Nyumi memegang pedang dengan kedua tangannya,
menggerakkan ke atas kepala dengan kekar, posisi kaki merenggang dan merendah
miring, seakan siap menusukkan ujung pedangnya
ke tubuh Suro Bodong. Sedangkan saat itu, Buli juga memainkan jurus serupa.
Hanya saja Buli memegang pedang dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya teracung ke depan dengan kokoh.
Hanya dua jari yang ditekuk ke dalam sedangkan tiga jari, termasuk jempolnya,
berdiri tegak dan bertenaga hingga tampak getarannya.
"Hiaaaat.. !!" keduanya berteriak dan berguling ke lantai bersamaan. Pedang
mereka menebas perut dan kaki Suro Bodong
secara bersamaan. Suro Bodong tak kalah gesit. Ia segera melompat ke depan bagai
harimau menerkam anak ayam, lalu berguling-guling sampai tiga kali. Tapi bukan
bersalto, sebab itu ia tidak berubah ujud.
Suro Bodong lekas berdiri tepat pada saat kedua perempuan
itu telah siap menyerangnya kembali. Kali ini Buli melompat dari arah kiri ke
kanan, sedangkan Nyumi melompat dari arah kanan ke kiri. Mereka memainkan jurus
pedang silang, yang sempat
membingungkan Suro Bodong.
"Hiaaaat.. !" pedang Nyumi menebas leher Suro.
"Ciaaaatt. .!!" pedang Buli menebas tangan kanan Suro. Tak ada jalan lain bagi
Suro Bodong kecuali segera merebah untuk
menghindari tebasan kedua pedang yang bersilang itu. Begitu ia merebah di lantai
yang mirip kaca itu, kedua kakinya mengayun ke atas, menekuk sampai ke arah
belakang. Kaki kanannya sempat
menendang pinggang Buli dengan keras. Buli tersungkur ke lantai tanpa ada
keseimbangan. Sedangkan kaki kiri Suro hanya sempat menendang betis Nyumi yang
membuat Nyumi terpelanting sedikit, tapi tidak sampai jatuh. Suro Bodong buru-
buru mengayunkan
kedua kakinya ke depan, dan tangannya menghentak di samping
kedua telinganya. Sekali hentak, ia melayang dan jatuh dalam posisi berdiri
tegak memunggungi lawannya.
Nyumi melesat dengan satu lompatan bersalto tiga kali
dalam keadaan tangan tiga kali menyentuh lantai. Saat ia berhenti, langsung
menghunjamkan pedangnya ke tengkuk kepala Suro.
Seketika itu pula, Suro Bodong merunduk dan menendangkan
kakinya dengan tendangan belakang. Tumit kaki Suro Bodong tepat mengenai dada
Nyumi hingga Nyumi terpekik tertahan.
"Aakhh. .!!"
Suro Bodong membalikkan badan sambil mengibaskan kaki
kirinya ke wajah Nyumi. Tendangan berputar itu membuat Nyumi
terpental beberapa langkah dari tempatnya, dan jatuh dengan kepala membentur
lantai yang keras namun tembus pandang itu.
Suro Bodong segera berguling maju, karena dilihatnya Buli
hendak melompat menyerangnya. Tepat pada saat tubuh Buli
melayang dengan pedang diayunkan ke depan, pada saat itu Suro sudah berada di
bawah Buli, dan tendangan yang dinamakan jurus Ayam Kawin itu melesat ke atas.
Perut Buli terkena tendangan
beruntun tujuh kali. Cepat dan kuat kaki Suro menendang,
kemudian tubuh Buli melengkung dalam berdiri menahan sakit, dan kaki kiri Suro
melanjutkan jurus Tendangan Ayam Kawinnya, tujuh kali melancarkan tendangan
beruntun yang tak dapat dilihat oleh mata gerakan kaki itu.
Ada darah yang meleleh dari pinggiran mulut Buli.
Perempuan berikat kepala biru itu menyeringai dengan mata
terpejam. Kesempatan bagi Suro untuk melancarkan pukulan ke
arah pinggang Buli. Namun belum sempat ia menggerakkan
tangannya tiba-tiba sebilah pedang melesat dan tertuju ke arah perutnya.
Terpaksa Suro Bodong melompat dan tak jadi memukul
pinggang Buli. "Hiaaat.. !!" Nyumi yang melemparkan pedangnya segera melayang bagai macan
kumbang menerjang elang. Tangan Nyumi
keduanya teracung ke depan dan siap merobek wajah Suro dengan kukunya yang tajam
namun tidak panjang. Saat itu, mereka bertemu dalam keadaan sama-sama melompat
di udara. Suro segera
mengibaskan kakinya ke depan untuk menangkis serangan kedua
tangan Nyumi. Tangan itu ditendangnya kuat-kuat sampai ter-
angkat ke atas.
"Aaaow!!" Nyumi terpekik karena sikunya terasa mau patah terkena tendang Suro
Bodong. Mereka sama-sama turun dan
menapakkan kakinya ke lantai tersebut. Untung Suro Bodong sudah mempunyai
perkiraan kuat, bahwa ia akan diserang Buli kembali begitu ia turun. Dan
dugaannya itu benar. Dia diserang Buli, tapi bukan dengan pedang, melainkan
dengan telapak tangan kiri Buli yang mengeluarkan semacam serbuk biru
berhamburan. Suro buru-buru menghindar dengan cara berguling-guling menjauhi
Buli. Tahu-tahu serbuk biru itu meletup-letup di udara dan membuat
nyala api yang berpijar-pijar di udara. Lalu, padam karena habis masa kobarnya.
Suro Bodong berdiri hendak melancarkan serangan kepada
Buli. Tetapi tiba-tiba dari pintu gerbang benteng logam itu keluar beberapa
perempuan berseragam kuning gading. Mereka
menyerang Suro Bodong dengan tali-tali warna coklat. Tali-tali itu ditebarkan
dari berbagai arah, dan langsung dapat membelit tubuh Suro Bodong.
Ada sekitar tujuh tali dari tujuh perempuan yang membelit
tubuh Suro, dan anehnya lagi, tali-tali itu berkembang bagai
merayap di tubuh Suro Bodong. Tangan Suro Bodong mencoba
bergerak, meronta-ronta untuk melepaskan diri dari tali-tali yang berkembang
itu. Namun usaha tersebut sia-sia. Setiap tali berkembang makin lebar dan
membentuk suatu jaring yang kuat dan
lekat. "Huaaaaahhh. .!!" Suro Bodong meronta sekuat tenaga.
Namun ketujuh perempuan itu memegangi tali dengan kokoh.
Sampai akhirnya tubuh Suro Bodong benar-benar tak dapat
bergerak dililiti tali yangsungguh mengherankan itu. Tali-tali membentuk jaring
yang lengket dan kini bahkan membungkus
tubuh Suro Bodong dari kepala sampai ke kaki. Nyumi dan Buli
berhenti menyerang, mereka hanya memandang dengan senyum
seringai kemenangan.
"Seret dia ke dalam. .!!" teriak seseorang yang berdiri di ambang pintu gerbang
menuju dalam halaman istana. Mata Suro
sempat memandang perempuan itu yang ternyata adalah Laras Peri.
"Bawa dia ke kamar tahanan sekarang juga! Lekas!"
5 Ketujuh perempuan pemegang tali menyeret masuk Suro
Bodong ke dalam sebuah kamar yang berdinding logam, sama
dengan logam yang dipakai untuk membentengi halaman istana itu.
Suro Bodong seperti kepompong dibungkus jaring-jaring
aneh. Lebih aneh lagi ketika ketujuh perempuan itu menghentakkan talinya satu
persatu, ternyata tali-tali itu bisa mengkerut dan menyatu kembali menjadi satu
tali. Jaring tersebut bagai mengatup dan menggumpal, dengan masing-masing
perempuan memegang
satu tali utuh. Kemudian tali-tali yang sudah tidak berupa jaring itu ditarik
oleh ketujuh perempuan, maka bebaslah Suro Bodong dari jerat aneh yang sangat
mengherankan itu.
"Kau harus menyaksikan sendiri bagaimana istrimu
dijadikan tumbal pada malam tutup purnama nanti!" kata Laras Peri setelah
ketujuh perempuan berseragam kuning itu keluar dari
kamar, dan tinggal Suro Bodong dengan Laras sendiri.
Suro Bodong tak dapat bergerak leluasa untuk sementara
waktu, karena tulang-tulangnya terasa pegal dan linu-linu. Mungkin akibat daya
perekat pada jaring tali yang dirasakan semakin lama semakin merekat erat dan
seakan hendak meremukkan tulang. Suro Bodong menggerak-gerakkan persendian
tangannya, sementara
Laras Peri mengajaknya bicara dengan nada angkuh dan sinis.
"Tak kusangka kau akan senekad ini, Suro Bodong!"
"Mungkin akan lebih nekad lagi. .! Hiaaat.. !"
Di luar dugaan Suro Bodong menendang perut Laras Peri
dengan gerakan cepat. Laras Peri memang sempat mengibaskan
tangan kirinya untuk menangkis, tetapi kekuatan tendangan Suro Bodong tetap saja
membuat tubuh Laras Peri terpental ke belakang dan menabrak pintu penjara.
"Braak. .!"
Dua penjaga bergegas masuk, tetapi Laras Peri
memerintahkan agar pintu segera ditutup dan dikunci. Suro Bodong tersenyum
tenang sewaktu penjaga menutup pintu yang agaknya
terbuat dari logam serupa dinding tapi lebih tebal lagi. Suro sempat tertawa
pendek melihat Laras Peri menjadi tegang dan mengerang saat tubuhnya tahu-tahu
terpental karena tendangan Suro.
Pintu itu memang tebal dan kokoh, tetapi mempunyai
semacam jendela yang berjeruji. Ukuran jendela itu tidak terlalu lebar, hanya
cukup untuk menampakkan seraut wajah. Dan dari
jendela yang mempunyai pintu khusus itu wajah Laras muncul
dengan sorot mata kegeraman.
"Kau akan merasakan akibatnya, Suro! Kalau kau bisa tahan dalam penjara ini, aku
akan salut terhadapmu!" kemudian Laras Peri memerintahkan kepada penjaga, "Tutup
jendela ini. .!"
Suara jendela yang ditutup semacam lempengan baja itu
terdengar. Agaknya cukup rapat juga jendela itu ditutup oleh
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lempengan baja, karena ketika Suro memeriksanya, tak ada seberkas sinar yang
dapat dilihat dari luar tahanan. Ruangan itu cukup rapat.
Langit-langit kamar tinggi dan juga terbuat dari semacam almunium tebal yang
sulit dibocorkan. Ada tempat tidur yang terbuat dari logam juga, berbentuk kotak
panjang tanpa alas apa-apa. Sedangkan lantai kamar itu, tetap seperti lantai
tembus pandang yang dilihat di luar benteng tadi, namun lantai ini agak buram
dan tak bisa untuk melihat keadaan di bawah. Di kamar itu ada meja marmer ukuran
kecil, ada pot bunga dari kramik dan ada bunga segar, seperti bunga mawar namun
besar dan kelopak bunganya kecil-kecil. Bukan
mawar. Hanya semacam mawar. Ada tiga tangkai bunga yang
warnanya merah muda semua. Entah apa maksudnya kamar
tahanan diberi pot bunga kecil dengan tiga tangkai bunga.
Baru beberapa saat kemudian Suro Bodong menyadari
bahwa tiga tangkai bunga itu adalah pemberitahuan atas kematian yang akan tiba.
Sebab, dari dinding kamar penjara itu ternyata mempunyai beberapa lobang kecil
sebesar jarum. Tiap lobang
memyemburkan asap biru samar-samar.
"Racun. ."!" pekik Suro sendirian. Ia menjadi tegang. Asap berwarna biru muda
itu semakin banyak, dan menggumpal di
dalam kamar karena memang tak ada lobang pembuangan udara.
Mata Suro Bodong terbelalak melihat salah satu bunga itu layu, dan mengering.
Buru-buru Suro Bodong tahan nafas, menutup hidungnya
dan memandang sekeliling dengan tegang. Gawat! Ini pertanda dia akan mati karena
asap racun itu.
Untung ingatan Suro Bodong sempat melayang pada sebuah
topeng yang diberikan Empu Segah sebelum ia berangkat. Ia mengambil topeng
tersebut yang disimpan di balik baju merahnya. Ia memperhatikan topeng itu,
dalamnya berisi semacam kain tebal
yang empuk. Kendati tidak tahu persis manfaatnya, Suro Bodong segera mengenakan
topeng itu di wajahnya.
Topeng terbuat dari kayu berwarna merah dengan wajah
seorang satria tampan itu membungkus wajah Suro Bodong.
Pernafasan Suro sedikit terganggu, karena topeng itu ternyata tidak mempunyai
lobang yang cukup untuk menghirup udara. Memang
di bagian hidung topeng ada lobang, namun tak seberapa besar. Dan lobang pada
matanya itu ternyata dilapisi suatu bahan mirip kaca yang tidak tembus udara.
Suro Bodong berpendapat, lebih baik
mengenakan topeng itu dengan sedikit kesukaran bernafas daripada tanpa topeng
tapi ia harus menghirup udara beracun dalam kadar banyak. Kain yang melapisi
dalam topeng itulah yang menjadi
penghalang pernafasan Suro Bodong. Tapi dia tidak perduli, sebab dilihatnya,
kini tiga bunga itu telah layu dan menjadi kering semua.
Berarti asap racun yang tersembur dari lobang-lobang dinding itu sungguh
berbahaya jika terhisap oleh pernafasan manusia. Untung ia segera mengenakan
topeng tersebut yang ternyata mampu
menyaring racun melalui kain pelapis di dalam topeng itu.
Asap semakin banyak. Bunga telah kering dalam keadaan
layu, lemas. Suro Bodong masih duduk memojok sambil mencari
cara untuk keluar dari kamar tersebut. Hatinya sedikit tenang setelah dia
mengetahui, bahwa topeng itu ternyata mampu menjadi penangkal racun. Uap racun
yang masuk melalui lobang hidung
topeng telah disaring dan diubah oleh lapisan tebal dalam topeng tersebut
menjadi udara biasa. Jika tanpa kain tebal yang dilengkapi dengan ramuan khusus,
maka udara yang masuk melalui lobang
topeng akan tetap berupa udara racun. Rupanya Empu Segah
memang ahli dihidang senjata, seperti halnya penggunaan topeng anti racun itu.
Kendati uap itu bergulung-gulung memenuhi ruangan yang
sempit itu, namun Suro Bodong masih bisa bertahan tetap hidup dan menunggu saat
baik untuk lolos. Hanya saja, sebelum ia
menemukan cara untuk lolos, ternyata asap biru muda itu bagai tersedot kembali
dari lobang tempatnya menyembur tadi. Uap yang bergulung-gulung memenuhi ruangan
jadi menipis. Masing-masing lobang kecil pada dinding sekarang berfungsi sebagai
penyedot udara. Suro Bodong menunggu sampai udara menjadi bersih
kembali tanpa uap beracun. Dan setelah beberapa lama, maka ruangan itu pun
kembali menjadi seperti semula. Uap biru muda
sudah tersedot habis. Tak ada asap tipis sedikit pun. Kini bahkan yang ada udara
dingin yang samar-samar merambat di dinding.
Udaranya cukup sejuk, terasa jelas menyentuh pori-pori kulitnya.
Suro Bodong membuka topeng merah berwajah satria
tampan. Dan ia merasakan kesegaran bernafas. Ia tersenyum, lalu menyembunyikan
topengnya ke balik baju merah, diselipkan di
bagian belakang. Di pinggang.
Udara benar-benar segar dan sejuk. Tak ada kesesakan
bernafas. Yang ada kini rasa lapar. Ya, perut Suro sekarang menjadi terasa lapar
sekali. Untung dia masih menyimpan biji-bijian seperti kacang yang tadi
dimakannya sebagian. Kini ia memakan sisa biji-bijian itu dengan lahap. Sambil
mengunyah biji-bijian yang terasa seperti makan kacang kedelai itu, Suro
memeriksa seluruh ruangan tersebut. Ah, tak ada celah yang bisa memungkinkan
untuk lolos. Sambil duduk melonjor, punggung Suro Bodong bersandar
pada dinding. Ia menghadap ke pintu masuk yang cuma ada satu-
satunya itu. Ia sedang berpikir di mana kira-kira istrinya ditawan untuk
menunggu saat dijadikan tumbal" Lalu, ia memutuskan untuk berusaha lolos dari
kamar tahanan ini dengan cara tidak
menimbulkan keonaran, supaya ia dapat menyusup dan menyelidiki keadaan di dalam
istana yang merupakan ruang utama keratuan.
Tiba-tiba pintu tebal itu dibuka oleh penjaga. Seraut wajah
yang sudah dikenal muncul: wajah Laras Peri. Wajah itu terbelalak kaget melihat
Suro Bodong duduk dengan santainya. Hal itu pasti dikarenakan Laras Peri mengira
Suro Bodong telah mati, atau
setidaknya pingsan akibat racun yang disemburkan dari lobang
dinding itu. Tapi, nyatanya ia melihat Suro Bodong dalam keadaan segar bugar
tanpa kurang satu apa pun.
Keadaan Suro Bodong yang berhenti mengunyah makanan
yang terakhir itu membuat Laras Peri menjadi ragu-ragu untuk
mendekat. Hanya matanya yang tajam dan bening itu yang menatap Suro Bodong penuh
kesangsian. Dengan sengaja Suro Bodong tersenyum ramah, matanya
berkerling seakan menggoda Laras Peri.
"Kau memandangku seperti setan melihat kemenyan," kata Suro Bodong. "Apa kau
kira aku akan mati karena asap beracun itu"
O, tidak! Aku tidak akan bisa diracuni lagi, sebab tubuhku sudah penuh dengan
racun." Suro Bodong bahkan lebih merebah lagi, seakan tidak
perduli dengan kesempatan pintu terbuka itu. Laras Peri menjadi semakin ciut
nyalinya. Ia berkata dengan suara pelan dan datar:
"Kurasa kau iblis, bukan manusia! Kau bisa bertahan
menerima racun Naga Biru, ini sangat di luar dugaan. Biasanya setiap tawanan
akan mati dalam keadaan kering dan rapuh tulang-tulangnya jika menghirup racun
itu terlalu banyak. Tapi kau.. kau benar-benar iblis yang sulit dimatikan. . "
Sekali pun Suro Bodong sebenarnya merinding mendengar
keterangan itu, namun ia memaksakan diri untuk tertawa dengan tenang.
"Ha, ha, ha. . kau pikir aku ini lampu minyak yang gampang dimatikan"!" Suro
Bodong semakin menertawakan keadaan Laras Peri yang tertegun memperhatikannya.
"Sekarang, sebaiknya kembalikan istriku dan aku akan
membiarkan kalian hidup," ancam Suro Bodong dengan santai.
Laras Peri mulai mendengus.
"Jangan mengharap kami mundur karena gertakanmu. Kau
akan menemui ajal pada saatnya nanti, Suro Bodong!"
Laras Peri hendak pergi, tetapi Suro Bodong segera berseru,
"Tunggu.. !" ia bangkit dan berjalan dengan tenang
mendekati Laras Peri. Laras Peri sudah siap memegangi senjata cakra yang
terselip di pinggangnya. Matanya memandang tegang, seakan penuh waspada. Tetapi
yang dipandang hanya tersenyum-senyum dan tak perduli akan kesigapan Laras Peri.
Suro Bodong semakin dekat dan berhenti melangkah ketika Laras Peri sudah
mencabut senjata cakranya.
"Sebenarnya apa yang kalian butuhkan di sini?" kata Suro Bodong dengan suara
pelan, seakan bersungguh-sungguh dalam
berembuk. "Tumbal! Dan istrimu itulah yang menjadi pilihan kami!"
Laras Peri menjawab dengan tegas.
"Selain tumbal. .?" Suro memancing.
Laras Peri diam, matanya makin tajam karena Suro Bodong
semakin maju satu langkah.
"Apakah kau dan yang lainnya tidak membutuhkan seorang
lelaki?" bisik Suro Bodong.
Laras Peri diam. Masih belum mampu mengucapkan kata
apa pun. Bahkan kini Suro Bodong sangat dekat dengannya. Suro berbisik lagi:
"Bagaimana kalau kita tukar tawanan?"
Setelah diam beberapa saat, terdengar suara Laras Peri
dengan lirih, "Apa maksudmu.. ?"
"Lepaskan istriku, dan tawanlah aku sebagai teman
berkencan. Lalu, kita cari bersama putri raja lainnya untuk
pengganti tumbal pada saatnya nanti. ."
Wajah Suro Bodong tepat di depan wajah Laras Peri. Mata
yang kecil tapi bening dan tajam itu menatap Suro Bodong dalam kebimbangan.
Senjata cakra hanya dipegangnya tanpa digunakan
untuk berbuat sesuatu. Bahkan ketika Suro Bodong meraba pelan-pelan pipi Laras
Peri, perempuan itu masih mematung dengan
mulut sedikit terperangah.
"Jangan katakan kepada istriku tentang rencana ini.
Kuharap, kau dan ratumu mau menerima usulku ini. Dan. . kau
akan mendapat kesempatan yang istimewa dariku. Kau belum tahu siapa aku, bukan"
Mungkin kau bisa bertanya dulu kepada istriku tentang kekuatan suaminya dalam
malam-malam yang dingin
dicekam kesunyian. Tanyakanlah dulu, nanti kau baru tahu apa
yang seharusnya kau lakukan. "
Laras Peri tidak berkata apa pun. Ia memperhatikan Suro
Bodong dengan dada bergemuruh. Semakin Suro Bodong
menyentuh-nyentuh bibir Laras Peri yang mirip kuncup bunga
melati itu, semakin berdebaran hati Laras Peri dibuatnya. Ia hanya merenggangkan
sedikit bibirnya dan terpaku di tempat. Lebih-lebih setelah Suro Bodong
berbisik, "Ratu dan kau akan mendapat pelayanan yang berbeda.
Sebab, bagaimana pun juga, kau adalah perempuan yang memenuhi seleraku. Kau
cantik, tapi galak. Itu yang kusuka. Sebab itu aku bertekad menyusul ke mari
dengan alasan membebaskan istriku,
tapi sebenarnya kaulah yang kuburu."
Suro Bodong semakin mendekat wajah, lalu berbisik dengan
lebih pelan lagi:
"Kau mau membuktikannya nanti malam?"
Laras Peri seperti orang terkena hipnotis, diam tanpa bisa
bergerak sedikit pun. Ketika Suro Bodong mencium pipinya, dan kumisnya yang
tebal menggelitik kulit wajah Laras Peri, perempuan itu semakin gemetaran dan
berdebar-debar. Lalu, Suro Bodong
berbisik sangat pelan:
"Kurasa kau bisa membunuhku kalau aku bohong. .
nikmatilah tawanan ini, Laras. . nanti kita cari tumbal lain. ." Laras masih
terbungkam kendati ia mendesah lirih lewat hembusan
nafasnya yang tersendat-sendat.
"Kau setuju?" bisik Suro Bodong. "Kau yang istimewa. . "
Lama-lama Laras menjauh setelah Suro Bodong merenggangkan wajah. Kemudian mata yang masih menatap itu
berkedip lembut, dan suara Laras terdengar pelan: "Akan
kubicarakan dulu dengan ratu. . aahh. ." ia mendesah dan pergi.
Suro Bodong tersenyum lega. Ada usaha halus yang mulai
terlihat tanda-tandanya. Ia mulai mengerti bagaimana cara
menaklukkan orang-orang Istana Awan ini yang terdiri dari
perempuan semua. Salah satu cara untuk menaklukkannya adalah
dengan cara buaian asmara yang amat dikuasai oleh Suro Bodong.
Jika dengan kekerasan terlalu dini, bisa jadi istrinya yang akan mengalami
bencana menyedihkan. Dengan cara buaian asmara itu, Suro berharap agar istrinya
dapat diselamatkan tanpa luka sedikit pun.
Yang membuat Suro Bodong lebih lega lagi, adanya sebuah
hidangan yang diantar oleh seorang perempuan berseragam hijau tua. Hidangan itu
cukup mewah, buah-buahnya segar, dan
panggang ayam yang dimasak dengan sangat menarik itu membuat
Suro Bodong tersenyum-senyum. Bau masakan sedap sempat
membuat perut Suro Bodong berkuku-ruyuk karena seleranya
membara. "Makanan ini apa tidak terlalu mewah untuk seorang
tawanan seperti aku?" kata Suro kepada perempuan cantik berambut panjang terurai
yang membawakan makanan itu.
"Panglima Putri yang menyuruhku menghidangkan
makanan ini," jawab perempuan itu.
"Panglima Putri" Siapa dia" Aku belum kenal."
"Panglima Putri Laras Peri. . Masa' kau belum kenal
dengannya."
"O, Laras Peri" Dia itu panglima di sini?"
"Benar. Dan aku adalah kakaknya! Namaku Panjar Arum."
Perempuan itu tersenyum lebar, manis sekali. Bibirnya
memang lebih lebar dari bibir Laras, tapi bibir itu cukup tipis dan mengundang
gairah bila tersenyum. Suro Bodong memperhatikan
wajah Panjar Arum yang mempunyai kemiripan denjgan Laras Peri, terutama pada
matanya yang kecil tapi bening dan tajam. Bulu
matanya lentik dengan hiasan alis yang melengkung indah. Mata itu memang mirip
sekali dengan mata milik Laras Peri. Hanya saja, tubuhnya lebih padat dan
sedikit besar ketimbang tubuh Laras Peri.
Juga dada Panjar Arum kelihatan lebih menonjol dan berisi
ketimbang dada Laras Peri.
"Kenapa Laras Peri menyuruhmu memberikan hidangan
ini?" Suro Bodong ingin mengorek segalanya.
Panjar Arum yang mengenakan baju longgar warna hijau itu
duduk di kotak logam yang panjang. Ia menyibakkan rambutnya
yang panjang, yang jatuh ke dada dan dirapikan kebelakang.
"Banyak yang telah diceritakan oleh Laras Peri,"
Suro Bodong melirik ke pintu, oh. . agaknya pintu dikunci
kembali. Pasti penjaga takut kalau Suro Bodong menyempatkan diri untuk lolos
dari kamar tahanan itu.
"Apa yang kau dengar dari Laras Peri?" pancing Suro sambil mengambil buah anggur
berwarna hijau bening.
Panjar Arum tertunduk malu.
"Dia menceritakan tentang diriku?"
"Ya," jawab Panjar Arum yang merasa kikuk dipandang Suro Bodong senanap itu.
Suro Bodong sendiri mengakui bahwa
kulit Panjar Arum ini kelihatan lebih halus, lebih lembut dan lebih mulus
ketimbang kulit Laras Peri. Warnanya pun lebih kuning,
bersih, daripada kulit Laras Peri. Ini menandakan Panjar Arum tidak pernah
keluar dari istana dan lebih tekun merawat tubuhnya.
"Ceritakan apa yang kau dengar dari Laras Peri, kalau-kalau ternyata dia
menipumu; Aku bisa membetulkannya."
Setelah tersenyum malu. Panjar Arum mengatakan:
"Dia menceritakan telah bertemu dengan lelaki yang jantan dan perkasa.
Namanya. . Suro Bodong, dan dia ada dalam tahanan.
Tetapi. . kata Laras, tawanannya kali ini sungguh merupakan
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tawanan yang hangat."
"Dia bohong!"
"Dia pernah kau sentuh dengan kumisnya, bukan?"
"Ah, dia bohong! Aku hanya menciumnya tanda aku sangat
bergairah terhadapnya."
"Terhadapnya saja?"
Pancingan itu membuat Suro Bodong tersenyum. Bau harum
tercium dari tadi, namun kali ini lebih tajam dan nyata. Ini akibat Suro Bodong
berdiri tepat di depan Panjar Arum. Perempuan itu menengadah memandang wajah
Suro. Ia tetap duduk di depan Suro tanpa bergeser.
"Kudengar darinya, kau mau memberi sentuhan kepada
kami asal kau bertukar tawanan."
"Ya. Asal istriku dibebaskan dari genggaman Sri Ratu Manis.
Aku sanggup mencari penggantinya yang sama-sama putri raja ju-ga"
"Dan kau bersedia menjadi pelayan kenikmatan kami" Kau
mau membagi kehangatanmu itu, bukan?"
"Kalau memang aku mau, kenapa?"
"Itulah sebabnya aku dikirim ke mari untuk membuktikan
keterangannya tentang kamu."
Suro Bodong mengerti gelagat yang dihendaki perempuan
berkulit mulus itu. Maka, dengan tetap berdiri di depan Panjar Arum yang duduk
itu, Suro Bodong mengusap rambut Panjar
Arum. "Apakah aku harus memulai dari kamu?" kata Suro.
Panjar Arum menengadah dan berkata pelan, "Dia
mengizinkan kakaknya untuk menyelam dalam kehangatanmu lebih
dulu. Apa kau keberatan kalau aku mengawalinya?"
Tangan Panjar Arum mulai gerayangan tak karuan. Ada
sesuatu yang diremas lembut dan Suro Bodong mendesah lalu
berkata: "Tubuhku kotor. . aku harus membersihkan tubuh dulu.
Aku butuh mandi."
"Tak perlu. Justru yang dalam keadaan seperti ini yang
menjadi seleraku.. " Panjar Arum semakin berani, merayap kian ke mari seperti
tangan seorang dukun pijat.
"Bagaimana dengan penjaga di depan kamar ini?" bisik Suro Bodong ketika Panjar
Arum semakin menjadi binal.
Nafasnya sesekali tersengal dan ia pun menjawab, "Penjaga tetap akan menjaga
kita. Ohh. . ternyata Laras Peri tidak berbohong padaku."
"Soal apa?"
"Keperkasaanmu.. !" Panjar Arum mendengus-dengus.
"Sungguh di luar dugaan. Kukira hanya biasa-biasa saja, ternyata ini lebih dari
sekedar jarum. Kurasa. . kurasa ini sebuah tombak yang kucari selama ini. .
yaaah. .!" Panjar Arum dibiarkan melahap apa yang hendak dilahap. Tetapi dalam
hati Suro Bodong timbul
berbagai pertanyaan yang membingungkan diri sendiri.
Mengapa jadi seperti ini" Ia memandang pusakanya sendiri,
begitu hebatnya"! Dia heran. Dia nyaris tidak percaya kalau dia memiliki suatu
kebesaran yang memang amat besar dan menggugah birahi perempuan. Padahal
seingatnya, ia tidak memiliki senjata seperkasa sekarang. Mengapa kini ia
seperti memiliki barang baru yang lebih hebat dari barang miliknya semula" Aneh!
Ada suara benda bergeser, Suro Bodong melirik ke kiri, dan
ia melihat dinding bagian atas ternyata dapat digeser seukuran 3X4
jengkal tangan dewasa. Ada semacam kaca gelap di sana, dan Suro buru-buru
memahami, bahwa di balik kaca gelap itu pasti ada wajah manusia dua atau tiga
orang yang dapat memandang ke arah kamar itu. Pasti ada yang sengaja
memperhatikan adegan tersebut dari balik kaca hitam. Suro berlagak tidak tahu,
namun ia semakin
memainkan gaya yang mampu mengundang gairah bagi mereka.
Mungkin Sri Ratu Manis sendiri yang sengaja mengirim Panjar
Arum untuk menguji sampai di mana kehebatan Suro Bodong.
"Kenapa tidak kau lepas saja pakaianmu?" bisik Suro Bodong karena Panjar Arum
sudah melucuti busana yang dikenakan Suro Bodong.
"Panjar Arum. . kenapa tidak kau lepas saja perintangmu
itu. .?" ulang Suro Bodong yang diterkam terus oleh Panjar Arum.
Perempuan itu berhenti sebentar dan berkata,
"Kalau kau bisa melucutinya, kenapa tidak kau lakukan
saja. ." Lakukanlah dan aku akan bekerja untukmu.. Hmmm. .?"
Panjar Arum memandang dengan sorot mata sayu. Suro
Bodong tak mau mendapat izin dua kali, segera jari-jemarinya
beraksi di sekujur tubuh Panjar Arum.
Makin lama, Suro Bodong semakin heran dengan barang
miliknya. Sungguh heran. Karena selama ini ia merasa tidak
memiliki kebesaran dan kepanjangan senjata rahasia yang saat ini dilihatnya. Ia
sempat bertanya, senjata siapakah yang ia kenakan itu" Mengapa menjadi sebegitu
megah dan kokoh" Benar-benar
suatu kejantanan yang menggelitik hati perempuan. Panjar Arum sendiri menjadi
tergila-gila dan tidak memperdulikan lagi gincu tipis di bibirnya yang mempunyai
aroma harum itu. Ia menghapus gincu itu dengan kebesaran yang amat didambakan,
dan kebesaran itulah yang kini menjadi milik Suro Bodong.
"Lakukanlah. .! Lakukanlah apa kau mau.. !" bisik Panjar Arum. Suro Bodong
memanfaatkan perintah itu untuk hal lain. Ia berbisik ketika wajahnya naik,
menyusuri perut ke dada dan ke leher, kemudian ke telinga:
"Di mana Sendang Wangi" Lekas katakan. . "
"Ooh. . lakukanlah sekarang juga. . lakukanlah. .!" Panjar Arum merintih.
"Di mana tumbal itu ditawan" Di mana. ." Tidak akan
kulakukan sebelum kuketahui tempat tumbal itu ditawan"!"
"Oh, kau menyiksaku.. !" rengeknya. "Tawanan itu ada di ruang bawah tanah. .
Lekas lakukan, oooh. . tolonglah. ."
Suro Bodong menggeluti dengan desah berpacu dengan
desah. Ia masih sempat berbisik:
"Di ruang bawah tanah yang mana" Bukankah istana ini
tidak menyentuh tanah?"
"Bukan. . bukan di ruang bawah tanah, maksudku.. di
bawah kamar ratu. . di bawah kamar ratu. . "
"Aku ingin menemuinya. . "
"Lakukanlah dulu, ooh. . jangan siksa aku.. lakukanlah,
setelah itu kau bebas menemuinya di ruang berpintu bulat. Cepat..
aaah. .!!" rengekan itu semakin tajam dan jelas.
Akhirnya Suro Bodong melakukan apa yang diinginkan
Panjar Arum. Percaya atau tidak, Suro Bodong sudah punya sasaran, yaitu ruang di
bawah kamar ratu, berpintu bulat. Entah benar atau tidak, tapi Suro Bodong tetap
akan mencoba mendobrak pintu
kamar itu setelah melakukan keinginan Panjar Arum.
Ketika terkena udara di luar, sesuatu yang amat perkasa itu
telah menjadi mengendur, surut, dan mengecil kembali. Suro
Bodong sendiri memandang penuh keheranan dan merasa takut
yang membingungkan. Lalu ia teringat biji-bijian yang mirip kacang pemberian
Empu Segah. Apakah hal itu juga dikarenakan ia
memakan habis biji-bijian itu" Apakah kacang yang dimakan itu mempunyai
keistimewaan dapat membunuh perempuan dengan
kebesaran seperti itu" Entahlah.
Yang jelas, ia mendengar pintu kamar segera dibuka oleh
penjaga, lalu beberapa orang menghambur masuk dan berteriak:
"Sri Ratu. ."! Sri Ratu Manis dalam bahaya. .! Lekas bawa keluar beliau.. !"
Tetapi pada saat itu, semua orang yang ada di situ berteriak
nyaring karena Panjar Arum melepaskan nafasnya yang penghabis-an. Banjir darah
melimpah di lantai dan membuat suasana menjadi sangat mengerikan. Suro Bodong
buru-buru mengenakan pakaiannya termasuk perlengkapan yang diberikan oleh Empu
Segah. "Ratu tewas. .! Tidaaak. .!! Kau membunuh ratu kami!"
Suro Bodong mendesah oleh amukan orang-orang yang
berseragam kuning gading itu. Mereka menuduh Suro Bodong telah membunuh ratu
mereka. "Aku tidak membunuh ratumu! Itu Panjar Arum. .! Dan. ."
"Dialah ratu kami! Dia Sri Ratu Manis yang sengaja
menemuimu dengan menyamar sebagai perempuan biasa bernama
Panjar Arum. .!!"
"Mana aku tahu"! Dia tidak bilang kalau dia ratu. .! Dan lagi, dia mati karena
ulahnya sendiri. Aku tidak berbuat apa-apa, dia yang berbuat jingkrak-jingkrak
seenaknya!"
"Kau membunuh ratu kami, seraaaaang. .! Serang dia. .!"
Pedang dihunus oleh para perempuan berseragam kuning.
Suro Bodong ada dalam posisi tersudut. Ia kebingungan
menghindari pedang-pedang yang bersimpang siur hendak
membunuhnya. Bahkan pundaknya sempat tergores pedang salah
satu dari prajurit berseragam kuning itu.
Suro dapat memastikan ia akan mati dalam posisi terjepit
seperti itu. Maka, ia pun ingat tiga butir batu pemberian Empu Segah. Ia
mengambilnya sebutir dan melemparkannya kuat-kuat
hingga menghantam dinding. Dan, di luar dugaan, ternyata batu itu meledak dengan
cukup dahsyat dan kuat. Suro Bodong segera
merunduk di bawah kaki mereka. Ledakan itu menjebolkan dinding dan membuat
beberapa orang menjadi hancur, terutama yang dekat dengan ledakan tadi.
Sementara itu, Suro Bodong sendiri tertimbun dinding dan mayat orang-orang yang
berlumur darah. Tak satu pun yang hidup, kecuali Suro Bodong yang selamat karena
tertindih tubuh perempuan-perempuan itu.
Dengan susah payah Suro Bodong berusaha keluar dari
timbunan mayat dan logam kuat dari pecahan dinding itu. Oh,
ternyata hari sudah menjadi malam. Ia tak sadar akan hal itu. Sinar bulan masih
kelihatan memancarkan cahayanya ke bumi. Dan sinar bulan itu menampakkan betul
sosok orang-orang perempuan yang
berdiri membentengi reruntuhan kamar tahanan. Mereka semua
berpedang dan siap menghabisi nyawa Suro Bodong.
"Itu dia. .! Dia masih hidup.. !" teriak salah seorang.
Kemudian mereka beramai-ramai menyerbu Suro Bodong dengan
pedang terangkat ke atas dan siap ditebaskan.
Suro Bodong tergeragap sebentar. Kemudian ia mengeluarkan sepotong kayu pemberian Empu Segah. Ia tak tahu
kayu itu berguna untuk apa, tapi menurut pesan, kayu itu dibuang saja di
sembarang tempat. Karena Suro yakin bahwa Empu Segah
pasti tidak sia-sia memberikan kayu tersebut. Maka, ia pun
membuang kayu itu, seakan dilemparkan kepada kerumunan orang
yang hendak mendekatinya.
Dua orang maju dari belakang dan hendak menghunjamkan
pedangnya ke punggung Suro. Tetapi Suro segera melompat dan
menendang kedua tangan orang itu. Kedua pedang terlepas dari
genggaman lawan, lalu tangan Suro kedua-duanya menghantam ke
depan, dan kedua lawan itu terpental jatuh. Suro Bodong punya kesempatan untuk
melarikan diri. Seorang menghadang dengan
tombak di tangan. Suro Bodong melompat dengan gerak tendangan berputar di udara.
"Aaaooh. .!!" orang itu terpental terkena kibasan tendang kipas Suro Bodong.
Lalu ia berlari lagi ke suatu tempat, yaitu halaman depan istana. Namun
sebelumnya ia sempat mendengar
suara perempuan-perempuan berteriakan, menjerit dalam ketakutan dan berlarian
tunggang langgang. Suro berhenti dari larinya,
memandang ke arah mereka. Ia mengira ada bantuan dari pihak lain yang tak
dikenal, ternyata dugaannya meleset. Perempuan-perempuan itu menjerit-jerit
karena tubuh mereka disengat
kalajengking hitam. Banyak binatang kalajengking yang tersembul dari tanah dan
menyebar ke mana-mana. Jumlahnya lebih dari dua ratus ekor kalajengking hitam
berkepala besar. Mereka merayap ke setiap tubuh dan menyengatnya tanpa ampun
lagi. Suro Bodong segera menyadari bahwa kayu yang
dibuangnya tadi mengundang banyak ketonggeng atau kalajengking bermunculan dari
tanah. Tapi. . tapi bukankah istana ini
mengambang, tidak menyentuh tanah" Lantas dari mana binatang
itu bermunculan"
"Istana mendarat.. !! Istana mendarat.. !!" seru seorang yang keluar dari menara
pengawas. Dan seruan itu mebuat suasana
menjadi semakin kalang kabut. Rupanya istana sudah menapakkan landasannya ke
tanah dan barangkali segala kekuatan yang melapisi istana itu telah punah sejak
tewasnya Ratu Manis yang mengaku bernama Panjar Arum itu.
Suro Bodong hampir saja terkena lemparan tombak dari
seseorang yang muncul di belakangnya. Untung ia segera
menangkap tombak itu, dan kembali dilemparkan ke orang tersebut sehingga orang
itu tak sempat menghindar karena cepatnya.
Tombak menancap di pinggang orang itu, dan Suro Bodong berlari ke tengah
lapangan yang ada di depan serambi istana. Di sana
memang ada tempat luas, berbentuk lukisan bulat dengan wajah
bunga matahari. Suro Bodong buru-buru meletakkan cermin kecil berbentuk bulat
tapi bersusun segitiga. Tiga cermin bulat yang setiap sisinya bertautan itu
diletakkan persis di tengah lingkaran gambar bunga matahari. Pada saat itu.
Laras Peri berteriak sambil menghunus pedangnya:
"Suro. .!! Hentikan tindakanmu atau istrimu kubunuh
sekarang juga!!"
Laras mengancam Sendang Wangi dengan pedang di leher.
Suro Bodong menjadi tegang, kebingungan. Ia bergerak ke samping dengan hati-
hati. Ia ingin membujuk Laras Peri, namun pada saat itu ternyata cermin yang
diletakkan di tengah lingkaran itu
memancarkan sinar hijau bening. Sinar itu memancar ke mana-mana dan membuat
beberapa letupan, mengenai beberapa orang dan
membuat orang itu terbakar. Laras Peri sendiri tiba-tiba menjerit dan jatuh
terguling-guling dari serambi istana.
"Nyai. . cepat ke mari. .!" Suro Bodong segera menangkap istrinya yang melompat
kepadanya. Saat itu. Laras Peri masih
sempat berdiri.
"Kangmas. . hati-hati terkena sinar dari cermin itu. .!"
Rupanya cermin itu bukan sekedar cermin. Empu Segah
telah mengaturnya dan membuat sedemikian rupa, sehingga apabila cermin itu
terkena cahaya bulan, akan memantulkan suatu kilatan api warna hijau muda, api
itu berkelok-kelok dan menimbulkan
ledakan jika terkena tubuh orang-orang Istana Awan. Nyatanya, kilatan sinar itu
terkena di kaki Suro Bodong, tidak menimbulkan ledakan yang membakar.
"Kangmas. .! Awas senjata itu. .!"
Suro Bodong dengan istrinya sama-sama merunduk ketika
senjata cakra melesat dan berputar-putar mencari mangsa. Suro Bodong segera
mencabut pedang pusakanya yang tersimpan di
dalam kulit lengan kirinya. Begitu ia meraba lengan kirinya dan menariknya
dengan suatu hentakan khusus, maka tangan kanan
Suro Bodong pun telah memegang pedang yang berpijar
memancarkan sinar warna ungu. Laras Peri setengah terkejut
melihat Pedang warna ungu. Itulah Pedang Urat Petir yang menjadi pusaka Suro
Bodong. Ketika senjata cakra yang melayang-layang itu hendak
menghantam istri Suro dari belakang. Pedang Urat Petir segera ditebaskan dan
terjadilah percikan api dalam suatu letupan kecil akibat pedang Suro menebas
senjata cakra. Senjata itu sendiri hancur menjadi beberapa potong dan tak mampu
berbuat lebih banyak lagi kecuali menjadi sampah.
Laras Peri semakin turun nyalinya. Ia melarikan diri, tetapi
Suro Bodong segera melancarkan suatu jurus yang bernama Jurus Pedang Jitu.
Ia melemparkan Pedang Urat Petir ke udara sampai
berputar tujuh kali. Kemudian ia menyongsong turunnya pedang
dengan suatu tendangan yang mengenai gagang pedang. Maka
pedang itu melesat ke arah Laras Peri dalam keadaan pecah menjadi tujuh bagian.
Suro Bodong 08 Tumbal Mahkota Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masing-masing bagian menyerang Laras Peri dan
beberapa orang yang ada di sekitarnya. Kemudian terdengar
teriakan Laras Peri yang dihunjam oleh salah satu pecahan pedang, juga teriakan
beberapa di sekitarnya yang juga terkena pecahan pedang. Ketika mereka
bergelimpangan, pecahan pedang itu
melayang terus dan kembali membentuk satu bagian, tergenggam
erat di tangan Suro Bodong.
"Lekas tinggalkan tempat ini. .!" teriak Suro Bodong sambil menggeret istrinya.
"Kakang, ada kalajengking banyak. .!!" Sendang Wangi menjerit. Ia jijik dengan
binatang kalajengking. Mau tak mau Suro Bodong segera memanggul istrinya ke
pundak. Dan ia segera berlari menjauh. Berhenti sebentar, lalu melemparkan dua
butir batu sisa pemberian Empu Segah itu. Satu batu dilemparkan ke serambi
istana dan satu dilemparkan ke kerumunan orang-orang yang
hendak mengejar Suro Bodong menjadi berkeping-keping karena
ledakan tersebut.
Kobaran api menyala di sana-sini, pekik dan jeritan mereka
menjadi seperti suara dari neraka. Suro Bodong segera melompat ke benteng
pembatas halaman, lalu melompat ke luar halaman. Istrinya diturunkan, dan ia
berseru: "Lekas lari. .! Ayo, lari sekencang-kencangnya. Di sini sudah tidak ada
kalajengking lagi. .!"
Suro Bodong dan istrinya melarikan diri masuk ke semak-
semak hutan belukar. Namun tiba-tiba tangan Suro Bodong ada
yang menyeretnya ke tempat lain, dan ternyata orang itu adalah Empu Segah.
"Cepat merunduk. . istana itu akan meledak. .!"
Tepat ketika istri Suro Bodong merunduk, ledakan tak
terhingga kerasnya berbunyi menggelegar. Tanah semakin bergetar dan air telaga
memercik ke mana-mana.
"Ada gas racun di sana yang bisa meledak apa bila terkena percikan api!" kata
Empu Segah. Suro dan istrinya menggumam terheran-heran. Suro
berbisik kepada Empu Segah, "Ratu mati ketika ia bercinta denganku. Tapi mengapa
bisa menjadi besar kekuatanku ini" Ka-sihan istriku nanti. . "
"Biji-bijian itu penyebabnya. Dan. . ketahuilah, bahwa darah dan cairan yang ada
dalam tubuh mereka berbeda dengan kita, sehingga bisa membuat kekuatanmu
bertambah. Mereka itu bukan
orang-orang kita."
"Maksudnya?"
"Orang-orang dunia lain. Dan istana itu menurutku hanya
sebuah kendaraan dari luar dunia kita. ." Suro Bodong menggumam sambil
menggenggam tangan istrinya. Ia tertegun kaku.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial SURO BODONG Pendekar 7 Keliling
Sengaja dibuat untuk Anda Penggemar
cerita silat yang mungkin bingung untuk
memilih serian mana yang akan dibaca.
Dengan gaya penulisan yang khas, ditambah
penggunaan bahasa yang indah serta isi cerita
yang menawan dan tegang,
menjadikannya semuanya itu terasa
pas untuk Anda. Buktikan sendiri!
Tersedia dalam kisah :
Pedang Jitu Sakti
Pedang Urat Petir
Pedang Kerak Neraka
Iblis Hutan Tengkorak
Pertarungan Bukit Asmara
Racun Madu Mayat
Rahasia Tombak Dewa
Tumbal Mahkota Ratu
Dendam Perempuan Sepi
Jerit Di Pucuk Rembulan
Adipati Bukit Sekarat
Geger Pusaka Matsuri
Sukma Pedang 1 Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa Manusia Harimau Marah 5