Api Di Bukit Menoreh 12
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12
Namun agaknya keadaan anak muda yang langsung disaksikannya itu membuat darah Ki Gede benar-benar bagaikan mendidih. Meskipun Ki Gede masih tetap berpegang pada paugeran perang, namun ia tidak akan membiarkan korban akan berjatuhan tanpa dapat dibatasi.
Dengan demikian maka Ki Gede itu pun telah kembali melibatkan diri kedalam pertempuran. Tombaknya mulai berputaran dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan ujung tombaknya telah melemparkan seorang lawannya keluar arena. Ki Gede memang tidak bernafsu untuk membunuh orang sebanyak-banyaknya meskipun dipeperangan. Tetapi ia memang berniat melumpuhkan lawannya untuk mengurangi korban di pihak anak-anak Tanah Perdikan.
Dengan demikian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan yang ada di sekitar Ki Gede menjadi semakin berbesar hati. Apa yang dilakukan Ki Gede itu ternyata memang sangat berpengaruh. Ki Gede seakan-akan telah menghisap lawan dengan cepat dan melemparkan mereka keluar arena dalam keadaan yang tidak berdaya.
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang cukup berpengalaman tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyusun kelompok-kelompok kecil menghadapi Ki Gede. Anak-anak muda itu telah berusaha untuk memecah setiap kelompok yang tersusun. Mereka memancing setiap orang dalam kelompok itu untuk bertempur seorang melawan seorang. Atau bahkan kelompok melawan kelompok dalam satu lingkaran.
Warak Ireng yang melihat kesulitan di antara orang-orangnya karena sikap Ki Gede itu tidak dapat berbuat banyak. Anak muda yang bernama Glagah Putih itu ternyata sangat menjengkelkannya. Namun ia tidak dapat berbuat banyak, karena Glagah Putih itu mampu melawannya dan mengimbangi kemampuannya.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Warak Ireng hanyalah berteriak-teriak saja memberikan aba-aba. Mengumpat dan memaki. Namun ia masih tetap terikat dalam pertempuran melawan Glagah Putih.
Sementara itu, yang akan lebih menentukan dari pertempuran itu adalah pertempuran di induk pasukan antara para prajurit yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana melawan pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan dibantu oleh para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri.
Ki Lurah Branjangan yang terbebas dari pertempuran melawan Tumenggung Purbarana sempat mengamati seluruh medan. la sempat memberikan aba-aba dan mengatur pasukannya. Bahkan Ki Lurah sendiri sempat mengoyak sekelompok pasukan lawan yang berusaha mendesak sekelompok pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan demikian, maka para pengikut Ki Tumenggung di induk pasukan itu telah membentur perlawanan yang sangat berat. Sementara itu pimpinan pasukan berada di Senopati pengapitnya, karena Tumenggung Purbarana sendiri terikat pertempuran dengan paman gurunya, Kiai Bagaswara. Meskipun Ki Tumenggung sekali-sekali sempat meneriakkan aba-aba, tetapi pimpinan seakan-akan memang berada di tangan Senopati pengapitnya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang mempergunakan keris pusaka gurunya yang diambilnya dengan paksa setelah ia membunuh gurunya itu, benar-benar mempengaruhi kemampuannya. Garis serangan keris itu bagaikan garis amukan badai yang dapat melemparkan sasarannya beberapa langkah dari membantainya jatuh, ditanah. Bahkan dalam puncak kemarahannya, maka keris itu seolah-olah dapat bukan saja melontarkan sasaran; tetapi seakan-akan mampu juga menyemburkan api yang panasnya bagaikan lidah petir di langit.
Namun dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang merasa mengalami kesulitan menghadapi keris saudara seperguruannya yang bernama Kiai Santak itu, telah mempergunakan pusakannya pula. Sebilah luwuk yang juga memiliki pengaruh yang nggegirisi.
Tetapi pengaruh kekuatan luwuk itu justru bertolak belakang dari pengaruh kekuatan keris Kiai Santak. Jika Kiai Santak mampu menghembuskan badai dengan panasnya bara api, maka luwuk itu justru melontarkan prahara yang mampu membekukan darah. Arus dingin yang tiada taranya akan melibat sasarannya, sehingga kehilangan kemampuan untuk dapat bergerak karena darah mereka akan membeku.
Itulah sebabnya, maka Kiai Bagaswara yang mengawali kesulitan oleh serangan panasnya bara api yang terlontar dari keris Kiai Santak telah menyilangkan luwuknya di muka dadanya.
Dengan demikian, maka panasnya api yang mengembus Kiai Bagaswara itu seolah-olah telah menyejuk. Tidak terasa lagi sentuhan bara yang dapat membuat darahnya menjadi mendidih.
"Gila" geram Tumenggung Purbarana ketika ia melihat Kiai Bagaswara seakan-akan tidak terpengaruh oleh kekuatan keris lawannya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun telah menghentakkan iimunya membantu hembusan badai dari keris Kiai Santak.
Kiai Bagaswara sama sekali tidak merasa terbakar oleh panasnya api. Namun dengan demikian ia hanya melindungi dirinya sendiri. Tetapi dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang tersentuh oleh arus prahara itupun telah mengering dan menjadi hangus karenanya.
Tetapi Kiai Bagaswara tidak perlu mencemaskan para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan para pengawal. Karena Kiai Bagaswara sudah mengenal watak keris Kiai Santak, maka ia telah berusaha untuk menyingkir dari arena yang padat. Pertempuran yang kemudian terjadi antara dirinya dan Ki Tumenggung Purbarana telah mendesak para prajurit dan pengawal untuk mengambil jarak dari mereka.
Meskipun demikian, Kiai Bagaswara tidak ingin untuk sekedar menjadi sasaran dan sekedar melindungi dirinya sendiri. Karena itu, maka ia tidak saja menyilangkan luwuknya di dada untuk menghalau udara panas yang melandanya, tetapi Kiai Bagaswara pun kemudian mulai menyerang lawannya pula. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan luwuknya dan mengacungkannya ke arah Ki Tumenggung Purbarana.
Yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat dahsyat. Lontaran badai yang dihembuskan oleh kekuatan keris Kiai Santak dengan membawa panasnya bara api, telah membentur amuk prahara yang datang dari arah luwuk Kiai Bagaswara yang teracu kearah lawannya dengan membawa udara dingin membeku.
Untuk beberapa saat dua kekuatan itu berbenturan ditengah. Karena sifat mereka yang berbeda, maka keduanya tidak saling menolak. Tetapi keduanya justru saling menghisap. Udara panas dari keris Kiai Santak berusaha untuk menghisap kebekuan udara yang menahannya dan membakarnya. Tetapi sebaliknya, panasnya udara yang dihembuskan keris Kiai Santak telah terhisap kedalam kebekuan sehingga tidak lagi berpengaruh atas sasarannya.
Namun demikian, kedua orang itu telah menghentakkan kekuatan mereka masing-masing untuk menghisap sampai kekuatan terakhir dari pusaka lawan-lawannya.
Meskipun pada dasarnya pusaka-pusaka itu bertuah dan mempunyai kekuatan, namun sebenarnyalah kekuatan itu saling mempengaruhi pula dengan kekuatan ilmu dari orang yang menggenggamnya. Meskipun kedua pusaka itu mempunyai kekuatan dalam jenisnya masing-masing yang seimbang, namun dorongan kekuatan ilmu dari mereka yang menggenggamnyalah yang kemudian akan menentukan.
Betapapun juga, maka Kiai Bagaswara memiliki banyak kelebihan dari Ki Tumenggung Purbarana. Meskipun Purbarana telah mempelajari segala unsur ilmu gurunya, tetapi ia masih belum sempat mengembangkan dan mematangkannya. Karena itu, maka bagaimanapun juga, Ki Tumenggung tidak akan mampu mengimbangi kemampuan paman gurunya.
Itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, agar kekuatan keris Kiai Santak tidak justru terhisap oleh kekuatan pusaka pamannya.
"Setan itu ternyata mempunyai penawarnya" geram Ki Tumenggung Purbarana.
Namun bagaimanapun juga, Tumenggung Purbarana tidak akan mampu melawan kekuatan pusaka dan lambaran iimu pamannya. Itulah sebabnya, maka kekuatan keris Kiai Santak yang jarang ada bandingnya itu semakin lama menjadi semakin surut. Panas yang dipancarkan bagaikan panasnya lidah api di langit, telah terhisap oleh dinginnya udara yang memancar dari pusaka Kiai Bagaswara, sehingga akhirnya panas api itu bagaikan membeku.
Kekuatan udara dingin itu bukan saja menghisap panas yang memancar dari kekuatan keris Kiai Santak, tetapi rasa-rasanya semakin lama semakin menghimpit Tumenggung Purbarana, sehingga betapapun ia menghentakkan kekuatannya, rasa-rasanya darahnya menjadi bagaikan membeku, sehingga segenap kekuatan ilmunya bagaikan larut sama sekali.
Ki Tumenggung Purbarana berdiri dengan tubuh menggigil. Hampir saja ia tidak lagi mampu menggenggam kerisnya. Namun karena ia tidak ingin melepaskannya, maka seakan-akan Purbarana itu telah mengerahkan sisa kekuatan yang ada padanya untuk tetap mempertahankan keris itu.
Namun tiba-tiba tubuhnya yang membeku itu tidak lagi mampu bertahan untuk tetap berdiri tegak. Perlahan-lahan Tumenggung itu bergoyang sehingga akhirnya Tumenggung Purbarana pun telah terjatuh dan berdiri pada lututnya, meskipun ia masih tetap menggenggam keris Kiai Santak.
Kiai Bagaswara melihat akibat dari pusakanya yang didorong oleh kemampuannya. Ia melihat Ki Tumenggung Purbarana itu jatuh pada lututnya. Tubuhnya menggigil dan giginya pun gemeretak oleh himpitan rasa dingin yang tidak tertahankan.
Namun bagaimanapun juga, ternyata Kiai Bagaswara tidak sampai hati melihat keadaan Ki Tumenggung Purbarana. Meskipun Kiai Bagaswara mengerti, bahwa orang itu telah dengan licik membunuh gurunya sendiri, namun ketika ia melihat orang itu sudah tidak berdaya, maka Kiai Bagaswarapun telah mengendorkan tingkat ilmunya.
Perasaan dingin itupun perlahan-lahan menjadi berkurang. Meskipun rasa-rasanya tangan, kaki dan seluruh tubuh Ki Tumenggung masih juga menggigil, namun tajamnya sengatan udara dingin itu memang terasa berkurang, sehingga dengan demikian, maka Ki tumenggung tidak lagi merasa tercekik oleh deru prahara yang membawa udara beku.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la tidak lagi mengacupkan luwuknya kearah Ki Tumenggung Purbarana. Bahkan kemudian tumbuh perasaan ibanya melihat Purbarana yang membeku ditempatnya, berdiri pada lututnya yang sudah menjadi sangat lemah.
Perlahan-lahan Kiai Bagaswara melangkah mendekati murid saudara seperguruannya itu. Beberapa langkah ia berhenti sambil memandang keadaan Ki Tumenggung itu.
Purbarana menggeram. Namun terasa tubuhnya sudah sangat lemah oleh kebekuan yang menekannya.
"Apa katamu Purbarana?" bertanya Kiai Bagaswara.
Purbarana mencoba mengangkat kepalanya. Dipandanginya Kiai Bagaswara yang berdiri beberapa langkah dihadapannya.
"Bunuh aku" geram Ki Tumenggung.
"Purbarana" berkata Kiai Bagaswara, "masih ada kesempatan bagimu."
"Kesempatan apa?" bertanya Purbarana.
Kau dapat menyesali perbuatanmu. Kau dapat memperbaiki sikapmu berkata Kiai Bagaswara.
"Menyerah maksudmu?" bertanya Ki Tumenggung.
"Itu tidak penting. Apakah kau akan menyerah atau melarikan diri. Yang penting kau menyesali perbuatanmu. Bertobat dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi." jawab Kiai Bagaswara.
"Omong kosong" geram Purbarana, "jika kau akan membunuh aku bunuhlah. Jangan berpuara-pura memberi aku kesempatan melarikan diri kemudian kau membunuh aku dari arah punggung dengan alasan, bahwa aku akan melarikan diri."
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan berprasangka terlalu buruk kepadaku. Aku memang sangat kecewa atas sikapmu. Apalagi ketika aku mendengar, bahwa kau telah membunuh gurumu sendiri. Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas dari hukuman mati. Tetapi hukuman mati tidak harus dilakukan oleh orang lain."
"Maksudmu, kau suruh aku membunuh diri?" bertanya Purbarana
"Ya. Tetapi tidak secara kewadagan. Bunuh jiwamu yang lama, dan biarlah lahir jiwa baru di dalam tubuhmu" berkata Kiai Bagaswara.
"Persetan dengan sesorah itu." jawab Ki Tumenggung Purbarana, "jika kau ingin membunuh, membunuhlah. Aku membencimu sebagaimana aku membenci guru. Kaupun harus membenci aku dan membunuhku."
"Mungkin jalan pikiranmu memang begitu Purbarana. Tetapi ketahuilah, bahwa tidak harus orang yang dibenci itu kemudian membenci pula. "jawab Kiai Bagaswara.
"Omong kosong" geram Ki Tumenggung.
"Orang dapat bersikap baik kepada orang yang membencinya. Orang dapat mendoakan keselamatan bagi orang yang mengancamnya" jawab Kiai Bagaswara, "siapa yang mengasihi orang lain yang juga mengasihinya, ia adalah orang kebanyakan. Tetapi siapa yang mengasihi orang yang membencinya, ia adalah orang pilihan."
"Dan kau ingin disebut orang pilihan?" Ki tumenggung itu menjadi terengah-engah meskipun tubuhnya sudah tidak menggigil lagi, "jangan berpura-pura hanya karena kau ingin disebut orang pilihan."
"Tidak Purbarana" jawab Kiai Bagaswara, "aku berkata sebenarnya. Meskipun aku bukan orang pilihan, dan aku tidak akan sempat melakukan sebagaimana dilakukan orang pilihan, tetapi sebaiknya kau bertobat. Memang lebih baik untuk menyerah dan berusaha memperbaiki tingkah laku. Kau masih belum tua. Kau masih akan mempunyai kesempatan."
Purbarana tidak menjawab. Sekilas dipandanginya Kiai Bagaswara dengan tatapan mata yang menyala. Namun kemudian Ki Tumenggung yang garang itu menundukkan kepalanya.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung. Beberapa orang memang melihat Ki Tumenggung jatuh di atas lututnya. Beberapa orang prajurit dari pasukan khusus Mataram yang melihat itu pun bersorak.
Tetapi para pengikut Ki Tumenggung tidak segera menyerahkan diri atau kehilangan akal. Senapati pengapit yang memimpin pasukan itu justru meneriakkan aba aba, "Kita binasakan semua orang Mataram dan orang orang Tanah Perdikan ini, justru sebelum setan tua itu berhasil mengalahkan Ki Tumenggung dengan licik."
Dengan demikian maka pertempuran pun terjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun karena di antara mereka adalah prajurit prajurit, maka pertempuran itu lebih banyak berlangsung dalam ikatan kelompok-kelompok, meskipun tidak berarti bahwa di antara mereka terdapat juga seorang-seorang yang terlepas dari ikatan dan bertempur atas kemampuan mereka secara pribadi.
Dalam pada itu, Kiai Bagaswara melihat perubahan sikap Ki Tumenggung yang menundukkan kepalanya. Bahkan tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bertanya, "Apa keuntunganku jika aku bertobat, paman Bagaswara?"
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ada banyak keuntunganmu Ngger. Kau sempat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Kau sempat lahir kembali dengan sifat-sifatmu yang baru, sehingga dengan demikian, maka kau akan menjadi orang lain bukan saja dihadapan sesama, tetapi juga dihadapan Yang Maha Agung."
Ki Tumenggung masih menundukkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia bertanya, "Apakah dengan demikian berarti dosaku diampuni?"
"Purbarana" berkata Kiai Bagaswara, "jangan hiraukan sikap orang-orang Mataram atau orang orang Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya mereka tidak mengampunimu, maka kau tidak usah cemas. Hukuman yang harus kau jalani adalah hukuman badani. Jika waktunya sudah habis, maka kau akan bebas dari hukuman itu. Tetapi yang harus kau perhatikan adalah pengampunan jiwani. Jika kau bertobat dan menyesal sampai kepusat jantung, maka dosamu secara jiwani memang akan diampuni. Kau akan mendapat kesempatan kembali menyatu dengan Yang Maha Agung, sehingga kau akan mendapat tempat yang baik dalam kehidupan yang kekal."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk kecil. Katanya "Apakah paman bertanggung jawab?"
"Persoalannya adalah persoalanmu dengan Sumber Hidupmu." jawab Kiai Bagaswara.
"Aku percaya paman" berkata Ki Tumenggung kemudian, "tetapi apakah masih ada kesempatan bagiku."
"Kenapa tidak?" jawab Kiai Bagaswara, "tidak ada keterlambatan selagi masih ada kesempatan untuk menyatakan dari dasar hati."
Ki Tumenggung tidak menjawab. Kepalanya menjadi semakin tunduk.
Kiai Bagaswara maju selangkah mendekati Ki Tumenggung yang berdiri pada lututnya dengan kepala tunduk. Tetapi Ki Tumenggung itu sudah tidak menggigil lagi. Kiai Bagaswara sudah melepaskan semua serangannya. Ki Tumenggung tidak lagi dicengkam oleh perasaan dingin yang membuat darahnya menjadi beku.
Sejenak Ki Tumenggung berdiam diri, sementara Kiai Bagaswara berkata, "Lakukan apa yang aku katakan jika kau benar-benar ingin bertobat."
"Apa yang harus aku lakukan paman?" bertanya Ki Tumenggung.
"Perintahkan semua pemimpin kelompok, para Senapati dan Perwira, demikian juga pemimpin-pemimpin padepokan yang berpihak kepadamu untuk menghentikan pertempuran."
Ki Tumenggung mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi ia bertanya, "Apakah tidak akan terjadi pembantaian atas orang-orangku. Jika mereka menghentikan pertempuran, tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang Mataram dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, apakah bukan berarti bahwa orang-orangku tidak dapat membela dirinya?"
"Jangan cemas. Jika kau setuju, aku akan menghubungi Ki Lurah Branjangan, yang memimpin seluruh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh." berkata Kiai Bagaswara.
Ki Tumenggung ragu-ragu sejenak. Sementara itu Kiai Bagaswara berkata, "Berdirilah. Bukankah kau sudah mendapatkan kekuatanmu kembali."
Purbarana menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri sambil menebarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kearah pasukan lawan yang semakin mendesak orang-orangnya.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Kiai Bagaswara agaknya masih menunggu perkembangan perasaan Ki Tumenggung yang menurut pendapatnya mulai luluh: Sementara itu Ki Tumenggung masih mengamati seluruh medan yang menebar.
Namun adalah di luar dugaan Kiai Bagaswara. Ki Tumenggung Purbarana yang telah menunjukkan tanda-tanda yang cerah bagi jiwanya, ternyata adalah sekedar ungkapan semu.
Ketika Kiai liagaswara memberinya kesempatan untuk berpikir, maka Ki Tumenggung Purbarana yang sudah tegak berdiri itu telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya Kiai Santak. Demikian tiba-tiba sambil berteriak nyaring, "Mati kau pengkhianat tua."
Serangan itu benar-benar mengejutkan. Kiai Bagaswara sama sekali tidak menduga, bahwa Ki Tumenggung Purbarana yang dianggapnya telah menemukan titik-titik terang itu adalah sekedar langkah-langkah liciknya sebagaimana ia berhasil membunuh gurunya dan sekaligus mengambil pusakanya. Justru pada saat gurunya menjadi lengah karena sikapnya yang pura-pura.
Sikap itu pulalah yang telah dilakukannya menghadapi Kiai Bagaswara.
KIAI Bagaswara benar-benar terkejut mendapat serangan itu. Serangan yang tidak diduganya sama sekali. Karena itu, Kiai Bagaswara tidak mendapat banyak kesempatan untuk berpikir. la tahu benar kemampuan keris Kiai Santak yang memiliki ketajaman bukan saja mata keris yang mampu membelah kulit daging, tetapi racun warangan pada keris itu pun akan dapat membunuh seseorang yang hanya tergores seujung rambut.
Karena itu, maka dengan gerak naluriah Kiai Bagaswara meloncat menghindar. Namun juga diluar sadarnya, bahwa sambil meloncat Kiai Bagaswara telah siap dengan luwuknya. Karena itu, Kiai Tumenggung Purbarana yang tidak menyentuh sasarannya, telah mengulangi serangannyamenebas mendatar kearah leher orang tua itu.
Kiai Bagaswara benar-benar tidak sempat lagi mengekang perasaannya. Segalanya berlangsung demikian cepatnya. Demikian pula sikap Kiai Bagaswara itu telah merendahkan dirinya. Namun seakan-akan diluar kemauan sendiri, tangan telah terjulur lurus.
Yang terjadi kemudian benar-benar mendebarkan jantung. Ki Tumenggung yang dengan segenap kemampuannya mengayunkan Keris Kiai Santak itu tidak sempat mengekang diri. Demikian ia meloncat maju, maka demikian tiba-tiba ujung luwuk Kiai Bagaswara bagaikan menyongsongnya.
Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Atas kekuatan dorong tubuh Ki Tumenggung sendiri, maka luwuk Kiai Bagaswara itu telah menghunjam ke dadanya.
"Purbarana" suara Kiai Bagaswara melengking tinggi.
Adalah di luar kehendaknya sendiri, namun memang sulit untuk dihindari bahwa hal itu terjadi, luwuknya telah menembus tubuh orang yang tiba-tiba justru telah mengejutkannya.
Kiai Bagaswara kemudian berusaha untuk menahan tubuh Ki Tumenggung yang terjatuh. Dengan hati-hati tubuh itu dibaringkannya, sementara luwuknya masih tetap menghujam di dadanya.
Ki Tumenggung menyeringai menahan sakit. Tetapi tangannya sudah tidak mampu digerakkannya. la memang masih berniat untuk menggoresan kerisnya. Tetapi keris itu justru terlepas dari tangannya dan jatuh ditanah. Keris lambang kebesaran nama gurunya.
Kiai Bagaswara yang kemudian meletakkan Ki Tumenggung itupun segera memungut keris Kiai Santak. keris yang luar biasa dan jarang ada duanya.
"Purbarana" panggil Kiai Bagaswara.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sudah tidak menyahut. Napasnya pun sama sekali sudah tidak mengalir lagi. Ki Tumenggung itu sudah terbunuh oleh paman gurunya, yang sedang berusaha untuk memberikan petunjuk agar ia dapat menemukan jalan kembali.
Kiai Bagaswara menarik,nafas dalam-dalam. Agaknya memang sudah menjadi garis hidup Ki Tumenggung Purbarana bahwa ia harus mati karena tangan paman gurunya sendiri.
"Tidak ada niatku membalas dendam" berkata Kiai Bagaswara kepada diri sendiri, "seandainya ia mengerti maksudnya, maka aku akan melupakan segala kesalahan yang pernah dilakukan. Juga karena ia telah membunuh gurunya sendiri."
Tetapi pembunuhan itu sudah terjadi. Kiai Bagaswara telah membunuh murid saudara seperguruannya. Dengan jantung yang berdegup semakin cepat, Kiai Bagaswara telah mengambil wrangka keris yang terselip di ikat pinggang Ki Tumenggung. Kemudian menyarungkan Kiai Santak dan juga luwuknya sendiri.
Kiai Bagaswara baru menyadari bahwa ia masih berada di medan perang ketika ia kemudian mendengar sorak gemuruh. Ternyata para prajurit Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan menoreh telah bersorak dengan serta merta ketika mereka melihat Ki Tumenggung Pubarana terbunuh.
Ki Lurah Branjangan pun menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, ternyata Senapati pengapitnya masih tetap berkeras kepala, sebagaimana juga Ki Tumenggung Purbarana yang berhati keras. Senapati itu justru meneriakkan aba-aba untuk menuntut balas kematian Ki Tumenggung Purbarana.
Ternyata bahwa para prajurit pengikut Ki Tumenggung itu adalah prajurit-prajurit yang setia. Mereka tidak dengan serta merta melarikan diri sepeninggalnya. Namun seperti yang diteriakkan oleh Senapati penggapit yang mengambil alih pimpinan.bahwamereka harus menuntut dendam atas kematian Ki Tumenggung Purbarana.
Dengan demikian maka pertempuran menjadi semakin dibakar oleh dendam itu lambat laun telah kehilangan kesadaran mereka atas paugeran perang, sehingga mereka cenderung untuk melakukan apa saja yang ingin mereka laukan.
"Kita sudah terlibat dalam perang. Apa saja yang akan aku lakukan, tidak ada yang dapat melarangnya. Seandainya aku melanggar paugeran perang, siapa yang akan dapat menghukum aku?" geram seorang pengikut Ki Tumenggung yang hampir kehilangan akal, "jika ada yang ingin menuntut dan menghukum aku, maka ia adalah orang yang pertama aku bunuh."
Karena itu, maka pertempuran di induk pasukan pun mulai dibayangi oleh kekerasan tanpa menghiraukan panghiraukan paugeran. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin kasar dan kisruh, sebagai manaterjadi di sayap pasukan itu.
Kematian Ki Tumenggung ternyata berpengaruh pula atas sayap-sayap pasukan. Mereka memperhitungkan, bahwa orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Purbarana yang bertempur dengan membawa keris Kiai Santak itu tentu akan dapat membunuh tanpa hitungan, sebagaimana dilakukan oleh senapati yang lain di peperangan.
Karena itu, maka sebagian dari mereka pun telah memberikan aba-aba untuk bergerak lebih cepat. sebagaimana para Senapati pengapit di induk pasukan.
Dengan demikian maka pertempuran yang keras itu semakin bertambah keras. Namun dalam pada itu, peristiwa-peristiwa penting yang lainpun telah terjadi dipeperangan.
Glagah Putih ternyata benar-benar telah mapan. Meskipun Warak Ireng telah sampai kepuncak ilmunya, namun ia tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih yang telah menempa diri di bawah pemomongnya Agung Sedayu dan yang kemudian mendapat seorang guru yang bernama Kiai Jayaraga, seorang yang memiliki ilmu yang nggegirisi.
Warak Ireng yang dibakar oleh kemarahan yang memuncak itu bagaikan menjadi gila. la tidak mempunyai cara untuk dapat mengalahkan lawanya yang masih sangat muda. Segala kemampuan, pengalaman dan ilmu yang ada padanya telah di perasnya.
Namun Glagah Putih dengan gigih mampu mempertahankan dirinya. Bahkan sekali-kali serangannya justru membahayakan lawannya.
Dengan geram Warak Ireng mengumpat-umpat. Ingin ia segera meremas kepala anak itu. Tetapi ia harus membentur pada satu kenyataan bahwa ia tidak mampu melakukannya.
Karena itu, maka pertempuranan antara Glagah Putih dan Warak Ireng itupun menjadi semakin sengit. Sementara itu para pengikut Warak Ireng ternyata susut dengan cepat. Mereka yang tersesat mendekati Ki Gede, maka iapun akan terlempar dengan luka ditubuhnya. Meskipun Ki Gede tidak berniat untuk membunuh mereka, namun ujung tombaknya telah mengoyak lawannya tanpa memilih arah. Mungkin dada, mungkin pundak atau lengan, tetapi mungkin pula punggung. Bahkan ada yang hanya koyak kain panjangnya, namun rasa-rasanya ia telah mati dan jatuh terbaring di tanah tanpa bergerak sampai saatnya seorang kawannya menyeretnya menepi, sehingga luka-luka di tubuhnya tidak ditimbulkan oleh senjata lawannya, tetapi oleh batu-batu padas di arena pertempuran itu pada saat tubuhnya diseret keluar arena.
Di sayap yang lain. Sekar Mirah benar-benar menggetarkan jantung lawannya. Ki Linduk yang juga bernama Sambijaya itu tidak mengira sama sekali sebelumnya, bahwa perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang berasal dari Sangkal Putung itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Bahkan kadang-kadang loncatan-loncatan yang cepat dan sama sekali tidak terduga telah mengejutkannya.
Sementara itu, orang-orang linuwih yang ada di medan itu masih terikat dengan lawannya masing-masing. Kiai Jayaraga masih beradu ilmu dengan Punta Gembong, sementara itu, Agung Sedayu masih bertempur dengan Kumbang Talangkas.
Dalam pada itu, di induk pasukan, ternyata para pengikut Ki Tumenggung Purbarana telah salah duga. Sepeninggal Ki Tumenggung Kiai Bagaswara sama sekali tidak melakukan sebagaimana yang mereka cemaskan. Kiai Bagaswara tidak mengamuk dan membunuh sebanyak-banyaknya, tetapi ia justru merenungi tubuh Ki Tumenggung yang membeku.
Berbagai macam pertanyaan telah membelit di hati Kiai Bagaswara. la sulit untuk dapat mengerti, bagaimana mungkin orang yang terbaring diam itu benar-benar terperosok ke dalam dunia yang yang kelam sampai saat terakhirnya. Sama sekali tidak ada titik-titik terang yang dapat menuntunnya menghadap kepada Sumber Hidupnya yang telah memanggilnya. Bahkan hampir saja Kiai .Bagaswara kehilangan kewaspadaan justru pada saat ia mengira Ki Tumenggung itu mulai menyadari kesalahannya.
"Ada juga hati yang sekeras batu" desisnya.
Seolah-olah berbicara kepada diri sendiri ia bergumam. "Tidak. Sikapnya sama sekali bukan sikap seorang jantan, seolah-olah orang yang memegang keyakinannya sampai mati adalah orang yang berhati baja. Jika ia mengeraskan hati dalam kesesatan, maka ia sama sekali bukan orang yang dapat disebut jantan. Justru orang yang melihat kesalahannya dan berani melakukan langkah-langkah pembetulan, barulah ia disebut jantan.
Namun Ki Tumenggung telah mati. Apapun kata orang, tetapi Ki Tumenggung telah menggenggam tekad yang tidak dilepaskannya sampai akhir hayatnya. Namun agaknya Ki Tumenggung telah memilih jalan apa saja yang dapat dilakukan tanpa mengingat nilai-nilai dan martabat kemanusiaan untuk mencapai maksudnya.
Dalam pada itu, meskipun Kiai Bagaswara tidak berbuat apa-apa lagi, tetapi diinduk pasukan itu ada Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Branjangan memiliki sifat yang agak berbeda dengan Kiai Bagaswara. Ki Lurah ada seo"rang prajurit yang berada di medan perang. Itulah sebabnya. maka Ki Lurah telah bertempur sebagaimana seorang prajurit.
Ternyata salah seorang Senapati pengapit Ki Tumenggung Purbarana berusaha untuk menghambat gerak Ki Lurah. Dengan demikian maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Namun Ki Lurah Branjangan adalah seorang Senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas. la adalah Panglima pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, maka iapun telah menunjukkan kelebihannya dari lawannya.
Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga garangnya para Senopati pengapi memberikan aba-aba, namun sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana, hati para prajurit yang menjadi pengikutnya telah menjadi semakin hambar. Rasa-rasanya tidak ada lagi sandaran kekuatan bagi pasukan itu. Ki Tumenggung dengan Kiai Santak yang nggegirisi itu telah dikalahkan.
Karena itu, maka semakin lama para pengikut Ki Tumenggung itupun semakin kehilangan gairah perjuangannya. Satu demi satu mereka jatuh terbaring ditanah. Darah menjadi semakin banyak mengalir, sementara harapan untuk, menang menjadi semakin kabur.
Dengan demikian, maka kedudukan pasukkan di induk pasukan itu justru menjadi goyah. Ki Lurah ,yang berhasil mendesak lawannya mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh pasukan. Sejenak kemudian, maka pasukan pada pengikut Ki Tumenggung itu telah terdesak mundur.
Kiai Bagaswara yang merenungi tubuh Ki Tumenggung Purbarana itupun kemudian menyadari keadaan. Pasukan Ki Tumenggung itu tidak mampu lagi untuk mempertahankan garis perang
Ternyata keadaan induk pasukan itu sangat berpengaruh atas sayap-sayap pasukan. Karena induk pasukannya bergeser, maka sayap-sayapnya pun ikut bergeser pula.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka Ki Linduk serta gurunya dan Warak Ireng dan Ki Punta Gembong di sayap yang lain, telah mendapat laporan tentang kernatian Ki Tumenggung Purbarana serta keadaan di induk pasukan. Dengan kasar merekapun telah mengumpat umpat. Mereka menganggap bahwa Ki Tumenggung tidak lebih dari seorang yang hanya mampu berteriak sesumbar. Namun tidak mampu berbuat apa-apa. Kematian Ki Tumenggung serta keadaan pasukan induk itu, akan menentukan keadaan pasukan di sayap. Kekalahan akan berarti satu bencana.
Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang mereka hadapi. Sebenarnyalan tanah Perdkan Menoreh memiliki kekuatan di luar perhitungan mereka.
Warak Ireng tidak bermimpi bahwa ia akan membentur kekuatan anak-anak yang dapat mengimbanginya. Kekuatan dan kecepatan gerak anak itu benar-benar bagaikan anak iblis.
"jika kami harus meninggalkan Tanah Perdikan ini tanpa hasil, biarlah aku membunuh anak ini lebih dahulu" geram Warak Ireng itu di dalam hatinya.
Tetapi Warak Ireng tidak melihat tanda-tanda bahwa ia akan dapat melakukannya. Sementara itu gurunya pun telah terikat dalam satu pertempuran melawan seseorang yang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Seakan-akan mereka berdiri tegang dan saling memandang dengan tangan terjulur. Namun yang terjadi adalah benturan ilmu yang sangat dahsyat.
JILID 184 KEDUANYA telah saling mendorong dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga kaki-kaki mereka telah semakin membenam kedalam tanah. Asap pun telah mengepul dan wajah-wajah mereka telah menjadi semakin pucat. Titik-titik keringat yang mengembun di kening dan dahi mulaimengalirdan membasahi wajah-wajah mereka.
Bahkan kemudian di seluruh tubuh mereka telah mengembun keringat yang kemudian mengalir membasahi kulit dan pakaian mereka.
Warak Ireng sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan gurunya. Jika saja Ki Punta Gembong dapat memenangkan pertempuran itu, maka ia akan dapat menggulung pasukan lawan. Dengan kemampuan ilmunya ia akan dapat dengan cepat menyusut jumlah para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata Punta Gembong masih belum berhasil mengalahkan Kiai Jayaraga. Bahkan justru keadaannya semakin lama menjadi semakin berat menghadapi tekanan ilmu Kiai Jayaraga.
Karena itu, maka Warak Ireng hanya dapat mengumpat-umpat. Apalagi ketika kemudian ia mengetahui apa yang dilakukan oleh Ki Gede Ternyata Ki Gede lah yang telah mengisap orang-orang Warak Ireng dengan cepat. Satu demi satu orang-orang yang menyerangnya telah dilumpuhkannya. Bahkan usaha mereka untuk bertempur dalam kelompok-kelompok kecil pun tidak berhasil mengurung Ki Gede. Selain Ki Gede sendiri memang memiliki ilmu yang tinggi, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak membiarkan pemimpinnya itu terkepung dan apalagi mengalami kesulitan.
Dengan demikian maka usaha orangrorang Warak Ireng selalu sia-sia. Sedangkan Warak Ireng sendiri masih terbelenggu pertempuran melawan ank-anak yang menurut dugaan Warak Ireng masih pantas untuk ikut biyungnya berbelanja kepasar.
Tetapi ternyata anak itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya.
Bahkan karena orang-orangnya semakin lama menjadi semakin tipis dan tidak lagi mampu mengimbangi desakan lawan. Warak Ireng selalu terdesak sejalan dengan susutnya pasukan induk.
Disayap yang lain, maka kesulitan yang serupa telah terjadi pula. Bahkan keadaan Ki Linduk menjadi lebih parah, Sekar Mirah ternyata lebih keras dari Glagah Putih menghadapi". orang-orang kasar seperti Ki Linduk. Sekar Merah dengan mempercayakan kepada kemampuannya bergerak cepat telah menyerang Ki Linduk seperti angin pusaran yang memutar bagaikan lingkaran kekuatan yang mengintari dirinya.Tongkat baja putihnya itu pun terayun-ayun dengan dahsyatnya. Bahkan ternyata sekali-sekali tongkat baja putih itu telah menyentuh tubuhnya.
Ki Linduk memang benar-benar berada dalam kesulitan. Senjata keras kedua orang itu setiap kali telah berbenturan. Tetapi setiap kali Ki Linduk merasakan betapa tangannya menjadi pedih.
Agaknya Sekar Mirah tidak ingin melepaskan lawannya. Ketika ia menyadari bahwa induk pasukan lawan telah kehilangan sandaran kekuatan dan selalu terdesak mundur, maka iapun benar-benar berniat mengakhiri lawannya.
Karena itulah, maka tongkat baja putihnya semakin lama menjadi semakin cepat berputaran. ketika sekali tongkat baja putihnya berhasil menyusup di antara senjata Ki Linduk, maka kepala senjata itu, yang berupa tengkorak berwarna kekuning-kuningan telah menyentuh lengan Ki Linduk.
Terasa tulang lengan pecah karenanya. Sambil mengerang ia pun, meloncat surut. Namun Sekar Mirah tidak rnemberikannya kesempatan. Dengan serta merta ia pun telah memburunya. Bahkan adengan dahsyatnya pun tongkatnya telah terayun mengarah ke kepala.
-Setan" geram Ki Linduk yang berusaha menangkis serangan itu dengan senjatanya.
Karena itu, menurut perhitungan Sekar Mirah maka pertempuran itu harus diselesaikan pada hari itu juga, karena lawan yang dihadapi oleh Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh bukannya sepasukan prajurit yang menyadari paugeran perang.
Dengan demikian, maka Ki Linduk sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sekar Mirah dengan tangkasnya telah memburunya. Tongkat baja putih peninggalan gurunya telah berputaran dengan dahsyatnya melibat lawannya dalam pertempuran yang semakin cepat. dengan demikian maka senjata kedua orang itu menjadi semakin sering berbenturan. Keduanya mempergunakan jenis senjata keras yang mendebarkan. Tetapi dalam benturan-benturan yang dahsyat, maka gerigi bindi Ki Linduk sama sekali tidak berarti apa-apa bagi tongkat Sekar Mirah. Apalagi, gerigi itu tidak mampu menembus putaran tongkat baja putih untuk menyentuh kulit lawannya.
Tongkat Sekar Mirahlah yang kemudian berhasil menyentuh lawannya. Sekali lagi Sekar Mirah berhasil menyusup diantara putaran putaran bindi Ki Linduk. TidaK dengan tengkorak kuningnya, tetapi justru dengan ujung yang lain dari tongkat baja putihnya, mengenai pundaknya.
Ki Linduk terdorong surut. Ketika Sekar Mirah masih memburunya, justru sebelum Ki Linduk sempat memperbaiki keseimbangan, maka Ki Linduk itu telah melemparkan dirinya dan berguling beberapa kali. Namun kemudian dengan sigapnya ia telah melenting berdiri dengan kedua bindinya bersilang di muka dadanya.
Sekar Mirah tertegun sejenak. Dibiarkannya lawannya mempersiapkan diri. Namun dengan demikian Sekar Mirah ingin melihat akibat sentuhan tongkatnya pada pundak lawannya.
Sebenarnyalah, Ki Linduk merasa tangannya bagaikan menjadi lumpuh. Namun tekadnya yang membakar jantungnya telah membuatnya masih mungkin untuk menggerakkan senjatanya, betapapun pundaknya itu terasa sakit.
Namun dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya bukan lagi merupakan kesulitan bagi Sekar Mirah. la mengerti bahwa pundak lawannya telah terluka dalam sebagaimana lengannya dan tulangnya bagaikan menjadi pecah.
Dengan demikian, maka Sekar Mirah benar-benar telah bersiap-siap untuk mengakhiri pertempuran.
Sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertempur dengan sengitnya Meskipun ia sendiri tidak terpengaruh oleh aji Gelap Ngampar lawannya yang masih belum matang dan belum mampu mencegahnya, karena pengaruhnya justru akan menikam jantung para prajurit Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun akan berpengaruh juga bagi orang-orangnya sendiri.
Namun seperti juga Sekar Mirah, Agung Sedayu tidak lagi mendapat terlalu banyak kesulitan menghadapi lawannya. Meskipun setiap kali lawannya masih juga mampu melepaskan paser-paser kecil mengarah ke matanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kemampuan paser-paser kecil itu. Ketika sekali lagi lawannya melemparkan kearah matanya, maka dengan sengaja Agung sedayu telah mengembangkan telapak tangannya untuk menahan paser-paser itu.
Yang terjadi memang sangat mendebarkan hati bagi lawannya. Paser itu sama sekali tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga paser-paser itu bagaikan telah mengenai keping-keping baja yang tidak dapat tertembus oleh tajamnya ujung paser-paser itu.
"Gila" geram Kumbang Talangkas.
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian menjadi yakin, bahwa kekuatan ilmu Kumbang Talangkas tidak mampu menembus ilmu kebalnya.
Namun demikian, Kumbang Talangkas masih tetap memiliki satu kekuatan yang luar biasa. kekuatan badai yang dapat melemparkan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merasa keberatan untuk terlempar dan jatuh berguling di tanah. Keadaan itu sama sekali tidak dapat melukai kulitnya.
Bahkan setiap kali hal itu terjadi, maka rasa-rasanya jantung Kumbang Talangkas menjadi semakin berdebaran. Seakan-akan ia tidak lagi sedang bertempur melawan seseorang. Tetapi rasa-rasanya ia sedang berhadapan dengan sesosok iblis.
Sebenarnyalah bahwa Kumbang Talangkas tidak dapat mengingkari satu kenyataan tentang kemampuan lawannya. Ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar seorang yang luar biasa. Namun rasa-rasanya Kumbang Talangkas tidak dapat mengerti tentang imbangan kekuatan yang telah terjadi antara dirinya dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu menurut pendengarannya, meskipun berhasil membunuh Prabandaru, namun Agung Sedayu sendiri telah terluka parah.
Dengan demikian, maka menurut keadaan itu, lingkat ilmu Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Purbarana tentu tidak akan terpaut banyak. Sementara itu Kumbang Talangkas yakin, bahwa ia memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru.
Namun ternyata menghadapi Agung Sedayu ia tidak mendapat kesempatan sama sekali.
Sebenarnyalah bahwa Kumbang Talangkas; sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di dalam diri Agung Sedayu. Semisal pintu maka perbendaharaan ilmu Agung Sedayu sudah terbuka, sehingga dalam keadaan yang demikian, tidak sulit lagi baginya untuk menerima unsur-unsur baru yang akan menambah kesempurnaan ilmunya sebelumnya. Dalam keadaan seperti Agung Sedayu itu seseorang tidak akan lagi dicemaskan oleh kemungkinan benturan dua kckuatan ilmu didalam dirinya, karena orang itu tentu akan dapat menyaring dan menyesuaikan ilmu-ilmu yang diserapnya yang satu dengan yang lain.
Demikian juga dengan Agung Sedayu. la menyerap ilmu dari beberapa sumber. la pernah menyadap ilmu dari dinding goa di tempat yang tersenbunyi di tebing sungai yang curam. la pernah membaca isi kitab Ki Waskita dan kemudian kitab gurunya sendiri. Sehingga dengan demikian, maka di dalam dirinya telah bertemu berbagai macam unsur yang justru saling memperkokoh dan saling mengisi.
Itulah yang sebenarnya dijumpai oleh Kumbang Talangkas. Satu perbendaharaan ilmu yang mencakup banyak unsur yang marnpu luluh menjadi satu kekuatan yang nggegirisi.
Kemampuan ilmu andalan Kumbang TaIangkas dengan deru badainya seolah-oIah justru menjadi sasaran permainan Agung Sedayu. Ia dengan membiarkan dirinya terlempar, terbanting dan kemudian berguling-guling. Tetapi yang terjadi itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Apalagi melukainya.
Karena itu, maka Kumbang Talangkas seakan-akan telah kehabisan akal untuk mengatasi keadaan Iawannya. Apalagi setiap kali terasa dadanya bagaikan terkorek oleh kekuatan ilmu yang langsung menembus sampai jantung, yang dipancarkan dari tatapan mata anak muda itu. Untuk beberapa saat Kumbang Talangkas masih bertahan. Ia merasa dirinya seorang yang tidak ada tandinganya. Karena itu kenyataan yang dihadapinya adalah kenyataan yang terlalu pahit. Anak yang mampu mengatasi ilmunya itu adalah anak yang baginya masih terlalu muda.
Yang terasa di hati muridnya adalah sebagaimana yang terasa dihati gurunya. Ki Linduk pun merasakan betapa pahitnya dikalahkan oleh seorang perempuan. Namun ia tidak dapat mengingkari. la pun tidak dapat menghindar atau melarikan diri. Sekar Mirah membayanginya sangat ketat dan serangan-serangannya datang bagaikan banjir bandang. Susul menyusul tidak ada henti-hentinya. Sentuhan demi sentuhan telah membuat tubuhnya menjadi semakin sakit, sehingga kemampuannya untuk bergerakpun menjadi semakin susut.
Tetapi kenyataan itu sulit untuk diterima oleh Ki Linduk. Sebagai seorang laki-laki yang sudah menjelajahi petualangan yang keras dan berat, maka iapun menganggap bahwa ia tidak akan mungkin dikalahkan oleh seorang perempuan.
"Aku terlalu berperasaan menghadapi seorang perempuan" katanya di dalam hati, "aku harus melepaskan diri dari perasaan belas kasihan itu. la benar-benar ingin membunuhku sehingga akupun harus benar-benar berusaha membunuhnya."
Dengan demikian, maka Ki Linduk itu pun justru telah menghentakkan sisa tenaganya. Dengan kasar ia meloncat menyerang dengan bindinya. Namun ia masih sempat memutar senjatanya menghindari benturan dengan senjata Sekar Mirah. Namun bindi itu pun telah terayun mendatar susul menyusul.
Sekar Mirah meloncat mundur. Bindi di kedua tangan lawannya rasa-rasanya bergerak semakin cepat. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak gentar menghadapinya. Putaran bindi itu bukannya tidak dapat ditembus oleh kecepatan gerak tongkat baja putihnya.
Ketika untuk beberapa saat, Sekar Mirah tidak juga sempat menusuk di sela-sela putaran bindi lawannya, maka ia menjadi tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia telah mengayunkan tongkat baja putihnya menghantan lingkaran putaran bindi lawannya.
Sekar Mirah yang yakin akan kekuatan tenaga ilmunya, dengan sengaja berusaha membenturkan tongkat baja putihnya, sehingga karena itu ia sama ekali tidak memperhitungkan lubang-lubang yang akan dapat ditembus.
Satu serangan yang tidak terduga. Karena itu, maka lawannya memang tidak menghindari benturan. Putaran bindinya yang menjadi perisai di sekitarnya, namun yang setiap saat dapat berubah menjadi kekuatan penyerang yang dahsyat itu, justru dipercepat untuk menanggapi benturan yang bakal terjadi.
Tetapi, ternyata kekuatan ilmu Sekar Mirah memang melampaui kekuatan yang dapat dibangunkan oleh ilmu Ki Linduk. Karena itu, ketika ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah membentur putaran senjata Ki Linduk, maka telah terjadi satu benturan yang sangat keras. Satu benturan yang tidak mampu lagi diatasi oleh Ki Linduk.
Demikian kerasnya benturan itu, maka tangan Ki Linduk terasa bagaikan menyentuh bara api. Satu hentakan yang luar biasa telah merenggut sebuah bindinya clan terlempar beberapa langkah dari padanya.
Ki Linduk berteriak mengumpat keras sekali. Namun dengan serta merta iapun telah meloncat menjauh.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Linduk melihat kenyataan tentang dirinya. Luka-luka dibagian dalam tubuhnya dan senjatanya yang sudah terlepas dari tangannya.
Untuk sesaat keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang. Namun kemudian Sekar Mirahpun berkata, "Menyerahlah. Mungkin kau masih akan mendapat kesempatan untuk hidup."
Wajah Ki Linduk menjadi tegang sekali. Sorot matanya bagaikan membara memandang sikap Sekar Mirah yang di dalam penglihatannya benar-benar bagai sesosok iblis betina.
Karena itu, maka Ki Linduk itu pun tidak menjawab sama sekali. Bahkan dengan serta merta iapun telah menyerang ambil mengumpat, "Gila. Kau harus dibantai disini setan etina."
Sekar Mirah memang sudah menduga, bahwa Ki Linduk tidak akan bersedia menyerah. Karena itu, demikian Ki Linduk menyerang, Sekar Mirah telah bersiap untuk menghadapinya.
Namun ternyata Sekar Mirah sudah mengambil keputusan. la harus segera menyelesaikan pertempuran itu sebelum matahari hilang di balik bukit.
Karena itu, maka tongkat baja putihnya segera berputar lagi. Dengan nada melengking ia berkata, "Ki Sanak. Aku sudah cukup memberimu peringatan. Tetapi kau sama sekali tidak mau mendengarkan. Karena itu apaboleh buat."
Ki Linduk tidak menghiraukannya. Bahkan iapun menerkam lawannya sambil mengumpat.
Tetapi Sekar Mirah sudah siap untuk menyelesaikan pertempuran itu. Demikian lawannya menyergapnya, ia mengelak dengan loncatan panjang menyamping. Demikian Ki Linduk meluncur di sisinya, maka Sekar Mirah telah mengayunkan tongkat baja putihnya. Tidak dengan sepenuh kemampuannya, karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa benturan antara tongkat baja putihnya dengan kepala orang itu akan dapat berakibat sangat buruk bagi lawannya jika ia mengayunkannya dengan segenap kemampuannya.
Karena itu, Sekar Mirah hanya mempergunakan sebagian tenaganya saja memukul tengkuk Ki Linduk yang terseret oleh kekuatannya sendiri disisi Sekar Mirah.
Meskipun demikian, ternyata bahwa benturan antara tongkat baja putih Sekar Mirah dengan tengkuk Ki Linduk telah menimbulkan akibat yang sangat gawat bagi Ki Linduk. Ayunan pukulan itu telah mendorong Ki Linduk sehingga jatuh tertelungkup, tanpa mampu menguasai tubuhnya. Wajahnya telah terjerembab ke tanah berbatu padas. Sementara itu, benturan benda keras pada tengkukya telah membuatnya tidak lagi menyadari apa yang telah terjadi.
Sekar Mirah yang menyaksikan lawannya terdorong dan jatuh terjerembab itu justru menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat Sekar Mirah berdiri mematung memandangi tubuh yang kemudian diam menelungkup tanpa bergerak sama sekali.
"O" Sekar Mirah melangkah maju. Tetapi ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak menyentuh lawannya. Bahkan ia pun kemudian melangkah selangkah selangkah menjauh.
Sekar Mirah terkejut ketika ia mendengar sorak yang bagaikan mengoyak langit. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang melihat Sekar Mirah mengalahkan lawannya, tiba-tiba saja telah bersorak. Bagi mereka, pengaruh gemuruh sorak sorai itu akan memberikan arti tersendiri. Bukan saja lontaran kegembiraan, tetapi semacam isyarat, bahwa satu kemenangan telah dicapai dalam pertempuran itu.
Isyarat yang demikian akan dapat berpengaruh pula atas lawan-lawan mereka. Apalagi apabila lawan mereka menyadari, bahwa pemimpin mereka yang bernama Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya telah dikalahkan oleh seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah.
Demikianlah, maka para pengikut Ki Linduk itu hatinya tiba-tiba telah menyusut. Mereka telah kehilangan pemimpin yang selama itu mereka anggap sebagai orang yang paling mumpuni. Tiba-tiba mereka dihadapkan pada satu kenyataan bahwa orang itu telah dikalahkan, justru oleh seorang perempuan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kematian Ki Linduk itu sempat di dengar pula oleh gurunya, Kumbang Talangkas. Beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh memang dengan sengaja meneriakkan kematian itu, agar hati orang-orang yang bertempur di pihak Ki Linduk menjadi semakin kecut.
Tetapi yang kemudian terjadi, sangat mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kumbang Talangkas yang mendengar tentang kematian muridnya menjadi sangat marah. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk membalas dendam meskipun dengan cara apapun juga.
Justru pada saat Sekar Mirah merenungi tubuh Ki Linduk dan kemudian menebarkan tatapan matanya ke sekitarnya karena orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang bersorak-sorak, telah terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka. Kembang Talangkas tanpa menghiraukan harga dirinya, tiba-tiba telah menyerang Sekar Mirah dari jarak yang semakin dekat, setelah ia berusaha bergeser dari arena.
Kumbang Talangkas yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itu dengan serta merta telah meninggalkan lawannya dan berlari mendekati Sekar Mirah. Dengan kemampuan ilmu praharanya, maka Kumbang Talangkas telah menyerang Sekar Mirah yang sama sekali tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi.
Agung Sedayu melihat apa yang bakal terjadi. Karena itu, maka ia berusaha untuk berteriak, "Sekar Mirah. Menghindarlah. Serangan itu akan menggapaimu dari jarak jauh."
Sekar Mirah berpaling. la melihat sikap Kumbang Talangkas yang menghadap kepadanya. Karena itu, dengan cepat ia menangkap maksud Agung Sedayu.
Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera berusaha untuk meloncat. Dengan kecepatan yang mungkin dapat dilakukan, maka iapun telah menghindar dari garis serangan Kumbang Talangkas.
Tetapi Sekar Mirah terlambat; Meskipun ia sempat bergeser, namun garis serangan itu masih menyentuhnya. Sehingga karena itu hembusan badai yang kuat yang dilontarkan atas dasar kekuatan ilmu Kumbang Talangkas itu telah menerpanya sehingga tubuh Sekar Mirah itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah.
Agung Sedayu mendengar pekik Sekar Mirah tertahan Karena itu, maka jantungnya bagaikan pecah karenanya. Ternyata Kumbang Talangkaslah yang berbuat sangat curang dan licik.
Melihat Sekar Mirah terlempar dan terbanting di tanah, darah Agung Sedayu tiba-tiba saja bagaikan mendidih. Sekar Mirah bukan saja salah seorang Senapati dari pasukan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi Sekar Mirah itu adalah isterinya.
Karena itu, maka Agung Sedayu" tidak lagi dapat mengekang dirinya. Tiba-tiba saja ia telah berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Dipandanginya tubuh Kumbang Talangkas yang sedang menikmati kemenangan karena kelicikannya. la melihat Sekar Mirah terbaring diam. Karena itu, maka tiba-tiba saja suara tertawanya yang dilambari dengan Aji Gelap Ngamparnya telah meledak dan menggetarkan udara menekan dada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak dapat berbuat demikian untuk waktu yang lama. la tidak sempat menikmati kemenangannya atas Sekar Mirah dengan caranya yang sangat licik, karena tiba-tiba ia mendengar suara Agung Sedayu, "He, setan yang licik. Hadapi aku."
Kumbang Talangkas berpaling kearah Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja jantungnya bergetar. la sadar, apa yang akan dilakukan Agung Sedayu atasnya.
Sebenarnyalah pada saat itu mulai terasa, dadanya bagaikan diremas. Sorot mata Agung Sedayu mulai menukik menusuk langsung ke pusat jantungnya. Tidak lagi dengan ragu-ragu sebagaimana sering dilakukannya. Tetapi peristiwa yang menimpa Sekar Mirah benar-benar telah membuat Agung Sedayu tidak lagi rnengekang diri.
Kumbang Talangkas rnengeluh perlahan-lahan. Serangan itu jauh lebih kuat dari yang pernah dilakukan Agung Sedayu sebelumnya. Bahkan rasa-rasanya sorot mata Agung Sedayu itu tidak saja mengorek jantungnya, tetapi mengalirkan udara yang mampu membakar seluruh isi dadanya.
Dengan sisa tenaganya Kumbang Talangkas itu menggapai paser-paser kecilnya. Tetapi ketika ia melontarkannya, maka paser-paser itu jatuh beberapa langkah dihadapan Agung Sedayu. Kecuali jarak di antara mereka memang diluar jangkauan lemparan paser-paser kecil itu, juga karena tenaga Kumbang Talangkas bagaikan sudah terserap habis oleh perasaan sakit yang menggigit jantungnya.
"Gila" teriak Kumbang Telangkas. la mencoba dilontarkan kekuatan badainya menghantam Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. la tidak lagi terlempar dan jatuh berguling-guling. Tetapi ia tetap tegak dengan tangan bersilang di dadanya dan memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kekuatan ilmunya yang luar biasa.
Untuk sesaat Telangkas masih bertahan, berdiri tegak sambil mengumpat-umpat. Tetapi ternyata kekuatannya tidak mampu mendukung gejolak perasaannya menghadapi Agung Sedayu yang menjadi sangat marah. Sejenak kemudian orang itu terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya.
Agung Seayu melepaskan serangannya ketika orang itu kemudian jatuh tertelungkup ditanah yang sudah dibasahi oleh keringat dan darah mereka yang bertempur dengan sepenuh kemampuan menentang maut dari kedua belah pihak.
Namun Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan orang itu terlalu lama. la pun kemudian berlari-lari menuju ke tempat Sekar Mirah terbaring. Ternyata dua orang anak muda Tanah Perdikan telah berdiri di sebelah menyebelah menjaga agar tubuh Sekar Mirah tidak diusik oleh lawan.
Dalam pada itu, para pengikut Ki Linduk tidak sempat menyorakkan kemenangan Kumbang Telangkas atas Sekar Mirah, karena sejenak kemudian, Kumbang Telangkas itu sendiri telah jatuh terjerembab di tanah.
Sesaat kemudian pertempuran masih berlangsung. Agung Sedayu kemudian telah mengangkat tubuh isterinya dan membawanya menepi. Ternyata serangan Kumbang Telangkas benar-benar sangat dahsyat, sehingga Sekar Mirah telah mengalami luka-luka. Bukan saja kulitnya yang membentur tanah berbatu padas, tetapi juga bagian dalam tubuhnya.
Sebagai murid Kiai Gringsing maka Agung Sedayu memang mempunyai beberapa jenis obat. Karena itu dengan tergesa-gesa ia menyiapkan obat yang terutama untuk memberikan kekuatan yang dapat menambah daya tahan tubuh isterinya.
"Tolong, cari air" minta Agung Sedayu kepada seorang anak muda Tanah Perdikan yang ada di dekatnya.
Anak itupun kemudian berlari-lari. la mengenal daerah itu, karena ia hampir setiap hari bermain-main dan berkeliaran di pategalan itu. Sehingga karena itu, maka ia pun dapat langsung pergi ketempat yang dikehendaki, sebuah belik kecil dibawah sebatang pohon beringin yang besar di sebelah medan pertempuran yang keras itu.
Dengan daun talas ia membawa air yang diperlukan oleh Agung Sedayu untuk mencairkan obat untuk luka-luka dalam yang dibawanya dengan bumbung kecil dan untuk mencairkan obat yang akan dapat dipergunakan untuk mengobati luka-luka di tubuh Sekar Mirah, yang ternyata mengalirkan darah cukup banyak.
Dengan hati-hati Agung Sedayu pun kemudian menitikkan cairan obat di bibirnya. Setitik demi setitik. Namun ketika ternyata bahwa titik-titik itu dapat melampaui kerongkongan Sekar Mirah, gejolak perasaan Agung Sedayu menjadi agak tenang.
Ketika kemudian Sekar Mirah mulai menggerakkan bibirnya dan berdesis, maka Agung Sedayu-menarik nafas dalam-dalam. la pun kemudian mulai mengoleskan obat pada luka-luka di kulitnya. Luka-luka yang ditimbulkan oleh sentuhan antara kulit Sekar Mirah dengan tanah dan batu-batu padas. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi terdapat di beberapa tempat dengan goresan-goresan memanjang.
Ternyata bahwa titik-titik obat yang dicairkan yang berhasil masuk kerongkongan Sekar Mirah itu memberikan pengaruh kepada perempuan itu. Sejenak kemudian terdengar Sekar Mirah itu merintih perlahan-lahan. Tubuhnya memang terasa sakit di semua sendi-sendinya.
Agung Sedayu menjadi semakin berpengharapan. Meskipun Sekar Mirah kemudian merintih perlahan-lahan, tetapi dengan demikian pertanda bahwa kesadaran Sekar Mirah telah mulai tumbuh kembali setelah beberapa saat ia menjadi pingsan.
"Mirah" panggil Agung Sedayu
Sekar Mirah mendengar panggilan itu. Dengan menahan sakit di seluruh tubuhnya, iapun berusaha membuka matanya. Mula-mula yang nampak padanya tidak lebih dari bayangan yang sangat kabur. Namun kemudian ia mulai melihat bentuk yang hitam seolah-olah dalam keremangan malam.
"Mirah" sekali lagi Agung Sedayu memanggil. Suara itu menjadi semakin jelas bagi Sekar Mirah. Meskipun ia tidak melihat dengan jelas ujud Agung Sedayu, tetapi Sekar Mirah mengenal dengan pasti, bahwa suara itu adalah suara Agung Sedayu.
"Kakang" desis Sekar Mirah.
"Bagaimana dengan keadaanmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku terluka di dalam kakang" jawab Sekar Mirah
"Kau sudah minum obat, meskipun baru sedikit sekali Mirah" jawab Agung Sedayu, "aku berhasil menitikkan obat itu lewat kerongkongan."
"O" Sekar Mirah berdesis.
"Sekarang, sebaiknya kau minum lagi meskipun hanya sedikit sekali" berkata Agung Sedayu pula.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu menitikkan obat di bibirnya, maka iapun berusaha untuk menelannya.
Obat itu memang berpengaruh atas luka-luka di dalam tubuh Sekar Mirah. Obat itu dapat mengurangi rasa sakit, tetapi juga dapat membantu memperkuat daya tahan tubuhnya.
"Beristirahatlah sebaik-baiknya Sekar Mirah" berkata Agung Sedayu, "kau aman disini. Kita berada di luar arena."
"Lalu bagaimana dengan orang yang licik itu?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku sudah menyelesaikannya Sekar Mirah" jawab Agung Sedayu.
"O" Sekar Mirah berusaha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata dadanya masih terasa sakit. Meskipun demikian perasaan sakit di seluruh tubuhnya sudah menjadi jauh berkurang.
"Beristirahatlah. Jangan hiraukan lagi pertempuran yang sudah hampir selesai itu" berkata Agung Sedayu.
"Kakang" desis Sekar Mirah jika kau masih harus berada di medan, tinggalkan aku. Aku tidak apa-apa."
"Biarlah anak-anak menyelesaikan yang tersisa Sekar Mirah" berkata Agung Sedayu.
"Tetapi korban akan menjadi terlalu banyak. Jika kau berada di medan kakang, mungkin kau akan dapat mengurangi korban. Bukan saja jumlah korban yang jatuh, tetapi kau akan dapat mempercepat penyelesaian.
Agung Sedayu merenungi kata-kata Sekar Mirah. Sementara itu, pandangan mata Sekar Mirah menjadi semakin jelas. la mulai melihat ujud Agung Sedayu. Langitpun rasa-rasanya menjadi semakin cerah.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya. Dilihatnya matahari yang semakin rendah diatas bukit. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan pendapat Sekar Mirah.
"Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah" bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.
Sekar Mirah seakan-akan melihat karagu-raguan di dalam hati suaminya. Karena itu, maka iapun berkata pula. Tinggalkan aku kakang. Aku tidak apa-apa.
Tetapi tubuh Sekar Mirah masih sangat lemah. Ia mengalami luka di tubuhnya dan luka di dalam. Karena itu, sebenarnyalah bahwa keadaan Sekar Mirah itu cukup gawat.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang memiliki jiwa seorang prajurit. Karena itu, ia melihat kepentingan seluruh pasukan melampaui kentingannya sendiri.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah memanggil seorang anak muda Tanah Perdikan yang berada tidak terlalu jauh dari padanya.
"Panggil kawan yang dapat melepaskan diri dari pertempuran untuk menjaga Sekar Mirah. Bukankah keadaan kita menjadi lebih baik?" bertanya Agung Sedayu. "Aku akan melihat medan."
"Ya" jawab anak muda itu, "pasukan khusus Mataram dan pasukan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah berhasil mendesak lawan dan mengurangi jumlah mereka. Tetapi mereka masih tetap mengadakan perlawanan."
"Apakah mereka tahu bahwa kedua pemimpin mereka sudah mati?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu sudah jawab anak muda itu" bukankah anak-anak Tanah Perdikan bersorak ketika mereka terbunuh dan demikian pula lawanmu yang memiliki ilmu yang luar biasa itu."
"Aku memang mendengar sorak itu" jawab Agung Sedayu, "tetapi aku justru tidak mendengar sorak itu ketika lawanku jatuh terjerembab karena perhatianku terpusat kepada Sekar Mirah."
"Orang-orang liar itu sudah mengetahui. .Agaknya pengaruhnya memang besar sekali. Mereka semakin terdesak, dan perlawanan merekapun menjadi tidak berarti lagi. Sebentar lagi pasukan mereka tentu akan pecah. Mudah-mudahan mereka menyerah dan tidak berusaha melarikan diri."
"Bagaimana jika mereka melarikan diri?" bertanya Agung Sedayu"
"Senapati pasukan khusus itu telah membuat perhitungan-perhitungan. Sebagian di antara mereka justru berada di ujung sayap. Mereka harus memotong jika ada gerakan mengundurkan diri. Meskipun tentu tidak akan mungkin dapat dijaring semuanya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika demikian aku tidak perlu lagi pergi ke arena. Sebentar lagi pertempuran itu memang sudah akan selesai."
"Ya. Sebentar lagi tentu akan selesai. Nampaknya di induk pasukan pun, kekuatan lawan tidak akan berarti lagi sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana." berkata anak muda itu.
Dengan, demikian maka Agung Sedayu tidak memerlukan lagi ampat orang yang harus menjaga Sekar Mirah. la sendiri akan menungguinya dan melihat perkembangannya setelah ia memberikan obat kepadanya. Sementara itu, medan perang pun telah banyak sekali berubah. Keseimbangan diantara kedua belah pihak telah jauh bergeser, sehingga akhirnya, maka seperti yang sudah diduga, para pengikut Ki Linduk yang kehilangan kendali itu pun tanpa aba-aba, telah saling berlarian mencari hidup masing-masing, sebagaimana sering mereka lakukan, apabila mereka gagal melakukan kejahatan.
Karena itu, maka sejenak kemudian, telah terjadi kejar-mengejar antara para pengikut Ki Linduk dengan para prajurit Mataram bersama-sama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata tidak hanya di sayap yang telah kehilangan pimpinannya saja itulah yang menjadi kacau. Tetapi di induk pasukan pun telah terjadi hal yang serupa. Para prajurit yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata telah kehilangan sifat-sifat keprajuritan mereka:, setelah mereka mengalami satu kehidupan yang berat di sepanjang perjalanan mereka sejak mereka meninggalkan Pajang, menyusuri daerah yang sulit dan keras. Menghadapi keadaan yang kadang-kadang sulit untuk dimengerti. Semuanya itu berpengaruh atas sikap dan cara hidup mereka. Perlahan-lahan mereka melepaskan sifat sifat keprajuritan mereka dan dihinggapi oleh sifat-sifat yang tidak mereka mengerti sendiri.
Kematian Ki Tumenggung Purbarana benar-benar telah menghancurkan harapan mereka untuk mencapai satu tujuan yang selama ini mereka tempuh dengan perjalanan yang berat dan keras. Sehingga karena itu, maka sebagian mereka telah benar-benar kehilangan pegangan.
Beberapa orang Senapati masih tetap dalam sikap mereka. Namun ketika mereka berteriak-teriak memberikan aba-aba, mapa para prajurit yang menjadi pendukung mereka selama ini telah kehilangan diri.
Karena itulah, maka para Senopati tidak lagi mampu mengendalikan prajurit-prajurit para pengikut Ki Tumenggung yang tidak lagi mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Sebagian besar dari mreka telah dipengaruhi oleh keadaan. Ketika mereka melihat orang-orang Ki Linduk melarikan diri, maka merekapun telah mengikut pula.
Mereka berlari bercerai berai meninggalkan medan. Dengan kebingungan mereka mendaki bukit berbatu padas. Satu dua kehilangan keseimbangan dan bahkan jatuh dilereng bukit menghantam batu-batu padas yang runcing.
Namun dalam pada itu, dalam keadaan yang kisruh, selagi para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berusaha mengejar lawan mereka yang melarikan diri, maka di satu sayap yang lain, keadaannya agak berbeda. Meskipun sebagian dari mereka yang berada di sayap itu juga telah melarikan diri, namun masih terjadi satu benturan ilmu yang sangat dahsyat. Kiai Jayaraga masih bertempur melawan Ki Punta Gembong dengan cara yang tidak banyak dimengerti oleh orang lain.
Keduanya agaknya saling menolak, tetapi pada tempat masing-masing yang dipisahkan oleh jarak. Keduanya bertahan dan berusaha untuk mendorong lawannya sehingga kaki-kaki mereka telah mulai membenam kedalam tanah.
Namun dalam keadaan terakhir, maka Kiai Jayaraga telah mengerahkan segenap kekuatan yang dapat diserapnya. Api, air, udara dan dengan mantap bertahan dengan kekuatan yang dapat diserapnya dari bumi.
Meskipun Punto Gembong mampu juga melontarkan serangan hawa panas, tetapi ternyata Kiai Jayaraga memiliki beberapa kelebihan. Dalam keadaan yang semakin berat, dan wajah-wajah mereka menjadi semakin pucat sementara pada sentuhan kaki mereka yang membenam kedalam bumi nampak mengepulkan asap, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Yang kemudian seakan-akan rnenyerang lawannya bukan sekedar kekuatan dorongan ilmunya, tetapi panasnya api dan uap air yang mendidih telah melanda Punta Gembong.
"Gila" Punta Gembong mengumpat. la sudah merasa betapa beratnya tekanan ilmu lawannya. Bahkan tiba-tiba saja pada tanah tempat ia berpijak seakan-akan telah terjadi ledakan yang mengejutkan.
Terasa ilmu Kiai Jayaraga itu semakin menyakiti tubuhnya. Ledakkan itu terasa bagaikan mengoyak kulitnya sementara udara yang panas menghembusnya semakin keras. Bahkan kemudian seakan-akan angin prahara telah mendengar dengan sangat dahsyatnya.
Ki Punta Gembong adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, ia pun dengan tepat mengetahui, bahwa lawannya memiliki ilmu yang tidak dapat dilawannya.
Namun demikian, ternyata bahwa Ki Punta Gembong bukan seorang pengecut. la tetap bertahan dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya, meskipun ia menyadari, bahwa ia tidak akan mampu bertahan melawan ilmu lawannya itu.
Tetapi Ki Punta Gembong tidak akan dapat mengambil cara lain. Jika ia melepaskan diri dari benturan kekuatan itu, dan berusaha menghindar, juga menghindari ledakan-ledakan yang terjadi dibawah kakinya, maka ia akan sekedar menjadi sasaran tanpa dapat menyerang sama sekali. Dan ia pun akan menjadi semakin lemah dan mati dalam kejaran ilmu lawannya. Tetapi dengan keadaan sebagaimana dilakukan, maka ia pun telah mampu menyakiti lawannya meskipun ia sendiri pada akhirnya akan kehilangan kemampuan untuk melawannya.
Dengan demikian, maka sesaat Punta Gembong menghentakkan ilmunya. Tangannya bagaikan mendorong arah Kiai Jayaraga untuk memberikan tekanan pada lontaran ilmunya.
Terasa sesuatu menekan di dada Kiai Jayaraga disamping perasaan panas yang menyengat. Karena itu, maka Kiai Jayaraga itupun menyeringai menahan sakit.
Ki. Punto Gembong, berusaha untuk memeras segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya. Namun ternyata bahwa sisa kekuatan dan kemampuannya memang sangat terbatas.
Karena itu, Kiai Jayaraga yang kemudian dengan menghentakkan ilmunya sebagaimana dilakukan oleh Ki Punta Gembong, menyerang lawannya dengan segala macam kekuatan yg terserap dalam ilmunya itu, maka berakhirlah pertempuran yang dahsyat itu. Punta Gembong yang bertahan dengan sisa kekuatannya, ternyata tidak mampu melawan hentakkan kekuatan ilmu Kiai Jayaraga. Karena itu, maka dengan segenap kemarahan, dendam dan kebencian, Punta Gembong pun kemudian jatuh tertelungkup ditanah. Dari sela sela bibirnya mengalir darah yang merah kehitaman, sementara tubuhnya diwarnai dengan noda-noda yang kemerah biruan bagaikan tersentuh api.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang telah mengerahkan segenap kekuatan ilmunya pun mengalami kesulitan didalam dirinya. Pernafasannya menjadi sesak dan darahnya bagaikan tersendat sendat.
Karena itu, demikian ia melihat lawannya jatuh tertelungkup, maka rasa-rasanya semua kekuatan yang ada di dalam dirinya telah tercurah habis.
Dengan demikian maka tiba-tiba saja Kiai Jayaraga itupun terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia berusaha untuk mempertahankan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian, pengikut Warak Ireng yang melihatnya, berusaha mempergunakan kesempatan itu. Kematian Punta Gembong telah menumbuhkan kemarahan yang tiada taranya.
Dengan serta merta maka salah seorang dari mereka telah meloncat berlari dengan tombak merunduk, siap untuk menusuk tubuh Ki Jayaraga yang lemah.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Anak-anak Tanah Perdikan Menoreh tidak membiarkan kecurangan itu terjadi. Karena itu, maka merekapun telah berlari lari pula menyongsong para pengikut Warak Ireng itu.
Dengan demikian, maka arena yang semula tersibak karena kedua belah pihak saling menjauh itu, tiba tiba telah dipenuhi oleh debu yang mengepul. Di bisingkan oleh teriakan-teriakan dan juga kemudian jerit kesakitan.
Ki Gede yang. melihat keadaan Ki Jayaraga itu pun segera mendekatinya. Dibantunya Kiai Jeyaraga itu menepi. Dan kemudian duduk bersandar sebatang pohon.
"Bagaimana Kiai?" bertanya Ki Gede.
"Punta Gembong agaknya telah berhasil melukai bagian dalam tubuhku." jawab Kiai Jayaraga.
"Tetapi Kiai telah membunuhnya" berkata Ki Gede kemudian.
"Apakah orang itu mati?" bertanya Kiai Jayaraga.
"Aku beium melihat dengan teliti Kiai" jawab Ki Gede "tetapi ia tertelungkup dan tidak bergerak. Beberapa pengikutnya sedang berusaha menyingkirkannya dari arena. Tetapi keadaannya agaknya tidak lagi dapat diharapkan.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Ki Gede, aku mohon kesempatan uuntuk memperbaiki perbaiki keadaanku yang sulit ini."
"Silahkan Kiai. Aku akan berada disini." jawab Ki Gede.
"Sebenarnya tidak perlu Ki Gede sendiri. Mungkin pertempuran itu memerlukan Ki Gede." jawab Kiai Jayaraga.
"Tidak Kiai" jawab Ki Gede, "pertempuran itu sudah hampir selesai. Sebagian dari mereka telah melarikan diri. Meskipun ada juga satu dua, orang yang setia dan tidak beranjak dari pertempuran selama Warak Ireng masih bertempur, tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian katanya, "Aku mohon dua atau tiga orang berada disini Ki Gede, munggkin untuk menghalau lalat yang hinggap ditubuhku. Tetapi agaknya Glagah Putih memerlukan Ki Gede menungguinya untuk beberapa saat.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia hampir saja lupa terhadap Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku akan menengoknya."
Demikianlah, maka Ki Gede pun telah memanggil tiga orang pengawal anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dipercayainya. Lalu katanya, "Kau disini. Jaga Kiai Jayaraga yang akan memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki luka-luka didalam tubuhnya."
Sejenak kemudian Ki Gede pun meninggalkan Kiai. Jayaraga yang duduk dengan menyilangkan tangannya di dadanya. Matanya dipejamkan, sedangkan kepalanya pun menunduk dalam sikap mapan. Dengan dasar ilmunya, maka Kiai Jayaraga pun mengatur jalur pernafasannya yang terganggu, kemudian mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk melawan luka didalam dirinya.
Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian memasuki arena pertempuran yang sudah tidak berbentuk lagi. Para pengikut Warak Ireng tidak lagi bertahan terlalu lama. Mereka pun telah kehilangan gairah sama sekali untuk bertempur setelah Punta Gembong terbunuh di medan melawan Kiai Jayaraga.
Karena itu, maka sebagian dari para prajurit Mataram dan anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh sedang berusaha mengurung orang orang yang berusaha untuk melarikan diri. Namun agaknya mereka mengalami kesulitan. Pepohonan di lereng bukit dan tanaman keras di batas pategalan yang berpetak-petak, memberikan kesempatan kepada para pengikut Warak Ireng untuk melarikan diri sebagaimana kawan kawan mereka di induk pasukan dan di sayap yang lain.
Namun dalam pada itu, ternyata Warak Ireng sendiri masih juga bertempur melawan Glagah Putih. Ketika sekelompok anak anak muda akan mencampuri pertempuran itu, Glagah Putih telah berteriak, "Jangan ganggu aku."
Anak-anak muda itupun termangu-mangu Tetapi merekapun telah bergeser surut.-
Dengan demikian maka tidak seorang pun yang mengganggu pertempuran antara Glagah Putih dan Warak Ireng. Keduanya telah sampai pada puncak kemampuan ilmu masing-masing.
Sementara itu, pertempuran di seluruh medan benar-benar sudah hampir selesai. Ternyata selain yang berhasil melarikan diri, para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan dapat juga menawan sebagian di antara mereka.
Dengan demikian, maka para tawanan itu pun kemudian ditempatkan di satu tempat yang mudah mendapat pengawasan. Mereka diperintahkan untuk duduk di tanah setelah senjata mereka dikumpulkan. Sementara itu, para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan mengawasi dengan penuh kesiagaan di sekeliling mereka dengan senjata teracu.
Namun dalam pada itu, Ki Gede dengan jantung yang berdebaran menunggui Glagah Putih sedang bertempur.
Bahkan kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah hadir pula dari induk pasukan yang sudah kehilangan lawan.
"Kenapa mereka tidak dihentikan?" bertanya Ki Lurah.
"Glagah Putih menghendaki demikian" jawab Ki Gede.
"Kita tidak perlu menuruti keinginan seorang demi seorang di dalam pertempuran ini. Ki Gede dapat menjatuhkan perintah sebagai pimpinan disayap ini. Atau aku dapat juga memerintahkan mereka untuk berhenti bertempur dan memerintahkan lawan Glagah Putih itu menyerah." berkata Ki Lurah.
"Glagah Putih menghendaki pertempuran itu selesai dengan tuntas " jawab Ki Gede.
"Kita akan kehilangan waktu" berkata Ki Lurah, "aku akan memerintahkan orang itu menyerah atau membunuhnya sama sekali."
"Glagah Putih akan kecewa" jawab Ki Gede.
"Aku tidak peduli. Kita masih mempunyai banyak tugas. Kita masih harus mengumpulkan kawan-kawan kita yang terluka. Bahkan lawan-lawan kita. Kita harus mengumpulkan pula mereka yang gugur dan kemudian membawa mereka kembali ke barak atau ke banjar-banjar di Tanah Perdikan. Kita masih harus menyelenggarakan mayat lawan-lawan kita yang terbunuh dan kita pun masih harus mengurusi tawanan. Sementara itu kita hanya menonton saja di sini tanpa berbuat apa-apa." berkata Ki Lurah.
"Ki Lurah" berkata Ki Gede, "silahkan. Ki Lurah dapat memerintahkan pasukan Ki Lurah untuk mulai dengan tugas-tugas mereka. Akupun akan memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan hal yang sama tanpa mengganggu Glagah Putih yang sedang bertempur untuk menjajagi tingkat kemampuannya. Kesempatan seperti ini agaknya memang penting bagi Glagah Putih. Karena dengan demikian ia benar-benar mendapatkan satu pengalaman yang berharga."
"Tetapi bagaimana kalau anak itu mati?" bertanya Ki Lurah.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Memang hal itu mungkin sekali terjadi. Tetapi kita dapat menilai kemampuan mereka berdua. Ki Lurah. Bukankah kita tidak menganggap bahwa Glagah Putih berada dibawah lawannya?"
"Tetapi kemungkinan yang pahit itu selalu ada." sahut Ki Lurah, "sementara ini langit sudah menjadi semakin suram. Matahari menjadi semakin rendah. Sebentar lagi, senja akan turun, sementara kita masih harus melakukan banyak sekali tugas."
"Marilah" berkata Ki Gede, "kita akan melakukan tugas-tugas itu sebaik-baiknya tanpa mengganggu pertempuran ini"
Ki Lurah tidak menjawab. Diperhatikannya pertempuran antara Glegah Putih dan Warak Ireng. Menurut pengamatan Ki Lurah, Glagah Putih yang muda itu memang memiliki beberapa kesempatan yang lebih baik dari lawannya, setelah secara jiwani Glagah Putih meyakini dirinya sendiri, serta menilai lawannya yang mempunyai bekal ilmu yang lain dari ilmunya sendiri, sehingga Glagah Putih tidak terlalu banyak berusaha menebak langkah-langkah yang akan diambil oleh lawannya. Tetapi dengan cermat ia mengikuti setiap gerakan dan dengan cepat mengambil keputusan untuk menentukan sikap.
Ki Lurah kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun mengagumi kemampuan Glagah Putih. Anak yang masih sangat muda, namun telah memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi lawannya yang garang itu.
Ki Lurah yang mengetahui bahwa Glagah Putih telah berguru kepada Kiai Jayaraga setelah ia menyadap ilmu yang temurun dari Ki Sadewa dan ayahnya atas bimbingan Agung Sedayu, akhirnya berkata, "Baiklah. Biarlah Glagah Putih menemukan kepercayaan kepada dirinya bahwa ia secara pribadi dapat mengatasi lawannya tanpa memerlukan bantuan orang lain."
Dengan demikian, maka Ki Lurah pun telah memerintahkan para perwiranya untuk mengatur penyelesaian dari pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu. Mereka masih mempunyai banyak tugas sementara langit sudah menjadi buram.
Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang, tanpa mendapat perintah telah berusaha mengambil obor dari barak pasukan khusus yang menjadi sasaran pertama serangan pasukan Ki Purbarana. Obor yang kemudian dinyalakannya untuk menerangi bekas arena yang masih diayangi oleh korban yang terbujur lintang. Keluh dan erang mereka yang terluka.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan pun telah terkejut ketika ia mendapat laporan bahwa di sayap yang lain, Sekar Mirah telah terluka di dalam.
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Lurah.
"Sekar Mirah telah mendapatkan serangan yang licik" jawab prajurit yang memberikan laporan itu.
"Bagaimana dengan Agung Sedayu?" bertanya Ki Lurah.
"Agung Sedayu tidak apa-apa." jawab prajurit yang memberikan laporan itu, "ia baru merawat isterinya."
"Bagaimana keadaan Sekar Mirah?" bertanya Ki Lurah pula.
"Nampaknya cukup gawat. Agung Sedayu baru berusaha untuk mengobatinya."
KI Lurah Branjangan pun kemudian dengan tergesa-gesa telah pergi ke arena pertempuran di sayap yang dipimpin oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Dari beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Ki Lurah mendapat petunjuk, bahwa Agung Sedayu telah membawa isterinya ke belakang garis pertempuran.
"Tunjukkan aku dimana mereka" berkata Ki Lurah.
Dengan mengikuti anak muda itu, maka akhirnya Ki Lurah sampai juga kepada Sekar Mirah yang sedang terluka.
"Bagaimana dengan Sekar Mirah" " bertanya Ks Lurah.
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, "Mudah-mudahan ia dapat bertahan. Tetapi agaknya pernafasannya telah dapat diatasinya, sementara peredaran darahnya berjalan wajar."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah. Mudah-mudahan . luka-lukanya tidak berbahaya bagi keselamatannya."
"Aku sudah memberikan obat yang aku dapatkan dari guru" berkata Agung Sedayu.
Ki Lurah pun kemudian berjongkok di samping Sekar Mirah. Di bawah cahaya obor, maka Ki Lurah melihat wajah Sekar Mirah yang pucat. Namun nampaknya seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah sudah mampu mengatasi kesulitan pernafasannya, sementara peredaran darahnya berjalan dengan teratur.
Sekar Mirah membuka matanya ketika ia mendengar suara Ki Lurah Branjangan. Ketika matanya itu terbuka maka dilihatnya wajah Ki Lurah yang tegang.
Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum. Katanya, "Aku tidak apa-apa Ki Lurah."
"Sokurlah" jawab Ki Lurah, "sementara ini beristirahatlah. Pertempuran sudah selesai, meskipun kami masih harus membenahi keadaan. Sebagian dari para penyerang telah dapat kami tawan, sementara yang lain berhasil melarikan diri. Mudah-mudahan dengan demikian persoalan yang timbul karena ulah Tumenggung Purbarana dapat diselesaikan sampai disini."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi nampak ia mengangguk kecil.
Sementara itu, Ki Lurahpun telah minta diri untuk melihat para prajurit yang sedang melakukan tugas mereka. Namun demikian ia masih juga sempat berkata, "Yang masih tidak mau melepaskan lawannya adalah Glagah Putih."
"O" Wajah Agung Sedayu berkerut, "Bagaimana dengan anak itu?"
"la ingin menyelesaikan lawannya secara pribadi. la tidak mau diganggu meskipun anak-anak muda Tanah Perdikan, bahkan Ki Gede Menoreh sudah siap dipinggir arena."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu pula.
"la ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia memiliki ilmu yang memadai" berkata Ki Lurah, "aku sudah mencoba untuk menghentikan pertempuran itu, tetapi Ki Gede tidak setuju. Ki Gede ingin memberikan kesempatan kepada anak itu untuk menilai dirinya serta mendapatkan pengalaman yang akan sangat berharga."
"Tetapi bagaimana jika anak itu tidak berhasil melindungi dirinya sendiri?" desis Agung sedayu dalam nada kecemasan.
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Menurut pengamatanku dan Ki Gede, agaknya Glagah Putih akan dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu."
Tetapi Agung Sedayu agaknya masih tetap cemas tentang anak muda itu. Namun demikian, Agung Sedayu rasa-rasanya terikat untuk tetap berada di tempat, karena keadaan Sekar Mirah.
Sekar Mirah yang terluka itu seakan-akan dapat mengerti kebimbangan dihati Agung Sedayu. Bahkan sebenarnya Sekar Mirah sendiri juga merasa cemas akan keadaan Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, "Kakang Agung Sedayu. Kakang dapat meninggalkan aku. Agaknya arena sudah menjadi tenang dan biarlah anak-anak muda Tanah Perdikan mengawani aku disini. Rasa-rasanya akupun menjadi cemas tentang anak yang bengal itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah Mirah. Aku akan melihat apa yang dilakukan Glagah Putih. Malam menjadi semakin gelap, dan apakah ia masih tetap dapat menjaga ketahanan dirinya menghadapi orang yang mungkin telah cukup berpengalaman."
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah rneninggalkan Sekar Mirah yang ditunggui oleh beberapa orang anak muda Tanah Perdikan. Sementara Ki Lurah Branjangan pun telah kembali ke dalam tugasnya bersama para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, untuk membersihkan medan yang telah menjadi sepi itu.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih ternyata masih bertempur dengan sengitnya. Warak Ireng Yang merasa dirinya memiliki pengalaman yang luas dalam petualangan olah kanuragan, merasa dirinya direndahkan oleh anak muda yang berternpur bagaikan burung sikatan itu.
Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan. Glagah Putih memang memiliki kelebihan daripadanya.
Dengan demikian maka Warak Ireng itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan kemudian ketika ujung pedang Glagah Putih menyentuh kulitnya, maka darah pun telah meleleh bersama keringatnya yang bagaikan terperas dari tubuhnya.
Warak Ireng berteriak mengumpat-umpat. Meskipun ..namun Warak ia murid terdekat dari Punta Gembong, namun Warak Ireng masih belum mampu melepaskan ilmu sebagaimana dilakukan oleh gurunya. Warak Ireng yang banyak bertualang itu, kurang memperhatikan perkembangan ilmunya, apalagi ketika ia merasa bahwa ilmunya telah mencukupi untuk melakukan pekerjaannya yang garang itu. Sehingga ketika ia mulai dengan ilmu yang bertataran tinggi, maka perkembangannya menjadi sangat lamban.
Dalam keadaan yang sulit itu, baru ia merasal menyesal, bahwa ia kurang menyediakan waktu untuk menekuni ilmunya, sehingga ia mengalami kesulitan berhadapan dengan kanak-kanak yang baru muiai pandai berjalan.
Ketika Agung Sedayu kemudian sampai ke pinggir arena pertempuran yang tersisa itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
Dengan dada yang berdebaran, Agung Sedayu kemudian menyaksikan bagaimana Glagah Putih bertempur melawan Warak Ireng yang garang dan memiliki pengalaman yang sangat luas.
Diluar sadarnya, Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Glagah Putih memiliki ilmu dan kemampuan yang sanggup melawan kemampuan dan ilmu Warak Ireng. Bahkan kemudian ia pun melihat sebagaimana Ki Gede dan sebelumnya Ki Lurah Branjangan, bahwa Glagah Putih akan dapat menyelesaikan tugasnya.
Dari pertempuran itu, Agung Sedayu ternyata menangkap sesuatu yang lebih dalam dari yang dapat ditangkap oleh Ki Gede atau Ki Lurah Branjangan.
Meskipun dalam ujud yang kasat mata, Glagah Putih memang mampu rnengimbangi kemampuan lawannya, namun Agung Sedayu menangkap getaran kekuatan Glagah Putih yang memancar dari ilmunya lewat ujud wadag yang dipergunakan. Ternyata getar senjatanya bagaikan mengalirkan arus yang kuat untuk mempengaruhi ketahanan tubuh lawannya. Yang tidak disadari oleh Warak Ireng adalah, bahwa dalam benturan dan sentuhan senjata, maka rasa-rasanya tangan Warak Ireng menjadi gemetar.
Hal itu bukan saja disebabkan karena kekuatan tenaga cadangan Glagah Putih, tetapi seakan-akan ada kekuatan yang merambat lewat benturan senjata keduanya, kemudian kekuatan itu bagaikan menusuk kedalam tubuh lawannya lewat genggaman senjatanya itu.
"Luar biasa" desis Agung Sedayu.
Ia menyadari, bahwa Glagah Putih kecuali menyadap ilmu dari dirinya dengan alas cabang perguruan Ki Sadewa, maka Glagah Putih juga murid Kiai Jayaraga yang perkasa.
"Jika ia mampu menampung kemampuan ilmu Kiai Jayaraga, maka anak ini akan dapat menyalurkan kekuatan yang dapat disadapnya dari api, air, angin dan bumi lewat sentuhan-sentuhan kewadagan." berkata Agung Sedayu di dalam hati. Sehingga dengan demikian menurut pengamatan Agung Sedayu, meskipun Glagah Putih tidak memiliki ilmu kebal, namun serangan-serangan lawannya yang menyentuhnya, jika tidak melukainya, justru akan merupakan serangan balik bagi lawannya, karena kekuatan ilmu Glagah Putih yang merambat lewat sentuhan itu.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin meyakinkan, bahwa Glagah Putih yang rnuda itu akan mampu memenangkan pertempuran. Setiap sentuhan berarti penyusutan daya tahan lawannya. Karena itulah, maka akhirnya tenaga Warak Ireng itu pun bagaikan terperas habis.
Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu pun telah berkata lantang mendahului Glagah Putih, "Ki Sanak. Apakah kau tidak akan menyerah?"
Glagah Putih sendiri terkejut mendengar tawaran itu. Tetapi karena suara itu adalah suara Agung Sedayu, maka Glagah Putih sama sekali tidak menyahut.
Namun dalam pada itu, Warak Irenglah yang menjawab, "Anak Iblis. Kau kira aku cucurut yang dapat kalian takut-takuti" Aku bunuh kalian."
Agung Sedayu melangkah selangkah maju. Dengan nada dalam ia berkata, "Jangan berpura-pura. Aku tahu bahwa kau berilmu tinggi, sehingga dengan demikian, maka kau tahu apa yang sedang kau hadapi sekarang."
"Tutup mulutmu" bentak Warak Ireng.
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia memandang keliling, dilihatnya beberapa orang berdiri termangu-mangu. Ketika ia memandang Ki Gede yang kemudian kembali memasuki arena setelah memberikan beberapa perintah terhadap anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk membantu para prajurit dari pasukan khusus Mataram, maka Ki Gede itupun mendekatinya.
"Glagah Putih juga tidak ingin pertempuran itu terputus. Ki Lurah juga berusaha untuk menghentikannya. Tetapi pertempuran ini masih tetap berlangsung" berkata Ki Gede. Lalu, "Aku kira, pertempuran ini akan bermanfaat bagi Glagah ia akan mendapatkan satu mengalahkan lawannya, maka ia akan mendapatkan satu pengalaman yang sangat berarti bagi kepercayaannya terhadap diri sendiri"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Tetapi aku juga ingin mengajarkan padanya agar ia memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengakui kekalahannya. Jika hal itu tidak mungkin maka apaboleh buat. Sebagaimana aku sendiri, bagaimanapun juga aku berusaha menghindarkan diri dari pembunuh. namun ternyata bahwa aku memang seorang pembunuh"
Ki Gede tidak menjawab. Sementara itu, Agung Sedayu bergeser semakin dekat. Sekali lagi ia berkata kepada lawan Glagah Putih "Ki Sanak, menyerahlah Kau lihat satu kenyataan tentang dirimu. Jangan berpura-pura dan jangan keras kepala."
Warak Ireng menggeram. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Agung 5edayu yang berdiri di pinggir arena. Namun Agung Sedayu sudah memperhitungkannya bahwa kemungkinan yang demikian dapat terjadi. Karena itu, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, sehingga ketika senjata Warak Ireng menyentuhnya, maka senjata itu sama sekali tidak melukainya. Justru tanngan Warak Ireng sendirilah menjadi bagaikan terbakar oleh panasnya bara api tempurung kelapa.
Dalam sekejap Warak Ireng meloncat surut. Sementara Glagah Putih terkejut juga melihat serangan yang tiba-tiba dan diluar dugaan. Namun Glagah Putih mengerti, bahwa yang terjadi adalah benturan senjata lawannya dengan ilmu kebal Agung Sedayu.
Sejenak Warak Ireng termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa orang yang baru datang dan sama sekali tidak dapat dilukainya itu tentu memiliki ilmu kebal. Bahkan hampir diluar sadarnya Warak Ireng itu bertanya, "Siapa kau?"
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, "Aku Agung Sedayu."
"Agung Sedayu" Warak Ireng itu mengulang. Nama itu pernah didengarnya, dan ternyata telah menggetarkan hatinya.
Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Glagah Putih pun seakan-akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengagumi seorang yang bernama Agung Sedayu itu.
Dalam pada itu Agung Sedayupun menjawab "Ya, Agung Sedayu."
Warak Ireng menjadi tegang. la kemudian menyadari, bahwa orang itulah yang pernah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru.
Untuk sesaat Warak Ireng termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, ia sudah dikepung oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Dibawah cahaya obor ia melihat wajah-wajah yang tegang dan senjata yang masih ada di genggaman.
"Ki Sanak" berkata Agung Sedayu kemudian sambil melangkah mendekat, "apakah artinya perlawanan Ki Sanak kemudian. Seharusnya Ki Sanak menyadari, bahwa Ki Sanak tidak akan menang melawan Glagah Putih. Apalagi Ki Sanak sudah dikepung oleh anak-anak muda Tanah perdikan Menoreh. Disini ada pula Ki Gede yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Jadi apakah sebenarnya arti perlawanan Ki Sanak itu" Apakah Ki Sanak memang dengan sengaja ingin membunuh diri?"
Warak Ireng menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. "Karena itu menyerahlah" berkata Agung Sedayu.
"Kau tidak mempunyai kawan seorang pun lagi." berkata Ki Gede kemudian. "Lawan Kiai Jayaraga yang disebutnya Punta Gembong itu pun telah mati."
Warak Ireng pun menyadari, bahwa gurunya memang suudah terbunuh di medan itu. Karena itu, sebenarnyalah ia memang tinggal sendiri. Apalagi seperti dikatakah oleh Agung Sedayu, ia memang tidak akan dapat mengingkari satu kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak ingusan yang menjadi lawannya itu. Tenaganya sudah menjadi jauh susut, sementara anak itu masih bertempur dengan.garangnya. Ujung pedangnya yang sudah menyentuhnya, telah menitikkan darahnya di bumi Menoreh.
Sejenak Warak Ireng termangu-mangu. Ketika terpandang olehnya Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan wajah Glagah Putih di bawah cahaya obor yang tidak terlalu terang, maka Warak Ireng pun kemudian tidak mempunyai pilihan lain.
Dilemparkannya senjatanya sambil "Aku menyerah. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya aku akan dihukum mati, maka aku masih mendapat kesempatan untuk melihat cahaya matahari barang satu dua hari lagi daripada aku harus mati sekarang di cincang anak-anak Tanah Perdikan Menoreh."
-Satu keputusan yang bijaksana" berkata Agung Sedayu, "dengan demikian maka pertempuran ini benar-benar telah selesai. Sebenarnyalah Ki Tumenggung Purbarana dan kedua orang pemimpin di sayap yang lainpun telah terbunuh pula"
Warak Ireng tidak menjawab. la pun kemudian membiarkan tangannya diikat dengan janget yang disiapkan oleh seorang Senapati dari pasukan khusus Mataram yang kemudian akan membawa Warak Ireng itu ke baraknya dengan pengawalan yang lebih kuat dari tawanan-tawanan yang lain.
Glagah Putih memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebenarnya ia ingin bertempur sampai dengan satu keyakinan bahwa ia menang.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang mengerti perasaan anak itu mendekatinya sambil berkata, "Kau tinggal memerlukan waktu yang sangat pedek untuk menyelesaikannya."
"Tetapi kakang menghentikan pertempuran itu " berkata Glagah Putih.
"Tidak ada gunanya untuk memaksanya bertempur sampai mati" jawab Agung Sedayu, "jika ia menyerah, mungkin tenaganya akan dapat dimanfaatkan di kemudian hari."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, ia sudah mendapat sedikit perbandingan tentang ilmu yang dimilikinya. Meskipun mungkin Warak Ireng belum termasuk orang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi, namun ia sudah dapat menempatkan dirinya pada satu tataran yang tidak terlalu rendah, karena Warak Ireng adalah seorang pemimpin padepokan yang disegani.
Dengan demikian, maka para pemimpin Tanah Perdikan menoreh itu pun kemudian sempat membenahi diri. Agung Sedayu segera kembali kepada isterinya, sementara Ki Gede telah menemui Kiai Jayaraga yang telah berhasil mengatasi kesulitan didalam dirinya, sehingga ketika Ki Gede mendekatinya, maka Kiai Jayaraga telah berdiri sambil tersenyum.
"Bagai mana Kiai?" bertanya Ki Gede.
"Aku sudah pulih kembali. Dimana Glagah Putih" " bertanya Kiai Jayaraga.
Ki Gede mengedarkan pendangan matanya. Namun kemudian katanya. "Mungkin ia pergi bersama Agung Sedayu. Sekar Mirah ternyata juga terluka."
"Sekar Mirah?" bertanya Kiai Jayaraga.
"Ya. Tetapi Agung Sedayu sudah mengatasinya dengan obat yang didapatnya dari gurunya." jawab Ki Gede.
"Marilah, kita akan melibatnya" berkata Kiai Jayaraga.
Ki Gede pun kemudian bersama Kiai Jayaraga yang sudah hampir pulih telah menyusuri bekas medan yang masih disibukkan oleh para prajurit dan anak-anak muda Tanah perdikan Yang mengumpulkan dan merawat kawan-kawan mereka yang terluka. Beberapa orang yang memang mempunyai tugas pengobatan pun telah menjadi sangat sibuk. Sedangkan yang lain telah mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang gugur Sedangkan beberapa orang tawanan di bawah pengawalan yang kuat, telah diminta untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka pula.
Ketika kemudian Kiai Jayaraga dan Ki Gede sampai ditempat Sekar Mirah di baringkan, maka Agung Sedayu telah berada di tempat itu pula bersama Glagah Putih. Bahkan ternyata Kiai Bagaswara pun telah berada disitu pula.
Bagaimana dengan Sekar Mirah?" bertanya Ki Gede.
Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum. Katanya, "Keadaanku sudah berangsur baik Ki Gede. Keadaan yang paling sulit telah teratasi."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, " Syukurlah. Tetapi kau harus segera dibawa kembali."
Agung Sedayupun kemudian minta kepada anak-anak muda Tanah Perdikan untuk menyiapkan semacam tandu yang dapat dipergunakan untuk membawa Sekar Mirah pulang kerumahnya.
Dari barak anak-anak.muda itu telah meminjam sebuah lincak. Dengan dua batang bambu yang diikat pada pohon lincak itu, maka jadilah lincak itu sebuah tandu yang sederhana.
Dengan tandu itu, maka Sekar Mirah akan dibawa kembali.
Perlahan-lahan Sekar Mirah telah diangkat dan diletakkan ke atas lincak itu. Beberapa anak muda akan membawanya kembali ke rumah, diikuti oleh Agung Sedayu, Kiai Jayaraga, Kiai Bagaswara dan dengan sedikit pengawalan.
Sementara itu, Ki Gede, Glagah Putih dan dibantu oleh Prastawa telah bekerja keras bersama-sama dengan Ki Lurah untuk membenahi bekas medan pertempuran. Satu pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kesabaran, karena tubuh-tubuh yang parah dan bahkan telah menjadi mayat, bertebaran di daerah yang luas. Bahkan ada di antara mereka yang telah berada jauh di luar arena. Mungkin mereka yang sudah terluka parah dan berusaha untuk menyingkirkan, tetapi karena darah yang mengalir tidak terbendung, maka hidupnya tidak tertolong lagi sehingga tubuhnya terbaring dibalik semak-semak dan belukar.
Dengan demikian maka cahaya obor masih saja hilir mudik di antara pepohonan di pategalan. Bahkan sampai kelereng pegunungan di antara batu batu padas dan pohon pohon perdu. Karena ternyata ada juga satu dua tubuh yang terbaring membeku.
Baru lewat tengah malam pekerjaan mereka dapat diselesaikan, meskipun ternyata masih ada juga satu dua yang terlampaui.
Tawanan yang membantu pekerjaan itupun telah dibawa kebarak dan disatukan kembali dengan kawan kawan mereka yang lain, sementara di dapur beberapa orang juru masak pun bekerja keras untuk menyediakan makan mereka yang bekerja sampai hampir pagi.
Dalam pada itu, maka di rumah Agung Sedayu, Sekar Mirah telah dibaringkan di pembaringannya. Keadaannya memang sudah menjadi bertambah baik. Tetapi ternyata bahwa akibat pukulan badai yang telah membantingnya, benar benar membuat bagian dalarn tubuhnya terluka. Dengan demikian maka Sekar Mirah memerlukan waktu untuk menunggu luka itu benar benar sembuh.
Pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata mempunyai manfaat pula bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun harus ditebus dengan beberapa orang korban. Pertempuran itu telah membuat anak; anak muda Tanah Perdifan Menoreh semakin matang. Mereka telah menjadi pengawal Tanah Perdikan yang memiliki tataran seorang prajurit, meskipun setelah bertempur dengan memeras tenaga dan kernampuan, di esok harinya mereka akan turun kembali kesawah dengan cangkul. Menyusuri parit parit dan membelah kayu bakar dengan parang.
Namun suasana yang tegang masih tetap mencengkam Tanah Perdikan Menoreh di satu dua hari kemudian. Meskipun pertempuran itu terjadi di daerah yang tidak berpenghuni, karena arena pertempuran itu terjadi di pategalan. namun para petani yang memiliki pategalan itu sempat melihat akibat dari pertempuran itu.
"Bukan main" terasa tengkuknya meremang. la membayangkan, anak anak Tanah Perdikan sendiri terlibat dalam pertempuran itu: Sehingga karena itu, maka rasa rasanya benar benar telah terjadi perang di Tanah mereka.
Bahkan ternyata masih juga ada para petani yang membenahi ladang mereka, dikejutkan oleh sesosok mayat yang tertinggal di dalam rimbunnya pohon perdu di sudut pategalan. Sehingga orang itu harus dengan tergesa gesa melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan.
Sementara itu, sebagaimana dikatakan, maka Ki Ge"de tidak membiarkan para petani pemilik pategalan yang menjadi ajang pertempuran itu digelisahkan oleh tanaman mereka yang rusak sehingga mereka tidak akan dapat memetik hasilnya. Karena itu, maka Ki Gede telah memberikan bibit kepada mereka untuk dapat ditanam, bahkan dengan bantuan Ki Lurah Branjangan yang telah melaporkan segala galanya kepada Mataram, dapa memberi sedikit keringanan beaya bagi para petani itu.
Dengan demikian maka pertempuran itu telah menjadi satu peringatan bagi Mataram, bahwa keadaan Mataram yang baru itu masih belum tenang benar. Masih ada gejolak-gejolak kecil atau bahkan pada suatu saat, gejolak yang besar terjadi. Memang Matarampun menyadari bahwa tidak semua orang Pajang dengan serta merta akan dapat menerima kehadiran Mataram, sebagaimana sebagian orang orang Demak juga tidak dengan serta merta menerima Pajang. Bahkan perang besar antara Jipang dan Pajang, rasa-rasanya baru saja kemarin selesai. Sementara itu, sisa sisa kekuatan Majapahit yang Agung dengan membabi buta telah dibayangi oleh nafsu ketamakan yang tidak terkendali, sehingga mendorong mereka untuk berusaha menegakkan kembali ke Agungan itu dengan citra sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Sehingga dengan demikian, maka dua kekuatan yang tersisa dari kebesaran Majapahit yang tercermin dalam ketinggian ilmu kanuragan telah saling berbenturan. Dua kekuatan yang melampaui setiap kekuatan yang ada di Mataram. Bahkan kekuatan yang tersimpan pada orang orang terbesar di Mataram itu sendiri.
Ketika Tanah Perdikan Menoreh membenahi diri, sementara Ki Lurah sibuk mengurusi para tawanan yang sebagian akan dikirim ke Mataram, maka Sekar Mirah mendapat perawatan sebaik-baiknya dari Agung Sedayu sendiri yang mempunyai beberapa jenis obat peninggalan gurunya yang pergi ke Sangkal Putung. Dengan obat itu, Agung Sedayu berusaha untuk dengan cepat menyembuh kan luka di dalam diri Sekar Mirah.
Tetapi ketika Agung Sedayu ingin menyampaikan persoalan itu kepada Kiai Gringsing untuk mempercepat kesembuhannya, maka Sekar Mirah berkata, "Tidak usah kakang. Jangan mengejutkan keluarga Sangkal Putung. Kita akan memberitahukan hal ini justru setelah aku menjadi sembuh benar"
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Ia mengerti jalan pikiran Sekar Mirah. la memang tidak mau mengejutkan ayah dan keluarganya di Sangkal Putung. Tetapi sesuai dengan sifat Sekar Mirah, maka sebenarnyalah bahwa ia tidak ingin keluarganya itu melihat satu titik kelemahan padanya. la tidak mau keluarganya melihat seseorang telah berhasil melukainya, bahkan cukup parah.
Petualangan Dipuri Rajawali 3 Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking Hujan Dan Teduh 2
Namun agaknya keadaan anak muda yang langsung disaksikannya itu membuat darah Ki Gede benar-benar bagaikan mendidih. Meskipun Ki Gede masih tetap berpegang pada paugeran perang, namun ia tidak akan membiarkan korban akan berjatuhan tanpa dapat dibatasi.
Dengan demikian maka Ki Gede itu pun telah kembali melibatkan diri kedalam pertempuran. Tombaknya mulai berputaran dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan ujung tombaknya telah melemparkan seorang lawannya keluar arena. Ki Gede memang tidak bernafsu untuk membunuh orang sebanyak-banyaknya meskipun dipeperangan. Tetapi ia memang berniat melumpuhkan lawannya untuk mengurangi korban di pihak anak-anak Tanah Perdikan.
Dengan demikian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan yang ada di sekitar Ki Gede menjadi semakin berbesar hati. Apa yang dilakukan Ki Gede itu ternyata memang sangat berpengaruh. Ki Gede seakan-akan telah menghisap lawan dengan cepat dan melemparkan mereka keluar arena dalam keadaan yang tidak berdaya.
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang cukup berpengalaman tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyusun kelompok-kelompok kecil menghadapi Ki Gede. Anak-anak muda itu telah berusaha untuk memecah setiap kelompok yang tersusun. Mereka memancing setiap orang dalam kelompok itu untuk bertempur seorang melawan seorang. Atau bahkan kelompok melawan kelompok dalam satu lingkaran.
Warak Ireng yang melihat kesulitan di antara orang-orangnya karena sikap Ki Gede itu tidak dapat berbuat banyak. Anak muda yang bernama Glagah Putih itu ternyata sangat menjengkelkannya. Namun ia tidak dapat berbuat banyak, karena Glagah Putih itu mampu melawannya dan mengimbangi kemampuannya.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Warak Ireng hanyalah berteriak-teriak saja memberikan aba-aba. Mengumpat dan memaki. Namun ia masih tetap terikat dalam pertempuran melawan Glagah Putih.
Sementara itu, yang akan lebih menentukan dari pertempuran itu adalah pertempuran di induk pasukan antara para prajurit yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana melawan pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan dibantu oleh para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri.
Ki Lurah Branjangan yang terbebas dari pertempuran melawan Tumenggung Purbarana sempat mengamati seluruh medan. la sempat memberikan aba-aba dan mengatur pasukannya. Bahkan Ki Lurah sendiri sempat mengoyak sekelompok pasukan lawan yang berusaha mendesak sekelompok pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan demikian, maka para pengikut Ki Tumenggung di induk pasukan itu telah membentur perlawanan yang sangat berat. Sementara itu pimpinan pasukan berada di Senopati pengapitnya, karena Tumenggung Purbarana sendiri terikat pertempuran dengan paman gurunya, Kiai Bagaswara. Meskipun Ki Tumenggung sekali-sekali sempat meneriakkan aba-aba, tetapi pimpinan seakan-akan memang berada di tangan Senopati pengapitnya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang mempergunakan keris pusaka gurunya yang diambilnya dengan paksa setelah ia membunuh gurunya itu, benar-benar mempengaruhi kemampuannya. Garis serangan keris itu bagaikan garis amukan badai yang dapat melemparkan sasarannya beberapa langkah dari membantainya jatuh, ditanah. Bahkan dalam puncak kemarahannya, maka keris itu seolah-olah dapat bukan saja melontarkan sasaran; tetapi seakan-akan mampu juga menyemburkan api yang panasnya bagaikan lidah petir di langit.
Namun dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang merasa mengalami kesulitan menghadapi keris saudara seperguruannya yang bernama Kiai Santak itu, telah mempergunakan pusakannya pula. Sebilah luwuk yang juga memiliki pengaruh yang nggegirisi.
Tetapi pengaruh kekuatan luwuk itu justru bertolak belakang dari pengaruh kekuatan keris Kiai Santak. Jika Kiai Santak mampu menghembuskan badai dengan panasnya bara api, maka luwuk itu justru melontarkan prahara yang mampu membekukan darah. Arus dingin yang tiada taranya akan melibat sasarannya, sehingga kehilangan kemampuan untuk dapat bergerak karena darah mereka akan membeku.
Itulah sebabnya, maka Kiai Bagaswara yang mengawali kesulitan oleh serangan panasnya bara api yang terlontar dari keris Kiai Santak telah menyilangkan luwuknya di muka dadanya.
Dengan demikian, maka panasnya api yang mengembus Kiai Bagaswara itu seolah-olah telah menyejuk. Tidak terasa lagi sentuhan bara yang dapat membuat darahnya menjadi mendidih.
"Gila" geram Tumenggung Purbarana ketika ia melihat Kiai Bagaswara seakan-akan tidak terpengaruh oleh kekuatan keris lawannya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun telah menghentakkan iimunya membantu hembusan badai dari keris Kiai Santak.
Kiai Bagaswara sama sekali tidak merasa terbakar oleh panasnya api. Namun dengan demikian ia hanya melindungi dirinya sendiri. Tetapi dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang tersentuh oleh arus prahara itupun telah mengering dan menjadi hangus karenanya.
Tetapi Kiai Bagaswara tidak perlu mencemaskan para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan para pengawal. Karena Kiai Bagaswara sudah mengenal watak keris Kiai Santak, maka ia telah berusaha untuk menyingkir dari arena yang padat. Pertempuran yang kemudian terjadi antara dirinya dan Ki Tumenggung Purbarana telah mendesak para prajurit dan pengawal untuk mengambil jarak dari mereka.
Meskipun demikian, Kiai Bagaswara tidak ingin untuk sekedar menjadi sasaran dan sekedar melindungi dirinya sendiri. Karena itu, maka ia tidak saja menyilangkan luwuknya di dada untuk menghalau udara panas yang melandanya, tetapi Kiai Bagaswara pun kemudian mulai menyerang lawannya pula. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan luwuknya dan mengacungkannya ke arah Ki Tumenggung Purbarana.
Yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat dahsyat. Lontaran badai yang dihembuskan oleh kekuatan keris Kiai Santak dengan membawa panasnya bara api, telah membentur amuk prahara yang datang dari arah luwuk Kiai Bagaswara yang teracu kearah lawannya dengan membawa udara dingin membeku.
Untuk beberapa saat dua kekuatan itu berbenturan ditengah. Karena sifat mereka yang berbeda, maka keduanya tidak saling menolak. Tetapi keduanya justru saling menghisap. Udara panas dari keris Kiai Santak berusaha untuk menghisap kebekuan udara yang menahannya dan membakarnya. Tetapi sebaliknya, panasnya udara yang dihembuskan keris Kiai Santak telah terhisap kedalam kebekuan sehingga tidak lagi berpengaruh atas sasarannya.
Namun demikian, kedua orang itu telah menghentakkan kekuatan mereka masing-masing untuk menghisap sampai kekuatan terakhir dari pusaka lawan-lawannya.
Meskipun pada dasarnya pusaka-pusaka itu bertuah dan mempunyai kekuatan, namun sebenarnyalah kekuatan itu saling mempengaruhi pula dengan kekuatan ilmu dari orang yang menggenggamnya. Meskipun kedua pusaka itu mempunyai kekuatan dalam jenisnya masing-masing yang seimbang, namun dorongan kekuatan ilmu dari mereka yang menggenggamnyalah yang kemudian akan menentukan.
Betapapun juga, maka Kiai Bagaswara memiliki banyak kelebihan dari Ki Tumenggung Purbarana. Meskipun Purbarana telah mempelajari segala unsur ilmu gurunya, tetapi ia masih belum sempat mengembangkan dan mematangkannya. Karena itu, maka bagaimanapun juga, Ki Tumenggung tidak akan mampu mengimbangi kemampuan paman gurunya.
Itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, agar kekuatan keris Kiai Santak tidak justru terhisap oleh kekuatan pusaka pamannya.
"Setan itu ternyata mempunyai penawarnya" geram Ki Tumenggung Purbarana.
Namun bagaimanapun juga, Tumenggung Purbarana tidak akan mampu melawan kekuatan pusaka dan lambaran iimu pamannya. Itulah sebabnya, maka kekuatan keris Kiai Santak yang jarang ada bandingnya itu semakin lama menjadi semakin surut. Panas yang dipancarkan bagaikan panasnya lidah api di langit, telah terhisap oleh dinginnya udara yang memancar dari pusaka Kiai Bagaswara, sehingga akhirnya panas api itu bagaikan membeku.
Kekuatan udara dingin itu bukan saja menghisap panas yang memancar dari kekuatan keris Kiai Santak, tetapi rasa-rasanya semakin lama semakin menghimpit Tumenggung Purbarana, sehingga betapapun ia menghentakkan kekuatannya, rasa-rasanya darahnya menjadi bagaikan membeku, sehingga segenap kekuatan ilmunya bagaikan larut sama sekali.
Ki Tumenggung Purbarana berdiri dengan tubuh menggigil. Hampir saja ia tidak lagi mampu menggenggam kerisnya. Namun karena ia tidak ingin melepaskannya, maka seakan-akan Purbarana itu telah mengerahkan sisa kekuatan yang ada padanya untuk tetap mempertahankan keris itu.
Namun tiba-tiba tubuhnya yang membeku itu tidak lagi mampu bertahan untuk tetap berdiri tegak. Perlahan-lahan Tumenggung itu bergoyang sehingga akhirnya Tumenggung Purbarana pun telah terjatuh dan berdiri pada lututnya, meskipun ia masih tetap menggenggam keris Kiai Santak.
Kiai Bagaswara melihat akibat dari pusakanya yang didorong oleh kemampuannya. Ia melihat Ki Tumenggung Purbarana itu jatuh pada lututnya. Tubuhnya menggigil dan giginya pun gemeretak oleh himpitan rasa dingin yang tidak tertahankan.
Namun bagaimanapun juga, ternyata Kiai Bagaswara tidak sampai hati melihat keadaan Ki Tumenggung Purbarana. Meskipun Kiai Bagaswara mengerti, bahwa orang itu telah dengan licik membunuh gurunya sendiri, namun ketika ia melihat orang itu sudah tidak berdaya, maka Kiai Bagaswarapun telah mengendorkan tingkat ilmunya.
Perasaan dingin itupun perlahan-lahan menjadi berkurang. Meskipun rasa-rasanya tangan, kaki dan seluruh tubuh Ki Tumenggung masih juga menggigil, namun tajamnya sengatan udara dingin itu memang terasa berkurang, sehingga dengan demikian, maka Ki tumenggung tidak lagi merasa tercekik oleh deru prahara yang membawa udara beku.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la tidak lagi mengacupkan luwuknya kearah Ki Tumenggung Purbarana. Bahkan kemudian tumbuh perasaan ibanya melihat Purbarana yang membeku ditempatnya, berdiri pada lututnya yang sudah menjadi sangat lemah.
Perlahan-lahan Kiai Bagaswara melangkah mendekati murid saudara seperguruannya itu. Beberapa langkah ia berhenti sambil memandang keadaan Ki Tumenggung itu.
Purbarana menggeram. Namun terasa tubuhnya sudah sangat lemah oleh kebekuan yang menekannya.
"Apa katamu Purbarana?" bertanya Kiai Bagaswara.
Purbarana mencoba mengangkat kepalanya. Dipandanginya Kiai Bagaswara yang berdiri beberapa langkah dihadapannya.
"Bunuh aku" geram Ki Tumenggung.
"Purbarana" berkata Kiai Bagaswara, "masih ada kesempatan bagimu."
"Kesempatan apa?" bertanya Purbarana.
Kau dapat menyesali perbuatanmu. Kau dapat memperbaiki sikapmu berkata Kiai Bagaswara.
"Menyerah maksudmu?" bertanya Ki Tumenggung.
"Itu tidak penting. Apakah kau akan menyerah atau melarikan diri. Yang penting kau menyesali perbuatanmu. Bertobat dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi." jawab Kiai Bagaswara.
"Omong kosong" geram Purbarana, "jika kau akan membunuh aku bunuhlah. Jangan berpuara-pura memberi aku kesempatan melarikan diri kemudian kau membunuh aku dari arah punggung dengan alasan, bahwa aku akan melarikan diri."
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan berprasangka terlalu buruk kepadaku. Aku memang sangat kecewa atas sikapmu. Apalagi ketika aku mendengar, bahwa kau telah membunuh gurumu sendiri. Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas dari hukuman mati. Tetapi hukuman mati tidak harus dilakukan oleh orang lain."
"Maksudmu, kau suruh aku membunuh diri?" bertanya Purbarana
"Ya. Tetapi tidak secara kewadagan. Bunuh jiwamu yang lama, dan biarlah lahir jiwa baru di dalam tubuhmu" berkata Kiai Bagaswara.
"Persetan dengan sesorah itu." jawab Ki Tumenggung Purbarana, "jika kau ingin membunuh, membunuhlah. Aku membencimu sebagaimana aku membenci guru. Kaupun harus membenci aku dan membunuhku."
"Mungkin jalan pikiranmu memang begitu Purbarana. Tetapi ketahuilah, bahwa tidak harus orang yang dibenci itu kemudian membenci pula. "jawab Kiai Bagaswara.
"Omong kosong" geram Ki Tumenggung.
"Orang dapat bersikap baik kepada orang yang membencinya. Orang dapat mendoakan keselamatan bagi orang yang mengancamnya" jawab Kiai Bagaswara, "siapa yang mengasihi orang lain yang juga mengasihinya, ia adalah orang kebanyakan. Tetapi siapa yang mengasihi orang yang membencinya, ia adalah orang pilihan."
"Dan kau ingin disebut orang pilihan?" Ki tumenggung itu menjadi terengah-engah meskipun tubuhnya sudah tidak menggigil lagi, "jangan berpura-pura hanya karena kau ingin disebut orang pilihan."
"Tidak Purbarana" jawab Kiai Bagaswara, "aku berkata sebenarnya. Meskipun aku bukan orang pilihan, dan aku tidak akan sempat melakukan sebagaimana dilakukan orang pilihan, tetapi sebaiknya kau bertobat. Memang lebih baik untuk menyerah dan berusaha memperbaiki tingkah laku. Kau masih belum tua. Kau masih akan mempunyai kesempatan."
Purbarana tidak menjawab. Sekilas dipandanginya Kiai Bagaswara dengan tatapan mata yang menyala. Namun kemudian Ki Tumenggung yang garang itu menundukkan kepalanya.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung. Beberapa orang memang melihat Ki Tumenggung jatuh di atas lututnya. Beberapa orang prajurit dari pasukan khusus Mataram yang melihat itu pun bersorak.
Tetapi para pengikut Ki Tumenggung tidak segera menyerahkan diri atau kehilangan akal. Senapati pengapit yang memimpin pasukan itu justru meneriakkan aba aba, "Kita binasakan semua orang Mataram dan orang orang Tanah Perdikan ini, justru sebelum setan tua itu berhasil mengalahkan Ki Tumenggung dengan licik."
Dengan demikian maka pertempuran pun terjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun karena di antara mereka adalah prajurit prajurit, maka pertempuran itu lebih banyak berlangsung dalam ikatan kelompok-kelompok, meskipun tidak berarti bahwa di antara mereka terdapat juga seorang-seorang yang terlepas dari ikatan dan bertempur atas kemampuan mereka secara pribadi.
Dalam pada itu, Kiai Bagaswara melihat perubahan sikap Ki Tumenggung yang menundukkan kepalanya. Bahkan tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bertanya, "Apa keuntunganku jika aku bertobat, paman Bagaswara?"
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ada banyak keuntunganmu Ngger. Kau sempat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Kau sempat lahir kembali dengan sifat-sifatmu yang baru, sehingga dengan demikian, maka kau akan menjadi orang lain bukan saja dihadapan sesama, tetapi juga dihadapan Yang Maha Agung."
Ki Tumenggung masih menundukkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia bertanya, "Apakah dengan demikian berarti dosaku diampuni?"
"Purbarana" berkata Kiai Bagaswara, "jangan hiraukan sikap orang-orang Mataram atau orang orang Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya mereka tidak mengampunimu, maka kau tidak usah cemas. Hukuman yang harus kau jalani adalah hukuman badani. Jika waktunya sudah habis, maka kau akan bebas dari hukuman itu. Tetapi yang harus kau perhatikan adalah pengampunan jiwani. Jika kau bertobat dan menyesal sampai kepusat jantung, maka dosamu secara jiwani memang akan diampuni. Kau akan mendapat kesempatan kembali menyatu dengan Yang Maha Agung, sehingga kau akan mendapat tempat yang baik dalam kehidupan yang kekal."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk kecil. Katanya "Apakah paman bertanggung jawab?"
"Persoalannya adalah persoalanmu dengan Sumber Hidupmu." jawab Kiai Bagaswara.
"Aku percaya paman" berkata Ki Tumenggung kemudian, "tetapi apakah masih ada kesempatan bagiku."
"Kenapa tidak?" jawab Kiai Bagaswara, "tidak ada keterlambatan selagi masih ada kesempatan untuk menyatakan dari dasar hati."
Ki Tumenggung tidak menjawab. Kepalanya menjadi semakin tunduk.
Kiai Bagaswara maju selangkah mendekati Ki Tumenggung yang berdiri pada lututnya dengan kepala tunduk. Tetapi Ki Tumenggung itu sudah tidak menggigil lagi. Kiai Bagaswara sudah melepaskan semua serangannya. Ki Tumenggung tidak lagi dicengkam oleh perasaan dingin yang membuat darahnya menjadi beku.
Sejenak Ki Tumenggung berdiam diri, sementara Kiai Bagaswara berkata, "Lakukan apa yang aku katakan jika kau benar-benar ingin bertobat."
"Apa yang harus aku lakukan paman?" bertanya Ki Tumenggung.
"Perintahkan semua pemimpin kelompok, para Senapati dan Perwira, demikian juga pemimpin-pemimpin padepokan yang berpihak kepadamu untuk menghentikan pertempuran."
Ki Tumenggung mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi ia bertanya, "Apakah tidak akan terjadi pembantaian atas orang-orangku. Jika mereka menghentikan pertempuran, tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang Mataram dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, apakah bukan berarti bahwa orang-orangku tidak dapat membela dirinya?"
"Jangan cemas. Jika kau setuju, aku akan menghubungi Ki Lurah Branjangan, yang memimpin seluruh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh." berkata Kiai Bagaswara.
Ki Tumenggung ragu-ragu sejenak. Sementara itu Kiai Bagaswara berkata, "Berdirilah. Bukankah kau sudah mendapatkan kekuatanmu kembali."
Purbarana menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri sambil menebarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kearah pasukan lawan yang semakin mendesak orang-orangnya.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Kiai Bagaswara agaknya masih menunggu perkembangan perasaan Ki Tumenggung yang menurut pendapatnya mulai luluh: Sementara itu Ki Tumenggung masih mengamati seluruh medan yang menebar.
Namun adalah di luar dugaan Kiai Bagaswara. Ki Tumenggung Purbarana yang telah menunjukkan tanda-tanda yang cerah bagi jiwanya, ternyata adalah sekedar ungkapan semu.
Ketika Kiai liagaswara memberinya kesempatan untuk berpikir, maka Ki Tumenggung Purbarana yang sudah tegak berdiri itu telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya Kiai Santak. Demikian tiba-tiba sambil berteriak nyaring, "Mati kau pengkhianat tua."
Serangan itu benar-benar mengejutkan. Kiai Bagaswara sama sekali tidak menduga, bahwa Ki Tumenggung Purbarana yang dianggapnya telah menemukan titik-titik terang itu adalah sekedar langkah-langkah liciknya sebagaimana ia berhasil membunuh gurunya dan sekaligus mengambil pusakanya. Justru pada saat gurunya menjadi lengah karena sikapnya yang pura-pura.
Sikap itu pulalah yang telah dilakukannya menghadapi Kiai Bagaswara.
KIAI Bagaswara benar-benar terkejut mendapat serangan itu. Serangan yang tidak diduganya sama sekali. Karena itu, Kiai Bagaswara tidak mendapat banyak kesempatan untuk berpikir. la tahu benar kemampuan keris Kiai Santak yang memiliki ketajaman bukan saja mata keris yang mampu membelah kulit daging, tetapi racun warangan pada keris itu pun akan dapat membunuh seseorang yang hanya tergores seujung rambut.
Karena itu, maka dengan gerak naluriah Kiai Bagaswara meloncat menghindar. Namun juga diluar sadarnya, bahwa sambil meloncat Kiai Bagaswara telah siap dengan luwuknya. Karena itu, Kiai Tumenggung Purbarana yang tidak menyentuh sasarannya, telah mengulangi serangannyamenebas mendatar kearah leher orang tua itu.
Kiai Bagaswara benar-benar tidak sempat lagi mengekang perasaannya. Segalanya berlangsung demikian cepatnya. Demikian pula sikap Kiai Bagaswara itu telah merendahkan dirinya. Namun seakan-akan diluar kemauan sendiri, tangan telah terjulur lurus.
Yang terjadi kemudian benar-benar mendebarkan jantung. Ki Tumenggung yang dengan segenap kemampuannya mengayunkan Keris Kiai Santak itu tidak sempat mengekang diri. Demikian ia meloncat maju, maka demikian tiba-tiba ujung luwuk Kiai Bagaswara bagaikan menyongsongnya.
Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Atas kekuatan dorong tubuh Ki Tumenggung sendiri, maka luwuk Kiai Bagaswara itu telah menghunjam ke dadanya.
"Purbarana" suara Kiai Bagaswara melengking tinggi.
Adalah di luar kehendaknya sendiri, namun memang sulit untuk dihindari bahwa hal itu terjadi, luwuknya telah menembus tubuh orang yang tiba-tiba justru telah mengejutkannya.
Kiai Bagaswara kemudian berusaha untuk menahan tubuh Ki Tumenggung yang terjatuh. Dengan hati-hati tubuh itu dibaringkannya, sementara luwuknya masih tetap menghujam di dadanya.
Ki Tumenggung menyeringai menahan sakit. Tetapi tangannya sudah tidak mampu digerakkannya. la memang masih berniat untuk menggoresan kerisnya. Tetapi keris itu justru terlepas dari tangannya dan jatuh ditanah. Keris lambang kebesaran nama gurunya.
Kiai Bagaswara yang kemudian meletakkan Ki Tumenggung itupun segera memungut keris Kiai Santak. keris yang luar biasa dan jarang ada duanya.
"Purbarana" panggil Kiai Bagaswara.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sudah tidak menyahut. Napasnya pun sama sekali sudah tidak mengalir lagi. Ki Tumenggung itu sudah terbunuh oleh paman gurunya, yang sedang berusaha untuk memberikan petunjuk agar ia dapat menemukan jalan kembali.
Kiai Bagaswara menarik,nafas dalam-dalam. Agaknya memang sudah menjadi garis hidup Ki Tumenggung Purbarana bahwa ia harus mati karena tangan paman gurunya sendiri.
"Tidak ada niatku membalas dendam" berkata Kiai Bagaswara kepada diri sendiri, "seandainya ia mengerti maksudnya, maka aku akan melupakan segala kesalahan yang pernah dilakukan. Juga karena ia telah membunuh gurunya sendiri."
Tetapi pembunuhan itu sudah terjadi. Kiai Bagaswara telah membunuh murid saudara seperguruannya. Dengan jantung yang berdegup semakin cepat, Kiai Bagaswara telah mengambil wrangka keris yang terselip di ikat pinggang Ki Tumenggung. Kemudian menyarungkan Kiai Santak dan juga luwuknya sendiri.
Kiai Bagaswara baru menyadari bahwa ia masih berada di medan perang ketika ia kemudian mendengar sorak gemuruh. Ternyata para prajurit Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan menoreh telah bersorak dengan serta merta ketika mereka melihat Ki Tumenggung Pubarana terbunuh.
Ki Lurah Branjangan pun menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, ternyata Senapati pengapitnya masih tetap berkeras kepala, sebagaimana juga Ki Tumenggung Purbarana yang berhati keras. Senapati itu justru meneriakkan aba-aba untuk menuntut balas kematian Ki Tumenggung Purbarana.
Ternyata bahwa para prajurit pengikut Ki Tumenggung itu adalah prajurit-prajurit yang setia. Mereka tidak dengan serta merta melarikan diri sepeninggalnya. Namun seperti yang diteriakkan oleh Senapati penggapit yang mengambil alih pimpinan.bahwamereka harus menuntut dendam atas kematian Ki Tumenggung Purbarana.
Dengan demikian maka pertempuran menjadi semakin dibakar oleh dendam itu lambat laun telah kehilangan kesadaran mereka atas paugeran perang, sehingga mereka cenderung untuk melakukan apa saja yang ingin mereka laukan.
"Kita sudah terlibat dalam perang. Apa saja yang akan aku lakukan, tidak ada yang dapat melarangnya. Seandainya aku melanggar paugeran perang, siapa yang akan dapat menghukum aku?" geram seorang pengikut Ki Tumenggung yang hampir kehilangan akal, "jika ada yang ingin menuntut dan menghukum aku, maka ia adalah orang yang pertama aku bunuh."
Karena itu, maka pertempuran di induk pasukan pun mulai dibayangi oleh kekerasan tanpa menghiraukan panghiraukan paugeran. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin kasar dan kisruh, sebagai manaterjadi di sayap pasukan itu.
Kematian Ki Tumenggung ternyata berpengaruh pula atas sayap-sayap pasukan. Mereka memperhitungkan, bahwa orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Purbarana yang bertempur dengan membawa keris Kiai Santak itu tentu akan dapat membunuh tanpa hitungan, sebagaimana dilakukan oleh senapati yang lain di peperangan.
Karena itu, maka sebagian dari mereka pun telah memberikan aba-aba untuk bergerak lebih cepat. sebagaimana para Senapati pengapit di induk pasukan.
Dengan demikian maka pertempuran yang keras itu semakin bertambah keras. Namun dalam pada itu, peristiwa-peristiwa penting yang lainpun telah terjadi dipeperangan.
Glagah Putih ternyata benar-benar telah mapan. Meskipun Warak Ireng telah sampai kepuncak ilmunya, namun ia tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih yang telah menempa diri di bawah pemomongnya Agung Sedayu dan yang kemudian mendapat seorang guru yang bernama Kiai Jayaraga, seorang yang memiliki ilmu yang nggegirisi.
Warak Ireng yang dibakar oleh kemarahan yang memuncak itu bagaikan menjadi gila. la tidak mempunyai cara untuk dapat mengalahkan lawanya yang masih sangat muda. Segala kemampuan, pengalaman dan ilmu yang ada padanya telah di perasnya.
Namun Glagah Putih dengan gigih mampu mempertahankan dirinya. Bahkan sekali-kali serangannya justru membahayakan lawannya.
Dengan geram Warak Ireng mengumpat-umpat. Ingin ia segera meremas kepala anak itu. Tetapi ia harus membentur pada satu kenyataan bahwa ia tidak mampu melakukannya.
Karena itu, maka pertempuranan antara Glagah Putih dan Warak Ireng itupun menjadi semakin sengit. Sementara itu para pengikut Warak Ireng ternyata susut dengan cepat. Mereka yang tersesat mendekati Ki Gede, maka iapun akan terlempar dengan luka ditubuhnya. Meskipun Ki Gede tidak berniat untuk membunuh mereka, namun ujung tombaknya telah mengoyak lawannya tanpa memilih arah. Mungkin dada, mungkin pundak atau lengan, tetapi mungkin pula punggung. Bahkan ada yang hanya koyak kain panjangnya, namun rasa-rasanya ia telah mati dan jatuh terbaring di tanah tanpa bergerak sampai saatnya seorang kawannya menyeretnya menepi, sehingga luka-luka di tubuhnya tidak ditimbulkan oleh senjata lawannya, tetapi oleh batu-batu padas di arena pertempuran itu pada saat tubuhnya diseret keluar arena.
Di sayap yang lain. Sekar Mirah benar-benar menggetarkan jantung lawannya. Ki Linduk yang juga bernama Sambijaya itu tidak mengira sama sekali sebelumnya, bahwa perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang berasal dari Sangkal Putung itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Bahkan kadang-kadang loncatan-loncatan yang cepat dan sama sekali tidak terduga telah mengejutkannya.
Sementara itu, orang-orang linuwih yang ada di medan itu masih terikat dengan lawannya masing-masing. Kiai Jayaraga masih beradu ilmu dengan Punta Gembong, sementara itu, Agung Sedayu masih bertempur dengan Kumbang Talangkas.
Dalam pada itu, di induk pasukan, ternyata para pengikut Ki Tumenggung Purbarana telah salah duga. Sepeninggal Ki Tumenggung Kiai Bagaswara sama sekali tidak melakukan sebagaimana yang mereka cemaskan. Kiai Bagaswara tidak mengamuk dan membunuh sebanyak-banyaknya, tetapi ia justru merenungi tubuh Ki Tumenggung yang membeku.
Berbagai macam pertanyaan telah membelit di hati Kiai Bagaswara. la sulit untuk dapat mengerti, bagaimana mungkin orang yang terbaring diam itu benar-benar terperosok ke dalam dunia yang yang kelam sampai saat terakhirnya. Sama sekali tidak ada titik-titik terang yang dapat menuntunnya menghadap kepada Sumber Hidupnya yang telah memanggilnya. Bahkan hampir saja Kiai .Bagaswara kehilangan kewaspadaan justru pada saat ia mengira Ki Tumenggung itu mulai menyadari kesalahannya.
"Ada juga hati yang sekeras batu" desisnya.
Seolah-olah berbicara kepada diri sendiri ia bergumam. "Tidak. Sikapnya sama sekali bukan sikap seorang jantan, seolah-olah orang yang memegang keyakinannya sampai mati adalah orang yang berhati baja. Jika ia mengeraskan hati dalam kesesatan, maka ia sama sekali bukan orang yang dapat disebut jantan. Justru orang yang melihat kesalahannya dan berani melakukan langkah-langkah pembetulan, barulah ia disebut jantan.
Namun Ki Tumenggung telah mati. Apapun kata orang, tetapi Ki Tumenggung telah menggenggam tekad yang tidak dilepaskannya sampai akhir hayatnya. Namun agaknya Ki Tumenggung telah memilih jalan apa saja yang dapat dilakukan tanpa mengingat nilai-nilai dan martabat kemanusiaan untuk mencapai maksudnya.
Dalam pada itu, meskipun Kiai Bagaswara tidak berbuat apa-apa lagi, tetapi diinduk pasukan itu ada Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Branjangan memiliki sifat yang agak berbeda dengan Kiai Bagaswara. Ki Lurah ada seo"rang prajurit yang berada di medan perang. Itulah sebabnya. maka Ki Lurah telah bertempur sebagaimana seorang prajurit.
Ternyata salah seorang Senapati pengapit Ki Tumenggung Purbarana berusaha untuk menghambat gerak Ki Lurah. Dengan demikian maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Namun Ki Lurah Branjangan adalah seorang Senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas. la adalah Panglima pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, maka iapun telah menunjukkan kelebihannya dari lawannya.
Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga garangnya para Senopati pengapi memberikan aba-aba, namun sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana, hati para prajurit yang menjadi pengikutnya telah menjadi semakin hambar. Rasa-rasanya tidak ada lagi sandaran kekuatan bagi pasukan itu. Ki Tumenggung dengan Kiai Santak yang nggegirisi itu telah dikalahkan.
Karena itu, maka semakin lama para pengikut Ki Tumenggung itupun semakin kehilangan gairah perjuangannya. Satu demi satu mereka jatuh terbaring ditanah. Darah menjadi semakin banyak mengalir, sementara harapan untuk, menang menjadi semakin kabur.
Dengan demikian, maka kedudukan pasukkan di induk pasukan itu justru menjadi goyah. Ki Lurah ,yang berhasil mendesak lawannya mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh pasukan. Sejenak kemudian, maka pasukan pada pengikut Ki Tumenggung itu telah terdesak mundur.
Kiai Bagaswara yang merenungi tubuh Ki Tumenggung Purbarana itupun kemudian menyadari keadaan. Pasukan Ki Tumenggung itu tidak mampu lagi untuk mempertahankan garis perang
Ternyata keadaan induk pasukan itu sangat berpengaruh atas sayap-sayap pasukan. Karena induk pasukannya bergeser, maka sayap-sayapnya pun ikut bergeser pula.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka Ki Linduk serta gurunya dan Warak Ireng dan Ki Punta Gembong di sayap yang lain, telah mendapat laporan tentang kernatian Ki Tumenggung Purbarana serta keadaan di induk pasukan. Dengan kasar merekapun telah mengumpat umpat. Mereka menganggap bahwa Ki Tumenggung tidak lebih dari seorang yang hanya mampu berteriak sesumbar. Namun tidak mampu berbuat apa-apa. Kematian Ki Tumenggung serta keadaan pasukan induk itu, akan menentukan keadaan pasukan di sayap. Kekalahan akan berarti satu bencana.
Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang mereka hadapi. Sebenarnyalan tanah Perdkan Menoreh memiliki kekuatan di luar perhitungan mereka.
Warak Ireng tidak bermimpi bahwa ia akan membentur kekuatan anak-anak yang dapat mengimbanginya. Kekuatan dan kecepatan gerak anak itu benar-benar bagaikan anak iblis.
"jika kami harus meninggalkan Tanah Perdikan ini tanpa hasil, biarlah aku membunuh anak ini lebih dahulu" geram Warak Ireng itu di dalam hatinya.
Tetapi Warak Ireng tidak melihat tanda-tanda bahwa ia akan dapat melakukannya. Sementara itu gurunya pun telah terikat dalam satu pertempuran melawan seseorang yang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Seakan-akan mereka berdiri tegang dan saling memandang dengan tangan terjulur. Namun yang terjadi adalah benturan ilmu yang sangat dahsyat.
JILID 184 KEDUANYA telah saling mendorong dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga kaki-kaki mereka telah semakin membenam kedalam tanah. Asap pun telah mengepul dan wajah-wajah mereka telah menjadi semakin pucat. Titik-titik keringat yang mengembun di kening dan dahi mulaimengalirdan membasahi wajah-wajah mereka.
Bahkan kemudian di seluruh tubuh mereka telah mengembun keringat yang kemudian mengalir membasahi kulit dan pakaian mereka.
Warak Ireng sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan gurunya. Jika saja Ki Punta Gembong dapat memenangkan pertempuran itu, maka ia akan dapat menggulung pasukan lawan. Dengan kemampuan ilmunya ia akan dapat dengan cepat menyusut jumlah para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata Punta Gembong masih belum berhasil mengalahkan Kiai Jayaraga. Bahkan justru keadaannya semakin lama menjadi semakin berat menghadapi tekanan ilmu Kiai Jayaraga.
Karena itu, maka Warak Ireng hanya dapat mengumpat-umpat. Apalagi ketika kemudian ia mengetahui apa yang dilakukan oleh Ki Gede Ternyata Ki Gede lah yang telah mengisap orang-orang Warak Ireng dengan cepat. Satu demi satu orang-orang yang menyerangnya telah dilumpuhkannya. Bahkan usaha mereka untuk bertempur dalam kelompok-kelompok kecil pun tidak berhasil mengurung Ki Gede. Selain Ki Gede sendiri memang memiliki ilmu yang tinggi, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak membiarkan pemimpinnya itu terkepung dan apalagi mengalami kesulitan.
Dengan demikian maka usaha orangrorang Warak Ireng selalu sia-sia. Sedangkan Warak Ireng sendiri masih terbelenggu pertempuran melawan ank-anak yang menurut dugaan Warak Ireng masih pantas untuk ikut biyungnya berbelanja kepasar.
Tetapi ternyata anak itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya.
Bahkan karena orang-orangnya semakin lama menjadi semakin tipis dan tidak lagi mampu mengimbangi desakan lawan. Warak Ireng selalu terdesak sejalan dengan susutnya pasukan induk.
Disayap yang lain, maka kesulitan yang serupa telah terjadi pula. Bahkan keadaan Ki Linduk menjadi lebih parah, Sekar Mirah ternyata lebih keras dari Glagah Putih menghadapi". orang-orang kasar seperti Ki Linduk. Sekar Merah dengan mempercayakan kepada kemampuannya bergerak cepat telah menyerang Ki Linduk seperti angin pusaran yang memutar bagaikan lingkaran kekuatan yang mengintari dirinya.Tongkat baja putihnya itu pun terayun-ayun dengan dahsyatnya. Bahkan ternyata sekali-sekali tongkat baja putih itu telah menyentuh tubuhnya.
Ki Linduk memang benar-benar berada dalam kesulitan. Senjata keras kedua orang itu setiap kali telah berbenturan. Tetapi setiap kali Ki Linduk merasakan betapa tangannya menjadi pedih.
Agaknya Sekar Mirah tidak ingin melepaskan lawannya. Ketika ia menyadari bahwa induk pasukan lawan telah kehilangan sandaran kekuatan dan selalu terdesak mundur, maka iapun benar-benar berniat mengakhiri lawannya.
Karena itulah, maka tongkat baja putihnya semakin lama menjadi semakin cepat berputaran. ketika sekali tongkat baja putihnya berhasil menyusup di antara senjata Ki Linduk, maka kepala senjata itu, yang berupa tengkorak berwarna kekuning-kuningan telah menyentuh lengan Ki Linduk.
Terasa tulang lengan pecah karenanya. Sambil mengerang ia pun, meloncat surut. Namun Sekar Mirah tidak rnemberikannya kesempatan. Dengan serta merta ia pun telah memburunya. Bahkan adengan dahsyatnya pun tongkatnya telah terayun mengarah ke kepala.
-Setan" geram Ki Linduk yang berusaha menangkis serangan itu dengan senjatanya.
Karena itu, menurut perhitungan Sekar Mirah maka pertempuran itu harus diselesaikan pada hari itu juga, karena lawan yang dihadapi oleh Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh bukannya sepasukan prajurit yang menyadari paugeran perang.
Dengan demikian, maka Ki Linduk sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sekar Mirah dengan tangkasnya telah memburunya. Tongkat baja putih peninggalan gurunya telah berputaran dengan dahsyatnya melibat lawannya dalam pertempuran yang semakin cepat. dengan demikian maka senjata kedua orang itu menjadi semakin sering berbenturan. Keduanya mempergunakan jenis senjata keras yang mendebarkan. Tetapi dalam benturan-benturan yang dahsyat, maka gerigi bindi Ki Linduk sama sekali tidak berarti apa-apa bagi tongkat Sekar Mirah. Apalagi, gerigi itu tidak mampu menembus putaran tongkat baja putih untuk menyentuh kulit lawannya.
Tongkat Sekar Mirahlah yang kemudian berhasil menyentuh lawannya. Sekali lagi Sekar Mirah berhasil menyusup diantara putaran putaran bindi Ki Linduk. TidaK dengan tengkorak kuningnya, tetapi justru dengan ujung yang lain dari tongkat baja putihnya, mengenai pundaknya.
Ki Linduk terdorong surut. Ketika Sekar Mirah masih memburunya, justru sebelum Ki Linduk sempat memperbaiki keseimbangan, maka Ki Linduk itu telah melemparkan dirinya dan berguling beberapa kali. Namun kemudian dengan sigapnya ia telah melenting berdiri dengan kedua bindinya bersilang di muka dadanya.
Sekar Mirah tertegun sejenak. Dibiarkannya lawannya mempersiapkan diri. Namun dengan demikian Sekar Mirah ingin melihat akibat sentuhan tongkatnya pada pundak lawannya.
Sebenarnyalah, Ki Linduk merasa tangannya bagaikan menjadi lumpuh. Namun tekadnya yang membakar jantungnya telah membuatnya masih mungkin untuk menggerakkan senjatanya, betapapun pundaknya itu terasa sakit.
Namun dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya bukan lagi merupakan kesulitan bagi Sekar Mirah. la mengerti bahwa pundak lawannya telah terluka dalam sebagaimana lengannya dan tulangnya bagaikan menjadi pecah.
Dengan demikian, maka Sekar Mirah benar-benar telah bersiap-siap untuk mengakhiri pertempuran.
Sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertempur dengan sengitnya Meskipun ia sendiri tidak terpengaruh oleh aji Gelap Ngampar lawannya yang masih belum matang dan belum mampu mencegahnya, karena pengaruhnya justru akan menikam jantung para prajurit Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun akan berpengaruh juga bagi orang-orangnya sendiri.
Namun seperti juga Sekar Mirah, Agung Sedayu tidak lagi mendapat terlalu banyak kesulitan menghadapi lawannya. Meskipun setiap kali lawannya masih juga mampu melepaskan paser-paser kecil mengarah ke matanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kemampuan paser-paser kecil itu. Ketika sekali lagi lawannya melemparkan kearah matanya, maka dengan sengaja Agung sedayu telah mengembangkan telapak tangannya untuk menahan paser-paser itu.
Yang terjadi memang sangat mendebarkan hati bagi lawannya. Paser itu sama sekali tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga paser-paser itu bagaikan telah mengenai keping-keping baja yang tidak dapat tertembus oleh tajamnya ujung paser-paser itu.
"Gila" geram Kumbang Talangkas.
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian menjadi yakin, bahwa kekuatan ilmu Kumbang Talangkas tidak mampu menembus ilmu kebalnya.
Namun demikian, Kumbang Talangkas masih tetap memiliki satu kekuatan yang luar biasa. kekuatan badai yang dapat melemparkan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merasa keberatan untuk terlempar dan jatuh berguling di tanah. Keadaan itu sama sekali tidak dapat melukai kulitnya.
Bahkan setiap kali hal itu terjadi, maka rasa-rasanya jantung Kumbang Talangkas menjadi semakin berdebaran. Seakan-akan ia tidak lagi sedang bertempur melawan seseorang. Tetapi rasa-rasanya ia sedang berhadapan dengan sesosok iblis.
Sebenarnyalah bahwa Kumbang Talangkas tidak dapat mengingkari satu kenyataan tentang kemampuan lawannya. Ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar seorang yang luar biasa. Namun rasa-rasanya Kumbang Talangkas tidak dapat mengerti tentang imbangan kekuatan yang telah terjadi antara dirinya dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu menurut pendengarannya, meskipun berhasil membunuh Prabandaru, namun Agung Sedayu sendiri telah terluka parah.
Dengan demikian, maka menurut keadaan itu, lingkat ilmu Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Purbarana tentu tidak akan terpaut banyak. Sementara itu Kumbang Talangkas yakin, bahwa ia memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru.
Namun ternyata menghadapi Agung Sedayu ia tidak mendapat kesempatan sama sekali.
Sebenarnyalah bahwa Kumbang Talangkas; sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di dalam diri Agung Sedayu. Semisal pintu maka perbendaharaan ilmu Agung Sedayu sudah terbuka, sehingga dalam keadaan yang demikian, tidak sulit lagi baginya untuk menerima unsur-unsur baru yang akan menambah kesempurnaan ilmunya sebelumnya. Dalam keadaan seperti Agung Sedayu itu seseorang tidak akan lagi dicemaskan oleh kemungkinan benturan dua kckuatan ilmu didalam dirinya, karena orang itu tentu akan dapat menyaring dan menyesuaikan ilmu-ilmu yang diserapnya yang satu dengan yang lain.
Demikian juga dengan Agung Sedayu. la menyerap ilmu dari beberapa sumber. la pernah menyadap ilmu dari dinding goa di tempat yang tersenbunyi di tebing sungai yang curam. la pernah membaca isi kitab Ki Waskita dan kemudian kitab gurunya sendiri. Sehingga dengan demikian, maka di dalam dirinya telah bertemu berbagai macam unsur yang justru saling memperkokoh dan saling mengisi.
Itulah yang sebenarnya dijumpai oleh Kumbang Talangkas. Satu perbendaharaan ilmu yang mencakup banyak unsur yang marnpu luluh menjadi satu kekuatan yang nggegirisi.
Kemampuan ilmu andalan Kumbang TaIangkas dengan deru badainya seolah-oIah justru menjadi sasaran permainan Agung Sedayu. Ia dengan membiarkan dirinya terlempar, terbanting dan kemudian berguling-guling. Tetapi yang terjadi itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Apalagi melukainya.
Karena itu, maka Kumbang Talangkas seakan-akan telah kehabisan akal untuk mengatasi keadaan Iawannya. Apalagi setiap kali terasa dadanya bagaikan terkorek oleh kekuatan ilmu yang langsung menembus sampai jantung, yang dipancarkan dari tatapan mata anak muda itu. Untuk beberapa saat Kumbang Talangkas masih bertahan. Ia merasa dirinya seorang yang tidak ada tandinganya. Karena itu kenyataan yang dihadapinya adalah kenyataan yang terlalu pahit. Anak yang mampu mengatasi ilmunya itu adalah anak yang baginya masih terlalu muda.
Yang terasa di hati muridnya adalah sebagaimana yang terasa dihati gurunya. Ki Linduk pun merasakan betapa pahitnya dikalahkan oleh seorang perempuan. Namun ia tidak dapat mengingkari. la pun tidak dapat menghindar atau melarikan diri. Sekar Mirah membayanginya sangat ketat dan serangan-serangannya datang bagaikan banjir bandang. Susul menyusul tidak ada henti-hentinya. Sentuhan demi sentuhan telah membuat tubuhnya menjadi semakin sakit, sehingga kemampuannya untuk bergerakpun menjadi semakin susut.
Tetapi kenyataan itu sulit untuk diterima oleh Ki Linduk. Sebagai seorang laki-laki yang sudah menjelajahi petualangan yang keras dan berat, maka iapun menganggap bahwa ia tidak akan mungkin dikalahkan oleh seorang perempuan.
"Aku terlalu berperasaan menghadapi seorang perempuan" katanya di dalam hati, "aku harus melepaskan diri dari perasaan belas kasihan itu. la benar-benar ingin membunuhku sehingga akupun harus benar-benar berusaha membunuhnya."
Dengan demikian, maka Ki Linduk itu pun justru telah menghentakkan sisa tenaganya. Dengan kasar ia meloncat menyerang dengan bindinya. Namun ia masih sempat memutar senjatanya menghindari benturan dengan senjata Sekar Mirah. Namun bindi itu pun telah terayun mendatar susul menyusul.
Sekar Mirah meloncat mundur. Bindi di kedua tangan lawannya rasa-rasanya bergerak semakin cepat. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak gentar menghadapinya. Putaran bindi itu bukannya tidak dapat ditembus oleh kecepatan gerak tongkat baja putihnya.
Ketika untuk beberapa saat, Sekar Mirah tidak juga sempat menusuk di sela-sela putaran bindi lawannya, maka ia menjadi tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia telah mengayunkan tongkat baja putihnya menghantan lingkaran putaran bindi lawannya.
Sekar Mirah yang yakin akan kekuatan tenaga ilmunya, dengan sengaja berusaha membenturkan tongkat baja putihnya, sehingga karena itu ia sama ekali tidak memperhitungkan lubang-lubang yang akan dapat ditembus.
Satu serangan yang tidak terduga. Karena itu, maka lawannya memang tidak menghindari benturan. Putaran bindinya yang menjadi perisai di sekitarnya, namun yang setiap saat dapat berubah menjadi kekuatan penyerang yang dahsyat itu, justru dipercepat untuk menanggapi benturan yang bakal terjadi.
Tetapi, ternyata kekuatan ilmu Sekar Mirah memang melampaui kekuatan yang dapat dibangunkan oleh ilmu Ki Linduk. Karena itu, ketika ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah membentur putaran senjata Ki Linduk, maka telah terjadi satu benturan yang sangat keras. Satu benturan yang tidak mampu lagi diatasi oleh Ki Linduk.
Demikian kerasnya benturan itu, maka tangan Ki Linduk terasa bagaikan menyentuh bara api. Satu hentakan yang luar biasa telah merenggut sebuah bindinya clan terlempar beberapa langkah dari padanya.
Ki Linduk berteriak mengumpat keras sekali. Namun dengan serta merta iapun telah meloncat menjauh.
Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Linduk melihat kenyataan tentang dirinya. Luka-luka dibagian dalam tubuhnya dan senjatanya yang sudah terlepas dari tangannya.
Untuk sesaat keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang. Namun kemudian Sekar Mirahpun berkata, "Menyerahlah. Mungkin kau masih akan mendapat kesempatan untuk hidup."
Wajah Ki Linduk menjadi tegang sekali. Sorot matanya bagaikan membara memandang sikap Sekar Mirah yang di dalam penglihatannya benar-benar bagai sesosok iblis betina.
Karena itu, maka Ki Linduk itu pun tidak menjawab sama sekali. Bahkan dengan serta merta iapun telah menyerang ambil mengumpat, "Gila. Kau harus dibantai disini setan etina."
Sekar Mirah memang sudah menduga, bahwa Ki Linduk tidak akan bersedia menyerah. Karena itu, demikian Ki Linduk menyerang, Sekar Mirah telah bersiap untuk menghadapinya.
Namun ternyata Sekar Mirah sudah mengambil keputusan. la harus segera menyelesaikan pertempuran itu sebelum matahari hilang di balik bukit.
Karena itu, maka tongkat baja putihnya segera berputar lagi. Dengan nada melengking ia berkata, "Ki Sanak. Aku sudah cukup memberimu peringatan. Tetapi kau sama sekali tidak mau mendengarkan. Karena itu apaboleh buat."
Ki Linduk tidak menghiraukannya. Bahkan iapun menerkam lawannya sambil mengumpat.
Tetapi Sekar Mirah sudah siap untuk menyelesaikan pertempuran itu. Demikian lawannya menyergapnya, ia mengelak dengan loncatan panjang menyamping. Demikian Ki Linduk meluncur di sisinya, maka Sekar Mirah telah mengayunkan tongkat baja putihnya. Tidak dengan sepenuh kemampuannya, karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa benturan antara tongkat baja putihnya dengan kepala orang itu akan dapat berakibat sangat buruk bagi lawannya jika ia mengayunkannya dengan segenap kemampuannya.
Karena itu, Sekar Mirah hanya mempergunakan sebagian tenaganya saja memukul tengkuk Ki Linduk yang terseret oleh kekuatannya sendiri disisi Sekar Mirah.
Meskipun demikian, ternyata bahwa benturan antara tongkat baja putih Sekar Mirah dengan tengkuk Ki Linduk telah menimbulkan akibat yang sangat gawat bagi Ki Linduk. Ayunan pukulan itu telah mendorong Ki Linduk sehingga jatuh tertelungkup, tanpa mampu menguasai tubuhnya. Wajahnya telah terjerembab ke tanah berbatu padas. Sementara itu, benturan benda keras pada tengkukya telah membuatnya tidak lagi menyadari apa yang telah terjadi.
Sekar Mirah yang menyaksikan lawannya terdorong dan jatuh terjerembab itu justru menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat Sekar Mirah berdiri mematung memandangi tubuh yang kemudian diam menelungkup tanpa bergerak sama sekali.
"O" Sekar Mirah melangkah maju. Tetapi ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak menyentuh lawannya. Bahkan ia pun kemudian melangkah selangkah selangkah menjauh.
Sekar Mirah terkejut ketika ia mendengar sorak yang bagaikan mengoyak langit. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang melihat Sekar Mirah mengalahkan lawannya, tiba-tiba saja telah bersorak. Bagi mereka, pengaruh gemuruh sorak sorai itu akan memberikan arti tersendiri. Bukan saja lontaran kegembiraan, tetapi semacam isyarat, bahwa satu kemenangan telah dicapai dalam pertempuran itu.
Isyarat yang demikian akan dapat berpengaruh pula atas lawan-lawan mereka. Apalagi apabila lawan mereka menyadari, bahwa pemimpin mereka yang bernama Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya telah dikalahkan oleh seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah.
Demikianlah, maka para pengikut Ki Linduk itu hatinya tiba-tiba telah menyusut. Mereka telah kehilangan pemimpin yang selama itu mereka anggap sebagai orang yang paling mumpuni. Tiba-tiba mereka dihadapkan pada satu kenyataan bahwa orang itu telah dikalahkan, justru oleh seorang perempuan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kematian Ki Linduk itu sempat di dengar pula oleh gurunya, Kumbang Talangkas. Beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh memang dengan sengaja meneriakkan kematian itu, agar hati orang-orang yang bertempur di pihak Ki Linduk menjadi semakin kecut.
Tetapi yang kemudian terjadi, sangat mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kumbang Talangkas yang mendengar tentang kematian muridnya menjadi sangat marah. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk membalas dendam meskipun dengan cara apapun juga.
Justru pada saat Sekar Mirah merenungi tubuh Ki Linduk dan kemudian menebarkan tatapan matanya ke sekitarnya karena orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang bersorak-sorak, telah terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka. Kembang Talangkas tanpa menghiraukan harga dirinya, tiba-tiba telah menyerang Sekar Mirah dari jarak yang semakin dekat, setelah ia berusaha bergeser dari arena.
Kumbang Talangkas yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itu dengan serta merta telah meninggalkan lawannya dan berlari mendekati Sekar Mirah. Dengan kemampuan ilmu praharanya, maka Kumbang Talangkas telah menyerang Sekar Mirah yang sama sekali tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi.
Agung Sedayu melihat apa yang bakal terjadi. Karena itu, maka ia berusaha untuk berteriak, "Sekar Mirah. Menghindarlah. Serangan itu akan menggapaimu dari jarak jauh."
Sekar Mirah berpaling. la melihat sikap Kumbang Talangkas yang menghadap kepadanya. Karena itu, dengan cepat ia menangkap maksud Agung Sedayu.
Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera berusaha untuk meloncat. Dengan kecepatan yang mungkin dapat dilakukan, maka iapun telah menghindar dari garis serangan Kumbang Talangkas.
Tetapi Sekar Mirah terlambat; Meskipun ia sempat bergeser, namun garis serangan itu masih menyentuhnya. Sehingga karena itu hembusan badai yang kuat yang dilontarkan atas dasar kekuatan ilmu Kumbang Talangkas itu telah menerpanya sehingga tubuh Sekar Mirah itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah.
Agung Sedayu mendengar pekik Sekar Mirah tertahan Karena itu, maka jantungnya bagaikan pecah karenanya. Ternyata Kumbang Talangkaslah yang berbuat sangat curang dan licik.
Melihat Sekar Mirah terlempar dan terbanting di tanah, darah Agung Sedayu tiba-tiba saja bagaikan mendidih. Sekar Mirah bukan saja salah seorang Senapati dari pasukan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi Sekar Mirah itu adalah isterinya.
Karena itu, maka Agung Sedayu" tidak lagi dapat mengekang dirinya. Tiba-tiba saja ia telah berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Dipandanginya tubuh Kumbang Talangkas yang sedang menikmati kemenangan karena kelicikannya. la melihat Sekar Mirah terbaring diam. Karena itu, maka tiba-tiba saja suara tertawanya yang dilambari dengan Aji Gelap Ngamparnya telah meledak dan menggetarkan udara menekan dada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak dapat berbuat demikian untuk waktu yang lama. la tidak sempat menikmati kemenangannya atas Sekar Mirah dengan caranya yang sangat licik, karena tiba-tiba ia mendengar suara Agung Sedayu, "He, setan yang licik. Hadapi aku."
Kumbang Talangkas berpaling kearah Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja jantungnya bergetar. la sadar, apa yang akan dilakukan Agung Sedayu atasnya.
Sebenarnyalah pada saat itu mulai terasa, dadanya bagaikan diremas. Sorot mata Agung Sedayu mulai menukik menusuk langsung ke pusat jantungnya. Tidak lagi dengan ragu-ragu sebagaimana sering dilakukannya. Tetapi peristiwa yang menimpa Sekar Mirah benar-benar telah membuat Agung Sedayu tidak lagi rnengekang diri.
Kumbang Talangkas rnengeluh perlahan-lahan. Serangan itu jauh lebih kuat dari yang pernah dilakukan Agung Sedayu sebelumnya. Bahkan rasa-rasanya sorot mata Agung Sedayu itu tidak saja mengorek jantungnya, tetapi mengalirkan udara yang mampu membakar seluruh isi dadanya.
Dengan sisa tenaganya Kumbang Talangkas itu menggapai paser-paser kecilnya. Tetapi ketika ia melontarkannya, maka paser-paser itu jatuh beberapa langkah dihadapan Agung Sedayu. Kecuali jarak di antara mereka memang diluar jangkauan lemparan paser-paser kecil itu, juga karena tenaga Kumbang Talangkas bagaikan sudah terserap habis oleh perasaan sakit yang menggigit jantungnya.
"Gila" teriak Kumbang Telangkas. la mencoba dilontarkan kekuatan badainya menghantam Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. la tidak lagi terlempar dan jatuh berguling-guling. Tetapi ia tetap tegak dengan tangan bersilang di dadanya dan memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kekuatan ilmunya yang luar biasa.
Untuk sesaat Telangkas masih bertahan, berdiri tegak sambil mengumpat-umpat. Tetapi ternyata kekuatannya tidak mampu mendukung gejolak perasaannya menghadapi Agung Sedayu yang menjadi sangat marah. Sejenak kemudian orang itu terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya.
Agung Seayu melepaskan serangannya ketika orang itu kemudian jatuh tertelungkup ditanah yang sudah dibasahi oleh keringat dan darah mereka yang bertempur dengan sepenuh kemampuan menentang maut dari kedua belah pihak.
Namun Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan orang itu terlalu lama. la pun kemudian berlari-lari menuju ke tempat Sekar Mirah terbaring. Ternyata dua orang anak muda Tanah Perdikan telah berdiri di sebelah menyebelah menjaga agar tubuh Sekar Mirah tidak diusik oleh lawan.
Dalam pada itu, para pengikut Ki Linduk tidak sempat menyorakkan kemenangan Kumbang Telangkas atas Sekar Mirah, karena sejenak kemudian, Kumbang Telangkas itu sendiri telah jatuh terjerembab di tanah.
Sesaat kemudian pertempuran masih berlangsung. Agung Sedayu kemudian telah mengangkat tubuh isterinya dan membawanya menepi. Ternyata serangan Kumbang Telangkas benar-benar sangat dahsyat, sehingga Sekar Mirah telah mengalami luka-luka. Bukan saja kulitnya yang membentur tanah berbatu padas, tetapi juga bagian dalam tubuhnya.
Sebagai murid Kiai Gringsing maka Agung Sedayu memang mempunyai beberapa jenis obat. Karena itu dengan tergesa-gesa ia menyiapkan obat yang terutama untuk memberikan kekuatan yang dapat menambah daya tahan tubuh isterinya.
"Tolong, cari air" minta Agung Sedayu kepada seorang anak muda Tanah Perdikan yang ada di dekatnya.
Anak itupun kemudian berlari-lari. la mengenal daerah itu, karena ia hampir setiap hari bermain-main dan berkeliaran di pategalan itu. Sehingga karena itu, maka ia pun dapat langsung pergi ketempat yang dikehendaki, sebuah belik kecil dibawah sebatang pohon beringin yang besar di sebelah medan pertempuran yang keras itu.
Dengan daun talas ia membawa air yang diperlukan oleh Agung Sedayu untuk mencairkan obat untuk luka-luka dalam yang dibawanya dengan bumbung kecil dan untuk mencairkan obat yang akan dapat dipergunakan untuk mengobati luka-luka di tubuh Sekar Mirah, yang ternyata mengalirkan darah cukup banyak.
Dengan hati-hati Agung Sedayu pun kemudian menitikkan cairan obat di bibirnya. Setitik demi setitik. Namun ketika ternyata bahwa titik-titik itu dapat melampaui kerongkongan Sekar Mirah, gejolak perasaan Agung Sedayu menjadi agak tenang.
Ketika kemudian Sekar Mirah mulai menggerakkan bibirnya dan berdesis, maka Agung Sedayu-menarik nafas dalam-dalam. la pun kemudian mulai mengoleskan obat pada luka-luka di kulitnya. Luka-luka yang ditimbulkan oleh sentuhan antara kulit Sekar Mirah dengan tanah dan batu-batu padas. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi terdapat di beberapa tempat dengan goresan-goresan memanjang.
Ternyata bahwa titik-titik obat yang dicairkan yang berhasil masuk kerongkongan Sekar Mirah itu memberikan pengaruh kepada perempuan itu. Sejenak kemudian terdengar Sekar Mirah itu merintih perlahan-lahan. Tubuhnya memang terasa sakit di semua sendi-sendinya.
Agung Sedayu menjadi semakin berpengharapan. Meskipun Sekar Mirah kemudian merintih perlahan-lahan, tetapi dengan demikian pertanda bahwa kesadaran Sekar Mirah telah mulai tumbuh kembali setelah beberapa saat ia menjadi pingsan.
"Mirah" panggil Agung Sedayu
Sekar Mirah mendengar panggilan itu. Dengan menahan sakit di seluruh tubuhnya, iapun berusaha membuka matanya. Mula-mula yang nampak padanya tidak lebih dari bayangan yang sangat kabur. Namun kemudian ia mulai melihat bentuk yang hitam seolah-olah dalam keremangan malam.
"Mirah" sekali lagi Agung Sedayu memanggil. Suara itu menjadi semakin jelas bagi Sekar Mirah. Meskipun ia tidak melihat dengan jelas ujud Agung Sedayu, tetapi Sekar Mirah mengenal dengan pasti, bahwa suara itu adalah suara Agung Sedayu.
"Kakang" desis Sekar Mirah.
"Bagaimana dengan keadaanmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku terluka di dalam kakang" jawab Sekar Mirah
"Kau sudah minum obat, meskipun baru sedikit sekali Mirah" jawab Agung Sedayu, "aku berhasil menitikkan obat itu lewat kerongkongan."
"O" Sekar Mirah berdesis.
"Sekarang, sebaiknya kau minum lagi meskipun hanya sedikit sekali" berkata Agung Sedayu pula.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu menitikkan obat di bibirnya, maka iapun berusaha untuk menelannya.
Obat itu memang berpengaruh atas luka-luka di dalam tubuh Sekar Mirah. Obat itu dapat mengurangi rasa sakit, tetapi juga dapat membantu memperkuat daya tahan tubuhnya.
"Beristirahatlah sebaik-baiknya Sekar Mirah" berkata Agung Sedayu, "kau aman disini. Kita berada di luar arena."
"Lalu bagaimana dengan orang yang licik itu?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku sudah menyelesaikannya Sekar Mirah" jawab Agung Sedayu.
"O" Sekar Mirah berusaha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata dadanya masih terasa sakit. Meskipun demikian perasaan sakit di seluruh tubuhnya sudah menjadi jauh berkurang.
"Beristirahatlah. Jangan hiraukan lagi pertempuran yang sudah hampir selesai itu" berkata Agung Sedayu.
"Kakang" desis Sekar Mirah jika kau masih harus berada di medan, tinggalkan aku. Aku tidak apa-apa."
"Biarlah anak-anak menyelesaikan yang tersisa Sekar Mirah" berkata Agung Sedayu.
"Tetapi korban akan menjadi terlalu banyak. Jika kau berada di medan kakang, mungkin kau akan dapat mengurangi korban. Bukan saja jumlah korban yang jatuh, tetapi kau akan dapat mempercepat penyelesaian.
Agung Sedayu merenungi kata-kata Sekar Mirah. Sementara itu, pandangan mata Sekar Mirah menjadi semakin jelas. la mulai melihat ujud Agung Sedayu. Langitpun rasa-rasanya menjadi semakin cerah.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya. Dilihatnya matahari yang semakin rendah diatas bukit. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan pendapat Sekar Mirah.
"Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah" bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.
Sekar Mirah seakan-akan melihat karagu-raguan di dalam hati suaminya. Karena itu, maka iapun berkata pula. Tinggalkan aku kakang. Aku tidak apa-apa.
Tetapi tubuh Sekar Mirah masih sangat lemah. Ia mengalami luka di tubuhnya dan luka di dalam. Karena itu, sebenarnyalah bahwa keadaan Sekar Mirah itu cukup gawat.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang memiliki jiwa seorang prajurit. Karena itu, ia melihat kepentingan seluruh pasukan melampaui kentingannya sendiri.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah memanggil seorang anak muda Tanah Perdikan yang berada tidak terlalu jauh dari padanya.
"Panggil kawan yang dapat melepaskan diri dari pertempuran untuk menjaga Sekar Mirah. Bukankah keadaan kita menjadi lebih baik?" bertanya Agung Sedayu. "Aku akan melihat medan."
"Ya" jawab anak muda itu, "pasukan khusus Mataram dan pasukan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah berhasil mendesak lawan dan mengurangi jumlah mereka. Tetapi mereka masih tetap mengadakan perlawanan."
"Apakah mereka tahu bahwa kedua pemimpin mereka sudah mati?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu sudah jawab anak muda itu" bukankah anak-anak Tanah Perdikan bersorak ketika mereka terbunuh dan demikian pula lawanmu yang memiliki ilmu yang luar biasa itu."
"Aku memang mendengar sorak itu" jawab Agung Sedayu, "tetapi aku justru tidak mendengar sorak itu ketika lawanku jatuh terjerembab karena perhatianku terpusat kepada Sekar Mirah."
"Orang-orang liar itu sudah mengetahui. .Agaknya pengaruhnya memang besar sekali. Mereka semakin terdesak, dan perlawanan merekapun menjadi tidak berarti lagi. Sebentar lagi pasukan mereka tentu akan pecah. Mudah-mudahan mereka menyerah dan tidak berusaha melarikan diri."
"Bagaimana jika mereka melarikan diri?" bertanya Agung Sedayu"
"Senapati pasukan khusus itu telah membuat perhitungan-perhitungan. Sebagian di antara mereka justru berada di ujung sayap. Mereka harus memotong jika ada gerakan mengundurkan diri. Meskipun tentu tidak akan mungkin dapat dijaring semuanya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika demikian aku tidak perlu lagi pergi ke arena. Sebentar lagi pertempuran itu memang sudah akan selesai."
"Ya. Sebentar lagi tentu akan selesai. Nampaknya di induk pasukan pun, kekuatan lawan tidak akan berarti lagi sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana." berkata anak muda itu.
Dengan, demikian maka Agung Sedayu tidak memerlukan lagi ampat orang yang harus menjaga Sekar Mirah. la sendiri akan menungguinya dan melihat perkembangannya setelah ia memberikan obat kepadanya. Sementara itu, medan perang pun telah banyak sekali berubah. Keseimbangan diantara kedua belah pihak telah jauh bergeser, sehingga akhirnya, maka seperti yang sudah diduga, para pengikut Ki Linduk yang kehilangan kendali itu pun tanpa aba-aba, telah saling berlarian mencari hidup masing-masing, sebagaimana sering mereka lakukan, apabila mereka gagal melakukan kejahatan.
Karena itu, maka sejenak kemudian, telah terjadi kejar-mengejar antara para pengikut Ki Linduk dengan para prajurit Mataram bersama-sama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata tidak hanya di sayap yang telah kehilangan pimpinannya saja itulah yang menjadi kacau. Tetapi di induk pasukan pun telah terjadi hal yang serupa. Para prajurit yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata telah kehilangan sifat-sifat keprajuritan mereka:, setelah mereka mengalami satu kehidupan yang berat di sepanjang perjalanan mereka sejak mereka meninggalkan Pajang, menyusuri daerah yang sulit dan keras. Menghadapi keadaan yang kadang-kadang sulit untuk dimengerti. Semuanya itu berpengaruh atas sikap dan cara hidup mereka. Perlahan-lahan mereka melepaskan sifat sifat keprajuritan mereka dan dihinggapi oleh sifat-sifat yang tidak mereka mengerti sendiri.
Kematian Ki Tumenggung Purbarana benar-benar telah menghancurkan harapan mereka untuk mencapai satu tujuan yang selama ini mereka tempuh dengan perjalanan yang berat dan keras. Sehingga karena itu, maka sebagian mereka telah benar-benar kehilangan pegangan.
Beberapa orang Senapati masih tetap dalam sikap mereka. Namun ketika mereka berteriak-teriak memberikan aba-aba, mapa para prajurit yang menjadi pendukung mereka selama ini telah kehilangan diri.
Karena itulah, maka para Senopati tidak lagi mampu mengendalikan prajurit-prajurit para pengikut Ki Tumenggung yang tidak lagi mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Sebagian besar dari mreka telah dipengaruhi oleh keadaan. Ketika mereka melihat orang-orang Ki Linduk melarikan diri, maka merekapun telah mengikut pula.
Mereka berlari bercerai berai meninggalkan medan. Dengan kebingungan mereka mendaki bukit berbatu padas. Satu dua kehilangan keseimbangan dan bahkan jatuh dilereng bukit menghantam batu-batu padas yang runcing.
Namun dalam pada itu, dalam keadaan yang kisruh, selagi para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berusaha mengejar lawan mereka yang melarikan diri, maka di satu sayap yang lain, keadaannya agak berbeda. Meskipun sebagian dari mereka yang berada di sayap itu juga telah melarikan diri, namun masih terjadi satu benturan ilmu yang sangat dahsyat. Kiai Jayaraga masih bertempur melawan Ki Punta Gembong dengan cara yang tidak banyak dimengerti oleh orang lain.
Keduanya agaknya saling menolak, tetapi pada tempat masing-masing yang dipisahkan oleh jarak. Keduanya bertahan dan berusaha untuk mendorong lawannya sehingga kaki-kaki mereka telah mulai membenam kedalam tanah.
Namun dalam keadaan terakhir, maka Kiai Jayaraga telah mengerahkan segenap kekuatan yang dapat diserapnya. Api, air, udara dan dengan mantap bertahan dengan kekuatan yang dapat diserapnya dari bumi.
Meskipun Punto Gembong mampu juga melontarkan serangan hawa panas, tetapi ternyata Kiai Jayaraga memiliki beberapa kelebihan. Dalam keadaan yang semakin berat, dan wajah-wajah mereka menjadi semakin pucat sementara pada sentuhan kaki mereka yang membenam kedalam bumi nampak mengepulkan asap, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Yang kemudian seakan-akan rnenyerang lawannya bukan sekedar kekuatan dorongan ilmunya, tetapi panasnya api dan uap air yang mendidih telah melanda Punta Gembong.
"Gila" Punta Gembong mengumpat. la sudah merasa betapa beratnya tekanan ilmu lawannya. Bahkan tiba-tiba saja pada tanah tempat ia berpijak seakan-akan telah terjadi ledakan yang mengejutkan.
Terasa ilmu Kiai Jayaraga itu semakin menyakiti tubuhnya. Ledakkan itu terasa bagaikan mengoyak kulitnya sementara udara yang panas menghembusnya semakin keras. Bahkan kemudian seakan-akan angin prahara telah mendengar dengan sangat dahsyatnya.
Ki Punta Gembong adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, ia pun dengan tepat mengetahui, bahwa lawannya memiliki ilmu yang tidak dapat dilawannya.
Namun demikian, ternyata bahwa Ki Punta Gembong bukan seorang pengecut. la tetap bertahan dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya, meskipun ia menyadari, bahwa ia tidak akan mampu bertahan melawan ilmu lawannya itu.
Tetapi Ki Punta Gembong tidak akan dapat mengambil cara lain. Jika ia melepaskan diri dari benturan kekuatan itu, dan berusaha menghindar, juga menghindari ledakan-ledakan yang terjadi dibawah kakinya, maka ia akan sekedar menjadi sasaran tanpa dapat menyerang sama sekali. Dan ia pun akan menjadi semakin lemah dan mati dalam kejaran ilmu lawannya. Tetapi dengan keadaan sebagaimana dilakukan, maka ia pun telah mampu menyakiti lawannya meskipun ia sendiri pada akhirnya akan kehilangan kemampuan untuk melawannya.
Dengan demikian, maka sesaat Punta Gembong menghentakkan ilmunya. Tangannya bagaikan mendorong arah Kiai Jayaraga untuk memberikan tekanan pada lontaran ilmunya.
Terasa sesuatu menekan di dada Kiai Jayaraga disamping perasaan panas yang menyengat. Karena itu, maka Kiai Jayaraga itupun menyeringai menahan sakit.
Ki. Punto Gembong, berusaha untuk memeras segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya. Namun ternyata bahwa sisa kekuatan dan kemampuannya memang sangat terbatas.
Karena itu, Kiai Jayaraga yang kemudian dengan menghentakkan ilmunya sebagaimana dilakukan oleh Ki Punta Gembong, menyerang lawannya dengan segala macam kekuatan yg terserap dalam ilmunya itu, maka berakhirlah pertempuran yang dahsyat itu. Punta Gembong yang bertahan dengan sisa kekuatannya, ternyata tidak mampu melawan hentakkan kekuatan ilmu Kiai Jayaraga. Karena itu, maka dengan segenap kemarahan, dendam dan kebencian, Punta Gembong pun kemudian jatuh tertelungkup ditanah. Dari sela sela bibirnya mengalir darah yang merah kehitaman, sementara tubuhnya diwarnai dengan noda-noda yang kemerah biruan bagaikan tersentuh api.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang telah mengerahkan segenap kekuatan ilmunya pun mengalami kesulitan didalam dirinya. Pernafasannya menjadi sesak dan darahnya bagaikan tersendat sendat.
Karena itu, demikian ia melihat lawannya jatuh tertelungkup, maka rasa-rasanya semua kekuatan yang ada di dalam dirinya telah tercurah habis.
Dengan demikian maka tiba-tiba saja Kiai Jayaraga itupun terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia berusaha untuk mempertahankan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian, pengikut Warak Ireng yang melihatnya, berusaha mempergunakan kesempatan itu. Kematian Punta Gembong telah menumbuhkan kemarahan yang tiada taranya.
Dengan serta merta maka salah seorang dari mereka telah meloncat berlari dengan tombak merunduk, siap untuk menusuk tubuh Ki Jayaraga yang lemah.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Anak-anak Tanah Perdikan Menoreh tidak membiarkan kecurangan itu terjadi. Karena itu, maka merekapun telah berlari lari pula menyongsong para pengikut Warak Ireng itu.
Dengan demikian, maka arena yang semula tersibak karena kedua belah pihak saling menjauh itu, tiba tiba telah dipenuhi oleh debu yang mengepul. Di bisingkan oleh teriakan-teriakan dan juga kemudian jerit kesakitan.
Ki Gede yang. melihat keadaan Ki Jayaraga itu pun segera mendekatinya. Dibantunya Kiai Jeyaraga itu menepi. Dan kemudian duduk bersandar sebatang pohon.
"Bagaimana Kiai?" bertanya Ki Gede.
"Punta Gembong agaknya telah berhasil melukai bagian dalam tubuhku." jawab Kiai Jayaraga.
"Tetapi Kiai telah membunuhnya" berkata Ki Gede kemudian.
"Apakah orang itu mati?" bertanya Kiai Jayaraga.
"Aku beium melihat dengan teliti Kiai" jawab Ki Gede "tetapi ia tertelungkup dan tidak bergerak. Beberapa pengikutnya sedang berusaha menyingkirkannya dari arena. Tetapi keadaannya agaknya tidak lagi dapat diharapkan.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Ki Gede, aku mohon kesempatan uuntuk memperbaiki perbaiki keadaanku yang sulit ini."
"Silahkan Kiai. Aku akan berada disini." jawab Ki Gede.
"Sebenarnya tidak perlu Ki Gede sendiri. Mungkin pertempuran itu memerlukan Ki Gede." jawab Kiai Jayaraga.
"Tidak Kiai" jawab Ki Gede, "pertempuran itu sudah hampir selesai. Sebagian dari mereka telah melarikan diri. Meskipun ada juga satu dua, orang yang setia dan tidak beranjak dari pertempuran selama Warak Ireng masih bertempur, tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak.
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian katanya, "Aku mohon dua atau tiga orang berada disini Ki Gede, munggkin untuk menghalau lalat yang hinggap ditubuhku. Tetapi agaknya Glagah Putih memerlukan Ki Gede menungguinya untuk beberapa saat.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia hampir saja lupa terhadap Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, "Baiklah. Aku akan menengoknya."
Demikianlah, maka Ki Gede pun telah memanggil tiga orang pengawal anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dipercayainya. Lalu katanya, "Kau disini. Jaga Kiai Jayaraga yang akan memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki luka-luka didalam tubuhnya."
Sejenak kemudian Ki Gede pun meninggalkan Kiai. Jayaraga yang duduk dengan menyilangkan tangannya di dadanya. Matanya dipejamkan, sedangkan kepalanya pun menunduk dalam sikap mapan. Dengan dasar ilmunya, maka Kiai Jayaraga pun mengatur jalur pernafasannya yang terganggu, kemudian mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk melawan luka didalam dirinya.
Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian memasuki arena pertempuran yang sudah tidak berbentuk lagi. Para pengikut Warak Ireng tidak lagi bertahan terlalu lama. Mereka pun telah kehilangan gairah sama sekali untuk bertempur setelah Punta Gembong terbunuh di medan melawan Kiai Jayaraga.
Karena itu, maka sebagian dari para prajurit Mataram dan anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh sedang berusaha mengurung orang orang yang berusaha untuk melarikan diri. Namun agaknya mereka mengalami kesulitan. Pepohonan di lereng bukit dan tanaman keras di batas pategalan yang berpetak-petak, memberikan kesempatan kepada para pengikut Warak Ireng untuk melarikan diri sebagaimana kawan kawan mereka di induk pasukan dan di sayap yang lain.
Namun dalam pada itu, ternyata Warak Ireng sendiri masih juga bertempur melawan Glagah Putih. Ketika sekelompok anak anak muda akan mencampuri pertempuran itu, Glagah Putih telah berteriak, "Jangan ganggu aku."
Anak-anak muda itupun termangu-mangu Tetapi merekapun telah bergeser surut.-
Dengan demikian maka tidak seorang pun yang mengganggu pertempuran antara Glagah Putih dan Warak Ireng. Keduanya telah sampai pada puncak kemampuan ilmu masing-masing.
Sementara itu, pertempuran di seluruh medan benar-benar sudah hampir selesai. Ternyata selain yang berhasil melarikan diri, para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan dapat juga menawan sebagian di antara mereka.
Dengan demikian, maka para tawanan itu pun kemudian ditempatkan di satu tempat yang mudah mendapat pengawasan. Mereka diperintahkan untuk duduk di tanah setelah senjata mereka dikumpulkan. Sementara itu, para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan mengawasi dengan penuh kesiagaan di sekeliling mereka dengan senjata teracu.
Namun dalam pada itu, Ki Gede dengan jantung yang berdebaran menunggui Glagah Putih sedang bertempur.
Bahkan kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah hadir pula dari induk pasukan yang sudah kehilangan lawan.
"Kenapa mereka tidak dihentikan?" bertanya Ki Lurah.
"Glagah Putih menghendaki demikian" jawab Ki Gede.
"Kita tidak perlu menuruti keinginan seorang demi seorang di dalam pertempuran ini. Ki Gede dapat menjatuhkan perintah sebagai pimpinan disayap ini. Atau aku dapat juga memerintahkan mereka untuk berhenti bertempur dan memerintahkan lawan Glagah Putih itu menyerah." berkata Ki Lurah.
"Glagah Putih menghendaki pertempuran itu selesai dengan tuntas " jawab Ki Gede.
"Kita akan kehilangan waktu" berkata Ki Lurah, "aku akan memerintahkan orang itu menyerah atau membunuhnya sama sekali."
"Glagah Putih akan kecewa" jawab Ki Gede.
"Aku tidak peduli. Kita masih mempunyai banyak tugas. Kita masih harus mengumpulkan kawan-kawan kita yang terluka. Bahkan lawan-lawan kita. Kita harus mengumpulkan pula mereka yang gugur dan kemudian membawa mereka kembali ke barak atau ke banjar-banjar di Tanah Perdikan. Kita masih harus menyelenggarakan mayat lawan-lawan kita yang terbunuh dan kita pun masih harus mengurusi tawanan. Sementara itu kita hanya menonton saja di sini tanpa berbuat apa-apa." berkata Ki Lurah.
"Ki Lurah" berkata Ki Gede, "silahkan. Ki Lurah dapat memerintahkan pasukan Ki Lurah untuk mulai dengan tugas-tugas mereka. Akupun akan memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan hal yang sama tanpa mengganggu Glagah Putih yang sedang bertempur untuk menjajagi tingkat kemampuannya. Kesempatan seperti ini agaknya memang penting bagi Glagah Putih. Karena dengan demikian ia benar-benar mendapatkan satu pengalaman yang berharga."
"Tetapi bagaimana kalau anak itu mati?" bertanya Ki Lurah.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Memang hal itu mungkin sekali terjadi. Tetapi kita dapat menilai kemampuan mereka berdua. Ki Lurah. Bukankah kita tidak menganggap bahwa Glagah Putih berada dibawah lawannya?"
"Tetapi kemungkinan yang pahit itu selalu ada." sahut Ki Lurah, "sementara ini langit sudah menjadi semakin suram. Matahari menjadi semakin rendah. Sebentar lagi, senja akan turun, sementara kita masih harus melakukan banyak sekali tugas."
"Marilah" berkata Ki Gede, "kita akan melakukan tugas-tugas itu sebaik-baiknya tanpa mengganggu pertempuran ini"
Ki Lurah tidak menjawab. Diperhatikannya pertempuran antara Glegah Putih dan Warak Ireng. Menurut pengamatan Ki Lurah, Glagah Putih yang muda itu memang memiliki beberapa kesempatan yang lebih baik dari lawannya, setelah secara jiwani Glagah Putih meyakini dirinya sendiri, serta menilai lawannya yang mempunyai bekal ilmu yang lain dari ilmunya sendiri, sehingga Glagah Putih tidak terlalu banyak berusaha menebak langkah-langkah yang akan diambil oleh lawannya. Tetapi dengan cermat ia mengikuti setiap gerakan dan dengan cepat mengambil keputusan untuk menentukan sikap.
Ki Lurah kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun mengagumi kemampuan Glagah Putih. Anak yang masih sangat muda, namun telah memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi lawannya yang garang itu.
Ki Lurah yang mengetahui bahwa Glagah Putih telah berguru kepada Kiai Jayaraga setelah ia menyadap ilmu yang temurun dari Ki Sadewa dan ayahnya atas bimbingan Agung Sedayu, akhirnya berkata, "Baiklah. Biarlah Glagah Putih menemukan kepercayaan kepada dirinya bahwa ia secara pribadi dapat mengatasi lawannya tanpa memerlukan bantuan orang lain."
Dengan demikian, maka Ki Lurah pun telah memerintahkan para perwiranya untuk mengatur penyelesaian dari pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu. Mereka masih mempunyai banyak tugas sementara langit sudah menjadi buram.
Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang, tanpa mendapat perintah telah berusaha mengambil obor dari barak pasukan khusus yang menjadi sasaran pertama serangan pasukan Ki Purbarana. Obor yang kemudian dinyalakannya untuk menerangi bekas arena yang masih diayangi oleh korban yang terbujur lintang. Keluh dan erang mereka yang terluka.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan pun telah terkejut ketika ia mendapat laporan bahwa di sayap yang lain, Sekar Mirah telah terluka di dalam.
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Lurah.
"Sekar Mirah telah mendapatkan serangan yang licik" jawab prajurit yang memberikan laporan itu.
"Bagaimana dengan Agung Sedayu?" bertanya Ki Lurah.
"Agung Sedayu tidak apa-apa." jawab prajurit yang memberikan laporan itu, "ia baru merawat isterinya."
"Bagaimana keadaan Sekar Mirah?" bertanya Ki Lurah pula.
"Nampaknya cukup gawat. Agung Sedayu baru berusaha untuk mengobatinya."
KI Lurah Branjangan pun kemudian dengan tergesa-gesa telah pergi ke arena pertempuran di sayap yang dipimpin oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Dari beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Ki Lurah mendapat petunjuk, bahwa Agung Sedayu telah membawa isterinya ke belakang garis pertempuran.
"Tunjukkan aku dimana mereka" berkata Ki Lurah.
Dengan mengikuti anak muda itu, maka akhirnya Ki Lurah sampai juga kepada Sekar Mirah yang sedang terluka.
"Bagaimana dengan Sekar Mirah" " bertanya Ks Lurah.
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, "Mudah-mudahan ia dapat bertahan. Tetapi agaknya pernafasannya telah dapat diatasinya, sementara peredaran darahnya berjalan wajar."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah. Mudah-mudahan . luka-lukanya tidak berbahaya bagi keselamatannya."
"Aku sudah memberikan obat yang aku dapatkan dari guru" berkata Agung Sedayu.
Ki Lurah pun kemudian berjongkok di samping Sekar Mirah. Di bawah cahaya obor, maka Ki Lurah melihat wajah Sekar Mirah yang pucat. Namun nampaknya seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah sudah mampu mengatasi kesulitan pernafasannya, sementara peredaran darahnya berjalan dengan teratur.
Sekar Mirah membuka matanya ketika ia mendengar suara Ki Lurah Branjangan. Ketika matanya itu terbuka maka dilihatnya wajah Ki Lurah yang tegang.
Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum. Katanya, "Aku tidak apa-apa Ki Lurah."
"Sokurlah" jawab Ki Lurah, "sementara ini beristirahatlah. Pertempuran sudah selesai, meskipun kami masih harus membenahi keadaan. Sebagian dari para penyerang telah dapat kami tawan, sementara yang lain berhasil melarikan diri. Mudah-mudahan dengan demikian persoalan yang timbul karena ulah Tumenggung Purbarana dapat diselesaikan sampai disini."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi nampak ia mengangguk kecil.
Sementara itu, Ki Lurahpun telah minta diri untuk melihat para prajurit yang sedang melakukan tugas mereka. Namun demikian ia masih juga sempat berkata, "Yang masih tidak mau melepaskan lawannya adalah Glagah Putih."
"O" Wajah Agung Sedayu berkerut, "Bagaimana dengan anak itu?"
"la ingin menyelesaikan lawannya secara pribadi. la tidak mau diganggu meskipun anak-anak muda Tanah Perdikan, bahkan Ki Gede Menoreh sudah siap dipinggir arena."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu pula.
"la ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia memiliki ilmu yang memadai" berkata Ki Lurah, "aku sudah mencoba untuk menghentikan pertempuran itu, tetapi Ki Gede tidak setuju. Ki Gede ingin memberikan kesempatan kepada anak itu untuk menilai dirinya serta mendapatkan pengalaman yang akan sangat berharga."
"Tetapi bagaimana jika anak itu tidak berhasil melindungi dirinya sendiri?" desis Agung sedayu dalam nada kecemasan.
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Menurut pengamatanku dan Ki Gede, agaknya Glagah Putih akan dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu."
Tetapi Agung Sedayu agaknya masih tetap cemas tentang anak muda itu. Namun demikian, Agung Sedayu rasa-rasanya terikat untuk tetap berada di tempat, karena keadaan Sekar Mirah.
Sekar Mirah yang terluka itu seakan-akan dapat mengerti kebimbangan dihati Agung Sedayu. Bahkan sebenarnya Sekar Mirah sendiri juga merasa cemas akan keadaan Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, "Kakang Agung Sedayu. Kakang dapat meninggalkan aku. Agaknya arena sudah menjadi tenang dan biarlah anak-anak muda Tanah Perdikan mengawani aku disini. Rasa-rasanya akupun menjadi cemas tentang anak yang bengal itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah Mirah. Aku akan melihat apa yang dilakukan Glagah Putih. Malam menjadi semakin gelap, dan apakah ia masih tetap dapat menjaga ketahanan dirinya menghadapi orang yang mungkin telah cukup berpengalaman."
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah rneninggalkan Sekar Mirah yang ditunggui oleh beberapa orang anak muda Tanah Perdikan. Sementara Ki Lurah Branjangan pun telah kembali ke dalam tugasnya bersama para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, untuk membersihkan medan yang telah menjadi sepi itu.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih ternyata masih bertempur dengan sengitnya. Warak Ireng Yang merasa dirinya memiliki pengalaman yang luas dalam petualangan olah kanuragan, merasa dirinya direndahkan oleh anak muda yang berternpur bagaikan burung sikatan itu.
Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan. Glagah Putih memang memiliki kelebihan daripadanya.
Dengan demikian maka Warak Ireng itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan kemudian ketika ujung pedang Glagah Putih menyentuh kulitnya, maka darah pun telah meleleh bersama keringatnya yang bagaikan terperas dari tubuhnya.
Warak Ireng berteriak mengumpat-umpat. Meskipun ..namun Warak ia murid terdekat dari Punta Gembong, namun Warak Ireng masih belum mampu melepaskan ilmu sebagaimana dilakukan oleh gurunya. Warak Ireng yang banyak bertualang itu, kurang memperhatikan perkembangan ilmunya, apalagi ketika ia merasa bahwa ilmunya telah mencukupi untuk melakukan pekerjaannya yang garang itu. Sehingga ketika ia mulai dengan ilmu yang bertataran tinggi, maka perkembangannya menjadi sangat lamban.
Dalam keadaan yang sulit itu, baru ia merasal menyesal, bahwa ia kurang menyediakan waktu untuk menekuni ilmunya, sehingga ia mengalami kesulitan berhadapan dengan kanak-kanak yang baru muiai pandai berjalan.
Ketika Agung Sedayu kemudian sampai ke pinggir arena pertempuran yang tersisa itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.
Dengan dada yang berdebaran, Agung Sedayu kemudian menyaksikan bagaimana Glagah Putih bertempur melawan Warak Ireng yang garang dan memiliki pengalaman yang sangat luas.
Diluar sadarnya, Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Glagah Putih memiliki ilmu dan kemampuan yang sanggup melawan kemampuan dan ilmu Warak Ireng. Bahkan kemudian ia pun melihat sebagaimana Ki Gede dan sebelumnya Ki Lurah Branjangan, bahwa Glagah Putih akan dapat menyelesaikan tugasnya.
Dari pertempuran itu, Agung Sedayu ternyata menangkap sesuatu yang lebih dalam dari yang dapat ditangkap oleh Ki Gede atau Ki Lurah Branjangan.
Meskipun dalam ujud yang kasat mata, Glagah Putih memang mampu rnengimbangi kemampuan lawannya, namun Agung Sedayu menangkap getaran kekuatan Glagah Putih yang memancar dari ilmunya lewat ujud wadag yang dipergunakan. Ternyata getar senjatanya bagaikan mengalirkan arus yang kuat untuk mempengaruhi ketahanan tubuh lawannya. Yang tidak disadari oleh Warak Ireng adalah, bahwa dalam benturan dan sentuhan senjata, maka rasa-rasanya tangan Warak Ireng menjadi gemetar.
Hal itu bukan saja disebabkan karena kekuatan tenaga cadangan Glagah Putih, tetapi seakan-akan ada kekuatan yang merambat lewat benturan senjata keduanya, kemudian kekuatan itu bagaikan menusuk kedalam tubuh lawannya lewat genggaman senjatanya itu.
"Luar biasa" desis Agung Sedayu.
Ia menyadari, bahwa Glagah Putih kecuali menyadap ilmu dari dirinya dengan alas cabang perguruan Ki Sadewa, maka Glagah Putih juga murid Kiai Jayaraga yang perkasa.
"Jika ia mampu menampung kemampuan ilmu Kiai Jayaraga, maka anak ini akan dapat menyalurkan kekuatan yang dapat disadapnya dari api, air, angin dan bumi lewat sentuhan-sentuhan kewadagan." berkata Agung Sedayu di dalam hati. Sehingga dengan demikian menurut pengamatan Agung Sedayu, meskipun Glagah Putih tidak memiliki ilmu kebal, namun serangan-serangan lawannya yang menyentuhnya, jika tidak melukainya, justru akan merupakan serangan balik bagi lawannya, karena kekuatan ilmu Glagah Putih yang merambat lewat sentuhan itu.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin meyakinkan, bahwa Glagah Putih yang rnuda itu akan mampu memenangkan pertempuran. Setiap sentuhan berarti penyusutan daya tahan lawannya. Karena itulah, maka akhirnya tenaga Warak Ireng itu pun bagaikan terperas habis.
Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu pun telah berkata lantang mendahului Glagah Putih, "Ki Sanak. Apakah kau tidak akan menyerah?"
Glagah Putih sendiri terkejut mendengar tawaran itu. Tetapi karena suara itu adalah suara Agung Sedayu, maka Glagah Putih sama sekali tidak menyahut.
Namun dalam pada itu, Warak Irenglah yang menjawab, "Anak Iblis. Kau kira aku cucurut yang dapat kalian takut-takuti" Aku bunuh kalian."
Agung Sedayu melangkah selangkah maju. Dengan nada dalam ia berkata, "Jangan berpura-pura. Aku tahu bahwa kau berilmu tinggi, sehingga dengan demikian, maka kau tahu apa yang sedang kau hadapi sekarang."
"Tutup mulutmu" bentak Warak Ireng.
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia memandang keliling, dilihatnya beberapa orang berdiri termangu-mangu. Ketika ia memandang Ki Gede yang kemudian kembali memasuki arena setelah memberikan beberapa perintah terhadap anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk membantu para prajurit dari pasukan khusus Mataram, maka Ki Gede itupun mendekatinya.
"Glagah Putih juga tidak ingin pertempuran itu terputus. Ki Lurah juga berusaha untuk menghentikannya. Tetapi pertempuran ini masih tetap berlangsung" berkata Ki Gede. Lalu, "Aku kira, pertempuran ini akan bermanfaat bagi Glagah ia akan mendapatkan satu mengalahkan lawannya, maka ia akan mendapatkan satu pengalaman yang sangat berarti bagi kepercayaannya terhadap diri sendiri"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Tetapi aku juga ingin mengajarkan padanya agar ia memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengakui kekalahannya. Jika hal itu tidak mungkin maka apaboleh buat. Sebagaimana aku sendiri, bagaimanapun juga aku berusaha menghindarkan diri dari pembunuh. namun ternyata bahwa aku memang seorang pembunuh"
Ki Gede tidak menjawab. Sementara itu, Agung Sedayu bergeser semakin dekat. Sekali lagi ia berkata kepada lawan Glagah Putih "Ki Sanak, menyerahlah Kau lihat satu kenyataan tentang dirimu. Jangan berpura-pura dan jangan keras kepala."
Warak Ireng menggeram. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Agung 5edayu yang berdiri di pinggir arena. Namun Agung Sedayu sudah memperhitungkannya bahwa kemungkinan yang demikian dapat terjadi. Karena itu, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, sehingga ketika senjata Warak Ireng menyentuhnya, maka senjata itu sama sekali tidak melukainya. Justru tanngan Warak Ireng sendirilah menjadi bagaikan terbakar oleh panasnya bara api tempurung kelapa.
Dalam sekejap Warak Ireng meloncat surut. Sementara Glagah Putih terkejut juga melihat serangan yang tiba-tiba dan diluar dugaan. Namun Glagah Putih mengerti, bahwa yang terjadi adalah benturan senjata lawannya dengan ilmu kebal Agung Sedayu.
Sejenak Warak Ireng termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa orang yang baru datang dan sama sekali tidak dapat dilukainya itu tentu memiliki ilmu kebal. Bahkan hampir diluar sadarnya Warak Ireng itu bertanya, "Siapa kau?"
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, "Aku Agung Sedayu."
"Agung Sedayu" Warak Ireng itu mengulang. Nama itu pernah didengarnya, dan ternyata telah menggetarkan hatinya.
Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Glagah Putih pun seakan-akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengagumi seorang yang bernama Agung Sedayu itu.
Dalam pada itu Agung Sedayupun menjawab "Ya, Agung Sedayu."
Warak Ireng menjadi tegang. la kemudian menyadari, bahwa orang itulah yang pernah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru.
Untuk sesaat Warak Ireng termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, ia sudah dikepung oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Dibawah cahaya obor ia melihat wajah-wajah yang tegang dan senjata yang masih ada di genggaman.
"Ki Sanak" berkata Agung Sedayu kemudian sambil melangkah mendekat, "apakah artinya perlawanan Ki Sanak kemudian. Seharusnya Ki Sanak menyadari, bahwa Ki Sanak tidak akan menang melawan Glagah Putih. Apalagi Ki Sanak sudah dikepung oleh anak-anak muda Tanah perdikan Menoreh. Disini ada pula Ki Gede yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Jadi apakah sebenarnya arti perlawanan Ki Sanak itu" Apakah Ki Sanak memang dengan sengaja ingin membunuh diri?"
Warak Ireng menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. "Karena itu menyerahlah" berkata Agung Sedayu.
"Kau tidak mempunyai kawan seorang pun lagi." berkata Ki Gede kemudian. "Lawan Kiai Jayaraga yang disebutnya Punta Gembong itu pun telah mati."
Warak Ireng pun menyadari, bahwa gurunya memang suudah terbunuh di medan itu. Karena itu, sebenarnyalah ia memang tinggal sendiri. Apalagi seperti dikatakah oleh Agung Sedayu, ia memang tidak akan dapat mengingkari satu kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak ingusan yang menjadi lawannya itu. Tenaganya sudah menjadi jauh susut, sementara anak itu masih bertempur dengan.garangnya. Ujung pedangnya yang sudah menyentuhnya, telah menitikkan darahnya di bumi Menoreh.
Sejenak Warak Ireng termangu-mangu. Ketika terpandang olehnya Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan wajah Glagah Putih di bawah cahaya obor yang tidak terlalu terang, maka Warak Ireng pun kemudian tidak mempunyai pilihan lain.
Dilemparkannya senjatanya sambil "Aku menyerah. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya aku akan dihukum mati, maka aku masih mendapat kesempatan untuk melihat cahaya matahari barang satu dua hari lagi daripada aku harus mati sekarang di cincang anak-anak Tanah Perdikan Menoreh."
-Satu keputusan yang bijaksana" berkata Agung Sedayu, "dengan demikian maka pertempuran ini benar-benar telah selesai. Sebenarnyalah Ki Tumenggung Purbarana dan kedua orang pemimpin di sayap yang lainpun telah terbunuh pula"
Warak Ireng tidak menjawab. la pun kemudian membiarkan tangannya diikat dengan janget yang disiapkan oleh seorang Senapati dari pasukan khusus Mataram yang kemudian akan membawa Warak Ireng itu ke baraknya dengan pengawalan yang lebih kuat dari tawanan-tawanan yang lain.
Glagah Putih memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebenarnya ia ingin bertempur sampai dengan satu keyakinan bahwa ia menang.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang mengerti perasaan anak itu mendekatinya sambil berkata, "Kau tinggal memerlukan waktu yang sangat pedek untuk menyelesaikannya."
"Tetapi kakang menghentikan pertempuran itu " berkata Glagah Putih.
"Tidak ada gunanya untuk memaksanya bertempur sampai mati" jawab Agung Sedayu, "jika ia menyerah, mungkin tenaganya akan dapat dimanfaatkan di kemudian hari."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, ia sudah mendapat sedikit perbandingan tentang ilmu yang dimilikinya. Meskipun mungkin Warak Ireng belum termasuk orang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi, namun ia sudah dapat menempatkan dirinya pada satu tataran yang tidak terlalu rendah, karena Warak Ireng adalah seorang pemimpin padepokan yang disegani.
Dengan demikian, maka para pemimpin Tanah Perdikan menoreh itu pun kemudian sempat membenahi diri. Agung Sedayu segera kembali kepada isterinya, sementara Ki Gede telah menemui Kiai Jayaraga yang telah berhasil mengatasi kesulitan didalam dirinya, sehingga ketika Ki Gede mendekatinya, maka Kiai Jayaraga telah berdiri sambil tersenyum.
"Bagai mana Kiai?" bertanya Ki Gede.
"Aku sudah pulih kembali. Dimana Glagah Putih" " bertanya Kiai Jayaraga.
Ki Gede mengedarkan pendangan matanya. Namun kemudian katanya. "Mungkin ia pergi bersama Agung Sedayu. Sekar Mirah ternyata juga terluka."
"Sekar Mirah?" bertanya Kiai Jayaraga.
"Ya. Tetapi Agung Sedayu sudah mengatasinya dengan obat yang didapatnya dari gurunya." jawab Ki Gede.
"Marilah, kita akan melibatnya" berkata Kiai Jayaraga.
Ki Gede pun kemudian bersama Kiai Jayaraga yang sudah hampir pulih telah menyusuri bekas medan yang masih disibukkan oleh para prajurit dan anak-anak muda Tanah perdikan Yang mengumpulkan dan merawat kawan-kawan mereka yang terluka. Beberapa orang yang memang mempunyai tugas pengobatan pun telah menjadi sangat sibuk. Sedangkan yang lain telah mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang gugur Sedangkan beberapa orang tawanan di bawah pengawalan yang kuat, telah diminta untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka pula.
Ketika kemudian Kiai Jayaraga dan Ki Gede sampai ditempat Sekar Mirah di baringkan, maka Agung Sedayu telah berada di tempat itu pula bersama Glagah Putih. Bahkan ternyata Kiai Bagaswara pun telah berada disitu pula.
Bagaimana dengan Sekar Mirah?" bertanya Ki Gede.
Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum. Katanya, "Keadaanku sudah berangsur baik Ki Gede. Keadaan yang paling sulit telah teratasi."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, " Syukurlah. Tetapi kau harus segera dibawa kembali."
Agung Sedayupun kemudian minta kepada anak-anak muda Tanah Perdikan untuk menyiapkan semacam tandu yang dapat dipergunakan untuk membawa Sekar Mirah pulang kerumahnya.
Dari barak anak-anak.muda itu telah meminjam sebuah lincak. Dengan dua batang bambu yang diikat pada pohon lincak itu, maka jadilah lincak itu sebuah tandu yang sederhana.
Dengan tandu itu, maka Sekar Mirah akan dibawa kembali.
Perlahan-lahan Sekar Mirah telah diangkat dan diletakkan ke atas lincak itu. Beberapa anak muda akan membawanya kembali ke rumah, diikuti oleh Agung Sedayu, Kiai Jayaraga, Kiai Bagaswara dan dengan sedikit pengawalan.
Sementara itu, Ki Gede, Glagah Putih dan dibantu oleh Prastawa telah bekerja keras bersama-sama dengan Ki Lurah untuk membenahi bekas medan pertempuran. Satu pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kesabaran, karena tubuh-tubuh yang parah dan bahkan telah menjadi mayat, bertebaran di daerah yang luas. Bahkan ada di antara mereka yang telah berada jauh di luar arena. Mungkin mereka yang sudah terluka parah dan berusaha untuk menyingkirkan, tetapi karena darah yang mengalir tidak terbendung, maka hidupnya tidak tertolong lagi sehingga tubuhnya terbaring dibalik semak-semak dan belukar.
Dengan demikian maka cahaya obor masih saja hilir mudik di antara pepohonan di pategalan. Bahkan sampai kelereng pegunungan di antara batu batu padas dan pohon pohon perdu. Karena ternyata ada juga satu dua tubuh yang terbaring membeku.
Baru lewat tengah malam pekerjaan mereka dapat diselesaikan, meskipun ternyata masih ada juga satu dua yang terlampaui.
Tawanan yang membantu pekerjaan itupun telah dibawa kebarak dan disatukan kembali dengan kawan kawan mereka yang lain, sementara di dapur beberapa orang juru masak pun bekerja keras untuk menyediakan makan mereka yang bekerja sampai hampir pagi.
Dalam pada itu, maka di rumah Agung Sedayu, Sekar Mirah telah dibaringkan di pembaringannya. Keadaannya memang sudah menjadi bertambah baik. Tetapi ternyata bahwa akibat pukulan badai yang telah membantingnya, benar benar membuat bagian dalarn tubuhnya terluka. Dengan demikian maka Sekar Mirah memerlukan waktu untuk menunggu luka itu benar benar sembuh.
Pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata mempunyai manfaat pula bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun harus ditebus dengan beberapa orang korban. Pertempuran itu telah membuat anak; anak muda Tanah Perdifan Menoreh semakin matang. Mereka telah menjadi pengawal Tanah Perdikan yang memiliki tataran seorang prajurit, meskipun setelah bertempur dengan memeras tenaga dan kernampuan, di esok harinya mereka akan turun kembali kesawah dengan cangkul. Menyusuri parit parit dan membelah kayu bakar dengan parang.
Namun suasana yang tegang masih tetap mencengkam Tanah Perdikan Menoreh di satu dua hari kemudian. Meskipun pertempuran itu terjadi di daerah yang tidak berpenghuni, karena arena pertempuran itu terjadi di pategalan. namun para petani yang memiliki pategalan itu sempat melihat akibat dari pertempuran itu.
"Bukan main" terasa tengkuknya meremang. la membayangkan, anak anak Tanah Perdikan sendiri terlibat dalam pertempuran itu: Sehingga karena itu, maka rasa rasanya benar benar telah terjadi perang di Tanah mereka.
Bahkan ternyata masih juga ada para petani yang membenahi ladang mereka, dikejutkan oleh sesosok mayat yang tertinggal di dalam rimbunnya pohon perdu di sudut pategalan. Sehingga orang itu harus dengan tergesa gesa melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan.
Sementara itu, sebagaimana dikatakan, maka Ki Ge"de tidak membiarkan para petani pemilik pategalan yang menjadi ajang pertempuran itu digelisahkan oleh tanaman mereka yang rusak sehingga mereka tidak akan dapat memetik hasilnya. Karena itu, maka Ki Gede telah memberikan bibit kepada mereka untuk dapat ditanam, bahkan dengan bantuan Ki Lurah Branjangan yang telah melaporkan segala galanya kepada Mataram, dapa memberi sedikit keringanan beaya bagi para petani itu.
Dengan demikian maka pertempuran itu telah menjadi satu peringatan bagi Mataram, bahwa keadaan Mataram yang baru itu masih belum tenang benar. Masih ada gejolak-gejolak kecil atau bahkan pada suatu saat, gejolak yang besar terjadi. Memang Matarampun menyadari bahwa tidak semua orang Pajang dengan serta merta akan dapat menerima kehadiran Mataram, sebagaimana sebagian orang orang Demak juga tidak dengan serta merta menerima Pajang. Bahkan perang besar antara Jipang dan Pajang, rasa-rasanya baru saja kemarin selesai. Sementara itu, sisa sisa kekuatan Majapahit yang Agung dengan membabi buta telah dibayangi oleh nafsu ketamakan yang tidak terkendali, sehingga mendorong mereka untuk berusaha menegakkan kembali ke Agungan itu dengan citra sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Sehingga dengan demikian, maka dua kekuatan yang tersisa dari kebesaran Majapahit yang tercermin dalam ketinggian ilmu kanuragan telah saling berbenturan. Dua kekuatan yang melampaui setiap kekuatan yang ada di Mataram. Bahkan kekuatan yang tersimpan pada orang orang terbesar di Mataram itu sendiri.
Ketika Tanah Perdikan Menoreh membenahi diri, sementara Ki Lurah sibuk mengurusi para tawanan yang sebagian akan dikirim ke Mataram, maka Sekar Mirah mendapat perawatan sebaik-baiknya dari Agung Sedayu sendiri yang mempunyai beberapa jenis obat peninggalan gurunya yang pergi ke Sangkal Putung. Dengan obat itu, Agung Sedayu berusaha untuk dengan cepat menyembuh kan luka di dalam diri Sekar Mirah.
Tetapi ketika Agung Sedayu ingin menyampaikan persoalan itu kepada Kiai Gringsing untuk mempercepat kesembuhannya, maka Sekar Mirah berkata, "Tidak usah kakang. Jangan mengejutkan keluarga Sangkal Putung. Kita akan memberitahukan hal ini justru setelah aku menjadi sembuh benar"
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Ia mengerti jalan pikiran Sekar Mirah. la memang tidak mau mengejutkan ayah dan keluarganya di Sangkal Putung. Tetapi sesuai dengan sifat Sekar Mirah, maka sebenarnyalah bahwa ia tidak ingin keluarganya itu melihat satu titik kelemahan padanya. la tidak mau keluarganya melihat seseorang telah berhasil melukainya, bahkan cukup parah.
Petualangan Dipuri Rajawali 3 Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking Hujan Dan Teduh 2