Hujan Dan Teduh 2
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra Bagian 2
tengah barang yang berserakan.
"Apa itu?" tanya Noval. Bintang diam saja. Cowok itu mendekati Bintang dan ikut melihat-lihat
album yang sebagian besar berisi foto Bintang dengan seragam abu-abu. Sisanya foto Bintang
dengan teman-temannya. "Siapa itu?" Noval menunjuk Daniel yang tertawa lebar di sebelah Bintang di depan whiteboard.
"Temen," Bintang menjawab singkat.
"Bukan mantan?" tanya Noval, karena di album itu hanya laki-laki itu yang berfoto berdua
dengan Bintang. Bintang tak menjawab.
"Kalau yang itu?" Noval menunjuk foto Bintang dengan Kevin yang memakai pakaian formal.
"Itu baru mantan," jawab Bintang.
"Kok masih disimpan?" Noval terlihat marah. Bintang mengeluarkan foto tersebut dari album
dan menyerahkannya pada Noval.
"Buang aja," ujarnya singkat, tak ingin bertengkar sekaligus sebal mengingat kejadian saat ia
diturunkan di jalan. Noval mengambil foto tersebut dan benar-benar membuangnya ke tempat
cucian kotor karena belum ada tempat sampah. Setelah itu, ia kembali berjalan mendekati
Bintang untuk melihat album foto yang masih dipegangnya.
"Ayo liat-liat lagi." Noval mengabaikan tatapan heran Bintang atas sikapnya dan kembali melihat
foto di album berdebu tersebut.
Setelah kedua foto itu, Noval tidak lagi menemukan foto Bintang dengan laki-laki. Sebagian
besar sisa album diisi oleh foto Bintang bersama seorang perempuan.
"Ini siapa" Fotonya banyak amat." Noval menunjuk foto perempuan tersebut. Bintang hanya
tersenyum. Mengelus foto perempuan yang tersenyum ke kamera dengan telunjuknya, penuh
rindu. "Cantik banget ya dia," ujarnya lirih. Noval menatap perempuan dalam foto itu.
Memang cantik, tapi nggak nyambung sama pertanyaan gue, ujarnya dalam hati. Namun, Noval
tidak peduli dan kembali ikut melihat foto-foto lain yang diisi oleh Bintang dan perempuan
tersebut. ***** Dengan helm di tangan kiri, Noval berdiri di belakang Bintang yang sedang membuka kunci
kosannya. Jarang sekali orang lewat di lorong kosan Bintang, sebagian besar penghuni samasama sibuk dan bukan anak muda lagi. Jika kebetulan berpapasan pun mereka tidak terlalu
peduli. Bintang sendiri hanya beberapa kali melihat wajah tetangga-tetangganya. Hanya
penghuni kos kanan-kiri yang ia ketahui namanya.
Bintang yang memang tidak suka keramaian tidak mempersalahkan hal tersebut. Ia justru merasa
beruntung. Tidak ada gosip, tidak ada jam malam, dan tidak ada yang peduli ia pulang dengan
siapa. Sofa kecil yang menempel ke dinding kini menopang tubuh Noval. Dengan mata tajamnya,
diperhatikannya Bintang yang sedang berdiri di depan lemari terbuka, mencari pakaian. Setelah
menarik baju yang akan dipakainya, Bintang bergegas menutup lemari dan berjalan menuju
kamar mandi. Bintang berusaha mengabaikan tatapan Noval, tetapi di ambang pintu kamar
mandi akhirnya ia berhenti, diam sejenak, lalu kembali ke ruangan tempat Noval duduk.
"Apa lagi, sih?" tanyanya kesal. Noval memalingkan mukanya.
"Kan gue bilang, gue nggak suka lo pakai rok," ujar Noval. Bintang memutar matanya dengan
kesal. "Val, ini seragam kerja gue. Gue nggak bisa nawar." Ditunjuknya seragam oranye yang
dipakainya. "Lagian gue kan di belakang counter, nggak ada yang merhatiin."
"Kalau baliknya" Atau perginya" Terus karyawan cowok gimana?" Noval menatapnya. Bintang
hanya mengibaskan tangan dan melengos sambil pergi ke kamar mandi. Dengan sebal,
ditutupnya pintu kamar mandi. Pintu tertutup dengan suara keras.
Selesai menukar seragam kerjanya dengan kaus oblong dan celana training, Bintang duduk di
atas ranjang, bukan di sofa di sebelah Noval, lalu menyalakan televisi. Beberapa kali dicarinya
channel yang tepat, tapi tak ada acara bagus pada pukul sepuluh malam.
"Bintang, gue baru inget. Kapan lo mau ngundurin diri dari klub renang?" tanya Noval. Bintang
menatap Noval dengan heran. Seingatnya, ia tak menyetujui keinginan Noval untuk berhenti dari
klub itu. "Gue kan nggak bilang setuju keluar dari klub renang," jawabnya.
Wajah Noval yang rileks dengan cepat berubah menjadi dingin mendengar jawaban Bintang.
Didekatinya cewek itu yang entah mengapa merasa bulu kuduknya berdiri setiap kali wajah
Noval berubah seperti itu.
"Lo ngerti gue nggak, sih" Gue nggak akan masalahin baju kerja lo lagi, tapi soal klub renang,
gue bener-bener nggak suka," ucap Noval pelan.
"Tapi Val, itu hobi gu..."
"Cari hobi lain," potong Noval.
"Please banget, Val." Bintang memohon, memelas.
Noval diam saja, masih dengan tatapan dinginnya. Titah sang raja sudah final. Ia menggunakan
hak prerogatif yang entah diperoleh dari mana.
"OK, OK. Puas?" sembur Bintang yang kemudian beranjak dari ranjang yang didudukinya, tetapi
tertahan karena pergelangan tangannya dipegang cowok itu. Noval menariknya dengan kasar
sampai ia kembali terduduk.
"Kapan?" tanyanya, masih dengan suara dinginnya.
"Ntar." "Kapan?" tanya Noval dengan suara setengah oktaf lebih rendah tanpa melepas pandangannya
dari Bintang. Sekilas Bintang melihat kilatan di mata Noval yang dingin itu. Kilatan yang serupa
tampak ketika kuku-kuku Noval menancap di mukanya dua minggu lalu.
"Hari Selasa," ujarnya sambil mencoba melepaskan tangannya yang terasa kebas. "Lepasin
tangan gue. Sakit." Wajah Noval yang beberapa detik lalu terlihat kejam tiba-tiba kembali ke asal, seakan terkejut
dengan perilakunya sendiri. Cepat-cepat dilepaskannya cengkeraman dari pergelangan tangan
kekasihnya. Bintang memijat-mijat tangannya yang memerah.
"Sorry." Noval ikut-ikutan memijat pergelangan tangan Bintang dengan wajah bersalah.
"Val..." Bintang bersuara pelan."Apa?" tanya Noval tanpa melihatnya.
Bintang memandang jari-jari Noval yang sedang memijat pergelangan tangannya, berpikir
sejenak untuk memilih kata-katanya.
"Gue takut kalo lo kayak tadi," ujarnya sambil menatap Noval sembunyi-sembunyi. Noval
mengangkat wajahnya dan menatap Bintang dengan hangat, jauh berbeda dengan tatapan
sebelumnya. "Iya, gue nggak akan gitu lagi. Maafin gue, ya." Dipeluknya Bintang dengan penuh penyesalan.
Bintang yang berada dalam pelukan Noval mulai merasa sedikit lega dan rileks.
"Oh ya, lo bilang tato-nya udah jadi. Mana" Gue mau lihat," Pesan dari otak Noval yang
berbentuk getaran bunyi merambat di udara dan menghampiri telinga Bintang. Setelah ditransfer
ke telinganya, dikirim ke otaknya, diproses, dan dikodifikasi, dari pesan yang disampaikan Noval
mendapat respons, 'Aduh, mau apa lagi"' dari otak Bintang tapi tanpa dikoordinasikan dengan
mulutnya. ***** Leher jenjang di depannya putih dan dingin seperti pualam. Diselipkannya rambut panjang hitam
ke belakang telinga pemilik leher pualam tersebut. Dengan embusan napas yang terasa hangat di
telinga, ia berbisik parau, "Jangan ikut klub renang lagi."
Setelah itu, bibirnya tak lagi bicara, sibuk menelusuri leher jenjang itu, meninggalkan jejak-jejak
merah di alur yang ia lewati. Ia berhenti di bahu. Terdapat sebuah gambar kupu-kupu mungil di
sana. "Aah, ide tato itu bagus, kan?" Ia tertawa kecil dan meneruskan apa yang sudah dimulainya.
Kecewa "Yakin mau ngambil PLP semester ini" Ini kan baru semester tujuh." Noval memperhatikan
Bintang yang sedang memegang Kartu Hasil Studi semester enam yang bertaburan huruf A, B,
dan satu C yang membuatnya benar-benar kecewa, mengingat ia selalu mengerjakan tugas di
mata kuliah tersebut. "Yakin, semua mata kuliah udah dikontrak, kok. Cuma mau ngulang mata kuliah yang dapet C
aja," Bintang melipat KRS-nya. Dilihat berapa lama pun, huruf C itu tidak akan berubah.
"PLP kan nggak boleh sambil ngontrak mata kuliah, Bintang. Kecuali skripsi. Kejahatan
akademik tau nggak, sih?" Noval ngotot karena sebenarnya ia juga ingin ikut PLP, tetapi tidak
bisa karena tidak nekat mengambil KKN seperti Bintang di semester sebelumnya.
"Kemarin bisa ngambil KKN, sekarang juga pasti bisa. Biar semester depan tenang bikin skripsi
doang," lanjut Bintang.
"Val, KKN jangan nakal ya." Bintang bergurau melihat Noval diam saja karena tidak dituruti.
Noval hanya mendengus kesal.
Bintang diam sejenak, seperti menghitung-hitung. Seperti mengingat-ingat sesuatu, ia
mengeluarkan handphone dan dengan cepat membuka kalender.
"Val." Bintang tersenyum sendiri. "Sebentar lagi kita dua tahunan," ujarnya pada Noval yang
tidak seperti biasanya sedang bermain game. Entah telinganya dipenuhi oleh musik game atau
pura-pura tidak mendengar, Noval hanya memusatkan fokus untuk meledakkan monster-monster
di layar komputernya tanpa menanggapi Bintang.
***** Pilar yang terdapat di lobi gedung teater di kampusnya dijadikan Bintang sebagai sandaran
ketika ia duduk lesehan di lantai. Tak ada orang yang keluar atau masuk ke dalam gedung
tersebut karena memang sedang tidak ada pertunjukan. Bintang berada di sana bukan untuk
menyaksikan pertunjukan, tetapi menunggu Noval yang pertama kalinya menjadi pemain musik
dalam sebuah pertunjukan teater. Ia bertanya-tanya, apakah rasanya masih akan sama, jika ia
menonton pertunjukan teater yang Noval terlibat di dalamnya"
Cukup lama Bintang menunggu Noval yang berkata latihannya tinggal sebentar lagi. Noval
mengatakan itu setengah jam lalu. Kalau saja tidak terlanjur berjanji untuk nonton dengan
kekasihnya, Bintang pasti sudah pulang dari tadi. Kesal menunggu, Bintang mengirim SMS
kepadanya. Badannya yang lesu mulai terasa pegal. Duduk diam dan menunggu memang lebih
melelahkan daripada berjalan kaki.
Beberapa saat setelah SMS-nya terkirim, pintu gedung teater terbuka. Beberapa orang yang
dikenal Bintang"saking seringnya ia menonton pertunjukan mereka"baru saja keluar
menyapanya. Yang lain hanya berjalan melewatinya. Bintang bangkit ketika dilihatnya Noval
keluar dari pintu, berjalan di belakang dua orang laki-laki. Ia hendak menghampiri Noval, tetapi
diurungkannya niat itu ketika dilihatnya Noval sedang asyik berbicara pada perempuan yang
berjalan di sebelahnya. Rasa cemburu muncul di hati Bintang.
Noval yang asyik mengobrol akhirnya melihat Bintang yang sudah menunggunya di dekat pilar.
Bintang sendiri berusaha agar ekspresinya terlihat biasa saja. Dari jarak sekitar sepuluh meter,
Bintang dapat melihat Noval pamit pada perempuan tersebut dan berjalan menghampirinya.
Sekilas, perempuan tersebut melempar senyum pada Bintang. Bintang balas tersenyum.
"Lama nunggu?" tanya Noval yang kini berdiri di sebelah Bintang.
"Banget," jawab Bintang kesal.
"Sorry," ujar Noval kalem sambil menggandeng Bintang meninggalkan gedung teater. Ia tidak
menyadari bahwa orang yang digandengnya sedang kesal dan cemburu berat.
***** Batagor yang berlumuran saus kacang itu tinggal setengah. Setengahnya lagi sudah pindah ke
perut Bintang yang duduk sendirian di kantin sekolah pada jam istirahat. Sejak naik ke kelas tiga,
ia memang banyak menghabiskan waktu dan perhatian untuk Kaila, hingga tidak sempat
berteman apalagi membuat geng bersama teman-teman lainnya. Akibatnya, ia tak punya siapasiapa ketika Kaila tidak ada. Tetapi itu tidak jadi masalah besar baginya yang memang tidak
bergantung pada kebahagiaan komunal.
"Iya, katanya sih ikut geng motor gitu. Dia emang sering bolos kan, sekarang." Suara seorang
perempuan di belakang Bintang mencapai telinganya.
Yah, tukang gosip, ujar Bintang dalam hati, tak berminat mendengarkan pembicaraan mereka.
"Dia emang aneh, sih. Tapi nggak nyangka juga," suara lain menimpali.
Mau tak mau, Bintang mendengar ucapan mereka yang duduk tepat di belakang mejanya.
"Eh, emang Kaila tuh yang mana sih" Kok aku nggak tau, ya?"
Bintang berhenti mengunyah batagor mendengar nama Kaila diucapkan oleh suara kekanakkanakan di belakangnya.
Kaila... nggak mungkin, ujarnya dalam hati. Namun, Bintang mengakui, selain menghindarinya,
Kaila juga tidak masuk dan tampak mengantuk di kelas. Ia melirik meja yang ditempati empat
perempuan yang sedang cekikikan dan asyik menggosip.
"Itu lho, yang poninya kayak pagar. Pacar si Reno. Yang aneh, lah." Kata-kata menyebalkan itu
membuat tangan Bintang yang memegang garpu bergetar.
"Eh, kalo beneran masuk, berarti dia udah gituan dong." Kata-kata perempuan cempreng itu
disusul gelak tawa tanpa beban.
Tak ingin mendengarkan hal-hal buruk lain tentang Kaila dan kehilangan kontrol, Bintang
meletakkan garpu dan meminum es tehnya cepat-cepat. Tanpa menghabiskan batagornya,
ditinggalkannya kantin sekolah yang mulai sesak itu. Di pintu keluar, sekali lagi diliriknya meja
tempat empat perempuan itu duduk. Mereka masih cekikikan tanpa tanda-tanda telah mengganti
topik. Membuatnya sebal. ***** Suara yang ditimbulkan oleh hak sepatu yang beradu dengan lantai terdengar setiap kali Bintang
melangkah saat ia memasuki sebuah cafe. Penampilannya malam itu membuat beberapa orang
menoleh. Dengan anggun, ia duduk di salah satu meja di cafe tersebut.
Seorang waiter datang menghampiri mejanya dengan penuh senyum ketika Bintang menaruh tas
kecilnya. "Mau pesan apa?" tanya si waiter.
"Nanti saja. Tunggu orang dulu," jawab Bintang. Sang waiter pun meninggalkannya. Bintang
merapikan atasan putihnya. Diliriknya jam tangan kecil di pergelangan tangannya menunjukkan
pukul sembilan kurang lima menit.
Lima menit lagi, ujarnya dalam hati. Bintang tersenyum sendiri. Malam ini adalah perayaan
tahun keduanya dengan Noval, dan mereka memang merencanakan untuk merayakannya.
Sambil menunggu kekasihnya, Bintang menonton sebuah band indie yang sedang tampil.
Melihat band tersebut mengingatkannya pada saat pertama kali ia menonton pertunjukkan Noval
di kafe Taman dua tahun lalu. Ia sengaja membujuk Mei untuk menemaninya pergi ke sana
dengan iming-iming makan gratis di kafe tersebut yang menguras bayaran mengajarnya selama
satu minggu. Detik demi detik mengalkulasikan dirinya menjadi menit. Menit demi menit menggabungkan
dirinya menjadi jam. Sudah satu jam Bintang menunggu, tetapi Noval tak kunjung datang.
Beberapa kali Bintang mengirimkan SMS dengan status delivered tetapi tak ada balasan.
Berkali-kali pula ia mengecek pesan-pesan tersebut, siapa tahu belum terkirm, tetapi semuanya
sudah dilabeli kata 'delivered'.
Bintang mulai gelisah dan sebal. Ia mencoba menelepon Noval, tetapi tidak diangkat. Bintang
bertambah sebal. Ia bersandar dan menatap kosong ke arah band yang sudah berganti.
Bintang mendengus kesal. Diliriknya kotak hijau yang tergeletak di atas meja, di sebelah tas
kecilnya. Dibukanya kotak tersebut. Isinya sebuah scrapbook yang sengaja dibuatnya untuk
diberikan kepada Noval. Satu per satu halaman scrapbook tersebut dibuka dan dipandanginya. Mulai dari foto di pameran
fotografi sampai foto mereka di bukit kecil di sebuah perumahan yang diambil minggu lalu.
Semua tak luput dari perhatiannya. Halaman terakhir pun dibuka oleh jari-jari lentik Bintang. Di
sana, terpampang foto mereka berdua yang sedang tertawa lebar. Sampai halaman terakhir
selesai dilihat, Noval tidak juga datang.
Dengan tidak sabar, Bintang kembali melirik jam tangan. Sudah lewat tiga puluh menit dari
pukul sepuluh. Orang-orang yang tadinya memenuhi kafe pun berangsur-angsur meninggalkan
meja. Suara kendaraan di depan kafe sudah tidak terdengar begitu intens, begitu pula dengan
langkah dan celoteh para pejalan kaki, menandakan malam sudah semakin larut.
Beberapa kali waiter dan waitress melewati meja Bintang. Pandangan mereka menyiratkan
pertanyaan, sampai kapan ia akan diam di sana tanpa memesan.
Bintang menyerah. Ia menghentikan waiter yang kebetulan lewat di dekat mejanya.
"Saya pesan sop buntut," ujar Bintang.
"Maaf Mbak, sudah habis," jawab waiter.
"Iga bakar?" "Habis." "Soto ayam?" "Habis juga." "Saya pesan yang belum habis. Kira-kira apa?" Bintang mulai kesal. Ia sangat lelah menunggu
dengan perut lapar. "Semuanya masih ada, kecuali yang tiga tadi." Si waiter menjawab dengan sabar.
"Kalau begitu, nasi goreng dan teh manis hangat," ujar Bintang diiringi sedikit rasa bersalah.
Waiter mengulangi pesanannya sebelum pergi meninggalkan mejanya.
Bintang memasukkan scrapbook-nya yang tergeletak di atas meja ke dalam kotaknya dengan
asal. Setidaknya ia pulang dalam keadaan benar-benar kecewa saja malam itu. Bukan dengan
kecewa dan kelaparan. ***** "Gue bener-bener minta maaf. Gue lupa. Lagian, gue jadi MC di pensi SMA kemarin." Noval
yang duduk lesehan di lantai di sebelah Bintang berusaha menjelaskan.
Bintang yang duduk dengan menekuk kakinya ke dada diam saja, pandangannya diarahkan ke
jendela yang menampilkan batang pohon dan daun. Mereka sedang duduk di koridor kampus
lantai tiga. "Bintang..." Noval berharap Bintang bicara, tidak diam seperti itu. Bintang memalingkan
wajahnya dari jendela kepada Noval dengan dingin dan kaku.
"Setidaknya lo bales SMS gue, jadi gue nggak perlu nunggu sampe malem di sana," ujar Bintang
dingin. "Gue kan jadi MC, Bintang. Nggak pegang handphone." Noval menjelaskan dengan tak sabar.
Bintang masih diam. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan menyelempangkan tasnya.
"Mau ke mana?" Noval ikut berdiri dan membuntuti Bintang yang kini menuruni anak tangga.
"Lo marah banget, ya?" tanya Noval yang berjalan di belakangnya. Bintang menoleh ke arah
Noval. "Gue nggak punya energi buat marah, Noval," ujar Bintang pelan. "Gue cuma pengin sendiri
dulu. Ntar kalau gue kangen, gue hubungin lo," lanjutnya dengan senyum dipaksakan. Ia
membetulkan posisi tas selempangnya, kemudian berbalik meninggalkan Noval yang tertegun.
Ada yang Tidak Benar Televisi itu menyala di ruang gelap. Menghantarkan radiasi lebih kuat dari biasanya.
Menayangkan gambar demi gambar dan iklan demi iklan kepada seorang penonton. Satu
penonton yang pikirannya sedang berkelana dalam dunianya sendiri. Setiap gambar dan suara
yang keluar dari televisi tak melintas di kepalanya.
Bintang, satu-satunya penonton di ruang gelap yang lampunya dimatikan itu, sedang sibuk
dengan pikirannya. Benaknya memutar ulang film dari kehidupannya sendiri. Film tentang ia dan
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Noval. Dari semua yang sudah dihadapinya dengan Noval, ia merasa segalanya sudah berjalan
terlalu jauh. Ia ingin berhenti dan berlaku wajar seperti awal kebersamaan mereka, tapi ia sangsi
Noval akan mau berhenti. Selain suara televisi yang memenuhi ruangan, suara shower dari kamar mandi ikut meramaikan
suasana. Tak lama kemudian, suara shower berhenti. Noval yang bercelana pendek dan
mengenakan kaus oblong keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dari pintu
pantry yang menuju ruang televisi, ia melihat Bintang yang memandang kosong gambar
bergerak di hadapannya. Noval menaruh handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambutnya di tempat menggantungkan
handuk. Setelah itu ia menuju pantry untuk membuat secangkir teh manis. Suara sendok beradu
dengan gelas bergabung dengan suara dari televisi.
Noval menghirup teh manisnya sambil menatap Bintang yang masih duduk dengan posisi yang
sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Bintang tampak seperti siluet. Saat televisi
menayangkan gambar gelap, wajah Bintang benar-benar membentuk siluet. Saat televisi
menayangkan gambar terang, barulah wajahnya terlihat jelas. Dari sana Noval dapat melihat raut
Bintang yang lelah. Entah mengapa, Noval akhir-akhir ini merasa bahwa kekasihnya selalu
tampak lelah. Noval menyadari, berapa lama pun ia menatap Bintang, cewek itu tak akan menyadarinya. Maka
ia menghampiri Bintang dan duduk di sebelahnya. Barulah saat itu Bintang keluar dari dunianya
dan menyadari ada makhluk hidup lain di kosannya. Kosan yang menyerupai apartemen dengan
security, tetapi tanpa ibu kos sehingga tak ada halangan bagi Noval untuk diam di sana selama
Bintang mengizinkan. "Eh, Val. Seger ya udah mandi." Bintang berbasa-basi. Noval meletakkan cangkir teh manisnya
di meja. "Banget," ujar Noval sambil mencoba memperhatikan televisi yang menampilkan acara komedi.
Suara penjual mi tek-tek mencapai telinga Noval yang sedang lapar. Ia bangkit dari sofa dan
berjalan menuju jendela. Melihat apakah yang lewat di jalan memang penjual mi tek-tek.
Ternyata benar. "Makan, yuk. Gue laper nih," ajak Noval.
"Gue males makan." Bintang menyeruput teh manis Noval.
"Lo lagi diet atau apa, sih?" tanya Noval heran. "Tadi siang juga nggak makan, kan?"
"Nggak tau, males aja," jawab Bintang yang baru menyadari bahwa akhir-akhir ini badannya
terasa sangat tidak nyaman, sering lemas, dan tidak nafsu makan. Noval ikut-ikutan hilang selera
makan dan duduk di samping Bintang. Mengambil cangkir teh manisnya yang ternyata sudah
kosong. "Akhir-akhir ini lo kenapa, sih" Sering ngelamunlah, lemeslah, nggak nafsu makan pula," ujar
Noval. Ia memegang kedua pipi Bintang dengan tangannya. Diperhatikannya wajah itu.
"Lo jadi tambah kurus, mata cekung, bibir pucat. Kenapa, sih" Sakit?" tanyanya lagi sambil
melepaskan tangannya dari pipi Bintang.
"Kecapean, kali," kata Bintang singkat.
"Kalau gitu berhenti kerja aja," sambar Noval cepat. Selama ini ia memang tidak suka Bintang
bekerja sampai malam menjadi waitress, tapi ia tak tahu cara menyampaikannya. Bintang
terkejut mendengar usul Noval. Namun, setelah ia berpikir sejenak, pekerjaannya memang
banyak menyita waktu dan energi. Noval melihat kebimbangan Bintang.
"Gue kangen lo yang dulu." Noval menyandarkan kepala Bintang ke bahunya.
Lo nggak akan tahu betapa gue juga kangen lo yang dulu, Val, ucap Bintang dalam hati.
"Iya. Gue berhenti aja jadi waitress, ya. Tapi gue masih terus ngajar," putus Bintang akhirnya.
Noval tersenyum senang mendengar jawaban Bintang.
Ternyata tak begitu sulit.
***** Roda-roda troli bergerak terseok-seok mengikuti orang yang mendorongnya. Menyusuri lorong
demi lorong rak-rak barang. Ribuan pasang tangan sudah menempelkan bakteri ke pegangannya,
dan entah berapa banyak barang telah dibebankan kepadanya. Membuat rodanya tak lagi mulus.
Bakteri yang ditransfer orang-orang sebelumnya ke pegangan troli itu kini berpindah ke tangan
Bintang yang juga menyumbang bakteri tambahan, seperti barter saja. Bintang mendorong troli
dan memilih-milih barang yang hendak dibelinya.
Berbagai barang sudah ditampung si troli. Sebagian besar berupa keperluan rumah tangga seperti
sabun dan deterjen dalam jumlah yang cukup untuk satu bulan. Bintang sengaja membeli
keperluan rumah yang cukup untuk satu bulan agar ia tak perlu bolak-balik ke minimarket.
Dengan begitu, ia lebih jarang menghadapi godaan berkotak-kotak cokelat dan barang-barang
lain. Ia mengambil sekotak susu berkalsium yang sudah lama dikonsumsinya. Ia kembali mendorong
trolinya menuju rak kapas. Di lorong yang dibentuk oleh rak-rak itu, Bintang mendorong troli
tanpa halangan karena minimarket yang terletak di lingkungan kampus itu sangat sepi
pengunjung. Maklum, akhir bulan. Momentum akhir Bulan dijadikan Bintang sebagai strategi
berhemat, karena dengan begitu ia akan berbelanja seperlunya. Karena memang sudah tak ada
uang untuk berhura-hura. Bintang berdiri di depan rak kapas yang berdampingan dengan rak popok dan pembalut. Saat
sedang memilih-milih kapas yang hendak dibelinya, ia melirik pembalut dengan kemasan aneka
warna. Merasa ada sesuatu yang aneh.
Dengan kening mengernyit, Bintang mengorek-ngorek pikirannya. Mencari tahu apa yang
membuatnya merasa janggal. Tak lama kemudian, sesuatu melintas di kepalanya, membuat
kakinya lemas seketika. ***** Jari-jari Bintang mengetuk-ngetuk kaca etalase apotek. Tak sabar menunggu karyawan apotek
membawakan benda yang ia cari. Beberapa kali ia memperhatikan apotek yang kosong untuk
memastikan tak ada orang yang dikenalnya di sana. Semakin lama, ia semakin gelisah berdiri di
depan konter apotek tersebut. Kegelisahan yang membuatnya tak bisa berdiri diam.
Beberapa saat kemudian, penjaga apotek berkerudung hitam muncul dengan sebuah barang yang
terbungkus kantung kresek putih. Bintang yang sedang bersandar ke etalase langsung berdiri
tegak. Tanpa berlama-lama, ia mengambil barang yang terbungkus tersebut dan membayarnya.
Setelah barang yang ia beli tersimpan aman di tasnya, buru-buru ditinggalkannya ruangan yang
penuh obat itu. Kejutan yang Tidak Menyenangkan
Parkiran sekolah sudah penuh pada pukul tujuh kurang lima belas menit. Bintang yang baru
datang masih sibuk mencari lahan kosong. Tempat yang biasanya ia pakai sudah terisi. Setelah
beberapa saat memicingkan mata seperti elang sedang mencari mangsa, akhirnya ia temukan
juga lahan kosong di depan sebuah motor matic putih.
Swift ungu itu sudah aman terparkir dan terkunci. Bintang sudah turun dengan tas gendong
hitamnya. Dengan langkah ringan, ia berjalan meninggalkan tempat parkir untuk menuju
kelasnya. Seseorang yang baru datang dan memarkir motornya tak sengaja beradu pandang
dengannya. Tatapannya aneh. Bintang heran, tapi tak mengacuhkannya karena ia tak merasa
berpenampilan aneh hari itu.
Ia melangkah menuju koridor kelas yang masih dipenuhi anak-anak sambil menunggu bel
berbunyi. Suasana tidak nyaman menyergap Bintang. Sejak ia menjejakkan kakinya di sana,
hampir semua mata memandangnya dengan tidak ramah. Beberapa murid berbisik-bisik ketika
melihatnya. Bintang mempercepat langkahnya menuju kelas untuk menghindari pandangan aneh
dari anak-anak itu. Kelas yang diharapkan Bintang dapat menjadi tempat bersembunyi ternyata tidak sesuai
harapan. Teman-temannya memandangnya dengan tatapan seperti mereka berkumpul di
koridor. Bintang duduk di kursinya, keheranan. Sejenak dilihatnya Daniel meliriknya, tapi cowok itu
cepat-cepat mengalihkan pandangan.
"Ada apa, sih?" Bintang bertanya bingung pada Daniel.
"Buka aja FB lo, atau liat FB anak-anak," jawab Daniel tanpa memandang Bintang.
***** Sampai di rumah, tanpa mengganti seragam Bintang langsung menyalakan komputernya. Segera
membuka akun Facebook-nya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu cokelat tua tempat
komputernya diletakkan dengan tidak sabar.
Akun Facebook Bintang terbuka. Banyak sekali notifikasi di sana. Bintang sudah tidak sabar
mengetahui apa yang membuat anak-anak di sekolahnya memandangnya seolah-olah ia
memiliki penyakit kusta. Dengan sekali klik, dibukanya notifikasi-notifikasi itu.
Abi commented on the photo you were tagged in.
Semua berbunyi seperti itu, yang berbeda hanya nama pengomentarnya. Bintang terus
menelusuri daftar notifikasi sampai menemukan notifikasi yang berbunyi, "Reno tagged a photo
of you." Ia cepat-cepat membukanya.
Bintang hampir terjengkang dari kursinya saat melihat foto yang terbuka. Layar komputernya
menunjukkan fotonya dan Kaila yang sedang berciuman. Komentar-komentar panjang dari
banyak orang terpampang di bawahnya. Mulai yang heran, tidak percaya, sampai memaki-maki.
"Lesbian merajalela, bentar lagi kiamat." Itu salah satu komentar terakhir yang Bintang baca
sebelum ia memutuskan untuk tidak meneruskan membaca komentar-komentar lainnya. Semakin
lama, komentar-komentar tersebut menjadi-jadi. Bintang memutuskan untuk kembali ke halaman
beranda. Di sana, matanya tertuju pada sebuah status.
"Body si Kai asyik... penasaran?" Status tersebut disertai sebuah link. Ragu-ragu, Bintang
membuka link tersebut. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Bintang mengucek
matanya berkali-kali. Rasa sedih dan tak percaya menyelimuti hatinya seperti asap yang
menyelimuti hutan yang terbakar. Di sana dilihatnya foto-foto Kaila hanya mengenakan pakaian
dalam sedang bersama dengan beberapa laki-laki.
***** Di atas kloset putih, dalam sebuah toilet yang menyebarkan bau karbol dan antiseptik, Bintang
duduk diam dengan wajah dibenamkan di pangkuannya. Jemari kakinya yang menapak di atas
marmer putih dingin mengintip dari balik celana jeans. Sudah beberapa saat ia terdiam seperti
itu, hanya dengan tangan kanannya yang menggenggam benda pipih panjang. Tangannya terlihat
lunglai bergetar seperti terrkena Parkinson.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya, menghitung mundur sambil memejamkan mata sebelum
akhirnya membuka genggamannya. Tempat benda pipih panjang itu berada. Jari-jarinya yang
dingin dan berkeringat bergetar ketika perlahan layar mungit berembun itu tampak.
Positif. Gempa parsial terjadi. Gempa yang hanya menyerang tubuhnya, bukan objek di sekitarnya.
Dunia berputar begitu cepat dalam kepala Bintang, membuatnya terhuyung. Benda pipih itu
meluncur ke tempat sampah di samping kloset. Tubuh Bintang berguncang di pojok kamar
mandi. ***** Ketegangan menggantung di atas kepala Bntang dan Noval. Keduanya saling diam setelah
pembicaraan yang menguras pikiran itu. Noval duduk di hadapan Bintang dengan dahi berkerut.
Berpikir keras untuk memecahkan masalah yang mereka buat sendiri. Detik demi detik berlalu,
berjalan mengikuti teori Einstein bahwa semakin cepat sesuatu melaju, semakin lambat waktu
berjalan. Noval menarik napas dalam.
"Gue nggak bisa," putusnya. Seperti suara hakim yang menjatuhkan hukuman bagi sang
terdakwa. Bukan hal yang mengejutkan bagi Bintang. Sudah diperkirakan. Namun, tetap saja hal itu
membuat hatinya mencelos, seperti orang yang sedang menuruni jalan yang menurun di dalam
kendaraan yang melaju kencang.
Perlahan, Noval menghampiri meja belajar dan mengambil sesuatu dari lacinya. Lalu berbalik
dengan ekspresi mantap dan mendekati Bintang yang duduk dengan kaku. Meletakkan setumpuk
uang di hadapan Bintang. "Gue rasa ini cukup buat nyelesaiin masalah. Kalau kurang bilang aja. Ntar gue cari tau tempat
yang aman," ujar Noval.
Eskpresi kaku Bintang seketika berubah. Rasa terkejut melintas cepat, yang kemudian digantikan
oleh senyum sinis yang sama cepatnya.
"Saya tidak butuh uang kamu."
Bintang meraih mantelnya dan berjalan cepat, meninggalkan penghinaan dari orang yang ia pikir
mencintainya. ***** Motor matic berwarna hitam itu perlana menyusuri jalan berbatu yang diapit sawah di kanankirinya. Bintang mengendarai motornya tanpa tujuan jelas di daerah Bandung tanpa
sepengetahuan ibunya. Ia ke Bandung bukan untuk pulang, melainkan sekadar berputar-putar di
tempat yang ia inginkan. Matahari jingga tampak di langit sebelah kiri, memantulkan sinarnya di kaca helm yang dipakai
Bintang. Membuatnya terpaksa sedikit memicingkan mata. Di sepanjang jalan tersebut,
dilihatnya para pertani bersiap-siap untuk pulang karena senja telah menjelang.
Bintang berhenti di sebuah jembatan yang terletak di atas sungai kecil. Diparkirnya motor di
tempat yang tidak menghalangi mobilitas orang-orang yang lewat, kemudian ia duduk di atas
tembok jembatan tersebut, memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Ingin sejenak melupakan
masalahnya, Bintang menganggap dirinya fotografer profesional. Ia mengeluarkan kamera
murahannya dan mulai mengambil beberapa gambar dari berbagai sisi.
Handphone di saku celananya bergetar. Sebuah pesan baru masuk. Dibukanya pesan itu tanpa
minat. From: Val Sumpah, gue gak siap.. Plz, ikutin aja kata gue...
Dengan perasaan hambar, Bintang menyimpan kembali handphone-nya tanpa membalas. Setelah
itu, ia kembali mengangkat kamera dan memotret apa saja yang menurutnya menarik.
Beberapa objek sudah dipotretnya, sebagian besar benda mati dan pemandangan di sekitarnya.
Bintang sedang mencari-cari objek lain untuk difoto ketika dua orang petani tertangkap lensa
kameranya. Dua petani tua yang sepertinya suami istri itu berjalan di pematang sawah. Sang
kakek yang berjalan di depan menggandeng sang nenek yang berjalan di belakangnya.
Bintang menurunkan kameranya. Menyadari bahwa ia merasa sangat sendirian.
***** Dua puluh lembar uang pecahan seratus ribuan berpindah ke tangan seorang perempuan tua yang
dikenal sebagai dukun beranak. Dengan kaki keriputnya, si dukun beranak memimpin seorang
perempuan berjalan ke sebuah kamar. Sesaat sebelum pintu kamar tertutup, si perempuan
memandang wajah laki-laki yang duduk di kursi di ruangan yang baru ditinggalkannya.
Perempuan itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dilihatnya si dukun beranak
mengambil sebuah baskom berisi air. Ribuan tetes air mata tumpah di hatinya. Mata dan pipinya
tetap kering, dingin menatapi langit-langit lapuk. Seolah tak peduli.
Aku pembunuh, batinnya berteriak.
Detik demi detik berlalu, mendekatkan makhluk di rahimnya ke garis eliminasi.
Yang Menatap Balik Saat Bercermin
Saat itu pukul satu malam. Tak terlihat satu nyawa pun, bahkan tidak pula seekor kucing, di teras
kosan petak Noval maupun di kosan lainnya yang berjejer di kanan kiri kamar ketika Noval
datang. Pekat dan sunyi yang diakomodasikan malam itu menjadi penyelimut aib. Noval
bersembunyi dari mata-mata yang melirik ingin tahu dan menguliti privasi.
Dengan bahu kirinya, Noval mendorong pintu kosannya. Bahu kanannya menopang Bintang
yang pucat, lemas, dan berbau anyir. Dengan langkah-langkah pendek, ia membawa Bintang
masuk sebelum kemudian menyalakan lampu dan menutup pint
u kosan. "Mau ke mana?" tanya Noval ketika Bintang menggeliat pelan untuk melepaskan diri darinya.
"Toilet. Bisa sendiri." Bintang menjawab pendek sambil menyeret kakinya di bawah tatapan
Noval. Tatapan yang baru ia alihkan setelah Bintang menghilang di balik pintu toilet yang
tertutup. Sambil menguap pelan, Noval membuka jaketnya untuk berganti pakaian.
Baru beberapa menit Bintang masuk ke toilet, terdengar jeritan histeris.
"Vaaaal!" suara histeris Bintang membuat Noval berlari setengah terbang ke toilet yang tidak
terkunci. "Kena..." Noval tertegun melihat Bintang yang tengah berdiri dengan bertumpu pada pinggiran
bak mandi. Rok putihnya telah berubah menjadi merah dan genangan darah di bawah kedua
telapak kakinya sedikit demi sedikit bertambah besar. Darah mengalir di tungkainya.
***** Pakaian yang dikenakan cewek itu kini kering, bersih, dan tidak anyir, tetapi keadaannya tidak
lebih baik. Bintang malah berbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur dengan bibir sepucat
lilin setelah sebelumnya memaksakan diri meminum penambah darah. Noval yang shock hanya
berharap dirinya mampu menangkap pergerakan sekecil apa pun dari Bintang, karena usaha yang
ia lakukan selama tiga puluh menit terakhir untuk menyadarkan Bintang tidak menunjukkan
hasil. ***** Wajah kusut dan mengantuk Noval menjadi pemandangan pertama yang dilihat Bintang ketika
kesadarannya kembali dan otaknya sudah mampu mengkoordinir sepasang organ kecil yang
disebut mata untuk mendapat data visual dari keadaan di sekitarnya.
Noval menghembuskan napas lega melihat Bintang mengerjap-ngerjapkan matanya meski ia
masih terlihat begitu lemas. Ia benar-benar dalam keadaan terjepit selama satu jam yang terasa
bagai seabad itu. Ia takut Bintang meninggal kehabisan darah, tetapi juga tidak bisa
membawanya ke rumah sakit karena urusannya akan panjang.
"Harus makan banyak. Harus," ujar Noval tegas pada Bintang yang kesadarannya masih
melayang-layang, kendati ia tidak yakin Bintang dapat mendengarnya dengan jelas.
***** Bintang dan Noval benar-benar berterima kasih kepada para produsen suplemen penambah
darah. Setelah beberapa kali meminumnya, Bintang yang sebelumnya berebut nyawa dengan
kematian kini cepat membaik. Warna-warna kembali ke wajahnya yang sudah lama merindukan
rona itu. Bubur berbau amis yang sengaja dipenuhi telur rebus oleh Noval berada di pangkuan Bintang
yang menolak disuapi. Sambil duduk di atas kasur busa berseprai biru tua dan bersandar ke
dinding, Bintang melahap buburnya sambil memperhatikan Noval yang sedang bermain game di
komputernya. Sepertinya, waktu satu minggu yang mereka rencanakan untuk bolos kuliah dan
meninggalkan aktivitas lainnya itu akan digunakan Noval untuk bermain game sambil menunggu
Bintang bisa berlari-lari tanpa sempoyongan lagi.
Suapan bubur terakhir masuk ke mulut Bintang. Noval masih sibuk dengan game-nya. Di bola
mata cokelat tua itu terpantul bayangan monster-monster yang sedang berkelahi di layar
komputer. Namun, pandangan itu kosong.
Entah mengapa, sejak pulang dari dukun beranak, Bintang merasa Noval menjadi begitu
pendiam dan selalu menghindari beradu pandang dengannya. Seperti orang terguncang yang
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah mengalihkan perhatian. Kata-kata yang dikeluarkan Noval dalam sehari bisa dihitung jari,
"Udah baikan?", "Makan dulu," dan "Minum obat." Namun, hal tersebut tidak diambil pusing
oleh Bintang, karena ia juga tidak memiliki cukup energi untuk banyak bicara dan memusingkan
berbagai hal. ***** Ruangan yang diterangi sinar dari lampu-lampu halogen tersebut berbentuk persegi panjang,
bercat putih dengan kedua sisi dilingkupi kaca. Boks persegi panjang berjejer di dalamnya, persis
barang-barang yang dipamerkan di etalase.
Bintang yang mengenakan piyama merah berdiri di koridor sepi nan temaram di depan ruangan
tersebut dengan bertelanjang kaki. Kaki-kakinya yang tidak beralas membawanya memasuki
ruangan tersebut. Ia tidak paham bagaimana bisa berada di sana. Setiap langkah menyebarkan
rasa dingin yang berasal dari keramik putih dan menjalar melalui telapak kakinya.
Di dalam ruangan, dilihatnya bayi-bayi mungil yang masih merah terlelap di dalam boks masingmasing. Ia mendekati salah satu boks. Bayi di dalamnya terlihat gelisah dalam tidurnya. Lalu
tangis bayi itu pecah. Bintang yang seumur hidup tidak pernah mengasuh bayi melirik ke kiri dan ke kanan, berharap
ada orang lain, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Akhirnya, dengan tangan gemetar, disentuhnya
bayi tersebut dengan maksud menenangkan, tapi tangisan bayi malah semakin menjadi. Tangisan
tersebut menjalar ke bayi di seberang boks tersebut yang kemudian dihampiri Bintang. Namun,
ketika ia mencoba menenangkan bayi tersebut, bayi yang lain ikut menangis.
Begitu seterusnya. Setiap kali ia mencoba menenangkan seorang bayi, bayi lainnya ikut
menangis, sampai akhirnya semua bayi di dalam ruangan tersebut menangis.
Tangisan bayi memekakkan telinga Bintang. Semakin lama, tangisan-tangisan tersebut semakin
keras, menyakitkan. Bintang berlari menuju pintu. Pintu terkunci, sedangkan telinganya
berdenyut-denyut sekali. Sambil berjongkok, ditutupnya telinganya dengan kedua tangan.
Di antara tangisan-tangisan keras itu, Bintang mendengar sebuah tangisan kecil di dekat kakinya.
Seorang bayi mungil tergeletak di lantai yang dingin, persis di sebelahnya. Ragu-ragu,
diangkatnya bayi mungil tersebut. Rasa sayang menjalari setiap sel darahnya ketika ia mendekap
si bayi di dadanya. Si bayi akhirnya berhenti menangis. Perlahan, takut membangunkan bayi yang sepertinya sudah
tertidur, Bintang melepaskan bayi itu dari dadanya untuk menatap wajahnya. Kini sang bayi
berada di pangkuannya dengan wajah menghadap ke arahnya. Sang bayi, dengan mata bulat
yang selalu balas memandangnya setiap kali ia bercermin, menatapnya kosong. Mati.
Tubuh Bintang tersentak sedetik sebelum ia terjaga. Matanya nyalang memperhatikan sekitarnya.
Ia masih terbaring dalam piyama merahnya di kamar kosan Noval yang sepi dan gelap.
Layar komputer berpendar-pendar menyilaukan tanpa orang di hadapannya. Sepertinya Noval
sedang berada di kamar mandi karena Bintang melihat petak persegi panjang terang tercetak di
lantai yang gelap dari toilet yang tidak tertutup. Terdengar suara orang yang sedang menggosok
gigi. Perlahan, napas Bintang kembali normal setelah ia memastikan benar-benar tidak ada bayi di
sana. Bayangan gelap terbentuk di petak terang yang tercetak di lantai, menandakan Noval
hendak keluar. Bintang kembali memejamkan matanya, pura-pura tidur, tetapi ia berusaha untuk tetap terjaga
sambil berdoa dalam hati. Ia takut mimpi tersebut kembali menghampirinya. Namun, mimpi
adalah taman bermain jin, yang memanfaatkan kenangan dan pikiran sang pemilik jiwa. Dan
jauh di dalam pikiran Bintang, ada satu bagian tersembunyi, bagian kecil yang tak terlihat yang
tak pernah sama lagi, bagian tempat berkumpulnya rasa bersalah yang memicu timbulnya mimpi
tersebut berulang-ulang di hampir setiap tidurnya.
***** Bintang berjalan dengan cepat di koridor sekolah. Tubuhnya tegak dan ekspresinya angkuh.
Anak-anak masih memperhatikannya walaupun sudah 2 bulan sejak fotonya disebarkan oleh
Reno. Ia tidak berjalan menunduk atau menghindari tatapan orang-orang. Ia sudah bertekad
untuk tidak membiarkan perlakuan teman-temannya mempengaruhinya dan membuatnya
menderita. Tekadnya semakin bulat ketika Reno yang dengan angkuh berkata bahwa ia sudah
putus dengan Kaila tersenyum menyebalkan sambil melipat tangan di dada setiap kali
melihatnya lewat. Kaila sendiri tidak pernah masuk sekolah sejak foto-fotonya beredar. Beberapa kali Bintang
mencoba menghubunginya, bahkan nekat pergi ke rumahnya untuk meminta penjelasan atas
semua hal yang terjadi. Sia-sia. Bintang tak pernah bisa menghubungi Kaila dan tak pernah
diizinkan untuk menemuinya.
Menurut kabar yang tak sengaja didengarnya dari beberapa orang, Kaila sudah pindah sekolah
ke yayasan yang dimiliki salah seorang kerabatnya. Kini Bintang benar-benar sendirian.
Namun, ia tak ambil pusing. Ia berfokus pada ujian akhir yang akan dihadapinya demi cepatcepat lulus dari sekolah. Cacian, sakit hati dan kesedihan dijadikan Bintang sebagai bahan
bakar untuk memfokuskan pikirannya pada pelajaran. Cara efektif untuk melarikan diri.
Di depan pintu kelas, Bintang melihat Daniel yang sedang duduk di koridor berdiri dan berjalan
ke arahnya. Bintang mempercepat langkah, tak ingin berbicara pada Daniel. Selama dua bulan
ini ia tak memiliki teman. Kalaupun ada yang mendekatinya, mereka hanya ingin mengorek
keterangan darinya. Bintang tak pernah mau berbicara. Ia yakin, di belakangnya, mereka
menjelek-jelekkan dirinya sama seperti menjelek-jelekkan Kaila.
Bintang sesungguhnya yakin bahwa Daniel menghampirinya bukan untuk mengorek cerita, tapi
entah mengapa hati kecilnya diliputi rasa bersalah dan malu pada cowok itu, sehingga ia
memilih untuk menghindar.
***** Koridor panjang dengan deretan pintu di kanan kiri, tampak agak gelap kendati hari masih siang.
Sebuah jendela di ujung koridor tidak cukup memberi banyak cahaya. Bintang, yang sudah
merasa sehat, berjalan sendirian dengan langkah ringan di koridor itu menuju kamarnya, karena
Noval yang mengantarnya sampai ke depan kosan sudah hampir terlambat masuk kuliah.
Dengan tangan kanan memegang sebuah tas kertas besar berisi pakaian kotor yang belum sempat
dicucinya selama seminggu, termasuk seragam kerjanya yang sudah tertinggal lama di kosan
Noval, Bintang mengeluarkan kunci dari saku celananya dengan tangan kiri. Ketika hendak
memutar kunci, ia kaget karena kamarnya ternyata tidak terkunci.
Perlahan, Bintang mendorong pintu kosannya. Waswas karena takut menemukan maling yang
sedang mengobrak-abrik kamarnya. Kamarnya masih rapi, bahkan lebih rapi dari keadannya
sebelum ditinggalkan Bintang. Namun, hal itu tidak membuat Bintang lega karena hal yang lebih
menakutkan dari sekadar kemalingan sudah menunggunya.
Ibunya tengah duduk tegak di atas ranjang single-nya dengan pandangan dingin menelanjangi.
***** "Dari mana kamu?" tanya ibunya ketika melihat Bintang tercengang di depan pintu.
"Ngg... dari kosan Mei," jawab Bintang. Dari kemarahan yang terpancar di wajah ibunya,
Bintang menduga perempuan yang dihormatinya itu sudah berada di sana sejak semalam.
"Bohong," ujar ibunya. Sepertinya ia sudah menghubungi semua teman Bintang. Mereka sendiri
tidak tahu Bintang ke mana. Bintang hanya berharap mereka tidak bercerita bahwa Bintang
sudah menghilang selama seminggu.
"Dari mana saja kamu" Ke mana semaleman?" Sesi interogasi sepertinya jauh dari usai. Bintang
yang salah tingkah duduk di atas sofa karena kepalanya mulai terasa pening. Pikirannya berputar
cepat. Sekilas, secarik kain oranye dari seragam kerja yang mencuat dari tas kertas besar yang
dibawanya tertangkap oleh matanya.
"Habis kerja, Bu," jawab Bintang tanpa menatap ibunya.
"Kerja?" Ibunya tampak bingung. "Kerja di mana" Kerja apa?" tanyanya dengan nada yang lebih
halus. "Waitress. Tapi baru resign," ujar Bintang pelan.
Sang ibu berjalan mendekatinya dan memeluknya.
"Bintang." Beliau berujar penuh haru. "Kamu nggak perlu kerja... Ibu masih bisa..." Suara ibunya
bergetar. Bintang balas mendekap ibunya. Air matanya bergulir.
"Maafin aku, Ibu...," bisiknya lirih.
Lucifer Menjawab Seperti kebiasaannya sejak dulu, jendela menjadi spot favorit Bintang ketika menghadapi
masalah. Pukul sepuluh malam, alih-alih tidur, di atas ranjang single-nya yang menempel ke
jendela besar yang menghadap jalan, Bintang duduk memperhatikan keadaan di luar sana.
Orang-orang dengan berbagai penampilan masih berlalu-lalang. Mereka memiliki masalah
sendiri-sendiri. Dari sorot lampu yang terkadang menyapu wajah mereka, dapat dilihat bahwa
sebagian besar orang membawa masalahnya dengan enteng, ada juga yang wajahnya kuyu,
menunjukkan masalah yang berat.
Hanya 5 menit pertama yang diberikan Bintang untuk mengamati orang-orang di luar dirinya
melalui jendela saat itu. Selebihnya, pandangannya berubah menjadi pandangan kosong. Ia
tenggelam dalam masalah-masalahnya sendiri. Memikirkan ucapan dua perempuan yang
didengarnya di tangga kampus. Menyadari bahwa walaupun hubungannya dan Noval masih
seperti dulu, sesuatu memang telah berubah.
Sejak mereka mendapat tamparan dari perbuatan mereka yang melanggar batas dan
mengatasinya dengan melakukan dosa lain, mereka jarang berbicara satu sama lain meski sedang
bersama-sama. Ada sesuatu yang mencegah mereka untuk mendekat secara emosi, tetapii tidak
secara fisik. Sehingga bercinta pun dilakukan dalam diam.
Apakah cinta kamu untukku masih tersisa, Val" Bintang bertanya-tanya. Mulai merasakan
keraguan dari semua hal yang menghampirinya saat itu.
Aku masih, lanjutnya. Tak bisa membayangkan harus sendiri. Masih ada kasih di hatinya walau
ia ikut terdiam sejak Noval mendiamkannya. Dering handphone yang terletak di sebelahnya
mencapai telinganya, mengalihkan perhatiannya. Mei menelepon.
"Halo, Mei," ujar Bintang.
"Halo, Bintang. Lagi di mana?" suara Mei terdengar samar, tertimpa suara-suara berisik di
belakangnya. "Di kosan. Kenapa" Lo di mana" Berisik banget."
"Mmm..." Mei terdengar ragu. "Gue, mmm, lagi clubbing," jawabnya.
Bintang mengerang pelan. Bosan mengingatkan Mei yang memang sudah jadi ratu pesta sejak
Bintang mengenalnya. "Ya udah, itu nggak penting. Ada yang mau gue omongin," lanjut Mei cepat.
Bintang diam, mendengarkan.
"Gue... ngg..." Mei kembali tampak ragu.
"Apa, Mei?" tanya Bintang tak sabar.
"Gue liat Noval bareng cewek. Mesra banget," ujar Mei dengan nada meminta maaf karena
sudah menyampaikan kabar yang tidak baik. Bintang diam saja. Mempertimbangkan harus
percaya atau tidak. Tapi Mei teman terdekatnya selain Dewa, Mei tak mungkin berbohong.
"Lo nggak percaya?" Mei kembali bersuara karena Bintang diam saja. "Gue kirimin foto-fotonya
mau?" "Kirim aja," ujar Bintang pelan, kemudian memutuskan hubungan teleponnya dengan Mei. Tak
lama kemudian, beberapa MMS masuk. Dengan tangan gemetar, Bintang membukanya. Yang
ditakutkannya terjadi. Foto-foto tersebut menunjukkan Noval bersama seseorang yang ia kenali
sebagai perempuan yang berbincang dengan Noval ketika keluar dari gedung teater.
Bintang kebingungan. Dengan segenap cinta yang bersarang di hatinya, ia tidak sanggup
membayangkan berpisah dari Noval. Namun, ia juga tidak bodoh. Cinta membutuhkan
penghargaan melalui kesetiaan. Sebuah prinsip lama muncul dalam pikirannya. Untuk
membentuk sebuah hubungan diperlukan persetujuan dari kedua pihak, tapi untuk memutuskan
hubungan hanya diperlukan hilangnya cinta dari satu pihak saja. Dan Bintang yakin, semakin
hari cinta Noval kepadanya semakin berkurang. Ia tidak bisa memaksakan.
Harus gimana" Bintang bertanya dalam hati.
Ia benar-benar bingung dan tidak bisa berpikir. Ia tahu bahwa ia harus mengajak Noval bicara.
Tapi itu artinya Bintang harus mempersiapkan diri untuk kehilangan, dan ia tidak siap untuk itu.
***** Di dalam bus yang kursi-kursinya hanya terisi beberapa, Bintang duduk di baris ketiga di sebelah
jendela. Kursi di sampingnya kosong. Malam itu, setelah mendapat kiriman foto dari Mei, Ia
mengambil keputusan impulsif untuk pulang ke Bandung karena ia tidak tahan tinggal di
kosannya. ***** Di kamar bercat putih kusam yang telah ia tempati selama dua puluh tahun, Bintang meringkuk
lelap di bawah selimut. Tidur lelapnya selama sebulan terakhir. Kamar itu sangat gelap dengan
lampu dimatikan dan tirai panjang yang menutupi setiap jendela, padahal jam sudah
menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Bintang..." Ibunya berusaha membangunkan, tapi ia tak bereaksi.
"Bintang," sang ibu mengguncang bahu anaknya. Bintang membalikkan badannya dan menatap
ibunya dengan mata setengah terbuka.
"Ada yang nunggu," ujar ibunya.
Bintang hanya menatapnya sejenak, kemudian kembali membalikkan tubuhnya dan tertidur.
Ibunya tidak berusaha membangunkannya lagi. Ia malah memperhatikan anak perempuannya
dengan prihatin sebelum mengecupnya pelan dan meninggalkan kamarnya.
Bintang baru sampai rumah pukul satu pagi, dia pasti lelah sekali, pikir beliau.
Masalahnya dengan Noval membuat Bintang tidak tahan untuk diam di kosannya. Pukul
setengah sebelas tadi malam, ia memutuskan untuk pulang ke Bandung walaupun minggu ini
sedang UAS. Pada minggu UAS di semester ini, Bintang tidak terlalu sibuk karena ia hanya
mengikuti PLP dan diam-diam mengontrak ulang dua mata kuliah. Karena PLP dan segala
urusannya telah selesai dan ia sudah mengikuti satu UAS kemarin pagi, Bintang hanya perlu
mengikuti satu UAS lagi besok pagi.
Alih-alih pulang lusa setelah menyelesaikan UAS terakhir, ia memanfaatkan satu hari kosong
untuk pulang, walau itu membuatnya harus kembali ke Jakarta sore harinya. Bintang merasa satu
malam sangat besar artinya untuk mencharge kembali semangatnya.
Jam terus bergerak, begitu pula matahari. Sejam sudah berlalu sejak ibu Bintang berusaha
membangunkannya. Tubuh Bintang yang tak terbiasa bangun siang mulai bekerja. Ia akhirnya
bangun. Sesaat setelah bangun, Bintang diam sejenak untuk mengumpulkan nyawa dan meyakinkan diri
bahwa ia berada di rumah. Setelah itu, ia turun dari tempat tidur dan mengucir rambut seadanya.
Cahaya matahari serentak menyerbu masuk ketika Bintang menyingkap tirai yang menutupi
jendela. Saat itu, baru ia sadar, betapa siangnya ia bangun.
Bintang mengaambil gelas kosong yang terletak di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya.
Kerongkongannya terasa kering. Bintang menuruni tangga untuk mengambil air di dapur karena
kamarnya terletak di lantai dua. Di dapur hanya ada Irah, perempuan setengah baya yang
membantu di rumahnya. Irah sedang mencuci piring.
"Ibu udah pergi, Bi?" tanya Bintang sambil mengisi gelasnya dengan air dari dispenser.
"Sudah," jawab Irah. "Oh ya Teh, ada yang nungguin Teteh di ruang TV," lanjutnya ketika
Bintang hendak meninggalkan dapur. Bintang mengernyitkan kening, seingatnya ia tidak
mempunyai janji hari ini. Ingin mengetahui siapa yang menunggunya, Bintang cepat-cepat
mencuci muka dan berkumur.
Sambil mengeringkan mukanya dengan tisu, Ia berjalan menuju ruang TV. Di sana dilihatnya
seorang laki-laki berkaus hitam yang mengenakan kacamata frameless sedang duduk, asyik
menggambar di kertas A4. "Daniel?" Laki-laki yang asyik menggambar itu pun mendongak. Ternyata memang benar ia.
"Hei, Pemalas," Daniel menyapa sambil meletakkan pensil yang dipakainya untuk menggambar.
Bintang tertawa dan duduk di sebelah Daniel.
"Kok ada di sini" Kena DO, ya" Atau dideportasi dari Jerman?" tanya Bintang ringan. Di
dahinya tertempel potongan tisu.
"Enak aja. Gue lagi libur. Gue nunggu lo bangun lama banget," Daniel berhenti sejenak. Ia
menunjuk dahinya sendiri. "Tisu."
Bintang meraba-raba dahinya dan menyingkirkan tisu yang menempel.
"Gambar apaan, sih?" Bintang mengambil kertas yang terletak di meja. Ternyata Daniel
menggambar foto keluarganya yang terdiri dari Bintang, ibunya dan almarhum ayahnya, yang
terpanjang di dinding. "Masih suka ngegambar ternyata. Kayak..." Bintang terdiam. Daniel yang tahu maksud cewek itu
ikut terdiam, canggung. "Eh, gimana kuliahnya" Dapet bule nggak?" Bintang mengalihkan pembicaraan. Daniel merasa
lega karena tak perlu mencari-cari topik untuk menghilangkan kecanggungan.
"Kuliah, ah, sama aja kali..." Daniel pun mulai bercerita tentang pengalamannya selama di
Jerman. Akhirnya mereka tenggelam dalam obrolan yang serasa tak ada habisnya. Bintang
bercerita pada Daniel tentang banyak hal, kecuali masalah-masalah pribadinya. Bintang
menyadari, ia tidak pernah bercerita sepanjang itu seumur hidupnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Jam di handphone cowok itu yang bergetar di atas meja
menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, yang artinya mereka sudah bercerita selama satu
setengah jam. Daniel memeriksa handphone-nya, sementara Bintang yang melihat cowok
berkacamata itu sibuk dengan handphone-nya pergi ke kamarnya untuk mengambil handphonenya sendiri. Bintang mengeceknya, ada dua missed call dan satu pesan masuk. Semua berasal
dari Noval. Bintang membaca pesan itu.
From: Val Knp tlp gw gak diangkat"
Ntar siang gw k kosan Mw ngambil bhn UAS Kegelisahan yang meliputi Bintang sejak kemarin akhirnya muncul lagi. Bintang menarik napas
dalam-dalam sebelum membalas SMS Noval.
To: Val Sorry bru bangun. Lg di bdg. Iya ambil aj. Setelah memastikan pesannya terkirim, Bintang kembali ke ruang TV. Di sana Daniel sudah
selesai menjawab teleponnya.
"Bintang," ujar Daniel. "gue harus pulang nih, ada urusan," lanjutnya sambil mencari-cari
sesuatu di dalam tasnya. "Kok udah mau balik, sih?" Bintang heran.
"Ada urusan mendadak," jawab Daniel sambil menyodorkan secarik kertas yang terlipat. "Utang
gue." Bintang membuka lipatan kertas tersebut. Lukisan dirinya yang berseragam SMA dan tengah
duduk dengan raut wajah kesal di sebuah kelas terpampang di sana.
Bintang mengusap lukisan tersebut dengan penuh kerinduan. Banyak kenangan tersimpan di
sana."Masih inget aja," ujarnya. "Thanks, ya."
Daniel hanya tersenyum. "Gue balik, ya." Ia pamit sambil menyandang tasnya.
"Sebentar," cegah Bintang. Ia berlari menuju dapur dan kembali dengan menggandeng Irah.
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Fotoin, Bi." Bintang menyodorkan sebuah kamera digital. "Tinggal pencet ini aja," ujarnya
sambil menunjukkan sebuah tombol.
"Foto dulu buat kenang-kenangan," ujar Bintang kepada Daniel. Dengan senyum lebar, Bintang
memegang sketsa dirinya dan berdiri di samping Daniel yang juga tersenyum lebar. Untuk
sesaat, Bintang mampu mengalihkan perhatian dari kegelisahannya dan merasa bahagia.
***** Bulan bersinar terang malam itu. Bulan purnama, bulat, penuh, sempurna, yang memancarkan
gravitasi yang lebih besar dari biasanya. Saling tarik-menarik dengan gravitasi Bumi. Pada saat
itu, gravitasi bulan yang besar menarik air laut, membuat permukaan laut lebih tinggi dan ombak
lebih besar. Menjadikan laut pasang.
Tapi siapa yang peduli akan laut pasang, ketika ombak yang besar ada dalam dada seseorang.
Dalam kamar temaram tanpa jendela, ombak besar bergemuruh dalam dada dua orang yang
sedang berbaring bersebelahan. Yang pasti, bukan gravitasi bulan penyebabnya.
Jemari laki-laki itu menyusuri bibir pink pucat perempuan di sampingnya, menyingkirkan
helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya. Sedetik kemudian, si pemilik bibir pucat
merasakan janggut halus yang belum sempat dicukir menggelitik dagunya. Dipeluknya laki-laki
itu dengan erat sebelum ia melepaskan diri darinya. Si laki-laki mengerang.
"Kenapa?" tanya Noval kesal. Bintang mengangkat tubuhnya dan duduk di sebelah kekasihnya
yang masih berbaring. "Lo masih cinta gue nggak, Val?" tanyanya, bingung harus memulai dari mana. Noval bangkit.
"Lo nanya itu" Sekarang?" ujar Noval yang kini berusaha melarikan nafsunya dengan sebatang
rokok yang disulutnya. Bintang duduk di atas meja kecil di hadapan Noval. Suara orang yang
lalu-lalang di luar melatari percakapan mereka.
"Kenapa lo nanyain itu?" tanya Noval sambil menatap Bintang yang salah tingkah dan tampak
begitu kecil. Dengan ragu, karena malam itu bisa menjadi malam terakhir kebersamaan mereka, Bintang
mengeluarkan handphone tipis dari saku celana jeans-nya, membuka beberapa file sebelum
menjulurkannya pada Noval yang terlihat kelelahan.
Di layar terpampang foto Noval dengan seorang perempuan, si perempuan dari teater. Noval
mengamati foto itu. Asap mengepul dari rokok yang menggantung di tangan kirinya. Bibirnya
tersenyum sinis. "Nih." Ia mengembalikan handphone Bintang. Dimatikannya rokok yang belum sempat
diisapnya itu di asbak yang terletak di atas meja yang tengah diduduki Bintang.
"Dari mana lo dapet foto ini?" tanya Noval dingin, tangannya terlipat di dada. Badannya tinggi
menjulang di hadapan Bintang yang duduk di atas meja kecil. Reaksi Noval yang tidak sesuai
harapan membuatnya terdiam
"Lo nguntit gue" Atau lo emang pergi ke tempat kayak gini tanpa bilang-bilang gue?" Noval
menatap Bintang dingin, yang dibalas tatapan bingung dan tidak percaya Bintang. Jika ada orang
yang seharusnya marah, maka orang itu adalah Bintang. Namun keadaannya malah terbalik.
"Kok, jadi ngomongin gitu" Gue lagi di Bandung waktu lo seneng-seneng sama tuh cewek."
Bintang mendengus kesal. "Hubungan lo sama dia apa?" Bintang mulai kesal.
Bintang menatap Noval, berharap mendengar jawaban 'bukan siapa-siapa'.
"Lo mulai nggak percaya sama gue, Bintang?" Noval justru bertanya dengan suara rendah dan
dingin. Raut wajah Noval berubah menjadi ekspresi lucifer yang telah muncul beberapa kali dalam tahun
itu. "Bukan... bukan gitu..." Bintang merengut saat Noval berjongkok di hadapannya sehingga tinggi
mereka sejajar. Ia selalu merasa ketakutan setiap kali Noval berubah menjadi pribadi yang
lain."Bukan apa?" Noval bertanya halus sambil menyelipkan rambut Bintang ke belakang
telinganya. Kelembutan yang tidak biasa itu membuat Bintang bertambah takut. Sekilas, Bintang
menatap wajah Noval. Ia masih dikuasai Lucifer.
"Bukan apa-apa. Lupain aja." Ia berdiri, menjauhi Noval dan mengambil jaketnya. "Gue pulang
dulu." Tanpa menatap Noval, Bintang membuka pintu. Namun, cengkeraman Noval menariknya
dengan keras. "Gue belum selesai," bentak Noval.
Suara keras Noval yang keluar melalui pintu terbuka membuat beberapa orang yang lewat
menoleh. Tatapan orang-orang rupanya mengusir Lucifer dari diri Noval. Kesempatan itu
digunakan Bintang untuk melepaskan cengkeraman Noval dari pergelangan tangannya dan
berlari menjauh. Ia benar-benar tak ingin dekat-dekat dengan Noval saat itu.
Toilet Kamar Barbie Berkali-kali Bintang menekan bel sebuah rumah bercat putih yang dikelilingi pohon rindang.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Seorang perempuan
berumur empat puluhan berdiri di hadapannya. Perempuan yang dulu selalu menyambutnya
dengan ramah. Dulu, sebelum foto-foto itu tersebar dan menggerogoti anak dan keluarganya.
Perempuan itu memandang Bintang yang wajahnya turut berada di salah satu foto. Satu-satunya
foto yang tidak vulgar, tapi paling aneh karena di foto tersebut Bintang mencium anaknya yang
juga seorang perempuan. Perempuan itu memandang Bintang dengan sinis.
"Mau apa lagi ke sini?"
"Saya mengkhawatirkan Kaila. Boleh saya ketemu Kai, Bu?" Bintang memohon.
Perempuan itu memandang Bintang. Menarik napas panjang, seolah-olah ingin menghempaskan
beban yang menekan dadanya.
"Tolong suruh dia makan. Dia sudah berhenti makan dan menolak untuk pergi ke sekolah
barunya," akhirnya perempuan tersebut mengizinkan Bintang untuk masuk setelah sebelumnya
berkali-kali mengusirnya.
Bintang lalu masuk, menghampiri sebuah kamar.
"Kai?" Bintang mengedaran pandangannya di ruangan yang mirip kamar Barbie itu. Tak ada tandatanda keberadaan Kaila di sana. Bintang masuk dan mendengar suara shower. Ia melangkah ke
pintu kamar mandi yang terletak di dekat jendela.
"Kai, ini Bintang, Kai..."Tak ada jawaban. Bintang duduk di atas ranjang, menunggu Kaila
keluar. Beberapa menit berlalu, Kaila tak keluar juga.
"Kai, kamu dengar aku?" Bintang penasaran. Masih tak ada jawaban.
"Kai, kalau kamu nggak jawab, aku bakal masuk."
Juga tak dijawab. Bintang memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak
terkunci. Ketika masuk, ia menemukan pecahan kaca wastafel. Ia berjalan sambil berjinjit,
berusaha tak menginjak serpihan kaca yang berserakan di lantai.
"Kai?" Bintang mulai khawatir. Disibakkannya tirai plastik putih di sebelah kanannya, tempat
shower mengucurkan air. Di sana, dilihatnya Kaila sedang berendam dalam genangan darahnya di bathtub.
Dead End Untuk mengalihkan pikiran tentang kejadian beberapa malam yang lalu, Bintang mulai
memikirkan judul skripsi. Semester ini Bintang sudah menyelesaikan semua mata kuliahnya dan
berhak untuk mulai menulis skripsi.
Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Bintang yang tengah sibuk mencatat judul-judul
skripsi. Dengan gontai, ia berjalan ke pintu. Dewa dengan kepala plontosnya melangkah masuk
setelah Bintang membukakan pintu. Samar-samar, Bintang mendengar Dewa mengatakan suatu
tentang toilet. Ia melihat Dewa menghilang di balik pintu kamar mandi.
Bintang kembali bergelung di sofa. Hari ini ia meminta bantuan Dewa untuk memberikan
beberapa tips dalam menulis skripsi. Bintang mendapat pebimbing skripsi yang super-sibuk
sehingga waktu untuk memberikan bimbingan sangat terbatas, belum lagi ditambah
kemungkinan batal. Dewa yang sudah lulus semester lalu memang anak genius super-rajin yang
selalu mengambil semester padat sehingga dapat lulus lebih awal dari Bintang dan Mei.
Sambil menunggu Dewa selesai dengan urusannya di toilet, ia kembali menyusun kalimatkalimat yang bisa dijadikan judul skripsi.
***** Bintang merasa pening dan penat karena tidak satu pun judul yang melintas di kepalanya cukup
bagus untuk bisa diterima. Mungkin ia perlu jalan-jalan sambil menghirup udara segar untuk
mendapatkan ide. Sayang sekali, sore itu gerimis. Bintang hanya bisa memijat-mijat keningnya.
Terdengar suara pintu toilet yang dibuka. Bintang berhenti memijat kening. Dari balik pintu
pantry, dilihatnya Dewa masuk. Belum sempat Bintang mengeluarkan sepatah kata pun, sebuah
benda pipih panjang panjang meluncur dari tangan Dewa ke atas meja.
"Sekarang lo tau kan, gue kayak gimana."
Rahasia yang disimpan Bintang selama 2 bulan akhirnya terbuka juga.
"Gue nggak sebaik yang lo pikir. Terserah lo mau liat gue kayak apa," lanjut Bintang ketika
cowok itu terdiam dengan wajah yang menyiratkan kekecewaan.
Sejenak, Dewa menarik napas panjang untuk menenangkan diri setelah mendengar pengakuan
temannya yang tidak banyak bicara itu.
"Bintang..." Bintang menatap Dewa yang terlihat begitu serius.
"Gue bukan mau ngerecoki. Gue ngomong gini karena lo temen gue dan gue peduli sama lo,"
Dewa berhenti sejenak untuk memastikan Bintang mendengarkan.
"Lo masih sama Noval, kan" Gue pengin lo sayangin diri lo. Jangan diulangi lagi." Ditatapnya
cewek yang kini tertunduk sambil memainkan ujung kausnya.
"Lo sayang ia, kan" Kalo lo sayang dia, lo nggak akan memenuhi keinginan dia buat bikin dosa,
Bintang. Jangan diulangi lagi, ya?" Dewa menepuk pundak Bintang.
Bintang menatap langsung ke mata Dewa.
"Nggak, nggak lagi-lagi," ujarnya pelan. "Gue udah hampir gila, tiap malam dihantui tangisan
dan jutaan wajah bayi dalam mimpi."
***** Sejak mereka bertengkar, Bintang di pernah lagi di kosan Noval. Ia juga tak pernah mengizinkan
Noval untuk menginap di kosannya. Bintang selalu memiliki alasan untuk menolaknya secara
halus. Noval mendekati kekasihnya yang sedang menekuni kertas-kertas.
"Udah selesai belum?" tanya Noval tepat di belakang Bintang, membuatnya terlonjak kaget.
"Val, bikin kaget aja," ujarnya. "Belum. Kenapa, Val?" Bintang kembali berfokus ke setumpuk
kertas berisi kuesioner yang belum diperiksanya.
"Nggak apa-apa," sahut Noval. Bintang bisa merasakan dagu Noval yang keras di bahunya. Ia
diam sejenak, menyadari bahwa ini pertama kalinya Noval mendekatinya sejak terakhir kali ia
berubah menjadi Lucifer. Bintang merasakan napas Noval yang semakin berat. Sentuhan halus mulai menyerang bagian
belakang telinganya. Bintang terdiam, menerka-nerka sejauh mana Noval akan berbuat. Ia tahu,
cepat atau lambat hal ini akan terjadi lagi. Dan ia tak dapat terus-terusan menghindar.
Bintang menepis tangan Noval yang mulai menyusup ke bawah blus-nya. Ia melepaskan diri dari
pelukannya. "Gue nggak mau ngelakuin itu lagi, Val," ujarnya sambil menunduk, tak berani menatap mata
Noval. "Kenapa?" tanya Noval kesal. Ia kembali mendekati Bintang. "Ini bukan masa subur lo. Nggak
perlu khawatir," lanjutnya sambil menyelipkan poni Bintang ke belakang telinganya.
"Bukan." Bintang menjawab pelan.
"Terus kenapa?" Noval mulai kesal.
"Dosa, Val." Ucapan Bintang nyaris tak terdengar. "Gue nggak mau kayak gitu lagi."
Noval menatap Bintang dengan tajam sambil menyilangkan tangan di dada.
"Sejak kapan peduli sama dosa?" tanyanya dingin. Bintang diam saja.
"Jadi, nggak mau lagi?" desak Noval. Bintang hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Jahat. Kita kan mulai kayak gini berdua," gerutu Noval. "Jujur ya, gue nggak bisa berhenti. Jadi
selama masih mau sama gue, lo nggak bisa berhenti," ujarnya dingin.
Tak ada tanggapan dari Bintang.
"Sekarang lo pilih deh, ikutin mau gue, atau kita udahan aja." Kali ini Bintang memberanikan
diri untuk menatap Noval yang terlihat begitu serius.
Bintang menarik napas dalam berkali-kali. Tak pernah menyangka semua akan ada ujungnya,
walau ia tahu keabadian tidak diberikan pada yang hidup.
"Kita putus aja, Val," ujar Bintang sambil memalingkan wajah. Keheningan menyusul perkataan
itu. Setelah beberapa saat, Noval berdiri dan menjauh dari Bintang. Cewek itu mulai memunguti
dan mengumpulkan kertas-kertasnya. Saat ia memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas,
didengarnya Noval tertawa.
Noval berjalan mendekati Bintang dan berdiri menjulang di hadapannya.
"Yakin mau putus dari gue?" tanyanya sinis. "Gue uah dapet semua yang gue pengin dari lo. Gue
bisa dengan gampang dapet cewek yang lebih baik dari lo. Tapi lo, Bintang, siapa yang mau
sama lo?" lanjut Noval, seolah-olah Bintang tidak menyadari itu semua.
Bintang memanang Noval dengan kecewa.
"Kalau gue begitu buruk bagi lo dan lo bisa dapet yang lebih baik, kenapa nggak dari dulu lo
tinggalin gue?" "Gue kasihan aja sama lo," ujar Noval singkat.
Bintang menyandang tasnya.
"Sekarang nggak perlu kasihan lagi," ucap Bintang sambil mengangkat bahu, kemudian berbalik
dan meninggalkan Noval dengan perasaan terhina. Ia berusaha untuk tidak menangis.
Noval memandang punggung Bintang yang menghilang di balik pintu kosannya. Merasa terhina
ditinggalkan oleh kekasihnya.
Ilusi Dalam balutan kebaya putih dan sanggul sederhana, Bintang berdiri di sebelah wanita paruh baya
yang memakai setelan batik berwarna merah. Mereka berada di depan gedung olahraga yang kini
disulap menjadi tempat prosesi wisuda berlangsung. Banyak orang yang lalu lalang, beberapa
masih memakai toga, yang lain masih berfoto untuk kenang-kenangan, seperti dirinya.
Wanita itu berdiri anggun di sebelah Bintang. Diciumnya pipi sang anak yang sepagian sudah
menjadi landasan tempat mendaratnya ciuman-ciumannya. Bintang yang biasanya mengelak kini
senyum-senyum saja. Sekitar 1 meter di depannya, Dewa, yang lulus satu semester sebelum Bintang, berdiri sambil
memegang kamera. Wisuda Bintang hari itu hanya dihadiri oleh ibunya, Dewa, dan Marsha yang
sedang mencari minuman. Mei, yang juga lulus berbarengan dengan Bintang, sudah pulang
duluan bersama keluarganya untuk merayakan kelulusan di tempat lain.
"Yang anggun dong, Bintang," ujar Dewa sambil melihat melalui lensa kameranya.
"Satu... Dua... Tiga," tepat saat kamera mengambil gambarnya, Bintang mengalihkan pandangan
dari kamera. Jauh di depannya, Noval yang menggandeng si perempuan teater berjalan diikuti
teman-teman band-nya. "Ah, jelek," ujar Dewa yang kemudian membuang muka, kesal karena perhatian Bintang
teralihkan. Bintang hanya tersenyum miris, yang diartikan ibunya sebagai senyum haru karena
telah lulus. Ia memang telah mengikhlaskan semuanya, namun tak urung hatinya tercubit melihat
pemandangan itu. ***** Perempuan di depan Noval, yang memakai kebaya cokelat dan dikenalnya saat menjadi
pengiring teater, sedang asyik berceloteh sambil menunggu pesanan mereka datang. Mereka
berada di sebuah rumah makan khas Sunda. Tak satu pun celotehan tersebut masuk ke telinga
Noval yang memakai kemeja putih bergaris vertikal. Ia duduk dengan pandangan menyimak,
padahal pikirannya terbang melayang-layang ke depan gedung olahraga tempat Bintang dan
seorang perempua setengah baya difoto oleh Dewa.
Kekesalannya karena Bintang dengan sukarela putus darinya masih mengumpul di hatinya. Ia
pikir Bintang tak akan bisa lepas darinya karena gadis itu benar-benar mencintainya. Ilusi-ilusi
dalam pikirannya terus berlari, semakin lama semakin jauh. Wajah Dewa yang sedang memotret
Bintang terbayang dengan jelas di pikirannya. Dewa teman baik Bintang, ia selalu ada untuk
Bintang. Apakah mereka sekadar berteman"
Murahan, cerca Noval dalam hati. Padahal perempuan yang ditimpa kata 'murahan' itu hanya
bercinta dengannya, selalu mengikuti keinginan-keinginannya, bahkan tidak berteman dengan
banyak orang atas pintanya.
Noval kembali memfokuskan pandangan pada perempuan di depannya yang masih asyik
berceloteh. Ia sengaja mengajaknya untuk membuat Bintang kesal. Betapa menghancurkan hati
seseorang itu bisa indah sekali rasanya.
Di tengah celotehan si perempuan, seorang laki-laki yang sepertinya juga baru diwisuda masuk
ke dalam restoran, diikuti beberapa orang yang terlihat seperti keluarga dan teman-temannya.
Mereka mengambil meja yang jaraknya lumayan jauh dari Noval dan si perempuan teater.
"Ceweknya itu seangkatan sama gue, lho, Val," ujar Rika, si perempuan teater seraya
memberikan isyarat ke arah perempuan yang duduk satu meja dengan si wisudawan.
"Oh." Noval bersuara pelan.
"Dia tuh sering diselingkuhin, tapi tetep aja nggak mau putus," lanjut Rika. "Paling juga udah
ngasih." Rika menutup kalimatnya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Alis Noval naik
satu. "Maksudnya?" "Biasanya kalo udah ngasihh, cewek tuh susah mau putusnya," Rika menjelaskan dengan sabar.
"Kalo nggak susah?" Noval menenggak air putihnya.
"Paling juga udah punya cadangan." Rika menjawab enteng.
***** Pintu pagar yang berkarat berbunyi berisik ketika dibuka. Bintang melangkah masuk ke
pekarangan rumah setelah sekilas menatap motor yang terparkir di depan pagar. Ia
menghentikan langkahnya ketika melihat Daniel sedang duduk di kursi teras. Daniel berdiri
dengan canggung ketika melihatnya datang.
"Ngapain ke sini?" Ia merasa tak nyaman.
"Kenapa nggak datang ke pemakaman?" Daniel balik bertanya.
"Memangnya siapa yang mati"!" bentak Bintang yang berdiri dua meter di depannya. Ia
berjalan melewati Daniel dan menyenggolnya ketika mengambil kunci dari tasnya.
"Bintang, tunggu sebentar. Gue mau ngomong, bentar aja," kata Daniel, putus asa menghadapi
perempuan kerasa kepala itu.
"Sebentar," ulangnya.
Bintang melunak dan duduk di kursi teras. Daniel duduk di sebelahnya dengan canggung.
"Ada apa?" tanya Bintang.
"Bintang, sebenarnya dari awal gue udah tau..." Daniel berhenti sejenak. "Tau lo pacaran sama
Kaila, tau lo cuma manfaatin gue."
"Terus?" ujar Bintang ketus.
"Ya nggak terus terus," Daniel tampak sedikit kesal.
"Gue cuma mau bilang, gue tulus cinta sama lo walaupun lo nggak cinta gue. Tapi gue tau, lo
nyaman sama gue." Daniel berkata cepat.
"Yah, nyaman sebagai teman," tambahnya.
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terus?" Bintang bertanya, masih dengan nada ketus.
"Besok gue ke Jerman, belajar finance. Sebelum pergi, gue pengin ketemu lo dulu, siapa tau kita
nggak akan bisa ketemu lagi," ujar Daniel.
"Gue minta maaf, Niel." Bintang merasa sedikit bersalah.
"That's OK," ucap Daniel tenang. "Tapi gue harap lo bisa menerima bahwa Kaila sudah pergi."
Sejenak Daniel menanti respons dari Bintang. Melihat Bintang diam saja, Daniel melanjutkan
dengan ragu-ragu. "Cintailah laki-laki. Agar lo nggak perlu bersembunyi untuk mencintai seseorang."
***** Ibuku calling... Ah, tentu saja itu nomor yang menempati urutan pertama dalam daftar orang penting yang harus
dijawab panggilannya. "Pagi, Bintang." Suara seorang wanita terdengar ceria dari ujung sana.
"Pagi Bu, apa kabar?" sahutnya datar.
"Baik, toko juga udah berjalan sangat baik. Kayak dulu lagi. Kamu gimana?"
"Baik juga." Ia berbohong.
"Bintang, udah diputusin mau kerja di mana" Atau mau kuliah lagi?" Perempuan yang berbicara
di ujung sana berharap cemas agar Bintang memilih Bandung, kota tempatnya tinggal.
"Aku mau pulang ke Bandung, Bu," jawab Bintang. "Mau kerja di sana aja."
"Nggak langsung kuliah lagi?" tanya ibunya.
"Aku ngajuin beasiswa," jawab Bintang singkat. "Nunggu itu aja."
"Bintang?" "Ya, Bu?" "Kok diem aja" Lagi ada masalah?"
"Nggak ada kok, Bu. Minggu depan kalau aku pulang kita ke makam Ayah yuk, Bu."
***** Langkah kaki yang panjang dan cepat menyusuri koridor dengan deretan pintu yang tertutup di
dini hari. Pintu-pintu tersebut terkunci. Para penghuninya tengah terlelap dalam mimpi.
Ia berhenti di depan sebuah pintu dan memasukkan kunci dengan tergesa-gesa. Dalam
ketergesaan, berkali-kali kunci meleset dari lubangnya. Setelah mendengar bunyi 'klik', ia
langsung membanting pintu sekuat tenaga disertai emosi yang sudah ditahannya dari tadi.
Perempuan yang tengah tidur di kamar tersebut terjaga. Seharusnya baru beberapa jam lagi ia
bangun dan memulai harinya. Namun gangguan tak diduga di pagi buta itu memaksa dirinya
tersadar. Ia memicingkan mata, menatap laki-laki yang tengah berdiri di keremangan kamar yang hanya
diterangi lampu tidur. Pintu yang terbanting sudah tertutup. Memblokir cahaya lampu dari
koridor. "Noval." Si perempuan bersuara. Ia sudah menduganya, karena hanya orang itu yang memiliki
kunci duplikat kamar kosannya.
Si perempuan hendak beranjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu. Namun sebelum ia
menyentuhkan kakinya di lantai marmer dingin, si laki-laki sudah menyeretnya dari ranjang.
"Kasih tau gue, siapa cowok itu?" Matanya penuh amarah.
"Cowok apa?" Bintang kebingungan dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Noval di
bahunya. "Jangan bego. Lo tau. Lo udah ngasih semuanya ke gue, lo nggak punya apa-apa lagi. Nggak
mungkin lo berani pergi dari gue kalo nggak punya cadangan." Noval berkata pelan. Pikirannya
dipenuhi ilusi laki-laki tak berwajah yang tengah bersenang-senang dengan Bintang. Menginjakinjak dirinya dan melanggar wilayahnya.
"Kamu sakit, Val." Bintang meringis. Cengkeraman Noval yang semakin keras membuat
bahunya kebas. Bintang yang tengah berusaha melepaskan diri jadi heran ketika Noval tiba-tiba melepaskan
cengkeramannya. Cowok itu menatap lurus ke balik bahu Bintang. Berjalan ke arah rak buku
yang memajang beberapa pigura berisi foto Bintang dan teman-temannya. Salah satunya adalah
foto Bintang yang tengah memegang sketsa dirinya. Buatan Daniel yang tersenyum di
sebelahnya. Noval mengelus bingkai foto tersebut dengan lembut. Seperti mengelus gelembung sabun yang
mudah pecah. Matanya terpancang pada tanggal yang tertera. Ia membalikkan tubuh dan berjalan
ke arah Bintang. Sistem pertahanan tubuh Bintang mendeteksi adanya bahaya dari ketenangan Noval. Ia
melangkah mundur dan menjauh, tetapi tidak cukup cepat untuk menghindari segala sesuatu
yang berjalan begitu cepat.
"PELACUR!" Tangan Noval melayang ke pipi Bintang dan membuatnya menabrak meja rias. Bintang
tersungkur jatuh. Bagian belakang kepalanya yang membentur ujung meja rias berdenyut-denyut
nyeri. Noval berjongkok di sebelahnya, menatapnya dengan pandangan setan.
Teriakan Noval masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kepalanya yang berdenyut-denyut terasa
tak seberapa sakit dibanding ucapan Noval barusan. Di tengah denyut nyeri di kepalanya,
Bintang menangkap perubahan ekspresi pada wajah Noval. Noval menatap ujung bibir Bintang
yang berdarah karena 'bersentuhan' dengan tangannya. Dengan jari-jarinya yang bergetar, Noval
berusaha menyentuhnya. Sebelum jari-jari Noval sampai di tujuannya, Bintang mengepalkan tangannya. Pukulan itu tepat
mengenai pelipis Noval. "Lo orang jahat, Val." Bintang beringsut menjauhi Noval. Berjalan terhuyung menuju pintu.
Membukanya lebar-lebar. "Pergi, Val." It's a She, Not He Bintang menghampiri Dewa. Di sebelah Dewa berdiri Marsha yang terlihat begitu menawan.
Kebahagiaan bersinar-sinar dari seluruh tubuhnya.
"Selamat ya, Wa, Sha. Semoga langgeng sampai mati," ujar Bintang sambil tersenyum palsu.
Namun, doanya tidak palsu.
"Makan dulu sana." Dewa mengedikkan kepala ke arah meja makan, tempat beberapa orang
sedang mengambil hidangan.
"Nyantai, lah," sahut Bintang.
Rumah tempat acara pertunangan Dewa dan Marsha itu dipenuhi oleh orang asing bagi Bintang,
terutama keluarga keduanya, mereka hanya mengundang sedikit teman. Anehnya, saat itu
Bintang tidak merasa terganggu berada di tengah-tengah orang asing. Mungkin karena hal itu
menghindarkannya dari pertanyaan teman-temannya yang tak menyangka bahwa Noval dan
Bintang sudah putus. "Eh, nggak afdol kalo nggak makan," Dewa memaksa.
Akhirnya Bintang menurut. Tak berminat makan, ia hanya mengambil cola. Bintang berjalan
sambil menunduk untuk menghindari menatap orang asing. Hasilnya, ia menabrak seseorang.
Cola-nya tumpah. Bintang mengangkat kepalanya. Ia menabrak seorang laki-laki jangkung yang sedang memegang
pisang yang tinggal setengah. Noda cola mengotori kemeja putih yang dipakai laki-laki tersebut.
"Sorry," Bintang berkata datar dan pergi tanpa merasa berdosa.
Ia menghampiri Dewa dan Marsha.
"Wa, Sha, thanks buat undangannya. Gue pulang dulu, ya," pamitnya.
"Kok pulang" Kenalin dulu, nih. Ini sepupu gue, Median," Dewa menarik seorang laki-laki
bertubuh jangkung yang sedang membersihkan kemejanya dengan tisu. Laki-laki itu menatap
Bintang dengan tajam. "Oh... Hai, Dian. Mmm... sorry buat kemejanya. Ya udah, gue pulang ya." Bintang cepat-cepat
meninggalkan acara syukuran itu.
***** Kaca meja rias memantulkan bayangan seorang perempuan yang tengah berusaha menyanggul
rambutnya. Ia menyelipkan sebuah jepit hitam untuk menahan sanggulnya. Mereka sudah cukup
pantas untuk dilihat orang lain, ia berhenti mengurusi sanggul, lalu merapikan gaun ringan
berwarna salem yang membalut tubuhnya hingga ke lutut. Tepat ketika ia meraih tas, terdengar
ketukan pelan di pintu. Bintang tak dapat menebak siapa yang berkunjung ke kosannya sore itu.
"Val?" Bintang mundur beberapa langkah ketika melihat orang yang sedang berdiri di depan
pintu kamarnya. "Gue nggak akan nyakitin lo." Noval menangkap kegelisahan Bintang. "Janji. Mau bicara
sebentar. Boleh masuk?"
Bintang menatap Noval sejenak. Ia tidak berbohong.
"Masuk aja." Bintang bmasuk ke dalam dan duduk di sofa. Noval menyusul, duduk di sebelah
Bintang yang menghindari beradu pandang dengannya.
"Bintang, liat gue," pinta Noval. Bintang memandang Noval dengan risih.
"Gue mau pergi, Val."
Noval memperhatikan penampilan Bintang. Ingin menyuruhnya agar tak memakai gaun ketika
keluar rumah, tapi tahu bahwa ia tak memiliki kuasa untuk itu.
"Sebentar, kok. Emangnya mau ke mana?" tanya Noval.
"Ke acara nikahan, Dewa," jawab Bintang.
"Oh..." Noval salah tingkah, "Maaf, gue udah salah paham." Rasa bersalah yang meliputinya
selama beberapa hari terakhir kembali naik ke dadanya.
"Lupain aja. Mau ngomong apa?" Bintang berusaha tak memedulikan kata 'pelacur' yang masih
berdesing di telinganya. Kali ini Noval memandangnya dengan serius.
"Cuma minta maaf, itu aja?" Bintang mengalihkan perhatiannya dari Noval ke arah dinding putih
membosankan di depan mereka.
Noval mengedarkan pandangannya untuk mengalihkan kecanggungan. Ia melihat foto Bintang
dengan laki-laki itu masih ada. Tersimpan di sebelah foto Bintang dengan seorang perempuan
berponi pagar yang seingat Noval memenuhi album foto Bintang. Namun, ia berusaha keras
untuk tidak terpancing. "Lupain aja, Val. Udah lewat." Bintang berusaha tersenyum.
"Thanks," ujar Noval.
"Ya udah, lo mau pergi kan?" Noval beranjak dari tempat duduknya.
Bintang mengangguk. "Oh ya, cewek itu siapa, sih" Sahabat banget, ya" Banyak banget fotonya di album lo yang
dulu." Noval berbasa-basi.
"Oh..." Bintang mengikuti arah telunjuk Noval. "Namanya Kaila. Pacar gue waktu SMA.
Meninggal empat setengah tahun lalu.
Maukah" Pukul delapan tepat. Bintang duduk di kursi salah satu meja di sebuah kafe. Sebuah band yang
sedang tampil menarik perhatiannya. Memaksa memorinya menumpahkan kenangan akan
malam-malam Kamis yang ia lewatkan untuk menonton Noval dan band-nya menghibur
pengunjung. Namun malam itu bukan malam Kamis, dan ia tidak sedang berada di kafe tempat
mantan kekasih dan band-nya biasa tampil.
Jam tangan Bintang menunjukkan bahwa ia sudah 5 menit berada di sana. Ia duduk di kafe itu
untuk bertemu dengan Noval yang mengajaknya berjumpa karena kebetulan sedang berlibur di
Bandung. Malam itu direncanakan Bintang sebagai pertemuan terakhirnya dengan Noval. Ia tak
mungkin bisa hidup wajar jika mereka tidak berhenti bertemu.
Bintang duduk gelisah di kursinya. Perasaan tidak nyaman ketika dulu ia menunggu Noval untuk
merayakan anniversary kedua mereka"saat Noval tidak datang"kembali melintas.
Seorang pelayan berseragam merah dengan wajah ayu datang membawa teh jahe yang Bintang
pesan. Tak lama berselang, Noval muncul dan berjalan menghampiri mejanya. Karena si pelayan
belum meninggalkan meja, mereka memutuskan untuk sekalian memesan makanan.
"Sop buntut satu," ujar Bintang.
"Iga bakar dan jus jeruk satu," pesan Noval. Si pelayan menulis pesanan itu, kemudian
mengulanginya sebelum pergi meninggalkan mereka.
Bintang yang duduk di depan Noval merasa ada sesuatu yang berbeda dari penampilan cowok itu
malam itu. Ia memakai kemeja berlengan panjang yang digulung sedikit, padahal sebelumnya ia
tak pernah memakai pakaian selain kaus dan jaket. Bintang sendiri hanya memakai jeans hitam
dan blus biru yang sederhana.
"Apa kabar?" Bintang mengawali percakapan. Berusaha bersikap biasa dan melupakan hal-hal
yang pernah terjadi di antara mereka.
"Baik," jawab Noval. "Elo sendiri" Ibu lo?"
"Baik juga. Ibu juga baik," Bintang menjawab singkat.
"Ngomong-ngomong, selamat ya. Akhirnya dapat juga beasiswa yang dipengenin," ujar Noval.
Bintang hanya tersenyum. "Makasih," ucapnya pelan.
Dari mana dia tahu" Bintang heran, karena sudah beberapa bulan mereka sama sekali tidak
bertemu dan lost contact. Namun, ia tidak berminat menanyakan hal tersebut.
Tak lama kemudian, seorang pelayang datang membawa pesanan mereka. Bintang dan Noval
menikmati makanan masing-masing. Untuk sementara, mereka terbebas dari keharusan mencari
topik pembicaraan. Makanan mereka telah habis. Mau tak mau, mereka harus masuk ke masalah inti. Bintang
menyesap tehnya sebelum berbicara.
"Sebenarnya mau ngomong apa, Val?" tanyanya.
"Bintang..." Noval memulai. "Gue pernah bilang, bisa dengan mudah dapet pengganti lo yang
jauh lebih baik..." Noval diam sejenak. Bintang hanya memandangi jari-jari di pangkuannya.
"Gue salah." Noval melanjutkan.
"Kalau study lo udah selesai, dua tahun lagi..." Noval menggenggam sesuatu yang diambilnya
dari saku celana, "Maukah... maksud gue, menikahlah dengan gue, Bintang?"
Noval membuka genggamannya. Ada sebuah kotak kecil berwarna biru tua di sana. Noval
membukanya dengan tangan gemetar. Sebuah cincin dari emas putih dengan permata mungil
berkilau ditimpa cahaya. Masih dengan tangan bergetar, Noval menyodorkan kotak berisi cincin
itu kepada Bintang yang tampak salah tingkah. Apa yang dilakukan Noval sama sekali tak
terlintas di kepala Bintang.
Setelah mampu menguasai diri, Bintang menutup kotak di tangan Noval, kemudian mengatupkan
jari-jari Noval dan mendorongnya menjauh.
"Lo kenapa, Val?" tanyanya serius.
"Gue sungguh-sungguh." Noval meyakinkannya.
"Jangan gini, Val. Ngelakuin ini cuma karena ngerasa bersalah dan buat balas jasa aja," Bintang
berujar pelan. "Nggak gitu," sanggah Noval kecewa. "Gue sungguh-sungguh."
"Gue baru nyadar, nggak ada yang sebaik lo. Dan gue sayang lo sama besarnya. Cuma nggak
tahu cara nunjukkinnya." Noval mencondongkan tubuh, menatap langsung kedua mata Bintang.
Mencari tahu, apakah Bintang masih menyisakan cinta untuknya. Lucu juga, karena beberapa
bulan lalu justru Bintang yang melakukan hal tersebut.
Noval kembali duduk tegak.
"Gini aja," ujarnya. "tolong lo pikirin. Di bandara nanti, ketika lo mau berangkat, kasih gue
jawaban." "Kalo nerima, pakai ini di jari lo." Noval menunjukkan cincin di kotak beledru biru tua tersebut.
"Kalo lo nolak, simpan di mana aja, tetapi tidak di jari." Noval menutup kotak tersebut dan
menyodorkannya kepada cewek di hadapannya. Bintang memandang kotak tersebut lekat-lekat.
"Gue pikirin," ujarnya. Dimasukkannya kotak biru tua tersebut ke dalam tas tangannya.
Suara band indie yang sejak tadi mengalun tapi tidak didengarkannya kini kembali menghampiri
mereka. "Bintang, vokalisnya cantik, ya," ujar Noval setengah bergurau. Bintang menatap si vokalis
sekilas. "Tahu, Val. Tapi sekarang gue sukanya sama elo doang," ujarnya singkat. Noval tertawa pelan
sekaligus lega mendengar jawaban Bintang. Lega karena perempuan di hadapannya sudah benarbenar kembali jadi miliknya.
***** Bagi Bintang, semua bunga cantik dan merupakan pengabar yang baik. Kali ini, sebuket bunga
sedap malam"yang malu-malu mengeluarkan wangi di siang hari"berada dalam
genggamannya. Bintang melangkah dengan cepat, menimbulkan bayangan panjang di tanah yang ia lewati.
Bayangannya sejenak hilang ketika bertemu bayangan pohon. Pohon-pohon itu lebih tinggi
darinya, matahari mengintip dari sela-sela daun dan dahan.
Di bawah sebuah pohon, di antara gudukan-gudukan tanah bernisan, Bintang menghentikan
langkahnya walau ia belum sampai di tujuannya. Ia bersatu dengan bayangan pepohonan, yang
membuat bayangannya sendiri tidak tampak. Bintang melihat laki-laki yang paling dibencinya
seumur hidup sedang berdiri di samping nisan yang ia tuju. Dengan penuh kasih, laki-laki itu
meletakkan setangkai bunga matahari di atas kuburan itu.
Penasaran dengan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu, Bintang berjalan mendekat.
"Lagi ngapain, Reno?" tanyanya sinis. Si laki-laki yang sudah terbiasa dengan keheningan
pemakaman tersebut kaget dan menoleh ke arah sumber suara.
"Bukan urusan lo. Tiap hari juga gue ke sini." Reno memalingkan wajahnya.
Bintang berjalan ke kuburan yang ditujunya, berdiri di sisi yang berlawanan dengan Reno.
Ditaruhnya sebuket bunga sedap malam yang dibawanya di bagian tengah makam, tak sudi
meletakkannya di sebelah bunga matahari Reno.
"Tiap hari?" Bintang mengerutkan dahi. "Ngapain" Bukannya lo benci banget ya sama Kaila?"
Reno menatap Bintang dengan ketidaksukaan yang nyata.
"Gue marah. Tapi gue nggak benci," ujar Reno, "Gue sayang, tapi nyadarnya telat." Ia tersenyum
kecut. "Ya, saking sayangnya sampai lo nyebarin foto dia sama gue gitu. Jangan-jangan, foto-foto Kaila
yang di web juga lo yang nyebarin, ya?" sindir Bintang. Reno terdiam.
"Gue marah, masa gue harus saingan sama lo, sih?" Reno tertawa tanpa nada senang.
"Gue yang maksa dia jadi nakal, dengan manfaatin foto lo sama dia. Dia capek dan nolak
kemauan gue. Gue marah. Gue sebarin aja foto-foto yang lainnya," lanjut Reno dengan tawa
seperti orang yang kehilangan kewarasannya.
Bintang menetapnya dengan tidak percaya. Ia kehilangan kata-kata untuk mencaci Reno.
"Dia mati gara-gara gue." Reno berujar pelan setelah dapat menguasai dirinya.
Bintang akhirnya mendapatkan kembali suaranya.
"Berengsek lo, Ren," ucapnya pelan. "Gue nggak masalah dia pergi dari gue dan milih lo. Gue
pikir dia bahagia sama lo. Bisa-bisanya... bisa-bisanya lo..." Bintang gelagapan. Terlalu banyak
cacian di kepalanya, sampai tak satu pun dapat keluar.
"Arrrgh!" Bintang menggeram kesal. Ditendangnya batu di dekat kakinya sebelum melangkah
pergi dengan terseok-seok, meninggalkan Reno. Tujuannya untuk berpamitan pada Kaila
terlupakan sudah. Kemarahan dan kejutan yang tak menyenangkan memang bisa memberangus
semuanya. ***** "Kamu nunggu siapa, Bintang?" Ibunya bertanya. Mereka berada di tengah orang-orang yang
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu lalang di bandara. Ia terlihat khawatir karena 15 menit lagi pesawat yang akan mengantarkan
Bintang menggapai cita-citanya lepas landas.
"Nunggu temen. Sebentar lagi, kok." Bintang menjawab tenang, karena ia baru menerima SMS
dari Noval bahwa ia sudah sampai.
"Hai Bintang. Lama ya?" Noval melambaikan tangan ke arah Bintang sambil berjalan menuju
Bintang. "Nggak, kok," jawab Bintang dengan wajah berseri.
"Jadi?" Noval bertanya langsung.
Bintang diam sejenak. Ia menatap sepatu ketsnya. Noval memperhatikan Bintang. Ia melirik
tangan Bintang, namun kedua telapak tangannya berada di saku jaket. Ia tak mampu menebak.
Sekilas, dari balik bahu Bintang, ia melihat seorang perempuan setengah baya yang menatap
mereka dengan gelisah. Noval kembali menatap Bintang.
Perlahan, Bintang mengeluarkan telapak tangannya dan memperlihatkannya pada Noval. Tak ada
cincin di sana. Noval tertunduk lesu.
"OK. Gue ngerti," ujar Noval.
"Val..." Bintang bersuara.
Noval menatap Bintang. Ternyata hari ini ia mengantar Bintang untuk pergi darinya. Ingin sekali
ia melangkahkan kaki di sana. Tapi ia masih berdiri kaku di tempatnya dan memperhatikan
Bintang mengeluarkan kotak biru tua dari sakunya.
"Gue mau lo yang pakein ke jari gue," ujar Bintang sambil menyodorkan kotak tersebut pada
Noval. ***** "Bintang..." Noval berkata lemas. "Bisa-bisanya bikin gue jantungan."
Bintang hanya tersenyum malu-malu.
Akhirnya cincin itu terpasang pas di jari manis Bintang. Keduanya merasa begitu lega.
Dengan sedikit pilu, Bintang menatap cincin di jarinya.
Coba kemarin-kemarin. Kita nggak perlu jadi pembunuh, Val, pikirnya.
Noval mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya. Cincin yang persis sama, hanya saja
tidak bermata. "Sekarang pakein ini ke gue," ujarnya sambil menyerahkan cincin tersebut pada Bintang.
Bintang mengambilnya dan memasangkannya di jari cowok itu.
"Dua tahun itu lama. Lo harus nunggu dua tahun. Tahan gitu?" Bintang bertanya pelan setelah
cincin polos itu terpasang di jari Noval. Jari mereka kini sama-sama terikat.
"Gue berusaha. Lo di sana jangan nakal, ya. Jangan tebar pesona sama bule." Noval mengecup
kepala Bintang yang rambutnya tergerai bebas.
Mereka berdua diam sejenak dalam keheningan yang membahagiakan.
"Kenalan sama ibu gue, yuk," ajak Bintang. Ditariknya Noval yang malu-malu untuk menemui
ibunya yang sudah kesal dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan anaknya di injury time.
Bintang Tidak Terang Butir-butir salju berjatuhan ke pucuk cemara yang ujungnya setinggi jendela lantai empat
dormitory. Jendela tak luput dari butiran salju yang membuatnya lengket ke kusennya sehingga
tidak dapat dibuka. Selain dihujani es, jendela dormitory tersebut juga tertutup oleh kabut tebal
sehingga ruangan tidak dapat dilihat dari luar.
Di dalam ruangan, seorang perempuan tengah meringkuk di bawah selimut tebal. Hidungnya
tersumbat, matanya berair, tetapi bukan hal-hal itu yang membuatnya tersiksa. Perut bagian
bawahnya benar-benar terasa sakit, seperti kram. Beberapa lembar kertas tercecer di lantai di
sebelah tempat tidurnya, kertas-kertas tugas akhir yang sedang ia periksa sebelum akhirnya
menyerah karena sakit perutnya.
Pintu dormitory terbuka, seorang perempuan masuk. Angin dingin masuk melalui celah sebelum
si perempuan menutup pintu. Dengan wajah memerah karena udara dingin, Ranti, teman
sekamar Bintang, membuka sarung tangan, syal, dan mantelnya. Rambutnya yang sebahu terlihat
tak beraturan ketika ia membuka topi.
"Bintang, masih sakit?" tanyanya ketika melihat Bintang yang kini meringis sambil tidur-tidur
ayam. Bintang hanya menggumam tak jelas.
"Aneh deh, bukannya biasanya kalo dapet nggak sakit. Kok akhir-akhir ini sakit melulu, ya?"
lanjut Ranti sambil menghampiri Bintang yang meringkuk di atas tempat tidur seperti bayi.
"Periksain deh, takut kenapa-napa," ujar Ranti sambil menjauh dari Bintang dan berjalan ke
lemari. "Nggak, ah. Flu mah nggak perlu diperiksa juga sembuh sendiri," jawab Bintang sambil menatap
Ranti yang sedang memilih-milih pakaian.
"Bukan flunya, Bintang, tapi perut lo yang sakit kalo dapet," tukas Ranti kesal sambil menarik
sebuah sweater dari lemari.
"Males ah. Eh, gimana konsulnya" Di-approve, nggak?"Ranti hanya tertawa mendengar
pertanyaan itu. "Heh, apa hasilnya" Idenya di-approve, nggak?" Bintang mengulangi.
"Ah, orang sakit nggak usah banyak ngobrol, deh. Istirahat aja," ujar Ranti sambil mengenakan
sweater melalui kepalanya. Rambutnya yang berantakan semakin berantakan.
Bintang mendengus pelan. Dari wajah Ranti yang berseri-seri, Bintang yakin bahwa ide tugas
akhir Ranti sudah diterima.
***** Nugraha_N@yahoo.com Noval memasukkan ID-nya, dilanjutkan mengisi password e-mail tersebut. Akun e-mail-nya
terbuka. Ada sebuah pesan baru di kotak masuk. Dibukanya pesan tersebut.
From : dewatra.bintang@email.com
Subject : gak tahan... Di sini musim salju berat.
Bikin flu berat. Meleeer... gak pernah bisa adaptasi.
Gimana di sana" Pengin pulaaaaang... Noval tersenyum sendiri membaca e-mail tersebut. Ia cepat-cepat membalas.
To : dewwatra.bintang@email.com
Subject : ... Gimana flunya" Masih"
Di sini cuaca gak tentu...
Parah... Pulang tanggal berapa"
Orang-orang pada kangen...
(Gue khususnya... hehehe...)
Setelah membacanya kembali, Noval mengirim e-mail tersebut sambil berharap Bintang cepat
membalasnya. ***** Musim dingin membuat virus flu memperoleh kemenangan besar atas imun dari banyak inang.
Memaksa banyak orang keluar dari ruangan yang hangat untuk pergi ke rumah sakit.
Seorang perempuan yang mengenakan mantel hitam tebal berjalan di koridor rumah sakit yang
sangat ramai. Kebanyakan pasien datang dengan penyakit musiman seperti flu berat. Beberapa
dari mereka hanya orang-orang dengan fobia berlebihan, yang merasa dirinya sakit dan ingin
mendapatkan perawatan, sementara tubuh mereka sesungguhnya sehat. Para juru rawat yang
biasanya ramah menjadi senewen menghadapi pasien yang terlalu banyak.
Si perempuan bermantel hitam melambatkan langkahnya untuk membuka amplop cokelat tempat
berkas hasil pemeriksaannya tersimpan. Ia ingin melihatnya lagi walaupun ia sudah mendapat
penjelasan. Sekadar untuk berjaga-jaga, siapa tahu berkasnya tertukar. Tubuhnya tersenggol
beberapa orang yang lewat. Mereka menatapnya dengan kesal karena menghalangi jalan.
Ia memeriksa ulang berkasnya.
Masih terbayang penjelasan dokter berambut pirang dengan mata biru pucat. Dokter itu duduk di
hadapannya, dengan latar belakang salju yang berjatuhan di jendela.
"Infeksi. Harus diangkat."
Bintang yang menatap jendela dengan salju berjatuhan di luar mengalihkan pandangannya.
"Tidak ada jalan lain?" Ia bertanya datar.
"Tidak ada." Dokter itu menggeleng pelan.
Koridor yang sibuk kembali menyapa Bintang. Dimasukkannya berkas yang sudah selesai
diperiksanya ke dalam amplop. Tidak ada yang salah, tidak ada yang tertukar.
"Ah, peduli amat." Bintang bersuara pelan sambil memasukkan berkas tersebut ke dalam tas.
Dengan merapatkan mantel, Bintang keluar dari rumah sakit umum itu. Butiran salju menghujani
mantelnya. Setelah mencair, salju membentuk lingkaran-lingkaran hitam basah di mantelnya.
***** Pintu salah satu dormitory yang tak terkunci itu terbuka ketika seorang perempuan
mendorongnya ke dalam. Pintu itu menampilkan sebuah kamar yang ditempati oleh dua orang.
Seorang perempuan tenah berbaring di atas ranjang single-nya yang menempel ke dinding sambil
membaca. "Gimana hasil pemeriksaannya?" tanya teman sekamarnya sambil mengubah posisinya menjadi
menyamping dan bertumpu pada sikunya.
"Sehat. Nggak kenapa-kenapa," jawab si perempuan yang kini membuka sebungkus susu bubuk
instan. "Gimana" Udah siap di uji?" tanyanya.
"Udah. Tinggal ngoreksi spelling yang salah aja," jawab teman sekamarnya dengan nada lelah.
"Aaah, kalau lancar, dua bulan lagi kita bisa pulang dan makan enak," tambahnya sambil
menguap dan menegangkan otot-otot yang kaku.
Perempuan yang sedang menuangkan air panas dari dispenser hanya tersenyum dan mengamini.
Diskusi Tunggal Sinar matahari yang tak begitu terang menerobos kaca jendela dan menimpa seluruh benda di
dalam kamar Bintang, termasuk dirinya yang tengah berbaring menyamping menghadap tembok
putih kusam. Amplop cokelat mencuat dari balik selimut di sampingnya.
Matanya yang semalam basah kini sudah kering, hanya menyisakan sembap dan bengkak.
Bintang menatap tembok di hadapannya sambil melamun.
Deritan terdengar dari ranjang yang menopang tubuh Ranti. Menandakan bahwa cewek itu akan
segera bangun dan mulai beraktivitas. Perlahan, Bintang menarik selimut untuk
menyembunyikan diri. Ia sedang ingin sendirian dan tidak ingin berbicara pada siapa pun. Ia
perlu menenangkan diri dan memikirkan banyak hal.
***** Noval menutup e-mailnya. Ia diliputi kekecewaan. Sudah lama sekali sejak ia mengirim e-mail
terakhir kepada Bintang, dan sampai sekarang belum ada balasan. SMS-SMS yang dikirimnya
pun tidak dibalas, begitu pula teleponnya, tidak pernah diangkat. Semua itu membuatnya tak bisa
berhubungan dengan Bintang. Noval bertanya-tanya dengan heran. Rasanya mereka tidak
memiliki masalah dan tidak sedang bertengkar. Ia juga tidak merasa melakukan sesuatu yang
salah. ***** Dua koper besar tergeletak di lantai dalam keadaan terbuka. Bintang dan Ranti sudah
menyelesaikan masa belajar dan siap untuk pulang.
Bintang sedang melipat kaus kaki dan pakaian-pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam koper,
sedangkan Ranti sibuk di balik pintu lemari. Gerakan Bintang mulai melambat. Kram perutnya
datang lagi. Ranti menutup lemari. Di tangannya terdapat banyak pakaian.
"Kenapa, Bintang?" tanya Ranti saat melihat Bintang yang kini bersandar pada tepian tempat
tidurnya sambil meringis. Kaus putih yang dipegangnya belum sempat dilipat.
"Kram," jawab Bintang.
"Lho, katanya nggak kenapa-napa waktu diperiksa?" Ranti berujar heran sambil menaruh bajubaju yang dipegangnya di sebelah koper.
"Ya emang nggak kenapa-kenapa." Bintang mengakhiri percakapan.
Ranti tampak tidak setuju dan ingin bertanya lagi, tapi handphone Bintang berdering,
menunjukkan sebuah pesan yang baru masuk. Pesan dari Noval.
From: Val Bintang, sebenarnya ada apa"
Gw butuh penjelasan. Pulang kpn" Bintang menyandarkan kepalanya sejenak untuk berpikir. Sakit di perut dan pinggangnya yang
terasa menyiksa setiap haid benar-benar mengganggu. Akhirnya Bintang memutuskan untuk
membalas SMS itu. To : Val Ga kenapa2... Maaf lama ga ngasih kabar.
Pulang Jumat ini Val. Laki-Laki Matahari Confetti, gelas, piring kotor, dan sampah bekas pesta lainnya bertebaran di mana-mana. Ruangan
itu kini kosong. Bintang duduk di sudut, di antara tebaran confetti. Daniel duduk di sebelahnya.
Bintang mencegah Daniel pulang untuk membicarakan sesuatu.
Daniel duduk tertunduk dengan ekspresi stres di wajahnya setelah mengetahui apa yang
diinginkan Bintang. "Kenapa sih lo selalu ngerepotin hidup lo sendiri?" Daniel bertanya berat. Bintang hanya
mengangkat bahunya, "Tolong banget, Niel," ujar Bintang pelan. Ia sudah menjelaskan panjang lebar. Kantuk sudah
menyelimuti keduanya. "Gue pikir-pikir dulu, deh. Sekarang gue pulang dulu." Daniel beranjak dari kursi dan
mengambil jaketnya. "Lo juga istirahat. Itu mata udah kayak panda," tambahnya.
Bintang tersenyum simpul, sepertinya ia bisa menebak jawaban Daniel.
***** Irah yang sedang menyapu halaman membukakan pagar ketika Noval sampai di depan rumah
Bintang. Itu kali kedua ia berkunjung ke sana. Mereka berencana pergi ke kebun binatang untuk
melepas penat. Noval mengangguk pelan kepada asisten rumah tangga itu sebagai ucapan
permisi ketika memasuki halaman rumah.
Setelah membuka helm dan menggantungnya, Noval mengeluarkan handphone-nya.
To : Bintang-ku Gw udah d bwh. "Bi, Ibu sama Bintang ada, kan?" Noval berbasa-basi sambil menunggu Bintang keluar dan
mengajaknya masuk. "Ibu lagi di toko," jawab Irah. "Teteh ada di kamarnya sama Dan..." Irah berhenti bicara. Ia
tampak salah tingkah. "Sama siapa?" ***** Pintu kamar bercat putih itu terbuka. Dua orang yang berada di dalam sepertinya tidak
menyadari hal itu, mereka asyik memagut bibir satu sama lain.
"ANJING!!" Noval menarik laki-laki sipit jangkung yang sedang mencium tunangannya itu.
Dengan sekuat tenaga, ia melepaskan tinju ke wajah si laki-laki sampai tersungkur di lantai.
Bintang yang masih duduk di atas ranjangnya tampak kaget. Ia hanya mendongak memandang
Noval yang berdiri penuh amarah di hadapannya.
"Jadi gitu"! Hah"!" Raut dingin Lucifer kembali muncul di wajah Noval. "Lo... bisa-bisanya..."
Ia terengah-engah saking marahnya.
"Dasar pe... pe..." Noval tak dapat melanjutkan kata-katanya. "Aaargh!!"
Sebuah vas hancur berkeping-keping setelah dilempar Noval dengan penuh amarah.
***** Setelah Noval pergi dan langkah-langkahnya tak terdengar lagi, Bintang turun dari ranjang.
Dihampirinya Daniel yang masih duduk di lantai sambil memegangi bibirnya yang berdarah.
"Sakit, Niel?" tanya Bintang sambil berjongkok.
Daniel hanya mendelikkan mata. "Menurut lo?"
"Makasih," ujar Bintang. "Gue ambilin iodine sama es dulu, ya. Biar nggak bengkak," lanjutnya
sambil berdiri. "Kenapa sih lo nggak bilang aja?" ujar Daniel yang masih duduk sambil menekan bibirnya yang
berdarah. Bintang yang berada di ambang pintu menghentikan langkahnya.
"Dia bisa aja nerima lo apa adanya," lanjut Daniel. Bintang berbalik.
"Gue nggak mau dia nerima gue apa adanya. Gue pengin dia bahagia," sahut Bintang.
"Satu lagi," ujar Daniel sambil berdiri.
"Apa?" tanya Bintang, mulai kesal.
"Enakan sama gue apa Kaila?"
Sandal kamar berwarna merah yang dipakai Bintang pun melayang ke arah Daniel yang tertawatawa dengan bibir bengkaknya.
***** Di dekat jendela bertirai putih di sebuah kamar rumah sakit, seorang perempuan setengah baya
berdiri mematung. Menatap keluar dengan pandangan kosong.
"Bu..." Bintang yang duduk di tempat tidur sambil menunggu waktu operasi pengangkatan rahim
berusaha mengajak ibunya bicara. Tetapi perempuan itu bergeming. Ia benar-benar kecewa pada
keadaan anaknya. Bintang sendiri pun akhirnya tahu diri dan diam. Ia juga benar-benar kecewa dengan dirinya
sendiri. Ia tak berharap dimaafkan, walau ia tahu ibunya memaafkan.
***** Seorang perempuan menyandarkan dirinya ke bahu Noval yang pandangannya tertuju pada
televisi yang menyala di depannya.
"Gue nggak nyangka lo bakal hubungin gue lagi. Kita udah lama lost contact juga. Gue kaget
lho, waktu tau lo batalin pertunangan lo." Si perempuan menggelayut manja.
Noval hanya tersenyum pada perempuan yang tampak gembira di sebelahnya.
"Gue seneng," ujar si perempuan, sesaat sebelum kilau yang berasal dari logam di jemari Noval
terlihat olehnya. Tangannya menyentuh jari-jari Noval. Ditelusurinya jari itu hingga mencapai
logam yang berbentuk cincin.
Dewatra. Nama yang terukir di cincin tersebut. Si perempuan tersenyum kecil sebelum kemudian
duduk tegak di samping Noval. Noval tampak salah tingkah.
"Rika?" tanya Noval pada perempuan yang kini terdiam. Biasanya perempuan itu sangat
ekspresif dalam mengungkapkan pemikiran-pemikirannya."Lo tau apa itu cemburu, Val?" Rika
menatapnya sambil tersenyum.
"Gue ngerti kalau lo masih inget dia. Ngelupain orang itu nggak mudah." Rika diam sejenak.
"Tapi, biasa nggak sih, lo hargai perasaan gue?" lanjutnya. Noval diam saja, tak tahu harus
berkata apa. "Seenggaknya, lepas dulu cincin itu waktu ketemu gue." Rika menunjuk cincin di jari Noval.
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bersikaplah seolah-olah lo seneng bareng gue, Val. Nikmati waktu bareng gue tanpa terangterangan menghadirkan kenangan mantan lo." Rika mendengus kecewa. Kemudian ia berdiri,
memakai cardigan-nya dan mengambil tasnya.
"Mau ke mana?" tanya Noval. Rika yang sedang mengancingkan cardigan sambil
memunggunginya membalikkan tubuh.
"Kali ini pun gue cuma jadi pelarian ya, Val," ucap Rika pelan. Tangannya bergetar ketika
merapikan cardigan. "Kalau gue cuma orang buat nemenin lo saat sepi dan lo sendiri nggak punya niat dan usaha buat
sayang sama gue, gue nyerah," ujarnya dengan senyum dipaksakan. "I'll turn around."
Sekilas, Noval melihat setetes air meluncur di pipi Rika sebelum perempuan itu
meninggalkannya. Rasa sesak menyelimuti dada Noval.
Inikah rasa bersalah"
Noval beranjak dari tempatnya untuk mengejar Rika. Sekadar untuk mengucapkan maaf karena
telah memanfaatkannya. Tidak seharusnya ia menyakiti hati seseorang untuk menghilangkan
sakit hatinya sendiri. Sayang sekali, permintaan maaf tersebut tak pernah sampai. Rika yang menghilang di balik pintu
kontrakan Noval sudah tak tampak ketika ia mengejarnya keluar. Yang ada hanya halaman
kosong dan seorang perempuan setengah baya di teras rumah.
"Noval?" Perempuan itu berkata dingin.
***** Dua bulan sudah Bintang mendirikan restoran seafood di pinggir pantai Teluk Penyu. Pada
minggu-minggu pertama, semua terasa berat, namun kini ia dan karyawan-karyawannya yang
berjumlah empat orang mulai terbiasa. Meskipun belum memiliki pelanggan tetap, setiap hari
res torannya selalu kedatangan pengunjung.
Siang itu, Bintang duduk sambil melamun. Dua karyawan Bintang asyik mengobrol dalam
bahasa Jawa yang tidak ia mengerti. Dua orang lagi, yang merupakan pasangan kekasih baru,
sedang duduk berdua dan berbisik-bisik.
Pacaran. Hal itu sudah lama dilupakan Bintang. Namun, melihat dua karyawannya yang sedang
berpacaran dan sepertinya akan menikah muda serta cepat punya anak, sesuatu terlintas di
pikiran Bintang. Ia berpikir untuk mengadopsi anak. Bagaimana pun juga, ia manusia normal
yang tak ingin selamanya sendiri.
Pikiran tersebut membuatnya miris. Ia ingin mengadopsi anak, sedangkan anak kandungnya
sendiri dulu dibuatnya invalid. Bintang cepat-cepat menyingkirkan pikiran tersebut. Ia sudah
berjanji untuk berhenti menghukum dirinya sendiri dengan menyesali masa lalu.
Sambil menguap pelan, Bintang beranjak dari tempatnya. Ia ingin berjalan-jalan di pantai untuk
menghilangkan jenuh. "Saya ke pantai dulu ya, sebentar," ujarnya pada karyawan-karyawannya.
"Iya, Mbak." Mereka menjawab serentak, seperti paduan suara.
Di dekat pohon kelapa, dilihatnya beberapa anak sedang berjongkok mengelilingi sesuatu.
Penasaran, Bintang menghampiri mereka.
Anak-anak itu mengelilingi api kecil yang mereka buat sambil membakar sesuatu. Kelihatannya
seperti kerang yang dijadikan sate. Bintang ikut berjongkok di antara anak berkostum sepakbola
berwarna biru dan anak laki-laki botak berkaus merah usang. Semua anak berkulit gelap karena
terbakar matahari dan bau keringat.
"Lagi apa?" tanya Bintang. Anak-anak itu menoleh pada pendatang baru yang tidak diundang.
"Sate kerang," jawab seorang anak berbaju kuning di depan Bintang. Yang lain diam saja, masih
merasa aneh dengan kedatangannya.
"Boleh minta nggak?" tanyanya lagi.
"Nggak ada lagi." Mereka menjawab serempak.
"Nanti kalo udah mateng dibagi-bagi, deh," usul seorang anak berbaju putih kusam. Bintang
tersenyum senang. Sebenarnya ia hanya ingin ikut bermain, karena ia sendiri sudah bosan makan
makanan laut. "Sini, dibantuin." Bintang mengambil sate yang dipegang oleh anak berbaju biru di sebelahnya.
Anak itu kini duduk santai.
Sambil menunggu sate kerang matang, Bintang mengedarkan pandangannya. Pantai tidak begitu
ramai hari itu. Beberapa orang di depannya sedang bermain air, satu orang berjalan ke arah
mereka. Bintang tak dapat melihat dengan jelas karena ia berjongkok menghadap matahari.
Posisi itu membuatnya silau.
Bintang kembali memusatkan perhatian pada sate yang sebentar lagi matang. Wanginya sudah
tercium. Sambil membakar kerang, ia kembali melihat pemandangan di depannya.
Orang yang berjalan ke arah mereka sudah dekat, tetapi wajahnya tak terlihat karena sinar
matahari yang terpendar di belakangnya. Bintang tak memedulikannya. Namun, ia menangkap
sesuatu yang aneh. Sepertinya ia mengenali cara berjalan orang itu. Ia berusaha memfokuskan
penglihatan pada orang tersebut.
"Udah mateng." Seorang anak mengingatkan Bintang.
Seseorang mengambil sate kerang dari tangannya. Menyelamatkan makanan itu dari gosong.
Wajah orang itu kini terlihat jelas. Bintang berdiri diikuti tatapan anak-anak kecil yang
menggenggam sate kerang. Ia keluar dari lingkaran anak-anak.
Noval, dengan celana pendek, baju pantai, dan sandal jepit, kini berdiri di hadapannya. Sinar
matahari berpendar dari tubuhnya yang membelakangi matahari.
"Bintang Dewatra, kenapa lo bikin semuanya jadi begitu sulit?"
-The End- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-Novel-Online-BahasaIndonesia/121869111320360"fref=photo
Beraksi Kembali 3 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Teror Melanda Kelas 9a 2
tengah barang yang berserakan.
"Apa itu?" tanya Noval. Bintang diam saja. Cowok itu mendekati Bintang dan ikut melihat-lihat
album yang sebagian besar berisi foto Bintang dengan seragam abu-abu. Sisanya foto Bintang
dengan teman-temannya. "Siapa itu?" Noval menunjuk Daniel yang tertawa lebar di sebelah Bintang di depan whiteboard.
"Temen," Bintang menjawab singkat.
"Bukan mantan?" tanya Noval, karena di album itu hanya laki-laki itu yang berfoto berdua
dengan Bintang. Bintang tak menjawab.
"Kalau yang itu?" Noval menunjuk foto Bintang dengan Kevin yang memakai pakaian formal.
"Itu baru mantan," jawab Bintang.
"Kok masih disimpan?" Noval terlihat marah. Bintang mengeluarkan foto tersebut dari album
dan menyerahkannya pada Noval.
"Buang aja," ujarnya singkat, tak ingin bertengkar sekaligus sebal mengingat kejadian saat ia
diturunkan di jalan. Noval mengambil foto tersebut dan benar-benar membuangnya ke tempat
cucian kotor karena belum ada tempat sampah. Setelah itu, ia kembali berjalan mendekati
Bintang untuk melihat album foto yang masih dipegangnya.
"Ayo liat-liat lagi." Noval mengabaikan tatapan heran Bintang atas sikapnya dan kembali melihat
foto di album berdebu tersebut.
Setelah kedua foto itu, Noval tidak lagi menemukan foto Bintang dengan laki-laki. Sebagian
besar sisa album diisi oleh foto Bintang bersama seorang perempuan.
"Ini siapa" Fotonya banyak amat." Noval menunjuk foto perempuan tersebut. Bintang hanya
tersenyum. Mengelus foto perempuan yang tersenyum ke kamera dengan telunjuknya, penuh
rindu. "Cantik banget ya dia," ujarnya lirih. Noval menatap perempuan dalam foto itu.
Memang cantik, tapi nggak nyambung sama pertanyaan gue, ujarnya dalam hati. Namun, Noval
tidak peduli dan kembali ikut melihat foto-foto lain yang diisi oleh Bintang dan perempuan
tersebut. ***** Dengan helm di tangan kiri, Noval berdiri di belakang Bintang yang sedang membuka kunci
kosannya. Jarang sekali orang lewat di lorong kosan Bintang, sebagian besar penghuni samasama sibuk dan bukan anak muda lagi. Jika kebetulan berpapasan pun mereka tidak terlalu
peduli. Bintang sendiri hanya beberapa kali melihat wajah tetangga-tetangganya. Hanya
penghuni kos kanan-kiri yang ia ketahui namanya.
Bintang yang memang tidak suka keramaian tidak mempersalahkan hal tersebut. Ia justru merasa
beruntung. Tidak ada gosip, tidak ada jam malam, dan tidak ada yang peduli ia pulang dengan
siapa. Sofa kecil yang menempel ke dinding kini menopang tubuh Noval. Dengan mata tajamnya,
diperhatikannya Bintang yang sedang berdiri di depan lemari terbuka, mencari pakaian. Setelah
menarik baju yang akan dipakainya, Bintang bergegas menutup lemari dan berjalan menuju
kamar mandi. Bintang berusaha mengabaikan tatapan Noval, tetapi di ambang pintu kamar
mandi akhirnya ia berhenti, diam sejenak, lalu kembali ke ruangan tempat Noval duduk.
"Apa lagi, sih?" tanyanya kesal. Noval memalingkan mukanya.
"Kan gue bilang, gue nggak suka lo pakai rok," ujar Noval. Bintang memutar matanya dengan
kesal. "Val, ini seragam kerja gue. Gue nggak bisa nawar." Ditunjuknya seragam oranye yang
dipakainya. "Lagian gue kan di belakang counter, nggak ada yang merhatiin."
"Kalau baliknya" Atau perginya" Terus karyawan cowok gimana?" Noval menatapnya. Bintang
hanya mengibaskan tangan dan melengos sambil pergi ke kamar mandi. Dengan sebal,
ditutupnya pintu kamar mandi. Pintu tertutup dengan suara keras.
Selesai menukar seragam kerjanya dengan kaus oblong dan celana training, Bintang duduk di
atas ranjang, bukan di sofa di sebelah Noval, lalu menyalakan televisi. Beberapa kali dicarinya
channel yang tepat, tapi tak ada acara bagus pada pukul sepuluh malam.
"Bintang, gue baru inget. Kapan lo mau ngundurin diri dari klub renang?" tanya Noval. Bintang
menatap Noval dengan heran. Seingatnya, ia tak menyetujui keinginan Noval untuk berhenti dari
klub itu. "Gue kan nggak bilang setuju keluar dari klub renang," jawabnya.
Wajah Noval yang rileks dengan cepat berubah menjadi dingin mendengar jawaban Bintang.
Didekatinya cewek itu yang entah mengapa merasa bulu kuduknya berdiri setiap kali wajah
Noval berubah seperti itu.
"Lo ngerti gue nggak, sih" Gue nggak akan masalahin baju kerja lo lagi, tapi soal klub renang,
gue bener-bener nggak suka," ucap Noval pelan.
"Tapi Val, itu hobi gu..."
"Cari hobi lain," potong Noval.
"Please banget, Val." Bintang memohon, memelas.
Noval diam saja, masih dengan tatapan dinginnya. Titah sang raja sudah final. Ia menggunakan
hak prerogatif yang entah diperoleh dari mana.
"OK, OK. Puas?" sembur Bintang yang kemudian beranjak dari ranjang yang didudukinya, tetapi
tertahan karena pergelangan tangannya dipegang cowok itu. Noval menariknya dengan kasar
sampai ia kembali terduduk.
"Kapan?" tanyanya, masih dengan suara dinginnya.
"Ntar." "Kapan?" tanya Noval dengan suara setengah oktaf lebih rendah tanpa melepas pandangannya
dari Bintang. Sekilas Bintang melihat kilatan di mata Noval yang dingin itu. Kilatan yang serupa
tampak ketika kuku-kuku Noval menancap di mukanya dua minggu lalu.
"Hari Selasa," ujarnya sambil mencoba melepaskan tangannya yang terasa kebas. "Lepasin
tangan gue. Sakit." Wajah Noval yang beberapa detik lalu terlihat kejam tiba-tiba kembali ke asal, seakan terkejut
dengan perilakunya sendiri. Cepat-cepat dilepaskannya cengkeraman dari pergelangan tangan
kekasihnya. Bintang memijat-mijat tangannya yang memerah.
"Sorry." Noval ikut-ikutan memijat pergelangan tangan Bintang dengan wajah bersalah.
"Val..." Bintang bersuara pelan."Apa?" tanya Noval tanpa melihatnya.
Bintang memandang jari-jari Noval yang sedang memijat pergelangan tangannya, berpikir
sejenak untuk memilih kata-katanya.
"Gue takut kalo lo kayak tadi," ujarnya sambil menatap Noval sembunyi-sembunyi. Noval
mengangkat wajahnya dan menatap Bintang dengan hangat, jauh berbeda dengan tatapan
sebelumnya. "Iya, gue nggak akan gitu lagi. Maafin gue, ya." Dipeluknya Bintang dengan penuh penyesalan.
Bintang yang berada dalam pelukan Noval mulai merasa sedikit lega dan rileks.
"Oh ya, lo bilang tato-nya udah jadi. Mana" Gue mau lihat," Pesan dari otak Noval yang
berbentuk getaran bunyi merambat di udara dan menghampiri telinga Bintang. Setelah ditransfer
ke telinganya, dikirim ke otaknya, diproses, dan dikodifikasi, dari pesan yang disampaikan Noval
mendapat respons, 'Aduh, mau apa lagi"' dari otak Bintang tapi tanpa dikoordinasikan dengan
mulutnya. ***** Leher jenjang di depannya putih dan dingin seperti pualam. Diselipkannya rambut panjang hitam
ke belakang telinga pemilik leher pualam tersebut. Dengan embusan napas yang terasa hangat di
telinga, ia berbisik parau, "Jangan ikut klub renang lagi."
Setelah itu, bibirnya tak lagi bicara, sibuk menelusuri leher jenjang itu, meninggalkan jejak-jejak
merah di alur yang ia lewati. Ia berhenti di bahu. Terdapat sebuah gambar kupu-kupu mungil di
sana. "Aah, ide tato itu bagus, kan?" Ia tertawa kecil dan meneruskan apa yang sudah dimulainya.
Kecewa "Yakin mau ngambil PLP semester ini" Ini kan baru semester tujuh." Noval memperhatikan
Bintang yang sedang memegang Kartu Hasil Studi semester enam yang bertaburan huruf A, B,
dan satu C yang membuatnya benar-benar kecewa, mengingat ia selalu mengerjakan tugas di
mata kuliah tersebut. "Yakin, semua mata kuliah udah dikontrak, kok. Cuma mau ngulang mata kuliah yang dapet C
aja," Bintang melipat KRS-nya. Dilihat berapa lama pun, huruf C itu tidak akan berubah.
"PLP kan nggak boleh sambil ngontrak mata kuliah, Bintang. Kecuali skripsi. Kejahatan
akademik tau nggak, sih?" Noval ngotot karena sebenarnya ia juga ingin ikut PLP, tetapi tidak
bisa karena tidak nekat mengambil KKN seperti Bintang di semester sebelumnya.
"Kemarin bisa ngambil KKN, sekarang juga pasti bisa. Biar semester depan tenang bikin skripsi
doang," lanjut Bintang.
"Val, KKN jangan nakal ya." Bintang bergurau melihat Noval diam saja karena tidak dituruti.
Noval hanya mendengus kesal.
Bintang diam sejenak, seperti menghitung-hitung. Seperti mengingat-ingat sesuatu, ia
mengeluarkan handphone dan dengan cepat membuka kalender.
"Val." Bintang tersenyum sendiri. "Sebentar lagi kita dua tahunan," ujarnya pada Noval yang
tidak seperti biasanya sedang bermain game. Entah telinganya dipenuhi oleh musik game atau
pura-pura tidak mendengar, Noval hanya memusatkan fokus untuk meledakkan monster-monster
di layar komputernya tanpa menanggapi Bintang.
***** Pilar yang terdapat di lobi gedung teater di kampusnya dijadikan Bintang sebagai sandaran
ketika ia duduk lesehan di lantai. Tak ada orang yang keluar atau masuk ke dalam gedung
tersebut karena memang sedang tidak ada pertunjukan. Bintang berada di sana bukan untuk
menyaksikan pertunjukan, tetapi menunggu Noval yang pertama kalinya menjadi pemain musik
dalam sebuah pertunjukan teater. Ia bertanya-tanya, apakah rasanya masih akan sama, jika ia
menonton pertunjukan teater yang Noval terlibat di dalamnya"
Cukup lama Bintang menunggu Noval yang berkata latihannya tinggal sebentar lagi. Noval
mengatakan itu setengah jam lalu. Kalau saja tidak terlanjur berjanji untuk nonton dengan
kekasihnya, Bintang pasti sudah pulang dari tadi. Kesal menunggu, Bintang mengirim SMS
kepadanya. Badannya yang lesu mulai terasa pegal. Duduk diam dan menunggu memang lebih
melelahkan daripada berjalan kaki.
Beberapa saat setelah SMS-nya terkirim, pintu gedung teater terbuka. Beberapa orang yang
dikenal Bintang"saking seringnya ia menonton pertunjukan mereka"baru saja keluar
menyapanya. Yang lain hanya berjalan melewatinya. Bintang bangkit ketika dilihatnya Noval
keluar dari pintu, berjalan di belakang dua orang laki-laki. Ia hendak menghampiri Noval, tetapi
diurungkannya niat itu ketika dilihatnya Noval sedang asyik berbicara pada perempuan yang
berjalan di sebelahnya. Rasa cemburu muncul di hati Bintang.
Noval yang asyik mengobrol akhirnya melihat Bintang yang sudah menunggunya di dekat pilar.
Bintang sendiri berusaha agar ekspresinya terlihat biasa saja. Dari jarak sekitar sepuluh meter,
Bintang dapat melihat Noval pamit pada perempuan tersebut dan berjalan menghampirinya.
Sekilas, perempuan tersebut melempar senyum pada Bintang. Bintang balas tersenyum.
"Lama nunggu?" tanya Noval yang kini berdiri di sebelah Bintang.
"Banget," jawab Bintang kesal.
"Sorry," ujar Noval kalem sambil menggandeng Bintang meninggalkan gedung teater. Ia tidak
menyadari bahwa orang yang digandengnya sedang kesal dan cemburu berat.
***** Batagor yang berlumuran saus kacang itu tinggal setengah. Setengahnya lagi sudah pindah ke
perut Bintang yang duduk sendirian di kantin sekolah pada jam istirahat. Sejak naik ke kelas tiga,
ia memang banyak menghabiskan waktu dan perhatian untuk Kaila, hingga tidak sempat
berteman apalagi membuat geng bersama teman-teman lainnya. Akibatnya, ia tak punya siapasiapa ketika Kaila tidak ada. Tetapi itu tidak jadi masalah besar baginya yang memang tidak
bergantung pada kebahagiaan komunal.
"Iya, katanya sih ikut geng motor gitu. Dia emang sering bolos kan, sekarang." Suara seorang
perempuan di belakang Bintang mencapai telinganya.
Yah, tukang gosip, ujar Bintang dalam hati, tak berminat mendengarkan pembicaraan mereka.
"Dia emang aneh, sih. Tapi nggak nyangka juga," suara lain menimpali.
Mau tak mau, Bintang mendengar ucapan mereka yang duduk tepat di belakang mejanya.
"Eh, emang Kaila tuh yang mana sih" Kok aku nggak tau, ya?"
Bintang berhenti mengunyah batagor mendengar nama Kaila diucapkan oleh suara kekanakkanakan di belakangnya.
Kaila... nggak mungkin, ujarnya dalam hati. Namun, Bintang mengakui, selain menghindarinya,
Kaila juga tidak masuk dan tampak mengantuk di kelas. Ia melirik meja yang ditempati empat
perempuan yang sedang cekikikan dan asyik menggosip.
"Itu lho, yang poninya kayak pagar. Pacar si Reno. Yang aneh, lah." Kata-kata menyebalkan itu
membuat tangan Bintang yang memegang garpu bergetar.
"Eh, kalo beneran masuk, berarti dia udah gituan dong." Kata-kata perempuan cempreng itu
disusul gelak tawa tanpa beban.
Tak ingin mendengarkan hal-hal buruk lain tentang Kaila dan kehilangan kontrol, Bintang
meletakkan garpu dan meminum es tehnya cepat-cepat. Tanpa menghabiskan batagornya,
ditinggalkannya kantin sekolah yang mulai sesak itu. Di pintu keluar, sekali lagi diliriknya meja
tempat empat perempuan itu duduk. Mereka masih cekikikan tanpa tanda-tanda telah mengganti
topik. Membuatnya sebal. ***** Suara yang ditimbulkan oleh hak sepatu yang beradu dengan lantai terdengar setiap kali Bintang
melangkah saat ia memasuki sebuah cafe. Penampilannya malam itu membuat beberapa orang
menoleh. Dengan anggun, ia duduk di salah satu meja di cafe tersebut.
Seorang waiter datang menghampiri mejanya dengan penuh senyum ketika Bintang menaruh tas
kecilnya. "Mau pesan apa?" tanya si waiter.
"Nanti saja. Tunggu orang dulu," jawab Bintang. Sang waiter pun meninggalkannya. Bintang
merapikan atasan putihnya. Diliriknya jam tangan kecil di pergelangan tangannya menunjukkan
pukul sembilan kurang lima menit.
Lima menit lagi, ujarnya dalam hati. Bintang tersenyum sendiri. Malam ini adalah perayaan
tahun keduanya dengan Noval, dan mereka memang merencanakan untuk merayakannya.
Sambil menunggu kekasihnya, Bintang menonton sebuah band indie yang sedang tampil.
Melihat band tersebut mengingatkannya pada saat pertama kali ia menonton pertunjukkan Noval
di kafe Taman dua tahun lalu. Ia sengaja membujuk Mei untuk menemaninya pergi ke sana
dengan iming-iming makan gratis di kafe tersebut yang menguras bayaran mengajarnya selama
satu minggu. Detik demi detik mengalkulasikan dirinya menjadi menit. Menit demi menit menggabungkan
dirinya menjadi jam. Sudah satu jam Bintang menunggu, tetapi Noval tak kunjung datang.
Beberapa kali Bintang mengirimkan SMS dengan status delivered tetapi tak ada balasan.
Berkali-kali pula ia mengecek pesan-pesan tersebut, siapa tahu belum terkirm, tetapi semuanya
sudah dilabeli kata 'delivered'.
Bintang mulai gelisah dan sebal. Ia mencoba menelepon Noval, tetapi tidak diangkat. Bintang
bertambah sebal. Ia bersandar dan menatap kosong ke arah band yang sudah berganti.
Bintang mendengus kesal. Diliriknya kotak hijau yang tergeletak di atas meja, di sebelah tas
kecilnya. Dibukanya kotak tersebut. Isinya sebuah scrapbook yang sengaja dibuatnya untuk
diberikan kepada Noval. Satu per satu halaman scrapbook tersebut dibuka dan dipandanginya. Mulai dari foto di pameran
fotografi sampai foto mereka di bukit kecil di sebuah perumahan yang diambil minggu lalu.
Semua tak luput dari perhatiannya. Halaman terakhir pun dibuka oleh jari-jari lentik Bintang. Di
sana, terpampang foto mereka berdua yang sedang tertawa lebar. Sampai halaman terakhir
selesai dilihat, Noval tidak juga datang.
Dengan tidak sabar, Bintang kembali melirik jam tangan. Sudah lewat tiga puluh menit dari
pukul sepuluh. Orang-orang yang tadinya memenuhi kafe pun berangsur-angsur meninggalkan
meja. Suara kendaraan di depan kafe sudah tidak terdengar begitu intens, begitu pula dengan
langkah dan celoteh para pejalan kaki, menandakan malam sudah semakin larut.
Beberapa kali waiter dan waitress melewati meja Bintang. Pandangan mereka menyiratkan
pertanyaan, sampai kapan ia akan diam di sana tanpa memesan.
Bintang menyerah. Ia menghentikan waiter yang kebetulan lewat di dekat mejanya.
"Saya pesan sop buntut," ujar Bintang.
"Maaf Mbak, sudah habis," jawab waiter.
"Iga bakar?" "Habis." "Soto ayam?" "Habis juga." "Saya pesan yang belum habis. Kira-kira apa?" Bintang mulai kesal. Ia sangat lelah menunggu
dengan perut lapar. "Semuanya masih ada, kecuali yang tiga tadi." Si waiter menjawab dengan sabar.
"Kalau begitu, nasi goreng dan teh manis hangat," ujar Bintang diiringi sedikit rasa bersalah.
Waiter mengulangi pesanannya sebelum pergi meninggalkan mejanya.
Bintang memasukkan scrapbook-nya yang tergeletak di atas meja ke dalam kotaknya dengan
asal. Setidaknya ia pulang dalam keadaan benar-benar kecewa saja malam itu. Bukan dengan
kecewa dan kelaparan. ***** "Gue bener-bener minta maaf. Gue lupa. Lagian, gue jadi MC di pensi SMA kemarin." Noval
yang duduk lesehan di lantai di sebelah Bintang berusaha menjelaskan.
Bintang yang duduk dengan menekuk kakinya ke dada diam saja, pandangannya diarahkan ke
jendela yang menampilkan batang pohon dan daun. Mereka sedang duduk di koridor kampus
lantai tiga. "Bintang..." Noval berharap Bintang bicara, tidak diam seperti itu. Bintang memalingkan
wajahnya dari jendela kepada Noval dengan dingin dan kaku.
"Setidaknya lo bales SMS gue, jadi gue nggak perlu nunggu sampe malem di sana," ujar Bintang
dingin. "Gue kan jadi MC, Bintang. Nggak pegang handphone." Noval menjelaskan dengan tak sabar.
Bintang masih diam. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan menyelempangkan tasnya.
"Mau ke mana?" Noval ikut berdiri dan membuntuti Bintang yang kini menuruni anak tangga.
"Lo marah banget, ya?" tanya Noval yang berjalan di belakangnya. Bintang menoleh ke arah
Noval. "Gue nggak punya energi buat marah, Noval," ujar Bintang pelan. "Gue cuma pengin sendiri
dulu. Ntar kalau gue kangen, gue hubungin lo," lanjutnya dengan senyum dipaksakan. Ia
membetulkan posisi tas selempangnya, kemudian berbalik meninggalkan Noval yang tertegun.
Ada yang Tidak Benar Televisi itu menyala di ruang gelap. Menghantarkan radiasi lebih kuat dari biasanya.
Menayangkan gambar demi gambar dan iklan demi iklan kepada seorang penonton. Satu
penonton yang pikirannya sedang berkelana dalam dunianya sendiri. Setiap gambar dan suara
yang keluar dari televisi tak melintas di kepalanya.
Bintang, satu-satunya penonton di ruang gelap yang lampunya dimatikan itu, sedang sibuk
dengan pikirannya. Benaknya memutar ulang film dari kehidupannya sendiri. Film tentang ia dan
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Noval. Dari semua yang sudah dihadapinya dengan Noval, ia merasa segalanya sudah berjalan
terlalu jauh. Ia ingin berhenti dan berlaku wajar seperti awal kebersamaan mereka, tapi ia sangsi
Noval akan mau berhenti. Selain suara televisi yang memenuhi ruangan, suara shower dari kamar mandi ikut meramaikan
suasana. Tak lama kemudian, suara shower berhenti. Noval yang bercelana pendek dan
mengenakan kaus oblong keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dari pintu
pantry yang menuju ruang televisi, ia melihat Bintang yang memandang kosong gambar
bergerak di hadapannya. Noval menaruh handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambutnya di tempat menggantungkan
handuk. Setelah itu ia menuju pantry untuk membuat secangkir teh manis. Suara sendok beradu
dengan gelas bergabung dengan suara dari televisi.
Noval menghirup teh manisnya sambil menatap Bintang yang masih duduk dengan posisi yang
sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Bintang tampak seperti siluet. Saat televisi
menayangkan gambar gelap, wajah Bintang benar-benar membentuk siluet. Saat televisi
menayangkan gambar terang, barulah wajahnya terlihat jelas. Dari sana Noval dapat melihat raut
Bintang yang lelah. Entah mengapa, Noval akhir-akhir ini merasa bahwa kekasihnya selalu
tampak lelah. Noval menyadari, berapa lama pun ia menatap Bintang, cewek itu tak akan menyadarinya. Maka
ia menghampiri Bintang dan duduk di sebelahnya. Barulah saat itu Bintang keluar dari dunianya
dan menyadari ada makhluk hidup lain di kosannya. Kosan yang menyerupai apartemen dengan
security, tetapi tanpa ibu kos sehingga tak ada halangan bagi Noval untuk diam di sana selama
Bintang mengizinkan. "Eh, Val. Seger ya udah mandi." Bintang berbasa-basi. Noval meletakkan cangkir teh manisnya
di meja. "Banget," ujar Noval sambil mencoba memperhatikan televisi yang menampilkan acara komedi.
Suara penjual mi tek-tek mencapai telinga Noval yang sedang lapar. Ia bangkit dari sofa dan
berjalan menuju jendela. Melihat apakah yang lewat di jalan memang penjual mi tek-tek.
Ternyata benar. "Makan, yuk. Gue laper nih," ajak Noval.
"Gue males makan." Bintang menyeruput teh manis Noval.
"Lo lagi diet atau apa, sih?" tanya Noval heran. "Tadi siang juga nggak makan, kan?"
"Nggak tau, males aja," jawab Bintang yang baru menyadari bahwa akhir-akhir ini badannya
terasa sangat tidak nyaman, sering lemas, dan tidak nafsu makan. Noval ikut-ikutan hilang selera
makan dan duduk di samping Bintang. Mengambil cangkir teh manisnya yang ternyata sudah
kosong. "Akhir-akhir ini lo kenapa, sih" Sering ngelamunlah, lemeslah, nggak nafsu makan pula," ujar
Noval. Ia memegang kedua pipi Bintang dengan tangannya. Diperhatikannya wajah itu.
"Lo jadi tambah kurus, mata cekung, bibir pucat. Kenapa, sih" Sakit?" tanyanya lagi sambil
melepaskan tangannya dari pipi Bintang.
"Kecapean, kali," kata Bintang singkat.
"Kalau gitu berhenti kerja aja," sambar Noval cepat. Selama ini ia memang tidak suka Bintang
bekerja sampai malam menjadi waitress, tapi ia tak tahu cara menyampaikannya. Bintang
terkejut mendengar usul Noval. Namun, setelah ia berpikir sejenak, pekerjaannya memang
banyak menyita waktu dan energi. Noval melihat kebimbangan Bintang.
"Gue kangen lo yang dulu." Noval menyandarkan kepala Bintang ke bahunya.
Lo nggak akan tahu betapa gue juga kangen lo yang dulu, Val, ucap Bintang dalam hati.
"Iya. Gue berhenti aja jadi waitress, ya. Tapi gue masih terus ngajar," putus Bintang akhirnya.
Noval tersenyum senang mendengar jawaban Bintang.
Ternyata tak begitu sulit.
***** Roda-roda troli bergerak terseok-seok mengikuti orang yang mendorongnya. Menyusuri lorong
demi lorong rak-rak barang. Ribuan pasang tangan sudah menempelkan bakteri ke pegangannya,
dan entah berapa banyak barang telah dibebankan kepadanya. Membuat rodanya tak lagi mulus.
Bakteri yang ditransfer orang-orang sebelumnya ke pegangan troli itu kini berpindah ke tangan
Bintang yang juga menyumbang bakteri tambahan, seperti barter saja. Bintang mendorong troli
dan memilih-milih barang yang hendak dibelinya.
Berbagai barang sudah ditampung si troli. Sebagian besar berupa keperluan rumah tangga seperti
sabun dan deterjen dalam jumlah yang cukup untuk satu bulan. Bintang sengaja membeli
keperluan rumah yang cukup untuk satu bulan agar ia tak perlu bolak-balik ke minimarket.
Dengan begitu, ia lebih jarang menghadapi godaan berkotak-kotak cokelat dan barang-barang
lain. Ia mengambil sekotak susu berkalsium yang sudah lama dikonsumsinya. Ia kembali mendorong
trolinya menuju rak kapas. Di lorong yang dibentuk oleh rak-rak itu, Bintang mendorong troli
tanpa halangan karena minimarket yang terletak di lingkungan kampus itu sangat sepi
pengunjung. Maklum, akhir bulan. Momentum akhir Bulan dijadikan Bintang sebagai strategi
berhemat, karena dengan begitu ia akan berbelanja seperlunya. Karena memang sudah tak ada
uang untuk berhura-hura. Bintang berdiri di depan rak kapas yang berdampingan dengan rak popok dan pembalut. Saat
sedang memilih-milih kapas yang hendak dibelinya, ia melirik pembalut dengan kemasan aneka
warna. Merasa ada sesuatu yang aneh.
Dengan kening mengernyit, Bintang mengorek-ngorek pikirannya. Mencari tahu apa yang
membuatnya merasa janggal. Tak lama kemudian, sesuatu melintas di kepalanya, membuat
kakinya lemas seketika. ***** Jari-jari Bintang mengetuk-ngetuk kaca etalase apotek. Tak sabar menunggu karyawan apotek
membawakan benda yang ia cari. Beberapa kali ia memperhatikan apotek yang kosong untuk
memastikan tak ada orang yang dikenalnya di sana. Semakin lama, ia semakin gelisah berdiri di
depan konter apotek tersebut. Kegelisahan yang membuatnya tak bisa berdiri diam.
Beberapa saat kemudian, penjaga apotek berkerudung hitam muncul dengan sebuah barang yang
terbungkus kantung kresek putih. Bintang yang sedang bersandar ke etalase langsung berdiri
tegak. Tanpa berlama-lama, ia mengambil barang yang terbungkus tersebut dan membayarnya.
Setelah barang yang ia beli tersimpan aman di tasnya, buru-buru ditinggalkannya ruangan yang
penuh obat itu. Kejutan yang Tidak Menyenangkan
Parkiran sekolah sudah penuh pada pukul tujuh kurang lima belas menit. Bintang yang baru
datang masih sibuk mencari lahan kosong. Tempat yang biasanya ia pakai sudah terisi. Setelah
beberapa saat memicingkan mata seperti elang sedang mencari mangsa, akhirnya ia temukan
juga lahan kosong di depan sebuah motor matic putih.
Swift ungu itu sudah aman terparkir dan terkunci. Bintang sudah turun dengan tas gendong
hitamnya. Dengan langkah ringan, ia berjalan meninggalkan tempat parkir untuk menuju
kelasnya. Seseorang yang baru datang dan memarkir motornya tak sengaja beradu pandang
dengannya. Tatapannya aneh. Bintang heran, tapi tak mengacuhkannya karena ia tak merasa
berpenampilan aneh hari itu.
Ia melangkah menuju koridor kelas yang masih dipenuhi anak-anak sambil menunggu bel
berbunyi. Suasana tidak nyaman menyergap Bintang. Sejak ia menjejakkan kakinya di sana,
hampir semua mata memandangnya dengan tidak ramah. Beberapa murid berbisik-bisik ketika
melihatnya. Bintang mempercepat langkahnya menuju kelas untuk menghindari pandangan aneh
dari anak-anak itu. Kelas yang diharapkan Bintang dapat menjadi tempat bersembunyi ternyata tidak sesuai
harapan. Teman-temannya memandangnya dengan tatapan seperti mereka berkumpul di
koridor. Bintang duduk di kursinya, keheranan. Sejenak dilihatnya Daniel meliriknya, tapi cowok itu
cepat-cepat mengalihkan pandangan.
"Ada apa, sih?" Bintang bertanya bingung pada Daniel.
"Buka aja FB lo, atau liat FB anak-anak," jawab Daniel tanpa memandang Bintang.
***** Sampai di rumah, tanpa mengganti seragam Bintang langsung menyalakan komputernya. Segera
membuka akun Facebook-nya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu cokelat tua tempat
komputernya diletakkan dengan tidak sabar.
Akun Facebook Bintang terbuka. Banyak sekali notifikasi di sana. Bintang sudah tidak sabar
mengetahui apa yang membuat anak-anak di sekolahnya memandangnya seolah-olah ia
memiliki penyakit kusta. Dengan sekali klik, dibukanya notifikasi-notifikasi itu.
Abi commented on the photo you were tagged in.
Semua berbunyi seperti itu, yang berbeda hanya nama pengomentarnya. Bintang terus
menelusuri daftar notifikasi sampai menemukan notifikasi yang berbunyi, "Reno tagged a photo
of you." Ia cepat-cepat membukanya.
Bintang hampir terjengkang dari kursinya saat melihat foto yang terbuka. Layar komputernya
menunjukkan fotonya dan Kaila yang sedang berciuman. Komentar-komentar panjang dari
banyak orang terpampang di bawahnya. Mulai yang heran, tidak percaya, sampai memaki-maki.
"Lesbian merajalela, bentar lagi kiamat." Itu salah satu komentar terakhir yang Bintang baca
sebelum ia memutuskan untuk tidak meneruskan membaca komentar-komentar lainnya. Semakin
lama, komentar-komentar tersebut menjadi-jadi. Bintang memutuskan untuk kembali ke halaman
beranda. Di sana, matanya tertuju pada sebuah status.
"Body si Kai asyik... penasaran?" Status tersebut disertai sebuah link. Ragu-ragu, Bintang
membuka link tersebut. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Bintang mengucek
matanya berkali-kali. Rasa sedih dan tak percaya menyelimuti hatinya seperti asap yang
menyelimuti hutan yang terbakar. Di sana dilihatnya foto-foto Kaila hanya mengenakan pakaian
dalam sedang bersama dengan beberapa laki-laki.
***** Di atas kloset putih, dalam sebuah toilet yang menyebarkan bau karbol dan antiseptik, Bintang
duduk diam dengan wajah dibenamkan di pangkuannya. Jemari kakinya yang menapak di atas
marmer putih dingin mengintip dari balik celana jeans. Sudah beberapa saat ia terdiam seperti
itu, hanya dengan tangan kanannya yang menggenggam benda pipih panjang. Tangannya terlihat
lunglai bergetar seperti terrkena Parkinson.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya, menghitung mundur sambil memejamkan mata sebelum
akhirnya membuka genggamannya. Tempat benda pipih panjang itu berada. Jari-jarinya yang
dingin dan berkeringat bergetar ketika perlahan layar mungit berembun itu tampak.
Positif. Gempa parsial terjadi. Gempa yang hanya menyerang tubuhnya, bukan objek di sekitarnya.
Dunia berputar begitu cepat dalam kepala Bintang, membuatnya terhuyung. Benda pipih itu
meluncur ke tempat sampah di samping kloset. Tubuh Bintang berguncang di pojok kamar
mandi. ***** Ketegangan menggantung di atas kepala Bntang dan Noval. Keduanya saling diam setelah
pembicaraan yang menguras pikiran itu. Noval duduk di hadapan Bintang dengan dahi berkerut.
Berpikir keras untuk memecahkan masalah yang mereka buat sendiri. Detik demi detik berlalu,
berjalan mengikuti teori Einstein bahwa semakin cepat sesuatu melaju, semakin lambat waktu
berjalan. Noval menarik napas dalam.
"Gue nggak bisa," putusnya. Seperti suara hakim yang menjatuhkan hukuman bagi sang
terdakwa. Bukan hal yang mengejutkan bagi Bintang. Sudah diperkirakan. Namun, tetap saja hal itu
membuat hatinya mencelos, seperti orang yang sedang menuruni jalan yang menurun di dalam
kendaraan yang melaju kencang.
Perlahan, Noval menghampiri meja belajar dan mengambil sesuatu dari lacinya. Lalu berbalik
dengan ekspresi mantap dan mendekati Bintang yang duduk dengan kaku. Meletakkan setumpuk
uang di hadapan Bintang. "Gue rasa ini cukup buat nyelesaiin masalah. Kalau kurang bilang aja. Ntar gue cari tau tempat
yang aman," ujar Noval.
Eskpresi kaku Bintang seketika berubah. Rasa terkejut melintas cepat, yang kemudian digantikan
oleh senyum sinis yang sama cepatnya.
"Saya tidak butuh uang kamu."
Bintang meraih mantelnya dan berjalan cepat, meninggalkan penghinaan dari orang yang ia pikir
mencintainya. ***** Motor matic berwarna hitam itu perlana menyusuri jalan berbatu yang diapit sawah di kanankirinya. Bintang mengendarai motornya tanpa tujuan jelas di daerah Bandung tanpa
sepengetahuan ibunya. Ia ke Bandung bukan untuk pulang, melainkan sekadar berputar-putar di
tempat yang ia inginkan. Matahari jingga tampak di langit sebelah kiri, memantulkan sinarnya di kaca helm yang dipakai
Bintang. Membuatnya terpaksa sedikit memicingkan mata. Di sepanjang jalan tersebut,
dilihatnya para pertani bersiap-siap untuk pulang karena senja telah menjelang.
Bintang berhenti di sebuah jembatan yang terletak di atas sungai kecil. Diparkirnya motor di
tempat yang tidak menghalangi mobilitas orang-orang yang lewat, kemudian ia duduk di atas
tembok jembatan tersebut, memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Ingin sejenak melupakan
masalahnya, Bintang menganggap dirinya fotografer profesional. Ia mengeluarkan kamera
murahannya dan mulai mengambil beberapa gambar dari berbagai sisi.
Handphone di saku celananya bergetar. Sebuah pesan baru masuk. Dibukanya pesan itu tanpa
minat. From: Val Sumpah, gue gak siap.. Plz, ikutin aja kata gue...
Dengan perasaan hambar, Bintang menyimpan kembali handphone-nya tanpa membalas. Setelah
itu, ia kembali mengangkat kamera dan memotret apa saja yang menurutnya menarik.
Beberapa objek sudah dipotretnya, sebagian besar benda mati dan pemandangan di sekitarnya.
Bintang sedang mencari-cari objek lain untuk difoto ketika dua orang petani tertangkap lensa
kameranya. Dua petani tua yang sepertinya suami istri itu berjalan di pematang sawah. Sang
kakek yang berjalan di depan menggandeng sang nenek yang berjalan di belakangnya.
Bintang menurunkan kameranya. Menyadari bahwa ia merasa sangat sendirian.
***** Dua puluh lembar uang pecahan seratus ribuan berpindah ke tangan seorang perempuan tua yang
dikenal sebagai dukun beranak. Dengan kaki keriputnya, si dukun beranak memimpin seorang
perempuan berjalan ke sebuah kamar. Sesaat sebelum pintu kamar tertutup, si perempuan
memandang wajah laki-laki yang duduk di kursi di ruangan yang baru ditinggalkannya.
Perempuan itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dilihatnya si dukun beranak
mengambil sebuah baskom berisi air. Ribuan tetes air mata tumpah di hatinya. Mata dan pipinya
tetap kering, dingin menatapi langit-langit lapuk. Seolah tak peduli.
Aku pembunuh, batinnya berteriak.
Detik demi detik berlalu, mendekatkan makhluk di rahimnya ke garis eliminasi.
Yang Menatap Balik Saat Bercermin
Saat itu pukul satu malam. Tak terlihat satu nyawa pun, bahkan tidak pula seekor kucing, di teras
kosan petak Noval maupun di kosan lainnya yang berjejer di kanan kiri kamar ketika Noval
datang. Pekat dan sunyi yang diakomodasikan malam itu menjadi penyelimut aib. Noval
bersembunyi dari mata-mata yang melirik ingin tahu dan menguliti privasi.
Dengan bahu kirinya, Noval mendorong pintu kosannya. Bahu kanannya menopang Bintang
yang pucat, lemas, dan berbau anyir. Dengan langkah-langkah pendek, ia membawa Bintang
masuk sebelum kemudian menyalakan lampu dan menutup pint
u kosan. "Mau ke mana?" tanya Noval ketika Bintang menggeliat pelan untuk melepaskan diri darinya.
"Toilet. Bisa sendiri." Bintang menjawab pendek sambil menyeret kakinya di bawah tatapan
Noval. Tatapan yang baru ia alihkan setelah Bintang menghilang di balik pintu toilet yang
tertutup. Sambil menguap pelan, Noval membuka jaketnya untuk berganti pakaian.
Baru beberapa menit Bintang masuk ke toilet, terdengar jeritan histeris.
"Vaaaal!" suara histeris Bintang membuat Noval berlari setengah terbang ke toilet yang tidak
terkunci. "Kena..." Noval tertegun melihat Bintang yang tengah berdiri dengan bertumpu pada pinggiran
bak mandi. Rok putihnya telah berubah menjadi merah dan genangan darah di bawah kedua
telapak kakinya sedikit demi sedikit bertambah besar. Darah mengalir di tungkainya.
***** Pakaian yang dikenakan cewek itu kini kering, bersih, dan tidak anyir, tetapi keadaannya tidak
lebih baik. Bintang malah berbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur dengan bibir sepucat
lilin setelah sebelumnya memaksakan diri meminum penambah darah. Noval yang shock hanya
berharap dirinya mampu menangkap pergerakan sekecil apa pun dari Bintang, karena usaha yang
ia lakukan selama tiga puluh menit terakhir untuk menyadarkan Bintang tidak menunjukkan
hasil. ***** Wajah kusut dan mengantuk Noval menjadi pemandangan pertama yang dilihat Bintang ketika
kesadarannya kembali dan otaknya sudah mampu mengkoordinir sepasang organ kecil yang
disebut mata untuk mendapat data visual dari keadaan di sekitarnya.
Noval menghembuskan napas lega melihat Bintang mengerjap-ngerjapkan matanya meski ia
masih terlihat begitu lemas. Ia benar-benar dalam keadaan terjepit selama satu jam yang terasa
bagai seabad itu. Ia takut Bintang meninggal kehabisan darah, tetapi juga tidak bisa
membawanya ke rumah sakit karena urusannya akan panjang.
"Harus makan banyak. Harus," ujar Noval tegas pada Bintang yang kesadarannya masih
melayang-layang, kendati ia tidak yakin Bintang dapat mendengarnya dengan jelas.
***** Bintang dan Noval benar-benar berterima kasih kepada para produsen suplemen penambah
darah. Setelah beberapa kali meminumnya, Bintang yang sebelumnya berebut nyawa dengan
kematian kini cepat membaik. Warna-warna kembali ke wajahnya yang sudah lama merindukan
rona itu. Bubur berbau amis yang sengaja dipenuhi telur rebus oleh Noval berada di pangkuan Bintang
yang menolak disuapi. Sambil duduk di atas kasur busa berseprai biru tua dan bersandar ke
dinding, Bintang melahap buburnya sambil memperhatikan Noval yang sedang bermain game di
komputernya. Sepertinya, waktu satu minggu yang mereka rencanakan untuk bolos kuliah dan
meninggalkan aktivitas lainnya itu akan digunakan Noval untuk bermain game sambil menunggu
Bintang bisa berlari-lari tanpa sempoyongan lagi.
Suapan bubur terakhir masuk ke mulut Bintang. Noval masih sibuk dengan game-nya. Di bola
mata cokelat tua itu terpantul bayangan monster-monster yang sedang berkelahi di layar
komputer. Namun, pandangan itu kosong.
Entah mengapa, sejak pulang dari dukun beranak, Bintang merasa Noval menjadi begitu
pendiam dan selalu menghindari beradu pandang dengannya. Seperti orang terguncang yang
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah mengalihkan perhatian. Kata-kata yang dikeluarkan Noval dalam sehari bisa dihitung jari,
"Udah baikan?", "Makan dulu," dan "Minum obat." Namun, hal tersebut tidak diambil pusing
oleh Bintang, karena ia juga tidak memiliki cukup energi untuk banyak bicara dan memusingkan
berbagai hal. ***** Ruangan yang diterangi sinar dari lampu-lampu halogen tersebut berbentuk persegi panjang,
bercat putih dengan kedua sisi dilingkupi kaca. Boks persegi panjang berjejer di dalamnya, persis
barang-barang yang dipamerkan di etalase.
Bintang yang mengenakan piyama merah berdiri di koridor sepi nan temaram di depan ruangan
tersebut dengan bertelanjang kaki. Kaki-kakinya yang tidak beralas membawanya memasuki
ruangan tersebut. Ia tidak paham bagaimana bisa berada di sana. Setiap langkah menyebarkan
rasa dingin yang berasal dari keramik putih dan menjalar melalui telapak kakinya.
Di dalam ruangan, dilihatnya bayi-bayi mungil yang masih merah terlelap di dalam boks masingmasing. Ia mendekati salah satu boks. Bayi di dalamnya terlihat gelisah dalam tidurnya. Lalu
tangis bayi itu pecah. Bintang yang seumur hidup tidak pernah mengasuh bayi melirik ke kiri dan ke kanan, berharap
ada orang lain, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Akhirnya, dengan tangan gemetar, disentuhnya
bayi tersebut dengan maksud menenangkan, tapi tangisan bayi malah semakin menjadi. Tangisan
tersebut menjalar ke bayi di seberang boks tersebut yang kemudian dihampiri Bintang. Namun,
ketika ia mencoba menenangkan bayi tersebut, bayi yang lain ikut menangis.
Begitu seterusnya. Setiap kali ia mencoba menenangkan seorang bayi, bayi lainnya ikut
menangis, sampai akhirnya semua bayi di dalam ruangan tersebut menangis.
Tangisan bayi memekakkan telinga Bintang. Semakin lama, tangisan-tangisan tersebut semakin
keras, menyakitkan. Bintang berlari menuju pintu. Pintu terkunci, sedangkan telinganya
berdenyut-denyut sekali. Sambil berjongkok, ditutupnya telinganya dengan kedua tangan.
Di antara tangisan-tangisan keras itu, Bintang mendengar sebuah tangisan kecil di dekat kakinya.
Seorang bayi mungil tergeletak di lantai yang dingin, persis di sebelahnya. Ragu-ragu,
diangkatnya bayi mungil tersebut. Rasa sayang menjalari setiap sel darahnya ketika ia mendekap
si bayi di dadanya. Si bayi akhirnya berhenti menangis. Perlahan, takut membangunkan bayi yang sepertinya sudah
tertidur, Bintang melepaskan bayi itu dari dadanya untuk menatap wajahnya. Kini sang bayi
berada di pangkuannya dengan wajah menghadap ke arahnya. Sang bayi, dengan mata bulat
yang selalu balas memandangnya setiap kali ia bercermin, menatapnya kosong. Mati.
Tubuh Bintang tersentak sedetik sebelum ia terjaga. Matanya nyalang memperhatikan sekitarnya.
Ia masih terbaring dalam piyama merahnya di kamar kosan Noval yang sepi dan gelap.
Layar komputer berpendar-pendar menyilaukan tanpa orang di hadapannya. Sepertinya Noval
sedang berada di kamar mandi karena Bintang melihat petak persegi panjang terang tercetak di
lantai yang gelap dari toilet yang tidak tertutup. Terdengar suara orang yang sedang menggosok
gigi. Perlahan, napas Bintang kembali normal setelah ia memastikan benar-benar tidak ada bayi di
sana. Bayangan gelap terbentuk di petak terang yang tercetak di lantai, menandakan Noval
hendak keluar. Bintang kembali memejamkan matanya, pura-pura tidur, tetapi ia berusaha untuk tetap terjaga
sambil berdoa dalam hati. Ia takut mimpi tersebut kembali menghampirinya. Namun, mimpi
adalah taman bermain jin, yang memanfaatkan kenangan dan pikiran sang pemilik jiwa. Dan
jauh di dalam pikiran Bintang, ada satu bagian tersembunyi, bagian kecil yang tak terlihat yang
tak pernah sama lagi, bagian tempat berkumpulnya rasa bersalah yang memicu timbulnya mimpi
tersebut berulang-ulang di hampir setiap tidurnya.
***** Bintang berjalan dengan cepat di koridor sekolah. Tubuhnya tegak dan ekspresinya angkuh.
Anak-anak masih memperhatikannya walaupun sudah 2 bulan sejak fotonya disebarkan oleh
Reno. Ia tidak berjalan menunduk atau menghindari tatapan orang-orang. Ia sudah bertekad
untuk tidak membiarkan perlakuan teman-temannya mempengaruhinya dan membuatnya
menderita. Tekadnya semakin bulat ketika Reno yang dengan angkuh berkata bahwa ia sudah
putus dengan Kaila tersenyum menyebalkan sambil melipat tangan di dada setiap kali
melihatnya lewat. Kaila sendiri tidak pernah masuk sekolah sejak foto-fotonya beredar. Beberapa kali Bintang
mencoba menghubunginya, bahkan nekat pergi ke rumahnya untuk meminta penjelasan atas
semua hal yang terjadi. Sia-sia. Bintang tak pernah bisa menghubungi Kaila dan tak pernah
diizinkan untuk menemuinya.
Menurut kabar yang tak sengaja didengarnya dari beberapa orang, Kaila sudah pindah sekolah
ke yayasan yang dimiliki salah seorang kerabatnya. Kini Bintang benar-benar sendirian.
Namun, ia tak ambil pusing. Ia berfokus pada ujian akhir yang akan dihadapinya demi cepatcepat lulus dari sekolah. Cacian, sakit hati dan kesedihan dijadikan Bintang sebagai bahan
bakar untuk memfokuskan pikirannya pada pelajaran. Cara efektif untuk melarikan diri.
Di depan pintu kelas, Bintang melihat Daniel yang sedang duduk di koridor berdiri dan berjalan
ke arahnya. Bintang mempercepat langkah, tak ingin berbicara pada Daniel. Selama dua bulan
ini ia tak memiliki teman. Kalaupun ada yang mendekatinya, mereka hanya ingin mengorek
keterangan darinya. Bintang tak pernah mau berbicara. Ia yakin, di belakangnya, mereka
menjelek-jelekkan dirinya sama seperti menjelek-jelekkan Kaila.
Bintang sesungguhnya yakin bahwa Daniel menghampirinya bukan untuk mengorek cerita, tapi
entah mengapa hati kecilnya diliputi rasa bersalah dan malu pada cowok itu, sehingga ia
memilih untuk menghindar.
***** Koridor panjang dengan deretan pintu di kanan kiri, tampak agak gelap kendati hari masih siang.
Sebuah jendela di ujung koridor tidak cukup memberi banyak cahaya. Bintang, yang sudah
merasa sehat, berjalan sendirian dengan langkah ringan di koridor itu menuju kamarnya, karena
Noval yang mengantarnya sampai ke depan kosan sudah hampir terlambat masuk kuliah.
Dengan tangan kanan memegang sebuah tas kertas besar berisi pakaian kotor yang belum sempat
dicucinya selama seminggu, termasuk seragam kerjanya yang sudah tertinggal lama di kosan
Noval, Bintang mengeluarkan kunci dari saku celananya dengan tangan kiri. Ketika hendak
memutar kunci, ia kaget karena kamarnya ternyata tidak terkunci.
Perlahan, Bintang mendorong pintu kosannya. Waswas karena takut menemukan maling yang
sedang mengobrak-abrik kamarnya. Kamarnya masih rapi, bahkan lebih rapi dari keadannya
sebelum ditinggalkan Bintang. Namun, hal itu tidak membuat Bintang lega karena hal yang lebih
menakutkan dari sekadar kemalingan sudah menunggunya.
Ibunya tengah duduk tegak di atas ranjang single-nya dengan pandangan dingin menelanjangi.
***** "Dari mana kamu?" tanya ibunya ketika melihat Bintang tercengang di depan pintu.
"Ngg... dari kosan Mei," jawab Bintang. Dari kemarahan yang terpancar di wajah ibunya,
Bintang menduga perempuan yang dihormatinya itu sudah berada di sana sejak semalam.
"Bohong," ujar ibunya. Sepertinya ia sudah menghubungi semua teman Bintang. Mereka sendiri
tidak tahu Bintang ke mana. Bintang hanya berharap mereka tidak bercerita bahwa Bintang
sudah menghilang selama seminggu.
"Dari mana saja kamu" Ke mana semaleman?" Sesi interogasi sepertinya jauh dari usai. Bintang
yang salah tingkah duduk di atas sofa karena kepalanya mulai terasa pening. Pikirannya berputar
cepat. Sekilas, secarik kain oranye dari seragam kerja yang mencuat dari tas kertas besar yang
dibawanya tertangkap oleh matanya.
"Habis kerja, Bu," jawab Bintang tanpa menatap ibunya.
"Kerja?" Ibunya tampak bingung. "Kerja di mana" Kerja apa?" tanyanya dengan nada yang lebih
halus. "Waitress. Tapi baru resign," ujar Bintang pelan.
Sang ibu berjalan mendekatinya dan memeluknya.
"Bintang." Beliau berujar penuh haru. "Kamu nggak perlu kerja... Ibu masih bisa..." Suara ibunya
bergetar. Bintang balas mendekap ibunya. Air matanya bergulir.
"Maafin aku, Ibu...," bisiknya lirih.
Lucifer Menjawab Seperti kebiasaannya sejak dulu, jendela menjadi spot favorit Bintang ketika menghadapi
masalah. Pukul sepuluh malam, alih-alih tidur, di atas ranjang single-nya yang menempel ke
jendela besar yang menghadap jalan, Bintang duduk memperhatikan keadaan di luar sana.
Orang-orang dengan berbagai penampilan masih berlalu-lalang. Mereka memiliki masalah
sendiri-sendiri. Dari sorot lampu yang terkadang menyapu wajah mereka, dapat dilihat bahwa
sebagian besar orang membawa masalahnya dengan enteng, ada juga yang wajahnya kuyu,
menunjukkan masalah yang berat.
Hanya 5 menit pertama yang diberikan Bintang untuk mengamati orang-orang di luar dirinya
melalui jendela saat itu. Selebihnya, pandangannya berubah menjadi pandangan kosong. Ia
tenggelam dalam masalah-masalahnya sendiri. Memikirkan ucapan dua perempuan yang
didengarnya di tangga kampus. Menyadari bahwa walaupun hubungannya dan Noval masih
seperti dulu, sesuatu memang telah berubah.
Sejak mereka mendapat tamparan dari perbuatan mereka yang melanggar batas dan
mengatasinya dengan melakukan dosa lain, mereka jarang berbicara satu sama lain meski sedang
bersama-sama. Ada sesuatu yang mencegah mereka untuk mendekat secara emosi, tetapii tidak
secara fisik. Sehingga bercinta pun dilakukan dalam diam.
Apakah cinta kamu untukku masih tersisa, Val" Bintang bertanya-tanya. Mulai merasakan
keraguan dari semua hal yang menghampirinya saat itu.
Aku masih, lanjutnya. Tak bisa membayangkan harus sendiri. Masih ada kasih di hatinya walau
ia ikut terdiam sejak Noval mendiamkannya. Dering handphone yang terletak di sebelahnya
mencapai telinganya, mengalihkan perhatiannya. Mei menelepon.
"Halo, Mei," ujar Bintang.
"Halo, Bintang. Lagi di mana?" suara Mei terdengar samar, tertimpa suara-suara berisik di
belakangnya. "Di kosan. Kenapa" Lo di mana" Berisik banget."
"Mmm..." Mei terdengar ragu. "Gue, mmm, lagi clubbing," jawabnya.
Bintang mengerang pelan. Bosan mengingatkan Mei yang memang sudah jadi ratu pesta sejak
Bintang mengenalnya. "Ya udah, itu nggak penting. Ada yang mau gue omongin," lanjut Mei cepat.
Bintang diam, mendengarkan.
"Gue... ngg..." Mei kembali tampak ragu.
"Apa, Mei?" tanya Bintang tak sabar.
"Gue liat Noval bareng cewek. Mesra banget," ujar Mei dengan nada meminta maaf karena
sudah menyampaikan kabar yang tidak baik. Bintang diam saja. Mempertimbangkan harus
percaya atau tidak. Tapi Mei teman terdekatnya selain Dewa, Mei tak mungkin berbohong.
"Lo nggak percaya?" Mei kembali bersuara karena Bintang diam saja. "Gue kirimin foto-fotonya
mau?" "Kirim aja," ujar Bintang pelan, kemudian memutuskan hubungan teleponnya dengan Mei. Tak
lama kemudian, beberapa MMS masuk. Dengan tangan gemetar, Bintang membukanya. Yang
ditakutkannya terjadi. Foto-foto tersebut menunjukkan Noval bersama seseorang yang ia kenali
sebagai perempuan yang berbincang dengan Noval ketika keluar dari gedung teater.
Bintang kebingungan. Dengan segenap cinta yang bersarang di hatinya, ia tidak sanggup
membayangkan berpisah dari Noval. Namun, ia juga tidak bodoh. Cinta membutuhkan
penghargaan melalui kesetiaan. Sebuah prinsip lama muncul dalam pikirannya. Untuk
membentuk sebuah hubungan diperlukan persetujuan dari kedua pihak, tapi untuk memutuskan
hubungan hanya diperlukan hilangnya cinta dari satu pihak saja. Dan Bintang yakin, semakin
hari cinta Noval kepadanya semakin berkurang. Ia tidak bisa memaksakan.
Harus gimana" Bintang bertanya dalam hati.
Ia benar-benar bingung dan tidak bisa berpikir. Ia tahu bahwa ia harus mengajak Noval bicara.
Tapi itu artinya Bintang harus mempersiapkan diri untuk kehilangan, dan ia tidak siap untuk itu.
***** Di dalam bus yang kursi-kursinya hanya terisi beberapa, Bintang duduk di baris ketiga di sebelah
jendela. Kursi di sampingnya kosong. Malam itu, setelah mendapat kiriman foto dari Mei, Ia
mengambil keputusan impulsif untuk pulang ke Bandung karena ia tidak tahan tinggal di
kosannya. ***** Di kamar bercat putih kusam yang telah ia tempati selama dua puluh tahun, Bintang meringkuk
lelap di bawah selimut. Tidur lelapnya selama sebulan terakhir. Kamar itu sangat gelap dengan
lampu dimatikan dan tirai panjang yang menutupi setiap jendela, padahal jam sudah
menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Bintang..." Ibunya berusaha membangunkan, tapi ia tak bereaksi.
"Bintang," sang ibu mengguncang bahu anaknya. Bintang membalikkan badannya dan menatap
ibunya dengan mata setengah terbuka.
"Ada yang nunggu," ujar ibunya.
Bintang hanya menatapnya sejenak, kemudian kembali membalikkan tubuhnya dan tertidur.
Ibunya tidak berusaha membangunkannya lagi. Ia malah memperhatikan anak perempuannya
dengan prihatin sebelum mengecupnya pelan dan meninggalkan kamarnya.
Bintang baru sampai rumah pukul satu pagi, dia pasti lelah sekali, pikir beliau.
Masalahnya dengan Noval membuat Bintang tidak tahan untuk diam di kosannya. Pukul
setengah sebelas tadi malam, ia memutuskan untuk pulang ke Bandung walaupun minggu ini
sedang UAS. Pada minggu UAS di semester ini, Bintang tidak terlalu sibuk karena ia hanya
mengikuti PLP dan diam-diam mengontrak ulang dua mata kuliah. Karena PLP dan segala
urusannya telah selesai dan ia sudah mengikuti satu UAS kemarin pagi, Bintang hanya perlu
mengikuti satu UAS lagi besok pagi.
Alih-alih pulang lusa setelah menyelesaikan UAS terakhir, ia memanfaatkan satu hari kosong
untuk pulang, walau itu membuatnya harus kembali ke Jakarta sore harinya. Bintang merasa satu
malam sangat besar artinya untuk mencharge kembali semangatnya.
Jam terus bergerak, begitu pula matahari. Sejam sudah berlalu sejak ibu Bintang berusaha
membangunkannya. Tubuh Bintang yang tak terbiasa bangun siang mulai bekerja. Ia akhirnya
bangun. Sesaat setelah bangun, Bintang diam sejenak untuk mengumpulkan nyawa dan meyakinkan diri
bahwa ia berada di rumah. Setelah itu, ia turun dari tempat tidur dan mengucir rambut seadanya.
Cahaya matahari serentak menyerbu masuk ketika Bintang menyingkap tirai yang menutupi
jendela. Saat itu, baru ia sadar, betapa siangnya ia bangun.
Bintang mengaambil gelas kosong yang terletak di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya.
Kerongkongannya terasa kering. Bintang menuruni tangga untuk mengambil air di dapur karena
kamarnya terletak di lantai dua. Di dapur hanya ada Irah, perempuan setengah baya yang
membantu di rumahnya. Irah sedang mencuci piring.
"Ibu udah pergi, Bi?" tanya Bintang sambil mengisi gelasnya dengan air dari dispenser.
"Sudah," jawab Irah. "Oh ya Teh, ada yang nungguin Teteh di ruang TV," lanjutnya ketika
Bintang hendak meninggalkan dapur. Bintang mengernyitkan kening, seingatnya ia tidak
mempunyai janji hari ini. Ingin mengetahui siapa yang menunggunya, Bintang cepat-cepat
mencuci muka dan berkumur.
Sambil mengeringkan mukanya dengan tisu, Ia berjalan menuju ruang TV. Di sana dilihatnya
seorang laki-laki berkaus hitam yang mengenakan kacamata frameless sedang duduk, asyik
menggambar di kertas A4. "Daniel?" Laki-laki yang asyik menggambar itu pun mendongak. Ternyata memang benar ia.
"Hei, Pemalas," Daniel menyapa sambil meletakkan pensil yang dipakainya untuk menggambar.
Bintang tertawa dan duduk di sebelah Daniel.
"Kok ada di sini" Kena DO, ya" Atau dideportasi dari Jerman?" tanya Bintang ringan. Di
dahinya tertempel potongan tisu.
"Enak aja. Gue lagi libur. Gue nunggu lo bangun lama banget," Daniel berhenti sejenak. Ia
menunjuk dahinya sendiri. "Tisu."
Bintang meraba-raba dahinya dan menyingkirkan tisu yang menempel.
"Gambar apaan, sih?" Bintang mengambil kertas yang terletak di meja. Ternyata Daniel
menggambar foto keluarganya yang terdiri dari Bintang, ibunya dan almarhum ayahnya, yang
terpanjang di dinding. "Masih suka ngegambar ternyata. Kayak..." Bintang terdiam. Daniel yang tahu maksud cewek itu
ikut terdiam, canggung. "Eh, gimana kuliahnya" Dapet bule nggak?" Bintang mengalihkan pembicaraan. Daniel merasa
lega karena tak perlu mencari-cari topik untuk menghilangkan kecanggungan.
"Kuliah, ah, sama aja kali..." Daniel pun mulai bercerita tentang pengalamannya selama di
Jerman. Akhirnya mereka tenggelam dalam obrolan yang serasa tak ada habisnya. Bintang
bercerita pada Daniel tentang banyak hal, kecuali masalah-masalah pribadinya. Bintang
menyadari, ia tidak pernah bercerita sepanjang itu seumur hidupnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Jam di handphone cowok itu yang bergetar di atas meja
menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, yang artinya mereka sudah bercerita selama satu
setengah jam. Daniel memeriksa handphone-nya, sementara Bintang yang melihat cowok
berkacamata itu sibuk dengan handphone-nya pergi ke kamarnya untuk mengambil handphonenya sendiri. Bintang mengeceknya, ada dua missed call dan satu pesan masuk. Semua berasal
dari Noval. Bintang membaca pesan itu.
From: Val Knp tlp gw gak diangkat"
Ntar siang gw k kosan Mw ngambil bhn UAS Kegelisahan yang meliputi Bintang sejak kemarin akhirnya muncul lagi. Bintang menarik napas
dalam-dalam sebelum membalas SMS Noval.
To: Val Sorry bru bangun. Lg di bdg. Iya ambil aj. Setelah memastikan pesannya terkirim, Bintang kembali ke ruang TV. Di sana Daniel sudah
selesai menjawab teleponnya.
"Bintang," ujar Daniel. "gue harus pulang nih, ada urusan," lanjutnya sambil mencari-cari
sesuatu di dalam tasnya. "Kok udah mau balik, sih?" Bintang heran.
"Ada urusan mendadak," jawab Daniel sambil menyodorkan secarik kertas yang terlipat. "Utang
gue." Bintang membuka lipatan kertas tersebut. Lukisan dirinya yang berseragam SMA dan tengah
duduk dengan raut wajah kesal di sebuah kelas terpampang di sana.
Bintang mengusap lukisan tersebut dengan penuh kerinduan. Banyak kenangan tersimpan di
sana."Masih inget aja," ujarnya. "Thanks, ya."
Daniel hanya tersenyum. "Gue balik, ya." Ia pamit sambil menyandang tasnya.
"Sebentar," cegah Bintang. Ia berlari menuju dapur dan kembali dengan menggandeng Irah.
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Fotoin, Bi." Bintang menyodorkan sebuah kamera digital. "Tinggal pencet ini aja," ujarnya
sambil menunjukkan sebuah tombol.
"Foto dulu buat kenang-kenangan," ujar Bintang kepada Daniel. Dengan senyum lebar, Bintang
memegang sketsa dirinya dan berdiri di samping Daniel yang juga tersenyum lebar. Untuk
sesaat, Bintang mampu mengalihkan perhatian dari kegelisahannya dan merasa bahagia.
***** Bulan bersinar terang malam itu. Bulan purnama, bulat, penuh, sempurna, yang memancarkan
gravitasi yang lebih besar dari biasanya. Saling tarik-menarik dengan gravitasi Bumi. Pada saat
itu, gravitasi bulan yang besar menarik air laut, membuat permukaan laut lebih tinggi dan ombak
lebih besar. Menjadikan laut pasang.
Tapi siapa yang peduli akan laut pasang, ketika ombak yang besar ada dalam dada seseorang.
Dalam kamar temaram tanpa jendela, ombak besar bergemuruh dalam dada dua orang yang
sedang berbaring bersebelahan. Yang pasti, bukan gravitasi bulan penyebabnya.
Jemari laki-laki itu menyusuri bibir pink pucat perempuan di sampingnya, menyingkirkan
helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya. Sedetik kemudian, si pemilik bibir pucat
merasakan janggut halus yang belum sempat dicukir menggelitik dagunya. Dipeluknya laki-laki
itu dengan erat sebelum ia melepaskan diri darinya. Si laki-laki mengerang.
"Kenapa?" tanya Noval kesal. Bintang mengangkat tubuhnya dan duduk di sebelah kekasihnya
yang masih berbaring. "Lo masih cinta gue nggak, Val?" tanyanya, bingung harus memulai dari mana. Noval bangkit.
"Lo nanya itu" Sekarang?" ujar Noval yang kini berusaha melarikan nafsunya dengan sebatang
rokok yang disulutnya. Bintang duduk di atas meja kecil di hadapan Noval. Suara orang yang
lalu-lalang di luar melatari percakapan mereka.
"Kenapa lo nanyain itu?" tanya Noval sambil menatap Bintang yang salah tingkah dan tampak
begitu kecil. Dengan ragu, karena malam itu bisa menjadi malam terakhir kebersamaan mereka, Bintang
mengeluarkan handphone tipis dari saku celana jeans-nya, membuka beberapa file sebelum
menjulurkannya pada Noval yang terlihat kelelahan.
Di layar terpampang foto Noval dengan seorang perempuan, si perempuan dari teater. Noval
mengamati foto itu. Asap mengepul dari rokok yang menggantung di tangan kirinya. Bibirnya
tersenyum sinis. "Nih." Ia mengembalikan handphone Bintang. Dimatikannya rokok yang belum sempat
diisapnya itu di asbak yang terletak di atas meja yang tengah diduduki Bintang.
"Dari mana lo dapet foto ini?" tanya Noval dingin, tangannya terlipat di dada. Badannya tinggi
menjulang di hadapan Bintang yang duduk di atas meja kecil. Reaksi Noval yang tidak sesuai
harapan membuatnya terdiam
"Lo nguntit gue" Atau lo emang pergi ke tempat kayak gini tanpa bilang-bilang gue?" Noval
menatap Bintang dingin, yang dibalas tatapan bingung dan tidak percaya Bintang. Jika ada orang
yang seharusnya marah, maka orang itu adalah Bintang. Namun keadaannya malah terbalik.
"Kok, jadi ngomongin gitu" Gue lagi di Bandung waktu lo seneng-seneng sama tuh cewek."
Bintang mendengus kesal. "Hubungan lo sama dia apa?" Bintang mulai kesal.
Bintang menatap Noval, berharap mendengar jawaban 'bukan siapa-siapa'.
"Lo mulai nggak percaya sama gue, Bintang?" Noval justru bertanya dengan suara rendah dan
dingin. Raut wajah Noval berubah menjadi ekspresi lucifer yang telah muncul beberapa kali dalam tahun
itu. "Bukan... bukan gitu..." Bintang merengut saat Noval berjongkok di hadapannya sehingga tinggi
mereka sejajar. Ia selalu merasa ketakutan setiap kali Noval berubah menjadi pribadi yang
lain."Bukan apa?" Noval bertanya halus sambil menyelipkan rambut Bintang ke belakang
telinganya. Kelembutan yang tidak biasa itu membuat Bintang bertambah takut. Sekilas, Bintang
menatap wajah Noval. Ia masih dikuasai Lucifer.
"Bukan apa-apa. Lupain aja." Ia berdiri, menjauhi Noval dan mengambil jaketnya. "Gue pulang
dulu." Tanpa menatap Noval, Bintang membuka pintu. Namun, cengkeraman Noval menariknya
dengan keras. "Gue belum selesai," bentak Noval.
Suara keras Noval yang keluar melalui pintu terbuka membuat beberapa orang yang lewat
menoleh. Tatapan orang-orang rupanya mengusir Lucifer dari diri Noval. Kesempatan itu
digunakan Bintang untuk melepaskan cengkeraman Noval dari pergelangan tangannya dan
berlari menjauh. Ia benar-benar tak ingin dekat-dekat dengan Noval saat itu.
Toilet Kamar Barbie Berkali-kali Bintang menekan bel sebuah rumah bercat putih yang dikelilingi pohon rindang.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Seorang perempuan
berumur empat puluhan berdiri di hadapannya. Perempuan yang dulu selalu menyambutnya
dengan ramah. Dulu, sebelum foto-foto itu tersebar dan menggerogoti anak dan keluarganya.
Perempuan itu memandang Bintang yang wajahnya turut berada di salah satu foto. Satu-satunya
foto yang tidak vulgar, tapi paling aneh karena di foto tersebut Bintang mencium anaknya yang
juga seorang perempuan. Perempuan itu memandang Bintang dengan sinis.
"Mau apa lagi ke sini?"
"Saya mengkhawatirkan Kaila. Boleh saya ketemu Kai, Bu?" Bintang memohon.
Perempuan itu memandang Bintang. Menarik napas panjang, seolah-olah ingin menghempaskan
beban yang menekan dadanya.
"Tolong suruh dia makan. Dia sudah berhenti makan dan menolak untuk pergi ke sekolah
barunya," akhirnya perempuan tersebut mengizinkan Bintang untuk masuk setelah sebelumnya
berkali-kali mengusirnya.
Bintang lalu masuk, menghampiri sebuah kamar.
"Kai?" Bintang mengedaran pandangannya di ruangan yang mirip kamar Barbie itu. Tak ada tandatanda keberadaan Kaila di sana. Bintang masuk dan mendengar suara shower. Ia melangkah ke
pintu kamar mandi yang terletak di dekat jendela.
"Kai, ini Bintang, Kai..."Tak ada jawaban. Bintang duduk di atas ranjang, menunggu Kaila
keluar. Beberapa menit berlalu, Kaila tak keluar juga.
"Kai, kamu dengar aku?" Bintang penasaran. Masih tak ada jawaban.
"Kai, kalau kamu nggak jawab, aku bakal masuk."
Juga tak dijawab. Bintang memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak
terkunci. Ketika masuk, ia menemukan pecahan kaca wastafel. Ia berjalan sambil berjinjit,
berusaha tak menginjak serpihan kaca yang berserakan di lantai.
"Kai?" Bintang mulai khawatir. Disibakkannya tirai plastik putih di sebelah kanannya, tempat
shower mengucurkan air. Di sana, dilihatnya Kaila sedang berendam dalam genangan darahnya di bathtub.
Dead End Untuk mengalihkan pikiran tentang kejadian beberapa malam yang lalu, Bintang mulai
memikirkan judul skripsi. Semester ini Bintang sudah menyelesaikan semua mata kuliahnya dan
berhak untuk mulai menulis skripsi.
Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Bintang yang tengah sibuk mencatat judul-judul
skripsi. Dengan gontai, ia berjalan ke pintu. Dewa dengan kepala plontosnya melangkah masuk
setelah Bintang membukakan pintu. Samar-samar, Bintang mendengar Dewa mengatakan suatu
tentang toilet. Ia melihat Dewa menghilang di balik pintu kamar mandi.
Bintang kembali bergelung di sofa. Hari ini ia meminta bantuan Dewa untuk memberikan
beberapa tips dalam menulis skripsi. Bintang mendapat pebimbing skripsi yang super-sibuk
sehingga waktu untuk memberikan bimbingan sangat terbatas, belum lagi ditambah
kemungkinan batal. Dewa yang sudah lulus semester lalu memang anak genius super-rajin yang
selalu mengambil semester padat sehingga dapat lulus lebih awal dari Bintang dan Mei.
Sambil menunggu Dewa selesai dengan urusannya di toilet, ia kembali menyusun kalimatkalimat yang bisa dijadikan judul skripsi.
***** Bintang merasa pening dan penat karena tidak satu pun judul yang melintas di kepalanya cukup
bagus untuk bisa diterima. Mungkin ia perlu jalan-jalan sambil menghirup udara segar untuk
mendapatkan ide. Sayang sekali, sore itu gerimis. Bintang hanya bisa memijat-mijat keningnya.
Terdengar suara pintu toilet yang dibuka. Bintang berhenti memijat kening. Dari balik pintu
pantry, dilihatnya Dewa masuk. Belum sempat Bintang mengeluarkan sepatah kata pun, sebuah
benda pipih panjang panjang meluncur dari tangan Dewa ke atas meja.
"Sekarang lo tau kan, gue kayak gimana."
Rahasia yang disimpan Bintang selama 2 bulan akhirnya terbuka juga.
"Gue nggak sebaik yang lo pikir. Terserah lo mau liat gue kayak apa," lanjut Bintang ketika
cowok itu terdiam dengan wajah yang menyiratkan kekecewaan.
Sejenak, Dewa menarik napas panjang untuk menenangkan diri setelah mendengar pengakuan
temannya yang tidak banyak bicara itu.
"Bintang..." Bintang menatap Dewa yang terlihat begitu serius.
"Gue bukan mau ngerecoki. Gue ngomong gini karena lo temen gue dan gue peduli sama lo,"
Dewa berhenti sejenak untuk memastikan Bintang mendengarkan.
"Lo masih sama Noval, kan" Gue pengin lo sayangin diri lo. Jangan diulangi lagi." Ditatapnya
cewek yang kini tertunduk sambil memainkan ujung kausnya.
"Lo sayang ia, kan" Kalo lo sayang dia, lo nggak akan memenuhi keinginan dia buat bikin dosa,
Bintang. Jangan diulangi lagi, ya?" Dewa menepuk pundak Bintang.
Bintang menatap langsung ke mata Dewa.
"Nggak, nggak lagi-lagi," ujarnya pelan. "Gue udah hampir gila, tiap malam dihantui tangisan
dan jutaan wajah bayi dalam mimpi."
***** Sejak mereka bertengkar, Bintang di pernah lagi di kosan Noval. Ia juga tak pernah mengizinkan
Noval untuk menginap di kosannya. Bintang selalu memiliki alasan untuk menolaknya secara
halus. Noval mendekati kekasihnya yang sedang menekuni kertas-kertas.
"Udah selesai belum?" tanya Noval tepat di belakang Bintang, membuatnya terlonjak kaget.
"Val, bikin kaget aja," ujarnya. "Belum. Kenapa, Val?" Bintang kembali berfokus ke setumpuk
kertas berisi kuesioner yang belum diperiksanya.
"Nggak apa-apa," sahut Noval. Bintang bisa merasakan dagu Noval yang keras di bahunya. Ia
diam sejenak, menyadari bahwa ini pertama kalinya Noval mendekatinya sejak terakhir kali ia
berubah menjadi Lucifer. Bintang merasakan napas Noval yang semakin berat. Sentuhan halus mulai menyerang bagian
belakang telinganya. Bintang terdiam, menerka-nerka sejauh mana Noval akan berbuat. Ia tahu,
cepat atau lambat hal ini akan terjadi lagi. Dan ia tak dapat terus-terusan menghindar.
Bintang menepis tangan Noval yang mulai menyusup ke bawah blus-nya. Ia melepaskan diri dari
pelukannya. "Gue nggak mau ngelakuin itu lagi, Val," ujarnya sambil menunduk, tak berani menatap mata
Noval. "Kenapa?" tanya Noval kesal. Ia kembali mendekati Bintang. "Ini bukan masa subur lo. Nggak
perlu khawatir," lanjutnya sambil menyelipkan poni Bintang ke belakang telinganya.
"Bukan." Bintang menjawab pelan.
"Terus kenapa?" Noval mulai kesal.
"Dosa, Val." Ucapan Bintang nyaris tak terdengar. "Gue nggak mau kayak gitu lagi."
Noval menatap Bintang dengan tajam sambil menyilangkan tangan di dada.
"Sejak kapan peduli sama dosa?" tanyanya dingin. Bintang diam saja.
"Jadi, nggak mau lagi?" desak Noval. Bintang hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Jahat. Kita kan mulai kayak gini berdua," gerutu Noval. "Jujur ya, gue nggak bisa berhenti. Jadi
selama masih mau sama gue, lo nggak bisa berhenti," ujarnya dingin.
Tak ada tanggapan dari Bintang.
"Sekarang lo pilih deh, ikutin mau gue, atau kita udahan aja." Kali ini Bintang memberanikan
diri untuk menatap Noval yang terlihat begitu serius.
Bintang menarik napas dalam berkali-kali. Tak pernah menyangka semua akan ada ujungnya,
walau ia tahu keabadian tidak diberikan pada yang hidup.
"Kita putus aja, Val," ujar Bintang sambil memalingkan wajah. Keheningan menyusul perkataan
itu. Setelah beberapa saat, Noval berdiri dan menjauh dari Bintang. Cewek itu mulai memunguti
dan mengumpulkan kertas-kertasnya. Saat ia memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas,
didengarnya Noval tertawa.
Noval berjalan mendekati Bintang dan berdiri menjulang di hadapannya.
"Yakin mau putus dari gue?" tanyanya sinis. "Gue uah dapet semua yang gue pengin dari lo. Gue
bisa dengan gampang dapet cewek yang lebih baik dari lo. Tapi lo, Bintang, siapa yang mau
sama lo?" lanjut Noval, seolah-olah Bintang tidak menyadari itu semua.
Bintang memanang Noval dengan kecewa.
"Kalau gue begitu buruk bagi lo dan lo bisa dapet yang lebih baik, kenapa nggak dari dulu lo
tinggalin gue?" "Gue kasihan aja sama lo," ujar Noval singkat.
Bintang menyandang tasnya.
"Sekarang nggak perlu kasihan lagi," ucap Bintang sambil mengangkat bahu, kemudian berbalik
dan meninggalkan Noval dengan perasaan terhina. Ia berusaha untuk tidak menangis.
Noval memandang punggung Bintang yang menghilang di balik pintu kosannya. Merasa terhina
ditinggalkan oleh kekasihnya.
Ilusi Dalam balutan kebaya putih dan sanggul sederhana, Bintang berdiri di sebelah wanita paruh baya
yang memakai setelan batik berwarna merah. Mereka berada di depan gedung olahraga yang kini
disulap menjadi tempat prosesi wisuda berlangsung. Banyak orang yang lalu lalang, beberapa
masih memakai toga, yang lain masih berfoto untuk kenang-kenangan, seperti dirinya.
Wanita itu berdiri anggun di sebelah Bintang. Diciumnya pipi sang anak yang sepagian sudah
menjadi landasan tempat mendaratnya ciuman-ciumannya. Bintang yang biasanya mengelak kini
senyum-senyum saja. Sekitar 1 meter di depannya, Dewa, yang lulus satu semester sebelum Bintang, berdiri sambil
memegang kamera. Wisuda Bintang hari itu hanya dihadiri oleh ibunya, Dewa, dan Marsha yang
sedang mencari minuman. Mei, yang juga lulus berbarengan dengan Bintang, sudah pulang
duluan bersama keluarganya untuk merayakan kelulusan di tempat lain.
"Yang anggun dong, Bintang," ujar Dewa sambil melihat melalui lensa kameranya.
"Satu... Dua... Tiga," tepat saat kamera mengambil gambarnya, Bintang mengalihkan pandangan
dari kamera. Jauh di depannya, Noval yang menggandeng si perempuan teater berjalan diikuti
teman-teman band-nya. "Ah, jelek," ujar Dewa yang kemudian membuang muka, kesal karena perhatian Bintang
teralihkan. Bintang hanya tersenyum miris, yang diartikan ibunya sebagai senyum haru karena
telah lulus. Ia memang telah mengikhlaskan semuanya, namun tak urung hatinya tercubit melihat
pemandangan itu. ***** Perempuan di depan Noval, yang memakai kebaya cokelat dan dikenalnya saat menjadi
pengiring teater, sedang asyik berceloteh sambil menunggu pesanan mereka datang. Mereka
berada di sebuah rumah makan khas Sunda. Tak satu pun celotehan tersebut masuk ke telinga
Noval yang memakai kemeja putih bergaris vertikal. Ia duduk dengan pandangan menyimak,
padahal pikirannya terbang melayang-layang ke depan gedung olahraga tempat Bintang dan
seorang perempua setengah baya difoto oleh Dewa.
Kekesalannya karena Bintang dengan sukarela putus darinya masih mengumpul di hatinya. Ia
pikir Bintang tak akan bisa lepas darinya karena gadis itu benar-benar mencintainya. Ilusi-ilusi
dalam pikirannya terus berlari, semakin lama semakin jauh. Wajah Dewa yang sedang memotret
Bintang terbayang dengan jelas di pikirannya. Dewa teman baik Bintang, ia selalu ada untuk
Bintang. Apakah mereka sekadar berteman"
Murahan, cerca Noval dalam hati. Padahal perempuan yang ditimpa kata 'murahan' itu hanya
bercinta dengannya, selalu mengikuti keinginan-keinginannya, bahkan tidak berteman dengan
banyak orang atas pintanya.
Noval kembali memfokuskan pandangan pada perempuan di depannya yang masih asyik
berceloteh. Ia sengaja mengajaknya untuk membuat Bintang kesal. Betapa menghancurkan hati
seseorang itu bisa indah sekali rasanya.
Di tengah celotehan si perempuan, seorang laki-laki yang sepertinya juga baru diwisuda masuk
ke dalam restoran, diikuti beberapa orang yang terlihat seperti keluarga dan teman-temannya.
Mereka mengambil meja yang jaraknya lumayan jauh dari Noval dan si perempuan teater.
"Ceweknya itu seangkatan sama gue, lho, Val," ujar Rika, si perempuan teater seraya
memberikan isyarat ke arah perempuan yang duduk satu meja dengan si wisudawan.
"Oh." Noval bersuara pelan.
"Dia tuh sering diselingkuhin, tapi tetep aja nggak mau putus," lanjut Rika. "Paling juga udah
ngasih." Rika menutup kalimatnya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Alis Noval naik
satu. "Maksudnya?" "Biasanya kalo udah ngasihh, cewek tuh susah mau putusnya," Rika menjelaskan dengan sabar.
"Kalo nggak susah?" Noval menenggak air putihnya.
"Paling juga udah punya cadangan." Rika menjawab enteng.
***** Pintu pagar yang berkarat berbunyi berisik ketika dibuka. Bintang melangkah masuk ke
pekarangan rumah setelah sekilas menatap motor yang terparkir di depan pagar. Ia
menghentikan langkahnya ketika melihat Daniel sedang duduk di kursi teras. Daniel berdiri
dengan canggung ketika melihatnya datang.
"Ngapain ke sini?" Ia merasa tak nyaman.
"Kenapa nggak datang ke pemakaman?" Daniel balik bertanya.
"Memangnya siapa yang mati"!" bentak Bintang yang berdiri dua meter di depannya. Ia
berjalan melewati Daniel dan menyenggolnya ketika mengambil kunci dari tasnya.
"Bintang, tunggu sebentar. Gue mau ngomong, bentar aja," kata Daniel, putus asa menghadapi
perempuan kerasa kepala itu.
"Sebentar," ulangnya.
Bintang melunak dan duduk di kursi teras. Daniel duduk di sebelahnya dengan canggung.
"Ada apa?" tanya Bintang.
"Bintang, sebenarnya dari awal gue udah tau..." Daniel berhenti sejenak. "Tau lo pacaran sama
Kaila, tau lo cuma manfaatin gue."
"Terus?" ujar Bintang ketus.
"Ya nggak terus terus," Daniel tampak sedikit kesal.
"Gue cuma mau bilang, gue tulus cinta sama lo walaupun lo nggak cinta gue. Tapi gue tau, lo
nyaman sama gue." Daniel berkata cepat.
"Yah, nyaman sebagai teman," tambahnya.
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terus?" Bintang bertanya, masih dengan nada ketus.
"Besok gue ke Jerman, belajar finance. Sebelum pergi, gue pengin ketemu lo dulu, siapa tau kita
nggak akan bisa ketemu lagi," ujar Daniel.
"Gue minta maaf, Niel." Bintang merasa sedikit bersalah.
"That's OK," ucap Daniel tenang. "Tapi gue harap lo bisa menerima bahwa Kaila sudah pergi."
Sejenak Daniel menanti respons dari Bintang. Melihat Bintang diam saja, Daniel melanjutkan
dengan ragu-ragu. "Cintailah laki-laki. Agar lo nggak perlu bersembunyi untuk mencintai seseorang."
***** Ibuku calling... Ah, tentu saja itu nomor yang menempati urutan pertama dalam daftar orang penting yang harus
dijawab panggilannya. "Pagi, Bintang." Suara seorang wanita terdengar ceria dari ujung sana.
"Pagi Bu, apa kabar?" sahutnya datar.
"Baik, toko juga udah berjalan sangat baik. Kayak dulu lagi. Kamu gimana?"
"Baik juga." Ia berbohong.
"Bintang, udah diputusin mau kerja di mana" Atau mau kuliah lagi?" Perempuan yang berbicara
di ujung sana berharap cemas agar Bintang memilih Bandung, kota tempatnya tinggal.
"Aku mau pulang ke Bandung, Bu," jawab Bintang. "Mau kerja di sana aja."
"Nggak langsung kuliah lagi?" tanya ibunya.
"Aku ngajuin beasiswa," jawab Bintang singkat. "Nunggu itu aja."
"Bintang?" "Ya, Bu?" "Kok diem aja" Lagi ada masalah?"
"Nggak ada kok, Bu. Minggu depan kalau aku pulang kita ke makam Ayah yuk, Bu."
***** Langkah kaki yang panjang dan cepat menyusuri koridor dengan deretan pintu yang tertutup di
dini hari. Pintu-pintu tersebut terkunci. Para penghuninya tengah terlelap dalam mimpi.
Ia berhenti di depan sebuah pintu dan memasukkan kunci dengan tergesa-gesa. Dalam
ketergesaan, berkali-kali kunci meleset dari lubangnya. Setelah mendengar bunyi 'klik', ia
langsung membanting pintu sekuat tenaga disertai emosi yang sudah ditahannya dari tadi.
Perempuan yang tengah tidur di kamar tersebut terjaga. Seharusnya baru beberapa jam lagi ia
bangun dan memulai harinya. Namun gangguan tak diduga di pagi buta itu memaksa dirinya
tersadar. Ia memicingkan mata, menatap laki-laki yang tengah berdiri di keremangan kamar yang hanya
diterangi lampu tidur. Pintu yang terbanting sudah tertutup. Memblokir cahaya lampu dari
koridor. "Noval." Si perempuan bersuara. Ia sudah menduganya, karena hanya orang itu yang memiliki
kunci duplikat kamar kosannya.
Si perempuan hendak beranjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu. Namun sebelum ia
menyentuhkan kakinya di lantai marmer dingin, si laki-laki sudah menyeretnya dari ranjang.
"Kasih tau gue, siapa cowok itu?" Matanya penuh amarah.
"Cowok apa?" Bintang kebingungan dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Noval di
bahunya. "Jangan bego. Lo tau. Lo udah ngasih semuanya ke gue, lo nggak punya apa-apa lagi. Nggak
mungkin lo berani pergi dari gue kalo nggak punya cadangan." Noval berkata pelan. Pikirannya
dipenuhi ilusi laki-laki tak berwajah yang tengah bersenang-senang dengan Bintang. Menginjakinjak dirinya dan melanggar wilayahnya.
"Kamu sakit, Val." Bintang meringis. Cengkeraman Noval yang semakin keras membuat
bahunya kebas. Bintang yang tengah berusaha melepaskan diri jadi heran ketika Noval tiba-tiba melepaskan
cengkeramannya. Cowok itu menatap lurus ke balik bahu Bintang. Berjalan ke arah rak buku
yang memajang beberapa pigura berisi foto Bintang dan teman-temannya. Salah satunya adalah
foto Bintang yang tengah memegang sketsa dirinya. Buatan Daniel yang tersenyum di
sebelahnya. Noval mengelus bingkai foto tersebut dengan lembut. Seperti mengelus gelembung sabun yang
mudah pecah. Matanya terpancang pada tanggal yang tertera. Ia membalikkan tubuh dan berjalan
ke arah Bintang. Sistem pertahanan tubuh Bintang mendeteksi adanya bahaya dari ketenangan Noval. Ia
melangkah mundur dan menjauh, tetapi tidak cukup cepat untuk menghindari segala sesuatu
yang berjalan begitu cepat.
"PELACUR!" Tangan Noval melayang ke pipi Bintang dan membuatnya menabrak meja rias. Bintang
tersungkur jatuh. Bagian belakang kepalanya yang membentur ujung meja rias berdenyut-denyut
nyeri. Noval berjongkok di sebelahnya, menatapnya dengan pandangan setan.
Teriakan Noval masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kepalanya yang berdenyut-denyut terasa
tak seberapa sakit dibanding ucapan Noval barusan. Di tengah denyut nyeri di kepalanya,
Bintang menangkap perubahan ekspresi pada wajah Noval. Noval menatap ujung bibir Bintang
yang berdarah karena 'bersentuhan' dengan tangannya. Dengan jari-jarinya yang bergetar, Noval
berusaha menyentuhnya. Sebelum jari-jari Noval sampai di tujuannya, Bintang mengepalkan tangannya. Pukulan itu tepat
mengenai pelipis Noval. "Lo orang jahat, Val." Bintang beringsut menjauhi Noval. Berjalan terhuyung menuju pintu.
Membukanya lebar-lebar. "Pergi, Val." It's a She, Not He Bintang menghampiri Dewa. Di sebelah Dewa berdiri Marsha yang terlihat begitu menawan.
Kebahagiaan bersinar-sinar dari seluruh tubuhnya.
"Selamat ya, Wa, Sha. Semoga langgeng sampai mati," ujar Bintang sambil tersenyum palsu.
Namun, doanya tidak palsu.
"Makan dulu sana." Dewa mengedikkan kepala ke arah meja makan, tempat beberapa orang
sedang mengambil hidangan.
"Nyantai, lah," sahut Bintang.
Rumah tempat acara pertunangan Dewa dan Marsha itu dipenuhi oleh orang asing bagi Bintang,
terutama keluarga keduanya, mereka hanya mengundang sedikit teman. Anehnya, saat itu
Bintang tidak merasa terganggu berada di tengah-tengah orang asing. Mungkin karena hal itu
menghindarkannya dari pertanyaan teman-temannya yang tak menyangka bahwa Noval dan
Bintang sudah putus. "Eh, nggak afdol kalo nggak makan," Dewa memaksa.
Akhirnya Bintang menurut. Tak berminat makan, ia hanya mengambil cola. Bintang berjalan
sambil menunduk untuk menghindari menatap orang asing. Hasilnya, ia menabrak seseorang.
Cola-nya tumpah. Bintang mengangkat kepalanya. Ia menabrak seorang laki-laki jangkung yang sedang memegang
pisang yang tinggal setengah. Noda cola mengotori kemeja putih yang dipakai laki-laki tersebut.
"Sorry," Bintang berkata datar dan pergi tanpa merasa berdosa.
Ia menghampiri Dewa dan Marsha.
"Wa, Sha, thanks buat undangannya. Gue pulang dulu, ya," pamitnya.
"Kok pulang" Kenalin dulu, nih. Ini sepupu gue, Median," Dewa menarik seorang laki-laki
bertubuh jangkung yang sedang membersihkan kemejanya dengan tisu. Laki-laki itu menatap
Bintang dengan tajam. "Oh... Hai, Dian. Mmm... sorry buat kemejanya. Ya udah, gue pulang ya." Bintang cepat-cepat
meninggalkan acara syukuran itu.
***** Kaca meja rias memantulkan bayangan seorang perempuan yang tengah berusaha menyanggul
rambutnya. Ia menyelipkan sebuah jepit hitam untuk menahan sanggulnya. Mereka sudah cukup
pantas untuk dilihat orang lain, ia berhenti mengurusi sanggul, lalu merapikan gaun ringan
berwarna salem yang membalut tubuhnya hingga ke lutut. Tepat ketika ia meraih tas, terdengar
ketukan pelan di pintu. Bintang tak dapat menebak siapa yang berkunjung ke kosannya sore itu.
"Val?" Bintang mundur beberapa langkah ketika melihat orang yang sedang berdiri di depan
pintu kamarnya. "Gue nggak akan nyakitin lo." Noval menangkap kegelisahan Bintang. "Janji. Mau bicara
sebentar. Boleh masuk?"
Bintang menatap Noval sejenak. Ia tidak berbohong.
"Masuk aja." Bintang bmasuk ke dalam dan duduk di sofa. Noval menyusul, duduk di sebelah
Bintang yang menghindari beradu pandang dengannya.
"Bintang, liat gue," pinta Noval. Bintang memandang Noval dengan risih.
"Gue mau pergi, Val."
Noval memperhatikan penampilan Bintang. Ingin menyuruhnya agar tak memakai gaun ketika
keluar rumah, tapi tahu bahwa ia tak memiliki kuasa untuk itu.
"Sebentar, kok. Emangnya mau ke mana?" tanya Noval.
"Ke acara nikahan, Dewa," jawab Bintang.
"Oh..." Noval salah tingkah, "Maaf, gue udah salah paham." Rasa bersalah yang meliputinya
selama beberapa hari terakhir kembali naik ke dadanya.
"Lupain aja. Mau ngomong apa?" Bintang berusaha tak memedulikan kata 'pelacur' yang masih
berdesing di telinganya. Kali ini Noval memandangnya dengan serius.
"Cuma minta maaf, itu aja?" Bintang mengalihkan perhatiannya dari Noval ke arah dinding putih
membosankan di depan mereka.
Noval mengedarkan pandangannya untuk mengalihkan kecanggungan. Ia melihat foto Bintang
dengan laki-laki itu masih ada. Tersimpan di sebelah foto Bintang dengan seorang perempuan
berponi pagar yang seingat Noval memenuhi album foto Bintang. Namun, ia berusaha keras
untuk tidak terpancing. "Lupain aja, Val. Udah lewat." Bintang berusaha tersenyum.
"Thanks," ujar Noval.
"Ya udah, lo mau pergi kan?" Noval beranjak dari tempat duduknya.
Bintang mengangguk. "Oh ya, cewek itu siapa, sih" Sahabat banget, ya" Banyak banget fotonya di album lo yang
dulu." Noval berbasa-basi.
"Oh..." Bintang mengikuti arah telunjuk Noval. "Namanya Kaila. Pacar gue waktu SMA.
Meninggal empat setengah tahun lalu.
Maukah" Pukul delapan tepat. Bintang duduk di kursi salah satu meja di sebuah kafe. Sebuah band yang
sedang tampil menarik perhatiannya. Memaksa memorinya menumpahkan kenangan akan
malam-malam Kamis yang ia lewatkan untuk menonton Noval dan band-nya menghibur
pengunjung. Namun malam itu bukan malam Kamis, dan ia tidak sedang berada di kafe tempat
mantan kekasih dan band-nya biasa tampil.
Jam tangan Bintang menunjukkan bahwa ia sudah 5 menit berada di sana. Ia duduk di kafe itu
untuk bertemu dengan Noval yang mengajaknya berjumpa karena kebetulan sedang berlibur di
Bandung. Malam itu direncanakan Bintang sebagai pertemuan terakhirnya dengan Noval. Ia tak
mungkin bisa hidup wajar jika mereka tidak berhenti bertemu.
Bintang duduk gelisah di kursinya. Perasaan tidak nyaman ketika dulu ia menunggu Noval untuk
merayakan anniversary kedua mereka"saat Noval tidak datang"kembali melintas.
Seorang pelayan berseragam merah dengan wajah ayu datang membawa teh jahe yang Bintang
pesan. Tak lama berselang, Noval muncul dan berjalan menghampiri mejanya. Karena si pelayan
belum meninggalkan meja, mereka memutuskan untuk sekalian memesan makanan.
"Sop buntut satu," ujar Bintang.
"Iga bakar dan jus jeruk satu," pesan Noval. Si pelayan menulis pesanan itu, kemudian
mengulanginya sebelum pergi meninggalkan mereka.
Bintang yang duduk di depan Noval merasa ada sesuatu yang berbeda dari penampilan cowok itu
malam itu. Ia memakai kemeja berlengan panjang yang digulung sedikit, padahal sebelumnya ia
tak pernah memakai pakaian selain kaus dan jaket. Bintang sendiri hanya memakai jeans hitam
dan blus biru yang sederhana.
"Apa kabar?" Bintang mengawali percakapan. Berusaha bersikap biasa dan melupakan hal-hal
yang pernah terjadi di antara mereka.
"Baik," jawab Noval. "Elo sendiri" Ibu lo?"
"Baik juga. Ibu juga baik," Bintang menjawab singkat.
"Ngomong-ngomong, selamat ya. Akhirnya dapat juga beasiswa yang dipengenin," ujar Noval.
Bintang hanya tersenyum. "Makasih," ucapnya pelan.
Dari mana dia tahu" Bintang heran, karena sudah beberapa bulan mereka sama sekali tidak
bertemu dan lost contact. Namun, ia tidak berminat menanyakan hal tersebut.
Tak lama kemudian, seorang pelayang datang membawa pesanan mereka. Bintang dan Noval
menikmati makanan masing-masing. Untuk sementara, mereka terbebas dari keharusan mencari
topik pembicaraan. Makanan mereka telah habis. Mau tak mau, mereka harus masuk ke masalah inti. Bintang
menyesap tehnya sebelum berbicara.
"Sebenarnya mau ngomong apa, Val?" tanyanya.
"Bintang..." Noval memulai. "Gue pernah bilang, bisa dengan mudah dapet pengganti lo yang
jauh lebih baik..." Noval diam sejenak. Bintang hanya memandangi jari-jari di pangkuannya.
"Gue salah." Noval melanjutkan.
"Kalau study lo udah selesai, dua tahun lagi..." Noval menggenggam sesuatu yang diambilnya
dari saku celana, "Maukah... maksud gue, menikahlah dengan gue, Bintang?"
Noval membuka genggamannya. Ada sebuah kotak kecil berwarna biru tua di sana. Noval
membukanya dengan tangan gemetar. Sebuah cincin dari emas putih dengan permata mungil
berkilau ditimpa cahaya. Masih dengan tangan bergetar, Noval menyodorkan kotak berisi cincin
itu kepada Bintang yang tampak salah tingkah. Apa yang dilakukan Noval sama sekali tak
terlintas di kepala Bintang.
Setelah mampu menguasai diri, Bintang menutup kotak di tangan Noval, kemudian mengatupkan
jari-jari Noval dan mendorongnya menjauh.
"Lo kenapa, Val?" tanyanya serius.
"Gue sungguh-sungguh." Noval meyakinkannya.
"Jangan gini, Val. Ngelakuin ini cuma karena ngerasa bersalah dan buat balas jasa aja," Bintang
berujar pelan. "Nggak gitu," sanggah Noval kecewa. "Gue sungguh-sungguh."
"Gue baru nyadar, nggak ada yang sebaik lo. Dan gue sayang lo sama besarnya. Cuma nggak
tahu cara nunjukkinnya." Noval mencondongkan tubuh, menatap langsung kedua mata Bintang.
Mencari tahu, apakah Bintang masih menyisakan cinta untuknya. Lucu juga, karena beberapa
bulan lalu justru Bintang yang melakukan hal tersebut.
Noval kembali duduk tegak.
"Gini aja," ujarnya. "tolong lo pikirin. Di bandara nanti, ketika lo mau berangkat, kasih gue
jawaban." "Kalo nerima, pakai ini di jari lo." Noval menunjukkan cincin di kotak beledru biru tua tersebut.
"Kalo lo nolak, simpan di mana aja, tetapi tidak di jari." Noval menutup kotak tersebut dan
menyodorkannya kepada cewek di hadapannya. Bintang memandang kotak tersebut lekat-lekat.
"Gue pikirin," ujarnya. Dimasukkannya kotak biru tua tersebut ke dalam tas tangannya.
Suara band indie yang sejak tadi mengalun tapi tidak didengarkannya kini kembali menghampiri
mereka. "Bintang, vokalisnya cantik, ya," ujar Noval setengah bergurau. Bintang menatap si vokalis
sekilas. "Tahu, Val. Tapi sekarang gue sukanya sama elo doang," ujarnya singkat. Noval tertawa pelan
sekaligus lega mendengar jawaban Bintang. Lega karena perempuan di hadapannya sudah benarbenar kembali jadi miliknya.
***** Bagi Bintang, semua bunga cantik dan merupakan pengabar yang baik. Kali ini, sebuket bunga
sedap malam"yang malu-malu mengeluarkan wangi di siang hari"berada dalam
genggamannya. Bintang melangkah dengan cepat, menimbulkan bayangan panjang di tanah yang ia lewati.
Bayangannya sejenak hilang ketika bertemu bayangan pohon. Pohon-pohon itu lebih tinggi
darinya, matahari mengintip dari sela-sela daun dan dahan.
Di bawah sebuah pohon, di antara gudukan-gudukan tanah bernisan, Bintang menghentikan
langkahnya walau ia belum sampai di tujuannya. Ia bersatu dengan bayangan pepohonan, yang
membuat bayangannya sendiri tidak tampak. Bintang melihat laki-laki yang paling dibencinya
seumur hidup sedang berdiri di samping nisan yang ia tuju. Dengan penuh kasih, laki-laki itu
meletakkan setangkai bunga matahari di atas kuburan itu.
Penasaran dengan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu, Bintang berjalan mendekat.
"Lagi ngapain, Reno?" tanyanya sinis. Si laki-laki yang sudah terbiasa dengan keheningan
pemakaman tersebut kaget dan menoleh ke arah sumber suara.
"Bukan urusan lo. Tiap hari juga gue ke sini." Reno memalingkan wajahnya.
Bintang berjalan ke kuburan yang ditujunya, berdiri di sisi yang berlawanan dengan Reno.
Ditaruhnya sebuket bunga sedap malam yang dibawanya di bagian tengah makam, tak sudi
meletakkannya di sebelah bunga matahari Reno.
"Tiap hari?" Bintang mengerutkan dahi. "Ngapain" Bukannya lo benci banget ya sama Kaila?"
Reno menatap Bintang dengan ketidaksukaan yang nyata.
"Gue marah. Tapi gue nggak benci," ujar Reno, "Gue sayang, tapi nyadarnya telat." Ia tersenyum
kecut. "Ya, saking sayangnya sampai lo nyebarin foto dia sama gue gitu. Jangan-jangan, foto-foto Kaila
yang di web juga lo yang nyebarin, ya?" sindir Bintang. Reno terdiam.
"Gue marah, masa gue harus saingan sama lo, sih?" Reno tertawa tanpa nada senang.
"Gue yang maksa dia jadi nakal, dengan manfaatin foto lo sama dia. Dia capek dan nolak
kemauan gue. Gue marah. Gue sebarin aja foto-foto yang lainnya," lanjut Reno dengan tawa
seperti orang yang kehilangan kewarasannya.
Bintang menetapnya dengan tidak percaya. Ia kehilangan kata-kata untuk mencaci Reno.
"Dia mati gara-gara gue." Reno berujar pelan setelah dapat menguasai dirinya.
Bintang akhirnya mendapatkan kembali suaranya.
"Berengsek lo, Ren," ucapnya pelan. "Gue nggak masalah dia pergi dari gue dan milih lo. Gue
pikir dia bahagia sama lo. Bisa-bisanya... bisa-bisanya lo..." Bintang gelagapan. Terlalu banyak
cacian di kepalanya, sampai tak satu pun dapat keluar.
"Arrrgh!" Bintang menggeram kesal. Ditendangnya batu di dekat kakinya sebelum melangkah
pergi dengan terseok-seok, meninggalkan Reno. Tujuannya untuk berpamitan pada Kaila
terlupakan sudah. Kemarahan dan kejutan yang tak menyenangkan memang bisa memberangus
semuanya. ***** "Kamu nunggu siapa, Bintang?" Ibunya bertanya. Mereka berada di tengah orang-orang yang
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu lalang di bandara. Ia terlihat khawatir karena 15 menit lagi pesawat yang akan mengantarkan
Bintang menggapai cita-citanya lepas landas.
"Nunggu temen. Sebentar lagi, kok." Bintang menjawab tenang, karena ia baru menerima SMS
dari Noval bahwa ia sudah sampai.
"Hai Bintang. Lama ya?" Noval melambaikan tangan ke arah Bintang sambil berjalan menuju
Bintang. "Nggak, kok," jawab Bintang dengan wajah berseri.
"Jadi?" Noval bertanya langsung.
Bintang diam sejenak. Ia menatap sepatu ketsnya. Noval memperhatikan Bintang. Ia melirik
tangan Bintang, namun kedua telapak tangannya berada di saku jaket. Ia tak mampu menebak.
Sekilas, dari balik bahu Bintang, ia melihat seorang perempuan setengah baya yang menatap
mereka dengan gelisah. Noval kembali menatap Bintang.
Perlahan, Bintang mengeluarkan telapak tangannya dan memperlihatkannya pada Noval. Tak ada
cincin di sana. Noval tertunduk lesu.
"OK. Gue ngerti," ujar Noval.
"Val..." Bintang bersuara.
Noval menatap Bintang. Ternyata hari ini ia mengantar Bintang untuk pergi darinya. Ingin sekali
ia melangkahkan kaki di sana. Tapi ia masih berdiri kaku di tempatnya dan memperhatikan
Bintang mengeluarkan kotak biru tua dari sakunya.
"Gue mau lo yang pakein ke jari gue," ujar Bintang sambil menyodorkan kotak tersebut pada
Noval. ***** "Bintang..." Noval berkata lemas. "Bisa-bisanya bikin gue jantungan."
Bintang hanya tersenyum malu-malu.
Akhirnya cincin itu terpasang pas di jari manis Bintang. Keduanya merasa begitu lega.
Dengan sedikit pilu, Bintang menatap cincin di jarinya.
Coba kemarin-kemarin. Kita nggak perlu jadi pembunuh, Val, pikirnya.
Noval mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya. Cincin yang persis sama, hanya saja
tidak bermata. "Sekarang pakein ini ke gue," ujarnya sambil menyerahkan cincin tersebut pada Bintang.
Bintang mengambilnya dan memasangkannya di jari cowok itu.
"Dua tahun itu lama. Lo harus nunggu dua tahun. Tahan gitu?" Bintang bertanya pelan setelah
cincin polos itu terpasang di jari Noval. Jari mereka kini sama-sama terikat.
"Gue berusaha. Lo di sana jangan nakal, ya. Jangan tebar pesona sama bule." Noval mengecup
kepala Bintang yang rambutnya tergerai bebas.
Mereka berdua diam sejenak dalam keheningan yang membahagiakan.
"Kenalan sama ibu gue, yuk," ajak Bintang. Ditariknya Noval yang malu-malu untuk menemui
ibunya yang sudah kesal dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan anaknya di injury time.
Bintang Tidak Terang Butir-butir salju berjatuhan ke pucuk cemara yang ujungnya setinggi jendela lantai empat
dormitory. Jendela tak luput dari butiran salju yang membuatnya lengket ke kusennya sehingga
tidak dapat dibuka. Selain dihujani es, jendela dormitory tersebut juga tertutup oleh kabut tebal
sehingga ruangan tidak dapat dilihat dari luar.
Di dalam ruangan, seorang perempuan tengah meringkuk di bawah selimut tebal. Hidungnya
tersumbat, matanya berair, tetapi bukan hal-hal itu yang membuatnya tersiksa. Perut bagian
bawahnya benar-benar terasa sakit, seperti kram. Beberapa lembar kertas tercecer di lantai di
sebelah tempat tidurnya, kertas-kertas tugas akhir yang sedang ia periksa sebelum akhirnya
menyerah karena sakit perutnya.
Pintu dormitory terbuka, seorang perempuan masuk. Angin dingin masuk melalui celah sebelum
si perempuan menutup pintu. Dengan wajah memerah karena udara dingin, Ranti, teman
sekamar Bintang, membuka sarung tangan, syal, dan mantelnya. Rambutnya yang sebahu terlihat
tak beraturan ketika ia membuka topi.
"Bintang, masih sakit?" tanyanya ketika melihat Bintang yang kini meringis sambil tidur-tidur
ayam. Bintang hanya menggumam tak jelas.
"Aneh deh, bukannya biasanya kalo dapet nggak sakit. Kok akhir-akhir ini sakit melulu, ya?"
lanjut Ranti sambil menghampiri Bintang yang meringkuk di atas tempat tidur seperti bayi.
"Periksain deh, takut kenapa-napa," ujar Ranti sambil menjauh dari Bintang dan berjalan ke
lemari. "Nggak, ah. Flu mah nggak perlu diperiksa juga sembuh sendiri," jawab Bintang sambil menatap
Ranti yang sedang memilih-milih pakaian.
"Bukan flunya, Bintang, tapi perut lo yang sakit kalo dapet," tukas Ranti kesal sambil menarik
sebuah sweater dari lemari.
"Males ah. Eh, gimana konsulnya" Di-approve, nggak?"Ranti hanya tertawa mendengar
pertanyaan itu. "Heh, apa hasilnya" Idenya di-approve, nggak?" Bintang mengulangi.
"Ah, orang sakit nggak usah banyak ngobrol, deh. Istirahat aja," ujar Ranti sambil mengenakan
sweater melalui kepalanya. Rambutnya yang berantakan semakin berantakan.
Bintang mendengus pelan. Dari wajah Ranti yang berseri-seri, Bintang yakin bahwa ide tugas
akhir Ranti sudah diterima.
***** Nugraha_N@yahoo.com Noval memasukkan ID-nya, dilanjutkan mengisi password e-mail tersebut. Akun e-mail-nya
terbuka. Ada sebuah pesan baru di kotak masuk. Dibukanya pesan tersebut.
From : dewatra.bintang@email.com
Subject : gak tahan... Di sini musim salju berat.
Bikin flu berat. Meleeer... gak pernah bisa adaptasi.
Gimana di sana" Pengin pulaaaaang... Noval tersenyum sendiri membaca e-mail tersebut. Ia cepat-cepat membalas.
To : dewwatra.bintang@email.com
Subject : ... Gimana flunya" Masih"
Di sini cuaca gak tentu...
Parah... Pulang tanggal berapa"
Orang-orang pada kangen...
(Gue khususnya... hehehe...)
Setelah membacanya kembali, Noval mengirim e-mail tersebut sambil berharap Bintang cepat
membalasnya. ***** Musim dingin membuat virus flu memperoleh kemenangan besar atas imun dari banyak inang.
Memaksa banyak orang keluar dari ruangan yang hangat untuk pergi ke rumah sakit.
Seorang perempuan yang mengenakan mantel hitam tebal berjalan di koridor rumah sakit yang
sangat ramai. Kebanyakan pasien datang dengan penyakit musiman seperti flu berat. Beberapa
dari mereka hanya orang-orang dengan fobia berlebihan, yang merasa dirinya sakit dan ingin
mendapatkan perawatan, sementara tubuh mereka sesungguhnya sehat. Para juru rawat yang
biasanya ramah menjadi senewen menghadapi pasien yang terlalu banyak.
Si perempuan bermantel hitam melambatkan langkahnya untuk membuka amplop cokelat tempat
berkas hasil pemeriksaannya tersimpan. Ia ingin melihatnya lagi walaupun ia sudah mendapat
penjelasan. Sekadar untuk berjaga-jaga, siapa tahu berkasnya tertukar. Tubuhnya tersenggol
beberapa orang yang lewat. Mereka menatapnya dengan kesal karena menghalangi jalan.
Ia memeriksa ulang berkasnya.
Masih terbayang penjelasan dokter berambut pirang dengan mata biru pucat. Dokter itu duduk di
hadapannya, dengan latar belakang salju yang berjatuhan di jendela.
"Infeksi. Harus diangkat."
Bintang yang menatap jendela dengan salju berjatuhan di luar mengalihkan pandangannya.
"Tidak ada jalan lain?" Ia bertanya datar.
"Tidak ada." Dokter itu menggeleng pelan.
Koridor yang sibuk kembali menyapa Bintang. Dimasukkannya berkas yang sudah selesai
diperiksanya ke dalam amplop. Tidak ada yang salah, tidak ada yang tertukar.
"Ah, peduli amat." Bintang bersuara pelan sambil memasukkan berkas tersebut ke dalam tas.
Dengan merapatkan mantel, Bintang keluar dari rumah sakit umum itu. Butiran salju menghujani
mantelnya. Setelah mencair, salju membentuk lingkaran-lingkaran hitam basah di mantelnya.
***** Pintu salah satu dormitory yang tak terkunci itu terbuka ketika seorang perempuan
mendorongnya ke dalam. Pintu itu menampilkan sebuah kamar yang ditempati oleh dua orang.
Seorang perempuan tenah berbaring di atas ranjang single-nya yang menempel ke dinding sambil
membaca. "Gimana hasil pemeriksaannya?" tanya teman sekamarnya sambil mengubah posisinya menjadi
menyamping dan bertumpu pada sikunya.
"Sehat. Nggak kenapa-kenapa," jawab si perempuan yang kini membuka sebungkus susu bubuk
instan. "Gimana" Udah siap di uji?" tanyanya.
"Udah. Tinggal ngoreksi spelling yang salah aja," jawab teman sekamarnya dengan nada lelah.
"Aaah, kalau lancar, dua bulan lagi kita bisa pulang dan makan enak," tambahnya sambil
menguap dan menegangkan otot-otot yang kaku.
Perempuan yang sedang menuangkan air panas dari dispenser hanya tersenyum dan mengamini.
Diskusi Tunggal Sinar matahari yang tak begitu terang menerobos kaca jendela dan menimpa seluruh benda di
dalam kamar Bintang, termasuk dirinya yang tengah berbaring menyamping menghadap tembok
putih kusam. Amplop cokelat mencuat dari balik selimut di sampingnya.
Matanya yang semalam basah kini sudah kering, hanya menyisakan sembap dan bengkak.
Bintang menatap tembok di hadapannya sambil melamun.
Deritan terdengar dari ranjang yang menopang tubuh Ranti. Menandakan bahwa cewek itu akan
segera bangun dan mulai beraktivitas. Perlahan, Bintang menarik selimut untuk
menyembunyikan diri. Ia sedang ingin sendirian dan tidak ingin berbicara pada siapa pun. Ia
perlu menenangkan diri dan memikirkan banyak hal.
***** Noval menutup e-mailnya. Ia diliputi kekecewaan. Sudah lama sekali sejak ia mengirim e-mail
terakhir kepada Bintang, dan sampai sekarang belum ada balasan. SMS-SMS yang dikirimnya
pun tidak dibalas, begitu pula teleponnya, tidak pernah diangkat. Semua itu membuatnya tak bisa
berhubungan dengan Bintang. Noval bertanya-tanya dengan heran. Rasanya mereka tidak
memiliki masalah dan tidak sedang bertengkar. Ia juga tidak merasa melakukan sesuatu yang
salah. ***** Dua koper besar tergeletak di lantai dalam keadaan terbuka. Bintang dan Ranti sudah
menyelesaikan masa belajar dan siap untuk pulang.
Bintang sedang melipat kaus kaki dan pakaian-pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam koper,
sedangkan Ranti sibuk di balik pintu lemari. Gerakan Bintang mulai melambat. Kram perutnya
datang lagi. Ranti menutup lemari. Di tangannya terdapat banyak pakaian.
"Kenapa, Bintang?" tanya Ranti saat melihat Bintang yang kini bersandar pada tepian tempat
tidurnya sambil meringis. Kaus putih yang dipegangnya belum sempat dilipat.
"Kram," jawab Bintang.
"Lho, katanya nggak kenapa-napa waktu diperiksa?" Ranti berujar heran sambil menaruh bajubaju yang dipegangnya di sebelah koper.
"Ya emang nggak kenapa-kenapa." Bintang mengakhiri percakapan.
Ranti tampak tidak setuju dan ingin bertanya lagi, tapi handphone Bintang berdering,
menunjukkan sebuah pesan yang baru masuk. Pesan dari Noval.
From: Val Bintang, sebenarnya ada apa"
Gw butuh penjelasan. Pulang kpn" Bintang menyandarkan kepalanya sejenak untuk berpikir. Sakit di perut dan pinggangnya yang
terasa menyiksa setiap haid benar-benar mengganggu. Akhirnya Bintang memutuskan untuk
membalas SMS itu. To : Val Ga kenapa2... Maaf lama ga ngasih kabar.
Pulang Jumat ini Val. Laki-Laki Matahari Confetti, gelas, piring kotor, dan sampah bekas pesta lainnya bertebaran di mana-mana. Ruangan
itu kini kosong. Bintang duduk di sudut, di antara tebaran confetti. Daniel duduk di sebelahnya.
Bintang mencegah Daniel pulang untuk membicarakan sesuatu.
Daniel duduk tertunduk dengan ekspresi stres di wajahnya setelah mengetahui apa yang
diinginkan Bintang. "Kenapa sih lo selalu ngerepotin hidup lo sendiri?" Daniel bertanya berat. Bintang hanya
mengangkat bahunya, "Tolong banget, Niel," ujar Bintang pelan. Ia sudah menjelaskan panjang lebar. Kantuk sudah
menyelimuti keduanya. "Gue pikir-pikir dulu, deh. Sekarang gue pulang dulu." Daniel beranjak dari kursi dan
mengambil jaketnya. "Lo juga istirahat. Itu mata udah kayak panda," tambahnya.
Bintang tersenyum simpul, sepertinya ia bisa menebak jawaban Daniel.
***** Irah yang sedang menyapu halaman membukakan pagar ketika Noval sampai di depan rumah
Bintang. Itu kali kedua ia berkunjung ke sana. Mereka berencana pergi ke kebun binatang untuk
melepas penat. Noval mengangguk pelan kepada asisten rumah tangga itu sebagai ucapan
permisi ketika memasuki halaman rumah.
Setelah membuka helm dan menggantungnya, Noval mengeluarkan handphone-nya.
To : Bintang-ku Gw udah d bwh. "Bi, Ibu sama Bintang ada, kan?" Noval berbasa-basi sambil menunggu Bintang keluar dan
mengajaknya masuk. "Ibu lagi di toko," jawab Irah. "Teteh ada di kamarnya sama Dan..." Irah berhenti bicara. Ia
tampak salah tingkah. "Sama siapa?" ***** Pintu kamar bercat putih itu terbuka. Dua orang yang berada di dalam sepertinya tidak
menyadari hal itu, mereka asyik memagut bibir satu sama lain.
"ANJING!!" Noval menarik laki-laki sipit jangkung yang sedang mencium tunangannya itu.
Dengan sekuat tenaga, ia melepaskan tinju ke wajah si laki-laki sampai tersungkur di lantai.
Bintang yang masih duduk di atas ranjangnya tampak kaget. Ia hanya mendongak memandang
Noval yang berdiri penuh amarah di hadapannya.
"Jadi gitu"! Hah"!" Raut dingin Lucifer kembali muncul di wajah Noval. "Lo... bisa-bisanya..."
Ia terengah-engah saking marahnya.
"Dasar pe... pe..." Noval tak dapat melanjutkan kata-katanya. "Aaargh!!"
Sebuah vas hancur berkeping-keping setelah dilempar Noval dengan penuh amarah.
***** Setelah Noval pergi dan langkah-langkahnya tak terdengar lagi, Bintang turun dari ranjang.
Dihampirinya Daniel yang masih duduk di lantai sambil memegangi bibirnya yang berdarah.
"Sakit, Niel?" tanya Bintang sambil berjongkok.
Daniel hanya mendelikkan mata. "Menurut lo?"
"Makasih," ujar Bintang. "Gue ambilin iodine sama es dulu, ya. Biar nggak bengkak," lanjutnya
sambil berdiri. "Kenapa sih lo nggak bilang aja?" ujar Daniel yang masih duduk sambil menekan bibirnya yang
berdarah. Bintang yang berada di ambang pintu menghentikan langkahnya.
"Dia bisa aja nerima lo apa adanya," lanjut Daniel. Bintang berbalik.
"Gue nggak mau dia nerima gue apa adanya. Gue pengin dia bahagia," sahut Bintang.
"Satu lagi," ujar Daniel sambil berdiri.
"Apa?" tanya Bintang, mulai kesal.
"Enakan sama gue apa Kaila?"
Sandal kamar berwarna merah yang dipakai Bintang pun melayang ke arah Daniel yang tertawatawa dengan bibir bengkaknya.
***** Di dekat jendela bertirai putih di sebuah kamar rumah sakit, seorang perempuan setengah baya
berdiri mematung. Menatap keluar dengan pandangan kosong.
"Bu..." Bintang yang duduk di tempat tidur sambil menunggu waktu operasi pengangkatan rahim
berusaha mengajak ibunya bicara. Tetapi perempuan itu bergeming. Ia benar-benar kecewa pada
keadaan anaknya. Bintang sendiri pun akhirnya tahu diri dan diam. Ia juga benar-benar kecewa dengan dirinya
sendiri. Ia tak berharap dimaafkan, walau ia tahu ibunya memaafkan.
***** Seorang perempuan menyandarkan dirinya ke bahu Noval yang pandangannya tertuju pada
televisi yang menyala di depannya.
"Gue nggak nyangka lo bakal hubungin gue lagi. Kita udah lama lost contact juga. Gue kaget
lho, waktu tau lo batalin pertunangan lo." Si perempuan menggelayut manja.
Noval hanya tersenyum pada perempuan yang tampak gembira di sebelahnya.
"Gue seneng," ujar si perempuan, sesaat sebelum kilau yang berasal dari logam di jemari Noval
terlihat olehnya. Tangannya menyentuh jari-jari Noval. Ditelusurinya jari itu hingga mencapai
logam yang berbentuk cincin.
Dewatra. Nama yang terukir di cincin tersebut. Si perempuan tersenyum kecil sebelum kemudian
duduk tegak di samping Noval. Noval tampak salah tingkah.
"Rika?" tanya Noval pada perempuan yang kini terdiam. Biasanya perempuan itu sangat
ekspresif dalam mengungkapkan pemikiran-pemikirannya."Lo tau apa itu cemburu, Val?" Rika
menatapnya sambil tersenyum.
"Gue ngerti kalau lo masih inget dia. Ngelupain orang itu nggak mudah." Rika diam sejenak.
"Tapi, biasa nggak sih, lo hargai perasaan gue?" lanjutnya. Noval diam saja, tak tahu harus
berkata apa. "Seenggaknya, lepas dulu cincin itu waktu ketemu gue." Rika menunjuk cincin di jari Noval.
Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bersikaplah seolah-olah lo seneng bareng gue, Val. Nikmati waktu bareng gue tanpa terangterangan menghadirkan kenangan mantan lo." Rika mendengus kecewa. Kemudian ia berdiri,
memakai cardigan-nya dan mengambil tasnya.
"Mau ke mana?" tanya Noval. Rika yang sedang mengancingkan cardigan sambil
memunggunginya membalikkan tubuh.
"Kali ini pun gue cuma jadi pelarian ya, Val," ucap Rika pelan. Tangannya bergetar ketika
merapikan cardigan. "Kalau gue cuma orang buat nemenin lo saat sepi dan lo sendiri nggak punya niat dan usaha buat
sayang sama gue, gue nyerah," ujarnya dengan senyum dipaksakan. "I'll turn around."
Sekilas, Noval melihat setetes air meluncur di pipi Rika sebelum perempuan itu
meninggalkannya. Rasa sesak menyelimuti dada Noval.
Inikah rasa bersalah"
Noval beranjak dari tempatnya untuk mengejar Rika. Sekadar untuk mengucapkan maaf karena
telah memanfaatkannya. Tidak seharusnya ia menyakiti hati seseorang untuk menghilangkan
sakit hatinya sendiri. Sayang sekali, permintaan maaf tersebut tak pernah sampai. Rika yang menghilang di balik pintu
kontrakan Noval sudah tak tampak ketika ia mengejarnya keluar. Yang ada hanya halaman
kosong dan seorang perempuan setengah baya di teras rumah.
"Noval?" Perempuan itu berkata dingin.
***** Dua bulan sudah Bintang mendirikan restoran seafood di pinggir pantai Teluk Penyu. Pada
minggu-minggu pertama, semua terasa berat, namun kini ia dan karyawan-karyawannya yang
berjumlah empat orang mulai terbiasa. Meskipun belum memiliki pelanggan tetap, setiap hari
res torannya selalu kedatangan pengunjung.
Siang itu, Bintang duduk sambil melamun. Dua karyawan Bintang asyik mengobrol dalam
bahasa Jawa yang tidak ia mengerti. Dua orang lagi, yang merupakan pasangan kekasih baru,
sedang duduk berdua dan berbisik-bisik.
Pacaran. Hal itu sudah lama dilupakan Bintang. Namun, melihat dua karyawannya yang sedang
berpacaran dan sepertinya akan menikah muda serta cepat punya anak, sesuatu terlintas di
pikiran Bintang. Ia berpikir untuk mengadopsi anak. Bagaimana pun juga, ia manusia normal
yang tak ingin selamanya sendiri.
Pikiran tersebut membuatnya miris. Ia ingin mengadopsi anak, sedangkan anak kandungnya
sendiri dulu dibuatnya invalid. Bintang cepat-cepat menyingkirkan pikiran tersebut. Ia sudah
berjanji untuk berhenti menghukum dirinya sendiri dengan menyesali masa lalu.
Sambil menguap pelan, Bintang beranjak dari tempatnya. Ia ingin berjalan-jalan di pantai untuk
menghilangkan jenuh. "Saya ke pantai dulu ya, sebentar," ujarnya pada karyawan-karyawannya.
"Iya, Mbak." Mereka menjawab serentak, seperti paduan suara.
Di dekat pohon kelapa, dilihatnya beberapa anak sedang berjongkok mengelilingi sesuatu.
Penasaran, Bintang menghampiri mereka.
Anak-anak itu mengelilingi api kecil yang mereka buat sambil membakar sesuatu. Kelihatannya
seperti kerang yang dijadikan sate. Bintang ikut berjongkok di antara anak berkostum sepakbola
berwarna biru dan anak laki-laki botak berkaus merah usang. Semua anak berkulit gelap karena
terbakar matahari dan bau keringat.
"Lagi apa?" tanya Bintang. Anak-anak itu menoleh pada pendatang baru yang tidak diundang.
"Sate kerang," jawab seorang anak berbaju kuning di depan Bintang. Yang lain diam saja, masih
merasa aneh dengan kedatangannya.
"Boleh minta nggak?" tanyanya lagi.
"Nggak ada lagi." Mereka menjawab serempak.
"Nanti kalo udah mateng dibagi-bagi, deh," usul seorang anak berbaju putih kusam. Bintang
tersenyum senang. Sebenarnya ia hanya ingin ikut bermain, karena ia sendiri sudah bosan makan
makanan laut. "Sini, dibantuin." Bintang mengambil sate yang dipegang oleh anak berbaju biru di sebelahnya.
Anak itu kini duduk santai.
Sambil menunggu sate kerang matang, Bintang mengedarkan pandangannya. Pantai tidak begitu
ramai hari itu. Beberapa orang di depannya sedang bermain air, satu orang berjalan ke arah
mereka. Bintang tak dapat melihat dengan jelas karena ia berjongkok menghadap matahari.
Posisi itu membuatnya silau.
Bintang kembali memusatkan perhatian pada sate yang sebentar lagi matang. Wanginya sudah
tercium. Sambil membakar kerang, ia kembali melihat pemandangan di depannya.
Orang yang berjalan ke arah mereka sudah dekat, tetapi wajahnya tak terlihat karena sinar
matahari yang terpendar di belakangnya. Bintang tak memedulikannya. Namun, ia menangkap
sesuatu yang aneh. Sepertinya ia mengenali cara berjalan orang itu. Ia berusaha memfokuskan
penglihatan pada orang tersebut.
"Udah mateng." Seorang anak mengingatkan Bintang.
Seseorang mengambil sate kerang dari tangannya. Menyelamatkan makanan itu dari gosong.
Wajah orang itu kini terlihat jelas. Bintang berdiri diikuti tatapan anak-anak kecil yang
menggenggam sate kerang. Ia keluar dari lingkaran anak-anak.
Noval, dengan celana pendek, baju pantai, dan sandal jepit, kini berdiri di hadapannya. Sinar
matahari berpendar dari tubuhnya yang membelakangi matahari.
"Bintang Dewatra, kenapa lo bikin semuanya jadi begitu sulit?"
-The End- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-Novel-Online-BahasaIndonesia/121869111320360"fref=photo
Beraksi Kembali 3 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Teror Melanda Kelas 9a 2