Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 27

08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27


Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Panembahan Senapati dan orang-orang Mataram, maka Kangjeng Adi"pati Pajangpun tidak mau memasuki arena lebih dahulu dari Panembahan Senapati.
Dengan demikian, maka kedua orang yang telah siap untuk berperang tanding itu telah memasuki arena ber"sama-sama. Arena yang dibatasi dengan gawar lawe ber"warna putih.
Sebagaimana telah mereka setujui, bahwa keduanya telah memasuki arena tanpa senjata.
Sementara itu, sebagai saksi, maka dua orang telah mendekati arena. Seorang dari fihak Mataram yang diwakili oleh Agung Sedayu atas kehendak Panembahan Senapati sendiri, sedangkan dipihak Pajang telah diwakili oleh se"orang senapati kepercayaan Adipati Pajang. Sebenarnya Kangjeng Adipati menghendaki Ki Tumenggung Wiladipa, tetapi Ki Tumenggung itu ternyata tidak dapat dike"temukan.
Beberapa saat keduanya berdiri di arena. Kemudian dengan isyarat keduanya menyatakan bahwa masing-masing telah bersiap menghadapi perang tanding itu.
Dengan demikian, .maka seorang yang bertugas telah membunyikan bende sebagai pertanda bahwa perang sudah dapat dimulai.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Setapak ia bergeser, sementara itu Kangjeng Adipati Pajangpun ternyata benar-benar seorang yang telah dewasa dalam ilmu kanuragan. Dengan demikian maka yang nam"pak di arena justru dua orang yang seolah-olah tidak terlalu menggetarkan dalam ilmu kanuragan.
Tidak seperti dua orang yang baru sampai tataran per"tama dalam pencapaian ilmu, yang dalam setiap kesem"patan justru berusaha menunjukkan kemampuannya, maka kedua orang raksasa yang berada di arena itu lebih banyak menunjukkan kedalaman dalam sikap daripada berloncat-loncatan dan saling menyerang.
Namun demikian, beberapa saat kemudian, maka keduanya telah mulai dengan penjajagan ilmu masing-masing. Adipati Pajang telah menggerakkan tangannya menyamping sambil memiringkan tubuhnya. Ketika telapak tangannya yang menghadap langsung kedepan ber"gerak dan tepat menghadap tubuh panembahan Senapati, maka tangan itupun bergetar. Tetapi hanya sesaat, karena Panembahan Senapatipun kemudian bergeser kekiri.
Kangjeng Adipati tidak mengikuti gerak tubuh Panem"bahan Senapati dengan telapak tangannya, karena Adipati Pajang sadar, bahwa gerak dan langkah itu tidak akan ber"arti. Dengan cara yang khusus Adipati Pajang berusaha un"tuk menghisap tenaga yang ada pada diri Panembahan senapati. Meskipun sejak semula Adipati Pajang sudah ragu, apakah ia akan berhasil, namun ia telah mencobanya.
Namun ternyata dugaannya benar. Ilmunya tidak ber"hasil menghisap tenaga lawannya. Ilmunya bagaikan menghadapi bongkah-bongkah besi baja yang tidak ber"geser seujung jarumpun oleh hisapan ilmunya. Tubuh Panembahan Senapati justru bagaikan tertutup dan kekuatannya sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmunya yang jarang dimiliki oleh orang lain.
Meskipun demikian Panembahan Senapati telah ber"geser dan menghindar. Bukan karena ia mencemaskan kemungkinan daya tahannya akan tertembus oleh ilmu Adipati Pajang. Tetapi ia tidak ingin dengan sombong membiarkan dirinya mendapat serangan tanpa terpengaruh sama sekali.
Namun sementara itu, Panembahan Senapati telah ber"diri tegak menghadap kearah Adipati Pajang. Kedua tangannyapun mulai bergerak lurus kedepan dengan telapak tangan menengadah. Sejenak nampak tangan itu bergetar. Namun Panembahan Senapati itu menarik nafas dalam-dalam ketika Adipati Pajangpun kemudian melang"kah kesamping sambil memiringkan tubuhnya.
Ternyata kekuatan Panembahan Senapati tidak ber"hasil mengangkat tubuh Adipati Pajang dan memi"sahkannya dengan tanah tempatnya berpijak.
Namun agaknya Adipati Pajang tidak menghendaki pertempuran itu menjadi sangat lamban. Karena itu, maka iapun berusaha untuk mempercepat langkah-langkah yang mungkin diambilnya.
Ketika tangan Adipati Pajang terjulur lagi, Panembah"an Senapati telah meloncat menghindar. Adipadi Pajang tidak bergerak dengan gerak lamban untuk menghisap kekuatan lawannya, tetapi yang kemudian dilakukan ada"lah justru menyerangnya.
Satu gelombang kekuatan telah meluncur dari telapak tangan Adipati Pajang. Tetapi Adipati Pajang masih memperhitungkan orang-orang yang ada disekitar arena, sehingga serangannya tidak mendatar, tetapi menukik kebawah. Karena itu, ketika serangan itu tidak mengenai sasaran karena Panembahan Senapati mengelak, maka serangan itu telah membentur tanah, beberapa langkah diluar arena.
Tidak terjadi ledakan. Tetapi hembusan asap bagaikan memancar dari dalam tanah. Hanya hembusan lembut. Tetapi setiap orang menyadari, apa yang terjadi jika serangan itu menyentuh seseorang. Tubuhnya tentu akan menjadi hangus atau bahkan menjadi arang.
Namun dalam pada itu, serangan itu telah mempe"ringatkan para perwira dan prajurit dari kedua belah pihak yang menyaksikan perang tanding itu untuk mengambil jarak. Jika keduanya bertempur semakin cepat dan tidak lagi sempat memperhitungkan jarak serangan mereka, maka mungkin sekali terjadi, bahwa serangan itu akan menyentuh orang-orang diluar arena.
Karena itu, maka orang orang diseputar arena itu telah menyibak. Yang tinggal didekat gawar lawe batas arena tinggallah Agung Sedayu dan Senapati yang menjadi saksi bagi Adipati Pajang.
Ternyata bahwa kesempatan itu telah memberikan keleluasaan bagi kedua orang yang sedang berperang tan"ding itu. Keduanya sama sekali tidak berusaha untuk bertempur pada jarak jangkau serangan kewadagan. Tetapi keduanya memiliki kekuatan untuk menyerang pada jarak tertentu.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Keduanya ternyata benar-benar raksasa dalam olah kanura"gan. Bukan saja serangan-serangan dengan lontaran gelom"bang-gelombang kekuatan yang menyambar-nyambar. Na"mun semakin lama keduanyapun telah berusaha untuk mempengaruhi lawan masing-masing dengan kekuatan-kekuatan khusus yang ada pada ilmu mereka. Unsur bayi, kekuatan yang memancarkan panasnya api serta kekuatan yang dapat mereka serap dari kekuatan yang ada disekeliling mereka telah menjadi senjata dalam pertempuran itu.
Ketika Adipati Pajang sempat melepaskan diri dari kejaran ilmu Panembahan Senapati, maka tiba-tiba dari dalam dirinya seakan-akan telah meluncur angin pusaran. Tidak kasat mata dan hanya orang-orang yang berilmu tinggi sajalah yang mengetahui. Namun Panembahan Senapati menjadi tegang. Dengan cepat ia bergeser sambil melepaskan ilmunya untuk melawan serangan Adipati Pa"jang. Angin pusaran yang bagaikan terlepas dari tubuh Adipati Pajang itu, ternyata telah membentur satu kekua"tan yang menahannya." Selapis udara yang dingin beku telah dengan serta merta menurunkan panas yang datang bergulung-gulung dalam pusaran itu.
Dengan demikian ketika angin pusaran itu kemudian menyentuh tubuh Panembahan Senapati, maka Panembah"an Senapati tidak lagi terbakar karenanya.
Sementara itu, maka Panembahan Senapati telah mele"paskan serangan-serangan berikutnya. Ketika Panembahan Senapati menggerakkan tangannya dalam ayunan men"datar, maka Adipati Pajang dengan serta merta telah meloncat tinggi tinggi, bahkan sekali berputar diudara. Ketika kakinya menyentuh tanah, maka sekali lagi ia meloncat justru kearah Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati bergeser surut. Adipati Pajang ternyata mampu menghindari serangannya. Getaran yang menebas sejalan dengan gerak tangan Panembahan Sena"pati akan mampu mengoyak kulitnya jika tubuhnya ter"sentuh.
Agung Sedayu menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia mampu mengikuti setiap benturan kekuatan yang telah terjadi.
Namun satu hal yang kurang dimengerti oleh Agung Sedayu, kenapa Panembahan Senapati, maupun Adipati Pa"jang tidak melindungi dirinya dengan ilmu kebal.
" Aku yakin bahwa Panembahan Senapati memiliki il"mu kebal atau sejenisnya " berkata Agung Sedayu didalam hatinya " atau ilmu Tameng Waja sebagaimana dimiliki oleh Sultan Hadiwijaya dan sebelumnya oleh Sultan Treng-gana. "
Untuk beberapa lamanya. Panembahan Senapati masih selalu berusaha menghindarkan diri dari serangan-serangan Adipati Pajang. Namun ketika serangan-serangan itu datang semakin cepat, maka Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat dengan pengamatannya yang sangat tajam dengan mata hatinya, bahwa Panembahan Senapati mulai menggetarkan ilmu kebalnya. Namun yang kemudian ditrapkan oleh Adipati Pajang bukan ilmu kebal atau Tameng Waja, tetapi ternyata bahwa Adipati Pajang telah mengetrapkan ilmu Lembu Sekilan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun harus mengetrapkan ilmu kebalnya ketika pertempuran yang aneh itu berlangsung semakin sengit. Tanpa mengetrapkan ilmu kebalnya, maka ada kemung"kinan, bahwa tanpa disengaja serangan lawan Panembahan Senapati itu akan dapat mengenai dan menyakitinya.
Namun ternyata bahwa perang tanding yang terjadi itu telah membuka pikiran Agung Sedayu untuk berbuat lebih banyak lagi dengan ilmu kanuragan. Meskipun Agung Se"dayu sudah memiliki ilmu puncak ilmu yang nggegirisi, yang mampu menempatkannya pada tataran teratas dari antara orang-orang berilmu tinggi, namun berdasarkan atas isi kitab yang pernah dipelajarinya dari kitab Ki Waskita serta kitab gurunya sendiri, masih banyak kemampuan yang dapat dipelajarinya. Jika semula ia menganggap bahwa bermacam-macam ilmu itu tidak terlalu penting baginya, namun yang perlu adalah kedalamnya meskipun hanya satu diantaranya, namun ternyata akan ada gunanya juga jika dipelajarinya.
Dalam pada itu. Senapati yang menjadi saksi dari an"tara para prajurit Pajang dan Demak itupun telah melin"dungi dirinya dengan semacam ilmu yang mampu menang"kis serangan-serangan yang tidak sengaja menyambarnya. Tetapi yang menarik Agung Sedayu, Senapati itu telah mengetrapkan ilmu yang sama dengan Adipati Pajang mekipun mungkin dengan tataran yang berbeda. Lembu Sekilan.
" Apakah Senapati itu berguru pada orang atau jalur yang sama dengan Kangjeng Adipati" " bertanya Agung Sedayu didalam hatinya.
Sementara itu, maka pertempuran diantara kedua rak"sasa itu menjadi semakin sengit. Keduanya telah mening"katkan segenap ilmu yang ada sampai kepuncak. Serangan-serangan menjadi semakin cepat meskipun tidak dapat dili"hat dengan mata wadag, sehingga banyak benturan-ben"turan ilmu yang terjadi, yang tidak diketahui oleh para pra"jurit yang menyaksikannya dari kedua belah pihak.
Namun Agung Sedayu mampu melihatnya, sehingga, karena itu, maka jantungnyapun menjadi berdebaran.
Dalam pada itu, para prajurit yang menyaksikan perang tanding itu semakin lama semakin tercengkam oleh ketegangan. Kadang-kadang mereka tidak mengerti apa yang terjadi. Namun agaknya ilmu masing-masing telah mulai menyentuh lawan, sehingga kadang-kadang para pra"jurit yang menyaksikan pertempuran itu sempat menang"kap kesan pada wajah-wajah mereka yang bertempur. Meskipun keduanya telah memasang ilmu kebal dan Lembu Sekilan yang memiliki kekuatan sama dengan ilmu kebal, namun ternyata kekuatan ilmu keduanya mampu menem"bus perisai ilmu mereka masing-masing, sehingga keduanya masih juga disengat oleh rasa sakit.
Namun semakin lama, keseimbangan itupun mulau ber"ubah. Agung Sedayu mulai melihat diatas kepala Kangjeng Adipati Pajang nampak semacam uap tipis yang berwarna kemerah-merahan.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Kangjeng Adipati. Agak"nya Kangjeng Adipati telah berusaha untuk memeras sege"nap kemampuannya sampai tapis. Bahkan ketika Kangjeng Adipati memaksakan diri untuk meningkatkan ilmunya, terjadi sesuatu didalam dirinya. Pengerahan kekuatan yang dipancarkan dari ilmunya, ternyata melampaui takaran kemampuan yang sebenarnya.
" Itu sangat berbahaya baginya " berkata Agung Se"dayu didalam hatinya.
Ketika Agung Sedayu berada didalam kegelisahan, maka tiba-tiba para prajurit telah menjibak. Seseorang telah menerobos lingkaran yang luas, yang berjarak bebe"rapa langkah dari gawar. Ketika ia sudah berdiri dipaling depan, maka iapun terhenti sejenak.
" Pangeran " desis seorang perwira dari Mataram.
" Dimana Kangbok" " bertanya orang itu.
" Entahlah " jawab perwira itu.
Orang itu tidak membuang waktu. Iapun dengan ter"gesa-gesa membenamkan diri kembali diantara para pra"jurit. Namun kemudian iapun telah hilang menelusuri celah-celah kesibukan mereka yang sedang menyaksikan perang tanding itu.
Tetapi tidak seorangpun yang mencegahnya. Baik para prajurit Mataram, Pajang maupun Demak. Seakan-akan semua orang sudah mengenalnya dan tidak berwenang un"tuk berbuat sesuatu atasnya.
Sejenak kemudian orang itupun telah mendekati pintu istana. Seorang prajurit yang terkejut, tiba-tiba saja telah bergeser dan merundukkan tombaknya. Namun kemudian iapun mengangguk hormat.
" Dimana kakangmbok " bertanya orang itu.
" Ada didalam Pangeran " jawab prajurit itu.
" Aku akan menemuinya " berkata orang itu.
Prajurit itu termangu-mangu. Kemudian katanya " Pintu hanya dapat dibuka dari dalam. "
" Suruh buka pintu itu " orang itu hampir berteriak.
Prajurit itu menjadi bingung. Namun orang itupun agaknya tidak sabar menunggu. Dengan satu hentakan maka pintu itupun telah pecah.
Dua orang prajurit yang ada didalam pintu bersama-sama telah mengacungkan tombaknya. Namun merekapun bergeser surut.
" Dimana kakangmbok " bertanya orang itu dengan tidak sabar.
Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Namun orang yang memecahkan pintu itu membentaknya " Dimana" "
" Ada didalam bilik Pangeran " jawab salah seorang prajurit itu.
Orang itupun langsung berlari kebilik yang ditunjuk. Sambil mengetuk pintu itu berkata " Bukakan pintu. Cepat. "
" Pergi. Pergi " terdengar suara seorang perempuan.
" Cepat sebelum pintu aku pecahkan. " berkata orang
itu. " Jika kau pecahkan pintu, puteri akan membunuh diri " jawab suara itu.
" Cepat. Dan beritahu, aku yang akan menghadap " orang diluar pintu itu hampir berteriak.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Keterangan telah mencengkam suasana. Dan orang itu berkata sekali lagi " Aku tidak mau terlambat.
Dalam pada itu, pertempuran diarena perang tanding masih berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak benar-benar sudah sampai kepuncaknya. Bahkan Kangjeng Adipati Pajang telah memaksa untuk mengerahkan kekua"tan ilmunya melampaui takaran yang seharusnya.
Agung Sedayupun menjadi cemas ketika ia melihat semacam uap yang mengepul diatas kepala Adipati Pajang itu, menjadi semakin tebal.
Agung Sedayu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia adalah saksi yang harus menyaksikan pertempuran itu terjadi se"jak awal sampai akhir.
Untuk beberapa saat, Adipati Pajang masih mampu menunjukkan tingkat ilmunya yang sangat tinggi. Takaran yang berlebihan itu masih belum terasa mempengaruhi diri"nya meskipun telah mulai menunjukkan akibatnya. Kang"jeng Adipati mengharap bahwa dengan sedikit memaksa"kan kemampuannya, ia akan cepat menyelesaikan pertem"puran itu.
Tetapi ternyata perhitungannya itu keliru, Ia tidak dapat menundukkan Panembahannya Senapati dengan memaksakan kekuatan diluar takaran kemampuannya yang sebenarnya.
Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah justru ber"bahaya baginya. Semakin lama ia memaksakan diri, maka sema"cam uap diatas kepalanya itu nampak menjadi semakin merah.
Agung Sedayu benar-benar menjadi cemas. Sementara itu Panembahan Senapati ternyata masih belum sampai kebatas puncak kemampuannya Beberapa lapis ia masih dapat mening"katkan ilmunya mengimbangi kekuatan Adipati Pajang yang su"dah melampaui batas kewajaran dalam arti kekuatan ilmunya.
Rasa-rasanya Agung Sedayu ingin meloncat memasuki are"na dan menghentikan perang tanding itu. Namun ia tidak berani melakukannya. Jika terjadi salah paham, maka ia akan dapat dimusuhi justru oleh kedua belah pihak, sementara itu ia tidak lebih dari seorang saksi.
Dalam pada itu, ternyata akibat yang semakin mencengkam itupun mulai terasa oleh Kangjeng Adipati Pajang, Tubuhnya mulai terasa panas. Sama sekali bukan memancarkan panas da"lam pengertian kekuatan ilmunya. Tetapi justru didalam tubuh"nya sendiri telah terjadi sesuatu yang menjadikan tubuhnya pa"nas. Darahnya terasa mengalir semakin cepat, dan jantungnya-pun ikut pula berdentangan.
Wajah Kangjeng Adipatipun menjadi semakin pucat. Na"mun kemudian iapun sadar sepenuhnya, bahwa tubuhnya telah dipanasi oleh usahanya memaksakan kekuatan diluar daya ke mam puannya.
Panembahan Senapatipun melihat keadaan Adipati Pa"jang. Karena itu, maka Panembahan Senapati berusaha untuk mengendorkan kekuatan ilmunya agar Adipati Pajang sempat pula mengurangi gelombang getaran ilmunya didalam dirinya.
Tetapi ternyata Adipati Pajang itu tidak melakukannya. Ia justru mempergunakan kesempatan itu untuk memberikan ben"takan yang sangat kuat terhadap Panembahan Senapati.
Dada Panembahan Senapati terguncang. Pada saat ia mele"paskan selapis pertahanannya, tiba-tiba saja lawannya telah menderanya. Hampir saja Panembahan Senapati itu terguncang sehingga dadanya terbelah. Namun dilapisi dengan ilmu kebal"nya, maka ia masih mampu bertahan.
Namun langkah yang diambil oleh Adipati Pajang itu mem"buatnya marah. Dengan suara lantang ia berkata " Menyerah"lah dan berlututlah."
Tetapi jawabnya Adipati Pajangpun tegas. Katanya " Seo"rang laki-laki tidak akan berlutut di arena perang tanding."
" Kau telah melampaui batas kekuatan ilmunya " berkata Panembahan Senapati " dengan demikian maka kau akan membunuh dirimu sendiri."
" Kematian dapat datang dengan cara apapun juga " ja"wab Adipati Pajang.
Panembahan Senapati menggeretakkan giginya. Katanya
" Baik. Kita akan menyelesaikan perang tanding ini."
Adipati Pajang tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak mengurangi hentakkan kekuatan dari dalam dirinya meskipun ia sendiri sudah mulai merasakan kelainan didalam dirinya itu.
Sementara itu, pada saat Adipati Pajang semakin terdesak kedalam keadaan yang sangat berbahaya, namun yang sama se"kali tidak dihindarinya. Sebagaimana sikapnya sebagai seorang kesatria sejati, maka pintu bilik permaisuri Kangjeng Adipati itu telah diketuk semakin keras.
" Cepat. Jangan menunggu terlambat " berkata orang yang mengetuk pintu itu.
Dalam pada itu, permaisuri Adipati Pajang yang mende"ngar suara itupun tiba-tiba telah berlari kepintu sambil berteriak
" Buka pintu itu."
Embannya termangu-mangu sejenak, sehingga yang lebih dahulu meraih selarak pintu adalah justru permaisuri itu sendiri.
Ketika pintu itu terbuka, maka orang yang mengetuk pintu itupun meloncat masuk. Sementara permaisuripun telah me"nyongsong sambil memeluknya.
" Adimas Pangeran Benawa. " desisnya " mengapa kea"daan ini harus terjadi."
" Aku sudah menduga kakangmbok, Mari ikut aku. Kita harus pergi ke arena perang tanding " jawab Pangeran Bena"wa.
" Untuk apa" Apakah kakangmasmu sudah terbunuh dan aku harus membunuh diri pula diarena itu. " bertanya permai"suri itu.
- Tidak ada waktu untuk berbantah. " jawab Pangeran Benawa.
Permaisuri itu termangu-mangu. Diluar sadarnya tangan"nya telah meraba hulu patrem yang diselipkan pada pinggang"nya.
Namun Pangeran Benawa agaknya tidak sabar lagi. Iapun segera menarik tangan kakak perempuannya sambil berkata " Jangan terlambat."
Permaisuri itu tidak dapat menolak. Iapun kemudian me"ngikuti saja kemana Pangeran Benawa menariknya.
Dalam pada itu, para Pengawal Dalam yang melihat ting"kah laku Pangeran Benawa itupun tidak dapat menahan diri un"tuk bertanya " Pangeran. Apa yang terjadi dengan permaisuri"-
Pangeran Benawa tidak sempat menjawab. Ia masih saja menarik tangan permaisuri itu melintasi ruang-ruajng didalam is"tana.
Bagaimanapun juga yang dilakukan oleh Pangeran Benawa memang menimbulkan persoalan bagi para Pengawal Dalam. Seorang perwira dari Pengawal Dalam itu telah memberanikan diri untuk bertanya pula " Apa yang Pangeran lakukan atas Permaisuri ?"
Pangeran Benawa tidak menjawab pula. Namun perwira itu menyusulnya sambil bertanya -Puteri, apakah Puteri tidak berkeberatan diperlakukan demikian ?"
" Tidak " jawab permaisuri " aku tahu, ia akan berusa"ha untuk berbuat sesuatu."
Dengan demikian maka perwira itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, karena yang terjadi itu sudah dikehendaki pula oleh Permaisuri.
Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawa yang me"nggandeng kakak perempuannya telah melintasi paseban dan turun ke lingkungan ajang pertempuran.
"Tidak ada pertempuran hari ini kakangmbok " berkata Pangeran Benawa.
" Aku tahu. Kakangmasmu memilih perang tanding " jawab permaisuri.
Sebenarnyalah pada saat itu, perangtanding antara Panem"bahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pajang menjadi semakin sengit. Tetapi dalam saat-saat yang gawat itu, maka keadaan Kangjeng Adipati nampak menjadi semakin sulit. Meskipun ti"dak banyak yang melihatnya, namun bagi beberapa orang yang mempunyai ketajaman penglihatan batin, nampak uap yang ke-merahan-merahan itupun menjadi semakin merah dan tebal.
Namun dalam pada itu, yang dapat dilihat oleh mereka yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang agak jauh, tubuh Kangjeng Adipati telah basah oleh keringat yang mengalir sebagai terperas dari dalam tubuhnya.
Betapapun gejolak hati Panembahan Senapati, namun da"lam keadaan yang demikian ia masih juga berkata " Apakah kau tidak sempat melihat kedirimu sendiri Adimas ?"
" Ya. Aku adalah seorang kesatria Pajang yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai terkandung didalamnya " jawab Kangjeng Adipati yang keadaannya menjadi semakin lemah. Namun katanya selanjutnya dengan suara yang masih lantang " tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan perlawananku. "
" Bagus " geram Panembahan Senapati " beberapa kali aku mencoba untuk menghindari kematian meskipun hanya seo"rang, setelah aku mencoba menghindarkan kematian beratus-ra"tus orang disekitar istanamu ini. Mungkin pengertian kita ten"tang sifat seorang kesatria agak berbeda. Seorang laki-laki yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejantanan tidak akan gentar meli"hat kenyataan."
" Jangan mencoba melemahkan perlawananku melalui omong kosong itu " sahut Kangjeng Adipati.
Panembahan Senapati yang merasa sudah cukup memberi-peringatan kepada Kangjeng Adipati Pajang itupun menganggap dirinya tidak bertanggung jawab lagi atas akibat yang dapat terjadi kemudian. Karena itu, maka justru pada saat keadaan Kangjeng Adipati Pajang menjadi semakin lemah, maka Pa nembahan Senapati telah mengambil keputusan untuk menga"khiri pertempuran itu.
Karena itulah, maka ketika seluruh tubuh Kangjeng Adipa"ti Pajang telah menjadi basah oleh keringat, serta api yang rasa-rasanya telah membuat darahnya mendidih. Panembahan Se"napati telah melekatkan kedua telapak tangannya didepan dada"nya.
Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia telah berdiri diatas api. Bukan saja Kangjeng Adipati yang se"luruh tubuhnya menjadi basah. Tetapi Agung Sedayupun bagai"kan telah mandi keringat meskipun betapa dinginnya kulitnya. Ia melihat keadaan yang sangat berlawanan. Kangjeng Adipati telah kehilangan daya tahannya karena kelainan didalam diri"nya sendiri, sementara itu Panembahan Senapati yang telah ke"habisan kesabarannya itu sedang berusaha untuk memusatkan nalar dan budi serta bersiap-siap dengan ilmunya yang paling dahsyat untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Namun Agung Sedayu tidak mempunyai wewenang apapun juga. Ia tidak dapat mencegah keputusan Panembahan Senapa"ti. Dan iapun tidak berhak menyelamatkan Kangjeng Adipati Pajang.
" Jika ilmu itu benar-benar dibenturkan kepada Kangjeng Adipati, maka Kangjeng Adipati tentu akan lumat menjadi de"bu " berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Tetapi ia tidak mempunyai jalan apapun juga untuk mence"gahnya. Bahkan jika ia berbuat sesuatu dan membuat Panemba"han Senapati itu marah, maka ilmu puncak yang sudah siap itu akan menghantam dirinya.
Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanya menye"rahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung. Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung, maka itulah yang akan terjadi.
Pada saat demikian itulah, maka Pangeran Benawa telah menyibak para prajurit yang melingkari arena itu dari jarak yang agak jauh. Ketika ia sudah berdiri dipaling depan bersama permaisuri, maka iapun memperhatikan arena dengan saksama.
Hatinya segera terguncang ketika ia melihat apa yang terja"di di arena. Karena itu, maka sekali lagi ia menarik tangan ka"kak perempuannya berlari-lari kecil menuju ke arena.
Tanpa menghiraukan apapun juga, maka Pangeran Benawapun telah mendorong permaisuri Pajang itu ke arena sambil berdesis " Cegahlah kakangmas Panembahan Senapati mem"pergunakan ilmu pamungkasnya."
Permaisuri Pajang itupun segera dapat mengerti. Karena itu, maka iapun segera berlari dan berlutut dihadapan Panem"bahan Senapati. Sambil memegang kaki Panembahan Senapati, maka permaisuri itu berkata disela-sela isaknya " Kakangmas. Hambalah yang memohonkan maaf kakangmas Adipati. Ham"ba mohon ampun serta mohon agar kakangmas Adipati diberi kesempatan untuk tetap hidup."
" Diajeng " geram Adipati Pajang " apa yang kau takut"kan disini he" Minggirlah. Ini urusanku dengan kakangmas Pa"nembahan Senapati."
" Tidak kakangmas " jawab Permaisuri itu - hamba ada"lah Permaisuri kakangmas Adipati Tetapi hamba juga adik ka"kangmas Panembahan Senapati. Hamba tidak dapat membiar"kan benturan kekuatan ini terjadi sampai memungut korban."
" Kau tahu, bahwa aku hari ini melakukan perang tan"ding. Kau tidak pernah mencegah sebelumnya " berkata Adipati Pajang.
" Aku semula kurang menyadari apa yang akan dapat ter"jadi di arena " jawab permaisuri itu sambil menangis.
" Diajeng " geram Panembahan Senapati " suamimu ti"dak menghendaki kau ada disini."
Permaisuri Kangjeng Adipati Pajang itu mengangkat wajahnya. Dipandinginya Panembahan Senapati dengan mata yang basah. Sementara air matanya menitik tanpa henti-hentinya.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil berjongkok Panembahan Senapati itu berkata " Sudahlah Diajeng. Jangan menangis. "
Tetapi Adipati Pajang memotong " Aku tidak memerlukan belas kasihan dari siapapun juga. Marilah, kita selesaikan perang tanding ini. "
Panembahan Senapati berpaling kearah Adipati Pajang. Lalu katanya " Kau berkeras untuk membunuh diri di are"na ini " "
" Aku sama sekali tidak membunuh diri. Aku sedang berperang tanding sebagai seorang kesatria Pajang " jawab Kangjeng Adipati.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun giginya terkatup rapat-rapat. Dengan susah payah Panembahan Senapati menahan hatinya yang bergejolak.
Namun dalam pada itu, permaisuri Adipadi Pajang itu"lah yang kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh Panembah"an Senapati. Namun Panembahan Senapati sama sekali tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Adik perempuan"nya itu.
Selangkah permaisuri itu surut. Kemudian tangannya telah meraba hulu patremnya. Dengan lantang ia berkata " Kakangmas Adipati dan kakangmas Panembahan Senapa"ti. Baiklah. Silahkan meneruskan pertempuran ini. Kalian adalah laki-laki jantan yang tidak gentar menghadapi maut dimedan. Bahkan bagi laki-laki jantan, mati dalam perang tanding agaknya merupakan satu kebanggaan. Tetapi aku"pun mempunyai kebanggaan bagi seorang perempuan. Jika suamiku mati di medan perang, maka sudah sepantasnya aku membunuh diri. Aku tidak mau menjadi perempuan boyongan. "
" Diajeng " hampir berbareng Panembahan Senapati dan Adipati Pajang berdesis.
" Aku adalah seorang perempuan yang setia. Isteri seorang kesatria yang memilih mati di medan daripada bersikap sebagai laki-laki sejati, melihat dan mengakui keadaan yang dihadapinya. " berkata permaisuri itu " seo"rang perempuan yang setia, akan mati bersama suaminya dalam keadaan apapun juga. "
" Jangan lakukan itu " cegah Adipati Pajang " kau tidak wajib membunuh diri. "
" Tidak " sahut Permaisuri " itu adalah kewajiban seorang isteri yang setia. Namun bagiku, daripada aku melihat suamiku terbunuh di medan oleh kekuatan ilmu pamungkas saudara laki-lakiku sendiri, maka biarlah aku mati lebih dahulu. "
" Diajeng, jangan " teriak Adipati Pajang sambil meloncat menangkap pergelangan tangan permaisurinya yang telah mencabut patremnya.
Suasana menjadi semakin tegang. Panembahan Senapati justru berdiri tegak bagaikan patung.
Dalam keadaan yang demikian, maka selangkah demi selangkah Pangeran Benawa memasuki arena. Sejenak ia tertegun ketika Panembahan Senapati dan Adipati Pajang bersama-sama berpaling kearahnya.
" Kakangmas berdua " berkata Pangeran Benawa " ternyata aku datang terlambat. "
" Kau datang sendiri " " bertanya Penembahan Senapati.
" Tidak. Aku membawa pasukan segelar sepapan dari Jipang " jawab Pangeran Benawa.
" Kepada siapa kau akan berpihak " " bertanya Adipa"ti Pajang.
" Aku tidak akan berpihak. Aku ingin ikut meramai"kan perang diantara keluarga sebagaimana pernah terjadi berulang kali. Sejak berdirinya Majapahit yang ditandai pecahnya kerajaan Kediri. Kemudian perang diantara keluarga yang telah memecahkan Majapahit. Demak kemudian mengambil alih pemerintahan. Sepeninggal Sultan Trenggana terjadi pula perebutan tahta, sehingga akhirnya berdiri Pajang yang hanya terdiri dari satu tata"ran. Sepeninggal ayahanda Sultan Hadiwijaya, kita wajib meramaikannya dengan peperangan pula. Bukankah kita adalah anak-anaknya " Kita wajib menjunjung tinggi dan menghargai peninggalan orang tua kita. Demikian tinggi kita menjunjungnya dan menghargainya, maka kita harus mempertaruhkan semuanya untuk memperebutkan " berkata Pangeran Benawa.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kangjeng Adipati Pajang menundukkan kepala"nya. Orang-orang disekitarnya, terutama Ki Tumenggung Wiladipa telah menghembuskan nafas perlawanan terhadap Mataram.
" Nah " berkata Pangeran Benawa " aku meninggal"kan pasukanku di luar pintu gerbang Kota Raja yang dijaga ketat oleh pasukan Mataram. Tetapi aku yakin, bahwa aku akan dapat menembusnya, karena kekuatan Mataram sebagian besar berada disekeliling istana ini. Kemudian pasukanku akan memasuki arena ini dan bertempur mela"wan siapa saja. Melawan Mataram dan melawan Pajang sekaligus. "
" Aku mengerti maksudmu Adimas " berkata Panembahan Senapati " tetapi sebaiknya kau mempelajari keadaan yang berkembang antara Pajang dan Mataram. "
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya " Aku memang sedang memikirkannya. Nah, sekarang kita berkumpul disini. "
Kangjeng Adipati Pajang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bertanya " Bagaimana menurut pendapatmu Adimas Pangeran " "
" Bagiku, semuanya terserah kepada kakangmas Panembahan Senapati yang memang sudah diakui sebagai penguasa tertinggi atas Mataram yang mewarisi kekuasaan Pajang seluruhnya. Memang mungkin ada kekuatan yang mencoba-coba untuk mengambil keuntungan dari kekeruh"an ini. Mereka akan bersorak jika kami sekeluarga sendiri masih saja saling bertengkar, karena dengan demikian mereka akan mendapatkan kesempatan " jawab Pangeran Benawa.
Adipati Pajang itupun kemudian melepaskan tangan isterinya sambil berkata " Aku akan mendengarkan permohonanmu.
Semua orang yang mendengar pernyataan Adipati Pa"jang itu termangu-mangu. Mereka tidak segera tahu maksudnya. Bahkan permaisuri itupun bertanya " Apa maksud kakangmas " "
Dipandanginya Pangeran Benawa sambil berkata " Adimas telah membuka hatiku. Aku akan mendengarkan permintaan mbokayumu adimas "
" Artinya " " bertanya Pangeran Benawa pula.
" Aku harus mengakui kekalahanku di medan " jawab Adipati Pajang itu.
" Tidak ada kalah dan menang " sahut Panembahan Senapati " tetapi kita telah menyelamatkan beratus-ratus nyawa yang dapat terbunuh jika pertempuran antara Mata"ram dan Pajang pada tahap terakhir ini terjadi. "
Adipati Pajang itu menundukkan kepalanya sambil berkata " Aku mohon ampun kakangmas Panembahan "
Panembahan Senapati memandang Adipati Pajang sekilas. Namun kemudian permaisuri Kangjeng Adipati itu berkata " Segala sesuatunya kami serahkan kepada kebijaksanaan kakangmas. "
" Baiklah. Marilah, kita bersama-sama mengatasi perasaan para prajurit. Mungkin para prajurit Pajang tidak dapat mengekang diri menanggapi keadaan ini. " berkata Panembahan Senapati.
" Aku akan berusaha " berkata Adipati Pajang.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya " Aku mohon waktu sejenak. "
Demikianlah, maka perang tanding itu sudah berakhir. Kangjeng Adipati itupun kemudian memanggil Senapati yang menjadi saksinya dan diperintahkannya Senapati itu memanggil Panglima pasukan Pajang yang mengambil alih pimpinan pasukan dari tangan Ki Tumenggung Wiladipa.
Ketika Panglima itu menghadap, maka Kangjeng Adipatipun kemudian berkata " Demi nama baik serta menjunjung silfat kesatria prajurit Pajang, maka dengarlah dan sampaikan kepada para prajurit, bahwa aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa aku telah dikalahkan oleh kakangmas Panembahan Senapati dalam arena perang tanding. Karena itu, maka dengan saksi yang hadir dari ke"dua belah pihak serta Adimas Pangeran Benawa maka aku harus mematuhi janjiku. Jika aku kalah, maka Pajangpun dinyatakan kalah dan menyerahkan kebijaksanaan berikut"nya kepada Mataram.
Wajah Panglima itu menjadi merah padam. Namun Pangeran Benawa berkata " Aku membawa pasukan sege"lar sepapan. Aku adalah penengah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan keputusan yang benar. Jika Mataram yang ingkar, aku akan berpihak kepada Pajang untuk menghancurkan Mataram. Tetapi jika Pajang yang ingkar, maka pasukanku yang berada diluar Kota Raja akan memasuki halaman istana ini dan berpihak kepada Mata"ram. Dengan demikian maka prajurit Pajang akan tumpas tapis sampai keorang yang terakhir. Dan apakah itu perlu menurut perhitunganmu " Beramai-ramai membunuh diri dengan kedok kejantanan " "
Panglima itu memandang wajah Pangeran Benawa sekilas. Namun iapun segera menunduk. Wajah Pangeran Benawa nampak bersungguh-sungguh. Dan Senapati itu mengerti, siapakah Pangeran Benawa itu.
" Jika Pangeran Benawa benar-benar membawa pasu"kan segelar sepapan, bersama-sama prajurit Mataram, maka Pangeran Benawa benar-benar akan dapat menumpas para prajurit Pajang. " berkata Panglima itu didalam hati"nya " dan Pangeran Benawa tentu tidak sekedar bermain-main dalam keadaan seperti ini. "
Karena itu, maka Panglima pasukan Pajang itupun akhirnya berkata " Hamba akan menyampaikannya kepada segenap prajurit Pajang Kangjeng Adipati. "
" Berhati-hatilah. Jangan sampai ada sebagian kecil atau besar dari para prajurit yang kehilangan kesadaran diri dan melakukan langkah-langkah yang akan dapat memancing kekeruhan dalam keadaan seperti ini " berkata Kangjeng Adipati.
Panglima itupun kemudian menarik diri. Dengan cepat dikumpulkannya para Senapati diseluruh medan dan dengan hati-hati dijelaskannya apa yang telah terjadi. "
" Jadi, setelah kami berjuang dengan segenap pengorbanan ini, kami harus menyerah " " bertanya seo"rang Senapati.
" Kami harus memperhitungkan segenap kemungkin"an yang dapat terjadi berkata Panglima itu " selebihnya, kami harus menjunjung tinggi sifat kesatria. Apa yang sudah terucapkan, maka akan merupakan keputusan. Kang"jeng Adipati ternyata dapat dikalahkan oleh Panembahan Senapati di arena perang tanding.
" Tetapi kita tidak akan dikalahkan oleh orang-orang Mataram di medan " berkata Senapati itu.
" Seandainya demikian, maka telah hadir di Pajang Pangeran Benawa dengan pasukannya " berkata Panglima itu " Pangeran Benawa ternyata akan berpihak kepada mereka yang berdiri diatas nilai-nilai perjanjian yang telah dibuat, dan akan menghancurkannya mereka yang ingkar.
" Kenapa Pangeran Benawa telah ikut campur " " bertanya seorang Senapati.
" Yang berselisih sekarang ini adalah keluarga sendiri. Pangeran Benawa adalah adik dari kedua orang yang sedang berselisih." jawab Panglima. Lalu " Karena itu, kita wajib menghindari kehancuran mutlak bagi Pajang. Mungkin kita harus mengorbankan harga diri kita sebagai prajurit. Namun dengan demikian kita sudah ikut serta menyelematkan beratus-ratus nyawa. "
Para Senapati Pajang itu menjadi kecewa. Tetapi panglima itu kemudian berkata " Aku mengemban perin"tah Kangjeng Adipati. "
Dengan demikian, maka betapapun kecewanya, para Senapati itupun tidak dapat berbuat lain. Kecuali mereka berhadapan dengan perintah Kangjeng Adipati, maka di luar dinding kota telah siap pasukan Jipang yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Benawa.
Karena itu, maka tidak ada lain yang dapat mereka lakukan kecuali menghentikan perlawanan.
Dalam pada itu, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur. Kepungan pasukan Matarampun telah dikendorkan, sehingga pasukan Mataram tidak lagi mengelilingi halaman istana, namun mereka kemudian harus berada disekeliling kota.
Beberapa orang Senapati Mataram ternyata merasa lebih kecewa lagi atas keputusan Panembahan Senapati justru untuk mengendorkan kepungan. Mereka sudah sam"pai pada langkah terakhir untuk menghancurkan Pajang. Namun tiba-tiba langkah itu terhenti. Bahkan mereka harus memperluas lingkungan pasukan lawan.
- Mereka sudah menghentikan perlawanan " Ki Lurah Branjangan menjelaskan " kita sudah mengalahkan mere"ka, tanpa memberikan korban lebih banyak lagi. "
" Penyelesaian ini tidak memuaskan " berkata seo"rang Senapati. " Apakah kepuasan yang kita maksudkan adalah kematian"
Semakin banyak kematian, akan memberikan kepuasan semakin besar kepada kita" " bertanya Ki Lurah.
Senapati itu terdiam. Tetapi kekecewaan itu sulit disingkirkannya dari hatinya.
Meskipun demikian para prajurit Mataram, para penga"wal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung te"lah mematuhi perintah itu. Seperti beberapa Senapati, Swandarupun merasa sangat kecewa. Namun Pandan Wangilah yang berusaha menenangkannya.
" Bukankah kita wajib mensukuri kemenangan ini " berkata Pandan Wangi
" jika kita masih harus bertempur pada tataran terakhir, maka rasa-rasanya kita akan tidak sanggup melihat korban yang terbujur lintang di arena. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah-wajah para pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih muda dan memancarkan cahaya kehidupan di matanya, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata " Tentu sayang sekali jika anak itu terbunuh di peperangan. "
" Nah, bukankah lebih baik mereka mendapat kesem"patan untuk hidup dan menyongsong masa depan mereka yang cerah" " bertanya Pandan Wangi.
Swandaru mengangguk. Jawabnya " Ya. Kematian yang lebih banyak juga akan membuat Sangkal Putung menjadi lemah. -
Dengan demikian maka agaknya Swandaru mampu memahami dengan penalarannya untuk mengimbangi pera"saannya yang bergejolak. Sementara Ki Gede Menoreh yang lebih matang menanggapi keadaan, merasa keputusan Panembahan Senapati itu bijaksana.
Ketika pasukan Mataram melonggarkan kepungan, maka Panembahan Senapati minta pasukan Pajang dan Demak untuk menempatkan diri dalam barak-barak dan tidak akan bergerak sama sekali. Mengumpulkan senjata mereka dan mentaati segala perintah. Namun demikian Panembahan Senapati tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada beberapa kelompok Pengawal Dalam untuk tetap bersenjata.
Ternyata bahwa para prajurit Pajang dengan ketaatan seorang prajurit telah melakukan semua perintah yang diberikan oleh para Senapati mereka.
Namun sebenarnyalah bahwa beberapa orang Senapati telah menjadi kecewa terhadap Ki Tumenggung Wiladipa yang seakan-akan telah hilang begitu saja dan tidak berta"nggung jawab terhadap pertempuran itu sampai kebatas akhir.
" Mungkin Ki Tumenggung telah terbunuh di pepera"ngan " berkata seorang Senapati.
" Tidak seorangpun yang menemukan mayatnya "
jawab yang lain. " Mungkin telah diketemukan oleh orang-orang Mataram yang tidak mengenalinya " sahut kawan"nya.
" Mereka biasanya menyerahkannya kepada kita jika mereka mengetahui bahwa yang diketemukan seorang pra"jurit Pajang atau Demak " berkata yang lain lagi.
" Mungkin Ki Tumenggung tidak mengenakan pakaian keprajuritannya dengan lengkap atau mungkin karena sebab-sebab lain, karena sebenarnya orang yang dicari oleh Panembahan Senapati adalah Ki Tumenggung Wiladipa. " sahut kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka memang merasa aneh bahwa Ki Tumenggung Wiladipa yang sebelumnya berhasil mempengaruhi Kangjeng Adipati untuk mengambil langkah-langkah tertentu serta membawa sepasukan prajurit dari Demak, tiba-tiba telah hilang begitu saja.
Namun, sebenarnyalah para Senapati menganggap sikap Ki Tumenggung memang licik. Tetapi tidak seorang-pun yang sampai hati mengatakannya.
Sementara itu, jarak kedua pasukan menjadi semakin jauh. Pasukan Pajang dan Demak yang meletakkan senjatanya tidak merasa terancam oleh pasukan Mataram sebagaimana jika pasukan Mataram itu berada dihadapan hidung mereka.
Namun demikian Ki Lurah Branjangan masih tetap pada perintahnya " Kepung Pajang dan jangan biarkan seorangpun lepas. Apalagi Ki Tumenggung Wiladipa. "
" Kita harus menemukannya " berkata Ki Lurah. Sampai saat terakhir menjelang matahari turun, masih belum dibicarakan lagi tentang Ki Tumenggung Wiladipa. Namun orang-orang Matarampun telah mendengar bahwa Ki Tumenggung hilang.
Namun para prajurit yang bertugas menutup semua jalan dan mengawasi dinding-dinding kota yakin, bahwa belum seorangpun keluar dari kota, Karena itu, merekapun yakin bahwa Ki Tumenggung Wiladipa masih tetap berada di kota. Kecuali jika ia terbunuh atau membunuh diri dan membiarkan mayatnya tersembunyi, atau seorang keper"cayaannya telah menguburkannya.
Dengan demikian, maka para pemimpin Mataram masih juga menginginkan untuk menangkap Ki Tume"nggung Wiladipa, hidup atau mati.
" Jika besok kita tidak menemukannya, maka kita akan minta ijin untuk melihat semua barak dan tempat-tempat yang mungkin dipergunakannya untuk bersembunyi. Mungkin ia justru bersembunyi diantara juru masak didapur " berkata Ki Lurah Branjangan.
Sementara pasukan Mataram dan Pajang mematuhi perintah para pemimpin mereka, maka pasukan Jipang yang dibawa oleh Pangeran Benawa berada beberapa ratus patok diluar kota, Pangeran Benawa tidak ingin terjadi salah paham dengan kedatangan pasukannya. Karena itu maka iapun telah memberikan perintah lewat peng"hubungnya agar pasukannya sama sekali tidak bergerak.
Dengan demikian, ada tiga pemusatan pasukan yang saling menahan diri. Namun betapa sakitnya hati para pra"jurit Pajang dan Demak.
Ketika malam kemudian turun, maka Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pajang telah berbicara ten"tang hubungan mereka. Kangjeng Adipati tidak lagi ber-keras menentang rencana Penembahan Senapati untuk memindahkan beberapa jenis pusaka dari Pajang ke Ma"taram.
Pangeran Benawa yang hadir dalam pembicaraan itu bukan sekedar sebagai saksi. Tetapi iapun telah ikut menentukan sikap kedua pemimpin yang sedang berunding itu.
Sementara keduanya telah mendapatkan kesepakatan tentang pusaka yang akan dibawa ke Mataram pada kesempatan yang lain nanti, maka Panembahan Senapati telah bertanya tentang Ki Tumenggung Wiladipa.
" Aku masih tetap dalam tuntutanku untuk menang"kap Wiladipa " berkata Panembahan Senapati.
" Kami telah kehilangan orang itu " jawab Kangjeng Adipati Pajang " sejak pasukan Pajang didesak ke hala"man istana, orang itu tidak dapat diketemukan lagi. Karena itu, terserah kepada Kakangmas Panembahan Senapati. Jika kakangmas dapat menangkapnya maka segala sesuatunya ada ditangan kakangmas. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia per"caya akan keterangan Kangjeng Adipati itu. Sementara iapun telah mendapat laporan bahwa Ki Tumenggung Wiladipa tidak nampak lagi disegala medan.
" Baiklah adimas " jawab Panembahan Senapati " namun aku minta ijin untuk dapat melihat disegala tempat. Mungkin ia sengaja bersembunyi di manapun juga. "
" Silahkan kakangmas " jawab Adipati Pajang " segala kekuasaan ada ditangan kakangmas. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian minta diri bersama Pangeran Benawa un"tuk kembali ke pasukan Mataram yang berada dilingkaran yang menjadi cukup luas.
Sementara itu, ketika para pemimpin pasukan Ma"taram sedang memperbincangkan Ki Tumenggung Wila"dipa, tiba-tiba beberapa orang prajurit Mataram yang ber"tugas menjadi gempar. Mereka telah melihat sesuatu yang menggetarkan jantung mereka.
Tetapi mereka tidak sempat melaporkannya kepada para pemimpin dengan langsung dan mempersilahkan mereka menyaksikan. Ketika laporan itu sampai kepada Panembahan Senapati, maka yang menggemparkan sudah terjadi.
" Apa yang kalian lihat" " bertanya Panembahan Senapati.
Dengan nafas yang masih terengah-engah orang itu menjawab " Panembahan, yang hamba lihat bersama be"berapa orang petugas, adalah diluar kewajaran. "
" Sebut saja " Panembahan Senapati menjadi tidak sabar.
" Panembahan, hamba bersama kawan-kawan melihat seseorang yang meluncur dengan pelepah kelapa. Pelepah kelapa itu seakan-akan menjadi seekor burung garuda " jawab orang itu.
Wajah Panembahan Senapati menjadi tegang. Sementara itu Pangeran Benawa dengan tergesa-gesa berkata " Aku akan melihat, apakah kakangmas masih ada diistana. "
" Aku kira tentu bukan adimas Adipati " jawab Panembahan Senapati. Tetapi tentu seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. "
" Apa yang telah kalian lakukan" " bertanya Pange"ran Benawa kepada prajurit yang memberikan laporan itu.
" Beberapa orang perwira berkuda telah berusaha menyusulnya. " jawab prajurit.
Namun dalam pada itu Pangeran Benawapun segera meloncat sambil berkata -Kakangmas Panembahan. Aku akan ikut menyusul mereka. Tetapi aku akan singgah diistana. "
" Aku juga akan pergi mendahului adimas " jawab Panembahan Senapati " silahkan singgah di istana. Atau barangkali Adimas Adipati akan ikut melihat, siapakah orang itu. "
Pangeran Benawa tidak menjawab. Iapun segera hilang, setelah ia mendapat ancar-ancar kemana arah orang yang meluncur itu.
Sepeninggal Pangeran Benawa, maka Panembahan Senapatipun segera memerintahkan untuk mempersiapkan kudanya. Agung Sedayu, Sabungsari, Untara, Pranawangsa dan Ki Lurah telah bersiap untuk ikut pula ber"samanya. Beberapa pengawal telah membenahi diri pula un"tuk mengikutiya.
Sejenak kemudian, maka kuda-kuda merekapun telah berderap setelah mereka mendapat petunjuk pula arahnya sebagaimana Pangeran Benawa.
Sementara itu Pangeran Benawa telah berpacu keistana. Kedatangannya memang mengejutkan. Namun para Pengawal Dalam telah menyampaikan kedatangan Pange"ran Benawa itu kepada Adipati Pajang.
Demikian ia melihat Kangjeng Adipati, maka hatinya menjadi tegang. Dengan terus terang ia berkata, bahwa ia menjadi cemas ketika ia mendengar laporan tentang sese"orang yang berilmu sangat tinggi meninggalkan Pajang dan melampaui kepungan yang ketat, dengan naik pelepah kelapa.
" Aku akan mencari orang itu " berkata Pangeran Benawa.
" Sendiri " " bertanya Kangjeng Adipati."
" Apakah kakangmas akan pergi" " bertanya Pange"ran Benawa.
Kangjeng Adipati menjadi ragu-ragu. Namun iapun menjawab " Jika aku diijinkan, aku tidak berkeberatan. "
" Marilah. Aku bertanggung jawab. " jawab Pangeran Benawa.
Sejenak kemudian keduanya telah berpacu diikuti oleh ampat orang Pengawal Dalam Pajang yang masih diperkenankan memegang senjata.
Para prajurit Mataram yang bertugas tidak berani mencegah, karena diantara mereka terdapat Pangeran Benawa. Apalagi setiap kali Pangeran Benawa memberi isyarat, bahwa ia akan mencari orang yang telah naik pele"pah kelapa keluar dari kepungan.
" Orang itu harus diketemukan " berkata Pangeran Benawa " ia memiliki ilmu yang tinggi, yang setiap saat akan dapat membuat keributan di lingkungan Pajang atau Mataram. Bahkan mungkin juga sampai ke Jipang. "
" Ya " jawab Kangjeng Adipati. Bahkan Kangjeng Adipati itupun berkata " Mungkin orang itu adalah orang yang dicari oleh Kakangmas Panembahan Senapati. "
" Siapa " " bertanya Pangeran Benawa.


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ki Tumenggung Wiladipa " jawab Kangjeng Adipa"ti.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun dalam kegelapan ia berpacu terus mengikuti arah yang ditunjuk oleh prajurit yang memberikan laporan tentang orang yang bagaikan terbang diatas pelepah kelapa itu.
Namun setelah Pangeran Benawa berpacu beberapa saat lamanya, ia tidak melihat seseorang. Karena itu, maka katanya " Pelepah itu tidak akan dapat terbang lebih jauh, betapapun tinggi ilmu orang itu. "
" Ya. Aku sependapat adimas. Kecuali jika orang itu memang memiliki ilmu Ngantariksa. " jawab Adipati Pa"jang.
" Jika demikian ia tidak memerlukan pelepah kelapa itu " desis Pangeran Benawa sambil memberikan isyarat untuk berhenti.
" Kita akan mencarinya " berkata Pangeran Benawa itu kemudian. Diserahkannya kudanya kepada para penga"wal sambil berkata " kami akan mencarinya disekitar tem"pat ini. Jika kau lihat seseorang, beri kami isyarat, karena kalian tidak akan mampu menangkapnya. "
Demikianlah, maka Pangeran Benawa dan Kangjeng Adipati Pajang berdua telah mencari orang yang terbang diatas pelepah kelapa itu disekitar tempat yang diduganya menjadi tempat orang itu mendarat.
Tetapi mereka tidak bertemu dengan seorangpun, sehingga mereka semakin lama menjadi semakin jauh dari kuda-kuda mereka.
Keduanya terkejut ketika mereka melihat bayangan dikejauhan. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Namun dengan demikian Pangeran Benawa segera menge"tahuinya bahwa mereka tentu Panembahan Senapati de"ngan para pengiringnya.
Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera mende"kati mereka, dan bergabung dengan mereka.
Beberapa lama mereka mencari, tetapi mereka tidak menemukan seseorang.
Namun merekapun kemudian tertegun ketika mereka menemukan sebatang pelepah kelapa yang terletak dipinggir jalan, diantara semak-semak perdu.
" Disini orang itu turun " desis Pangeran Benawa.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya " Orang itu mendapat banyak kesempa"tan untuk menyingkir dari tempat ini. Tentu sangat sulit untuk menemukannya "
Ya " sahut Pangeran Benawa " Kakangmas Adipati menduga, bahwa orang itu tentu Ki Tumenggung Wiladipa.
" Akupun sudah berpikir kesana " jawab Panembahan Senapati " dengan demikian, maka orang itu telah menemukan satu cara untuk melepaskan diri. Aku kecewa sekali, bahwa aku tidak dapat menangkap orang yang bernama Wiladipa itu. Sebenarnya aku yakin, bahwa adi"mas Adipati telah terpengaruh pula oleh sikap orang itu. "
" Kakangmas benar " jawab Adipati Pajang " tetapi aku tetap bertanggung jawab. Aku tidak dapat melempar"kan tanggung jawabku kepada Wiladipa. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sambil bergumam ia mencoba mengamati tempat disekitar semak-semak itu " Tidak ada bekasnya sama sekali. "
Yang lainpun tidak menemukan petunjuk apapun juga, sehingga dengan demikian maka merekapun telah menghentikan pencaharian itu. " Marilah, kita kembali " berkata Panembahan Senapati.
" Apakah usaha pencaharian tidak perlu dilanjutkan, dengan memerintahkan para prajurit untuk menjelajahi daerah ini " " bertanya Ki Pranawangsa.
" Tidak ada gunanya " jawab Panembahan Senapati " orang itu sekarang tentu sudah jauh. Apalagi kemampu"an ilmunya akan dapat mempercepat langkahnya. Seandai"nya prajurit yang ada ini harus berpencar, maka tentu sulit untuk dapat menangkapnya, karena orang itu tentu akan melawan. Dua, tiga bahkan ampat orang prajurit belum ten"tu akan dapat menangkapnya. "
Ki Pranawangsa mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa sulit untuk mencari seseorang dihiasnya bulak dan pedukuhan dimalam hari, apalagi orang itu sudah mendapat kesempatan jarak waktu yang cukup panjang.
Namun dalam pada itu, Panembahan Senapatipun berkata " Sebelum aku berangkat, maka sudah ada sekelompok prajurit yang mencarinya lebih dahulu. Demiki"an mereka melihat orang itu meluncur, menurut laporan maka beberapa orang prajurit telah menyusulnya. Jika kita tidak menemukan mereka disini, mungkin mereka memang sedang mencarinya. "
Yang lainpun mengangguk-angguk. Sementara Panembahan Senapati melangkah menujuk ke kudanya sambil berkata " Marilah. Kita akan mencari Ki Tumeng"gung Wiladipa dengan cara lain. "
Orang-orang yang mengiringi Panembahan Senapati itupun kemudian mengikutinya, sementara Pangeran Bena"wa dan Adipati Pajang menuju ketempat kuda-kuda mere"ka tertambat.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itupun berderap menujuk ke gerbang kota.
Namun dalam pada itu, yang tidak diketemukan oleh para pemimpin Mataram dan Pajang itu, memang sempat dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ia mendarat dengan pelepah kelapanya.
Demikian ia menyentuh tanah, maka iapun segera meloncat berlari. Meskipun tidak terlalu cepat, namun seperti yang dikatakan oleh Panembahan Senapati, bahwa orang itu memang mampu dan mempunyai kesempatan un"tuk menghilang didalam gelapnya malam dan luasnya bulak dan padukuhan.
Beberapa saat kemudian, maka debar dijantung orang itupun segera mereda. Ia merasa bahwa ia menjadi semakin aman. Meskipun ia yakin bahwa tentu ada orang yang meli"hatnya terbang diatas pelepah kelapa melewati kepungan dan kemudian mengejarnya, namun ia mempunyai kesem"patan cukup panjang.
Karena itu, maka orang itu tidak lagi menjadi tergesa-gesa, meskipun ia tidak menjadi lengah.
Namun dalam pada itu, ketika ia justru merasa sudah bebas dari kemungkinan untuk diketemukan oleh orang-orang Mataram, maka tiba-tiba saja ia mendengar sese"orang tertawa.
Orang yang berhasil terbang dengan pelepah kelapa itu terkejut. Oengan sigap ia memutar tubuhnya menghadapi kearah suara tertawa itu.
Dalam kegelapan malam orang itu melihat seseorang berjalan mendekatinya. Suara tertawanya masih saja mengumandang didalam kelam menyelusuri embun yang mulai mengembang.
" Gila " geram orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu " siapa kau he, dan apa maksudmu" "
" Kau tentu sedang melarikan diri " jawab orang yang datang itu " aku melihat kau naik pelepah kelapa. Jika kau tidak sedang melarikan diri dari kepungan orang-orang Mataram, kau tentu tidak akan berbuat seperti itu. "
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia yakin bahwa orang yang menghentikan langkahnya itu hanya seorang diri, maka ia sama sekali tidak bermaksud untuk mengelak dan ingkar. Dengan tegas ia menjawab "
Ya. Aku memang sedang menunjukkan kepada orang Mata"ram, bahwa kepungannya tidak berarti sama sekali bagiku. Tidak ada kekuatan yang dapat membatasi gerakku. "
" Kau salah Ki Sanak " jawab orang yang datang itu " akulah yang bermaksud menghentikanmu. Aku ingin membawamu kembali kepada orang-orang Mataram.
Orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu ganti tertawa. Katanya " Jangan salah mengambil langkah Ki Sanak. Jika kau datang dengan sekelompok prajurit dibawah pimpinan Senapati terbaik di Mataram, mungkin kau akan berhasil menangkap dan membawaku kembali kepada orang-orang Mataram itu. "
" Ah " desis orang itu " jangan terlalu sombong. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu menangkapmu. "
Orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Baiklah. Marilah, siapakah diantara kita yang mampu membuktikan bahwa kita adalah orang-orang linuwih. "
Orang yang baru datang itu mengangguk. Katanya " Bagus. Kita akan bermain-main. Aku sudah melihat kelebihanmu dengan caramu menembus kepungan orang-orang Mataram dan kemudian menyatakan bahwa orang-orang Mataram tidak dapat menemukanmu. "
" Apakah kau bukan orang Mataram" " bertanya orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu.
" Aku orang yang tidak mempunyai alas berpijak. Aku orang mana saja dimana aku berada. " jawab orang yang baru datang itu.
" Baiklah " jawab orang yang mampu terbang dengan pelepah kelapa itu " siapakah kau, tetapi jika kau ingin menghambat perjalananku meninggalkan Pajang, aku akan hapuskan dari wajah bumi Pajang ini. "
" Marilah " berkata orang yang baru datang itu " kita akan mulai. "
Orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi lawannya.
Ternyata bahwa orang yang mampu menembus kepungan orang-orang Mataram itu tidak mau menunggu terlalu lama. Dengan segera ia ingin menyelesaikan pertem"puran itu. Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia sudah menghentakkan ilmunya yang luar biasa.
Bumi bagaikan terguncang dan udara telah bergelora. Seolah-olah dari dalam bumi telah menyembur api dan udara bagaikan uap air yang mendidih. "
" Uh " orang yang datang itu melenting dengan kece"patan yang tidak kasat mata. Ketika ia hinggap diatas sebongkah batu yang besar, dikibaskannya pakaiannya sambil bergumam " Luar biasa. Darimana kau memiliki il"mu seperti ini" Kenapa kau tidak memasuki gelar lawan dan memusnahkan sekelompok prajurit Mataram dengan cara"mu" Tetapi jika kau sempat membentur seorang Senapati dan bertempur didalam gejolak perang brubuh, kau tentu tidak akan berani mempergunakan ilmu ini, karena prajurit-prajuritmu sendiripun akan hangus terbakar oleh ilmumu yang luar biasa. "
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah meloncat sambil melontarkan ilmunya. Namun sekali lagi lawannya melenting mendahului sentuhan serangan itu.
" Ilmumu memang luar biasa. Tetapi jangan bermimpi mampu mengalahkan orang-orang Mataram. Kau tidak akan mampu mengalahkan Agung Sedayu. Ilmumu masih berada dibawah beberapa lapis. Bahkan mungkin kau tidak akan mampu mengalahkan seseorang yang memiliki ilmu mirip dengan Agung Sedayu, tetapi tidak mempunyai perisai kekebalan yang dapat melindungi tubuhnya. Apa"lagi jika kau bertemu dengan orang-orang tua yang meski"pun tidak mencampurinya, karena mereka ingin membe"rikan tanggung jawab kepada yang muda-muda, tetapi mereka menonton juga diluar arena " berkata orang yang baru datang itu.
" Persetan " orang yang telah menyerang dengan ser"ta merta itu tidak menjawab. Tetapi ia mengerahkan ilmu"nya sampai kepuncak, karena ia memang ingin menye"lesaikan pertempuran itu.
Tetapi lawannya ternyata mampu bergerak cepat. Betapa ia melepaskan serangan dengan ilmunya yang nggegirisi, namun lawannya itu masih sempat mengelak, bahkan kemudian iapun mulai menyerang. Justru karena ia sadar, bahwa lawannya telah mempergunakan ilmu puncaknya, maka iapun telah mengim"banginya pula. Tetapi lawannya tidak mempergunakan ilmu yang keras sebagaimana orang yang turun dengan pelepah kela"pa setelah menembus kepungan orang Mataram itu. Lawannya telah berusaha untuk membentur dengan lunak.
Itulah sebabnya ketika lawannya menyerang dengan ilmu"nya, orang yang datang kemudian itupun tidak menghindari"nya. Tetapi ia telah melindungi dirinya dalam kemampuannya.
Dengan demikian maka telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Tetapi benturan itu mempunyai ujud yang lain dari benturan ilmu yang keras. Ketika serangan itu datang, maka udara yang panas itu seakan-akan telah terhisap dalam penga"ruh suhu yang dingin membeku, sehingga panasnya api yang membakar itupun perlahan-lahan menjadi susut dan bahkan kemudian membeku. Sementara itu, api yang bagaikan menyembur dari dalam tanah itupun rasa-rasanya telah hambar dan yang terjadi tidak lebih dari semburan kecil yang tidak berpengaruh apa-apa.
Bahkan orang itupun mampu melontarkan ilmunya lang"sung mengarah kepada lawannya, sehingga udara dingin itu benar-benar akan dapat membuat lawannya menjadi beku.
Tetapi lawannya masih mampu menghindar, dan mengatasi kebekuan itu dengan ilmu apinya.
Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Ternyata mereka tidak saja bertempur dengan landasan ilmunya yang mampu dilontar"kan kearah lawannya, namun merekapun telah berusaha untuk mempergunakan segala kemampuan yang ada pada mereka.
Orang yang baru datang itu nampaknya memang memiliki beberapa kelebihan, tetapi ternyata bahwa orang yang mampu menembus kepungan orang-orang Mataram itu, memiliki beberapa jenis ilmu yang dapat diandalkan. Dengan demikian maka ketika ia merasa bahwa ilmunya yang dianggapnya akan dengan cepat menyelesaikan perkelahian, menghadapi benturan yang bagaikan menghisap kekuatan ilmunya itu sehingga tidak berpengaruh sama sekali, orang itupun telah mempergunakan ilmunya yang lain, yang meskipun menurut penilaiannya sendiri tidak sedahsyat ilmu apinya, namun ia mengharap bahwa lawannya tidak memiliki kemampuan untuk menangkis atau menghindarinya.
Karena itulah, maka pertempuran antara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin sengit. Berbagai macam ilmu telah saling dilontarkan dan dipergunakan. Namun keduanya masih saja mampu bertahan dan saling menyerang.
Sementara itu, orang-orang Mataram dan Pajang masih sa"ja membicarakan orang yang sempat meninggalkan batas kepu"ngan para prajurit Mataram dengan pelepah kelapa.
Pangeran Benawa yang telah berada kembali bersama Panembahan Senapati setelah mengantarkan Adipati Pajang kembali ke istananya, berkata " Harus ada seseorang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk menelusuri kepergian orang yang menembus kepungan para prajurit Mataram, yang menurut dugaan kita adalah Ki Tumenggung Wiladipa. "
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata " Siapakah yang akan dapat melakukannya " " Ada beberapa syarat yang harus dimiliki orang yang bersedia melakukannya. Orang itu harus bersedia untuk mengadakan pengembaraan yang lama. Orang itu harus seseorang yang tidak terikat oleh sesuatu. Namun orang itu harus seorang yang berilmu tinggi, yang akan dapat mengim"bangi kemampuan orang yang terbang dengan pelepah kelapa itu. "
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Panembahan Senapatipun berkata " Kita sudah berubah sekarang adimas. Aku dan kau tidak mungkin lagi melakukan"
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya " Memang tidak mungkin kakangmas. Juga Agung Sedayu tidak akan mungkin. Ia sudah berkeluarga sekarang dan ia ikut serta membina Tanah Perdikan Menoreh yang justru mulai berkem"bang. Mungkin ia dapat meninggalkan Sekar Mirah karena Sekar Mirah akan dapat melindungi dirinya sendiri. Tetapi Tanah Perdikan Menoreh yang sedang berkembang, sementara Ki Gede sendiri menjadi semakin tua, akan berkeberatan untuk melepaskannya sekedar mencari orang yang bernama Wiladipa.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berpaling kearah Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun ternyata yang menyahut adalah Ki Gede Menoreh " Mungkin Tanah Perdikan akan merasa kehilangan jika angger Agung Sedayu harus pergi untuk waktu yang tidak terbatas.
Mungkin setahun, mungkin dua tahun, karena ia harus mencari seorang yang sengaja menyembunyikan diri dalam luasnya wa"jah Tanah ini. Apalagi angger Agung Sedayu agaknya belum mengenal orang itu dengan baik. Sementara itu, keadaanku menjadi semakin buruk. Cacat kakiku terasa semakin mengganggu pada saat-saat hari tuaku. Satu-satunya anakku berada di Kademangan Sangkal Putung, sementara angger Swandaru nampaknya juga terikat oleh Kademangannya yang semakin mekar. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Pangeran Benawa pun mengerti sepenuhnya keberatan Ki Gede yang merasa tidak lagi memiliki tenaga sebagaimana masa mudanya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri memang tidak ingin melakukannya. Tetapi bahwa ia sama sekali tidak disebut, bahkan justru Agung Sedayu, rasa-rasanya memang tidak menyenangkan hatinya, seolah-olah murid Kiai Gringsing yang hanya dua orang itu dianggap oleh semua orang, bahwa yang tualah yang memiliki kemampuan lebih baik dari yang muda. Sehingga karena itu tanpa mengetahui keadaan sebenar"nya, mereka telah menyebut Agung Sedayu dan bukan Swanda"ru.
Nampaknya Swandaru ingin diperhitungkan juga untuk mencari orang itu, tetapi jika pertanyaan itu sampai kepadanya, maka iapun akan menyatakan keberatannya.
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang Mataram sedang sibuk membicarakannya, mereka telah dikejutkan oleh kehadiran seorang prajurit yang bertugas mengamati tempat pertemuan itu. Dengan kerut didahinya orang itu berkata " Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka telah datang kemari Panembahan."
" Paman Juru ?" bertanya Panembahan itu.
" Ya Panembahan " jawab prajurit itu.
Panembahan Senapati dan orang-orang yang berada di tempat itu menjadi tegang. Panembahan Senapati telah memin"ta agar Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka tetap bera"da di Mataram dan mewakilinya sementara ia pergi ke Pajang. Jika Ki Juru pergi ke Pajang, tentu ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia berkata kepada prajurit itu " Persilahkan paman Mandaraka untuk masuk. Pertemuan ini bukan pertemuan resmi yang tertutup. Bahkan seandainya demikian, maka paman Mandarakapun akan aku persilahkan untuk ikut pula."
Prajurit itupun kemudian meninggalkan ruang itu dan mempersilahkan Ki Juru masuk.
Panembahan Senapati telah mempersilahkannya duduk diantara para pemimpin prajurit dan pasukan pengawal yang berada didalam lingkup pasukan Mataram.
Kemudian dengan agak tergesa-gesa Panembahan Senapati bertanya " Apakah ada sesuatu yang penting paman" Jika ti"dak demikian maka paman tentu tidak akan menyusulku kema"ri."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Dengan memandang berkeliling iapun kemudian berkata " Agaknya sedang terjadi pembicaraan penting disini."
" Tidak. Tidak ada persoalan yang penting. Semuanya sudah selesai disini. " sahut Panembahan Senapati " namun jus"tru kedatangan paman mengejutkan aku. Bahkan aku telah menjadi berdebar-debar karenanya. "
Ki Juru itu mengangguk-angguk. Lalu katanya " Angger Panembahan. Hamba mohon maaf, bahwa hamba telah menge"jutkan angger. Tetapi hamba memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyusul angger kemari."
" Apa yang telah terjadi " " bertanya Panembahan Se"napati.
" Ada dua tugas yang harus hamba lakukan di Mataram. Pertama melakukan tugas angger sehari-hari. Dan kedua, ham"ba harus mengawasi cucunda Raden Rangga." jawab Ki Juru. Lalu " Tugas yang pertama dapat hamba lakukan, sejauh ke"mampuan hamba. Namun tugas yang kedua ternyata luput dari kesanggupan hamba untuk melaksanakannya. Cucunda Raden Rangga ternyata tiba-tiba saja bagaikan telah hilang dari kasatrian. Hamba mencemaskannya, bahwa cucunda telah menyu"sul kemari dan karena tingkah lakunya, akan dapat menggang"gu rencana penyelesaian yang telah disusun disini."
" O " Panembahan Senapati menarik nafas dalam-da"lam. Katanya dengan nada datar " anak itu memang sulit dikendalikan. Tetapi ia tidak datang kemari paman. Seandainya ia datang hari ini, maka semua persoalan disini sudah kami sele"saikan, sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya, kecuali ji"ka justru ia membuat persoalan baru. "
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Sokurlah jika ia tidak mengganggu. Tetapi mudah-mudahan ia"pun tidak akan menimbulkan persoalan baru.
" Ia tidak akan dapat banyak berbuat sesuatu disini " berkata Panembahan Senapati " disini ada orang-orang yang akan dapat mencegahnya. Iapun tidak akan dapat berbuat ba"nyak atas pamannya Adimas Adipati Pajang, karena Adimas Adipati juga memiliki kemampuan yang akan dapat mencegah tingkah laku Rangga."
Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu katanya " Kita me"mang bersokur bahwa anak itu tidak mengganggu semua renca"na yang harus berlangsung disini. Tetapi yang kemudian harus kita lakukan adalah menemukan anak itu kembali. Hamba ti"dak dapat menebak, kemana anak itu pergi sekarang, setelah aku ketahui bahwa ia tidak berada disini."
Panembahan Senapati kemudian berdesis " Sudahlah pa"man. Untuk sementara biarlah anak itu menuruti kesenangan"nya. Jika persoalan kita disini benar-benar telah tuntas, barulah kita akan mencarinya."
Meskipun demikian, hamba mohon angger Panembahan selalu mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat terja"di atas cucunda Raden Rangga. Setiap saat ia dapat muncul dan mungkin dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru yang se"harusnya tidak terjadi." berkata Ki Juru Martani yang bergelar Mandaraka.
" Terima kasih paman " jawab Panembahan Senapati " akupun akan minta semua orang yang hadir disini ikut menga"wasi kemungkinan hadirnya Rangga. Aku minta agar jika ia me mang ada disini, segera diberitahukan kepadaku.
Semua orang mengangguk-angguk, betapapun mereka merasa ikut gelisah sebagaimana Ki Juru Martani, karena ham"pir semua orang yang ada diruang itu sudah pernah mendengar tentang tingkah laku Raden Rangga itu.
Namun dalam pada itu, maka Penembahan Senapatipun te"lah mengakhiri pertemuan itu. Dipersilahkannya para pemimpin prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu untuk beristirahat Besok Panembahan Senapati akan me"ngambil langkah-langkah untuk menyelesaikan segala persoalan dan menarik pasukan Mataram kembali dari tlatah Pajang.
Panembahan Senapati kemudian telah mempersilahkan Ki Juru Martani untuk beristirahat pula. Katanya " Jangan pikir"kan lagi Rangga yang sulit dikendalikan itu. Silahkan paman beristirahat sebaik-baiknya. Agaknya ia memang tidak akan ke"mari, karena ia tahu aku ada disini untuk menyelesaikan satu persoalan yang penting."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Iapun kemudian pergi kesebuah bilik yang diperuntukkan baginya, sementara diluar para pengawalnya telah berada diantara para prajurit Mataram.
Disisa malam itu para prajurit dan para pengawal sempat tidur nyenyak kecuali para petugas. Beberapa orang yang bera"da di pintu gerbang masih saja membicarakan orang yang mam"pu terbang dengan pelepah kelapa.
Namun ternyata sejenak kemudian langit sudah menjadi merah. Rasa-rasanya waktu beristirahat itu sangat pendek.
Meskipun demikian, maka para prajurit dan pengawal itu"pun telah bangun pada waktunya, betapapun mereka masih merasa segan.
Namun pada hari itu, para prajurit dan pengawal masih sempat menggeliat di pembaringan sambil menguap. Mereka tidak lagi dikejar-kejar oleh kegelisahan untuk segera mengena"kan pakaian dan senjata dilambung. Hari itu mereka tidak akan bertempur, karena Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pajang telah mendapatkan kata sepakat dibawah saksi Pange"ran Benawa, yang juga membawa prajurit segelar sepapan, meskipun berhenti agak jauh diluar kota agar tidak menimbul"kan salah paham dengan salah satu pihak yang sedang berpe"rang.
Tetapi pagi yang terasa tenang itu telah dikejutkan oleh hi"ruk pikuk yang terjadi diluar pintu gerbang. Para prajurit yang bertugas telah disibukkan oleh kedatangan seseorang sambil membawa sesosok mayat dipundaknya.
" Aku akan bertemu dengan ayahanda " berkata orang yang membawa sesosok mayat itu.
" Silahkan Raden " jawab perwira yang bertugas " teta"pi tunggulah. Biarlah aku menyampaikan permohonan Raden untuk menghadap. "
" Cepat " geram orang itu " sebelum kau menjadi mayat pula "
Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya " Aku bertugas atas nama ayahanda Raden. Raden tidak akan dapat berbuat semena-mena atasku, karena dengan demikian berarti Raden telah melawan ayahanda Raden sendiri. "
Orang yang membawa sesosok mayat itu mengerutkan keningnya. Namun iapun telah menahan diri karena ancaman itu. Sambil meletakkan mayat yang dibawanya ia kemudian duduk saja dibawah sebatang pohon sambil berdesis " Aku menunggu disini. "
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam Namun ia sadar, bahwa ia memang harus cepat menyampaikan kedatangan orang itu kepada Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati terkejut mendengar laporan itu. Apalagi ketika perwira itu menyebut, bahwa orang itu telah membawa sesosok mayat.
" Paman " berkata Panembahan Senapati " marilah kita lihat. "
Panembahan Senapati, Ki Juru Martani dan Pangeran Benawapun segera pergi ke pintu gerbang. Demikian mereka keluar dari pintu gerbang, maka dilihatnya orang yang memba"wa sesosok mayat itu tertidur dibawah sebatang pohon dipinggir jalan. Disebelahnya sesosok mayat itu tergolek membeku.
Panembahan Senapati menggelengkan kepalanya. Dengan nada dalam ia berkata " Anak itu membuat hatiku selalu geli"sah. "
Ki Juru termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya " Ternyata ia sampai juga disini. "
Dalam pada itu, maka ternyata Untarapun telah hadir pula diluar pintu gerbang diikuti oleh Agung Sedayu dan Sabungsari. Ialah yang tertarik kepada sesosok mayat disebelah Raden Rangga bersandar. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan mengamati mayat itu.
Sambil masih memejamkan matanya Raden Rangga berka"ta " Ia menolak ketika aku akan membawanya menghadap ayahanda. "
" Ayahanda Raden ada disini " berkata Untara.
Raden Rangga membuka matanya. Ketika ia melihat kepintu gerbang maka dilihatnya Panembahan Senapati berdiri termangu-mangu disisi Pangeran Benawa dan Ki Juru Martani.
Raden Ranggapun kemudian dengan tergesa-gesa memper"baiki duduknya tanpa mendekat. Sambil menunduk dalam-da"lam iapun menyembah.
" Ampun ayahanda " berkata Raden Rangga " hamba bermaksud membantu ayahanda. Hamba terpaksa membunuh"nya, karena orang ini akan melarikan diri dan tidak bersedia un"tuk hamba bawa menghadap. "
" Siapa orang itu " " bertanya Panembahan Senapati dengan nada datar.
" Hamba tidak tahu ayahanda " jawab Raden Rangga.
Untaralah yang kemudian menjawab " Ampun Panembahan. Orang inilah Ki Tumenggung Wiladipa. "
" Ki Tumenggung Wiladipa " ulang Panembahan Senapati.
Dengan tanpa disadari, maka Panembahan Senapati diikuti oleh Pangeran Benawa dan Ki Juru Martani telah mendekat. Ternyata orang itu memang Ki Tumenggung Wiladipa.
" Dimana kau ketemukan orang ini " " bertanya Panembahan Senapati.
" Hamba melihat orang ini meluncur dengan pelepah kela"pa ayahanda " jawab Raden Rangga.
" Dan siapakah yang memberi kuasa kepadamu untuk membunuhnya " " bertanya Panembahan Senapati pula.
Raden Ranga terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian sambil menunduk dalam-dalam ia menjawab " Hamba hanya ingin membantu ayahanda "
" Dan kenapa kau berada disini " Apakah pesan ayahanda ketika ayahanda akan berangkat " " bertanya Panembahan Senapati pula. Lalu " Nah, kau lihat, bahwa eyangmu Ki Mandaraka terpaksa datang juga kemari malam-malam. Eyang"mu sudah tua. Sementara kau telah membuatnya sibuk dan geli"sah.
Raden Rangga mengangkat wajahnya. Dipandanginya wa"jah Ki Juru sejenak. Lalu katanya " Ampun eyang. Hamba merasa letih sekali berada didalam kungkungan dinding istana.
" Tetapi bukankah itu perintah ayahandamu " bertanya Ki Juru.
Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertun"duk dalam-dalam. Sementara itu Panembahan Senapati telah berkata pula " Rangga, aku mengerti, bahwa kau bermaksud membantuku. Tetapi kenapa kau telah membunuhnya" Aku memerlukan orang ini. Aku ingin mendapat keterangan daripa"danya."
" Ayahanda " sembah Raden Rangga " jika hamba ti"dak membunuhnya, maka hambalah yang akan dibunuhnya. Orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi."
" Dan karena kau menang atas orang itu, maka ilmumu tentu lebih tinggi lagi. Bukankah begitu" " bertanya Panemba"han Senapati.
" Bukan maksud hamba mengatakan demikian " jawab Raden Rangga yang menjadi semakin menunduk. " Hamba se"mata-mata ingin menangkapnya dan membawanya menghadap ayahanda. Hamba tahu bahwa orang itu tentu berusaha melari"kan diri dengan cara yang tidak wajar. Hamba sudah mencoba untuk membawanya menghadap dengan cara yang baik. Tetapi orang itu menolak. Dengan demikian maka telah timbul perseli"sihan dengan hamba dan terjadilah pembunuhan setelah hamba merasa tidak akan mampu mengalahkannya dengan cara lain."
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ada berbagai perasaan bercampur baur . Ia mengerti niat Raden Rang"ga. Tetapi ia menyesal bahwa Wiladipa tertangkap mati. Pa"nembahan Senapatipun merasa tidak senang bahwa Raden Rangga telah melanggar perintahnya untuk tidak meninggalkan Mataram.
" Tetapi tanpa Rangga, orang ini tentu sudah hilang, mes"kipun mungkin didapat cara yang khusus untuk mencarinya " berkata Panembahan Senapati didalam hatinva. Sementara itu, untuk menahan kemarahannya Panembahan Senapati itu ber"kata kepada diri sendiri " Orang seperti Wiladipa tentu tidak akan menyerah sebelum mati."
Dengan demikian, maka Panembahan Senapatipun celah berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan yang tidak ter"kendali dihadapan banyak orang. Yang kemudian dikatakannya hanyalah " Baiklah Rangga. Aku terima kasih kepadamu kare"na kau berniat untuk membantuku, meskipun caramu kurang aku sukai. Tetapi lain kali kau sama sekali tidak boleh melang"gar perintahku."
" Hamba ayahanda " jawab Raden Rangga,
" Sekarang kau kembali ke Mataram, perintah Panem"bahan Senapati.
" Sekarang " " Raden Rangga bertanya.
" Ya, sekarang " jawab Panembahan Senapati.
Nampak perasaan kecewa melintas diwajah Raden Rangga. Namun iapun kemudian menunduk sambil menyembah " Hamba ayahanda."
Beberapa orang yang ada disekitarnya memandanginya de"ngan berbagai macam perasaan sebagaimana Panembahan Se"napati yang agak keras terhadap puteranya yang satu itu. Na"mun bagi Pangeran Benawa perintah Panembahan Senapati agar Raden Rangga langsung kembali ke Mataram itupun agak terlalu keras, sehingga Pangeran Benawa merasa iba juga kepa"da anak itu.
Karena itu, maka iapun berbisik ditelinga Panembahan Se"napati " Kakangmas, anak itu nampak sangat letih setelah ia bertempur melawan Ki Tumenggung Wiladipa. Kakangmas ten"tu juga melihat memar-memar ditubuh anak itu. Bahkan luka-luka bakar beberapa bagian kulitnya meskipun nampaknya ti"dak sangat menyakitinya"
Tetapi Panembahan Senapati menggeleng meskipun tidak menjawab.
Raden Ranggapun kemudian menyembah sambil berkata " Hamba ayahanda. Hamba akan segera kembali ke Mata"ram."
Ki Jurupun nampaknya iba juga kepadanya. Karena itu, ma"ka katanya kepada Panembahan Senapati " Biarlah aku pergi bersamanya."
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam, seje"nak ia merenungi puteranya yang nakal itu. Namun kemudian sekali lagi ia berkata " Kembalilah ke Mataram sekarang. Eyangmu akan tinggal disini hari ini. Tetapi jika eyangmu sam"pai di Mataram, kau harus sudah berada di tempat."
" Hamba ayahanda " sembah Raden Rangga.
Tidak ada yang berani mengatakan apapun lagi. Apalagi Ki Juru Martani yang mengenal sifat-sifat Panembahan senapati sebagaimana ia mengenal sifat-sifat Raden Rangga.
Sejenak kemudian, maka Raden Rangga itupun beringsut meninggalkan tempat itu. Ketika ia bangkit berdiri, maka sekali ia membungkuk hormat kepada ayahandanya. Kemudian kepa"da Pangeran Benawa dan Ki Juru. Baru kemudian iapun me"ngangguk kepada orang-orang lain yang ada ditempat itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika Raden Rangga itu berjalan didepannya, maka anak itupun berdesis " Marilah. Dimana sepupumu yang nakal itu?"
" Ia ada disini " jawab Agung Sedayu.
Raden Rangga tersenyum. Namun nampak ia memang sa"ngat letih.
Ketika Raden Rangga sudah berjalan beberapa langkah menjauh, Untarapun bertanya hampir berbisik kepada Agung Sedayu Siapakah yang dimaksud ?"
" Glagah Putih " jawab Agung Sedayu.
Untara mengerutkan keningnya. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Sementara itu, Panembahan Senapatipun telah me"merintahkan beberapa orang prajurit untuk menyelenggarakan penguburan Ki Tumenggung Wiladipa. Katanya " Lakukan de"ngan baik. Ia adalah seorang Tumenggung. Kita harus melapor"kannya pula kepada Adimas Adipati Pajang. Ia harus tahu apa yang dilakukan oleh orang yang mula-mula sangat berpengaruh di Pajang ini."
Seorang perwirapun kemudian telah memimpin beberapa orang prajurit untuk menyelenggarakan penguburan Ki Tu"menggung Wiladipa dengan cara yang baik. Sementara itu Pa"nembahan Senapati dan para pengiringnyapun telah kembali ke pesanggrahan mereka didalam dinding Kota Pajang
Adipati Pajang memang agak terkejut mendengar bahwa Ki Tumenggung Wiladipa telah terbunuh. Apalagi ketika per"wira yang melaporkan kepadanya mengatakan " Ki Tumeng"gung telah dibunuh oleh Raden Rangga.
Wajah Kangjeng Adipati nampak dibayangi oleh kegelisa"han perasaannya Dengan nada datar ia bertanya " Jadi Ki Tu"menggung Wiladipa itu telah dibunuh oleh anak-anak ?"
" Yang terjadi memang demikian Kangjeng. Ki Tumeng"gung Wiladipa telah berusaha menembus kepungan orang Mata"ram dengan terbang diatas pelapah kelapa. Namun agaknya usahanya itu dilihat oleh Raden Rangga. Jika beberapa orang perwira dan pemimpin Mataram tidak dapat menemukannya dengan cepat, namun agaknya Raden Rangga yang memang berada diluar dinding Kota telah berhasil mengikutinya dan me"nemukannya " jawab perwira itu.
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Hampir di"luar sadarnya ia bergumam " Rangga memang luar biasa. Teta"pi jika tingkah lakunya tidak terkendali, maka ia akan menjadi anak yang sangat berbahaya."
" Panembahan Senapati agaknya menjadi sangat marah terhadap puteranya dan kemudian mengusirnya kembali ke Mataram " berkata perwira itu. Kangjeng Adipati mengang"guk-angguk. Namun kemudian katanya " Menurut pende"ngaranku, beberapa kali Kakangmas Panembahan marah kepa"danya. Bahkan Rangga pernah diancam dan mendapat huku"man tidak boleh keluar dari istana. Tetapi tingkah lakunya ma"sih saja menggelisahkan. Mudah-mudahan adik-adiknya tidak berbuat sebagaimana dilakukan."
Perwira yang melaporkan kematian Ki Tumenggung itu, tidak menjawab. Tetapi seperti para prajurit Mataram kebanyakan yang telah mendengar tentang Raden Rangga berpendapat sebagaimana pendapat Kanjeng Adiapti itu.
Namun sejenak kemudian Kanjeng Adipati telah berbi"cara tentang Ki Tumenggung Wiladipa " Lalu, bagaimana dengan Wiladipa setelah terbunuh."
" Para prajurit Mataram akan menguburkannya Mereka memperlakukan Ki Tumenggung yang terbunuh itu dengan baik, karena kematiannya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Panembahan Senapati. " jawab perwira itu. " Kakangmas Pa"nembahan Senapati tentu berkepentingan. Kakangmas tentu in"gin mengorek keterangannya Karena kakangmas menganggap bahwa keputusan-keputusan yang telah aku ambil sangat dipe"ngaruhi oleh sikap Wiladipa. " berkata Kangjeng Adipati.
Perwira itu tidak menjawab. Ia tidak berani memberikan tanggapan atas keterangan itu, karena sebenarnyalah banyak orang yang memang berpendapat demikian, sehingga pasukan berkuda yang dianggap salah satu diantara pasukan terpilih di Pajang, telah berpihak kepada Mataram.
Namun diluar dugaan Kangjeng Adipati itu berkata " Aku tidak memerlukan Wiladipa lagi sekarang. Seandainya itu masih hiduppun, ternyata ia bukan orang yang tanggon. Pada saat yang paling gawat ia menghilang dan kemudian berusaha mela"rikan diri dari tanggung jawab."
Perwira yang melaporkan kematian Ki Wiladipa itu tidak menjawab. Bahkan sejenak kemudian, iapun minta diri.
Sepeninggal perwira itu, maka Kangjeng Adipatipun masih beberapa saat merenungi apa yang telah terjadi. Bahkan sempat juga ia mencoba menjawab pertanyaan, apakah benar bahwa ia sudah terpengaruh oleh orang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.
" Sejenak sebelum orang itu ada di Pajang, aku memang sudah berniat untuk mempertahankan semua benda-benda ber"harga " berkata Kangjeng Adipati kepada diri sendiri " tetapi aku tidak dapat berpegang teguh pada sikap itu, karena dengan demikian kematian akan terjadi diseluruh negeri. Bukan saja para prajurit dan pengawal. Apalagi ternyata sikap Adimas Pa"ngeran Benawa tidak sejalan dengan sikap itu."
Namun dalam pada itu, Kangjeng Adipati kemudian telah menjadi pasrah. Ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa kekuasaan tertinggi memang berada di Mataram setelah Pajang kehilangan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang telah dibayangi oleh ke"kuatan yang menginginkan kejayaan Majapahit dapat diujud-kan lagi dibawah panji-panji kekuasaaan Pajang. Namun de"ngan demikian, maka Pajang justru telah menjadi lapuk dan ke"hilangan kewibawaannya. Yang terjadi kemudian di Pajang se"akan-akan bukannya yang dikehendaki oleh para pemimpinnya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Kangjeng Adipati itu bergumam kepada diri sendiri " Mudah-mudahan yang akan terjadi seterusnya menjadi semakin baik."
Dalam pada itu, di pasanggrahannya, Panembahan Sena"pati telah berbicara dengan Pangeran Benawa tentang pelaksa"naan rencananya untuk membawa beberapa jenis pusaka ke Ma"taram Ternyata Pangeran Benawa mengusulkan agar hal itu se"gera dilakukan.
" Dalam dua tiga hari, mungkin pendirian seseorang akan dapat berubah. Mumpung Kakangmas Adipati sekarang tidak dapat menolak langkah-langkah yang akan Kakangmas ambil. " berkata Pangeran Benawa.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemu"dian katanya " Adimas. Disamping keputusanku untuk mem"bawa beberapa jenis pusaka ke Mataram ternyata aku juga in"gin mengambil satu keputusan yang penting lainnya."
" Tentang apa Kakangmas" " bertanya Pangeran Bena"wa.
Panembahan Senapati berpaling kepada Ki Juru. Sebenar"nyalah yang ingin dikatakannya itu sudah dibicarakannya de"ngan Ki Juru. Bahkan dalam beberapa hal sejak Panembahan Senapati belum berangkat dari Mataram.
" Adimas " berkata Panembahan Senapati " Pajang adalah satu daerah dan juga satu tempat yang pernah dijadikan alas kekuasaan Ayahanda Sultan Hadiwijaya. Karena itu, Pa"jang merupakan satu daerah dan tempat yang khusus bagi kita. Meskipun kekuasaan sudah berpindah ke Mataram namun Pa"jang masih tetap merupakan satu tempat yang harus mendapat kedudukan yang khusus.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia menjawab " Aku mengerti maksud Kakangmas. Aku berterimakasih, bahwa Kakangmas tidak melupakan pancadan dari langkah-langkah kita sehingga kita dapat sampai kejenjang ini."
" Tentu adimas " jawab Panembahan Senapati " aku ti"dak akan pernah melupakannya. Dan sementara ini kita melihat bahwa yang memegang pimpinan di Kadipaten Pajang bukannya orang yang teguh kepada sikapnya sendiri. Kepribadiannya kurang meyakinkan, sehingga ketika muncul seseorang yang di sebut Ki Tumenggung Wiladipa, maka sebagian sikap Adimas Adipati Pajang adalah sikap dari orang yang bernama Wiladipa itu. "
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara Pa"nembahan Senapati berkata terus " Aku tidak ingin mencam"pakkan Adimas Adipati begitu saja Bukankah sampai sekarang kita mempunyai dua kota yang memiliki kedudukan khusus. Se"lain Pajang juga Demak yang pernah menjadi pusat pemerinta"han sebelum ayahanda Sultan Hadiwijaya.Tetapi perkemba"ngannya menurut perhitungan kita, Pajang mempunyai kesem"patan yang lebih luas selain kedudukannya dekat disamping Ma"taram. Karena itu, karena Pajang mempunyai kedudukan men"jadi pendamping Mataram, maka Pajang harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat dan mengerti tentang usaha Mataram untuk menyusun satu lingkungan yang besar dan satu."
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku mengerti maksud kakangmas. Tetapi jika yang dimaksud Kakangmas adalah pergeseran pimpinan di Kadipaten-kadipaten wilayah Mataram yang menyangkut keluarga kita sendiri, maka aku tidak berkeberatan."
" Ya Adimas " jawab Panembahan Senapati " aku tidak akan menyinggung kekuasaan para Adipati yang lain meskipun aku akan selalu berusaha untuk dapat mengikat mereka dalam satu kesatuan yang bulat bersama Mataram."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya " Apa rencana Kakangmas ?"
" Aku ingin memindahkan Adimas Adipati Pajang ke De"mak Kecuali memang banyak berhubungan dengan orang Demak, maka kedudukannya di Pajang akan menjadi kurang baik. Sekelompok pasukan yang termasuk pasukan pilihan di Pa"jang telah meninggalkannya. Bahkan mungkin perasaan se"perti yang terkandung didalam hati para prajurit berkuda itu ada pula didalam hati kelompok-kelompok pasukan yang lain di Pajang. " berkata Panembahan Senapati.
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil mengangguk-anguguk " Mungkin ada baiknya juga Ka"kangmas. Demak adalah Kota yang juga sedang berkembang, Kedudukannya di pasisir menjadi semakin kuat, sementara di Demak tidak ada pemimpin yang memadai untuk memerintah dengan baik."
" Kemudian, aku ingin Adimas Benawa menjadi lebih de"kat dari Mataram. " berkata Panembahan Senapati pula " selebihnya, Adimas ang sebenar berhak untuk mengganti"kan ayahanda Sultan Hadiwijaya seandainya Adimas tidak menolak, agaknya memang akan tinggal di Pajang pula.
Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun ke"mudian jawabnya " Jangan menyebut-nyebut tentang hak itu Kakangmas. Aku memang sudah melepaskannya. Tetapi jika Kakangmas memang menghendaki aku berada di Pajang, aku tidak berkeberatan. Namun Kakangmas harus memikirkan, si"apakah yang akan berada di Jipang. Sejak lama Jipang menga"lami goncangan-goncangan yang gawat. Dengan susah payah aku berusaha untuk menenangkannya. Kini nampaknya Jipang sudah sampai pada satu kehidupan yang wajar."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar Adimas. Tetapi jika masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Aku tidak akan minta segalanya segera dilak"sanakan. Aku ingin memberikan waktu kepada mereka yang berkepentingan untuk membenahi diri."
" Baiklah " jawab Pangeran Benawa " aku kira Kakang"mas Adipati juga tidak akan berkeberatan. Mungkin Kakang"mas juga sudah tidak merasa tenang lagi berada di Pajang kare"na pergolakan yang baru saja terjadi. Bayangan tentang kemati"an akan selalu mengganggunya. Sementara itu Demak akan memberikan banyak kemungkinan kepadanya untuk berkem"bang. Sebagai kota pesisir maka Demak yang membuka diri akan mempunyai hubungan yang luas."
Panembahan Senapatipun kemudian menyahut dengan na"da datar " Jika demikian aku kira sudah tidak ada persoalan la"gi Adimas. Nanti, pada saatnya aku akan menyampaikan kepa"da Adimas Adipati Sementara aku ingin menyelesaikan perso"alan yang selama ini menjadi jurang pemisah yang membatasi hubungan akrab antara Pajang dan Mataram. Aku ingin Adi"mas Adipati pergi ke Demak dengan perasaan yang tidak di kotori dengan dendam seolah-olah aku telah dengan semena-mena mengusirnya."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Jawabnya " Baiklah Kakangmas. Aku akan menjadi saksi sebelum aku kem"bali ke Jipang dengan pasukanku."
" Hari ini aku akan mengadakan pembicaraan dengan Adimas Adipati Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang da"pat menghambat pembicaraan ini. Mudah-mudahan Adimas Adipati tidak terpengaruh oleh kematian Tumenggung Wiladi"pa. " berkata Panembahan Senapati.
" Aku berharap bahwa Adimas Benawa akan menyertai pembicaraan ini bukan hanya sekedar sebagai saksi, tetapi pen"dapat Adimas Pangeran akan sangat berarti. Bagaimanapun ju"ga pengaruh Adimas Pangeran Benawa sangat besar terhadap Adimas Adipati. " Pangeran Benawa mengangguk-angguk sambil menjawab " Aku akan berbuat apa saja bagi kebaikan kita bersama. Jika persoalannya sudah selesai dengan tuntas, maka aku kira tidak akan timbul lagi persoalan-persoalan yang akan dapat mengeruhkan masa depan. Apalagi jika Kakangmas Adipati bersedia berangkat ke Demak dengan hati yang la"pang."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab " Aku akan minta waktu kepada Adimas Adipati. "
" Pertemuan itu dapat diatur secepatnya Kakangmas. Dengan demikian maka kepungan ini akan segera dapat diu"rai. Apalagi orang yang bernama Wiladipa itu sudah tidak ada lagi. "
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya " Aku akan memerintahkan untuk menarik pasukan ini ke"luar dinding kota meskipun prajurit Mataram masih akan mengawasi setiap pintu gerbang. Meskipun demikian, aku masih akan menunggu apakah Adimas bersedia untuk ber"bicara secepatnya. "
" Aku akan menjadi penghubung " jawab Pangeran Benawa " aku kira tidak ada lagi persoalan yang akan menjadi hambatan. "
" Terima kasih Adimas " jawab Panembahan Senapa"ti " semakin cepat memang semakin baik. "
Dengan demikian maka Pangeran Benawapun telah mohon diri untuk menemui Adipati Pajang. Namun dalam pada itu, Ki Juru Martanipun telah minta diri pula.
" Kasihan cucunda Raden Rangga jika ia terlalu lama sendiri di Mataram. Dalam kesepian mungkin ia akan dapat berbuat sesuatu yang aneh-aneh. Menangkap harimau dan melepaskan di halaman orang, atau tingkah laku aneh-aneh yang lain. Apalagi jika ia mulai mempengaruhi adik-adik"nya. " berkata Ki Juru.
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Na"mun kemudian katanya " Tidak paman. Aku akan minta paman ikut dalam pembicaraan dengan Adimas Adipati Pa"jang. Bukan sekedar soal pusaka-pusaka yang akan kita bawa ke Mataram.tetapi juga tentang kepindahan Adimas Adipati dari Pajang ke Demak. "
" Lalu bagaimana dengan cucunda Raden Rangga" " bertanya Panembahan Senapati.
" Aku baru saja bersikap keras terhadapnya. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Setidak-tidaknya untuk beberapa hari ini. " jawab Panembahan Senapati.
Ki Juru tidak berani membantah. Iapun kemudian ber"desis " Segala sesuatunya terserah kepada angger Panembahan."
Sementara itu, sebenarnyalah dengan letih dan hati yang kesal Raden Rangga berjalan menuju ke Mataram. Be"berapa kali ia melewati kelompok-kelompok kecil prajurit Mataram yang bertugas mengawasi keadaan. Disimpang ampat, disimpang tiga dan di batas batas jalan penting di Pajang. Namun diantara mereka, Raden Rangga sudah terlalu banyak dikenal, sehingga tidak ada sekelompok pengawalpun yang pernah mempersoalkannya lewat.
Namun ada juga satu dua orang prajurit yang bertanya tanpa maksud apa-apa " Raden akan pergi kemana?"
" Kembali ke Mataram " jawab Raden Rangga.
" Seorang diri" Nampaknya Raden terlalu letih " ber"kata seorang prajurit.
" Ya, aku memang sangat letih setelah aku berkelahi dengan orang yang ternyata bernama Wiladipa " jawab Raden Rangga
" Raden berhasil membunuhnya " sahut prajurit itu.
" Tetapi orang itu mempunyai ilmu yang tinggi. " ber"kata Raden Rangga. Lalu ditunjukkannya beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Bahkan ternyata bahwa bagian dalam tubuh Raden Rangga pun terluka meskipun anak itu mampu mengatasi rasa sakitnya.
" Kenapa Raden tergesa-gesa kembali" Bukankah se"baiknya Raden beristirahat saja dahulu sampai keadaan Ra"den menjadi segar kembali" " bertanya prajurit itu pula.
" Ayahanda memerintahkan aku kembali sekarang dan segera " jawab Raden Rangga " aku tidak berani memban"tah. "
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun dengan nada dalam ia berkata " Raden dapat beristirahat disini bebe"rapa lama. Kemudian meneruskan perjalanan dan beris"tirahat lagi.
" Jika eyang Juru Martani sampai di Mataram dan aku belum sampai, maka aku akan dihukum. Padahal eyang juru naik seekor kuda diiringi oleh para pengawal berkuda pula. " jawab Raden Rangga.
" Bukankah Raden akan memilih jalan yang paling banyak dilalui orang yang menempuh perjalanan dari Pa"jang ke Mataram" Dengan demikian maka jika Ki Juru yang bergelar Ki Mandaraka itu mendahului Raden, maka akan melihatnya. "
" Terima kasih " berkata Raden Rangga " aku akan berjalan saja perlahan-lahan. Mudah-mudahan aku akan sampai di Mataram mendahului eyang Juru Martani. "
Prajurit itu tidak dapat menahan lagi. Raden Rangga yang letih dan kesal itupun telah melanjutkan perjalanan. Namun beberapa langkah kemudian dilihatnya sebuah gendi berisi air yang memang disediakan oleh penghuni rumah dipinggir jalan bagi para pejalan yang haus. Raden Ranggapun kemudian melangkah mendekat dan diangkatnya gendi itu. Dituangkannya air yang segar kedalam mulut"nya.
Setelah minum beberapa teguk terasa tubuh Raden Ra"ngga agak menjadi segar. Sekali ia berpaling. Prajurit yang menyapanya masih berdiri memandanginya.
Raden Rangga ternyata masih sempat melambaikan tangannya sambil tersenyum. Kemudian iapun melanjut"kan perjalanannya yang masih panjang.
Prajurit itu menggelengkan kepalanya. Dilihat dari ujud lahiriahnya, Raden Rangga masih terlalu muda. Namun ia harus menempuh perjalanan kembali ke Mataram seorang diri dalam keadaan yang sangat letih. Tetapi karena prajurit itu sudah mendengar tentang Raden Rangga, maka ia berkata kepada diri sendiri " Anak itu tentu akan memiliki daya tahan yang cukup bagi perjalanannya. "
Raden Ranggapun berjalan dengan segannya menye-lusuri jalan-jalan bulak. Namun semakin lama ia mulai merasa jemu dengan perjalanan yang sepi itu. Apalagi badannya masih saja terasa sangat letih dan bahkan masih terasa perasaan nyeri.
Tiba-tiba saja Raden Rangga ingin mandi dan beren"dam barang sejenak.
Karena itu, ketika ia melihat segerumbul pepohonan rak"sasa, maka iapun mendekatinya. Ia menjadi yakin bahwa dibawah gerumbul pepohonan yang besar itu terdapat sebuah belumbang yang cukup besar ketika ia melihat sebuah parit yang lebar dan mengalirkan air yang deras. Air yang jernih sekali.
Perlahan-lahan Raden Rangga mendekat. Dibawah pe"pohonan yang besar itu memang terdapat sebuah belumbang yang cukup besar dan berair jernih, dikelilingi oleh dinding yang terbuat dari bebatuan memagari belumbang itu.
Ternyata dibelumbang itu telah terdapat beberapa orang anak yang sedang mandi dengan gembiranya. Di luar din"ding, diparit yang menampung air dari belumbang itu, bebe"rapa orang anak sedang memandikan kerbau mereka.
Raden Rangga merasa telah memasuki satu daerah yang sejuk dan segar. Gurau anak-anak yang berenang berkejaran didalam belumbang, serta lenguh kerbau yang sekali-sekali menyelingi, terdengar renyah sekali.
Beberapa saat lamanya Raden Rangga berdiri ditepi be"lumbang itu. Bahkan kemudian duduk diatas batu dipinggir dekat dengan anak-anak yang sedang memandikan kerbau.
Beberapa orang anak yang sedang beramai-ramai mandi itu semula tidak menghiraukannya. Sementara Raden Rang"ga dengan heran melihat mata air belumbang itu yang sangat besar.
Raden Rangga menjadi semakin heran ketika ia melihat anak berani memasuki mulut mata air itu dengan kepala di"bawah. Kemudian setelah sesaat tidak kelihatan, maka anak itu muncul lagi dengan kepala diatas.
- " Apakah rongga didalam lubang mata air itu cukup be"sar untuk memutar tubuh" " bertanya Raden Rangga dida"lam hatinya.
Yang dilakukan oleh anak-anak yang sedang mandi itu memang menarik perhatian. Tiba-tiba saja timbul keinginan Raden Rangga untuk mencobanya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak " He, apa"kah aku boleh ikut mandi?"
Anak-anak yang sedang mandi itu berpaling kearahnya. Mereka melihat seorang anak yang tidak mereka kenal. Kare"na itu, maka seorang diantara anak-anak yang mandi itu ber"tanya " Kau siapa " Dan kau anak dari mana?"
" Aku anak kabur kanginan. Aku tidak mempunyai ru"mah dan tempat tinggal " jawab Raden Rangga.
Anak-anak yang sedang mandi itu berdiam diri sejenak. Namun sejenak kemudian merekapun telah saling berbisik. Anak yang paling besar dan paling nakal diantara mereka berbisik kepada teman-temannya " Biarlah anak itu mandi. Nanti kita akan mendapat permainan yang menarik."
" Permainan apa" " bertanya seorang kawannya.
" Anak itu " jawab anak yang paling nakal " kita per"mainkan anak itu sampai ia bertobat dan menyembah kepada kita. He, sekali-sekali kita ingin juga main keraton-keratonan. Aku sebagai raja, dan kalian sebagai tumenggung. Anak itu kita paksa menjadi budak dan menyembah kepada kita se"mua."
" Setuju " jawab anak-anak yang lain. Wajah mereka nampak cerah. Rasa-rasanya mereka akan mendapatkan se"buah permainan yang menyenangkan.
Sementara itu, Raden Rangga sudah berdiri dari tempat"nya. Tetapi ia hanya bergeser saja mendekati lubang mata an"yang cukup besar itu.
Ketika seorang anak meluncur memasuki lubang terse"but, Raden Rangga bertanya kepada anak-anak yang lain " Apakah lubang itu dalam ?"
" Tidak terlalu dalam " jawab salah seorang diantara mereka.
" Didasar lubang itu ada apa?" bertanya Raden Rang"ga pula.
" Turunlah. Kita akan mandi bersama. " berkata anak yang paling besar diantara mereka.
Tetapi Raden Rangga masih bertanya " Didasarnya ada apa?"
" Sebuah rongga " jawab anak yang lain " dibawah rongga itu terdapat pasir lunak seperti air yang sedang mendidih. Dari celah-celah pasir bagaikan air mendidih itulah air memancar dari dalam tanah. "
Raden Rangga semakin tertarik. Iapun kemudian me"ngambil sebuah batu yang berwarna keputih-putihan. Dima"sukkannya batu itu kedalam lubang itu sambil berkata " Am"bil batu itu."
Seorang anak memandangi sambil termangu-mangu. Dengan wajah berkerut anak itu berkata lantang " Buat apa aku mengambil batu itu" Kenapa kau tidak turun sendiri dan mengambilnya. "


08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengelana Rimba Persilatan 14 Putri Bong Mini 08 Runtuhnya Kerajaan Manchuria Pembunuh Cahaya 2
^