Api Di Bukit Menoreh 6
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6
Namun dalam pada itu, selagi pasukan Ki Tumeng"gung Purbarana beristirahat di banjar sebuah padukuhan, maka padepokan Tegal Payung yang akan ditujunya telah menjadi kosong.
Kiai Bagaswara dengan para cantriknya telah meninggalkan padepokan mereka meskipun dengan hati yang sangat berat.
Sebenarnyalah, bahwa yang terjadi di padepokan guru Purbarana bukannya seperti yang diduga oleh Ki Tu"menggung itu. Para cantrik tidak tertumpas habis tanpa tersisa. Ternyata masih ada seorang cantrik yang kebetulan sedang berada di sawah. Ketika ia kembali, maka dilihatnya padepokannya telah menjadi ajang pertempuran yang mengerikan.
Cantrik itu kurang tahu apa yang terjadi. Namun akhirnya ia mengetahui, bahwa seisi padepokan itu telah menjadi korban kegarangan sepasukan prajurit dari Pa"jang.
"Aku melihat pasukan itu datang Kiai" berkata can"trik itu, " dipimpin oleh Ki Tumenggung Purbarana. Nam"paknya tidak ada persoalan apapun yang timbul. Ki Tu"menggung masih tetap bersikap sangat hormat kepada gurunya, sebagaimana seorang murid. Tetapi ketika malam itu aku kembali dari sawah, semuanya telah terja"di. Karena itu Kiai, karena semua saudara saudaraku te"lah mati, maka sepantasnya aku juga harus mati. Jika aku pada saat itu tidak membunuh diri terjun kedalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu, karena aku merasa perlu untuk menyampaikan hal ini kepada Kiai. Selebihnya, jika sepantasnya aku harus mati sebagaimana saudara saudaraku, maka sebaiknya Kiai membunuh aku saja.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Seba"gaimana yang dikatakan oleh cantrik itu, bahwa segalanya terjadi begitu saja tanpa diketahui sebab sebabnya, maka Kiai Bagaswara menjadi sangat prihatin.
Namun ternyata bahwa masih ada lagi seorang cantrik yang berhasil mencapai padepokan Kiai Bagaswara. Seo"rang cantrik yang telah terluka. Namun ia masih sempat berceritera apa yang telah terjadi. Bahkan cantrik yang sempat melarikan diri dari medan tanpa diketahui oleh prajurit prajurit Ki Tumenggung itupun sempat menceriterakan apa sebabnya maka segalanya telah terjadi.
Tetapi cantrik itu sudah terlalu payah. Wadagnya tidak lagi mampu bertahan. Karena itu, setelah meneguk air hangat seteguk, maka cantrik itupun telah menjadi pingsan dalam keadaan yang sangat payah, setelah ia sempat menceriterakan apa yang terjadi.
Kiai Bagaswara sempat merawat cantrik itu bebera"pa lama. Cantrik itu sempat sadar dan tersenyum. Lalu katanya"Aku tidak mempunyai tujuan lain kecuali pa"depokan ini. Tidak ada tempat untuk mengadu."
"Ya. Ya. Kau sudah memilih jalan yang benar" berkata Kiai Bagaswara.
Cantrik itu tersenyum. Digapainya tangan kawannya, sesama cantrik dari padepokannya. Katanya"Jangan mati. Kau satu satunya saksi."
"Kau juga seorang saksi yang tahu lebih banyak dari aku" jawab cantrik yang tidak terluka.
Tetapi cantrik itu tersenyum. Dengan suara sendat ia berkata kepada Kiai Bagaswara"Aku mohon pamit. Mudah mudahan pemberitahuan ini berarti bagi Kiai. Sebab menurut perhitunganku, sepeninggal gurunya, mungkin sekali Ki Tumenggung Purbarana akan datang kemari."
"Satu kemungkinan yang dapat terjadi" jawab Kiai Bagaswara.
Cantrik itu memandang wajah Kiai Bagaswara yang lembut sejenak. Namun kemudian wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Satu tarikan nafas yang panjang ternyata telah mengakhiri hidupnya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Semen"tara itu, cantrik yang datang dari padepokan yang sama itupun tidak dapat menahan perasaannya. Betapapun ia bertahan, namun titik titik air matanya tidak terbendung lagi.
Demikianlah, maka cantrik yang meninggal setelah pada saat terakhir ia memberikan arti bagi hidupnya itu, telah di kuburkan sebagaimana seharusnya. Bahkan bagi orang orang padepokan itu, cantrik itu merupakan seorang yang telah mengorbankan hidupnya bagi kepentingan yang besar. Ia tidak sekedar menyelamatkan diri dari medan pertempuran. Tetapi ia berbuat demikian bagi kepentingan sesama yang hidupnya terancam bahaya.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun segera memanggil beberapa orang yang dianggapnya dapat dia jak berbicara. Dua orang jejanggan yang sudah cukup de wasa dan seorang putut yang memiliki wawasan yang cukupjauh.
Dari cantrik yang melihat kekuatan Ki Tumenggung Purbarana, maka Kiai Bagaswara dan pemban tu pembantunya dapat membayangkan, betapa besarnya kekuatan itu dibandingkan dengan kekuatan para cantrik di padepokan itu.
Padepokan yang lebih besar, tempat Ki Tumenggung itu pernah berguru telah dihancurkan. Bahkan tumpas tapis seakan akan tidak tersisa sama sekali. Apalagi padepokan Kiai Bagaswara yang lebih kecil.
Karena itu, maka menurut perhitungan mereka, tidak ada gunanya untuk membenturkan kekuatan padepokan itu dengan kekuatan Ki Tumenggung Purbarana yang su"dah memiliki pula pusaka berupa keris yang besar yang disebut Kiai Santak.
"Kita akan menyingkir" berkata Kiai Bagaswa"ra "bukan sekedar untuk mencari selamat. Tetapi kita harus memperhitungkan segala kemungkinan. Para can"trik dari padepokan kakang Panembahan itu tidak sempat berbuat lain. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan dari pada bertempur sampai orang yang terakhir.
Tetapi kita disini masih mempunyai kesempatan. Kita ti"dak perlu membunuh diri bersama sama. Bukan berarti bahwa kita tidak setia kepada kebenaran. Tetapi kita ti"dak ingin melihat kematian yang tidak berarti apa apa, karena jika kita bertempur sampai orang terakhir, nilainya tidak sama sebagaimana para cantrik dari padepokan kakang Panembahan."
Para putut, jejanggan dan para cantrik ternyata sependapat dengan guru mereka. Meskipun terbersit juga satu keinginan untuk melawan, tetapi pertimbangan pertimbangan yang diberikan oleh guru mereka itu masuk pula di"dalam akal mereka.
Karena itu, maka merekapun segera bersiap siap untuk meninggalkan padepokan itu. Sebelum Ki Tumeng gung datang, maka padepokan itu harus sudah dikosongkan.
"Jika kita terlambat, maka yang akan terjadi adalah seperti padepokan kakang Panembahan. Kita juga tidak akan mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka marilah, kita akan meninggalkan padepokan ini" berkata Kiai Ba"gaswara "aku menyeyogyakan kalian kembali ke paduku"han kalian masing masing, sebagaimana pada saat saat kalian berlibur. Tidak ada kesan apapun yang pantas kali"an tunjukkan kepada sanak kadang kalian, kecuali kegembiraan seperti biasanya. Tumenggung Purbarana tidak mengenal kaiian seorang demi seorang, sehingga ia tidak akan mungkin menelusuri kalian sampai kerumah kalian masing masing. Sementara itu aku sendiri yang akan mengamati padepokan ini. Pada saatnya apabila mereka telah pergi, aku akan memberitahukan kepada kalian. Aku sudah tahu rumah kalian. Tetapi aku dapat juga memberi tahukan hal itu kepada dua tiga orang cantrik yang akan meneruskan pemberitahuan itu kepada saudara saudaranya."
Para cantrikpun mengangguk angguk. Sementara itu Kiai Bagaswarapun berkata "Marilah. Meskipun dengan sangat berat, kita akan mengosongkan padepokan ini sekarang. Kita akan meninggalkan padepokan ini dan kembali kerumah kita masing masing."
Dengan demikian maka pada hari itu juga, padepokan itu telah menjadi kosong. Beberapa hari sebelum Ki Tu"menggung tiba di padepokan itu. Sebagaimana padepokan itu akan dikosongkan, maka seisi padepokan itupun telah diatur dan dibenahi dengan baik. Alat alat dapur yang su"dah dibersihkan, terletak teratur di paga bambu. Bilik bilikpun nampak bersih sementara sanggarpun rasa rasanya telah dipersiapkan sebaik baiknya untuk dipakai setiap saat.
Dua hari semalam padepokan itu kosong sama sekali. Tikar dan perabot perabot yang bersih sudah mulai dihinggapi debu yang semakin tebal. Sementara itu, pasu"kan Ki Tumenggung Purbarana sudah berada di perjala"nan menuju ke padepokan itu. Mereka ternyata sedang bermalam disebuah banjar padukuhan yang masih berjarak hampir sehari perjalanan.
Malampun rasa rasanya segera dihanyutkan oleh waktu. Ketika fajar menyingsing, maka beberapa orang perempuan sudah sibuk di banjar. Ternyata penduduk pa"dukuhan itu adalah penduduk yang ramah dan baik hati. Mereka masih sempat juga menyediakan makan pagi ba"gi sepasukan prajurit menurut pengertian mereka yang akan melanjutkn perjalanan ke Tegal Payung.
Demikianlah, setelah mengucapkan terima kasih, maka Ki Tumenggung Purbaranapun melanjutkan perjala"nan mereka Seperti sebelumnya, maka mereka sama se"kali tidak berusaha untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diinginkan. Pasukan itu ti"dak peduli sama sekali jika orang orang yang melihat me"reka lewat menjadi ketakutan.
Ki Tumenggung memang terlalu percaya kepada kekuatan pasukannya. Iapun yakin bahwa tidak akan ada pasukan yang dapat menyusul mereka karena arah perja"lanan mereka disaat mereka meninggalkan Pajang tidak jelas. Jika kemudian ada laporan tentang sepasukan prajurit yang menyusup di padukuhan padukuhan, maka pasukan Pajang akan memerlukan waktu untuk mencarinya. Sementara itu pasukan itupun telah menjadi semakin jauh.
"Jika pasukan ini mencapai Tegal Payung, dan paman Bagaswara dapat menerima kedatanganku, maka Tegal Payung akan dapat aku jadikan alas berpijak meskipun agak terlalu jauh dari sasaran. Tetapi di Tegal Payung aku akan dapat menyusun kekuatan dari bebe"rapa lingkungan yang akan dapat aku hubungi kemudi"an." berkata Tumenggung itu didalam hatinya.
Dengan demikian maka rasarasanya Ki Tumenggung itu ingin cepat cepat sampai ke tujuan. Ia ingin cepat ber"temu dengan Kiai Bagaswara untuk menyampaikan persoalannya. Bahkan Ki Tumenggung itu hampir pasti, bah"wa pamannya akan mendukungnya, karena ia sendiri pernah mengalami kekecewaan sebagai seorang prajurit.
Demikianlah, pasukan itu seakan akan berjalan de"ngan cepat tanpa menghiraukan apapun juga. Hanya se"kali kali saja mereka beristirahat. Kadang kadang mere"ka telah memasuki sebuah padukuhan untuk minta bebe"rapa puluh butir kelapa muda. Beberapa orang dengan jantung yang berdegupan terpaksa memanjat pohon pohon kelapa untuk mengambil kelapa muda yang di minta oleh pasukan itu. Bahkan kemudian merekapun melayani para prajurit yang kehausan itu. Memecah kelapa muda itu dan mencukil dagingnya.
Dengan demikian, maka perjalanan ke Tegal Payung itu terasa lebih cepat dari yang mereka perhitungkan. Perjalanan itu tidak memerlukan waktu sehari. Ketika matahari mulai turun di sisi langit sebelah barat, maka mereka telah menjadi semakin dekat dengan tujuan.
"Aku pernah mengunjungi paman"berkata Ki Tu"menggung " padepokannya terletak di pinggir sebuah sungai kecil, di antara padang perdu yang luas. Sebuah hutan terbentang di seberang sungai kecil itu dan merupakan tempat berburu bagi para cantrik. Tempat itu me"mang menyenangkan sekali. Di sebelah padang perdu. adalah tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dengan menaikkan air dari sungai kecil itu. Tetapi cukup untuk sebidang sawah yang cukup luas. Hasilnya berlebihan bagi makan mereka sehingga dalam saat saat tertentu mereka sempat menukarkan kelebihan hasil sawah me"reka dengan kebutuhan kebutuhan yang lain "
Dengan keterangan keterangan itu, maka seluruh pasukanpun berharap harap cemas. Mereka memang menginginkan untuk sampai kesatu tempat yang dapat memberikan sedikit kesempatan bagi mereka untuk be"nar benar beristirahat dan kemudian menyusun diri. Me"reka telah terlalu lama berada dalam kelelahan lahir dan batin.
Karena itu, maka Tegal Payung memang merupakan satu tujuan yang memberikan pengharapan bagi mereka.
Hati mereka telah mulai merasa sejuk ketika mereka memasuki sebuah padang perdu. Mereka menelusuri su"ngai yang tidak begitu besar yang kemudian akan sampai ke sebuah padepokan. Padepokan yang dipimpin oleh Kiai Bagaswara.
Ki Tumenggung Purbarana yang berjalan di paling depan tiba tiba saja berkata lantang "Lihat" Kau lihat gerumbul hijau dihadapan kita. Seperti sebuah pulau yang diselubungi oleh permadani yang berwarna hijau" Nah, itulah padepokan paman Bagaswara."
Setiap orang di dalam pasukan itu seakan akan ter"senyum mendengar keterangan itu. Mereka memandang padepokan yang masih nampak samar samar di hadapan mereka dengan hati yang sejuk. Sementara panas matahari yang mulai menurun masih terasa membakar kulit, para prajurit itu mulai membayangkan sejuknya padepo"kan yang penuh dengan pohon buah buahan. Kolam yang luas dengan berbagai ikan didalamnya. Binatang peliharaan dan bermacam macam kesejukan yang lain.
" Minuman yang segar " desis seorang prajurit yang kehausan setidak tidaknya seperti yang kita dapatkan diperjalanan. Kelapa muda."
"Wedang sere dengan gula kelapa" sahut yang lain "sambil berbaring dibawah sebatang pohon jambu air yang lebat dan menunggu nasi masak. Sementara itu seekor kambing telah disembelih bagi kita semua ini."
Kawannya tertawa. Tetapi tertawa itu terasa masam sekali.
"Kenapa kau tertawa begitu, seakan akan kau tidak lagi memiliki gairah sama sekali?"bertanya orang yang pertama.
"Aku sudah terlalu lama menderita, sehingga aku kehilangan kepercayaan bahwa penderitaan ini pada satu saat akan berakhir." jawab prajurit yang tertawa masam sekali itu.
"Kau mudah sekali menjadi berputus asa. Bukan watak seorang prajurit sejati" sahut kawannya yang lain.
Tetapi prajurit itu masih tertawa. Katanya "Apa bedanya antara berputus asa dan menerima kenyataah yang tidak terelakkan. Apa yang dapat kau katakan terhadap orang orang yang tertawan di Mataram dan yang menjadi cacat karena pertempuran" Mereka adalah orang orang yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Mereka harus menerimanya tanpa dapat disebut berputus asa, karena mereka masih dapat memikul beban."
"Tetapi kau mempunyai kesempatan lebih baik dari mereka" jawab yang lain
"Bahkan yang cacat dan terta"wan itupun masih berpengharapan untuk dapat hidup wajar dan bebas dari himpitan dinding tahanan untuk menempuh satu kehidupan yang lebih baik."
"Sedangkan kenyataan yang harus aku alami adalah, penderitaan yang tidak akan pernah berakhir" jawab prajurit itu.
Kawannya hanya menarik nafas saja. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Agaknya prajurit itu telah kehilang"an sama sekali harapan bagi masa depannya yang lebih baik.
Demikianlah, langkah demi langkah iring iringan itu mendekati satu padepokan yang nampak hijau. Semakin lama semakin jelas. Pepohonan tumbuh dengan suburnya. Bahkan kemudian setiap orang di dalam pasukan itu meli"hat dinding padepokan yang tidak terlalu tinggi.
Rasa rasanya semua orang ingin meloneat lebih cepat lagi untuk segera sampai ke tempat yang nampaknya sangat teduh dan segar itu. Namun mereka harus melangkah satu satu menyusuri tebing sungai yang tidak terlalu besar.
Namun akhirnya jarak itupun terlintasi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung Purbarana telah berdiri di muka regol padepokan itu sambil menarik nafas dalam dalam. Sambil menggeser pedang dilambungnya ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Kemudian dengan hati hati, seakan akan Ki Tumeng"gung itu takut bahwa regol itu akan roboh, ia mendorong pintu yang ternyata tidak diselarak.
" Marilah, kita masuk " perintah Ki Tumenggung " tetapi jangan gaduh. Mungkin paman sedang beristirahat. Tetapi mungkin sedang berada di sanggar. "
Dengan demikian, maka para prajurit itupun kemu"dian mengikuti Ki Tumenggung memasuki regol. Mereka melintasi halaman dan langsung menebar.
Bagaimanapun juga, memang sulit mengatur orang dalam jumlah yang banyak. Demikian mereka berada di dalam padepokan, maka kegaduhan itupun tidak dapat dihindari. Beberapa orang yang melihat jambu air yang bergayutan di pohonnya, tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa mempedulikan apapun juga, mereka langsung menggapai jambu air itu. Bahkan dua tiga orang telah memanjat dan bertengger di dahan dahannya.
Bukan saja jambu air, bahkan pohon duwet yang buahnya memenuhi cabang cabangnyapun telah dipanjati pula. Yang lain langsung berbaring sambil berdesah. Sementara satu dua orang duduk duduk di rerumputan di pinggir kolam yang berair jernih.
Ki Tumenggung sendiri langsung pergi ke pendapa. Ia termangu mangu sejenak menyaksikan para pengikutnya yang menjadi ribut. Namun terasa sesuatu bergejolak didalam hatinya. Rasa rasanya padepokan itu sangat sepi.
" Nampaknya halaman ini tidak disentuh sehari ini " berkata Ki Tumenggung didalam hatinya. Ia melihat daun daun kering yang bertebaran di halaman yang luas.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung itu justru menjadi curiga. Dengan serta merta iapun meloneat ke pendapa dan langsung menuju ke pringgitan. Bahkan kemudian didorongnya pintu pringgitan, sehingga pintu yang tidak diselarak itu terbuka lebar.
Jantungnya terasa berdentang semakin keras. Ia tidak melihat seorangpun. Karena itu, maka iapun kemu"dian berlari lari memasuki rumah induk padepokan itu sampai ke serambi belakang.
Kecurigaan Ki tumenggung semakin memuncak. Ia"pun kemudian berlari lari ke setiap bilik di dalam rumah induk itu. Bahkan kemudian ia mulai memanggil " Paman, paman Bagaswara. "
Suaranya melingkar lingkar di dalam rumah itu. Na"mun tidak terdengar seorangpun menjawab.
" Paman " Ki Tumenggung itu mengulangi semakin keras, sehingga beberapa orang perwira yang duduk di pendapa mendengarnya.
Beberapa orang diantara merekapun telah bangkit dan memasuki rumah itu pula.
" Apakah Ki Bagaswara tidak ada di rumah" " ber"tanya salah seorang perwiranya.
" Gila. Rumah ini nampaknya sepi sekali " jawab Ki Tumenggung yang tiba tiba saja berteriak " He, anak anak. Cari seseorang di seluruh padepokan ini. Siapapun juga yang ada, bawa ia kemari."
Para prajurit yang sedang beristirahat itupun terkejut. Merekepun segera bangkit. Beberapa orang perwira telah mengulangi perintah Ki Tumenggung. Bahkan bebe"rapa orang perwira telah ikut pula bersama mereka mencari seseorang, siapapun yang ada di padepokan itu.
Tetpi ternyata padepokan itu memang sudah kosong. Tidak ada seorangpun yang mereka temui. Apalagi Kiai Bagaswara, seorang cantrikpun tidak ada yang masih tinggal di padepokan itu.
" O, Sungguh sungguh gila " teriak Ki Tu"menggung ketika ia mendapat laporan bahwa padepokan itu telah kosong.
" Semua ruang dan bilik nampak teratur dan bersih, meskipun sudah mulai berdebu. Nampaknya dua tiga hari padepokan ini telah dikosongkan. " berkata salah seorang perwira.
Ki Tumenggung mengumpat umpat kasar. Bahkan hampir setiap orang di dalam pasukan itu ikut mengumpat pula. Mereka yang bermimpi untuk minum wedang sere hangat hangat atau yang ingin menyuapi mulutnya de"ngan nasi hangat dan daging kambing yang masih muda, telah memaki dengan kasar.
Namun diantara mereka seorang prajurit masih saja berbaring di bawah baying bayang pohon yang rimbun. Ia sama sekali tidak mengumpat dan tidak pula menjadi gelisah.
" He " seorang kawannya mendepak kakinya " kau masih juga berbaring dengan tenang" Nampaknya kau sa"ma sekali tidak peduli terhadap keadaan yang kita hadapi sekarang. Kita akan kelaparan dan kehausan."
Tetapi prajurit itu tersenyum. Jawabnya " aku sudah terlalu lama mengalami kesulitan dan penderitaan, sehingga aku tidak percaya bahwa penderitaanku akan cepat berakhir. Karena itu, apa yang aku hadapi sekarang sama sekali tidak mengejutkan aku. Kalian yang terlalu mengharap ternyata justru mengalami kejutan yang lebih parah dari aku yang sudah mengalasi perasaanku dengan tidak berpengharapan apa apa.
" Uh, kau memang sudah gila " geram kawannya.
Tetapi prajurit itu tersenyum. Bahkan kemudian matanya mulai terkatub. Katanya " Aku mengantuk seka"li."
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang berada di ruang dalam masih saja marah marah tanpa diketahui siapakah yang harus dimarahi. Setiap kali ia masih membentak bentak. Ketika seorang perwira muda berdiri termangu mangu dipintu, Purbarana telah membentaknya " Cepat. Cari Kiai Bagaswara sampai ketemu. Perintahkan semua orang untuk mencari tidak saja di dalam lingkungan padepokan ini Tetapi cari di luar padepokan. Disungai, digoa goa. Mungkin mereka bersembunyi di sana. "
Perwira muda itu terkejut. Namun iapun kemudian melangkah mundur dan keluar dari ruang dalam.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana yang marah itu tiba tiba saja telah memukul dinding penyekat diruang dalam sehingga dinding itu pecah berserakan.
Beberapa orang dengan tergesa gesa mendekatinya. Namun Purbarana justru berteriak " Permainan gila. Benar benar satu permainan gila. Siapakah diantara kalian yang telah berkhianat dan mengabarkan rencana kedatangan kami ke padepokan ini" "
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara itu Tumenggung Purbarana berteriak pula"Tentu ada dian"tara kita yang berkhianat. Kita sudah membunuh semua orang cantrik dari padepokan guru. Mereka tidak mem"punyai kesempatan untuk memberitahukan apa yang ter"jadi itu kepada paman Bagaswara. Apalagi mereka tentu tidak tahu bahwa kita akan pergi ke padepokan ini. "
Ketika masih belum ada yang menjawab, Ki Tumeng"gung berteriak semakin keras " Cari. Cari seseorang yang telah berkhianat. Bawa ia kemari. Aku harus membunuhnya."
Namun dalam pada itu, seorang perwira yang sudah berambut putih melangkah maju sambil berkata "Sabarlah Ki Tumenggung. Kita memang merasa sangat kecewa. Tetapi kita masih dapat berpikir jernih. Tentu tidak mungkin kita dapat menemukan seorang pengkhianat diantara kita. Karena tentu tidak akan ada orang yang berkhaiant. Apakah keuntungan kita untuk berkhianat" Seandainya ada juga orang yang berbuat demikian, maka aku yakin bahwa orang itu sudah pergi bersama Kiai Bagaswara. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Kemudian katanya lantang " Mungkin. Mungkin kau benar. Jika demikian, tentu ada satu atau dua orang cantrik yang lolos. Bukankah menurut penglihatan kita semua cantrik telah terbunuh. "
" Hal itu mungkin saja terjadi"jawab perwira itu " mungkin cantrik itu sedang tidak ada di padepokan saat terjadinya pertempuran. Ia hanya melihat saat saat ter"akhir, pada waktu kita semuanya memusatkan perhatian kita kepada para cantrik sehingga kita tidak mengetahui, bahwa kita sedang diamati oleh seorang cantrik dari luar padepokan. "
" Jika demikian, kenapa ia memberitahukan hal itu kepada paman Bagaswara" Apakah cantrik itu menge"tahui bahwa kita akan pergi ke padepokan ini" "
" Ki Tumenggung" jawab perwira itu "Kiai Bagas"wara adalah saudara seperguruan dari guru Ki Tumeng"gung itu. Karena itu, maka adalah wajar sekali jika satu atau dua orang cantrik yang sempat menyelamatkan diri pergi ke padepokan ini dan menceritakan apa yang dilihatnya meskipun tidak begitu jelas."
Ki Tumenggung menggeram. Dengan nada berat ia berkata " Memang mungkin. Dengan demikian maka paman Bagaswara telah menghindarkan diri. " ia berhenti sejenak. Namun sekali lagi ia menghantam dinding kayu penyekat dan sekali lagi bagian dinding itupun pecah se"perti yang terdahulu " aku harus menemui paman Ba"gaswara. Ia menghindari aku, karena ia belum tahu apa yang akan aku katakan. Jika paman mengerti, maka pa"man tentu akan dapat menerima rencanaku. "
" Tetapi Kiai Bagaswara itu sudah pergi " jawab per"wira itu.
" Aku akan memerintahkan semua orang untuk mencarinya di sekitar padepokan ini. Mungkin di padukuhan padukuhan terdekat, atau mungkin ditempat tempat lain " geram ki Tumenggung.
" Sulit untuk menemukannya " berkata perwira itu " meskipun demikian Ki Tumenggung dapat mencobanya. "
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba Tiba saja ia berteriak " Bakar. Bakar semua bangunan yang ada di padepokan ini. "
" Ki Tumenggung " hampir bersama beberapa orang prajurit berdesis.
" Aku tidak peduli. Padepokan ini harus dibakar sampai lumat " teriaknya.
Namun perwira berambut putih itu berkata dengan nada sareh " Tunggu Ki Tumenggung. Apakah Ki Tu"menggung tidak mempunyai pertimbangan lain. Seandai"nya Ki Tumenggung membakar padepokan ini, maka Ki Tumenggung sudah memutuskan untuk tidak akan pernah berhubungan lagi dengan paman guru Ki Tumenggung. Kiai Bagaswara tentu akan marah, dan bahkan akan berdiri sebagai lawan Ki Tumenggung. Padahal, segalanya masih belum pasti. Mungkin Kiai Bagaswara memang menghindari Ki Tumenggung. Tetapi sebelum ia mende"ngar penjelasan Ki Tumenggung. Jika pada suatu kesem"patan Ki Tumenggung masih dapat menjumpainya, maka Ki Tumenggung masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dan mungkin membujuknya. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun ke"mudian katanya " Seorang pengkhianat tentu sudah mengatakan apa yang telah terjadi. "
" Tetapi apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa yang dikatakannya itu cukup lengkap sebagaimana telah terja"di " " bertanya perwira itu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalamdalam. Kata"nya " Baiklah. Aku tidak akan membakar padepokan ini untuk jangka waktu tertetu. "
" Dengan demikian, kita akan sempat mendapat tempat berteduh Ki Tumenggung " berkata perwira itu " jika kelak ternyata padepokan ini serta Kiai Bagswara ti"dak akan dapat memberikan arti apa apa lagi, maka pa"depokan ini akan dibakar. "
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Ia sependapat, bahwa untuk sementara bangunan bangunan yang ada di padepokan itu akan dapat dipergunakan bagi para prajuritnya. Sementara itu, ia tidak menutup segala kemungkinan untuk berbicara dengan pamannya itu.
Namun ada satu masalah yang harus di pecahkan. Pangan. Selama mereka berada di padepokan itu, maka mereka harus makan.
Karena itu, maka setelah berbicara sejenak dengan para perwira, Ki Tumenggungpun telah turun sendiri ke halaman. Dicarinya lumbung pada padepokan itu untuk melihat, apakah masih ada persediaan pangan.
Ternyata Kiai Bagaswara adalah orang yang terlalu baik. Meskipun ia sadar, apa yang terjadi, namun ia tidak mengosongkan sama sekali lumbung padepokannya. Meskipun ia menganjurkan para cantrik untuk menyingkirkan semua binatang peliharaan, tetapi ia tidak sampai hati untuk mengosongkan lumbungnya.
Tetapi Kiai Bagaswara hanya menyisakan isi lumbungnya untuk tiga empat hari saja. Tidak lebih, sesuai dengan perkiraan dari cantrik yang telah menemuinya, berapa banyaknya para pengikut Ki Tumenggung Purba"rana.
Dengan sisa persediaan bahan makan di lumbung itu, kemarahan Ki Tumenggung agak mereda. Apalagi ketika ia sendiri pergi ke dapur. Dilihatnya alat alat dapur sudah tersusun rapi di atas paga. Siapa yang memerlukannya, tinggal memakainya sesuai dengan kebutuhan.
" Tetapi apakah kita hanya akan makan nasi saja" " bertanya Ki Tumenggung.
" Tentu tidak Ki Tumenggung "jawab salah seorang perwiranya " di padepokan ini kita dapat menemukan sayur sayuran yang akan dapat kita masak. Sementara itu, jika kita menginginkan lauk pauk, maka kita dapat memasuki hutan itu untuk mencari binatang buruan.
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Namun katanya "Kita semuanya sudah merasa lapar setelah sehari berjalan. Karena itu, siapa yang dapat menyediakan makanan bagi kita, biarlah ia melakukannya. "
Dengan demikian, ketika Ki Tumenggungpun kemu"dian kembali kerumah induk, beberapa orang telah mendapatkan tugas untuk menanak nasi. Dengan suka rela beberapa orang menyatakan, bahwa mereka dapat melakukannya. Sementara beberapa orang yang lain, sambil melihat lihat keadaan di sekitarnya, telah pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan.
Namun Ki Tumenggung telah berpesan, jika mereka bertemu dengan seorang laki laki yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang, dan mempunyai kebiasaan mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala yang tidak dipakainya di lehernya, maka mereka supaya segera membawa orang itu menghadap.
" Itu adalah ciri ciri paman Bagaswara " berkata Ki Tumenggung.
" Berapakah kira kira umur Kiai Bagaswara?" bertanya salah seorang dari mereka yang akan pergi berburu,
" Enampuluh lebih sedikit. Tetapi terakhir aku lihat beberapa tahun yang lalu, ujudnya masih seperti seorang yang berumur sepuluh tahun. "
Para prajuritnya mengangguk angguk. Orang orang yang mempunyai cara hidup yang akrab dengan alam, biasanya memang tidak cepat menjadi tua.
Demikianlah, dihari yang semakin suram itu, beberapa orang di padepokan Kiai Bagaswara yang telah kosong, sibuk memasak. Sementara yang lain pergi berburu ke hutan. Tetapi karena malam sudah mulai membayang, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pemburu. Meskipun demikian mereka mendapatkan juga beberapa ekor ayam alas dan seekor kijang tua yang agaknya tersesat
Tetapi sementara itu, di padepokan Ki Tumenggung dan para pengikutnya ternyata tidak mendapatkan minyak setitikpun untuk lampu dan apalagi untuk masak, untuk menggoreng daging ayam hutan.
Ki Tumenggung dan para pengikutnya mengumpat umpat. Mereka terpaksa membuat api di halaman dengan kayu dan ranting kering.
Namun beberapa orang justru lebih senang berada di sekitar api itu sambil menghangatkan tubuh mereka. Sementara di dapur orang orang sibuk menyelesaikan tugas mereka.
Akhirnya nasi, sayur dan lauknyapun telah siap apapun ujudnya. Karena perut yang lapar, maka apapun terasa nikmat juga untuk ditelan sambil duduk melingkari perapian yang mereka biiat di halaman dan di kebun.
Sementara itu, masih belum ada seorangpun di antara para pengikut Ki Tumenggung yang melihat seseorang sebagaimana disebut dengan cirri cirinya. Beberapa orang memang berpendapat, bahwa Kiai Bagaswara dan para cantrik tentu mengungsi ketempat yang cukup jauh untuk dicapai oleh Ki Tumenggung dan para pengikutnya.
Tetapi dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Bagaswara sama sekali tidak meninggalkan padepokan"nya terlalu jauh. Ia masih berada di sekitara padepokan"nya. Bahkan ia sempat menyaksikan, saat saat Ki Tumenggung Purbarana dan para pengikutnya memasuki padepokannya.
Kiai Bagaswara itu menggeleng gelengkan kepalanya melihat iring iringan yang besar itu. Meskipun ia sudah mendapat laporan tentang pasukan itu, tetapi ketika ia melihat sendiri, ia menjadi berdebar debar. Itulah agaknya, maka pasukan itu dapat menghancurkan seisi padepokan saudaratua seperguruannya. Bahkan adalah guru dari Ki Tumenggung sendiri. Apalagi menurut can"trik yang terluka, kemungkinan terbesar sebagaimana dilihat oleh cantrik itu, Kiai Santak akan selalu berada di tangan Ki Tumenggung itu. Kiai Santak yang sangat dikaguminya. Pusaka dari perguruannya yang oleh gurunya di wariskan kepada saudara tertua di dalam perguruan itu. Namun yang kemudian telah jatuh ketangan seseorang yang seharusnya tidak berhak.
Dengan ilmu yang telah di dapatkannya dan dengan Kiai Santak di tangan, Ki Tumenggung akan menjadi seorang yang sangat menakutkan " berkata Kiai Bagas"wara.
Tanpa disadarinya iapun meraba senjatanya. Sebilah luwuk yang juga diwarisinya dari gurunya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Ia juga mendengar dari cantrik yang datang kepadanya, bahwa murid tertua saudara seperguruannya, Putut Pra"dapa yang memiliki ilmu yang sudah lengkap dari per"guruannya, telah terbunuh juga oleh Ki Tumenggung Pur"barana, justru setelah Ki Tumenggung menggenggam ke"ris Kiai Santak.
Sejenak Kiai Bagaswara termangu mangu. Luwuk yang di warisinya itupun mempunyai kekuatan yang ham"pir sama dengan Kiai Santak meskipun ujudnya lebih sederhana, karena luwuk mirip dengan sebilah pedang biasa. Tetapi cara pembuatannya yang mirip dengan membuat sebilah keris.
Namun akhirnya Kiai Bagaswara menggeleng lemah. Katanya "Adalah tidak pantas jika aku berkelahi mela"wan anak anak. Betapapun nakalnya anak itu, aku harus mencari pemecahan lain. Tidak dengan kekerasan senja"ta."
Tetapi sementara itu, Kiai Bagaswara tidak ingin meninggalkan padepokannya. Ia ingin selalu mengawasi apa yang akan terjadi. Meskipun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya, seandainya Purbarana akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya atas padepo"kannya.
Dalam pengamatannya, maka Kiai Bagaswara itu da"pat melihat, satu dua orang pengikut Ki Tumenggung Pur"barana itu telah pergi berburu dengan menyandang busur dan anak panah. Dihari kedua, ada juga beberapa orang yang pergi kehutan.
Tiba tiba saja timbul satu keinginan Kiai Bagaswara untuk berbicara dengan mereka. Dengan menemui mere"ka di hutan, maka Kiai Bagaswara akan dapat berbicara serba sedikit dengan para pengikut Ki Tumenggung itu.
"Tetapi sudah barang tentu tidak dalam ujudku ini"berkata Kiai Bagaswara.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun telah berusaha untuk merubah semua kebiasaannya. Ia sadar akan ujud dan bentuk tubuhnya. Karena itu, ia harus ber"buat sesuatu yang dapat memperkecil ujudnya itu.
Demikianlah, maka ketika beberapa orang pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu sedang berburu, maka me"reka telah tertarik ketika mereka melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon dipinggir hutan itu. Seo"rang yang sudah berusia lanjut mengenakan ikat kepala berwarna gelap.
"Apakah orang itu salah seorang dari penghuni pa"depokan?"bertanya salah seorang diantara mereka kepada kawan kawannya.
"Entahlah. Tetapi orang itu nampaknya sudah ter"lalu tua." jawab yang lain.
Meskipun demikian ada juga seseorang diantara orang orang yang berburu itu datang mendekatinya. Na"mun orang itu sama sekali tidak berpaling kearahnya.
"He, Ki Sanak. Apa yang kau lakuan disini?" berta"nya orang itu.
Orang itu masih saja tidak berpaling, sehingga prajurit Ki Purbarana itu terpaksa mengulangi pertanyaannya.
Ketika orang itu masih diam saja, maka prajurit itupun telah berteriak "He, apakah yang kau lakukan disini?"
Ternyata orang itu berpaling. Ketika ia melihat praju"rit itu berdiri disampingnya maka iapun bergeser surut. Tetapi iapun kemudian tertawa sambil bangkit berdiri.
Ternyata orang tua itu adalah orang yang agak bongkok dan timpang.
"Eh, kau mengejutkan aku Ki Sanak. Kau bertanya apa?" bertanya orang tua yang terbongkok itu.
"Kau sedang apa kakek?" bertanya prajurit itu ke ras keras.
Orang tua itu memiringkan kepalanya untuk dapat mendengar pertanyaan prajurit itu. Kemudian jawabnya "O, aku sedang mencari jamur so. He, apakah kau pernah makan jamur so" Enaknya melampaui hati ayam."
"Rumahmu mana kek?" bertanya prajurit itu pula.
Tetapi jawab orang itu meleset"Disana Ki Sanak. Di lereng itu banyak terdapat jamur so."
"Aku bertanya, di mana rumahmu?" prajurit itu ber"teriak semakin keras.
"O" orang tua itu tertawa lagi. Katanya "Maaf Ki Sanak. Telingaku memang sudah cacat. Ketika aku masih muda, telingaku terkena penyakit sehingga aku menjadi tuli " Ia mengangguk angguk sambil mengusap matanya yang sipit. Lalu katanya " Rumahku di padukuhan sebe"lah Ki Sanak. Menelusuri sungai kecil itu ke Utara. Disana ada sebuah padukuhan kecil. "
"Kakek tua" berkata prajurit itu lagi" apakah kau pernah mengenali orang orang yang tinggal dipadepokan itu?"
Orang itu berpikir sejenak. Lalu "Padepokan itu maksudmu Ki Sanak."
"Ya" prajurit itu masih berteriak teriak.
"Tentu saja aku kenal. Aku sering pergi ke padepo"kan itu. Setiap kali aku datang, aku mendapat beras se beruk penuh. Para cantrik di padepkan itu menggarap sa"wah di sebelah padukuhanku."
"Kau mengenal orang yang bernama Kiai Bagaswa"ra. ?"bertanya prajurit itu.
"Siapa?" bertanya orang tua itu.
"Kiai Bagaswara" prajurit itu berteriak.
"O, tentu saja aku kenal" jawab orang tua itu "kenapa dengan
Balas " On 21 Maret 2009 at 22:45 IS Said:
Kok mental II-80" Serangan keris itu telah mendebarkan jantung Putut Pradapa. Karena itu, maka Putut itupun telah berloncatan surut. Namun Ki Tumenggung sama sekali tidak melepaskannya. Dengan sigapnya Ki Tumenggung selalu memburunya. Jika Putut itu terlepas barang sekejap, maka ia akan sempat membangun serangan dengan ilmunya yang sangat dahsyat lewat kedua telapak tangannya yang mengembang.
Serangan keris Kiai Santak itu benar benar telah merubah keseimbangan pertempuran. Kecuali keris itu sendiri memang keris pilihan dan jarang ada duanya, ternyata bahwa pengaruh keris itu sebagai pusaka gurunya, telah mencengkam jantung Putut Pradapa. Meskipun ia sadar sepenuhnya bahwa keris itu berada ditangan orang yang pantas dibinasakan, tetapi berhadapan dengan keris itu ra"sa rasanya Putut itu berhadapan dengan gurunya.
Dengan demikian maka Putut Pradapapun semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan lawannya yang cepat dan kuat, tidak memberinya kesempatan untuk menyerangnya dengan ilmunya yang luar biasa. Sehingga dengan demikian, maka Putut itu harus bertempur dengan beralaskan kekuatan dan ketrampilan ilmu kanuragannya. Namun justru karena lawannya menggenggam senjata yang mempunyai pengaruh langsung bagi jiwanya, maka Putut Pradapapun dengan cepat telah terdesak.
Sebenarnyalah bahwa kemampuan dan ilmu Putut Pra"dapa masih berada selapis diatas Ki Tumenggung meskipun Ki Tumenggung itu lebih dahulu berguru. Tetapi Putut Pra"dapa yang selalu dekat dengan gurunya dan usahanya yang bersungguh sungguh tanpa mengenal lelah, telah memiliki kemampuan melampaui kakak seperguruannya.
Namun saat itu Ki Tumenggung telah menggenggam keris Kiai Santak. Keris yang sangat dihormati oleh Putut Pradapa itu sendiri.
Karena itu, maka betapapun juga perlawanan Putut Pradapa, maka perbawa keris itu tidak mampu dihindarinya. Ketika Ki Tumenggung memburunya dengan se"rangan yang datang bagaikan amuk badai yang dahsyat, Putut Pradapa tidak mampu menghindari semua serangan itu. Jantungnya berdegup keras, ketika terasa lengannya tergores keris Kiai Santak.
Dengan serta merta Putut Pradapa meloncat jauh surut. Tetapi Ki Tumenggung tidak memberinya kesempatan. Ia sadar, bahwa jika Putut itu berhasil mengambil jarak, maka ia tentu akan dapat menyerangnya dengan il"munya yang dashyat itu.
Serangan Ki Tumenggung ternyata telah mengejarnya ke mana saja Putut itu berusaha menghindar.
Para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang semula menjadi cemas, telah bersorak dengan serta merta. Mereka bagaikan orang yang bangkit dari kehilangan harapannya.
Namun dalam pada itu para cantriklah yang menjadi semakin cemas. Mereka melihat Ki Tumenggung selalu memburu Putut Pradapa dengan keris Kiai Santak.
Sebenarnya Putat Pradapa akan mampu bertahan, jika jiwanya tidak dicengkam oleh pengaruh keris itu sendiri. Betapapun ia berusaha dengan sadar melawan Ki Tumeng"gung, namun keris itu masih saja selalu membayanginya, sehingga akhirnya Putut Pradapa itu benar benar telah ter"desak.
Segores luka ditubuhnya telah memberikan isyarat kepadanya, bahwa iapun harus ikut bersama gurunya, menghadap Yang Maha Pencipta. Kembali ke Alam asalnya untuk selama lamanya.
Kemampuan warangan pada keris Kiai Santak benar benar tajam. Sesaat kemudian, Putut Pradapa telah merasakan, bahwa tubuhnya menjadi gemetar. Betapapun ia berusaha, namun geraknya menjadi semakin lamban, sehingga justru karena itu, maka Keris Kiai Santak itu kemudian telah melukainya sekali lagi. Lebih dalam dan lebih panjang menyayat kulit di dadanya.
Putut Pradapa terdorong surut. Namun ia tidak lagi berusaha untuk menghindar. Ketika Ki Tumenggung meloncat maju dan menikam dadanya dengan keris itu. Putut Pradapa sama sekali tidak menghindarkan dirinya.
Tikaman itu benar benar menentukan. Bukan saja ka"rena warangan keris itu. Tetapi keris itu memang menghunjam sampai ke jantung, sehingga demikian keris itu ditarik, maka Putut Pradapapun telah terjatuh ditanah.
Putut Pradapa sama sekali tidak mengeluh. Meskipun ia sempat berdesis. Tetapi kemudian nafasnyapun terhenti.
Jantung para cantrik bagaikan mclcdak melihat kematian Putut Pradapa yang seakan akan menjadi wakil gurunya di padepokan itu. Apalagi kematian Putut Pradapa itu disebabkan oleh tangan saudara tuanya yang telah berkhianat. Yang telah mombunuh gurunya dan merampas pusakanya. Pusaka yang tidak ada duanya. Dan dengan pusaka itu pula ia mengakhiri perlawanan Putut Pradapa.
Sejenak para cantrik itu termangu mangu. Namun adalah diluar dugaan para pengikut Ki Tumenggung Purbarana. Mereka mengira bahwa kematian Putut Pradapa adalah pertanda berakhirnya perlawanan di padepokan itu.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, para cantrik yang mencintai gurunya dan kakak seperguruannya yang dianggapnya sebagai wakil gurunya itu, seakan akan telah membuat mereka kehilangan akal. Tidak ada yang menjatuhkan perintah di antarapara cantrik itu. Namun tiba tiba saja, hampir bersamaan, para cantrik itu telah mengamuk. Dengan senjata apa saja yang dapat mereka gapai, maka mereka telah menyerang para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang ada di dekatnya. Bahkan sebagian dari para cantrik itu sempat mencabut senjata prajurit prajurit itu sendiri, karena para prajurit itu sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan terjadi.
Dua orang cantrik yang sudah meningkat dan di anggap sebagai jejanggan di padepokan itu, adalah orang orang pertama yang telah mengamuk bagaikan seekor banteng yang terluka. Dua orang jejanggan itu sudah memiliki ilmu yang memadai. Meskipun ia masih belum mencapai kemampuan sebagaimana Putut Pradapa. Namun tiba tiba saja lima orang prajurit telah terkapar di tanah.
Ki Tumenggung untuk beberapa saat justru terpukau oleh peristiwa yang tidak di sangka sangka itu. Namun agaknya Ki Tumenggung seakan akan telah kehilangan akal pula, sehingga terdengar ia berteriak nyaring, " Tumpas semua perlawanan. "
Para pengikutnya tidak berpikir lebih panjang, maka para pengikut ki Tumenggungpun segera melakukan perintah itu.
Jumlah para pengikut Ki Tumenggung memang cukup banyak. Karena itu, maka mereknpun segera berhasil menguasai medan. Meskipun demikian mereka tidak segera berhasil memadamkan pertempuran karena setiap orang cantrik telah bertekad untuk bertempur sampai mati sebagaimana gurunya dan Putut Pradapa
Dengan demikian, maka padepokan itupun bagaikan telah dibakar oleh api kemarahan yang tidak terkendali. Kedua belah pihak bertempur tanpa mengingat apapun lagi kecuali untuk membunuh lawan masing masing.
Ternyata bahwa para cantrik yang mengamuk itu benar benar telah mendebarkan jantung Ki Tumenggung. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa kematian gurunya dan Putut Pradapa telah mnyeret lebih dari dua puluh orangnya yang terbunuh pula. Namun dengan kegarangan sekelompok serigala lapar, maka para cantrik itupun seorang demi seorang telah terkapar pula di buminya. Padepokan kecil tempat mereka setiap hari dengan tekun menuntut ilmu dan bekerja bagi kehidupan mereka.
Perlahan lahan api pertempuran yang mengerikan itupun berhasil dipadamkan oleh para pengikut Ki Tumenggung. Tetapi korban di antara mereka yang jatuh benar benar di luar dugaan. Lebih dari duapuluh orang terbunuh dan lebih banyak lagi yang terluka.
" Orang orang gila " geram Ki Tumenggung. Namun di dasar hatinya yang paling dalam terbersit juga satu kekaguman akan kesetiaan para cantrik itu. Ternyata tidak seorang cantrikpun yang masih tetap hidup. Mereka bertempur sampai orang yang terakhir.
Dengan wajah yang kusut Ki Tumenggung menyaksikan orang orangnya mengumpulkan kawannya yang terluka dan yang terbunuh. Mereka tidak dapat membiarkan saja mereka dalam keadaannya. Karena itu, maka beberapa orang diantara para pengikut Ki Tumenggung yang memiliki sedikit pengetahuan tentang obat obatan telah dikerahkan untuk merawat kawan kawan mereka yang terluka.
Sementara itu, merekapun tidak dapat pula membiarkan tubuh para cantrik yang terbunuh bertebaran di halaman dan dikebun padepokan. Karena itu, maka mere"kapun telah membuat sebuah lubang kubur yang besar untuk mengubur para cantrik yang bertempur dengan gagah berani sampai orang yang terakhir.
Namun bagaimanapun juga, Ki Tumenggung masih juga menaruh hormat kepada gurunya. Karena itu, maka gurunyapun telah dikuburkannya terpisah dari para cantrik. Dengan sepotong kayu, Ki Tumenggung telah memberikan tanda pada kubur gurunya di belakang padepokan itu.
Tetapi karena itu, maka Ki Tumenggung tidak segera dapat meninggalkan padepokan itu. Ia harus menunggu beberapa orangnya sembuh dari luka lukanya. Ia tidak dapat meninggalkan mereka, karena jumlah orang orang nya telah menjadi jauh susut.
Yang terjadi di padepokan itu, sama sekali tidak diketahui oleh orang lain. Padepokan itu memang terletak di tempat yang terpencil. Meskipun bukan berarti bahwa padepokan itu sama sekali tidak berhubungan dengan orang luar, tetapi hubungan itu terjadi pada keadaan keadaan yang tertentu saja. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang terjadi di padepokan itu tidak dengan cepat menjalar ke daerah di sekitarnya. Apabila letak pade"pokan itu memang agak terpencil dari lingkungan padukuhan padukuhan.
Meskipun demikian, rasa rasanya jiwa Ki Tumeng"gung tidak dapat tenang berada di padepokan itu. Ia selalu diganggu oleh ingatan tentang gurunya yang dibunuhnya dengan racun. Tentang Putut Pradapa yang memiliki ilmu nggegirisi. Namun yang kemudian terkubur bersama jasadnya sebelum ilmu itu bermanfaat bagi kehidupan. Bahkan Ki Tumenggungpun tidak dapat melupakan barang sejenak, mayat para cantrik dengan kesetiaannya yang tinggi, terbujur lintang di halaman dan dikebun padepokan itu.
Tetapi bagaimanapun juga Ki Tumenggung Purbarana harus menahan diri. Orang orangnya yang terluka parah masih memerlukan waktu unluk dapat pergi meninggalkan padepokan itu. Sehingga bagaimanapun juga, Ki Tumenggung masih harus tinggal untuk beberapa saat lamanya.
Ternyata bahwa akibat pertempuran antara para pengikutnya dan para cantrik itu benar benar cukup parah. Kekuatan Ki Tumenggung yang tidak terlalu besar itu telah susut.
Meskipun demikian, api dendam yang menyala di hati Tumenggung Purbarana sama sekali tidak susut seba"gaimana kekuatan yang ada padanya.
Dengan beberapa orang pemimpin kelompoknya ia setiap kali membicarakan langkah langkah yang akan di ambilnya setelah mereka dapat meninggalkan padepokan kecil yang telah berubah menjadi neraka yang mengerikan itu.
" Kita dapat berhubungan dengan paman Bagaswara di Tegal Payung. Kitapun dapat berbicara dengan Warak Ireng dan Lindut yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, tetapi karena sikapnya yang berbeda dengan sikap beberapa orang pengikut kakang Panji, maka mereka berdua tidak mau hadir di Prambanan " berkata Purba"rana.
Seorang perwira yang berambut putih menggeleng lemah sambil berkata " Ki Tumenggung, jika Ki Tumeng"gung sependapat dengan aku, jangan pergi ke Warak Ireng dan Linduk. Mereka adalah orang orang licik yang sama sekali tidak berpegangan pada satu paugeran hidup yang dihormati. Bagi mereka, apa saja dapat mereka lakukan jika hal itu mereka kehendaki. Meskipun secara pribadi aku belum mengenal mereka, tetapi aku sudah pernah mengenalnya mereka dari pamanku yang sekarang sudah tidak ada lagi. "
Ki Tumenggung termangu mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Jangan dikungkung oleh pendapat seseorang yang belum pasti kebenarannya. Tetapi camkan. Berhadapan dengan orang yang licik, maka kitapun harus berbuat seperti itu pula. Aku yakin bahwa pasukan kita lebih besar dan lebih kuat dari isi padepokan Warak Ireng dan Linduk. Sementara itu, aku akan dapat mengimbangi kemampuan keduanya apalagi dengan keris Kiai Santak. Karena itu, pada saatnya, jika mereka memang berbahaya, maka mereka akan kita binasakan. Tetapi sementara itu, mereka akan sangat berarti bagi kita. Ki Tumenggung itu berhenti sejenak. Lalu " Tetapi bagaimana dengan paman Bagaswara" "
" Bagaimana jika paman Ki Tumenggung itu sudah mendengar peristiwa yang terjadi di padepokan ini" " bertanya Perwira berambut putih itu.
" Tidak seorangpun diantara para cantrik yang lolos. Tidak akan ada orang yang sempat menyampaikan persoalan ini kepada paman Bagaswara " jawab Ki Tumeng"gung. Lalu " Paman Bagaswara adalah seorang yang sangat baik kepadaku. Bahkan dahulu, aku sangat diman jakannya. Mudah mudahan ia masih bersedia berbuat demikian sekarang ini dalam bentuk yang lebih dewasa dan berarti. "
Para pemimpin kelompoknya hanya mengangguk angguk. Namun mereka semuanya merasa, bah"wa yang telah terjadi di padepokan ini adalah satu peris"tiwa yang sangat berkesan dihati mereka. Kesetiaan para cantrik itu ternyata melampaui kesetiaan prajurit. Para cantrik itu sama sekali tidak mengenal menyerah sampai orang yang terakhir. Bahkan yang terluka dan tidak mam"pu memberikan perlawanan telah membiarkan dirinya mati tanpa berusaha untuk mengobatinya sama sekali.
Dari hari ke hari, para prajurit yang terluka telah berangsur sembuh. Beberapa orang yang parah ternyata tidak lagi berhasil diselamatkan, sehingga masih saja ada kawan kawan mereka yang dengan hati yang sangat berat terpaksa diserahkan kepada bumi di padepokan kecil dan terpencil itu.
Namun akhirnya, saal yang mereka tunggu tunggu itupun telah datang. Para prajurit yang terluka telah men"jadi sembuh dan mampu untuk melanjutkan perjalanan. Masih ada beberapa yang masih belum pulih sama sekali bahkan masih ada yang harus berjalan sambil bertelakan tongkat. Namun mereka sudah dapat meninggalkan pade"pokan yang selalu memberikan mimpi yang sangat buruk.
Demikianlah, ketika keadaan memang sudah memungkinkan. Ki Tumenggung telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok dan orang orang yang pantas untuk diajak bebricara tentang rencananya lebih lanjut.
" Kita harus segera mulai " berkata Ki Tumenggung " mula mula aku akan menghadap paman Bagaswara. Baru kemudian kita bertemu dengan Warak Ireng dan Linduk. Mungkin paman akan dapat memberikan bebe"rapa petunjuk untuk menghadapi kedua orang ini setelah kita tidak memerlukan mereka lagi. "
" Baiklah Ki Tumenggung " sahut salah seorang perwiranya " segala sesuatu akan dapat kita bicarakan sete"lah kita bertemu dengan paman Ki Tumenggung itu. Nampaknya paman Ki Tumenggung itu juga seorang yang mempunyai wawasan yang luas. "
" Ya. Wawasannya mengenai hubungan antara Pajang dan Mataram, tentu lebih luas paman Bagaswara. Ia adalah bekas Senapati pada akhir kekuasaan Demak. Iapun pernah mengalami kekecewaan justru karena Demak kemudian pindah ke Pajang. Pada saat pemerintahan kemudian berada di tangan Sultan Hadiwijaya anak Pengging itu. " berkat Ki Tumenggung " Sehingga dengan demikian, paman Bagaswara telah memilih hidup di sebuah padepokan kecil di Tegal Payung. Padepokan sebagaimana padepokan ini. "
" Jika demikian, maka satu satunya jalan yang paling baik kita tempuh sekarang adalah menemui paman Ki Tumenggung. " berkata salah seorang pemim"pin kelompoknya " apapun yang akan dikatakannya, akan dapat kita jadikan bahan untuk menentukan langkah langkah berikutnya. "
Hanya jika sesuai dengan jalan pikiran kita " potong Ki Tumenggung dengan serta merta " jika paman menolak rencana kita, maka ia akan mengalami nasib seba"gaimana guru sendiri. Aku tidak mau seorangpun merintangi rencanaku. "
Para perwira yang menjadi pengikut Ki Tumeng"gung itu tidak menjawab lagi. Agaknya Ki Tumenggung benar benar ingin melaksanakan rencananya. Apapun yang merintanginya akan dihancurkannya. Bahkan guru"nya sendiri telah dibunuhnya. Bukan hanya itu, tetapi Ki Tumenggung telah mengambil pula pusaka gurunya yang disebut Kiai Santak. Sebilah keris yang besar, melampaui ukuran keris kebanyakan.
Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itupun telah membenahi diri. Barang barang yang akan mereka bawa telah mereka siapkan. Bahkan mereka sempat mengumpulkan beberapa macam barang yang ada di padepokan itu, yang menurut mereka akan dapat mereka pergunakan di perjalanan mereka yang panjang.
" Kita akan segera mulai dengan satu perjalanan yang seakan akan tidak berbatas. Kita akan menjelajahi lembah dan ngarai, lereng lereng pegunungan dan jurang jurang yang terjal. Kita mengembara dengan membawa satu cita cita yang luhur. Tetapi kita tidak tahu, kapan kita akan selesai " berkata Ki Tumenggung Purbarana " tetapi kita berharap bahwa daerah Timur pun akan segera berkobar api pemberontakan melawan Mataram. Sementara kita akan mendapat tempat pijakan yang lebih mapan, sehingga kita akan dapat melawan Mataram dengan lebih mantap "
Para pengikutnya mengangguk angguk. Mereka memang sudah mantap sebagaimana Ki Tumenggung Purbarana.
Sementara itu Ki Tumenggungpun berkata " Jika hasil perjuangan ini tidak dapat kita nikmati sekarang, maka anak cucu kita akan mengenyam, bahkan mereka akan mengucap terima kasih, bahwa kita sekarang sudah berjuang bagi masa depan. "
Para pengikutnya masih mengangguk angguk. Tetapi seorang prajurit muda bertanya kepada diri sendiri " Apakah aku kira kira juga akan mempunyai anak cucu" Sampai saat ini aku belum sempat kawin. Jika besok aku mati di peperangan, maka aku tentu tidak akan mempunyai anak cucu. "
Tetapi prajurit itu tidak menanyakannya kepada siapapun juga, karena dengan demikian pertanyaannya itu akan dapat menumbuhkan kesan yang kurang baik.
Namun dalam pada itu, beberapa orang perwira yang ikut bersama Ki Tumenggung Purbarana telah menyadari sepenuhnya, bahwa pada satu saat kelompok itu tentu akan berubah bentuknya. Pada saat kesulitan kesulitan datang satu demi satu, pada akhirnya kelompok itu akan menjadi sekelompok orang yang dibenci dan ditakuti.
" Tetapi jika Ki Tumenggung Purbarana berhasil mendapatkan daerah landasan, keadaan akan berbeda " berkata para perwira itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian, perasaan kecewa, kebencian dan dendam telah mencengkam jantung mereka. Kemenangan Mataram benar benar satu peristiwa yang sangat menyakitkan hati.
Namun di samping mereka itu, terdapat pula bebe"rapa orang perwira muda yang di dalam darahnya mengalir satu keinginan untuk bertualang. Untuk mengalami satu peristiwa yang dahsyat yang akan dapat mereka ceriterakan sebagai satu kebanggaan dalam pengalaman hidup mereka. Namun ada juga yang memang di dalam dirinya memencar watak yang tidak terpuji.
Demikianlah, maka pasukan itu memutuskan untuk meninggalkan padepokan kecil itu di dini hari mendatang.
Malam yang terakhir di padepokan itu telah mereka lampaui dengan berbagai macam gambaran tentang petualangan yang akan mereka lakukan. Pertempuran demi pertempuran akan mereka masuki. Darah dan kebencian akan selalu mewarnai perjalanan mereka. Dengan sen"jata didalam pelukan, mereka akan memasuki daerah demi daerah. Berbicara dan sedikit membual tentang masa depan. Jika diketemukan kesepakatan, maka mere"ka akan mendapat sejumlah kawan baru. Tetapi jika tidak, maka yang terjadi adalah pertumpahan darah.
Satu satu kawan kawan mereka akan rontok seperti daun kering dicabang pepohonan. Tetapi mereka berharap bahwa ada tunas tunas yang tumbuh untuk menggantikan mereka yang telah runtuh.
Meskipun bayangan masa depan nampaknya sangat suram, tetapi Ki Tumenggung dan orang orangnya tidak berputus asa. Mereka telah membenahi diri mereka sen"diri dengan tugas yang sangat berat. Tetapi juga sesuatu yang dapat memperkaya penglihatan mereka tentang kehidupan dari segi tertentu.
Ketika fajar menyingsing, maka para pengikut Ki Tumenggung yang berada di padepokan itu telah siap. Sekelompok pasukan yang cukup besar. Dengan tekad bulat mereka akan menuju ke Tegal Payung, menemui Ki Bagaswara. Adik seperguruan dari guru Ki Tumenggung Purbarana.
Demikian orang terakhir meninggalkan padepokan itu, maka padepokan itu benar benar telah berubah men"jadi satu kuburan yang luas. Sepi dan lengang. Tidak ada lagi tanda tanda kehidupan kecuali hijaunya pepohonan. Binatang peliharaan yang ada di padepokan itu telah habis sampai telur ayam yang terakhir. Apalagi lembu dan kambing.
Yang kemudian nampak bergerak gerak di pade"pokan itu adalah dedaunan yang ditiup angin, di atas kuburan yang menyimpan seluruh cantrik, manguyu, jejanggan dan Putut Pradapa. Juga guru mereka yang sangat mereka kasihi. Bahkan beberapa orang prajurit pengikut Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung Purbarana yang meninggalkan pade"pokan itu, masih juga sempat berpaling. Tetapi regol halaman padepokan yang terbuka itu benar benar bagai"kan regol sebuah kuburan yang sepi lengang.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Namun diluar sadarnya ia bergumam kepada diri sendiri, bahwa pada suatu saat, ia ingin kembali melihat padepokan yang telah berubah menjadi neraka itu. Bagaimanapun juga, gurunya telah dikuburnya di tempat itu juga, sehingga masih terasa adanya keterikatan antara dirinya dan pade"pokan sepi itu.
Iring iringan itupun kemudian menelusuri jalan sempit menerobos hutan yang tidak begitu lebat menuju kejalan terbuka yang berhubungan dengan padukuhan padukuhan diluar padepokan itu. Dengan demikian maka iring iringan itu akan muncul di jalan yang sering dilalui oleh orang orang yang pergi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sudah tidak peduli lagi. Peristiwa yang terjadi di padepokan gurunya, telah membuat dirinya semakin membenci. Dendamnya kepada orang orang Mataram bagaikan tersiram minyak sehingga menyala semakin besar didalam dadanya. Bah"kan rasa rasanya iapun telah membenci semua orang yang begitu mudahnya tunduk kepada orang orang Mata"ram pada saat Pajang dikalahkan. Demikian mudahnya, padahal kekuatan Pajang masih cukup besar seandainya orang orang Pajang sendiri mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu.
Wirabumi dan Benawa tidak ubahnya seperti kelinci kelinci cengeng yang tidak berani berbuat apa apa sepeninggal Sultan Hadiwijaya. Padahal Wirabumi dan Benawa memiliki kekuatan yang tentu akan dapat mengimbangi kekuatan Mataram. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Terutama Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran Benawa hatinya tidak lebih besar dari biji sawi" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hati"nya.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung tidak lagi menghiraukan apapun juga. Ia tidak peduli lagi apabila pasukannya itu akan menakut nakuti orang orang yang melihatnya dan padukuhan padukuhan yang dilewatinya.
"Aku harus bertemu dengan paman Bagaswa"ra" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya "kemu"dian aku harus bertemu dengan orang orang lain yang akan dapat memperkuat kedudukanku. Arah yang paling baik menurut perhitunganku saat ini adalah Tanah Perdikan Menoreh. Mendudukinya dan kemudian menjadikan tempat itu sebagai alas pijakan sebelum aku meluaskan daerah pengaruhku. Jika tidak mungkin, maka aku harus cepat menemukan sasaran baru. Mungkin Sangkal Putung, mungkin Mangir. Tetapi letak Mangir terlalu dekat dengan pusat pemerintahan Sutawijaya. Sulit bagiku untuk mendapat kesempatan menyusun diri."
Ternyata beberapa orang pembantunya sependapat dengan rencananya itu. Pasukan khusus Mataram di Ta"nah Perdikan Menoreh akan menjadi sasaran utama, dan harus dihancurkan lebih dahulu. Tanpa pasukan khusus, maka Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat berbuat apa apa. Jika ada orang orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu maka pasukan Ki Tumenggungpun akan membawa orang orang berilmu tinggi.
"Agung Sedayu yang disebut sebagai orang yang tidak terkalahkan dan yang telah berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, tidak akan mampu melawan tuah keris Kiai Santak. Mungkin kemampuan ilmuku ma"sih selapis dibawah Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru tidak mempunyai keris Kiai San"tak" berkata Ki Tumenggung Purbarana di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah iring iringan itu telah menumbuhkan berbagai pertanyaan dihati orang orang yang bertemu di jalan jalan padukuhan. Bahkan beberapa orang menjadi ketakutan dan bersembunyi di balik regol halaman.
Tetapi anak anak yang masih belum mengenal bentuk iring iringan seperti itu justru telah berderet di pinggir jalan untuk melihat sepasukan prajurit dengan senjata lengkap dan perbekalan, berjalan dengan cepat melintasi padukuhan mereka.
Anak anak itu tidak melihat kesan yang buram di wajah wajah para prajurit itu. Anak anak itu tidak mampu membaca nyala api dendam yang membakar jantung orang orang yang beriringan melintasi padukuhan mereka.
Tetapi iring iringan itu sama sekali tidak mengganggu orang orang lewat dan anak anak yang menonton mere"ka di pinggir pinggir jalan. Bahkan iring iringan itu sama sekali tidak berpaling ketika mereka melintasi sebuah pasar yang ramai di pinggir sebuah padukuhan.
Namun demikian, iring iringan itu telah membuat orang orang yang ada di pasar itu menjadi gelisah. Bah"kan ada satu dua orang yang dengan serta merta telah mengumpulkan dagangan mereka, yang apabila terjadi sesuatu, siap untuk diangkut keluar pasar itu.
" Siapakah mereka?" hampir setiap orang saling bertanya.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak seorangpun yang dapat menjawab. Hanya seo"rang tua yang berambut putih berkata kepada orang o"rang disekitarnya "Aku mengenali pakaian mereka. Pakaian itu adalah pakaian prajurit Pajang. Tetapi sudah tidak lengkap lagi. Ada diantara mereka yang tidak lagi mengenakan tanda tanda khusus dari kesatuannya. Bah"kan ada diantara mereka yang sudah mengenakan baju yang lain."
"Jadi siapakah mereka itu?" bertanya seseorang.
Orang tua itu menggeleng. Namun akhirnya ia menjawab "Mungkin satu pasukan yang meninggalkan ke satuannya. Nampaknya mereka sudah kehilangan cirri ciri keprajuritan mereka dalam sikap dan tingkah laku."
Orang orang yang berada disekitar orang tua itu mengangguk angguk. Orang tua itu memang pernah tinggal di Pajang untuk beberapa lamanya ketika ia masih muda. Meskipun ia tidak menjadi seorang prajurit, tetapi ia menghamba kepada seorang perwira prajurit Pajang, sehingga ia mengenali beberapa sifat dan watak prajurit Pajang.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sama sekali tidak mempedulikan tanggapan orang orang yang melihat iring iringannya dengan pertanyaan didalam dada mereka. Apapun yang mereka katakan, Purbarana sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin segera sampai ke Tegal Payung. Menghadap paman gurunya dan menyampaikan kesulitan kesulitan yang dialaminya. Menurut dugaannya, pamannya akan lebih mengetahui sikapnya dari pada gurunya sendiri.
Karena itu, maka iring iringan itu berjalan terus disepanjang jalan bulak dan padukukan. Mereka melewati pinggir pinggir hutan dan kadang kadang menyilang pa"sar yang ramai.
Tetapi iring iringan itu tidak dapat mencapai tujuan pada satu hari saja. Karena itu, maka ketika malam mulai turun, iring iringan itu telah berhenti di sebelah banjar padukuhan.
Seisi padukuhan menjadi gelisah. Tetapi nampaknya orang orang bersenjata yang akan bermalam di banjar itu tidak akan berbuat buruk terhadap rakyat padukuhan itu. Karena itu, maka meskipun ada juga kecemasan, namun penduduk padukuhan itu berusaha untuk menerima me"reka dengan wajar. Bahkan dengan serta merta bebahu padukuhan itu berhasil mengumpulkan beras untuk menjamu orang orang bersenjata yang bermalam di banjar mereka, meskipun hanya sekedar dengan jangan gori.
Bebahu padukuhan yang pada malam hari itu sempat berbicara dengan Ki Tumenggung Purbarana, tanpa berprasangka buruk telah bertanya, pasukan yang dibawanya itu akan bertugas kemana saja.
Untuk sesaat Ki Tumenggung bingung juga untuk menjawab. Namun kemudian ia berhasil menemukan jawaban "Ki Sanak. Setelah perang berakhir, maka keadaan pemerintahan ternyata masih belum mapan benar. Ada segolongan orang yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Me"reka mempergunakan saat saat kosong ini untuk merampas dan merampok. Orang orang itu sadar, bahwa para prajurit Mataram maupun Pajang dan Jipang sedang sibuk membenahi diri, sehingga mereka tidak sempat untuk menjaga dan melindungi rakyatnya, apalagi yang letaknya agak jauh dari Kota Raja seperti ini. Karena itulah, maka kami mendapat tugas untuk menganglang. Bukan hanya batas Kota Raja. Tetapi kami harus mengelilingi daerah Pajang untuk mengamati keadaan. Semen"tara itu kami mendengar bahwa didaerah Tegal Payung terdapat segerombolan orang yang dengan tegas mendirikan satu gerombolan untuk merampok. Mereka terdiri da"ri bekas bekas prajurit yang terdesak dari medan perang. Namun mereka segan untuk kembali ke kesatuan mereka setelah perang berakhir."
Bebahu padukuhan itu mengangguk angguk. Namun katanya " Kami masih belum mendengar hal itu terjadi di Tegal Payung."
"Bukankah Tegal Payung masih agak jauh dari padukuhan ini?" bertanya Ki Purbarana.
"Ya. Hampir sehari perjalanan. Tetapi perjalanan yang lamban" jawab bebahu itu. Kemudian "Tetapi jika benar terjadi seperti yang Ki Sanak katakan, kami tentu mendengarnya. Di pasar, orang saling berhubungan. Sementara berita semacam itu akan cepat tersebar."
"Sokurlah jika hal itu tidak benar" jawab Ki Tu"menggung Purbarana "dengan demikian tugas kami menjadi ringan. Kami adalah prajurit Pajang yang mendapat tugas khusus dari Mataram yang sekarang berkuasa lewat Adipati Pajang, Wirabumi, untuk menumpas gerombolan itu. Karena itu, jika gerombolan itu memang tidak ada, maka kami akan segera dapat kembali ke Pa jang."
Bebahu itu mengangguk angguk. Sama sekali tidak ada kecurigaan di hatinya. Bebahu itu memang melihat pakai"an keprajuritan. Tetapi ia tidak memahami ciri ciri dan tanda tanda khusus dari prajurit Demak. Karena itu, iapun tidak tahu bahwa orang orang yang bermalam di banjar itu sudah tidak mengenakan pakaian prajurit yang lengkap.
Dengan demikian, maka pasukan Ki Tumenggung Purbarana itu dapat tidur dengan nyenyak di banjar, meskipun hanya dengan lembaran tikar yang dibentang kan di pendapa banjar. Mereka tidur dalam deretan dari sisi sampai kesisi yang lain, berderet dalam beberapa bujur melintang. Apalagi mereka letih dan lapar, maka makan yang mereka dapat dari padukuhan itu terasa nikmat sekali.
Namun dalam pada itu, selagi pasukan Ki Tumeng"gung Purbarana beristirahat di banjar sebuah padukuhan, maka padepokan Tegal Payung yang akan ditujunya telah menjadi kosong.
Kiai Bagaswara dengan para cantriknya telah meninggalkan padepokan mereka meskipun dengan hati yang sangat berat.
Sebenarnyalah, bahwa yang terjadi di padepokan guru Purbarana bukannya seperti yang diduga oleh Ki Tu"menggung itu. Para cantrik tidak tertumpas habis tanpa tersisa. Ternyata masih ada seorang cantrik yang kebetulan sedang berada di sawah. Ketika ia kembali, maka dilihatnya padepokannya telah menjadi ajang pertempuran yang mengerikan.
Cantrik itu kurang tahu apa yang terjadi. Namun akhirnya ia mengetahui, bahwa seisi padepokan itu telah menjadi korban kegarangan sepasukan prajurit dari Pa"jang.
"Aku melihat pasukan itu datang Kiai" berkata can"trik itu, " dipimpin oleh Ki Tumenggung Purbarana. Nam"paknya tidak ada persoalan apapun yang timbul. Ki Tu"menggung masih tetap bersikap sangat hormat kepada gurunya, sebagaimana seorang murid. Tetapi ketika malam itu aku kembali dari sawah, semuanya telah terja"di. Karena itu Kiai, karena semua saudara saudaraku te"lah mati, maka sepantasnya aku juga harus mati. Jika aku pada saat itu tidak membunuh diri terjun kedalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu, karena aku merasa perlu untuk menyampaikan hal ini kepada Kiai. Selebihnya, jika sepantasnya aku harus mati sebagaimana saudara saudaraku, maka sebaiknya Kiai membunuh aku saja.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Seba"gaimana yang dikatakan oleh cantrik itu, bahwa segalanya terjadi begitu saja tanpa diketahui sebab sebabnya, maka Kiai Bagaswara menjadi sangat prihatin.
Namun ternyata bahwa masih ada lagi seorang cantrik yang berhasil mencapai padepokan Kiai Bagaswara. Seo"rang cantrik yang telah terluka. Namun ia masih sempat berceritera apa yang telah terjadi. Bahkan cantrik yang sempat melarikan diri dari medan tanpa diketahui oleh prajurit prajurit Ki Tumenggung itupun sempat menceriterakan apa sebabnya maka segalanya telah terjadi.
Tetapi cantrik itu sudah terlalu payah. Wadagnya tidak lagi mampu bertahan. Karena itu, setelah meneguk air hangat seteguk, maka cantrik itupun telah menjadi pingsan dalam keadaan yang sangat payah, setelah ia sempat menceriterakan apa yang terjadi.
Kiai Bagaswara sempat merawat cantrik itu bebera"pa lama. Cantrik itu sempat sadar dan tersenyum. Lalu katanya"Aku tidak mempunyai tujuan lain kecuali pa"depokan ini. Tidak ada tempat untuk mengadu."
"Ya. Ya. Kau sudah memilih jalan yang benar" berkata Kiai Bagaswara.
Cantrik itu tersenyum. Digapainya tangan kawannya, sesama cantrik dari padepokannya. Katanya"Jangan mati. Kau satu satunya saksi."
"Kau juga seorang saksi yang tahu lebih banyak dari aku" jawab cantrik yang tidak terluka.
Tetapi cantrik itu tersenyum. Dengan suara sendat ia berkata kepada Kiai Bagaswara"Aku mohon pamit. Mudah mudahan pemberitahuan ini berarti bagi Kiai. Sebab menurut perhitunganku, sepeninggal gurunya, mungkin sekali Ki Tumenggung Purbarana akan datang kemari."
"Satu kemungkinan yang dapat terjadi" jawab Kiai Bagaswara.
Cantrik itu memandang wajah Kiai Bagaswara yang lembut sejenak. Namun kemudian wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Satu tarikan nafas yang panjang ternyata telah mengakhiri hidupnya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Semen"tara itu, cantrik yang datang dari padepokan yang sama itupun tidak dapat menahan perasaannya. Betapapun ia bertahan, namun titik titik air matanya tidak terbendung lagi.
Demikianlah, maka cantrik yang meninggal setelah pada saat terakhir ia memberikan arti bagi hidupnya itu, telah di kuburkan sebagaimana seharusnya. Bahkan bagi orang orang padepokan itu, cantrik itu merupakan seorang yang telah mengorbankan hidupnya bagi kepentingan yang besar. Ia tidak sekedar menyelamatkan diri dari medan pertempuran. Tetapi ia berbuat demikian bagi kepentingan sesama yang hidupnya terancam bahaya.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun segera memanggil beberapa orang yang dianggapnya dapat dia jak berbicara. Dua orang jejanggan yang sudah cukup de wasa dan seorang putut yang memiliki wawasan yang cukupjauh.
Dari cantrik yang melihat kekuatan Ki Tumenggung Purbarana, maka Kiai Bagaswara dan pemban tu pembantunya dapat membayangkan, betapa besarnya kekuatan itu dibandingkan dengan kekuatan para cantrik di padepokan itu.
Padepokan yang lebih besar, tempat Ki Tumenggung itu pernah berguru telah dihancurkan. Bahkan tumpas tapis seakan akan tidak tersisa sama sekali. Apalagi padepokan Kiai Bagaswara yang lebih kecil.
Karena itu, maka menurut perhitungan mereka, tidak ada gunanya untuk membenturkan kekuatan padepokan itu dengan kekuatan Ki Tumenggung Purbarana yang su"dah memiliki pula pusaka berupa keris yang besar yang disebut Kiai Santak.
"Kita akan menyingkir" berkata Kiai Bagaswa"ra "bukan sekedar untuk mencari selamat. Tetapi kita harus memperhitungkan segala kemungkinan. Para can"trik dari padepokan kakang Panembahan itu tidak sempat berbuat lain. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan dari pada bertempur sampai orang yang terakhir.
Tetapi kita disini masih mempunyai kesempatan. Kita ti"dak perlu membunuh diri bersama sama. Bukan berarti bahwa kita tidak setia kepada kebenaran. Tetapi kita ti"dak ingin melihat kematian yang tidak berarti apa apa, karena jika kita bertempur sampai orang terakhir, nilainya tidak sama sebagaimana para cantrik dari padepokan kakang Panembahan."
Para putut, jejanggan dan para cantrik ternyata sependapat dengan guru mereka. Meskipun terbersit juga satu keinginan untuk melawan, tetapi pertimbangan pertimbangan yang diberikan oleh guru mereka itu masuk pula di"dalam akal mereka.
Karena itu, maka merekapun segera bersiap siap untuk meninggalkan padepokan itu. Sebelum Ki Tumeng gung datang, maka padepokan itu harus sudah dikosongkan.
"Jika kita terlambat, maka yang akan terjadi adalah seperti padepokan kakang Panembahan. Kita juga tidak akan mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka marilah, kita akan meninggalkan padepokan ini" berkata Kiai Ba"gaswara "aku menyeyogyakan kalian kembali ke paduku"han kalian masing masing, sebagaimana pada saat saat kalian berlibur. Tidak ada kesan apapun yang pantas kali"an tunjukkan kepada sanak kadang kalian, kecuali kegembiraan seperti biasanya. Tumenggung Purbarana tidak mengenal kaiian seorang demi seorang, sehingga ia tidak akan mungkin menelusuri kalian sampai kerumah kalian masing masing. Sementara itu aku sendiri yang akan mengamati padepokan ini. Pada saatnya apabila mereka telah pergi, aku akan memberitahukan kepada kalian. Aku sudah tahu rumah kalian. Tetapi aku dapat juga memberi tahukan hal itu kepada dua tiga orang cantrik yang akan meneruskan pemberitahuan itu kepada saudara saudaranya."
Para cantrikpun mengangguk angguk. Sementara itu Kiai Bagaswarapun berkata "Marilah. Meskipun dengan sangat berat, kita akan mengosongkan padepokan ini sekarang. Kita akan meninggalkan padepokan ini dan kembali kerumah kita masing masing."
Dengan demikian maka pada hari itu juga, padepokan itu telah menjadi kosong. Beberapa hari sebelum Ki Tu"menggung tiba di padepokan itu. Sebagaimana padepokan itu akan dikosongkan, maka seisi padepokan itupun telah diatur dan dibenahi dengan baik. Alat alat dapur yang su"dah dibersihkan, terletak teratur di paga bambu. Bilik bilikpun nampak bersih sementara sanggarpun rasa rasanya telah dipersiapkan sebaik baiknya untuk dipakai setiap saat.
Dua hari semalam padepokan itu kosong sama sekali. Tikar dan perabot perabot yang bersih sudah mulai dihinggapi debu yang semakin tebal. Sementara itu, pasu"kan Ki Tumenggung Purbarana sudah berada di perjala"nan menuju ke padepokan itu. Mereka ternyata sedang bermalam disebuah banjar padukuhan yang masih berjarak hampir sehari perjalanan.
Malampun rasa rasanya segera dihanyutkan oleh waktu. Ketika fajar menyingsing, maka beberapa orang perempuan sudah sibuk di banjar. Ternyata penduduk pa"dukuhan itu adalah penduduk yang ramah dan baik hati. Mereka masih sempat juga menyediakan makan pagi ba"gi sepasukan prajurit menurut pengertian mereka yang akan melanjutkn perjalanan ke Tegal Payung.
Demikianlah, setelah mengucapkan terima kasih, maka Ki Tumenggung Purbaranapun melanjutkan perjala"nan mereka Seperti sebelumnya, maka mereka sama se"kali tidak berusaha untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diinginkan. Pasukan itu ti"dak peduli sama sekali jika orang orang yang melihat me"reka lewat menjadi ketakutan.
Ki Tumenggung memang terlalu percaya kepada kekuatan pasukannya. Iapun yakin bahwa tidak akan ada pasukan yang dapat menyusul mereka karena arah perja"lanan mereka disaat mereka meninggalkan Pajang tidak jelas. Jika kemudian ada laporan tentang sepasukan prajurit yang menyusup di padukuhan padukuhan, maka pasukan Pajang akan memerlukan waktu untuk mencarinya. Sementara itu pasukan itupun telah menjadi semakin jauh.
"Jika pasukan ini mencapai Tegal Payung, dan paman Bagaswara dapat menerima kedatanganku, maka Tegal Payung akan dapat aku jadikan alas berpijak meskipun agak terlalu jauh dari sasaran. Tetapi di Tegal Payung aku akan dapat menyusun kekuatan dari bebe"rapa lingkungan yang akan dapat aku hubungi kemudi"an." berkata Tumenggung itu didalam hatinya.
Dengan demikian maka rasarasanya Ki Tumenggung itu ingin cepat cepat sampai ke tujuan. Ia ingin cepat ber"temu dengan Kiai Bagaswara untuk menyampaikan persoalannya. Bahkan Ki Tumenggung itu hampir pasti, bah"wa pamannya akan mendukungnya, karena ia sendiri pernah mengalami kekecewaan sebagai seorang prajurit.
Demikianlah, pasukan itu seakan akan berjalan de"ngan cepat tanpa menghiraukan apapun juga. Hanya se"kali kali saja mereka beristirahat. Kadang kadang mere"ka telah memasuki sebuah padukuhan untuk minta bebe"rapa puluh butir kelapa muda. Beberapa orang dengan jantung yang berdegupan terpaksa memanjat pohon pohon kelapa untuk mengambil kelapa muda yang di minta oleh pasukan itu. Bahkan kemudian merekapun melayani para prajurit yang kehausan itu. Memecah kelapa muda itu dan mencukil dagingnya.
Dengan demikian, maka perjalanan ke Tegal Payung itu terasa lebih cepat dari yang mereka perhitungkan. Perjalanan itu tidak memerlukan waktu sehari. Ketika matahari mulai turun di sisi langit sebelah barat, maka mereka telah menjadi semakin dekat dengan tujuan.
"Aku pernah mengunjungi paman"berkata Ki Tu"menggung " padepokannya terletak di pinggir sebuah sungai kecil, di antara padang perdu yang luas. Sebuah hutan terbentang di seberang sungai kecil itu dan merupakan tempat berburu bagi para cantrik. Tempat itu me"mang menyenangkan sekali. Di sebelah padang perdu. adalah tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dengan menaikkan air dari sungai kecil itu. Tetapi cukup untuk sebidang sawah yang cukup luas. Hasilnya berlebihan bagi makan mereka sehingga dalam saat saat tertentu mereka sempat menukarkan kelebihan hasil sawah me"reka dengan kebutuhan kebutuhan yang lain "
Dengan keterangan keterangan itu, maka seluruh pasukanpun berharap harap cemas. Mereka memang menginginkan untuk sampai kesatu tempat yang dapat memberikan sedikit kesempatan bagi mereka untuk be"nar benar beristirahat dan kemudian menyusun diri. Me"reka telah terlalu lama berada dalam kelelahan lahir dan batin.
Karena itu, maka Tegal Payung memang merupakan satu tujuan yang memberikan pengharapan bagi mereka.
Hati mereka telah mulai merasa sejuk ketika mereka memasuki sebuah padang perdu. Mereka menelusuri su"ngai yang tidak begitu besar yang kemudian akan sampai ke sebuah padepokan. Padepokan yang dipimpin oleh Kiai Bagaswara.
Ki Tumenggung Purbarana yang berjalan di paling depan tiba tiba saja berkata lantang "Lihat" Kau lihat gerumbul hijau dihadapan kita. Seperti sebuah pulau yang diselubungi oleh permadani yang berwarna hijau" Nah, itulah padepokan paman Bagaswara."
Setiap orang di dalam pasukan itu seakan akan ter"senyum mendengar keterangan itu. Mereka memandang padepokan yang masih nampak samar samar di hadapan mereka dengan hati yang sejuk. Sementara panas matahari yang mulai menurun masih terasa membakar kulit, para prajurit itu mulai membayangkan sejuknya padepo"kan yang penuh dengan pohon buah buahan. Kolam yang luas dengan berbagai ikan didalamnya. Binatang peliharaan dan bermacam macam kesejukan yang lain.
" Minuman yang segar " desis seorang prajurit yang kehausan setidak tidaknya seperti yang kita dapatkan diperjalanan. Kelapa muda."
"Wedang sere dengan gula kelapa" sahut yang lain "sambil berbaring dibawah sebatang pohon jambu air yang lebat dan menunggu nasi masak. Sementara itu seekor kambing telah disembelih bagi kita semua ini."
Kawannya tertawa. Tetapi tertawa itu terasa masam sekali.
"Kenapa kau tertawa begitu, seakan akan kau tidak lagi memiliki gairah sama sekali?"bertanya orang yang pertama.
"Aku sudah terlalu lama menderita, sehingga aku kehilangan kepercayaan bahwa penderitaan ini pada satu saat akan berakhir." jawab prajurit yang tertawa masam sekali itu.
"Kau mudah sekali menjadi berputus asa. Bukan watak seorang prajurit sejati" sahut kawannya yang lain.
Tetapi prajurit itu masih tertawa. Katanya "Apa bedanya antara berputus asa dan menerima kenyataah yang tidak terelakkan. Apa yang dapat kau katakan terhadap orang orang yang tertawan di Mataram dan yang menjadi cacat karena pertempuran" Mereka adalah orang orang yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Mereka harus menerimanya tanpa dapat disebut berputus asa, karena mereka masih dapat memikul beban."
"Tetapi kau mempunyai kesempatan lebih baik dari mereka" jawab yang lain "bahkan yang cacat dan terta"wan itupun masih berpengharapan untuk dapat hidup wajar dan bebas dari himpitan dinding tahanan untuk menempuh satu kehidupan yang lebih baik."
"Sedangkan kenyataan yang harus aku alami adalah, penderitaan yang tidak akan pernah berakhir" jawab prajurit itu.
Kawannya hanya menarik nafas saja. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Agaknya prajurit itu telah kehilang"an sama sekali harapan bagi masa depannya yang lebih baik.
Demikianlah, langkah demi langkah iring iringan itu mendekati satu padepokan yang nampak hijau. Semakin lama semakin jelas. Pepohonan tumbuh dengan suburnya. Bahkan kemudian setiap orang di dalam pasukan itu meli"hat dinding padepokan yang tidak terlalu tinggi.
Rasa rasanya semua orang ingin meloneat lebih cepat lagi untuk segera sampai ke tempat yang nampaknya sangat teduh dan segar itu. Namun mereka harus melangkah satu satu menyusuri tebing sungai yang tidak terlalu besar.
Namun akhirnya jarak itupun terlintasi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung Purbarana telah berdiri di muka regol padepokan itu sambil menarik nafas dalam dalam. Sambil menggeser pedang dilambungnya ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Kemudian dengan hati hati, seakan akan Ki Tumeng"gung itu takut bahwa regol itu akan roboh, ia mendorong pintu yang ternyata tidak diselarak.
" Marilah, kita masuk " perintah Ki Tumenggung " tetapi jangan gaduh. Mungkin paman sedang beristirahat. Tetapi mungkin sedang berada di sanggar. "
Dengan demikian, maka para prajurit itupun kemu"dian mengikuti Ki Tumenggung memasuki regol. Mereka melintasi halaman dan langsung menebar.
Bagaimanapun juga, memang sulit mengatur orang dalam jumlah yang banyak. Demikian mereka berada di dalam padepokan, maka kegaduhan itupun tidak dapat dihindari. Beberapa orang yang melihat jambu air yang bergayutan di pohonnya, tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa mempedulikan apapun juga, mereka langsung menggapai jambu air itu. Bahkan dua tiga orang telah memanjat dan bertengger di dahan dahannya.
Bukan saja jambu air, bahkan pohon duwet yang buahnya memenuhi cabang cabangnyapun telah dipanjati pula. Yang lain langsung berbaring sambil berdesah. Sementara satu dua orang duduk duduk di rerumputan di pinggir kolam yang berair jernih.
Ki Tumenggung sendiri langsung pergi ke pendapa. Ia termangu mangu sejenak menyaksikan para pengikutnya yang menjadi ribut. Namun terasa sesuatu bergejolak didalam hatinya. Rasa rasanya padepokan itu sangat sepi.
" Nampaknya halaman ini tidak disentuh sehari ini " berkata Ki Tumenggung didalam hatinya. Ia melihat daun daun kering yang bertebaran di halaman yang luas.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung itu justru menjadi curiga. Dengan serta merta iapun meloneat ke pendapa dan langsung menuju ke pringgitan. Bahkan kemudian didorongnya pintu pringgitan, sehingga pintu yang tidak diselarak itu terbuka lebar.
Jantungnya terasa berdentang semakin keras. Ia tidak melihat seorangpun. Karena itu, maka iapun kemu"dian berlari lari memasuki rumah induk padepokan itu sampai ke serambi belakang.
Kecurigaan Ki tumenggung semakin memuncak. Ia"pun kemudian berlari lari ke setiap bilik di dalam rumah induk itu. Bahkan kemudian ia mulai memanggil " Paman, paman Bagaswara. "
Suaranya melingkar lingkar di dalam rumah itu. Na"mun tidak terdengar seorangpun menjawab.
" Paman " Ki Tumenggung itu mengulangi semakin keras, sehingga beberapa orang perwira yang duduk di pendapa mendengarnya.
Beberapa orang diantara merekapun telah bangkit dan memasuki rumah itu pula.
" Apakah Ki Bagaswara tidak ada di rumah" " ber"tanya salah seorang perwiranya.
" Gila. Rumah ini nampaknya sepi sekali " jawab Ki Tumenggung yang tiba tiba saja berteriak " He, anak anak. Cari seseorang di seluruh padepokan ini. Siapapun juga yang ada, bawa ia kemari."
Para prajurit yang sedang beristirahat itupun terkejut. Merekepun segera bangkit. Beberapa orang perwira telah mengulangi perintah Ki Tumenggung. Bahkan bebe"rapa orang perwira telah ikut pula bersama mereka mencari seseorang, siapapun yang ada di padepokan itu.
Tetpi ternyata padepokan itu memang sudah kosong. Tidak ada seorangpun yang mereka temui. Apalagi Kiai Bagaswara, seorang cantrikpun tidak ada yang masih tinggal di padepokan itu.
" O, Sungguh sungguh gila " teriak Ki Tu"menggung ketika ia mendapat laporan bahwa padepokan itu telah kosong.
" Semua ruang dan bilik nampak teratur dan bersih, meskipun sudah mulai berdebu. Nampaknya dua tiga hari padepokan ini telah dikosongkan. " berkata salah seorang perwira.
Ki Tumenggung mengumpat umpat kasar. Bahkan hampir setiap orang di dalam pasukan itu ikut mengumpat pula. Mereka yang bermimpi untuk minum wedang sere hangat hangat atau yang ingin menyuapi mulutnya de"ngan nasi hangat dan daging kambing yang masih muda, telah memaki dengan kasar.
Namun diantara mereka seorang prajurit masih saja berbaring di bawah baying bayang pohon yang rimbun. Ia sama sekali tidak mengumpat dan tidak pula menjadi gelisah.
" He " seorang kawannya mendepak kakinya " kau masih juga berbaring dengan tenang" Nampaknya kau sa"ma sekali tidak peduli terhadap keadaan yang kita hadapi sekarang. Kita akan kelaparan dan kehausan."
Tetapi prajurit itu tersenyum. Jawabnya " aku sudah terlalu lama mengalami kesulitan dan penderitaan, sehingga aku tidak percaya bahwa penderitaanku akan cepat berakhir. Karena itu, apa yang aku hadapi sekarang sama sekali tidak mengejutkan aku. Kalian yang terlalu mengharap ternyata justru mengalami kejutan yang lebih parah dari aku yang sudah mengalasi perasaanku dengan tidak berpengharapan apa apa.
" Uh, kau memang sudah gila " geram kawannya.
Tetapi prajurit itu tersenyum. Bahkan kemudian matanya mulai terkatub. Katanya " Aku mengantuk seka"li."
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang berada di ruang dalam masih saja marah marah tanpa diketahui siapakah yang harus dimarahi. Setiap kali ia masih membentak bentak. Ketika seorang perwira muda berdiri termangu mangu dipintu, Purbarana telah membentaknya " Cepat. Cari Kiai Bagaswara sampai ketemu. Perintahkan semua orang untuk mencari tidak saja di dalam lingkungan padepokan ini Tetapi cari di luar padepokan. Disungai, digoa goa. Mungkin mereka bersembunyi di sana. "
Perwira muda itu terkejut. Namun iapun kemudian melangkah mundur dan keluar dari ruang dalam.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana yang marah itu tiba tiba saja telah memukul dinding penyekat diruang dalam sehingga dinding itu pecah berserakan.
Beberapa orang dengan tergesa gesa mendekatinya. Namun Purbarana justru berteriak " Permainan gila. Benar benar satu permainan gila. Siapakah diantara kalian yang telah berkhianat dan mengabarkan rencana kedatangan kami ke padepokan ini" "
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara itu Tumenggung Purbarana berteriak pula"Tentu ada dian"tara kita yang berkhianat. Kita sudah membunuh semua orang cantrik dari padepokan guru. Mereka tidak mem"punyai kesempatan untuk memberitahukan apa yang ter"jadi itu kepada paman Bagaswara. Apalagi mereka tentu tidak tahu bahwa kita akan pergi ke padepokan ini. "
Ketika masih belum ada yang menjawab, Ki Tumeng"gung berteriak semakin keras " Cari. Cari seseorang yang telah berkhianat. Bawa ia kemari. Aku harus membunuhnya."
Namun dalam pada itu, seorang perwira yang sudah berambut putih melangkah maju sambil berkata "Sabarlah Ki Tumenggung. Kita memang merasa sangat kecewa. Tetapi kita masih dapat berpikir jernih. Tentu tidak mungkin kita dapat menemukan seorang pengkhianat diantara kita. Karena tentu tidak akan ada orang yang berkhaiant. Apakah keuntungan kita untuk berkhianat" Seandainya ada juga orang yang berbuat demikian, maka aku yakin bahwa orang itu sudah pergi bersama Kiai Bagaswara. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Kemudian katanya lantang " Mungkin. Mungkin kau benar. Jika demikian, tentu ada satu atau dua orang cantrik yang lolos. Bukankah menurut penglihatan kita semua cantrik telah terbunuh. "
" Hal itu mungkin saja terjadi"jawab perwira itu " mungkin cantrik itu sedang tidak ada di padepokan saat terjadinya pertempuran. Ia hanya melihat saat saat ter"akhir, pada waktu kita semuanya memusatkan perhatian kita kepada para cantrik sehingga kita tidak mengetahui, bahwa kita sedang diamati oleh seorang cantrik dari luar padepokan. "
" Jika demikian, kenapa ia memberitahukan hal itu kepada paman Bagaswara" Apakah cantrik itu menge"tahui bahwa kita akan pergi ke padepokan ini" "
" Ki Tumenggung" jawab perwira itu "Kiai Bagas"wara adalah saudara seperguruan dari guru Ki Tumeng"gung itu. Karena itu, maka adalah wajar sekali jika satu atau dua orang cantrik yang sempat menyelamatkan diri pergi ke padepokan ini dan menceritakan apa yang dilihatnya meskipun tidak begitu jelas."
Ki Tumenggung menggeram. Dengan nada berat ia berkata " Memang mungkin. Dengan demikian maka paman Bagaswara telah menghindarkan diri. " ia berhenti sejenak. Namun sekali lagi ia menghantam dinding kayu penyekat dan sekali lagi bagian dinding itupun pecah se"perti yang terdahulu " aku harus menemui paman Ba"gaswara. Ia menghindari aku, karena ia belum tahu apa yang akan aku katakan. Jika paman mengerti, maka pa"man tentu akan dapat menerima rencanaku. "
" Tetapi Kiai Bagaswara itu sudah pergi " jawab per"wira itu.
" Aku akan memerintahkan semua orang untuk mencarinya di sekitar padepokan ini. Mungkin di padukuhan padukuhan terdekat, atau mungkin ditempat tempat lain " geram ki Tumenggung.
" Sulit untuk menemukannya " berkata perwira itu " meskipun demikian Ki Tumenggung dapat mencobanya. "
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba Tiba saja ia berteriak " Bakar. Bakar semua bangunan yang ada di padepokan ini. "
" Ki Tumenggung " hampir bersama beberapa orang prajurit berdesis.
" Aku tidak peduli. Padepokan ini harus dibakar sampai lumat " teriaknya.
Namun perwira berambut putih itu berkata dengan nada sareh " Tunggu Ki Tumenggung. Apakah Ki Tu"menggung tidak mempunyai pertimbangan lain. Seandai"nya Ki Tumenggung membakar padepokan ini, maka Ki Tumenggung sudah memutuskan untuk tidak akan pernah berhubungan lagi dengan paman guru Ki Tumenggung. Kiai Bagaswara tentu akan marah, dan bahkan akan berdiri sebagai lawan Ki Tumenggung. Padahal, segalanya masih belum pasti. Mungkin Kiai Bagaswara memang menghindari Ki Tumenggung. Tetapi sebelum ia mende"ngar penjelasan Ki Tumenggung. Jika pada suatu kesem"patan Ki Tumenggung masih dapat menjumpainya, maka Ki Tumenggung masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dan mungkin membujuknya. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun ke"mudian katanya " Seorang pengkhianat tentu sudah mengatakan apa yang telah terjadi. "
" Tetapi apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa yang dikatakannya itu cukup lengkap sebagaimana telah terja"di " " bertanya perwira itu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalamdalam. Kata"nya " Baiklah. Aku tidak akan membakar padepokan ini untuk jangka waktu tertetu. "
" Dengan demikian, kita akan sempat mendapat tempat berteduh Ki Tumenggung " berkata perwira itu " jika kelak ternyata padepokan ini serta Kiai Bagswara ti"dak akan dapat memberikan arti apa apa lagi, maka pa"depokan ini akan dibakar. "
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Ia sependapat, bahwa untuk sementara bangunan bangunan yang ada di padepokan itu akan dapat dipergunakan bagi para prajuritnya. Sementara itu, ia tidak menutup segala kemungkinan untuk berbicara dengan pamannya itu.
Namun ada satu masalah yang harus di pecahkan. Pangan. Selama mereka berada di padepokan itu, maka mereka harus makan.
Karena itu, maka setelah berbicara sejenak dengan para perwira, Ki Tumenggungpun telah turun sendiri ke halaman. Dicarinya lumbung pada padepokan itu untuk melihat, apakah masih ada persediaan pangan.
Ternyata Kiai Bagaswara adalah orang yang terlalu baik. Meskipun ia sadar, apa yang terjadi, namun ia tidak mengosongkan sama sekali lumbung padepokannya. Meskipun ia menganjurkan para cantrik untuk menyingkirkan semua binatang peliharaan, tetapi ia tidak sampai hati untuk mengosongkan lumbungnya.
Balas " On 21 Maret 2009 at 22:46 IS Said:
II-80, 43-80 Tetapi Kiai Bagaswara hanya menyisakan isi lumbungnya untuk tiga empat hari saja. Tidak lebih, sesuai dengan perkiraan dari cantrik yang telah menemuinya, berapa banyaknya para pengikut Ki Tumenggung Purba"rana.
Dengan sisa persediaan bahan makan di lumbung itu, kemarahan Ki Tumenggung agak mereda. Apalagi ketika ia sendiri pergi ke dapur. Dilihatnya alat alat dapur sudah tersusun rapi di atas paga. Siapa yang memerlukannya, tinggal memakainya sesuai dengan kebutuhan.
" Tetapi apakah kita hanya akan makan nasi saja" " bertanya Ki Tumenggung.
" Tentu tidak Ki Tumenggung "jawab salah seorang perwiranya " di padepokan ini kita dapat menemukan sayur sayuran yang akan dapat kita masak. Sementara itu, jika kita menginginkan lauk pauk, maka kita dapat memasuki hutan itu untuk mencari binatang buruan.
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Namun katanya "Kita semuanya sudah merasa lapar setelah sehari berjalan. Karena itu, siapa yang dapat menyediakan makanan bagi kita, biarlah ia melakukannya. "
Dengan demikian, ketika Ki Tumenggungpun kemu"dian kembali kerumah induk, beberapa orang telah mendapatkan tugas untuk menanak nasi. Dengan suka rela beberapa orang menyatakan, bahwa mereka dapat melakukannya. Sementara beberapa orang yang lain, sambil melihat lihat keadaan di sekitarnya, telah pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan.
Namun Ki Tumenggung telah berpesan, jika mereka bertemu dengan seorang laki laki yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang, dan mempunyai kebiasaan mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala yang tidak dipakainya di lehernya, maka mereka supaya segera membawa orang itu menghadap.
" Itu adalah ciri ciri paman Bagaswara " berkata Ki Tumenggung.
" Berapakah kira kira umur Kiai Bagaswara?" bertanya salah seorang dari mereka yang akan pergi berburu,
" Enampuluh lebih sedikit. Tetapi terakhir aku lihat beberapa tahun yang lalu, ujudnya masih seperti seorang yang berumur sepuluh tahun. "
Para prajuritnya mengangguk angguk. Orang orang yang mempunyai cara hidup yang akrab dengan alam, biasanya memang tidak cepat menjadi tua.
Demikianlah, dihari yang semakin suram itu, beberapa orang di padepokan Kiai Bagaswara yang telah kosong, sibuk memasak. Sementara yang lain pergi berburu ke hutan. Tetapi karena malam sudah mulai membayang, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pemburu. Meskipun demikian mereka mendapatkan juga beberapa ekor ayam alas dan seekor kijang tua yang agaknya tersesat
Tetapi sementara itu, di padepokan Ki Tumenggung dan para pengikutnya ternyata tidak mendapatkan minyak setitikpun untuk lampu dan apalagi untuk masak, untuk menggoreng daging ayam hutan.
Ki Tumenggung dan para pengikutnya mengumpat umpat. Mereka terpaksa membuat api di halaman dengan kayu dan ranting kering.
Namun beberapa orang justru lebih senang berada di sekitar api itu sambil menghangatkan tubuh mereka. Sementara di dapur orang orang sibuk menyelesaikan tugas mereka.
Akhirnya nasi, sayur dan lauknyapun telah siap apapun ujudnya. Karena perut yang lapar, maka apapun terasa nikmat juga untuk ditelan sambil duduk melingkari perapian yang mereka biiat di halaman dan di kebun.
Sementara itu, masih belum ada seorangpun di antara para pengikut Ki Tumenggung yang melihat seseorang sebagaimana disebut dengan cirri cirinya. Beberapa orang memang berpendapat, bahwa Kiai Bagaswara dan para cantrik tentu mengungsi ketempat yang cukup jauh untuk dicapai oleh Ki Tumenggung dan para pengikutnya.
Tetapi dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Bagaswara sama sekali tidak meninggalkan padepokan"nya terlalu jauh. Ia masih berada di sekitara padepokan"nya. Bahkan ia sempat menyaksikan, saat saat Ki Tumenggung Purbarana dan para pengikutnya memasuki padepokannya.
Kiai Bagaswara itu menggeleng gelengkan kepalanya melihat iring iringan yang besar itu. Meskipun ia sudah mendapat laporan tentang pasukan itu, tetapi ketika ia melihat sendiri, ia menjadi berdebar debar. Itulah agaknya, maka pasukan itu dapat menghancurkan seisi padepokan saudaratua seperguruannya. Bahkan adalah guru dari Ki Tumenggung sendiri. Apalagi menurut can"trik yang terluka, kemungkinan terbesar sebagaimana dilihat oleh cantrik itu, Kiai Santak akan selalu berada di tangan Ki Tumenggung itu. Kiai Santak yang sangat dikaguminya. Pusaka dari perguruannya yang oleh gurunya di wariskan kepada saudara tertua di dalam perguruan itu. Namun yang kemudian telah jatuh ketangan seseorang yang seharusnya tidak berhak.
Dengan ilmu yang telah di dapatkannya dan dengan Kiai Santak di tangan, Ki Tumenggung akan menjadi seorang yang sangat menakutkan " berkata Kiai Bagas"wara.
Tanpa disadarinya iapun meraba senjatanya. Sebilah luwuk yang juga diwarisinya dari gurunya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Ia juga mendengar dari cantrik yang datang kepadanya, bahwa murid tertua saudara seperguruannya, Putut Pra"dapa yang memiliki ilmu yang sudah lengkap dari per"guruannya, telah terbunuh juga oleh Ki Tumenggung Pur"barana, justru setelah Ki Tumenggung menggenggam ke"ris Kiai Santak.
Sejenak Kiai Bagaswara termangu mangu. Luwuk yang di warisinya itupun mempunyai kekuatan yang ham"pir sama dengan Kiai Santak meskipun ujudnya lebih sederhana, karena luwuk mirip dengan sebilah pedang biasa. Tetapi cara pembuatannya yang mirip dengan membuat sebilah keris.
Namun akhirnya Kiai Bagaswara menggeleng lemah. Katanya "Adalah tidak pantas jika aku berkelahi mela"wan anak anak. Betapapun nakalnya anak itu, aku harus mencari pemecahan lain. Tidak dengan kekerasan senja"ta."
Tetapi sementara itu, Kiai Bagaswara tidak ingin meninggalkan padepokannya. Ia ingin selalu mengawasi apa yang akan terjadi. Meskipun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya, seandainya Purbarana akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya atas padepo"kannya.
Dalam pengamatannya, maka Kiai Bagaswara itu da"pat melihat, satu dua orang pengikut Ki Tumenggung Pur"barana itu telah pergi berburu dengan menyandang busur dan anak panah. Dihari kedua, ada juga beberapa orang yang pergi kehutan.
Tiba tiba saja timbul satu keinginan Kiai Bagaswara untuk berbicara dengan mereka. Dengan menemui mere"ka di hutan, maka Kiai Bagaswara akan dapat berbicara serba sedikit dengan para pengikut Ki Tumenggung itu.
"Tetapi sudah barang tentu tidak dalam ujudku ini"berkata Kiai Bagaswara.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun telah berusaha untuk merubah semua kebiasaannya. Ia sadar akan ujud dan bentuk tubuhnya. Karena itu, ia harus ber"buat sesuatu yang dapat memperkecil ujudnya itu.
Demikianlah, maka ketika beberapa orang pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu sedang berburu, maka me"reka telah tertarik ketika mereka melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon dipinggir hutan itu. Seo"rang yang sudah berusia lanjut mengenakan ikat kepala berwarna gelap.
"Apakah orang itu salah seorang dari penghuni pa"depokan?"bertanya salah seorang diantara mereka kepada kawan kawannya.
"Entahlah. Tetapi orang itu nampaknya sudah ter"lalu tua." jawab yang lain.
Meskipun demikian ada juga seseorang diantara orang orang yang berburu itu datang mendekatinya. Na"mun orang itu sama sekali tidak berpaling kearahnya.
"He, Ki Sanak. Apa yang kau lakuan disini?" berta"nya orang itu.
Orang itu masih saja tidak berpaling, sehingga prajurit Ki Purbarana itu terpaksa mengulangi pertanyaannya.
Ketika orang itu masih diam saja, maka prajurit itupun telah berteriak "He, apakah yang kau lakukan disini?"
Ternyata orang itu berpaling. Ketika ia melihat praju"rit itu berdiri disampingnya maka iapun bergeser surut. Tetapi iapun kemudian tertawa sambil bangkit berdiri.
Ternyata orang tua itu adalah orang yang agak bongkok dan timpang.
"Eh, kau mengejutkan aku Ki Sanak. Kau bertanya apa?" bertanya orang tua yang terbongkok itu.
"Kau sedang apa kakek?" bertanya prajurit itu ke ras keras.
Orang tua itu memiringkan kepalanya untuk dapat mendengar pertanyaan prajurit itu. Kemudian jawabnya "O, aku sedang mencari jamur so. He, apakah kau pernah makan jamur so" Enaknya melampaui hati ayam."
"Rumahmu mana kek?" bertanya prajurit itu pula.
Tetapi jawab orang itu meleset"Disana Ki Sanak. Di lereng itu banyak terdapat jamur so."
"Aku bertanya, di mana rumahmu?" prajurit itu ber"teriak semakin keras.
"O" orang tua itu tertawa lagi. Katanya "Maaf Ki Sanak. Telingaku memang sudah cacat. Ketika aku masih muda, telingaku terkena penyakit sehingga aku menjadi tuli " Ia mengangguk angguk sambil mengusap matanya yang sipit. Lalu katanya " Rumahku di padukuhan sebe"lah Ki Sanak. Menelusuri sungai kecil itu ke Utara. Disana ada sebuah padukuhan kecil. "
Geger Dunia Persilatan 14 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Pukulan Si Kuda Binal 2
Namun dalam pada itu, selagi pasukan Ki Tumeng"gung Purbarana beristirahat di banjar sebuah padukuhan, maka padepokan Tegal Payung yang akan ditujunya telah menjadi kosong.
Kiai Bagaswara dengan para cantriknya telah meninggalkan padepokan mereka meskipun dengan hati yang sangat berat.
Sebenarnyalah, bahwa yang terjadi di padepokan guru Purbarana bukannya seperti yang diduga oleh Ki Tu"menggung itu. Para cantrik tidak tertumpas habis tanpa tersisa. Ternyata masih ada seorang cantrik yang kebetulan sedang berada di sawah. Ketika ia kembali, maka dilihatnya padepokannya telah menjadi ajang pertempuran yang mengerikan.
Cantrik itu kurang tahu apa yang terjadi. Namun akhirnya ia mengetahui, bahwa seisi padepokan itu telah menjadi korban kegarangan sepasukan prajurit dari Pa"jang.
"Aku melihat pasukan itu datang Kiai" berkata can"trik itu, " dipimpin oleh Ki Tumenggung Purbarana. Nam"paknya tidak ada persoalan apapun yang timbul. Ki Tu"menggung masih tetap bersikap sangat hormat kepada gurunya, sebagaimana seorang murid. Tetapi ketika malam itu aku kembali dari sawah, semuanya telah terja"di. Karena itu Kiai, karena semua saudara saudaraku te"lah mati, maka sepantasnya aku juga harus mati. Jika aku pada saat itu tidak membunuh diri terjun kedalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu, karena aku merasa perlu untuk menyampaikan hal ini kepada Kiai. Selebihnya, jika sepantasnya aku harus mati sebagaimana saudara saudaraku, maka sebaiknya Kiai membunuh aku saja.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Seba"gaimana yang dikatakan oleh cantrik itu, bahwa segalanya terjadi begitu saja tanpa diketahui sebab sebabnya, maka Kiai Bagaswara menjadi sangat prihatin.
Namun ternyata bahwa masih ada lagi seorang cantrik yang berhasil mencapai padepokan Kiai Bagaswara. Seo"rang cantrik yang telah terluka. Namun ia masih sempat berceritera apa yang telah terjadi. Bahkan cantrik yang sempat melarikan diri dari medan tanpa diketahui oleh prajurit prajurit Ki Tumenggung itupun sempat menceriterakan apa sebabnya maka segalanya telah terjadi.
Tetapi cantrik itu sudah terlalu payah. Wadagnya tidak lagi mampu bertahan. Karena itu, setelah meneguk air hangat seteguk, maka cantrik itupun telah menjadi pingsan dalam keadaan yang sangat payah, setelah ia sempat menceriterakan apa yang terjadi.
Kiai Bagaswara sempat merawat cantrik itu bebera"pa lama. Cantrik itu sempat sadar dan tersenyum. Lalu katanya"Aku tidak mempunyai tujuan lain kecuali pa"depokan ini. Tidak ada tempat untuk mengadu."
"Ya. Ya. Kau sudah memilih jalan yang benar" berkata Kiai Bagaswara.
Cantrik itu tersenyum. Digapainya tangan kawannya, sesama cantrik dari padepokannya. Katanya"Jangan mati. Kau satu satunya saksi."
"Kau juga seorang saksi yang tahu lebih banyak dari aku" jawab cantrik yang tidak terluka.
Tetapi cantrik itu tersenyum. Dengan suara sendat ia berkata kepada Kiai Bagaswara"Aku mohon pamit. Mudah mudahan pemberitahuan ini berarti bagi Kiai. Sebab menurut perhitunganku, sepeninggal gurunya, mungkin sekali Ki Tumenggung Purbarana akan datang kemari."
"Satu kemungkinan yang dapat terjadi" jawab Kiai Bagaswara.
Cantrik itu memandang wajah Kiai Bagaswara yang lembut sejenak. Namun kemudian wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Satu tarikan nafas yang panjang ternyata telah mengakhiri hidupnya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Semen"tara itu, cantrik yang datang dari padepokan yang sama itupun tidak dapat menahan perasaannya. Betapapun ia bertahan, namun titik titik air matanya tidak terbendung lagi.
Demikianlah, maka cantrik yang meninggal setelah pada saat terakhir ia memberikan arti bagi hidupnya itu, telah di kuburkan sebagaimana seharusnya. Bahkan bagi orang orang padepokan itu, cantrik itu merupakan seorang yang telah mengorbankan hidupnya bagi kepentingan yang besar. Ia tidak sekedar menyelamatkan diri dari medan pertempuran. Tetapi ia berbuat demikian bagi kepentingan sesama yang hidupnya terancam bahaya.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun segera memanggil beberapa orang yang dianggapnya dapat dia jak berbicara. Dua orang jejanggan yang sudah cukup de wasa dan seorang putut yang memiliki wawasan yang cukupjauh.
Dari cantrik yang melihat kekuatan Ki Tumenggung Purbarana, maka Kiai Bagaswara dan pemban tu pembantunya dapat membayangkan, betapa besarnya kekuatan itu dibandingkan dengan kekuatan para cantrik di padepokan itu.
Padepokan yang lebih besar, tempat Ki Tumenggung itu pernah berguru telah dihancurkan. Bahkan tumpas tapis seakan akan tidak tersisa sama sekali. Apalagi padepokan Kiai Bagaswara yang lebih kecil.
Karena itu, maka menurut perhitungan mereka, tidak ada gunanya untuk membenturkan kekuatan padepokan itu dengan kekuatan Ki Tumenggung Purbarana yang su"dah memiliki pula pusaka berupa keris yang besar yang disebut Kiai Santak.
"Kita akan menyingkir" berkata Kiai Bagaswa"ra "bukan sekedar untuk mencari selamat. Tetapi kita harus memperhitungkan segala kemungkinan. Para can"trik dari padepokan kakang Panembahan itu tidak sempat berbuat lain. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan dari pada bertempur sampai orang yang terakhir.
Tetapi kita disini masih mempunyai kesempatan. Kita ti"dak perlu membunuh diri bersama sama. Bukan berarti bahwa kita tidak setia kepada kebenaran. Tetapi kita ti"dak ingin melihat kematian yang tidak berarti apa apa, karena jika kita bertempur sampai orang terakhir, nilainya tidak sama sebagaimana para cantrik dari padepokan kakang Panembahan."
Para putut, jejanggan dan para cantrik ternyata sependapat dengan guru mereka. Meskipun terbersit juga satu keinginan untuk melawan, tetapi pertimbangan pertimbangan yang diberikan oleh guru mereka itu masuk pula di"dalam akal mereka.
Karena itu, maka merekapun segera bersiap siap untuk meninggalkan padepokan itu. Sebelum Ki Tumeng gung datang, maka padepokan itu harus sudah dikosongkan.
"Jika kita terlambat, maka yang akan terjadi adalah seperti padepokan kakang Panembahan. Kita juga tidak akan mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka marilah, kita akan meninggalkan padepokan ini" berkata Kiai Ba"gaswara "aku menyeyogyakan kalian kembali ke paduku"han kalian masing masing, sebagaimana pada saat saat kalian berlibur. Tidak ada kesan apapun yang pantas kali"an tunjukkan kepada sanak kadang kalian, kecuali kegembiraan seperti biasanya. Tumenggung Purbarana tidak mengenal kaiian seorang demi seorang, sehingga ia tidak akan mungkin menelusuri kalian sampai kerumah kalian masing masing. Sementara itu aku sendiri yang akan mengamati padepokan ini. Pada saatnya apabila mereka telah pergi, aku akan memberitahukan kepada kalian. Aku sudah tahu rumah kalian. Tetapi aku dapat juga memberi tahukan hal itu kepada dua tiga orang cantrik yang akan meneruskan pemberitahuan itu kepada saudara saudaranya."
Para cantrikpun mengangguk angguk. Sementara itu Kiai Bagaswarapun berkata "Marilah. Meskipun dengan sangat berat, kita akan mengosongkan padepokan ini sekarang. Kita akan meninggalkan padepokan ini dan kembali kerumah kita masing masing."
Dengan demikian maka pada hari itu juga, padepokan itu telah menjadi kosong. Beberapa hari sebelum Ki Tu"menggung tiba di padepokan itu. Sebagaimana padepokan itu akan dikosongkan, maka seisi padepokan itupun telah diatur dan dibenahi dengan baik. Alat alat dapur yang su"dah dibersihkan, terletak teratur di paga bambu. Bilik bilikpun nampak bersih sementara sanggarpun rasa rasanya telah dipersiapkan sebaik baiknya untuk dipakai setiap saat.
Dua hari semalam padepokan itu kosong sama sekali. Tikar dan perabot perabot yang bersih sudah mulai dihinggapi debu yang semakin tebal. Sementara itu, pasu"kan Ki Tumenggung Purbarana sudah berada di perjala"nan menuju ke padepokan itu. Mereka ternyata sedang bermalam disebuah banjar padukuhan yang masih berjarak hampir sehari perjalanan.
Malampun rasa rasanya segera dihanyutkan oleh waktu. Ketika fajar menyingsing, maka beberapa orang perempuan sudah sibuk di banjar. Ternyata penduduk pa"dukuhan itu adalah penduduk yang ramah dan baik hati. Mereka masih sempat juga menyediakan makan pagi ba"gi sepasukan prajurit menurut pengertian mereka yang akan melanjutkn perjalanan ke Tegal Payung.
Demikianlah, setelah mengucapkan terima kasih, maka Ki Tumenggung Purbaranapun melanjutkan perjala"nan mereka Seperti sebelumnya, maka mereka sama se"kali tidak berusaha untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diinginkan. Pasukan itu ti"dak peduli sama sekali jika orang orang yang melihat me"reka lewat menjadi ketakutan.
Ki Tumenggung memang terlalu percaya kepada kekuatan pasukannya. Iapun yakin bahwa tidak akan ada pasukan yang dapat menyusul mereka karena arah perja"lanan mereka disaat mereka meninggalkan Pajang tidak jelas. Jika kemudian ada laporan tentang sepasukan prajurit yang menyusup di padukuhan padukuhan, maka pasukan Pajang akan memerlukan waktu untuk mencarinya. Sementara itu pasukan itupun telah menjadi semakin jauh.
"Jika pasukan ini mencapai Tegal Payung, dan paman Bagaswara dapat menerima kedatanganku, maka Tegal Payung akan dapat aku jadikan alas berpijak meskipun agak terlalu jauh dari sasaran. Tetapi di Tegal Payung aku akan dapat menyusun kekuatan dari bebe"rapa lingkungan yang akan dapat aku hubungi kemudi"an." berkata Tumenggung itu didalam hatinya.
Dengan demikian maka rasarasanya Ki Tumenggung itu ingin cepat cepat sampai ke tujuan. Ia ingin cepat ber"temu dengan Kiai Bagaswara untuk menyampaikan persoalannya. Bahkan Ki Tumenggung itu hampir pasti, bah"wa pamannya akan mendukungnya, karena ia sendiri pernah mengalami kekecewaan sebagai seorang prajurit.
Demikianlah, pasukan itu seakan akan berjalan de"ngan cepat tanpa menghiraukan apapun juga. Hanya se"kali kali saja mereka beristirahat. Kadang kadang mere"ka telah memasuki sebuah padukuhan untuk minta bebe"rapa puluh butir kelapa muda. Beberapa orang dengan jantung yang berdegupan terpaksa memanjat pohon pohon kelapa untuk mengambil kelapa muda yang di minta oleh pasukan itu. Bahkan kemudian merekapun melayani para prajurit yang kehausan itu. Memecah kelapa muda itu dan mencukil dagingnya.
Dengan demikian, maka perjalanan ke Tegal Payung itu terasa lebih cepat dari yang mereka perhitungkan. Perjalanan itu tidak memerlukan waktu sehari. Ketika matahari mulai turun di sisi langit sebelah barat, maka mereka telah menjadi semakin dekat dengan tujuan.
"Aku pernah mengunjungi paman"berkata Ki Tu"menggung " padepokannya terletak di pinggir sebuah sungai kecil, di antara padang perdu yang luas. Sebuah hutan terbentang di seberang sungai kecil itu dan merupakan tempat berburu bagi para cantrik. Tempat itu me"mang menyenangkan sekali. Di sebelah padang perdu. adalah tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dengan menaikkan air dari sungai kecil itu. Tetapi cukup untuk sebidang sawah yang cukup luas. Hasilnya berlebihan bagi makan mereka sehingga dalam saat saat tertentu mereka sempat menukarkan kelebihan hasil sawah me"reka dengan kebutuhan kebutuhan yang lain "
Dengan keterangan keterangan itu, maka seluruh pasukanpun berharap harap cemas. Mereka memang menginginkan untuk sampai kesatu tempat yang dapat memberikan sedikit kesempatan bagi mereka untuk be"nar benar beristirahat dan kemudian menyusun diri. Me"reka telah terlalu lama berada dalam kelelahan lahir dan batin.
Karena itu, maka Tegal Payung memang merupakan satu tujuan yang memberikan pengharapan bagi mereka.
Hati mereka telah mulai merasa sejuk ketika mereka memasuki sebuah padang perdu. Mereka menelusuri su"ngai yang tidak begitu besar yang kemudian akan sampai ke sebuah padepokan. Padepokan yang dipimpin oleh Kiai Bagaswara.
Ki Tumenggung Purbarana yang berjalan di paling depan tiba tiba saja berkata lantang "Lihat" Kau lihat gerumbul hijau dihadapan kita. Seperti sebuah pulau yang diselubungi oleh permadani yang berwarna hijau" Nah, itulah padepokan paman Bagaswara."
Setiap orang di dalam pasukan itu seakan akan ter"senyum mendengar keterangan itu. Mereka memandang padepokan yang masih nampak samar samar di hadapan mereka dengan hati yang sejuk. Sementara panas matahari yang mulai menurun masih terasa membakar kulit, para prajurit itu mulai membayangkan sejuknya padepo"kan yang penuh dengan pohon buah buahan. Kolam yang luas dengan berbagai ikan didalamnya. Binatang peliharaan dan bermacam macam kesejukan yang lain.
" Minuman yang segar " desis seorang prajurit yang kehausan setidak tidaknya seperti yang kita dapatkan diperjalanan. Kelapa muda."
"Wedang sere dengan gula kelapa" sahut yang lain "sambil berbaring dibawah sebatang pohon jambu air yang lebat dan menunggu nasi masak. Sementara itu seekor kambing telah disembelih bagi kita semua ini."
Kawannya tertawa. Tetapi tertawa itu terasa masam sekali.
"Kenapa kau tertawa begitu, seakan akan kau tidak lagi memiliki gairah sama sekali?"bertanya orang yang pertama.
"Aku sudah terlalu lama menderita, sehingga aku kehilangan kepercayaan bahwa penderitaan ini pada satu saat akan berakhir." jawab prajurit yang tertawa masam sekali itu.
"Kau mudah sekali menjadi berputus asa. Bukan watak seorang prajurit sejati" sahut kawannya yang lain.
Tetapi prajurit itu masih tertawa. Katanya "Apa bedanya antara berputus asa dan menerima kenyataah yang tidak terelakkan. Apa yang dapat kau katakan terhadap orang orang yang tertawan di Mataram dan yang menjadi cacat karena pertempuran" Mereka adalah orang orang yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Mereka harus menerimanya tanpa dapat disebut berputus asa, karena mereka masih dapat memikul beban."
"Tetapi kau mempunyai kesempatan lebih baik dari mereka" jawab yang lain
"Bahkan yang cacat dan terta"wan itupun masih berpengharapan untuk dapat hidup wajar dan bebas dari himpitan dinding tahanan untuk menempuh satu kehidupan yang lebih baik."
"Sedangkan kenyataan yang harus aku alami adalah, penderitaan yang tidak akan pernah berakhir" jawab prajurit itu.
Kawannya hanya menarik nafas saja. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Agaknya prajurit itu telah kehilang"an sama sekali harapan bagi masa depannya yang lebih baik.
Demikianlah, langkah demi langkah iring iringan itu mendekati satu padepokan yang nampak hijau. Semakin lama semakin jelas. Pepohonan tumbuh dengan suburnya. Bahkan kemudian setiap orang di dalam pasukan itu meli"hat dinding padepokan yang tidak terlalu tinggi.
Rasa rasanya semua orang ingin meloneat lebih cepat lagi untuk segera sampai ke tempat yang nampaknya sangat teduh dan segar itu. Namun mereka harus melangkah satu satu menyusuri tebing sungai yang tidak terlalu besar.
Namun akhirnya jarak itupun terlintasi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung Purbarana telah berdiri di muka regol padepokan itu sambil menarik nafas dalam dalam. Sambil menggeser pedang dilambungnya ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Kemudian dengan hati hati, seakan akan Ki Tumeng"gung itu takut bahwa regol itu akan roboh, ia mendorong pintu yang ternyata tidak diselarak.
" Marilah, kita masuk " perintah Ki Tumenggung " tetapi jangan gaduh. Mungkin paman sedang beristirahat. Tetapi mungkin sedang berada di sanggar. "
Dengan demikian, maka para prajurit itupun kemu"dian mengikuti Ki Tumenggung memasuki regol. Mereka melintasi halaman dan langsung menebar.
Bagaimanapun juga, memang sulit mengatur orang dalam jumlah yang banyak. Demikian mereka berada di dalam padepokan, maka kegaduhan itupun tidak dapat dihindari. Beberapa orang yang melihat jambu air yang bergayutan di pohonnya, tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa mempedulikan apapun juga, mereka langsung menggapai jambu air itu. Bahkan dua tiga orang telah memanjat dan bertengger di dahan dahannya.
Bukan saja jambu air, bahkan pohon duwet yang buahnya memenuhi cabang cabangnyapun telah dipanjati pula. Yang lain langsung berbaring sambil berdesah. Sementara satu dua orang duduk duduk di rerumputan di pinggir kolam yang berair jernih.
Ki Tumenggung sendiri langsung pergi ke pendapa. Ia termangu mangu sejenak menyaksikan para pengikutnya yang menjadi ribut. Namun terasa sesuatu bergejolak didalam hatinya. Rasa rasanya padepokan itu sangat sepi.
" Nampaknya halaman ini tidak disentuh sehari ini " berkata Ki Tumenggung didalam hatinya. Ia melihat daun daun kering yang bertebaran di halaman yang luas.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung itu justru menjadi curiga. Dengan serta merta iapun meloneat ke pendapa dan langsung menuju ke pringgitan. Bahkan kemudian didorongnya pintu pringgitan, sehingga pintu yang tidak diselarak itu terbuka lebar.
Jantungnya terasa berdentang semakin keras. Ia tidak melihat seorangpun. Karena itu, maka iapun kemu"dian berlari lari memasuki rumah induk padepokan itu sampai ke serambi belakang.
Kecurigaan Ki tumenggung semakin memuncak. Ia"pun kemudian berlari lari ke setiap bilik di dalam rumah induk itu. Bahkan kemudian ia mulai memanggil " Paman, paman Bagaswara. "
Suaranya melingkar lingkar di dalam rumah itu. Na"mun tidak terdengar seorangpun menjawab.
" Paman " Ki Tumenggung itu mengulangi semakin keras, sehingga beberapa orang perwira yang duduk di pendapa mendengarnya.
Beberapa orang diantara merekapun telah bangkit dan memasuki rumah itu pula.
" Apakah Ki Bagaswara tidak ada di rumah" " ber"tanya salah seorang perwiranya.
" Gila. Rumah ini nampaknya sepi sekali " jawab Ki Tumenggung yang tiba tiba saja berteriak " He, anak anak. Cari seseorang di seluruh padepokan ini. Siapapun juga yang ada, bawa ia kemari."
Para prajurit yang sedang beristirahat itupun terkejut. Merekepun segera bangkit. Beberapa orang perwira telah mengulangi perintah Ki Tumenggung. Bahkan bebe"rapa orang perwira telah ikut pula bersama mereka mencari seseorang, siapapun yang ada di padepokan itu.
Tetpi ternyata padepokan itu memang sudah kosong. Tidak ada seorangpun yang mereka temui. Apalagi Kiai Bagaswara, seorang cantrikpun tidak ada yang masih tinggal di padepokan itu.
" O, Sungguh sungguh gila " teriak Ki Tu"menggung ketika ia mendapat laporan bahwa padepokan itu telah kosong.
" Semua ruang dan bilik nampak teratur dan bersih, meskipun sudah mulai berdebu. Nampaknya dua tiga hari padepokan ini telah dikosongkan. " berkata salah seorang perwira.
Ki Tumenggung mengumpat umpat kasar. Bahkan hampir setiap orang di dalam pasukan itu ikut mengumpat pula. Mereka yang bermimpi untuk minum wedang sere hangat hangat atau yang ingin menyuapi mulutnya de"ngan nasi hangat dan daging kambing yang masih muda, telah memaki dengan kasar.
Namun diantara mereka seorang prajurit masih saja berbaring di bawah baying bayang pohon yang rimbun. Ia sama sekali tidak mengumpat dan tidak pula menjadi gelisah.
" He " seorang kawannya mendepak kakinya " kau masih juga berbaring dengan tenang" Nampaknya kau sa"ma sekali tidak peduli terhadap keadaan yang kita hadapi sekarang. Kita akan kelaparan dan kehausan."
Tetapi prajurit itu tersenyum. Jawabnya " aku sudah terlalu lama mengalami kesulitan dan penderitaan, sehingga aku tidak percaya bahwa penderitaanku akan cepat berakhir. Karena itu, apa yang aku hadapi sekarang sama sekali tidak mengejutkan aku. Kalian yang terlalu mengharap ternyata justru mengalami kejutan yang lebih parah dari aku yang sudah mengalasi perasaanku dengan tidak berpengharapan apa apa.
" Uh, kau memang sudah gila " geram kawannya.
Tetapi prajurit itu tersenyum. Bahkan kemudian matanya mulai terkatub. Katanya " Aku mengantuk seka"li."
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang berada di ruang dalam masih saja marah marah tanpa diketahui siapakah yang harus dimarahi. Setiap kali ia masih membentak bentak. Ketika seorang perwira muda berdiri termangu mangu dipintu, Purbarana telah membentaknya " Cepat. Cari Kiai Bagaswara sampai ketemu. Perintahkan semua orang untuk mencari tidak saja di dalam lingkungan padepokan ini Tetapi cari di luar padepokan. Disungai, digoa goa. Mungkin mereka bersembunyi di sana. "
Perwira muda itu terkejut. Namun iapun kemudian melangkah mundur dan keluar dari ruang dalam.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana yang marah itu tiba tiba saja telah memukul dinding penyekat diruang dalam sehingga dinding itu pecah berserakan.
Beberapa orang dengan tergesa gesa mendekatinya. Namun Purbarana justru berteriak " Permainan gila. Benar benar satu permainan gila. Siapakah diantara kalian yang telah berkhianat dan mengabarkan rencana kedatangan kami ke padepokan ini" "
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara itu Tumenggung Purbarana berteriak pula"Tentu ada dian"tara kita yang berkhianat. Kita sudah membunuh semua orang cantrik dari padepokan guru. Mereka tidak mem"punyai kesempatan untuk memberitahukan apa yang ter"jadi itu kepada paman Bagaswara. Apalagi mereka tentu tidak tahu bahwa kita akan pergi ke padepokan ini. "
Ketika masih belum ada yang menjawab, Ki Tumeng"gung berteriak semakin keras " Cari. Cari seseorang yang telah berkhianat. Bawa ia kemari. Aku harus membunuhnya."
Namun dalam pada itu, seorang perwira yang sudah berambut putih melangkah maju sambil berkata "Sabarlah Ki Tumenggung. Kita memang merasa sangat kecewa. Tetapi kita masih dapat berpikir jernih. Tentu tidak mungkin kita dapat menemukan seorang pengkhianat diantara kita. Karena tentu tidak akan ada orang yang berkhaiant. Apakah keuntungan kita untuk berkhianat" Seandainya ada juga orang yang berbuat demikian, maka aku yakin bahwa orang itu sudah pergi bersama Kiai Bagaswara. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Kemudian katanya lantang " Mungkin. Mungkin kau benar. Jika demikian, tentu ada satu atau dua orang cantrik yang lolos. Bukankah menurut penglihatan kita semua cantrik telah terbunuh. "
" Hal itu mungkin saja terjadi"jawab perwira itu " mungkin cantrik itu sedang tidak ada di padepokan saat terjadinya pertempuran. Ia hanya melihat saat saat ter"akhir, pada waktu kita semuanya memusatkan perhatian kita kepada para cantrik sehingga kita tidak mengetahui, bahwa kita sedang diamati oleh seorang cantrik dari luar padepokan. "
" Jika demikian, kenapa ia memberitahukan hal itu kepada paman Bagaswara" Apakah cantrik itu menge"tahui bahwa kita akan pergi ke padepokan ini" "
" Ki Tumenggung" jawab perwira itu "Kiai Bagas"wara adalah saudara seperguruan dari guru Ki Tumeng"gung itu. Karena itu, maka adalah wajar sekali jika satu atau dua orang cantrik yang sempat menyelamatkan diri pergi ke padepokan ini dan menceritakan apa yang dilihatnya meskipun tidak begitu jelas."
Ki Tumenggung menggeram. Dengan nada berat ia berkata " Memang mungkin. Dengan demikian maka paman Bagaswara telah menghindarkan diri. " ia berhenti sejenak. Namun sekali lagi ia menghantam dinding kayu penyekat dan sekali lagi bagian dinding itupun pecah se"perti yang terdahulu " aku harus menemui paman Ba"gaswara. Ia menghindari aku, karena ia belum tahu apa yang akan aku katakan. Jika paman mengerti, maka pa"man tentu akan dapat menerima rencanaku. "
" Tetapi Kiai Bagaswara itu sudah pergi " jawab per"wira itu.
" Aku akan memerintahkan semua orang untuk mencarinya di sekitar padepokan ini. Mungkin di padukuhan padukuhan terdekat, atau mungkin ditempat tempat lain " geram ki Tumenggung.
" Sulit untuk menemukannya " berkata perwira itu " meskipun demikian Ki Tumenggung dapat mencobanya. "
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba Tiba saja ia berteriak " Bakar. Bakar semua bangunan yang ada di padepokan ini. "
" Ki Tumenggung " hampir bersama beberapa orang prajurit berdesis.
" Aku tidak peduli. Padepokan ini harus dibakar sampai lumat " teriaknya.
Namun perwira berambut putih itu berkata dengan nada sareh " Tunggu Ki Tumenggung. Apakah Ki Tu"menggung tidak mempunyai pertimbangan lain. Seandai"nya Ki Tumenggung membakar padepokan ini, maka Ki Tumenggung sudah memutuskan untuk tidak akan pernah berhubungan lagi dengan paman guru Ki Tumenggung. Kiai Bagaswara tentu akan marah, dan bahkan akan berdiri sebagai lawan Ki Tumenggung. Padahal, segalanya masih belum pasti. Mungkin Kiai Bagaswara memang menghindari Ki Tumenggung. Tetapi sebelum ia mende"ngar penjelasan Ki Tumenggung. Jika pada suatu kesem"patan Ki Tumenggung masih dapat menjumpainya, maka Ki Tumenggung masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dan mungkin membujuknya. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun ke"mudian katanya " Seorang pengkhianat tentu sudah mengatakan apa yang telah terjadi. "
" Tetapi apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa yang dikatakannya itu cukup lengkap sebagaimana telah terja"di " " bertanya perwira itu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalamdalam. Kata"nya " Baiklah. Aku tidak akan membakar padepokan ini untuk jangka waktu tertetu. "
" Dengan demikian, kita akan sempat mendapat tempat berteduh Ki Tumenggung " berkata perwira itu " jika kelak ternyata padepokan ini serta Kiai Bagswara ti"dak akan dapat memberikan arti apa apa lagi, maka pa"depokan ini akan dibakar. "
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Ia sependapat, bahwa untuk sementara bangunan bangunan yang ada di padepokan itu akan dapat dipergunakan bagi para prajuritnya. Sementara itu, ia tidak menutup segala kemungkinan untuk berbicara dengan pamannya itu.
Namun ada satu masalah yang harus di pecahkan. Pangan. Selama mereka berada di padepokan itu, maka mereka harus makan.
Karena itu, maka setelah berbicara sejenak dengan para perwira, Ki Tumenggungpun telah turun sendiri ke halaman. Dicarinya lumbung pada padepokan itu untuk melihat, apakah masih ada persediaan pangan.
Ternyata Kiai Bagaswara adalah orang yang terlalu baik. Meskipun ia sadar, apa yang terjadi, namun ia tidak mengosongkan sama sekali lumbung padepokannya. Meskipun ia menganjurkan para cantrik untuk menyingkirkan semua binatang peliharaan, tetapi ia tidak sampai hati untuk mengosongkan lumbungnya.
Tetapi Kiai Bagaswara hanya menyisakan isi lumbungnya untuk tiga empat hari saja. Tidak lebih, sesuai dengan perkiraan dari cantrik yang telah menemuinya, berapa banyaknya para pengikut Ki Tumenggung Purba"rana.
Dengan sisa persediaan bahan makan di lumbung itu, kemarahan Ki Tumenggung agak mereda. Apalagi ketika ia sendiri pergi ke dapur. Dilihatnya alat alat dapur sudah tersusun rapi di atas paga. Siapa yang memerlukannya, tinggal memakainya sesuai dengan kebutuhan.
" Tetapi apakah kita hanya akan makan nasi saja" " bertanya Ki Tumenggung.
" Tentu tidak Ki Tumenggung "jawab salah seorang perwiranya " di padepokan ini kita dapat menemukan sayur sayuran yang akan dapat kita masak. Sementara itu, jika kita menginginkan lauk pauk, maka kita dapat memasuki hutan itu untuk mencari binatang buruan.
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Namun katanya "Kita semuanya sudah merasa lapar setelah sehari berjalan. Karena itu, siapa yang dapat menyediakan makanan bagi kita, biarlah ia melakukannya. "
Dengan demikian, ketika Ki Tumenggungpun kemu"dian kembali kerumah induk, beberapa orang telah mendapatkan tugas untuk menanak nasi. Dengan suka rela beberapa orang menyatakan, bahwa mereka dapat melakukannya. Sementara beberapa orang yang lain, sambil melihat lihat keadaan di sekitarnya, telah pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan.
Namun Ki Tumenggung telah berpesan, jika mereka bertemu dengan seorang laki laki yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang, dan mempunyai kebiasaan mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala yang tidak dipakainya di lehernya, maka mereka supaya segera membawa orang itu menghadap.
" Itu adalah ciri ciri paman Bagaswara " berkata Ki Tumenggung.
" Berapakah kira kira umur Kiai Bagaswara?" bertanya salah seorang dari mereka yang akan pergi berburu,
" Enampuluh lebih sedikit. Tetapi terakhir aku lihat beberapa tahun yang lalu, ujudnya masih seperti seorang yang berumur sepuluh tahun. "
Para prajuritnya mengangguk angguk. Orang orang yang mempunyai cara hidup yang akrab dengan alam, biasanya memang tidak cepat menjadi tua.
Demikianlah, dihari yang semakin suram itu, beberapa orang di padepokan Kiai Bagaswara yang telah kosong, sibuk memasak. Sementara yang lain pergi berburu ke hutan. Tetapi karena malam sudah mulai membayang, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pemburu. Meskipun demikian mereka mendapatkan juga beberapa ekor ayam alas dan seekor kijang tua yang agaknya tersesat
Tetapi sementara itu, di padepokan Ki Tumenggung dan para pengikutnya ternyata tidak mendapatkan minyak setitikpun untuk lampu dan apalagi untuk masak, untuk menggoreng daging ayam hutan.
Ki Tumenggung dan para pengikutnya mengumpat umpat. Mereka terpaksa membuat api di halaman dengan kayu dan ranting kering.
Namun beberapa orang justru lebih senang berada di sekitar api itu sambil menghangatkan tubuh mereka. Sementara di dapur orang orang sibuk menyelesaikan tugas mereka.
Akhirnya nasi, sayur dan lauknyapun telah siap apapun ujudnya. Karena perut yang lapar, maka apapun terasa nikmat juga untuk ditelan sambil duduk melingkari perapian yang mereka biiat di halaman dan di kebun.
Sementara itu, masih belum ada seorangpun di antara para pengikut Ki Tumenggung yang melihat seseorang sebagaimana disebut dengan cirri cirinya. Beberapa orang memang berpendapat, bahwa Kiai Bagaswara dan para cantrik tentu mengungsi ketempat yang cukup jauh untuk dicapai oleh Ki Tumenggung dan para pengikutnya.
Tetapi dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Bagaswara sama sekali tidak meninggalkan padepokan"nya terlalu jauh. Ia masih berada di sekitara padepokan"nya. Bahkan ia sempat menyaksikan, saat saat Ki Tumenggung Purbarana dan para pengikutnya memasuki padepokannya.
Kiai Bagaswara itu menggeleng gelengkan kepalanya melihat iring iringan yang besar itu. Meskipun ia sudah mendapat laporan tentang pasukan itu, tetapi ketika ia melihat sendiri, ia menjadi berdebar debar. Itulah agaknya, maka pasukan itu dapat menghancurkan seisi padepokan saudaratua seperguruannya. Bahkan adalah guru dari Ki Tumenggung sendiri. Apalagi menurut can"trik yang terluka, kemungkinan terbesar sebagaimana dilihat oleh cantrik itu, Kiai Santak akan selalu berada di tangan Ki Tumenggung itu. Kiai Santak yang sangat dikaguminya. Pusaka dari perguruannya yang oleh gurunya di wariskan kepada saudara tertua di dalam perguruan itu. Namun yang kemudian telah jatuh ketangan seseorang yang seharusnya tidak berhak.
Dengan ilmu yang telah di dapatkannya dan dengan Kiai Santak di tangan, Ki Tumenggung akan menjadi seorang yang sangat menakutkan " berkata Kiai Bagas"wara.
Tanpa disadarinya iapun meraba senjatanya. Sebilah luwuk yang juga diwarisinya dari gurunya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Ia juga mendengar dari cantrik yang datang kepadanya, bahwa murid tertua saudara seperguruannya, Putut Pra"dapa yang memiliki ilmu yang sudah lengkap dari per"guruannya, telah terbunuh juga oleh Ki Tumenggung Pur"barana, justru setelah Ki Tumenggung menggenggam ke"ris Kiai Santak.
Sejenak Kiai Bagaswara termangu mangu. Luwuk yang di warisinya itupun mempunyai kekuatan yang ham"pir sama dengan Kiai Santak meskipun ujudnya lebih sederhana, karena luwuk mirip dengan sebilah pedang biasa. Tetapi cara pembuatannya yang mirip dengan membuat sebilah keris.
Namun akhirnya Kiai Bagaswara menggeleng lemah. Katanya "Adalah tidak pantas jika aku berkelahi mela"wan anak anak. Betapapun nakalnya anak itu, aku harus mencari pemecahan lain. Tidak dengan kekerasan senja"ta."
Tetapi sementara itu, Kiai Bagaswara tidak ingin meninggalkan padepokannya. Ia ingin selalu mengawasi apa yang akan terjadi. Meskipun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya, seandainya Purbarana akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya atas padepo"kannya.
Dalam pengamatannya, maka Kiai Bagaswara itu da"pat melihat, satu dua orang pengikut Ki Tumenggung Pur"barana itu telah pergi berburu dengan menyandang busur dan anak panah. Dihari kedua, ada juga beberapa orang yang pergi kehutan.
Tiba tiba saja timbul satu keinginan Kiai Bagaswara untuk berbicara dengan mereka. Dengan menemui mere"ka di hutan, maka Kiai Bagaswara akan dapat berbicara serba sedikit dengan para pengikut Ki Tumenggung itu.
"Tetapi sudah barang tentu tidak dalam ujudku ini"berkata Kiai Bagaswara.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun telah berusaha untuk merubah semua kebiasaannya. Ia sadar akan ujud dan bentuk tubuhnya. Karena itu, ia harus ber"buat sesuatu yang dapat memperkecil ujudnya itu.
Demikianlah, maka ketika beberapa orang pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu sedang berburu, maka me"reka telah tertarik ketika mereka melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon dipinggir hutan itu. Seo"rang yang sudah berusia lanjut mengenakan ikat kepala berwarna gelap.
"Apakah orang itu salah seorang dari penghuni pa"depokan?"bertanya salah seorang diantara mereka kepada kawan kawannya.
"Entahlah. Tetapi orang itu nampaknya sudah ter"lalu tua." jawab yang lain.
Meskipun demikian ada juga seseorang diantara orang orang yang berburu itu datang mendekatinya. Na"mun orang itu sama sekali tidak berpaling kearahnya.
"He, Ki Sanak. Apa yang kau lakuan disini?" berta"nya orang itu.
Orang itu masih saja tidak berpaling, sehingga prajurit Ki Purbarana itu terpaksa mengulangi pertanyaannya.
Ketika orang itu masih diam saja, maka prajurit itupun telah berteriak "He, apakah yang kau lakukan disini?"
Ternyata orang itu berpaling. Ketika ia melihat praju"rit itu berdiri disampingnya maka iapun bergeser surut. Tetapi iapun kemudian tertawa sambil bangkit berdiri.
Ternyata orang tua itu adalah orang yang agak bongkok dan timpang.
"Eh, kau mengejutkan aku Ki Sanak. Kau bertanya apa?" bertanya orang tua yang terbongkok itu.
"Kau sedang apa kakek?" bertanya prajurit itu ke ras keras.
Orang tua itu memiringkan kepalanya untuk dapat mendengar pertanyaan prajurit itu. Kemudian jawabnya "O, aku sedang mencari jamur so. He, apakah kau pernah makan jamur so" Enaknya melampaui hati ayam."
"Rumahmu mana kek?" bertanya prajurit itu pula.
Tetapi jawab orang itu meleset"Disana Ki Sanak. Di lereng itu banyak terdapat jamur so."
"Aku bertanya, di mana rumahmu?" prajurit itu ber"teriak semakin keras.
"O" orang tua itu tertawa lagi. Katanya "Maaf Ki Sanak. Telingaku memang sudah cacat. Ketika aku masih muda, telingaku terkena penyakit sehingga aku menjadi tuli " Ia mengangguk angguk sambil mengusap matanya yang sipit. Lalu katanya " Rumahku di padukuhan sebe"lah Ki Sanak. Menelusuri sungai kecil itu ke Utara. Disana ada sebuah padukuhan kecil. "
"Kakek tua" berkata prajurit itu lagi" apakah kau pernah mengenali orang orang yang tinggal dipadepokan itu?"
Orang itu berpikir sejenak. Lalu "Padepokan itu maksudmu Ki Sanak."
"Ya" prajurit itu masih berteriak teriak.
"Tentu saja aku kenal. Aku sering pergi ke padepo"kan itu. Setiap kali aku datang, aku mendapat beras se beruk penuh. Para cantrik di padepkan itu menggarap sa"wah di sebelah padukuhanku."
"Kau mengenal orang yang bernama Kiai Bagaswa"ra. ?"bertanya prajurit itu.
"Siapa?" bertanya orang tua itu.
"Kiai Bagaswara" prajurit itu berteriak.
"O, tentu saja aku kenal" jawab orang tua itu "kenapa dengan
Balas " On 21 Maret 2009 at 22:45 IS Said:
Kok mental II-80" Serangan keris itu telah mendebarkan jantung Putut Pradapa. Karena itu, maka Putut itupun telah berloncatan surut. Namun Ki Tumenggung sama sekali tidak melepaskannya. Dengan sigapnya Ki Tumenggung selalu memburunya. Jika Putut itu terlepas barang sekejap, maka ia akan sempat membangun serangan dengan ilmunya yang sangat dahsyat lewat kedua telapak tangannya yang mengembang.
Serangan keris Kiai Santak itu benar benar telah merubah keseimbangan pertempuran. Kecuali keris itu sendiri memang keris pilihan dan jarang ada duanya, ternyata bahwa pengaruh keris itu sebagai pusaka gurunya, telah mencengkam jantung Putut Pradapa. Meskipun ia sadar sepenuhnya bahwa keris itu berada ditangan orang yang pantas dibinasakan, tetapi berhadapan dengan keris itu ra"sa rasanya Putut itu berhadapan dengan gurunya.
Dengan demikian maka Putut Pradapapun semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan lawannya yang cepat dan kuat, tidak memberinya kesempatan untuk menyerangnya dengan ilmunya yang luar biasa. Sehingga dengan demikian, maka Putut itu harus bertempur dengan beralaskan kekuatan dan ketrampilan ilmu kanuragannya. Namun justru karena lawannya menggenggam senjata yang mempunyai pengaruh langsung bagi jiwanya, maka Putut Pradapapun dengan cepat telah terdesak.
Sebenarnyalah bahwa kemampuan dan ilmu Putut Pra"dapa masih berada selapis diatas Ki Tumenggung meskipun Ki Tumenggung itu lebih dahulu berguru. Tetapi Putut Pra"dapa yang selalu dekat dengan gurunya dan usahanya yang bersungguh sungguh tanpa mengenal lelah, telah memiliki kemampuan melampaui kakak seperguruannya.
Namun saat itu Ki Tumenggung telah menggenggam keris Kiai Santak. Keris yang sangat dihormati oleh Putut Pradapa itu sendiri.
Karena itu, maka betapapun juga perlawanan Putut Pradapa, maka perbawa keris itu tidak mampu dihindarinya. Ketika Ki Tumenggung memburunya dengan se"rangan yang datang bagaikan amuk badai yang dahsyat, Putut Pradapa tidak mampu menghindari semua serangan itu. Jantungnya berdegup keras, ketika terasa lengannya tergores keris Kiai Santak.
Dengan serta merta Putut Pradapa meloncat jauh surut. Tetapi Ki Tumenggung tidak memberinya kesempatan. Ia sadar, bahwa jika Putut itu berhasil mengambil jarak, maka ia tentu akan dapat menyerangnya dengan il"munya yang dashyat itu.
Serangan Ki Tumenggung ternyata telah mengejarnya ke mana saja Putut itu berusaha menghindar.
Para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang semula menjadi cemas, telah bersorak dengan serta merta. Mereka bagaikan orang yang bangkit dari kehilangan harapannya.
Namun dalam pada itu para cantriklah yang menjadi semakin cemas. Mereka melihat Ki Tumenggung selalu memburu Putut Pradapa dengan keris Kiai Santak.
Sebenarnya Putat Pradapa akan mampu bertahan, jika jiwanya tidak dicengkam oleh pengaruh keris itu sendiri. Betapapun ia berusaha dengan sadar melawan Ki Tumeng"gung, namun keris itu masih saja selalu membayanginya, sehingga akhirnya Putut Pradapa itu benar benar telah ter"desak.
Segores luka ditubuhnya telah memberikan isyarat kepadanya, bahwa iapun harus ikut bersama gurunya, menghadap Yang Maha Pencipta. Kembali ke Alam asalnya untuk selama lamanya.
Kemampuan warangan pada keris Kiai Santak benar benar tajam. Sesaat kemudian, Putut Pradapa telah merasakan, bahwa tubuhnya menjadi gemetar. Betapapun ia berusaha, namun geraknya menjadi semakin lamban, sehingga justru karena itu, maka Keris Kiai Santak itu kemudian telah melukainya sekali lagi. Lebih dalam dan lebih panjang menyayat kulit di dadanya.
Putut Pradapa terdorong surut. Namun ia tidak lagi berusaha untuk menghindar. Ketika Ki Tumenggung meloncat maju dan menikam dadanya dengan keris itu. Putut Pradapa sama sekali tidak menghindarkan dirinya.
Tikaman itu benar benar menentukan. Bukan saja ka"rena warangan keris itu. Tetapi keris itu memang menghunjam sampai ke jantung, sehingga demikian keris itu ditarik, maka Putut Pradapapun telah terjatuh ditanah.
Putut Pradapa sama sekali tidak mengeluh. Meskipun ia sempat berdesis. Tetapi kemudian nafasnyapun terhenti.
Jantung para cantrik bagaikan mclcdak melihat kematian Putut Pradapa yang seakan akan menjadi wakil gurunya di padepokan itu. Apalagi kematian Putut Pradapa itu disebabkan oleh tangan saudara tuanya yang telah berkhianat. Yang telah mombunuh gurunya dan merampas pusakanya. Pusaka yang tidak ada duanya. Dan dengan pusaka itu pula ia mengakhiri perlawanan Putut Pradapa.
Sejenak para cantrik itu termangu mangu. Namun adalah diluar dugaan para pengikut Ki Tumenggung Purbarana. Mereka mengira bahwa kematian Putut Pradapa adalah pertanda berakhirnya perlawanan di padepokan itu.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, para cantrik yang mencintai gurunya dan kakak seperguruannya yang dianggapnya sebagai wakil gurunya itu, seakan akan telah membuat mereka kehilangan akal. Tidak ada yang menjatuhkan perintah di antarapara cantrik itu. Namun tiba tiba saja, hampir bersamaan, para cantrik itu telah mengamuk. Dengan senjata apa saja yang dapat mereka gapai, maka mereka telah menyerang para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang ada di dekatnya. Bahkan sebagian dari para cantrik itu sempat mencabut senjata prajurit prajurit itu sendiri, karena para prajurit itu sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan terjadi.
Dua orang cantrik yang sudah meningkat dan di anggap sebagai jejanggan di padepokan itu, adalah orang orang pertama yang telah mengamuk bagaikan seekor banteng yang terluka. Dua orang jejanggan itu sudah memiliki ilmu yang memadai. Meskipun ia masih belum mencapai kemampuan sebagaimana Putut Pradapa. Namun tiba tiba saja lima orang prajurit telah terkapar di tanah.
Ki Tumenggung untuk beberapa saat justru terpukau oleh peristiwa yang tidak di sangka sangka itu. Namun agaknya Ki Tumenggung seakan akan telah kehilangan akal pula, sehingga terdengar ia berteriak nyaring, " Tumpas semua perlawanan. "
Para pengikutnya tidak berpikir lebih panjang, maka para pengikut ki Tumenggungpun segera melakukan perintah itu.
Jumlah para pengikut Ki Tumenggung memang cukup banyak. Karena itu, maka mereknpun segera berhasil menguasai medan. Meskipun demikian mereka tidak segera berhasil memadamkan pertempuran karena setiap orang cantrik telah bertekad untuk bertempur sampai mati sebagaimana gurunya dan Putut Pradapa
Dengan demikian, maka padepokan itupun bagaikan telah dibakar oleh api kemarahan yang tidak terkendali. Kedua belah pihak bertempur tanpa mengingat apapun lagi kecuali untuk membunuh lawan masing masing.
Ternyata bahwa para cantrik yang mengamuk itu benar benar telah mendebarkan jantung Ki Tumenggung. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa kematian gurunya dan Putut Pradapa telah mnyeret lebih dari dua puluh orangnya yang terbunuh pula. Namun dengan kegarangan sekelompok serigala lapar, maka para cantrik itupun seorang demi seorang telah terkapar pula di buminya. Padepokan kecil tempat mereka setiap hari dengan tekun menuntut ilmu dan bekerja bagi kehidupan mereka.
Perlahan lahan api pertempuran yang mengerikan itupun berhasil dipadamkan oleh para pengikut Ki Tumenggung. Tetapi korban di antara mereka yang jatuh benar benar di luar dugaan. Lebih dari duapuluh orang terbunuh dan lebih banyak lagi yang terluka.
" Orang orang gila " geram Ki Tumenggung. Namun di dasar hatinya yang paling dalam terbersit juga satu kekaguman akan kesetiaan para cantrik itu. Ternyata tidak seorang cantrikpun yang masih tetap hidup. Mereka bertempur sampai orang yang terakhir.
Dengan wajah yang kusut Ki Tumenggung menyaksikan orang orangnya mengumpulkan kawannya yang terluka dan yang terbunuh. Mereka tidak dapat membiarkan saja mereka dalam keadaannya. Karena itu, maka beberapa orang diantara para pengikut Ki Tumenggung yang memiliki sedikit pengetahuan tentang obat obatan telah dikerahkan untuk merawat kawan kawan mereka yang terluka.
Sementara itu, merekapun tidak dapat pula membiarkan tubuh para cantrik yang terbunuh bertebaran di halaman dan dikebun padepokan. Karena itu, maka mere"kapun telah membuat sebuah lubang kubur yang besar untuk mengubur para cantrik yang bertempur dengan gagah berani sampai orang yang terakhir.
Namun bagaimanapun juga, Ki Tumenggung masih juga menaruh hormat kepada gurunya. Karena itu, maka gurunyapun telah dikuburkannya terpisah dari para cantrik. Dengan sepotong kayu, Ki Tumenggung telah memberikan tanda pada kubur gurunya di belakang padepokan itu.
Tetapi karena itu, maka Ki Tumenggung tidak segera dapat meninggalkan padepokan itu. Ia harus menunggu beberapa orangnya sembuh dari luka lukanya. Ia tidak dapat meninggalkan mereka, karena jumlah orang orang nya telah menjadi jauh susut.
Yang terjadi di padepokan itu, sama sekali tidak diketahui oleh orang lain. Padepokan itu memang terletak di tempat yang terpencil. Meskipun bukan berarti bahwa padepokan itu sama sekali tidak berhubungan dengan orang luar, tetapi hubungan itu terjadi pada keadaan keadaan yang tertentu saja. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang terjadi di padepokan itu tidak dengan cepat menjalar ke daerah di sekitarnya. Apabila letak pade"pokan itu memang agak terpencil dari lingkungan padukuhan padukuhan.
Meskipun demikian, rasa rasanya jiwa Ki Tumeng"gung tidak dapat tenang berada di padepokan itu. Ia selalu diganggu oleh ingatan tentang gurunya yang dibunuhnya dengan racun. Tentang Putut Pradapa yang memiliki ilmu nggegirisi. Namun yang kemudian terkubur bersama jasadnya sebelum ilmu itu bermanfaat bagi kehidupan. Bahkan Ki Tumenggungpun tidak dapat melupakan barang sejenak, mayat para cantrik dengan kesetiaannya yang tinggi, terbujur lintang di halaman dan dikebun padepokan itu.
Tetapi bagaimanapun juga Ki Tumenggung Purbarana harus menahan diri. Orang orangnya yang terluka parah masih memerlukan waktu unluk dapat pergi meninggalkan padepokan itu. Sehingga bagaimanapun juga, Ki Tumenggung masih harus tinggal untuk beberapa saat lamanya.
Ternyata bahwa akibat pertempuran antara para pengikutnya dan para cantrik itu benar benar cukup parah. Kekuatan Ki Tumenggung yang tidak terlalu besar itu telah susut.
Meskipun demikian, api dendam yang menyala di hati Tumenggung Purbarana sama sekali tidak susut seba"gaimana kekuatan yang ada padanya.
Dengan beberapa orang pemimpin kelompoknya ia setiap kali membicarakan langkah langkah yang akan di ambilnya setelah mereka dapat meninggalkan padepokan kecil yang telah berubah menjadi neraka yang mengerikan itu.
" Kita dapat berhubungan dengan paman Bagaswara di Tegal Payung. Kitapun dapat berbicara dengan Warak Ireng dan Lindut yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, tetapi karena sikapnya yang berbeda dengan sikap beberapa orang pengikut kakang Panji, maka mereka berdua tidak mau hadir di Prambanan " berkata Purba"rana.
Seorang perwira yang berambut putih menggeleng lemah sambil berkata " Ki Tumenggung, jika Ki Tumeng"gung sependapat dengan aku, jangan pergi ke Warak Ireng dan Linduk. Mereka adalah orang orang licik yang sama sekali tidak berpegangan pada satu paugeran hidup yang dihormati. Bagi mereka, apa saja dapat mereka lakukan jika hal itu mereka kehendaki. Meskipun secara pribadi aku belum mengenal mereka, tetapi aku sudah pernah mengenalnya mereka dari pamanku yang sekarang sudah tidak ada lagi. "
Ki Tumenggung termangu mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Jangan dikungkung oleh pendapat seseorang yang belum pasti kebenarannya. Tetapi camkan. Berhadapan dengan orang yang licik, maka kitapun harus berbuat seperti itu pula. Aku yakin bahwa pasukan kita lebih besar dan lebih kuat dari isi padepokan Warak Ireng dan Linduk. Sementara itu, aku akan dapat mengimbangi kemampuan keduanya apalagi dengan keris Kiai Santak. Karena itu, pada saatnya, jika mereka memang berbahaya, maka mereka akan kita binasakan. Tetapi sementara itu, mereka akan sangat berarti bagi kita. Ki Tumenggung itu berhenti sejenak. Lalu " Tetapi bagaimana dengan paman Bagaswara" "
" Bagaimana jika paman Ki Tumenggung itu sudah mendengar peristiwa yang terjadi di padepokan ini" " bertanya Perwira berambut putih itu.
" Tidak seorangpun diantara para cantrik yang lolos. Tidak akan ada orang yang sempat menyampaikan persoalan ini kepada paman Bagaswara " jawab Ki Tumeng"gung. Lalu " Paman Bagaswara adalah seorang yang sangat baik kepadaku. Bahkan dahulu, aku sangat diman jakannya. Mudah mudahan ia masih bersedia berbuat demikian sekarang ini dalam bentuk yang lebih dewasa dan berarti. "
Para pemimpin kelompoknya hanya mengangguk angguk. Namun mereka semuanya merasa, bah"wa yang telah terjadi di padepokan ini adalah satu peris"tiwa yang sangat berkesan dihati mereka. Kesetiaan para cantrik itu ternyata melampaui kesetiaan prajurit. Para cantrik itu sama sekali tidak mengenal menyerah sampai orang yang terakhir. Bahkan yang terluka dan tidak mam"pu memberikan perlawanan telah membiarkan dirinya mati tanpa berusaha untuk mengobatinya sama sekali.
Dari hari ke hari, para prajurit yang terluka telah berangsur sembuh. Beberapa orang yang parah ternyata tidak lagi berhasil diselamatkan, sehingga masih saja ada kawan kawan mereka yang dengan hati yang sangat berat terpaksa diserahkan kepada bumi di padepokan kecil dan terpencil itu.
Namun akhirnya, saal yang mereka tunggu tunggu itupun telah datang. Para prajurit yang terluka telah men"jadi sembuh dan mampu untuk melanjutkan perjalanan. Masih ada beberapa yang masih belum pulih sama sekali bahkan masih ada yang harus berjalan sambil bertelakan tongkat. Namun mereka sudah dapat meninggalkan pade"pokan yang selalu memberikan mimpi yang sangat buruk.
Demikianlah, ketika keadaan memang sudah memungkinkan. Ki Tumenggung telah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok dan orang orang yang pantas untuk diajak bebricara tentang rencananya lebih lanjut.
" Kita harus segera mulai " berkata Ki Tumenggung " mula mula aku akan menghadap paman Bagaswara. Baru kemudian kita bertemu dengan Warak Ireng dan Linduk. Mungkin paman akan dapat memberikan bebe"rapa petunjuk untuk menghadapi kedua orang ini setelah kita tidak memerlukan mereka lagi. "
" Baiklah Ki Tumenggung " sahut salah seorang perwiranya " segala sesuatu akan dapat kita bicarakan sete"lah kita bertemu dengan paman Ki Tumenggung itu. Nampaknya paman Ki Tumenggung itu juga seorang yang mempunyai wawasan yang luas. "
" Ya. Wawasannya mengenai hubungan antara Pajang dan Mataram, tentu lebih luas paman Bagaswara. Ia adalah bekas Senapati pada akhir kekuasaan Demak. Iapun pernah mengalami kekecewaan justru karena Demak kemudian pindah ke Pajang. Pada saat pemerintahan kemudian berada di tangan Sultan Hadiwijaya anak Pengging itu. " berkat Ki Tumenggung " Sehingga dengan demikian, paman Bagaswara telah memilih hidup di sebuah padepokan kecil di Tegal Payung. Padepokan sebagaimana padepokan ini. "
" Jika demikian, maka satu satunya jalan yang paling baik kita tempuh sekarang adalah menemui paman Ki Tumenggung. " berkata salah seorang pemim"pin kelompoknya " apapun yang akan dikatakannya, akan dapat kita jadikan bahan untuk menentukan langkah langkah berikutnya. "
Hanya jika sesuai dengan jalan pikiran kita " potong Ki Tumenggung dengan serta merta " jika paman menolak rencana kita, maka ia akan mengalami nasib seba"gaimana guru sendiri. Aku tidak mau seorangpun merintangi rencanaku. "
Para perwira yang menjadi pengikut Ki Tumeng"gung itu tidak menjawab lagi. Agaknya Ki Tumenggung benar benar ingin melaksanakan rencananya. Apapun yang merintanginya akan dihancurkannya. Bahkan guru"nya sendiri telah dibunuhnya. Bukan hanya itu, tetapi Ki Tumenggung telah mengambil pula pusaka gurunya yang disebut Kiai Santak. Sebilah keris yang besar, melampaui ukuran keris kebanyakan.
Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itupun telah membenahi diri. Barang barang yang akan mereka bawa telah mereka siapkan. Bahkan mereka sempat mengumpulkan beberapa macam barang yang ada di padepokan itu, yang menurut mereka akan dapat mereka pergunakan di perjalanan mereka yang panjang.
" Kita akan segera mulai dengan satu perjalanan yang seakan akan tidak berbatas. Kita akan menjelajahi lembah dan ngarai, lereng lereng pegunungan dan jurang jurang yang terjal. Kita mengembara dengan membawa satu cita cita yang luhur. Tetapi kita tidak tahu, kapan kita akan selesai " berkata Ki Tumenggung Purbarana " tetapi kita berharap bahwa daerah Timur pun akan segera berkobar api pemberontakan melawan Mataram. Sementara kita akan mendapat tempat pijakan yang lebih mapan, sehingga kita akan dapat melawan Mataram dengan lebih mantap "
Para pengikutnya mengangguk angguk. Mereka memang sudah mantap sebagaimana Ki Tumenggung Purbarana.
Sementara itu Ki Tumenggungpun berkata " Jika hasil perjuangan ini tidak dapat kita nikmati sekarang, maka anak cucu kita akan mengenyam, bahkan mereka akan mengucap terima kasih, bahwa kita sekarang sudah berjuang bagi masa depan. "
Para pengikutnya masih mengangguk angguk. Tetapi seorang prajurit muda bertanya kepada diri sendiri " Apakah aku kira kira juga akan mempunyai anak cucu" Sampai saat ini aku belum sempat kawin. Jika besok aku mati di peperangan, maka aku tentu tidak akan mempunyai anak cucu. "
Tetapi prajurit itu tidak menanyakannya kepada siapapun juga, karena dengan demikian pertanyaannya itu akan dapat menumbuhkan kesan yang kurang baik.
Namun dalam pada itu, beberapa orang perwira yang ikut bersama Ki Tumenggung Purbarana telah menyadari sepenuhnya, bahwa pada satu saat kelompok itu tentu akan berubah bentuknya. Pada saat kesulitan kesulitan datang satu demi satu, pada akhirnya kelompok itu akan menjadi sekelompok orang yang dibenci dan ditakuti.
" Tetapi jika Ki Tumenggung Purbarana berhasil mendapatkan daerah landasan, keadaan akan berbeda " berkata para perwira itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian, perasaan kecewa, kebencian dan dendam telah mencengkam jantung mereka. Kemenangan Mataram benar benar satu peristiwa yang sangat menyakitkan hati.
Namun di samping mereka itu, terdapat pula bebe"rapa orang perwira muda yang di dalam darahnya mengalir satu keinginan untuk bertualang. Untuk mengalami satu peristiwa yang dahsyat yang akan dapat mereka ceriterakan sebagai satu kebanggaan dalam pengalaman hidup mereka. Namun ada juga yang memang di dalam dirinya memencar watak yang tidak terpuji.
Demikianlah, maka pasukan itu memutuskan untuk meninggalkan padepokan kecil itu di dini hari mendatang.
Malam yang terakhir di padepokan itu telah mereka lampaui dengan berbagai macam gambaran tentang petualangan yang akan mereka lakukan. Pertempuran demi pertempuran akan mereka masuki. Darah dan kebencian akan selalu mewarnai perjalanan mereka. Dengan sen"jata didalam pelukan, mereka akan memasuki daerah demi daerah. Berbicara dan sedikit membual tentang masa depan. Jika diketemukan kesepakatan, maka mere"ka akan mendapat sejumlah kawan baru. Tetapi jika tidak, maka yang terjadi adalah pertumpahan darah.
Satu satu kawan kawan mereka akan rontok seperti daun kering dicabang pepohonan. Tetapi mereka berharap bahwa ada tunas tunas yang tumbuh untuk menggantikan mereka yang telah runtuh.
Meskipun bayangan masa depan nampaknya sangat suram, tetapi Ki Tumenggung dan orang orangnya tidak berputus asa. Mereka telah membenahi diri mereka sen"diri dengan tugas yang sangat berat. Tetapi juga sesuatu yang dapat memperkaya penglihatan mereka tentang kehidupan dari segi tertentu.
Ketika fajar menyingsing, maka para pengikut Ki Tumenggung yang berada di padepokan itu telah siap. Sekelompok pasukan yang cukup besar. Dengan tekad bulat mereka akan menuju ke Tegal Payung, menemui Ki Bagaswara. Adik seperguruan dari guru Ki Tumenggung Purbarana.
Demikian orang terakhir meninggalkan padepokan itu, maka padepokan itu benar benar telah berubah men"jadi satu kuburan yang luas. Sepi dan lengang. Tidak ada lagi tanda tanda kehidupan kecuali hijaunya pepohonan. Binatang peliharaan yang ada di padepokan itu telah habis sampai telur ayam yang terakhir. Apalagi lembu dan kambing.
Yang kemudian nampak bergerak gerak di pade"pokan itu adalah dedaunan yang ditiup angin, di atas kuburan yang menyimpan seluruh cantrik, manguyu, jejanggan dan Putut Pradapa. Juga guru mereka yang sangat mereka kasihi. Bahkan beberapa orang prajurit pengikut Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung Purbarana yang meninggalkan pade"pokan itu, masih juga sempat berpaling. Tetapi regol halaman padepokan yang terbuka itu benar benar bagai"kan regol sebuah kuburan yang sepi lengang.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Namun diluar sadarnya ia bergumam kepada diri sendiri, bahwa pada suatu saat, ia ingin kembali melihat padepokan yang telah berubah menjadi neraka itu. Bagaimanapun juga, gurunya telah dikuburnya di tempat itu juga, sehingga masih terasa adanya keterikatan antara dirinya dan pade"pokan sepi itu.
Iring iringan itupun kemudian menelusuri jalan sempit menerobos hutan yang tidak begitu lebat menuju kejalan terbuka yang berhubungan dengan padukuhan padukuhan diluar padepokan itu. Dengan demikian maka iring iringan itu akan muncul di jalan yang sering dilalui oleh orang orang yang pergi dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sudah tidak peduli lagi. Peristiwa yang terjadi di padepokan gurunya, telah membuat dirinya semakin membenci. Dendamnya kepada orang orang Mataram bagaikan tersiram minyak sehingga menyala semakin besar didalam dadanya. Bah"kan rasa rasanya iapun telah membenci semua orang yang begitu mudahnya tunduk kepada orang orang Mata"ram pada saat Pajang dikalahkan. Demikian mudahnya, padahal kekuatan Pajang masih cukup besar seandainya orang orang Pajang sendiri mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu.
Wirabumi dan Benawa tidak ubahnya seperti kelinci kelinci cengeng yang tidak berani berbuat apa apa sepeninggal Sultan Hadiwijaya. Padahal Wirabumi dan Benawa memiliki kekuatan yang tentu akan dapat mengimbangi kekuatan Mataram. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Terutama Pangeran Benawa.
"Tetapi Pangeran Benawa hatinya tidak lebih besar dari biji sawi" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hati"nya.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung tidak lagi menghiraukan apapun juga. Ia tidak peduli lagi apabila pasukannya itu akan menakut nakuti orang orang yang melihatnya dan padukuhan padukuhan yang dilewatinya.
"Aku harus bertemu dengan paman Bagaswa"ra" berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya "kemu"dian aku harus bertemu dengan orang orang lain yang akan dapat memperkuat kedudukanku. Arah yang paling baik menurut perhitunganku saat ini adalah Tanah Perdikan Menoreh. Mendudukinya dan kemudian menjadikan tempat itu sebagai alas pijakan sebelum aku meluaskan daerah pengaruhku. Jika tidak mungkin, maka aku harus cepat menemukan sasaran baru. Mungkin Sangkal Putung, mungkin Mangir. Tetapi letak Mangir terlalu dekat dengan pusat pemerintahan Sutawijaya. Sulit bagiku untuk mendapat kesempatan menyusun diri."
Ternyata beberapa orang pembantunya sependapat dengan rencananya itu. Pasukan khusus Mataram di Ta"nah Perdikan Menoreh akan menjadi sasaran utama, dan harus dihancurkan lebih dahulu. Tanpa pasukan khusus, maka Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat berbuat apa apa. Jika ada orang orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu maka pasukan Ki Tumenggungpun akan membawa orang orang berilmu tinggi.
"Agung Sedayu yang disebut sebagai orang yang tidak terkalahkan dan yang telah berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, tidak akan mampu melawan tuah keris Kiai Santak. Mungkin kemampuan ilmuku ma"sih selapis dibawah Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru tidak mempunyai keris Kiai San"tak" berkata Ki Tumenggung Purbarana di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah iring iringan itu telah menumbuhkan berbagai pertanyaan dihati orang orang yang bertemu di jalan jalan padukuhan. Bahkan beberapa orang menjadi ketakutan dan bersembunyi di balik regol halaman.
Tetapi anak anak yang masih belum mengenal bentuk iring iringan seperti itu justru telah berderet di pinggir jalan untuk melihat sepasukan prajurit dengan senjata lengkap dan perbekalan, berjalan dengan cepat melintasi padukuhan mereka.
Anak anak itu tidak melihat kesan yang buram di wajah wajah para prajurit itu. Anak anak itu tidak mampu membaca nyala api dendam yang membakar jantung orang orang yang beriringan melintasi padukuhan mereka.
Tetapi iring iringan itu sama sekali tidak mengganggu orang orang lewat dan anak anak yang menonton mere"ka di pinggir pinggir jalan. Bahkan iring iringan itu sama sekali tidak berpaling ketika mereka melintasi sebuah pasar yang ramai di pinggir sebuah padukuhan.
Namun demikian, iring iringan itu telah membuat orang orang yang ada di pasar itu menjadi gelisah. Bah"kan ada satu dua orang yang dengan serta merta telah mengumpulkan dagangan mereka, yang apabila terjadi sesuatu, siap untuk diangkut keluar pasar itu.
" Siapakah mereka?" hampir setiap orang saling bertanya.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak seorangpun yang dapat menjawab. Hanya seo"rang tua yang berambut putih berkata kepada orang o"rang disekitarnya "Aku mengenali pakaian mereka. Pakaian itu adalah pakaian prajurit Pajang. Tetapi sudah tidak lengkap lagi. Ada diantara mereka yang tidak lagi mengenakan tanda tanda khusus dari kesatuannya. Bah"kan ada diantara mereka yang sudah mengenakan baju yang lain."
"Jadi siapakah mereka itu?" bertanya seseorang.
Orang tua itu menggeleng. Namun akhirnya ia menjawab "Mungkin satu pasukan yang meninggalkan ke satuannya. Nampaknya mereka sudah kehilangan cirri ciri keprajuritan mereka dalam sikap dan tingkah laku."
Orang orang yang berada disekitar orang tua itu mengangguk angguk. Orang tua itu memang pernah tinggal di Pajang untuk beberapa lamanya ketika ia masih muda. Meskipun ia tidak menjadi seorang prajurit, tetapi ia menghamba kepada seorang perwira prajurit Pajang, sehingga ia mengenali beberapa sifat dan watak prajurit Pajang.
Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sama sekali tidak mempedulikan tanggapan orang orang yang melihat iring iringannya dengan pertanyaan didalam dada mereka. Apapun yang mereka katakan, Purbarana sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin segera sampai ke Tegal Payung. Menghadap paman gurunya dan menyampaikan kesulitan kesulitan yang dialaminya. Menurut dugaannya, pamannya akan lebih mengetahui sikapnya dari pada gurunya sendiri.
Karena itu, maka iring iringan itu berjalan terus disepanjang jalan bulak dan padukukan. Mereka melewati pinggir pinggir hutan dan kadang kadang menyilang pa"sar yang ramai.
Tetapi iring iringan itu tidak dapat mencapai tujuan pada satu hari saja. Karena itu, maka ketika malam mulai turun, iring iringan itu telah berhenti di sebelah banjar padukuhan.
Seisi padukuhan menjadi gelisah. Tetapi nampaknya orang orang bersenjata yang akan bermalam di banjar itu tidak akan berbuat buruk terhadap rakyat padukuhan itu. Karena itu, maka meskipun ada juga kecemasan, namun penduduk padukuhan itu berusaha untuk menerima me"reka dengan wajar. Bahkan dengan serta merta bebahu padukuhan itu berhasil mengumpulkan beras untuk menjamu orang orang bersenjata yang bermalam di banjar mereka, meskipun hanya sekedar dengan jangan gori.
Bebahu padukuhan yang pada malam hari itu sempat berbicara dengan Ki Tumenggung Purbarana, tanpa berprasangka buruk telah bertanya, pasukan yang dibawanya itu akan bertugas kemana saja.
Untuk sesaat Ki Tumenggung bingung juga untuk menjawab. Namun kemudian ia berhasil menemukan jawaban "Ki Sanak. Setelah perang berakhir, maka keadaan pemerintahan ternyata masih belum mapan benar. Ada segolongan orang yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Me"reka mempergunakan saat saat kosong ini untuk merampas dan merampok. Orang orang itu sadar, bahwa para prajurit Mataram maupun Pajang dan Jipang sedang sibuk membenahi diri, sehingga mereka tidak sempat untuk menjaga dan melindungi rakyatnya, apalagi yang letaknya agak jauh dari Kota Raja seperti ini. Karena itulah, maka kami mendapat tugas untuk menganglang. Bukan hanya batas Kota Raja. Tetapi kami harus mengelilingi daerah Pajang untuk mengamati keadaan. Semen"tara itu kami mendengar bahwa didaerah Tegal Payung terdapat segerombolan orang yang dengan tegas mendirikan satu gerombolan untuk merampok. Mereka terdiri da"ri bekas bekas prajurit yang terdesak dari medan perang. Namun mereka segan untuk kembali ke kesatuan mereka setelah perang berakhir."
Bebahu padukuhan itu mengangguk angguk. Namun katanya " Kami masih belum mendengar hal itu terjadi di Tegal Payung."
"Bukankah Tegal Payung masih agak jauh dari padukuhan ini?" bertanya Ki Purbarana.
"Ya. Hampir sehari perjalanan. Tetapi perjalanan yang lamban" jawab bebahu itu. Kemudian "Tetapi jika benar terjadi seperti yang Ki Sanak katakan, kami tentu mendengarnya. Di pasar, orang saling berhubungan. Sementara berita semacam itu akan cepat tersebar."
"Sokurlah jika hal itu tidak benar" jawab Ki Tu"menggung Purbarana "dengan demikian tugas kami menjadi ringan. Kami adalah prajurit Pajang yang mendapat tugas khusus dari Mataram yang sekarang berkuasa lewat Adipati Pajang, Wirabumi, untuk menumpas gerombolan itu. Karena itu, jika gerombolan itu memang tidak ada, maka kami akan segera dapat kembali ke Pa jang."
Bebahu itu mengangguk angguk. Sama sekali tidak ada kecurigaan di hatinya. Bebahu itu memang melihat pakai"an keprajuritan. Tetapi ia tidak memahami ciri ciri dan tanda tanda khusus dari prajurit Demak. Karena itu, iapun tidak tahu bahwa orang orang yang bermalam di banjar itu sudah tidak mengenakan pakaian prajurit yang lengkap.
Dengan demikian, maka pasukan Ki Tumenggung Purbarana itu dapat tidur dengan nyenyak di banjar, meskipun hanya dengan lembaran tikar yang dibentang kan di pendapa banjar. Mereka tidur dalam deretan dari sisi sampai kesisi yang lain, berderet dalam beberapa bujur melintang. Apalagi mereka letih dan lapar, maka makan yang mereka dapat dari padukuhan itu terasa nikmat sekali.
Namun dalam pada itu, selagi pasukan Ki Tumeng"gung Purbarana beristirahat di banjar sebuah padukuhan, maka padepokan Tegal Payung yang akan ditujunya telah menjadi kosong.
Kiai Bagaswara dengan para cantriknya telah meninggalkan padepokan mereka meskipun dengan hati yang sangat berat.
Sebenarnyalah, bahwa yang terjadi di padepokan guru Purbarana bukannya seperti yang diduga oleh Ki Tu"menggung itu. Para cantrik tidak tertumpas habis tanpa tersisa. Ternyata masih ada seorang cantrik yang kebetulan sedang berada di sawah. Ketika ia kembali, maka dilihatnya padepokannya telah menjadi ajang pertempuran yang mengerikan.
Cantrik itu kurang tahu apa yang terjadi. Namun akhirnya ia mengetahui, bahwa seisi padepokan itu telah menjadi korban kegarangan sepasukan prajurit dari Pa"jang.
"Aku melihat pasukan itu datang Kiai" berkata can"trik itu, " dipimpin oleh Ki Tumenggung Purbarana. Nam"paknya tidak ada persoalan apapun yang timbul. Ki Tu"menggung masih tetap bersikap sangat hormat kepada gurunya, sebagaimana seorang murid. Tetapi ketika malam itu aku kembali dari sawah, semuanya telah terja"di. Karena itu Kiai, karena semua saudara saudaraku te"lah mati, maka sepantasnya aku juga harus mati. Jika aku pada saat itu tidak membunuh diri terjun kedalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu, karena aku merasa perlu untuk menyampaikan hal ini kepada Kiai. Selebihnya, jika sepantasnya aku harus mati sebagaimana saudara saudaraku, maka sebaiknya Kiai membunuh aku saja.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Seba"gaimana yang dikatakan oleh cantrik itu, bahwa segalanya terjadi begitu saja tanpa diketahui sebab sebabnya, maka Kiai Bagaswara menjadi sangat prihatin.
Namun ternyata bahwa masih ada lagi seorang cantrik yang berhasil mencapai padepokan Kiai Bagaswara. Seo"rang cantrik yang telah terluka. Namun ia masih sempat berceritera apa yang telah terjadi. Bahkan cantrik yang sempat melarikan diri dari medan tanpa diketahui oleh prajurit prajurit Ki Tumenggung itupun sempat menceriterakan apa sebabnya maka segalanya telah terjadi.
Tetapi cantrik itu sudah terlalu payah. Wadagnya tidak lagi mampu bertahan. Karena itu, setelah meneguk air hangat seteguk, maka cantrik itupun telah menjadi pingsan dalam keadaan yang sangat payah, setelah ia sempat menceriterakan apa yang terjadi.
Kiai Bagaswara sempat merawat cantrik itu bebera"pa lama. Cantrik itu sempat sadar dan tersenyum. Lalu katanya"Aku tidak mempunyai tujuan lain kecuali pa"depokan ini. Tidak ada tempat untuk mengadu."
"Ya. Ya. Kau sudah memilih jalan yang benar" berkata Kiai Bagaswara.
Cantrik itu tersenyum. Digapainya tangan kawannya, sesama cantrik dari padepokannya. Katanya"Jangan mati. Kau satu satunya saksi."
"Kau juga seorang saksi yang tahu lebih banyak dari aku" jawab cantrik yang tidak terluka.
Tetapi cantrik itu tersenyum. Dengan suara sendat ia berkata kepada Kiai Bagaswara"Aku mohon pamit. Mudah mudahan pemberitahuan ini berarti bagi Kiai. Sebab menurut perhitunganku, sepeninggal gurunya, mungkin sekali Ki Tumenggung Purbarana akan datang kemari."
"Satu kemungkinan yang dapat terjadi" jawab Kiai Bagaswara.
Cantrik itu memandang wajah Kiai Bagaswara yang lembut sejenak. Namun kemudian wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Satu tarikan nafas yang panjang ternyata telah mengakhiri hidupnya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Semen"tara itu, cantrik yang datang dari padepokan yang sama itupun tidak dapat menahan perasaannya. Betapapun ia bertahan, namun titik titik air matanya tidak terbendung lagi.
Demikianlah, maka cantrik yang meninggal setelah pada saat terakhir ia memberikan arti bagi hidupnya itu, telah di kuburkan sebagaimana seharusnya. Bahkan bagi orang orang padepokan itu, cantrik itu merupakan seorang yang telah mengorbankan hidupnya bagi kepentingan yang besar. Ia tidak sekedar menyelamatkan diri dari medan pertempuran. Tetapi ia berbuat demikian bagi kepentingan sesama yang hidupnya terancam bahaya.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun segera memanggil beberapa orang yang dianggapnya dapat dia jak berbicara. Dua orang jejanggan yang sudah cukup de wasa dan seorang putut yang memiliki wawasan yang cukupjauh.
Dari cantrik yang melihat kekuatan Ki Tumenggung Purbarana, maka Kiai Bagaswara dan pemban tu pembantunya dapat membayangkan, betapa besarnya kekuatan itu dibandingkan dengan kekuatan para cantrik di padepokan itu.
Padepokan yang lebih besar, tempat Ki Tumenggung itu pernah berguru telah dihancurkan. Bahkan tumpas tapis seakan akan tidak tersisa sama sekali. Apalagi padepokan Kiai Bagaswara yang lebih kecil.
Karena itu, maka menurut perhitungan mereka, tidak ada gunanya untuk membenturkan kekuatan padepokan itu dengan kekuatan Ki Tumenggung Purbarana yang su"dah memiliki pula pusaka berupa keris yang besar yang disebut Kiai Santak.
"Kita akan menyingkir" berkata Kiai Bagaswa"ra "bukan sekedar untuk mencari selamat. Tetapi kita harus memperhitungkan segala kemungkinan. Para can"trik dari padepokan kakang Panembahan itu tidak sempat berbuat lain. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pilihan dari pada bertempur sampai orang yang terakhir.
Tetapi kita disini masih mempunyai kesempatan. Kita ti"dak perlu membunuh diri bersama sama. Bukan berarti bahwa kita tidak setia kepada kebenaran. Tetapi kita ti"dak ingin melihat kematian yang tidak berarti apa apa, karena jika kita bertempur sampai orang terakhir, nilainya tidak sama sebagaimana para cantrik dari padepokan kakang Panembahan."
Para putut, jejanggan dan para cantrik ternyata sependapat dengan guru mereka. Meskipun terbersit juga satu keinginan untuk melawan, tetapi pertimbangan pertimbangan yang diberikan oleh guru mereka itu masuk pula di"dalam akal mereka.
Karena itu, maka merekapun segera bersiap siap untuk meninggalkan padepokan itu. Sebelum Ki Tumeng gung datang, maka padepokan itu harus sudah dikosongkan.
"Jika kita terlambat, maka yang akan terjadi adalah seperti padepokan kakang Panembahan. Kita juga tidak akan mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka marilah, kita akan meninggalkan padepokan ini" berkata Kiai Ba"gaswara "aku menyeyogyakan kalian kembali ke paduku"han kalian masing masing, sebagaimana pada saat saat kalian berlibur. Tidak ada kesan apapun yang pantas kali"an tunjukkan kepada sanak kadang kalian, kecuali kegembiraan seperti biasanya. Tumenggung Purbarana tidak mengenal kaiian seorang demi seorang, sehingga ia tidak akan mungkin menelusuri kalian sampai kerumah kalian masing masing. Sementara itu aku sendiri yang akan mengamati padepokan ini. Pada saatnya apabila mereka telah pergi, aku akan memberitahukan kepada kalian. Aku sudah tahu rumah kalian. Tetapi aku dapat juga memberi tahukan hal itu kepada dua tiga orang cantrik yang akan meneruskan pemberitahuan itu kepada saudara saudaranya."
Para cantrikpun mengangguk angguk. Sementara itu Kiai Bagaswarapun berkata "Marilah. Meskipun dengan sangat berat, kita akan mengosongkan padepokan ini sekarang. Kita akan meninggalkan padepokan ini dan kembali kerumah kita masing masing."
Dengan demikian maka pada hari itu juga, padepokan itu telah menjadi kosong. Beberapa hari sebelum Ki Tu"menggung tiba di padepokan itu. Sebagaimana padepokan itu akan dikosongkan, maka seisi padepokan itupun telah diatur dan dibenahi dengan baik. Alat alat dapur yang su"dah dibersihkan, terletak teratur di paga bambu. Bilik bilikpun nampak bersih sementara sanggarpun rasa rasanya telah dipersiapkan sebaik baiknya untuk dipakai setiap saat.
Dua hari semalam padepokan itu kosong sama sekali. Tikar dan perabot perabot yang bersih sudah mulai dihinggapi debu yang semakin tebal. Sementara itu, pasu"kan Ki Tumenggung Purbarana sudah berada di perjala"nan menuju ke padepokan itu. Mereka ternyata sedang bermalam disebuah banjar padukuhan yang masih berjarak hampir sehari perjalanan.
Malampun rasa rasanya segera dihanyutkan oleh waktu. Ketika fajar menyingsing, maka beberapa orang perempuan sudah sibuk di banjar. Ternyata penduduk pa"dukuhan itu adalah penduduk yang ramah dan baik hati. Mereka masih sempat juga menyediakan makan pagi ba"gi sepasukan prajurit menurut pengertian mereka yang akan melanjutkn perjalanan ke Tegal Payung.
Demikianlah, setelah mengucapkan terima kasih, maka Ki Tumenggung Purbaranapun melanjutkan perjala"nan mereka Seperti sebelumnya, maka mereka sama se"kali tidak berusaha untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diinginkan. Pasukan itu ti"dak peduli sama sekali jika orang orang yang melihat me"reka lewat menjadi ketakutan.
Ki Tumenggung memang terlalu percaya kepada kekuatan pasukannya. Iapun yakin bahwa tidak akan ada pasukan yang dapat menyusul mereka karena arah perja"lanan mereka disaat mereka meninggalkan Pajang tidak jelas. Jika kemudian ada laporan tentang sepasukan prajurit yang menyusup di padukuhan padukuhan, maka pasukan Pajang akan memerlukan waktu untuk mencarinya. Sementara itu pasukan itupun telah menjadi semakin jauh.
"Jika pasukan ini mencapai Tegal Payung, dan paman Bagaswara dapat menerima kedatanganku, maka Tegal Payung akan dapat aku jadikan alas berpijak meskipun agak terlalu jauh dari sasaran. Tetapi di Tegal Payung aku akan dapat menyusun kekuatan dari bebe"rapa lingkungan yang akan dapat aku hubungi kemudi"an." berkata Tumenggung itu didalam hatinya.
Dengan demikian maka rasarasanya Ki Tumenggung itu ingin cepat cepat sampai ke tujuan. Ia ingin cepat ber"temu dengan Kiai Bagaswara untuk menyampaikan persoalannya. Bahkan Ki Tumenggung itu hampir pasti, bah"wa pamannya akan mendukungnya, karena ia sendiri pernah mengalami kekecewaan sebagai seorang prajurit.
Demikianlah, pasukan itu seakan akan berjalan de"ngan cepat tanpa menghiraukan apapun juga. Hanya se"kali kali saja mereka beristirahat. Kadang kadang mere"ka telah memasuki sebuah padukuhan untuk minta bebe"rapa puluh butir kelapa muda. Beberapa orang dengan jantung yang berdegupan terpaksa memanjat pohon pohon kelapa untuk mengambil kelapa muda yang di minta oleh pasukan itu. Bahkan kemudian merekapun melayani para prajurit yang kehausan itu. Memecah kelapa muda itu dan mencukil dagingnya.
Dengan demikian, maka perjalanan ke Tegal Payung itu terasa lebih cepat dari yang mereka perhitungkan. Perjalanan itu tidak memerlukan waktu sehari. Ketika matahari mulai turun di sisi langit sebelah barat, maka mereka telah menjadi semakin dekat dengan tujuan.
"Aku pernah mengunjungi paman"berkata Ki Tu"menggung " padepokannya terletak di pinggir sebuah sungai kecil, di antara padang perdu yang luas. Sebuah hutan terbentang di seberang sungai kecil itu dan merupakan tempat berburu bagi para cantrik. Tempat itu me"mang menyenangkan sekali. Di sebelah padang perdu. adalah tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dengan menaikkan air dari sungai kecil itu. Tetapi cukup untuk sebidang sawah yang cukup luas. Hasilnya berlebihan bagi makan mereka sehingga dalam saat saat tertentu mereka sempat menukarkan kelebihan hasil sawah me"reka dengan kebutuhan kebutuhan yang lain "
Dengan keterangan keterangan itu, maka seluruh pasukanpun berharap harap cemas. Mereka memang menginginkan untuk sampai kesatu tempat yang dapat memberikan sedikit kesempatan bagi mereka untuk be"nar benar beristirahat dan kemudian menyusun diri. Me"reka telah terlalu lama berada dalam kelelahan lahir dan batin.
Karena itu, maka Tegal Payung memang merupakan satu tujuan yang memberikan pengharapan bagi mereka.
Hati mereka telah mulai merasa sejuk ketika mereka memasuki sebuah padang perdu. Mereka menelusuri su"ngai yang tidak begitu besar yang kemudian akan sampai ke sebuah padepokan. Padepokan yang dipimpin oleh Kiai Bagaswara.
Ki Tumenggung Purbarana yang berjalan di paling depan tiba tiba saja berkata lantang "Lihat" Kau lihat gerumbul hijau dihadapan kita. Seperti sebuah pulau yang diselubungi oleh permadani yang berwarna hijau" Nah, itulah padepokan paman Bagaswara."
Setiap orang di dalam pasukan itu seakan akan ter"senyum mendengar keterangan itu. Mereka memandang padepokan yang masih nampak samar samar di hadapan mereka dengan hati yang sejuk. Sementara panas matahari yang mulai menurun masih terasa membakar kulit, para prajurit itu mulai membayangkan sejuknya padepo"kan yang penuh dengan pohon buah buahan. Kolam yang luas dengan berbagai ikan didalamnya. Binatang peliharaan dan bermacam macam kesejukan yang lain.
" Minuman yang segar " desis seorang prajurit yang kehausan setidak tidaknya seperti yang kita dapatkan diperjalanan. Kelapa muda."
"Wedang sere dengan gula kelapa" sahut yang lain "sambil berbaring dibawah sebatang pohon jambu air yang lebat dan menunggu nasi masak. Sementara itu seekor kambing telah disembelih bagi kita semua ini."
Kawannya tertawa. Tetapi tertawa itu terasa masam sekali.
"Kenapa kau tertawa begitu, seakan akan kau tidak lagi memiliki gairah sama sekali?"bertanya orang yang pertama.
"Aku sudah terlalu lama menderita, sehingga aku kehilangan kepercayaan bahwa penderitaan ini pada satu saat akan berakhir." jawab prajurit yang tertawa masam sekali itu.
"Kau mudah sekali menjadi berputus asa. Bukan watak seorang prajurit sejati" sahut kawannya yang lain.
Tetapi prajurit itu masih tertawa. Katanya "Apa bedanya antara berputus asa dan menerima kenyataah yang tidak terelakkan. Apa yang dapat kau katakan terhadap orang orang yang tertawan di Mataram dan yang menjadi cacat karena pertempuran" Mereka adalah orang orang yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Mereka harus menerimanya tanpa dapat disebut berputus asa, karena mereka masih dapat memikul beban."
"Tetapi kau mempunyai kesempatan lebih baik dari mereka" jawab yang lain "bahkan yang cacat dan terta"wan itupun masih berpengharapan untuk dapat hidup wajar dan bebas dari himpitan dinding tahanan untuk menempuh satu kehidupan yang lebih baik."
"Sedangkan kenyataan yang harus aku alami adalah, penderitaan yang tidak akan pernah berakhir" jawab prajurit itu.
Kawannya hanya menarik nafas saja. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Agaknya prajurit itu telah kehilang"an sama sekali harapan bagi masa depannya yang lebih baik.
Demikianlah, langkah demi langkah iring iringan itu mendekati satu padepokan yang nampak hijau. Semakin lama semakin jelas. Pepohonan tumbuh dengan suburnya. Bahkan kemudian setiap orang di dalam pasukan itu meli"hat dinding padepokan yang tidak terlalu tinggi.
Rasa rasanya semua orang ingin meloneat lebih cepat lagi untuk segera sampai ke tempat yang nampaknya sangat teduh dan segar itu. Namun mereka harus melangkah satu satu menyusuri tebing sungai yang tidak terlalu besar.
Namun akhirnya jarak itupun terlintasi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung Purbarana telah berdiri di muka regol padepokan itu sambil menarik nafas dalam dalam. Sambil menggeser pedang dilambungnya ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Kemudian dengan hati hati, seakan akan Ki Tumeng"gung itu takut bahwa regol itu akan roboh, ia mendorong pintu yang ternyata tidak diselarak.
" Marilah, kita masuk " perintah Ki Tumenggung " tetapi jangan gaduh. Mungkin paman sedang beristirahat. Tetapi mungkin sedang berada di sanggar. "
Dengan demikian, maka para prajurit itupun kemu"dian mengikuti Ki Tumenggung memasuki regol. Mereka melintasi halaman dan langsung menebar.
Bagaimanapun juga, memang sulit mengatur orang dalam jumlah yang banyak. Demikian mereka berada di dalam padepokan, maka kegaduhan itupun tidak dapat dihindari. Beberapa orang yang melihat jambu air yang bergayutan di pohonnya, tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa mempedulikan apapun juga, mereka langsung menggapai jambu air itu. Bahkan dua tiga orang telah memanjat dan bertengger di dahan dahannya.
Bukan saja jambu air, bahkan pohon duwet yang buahnya memenuhi cabang cabangnyapun telah dipanjati pula. Yang lain langsung berbaring sambil berdesah. Sementara satu dua orang duduk duduk di rerumputan di pinggir kolam yang berair jernih.
Ki Tumenggung sendiri langsung pergi ke pendapa. Ia termangu mangu sejenak menyaksikan para pengikutnya yang menjadi ribut. Namun terasa sesuatu bergejolak didalam hatinya. Rasa rasanya padepokan itu sangat sepi.
" Nampaknya halaman ini tidak disentuh sehari ini " berkata Ki Tumenggung didalam hatinya. Ia melihat daun daun kering yang bertebaran di halaman yang luas.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung itu justru menjadi curiga. Dengan serta merta iapun meloneat ke pendapa dan langsung menuju ke pringgitan. Bahkan kemudian didorongnya pintu pringgitan, sehingga pintu yang tidak diselarak itu terbuka lebar.
Jantungnya terasa berdentang semakin keras. Ia tidak melihat seorangpun. Karena itu, maka iapun kemu"dian berlari lari memasuki rumah induk padepokan itu sampai ke serambi belakang.
Kecurigaan Ki tumenggung semakin memuncak. Ia"pun kemudian berlari lari ke setiap bilik di dalam rumah induk itu. Bahkan kemudian ia mulai memanggil " Paman, paman Bagaswara. "
Suaranya melingkar lingkar di dalam rumah itu. Na"mun tidak terdengar seorangpun menjawab.
" Paman " Ki Tumenggung itu mengulangi semakin keras, sehingga beberapa orang perwira yang duduk di pendapa mendengarnya.
Beberapa orang diantara merekapun telah bangkit dan memasuki rumah itu pula.
" Apakah Ki Bagaswara tidak ada di rumah" " ber"tanya salah seorang perwiranya.
" Gila. Rumah ini nampaknya sepi sekali " jawab Ki Tumenggung yang tiba tiba saja berteriak " He, anak anak. Cari seseorang di seluruh padepokan ini. Siapapun juga yang ada, bawa ia kemari."
Para prajurit yang sedang beristirahat itupun terkejut. Merekepun segera bangkit. Beberapa orang perwira telah mengulangi perintah Ki Tumenggung. Bahkan bebe"rapa orang perwira telah ikut pula bersama mereka mencari seseorang, siapapun yang ada di padepokan itu.
Tetpi ternyata padepokan itu memang sudah kosong. Tidak ada seorangpun yang mereka temui. Apalagi Kiai Bagaswara, seorang cantrikpun tidak ada yang masih tinggal di padepokan itu.
" O, Sungguh sungguh gila " teriak Ki Tu"menggung ketika ia mendapat laporan bahwa padepokan itu telah kosong.
" Semua ruang dan bilik nampak teratur dan bersih, meskipun sudah mulai berdebu. Nampaknya dua tiga hari padepokan ini telah dikosongkan. " berkata salah seorang perwira.
Ki Tumenggung mengumpat umpat kasar. Bahkan hampir setiap orang di dalam pasukan itu ikut mengumpat pula. Mereka yang bermimpi untuk minum wedang sere hangat hangat atau yang ingin menyuapi mulutnya de"ngan nasi hangat dan daging kambing yang masih muda, telah memaki dengan kasar.
Namun diantara mereka seorang prajurit masih saja berbaring di bawah baying bayang pohon yang rimbun. Ia sama sekali tidak mengumpat dan tidak pula menjadi gelisah.
" He " seorang kawannya mendepak kakinya " kau masih juga berbaring dengan tenang" Nampaknya kau sa"ma sekali tidak peduli terhadap keadaan yang kita hadapi sekarang. Kita akan kelaparan dan kehausan."
Tetapi prajurit itu tersenyum. Jawabnya " aku sudah terlalu lama mengalami kesulitan dan penderitaan, sehingga aku tidak percaya bahwa penderitaanku akan cepat berakhir. Karena itu, apa yang aku hadapi sekarang sama sekali tidak mengejutkan aku. Kalian yang terlalu mengharap ternyata justru mengalami kejutan yang lebih parah dari aku yang sudah mengalasi perasaanku dengan tidak berpengharapan apa apa.
" Uh, kau memang sudah gila " geram kawannya.
Tetapi prajurit itu tersenyum. Bahkan kemudian matanya mulai terkatub. Katanya " Aku mengantuk seka"li."
Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang berada di ruang dalam masih saja marah marah tanpa diketahui siapakah yang harus dimarahi. Setiap kali ia masih membentak bentak. Ketika seorang perwira muda berdiri termangu mangu dipintu, Purbarana telah membentaknya " Cepat. Cari Kiai Bagaswara sampai ketemu. Perintahkan semua orang untuk mencari tidak saja di dalam lingkungan padepokan ini Tetapi cari di luar padepokan. Disungai, digoa goa. Mungkin mereka bersembunyi di sana. "
Perwira muda itu terkejut. Namun iapun kemudian melangkah mundur dan keluar dari ruang dalam.
Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana yang marah itu tiba tiba saja telah memukul dinding penyekat diruang dalam sehingga dinding itu pecah berserakan.
Beberapa orang dengan tergesa gesa mendekatinya. Namun Purbarana justru berteriak " Permainan gila. Benar benar satu permainan gila. Siapakah diantara kalian yang telah berkhianat dan mengabarkan rencana kedatangan kami ke padepokan ini" "
Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara itu Tumenggung Purbarana berteriak pula"Tentu ada dian"tara kita yang berkhianat. Kita sudah membunuh semua orang cantrik dari padepokan guru. Mereka tidak mem"punyai kesempatan untuk memberitahukan apa yang ter"jadi itu kepada paman Bagaswara. Apalagi mereka tentu tidak tahu bahwa kita akan pergi ke padepokan ini. "
Ketika masih belum ada yang menjawab, Ki Tumeng"gung berteriak semakin keras " Cari. Cari seseorang yang telah berkhianat. Bawa ia kemari. Aku harus membunuhnya."
Namun dalam pada itu, seorang perwira yang sudah berambut putih melangkah maju sambil berkata "Sabarlah Ki Tumenggung. Kita memang merasa sangat kecewa. Tetapi kita masih dapat berpikir jernih. Tentu tidak mungkin kita dapat menemukan seorang pengkhianat diantara kita. Karena tentu tidak akan ada orang yang berkhaiant. Apakah keuntungan kita untuk berkhianat" Seandainya ada juga orang yang berbuat demikian, maka aku yakin bahwa orang itu sudah pergi bersama Kiai Bagaswara. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Kemudian katanya lantang " Mungkin. Mungkin kau benar. Jika demikian, tentu ada satu atau dua orang cantrik yang lolos. Bukankah menurut penglihatan kita semua cantrik telah terbunuh. "
" Hal itu mungkin saja terjadi"jawab perwira itu " mungkin cantrik itu sedang tidak ada di padepokan saat terjadinya pertempuran. Ia hanya melihat saat saat ter"akhir, pada waktu kita semuanya memusatkan perhatian kita kepada para cantrik sehingga kita tidak mengetahui, bahwa kita sedang diamati oleh seorang cantrik dari luar padepokan. "
" Jika demikian, kenapa ia memberitahukan hal itu kepada paman Bagaswara" Apakah cantrik itu menge"tahui bahwa kita akan pergi ke padepokan ini" "
" Ki Tumenggung" jawab perwira itu "Kiai Bagas"wara adalah saudara seperguruan dari guru Ki Tumeng"gung itu. Karena itu, maka adalah wajar sekali jika satu atau dua orang cantrik yang sempat menyelamatkan diri pergi ke padepokan ini dan menceritakan apa yang dilihatnya meskipun tidak begitu jelas."
Ki Tumenggung menggeram. Dengan nada berat ia berkata " Memang mungkin. Dengan demikian maka paman Bagaswara telah menghindarkan diri. " ia berhenti sejenak. Namun sekali lagi ia menghantam dinding kayu penyekat dan sekali lagi bagian dinding itupun pecah se"perti yang terdahulu " aku harus menemui paman Ba"gaswara. Ia menghindari aku, karena ia belum tahu apa yang akan aku katakan. Jika paman mengerti, maka pa"man tentu akan dapat menerima rencanaku. "
" Tetapi Kiai Bagaswara itu sudah pergi " jawab per"wira itu.
" Aku akan memerintahkan semua orang untuk mencarinya di sekitar padepokan ini. Mungkin di padukuhan padukuhan terdekat, atau mungkin ditempat tempat lain " geram ki Tumenggung.
" Sulit untuk menemukannya " berkata perwira itu " meskipun demikian Ki Tumenggung dapat mencobanya. "
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba Tiba saja ia berteriak " Bakar. Bakar semua bangunan yang ada di padepokan ini. "
" Ki Tumenggung " hampir bersama beberapa orang prajurit berdesis.
" Aku tidak peduli. Padepokan ini harus dibakar sampai lumat " teriaknya.
Namun perwira berambut putih itu berkata dengan nada sareh " Tunggu Ki Tumenggung. Apakah Ki Tu"menggung tidak mempunyai pertimbangan lain. Seandai"nya Ki Tumenggung membakar padepokan ini, maka Ki Tumenggung sudah memutuskan untuk tidak akan pernah berhubungan lagi dengan paman guru Ki Tumenggung. Kiai Bagaswara tentu akan marah, dan bahkan akan berdiri sebagai lawan Ki Tumenggung. Padahal, segalanya masih belum pasti. Mungkin Kiai Bagaswara memang menghindari Ki Tumenggung. Tetapi sebelum ia mende"ngar penjelasan Ki Tumenggung. Jika pada suatu kesem"patan Ki Tumenggung masih dapat menjumpainya, maka Ki Tumenggung masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dan mungkin membujuknya. "
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun ke"mudian katanya " Seorang pengkhianat tentu sudah mengatakan apa yang telah terjadi. "
" Tetapi apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa yang dikatakannya itu cukup lengkap sebagaimana telah terja"di " " bertanya perwira itu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalamdalam. Kata"nya " Baiklah. Aku tidak akan membakar padepokan ini untuk jangka waktu tertetu. "
" Dengan demikian, kita akan sempat mendapat tempat berteduh Ki Tumenggung " berkata perwira itu " jika kelak ternyata padepokan ini serta Kiai Bagswara ti"dak akan dapat memberikan arti apa apa lagi, maka pa"depokan ini akan dibakar. "
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Ia sependapat, bahwa untuk sementara bangunan bangunan yang ada di padepokan itu akan dapat dipergunakan bagi para prajuritnya. Sementara itu, ia tidak menutup segala kemungkinan untuk berbicara dengan pamannya itu.
Namun ada satu masalah yang harus di pecahkan. Pangan. Selama mereka berada di padepokan itu, maka mereka harus makan.
Karena itu, maka setelah berbicara sejenak dengan para perwira, Ki Tumenggungpun telah turun sendiri ke halaman. Dicarinya lumbung pada padepokan itu untuk melihat, apakah masih ada persediaan pangan.
Ternyata Kiai Bagaswara adalah orang yang terlalu baik. Meskipun ia sadar, apa yang terjadi, namun ia tidak mengosongkan sama sekali lumbung padepokannya. Meskipun ia menganjurkan para cantrik untuk menyingkirkan semua binatang peliharaan, tetapi ia tidak sampai hati untuk mengosongkan lumbungnya.
Balas " On 21 Maret 2009 at 22:46 IS Said:
II-80, 43-80 Tetapi Kiai Bagaswara hanya menyisakan isi lumbungnya untuk tiga empat hari saja. Tidak lebih, sesuai dengan perkiraan dari cantrik yang telah menemuinya, berapa banyaknya para pengikut Ki Tumenggung Purba"rana.
Dengan sisa persediaan bahan makan di lumbung itu, kemarahan Ki Tumenggung agak mereda. Apalagi ketika ia sendiri pergi ke dapur. Dilihatnya alat alat dapur sudah tersusun rapi di atas paga. Siapa yang memerlukannya, tinggal memakainya sesuai dengan kebutuhan.
" Tetapi apakah kita hanya akan makan nasi saja" " bertanya Ki Tumenggung.
" Tentu tidak Ki Tumenggung "jawab salah seorang perwiranya " di padepokan ini kita dapat menemukan sayur sayuran yang akan dapat kita masak. Sementara itu, jika kita menginginkan lauk pauk, maka kita dapat memasuki hutan itu untuk mencari binatang buruan.
Ki Tumenggung mengangguk angguk. Namun katanya "Kita semuanya sudah merasa lapar setelah sehari berjalan. Karena itu, siapa yang dapat menyediakan makanan bagi kita, biarlah ia melakukannya. "
Dengan demikian, ketika Ki Tumenggungpun kemu"dian kembali kerumah induk, beberapa orang telah mendapatkan tugas untuk menanak nasi. Dengan suka rela beberapa orang menyatakan, bahwa mereka dapat melakukannya. Sementara beberapa orang yang lain, sambil melihat lihat keadaan di sekitarnya, telah pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan.
Namun Ki Tumenggung telah berpesan, jika mereka bertemu dengan seorang laki laki yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang, dan mempunyai kebiasaan mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala yang tidak dipakainya di lehernya, maka mereka supaya segera membawa orang itu menghadap.
" Itu adalah ciri ciri paman Bagaswara " berkata Ki Tumenggung.
" Berapakah kira kira umur Kiai Bagaswara?" bertanya salah seorang dari mereka yang akan pergi berburu,
" Enampuluh lebih sedikit. Tetapi terakhir aku lihat beberapa tahun yang lalu, ujudnya masih seperti seorang yang berumur sepuluh tahun. "
Para prajuritnya mengangguk angguk. Orang orang yang mempunyai cara hidup yang akrab dengan alam, biasanya memang tidak cepat menjadi tua.
Demikianlah, dihari yang semakin suram itu, beberapa orang di padepokan Kiai Bagaswara yang telah kosong, sibuk memasak. Sementara yang lain pergi berburu ke hutan. Tetapi karena malam sudah mulai membayang, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pemburu. Meskipun demikian mereka mendapatkan juga beberapa ekor ayam alas dan seekor kijang tua yang agaknya tersesat
Tetapi sementara itu, di padepokan Ki Tumenggung dan para pengikutnya ternyata tidak mendapatkan minyak setitikpun untuk lampu dan apalagi untuk masak, untuk menggoreng daging ayam hutan.
Ki Tumenggung dan para pengikutnya mengumpat umpat. Mereka terpaksa membuat api di halaman dengan kayu dan ranting kering.
Namun beberapa orang justru lebih senang berada di sekitar api itu sambil menghangatkan tubuh mereka. Sementara di dapur orang orang sibuk menyelesaikan tugas mereka.
Akhirnya nasi, sayur dan lauknyapun telah siap apapun ujudnya. Karena perut yang lapar, maka apapun terasa nikmat juga untuk ditelan sambil duduk melingkari perapian yang mereka biiat di halaman dan di kebun.
Sementara itu, masih belum ada seorangpun di antara para pengikut Ki Tumenggung yang melihat seseorang sebagaimana disebut dengan cirri cirinya. Beberapa orang memang berpendapat, bahwa Kiai Bagaswara dan para cantrik tentu mengungsi ketempat yang cukup jauh untuk dicapai oleh Ki Tumenggung dan para pengikutnya.
Tetapi dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Bagaswara sama sekali tidak meninggalkan padepokan"nya terlalu jauh. Ia masih berada di sekitara padepokan"nya. Bahkan ia sempat menyaksikan, saat saat Ki Tumenggung Purbarana dan para pengikutnya memasuki padepokannya.
Kiai Bagaswara itu menggeleng gelengkan kepalanya melihat iring iringan yang besar itu. Meskipun ia sudah mendapat laporan tentang pasukan itu, tetapi ketika ia melihat sendiri, ia menjadi berdebar debar. Itulah agaknya, maka pasukan itu dapat menghancurkan seisi padepokan saudaratua seperguruannya. Bahkan adalah guru dari Ki Tumenggung sendiri. Apalagi menurut can"trik yang terluka, kemungkinan terbesar sebagaimana dilihat oleh cantrik itu, Kiai Santak akan selalu berada di tangan Ki Tumenggung itu. Kiai Santak yang sangat dikaguminya. Pusaka dari perguruannya yang oleh gurunya di wariskan kepada saudara tertua di dalam perguruan itu. Namun yang kemudian telah jatuh ketangan seseorang yang seharusnya tidak berhak.
Dengan ilmu yang telah di dapatkannya dan dengan Kiai Santak di tangan, Ki Tumenggung akan menjadi seorang yang sangat menakutkan " berkata Kiai Bagas"wara.
Tanpa disadarinya iapun meraba senjatanya. Sebilah luwuk yang juga diwarisinya dari gurunya.
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam. Ia juga mendengar dari cantrik yang datang kepadanya, bahwa murid tertua saudara seperguruannya, Putut Pra"dapa yang memiliki ilmu yang sudah lengkap dari per"guruannya, telah terbunuh juga oleh Ki Tumenggung Pur"barana, justru setelah Ki Tumenggung menggenggam ke"ris Kiai Santak.
Sejenak Kiai Bagaswara termangu mangu. Luwuk yang di warisinya itupun mempunyai kekuatan yang ham"pir sama dengan Kiai Santak meskipun ujudnya lebih sederhana, karena luwuk mirip dengan sebilah pedang biasa. Tetapi cara pembuatannya yang mirip dengan membuat sebilah keris.
Namun akhirnya Kiai Bagaswara menggeleng lemah. Katanya "Adalah tidak pantas jika aku berkelahi mela"wan anak anak. Betapapun nakalnya anak itu, aku harus mencari pemecahan lain. Tidak dengan kekerasan senja"ta."
Tetapi sementara itu, Kiai Bagaswara tidak ingin meninggalkan padepokannya. Ia ingin selalu mengawasi apa yang akan terjadi. Meskipun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya, seandainya Purbarana akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya atas padepo"kannya.
Dalam pengamatannya, maka Kiai Bagaswara itu da"pat melihat, satu dua orang pengikut Ki Tumenggung Pur"barana itu telah pergi berburu dengan menyandang busur dan anak panah. Dihari kedua, ada juga beberapa orang yang pergi kehutan.
Tiba tiba saja timbul satu keinginan Kiai Bagaswara untuk berbicara dengan mereka. Dengan menemui mere"ka di hutan, maka Kiai Bagaswara akan dapat berbicara serba sedikit dengan para pengikut Ki Tumenggung itu.
"Tetapi sudah barang tentu tidak dalam ujudku ini"berkata Kiai Bagaswara.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswarapun telah berusaha untuk merubah semua kebiasaannya. Ia sadar akan ujud dan bentuk tubuhnya. Karena itu, ia harus ber"buat sesuatu yang dapat memperkecil ujudnya itu.
Demikianlah, maka ketika beberapa orang pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu sedang berburu, maka me"reka telah tertarik ketika mereka melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon dipinggir hutan itu. Seo"rang yang sudah berusia lanjut mengenakan ikat kepala berwarna gelap.
"Apakah orang itu salah seorang dari penghuni pa"depokan?"bertanya salah seorang diantara mereka kepada kawan kawannya.
"Entahlah. Tetapi orang itu nampaknya sudah ter"lalu tua." jawab yang lain.
Meskipun demikian ada juga seseorang diantara orang orang yang berburu itu datang mendekatinya. Na"mun orang itu sama sekali tidak berpaling kearahnya.
"He, Ki Sanak. Apa yang kau lakuan disini?" berta"nya orang itu.
Orang itu masih saja tidak berpaling, sehingga prajurit Ki Purbarana itu terpaksa mengulangi pertanyaannya.
Ketika orang itu masih diam saja, maka prajurit itupun telah berteriak "He, apakah yang kau lakukan disini?"
Ternyata orang itu berpaling. Ketika ia melihat praju"rit itu berdiri disampingnya maka iapun bergeser surut. Tetapi iapun kemudian tertawa sambil bangkit berdiri.
Ternyata orang tua itu adalah orang yang agak bongkok dan timpang.
"Eh, kau mengejutkan aku Ki Sanak. Kau bertanya apa?" bertanya orang tua yang terbongkok itu.
"Kau sedang apa kakek?" bertanya prajurit itu ke ras keras.
Orang tua itu memiringkan kepalanya untuk dapat mendengar pertanyaan prajurit itu. Kemudian jawabnya "O, aku sedang mencari jamur so. He, apakah kau pernah makan jamur so" Enaknya melampaui hati ayam."
"Rumahmu mana kek?" bertanya prajurit itu pula.
Tetapi jawab orang itu meleset"Disana Ki Sanak. Di lereng itu banyak terdapat jamur so."
"Aku bertanya, di mana rumahmu?" prajurit itu ber"teriak semakin keras.
"O" orang tua itu tertawa lagi. Katanya "Maaf Ki Sanak. Telingaku memang sudah cacat. Ketika aku masih muda, telingaku terkena penyakit sehingga aku menjadi tuli " Ia mengangguk angguk sambil mengusap matanya yang sipit. Lalu katanya " Rumahku di padukuhan sebe"lah Ki Sanak. Menelusuri sungai kecil itu ke Utara. Disana ada sebuah padukuhan kecil. "
Geger Dunia Persilatan 14 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Pukulan Si Kuda Binal 2