Api Di Bukit Menoreh 7
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7
"Kakek tua" berkata prajurit itu lagi" apakah kau pernah mengenali orang orang yang tinggal dipadepokan itu?"
Orang itu berpikir sejenak. Lalu"Padepokan itu maksudmu Ki Sanak."
"Ya"prajurit itu masih berteriak teriak.
"Tentu saja aku kenal. Aku sering pergi ke padepo"kan itu. Setiap kali aku datang, aku mendapat beras se beruk penuh. Para cantrik di padepkan itu menggarap sa"wah di sebelah padukuhanku."
"Kau mengenal orang yang bernama Kiai Bagaswa"ra. ?"bertanya prajurit itu.
"Siapa?" bertanya orang tua itu.
"Kiai Bagaswara" prajurit itu berteriak.
"O, tentu saja aku kenal" jawab orang tua itu "kenapa dengan Kiai Bagaswara?"
Ia tidak ada di padepokannya. Apakah kau melihat, dimana ia sekarang tinggal" Maksudku, jika ia tidak bera"da di padepokannya, dimanakah kira kira Kiai Bagaswa"ra itu berada?" bertanya prajurit itu keras keras.
Orang tua itu mengangguk angguk. Namun kemudian iapun menjawab "Orang itu memang jarang jarang berada di padepokan. Ia lebih banyak berada di tempat tempat se"pi untuk menjalani laku dalam usahanya menyempurnakan dirinya. Aku pernah mendengar sekali, ia berjalan tujuh hari tujuh malam tanpa berhenti. Dua orang can"trik yang mengikutinya terpaksa berhenti di tengah jalan, karena kakinya menjadi bengkak."
Prajurit itu mengangguk angguk. Namun justru karena itu ia mulai berpikir, apakah Kiai Bagaswara itu memang sedang keluar dari padepokannya untuk satu kepentingan sebagaimana ia sedang menjalani laku seperti dikatakan oleh orang tua itu.
Karena itu, maka iapun kemudian bertanya lagi sam"bil berteriak " Kakek tua. Apakah kau tahu, kemana Kiai Bagaswara sekarang pergi atau barangkali menjalani laku seperti yang kau katakan?"
Kakek tua itu termangu mangu sejenak. Ia bergeser surut ketika ia melihat beberapa orang mendekatinya. Seorang diantara para prajurit itu berkata kepada kawan"nya yang sedang berteriak teriak bertanya kepada orang tua itu "Apa yang akan kau dapatkan dari seorang yang tuli seperti itu?"
"Ia mengenal Kiai Bagaswara "jawab kawannya.
"Sekedar menerima pemberian seberuk beras. Tidak lebih dari itu" gumam kawannya.
Namun prajurit itu menjawab " Mungkin aku men"dapatkan beberapa keterangan yang penting "
"Jangan berteriak. Aku tidak tuli seperti orang tua itu" sahut kawannya.
"O" prajurit itu termangu mangu. Namun kemudian sekali lagi ia bertanya kepada orang tua yang tuli itu "Apakah kau tahu di mana Kiai Bagaswara berada?"
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya "Aku tidak tahu. Tetapi apakah ia tidak ada di padepokan?"
"Tidak. Aku berada di padepokan itu" jawab praju rit itu.
"0, jadi Ki Sanak berada di padepokan itu?" orang tua itulah yang kemudian bertanya "apakah Ki Sanak muridnya atau saudaranya?"
"Aku datang bersama murid kakak seperguruan Kiai Bagaswara. Ki Tumenggung Purbarana" jawab prajurit itu keras keras.
Namun kawannya memotongnya "Buat apa kau kata"kan hal itu kepadanya?"
Prajurit itu berpaling kepada kawannya. Katanya " Mungkin orang itu sengaja atau tidak sengaja ber"temu dengan Kiai Bagaswara, maka ia akan dapat mengatakan bahwa Ki Tumenggung ada di padepokan"nya."
"Ia justru menyingkir"jawab kawannya.
"Itu sekedar dugaan. Mungkin Kiai Bagaswara se"dang membawa semua cantriknya untuk menjalani laku yang sangat penting bagi ilmunya." jawab prajurit itu.
Kawannya merenung sejenak. Namun kemudian ka"tanya" Mustahil jika tidak ada seorangpun yang ting"gal."
"Jika ia sengaja menyingkir karena laporan tentang keadaan padepokan dari guru Ki Tumenggung, kenapa masih ada sisa bahan makan dilumbung. Jika hal itu be"nar benar disebabkan karena kecemasan akan datangnya Ki Tumenggung, maka lumbung itu tentu sudah dikosongkan. Jika mereka tidak sempat membawa pergi, maka lumbung itu tentu akan dibakarnya."jawab kawannya.
Orang tua yang tuli itu memiringkan kepalanya. Te"tapi pada wajahnya sama sekali tidak terkesan bahwa ia mendengar pembicaraan para prajurit itu. Meskipur sekali sekali ia memandang prajurit yang seorang, kemudian memandang yang lain, namun agaknya ia hanya dapat melihat gerak bibir para prajurit itu saja.
Sementara itu, maka prajurit yang sudah bercakap cakap dengan orang tua itu sebelumnya, berkata ke"ras keras" Tolong Kakek. Jika kau melihat Kiai Bagas"wara, sampaikan kepadanya atau kau sajalah yang da"tang ke padepokan itu untuk memberitahukan kepada kami dimanakah Kiai Bagaswara berada. Kau akan mendapat tidak hanya seberuk beras. Tetapi tiga beruk."
"He" Tiga beruk beras" Apakah kalian sekarang membawa beras untuk aku?"bertanya orang itu.
"Orang gila" geram prajurit itu, sementara bebe"rapa orang kawannya justru tersenyum.
Prajurut itu mengulangi sambil berteriak"Jika kau datang dan menunjukkan di mana Kiai Bagaswara be"rada, kau akan mendapat tiga beruk beras dan seekor kambing."
"O" orang itu mengangguk angguk "terima kasih. Jika aku melihat Kiai Bagaswara aku akan memberitahukan kepada kalian dipadepokan. Aku sudah lama sekali merindukan seekor kambing."
"Baiklah" berkata prajurit itu sambil berteriak pula "sekarang aku akan pergi berburu. "
"O, untuk apa?" bertanya orang tua itu "Kami ingin daging rusa muda jawab prajurit itu.
"Sebaiknya kalian tidak membunuh binatang hutan. Biar sajalah mereka hidup dengan tenang dan damai. Apa salah mereka, sehingga seekor kijang harus dibunuh ?"bertanya orang tua itu.
"Orang tua ini memang gila" desis prajurit itu yang kemudian berteriak menjawab "Salah mereka adalah, bahwa daging kijang itu termasuk daging yang paling enak. Itu saja. Jika dagingmu seenak daging kijang, maka kaupun akan kami buru"
Orang itu mengerutkan keningnya. Agaknya ada beberapa kata yang tertinggal dari pendengarannya. Na"mun akhirnya orang tua itupun tertawa. "Terima kasih" tiba tiba saja ia menjawab" jika kalian sudi ber"buru untuk aku. Tetapi aku tidak ingin daging kijang"
"Persetan" geram prajurit itu "marilah kita pergi" katanya kemudian kepada kawan kawannya.
Para prajurit itupun kemudian bersiap melanjutkan perjalanan mereka untuk berburu. Namun prajurit yang seorang itu masih berpaling dan berkata sambil berteriak "Marilah kek. Jika kau nanti mendapatkan jamur so maka pertanda bahwa akupun mendapat seekor kijang."
Orang itu tertawa sambil mengangguk angguk. Sementara itu maka iring iringan itupun berjalan se"makin lama semakin jauh. Yang kemudian nampak dipunggung mereka adalah sebuah endong dan anak panah yang cukup, sementara di tangan mereka tergenggam busur, sedangkan di lambung tersangkut sebilah pedang panjang.
Agaknya para prajurit itu juga memperhitungkan angin yang bertiup dalam perburuan mereka, karena angin akan ikut menentukan arah bau tubuh mereka menusuk kedalam lebatnya hutan.
Demikian para prajurit itu meninggalkannya, ma"ka orang tua yang tuli itu menarik nafas dalam dalam. Ketika ia tegak, maka barulah nampak tubuhnya yang tegap kekar. Kakinya sama sekali tidak timpang dan sebenarnyalah bahwa ia samasekali tidak menjadi tuli.
Dari pembicaraan yang berhasil disadapnya maka Ki"ai Bagaswara itu yakin, bahwa yang didengarnya dari pa"ra cantrik bukannya satu hal yang sangat dibesar besarkan. Peristiwa itu benar benar telah terjadi di padepokan saudara tua seperguruannya.
Ada semacam gejolak didalam hati Kiai Bagaswara untuk menghukum murid saudara tua seperguruan itu. Ia adalah contoh dari seseorang yang telah berani melawan gurunya. Bahkan telah membunuhnya dan merampas pusakanya. Pusaka yang pada suatu saat akan diwariskannya kepada seorang muridnya yang paling sesuai de"ngan jenis pusaka itu.
Tetapi Kiai Bagaswara harus menahan dirinya. Ia sa"dar sepenuhnya, bahwa Ki Tumenggung Purbarana telah membawa kekuatan yang sangat besar. Betapapun tinggi ilmunya, ia tidak akan dapat melawan orang sebanyak itu. Bahkan seandainya ia membawa semua cantrik dan jejanggan, maka yang terjadi adalah pembantaian seperti yang telah terjadi sebelumnya.
" Ada bedanya " gumam Kiai Bagaswara " murid murid kakang Panembahan bertempur berurutan. Mula mula kakang Panembahan terbunuh. Kemudian Pu"tut Pradapa. Baru para cantrik turun kegelanggang de"ngan keputus asaan. Tetapi jika kakang Panembahan, Pu"tut Pradapa dan para cantrik turun bersama sama, mung"kin akibatnya akan lain. Demikian juga jika aku, seorang pututku, jejanggan dan para cantrik turun bersama sama ke medan, akibatnya tentu akan lain. Mereka tidak akan dapat membinasakan kami seluruhnya. Tetapi mungkin akan dapat terjadi sebaliknya. "
Tetapi bagi Kiai Bagaswara pembantaian yang demi"kian, pihak yang manapun yang akan tumpas tapis sam"pai orang terakhir, akan merupakan satu peristiwa yang sangat mengerikan. Sebagaimana ua membayangkan te"lah terjadi di padepokan saudara tua seperguruannya. Ka"rena itu, maka Kiai Bagaswara telah mengkesampingkan rencana untuk melakukan benturan beradu dada.
" Apakah aku dapat berusaha dengan cara yang lebih baik " " bertanya Kiai Bagaswara itu kepada diri sendiri.
Namun orang tua itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Rasa rasanya jalan yang akan ditempuhnya nampak sangat gelap.
Sementara itu, di padepokan Ki Tumenggung yang kecewa itupun telah mempersiapkan diri untuk satu perjuangan menurut sudut pandangannya, yang panjang dan la"ma. Beberapa orang perwiranya sependapat bahwa ki tumenggung akan menghubungi seorang pemimpin pade"pokan yang disebutnya Kiai Linduk. Meskipun orang itu li"cik dan kadang kadang curang, namun Kiai Tumenggung masih yakin bahwa ia memiliki kekuatan lebih besar dari kekuatan Kiai Linduk, sehingga apabila keadaan menyudutkannya kedalam satu benturan kekuatan, maka ia ya"kin bahwa ia akan dapat menghancurkan Ki Linduk dan orang orangnya.
" Jika kekuatan kita telah terkumpul, maka kita akan menduduki Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan memutuskan hubungan antara Mataram dan Bagelan. Se"mentara kita akan dapat menyusun kekuatan untuk menerobos ke Mangir. Kita akan dapat memaksa Ki Gede Menoreh dan Ki Gede Wonoboyo untuk berpihak kepada Kita. Sementara di sebelah Timur, Madiun telah mulai melancarkan pemberontakan" berkata Ki Tumenggung Purbarana.
Para pengikutnya hanya mengangguk angguk saja. Agaknya memang tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik. Para pengikutnya sadar, jika Ki Gede Menoreh dan Ki Gede Wonoboyo menolak, maka tidak ada jalan lain daripada membinasakan mereka.
Ki Tumenggung yang seakan akan mengerti gejolak perasaan para pengikutnya itupun kemudian berkata " Kita tidak usah cemas, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada kekuatan yang nggegirisi. Meskipun Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru tinggal di Menoreh, namun ia tidak akan dapat melawan Kiai Santak. Seandainya ia memiliki ilmu kebal sebagaimana Putut Pradapa memiliki ilmu Lembu Sekilan, maka keris Kiai Santak akan dapat dengan mudah menembusnya dan melukai kulitnya. Akibatnya sebagaimana telah terjadi dengan Putut Pradapa. Sementara itu, dengan Kiai San"tak aku ingin membuktikan, bahwa Kiai Baru, pusaka yang menjadi kekuatan Mangir tidak akan berarti apa apa "
Para pengikutnya masih saja mengangguk angguk. Rencana semacam itu memang pernah juga mereka bicarakan di padepokan yang telah mereka hancurkan, meskipun saat itu Ki Tumenggung masih juga menyinggung padepokan Kiai Bagaswara.
Dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung berbincang dengan beberapa orang perwira yang menjadi pengikut"nya, maka di hutan diseberang sungai, beberapa orang tengah berburu binatang hutan. Ketika dua orang diantara melihat seekor kijang yang sedang minum disebuah mata air yang jernih berkilat kilat, maka keduanya telah mempersiapkan anak panah pada busur mereka masing masing.
Seorang diantara keduanya telah memberikan isyarat untuk bersiap. Kemudian ia mulai menghitung perlahan lahan " Satu, dua, tiga"
Anak panah dari kedua buah busur itu meluncur se"perti angin. Keduanya tepat mengarah ke punggung ki"jang yang sedang minum dengan segarnya, tanpa menyadari bahaya yang sedang menerkamnya.
Tetapi begitu kedua anak panah itu meluncur mendekati sasaran, maka tiba tiba saja, seolah olah angin telah bertiup dengan kerasnya menerjang kedua anak panah itu sehingga keduanya telah berubah arah. Dengan demikian maka kedua anak panah itu sama sekali tidak mengenai binatang buruan itu, bahkan kijang itulah yang kemudian terkejut dan berlari masuk kedalan gerumbul hutan yang cukup lebat untuk melindungi dirinya.
" Gila " kedua orang itu berteriak hampir bersamaan. Kemudian salah seorang berkata lantang " Apa yang telah terjadi. Kedua anak panah itu ba"gaikan ditiup angin. Tetapi rasa rasanya tidak ada angin yang menggerakkan dedaunan, kecuali selingkar gerum"bul didekat mata air itu saja "
Dengan jantung yang berdegupan dan hati yang kesal kedua orang itupun menghambur lari mendekati mata air tempat kijang yang menjadi buruan mereka itu minum.
Ketika mereka sampai ditempat itu, dedaunan sudah tidak bergetar lagi. Tidak ada angin yang keras dan tidak ada sesuatu yang dapat mendorong kedua anak panah itu berbelok.
Hentakan di dalam dada kedua orang itu telah mendo"rong mereka untuk melihat lihat keadaan di sekeliling ma"ta air itu. Namun tiba tiba keduanya tersentak. Beberapa langkah dihadapan mereka, duduk laki laki tua yang dikenalnya sebagai laki laki yang tuli itu.
"Kakek" geram salah seorang dari kedua pemburu yang gagal itu. Kakek itu tersenyum. Katanya" Kalian mencari apa?"
"Kijang" teriak kedua prajurit itu hampir berbareng.
Orang itu memeringkan kepalanya. Lalu katanya"O, kijang. Kijang yang minum itu yang kalian maksud?"
"Ya"jawab prajurit itu.
"Bukankah kijang itu sudah lari"berkata orang tua itu.
"Kijang itu terkejut dan lari. Tetapi siapakah yang telah membuat pengeram eram?"bertanya salah seo"rang dari kedua orang itu.
"Membuat apa" orang tua itu sekali lagi memiringkan kepalanya untuk dapat mendengar lebih jelas.
"Siapa yang membuat pengeram eram" ulang praju"rit itu sambil berteriak.
Orang tua itu tiba tiba saja tertawa. Katanya "Kau aneh Ki Sanak. Bukankah aku sudah mengatakan, jangan membunuh kijang di hutan ini."
Kedua orang itu termangu mangu. Namun salah seo"rang diantara mereka tiba tiba bertanya "Jadi, apakah kau yang sedang menggagalkan perburuan ini?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu "Maksudmu?"
"Apakah kau yang membuat pengeran eram itu" Apakah kau yang sudah mengguncang udara sehingga anak panah itu berkisar dari arahnya?" bertanya prajurit itu.
"Ah" orang itu tertawa" bukan pangeram eram. Aku hanya sekedar ingin menyelamatkan kijang yang se"dang kehausan itu. Betapa segarnya air yang sedang dinikmatinya pada saat maut itu datang menjemputnya. Aku kasihan melihat kijang itu."
"Persetan"geram prajurit itu"Jadi kau yang telah mengganggu aku?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu ragu ia bertanya"Siapa yang sedang menunggu?"
"Orang tua gila" teriak prajurit itu "mengganggu. Bukan menunggu. Kau sudah mengganggu aku."
"O" Orang tua itu mengangguk angguk "maksudku tidak mengganggu. Maksudku sekedar menyelamatkan kijang yang sedang kehausan itu."
Wajah kedua orang prajurit itu menjadi merah oleh kemarahan yang menghentak hentak didada mereka. Ka"rena itu, maka salah seorang diantara mereka berka"ta "Kakek tua yang tidak tahu diri. Bagi kami, tingkah lakumu itu benar benar menyakitkan hati. Dipadepokan itu kawan kawanku menunggu hasil buruanku. Sementara itu kau telah mengganggu. Kau kira, bahwa yang kau lakukan itu satu kelucuan?"
Orang itu termangu mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab "Ah, jika demikian aku mohon maaf. Tetapi jika persoalannya sekedar lauk untuk makan, kenapa kali"an tidak mencari sayur sayuran saja" Atau barangkali de"ngan beberapa jenis buah yang dapat dimasak. Waluh misalnya. Terong atau timun yang tentu banyak terdapat dipadepokan."
"Jangan mengigau lagi" teriak prajurit itu "Kau harus minta maaf atas kesalahanmu. Selanjutnya kau tidak boleh mengganggu lagi. "
"Ah, bagaimana mungkin aku harus minta maaf Ki Sanak. Aku justru merasa telah melakukan sesuatu yang benar dan baik." jawab orang tua itu.
"Gila.. Kau kira dengan pengeram eram itu, kau akan terlepas dari tangan kami jika kami menjadi benar benar marah?" geram prajurit yang lain.
"Sebaiknya, marilah kita melupakannya" berkata orang tua itu "lupakan peristiwa itu. Dan lupakan segala macam binatang buruan."
Kedua prajurit itu menjadi semakin marah, sementa"ra kawan kawannya masih belum dilihatnya. Agaknya mereka berburu ditempat yang terpisah.
Kemarahan itu telah mendorong salah seorang dari kedua prajurit itu mengumpat sambil berkata "Kakek tua. Umurmu tinggal beberapa hari saja. Jangan membuat persoalan. Jika kami marah, maka kau akan sangat menyesal."
"Jangan begitu Ki Sanak" berkata kakek tua itu "seharusnya kau berterima kasih, bahwa aku sudah mencegah kau melakukan pembunuhan atas binatang yang tidak berdaya itu."
"Cukup" teriak prajurit yang lain "jongkok dan tundukkan kepalamu. Minta ampun di bawah kakiku."
Namun tanggapan orang tua itu benar benar mengejutkan. Orang tua itu justru tertawa sambil berkata " Jangan main main seperti itu."
Kemarahan kedua prajurit itu sudah tidak tertahan lagi. Seorang diantara mereka melangkah maju sambil mengancam "Cepat. Lakukan. Atau aku akan sampai hati memukul kepalamu."
"Jangan terlalu kasar Ki Sanak"desis orang tua itu.
"Lakukan sebelum aku mengambil sikap yang lebih kasar" bentak prajurit itu.
Tetapi jantung kedua prajurit itu terasa berdentang semakin cepat ketika orang tua itu justru menggeleng sambil berkata "Jangan memaksa begitu. Bukankah sudah aku katakan. Aku tidak bersalah."
Kedua orang prajurit yang menjadi pengikut Ki Tu"menggung Purbarana itu tidak dapat menahan diri lagi. Salah seorang dari keduanya telah melangkah maju. Dengan serta merta, maka tangan orang itu telah terayun ke kening orang tua itu.
Terasa tangan prajurit itu membentur kening orang tua itu. Meskipun tidak dengan sekuat tenaganya, tetapi pukulan itu adalah pukulan kemarahan, sehingga pukulan itu adalah pukulan yang keras.
Namun ketika tangan prajurit itu ditarik, maka praju"rit itu menjadi sangat terkejut. Ia tidak melihat kesan apapun pada orang tua itu. Orang tua itu sama sekali tidak nampak kesakitan atau sedang menyeringai karena pukulannya.
Orang itu masih berdiri sambil memandanginya. Bahkan kemudian orang tua itu justru tersenyum.
Perbuatannya memang sangat menyakitkan hati. Ka"rena itu prajurit yang seorang lagi telah meloncat mendekati pula. Ia sudah mendapat kesan tentang sikap orang tua itu setelah pukulan kawannya yang seakan akan tidak terasa di keningnya.
Karena itu, orang itu tidak menghantam kening. Te"tapi prajurit itu dengan sekuat tenaganya telah menghan"tam kearah dada orang tua itu.
Pukulannya tepat mengenai sasarannya, karena orang tua itu memang tidak menghindar dan tidak menangkis. Pukulan yang keras itu tepat menghantam arah ulu hati.
Namun sekali lagi kedua orang prajurit itu terkejut. Orang tua itu sama sekali tidak tergeser. Bahkan ia masih saja tersenyum.
Kedua prajurit itu benar benar merasa dipermainkan. Karena itu maka keduanya tanpa berjanji telah menyerang bersama sama dengan sekuat tenaga mereka.
Tetapi serangan mereka itu tidak berarti apa apa. Orangtua itu masih tetap berdiri ditempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setebal rambut sekalipun. Bahkan orang tua itu kemudian justru tertawa sambil berkata"Sudah aku katakan Ki Sanak. Jangan main main seperti itu. Kau akan menjadi letih tanpa ada gunanya sa"ma sekali."
Kedua orang itu akhirnya menyadari, bahwa kekua"tan tangannya tidak akan dapat menyakiti orang tua itu. Karena itu, maka tiba tiba seorang diantaranya telah menarik pedangnya. Bahkan demikian kawannya berbuat demikian, yang lainpun telah berbuat serupa pula.
Orang tua gila"geram salah seorang prajurit itu "ternyata kau bukan orang kebanyakan seperti aku duga. Tetapi justru karena kesombonganmu itu, kau akan menemui kesulitan. Kau harus dihancurkan sama sekali. Tajam pedangku tidak akan dapat kau abaikan meskipun seandainya kau berilmu kebal sekalipun teriak prajurit itu.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Ia masih saja memiringkan kepalanya, seakan akan ingin mendengar kata kata prajurit itu lebih jelas lagi. Namun sebenarnyalah bahwa orang tua itu telah melihat kedua orang prajurit itu membawa pedang.
Sambil mengacungkan pedangnya keduanya melang"kah mendekat. Kemarahan yang menghentak membuat kedua orang prajurit itu tidak berpikir lebih panjang lagi.
Demikian keduanya mendekat, maka tiba tiba saja salah seorang diantara mereka telah mengayunkan pedangnya mendatar. Memang tidak langsung mematuk kearah jantung, atau mengkoyak kulit dan daging. Praju"rit itu berusaha untuk menggores kulit orang tua itu, untuk menjajagi kemunginan ilmu yang ada pada orang itu.
Namun prajurit itu terkejut bukan buatan. Terasa ujung pedangnya memang telah menyentuh tubuh orang tua itu. Tetapi demikiannya pedangnya terayun, maka sa"ma sekali ia tidak melihat goresan pada tubuh orang tua itu. Jika ia merasa pedangnya penyentuh lengan, namun sama sekali ia tidak melihat luka dilengan orang tua itu.
Wajah prajurit itu menjadi merah membara. Ia kemudian sadar sepenuhnya bahwa orang tua itu tentu memiliki ilmu kebal atau justru kekuatan lain yang lebih berbahaya dari ilmu kebal.
Tetapi sebagai prajurit, maka keduanya tidak mudah untuk mengambil keputusan menarik diri dari benturan kekuatan. Karena itu keduanya justru bersiap untuk melakukan serangan bersama dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka.
"Sudahlah"berkata orang tua itu "kita hentikan per"mainan yang tidak menarik ini."
Kedua orang prajurit itu termangu mangu. Tetapi keduanya masih mengacungkan pedang mereka dan siap untuk menikam ke arah dada.
"Tidak ada gunanya kita berselisih. Sebenarnya akupun tidak ingin terjadi perselisihan seperti ini. Aku se"benarnya ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat Bukan saja mencegah kalian berburu di hutan ini dengan membunuh binatang buruan. Tetapi aku sebenarnya me"mang ingin memperenalkan diriku."berkata orang tua itu.
Ternyata orang tua itu tidak lagi berdiri terbongkok bongkok dengan kaki timpang. Perlahan lahan ia melepas ikat kepalanya yang berwarna gelap., sambil berkata "Aku tidak terbiasa mengenakan ikat kepala. Aku biasanya hanya menyangkutkannya di leher atau di pundakku. "
Kedua prajurit itu terbelalak melihat orang"yang ber"diri dihadapapnya. Orang itu memang sudah berambut putih. Tetapi ketika ia berdiri tegak, maka nampaknya umurnya menjadi susut jauh kebelakang. Orang yang sudah bagaikan seorang kakek tua yang tidak berdaya itu justru nampak menjadi seorang laki laki yang gagah, bertubuh tinggi besar dan berdada bidang. "Ki Sanak"berkata orang itu"maafkan jika aku benar benar telah terlibat kedalam satu permainan yang kurang menyenangkan bagi kalian. Tetapi aku menduga, seandainya kalian dipesan oleh Ki Tumenggung untuk bertemu dengan orang yang bernama Kiai Bagaswara, maka agak"nya kau sudah diberi tahu, bagaimanakah ciri ciri orang itu."
Kedua orang prajurit itu berdiri mematung. Hampir diluar sadarnya salah seorang dari kedua orang itu berdesis"Kiai Bagaswara."
Orang tua itu mengangguk, Jawabnya sambil ter"senyum "Ya Ki Sanak Akulah orang yang kalian cari."
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Ternyata orang yang berada di hadapannya itulah orang yang selalu disebut namanya oleh Ki Tumenggung Purbarana.
Karena itu, kedua orang itupun kemudian merasa ti"dak perlu lagi mengacungkan pedangnya. Karena pedang mereka itupun tentu tidak akan berarti apa apa bagi Kiai Bagaswara.
Dengan demikian maka keduanyapun telah menyarungkan pedangnya. Salah seorang dari mereka berkata " Kami mohon maaf Kiai, Kami tidak tahu sama sekali bahwa kami berhadapan dengan kiai Bagaswara. "
" Bukan salah kalian "jawab Kiai Bagaswara " aku memang dengan sengaja menyamarkan diri, sehingga ji"ka kalian masih dapat mengenali ciri ciriku, maka dengan demikian aku sudah gagal.
" Sebenarnyalah kami memang mendapat pesan un"tuk mencari Kiai Bagaswara."
" Katakan, apa yang dikatakan oleh Purbarana ten"tang aku " berkata Kiai Bagaswara.
" Kiai, Ki Tumenggung memang ingin sekali berte"mu dengan Kiai. Jika dalam hal ini, Kiai dan para cantrik sengaja menyingkir dari padepokan, apakah sebenarnya sebabnya. Mungkin Kiai telah mendengar laporan yang salah tentang Ki Tumenggung Purbarana, sehingga kare"na itu Ki Tumenggung ingin menjelaskannya. " berkata prajurit itu.
" Aku memang sudah mendengar Ki Sanak. Saudara seperguruanku, justru adalah guru Purbarana sendiri, te"lah terbunuh " berkata Kiai Bagaswara.
" Itulah yang akan dijelaskan Kiai. Seandainya Kiai bersedia untuk datang barang sebentar berkata prajurit itu.
" Aku sudah tahu semuanya. Akupun tahu tujuan si"kap yang disebutnya satu perjuangan itu. Tetapi agaknya aku berpendapat lain berkata Kiai Bagaswara.
" Apapun yang akan Kiai katakan, maka sebaiknya Kiai dapat langsung berbicara dengan Ki Tumenggung " minta prajurit itu.
" Tidak ada gunanya " berkata Kiai Bagaswara " aku tahu pasti, bahwa yang dilakukan sama sekali bukan satu perjuangan. Tetapi satu kegilaan. Apa yang akan da"pat dicapainya dengan pemberontakannya itu " Nah, aku kira kau juga seorang prajurit. Kau tentu mempunyai penalaran yang masak untuk menilai medan. Mungkin kau bukan seorang yang berpangkat untuk menentukan satu kebijaksanaan di medan perang. Mungkin kau hanya seo"rang prajurit yang harus menerima perintah dan melaksanakannya. Tetapi bagaimanapun juga, kau tetap memi"liki kemampuan berpikir dan membuat perhitungan. Ka"tanya dengan jujur, apakah hati nuranimu membenarkan perjuangan Ki Tumenggung " Seandainya kau sependapat dengan Ki Tumenggung, namun apakah kau yakin bahwa perjuangan itu akan berhasil" Kau tentu mempunyai per"hitungan karena kau telah ditempa oleh satu pengalaman. Berapa kekuatan yang ada padamu sekarang" Kau dapat memperbandingkan dengan kekuatan Mataram. Tidak perlu Mataram itu sendiri, tetapi lingkungan disekelilingnya. Misalnya Sangkal Putung, Jati Anom, Tanah Perdi"kan Menoreh, Mangir dan daerah daerah lain disekitarnya. Belum lagi di perhitungkan kekuatan pada Adipati. Yang terdekat adalah Adipati Pajang. "
Kedua orang prajurit itu termangu mangu. Sementara itu, Kiai Bagaswara melanjutkan "Kau mempunyai kesempatan untuk merenung. Jika kau berani jujur terhadap dirimu sendiri, maka kau akan dapat mengambil satu kesimpulan. Karena sebenarnyalah, kekuatan Ki Tu"menggung Purbarana bukan kekuatan yang perlu ditakuti. Padepokankupun akan dapat menghancurkannya jika aku mau. Jika padepokan saudara seperguruanku itu hancur adalah karena mereka justru tidak menduga sama se"kali, bahwa peristiwa itu akan terjadi. Tetapi bayangkan, jika saudara seperguruanku itu benar benar ingin bertem"pur, bersama dengan Putut Pradapa yang terbunuh kemu"dian, bersama jejanggan dan para cantrik, apa kira kira Purbarana akan dapat melawan" Demikian sekarang aku, seorang pututku yang memiliki kemampuan seimbang dengan Pradapa. Tiga orang jejanggan yang beril"mu tinggi, meskipun belum sejajar dengan putut itu. Apa"kah kira kira Purbarana akan dapat bertahan. "
" Tetapi Ki Tumenggung sekarang memiliki keris Ki"ai Santak " berkata salah seorang dari kedua orang pra"jurit itu.
" Kiai Santak adalah keris yang jarang ada duanya. Tetapi akupun mempunyai pusaka yang serupa, meskipun ujudnya adalah sebuah luwuk. "jawab Kiai Bagaswara.
Kedua orang prajurit itu termangu mangu. Namun ti"ba tiba salah seorang dari mereka berkata "Ki Tumeng"gung akan menemui Ki Linduk dan seorang saudara seperguruannya."
Wajah Kiai Bagaswara menjadi tegang, Katanya " Purbarana benar benar sudah sesat. Dan kau akan mengikutinya saja dibelakang tanpa mengetahui artinya. He Ki Sanak. Sebenarnya aku ingin memberikan satu peringatan kepadamu, bahwa sebaiknya kau tiidak usah ikut campur. Aku dapat saja membinasakan Purbarana dengan seluruh pasukannya. Jika aku merasa kurang kuat, aku dapat mengundang tiga ampat orang sehabatku, meski"pun mungkin ilmunya belum setinggi pututku. Atau aku akan dapat melaporkan kepada kekuatan Adipati Wirabumi" Yang ada didaerah ini. Bukankah Purbarana adalah buruan Adipati Wirabumi" " Kiai Bagaswara berhenti se"jenak, lalu " tetapi aku tidak ingin terjadi lagi pembantaian atas siapapun. Juga atas para pengi kutnya Ki Tu"menggung yang pada umumnya tidak bersalah. "
" Apa maksud Kiai sebenarnya " " bertanya praju"rit itu.
" Jika satu demi satu para pengikut Ki Tumenggung menyadari kekeliruannya dan meninggalkannya, maka ti"dak akan terjadi perang di manapun " jawab Kiai Bagas"wara " karena itu, tinggalkan Ki Tumenggung. Jangan kembali ke padepokan. Sebenarnya aku dapat saja membunuh kalian untuk memperlemah kedudukan Ki Tumeng"gung, tetapi sekali lagi aku katakan, aku tidak ingin. "
Kedua orang itu termangumangu. Nampaknya mere"ka sedang memikirkan kata kata Kiai Bagaswara itu. Agaknya memang masuk akal, bahwa perjuangan Ki tu"menggung itu tidak akan mempunyai arti apa apa lagi selain kematian. Kekuatan mereka terlalu kecil untuk menghadapi Mataram. Seandainya mereka mendapat sekelompok kawan dari sebuah padepokan, jumlah itupun tentu terlalu kecil dibanding dengan kebesaran Mata"ram yang tumbuh terus.
Kiai Bagaswara melihat sesuatu sedang bergejolak di hati kedua orang prajurit itu. Karena itu, maka Kiai Bagaswara itupun berkata selanjutnya"Pikirkan Ki Sa"nak. Apakah ada sesuatu yang menarik bagimu di peperangan" Apakah pembunuhan merupakan alas dari satu kepuasan bagi kalian" Jika tidak, maka menyingkirlah dari arena pembantaian. Jangan lumuri tanganmu de"ngan darah. Jika tanganmu sudah terlanjur menjadi merah, justru carilah air yang bening, yang akan dapat mencuci noda noda itu dari dirimu, karena sebenarnyalah selagi kau masih mempunyai kesempatan. Jika pada saatnya kau terbaring diam, entah karena tikaman senjata atau karena sebab sebab lain, maka kau sudah tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk menemukan pengampunan. Dan saat yang demikian akan datang tanpa kau ketahui kapan. Mungkin kau akan berumur panjang, tetapi mungkin kau tidak sempat melihat matahari terbit esok pagi, meskipun seandainya kau bersembunyi didalam peti baja sekalipun."
Kedua orang prajurit itu menarik nafas dan dalam. Sementara itu masih saja terdengar suara yang mengetuk ketuk pintu hatinya. "Ki Sanak. Kalian masih mempunyai jalan untuk meninggalkan satu kehidupan yang akan men"jadi semakin sengsara. Jiwamu akan menjadi semakin kering, dan kalian akan kehausan seperti kijang yang haus akan air yang bening. Maka kau pada saatnya akan merasa haus akan sumber Hidupmu yang Maha Hidup."
Kedua prajurit itu menjadi semakin tunduk. Namun mereka masih mendengar Kiai Bagaswara itu berka"ta "Kenalilah Sumber Hidupmu, karena kau mau tidak mau pada satu saat kau akan datang menghadapnya. Jika kau mengenalnya, maka kelak Yang Maha Hidup itupun akan memanggilmu karena Yang Maha Hidup itupun mengenalmu. Tetapi jika kau tidak mengenalnya, maka kau akan dibiarkan saja menjadi kering bagaikan debu, karena Yang Maha Hidup itu tidak mengenalmu."
Tubuh kedua orang prajurit itu menjadi gemetar. Perlahan lahan mereka terbawa ke dalam satu kesadaran ten"tang dirinya dalam hubungannya dengan Penciptanya. Karena itu, betapa keduanya merasa bahwa hidup mere"ka selama ini telah tersia sia.
Karena itu, maka dengan kepala tunduk, salah seo"rang dari kedua prajurit itu berkata "Aku mengerti Kiai."
"Nah, jika demikian, apakah kalian masih juga me"rasa perlu untuk kembali kepada Ki Tumenggung Purba"rana" Apakah kau masih ingin mencari kepuasan dengan mengotori tanganmu dengan darah sesama, yang ada sebagaimana kau ada?" bertanya Kiai Bagaswara.
Kedua prajurit itu masih menunduk. Kening mereka nampak berkerut. Sesuatu memang sedang bergejolak dengan dahsyatnya di dalam dadanya.
Namun akhirnya salah seorang dari mereka berka"ta "Kiai. Ternyata Kiai sudah menunjukkan jalan yang le"bih baik yang dapat kami tempuh. Kiai memberikan satu kesadaran baru didalam hidup ini. Karena itu Kiai, aku berjanji, bahwa aku tidak akan kembali kepada Ki Tu"menggung Purbarana. Aku akan ikut bersama Kiai jika Kiai tidak berkeberatan."
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam, Semen"tara itu prajurit yang lainpun berkata,
"Aku sependapat dengan kawanku Kiai. Aku memang merasa bahwa hidupku rasa rasanya selama ini tidak wajar sebagaimana orang kebanyakan. Ada sesuatu yang lain, yang mengungkungku tanpa dapat aku lepaskan. Namun Kiai telah melepaskan kungkungan itu dan menunjukkan kepadaku, jalan menuju kehidupan yang wajar. Karena itu Kiai, seperti kawanku, jika Kiai berkenan, aku akan ikut ber"sama Kiai dalam satu kehidupan baru."
Kiai Bagaswara tersenyum. Katanya"Sokurlah jika kata kataku dapat membuka selubung yang selama ini menutupi mata hatimu. Tetapi sudah barang tentu, untuk sementara aku tidak dapat menerima kalian. Aku sedang tidak berada di padepokanku sebagaimana kau lihat."
"Kami akan ikut kemanapun Kiai pergi" jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.
Namun Kiai Bagaswara menggeleng. Katanya"Un"tuk sementara tidak mungkin. Karena itu, untuk sementa"ra menyingkirlah. Kembalilah ke kampung. Jika kau takut kembali ke rumahmu, karena dengan demikian ada kemungkinan utusan Ki Tumenggung menjemputmu, maka kau dapat kembali ke Pajang. Kau dapat menyerahkan diri kepada pasukan yang masih tetap berada ditempatnya. Kau tentu akan mendapat pengampunan. Mungkin kau akan dihukum. Tetapi anggaplah hukuman itu sebagai satu masa kau mencuci diri. Setelah hukuman itu kau jalani, kau akan menjadi bersih dan kau akan da"pat menempuh satu kehidupan baru. Demikian kau lepas dari kolam pencucian, maka kau akan merasa sebagai dilahirkan kembali. Dan kau akan dapat menempuh satu jalur kehidupan baru yang baru yang akan dapat kau susun kemudian dengan hati hati."
Kedua orang itu menarik nafas dalam dalam. Semen"tara itu Kiai Bagaswara berkata selanjutnya Kau dapat melakukannya dengan segera. Tinggalkan tempat ini. Ja"ngan kau jumpai lagi kawan kawanmu berburu. Akulah yang akan menemui mereka. Aku ingin juga menunjukkan jalan sebagaimana aku lakukan kepada kalian. Sokurlah jika mereka dapat mengerti dan hatinya terbuka memandang ke satu kehidupan yang lebih baik. Jika tidakpun, maka rasa rasanya aku sudah melakukan satu usaha yang baik bagi sesama."
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemu"dian tanpa mengucapkan kata sepatahpun, ternyata ke"duanya sudah menemukan kesepakatan. Karena itu, ma"ka salah seorang dari dua orang prajurit itu berka"ta"Baiklah Kiai. Jika demikian petunjuk Kiai, maka kami akan melakukannya. Kami berdua akan kembali ke Pajang dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jika kami harus menjalani hukuman, maka seperti yang Kiai kata"kan, hukuman itu akan kami anggap sebagai satu arena yang dapat mencuci jiwa kami. Menghapus segala macam noda yang telah kami lakukan, sehingga jika saat kami terlepas, maka kami akan dapat menikmati hidup kami sebagaimana orang orang lain dapat menikmati kehidupan sewajarnya."
Kiai Bagaswara mengangguk angguk. Pada sorot matanya nampak kelembutan hatinya mengiringi sikap kedua orang prajurit itu. Kedua orang yang apabila dikehendakinya, dengan mudah dapat dibunuhnya. Tetapi pembunuhan bukannya satu satunya jalan untuk melemahkan kedudukan lawan.
Dengan pengarahkan kedua orang prajurit Ki Tu"menggung itu, iapun telah berhasil memperlemah kedudukannya. Apalagi apabila ia dapat melakukannya bagi orang orang lain lagi.
Dalam pada itu, kedua prajurit itupun kemuuian su"dah bertekad untuk kembali ke Pajang. Dengan suara bergetar seorang di antaranya minta diri Sudahlah Kiai. Aku akan segera berangkat. Mudah mudahan aku akan sampai ketujuan dengan selamat. "
" Lepaskan alat pembunuh yang kau bawa itu. Berjalanlah sebagaimana para pengembara yang tidak bersiap siap untuk saling berbunuhan disepanjang jalan. Tan"pa senjata, maka kamu tidak akan dimusuhi oleh orang o"rang yang merasa dirinya gegedug yang tidak terkalahkan. Tetapi senjata di lambung memang akan dapat memancing perselisihan tanpa sebab. " berkata Kiai Bagas"wara.
Kedua orang itu sependapat. Merekapun telah melepaskan pedang di lambungnya dan meletakkan serta endong anak panahnya.
Dengan kepala tunduk seorang diantara mereka me ngangguk hormat sambil menyalaminya.
" Aku mohon diri Kiai " desisnya.
" Berhati hatilah. Pintu masih selalu terbuka bagi pengampunan" berkata Kiai Bagaswara.
Namun sementara itu, ketika yang seorang lagi menjabat tangan Kiai Bagaswara, tiba tiba saja ia berjongkok sambil memeluk kaki Kiai Bagaswara. Laki laki yang garang itu tiba tiba saja menangis sebagaimana kanak kanak menangis. Terisak dan air mata meleleh dari sepasang matanya yang biasanya memancarkan api kebencian.
" Kiai " katanya " aku adalah orang yang telah penuh dengan dosa dan noda. Aku ikut membantai para can"trik di padepokan saudara tua Kiai Bagaswara. Dengan tanganku aku menikam jantung mereka dan orang orang lain yang pernah aku bunuh. Apakah dengan demikian, aku masih mungkin menemukan jalan kembali " "
" Justru sekarang kau melihat pintu itu terbuka " berkata Kiai Bagaswara" masuklah. Kau akan menjad ikeluarga dari orang orang yang sudah bertaubat. "
Laki laki yang garang itu berusaha menahan tangisnya. Kemudian dengan wajah yang pengab iapun mohon diri untuk meninggalkan satu dunia yang suram, yang ti"dak dapat memberikan cahaya bagi masa depan yang panjang. Bahkan bagi anak cucu.
Demikianlah kedua orang itupun kemudian mening"galkan Kiai Bagaswara. Keduanya mengambil jalan menyilang, sehingga mereka tidak akan bertemu dengan pa"ra pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang lain. Mereka sudah bertekad untuk menyerahkan diri kepada para pra"jurit Pajang. Semoga Adipati Wirabumi yang mendapat kekuasaan di Pajang setelah Mataram berdiri dapat meli"hat persoalannya dengan wajar.
Sepeninggal kedua orang itu, maka Kiai Bagaswara"pun menarik nafas dalam dalam. Sejenak ia berdiri ter"mangu mangu. Namun kemudian iapun berkata kepada diri " Mudah mudahan aku dapat membantu orang orang lain untuk mengenal jalan kembali. "
Sebenarnyalah, Kiai Bagaswara telah berusaha untuk beberapa orang dengan cara yang sama. Dengan bekal pengalaman yang matang dan kadangkadang dengan menunjukkan beberapa kelebihan yang sulit dimengerti oleh para prajurit pengikut Ki Tumenggung, Kiai Bagaswara berhasil membujuk beberapa orang untuk meninggalkan Ki Tumenggung yang sesat. Dengan niat yang baik, maka Kiai Bagaswara berusaha untuk menyelamatkan bebera"pa orang dari kehancuran bersama Ki Tumenggung.
Namun yang terjadi itu telah menggemparkan padepo"kan Kiai Bagaswara. Pada hari pertama, lima orang ter"nyata telah hilang dan tidak kembali ke padepokan.
Tidak ada orang yang tahu, apakah yang telah terjadi. Seorang perwira yang mendapat laporan itu berkata " Jangan disampaikan kepada Ki Tumenggung lebih dahulu. Kita berusaha untuk memecahkan persoalan ini. Mung"kin mereka tersesat. Mungkin mereka bertemu dengan lawan yang dapat membinasakan mereka. Besuk kita akan melihat apa yang telah terjadi.
Namun dihari berikutnya, ampat orang tidak kembali ke padepokan itu. Mereka hilang sebagaimana lima orang dihari pertama.
Ternyata hal itu tidak lagi dapat disembunyikan. Pa"da hari kedua Ki Tumenggung telah mendengar, bahwa sembilan orangnya telah hilang.
" Ini satu kegilaan yang tidak dapat dimaafkan " ge"ram Ki Tumenggung " cari kesembilan orang itu. Jika mereka mati dimakan harimau atau dibunuh oleh para cantrik dari padepokan ini, maka bawa kembali mayatnya. Tetapi jika mereka melarikan din dan dapat kalian ketemukan, maka bawa mereka kembali hidup hidup. Akulah yang akan menyayat kulitnya sebelum mereka diseret dibelakang kaki kuda mengelilingi padepokan ini, lewat semak semak berduri. "
Kemarahan Ki Tumenggung membuat jantung para pengikutnya semakin kuncup. Ki Tumenggung adalah orang yang tidak terkalahkan, apalagi dengan Kiai Santak ditangannya.
Namun dalam pada itu, dihari berikutnya, ternyata masih ada juga dua orang yang hilang. Dua orang yang ti"dak kembali lagi kepadepokan itu.
" Kalian semua adalah orang orang dungu yang ti"dak berarti " teriak Ki Tumenggung di hadapan para pe"ngikutnya " jika terjadi lagi diantara kalian yang tidak kembali, maka seluruh kelompok akan menerima hukumannya. Aku sendiri akan menghukum mereka dengan tanganku.
Dengan demikian, maka yang bertugas keluar padepokan dihari berikutnya terdiri dari kelompok kelompok yang tidak terpisahkan. Namun demikian didalam daerah perburuan, Kiai Bagaswara masih sempat juga menemui mereka secara terpisah.
Tetapi kesempatan Kiai Bagaswara menjadi terlalu sempit. Ia tidak dapat berbicara gamblang. Karena itu, maka penjelasannyapun tidak dapat ditangkap sebagai"mana hari hari sebelumnya.
Meskipun demikian, sekelompok kecil yang terdiri da"ri sepuluh orang itu, ketika berkumpul ditempat yang ditentukan di tengah tengah hutan itu, telah kehilangan seorang diantara mereka. Hilangnya yang seorang itu te"lah membuat pemimpin kelompok itu menjadi sangat ma"rah, karena mereka seluruhnya tentu akan mendapat hu"kuman yang tentu tidak ringan.
" Kita akan mencarinya " berkata pemimpin kelom"pok itu " tetapi kita akan selalu bersama sama. Tidak boleh seorangpun diantara kita yang terpisah. "
Namun dalam pada itu, seorang diantara para praju"rit dalam kelompok itu dengan ragu ragu berkata " Ki Lurah, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. "
" Apa " " bertanya pemimpin kelompok itu.
" Ketika kita masing masing mengejar binatang bu"ruan, ternyata telah membuat kita agak terpisah yang sa"tu dengan yang lain. Aku berdua dengan kawan yang hi"lang itu telah bertemu dengan seseorang yang semula aku kira seorang tua pencari kayu bakar. Tetapi ternyata orang itu adalah Kiai Bagaswara.
" Kiai Bagaswarta sendiri " " bertanya pemimpin kelompok itu dengan wajah yang tegang.
" Ya. Kiai Bagaswara itu sendiri " jawab prajurit itu.
" Jadi kawanmu itu telah dibunuh oleh Kiai Bagas"wara" " bertanya pemimpin kelompoknya.
" Tidak. Ternyata Kiai Bagaswara tidak membunuh seorangpun diantara kawan kawan kami yang hilang. Tetapi Kiai Bagaswara sempat memberikan beberapa petunjuk. Seakan akan kami waktu itu telah terseret kedalam ketidak sadaran. Seolah olah apa yang dikatakan oleh Kiai Bagaswara itu telah mencengkam jiwa kami. Tetapi ternyata bahwa aku masih sempat berpikir. Kesempatan yang ada pada Kiai Bagaswara agaknya terlalu pendek. Ketike tiba tiba dikejauhan terdengar suara beberapa orang kawan kami memburu seekor kijang, maka aku telah menemukan kesadaranku kembali. Aku telah berlari ke"arah suara itu dan meninggalkan kawanku yang agaknya benar benar telah terbius oleh kata kata dan janji janji Kiai Bagaswara. "
" Janji apa " " bertanya pemimpinnya.
" Janji tentang hidup sesudah mati " jawab prajurit.
" O, gila. Para prajurit itu agaknya memang sudah gila " geram pemimpin kelompoknya. Namun keterangan itu agaknya cukup penting di berikan kepada Ki Tu"menggung Purbarana, sehingga akan dapat mengurangi kemarahan Ki Tumenggung itu karena seorang diantara anggauta kelompoknya telah hilang.
" Marilah, kita akan menghadapi Ki Tumenggung. Kita akan mempertanggung jawabkan hal ini kepadanya. Kita semua. Tetapi keterangan tentang Kiai Bagaswara itu memang cukup penting, se"hingga perlu segera kita sampaikan. Mudah mudahan ke"terangan itu akan dapat membebaskan kita dari huku"man yang mungkin akan diberikan oleh Ki Tumenggung kepada kita.
Dengan demikian, maka sekelompoki prajurit itupun dengan tergesa gesa telah meninggalkan hutan buruan sambil membawa hasil buruan mereka. Namun yang le"bih penting bagi mereka adalah, bahwa mereka telah ber"temu dengan orang yang selama ini mereka cari. Kiai Ba"gaswara.
Ketika kemudian Ki Tumenggung mendengar laporan itu, tubuhnya serasa menggigil oleh kemarahan yang menghentak hentak dadanya. Dengan demikian ia sadar, bahwa Kiai Bagaswara tentu tidak akan menyetujui sikapnya seandainya ia dapat menemuinya dan berbicara tentang rencananya itu.
Namun yang dilaporkan oleh pemimpin kelompok itu memang dapat meredakan kemarahan Ki Tumenggung terhadap seluruh kelompok yang telah kehilangan seorang kawannya itu. Kemarahan Ki Tumenggung sepenuhnya telah ditumpahkan kepada Kiai Bagaswara.
Karena itu, maka dengan lantang iapun berkata "Kita siapkan semua prajurit. Kita akan menerobos hutan itu dengan tebaran pasukan berjarak sejauh jauhnya tiga langkah. Kita akan menerjang seluruh isi hutan. Bahkan seandainya kita bertemu dengan sekelompok gajah sekalipun, kita tidak boleh memutuskan jaring itu. Kita harus menemukan Kiai Bagaswara yang ternyata telah bersembunyi didalam hutan itu dan dengan caranya memperlemah kedudukanku."
Tidak ada waktu untuk berislirahat bagi kelompok yang baru saja datang. dari berburu itu, Mereka segera ikut mempersiapkan diri untuk pergi ke hutan. Mereka akan menebar dengan jarak sejauh tiga langkah. Mereka akan menelusuri tempat tempat yang mungkin dipergunakan oleh Kiai Bagaswara untuk bersembunyi.
Dengan wajah yang masih tetap membara Ki Tu"menggung segera memerintahkan pasukannya untuk berangkat setelah ia memberikan beberapa petunjuk kepa"da para pemimpin kelompok. Dengan suara bergetar Ki Tumenggung berkata "Kita tidak boleh gagal."
Sejenak kemudian, semua prajurit yang ada di padepokan itupun telah berangkat menuju ke hutan. Demikian mereka menyeberang sungai maka merekapun mulai menebar. Dengan petunjuk prajurit yang telah ber"temu dengan Kiai Bagaswara, maka merekapun telah mulai bergerak dalam tebaran yang rapat, sebagaimana selembar jaring yang ditebarkan.
Perlahan lahan tebaran itu mulai bergerak maju. De"ngan isyarat beberapa orang prajurit telah memberikan aba aba khusus, sehingga para prajurit itu bergerak pada garis yang tetap teratur.
Gerak maju para prajurit itu ternyata bukannya satu tugas yang ringan. Ternyata di tengah hutan itu terdapat rawa rawa, sehingga beberapa orang prajurit terpaksa menyeberangi rawa rawa itu. Namun di tempat lain ter"dapat belukar berduri, sehingga beberapa orang prajurit harus berjalan menembus belukar itu. Dengan pedang mereka menebasi pepohonan perdu yang menghalangi jalan mereka agar garis tebaran prajurit itu tidak terputus karenanya.
Ki Tumenggung sendiri melakukan sebagaimana dikatakan. Iapun tidak menyimpang ketika di depannya terdapat sebuah rawa yang agak dalam. Ia turun kedalam air yang kotor dan berjalan dengan susah payah bersama beberapa orang disebelah menyebelahnya.
Ki Tumenggung tidak ingin sejengkal tanahpun yang terlewatkan dari pengamatan mereka. Ia memperhatikan bukan saja setiap semak. Tetapi setiap batang pohon diamatinya, cabang cabangnya, ranting rantingnya. Mungkin Kiai Bagaswara bertengger di atasnya. Demi"kian juga diperintahkannya kepada semua pengikutnya.
Namun meskipun mereka telah menempuh perja"lanan yang jauh, tetapi mereka tidak menemukan seorangpun. Yang mereka jumpai ditengah tengah hutan itu adalah beberapa jenis binatang buruan yang berlari ketakutan. Bahkan beberapa ekor harimaupun telah ber"lari pula menghindar. Sekali terdengar binatang buas itu mengaum. Namun kemudian lenyap di balik lebatnya hutan.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Ki Tumenggung itupun mengumpat. Jika malam turun, maka ia sadar, bahwa ia akan kehilangan buruannya, jika ia belum menemukannya sebelumnya.
Sebenarnyalah, hutan itupun menjadi semakin gelap. Meskipun matahari masih nampak di langit, tetapi sinarnya mulai menjadi lemah dan tidak lagi mampu menembus lebatnya dedaunan hutan sampai menyentuh tanah.
" Gila " geram Ki Tumenggung " iblis itu akan sem"pat lolos digelapnya malam. "
Para pengikutnya tidak menyahut. Seorang perwira yang berambut putih menarik nafas dalam dalam. Sejak semula ia sudah meragukan, apakah cara itu akan dapat bermanfaat. Jika ia mencari segerombolan perampok, mungkin cara itu akan berarti. Mungkin pasukan itu akan menemukan sarang perampok itu. Tetapi yang mereka cari hanyalah satu orang. Satu orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga sulit bagi perwira itu untuk membayangkan bahwa usaha itu akan berhasil.
Tetapi perwira berambut putih yang sudah mengenal tabiat Ki Tumenggung Purbarana itu tidak mencegahnya. Usaha itu akan sia sia. Bahkan seandainya Ki Tumeng"gung itu mengakui kebenaran pendapatnya didalam hati, namun ia tidak akan mau mundur dari keputusannya yang gila itu.
Namun ketika malam benar benar turun, maka Ki Tumenggungpun terpaksa menghentikan usahanya. Dengan isyarat bunyi sangkakala ia memanggil seluruh pasukannya.
" Usaha kita sia sia " Ki Tumenggung mengeram "iblis tua itu diselamatkan oleh malam yang tiba tiba saja datang, seakan akan lebih cepat dari biasanya. "
Tidak seorangpun yang menyahut.
" Jika besok atau selambat lambatnya hari berikut"nya, kita tidak dapat menangkap iblis tua itu, maka kita akan menghancurkan padepokannya. Kita akan membakar semua bangunan yang ada dan kemudian meninggalkannya. Aku menjadi muak tinggal di padepokan iblis tua yang licik itu" berkata Ki Tumenggung itu lantang.
Namun dalam pada itu, pada saat Ki Tumenggung menyiapkan pasukannya kembali ke padepokan, maka di padepokan Kiai Bagaswara duduk dengan wajah yang sayu di halaman belakang. Padepokan yang sudah dihuninya untuk waktu yang lama.
Kiai Bagaswara itu sadar, bahwa usahanya tidak akan dapat berkembang lebih jauh. Ketika ia melihat se"orang diantara dua orang prajurit yang sedang diberinya sesuluh untuk menemukan jalan kembali telah berlari mencari kawan kawannya, maka iapun sadar, bahwa semua usahanya itu akan berakhir.
Orang yang melarikan diri dari jaring yang dipasangnya, memberikan isyarat kepadanya, bahwa akan terjadi hal hal yang tidak diharapkan.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswara justru mendekati padepokannya. Ia melihat ketika Ki Tumenggung dan pasukannya meninggalkan padepokan itu. Dengan ketajaman penggraitannya ia dapat menebak, bahwa Ki Tumenggung justru sedang mencarinya. Dalam kekosongan itulah maka Kiai Bagaswara telah memasuki padepokannya.
Tidak seorangpun yang tinggal " desisnya ketika ia memasuki padepokannya dengan hati hati.
Sebenarnyalah padepokannya memang sudah kosong. Karena itu, maka Kiai Bagaswara dengan leluasa dapat memasuki setiap rumah yang ada dipadepokannya.
Sambil menarik nafas dalam dalam Kiai Bagaswara melihat beberapa jenis barang yang di bawa oleh para prajurit. Ada yang membawa beberapa lembar pakaian yang terbungkus rapi. Ada yang membawa peti kecil yang berisi beberapa macam jimat dan sipat kandel. Namun ada juga yang membawa rangkapan senjata. Dalam per"jalanan mencari Kiai Bagaswara semua prajurit tentu membawa senjata masing masing. Jadi jika masih ada sejenis senjata di padepokan itu, tentu merupakan rangkapan senjata dari prajurit itu.
Ketika Kiai Bagaswara memasuki dapur padepokannya, ia melihat dua ekor binatang buruan yang masih belum dikuliti. Agaknya mereka tergesa gesa menjalankan perintah Ki Tumenggung untuk mencari Kiai Bagaswara.
Namun semua itu hanya membuat hati Kiai Bagaswara menjadi terasa pedih. Dengan langkah yang lemah ia turun ke halaman dan duduk di halaman belakang yang mulai menjadi gelap.
Kiai Bagaswara sudah menduga, bahwa pada suatu saat padepokannya itu tentu akan menjadi sasaran kemarahan Ki Tumenggung Purbarana. Namun Kiai Bagaswara tidak akan dapat mencegahnya jika ia tidak ingin terjadi pembantaian lagi. Siapapun yang akan menjadi korbannya.
" Aku harus berusaha menyelamatkan jiwa sebanyak banyaknya " berkata Kiai Bagaswara.
Namun iapun sadar, bahwa Ki Tumenggung Purba"rana untuk selanjutnya tentu akan menjadi orang yang sangat berbahaya dengan Kiai Santak di tangannya.
Dari beberapa orang yang berhasil dibebaskannya dari cengkeraman kegelapan yang dipancarkan dari jantung Ki Tumenggung Purbarana yang kelam. Kiai Bagas"wara mendengar tujuan Ki Tumenggung. Antara lain disebut sebut Tanah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung atau Mangir. Tetapi yang paling mungkin, Ki Tumeng"gung akan bersiap siap menghadapi Mataram dari arah Barat.
Jilid 181 Untuk beberapa saat Kiai Bagaswara merenung didalam kesuraman. Kesuraman malam dan kesuraman hati. Sulit sekali bagi Kiai Bagaswara untuk menentukan satu pilihan. Sebenarnya ia merasa sangat keberatan untuk membiarkan saja padepokannya yang sudah dihuni-nya bertahun tahun itu akan menjadi sasaran kemarahan orang yang berhati gelap. Tetapi ia tidak mempunyai jalan yang paling baik untuk mencegahnya. Usahanya untuk mempengaruhi pengikut Ki Tumenggung sebanyak-banyaknya ternyata gagal.
Baru beberapa orang yang meninggalkan Ki Tumenggung, sehingga pengaruhnya masih belum terasa. Apalagi apabila Ki Tumenggung berhasil membujuk Ki Linduk. Salah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun Linduk adalah lambang dari kelemahan ilmu. Semakin tinggi ilmunya, maka orang seperti Linduk itu akan menjadi sangat berbahaya. Apalagi apabila Linduk sempat bekerja sama dengan Ki Tumenggung yang juga telah menjadi budak dari kegelapan hati itu.
Namun akhirnya Kiai Bagaswara itu menarik nafas dalam dalam sambil berkata kepada diri sendiri
"Apa boleh buat. Aku harus lebih menghargai jiwa manusia daripada padepokanku. Jika padepokan ini harus musna, maka perlahan lahan aku akan dapat mendirikan bangunnya kembali. Tetapi jika yang terjadi adalah kematian, maka tidak seorangpun yang akan dapat menghidupkannya lagi."
Kiai Bagaswara itupun kemudian bangkit dan melangkah mengelilingi padepokannya. Seakan akan ia masih ingin melihat untuk yang terakhir kalinya. Baru kemudian ia berdesis
"Aku harus pergi ke tempat tempat yang disebut oleh para pengikut Ki Tumenggung. Mudah mudahan orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh mempercayai aku tentang kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas Tanah Perdikan itu. Atas tingkah seorang Tumenggung dengan para pengikutnya yang ingin menghadapi Mataram dari arah Barat. Karena Tumenggung itu berharap, bahwa di daerah Timur, apipun akan menyala dan membakar kuasa Mataram. Jipang dan Pajang tentu akan disibukkan oleh pemberontakan di Madiun, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat banyak terhadap api yang menyala dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka Tanah Perdikan Menorehpun harus bersiap siap".
Namun dalam pada itu, Kiai Bagaswara masih belum dapat membayangkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh atau di Mangir dan sekitarnya. Jika Kiai Tumenggung Purbarana sambil membawa Kiai Santak dan Ki Linduk bersama para muridnya serta mungkin satu dua orang kawan Linduk dari dunia yang gelap, maka memang akan terhimpun satu kekuatan hitam yang nggegirisi. Karena itu, maka telah timbul niat Kiai Bagaswara untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Satu daerah yang paling mungkin dibandingkan dengan tempat tempat lain, yang akan menjadi tujuan Ki Tumenggung Purbarana. Sementara itu dari Tanah Perdikan Menoreh, ia akan dapat pergi ke Mangir yang tidak terlalu jauh letaknya. Namun untuk sampai ke Mangir, maka Ki Tumenggung harus melewati sisi Selatan Tanah Perdikan Menoreh.
Niat Kiai Bagaswarapun menjadi bulat. Ia harus pergi meninggalkan padepokannya. Mungkin in tidak akan dapat menahan diri apabila ia melihat padepokan itu benar benar menjadi sasaran kemarahan ki Tumenggung Purbarana, seorang yang benar benar telah terbenam dalam kegelapan, yang sudah sampai hati membunuh gurunya sendiri dan bahkan sama sekali tidak mencegah pembantaian yang dilakukan oleh para pengikutnya terhadap para cantrik.
Ketika ia sudah melihat sekali lagi bangunan bangunan yang ada di padepokannya itu, maka iapun kemudian melangkah melintasi halaman. Untuk beberapa saat ia berdiri di regol halaman dan memandang kearah padepokannya yang diselubungi oleh kegelapan itu.
Sambil menarik nafas dalam dalam, maka Ki Tumenggungpun kemudian melangkah meninggalkan padepokannya untuk menempuh satu perjalanan yang jauh.
Belum lagi langkah Ki Tumenggung melintasi satu bulak panjang, maka rasa rasanya ia benar benar sudah terpisah dari sesuatu yang selama ini mengikatnya. Padepokan.
"Aku harus melupakannya" berkata Kiai Bagaswara.
Dalam pada itu, dihutan diseberang sungai, Ki Tumenggung mengumpat umpat tidak habis habisnya. Ia sudah merasa bahwa ia akan gagal. Malam itu, Kiai Bagaswara tentu sudah melarikan diri jauh jauh. Ia dapat memanfaatkan gelapnya malam sehingga tidak dapat dilihat oleh paraprajuritnya.
Tetapi perwiranya yang berambut putih menganggap nalar Ki Tumenggung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga ia tidak lagi berpikir dengan bening.
Namun dengan kegagalan itu, maka Ki Tumenggungpun akhirnya memerintahkan para pengikutnya untuk kembali ke padepokan.
Hampir setiap orang didalam pasukan itu menarik na"fas dalam-dalam. Mereka sudah mulai diganggu oleh perasaan lapar. Padahal hasil buruan yang didapat hari itu, masih belum di kuliti. Dengan demikian, apabila mereka sampai dipadepokan, mereka masih belum dapal makati dengan segera, karena beberapa orang diaulara meieka masih harus masak lebih dahulu.
Tetapi bagi mereka saat itu, yang paling baik adalah kembali ke padepokan.
Lewat tengah malam mereka baru memasuki regol padepokan. Padepokan yang sangat gelap. Belum ada lampu yang terpasang.
Karena itu demikian mereka berada didalam padepo"kan, pertama tama beberapa orang telah membuat api dan menyalakan obor. Kemudian mereka mulai memasuki ruang masing masing, sementara beberapa orang yang lain setelah meletakkan senjata mereka, langsung pergi ke dapur.
Ki Tumenggung masih saja mengumpat umpat. Dengan suara geram ia berkata "Kita akan mencarinya dalam satu hari besok. Jika kita tidak berhasil. maka aku tidak akan menunda-nunda lagi keberangkatanku untuk menemui Ki Linduk. Selanjutnya kita menuju ke Mataram dari arah Barat."
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu, Ki Tumenggung Purbarana hampir tidak dapat tidur sama sekali. Kegelisahan, kemarahan dan dendam menyala dihatinya. Bahkan ia menjadi curiga, bahwa dengan tiba-tiba saja paman gurunya tidak datang menyerang padepokannya, sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung Purbarana telah memperingatkan orang orang untuk tidak menjadi lengah.
Tetapi dugaan itu memang masuk akal. Mungkin saja Kiai Bagaswara dengan cantrik-cantriknya tiba tiba saja menyergap di malam buta. Karena itu, maka para pemimpin kelompok telah memerintahkan orang-orang nya untuk bergantian berjaga jaga disamping sekelompok yang memang bertugas di regol dan halaman.
Namun Kiai Bagaswara sama sekali tidak berniat untuk menyerang. Bahkan setiap keinginan unluk menyelesaikan persoalannya dengan kekerasan ia berusaha untuk mencegahnya.
Yang dilakukan oleh Kiai Bagaswara ternyata hanya berusaha untuk memberitahukan bahaya yang mungkin akan datang mengancam sasaran yang sudah ditentukan oleh Ki Tumenggung yang sangat berbahaya itu, apalagi setelah ia menguasai keris Kiai Santak. Dengan demikian Kiai Bagaswara berusaha untuk mencegah pembantaian yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung atas mereka yang sebenarnya tidak bersalah, karena kesalahan itu ada pada Ki Tumenggung sendiri.
Malam itu, padepokan yang dihuni oleh Ki Tumeng"gung dan orang-orangnya tidak terganggu oleh apapun juga. Sebagian besar dari para pengikut itu dapat tidur se"telah mereka keletihan. Bahkan ada diantara para prajurit itu yang sama sekali tidak membersihkan kaki dan bahkan tidak mengganti pakaiannya yang semula basah oleh air rawa-rawa yang kotor, namun yang kemudian telah menjadi keringdengan sendirinya, oleh panas tubuhnya.
Di hari berikutnya, Ki Tumenggung masih memerintahkan beberapa orangnya untuk mencari Kiai Bagaswara. Jika mereka menemukan Kiai Bagaswara di manapun juga, maka mereka harus berusaha untuk membujuknya datang ke padepokan. Jika ia berkeberatan, maka ia harus ditangkap.
"Tetapi kalian harus menyadari, bahwa Paman Ba"gaswara adalah orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi. Karena itu, jika kalian merasa tidak mampu menghadapinya, maka kalian harus mengirimkan isyarat dengan panah sendaren."pesan Kiai Bagaswara."Aku sendiri akan datang menangkapnya. Jika ia melawan, maka Kiai Santak akan segera mengakhiri hidupnya."
Namun ternyata tidak seorangpun diantara para pengikut Ki Tumenggung yang bergerak dalam kelompok kelompok itu menjumpai Kiai Bagaswara karena Kiai Bagaswara sudah ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Memang satu perjalanan yang jauh. Tetapi Kiai Bagaswara di masa mudanya, sebelum ia menetap di sebuah padepokan, adalah seorang pengembara sehingga perjalanan yang panjang itu bukan merupakan satu persoalan yang tidak teratasi.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana benar be"nar telah kehilangan kesabaran. Hari itu benar benar merupakan hari terakhir baginya untuk tinggal di padepo"kan itu. Karena itu, maka iapun kemudian memerin-tahkan semua pengikutnya berkemas.
"Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Persediaan makanan dilumbungpun sudah habis- berkata Ki Tumenggung kepada para perwira yang menjadi pengikutnya.
"Besok kita akan meninggalkan padepokan ini" desis seorang perwiranya.
-Semua harus disiapkan" sahut Ki Tumenggung "jangan ada yang tertinggal"
"Jadi malam ini malam yang terakhir kita dapat tidur nyenyak di sebuah padepokan" gumam pengikutnya yang lain.
"Padepokan ini membuat hatiku semakin terluka terhadap keluarga perguruanku" berkata Ki Tumenggung. Lalu katanya kemudian. -Nah, sekarang semua harus dipersiapkan. Jangan menunggu sampai kita siap untuk berangkat-
Demikianlah, maka para perwira itupun segera kembali ke pasukannya masing masing. Merekapun segera memerintahkan semua prajurit untuk bersiap. Yang membawa sesuatu agar dibenahi sehingga pada saatnya, mereka dapat segera meninggalkan tempat itu. Demikian Ki Tumenggung menjatuhkan perintah, maka mereka se"gera dapat berangkat.
Memang ada keseganan beberapa orang untuk melanjutkan perjalanan yang terasa akan menjadi sangat panjang. Mereka seakan-akan menempuh perjalanan menyusup ke dalam goa yang gelap, dan tidak mengetahui apa yang terdapat didalam goa itu.
Tetapi tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya. Meskipun ada juga yang kecewa, bahwa mereka tidak bertemu dengan Kiai Bagaswara untuk mendapatkan petunjuk, dan memberikan kekuatan batin bagi mereka, untuk meninggalkan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu.
Namun terasa juga kengerian mencengkam jantung. Mereka sadar, bahwa siapapun yang berusaha untuk meninggalkan pasukan itu, maka yang akan dapat pergi hanyalah namanya, karena tubuhnya tentu akan terkapar dengan luka yang tembus sampai ke jantung.
Malam itu, para prajurit berusaha untuk dapat tidur nyenyak. Yang bertugaspun telah mengatur sebaik baiknya, agar mereka sempat beristirahat sebelum menem"puh satu perjalanan yang jauh dan tentu melelahkan.
Tetapi para prajurit itu terkejut ketika tengah malam mereka telah dibangunkan. Ternyata Ki Tumenggung Purbarana tidak mau menunggu sampai pagi.
"Kenapa kita tidak menunggu fajar?" bertanya salah seorang perwiranya.
"Aku ingin melihat api yang membakar semua bangunan. Dimalam hari aku akan melihat nyalanya yang menjilat keudara, lebih jelas dibandingkan dengan cahaya api disiang hari. Aku ingin melihat api itu sepuas puasnya sampai bambu yang terakhir menjadi abu" berkata Ki Tumenggung dengan lantang.
Perwira yang berambut putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat betapa kelamnya sudah hati Ki Tumenggung Purbarana itu.
Tetapi perwira itu sama sekali tidak menyangkal perintah Ki Tumenggung. Ia hanya melihat dengan jan"tung yang berdegup semakin keras, apa yang dilakukan oleh Ki Tumenggung.
Tetapi ternyata niat Ki Tumenggung itu membuat sebagian besar dari orang orangnya menjadi gembira. Ketika Ki Tumenggung menjatuhkan perintah untuk menghancurkan padepokan itu, justru selagi hari masih gelap, maka beberapa orang menyatakan dukungannya.
"Kita akan melihat cahaya kekuatan kita" berkata seorang perwira muda"dalam nyala api yang menjulang kelangit, maka kita akan melihat lambang kemena-ngan-kemenangan."
"Bagus" teriak Ki Tumenggung "keluarkan semua barang yang kalian perlukan untuk dibawa. Kemudian kita akan membakar semua bangunan, bersama-sama. Semakin besar api yang menyala, maka akan semaraklah kegembiraaan kita saat ini. Mudah-mudahan Bagaswara yang licik dan pengecut itu sempat melihat api menjadi semerah darah"
Demikianlah ketika semua barang-barang yang perlu sudah berada ditempat yang jauh dari bangunan-bangunan di padepokan itu, maka beberapa orang mulai menyebar sambil membawa obor. Ada yang membawa obor minyak, ada yang membawa obor jarak rangkap sepuluh. Namun ternyata banyak diantara para prajurit yang ingin ikut menyalakan setiap bangunan yang ada. Bahkan sampai kandang dan lumbung yang dikosongpun telah siap dibakar pula.
Beberapa saat mereka menunggu sebagaimana dipesankan oleh Ki Tumenggung, bahwa mereka akan menyalakan semua bangunan serentak setelah mereka mendengar aba-aba.
Setelah semua siap, maka Ki Tumenggungpun kemudian berteriak menyerukan aba aba, "Bakar sekarang"
Semua orang mulai melekatkan api obornya pada bangunan bangunan yang ada. Mereka mulai membakar dinding dinding bambu dan kayu. Dengan belarak dan ranting ranting kecil yang ditimbun disudut sudut bangunan, mereka berharap bahwa api akan lebih cepat menelan bangunan yang ada.
Sebenarnyalah bangunan bangunan di padepokan itu terdiri dari bahan bahan yang mudah terbakar. Kayu, bambu, ijuk, bahkan kandang yang besar itu beratap jerami.
Karena itu, maka sejenak kemudian, maka apipun kelihatan mulai tumbuh semakin besar. Rumah rumah mulai melontarkankan lidah api keudara. Semakin lama semakin besar, sehingga akhirnya, padepokan itu menjadi lautan api yang mengerikan.
Ki Tumenggung dan para pengikutnya itupun kemudian bergeser menjauh. Api yang semakin besar itu memang memberikan kegembiraan kepada mereka. Ki Tumenggung bahkan bagaikan orang yang kehilangan akal. Dan bahkan berteriak
"Bagus, bertiuplah angin yang kering. Sampai saatnya seisi padepokan ini menjadi debu yang terhambur tidak berarti sama sekali"
Malam itu angin memang bertiup. Meskipun tidak terlalu kencang, tetapi dapat membantu menghembus api yang menyala menggapai gapai langit. Semakin api menjadi besar, maka kegembiraanpun menjadi semakin meningkat. Mereka yang semula tidak begitu tertarik kepada api yang akan menelan padepokan itu, akhirnya ikut pula bersorak sorak. Seakan-akan mereka merasa sebagaimana seorang prajurit yang menang di medan perang.
Namun dalam pada itu, seorang perwira yang berambut putih memandang tingkah laku para prajurit itu dengan hati yang terasa sangat pahit. Ia melihat, seakan akan para prajurit itu sudah kehilangan budi kemanusiaan mereka. Pemusnahan itu ternyata telah memberikan kegembiraan yang sukar dimengerti.
Dalam ketegangan perasaaan yang tidak terkuasai, maka perwira berambut putih itu dengan diam-diam telah bergeser menjauhi api yang menyala semakin besar. Ketika ia berada dibayangan serumpun pring cendani, maka perwira itu justru memperhatikan keadaan disekitarnya. Akhirnya, justru karena para prajurit itu sedang memperhatikan api yang menyala semakin tinggi, maka perwira berambut putih itu dengan mudah dapat meninggalkan mereka dan hilang dibalik dinding regol.
Namun demikian ia melangkah beberapa langkah menjauh, tiba tiba saja diluar dugaan, hampir saja ia membentur sesosok tubuh yang juga sedang melingkari sebuah gerumbul perdu. Dengan serta merta perwira berambut putih itu meloncat surut. Dalam waktu yang sekejap, ditangannya telah tergenggam sebilah pedang.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika dalam keremangan malam ia melihat sosok tubuh yang berdiri dihadapannya, yang juga sudah menggenggam pedang pula.
"Kau kakang" desis sosok tubuh itu.
Perwira berambut putih itu menjadi tegang. Dengan senjata siap ditangan ia berkata
"Ya. Aku memang sudah mengambil keputusan apapun yang terjadi. Jika kau menghalangi aku, maka entahlah, bahwa aku tidak akan dapat mengekang diri"
"Maksudmu, kau akan mencegah aku?" orang itu tiba tiba menggeram, "bagiku, lebih baik aku mati daripada aku harus kembali ke padepokan. Kakang, sebaiknya kau tidak usah menjilat kaki Purbarana dengan berusaha menangkap aku. Kita sudah saling mengetahui kemampuan kita masing masing. Jika kita terlibat dalam pertempuran maka kita tidak akan dapat mengatakan, siapakah yang akan tetap hidup"
Perwira berambut putih itu termangu:mangu mendengar jawaban sosok tubuh yang hampir membenturnya itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, orang itu mendahului, katanya
"Minggirlah. Tidak ada gunanya kita berselisih. Biarlah aku memilih jalanku sendiri. Dan kau memilih jalanmu"
"Kau akan berbuat apa?" bertanya perwira berambut putih itu.
"Jika kau datang untuk mencegah aku, kau tentu sudah tahu, bahwa aku akan melarikan diri dari kekuasaan Ki Tumenggung Purbarana yang sudah menjadi gila itu. Jika aku masih terikat kepadanya, maka akupunakan menjadi gila pula"
Perwira berambut putih itu menarik nafas dalam dalam. Sejenak kemudian iapun justru menyarungkan pedangnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, orang yang datang kemudian itu menggeram "Jangan menghina aku kakang. Kau sangka kau akan dapat menangkap aku tanpa mempergunakan senjata-
Tetapi perwira berambut putih itu tersenyum. Katanya " Tujuan kita sama. Aku juga sudah jemu berada diantara pasukan yang telah kehilangan arah perjuangannya itu. Pada saat Ki Tumenggung Prabadaru masih ada, rasa rasanya kita melihat satu jalan yang panjang yang akan kita tempuh, tetapi rasa rasanya jelas jalan itu menuju kemana. Tetapi sekarang agaknya sudah menjadi berlainan. Kita melihat jalan ini menuju kegelapan tanpa mengetahui apa yang ada didalam kegelapan itu"
Orang yang datang kemudian itu termangu mangu sejenak. Namun iapun kemudian menyarungkan pedangnya pula sambil berkata "Jika demkian, marilah. Kita akan pergi jauh dari Ki Tumenggung itu. Mungkin aku ingin kembali saja ke Pajang, menyerahkan diri dan mohon pengampunan"
Perwira berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Marilah, mumpung orang-orang gila itu sedang menikmati mimpi mereka yang mereka cari diantara jilatan lidah api yang menelan seluruh padepokan yang tidak bersangkut paut dengan dendam yang semula mendorong kita melakukan perjuangan ini."
Demikianlah, keduanyapun kemudian dengan cepat meninggalkan padepokan itu semakin jauh. Sekali sekali mereka berpaling. Jantung mereka serasa berdegup semakin keras jika mereka melihat api yang bagaikan menjilat langit.
Dengan cepat, maka seisi padepokanpun menjadi musna. Api yang mewarnai langit dengan warna darah itu mulai susut. Perlahan-lahan. Namun semuanya sudah menjadi debu. Beberapa orang dipadukuhan yang agak jauh melihat juga api yang menyala itu. Dua orang peronda telah membangunkan kawan-kawannya ketika mereka melihat la"ngit berwarna darah. Namun mereka tidak mengetahui darimana timbulnya warna itu. Apalagi mereka sama se"kali tidak mendengar isyarat apapun juga.
Memang ada yang menyangka bahwa api itu berkobar di padepokan yang mereka kenal. Tetapi yang mengherankan bagi mereka, sama sekali tidak ada isyarat kentongan sama sekali.
"Mungkin mereka membakar jerami"berkata salah seorang dari para peronda.
"Sampai langit menjadi merah?" kawannya bertanya.
Yang pertama termenung sejenak. Namun kemudian katanya "Entahlah. Tetapi sama sekali tidak ada tanda bahaya. Mungkin mereka sengaja membakar sesuatu yang cukup besar sehingga api bagaikan menjilat langit."
"Besok kita akan dapat menengoknya" berkata seorang diantara mereka. Lalu "Sekarang aku akan tidur."
Mereka tidak banyak lagi memperhatikan warna merah dilangit. Meskipun masih ada juga diantara mereka yang duduk duduk di sudut padukuhan sambil melihat warna merah itu.
Sementara itu, api yang menelan seisi padepokan itu sudah mulai mereda. Ki Tumenggung Purbarana memandang api yang susut itu dengan kepuasan tersendiri. Sedangkan beberapa orang justru menjadi kecewa bahwa api akan segera padam sebelum matahan membayang.
Tetapi ketika warna merah dilangit oleh lidah api itu menjadi surut, maka warna fajarlah yang mulai nampak. Namun ternyata bahwa warna merah yang kemudian merata dilangit mempunyai watak yang jauh berbeda dengan warna merah yang sudah susut itu. Warna merah yang dilontarkan oleh cahaya fajar justru memberikan kesegaran menyongsong hari yang akan datang, sedangkan warna merah yang dilontarkan oleh api yang menelan padepokan itu adalah warna maut dan ketamakan.
Dalam pada itu, setelah api menjadi semakin kecil, maka Ki Tumenggungpun telah memerintahkan orang orangnya untuk bersiap siap. Mereka akan segera meninggalkan onggokan abu yang akan segera lenyap ditiup angin. Beberapa batang pepohonan telah ikut menjadi kering dan bahkan terbakar sebegaimana semua bangunan yang ada.
Tetapi ketika para prajurit itu sudah berkumpul, terjadi pula satu keributan. Para prajurit dan Ki Tumeng"gung Purbarana tidak lagi menemukan perwira berambut putih dan seorang perwira muda yang lain.
"Cari sampai dapat. Mungkin mereka pergi kesungai"teriak Ki Tumenggung Purbarana yang mulai marah.
Beberapa orang telah mencarinya kesungai. Tetapi mereka tidak menemukan seorangpun. Perwira berambut putih dan perwira yang seorang lagi itu benar benar telah hilang dari antara mereka seperti beberapa orang prajurit yang hilang sebelumnya.
Kemarahan Ki Tumenggung rasa-rasanya hampir meretakkan dadanya. Beberapa orang prajurit yang pergi itu telah membuat darahnya bagaikan mendidih. Apalagi kemudian dua orang perwira telah meninggalkannya pula. Perwira berambut putih itu adalah perwira yang memiliki pandangan yang luas. Ia dapat memberikan banyak pertimbangan dan bahkan ketajaman penggraitannya banyak memberikan arah pada langkah langkah Ki Tumenggung.
"Gila. Kenapa orang itu mengkhianati aku" Selama ini ia menunjukkan kesetiaannya. Bahkan ia adalah orang yang sangat aku hormati karena sikap dan pendapat pendapatnya" geram Ki Tumenggung.
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun justru karena itu, Ki Tumenggung itu berteriak "He, kenapa" Apakah kalian semuanya tuli atau bisu?"
Beberapa orang hanya saling perpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya tentang kedua orang perwira yang meninggalkan kesatuan itu. Kemarahan Ki Tumenggung menjadi semakin meng-hentak hentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa. Ia tidak tahu, kepada siapa ia harus melontarkan kemarahannya.
Namun kepergian perwira berambut putih dan seorang perwira yang lebih muda itu sama sekali tidak meredakan keinginannya untuk membakar Mataram. Bahkan Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin marah. Ia merasa terhina sekali atas tingkah laku kedua orang perwira yang sebelumnya sangat dekat dengannya.
"Seharusnya mereka minta ijin kepadaku" geram Ki Tumenggung Purbarana.
Tetapi setiap orang mengetahui bahwa hal itu tidak akan mungkin dilakukan oleh kedua orang perwira yang menyingkir itu. Jika mereka minta ijin kepada Ki Tumenggung, maka akibatnya adalah maut. Ujung kens Kiai Santak akan dapat tergores ditubuhnya, dan akibatnya, mereka tidak akan sempat melihat lagi matahari terbit di keesokan harinya.
Dengan kemarahan yang menghentak hentak dada maka Ki Tumenggung itupun segera momerintahkan prajuritnya untuk bersiap. Mereka akan segera mening"galkan padepokan yang sudah menjadi abu itu, menuju kesebuah padepokan yang lain. Padepokan yang dipimpin oleh Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.
Jalan yang akan mereka lalui bukannya jalan yang pendek. Mereka akan menempuh perjalanan yang melingkar. Menyusuri sungai, menuruni lembah dan memanjat lereng lereng perbukitan. Memasuki hutan dan menerobos belukar. Namun merekapun akan melintasi bulak-bulak persawahan dan jalan padukuhan. Ki Tumenggung sudah siap untuk menjawab pertanyaan pertanyaan di perjala"nan tentang pasukannya, sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya. Ki Tumenggung selalu mengatakan bahwa pasukannya adalah pasukan yang mendapat perintah un"tuk memburu para prajurit yang sedang memberontak terhadap kekuasaan yang baru. Mataram.
Sebenarnyalah, bahwa perjalanan pasukan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Sekali sekali mereka merasakan kehausan. Dalam keadaan yang demikian, maka satu satunya yang mereka harapkan adalah air. Di padang perdu yang luas, mereka memang sulit untuk mendapatkan air. Namun, demikian padang perdu itu mereka lintasi, maka merekapun telah berebut menerkam belik belik kecil yang terdapat di lereng perbukitan.
Bahkan kadang-kadang para prajurit itu merasa terlalu sulit untuk menahan lapar, sehingga jika mereka melewati ladang, maka apa saja yang mereka ketemukan, akan menjadi makanan mereka. Ketela pohung, ketela pendem, kacang brol dan apa saja. Bahkan di pategalan mereka telah memetik buah apa saja yang mereka dapatkan.
Namun setiap kali Ki Tumenggung telah membesarkan hati mereka. Ki Tumenggung telah menumbuhkan harapan harapan yang kadang kadang memang hampir pudar sama sekali.
Tetapi jika mereka sampai di padukuhan, dan atas kelicinan Ki Tumenggung mereka menyatakan diri sebagai pasukan yang sedang mengemban tugas dan memburu orang orang yang memberontak, maka mereka telah mendapat sambutan yang dapat menumbuhkan kembali harapan harapan yang sudah memudar itu.
Ternyata perjalanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam sehari. Mereka harus bermalam di perjalanan. Bahkan dua malam. Sekali mereka sempat bermalam disebuah banjar padukuhan. Namun malam berikutnya mereka harus bermalam dipinggir sebuah hutan. Betapa angin malam terasa dingin. Namun mereka sempat mencari binatang buruan. Dari kelinci sampai seekor rusa yang besar telah mereka panggang diatas perapian.
Baru pada hari berikutnya, lewat tengah hari, mereka telah mendekati sebuah padepokan yang besar. Lebih besar dari padepokan Kiai Bagaswara yang telah musna dimakan api.
Namun agaknya padepokan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya itupun terletak di tempat yang terpencil. Bahkan seakan akan terkurung oleh sebuah hutan yang lebat, sehingga padepokan itu terpisah dari kehidupan masarakat kebanyakan.
Namun agaknya Ki Tumenggung Purbarana sudah mengenal tempat itu. Sebagai seorang yang berpanda-ngan tajam, maka sekali ia mengenal tempat itu, maka ia tidak akan melupakannya.
Agar tidak menimbulkan salah paham, maka Ki Tumenggung Purbarana telah memerintahkan para pengikutnya untuk tinggal diluar hutan. Ki Tumenggung sendiri bersama lima orang pengawal terpilihnya telah memasuki hutan dan menuju ke padepokan Ki Linduk yang terpencil itu.
Ternyata bahwa di hutan itu memang terdapat sebuah lorong yang sangat sempit. Lorong yang berkelok-kelok, melintasi daerah yang kadang kadang memang sangat
rimbun dan pepat. Namun akhirnya lorong itu telah membawa Ki Tumenggung muncul disebuah padang yang luas. Seakan akan sebuah hamparan dalaran yang dilindungi oleh dinding yang hijau kehitam hitaman. Di tengah hamparan itu terdapat sebuah bukit kecil. Di bawah bukit kecil itulah Ki Linduk membangun padepokannya, sementara hamparan yang luas itu telah dimanlaatkannya untuk membuat tanah persawahan. Adalah belas kasihan alam yang diberikan kepada Ki Linduk, bahwa sebelah bukit kecil itu mengalir sebuah sungai kecil. Meskipun aimya tidak terlalu deras, tetapi cukup untuk diangkat ke tanah persawahan itu.
Sejenak Ki Tumenggung menjadi ragu ragu. Namun iapun kemudian meneruskan langkahnya. Ki Linduk adalah kawan lama gurunya. Tetapi agaknya jalan mereka memang tidak sejajar, sehingga kadang kadang justru timbul ketegangan. Namun pada saat saat Pajang menjadi panas, Ki Tumenggung telah mencoba menghubunginya lagi diluar pengetahuan gurunya. Tetapi agaknya yang dikehendaki oleh Ki Linduk masih belum sesuai dengan yang disanggupkan oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan kakang Panji. Apalagi kakang Panji saat itu menganggap bahwa kekuatannya sudah cukup besar untuk mengimbangi kekuatan Mataram, sehingga kakang Panji telah melupakan untuk meneruskan hubungannya dengan Ki Linduk yang disebut Ki Sambijaya.
Ternyata Ki Tumenggung dan lima orang pengawalnya itu telah diketahui kehadirannya oleh para cantrik di padepokan itu, sehingga merekapun telah bersiap siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan salah seorang dari merekapun telah melaporkannya pula kepada pemimpin mereka, seorang yang sebenarnya bertubuh tinggi tetapi punggungnya sedikit bongkok dan terdapat semacam sebongkah daging di tengkuknya.
"Siapa orang itu?" bertanya pemimpin padepokan yang tidak lain adalah Ki Linduk itu sendiri.
"Entahlah" jawab cantrik yang melaporkannya" mereka selalu diawasi"
Namun demikian Ki Linduk itupun kemudian telah membenahi diri. Ia yakin bahwa orang itu tentu akan mencarinya. Karena itu, maka pesannya kepada cantrik itu
"Beritahu aku kemudian jika orang itu memang mencari aku"
"Baik guru" jawab cantrik itu.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrikpun telah muncul dihalaman. Seorang putut yang masih muda telah menyongsong Ki Tumenggung Purbarana, sehingga akhirnya keduanya berhenti pada jarak beberapa langkah.
-Ki Sanak" bertanya putut itu, seorang yang berwajah keras, bermata tajam "siapakah kau dan apakah keperluanmu?"
"Aku akan bertemu dengan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya" jawab Ki Tumenggung
"Satu pertanyaanku belum kau jawab, siapakah kau"- desak putut itu.
Ki Tumenggung Purbarana tidak senang terhadap sikap itu. Tetapi ia berusaha untuk mengekang diri, sehingga kemudian iapun menjawab
"Aku adalah Purbarana. seorang Tumenggung dari Pajang"
"Pajang" ulang putut itu "jauh sekali"
"Ya. Karena itu, cepat, sampaikan kepada Ki Linduk, bahwa aku, Tumenggung Purbarana dari Pajang ingin menemuinya" berkata Ki Tumenggung.
Tetapi putut itu memang menjengkelkan sekali. Katanya
"Apakah Ki Tumenggung akan melakukan tindakan sesuatu atas guru" Menurut pengetahuanku, guru tidak pernah melakukan satu kesalahan terhadap Pajang Karena itu, Ki Tumenggung jangan mencoba coba untuk mencurigai guruku."
-Aku ingin bertemu dengan gurumu- potong Ki Temenggung
"persoalannya adalah persoalanku dengan gurumu"
"Aku adalah putut tertua disini jawab putut itu aku memiliki wewenang hampir seperti guruku"
"Tetapi belum seperti gurumu. Nah, sebelum persoalannya bergeser dari persoalan yang baik menjadi suram, aku ingin bertemu dengan gurumu. Kau cukup mengatakannya dan jangan mencoba untuk merusak suasana" geram Ki Tumenggung.
Wajah putut itu menjadi merah. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, tiba tiba saja terdengar suara di pendapa padepokan
"Ki Tumenggung Marilah. Adalah satu kehormatan bagiku untuk menerima kedatangan Ki Tumenggung dipadepokan yang kecil dan kotor ini"
Putut itu berpaling. Ia melihat gurunya berdiri dipendapa. Bahkan kemudian gurunya itu melangkah turun dari tangga pendapa.
"Apakah aku berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana yang pernah datang ke padepokan ini sebelumnya." bertanya Ki Linduk.
"Ya Ki linduk. Aku adalah Purbarana yang pernah datang ke tempat ini" jawab Ki Tumenggung.
"Kau ternyata masih mengingatnya. Bukankah kau datang membawa pesan Panji waktu itu"- bertanya Ki Linduk pula.
"Ya"jawab Ki Tumenggung.
Ki Linduk mengangguk-angguk. Tiba tiba saja ia bertanya
"Bagaimana kabar gurumu, Ki Tumenggung. Gurumu adalah sahabatku, meskipun kadang kadang ada perbedaan sikap dan pandangan hidup diantara kami"
"Guru sudah tidak ada" jawab Ki Tumenggung.
"O" wajah Ki Linduk menegang. -Aneh. Begitu cepat ia meninggalkan kita semuanya. Kenapa" Apakah ia terbunuh atau meninggal karena sakit yang tidak tersembuhkan?"
Sejenak Ki Tumenggung termangu mangu. Namun kemudian katanya
"Seseorang dengan licik telah membunuhnya. Guru terbunuh oleh racun yang sangat kuat. Menurut keterangan para cantrik, guru berhasil meraih obat penawar racun, tetapi tidak sempat meminumnya."
"Bukan main. Tentu racun yang kuat sekali" Ki Linduk mengangguk angguk.
Namun pertanyaan itu tiba tiba saja telah menumbuhkan pikiran baru dihati Ki Tumenggung. Karena itu, katanya
"Salah satu persoalan yang aku bawa adalah persoalan guru itu pula. Aku tahu, bahwa Ki Linduk dalam beberapa hal mempunyai perbedaan sikap dengan guru. Tetapi setelah guru meninggal, maka ada kemungkinan lain yang dapat kita bicarakan."
Ki Linduk mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Marilah. Naiklah kependapa"
"Ki Linduk" berkata Ki Tumenggung "sebenarnya aku datang tidak hanya dengan lima orang pengawal terpilih ini. Aku datang dengan pasukanku"
"Pasukan" Segelar sepapan?" bertanya Ki Linduk.
"Ya. Tetapi aku tidak ingin mengejutkan Ki Linduk, karena itu, maka aku tinggalkan pasukanku diluar hutan."jawab Ki Tumenggung.
Ki Linduk mengangguk angguk. Namun ternyata pemimpin padepokan itu cukup berhati hati. Katanya "Sikapmu sudah baik Ki Tumenggung. Biarlah mereka berada di tempatnya. Kita akan berbicara. Pembicaraan kita akan menentukan, apakah prajurit prajuritmu akan dibenarkan untuk memasuki padepokan ini atau tidak.-
Ki Tumenggung itu mengumpat didalam hatinya. Tetapi ia tidak membantah.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun telah dipersilahkan untuk naik kependapa bersama lima orang pengawalnya. Sementara itu Ki Linduk memerintahkan kepada cantrik cantriknya untuk menjamu Ki Tumenggung.
-Wedang jae Ki Tumenggung. Di padepokan ini hanya ada sejenis wedang jae atau wedang sere" berkata Ki Linduk
Ki Tumenggung berusaha untuk tersenyum. Katanya dengan suara yang liat -Terima kasih Ki Linduk. Aku dapat minum segala macam minuman. Sebagai seorang prajurit minum airpun tidak menjadi persoalan bagiku."
- Ah, meskipun prajurit tetapi pangkat Ki Purbarana adalah Tumenggung. Karena itu, Ki Purbarana tentu mempunyai kebiasaan sebagaimana seorang Tumenggung."berkata Ki Linduk.
Ki Tumenggung tidak membantah. Tetapi sebenarnya ia ingin cepat berbicara, sehingga prajurit prajuritnya tidak menunggu dengan kesal diluar hutan. Bahkan Ki Tumenggung dijamu minuman panas bersama pengawalnya, maka Ki Lindukpun mulai bertanya tentang kunjungan yang tiba tiba saja itu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Ketika berpaling kepada para pengawalnya, dilihatnya mereka tidak henti hentinya meneguk minuman hangat yang menyegarkan itu.
" Biariah mereka menikmati minuman hangat itu, Ki Tumenggung. Mereka tentu haus di perjalanan" berkata Ki Linduk.
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia mengumpat didalam hatinya. Sementara itu kelima pengawalnya justru tidak menghiraukan sama sekali bahwa Ki Tumenggung memperhatikannya. Seperti dikatakan oleh Ki Linduk, mereka memang haus. Bahkan selama perjalanan dan bahkan ketika mereka di padepokan yang mereka bakar itu, mereka tidak sempat menghirup minuman sesegar itu, dengan gula kelapa yang berbongkah bongkah.
"Ki Sambijaya" berkata Ki Tumenggung kemudian tanpa menghiraukan lagi orang orangnya yang kehausan
"kedatanganku membawa pesan perjuangan yang tidak boleh putus sepeninggal kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru. Perjuangan itu harus diteruskan sampai datang saatnya, tegaknya sebuah kerajaan yang berlandaskan kepada kebesaran sebagaimana Majapahit pada masa jayanya"
Tetapi Ki Tumenggung menjadi heran, Ki Linduk justru tertawa pendek sambil menyahut "Ki Tumenggung, apakah Ki Tumenggung masih juga memimpikan kekuasaan sebagaimana pernah diimpikan oleh kakang Panji"-
"Bukan memimpikan satu kekuasaan" jawab Ki Tumenggung
"tetapi memimpikan keagungan satu kerajaan ditanah ini. Bukan satu kerajaan kerdil yang semakin lama justru semakin susut dan bahkan akan sampai saatnya Mataram akan menjadi padam sama sekali."
"Jangan begitu Ki Tumenggung- berkata Ki Linduk "aku adalah kawan gurumu meskipun kami mempunyai landasan berpikir yang berbeda. Bahkan gurumu menganggap aku orang yang kadang kadang keluar dari paugeran hidup orang kebanyakan. Dengan demikian aku pernah mendengar serba sedikit tentang Ki Tumenggung. Bukankah pada saat Ki Tumenggung menghubungi aku dalam lingkup perjuangan kakang Panji. Ki Tumenggung berbuat diluar pengetahuan gurumu" Aku yakin bahwa gurumu tidak akan setuju. Sekarang gurumu sudah tidak ada, dan kakang Panjipun sudah tidak ada. Lalu apakah yang sebenarnya kau kehendaki" Aku tidak begitu banyak mengenal kakang Panji. Tetapi menilik ilmunya, maka ia memiliki saluran yang langsung ada hubungannya dengan para pengusaha pada masa Majapahit, sehingga aku yakin, bahwa kakang Panji merasa dirinya keturunan langsung dari Perabu Brawijaya. Karena itu, ia merasa memiliki hak mewarisi kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan dan meledak justru pada saat yang memegang kekuasaan adalah anak Tingkir yang kemudian mengarah kepada penyerahan kekuasaan kepada orang yang bernama Sutawijaya dan pernah disebut Mas Ngabehi Loring Pasar, anak Pemanahan, anak rakyat kecil yang sama sekali tidak memiliki darah keturunan yang pantas untuk mewarisi tahta. Nah, sekarang sebutkan tentang dirimu sendiri, bahwa kau merindukan satu kerajaan yang agung sebagaimana pernah dimiliki oleh Tanah ini.
"Ya. Aku memang merindukan Majapahit. Aku memang tidak mempunyai darah keturunan. Karena itu aku pribadi tidak memimpikan kekuasaan itu" berkata Ki Tumenggung.
"Lalu apa tujuan perjuanganmu?" bertanya Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.
Ki Tumenggung tercenung sejenak. Namun akhirnya ia menjawab -Ki Linduk. Jika aku harus merintis berdirinya satu kerajaan yang besar, maka itu sama sekali bukan satu kesalahan meskipun aku bukan darah keturunan Prabu Brawijaya. Yang aku lakukan hanyalah sekedar merintis, sehingga pada satu saat akan datang apa yang benar benar berhak atas tahta sebagai keturunan langsung dari Majapahit sebagaimana Kakang Panji jika benar ia keturunan langsung Prabu Brawijaya"
"Jika demikian, apa rencanamu?" bertanya Ki Sambijaya
"bukankah kau mengetahui bahwa Mataram memiliki kekuatan yang tidak terlawan."
Bukan tidak terlawan"jawab Ki Tumenggung"tetapi kita memerlukan satu cara untuk melawannya."
Ki Linduk tertawa pula. Katanya "Kau tidak hanya trampil menggerakkan senjata, tetapi kau juga trampil menganyam kata-kata."
"Aku tidak sedang bergurau Ki Linduk" desis Ki Tumenggung.
-O", Ki Linduk masih tertawa. "maaf. Akupun bersung guh-sungguh. Tetapi bersungguh sungguh bukan berarti harus berbicara dengan tegang. Nah, teruskan, bagaimana rencanamu itu?"
"Saat ini Mataram masih belum tegak benar. Sementara itu, di daerah Timur sudah nampak kabut hitam yang menyelubungi Madiun dan sekitarnya. Karena itu maka aku ingin mempergunakan kesempatan ini,langsung memasuki Mataram.Tetapi dari daerah Barat" berkata Ki Tumenggung.
Apakah Ki Tumenggung telah mempelajari keadaan Mataram dibagian barat"- bertanya Ki Linduk.
-Sebagian dari keadaannya sudah kami ketahui" jaawab Ki Tumenggung.
KI Linduk mengangguk-angguk. Namun rasa rasanya masih ada beberapa persoalan yang tersangkut di hatinya. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya
"Ada beberapa hal yang harus Ki Tumenggung perhatikan. Per-tama tentang rencana Ki Tumenggung sendiri. Seakan akan Ki Tumenggung akan sekedar membuka jalan hingga saatnya orang yang dianggap berwenang itu datang. Apakah benar hati Ki Tumenggung sedemikian bersihnya, sehingga Ki Tumenggung sama sekali tidak mempunyai pamrih apa-apa" Katakan, seandainya Ki Tumenggung benar benar seorang yang berhati seputih kapas, maka kita akan menilai kemungkinan yang dapat terjadi untuk menerobos pintu sebelah Barat. Jika Ki Tumenggung baru mengetahui sebagian saja dari keadaannya, maka Ki Tumenggung akan benar benar bermain api dalam genangan minyak."
"Maksud Ki Linduk, bahwa aku sendirilah yang ingin duduk diatas tahta Mataram" Dan yang kedua, bahwa aku belum mengetahui dengan pasti keadaan Tanah Perdikan Menoreh atau Mangir?"
"Ya"jawab Ki Linduk.
"Hal yang demikian memang mungkin. Rara rasanya senang juga menjadi seorang raja. Apalagi aku sudah di.warisi keris guruku. Agaknya aku memang akan mendapat wahyu keraton."jawab Ki Tumenggung" tetapi seandainya tidak demikian, maka aku akan berwenang memilih siapakah yang paling pantas untuk duduk diatas tahta. Aku akan melihat, siapakah yang memang memiliki wahyu itu."
Ki Linduk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di sorot matanya membayangkan keraguan hatinya. Namun dalam pada itu ia berkata"Seandainya demikian, lalu bagaimana dengan pintu sebelah Barat itu"
"Apa lagi yang dicemaskan?"bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung"berkata Ki Linduk "Ki Tumenggung adalah seorang prajurit yang memiliki pengamatan yang tentu jauh lebih tajam dari pengamatanku. Tetapi menurut pendapatku, sebelum Ki Tumenggung memasuki satu daerah, maka Ki Tumenggung harus tahu dengan pasti, apakah yang ada di daerah itu. Karena itu aku ingin menasehatkan agar Ki Tumenggung melangkah lebih berhati hati. Bukan sekedar didorong oleh perasaan yang sedang menyala.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Terima kasih Ki Linduk. Aku akan melakukannya. Tetapi aku ingin penjelasan, bagaimana sikap Ki Linduk menanggapi persoalan yang aku katakan itu."
Ki Linduk mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
"Maksud Ki Tumenggung, bahwa aku akan terlibat langsung didalam gerakan Ki Tumenggung itu."
"Ya"jawab Ki Tumenggung.
"Lalu apa keuntunganku?" bertanya Ki Linduk "bukankah dalam tugas ini akan dapat timbul banyak kemungkinan" Misalnya beberapa orang cantrikku akan terluka dan bahkan terbunuh?"
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa halseperti itu akan ditanyakannya. Karena itu, maka seakan akan tanpa berpikir Ki Tumenggung menjawab
"Ki Sambijaya. Hal yang wajar sekali. Sebenarnya Ki Lindukpun tentu sudah mengetahui, apa yang paling baik bagi Ki Linduk."
Ki Linduk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia masih bertanya"Aku tidak mengerti Ki Tumeng"gung."
"Ki Sambijaya" berkata Ki Tumenggung"tentu tidak ada yang lebih baik bagi Ki Sambijaya daripada pengesahan bagi satu wilayah yang luas sebagai Tanah Perdikan. Ki Sambijaya tidak hanya sekedar menjadi seo"rang pemimpin sebuah padepokan kecil seperti ini. Tetapi Ki Sambijaya akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdi"kan."
Ki Linduk tiba tiba saja tertawa. Katanya "Jangan mengajari aku bermimpi Ki Tumenggung. Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. Tidak ada yang menarik bagiku untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan itu."
Wajah Ki Tumenggung tiba-tiba saja menjadi tegang. Dipandanginya Ki Linduk dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Kemudian dengan suara datar ia bertanya,
"Apa yang kau kehendaki Ki Linduk?"
"Ki Tumenggung. Aku sudah mengerti sepenuhnya apa yang akan kau lakukan dan apa yang kau perlukan dari aku. Aku tidak berkeberatan, tetapi aku tetap mengajukan syarat seperti yang pernah aku katakan kepada kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru. Namun agaknya tidak mendapat tanggapan sebagaimana wajarnya. Bahkan mereka tidak lagi pernah menghubungi aku sam"pai akhirnya keduanya terbunuh dipeperangan" jawab Ki Linduk.
"Apa yang kau kehendaki?" bertanya Ki Tumenggung.
"Tentu sesuatu yang bermanfaat bagiku" jawab Ki Linduk
"aku kira Ki Tumenggung juga mendengarnya pada waktu itu."
"Ki Linduk menghendaki isi seluruh wilayah Mataram?"bertanya Ki Tumenggung dengan tegang.
"Jangan tergesa-gesa"jawab Ki Linduk sambil tertawa
"aku waktu itu memang menghendaki isi seluruh kota Mataram. Maksudku, sebagai satu pasukan yang mbedah kutha mboyong putri, maka aku akan mendapat-kan harta benda yang ada di Mataram. Aku memang tidak memerlukan seorang putripun. Sehingga karena itu, maka yang kami inginkan adalah kekayaan yang tersim-pan di Mataram. Sementara itu, kalian akan menda-patkan kotanya yang akan dapat kalian bangun menjadi pusat pemerintahan, atau akan kalian hancurkan sama sekali untuk kemudian mendirikan satu pusat pemerin"tahan yang baru didaerah Timur sebagaimana masa keja-yaan Majapahit."
"Dan syarat itu masih tetap?"bertanya Ki Tumeng"gung.
"Aku memang berpikir seperti itu. Pada waktu kakang Panji berusaha memecah Mataram, agaknya ia memang berkeberatan untuk memenuhi permintaan ini, karena banyak sekali pihak yang terlibat, sehingga jika semua menuntut hak seperti itu, maka akhirnya justru akan menjadi kacau. Namun sekarang kita tidak akan melibatkan banyak pihak. Karena itu, maka kita dapat membicarakannya lebih baik" jawab Ki Linduk.
Punggung Ki Tumenggung menjadi semakin basah oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuhnya. Namun untuk sementara Ki Tumenggung masih berdiam diri. Dibiarkannya Ki Sambijaya mengucapkan tuntutannya bagi kerja sama yang sedang mereka persiapkan.
Dalam pada itu, maka Ki Sambijaya itu berkata seterusnya " Tetapi mungkin Ki Tumenggung berkeberatan untuk mulai membicarakannya tentang Mataram. Karena nampaknya Ki Tumenggung akan mengambil satu tempat sebagai alas untuk menyusun kekuatan menghadapi Mataram. Karena itu, agaknya yang ingin di tundukkan dahulu oleh Ki Tumenggung adalah kekuatan di pintu Barat. Tanah Perdikan Menoreh misalnya. Jika demikian, maka tuntutankupun menyusut sebagaimana sasaran perjuangan Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung menghendaki Tanah Perdikan Menoreh, maka yang ingin kami miliki adalah isi dari Tanah Perdikan itu. Sementara Ki Tumenggung akan dapat menyusun kekuatan diatas Tanah Perdikan itu dengan mengikut sertakan anak anak mudanya. Jika mereka menolak, Ki Tumenggung dapat saja mengancam untuk membunuh mereka, atau isterinya, atau ibunya atau siapa saja."
Wajah Ki Tumenggung menegang. Dengan nada berat ia berkata" Ki Linduk, sebenarnya bukan hanya Ki Linduk yang akan aku hubungi. Aku juga akan menghubungi paman Warak Ireng."
"He?" kening Ki Linduk berkerut. Namun kemudian katanya"Terserah saja kepada Ki Tumenggung."
"Bagaimana jika paman Warak Ireng juga menghendaki sebagaimana kau kehendaki?" bertanya Ki Tumenggung.
"Dapat saja dibicarakan. Jika Warak Ireng ikut, maka tugas kamipun menjadi semakin ringan. Adalah wajar jika imbalannyapun susut. Biarlah isi Tanah Perdikan kami bagi berdua, sebagaimana berlaku pula pada daerah daerah lain yang ingin kita tundukkan. Mungkin Mangir, mungkin daerah daerah lain. Juga Mataram kelak pada saatnya" jawab Ki Sambijaya.
"Bagaimana kalian akan membagi" "bertanya Ki Tumenggung.
"Dasarnya adalah untung untungan. Kita membagi Tanah Perdikan dan sasaran-sasaran yang lain berdasarkan atas daerah itu. Kita menentukan satu jalan atau jalur yang lain, parit, sungai atau batas-batas yang lain. Diseberang menyeberang batas itulah daerah kami masing masing" jawab Ki Linduk.
Jantung Ki Tumenggung berdegup semakin keras. Permintaan itu sebenarnya tidak masuk akal.
Ki Linduk yang melihat keragu raguan dihati Ki Tumenggung berkata "Ki Tumenggung, dengan demikian maka seandai orang jual beli; kita tidak lagi berhutang atau berpihutang. Tetapi jika Ki Tumenggung menjanjikan untuk memberikan Tanah Perdikan, mengangkat menjadi orang berpangkat atau seorang Senapati, atau apapun kelak, maka hal itu hanya akan memancing permusuhan. Berbeda dengan caraku ini. Kita tidak lagi terikat pada perjanjian apapun juga dikemudian hari. Setelah kau menduduki Mataram atau daerah yang lebih kecil, kau dapat berbuat apa saja atas rakyat dan daerah itu, sementara kami hanya akan mengambil kekayaan yang ada, sebagaimana umumnya orang menang perang."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya kekayaan itu akan dapat dipergunakan sebagai modal untuk meneruskan perjuangan. Tanpa ada kekayaan yang dapat dikumpulkan, maka pasukan yang akan dibentuk tidak akan memiliki kekuatan. Tidak ada bahan makanan, pakaian dan melengkapi peralatan. Karena itu, maka Tumenggungpun berkata
" Ki Linduk. Jika demikian, maka kami tidak akan dapat melangkah lebih lanjut. Kami menduduki satu daerah yang mis-kin sekali. Bagaimana dengan pasukan yang terbentuk kemudian. Dengan kekayaan yang ada, kami dapat menyiapkan bekal dan peralatan."
Ki Linduk tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata
"Kau benar juga Ki Tumenggung. Jika demikian, maka seluruh kekayaan itu akan kita bagi tiga. Aku, Warak Ireng dan Ki Tumenggung sendiri. Menurut dugaanku, di Tanah Perdikan Menoreh cukup tersimpan kekayaan itu. Di satu rumah saja, mungkin kita akan dapat menemukan dua tiga keris bermata berlian. Timang tretes intan dan perhiasan perhiasan yang lain da"ri emas."
Empat Dedengkot Pulau Karang 1 Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Pendekar Tanpa Tanding 1
"Kakek tua" berkata prajurit itu lagi" apakah kau pernah mengenali orang orang yang tinggal dipadepokan itu?"
Orang itu berpikir sejenak. Lalu"Padepokan itu maksudmu Ki Sanak."
"Ya"prajurit itu masih berteriak teriak.
"Tentu saja aku kenal. Aku sering pergi ke padepo"kan itu. Setiap kali aku datang, aku mendapat beras se beruk penuh. Para cantrik di padepkan itu menggarap sa"wah di sebelah padukuhanku."
"Kau mengenal orang yang bernama Kiai Bagaswa"ra. ?"bertanya prajurit itu.
"Siapa?" bertanya orang tua itu.
"Kiai Bagaswara" prajurit itu berteriak.
"O, tentu saja aku kenal" jawab orang tua itu "kenapa dengan Kiai Bagaswara?"
Ia tidak ada di padepokannya. Apakah kau melihat, dimana ia sekarang tinggal" Maksudku, jika ia tidak bera"da di padepokannya, dimanakah kira kira Kiai Bagaswa"ra itu berada?" bertanya prajurit itu keras keras.
Orang tua itu mengangguk angguk. Namun kemudian iapun menjawab "Orang itu memang jarang jarang berada di padepokan. Ia lebih banyak berada di tempat tempat se"pi untuk menjalani laku dalam usahanya menyempurnakan dirinya. Aku pernah mendengar sekali, ia berjalan tujuh hari tujuh malam tanpa berhenti. Dua orang can"trik yang mengikutinya terpaksa berhenti di tengah jalan, karena kakinya menjadi bengkak."
Prajurit itu mengangguk angguk. Namun justru karena itu ia mulai berpikir, apakah Kiai Bagaswara itu memang sedang keluar dari padepokannya untuk satu kepentingan sebagaimana ia sedang menjalani laku seperti dikatakan oleh orang tua itu.
Karena itu, maka iapun kemudian bertanya lagi sam"bil berteriak " Kakek tua. Apakah kau tahu, kemana Kiai Bagaswara sekarang pergi atau barangkali menjalani laku seperti yang kau katakan?"
Kakek tua itu termangu mangu sejenak. Ia bergeser surut ketika ia melihat beberapa orang mendekatinya. Seorang diantara para prajurit itu berkata kepada kawan"nya yang sedang berteriak teriak bertanya kepada orang tua itu "Apa yang akan kau dapatkan dari seorang yang tuli seperti itu?"
"Ia mengenal Kiai Bagaswara "jawab kawannya.
"Sekedar menerima pemberian seberuk beras. Tidak lebih dari itu" gumam kawannya.
Namun prajurit itu menjawab " Mungkin aku men"dapatkan beberapa keterangan yang penting "
"Jangan berteriak. Aku tidak tuli seperti orang tua itu" sahut kawannya.
"O" prajurit itu termangu mangu. Namun kemudian sekali lagi ia bertanya kepada orang tua yang tuli itu "Apakah kau tahu di mana Kiai Bagaswara berada?"
Orang tua itu menggeleng. Jawabnya "Aku tidak tahu. Tetapi apakah ia tidak ada di padepokan?"
"Tidak. Aku berada di padepokan itu" jawab praju rit itu.
"0, jadi Ki Sanak berada di padepokan itu?" orang tua itulah yang kemudian bertanya "apakah Ki Sanak muridnya atau saudaranya?"
"Aku datang bersama murid kakak seperguruan Kiai Bagaswara. Ki Tumenggung Purbarana" jawab prajurit itu keras keras.
Namun kawannya memotongnya "Buat apa kau kata"kan hal itu kepadanya?"
Prajurit itu berpaling kepada kawannya. Katanya " Mungkin orang itu sengaja atau tidak sengaja ber"temu dengan Kiai Bagaswara, maka ia akan dapat mengatakan bahwa Ki Tumenggung ada di padepokan"nya."
"Ia justru menyingkir"jawab kawannya.
"Itu sekedar dugaan. Mungkin Kiai Bagaswara se"dang membawa semua cantriknya untuk menjalani laku yang sangat penting bagi ilmunya." jawab prajurit itu.
Kawannya merenung sejenak. Namun kemudian ka"tanya" Mustahil jika tidak ada seorangpun yang ting"gal."
"Jika ia sengaja menyingkir karena laporan tentang keadaan padepokan dari guru Ki Tumenggung, kenapa masih ada sisa bahan makan dilumbung. Jika hal itu be"nar benar disebabkan karena kecemasan akan datangnya Ki Tumenggung, maka lumbung itu tentu sudah dikosongkan. Jika mereka tidak sempat membawa pergi, maka lumbung itu tentu akan dibakarnya."jawab kawannya.
Orang tua yang tuli itu memiringkan kepalanya. Te"tapi pada wajahnya sama sekali tidak terkesan bahwa ia mendengar pembicaraan para prajurit itu. Meskipur sekali sekali ia memandang prajurit yang seorang, kemudian memandang yang lain, namun agaknya ia hanya dapat melihat gerak bibir para prajurit itu saja.
Sementara itu, maka prajurit yang sudah bercakap cakap dengan orang tua itu sebelumnya, berkata ke"ras keras" Tolong Kakek. Jika kau melihat Kiai Bagas"wara, sampaikan kepadanya atau kau sajalah yang da"tang ke padepokan itu untuk memberitahukan kepada kami dimanakah Kiai Bagaswara berada. Kau akan mendapat tidak hanya seberuk beras. Tetapi tiga beruk."
"He" Tiga beruk beras" Apakah kalian sekarang membawa beras untuk aku?"bertanya orang itu.
"Orang gila" geram prajurit itu, sementara bebe"rapa orang kawannya justru tersenyum.
Prajurut itu mengulangi sambil berteriak"Jika kau datang dan menunjukkan di mana Kiai Bagaswara be"rada, kau akan mendapat tiga beruk beras dan seekor kambing."
"O" orang itu mengangguk angguk "terima kasih. Jika aku melihat Kiai Bagaswara aku akan memberitahukan kepada kalian dipadepokan. Aku sudah lama sekali merindukan seekor kambing."
"Baiklah" berkata prajurit itu sambil berteriak pula "sekarang aku akan pergi berburu. "
"O, untuk apa?" bertanya orang tua itu "Kami ingin daging rusa muda jawab prajurit itu.
"Sebaiknya kalian tidak membunuh binatang hutan. Biar sajalah mereka hidup dengan tenang dan damai. Apa salah mereka, sehingga seekor kijang harus dibunuh ?"bertanya orang tua itu.
"Orang tua ini memang gila" desis prajurit itu yang kemudian berteriak menjawab "Salah mereka adalah, bahwa daging kijang itu termasuk daging yang paling enak. Itu saja. Jika dagingmu seenak daging kijang, maka kaupun akan kami buru"
Orang itu mengerutkan keningnya. Agaknya ada beberapa kata yang tertinggal dari pendengarannya. Na"mun akhirnya orang tua itupun tertawa. "Terima kasih" tiba tiba saja ia menjawab" jika kalian sudi ber"buru untuk aku. Tetapi aku tidak ingin daging kijang"
"Persetan" geram prajurit itu "marilah kita pergi" katanya kemudian kepada kawan kawannya.
Para prajurit itupun kemudian bersiap melanjutkan perjalanan mereka untuk berburu. Namun prajurit yang seorang itu masih berpaling dan berkata sambil berteriak "Marilah kek. Jika kau nanti mendapatkan jamur so maka pertanda bahwa akupun mendapat seekor kijang."
Orang itu tertawa sambil mengangguk angguk. Sementara itu maka iring iringan itupun berjalan se"makin lama semakin jauh. Yang kemudian nampak dipunggung mereka adalah sebuah endong dan anak panah yang cukup, sementara di tangan mereka tergenggam busur, sedangkan di lambung tersangkut sebilah pedang panjang.
Agaknya para prajurit itu juga memperhitungkan angin yang bertiup dalam perburuan mereka, karena angin akan ikut menentukan arah bau tubuh mereka menusuk kedalam lebatnya hutan.
Demikian para prajurit itu meninggalkannya, ma"ka orang tua yang tuli itu menarik nafas dalam dalam. Ketika ia tegak, maka barulah nampak tubuhnya yang tegap kekar. Kakinya sama sekali tidak timpang dan sebenarnyalah bahwa ia samasekali tidak menjadi tuli.
Dari pembicaraan yang berhasil disadapnya maka Ki"ai Bagaswara itu yakin, bahwa yang didengarnya dari pa"ra cantrik bukannya satu hal yang sangat dibesar besarkan. Peristiwa itu benar benar telah terjadi di padepokan saudara tua seperguruannya.
Ada semacam gejolak didalam hati Kiai Bagaswara untuk menghukum murid saudara tua seperguruan itu. Ia adalah contoh dari seseorang yang telah berani melawan gurunya. Bahkan telah membunuhnya dan merampas pusakanya. Pusaka yang pada suatu saat akan diwariskannya kepada seorang muridnya yang paling sesuai de"ngan jenis pusaka itu.
Tetapi Kiai Bagaswara harus menahan dirinya. Ia sa"dar sepenuhnya, bahwa Ki Tumenggung Purbarana telah membawa kekuatan yang sangat besar. Betapapun tinggi ilmunya, ia tidak akan dapat melawan orang sebanyak itu. Bahkan seandainya ia membawa semua cantrik dan jejanggan, maka yang terjadi adalah pembantaian seperti yang telah terjadi sebelumnya.
" Ada bedanya " gumam Kiai Bagaswara " murid murid kakang Panembahan bertempur berurutan. Mula mula kakang Panembahan terbunuh. Kemudian Pu"tut Pradapa. Baru para cantrik turun kegelanggang de"ngan keputus asaan. Tetapi jika kakang Panembahan, Pu"tut Pradapa dan para cantrik turun bersama sama, mung"kin akibatnya akan lain. Demikian juga jika aku, seorang pututku, jejanggan dan para cantrik turun bersama sama ke medan, akibatnya tentu akan lain. Mereka tidak akan dapat membinasakan kami seluruhnya. Tetapi mungkin akan dapat terjadi sebaliknya. "
Tetapi bagi Kiai Bagaswara pembantaian yang demi"kian, pihak yang manapun yang akan tumpas tapis sam"pai orang terakhir, akan merupakan satu peristiwa yang sangat mengerikan. Sebagaimana ua membayangkan te"lah terjadi di padepokan saudara tua seperguruannya. Ka"rena itu, maka Kiai Bagaswara telah mengkesampingkan rencana untuk melakukan benturan beradu dada.
" Apakah aku dapat berusaha dengan cara yang lebih baik " " bertanya Kiai Bagaswara itu kepada diri sendiri.
Namun orang tua itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Rasa rasanya jalan yang akan ditempuhnya nampak sangat gelap.
Sementara itu, di padepokan Ki Tumenggung yang kecewa itupun telah mempersiapkan diri untuk satu perjuangan menurut sudut pandangannya, yang panjang dan la"ma. Beberapa orang perwiranya sependapat bahwa ki tumenggung akan menghubungi seorang pemimpin pade"pokan yang disebutnya Kiai Linduk. Meskipun orang itu li"cik dan kadang kadang curang, namun Kiai Tumenggung masih yakin bahwa ia memiliki kekuatan lebih besar dari kekuatan Kiai Linduk, sehingga apabila keadaan menyudutkannya kedalam satu benturan kekuatan, maka ia ya"kin bahwa ia akan dapat menghancurkan Ki Linduk dan orang orangnya.
" Jika kekuatan kita telah terkumpul, maka kita akan menduduki Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan memutuskan hubungan antara Mataram dan Bagelan. Se"mentara kita akan dapat menyusun kekuatan untuk menerobos ke Mangir. Kita akan dapat memaksa Ki Gede Menoreh dan Ki Gede Wonoboyo untuk berpihak kepada Kita. Sementara di sebelah Timur, Madiun telah mulai melancarkan pemberontakan" berkata Ki Tumenggung Purbarana.
Para pengikutnya hanya mengangguk angguk saja. Agaknya memang tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik. Para pengikutnya sadar, jika Ki Gede Menoreh dan Ki Gede Wonoboyo menolak, maka tidak ada jalan lain daripada membinasakan mereka.
Ki Tumenggung yang seakan akan mengerti gejolak perasaan para pengikutnya itupun kemudian berkata " Kita tidak usah cemas, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada kekuatan yang nggegirisi. Meskipun Agung Sedayu yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru tinggal di Menoreh, namun ia tidak akan dapat melawan Kiai Santak. Seandainya ia memiliki ilmu kebal sebagaimana Putut Pradapa memiliki ilmu Lembu Sekilan, maka keris Kiai Santak akan dapat dengan mudah menembusnya dan melukai kulitnya. Akibatnya sebagaimana telah terjadi dengan Putut Pradapa. Sementara itu, dengan Kiai San"tak aku ingin membuktikan, bahwa Kiai Baru, pusaka yang menjadi kekuatan Mangir tidak akan berarti apa apa "
Para pengikutnya masih saja mengangguk angguk. Rencana semacam itu memang pernah juga mereka bicarakan di padepokan yang telah mereka hancurkan, meskipun saat itu Ki Tumenggung masih juga menyinggung padepokan Kiai Bagaswara.
Dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung berbincang dengan beberapa orang perwira yang menjadi pengikut"nya, maka di hutan diseberang sungai, beberapa orang tengah berburu binatang hutan. Ketika dua orang diantara melihat seekor kijang yang sedang minum disebuah mata air yang jernih berkilat kilat, maka keduanya telah mempersiapkan anak panah pada busur mereka masing masing.
Seorang diantara keduanya telah memberikan isyarat untuk bersiap. Kemudian ia mulai menghitung perlahan lahan " Satu, dua, tiga"
Anak panah dari kedua buah busur itu meluncur se"perti angin. Keduanya tepat mengarah ke punggung ki"jang yang sedang minum dengan segarnya, tanpa menyadari bahaya yang sedang menerkamnya.
Tetapi begitu kedua anak panah itu meluncur mendekati sasaran, maka tiba tiba saja, seolah olah angin telah bertiup dengan kerasnya menerjang kedua anak panah itu sehingga keduanya telah berubah arah. Dengan demikian maka kedua anak panah itu sama sekali tidak mengenai binatang buruan itu, bahkan kijang itulah yang kemudian terkejut dan berlari masuk kedalan gerumbul hutan yang cukup lebat untuk melindungi dirinya.
" Gila " kedua orang itu berteriak hampir bersamaan. Kemudian salah seorang berkata lantang " Apa yang telah terjadi. Kedua anak panah itu ba"gaikan ditiup angin. Tetapi rasa rasanya tidak ada angin yang menggerakkan dedaunan, kecuali selingkar gerum"bul didekat mata air itu saja "
Dengan jantung yang berdegupan dan hati yang kesal kedua orang itupun menghambur lari mendekati mata air tempat kijang yang menjadi buruan mereka itu minum.
Ketika mereka sampai ditempat itu, dedaunan sudah tidak bergetar lagi. Tidak ada angin yang keras dan tidak ada sesuatu yang dapat mendorong kedua anak panah itu berbelok.
Hentakan di dalam dada kedua orang itu telah mendo"rong mereka untuk melihat lihat keadaan di sekeliling ma"ta air itu. Namun tiba tiba keduanya tersentak. Beberapa langkah dihadapan mereka, duduk laki laki tua yang dikenalnya sebagai laki laki yang tuli itu.
"Kakek" geram salah seorang dari kedua pemburu yang gagal itu. Kakek itu tersenyum. Katanya" Kalian mencari apa?"
"Kijang" teriak kedua prajurit itu hampir berbareng.
Orang itu memeringkan kepalanya. Lalu katanya"O, kijang. Kijang yang minum itu yang kalian maksud?"
"Ya"jawab prajurit itu.
"Bukankah kijang itu sudah lari"berkata orang tua itu.
"Kijang itu terkejut dan lari. Tetapi siapakah yang telah membuat pengeram eram?"bertanya salah seo"rang dari kedua orang itu.
"Membuat apa" orang tua itu sekali lagi memiringkan kepalanya untuk dapat mendengar lebih jelas.
"Siapa yang membuat pengeram eram" ulang praju"rit itu sambil berteriak.
Orang tua itu tiba tiba saja tertawa. Katanya "Kau aneh Ki Sanak. Bukankah aku sudah mengatakan, jangan membunuh kijang di hutan ini."
Kedua orang itu termangu mangu. Namun salah seo"rang diantara mereka tiba tiba bertanya "Jadi, apakah kau yang sedang menggagalkan perburuan ini?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu "Maksudmu?"
"Apakah kau yang membuat pengeran eram itu" Apakah kau yang sudah mengguncang udara sehingga anak panah itu berkisar dari arahnya?" bertanya prajurit itu.
"Ah" orang itu tertawa" bukan pangeram eram. Aku hanya sekedar ingin menyelamatkan kijang yang se"dang kehausan itu. Betapa segarnya air yang sedang dinikmatinya pada saat maut itu datang menjemputnya. Aku kasihan melihat kijang itu."
"Persetan"geram prajurit itu"Jadi kau yang telah mengganggu aku?"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu ragu ia bertanya"Siapa yang sedang menunggu?"
"Orang tua gila" teriak prajurit itu "mengganggu. Bukan menunggu. Kau sudah mengganggu aku."
"O" Orang tua itu mengangguk angguk "maksudku tidak mengganggu. Maksudku sekedar menyelamatkan kijang yang sedang kehausan itu."
Wajah kedua orang prajurit itu menjadi merah oleh kemarahan yang menghentak hentak didada mereka. Ka"rena itu, maka salah seorang diantara mereka berka"ta "Kakek tua yang tidak tahu diri. Bagi kami, tingkah lakumu itu benar benar menyakitkan hati. Dipadepokan itu kawan kawanku menunggu hasil buruanku. Sementara itu kau telah mengganggu. Kau kira, bahwa yang kau lakukan itu satu kelucuan?"
Orang itu termangu mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab "Ah, jika demikian aku mohon maaf. Tetapi jika persoalannya sekedar lauk untuk makan, kenapa kali"an tidak mencari sayur sayuran saja" Atau barangkali de"ngan beberapa jenis buah yang dapat dimasak. Waluh misalnya. Terong atau timun yang tentu banyak terdapat dipadepokan."
"Jangan mengigau lagi" teriak prajurit itu "Kau harus minta maaf atas kesalahanmu. Selanjutnya kau tidak boleh mengganggu lagi. "
"Ah, bagaimana mungkin aku harus minta maaf Ki Sanak. Aku justru merasa telah melakukan sesuatu yang benar dan baik." jawab orang tua itu.
"Gila.. Kau kira dengan pengeram eram itu, kau akan terlepas dari tangan kami jika kami menjadi benar benar marah?" geram prajurit yang lain.
"Sebaiknya, marilah kita melupakannya" berkata orang tua itu "lupakan peristiwa itu. Dan lupakan segala macam binatang buruan."
Kedua prajurit itu menjadi semakin marah, sementa"ra kawan kawannya masih belum dilihatnya. Agaknya mereka berburu ditempat yang terpisah.
Kemarahan itu telah mendorong salah seorang dari kedua prajurit itu mengumpat sambil berkata "Kakek tua. Umurmu tinggal beberapa hari saja. Jangan membuat persoalan. Jika kami marah, maka kau akan sangat menyesal."
"Jangan begitu Ki Sanak" berkata kakek tua itu "seharusnya kau berterima kasih, bahwa aku sudah mencegah kau melakukan pembunuhan atas binatang yang tidak berdaya itu."
"Cukup" teriak prajurit yang lain "jongkok dan tundukkan kepalamu. Minta ampun di bawah kakiku."
Namun tanggapan orang tua itu benar benar mengejutkan. Orang tua itu justru tertawa sambil berkata " Jangan main main seperti itu."
Kemarahan kedua prajurit itu sudah tidak tertahan lagi. Seorang diantara mereka melangkah maju sambil mengancam "Cepat. Lakukan. Atau aku akan sampai hati memukul kepalamu."
"Jangan terlalu kasar Ki Sanak"desis orang tua itu.
"Lakukan sebelum aku mengambil sikap yang lebih kasar" bentak prajurit itu.
Tetapi jantung kedua prajurit itu terasa berdentang semakin cepat ketika orang tua itu justru menggeleng sambil berkata "Jangan memaksa begitu. Bukankah sudah aku katakan. Aku tidak bersalah."
Kedua orang prajurit yang menjadi pengikut Ki Tu"menggung Purbarana itu tidak dapat menahan diri lagi. Salah seorang dari keduanya telah melangkah maju. Dengan serta merta, maka tangan orang itu telah terayun ke kening orang tua itu.
Terasa tangan prajurit itu membentur kening orang tua itu. Meskipun tidak dengan sekuat tenaganya, tetapi pukulan itu adalah pukulan kemarahan, sehingga pukulan itu adalah pukulan yang keras.
Namun ketika tangan prajurit itu ditarik, maka praju"rit itu menjadi sangat terkejut. Ia tidak melihat kesan apapun pada orang tua itu. Orang tua itu sama sekali tidak nampak kesakitan atau sedang menyeringai karena pukulannya.
Orang itu masih berdiri sambil memandanginya. Bahkan kemudian orang tua itu justru tersenyum.
Perbuatannya memang sangat menyakitkan hati. Ka"rena itu prajurit yang seorang lagi telah meloncat mendekati pula. Ia sudah mendapat kesan tentang sikap orang tua itu setelah pukulan kawannya yang seakan akan tidak terasa di keningnya.
Karena itu, orang itu tidak menghantam kening. Te"tapi prajurit itu dengan sekuat tenaganya telah menghan"tam kearah dada orang tua itu.
Pukulannya tepat mengenai sasarannya, karena orang tua itu memang tidak menghindar dan tidak menangkis. Pukulan yang keras itu tepat menghantam arah ulu hati.
Namun sekali lagi kedua orang prajurit itu terkejut. Orang tua itu sama sekali tidak tergeser. Bahkan ia masih saja tersenyum.
Kedua prajurit itu benar benar merasa dipermainkan. Karena itu maka keduanya tanpa berjanji telah menyerang bersama sama dengan sekuat tenaga mereka.
Tetapi serangan mereka itu tidak berarti apa apa. Orangtua itu masih tetap berdiri ditempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setebal rambut sekalipun. Bahkan orang tua itu kemudian justru tertawa sambil berkata"Sudah aku katakan Ki Sanak. Jangan main main seperti itu. Kau akan menjadi letih tanpa ada gunanya sa"ma sekali."
Kedua orang itu akhirnya menyadari, bahwa kekua"tan tangannya tidak akan dapat menyakiti orang tua itu. Karena itu, maka tiba tiba seorang diantaranya telah menarik pedangnya. Bahkan demikian kawannya berbuat demikian, yang lainpun telah berbuat serupa pula.
Orang tua gila"geram salah seorang prajurit itu "ternyata kau bukan orang kebanyakan seperti aku duga. Tetapi justru karena kesombonganmu itu, kau akan menemui kesulitan. Kau harus dihancurkan sama sekali. Tajam pedangku tidak akan dapat kau abaikan meskipun seandainya kau berilmu kebal sekalipun teriak prajurit itu.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Ia masih saja memiringkan kepalanya, seakan akan ingin mendengar kata kata prajurit itu lebih jelas lagi. Namun sebenarnyalah bahwa orang tua itu telah melihat kedua orang prajurit itu membawa pedang.
Sambil mengacungkan pedangnya keduanya melang"kah mendekat. Kemarahan yang menghentak membuat kedua orang prajurit itu tidak berpikir lebih panjang lagi.
Demikian keduanya mendekat, maka tiba tiba saja salah seorang diantara mereka telah mengayunkan pedangnya mendatar. Memang tidak langsung mematuk kearah jantung, atau mengkoyak kulit dan daging. Praju"rit itu berusaha untuk menggores kulit orang tua itu, untuk menjajagi kemunginan ilmu yang ada pada orang itu.
Namun prajurit itu terkejut bukan buatan. Terasa ujung pedangnya memang telah menyentuh tubuh orang tua itu. Tetapi demikiannya pedangnya terayun, maka sa"ma sekali ia tidak melihat goresan pada tubuh orang tua itu. Jika ia merasa pedangnya penyentuh lengan, namun sama sekali ia tidak melihat luka dilengan orang tua itu.
Wajah prajurit itu menjadi merah membara. Ia kemudian sadar sepenuhnya bahwa orang tua itu tentu memiliki ilmu kebal atau justru kekuatan lain yang lebih berbahaya dari ilmu kebal.
Tetapi sebagai prajurit, maka keduanya tidak mudah untuk mengambil keputusan menarik diri dari benturan kekuatan. Karena itu keduanya justru bersiap untuk melakukan serangan bersama dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka.
"Sudahlah"berkata orang tua itu "kita hentikan per"mainan yang tidak menarik ini."
Kedua orang prajurit itu termangu mangu. Tetapi keduanya masih mengacungkan pedang mereka dan siap untuk menikam ke arah dada.
"Tidak ada gunanya kita berselisih. Sebenarnya akupun tidak ingin terjadi perselisihan seperti ini. Aku se"benarnya ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat Bukan saja mencegah kalian berburu di hutan ini dengan membunuh binatang buruan. Tetapi aku sebenarnya me"mang ingin memperenalkan diriku."berkata orang tua itu.
Ternyata orang tua itu tidak lagi berdiri terbongkok bongkok dengan kaki timpang. Perlahan lahan ia melepas ikat kepalanya yang berwarna gelap., sambil berkata "Aku tidak terbiasa mengenakan ikat kepala. Aku biasanya hanya menyangkutkannya di leher atau di pundakku. "
Kedua prajurit itu terbelalak melihat orang"yang ber"diri dihadapapnya. Orang itu memang sudah berambut putih. Tetapi ketika ia berdiri tegak, maka nampaknya umurnya menjadi susut jauh kebelakang. Orang yang sudah bagaikan seorang kakek tua yang tidak berdaya itu justru nampak menjadi seorang laki laki yang gagah, bertubuh tinggi besar dan berdada bidang. "Ki Sanak"berkata orang itu"maafkan jika aku benar benar telah terlibat kedalam satu permainan yang kurang menyenangkan bagi kalian. Tetapi aku menduga, seandainya kalian dipesan oleh Ki Tumenggung untuk bertemu dengan orang yang bernama Kiai Bagaswara, maka agak"nya kau sudah diberi tahu, bagaimanakah ciri ciri orang itu."
Kedua orang prajurit itu berdiri mematung. Hampir diluar sadarnya salah seorang dari kedua orang itu berdesis"Kiai Bagaswara."
Orang tua itu mengangguk, Jawabnya sambil ter"senyum "Ya Ki Sanak Akulah orang yang kalian cari."
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Ternyata orang yang berada di hadapannya itulah orang yang selalu disebut namanya oleh Ki Tumenggung Purbarana.
Karena itu, kedua orang itupun kemudian merasa ti"dak perlu lagi mengacungkan pedangnya. Karena pedang mereka itupun tentu tidak akan berarti apa apa bagi Kiai Bagaswara.
Dengan demikian maka keduanyapun telah menyarungkan pedangnya. Salah seorang dari mereka berkata " Kami mohon maaf Kiai, Kami tidak tahu sama sekali bahwa kami berhadapan dengan kiai Bagaswara. "
" Bukan salah kalian "jawab Kiai Bagaswara " aku memang dengan sengaja menyamarkan diri, sehingga ji"ka kalian masih dapat mengenali ciri ciriku, maka dengan demikian aku sudah gagal.
" Sebenarnyalah kami memang mendapat pesan un"tuk mencari Kiai Bagaswara."
" Katakan, apa yang dikatakan oleh Purbarana ten"tang aku " berkata Kiai Bagaswara.
" Kiai, Ki Tumenggung memang ingin sekali berte"mu dengan Kiai. Jika dalam hal ini, Kiai dan para cantrik sengaja menyingkir dari padepokan, apakah sebenarnya sebabnya. Mungkin Kiai telah mendengar laporan yang salah tentang Ki Tumenggung Purbarana, sehingga kare"na itu Ki Tumenggung ingin menjelaskannya. " berkata prajurit itu.
" Aku memang sudah mendengar Ki Sanak. Saudara seperguruanku, justru adalah guru Purbarana sendiri, te"lah terbunuh " berkata Kiai Bagaswara.
" Itulah yang akan dijelaskan Kiai. Seandainya Kiai bersedia untuk datang barang sebentar berkata prajurit itu.
" Aku sudah tahu semuanya. Akupun tahu tujuan si"kap yang disebutnya satu perjuangan itu. Tetapi agaknya aku berpendapat lain berkata Kiai Bagaswara.
" Apapun yang akan Kiai katakan, maka sebaiknya Kiai dapat langsung berbicara dengan Ki Tumenggung " minta prajurit itu.
" Tidak ada gunanya " berkata Kiai Bagaswara " aku tahu pasti, bahwa yang dilakukan sama sekali bukan satu perjuangan. Tetapi satu kegilaan. Apa yang akan da"pat dicapainya dengan pemberontakannya itu " Nah, aku kira kau juga seorang prajurit. Kau tentu mempunyai penalaran yang masak untuk menilai medan. Mungkin kau bukan seorang yang berpangkat untuk menentukan satu kebijaksanaan di medan perang. Mungkin kau hanya seo"rang prajurit yang harus menerima perintah dan melaksanakannya. Tetapi bagaimanapun juga, kau tetap memi"liki kemampuan berpikir dan membuat perhitungan. Ka"tanya dengan jujur, apakah hati nuranimu membenarkan perjuangan Ki Tumenggung " Seandainya kau sependapat dengan Ki Tumenggung, namun apakah kau yakin bahwa perjuangan itu akan berhasil" Kau tentu mempunyai per"hitungan karena kau telah ditempa oleh satu pengalaman. Berapa kekuatan yang ada padamu sekarang" Kau dapat memperbandingkan dengan kekuatan Mataram. Tidak perlu Mataram itu sendiri, tetapi lingkungan disekelilingnya. Misalnya Sangkal Putung, Jati Anom, Tanah Perdi"kan Menoreh, Mangir dan daerah daerah lain disekitarnya. Belum lagi di perhitungkan kekuatan pada Adipati. Yang terdekat adalah Adipati Pajang. "
Kedua orang prajurit itu termangu mangu. Sementara itu, Kiai Bagaswara melanjutkan "Kau mempunyai kesempatan untuk merenung. Jika kau berani jujur terhadap dirimu sendiri, maka kau akan dapat mengambil satu kesimpulan. Karena sebenarnyalah, kekuatan Ki Tu"menggung Purbarana bukan kekuatan yang perlu ditakuti. Padepokankupun akan dapat menghancurkannya jika aku mau. Jika padepokan saudara seperguruanku itu hancur adalah karena mereka justru tidak menduga sama se"kali, bahwa peristiwa itu akan terjadi. Tetapi bayangkan, jika saudara seperguruanku itu benar benar ingin bertem"pur, bersama dengan Putut Pradapa yang terbunuh kemu"dian, bersama jejanggan dan para cantrik, apa kira kira Purbarana akan dapat melawan" Demikian sekarang aku, seorang pututku yang memiliki kemampuan seimbang dengan Pradapa. Tiga orang jejanggan yang beril"mu tinggi, meskipun belum sejajar dengan putut itu. Apa"kah kira kira Purbarana akan dapat bertahan. "
" Tetapi Ki Tumenggung sekarang memiliki keris Ki"ai Santak " berkata salah seorang dari kedua orang pra"jurit itu.
" Kiai Santak adalah keris yang jarang ada duanya. Tetapi akupun mempunyai pusaka yang serupa, meskipun ujudnya adalah sebuah luwuk. "jawab Kiai Bagaswara.
Kedua orang prajurit itu termangu mangu. Namun ti"ba tiba salah seorang dari mereka berkata "Ki Tumeng"gung akan menemui Ki Linduk dan seorang saudara seperguruannya."
Wajah Kiai Bagaswara menjadi tegang, Katanya " Purbarana benar benar sudah sesat. Dan kau akan mengikutinya saja dibelakang tanpa mengetahui artinya. He Ki Sanak. Sebenarnya aku ingin memberikan satu peringatan kepadamu, bahwa sebaiknya kau tiidak usah ikut campur. Aku dapat saja membinasakan Purbarana dengan seluruh pasukannya. Jika aku merasa kurang kuat, aku dapat mengundang tiga ampat orang sehabatku, meski"pun mungkin ilmunya belum setinggi pututku. Atau aku akan dapat melaporkan kepada kekuatan Adipati Wirabumi" Yang ada didaerah ini. Bukankah Purbarana adalah buruan Adipati Wirabumi" " Kiai Bagaswara berhenti se"jenak, lalu " tetapi aku tidak ingin terjadi lagi pembantaian atas siapapun. Juga atas para pengi kutnya Ki Tu"menggung yang pada umumnya tidak bersalah. "
" Apa maksud Kiai sebenarnya " " bertanya praju"rit itu.
" Jika satu demi satu para pengikut Ki Tumenggung menyadari kekeliruannya dan meninggalkannya, maka ti"dak akan terjadi perang di manapun " jawab Kiai Bagas"wara " karena itu, tinggalkan Ki Tumenggung. Jangan kembali ke padepokan. Sebenarnya aku dapat saja membunuh kalian untuk memperlemah kedudukan Ki Tumeng"gung, tetapi sekali lagi aku katakan, aku tidak ingin. "
Kedua orang itu termangumangu. Nampaknya mere"ka sedang memikirkan kata kata Kiai Bagaswara itu. Agaknya memang masuk akal, bahwa perjuangan Ki tu"menggung itu tidak akan mempunyai arti apa apa lagi selain kematian. Kekuatan mereka terlalu kecil untuk menghadapi Mataram. Seandainya mereka mendapat sekelompok kawan dari sebuah padepokan, jumlah itupun tentu terlalu kecil dibanding dengan kebesaran Mata"ram yang tumbuh terus.
Kiai Bagaswara melihat sesuatu sedang bergejolak di hati kedua orang prajurit itu. Karena itu, maka Kiai Bagaswara itupun berkata selanjutnya"Pikirkan Ki Sa"nak. Apakah ada sesuatu yang menarik bagimu di peperangan" Apakah pembunuhan merupakan alas dari satu kepuasan bagi kalian" Jika tidak, maka menyingkirlah dari arena pembantaian. Jangan lumuri tanganmu de"ngan darah. Jika tanganmu sudah terlanjur menjadi merah, justru carilah air yang bening, yang akan dapat mencuci noda noda itu dari dirimu, karena sebenarnyalah selagi kau masih mempunyai kesempatan. Jika pada saatnya kau terbaring diam, entah karena tikaman senjata atau karena sebab sebab lain, maka kau sudah tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk menemukan pengampunan. Dan saat yang demikian akan datang tanpa kau ketahui kapan. Mungkin kau akan berumur panjang, tetapi mungkin kau tidak sempat melihat matahari terbit esok pagi, meskipun seandainya kau bersembunyi didalam peti baja sekalipun."
Kedua orang prajurit itu menarik nafas dan dalam. Sementara itu masih saja terdengar suara yang mengetuk ketuk pintu hatinya. "Ki Sanak. Kalian masih mempunyai jalan untuk meninggalkan satu kehidupan yang akan men"jadi semakin sengsara. Jiwamu akan menjadi semakin kering, dan kalian akan kehausan seperti kijang yang haus akan air yang bening. Maka kau pada saatnya akan merasa haus akan sumber Hidupmu yang Maha Hidup."
Kedua prajurit itu menjadi semakin tunduk. Namun mereka masih mendengar Kiai Bagaswara itu berka"ta "Kenalilah Sumber Hidupmu, karena kau mau tidak mau pada satu saat kau akan datang menghadapnya. Jika kau mengenalnya, maka kelak Yang Maha Hidup itupun akan memanggilmu karena Yang Maha Hidup itupun mengenalmu. Tetapi jika kau tidak mengenalnya, maka kau akan dibiarkan saja menjadi kering bagaikan debu, karena Yang Maha Hidup itu tidak mengenalmu."
Tubuh kedua orang prajurit itu menjadi gemetar. Perlahan lahan mereka terbawa ke dalam satu kesadaran ten"tang dirinya dalam hubungannya dengan Penciptanya. Karena itu, betapa keduanya merasa bahwa hidup mere"ka selama ini telah tersia sia.
Karena itu, maka dengan kepala tunduk, salah seo"rang dari kedua prajurit itu berkata "Aku mengerti Kiai."
"Nah, jika demikian, apakah kalian masih juga me"rasa perlu untuk kembali kepada Ki Tumenggung Purba"rana" Apakah kau masih ingin mencari kepuasan dengan mengotori tanganmu dengan darah sesama, yang ada sebagaimana kau ada?" bertanya Kiai Bagaswara.
Kedua prajurit itu masih menunduk. Kening mereka nampak berkerut. Sesuatu memang sedang bergejolak dengan dahsyatnya di dalam dadanya.
Namun akhirnya salah seorang dari mereka berka"ta "Kiai. Ternyata Kiai sudah menunjukkan jalan yang le"bih baik yang dapat kami tempuh. Kiai memberikan satu kesadaran baru didalam hidup ini. Karena itu Kiai, aku berjanji, bahwa aku tidak akan kembali kepada Ki Tu"menggung Purbarana. Aku akan ikut bersama Kiai jika Kiai tidak berkeberatan."
Kiai Bagaswara menarik nafas dalam dalam, Semen"tara itu prajurit yang lainpun berkata,
"Aku sependapat dengan kawanku Kiai. Aku memang merasa bahwa hidupku rasa rasanya selama ini tidak wajar sebagaimana orang kebanyakan. Ada sesuatu yang lain, yang mengungkungku tanpa dapat aku lepaskan. Namun Kiai telah melepaskan kungkungan itu dan menunjukkan kepadaku, jalan menuju kehidupan yang wajar. Karena itu Kiai, seperti kawanku, jika Kiai berkenan, aku akan ikut ber"sama Kiai dalam satu kehidupan baru."
Kiai Bagaswara tersenyum. Katanya"Sokurlah jika kata kataku dapat membuka selubung yang selama ini menutupi mata hatimu. Tetapi sudah barang tentu, untuk sementara aku tidak dapat menerima kalian. Aku sedang tidak berada di padepokanku sebagaimana kau lihat."
"Kami akan ikut kemanapun Kiai pergi" jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.
Namun Kiai Bagaswara menggeleng. Katanya"Un"tuk sementara tidak mungkin. Karena itu, untuk sementa"ra menyingkirlah. Kembalilah ke kampung. Jika kau takut kembali ke rumahmu, karena dengan demikian ada kemungkinan utusan Ki Tumenggung menjemputmu, maka kau dapat kembali ke Pajang. Kau dapat menyerahkan diri kepada pasukan yang masih tetap berada ditempatnya. Kau tentu akan mendapat pengampunan. Mungkin kau akan dihukum. Tetapi anggaplah hukuman itu sebagai satu masa kau mencuci diri. Setelah hukuman itu kau jalani, kau akan menjadi bersih dan kau akan da"pat menempuh satu kehidupan baru. Demikian kau lepas dari kolam pencucian, maka kau akan merasa sebagai dilahirkan kembali. Dan kau akan dapat menempuh satu jalur kehidupan baru yang baru yang akan dapat kau susun kemudian dengan hati hati."
Kedua orang itu menarik nafas dalam dalam. Semen"tara itu Kiai Bagaswara berkata selanjutnya Kau dapat melakukannya dengan segera. Tinggalkan tempat ini. Ja"ngan kau jumpai lagi kawan kawanmu berburu. Akulah yang akan menemui mereka. Aku ingin juga menunjukkan jalan sebagaimana aku lakukan kepada kalian. Sokurlah jika mereka dapat mengerti dan hatinya terbuka memandang ke satu kehidupan yang lebih baik. Jika tidakpun, maka rasa rasanya aku sudah melakukan satu usaha yang baik bagi sesama."
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemu"dian tanpa mengucapkan kata sepatahpun, ternyata ke"duanya sudah menemukan kesepakatan. Karena itu, ma"ka salah seorang dari dua orang prajurit itu berka"ta"Baiklah Kiai. Jika demikian petunjuk Kiai, maka kami akan melakukannya. Kami berdua akan kembali ke Pajang dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jika kami harus menjalani hukuman, maka seperti yang Kiai kata"kan, hukuman itu akan kami anggap sebagai satu arena yang dapat mencuci jiwa kami. Menghapus segala macam noda yang telah kami lakukan, sehingga jika saat kami terlepas, maka kami akan dapat menikmati hidup kami sebagaimana orang orang lain dapat menikmati kehidupan sewajarnya."
Kiai Bagaswara mengangguk angguk. Pada sorot matanya nampak kelembutan hatinya mengiringi sikap kedua orang prajurit itu. Kedua orang yang apabila dikehendakinya, dengan mudah dapat dibunuhnya. Tetapi pembunuhan bukannya satu satunya jalan untuk melemahkan kedudukan lawan.
Dengan pengarahkan kedua orang prajurit Ki Tu"menggung itu, iapun telah berhasil memperlemah kedudukannya. Apalagi apabila ia dapat melakukannya bagi orang orang lain lagi.
Dalam pada itu, kedua prajurit itupun kemuuian su"dah bertekad untuk kembali ke Pajang. Dengan suara bergetar seorang di antaranya minta diri Sudahlah Kiai. Aku akan segera berangkat. Mudah mudahan aku akan sampai ketujuan dengan selamat. "
" Lepaskan alat pembunuh yang kau bawa itu. Berjalanlah sebagaimana para pengembara yang tidak bersiap siap untuk saling berbunuhan disepanjang jalan. Tan"pa senjata, maka kamu tidak akan dimusuhi oleh orang o"rang yang merasa dirinya gegedug yang tidak terkalahkan. Tetapi senjata di lambung memang akan dapat memancing perselisihan tanpa sebab. " berkata Kiai Bagas"wara.
Kedua orang itu sependapat. Merekapun telah melepaskan pedang di lambungnya dan meletakkan serta endong anak panahnya.
Dengan kepala tunduk seorang diantara mereka me ngangguk hormat sambil menyalaminya.
" Aku mohon diri Kiai " desisnya.
" Berhati hatilah. Pintu masih selalu terbuka bagi pengampunan" berkata Kiai Bagaswara.
Namun sementara itu, ketika yang seorang lagi menjabat tangan Kiai Bagaswara, tiba tiba saja ia berjongkok sambil memeluk kaki Kiai Bagaswara. Laki laki yang garang itu tiba tiba saja menangis sebagaimana kanak kanak menangis. Terisak dan air mata meleleh dari sepasang matanya yang biasanya memancarkan api kebencian.
" Kiai " katanya " aku adalah orang yang telah penuh dengan dosa dan noda. Aku ikut membantai para can"trik di padepokan saudara tua Kiai Bagaswara. Dengan tanganku aku menikam jantung mereka dan orang orang lain yang pernah aku bunuh. Apakah dengan demikian, aku masih mungkin menemukan jalan kembali " "
" Justru sekarang kau melihat pintu itu terbuka " berkata Kiai Bagaswara" masuklah. Kau akan menjad ikeluarga dari orang orang yang sudah bertaubat. "
Laki laki yang garang itu berusaha menahan tangisnya. Kemudian dengan wajah yang pengab iapun mohon diri untuk meninggalkan satu dunia yang suram, yang ti"dak dapat memberikan cahaya bagi masa depan yang panjang. Bahkan bagi anak cucu.
Demikianlah kedua orang itupun kemudian mening"galkan Kiai Bagaswara. Keduanya mengambil jalan menyilang, sehingga mereka tidak akan bertemu dengan pa"ra pengikut Ki Tumenggung Purbarana yang lain. Mereka sudah bertekad untuk menyerahkan diri kepada para pra"jurit Pajang. Semoga Adipati Wirabumi yang mendapat kekuasaan di Pajang setelah Mataram berdiri dapat meli"hat persoalannya dengan wajar.
Sepeninggal kedua orang itu, maka Kiai Bagaswara"pun menarik nafas dalam dalam. Sejenak ia berdiri ter"mangu mangu. Namun kemudian iapun berkata kepada diri " Mudah mudahan aku dapat membantu orang orang lain untuk mengenal jalan kembali. "
Sebenarnyalah, Kiai Bagaswara telah berusaha untuk beberapa orang dengan cara yang sama. Dengan bekal pengalaman yang matang dan kadangkadang dengan menunjukkan beberapa kelebihan yang sulit dimengerti oleh para prajurit pengikut Ki Tumenggung, Kiai Bagaswara berhasil membujuk beberapa orang untuk meninggalkan Ki Tumenggung yang sesat. Dengan niat yang baik, maka Kiai Bagaswara berusaha untuk menyelamatkan bebera"pa orang dari kehancuran bersama Ki Tumenggung.
Namun yang terjadi itu telah menggemparkan padepo"kan Kiai Bagaswara. Pada hari pertama, lima orang ter"nyata telah hilang dan tidak kembali ke padepokan.
Tidak ada orang yang tahu, apakah yang telah terjadi. Seorang perwira yang mendapat laporan itu berkata " Jangan disampaikan kepada Ki Tumenggung lebih dahulu. Kita berusaha untuk memecahkan persoalan ini. Mung"kin mereka tersesat. Mungkin mereka bertemu dengan lawan yang dapat membinasakan mereka. Besuk kita akan melihat apa yang telah terjadi.
Namun dihari berikutnya, ampat orang tidak kembali ke padepokan itu. Mereka hilang sebagaimana lima orang dihari pertama.
Ternyata hal itu tidak lagi dapat disembunyikan. Pa"da hari kedua Ki Tumenggung telah mendengar, bahwa sembilan orangnya telah hilang.
" Ini satu kegilaan yang tidak dapat dimaafkan " ge"ram Ki Tumenggung " cari kesembilan orang itu. Jika mereka mati dimakan harimau atau dibunuh oleh para cantrik dari padepokan ini, maka bawa kembali mayatnya. Tetapi jika mereka melarikan din dan dapat kalian ketemukan, maka bawa mereka kembali hidup hidup. Akulah yang akan menyayat kulitnya sebelum mereka diseret dibelakang kaki kuda mengelilingi padepokan ini, lewat semak semak berduri. "
Kemarahan Ki Tumenggung membuat jantung para pengikutnya semakin kuncup. Ki Tumenggung adalah orang yang tidak terkalahkan, apalagi dengan Kiai Santak ditangannya.
Namun dalam pada itu, dihari berikutnya, ternyata masih ada juga dua orang yang hilang. Dua orang yang ti"dak kembali lagi kepadepokan itu.
" Kalian semua adalah orang orang dungu yang ti"dak berarti " teriak Ki Tumenggung di hadapan para pe"ngikutnya " jika terjadi lagi diantara kalian yang tidak kembali, maka seluruh kelompok akan menerima hukumannya. Aku sendiri akan menghukum mereka dengan tanganku.
Dengan demikian, maka yang bertugas keluar padepokan dihari berikutnya terdiri dari kelompok kelompok yang tidak terpisahkan. Namun demikian didalam daerah perburuan, Kiai Bagaswara masih sempat juga menemui mereka secara terpisah.
Tetapi kesempatan Kiai Bagaswara menjadi terlalu sempit. Ia tidak dapat berbicara gamblang. Karena itu, maka penjelasannyapun tidak dapat ditangkap sebagai"mana hari hari sebelumnya.
Meskipun demikian, sekelompok kecil yang terdiri da"ri sepuluh orang itu, ketika berkumpul ditempat yang ditentukan di tengah tengah hutan itu, telah kehilangan seorang diantara mereka. Hilangnya yang seorang itu te"lah membuat pemimpin kelompok itu menjadi sangat ma"rah, karena mereka seluruhnya tentu akan mendapat hu"kuman yang tentu tidak ringan.
" Kita akan mencarinya " berkata pemimpin kelom"pok itu " tetapi kita akan selalu bersama sama. Tidak boleh seorangpun diantara kita yang terpisah. "
Namun dalam pada itu, seorang diantara para praju"rit dalam kelompok itu dengan ragu ragu berkata " Ki Lurah, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. "
" Apa " " bertanya pemimpin kelompok itu.
" Ketika kita masing masing mengejar binatang bu"ruan, ternyata telah membuat kita agak terpisah yang sa"tu dengan yang lain. Aku berdua dengan kawan yang hi"lang itu telah bertemu dengan seseorang yang semula aku kira seorang tua pencari kayu bakar. Tetapi ternyata orang itu adalah Kiai Bagaswara.
" Kiai Bagaswarta sendiri " " bertanya pemimpin kelompok itu dengan wajah yang tegang.
" Ya. Kiai Bagaswara itu sendiri " jawab prajurit itu.
" Jadi kawanmu itu telah dibunuh oleh Kiai Bagas"wara" " bertanya pemimpin kelompoknya.
" Tidak. Ternyata Kiai Bagaswara tidak membunuh seorangpun diantara kawan kawan kami yang hilang. Tetapi Kiai Bagaswara sempat memberikan beberapa petunjuk. Seakan akan kami waktu itu telah terseret kedalam ketidak sadaran. Seolah olah apa yang dikatakan oleh Kiai Bagaswara itu telah mencengkam jiwa kami. Tetapi ternyata bahwa aku masih sempat berpikir. Kesempatan yang ada pada Kiai Bagaswara agaknya terlalu pendek. Ketike tiba tiba dikejauhan terdengar suara beberapa orang kawan kami memburu seekor kijang, maka aku telah menemukan kesadaranku kembali. Aku telah berlari ke"arah suara itu dan meninggalkan kawanku yang agaknya benar benar telah terbius oleh kata kata dan janji janji Kiai Bagaswara. "
" Janji apa " " bertanya pemimpinnya.
" Janji tentang hidup sesudah mati " jawab prajurit.
" O, gila. Para prajurit itu agaknya memang sudah gila " geram pemimpin kelompoknya. Namun keterangan itu agaknya cukup penting di berikan kepada Ki Tu"menggung Purbarana, sehingga akan dapat mengurangi kemarahan Ki Tumenggung itu karena seorang diantara anggauta kelompoknya telah hilang.
" Marilah, kita akan menghadapi Ki Tumenggung. Kita akan mempertanggung jawabkan hal ini kepadanya. Kita semua. Tetapi keterangan tentang Kiai Bagaswara itu memang cukup penting, se"hingga perlu segera kita sampaikan. Mudah mudahan ke"terangan itu akan dapat membebaskan kita dari huku"man yang mungkin akan diberikan oleh Ki Tumenggung kepada kita.
Dengan demikian, maka sekelompoki prajurit itupun dengan tergesa gesa telah meninggalkan hutan buruan sambil membawa hasil buruan mereka. Namun yang le"bih penting bagi mereka adalah, bahwa mereka telah ber"temu dengan orang yang selama ini mereka cari. Kiai Ba"gaswara.
Ketika kemudian Ki Tumenggung mendengar laporan itu, tubuhnya serasa menggigil oleh kemarahan yang menghentak hentak dadanya. Dengan demikian ia sadar, bahwa Kiai Bagaswara tentu tidak akan menyetujui sikapnya seandainya ia dapat menemuinya dan berbicara tentang rencananya itu.
Namun yang dilaporkan oleh pemimpin kelompok itu memang dapat meredakan kemarahan Ki Tumenggung terhadap seluruh kelompok yang telah kehilangan seorang kawannya itu. Kemarahan Ki Tumenggung sepenuhnya telah ditumpahkan kepada Kiai Bagaswara.
Karena itu, maka dengan lantang iapun berkata "Kita siapkan semua prajurit. Kita akan menerobos hutan itu dengan tebaran pasukan berjarak sejauh jauhnya tiga langkah. Kita akan menerjang seluruh isi hutan. Bahkan seandainya kita bertemu dengan sekelompok gajah sekalipun, kita tidak boleh memutuskan jaring itu. Kita harus menemukan Kiai Bagaswara yang ternyata telah bersembunyi didalam hutan itu dan dengan caranya memperlemah kedudukanku."
Tidak ada waktu untuk berislirahat bagi kelompok yang baru saja datang. dari berburu itu, Mereka segera ikut mempersiapkan diri untuk pergi ke hutan. Mereka akan menebar dengan jarak sejauh tiga langkah. Mereka akan menelusuri tempat tempat yang mungkin dipergunakan oleh Kiai Bagaswara untuk bersembunyi.
Dengan wajah yang masih tetap membara Ki Tu"menggung segera memerintahkan pasukannya untuk berangkat setelah ia memberikan beberapa petunjuk kepa"da para pemimpin kelompok. Dengan suara bergetar Ki Tumenggung berkata "Kita tidak boleh gagal."
Sejenak kemudian, semua prajurit yang ada di padepokan itupun telah berangkat menuju ke hutan. Demikian mereka menyeberang sungai maka merekapun mulai menebar. Dengan petunjuk prajurit yang telah ber"temu dengan Kiai Bagaswara, maka merekapun telah mulai bergerak dalam tebaran yang rapat, sebagaimana selembar jaring yang ditebarkan.
Perlahan lahan tebaran itu mulai bergerak maju. De"ngan isyarat beberapa orang prajurit telah memberikan aba aba khusus, sehingga para prajurit itu bergerak pada garis yang tetap teratur.
Gerak maju para prajurit itu ternyata bukannya satu tugas yang ringan. Ternyata di tengah hutan itu terdapat rawa rawa, sehingga beberapa orang prajurit terpaksa menyeberangi rawa rawa itu. Namun di tempat lain ter"dapat belukar berduri, sehingga beberapa orang prajurit harus berjalan menembus belukar itu. Dengan pedang mereka menebasi pepohonan perdu yang menghalangi jalan mereka agar garis tebaran prajurit itu tidak terputus karenanya.
Ki Tumenggung sendiri melakukan sebagaimana dikatakan. Iapun tidak menyimpang ketika di depannya terdapat sebuah rawa yang agak dalam. Ia turun kedalam air yang kotor dan berjalan dengan susah payah bersama beberapa orang disebelah menyebelahnya.
Ki Tumenggung tidak ingin sejengkal tanahpun yang terlewatkan dari pengamatan mereka. Ia memperhatikan bukan saja setiap semak. Tetapi setiap batang pohon diamatinya, cabang cabangnya, ranting rantingnya. Mungkin Kiai Bagaswara bertengger di atasnya. Demi"kian juga diperintahkannya kepada semua pengikutnya.
Namun meskipun mereka telah menempuh perja"lanan yang jauh, tetapi mereka tidak menemukan seorangpun. Yang mereka jumpai ditengah tengah hutan itu adalah beberapa jenis binatang buruan yang berlari ketakutan. Bahkan beberapa ekor harimaupun telah ber"lari pula menghindar. Sekali terdengar binatang buas itu mengaum. Namun kemudian lenyap di balik lebatnya hutan.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Ki Tumenggung itupun mengumpat. Jika malam turun, maka ia sadar, bahwa ia akan kehilangan buruannya, jika ia belum menemukannya sebelumnya.
Sebenarnyalah, hutan itupun menjadi semakin gelap. Meskipun matahari masih nampak di langit, tetapi sinarnya mulai menjadi lemah dan tidak lagi mampu menembus lebatnya dedaunan hutan sampai menyentuh tanah.
" Gila " geram Ki Tumenggung " iblis itu akan sem"pat lolos digelapnya malam. "
Para pengikutnya tidak menyahut. Seorang perwira yang berambut putih menarik nafas dalam dalam. Sejak semula ia sudah meragukan, apakah cara itu akan dapat bermanfaat. Jika ia mencari segerombolan perampok, mungkin cara itu akan berarti. Mungkin pasukan itu akan menemukan sarang perampok itu. Tetapi yang mereka cari hanyalah satu orang. Satu orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga sulit bagi perwira itu untuk membayangkan bahwa usaha itu akan berhasil.
Tetapi perwira berambut putih yang sudah mengenal tabiat Ki Tumenggung Purbarana itu tidak mencegahnya. Usaha itu akan sia sia. Bahkan seandainya Ki Tumeng"gung itu mengakui kebenaran pendapatnya didalam hati, namun ia tidak akan mau mundur dari keputusannya yang gila itu.
Namun ketika malam benar benar turun, maka Ki Tumenggungpun terpaksa menghentikan usahanya. Dengan isyarat bunyi sangkakala ia memanggil seluruh pasukannya.
" Usaha kita sia sia " Ki Tumenggung mengeram "iblis tua itu diselamatkan oleh malam yang tiba tiba saja datang, seakan akan lebih cepat dari biasanya. "
Tidak seorangpun yang menyahut.
" Jika besok atau selambat lambatnya hari berikut"nya, kita tidak dapat menangkap iblis tua itu, maka kita akan menghancurkan padepokannya. Kita akan membakar semua bangunan yang ada dan kemudian meninggalkannya. Aku menjadi muak tinggal di padepokan iblis tua yang licik itu" berkata Ki Tumenggung itu lantang.
Namun dalam pada itu, pada saat Ki Tumenggung menyiapkan pasukannya kembali ke padepokan, maka di padepokan Kiai Bagaswara duduk dengan wajah yang sayu di halaman belakang. Padepokan yang sudah dihuninya untuk waktu yang lama.
Kiai Bagaswara itu sadar, bahwa usahanya tidak akan dapat berkembang lebih jauh. Ketika ia melihat se"orang diantara dua orang prajurit yang sedang diberinya sesuluh untuk menemukan jalan kembali telah berlari mencari kawan kawannya, maka iapun sadar, bahwa semua usahanya itu akan berakhir.
Orang yang melarikan diri dari jaring yang dipasangnya, memberikan isyarat kepadanya, bahwa akan terjadi hal hal yang tidak diharapkan.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswara justru mendekati padepokannya. Ia melihat ketika Ki Tumenggung dan pasukannya meninggalkan padepokan itu. Dengan ketajaman penggraitannya ia dapat menebak, bahwa Ki Tumenggung justru sedang mencarinya. Dalam kekosongan itulah maka Kiai Bagaswara telah memasuki padepokannya.
Tidak seorangpun yang tinggal " desisnya ketika ia memasuki padepokannya dengan hati hati.
Sebenarnyalah padepokannya memang sudah kosong. Karena itu, maka Kiai Bagaswara dengan leluasa dapat memasuki setiap rumah yang ada dipadepokannya.
Sambil menarik nafas dalam dalam Kiai Bagaswara melihat beberapa jenis barang yang di bawa oleh para prajurit. Ada yang membawa beberapa lembar pakaian yang terbungkus rapi. Ada yang membawa peti kecil yang berisi beberapa macam jimat dan sipat kandel. Namun ada juga yang membawa rangkapan senjata. Dalam per"jalanan mencari Kiai Bagaswara semua prajurit tentu membawa senjata masing masing. Jadi jika masih ada sejenis senjata di padepokan itu, tentu merupakan rangkapan senjata dari prajurit itu.
Ketika Kiai Bagaswara memasuki dapur padepokannya, ia melihat dua ekor binatang buruan yang masih belum dikuliti. Agaknya mereka tergesa gesa menjalankan perintah Ki Tumenggung untuk mencari Kiai Bagaswara.
Namun semua itu hanya membuat hati Kiai Bagaswara menjadi terasa pedih. Dengan langkah yang lemah ia turun ke halaman dan duduk di halaman belakang yang mulai menjadi gelap.
Kiai Bagaswara sudah menduga, bahwa pada suatu saat padepokannya itu tentu akan menjadi sasaran kemarahan Ki Tumenggung Purbarana. Namun Kiai Bagaswara tidak akan dapat mencegahnya jika ia tidak ingin terjadi pembantaian lagi. Siapapun yang akan menjadi korbannya.
" Aku harus berusaha menyelamatkan jiwa sebanyak banyaknya " berkata Kiai Bagaswara.
Namun iapun sadar, bahwa Ki Tumenggung Purba"rana untuk selanjutnya tentu akan menjadi orang yang sangat berbahaya dengan Kiai Santak di tangannya.
Dari beberapa orang yang berhasil dibebaskannya dari cengkeraman kegelapan yang dipancarkan dari jantung Ki Tumenggung Purbarana yang kelam. Kiai Bagas"wara mendengar tujuan Ki Tumenggung. Antara lain disebut sebut Tanah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung atau Mangir. Tetapi yang paling mungkin, Ki Tumeng"gung akan bersiap siap menghadapi Mataram dari arah Barat.
Jilid 181 Untuk beberapa saat Kiai Bagaswara merenung didalam kesuraman. Kesuraman malam dan kesuraman hati. Sulit sekali bagi Kiai Bagaswara untuk menentukan satu pilihan. Sebenarnya ia merasa sangat keberatan untuk membiarkan saja padepokannya yang sudah dihuni-nya bertahun tahun itu akan menjadi sasaran kemarahan orang yang berhati gelap. Tetapi ia tidak mempunyai jalan yang paling baik untuk mencegahnya. Usahanya untuk mempengaruhi pengikut Ki Tumenggung sebanyak-banyaknya ternyata gagal.
Baru beberapa orang yang meninggalkan Ki Tumenggung, sehingga pengaruhnya masih belum terasa. Apalagi apabila Ki Tumenggung berhasil membujuk Ki Linduk. Salah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun Linduk adalah lambang dari kelemahan ilmu. Semakin tinggi ilmunya, maka orang seperti Linduk itu akan menjadi sangat berbahaya. Apalagi apabila Linduk sempat bekerja sama dengan Ki Tumenggung yang juga telah menjadi budak dari kegelapan hati itu.
Namun akhirnya Kiai Bagaswara itu menarik nafas dalam dalam sambil berkata kepada diri sendiri
"Apa boleh buat. Aku harus lebih menghargai jiwa manusia daripada padepokanku. Jika padepokan ini harus musna, maka perlahan lahan aku akan dapat mendirikan bangunnya kembali. Tetapi jika yang terjadi adalah kematian, maka tidak seorangpun yang akan dapat menghidupkannya lagi."
Kiai Bagaswara itupun kemudian bangkit dan melangkah mengelilingi padepokannya. Seakan akan ia masih ingin melihat untuk yang terakhir kalinya. Baru kemudian ia berdesis
"Aku harus pergi ke tempat tempat yang disebut oleh para pengikut Ki Tumenggung. Mudah mudahan orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh mempercayai aku tentang kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas Tanah Perdikan itu. Atas tingkah seorang Tumenggung dengan para pengikutnya yang ingin menghadapi Mataram dari arah Barat. Karena Tumenggung itu berharap, bahwa di daerah Timur, apipun akan menyala dan membakar kuasa Mataram. Jipang dan Pajang tentu akan disibukkan oleh pemberontakan di Madiun, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat banyak terhadap api yang menyala dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka Tanah Perdikan Menorehpun harus bersiap siap".
Namun dalam pada itu, Kiai Bagaswara masih belum dapat membayangkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh atau di Mangir dan sekitarnya. Jika Kiai Tumenggung Purbarana sambil membawa Kiai Santak dan Ki Linduk bersama para muridnya serta mungkin satu dua orang kawan Linduk dari dunia yang gelap, maka memang akan terhimpun satu kekuatan hitam yang nggegirisi. Karena itu, maka telah timbul niat Kiai Bagaswara untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Satu daerah yang paling mungkin dibandingkan dengan tempat tempat lain, yang akan menjadi tujuan Ki Tumenggung Purbarana. Sementara itu dari Tanah Perdikan Menoreh, ia akan dapat pergi ke Mangir yang tidak terlalu jauh letaknya. Namun untuk sampai ke Mangir, maka Ki Tumenggung harus melewati sisi Selatan Tanah Perdikan Menoreh.
Niat Kiai Bagaswarapun menjadi bulat. Ia harus pergi meninggalkan padepokannya. Mungkin in tidak akan dapat menahan diri apabila ia melihat padepokan itu benar benar menjadi sasaran kemarahan ki Tumenggung Purbarana, seorang yang benar benar telah terbenam dalam kegelapan, yang sudah sampai hati membunuh gurunya sendiri dan bahkan sama sekali tidak mencegah pembantaian yang dilakukan oleh para pengikutnya terhadap para cantrik.
Ketika ia sudah melihat sekali lagi bangunan bangunan yang ada di padepokannya itu, maka iapun kemudian melangkah melintasi halaman. Untuk beberapa saat ia berdiri di regol halaman dan memandang kearah padepokannya yang diselubungi oleh kegelapan itu.
Sambil menarik nafas dalam dalam, maka Ki Tumenggungpun kemudian melangkah meninggalkan padepokannya untuk menempuh satu perjalanan yang jauh.
Belum lagi langkah Ki Tumenggung melintasi satu bulak panjang, maka rasa rasanya ia benar benar sudah terpisah dari sesuatu yang selama ini mengikatnya. Padepokan.
"Aku harus melupakannya" berkata Kiai Bagaswara.
Dalam pada itu, dihutan diseberang sungai, Ki Tumenggung mengumpat umpat tidak habis habisnya. Ia sudah merasa bahwa ia akan gagal. Malam itu, Kiai Bagaswara tentu sudah melarikan diri jauh jauh. Ia dapat memanfaatkan gelapnya malam sehingga tidak dapat dilihat oleh paraprajuritnya.
Tetapi perwiranya yang berambut putih menganggap nalar Ki Tumenggung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga ia tidak lagi berpikir dengan bening.
Namun dengan kegagalan itu, maka Ki Tumenggungpun akhirnya memerintahkan para pengikutnya untuk kembali ke padepokan.
Hampir setiap orang didalam pasukan itu menarik na"fas dalam-dalam. Mereka sudah mulai diganggu oleh perasaan lapar. Padahal hasil buruan yang didapat hari itu, masih belum di kuliti. Dengan demikian, apabila mereka sampai dipadepokan, mereka masih belum dapal makati dengan segera, karena beberapa orang diaulara meieka masih harus masak lebih dahulu.
Tetapi bagi mereka saat itu, yang paling baik adalah kembali ke padepokan.
Lewat tengah malam mereka baru memasuki regol padepokan. Padepokan yang sangat gelap. Belum ada lampu yang terpasang.
Karena itu demikian mereka berada didalam padepo"kan, pertama tama beberapa orang telah membuat api dan menyalakan obor. Kemudian mereka mulai memasuki ruang masing masing, sementara beberapa orang yang lain setelah meletakkan senjata mereka, langsung pergi ke dapur.
Ki Tumenggung masih saja mengumpat umpat. Dengan suara geram ia berkata "Kita akan mencarinya dalam satu hari besok. Jika kita tidak berhasil. maka aku tidak akan menunda-nunda lagi keberangkatanku untuk menemui Ki Linduk. Selanjutnya kita menuju ke Mataram dari arah Barat."
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu, Ki Tumenggung Purbarana hampir tidak dapat tidur sama sekali. Kegelisahan, kemarahan dan dendam menyala dihatinya. Bahkan ia menjadi curiga, bahwa dengan tiba-tiba saja paman gurunya tidak datang menyerang padepokannya, sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung Purbarana telah memperingatkan orang orang untuk tidak menjadi lengah.
Tetapi dugaan itu memang masuk akal. Mungkin saja Kiai Bagaswara dengan cantrik-cantriknya tiba tiba saja menyergap di malam buta. Karena itu, maka para pemimpin kelompok telah memerintahkan orang-orang nya untuk bergantian berjaga jaga disamping sekelompok yang memang bertugas di regol dan halaman.
Namun Kiai Bagaswara sama sekali tidak berniat untuk menyerang. Bahkan setiap keinginan unluk menyelesaikan persoalannya dengan kekerasan ia berusaha untuk mencegahnya.
Yang dilakukan oleh Kiai Bagaswara ternyata hanya berusaha untuk memberitahukan bahaya yang mungkin akan datang mengancam sasaran yang sudah ditentukan oleh Ki Tumenggung yang sangat berbahaya itu, apalagi setelah ia menguasai keris Kiai Santak. Dengan demikian Kiai Bagaswara berusaha untuk mencegah pembantaian yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung atas mereka yang sebenarnya tidak bersalah, karena kesalahan itu ada pada Ki Tumenggung sendiri.
Malam itu, padepokan yang dihuni oleh Ki Tumeng"gung dan orang-orangnya tidak terganggu oleh apapun juga. Sebagian besar dari para pengikut itu dapat tidur se"telah mereka keletihan. Bahkan ada diantara para prajurit itu yang sama sekali tidak membersihkan kaki dan bahkan tidak mengganti pakaiannya yang semula basah oleh air rawa-rawa yang kotor, namun yang kemudian telah menjadi keringdengan sendirinya, oleh panas tubuhnya.
Di hari berikutnya, Ki Tumenggung masih memerintahkan beberapa orangnya untuk mencari Kiai Bagaswara. Jika mereka menemukan Kiai Bagaswara di manapun juga, maka mereka harus berusaha untuk membujuknya datang ke padepokan. Jika ia berkeberatan, maka ia harus ditangkap.
"Tetapi kalian harus menyadari, bahwa Paman Ba"gaswara adalah orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi. Karena itu, jika kalian merasa tidak mampu menghadapinya, maka kalian harus mengirimkan isyarat dengan panah sendaren."pesan Kiai Bagaswara."Aku sendiri akan datang menangkapnya. Jika ia melawan, maka Kiai Santak akan segera mengakhiri hidupnya."
Namun ternyata tidak seorangpun diantara para pengikut Ki Tumenggung yang bergerak dalam kelompok kelompok itu menjumpai Kiai Bagaswara karena Kiai Bagaswara sudah ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Memang satu perjalanan yang jauh. Tetapi Kiai Bagaswara di masa mudanya, sebelum ia menetap di sebuah padepokan, adalah seorang pengembara sehingga perjalanan yang panjang itu bukan merupakan satu persoalan yang tidak teratasi.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana benar be"nar telah kehilangan kesabaran. Hari itu benar benar merupakan hari terakhir baginya untuk tinggal di padepo"kan itu. Karena itu, maka iapun kemudian memerin-tahkan semua pengikutnya berkemas.
"Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Persediaan makanan dilumbungpun sudah habis- berkata Ki Tumenggung kepada para perwira yang menjadi pengikutnya.
"Besok kita akan meninggalkan padepokan ini" desis seorang perwiranya.
-Semua harus disiapkan" sahut Ki Tumenggung "jangan ada yang tertinggal"
"Jadi malam ini malam yang terakhir kita dapat tidur nyenyak di sebuah padepokan" gumam pengikutnya yang lain.
"Padepokan ini membuat hatiku semakin terluka terhadap keluarga perguruanku" berkata Ki Tumenggung. Lalu katanya kemudian. -Nah, sekarang semua harus dipersiapkan. Jangan menunggu sampai kita siap untuk berangkat-
Demikianlah, maka para perwira itupun segera kembali ke pasukannya masing masing. Merekapun segera memerintahkan semua prajurit untuk bersiap. Yang membawa sesuatu agar dibenahi sehingga pada saatnya, mereka dapat segera meninggalkan tempat itu. Demikian Ki Tumenggung menjatuhkan perintah, maka mereka se"gera dapat berangkat.
Memang ada keseganan beberapa orang untuk melanjutkan perjalanan yang terasa akan menjadi sangat panjang. Mereka seakan-akan menempuh perjalanan menyusup ke dalam goa yang gelap, dan tidak mengetahui apa yang terdapat didalam goa itu.
Tetapi tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya. Meskipun ada juga yang kecewa, bahwa mereka tidak bertemu dengan Kiai Bagaswara untuk mendapatkan petunjuk, dan memberikan kekuatan batin bagi mereka, untuk meninggalkan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu.
Namun terasa juga kengerian mencengkam jantung. Mereka sadar, bahwa siapapun yang berusaha untuk meninggalkan pasukan itu, maka yang akan dapat pergi hanyalah namanya, karena tubuhnya tentu akan terkapar dengan luka yang tembus sampai ke jantung.
Malam itu, para prajurit berusaha untuk dapat tidur nyenyak. Yang bertugaspun telah mengatur sebaik baiknya, agar mereka sempat beristirahat sebelum menem"puh satu perjalanan yang jauh dan tentu melelahkan.
Tetapi para prajurit itu terkejut ketika tengah malam mereka telah dibangunkan. Ternyata Ki Tumenggung Purbarana tidak mau menunggu sampai pagi.
"Kenapa kita tidak menunggu fajar?" bertanya salah seorang perwiranya.
"Aku ingin melihat api yang membakar semua bangunan. Dimalam hari aku akan melihat nyalanya yang menjilat keudara, lebih jelas dibandingkan dengan cahaya api disiang hari. Aku ingin melihat api itu sepuas puasnya sampai bambu yang terakhir menjadi abu" berkata Ki Tumenggung dengan lantang.
Perwira yang berambut putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat betapa kelamnya sudah hati Ki Tumenggung Purbarana itu.
Tetapi perwira itu sama sekali tidak menyangkal perintah Ki Tumenggung. Ia hanya melihat dengan jan"tung yang berdegup semakin keras, apa yang dilakukan oleh Ki Tumenggung.
Tetapi ternyata niat Ki Tumenggung itu membuat sebagian besar dari orang orangnya menjadi gembira. Ketika Ki Tumenggung menjatuhkan perintah untuk menghancurkan padepokan itu, justru selagi hari masih gelap, maka beberapa orang menyatakan dukungannya.
"Kita akan melihat cahaya kekuatan kita" berkata seorang perwira muda"dalam nyala api yang menjulang kelangit, maka kita akan melihat lambang kemena-ngan-kemenangan."
"Bagus" teriak Ki Tumenggung "keluarkan semua barang yang kalian perlukan untuk dibawa. Kemudian kita akan membakar semua bangunan, bersama-sama. Semakin besar api yang menyala, maka akan semaraklah kegembiraaan kita saat ini. Mudah-mudahan Bagaswara yang licik dan pengecut itu sempat melihat api menjadi semerah darah"
Demikianlah ketika semua barang-barang yang perlu sudah berada ditempat yang jauh dari bangunan-bangunan di padepokan itu, maka beberapa orang mulai menyebar sambil membawa obor. Ada yang membawa obor minyak, ada yang membawa obor jarak rangkap sepuluh. Namun ternyata banyak diantara para prajurit yang ingin ikut menyalakan setiap bangunan yang ada. Bahkan sampai kandang dan lumbung yang dikosongpun telah siap dibakar pula.
Beberapa saat mereka menunggu sebagaimana dipesankan oleh Ki Tumenggung, bahwa mereka akan menyalakan semua bangunan serentak setelah mereka mendengar aba-aba.
Setelah semua siap, maka Ki Tumenggungpun kemudian berteriak menyerukan aba aba, "Bakar sekarang"
Semua orang mulai melekatkan api obornya pada bangunan bangunan yang ada. Mereka mulai membakar dinding dinding bambu dan kayu. Dengan belarak dan ranting ranting kecil yang ditimbun disudut sudut bangunan, mereka berharap bahwa api akan lebih cepat menelan bangunan yang ada.
Sebenarnyalah bangunan bangunan di padepokan itu terdiri dari bahan bahan yang mudah terbakar. Kayu, bambu, ijuk, bahkan kandang yang besar itu beratap jerami.
Karena itu, maka sejenak kemudian, maka apipun kelihatan mulai tumbuh semakin besar. Rumah rumah mulai melontarkankan lidah api keudara. Semakin lama semakin besar, sehingga akhirnya, padepokan itu menjadi lautan api yang mengerikan.
Ki Tumenggung dan para pengikutnya itupun kemudian bergeser menjauh. Api yang semakin besar itu memang memberikan kegembiraan kepada mereka. Ki Tumenggung bahkan bagaikan orang yang kehilangan akal. Dan bahkan berteriak
"Bagus, bertiuplah angin yang kering. Sampai saatnya seisi padepokan ini menjadi debu yang terhambur tidak berarti sama sekali"
Malam itu angin memang bertiup. Meskipun tidak terlalu kencang, tetapi dapat membantu menghembus api yang menyala menggapai gapai langit. Semakin api menjadi besar, maka kegembiraanpun menjadi semakin meningkat. Mereka yang semula tidak begitu tertarik kepada api yang akan menelan padepokan itu, akhirnya ikut pula bersorak sorak. Seakan-akan mereka merasa sebagaimana seorang prajurit yang menang di medan perang.
Namun dalam pada itu, seorang perwira yang berambut putih memandang tingkah laku para prajurit itu dengan hati yang terasa sangat pahit. Ia melihat, seakan akan para prajurit itu sudah kehilangan budi kemanusiaan mereka. Pemusnahan itu ternyata telah memberikan kegembiraan yang sukar dimengerti.
Dalam ketegangan perasaaan yang tidak terkuasai, maka perwira berambut putih itu dengan diam-diam telah bergeser menjauhi api yang menyala semakin besar. Ketika ia berada dibayangan serumpun pring cendani, maka perwira itu justru memperhatikan keadaan disekitarnya. Akhirnya, justru karena para prajurit itu sedang memperhatikan api yang menyala semakin tinggi, maka perwira berambut putih itu dengan mudah dapat meninggalkan mereka dan hilang dibalik dinding regol.
Namun demikian ia melangkah beberapa langkah menjauh, tiba tiba saja diluar dugaan, hampir saja ia membentur sesosok tubuh yang juga sedang melingkari sebuah gerumbul perdu. Dengan serta merta perwira berambut putih itu meloncat surut. Dalam waktu yang sekejap, ditangannya telah tergenggam sebilah pedang.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika dalam keremangan malam ia melihat sosok tubuh yang berdiri dihadapannya, yang juga sudah menggenggam pedang pula.
"Kau kakang" desis sosok tubuh itu.
Perwira berambut putih itu menjadi tegang. Dengan senjata siap ditangan ia berkata
"Ya. Aku memang sudah mengambil keputusan apapun yang terjadi. Jika kau menghalangi aku, maka entahlah, bahwa aku tidak akan dapat mengekang diri"
"Maksudmu, kau akan mencegah aku?" orang itu tiba tiba menggeram, "bagiku, lebih baik aku mati daripada aku harus kembali ke padepokan. Kakang, sebaiknya kau tidak usah menjilat kaki Purbarana dengan berusaha menangkap aku. Kita sudah saling mengetahui kemampuan kita masing masing. Jika kita terlibat dalam pertempuran maka kita tidak akan dapat mengatakan, siapakah yang akan tetap hidup"
Perwira berambut putih itu termangu:mangu mendengar jawaban sosok tubuh yang hampir membenturnya itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, orang itu mendahului, katanya
"Minggirlah. Tidak ada gunanya kita berselisih. Biarlah aku memilih jalanku sendiri. Dan kau memilih jalanmu"
"Kau akan berbuat apa?" bertanya perwira berambut putih itu.
"Jika kau datang untuk mencegah aku, kau tentu sudah tahu, bahwa aku akan melarikan diri dari kekuasaan Ki Tumenggung Purbarana yang sudah menjadi gila itu. Jika aku masih terikat kepadanya, maka akupunakan menjadi gila pula"
Perwira berambut putih itu menarik nafas dalam dalam. Sejenak kemudian iapun justru menyarungkan pedangnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, orang yang datang kemudian itu menggeram "Jangan menghina aku kakang. Kau sangka kau akan dapat menangkap aku tanpa mempergunakan senjata-
Tetapi perwira berambut putih itu tersenyum. Katanya " Tujuan kita sama. Aku juga sudah jemu berada diantara pasukan yang telah kehilangan arah perjuangannya itu. Pada saat Ki Tumenggung Prabadaru masih ada, rasa rasanya kita melihat satu jalan yang panjang yang akan kita tempuh, tetapi rasa rasanya jelas jalan itu menuju kemana. Tetapi sekarang agaknya sudah menjadi berlainan. Kita melihat jalan ini menuju kegelapan tanpa mengetahui apa yang ada didalam kegelapan itu"
Orang yang datang kemudian itu termangu mangu sejenak. Namun iapun kemudian menyarungkan pedangnya pula sambil berkata "Jika demkian, marilah. Kita akan pergi jauh dari Ki Tumenggung itu. Mungkin aku ingin kembali saja ke Pajang, menyerahkan diri dan mohon pengampunan"
Perwira berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Marilah, mumpung orang-orang gila itu sedang menikmati mimpi mereka yang mereka cari diantara jilatan lidah api yang menelan seluruh padepokan yang tidak bersangkut paut dengan dendam yang semula mendorong kita melakukan perjuangan ini."
Demikianlah, keduanyapun kemudian dengan cepat meninggalkan padepokan itu semakin jauh. Sekali sekali mereka berpaling. Jantung mereka serasa berdegup semakin keras jika mereka melihat api yang bagaikan menjilat langit.
Dengan cepat, maka seisi padepokanpun menjadi musna. Api yang mewarnai langit dengan warna darah itu mulai susut. Perlahan-lahan. Namun semuanya sudah menjadi debu. Beberapa orang dipadukuhan yang agak jauh melihat juga api yang menyala itu. Dua orang peronda telah membangunkan kawan-kawannya ketika mereka melihat la"ngit berwarna darah. Namun mereka tidak mengetahui darimana timbulnya warna itu. Apalagi mereka sama se"kali tidak mendengar isyarat apapun juga.
Memang ada yang menyangka bahwa api itu berkobar di padepokan yang mereka kenal. Tetapi yang mengherankan bagi mereka, sama sekali tidak ada isyarat kentongan sama sekali.
"Mungkin mereka membakar jerami"berkata salah seorang dari para peronda.
"Sampai langit menjadi merah?" kawannya bertanya.
Yang pertama termenung sejenak. Namun kemudian katanya "Entahlah. Tetapi sama sekali tidak ada tanda bahaya. Mungkin mereka sengaja membakar sesuatu yang cukup besar sehingga api bagaikan menjilat langit."
"Besok kita akan dapat menengoknya" berkata seorang diantara mereka. Lalu "Sekarang aku akan tidur."
Mereka tidak banyak lagi memperhatikan warna merah dilangit. Meskipun masih ada juga diantara mereka yang duduk duduk di sudut padukuhan sambil melihat warna merah itu.
Sementara itu, api yang menelan seisi padepokan itu sudah mulai mereda. Ki Tumenggung Purbarana memandang api yang susut itu dengan kepuasan tersendiri. Sedangkan beberapa orang justru menjadi kecewa bahwa api akan segera padam sebelum matahan membayang.
Tetapi ketika warna merah dilangit oleh lidah api itu menjadi surut, maka warna fajarlah yang mulai nampak. Namun ternyata bahwa warna merah yang kemudian merata dilangit mempunyai watak yang jauh berbeda dengan warna merah yang sudah susut itu. Warna merah yang dilontarkan oleh cahaya fajar justru memberikan kesegaran menyongsong hari yang akan datang, sedangkan warna merah yang dilontarkan oleh api yang menelan padepokan itu adalah warna maut dan ketamakan.
Dalam pada itu, setelah api menjadi semakin kecil, maka Ki Tumenggungpun telah memerintahkan orang orangnya untuk bersiap siap. Mereka akan segera meninggalkan onggokan abu yang akan segera lenyap ditiup angin. Beberapa batang pepohonan telah ikut menjadi kering dan bahkan terbakar sebegaimana semua bangunan yang ada.
Tetapi ketika para prajurit itu sudah berkumpul, terjadi pula satu keributan. Para prajurit dan Ki Tumeng"gung Purbarana tidak lagi menemukan perwira berambut putih dan seorang perwira muda yang lain.
"Cari sampai dapat. Mungkin mereka pergi kesungai"teriak Ki Tumenggung Purbarana yang mulai marah.
Beberapa orang telah mencarinya kesungai. Tetapi mereka tidak menemukan seorangpun. Perwira berambut putih dan perwira yang seorang lagi itu benar benar telah hilang dari antara mereka seperti beberapa orang prajurit yang hilang sebelumnya.
Kemarahan Ki Tumenggung rasa-rasanya hampir meretakkan dadanya. Beberapa orang prajurit yang pergi itu telah membuat darahnya bagaikan mendidih. Apalagi kemudian dua orang perwira telah meninggalkannya pula. Perwira berambut putih itu adalah perwira yang memiliki pandangan yang luas. Ia dapat memberikan banyak pertimbangan dan bahkan ketajaman penggraitannya banyak memberikan arah pada langkah langkah Ki Tumenggung.
"Gila. Kenapa orang itu mengkhianati aku" Selama ini ia menunjukkan kesetiaannya. Bahkan ia adalah orang yang sangat aku hormati karena sikap dan pendapat pendapatnya" geram Ki Tumenggung.
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun justru karena itu, Ki Tumenggung itu berteriak "He, kenapa" Apakah kalian semuanya tuli atau bisu?"
Beberapa orang hanya saling perpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya tentang kedua orang perwira yang meninggalkan kesatuan itu. Kemarahan Ki Tumenggung menjadi semakin meng-hentak hentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa. Ia tidak tahu, kepada siapa ia harus melontarkan kemarahannya.
Namun kepergian perwira berambut putih dan seorang perwira yang lebih muda itu sama sekali tidak meredakan keinginannya untuk membakar Mataram. Bahkan Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin marah. Ia merasa terhina sekali atas tingkah laku kedua orang perwira yang sebelumnya sangat dekat dengannya.
"Seharusnya mereka minta ijin kepadaku" geram Ki Tumenggung Purbarana.
Tetapi setiap orang mengetahui bahwa hal itu tidak akan mungkin dilakukan oleh kedua orang perwira yang menyingkir itu. Jika mereka minta ijin kepada Ki Tumenggung, maka akibatnya adalah maut. Ujung kens Kiai Santak akan dapat tergores ditubuhnya, dan akibatnya, mereka tidak akan sempat melihat lagi matahari terbit di keesokan harinya.
Dengan kemarahan yang menghentak hentak dada maka Ki Tumenggung itupun segera momerintahkan prajuritnya untuk bersiap. Mereka akan segera mening"galkan padepokan yang sudah menjadi abu itu, menuju kesebuah padepokan yang lain. Padepokan yang dipimpin oleh Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.
Jalan yang akan mereka lalui bukannya jalan yang pendek. Mereka akan menempuh perjalanan yang melingkar. Menyusuri sungai, menuruni lembah dan memanjat lereng lereng perbukitan. Memasuki hutan dan menerobos belukar. Namun merekapun akan melintasi bulak-bulak persawahan dan jalan padukuhan. Ki Tumenggung sudah siap untuk menjawab pertanyaan pertanyaan di perjala"nan tentang pasukannya, sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya. Ki Tumenggung selalu mengatakan bahwa pasukannya adalah pasukan yang mendapat perintah un"tuk memburu para prajurit yang sedang memberontak terhadap kekuasaan yang baru. Mataram.
Sebenarnyalah, bahwa perjalanan pasukan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Sekali sekali mereka merasakan kehausan. Dalam keadaan yang demikian, maka satu satunya yang mereka harapkan adalah air. Di padang perdu yang luas, mereka memang sulit untuk mendapatkan air. Namun, demikian padang perdu itu mereka lintasi, maka merekapun telah berebut menerkam belik belik kecil yang terdapat di lereng perbukitan.
Bahkan kadang-kadang para prajurit itu merasa terlalu sulit untuk menahan lapar, sehingga jika mereka melewati ladang, maka apa saja yang mereka ketemukan, akan menjadi makanan mereka. Ketela pohung, ketela pendem, kacang brol dan apa saja. Bahkan di pategalan mereka telah memetik buah apa saja yang mereka dapatkan.
Namun setiap kali Ki Tumenggung telah membesarkan hati mereka. Ki Tumenggung telah menumbuhkan harapan harapan yang kadang kadang memang hampir pudar sama sekali.
Tetapi jika mereka sampai di padukuhan, dan atas kelicinan Ki Tumenggung mereka menyatakan diri sebagai pasukan yang sedang mengemban tugas dan memburu orang orang yang memberontak, maka mereka telah mendapat sambutan yang dapat menumbuhkan kembali harapan harapan yang sudah memudar itu.
Ternyata perjalanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam sehari. Mereka harus bermalam di perjalanan. Bahkan dua malam. Sekali mereka sempat bermalam disebuah banjar padukuhan. Namun malam berikutnya mereka harus bermalam dipinggir sebuah hutan. Betapa angin malam terasa dingin. Namun mereka sempat mencari binatang buruan. Dari kelinci sampai seekor rusa yang besar telah mereka panggang diatas perapian.
Baru pada hari berikutnya, lewat tengah hari, mereka telah mendekati sebuah padepokan yang besar. Lebih besar dari padepokan Kiai Bagaswara yang telah musna dimakan api.
Namun agaknya padepokan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya itupun terletak di tempat yang terpencil. Bahkan seakan akan terkurung oleh sebuah hutan yang lebat, sehingga padepokan itu terpisah dari kehidupan masarakat kebanyakan.
Namun agaknya Ki Tumenggung Purbarana sudah mengenal tempat itu. Sebagai seorang yang berpanda-ngan tajam, maka sekali ia mengenal tempat itu, maka ia tidak akan melupakannya.
Agar tidak menimbulkan salah paham, maka Ki Tumenggung Purbarana telah memerintahkan para pengikutnya untuk tinggal diluar hutan. Ki Tumenggung sendiri bersama lima orang pengawal terpilihnya telah memasuki hutan dan menuju ke padepokan Ki Linduk yang terpencil itu.
Ternyata bahwa di hutan itu memang terdapat sebuah lorong yang sangat sempit. Lorong yang berkelok-kelok, melintasi daerah yang kadang kadang memang sangat
rimbun dan pepat. Namun akhirnya lorong itu telah membawa Ki Tumenggung muncul disebuah padang yang luas. Seakan akan sebuah hamparan dalaran yang dilindungi oleh dinding yang hijau kehitam hitaman. Di tengah hamparan itu terdapat sebuah bukit kecil. Di bawah bukit kecil itulah Ki Linduk membangun padepokannya, sementara hamparan yang luas itu telah dimanlaatkannya untuk membuat tanah persawahan. Adalah belas kasihan alam yang diberikan kepada Ki Linduk, bahwa sebelah bukit kecil itu mengalir sebuah sungai kecil. Meskipun aimya tidak terlalu deras, tetapi cukup untuk diangkat ke tanah persawahan itu.
Sejenak Ki Tumenggung menjadi ragu ragu. Namun iapun kemudian meneruskan langkahnya. Ki Linduk adalah kawan lama gurunya. Tetapi agaknya jalan mereka memang tidak sejajar, sehingga kadang kadang justru timbul ketegangan. Namun pada saat saat Pajang menjadi panas, Ki Tumenggung telah mencoba menghubunginya lagi diluar pengetahuan gurunya. Tetapi agaknya yang dikehendaki oleh Ki Linduk masih belum sesuai dengan yang disanggupkan oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan kakang Panji. Apalagi kakang Panji saat itu menganggap bahwa kekuatannya sudah cukup besar untuk mengimbangi kekuatan Mataram, sehingga kakang Panji telah melupakan untuk meneruskan hubungannya dengan Ki Linduk yang disebut Ki Sambijaya.
Ternyata Ki Tumenggung dan lima orang pengawalnya itu telah diketahui kehadirannya oleh para cantrik di padepokan itu, sehingga merekapun telah bersiap siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan salah seorang dari merekapun telah melaporkannya pula kepada pemimpin mereka, seorang yang sebenarnya bertubuh tinggi tetapi punggungnya sedikit bongkok dan terdapat semacam sebongkah daging di tengkuknya.
"Siapa orang itu?" bertanya pemimpin padepokan yang tidak lain adalah Ki Linduk itu sendiri.
"Entahlah" jawab cantrik yang melaporkannya" mereka selalu diawasi"
Namun demikian Ki Linduk itupun kemudian telah membenahi diri. Ia yakin bahwa orang itu tentu akan mencarinya. Karena itu, maka pesannya kepada cantrik itu
"Beritahu aku kemudian jika orang itu memang mencari aku"
"Baik guru" jawab cantrik itu.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrikpun telah muncul dihalaman. Seorang putut yang masih muda telah menyongsong Ki Tumenggung Purbarana, sehingga akhirnya keduanya berhenti pada jarak beberapa langkah.
-Ki Sanak" bertanya putut itu, seorang yang berwajah keras, bermata tajam "siapakah kau dan apakah keperluanmu?"
"Aku akan bertemu dengan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya" jawab Ki Tumenggung
"Satu pertanyaanku belum kau jawab, siapakah kau"- desak putut itu.
Ki Tumenggung Purbarana tidak senang terhadap sikap itu. Tetapi ia berusaha untuk mengekang diri, sehingga kemudian iapun menjawab
"Aku adalah Purbarana. seorang Tumenggung dari Pajang"
"Pajang" ulang putut itu "jauh sekali"
"Ya. Karena itu, cepat, sampaikan kepada Ki Linduk, bahwa aku, Tumenggung Purbarana dari Pajang ingin menemuinya" berkata Ki Tumenggung.
Tetapi putut itu memang menjengkelkan sekali. Katanya
"Apakah Ki Tumenggung akan melakukan tindakan sesuatu atas guru" Menurut pengetahuanku, guru tidak pernah melakukan satu kesalahan terhadap Pajang Karena itu, Ki Tumenggung jangan mencoba coba untuk mencurigai guruku."
-Aku ingin bertemu dengan gurumu- potong Ki Temenggung
"persoalannya adalah persoalanku dengan gurumu"
"Aku adalah putut tertua disini jawab putut itu aku memiliki wewenang hampir seperti guruku"
"Tetapi belum seperti gurumu. Nah, sebelum persoalannya bergeser dari persoalan yang baik menjadi suram, aku ingin bertemu dengan gurumu. Kau cukup mengatakannya dan jangan mencoba untuk merusak suasana" geram Ki Tumenggung.
Wajah putut itu menjadi merah. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, tiba tiba saja terdengar suara di pendapa padepokan
"Ki Tumenggung Marilah. Adalah satu kehormatan bagiku untuk menerima kedatangan Ki Tumenggung dipadepokan yang kecil dan kotor ini"
Putut itu berpaling. Ia melihat gurunya berdiri dipendapa. Bahkan kemudian gurunya itu melangkah turun dari tangga pendapa.
"Apakah aku berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana yang pernah datang ke padepokan ini sebelumnya." bertanya Ki Linduk.
"Ya Ki linduk. Aku adalah Purbarana yang pernah datang ke tempat ini" jawab Ki Tumenggung.
"Kau ternyata masih mengingatnya. Bukankah kau datang membawa pesan Panji waktu itu"- bertanya Ki Linduk pula.
"Ya"jawab Ki Tumenggung.
Ki Linduk mengangguk-angguk. Tiba tiba saja ia bertanya
"Bagaimana kabar gurumu, Ki Tumenggung. Gurumu adalah sahabatku, meskipun kadang kadang ada perbedaan sikap dan pandangan hidup diantara kami"
"Guru sudah tidak ada" jawab Ki Tumenggung.
"O" wajah Ki Linduk menegang. -Aneh. Begitu cepat ia meninggalkan kita semuanya. Kenapa" Apakah ia terbunuh atau meninggal karena sakit yang tidak tersembuhkan?"
Sejenak Ki Tumenggung termangu mangu. Namun kemudian katanya
"Seseorang dengan licik telah membunuhnya. Guru terbunuh oleh racun yang sangat kuat. Menurut keterangan para cantrik, guru berhasil meraih obat penawar racun, tetapi tidak sempat meminumnya."
"Bukan main. Tentu racun yang kuat sekali" Ki Linduk mengangguk angguk.
Namun pertanyaan itu tiba tiba saja telah menumbuhkan pikiran baru dihati Ki Tumenggung. Karena itu, katanya
"Salah satu persoalan yang aku bawa adalah persoalan guru itu pula. Aku tahu, bahwa Ki Linduk dalam beberapa hal mempunyai perbedaan sikap dengan guru. Tetapi setelah guru meninggal, maka ada kemungkinan lain yang dapat kita bicarakan."
Ki Linduk mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Marilah. Naiklah kependapa"
"Ki Linduk" berkata Ki Tumenggung "sebenarnya aku datang tidak hanya dengan lima orang pengawal terpilih ini. Aku datang dengan pasukanku"
"Pasukan" Segelar sepapan?" bertanya Ki Linduk.
"Ya. Tetapi aku tidak ingin mengejutkan Ki Linduk, karena itu, maka aku tinggalkan pasukanku diluar hutan."jawab Ki Tumenggung.
Ki Linduk mengangguk angguk. Namun ternyata pemimpin padepokan itu cukup berhati hati. Katanya "Sikapmu sudah baik Ki Tumenggung. Biarlah mereka berada di tempatnya. Kita akan berbicara. Pembicaraan kita akan menentukan, apakah prajurit prajuritmu akan dibenarkan untuk memasuki padepokan ini atau tidak.-
Ki Tumenggung itu mengumpat didalam hatinya. Tetapi ia tidak membantah.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun telah dipersilahkan untuk naik kependapa bersama lima orang pengawalnya. Sementara itu Ki Linduk memerintahkan kepada cantrik cantriknya untuk menjamu Ki Tumenggung.
-Wedang jae Ki Tumenggung. Di padepokan ini hanya ada sejenis wedang jae atau wedang sere" berkata Ki Linduk
Ki Tumenggung berusaha untuk tersenyum. Katanya dengan suara yang liat -Terima kasih Ki Linduk. Aku dapat minum segala macam minuman. Sebagai seorang prajurit minum airpun tidak menjadi persoalan bagiku."
- Ah, meskipun prajurit tetapi pangkat Ki Purbarana adalah Tumenggung. Karena itu, Ki Purbarana tentu mempunyai kebiasaan sebagaimana seorang Tumenggung."berkata Ki Linduk.
Ki Tumenggung tidak membantah. Tetapi sebenarnya ia ingin cepat berbicara, sehingga prajurit prajuritnya tidak menunggu dengan kesal diluar hutan. Bahkan Ki Tumenggung dijamu minuman panas bersama pengawalnya, maka Ki Lindukpun mulai bertanya tentang kunjungan yang tiba tiba saja itu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam dalam. Ketika berpaling kepada para pengawalnya, dilihatnya mereka tidak henti hentinya meneguk minuman hangat yang menyegarkan itu.
" Biariah mereka menikmati minuman hangat itu, Ki Tumenggung. Mereka tentu haus di perjalanan" berkata Ki Linduk.
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia mengumpat didalam hatinya. Sementara itu kelima pengawalnya justru tidak menghiraukan sama sekali bahwa Ki Tumenggung memperhatikannya. Seperti dikatakan oleh Ki Linduk, mereka memang haus. Bahkan selama perjalanan dan bahkan ketika mereka di padepokan yang mereka bakar itu, mereka tidak sempat menghirup minuman sesegar itu, dengan gula kelapa yang berbongkah bongkah.
"Ki Sambijaya" berkata Ki Tumenggung kemudian tanpa menghiraukan lagi orang orangnya yang kehausan
"kedatanganku membawa pesan perjuangan yang tidak boleh putus sepeninggal kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru. Perjuangan itu harus diteruskan sampai datang saatnya, tegaknya sebuah kerajaan yang berlandaskan kepada kebesaran sebagaimana Majapahit pada masa jayanya"
Tetapi Ki Tumenggung menjadi heran, Ki Linduk justru tertawa pendek sambil menyahut "Ki Tumenggung, apakah Ki Tumenggung masih juga memimpikan kekuasaan sebagaimana pernah diimpikan oleh kakang Panji"-
"Bukan memimpikan satu kekuasaan" jawab Ki Tumenggung
"tetapi memimpikan keagungan satu kerajaan ditanah ini. Bukan satu kerajaan kerdil yang semakin lama justru semakin susut dan bahkan akan sampai saatnya Mataram akan menjadi padam sama sekali."
"Jangan begitu Ki Tumenggung- berkata Ki Linduk "aku adalah kawan gurumu meskipun kami mempunyai landasan berpikir yang berbeda. Bahkan gurumu menganggap aku orang yang kadang kadang keluar dari paugeran hidup orang kebanyakan. Dengan demikian aku pernah mendengar serba sedikit tentang Ki Tumenggung. Bukankah pada saat Ki Tumenggung menghubungi aku dalam lingkup perjuangan kakang Panji. Ki Tumenggung berbuat diluar pengetahuan gurumu" Aku yakin bahwa gurumu tidak akan setuju. Sekarang gurumu sudah tidak ada, dan kakang Panjipun sudah tidak ada. Lalu apakah yang sebenarnya kau kehendaki" Aku tidak begitu banyak mengenal kakang Panji. Tetapi menilik ilmunya, maka ia memiliki saluran yang langsung ada hubungannya dengan para pengusaha pada masa Majapahit, sehingga aku yakin, bahwa kakang Panji merasa dirinya keturunan langsung dari Perabu Brawijaya. Karena itu, ia merasa memiliki hak mewarisi kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan dan meledak justru pada saat yang memegang kekuasaan adalah anak Tingkir yang kemudian mengarah kepada penyerahan kekuasaan kepada orang yang bernama Sutawijaya dan pernah disebut Mas Ngabehi Loring Pasar, anak Pemanahan, anak rakyat kecil yang sama sekali tidak memiliki darah keturunan yang pantas untuk mewarisi tahta. Nah, sekarang sebutkan tentang dirimu sendiri, bahwa kau merindukan satu kerajaan yang agung sebagaimana pernah dimiliki oleh Tanah ini.
"Ya. Aku memang merindukan Majapahit. Aku memang tidak mempunyai darah keturunan. Karena itu aku pribadi tidak memimpikan kekuasaan itu" berkata Ki Tumenggung.
"Lalu apa tujuan perjuanganmu?" bertanya Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.
Ki Tumenggung tercenung sejenak. Namun akhirnya ia menjawab -Ki Linduk. Jika aku harus merintis berdirinya satu kerajaan yang besar, maka itu sama sekali bukan satu kesalahan meskipun aku bukan darah keturunan Prabu Brawijaya. Yang aku lakukan hanyalah sekedar merintis, sehingga pada satu saat akan datang apa yang benar benar berhak atas tahta sebagai keturunan langsung dari Majapahit sebagaimana Kakang Panji jika benar ia keturunan langsung Prabu Brawijaya"
"Jika demikian, apa rencanamu?" bertanya Ki Sambijaya
"bukankah kau mengetahui bahwa Mataram memiliki kekuatan yang tidak terlawan."
Bukan tidak terlawan"jawab Ki Tumenggung"tetapi kita memerlukan satu cara untuk melawannya."
Ki Linduk tertawa pula. Katanya "Kau tidak hanya trampil menggerakkan senjata, tetapi kau juga trampil menganyam kata-kata."
"Aku tidak sedang bergurau Ki Linduk" desis Ki Tumenggung.
-O", Ki Linduk masih tertawa. "maaf. Akupun bersung guh-sungguh. Tetapi bersungguh sungguh bukan berarti harus berbicara dengan tegang. Nah, teruskan, bagaimana rencanamu itu?"
"Saat ini Mataram masih belum tegak benar. Sementara itu, di daerah Timur sudah nampak kabut hitam yang menyelubungi Madiun dan sekitarnya. Karena itu maka aku ingin mempergunakan kesempatan ini,langsung memasuki Mataram.Tetapi dari daerah Barat" berkata Ki Tumenggung.
Apakah Ki Tumenggung telah mempelajari keadaan Mataram dibagian barat"- bertanya Ki Linduk.
-Sebagian dari keadaannya sudah kami ketahui" jaawab Ki Tumenggung.
KI Linduk mengangguk-angguk. Namun rasa rasanya masih ada beberapa persoalan yang tersangkut di hatinya. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya
"Ada beberapa hal yang harus Ki Tumenggung perhatikan. Per-tama tentang rencana Ki Tumenggung sendiri. Seakan akan Ki Tumenggung akan sekedar membuka jalan hingga saatnya orang yang dianggap berwenang itu datang. Apakah benar hati Ki Tumenggung sedemikian bersihnya, sehingga Ki Tumenggung sama sekali tidak mempunyai pamrih apa-apa" Katakan, seandainya Ki Tumenggung benar benar seorang yang berhati seputih kapas, maka kita akan menilai kemungkinan yang dapat terjadi untuk menerobos pintu sebelah Barat. Jika Ki Tumenggung baru mengetahui sebagian saja dari keadaannya, maka Ki Tumenggung akan benar benar bermain api dalam genangan minyak."
"Maksud Ki Linduk, bahwa aku sendirilah yang ingin duduk diatas tahta Mataram" Dan yang kedua, bahwa aku belum mengetahui dengan pasti keadaan Tanah Perdikan Menoreh atau Mangir?"
"Ya"jawab Ki Linduk.
"Hal yang demikian memang mungkin. Rara rasanya senang juga menjadi seorang raja. Apalagi aku sudah di.warisi keris guruku. Agaknya aku memang akan mendapat wahyu keraton."jawab Ki Tumenggung" tetapi seandainya tidak demikian, maka aku akan berwenang memilih siapakah yang paling pantas untuk duduk diatas tahta. Aku akan melihat, siapakah yang memang memiliki wahyu itu."
Ki Linduk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di sorot matanya membayangkan keraguan hatinya. Namun dalam pada itu ia berkata"Seandainya demikian, lalu bagaimana dengan pintu sebelah Barat itu"
"Apa lagi yang dicemaskan?"bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung"berkata Ki Linduk "Ki Tumenggung adalah seorang prajurit yang memiliki pengamatan yang tentu jauh lebih tajam dari pengamatanku. Tetapi menurut pendapatku, sebelum Ki Tumenggung memasuki satu daerah, maka Ki Tumenggung harus tahu dengan pasti, apakah yang ada di daerah itu. Karena itu aku ingin menasehatkan agar Ki Tumenggung melangkah lebih berhati hati. Bukan sekedar didorong oleh perasaan yang sedang menyala.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Terima kasih Ki Linduk. Aku akan melakukannya. Tetapi aku ingin penjelasan, bagaimana sikap Ki Linduk menanggapi persoalan yang aku katakan itu."
Ki Linduk mengerutkan keningnya. Kemudian katanya
"Maksud Ki Tumenggung, bahwa aku akan terlibat langsung didalam gerakan Ki Tumenggung itu."
"Ya"jawab Ki Tumenggung.
"Lalu apa keuntunganku?" bertanya Ki Linduk "bukankah dalam tugas ini akan dapat timbul banyak kemungkinan" Misalnya beberapa orang cantrikku akan terluka dan bahkan terbunuh?"
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa halseperti itu akan ditanyakannya. Karena itu, maka seakan akan tanpa berpikir Ki Tumenggung menjawab
"Ki Sambijaya. Hal yang wajar sekali. Sebenarnya Ki Lindukpun tentu sudah mengetahui, apa yang paling baik bagi Ki Linduk."
Ki Linduk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia masih bertanya"Aku tidak mengerti Ki Tumeng"gung."
"Ki Sambijaya" berkata Ki Tumenggung"tentu tidak ada yang lebih baik bagi Ki Sambijaya daripada pengesahan bagi satu wilayah yang luas sebagai Tanah Perdikan. Ki Sambijaya tidak hanya sekedar menjadi seo"rang pemimpin sebuah padepokan kecil seperti ini. Tetapi Ki Sambijaya akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdi"kan."
Ki Linduk tiba tiba saja tertawa. Katanya "Jangan mengajari aku bermimpi Ki Tumenggung. Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. Tidak ada yang menarik bagiku untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan itu."
Wajah Ki Tumenggung tiba-tiba saja menjadi tegang. Dipandanginya Ki Linduk dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Kemudian dengan suara datar ia bertanya,
"Apa yang kau kehendaki Ki Linduk?"
"Ki Tumenggung. Aku sudah mengerti sepenuhnya apa yang akan kau lakukan dan apa yang kau perlukan dari aku. Aku tidak berkeberatan, tetapi aku tetap mengajukan syarat seperti yang pernah aku katakan kepada kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru. Namun agaknya tidak mendapat tanggapan sebagaimana wajarnya. Bahkan mereka tidak lagi pernah menghubungi aku sam"pai akhirnya keduanya terbunuh dipeperangan" jawab Ki Linduk.
"Apa yang kau kehendaki?" bertanya Ki Tumenggung.
"Tentu sesuatu yang bermanfaat bagiku" jawab Ki Linduk
"aku kira Ki Tumenggung juga mendengarnya pada waktu itu."
"Ki Linduk menghendaki isi seluruh wilayah Mataram?"bertanya Ki Tumenggung dengan tegang.
"Jangan tergesa-gesa"jawab Ki Linduk sambil tertawa
"aku waktu itu memang menghendaki isi seluruh kota Mataram. Maksudku, sebagai satu pasukan yang mbedah kutha mboyong putri, maka aku akan mendapat-kan harta benda yang ada di Mataram. Aku memang tidak memerlukan seorang putripun. Sehingga karena itu, maka yang kami inginkan adalah kekayaan yang tersim-pan di Mataram. Sementara itu, kalian akan menda-patkan kotanya yang akan dapat kalian bangun menjadi pusat pemerintahan, atau akan kalian hancurkan sama sekali untuk kemudian mendirikan satu pusat pemerin"tahan yang baru didaerah Timur sebagaimana masa keja-yaan Majapahit."
"Dan syarat itu masih tetap?"bertanya Ki Tumeng"gung.
"Aku memang berpikir seperti itu. Pada waktu kakang Panji berusaha memecah Mataram, agaknya ia memang berkeberatan untuk memenuhi permintaan ini, karena banyak sekali pihak yang terlibat, sehingga jika semua menuntut hak seperti itu, maka akhirnya justru akan menjadi kacau. Namun sekarang kita tidak akan melibatkan banyak pihak. Karena itu, maka kita dapat membicarakannya lebih baik" jawab Ki Linduk.
Punggung Ki Tumenggung menjadi semakin basah oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuhnya. Namun untuk sementara Ki Tumenggung masih berdiam diri. Dibiarkannya Ki Sambijaya mengucapkan tuntutannya bagi kerja sama yang sedang mereka persiapkan.
Dalam pada itu, maka Ki Sambijaya itu berkata seterusnya " Tetapi mungkin Ki Tumenggung berkeberatan untuk mulai membicarakannya tentang Mataram. Karena nampaknya Ki Tumenggung akan mengambil satu tempat sebagai alas untuk menyusun kekuatan menghadapi Mataram. Karena itu, agaknya yang ingin di tundukkan dahulu oleh Ki Tumenggung adalah kekuatan di pintu Barat. Tanah Perdikan Menoreh misalnya. Jika demikian, maka tuntutankupun menyusut sebagaimana sasaran perjuangan Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung menghendaki Tanah Perdikan Menoreh, maka yang ingin kami miliki adalah isi dari Tanah Perdikan itu. Sementara Ki Tumenggung akan dapat menyusun kekuatan diatas Tanah Perdikan itu dengan mengikut sertakan anak anak mudanya. Jika mereka menolak, Ki Tumenggung dapat saja mengancam untuk membunuh mereka, atau isterinya, atau ibunya atau siapa saja."
Wajah Ki Tumenggung menegang. Dengan nada berat ia berkata" Ki Linduk, sebenarnya bukan hanya Ki Linduk yang akan aku hubungi. Aku juga akan menghubungi paman Warak Ireng."
"He?" kening Ki Linduk berkerut. Namun kemudian katanya"Terserah saja kepada Ki Tumenggung."
"Bagaimana jika paman Warak Ireng juga menghendaki sebagaimana kau kehendaki?" bertanya Ki Tumenggung.
"Dapat saja dibicarakan. Jika Warak Ireng ikut, maka tugas kamipun menjadi semakin ringan. Adalah wajar jika imbalannyapun susut. Biarlah isi Tanah Perdikan kami bagi berdua, sebagaimana berlaku pula pada daerah daerah lain yang ingin kita tundukkan. Mungkin Mangir, mungkin daerah daerah lain. Juga Mataram kelak pada saatnya" jawab Ki Sambijaya.
"Bagaimana kalian akan membagi" "bertanya Ki Tumenggung.
"Dasarnya adalah untung untungan. Kita membagi Tanah Perdikan dan sasaran-sasaran yang lain berdasarkan atas daerah itu. Kita menentukan satu jalan atau jalur yang lain, parit, sungai atau batas-batas yang lain. Diseberang menyeberang batas itulah daerah kami masing masing" jawab Ki Linduk.
Jantung Ki Tumenggung berdegup semakin keras. Permintaan itu sebenarnya tidak masuk akal.
Ki Linduk yang melihat keragu raguan dihati Ki Tumenggung berkata "Ki Tumenggung, dengan demikian maka seandai orang jual beli; kita tidak lagi berhutang atau berpihutang. Tetapi jika Ki Tumenggung menjanjikan untuk memberikan Tanah Perdikan, mengangkat menjadi orang berpangkat atau seorang Senapati, atau apapun kelak, maka hal itu hanya akan memancing permusuhan. Berbeda dengan caraku ini. Kita tidak lagi terikat pada perjanjian apapun juga dikemudian hari. Setelah kau menduduki Mataram atau daerah yang lebih kecil, kau dapat berbuat apa saja atas rakyat dan daerah itu, sementara kami hanya akan mengambil kekayaan yang ada, sebagaimana umumnya orang menang perang."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya kekayaan itu akan dapat dipergunakan sebagai modal untuk meneruskan perjuangan. Tanpa ada kekayaan yang dapat dikumpulkan, maka pasukan yang akan dibentuk tidak akan memiliki kekuatan. Tidak ada bahan makanan, pakaian dan melengkapi peralatan. Karena itu, maka Tumenggungpun berkata
" Ki Linduk. Jika demikian, maka kami tidak akan dapat melangkah lebih lanjut. Kami menduduki satu daerah yang mis-kin sekali. Bagaimana dengan pasukan yang terbentuk kemudian. Dengan kekayaan yang ada, kami dapat menyiapkan bekal dan peralatan."
Ki Linduk tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata
"Kau benar juga Ki Tumenggung. Jika demikian, maka seluruh kekayaan itu akan kita bagi tiga. Aku, Warak Ireng dan Ki Tumenggung sendiri. Menurut dugaanku, di Tanah Perdikan Menoreh cukup tersimpan kekayaan itu. Di satu rumah saja, mungkin kita akan dapat menemukan dua tiga keris bermata berlian. Timang tretes intan dan perhiasan perhiasan yang lain da"ri emas."
Empat Dedengkot Pulau Karang 1 Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Pendekar Tanpa Tanding 1