Dosa Yang Tersembunyi 3
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi Bagian 3
"Aku merasa tidak perlu memberitahukannya karena temanku banyak sekali. Disa
jadi Mbak tidak mengenalnya."
Saraswati sudah mau mendesak ketika tiba-tiba ter-
dengar lolongan anjing dari kejauhan. Keduanya merasa kalau bulu kuduk mereka
merinding seketika.
"Jip itu agaknya tidak mengikuti kita lagi. Sebaiknya kita masuk saja." ajaknya
dengan nada dengan dan terus membuka pintu mobil, sementara Christine akhirnya
pun mengikuti. "Kita langsung pulang saja. Hen." katanya lagi. Tapi pria itu tidak menjawab.
Kepalanya tertunduk mencium
kemudi. "Kita pulang saja. Hen." ulangnya sambil menepuk lengan pria itu.
Perlahan Hendri mengangkat kepalanya, kemudian me-
noleh pada Saraswati. Gadis itu terperanjat kaget ketika melihat sepasang mata
pria itu memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan.
"Hendri, kamu kenapa?" tanyanya kaget.
Christine yang melihat keadaan itu, kaget luar biasa. Apa yang dikhawatirkannya
kini telah terbukti. Putri Dayang Sari telah datang dan menyusup ke tubuh
saudara sepupunya itu. "Mbak, cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya seraya
membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu.
Reflek Saraswati keluar. Mestinya ia tidak percaya begitu saja dan meyakinkan
dulu apa yang terjadi dengan pria itu, namun perasaannya mengatakan ada bahaya
mengancam di depan mata, dan ia harus menghindarinya.
Keduanya bergandengan dan siap kabur sekencang-
kencangnya dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja sosok Hendri telah berdiri di
hadapan mereka dalam jarak sekitar empat meter. Muncul begitu saja dalam gerakan
secepat kilat. "Kau tidak akan bisa lari ke mana-mana..." ancam pria itu dengan suara parau,
mirip dengan suara wanita.
Kemudian mendekat kedua gadis itu perlahan-lahan.
Saraswati mundur ke belakang, diikuti oleh Christine.
"Hendri, kenapa jadi begini" Apa yang terjadi padamu"
Sadarlah, apakah kau tidak mengenali kami?"
Pria itu diam tak menjawab. Hanya langkah-langkah
kakinya saja yang kian mendekat. Kedua gadis itu tidak tahu harus ke mana ketika
punggung mereka menempel ke bodi mobil.
"Siapa sebenarnya kau" Apa yang kau inginkan?" tanya Christine memberanikan
diri. Pria itu tidak peduli, bahkan tidak memalingkan perhatiannya sedikit pun.
"Kaukah Putri Dayang Sari itu?" tanya Christine.
Mendengar itu baru Hendri memalingkan perhatian
kepadanya, dan gadis itu bergidik ngeri saat mata mereka beradu pandang.
Ketakutannya begitu kuat menyusup ke dalam hati, dan semangatnya seperti terbang
entah ke mana. Sementara itu Hendri telah kembali mencurahkan perhatian pada Saraswati sambil
terus melangkah mendekati.
"Hari ini kau tidak akan lolos lagi." katanya menggeram.
Saraswati bergeser ke kanan, dan ketika lengan kanan Hendri melesat ke arah
lehernya, ia merunduk menghindar.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke arah dada pria itu. Cuma
terdengar suara gedebug pelan namun tidak mampu menggoyahkan pria itu.
Sebaliknya Hendri kelihatan marah. Kedua tangannya diayunkan untuk men-cekik
leher gadis itu yang lelah melompat mencari tempat yang lega. Saraswati melompat
ke kanan, bermaksud
menghindari, tapi pria itu mengejar dengan kaki kanannya yang menghantam salah
satu lutut kaki bagian belakang gadis itu.
Saraswati menjerit kesakitan. Pria itu langsung menerkam, dan dalam keadaan
begitu ia masih sempat meng-hindarkan diri sambil bergulingan dan berusaha
bangun meski dengan posisi kedua kaki yang belum begitu kokoh, dan belum siap
menghadapi serangan pria itu yang cepat dan ganas.
Hendri cepat bangkit dan berdiri, dan menghampiri
gadis itu perlahan-lahan. Tangannya terjulur ke arah leher korban, dan kali ini
Saraswati kembali coba berkelit. Dia tidak mau mengambil resiko dengan menangkis
karena dianggapnya itu lebih berbahaya. Saat gadis itu bergeser ke belakang,
Hendri menerkamnya dengan gesit. Saraswati coba menjatuhkan diri, namun sebelah
lengannya kena di-cekal dan langsung ditarik. Tenaga pria itu kuat luar biasa,
karena dengan sekejap saja gadis itu telah berada dalam cengkramannya.
"Jangan...!" teriak Christine ketika melihat tangan pria itu yang kini telah
ditumbuhi kuku-kuku yang panjang, dan entah bagaimana bisa begitu siap
menghunjam leher
Saraswati. "Aku akan menghajarmu dengan kayu ini,"
Lanjutnya mengancam dengan sepotong kayu di tangannya, dan perlahan mendekati
pria itu. Pria itu menoleh padanya dengan sorot mata meng-
ancam. "Lepaskan dia! Aku bersungguh-sungguh akan menghajarmu!" bentaknya seraya terus
mendekat dengan hati-hati.
Hendri menggeram, dan tanpa mempedulikan ancaman
gadis itu dia mengayunkan kuku-kuku jarinya ke leher Saraswati yang sudah tidak
berdaya. Dengan memompakan keberaniannya Christine lang-
sung menghantamkan kayu di tangannya ke tengkuk
sepupunya itu. Hendri menggeram dan menangkis kayu itu sampai patah. Bukan cuma
itu, ia kembali menggeram marah dan tiba-tiba saja tangannya telah mencengkeram
leher baju Christine dan menghempaskan gadis itu sampai tersungkur ke belakang.
"Aku telah memperingatkanmu. Kalau kau coba lagi
halangi, maka kau akan mati lebih dulu!" ancam pria itu dengan suaranya yang
parau. Christine yang merasa tulang-tulangnya linu, tak mem-perdulikan keadaannya, juga
ancaman pria itu. Kembaii dia meraih sepotong kayu yang lebih besar yang
terdapat di sekitar situ, dan dengan bernafsu bermaksud menghajar saudara
sepupunya itu. "Kau mau mampus lebih dulu rupanya!" geram pria itu seraya menghempaskan tubuh
Saraswati dan bersiap
menghadapi serangan Christine.
Bersamaan dengan melesatnya kayu di tangan gadis itu, maka saat itu pula
meluncur sebuah jip yang langsung berhenti di dekat mereka pada jarak tiga
meter. Lampu mobil yang terang benderang menyilaukan pria itu
sehingga terpaksa ia menghalangi matanya dengan
sebelah tangan.
"Prak! Kayu yang dihantamkan Christine tepat menghajar kepalanya. Pria itu
terhuyung-huyung ke belakang untuk sesaat, namun tidak terlihat sedikit pun
darah dari kepalanya. Bahkan sedikit pun ia tidak merasa sakit.
Agaknya pukulan kayu itu cuma sekedar mendorong tubuhnya saja.
"Christine, cepat menyingkir dari situ!" teriak salah seorang pengendara jip
yang tak lain dari Anjar dan sobatnya Danang. Keduanya langsung keluar dari
mobil begitu jip itu berhenti. Anjar mendekati Christine, sementara Danang
membantu Saraswati.
Melihat kehadiran kedua pria itu. Hendri kelihatan marah sekali. Sorot matanya
bersinar terang, seperti mengancam mereka berempat. Untuk menghabisi korban yang
satu ini agaknya ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat, tidak seperti
korban-korban yang lain. Korban kali ini harus tertunda beberapa lama, dan
selatu terhalang setiap kali ada kesempatan untuk menghabismya. Tapi kali ini
agaknya kesabarannya tidak bisa menenangkannya lagi.
Keempat manusia harus ikut menjadi korban. Anggap saja sebagai tumbal dari
pekerjaannya yang sulit.
"Bagus! Kalian selalu menghalangi pekerjaanku, maka jangan salahkan kalau kalian
pun harus mati sia-sia."
*** ADRIAN MAPALADKA
5 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
endri tegak berdiri mengawasi mereka satu persatu.
Di antara keempat orang itu yang dipandangnya
H paling lemah adalah Christine yang saat itu berada dekat dengan Anjar. Dia
telah mengetahui kalau Danang mempunyai kemampuan yang cukup lumayan. Begitu
juga halnya dengan Saraswati. Meski keadaan gadis itu saat ini agak lemah, tapi
dia pasti sedikit banyak mampu
memberikan perlawanan. Sedangkan Anjar sama sekali tidak diketahuinya, yang
jelas dia menyadari kalau pemuda itu tidak memiliki kemampuan ilmu batin seperti
temannya. Kini kedua orang yang dianggapnya terlemah di antara keempat orang itu berada
dalam posisi yang saling
berdekatan, maka dengan sekali hajar mereka pasti tewas.
"Anjar, awas..." teriak Danang memperingatkan ketika Hendri melompat
menerkamnya. Anjar mendorong tubuh Christine ke samping sementara dia siap-siap menyambut
serangan lawan. Begitu kedua tangan Hendri hendak mencengkeram lehernya, dengan
berani ditangkapnya kedua pergelangan tangan lawan, dan sambil menjatuhkan diri
ke tanah, kedua kakinya menendang ke ulu hati lawan hingga membuat Hendri
terpental ke belakang.
Mahluk itu sama sekali tidak menduga gerakan lawan tadi. Dengan gusar ia cepat
bangkit dan berbalik serta kembali melompat menerkam Anjar dengan penasaran.
Tetapi kali ini agaknya Danang tidak tinggal diam. Dari arah samping ia
melayangkan tendangan ke perut lawan.
Hendri menangkisnya dengan menekuk sebelah lututnya pada saat melayang itu
kemudian langsung berbalik sambil mengayunkan cakar ke muka lawan. Sementara
Danang yang sedang jumpalitan dengan memanfaatkan benturan antara telapak kakinya
dengan lutut lawan tadi menyilang-kan kedua tangan menutupi wajah dan bagian
dadanya. Gerakan mahluk itu cepat bukan nain. Kalau saja pada saat itu Anjar tidak
bergerak cepat dengan mengayunkan tendangan memutar ke pinggang lawan mungkin
sobatnya itu kena dicakar oleh Hendri.
Untuk kedua kalinya mahluk itu terhuyung-huyung akibat tendangan Anjar. Sepasang
matanya memandang buas ke arah pemuda itu. Penuh dendam dan amarah. Pemuda
yang dianggapnya lemah itu ternyata boleh juga, dan tidak bisa dibuat main-main.
Kalau lawan merasa heran, maka demikian pula halnya dengan Anjar. Dua kali
tendangannya tadi kuat sekali, dan kalau orang biasa, mungkin bisa jadi tulang-
tulangnya akan patah. Tapi mahluk yang dihadapinya sama sekali tidak merasa
kesakitan. "Hebat juga kau. Kukira kau sama sekali tidak berisi."
Puji Danang ketika mereka merapat dan siap menghadapi serangan mahluk itu
berikutnya "Lumayanlah. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo, meski belum sampai Dan
III." "Pantas..." Ucapan Danang terhenti ketika Hendri telah melompat menerkam mereka
berdua. Kali ini gerakannya semakin cepat, dan terasa hawa amarah yang begitu
hebat. Sebelah tangannya menyapu kedua wajah pemuda itu,
dan saat kedua lawan melompat ke belakang untuk menghindar, ia terus menerkam
Anjar, lawan yang dianggap telah mempermainkannya.
Anjar terus melompat dan menghindar dari serangan
lawan sebisa-bisanya. Seolah-olah ia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk
bernafas. Kedua tangan lawan berkelebat menyambar-nyambar wajah dan dadanya,
sehingga ketika suatu saat ia tidak sempat berkelit, maka dengan untung-untungan
ia coba menangkap pergelangan tangan lawan, kemudian bermaksud menjatuhkan diri
untuk membanting lawan. Namun yang terjadi justru pergelangan tangannya langsung
ditangkap oleh tangan lawan yang sebelah lagi, dan tanpa diduganya sama sekali
tubuhnya terbetot kuat dan melayang deras menghantam tanah.
Sementara Danang yang coba mencuri kesempatan itu
dengan mengirimkan tendangan malah menjerit kesakitan pahanya justru yang
dihajar lebih dulu oleh lawan saat Hendri berbalik ke arahnya dengan tiba-tiba.
Hendri kemudian langsung mengejar Anjar yang belum sempat bangun. Pemuda itu
terkesiap lalu bergulingan, namun betis kirinya sempat kena cakar lawan. Sambil
meringis kesakitan ia berusaha melakukan koprol ke belakang menghindari serangan
lawan berikutnya. Tapi lagi-lagi ia mengaduh kesakitan saat kuku-kuku lawan yang
panjang dan runcing sempat menggores punggungnya. Dan Hendri yang gerakannya
semakin cepat saja langsung melompat ke arahnya, padahal posisi Anjar sama
sekali tidak menguntungkan. Melihat keadaan itu, meski dengan ter-tatih-tatih,
Danang memberanikan diri melompat dan memeluk Hendri dari arah belakang.
"Hiih!" Mahluk itu membungkuk dan membanting tubuh Danang ke tanah sampai
terdengar suara bergedebum seperti nangka jatuh, kemudian secepat kilat
mengangkat sebelah kakinya untuk menginjak dada lawan.
"Jahanam!" Anjar menggeram marah. Tanpa mempedulikan keselamatnya dia menyeruduk
lawan seperti banteng mengamuk. Injakan lawan memang luput dari sasaran
karena tubuh Hendri terdorong ke belakang, namun akibatnya sungguh fatal bagi
Anjar karena seketika itu juga makhluk itu mencengkeram kedua pinggangnya sampai
kuku-kukunya melesak ke dalam tubuhnya.
"Anjaaaar...!" teriak Danang dan Saraswati hampir bersamaan ketika terdengar keluh
kesakitan dari mulut Anjar.
Tubuhnya dibanting dengan keras dan melayang ke
belakang lawan.
"Periksa lukanya dan bantu sebisa mungkin!" teriak Danang pada Saraswati saat
gadis itu berlari mengejar tubuh Anjar. Sementara ia sendiri mencabut sebilah
kujang dari balik bajunya dan lompat menyerang Hendri yang bersiap hendak
membunuh Anjar yang sedang tidak berdaya.
Kali ini Danang tidak main-main lagi. Dia mengerahkan semua kemampuan yang
dimilikinya untuk melawan
mahluk itu. Yang ada di benaknya saat ini bukan lagi menyelamatkan Saraswati
dari incaran mahluk itu, tapi bagaimana caranya dia membunuh mahluk itu agar
mereka tidak terbunuh lebih dulu.
Sementara itu Saraswati agak panik melihat tubuh Anjar yang menggelepar-gelepar
seperti ayam disembelih dan dari kedua pinggangnya mengucur darah segar.
"Anjar, kau tidak apa-apa bukan" Kau tidak apa-apa, kan"!"
Pemuda itu masih menggelepar kesakitan. Seluruh
tulang tubuhnya terasa remuk akibat bantingan Hendri dan kedua pinggangnya
terasa nyeri sekali. Saraswati mengeluarkan sapu tangan untuk menutupi luka itu,
dan merogoh sapu tangan Anjar di saku celananya untuk menutupi luka yang satu
lagi. "Maaf aku terpaksa merobek bajumu untuk menutupi
dan mengikat lukamu." katanya seraya merobek baju pemuda itu. Selesai mengikat
kedua luka di pinggang pemuda itu, ia bersimpuh di tanah dan memangku kepala
Anjar di alas pahanya.
"Anjar, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!"
isaknya dengan air mata yang mulai menggenangi kedua kelopak mata. "Maafkan aku,
maafkan aku, Sayang."
lanjutnya sambil membelai-belai rambut pemuda itu.
Anjar yang merasa denyut nafasnya terasa berat dan pandangannya agak sedikit
kabur dan sukmanya seperti hendak melayang dan tubuhnya, menguatkan diri
mendengar isak tangis gadis itu.
"A--Aku minta maaf..." katanya dengan suara berat dan perlahan.
"Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu." sahut Saraswati cepat.
"Tentang... foto itu... memang aku yang mengambil. Ta-Tapi... aku punya
alasan..... karena Hendri ada dalam fo...
foto itu. A-Aku ti.. tidak ingin hubungan ... kalian rusak...
gara-gara itu..."
"Kau..."!"Saraswati tersentak kaget, dan itu membuktikan bahwa ia belum melihat
jelas siapa orang yang kena jepret kameranya tempo hari, dan yang jelas orang
itulah yang bermaksud membunuh Maya. "Jadi... Hendri"
Kenapa" Kenapa tidak kau beritahukan padaku"!"
Anjar tidak menjawab hanya berusaha tersenyum.
Tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Danang.
Tubuhnya terhempas di dekat Anjar, dan kujang yang tadi ada dalam genggamannya
terpental dekat kaki Saraswati.
Keduanya bisa melihat kalau perut Danang merah oleh darah. Pemuda itu meringis
kesakitan dan merobek baju untuk mcmbalut lukanya sambil duduk bersila.
Hendri tegak berdiri memandangi mereka. Tawanya
mengema membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar. "Hi hi hi...! Tidak seorang pun yang boleh menghalangi sumpahku. Kalian mahluk-
mahluk nista, tak pantas hidup lebih lama. Bersiaplah untuk mati."
Wajahnya mendadak berubah kelam dan menakutkan.
Kedua tangannya diangkat memperlihatkan kesepuluh jari yang kini memiliki kuku
yang panjang dan runcing. Dengan sekali lompatan ia mampu membabat mereka semua
tanpa mengalami kesulitan.
Tapi mendadak ia menghentikan niatnya sesaat ketika melihat perubahan pada diri
Danang. Sebenarnya tidak tepat dikatakan perubahan. Pemuda itu menggerak-gerak-
kan kedua lengan, dan perlahan lahan bertiup angin di sekeliling tubuhnya yang
semakin lama semakin kencang.
Tubuhnya bergetar dan mulutnya komat-kamit seperti melawan dengan sorot tmta
setajam pisau. Siapa pun
sepertinya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh terjadi pada Danang, hanya
mereka tidak bisa menjelaskan selain Hendri yang saat ini sedang dikuasai roh
Putri Dayang Sari.
"Hm, kau boleh juga, Anak Muda. Tapi pembantumu itu tidak akan bisa berbuat
banyak terhadapku." Dan Putri Dayang Sari membuktikan kata-katanya ketika
tubuhnya melompat laksana kilat menerkam lawan.
Pada saat yang bersamaan tubuh Danang pun melesat
tak kalah cepatnya menyambut serangan. Gerakan yang dilakukan keduanya begitu
cepat sehingga mereka seperti gasing yang sedang berputar saat saling pukul dan
hantam. Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama ketika terdengar teriakan Danang,
bersamaan dengan tubuhnya
yang terlempar ke belakang sejauh kurang lebih lima meter. Masih sempat terlihat
luka di bagian dadanya yang memerah berbentuk telapak tangan akibat pukulan
lawan. Danang berguling-gulingan ke sana-kemari sambil menjerit-jerit kesakitan. Anjar
dan Saraswati yang coba mendekat, malah terjerembab terkena hajaran kakinya
tanpa disengaja.
"Danang, kamu kenapa" Apa yang terjadi padamu?"
Anjar mendekat sobatnya itu dengan muka pucat dan hati khawatir. Dilihatnya
Danang amat menderita sekali.
"Panas...! Panaaas...!" keluh Danang sambil terus kelojotan seperti cacing
dibakar. "Cari air, cepat! Basahi tubuhnya dengan air!" teriak Anjar pada Saraswati.
Gadis itu mengangguk, dan langsung berdiri. Tapi
langkahnya dihadang Hendri.
"Kau tidak akan pergi kemana-mana." dengusnya dengan sorot mata mengancam, dan
perlahan mendekati gadis itu yang membuat langkah Saraswati terhenti, bahkan
perlahan mundur mendekai Anjar.
"Kurang ajar!" Anjar menggeram marah. Diraihnya senjata Danang yang tergeletak
tidak jauh dari tempatnya, dan dengan sudah payah sambil menahan nyeri di bagian
parut ia bangkit berdiri dengan sikap menantang kepada Putri Dayang Sari.
"Iblis terkutuk! Hari ini akan kita tentukan apakah aku yang mati atau kau yang
bakal mampus" dengusnya dengan kemarahan yang meluap sambil mengacungkan
kujang di tangannya ke atas. Tak lama terdengar suara yang parau dengan nada
tinggi. "Oh, nenek moyangku Eyang Wanara Bodas. Dengan perantara senjata
pusakamu ini berkatilah cucumu untuk membasmi iblis terkutuk ini!"
Putri Dayang Sari sesaat tercekat. Dahinya berkerut dan matanya seperti tidak
berkedip memandang pemuda di hadapannya.
Entah dari mana Anjar menemukan akal-akalan seperti itu. Ia sendiri tidak yakin
kalau lawan akan menggigil ketakutan bila ia mengaitkan dirinya dengan Wanara
Bodas. Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri,
maka untuk itu ia harus berspekulasi.
Dan sesaat ia merasa spekulasinya mendatangkan hasil melihat perubahan mimik
lawan. Tapi hal itu hanya
sebentar, karena selanjutnya terdengar suara tawa Putri Dayang Sari yang
melecehkan. "Hi hi hi...! Dasar anak tolol. Kau kira bisa menakutiku dengan senjata
rongsokan itu" Ketahuilah sesungguhnya Wanara Bodas tidak pernah memiliki
senjata apapun selama hidupnya. Jadi mana bisa kupercaya bila sekarang kau menakutiku dengan
benda itu."
Anjar terkejut, tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kenyataannya akan
begitu. Dan mana mungkin ia tidak mempercayai penjelasan roh Putri Dayang Sari
kalau pada kenyataan pengetahuannya tidak ada seujung kuku tentang Wanara Bodas
dibanding lawan.
Kini habislah mereka. Tak ada yang bisa dilakukan lagi untuk menyelamatkan diri
"Bersiaplah untuk mampus!" desis roh Putri Dayang Sari yang ada dalam raga
Letnan Hendri. Kedua tangan dengan kuku kuku runcing yang tadi sempat
diturunkan, kembali diangkat. Sepasang matanya yang berkilau mcmancarkan cahaya
hijau kebiru-biruan. Tapi bersamaan dengan itu mendadak bertiup angin kencang di
sekitar mereka.
Bulan yang tadi coba mengintip di balik awan kini tertutup kabut tebal, disusul
menggelegarnya suara petir.
Angin kembali menderu-deru, menggoncangkan dahan-
dahan pohon serta menggugurkan sebagian daun-daunnya dan menerbangkannya ke
segala arah bersama dengan
debu-debu tanah serta kerikil-kerikil.
Saraswati yang berada di belakang tubuh Anjar
kelihatan semakin bingung dan ketakutan. Sementara Christine perlahan-lahan
mendekati mereka. Sedangkan Danang, dalam keadaan sakit yang bukan kepalang,
merasakan suatu keanehan. Hanya saja ia tidak bisa menduga dari mana datangnya
kekuatan itu. Bisa jadi tenaga itu dikerahkan oleh roh Putri Dayang Sari untuk
membunuh mereka dalam sekali tepuk.
Kalau mereka merasa bingung dan ketakutan, agaknya kekhawatiran itupun dirasakan
oleh roh Putri Dayang Sari.
Ia bisa merasakan kekuatan lain yang hadir di tempat mereka, meski belum bisa
memastikan dan mana
datangnya. Kilat kembali muncul. Datang seperti dari perut langit, dan membelah bumi
diikuti oleh suara guntur yang
menggelegar. "Aaaargh...!!" Anjar yang masih berdiri tegak, tiba-tiba saja berteriak keras
sekali dengan tubuh mengejang seperti disengat aliran listrik berdaya tinggi.
"Anjar" Anjar...!" panggil Saraswati khawatir. Ada apa denganmu?"
Pemuda itu tidak mempedulikannya, ataupun mungkin
tidak mendengar. Tubuhnya kejang-kejang sambil terus berteriak. Bersamaan dengan
itu menderu angin kencang mengelilingi tubuhnya seperti angin puting beliung dan
melemparkan Saraswati, Christine serta Danang yang berada di dekatnya.
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Begitu angin
kencang yang mengelilingi tubuhnya reda. Anjar tegak berdiri di tempatnya semula
dengan sepasang mata me-
mandang tajam ke arah lawan laksana sembilu yang mengiris jantung.
"Bagus. Kau punya ilmu simpanan rupanya. Akan kulihat sampai di mana
kemampuanmu." dengus roh Putri Dayang Sari terus melompat menerkam lawan
diiringi teriakan yang menggetarkan bulu roma.
Anjar membalas dengan menghantamkan telapak
tangan kirinya ke depan. Pada saat itu juga menderu angin laksana badai topan
yang langsung menghantam lawan.
Putri Dayang Sari terkejut bukan main. Tubuhnya terpental jungkir balik ke
belakang sambil mengeluarkan jerit kesakitan. Dan pada saat yang bersamaan tubuh
Anjar melesat bagai anak panah lepas dari busur mengejar lawan.
Putri Dayang Sari bukan tidak menyadari bahaya yang mengancam. Ia mengibaskan
sebelah tangan sebelum
kakinya menyentuh tanah, dan sebentar saja terlihat asap hitam tebal menyelimuti
tubuhnya dalam radius kira-kira dua meter lebih.
"Heaaa...!" Anjar membentak keras sambil hantamkan telapak tangan kirinya ke
depan. Angin badai yang
didatangkannya langsung membuyarkan asap hitam itu sampai tidak bersisa. Tapi
lawan tidak terlihat. Raib seperti ditelan bumi. Ia mematung sesaat lamanya
sambil melirik ke segala arah lewat sudut matanya.
Setelah ditunggu sesaat tidak juga muncul. Anjar membuat lingkaran di tanah
berdiameter satu meter setengah lewat ujung kujang yang masih dalam
genggamannya. Kemudian setelah itu membagi lingkaran ke dalam empat buah garis yang sating
berpotongan. Tiap ruang dalam potongan garis itu dicorat-coretnya dengan gambar
sesuatu yang tidak begitu jelas. Kemudian sesudahnya ujung kujang ditancapkannya
tepat di tengah-tengah lingkaran hingga melesak lebih dari separuh panjang
senjata itu. "Hiih!" Tanah di sekitar mereka bergoncang seperti dilanda gempa tak lama
setelah senjata itu dibenamkan ke bumi. Persis dari tiap-tiap diagonal garis
yang diguratkan dalam lingkaran itu bergerak memanjang. Seolah-olah dari dalam
tanah ada mahluk-mahluk yang bergerak cepat ke segala penjuru.
Saraswati, Christine, dan Danang merasakan hal itu.
Namun tidak berakibat fatal bagi mereka. Demikian pula ketika gerakan-gerakan di
bawah permukaan tanah itu menghantam batu atau pepohonan. Tidak ada suatu
kejadian istimewa. Namun mendadak terdengar jerit
kesakitan dari balik rerimbunan pohon di belakang Anjar, yang disusul melesatnya
bayangan hitam ke arahnya.
Pemuda itu tidak berusaha menghindar, tapi berbalik cepat dan hantamkan kedua
telapak tangannya ke arah tubuh Putri Dayang Sari. Terdengar suara berdentum
pelan dua kali diikuti oleh terhempasnya tubuh Letnan Hendri ke belakang. Samar-
samar terlihat bayangan perempuan
berambut panjang yang keluar dari punggung letnan polisi itu. "Keluar!" bentak
Anjar sambil lepaskan pukulan yang ketiga ke arah lawan.
Tubuh Letnan Hendri terhcmpas seperti sehelai bulu tertiup angin. Sementara
bayangan perempuan yang tadi terlihat samar-samar di punggungnya melesat ke
atas, lalu dengan gerakan berputar turun ke bumi dan tegak berdiri di hadapan
Anjar pada jarak sekitar tujuh meter.
Kini bayangannya yang samar tadi kelihatan lebih jelas.
Wajah perempuan cantik itu berbentuk bujur sirih dan mengenakan pakaian keraton
jaman dahulu yang terbuat dari sutera. Rambutnya panjang sekali hingga ujungnya
sampai menyentuh tanah.
Pandangannya tajam saat beradu pandang dengan
pemuda itu, dan raut wajahnya diliputi perasaan heran.
"Kakang Wanara, aku yakin. Cuma engkau yang memiliki ajian Tapak Angin," katanya
pelan, namun tetap bisa didengar oleh mereka yang berada di situ. "Mengapa"
Mengapa kau lakukan ini padaku?"
"Tindakanmu sungguh keterlaluan Dayang Sari. Dan aku tidak bisa membiarkanmu
berbuat sekehendak hatimu."
sahut Anjar dengan suara yang tidak kalah halusnya. "Kau hampir saja membunuh
cucuku." Paras wanita itu semakin heran saja mendengar
jawaban Anjar. "Cucumu" Bagainana mungkin?"
"Kau mungkin lupa. Sebelum berkenalan denganmu aku telah menikah dengan putri
Begawan Sapta Waringin, dan punya seorang putra sebelum istriku meninggal saat
me-lahirkan putra kami," jelas Anjar.
Perempuan itu terdiam untuk bebecrapa saat, kemudian tersenyum lalu tertawa
halus "Hi hi hi...! Malang benar nasibku. Kukira nasibmu sama malangnya dengan
diriku, tapi siapa nyana ternyata engkau pernah mengecap ke-bahagiaan."
Mendadak wajahnya menjadi kaku saat kembali me-
mandang pemuda itu. Bahkan terbias hawa dendam dan amarah.
"Kakang, aku salah menilaimu. Ternyata kau sama saja dengan lelaki lain. Kau
pengkhianat, dan tidak sepenuh hati mencintaiku. Di mulut kau katakan
mencintaiku, tapi hatimu tetap untuk istrimu yang telah tiada itu. Bahkan sampai
sekarang kau masih menunjukkan cintamu dengan membela anak cucumu." dengus Putri
Dayang Sari. "Itu tidak benar," tangkis Anjar yang saat ini raganya sedang disusupi roh
Wanara Bodas. "Aku cuma tidak suka dengan caramu main bunuh sembarangan. Mereka
tidak punya sangkut-paut denganmu, dan sama sekali tidak kenal denganmu. Mengapa
kau lampiaskan dendammu
kepada mereka?"
"Aku justru berbuat kebaikan dengan memberi pelajaran pada orang-orang yang
berhati buruk dan tidak mengenal cinta yang lulus."
"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri" Apakah yang kau perbuat terhadapku bisa
dikatakan baik?"
"Aku tidak mau berdebat denganmu, Kakang. Minggir-lah! Aku akan tetap menghabisi
mereka." "Kalau begitu jangan salahkan kalau aku terpaksa harus memberi palajaran
padamu." Dan agaknya Wanara Bodas tidak ingin didahului. Ia mengayunkan tangan
dan menghantam gagang senjata kujang yang masih tertancap di tengah lingkaran
sampai melesak ke dalam bumi. Bersamaan dengan itu pula terdengar guncangan
hebat yang disusul dengan retaknya permukaan tanah di sekitar tempat itu.
Saraswati sibuk menyelamatkan diri sambil menggotong tubuh Danang. Sementara
Christine yang semula hendak menyelamatkan diri, ingat dengan tubuh Hendri yang
masih tergeletak tak sadarkan diri, dan buru-buru membawanya ke tempat yang
aman. Sementara itu Putri Dayang Sari tidak tinggal diam.
Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah lawan sambil mengayunkan selendang tipis.
Senjatanya itu kelihatan remeh. bahkan panjangnya tidak lebih dari dua meter.
Tapi begitu menyentuh lawan langsung membelit dan membungkus tubuh Anjar seperti
mumi dan membuatnya berputar laksana gasing. Yang lebih mengherankan,
selendang itu terus bertambah panjang dan seperti tiada habis-habisnya.
"Maaf, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin memper-lakukanmu seperti ini. Tapi
karena engkau menghalangi niatku, aku tidak punya pilihan."
Selendang itu terus membungkus tubuh Anjar, dan
membuatnya berputar-putar dalam posisi tetap seperti semula. Tapi kalau Putri
Dayang Sari mengira sudah mampu melumpuhkan lawan, agaknya sia-sia belaka,
sebab perlahan-lahan tubuh Anjar berputar semakin cepat.
Tidak lagi mengikuti irama gulungan selendang itu. Dan tiba-tiba melesat ke
atas, masih dalam keadaan berputar.
Pada saat yang bersamaan terdengar suara guntur yang menggelegar seperti
menghantam tubuh itu. Anjar
berteriak keras. Selendang pembalut tubuhnya hancur berantakan.
Putri Dayang Sari tersentak kaget. Meski selendangnya tipis, tapi itu bukan
senjata main-main. Senjata keramat itu bekerja seperti karet, semakin diikat
kuat maka ia akan menekan benda yang diikatnya sampai remuk, dan selama ini
tidak ada yang bisa lolos dari senjatanya. Tapi Wanara Bodas bukan saja bisa
melepaskan diri, bahkan meng-hancurkan senjatanya itu.
Selarik cahaya kilat kembali muncul. Tubuh Anjar bergerak cepat sekali seolah
hendak menangkap ujung
cahaya itu, lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan.
Putri Dayang Sari terkesiap tak sempat mengelak.
Cahaya kilat itu seperti berbelok ke arahnya dan meng-hantamnya tanpa ampun.
Untuk sedetik terdengar jeritnya tertahan sebelum tubuh itu lenyap meninggalkan
debu halus. Anjar tegak berdiri seperti mematung memandangi
tempat dimana wanita tadi menghilang. Hal itu dilakukannya lama sekali tanpa
mempedulikan keadaan di se-
keliling. Saraswati tidak berani mendekat. Khawatir ada kejadian aneh lagi di tempat ini.
Ia hanya mendiamkan saja sambil memandangi pemuda itu dengan mata tidak
berkedip. Sementara itu pelahan-lahan alam kembali tenang.
Kabut gelap yang tadi menyelimuti langit, perlahan me-mudar sehingga terlihat
bulan yang menyembul, perlahan menerangi tempat itu. Geledek dan petir yang tadi
acap terdengar kini menghilang entah ke mana. Sementara angin malam bertiup
sepoi-sepoi secara wajar. Keadaan itu membangkitkan keberanian Saraswati.
Perlahan ia bangkit berdiri dan mendekati Anjar.
"Jar, kamu tidak apa-apa?" sapanya takut-takut.
Perlahan pemuda itu membalikkan tubuh. Saraswati
sempat melihat muka si pemuda pucat, namun sorot
matanya normal seperti biasa.
"Kamu tidak apa-apa?"
Anjar tersenyum kecil, lalu menggeleng.
"Sungguh kamu tidak apa-apa?"
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku baik-baik saja..."
Saraswati semakin dekat. Kedua mata mereka saling
pandang. Dan entah siapa yang memulai, mungkin juga Saraswati karena sejak tadi
hatinya terasa diaduk-aduk oleh kejadian ini. Ia memeluk Anjar erat-erat dan me-
numpahkan kekhawatirannya sejak tadi.
"Aku takut, takut sekali. Aku mencemaskanmu..." bisik-nya lembut.
"Tenanglah. Keadaan sudah aman, dan tak ada lagi yang perlu kau takutkan," bujuk
Anjar. Saraswati melepaskan pelukannya dan memandangi
wajah pemuda itu dengan kening berkerut. Benarkah kau cucu Wanara Bodas, dan..."
Anjar tersenyum. "Aku sendiri baru tahu setelah
kejadian ini. Dan kamu tidak perlu takut. Leluhurku itu sudah pergi, beberapa
saat sebelum kau menghampiriku."
Saraswati bernafas lega. Syukurlah keadaan sudah
aman Tapi aku tetap masih merasa takut..."
"Aku juga tidak sepemberani yang kau pikirkan. Kita semua merasakan ketakutan
itu. Tapi saat ini keadaan sudah aman." sahut Anjar sambil melirik Hendri yang
masih belum sadarkan diri dan sedang ditunggui Christine.
"Pulanglah. Aku sendiri harus merawat Danang. Hendri tidak apa-apa. Sebentar
lagipun dia akan sadar." lanjutnya seraya melangkah mendekati Danang.
"Anjar." panggil Saras yang membuat langkah pemuda itu terhenti dan menoleh
padanya. Melihat itu Saraswati tidak tahu apa yang mesti diucapkannya selain
menundukkan kepala bingung bercampur malu.
"Ada apa?" tanya Anjar lembut seraya mendekatinya.
"Aku... Aku..."
Anjar tersenyum sambil pegangi kedua bahu gadis itu.
"Kau tidak perlu khawatir. Hendri tidak apa-apa.
Percayalah, menurut Eyang Wanara Bodas ia akan sadar dengan sendirinya..."
"Bukan itu maksudku!" tukas Saraswati.
Perlahan diangkatnya kepala dan memberanikan diri
untuk membalas pandangan pemuda itu.
"Kalau kau mengira diantara kami ada hubungan selain teman kau salah besar,
katanya menegaskan "Bagaimanapun aku.....aku masih..."
Saraswati tak melanjutkan kalimatnya saat telunjuk pemuda itu menempel di
bibirnya. "Sudahlah. Nanti saja kita bahas hal itu. Saat ini ada hal yang lebih
penting. Aku harus mengobati luka Danang seperti yang diajarkan leluhurku tadi
sebelum beliau pergi. Lalu setelah itu membawanya ke rumah sakit."
"Tapi..."
Anjar tidak mempedulikan gadis itu. Ia menghampiri sobatnya yang masih meringis
kesakitan. Anjar duduk bersila didekatnya. Meraup segenggam tanah, lalu mulutnya
berkomat-kamit dan setelah itu menaburi dada Danang dengan tanah dalam
genggamannya sambil mengusap-usapnya dengan halus.
"Bagaimana?" tanyanya setelah beberapa saat
kemudian. "Apa ada perubahan?"
"Mendingan. Tubuhku terasa sejuk. Panas itu tidak terasa lagi, dan nyerinya
perlahan-lahan mulai reda.
Bagaimana dengan lukamu sendiri?"
"Aku tidak apa-apa. Keadaanmu lebih ku pentingkan.
Mana mungkin kau kuabaikan sementara kau telah mem-bantuku mati-matian." Anjar
tersenyum dan kali ini mengusap-usap punggung sahabatnya itu. "Aku tidak tahu
harus bagaimana membalas kebaikanmu. Seandainya saja kau tewas, aku akan
menyesal seumur hidupku."
"Sudahlah. Jangan keterlaluan. Kau adalah temanku, dan sudah sepatutnya aku
menolong bila kau mengalami kesusahan. Danang balas menepuk-nepuk pundak
sobatnya itu, lalu melirik Saraswati yang berdiri di belakang Anjar, sebelum
menoleh pada Letnan Hendri yang sedang ditunggui Christine. Pria itu agaknya
belum sadarkan diri.
"Kita harus melihat keadaannya." lanjut Danang seraya bangkit berdiri
menghampiri. "Dia tidak apa-apa," sahut Anjar dengan perasaan enggan untuk mengikuti.
Sebentar lagi juga siuman."
"Akan lama prosesnya kalau tidak dibantu." sahut Danang tak mempedulikan ucapan
Anjar. Ada beberapa faktor yang membuatnya harus meng-
hampiri Lelnan Hendri: yang pertama, sebagai sesama manusia ia harus menolong
mereka yang membutuhkan; kedua, ia merasa ada yang mesti diselesaikan antara
Anjar dan Saraswati dan itu sifatnya pribadi, sehingga tak patut ia berada di
dekat mereka; dan ketiga, mungkin ada baiknya ia membicarakan sesuatu dengan
letnan polisi itu seputar masalah yang menimpa dirinya.
Anjar memang mengurungkan niat mengikuti langkah
sobatnya itu. Bukan saja karena ia merasa enggan, tapi juga karena Saraswati
ikut menahannya. Lagipula Danang lebih tahu soal menyadarkan orang pingsan
ketimbang dirinya.
"Aku tidak menyalahkan kalau kau membenciku..." ucap Saras lirih.
"Aku tidak merasa membencimu." sahut Anjar sambil tersenyum kecil.
Saras menoleh padanya. "Aku minta maaf..."
"Aku juga salah..."
"Tidak. Aku yang salah, terlalu ego dalam hubungan kita.
Sekali lagi aku minta maaf..."
"Sudahlah." Anjar meraih lengan gadis itu dan Saras membiarkan saja. "Aku sudah
memaafkanmu. Bahkan aku sudah berusaha melapangkan dada melihat hubunganmu
dengan Letnan Hendri..."
"Jangan teruskan!" tukas Saras. "Aku tidak mau kau menganggap aku punya hubungan
serius dalam soal
asmara dengannya. Hubungan kami biasa-biasa saja. Aku akan bicara padanya."
lanjutnya seraya melirik ke arah Letnan Hendri, dan melihat kalau pria itu telah
siuman dan sedang ngobrol dengan Danang.
Dan tanpa menunggu persetujuan Anjar. Gadis itu melangkah ke sana. Anjar melihat
Saras menarik lengan pria itu ke tempat yang agak jauh. Mereka ngobrol beberapa
saat sebelum keduanya melangkah mendekatinya diikuti oleh Danang dan Christine.
Anjar jadi merasa tak enak hati. Dilihatnya wajah pria itu masih pucat, dan
sekilas tubuhnya agak lemah. Dalam kepucatan wajahnya itu tergambar kemurungan
dan kelesuan. Entah apa yang dibicarakan Saraswati padanya, tapi yang bisa diduga
barangkali itu sesuatu yang
mengecewakannya.
Meski begitu ia berusaha tersenyum saat berdiri di hadapan Anjar.
"Aku tak tahu harus bilang apa, kejadian ini membuat kita semua menjadi tegang.
Tapi syukurlah semua sudah berakhir, dan kita kembali bisa bernafas lega."
Anjar mengangguk. "Ya, aku berharap ini tidak akan ter-ulang kembali. Tentu saja
kita berharap setelah ini akan lebih mawas diri, dan tidak cepat-cepat mengambil
keputusan untuk menyalahkan seseorang yang sebenarnya tidak bersalah."
Letnan Hendri mengernyitkan alisnya sedikit. Ia coba mencerna kata kata lawan
bicaranya. Untuk siapakah kata-kata itu ditujukan" Untuk dirinya atau mereka
semua" Tapi ia tidak mau berlama lama memikirkannya, seperti ia juga tidak mau berlama-
lama setelah pembicaraannya dengan Saraswati tadi. Saraswati telah memilih, dan
ia mesti bisa menerima keputusan itu.
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
katanya pelan. "Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan diriku "
"Sama-sama." sahut Anjar. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan."
"Suatu saat bila kau butuh bantuanku, jangan sungkan-sungkan datang kepadaku.
Aku akan berusaha menolong dengan sekuat kemampuanku."
"Terima kasih." sahut Anjar. "Ng... kurasa saat ini aku butuh bantuanmu."
"Soal apa?"
Anjar mendekati lotnan polisi itu, dan berbisik di telinganya. Belum lama aku
baca di koran salah seorang korban bernama Maya, dan ia dibunuh oleh kekasihnya
bernama Boy yang saat ini meringkuk di penjara sebagai tertuduh. Maukah Anda
membebaskannya?" Kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit keras sehingga
lapat-lapat Saraswati bisa mendengarnya.
Letnan polisi itu mengernyitkan dahi.
"Percayalah," sambung Anjar, dan kali ini tanpa berbisik lagi sehingga yang
lainnya bisa mendengarkan, ia bukan apa-apaku, dan sama sekali belum pernah
kukenal. Alasanku sederhana: yang tidak bersalah tidak boleh dihukum."
Hendri diam beberapa saat lamanya sebelum
mengangguk. "Baiklah. Akan kuusahakan." katanya.
"Terima kasih. Aku tahu Anda orang yang jujur," sahut Anjar sebelum Hendri dan
Christine berbalik meninggalkan mereka menuju mobil.
Sepeninggal mereka Saraswati jadi penasaran, dan
mungkin juga karena kebiasaannya sebagai wartawati, ia ingin tahu apa yang
dibicarakan Anjar saat berbisik tadi pada Hendri.
"Apakah hal itu perlu?"
"Sekedar ingin tahu saja."
"Baiklah." sahut Anjar setelah menghela nafas panjang.
"Kau kenal dengan gadis bernama Maya?"
"Ya. Gadis ilu tewas mengenaskan. Memangnya
kenapa?" "Siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus
pembunuhannya?"
"Seorang pemuda bernama Boy."
"Nah, aku meminta Hendri untuk membebaskan
pemuda itu."
"Lho, memangnya kenapa" Apakah dia masih ada
hubungan saudara denganmu?"
"Sama sekali tidak!"
"Lalu?"
"Karena dia tidak bersalah?"
"Mengapa kamu begitu yakin dia tidak bersalah sedang kau sendiri tidak
mengenalnya?"
"Ingat foto-foto yang kuambil dari rumahmu" Orang yang kau jepret itu adalah
Hendri. Fakta itu tidak bisa dibohongi." sahut Anjar.
"Ya, kau benar." sahut Saraswati, kemudian menggeleng lemah sambil mendecah
karena sulit baginya untuk
mempercayai hal itu. Betapa tidak" Hendri yang
dianggapnya jujur, pada malam itu memberi alasan yang berbeda. Mengapa dia mesti
mengarang cerita"
"Tapi dia menceritakan padaku bahwa fakta-fakta menunjukkan kalau Boy itulah
pelakunya." lanjut Saraswati untuk memuaskan rasa penasarannya.
"Teori pembunuhan yang dilakukan Putri Dayang Sari tidak salah. Orang yang
dikhianati selamat, yang
berkhianat menjadi korban, dan orang ketiga adalah pembunuhnya. Foto itu
menunjukkan kalau Hendri yang sedang kemasukan roh Putri Dayang Sari berusaha
membunuh Maya, sehingga dengan begitu kita bisa
langsung menebak: Hendri orang ketiga, Maya berkhianat, sedangkan Boy adalah
orang yang dikhinati." jelas Anjar.
"Ya, aku sempat mendengar selentingan kalau Hendri berhubungan dengan Maya, tapi
aku tidak mempedulikannya. Yang kuherankan, mengapa ia
mengkambing hitamkan Boy?"
"Sudah itu urusannya. Tidak perlu direka-reka
maksudnya. Malam semakin larut. Ayo, kita mesti pulang."
ajak Anjar seraya melangkah ke mobil diikuti Saraswati dan Danang.
Sepeninggal mereka di tempat itu bertiup angin kencang yang diikuti munculnya
kilat yang memandang seperti hendak membelah bumi. Bersamaan dengan terdengarnya
suara gemuruh, sebatang pohon asam yang batangnya
cukup besar roboh dan sebagian besar daun-daunnya
gosong disambar petir. Batang pohon asam itu menimpa sebuah rumah tua yang
memang sudah rusak berat, dan membuatnya hancur berantakan!
TAMAT QT BEGOAH 3 SERIAL JONI KUCAI
JONI CARI PENGALAMAN III
etelah di turunkan dari bus. Joni celingak-celinguk memandang sekelilingnya
Menunggu bus lainnya
S yang mungkin lewat. Tapi selagi Joni menunggu bus, tiba-tiba sebuah sepeda
motor datang menghampiri.
Pengendaranya seorang lelaki muda memakai helm dan jaket.
"Mau ke mana, Dik" Mari saya antar!" kata si lelaki sambil tersenyum tampangnya
ramah. "Ah, nggak terima kasih."
"Alah, jangan malu-malu, Dik. Ayo, naik aja. Ke mana sih tujuan adik nanti saya
antar." "Saya mau ke lampu merah dekat pos polisi."
"Oh, itu. Saya tahu. Ayo naik!" Karena merasa dipaksa Jonipun lalu membonceng
motor itu. "Nah, begitu. Nggak usah malu. Tapi, kamu harus
pegangan yang kencang. Karena kita akan terbang di atas aspal!" kata si lelaki
sambil tancap gas. Sepeda motornya melesat di antara keramaian jalan raya, tanpa
peduli diri Joni yang ketakutan setengah mati.
"Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti jatuh bagaimana?" teriak Joni ketakutan.
"Jangan takut, Dik. Kalau jatuh paling-paling ke bawah!"
"Memang ke bawah, yang bilang orang jatuh itu ke atas, siapa" Tapi kan sakit.
Lagi pula kalau sampai jatuh biaya rumah sakit mahal, kasihan Emak saya."
"Tenang aja, Dik. Nggak bakal kita jatuh, percaya deh!"
kata si lelaki sambil tancap gas lagi, sehingga suara tawa si lelaki terdengar,
di antara suara jerit ketakutan Joni.
"Aduh, Bang! Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti saya bisa pingsan nih!" teriak
Joni. "Kalau kamu mau pingsan, ya pingsan aja deh. Asal jangan lupa tetap pegangan
agar kamu nggak jatuh!"
"Bagaimana mungkin bisa!"
"Kalau nggak bisa ya sudah. Kamu tenang aja. Sebentar lagi kita bakal sampai
kok." "Sampai?"
"Ya, tuh, lampu merahnya sudah kelihatan. Pos polisinya juga sudah kelihatan."
"Mana?"
"Itu..!"
"O, iya betul. Lekas berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Joni tak sabar lagi.
Meskipun motor belum berhenti Joni sudah melompat dari atas boncengan mirip
Rambo. Hup! Tapi saying, lompatan Joni tidak mulus. Karena terlalu tergesa-gesa
akibatnya tubuh Joni jatuh tersungkur di aspal!
"Aduh!" teriak Joni kesakitan. Membuat si lelaki pengendara motor itu wajahnya
berubah memucat.
"Aduh, Dik! Kenapa motor belum berhenti kamu sudah melompat" Untung saja kaki
kamu nggak patah, kepala kamu nggak bocor, dan tangan kamu nggak keseleo!"
"Tapi, pinggang saya sakitnya minta ampun. Sepertinya tulang saya patah!" kata
Joni sambil meringis kesakitan.
"Apa" Patah" Gawat! Kenapa urusan jadi begini" Wah, wah, ini sih alamat aku yang
bakal kena menanggung ongkos berobatnya!" ujar si lelaki panik. Wajahnya semakin
nampak pucat. "Sudah Dik begini saja. Kamu nggak usah bayar ongkos ojeg motornya deh. Saya
nggak minta bayaran, sungguh.
Saya rela. Saya cuma ngantar saja. Sekarang saya pergi dulu ya..!" kata si
lelaki pada Joni yang ternyata adalah seorang tukang ojeg motor. Karena menduga
Joni mengalami luka parah lelaki itu ketakutan langsung dia tancap gas, kabur
meninggalkan Joni yang berdiri bengong.
"Astaga! Jadi tadi sebenarnya aku harus bayar ongkos naik motor itu" Minta
ampun! Uang dari mana" Untung saja tadi aku terjatuh, kalau nggak...?" Joni
tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap dirinya tidak mempunyai
uang. Bisa jadi juga semua pakaian Joni diambil untuk ganti membayar ongkos.
Bila semua itu sampai terjadi, Joni bisa seperti tarzan kota! Aduh malunya minta
ampun. Membayangkan semua itu dada Joni jadi sesak, matanya jadi berkunang-
kunang, dan akhirnya Joni jatuh pingsan! Tapi sebelumnya Joni mencari tempat
yang agak teduh, agar saat dirinya pingsan tidak kepanasan kena sinar matahari!
Cukup lama juga Joni pingsan, tidak tahu apa yang
terjadi terhadap dirinya. Hanya ketika ia sadar dari pingsannya tubuh Joni
berada diatas sebuah tempat tidur yang kasurnya empuk dalam sebuah ruangan kamar
yang cukup rapi, tidak seperti kamarnya. Tapi sepintas Joni memandang, ia telah
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu kalau dirinya bukan berada dalam sebuah uang perawatan rumah sakit. Entah
di mana, Joni belum dapat memastikan. Membuat dirinya jadi penasaran bertanya-tanya
sendiri dalam hati. Atau..
apakah ini yang dinamakan alam akherat" Mendadak bulu Joni berdiri, rasa
takutnyapun timbul. Tiba-tiba Joni berteriak-teriak.
"Tolong...! Tolong...! Aku belum mau mati. Aku masih kepingin hidup lama di
dunia. lagipula aku belum pernah kena SDSB! Jadi.....tolonglah aku Tuhan! Aku
belum mau matiiiii...!" Joni berteriak-teriak seperti orang kalap, hingga
mengakibatkan sprei, bantal dan guling acak-acakan.
"Tenang, Nak! Tenang! Rupanya kamu telah sadar.
Jangan berteriak teriak seperti itu, malu didengar orang!"
tiba-tiba terdengar suara seorang wanita datang menghampiri. Ketika Joni
menolehkan kepalanya memandang ke arah suara itu, nampak sepasang suami istri
setengah baya sedang memandang ke arah dirinya sambil tersenyum ramah.
"Benar, Nak. Lagi pula lukamu itu masih belum sembuh benar, jadi jangan kamu
banyak bergerak dulu." timbal yang lelaki, suami perempuan setengah baya itu.
"Di mana saya" Di mana saya" Apakah saya ini sudah berada di akherat?" tanya
Joni, matanya masih nampak beringas dan wajahnya seperti ketakutan. Memandang
seputar ruangan kamar itu.
Mendengar ucapan Joni kedua suami istri itu tersenyum.
"Tenang, Nak. Tenang. Kamu berada di rumah kami, bukan di akherat!" kata si ibu
sambil tersenyum.
"Benar, Nak. Kami telah menemukan dirimu di pinggir jalan dalam keadaan pingsan.
Lalu kami membawanya
kemari!" timpal si bapak.
"Oh, jadi Bapak dan Ibu yang telah menolong diri saya"
Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya tidak akan dapat melupakan budi
kebaikan Bapak dan Ibu. Semoga aja
Bapak dan ibu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!"
"Hus, kami belum mati, Nak!
"Oh, maaf. Maksud saya, semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu mendapat paha dari
Tuhan." "Hus, pahala!"
"Oh, maaf lagi. Ya pahala dari Tuhan!"
"Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, bukankah kita sebagai manusia hidup
wajib harus saling tolong
menolong?"
"Benar, Bu. Benar, Pak. Tapi... apakah Bapak dan Ibu mau menolong diri saya
sekali lagi?"
"Tentu saja mau, Nak. Menolong apa" tanya si ibu.
Joni tak menjawab cuma garuk-garuk perutnya sambil ccngar-cengir.
"Oh, kamu lapar" Astaga, bilang dong! Sebentar ya ibu ambilkan makanan!" kata si
ibu yang rupanya mengerti dengan isyarat yang dilakukan Joni.
Tak berapa lama si ibu telah kembali lagi sambil
membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.
"Nah, makanlah biar kenyang. Tapi maaf, seadanya.
Karena hari ini secara kebetulan ibu tidak pergi ke pasar."
"Oh, nggak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Malah ada di suatu tempat yang
sama sekali sulit untuk
mendapatkan makanan!"
"Ah, yang benar Jon?"
"Benar."
"Di mana itu?"
"Di Somalia."
"Astaga! Ibu sampai kaget. Ibu kira di Indonesia."
"Kamu ini mbokya yang benar saja, Bu. Rakyat
Indonesia kan semua hidup subur makmur sedikitpun tidak bakal kekurangan sandang
dan pangan, iya kan Jon?"
"Betul, Bu. Lihat saja saking makmurnya, sawah-sawah sekarang ini sudah banyak
yang berubah jadi lapangan golf!"
"Apa tidak hebat!"
"Karena buat apa susah-susah menanam padi. Lha beli aja mampu kok!"
"Ngomong-ngomong tambah lagi nasinya, Jon?"
"Nggak usah, Bu! Nggak usah! Cukup, tapi...?"
"Tapi apa. Jon?"
"Karena Ibu mau ngasih tambah ya nggak apa-apa.
Rejeki kan nggak boleh ditolak!"
Dasar yang namanya Joni, dikasih hati ya malah minta jantung. Buktinya sudah
dikasih sepiring malah minta tambah sampai tiga piring. Apa itu tidak kelewatan.
Pasangan suami istri itu saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya!
"Tidak kusangka, Bu. Kecil-kecil makannya banyak sekali..." bisik si bapak dan
istrinya. Tentu saja tidak sampai didengar Joni.
"Betul, Pak. Kalau anak itu lama-lama tinggal di rumah kita bisa gawat.
Persediaan beras kita bisa cepat habis!"
timpal istrinya.
"Bukan gawat-gawat lagi! Sebulan saja anak itu tinggal di rumah kita, percaya
deh, rumah kita bakal kejual!"
Setelah menghabiskan tiga piring nasi, matanya masih memandang ke kiri-ke kanan.
Sepertinya Joni sedang mencari sesuatu.
"Cari apa. Jon"' tanya si ibu.
"Oh, saya sedang mencari buah. Soalnya setiap selesai makan saya harus cuci
mulut dengan buah."
"Buah" Oh, jangan kuatir. Ibu punya buah, tapi buah kaleng!"
"Wah, asyik dong. Maksud Ibu buah kaleng?"
"Ya, buah kaleng. Bagaimana, kamu mau?"
"Bukan mau-mau lagi!"
"Tapi... maaf. Saya baru ingat. Buah kalengnya itu buahnya habis, yang ada
tinggal kalengnya. Mau?"
"Ah, Ibu! Memangnya perut saya terbuat dari seng!" kata Joni. Wajahnya kelihatan
kecewa, tapi yang namanya Joni kecewanya cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian
wajahnya sudah kelihatan cengar-cengir lagi.
"Jon, betul kan nama kamu itu Joni?" tanya si bapak suami perempuan setengah
baya itu. "Betul, Pak. Nama saya Joni. Bukan nama samaran atau nama yang dibuat-buat. Asli
dari pemberian orang tua saya.
Bukan Jono jadi Joni, bukan Udin jadi Robin!"
"Bapak percaya. Begini, Jon. Bapak ingin menanyakan sesuatu terhadap dirimu,
bolehkan?"
"Bukan boleh-boleh lagi, Pak. Silahkan! Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya. Mau
Soal Ekonomi, Politik, Sastra, sampai soal buntut yang banyak digemari dan
membuat orang gila. Hanya satu, asal jangan soal rejeki aja, saya nggak sanggup
jawab. Soalnya rejeki saya sendiri aja seret kayak air ledeng yang suka macet."
"Ah, kamu ini ada-ada saja, jon. Bukan itu. Yang mau bapak tanyakan, sebenarnya
kamu ini anak siapa?"
"Oh, ya jelas saya ini anak Bapak dan Emak saya."
"Bapak tahu, maksud bapak, nama bapak kamu siapa"
Juga nama ibu kamu."
"Wah, saya lupa, Pak. Pokoknya biar saya nggak tahu nama Bapak dan Emak saya,
tapi saya kenal betul dengan mereka."
"Jelas. Jadi kamu tidak tahu nama kedua orang tuamu itu?" Joni menggelengkan
kepalanya. "Ya, begitulah. Karena kata kedua orang tua saya itu, apalah artinya sebuah
nama." "Baiklah. Sekarang yang bapak ingin tahu, sebenarnya kamu ini mau ke mana dan
dari mana?"
"Nah,, kalau itu saya bisa menjawabnya. Jelas saya mau ke depan dan dari
belakang." jawab Joni membuat pasangan suami istri itu tambah bingung mendengar
jawaban Joni yang berbelit-belit seperti kue tambang.
"Maksud bapak, kamu mau pergi ke rumah siapa, sehingga kami menemukan kamu dalam
keadaan pingsan?" "Begini, Pak. Saya ini sebenarnya mau ke rumah paman saya. Tapi dasar brengsek,
tukang ojeg motor yang saya tumpangi ternyata setan jalanan yang membawa
kendaraannya ugal-ugalan. Akibatnya saya jatuh."
"Ya, bapak tahu itu."
"Lalu apakah Bapak tahu siapa paman saya?"
"Mana saya tahu. Siapa nama paman kamu, Jon?"
"Namanya... kalau nggak salah namanya paman Danu.
Tapi bukan Danu Umbara yang sutradara filem itu."
"Tempat tinggalnya?"
"Itulah yang membuat saya pusing tujuh keliling! Saya nggak tahu di mana tempat
tinggal paman saya itu. Cuma yang saya ingat, Paman Danu tinggal dekat lampu
merah, nggak jauh dari pos polisi dan bersebelahan dengan toko China!"
"Wah, kalau memang itu yang kamu tahu, sulit mencari alamat pamanmu itu, Jon."
"Lho, kenapa?"
"Di Jakarta ini yang namanya lampu merah dan pos
polisi banyak sekali. Jumlahnya tidak terhitung."
"Ah, masa. Pak?"
"Benar, Jon. Menurut ibu juga kamu pasti deh tidak bakal bisa menjumpai tempat
tinggal pamanmu."
"Jadi... kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?"
"Kalau kamu mau mendengar saran ibu, sebaiknya kamu pulang saja. Atau kamu
tanyakan kembali pada
kedua orang tuamu di mana alamat jelas pamanmu itu.
Setelah mendapatkan alamat yang jelas, baru kamu pergi mencari alamat tempat
tinggal pamanmu itu."
"Wah, repot, Bu. Emak saya sedang pulang kampung."
"Kalau emakmu sedang pulang kampung, kamu
tanyakan saja sama bapakmu. Pasti deh bapakmu tahu."
Joni menggelengkan kepala.
"Takut, Bu."
"Takut" Kenapa" Apakah bapakmu galak tehadap
dirimu?" "Nggak sih. Cuma nggak mungkin. Bapak saya nggak bakal mau menjawab meskipun
saya menanyakannya
sampai mulut saya berbusa."
"Apakah bapakmu itu bisu?"
"Saya kurang tahu. Dulu sih nggak."
"Aduh, Jon. Kamu ini bagaimana sih" Menurut dugaan ibu, pasti kamu bohong
mengenai soal bapakmu itu. Tidak mungkin ada orang tua yang ditanya anaknya
tidak mau menjawab."
"Ibu nggak percaya?"
"Tidak."
"Saya juga tidak percaya, Jon."
"Kalau nggak percaya ya sudah. Justru kalau saya bilang Bapak saya itu bisa
menjawab pertanyaan saya, saya yakin Bapak dan Ibu nggak bakal percaya! Bener,
deh. Malah Bapak dan Ibu bakal bilang, saya ini adalah pembohong besar!"
"Tidak mungkin saya berkata begitu terhadap dirimu!"
"Pasti! Soalnya di mana sih ada orang yang sudah mati ditanya bisa menjawab."
"Apa?"" Jadi Bapakmu itu sebenarnya telah meninggal dunia, Jon?""!" teriak
keduanya. Pasangan suami istri setengah baya itu langsung wajahnya berubah pucat
seperti mayat. Hampir saja keduanya jatuh dari tempat duduknya masing-masing
saking kagetnya.
Berbeda dengan Joni. Melihat kedua orang tua itu
terkejut. Joni malah umbar tawanya terbahak-bahak.
"Apa saya bilang. Iya kan Bapak dan Ibu nggak percaya?"
TAMAT Pertarungan Di Pulau Api 1 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka 12
"Aku merasa tidak perlu memberitahukannya karena temanku banyak sekali. Disa
jadi Mbak tidak mengenalnya."
Saraswati sudah mau mendesak ketika tiba-tiba ter-
dengar lolongan anjing dari kejauhan. Keduanya merasa kalau bulu kuduk mereka
merinding seketika.
"Jip itu agaknya tidak mengikuti kita lagi. Sebaiknya kita masuk saja." ajaknya
dengan nada dengan dan terus membuka pintu mobil, sementara Christine akhirnya
pun mengikuti. "Kita langsung pulang saja. Hen." katanya lagi. Tapi pria itu tidak menjawab.
Kepalanya tertunduk mencium
kemudi. "Kita pulang saja. Hen." ulangnya sambil menepuk lengan pria itu.
Perlahan Hendri mengangkat kepalanya, kemudian me-
noleh pada Saraswati. Gadis itu terperanjat kaget ketika melihat sepasang mata
pria itu memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan.
"Hendri, kamu kenapa?" tanyanya kaget.
Christine yang melihat keadaan itu, kaget luar biasa. Apa yang dikhawatirkannya
kini telah terbukti. Putri Dayang Sari telah datang dan menyusup ke tubuh
saudara sepupunya itu. "Mbak, cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya seraya
membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu.
Reflek Saraswati keluar. Mestinya ia tidak percaya begitu saja dan meyakinkan
dulu apa yang terjadi dengan pria itu, namun perasaannya mengatakan ada bahaya
mengancam di depan mata, dan ia harus menghindarinya.
Keduanya bergandengan dan siap kabur sekencang-
kencangnya dari tempat itu. Namun tiba-tiba saja sosok Hendri telah berdiri di
hadapan mereka dalam jarak sekitar empat meter. Muncul begitu saja dalam gerakan
secepat kilat. "Kau tidak akan bisa lari ke mana-mana..." ancam pria itu dengan suara parau,
mirip dengan suara wanita.
Kemudian mendekat kedua gadis itu perlahan-lahan.
Saraswati mundur ke belakang, diikuti oleh Christine.
"Hendri, kenapa jadi begini" Apa yang terjadi padamu"
Sadarlah, apakah kau tidak mengenali kami?"
Pria itu diam tak menjawab. Hanya langkah-langkah
kakinya saja yang kian mendekat. Kedua gadis itu tidak tahu harus ke mana ketika
punggung mereka menempel ke bodi mobil.
"Siapa sebenarnya kau" Apa yang kau inginkan?" tanya Christine memberanikan
diri. Pria itu tidak peduli, bahkan tidak memalingkan perhatiannya sedikit pun.
"Kaukah Putri Dayang Sari itu?" tanya Christine.
Mendengar itu baru Hendri memalingkan perhatian
kepadanya, dan gadis itu bergidik ngeri saat mata mereka beradu pandang.
Ketakutannya begitu kuat menyusup ke dalam hati, dan semangatnya seperti terbang
entah ke mana. Sementara itu Hendri telah kembali mencurahkan perhatian pada Saraswati sambil
terus melangkah mendekati.
"Hari ini kau tidak akan lolos lagi." katanya menggeram.
Saraswati bergeser ke kanan, dan ketika lengan kanan Hendri melesat ke arah
lehernya, ia merunduk menghindar.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke arah dada pria itu. Cuma
terdengar suara gedebug pelan namun tidak mampu menggoyahkan pria itu.
Sebaliknya Hendri kelihatan marah. Kedua tangannya diayunkan untuk men-cekik
leher gadis itu yang lelah melompat mencari tempat yang lega. Saraswati melompat
ke kanan, bermaksud
menghindari, tapi pria itu mengejar dengan kaki kanannya yang menghantam salah
satu lutut kaki bagian belakang gadis itu.
Saraswati menjerit kesakitan. Pria itu langsung menerkam, dan dalam keadaan
begitu ia masih sempat meng-hindarkan diri sambil bergulingan dan berusaha
bangun meski dengan posisi kedua kaki yang belum begitu kokoh, dan belum siap
menghadapi serangan pria itu yang cepat dan ganas.
Hendri cepat bangkit dan berdiri, dan menghampiri
gadis itu perlahan-lahan. Tangannya terjulur ke arah leher korban, dan kali ini
Saraswati kembali coba berkelit. Dia tidak mau mengambil resiko dengan menangkis
karena dianggapnya itu lebih berbahaya. Saat gadis itu bergeser ke belakang,
Hendri menerkamnya dengan gesit. Saraswati coba menjatuhkan diri, namun sebelah
lengannya kena di-cekal dan langsung ditarik. Tenaga pria itu kuat luar biasa,
karena dengan sekejap saja gadis itu telah berada dalam cengkramannya.
"Jangan...!" teriak Christine ketika melihat tangan pria itu yang kini telah
ditumbuhi kuku-kuku yang panjang, dan entah bagaimana bisa begitu siap
menghunjam leher
Saraswati. "Aku akan menghajarmu dengan kayu ini,"
Lanjutnya mengancam dengan sepotong kayu di tangannya, dan perlahan mendekati
pria itu. Pria itu menoleh padanya dengan sorot mata meng-
ancam. "Lepaskan dia! Aku bersungguh-sungguh akan menghajarmu!" bentaknya seraya terus
mendekat dengan hati-hati.
Hendri menggeram, dan tanpa mempedulikan ancaman
gadis itu dia mengayunkan kuku-kuku jarinya ke leher Saraswati yang sudah tidak
berdaya. Dengan memompakan keberaniannya Christine lang-
sung menghantamkan kayu di tangannya ke tengkuk
sepupunya itu. Hendri menggeram dan menangkis kayu itu sampai patah. Bukan cuma
itu, ia kembali menggeram marah dan tiba-tiba saja tangannya telah mencengkeram
leher baju Christine dan menghempaskan gadis itu sampai tersungkur ke belakang.
"Aku telah memperingatkanmu. Kalau kau coba lagi
halangi, maka kau akan mati lebih dulu!" ancam pria itu dengan suaranya yang
parau. Christine yang merasa tulang-tulangnya linu, tak mem-perdulikan keadaannya, juga
ancaman pria itu. Kembaii dia meraih sepotong kayu yang lebih besar yang
terdapat di sekitar situ, dan dengan bernafsu bermaksud menghajar saudara
sepupunya itu. "Kau mau mampus lebih dulu rupanya!" geram pria itu seraya menghempaskan tubuh
Saraswati dan bersiap
menghadapi serangan Christine.
Bersamaan dengan melesatnya kayu di tangan gadis itu, maka saat itu pula
meluncur sebuah jip yang langsung berhenti di dekat mereka pada jarak tiga
meter. Lampu mobil yang terang benderang menyilaukan pria itu
sehingga terpaksa ia menghalangi matanya dengan
sebelah tangan.
"Prak! Kayu yang dihantamkan Christine tepat menghajar kepalanya. Pria itu
terhuyung-huyung ke belakang untuk sesaat, namun tidak terlihat sedikit pun
darah dari kepalanya. Bahkan sedikit pun ia tidak merasa sakit.
Agaknya pukulan kayu itu cuma sekedar mendorong tubuhnya saja.
"Christine, cepat menyingkir dari situ!" teriak salah seorang pengendara jip
yang tak lain dari Anjar dan sobatnya Danang. Keduanya langsung keluar dari
mobil begitu jip itu berhenti. Anjar mendekati Christine, sementara Danang
membantu Saraswati.
Melihat kehadiran kedua pria itu. Hendri kelihatan marah sekali. Sorot matanya
bersinar terang, seperti mengancam mereka berempat. Untuk menghabisi korban yang
satu ini agaknya ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat, tidak seperti
korban-korban yang lain. Korban kali ini harus tertunda beberapa lama, dan
selatu terhalang setiap kali ada kesempatan untuk menghabismya. Tapi kali ini
agaknya kesabarannya tidak bisa menenangkannya lagi.
Keempat manusia harus ikut menjadi korban. Anggap saja sebagai tumbal dari
pekerjaannya yang sulit.
"Bagus! Kalian selalu menghalangi pekerjaanku, maka jangan salahkan kalau kalian
pun harus mati sia-sia."
*** ADRIAN MAPALADKA
5 MISTERI DENDAM PUTRI DAYANG SARI II
endri tegak berdiri mengawasi mereka satu persatu.
Di antara keempat orang itu yang dipandangnya
H paling lemah adalah Christine yang saat itu berada dekat dengan Anjar. Dia
telah mengetahui kalau Danang mempunyai kemampuan yang cukup lumayan. Begitu
juga halnya dengan Saraswati. Meski keadaan gadis itu saat ini agak lemah, tapi
dia pasti sedikit banyak mampu
memberikan perlawanan. Sedangkan Anjar sama sekali tidak diketahuinya, yang
jelas dia menyadari kalau pemuda itu tidak memiliki kemampuan ilmu batin seperti
temannya. Kini kedua orang yang dianggapnya terlemah di antara keempat orang itu berada
dalam posisi yang saling
berdekatan, maka dengan sekali hajar mereka pasti tewas.
"Anjar, awas..." teriak Danang memperingatkan ketika Hendri melompat
menerkamnya. Anjar mendorong tubuh Christine ke samping sementara dia siap-siap menyambut
serangan lawan. Begitu kedua tangan Hendri hendak mencengkeram lehernya, dengan
berani ditangkapnya kedua pergelangan tangan lawan, dan sambil menjatuhkan diri
ke tanah, kedua kakinya menendang ke ulu hati lawan hingga membuat Hendri
terpental ke belakang.
Mahluk itu sama sekali tidak menduga gerakan lawan tadi. Dengan gusar ia cepat
bangkit dan berbalik serta kembali melompat menerkam Anjar dengan penasaran.
Tetapi kali ini agaknya Danang tidak tinggal diam. Dari arah samping ia
melayangkan tendangan ke perut lawan.
Hendri menangkisnya dengan menekuk sebelah lututnya pada saat melayang itu
kemudian langsung berbalik sambil mengayunkan cakar ke muka lawan. Sementara
Danang yang sedang jumpalitan dengan memanfaatkan benturan antara telapak kakinya
dengan lutut lawan tadi menyilang-kan kedua tangan menutupi wajah dan bagian
dadanya. Gerakan mahluk itu cepat bukan nain. Kalau saja pada saat itu Anjar tidak
bergerak cepat dengan mengayunkan tendangan memutar ke pinggang lawan mungkin
sobatnya itu kena dicakar oleh Hendri.
Untuk kedua kalinya mahluk itu terhuyung-huyung akibat tendangan Anjar. Sepasang
matanya memandang buas ke arah pemuda itu. Penuh dendam dan amarah. Pemuda
yang dianggapnya lemah itu ternyata boleh juga, dan tidak bisa dibuat main-main.
Kalau lawan merasa heran, maka demikian pula halnya dengan Anjar. Dua kali
tendangannya tadi kuat sekali, dan kalau orang biasa, mungkin bisa jadi tulang-
tulangnya akan patah. Tapi mahluk yang dihadapinya sama sekali tidak merasa
kesakitan. "Hebat juga kau. Kukira kau sama sekali tidak berisi."
Puji Danang ketika mereka merapat dan siap menghadapi serangan mahluk itu
berikutnya "Lumayanlah. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo, meski belum sampai Dan
III." "Pantas..." Ucapan Danang terhenti ketika Hendri telah melompat menerkam mereka
berdua. Kali ini gerakannya semakin cepat, dan terasa hawa amarah yang begitu
hebat. Sebelah tangannya menyapu kedua wajah pemuda itu,
dan saat kedua lawan melompat ke belakang untuk menghindar, ia terus menerkam
Anjar, lawan yang dianggap telah mempermainkannya.
Anjar terus melompat dan menghindar dari serangan
lawan sebisa-bisanya. Seolah-olah ia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk
bernafas. Kedua tangan lawan berkelebat menyambar-nyambar wajah dan dadanya,
sehingga ketika suatu saat ia tidak sempat berkelit, maka dengan untung-untungan
ia coba menangkap pergelangan tangan lawan, kemudian bermaksud menjatuhkan diri
untuk membanting lawan. Namun yang terjadi justru pergelangan tangannya langsung
ditangkap oleh tangan lawan yang sebelah lagi, dan tanpa diduganya sama sekali
tubuhnya terbetot kuat dan melayang deras menghantam tanah.
Sementara Danang yang coba mencuri kesempatan itu
dengan mengirimkan tendangan malah menjerit kesakitan pahanya justru yang
dihajar lebih dulu oleh lawan saat Hendri berbalik ke arahnya dengan tiba-tiba.
Hendri kemudian langsung mengejar Anjar yang belum sempat bangun. Pemuda itu
terkesiap lalu bergulingan, namun betis kirinya sempat kena cakar lawan. Sambil
meringis kesakitan ia berusaha melakukan koprol ke belakang menghindari serangan
lawan berikutnya. Tapi lagi-lagi ia mengaduh kesakitan saat kuku-kuku lawan yang
panjang dan runcing sempat menggores punggungnya. Dan Hendri yang gerakannya
semakin cepat saja langsung melompat ke arahnya, padahal posisi Anjar sama
sekali tidak menguntungkan. Melihat keadaan itu, meski dengan ter-tatih-tatih,
Danang memberanikan diri melompat dan memeluk Hendri dari arah belakang.
"Hiih!" Mahluk itu membungkuk dan membanting tubuh Danang ke tanah sampai
terdengar suara bergedebum seperti nangka jatuh, kemudian secepat kilat
mengangkat sebelah kakinya untuk menginjak dada lawan.
"Jahanam!" Anjar menggeram marah. Tanpa mempedulikan keselamatnya dia menyeruduk
lawan seperti banteng mengamuk. Injakan lawan memang luput dari sasaran
karena tubuh Hendri terdorong ke belakang, namun akibatnya sungguh fatal bagi
Anjar karena seketika itu juga makhluk itu mencengkeram kedua pinggangnya sampai
kuku-kukunya melesak ke dalam tubuhnya.
"Anjaaaar...!" teriak Danang dan Saraswati hampir bersamaan ketika terdengar keluh
kesakitan dari mulut Anjar.
Tubuhnya dibanting dengan keras dan melayang ke
belakang lawan.
"Periksa lukanya dan bantu sebisa mungkin!" teriak Danang pada Saraswati saat
gadis itu berlari mengejar tubuh Anjar. Sementara ia sendiri mencabut sebilah
kujang dari balik bajunya dan lompat menyerang Hendri yang bersiap hendak
membunuh Anjar yang sedang tidak berdaya.
Kali ini Danang tidak main-main lagi. Dia mengerahkan semua kemampuan yang
dimilikinya untuk melawan
mahluk itu. Yang ada di benaknya saat ini bukan lagi menyelamatkan Saraswati
dari incaran mahluk itu, tapi bagaimana caranya dia membunuh mahluk itu agar
mereka tidak terbunuh lebih dulu.
Sementara itu Saraswati agak panik melihat tubuh Anjar yang menggelepar-gelepar
seperti ayam disembelih dan dari kedua pinggangnya mengucur darah segar.
"Anjar, kau tidak apa-apa bukan" Kau tidak apa-apa, kan"!"
Pemuda itu masih menggelepar kesakitan. Seluruh
tulang tubuhnya terasa remuk akibat bantingan Hendri dan kedua pinggangnya
terasa nyeri sekali. Saraswati mengeluarkan sapu tangan untuk menutupi luka itu,
dan merogoh sapu tangan Anjar di saku celananya untuk menutupi luka yang satu
lagi. "Maaf aku terpaksa merobek bajumu untuk menutupi
dan mengikat lukamu." katanya seraya merobek baju pemuda itu. Selesai mengikat
kedua luka di pinggang pemuda itu, ia bersimpuh di tanah dan memangku kepala
Anjar di alas pahanya.
"Anjar, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati!"
isaknya dengan air mata yang mulai menggenangi kedua kelopak mata. "Maafkan aku,
maafkan aku, Sayang."
lanjutnya sambil membelai-belai rambut pemuda itu.
Anjar yang merasa denyut nafasnya terasa berat dan pandangannya agak sedikit
kabur dan sukmanya seperti hendak melayang dan tubuhnya, menguatkan diri
mendengar isak tangis gadis itu.
"A--Aku minta maaf..." katanya dengan suara berat dan perlahan.
"Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu." sahut Saraswati cepat.
"Tentang... foto itu... memang aku yang mengambil. Ta-Tapi... aku punya
alasan..... karena Hendri ada dalam fo...
foto itu. A-Aku ti.. tidak ingin hubungan ... kalian rusak...
gara-gara itu..."
"Kau..."!"Saraswati tersentak kaget, dan itu membuktikan bahwa ia belum melihat
jelas siapa orang yang kena jepret kameranya tempo hari, dan yang jelas orang
itulah yang bermaksud membunuh Maya. "Jadi... Hendri"
Kenapa" Kenapa tidak kau beritahukan padaku"!"
Anjar tidak menjawab hanya berusaha tersenyum.
Tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Danang.
Tubuhnya terhempas di dekat Anjar, dan kujang yang tadi ada dalam genggamannya
terpental dekat kaki Saraswati.
Keduanya bisa melihat kalau perut Danang merah oleh darah. Pemuda itu meringis
kesakitan dan merobek baju untuk mcmbalut lukanya sambil duduk bersila.
Hendri tegak berdiri memandangi mereka. Tawanya
mengema membangkitkan bulu kuduk siapa pun yang
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar. "Hi hi hi...! Tidak seorang pun yang boleh menghalangi sumpahku. Kalian mahluk-
mahluk nista, tak pantas hidup lebih lama. Bersiaplah untuk mati."
Wajahnya mendadak berubah kelam dan menakutkan.
Kedua tangannya diangkat memperlihatkan kesepuluh jari yang kini memiliki kuku
yang panjang dan runcing. Dengan sekali lompatan ia mampu membabat mereka semua
tanpa mengalami kesulitan.
Tapi mendadak ia menghentikan niatnya sesaat ketika melihat perubahan pada diri
Danang. Sebenarnya tidak tepat dikatakan perubahan. Pemuda itu menggerak-gerak-
kan kedua lengan, dan perlahan lahan bertiup angin di sekeliling tubuhnya yang
semakin lama semakin kencang.
Tubuhnya bergetar dan mulutnya komat-kamit seperti melawan dengan sorot tmta
setajam pisau. Siapa pun
sepertinya bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh terjadi pada Danang, hanya
mereka tidak bisa menjelaskan selain Hendri yang saat ini sedang dikuasai roh
Putri Dayang Sari.
"Hm, kau boleh juga, Anak Muda. Tapi pembantumu itu tidak akan bisa berbuat
banyak terhadapku." Dan Putri Dayang Sari membuktikan kata-katanya ketika
tubuhnya melompat laksana kilat menerkam lawan.
Pada saat yang bersamaan tubuh Danang pun melesat
tak kalah cepatnya menyambut serangan. Gerakan yang dilakukan keduanya begitu
cepat sehingga mereka seperti gasing yang sedang berputar saat saling pukul dan
hantam. Tapi kejadian itu tidak berlangsung lama ketika terdengar teriakan Danang,
bersamaan dengan tubuhnya
yang terlempar ke belakang sejauh kurang lebih lima meter. Masih sempat terlihat
luka di bagian dadanya yang memerah berbentuk telapak tangan akibat pukulan
lawan. Danang berguling-gulingan ke sana-kemari sambil menjerit-jerit kesakitan. Anjar
dan Saraswati yang coba mendekat, malah terjerembab terkena hajaran kakinya
tanpa disengaja.
"Danang, kamu kenapa" Apa yang terjadi padamu?"
Anjar mendekat sobatnya itu dengan muka pucat dan hati khawatir. Dilihatnya
Danang amat menderita sekali.
"Panas...! Panaaas...!" keluh Danang sambil terus kelojotan seperti cacing
dibakar. "Cari air, cepat! Basahi tubuhnya dengan air!" teriak Anjar pada Saraswati.
Gadis itu mengangguk, dan langsung berdiri. Tapi
langkahnya dihadang Hendri.
"Kau tidak akan pergi kemana-mana." dengusnya dengan sorot mata mengancam, dan
perlahan mendekati gadis itu yang membuat langkah Saraswati terhenti, bahkan
perlahan mundur mendekai Anjar.
"Kurang ajar!" Anjar menggeram marah. Diraihnya senjata Danang yang tergeletak
tidak jauh dari tempatnya, dan dengan sudah payah sambil menahan nyeri di bagian
parut ia bangkit berdiri dengan sikap menantang kepada Putri Dayang Sari.
"Iblis terkutuk! Hari ini akan kita tentukan apakah aku yang mati atau kau yang
bakal mampus" dengusnya dengan kemarahan yang meluap sambil mengacungkan
kujang di tangannya ke atas. Tak lama terdengar suara yang parau dengan nada
tinggi. "Oh, nenek moyangku Eyang Wanara Bodas. Dengan perantara senjata
pusakamu ini berkatilah cucumu untuk membasmi iblis terkutuk ini!"
Putri Dayang Sari sesaat tercekat. Dahinya berkerut dan matanya seperti tidak
berkedip memandang pemuda di hadapannya.
Entah dari mana Anjar menemukan akal-akalan seperti itu. Ia sendiri tidak yakin
kalau lawan akan menggigil ketakutan bila ia mengaitkan dirinya dengan Wanara
Bodas. Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri,
maka untuk itu ia harus berspekulasi.
Dan sesaat ia merasa spekulasinya mendatangkan hasil melihat perubahan mimik
lawan. Tapi hal itu hanya
sebentar, karena selanjutnya terdengar suara tawa Putri Dayang Sari yang
melecehkan. "Hi hi hi...! Dasar anak tolol. Kau kira bisa menakutiku dengan senjata
rongsokan itu" Ketahuilah sesungguhnya Wanara Bodas tidak pernah memiliki
senjata apapun selama hidupnya. Jadi mana bisa kupercaya bila sekarang kau menakutiku dengan
benda itu."
Anjar terkejut, tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kenyataannya akan
begitu. Dan mana mungkin ia tidak mempercayai penjelasan roh Putri Dayang Sari
kalau pada kenyataan pengetahuannya tidak ada seujung kuku tentang Wanara Bodas
dibanding lawan.
Kini habislah mereka. Tak ada yang bisa dilakukan lagi untuk menyelamatkan diri
"Bersiaplah untuk mampus!" desis roh Putri Dayang Sari yang ada dalam raga
Letnan Hendri. Kedua tangan dengan kuku kuku runcing yang tadi sempat
diturunkan, kembali diangkat. Sepasang matanya yang berkilau mcmancarkan cahaya
hijau kebiru-biruan. Tapi bersamaan dengan itu mendadak bertiup angin kencang di
sekitar mereka.
Bulan yang tadi coba mengintip di balik awan kini tertutup kabut tebal, disusul
menggelegarnya suara petir.
Angin kembali menderu-deru, menggoncangkan dahan-
dahan pohon serta menggugurkan sebagian daun-daunnya dan menerbangkannya ke
segala arah bersama dengan
debu-debu tanah serta kerikil-kerikil.
Saraswati yang berada di belakang tubuh Anjar
kelihatan semakin bingung dan ketakutan. Sementara Christine perlahan-lahan
mendekati mereka. Sedangkan Danang, dalam keadaan sakit yang bukan kepalang,
merasakan suatu keanehan. Hanya saja ia tidak bisa menduga dari mana datangnya
kekuatan itu. Bisa jadi tenaga itu dikerahkan oleh roh Putri Dayang Sari untuk
membunuh mereka dalam sekali tepuk.
Kalau mereka merasa bingung dan ketakutan, agaknya kekhawatiran itupun dirasakan
oleh roh Putri Dayang Sari.
Ia bisa merasakan kekuatan lain yang hadir di tempat mereka, meski belum bisa
memastikan dan mana
datangnya. Kilat kembali muncul. Datang seperti dari perut langit, dan membelah bumi
diikuti oleh suara guntur yang
menggelegar. "Aaaargh...!!" Anjar yang masih berdiri tegak, tiba-tiba saja berteriak keras
sekali dengan tubuh mengejang seperti disengat aliran listrik berdaya tinggi.
"Anjar" Anjar...!" panggil Saraswati khawatir. Ada apa denganmu?"
Pemuda itu tidak mempedulikannya, ataupun mungkin
tidak mendengar. Tubuhnya kejang-kejang sambil terus berteriak. Bersamaan dengan
itu menderu angin kencang mengelilingi tubuhnya seperti angin puting beliung dan
melemparkan Saraswati, Christine serta Danang yang berada di dekatnya.
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Begitu angin
kencang yang mengelilingi tubuhnya reda. Anjar tegak berdiri di tempatnya semula
dengan sepasang mata me-
mandang tajam ke arah lawan laksana sembilu yang mengiris jantung.
"Bagus. Kau punya ilmu simpanan rupanya. Akan kulihat sampai di mana
kemampuanmu." dengus roh Putri Dayang Sari terus melompat menerkam lawan
diiringi teriakan yang menggetarkan bulu roma.
Anjar membalas dengan menghantamkan telapak
tangan kirinya ke depan. Pada saat itu juga menderu angin laksana badai topan
yang langsung menghantam lawan.
Putri Dayang Sari terkejut bukan main. Tubuhnya terpental jungkir balik ke
belakang sambil mengeluarkan jerit kesakitan. Dan pada saat yang bersamaan tubuh
Anjar melesat bagai anak panah lepas dari busur mengejar lawan.
Putri Dayang Sari bukan tidak menyadari bahaya yang mengancam. Ia mengibaskan
sebelah tangan sebelum
kakinya menyentuh tanah, dan sebentar saja terlihat asap hitam tebal menyelimuti
tubuhnya dalam radius kira-kira dua meter lebih.
"Heaaa...!" Anjar membentak keras sambil hantamkan telapak tangan kirinya ke
depan. Angin badai yang
didatangkannya langsung membuyarkan asap hitam itu sampai tidak bersisa. Tapi
lawan tidak terlihat. Raib seperti ditelan bumi. Ia mematung sesaat lamanya
sambil melirik ke segala arah lewat sudut matanya.
Setelah ditunggu sesaat tidak juga muncul. Anjar membuat lingkaran di tanah
berdiameter satu meter setengah lewat ujung kujang yang masih dalam
genggamannya. Kemudian setelah itu membagi lingkaran ke dalam empat buah garis yang sating
berpotongan. Tiap ruang dalam potongan garis itu dicorat-coretnya dengan gambar
sesuatu yang tidak begitu jelas. Kemudian sesudahnya ujung kujang ditancapkannya
tepat di tengah-tengah lingkaran hingga melesak lebih dari separuh panjang
senjata itu. "Hiih!" Tanah di sekitar mereka bergoncang seperti dilanda gempa tak lama
setelah senjata itu dibenamkan ke bumi. Persis dari tiap-tiap diagonal garis
yang diguratkan dalam lingkaran itu bergerak memanjang. Seolah-olah dari dalam
tanah ada mahluk-mahluk yang bergerak cepat ke segala penjuru.
Saraswati, Christine, dan Danang merasakan hal itu.
Namun tidak berakibat fatal bagi mereka. Demikian pula ketika gerakan-gerakan di
bawah permukaan tanah itu menghantam batu atau pepohonan. Tidak ada suatu
kejadian istimewa. Namun mendadak terdengar jerit
kesakitan dari balik rerimbunan pohon di belakang Anjar, yang disusul melesatnya
bayangan hitam ke arahnya.
Pemuda itu tidak berusaha menghindar, tapi berbalik cepat dan hantamkan kedua
telapak tangannya ke arah tubuh Putri Dayang Sari. Terdengar suara berdentum
pelan dua kali diikuti oleh terhempasnya tubuh Letnan Hendri ke belakang. Samar-
samar terlihat bayangan perempuan
berambut panjang yang keluar dari punggung letnan polisi itu. "Keluar!" bentak
Anjar sambil lepaskan pukulan yang ketiga ke arah lawan.
Tubuh Letnan Hendri terhcmpas seperti sehelai bulu tertiup angin. Sementara
bayangan perempuan yang tadi terlihat samar-samar di punggungnya melesat ke
atas, lalu dengan gerakan berputar turun ke bumi dan tegak berdiri di hadapan
Anjar pada jarak sekitar tujuh meter.
Kini bayangannya yang samar tadi kelihatan lebih jelas.
Wajah perempuan cantik itu berbentuk bujur sirih dan mengenakan pakaian keraton
jaman dahulu yang terbuat dari sutera. Rambutnya panjang sekali hingga ujungnya
sampai menyentuh tanah.
Pandangannya tajam saat beradu pandang dengan
pemuda itu, dan raut wajahnya diliputi perasaan heran.
"Kakang Wanara, aku yakin. Cuma engkau yang memiliki ajian Tapak Angin," katanya
pelan, namun tetap bisa didengar oleh mereka yang berada di situ. "Mengapa"
Mengapa kau lakukan ini padaku?"
"Tindakanmu sungguh keterlaluan Dayang Sari. Dan aku tidak bisa membiarkanmu
berbuat sekehendak hatimu."
sahut Anjar dengan suara yang tidak kalah halusnya. "Kau hampir saja membunuh
cucuku." Paras wanita itu semakin heran saja mendengar
jawaban Anjar. "Cucumu" Bagainana mungkin?"
"Kau mungkin lupa. Sebelum berkenalan denganmu aku telah menikah dengan putri
Begawan Sapta Waringin, dan punya seorang putra sebelum istriku meninggal saat
me-lahirkan putra kami," jelas Anjar.
Perempuan itu terdiam untuk bebecrapa saat, kemudian tersenyum lalu tertawa
halus "Hi hi hi...! Malang benar nasibku. Kukira nasibmu sama malangnya dengan
diriku, tapi siapa nyana ternyata engkau pernah mengecap ke-bahagiaan."
Mendadak wajahnya menjadi kaku saat kembali me-
mandang pemuda itu. Bahkan terbias hawa dendam dan amarah.
"Kakang, aku salah menilaimu. Ternyata kau sama saja dengan lelaki lain. Kau
pengkhianat, dan tidak sepenuh hati mencintaiku. Di mulut kau katakan
mencintaiku, tapi hatimu tetap untuk istrimu yang telah tiada itu. Bahkan sampai
sekarang kau masih menunjukkan cintamu dengan membela anak cucumu." dengus Putri
Dayang Sari. "Itu tidak benar," tangkis Anjar yang saat ini raganya sedang disusupi roh
Wanara Bodas. "Aku cuma tidak suka dengan caramu main bunuh sembarangan. Mereka
tidak punya sangkut-paut denganmu, dan sama sekali tidak kenal denganmu. Mengapa
kau lampiaskan dendammu
kepada mereka?"
"Aku justru berbuat kebaikan dengan memberi pelajaran pada orang-orang yang
berhati buruk dan tidak mengenal cinta yang lulus."
"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri" Apakah yang kau perbuat terhadapku bisa
dikatakan baik?"
"Aku tidak mau berdebat denganmu, Kakang. Minggir-lah! Aku akan tetap menghabisi
mereka." "Kalau begitu jangan salahkan kalau aku terpaksa harus memberi palajaran
padamu." Dan agaknya Wanara Bodas tidak ingin didahului. Ia mengayunkan tangan
dan menghantam gagang senjata kujang yang masih tertancap di tengah lingkaran
sampai melesak ke dalam bumi. Bersamaan dengan itu pula terdengar guncangan
hebat yang disusul dengan retaknya permukaan tanah di sekitar tempat itu.
Saraswati sibuk menyelamatkan diri sambil menggotong tubuh Danang. Sementara
Christine yang semula hendak menyelamatkan diri, ingat dengan tubuh Hendri yang
masih tergeletak tak sadarkan diri, dan buru-buru membawanya ke tempat yang
aman. Sementara itu Putri Dayang Sari tidak tinggal diam.
Tubuhnya melesat secepat kilat ke arah lawan sambil mengayunkan selendang tipis.
Senjatanya itu kelihatan remeh. bahkan panjangnya tidak lebih dari dua meter.
Tapi begitu menyentuh lawan langsung membelit dan membungkus tubuh Anjar seperti
mumi dan membuatnya berputar laksana gasing. Yang lebih mengherankan,
selendang itu terus bertambah panjang dan seperti tiada habis-habisnya.
"Maaf, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin memper-lakukanmu seperti ini. Tapi
karena engkau menghalangi niatku, aku tidak punya pilihan."
Selendang itu terus membungkus tubuh Anjar, dan
membuatnya berputar-putar dalam posisi tetap seperti semula. Tapi kalau Putri
Dayang Sari mengira sudah mampu melumpuhkan lawan, agaknya sia-sia belaka,
sebab perlahan-lahan tubuh Anjar berputar semakin cepat.
Tidak lagi mengikuti irama gulungan selendang itu. Dan tiba-tiba melesat ke
atas, masih dalam keadaan berputar.
Pada saat yang bersamaan terdengar suara guntur yang menggelegar seperti
menghantam tubuh itu. Anjar
berteriak keras. Selendang pembalut tubuhnya hancur berantakan.
Putri Dayang Sari tersentak kaget. Meski selendangnya tipis, tapi itu bukan
senjata main-main. Senjata keramat itu bekerja seperti karet, semakin diikat
kuat maka ia akan menekan benda yang diikatnya sampai remuk, dan selama ini
tidak ada yang bisa lolos dari senjatanya. Tapi Wanara Bodas bukan saja bisa
melepaskan diri, bahkan meng-hancurkan senjatanya itu.
Selarik cahaya kilat kembali muncul. Tubuh Anjar bergerak cepat sekali seolah
hendak menangkap ujung
cahaya itu, lalu mengibaskan tangannya ke arah lawan.
Putri Dayang Sari terkesiap tak sempat mengelak.
Cahaya kilat itu seperti berbelok ke arahnya dan meng-hantamnya tanpa ampun.
Untuk sedetik terdengar jeritnya tertahan sebelum tubuh itu lenyap meninggalkan
debu halus. Anjar tegak berdiri seperti mematung memandangi
tempat dimana wanita tadi menghilang. Hal itu dilakukannya lama sekali tanpa
mempedulikan keadaan di se-
keliling. Saraswati tidak berani mendekat. Khawatir ada kejadian aneh lagi di tempat ini.
Ia hanya mendiamkan saja sambil memandangi pemuda itu dengan mata tidak
berkedip. Sementara itu pelahan-lahan alam kembali tenang.
Kabut gelap yang tadi menyelimuti langit, perlahan me-mudar sehingga terlihat
bulan yang menyembul, perlahan menerangi tempat itu. Geledek dan petir yang tadi
acap terdengar kini menghilang entah ke mana. Sementara angin malam bertiup
sepoi-sepoi secara wajar. Keadaan itu membangkitkan keberanian Saraswati.
Perlahan ia bangkit berdiri dan mendekati Anjar.
"Jar, kamu tidak apa-apa?" sapanya takut-takut.
Perlahan pemuda itu membalikkan tubuh. Saraswati
sempat melihat muka si pemuda pucat, namun sorot
matanya normal seperti biasa.
"Kamu tidak apa-apa?"
Anjar tersenyum kecil, lalu menggeleng.
"Sungguh kamu tidak apa-apa?"
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku baik-baik saja..."
Saraswati semakin dekat. Kedua mata mereka saling
pandang. Dan entah siapa yang memulai, mungkin juga Saraswati karena sejak tadi
hatinya terasa diaduk-aduk oleh kejadian ini. Ia memeluk Anjar erat-erat dan me-
numpahkan kekhawatirannya sejak tadi.
"Aku takut, takut sekali. Aku mencemaskanmu..." bisik-nya lembut.
"Tenanglah. Keadaan sudah aman, dan tak ada lagi yang perlu kau takutkan," bujuk
Anjar. Saraswati melepaskan pelukannya dan memandangi
wajah pemuda itu dengan kening berkerut. Benarkah kau cucu Wanara Bodas, dan..."
Anjar tersenyum. "Aku sendiri baru tahu setelah
kejadian ini. Dan kamu tidak perlu takut. Leluhurku itu sudah pergi, beberapa
saat sebelum kau menghampiriku."
Saraswati bernafas lega. Syukurlah keadaan sudah
aman Tapi aku tetap masih merasa takut..."
"Aku juga tidak sepemberani yang kau pikirkan. Kita semua merasakan ketakutan
itu. Tapi saat ini keadaan sudah aman." sahut Anjar sambil melirik Hendri yang
masih belum sadarkan diri dan sedang ditunggui Christine.
"Pulanglah. Aku sendiri harus merawat Danang. Hendri tidak apa-apa. Sebentar
lagipun dia akan sadar." lanjutnya seraya melangkah mendekati Danang.
"Anjar." panggil Saras yang membuat langkah pemuda itu terhenti dan menoleh
padanya. Melihat itu Saraswati tidak tahu apa yang mesti diucapkannya selain
menundukkan kepala bingung bercampur malu.
"Ada apa?" tanya Anjar lembut seraya mendekatinya.
"Aku... Aku..."
Anjar tersenyum sambil pegangi kedua bahu gadis itu.
"Kau tidak perlu khawatir. Hendri tidak apa-apa.
Percayalah, menurut Eyang Wanara Bodas ia akan sadar dengan sendirinya..."
"Bukan itu maksudku!" tukas Saraswati.
Perlahan diangkatnya kepala dan memberanikan diri
untuk membalas pandangan pemuda itu.
"Kalau kau mengira diantara kami ada hubungan selain teman kau salah besar,
katanya menegaskan "Bagaimanapun aku.....aku masih..."
Saraswati tak melanjutkan kalimatnya saat telunjuk pemuda itu menempel di
bibirnya. "Sudahlah. Nanti saja kita bahas hal itu. Saat ini ada hal yang lebih
penting. Aku harus mengobati luka Danang seperti yang diajarkan leluhurku tadi
sebelum beliau pergi. Lalu setelah itu membawanya ke rumah sakit."
"Tapi..."
Anjar tidak mempedulikan gadis itu. Ia menghampiri sobatnya yang masih meringis
kesakitan. Anjar duduk bersila didekatnya. Meraup segenggam tanah, lalu mulutnya
berkomat-kamit dan setelah itu menaburi dada Danang dengan tanah dalam
genggamannya sambil mengusap-usapnya dengan halus.
"Bagaimana?" tanyanya setelah beberapa saat
kemudian. "Apa ada perubahan?"
"Mendingan. Tubuhku terasa sejuk. Panas itu tidak terasa lagi, dan nyerinya
perlahan-lahan mulai reda.
Bagaimana dengan lukamu sendiri?"
"Aku tidak apa-apa. Keadaanmu lebih ku pentingkan.
Mana mungkin kau kuabaikan sementara kau telah mem-bantuku mati-matian." Anjar
tersenyum dan kali ini mengusap-usap punggung sahabatnya itu. "Aku tidak tahu
harus bagaimana membalas kebaikanmu. Seandainya saja kau tewas, aku akan
menyesal seumur hidupku."
"Sudahlah. Jangan keterlaluan. Kau adalah temanku, dan sudah sepatutnya aku
menolong bila kau mengalami kesusahan. Danang balas menepuk-nepuk pundak
sobatnya itu, lalu melirik Saraswati yang berdiri di belakang Anjar, sebelum
menoleh pada Letnan Hendri yang sedang ditunggui Christine. Pria itu agaknya
belum sadarkan diri.
"Kita harus melihat keadaannya." lanjut Danang seraya bangkit berdiri
menghampiri. "Dia tidak apa-apa," sahut Anjar dengan perasaan enggan untuk mengikuti.
Sebentar lagi juga siuman."
"Akan lama prosesnya kalau tidak dibantu." sahut Danang tak mempedulikan ucapan
Anjar. Ada beberapa faktor yang membuatnya harus meng-
hampiri Lelnan Hendri: yang pertama, sebagai sesama manusia ia harus menolong
mereka yang membutuhkan; kedua, ia merasa ada yang mesti diselesaikan antara
Anjar dan Saraswati dan itu sifatnya pribadi, sehingga tak patut ia berada di
dekat mereka; dan ketiga, mungkin ada baiknya ia membicarakan sesuatu dengan
letnan polisi itu seputar masalah yang menimpa dirinya.
Anjar memang mengurungkan niat mengikuti langkah
sobatnya itu. Bukan saja karena ia merasa enggan, tapi juga karena Saraswati
ikut menahannya. Lagipula Danang lebih tahu soal menyadarkan orang pingsan
ketimbang dirinya.
"Aku tidak menyalahkan kalau kau membenciku..." ucap Saras lirih.
"Aku tidak merasa membencimu." sahut Anjar sambil tersenyum kecil.
Saras menoleh padanya. "Aku minta maaf..."
"Aku juga salah..."
"Tidak. Aku yang salah, terlalu ego dalam hubungan kita.
Sekali lagi aku minta maaf..."
"Sudahlah." Anjar meraih lengan gadis itu dan Saras membiarkan saja. "Aku sudah
memaafkanmu. Bahkan aku sudah berusaha melapangkan dada melihat hubunganmu
dengan Letnan Hendri..."
"Jangan teruskan!" tukas Saras. "Aku tidak mau kau menganggap aku punya hubungan
serius dalam soal
asmara dengannya. Hubungan kami biasa-biasa saja. Aku akan bicara padanya."
lanjutnya seraya melirik ke arah Letnan Hendri, dan melihat kalau pria itu telah
siuman dan sedang ngobrol dengan Danang.
Dan tanpa menunggu persetujuan Anjar. Gadis itu melangkah ke sana. Anjar melihat
Saras menarik lengan pria itu ke tempat yang agak jauh. Mereka ngobrol beberapa
saat sebelum keduanya melangkah mendekatinya diikuti oleh Danang dan Christine.
Anjar jadi merasa tak enak hati. Dilihatnya wajah pria itu masih pucat, dan
sekilas tubuhnya agak lemah. Dalam kepucatan wajahnya itu tergambar kemurungan
dan kelesuan. Entah apa yang dibicarakan Saraswati padanya, tapi yang bisa diduga
barangkali itu sesuatu yang
mengecewakannya.
Meski begitu ia berusaha tersenyum saat berdiri di hadapan Anjar.
"Aku tak tahu harus bilang apa, kejadian ini membuat kita semua menjadi tegang.
Tapi syukurlah semua sudah berakhir, dan kita kembali bisa bernafas lega."
Anjar mengangguk. "Ya, aku berharap ini tidak akan ter-ulang kembali. Tentu saja
kita berharap setelah ini akan lebih mawas diri, dan tidak cepat-cepat mengambil
keputusan untuk menyalahkan seseorang yang sebenarnya tidak bersalah."
Letnan Hendri mengernyitkan alisnya sedikit. Ia coba mencerna kata kata lawan
bicaranya. Untuk siapakah kata-kata itu ditujukan" Untuk dirinya atau mereka
semua" Tapi ia tidak mau berlama lama memikirkannya, seperti ia juga tidak mau berlama-
lama setelah pembicaraannya dengan Saraswati tadi. Saraswati telah memilih, dan
ia mesti bisa menerima keputusan itu.
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
katanya pelan. "Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan diriku "
"Sama-sama." sahut Anjar. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan."
"Suatu saat bila kau butuh bantuanku, jangan sungkan-sungkan datang kepadaku.
Aku akan berusaha menolong dengan sekuat kemampuanku."
"Terima kasih." sahut Anjar. "Ng... kurasa saat ini aku butuh bantuanmu."
"Soal apa?"
Anjar mendekati lotnan polisi itu, dan berbisik di telinganya. Belum lama aku
baca di koran salah seorang korban bernama Maya, dan ia dibunuh oleh kekasihnya
bernama Boy yang saat ini meringkuk di penjara sebagai tertuduh. Maukah Anda
membebaskannya?" Kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit keras sehingga
lapat-lapat Saraswati bisa mendengarnya.
Letnan polisi itu mengernyitkan dahi.
"Percayalah," sambung Anjar, dan kali ini tanpa berbisik lagi sehingga yang
lainnya bisa mendengarkan, ia bukan apa-apaku, dan sama sekali belum pernah
kukenal. Alasanku sederhana: yang tidak bersalah tidak boleh dihukum."
Hendri diam beberapa saat lamanya sebelum
mengangguk. "Baiklah. Akan kuusahakan." katanya.
"Terima kasih. Aku tahu Anda orang yang jujur," sahut Anjar sebelum Hendri dan
Christine berbalik meninggalkan mereka menuju mobil.
Sepeninggal mereka Saraswati jadi penasaran, dan
mungkin juga karena kebiasaannya sebagai wartawati, ia ingin tahu apa yang
dibicarakan Anjar saat berbisik tadi pada Hendri.
"Apakah hal itu perlu?"
"Sekedar ingin tahu saja."
"Baiklah." sahut Anjar setelah menghela nafas panjang.
"Kau kenal dengan gadis bernama Maya?"
"Ya. Gadis ilu tewas mengenaskan. Memangnya
kenapa?" "Siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus
pembunuhannya?"
"Seorang pemuda bernama Boy."
"Nah, aku meminta Hendri untuk membebaskan
pemuda itu."
"Lho, memangnya kenapa" Apakah dia masih ada
hubungan saudara denganmu?"
"Sama sekali tidak!"
"Lalu?"
"Karena dia tidak bersalah?"
"Mengapa kamu begitu yakin dia tidak bersalah sedang kau sendiri tidak
mengenalnya?"
"Ingat foto-foto yang kuambil dari rumahmu" Orang yang kau jepret itu adalah
Hendri. Fakta itu tidak bisa dibohongi." sahut Anjar.
"Ya, kau benar." sahut Saraswati, kemudian menggeleng lemah sambil mendecah
karena sulit baginya untuk
mempercayai hal itu. Betapa tidak" Hendri yang
dianggapnya jujur, pada malam itu memberi alasan yang berbeda. Mengapa dia mesti
mengarang cerita"
"Tapi dia menceritakan padaku bahwa fakta-fakta menunjukkan kalau Boy itulah
pelakunya." lanjut Saraswati untuk memuaskan rasa penasarannya.
"Teori pembunuhan yang dilakukan Putri Dayang Sari tidak salah. Orang yang
dikhianati selamat, yang
berkhianat menjadi korban, dan orang ketiga adalah pembunuhnya. Foto itu
menunjukkan kalau Hendri yang sedang kemasukan roh Putri Dayang Sari berusaha
membunuh Maya, sehingga dengan begitu kita bisa
langsung menebak: Hendri orang ketiga, Maya berkhianat, sedangkan Boy adalah
orang yang dikhinati." jelas Anjar.
"Ya, aku sempat mendengar selentingan kalau Hendri berhubungan dengan Maya, tapi
aku tidak mempedulikannya. Yang kuherankan, mengapa ia
mengkambing hitamkan Boy?"
"Sudah itu urusannya. Tidak perlu direka-reka
maksudnya. Malam semakin larut. Ayo, kita mesti pulang."
ajak Anjar seraya melangkah ke mobil diikuti Saraswati dan Danang.
Sepeninggal mereka di tempat itu bertiup angin kencang yang diikuti munculnya
kilat yang memandang seperti hendak membelah bumi. Bersamaan dengan terdengarnya
suara gemuruh, sebatang pohon asam yang batangnya
cukup besar roboh dan sebagian besar daun-daunnya
gosong disambar petir. Batang pohon asam itu menimpa sebuah rumah tua yang
memang sudah rusak berat, dan membuatnya hancur berantakan!
TAMAT QT BEGOAH 3 SERIAL JONI KUCAI
JONI CARI PENGALAMAN III
etelah di turunkan dari bus. Joni celingak-celinguk memandang sekelilingnya
Menunggu bus lainnya
S yang mungkin lewat. Tapi selagi Joni menunggu bus, tiba-tiba sebuah sepeda
motor datang menghampiri.
Pengendaranya seorang lelaki muda memakai helm dan jaket.
"Mau ke mana, Dik" Mari saya antar!" kata si lelaki sambil tersenyum tampangnya
ramah. "Ah, nggak terima kasih."
"Alah, jangan malu-malu, Dik. Ayo, naik aja. Ke mana sih tujuan adik nanti saya
antar." "Saya mau ke lampu merah dekat pos polisi."
"Oh, itu. Saya tahu. Ayo naik!" Karena merasa dipaksa Jonipun lalu membonceng
motor itu. "Nah, begitu. Nggak usah malu. Tapi, kamu harus
pegangan yang kencang. Karena kita akan terbang di atas aspal!" kata si lelaki
sambil tancap gas. Sepeda motornya melesat di antara keramaian jalan raya, tanpa
peduli diri Joni yang ketakutan setengah mati.
"Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti jatuh bagaimana?" teriak Joni ketakutan.
"Jangan takut, Dik. Kalau jatuh paling-paling ke bawah!"
"Memang ke bawah, yang bilang orang jatuh itu ke atas, siapa" Tapi kan sakit.
Lagi pula kalau sampai jatuh biaya rumah sakit mahal, kasihan Emak saya."
"Tenang aja, Dik. Nggak bakal kita jatuh, percaya deh!"
kata si lelaki sambil tancap gas lagi, sehingga suara tawa si lelaki terdengar,
di antara suara jerit ketakutan Joni.
"Aduh, Bang! Jangan kencang-kencang, Bang. Nanti saya bisa pingsan nih!" teriak
Joni. "Kalau kamu mau pingsan, ya pingsan aja deh. Asal jangan lupa tetap pegangan
agar kamu nggak jatuh!"
"Bagaimana mungkin bisa!"
"Kalau nggak bisa ya sudah. Kamu tenang aja. Sebentar lagi kita bakal sampai
kok." "Sampai?"
"Ya, tuh, lampu merahnya sudah kelihatan. Pos polisinya juga sudah kelihatan."
"Mana?"
"Itu..!"
"O, iya betul. Lekas berhenti, Bang! Berhenti!" teriak Joni tak sabar lagi.
Meskipun motor belum berhenti Joni sudah melompat dari atas boncengan mirip
Rambo. Hup! Tapi saying, lompatan Joni tidak mulus. Karena terlalu tergesa-gesa
akibatnya tubuh Joni jatuh tersungkur di aspal!
"Aduh!" teriak Joni kesakitan. Membuat si lelaki pengendara motor itu wajahnya
berubah memucat.
"Aduh, Dik! Kenapa motor belum berhenti kamu sudah melompat" Untung saja kaki
kamu nggak patah, kepala kamu nggak bocor, dan tangan kamu nggak keseleo!"
"Tapi, pinggang saya sakitnya minta ampun. Sepertinya tulang saya patah!" kata
Joni sambil meringis kesakitan.
"Apa" Patah" Gawat! Kenapa urusan jadi begini" Wah, wah, ini sih alamat aku yang
bakal kena menanggung ongkos berobatnya!" ujar si lelaki panik. Wajahnya semakin
nampak pucat. "Sudah Dik begini saja. Kamu nggak usah bayar ongkos ojeg motornya deh. Saya
nggak minta bayaran, sungguh.
Saya rela. Saya cuma ngantar saja. Sekarang saya pergi dulu ya..!" kata si
lelaki pada Joni yang ternyata adalah seorang tukang ojeg motor. Karena menduga
Joni mengalami luka parah lelaki itu ketakutan langsung dia tancap gas, kabur
meninggalkan Joni yang berdiri bengong.
"Astaga! Jadi tadi sebenarnya aku harus bayar ongkos naik motor itu" Minta
ampun! Uang dari mana" Untung saja tadi aku terjatuh, kalau nggak...?" Joni
tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi terhadap dirinya tidak mempunyai
uang. Bisa jadi juga semua pakaian Joni diambil untuk ganti membayar ongkos.
Bila semua itu sampai terjadi, Joni bisa seperti tarzan kota! Aduh malunya minta
ampun. Membayangkan semua itu dada Joni jadi sesak, matanya jadi berkunang-
kunang, dan akhirnya Joni jatuh pingsan! Tapi sebelumnya Joni mencari tempat
yang agak teduh, agar saat dirinya pingsan tidak kepanasan kena sinar matahari!
Cukup lama juga Joni pingsan, tidak tahu apa yang
terjadi terhadap dirinya. Hanya ketika ia sadar dari pingsannya tubuh Joni
berada diatas sebuah tempat tidur yang kasurnya empuk dalam sebuah ruangan kamar
yang cukup rapi, tidak seperti kamarnya. Tapi sepintas Joni memandang, ia telah
Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu kalau dirinya bukan berada dalam sebuah uang perawatan rumah sakit. Entah
di mana, Joni belum dapat memastikan. Membuat dirinya jadi penasaran bertanya-tanya
sendiri dalam hati. Atau..
apakah ini yang dinamakan alam akherat" Mendadak bulu Joni berdiri, rasa
takutnyapun timbul. Tiba-tiba Joni berteriak-teriak.
"Tolong...! Tolong...! Aku belum mau mati. Aku masih kepingin hidup lama di
dunia. lagipula aku belum pernah kena SDSB! Jadi.....tolonglah aku Tuhan! Aku
belum mau matiiiii...!" Joni berteriak-teriak seperti orang kalap, hingga
mengakibatkan sprei, bantal dan guling acak-acakan.
"Tenang, Nak! Tenang! Rupanya kamu telah sadar.
Jangan berteriak teriak seperti itu, malu didengar orang!"
tiba-tiba terdengar suara seorang wanita datang menghampiri. Ketika Joni
menolehkan kepalanya memandang ke arah suara itu, nampak sepasang suami istri
setengah baya sedang memandang ke arah dirinya sambil tersenyum ramah.
"Benar, Nak. Lagi pula lukamu itu masih belum sembuh benar, jadi jangan kamu
banyak bergerak dulu." timbal yang lelaki, suami perempuan setengah baya itu.
"Di mana saya" Di mana saya" Apakah saya ini sudah berada di akherat?" tanya
Joni, matanya masih nampak beringas dan wajahnya seperti ketakutan. Memandang
seputar ruangan kamar itu.
Mendengar ucapan Joni kedua suami istri itu tersenyum.
"Tenang, Nak. Tenang. Kamu berada di rumah kami, bukan di akherat!" kata si ibu
sambil tersenyum.
"Benar, Nak. Kami telah menemukan dirimu di pinggir jalan dalam keadaan pingsan.
Lalu kami membawanya
kemari!" timpal si bapak.
"Oh, jadi Bapak dan Ibu yang telah menolong diri saya"
Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Saya tidak akan dapat melupakan budi
kebaikan Bapak dan Ibu. Semoga aja
Bapak dan ibu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!"
"Hus, kami belum mati, Nak!
"Oh, maaf. Maksud saya, semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu mendapat paha dari
Tuhan." "Hus, pahala!"
"Oh, maaf lagi. Ya pahala dari Tuhan!"
"Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, bukankah kita sebagai manusia hidup
wajib harus saling tolong
menolong?"
"Benar, Bu. Benar, Pak. Tapi... apakah Bapak dan Ibu mau menolong diri saya
sekali lagi?"
"Tentu saja mau, Nak. Menolong apa" tanya si ibu.
Joni tak menjawab cuma garuk-garuk perutnya sambil ccngar-cengir.
"Oh, kamu lapar" Astaga, bilang dong! Sebentar ya ibu ambilkan makanan!" kata si
ibu yang rupanya mengerti dengan isyarat yang dilakukan Joni.
Tak berapa lama si ibu telah kembali lagi sambil
membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.
"Nah, makanlah biar kenyang. Tapi maaf, seadanya.
Karena hari ini secara kebetulan ibu tidak pergi ke pasar."
"Oh, nggak apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup. Malah ada di suatu tempat yang
sama sekali sulit untuk
mendapatkan makanan!"
"Ah, yang benar Jon?"
"Benar."
"Di mana itu?"
"Di Somalia."
"Astaga! Ibu sampai kaget. Ibu kira di Indonesia."
"Kamu ini mbokya yang benar saja, Bu. Rakyat
Indonesia kan semua hidup subur makmur sedikitpun tidak bakal kekurangan sandang
dan pangan, iya kan Jon?"
"Betul, Bu. Lihat saja saking makmurnya, sawah-sawah sekarang ini sudah banyak
yang berubah jadi lapangan golf!"
"Apa tidak hebat!"
"Karena buat apa susah-susah menanam padi. Lha beli aja mampu kok!"
"Ngomong-ngomong tambah lagi nasinya, Jon?"
"Nggak usah, Bu! Nggak usah! Cukup, tapi...?"
"Tapi apa. Jon?"
"Karena Ibu mau ngasih tambah ya nggak apa-apa.
Rejeki kan nggak boleh ditolak!"
Dasar yang namanya Joni, dikasih hati ya malah minta jantung. Buktinya sudah
dikasih sepiring malah minta tambah sampai tiga piring. Apa itu tidak kelewatan.
Pasangan suami istri itu saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya!
"Tidak kusangka, Bu. Kecil-kecil makannya banyak sekali..." bisik si bapak dan
istrinya. Tentu saja tidak sampai didengar Joni.
"Betul, Pak. Kalau anak itu lama-lama tinggal di rumah kita bisa gawat.
Persediaan beras kita bisa cepat habis!"
timpal istrinya.
"Bukan gawat-gawat lagi! Sebulan saja anak itu tinggal di rumah kita, percaya
deh, rumah kita bakal kejual!"
Setelah menghabiskan tiga piring nasi, matanya masih memandang ke kiri-ke kanan.
Sepertinya Joni sedang mencari sesuatu.
"Cari apa. Jon"' tanya si ibu.
"Oh, saya sedang mencari buah. Soalnya setiap selesai makan saya harus cuci
mulut dengan buah."
"Buah" Oh, jangan kuatir. Ibu punya buah, tapi buah kaleng!"
"Wah, asyik dong. Maksud Ibu buah kaleng?"
"Ya, buah kaleng. Bagaimana, kamu mau?"
"Bukan mau-mau lagi!"
"Tapi... maaf. Saya baru ingat. Buah kalengnya itu buahnya habis, yang ada
tinggal kalengnya. Mau?"
"Ah, Ibu! Memangnya perut saya terbuat dari seng!" kata Joni. Wajahnya kelihatan
kecewa, tapi yang namanya Joni kecewanya cuma sebentar. Tak berapa lama kemudian
wajahnya sudah kelihatan cengar-cengir lagi.
"Jon, betul kan nama kamu itu Joni?" tanya si bapak suami perempuan setengah
baya itu. "Betul, Pak. Nama saya Joni. Bukan nama samaran atau nama yang dibuat-buat. Asli
dari pemberian orang tua saya.
Bukan Jono jadi Joni, bukan Udin jadi Robin!"
"Bapak percaya. Begini, Jon. Bapak ingin menanyakan sesuatu terhadap dirimu,
bolehkan?"
"Bukan boleh-boleh lagi, Pak. Silahkan! Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya. Mau
Soal Ekonomi, Politik, Sastra, sampai soal buntut yang banyak digemari dan
membuat orang gila. Hanya satu, asal jangan soal rejeki aja, saya nggak sanggup
jawab. Soalnya rejeki saya sendiri aja seret kayak air ledeng yang suka macet."
"Ah, kamu ini ada-ada saja, jon. Bukan itu. Yang mau bapak tanyakan, sebenarnya
kamu ini anak siapa?"
"Oh, ya jelas saya ini anak Bapak dan Emak saya."
"Bapak tahu, maksud bapak, nama bapak kamu siapa"
Juga nama ibu kamu."
"Wah, saya lupa, Pak. Pokoknya biar saya nggak tahu nama Bapak dan Emak saya,
tapi saya kenal betul dengan mereka."
"Jelas. Jadi kamu tidak tahu nama kedua orang tuamu itu?" Joni menggelengkan
kepalanya. "Ya, begitulah. Karena kata kedua orang tua saya itu, apalah artinya sebuah
nama." "Baiklah. Sekarang yang bapak ingin tahu, sebenarnya kamu ini mau ke mana dan
dari mana?"
"Nah,, kalau itu saya bisa menjawabnya. Jelas saya mau ke depan dan dari
belakang." jawab Joni membuat pasangan suami istri itu tambah bingung mendengar
jawaban Joni yang berbelit-belit seperti kue tambang.
"Maksud bapak, kamu mau pergi ke rumah siapa, sehingga kami menemukan kamu dalam
keadaan pingsan?" "Begini, Pak. Saya ini sebenarnya mau ke rumah paman saya. Tapi dasar brengsek,
tukang ojeg motor yang saya tumpangi ternyata setan jalanan yang membawa
kendaraannya ugal-ugalan. Akibatnya saya jatuh."
"Ya, bapak tahu itu."
"Lalu apakah Bapak tahu siapa paman saya?"
"Mana saya tahu. Siapa nama paman kamu, Jon?"
"Namanya... kalau nggak salah namanya paman Danu.
Tapi bukan Danu Umbara yang sutradara filem itu."
"Tempat tinggalnya?"
"Itulah yang membuat saya pusing tujuh keliling! Saya nggak tahu di mana tempat
tinggal paman saya itu. Cuma yang saya ingat, Paman Danu tinggal dekat lampu
merah, nggak jauh dari pos polisi dan bersebelahan dengan toko China!"
"Wah, kalau memang itu yang kamu tahu, sulit mencari alamat pamanmu itu, Jon."
"Lho, kenapa?"
"Di Jakarta ini yang namanya lampu merah dan pos
polisi banyak sekali. Jumlahnya tidak terhitung."
"Ah, masa. Pak?"
"Benar, Jon. Menurut ibu juga kamu pasti deh tidak bakal bisa menjumpai tempat
tinggal pamanmu."
"Jadi... kalau begitu, apa yang harus saya lakukan, Bu?"
"Kalau kamu mau mendengar saran ibu, sebaiknya kamu pulang saja. Atau kamu
tanyakan kembali pada
kedua orang tuamu di mana alamat jelas pamanmu itu.
Setelah mendapatkan alamat yang jelas, baru kamu pergi mencari alamat tempat
tinggal pamanmu itu."
"Wah, repot, Bu. Emak saya sedang pulang kampung."
"Kalau emakmu sedang pulang kampung, kamu
tanyakan saja sama bapakmu. Pasti deh bapakmu tahu."
Joni menggelengkan kepala.
"Takut, Bu."
"Takut" Kenapa" Apakah bapakmu galak tehadap
dirimu?" "Nggak sih. Cuma nggak mungkin. Bapak saya nggak bakal mau menjawab meskipun
saya menanyakannya
sampai mulut saya berbusa."
"Apakah bapakmu itu bisu?"
"Saya kurang tahu. Dulu sih nggak."
"Aduh, Jon. Kamu ini bagaimana sih" Menurut dugaan ibu, pasti kamu bohong
mengenai soal bapakmu itu. Tidak mungkin ada orang tua yang ditanya anaknya
tidak mau menjawab."
"Ibu nggak percaya?"
"Tidak."
"Saya juga tidak percaya, Jon."
"Kalau nggak percaya ya sudah. Justru kalau saya bilang Bapak saya itu bisa
menjawab pertanyaan saya, saya yakin Bapak dan Ibu nggak bakal percaya! Bener,
deh. Malah Bapak dan Ibu bakal bilang, saya ini adalah pembohong besar!"
"Tidak mungkin saya berkata begitu terhadap dirimu!"
"Pasti! Soalnya di mana sih ada orang yang sudah mati ditanya bisa menjawab."
"Apa?"" Jadi Bapakmu itu sebenarnya telah meninggal dunia, Jon?""!" teriak
keduanya. Pasangan suami istri setengah baya itu langsung wajahnya berubah pucat
seperti mayat. Hampir saja keduanya jatuh dari tempat duduknya masing-masing
saking kagetnya.
Berbeda dengan Joni. Melihat kedua orang tua itu
terkejut. Joni malah umbar tawanya terbahak-bahak.
"Apa saya bilang. Iya kan Bapak dan Ibu nggak percaya?"
TAMAT Pertarungan Di Pulau Api 1 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka 12