Pencarian

Gajah Kencana 12

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 12


Kebo Taruna karena berhianat kepada patih Aluyuda,
"sekarang jawablah pertanyaanku. A pa maksud kedatanganmu
pada saat selarut malam ini ke sini?"
"Jawabanku adalah jawaban kakang apabila kuajukan
pertanyaan serupa kepada kakang. Cobalah kakang jawab,
mengapa kakang berdua berada di tempat ini dalam waktu
begini larut malam" Jawaban kakang akan sama dengan
jawabanku !" "Setan" gumam Wirudha "bukankah engkau hendak
mengincar harta peninggalan paman patih?"
"Bukankah kakang juga demikian?" balas Kebo Taruna.
"Aku wajib, karena aku akan melanjutkan cita2 perjuangan
paman Aluyuda. Tetapi engkau, Kebo Taruna, sungguh tebal
benar kulit mukamu. Orangnya engkau jerumuskan dalam
lembah kematian, hartanya engkau miliki. O, itukah maksud
yang tersembunyi dalam tindakanmu menghianati paman
patih, Kebo Taruna!"
Kebo Taruna terkesiap sesaat tetapi secepat itu pula ia
segera menjawab, "Jauh dari angan2 begitu yang mendorong
aku bertindak membuka kedok paman Aluyuda. Dan
ketahuilah, kakang Wirudha, aku hanya salah seorang dari
sekian banyak saksi yang memberi keterangan tentang
tindakan2 paman patih. Tanpa keteranganku, Dharmaputera
sudah cukup mempunyai banyak bukti yang kuat. Jika tidak
bagaimana mungkin mereka berani mengajukan paman patih
ke peradilan rapat paseban ?"
"Mereka layak berbuat begitu karena mereka adalah
musuh paman patih. Tetapi engkau?" seru Wirudha.
"Sudahlah kakang Wirudha" sahut Kebo Taruna pula, "tak
perlu kita bertele-tele mengungkapkan pula hal2 yang sudah
terjadi. Jawaban telah kuberikan tadi. Demikian pula
pendirianku yang mendorong aku bertindak begitu, Soal
tuduhan baru lagi yang mengatakan aku mempunyai tujuan
untuk merampas harta peninggalan paman patih, jawabanku
adalah begini. Harta benda harus dimanfaatkan untuk orang
yang hidup. Oleh karena harta benda itu disangsikan sumber
kemurniannya, artinya, disangsikan bagaimana cara2
memperolehnya atau dengan jalan jujur atau tidak, maka
layaklah kalau harta itu harus diambil" sejenak Kebo Taruna
menjalangkan pandang mata ke wajah Wirudha, "bukankah
demikian tujuan kakang berdua berada di kebun ini" Atau
mungkin kakang mempunyai tujuan lain ?"
"Kebo Taruna, engkau benar2 seorang putera senopati
yang jahat!" teriak Gagak Bongkol sesaat mendengar
pengakuan Kebo Taruna. "Ha, ha" Kebo Taruna tertawa mencemoh, "orang jahat
lebih baik dari orang bodoh. Banyak kenyataan yang
membuktikan bahwa orang jahat lebih enak hidupnya, lebih
tinggi kedudukannya. Tetapi orang bodoh, hm, berkacalah
pada dirimu, Gagak Bongkol. Berapa lama engkau ikut paman
patih. Tetapi dulu engkau seorang pembunuh, sekarang
engkaupun tetap seorang algojo. Dan kelak akhirnya engkau
tentu dibunuh orang. Itu sudah hukum kodrat. Hutang jiwa
harus bayar jiwa!" "Kebo Taruna ...."
"Tetapi kalau engkau bukan orang bodoh, engkau tentu
takkan mengalami nasib begitu" cepat Kebo Taruna
mendahului merebut pembicaraan sebelum Gagak Bongkol
membuka mulut "engkau tentu dapat menghindarkan diri dari
bahaya itu. Dan enak pula hidupmu"
Gagak Bongkol terbeliak. Semula ia hendak mendamprat
tetapi demi mendengar kata2 Kebo Taruna yang terakhir,
serasa pikirannyapun terpercik sesuatu. Namun ia tak tahu
bagaimana hendak menyingkap percik2 yang ditaburkan Kebo
Taruna kedalam benaknya itu.
"Tetapi orang sebodoh engkau tentu tak mau mendengar
kata," kata Kebo Taruna pula.
"Katakanlah!" diluar kesadarannya, Gagak Bongkol
berteriak karena tak kuat menahan gejolak keinginannya.
"Kakang Bongkol, jangan menghiraukannya!" cepat
Wirudha memberantas. Ia kuatir Gagak Bongkol akan
terpengaruh oleh siasat Kebo Taruna.
Kebo Taruna tertawa, "Bukan aku tak mau berkata. Gagak
Bongkol. Tetapi engkau harus tunduk dan mendengar kata
kakang Wirudha. Bukankah kakang Wirudha itu kawanmu
dalam mengabdi kepada paman patih Aluyuda, walaupun
keadaan kalian berbeda satu dengan lain ?"
Karena bertahun-tahun kenal dengan Gagak Bongkol,
tahulah Kebo Taruna akan watak dan sifat orang itu. Gagak
Bongkol seorang yang berhati dingin membunuh orang tetapi
berhati panas melihat harta. Maka ia hendak mengadakan
siasat untuk mengadu domba kedua orang itu agak retak. Dan
ternyata siasatnya termakan Gagak Bongkol"Kebo Taruna, katakanlah !" ia mengulangi permintaannya
tanpa menghiraukan peringatan Wirudha.
Kebo Taruna tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera
ia berkata, "Baik, Gagak Bongkol. Dengarkanlah. Paman
Aluyuda memang telah menanam harta karun dalam kebun
ini. Jika kita berhasil menemukannya, engkau tentu akan
mendapat bagian yang takkan habis engkau nikmati seumur
hidupmu" "Betapa besarkah harta itu?" serentak Gagak Bongkol
terangsang. "Tak ternilai banyaknya" sahut Kebo Taruna.
Wajah Gagak Bongkol tegang seketika. Dahinya meliuk
kerut2 yang menggaris dalam, mukanya bertebaran merah.
Wirudha memperhatikan semua pembicaraan yang berlangsung antara Kebo Taruna dengan Gagak Bongkol.
Sengaja ia tak mau menyela dalam pembicaraan mereka
karena ia ingin tahu siasat yang hendak dilancarkan Kebo
Taruna dan tanggapan2 Gagak Bongkol. Setelah jelas melihat
gejala2 yang berbahaya dari sikap Gagak Bongkol, iapun tak
dapat berpeluk tangan lebih lanjut.
"Kebo Taruna" teriak Wirudha "jelas engkau seorang
pembunuh, penghianat dan perampok. Terimalah hukumanmu!" Seiring dengan ayunan kakinya melayang ke muka,
bindipun dihunjamkan ke dada Kebo Taruna dengan tenaga
hantaman yang mampu menghancurkan kepala seekor
kerbau. Serangan itu dilakukan serba cepat dau serba dahsyat.
Ia amat bernapsu untuk menghamburkan rongga dada Kebo
Taruna. Tetapi Kebo Taruna pun sudah sejak mula berhadapan
dengan kedua orang itu, telah memperagakan diri dalam
kesiap-siagaan. Walaupun tengah bicara dengan Gagak
Bongkol namun telinga dan perhatiannya tak pernah terlepas
dari gerak-gerik Wirudha.
Sesaat Wirudha bergerak. Kebo Tarunapun menyerempak
loncat ke samping, Tepat ia berada di muka Gagak Bongkol
tetapi Gagak Bongkol diam saja sehingga Kebo Taruna dapat
melanjutkan gerakannya menerjang lambung Wirudha.
Bukan terkejut karena bindinya menghantam angin
kosong, tetapi Wirudha terkejut karena sikap Gagak Bongkol
yang cepat sekali berobah. Berbahaya, pikirnya. Setelah loncat
mundur untuk menghindari terjangan Kebo Taruna, Wirudha
pun cepat pula maju menghantamkan bindinya. Sesaat Kebo
Taruna menyingkir, Wirudha yang saat itu berada di muka
Gagak Bongkol, tanpa berpaling memandangnya, berseru
pelahan, "Kakang Bongkol, separoh harta itu akan kuberikan
kepadamu. Lekas bunuh si Taruna!"
Wirudha tahu apa yang mengendap dalam hati Gagak
Bongkol. Mendengar janji itu, serentak memberingaslah wajah
Gagak Bongkol. "Raden, menyingkirlah, akan kubereskan Kebo
Taruna" serunya seraya loncat ke muka dan berhadapan
dengan Kebo Taruna. "Bodoh!" bentak Kebo Taruna "engkau tak menginginkan
harta itu?" Walaupun kenal baik dengan Wirudha dan Kebo Taruna,
tetapi semasa bekerja di kepatihan, Gagak Bongkol lebih
banyak bertugas di bawah perintah Wirudha dari pada Kebo
Taruna. Itulah sebabnya pengaruh Wirudha lebih besar
kepadanya. Ia tak mau menjawab perkataan Kebo Taruna
melainkan terus loncat meninjunya.
Gagak Bongkol memang memiliki tenaga yang amat kuat
sekali. Memang korban2 yang dibunuhnya, sebagian besar
adalah narapraja yang tak memiliki ilmu kedigdayaan ataupun
sudah tua, tetapi setiap kali ia hanya menggunakan pukulan
untuk mengakhiri jiwa mereka. Jarang ia menggunakan
senjata tajam. Dan para korban itu cukup sekali pukul, jarang
benar ia mengulangi sampai dua tiga kali.
Karena tak menyangka-nyangka, Kebo Taruna tak sempat
menghindar. Untuk menjaga jangan sampai dirinya
dicengkeram dalam pelukan maut dari Gagak Bongkol, Kebo Taruna pun serentak menyongsongkan pukulan, Krak,
terdengar bunyi kerat2 tulang berderak derak. Tubuh Kebo
Taruna terseok seok beberapa langkah ke belakang. Tulang
lengan kanannya serasa patah. Sementara Gagak Boigkol pun
tertegun. Lengannya bergetar keras, tenaganya lunglai
beberapa saat. Mata menyalang, wajah merah padam. Hampir
ia tak percaya bahwa Kebo Taruna mampu menyanggah
pukulannya yang dahsyat. Bahkan sampai membuatnya lemas
lunglai. Andaikata saat itu Kebo Taruna balas menyerang, ia
tentu celaka. Tetapi untunglah pemuda itu menyurut beberapa
langkah ke belakang dan tampak mendekap tangan kanannya
dengan wajah mengerut kesakitan.
Wirudha terkejut juga menyaksikan kesudahan pertarungan itu. Apabila mau, ia dapat menerjang Kebo
Taruna dan menyelesaikannya. Tetapi ia tak menghendaki
demikian. Ia menginginkan agar kedua orang itu sama2
menderita luka parah, baru ia turun tangan.
Beberapa saat kemudian setelah lama berdiri diam, Gagak
Bongkol mulai bergerak pula. Untuk mengerahkan tenaga dan
menghancurkan nyali lawan, tiba2 ia menghamburkan sebuah
aum yang dahsyat, ilmu aum suara yang disebut Senggora
macan. Kemudian menyerempaki dengan sebuah terjangan.
Tangan menghantam, kaki menyepak. Sekaligus, dua buah
serangan dilancarkan. Luput yang satu, kena yang lain.
Setelah mengadu kekerasan tulang, Kebo Taruna
menyadari bahwa tulang tangan Gagak Bongkol memang
keras, tenaganya pun lebih kuat. Untuk mengalahkan lawan, ia
harus menggunakan kelincahan dan ketangkasan. Cepat ia
loncat ke samping setelah itu ia hendak balas memukul. Tetapi
ternyata terjadi seauatu yang tak pernah disangkanya. Gagak
Bongkol memang bodoh dalam kata2 dan pikiran. Tetapi
tidaklah dalam berkelahi. Apa pula ia memiliki ilmu lindung
yang mengebalkan tubuhnya dari segala pukulan maupun
benda keras. Walaupun tinju Kebo Taruna sudah hampir mendarat di
lambung namun Gagak Bongkol tetap tak berusaha untuk
menghindar. Tetapi pada saat Kebo Taruna sudah yakin
bahwa pukulannya tentu mendapat hasil, sekonyong konyong
Gagak Bongkol berputar tubuh, menyongsong pukulan dengan
punggung kemudian dengan sebuah gerak yang tak terduga ia
berputar tubuh dan menerkam Kebo Taruna. Kebo Taruna
benar2 terkejut sekali. Jarak sedemikian merapat, tak mungkin
ia dapat menghindar atau rnenyiak. Tubuhnya tercengkam
dalam pelukan Gagak Bongkol. Ia merasakan kedua tangan
Gagak Bongkol itu teramat kuat sekali, tak ubah seperti
sepasang kait yang menjepit. Walaupun ia kerahkan segenap
tenaganya, tetapi tak berhasil untuk lolos.
"Mati aku" diam2 Kebo Taruna mengeluh, wajahnya merah
padam menahan jepitan tangan Gagak Bongkol. Sesaat ia
harus mengerahkan tenaga untuk menahan. Beberapa saat
kemudian, tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknya, "aku harus
mencari akal untuk menyiasati kerbau gila ini"
Dan cepat sekali ia telah menemukan siasat itu. "Hm,
engkau beaar2 bodoh sekali, Gagak Bongkol. Apa yang kakang
Wirudha menjanjikan kepadamu?"
"Separoh dari harta itu untukku!"
Sambil masih mengembangkan tenaga untuk bertahan,
Kebo Taruna tertawa perlahan, "Hu, goblok, masakan dia tahu
tempat harta itu. Hanya akulah satu satunya orang yang tahu"
Masih bergema ucapan itu segera Kebo Taruna rasakan
jepitan tangan Gagak Bongkol mengendor. Kesempatan itu
segera tak dilewatkan Kebo Taruna. Ia tak mau meronta
dengan kekerasan melainkan berbisik pula, "Kita bagi harta itu
berdua....." Makin melongsor pelukan tangan Gagak Bongkol dan kemudian tentu akan lepas
sama sekali. Tetapi hal itu
tak sampai terlaksana karena
sekonyong konyong Wirudha
menghardik, "Gagak Bongkol, engkau hendak berhianat!" Seiring dengan bunyi tulang berderak keras, sebuah lolong jeritan yang
mengerikan meraung nyaring dan tubuh Gagak Bongkol

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun rubuh menelungkupi Kebo Taruna.
Wirudha tak pernah melepaskan perhatiannya pada
pertarungan Gagak Bongkol dan Kebo Taruna. Sampai pada
Gagak Bongkol berhasil menyikap lawan dari belakang,
Wirudha terbeliak gembira. Tetapi ketika terdengar Kebo
Taruna bisik2 ke dekat telinga Gagak Bongkol, timbullah
kecurigaan Wirudha. Kecurigaannya makin meningkat.
Kemudian meletuslah kemarahannya ketika memperhatikan
Gagak Bongkol melonggarkan pelukannya. Berbahaya, pikir
Wirudha. Dan cepatlah ia bertindak. Serempak loncat ke
belakang Gagak Bongkol, bindipun diayunkan ke kepalanya. Ia
tahu bahwa Gagak Bongkol memiliki ilmu kebal. Tetapi ubun2
kepala merupakan bagian yang lemah dari ilmu itu. Sekali
hantam, pecahlah tulang kepala Gagak Bongkol. Darah
berhamburan dan tubuhnya pun rubuh menelungkupi Kebo
Taruna. Keduanya jatuh menyusur ke tanah dengan Kebo
Taruna tertindih tubuh Gagak Bongkol.
Dalam keadaan jatuh tertindih itu, Kebo Taruna sudah
kehilangan segenap daya perlawanannya maka Wirudha pun
akan menghabiskan nyawanya. Loncat ke muka ia segera
ayunkan bindi mengarah kepala Kebo Taruna yang masih
tengkurap di tanah. "Auh ......." tiba2 terdengar mulut Wirudha menjerit kaget
dan kesakitan karena punggungnya tertimpa oleh sebuah batu
kecil. Kecil sekalipun batu itu tetapi tenaga yang melontarkan
bukan kepalang kerasnya sehingga Wirudha kesakitan dan
menjerit, kemudian berputar tubuh. "Siapa engkau!" teriaknya
dengan nada penuh dendam kemarahan ketika dilihatnya
sesosok tubuh tegak berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Orang itu tak langsung menjawab melainkan melangkah
maju tiga langkah, "Lihatlah, siapa aku!"
Wirudha membelalakkan mata, wajahnya menegang kejut.
"Engkau ..." "Ya" desuh orang itu.
"Bukankah engkau bekel muda yaag menggemparkan
rapat pateban itu?" teriak Wirudha pula.
"Benar" sahut orang itu yang memang bukan lain adalah
bekel Dipa. "Mengapa engkau muncul di sini?"
"Sudah sejak tadi" sahut bekel Dipa "tetapi aku tak mau
menampakkan diri" Wirudha mendengus "Huh, engkau juga hendak ikut
memancing di air keruh?"
Bekel Dipa tertawa datar "Tidak, aku hendak menjala di air
jernih" "Hm" desuh Wirudha pula "engkau tentu serupa dengan
Kebo Taruna, menjatuhkan patih Aluyuda karena hendak
merampas hartanya" Bekel Dipa tertawa pula "Memang orang jahat tak pernah
menganggap orang lain baik. Aku tak tahu menahu tentang
harta gusti patih A luyuda"
"Mengapa engkau datang kemari?"
"Aku seorang bekel bhayangkara yang harus menjaga
keamanan pura" "Engkau hendak membantu Kebo Taruna?"
"Bukan" sahut bekel Dipa "aku hanya mencurigai gerak
geriknya dan ingin tahu mengapa ia masuk ke gedung
mahapatih A luyuda yang sudah kosong"
"Jelas dia hendak merampas harta peninggalan ki patih
Aluyuda. Tangkaplah dia"
"Dan engkau?" cepat bekel Dipa menanggapi.
Wirudha agak gelagapan tetapi pada lain saat dia segera
menjawab, "Akupun curiga kepadanya dan mengikutinya
kemari" "O" desuh bekel Dipa "jika begitu telingaku-lah yang mulai
rusak. Karena apa yang kudengar tadi beda dengan
keteranganmu" "Hm" Wirudha mendesuh tersipu sipu,
"Memang ada kalanya, orang masih berusaha menutupi
hal yang sudah nyata" gumam bekel Dipa "pada hal seorang
seperti diri raden, haruslah dapat dipercaya"
"Benar" sambut Wirudha "untuk orang2 yang perlu diberi
kepercayaan. Tetapi tidak untuk orang yang jelas berdiri di
lain pendirian" "Seperti diriku, maksud raden?" bekel Dipa cepat
menanggapi "tetapi tugas kewajibanku menghendaki
kepercayaan itu" "Adakah engkau hendak memaksa?" Wirudha menegas
"Sesungguhnya apa2 yang bersifat paksa itu tidak baik"
jawab bekel Dipa "tetapi ada kalanya memang perlu. Dan
dibenarkan pula oleh tugas. Adakah untuk hal2 yang kita
hadapi sekarang, perlu timbulnya pemaksaan itu. Kuharap
tidak, raden." "Apa yang engkau kehendaki?" seru Wirudha.
"Kesatu, hadirnya raden di tempat ini. Kedua,
pembunuhan yang raden lakukan terhadap orang sebawahan
raden sendiri" "Dia orang sebawahanku sendiri, dia hendak berhianat,
sudah selayaknya menerima hukuman!" seru Wirudha.
Bekel Dipa geleng2 kepala.
"Benar, benar "serunya "sayang raden seorang kawula
biasa, sayang kerajaan Majapahit ini sebuah negara hukum.
Bahkan membunuh anak sendiri-pun harus dikenakan hukum
juga" Wirudha tertawa mencemooh. "Tetapi engkau lupa bekel,
bahwa aku bukan kawula Majapahit. Aku kawula Singasari!"
Bekel Dipa terkesiap sejenak. "Ah, raden masih terjaga,
belum tidur. Mengapa raden bermimpi " Di-manakah kerajaan
Singasiri itu sekarang?"
"Singasari tetap berada di wilayah Singasari, sebagaimana
Kahuripan dan Daha" "Itu hanya salah sebuah wilayah dari kerajaan Majapahit
sekarang. Singasari sudah lama lenyap"
"Setan" geram Wirudha "Singasari masih tetap berdiri,
wilayah dan kekuasaannya"
"O" desuh bekel Dipa "dimana?"
"Didalam sanubariku dan setiap kawula Singasari yang
masih setya kepada bumi Singasari"
"Berbahaya" seru bekel Dipa "apabila di bumi Majapahit itu
masih terdapat orang2 yang berpikiran seperti raden. Orang2
yang buta akan kenyataan, yang hidup pada saat ini tetapi
bermimpikan masa yang lampau, yang benaung di bawah
kerajaan Majapahit tetapi setya kepada Singasari, yang hidup
bergaul dengan manusia hidup tetapi mendambakan bangkai
yang sudah mati. Orang2 semacam itu tak layak hidup di
negara Majapahit!" Dalam membawakan kata2 itu tampak tegas bagaimana
sinar mata bekel Dipa bersinar sinar laksana kilatan bintang.
Memang demikian sikap bekel itu dikala menentang dan
memberantas setiap suara atau usaha yang hendak merusak
kesatuan negara Majapahit.
Wirudha tertawa hina "Rupanya rapat paseban telah
melahirkan engkau seorang besar, seorang berkuasa penuh
sehingga merasa berhak untuk melarang hidup dalam
kerajaan Majapahit. Rupanya sebagai jasamu menggulingkan
gusti patih Aluyuda, kini engkau telah menerima pangkat dan
kekuasaan yang sedemikian besar!"
"Tidak" bantah bekel Dipa "kebinasaan gusti patih
Aluyuda, bukan kerajaan bukan peradilan bukan para kawula
lebih bukan aku yang menyebabkan. Tetapi perbuatannya
sendiri. Dan bukanlah pangkat atau kekuasaan yang berhak
untuk melarang raden hidup dalam kerajaan Majapahit, tetapi
setiap rakyat, setiap pejuang yang mencintai bumi Majapahit
berhak berbuat demikian!"
Wirudha menggeram. "Hm, lalu bagaimana maksudmu?" tegurnya.
"Raden harus serahkan diri
kuserahkan kepada yang beiwnjib"
untuk kutangkap dan "Apa kesalahanku?"
"Membunuh jiwa orang" sahut Dipa "undang- undang
kerajaan Majapahit tak membenarkan setiap pembunuhan jiwa
orang" "Telah kukatakan, aku bukan kawula kerajaan Majapahit,
aku tak mau mengakui undang-undangnya."
"Lebih2 raden bukan kawula kerajaan Majapahit, raden
harus menghormati undang2 kerajaan Majapahit dan harus
tunduk!" cepat bekel Dipa berseru.
Wirudha mendengus "Hm, rupanya rapat paseban telah
menjadikan engkau seorang besar, bekel. Tidak, aku tak mau
menyerah. Silahkan engkau menangkap apabila hendak
menggunakan kekerasan!"
Bekel Dipa tahu bahwa Wirudha itu jelas salah seorang
anakbuah mahapatih Aluyuda. Dengan latar belakang sejarah
keturunan sebagai seorang putera demung kerajaan Singasari,
Wirudha juga merupakan musuh gelap yang berbahaya bagi
kerajaan Majapahit. Rupanya, sisa pengikut mahapatih
Aluyuda masih belum terkikis habis dan masih hendak
melanjutkan gerakannya untuk merongrong kewibawaan
kerajaan Majapahit. "Baik, raden Wirudha, aku terpaksa harus menjalankan
tugasku" kata bekel Dipa seraya maju dan mengambil sikap.
Tiba2 terdengar suara orang berseru "Bekel, kasihlah aku
yang menangkap Wirudha!"
Ketika bekel Dipa berpaling ternyata Kebo Taruna sudah
tiba di samping. Ternyata pemuda itu telah bangkit dari tanah,
setelah mengemasi pakaian dan muka yang berlumuran darah
Gagak Bongkol, ia segera melangkah maju. Ia mendengar
semua percakapan antara Wirudha dengan bekel Dipa.
"Bagus!" seru Wirudha "kalian maju berdua sekali, agar
dapat menghemat tenaga dan waktuku"
"Keparat" teriak Kebo Taruna seraya loncat kehadapan
Wirudha "engkau kira Kebo Taruna seorang diri tak mampu
membunuhmu ?" Wirudha hendak menjawab tetapi Kebo Taruna sudah tak
memberi kesempatan lagi. Sebuah terjangan yang amat deras
segera dilancarkan. Wirudha mendengus. Serentak ia songsongkan bindi
menghantam Kebo Taruna. Bekel Dipa terkejut namun ia tak
sempat berbuat apa2 karena betapapun ia hendak bertindak,
tetap sia2. Bekel Dipa hanya termangu dan terpukau.
Bukan tak tahu Kebo Taruna bahwa Wirudha membekal
senjata bindi. Mengapa ia tetap berani menerjangnya,
bukanlah tanpa alasan. Ia menerjang dengan kecepatan yang
luar biasa cepatnya, mendahului gerakan bindi lawan.
Akibatnya tubuh Wirudha terdorong ke belakang sampai
beberapa langkah sehingga bindipun tak sempat diayunkan.
Mendapat hasil, Kebo Taruna tak mau memberi peluang
lagi. Memijak tanah kuat2 ia melajukan tubuh ke muka untuk
memberi hantaman yang kedua agar Wirudha rubuh. Tetapi
kali ini dia ketemu batunya. Memang akibat tinju Kebo Taruna
dada Wirudha terasa sesak dan sakit sekali. Segumpal darah
melonjak dari dada hendak meluncur ke luar dari mulut.
Bahkan lidahnya sudah merasakan rasa air liur yang anyir.
Pandang mata Wirudhapun terasa berbinar-binar. Ia
menyadari bahwa apabila Kebo Taruna menyerangnya lagi, ia
pasti rubuh. Apa yang dicemaskan Wirudha itu ternyata menjadi
kenyataan. Kebo Taruna loncat dalam gaya harimau
menerkam. Buas dan dahsyat. Detik2 dikala maut hendak
menjelang, menimbulkan berbagai tanggapan pada manusia.
Ada yang takut, yang menangis, yang tabah dan yang
paserah. Tidak demikian dengan Wirudha. Sebelum ajal
berpantang maut. Jika perlu, ia bersedia mati
bersama Kebo Taruna. Dengan mengerahkan segenap kekuatan
yang masih tersisa, Wirudha segera menaburkan bindinya
kepada Kebo Taruna. Kebo Taruna sudah tiba di hadapan
Wirudha, jarak yang sedemikian dekat tak memungkinkan ia
menghindar lagi. Satu-satunya kesempatan yang masih
sempat dilakukan hanyalah
menutupkan kedua tangan melindungi mukanya. Duk .... Kebo Taruna menjerit keras,
tubuh terlempar ke belakang dan jatuh terjerembab. Melihat
itu bekel Dipa cepat loncat untuk menyambut tetapi terlambat.
Ia tiba ketika Kebo Taruna sudah tertelentang di tanah.
Sekalipun demikian tetap ia memberi pertolongan. Ia
mengangkat tubuh Kebo Taruna dan memeriksa luka yang
dideritanya. Tulang tangan kiri pemuda itu telah remuk akibat
lontaran bindi yang dahsyat. Apabila muka atau dadanya yang
terkena, tentu akan jauh lebih parah lagi. Bekel Dipa berusaha
untuk menyadarkan Kebo Taruna yang pingsan dengan
mengurut urut dadanya agar pernapasan pemuda itu dapat
melancar kembali. Beberapa saat kemudian Kebo Taruna
terdengar metintih kesakitan dan mendekap tangan kirinya.
"Raden Taruna" bisik bekel Dipa "raden terluka. Tulang
tangan raden hancur ...."
Kebo Taruna membuka mata "Engkau .... terima kasih ki
bekel" tiba2 wajah pemuda itu memberingas "dimanakah
Wirudha!" Bekel Dipapun serentak terjaga dari kelenaan. Karena
mencurahkan perhatian untuk menolong Kebo Taruna sampai
lupalah sesaat ia akan Wirudha. Andaikata Wirudha
menyerangnya, mungkin ia akan menderita karena tak siap.
lapun tak sempat memikirkan mengapa Wirudha tak
mengadakan suatu gerakan dan bagaimana keadaan pemuda
itu. Seruan Kebo Taruna telah menyadarkan bekel Dipa bahwa
saat itu sesungguhnya ia masih terancam bahaya dari
Wirudha. Cepat ia mengangkat tubuh Kebo Taruna supaya
duduk dan secepat itu pula ia terus melenting bangun,
memandang kearah tempat Wirudha berdiri. Tetapi ah,
ternyata tempat itu kosong, Wirudha lenyap. Bekel Dipa
memburu ke pintu kebun tetapi tak melihat sosok bayangan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu apa kecuali kepekatan malam yang makin larut.
"Ah, raden Wirudha telah meloloskan diri, raden" katanya
kepada Kebo Taruna. Kebo Taruna menghela napas, "Ah, dia tentu ketakutan.
Tak apalah hari masih panjang dan masih banyak kesempatan
untuk menyelesaikan peristiwa hari ini dengannya"
"Baik, raden" kata bekel Dipa "apabila raden mempunyai
pikiran begitu. Lebih pula apabila raden dapat menghapus rasa
dendam itu" Kebo Taruna membelalakkan mata. "Mengapa" Dia adalah
putera demung Marpanji Wipaksa pengganti demung Wiraraja
pada masa kerajaan Singasari. Dia mempunyai hubungan
dengan gerombolan Wukir Polaman untuk merongrong
kerajaan Majapahit. Mereka memusuhi himpunan Gajah
Kencana. Tidakkah orang semacam itu harus dibasmi, ki
bekel?" "Ya" sahut bekel Dipa "hadapi dia pada saat raden
berhadapan dengan orangnya. Tetapi kurang perlu raden
mendendam dalam hati. Karena dendam itu, ibarat api yang
membakar dan menghangus dada orang, menghanyut pikiran
dalam laut kemarahan yang selalu bergolak golak. Sehingga
karenanya kita harus membuang-buang banyak semangat dan
pikiran yang sesungguhnya dapat dipergunakan untuk lain2
kepentingan yang lebih bermanfaat ...."
Bekel Dipa berhenti sejetak menyelidik kesan pada wajah
Kebo Taruna. Kemudian lanjutnya, "Melupakan dendam itu
suatu tindakan yang baik. Menghapus dendam, suatu tindakan
yang lebih baik lagi. Tetapi yang paling baik adalah memberi
maaf. Karena melakukan kesalahan, berbuat dosa, itu
merupakan sifat manusiawi dari manusia. Tetapi memaafkan,
adalah sifat luhur dari Hyang Widdhi. Sifat yang maknanya
mengandung Kasih dan Sayang"
Kebo Taruna terbeliak. Hampir ia melupakan rasa sakit
pada tulang tangannya yang remuk. Pikirannya tertarik akan
ucapan bekel muda itu. "O" ia mendesuh penuh arti "jika
demikian, luhurlah budi brahmana muda itu ...."
"Siapakah yang raden maksudkan?" seru bekel Dipa heran.
"Ah" Kebo Taruna menghela napas "aku hanya teringat
akan seorang brahmana yang pernah mendendam kepadaku"
"Seorang brahmana mendendam kepada raden?" bekal
Dipa makin tertarik "apakah kesalahan raden ?"
"Secara tak langsung aku telah menyalahinya" kata Kebo
Taruna "maksudku, kesalahan itu tak kusadaran mempunyai
hubungan dengan dirinya"
Bekel Dipa makin terpikat. Segera ia meminta agar Kebo
Taruna suka menuturkan lebih jelas. Dengan terus terang
Kebo Taruna pun segera mengisahkan tentang lolosnya dari
kepatihan bersama seorang dara cantik bernama Damayanti,
kemudian berjumpa dengan seorang brahmana. "Brahmana
muda itu mengatakan bahwa Damayanti adalah penitisan dari
seorang wanita yang dicintainya ...."
"Siapa nama wanita itu?" bergegas bekel Dipa menukas.
"Rara Sindura" "Dan siapa nama brahmana muda itu?" bekel Dipa makin
tegang. "Anuraga" "Anuraga!" serentak berteriaklah bekel Dipa dikala
mendengar nama paman brahmana Anuraga disebut-sebut
"brahmana Anuraga, seorang brahmana muda yang tampan
dan tenang sikapnya?"
"Benar" sahut mengenalnya?" Kebo Taruna "adakah engkau "Cobalah raden melanjutkan penuturan raden, sebelum
aku menarik kesimpulan adakah brahmana itu benar paman
brahmana Anuraga yang kukenal" bekel Dipa membatasi diri.
"Kemudian ketika mengetahui bahwa aku putera rama
Kebo Anabrang, makin meluaplah kemarahan brahmana itu.
Dia mengaku putera dari paman adipati Rangga Lawe di
Tuban ...." "Hai, itulah brahmana pamanku !" tak kuasa lagi bekel
Dipa menyumbat luapan perasaannya yang melanda hayatnya.
Dengan penuh ketegangan ia mendesak Kebo Taruna
melanjutkan kissahnya. "Dia jauh lebih sakti dari diriku, dalam pertempuran aku
telah diteliku dan diangkat ke atas hendak dilemparkan ke
batu padas tetapi dikala itu muncullah seorang kakek bungkuk
yang mencegah dan memberi penerangan kepadanya. Serta
merta brahmana itupun segera melapaskan aku bersama
Damayanti dan seorang wanita muda menuju ke daerah baiat"
"Ah" bekel Dipa mendesuh.
"Aku tak tahu bahwa Damayanti itu titisan Rara Sindura,
wanita yang pernah bertahta dalam singgasana hati brahmana
itu. A kupun tak tahu bahwa ramaku Kebo A nabrang itu musuh
besar dari paman Rangga Lawe, ayahanda dari brahmana itu.
Pada saat tubuhku terangkat dan diputar-putar hendak
dibanting ke batu padas, aku sudah merasa tentu mati. Dua
peristiwa yang terjadi di luar kesadaranku, sudah tentu
menimbulkan dendam ganda dalam sanubari brahmana itu.
Tetapi sungguh langka sekali, ki bekel, brahmana itu telah
melepaskan aku bahkan menyuruh aku membawa Damayanti
ke wilayah barat bersama wanita muda itu. Tidakkah hal itu
sesuai seperti }ang engkau katakan tadi. Memberi ampun atau
maaf, adalah sifat yang agung dari titah manusia yang telah
menghayati keagungan Hyang Widdhi?"
Bekel Dipa termangu-mangu dalam genangan kenang dan
kesan. Ia tak pernah menyangka bahwa paman brahmana
Anuraga yang dihormati itu pernah menderita dalam jerat
sutera sang Kama. Iapun dapat menyelami perasaan paman
brahmana terhadap Kebo Taruna. Kemudian serentak timbul
rasa hormat dan kagum yang tiada taranya terhadap tindakan
paman brahmana. Rela menghapus dendam ramanda, ihklas
menyerahkan wanita yang pernah bersemayam dalam
sanubarinya. Tidakkah kebesaran hati dan keluhuran budi
paman brahmana itu serindang pohon brahmatana yang
mengayomi mereka yang meneduh dari kepanasan surya dan
kedinginan hujan " Bekel Dipa terbuai dalam semilir alunan
angin pawana yang seolah membawa bisikan syahdu dari
Keluhuran dan Kesucian. "Kini aku merasa kecil diri dan makin terbuka hatiku bahwa
hidup itu memang penuh derita. Kini aku dapat merenungkan
rasa derita yang dikenyam brahmana muda itu serta wanita
muda yang seperjalanan dengan aku menyingkir ke daerah
barat" "Adakah wanita muda itu juga menderita?"
"Menderita sekali"
"Siapakah namanya?" tanya bekel Dipa sekedar untuk
melengkapi pengetahuannya.
"Indu Salupi, cucu puteri demang Suryanata"
"Hai!" serentak melonjaklah bekel Dipa seperti menginjak
ular berbisa "lndu Salupi cucu puteri demang Suryanata,
katamu?" ia menegas.
Kebo Taruna terbeliak heran "Ya, mengapa?"
"Mengapa ia sampai terlunta-lunta di gunung itu dan apa
sebabnya ia harus menyingkir ke daerah barat?" bekel Dipa
seolah tak menghiraukan keheranan Kebo Taruna dan
melancarkan pertanyaan. Kebo Taruna segera menuturkan kissah Indu Salupi
menurut yang didengarnya dari pengakuan wanita muda itu.
Bahwa ternyata Indu Salupi itu bekas dayang juru tebah
peraduan baginda Jayanagara. Pada suatu hari baginda
Jayanagara dalam pengaruh tuak telah menodai kehormatan
dayarg itu. Beberapa waktu kemudian Indu Salupi
mengandung. Gusti puteri Indreswari murka dan menitahkan
orang untuk membawa Indu ke hutan dan dibunuhnya. Tetapi
utusan itu tak sampai hati. Indu dilepas dan akhirnya menikah
dengan buyut Lodaya. Sebagai gantinya utusan itu
mempersembahkan pakaian Indu yang telah dilumuri dengan
darah kambing. Tetapi peristiwa itu akhirnya ketahuan juga
oleh gusti ratu Indreswari. Ia memerintahkan orang untuk
membunuh Indu dan puteranya. Karena terancam bahaya
akhirnya Indu terpaksa melarikan diri. "Demikian kissah yang
menyedihkan dari wanita muda itu" Kebo Taruna mengakhiri
penuturannya. Bekel Dipa terlongong-longong dalam keharuan dan
kehampaan. Memercik kemarahan terhadap ulah baginda
Jayanagara yang telah menodai seorang gadis tak berdosa
dan lemah sebagai Indu Salupi. Ia sendiri tak tahu mengapa ia
mempunyai perasaan iba terhadap nasib Indu dan demang
Suryanata yang tak putus dirundung kemalangan itu. Pada hal
selama bergaul beberapa bulan di hutan dulu, ia mendapat
kesan, bahwa demang Surya itu seorang tua yang baik budi,
bahwa "Indu itu seorang dara yang lincah dan baik hati.
Tetapi mengapa nasib mereka sedemikian malang" Adakah
memang demikian yang harus diderita oleh orang yang baik
hati itu" Ia tak tahu. Benar2 tak tahu akan kegaiban hidup,
kebesaran alam dan keagungan Hyang Jagadnata.
"Adakah itu suatu coba dari Hyang Widdhi kepada
titahnya?" dalam pelariannya, Dipa segera melontarkan
pertanyaan dalam hati sanubarinya sendiri. Dan hal itu
disesuaikan dengan apa yang dialami dan dideritanya sendiri
selama ini. Bukankah kissah hidupnya penuh berhias dengan
derita dan coba" "Ki bekel, adakah engkau kenal pada wanita muda itu dan
brahmana Anuraga" Tampaknya engkau terkejut sedih
mendengar penuturanku" tiba2 Kebo Taruna melontarkan
pertanyaan. Bekel Dipa mesgangguk sarat. Kemudian bertanya
"Bagaimanakah dengan keadaan Indu Salupi" Dimanakah dia
sekarang?" "Kami telah menetap dikaki gunung daerah Matahun.
Sebuah tempat yang sunyi dan tenang. Dia tak kurang suatu
apa bersama puteranya"
Terasa suatu getaran dalam kalbu hati bekel Dipa namun
dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk menindasnya.
Semoga dia berbahagia, bisiknya dalam hati.
"Raden sungguh berbahagia" katanya sesaat kemudian.
"Dalam hal apa?" Kebo Taruna terkesiap.
"Raden telah berhasil mempersunting seorang dara yang
raden idam-idamkan" "Ah" Kebo Taruna menghela napas. Panjang dan dalam
"ya, ya, aku harus berbahagia walaupun tak dapat
mempersuntingnya, ki bekel"
Bekel Dipa agak memperisterinya?" terbeliak "Tidakkah raden telah Kebo Taruna tertawa sayu "Engkau boleh percaya, pun
boleh tak percaya. Tetapi memang demikianlah kenyataannya. Entah bagaimana, Damayanti telah berobah sikapnya. Dia lebih banyak termenung-menung,
seperti orang yang kehilangan sesuatu. Badannya kian hari
kian kurus" "O" desuh bekel Dipa "apakah dia mengidap sesuatu
penyakit?" "Tidak" Kebo Taruna gelengkan kepala "tetapi sejak
berjumpa dengan brahmana Anuraga itu, dia mulai kehilangan
diri" "Maksudmu?" bekel Dipa menegur,
"Ia selalu terkenang kepada brahmana Anuraga. Hal ini
kutahu jelas karena sering kujumpahi dia termenung-menung
seorang diri dan mengingati. Demikian pula dikala tidur"
Bekel Dipa terkesiap tetapi pada lain saat ia berseru
"Raden Taruna, janganlah raden rnenghambur fitnah
memburukkan nama paman brahmana Anuraga. Paman
brahmana sudah tulus dan ikhlas menyerahkan dara itu
kepadamu. Tak mungkin dia hendak berusaha secara diam2
mempengaruhi pikiran dara itu. Bukankah raden hendak
menuduh bahwa paman brahmana Anuraga menggunakan
ilmu mantra untuk memikat hati dara itu?"
Kebo Taruna terkejut "Tidak, bekel, tidak setitik pun aku
memiliki pikiran semacam itu. Telah kukatakan aku merasa
berdosa kepada brahmana itu. Akupun menaruh hormat dan
perindahan yang setinggi-tingginya. Dalam soal Damayanti,
memang dia telah berobah haluan. Atau memang dia tak
mencintai diriku. Tetapi Kebo Taruna pun seorang lelaki,
putera seorang senopati. Tak mau aku menggunakan
kekerasan untuk memaksa hati Damayanti. Jika putera adipati
Rangga Lawe dapat berbuat seluhur itu. tidakkah aku putera
Kebo A nabrang tak mampu melakukan hal itu" Bekel, jodoh itu
di tangan yang Murbeng Gesang. Aku tak ingin memaksakan
kodrat yang telah digariskan Hyang Widdhi!"
Ternganga bekel Dipa mendengar pernyataan dan sikap
Kebo Taruna dalam melantangkan pendiriannya terhadap
Damayanti. "Lalu bagaimana maksudmu, raden ?"
"Aku hendak berkelana mencari brahmana muda itu.
Engkau mengatakan kenal kepadanya, adakah engkau tahu
tempat kediamannya?"
"Paman brahmana suka mengembara, tiada tempat tinggal
yang menentu. Tetapi apa maksud raden hendak
mencarinya?" "Aku hendak mohon pertolongan kepadanya"
"Pertolongan apa?" bekel Dipa makin heran.
"Untuk menyembuhkan Damayanti ..."

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyakit aneh yang diderita "Oh" bekel Dipa mendesuh "paman brahmana seorang
brahmana yang luhur budi. Apa yang telah dikatakan tak
mungkin akan diterima kembali. Kutahu jelas akan peribadi
paman brahmana itu maka akupun berani mewakilinya
berbicara" Kebo Taruna menjelangkan kolopak mata lebih melebar,
serunya, "Bekel, suatu wajib bagi seorang brahmana dan
ksatrya untuk memberi pertolongan kepada yang benar2
membutuhkan pertolongan. Bahkan bila perlu, ia akan rela
mengorbankan dirinya. Bukankah begitu?"
Bekel Dipa mengiakan. "Damayanti telah menderita suatu penyakit aneh. Aku
hendak mohon pertolongan brahmana muda itu untuk
menyembuhkannya. Dapatkah ia menolak permohonanku itu"
Bekel, suatu penolakan akan menyebabkan brahmana muda
itu menyiksa diri Damayanti dan menyiksa .... dirinya sendiri"
"Raden Taruna!" seru bekel Dipa setengah menghardik
"janganlah raden mengukur jiwa paman brahmana itu dengan
jiwa orang kebanyakan, terlebih pula jiwa raden sendiri.
Baginya, seratus kali ia akan rela dan ikhlas untuk menderita
sendiri daripada harus mencelakai orang lain"
Kebo Taruna tertawa hambar "Bekel, jangan engkau ulas
diri brahmana muda itu dengan emas berkilau. Dia tetap
seorang manusia muda. Kutahu"
Bekel Dipa tertegun. "Dan adakah engkau merasa mempunyai kewajiban atau
hak untuk melarang tindakanku mencarinya?"
Bekel Dipa agak gelagapan menerima pertanyaan itu.
Sahutnya sesaat kemudian, "Memang bukan kewajiban bukan
pula menjadi hakku untuk melarang raden mencarinya. Tetapi
sebagai seorang yang tahu peribadi paman brahmana itu
sebagaimana aku tahu pada perasaan hatiku sendiri, aku
memberi penjelasan kepada raden bahwa usaha raden itu
hanya akan tertumbuk dengan kegagalan belaka. Bersabarlah
dan rawat Damayanti dengan baik, akan tiba suatu saat ia
sadar dan kembali kepadamu, raden"
"Jika demikian wajiblah aku menghaturkan terima kasih
kepadamu, bekel" sahut Kebo Taruna, "tetapi selama belum
berhadapan dengan brahmana itu, tak puas rasa hatiku. Oleh
karena itu, aku tetap akan menurutkan suara hatiku untuk
mencarinya" Bekel Dipa menghela napas. Ia tahu bahwa tak mungkin
untuk mengendapkan kehendak raden itu.
"Baiklah, raden, terserah pada keputusan raden sendiri.
Tetapi saat ini raden sedang menderita luka parah, yang
penting haruslah raden menyembuhkannya dulu"
"Terima kasih, bekel, atas pertolonganmu menyelamatkan
jiwaku" kata Kebo Taruna "marilah kita tinggalkan tempat ini"
Bekel Dipa mengernyit dahi, "Tetapi bukankah raden
hendak mencari harta peninggalan gusti patih Aluyuda yang
ditanam di kebun ini?"
Kebo Taruna tertawa hambar. "Sesungguhnya hal itu tak
penting bagiku. Peninggalan dari mendiang ramaku, cukup
untuk kunikmati seumur hidup. Kedatanganku kemari tak lain
untuk menyergap sisa2 pengikut paman patih Aluyuda yang
masih berkeliaran dalam pura"
"O" bekel Dipa mendesah kejut, "apakah raden belum
pasti akan harta peninggalan itu" Ataukah memang tak ada
harta semacam itu ?"
"Benar" sahut Kebo Taruna, "memang aku belum yakin
sekali akan-harta peninggalan di kebun ini"
"Tetapi mengapa raden Wirudha dan Gagak Bongkol tahu
hal itu dan datang kemari?" tanya bekel.Dipa penuh rasa
heran. Kebo Taruna tertawa sayu, "Engkau tentu mendengar
tentang ucapan yang mengatakan bahwa mati semut karena
gula, manusia binasa karena loba. Berdasarkan hal itu maka
sengaja kusiarkan berita tentang harta karun peninggalan
paman patih Aluyuda yang tertanam di kebun belakang
gedung kediamannya. Ternyata mereka benar muncul dan
hampir dapat kusergap"
"Suatu pancingan?" seru bekel Dipa "tetapi mengapa
raden melakukan hal itu?"
"Bekel" kata Kebo Taruna "setelah bertahun menyepikan
diri di alam pegunungan, makin dekatlah perasanku kepada
kebesaran alam dan keagungan Hyang Widdhi. Tindakan
brahmana muda itu telah meninggalkan kesan yang
menggores dalam2 di lubuk hatiku. Aku terpesona dan pesona
itu memancarkan percikan sinar yang menerangi batinku.
Itulah sebabnya mengapa ketika salah seorang Dharmaputera
dapat menemukan aku, akupun segera bersedia ikut ke pura
kerajaan untuk memberi kesaksian atas kesalahan paman
patih Aluyuda ..." Berhenti sejenak Kebo Taruna melanjutkan pula, "Aku
telah menyadari kesalahan jalan hidupku. Aku pun
menemukan kepribadianku sebagai seorang putera senopati
kerajaan Majapahit. Maka setelah paman patih meninggal,
timbullah hasratku untuk membersihkan sisa pengikutnya"
Bekel Dipa termangu. "Lebih besar pula kekagumanku kepada himpunan Gajah
Kencana yang konon kabarnya para warganya terdiri dari
putera2 mentri senopati kerajaan Majapahit. Betapa ingin
diriku dapat diterima menjadi warga himpunan itu. Bekel,
tahukah engkau tentang Gajah Kencana?"
Bekel Dipa terkejut, meragu kemudian menjawab,
"memang ada juga kudengar tentang himpunan itu. Tapi
kesibukan dalam tugas yang harus kulakukan tak
menyempatkan aku untuk menyelidikinya"
"O" desah Kebo Taruna agak kecewa.
"Tetapi raden" kata bekel Dipa lebih lanjut "untuk berbakti
kepada negara Majapahit, banyak nian jalannya. Bukan hanya
pada himpunan Gajah Kencana. Yang penting bukanlah kita ini
warga Gajah Kencana atau bukan, melainkan bagaimana
kesetyaan kita dan sejauh mana dharma bakti yang telah kita
persembahkan kepala negara. Walaupun tidak menjadi
warganya, tetapi Gajah Kencana selalu akan bersahabat
dengan mereka yang sehaluan dengan himpunan itu"
Kebo Taruna mengangguk "Engkau benar, bekel. Akupun
tak harus kecewa karena tak berhasil masuk menjadi warga
Gajah Kencana. Aku tetap akan bekerja menurut cara dan
jalanku sendiri, demi menjaga kelangsungan tegaknya negara
Majapahit" "Raden Taruna" seru bekel Dipa penuh haru kegembiraan
"setiap hasrat dan tujuan yang baik tentu akan mendapat
restu dewata. Marilah kita tinggalkan tempat ini, Hari sudah
makin larut" Demikian keduanya segera keluar dari gedung bekas
kediaman patih Aluyuda. Agak bingung bekel Dipa hendak
menawarkan supaya Kebo Taruna bermalam di asramanya. Ia
kuatir hal itu akan menarik perhatian orang.
"Terima kasih, bekel. Kurasa lebih baik aku pulang ke
tempat penginapanku sendiri" kata Kebo Taruna yang tahu
akan kegelisahan bekel itu.
Setelah meminta alamat tempat penginapan Kebo Taruna,
merekapun berpisah. Keesokan harinya bekel Dipa
mengunjungi Kebo Taruna dan mengusahakan tabib untuk
mengobati lukanya. Beberapa hari kemudian sembuhlah tangan Kebo Taruna.
Setelah berkemas, pemuda itu pamit kepada bekel Dipa. Ia
tetap hendak melanjutkan perjalanannya mencari brahmana
Anuraga. Bekel Dipa menghabiskan masa cutinya untuk menyelami
kehidupan para kawula, mengaji pengetahuan tentang ilmu
keprajaan, agama dan lain2 bekal perjalanan hidup dimasa
yang akan datang. 0o-dwkz-mch-o0 II WAKTU berjalan amat cepat sekali. Cuti selama dua bulan
terasa hanya beberapa kejab mata. Selama ini banyak sudah
hal2 yang telah dilihat, didengar dan dirasakan bekel Dipa
dalam menyelami kehidupan di pura Majapahit. Tetapi masih
banyak pula pengetahuan dan ilmu, pengalaman dan
kenyataan yang belum terlihat, terdengar dan terserap oleh
bekel muda itu. Rasa haus akan ilmu, menyebabkan bekel itu
masih merasa serba kurang dan serba miskin, serba gelap dan
serba awam. Tetapi apa artinya waktu dua bulan bagi seorang yang
haus meneguk ilmu seperti bekel itu" Tidak banyak. Ia masih
ingin menggali sumber2 ilmu tetapi makin menggali makin
besar dan luaslah mataair yang memancar dari sumber itu.
Dua bulan telah tiba dan ia harus menghadap baginda
yang menitahkannya datang menghadap. "Dipa" sabda sang
nata "engkau telah menunjukkan dharma kesetyaanmu
kepada raja dan negara. Dalam memegang tampuk pimpinan
kerajaan selama ini, aku selalu memerintahkan dengan cara
Gitik pentung. Mati bagi penghianat, hukum bagi yang
bersalah tetapi ganjaran bagi yang berjasa"
Bekel Dipa menyeyogyakan sabda sang nata dengan
sebuah persembahan sembah hormat.
"Kulihat banyak sekali bakat2 yang engkau miliki, yang
kelak dapat eagkau persembahkan kepada kerajaan
Majapahit" titah baginda pula "oleh karena itu maka kuangkat
engkau sebagai patih Kahuripan, menggantikan paman patih
Arya Tadah yang akan kutitahkan menjadi mahapatih kerajaan
Majapahit" Baginda sudah siap membayangkan betapa cerah dan
gembira wajah bekel muda itu dikala menerima pengangkatan
itu. Tetapi baginda agak tertegun ketika tiada tampak suatu
kerut perobahan pada wajah bekel Dipa. Bekel itu tenang2
berdiam diri. "Bekel" seru baginda pula "mengapa tampaknya engkau
kurang gembira mendengar titahku" Apakah engkau merasa
bahwa ganjaran itu masih tak sepadan dengan jasamu?"
Tergopoh bekel Dipa mengunjuk sembah "Duh, sang nata
junjungan hamba. Tiada setitikpun terkandung dalam pikiran
hamba bekel hina, bahwa anugerah paduka itu masih kurang
memadai. Bahkan hamba merasa anugerah paduka itu amat
memberatkan hati hamba, gusti"
"Kenapa bekel ?" baginda agak heran.
"Gasti junjungan hamba" sembah bekel Dipa "adalah suatu
anugerah besar bahwa diri hamba yang hina paduka
perkenankan dengan kepercayaan besar untuk mengiring
paduka keluar dari pura kerajaan. Tugas itu suatu kehormatan
besar bagi hamba, jauh lebih besar dari pada anugerah lain2.
Dan sudah pula menjadi kewajiban hamba untuk menunaikan
tugas yang paduka percayakan itu. Oleh karena itu, gusti, apa
yang hamba lakukan hamba anggap bukan suatu jasa, bukan
pula suatu pahala yang patut paduka ganjar. Demikian gusti,
hamba mohon ampun apabila pernyataan yang hamba
persembahkan ke bawah duli paduka ini tak berkenan dalam
hati paduka" Baginda terkesiap, titahnya "Engkau menolak ganjaranku,
bekel?" "Ampun gusti" sembah bekel Dipa pula "bukan maksud
hamba hendak meniadakan maksud paduka yang baik
terhadap diri hamba. Melainkan hamba malu hati dan merasa
tak layak untuk menerima ganjaran paduka. Hamba merasa
apa yang hamba lakukan itu hanya suatu wajib dalam
menunaikan tugas" "Tetapi mengiring perjalanan yang penuh dengan segala
kemungkinan bahaya, melindungi keselamatan raja dan
membasmi kaum hianat, bukan hanya sekedar menunaikan
kewajiban tetapi benar2 suatu jasa yang tak ternilai besarnya"
"Gusti junjungan hamba" sembah bekel Dipa "Kesemuanya
itu adalah berkat restu paduka nata binatara kerajaan
Majapahit yang mendapat lindungan para dewata. Demikian
pula penumpasan para biang keladi pemberontakan itu, tak
lain hanya berkat bantuan dari para gusti mentri dan senopati
yang mulia. Bagaimana mungkin hamba bekel yang hina ini
mampu melaksanakan karya itu seorang diri?"
"Di mana mereka gagal, engkau telah berhasil" seru
baginda "bukankah selama pecah huru hara para mentri dan
senopati itu berada dalam pura" Bukankah selama
Dharmaputera bersimaharajalela merebut kekuasaan, mentri2
dan senopati2 itu tetap berada dalam pura" Mereka tak
berdaya menghadapi Dharmaputera sedangkan hanya
beberapa hari engkau tiba di pura maka hancurlah para
hianat2 itu" "Gusti "......."
"Anugerah raja adalah titah raja. Adakah engkau hendnk
mengingkari titah raja, bekel?"
Bergegas bekel Dipa mengunjuk sembah. "Sama sekali
tiada terkandung dalam hati untuk mengingkari titah paduka,
gusti. Tetapi sungguh berat hati hamba untuk menerima
anugerah paduka itu"
"Anggapanmu bahwa apa yang engkau lakukan selama ini
hanya sekedar memenuhi tugas, kutolak. Sekarang apa yang
masih memberatkan hatimu?"
"Hamba hanya seorang bekel rendah. Bukan hamba
bermaksud mengingkari titah paduka, tetapi hamba benar2
mencemaskan diri tak mampu untuk melaksanakan tugas yang
paduka limpahkan pada diri hamba. Gusti, jabatan patih bukan
suatu jabatan yang dapat dikerjakan dengan semena-mena.
Patih, menurut hemat hamba, merupakan pemangku utama di
bawah raja, yang menjalankan dan mengemudikan
pemerintahan. Adakah mungkin bahwa seorang bekel rendah
seperti diri hamba, mampu untuk melakukan tugas2 seberat
itu" Umur hamba masih muda, pengetahuan masih dangkal,
pengalamanpun kurang. Tidakkah hamba nanti akan merusak
kepercayaan yang paduka limpahkan, tidakkah hamba akan
mengecewakan harapan para kawula yang menginginkan
kesejahteraan hidup dan kemakmuran negara, gusti"
"Bekel Dipa, jika engkau mempunyai perasaan demikian,
sama pula artinya engkau meremehkan pertimbangan dan
keputusanku" titah baginda "bekel, ketahuilah. Bahwa apa
yang telah kuputuskan bukanlah hanya semata berdasarkan
keinginanku untuk mengganjar jasamu. Tetapi pun memang


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai landasan dasar pertimbangan yang telah kuteliti
dari kesan dan kenyataan. Memiliki perasaan seperti yang
engkau persembahkan kehadapanku itu, berarti tidak
membenarkan pertimbanganku"
Bekel Dipa terbeliak kejut. Tak pernah disangkanya bahwa
dalih yang diajukan untuk menolak ganjaran sang nata dan
yang ia percaya cukup kuat, ternyata hanya laksana lilin
dijerang api pada saat berhadapan dengan baginda. Timbul
kesan dalam hati bekel itu bahwa baginda Jayanagara itu
sesungguhnya seorang junjungan yang keras tetapipun tegas.
Di balik beberapa kelemahannya, baginda Jayanagara memiliki
kewibawaan dan pandangan yang tajam.
"Gusti junjungan hamba yang mulai. Mohon gusti
menjatuhkan hukuman atas diri hamba bekel hina" serta
merta bekel Dipa menghatur sembah.
Tiba2 baginda Jayanagara tertawa "Aneh, benar2 aneh.
Baru pertama kali ini aku menghadapi seorang manusia yang
seaneh engkau, bekel. Setiap narapraja kerajaan bekerja keras
dan mengharap sekali untuk menerima ganjaran raja,
kenaikan pangkat dan kedudukan. Tetapi engkau kebalikannya
malah menolak, bahkan minta dihukum. Ya, inilah salah
sebuah ciri keperibadianmu yang menyenangkan hatiku. Jika
seluruh mentri, senopati dan narapraja kerajaan Majapahit
seperti dirimu, kupercaya Majapahit pasti akan menjulang
tinggi dalam kejayaan dan kebesaran!"
Bekel Dipa tak mengucap apa2 kecuali menghaturkan
sembah. "Bekel" baginda bersabda pula "terimalah pengangkatan
itu dengan segenap jiwa pengabdianmu kepada negara. Soal
kecakapan, pengetahuan dan pengalaman, janganlah engkau
menguatirkan dirimu. Akan kutitahkan paman Arya Tadah
untuk membimbingmu dulu beberapa waktu sehingga engkau
mengenal dan memahami tugas kewajibanmu. Apabila engkau
tak menginginkan hal itu sebagai ganjaran atas jasamu maka
haruslah engkau dapat menghayati hal itu sebagai suatu tugas
baru yang kuberikan kepadamu. Kupercaya, bekel, engkau
tentu mampu melaksanakan tugas baru sebaik dengan apa
yang telah engkau lakukan ketika mengiring aku ke Bedander"
Titah yang bernafas penekanan dari baginda itu tak dapat
ditolak bekel Dipa lagi. Akhirnya ia menerima juga
pengangkatan itu. Demikian atas restu baginda, bekel Dipa
segera menuju ke Kahuripan, tempat kedudukarnya yang
baru. Dari bekel menjadi patih, merupakan suatu loncatan yang
tak pernah terjadi dalam sejarah kepangkatan kerajaan
Majapahit. Walaupun patih Kahuripan itu merupakan patih
daerah yang masih bernaung di bawah kekuasaan mahapatih
kerajaan, namun patih bukanlah pangkat yang rendah.
Susunan pemerintahan di daerah bagian kerajaan Majapahit,
disesuaikan dengan susunan pemerintah pusat. Kahuripan,
Daha dan Majapahit masing2 mempunyai seorang patih. Dan
ketiga patih itu tunduk pada kekuasaan mahapatih kerajaan.
Arya Tadah, patih Kahuripan dipindah ke pura kerajaan dan
dinaikkan pangkat sebagai mahapatih. Sedang bekel Dipa
menggantikan sebagai patih Kahuripan. Pengangkatan itu
membuka lembaran sejarah baru bagi Dipa. Dia makin meniti
ke atas tangga pemerintahan yang tinggi.
Dipa menyadari bahwa kenaikan pangkat itu bukan suatu
ganjaran, melainkan suatu kehormatan, suatu kepercayaan
dari baginda. Tak ada alasan baginya untuk berbangga hati
karena kenaikan pangkat itu. Bahkan kebalikannya ia malah
bertambah perihatin karena setiap kenaikan pangkat
merupakan kenaikan beban dari tugas yang harus
dilaksanakan. Menyadari pula akan kekurangan2 yang terasa
pada dirinya, Dipa pun makin giat dan tekun untuk
mempersiapkan diri memikul tugas kewajibannya. Ia
mencurahkan seluruh pikiran dan segenap tenaga serta
sepenuh pengabdiannya untuk menunaikan tugasnya.
Kedatangan Dipa ke Kahuripan telah mendapat sambutan
yang hangat dari Rani Kahuripan, para nara-praja dan kawula.
Bagi narapraja dan kawula Kahuripan, Dipa bukan orang baru.
Dipa pernah menjabat prajurit bhayangkara di keraton
Kahuripan. Dia meninggalkan kesan yang baik pada tugasnya,
terhadap para atasan, kawan2 dan rakyat di telalah Kahuripan.
Hari pertama ketika menghadap sang Rani puteri
Tribuanatunggadewi, meninggalkan kesan yang mendalam
pada sanubari Dipa. Berkata sang Rani "Selamat datang
prajurit bhayangkara yang setya. Engkau telah membawa
keharuman nama bagiku peribadi serta keharuman Kahuripan.
Karena bhayangkara Kahuripan engkau, telah dapat
menyelamatkan kerajaan Majapahit dari pemberontakan
Dharmaputera" Tersipu-sipu patih Dipa menghaturkan terima kasih
"Kesemuanya itu, gusti, adalah berkat restu serta anugerah
paduka sehingga hamba mempunyai kesempatan untuk
menunaikan pengabdian hamba kepada kerajaan Majapahit"
Demikian selama beberapa waktu, Dipa telah mendapat
bimbingan dan petunjuk dari patih Arya Tadah tentang tugas
dan kewajiban serta pekerjaan dari seorang patih.
"Mudah-mudahan engkau dapat mengembangkan wilayah
Kahuripan lebih maju. Kahuripan adalah salah satu bagian dari
kerajaan Majapahit. Mengabdikan diri pada Kahuripan sama
halnya mengabdikan diri kepada Majapahit. Menjaga
keamanan, memajukan kesejahteraan dan mengembangkan
kemakmuran, merupakan tugas utama dari patih. Kupercaya,
engkau tentu dapat melakukan kewajibanmu dengan baik"
demikian pesan patih Arya pada saat ia hendak berangkat
menuju ke tempat tugasnya yang baru di pura Majapahit.
Patih Dipa mulai menyingsingkan lengan baju mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengembangkan daerah Kahuripan. Dalam bidang ketataprajaan negara, ia menyusun pembagian kedudukan
sesuai dengan susunan pemerintah pusat. Tujuan utama
adalah untuk membangun Kahuripan, menaikkan hasil bumi,
terutama dalam soal sandang dan pangan. Meningkatkan
penghidupan rakyat. Ia berpendapat bahwa tingkat kehidupan
rakyat itu mencerminkan kemajuan negara. Menegakkan
keamanan dengan mengeluarkan dan melaksanakan undang2
yang keras bagi pelanggar-pelanggar hukum. Keamanan
merupakan sarana penting akan tercapainya pembangunan.
Mengembangkan agama dan pendidikan karena agama dan
pendidikan merupakan kebutuhan rohani yang utama dalam
membentuk rasa susila dan rasa bertanggung jawab kepada
Hyang Widdhi, sesama manusia dan negara.
Cepat sekali tindakan2 patih baru itu dapat dikenyam oleh
para kawula. Mereka merasakan keamanan makin terjamin,
kehidupan makin tenteram dan sejahtera, pembangunan
berkembang, membuka hutan untuk tegal dan sawah,
mengatur perairan, memajukan kerajinan tangan dan
perdagangan. Demikian pula bertambahnya rumah2 suci dan
banyaknya pengunjung di candi2.
Hari itu patih Dipa dengan diiring oleh dua orang prajurit
habis pulang meninjau sebuah daerah. Hari sudah menjelang
petang dan jalan pun sudah sepi. Surya sudah mulai berlabuh
di balik gunung sebelah barat.
Tiba2 ia melihat sekawan anak2 tengah berjalan
berkelompok-kelompok di tengah jalan. Rupanya mereka habis
bermain-main dan hendak pulang. Mendengar derap kuda,
merekapun segera lari berhamburan menyingkir ke tepi jalan.
Tetapi sekonyong-konyong seorang anak kecil, mungkin yang
paling kecil di antara mereka, lari ke tengah jalan lagi. Patih
Dipa tak menyangka sama sekali. Jarak amat dekat, tak
sempat lagi ia menghentikan kudanya.
"Hai ....... !" terdengar pekik jeritan kejut dari kawanan
anak2 karena menyaksikan suatu peristiwa yang menghentikan debur jantung.
0o-dwkz-mch-o0 Sambung ke jilid 36 convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
JILID 36 I YASMIN JIVATI BAHAVO JIVANTI SA JIVATU. Barangsiapa
sementara ia hidup menyebabkan banyak orang hidup juga, orang yang demikian
itu betul2 patut hidup. Demikian ujar pandita Padapaduka, pandita yang menimbulkan kegemparan di
candi Mahayana desa Kagenengan karena atas sabda
pandita itu maka penjaga candi
Kagenangan melihat bahwa arca
Aksobya yang hilang, dilihatnya
telah berada di tempat pemujaannya lagi.
Banyak nian ajaran2 dan ilmu yang diterima Dipa dari
pandita sakti itu. Namun ia masih terlalu muda untuk
menyerapi ilmu ajaran keagamaan yang luas. Sekalipun
demikian, ada beberapa wejangan pandita itu yang tak pernah
terlupakan olehnya. Diantaranya adalah kata2 seperti di atas.
Setiap kali mempunyai kesempatan, selalu ia merenungkan
kata2 itu dan maknanya. Barang siapa yang hidup dan menghidupi orang, dialah
yang betul2 patut hidup. Walaupun sederhana kata-kata itu
namun lama benar Dipa merenungkan, menyelami dan
akhirnya tiba pada penghayatan bahwa hidup yang berharga
itu adalah hidup untuk menyebabkan titah lain hidup.
Pada mulanya, Dipa dalam pemikiran yang bersahaja,
mendaratkan pikirannya pada tumbuh-tumbuhan. Bahwa
tumbuh-tumbuhan itu hidup untuk menghidupi manusia.
Tetapi mereka adalah ditanam manusia sengaja dihidupkan
manusia untuk menghidupi manusia. Kehidupan mereka
memang suatu kehidupan yang dicipta dan dibentuk untuk
menghidupi manusia. Kehidupan ciptaan, tidaklah sepenuhnya
memiliki hayat menghidupi yang murni. Lebih cenderung
dikata, hasil dari pada suatu usaha manusia. Mereka patut
hidup, karena memang dihidupkan.
Berpaling pula perhatian Dipa pada mahluk binatang. Jenis
mahluk yang ini, memang agak berbeda dengan jenis tumbuh
tumbuhan. Mereka tidak dicipta, tidak dibentuk dan tidak pula
dihidupkan manusia. Mereka hidup karena hidap menurut
alamiah, menurut pula pembiakan jenis golongannya. Mereka
memiliki rasa hak untuk hidup, hak untuk mempertahankan
hidup. Dan untuk melaksanakan kedua hal itu, mereka tak
mengenal menghidupi tetapi mementingkan hidup. Tak kenal
menghidupi orang atau mahluk jenis lain tetapi mementingkan
menghidupi kehidupan hidupnya sendiri. Mereka memiliki
harga hidup tetapi bukan patut hidup. Harga hidup karena
mereka berjuang untuk mempertahankan hidup. Tidak patut
hidup karena mereka tak pernah menghidupi lain orang atau
lain jenis. Antara Harga dengan Patut, memang terdapat
selisih makna. Kemudian beralihlah perhatian Dipa kepada insan manusia,
titah Hyang Widdhi, jenis seperti dirinya. Patutkah manusia itu
hidup" Tiba pada pertanyaan itu, ia harus menumpahkan
seluruh pikirannya, merenung dan menyibak-nyibak lapisan
pengetahuan dan pengalaman, pengertian dan perasaan yang
bertumpu di dasar alam kesadaran maupun di bawah alam
sadar. Apakah sesungguhnya arti hidup itu"
Hidup, kata orang, hanya suatu bayangan. Hidup kata lain
orang lagi, hanya suatu persinggahan dari perjalanan ke arah
asal mulanya. Hidup, kata lain orang pula, suatu derita, suatu
samsara untuk mencuci atau membersihkan karma kehidupan
yang lampau. Hidup, kata orang pula, suatu dharma, luatu
kewajiban. Hidup tentu mati, beda kata orang juga, dan
setelah mati tak mungkin kembali hidup. Oleh karena itu
mumpung hidup, bersenang-senanglah menikmati sepuaspuasnya.
Kata orang, kata orang. Dari orang ke lain orang, dari
masa ke masa. Sepanjang sejarah manusia, sejak manusia
yang pertama sampai yang terakhir. Kata yang berangkai ujar,
berbentuk wejangan, bermakna ilmu ajaran itu banyak juga
yang bersinggah di telinga Dipa. Dari orang2 tua di desa,
brahmana Anuraga, demang Surya, pandita Padapaduka dan
beberapa Wiku berilmu.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adakalanya dalam saat yang luang dan lengang, terbetik
pula pemikiran2 tentang soal hidup dan arti hidup, tujuan
hidup dan keakhiran hidup. Ia merenung dan menyelami
tetapi makin bingung dan tenggelam. Seolah terhanyut dalam
suatu lingkaran yang tiada pangkal ujungnya. Ia tahu dan
meraja bahwa ia mulai berpikir. Tahu pula bahwa ia mulai
terhanyut dalam lingkaran itu, tibalah ia dalam sebuah jagad
kehampaan. Ia tak tahu kiblat dan arah, ujung dan pangkal
bahkan tak tahu letak dirinya. Ia merasa berpikir tetapi
kehilangan pikir. Memang kala itu dia masih muda, masih terlalu muda
untuk menghayati ilmu yang sudah setua manusia pertama. Ia
masih belum mencapai apa yang harus dicapai. Dipaksakan
mencapainya hanya suatu pencapaian menurut capai
pemikirannya, menurut bayangannya. Pada hal bayangan itu
bersifat samar. Pernah pada suatu kesempatan berbicara dengan paman
brahmana Anuraga ia menanyakan soal itu. Maka tertawalah
brahmana muda itu. "Engkau bingung memikirkan apakah hidup dan arti hidup
itu?" seru brahmana Anuraga, "untuk menghilangkan
kebingungan, untuk menemukan apa yang engkau cari,
berhentilah berpikir, jangan berpikir!"
Dipa terbeliak. "Jangan heran, Dipa," kata brahmana Anuraga pula, "jika
menghentikan pemikiranmu, bukankah kebingunganmu itu
akan hapus?" Dipa mengiakan. "Ya, tetapi aku tetap tak menemukan
apa2" "Mengapa tidak menemukan apa2" ulang
Anuraga "engkau telah menemukan apa2 itu"
brahmana "Apa yang kutemukan, paman?"
"Dipa" kata brahmana Anuraga mengemasi
duduknya "mengapa engkau memikirkan soal itu?"
sikap Merenung sejenak Dipa menjawab "Aku ingin mencari arti
hidup, paman?" "Mencari?" ulang Anuraga "apakah engkau sudah tahu hal
itu?" "Oleh karena tak tahu maka aku mencarinya."
"Bagaimana engkau hendak mencari apabila engkau belum
mengetahui benda yang hendak engkau cari itu" Aneh,
mencari tetapi tak tahu apa yang dicarinya. Bagaimana
mungkin" Jika engkau tahu benda itu, baru engkau dapat
mencarinya" Dipa terbeliak. Memang ucapan paman brahmana itu
benar. Tetapi ada suatu perasaan dalam hatinya bahwa ia
menginginkan sesuatu dalam pencarian itu. "Paman, aku tak
tahu bagaimana harus mengatakan untuk memperoleh
jawaban dari persoalan yang menghuni dalam hatiku"
"Pertanyaan itu timbul dari hatimu ataupun dari pikiranmu,
maka jawabannya pun dapat engkau peroleh dari hati atau
pikiranmu" kata brahmana Anuraga dan sebelum Dipa sempat
membuka mulut, ia melanjutkan pula "mengapa engkau
memikirkan hal itu" Adakah setelah engkau mengetahui,
engkau akan puas" Tidak Dipa, tentu engkau akan melanjut
lagi pertanyaan dan keinginan2 lain. Akibatnya, engkau
peruntukkan hidupmu hanya untuk berpikir dan merenung.
Dan andaikata engkau dapat memperoleh jawabannya,
adakah jawaban itu sudah terjamin kebenarannya" Andaikata
benar, lalu apa yang akan engkau lakukan " Adakah engkau
akan berpeluk tangan menunggu hal2 yang masih samar
tetapi engkau anggap benar itu akan datang kepadamu
sendiri?" Dipa terlongong-longong menerima curahan pertanyaan
dari paman brahmana yang dihormatinya itu.
"Tidak, paman" sahutnya sesaat kemudian "setelah
mendapat pengetahuan itu, aku tetap akan bekerja, berbuat
dan berdharma sebagaimana kewajiban hidupku"
"A, a" Anuraga mendecak "itu katamu pada saat ini. Tetapi
belum pasti engkau akan berkata begitu manakala engkau
telah mendapat pengetahuan dari jawaban yang engkau
inginkan itu. Misalnya, engkau memperoleh jawaban bahwa
hidup itu hanya sekejab, sesingkat orang bersinggah,
kemudian harus kembali pada asalnya. Bagaimana sikapmu
dalam menghadapi hidupmu. Engkau mungkin mengatakan
tetap akan bekerja sesuai dengan dharma hidupmu, tetapi
tidaklah batinmu akan terpengaruh bayang2 jawaban itu"
Tidakkah berbahaya apabila anggapanmu terlumur dengan
pengetahuanmu tentang arti hidup sehingga semangatmu
lemah dan menganggap bahwa dalam hidup yang amat
singkat itu, mengapa harus berjuang untuk negara, mengapa
harus berjuang untuk memperbaiki nasibmu dan mengapa
harus berjuang untuk segala sesuatu dalam hidupmu?"
"Dan" brahmana Anoraga melanjut pula "benarkan arti
hidup itu seperti yang engkau peroleh pada jawaban itu" Ah"
Anuraga mendesuh "itupun masih samar2. Mengapa engkau
berjuang pada landasan pendirian hidup yang masih samarsamar" Demikian pula halnya dengan beraneka jawaban diri
pertanyaanmu itu. Kesemuanya itu masih samar-samar.
Mengapa engkau mencari sesuatu yang masih samar-samar,
Dipa?" Dipa termangu-mangu. Dalam kemanguan terluncurlah
sepatah ungkapan kebingungan hatinya. "Lalu bagaimana
harus kulakukan, paman?"
"Engkau sudah melakukan, Dipa" sahut brahmana Anuraga
"mengapa engkau bertanya pula. Bukankah engkau sudah
hidup sampai saat ini. Itulah. Engkau sudah melakukan apa
yang engkau harus melakukan dalam hidupmu."
Dipa makin heran. "Dipa" kata Anuraga kemudian "yang penting kita harus
menghayati kodrat Prakitri. Lahir, tumbuh dan layu. Tiap
kelahiran tentu berakhir kelayuan. Karena tiada di dunia ini
barang yang kekal. Dari mana berasalnya, akan kembali
kepada asalnya. Titah manusia yang diciptakan Hyang Maha
Widdhi, akan kembali kepada penciptaNYA. Itu harus menjadi
pedoman dan penerangan batin kita. Tak perlu engkau, dalam
masa seperti dirimu saat ini, merenung dan memikirkan apa
yang sesungguhnya sudah hidup dalam jagad-kecil di
tubuhmu dan jagad raya semesta alam. Hidupmu itulah arti
daripada tujuan engkau hidup. Kematianmu, bukanlah tujuan
hidupmu, melainkan kodrat yang telah menjadi syarat
kehidupan. Karena kelahiranmu atau dari mana engkau
berasal dan tujuanmu atau ke mana kelak setelah mati engkau
menuju, telah kupaparkan tadi. Dari mana engkau berasal,
kembalilah engkau pada asalmu. Dari yang memberi kepada
yang memberi..." Dipa mengangguk-angguk. Terasa ada sesuatu sinar
terang yang memercik dalam kalbunya.
"Bahwa engkau saat ini hidup, itu suatu kenyataan. Entah
itu suatu samsara, entah anugerah. Janganlah engkau mengisi
batin dan pikiranmu dengan sesuatu. Karena pengisian itu
akan mencemarkan kemurnian batin dan pikiranmu dalam
mengemban kewajiban hidupmu"
Dipa makin terbenam dalam larutan rasa. Rasa yang ia tak
tahu apa namanya. "Hyang Maha Agung menciptakan semesta alam dengan
seluruh isinya. Menciptakan pula manusia. Kesemuanya itu
disebut hidup. Manusia itu adalah sifat hidup. Kemanusiawian,
unsur hidup. Sari hidup merupakan inti ciptaan Hyang Maha
Agung. Maka hiduplah untuk menetapi sifat Hidup.
Kembangkan kemanusiawian dengan segala unsur2 perikemanusiaan yang menjadi lambaran unsur hidup.
Manembahlah kepada Hyang Maha Agung, sari hidup daripada
segala kehidupan" Walaupun belum pernah merasakan, tetapi sudah banyak
Dipa mendengar dan melihat orang minum tuak sampai
mabuk. Bagaimana mabuk itu, ia belum pernah merasakan
sendiri. Kira2, demikian perasaannya ketika mendengar uraian
sang brahmana Anuraga, seperti yang dirasakan saat itu.
Pikirannya melambung suksma melayang, jauh tinggi ke
angkasa. Kosong tetapi terasa berisi, gelap tetapi terasa
terang, merasa tetapi tidak m"rasa. Ada tetapi terasa tiada.
Tiada tetapi terasa ada. Ia bingung, sarat dan pening. Lusuh
dan paserah. Brahmana Anuraga memandang anak itu. Iba hatinya
melihat anak itu pejamkan mata dalam kehampaan wajah
yang sunyi "Dipa, apa yang mendorongmu bertanya soal itu ?"
tegurnya pelahan. Ingin ia tahu apa maksud Dipa bertanyakan
soal2 yang berat dan belum dapat terjangkau dalam
pemikirannya. "Anu, paman" kata Dipa agak tergesa "aku hanya teringat
akan ucapan pandita Padapaduka yang mengatakan
barangsiapa ia hidup menyebabkan banyak orang hidup juga,
orang itu betul2 patut hidup"
"Orang yang dapat menyebabkan banyak orang hidup
adalah orang yang menghayati dan melaksanakan Paramita
atau jalan mencapai kesempurnaan nirwana. Didalamnya
mengandung salah sebuah ajaran tentang Kemurahan hati,
kasih sayang. Rela berbuat, berdana dan berkorban tanpa
sesuatu ikatan ingin dan harap. Bukan melainkan kebendaan
saja yang di-dana-kan tetapi pun tenaga, pikiran, ucapan dan
bahkan jiwa raga. Dana atau kemurahan hati yang mempunyai
dasar. Bukan berdasarkan pamrih mengharap balas, bukan
pula didorong oleh rasa ke-aku-an peribadi, melainkan oleh
rasa welas asih, kasih sayang yang merupakan pancaran
kemanusiawian, unsur hidup yang murni. Di situlah letak
bobot dan nilai hidup ini, aku dapat dikatakan bahwa orang
yang demikian itulah yang patut hidup. Jelaslah engkau Dipa?"
sejenak Anuraga melekatkan pandang ke wajah anak itu.
"Jangan engkau tergesa gesa mengatakan bahwa engkau
sudah jelas sekarang. Karena hal itu akan menimbulkan
paksaan dalam hatimu. Hayatilah hal itu seiring dengan
pengalaman2 yang akan engkau alami dalam masa2
sepanjang hayatmu" "Dan" kata Anuraga pula "janganlah engkau lekas2
percaya kepada apa yang kukatakan. Karena kepercayaan itu
tak dapat diminta bahkan pula dipaksa. Tidak, Dipa, engkau
harus mencarinya sendiri dan semoga kepercayaan itu tumbuh
dalam hati sanubarimu"
Demikian selintas renungan yang melintas dalam benak
Dipa, sampai setelah ia menjadi bekel, bahkan sampai
menjabat patih. Pengalaman dan pengetahuan yang mengiring
meningkat usia, banyak memberi kesan dan kesimpulan
bahwa apa yang diwejangkan paman brahmana Anuraga
kepadanya itu, banyak mendekati kenyataan. Dengan keadaan
dan lingkungan tugas pekerjaannya, ia selalu melangkahkan
tindakan dan langkahnya pada garis2 yang telah diwejangkan
paman brahmana Anugara. Hidup dan menghidupi, melahirkan
rasa kasih sayang dalam kemanusiawian, membentuk
keparamitaan dalam peribadi dan memantapkan bobot sifat
hidupnya. Dalam garis2 langkah tindakan dan tujuan serta
pengabdiannya kepada negara dan rakyat, ia berpijak pada
landasan Paramita. Hidup yang menyebabkan banyak orang
hidup, menurut kesimpulannya, tak lain hanyalah suatu
penyerahan yang tulus ikhlas didalam mengabdi kepentingan
negara, rakyat serta kesucian manembah kepada Hyang Maha
Agung. Dalam mengawal baginda Jayanagara lolos dari pura
kerajaan ke desa Bedander, merupakan pelaksanaan dari
landasan pendirian hidupnya. Demikian pula setelah ia
menjabat patih di Kahuripan. la berusaha keras untuk
membangun daerah Kahuripan
Mengabdi negara, mengabdi rakyat, merupakan suatu
paramita yang berintikan Hidup dan menyebabkan banyak
orang hidup. Mulailah bersemi benih2 dasar rasa pengabdian
dalam hati sanubari. Benih2 itu kelak akan tumbuh, berbunga
dan menyiarkan keharuman yang bertebaran di sepanjang
perjalanan hidupnya mengabdi kepada negara.
Demikian pada hari itu, bersama seorang prajurit patih
Dipa meninjau sebuah daerah di kaki gunung Penanggungan.
Memang demikianlah patih Dipa apabila melakukan
peninjauan. Tak suka secara resmi, tak suka pula membawa
banyak pengiring. Cukup seorang dua orang pengiring dan
secara menyamar, lepas dari pakaian kebesaran. Dengan
demikian ia merasa lebih leluasa dan lebih dapat menyelami
keadaan yang sebenarnya. Karena biasanya, setiap hasil dari
suatu kunjungan atau peninjauan resmi ke suatu daerah selalu
ia disambut oleh lurah atau kepala daerah tersebut secara
meriah. Dijamu dan disambut dengan upacara yang meriah.
Bahkan kadang kala suatu pesta yang dimeriahkan dengan
pertunjukan yang berakhir sampai larut malam.
Patih Kahuripan itu tak senang dengan penyambutan
demikian. Pertama, menghambur-hamburkan uang untuk
sesuatu yang kurang penting. Hanya sekedar menghormat
seorang pembesar tinggi. Pada hal bukan penyambutan secara
meriah dengan pesta yang berlebih-lebihan, yang dapat
dianggap sebagai suatu cara untuk menghormat kedatangannya. Bagi patih Dipa, apabila buyut, lurah atau
kepala daerah yang dikunjunginya itu benar-benar
membuktikan bahwa desa atau daerah yang dipimpinnya itu
mencapai kemajuan dan kemakmuran, itu sudah cukup
memuaskan hatinya. Bukan penyambutan besar-besaran yang
menjadi tanda dari kemajuan daerah itu, tetapi keadaan
daerah itu sendiri dan rakyatnya. Bagi patih Kahuripan yang
baru itu, kemajuan setiap daerah yang dikunjunginya itu
merupakan ukuran besar kecilnya penghormatan kepala
daerah itu kepadanya. Bukan kepadanya secara peribadi tetapi
bagi keranian Kahuripan. Tak jarang terjadi, seorang kepala daerah atau buyut desa
yang memberi penyambutan dengan pesta meriah, ia tegur
dengan tajam karena daerah atau desa disitu tiada mengunjuk
kemajuan, kehidupan rakyat menderita.
Ada pula dalam penyambutan dan pesta besar untuk
menyambut kunjungannya itu, setelah menyuruh orang untuk
menyelidiki, ternyata beayanya dibebankan kepada rakyat


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah itu, pada hal jelas2 rakyatnya miskin, patih Dipa tak
dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Seketika itu juga
kepala daerah dan atau buyut desa yang bersangkutan,
didamprat habis-habisan dan diberi peringatan keras. Apabila
kepala atau buyut itu berani bertindak seperti itu lagi, bukan
saja akan dilepas dari kedudukannya, pun juga akan dihukum
dengan kesalahan menindas dan memeras rakyat.
Tindakan patih Dipa itu telah menimbulkan gelombang
kegemparan yang menggetarkan kepala daerah dan buyut2
ditelatah Kahuripan. Sudah tentu setiap tindakan itu akan
menimbulkan bermacam tanggapan yang pada hakekatnya
berkisar pada dua golongan. Yang suka dan yang tidak suka.
Bagi kepala daerah dan buyut yang benar2 mengambil pada
kepentingan daerah dan rakyatnya, tindakan patih baru itu
disambut dengan hati yang legah dan perasaan gembira.
Tetapi bagi mereka yang memperabdi kedudukan daerah dan
rakyat untuk kepentingan diri peribadinya, merasa tak senang
dan marah. Tetapi karena tak dapat menyalurkan perasaannya
itu, maka merekapun segera menciptakan rencana untuk
menghaturkan sanjungan dan hadiah2 yang dilaksanakan
dalam bentuk penyambutan meriah dan menghaturkan tanda
mata yang berharga kepada patih. Pun tanda2 dari sikap dan
tingkah yang menghormat dan takut secara berlebih lebihan,
merupakan gejala2 yang menghinggapi golongan kepala
daerah dan buyut semacam itu.
Ada pula suatu gejala yang dirasakan dan tak disenangi
patih Dipa. Yalah pada setiap kunjungan resmi itu, setelah
disambut dengan penghormatan dan pesta yang cukup
melelahkan, kemudian kepala daerah atau buyut yang
bersangkutan itu segera menghaturkan laporan. Pada
umumnya laporan itu tentu menunjukkan tingkat kemajuan
dan kemakmuran yang menggembirakan. Tiada laporan yang
buruk pada daerah atau desa yang dibawahinya. Pada hal
setelah secara diam2 patih Dipa mengutus orang untuk
menyelidiki, kenyataan berbicara lain pada laporan itu.
Kemudian yang menyebabkan patih Dipa kurang mantap
dalam peninjauan itu, setiap kali ia menyatakan keinginannya
untuk turun meninjau ke pedesaan ataupun keperkampungan,
tentulah selalu dicegah oleh kepala atau buyut desa tersebut.
Dan apabila patih Dipa tetap berkeras maka mereka pun selalu
mengiringkan dan membawa ke tempat2 yang baik2, ke
daerah yang indah alam pemandangannya.
Dipa meniti tangga kedudukan dalam pemerintahan, mulai
dari tingkat yang terbawah, dari seorang prajurit biasa. Ia pun
berasal dari keturunan bawah. Oleh karena itu jiwanya dapat
menyelami kehidupan rakyat lapisan bawah, bukan melainkan
pada kalangan tinggi saja. Ada tiga hal utama yang selalu
menjadi pedoman dalam menilik ke suatu daerah. Pertama,
pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Kedua, keamanan.
Ketiga, kesadaran rakyat terhadap pengabdiannya kepada
desa, daerah dan negara. Maju atau mundurnya sebuah
daerah atau desa, dinilai dari ukuran itu.
Setelah meniti dari hasil dan pengalamannya meninjau ke
daerah-daerah maka mulailah patih Dipa menyukai suatu
peninjauan yang bersifat tak resmi bahkan secara diam-diam
dan secara tiba tiba pula tanpa memberitahu lebih dulu
kepada kepala daerah atau buyut yang bersangkutan. Banyak
terjadi kepala daerah dan buyut yang kelabakan dan
kebingungan menghadapi kunjungan semacam itu. Tetapi
setelah itu, mereka pun mulai berhati-hati, rajin menunaikan
tugas setiap saat yang diperlukan. Dengan lancarnya
pekerjaan maka angin segar mulai berhembus, menumbuhkan
kegairahan, membungakan kegiatan kerja dan membuahkan
hasil2 kemajuan yang nyata. Rakyat mulai merasakan
meningkatnya pembangunan dan kesejahteraan. Merekapun
mulai mengarahkan perhatian dan mengikuti setiap tindakan
dari penguasa setempat. Tanpa disadari gairah mereka untuk
mengabdi kepada desa, daerah dan negara makin
berkembang. Kunjungan patih Dipa ke daerah di kaki gunung
Penanggungan tak lain karena ia telah menerima laporan
tentang suatu gerakan dari sementara orang yang menyiarkan
aliran agama baru. Suatu aliran ajaran ilmu Tantra yang
terdapat dalam kitab Hindu dan membentangkan hal2 gaib
yang sukar difahamkan dan dipelajari.
Dahulu prabu Kretanagara dari kerajaan Singasari juga
menganut agama Tantrayana dari aliran Subuthi. Walaupun
Subuthi itu seorang murid Buddha Gautama, tetapi dalam
daftar karya mantra dari aliran Mahayana, nama Subuthi tak
terdapat. Baginda Kretanagara menyebut diri sebagai SyiwaBuda, menjadi jajna dengan bergelar Sri Juanabayreswara.
Demikian menurut kakawin Nagarakretagama karya pujangga
Prapanca. Tidaklah patih Dipa akan memerlukan meninjau daerah
kaki gunung Penanggungan itu manakala dalam laporan yang
diterima tiada terdapat hal2 yang kurang lazim pada agama2
yang berlaku di seluruh kerajaan Majapahit. Merekapun
bertujuan untuk mencari moksha. Dalam mencapai tujuan itu
yang dipentingkan yalah lima macam, yakni Mada atau
anggur, Matsya atau ikan, Mamsa atau daging Mudra atau
padi dan Maithuna atau cinta. Tidak memadamkan hawa nafsu
tetapi memperbesar. Setiap dewa yang dipujanya selalu
dengan saktinya yang berupa dewi. Syiwa dengan Durga,
Hyang Wairocana dengan Locana.
Negara Majapahit menganut agama Tripaksa atau tiga
aliran, Syiwa, Budha dan Brahma. Agama sebagai sendi
kepercayaan keaah Hyang Maha Agung dan landasan dari
akhlak yang tinggi, harus dikembangkan seluas-luasnya.
Demikian pula di keranian Kahuripan. Tetapi aliran2 yang tidak
sesuai atau yang mudah menimbulkan akibat2 lain, baik
terhadap kepercayaan kepada Hyang Maha Agung, maupun
mencemarkan susila dan akhlak, ataupun akibat2 yang dapat
mengganggu ketenangan dan ketenteraman negara, wajib
dihentikan. Menganggap bahwa gerakan di kaki gunung
Penanggungan itu termasuk rangka keamanan dan
kesejahteraan negara, maka patih Dipa bersama seorang
prajurit segera meninjau ke daerah itu. Keduanya
mengenakan pakaian biasa.
Sepanjang pedesaan yang menuju ke gunung itu, patih
Dipa mendengar keluhan dari sementara rakyat bahwa pada
waktu akhir2 ini sering terjadi penculikan wanita, terutama
gadis dan wanita2 muda. Walaupun patih Dipa tidak
menerangkan siapa dirinya, namun rakyat di sepanjang
pedesaan yang dilaluinya itu memberi bantuan, baik yang
berupa hidangan maupun keterangan-keterangan tentang
gerakan di gunung Penanggungan itu. Bahkan merekapun
bersedia ikut dengan Dipa manakala patih itu tidak
melarangnya. "Nyata bahwa dukungan rakyat bukan ditujukan pada
orang tetapi pada tindakannya. Sekalipun tidak kuberitahukan
diriku, tetapi mereka tetap bersedia membantu. Jelas sudah
bahwa setiap kejahatan, oleh siapa pun, dalam bentuk apapun
dan di mana pun, tetap akan diberantas orang" diam2 patih
Dipa menimang dalam hati.
"Mengapa saudara2 tak pernah meminta pertanggungan
jawab kepada mereka?" tanya patih Dipa.
Salah seorang lelaki bertubuh kekar segera menjawab,
"Bukan tak pernah tetapi mereka memang sakti sehingga kami
menderita luka" "O, saudara2 pernah bertempur dengan mereka?" patih
Dipa terkejut. "Sebenarnya bukan maksud kami hendak bertempur,
melainkan hanya meminta keterangan adakah mereka
mengetahui tentang peristiwa yang menggelisahkan rakyat
itu" "Bertanya sesuatu yang menyangkut kepentingan rakyat,
bukanlah suatu kesalahan. Sudah tentu mereka sebagai kaum
yang menganut agama, akan memberi keterangan apa yang
diketahuinya" Terdengar beberapa orang desa itu mendesuh geram
bahkan ada pula yang mengutuk. "Jika mereka mengatakan
tak tahu, itupun sudah cukup dan kami memang tak berhak
untuk memaksa. Tetapi mereka telah mengusir rombongan
kami dengan perlakuan dan kata2 yang kasar sekali sehingga
menimbulkan kemarahan"
"Dan akhirnya terjadi perkelahian?"
"Ya" sahut orang itu "tetapi
mendatangkan angin dan hujan"
mereka sakti, dapat Patih Dipa terkejut dalam hati tetapi ia tetap tersenyum,
"Ah, janganlah saudara berlebih-lebihan memberi keterangan.
Tentulah mereka mempunyai ilmu kedigdayaan yang hebat
sehingga saudara2 kalah. Tetapi apa dasar alasan mereka
memperlakukan saudara2 sekasar itu?"
"Mereka menganggap kita menuduh mereka dan mereka
merasa terhina atas pertanyaan kita"
Patih Dipa mencatat dalam hati semua keterangan rakyat
pedesaan itu dan iapun terus melanjutkan perjalanan menuju
ke gunung Penanggungan. Dibawalah patih Kahuripan itu
bersama pengiringnya ke asrama tempat kediaman kepala
mereka yang menamakan diri sebagai mahayogin Kapila.
Seorang lelaki yang berumur enampuluh tahun, rambut dan
janggut putih menjulai ke dada dan hanya mengenakan kain
cawat, tubuh telanjang. Menjawab pertanyaan mahayogin Kapila, maka patih Dipa
mengatakan bahwa ia tertarik akan ilmu ajarannya tetapi ia
belum dapat memahami sepenuhnya apa yang diajarkan oleh
mahaguru Kapila itu. "O, baiklah" kata mahaguru Kapila "akan kuterangkan
dasar ilmu agama aliran yang kami ajarkan"
"Aku adalah pemeluk Syiwa" katanya "karena Syiwa adalah
dewa yang mencipta, menghidupkan dan membunuh segala
mahluk. Mahakala dan Mahadewa, demikian gelar sebutan
Syiwa, karena menguasai ketiga kehidupan mahluk maka ia
disebut Mahakala. Karena sebagai dewa yang melebihi dewa2
lain, maka ia disebut Mahadewa. Dan kami, para yogin yang
menjalankan yoga, menyebutnya sebagai Mahaguru. Oleh
karena itu barang siapa yang tak menyembah kepada
Mahadewa Syiwa, dia tentu akan ditumpas"
Sengaja patih Dipa mengunjuk sikap terkejut. "Bukankah
dewa itu sifatnya pemurah dan penyayang" Mengapa akan
membunuh orang yang tak menyembah kepadanya "
"Kreta" kata mahayogin Kapila yang menyebut nama Dipa
sesuai yang dikatakan Dipa kepadanya. "Batara Syiwa adalah
mahadewa, dewa yang melebihi dewa2 yang lain. Mahakala
karena menguasai, mencipta, menghidupi dan membinasakan
mahluk hidup. Seorang dewa yang bertanggung jawab penuh
atas kehidupan dan kematian semua mahluk. Beda dengan
dewa2 lain yang tak sedemikian besar kekuasaannya. Oleh
karena itu Batara Syiwa wajib dan berhak untuk
membinasakan siapa saja yang menentang"
"Kudengar cerita orang bahwa kecuali Syiwa, terdapat pula
dewa Vishnu dan Brahma. Mereka merupakan tiga serangkai
yang disebut Trimurti. Mengapa engkau katakan Syiwa yang
paling berkuasa ?" "Dalam Trimurti, Brahma menjadi pencipta, Vishnu
pemelihara dan Syiwa pembinasa. Ada yang memuja Brahma,
ada yang memuja Vishnu, tetapi kami tetap hanya memuja
Syiwa. Karena hanya Syiwa lah sesungguhnya yang paling
berkuasa. Dapat mencipta, memelihara dan membinasakan"
"Bagaimana ajaran agama Syiwa yang engkau anut?"
tanya patih Dipa yarg memang gemar mengetahui segala jenis
ilmu, termasuk agama. "Jika kaum Brahmana mempunyai Veda sebagai kitab suci
pedoman ajaran falsafahnya, kami kaum Syiwa juga
mempunyai kitab suci Purana. Suatu kitab pusaka yang sangat
tua usianya dan langsung turun dari dewa. Jumlah Purana
terdiri dari dclapanbelas buah: Brahma, Padma, Vishnu, Vayu,
Bhagavata, Narada, Markandeya, Agni, Bhavishya, Brahmavaivarta, Lingga, Varaha, Skanda, Vamana, Kurma,
Matsya, Garuda dan Brahmandapurana. Nama2 Puruna itu
mengambil nama dewa2 yang menjadi pokok pembicaraan
atau dewa yang terpenting dalam Purana tersebut, walaupun
tidak semua Purana demikian. Tiap2 buku Purana yang
lengkap merupakan Pancalakshana atau lima bab yaitu
Penciptaan dunia pertama, Pencipta dunia kedua setelah yang
kedua mengalami kebinasaan. Asal usul para dewa dan reshi,
Kalamanu atau lukisan tentang kala, Varnsanucarita atau
cerita keturunan raja2 yang berkuasa di dunia"
Yogin Kapila berhenti sejenak untuk memulangkan napas
dan menggunakan kesempatan itu untuk mencari kesan pada
tetamunya. Sesungguhnya patih Dipa terkejut juga dalam hati
atas uraian yogin Kapila yang seolah dapat menghafalkan
semua kitab2 kaum mereka. Terpercik suatu pertanyaan
dalam hati patih Dipa, adakah saat itu ia sedang berhadapan
dengan seorang pandita yang benar2 berilmu tinggi " Tetapi
bayang2 timbulnya kesan itu segera terhapus oleh keterangan
dari para penduduk pedesaan yang diterimanya. Cepat Dipa
menenangkan perasaannya dan menghampakan wajah
sehingga Kapila agak terkejut karena tak menemukan suatu
pantulan kesan mengagumi pembicaraannya pada wajah
tetamu itu. "Termasuk yang penting dalam Pancalakshana itu adalah
uraian tentang Kalamanu. Kala atau masa yang berhubungan
dengan ciptaan dewa Manu kata Kapila, semua berjumlah
empatbelas kala. Dan dalam tiap2 kala dilahirkan manusia
baru oleh Manu. Tiap kala dibagi lagi kedalam empat yuga:
Kreiayuga, Dvaparayuga, Tretayuga dan Kaliyuga. Dalam
Kretayuga, keadaan jagad masih sempurna, dharma berlaku
dengan baik, tiada suatu mahlukpun yang bertindak salah.
Semua bertingkah laku baik. Dalam yuga2 berikutnya keadaan
makin jelek hingga sampailah yuga yang sekarang yaitu
Kahyuga. Dalam kala itu kejahatan merajalela. Karena
kejahatan itulah dunia kita akan palaya atau binasa. Sesudah
Kaliyuga sampai pada akhirnya maka datanglah keadaan gelap


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gulita yang disebut malam Brahma hingga Brahma
berkehendak mencipta dunia lagi"
"O" tiba2 patih Dipa menukas "jika demikian jelas
Brahmalah yang berkuasa, bukan Syiwa ..."
"Itu menurut anggapan mereka tetapi bagi kami tetap
percaya bahwa Syiwa lah yang akan mencipta, memelihara
dan membinasakan dunia" Kapila bersikeras.
Dipa tertawa dalam hati namun ia masih mengajukan
pertanyaan untuk menyelidiki lebih lanjut. "Bagaimana cara2
engkau dan pengikut pengikutmu menjalankan tata cara dan
mempelajari aliran agama yang engkau anut itu?"
"Telah kukatakan bahwa Puruna2 itu berjumlah
delapanbelas jilid. Tetapi delapan belas Purana itu tiada yang
memenuhi pancalakshana. Yang sebuah mementingkan bagian
kedua, sebuah lagi hanya mementingkan bagian yang
keempat, begitu seterusnya. Oleh karena itu timbullah
beberapa madzab. Ada yang mementingkan Vishnu ada pula
yang mementingkan Syiwa. Sudah tentu kami menganut
Puruna yang mengutamakan Syiwa."
"Apakah isi puruna itu?" tanya patih Dipa dengan penuh
perhatian. Setiap hal atau ilmu ajaran maupun pengetahuan
yang baru, lepas dari senang tak senang, mencocoki seleranya
atau tidak, ia selalu senang mendengarkan. Bagi manusia,
makin tinggi kedudukannya, makin kaya harta bendanya,
makin gawat. Baginda Jayanagara, orang yang paling
berkuasa di kerajaan Majapahit, harus menderita pengalaman
pahit akibat pemberontakan2 terutama yang paling terasa
adalah pemberontakan terakhir dari Dharmaputera. Demikian
pula orang yang tertimbun harta berlimpah-limpah. Tentu tak
tenang perasaan hatinya. Tetapi beda halnya dengan ilmu.
Makin banyak memiliki ilmu, makin kuat dan cemerlang
keperibadiannya. Tiada ia kuatir akan diberontak karena
pangkat kedudukannya. Tiada ia gentar akan dirampok
ilmunya. Karena ilmu bukan harta benda, melainkan harta
bobot. "Didalam puruna, kecuali ajaran agama, pun juga
diajarkan tentang Tantra dan yoga. Tantra atau mantra adalah
ucapan yang mengandung kekuatan gaib. Kamipun melatih
ilmu semedhi, mudra sehingga dapat mencapai sadhaka
dimana kami akan mampu menguasai segala kekuatan gaib.
Dengan mantra kami dapat mengadakan pertalian erat kepada
dewa tertentu, kemudian dengan sadhaka kami meminta dewa
itu menitis kedalam diri kami sehingga kamipun memiliki
kekuatan gaib seperti dewa itu. Dalam menjalankan tantra
atau mantra itu kita harus menjalankan hatbajoga, yoga yang
sangat keras. Waktu melakukan yoga tersebut harus berusaha
membangkitkan ular sebagai titisan dewi Parwati, sakti
daripada Syiwa. Ular itu akan menutup saluran2 tertentu
dalam tubuh yang memberikan kemenangan atas samsara
....?" Patih Dipa terlongong mendengar uraian itu.
"Kalian mengadakan latihan dengan ular?" tanyanya sesaat
kemudian. "Seharusnya demikian" sahut yogin Kapila "tetapi ular yang
menjadi titisan Dewi Parwati, sukar diketahui. Memang kami
pun telah mengumpulkan beratus- ratus ekor ular besar untuk
maksud latihan itu" "O" patih Dipa mendesuh "ular besar?"
Kapila mengangguk "Ya, dan ular betina. Kepercayaan
yang kami anut yalah, bahwa Kebahagiaan dan Kenyataan
yang tertinggi yang akan memberi akibat kemenangan atas
samsara, adalah bersatunya antara dua sifat, lelaki dan
perempuan. Jenis lelaki itu adalah keadaan yang tertinggi dan
Jenis perempuan itu adalah keadaan pembebasan. Yang
pertama disebut upaya atau syarat untuk mencapai
Kebenaran. Yang kedua bersifat pembebasan, disebut prajna.
Kesatuan antara jenis laki2 dan jenis perempuan itu
merupakan penunggalan dan upaya prajna dan mengakibatkan pembebasan dari samsara. Oleh karena itu
maka kami sangat memerlukan sekali benda apapun yang
bersifat kewanitaan, termasuk wanita sendiri"
Patih Dipa terkejut. Dengan demikian jelas bahwa
gerombolan anakbuah yogin Kapila inilah yang menculik gadis
dan wanita di pedesaan itu. Namun untuk lebih meyakinkan
dugaannya, ia bertanya lebih lanjut. "Adakah hal itu
merupakan syarat yang sangat di perlukan dari aliran yang
engkau anut?" "Mutlak" seru Kapila "karena hanya dengan jalan
mempersatukan diri dengan jenis wanita, barulah kita dapat
mencapai kebebasan. Kami percaya penuh akan ajaran Syiwa
dan Syiwa sendiripun selalu bersatu dengan saktinya, yakni
Dewi Parwati. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan kesadaran
untuk mencapai pembebasan. Jika dilakukan dengan awriya,
akan mengakibatkan kleia yang merintangi jalan ke nirwana"
"Adakah tuan juga mengumpulkan wanita untuk keperluan
itu ?" mulai patih Dipa melancarkan pertanyaan yang langsung
akan menyingkap tabir rahasia yang hendak diselidikinya.
"Tentu" sahut Kapila "karena hal itu mutlak bagi kaum
kami" "Adakah wanita2 anakbuah tuan?" itu rela menyerahkan diri
kepada "Betapa tidak?" sahut Kapila dengan nada yakin "bukankah
mereka juga akan mencapai kebebasan dari samsara?"
Patih Dipa makin merangsang "Adakah mereka juga
menganut aliran agama tuan?"
"Sebaiknya demikian" jawab Kapila "namun ada juga yang
masih belum sadar. Tetapi hal itu tak penting. Jika mereka
sadar, mereka pun akan mencapai pembebasan tetapi jika tak
sadar, itu salah mereka sendiri. Yang penting anak murid kami
telah dapat melaksanakan jalan mencapai pembebasan."
Mendengar jawaban itu, patih Dipa tak dapat menguasai
diri lagi. "Jika demikian, gerombolan tuan yang telah menculik
wanita2 di desa2 sekitar kaki gunung ini"
Kapila tak terkejut, tak pula marah. Ia tetap tenang2
menjawab "Bukan menculik melainkan hendak menolong
mereka supaya dapat mencapai pembebasan"
"Jika mereka dengan suka rela dan kesadaran sendiri
menyatakan masuk menjadi anakmurid tuan, itu memang
sudah selayaknya. Tetapi jika mereka hanya wanita2 di
pedesaan yang tak tahu menahu soal agama tuan, kemudian
anakmurid tuan menculiknya, jelas hal itu suatu perbuatan
yang melanggar undang-undang kerajaan dan mengacau
keamanan" "Eh, ki sanak" tiba2 terdengar seorang lelaki muda yang
ikut hadir dalam pembicaraan, menegur patih Dipa "engkau
adalah tetamu, janganlah engkau bicara sekasar itu di
hadapan guru kami" Dalam ruang yang cukup lebar di mana yogin Kapila
menerima kedatangan patih Dipa dan pengiringnya, hadir juga
lima orang lelaki yang duduk di samping. Rupanya mereka
adalah anakmurid Kapila. Rupanya salah seorang anakmurid
itu tak dapat menahan diri karena mendengar ucapan patih
Dipa yang dianggapnya makin keras dan kasar.
Patih Dipa beringsut dan berpaling ke arah lelaki muda itu.
"O, engkau anggap kasarkah kata-kataku tadi" Haruskah aku
menyanjung perbuatan gurumu dan kawan kawanmu itu?"
"Engkau seorang tetamu, tahulah diri!" hardik orang itu.
"Sudah tentu aku lebih tahu siapa diriku daripada yang
engkau ketahui" sahut patih Dipa tetap tenang.
"Apa maksud kedatanganmu ke mari?" seru orang itu pula.
Sesungguhnya dalam rencana, patih Dipa hendak
menjalankan siasat yang lebih halus untuk menghadapi
gerombolan itu. Tetapi setelah mendengar keterangan tentang
sepak terjang mereka, pula teguran dari salah seorang murid
yang menusuk pendengaran, patih Dipa memutuskan untuk
menghadapi mereka secara terang-terangan. Bahwa cara2
yang dijalankan oleh gerombolan yogin Kapila itu, memang tak
sesuai dan tak layak dibenarkan berkembang dimasyarakat
ramai dan negara Kahuripan. Ia mencium suatu gejala yang
tak baik dalam aliran agama yang dianut mereka.
"Aku datang untuk meminta kembali wanita2 yang kamu
culik secara paksa itu. Betapa sedih keluarga mereka, betapa
risau suami mereka apabila mereka sudah bersuami dan
betapa pilu hati anak2 apabila mereka sudah mempunyai
anak" "Ah, betapa besar nyalimu berani mengutarakan
permintaan semacam itu" sahut lelaki itu "mereka adalah milik
kami. Mereka sudah berbahagia tinggal di sini. Merekapun
sudah menyadari betapa besar imbalan yang kelak mereka
peroleh dari apa yang mereka berikan sekarang. Jangan
engkau mengganggu usik mereka dan enyahlah lekas engkau
dari sini !" Sambil berkata lelaki itu memberi hormat kepada yogin
Kapila "Guru, idinkan hamba menghalau tetamu liar ini"
Kapila saat itu tak ikut campur dalam pembicaraan.
Tampak ia duduk bersila pejamkan mata, kedua telapak
tangan diletakkan di muka dada dan di atas pangkuan.
Rupanya sedang mengambil sikap mudra.
"Tat tvam asi" tiba2 meluncur kata2 dari mulut yogin tua
itu. Dan orang dari kelima lelaki yang bertukar kata dengan
patih Dipa tadipun serentak berbangkit. Setengah merentang
kedua tangan di muka dada, mata memejam dan mulut
berkomat kamit mengucap mantra.
Setelah mendengar keterangan dari Kapila bahwa aliran
agama Syiwa yang mereka anut itu, tergolong aliran yang
mengutamakan ilmu tantra atau mantra, segera patih Dipa
dapat menduga bahwa lelaki muda yang bertelanjang badan
dan hanya bercelana cawat itu tentu sedang mengucap
mantra. Dari beberapa resi, pandita terutama dari brahmana
Anuraga, pernah Dipa dahulu mendengar keterangan2 tentang
apa yang disebut mantra. Maka berkatalah brahmana Anuraga
"Mantra maknanya suatu ucap yang mempunyai daya
kesaktian yang gaib, dipergunakan untuk membangkitkan
pikiran dan batin ke arah segala bentuk kebakuan. Baik agama
Buda maupun Brahma, juga mengenal mantra, demikian pula
dengan agama Syiwa. Jika terdapat orang atau sekelompok
manusia baik dia atau mereka mengaku sebagai penganut
Syiwa, Buda atau Brahma, menjalankan ilmu mantra untuk
tujuan dan maksud yang tidak baik, janganlah engkau
menganggap bahwa agamanya itu yang salah. Hal itu tidak
benar. Apalagi ajaran mantra itu menuju ke arah ilmu gaib.
Mudah sekali diselewengkan ke arah penggunakan maksud
yang salah, yang jahat. Jika terjadi demikian, maka bukan
agama dan ajarannya yang salah tetapi adalah peribadi orang
itu sendiri yang harus mempertanggung jawabkan"
"Paman, benarkah dengan ilmu mantra itu kita dapat
mengetahui sesuatu yang terjadi di tempat jauh, mengetahui
pula apa yang belum terjadi dan lain2 keajaiban?" tanya Dipa
yang kala itu masih seorang anak-anak.
"Orang yang sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu
Mantranaya, hal2 yang engkau sebutkan itu bukan sesuatu
yang mustahil. Tetapi ingat, Dipa, Mantranaya itu cara untuk
mencapai jalan kesempurnaan. Berhasil atau tidaknya usaha
itu tergantung dari keimanan dan kesucian batin orang itu.
Jika digunakan untuk tujuan dan maksud yang kotor dan
jahat, orang itu tentu akan menerima akibat yang
menyedihkan" Rupanya Dipa yang belum dewasa, belum dapat
menyerapi uraian brahmana Anuraga. Dalam alam pikiran dan
pandangan seorang anak, maka bertanyalah ia lebih lanjut,
"Paman, tidaklah dengan mantra itu, dapat digunakan untuk
mengalahkan musuh?" Anuraga menyadari bahwa dalam pertanyaan Dipa itu
tersembul suatu pemantulan hati seorang anak. Dengan
demikian Dipa belum memiliki kedewasaan berpikir, untuk
menerima dan menyerapi. "Benar" sahutnya "setiap manusia
bebas untuk bertindak dan berbuat menurut apa yang
dikehendaki. Karena akibat2 dari tindakan dan perbuatannya
itu, dia sendirilah yang akan menanggung. Apabila mantra itu
ditujukan untuk melenyapkan kejahatan, memberantas orang
yang jahat, akan bertuahlah kesaktian mantra itu. Tetapi
apabila ditujukan kepada orang yang suci batinnya atau yang
berpijak pada kebenaran, besarlah akibat dari orang yang
memiliki mantra itu. Mungkin mantra itu akan pancarkan daya
kesaktiannya hingga yang terkena itu akan menderita luka
ataupun mati. Tetapi orang yang melancarkan mantra itu,
akan menerima akibat yang lebih besar daripada orang yang
menjadi korbannya itu. Eh, mengapa engkau bertanya soal itu,
Dipa"." Dalam nada dan sikap seperti seorang kanak2, Dipa
mengatakan bahwa hal itu hanya untuk menambah
pengetahuannya saja. Siapa tahu kelak mungkin ia harus
berhadapan dengan orang yang hendak mencelakainya
dengan mantra. "Perjalanan hidupku selalu dirundung
kemalangan, penderitaan dan orang2 yang membenci
kepadaku" katanya. Anuraga mengangguk. "Jangan merisaukan hal itu, Dipa.
Mati hidup seseorang, di tangan Hyang Maha Agung. Jangan
engkau mengeluh ataupun putus asa karena hidupmu penuh
dengan derita dan orang2 yang memusuhirnu. Siapa tahu,
Dipa, kesemuanya itu hanya suatu coba dari Hyang Jagadnata
untuk menempa batinmu. Hanya manusia yang tahan
menderita, tahan coba tahan goda, adalah manusia pilihan,
manusia yang dikasihi dewata. Dan tidak banyak manusia
yang banyak mengalami coba dan derita seperti yang engkau
alami. Oleh karena itu, berbesar hatilah Dipa bahwa engkau
telah dipilih dewata untuk diuji dan dicoba dengan berbagai
derita itu" Percakapan dengan paman brahmana A nuraga tentang hal
itu, termasuk salah sebuah kenangan yang selalu melekat
dalam kalbu Dipa. Kini dalam berhadapan dengan seorang
murid dari yogin Kapila yang hendak melancarkan mantra,


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patih Dipapun tak gentar. "Mati hidup seseorang itu, hanya di
tangan Hyang Batara Agung" terngiang pula kata2 paman
brahmana Anuraga. Dan mantaplah hati Dipa menghadapi
apapun yang akan dideritanya dari mantra lelaki muda itu.
Namun sampai beberapa waktu lamanya, belum juga
orang itu membuka mata. Bahkan tampak wajahnya berobah
robah warna. Merah, padam, tegang lalu berangsur-angsur
menyurut, makin menyurut pudar dan akhirnya pucat, makin
pucat seperti mayat. Keempat kawannya, kemungkinan
tunggal seperguruan, terkejut menyaksikan keadaan orang itu.
"Kakang Sambita" seru salah seorang dari keempat lelaki
itu "mengapa engkau?"
Tampak peluh berhamburan membasahi kepala lelaki yang
memasang mantra tadi. Dia bernama Sambita, murid pertama
dari resi Kapila. Tiba2 Sambita rubuh.
Kapila mempunyai lima orang murid yang terpercaya.
Mereka ialah Sambita, Sagata, Kanda, Gandhara dan Andhra.
Kelima murid itu juga putus dalam ilmu mantra, walaupun
tidak setinggi gurunya. Melihat Sambita rubuh, keempat orang
itu terkejut dan buru2 menghampiri. Sambita pucat lesi,
napasnya terengah lemah. "Kakang Sambita, mengapa
engkau?" tegur Sagata seraya mengurut-urut dada Sambita.
"Aneh ..." Sambita membuka mata bergumam pelahan
"aneh ..." "Mengapa?" tanya Sagata makin ingin tahu.
"Tak perlu kuceritakan, aku lelah sekali" kata Sambita yang
tampaknya memang seperti seorang yang menderita luka
"cobalah engkau pasang mantra ..."
Setelah mendapat keterangan dan mengetahui kakang
seperguruannya tak menderita luka, maka Sagata pun segera
menghampiri patih Dipa. "Engkau ternyata amat sakti"
serunya "mempunyai ilmu simpanan yang hebat"
Patih Dipa tertawa dalam hati tersenyum di mulut. "Ilmu
simpanan" Ah, tidak, sama sekali tidak. Bukankah engkau tahu
bahwa kawanmu itu rubuh sendiri?"
"Hm" desuh Sagata "engkau pandai berpura-pura. Baiklah,
sekarang engkau boleh bersiap lagi"
Murid kedua dari resi Kapila itupun segera berdiri diam,
pejamkan mata dan pusatkan semedhi untuk manteg-aji,
melancarkan mantra. Patih Dipa melihat gerak gerik orang itu.
Dia duga Sagata tentu hendak pasang mantra. Ia tak tahu apa
yang akan terjadi nanti, apakah yang keluar dari gerakan
mantra lawan. Belum pernah selama hidup ia merasakan dan
mengalami suatu akibat dari mantra. Belum pernah juga ia
berhadapan dengan orang atau musuh yang menyerang
dengan kekuatan mantra. Maka ingin sekali ia mendapat
pengalaman tentang mantra yang bersifat hitam itu. Adakah
benar2 ilmu semacam itu mampu mencelakai bahkan
membunuh orang" "Ah, mati hidup seseorang tergantung
pada Hyang Widhi" kembali hatinya mengulang ucapan
brahmana Anuraga. Dan iapun lalu menuruti pesan paman
brahmana itu, agar dikala menghadapi sesuatu yang akan
timbul dari ilmu mantra, terutama yang bersifat hitam,
haruslah segera pejamkan mata, kosongkan pikiran dan
mengucap beberapa patah kata untuk penolak bala.
"Ah" tiba2 ia terperangah dalam hati. Ketika hendak
mengucapkan kata2 seperti yang diajarkan brahmana
Anuraga, ia tak ingat seluruhnya. Pertama, karena hal itu
sudah berlangsung lama sekali. Dan kedua kalinya, ia tak
pernah menghafalkan dan menggunakannya. Akhirnya ia akan
mengucap saja apa yang dapat diingat "Om ... ah ... um
.....Sachita pari-yo dapanam ..."
Menurut keterangan paman brahmana Anuraga, ketiga
kata Om, Ah, Um itu merupakan intisari dari Trikaya Bajra
yaitu suara suci dari bayu, syabda hidup atau kesatuan dari
tenaga, kata2 dan pikiran. Sedangkan Sachita pariyo dapanam
berarti Sucikanlah hati dan pikiran.
Patih Dipa tak tahu bagaimana kelanjutan dari serangan
mantra yang dilancarkan Sagata saat itu. Ia hanya
mengemongkan pikiran, menyatukan hati kearah sesuatu yang
tiada. Dalam rangka menjawab pertanyaan Dipa tentang ilmu
mantranya maka berkatalah brahmana Anuraga.
"Sesungguhnya ajaran kebatinan atau keagamaan itu,
meminta renungan sedalam dalamnya, karena inti daripada
itulah yang disebut agama. Bukan orang yang hanya tahu atau
hafal sejarah agama, tahu dan hafal falsafat agama dan hafal
pantta2 saya yang disebut mengenal agama. Mereka baru
dapat dikatakan tahu ajaran agama, yaitu ajaran mengetahui
dasar2 dan jalan menuju agama yang sebenarnya. Untuk itu
banyak meminta renungan dan latihan2 diri menurut petunjuk
agama itu. Banyak diantara kita, termasuk diri saya,
beranggapan bahwa kita telah pandai atau ahli agama bila
telah membaca kitab2, apal dasaksara, pantta, sasana dan
ayat2. Jika kita renungkan dalam2, belumlah cukup begitu
saja. Memang semuanya itu perlu dipelajari tetapi itu hanya
merupakan alat, sarana untuk petunjuk dalam latihan2
pengantar menuju agama. Tekanan pengertian kata 'agama2
itu pada kelanggengan batin untuk mencapai kelanggengan
abadi yaitu kepada Hyang Maha Tunggal"
"Menyiapkan bathin untuk mencapai kelanggengan
kahyang Maha Widdhi Agung itulah yang sulit" kata brahmana
Anuraga lebih lanjut yang rupanya makin terbenam dalam
pemancaran endapan alam batinnya. "Bathin yang langgeng
itu yalah batin yang suci bersih, bagai bersihnya angkasa yang
tiada berawan, lepas dari segala kebingungan atau
kemabukan. Ah, sukar untuk melukiskan hal itu secara tepat.
Seorang empu yang bijaksana dan sidik, Mpu Tantular, pernah
melukiskan dengan kata2 demikian :"Byakta lwir branta citta
ngrasa riwa riwa ning nirmala-citya rupa". Memang seperti
bingung pikiran merasakan gambaran kesucian itu karena
berbentuk niskala" Dikala mendengarkan uraian brahmana Anuraga tentang hal itu, Dipa yang
masih kecil hanya terlongong-longong. Brahmana Anuraga pun segera menyadari hal itu dan
menyadari pula bahwa seolah-olah ia hanya meluapkan apa yang telah mengendap dalam hati sanubarinya sendiri. Tanpa
menghiraukan kehadiran Dipa. Setelah saat itu patih Dipa menghampakan diri dalam alam pikiran yang suwung,
barulah ia dapat merasakan, walaupun tidak seluruhnya benar
dan pasti, babwa saat itu ia seperti kehilangan
keseluruhannya, faham, pikiran, pendengaran, penglihatan,
penciuman dan perasaan dari segenap indera pengrasanya.
Dalam keheningan yang dilingkupi suasana tegang itu,
entah berapa lama patih Dipa terbenam dalam alam niskala,
tiba2 ia dikejutkan oleh suara orang, "Gusti patih, mereka
Pahlawan Dan Kaisar 24 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bara Maharani 2
^