Pencarian

Gajah Kencana 13

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 13


sudah rebah semua ..."
Patih Dipa membuka mata dan melihat bahwa prajurit
Karpa berada di sampingnya. Tentulah dia yang bicara tadi.
"Apa maksudmu, Karpa?" tegurnya pelahan.
"Kelima orang itu menggeletak di lantai" kata prajurit
Karpa seraya menghambur pandang ke muka. Mengikuti arah
pandang mata Karpa, patih Dipa terkesiap. Ternyata kelima
orang anakmurid resi Kapila telah rubuh berbaring di tanah.
Wajah mereka pucat seperti orang sakit.
"Mengapa mereka, Karpa?" bisik patih Dipa meminta
keterangan. Prajurit Karpa mengatakan bahwa satu demi satu keempat
orang itu melakukan semedhi. Akan tetapi setiap kali tentu
gagal dan rubuh di tanah. Bahkan yang terakhir, dua orang
serempak melakukan semedhi, tetapi hasilnyapun sama.
Mendengar keterangan itu, patih Dipa heran. Pada hal selama
bersemedht tadi ia tak merasakan sesuatu gangguan apa2.
Demikian pula ia tak merasakan melakukan sesuatu untuk
mencelakai lawan, bahkan mengandung pikiran demikianpun
tidak. "Gusti patih ...."
"Mengapa Karpa ?" cepat patih Dipa menukas. Pada mula
diangkat menjadi patih, maka timbullah suatu rasa kikuk
setengahnya risih dalam perasaan Dipa. Para prajurit, sentana,
nayaka, para abdi dan kawula, memanggilnya dengan sebutan
hormat 'gusti patih'. Pada saat pertama kali mendengar
sebutan itu, ia tertegun. Hampir ia tak percaya akan
pendengarannya. Bagaimana mungkin dia seorang anak yang
berasal dari desa, yang semasa kecil harus mengalami
berbagai derita hidup, yang mulai bekerja dari tingkat
terbawah sebagai prajurit biasa, saat itu disanjung orang
dengan gelar "patih' dan sebutan hormat 'gusti'. Mimpikah dia"
Tidak. Ia tidak bermimpi manakala ia menunduk dan
mendapatkan dirinya berhias dalam busana priagung dan
tanda kepangkatan patih. Ia tidak bermimpi. Ia memang
seorang patih. Suatu kenyataan yang nyata. Seperangkat
busana kebesaran dan sebilah keris anugerah sang Rani
Kahuripan, membuktikan kenyataan yang sesungguhnya. Dan
teringatlah serentak akan upacara pengangkatannya sebagai
patih yang disaksikan oleh segenap senopati, nayaka dan
narapraja Kahuripan. Bahkan masih terngiang dalam telinga
apa sabda sang Rani Tribuanatunggadewi dalam menghayatkan arti dan kedudukan patih dalam upacara
abhiseka itu. "Patih Dipa, seluruh kepercayaanku berada
padamu, semua harapan keranian dan rakyat Kahuripan
tertumpah kepadamu dan restu para dewata sepenuh tercurah
kepadamu. Semoga engkau dapat membawa keranian dan
kawula Kahuripan ke arah kesejahteraan, kemajuan dan
kejayaan ...." Namun ketika mandengar seorang prajurit menyebutnya
'gusti patih', ia masih terpana. Terasa janggal baginya
menerima sebutan itu sehingga pernah ia menyuruh seorang
prajurit jangan menyebut 'gusti patih" cukup dengan 'ki patih'
saja. Karena takut, prajurit itu menurut tetapi jarang bahkan
hampir tak pernah menyebutnya lagi. Dan akhirnya patih patih
Arya Tadah mendengar hal itu. Cepat ia memanggil patih
muda itu. "Ki patih" seru patih sepuh Arya Tadah "telah kudengar
beberapa hal yang menggelisahkan para sentana, prajurit dan
abdi keraton mengenai sikapmu yang aneh"
"O, mohon paman sudi memberi penjelasan" kata patih
Dipa. "Bahwa engkau tak mau disebut 'gusti patih', bahwa
engkau pun tak mau menerima sembah hormat dari orang
sebawahanmu dan bahwasannya pula engkau meminta
supaya mereka jangan menjalankan peradatan2 selayaknya
kepadamu. Benarkah itu ?"
"Benar, paman" Dipa mengakui, "memang aku merasa tak
enak perasaan atas pergantian sebutan diriku. Pertama, ada
beberapa orang yang jauh lebih tua dari aku dan kedua,
dengan lahirnya sebutan dan peradatan itu, seolah
menimbulkan jurang pemisah antara aku dengan mereka.
Timbulnya jurang pemisah itu akan menimbulkan batas2
tertentu sehingga aku tak dapat langsung bergaul dengan
mereka. Seolah aku telah dipisahkan dengan mereka. Dalam
rangka pekerjaan yang tertentu, amat dibutuhkan segala
hubungan yang erat antara atasan dengan sebawahannya,
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Tidakkah hal itu
akan memisahkan diriku dengan orang2 yang kubawahi" Dan
..... aku sendiri berasal dari kalangan rakyat, adakah sekarang
aku harus terpisah dengan sumberku?"
Patih sepuh Arya Tadah mengangguk-angguk.
"Ki Dipa" katanya dengan tenang "apa yang engkau
utarakan memang benar. Tetapi tidak dibenarkan dalam
peraturan pemerintahan, masyarakat dan lingkungan hidup
kita dewasa ini. Dipa dahulu dengan Dipa sekarang, adalah
sama orangnya. Tetapi prajurit Dipa lain dengan bekel Dipa.
jauh lebih lain pula dengan patih Dipa. Kelainan itu terjadi
pada tingkat kedudukan dalam pekerjaan, tingkat itu disusun
menurut kedudukan dan kemudian ditetapkan pangkat. Dan
karena pemerintah mengadakan hal itu untuk mengatur agar
susunan dapat dilaksanakan dengan semestinya maka tiap
pangkat mempunyai wewenang yang lebih tinggi dari yang
lain. Kemudian untuk memberi isi pada pembagian pangkat
itu, ditetapkan pula sebutan2 untuk masing2 pangkat. Sebutan
itu tak lain hanya suatu penghargaan dan kehormatan
disamping untuk membedakan pangkat. Maka hal itu pun
sudah layak, bukan suatu hal yang berlebih-lebihan apabila
sekarang para prajurit menyebutmu "gusti" dan karena
kedudukanmu sebagai patih maka lengkapnya 'gusti patih'"
Sesungguhnya patih Dipa pun sudah mengetahui hal itu,
namun betapa pun ia masih memiliki suatu rasa sukar
menerima dalam hati. Melihat wajah patih muda itu masih
menampil keraguan, patih sepuh Arya Tadah segera
menambahkan penjelasannya.
"Tetapi hendaknya engkau dapat mencamkan, meresapi
dan menghayati apa arti dari sebutan kehormatan yang
engkau terima itu" kata patih Arya Tadah "bukan hanya
sekedar begitu sajalah sebutan itu dipersembahkan
kepadamu. Karena makna dari penghargaan tak lain adalah
suatu kepercayaan. Dan kepercayaan itu sesungguhnya
mengandung tanggung jawab yang besar. Semakin tinggi
sebutan kehormatan yang engkau leikia, semakin besar
tanggung jawab yang diletakkan pada bahumu. Mereka telah
menghormati engkau, maka engkau harus menerima,
mengunjukkan bahwa engkau memang benar layak dan
berharga untuk kehormatan yang mereka tumpahkan itu.
Apabila engkau mementingkan isi daripada kulit, tanggung
jawab daripada segala sebutan kehormatan, kurasa tiada rasa
canggung, kikuk, risih, malu menerima sebutan kehormatan
itu. Jika engkau memiliki rasa canggung dan malu, hendaknya
bukan canggung atau malu karena sebutan itu tetapi
canggung, risih dan malu karena engkau tak mampu
menunaikan kewajibanmu sesuai dengan penghargaan yang
telah diberikan oleh kerajaan dan seluruh kawula"
Kata2 yang terakhir dari patih Arya Tadah itu telah
mengungkap hati Dipa. Ia dapat menerimanya dengan segala
kerendahan hati dan penuh dengan rasa tanggung jawab.
Sejak itu, ia pun tak mempersoalkan lagi sebutan2
kehormatan yang diucapkan oleh orang2 sebawahannya.
Memang ada kalanya masih tersentuh perasaan hatinya
manakala mendengar dirinya disebut 'gusti patih'. Seperti yang
terjadi pada saat itu, ketika prajurit Karpa menyebutnya gusti
patih. Tetapi bagaikan angin selekas berhembus selekas itu
pula berlalu. Lebih2 pada saat itu ia harus menghadapi
persoalan resi Kapila dan anakmuridnya.
"Kesaktian gusti telah melumpuhkan mereka. Tanpa
tampak mengeluarkan tenaga, gusti telah merubuhkan kelima
orang itu" kata Karpa menjawab pertanyaan patih Dipa tadi.
"Kesaktianku?" patih Dipa terkesiap "adakah selama aku
bersemedhi tadi telah terjadi sesuatu" Adakah engkau melihat
sesuatu keluar dari diriku?"
"Tidak, gusti" sahut prajurit Karpa "hamba seorang tolol,
bagaimana mungkin hamba mengetahui ilmu kesaktian yang
gusti tunjukkan" Suatu ilmu gaib sukar dilihat mata"
"Ah" desah patih Dipa. Ia merasa heran di samping malu
dalam hati. Selama bersemedhi tadi, ia tak merasa melakukan
sesuatu. Yang dirasa, hanya kehilangan rasa. Namun selekas
itu ia menyadari bahwa orang memang masih menaruh
kepercayaan kepada segala ilmu gaib. Prajurit Karpa termasuk
salah seorang. Ia hendak memberi penjelasan tetapi
mengingat waktu dan tempat tak mengidinkaa maka iapun
lalu membatalkannya. "Ki sanak, engkau sakti benar" tiba2 terdengar seseorang
berseru kepadanya. Dan patih Dipa serentak mengangkat
muka memandang ke depan. Ternyata yang berseru itu yogin
Kapila yang saat itu duduk bersila membuka mata. Ternyata
pada saat kelima muridnya melakukan semedhi untuk
melancarkan mantra kepada patih Dipa, dimulai dari Sambita
tiba2 rubuh, yogin Kapila terkejut. Rasa kejut itu makin
mengejut besar ketika muridnya yang kedua Sagata pun
rubuh, maka memberingaslah yogin Kapila. Diam2 ia segera
bersemedhi memasang aji mantranya, memohon kepada dewa
untuk meminta kekuatan gaib mengenyahkan kedua
tetamunya itu. Ia telah berhasil mendatangkan apa yang
dimintanya tetapi ketika kekuatan gaib itu melayang ke arah
patih Dipa, tiba2 terhapus lenyap. Kekuatan yang memasuki
raga yogin Kapila itupun segera meninggalkannya dengan
pesan bahwa tak mungkin Kapila mampu bertanding melawan
tetamu itu. "Dia seorang titah manusia yang dikasihi dewata
...." Namun tak selekas itu Kapila putus asa. Ia mengadakan
hubungan pula untuk meminta kedatangan beberapa dewa
menurut apa yang diciptanya. Tetapi para kekuatan gaib yang
datang itu, semua menyatakan tak sanggup karena mereka
takut akan melanggar-kodrat. Masih Kapila tak puas. Ia segera
mendatangkan roh2 dari para jin yang jahat agar membunuh
patih Dipa. Tetapi jin2 jahat itupun tak berani. "Insan itu
memiliki sebuah pusaka sakti penunduk semua jin"
Saat itu baru Kapila menyadari bahwa ia berhadapan
dengan seorang manusia yang luar biasa. Seorang manusia
yang dikasihi dewata, seorang manusia yang ditakuti para jin
jahat. Namun Kapila seorang yang sudah terbenam dalam rasa
ke akuan yang tinggi. Rasa ke-akuan yang memancarkan sifat
kecongkakan, tinggi hati dan keyakinan pada diri sendiri
sebagai seorang yogin yang sakti.
Ia tak percaya bahwa seorang muda yang masih begitu
muda usia, dapat mengalahkan kesaktiannya. Apabila dengan
ilmu mantra tak dapat mengalahkan maka ia hendak
mengujinya dengan ilmu kedigdayaan. Tetapi sebelum
melaksanakan maksudnya, lebih dulu ia hendak menyelidiki
sesungguhnya pusaka apakah yang dimiliki patih itu. Maka
dengan kata2 ramah, ia menghamburkan pujian kepada Dipa.
Ia tak tahu siapa sesungguhnya Dipa itu.
"Ah, tuan hanya merendah diri" jawab patih Dipa"
"Tetapi kenyataan memang berbicara demikian" kata
Kapila "aku bersedia menyerah apabila ki sanak mau
menjawab beberapa pertanyaanku"
"Ah, jangan tuan berkata begitu" kata patih Dipa pula
"kedatanganku kemari bukanlah hendak mengunjuk kesaktian
ataupun hendak menguji kesaktian tuan. Bukankah kita tak
berkelahi" Mengapa tuan menyatakan menyerah ?"
Kapila tertawa hambar. Ia menduga bahwa tetamunya itu
hanya merendah diri saja. Jelas dia telah mengunjukkan ilmu
semedhi yang sakti untuk menghadapi serangan dari kelima
muridnya. "Apakah sesungguhnya maksud kedatangan ki
sanak ke mari ini?" "Sederhana sekali" jawab patih Dipa "hentikan penyebaran
aliran agama yang tuan kembangkan ini. Jangan diteruskan
jua cara2 yang tuan anut itu. Beralihlah kepada aliran agama
yang menuju kesucian dan kebenaran. Kemudian yang
terakhir, bebaskanlah wanita2 yang tuan culik itu agar mereka
dapat pulang dan berkumpul pula dengan keluarganya"
Kapila mendengarkan tuntutan tetamunya itu dengan
penuh perhatian. Kemudian ia menjawab. "Akan kupenuhi
tuntutan ki sanak apabila engkau mau menjawab tiga buah
pertanyaanku" "Silahkan" kata patih Dipa serentak.
"Pertama" kata sesungguhnya?" Kapila "siapakah diri ki sanak ini "Aku?" patih Dipa agak meragu. Sebenarnya ia tak suka
untuk menonjolkan diri. Tetapi karena pertama, ia sudah
menyanggupi untuk menjawab dengan jujur. Dan kedua ia
anggap pengunjukan dirinya, bukan suatu hal yang
mengurangi pelaksanaan dari penyelesaian soal yang
dihadapinya, bahkan kemungkinan akan menambah berhasilnya usaha untuk memberantas mereka. Maka ia
segera menjawab, "Aku patih Kahuripan"
"O" Kapila mendesuh kejut demi mendengar keterangan
itu. Dan serta merta iapun memberi hormat "maafkan Kapila
yang telah berlaku kurang adat tak menyambut kunjungan
tuan patih sebagaimana layaknya"
"Penyambutan dan penghormatan yang kuinginkan bukan
hanya sikap dan cara serta ucapan yang rendah menghormat.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan pula suatu perjamuan atau apapun yang bersifat
persembahan benda. Melainkan kesediaan tuan untuk
memenuhi permintaanku yang layak tadi. Itu sudah cukup
bagiku" Kapila mengangguk kepala.
"Brahmana, resi, yogin serupa dengan raja. Bahkan
menurut kedudukan kasta, kau dan brahmana itu lebih tinggi.
Seorang raja atau ksatrya, tak pernah menelan kembali apa
yang telah diucapkan. Lebih2 bagi seorang brahmana atau
pandita ataupun yogin seperti diriku" kata Kapila "aku telah
terlanjur mengajukan tiga buah pertanyaan sebelum bersedia
atau tidak untuk membubarkan madzib yang kudirikan di
gunung ini. Dan tuan patih pun juga sudah meluluskan. Maka
tak dapat dibenarkan hati kaumku untuk menarik kembali
ucapanku itu hanya karena mengetahui bahwa tuan ini adalah
gusti patih Kahuripan"
Dipa mengangguk "Baiklah. Silahkan tuan melanjutkan
pertanyaan" "Pertanyaan yang kedua, pusaka apakah yang tuan miliki?"
kata Kapila "apakah pusaka itu berwujut senjata atau tumbal
dan aji-aji?" Patih Dipa terkesiap "Pusaka"
Bagaimana bertanyakan hal itu" Apakah tuan mengetahui?"
tuan Resi Kapila tertawa "Apapun yang terdapat dalam diri ki
patih, seterang aku melihat kaca"
Sesungguhnya Dipa dapat mengatakan apa saja untuk
menjawab pertanyaan itu. Namun ia merasa sudah teringat
oleh janjinya untuk menjawab secara jujur. Maka iapun
menjawab, "Bukan pusaka, karena aku tak mempunyai senjata
apa2. Namun jika engkau menganggap bahwa milikku itu
sebuah pusaka, itupun terserah kepadamu"
"Apakah itu?" desak Kapila.
"Senjataku tak lain hanya batin yang suci dan keyakinan
akan kebenaran dari langkahku ini. Itu sajalah" seru patih
Dipa. "Hm" dengus yogin Kapila "soal itu, sukar untuk menjadi
penilaian. Adakah hanya engkau sendiri yang memiliki batin
suci dan keyakinan benar" Suci dan benar itu, sukar untuk
menilai. Masing2 menganggap demikian. Aku melakukan tata
cara menurut agama yang kuanut, adalah bertujuan untuk
mencapai kebebasan dari samsara. Apabila telah tercapai,
maka itulah Kesucian dan Kebenaran"
"Tetapi pelaksanaan dari caramu itu, tidak benar.
Bagaimana mungkin ia hendak mencari kesucian dengan cara
tidak suci" Bagaimana mungkin pula engkau mencari
Kebenaran dengan cara tak benar" Menculik dan memaksa
wanita untuk menuruti kehendakmu dan murid-murid dengan
alasan bahwa hal itu merupakan syarat dari agamamu, tidak
dapat kuterima. Adakah wanita2 itu benar titisan dari Dewi
Parwati isteri Syiwa " Bukankah hal itu hanya merupakan dalih
untuk engkau dan murid-muridmu melampiaskan hawa nafsu
belaka" Menculik berarti memaksa dan sifat paksa itu sudah
mengandung kejahatan dan kekerasan, apabila hal itu
ditujukan pada peradaban susila dan wanita. Terserah kalau
engkau hendak melampiaskan nafsu itu kepada ular2 betina.
Tetapi kalau terhadap wanita manusia, aku wajib bertindak"
"Jangan terlalu jauh dengan soal yang kutanyakan. Engkau
seorang patih, haruslah engkau menjawab secara ksatrya.
Pusaka apakah yang engkau miliki?"
Patih Dipa mengkal dan geli dalam hati. Belum pernah ia
bertemu dengan lawan bahkan kawan, yang bertanyakan soal
pusaka kepadanya. Namun karena orang tak sungkan
bertanya, iapun harus menjawab. Sesungguhnya hal itu,
jarang benar orang yang tahu dan memang iapun tak pernah
mengatakan kepada siapapun juga. Ia taat kepada pesan
eyang Panangkar dahulu, bahwa pusaka itu jangan sekali kali
digunakan apabila tidak sangat perlu sekali. Selama mengiring
baginda Jayanagara lolos dari keraton menuju ke desa
Bedander, ia selalu tak pisah dengan pusaka itu. Demikian
pula ketika berada di tengah tengah rapat paseban Balai
Ksatrya yang lalu. Ia selalu siap dengan pusaka itu. Syukurlah
sebelum ia terpaksa harus mengeluarkan pusaka itu, keadaan
sudah selesai. Tetapi ia sudah berjanji akan berkata sejujurnya dan
bahkan menerima ejekan dari resi Kapila supaya bersikap
ksatrya. Ia mempertimbangkan akan mengatakan pusaka itu.
Mudah mudahan apabila pusaka itu dikenal Kapila, yogin itu
akan menyerah. Namun andaikata Kapila tak kenal pusaka itu
dan tetap hendak melawan, iapun akan menghadapinya. "Ki
resi" katanya "sebenarnya aku tak mempunyai pusaka apa2.
Tetapi kalau engkau mendesak, akan kukatakan juga. Aku
hanya memiliki sebuah gada biasa"
"Apakah nama gada itu?"
"Gada Intan" Yogin Kapila terkejut dan merenung. Ternyata dia adalah
adik dari resi Kalpika, resi yang bersama pertapa Parapara
hendak mencari kitab Sang Hyang Kamkha-yanekan
peninggalan empu Baradha di kuburan Wurare dahulu. Kedua
saudara Kalpika dan Kapila itu sama-sama menjadi penganut
ajaran Hindu. Tetapi keduanya telah berselisih faham. Kalpika
menganut aliran Vishnu sedang Kapila menjunjung Syiwa.
Keduanya sama2 mempertahankan pendiriannya dan akhirnya
mereka berpisah untuk melaksanakan penditian cita-citanya.
Dari kakangnya resi Kalpika itu, Kapila telah diceritakan
tentang peninggalan2 pusaka dari empu Baradha. Yang
penting Kitab suci Sanghyang Kamahaya Bekan dan sebuah
gada kecil disebut Gada Intan. Di samping itu tentu masih
terdapat pula pusaka2 peninggalannya yang lain yang belum
diketahui. Demi mendengar patih Dipa menyebut Gada Intan,
seketika mengeluhlah Kapila dalam hati. Itulah sebabnya maka
segala ilmu mantra yang dilancarkan tadi tak kuasa menembus
kesaktian Gada Intan. Dari kakangnya, resi Kalpika, ia
mendapat keterangan pula bahwa gada pusaka peninggalan
Mpu Barada itu mengandung tuah kesaktian untuk
menundukkan segala jin, peri dan semua roh2 halus. Seketika
timbul nafsu keinginan dalam hati Kapila. Jika ia dapat
memiliki gada pusaka itu, tentu ia akan dapat menguasai para
jin dan badan halus untuk menambah kesaktiannya.
"Ah, mungkin dia hanya membual" tiba2 terlintas lain
pikiran dalam hari Kapila "baiklah kuselidiki lebih mendalam
sebelum aku terjerat dalam perangkapnya"
"Ha, ha" tiba2 Kapita tertawa "Gada Intan pusaka dari
Empu Barada" Ah, tidak mungkin. A ku bukan anak kecil yang
mudah engkau bohongi, ki patih"
Patih Dipa balas tertawa, "Lebih baik engkau jangan
percaya, karena sesungguhnya gada itu hanya gada biasa
saja" Kapila terkejut dalam hati. Ia hendak memancing tetapi
umpannya malah dicaplok sang ikan, "jika ki patih memang
tak bohong, sukalah ki patih menunjukkan gada itu barang
sejenak saja kepadaku"
"Untuk apa?" "Agar dapat kulihat benar atau tidak, gada itu sebuah
pusaka" Patih Dipa tertawa "Adakah engkau sudah pernah melihat
Gada Intan ?" Resi Kapila terbeliak. menjawab. Beberapa saat ia tak dapat
"Jika engkau belum pernah melihat Gada Intan bagaimana
mungkin engkau tahu gada itu Gada Intan atau bukan"
Merah wajah resi Kapila namun cepat ia dapat
mengembalikan ketenangannya. "Sekurang-kurangnya aku
dapat mengetahui gada itu sebuah pusaka atau bukan"
Kembali patih Dipa tertawa, "Ah, mengapa engkau perlu
berjerih payah hendak memeriksa milik orang" Apa
hubunganmu dengan gada itu " Pertanyaanmu telah kujawab.
Untuk memeriksa gada itu, tidak tercantum dalam
pertanyaanmu. Engkau seorang yogin, apakah engkau hendak
menelan kata-katamu lagi?"
Kali ini Kapila tak dapat berbuat apa2 lagi. Senjatanya
untuk mengejek Dipa sebagai seorang patih harus berjiwa
ksatrya untuk tidak menelan lagi ucapannya, kini telah
dilancarkan balik kepadanya. Dan ia tak berkutik.
"Pertanyaan yang ketiga" cepat2 ia membangkitkan
semangatnya agar jangan tertekan karena menderita
kekalahan bicara dari patih Dipa "apakah ki patih sanggup
bertanding adu kedigdayaan dengan aku?"
"Eh, suatu tantangan berkelahi ?" seru patih Dipa agak tak
menduga. "Ketiga syarat, harus terjawab semua. Satupun ki patih tak
mau menjawab, aku takkan tunduk pada perintah tuan" kata
Kapila. "Hm" dengus patih Dipa. Diam2 ia mempertimbangkan keputusan, "baik, aku bersedia"
sudah "Terima kasih, ki patih" seru Kapila.
"Tak perlu" kata patih Dipa "karena aku hendak
menegaskan kepadamu. Sesungguhnya tindakan-tindakanmu
itu tak sesuai dengan martabatmu sebagai seorang yogin,
seorang resi bahkan menurut pengakuanmu seorang
pemimpin dari suatu aliran agama. Lepas dari cara-cara yang
engkau tindakkan itu salah, tetapi engkau mengaku bahwa
tujuanmu itu suci dan benar. Engkau hendak mencari
kebebasan dari samsara. Dapat kuanggap, walaupun
langkahmu salah, tetapi pikiranmu sudah setingkat dengan
seorang resi, seorang pandita. Tetapi mengapa engkau masih
ingin menggunakan kekerasan, masih ingin menonjolkan
kedigdayaan" Mengapa engkau malu untuk mengakui
kesalahanmu?" "Pendirianku, jiwaku" sahut Kapila "apabila pendirianku
dianggap bersalah dan hendak diberantas, tidakkah sama
halnya dengan akan menghilangkan jiwa Kapila?"
"Pendirian yang luhur" seru patih Dipa "tetapi sayang
keluhuranmu itu berlumpur. Jelas bahwa pendirianmu itu
berlumuran lumpur yang menjijikkan, mengapa engkau tak
mau lekas tinggalkan tempat sekotor itu?"
"Cukup, ki patih" seru Kapila "Kapila bukan seorang anak
kecil yang harus engkau beri nasehat. Sudah mendarah
daginglah pendirianku itu. Terserah engkau hendak
menganggap salah. Maka marilah kita selesaikan persoalan ini
dengan adu kedigdayaan. Jika aku kalah, aku bersedia
membubarkan anakbuahku dan mengembalikan wanita2 itu.
Tetapi bagaimana kalau engkau kalah?"
"Apa kehendakmu?" balas patih Dipa.
"Aku tak menghendaki suatu apa, pun takkan
mengganggu seujung rambut ki patih. Tetapi aku hanya
meminta gada ki patih itu supaya diserahkan kepadaku.
Ringan bukan?" "Hm" desuh Dipa "engkau memang seorang resi yang
masih penuh dengan nafsu keinginan. Baik, kuterima"
Kapila tampak gembira. Saat itu kelima muridnya pun
sudah bangun. Ia segera menyuruh Sambita untuk
mengambilkan keranjang di sanggar pamujan. Tak berapa
lama Sambita pun muncul dengan membawa sebuah
keranjang besar yang terbuat dari anyaman rotan. Keranjang
besar itu diletakkan di hadapan gurunya. Resi Kapila membuka
penutupnya dan merogoh ke dalam keranjang.
Patih Dipa dan Karpa mengikuti dengan penuh perhatian
segala gerak gerik resi Kapila. Mereka tak mengerti mengapa
Sambita mengambil keranjang dan diletakkan di muka
gurunya. Kemudian diikutinya dengan penuh perhatian ketika
Kapila mengulurkan tangan ke dalam keranjang. Hampir patih
Dipa dan prajurit Karpa memekik kejut ketika melihat apa
yang diambil resi itu. Untung kedua orang itu dapat menahan
diri. Ternyata yang diambil dari dalam keranjang itu adalah
segenggam ular besar yang panjang. Ular itu segera dililitkan
pada leher, badan, perut dan kedua lengan Kapila. Tak kurang
dari sepuluh ekor ular besar telah melilit tubuh yogin itu.
Tubuhnya tak tampak lagi, seolah dia sudah berobah menjadi
seorang manusia ular "Ki patih, bersiaplah untuk menerima
seranganku" serunya setelah selesai berhias dengan kawanan
ular. Prajurit Karpa terkejut dan gemetar. Kepala ular2 itu
menjulur ke muka, ada pula yang meregang kepala tegak
berdiri dan ada yang menjulai sepanjang kaki Kapila.
Binatang2 itu menghadap ke arah patih Dipa dengan mulut
menganga. Belum pernah dalam sejarah hidupnya sebagai
seorang prajurit, Karpa menghadapi lawan seperti saat itu.
Ular adalah binatang yang berbisa dan ganas. Dan jumlah
mereka beberapa ekor. Bagaimana ia harus menghadapinya.
Dalam kebingungan prajurit Karpa berpaling memandang
patih Dipa. Ia heran mengapa patih Dipa tak mengunjukkan
perobahan warna wajah dan tetap tenang2 saja. Adakah patih
Dipa tak gentar menghadapi bahaya itu " Ataukah patih
junjungannya itu memang benar2 sakti mandraguna" Ia
bingung. Hendak bertanya tak berani. Akhirnya ia paserah
dalam kepercayaan bulat kepada gusti patihnya.
Sesungguhnya Dipa sendiri juga gelisah. Dahulu semasa
kecil, ia pernah bergulat dengan seekor ular besar berjamang
penunggu jamur Brahmacahya. Tetapi pertarungan tak
disengaja karena ia tak tahu bahwa benda yang memancar
cahaya terang itu ternyata sepasang mata dari ular tersebut.
Teringat akan perkelahiannya dengan ular berjamang, iapun
teringat pula bahwa ia pernah menggigit dan menghisap darah
ular besar. Dan sejak itu, ia merasa tenaganya bertambah
amat kuat. Kini ia harus menghadapi seorang resi aneh yang
menggunakan sepuluh ekor ular untuk menyerangnya. Ia tak
tahu bagaimana cara resi itu hendak memerintahkan ular2
peliharaannya untuk menyerang. Namun ia tak mempunyai


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan untuk menimang nimang lebih lama karena saat
itu, resi Kapila sudah maju menyerang. Serempak kesepuluh
ekor ular berhamburan menjulurkan kepala untuk menyambar
Dipa. Terpaksa Dipa menggunakan gerak tata langkah yang
diajarkan brahmana Anuraga untuk berlincahan menghindar.
Patih Dipa bersikap hati2 menghadapi serangan yang aneh
itu. Ia hanya menggunakan siasat menghindar sambil
mempelajari gerak gerik lawan. Ia harus membatasi diri untuk
tidak bertindak secara gegabah.
Cukup lama juga resi Kapila melakukan serangan kepada
patih Dipa. Kepala, dada dan kaki patih itu diburunya dengan
sambaran2 ular yang ganas. Namun sampai sekian lama
belum juga ia memperoleh hasil. Tiba2 resi itu hentikan
serangan, berdiri tegak lalu bersuit. Kesepuluh ekor ular itu
segera melongsorkan lilitannya dan terus meluncur
menghampiri patih Dipa. Prajurit Karpa memekik kejut. Bagaimana mungkin ki patih
akan menghadapi serangan sepuluh ekor ular yang buas dan
ganas, bahkan mungkin beracun juga. Tetapi ia tak sempat
berbuat apa2 karena ular2 itupun sudah dua tiga langkah di
muka patih Dipa. Maka menjeritlah ia sekuat-kuatnya, terus
maju menerjang. Karpa menghunus pedang dan membabat ular yang
hendak menerkam patih Dipa. Tetapi ular itu tangkas sekali.
Tubuhnya mengendap ke bawah, selekas pedang lewat, tiba2
ular itu membalikkan kepala dan dalam kecepatan yang
menyamai pancaran kilat, ia menyambar prajurit Karpa. Karpa
menjerit, kejut dan ngeri. Pada hal pedang sudah terlanjur
sedang menabas ke muka, untuk menarik
atau mempergunakannya menahan serangan ular itu, sudah tak
mungkin dilakukannya. Hanya sebuah jalan yang masih dapat
ditempuh. Iapun belum menjamin adakah ia dapat
menyelamatkan jiwanya. Namun karena sudah tiada lain
pilihan, ia melaksanakannya juga.
Pedang dilepaskan, Karpa pun ayunkan tubuh ke belakang.
Namun masih kalah cepat ular yang saat itu kepalanya sudah
dua tiga kaki dari dadanya. Karpa tak menghiraukan suatu apa
lagi, kedua tangannya berayun ke belakang untuk merebahkan
tubuh ke tanah. Memang dalam pertempuran atau
perkelahian, seseorang harus menyesuaikan diri dengan
keadaan saat itu. Terutama pada saat jiwanya terancam,
adakah hal itu menurut tata-kelahi atau ilmu silat ataupun
bukan, yang penting adalah suatu gerak langkah pengamanan
diri. Demikian dengan prajurit Karpa. Ia tak mempedulikan
bagaimana kelanjutan daripada gerak membuang tubuh ke
belakang, yang penting pada saat itu ia dapat lolos dari
sambaran mulut ular. Bluk, tanah bergetar ketika punggung dan kepala Karpa
jatuh. Dengan gerak itu ular tak dapat menyambar dadanya.
Tetapi sejenak terkesiap, ular itu terus meluncurkan kepala
untuk menyambar kaki Karpa. Kali ini Karpa pasti celaka.
Dalam keadaan tidur telentang di tanah, kecuali berguling, ia
tak mempunyai daya lagi untuk menyingkir. Namun ia
melakukan juga gerak itu karena tiada lain jalan.
Seperti sudah dapat diduga, gerakan berguling dari Karpa
itu hanya suatu penundaan dari bencana yang akan
menimpalinya. Karena baru sekali dua kali ia berguling,
ularpun sudah menyambarnya.
Pada saat prajurit Karpa harus berjuang untuk
menghindari sambaran ular tadi, patih Dipa pun tak dapat
berbuat apa2 karena ia sendiripun sedang sibuk menghadapi
serangan beberapa ekor ular yang mengancam kepala, dada
dan kaki. Gerak tata-langkah yang dimainkan patih Dipa,
akhirnya harus menghadapi jalan buntu karena ular2 itu
menghadangnya dari empat arah. Bahkan pada saat itu
kakinya telah tersambar seekor ular yang lalu melilitnya, makin
lama makin kencang sehingga patih Dipa terkejut kesakitan.
Beberapa ularpun segera meluncur untuk meminta bagian
daging tubuh patih Kahuripan itu.
Patih Dipa tak kuat menahan lilitan ular itu. Ia tak sempat
pula untuk menyiak ataupun mencengkeram ular itu karena
harus menghadapi beberapa ular yang merayap menghampirinya. Saat itu semangat Dipa serasa terbang,
pikiran melayang dan tenaga makin lumpuh. Pada saat2 ia
sudah melepaskan semua harapan hidup, tiba2 terpeciklah
suatu cahaya kilat merekah dalam benaknya. Ia melihat
sebuah benda pandak bulat yang memancarkan cahaya
berkilau-kilauan. Serentak iapun teringat akan gada pusaka
yang masih disimpan dalam baju. Bukankah saat itu ia sedang
terancam maut" Secepat kilat ia merogoh ke dalam baju, mengeluarkan
Gada Intan dan menghantam kepala ular yang melilit kakinya.
Ular itu dengan tangkas menghindar ke samping, namun suatu
peristiwa aneh telah terjadi. Walaupun jelas ular itu dapat
menyelamatkan kepalanya tetapi tiba2 binatang itu seperti
kehilangan daya kekuatannya. Tubuhnya melongsor dan
lepaskan lilitannya lalu meregang-regang dan menggelepar
mati. Dipa tak sempat memperhatikan apa sebab ular itu tibatiba tak bergerak. Ia segera ayunkan Gada Intan menghantam
beberapa ular yang menjelang tiba di hadapannya. Lima enam
ekor ular terentak bergeliatan menggelepar-gelepar dan
sesaat kemudian tak bergerak. Ada seekor yang terkena
hantaman gada pusaka, telah hancur lebur kepalanya. Darah
muncrat keempat penjuru, sedang yang lainnya walaupun tak
langsung terkena, tetapi angin sambaran gada pusaka itu
telah menimbulkan akibat yang mengherankan. Ular2 itu
serasa lumpuh tenaganya karena tulangnya patah. Mereka
menggelepar meregang jiwa lalu mati.
Pada saat patih Dipa dapat menyapu kawanan ular yang
menyerangnya, segera ia melihat prajurit Karpa sedang
terancam seekor ular. Jarak antara tempat ia berdiri dengan
prajurit itu cukup jauh. Untuk loncat menolongnya, tentu tak
keburu lagi. Maka tanpa banyak pertimbangan lagi, patih Dipa
lontarkan gada pusaka kearah ular itu. Lontaran itu tepat
mengenai badan ular dan seketika ular itupun pecah
berantakan. Itulah sebabnya mengapa prajurit Karpa dapat
melanjutkan gerakan berguling-guling sampai beberapa
langkah tanpa menderita suatu cidera. Selekas merasa sudah
cukup jauh, iapun melenting bangun. Ia terlongong-longong
ketika menyaksikan ular yang menyerangnya tadi mati
berlumuran darah. Tetapi belum sempat ia mengetahui apa yang terjadi,
sesosok tubuh loncat menerkam sebuah benda di dekat
bangkai ular itu. Dan sebelum tahu siapa orang itu dan apa
yang diterkamnya, sesosok tubuh lainpun melayang kearah
orang itu dan menginjak benda yang hendak diambilnya.
Ternyata orang pertama yang loncat menerkam benda di
sisi bangkai itu adalah resi Kapila. Dan benda itu tak lain Gada
Intan yang terhantar di sisi bangkai ular. Sedang orang kedua
yang loncat menginjak gada itu, adalah patih Dipa sendiri.
Patih Dipa marah karena menyaksikan perbuatan resi
Kapila yang sedemikian kejam. Dan kemarahannya itu pun
makin meluap demi melihat betapa buas resi itu mengejar
nafsu keangtaraan. Serentak disambarnya tengkuk dan
pinggang Kapila lalu diangkatnya tinggi2 ke atas kepala.
Peristiwa di desa Madan Teda terulang kembali. Saat itu
patih Dipa serasa memiliki suatu kekuatan aneh yang
mendekati kegaiban. Wajahnya merah padam, memancarkan
cahaya dari suatu keperkasaan yang berwibawa. Dan suatu
kemarahan untuk menghancurkan keangkaraan. Ia seolaholah merasa seperti mengangkat patung Ganesya. Ia lupa
bahwa saat itu dirinya seorang patih. Dalam perasaannya, ia
adalah Dipa, anak desa yang tengah mengangkat patung
raksasa diputar-putar sederas angin kisaran .....
"Batara Ganesya ..... !" sekonyong-konyong berteriaklah
kelima murid resi Kapila melihat pewujutan patih Dipa saat itu.
Namun ketika bayangan itu melintas lenyap, mereka segera
tersambar petir keterkejutan yang hebat. Resi Kapila, guru
mereka, sedang diangkat oleh patih Dipa, setiap saat pasti
hancur lebur apabila d'banting oleh patih itu.
"Gusti patih, ampunilah guru kami" serta merta Sambita
berlima maju kehadapan patih Dipa dan memohon.
Saat itu hampir saja patih Dipa sudah akan melemparkan
tubuh resi Kapila. Ia beranggapan bahwa seorang pertapa
semacam Kapila, hanya akan mengotori masyarakat saja.
Membunuh memang suatu perbuatan kejam, tetapi
membunuh untuk membasmi kejahatan, lain artinya. Namun
ketika mendengar permohonan kelima murid Kapila, Dipa
tertegun. Sepercik sinar merekah terang dalam hatinya. Ia
menyadari bahwa tindakan untuk membunuh Kapila itu kurang
layak. Ia layak menghukum resi itu tetapi tak dibenarkan
untuk membunuhnya. Sebagai seorang patih, ia harus dapat
menjaga undang2 dan peraturan hukum yang berlaku di
Kahuripan. Setiap kesalahan dan kejahatan harus ditindak,
dihukum menurut peradilan undang2 negara. Dan sifat
daripada hukuman itu sesungguhnya untuk menyadarkan
terhukum dari kesalahannya.
Perlahan-lahan tubuh resi itu diturunkannya bluk ..... ,
sesaat tangan melepas maka resi itupun jatuh ke tanah.
Kelima muridnya serempak menolongnya. Resi Kapila pingsan,
sejak tubuhnya diputar putar sekencang angin oleh patih Dipa
tadi. Darah bergolak, meluap dan menghentikan denyut
jantungnya. "Tunggu" seru patih Dipa ketika melihat kelima murid itu
hendak membawa resi Kapila masuk, "apa janji kalian?"
Sambita sebagai murid pertama, bertindak selaku wakil
gurunya. Ia berjanji akan mengindahkan perintah patih Dipa,
membubarkan perguruan dan membebaskan wanita2 yang
diculik. Setelah menyelesaikan peristiwa di gunung Penanggungan
itu, patih Dipa dan prajurit Karpa segera tinggalkan gunung
dengan membawa wanita2 yang ditawan itu. Di kaki gunung
rakyat sudah berbondong menyambut. Memang setelah jauh
Dipa dan pengiringnya berangkat ke gunung Penanggungan,
rakyat di pedesaan serempak berkumpul dan dengan
membawa alat senjata yang dimiliki, mereka berbondongbondong menuju ke gunung itu. Mereka menunggu di kaki
gunung. Apabila sampai surya tenggelam belum juga patih itu
turun, mereka akan mendaki ke atas dan menyerbu asrama
resi Kapila. Patih Dipa diam2 kagum atas semangat rakyat di
pedesaan. Sampai saat itu belumlah mereka tahu siapa
sesungguhnya dirinya itu. Namun penyambutan mereka
tidaklah berkurang meriahnya. Hal itu memberi kesan yang
menandaskan lagi, bahwa bukan peribadi orang melainkan
tindakannya yang dihormati rakyat. Suatu penghormatan yang
tepat dan murni, bebas dan pengetahuan yang mungkin dapat
memercikkan debu2 pamrih dalam hati mereka.
Patih Dipa dan pengiringnya melanjutkan perjalan pulang
ke pura Kahuripan. Sesaat hari mulai petang dan
mencongklangkan kudanya di sepanjang jalan yang sunyi,
terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan ketika tak
terduga-duga seorang anak kecil melintas jalan. Jarak yang
amat dekat tak memungkinkan patih Dipa untuk
menyingkirkan kuda ke samping. Namun ia menyadari bahwa
apabila kena di terjang, anak itu pasti berbahaya jiwanya,
mungkin menderita luka berat, mungkin cacat bahkan
mungkin mati. Dalam saat yang berbahaya itu, patih Dipa cepat
menyentakkan tali kendali sekuat-kuatnya. Kuda terkejut
kesakitan dan melonjak ke atas. Binatang itu meringkik
dahsyat dan berontak sekuat-kuatnya dari tarikan kendali yang
dirasakan amat kuat sekali. Karena hampir berdiri tegak dan
meronta ronta sekuat kuatnya dengan tiba2 maka tubuh patih
Dipa pun terlempar ke tanah. Dan selekas lepas dari rasa
sakit, kuda itupun loncat ke muka melampaui anak kecil itu.
Rupanya binatang itu menderita kejut yang hebat sehingga ia
terus lari sekencang-kencangnya.
Anak2 itupun memekik kaget. Terutama prajurit Karpa.
Hampir saja tubuh patih Dipa terlanda oleh kuda yang dinaiki
Karpa. Untunglah Karpa yang mengiring di belakang, terpisah
beberapa langkah dari tempat peristiwa itu sehingga ia masih
mampu memaksa kudanya untuk menghindar ke samping
sehingga selamatlah patih Dipa dari terjangan kuda.
Prajurit Karpapun cepat loncat dari kuda dan lari
menghampiri ke tempat patih Dipa yang masih rebah di tanah.
"Gusti patih ...." prajurit gugup dan cemas ketika melihat patih
diam saja. Karena tiada penyahutan, maka iapun
memberanikan diri untuk mengangkat tubuh patih itu. Patih
Dipa pejamkan mata, mulutnya mengucur darah. Karpa makin
cemas, diletakkan tubuh patih ke atas pangkuannya dan
mulailah ia mengurut-urut dada, tangan dan bahu patih Dipa.
Tak selang berapa saat, patih Dipapun membuka mata. "O,
engkau Karpa" serunya "bagaimana dengan anak kecil itu ?"
"Dia selamat, gusti" kata prajurit Karpa. Ia agak terkesiap
melihat sikap patih itu. Dalam keadaan menderita luka, bukan
dirinya yang dipentingkan melainkan lebih mengutamakan
keselamatan anak itu. "O, syukurlah" kata patih Dipa seraya menggeliat duduk
"terima kasih, Karpa" ia terus bei-bangkit.
"Adakah gusti patih menderita luka?"
"Tak berarti, hanya terkejut" sahut patih Dipa seraya
membersihkan pakaiannya yang berlumuran debu. Tiba2 ia
mendengar isak tangis diantara suara anak2 yang hiruk.
Memandang ke arah suara itu, dilihatnya kawanan anak2 itu
tengah berkerumun dalam suatu lingkaran. Suara tangis itu
jelas berasal dari lingkaran anak2 itu.
Patih Dipa menghampiri dan menegur "Hai, mengapa
kalian ini?" Anak2 itupun menyiak ke samping. Patih Dipa melihat
anak kecil tadi sedang menangis terisak-isak. Di-hampirinya
anak itu "Mengapa engkau menangis?"
Anak itu tak menjawab. Salah seorang anak yang agak
besar tiba2 menyahut, "Kawan2 mempersalahkan dan
memakinya" "O" desuh patih Dipa beralih pandang kepada anak2 itu


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"mengapa kalian menyalahkan kawanmu yang kecil ini?"
Seorang anak yang paling besar menjawab "Dialah yang
mencelakai paman sehingga paman jatuh dari kuda ..."
"Mengapa dia tiba2 melintas ke tengah jalan?"
"Sebuah kancing mengambilnya" celananya jatuh dan dia hendak Mendengar keterangan itu patih Dipa terkesiap. Kemudian
bertanya kepada anak kecil itu "benarkah begitu, nak ?"
Anak kecil itu mengangguk.
"O" seru patih Dipa "mengapa engkau lebih mementingkan
sebuah kancing dari jiwamu?"
Anak itu tak lekas menyahut melainkan mengusap
airmatanya dan memandang patih Dipa. Terkejut patih Dipa
ketika bertemu pandang dengan anak itu. Sinar mata anak itu,
pernah dilihatnya dan dinikmatinya. Tetapi siapa.... ah, tiba2
ia tersentak. Adakah dia" Teringat seketika ia akan seseorang
tetapi pada lain kilas ia terpaksa harus menghapus
lamunannya. Mungkinkah hal itu" Ah, tidak "Mengapa nak?"
ulang patih Dipa karena anak kecil itu agak takut ketika
melihat sepasang mata patih Dipa memancar sinar.
"Karena ibu telah memesan begitu" akhirnya anak kecil itu
berani juga membuka suara.
"O, bagaimana pesan ibumu?"
"Apa yang kubawa dan kupakai, tak boleh hilang"
"Apakah ibumu akan marah karena kancing celanamu
hilang?" rupanya patih Dipa tertarik akan kata2 anak kecil itu.
"Ibu tak pernah marah kepadaku. Tetapi aku takut kalau
dia menangis" "Ibumu sering menangis?"
"Sering" sahut anak itu "tetapi ia selalu menyangkal kalau
aku bertanya mengapa ia menangis. Dia sangat sayang sekali
kepadaku" Patih Dipa termangu-mangu. Kata2 yang penuh kejujuran
dan wajar dari anak kecil itu, amat menikam hatinya. Betapa
besar kasih sayang seorang ibu kepada puteranya. Anak kecil
itu tentu berbahagia karena mempunyai seorang ibu yang
mencintainya. Demikian pula setiap anak yang lain. Tetapi dia"
Ah, betapa besar ia merindukan kasih seorang ibu" Betapa
besar ia mendambakan kebahagiaan belaian kasih seorang ibu
itu" Rindunya tak kunjung padam sejak ia masih kecil. Ia
melihat bagaimana setiap anak selalu dipeluk mesra oleh
ibunya, dibelai dengan penuh kasih sayang dan ditimangtimang dengan kemesraan. Kesemuanya itu tak pernah ia
merasakan. Betapa derita batinya untuk mengharap sesuatu
yang wajar bagi seorang anak manusia, bahkan anak burung
yang sering dilihatnya sedang disuapi makanan oleh induknya
di sarang atau anak kambing yang sedang menyusu induknya
di padang rumput, baginya tak pernah kunjung tiba.
Anak kecil itu tak berani berkata manakala ia melihat patih
Dipa termenung-menung diam. Dipandangnya wajah patih itu
dengan heran dan hampa. Tiba2 anak itu beringsut dan suara
yang timbul dari gerak tubuhnya, menyadarkan patih Dipa dari
renungannya "Ah, nak, hari sudah makin gelap. Engkau harus pulang.
Bukankah ibumu akan mencarimu ?"
Anak itu mengangguk "Ibu akan menangis bila sampai
petang aku tak pulang"
"O" desuh Dipa "dimanakah rumahmu ?"
Melihat patih Dipa tak marah bahkan malah bicara rancah
dengan anak kecil itu, sekalian anak2 yang besarpun hilang
kekuatirannya. Tadi mereka mendamprat anak kecil itu karena
takut patih Dipa akan marah
"Dia tinggal di utara kademangan, paman" seru salah
seorang anak yang agak besar.
"O, baiklah" kata Dipa seraya berbangkit "apakah kalian
bersedia mengantarkan pulang ?"
Kawanan anak2 itu menyatakan kesediaannya. Patih Dipa
gembira tetapi ketika berpaling hendak berkata kepada anak
kecil tadi, ternyata anak kecil itu bercucuran airmata "Eh,
mengapa engkau menangis" tegurnya heran.
Namun anak kecil itu tak menyahut.
"Jangan takut, katakanlah, mengapa engkau menangis "
Kawan kawanmu akan mengantarkan engkau pulang" kata
patih Dipa pula. "Ibuku tentu menangis, aku takut....." kata anak kecil itu
sambil mengusap airmatanya.
Patih Dipa terkesiap. Entah bagaimana ia tertarik melihat
anak yang amat taat dan mencintai ibunya "Baiklah, jika aku
yang mengantar, apakah ibumu akan marah ?"
Anak kecil itu gelengkan kepala "Mungkin tidak"
"O" patih Dipa kerutkan dahi. Rupanya ia heran mengapa
jika dia yang mengantar, ibu anak itu tak marah. Tetapi kalau
anak2, ibunya marah. "Begini, paman" anak yang paling besar tadi maju
kehadapan patih Dipa "Jaka Antakakami ajak mandi di sungai
sehingga petang hari baru pulang. Ibunya tertu cemas. Kalau
kami yang mengantar, ibunya tentu tahu Jaka Antaka mandi di
sungai maka dia tak berani"
"Kalau aku yang mengantar?" tanya patih Dipa.
"Tentulah ibunya tak marah karena percaya paman yang
mengajak anak itu" Patih Dipa menimang, tiba2 ia bertanya, "Namanya Jaka
Antaka " Ah, rasanya sebuah nama yang baik. Biasanya putera
seorang berpangkat" "Benar, paman" sahut anak itu" ayahnya seorang anak
orang berpangkat" Patih Dipa makin tertarik. Ia bersedia mengantarkan anak
itu. Diam2 ia telah mempersiapkan kata2 untuk menegur
orangtua anak itu. Jelas orangtuanya lalai atau memang tak
memperhatikan anaknya sehingga seorang anak sekecil itu
bermain-main mandi di sungai yang cukup jauh letaknya "Eh,
engkau" katanya kepada anak yang terbesar itu "berapa
umurmu ?" Anak itu heran namun menjawab juga "Duabelas tahun,
paman" "Ah, cukup besar" kata patih Dipa serentak teringat pada
dirinya dikala masih berumur begitu, Ia sudah tinggalkan desa
dan berkelana, "mengapa engkau mengajak seorang anak
sekecil itu mandi di sungai" Bukankah besar bahayanya
apabila anak itu sampai hanyut ?" tegurnya agak keras.
"Benar, paman, aku memang bersalah" jika anak besar itu
mengakui kesalahannya adalah seorang anak lain yang
bertubuh gemuk segera menjawab "kami sudah melarangnya
tetapi dia sendiri yang terkeras ikut"
"Benar ?" patih Dipa berpalirg kearah anak kecil tadi
"benarkah engkau yang ikut sendiri ?"
"Ya" anak kecil itu mengangguk "aku ingin mencari yuyu,
katanya di sungai itu banyak yuyu"
Patih Dipa tak marah mendengar jawaban itu bahkan
kebalikannya ia tersenyum karena anak itu jujur dan wajar,
"ibumu tentu marah kalau tahu hal itu. Apakah lain kali
engkau berani pergi ke sungai lagi?"
Anak itu gelengkan kepala, "Tidak, paman"
Dipa segera mengajak anak kecil itu pulang. Bermula
kawanan anak2 itu berjalan beriring tetapi ketika tiba disuatu
perkampungan merekapun segera pulang ke rumah masing2.
Patih Dipa dibawa anak kecil itu menuju ke sebuah rumah
yang berhalaman luas, dikelilingi pagar tanaman bersalut
bambu. Agak terkejut patih Dipa melihat bangunan rumah itu,
besar dan memiliki tiang2 soko. Biasanya rumah seperti
bangunan itu tentu didiami oleh orang berpangkat. Tetapi
sebesar itu rumah dan halamannya, suasananya amat sepi. Di
halaman tampak seorang lelaki tua tengah menyapu. Ketika
melihat Jaka Antaka masuk di halaman, lelaki tua itu berteriak
girang, "Oh, raden Antaka,kemana engkau?"
Tetapi lelaki tua itu tak melanjutkan kata-katanya karena
melihat Jaka Antaka datang beserta patih Dipa dan seorang
lelaki lain. "Raden, siapakah yang datang bersamamu ?"
serunya. "Paman" kata patih Dipa dengan tenang "aku hanya
kebetulan lalu di jalan yang sepi dan bertemu dengan anak ini
maka kuantarkannya pulang"
"Oh" kembali lelaki tua itu mendesuh kejut "dimanakah
tuan mendapatkannya ?"
"Dia bermain-main dengan kawan-kawannya"
"Ho, tentulah anak2 kampung itu, den Antaka tentu akan
dimarahi ibunya" "Ya, paman" kata patih Dipa "tetapi yang pokok dia sudah
pulang tak kurang suatu apa. Adakah paman eyang dari anak
ini ?" Lelaki tua itu terperangah, "Tidak, ki sanak, aku hanya
seorang pengalasan, juru momong dari ayah den Antaka sejak
kecil mula sampai ia berputera"
"O, paman seorang yang setya pada junjungan" patih Dipa
mengucap pujian "tetapi ...." belum sempat ia melanjutkan
kata katanya dari dalam rumah terdengar suara langkah orang
setengah berlari dan sesaat kemudian terdengar suara oiang
berseru. "Antaka ?".."
Jaka Antaka cepat lari menghampiri seorang wanita muda
yang muncul dari dalam rumah, "Ibu ..." anak itu segera
menyusup ke dalam pelukan wanita itu dan menangis.
"Ke mana engkau siang tadi" Mengapa sampai petang
begini baru pulang. Ibu mencarimu kemana-mana" kata
wanita itu. Dalam pada itu Dipa pun berpaling ke arah wanita dan
puteranya itu. Ia terharu gembira melihat kemesraan wanita
itu kepada puteranya. Tetapi dalam keremangan cuaca yang
makin petang, samar2 ia memperhatikan wajah wanita itu dan
tersiraplah darahnya seketika. Ia terbelalak.
"Nden Antaka diantar pulang oleh seorang lelaki yang baik
hati. Kalau tidak tentu dia takut pulang" tiba2 lelaki tua itu
menghampiri ke tempat wanita dan memberi keterangan.
"Oh" wanita muda itupun terhentak dari perhatiannya
kepada puteranya "siapa" Mana lelaki itu ?"
"Itulah, masih berdiri di halaman" kata bujang tua itu pula
seraya menunjuk ke tempat patih Dipa.
Wanita itu memandang ke arah yang ditunjuk bujang tua.
Serta pandang matanya tertumbuk pada wajah patih Dipa,
seketika ia menjerit "Kakang Dipa, engkau ...."
Tanpa disadari wanita itu menyiakkan puteranya ke
samping dan terus memburu ke tempat patih Dipa. Patih itu
tegak mematung seperti seorang yang kehilangan semangat.
"Kakang Dipa ..... bukankah engkau kakang Dipa?" wanita
itu mengulang seruannya seraya memandang pa:ih Dipa
selekat paku menancap tiang.
Patih Dipa mengebas-kebaskan kepala seperti burung
terlimpah hujan, kemudian mengusap kedua belah matanya.
"Puranti ..... apakah engkau Puranti ....."
"Kakang ..." wanita muda itu terus lari menyongsong ke
muka dan memeluk patih Dipa "kakang Dipa....." ia susupkan
kepalanya ke dada patih Dipa.
Dipa tertegun, terkesiap dan terhanyut dalam badai
perasaan yang tiada menentu. Badai yang menimbulkan
gelombang dahsyat di laut hati Dipa. Gemuruh riuh laksana
beribu prajurit yang tengah menyabung nyawa di medan laga.
Menggelegar sedahsyat halilintar membelah angkasa.
Demikian perasaan hati patih Dipa yang sedang dilanda oleh
kenangan. Kenangan lama yang pernah menggetarkan
serabut2 halus dari dinding kalbunya.
"Puranti, adakah aku bermimpi?" akhirnya terurailah
hamburan kata dari mulut patih muda itu.
"Tidak, kakang, tidak" Puranti makin memperkencang
pelukannya "engkau tak bermimpi. Aku adalah Puranti, Cucu
Puranti puteri demang Saroyo"
Dalam kehidupan manusia, berpisah dan berkumpul,
bercerai dan bertemu, sudahlah jamak dalam perjalanan
hidup. Kata orang, diantara perpisahan dan pertemuan, paling
terasa berat dalam perasaan adalah perpisahan mati. Apabila
kita ditinggal mati oleh orang tua, saudara, sanak keluarga,
sahabat dan mereka yang kita cintai. Dan diantara pertemuan
yang paling menggembirakan adalah antara orangtua dengan
anak, saudara dengan saudara, sanak dengan keluarga dan
sahabat dengan sahabat. Termasuk kegembiraan yang
memuncak adalah pertemuan antara sepasang kekasih yang
lama dirindu oleh perpisahan lama.
Namun tiadalah tentu pertemuan itu menggembirakan.
Adapula pertemuan yang menyedihkan hati. Tiada pula
kegembiraan itu mesti gembira, ada pula kegembiraan yang
menyedihkan. Atau gembira yang sedih, dan hal itu terjadi
pada diri Dipa, rakryan patih Kahuripan. Ketegangan perasaan,
kerinduan yang tak pernah terpenuhi, dari kasih sayang
seorang ibu dan dari kasih asmara seorang gadis yang
menjadi cucu dari demang Surya, kini ditumpahkan seluruhnya
kepada Cucu Puranti, puteri demang Saroyo, yang pernah
singgah menghias taman hatinya.
"Puranti ...." serta merta Dipa pun memeluk wanita muda
itu. Erat dan mesra seolah seperti orang yang takut akan
kehilangan miliknya yang berharga. Ia merasa bahwa
kehausan kasihnya telah bertemu dengan sebuah telaga yang
jernih. Ia ingin memuaskan dahaga, ingin meneguk kejernihan
air yang sejuk. Dan keinginan2 itu telah melelapkan kesadaran
batinnya, menghanyutkan kejernihan pikirannya.
Puranti, wanita muda yang memaserahkan semangat dan
jiwanya, menangis terisak-isak dalam dekapan mesra dari
Dipa. Kedua insan itu terbuai dalam alam yang indah dari
taman Indraloka. Mereka merasa bahwa alam yang seluas ini
hanya terisi oleh mereka berdua, milik mereka berdua.
"Ibu ...." tiba2 Jaka Antaka berlari menghampiri Puranti. Ia
terkejut dan takut karena mendengar ibunya menangis
terisak-isak. "ibu, mengapa engkau menangis?"
Walaupun impian itu hanya suatu kelanjutan dari sesuatu
yang menghuni dalam pikiran dan batin kita, sesuatu yang
beisifat penghajatan yang mendahului kenyataan, namun kita
merasa senang juga bermimpi. Terutama apabila bermimpi
indah, sesuai yang kita lamunkan. Rasa senang, bahagia dan
gembira inilah yang menimbulkan rasa getun, kecewa apabila


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara tiba-tiba kita terjaga atau dibangunkan oleh orang atau
sesuatu. Demikian kiranya perasaan yang dialami Cucu Puranti
dan Dipa. Mereka sedang berada dalam suatu impian yang
indah dan bahagia. Teriakan Jaka Antaka telah meniup buyar
impian mereka. Lenyapnya impian maka kesadaranpun
kembali bertahta dalam singgasana hati dan pikiran
memegang tampik kendali pemerintahan diri perihadi pula.
"Maafkan, Puranti" dengan pelahan Dipa menegakkan
tubuh Puranti dan Puranti pun cepat beringsut mundur. Ia
menyadari apa yang telah tak disadari. Dan apa yang tak
disadari itu, akhirnya harus kembali pada kesadaran dari
kenyataan dan keadaan. Kata2 'ibu' yang diucapkan oleh Jaka
Antaka, anak yang telah dilahirkan dari tubuhnya dan
merupakan gumpalan dari tubuhnya, bagaikan sebilah pisau
yang menikam hatinya. Puranti terkejut, tertegun dan
tersadar. Ia bukan Puranti puteri demang Saroyo yang sedang
memadu janji dengan seorang prajurit muda bernama Dipa di
malam purnama dahulu. Ia bukanlah Puranti gadis
kademangan yang pernah tenggelam dalam penantian akan
kehadiran prajurit muda itu. Iapun bukan lagi Puranti, puteri
demang yang masih seorang perawan suci. Tetapi ia kini
adalah seorang wanita yang sudah bersuami, seorang ibu dari
seorang anak lelaki bernama Jaka Antaka.
"Oh, Antaka, puteraku" serta merta ia mendekap dan
memeluk kepala Jaka Antaka, menciumnya dengan penuh
kemesraan keibuan "aku tak apa-apa, angger"
"Tetapi mengapa ibu memeluk paman itu dan menangis?"
tanya Antaka dengan nada kekanak-kanakan. Sesungguhnya
ia tak tahu apa arti daripada ucapan memeluk itu. Ia hanya
melihat apa yang dilihatnya.
"Paman itu adalah kenalan ibu, nak. Sudah lama ibu tak
berjumpa" kata Puranti dengan berlinang-linang airmata.
Namun ditahannya. Patih Dipa pun termangu-mangu bagai seorang yang
kehilangan semangat. Kesadaran akan keadaan dan kenyataan
yang dihadapinya, melumpuhkan semua bayu nadinya.
Bagaikan seorang dahaga yang melihat sebuah telaga yang
jernih, tiba2 ia melihat bahwa dalam dasar telaga itu terdapat
seekor bangkai ular berbisa. Betapa pun rasa dahaga yang
harus terpenuhi namun ia harus melihat kenyataan yang pahit.
Ia dapat memuaskan dahaga itu tetapi ia akan mati karena
kepuasan itu pula. Dipa merasa akan mati, mati perasaannya, mati jiwanya,
mati sifat ksatryaannya. Mati yang paling mati dari semua
kematian, adalah mati jiwanya, mati kepribadiannya. Kematian
raga, hanyalah kehilangan selongsong, kehilangan sangkar.
Tetapi apabila burung dalam sangkar itu mati, apa guna
sangkar itu walau terbuat daripada emas sekalipun. Ia
menyadari bahwa apa yang dilakukannya tadi hanya suatu
rangsang perasaan sesaat, suatu gelora luapan hati yang
terlepas dari kungkung rasa kesadaran.
Dipa telah menyadari kenyataan bahwa Cucu Puranti,
puteri demang Saroyo, yang pernah memadu janji akan
menanti dengan setya kepadanya, ternyata sudah menjadi
milik orang. Hampir ia terbunuh oleh rasa ke akuannya yang
mengandung sifat kemilikan yang menimbulkan kekecewaan,
dan melahirkan kemarahan. "Dia telah mengingkari janji"
demikian letupan kemarahan yang menggempa dalam bumi
hajinya "seorang wanita yang tak patut dipuja tak layak
dicinta" Tetapi manakala telinganya mendengar isak tersedu dari
Puranti tadi, manakala melihat keadaan tubuh wanita muda itu
dan manakala memperhatikan sinar matanya yang tergenang
butir airmata laksana embun luluh ditingkah sinar surya
tengah hari, luluh pulalah perasaan Dipa. "Aku bertindak
kejam kepadanya karena telah menjatuhkan prasangka yang
buruk. Seolah semua kesalahan, hanya kuletakkan pada
dirinya. Pada hal akupun bersalah dan curang ....."
Seketika terbayanglah Dipa akan kenangan pada malam
itu, dikala ia duduk berdua dengan Cucu Puranti. Betapa
gelora yang telah melanda hati gadis itu sehingga dengan hati
terbuka telah mencurahkan seluruh isi hati dan segenap
telatah kalbunya kepada prajurit muda itu. Dan dikala itu
berkatalah Puranti mengantar keberangkatannya ke Majapahit.
"Selama lintang Panjer rino bercahaya, selama itu pula hatiku
akan bergemerlapan memancarkan suara hatiku kepadamu.
Pandang dan amatilah, kakang. Lintang itu adalah cermin
hatiku. Dia suram, hatiku pun suram. Dia terang, hatiku pun
terang. Dia tetap di angkasa, hatiku pun tetap berada dalam
hatimu ..." Dara Puranti telah menyerahkan jiwa, raga dan segenap
kepercayaan kepadanya, walaupun dara itu tahu bahwa dia
hanya seorang prajurit rendah, seorang pemuda dari
keturunan bawah, betapa besar pengorbanan yang akan
diberikan Puranti kepadanya. Tetapi kala itu, ya kala itu,
secara diam2 ia telah membohongi Puranti dan membohongi
dirinya sendiri. Ia tak berani bersikap terus terang, berkata
sejujurnya bahwa sesungguhnya hatinya telah terisi oleh
bayangan seorang dara lain. Dara Indu yang menjadi cucu
dari demang Suryanata. Pengaruh pengorbanan dan penyerahan secara tulus ikhlas
dari Puranti telah meluluhkan hatinya. Ia kasihan kepada
Puranti, ia tak ingin melihat dara itu hancur perasaannya, ia
tak sampai hati membuatnya menderita. Maka iapun
menggantungkan harapan Puranti itu kepada suatu
penundaan. Apabila ia berhasil menemukan Indu dan dapat
membangun mahligai kebahagiaan dari puing2 derita, barulah
ia akan memberi kepu'usan tegas kepada Puranti. Namun
apabila ia gagal mencari Indu, iapun akan kembali untuk
melaksanakan harapan Puranti. Ia akan membahagiakan
puteri demang itu. Memang ia menyadari bahwa dalam
hatinya telah tumbuh dua macam rasa. Antara rasa asmara
dan terharu. Indu telah lebih dulu menebarkan benih asmara
dalam lubuk hatinya. Sedang Puranti pun menanamkan bibit
itu dengan segala keikhlasan dan pengorbanan yang
mengharukan. Hampir serupa tetapi agak beda antara rasa
asmara dengan rasa haru itu, walaupun keduanya merupakan
unsur yang mudah subur dan bersemi dalam hati.
Teringat Dipa akan cerita demang Surya bahwa bohong itu
suatu perbuatan yang buruk, yang kotor. Tetapi diantara jenis
bohong, adalah sebuah yang tidak dapat dianggap buruk atau
jahat. Dan bohong itu disebut bohong wajib. Demang
Suryanata yang gemar menceritakan tentang peperangan
antara kaum Pandawa lawan kaum Koravva yang masih
tergolong keluarga sendiri, mengatakan bahwa prabu
Puntadewa saudara yang tertua dari Pandawa Lima, seorang
yang suci batinnya tak pernah bohong. Tetapi ketika Pandawa
tak kuasa menghadapi kesaktian pandita Drona sebagai
senopati agung barisan Korawa, Sri Kreshna pun mengatur
siasat. Bahwa diketahui oleh Sri Kresna, pandita Drona itu
amat mencintai sekali puteranya raden Aswatama. Maka
disiarkanlah bahwa Haswatama mati. Pada hal yang mati itu
bukan Aswatama melainkan gajah Haswatama. Senopati
pandita Drona terkejut. Ia tak percaya dan akhirnya bertanya
kepada prabu Puntadewa. Sebelumnya Puntadewa telah
berbantah dengan Sri Kreshna dan akhirnya menurut
permintaan Sri Kreshna untuk berbohong kepada pandita
Drona. Apabila pandita Drona bertanya tentang kebenarannya
berita Aswatama tewas, maka prabu Puntadewa harus
mengiakan. "Itulah yang disebut bohong-wajib, Dipa" kata demang
Surya kala itu "disebut wajib karena terikat oleh kewajiban
negara. Kewajiban untuk menyelamatkan rakyat dari
kebinasaan, membebaskan dunia dari keangkaraan."
Dipa masih ingat akan cerita itu. Dan dalam menghadapi
penyerahan Puranti, iapun berkesan untuk mengambil langkah
bohong wajib. Hanya apabila prabu Puntadewa diwajibkan
oleh tugas negara, Dipa merasa diwajibkan oleh suara hatinya.
Suara hati nurani yang mengumandangkan getar2 halus dari
rasa iba dan kasih sumber yang memancarkan tirta Amerta
dalam tubuh manusia. Dipa terpaksa berbohong demi
kebahagiaan Puranti. Ia memberi jawaban samar, tiada
menolak, tiada menerima. Sehingga Puranti tergantung dalam
penantian. Setelah menyadari kenyataan yang dihadapinya, kesadaran Dipa pun timbul. Indu telah menderita, haruskah
Puranti menderita juga" Tidak! Ia merasa telah berbuat suatu
kecurangan. Walaupun ia mengambil langkahwajib demi
membahagiakan hati Puranti, tetapi langkah itu kurang
ksatrya, kurang benar. Andaikata garis hidupnya menentukan
bahwa ia dapat mempersunting Indu sebagai kawan hidup,
tidakkah Puranti tetap akan menderita" Jika harus sama2
menyebabkan dara itu menderita batin, mengapa tak saat itu
juga ia mengatakan terus terang tentang ikatan batinnya
dengan Indu" Bukankah tindakan itu lebih ksatrya dan lebih
jujur" Demikian unsur2 yang mendorong patih Dipa lupa sesaat
sehingga ia memeluk Puranti dengan mesra. Ingin ia
meluapkan segala perasaan hatinya, segala penyesalan
hatinya dan segala penebusan kesalahannya terhadap Puranti.
Tetapi patih Dipa dihadapi pula dengan kenyataan yang
harus dihayati. Bahwa Puranti yang dihadapi saat itu, bukanlah
Puranti yang memadu janji dengannya di bawah sinar bulan
purnama. Bahwa Puranti yang begitu paserah setulus hati,
ternyata telah mengingkari janji. Ia marah. Iapun menyesal.
Tetapi kabut kemarahan itupun segera berangsur-angsur
hilang demi memandang kenyataan dari keadaan diri Puranti.
Puranti kurus, pucat. Tampaknya dia tentu tak bahagia dalam
pernikahannya. Serta tertumbuk akan pandang rnata Puranti
yang cekung dan sayu, luluhlah amarah Dipa. Dan apabila
kabut kemarahan itu sudah lenyap, maka tampaklah
gambaran yang terang dari sesuatu yang menjadi pangkal
kemarahan, perkembangan dan keakhirannya.
"Akulah yang bersalah" kata Dipa dalam hati "karena
sikapku yang samar2, karena akupun telah membohonginya.
Karena akupun tak menetapi janji untuk segera datang ke
kademangan. Karena tidak memiliki nyali jantan untuk
meminangnya. Tidak, Puranti tak bersalah. Ki demang dan nyi
demangpun tak bersalah karena sebagai orangtua sudah layak
apabila memikirkan kepentingan puterinya. Yang salah adalah
aku ..." Apabila seseorang menyangkal kesalahannya maka
banyaklah ia menggunakan dalih alasan untuk membersihkan
diri, ada kalanya menimpahkan kesalahan itu pada orang lain.
Namun apabila ia telah menyadari dan mengakui bersalah,
jaranglah ia mencari-cari dan membongkar-bongkar kesalahan
yang mungkin bertimbun-timbun dalam dirinya. Tetapi tidaklah
demikian dengan patih Dipa. Sesaat ia menyadari dan
mengakui kesalahannya maka banyaklah hal2, sikap atau
langkah, yang dirasakannya salah dan menambah kesalahannya. Saat itu segera memancar dalam kesadaran batinnya,
bahwa langkahnya tadi, tidak dapat dibenarkan. Dia seorang
lelaki, tidaklah layak untuk bersentuhan tubuh dengan seorang
wanita yang bukan isterinya.
Paradara artinya isteri orang lain. Dalam undang-undang
Majapahit telah dicantumkan bahwa wanita yang telah kawin
atau paradara, adalah wanita palarangan. Barangsiapa
mengganggu atau menggoda isteri orang lain, dikenakan
denda sesuai dengan besar kecilnya kesalahan. A pabila sampai
berbuat hal2 tak senonoh yang melampaui batas, maka orang
itu dapat dijatuhi hukuman mati.
Strisanggrahana artinya menjamah isteri orang lain, Yalah
apabila seorang lelaki berbicara dengan wanita yang telah
bersuami di tempat yang sunyi. Perbuatan itu dalam undang2
kerajaan Majapahit disebut Strisanggrahana. Dapat dijatuhi
pidana tergantung dari besar kecilnya kesalahan atau tinggi
rendahnya kedudukan wanita yang tergoda itu.
Sejak menjabat sebagai bhayangkara di keraton Majapahit,
bekel Dipa memang rajin belajar segala ilmu. Tak lupa pula
iapun memahami undang-undang yang berlaku di kerajaan
Majapahit. Maka iapun segera merasa bertumpuk-tumpuk
kesalahannya. Dan apabila teringat akan kedudukan saat itu,
seorang patih Kahuripan, mau rasanya ia mati, mati karena
terbunuh rasa malu. "Kakang" tiba2 Puranti berseru pelahan dan sayu. Nadanya
mengunjukkan rasa sedih dan kehilangan faham, pernyataan
maaf dan penyesalan. Dipa tersadar dari kemanguan. Memandang kearah
Puranti, perasaan hatinya bagai kaca terbanting pada batu.
Remuk rendam. Ia merintih dalam hati melihat keadaan
Puranti yang kurus dan makin layu. Seketika sadarlah ta dari
apa yang dihadapinya dan apa yang harus dilakukannya.
Apabila ia ikut tenggelam dalam gelombang duka nestapa, ia
pasti akan mati terbenam dalam seribu satu perasaan
kesalahan. Dan kematiannya itupun takkan menolong keadaan
Puranti, bahkan kebalikannya akan menambah beban
penderitaannya yang sudah menganak bukit itu. Ia harus
bangkit. Ia seorang lelaki. Betapapun derita dan nestapa yang
menimpah dirinya, harus ia pikul sendiri. Indu sudah
menderita, ia sendiripun menderita, apakah Puranti harus
menderita pula" Tidak. Dua sudah cukup, tak boleh jatuh
korban yang ketiga pula. Puranti harus diselamatkan.
"Puranti" akhirnya meluncurlah kata2 dari mulut patih Dipa
"kita manusia hanya titah Hyang Maha Agung. Dia yang
menciptakan, dia pula yang menghancurkan, Dia yang
memulai, dia pula yang mengakhiri. Titah manusia hanya
menurut apa yang dikehendaki-NYA. Bulatkanlah kepercayaanmu kcpada-NYA dan serahkan segala apa yang
ada pada kita, hidup, mati, jiwa, raga dan semua perjalanan
hidup dengan segala kebahagiaan dan kesengsaraannya,
kepada-NYA"

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Airmata Puranti mulai bercucuran,
"Hidup memang penuh coba, penuh peristiwa yang sering
tak kita inginkan dan serba aneh pula. Apabila kita hanya
memandangnya dari perasaan dan kepentingan kita, dari
keinginan dan harapan kita, maka kita tentu akan merasakan
betapa besar derita coba yang selalu menimpa diri kita. Tetapi
apabila kita dapat meningkatkan pandangan kita kepada Hidup
dan yang Menghidupkan, dari yang Dicipta dan Pendptanya,
maka akan bertemulah perasaan kita pada suatu alam yang
teduh dan sejuk. Takkan kita menderita lagi panasnya
kemarahan, pahitnya penderitaan, geramnya kekecewaan.
Karena kita telah bernaung di bawah kesejukan pengayoman
Hyang Murbeng Gesang, yang menciptakan alam semesta,
yang menjadikan seluruh mahluk yang menyawakan titah
manusia" Puranti termangu dalam genangan airmata.
"Apabila telah kita temui sumber itu, tiadalah sukar untuk
memperoleh airnya yang jernih. A ir yang akan membawa kita
kepada kejernihan hati dan kesejukan pikiran. Bahwa kita titah
manusia, engkau, aku, puteramu dan semua yang berada
dalam lingkungan kehidupanmu, semua yang menyebabkan
engkau menderita atau bahagia, yang engkau benci dan cintai,
hanyalah insan2 yang diciptakan dan ditentukanNYA. Oleh
karena itulah, Puranti, janganlah kiranya engkau menyerahkan
dirimu dalam kelarutan laut kesedihan karena kesemuanya itu
adalah kehendakNYA dan kita titah ini hanya sekedar
melakukan saja apa yang menjadi titahNYA"
Memandang pada Puranti, Dipa mulai menampak percik2
lembut dari sinar cahaya pada gundu mata wanita itu.
"Apabila kita menghayati sumber kehidupan itu maka
pancaran dari aliran sumber itu, yang merupakan kissah
perjalanan hidup setiap manusia, tiadalah sesuatu yang akan
merintangi perjalanan alir air itu kepada muara, tempat
terakhir dari tujuan aliran itu. Selayak aliran itu akan
menampung segala macam kotoran, demikian pula kiesah
perjalanan hidup manusia itu tentu tak lepas dan segala
kotoran dunia yang berupa kesedihan, kemarahan,
kekecewaan, kesenangan, kebahagiaan dan segala macam
rasa perasaan" patih Dipa melanjutkan pula. Kemudian
berhenti sejenak untuk memberi kesempatan agar kata
katanya itu dapat menyusup ke dada Puranti.
"Puranti, engkau tak bersalah, orangtuamu tak bersalah,
aku tak bersalah dan memang tak ada yang bersalah karena
kesemuanya itu sudah digariskan oleh Hyang Purba Wisesa.
Gcncarkanlah doamu, tunaikan dharma hidupmu, agar engkau
mendapat pcngampunanNYA " Dipa berbanyak-banyak kata
untuk menghibur kehancuran hati Puranti .....
"Namun ingatlah, Puranti. Betapapun sulit hambatan yang merintangi aliran itu, betapapun kotor
lumpur dan sampah yang melumuri aliran itu, tetapi
janganlah lupa akan sifat
hakiki dari pada aliran itu,
yalah air. Ya, airlah. Setelah
mengenal sifat diri maka haruslah segera berpaling
untuk mengenal sumber asalnya. Dari sumber, air
mengalir, menuju ke muara dan berlabuh ke laut. Dari sumber
air, kembali pada air ....."
"Jika sudah mengerti, menyerap dan menghayati
kesemuanya itu maka air pun tetap akan memiliki sifat ke
airannya yang sejuk, jernih. Dia masih tetap air walaupun
digenangi lumpur, dilumuri kotoran, ditimbuni sampah,
ataupun diambil dalam kendi, diminum, dibuat mandi,
dimasak, digodok dan dibuang. Apa yang dialaminya itu
hanyalah suatu peristiwa dalam peijalanan yang takkan dapat
merobah sifatnya, tak menggoyahkan pendirian dan takkan
membilukkan arah tujuannya ....."
"Puranti, mengapa kita harus tertawa kalau kita-pun dapat
menangis. Mengapa tertawa kalau kita riang, menangis kalau
sedih Jika sudah tahu bahwa tawa dan tangis itu hanya luapan
perasaan batin dan bahwa batin itu hanya sekedar
memantulkan sesuatu yang tercipta dalam pikiran, mengapa
kita harus tertawa dan menangis. Bukankah kesemuanya itu
berpangkal pada pikiran dan bersumber pada batin. Apabila
pikiran dan batin sudah mengetahui sifat hidup kita, sebagai
air mengenal sifat2 keairannya, tidakkah kita dapat
membebaskan diri dari segala kesedihan dan kegembiraan itu.
Karena apa yang terjadi dan menimpa diri kita, hanyalah suatu
peristiwa dari kissah perjalanan hidup kita. Janganlah kita
tertegun, terpesona dan tersilau oleh kesedihan, kegembiraan
dan segala rasa perasaan yang menjelang di hadapan kita.
Karena kesemuanya itu hanyalah suatu kodrat yang telah
digariskan oleh Yang Menguasai Hidup ini"
Airmata Puranti mulai menipis. Terasa ada suatu percikan
sinar yang menerangi pikiran hatinya.
"Kutahu betapa perasaan hatimu, seterang aku merasakan
betapa perasaan hatiku" kata patih Dipa pula "tetapi setelah
kita mengetahui sifat2 kehidupan kita, marilah kita hadapi
segala kenyataan yang menghadang di depan kita. Dan
setelah menyadari kenyataan itu, marilah kita membangkitkan
diri peribadi kita" "Puranti, saat ini kita berjumpa dalam keadaan yang sudah
lain kedudukannya. Kita telah dibelah oleh sebuah garis
kesusilaan yang harus kita hormati, apabila kita masih
mengaku dan merasa memiliki rasa kehormatan. Karena
hanya manusia yang memiliki rasa kehormatan, rasa harga
diri, akan dapat menunaikan rasa hormat, akan dapat
menghormati sesuatu yang wajib dihormati. Dan kupercaya,
engkau Puranti, tentulah seorang wanita yang utama. Arti dan
sifat Utama itu sudah mengandung pengertian yang dalam
dan mencakup seluruh nilai dan bobot kewanitaan. Sebagai
seorang anak, engkau telah mengunjukkan bhakti ketaatanmu
terhadap orang tua yang telah menjodohkan engkau pada
suamimu. Dan sebagai seorang isteri, Puranti, wajiblah engkau
setyatuhu pada guru-lakimu. Suamimu adalah pria pujaanmu,
pelindungmu, sesembahanmu, alam hidupmu di mana jiwa
dan ragamu, keinginan dan harapanmu, kebaktian dan
kepatuhanmu, kesetyaan dan pendambaanmu, napas dan
darahmu, akan tercurah menjadi satu. Selama hayatmu masih
memiliki kerangka raga di alam kesunyatan, sampai kelak
engkau berada di alam kelanggengan. Demikian beratnya
tanggungjawab dan kewajiban seorang wanita utama
terhadap guru lakinya. Bobot atau berat daripada kewajiban
itulah letak nilai keutamaan seorang wanita. Maka cintailah
suamimu, ayah dari puteramu itu. Baik atau buruk suami itu,
termasuk tanggungjawab dan kewajiban seorang wanita
utama. Karena kupercaya, Puranti, bahwa betapapun buruk
dan jahat seorang manusia, namun tentu masih memiliki
sepercik, betapapun kecil, hati nurani yang menjadi sifat dari
kemanusiawiannya. Dan dia tentu akan dapat disadarkan
supaya kembali ke jalan yang benar. Apabila gagal, bukanlah
semata kesalahannya belaka, pun engkau sebagai isteri, harus
mengakui kesalahanmu bahwa dalam memberi penyadaran itu
engkau masih kurang sempurna, masih belum menemukan
cara yang benar. Dan karena itu janganlah engkau putus asa
atau jemu untuk menyadarkannya"
Puranti tiada lagi menangis. Ia terlongong longong.
"Keadaan yang kita hadapi sekarang ini, bukan salah
orangtuamu, bukan salahmu, bukan pula salahku dan
memang tiada yang bersalah dalam hal ini. Karena apakah
yang sudah menjadi garis dari Hyang Maha Agung itu salah"
Tidak, Puranti, Hyang Maha Agung itu maha pengasih, maha
penyayang. Tak mungkin Dia salah. Manusia yang
mengatakan Dia salah, adalah manusia yang salah. Karena
apa yang dianggap salah oleh manusia itu hanya dipandang
dari sudut kepentingan manusia yang sumbernya tak lain
hanya dari Keinginan dan lain2 sifat kemanuslawiannya.
Manusia dengan sifat2 kemanusiawiannya tak mungkin dapat
menilai sifat kemurnian yang suci dari keagungan Yang Maha
Agung. Tetapi Yang Maha Agung tahu jelas nilai
kemanusiawian manusia. Maka, Puranti, janganlah engkau
bersedih atau berduka, lapangkan dadamu, tegakkan
kepalamu dan tengadahkanlah tanganmu untuk memuji
kebesaran Hyang Murbeng Gesang"
Tiba2 Puranti berjongkok dan menyembah. "Duh, kakang
Dipa, baru sekarang aku bersua dengan seorang pria yang
dapat membuka kegelapan hatiku, mengisi api kehidupan
dalam jasadku yang telah kehilangan pegangan dan padam
semangat kegairahannya. Sebagai rasa terima kasihku yang
tanpa umpama itu, aku akan mentaati wejanganmu, kakang"
"Puranti, janganlah" bergegas patih Dipa menghampiri
untuk mengangkat bangun Puranti.
"Kakang ..." Puranti menatap wajah patih Dipa "sesuai
dengan nasehatmu, aku akan menjalankan dharma hidupku
dalam kehidupanku yang sekarang ini. Tetapi kelak dalam
penitisanku yang mendatang, idinkanlah aku menunaikan
keutamaanku itu kepadamu, kakang ..."
"Puranti, mohonlah kepada dewata agar keinginanmu itu
terkabul. Setiap keingtnan yang baik, pasti akan direstui
dewata. Tetapi Puranti" kata patih Dipa, "tidaklah hanya cukup
untuk memanjatkan dosa dan memohon saja, tetapipun harus
disertai dengan dharma dan amal perbuatan yang baik"
"Akan kutanam pesan kakang itu dalam kalbu hatiku,
kakang" Dipa memandang ke cakrawala. Langit makin kelam,
suasanapun makin gelap. Setelah merenung sejenak akhirnya
ia berkata, "Puranti, puteramu telah pulang dengan selamat.
Kuharap engkau menjaganya baik2. Dan karena hari sudah
gelap, idinkanlah aku melanjutkan perjalanan lagi"
Purami terkejut "Bagaimana mungkin engkau hendak
melanjutkan perjalanan lagi, kakang. Hari sudah malam,
marilah singgah dalam rumahku dan bermalamlah di sini,
kakang" "Jangan salah faham Puranti" kata patih Dipa, "bukan aku
tak mau bermalam di rumahmu tetapi aku benar2 masih
mempunyai tugas yang harus kuselesaikan. Lain kesempatan,
aku tentu akan datang kemari lagi"
"Kemana engkau akan menuju?" tanya Puranti.
"Ke pura Kahuripan"
"O, engkau bekerja di keraton Kahuripan lagi?" Dipa
mengiakan. Namun ia tak mau memberitahukan pangkatnya
yang sekarang. Bukan karena ia tak mau bermalam di situ
tetapi ia menguatirkan hal itu hanya akan menimbulkan
sesuatu yang menyiksa batinnya dan hati Puranti. Tiba-tiba ia
menghampiri prajurit Karpa, meminjam pedangnya dan
memapas seuntai ujung rambutnya lalu menghampiri Puranti.
"Puranti, aku ingin menghaturkan sesuatu kepadamu. Sayang
aku tak memiliki barang yang berharga. Hanya ini milikku
peribadi, segumpal rambutku. Maukah engkau menerimanya?"
"Apapun pemberian kakang, akan kupersemayamkan
dalam kancing gelungku" Puranti menerimanya dengan tangan
gemetar. "Puranti, bila setiap saat engkau memerlukan bantuanku,
tunjukkanlah rambut itu kepada prajurit Kahuripan, aku pasti
datang kepadamu. Semoga dewata melimpahkan pengayoman
kepadamu ..." patih Dipa berputar tubuh dan hendak ayunkan
langkah. "Kakang Dipa" tiba2 Puranti berseru dan patih itupun
berhenti "aku tak dapat menghaturkan apa2 kepadamu,
kakang... ," "Engkau telah menghadiahkan ikat pinggang kain cinde
rumbai, Puranti" kata Dipa seraya menyiak pinggang bajunya
"inilah pemberianmu yang selalu kupakai"
"Oh" Puranti mendesis kejut. Ia tak pernah menyangka
bahwa kain cinde itu akan selalu dipakai Dipa "terima kasih,
kakang" Patih Dipa pun berputar tubuh dan hendak melanjutkam
langkah lagi. "Kakang, tunggu sebentar ....." Puranti
menghampiri dan patih Dipa tampak kerutkan dahi "aku
hendak menghaturkan sebuah persembahan lagi, kakang"
"Ah, Puranti, mengapa engkau harus berjerih payah
memikirkan soal itu"
Puranti makin dekat dan makin merapat dihadapan patih
Dipa. Ditatapnya wajah patih itu dengan mata yang
mengandung beribu arti. "Kakang, maukah engkau menerima
persembahan itu?" Patih Dipa tertegun. Sekilas pertimbangan melintas dalam
hati. Ia tahu bahwa Puranti tentu tak berbahagia dalam
pernikahannya. Wanita itu cukup menderita batin. Ia harus
berusaha untuk menghiburnya. "Sudah tentu, akan kuterima,
Puranti" sahutnya. Tampak berseri wajah Puranti. Wajah yang lusuh bagai
bumi gersang dimusim kemarau, tiba2 tampak segar bagai
bunga bermandi embun. Patih Dipapun tertegun. Saat itu ia
melihat yang di hadapannya bukan Puranti, wanita muda yang
kehilangan gairah hidup, yang ibarat kembang layu sebelum
mekar, tetapi Puranti puteri demang Saroyo yang cantik
berseri-seri laksana kuntum mekar dipagi hari.
"Puranti, apa yang hendak engkau katakan?" tiba2 patih
Dipa tersadar dari kelelapaa.
Puranti pun terkesiap lalu tersipu-sipu menunduk. Sesaat
kemudian ia mengangkat muka, menjelangkan pandang
kepada patih Dipa "Kakang, aku hendak menghaturkan sebuah
persembahan kepadamu"
"O, benda apakah itu?" cepat patih Dipa menanggapi
dengan nada cerah. "Bukan benda, kakang"
"O, lalu apa Puranti?"
"Seuntai mutiara kata yang tersimpan dalam kelopak
hatiku dan kurangkai menjadi suatu rangkaian ikrar. Walaupun
raga Puranti menjadi isteri Jaka Damar, tetapi hatiku adalah
milikmu, kakang"

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Puranti ....." Dipa terkejut sehingga terluncurlah kata2
yang setengah berteriak. Tetapi cepat ia menyadari "Puranti,
hari sudah malam, lekaslah engkau masuk. Berkemaslah untuk
memanjatkan doa kepada dewata ...."
Patih Dipa berputar tubuh dan cepat ayunkan langkah,
mengajak Karpa tinggalkan tempat itu. Prajurit Karpa menurut
tanpa sempat memperhatikan bahwa pelapuk mata patih
Kahuripan itu telah menitikkan dua butir airmata.
Puranti mengantar kepergian Dipa dengan pandang mata
yang memancarkan sinar senja. Ia tak tahu adakah sinar itu
sinar senja pagi yang membawa harapan atau sinar senja
petang yang mengakhiri hari. Bagaikan langit, ia hanya
menengadah menyambut dan menerima apapun sinar yang
akan dipancarkan sang surya.
"Bu, aku lapar ..." tiba2 ia dikejutkan suara Antaka. Ia
tersadar, hidup itu suatu kewajiban
0oodw-mchoo0 II Waktu berjalan sepesat anak panah terlepas dari busur.
Dua tahun sudah patih Dipa memegang jabatan patih
Kahuripan. Ia telah berusaha keras untuk mewujutkan titah
sang Rani, membangun dan membangkitkan Kahiripan
menjadi daerah yang aman, makmur dan sejahtera. Hampir
selama dua tahun itu Dipa tak pernah mengenal berhenti
dalam usaha untuk menempa dan membangkitkan semangat,
menggelorakan gairah para narapraja dan rakyat untuk
bekerja keras membangun negaranya.
Disadarinya bahwa inti kekuatan dari segala pembangunan
itu adalah semangat dan kesadaran. Semangat dan kesadaran
itu hanya terdapat pada manusia2 pembangun. Maka
manusia2 pembangun itulah yang pertama dan terutama
harus ditempa. Bukan hanya para narapraja yang telah
mendapat tugas itu saja, pun rakyat harus dan wajib
diikutsertakan. Negara dengan rakyat bagai ikan dengan air
yang tak dapat terpisahkan.
Tetapi apa arti waktu dua tahun bagi seorang patih baru
yang harus menghadapi tantangan seberat itu" Sebagian
besar dari tetatah Kahuripan masih merupakan hutan dan
rimba yang masih perawan.
Namun bagi patih Dipa ha! itu bukan suatu rintangan yang
akan menyurutkan langkahnya mundur. Sehari ia masih
menjabat patih, sehari itu pula ia akan menunaikan
kewajibannya. Ia tak menghiraukan adakah esok hari ia masih
menjadi patih atau tidak. Maka pentinglah ia menanam
semangat dan kesadaran narapraja serta rakyat sebagai
sarana terpenting untuk membangun. Andai bukan dia yang
menjadi patih, penggantinyapun tetap akan melanjutkan
perjuangannya dengan gigih. Patah tumbuh hilang berganti.
Demikian rencana dan arah tindakan yang telah dilakukan
patih Dipa selama dua tahun itu.
Pada suatu hari patih Dipa dititahkan menghadap Rani
Kahuripan. Betapa kejut Dipa ketika mendengar ujar sang Rani
bahwa atas titah baginda Jayanagara maka Dipa dipindah ke
Daha, menggantikan patih Daha Arya Tilam yang meninggal
dunia. Bercucuran airmata patih Dipa ketika mendengar
keputusan itu. Melihat itu terharulah puteri Tribuanatunggadewi. Rani Kahuripan itu makin yakin akan
kesetyaan patih Dipa. "Ki patih" ujar sang Rani "kutahu betapa perasaan hatimu.
Hal itu menyatakan betapa kesetyaanmu kepada Kahuripan.
Aku, Rani Kahuripan, seluruh narapraja dan rakyat Kahuripan
tak melupakan kesetyaan dan jasamu"
"Apa yang hamba lakukan, hanya sekedar memenuhi
tugas kewajiban, gusti" sembah Dipa.
Rani Kahuripan tertawa "Engkau boleh mengatakan begitu,
tetapi akupun boleh mengatakan lain. Ki patih" seru Rani
dengan nada bersungguh "betapapun aku akan membalas
jasamu. A kan kuhadiahimu seorang isteri. Usia dan kedudukan
menghendaki seorang isteri yang akan mendampingi dan
mengurus dirimu, ki patih"
Patih Dipa terkejut dan bergopoh menolak. Tetapi Rani
Kahuripanpun tetap berkeras melaksanakan keinginannya".
Terhadap puteri Tribuanatunggadewi memang patih Dipa
tak dapat berbuat apa2. Sebagai Dipa, dahulu iapun harus
terpaksa menerima anugerah sang putri berupa sebentuk
cincin permata sebagai balas jasa Dipa yang telah
menghentikan ratha Rani Kahuripan yang hendak meluncur ke
jurang. Kini pun ia harus berhadapan dengan peristiwa semacam
itu. Sejarah terulang kembali. Dan iapun terpaksa harus
menerima anugerah sang Rani.
"Mohon gusti melimpahkan ampun yang sebesar-besarnya
kepada diri hamba" kata patih Dipa "bukan maksud hamba
hendak menolak anugerah Ratu, tetapi karena hal itu
menyangkut masalah penting dalam kehidupan hamba, maka
perkenankanlah hamba untuk menghaturkan syarat"
"O, apakah wanita yang akan menjadi isterimu itu harus
memenuhi syarat yang engkau kehendaki?"
"Demikian, gusti"
Rani Kahuripan tertegun sejenak "Baik,
syaratmu itu, ki patih" Dan Ranipun tersenyum.
katakanlah 0oo-dw=mch-oo0 JILID 37 I WATHEK BUMI atau daerah aseli kerajaan Majapahit meliputi tiga daerah
pusat, Tumapel atau Janggala,
Kediri atau Daha dan Kahuripan atau Jiwana. Ketiga
daerah itu pernah dirasakan
sebagai "dahan maja yang
terbagi atas tiga lembar daun'.
Atas jasanya menyelamatkan baginda Jayanagara dari huru haia di
pura kerajaan maka bekel bhayangkara Dipa, telah diangkat sebagai patih Kahuripan yang diratui oleh Rani Tribuanatunggadewi.
Sesungguhnya keranian Kahuripan yang diperintah sang
puteri itu, meliputi daerah Tumapel atau Janggala. Sedangkan
Kahuripan pusat yang medjadi pura kerajaan di mana keraton
Tikta-Sripala dibangun oleh rahyang ramuhua Kertarajasa
atau raden Wijaya, disebut Majapahit.
Pergantian dan beberapa pemindahan telah terjadi.
Setelah mahapatih Aluyuda mati dicincang, maka baginda
Jayanagara menitahkan patih Kahuripan Arya Tadah menjadi
mahapatih Majapahit. Bekel Dipa diangkat sebagai patih
Kahuripan. Dua tahun kemudian karena patih Daha Arya Tilam
meninggal dunia, maka patih Dipa dipindahkan ke Daha.
Dengan kepindahan itu, berarti suatu langkah setapak lebih
maju bagi patih Dipa. Selangkah lagi, apabila terdapat
kesempatan, tentulah ia akan dapat memasuki gerbang pura
kerajaan. Pura yang merupakan tangga tertinggi dan puncak
pemerintahan. Sebagai manusia yang masih berusia muda, sudah tentu
patih Dipa tak terlepas dari keinginan untuk mencapai
kedudukan yang tinggi. Tetapi keinginan itu bukanlah
berlandaskan mencita-citakan kenikmatan hidup dan
kekuasaan besar. Melainkan berlandas cita-cita untuk lebih
dapat mencurahkan pengabdiannya kepada negara. Apabila
dikatakan hendak meraih kekuasaan besar, memang ia tidak
akan menyangkal. Karena memerintah tanpa kekuasaan ibarat
harimau tanpa gigi dan kuku. Tetapi bukanlah karena memiliki
kekuasaan itu ia akan menjadi harimau yang buas. Karena
setiap kebuasan itu, walaupun ditakuti, tetap akan dbenci dan
dikutuk orang. Bukan kekuatan untuk menindas para kawula, bukan pula
kekuasaan untuk meenburu kekayaan dan kenikmatan hidup,
lebih bukan pula kekuasaan untuk bersikap hadigang
hadigung hadiguna. Melainkan kekuasaan untuk mengatur
pemerintaban, menegakkan keadilan dan hukum, menindak
yang bersalah, mengayomi rakyat, menyusun kekuatan
negara, memakmurkan kesejahteraan dan membangun
sebuah kerajaan Majapahit yang besar dan jaya.
Demikianlah kekuasaan yang dicita-citakan patih Dipa.
Demikian pula landasan pengabdiannya kepada negara.
Masa kehidupan patih Dipa sedang menjelang tengah hari.
Cerah dan gemilang laksana sang surya menerangi jagad.
Tetapi pun akan turun lagi ke barat dan silam. Patih Dipa
menyadari hal itu. Oleh karenanya, selagi surya kehidupannya
menjelang naik di tengah angkasa, ia akan berusaha untuk
membiaskan sinarnya yang gilang gemilang keseluruh penjuru
nusantara. Bukan sinar yang panas menyengat, membakar
tubuh dan mengeringkan kerongkongan seperti di padang
pasir. Bukan pula sinar terang yang menyilaukan dan
menikam urat2 halus gundu mata. Tetapi sinar panas yang
membawa kesuburan pada bumi dalam merekahkan bibit dan
benih tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia. Dan,
sinar terang yang menggemilangkan alam jagad raya,
mencerahkan kehidupan manusia serta seisi alam.
Walaupun cita-citanya itu telah menjadi suatu kenyataan,
bahkan lebih dari apa yang diharapkan dan lebih pesat pula
dari apa yang tak pernah diimpikan, namun tidaklah hal itu
akan merangsang hati pikirannya sebi nal kuda lepas dari
kandang. Ia tetap mengenal jalan menuju ke puncak. lapun
tetap menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya itu masih
panjang, masih penuh bertabur berikil tajam dan semak onak
yang berhamburan menyumbat jalan.
Pengenalan dan kesadaran itu menuntut curahan hati dan
pikirannya uatuk selalu mengekang diri bertindak hati2.
Langkah pertama telah diayun tetapi tidaklah tujuan akan
tercapai apabila langkah-langkah se-lanjutnya tiada teratur.
Bahkan semisal orang menumpuk baju, membentuk sebuah
gunungan. Pada batu terakhir, apabila tak hati2
meleyakkannya, maka akan berguguranlah seluruh pekerjaan
itu. Demikian dengan langkah. Apabila ia tak berhati-hati, pada
langkah penghabisan untuk mencapai puncak yang terakhir,
dapatlah ia tergelincir jatuh kedalam jurang.
Adalah karena mencurahkan seluruh perhatiannya akan
hal itu, maka tiada setitikpun terdapat liang dalam pikirannya
untuk membayangkan yang lain2 dalam ruang hidupnya.
Termasuk pemikiran tentang wanita atau isteri.
Walaupun ia tak tahu apa sesungguhnya arti yang telah
berlangsung dalam hubungannya dengan gadis Indu dahulu,
namun ia merasakan bahwa peristiwa malang yang menimpa
diri gadis itu, terasa sekali dalam sanubarinya. Seperti ada
sesuatu yang telah hilang dalam hatinya, walaupun ia tak
menyadari bahwa sesuatu itu telah tumbuh menggunduk
dalam taman hatinya. Ia merasa tak memiliki sesuatu tetapi
merasa kehilangan sesuatu. Dan kehilangan itu dirasakan
menghampakan jiwa hatinya. Untunglah ia dapat menimbuni
kehampaan itu dengan semangat pengabdiannya kepada
negara. Sekalipun begitu retak itu masth meninggalkan bekas
dan bekas itu merekah pula ketika menghadapi Puranti. Hanya
karena telah memiliki pengalaman akan derita hati yang
kehilangan sesuatu itu. Pula karena kesadaran akan tanggung
jawab pengabdiannya terhadap negara makin tumbuh berakar,
tidaklah ia sampai berkelarutan dihanyut gelombang
kesedihan. Ia cepat baugkit bahkan mampu pula menolong
Puranti dari bencana tenggelam dilaut duka nestapa.
Kini ia tak mau mengalami hal2 yang dapat menyebabkan
hatinya hampa, semangatnya lunglai. Tujuannya telah tampak,
pendirian kokoh dan langkahnyapun lebih mantap. Jiwanya,
hidupnya, akan ia persembahkan untuk kebesaran negara.
Maka betapalah kejut hati patih Dipa ketika menerima titah
Rani Kahuripan saat ilu. Sesaat hampir ia tercengkam dalam
prasangka, bahwa sang Rani hendak menyibak ketenangan
hatinya. Hendak merekahkan pula luka hati yang sudah
tertutup rapat. Tetapi pada lain kejab, terlintas kesadaran
pikirannya. Prasangka itu suatu sikap pemikiran yang buruk.
Mengapa ia harus memelihara sikap pemikiran buruk apabila
ia hendak melangkah ke jalan yang terang" Jelas bahwa sang
Rani bertujuan baik kepadanya sebagaimana yang telah
dilakukan terhadap dirinya selama ini. Ia faham akan
kebaikan2 yang telah dilimpahkan sang Rani kepadanya.
Apa yang diucapkan sang Rani dalam mengantar titahnya
hendak memilihkan seorang wanita sebagai pendamping
hidupnya, merupakan pernyataan dari sekian banyak bukti,
betapa besar perhatian sang Rani terhadap dirinya.
Betapapun ia harus menerima kasih dan menerima pemberian
itu. Dan sia-sia jua andaikata ia hendak menolak. Ia tahu siapa
dan bagaimana peribadi sang Rani. Sebagaimana dahulu ia
tak dapat menolak hadiah cincin dari sang Rani, demikian pula
dengan pemberian yang sekarang ini. Sungguhpun demikian,
ia masih berusaha untuk mengajukan pernyataan ataupun
yang dianggap sang Rani sebagai suatu syarat.
Tetapi karena sesungguhnya ia belum siap dengan
pernyataan yang hendak dihaturkan itu maka sampai
beberapa saat belum juga ia dapat mempersembahkan ke


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapan sang Rani. "Patih" tiba2 Rani Kahuripan menegurnya. Rupanya Rani
tak sabar menunggu pernyataan patih Dipa yang tak kunjung
keluar itu "mengapa engkau diam saja" Katakanlah apa yang
hendak engkau nyatakan ke hadapanku ?"
Patih Dipa terbeliak. Ia merasa telah berlaku kurang
hormat karena seolah menyuruh seorang ratu menunggu
sekian lama. "Baik, gusti puteri" serta merta ia menyembah
"tidak banyak yang hendak hamba haturkan. Cukup sebuah
saja, gusti" "O" Rani Kahuripan terheran "hanya sebuah syarat" Ah"
Rani tertawa cerah "jika demikian segeralah engkau katakan"
Sejenak patih Daha mengemasi duduknya. Kemudian
diiring dengan gerak tangannya menyembah kehadapan sang
Rani, ia berkata, "Sesungguhnya hamba mohon ampun atas
kesalahan yang hamba lakukan karena berani mempersyaratkan titah yang paduka limpahkan kepada diri
hamba" "Telah kululuskan" jawab sang Rani "yang perlu segeralah
engkau mengatakannya, bukan memohon ampun"
"Baik, gusti" kata patih Dipa "wanita yang hamba inginkan
sebagai isteri, hanyalah bahwa dia harus tahu, menyadari dan
menerima kenyataan bahwa diri hamba ini seorang prajurit,
seorang narapraja, seorang abdi kerajaan."
"Hanya itu ?" seru Rani Kahuripan.
"Demikianlah, gusti" sembah patih Dipa.
"Ki patih" ujar Rani "apakah yang engkau maksudkan
dengan persyaratanmu itu " Bukankah hal itu tentu sudah
diketahui oleh calon isterimu ?"
"Perlu hamba kemukakan penegasan lagi, gusti" kata patih
Dipa "karena hanya tahu, itu masih belum cukup jika belum
menyadari. Dan hanya menyadari pun belum cukup apabila
tidak menerima hal itu sebagai kenyataan"
Rani Kahuripan memandang patih itu tajam2.
"Hamba maksudkan" buru2 patih Dipa memperlengkapi
keterangan "bahwa diri hamba ini seorang bhayangkara
negara. Tenaga hamba, pikiran hamba, waktu bahkan
kehidupan hamba seluruhnya telah hamba persembahkan
kepada negara Majapahit. J!wa dan raga hamba adalah milik
negara. Oleh karena itu, hamba akan lebih mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan peribadi, rumah
tangga dan isteri. Janganlah calon isteri hamba itu menuntut
lebih banyak kecuali apa yang dapat hamba berikan dari sisa
pengabdian hamba kepada negara itu"
Rani Kahuripan tak tahu bahwa dibalik perjalanan patih
muda itu, pernah dua kali dilanda badai asmara yang hampir
saja menenggelamkan semangat juangnya. Rani menganggap
pernyataan patih itu aneh. "Ah, janganlah engkau bersikap tak
acuh kepada isterimu nanti, patih."
Tersipu-sipu patih Dipa mengunjuk sembah, "Sama sekali
tidak, gusti. Karena dia akan menempati hanya dibawah
kepentingan negara. Sudah tentu hamba akan melindunginya
sebagai seorang suami yang tahu kewajiban, gusti"
Rain Kahuripan mengangguk legah. Kemudian ratu itu
bertanya pula, "Untuk menyesuaikan seleramu, agar jangan
engkau merasa kecewa dalam hati, katakanlah patih, betapa
kecantikan ca!on isteiimu itu yang engkau inginkan?"
Patih Dipa tersipu merah wajahnya, "Soal kecantikan
hamba tak tahu memilih, gusti. Semoga hamba pun jangan
terpikat oleh kecantikannya"
Kembali Rani Kahuripan mengernyit alis. "Aneh"
gumamnya "pada hal kecantikan itu merupakan salah sebuah
syarat penting dari wanita. Setiap wanita mendambakan
kecantikan sebagaimana setiap pria menjunjung kegagahan.
Kata orang lelaki, wanita dipuja bukan karena kecantikannya
tetapi karena budi pekertinya. Semisal, bunga dipuji bukan
karena bentuknya yang cantik tetapi karena baunya yang
harum. Tetapi kenyataannya" Lelaki akan tertarik lebih dulu
pada kecantikan seorang wanita daripada keagungan budi
pekertinya. Mereka memerlukan wanita sebagai bunga yang
dipuja, bukan sebagai bau yang mengharumkan dirinya. Lelaki
akan bangga karena mempunyai isteri cantik, akan bahagia
apabila mendengar orang memuji isterinya cantik. Daripada
mempunyai isteri yang luhur budi pekertinya. Bukankah
demikian, patih" Engkau sebagai seorang pria, tentulah tak
terkecuali" Rani Kahuripan tertawa. Patih Dipapun ikut tertawa.
"Memang demikian adanya, gusti. Wanita akan malu, kecewa
bahkan mendendam kepada ibu bapak, bahkan berani pula
penasaran kepada Hyang Widdhi yang menciptakan, karena
tidak memiliki wajah cantik. Jarang mereka malu atau
penasaran karena tak memiliki budi pekerti yang luhur."
Rani Kahuripan masih tertawa.
"Hamba mohon ampun, gusti. Sekira ucapan hamba ini tak
berkenan dihati" patih Dipa mengunjuk sembah.
"Ah, janganlah engkau berbanyak ampun, Dipa" ujar Rani
Kahuripan "bicaralah apa yang terkandung dalam hatimu."
Setelah menghaturkan terima kasih, patih Dipa berkata
"Gusti, apakah sesungguhnya kecantikan itu " Kecantikan
seperti yang dimiliki bunga, hanyalah sekedar untuk menarik
perhatian kumbang, hanya suatu kecantikan
yang diperuntukkan alat menarik perhatian. Kecantikan kembang
pula, tidaklah langgeng karena akan layu dan cepat gugur.
Kecantikan yang demikian, hanya kecantikan semusim"
"Ah, jangankan kecantikan, barkan hidup itupun tak
langgeng sifatnya" ujar Rani Kahuripan.
"Tetapi ada suatu hal yang langgeng walaupun orangnya
sudah meninggal" "Apa ?" "Dharma, gusti" sahut patih Dipa "seperti yang telah
ditunaikan moyang paduka, baginda Sri Rajasa sang
Amurwabhumi dahulu. Walaupun sudah mangkat tetapi
dharma hidup baginda Sri Rajasa itu masih tetap hidup dalam
kenangan setiap orang. Kecantikan atau keindahan dharma
hidup semacam itulah akan langgeng, tak lapuk diusai masa"
"Ah, patih" ujar Rani "jangan engkau alihkan soal
kecantikan wanita dengan dharma seorang ksatrya. Sukar
kiranya untuk mempertemukan kedua ujung yang berlawanan
arah" "Benar, gusti" jawab patih Dipa "memang kurang tepat
apabila hamba memaksa hendak mempertemukan kedua hal
itu. Tetapi apa yang hamba maksudkan, hendaknya karunia
dewata kepada wanita yang berupa kecantikan itu bukan
hanya sekedar seperti kecantikan bunga untuk memikat
kumbang, melainkan suatu kecantikan yang mencamikkan
kehidupan. Baik kehidupan peribadi, bangsa, negara dan
sesama titah di mayapada. Semisal rembulan yang
memancarkan sinar yang teduh."
"Ah, sudahlah patih" seru Rani "janganlah berkelarutan
engkau tenggelam dalam bayangan. Apakah engkau tak
menginginkan seorang isteri yang cantik?"
"Hamba tidak mempersoalkan wajah. Cukup apabila dia
berwajah cerah" "Mengapa?" "Karena kecerahan itu dapat menimbulkan suasana yang
cerah, kehidupan yang cerah pula"
Rani Kahuripan mengangguk. "Tidakkah engkau
menginginkan isteri yang setya kepadamu" Mengapa tidak
engkau persyaratkan dalam permohonanmu".
"Gusti" kata patih Dipa "hamba tak ingin dan tak mau
memaksakan suatu kesetyaan. Kesetyaan itu sekandung
sifatnya dengan kepercayaan. Kesetyaan akan timbul apabila
kepercayaan bersemi. Kepercayaan tumbuh apabila
pengakuan dalam hati dan kesadaran pikiran tercurah. Hamba
tak ingin memaksanya setya kepada hamba. Biarlah
kesetyaan itu timbul, tumbuh dan berakar dalam hatinya
dengan penuh kesadaran bahwa ia telah mendapatkan diri
hamba layak dan berharga mendapat kepercayaannya, patut
dan wajib mendapat kesetyaannya"
Rani Kahuripan agak termangu. Aneh benar pikiran patih
yang masih muda itu. Tidak menginginkan isteri cantik, tidak
mengharap kesetyaan, melainkan hanya mengharuskan
isterinya itu tahu dan menyadari bahwa suaminya itu seorang
prajurit, seorang bhayangkara, seorang narapraja dan seorang
abdi negara. Masih semuda itu usianya mengapa ia memiliki
pandangan yang tajam dan penilaian yang berbeda dengan
kaum pria umumnya. Pikir Rani.
"Gusti" akhirnya patih Dipa berkata "Hamba hanya
menyerahkan saja apapun yang paduka anugerahkan kepada
hamba. Permohonan hamba, apabila gusti berkenan
menerima, hanyalah hal yang hamba kemukakan tadi.
Kepentingan negara Majapahit, merupakan perjuangan hidup
hamba yang pertama. Hendaknya wanita itu harus tahu dan
menerima tanpa syarat. Tak boleh kecewa atau sedih apabila
hamba mengutamakan tugas dari dirinya."
Akhirnya Rani Kahuripan menyetujui. "Baiklah, ki patih.
Akupun tak terburu-buru untuk menentukan pilihan. Kelak
apabila sudah terdapat wanita yang berkenan dalam hatiku
dan sesuai dengan permohonanmu, segera wanita itu akan
kusuruh mengantar kepadamu"
Patih Dipa menghaturkan sembah terima kasih atas
perhatian dan kebaikan sang Rani yang tercurah pada dirinya.
Baik Rani Kahuripan maupun patih, keduanya sama mendapat
kesan baik terhadap masing2 fihak.
Kemudian berangkatlah patih Dipa
ke tempat kedudukannya yang baru, sebagai patih Daha. Rakyat seperti
kehilangan seorang pimpinan yang dicintainya.
"Ki patih Dipa" demikian ucapan yang pertama diucapkan
o!eh Rani Daha atau puteri Haji Rijadewi Maharajasa, "telah
banyak yang kudengar tentang jasa dan perjuanganmu
terhadap negara, Di Kahuripan, engkau telah pernah
menyelamatkan ratha yang dinaiki ayunda Rani Kahuripan.
Ketika diangkat patih di Kahuripan engkau telah
mengembangkan daerah itu mencapai kemajuan dan
kemakmuran. Di pura kerajaan, engkau telah berjasa besar
karena menyelamatkan bagi nda Jayanagara dari pemberontakan Dharmaputera."
"Ah, kesemuanya itu hanyalah menunaikan tugas hamba
sebagai seorang bhayangkara dan narapraja, gusti. Sekali-kali
bukan suatu jasa" patih Dipa mengunjuk sembah "dan
kesemuanya itu dapat terlaksana karena restu dewata kepada
kerajaan Majapahit" Dalam hubungan, memang puteri Tribuanatunggadewi
atau Rani Kahuripan lebih erat dengan patih Dipa daripada
dengan Rani Daha. Sekalipun demikian, Rani Daha amat
berkesan melihat wajah dan sikap paiih Dipa. Tentu ada
sesuatu yang luar biasa mengapa seorang yang masih
sedemikian muda dapat diangkat dan dipercaya baginda
sebagai patih. "Ki patih" ujar Rani Daha "kepada baginda Jayanagara,
engkau pernah berjasa besar. Demikian pula kepada ayunda
Rani Kahuripan, engkaupun telah mempersembahkan
pengabdian yang besar. Tidakkah layak apabila akupun
menuntut apa2 darimu?"
Patih Dipa tersenyum dan memberi sembah "Sudah tentu,
gusti. Bagi hamba tidak ada Kahuripan, tidak ada Daha, tidak
pula Majapahit. Kahuripan Daha dan Majapahit itu satu. Bagi
hamba yang ada hanyalah kerajaan Majapahit. Oleh karena
itu, pengabdian hamba hanyalah satu dan sama. Baik kepada
seri baginda, gusti Rani Kahuripan, demikian kepada paduka,
gusti." "Bagus, patih" seru Rani Daha "memang demikianlah
hendaknya. Hanya karena saat ini engkau dititahkan untuk
mengemban kepatihan Daha, hendaknya engkau curahkan
segenap tenaga dan pikiranmu untuk membangun Daha"
Patih Dipa memberi janji hendak bekerja sekuat
kemampuannya guna memajukan Daha. Memang dalam
memangku kepatihan Daha itu, ia sangat perihatin sekali.
Daha merupakan suatu daerah yang gawat, karena
mengandung endapan2 yang setiap saat, apabila salah
mengurus atau kurang waspada, endapan2 itu akan meletup.
Daha seolah seperti sebuah gunung berapi yang sudah lama
tak bekerja. Gunung itu bukan mati melainkan hanya tidak
bekerja. Jauh beberapa tahun yang lampau, ketika menggembalakan kambing di hutan, maka bertemulah ia
untuk yang pertama kali, dengan brahmana Anuraga. Kala itu
brahmana Anuraga bertempur dengan seorang pandita yang
menyebut dirinya sebagai Windu Janur. Dan ternyata Windu
Janur adalah putera dari Rangga Janur, seorang senopati dari
prabu Jayakatwang. Daha terpaksa menyerah karena diserang oleh raden
Wijaya yang dibantu oleh pasukan Tartar. Prabu Jayakatwang
tertawan pasukan Tartar dan dipenjarakan di benteng
pertahanan di Ujung Galuh. Dalam penjara, baginda telah
menulis sebuah kakawin yang diberi judul Wukir Polaman,
nama dari sebuah gunung di telatah Daha.
Bersama dengan hancurnya kerajaan Daha, maka
berguguranlah beberapa senopati Daha, antara lain Kebo
Mundarang, Sagara Winotan, Kebo Rubuh, Mahisa Antaka,
Bowong, Panglet, Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang,
Liking Kangkung, Kampinis dan Rangga Janur atau ayah dari


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Windu Janur. Putera2 dari senopati2 Daha yang gugur itu tetap
melanjutkan perjuangan untuk menbangun kembali kerajaan
Daha, Mereka menghimpun tenaga dalam sebuah wadah
yang diberi nama Wukir Polaman, mengambil nama dari
kakawin yang ditulis obh prabu Jayakatwang. Dan menjadikan
kakawin Wukir Polaman itu sebagai pesan raja Daha untuk
memanggil putera2 Daha berjuang kembali.
Telah dialami dan dirasakan sendiri oleh patih Dipa selama
menjadi bekel bhayangkara di pura kerajaan, betapa pengaruh
dari golongan2 yang hendak merebut kekuasaan itu terasa.
Letusan dari pertentangan2 yang saling beradu kekuatan itu,
berupa pemberontakan Dharmaputera yang dipimpin oleh ra
Kuti. Diantara golongan2 mendiang mahapatih Nambi, patih
Aluyuda, Dharmaputera dan pihak keraton, harus diperhitungkan pula dua golongan yang kuat yakni himpunan
Gajah Kencana dan Wukir Polaman. Dua golongan ini
memang tak tampak seperti golongan2 yang lain, tetapi
kekuatan dan pengaruh mereka amat terasa kuat karena
dapat menyusup jauh bahkan ke dalam keraton. Dan secara
menyolok pula, kedua golongan itu memiliki garis perjuangan
yang saling bertentangan. Wukir Polaman hendak
merobohkan kerajaan Majapahit, Gajah Kencana hendak
menegakkannya. Dalam menghadapi tugas di keranian Daha, patih Dipa
harus mengadakan suatu renungan yang luas, Keadaan setiap
daerah, tentu berbeda dengan lain daerah. Iklim, rakyat dan
keadaan daerah itu terutama latar sejarannya. Kelainan2 itu,
memerlukan pula kelainan dalam cara mengatasi dan
menentukan rencana. Lain pura kerajaan, lain pula Kahuripan. Di pura kerajaan,
ia hanya sebagai bekel bhayangkara yang membahu beban
utama menjaga keselamatan keraton, terutatna baginda. Di
Kahuripan ia menjabat patih dengan tugas memimpin
pemerintahan dan mengembangkan daerah Kaharipan.
Memang bedalah kedudukan bhayangkara dengan patih. Kini
ia dipindah ke Daha sebagai patih pula. Walaupun jabatan dan
kedudukan sama, walaupun tugas dan kewajiban sama, tetapi
bedalah patih Kihuripan dengan patih Daha. Di Kahuripan ia
dapat mencurahkan pikiran dan tenaga untuk membangun dan
mengembangkan kemajuan daerah. Karena Kahuripan masih
penuh dengan hutan dan daerah2 yang belum di buka.
Tetapi di Daha tidaklah demikian keadaannya. Daha
merupakan pusat kerajaan, yang setua dengan Singasari.
Akibat dan pembagian yang dilakukan oleh Empu Bharada,
yang atas titah prabu Airlangga, telah membagi kerajaan
Penjalu menjadi dua, Daha dan Singasari. Pembagian dari
seorang mahayogin sakti Empu Bharada yang marah kareni
bajunya terkait pada pohon pandak ketika sedang melayang2
di udara menumpahkan air kendi sakti, telah menimbulkan
akibat yang buruk. Sumpah empu sakti itu, telah
menyebabkan sebatang pohon kamal yang tinggi menjadi
pandak. Tetapi akibat kelanjutannya, kutukan empu itu
melahirkan tuah yang berkepanjangan. Penjalu dipecah dua
dan benar2 pecah dan selalu pecah dua, antara Daha dan
Singasari. Terakhir, setelah Ken Arok berhasil mengangkat diri
sebagai raja Singasari dengan gelar Rajasa sang
Amarwabhumi, maka diserangnya kerajaan Daha yang saat itu
Pendekar Pedang Sakti 1 Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Lumpur Penguasa Gua Barong 2
^