Pencarian

Gajah Kencana 20

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 20


kepatihan. Tetapi berhadapan dengan nyi Linggah Siring yang
tenang dan berwibawa, Banyak Ladrang sukar berkata
bohong. "Sesungguhnya hamba adalah rombongan pengiring gusti
patih Majapahit yang berkunjung ke kerajaan Bedulu" katanya.
"O" kembali nyi Linggah Siring mendesih "masih semuda
itu engkau sudah terpilih sebagai pengiring utusan Majapahit"
ia berpaling kearah Arya Lacana "Lacana, dengarkah engkau"
Dia hampir sebaya dengan engkau, bukan?"
Setelah minum ramuan obat, keadaan Arya Lacana agak
baik, "Eyang, bukan salahku apabila aku begini. Tiada orang
yang memimpin aku" sahut Arya Lacana mengeluh.
"Apakah engkau juga berasal dari pura Majapahit, nak?"
tanya nyi Linggah Si.ring pula kepada Banyak Ladrang.
"Bukan, eyang" jawab Banyak Ladrang "sesungguhnya
hamba berasal dari Daha"
"O, engkau orang Daha" seru nyi Linggah Siring "tentulah
ayahmu seorang mentri atau narapraja berpangkat di Daha"
Banyak Ladrang gelengkan kepala, "Tidak, eyang. Ayah
hamba sudah tiada" Nyi Linggah Siring mengernyit dahi. "Ayahmu sudah
meninggal " Lalu dengan siapa engkau tinggal dan bagaimana
mulanya engkau dapat ikut serta dalam rombongan perutusan
Majapahit" Tidak sembarang narapraja dan senopati yang
ditugaskan raja dalam suatu perutusan ke luar daerah itu"
"Hamba tinggal bersama dengan eyang kakung hamba di
Daha. Hamba bersaudara empat orang, yang tiga lelaki dan
yang paling kecil perempuan. Eyang hamba itu hanya seorang
empu pembuat keris. Tetapi eyang kenal baik dengan gusti
patih Daha. Rupanya gusti patih telah ditugaskan oleh baginda
di Majapahit untuk mengepalai perutusan ke Bali dan gusti
patihpun berkenan untuk membawa kami bertiga saudara,
eyang" "Ah, sungguh seorang eyang yang bijaksana dapat
mengangkat derajat cucu-cucunya" nyi Linggah Siring memuji
"aku sendiri walaupun puteraku Kebo Warung menjabat patih
di kerajaan Bedulu, tetapi tak dapat memimpin cucuku Lacana
menjabat pangkat apa-apa."
Karena sudah memberi keterangan, Banyak Ladrang-pun
tak mengucap apa2 lagi. Ia hanya menunggu percakapan
wanita tua itu. "Siapakah namamu, angger?" tanya nyi Linggah Siring.
"Nama hamba Banyak Ladrang, eyang. Kedua saudara
hamba yang ikut dalam rombongan perutusan itu bernama
Banyak Kawekas dan Banyak Wukir"
"Ladrang, Wukir, Kawekas" nyi Linggah Siring mengulang
"jika tak salah artinya lelana, gunung, terakhir. Gunung terakhir
dari lelana atau tujuan terakhir dari suatu pengembaraan. Ah,
mengapa aku merangkaikannya dengan suatu arti. Mungkin
nama itu hanya suatu nama ...."
Tampak wanita tua itu termenung-menung. Sejenak
kemudian ia berkata pula, "Banyak ladrang, siapakah yang
memberi nama itu ?" Banyak Ladrang tertegun. Ia heran mengapa wanita itu
menanyakan hal itu. Namun dijawabnya juga, "Eyang hamba,
eyang" "Eyangmu" Siapakah nama eyangmu?"
"Empu Kapakisan"
"Siapa" Kapakisan ?" teriak nyi Linggah Siring, Entah
bagaimana tiba2 wanita itu tegang sekali.
"Benar, empu Kapakisan" kata Banyak Ladrang
memandang nyi Linggah Siring. Ia terkejut ketika melihat
wanita itu pucat wajahnya dan tegak terlongong-longong.
"Eyang, mengapa" Apakah eyang sakit?"
Nyi Linggah Siring agak terkejut. Ia kicupkan mata untuk
beralih memandang Banyak Ladrang, Tetapi jelas dari cahaya
lampu yang membias pada wajah nyi Lingah Siring, Banyak
Ladrang melihat sebutir air menitik keluar dari sudut mata
wanita itu. "Banyak Ladrang" katanya dalam nada agak tersendat
"dalam melepas engkau bertiga mengikuti rombongan patih
Majapahit, apakah tujuan eyangmu?"
"Agar hamba bertambah pengalaman dan syukur apabila
gusti patih berkenan mengusulkan diri hamba kepada kerajaan" "Adakah eyangmu tidak
membekali pesan apa2 lagi
kepadamu?" masih nyi Linggah Siring bertanya. Banyak Ladrang terbeliak. Serentak ia teringat akan pesan yang pernah diterima dari eyangnya, "Ya, memang
eyang hamba membekali pesan bahwa apabila sempat, supaya hamba berusaha mencari eyang puteri hamba" Wajah nyi Linggah Siring makin pucat dan dada berombak.
"O, eyang puterimu berada di Bali?"
"Demikian kata eyang hamba"
"Siapakah namanya?"
"Nyi Kutri, eyang ..." belum sempat Banyak Ladrang
berkata tiba2 ia terkejut karena melihat tubuh nyi Linggah
Siring bergontai hendak rubuh. Tanpa memikirkan segala tata
santun. Banyak Ladrang cepat menyambar tubuh wanita tua
itu. "Eyang, mengapa engkau ...."
"Eyang ...." serentak Banyak Ladrang berteriak dan loncat
menyanggapi tubuh nyi patih Linggah Siring demi dilihatnya
wanita tua itu terhuyung-huyung jatuh "..
Tetapi nyi Linggah Siring tak dapat menyahut. Ia pingsan.
Banyak Ladrang segera membaringkan di sebuah
pembaringan "Kenapa dia, ki Ladrang" tanya Arya Lacana
seraya menghampiri. "Aku sendiripun tak tahu" sahut Banyak Ladrang
"kuperhatikan wajahnya makin lama makin pucat dan
tubuhnya menggigil. Tentulah beliau sakit"
Setelah diberi pertolongan seperlunya, tak lama kemudian
nyi Linggah Siring sadar. Ia menghela napas. "Aku tak sakit,
Ladrang dan Lacana" katanya kepada kedua pemuda itu.
Kemudian ia memberi isyarat agar para pengawal ke luar:
"Banyak Ladrang" katanya setelah duduk "ketahuilah,
bahwa eyang putri nyi Kutri yang hendak engkau cari itu,
berada di hadapanmu"
"Eyang?" teriak Banyak Ladrang terkejut "adakah eyang ini
..." "Ya, aku memang eyangmu nyi Kutri" Mendengar itu serta
merta Banyak Ladrang berlutut menyembah dan mencium kaki
nyi Linggah Siring, "Eyang, hamba menghaturkan sembah
bhakti" "Tetapi bukankah eyang bernama nyi Linggah Siring?"
"Itu nama suamiku yang sekarang sudah meninggal, ayah
dari puteraku Kebo Warung yang sekarang menjabat patih
kerajaan Bedulu" kata wanita itu.
Sambil membelai-belai kepala Banyak Ladrang, nyi
Linggah Siring menyuruhnya bangun. "Lacana, sesungguhnya
engkau masih mempunyai hubungan darah dari keturunanku,
dengan Banyak Ladrang ini"
Arya Lacana ternganga. "Cucuku" kata nyi Linggah Siring "aku hendak bercerita
agar kalian dapat jelas akan peristiwa ini"
Kemudian nyi Linggah Siring bercerita. Dan ceritanya itu
sama dengan cerita dari empu Kapakisan kepada patih Dipa,
"Ketika aku sadar, aku sudah berada di rumah Linggah Siring.
Sebenarnya aku marah terhadap tindakan Linggah Siring.
Ingin aku membunuh diri. Tetapi apa dayaku seorang wanita
yang lemah. Akupun takut kalau Linggah Siring membuktikan
ancamannya bahwa apabila aku menolak diperisterinya,
ayahku akan dibunuh. Terpaksa aku menyerah namun dalam
hati aku mempunyai tekad. Pertama, demi jiwa ayahku rela
aku mengorbankan diri. Kedua, apabila mendapat
kesempatan, aku akan membalaskan dendam Kapakisan itu"
Nyi Linggah Siring menghela napas. "Tetapi tahun demi
tahun, tak pernah kudengar lagi kabar tentang Kapakisan.
Sedangkan kedudukan Linggah Siring makin menjulang
sehingga diangkat sebagai senopati kerajaan Bedulu. Dan ada
pula sebuah hal yang hampir menenggelamkan cita-citaku itu.
Linggah Siring telah menimbuni aku dengan kasih sayang dan
kemewahan hidup. Dan yang lebi h memberatkan diriku,
pernikahan itu telah membuahkan seorang putera yalah Kebo
Warung, ayahmu itu Lacana"
"Adakah eyang tak mencintai eyang Linggah?" tiba2
Lacana mencetuskan pertanyaan.
"Terus terang, aku tak dapat menghianati nuraniku. Aku
memang tak mencintainya"
"Jika demikian eyang tentu tak kasih akan putera eyang
itu?" tanya Arya Lacana melanjut.
"Aku mencintainya dengan sepenuh hati" jawab nyi
Linggah Siring. Arya Lacana terkesiap heran. Walaupun tak mengucap
tetapi pandang matanya seolah tak mempercayai keterangan
eyangnya. "Linggah Siring, memaksa aku menjadi isterinya.
Berlawanan dengan suara hatiku" kata nyi Linggah Siring
"tetapi ayahmu, Kebo Warung itu adalah putera yang keluar
dari rahimku. Dia adalah sebagian dari tubuhku. Tiada kasih
yang lebi h besar daripada kasih seorang ibu kepada
puteranya" Arya Lacana tertegun, "Tetapi eyang, mengapa ayah tak
mencintai aku?" tanyanya.
"Ayahmu tentu mencintaimu, nak. Tetapi memang beda
cara seorang ayah dengan seorang ibu menumpah kasihnya
kepada anak. Ayahmu tentu mencintai engkau tetapi cara dan
sikapnya memang lain. Mungkin darah dari ayahnya menurun
kepadanya" "Tidak, eyang" bantah Arya Lacana "ayah memang beda
dengan ayah2 yang lain. Bukankah eyang masih teringat akan
diri Sridanti itu" Aku menghendaki dara itu tetapi ayah
menolak. Tetapi akhirnya ayah sendiri yang mengambil ...."
"Lacana" tukas nyi Linggah Siring "jangan engkau berkata
begitu terhadap orangtuamu. Orangtua itu adalah dewa yang
katon, engkau harus menghormatinya"
Arya Lacana tertawa, "Tidak kurang2 rasa hormat dan
baktiku kepada ayah. Tetapi dalam satu hal itu, mengapa aku
harus mengalah lagi" Bukankah wajib bagi seorang ayah
untuk memperhatikan kepentingan puteranya" Bukankah
suatu kebahagiaan bagi seorang ayah apabila melihat
puteranya bahagia?" "Tetapi juga suatu kebahagiaan bagi seorang putera
apabila dapat membahagiakan ayahnya" sahut nyi Linggah
Siring "engkau tentu pernah mendengar cerita tentang diri
raden Dewabrata yang karena melihat ayahandanya prabu
Sentanu jatuh sakit karena menanggung rindu kepada
seorang wanita cantik maka Dewabrata segera mencari dewi
itu dan menyanggupkan apa yang dituntut oleh dewi itu
kepada prabu Sentanu. Wanita cantik itu mau diperisteri prabu
Sentanu dengan syarat agar kelak putera keturunannya dapat
mengganti sebagai raja. Prabu Sentanu amat kasih kepada
Dewabrata sehingga berat hati untuk menerima syarat itu.
Tetapi Dewabrata rela berkorban demi membahagiakan
ayahandanya. Nah, jika seorang putera mahkota rela
melepaskan haknya atas tahta kerajaan demi baktinya kepada
rama bagindanya, mengapa engkau berat hati untuk
melepaskan seorang dara demi membahagiakan ayahmu,
Lacana?" Arya Lacana termangu. "Tetapi eyang" sesaat kemudian ia berkata, "Dewabrata
tidak mencintai dewi itu maka ia berani berkorban untuk
ayahnya'" "Lacana" tukas nyi Linggah Siring pula "berat manakah
seorang wanita dengan tahta kerajaan?"
Arya Lacana tak lekas menyahut melainkan menatap
eyang puterinya. Kemudian dengan tenang dan tegas ia
berkata, "Eyang bertanya kepadaku?"
"Ya" "Bagiku berat seorang wanita yang benar2 telah menjadi
pujaan hidupku" "Lacana!" teriak nyi Linggah Siring "jika demikian, berat
manakah orangtua dengan seorang wanita?"
Arya Lacana tertegun sejenak kemudian menjawab
"Eyang, janganlah memaksakan pertanyaan itu kepadaku.
Karena hal itu sama dengan pertanyaan berat manakah
seorang putera dengan seorang wanita bagi seorang ayah
itu?" Nyi Linggah Siring tertegun.
"Maaf, eyang" kata Arya Lacana pula "bukan maksud
hamba hendak melukai perasaan eyang dengan memberi
kesan bahwa hamba menentang rama. Tetapi persoalan itu
mengenai rasa hati. Rasa yang sukar diukur nilai dan
derajatnya, sukar untuk dibandingkan dengan rasa cinta
kepada orangtua atau kasih orangtua kepada anak. Rasa itu
memiliki suatu warna sifat dan keharuman bau serta
keindahan cita sendiri ....."
Berhenti sejenak, Arya Lacana melanjutkan, "Semisal hati


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

eyang hanya tertumpah pada eyang Kapakisan, walaupun
eyang Linggah Siring berhasil memperisteri eyang, tetapi
eyang Linggah Siring hanya memperisteri raga eyang, bukan
kasih hati eyang..."
Mata nyi Linggah Siring tampak berkaca-kaca.
"Walaupun rama telah mendapatkan. Sridanti, tetapi rama
harus melihat kehancuran hati puteranya. Dan nyatanya
Sridanti pun menderita"
Tetes2 airmata mulai menitik turun dari pelapuk mata nyi
Linggah Siring yang sudah mengeriput dalam keusaian usia
itu. Pikirannya melayang jauh ke alam yang lampau, pada
masa ia sedang melayari biduk kasih dalam lautan madu yang
akan menuju ke pulau Asmara tempat Batara Kamajaya
bercengkerama. Ia telah merasakan betapa syahdu dan bahagia dunia ini.
Surya bersinar gilang gemilang, burung2 berkicau merdu,
pohon2 tumbuh menghijau, bunga2 mekar indah dan pawana
berhembus harum. Segalanya terasa indah dan nikmat pada
masa yang bergelimpangan sari madu. Sari madu yang hanya
dimiliki dan dilampahkan oleh sang Batara Kamajaya Kutri,
"seindah-indah alam mayapada dengan seluruh isinya malam
ini, tiadalah memadai keindahan cintaku kepadamu, nini" bisik
pemuda Kapakisan ketika melumat bibirnya. Dan kala itu Kutri
pun berbisik mesra, "Kakang Kapakisan, hayat dan sukma
Kutri adalah milikmu, di alam arcapada sampai ke mayapada
kelak ...." Ia pun telah merasakan betapa derita dan siksa hidup itu
dikala ia telah dipaksa berpisah dengan suami yang
dicintainya, dengan anak kandung yang disayangi. Kemudian
dipaksa menjadi isteri dari pemuda Linggah Sirih yang tak
pernah dicintainya. Ia merasa dunia ini gelap, sinar surya
pudar, pohon2 layu, bunga2 hambar dan angin terasa
bagaikan sengat kala yang panas, la merasa tiada sukma
dalam hayatnya yang masih beraga. Jantungnya berhenti
walaipun masih bernapas. Ia telah mengubur jiwanya dalam
pusara asmara yang telah berisi Kapakisan. Ia ingin mati
karena hidup pun tiada arti baginya.
Dalam menimang, membayang, merenung dan menghayati arti daripada asmara yang pernah menimpah
dirinya itu. Kutri hanya menyerahkan sisa hidupnya dalam
penantian. Penantian untuk pulang kembali kepada asalnya.
Penantian akan minitis kembali bersama pemuda yang
menjadi bagian utama dari hidupnya. Hidup itu pendek tetapi
hidup itu langgeng. Dan ia perkaya bahwa kelak ia tentu akan
menitis kembali ke dunia.
"Eyang, maafkan hamba" karena melihat eyang puterinya
tergolek dalam kepukauan, Arya Lacana mengira bahwa
eyang putrinya itu telah tersinggung perayaannya maka iapun
buru2 menghaturkan maaf. Nyi Linggah Siring terbeliak. Ia sadar bahwa saat itu
sedang berhadapan dengan kedua cucunya. Terbenam dalam
kenangan masa lampau yang pahit, hanya menimbulkan
kesan yang tak baik bagi cucu keturunannya. Kebahagiaan
telah ia reguk, penderitaanpun telah ia telan Mengapa ia harus
mengenangkan pula hal2 yang telah dia alaminya hampir
separoh dari usianya " Mengapa ia harus mengenang betapa
manis atau pedas atau masam atau hambar makanan2 yang
telah dimakannya beberapa tahun yang lampau, yang kini
sebagian sudah menjadi darah dagi ng dari tubuhnya dan
sebagian telah terbuang sebagai kotoran"
"Tidak Lecana, engkau tak bersalah" akhirnya ia
membenahi diri dalam kesadaran "kutahu engkau telah
menghayati apa arti Kasih itu, engkaupun telah meresapi api
yang menyalakan dan memudarkan semangat jiwamu. Eyang
tak menyalahkan engkau. Tetapi nak, berbesarlah hati,
lapangkan dadamu dan anggaplah bahwa pengorbananmu itu
sebagai bulu baktimu terhadap namamu"
"Baik eyang" kata Arya Lacana dalam nada mengendap
"akan hamba usahakan agar pesan eyang tumbuh dalam hati
hamba, subur berkembang dan dapat meneduhkan perasaan
hamba" Kemudian nyi Linggah Siring beralih kata kepada Banyak
Ladrang, "Ladrang, engkau tentu pernah mendengar cerita
eyangmu Kapakisan tentang kissah hidupnya. Percuma
kunyatakan rasa sesalku dengan kata2. Karena apa arti kata2
menyesal bagi penderitaan selama berpuluh tahun itu"
"Eyang, janganlah eyang mengucap demikian?" kata
Banyak Ladrang yang ikut merasakan sedi h, "eyang
Kapakisan tahu bahwa eyang puteri tentu menderita.
Penderitaan itu akan lebih menyiksa eyang puteri apabila
eyang Kapakisan menampakkan diri atau memancarkan berita
bahwa dia masih hidup. Oleh karena itu eyang Kapakisan
menyembunyikan diri di desa Kapakisan."
"Pernah dia mengatakan apa2 tentang diriku, angger?"
tanya nyi Linggah Siring.
"Tidak pernah, eyang" kata Banyak Ladrang, "eyang
Kapakisan seorang yang kuat memendam perasaannya. Eh,
pernah hamba secara tak sengaja, mendengar eyang
Kapakisan mengingau dalam tidurnya. Hamba kira siapa yang
bicara di tengah malam itu lalu hamba jenguk. Ternyata eyang
Kapakisan masih tidur di pembaringan "tetapi jelas suara itu
suara eyang. Eyang mengingau tentang diri eyang puteri."
"Oh" nyi Linggah Siring berseru tertahan, "apakah katanya,
angger?" "Eyang Kapakisan mengingau panjang, walaupun tidak
keras tetapi karena malam sunyi, hamba dapat menangkap
kata yang terakhir dari eyang, yalah "Kutri, semoga engkau
berbahagia, karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku
...." Nyi Linggah Siring tak kuasa lagi menahan derai
airmatanya yang berhambur diantar isak tangis. Ia menangis
tersedu-sedu. Empatpuluh tahun lamanya ia tak dapat
menangis karena airmatanya telah kering diusai penderitaan.
Tetapi kini ia meluapkan airmata bagai sumber dimusim hujan.
Suasana ruang bilik tempat Arya Lacana seolah ditelan
dalam keheningan. Arya Lacana dan Banyak Ladrang
pejamkan mata ingin ikut merasakan penderitaan eyangnya.
"Kakang Pakis, engkau lebih berbahagia karena dapat
mengenang dan bertemu dengan aku walaupun dalam impian"
tiba2 kedengaran nyi Linggah Siring berkata seorang diri
"tetapi aku, kakang Pakis, aku tak dapat mengenangkan
engkau karena engkau memberi kesan seolah-olah engkau
sudah tiada. Engkau lebih berbahagia karena dapat
mengarahkan ciptamu kepadaku tetapi aku seperti hidup
dalam kegelapan tentang dirimu. Doaku hanya supaya Batara
Agung lekas mengambil jiwaku agar dapat menemui engkau di
alam baka." Baik Arya Lacana maupun Banyak Ladrang tak berani
mengusik. Keduanya diam saja.
"Mengapa engkau tak mau menemui aku, kakang Pakis "
Apakah engkau menganggap diriku sudah berlumur kotoran"
Ataukah engkau tak berani bersikap ksatrya untuk merebut
aku kembali dari tangan Linggah Siring?" agak melengking
tinggi nada nyi Linggah Siring mengucapkan kata2 terakhir itu.
"Oh" tiba2 ia menjerit "Kutahu kakang. Engkau tentu
hendak menanda kesetyaanku. Baik, kakang Pakis, aku akan
mengunjukkan kesetyaanku kepadamu" tiba2 wanita tua itu
menghampiri meja mengambil pisau dan memotong
segenggam rambutnya. Merobek secabik kain baju untuk
membantai rambut itu. Kemudian ia menghampiri Banyak
Ladrang "Ladrang, apabila kelak engkau pulang ke desamu,
berikanlah ini kepada eyangmu"
"Eyang......" "Terimalah, Ladrang" seru nyi Linggah Siring agak keras
sehingga pemuda itu terpaksa menyambuti-nya dan
menyimpan dalam baju. "Arya Lacana dan Banyak Ladrang" seru nyi Linggah
Siring pula, "kalian berdua adalah cucuku, walaupun ayah
kalian berlainan. Hal itu hanyalah garis2 prakitri hidup yang
harus kualami. Tetapi yang penting, angger berdua, eyang
hendak meminta engkau menjadi saksi akan keputusan
eyang." Arya Ladrang dan Banyak Ladrang terkejut.
"Cintaku hanya pada eyangmu Kapakisan. Tetapi ragaku
telah dimiliki eyangmu Linggah Siring. Aku hidup tanpa jiwa,
hanya sekedar menunaikan bhaktiku terhadap orangtua agar
ayahku tidak dibunuh. Kemudian Hyang Batara memberiku
sebuah beban berupa seorang putera. Ragaku kuharuskan
hidup demi menunaikan tugas yang telah dilimpahkan Batara
Agung." "Kini" nyi Linggah Siring melanjut pula "puteraku Kebo
Warung sudah menjadi orang, seorang pri-agung dengan
pangkat patih kerajaan. Aku telah menunaikan kewajibanku.
Tetapi rupanya dewata masih belum sudah menguji aku.
Engkau, Lacana, dilahirkan dan ibumu telah mendahului
mangkat. Kembali aku harus tampil untuk merawat dan
mengasuh engkau. Kini engkau sudah dewasa, angger, sudah
dapat berdiri diatas kakimu sendiri. Sudah dapat membedakan
salah dan benar, sudah dapat mengerti apa arti Hidup dan
Kehidupan" "Duh, eyang puteri" seru Arya Lacana seraya
menghaturkan sembah "walaupun tubuh hamba hancur,
rasanya belumlah sepadan untuk membalas budi yang eyang
limpahkan kepada diri hamba"
"Ah, jangan berpikir demikian, angger" hidup manusia itu
hanya suatu kewajiban. Menurunkan keturunan, mengasuh
dan mendidik, merupakan salah satu bagian dari kewajiban
hidup manusia. Engkau, Lacana, kelakpun akan menerima
beban2 itu juga terhadap anak cucumu, jika engkau
menganggap hal itu sebagai suatu budi dan engkau bertekad
hendak membalas, maka hiduplah engkau sebagai seorang
manusia yang luhur, yang tahu manembah kepada yang
memberi hidup dan yang melahirkan engkau. Kelak kudoakan
jadilah engkau seorang priagung, syukur agung dalam
kedudukan dan pangkat tetapi sekurang-kurangnya agung
dalam dhanna hidupmu. Dengan begitu barulah engkau
benar2 membalas budi dari orangtua yang mengadakan
engkau dan Hyang Batara Agung yang memberimu hidup dan
sumber dari asal hidupmu."
"Titah eyang akan hamba cantumkan dalam lubuk hati
hamba" kata Arya Lacana.
"Nah, cucuku berdua" kata nyi Linggah Siring "hari ini
eyang merasa bahagia sekali karena apa yang terkandung
selama berpuluh tahun dalam hati eyang, telah eyang
tumpahkan semua. Kini eyang sadar, apa yang harus eyang
tempuh. Eyang akan tinggalkan gedung kepatihan dan
kehidupan yang mewah ini, angger."
"Eyang!" teriak Arya Lacana terkejut.
"Eyang menyadari kebenaran daripada ajaran agama yang
eyang anut bahwa pikiran dan nafsu manusia itu merupakan
belenggu yang menyebabkan manusia selalu merasa
menderita, merasa tak puas akan hidupnya walaupun hidup itu
sesungguhnya sudah lengkap oleh kesempurnaan kekuasaan
Hyang Batara Agung. Hidup eyang pada masa yang lalu
penuh dengan derita karena eyang mendambakan nafsu
kepentingan peribadi, memuja kebahagiaan hati dan
memikirkan kesenangan2 hidup. Kini eyang sudah tua, adakah
engkau Lacana, tidak merelakan eyangmu ini terbebas dari
belenggu derita itu?"
"Eyang" hanya sepatah kata yang dapat diucapkan Arya
Lacana. Ia terpukau dalam pesona.
"Jika kita sudah melepaskan diri dari pikiran2 peribadi, jika
kita membebaskan jiwa kita daripada pengaruh indera2 dalam
raga kita, maka kita akan sadar dan iba terhadap diri kita
sendiri. Mengapa kita merelakan Aku yalah peribadi atau jiwa
kita, terdekap dalam sangkar yang berterali nafsu dan klesa.
Ah, betapa kita harus kasihan pada diri kita, angger."
"Lacana, Ladrang, mungkin terlalu dalam eyang
mengungkapkan hal itu. Mungkin engkau mengerti hal itu
walaupun pengertianmu itu masih dalam taraf belum mengerti
atau pengertian yang semu. Tetapi kupercaya, kelak kalian
tentu akan mengerti dan menghayati sendiri. Timbulnya
pengertian itu bukan karena memaksa diri untuk mengerti
tetapi pengertian itu akan timbul dalam kelangsungan
pengalaman dan tingkat pengertian itu sendiri," kata nyi
Linggah Siring pula "begini cucuku, nenek akan mencari
ketenangan dan penerangan batin, akan hidup sebagai
seorang biksuni dalam sebuah candi."
"Eyang" Arya Lacana menjerit dan menelungkupi kaki nyi
Linggah Siring. "Lacana" kata nyi Linggah Siring "hidup itu tak lama,
cucuku. Sekarang atau berapa tahun lagi, aku pasti berpisah
dengan engkau. Janganlah engkau bersedih kepada sesuatu
yang tiada, semisal janganlah engkau girang karena sesuatu
yang ada. Ada dan Tiada, hanya suatu peristiwa dari suatu
waktu tertentu. Jika kita dapat membebaskan diri dari bayang2
Ada dan Tiada itu, maka tiada lagi yang disebut Ada ataupun
yang dikata Tiada ...."
"Ah, terlalu jauh aku berkata. Lacana, relakan eyangmu
untuk mencari ketenangan dalam sisa hidupnya. D ulu semasa
gadis, aku mempunyai beban kewajiban terhadap orangtua,
sebagai seorang isteri aku mempunyai beban kewajiban
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
terhadap suami, sebagai seorang ibu terhadap puteni dan
sebagai seorang nenek terhadap cucu. Kesemuanya itu telah
kutunaikan dengan selayaknya. Apabila kini beban2 kewajiban
itu telah selesai, adakah engkau masih tak merelakan eyang
untuk melaksanakan beban kewajiban terhadap diri eyang
sendiri" Masihkah engkau tak rela karena eyang hendak
menggunakan sisa hidup eyang yang tak berapa banyak itu
untuk melaksanakan amanat hati nurani eyang, Lacana?"
Bercucuran airmata Lacana.
"Jangan menangis, Lacana" kata nyi Linggah Siring,
"engkau seorang anak lelaki, jangan mudah meneteskan
airmata. Simpanlah untuk kelak karena engkau masih
menghadapi peristiwa2 lain yang akan mengucurkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

airmatamu." "Eyang," kata Lacana beriba-iba, "tidakkah eyang
berkenan menanti dulu sampai hamba sudah beristeri?"
"Mengapa harus menanti, Lacana?" kata nyi Linggah
Siring "penantian itu siksa. Adakah yang kita nantikan itu suatu
hal yang gembira atau sedih, tetap hati dan pikiran kita
dibayang-bayangi oleh kecemasan dan ketegangan. Dan
apabila yang kita nanti itu tiba tetapi tak seperti yang kita
harapkan maka hati kitapun kecewa dan sedih. Kebalikannya
apabila yang kita nanti itu memenuhi atau bahkan melebi hi
harapan kita, maka kitapun gembira. Dan gembira itupun
merupakan getar2 ketegangan batin. Dan ketegangan itu akan
membawa pengaruh menggelombangkan keinginan untuk
lebih mengharap dan mendapat yang lebih dari itu. Sekali
keinginan itu sudah bergelombang maka riak alunnya akan
lebih jauh dan lebih luas tak kenal batas. Dan berkelarutanlah
penantian yang tak kenal batas kepuasan itu. Sampai eyang
mati, pun tiada habisnya penantian itu."
Berhenti sejenak wanita tua yang rupanya telah mendapat
penerangan dalam batinnya itu, melanjut pula, "Engkau
meminta aku menanti sampai engkau sudah beristeri,
kemudian menanti lagi sampai engkau berputera dan
puteramu itu akan beristeri dan berputera lagi. Ah, Lacana,
relakan eyang untuk melaksanakan beban kewajiban terhadap
diri eyang peribadi. Perjalanan eyang masih jauh, eyang harus
mulai sekarang juga."
"Eyang, tidakkah eyang menunggu kedatangan rama
dulu?" kata Arya Lacana.
Nyi Linggah Siring gelengkan kepala, "Tidak perlu, Lacana.
Ramamu sudah seorang manusia yang lengkap, bahkan telah
berhasil dalam kehidupannya. Eyang tak mau membebani
pikirannya dengan rasa kesedihan. Dia adalah milik kerajaan,
biarlah dia dapat mencurahkan tenaga dan pikirannya kepada
kerajaan yang saat ini sedang genting," nyi Linggah Siring
membungkuk untuk mencium ubun2 kepala Lacana kemudian
ia beralih ke tempat Banyak Ladrang dan mencium ubun2
kepalanya. "Eyang ....." Lacana dan Banyak Ladrang berseru iba
tetapi wanita yang sudah bulat tekadnya untuk menjadi
pertapa, sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Ketika kedua
pemuda itu memburu ke pintu, mereka sudah tak melihat
bayangan eyangnya lagi. "Raden ...." "Jangan menyebut aku raden. Mungkin aku lebi h tua,
panggillah kakang saja" tukas Arya Lacana.
Banyak Ladrang terpaksa menurut. Ia menyatakan hendak
mohon diri. "Ladrang, apa maksud tujuanmu ke gedung
kepatihan ini dan bagaimanakah keadaanmu yang
sebenarnya?" Banyak Ladrang bersangsi. Jika ia menceritakan keadaan
yang sebenarnya berarti ia membuka rahasia pasukan.
Bukankah hal itu dapat dianggap berhianat"
"Ladrang" kata Arya Lacana pula "kutahu perasaan hatimu.
Engkau kuatir akan mendapat hukuman dari patih Majapahit
apabila engkau memberi tahu keadaan pasukan Majapahit.
Tetapi ketahuilah, Ladrang. Pertama, engkau ternyata masih,
mempunyai ikatan saudara dengan aku. Kedua, engkau telah
menolong jiwaku dan ketiga, aku tak setuju akan tindakan
rama." Banyak Ladrang terkejut. "Adakah kakang Arya masih
mendendam kepada rama kakang karena soal Sridanti itu?"
Arya Lacana gelengkan kepala. "Bukan soal itu. Itu soal
peribadi keluarga. Yang kumaksudkan yalah tindakan rama
terhadap utusan Majapahit yang menghadap baginda di
Bedulu" "Gusti patih Majapahit?" seru Banyak Ladrang mulai
tegang. "Ya" sahut Arya Lacana "patih Majapahit itu telah
ditangkap dan dijebluskan di gua Gajah ... -"
"Kakang Arya" teriak Banyak Ladrang
mengendalikan diri lagi "benarkah itu?"
tak dapat Arya Lacana menyahut dengan sarat "Benar. Mengapa
aku harus berbohong kepadamu?"
Dalam keadaan itu Banyak Ladrang tak ragu2 lagi untuk
memberitahukan tentang tujuannya mencari patih Majapahit
dan penempatan dirinya di sekitar gua Gajah. "Jika demikian
kakang Arya, perkenankanlah aku segera tinggalkan
kepatihan ini untuk menolong gusti patih"
Arya Lacana gelengkan kepala. "Betapa mungkin engkau
mampu menolong patih itu, Ladrang" Ketahuilah, penjagaan di
gua itu ketat sekali. Engkau seorang diri tentu tak mampu
mengalahkan mereka."
Banyak Ladrang tertegun. Namun ia tetap nekad hendak
melakukan. Ia akan menghubungi kawan2 untuk menyerbu
penjagaan gua Gajah. "Aku akan menghubungi pasukan
Majapahit untuk menyerang penjaga2 itu kakang Arya"
Kembali Arya Lacana gelengkan kepala. "Terlambat,
Ladrang. Malam ini kudengar rama telah mempersiapkan
pasukan untuk menyerang pasukan Majapahit di Gianyar.
Rama seorang senopati yang pandai dan berpengalaman.
Sekali ia mengatur gelar barisan, tentu lawan akan hancur dan
terbasmi semua" "Tetapi kakang Arya, adakah aku harus berpeluk tangan
saja mendengar gusti patih dipenjara itu?" seru Banyak
Ladrang. "Sebagai seorang bawahan, engkau wajib berusaha
menyelamatkan pernimpi nmu" kata Arya Lacana.
"Lalu bagaimana cara yang terbaik, kakang?"
"Ladrang, walaupun kedudukan kita berdua ini tepatnya
sebagai fihak yang sedang bertentangan, dan sebagai putera
patih kerajaan Bedulu aku wajib membela rama dan kerajaan,
pun engkau sebagai anak-buah perutusan Majapahit wajib
membela Majapahit, tetapi aku mempunyai satu pendirian"
kata Arya Lacana "setiap dendam harus kutebus, setiap budi
tentu akan kubalas. Engkau telah menolong jiwaku dan
sekarang aku hendak membalas. Pakailah pakaianku dan
berdandanlah seperti diriku lalu pergilah ke gua Gajah,
katakan kepada mereka bahwa engkau mendapat perintah
dari patih Kebo Warung supaya membawa tawanan itu ke
kepatihan. Mereka tentu percaya dan rombongan patihmu itu
tentu tertolong" "Kakang Arya !" teriak Banyak Ladrang dikejut ketegangan
"bagaimana mungkin kakang akan bertindak demikian" Yang
menangkap gusti patih Majapahit adalah rama kakang, dan
sekarang kakang hendak membantu aku membebaskan
tawanan itu. Tidakkah rama kakang akan marah sekali?"
Berkata Arya Lacana dengan tenang, "Seperti telah
kukatakan aku hendak membalas budi pertolonganmu. Saat
ini engkau berada dalam kesulitan karena patih atasanmu
telah ditawan. Aku akan membalas budimu dengan jalan
membantumu membebaskan tawanan itu. Jangan engkau
menguatirkan amarah rama kepada diriku karena setelah
nenek bertapa mensucikan diri, hatiku pun hampa. Aku
hendak mengejar Jadara untuk membalas dendam
kepadanya. Akan kuajaknya bertanding sebagai ksatrya untuk
menentukan siapa yang berhak memiliki Sridanti"
"Oh, kakang Arya" seru Banyak Ladrang.
"Dan perlu kuperingatkan kepadamu, Ladrang" kata Arya
Lacana pula "bahwa aku hanya dapat membantu terbatas
sampai pada membebaskan patihmu. Selanjutnya untuk
mengatasi kesulitan2 dan menghadapi serangan2 dari rama
patih, terserah kepadamu dan patih atasanmu itu sendiri. Oleh
karena itu tak perlu engkau mencemaskan tindakanku ini."
Banyak Ladrang menganggap bahwa pernyataan putera
patih Bedulu itu memang dapat diterima. Diam-diam ia
menaruh rasa hormat dan kagum kepadanya. Pertama,
sebagai cucu dari seorang kakek yang bermusuhan dengan
kakek Kapakisan, ternyata Arya Lacana tak mendendam
permusuhan kepada diri Banyak Ladrang. Kedua, putera patih
itu tahu membalas budi dengan berani mengambil tindakan
yang terancam hukuman berat dari kerajaan.
"Baik, kakang Arya. Aku berjanji takkan menyulitkan
kakang dan terimalah sembah hormat Banyak Ladrang"
Banyak Ladrang terus berlutut dan menghaturkan sembah
kepada putera patih itu. Kemudian Arya Lacana pun
memberinya seperangkat pakaian. Setelah ganti busana dan
menghias wajah seperlunya, maka, menjelmalah Banyak
Ladrang sebagai Arya Lacana.
"Banyak Ladrang" kata Arya Lacana sebelum berpisah,
"Ada sebuah harapan yang ingin kusampaikan kepadamu"
"O, silahkan, kakang Arya"
"Apabila pecah pertempuran antara pasukan Bedulu dan
Majapahit, aku hanya titip ramaku"
Terkesiap Banyak Ladrang mendengar ucapan putera
patih itu. Ia hanya seorang kadehan dari patih Dipa dan Kebo
Warung itu seorang senopati. Dan lagi ia tentu takkan dikenal
oleh patih Kebo Warung, bahkan kalau ia mengaku siapa
dirinya, mungkin patih Bedulu itu akan membunuhnya.
Bagaimana mungkin ia dapat menerima titipan Arya Lacana
untuk menyelamatkan ramanya"
"Jangan engkau memberatkan pikiranmu dengan berbagai
pemikiran yang resah, Ladrang. Yang kumaksudkan yalah
sekedar tenagamu dalam batas2 kemungkinan yang dapat
engkau lakukan. Tetapi janganlah engkau paksakan diri. Nah,
semoga engkau berhasil, Ladrang."
Serasa tertinggal sesuatu dalam hati Banyak Ladrang
ketika meninggalkan gedung kepatihan. Entah ia tak dapat
mengatakan apakah itu. Tetapi betapapun tugas itu penting,
harus lekas ia selesaikan. Keselamatan patih Dipa dan
pengawalnya, harus cepat2 ditolong.
Betapa tegang hati Banyak Ladrang ketika hampir dekat
dengan gua Gajah. Dari jauh sudah tampak beberapa penjaga
bersenjata tombak tengah berjalan mondar mandir di muka
mulut gua. Suasana di sekeliling sunyi senyap.
Ketegangan hati Banyak Ladrang makin memuncak dikala
ia makin dekat tiba di mulut gua dan serentak penjaga2 itu
mengetahui kedatangannya, "Siapa!" hardik mereka seraya
serempak menyongsongkan tombak ke muka.
Banyak Ladrang yang menyamar sebagai Arya Lacana tak
mau cepat menjawab melainkan melangkah maju mendekat.
"Jangan kurang tata!" bentaknya. Sengaja Banyak Ladrang
melantangkan hardik kemarahan untuk meruntuhkan nyali
mereka. Perhitungan itu tepat. Penjaga2 itu terbeliak ketika
melihat siapa pendatang itu. Dalam keremangan malam yang
tiada bulan, mereka menyangka bahwa pendatang itu adalah
Arya Lacana, putera patih Kebo Warung. Mereka serentak
memberi hormat keprajuritan. "Maaf, raden, hamba tak
menyangka raden yang datang," kata kepala penjaga, seorang
prajurit tinggi besar. "Hm" dengus Banyak Ladrang masih bersikap geram, "aku
diutus rama patih untuk membawa para tawanan ke
kepatihan" Kepala penjaga itu terkesiap namun cepat ia berkata,
"Maaf, raden, hamba telah diperintahkan oleh gusti patih
supaya menjaga tawanan orang2 Majapahit ini dengan keras.
Apabila tiada surat dari gusti patih, kami diperintah untuk tidak
menyerahkan tawanan itu"
Diam2 Banyak Ladrang terkejut. Untung saat itu malam
hari sehingga penjaga itu tak dapat melihat perobahan wajah
Banyak Ladrang. Ia percaya bahwa keterangan kepala
penjaga itu tentu benar. Namun ia harus dapat mengatasi
rintangan itu. "Hm" desuhnya menggeram. "Saat ini rama
sedang sibuk mengatur pasukan untuk menyerang musuh di
Gianyar, bagaimana engkau mewajibkan rama memberi surat
perintah kepadamu! Adakah engkau tak percaya kepadaku!"
Kepala penjaga Itu tertegun. Ia gelisah mempertimbangkan keputusan, memberikan atau menolak
"Raden, mengapa pada hari semalam ini gusti patih
menghendaki tawanan itu?"
Kembali Banyak Ladrang terkejut. Serentak ia hendak
membentak penjaga itu dengan tuduhan lancang, berani
mencampuri urusan seorang senopati. Namun tiba2 terlintas
dalam benaknya. Marah itu menunjukkan kelemahan. Orang
yang dapat menghadapi dan mengatasi persoalan atau
apapun saja, tentu tak perlu marah. Semisal bentakannya tadi
hanyalah diperuntukkan untuk menutupi kelemahan dirinya
agar jangan memberi kesempatan pada penjaga itu untuk
meneliti. "Rama patih hendak membawa patih Majapahit itu sebagai
sandera untuk menekan supaya pasukan Majapahit
meninggalkan Bali. Jika mereka menolak, patih Majapahit itu
akan dibunuh di hadapan mereka" akhirnya ia dapat
merangkai jawaban. Kepala penjaga itu mengangguk. Kali ini benar2 ia
percaya. Memang siasat yang hendak dilakukan patih Kebo
Warung itu tepat. Tanpa pertumpahan darah, pasukan
Majapahit tentu enyah dari Bali, "Baiklah, raden" akhirnya ia
berkata, "aku yang mengantar mereka keluar atau raden yang
hendak masuk sendiri?"
Sesungguhnya ingin Banyak Ladrang segera mendapatkan patih Dipa. Namun karena kuatir sikap tergesagesa itu akan menimbulkan kecurigaan maka ia minta supaya
kepala penjaga itu yang mengambil mereka keluar.
Tak berapa lama, muncullah patih Dipa dan Banyak
Kawekas diiring sepuluh prajurit Majapahit. Kepala penjaga
menghadap Banyak Ladrang. "Raden, tawanan sudah hamba
sediakan" ia memberi laporan.
"Sekarang juga akan kubawa mereka ke kepatihan" kata
Banyak Ladrang. "Baik raden, hamba sekalian akan mengiringkan raden"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata kepala penjaga. Banyak Ladrang terkejut. Bagaimana ia dapat melepaskan
diri apabila kawanan penjaga itu ikut mengiringkan
perjalanannya ke kepatihan. Keringat dingin mulai
berhamburan membasahi dahi dan tubuhnya. Belum sempat
ia mendapat daya untuk mengenyahkan penjaga2 itu, tiba2 ia
terkejut mendengar suara orang mendesis pelahan. Cepat ia
mengangkat muka memandang kearah suara itu dan seketika
menggeloralah debur jantungnya ketika pandang matanya
beradu dengan pandang mata orang itu yang bukan lain
adalah kakangnya, Banyak Kawekas. Cepat2 Banyak Ladrang
menunduk dan mengisar pandang kearah kepala penjaga.
"Baik, mari kita berangkat"
Dalam mengayunkan langkah, Banyak Ladrang berusaha
untuk menenangkan ketegangan2 yang dihadapi saat itu.
Jelas Banyak Kawekas tadi telah mengetahui penyamarannya.
Untung kakangnya itu hanya mendesih kejut dan tak
menyapanya. Sekalipun demikian ia harus berusaha untuk
menghindarkan diri dari pengamatan Banyak Kawekas. Juga
ikut sertanya para penjaga ke gedung kepatihan itu
merupakan beban yang berat. Dia harus menyingkirkan
mereka tetapi bagaimana caranya"
"Ki lurah penjaga?" akhirnya ia menegur kepala penjaga
yang berjalan di belakangnya, "jika engkau masih mempunyai
tugas lain, pergilah engkau melakukan tugasmu. Tawanan ini
dapat kubawa sendiri menghadap rama"
"Tidak, raden" kata kepala penjaga itu "hamba hanya
ditugaskan untuk menjaga tawanan ini saja. Terserah
bagaimana nanti gusti patih akan menitahkan hamba lagi"
Diam2 Banyak Ladrang mengeluh dan memaki kepala
penjaga itu. Makin gelisahlah hatinya. Diam2 ia-pun
menghitung bahwa para penjaga di gua Gajah itu berjumlah
sepuluh orang bersenjata lengkap. Menilik perawakan mereka,
jelas mereka itu prajurit2 pilihan dari pasukan Bedulu. Rata2
bertubuh kekar dan kuat. Hampir timbul dalam pikiran Banyak Ladrang untuk
mendekati patih Dipa agar patih itu dapat mengetahui siapa
dirinya kemudian dapat memutuskan langkah untuk
menyelesaikan kesepuluh penjaga itu. Tetapi dilihatnya
penjaga2 itu berjalan di samping kanan dan kiri dari tawanan
dengan sikap yang siap. Banyak Ladrang terpaksa
membatalkan rencananya itu. Jelas tindakannya itu akan
cepat didengar para penjaga.
Pada saat Banyak Ladrang belum menemukan pikiran
yang tepat, tiba2 ia terkejut melihat beberapa sosok tubuh
manusia bergerak di kegelapan malam. Mereka menuju
kearahnya. Hati Banyak Ladrang berdebar keras dan
keringatpun berhamburan keluar, "Celaka, jika mereka itu
kawanan penjaga yang bertugas untuk mengganti giliran jaga
di gua Gajah, habislah permainanku ini"
Tanpa disadari ia segera merabah pinggangnya. Pedang
masih terselip dan berkuranglah kecemasannya, "Jika perlu
aku harus mendahului menyerang mereka" pikirnya.
Makin lama bayangan itu makin dekat dan walaupun
cuaca remang tetapi Banyak Ladrang dapat melihat jelas
bahwa mereka itu memang sekelompok prajurit Bedulu.
Jantungnya berdetak makin keras dan darah menggelora. "Ya,
hanya begini aku harus menghadapi mereka" serunya seraya
memerintahkan rombongan tawanan berhenti dan ia terus
maju menyongsong ke muka.
"Siapa kalian!" bentaknya dengan keras. Ternyata
pendatang itu sekelompok prajurit Bedulu yang sedang
menjalankan perintah patih Kebo Warung. Rupanya salah
seorang dari mereka kenal akan putera patih Kebo Warung,
"O, kiranya raden Arya Lacana. Kami mendapat titah dari gusti
patih untuk ....." "Untuk apa, lekas bilang!" ketegangan telah mencengkam
hati Banyak Ladrang. "Untuk apa?" ketegangan telah menegangkan perasaan
Banyak Ladrang sehingga ia tak sabar untuk menunggu lurah
prajurit itu menyelesaikan keterangannya.
"Hamba diperintahkan gusti patih untuk mengadakan
pembersihan disekitar daerah gua Gajah dan Yeh Pulu"
"Pembersihan?" ulang Banyak Ladrang heran2 kejut.
"Ya" sahut lurah prajurit itu "Gusti patih menguatirkan
bahwa orang2 Majapahit telah dipencar ke beberapa daerah
untuk menyerang Bedulu."
Diam2 Banyak Ladrang terkejut tetapi pun memuji
tindakan patih Kebo Warung yang begitu cermat sehingga
dapat mencangkum seluruh gerakan musuh.
"Baik, silahkan melanjutkan tugasmu" kata Banyak
Ladrang kepada lurah prajurit itu. Dan setelah kelompok
prajurit itu pergi maka Banyak Ladrang segera berkata kepada
kepala penjaga, "Jika demikian, tidakkah wajib juga engkau
membantu untuk melakukan perondaan disekitar gua Gajah
itu?" Kepala penjaga mengerut dahi. Rupanya dia hendak
membantah tetapi Banyak Ladrang cepat menyusuli kata2
lagi, "Ketahuilah, jika rama patih dapat merancang rencana
sedemikian cermat, tidakkah engkau mengira bahwa pimpinan
pasukan Majapahit itu tak mampu mengatur siasat begitu"
Ketahuilah, bahwa setiap perutusan kerajaan itu tentu dipilih
dari senopati2 yang digdaya dan cerdas, demikian pula
dengan prajurit-prajurit pengiringnya. Oleh karena itu
janganlah kita mengabaikan kekuatan lawan"
"Tetapi tawanan ini berjumlah belasan orang dan raden
hanya seorang diri?" sanggah kepala penjaga itu.
"Yang separoh meronda dan yang separoh tetap
membantu aku mengawal tawanan ini" seru Banyak Ladrang
serentak. Dasar perintah yang beralasan dan sikap membawakan
perintah itu dengan cepat dan tegas telah menghanyutkan
pikiran kepala penjaga itu untuk mentaati. "Bawalah empat
kawanmu untuk meronda, setelah itu segera engkau susul aku
di kepatihan untuk menghadap rama patih" Banyak Ladrang
menyusuli pula. Kepala penjaga itupun mengiakan. Setelah kelima penjaga
pergi, diam2 Banyak Ladrang menghela napas longgar. Kini
hanya tinggal lima orang lagi. Ia segera mencari akal.
"Penjaga" serunya sesaat kemudian kepada salah seorang
penjaga "menilik gelagat, suasana di pura sudah genting.
Malam ini rama patih segara berangkat menyerang orang2
Majapahit. Bawalah dua orang kawanmu, mendahului
rombongan ini, menghadap gusti patih. Jika beliau sudah
berangkat, kita segera menyusul. Jadi kita tak perlu buang
waktu harus menuju ke kepatihan dulu"
Rupanya penjaga itu tak selincah pikirannya seperti kepala
penjaga yang tadi. Serentak ia mengajak kedua kawannya
berangkat. Makin langgar kesesakan dada Banyak Ladrang.
Sambil berjalan ia sengaja memperlambat langkah untuk
mendekati Banyak Kawekas. Kedua penjaga diperintahkan
untuk mengawal di depan dan di belakang sedang Banyak
Ladrang di tengah. Setelah berjalan seiring dengan Banyak Kawekas segera
ia berbisik, "Kakang, pura- puralah engkau jatuh, lekas."
Banyak Kawekas memang curiga bahwa pemuda yang
mengaku sebagai putera patih Kebo Warung itu Banyak
Ladrang. Tetapi tak sempat ia menegur. Iapun percaya bahwa
adiknya itu tentu sedang mengatur siasat. Ketika mendengar
perintah Banyak Ladrang, cepat Banyak Kawekas pun
merubuhkan diri. Rombongan serentak terhenti.
"Hai, mengapa!" teriak Banyak Ladrang dengan nada
marah "penjaga, hajarlah tawanan ini"
Mendengar perintah yang sebengis itu, kedua penjaga pun
segera lari menghampiri. "Periksa dulu orang itu. Kalau dia
sakit, bunuh saja. Kalau sengaja hendak mengacau, hajarlah
!" Banyak Ladrang berteriak pula.
Kegarangan dan kebengisan Banyak Ladrang memberi
perintah makin melenyapkan keraguan kedua penjaga itu.
Serempak merekapun membungkuk tubuh untuk memeriksa
keadaan Banyak Kawekas. Tetapi sekonyong-konyong
mereka menjerit ketika sebuah tinju yang keras menghunjam
tengkuk salah seorang penjaga itu. Dan sebelum kawannya
sempat berpaling, diapun menerima pukulan benda keras
yang menghantam kepalanya. Kedua penjaga itu terjerembab
jatuh tersungkur ke tanah tak kabarkan diri lagi.
"Engkau ...." melihat itu patih Dipa berseru kejut.
"Ya, paman" kata Banyak Ladrang, "Aku Banyak Ladrang"
"Bagaimana engkau dapat menyamar sebagai putera patih
Bedulu?" "Ceritanya panjang, paman" kata Banyak Ladrang, "pada
lain kesempatan akan kuceritakan. Mengingat saat ini kita
sedang dalam bahaya, sebaiknya paman segera menitahkan
apa yang harus kami lakukan"
Patih Dipa mengangguk, "Ya. Pertama kita harus
menyelesaikan ketiga penjaga apabila mereka kembali. Dan
kelima penjaga yang engkau perintahkan melakukan ronda
itupun harus kita tangkap "
Kemudian patih itu dengan sigap segera memberi perintah
kepada dua orang prajurit untuk melucuti pakaian penjaga itu
dan memakainya. Kedua penjaga itu diperintahkan supaya
diikat pada batang pohon dan mulut disumbat.
"Mengapa tak dibunuh saja, paman?" tanya Banyak
Kawekas. "Jangan" kata patih Dipa dengan tenang "mereka hanya
melakukan kewajiban. Kita harus mengunjukkan kepada
rakyat Bedulu bahwa orang Majapahit itu benar2 beritikad baik
untuk menaungi Bedulu, bukan hendak membasmi mereka"
"Tetapi peperangan itu harus kejam" bantah Banyak
Kawekas pula "jika tidak mau membunuh tentu akan dibunuh
musuh. Dan berbahaya untuk membiarkan mereka hidup
sehingga kemungkinan dapat memberi keterangan kepada
pimpinan mereka" "Benar, Kawekas" sahut patih Dipa "memang perang itu
kejam, Pikiian orang hanya membunuh atau dibunuh. Tetapi
itu pikiran bukan suara hati. Dan kita sebagai utusan dari
Majapahit sebuah kerajaan besar yang akan menjadi mercu
suar pada kerajaan2 diseluruh nuswantara, harus dapat
mengunjukkan sikap yang luhur. Rakyat Bedulu harus kita beri
air kehidupan bukan darah kematian"
Banyak Kawekas tak dapat membantah lagi. Diam2 ia
memuji akan sikap patih Dipa dalam menghadapi persoalan
Bedulu. Pandangannya sudah jauh melangkah ke depan, citacitanya sudah melambung ke seluruh Nuswantara.
Tak berapa lama perintah patih Dipa pun telah
dilaksanakan. Kedua penjaga itu dilucuti pakaiannya dan diikat
pada sebatang pohon jauh dari tepi jalan. Dua orang
anakbuah pengiring patih Dipa berganti pakaian penjaga itu.
Tak berapa lama tampak ketiga penjaga tadi berlari-lari
mendatangi. Selekas tiba, Banyak Ladrang cepat menyongsong pertanyaan, "Bagaimana!"
"Gusti patih sudah berangkat memimpin pasukan ke
Gianyar" kata salah seorang penjaga itu.
"Apakah seluruh pasukan Bedulu dibawa serta?" tanya
Banyak Ladrang. Mendengar itu diam2 patih Dipa mengangguk dalam hati.
Ia memuji kecerdikan Banyak Ladrang dalam menghadapi
keadaan yang genting. Iapun melihat suatu bakat
kepemimpinan dalam tubuh anak muda itu.
"Tidak, raden" kata penjaga itu "tumenggung Werda
ditugaskan menjaga keamanan pura Bedulu bersama
sejumlah kecil prajurit"
"Baik, mari kita berangkat" kata Banyak Ladrang.
"Kemana raden?" penjaga itu heran.
"Menyusul rama patih ke medan perang" kata Banyak
Ladrang "tawanan ini harus kuserahkan kepada rama patih.
Sekarang juga" Ketiga penjaga itu mengiakan. Tetapi baru mereka
berputar tubuh, tiga orang pengiring patih Dipa terus loncat
menerkamnya. Beberapa kawannyapun segera berhamburan
menghantam penjaga itu hingga pingsan.
"Bagus" seru patih Dipa "perlakukan mereka seperti kedua
kawannya tadi dan tiga diantara kalian harus mengenakan
pakaian mereka" Perintah itu dilaksanakan dengan cepat. Kini lima orang
pengiring patih Dipa sudah berganti pakaian sebagai penjaga.
Sepintas pandang mereka seperti pengawal rombongan
tawanan dari Majapahit itu.
"Paman" tiba2 Banyak Ladrang berseru "adakah aku
masih harus menyaru sebagai putera patih Kebo Warung?"
Patih Dipa merenung lalu balas bertanya, "Bagaimana
pendapatmu dan apa saja rencanamu, Ladrang?"
Patih Dipa selalu memberi kesempatan kepada kawan
atau orang sebawahannya untuk mengemukakan pendapat.
Iapun hendak mengembangkan daya pikiran mereka. Hal itu
penting karena apabila tiada pemimpin, janganlah mereka
seperti anak ayam yang kehilangan induk tetapi harus dapat
berusaha untuk membawa diri. Ia menghendaki agar setiap
anakbuah dan prajuritnya, harus merupakan prajurit yang
pilihan. Kepemimpinan takkan berjalan lancar apabila yang
dipimpin tak ditingkatkan dalam soal2 pengertian dan
pengetahuan tata-pimpinan.
"Paman patih" kata Banyak Ladrang dengan tegas "saat ini
patih Kebo Warung sudah mulai bergerak menyerang ke
Gianyar. Kelompok yang paman tugaskan untuk bersembunyi
di sekitar gua Gajah dan Yeh Pulu sudah berantakan karena
dikacau oleh seorang manusia raksasa yang tengah
mendirikan candi di desa Pliatan, "dengan singkat ia
menuturkan tentang pengalaman yang dideritanya dari
raksasa Kebo Yuwo itu "dengan begitu orang2 kita sudah
porak poranda. Menilik kecakapan dan kecermatan patih Kebo
Warung memimpin barisan, kemungkinan orang2 kita yang
paman tanam disepanjang jalan Bedulu - Gianyar itupun tentu
sudah pecah. Oleh karena itu, kita harus menggunakan siasat"
"Hm, cobalah engkau lanjutkan rencanamu" seru patih
Dipa. "Saat ini kita berada disekitar telatah pura Bedulu. Apabila
kita hendak mencari hubungan untuk mengabarkan tentang


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyerangan Kebo Warung ke Gianyar itu kepada
tumenggung Gajah Para, tentulah sukar. Andaikata dapat, pun
sudah terlambat" Patih Dipa mengangguk. "Dalam melakukan penyerangan ke Gianyar itu Kebo
Warung tentu mengerahkan seluruh kekuatan. Dia
memperhitungkan bahwa fihak tumenggung Gajah Para tentu
belum mengetahui tentang diri paman ditawan. Dengan begitu
tumenggung Gajah Para diperhitungkan tentu tak siap. Apabila
diserang pada malam hari tentu dapat dihancurkan."
"Engkau dapat menerka akan pikiran Kebo Warung
dengan tepat" patih Dipa memuji.
"Tetapi kecerdikan Kebo Warung itu akhirnya akan
menghantam dirinya sendiri" kata Banyak Ladrang.
"Bagaimana mungkin?" tanya patih Dipa yang ingin
menjajagi sampai dimana kecerdasan anakmuda cucu dari
empu Kapakisan itu. "Dia tak memperhitungkan bahwa paman dan pengiring2
dapat lolos dari tawanan" kata Banyak Ladrang "dia tentu
masih mengira paman tak mungkin lepas dari tawanan.
Disinilah letak kelemahannya. Karena dengan anggapan itu
maka dia hanya meninggalkan sedikit prajurit yang dipimpin
tumenggung Werda untuk menjaga Pura istana. Maka paman,
kita harus memanfaatkan kelemahan musuh untuk
menghancurkannya" "Maksudmu kita serbu saja keraton Bedulu?" patih Dipa
menegas. Banyak Ladrang mengangguk "Benar, paman. Kita serbu
pasukan tumenggung Werda yang berjumlah kecil itu dan kita
tawan raja Bedulu. Apabila rajanya sudah tertangkap,
bagaimana Kebo Warung dan seluruh pasukannya takkan
menyerah?" "Tepat sekali pendapatmu itu dengan angan-anganku,
Ladrang" seru patih Dipa gembira sekali "dengan tindakan itu
kita dapat menghemat tenaga dan mencegah pertumpahan
darah yang hebat" Girang Banyak Ladrang karena mendapat pujian patih
Majapahit itu. Dan patih Dipa tahu akan hal itu. Dalam
memimpin pemerintahan sebagai patih Daha maupun
memimpin pasukan sebagai perutusan Majapahit ke Bedulu, ia
selalu bertindak bijaksana. Apabila terdapat anakbuah yang
bersalah tentu dihukum tetapi apabila yang layak dipuji, tak
segan pula ia memberi pujian.
"Jika demikian, mari kita segera berangkat, paman" seru
Banyak Ladrang. Patih Dipa gelengkan kepala, "Setiap rencana tergantung
dari pelaksanaannya. Oleh karena itu untuk melaksanakan
rencana itu agar berhasil, kitapun harus jangan diburu gesa
nafsu tetapi harus kita atur cara2 pelaksanaannya"
"Kecil sekalipun jumlahnya tetapi pasukan tumenggung
Werda yang ditugaskan menjaga pura itu tentu dipandang
patih Kebo Warung sebagai senopati yang digdaya dan cakap.
Untuk merebut pura bukan seperti berjalan di padang rumput
tetapi harus melalui pagar pedang berdinding tombak. Oleh
karena itu kita harus memakai rencana" kata patih Dipa.
"Kita hanya berjumlah tiga belas orang" kata patih itu pula
"suatu jumlah yang sangat kecil menurut ukuran sebuah
kelompok barisan. Suatu kekuatan yang tak berarti untuk
menghadapi pasukan yang menjaga pura. Tetapi janganlah
ikut berkecil hati karena kekuatan kita kecil. Jika yang besar
menghancurkan yang kecil, itu sudah wajar. Tetapi kalau yang
kecil dapat mengalahkan yang besar, barulah luar biasa.
Banyak Kawekas, Banyak Ladrang dan prajurit2 yang lain.
Siapa yang mempunyai siasat, katakanlah kepadaku. Dalam
peperangan ataupun lain2 hal, bukan hanya pimpinan yang
dapat berjasa, pun prajurit biasa dapat pula menunjukkan
jasa." Tertarik hati para prajurit itu. Namun mereka tak dapat
mengeluarkan pendapat dan rencana2. Banyak Ladrang
segera berkata, "Untuk merebut pura, kekuatan pasukan
tumenggung Werda itu harus dipecah belah sehingga mudah
kita patahkan satu demi satu. Cara untuk memecah belah
mereka adalah memecah perhatian mereka dengan jalan
menimbulkan kebakaran dibeberapa tempat. Mereka tentu
mengira musuh menyerang dari beberapa arah sehingga
tumenggung itu tentu akan memecah pasukannya dalam
beberapa kelompok" "Bagus" seru patih Dipa. Kemudian ia beralih pandang
kearah Banyak Kawekas "dan pendapatmu ?"
"Hampir sama dengan Ladrang" sahut pemuda itu "tetapi
ada beberapa perbedaan. Menurut siasatku kita pecah
kelompok kita menjadi empat setiap kelompok tiga orang,
membawa obor dan kentung, masing2 menyerang dari barat,
timur, selatan dan utara. Eh, salah. Bukan menyerang
melainkan masuk ke pura sambil memukul kentung. Apabila
mereka melihat obor2 dan kentung titir, tentulah tumenggung
itu segera memecah orangnya untuk menindas"
"Siasat itu juga bagus" kata patih Dipa "tetapi keduaduanya terdapat kelemahannya. Sesuai dengan siasat Banyak
Ladrang maupun Banyak Kawekas, tumenggung Werda tentu
akan memecah pasukannya menjadi beberapa kelompok. Kita
berhasil memecah belah kekuatan mereka. Tetapi siapakah
yang akan melakukan serangan kepada kelompok2 pasukan
Bedulu itu" Dapatkah setiap tiga orang rombongan kita
menghadapi kelompok musuh yang paling tidak tentu terdiri
dari berpuluh prajurit itu" Nah, disinilah letak kekurangan kita"
Banyak Ladrang dan Banyak Kawekas terkesiap. Mereka
mengakui bahwa ulasan patih Dipa itu memang beralasan.
Kemudian Banyak Ladrang memberanikan diri berkata, "Jika
demikian, kami mohon paman suka memberi petunjuk dan
memutuskan rencana yang akan kita jalankan"
"Secara garis besarnya, aku dapat menyetujui tujuan
daripada siasat kalian, yalah memecah belah kekuatan
musuh" kata patih Dipa "dan agar siasat itu membuahkan
suatu hasil yang dapat kita tindakkan menurut kekuatan kita
maka kita harus menipu tumenggung itu"
"Menipu ?" serempak kedua kakak beradik cucu empu
Kapakisan itu berseru terkejut.
"Ya, menipu" patih Dipa menandaskan "dalam rombongan
kita, terdapat lima orang prajurit yang sudah menyamar
sebagai penjaga gua Gajah. Maka kita bagi mereka menjadi
dua. Yang dua orang berangkat lebih dulu masuk pura
menghadap tumenggung Werda. Katakan kepada tumenggung itu bahwa gedung kepatihan telah diserbu orang
Majapahit dan minta agar tumenggung lekas kirim pasukan
untuk menyelamatkan keluarga patih Kebo Warung. Kita
bersembunyi di sebuah tempat sepi menyambut kedatangan
pasukan Bedulu itu dengan serangan."
"Kami setuju paman," seru Banyak Kawekas dan Banyak
Ladrang. "Setelah itu" kata patih Dipa pula "kita kirim ketiga
anakbuah kita lagi untuk menghadap tumenggung Werda"
"Untuk minta supaya tumenggung itu mengirim pasukan
menolong keluarga patih Kebo Warung lagi ?" seru Banyak
Ladrang. Patih Dipa gelengkan kepala, "Cara itu mudah
menimbulkan kecurigaan tumenggung Werda dan mudah
diketahui. Alasannya harus kita ganti. Ketiga anakbuah kita itu
harus mengatakan bahwa gua Gajah dimana tawanan patih
Majapahit ditahan, telah diserang orang Majapahit, supaya
patih itu lekas mengirim bantuan pasukan"
"Ah" Banyak Ladrang mendesah "sungguh cerdik sekali
alasan itu" "Seperti yang pertama, pun kita harus menunggu mereka
di tempat yang sunyi dan menghancurkannya dengan
serangan secara tiba-tiba."
"Setuju, paman" seru Banyak Kawekas "harap segera saja
paman menitahkan mereka"
Patih Dipa gelengkan kepala "Tidak bisa secepat itu,
Kawekas" "Mengapa?" Banyak Kawekas terbeliak.
Patih Dipa tak menjawab telah memerintahkan kelima
prajurit pengiringnya yang menyamar sebagai penjaga prajurit
gua Gajah itu menghadap "Adakah kalian sanggup untuk
melakukan rencana yang kupaparkan tadi?" tanya patih Dipa.
"Hamba adalah prajurit Majapahit, gusti. Apapun yang
hendak paduka titahkan, tentu akan kami laksanakan dengan
sepenuh tenaga" sahut kelima prajurit itu.
"Sekalipun kuperintahkan kalian
lautan api ?" patih Dipa menegas.
menerjang kedalam Serempak kelima prajurit itu menegakkan kepala dan
menyahut "Hamba bersedia mati demi kepentingan Majapahit"
Patih Dipa tersenyum, "Belum saatnya dan tak perlu
kuminta pengorbanan jiwa kalian tetapi hanya meminta
pengorbanan kecil saja, bersediakah kalian?"
"Kami bersedia, gusti"
"Baik" kata patih Dipa dengan suara sarat, "agar
tumenggung Werda percaya akan keterangan yang kalian
haturkan, baik tentang penyerangan di gedung kepatihan
maupun di gua Gajah oleh orang2 Majapahit, maka kalian
terpaksa harus mempersakiti diri kalian. Buatlah luka pada
tubuh kalian sekehendak hati kalian, cukup kalau luka2 itu
mengalirkan darah yang melumuri tubuh kalian, tak perlu
harus luka yang parah"
Kelima prajurit itu terkejut.
"Hanya dengan cara itu, tumenggung Werda tentu
percaya. Jika tidak, dikuatirkan dia akan curiga dan kalian
bahkan ditahan ?" patih Dipa memberi ulasan yang terakhir.
Diam2 Banyak Kawekas dan Banyak Ladrang kagum atas
siasat yang direncanakan patih itu. Karena yang pergi lebih
dulu dua orang, maka kedua orang prajurit segera mengguratgurat dan menusuk tubuhnya sendiri dengan ujung pedang.
Tampak darah mengalir memerah tubuh mereka. Begitu pula
pakaian mereka-pun diatur kacau balau seolah seperti orang
yang habis bertempur. Setelah itu merekapun segera menuju
ke pura. Patih Dipa menghela napas. "Memang berat nian tugas
prajurit itu. Darah dan jiwanya senantiasa siap dipersembahkan kepada negara. Mari kita bersiap mencari
tempat persembunyian agar tak mensia-siakan pengorbanan
kedua prajurit itu" Mereka menyembunyikan diri di sebuah gerumbul pohon,
agak jauh dari kepatihan. Karena senjata mereka sudah
dilucuti, patih Dipa memerintah anakbuahnya mempersiapkan
batu. Batu dapat merupakan senjata yang berguna apabila
digunakan dengan baik. Demikian pula dengan segala jenis
senjata, tergantung dari tangan yang menggunakannya. Pikir
patih Dipa. Menanti sesuatu merupakan siksa pikiran dan perasaan.
Apalagi menanti musuh dimana pikiran dibayang dengan
peristiwa bunuh membunuh. Akan lebih tegang dan regang.
Tetapi patih Dipa sudah banyak mengalami perkelahian yang
menegangkan maupun berdarah. Ia lebi h tenang dari
anakbuahnya. Beberapa waktu kemudian tampak dua batang obor
bergerak-gerak menyusur jalan, makin lama makin jelas.
Langkah2 kaki mendcbur tanah pun makin terdengar
dikesunyian malam itu. Dari gunduk2 tubuh yang membayang
hitam, patih Dipa memperkirakan bahwa kelompok yang
datang itu berjumlah tiga empat puluh prajurit, "Hm,
tumenggung Werda benar2 mengirim prajurit ke kepatihan, "
gumam patih Dipa dalam hati. Kemudian ia memberi petunjuk
kepada Banyak Kawekas dan Banyak Ladrang supaya
membawa empat orang prajurit memisahkan diri bersembunyi
di seberang tepi yang berhadapan dengan tempat patih Dipa
dan empat orang prajurit bersembunyi. "Setelah musuh tiba,
segera sambutlah dengan lontaran batu lalu serbulah mereka"
kata patih. Dipa. Mereka telah melakukan perintah dengan baik. Ketika
rombongan prajurit itu tiba, sekonyong-konyong mereka
menjerit dan mengaduh ketika tanpa diketahui dari mana asal
dan arahnya, mereka menderita serangan hujan batu.
Kemudian sosok- tubuh berhamburan loncat dari tempat
persembunyian dan menyerbu mereka.
Patih Dipa bertindak rekat sekali. Ia mendahului loncat
keluar, menyambar tubuh seorang prajurit Bedulu yang tengah
membungkuk karena kakinya terhantam batu. Diangkatnya
tubuh prajurit itu lalu diputar-putar untuk menghantam prajurit2
yang lain. Gempar seketika suasana saat itu. Jerit pekik mengaduh
dan terkejut bagaikan merobek robek tabir kesunyian malam.
Baik lawan atau anakbuah pengiring patih Dipa, terkejut
menyaksikan keperkasaan patih itu. Prajurit2 pura Bedulu itu
tak menyangka sama sekali akan menderita peristiwa
semacam itu dan merekapun lebi h dulu menderita kejutan dan
kesakitan akibat hujan batu. Serangan yang dilancarkan
dengan cepat oleh pengiring2 patih Dipa, tak menyempatkan
mereka untuk membela diri. Walaupun ada beberapa yang
berusaha untuk menahan serangan, tetapi segera perlawanan
mereka itu dipatahkan oleh pengiring2 patih Dipa yang terdiri
dari prajurit2 pilihan. Dalam waktu yang singkat sosok2 tubuh
berhamburan memenuhi jalan. Ada yang pingsan, yang patah
tulang dan yang mengerang-erang kesakitan.
Kedua belas anakbuah rombongan patih Dipa berhasil
menyapu kelompok prajurit pura bedulu yang jauh lebi h besar
jumlahnya. Keperkasaan patih Dipa telah menyalakan bara
semangat juang anakbuahnya.
"Lucuti pakaian dan senjata mereka" perintah patih Dipa
"kemudian singkirkan mereka ke gerumbul pohon dibawah
sana, ikat mereka pada pohon"
Perintah itu segera dilakukan. Bahkan patih Dipa pun ikut
bekerja untuk mengangkat tubuh2 prajurit Bedulu itu.
Kini patih Dipa, Banyak Kawekas, Banyak Ladrang dan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesepuluh prajurit pengiring, telah berganti pakaian prajurit
Bedulu, lengkap dengan senjata.
"Sekarang kuminta dua orang prajurit melakukan rencana
yang kedua kepada tumenggung Werda. Dua orang prajurit
segera melakukan perintah. Setelah menusuk beberapa
bagian pada tubuh mereka lalu berangkat ke pura. Dalam
pada itu patih Dipa pun mengajak rombongannya mencari
tempat persembunyian di jalan yang menuju ke gua Gajah.
Para prajurit pengiring bahkan Banyak Kawekas dan
Banyak Ladrang heran ketika melihat patih Dipa belum juga
menentukan tempat pcrsembuyian. Sudah beberapa tempat
yang didatangi tetapi patih itu berpindah cari ke lain tempat.
Setelah beberapa waktu, barulah patih itu berhenti, "Tempat
ini sesuai dengan rencanaku" serunya.
Atas pertanyaan Banyak Kawekas, patih Dipa memberi
keterangan, "Kita harus ganti siasat. Sekarang kita sudah
memiliki senjata, lebi h leluasa"
Kemudian ia memberi perintah kepada pengiringnya.
"'Lekas tebang beberapa batang pohon dan lintangkan untuk
menutup jalan?" Ternyata tempat yang dipilih patih Dipa itu merupakan
sebuah tikung jalan yang kedua tepinya merupakan gunduk
karang yang cukup tinggi.
Setelah jalan yang merupakan mulut tikungan ditutup
dengan pohon2, patih Dipa memerintahkan pula tiga orang
prajurit bersiap pada gunduk karang di sebelah kiri tepi
tikungan dan tiga prajurit bersiap di sebelah kanan tepi
tikungan. "Sediakan batu2 yang besar. Selekas mereka tiba di
tikung jalan ini, segera kalian gelindingkan batu2 itu kebawah
agar mereka terhimpit"
Keenam prajurit itu cepat melakukan perintah. Kemudian
patih Dipa berkata pula. "Banyak Kawekas dan Banyak
Ladrang serta dua orang prajurit, ikut aku bersembunyi di
ujung tikungan. Setelah mereka menderita serangan batu dari
kedua tepi karang, kita serang mereka dari belakang. Dengan
demikian mereka tentu tak dapat lolos lagi karena disebelah
muka, jalan telah tertutup pohon. Jangan satupun yang dapat
lolos. Berbahaya, dapat memberi kabar kepada tumenggung
Werda" Banyak Kawekas dan Banyak Ladrang makin bertambah
rasa kagum dan puji keduanya terhadap palih yang masih
muda itu. Dibawah pimpinan patih Dipa, setiap prajurit merasa
sebagai seorang pahlawan. Terhapuslah rasa kecemasan hati
mereka walaupun harus menghadapi barisan musuh yang
jauh lebih besar jumlahnya. Setelah berhasil dalam sergapan
yang pertama tadi, semangat mereka makin menyala.
Penantian di tikung jalan itu tidak terasa setegang tadi.
Tak berapa lama tampaklah sinar api memancar di tengah
kegelapan. Rupanya kedua prajurit yang diutus patih Dipa itu
berhasil merebut kepercayaan tumenggung Werda. Tumenggung itu percaya apa yang dilaporkan kedua penjaga
gua bahwa orang2 Majapahit telah menyerbu gua Gajah untuk
membebaskan patih Majapahit. Berbahaya apabila patih
Majapahit itu sampai lepas, pikir tumenggung Werda. Namun
dia sendiri tak berani meninggalkan pura maka diperintahkannya seorang lurah prajurit Marica untuk
memimpin seratus prajurit menuju ke gua Gajah.
Iring-iringan prajurit yang tengah menyusur jalan ke gua
Gajah itu tampak lebih besar jumlahnya. Obor-pun lebih
banyak dibawa mereka. Kesemuanya dapat dilihat jelas oleh
patih Dipa dan pengiringnya. Diam2 prajurit2 rombongan patih
Dipa itu tergetar dalam hati. Rupanya hal itu dimaklumi pula
oleh patih Dipa. "Prajurit2, tenangkanlah hatimu. Jangan
menganggap mereka itu prajurit2 yang hendak engkau tempur
tetapi anggaplah mereka itu sebagai ikan2 yang hendak
engkau jaring. Makin banyak jumlah ikan yang akan kita jaring,
bukankah makin gembira hati kita karena memperoleh hasil
yang lebih besar" Ha, ha ....." patih Dipa tertawa. Tertawa
yang sengaja dihamburkan untuk membangkitkan nyali dan
semangat anakbuahnya. Tak lama kemudian, yang dinanti itupun tiba. Prajurit yang
berjalan di muka segera berteriak kaget ketika melihat jalan
disebelah muka tertutup dengan pohon2. Belum kumandang
teriak mereka reda, kawan-kawannya menyambung dengan
pekik kejut ketika dari kedua samping jalan dari atas karang
bergelindingan batu2 besar dan kecil kearah mereka. Dan
pekik kejut itu segera dilanjutkan pula dengan jerit mengaduh
dan erang kesakitan ketika barisan mereka kacau balau
dilanda batu2. Mereka desak-mendesak berebut hendak
menyelamatkan diri tetapi karena jalan tidak berapa lebar,
desak-mendesak itu mengakibatkan mereka saling bentur
membentur dan jatuh tindih menindih. Beberapa prajurit yang
sempat meloloskan diri lari ke belakang, tiba2 menjerit dan
memekik ketika diserang oleh beberapa prajurit yang
mengenakan pakaian serupa dengan mereka.
"Hai, gila, kita kawan sendiri mengapa kamu menyerang"
beberapa prajurit Bedulu itu sempat berteriak-teriak
memperingatkan penyerangnya yang dalam kegelapan malam
disangka kawan prajurit Bedulu.
Tetapi penyerang2 itu bukan berhenti kebalikannya malah
mempergencar serangannya. Dipelopori patih Dipa yang
mengamuk, Banyak Kawekas, Banyak Ladrang dan kedua
prajurit pengiring, segera melancarkan serangan yang gencar.
Mereka sebelumnya telah mendapat pesan dari patih Dipa,
agar jangan membunuh, cukup asal melukai mereka supaya
rubuh. Sasarannya yalah bagian kaki musuh.
Pasukan yang dikirim tumenggung Werda untuk
melindungi tawanan di gua Gajah, mengalami nasib yang
menyedihkan. Mereka porak poranda. Dari sebuah barisan,
kini mereka merupakan sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan di tengah jalan,
"Kalian menyerah atau minta dibunuh" teriak patih Dipa
setelah dapat menguasai lurah prajurit Marica.
Sisa2 prajurit yang masih bertahan itu pecah nyalinya.
Berpuluh-puluh kawannya telah terluka dan rubuh di tengah
jalan, sedang pemimpin mereka Marica-pun sudah tertangkap.
Mereka putus asa dan hendak menyerah agar menyelamatkan
jiwa lurah prajurit Marica.
"Terus serang! Jangan pedulikan diriku," tiba2 Marica
berteriak walaupun kedua tangannya.sudah tertangkap dan
diteliku patih Dipa. Beberapa belas prajurit itu terkesiap. Mereka termangu
dalam keraguan. Jika menurut perintah, jelas lurah prajurit itu
tentu dibunuh namun jika menolak perintah merekapun takut
dihukum. "Lurah prajurit" seru patih Dipa "engkau benar2 seorang
perwira. Kuhormati pendirianmu. Aku ingin bertanya, dengan
cara bagaimana engkau benar2 akan menyerah ?"
"Siapa kalian!" teriak Marica seraya mencoba meronta
tetapi jepitan tangan patih Dipa itu sekokoh besi kuatnya.
"Aku orang Majapahit" sahut patih Dipa.
'"Hm, karena sudah tertangkap olehmu, bunuhlah aku"
seru Marica.. "Tidak, lurah prajurit" seru patih Dipa "engkau seorang
ksatrya. Harus mati sebagai ksatrya. Katakan bagaimana cara
kematian yang engkau kehendaki?"
Tertarik juga hati Marica mendengar ucapan patih Dipa itu.
Ia tahu bahwa yang meringkusnya itu orang Majapahit tetapi ia
tak menyangka kalau orang Majapahit itu patih utusan
Majapahit. "Kudengar orang Majapahit itu menjunjung sifat
ksatryaan. Sekarang baru kubuktikan kebenarannya. Adakah
engkau tak menyesal menuruti permintaanku?"
"Jika berat hati, masakan aku menawarkan kepadamu?"
kala patih Dipa. "Hm, baiklah" ujar Marica "aku rela menyatakan menyerah
apabila engkau dapat mengalahkan aku"
"Hanya itu permintaanmu?"
"Ya" "Baik" kata patih Dipa saraya melepaskan tangan Marica
"engkau bebas sekarang. Mari kita laksanakan permintaanmu"
Dalam keremangan malam, Marica harus meneliti
pandang matanya untuk melihat siapa prajurit Majapahit yang
seberani itu. Agak terkesiap ketika ia melihat patih Dipa itu
masih muda. "Hm, anakmuda memang suka menunjukkan
kebanggaan diri. Dia melepas aku berarti melepas harimau
dari kandang" pikirnya tersenyum dalam hati.
Segera ia mengambil sikap lalu membuka serangan.
Sebuah terjangan yang diserempaki dengan sepasang tangan
menggunting tubuh lawan. Patih Dipa pun menimang. Mengingat waktu amat
mendesak, ia harus cepat2 menyelesaikan perkelahian itu
agar dapat segera menyerang ke pura. Sesungguhnya tak
perlu ia harus membuang waktu untuk melepaskan lurah
prajurit Bedulu itu. Tetapi entah bagaimana, ia tertarik dan
senang akan sifat ksatrya dari Marica. Ia akan
menundukkannya secara ksatrya pula.
Ketika sepasang tangan Marica tiba, patih Dipa menyurut
mundur selangkah sehingga kedua tangan lurah prajurit
Bedulu itu berayun di muka dadanya. Secepat kilat patih Dipa
menerkam pergelangan tangan lawan dan dengan sebuah
gerak yang keras ia memutar ke belakang. "Auh" mulut Marica
mendesuh kesakitan. Tulang lengannya serasa patah.
"Masih belum mengaku kalah?" seru patih Dipa.
Karena menahan kesakitan, butir2 keringat berhamburan
memercik di dahi lurah prajurit Bedulu itu "Ya, aku menyerah"
"Jika demikian" patih Dipa melepaskan tangan Marica
"kalian harus menyerah kuikat"
Ia segera memerintahkan anakbuahnya untuk mengikat
dan membawa prajurit2 Bedulu itu ke balik gunduk karang.
Setelah itu patih Dipa memimpin rombongannya menuju ke
pura Bedulu. "Paman" kata Banyak Ladrang "sepuluh prajurit yang
mengiring aku bersembunyi disekeliling gua Gajah itu telah
ditangkap oleh seorang manusia aneh"
"Manusia aneh?" ulang patih Dipa.
"Ya, seorang manusia yang bertubuh tinggi besar
menyerupai raksasa dan tinggal di desa Pliatan. Dia tengah
membangun sebuah pura. Karena memerlukan tenaga maka
prajurit2 anakbuahku itu ditawan. Baiklah kita ke Pliatan untuk
membebaskan prajurit2 kita"
Patih Dipa merenung. Sejenak kemudian ia gelengkan
kepala "Tidak, Ladrang. Jika kita ke Pliatan tentu akan
menghadapi pertempuran lagi melawan manusia raksasa itu.
Hal itu tentu membuang waktu saja. Pada hal waktu amat
berharga sekali bagi kita. Malam sudah tinggi, kita lakukan
penyergapan ke pura"
"Adakah paman hendak menawan raja Bedulu ?" Banyak
Ladrang terkejut. "Mudah-mudahan berhasil" kata patih Dipa "karena kita
harus melalui perjuangan berat menghadapi pasukan
tumenggung Werda" Mereka segera berangkat. Tiba2 Banyak Ladrang bertanya
"Paman, bagaimana kalau sekali lagi kita tipu tumenggung
itu?" "Maksudmu?" tanya patih Dipa.
"Kita suruh dua orang prajurit lagi untuk menghadap
tumenggung Werda dan melaporkan bahwa pasukan yang
dikirim ke gua Gajah itu telah menderita kekalahan dari orang
Majapahit dan minta supaya tumenggung itu kirim lagi bala
bantuan" Patih Dipa tak menjawab melainkan berseru kepada
prajurit pengiringnya, "Prajurit2, siapa diantara kamu yang
bersedia menjalankan rencana ini?"
Dua orang prajurit serempak tampil. "Hamba berdua
sanggup melakukan tugas itu, gusti" dan tanpa menunggu
jawaban patih Dipa kedua prajurit itu telah menggurat-gurat
pakaian dan tubuhnya dengan ujung pedang. Sekejab pula
tubuh kedua prajurit itu berlumuran darah merah. Kemudian
mereka segera berangkat. "Paman" kata Banyak Ladrang pula "tidakkah kita perlu
mencari tempat bersembunyi untuk menyergap mereka?"
Patih Dipa gelengkan kepala "Tak perlu"
"Tak perlu?" Banyak Ladrang terkejut.
"Ya, tak perlu" kata patih Dipa sembari berjalan.
"Mengapa, paman?"
"Yang penting kita akan merebut pura. Untuk melancarkan
serangan itu, sedapat mungkin kita berusaha mengurangkan
kekuatan pasukan penjaga pura"
"O" Banyak Ladrang mendesuh. Diam2 ia memuji langkah
patih itu. Setiap kali, walaupun sama langkah tetapi tentu beda
tujuannya. Sama2 menipu tumenggung Werda supaya
mengirim pasukan ke gua Gajah tetapi yang pertama, patih
Dipa menyergapnya. Sedang yang kedua, dibiarkannya saja
karena tujuannya yalah mengurangi kekuatan pasukan
penjaga pura. "Jika demikian, paman" sesaat kemudian Banyak Ladrang
berseru pula "tidakkah tepat kalau kita mengirim dua prajurit
lagi untuk menipu tumenggung Werda agar mau mengirim
bala bantuan ke kepatihan?"
"Ya, perlu" sahut patih Dipa ringkas.
Mendengar itu Banyak Ladrang tanpa sadar telah
mendahului berseru kepada anakbuah prajurit, "Hai prajuritprajurit, siapakah diantara kalian ini yang bersedia melakukan
tugas ?" Belum seorang prajuritpun yang menyahut, tiba2 patih
Dipa sudah menjawab, "Aku"
Mendengar itu Banyak Ladrang terbelalak "Paman ?"
"Ya, aku" ulang patih Dipa "karena kali ini yang harus
menghadap dan melapor tumenggung Werda jangan dua
orang. Mudah menimbulkan kecurigaan tumenggung, tetapi
kita semua sehingga dia percaya bahwa memang di kepatihan
telah berkobar pertempuran dan bahaya "


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Banyak Ladrang tercengang tetapi dalam hati ia mengeluh
karena setiap tindakannya selalu mendapat perbaikan dari
patih Dipa. Selalu patih itu dapat melengkapi dengan
tambahan2 yang diluar jangkau pikirannya.
"Ladrang" kata patih Dipa "engkau mempunyai daya pikir
yang hidup. Tetapi dalam menghadapi musuh, baiklah kita
jangan selalu berpegang pada satu cara atau siasat. Kita
harus dapat memberi mereka kejutan2 yang tak mereka
duga." "Baik paman" kata Banyak Ladrang dengan hati yang
kagum dan tunduk akan kecerdikan patih itu.
Patih Dipa memberi perintah pula bahwa apabila bala
bantuan yang kedua dari tumenggung Werda ke gua Gajah
tiba, hendaknya mereka bersembunyi. "Kita langsung menuju
ke pura. Malam yang gelap dapat membantu penyamaran kita
saat ini. Mereka tentu menyangka kita prajurit2 Bedulu. Kita
pun harus menyamar sebagai prajurit2 yang terluka dan kalah
dalam pertempuran" Patih Dipa setuju untuk menipu yang kedua kalinya
kepada tumenggung Werda agar tumenggung itu mau
mengirim bala bantuan ke gua Gajah karena memperhitungkan bahwa tumenggung itu tentu menganggap
tawanan patih Majapahit itu penting sekali harus dijaga. Tetapi
ia kurang setuju kalau menipu pula tumenggung itu dengan
laporan tentang keadaan di kepatihan dan minta tumenggung
mengirim bala bantuan. Peristiwa yang dilakukan berturut-turut
sampai empat kali, mudah membangkitkan kecurigaan, paling
tidak prasangka. Kebiasaan hidup patih Dipa semasa masih kanak2 selalu
gemar bermenung, merenungkan setiap peristiwa yang
dialaminya ataupun terjadi pada lain orang. Selalu
renungannya itu bersumber pada pertanyaan. Pertanyaan
yang dicobanya untuk memberi jawaban sendiri, ataupun dari
lain orang. Tidaklah selalu jawaban yang dirangkainya sendiri
ataupun dari orang lain itu selalu benar dan memuaskan
hatinya, namun ia gemar untuk melatih- diri dalam merangkai
jawaban yang didasarkan pada hal2 yang diketahui dan
kesan2. Ia merasa dengan melatih cara2 demikian,
kecerdasan pikirannyapun makin berkembang.
Itulah sebabnya mengapa Banyak Ladrang merasa selalu
ada saja titik kesalahan dalam pemikirannya yang dapat
ditunjukkan oleh patih Dipa.
Tak berapa lama tampak obor2 mulai merekah dalam
kegelapan malam. Patih Dipa segera memberi isyarat kepada
anakbuahnya untuk bersembunyi. Setelah mereka jauh
barulah rombongan patih Dipa itu bergegas menuju ke pura.
"Paman" tiba2 Banyak Ladrang berkata pula. Agaknya ia
tak puas karena beberapa kali menerima penambahan dari
patih Dipa "tidakkah sebaiknya kita gunakan siasat untuk
menangkap tumenggung Werda itu?"
"Ya, cobalah engkau katakan buah pikiranmu" jawab patih
Dipa. "Aku tetap akan menyamar sebagai Arya Lacana, putera
patih Kebo Warung" kata Banyak Ladrang "dengan berhias
luka aku akan menghadap tumenggung itu. Pada kesempatan
yang tak terduga-duga, segera kita ringkus tumenggung itu"
"Siasat yang bagus" seru patih Dipa "tetapi masih
mengandung titik kelemahan yang berbahaya"
"Apa?" Banyak Ladrang terkejut.
"Apakah engkau yakin bahwa tumenggung itu takkan
mengenal putera patih?" kata patih Dipa "karena tumenggung
itu tentu berada dalam ruang yang diterangi lampu. Beda
dengan prajurit2 penjaga gua Gajah. Mereka mungkin belum
pernah atau jarang bertemu dengan putera patih. Tetapi
kemungkinan tumenggung Werda tentu faham. Tidakkah
engkau kuatir penyamaranmu akan diketahui tumenggung
itu?" Banyak Ladrang terkesiap. Apa yang dikatakan patih itu
memang hal yang bukan mustahil akan terjadi. Apabila
tumenggung itu tahu, tentu berbahaya sekali bagi patih Dipa
dan rombongannya. "Lalu bagaimana menurut petunjuk
paman?"" "Aku setuju engkau tetap menyamar sebagai putera patih
Kebo Warung" kata patih Dipa, "tetapi engkau harus pura2
terluka parah sehingga digotong oleh beberapa prajurit.
Lumurilah mukamu dengan darah dan pada saat berhadapan
dengan tumenggung itu engkau harus segera menangis dan
berteriak minta pertolongan tumenggung itu agar cepat
mengirim pasukan untuk menyelamatkan eyangmu atau ibu
dari patih Kebo Warung yang masih tertinggal di kepatihan.
Jika mendengar berita itu, tumenggung Werda tentu gugup
dan cepat2 mengirim pasukan. Engkau harus terus menerus
mengerang dan merintih-rintih kesakitan. Aku dan beberapa
prajurit yang menggotong engkau menghadap tumenggung.
Nanti aku akan meminta supaya engkau dibawa masuk
kedalam ruang. Nah, apabila engkau berada seorang diri
dengan tumenggung yang tentu akan menjenguk keadaanmu,
segeralah engkau bertindak meringkusnya"
Walaupun agak kecewa tetapi Banyak Ladrang berhati
jujur. Ia dengan setulus hati mengakui keunggulan buah
pikiran patih Dipa dan menerimanya dengan hati terbuka.
"Baiklah, paman" katanya, terus mencabut pedang hendak
menggurat kulit mukanya. "Tak perlu" cegah patih Dipa seraya menyerahkan sebuah
bungkusan daun "pakailah ini untuk melumuri muka dan
pakaianmu" Ketika Banyak Ladrang membukanya, ia terkejut. Ternyata
buntalan daun itu berisi sebuah daun telinga manusia yang
masih mengalirkan darah. "Kuambil daun telinga itu dari tanah
di tikung jalan. Tentulah milik seorang prajurit bedulu yang
terpapas oleh pedang anakbuah kita" patih Dipa menambah
keterangan. Banyak Ladrang geleng2 kepala karena rasa kagumnya
terhadap patih itu. Setelah melumurkan darah dari daun
telinga itu ke pakaian dan muka maka iapun menghela napas,
"Ah, berat juga?"
"Mengapa?" tanya patih Dipa.
"Karena aku diharuskan menangis. Tampaknya mudah
tetapi sesungguhnya aku merasa sukar untuk menangis
apalagi tangis yang harus mengucurkan air mata" kata Banyak
Ladrang. Patih Dipa tertegun. Memang benar. Menangis dengan
mengucurkan airmata memang sukar dilakukan
"Cobalah engkau kenangkan kedua orang tuamu yang
sudah tiada itu" "Sukar, paman" bantah Banyak Ladrang "karena saat itu
aku masih kecil, tak ingat lagi"
Setelah menimang sejenak bertanyalah patih Dipa
"Apakah engkau benar2 tak dapat pura2 menangis dan
menjerit-jerit kesakitan?"
?"Dapat" kata Banyak Ladrang "tetapi kukuatir akan
ditertawai orang karena tangisku itu tak menyerupai orang
menangis" "Jika begitu, baiklah" akhirnya Dipa berkata, "agar begitu
tiba dihadapan tumenggung Werda engkau mengaduh
kesakitan dan menangis, pahamu akan kuterkam keras2.
Jangan terkejut, cukup apabila engkau menjerit kesakitan dan
menangis." Keduanya tertawa, demikian pula Banyak Kawekas dan
prajurit-prajurit pengiringnya. Persepakatan itu benar-benar
menyerupai perjanjian antara anak-anak kecil. Tetapi dalam
keadaan perang, segala apa mungkin terjadi. Dalam
kemungkinan yang tak mungkin itu, seorang patih kerajaan
pun mungkin akan berubah seperti anak2 bermain-main.
Setelah mulai masuk pura, patih Dipa membagi tugas.
Banyak Kawekas diperintahkan yang memberi laporan kepada
tumenggung Werda. Patih itu sendiri bersama tiga orang
prajurit menggotong Banyak Ladrang yang nanti diperintah
supaya mengerang-erang kesakitan. Maka mulailah mereka
bekerja. Banyak Ladrang yang menyamar sebagai putera
patih Kebo Warung segera digotong oleh patih Dipa berempat.
Sedang Banyak Kawekas berjalan di muka, di belakangnya
diiring oleh anakbuah yang lain.
Tumenggung Werda berada di paseban pendapa muka.
Keraton dijaga ketat oleh prajurit2 bersenjata tombak yang
berjajar-jajar pada jarak setiap tombak. Alun-alun yang
terbentang di muka keraton penuh dengan kelompok2 barisan
prajurit. Demikian pula di pintu gapura, penjagaan dilakukan
ketat sekali. Kedatangan rombongan Banyak Kawekas yang menggotong seorang sakit itu cepat disambut dengan
bentakan oleh penjaga gapura. Tetapi Banyak Kawekas
menggunakan siasat balas menggertak, "Apa engkau tak tahu
bahwa raden Lacana putera gusti patih Kebo Warung terluka
parah!" Prajurit penjaga gapura itu terkejut, "Lalu hendak engkau
bawa kemana?" "Menghadap tumenggung" seru Banyak Kawekas seraya
melanjutkan langkah masuk ke dalam pura.
Prajurit2 penjaga itu tak sempat bertanya apa2 lagi.
Mereka memang melihat sesosok tubuh tengah digotong oleh
empat prajurit Bedulu dan merintih-rintih tak henti-hentinya.
Juga para penjaga itu pun jelas melihat bahwa pakaian dan
tubuh orang yang digotong dan dikatakan sebagai putera patih
Kebo Warung itu, berlumuran darah.
Juga sambutan yang sama segera dialami rombongan
Banyak Kawekas ketika tiba di paseban.
"Jangan banyak tanya" bentak Banyak Kawekas "raden
Lacana putera gusti patih terluka parah, mana gusti
tumenggung" Saat itu Banyak Ladrang pun mulai mengerang dan
merintih. "Jangan pedulikan mereka ..... eh ..... lekas bawa ke
..... pada ..... paman tumenggung," serunya dengan nada
marah. Tanpa mempedulikan penjaga2, Banyak Kawekas dan
rombongannya segera masuk ke dalam paseban. Di paseban
terdapat sebuah ruang, dari ruang itu muncul seorang lelaki
setengah tua, berpakaian indah, "Mengapa itu?" serunya
terkejut. "Ampun, gusti" seru Banyak Kawekas seraya menghatur
sembah "raden Arya Lacana telah dipukuli orang2 Majapahit
yang menduduki gedung kepatihan. Dengan susah payah
kami dapat membawanya lari. Mohon pertolongan, gusti
tumenggung. Di gedung kepatihan masih terdapat ibunda gusti
patih yang sudah berusia lanjut. Hamba kuatir gusti puteri itu
akan dianiaya juga oleh orang2 Majapahit ..."
"Bawa masuk" teriak tumenggung Werda dengan marah.
Kemudian ia melangkah keluar dan memanggil seorang lurah
prajurit. "Lurah Tutuka, lekas bawa pasukan besar untuk
menggempur orang2 Majapahit yang berada di kepatihan.
Bunuh mereka semua!"
Tutuka bertubuh tinggi besar, masih muda. Ia bersangsi
mendengar perintah tumenggung "Tetapi gusti...."
"Lekas, jangan banyak cakap!" bentak tumenggung
Werda, "ibu dari gusti patih Kebo Warung berada di kepatihan.
Lekas engkau selamatkan jiwanya"
Tutuka terpaksa melakukan perintah. Dalam sekejab
waktu, ia sudah membawa duaratus prajurit menuju ke
kepatihan. Kemudian tumenggung Werda pun segera masuk untuk
menjenguk keadaan putera patih tadi.
Sebagai seorang patih Banyak Ladrang pun dibawa ke
dalam sebuah ruang yang tersendiri di mana sering digunakan
untuk tempat para perwira dan senopati berunding untuk
memutuskan soal penting dalam keprajuritan. Memang di
dalam keraton, tepatnya di halaman sebelum memasuki
balairung, terdapat sebuah balai perwira, semacam balai
witana di keraton Majapahit.
Dua orang prajurit penjaga, tegak memberi hormat sesaat
tumenggung Werda memasuki badai itu. Tumenggung itu
langsung menuju ketempat putera patih dirawat. Sejak dari
ambang pintu sampai ke ruang tempat Arya Lacana,
tumenggung itu mendengar erang kesakitan dari putera patih
itu. Dia hendak memeriksa bagaimana keadaan luka putera
patih itu, apabila mungkin, ia akan bertanya keterangan yang
lebih jelas tentang serangan orang Majapahit di kepatihan.
Setelah itu baru ia akan mengambil keputusan.
Walaupun tugasnya untuk menjaga keselamatan pura
keraton baginda, tetapi karena gedung kepatihan itu terletak
dalam lingkungan pura dan keluarga patih Kebo Warung
berdiam disitu, sudah tentu tumenggung Werda mempunyai
beban pula untuk menjaga keselamatan keluarga patih Kebo
Warung. Demikian maka ia bergegas mengirim bala bantuan
sampai dua kali ketika mendengar kepatihan diserang orang
Majapahit. Pemandangan pertama, menimbulkan ketegangan hati
tumenggung itu ketika memasuki ruang bilik. Dalam
keremangan cahaya lampu yang tanpa diperhatikannya
ternyata tidak seterang biasanya, tumenggung itu melihat
putera patih Kebo Warung masih rebah di pangkuan empat
orang prajurit dan mengerang-erang tak henti-hentinya.
Sebagai seorang tumenggung, ia jarang turun bergaul ke
bawah dengan prajurit2 sebawahannya. Dan dalam suasana
damai, jarang tumenggung itu ditugaskan untuk memimpin
pasukan. Bahwa melihat pakaian mereka sama dengan
prajurit Bedulu maka tumenggung itupun menyangka bahwa
prajurit2 pengiring putera patih itu tentulah prajurit kepatihan.
"Bagaimana, Arya?" tegur tumenggung Werda seraya
menghampiri Arya Lacana. "Aduh, sakit sekali, paman" seru Banyak Ladrang "prajurit2


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Majapahit menghajar aku dengan buas. Hampir aku mati
apabila tak sempat di larikan oleh prajurit2 kepatihan ini."
Sejenak tumenggung memeriksa dahi dan dada Banyak
Ladrang, kemudian ia berkata, "Beristirahatlah di sini malam
ini, esuk tentu sudah sembuh?"
"Tetapi paman, bagaimana dengan eyang puteri yang
masih tertinggal di kepatihan?" seru Banyak Ladrang dengan
cemas dan beriba-iba. "Siapakah yang memimpin orang Majapahit di kepatihan
itu?" tanya tumenggung Werda.
"Patih Majapahit sendiri" sahut Banyak Ladrang.
Tumenggung Werda seperti dipagut ular, "Apa " Patih
Majapahit itu" Bukankah dia masih ditawan di gua Gajah?"
"Orang2 Majapahit telah menyerbu gua Gajah dan.
membebaskan patih mereka lalu menyerang gedung
Kepatihan untuk mencari rama patih. Dia hendak mencari
balas kepada rama patih yang telah menangkapnya"
"Benarkah itu, Arya?" teriak tumenggung Werda terkejut
sekali. "Benar, paman" sahut Banyak Ladrang dengan tandas
"maka dia tak mau membunuh aku hanya suruh orangorangnya menghajar aku sampai setengah mati kemudian
melepaskan aku supaya memberi tahu kepada rama.
Dimanakah rama sekarang, paman?"
"Gusti patih sedang menyerang ke Gianyar" jawab
tumenggung Werda "akulah yang bertanggung jawab atas
keselamatan pura Bedulu. Jika patih Majapahit yang
menyerang, aku sendiri harus kesana untuk menangkapnya"
ia terus berbangkit dan hendak melangkah keluar. Tetapi
seorang prajurit tiba2 menghadang di ambang pintu seraya
acungkan pedang. "Harap berhenti, ki tumenggung" seru
prajurit itu. Mungkin kejut tumenggung kali ini lebih keras dari pada
ketika ia menerima kedatangan putera patih yang terluka dan
jauh lebih besar daripada mendengar keterangan bahwa patih
Majapahit telah bebas dan menyerang kepatihan. "Siapa
engkau ia menyurut mundur kemudian berpaling ke belakang
untuk bertanya kepada putera patih yang terluka itu. Tetapi
kembali ia menderita kejut yang lebih besar dari pada
mendengar bunyi petir meletus saat itu. Putera patih dan
keempat prajurit yang memangkunya tadi, serempak sudah
berdiri tegak berjajar-jajar dibelakang, "Hai, engkau ..."
"Harap paman tumenggung tetap tinggal di sini" seru
putera patih atau Banyak Ladrang.
"Engkau .... bukankah putera gusti patih Kebo Warung?"
seru tumenggung Werda. "Serupa tetapi tak sama" sahut Banyak Ladrang "saat ini
paman tumenggung sudah berada dalam tangan kami, orang2
Majapahit. Kami takkan membunuh atau melukai paman,
bahkan kami ingin bersahabat dengan paman."
"Keparat, engkau ..." tumenggung itu terus hendak
menerjang, tetapi secepat itu, dua orang prajurit segera
songsongkan ujung tombak kearah perutnya. Tumenggung itu
menyabat dengan pedang, tetapi secepat itu pula dua mata
ujung tombak segera melekat ke pinggang belakang. "Ki
tumenggung, jika tuan bergerak, ujung tombak kami tentu
akan terbenam kedalam perut tuan"
"Keparat!" tumenggung itu marah sekali tetapi tak berani
bergerak, "kalian orang2-Majapahit pengecut semua !"
"Minggir!'" tiba2 patih Dipa berseru dan Banyak Kawekas
serta seorang prajurit yang mengacungkan tombak tadi
serentak menyurut mundur.
"Ki tumenggung" seru patih Majapahit itu pula, "tanpa
tedeng aling2, akulah patih Majapahit yang telah ditawan oleh
patih Kebo Warung di gua Gajah?"
Tumenggung Werda terbeliak. Ditatapnya patih
dengan tajam. Karena ia tak ikut hadir pada waktu
Majapahit itu diterima baginda, maka iapun tertikam rasa
melihat patih Majapahit itu ternyata masih muda.
maksudmu, ki patih" serunya.
Dipa patih kejut "Apa "Hendak menebus hinaan yang engkau lontarkan kepada
orang Majapahit tadi" sahut patih Dipa "kami akan
membuktikan bahwa orang Majapahit bukanlah bangsa
pengecut seperti yang engkau duga."
Tumenggung Werda makin terbelalak tak mengerti apa
yang dikehendaki patih itu.
"Ki tumenggung" seru patih Dipa pula "saat ini engkau
berada dibawah kekuasaan kami ..."
"Engkau menggunakan siasat curang!" seru tumenggung
Werda. "Engkau salah, ki tumenggung" seru patih Dipa, "pertama,
dalam permusuhan atau peperangan, segala macam siasat
dihalalkan. Bukan salah kami berhasil menjalankan siasat ini
melainkan salahmu mengapa engkau kurang hati2 melakukan
tugas. Ketahuilah, bahwa sudah dua kali engkau mengirim
pasukan ke gua Gajah dan dua kali pula mengirim bala
bantuan ke kepatihan. Pada hal yang menghadap engkau itu
adalah orang kami" "Hm" tumenggung Werda mendesus geram karena malu.
"Kedua kali" sambung patih Dipa "kami hanya mengikuti
saja apa yang telah ditindakkan oleh raja Bedulu dan patih
Kebo Warung. Jika engkau menuduh bahwa menggunakan
siasat untuk menyergap seorang tumenggung engkau katakan
curang, tidakkah raja Bedulu dan patih Kebo Warung yang
menangkap seorang utusan dari Majapahit itu tidak lebih
curang lagi" Raja Bedulu berhak untuk menolak surat dari raja
Majapahit tetapi tidak berhak untuk menangkap seorang
utusan yang hanya menjalankan tugas."
"Baginda Bedulu berhak untuk memutuskan segala titah
didalam kerajaan sendiri" masih tumenggung itu membantah.
"Jika demikian, akupun berhak untuk melakukan siasat
apa saja untuk mempertahankan keselamatan jiwaku,
termasuk menangkap engkau."
Merah muka tumenggung Werda, "Memang. Dan karena
aku sudah jatuh dalam tanganmu, silahkan bunuh kalau
hendak membunuh" "Jika mau membunuh, tak perlu aku berbicara panjang
lebar, ki tumenggung" kata patih Dipa.
"Lalu apa maksudmu ?"
"Telah kukatakan tadi, aku hendak menghapus hinaan
yang engkau lontarkan kepada kami" sahut patih Dipa "agar
engkau mengetahui bahwa orang Majapahit itu bukanlah
manusia pengecut. Sekarang silahkan engkau memilih salah
seorang dari rombongan kami yang akan melayani engkau
untuk mengadu kedigdayaan"
"Hm" dengus tumenggung Werda.
"Jika engkau dapat mengalahkannya, maka engkau akan
kami bebaskan" Mata tumenggung berolok, ki patih" Werda merentang lebar "Jangan "Aku seorang Majapahit, akupun seorang patih pula. Apa
yang kukatakan, adalah kehormatanku"
Dalam keadaan seperti saat itu, sebenarnya tumenggung
Werda sudah putus asa. Ia tak menduga bahwa patih
Majapahit itu berani menawarkan syarat yang sedemikian.
Pikirnya, ia harus dapat mengalahkan lawan yang akan
dipilihnya. Paling tidak, dapat mengulur waktu agar prajurit2
anakbuahnya datang. Setelah mengeliarkan pandang sejenak,
ia segera berkata, "Jika ki patih memang benar2 memegang
kukuh akan sifat2 ksatrya, aku ingin orang itu yang menjadi
lawanku" katanya seraya menunjuk pada Banyak Ladrang.
"O, ini ?" patih Dipa mengulang.
"Ya, karena dia yang telah menjerumuskan aku dalam
kekeliruan menyangkanya sebagai putera patih Kebo Warung.
Aku rela mati bersamanya."
"Anak muda" seru patih Dipa kepada Banyak Ladrang
"rupanya ki tumenggung marah kepadamu. Hati-hatilah
engkau melayaninya."
Banyak Ladrang segera tampil kemuka, berhadapau
dengan tumenggung Werda "Ki tumenggung, maafkan, jika ki
tumenggung rela mati, aku tak kuasa menghalangi. Tetapi aku
berkuasa penuh atas diriku dan melarang diriku mati bersama
ki tumenggung." Patih Dipa gembira mendengar balas kata Banyak
Ladrang teahadap lawan. Sebenarnya, sesuai dengan
rencana yang telah diatur sebelumnya, Banyak Ladrang harus
segera meringkus tumenggung itu. Tetapi tiba2 terlintas suatu
rasa malu dalam hati patih Dipa, bahwa ia telah berbuat
curang kepada seorang tumenggung walau dia seorang
rnusuh pun juga. Maka tadi ia mencegah Banyak Ladrang
jangan menindak tumenggung itu. Demikian setelah
mendengar hinaan tumenggung Werda, serentak bangkitlah
pambek ksatryaannya. Ia akan mengalahkan tumenggung itu
dengan cara ksatrya. Dan ia makin gembira ketika
tumenggung Werda memilih Banyak Ladrang sebagai lawan.
Dalam hati, agak malu juga patih Dipa apabila harus
berhadapan dengan seorang tumenggung.
Tumenggung Werda terus mencabut pedang dan bersiap.
Tetapi patih Dipa segera mencegah, "Ki tumenggung, pedang
tak bermata. Salah gerak, akan membahayakan jiwa. Kurasa
lebih baik dengan adu kerasnya tulang saja. Pokok, asal
tumenggung dapat merobohkannya, ki tumenggung bebas."
Tumenggung Werda setuju. Dalam hati iapun menimang.
Bertempur dengan pedang, memang berbahaya. Ia tak tahu
bagaimana kepandaian anakmuda lawannya. Tetapi apabila
dengan tangan kosong, ia mempunyai dua harapan. Andai
kalah, ia tetap selamat. Dan memang ia harus hidup untuk
mempertahankan keraton Bedulu. Harapan kedua, tentulah
dalam waktu pertempuran itu, prajurit2 anakbuahnya akan
datang dan mengetahui peristiwa dalam ruang itu.
"Baik" sahutnya setelah menentukan rencana, "kita mulai
saja" Walaupun sudah setengah tua tetapi tumenggung itu
memiliki gerak dan tenaga yang hebat. Terjangan yang
dilakukan dalam pembukaan, menyebabkan dada Banyak
Ladrang hampir remuk. Tetapi anakmuda itu amat gesit. Ia
dapat menghindar ke samping lalu balas menerpa lambung.
Tumenggung Werda masih dapat menyurut mundur.
Dalam serangan permulaan itu, keduanya memiliki
pengetahuan bahwa lawannya memang tak dapat dipandang
ringan. Maka serangan selanjutnya dilakukan dengan lebih
berhati-hati. Patih Dipa mengikuti pertempuran itu dengan penuh
perhatian. Ia mendapatkan bahwa Banyak Ladrang memiliki
ilmu kanuragan yang cukup baik serta gerakan yang cukup
gesit. Tetapi iapun melihat kelemahan pemuda itu dalam soal
pengalaman bertempur. Banyak peluang yang dilewatkan
begitu saja oleh Banyak Ladrang. Sedangkan tumenggung
Werda lebih mantap dengan gerak serangannya, memiliki
pukulan yang keras. Sayang dalam pernapasan, karena
usianya, agak kurang panjang. Tampak tumenggung itu sudah
bersimbah peluh dahi dan mukanya.
Tengah pertempuran berlangsung seru, tiba-tiba telinga
patih Dipa yang tajam, samar-samar menangkap suara hiruk
pikuk di kejauhan. Ia terkejut. Mungkinkah pasukan yang
dititahkan oleh tumenggung Werda ke gua Gajah atau ke
kepatihan itu sudah kembali " Jika demikian, berbahaya.
Pertempuran harus lekas selesai sebelum mereka tiba
ditempat itu. Tetapi bagaimana gerangan cara untuk
membisiki Banyak Ladrang" Dapatkah pemuda itu memenuhi
perintahnya untuk merobohkan tumenggung Werda secepat
mungkin" Patih Dipa tertegun. Suara hiruk pikuk itu makin jelas dan
bahkan samar2 terdengar derap langkah orang tengah
berjalan menuju ke tempat itu. Patih Dipa makin gelisah.
"Paman patih" tiba2 Banyak Kawekas berseru, "suara
apakah yang hiruk diluar itu?"
Kesempatan itu segera dimanfaatkan patih Dipa dengan
memberi penyahutan yang agak keras, "Sudah tentu pasukan
ki tumenggung yang dikirim ke gua Gajah atau ke kepatihan
tadi" Banyak Kawekas terkejut sekali. "Paman patih, jika
demikian mereka tentu akan datang kemari mencari ki
tumenggung ?" "Sudah tentu" sahut patih Dipa tenang "bukankah langkah
kaki mereka sudah mulai terdengar " Mengapa Kawekas "
Takutkah engkau ?" Percakapan antara patih Dipa dan Banyak Kawekas itu
terdengar juga oleh Banyak Ladrang dan tumenggung Werda.
Banyak Ladrang terkejut, tumenggung Werda gembira, "Aku
harus cepat menyelesaikan tumenggung ini" akhirnya Banyak
Ladrang menimang sebuah keputusan.
Tiba2 tumenggung Werda melihat suatu kesempatan yang
bagus. Dilihatnya pertahanan dada Banyak Ladrang terbuka
karena kedua tangannya tengah direntang. Segera
tumenggung itu mengisar langkah maju dan memasuki
peluang itu dengan menghunjamkan tinjunya ke dada. Tetapi
tiba2 Banyak Ladrang mengisar tubuh ke-samping dan
mengatupkan tangan kiri sehingga tinju itu terjepit dalam
ketiak dan secepat kilat ia mencengkeram siku lengan lawan
lalu disanggah keatas "Auh ...." tumenggung itu menjerit
kesakitan karena tulang lengannya seraya patah. Sakitnya
bukan kepalang. Tiba-tiba terdengar langkah orang berlari-lari mendatangi
dan terdengarlah suara orang berteriak "Ki tumenggung ....... !"
tepat pada saat itu muncullah lurah Tutuka diambang pintu.
Dia memang sudah curiga sejak menerima perintah dari
tumenggung Werda untuk membawa pasukan ke kepatihan.
Mengapa berturut-turut datang prajurit penjaga di di gua Gajah
dan di kepatihan. Namun ia tak berani membantah perintah
tumenggung ini. Di tengah jalan ia bertemu dengan pasukan
bala bantuan yang dikirim pertama kali ke kepatihan tadi.
Mereka mengatakan bahwa gedung kepatihan tak pernah
diserang orang Majapahit.
Tutuka terkejut. Apa yang diduga ternyata benar.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bergegas ia segera mengajak anak pasukannya kembali ke
pura dan langsung menghadap tumenggung. Apa yang
disaksikan saat itu, lebih mengejutkan daripada ketika bertemu
dengan rombongan pasukan yang memberi keterangan
tentang keadaan kepatihan tadi. "Engkau ..."
Ternyata saat itu tumenggung sudah dikuasi Banyak Ladrang. Kedua tangan tumenggung Werda diteliku ke belakang punggung, sedang tangan kanan Banyak Ladrang melekatkan pedang ke tengkuk tawanannya. "Selangkah engkau berani
maju, tumenggung ini tentu
kubunuh!"serunya dengan nada bengis. "Serang ..... auh ...."
tumenggung setengah tua itu nekad hendak menitahkan Tutuka menyerang, tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena kedua tangannya terasa menjulang keatas sehingga
untuk menahan rasa sakit, tubuhnya ikut berjingkat keatas.
"Lepaskan!" teriak Tutuka seraya menyerbu tetapi secepat
itu pula ia sudah disambut dengan ujung lombak oleh Banyak
Kawekas. Terpaksa lurah prajurit itu menyurut mundur. Tetapi
lurah yang bertubuh tinggi besar itu tak mau menyerah begitu
saja. Sambil melangkah mundur, ia merencanakan siasat.
"Bagus, gusti menggung ?"" tiba2 Tutuka berteriak
seraya memandang kearah tumenggung Werda, Mendengar
itu tanpa sadar, Banyak Kawekas berpaling. Lurah prajurit
Bedulu bersorak memuji, tentulah terjadi sesuatu pada Banyak
Ladrang. Tring ..... hanya sekejab mata, Banyak Kawekas berpaling
tetapi cukup besar kejut yang dialaminya. Tutuka telah
memanfaatkan peluang itu dengan menyabatkan pedang ke
batang tombak dan selekas tombak terpental, cepat ia loncat
menusuk dada lawan. Tombak tersiak ke samping dan
dadanya terancam ujung pedang. Dalam gugup ia rebahkan
tubuh jatuh ke belakang. Tusukan Tutuka luput tetapi dengan gesit lurah prajurit
Bedulu itu segera menginjak kaki Banyak Kawekas dan lalu
ayunkan pedang untuk membacok kepala.
Peristiwa itu terjadi teramat cepat sekali sehingga tiada
seorangpun yang sempat untuk menolong. Tetapi pada saat
pedang akan melayang turun, sekonyong-konyong berhenti
ditengah jalan karena bahu lurah prajurit itu dicengkeram
sebuah tangan yang amat kuat dan disentakkan ke belakang.
Tubuh lurah prajurit Tutuka terlempar, membentur dinding
tembok dan rubuh terkulai.
"Terima kasih paman patih" tersipu-sipu Banyak Kawekas
menghampiri ke hadapan patih Dipa yang telah
menyelamatkan jiwanya dari pedang Tutuka.
"Satu pengalaman" sahut patih Dipa "bahwa diwaktu
bertempur, perhatian kita tak boleh terpikat oleh sesuatu
tindakan lawan" Banyak Kawekas menghaturkan terima kasih pula dan
berjanji akan mengingat pesan itu. Kemudian patih Dipa
segera memerintahkan Banyak Ladrang supaya mengikat
tangan tumenggung Werda lalu membawanya ke luar. "Ki
tumenggung" katanya kepada tumenggung Bedulu itu "maaf,
secara peribadi aku dan tumenggung tiada mempunyai
dendam permusuhan suatu apa. Tetapi oleh tugas dan
kewajiban masing2 kita berada difihak yang saling
bertentangan. Kerajaan Majapahit membawa maksud baik
untuk mengajak kerajaan Bedulu masuk kedalam lingkungan
keluarga persatuan nuswantara tetapi baginda Bedulu bukan
saja menolak pun telah menghina Majapahit dengan
menangkap patih yang diutusnya. Terpaksa kami akan
memberi pengertian kepada raja Bedulu dengan suatu tindak
yang nyata bahwa Majapahit itu bukan kerajaan yang lemah."
Berhenti sejenak patih Dipa melanjut pula, "Kami hanya
menentang raja dan patih kerajaan Bedulu. Dengan lain2
mentri dan senopati, prajurit dan rakyat Bedulu kami tak
bermusuhan, kecuali mereka memang memusuhi kami. Oleh
karena itu, kami minta kepada ki tumenggung agar
memerintahkan kepada seluruh anak pasukan tuan supaya
jangan bergerak mengganggu kami."
Belum tumenggung Werda memberi suatu pernyataan,
patih Dipa pun segera memberi perintah agar Banyak Ladrang
dan anakbuah yang lain membawa tumenggung itu keluar ke
paseban muka. "Aku tak menginginkan peristiwa seperti lurah
prajurit yang malang itu akan menimpa pada diri ki
tumenggung" ia berkata pula kepada tumenggung Werda.
Banyak Ladrang segera melakukan perintah, diiring oleh
sepuluh prajurit. Patih Dipa menahan Banyak Kawekas
supaya tinggal, tak perlu ikut keluar.
"Kawekas, ikut aku" kata Dipa setelah rombongan Banyak
Ladrang keluar. "Kemana paman patih?"
"Menangkap raja Pasung Rigih didalam keraton" kata patih
Dipa seraya ayunkan langkah.
"Tetapi ...." "Jangan menguatirkan Banyak Ladrang. Dia cukup cerdas
untuk melaksanakan tugas yang kuberikan" kata patih Dipa.
0o-dwkz-mch-ismo-o0 II RAJA Pasung Rigih tersentak dari mimpinya ketika
mendengar jerit tangis para dayang perwara. Raja bergegas
ke luar ke balairung. Dilihatnya kedua pengawalnya sedang
bertempur dengan dua orang lelaki muda. Yang seorang
bertubuh kekar dan seorang bertubuh ramping.
I Ktut Patra dan I Made Prana adalah pengawal
pendamping baginda. Bertubuh tinggi besar dan digdaya.
Kesaktian kedua pengawal pendamping itu telah teruji sebagai
yang terkuat diantara ratusan bhayangkara keraton. Tetapi
saat itu baginda menyaksikan betapa I Ktut Patra yang
bertempur melawan lelaki bertubuh kekar itu, terdesak dan
pontang panting. Sedangkan I Made Prana yang melawan
lelaki kurus dapat menguasai lawannya.
Baginda murka sekali. Serentak ia lari ke dalam untuk
Algojo Algojo Bukit Larangan 3 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gagak Cemani 1
^