Pencarian

Gajah Kencana 19

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 19


itu. "Ki sanak, engkau harus berkata dengan jujur. Aku dapat
memberimu ampun" Tahu bahwa berhadapan dengan seorang patih kerajaan
yang berpengaruh besar, prajurit Majapahit itu-pun mau juga
menghormat. "Apakah yang harus hamba katakan?"
"Siapakah engkau?" tanya patih Kebo Warung.
"Hamba seorang prajurit Majapahit yang mengiringkan
gusti patih ke pura Bedulu"
"O, mengapa engkau tidak ikut masuk ke dalam keraton?"
"Hamba hanya dititahkan untuk menunggu di luar pura"
"Tentu banyak juga kawanmu, bukan?"
"Hanya dua orang" kata prajurit Majapahit itu. Kali ini
terpaksa ia harus berbohong demi menjaga keselamatan
rombongannya. "Mengapa engkau menyelundup masuk ke dalam pura?"
tanya patih Kebo Warung pula.
"Hamba dititahkan gusti patih, apabila sampai lama tak
keluar, supaya hamba menyelundup ke dalam pura untuk
mencari berita" Seketika berkilatlah sinar mata patih Kebo Warung namun
secepat itu pula redup kembali. Ujarnya, "Titah gustimu itu
memang benar. Dan engkaupun telah melakukan
kewajibanmu. Aku suka kepada prajurit yang taat melakukan
tugasnya. Tetapi ketahuilah, prajurit, bahwa gustimu saat ini
dititahkan baginda Bedulu beristirahat dalam keraton. Baginda
berkenan hendak mengadakan perjamuan untuk menghibur
utusan baginda Majapahit"
Prajurit itu mengernyit dahi. Rupanya ada sesuatu yang
harus dipikirkan. Antara keterangan patih Kebo Warung
dengan kesibukan2 yang dilihatnya di alun2 siang tadi, dimana
ia melihat prajurit2 hilir mudik berbaris. Ia tak sempat
memperhatikan apa maksud prajurit-prajurit itu karena saat itu
ia dikejar oleh prajurit penjaga gapura dan terus ditangkap.
"Apakah engkau hendak ikut dalam rombongan gustimu di
keraton?" rupanya Kebo Warung tahu akan keraguan prajurit
itu. "Ah, terima kasih" kata prajurit itu "hamba diperintahkan
menunggu di luar pura saja"
Kebo Warung memang pandai menyelami hati carang.
Sepintas memang tawarannya kepada prajurit Majapahit itu
suatu sikap yang terbuka, menunjukkan kesungguhan hati
untuk menguatkan keterangannya bahwa rombongan patih
Dipa berada di keraton. Disamping menunjukkan sikap yang
ramah, penuh persahabatan kepada orang Majapahit. Tetapi
patih Bedulu sudah memperhitungkan bahwa prajurit
Majapahit itu tentu tak mau. Pertama, karena menaruh
kepercayaan kepada keterangan patih Kebo Warung dan
kedua kalinya karena tak mendapat perintah dari atasannya.
Kebo Warung percaya akan hal itu dan memang benarlah
perhitungannya. Prajurit itu menolak.
Setelah berhasil menawan kepercayaan prajurit itu, Kebo
Warung maju selangkah pula. Ia hendak mengambil hati
orang. "Prajurit, engkau tentu tak mendendam atas perlakuan
dari prajurit Bedulu kepadamu. Karena sebagaimana engkau,
mereka pun melakukan tugasnya"
"Ah, sama sekali tidak" sahut prajurit Majapahit yang mulai
tertarik akan kata2 patih Kebo Warung "hamba takkan
mendendam" "Adakah engkau masih hendak masuk ke dalam pura
untuk menyelidiki keadaan gustimu?" tanya Kebo Warung
pula. "Tidak gusti patih," sahut prajurit.
"Jika demikian, silahkan engkau kembali ke luar pura" kata
Kebo Warung, turun dari kursi, langsung menghampiri prajurit
Majapahit itu dan membukakan tali ikatannya.
Kedua prajurit Bedulu terbelalak. Hampir mereka tak
percaya akan pendengarannya. Lebih tidak percaya lagi
mereka akan pandang matanya ketika menyaksikan patih
Kebo Warung membuka tali ikatan mata-mata Majapahit itu.
Prajurit Majapahit itu sendiripun tak kurang kejutnya.
"Adakah gusti membebaskan hamba?" serunya agak gemetar.
Kebo Warung tertawa, "Mengapa aku harus menangkap
seorang prajurit dari rombongan perutusan Majapahit yang
saat ini sedang dijamu baginda di keraton" Silahkan engkau
kembali ke tempatmu dan janganlah engkau coba untuk
menyelundup lagi karena dikuatirkan prajurit2 Bedulu akan
mengambil tindikan. yang membahayakan jiwamu karena
salah faham" Prajurit itu menghaturkan terima kasih lalu bergegas
mohon diri. Kebo Warung mengantarkan dengan senyum
tetapi, setelah prajurit itu keluar, senyum yang merekah pada
bibirnya itu cepat berganti dengan meregang dahi dan
menggapai kedua prajurit itu. "Lekas siapkan beberapa
kawanmu dan ikutilah prajurit Majapahit itu. Tetapi jangan dia
sampai tahu maka janganlah kamu mengenakan pakaian
keprajuritan. Pakailah pakaian orang biasa tetapi bawalah
senjatamu masing2. Apabila dia sudah berkumpul dengan
kawan-kawannya, segera kamu sergap"
Kedua prajurit itu baru sadar akan tujuan patih Kebo
Warung melepas mata2 itu. "Baik, gusti" seru mereka. Tetapi
sesaat mereka hendak mengundurkan diri, Kebo Warung
berseru pula, "Jangan kurang dari duapuluh kawan2 yang
harus engkau ajak" Kedua prajurit Bedulu itu terhenti. "Tetapi mereka hanya
dua orang, gusti" "Engkau percaya akan keterangan seorang mata2
musuh?" Kebo Warung mengulang, "hm, mereka tentu
berjumlah besar. Patih Majapahit itu memang cerdik sekali.
Sebelumnya ia sudah menanam orang di luar gapura untuk
menjaga apabila terjadi sesuatu pada dirinya, prajurit2 yang
berada di luar gapura itu segera memberi kabar ke Gianyar.
Oleh karena itu kita harus menumpas prajurit2 itu agar jangan
sempat memberi kabar"
Kini kedua prajurit itu sadar. Diam2 mereka memuji atas
tindakan patih Kebo Warung yang cerdik itu. Mereka makin
percaya penuh atas kepemimpinan Kebo Warung. Kebo
Warung tersenyum simpul ketika kedua prajurit itu keluar.
"Rupanya patih Majapahit itu memang pintar. Layak apabila
baginda memuji mereka. Tetapi bagaimanapun halnya, aku
harus menunjukkan kepada baginda bahwa patih Kebo
Warung itu lebih cerdik dari patih Majapahit" katanya dalam
hati. Prajurit Majapahit bergegas keluar dari pura. Setelah
melalui pintu gapura, ia mempercepat langkahnya. Setelah
berpaling ke belakang dan ke sekeliling tiada orang yang
melihatnya, cepat ia menyelinap ke tepi jalan, masuk kedalam
sebuah gerumbul pohon. Dibalik gerumbul pohon itu terdapat
gunduk karang. Setelah mendaki gunduk karang, lenyaplah
prajurit itu dari pandang mata. Ternyata dia loncat ke balik
karang dan disambut oleh kawan-kawannya.
Tempat itu memang tepat sekali untuk tempat
persembunyian. Sepuluh prajurit yang dititahkan patih Dipa
untuk bersembunyi diluar gapura, memilih tempat itu sebagai
tempat bersembunyi. Prajurit itu bernama Sagala. Ia segera
dikerumuni oleh kawan-kawannya. Dengan terus terang ia
menceritakan pengalamannya ditangkap prajurit Bedulu,
dihadapkan patih dan dibebaskan.
Beberapa kawan prajurit memuji tindakan patih Kebo
Warung yang dianggap menunjukkan sikap sebagai seorang
tuan rumah yang baik. "Ah, kurasa tidak begitu" bantah seorang prajurit yang
bercambang, "apakah tidak mungkin patih itu menggunakan
siasat untuk memperangkap kita?"
"Perangkap apa ?" kata Sagala.
"Melepas engkau agar dapat mengetahui keadaan kita"
"Perlu apa harus menggunakan siasat semacam itu ?"
"Menangkap kita semua" sahut prajurit bercambang.
Sagala tertawa mengejek, "Menangkap kita " Mengapa
hendak menangkap kita " Bukankah gusti patih Dipa dan
rombongannya sedang dijamu oleh raja Bedulu ?"
"Ya" seru seorang prajurit lain "jangan engkau berbanyak
curiga, kawan" Prajurit bercambang menangkis. "Memang tak baik
menaruh kecurigaan terhadap orang. Tetapi berlaku hati-hati,
terutama di tanah orang lain, merupakan langkah yang baik.
Gusti patih telah memberi pesan, agar kita jangan percaya
begitu saja pada keterangan orang"
"Ah, sudahlah Cambang. Nanti malam engkau saja yang
keluar untuk menyelidiki kabar" seru Sagala kepada prajurit
bercambang yang disebutnya dengan nama Cambang.
"Jangan engkau terlalu yakin pada dirimu. Bukankah tiada
kerugiannya pabila kita merangkai dugaan ?" masih prajurit
bercambang itu membantah.
Tetapi kawan-kawannya yang lain tak menghiraukan.
Karena surya sudah condong ke barat, mereka pun
beristirahat, membaringkan diri di celah2 karang yang terdapat
di tempat itu. Tiba2 mereka terkejut mendengar debur menggetar tanah.
Oleh karena sedang berbaring, mereka dapat mendengar jelas
setiap benda yang jatuh ke tanah. Serentak mereka berbangkit
dan saling bersilang pandang. "Suara derap kaki orang ?"
Sagala berseru pelahan. Kawan-kawannya mengangguk. "Sembunyikan diri dan siapkan senjata?"
Sagala berbisik, Berhamburan prajurit2 itu merangkak ke tempat
persembunyian masing2. Di balik gunduk karang, di relungrelung celah karang. Dari tempat persembunyiannya mereka
berusaha untuk melihat ke muka dan sekeliling. Mereka
terkejut ketika melihat beberapa belas lelaki berdiri
mengelilingi tempat itu dengan menghunus senjata tombak
dan pedang. Bahwa yang muncul itu bukan prajurit2 Bedulu, agak
melonggarkan kecemasan hati prajurit2 Majapahit. Walaupun
lelaki2 itu membekal senjata, tetapi agak mudah dihadapi.
Tetapi mengapa mereka datang dan melingkari tempat itu"
Kawanan perampok" Ah, tentu bukan. Sekalipun tahu bahwa
ditempat itu bersembunyi beberapa prajurit Majapahit, tetapi
apa yang dapat mereka peroleh dari hasil merampok kaum
prajurit" Selain tak memperoleh harta benda yang besar, pada
umumnya golongan prajurit itu tentu berani melawan
perampok. Bukankah mereka hendak cari penyakit sendiri"
Prajurit2 Majapahit itu belum dapat menerka tepat atau
tiba2 terdengar orang2 itu berseru nyaring, "Hai, orang2
Majapahit, keluar dan menyerahlah!"
Mendengar itu seketika Sagala dan beberapa Prajurit yang
mencemoh Cambang tadi pucat wajahnya. Pandang mata
mereka berhamburan mencurah ke tempat Cambang. Namun
prajurit bercambang itu tenang2 saja dan mengangguk. "Tak
perlu kita sesalkan. Yang penting kita harus menghadapi
mereka?" Rupanya walaupun hanya seorang prajurit tetapi Cambang
itu berhati lapang dan berjiwa ksatrya. Ternyata sifat ksatrya
itu bukan hanya terdapat pada golongan kaum ksatrya atau
orang2 berpangkat, sekalipun prajurit yang berpangkat
rendah, juga ada yang memiliki sifat itu. Jiwa itu bukan milik
golongan tetapi milik peribadi.
Prajurit2 yang lain tergugah mendengar pernyataan
Cambang. Rupanya Sagala ingin sekali untuk menebus
kesalahannya tadi. Ia segera berseru menjawab
"Hai, siapakah kamu itu ?"
"Kami rakyat Bedulu"
"Apakah maksud kalian?" seru Sagala pula.
"Menangkap kamu, prajurit2 Majapahit yang bersembunyi
ditempat ini" "Apa salah kami ?"
"Prajurit lain kerajaan yang datang ke Bedulu harus secara
terang menghadap baginda kami. Tetapi kamu bersembunyi
dibalik hutan, tentu bermaksud buruk."
Setelah melangsungkan percakapan itu, Sagala mendapat
kesan bahwa orang2 itu tentu salah sangka, seperti yang
pernah dikatakan oleh patih Kebo Warung kepadanya.
Bermula ia malu kepada Cambang karena apa yang
dikuatirkan kawannya yang bercambang itu benar. Patih
Bedulu sengaja melepaskan dirinya agar dapat diketahui
prajurit2 Majapahit yang lain. Kemudian hendak ditangkap
semua, 'tetapi setelah mendengar keterangan penduduk itu,
timbul harapan Sagala bahwa hal itu hanya terjadi karena
salah faham. Bahwa apa yang dikuatirkan Cambang itu tak
benar. Maka dengan semangat penuh harap, Sagala lalu
munculkan diri diri tempat persembunyiannya dan keluar untuk
menghadapi orang2 itu. "Jangan kakang Sagala" prajurit bercambang berseru
mencegahnya. Tetapi Sagala hanya berpaling sejenak
sekedar memberi kicupan mata sebagai isyarat supaya prajurit
bercambang jangan menguatirkan dirinya. Pada jarak tiga
tombak dari orang2 itu, ia berhenti "Kawan2 rakyat Bedulu"
serunya dengan nada ramah "jangan salah sangka. Kami
memang prajurit Majapahit yang mendapat titah gusti patih
kami untuk menunggu di luar gapura. Kami berada di tempat
ini hanya sekedar untuk mencari tempat beristirahat. Setitik
pun kami tak mengandung maksud buruk terhadap kerajaan
Bedulu. Bahkan saat ini, gusti patih dan rombongan
pengiringnya sedang dijamu baginda dalam keraton"
Terdengar gelak tertawa berhamburan dari mulut lelaki2
yang mengaku sebagai penduduk itu. "Benar, benar. Oleh
karena itu engkau dan kawan-kawanmu akan kami bawa ke
pura Bedulu" "Mengapa kesana" Kami diperintah gusti kami untuk
menunggu disini?" seru Sagala heran.
"Aku dan kawan2, penduduk sekitar tempat ini, pun telah
mendapat perintah dari gusti senopati, setiap orang
mancanagara yang datang menginjak tanah disini, harus
segera dihadapkan kepada gusti senopati" seru orang2 yang
diwakili oleh seorang lelaki muda berkumis lebat.
"Ah, telah kuterangkan, kami adalah prajurit2 Majapahit
yang mengiring gusti patih kami menghadap baginda raja


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bedulu. Kami diperintah supaya menunggu disini. Jika tak
percaya, silahkan kalian menyelidiki ke dalam keraton" Sagala
berusaha untuk menenangkan suasana.
Lelaki berkumis itu tertawa, "Ya, benar, benar. Engkau
hendak menipu kami. Selekas kami tinggalkan tempat,
kamupun segera lari pergi"
Sagala gelengkan kepala, "Tidak, ki sanak sekalian. Kami
prajurit Majapahit bukan manusia sepengecut itu. Kami akan
tetap menunggu kalian kembali kesini"
Orang itu mengerut dahi, kemudian berpaling ke arah
kawan-kawannya. Beberapa orang tampak mengerumuni dan
bicara bisik2 seperti tengah berunding. Beberapa saat
kemudian lelaki berkumis itu berseru pula. "Baiklah, prajurit.
Kawan-kawanku setuju akan saranmu tetapi kamipun
menghendaki bukti dari keadaan rombonganmu. Berapakah
jumlah kawan-Kawanmu " Silahkan mereka keluar. Nanti akan
kami laporkan pada gusti senopati"
"Sepuluh orang" seru Sagala.
Lelaki berkumis itu gelengkan kepala, "Mengenai
pengakuanmu yang pertama tadi, aku sanggup akan meminta
keterangan ke keraton. Tetapi jika mengenai jumlah
rombonganmu, terpaksa aku tak dapat menerima keteranganmu begitu saja"
"Maksudmu?" Sagala merentang mata.
"Suruh kawan-kawanmu keluar semua, agar kami dapat
percaya?" "Ah, mengapa engkau tak percaya kepada kami ?" Sagala
mengeluh geram. "Kami takut kehilangan mulut, kami masih ingin makan
nasi" sahut orang itu "ketahuilah, setiap laporan yang tidak
benar, hukumannya adalah mulut dirobek. Gusti senopati
Bedulu keras dan bengis sekali?"
Untuk menyudahi percakapan itu, akhirnya Sagala
terpaksa berseru meminta kawan2 prajurit keluar ketempat ia
berdiri. Merekapun menurut.
"Engkau bohong, prajurit Majapahit!" seru carang berkumis
itu tiba2, "jumlah kalian hanya sembilan, mengapa engkau
katakan sepuluh orang ?"
Sagala terkejut. Diam2 ia menghitung dan memang hanya
sembilan. Dan cepat ia dapat mengetahui bahwa kawannya,
prajurit bercambang tak ikut keluar. Ia hendak mengatakan
bahwa ada seorang kawannya yang masih berada di tempat
persembunyian tetapi pada lain lintas ia merasa tiada
manfaatnya untuk mengatakan hal itu kepada orang2 Bedulu..
Mungkin mereka marah kepada kawannya bercambang itu.
Betapapun, si cambang itu adalah kawan seperjuangannya.
Mungkin dia tentu mempunyai alasan mengapa tak mau ikut
keluar. Dan iapun menganggap keluar dari tempat
persembunyian itu hanya sekedar memenuhi permintaan
orang2 Bedulu saja. Tak penting. Biarlah Cambang
bersembunyi saja. Tetapi ia harus memberi jawaban kepada
orang2 Bedulu itu agar mereka jangan curiga. Untung segera
ia menemukan, sahutnya, "Ah, dia tadi mengatakan hendak
mandi ke sungai" "Hm" desuh orang itu seraya maju dua langkah "sekarang
serahkan senjata kalian masing2"
Kali ini Sagala terbeliak tetapi pada lain kejab ia tenang
kembali. "Ah, ki sanak, jangan bergurau. Untuk apa kami
harus menyerahkan senjata ?"
"Untuk melengkapi laporan kami kepada gusti senopati.
Demikianlah peraturannya"
"Ah, tetapi kami prajurit2 Majapahit ini tak bermaksud
buruk. Kami hanya pengiring perutusan bagi nda Majapahit.
Jika mereka tak percaya, silahkan memeriksa kemari" kata
Sagala pula. Namun lelaki berkumis itu tetap menolak dan berkeras
hendak meminta senjata Sagala dan kawan-kawannya. Jika
tidak mau menyerahkan, merekapun terpaksa hendak
menggunakan kekerasan. Saat itu hari sudah rembang petang. Beberapa saat lagi,
cuacapun gelap. Setelah berunding dengan kawan, akhirnya
Sagala mau juga menyerahkan sebuah senjata dari masing2
prajurit. Prajurit Majapahit mempunyai kelengkapan dua
senjata. Setiap prajurit mempunyai pedang dan tombak.
Mereka menyerahkan pedang atau tombak, salah satu.
"Letakkan di tanah" seru orang berkumis itu "tetapi
mengapa hanya satu" Kalian masing2 harus menyerahkan
semua senjata yang kalian bawa dan letakkan di depan kalian"
Sagala kembali berpaling kearah kawan2. Kali ini kawan2
prajurit mengerut wajah sarat dan Sagala tahu kalau mereka
merasa keberatan. "Maaf, ki sanak, permintaanmu kali ini tak
dapat kami luluskan. Gusti patih telah memesan kepada setiap
prajurit, supaya jangan sampai terpisah dengan senjata
masing-masing" Orang itu tiba2 tertawa, "Ah, nyata kalian memang tak
mengandung maksud buruk. Apa yang kami perintahkan tadi
hanya sekedar menguji hati kalian. Jika kalian menolak
menyerahkan senjata, berarti kalian memang menyembunyikan maksud jahat. Tetapi ternyata kalian mau
menyerahkan. Walaupun hanya satu tetapi hal itu sudah
cukup mengunjukkan kesungguhan hati kalian"
Sagala dan kawan-kawan membelalak.
"Silahkan kalian ambil kembali senjata2 itu. Segera kami
akan melaporkan kepada gusti senopati" seru lelaki berkumis
itu. Sagala mengkal2 geram. Apabila tak kuatir akan
menimbulkan onar, ingin rasanya ia memberi tamparan
kepada orang2 Bedulu yang berani mempermain-mainkannya
itu. Akhirnya ia mengajak kawan2 untuk mengambil senjata
yang telah diletakkan ditanah. Pada saat mereka
membungkuk untuk menjemput senjata masing-masing,
sekonyong terdengar desing angin tajam berhamburan
mencurah. Dari atas udara meluncur turun dan tiba2 pula
menjeritlah sekalian prajurit itu. Segelombang pekik jeritan
yang serempak mengumandangkan suara yang ngeri dan
seram. Kemudian terdengar pula bunyi berdebuk-debuk dari
tubuh yang rubuh menggelepar ke tanah. Kesembilan prajurit
Majapahit itulah yang menjerit ngeri dan rubuh berlumuran
darah. Punggung mereka berhias anakpanah yang menyusup
masuk hingga tembus ke dada.
Lelaki berkumis dan rombongannya sejenak terkesiap
menyaksikan pemandangan sengeri itu. Tetapi pada lain kejab
merekapun bergelak tertawa riuh rendah. "Bagus, kawan.
Tepat sekali engkau bidikkan anakpanahmu" seru lelaki
berkumis seraya menengadahkan muka memandang keatas
karang. Di atas puncak karang tampak belasan orang berjajar2
sambil mencekal busur. Merekalah yang melepaskan
anakpanah kearah rombongan prajurit Majapahit itu. Mereka
tak lain, kawanan prajurit Bedulu yang menyamar sebagai
rakyat biasa. Setelah mendapat perintah dari patih Kebo Warung maka
kedua prajurit penjaga gapura itu bergegas menemui lurah
prajurit mereka. Lurah itu segera mengumpulkan anakbuahnya
dan menyusun siasat. Seluruh prajurit pemanah ditempatkan
di atas puncak karang, sedang ia bersama sepuluh prajurit
lagi, dengan menyamar sebagai rakyat, menghampiri ke
tempat persembunyian prajurit2 Majapahit di bawah karang.
Orang berkumis lebat, adalah lurah prajurit yang memimpin
penyergapan itu. Hasilnya amat gemilang. Sagala dengan
delapan kawannya, mati terpanah.
"Angkut korban2 itu dan buang ke sungai" lurah berkumis
tebal memberi perintah "sekalian kita cari seorang kawan
mereka yang sedang mandi di sana. Mereka harus ditumpas
semua, jangan ada seorangpun yang lolos"
Gemetar tubuh prajurit cambang ketika dari tempat
persembunyiannya ia mengintai semua peristiwa yang telah
menimpa kawan-kawannya. Hampir tak dapat ia menguasai
luap kemarahannya dan terus hendak menerobos keluar.
Tetapi pada lain kilas, kesadaran pikirannya melintas.
Menyerbu keluar, memang suatu langkah setya-kawan yang
terpuji. Tetapi hasilnya hanya seperti anai-anai menerjang api.
Ia sendiri pasti akan mati terbunuh mereka. "Bukan aku takut
mati" pikirnya "tetapi kematianku itu amat sia2 sekali. Aku tak
dapat menolong kawan-kawan yang sudah mati, lebih buruk
lagi, aku tak, dapat memberi berita kepada gusti tumenggung
di Gianyar. Jelas tentu terjadi sesuatu pada diri gusti patih dan
rombongannya di keraton Bedulu. Aku harus berusaha untuk
menyampaikan berita, buruk itu ke Gianyar"
Cambang mengantar bayang2 orang Bedulu itu dengan
sumpah serapah. Namun ia merasa lega juga ketegangan
hatinya setelah melihat mereka lenyap dalam kegelapan
malam yang sudah menyelubungi keliling tempat itu dalam
kegelapan. Ki ni ia mulai memikirkan langkah yang harus
diambil. Sejenak melayangkan pikiran pada peristiwa ngeri
yang menimpa kesembilan kawan-kawannya, ia makin yakin
akan kebenaran dugaannya bahwa patih Bedulu memang
telah melepas siasat untuk menjaring Sagala dan kawankawannya dalam perangkap.
"Jelas bahwa patih Bedulu tentu sudah mencium tentang
rencana gusti patih Dipa. Apalagi patih Bedulu segera akan
menerima laporan tentang terbunuhnya kesembilan prajurit
Majapahit. Tentu dia akan segera mengerahkan pasukan
untuk membersihkan kemungkinan terdapatnya kelompok2
prajurit2 Majapahit disepanjang jalan Bedulu dengan Gianyar"
pikirnya. "Benar" tiba2 pula ia berteriak dalam hati, manakala
teringat sesuatu. "Sagala mengatakan, bahwa di alun2 Bedulu
tampak kesibukan yang luarbiasa dari prajurit2. Tentulah patih
Bedulu hendak melakukan serangan pada pasukan Majapahit
Bahkan bukan mustahil kalau pasukan Bedulu akan
menyerang pasukan Majapahit di Gianyar ..."
0odwkz-mh-ismoo0 II Di Gianyar terdapat gelanggang besar sabung ayam yang
di sebut Wantilan. Rakyat Bali umumnya dan di Gianyar
khususnya, gemar sekali menyabung ayam. Ayam-ayam
sabungan itu diberi kait runcing pada tajinya sehingga apabila
terkena, ayam lawan tentu kalah dan mati. Kematian ayam
karena terkena taji besi dalam persabungan, tidaklah dianggap
kejam bahkan dianggap sebagai korban untuk mengusir
penyakit atau menyelamatkan desa atau kota itu dari bahaya.
Tepat pada saat armada Majapahit tiba di Gianyar
sesungguhnya pada hari itu di pura keraton Kesiman yang
dahulu pernah menjadi pura kerajaan Bangli, sedang diadakan
upacara yang diramaikan dengan sabung ayam dan tari keris.
Di desa Kesiman itu terdapat dua buah candi yang disebut
pura Dalem dan pura Tas-tasan. Dalam bekas keraton
kerajaan tua Bangli itu masih terdapat sebuah tahta atau
persajian yang disebut batu hitam.
Upacara sabung ayam dan tari keris itu tak lain
diperuntukkan untuk mengusir roh2 jahat dan menyelamatkan
desa itu dari malapetaka.
Dari Gianyar, Sakah, Sukawati bahkan dari Den Pasar dan
Sanur, penduduk berbondong-bondong menuju ke Kesiman.
Pedanda2 yang hendak menghadiri upacara sesaji, wanita2
yang hendak ikut serta dalam upacara itu, rombongan penari2
yang akan mempertunjukkan keahliannya dalam tari keris,
terutama kaum penyabung ayam dengan ayam sabungnya
yang pilihan. Berita tentang kedatangan armada Majapahit ke Gianyar
cepat tersiar juga sampai ke Kesiman. Terutama setelah juru
pengalasan dari lurah Gianyar tiba untuk memanggil orang2
Gianyar pulang. Orang2 yang dipanggil lurah Gianyar itu
adalah prajurit2 atau anggauta keamanan Gianyar. Sehari
sebelum upacara diadakan, mereka sudah berangkat dari
Gianyar sehingga keesokan hari ketika armada Majapahit tiba
di Gianyar, mereka tak tahu. Karena tenaga2 mereka
diperlukan untuk menjaga keamanan Gianyar, maka
merekapun dipanggil pulang oleh lurah.
Lurah Gianyar menyambut rombongan utusan Majapahit
dengan ramah. Patih Dipa pun tak menerangkan apa maksud
kedatangannya ke Bedulu. Dia hanya mengatakan diutus raja
Majapahit untuk menyampaikan surat kepada raja Bedulu.
Karena itu maka lurah Gianyar pun melakukan penyambutan
dengan hormat. Walaupun pada esok harinya patih Dipa
bersama beberapa puluh pengiring menuju ke Bedulu, tetapi
sebagian besar prajurit Majapahit yang dipimpin tumenggung
Gajah Para masih berada di Gianyar.
Lurah Gianyar memang cerdik. Ia mengeluarkan warawara kepada segenap penduduk bahwa hari itu di Wantilan
akan diselenggarakan persabungan ayam dan tari keris.
Dengan tindakan itu lurah Gianyar sekali dayung mencapai
dua tepian. Pertama, untuk menghormat kepada tumenggung
Gajah Para dan anak pasukannya dengan suatu pertunjukan
permainan yang sangat digemari penduduk Bali tetapi tak
terdapat di negara Majapahit. Dengan dipindahkannya acara
sabung ayam ke Gianyar maka penduduk dan anggauta
keamanan Gianyar yang terpaksa pulang dari Kesiman, masih
dapat melangsungkan hajatnya. Ketiga kali, lurah itu juga ingin
agar upacara sabung ayam dan tari keris itu juga akan
membawa berkah dan keselamatan bagi kota dan rakyat
Gianyar. Tumenggung Gajah Para juga belum tahu bagaimana hasil
yang dicapai oleh patih Dipa dengan raja Bedulu. Ia
menganggap, tindakan lurah Gianyar itu sebagai sikap
seorang tuanrumah yang baik. Ketika hal itu diumumkan, anak
pasukan Majapahit amat gembira sekali. Dan pikir
tumenggung Gajah Para pula, karena sampai saat itu belum
menerima suatu berita dari patih Dipa maka diapun
meluluskan juga anak prajuritnya untuk menyaksikan sabung
ayam itu. Bahkan dia sendiri tak kuasa menolak undangan
lurah yang mempersilahkannya menikmati adu ayam itu di
gelanggang Wantilan. Silih berganti ayam dipersabungkan. Setiap ada yang
kalah ataupun mati maka gegap gempitalah sorak sorai para


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penonton. Terutama yang empunya ayam dan orang2 yang
berpihak pada ayam sabung itu. Dalam persabungan itu, tak
lepas pula terjadi pertaruhan2 yang besar. Yang menang
tertawa lebar, yang kalah menyeringai sedih dan geram.
Saat itu surya sudah naik sepenggalah tingginya.
Permainan adu ayam makin ramai. Pemilik2 ayam silih
berganti turun gelanggang membawa ayam sabungnya.
Diantara orang2 yang turun ke gelanggang, yang menarik
perhatian adalah turunnya seorang lelaki bertubuh besar,
kepala besar, muka lebar, dada bidang penuh ditumbuhi
rambut. Karena panca indera orang itu serba besar maka
dapat dibedakan dengan orang2. Sepintas pandang bentuk
tubuh dan raut mukanya, menyerupai seorang raksasa.
Orang itu menjinjing seekor ayam hitam yang dikempit
dibawah ketiak. Dengan langkah lebar, ia memasuki
gelanggang. Saat itu pertandingan berhenti karena baru saja
sebuah pertandingan yang menarik antara seekor ayam wido
dengan seekor ayam berbulu merah dengan kesudahan ayam
berbulu merah kalah. Tengah pemilik ayam yang menang itu
berbangga membenahi ayam sabungnya, tiba-tiba orang
bertubuh raksasa itupun masuk dan langsung menantang.
"Hai, ki bagus, setujukah ayammu diadu dengan ayamku?"
Pemilik ayam wido itu masih muda dan berwajah tampan.
Sudah dua kali ayam sabungnya memperoleh kemenangan.
Sedianya ia hendak mundur dari gelanggang untuk memberi
istirahat kepada ayam sabungnya. Dia disertai seorang
pembantu yang tengah membenahi ayam itu. Ketika
mendengar orang menantangnya, ia terkejut dan memandang
ke muka. Kejutnya meningkat ketika melihat pendatang baru
itu bertubuh lebih tinggi ukurannya dari orang biasa. Kesannya
segera timbul setelah memandang wajah pendatang itu. Ia
agak jeri. Bukan karena takut ayam sabungnya kalah
melainkan gentar akan pendatang yang tinggi besar itu.
Daripada cari urusan dengan seorang yang begitu
menakutkan, baiklah ia mundur dari gelanggang saja. Ia sudah
memperoleh hasil kemenangan yang cukup besar.
"Hai, mengapa engkau diam saja?" tegur pendatang tinggi
besar itu ketika melihat si pemuda terlongong-Iongong
memandangnya. Pemuda itu agak gelagapan, "Ah, maaf, aku kasihan pada
ayamku. Sudah dua kali dia berkelahi" sahutnya tiada selera.
"Ho, baru dua kali, belum lima enam kali" seru orang itu
"masih belum dianggap juara, mengapa engkau hendak
menghindar" Apakah engkau kira aku tak sanggup bertaruh
besar?" "Bukan begitu, maksudku ...."
"Semua uang bekalmu ditambah dengan hasil
kemenanganmu, aku sanggup membayar apabila ayamku
kalah" kata orang itu seraya mengeluarkan sebuah pundi2 dari
pinggangnya. Pundi2 itu dibuka lalu dituang isinya. Seketika
terdengar gemerincing benda-benda berwarna kuning tua
mencurah ke tanah "apakah ini tidak cukup dengan jumlah
milikmu ?" Pemuda itu terbelalak. Benda2 yang gemerincingan jatuh
ke tanah tak lain adalah keping2 emas. Sudah tentu nilainya
jauh lebi h banyak dari uang yang ada pada dirinya.
"Jika ayamku kalah ?" seru orang tinggi besar itu "ambillah
semua emas ini" Pemuda pemilik ayam wido terkesiap, mengernyut dahi.
Rupanya hatinya mulai terpikat dan dia tengah mempertimbangkan tantangan orang.
"Jika aku menang" seru orang
menginginkan hartamu"
itu pula "aku tak Orang muda itu terbelalak. Ucapan aneh dari seorang
aneh itu benar2 membangkitkan rasa aneh yang besar dalam
hati orang muda itu "Engkau bergurau?"
"Tidak" orang tinggi besar itu gelengkan kepala "sekalian
penonton menjadi saksi"
Orang muda itu mulai tertarik hatinya. Pikirnya, jika
pertaruhan itu disaksikan oleh sekalian penonton, lainlah
halnya. Di antara penonton2, ia melihat juga lurah Gianyar dan
seorang tumenggung dari mancanagara serta beratus-ratus
prajurit. Apabila orang tinggi besar itu ingkar janji, ia dapat
minta peradilan kepada lurah. Maka segera ia bertanya, "Lalu
apa yang engkau kehendaki ?"
"Engkau harus menyediakan tenaga dua puluh orang
pekerja untuk mengerjakan bangunan yang akan kubuat?"
Keterangan orang aneh itu, menimbulkan kegemparan.
Bukan hanya orang muda pemilik ayam wido, pun sekalian
penonton hiruk. "Bangunan apa yang hendak engkau buat?" orangmuda itu
menegas. "Sebuah kuil" Orang muda dan sekalian orang, tercengang. Namun
cepat lelaki muda itu bertanya, "Di mana?"
"Desa Pliatan di Blahbatu"
"O" desuh lelaki muda itu "adakah engkau seorang
pedanda?" Orang tinggi besar itu gelengkan kepala, "Bukan. Aku
hanya seorang biasa. Tetapi aku ditugaskan untuk
membangun sebuah pura tempat pemujaan Batara Trimurti"
Pemuda itu terkejut "Engkau ditugaskan membangun
sebuah pura " Siapakah yang menugaskan ?"
"Hm" orang tinggi besar itu mendesuh "terlalu jauh engkau
bertanya. Apa kepentinganmu ?"
Saat itu lelaki muda pemilik ayam wido, sudah tak gentar
melihat perwujutan orang tinggi besar. Dengan tenang ia
menjawab, "Ada. Karena menjadi bahan pertimbanganku
untuk menerima atau menolak ajakanmu mengadu ayam"
"Apa yang engkau kehendaki?" orang tinggi besar itu
membelalak. "Engkau harus menjawab beberapa pertanyaanku" kata
lelaki muda "karena selama ini belum pernah aku bertaruh
dengan taruhan yang sedemikian ganjil. Maka sebelum
memutuskan, aku harus tahu persoalannya lebih jelas."
Raksasa itu mengernyit dahi lalu berseru, "Tetapi akupun
akan mengikat engkau dengan syarat. Setelah kujawab semua
pertanyaanmu, engkau harus menerima tantanganku untuk
menyabung ayam kita. Jika engkau ingkar, terpaksa bukan
ayammu tetapi engkau yang akan kuajak berkelahi"
Orang muda itu terkesiap. Sekalian penontonpun terkejut.
Baru saat itu mereka tertikam rasa gentar melihat perawakan
orang tinggi besar yang menyerupai seorang raksasa. Pemilik
ayam wido itu menggigil hatinya tetapi pada saat matanya
tertumbuk pada keping2 emas yang berhamburan di tanah,
nafsunya menyala pula. Ayam wido yang diberinya nama
Jalak Ijo itu sudah termasyhur pilih tanding. Entah sudah
berapa banyak uang yang ia menangkan dalam menyabung si
Jalak Ijo itu. Sejak pagi tadi Jalak Ijopun telah mengalahkan
dua jago lawannya. Walaupun ia tak kenal siapa orang, tinggi
besar itu, namun sebagai botoh atau tukang adu ayam, ia
memiliki indera pengamatan yang tajam. Ayam hitam yang
dikepit tangan orang tinggi besar itu, ayam jago biasa yang
banyak terdapat di pedesaan. Haruskah ia menyia-nyiakan
keuntungan yang sebagus itu. Bukankah hal itu sesuai dengan
mimpinya kemarin malam di mana dalam mimpi itu ia bertemu
dengan seorang yang memberinya sebuah pundi-pundi berisi
batu kerikil. Bukankah batu kerikil itu ditamsilkan sebagai
keping-keping emas itu" Demikian pikirannya mengadakan
tanya jawab sendiri secara selintas kilat. Sudah tentu pula,
cara penafsirannya selalu disesuaikan dalam alam pikiran
seorang penjudi. "Hai. mengapa engkau diam saja?" tegur manusia raksasa
itu. Orang muda itu gelagapan, sahutnya "Ya. Aku menerima.
Sekarang aku mulai bertanya. Siapakah namamu" Dimana
tempat tinggalmu?" "Aku Kebo Yuwo, tiada mempunyai tempat tinggal. Aku
suka berkelana dan terakhir aku menetap di desa Blahbatu"
"Engkau mengatakan hendak membangun sebuah pura
pemujaan dewa2 Trimurti. Siapakah yang menugaskan
engkau?" "Hyang Batara Syiwa" sahut Kebo Yuwo "aku suka
bertapa, di hutan atau di gunung2 yang sepi. Terakhir ketika
aku bertapa dipuncak gunung Batur, aku menerima wangsit
gaib. Aku bertemu dengan seorang mahluk yang menakutkan,
mengaku bernama Hyang Batara Syiwa. Batara itu
mengatakan bahwa raksasa Maya Danawa yang dahulu telah
dikalahkan oleh para dewa dan dikutuk menjadi batu, rupanya
akan bergerak lagi. Darah raksasa yang mengalir kedalam
sungai Petanu akan meluap dan menggenangi desa-desa,
menyebarkan penyakit yang akan memusnakan jiwa
penduduk kerajaan Bedulu"
Raksasa Kebo Yuwo berhenti sejenak untuk mengingat2
wangsit gaib yang diterimanya dalam bertapa. Tetapi rupanya
orang muda itu tak sabar. Dia ingin mengetahui bagaimana
kelanjutannya, "Lalu bagaimana?" serunya mendesak.
"Dalam mimpi itu aku marah kepada raksasa Maya
Danawa. Aku mohon kepada Batara Syiwa agar aku diadu
dengan raksasa itu. Apabila raksasa itu berani mengganggu
jiwa rakyat dan kerajaan Bedulu, aku bersumpah akan
menimbuni sungai Petanu agar darah raksasa yang mengalir
di sungai itu terbendung. Kataku kepada Batara S yiwa. Tetapi
batara Syiwa mengatakan bahwa hal itu tak perlu. Roh jahat
dari Maya Danawa, masih berkeliaran, belum dapat memasuki
alam kesempurnaan. Walaupun raganya sudah musnah
berganti batu tetapi raksasa yang sakti itu setiap waktu masih
dapat membuat huru hara merusak keadaan di mayapada ini.
Ada satu jalan untuk menangkal bala dari raksasa itu, kata
Batara Syiwa. Bahwa aku. dititahkan untuk membuat sebuah
pura atau kuil di Blahbatu. Kuil itu harus dibangun dengan
batu2 yang dibelah. Tak boleh ada batu yang masih utuh.
Demikian pula arca2 dalam kuil itu tak boleh dibuat daripada
batu melainkan dari perunggu semua. Jika aku sanggup
membangun pura itu, maka roh jahat dari raksasa Maya
Danawa akan sirap dan musna daya kesaktiannya"
Orangmuda itu lerlongong-longong. Penonton2 yang
secara kebetulan dapat menangkap pembicaraan Kebo Yuwo,
pun tertegun. Ada beberapa orang Gianyar yang pernah
mendengar kabar di desa Pliatan, muncul seorang manusia
yang tinggi besar seperti raksasa. Orang itu bertenaga kuat
sekali. Tiap hari mengangkut batu2 besar dari sungai Petanu,
kadang dari sungai Pakerisan dibawa ke desa Pliatan. Batu2
besar itu hanya ditumpuk saja. Entah apa maksudnya.
"Ceritaku sudah habis, sekarang apa yang hendak engkau
tanyakan lagi?" seru Kebo Yuwo.
Orang muda itu dengan cepat dapat mengajukan
pertanyaan, "Lalu apa maksudmu apabila aku kalah, aku
harus menyediakan duapuluh orang itu?"
"Mereka akan kupekerjakan untuk membuat pura itu" kata
Kebo Yuwo "mudah bukan" Dan lagi, pembuatan pura itu
demi untuk menolak bala, menyelamatkan rakyat dan kerajaan
Bedulu dari kemurkaan raksasa Maya Danawa"
Orang muda itu .mengangguk dengan mempertimbangkan
lebih lanjut. "Tetapi ingat" seru Kebo Yuwo pula "jika dari keduapuluh
orangmu itu ada yang melarikan diri, seorang harus engkau
ganti lima orang. Atau engkau harus mengganti dengan
jiwamu. Tetapi kelak apabila pura itu sudah selesai, akan
kuberi mereka hadiah uang emas?"
Setelah mempertimbangkan lebih lanjut bahwa apabila ia
menang akan memperoleh keping emas sekian besar dan
apabila kalah ia hanya menyediakan dua puluh orang untuk
membantu pendirian pura yang pada hakekatnya juga untuk
keselamatan rakyat kerajaan Bedulu, maka orang itupun
menerima "Baik, aku menerima tantanganmu"katanya.
Demikian Kebo Yuwo si raksasa itu segera menurunkan
ayam sabungnya, seekor ayam jago yang tak berapa besar,
kalah kokoh badannya dengan ayam wido milik orang muda
itu. Tiada yang istimewa pada ayam hitam milik Kebo Yuwo itu
kecuali sepasang paruhnya yang berwarna hitam juga.
Demikian pula sepasang kakinya juga hitam sehingga benar2
seekor ayam jago hitam mulus.
Ketika kedua ayam itu turun ke gelanggang maka cepatlah
menimbulkan kesan bahwa ayam wido itu jauh lebih besar dan
lebih kekar dari lawannya. Penonton sudah mengharapkan
bahwa ayam wido itulah yang akan menang. Pemiliknya,
bahkan sudah memancarkan rasa kegirangan hatinya dengan
wajah yang berseri senyum.
Pertarungan kedua ayam itu berlangsung tak setanding.
Ayam hitam mulus karena kalah tinggi dengan lawan, selalu
menderita serangan. Muka dan tenggernya habis dimakan
paruh lawan. Berulang kali pemilik ayam wido melontarkan
lirikan kearah Kebo Yuwo tetapi selalu dilihatnya Kebo Yuwo
tenang2 saja. "Hm, raksasa, engkau memang hebat tetapi
ayam sabungmu tidaklah sehebat engkau" ia mencemoh dalam hati kepada Kebo Yuwo. Saat itu ayam wido melancarkan pula sebuah serangan yang ganas. Setelah mematuk leher lawan, tiba-tiba ayam itu
loncat untuk

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantamkan tajinya yang berselosong besi tajam. Ujung taji tepat mengenai kening si hitam sehingga ayam hitam itu berputar-putar seperti meliuk-liuk kesakitan. Tibatiba terdengar siulan tajam,
serempak pada saat itu ayam wido pun lari memburu hendak
memberi sabatan yang terakhir. Tetapi sekonyong-konyong
terjadi hal yang tak terduga-duga.
Ketika sekalian orang di gelanggang Wantilan itu mengira
bahwa ayam hitam mulus milik Kebo Yuwo tentu akan mati
oleh ayam wido, sekonyong konyong ayam hitam itu loncat
menerjang dan mematuk kedua biji mata ayam wido......
Tiba2 ayam hitam memberingas dan terus menerjang
lawan. Bruukk, terjadi benturan yang keras, ayam wido rubuh
ke tanah mengokok keras lalu melarikan diri seperti orang
ketakutan. Ayam hitam tak mau mengejar melainkan berdiri
tegak dan berkokok memanjang.
Walaupun hanya sebuah pertarungan antara ayam, tetapi
peristiwa itu telah menggemparkan sekalian orang. Belum
pernah penggemar2 ayam sabung menyaksikan peristiwa
seaneh itu. Jelas ayam hitam itu sudah tak berdaya dan hanya
menunggu saat ajalnya tetapi mengapa tiba2 dapat menerjang
lawan. Dan mengapa pula hanya sekali terjang saja, ayam
hitam itu dapat mengalahkan lawan"
Pembantu dari pemilik ayam wido pun lari menangkap
ayamnya lalu dibawa kepada pemiliknya. "Ah, ayam kita hilang
kedua biji matanya" "Apa?" pemilik ayam wido memekik kejut.
"Kedua biji mata ayam kita telah hilang ditutul paruh ayam
liitam itu" kata pembatu itu. Ketika yang empunya memeriksa
memang keterangan pembantunya itu benar. Ia terlongonglongong seperti kehilangan semangat.
"Hai, orang muda" tiba2 Kebo Yuwo menegur "ayammu
kalah. Engkau harus memenuhi janji. Besok pagi2, engkau
harus sudah mengirim duapuluh pekerja ke desa Pliatan. Jika
engkau ingkar janji atau kurang seorang saja jumlah orangmu,
Kebo Yuwo akan mencarimu dan merobek mulutmu. Ingat!"
Orang itu menggigil ketakutan. Pembantunya segera
membenahi bekalnya dan mengajak tuannya pulang. Namun
Kebo Yuwo masih belum mengambil kembali keping2 emas
yang berhamburan di tanah. Ia berseru nyaring. "Hayo, siapa
pemilik ayam sabung yang berani diadu dengan ayamku,
silahkan keluar. Taruhannya sama dengan orang tadi"
Beberapa penyabung ayam, yang karena temaha akan
uang taruhan dan melihat ayam hitam Kebo Yuwo sudah
menderita luka2, menerima tawaran itu. Tetapi sampai tiga
empat orang yang mengajukan ayam sabungnya, semua
telah, dikalahkah oleh ayam hitam Kebo Yuwo. Mereka
terpaksa harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kebo
Yuwo. Karena tiada penyabung ayam yang berani menerima
tantangan Kebo Yuwo, acara adu ayampun ditutup. Tetapi
Kebo Yuwo rupanya belum puas dengan hasil yang
diperolehnya. Tegak menghadap ke arah bangsal tempat
duduk tuha Gianyar dan tumenggung Gajah Para, ia berseru
lantang, "Karena tiada lagi yang berani melawan ayam
sabungku, maka aku hendak mengajukan tawaran kepada
sekalian orang yang berada di gelanggang Wantilan sini.
Sekarang kita adu orang saja. Barangsiapa yang mampu
mengalahkan tenagaku, kepi ng emas sepundi penuh ini akan
kuhadiahkan kepadanya. Tetapi jika gagal, orang itu harus ikut
aku membantu membangun pura?"
Tawaran Kebo Yuwo itu menimbulkan kegemparan pada
segenap penonton. Prajurit2 Majapahit mulai tertarik
perhatiannya. Betapa.ingin mereka untuk memiliki emas
sebanyak itu, namun apabila melihat tubuh Kebo Yuwo yang
merupakan seorang raksasa diantara manusia, ngerilah bulu
tengkuk mereka. "Dengan hasil persabungan ayam tadi, aku sudah berhasil
mendapatkan delapan puluh orang pekerja" seru Kebo Yuwo
dengan suaranya yang menggelegar seperti petir "semalam
akupun telah mendapat sepuluh orang prajurit yang
bersembunyi di desa Kutri. Mereka kalah bertanding adu
kekuatan dengan aku sehingga harus memenuhi perjanjian
menjadi pekerja dalam pembangunan pura itu"
Mendengar keterangan itu gemuruhlah para prajurit
Majapahit yang berada di gelanggang Wantilan situ.
Tumenggung Gajah Para pun terkejut. Ia memanggil seorang
lurah prajurit bernama Malwa, membisiki beberapa patah kata.
Lurah prajurit Malwa segera berdiri dari tempat duduk dan
turun dari bangsal, ke gelanggang. Kira2 lima tombak dari
tempat Kebo Yuwo ia berhenti.
"Ki Kebo Yuwo ?" seru lurah itu dengan nyaring "engkau
mengatakan telah menangkap sepuluh orang prajurit, maukah
engkau memberi keterangan, prajurit dari mana yang engkau
tangkap itu?" Sejak turun dari bangsal, Kebo Yuwo sudah
memperhatikan lurah prajurit itu. Ia melihat orang itu
mengenakan pakaian keprajuritan tetapi agak beda sedikit
dengan prajurit2 yang ditangkapnya itu. Kebo Yuwo seorang
yang berwatak lugu, suka bicara terus terang. Tanpa
menguatirkan bahwa keterangannya akan menimbulkan akibat
yang panjang, orang bertubuh tinggi besar itu segera
menyahut, "Mereka mengenakan pakaian seperti engkau dan
mengaku sebagai prajurit2 Majapahit. Apakah engkau juga
dari Majapahit?" Lurah Malwa terbeliak kejut "Prajurit2 Majapahit ?" serunya
mengulang. Kebo Yuwo mengiakan. Lurah prajurit itu serentak berpaling ke arah tumenggung
Gajah Para. Tampak tumenggung itu agak, merah wajahnya
dan serentak memberi anggukan sarat. Lurah Malwa dapat
menangkap isyarat tumenggung itu, segera ia melangkah
maju ke hadapan Kebo Yuwo. Tetapi sebelum ia sempat
membuka mulut, Kebo Yuwo pun sudah mendahului
menegurnya "Engkau belum menjawab pertanyaanku. Apakah
engkau juga prajurit dari Majapahit ?"-
"Ya?" sahut lurah Malwa "tahukah engkau apa maksud
kedatangan prajurit2 Majapahit ke tanah Bedulu ini ?"
"Akulah yang seharusnya mengajukan pertanyaan begitu
kepadamu" jawab Kebo Yuwo "mengapa di desa Kutri terdapat
sepuluh prajurit yang menyembunyikan diri. Apa maksud
mereka" Dan mengapa pula di Gianyar terdapat banyak
prajurit2 Majapahit ?"
"Engkau benar2 tak tahu ?" ulang lurah Malwa.
"Aku bukan seorang narapraja kerajaan, aku hanya gemar
berkelana dan bertapa. Bagaimana engkau menyangka aku
tentu tahu peristiwa kedatangan prajurit2 Majapahit?"
Pembicaraan itu cukup memberi kesan kepada lurah
prajurit Malwa bahwa kini ia sedang berhadapan dengan
orang yang aneh tetapi tentu digdaya. Manusia yang
mengasingkan diri tetapi saat itu sedang melakukan sesuatu
untuk kepentingan rakyat dan negaranya. Iapun tahu bahwa
orang semacam Kebo Yuwo itu tak boleh tergesa-gesa
diperlakukan kasar. Harus lebih dulu dibujuk dengan kata2
yang halus. Maka katanya, "Ki Kebo Yuwo, ketahuilah, bahwa
aku dan kawan2 prajurit itu datang dari Majapahit karena
mengemban titah baginda kami raja Majapahit untuk
menyampaikan kabar keselamatan dan salam persahabatan
kepada raja Bedulu" Kebo Yuwo tak mau mengganggu perkataan orang. Ia
hanya diam mendengarkan dengan perhatian.
"Gusti patih yang memimpin perutusan baginda Majapahit,
saat ini sudah menghadap raja di keraton Bedulu. Agar tidak
mengejutkan dan mengganggu ketenangan rakyat, maka gusti
patih kami hanya membawa sejumlah pengiring yang sedikit
jumlahnya. Sisanya masih berada di Gianyar menunggu
kedatangan gusti patih"
"Siapa yang mengepalai prajurit2 Majapahit di Gianyar
sini?" tanya Kebo Yuwo.
"Tumenggung Gajah Para?"
"Dan engkau?" tanya Kebo Yuwo pula.
"Aku hanya bekel atau lurah prajurit bernama Malwa" kata
lurah itu?" maka janganlah salah faham. Prajurit2 Majapahit itu
membawa perutusan persahabatan dan perdamaian.
Hendaknya ki Kebo Yuwo suka memperlakukan mereka
sebagai sahabat dan sukalah melepaskan mereka supaya
dapat berkumpul kembali dengan kami di Gianyar"
Kebo Yuwo geleng2 kepala ."Telah kukatakan" serunya
"bahwa aku tak menghiraukan siapa yang kutangkap itu. Baik
mereka orang Bedulu sendiri maupun orang dari Majapahit
atau mancanagara. Yang penting mereka telah menerima
tawaranku untuk bertanding kekuatan dan mereka kalah maka
harus menetapi janjinya membantu aku membangun pura itu
sampai selesai" "Tetapi membangun pura tentu memakan waktu lama dan
kedatangan kami di Bedulu takkan selama itu. Apabila tugas
sudah selesai, mungkin besok mungkin lusa, kamipun segera
akan tinggalkan pulau ini"
"Apakah aku harus memikirkan tugasmu?" bantah Kebo
Yuwo "pada hal aku sendiripun 'sedang melakukan tugas yang
tak kalah penting dengan tugasmu. Engkau hendak
menyampaikan salam persahabatan dan perdamaian tetapi
aku hendak melindungi dan menjaga keselamatan rakyat.
Tidakkah hal itu sama. Mengapa aku harus mengalah
untukmu?" "Tetapi prajurit2 itu harus ikut dalam pasukan kami untuk
kembali ke Majapahit" seru lurah prajurit Malwa.
"Apakah aku harus memikirkan soal itu?" Kebo Yuwo
makin bersungut "mereka kalah dalam pertandingan adu
tenaga dan mereka harus menetapi janji. Sudahlah, jangan
mempersoalkan hal itu"
Melihat kekerasan sikap dan ucapan Kebo Yuwo lurah
prajurit Malwa segera membayangkan, akan timbulnya suatu
bentrokan, mungkin perkelahian dengan orang tinggi besar itu.
Belum sempat ia mengambil langkah, tiba2 terdengar derap
langkah orang menghampiri. Ketika berpaling, ia melihat tuha
Gianyar bersama tumenggung Gajah Para menuju ke tengah
gelanggang. Tergopoh ia memberi laporan hasil pembicaraannya dengan Kebo Yuwo. Tumenggung Gajah
Para mengangguk dan mengucap beberapa kata kepada tuha
Gianyar. Dan tuha itupun segera melangkah ke hadapan Kebo
Yuwo. "Ki Kebo Yuwo" serunya "apa yang dikatakan lurah prajurit
Majapahit tadi memang benar. Saat ini akulah yang menjadi
tuan rumah untuk menerima perutusan kerajaan Majapahit
yang berada di Gianyar menunggu kepala perutusan
menghadap baginda di Bedulu"
"Ya" sahut Kebo Yuwo "orang tadipun sudah nerangkan
kepadaku" "Oleh karena itu kuminta supaya ki Kebo Yuwo suka
membebaskan prajurit2 itu agar dapat berkumpul dengan
induk pasukannya di Gianyar" kata tuha Gianyar.
Kebo Yuwo merentang mata "Dalam hal itu, kurasa lebi h
baik ki lurah jangan ikut campur. Ki lurah sudah menunaikan
kewajiban menerima mereka. Sudah cukup. Soal prajurit2
yang kupekerjakan untuk membangun pura itu adalah
urusanku, dan tanggung jawabku"
"Jika demikian ki Yuwo bermaksud hendak meniadakan
wewenangku sebagai lurah yang wajib mengurus setiap
persoalan penduduk Gianyar"
"Sama sekali tidak" sahut Kebo Yuwo "tetapi aku merasa
bukan penduduk Gianyar, jadi bukan termasuk wewenang ki
lurah" "Sebagai narapraja kerajaan Bedulu, akupun berhak
mengurus persoalan yang terjadi di wilayah Bedulu. Apalagi
hal ini menyangkut kepentingan perutusan negara sahabat
yang berkunjung kemari?"
Kebo Yuwo mendesuh, "Aku tak mengingkari undang2
kerajaan. Tetapi kerajaan pun harus jangan menghapus hak
kebebasan peribadi setiap rakyat, termasuk diriku. Soal ini
tidak melanggar undang2 kerajaan karena terjadi antara
peribadi2 yang bersangkutan, suka rela dan saling setuju."
"Ki Kebo Yuwo" teriak tuha Gianyar agak keras "adakah
engkau benar2 tak mengindahkan mukaku?"
Rupaya tumenggung Gajah Para dapat melihat
ketegangan suasana akan meletup. Maka cepat ia menyela
"Ki Kebo Yuwo, aku tumenggung Gajah Para yang
bertanggung jawab atas pasukan Majapahit di Gianyar. Demi
mengingat hubungan baik antara Majapahit dengan Bedulu,
demi mengingat pula keakraban rakyat Majapahit dengan
rakyat Bedulu, kuminta sukalah tuan melepaskan kesepuluh
prajurit anakbuahku yang tuan tangkap itu"
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Kebo Yuwo gelengkan kepala, "Sayang. Permintaan ki
tumenggung itu terpaksa kutolak. Karena hal itu sudah mereka
setujui sendiri, aku tak memaksa"
"Lalu dengan cara apakah tuan dapat membebaskan
mereka?" akhirnya tumenggung Gfijah Para mendari lain daya.
Sejenak merenung Kebo Yuwopun menjawab "Ada. Yalah
menerima tawaran adu kekuatan yang kuajukan tadi. Jika
dapat memenangkan pertandingan itu, mereka akan
kubebaskan" Tumenggung Gajah Para panas hatinya. Dia hendak
menghadapi raksasa itu agar dapat menimbulkan semangat
anakbuahnya dan meruntuhkan nyali rakyat Gianyar. Segera
ia hendak menjawab tetapi lurah prajurit Malwa segera
mendekati, "Gusti tumenggung, idinkanlah hamba yang
menghadapi orang itu. Gusti sebagai pimpinan pasukan, tak
layak apabila harus menghadapi seorang manusia sinting


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semacam itu" Tumenggung Gajah Para menimang. Peringatan lurah
prajurit itu memang ada benarnya juga. Jika ia sampai
menderita kekalahan, bukankah seluruh pasukan Majapahit
akan jatuh dalam lembah kehinaan dan cemoohan rakyat
Gianyar. Memang besar sekali akibatnya, seorang
tumenggung pimpinan pasukan perang, mempertaruhkan
nama dalam pertarungan dengan seorang yang tak terkenal.
"Baik, tetapi harus hati2" ia menyetujui permintaan lurah
Malwa. Malwa segera tampil ke muka, berhadapan dengan Kebo
Yuwo"Ki Kebo Yuwo, aku menerima tawaran-mu"
"Bagus" seru Kebo Yuwo, "jika engkau menang, kesepuluh
prajurit itu akan kulepaskan. Tetapi jika engkau kalah, engkau
harus memberi sepuluh prajurit lagi kepadaku. Setuju?"
Lurah prajurit Malwa terkesiap. Ia tak menyangka Kebo
Yuwo akan mengajukan syarat seperti itu. Ia kalah, bukan
soal. Bahkan matipun ia tak menyesal. Tetapi kalau kekalahan
itu harus dibayar pula dengan kehilangan sepuluh prajurit,
berat sekali rasanya. Kebo Yuwo tertawa, "Jangan kuatir, lurah prajurit. Aku
takkan menantangmu seorang lawan seorang tetapi boleh
engkau ajak sepuluh kawanmu. Dan adu kekuatan itupun,
bukan berarti berkelahi, melainkan hanya saling tarik dengan
tali. Siapa yang kalah, dia harus menetapi janjinya. Kiranya
cara itu takkan menimbulkan korban jiwa, bukan" Entah kalau
engkau menghendaki lain cara, akupun menurut saja?"
Lurah prajurit Malwa kembali berpaling memandang
tumenggung Gajah Para dan tumenggung itupun memberi
angguk kepala maka lurah Malwa segera menerima, "Baik,
aku menerima tantanganmu" katanya kepada Kebo Yuwo.
Lurah prajurit Malwa segera memanggil sembilan prajurit
yang bertubuh kuat dan bertenaga besar. Bersama dia sendiri
kini jumlahnya sepuluh orang. Kebo Yuwo mengorak tali yang
melilit pinggangnya, seutas tali sebesar ibu jari, bukan terbuat
dari rami atau serat tanaman tetapi dari urat2 kerbau.
Panjangnya tiga tombak. Ujung tali diberikan kepada lurah Malwa "Silahkan kalian
memegang beramai-ramai. Tariklah sekuat-kuatnya, apabila
aku sampai terkisar ke muka, berarti aku kalah?"
Lurah Malwa segera memerintahkan prajurit', untuk
memegang tali itu kencang2 dan nanti setelah mulai, harus
menarik sekuat-kuatnya. "Masakan kita sepuluh orang tak
mampu menarik kerbau itu" gumamnya pela-han.
Segera kedua belah fihak siap. Kebo Yuwo memegang tali
dan berdiri disebelah utara sedang lurah Malwa dan sembilan
orang prajurit memegang ujung lain dan berjajar disebelah
selatan. "Mulai" seru Kebo Yuwo.
Maka terjadilah adu tarik tali yang seru. Kesepuluh prajurit
Majapahit itu dengan sekuat tenaga segera menarik. Tetapi
betapapun tenaga mereka telah ditumpahkan seluruhnya,
namun Kebo Yuwo tetap tegak ditempanya. Raksasa itu tak
menunjukkan perobahan air-muka. Dia tenang bagai air
telaga, kokoh laksana karang. Dia tak mau menarik melainkan
bertahan. Beberapa saat kemudian tampak wajah kesepuluh prajurit
Majapahit merah padam mukanya. Keringatpun mulai
bercucuran deras membasahi muka dan tubuh. Bahkan lurah
Malwa tampak membelalakkan biji matanya. Gerahamnya
terdengar bergemerutukan diregang nafsu geram dan
penasaran yang hebat. Tak mungkin, pikirnya sepuluh orang
tak mampu menarik seorang saja. Namun kenyataan
menghadang di depan matanya bahwa Kebo Yuwo tampak
tenang sekali sikapnya. "Agar kalian jangan menderita kekalahan" tiba2 Kebo
Yuwo berseru "silahkan mengajak lagi lima orang kawan untuk
menarik" Dalam hati lurah Malwa menolak dengan kemarahan
tawaran Kebo Yuwo yang dianggapnya sebagai suatu sikap
meremehkan fihaknya. Tetapi pikiran lurah prajurit itu
menyadari bahwa fihaknya harus memenangkan pertandingan. Jika sampai menderita kekalahan, bukan saja
kesepuluh prajurit di Kutri itu tak dapat ditolong, pun mereka
akan kehilangan sepuluh prajurit lagi.
"Engkau yang menghendaki sendiri" serunya kepada Kebo
Yuwo "apabila kalah, jangan engkau berbanyak mulut"
"Kebo Yuwo tak pernah menyesali kata2 yang telah
diucapkannya" sahut orang tinggi besar itu.
Lurah Malwapun tak mau banyak bicara lagi. Ia menggapai
dan memberi isyarat supaya lima prajurit turun ke gelanggang
untuk membantunya. Lima orang prajurit Majapahit yang
gagah, segera turun dan terus mencekal ujung tali di tempat
kawan-kawannya. Bertambah lima orang, bukan berarti bertambah bahaya
bagi Kebo Yuwo. Limabelas orang prajurit yang bertubuh
kekar dan bertenaga besar, ternyata masih tak mampu
menarik tubuh Kebo Yuwo. "Untuk yang terakhir, kululuskan kalian mengajak lima
orang kawan lagi untuk membantu fihakmu. Jika hanya begini,
aku kurang selera" seru Kebo Yuwo.
Lurah prajurit Malwa seperti hendak meledak dadanya.
Namun karena memikirkan kepentingan kawan2 prajurit
anakbuahnya, terpaksa ia tebalkan perasaan hati dan
memanggil lima orang prajurit lagi untuk membantunya.
Duapuluh orang prajurit kini menarik tali untuk menyeret
Kebo Yuwo. Tampak dahi Kebo Yuwo mengeriput dan
tubuhnya berguncang-guncang. Rupanya tenaga keduapuluh
prajurit itu terasa juga bagi Kebo Yuwo. Makin lama wajahnya
tampak merah dan tubuh makin menggigil. Jelas dia sedang
menahan suatu tenaga tarikan yang hebat.
"Orang Majapahit, sekarang aku akan balas menarik"
serunya seraya mengemasi diri, mengeratkan cekalan
tangannya pada tali. Setelah siap, mulailah ia menarik.
Saat itu mulailah fihak prajurit2 Majapahit menderita
sesuatu yang mengejutkan. Tenaga tarikan yang semula
terasa dapat mengguncang tubuh lawan, tiba2 saat itu terasa
lenyap dan tersedot oleh suatu tenaga-tarik dari lawan. Kini
mereka berbalik mempertahankan diri. Walaupun demikian,
tenaga dan penderitaan yang mereka lakukan, tak kalah
besarnya dengan dikala mereka menarik tadi.
Lambat tetapi tentu, mulailah kaki prajurit2 Majapahit itu
gemetar, makin lama makin keras, kemudian terangkat dan
berkisar maju. Semula gerak kisaran ke muka itu masih dapat
ditahan lajunya tetapi sekonyong-konyong Kebo Yuwo
meraung dahsyat dan berhamburanlah kaki prajurit2 Majapahit
itu menyongsongkan tubuh mereka meluncur maju ke tempat
Kebo Yuwo. Kebo Yuwo dengan tenaganya yang luar biasa kuatnya
berhasil menarik duapuluh orang prajurit Majapahit. Peristiwa
itu hampir tak dapat dipercaya sehingga tumenggung Gajah
Para sampai terlongong-longong kesima. Ia tak percaya apa
yang disaksikannya tetapi kenyataan bahwa keduapuluh
prajurit anakbuahnya harus terdorong maju karena ditarik
Kebo Yuwo memang benar2 terjadi.
Karena tak kuat bertahan lagi, akhirnya prajurit2 Majapahit
itu serempak melepaskan cekalannya. Mereka ingin melihat
Kebo Yuwo akan terjerembab ke belakang akibat tarikannya
telah dilepas oleh lawan. Tetapi mereka harus merentang
mata lebar ketika melihat raksasa Bedulu itu hanya
berguncang condong ke belakang tetapi secepat kilat berdiri
tegak lagi. Peristiwa itu benar2 meledakkan kejut sekalian orang
terutama para prajurit Majapahit yang berada di gelanggang
Wantilan. Lurah prajurit Malwa pucat wajahnya. Ia menyadari
bagaimana akibat kekalahannya itu. Ingin rasanya ia
membunuh diri saat itu juga. Namun sepercik kesadaran
pikirannya melintas bahwa bunuh diri takkan menolong
musibah pasukan Majapahit yang harus kehilangan nama dan
kehilangan pula sepuluh orang prajurit. Merekah pula suatu
gagasan bahwa jalan yang harus ditempuh yalah membunuh
raksasa Kebo Yuwo itu. Adakah ia berhasil membunuhnya
atau tidak, bukan soal. Karena ia tahu bahwa tindakan itu
suatu tindakan yang tak terpuji. Tindakan yang melanggar
janji. Andai ia berhasil membunuh Kebo Yuwo, ia akan bunuh
diri. Jika gagal membunuh orang itu, pun ia akan bunuh diri
juga. Karena hanya dengan tindakan bunuh diri, dapatlah ia
menyelamatkan nama baik pasukan Majapahit dan sepuluh
anakbuahnya. Gagasan itu makin menyala dan berkobar menjadi suatu
tekad yang memerah wajahnya. Serentak kaki pun bergerak
hendak melangkah. Tetapi pada saat itu pula, telinganya
terdenting suara lantang dari Gajah Para, "Ki Yuwo. engkau
menang" seru senopati itu dengan nada datar.
"Ya" raksasa itu mengangguk "aku segera mengajak
sepuluh prajurit anakbuah tuan pulang ke Pliatan"
"Akan kusiapkan prajurit2 itu" sahut tumenggung Gajah
Para. Kemudian ia berpaling dan menyuruh lurah prajurit
Malwa menyiapkan sepuluh prajurit. "Ki Kebo Yuwo, tenagamu
luar biasa sekali. Siapakah gurumu ?"
"Ah, ki tumenggung bermanja puji" seru Kebo Yuwo "sejak
kecil aku sudah bertenaga kuat, badanku tumbuh besar sekali.
Orang2 di desaku menamakan aku raksasa. Aku malu dan
hidup menyendiri di tempat sunyi"
"Siapa gurumu?" ulang tumenggung Gajah Para.
"Aku tak punya guru. Tetapi karena aku gemar bertapa,
sering aku mendapat petunjuk gaib"
"Ah, bisa saja engkau merangkai cerita" tumenggung
Gajah Para tertawa "engkau tentu sakti pula. Tenagamu yang
luar biasa, telah kusaksikan. Tetapi ingin juga aku melihat
kedigdayaanmu" Kebo Yuwo terbeliak, "Apa maksudmu?"
"Kerahkan tenagamu yang luar biasa itu dan
kedigdayaanmu semua, pukullah aku. Jika engkau mampu
memukulku rubuh, akan kutambah lagi jumlah prajurit yang
engkau butuhkan untuk membangun pura, bukan sepuluh
tetapi tiga puluh prajurit"
"Ha?" mata Kebo Yuwo merentang lebar, "sungguhkah
itu?" Tumenggung Gajah Para tertawa. "Prajurit Majapahit
takkan ingkar janji. Percayalah"
Secerah cahaya mukanya, cerah pula nada kata2 jawaban
Kebo Yuwo, "jika demikian, mari kita mulai"
"Nanti dulu, ki sanak" Gajah Para tertawa "apa katamu jika
engkau tak. mampu memukul aku?"
Kebo Yuwo terkesiap sejenak lalu menjawab, "Apa yang
engkau kehendaki?" "Aku meminta kembali sepuluh prajurit yang hendak
kuberikan kepadamu itu", dan Gajah Para sejenak
menyelimpatkan mata memandang raksasa itu, "segera
engkau tinggalkan tempat ini"
Selama ini Kebo Yuwo belum pernah mengalami
tantangan yang sedemikian ganjil. Biasanya orang
menantangnya berkelahi dan setiap perkelahian tentu selalu
dimenangkannya. Pengalaman2 itu tanpa disadari telah
menumbuhkan rasa jumaw:a dalam hatinya. Dan rasa jumawa
itu makin meluap manakala ia melihat bahwa tumenggung dari
Majapahit yang menantangnya itu berbadan kecil dan kurus.
Tidakkah dengan sekali pukul, akan berantakan tulang
belulang tumenggung itu" Pikirnya.
"Baik, ki tumenggung" serunya ringan.
Tumenggung Gajah Para mengangguk, "Jika demikian,
mari kita mulai" katanya seraya melangkah ke hadapan Kebo
Yuwo dan bersiap "silahkan"
Kebo Yuwo maju menghampiri dan ayunkan tinju sebesar
buah kelapa. Lengannya yang panjang, gerakannya yang
cepat, menimbulkan suatu pemandangan seperti buah kelapa
runtuh dari pohonnya yang tinggi. Hanya bedanya, apabila
buah kelapa yang jatuh dari ketinggian itu tentu mendeburkan
bunyi yang keras apabila jatuh di bumi, tetapi tinju Kebo Yuwo
itu tidak menimbulkan bunyi suatu apa, kecuali deru angin
berhembus. Kebo Yuwo terkejut sesaat menyadari bahwa pukulannya
hanya menerpa angin kosong, padahal jelas dilihatnya bahu
tumenggung Gajah Para yang hendak dijadikan sasaran itu
hanya terpisah sejari dari tinjunya. Rasa kejut makin
meningkat manakala dilihatnya tumenggung itu masih tegak
berdiri hanya terpisah sekilan dari lengan Kebo Yuwo.
Kemudian timbullah rasa geram pada Kebo Yuwo yang segera
diluapkarmya dengan menamparkan tangannya ke muka
tumenggung itu. Jarak sedemikian dekat dan gerak tamparan itu
dilancarkan amat cepat, tak mungkin lawan dapat menghindar.
Pikir Kebo Yuwo dengan penuh keyakinan. Namun keyakinan
itu segera lenyap bagai awan dihembus angin, ketika
tangannya menampar angin kosong.
"Gila" gumamnya dalam hati ketika melihat tumenggung itu
masih tegak didekat bahkan merapat pada tangannya. Dan
karena merasa mungkin tangan kanannya sial maka Kebo
Yuwopun segera layangkan tangan kiri meninju leher orang.
Pun untuk yang ketiga kalinya, hanya angin belaka yang
menjadi sasarannya. Rupanya Kebo Yuwo tak mau berpikir dan menilai
keadaan lawan lagi. Serentak ia ayunkan kedua tangannya
untuk memukul, menampar, menerpa, menyodok dan bahkan
menerkam. Tetapi segala usahanya tak pernah berhasil.
Tiba2 tumenggung Gajah Para menghilang dari pandang
mata Kebo Yuwo. Raksasa itu terkesiap. "Kebo Yuwo, aku
disini" seru tumenggung Gajah Para.
Kebo Yuwopun berputar tubuh menghadap ke belakang.
"Kebo Yuwo, sudah berapa puluh pukulan yang engkau
lepaskan kepadaku?" segera ia disambut pertanyaan oleh
tumenggung Gajah Para. "Aku tak menghitung tetapi sudah cukup banyak" sahut
raksasa dari Blahbatu itu.
"Adakah engkau masih hendak melanjutkan seranganmu
lagi?"

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebo Yuwo tertegun. "Engkau seorang ksatrya dan akupun juga seorang ksatrya
maka sudah layak apabila kita saling menghormati" kata
tumenggung Gajah Para "terus terang akan sia2 jualah kiranya
apabila engkau masih melanjutkan seranganmu. Bahwa aku
hanya menghindar tak mau balas menyerang, sesungguhnya
aku segan untuk mengemukakan tantangan itu kepadamu.
Karena hal itu dapat ditafsirkan sebagai sikap mencemoh
engkau. Tak terduga, engkau mau menerima tantangan itu
dan tak terduga pula engkau tak mampu merubuhkan aku,
tanpa aku membalas sebuah pukulanpun juga. Adakah
engkau tetap hendak melanjutkan pertarungan ini?"
Sekonyong- konyong tanpa menyahut sepatah kata-pun
juga, Kebo Yuwo berputar tubuh dan terus melangkah pergi.
"Kebo Yuwo" teriak tumenggung Gajah Para. Tetapi
raksasa dari Blahbatu itu tak menghiraukan. Dia tetap ayunkan
langkah makin pesat. Beberapa saat kemudian lenyap di balik
pintu gelanggang Wantilan.
Tumenggung Gajah Para menghela napas. Tiba2 lurah
prajurit Malwa melangkah ke hadapannya dan duduk,
mencabut keris seraya diangsurkan ke hadapan tumenggung
Gajah Para, "Gusti, hamba mohon paduka menjatuhkan
hukuman mati kepada diri hamba"
Sesaat tumenggung Gajah Para terbeliak tetapi pada lain
saat wajahnya pun tenang kembali, "Mengapa, bekel?"
"Hamba telah menjatuhkan kewibawaan
Majapahit dan mencelakakan anak prajurit paduka"
pasukan "Tidak benar" sanggah tumenggung. Gajah Para "kalah
menang sudah jamak dalam perjuangan apapun juga
termasuk perkelahian dan peperangan. Cukup jika engkau
menyadari dimana letak kelemahanmu dalam kekalahan itu
agar jangan terulang pula. Menghadapi seorang manusia yang
sekuat raksasa itu, sia-sia mengadu kekuatan. Kuat harus
dilawan dengan akal. Dengan akal aku dapat mengalahkannya" "Ah, beruntunglah prajurit2 Majapahit bernaung dibawah
pimpinan tuan. Apabila mendapat kepala seperti diri hamba,
hanya malu dan aiblah yang akan mereka derita" kata lurah
prajurit Malwa yang masih berkeras meminta hukuman, "jika
paduka tak menjatuhkan hukuman kepada diri hamba, hamba
kuatir tata peraturan keprajuritan kita akan kusam wibawanya"
Tumenggung Gajah Para merenungkan kata2 lurah prajurit
itu. Memang benar. Tetapi peristiwa itu belum terjadi karena
Kebo Yuwo sudah dapat dikalahkannya. Akhirnya ia
menemukan jalan. "Bekel Malwa" serunya "benar, engkau
memang harus mendapat hukuman. Tetapi hukuman itu akan
kujatuhkan kelak setelah kita kembali ke Majapahit. Dan
selama menjalankan tugas ini, apabila engkau dapat membuat
jasa2 maka hukumanmu itupun akan disesuaikan dengan
jasamu. Sekarang hari sudah menjelang sore, mari kita
kembali ke induk pasukan kita"
Demikian selesailah sudah upacara sabung ayam di
gelanggang Waniilan. Walaupun masih dilanjutkan dengan
acara tari keris, namun tumenggung Gajah Para sudah tiada
selera mengikuti lagi. Ia mengajak anak prajuritnya pulang.
Tiba di dalam kapal, tumenggung itupun segera
merundingkan cara untuk membebaskan sepuluh prajurit yang
ditawan Kebo Yuwo di desa Pliatan.
Tumenggung Gajah Para memutuskan malam itu akan
mengirim sebuah pasukan kecil untuk membebaskan prajurit2
di Pliatan itu. 0o-dw-mch-ismo-o0 III Banyak Ladrang yang ditugaskan patih Dipa memimpin
sepuluh prajurit sebagai sayap kiri yang berkedudukan di gua
Gajah, terkejut ketika dari tempat persembunyian melihat
munculnya barisan prajurit Bedulu menuju ke gua itu.
Gua Gajah sebuah gua pertapaan, tak mungkin pasukan
kerajaan Bedulu itu akan bertapa kecuali tentu hendak
menyergap musuh. Bukan mustahil bahwa mereka telah
mendapat laporan tentang terdapatnya beberapa prajurit
Majapahit disekitar tempat itu. Pikiran Banyak Ladrang
berkelanjutan dalam menilai kedatangan kelompok barisan
prajurit Bedulu. Dia memang belum berpengalaman dalam
memimpin barisan dan menghadapi pertempuran. Kuatir tak
dapat menunaikan tugas yung dibebankan kepadanya oleh
patih Dipa, maka bercabang-cabanglah pertimbangan anak
muda itu. Bagaimana ia harus bertindak menghadapi kedatangan
barisan Bedulu itu "
Dengan sepuluh prajurit, ia kuatir tak dapat menghadapi
mereka karena mungkin masih akan datang lagi barisan2 yang
lain. Namun apabila tidak bertindak, berarti ia tak menunaikan
tugas. Akhirnya terlintas dalam benaknya akan kakaknya,
Banyak Wukir, yang berada di pura Yeh Pulu sebagai sepit
kanan barisan Supit Urang yang dibentuk patih Dipa. Akhirnya
ia memutuskan untuk menemui beberapa prajurit yang telah
ditanam oleh patih Dipa di sepanjang muka pura. Akan
dimintanya prajurit2 itu untuk memberitahu Banyak Wukir di
Yeh Pulu agar lekas bergerak untuk menyerang pasukan
Bedulu yang berada di gua Gajah. Apabila pasukan Banyak
Wukir sudah bergerak, maka iapun akan bergerak juga.
Dengan demikian pasukan Bedulu tentu akan tersepit oleh dua
supit barisan Majapahit. Banyak Ladrang hanya mengajak seorang prajurit dan dia
sendirilah yang akan menyusup ke muka pura Bedulu.
Sembilan prajurit masih ditinggalkan di sebuah gunduk karang
tempat mereka bersembunyi. "Jangan bergerak dulu sebelum
aku kembali. Cukup kamu awasi gerak gerik mereka,"
pesannya kepada prajurit'' yang ditinggal di sekitar gua Gajah.
Banyak Ladrang masih asing dengan tempat2 di sekitar
Bedulu. Ia tak tahu bahwa jalan yang ditempuhnya itu menuju
ke Yeh Pulu tetapi harus melewati desa Pliatan.
Malam purwani atau malam sebelum purnama. Walaupun
rembang petang tetapi cuaca masih terang. Dan jelas bagi
Banyak Ladrang bahwa benda yang semula dikira sebagai
segunduk karang ternyata dapat bergerak. Dan makin jelas
pula, bahwa karang yang setinggi hampir dua tinggi manusia
itu, juga seorang manusia. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat
manusia yang setinggi itu. Dan mengapa pula orang itu
sedang memanggul batu besar "
Rasa heran merangsang rasa ingin tahu dan lenyaplah
rasa takut yang bermula menyelimuti hati Banyak Ladrang.
Dengan langkah lebar ia segera menghampiri. Makin dekat
makin jelas bahwa mahluk yang menyerupai raksasa itu
memang seorang manusia. Belum sempat ia meneliti lebih
lanjut, tiba2 orang itu berpaling, "Ho, prajurit lagi" serunya
pelahan namun cukup menggetarkan jantung Banyak Ladrang
dan pengiringnya. "Siapakah ki sanak ini?" setelah menenangkan getar
perasaannya, Banyak Ladrang menyapa.
"Aku Kebo Yuwo" seru orang itu "apakah engkau hendak
bergabung dengan kawan-kawanmu membantu aku
membangun sebuah pura?"
Banyak Ladrang terlongong. Aneh sekali bicara orang itu.
Pikirnya. Namun menjawab jugalah ia, "Aku hendak ke pura
Bedulu" Orang tinggi besar itu rentangkan mata lebar2, "Pakaian
keprajuritanmu seperti beberapa prajurit yang berada disini
membantu pekerjaanku. Apakah engkau juga prajurit dari
Majapahit" ?" Teringat Banyak Ladrang akan pesan patih Dipa bahwa di
tanah rantau orang, jangan lekas2 percaya pada orang. Harus
hati2. Maka iapun tak mau cepat2 menjawab pertanyaan Kebo
Yuwo melainkan balas bertanya, "Ki Kebo Yuwo, engkau
mengatakan hendak membangun pura" Pura apakah itu?"
"Pura tempat pemujaan dewa Trimurti" sahut Kebo Yuwo
"hanya dengan membangun pura ini, dapatlah rakyat kerajaan
Bedulu selamat dari segala bencana"
"O" desuh Banyak Ladrang pula "suatu pendirian yfng
baik?"Oleh karena itu engkaupun harus membantu aku" cepat
Kebo Yuwo menanggapi. Banyak Ladrang terkesiap, "Aku" Ah, maafkan. Aku masih
mempunpai urusan penting yang harus segera kukerjakan"
Kebo Yuwo menyeringai, "Betapapun pentingnya urusan
perseorangan tentu masih lebih penting keselamatan rakyat.
Hayo, lekaslah engkau bergabung dengan kawan-kawanmu"
Banyak Ladrang Siapakah mereka?""
tersengat kejut. "Kawan-kawanku"
"Prajurit2 Majapahit seperti engkau"
"Hai" teriak Banyak Ladrang, "prajurit2 Majapahit juga
berada di sini membantu engkau ?"
Kebo Yuwo mengangguk, "Benar. Mereka kalah dalam
adu kekuatan dengan aku maka merekapun menetapi janji
membantu aku di sini."
"Di mana mereka sekarang?" Banyak Ladrang makin
cemas. Kebo Yuwo kerutkan dahi, "Engkau hendak bergabung
dengan mereka atau hanya bertanya, saja?""
"Jika mereka benar prajurit2 Majapahit, akan segera
kuajak pulang menghadap gusti patih. Maaf, aku tak sempat
membantumu?" Kebo Yuwo tertawa meloroh, "Ho, tak sempat pun harus
sempat. Tak mau membantu, pun harus mau membantu.
Dewa memang sakti. Untuk meringankan pekerjaanku dewa
telah mengirim prajurit2 Majapahit dan beberapa orang
kemari. Sudahlah, hayo lekas engkau ikut aku menemui
mereka" Banyak Ladrang kerutkan dahi. "Tidak. Aku prajurit
Majapahit yang datang ke Bedulu sebagai pengiring gusti patih
menghadap baginda di Bedulu. Kedatanganku kemari bukan
karena hendak membantu pekerjaanmu, ki sanak."
"Apakah engkau benar2 menolak?" seru Kebo Yuwo mulai
rnemberingas. "Aneh" gumam Banyak Ladrang "adakah engkau hendak
memaksa aku" r"
"Apa saja katamu" sahut Kebo Yuwo "tetapi engkau harus
tetap membantu pekerjaanku?"
Banyak Ladrang mulai mengkal. Ia tahu bahwa yang
dihadapinya itu seorang manusia raksasa yang tentu memiliki
tenaga amat kuat. Tetapi iapun percaya bahwa ilmu
kanuragan dan kedigdayaan yang diteguknya dari bimbingan
eyang Kapakisan, cukup untuk menghadapi orang itu. Dalam
latihan ilmu memukul ia dapat memukul hancur keping batu
karang. Adakah tubuh manusia raksasa itu lebih keras dari
batu karang" Ah, tak mungkin. Ia bertanya dan menjawabnya
sendiri dengan penuh keyakinan.
"Kutahu," serunya selang sesaat kemudian "bahwa engkau
mengandalkan kekuatanmu yang luar biasa untuk memaksa
orang. Tetapi ketahuilah, bahwa orang Majapahit itu hanya
tunduk pada peraturan yang benar tetapi tidak pada kekerasan
yang hendak menindas orang?"Bagus" seru Kebo Yuwo "memang tak mudah untuk
menangkap orang Majapahit secara mulus. Tentu setiap
penangkapan harus disertai perlawanan. Baik, jika engkau
mampu mengalahkan Kebo Yuwo, engkau bebas melanjutkan
perjalananmu." Banyak Ladrangpun segera bersiap...Tiba2 dari arah
belakang terdengar suara orang berbisik, "Raden, jangan
mengabaikan raksasa itu. Tampaknya dia amat kuat sekali.
Baiklah tuan idinkan aku untuk bersama-sama menghadapinya?" Bukan karena takut tetapi Banyak Ladrang memang harus
lekas2 tinggalkan tempat itu untuk menghubungi prajurit2 yang
berada di luar pura. Ia memberi angguk persetujuan kepada
prajurit itu, "Lebih baik kita serang dengan senjata" kata
prajurit itu pula. "Membunuhnya?" tanya Banyak Ladrang.
"Tidak" kata prajurit "cukup apabila dia menderita luka dan
melarikan diri" Kembali, Banyak Ladrang menganggap kata2 prajurit itu
beralasan. Apabila dengan tangan kosong, kemungkinan tentu
sukar untuk mengalahkan manusia raksasa itu. "Baiklah" kata
Banyak Ladrang seraya mencabut senjatanya, sepasang
bindi. Sementara prajurit itupun segera menghunus pedang.
Setelah bersiap, Banyak Ladrang dan prajurit itu pun
segera membuka serangan. Tetapi alangkah kejut mereka
ketika batu besar yang masih dijinjing oleh Kebo Yuwo, diayun
untuk menghantam serangan senjata kedua lawannya. Batu
itu sebesar anak kerbau namun diayun oleh Kebo Yuwo
tampaknya amat ringan. Prajurit itu terkejut ketika pedangnya
disongsong batu besar. Sedemikian cepat gerak ayunan batu
itu sehingga prajurit tak sempat menarik kembali pedangnya.
Terdengar bunyi menggemertak keras ketika batang pedang
prajurit itu patah dan batupun hendak lanjut menghantam
prajurit. Melihat itu Banyak Ladrang cepat menaburkan sebuah
bindi, diarahkan pada wajah Kebo Yuwo. Hanya ada dua
akibat yang akan terjadi, jika Kebo Yuwo tetap hendak
membenturkan batu ke tubuh prajurit, mukanya sendiri tentu
termakan taburan bindi. Jika hendak menangkis bindi, Kebo
Yuwo terpaksa harus. mengangkat pula batu untuk melindungi
wajahnya. Dengan demikian prajurit tentu terlepas dari
bencana maut. Kebo Yuwo memilih menyelamatkan mukanya. Serentak ia
mengangkat batu untuk melindungi diri. Terdengar letupan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras ketika bindi menghantam batu. Bindi itu terbuat daripada
bahan baja yang keras dan berat, apalagi ditaburkan dengan
sekuat tenaga oleh Banyak Ladrang. Batu harus menderita
gempuran yang hebat sehingga memuncratkan keping2 kecil
dan serbuk batu yang tebal.
"Tugu, cepat" Banyak Ladrang cepat menyambar tangan
prajurit yang bernama Tugu itu lalu diajaknya lari. Bukan
karena takut tetapi Banyak Ladrang menganggap bahwa Kebo
Yuwo itu memang sukar dihadapi. Dengan kekuatiran tak
mampu menghadapi bahkan kemungkinan akan kalah dan
ditawan oleh manusia raksasa itu sehingga akan
menelantarkan kewajibannya yang lebi h penting, maka
Banyak Ladrang memutuskan untuk lolos saja. Yang penting
ia harus segera berhubungan dengan prajurit di muka pura
agar cepat menyampaikan berita kepada Banyak Wukir,
pemimpin barisan sayap kanan.
Marah Kebo Yuwo bukan alang kepalang ketika melihat
kedua prajurit itu melarikan diri. Dengan masih memanggul
batu besar dibahunya, raksasa inipun segera lari mengejar.
Cuaca makin malam. Banyak Ladrang dan Tugu berhasil
mencapai jalan yang merentang ke pura Bedulu. Tetapi
alangkah kejutnya ketika sebuah barisan prajurit bersenjata
lengkap menyergapnya. Dan rasa kejut makin menggelorakan
darahnya manakala diketahuinya bahwa barisan prajurit itu
bukan pasukan Majapahit. Cepat ia menjatuhkan dugaan
bahwa barisan itu tentu dari kerajaan Bedulu. Namun ia tak
sempat bercengkerama dalam duga menduga karena saat itu
barisan sudah tiba dua tombak dari tempatnya dan jelaslah
sudah mereka adalah pasukan kerajaan Bedulu.
"Hai, prajurit Majapahit" seru barisan itu seraya lari
menyerbu "Bunuh mereka!"
Banyak Ladrang benar2 terkejut. Ia tak sempat memikirkan
apa2 lagi. Tak mungkin ia mampu menghadapi sekian besar
pasukan musuh. Ia harus menyelamatkan jiwa. "Tugu, lari"
serunya seraya loncat menuju ke barat, jalan yang habis
dilaluinya karena dikejar Kebo Yuwo.
Dalam keadaan yang berbahaya memang sukar Banyak
Ladrang untuk mengatur langkah. Yang penting ia harus
menyelamatkan diri dulu sehingga ia tak menyadari bahwa
sesungguhnya ia lari kembali ke desa Pliatan lagi. Ia baru
menyadari kekeliruannya ketika memandang ke muka dan
melihat sesosok tubuh tinggi sedang berlari menuruni sebuah
bukit. "Kebo Yuwo ....." jantungnya serentak berhenti
mendebur dan kakipun terpancang di tanah.
Banyak Ladrang berpaling ke samping. Dilihatnya prajurit
Tugu pucat lesi bahkan samar2 terdengar pula gerahamnya
bergemerutukan saling bergosok. Serentak timbullah
keperibadiannya. Dia seorang pemimpin kelompok yang
ditugaskan menjadi sayap kiri dari barisan pasukan Mijapahit.
Perang hanya membuahkan dua akibat. Menang atau kalah,
mati atau hidup, luhur atau lebur. Sebagai seorang prajurit dia
harus bersikap seba gai seorang prajurit. Mati prajurit bukan di
atas alas yang empuk atau di alas permadani yang indah.
Tetapi di atas medan laga yang bergenangan darah dan
berhiaskan seribu lubang ujung senjata musuh. Demikian
wejangan yang diterima Banyak Ladrang dari eyangnya, empu
Kapakisan. "Tugu, mari kita serbu" serunya-serempak,
"Jangan raden" prajurit Tugu mencegah "suatu
pengorbanan yang sia2 apabila telur beradu dengan ujung
tanduk" "Lalu melarikan diri?" Banyak Ladrang menegas.
"Terpaksa" Banyak Ladrang mengiakan, "Baiklah, mari" dia terus
hendak lari ke utara. "Tunggu, raden" tiba2 prajurit Tugu
berseru "Kalau tertangkap, janganlah kita berdua sampai
tertangkap semua. Harus salah seorang yang dapat
menyelamatkan diri untuk memberi kabar kepada kawan2 kita"
Banyak Ladrang terkesiap "Tidak, Tugu" serunya "jika
berpisah kita tentu lemah, mudah tertangkap"
"Tetapi mati satu yang lain masih dapat memberi kabar
kepada kawan2. Jika kita berdua tertangkap, bukan hanya dua
jiwa yang mati tetapi kawan2 dalam pasukan kita tentu akan
menderita serangan. Korban akan lebih banyak, raden"
Pasukan kerajaan Bedulu yang mengejar Banyak Ladrang
dan prajurit Tugu itu, adalah pasukan dari tumenggung Kebo
Puring yang ditugaskan sebagai cucuk barisan oleh patih
Kebo Warung. Sesuai dengan rencana, sesaat hari meremang
petang maka cucuk dari barisan Garuda Nglayang yang
dibentuk senopati Kebo Warung itupun diperintahkan bergerak
dulu. Tepat mereka tiba di jalan yang akan menuju ke Kutri,
mereka melihat dua orang prajurit Majapahit berlari-lari dari
arah barat. Perintah segera dikeluarkan untuk menangkap
kedua prajurit Majapahit itu. Dan karena Banyak Ladrang serta
prajurit Tugu lari, merekapun mengejarnya. Gegap gempita
sorak sorai barisan Bedulu itu ketika lari menyerbu orang
buruannya. Banyak Ladrang tak sempat berbantah lagi. "Baik,
Tugu, selamat jalan" ia terus lari ke utara dan prajurit Tugu ke
selatan. Jiwa dari pasukan perang adalah senopati atau pimpinan.
Selama berlayar mengarungi laut, patih Dipa menyempatkan
waktu untuk mengumpulkan para anak buah pasukan dan
menempa mereka dengan ajaran2 tentang tugas, sikap dan
jiwa keprajuritan. Dibawah pimpinan seorang senopati yang
ternama, tiada terdapat prajurit yang lemah. Demikian dalam
waktu yang singkat, jiwa daripada anak pasukan Majapahit
yang dibawa patih Dipa ke Bali itu, telah terisi dengan bekal
landasan jiwa yang kokoh. Tugu, seorang prajurit rendah,
mengunjukkan pasukannya. sifat pengorbanan yang tinggi terhadap Banyak Ladrang lari menyusup daerah yang penuh batu2
cadas, gerumbul semak, hutan dan lembah. Ia tak
menghiraukan kesulitan apapun juga. Walaupun tak faham
akan jalan tetapi asal dapat lolos dari kejaran musuh. Ia harus
mencapai tempat kawan-kawannya, terutama kakangnya,
Banyak Wukir. Akhirnya berbuahlah jerih payahnya. Saat itu ia
berada disebuah tanah lapang yang menjurus ke sebuah
bangunan gedung yang indah dan besar. Ia tak tahu dimana
dirinya saat itu, tak tahu pula bangunan apakah yang
menggunduk di muka sejauh mata memandang.
Makin dekat maki n terasa bahwa bangunan itu merupakan
bangunan yang mewah, sesuai dengan tempat kediaman
pembesar keraton. Kira2 sepemanah busur jaraknya dari
bangunan itu ia berhenti dan menyembunyikan diri di balik
sebatang pohon. Sambil beristirahat memulangkan napas,
pikirannya mulai melayang. Merenungkan pasukan Bedulu
yang hendak menangkapnya tadi, tiba2 ia tersengat.
"Mengapa pasukan kerajaan keluar pada malam hari" Jelas
bukan untuk suatu keperluan upacara karena prajurit2 itu
berseragam keprajuritan lengkap dengan senjata"
Ia termenung beberapa saat. "Rasanya ada sesuatu
peristiwa yang tak wajar" pikirnya lebih lanjut "persiapan
mereka lebih menyerupai barisan yang hendak berangkat
perang. Tetapi mengapa pada malam hari" Kemanakah tujuan
mereka?" Berhenti sejenak ia melanjut, "Apakah tak mungkin mereka
menuju ke Gianyar" Yang datang ke tanah Bedulu, tiada lain
pasukan kecuali dari Majapahit. Jika mereka bersiap hendak
perang, tiada lain fihak yang diserang kecuali pasukan
Majapahit" merangkai pada kemungkinan-kemungkinan itu
tiba2 ia melonjak seperti digigit ular. "Hai! Jika benar demikian,
jelas paman patih tentu ditawan mereka."
Banyak Ladrang mulai gelisah dan makin bingung.
Membayangkan bahwa kelompok pimpinannya yang berada di
gua Gajah telah diserbu prajurit Bedulu. Kelompok prajurit
yang ditempatkan patih Dipa di muka pura pun telah diserang
pasukan Bedulu. Kemungkinan kelompok di Yeh Pulu yang
dipimpin Banyak Wukir, tentu sudah dihancurkan juga oleh
pasukan Bedulu. Dan apabila pasukan Bedulu berangkat ke
selatan pada malam hari, jelas mereka tentu akan menyerang
induk pasukan Majapahit di Gianyar. Celaka, ia mengeluh dan
mendesuh. "Aku harus segera menghubungi kawan-kawan"
pikirnya. Tetapi cepat ia membantahnya sendiri, "tetapi
bagaimana caranya " Sepanjang jalan dari Bedulu ke Kutri,
terus ke Gianyar sudah dikuasai pasukan Bedulu, bagaimana
mungkin aku dapat menyusup pasukan musuh?"
Banyak Ladrang makin cemas. Ia seorang diri dan telah
terputus hubungan dengan pasukannya. Rencananya untuk
menghubungi prajurit2 Majapahit yang ditugaskan bersiap
disepanjang jalan di muka pura Bedulu telah gagal. Rupanya
orang Bedulu sudah bersiap untuk menghancurkan pasukan
Majapahit. Rasanya patih Dipa telah gagal dalam
perundingan. Kini apakah yang harus ia lakukan"
Ia menyadari bahwa keadaan amat gawat. Induk pasukan
di Gianyar masih mempunyai pimpinan, tumenggung Gajah
Para yang perkasa. Rasanya tumenggung itu masih cukup
mampu untuk menghadapi serangan pasukan Bedulu. Yang
penting saat itu adalah mencari berita jejak patih. Dipa di
keraton Bedulu. Patih Dipa adalah pemimpin perutusan
Majapahit, senopati yang membawahi seluruh armada
Majapahit ke Bali. Patih itu merupakan jiwa daripada pasukan
Majapahit di Bedulu. Harus diselamatkan dari penganiayaan
orang2 Bedulu. "Ya, aku harus menyelamatkan paman patih"
akhirnya ia membulatkan keputusannya. Dan untuk memelaksanakan keputusan itu, ia harus menyusup masuk ke
keraton Bedulu. Betapapun akibatnya.
"Bangunan gedung di sebelah muka itu, tentulah tempat
kediaman seorang mentri kerajaan. Akan kuselidiki tempat itu,
kemungkinan aku dapat mendengar berita tentang keadaan
paman patih" demikian ia segera ayunkan langkah menuju ke
bangunan itu. Makin dekat makin dapat ia melihat jelas keadaannya.
Dugaannya memang benar. Di pintu gerbang, tampak dua
penjaga tegak dengan memancang tombak. "Jelas bangunan
itu bukan keraton raja tetapi seorang mentri berpangkat tinggi.Menilik pintu gapura dijaga prajurit, tentulah merupakan
tempat kediaman seorang hulubalang ataupun patih" pikirnya.
Banyak Ladrang menyuruk dalam kegelapan pohon2 yang
tumbuh mengelilingi dinding gedung itu. Ia menyadari bahwa
tak mungkin ia diidinkan masuk oleh kedua penjaga itu.
Bahkan kemungkinan apabila melihat dirinya, mereka tentu
akan menangkapnya. Cara yang terbaik untuk masuk kedalam
gedung itu hanyalah melampaui pagar tembok. Ia berjalan
mengintari pagar tembok, setelah mendapatkan pohon
brahmastana yang dahannya merebah kearah puncak tembok,
iapun memanjat pohon itu lalu meniti dahan dan setelah
mengambil sikap, ia terus loncat keatas puncak tembok.
Melongok kebagian dalam, ternyata merupakan sebuah kebun
luas di bagian belakang gedung. Dengan hati2 ia segera
melayang turun, menghampiri ke puri.
Kebun itu indah sekali, sebuah kolam ditengah- tengahnya
dibangun sebuah arca dewa duduk diatas sebuah bejana batu
berukiran sembilan ekor ular naga. Pada setiap mulut ular
naga itu memancurkan air kedalam kolam. Bunga2 berjajarjajar rapat dan rapih mengelilingi kolam itu. Disana sinipun
terdapat beberapa patung bermacam-macam bentuknya.
Seluruh bangunan gedung itu sepintas pandang menyerupai
bentuk sebuah pura atau kuil. Puncak atapnya pun berbentuk
seperti sebuah stupa. Terpikat hati Banyak Ladrang
menghadapi pemandangan yang seindah itu. Ia merasa
seperti berada di pertapaan eyangnya, empu Kapakisan, di
Daha. Tiba2 ia terhenyak dari lamunan ketika sayup2 ia
mendengar suara orang menangis ketakutan. Banyak Ladrang
tertarik perhatiannya. Segera ia menghampiri ke tempat suara
tangis itu. Dengan hati2 ia berhasil menyelundup masuk
kedalam puri belakang yang sunyi senyap, lalu mendekati
sebuah ruang. Suara tangis itu berasal dari ruang itu.
Jendelanya terbuka dan teraling oleh gerumbul pohon bunga
yang tumbuh di luar jendela, ia dapat melihat kedalam ruang.
Tampak seorang gadis cantik sedang berhadapan dengan
seorang pemuda. Gadis itulah yang menangis beriba-iba
seperti hendak minta dikasihani. "Arya, kasihanilah diriku" kata
gadis cantik itu dengan suara beriba-iba.
"Mengapa engkau meratap kasihan, Sridanti?" ujar
pemuda yang mengenakan ikat kepala kain dewangga,
berkulit kuning dan tampan, "aku tidak mempersakiti engkau,
Sridanti, tetapi hendak membahagiakan dirimu"
"Tetapi Arya, hamba adalah isteri rama ..."
"Kutahu, Sridanti" cepat pemuda yang tampaknya
berwajah pucat itu menukas, "engkau memang tak bersalah,
baginda yang telah memberikan engkau kepada rama, pun tak
bersalah. Yang bersalah adalah rama sendiri"
Ni Sridanti terkesiap. "Masakan sebagai orangtua, rama tak mau mengalah
kepada puteranya " Bukankah pernah rama marah ketika ibu
memberitahu kepadanya bahwa aku ingin menikah dengan
engkau, Sridanti. Tetapi kemudian, ketika ibu meninggal dunia,
baru tiga purnama saja, rama sudah mau menerima titah
baginda yang menganugerahkan dirimu sebagai isteri.
Tidakkah hal itu sangat menyakiti hatiku ?"
Ni Sridanti tetap diam. "Sejak engkau dipersunting rama, akupun jatuh sakit. Dan
akupun menolak ketika rama mengajak aku ikut memimpin
pasukan untuk menggempur pasukan Majapahit di Gianyar.
Berperang akan mendapat jasa dan pangkat tinggi, kata rama.
Tetapi apa peduliku. Aku tak ingin pangkat, tak ingin harta.
Yang kuinginkan adalah engkau Sridanti. Karena hanya
engkaulah surya yang menerangi kehidupanku. Tanpa
engkau, Sridanti, tiada arti hidup ini bagiku"
"Arya" seru Sridanti makin ketakutan, "Arya adalah
seorang putera priagung, patih Kebo Warung yang berkuasa
dan dihormati seisi istana. Bagaimana kata orang apabila Arya
bertindak yang tak layak?"
"Ha, ha" putera patih Kebo Warung yang bernama Arya
Lacana tertawa datar "telah kukatakan. Aku tak menghiraukan
semua orang dibumi Bedulu ini. Apa pun kata mereka,
silahkan mereka membuka mulut. Karena hidupku bukan
untuk kepentingan mereka tetapi untuk kepentingan suara


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatiku. Dan suara hatiku itu hanya mengumandangkan
engkau, Sridanti" Habis berkata Arya Lacana segera maju menghampiri ni
Sridanti. Ni Sridanti makin ketakutan. "Arya, jangan .... jangan
engkau tindakkan hal yang tak pantas ini. Aku adalah isteri
dari ramamu" "Apakah engkau mencintainya ?" seru Arya Lacana
membelalak. "Tidak" sahut ni Sridanti "tetapi seorang istri perwara
istana, aku hanya mentaati titah seri baginda saja"
"Ah, jangan engkau menyiksa hatimu, Sridanti" Arya
Lacana membujuk "engkau korbankan masa mudamu kepada
seorang kumbang tua"
"Arya" seru Sridanti "dia adalah ramamu"
"Ya" sahut Arya Lacana, "dia memang ramaku tetapi
seorang rama yang tak memikirkan kepentingan puteranya.
Mengapa aku harus memikirkan kepentingannya pula?"
Ni Sridanti makin pucat, "Lalu apa maksudmu ?"
"Rama ke istana untuk mengatur persiapan barisan.
Penjaga2 pun telah kusuruh berkumpul di pendapa muka.
Bujang2 telah kusuruh tidur. Sridanti, berilah obat bagi
penyakitku ini. Jika engkau menolak, aku tentu akan mati
menanggung rindu dendam yang telah menghanguskan
kalbuku ..." "Jangan, Arya?"" Sridanti menyurut mundur ketika
tangan Arya Lacana hendak memeluknya. Tetapi putera patih
Kebo Warung itu sudah gelap mata. Memang yang dikatakan
tadi benar. Ia mencintai ni Sridanti yang menjadi perwara
istana Bedulu. Ketika perwara cantik itu dianugerahkan
baginda kepada patih Kebo Warung, Arya Lancana pun jatuh
sakit. Saat itu ramanya sedang sibuk di alun2, kesempatan
sebagus itu tak disia-siakannya. Ia menuju ke ruang tempat
tinggal ni Sridanti dan mencurahkan dendam berahi yang
selama ini berkenyamuk dalam hatinya.
"Sridanti, jangan engkau siksa diriku. Aku tentu mati,
Sridanti, apabila engkau tak mau memberikan daku Tirta
Amerta yang berada dalam dirimu?" Arya Lacana makin maju
menghampiri. Baginya ni Sridanti itu bukan ibu tirinya, bukan
isteri ramanya lagi, melainkan Sridanti, gadis yang menjadi
idam-idaman hatinya. Ni Sridanti menggigil ketika mengetahui bahwa di
belakangnya itu merupakan dinding tembok. Tak mungkin ia
dapat menyurut mundur lagi. Sebelum sempat memikir lebih
lanjut, Arya Lacana pun sudah mendekapnya. Bagai seekor
singa yang kelaparan, maka dipeluknya gadis itu dan
dihujamnya dengan ciuman bertubi-tubi. Ni Sridanti menjerit
tetapi mulutnya cepat ditutup dengan tangan Arya Lacana.
Hendak meronta tetapi apa daya. Arya Lacana terlampau kuat
bagi seorang gadis selemah Sridanti. Cepat Arya Lacana
sudah dapat menguasai Sridanti lalu mengangkat tubuh gadis
itu, dibawa ke pembaringan.
Apa yang terjadi semua itu, dapat dilihat dengan jelas oleh
Banyak Ladrang. Seketika meluaplah kemarahannya
menyaksikan tindakan yang amat memuakkan dari putera
patih itu. Tetapi pada saat ia hendak bergerak tiba-tiba
terlintas sesuatu dalam benaknya. Menurut keterangan Arya
Lacana, patih Kebo Warung sedang mempersiapkan barisan
untuk menyerang pasukan Majapahit di Gianyar. Dengan
demikian jelas patih Dipa tentu tertimpa bahaya. Wanita cantik
itu adalah isteri patih Bedulu dan pemuda itu puteranya.
Apabila mereka terjerumus dalam perbuatan yang hina,
tentulah patih itu yang akan menanggung akibatnya. Yang
penting tak perlu ia mencampuri urusan mereka tetapi harus
lekas2 mencari tempat beradanya patih Dipa. Oleh karena
gedung itu jelas menjadi tempat kediaman . patih Kebo
Warung, maka tiada guna ia harus tinggal lama disitu. Lebih
baik ia menuju ke istana karena patih Dipa pun menghadap
raja di istana. Setelah menetapkan keputusan, Banyak Ladrang berputar
tubuh lalu hendak ayunkan langkah. Tetapi sekonyongkonyong ia dikejutkan oleh suara bentakan kemarahan disertai
dengan teriakan terkejut dan kesakitan. "Jahanam, engkau
berani menodai Sridanti !" Banyak Ladrang berpaling dan
tampak olehnya seorang pemuda bertubuh tegap tengah
mencengkeram bahu Arya Lacana, menyentakkannya ke
belakang hingga putera patih itu terpelanting jatuh. Kemudian
laksana seekor harimau melihat anak kambing, pemuda tegap
itu loncat mencekik leher Arya Lacana.
"Engkau Jadara !" teriak Arya Lacana tetapi tak sempat
melanjutkan kata-katanya karena harus menyiak kedua tangan
penyerangnya yang hendak mencekik lehernya.
Pendatang yang disebut Arya Lacana sebagai Jadara
mengendapkan tangan, mengganti cekikan dengan sebuah
pukulan yang tepat bersarang di mulut Arya Lacana. "Aduh ...."
putera patih Kebo Warung itu menjerit, mulutnya berlumuran
darah ketika dua buah giginya tanggal.
Jadara tak mau memberi ampun. Dengan tangkas ia
menerjang pula dan mencekik leher putera patih itu. "Mati
engkau, anjing !" serunya geram.
"Kakang Jadara, jangan, jangan membunuhnya" teriak ni
Sridanti seraya memeluk bahu Jadara.
?"". Biar-lah Sridanti, karena iapun memfitnah aku
sehingga aku dihukum buang oleh baginda" kata Jadara.
Banyak Ladrang terkesiap menyaksikan peristiwa itu,Sejak kecil mula ia memang berhati welas asih. Ia tahu bahwa
Arya Lacana itu putera patih Bedulu yang saat itu hendak
menyerang pasukan Majapahit. Tetapi ia tak sampai hati
melihat pembunuhan terjadi didepan matanya. Ia tak tahu
bagaimana hubungan mereka tetapi setiap pembunuhan,
selalu menyakiti perasaan hatinya.
"Lepaskan" tiba2 Jadara terkejut ketika melihat suara
memerintah. Ketika berpaling ia melihat sesosok tubuh loncat
masuk dari jendela dan seorang pemuda tegak berdiri
memandangnya dengan marah.
Jadara lepaskan cekikannya dan cepat menghadapi
Banyak Ladrang, "Siapa engkau ?"
"Tak perlu bertanya" sahut Banyak Ladrang "pergilah
engkau dari sini, jangan melakukan pembunuhan?"
"Hm, rupanya engkau hamba baru dari kepatihan sini"
Jadara terus maju menyerang. Banyak Ladrang pun
menghadapinya. Beberapa saat kemudian kedua pemuda itu terlibat dalam
pertempuran yang seru. Keduanya sama tangkas dan sama
cekatan. Sama2 pula menderita pukulan lawan dan memukul
lawan. Dalam pada itu setelah dilepaskan dari cekikan Jadara,
untuk beberapa saat pandang mata Arya Lacana berpudarpudar. Tetapi setelah terang kembali dan kesadaran
pikirannya pun pulih, ia segera melihat kehadiran Banyak
Ladrang yang bertempur dengan Jadara. Ia hendak membantu
pemuda yang tak dikenal tetapi jelas menolongnya itu, tetapi
tenaganya masih lemah. Maka dengan pelahan-lahan ia
merangkak menghampiri sudut ruang. Ia tahu bahwa disudut
ruang itu terdapat sebuah bende yang sedianya hanya untuk
perhiasan saja. Tetapi bilamana perlu dapat dipukul sebagai
tanda bahaya agar para penjaga segera datang. Setelah tiba
pada bende itu, segera ia ayunkan tangan hendak memukul,
"Arya, jangan ..." ni Sridanti melihat perbuatan putera patih itu.
Ia menyadari bahwa apabila bende berbunyi maka penjaga2
kepatihan tentu akan berhamburan datang. Harus dicegah
atau Jadara akan tertangkap. Maka sambil berseru, ni Sridanti
pun lari hendak menghalangi. Arya Lacana marah, tinju yang
sudah diangkat ke atas itu segera dihantamkan kepada
Siidanti. "Aduh ..." ni Sridanti menjerit rubuh tak sadarkan diri.
Jadara terkejut dan sempat berpaling. Setelah melihat apa
yang terjadi, marahnya bukan kepalang. Sekali loncat ia
tinggalkan Banyak Ladrang. Saat itu ia berada di hadapan
Arya Lacana. Tetapi terlambat juga. Setelah menghantam
rubuh ni Sridanti, putera patih itu pun segera memukul bende,
dung .... Ia tak dapat melanjutkan memukul lagi karena kaki
Jadara pun sudah mendarat di dadanya. Putera patih itu
terkapar di lantai. Jadara cepat mengangkat tubuh ni Sridanti. "Sridanti"
serunya cemas. Tetapi Sridanti tak menyahut. Gadis cantik itu
telah pingsan. Jadara memandang Banyak Ladrang dengan
tajam, seolah bertanyakan apa yang kehendaki pemuda itu
lebih lanjut. "Pergilah, aku takkan mengganggumu" seru Banyak
Ladrang dengan suara datar.
Jadara tak menjawab melainkan memanggul tubuh ni
Sridanti, sekali loncat ia sudah tiba di ambang pintu, "Lebih
baik engkau juga tinggalkan tempat ini, ki sanak" sekali loncat
pula, Jadara pun sudah menghilang keluar.
Banyak Ladrang tertegun. Dilihatnya Arya Lacana masih
terkapar pingsan. Ia tak sampai hati. Diperiksanya tubuh
putera patih itu. Dadanya masih bernapas. Jelas masih hidup
tetapi menderita luka yang cukup parah. Tengah Banyak
Ladrang termangu tak tahu apa yang harus dilakukan, tiba2
terdengar derap orang berlari dan pada lain kejab enam
penjaga bersenjata raenerobos masuk. "Tangkap pembunuh !"
mereka berteriak dan terus menyerang.
Banyak Ladrang terkejut. Ia baru menyadari bahwa suara
bende tadi, suatu pertandaan untuk memanggil penjaga. Ia
menyesal tak menurut nasehat Jadara. Tetapi semua telah
terjadi dan ia harus menghadapi keenam penjaga bersenjata
itu. Ia segera mencabut pedang dan siap hendak melayani.
Tetapi tiba2 ia mendapat akal. Ujung pedang di julaikan
kearah perut Arya Lacana, "Selangkah kalian berani maju,
tuanmu ini tentu akan mati" serunya dengan nyaring.
Keenam penjaga itu terhentak. Mereka melihat ujung
pedang Banyak Ladrang benar2 telah melekat di perut Arya
Lacana. Jika penjahat, demikian mereka menyangka Banyak
Ladrang, benar2 membuktikan ancamannya, tentulah putera
patih itu akan binasa. Pada hal mereka ditugaskan patih Kebo
Warung untuk menjaga keamanan dan keselamatan keluarga
patih. Jika Arya Lacana mati sekalipun penjahat itu dapat
ditangkap, pun mereka takkan luput dari hukuman yang akan
dijatuhkan patih Kebo Warung.
"Siapa engkau ! Jika engkau berani membunuh putera
gusti kami, akan kami cincang tubuhmu!" seru seorang
penjaga yang rupanya menjadi kepala kelompok penjaga di
gedung kepatihan. "Dia prajurit Majapahit" tiba2 seorang kawan penjaga itu
berteriak sebelum Banyak Ladrang sempat menjawab.
"Ya, benar, hayo kita bunuh" teriak kawan2 yang lain
seraya terus maju. "Tulikah kalian!" hardik Banyak Ladrang dengan bengis
"bahwa tindakanmu itu hanya akan mempercepat kematian
bendaramu ini " Hayo, majulah, kalau engkau menghendaki
dia mati!" Keenam penjaga itu terbeliak ketika ujung pedang Banyak
Ladrang benar makin melekat pada perut Arya Lacana.
"Berhenti!" teriak kepala penjaga tadi "jangan mengganggu
jiwa bendara kami" "Hm," Banyak Ladrang mendengus.
"Engkau -prajurit Majapahit ?" seru kepala penjaga itu.
"Ya" "Besar sekali nyalimu berani menyelundup masuk ke
gedung kepatihan dan melukai putera gusti patih"'
"Benar" sahut Banyak Ladrang "aku memang masuk ke
gedung kepatihan ini tetapi aku tak melukai bendaramu"
"Bohong!" serempak keenam penjaga itu berteriak dan
menegangkan senjatanya masing2 pula.
Banyak Ladrang mendesuh. Ia memang menyadari bahwa
kedudukannya amat sukar. Tak mudah untuk memaksa
penjaga2 itu mempercayai keterangannya begitu saja.
Keadaan dirinya sebagai seorang prajurit Majapahit sudah
membawa kecurigaan dan tuduhan orang.
"Begini" akhirnya Banyak Ladrang menemukah jalan, "kita
berjanji dulu. Kuberi kesempatan kalian untuk menolong
bendaramu ini. Setelah dia sadar, tanyalah kepadanya siapa
yang telah mencelakainya. Tetapi ingat, sebelum memperoleh
keterangan dari bendaramu, jangan sekali-kali kalian
mengganggu aku ?" Keenam penjaga itu saling bertukar pandang. Dan kepala
penjaga cepat mengambil putusan menerima perjanjian itu.
"Baiklah" -0o-dwkz-mch-ismo-o0- JILID 42 I LAGANA sadar ARYA setelah mendapat pertolongan
dari para penjaga gedung kepatihan. Namun ia masih
lemah. Pukulan Jadara yang
dihunjamkan dengan, penuh
kemarahan ke dada putera patih itu, masih meninggalkan
rasa sakit didada dan rasa
nyeri pada pernapasan. Putera patih itu mengerang
dan memicing-micingkan mata.
"Keparat ..... bunuh keparat itu
..." Dua orang penjaga cepat menyerbu Banyak Ladrang. Mereka mengira tentulah pemuda
itu yang diperintahkan menangkap oleh putera patih. Banyak
Ladrang terkejut tetapi ia yakin putera patih itu masih nanar
pandang matanya maka iapun melangkah maju kehadapannya. Tindakan Banyak Ladrang itu makin mengejutkan para
penjaga. Serentak mereka menyongsong Banyak Ladrang
dengan mengayun tombak. "Berhenti" tiba2 Arya Lacana berteriak. Rupanya ia terkejut
melihat Banyak Ladrang dan berserulah ia dengan segenap
sisa kekuatannya.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa penjaga itupun terkejut juga dan berpaling,
"Bukan dia ..." Arya Lacana berseru terengah-engah. Melihat
itu Banyak Ladrang melangkah maju, "Raden, mereka tak
sengaja karena tak tahu persoalannya"
Namun para penjaga itu masih bersangsi. Mereka tetap
mencekal tombak masing2 dan berpaling kearah putera patih
itu dengan pandang menanti.
Setelah memulangkan napas Arya Lacana berseru
pelahan, "Dia penolongku, mengapa hendak kalian bunuh?"
Sepercik sinar kemarahan memancar dari mata putera
patih itu tetapi sekejab kemudian pudar pula. Sekalipun
demikian cukuplah sudah membuat para penjaga gedung
kepatihan itu gemetar. Mereka kenal bagaimana perangai
Arya Lacana yang pemberang. Tak pernah putera patih itu
memberi ampun kepada orang bawahannya yang bersalah.
Serta merta mereka menghaturkan maaf.
"Terima kasih, ki sanak" Arya Lacana tak menghiraukan
para penjaga itu melainkan berkata kepada Banyak Ladrang.
"Ah, janganlah raden mengucap begitu" jawab Banyak
Ladrang "adat hidup wajib tolong menolong. Tetapi baiklah
raden beristirahat dulu. Lebi h baik pula apabila raden minum
obat" Arya Lacana memang merasa dadanya masih sesak dan
sakit untuk bernapas. Ia memerintahkan kepada para penjaga
supaya membawa dirinya ke biliknya sendiri, "Ki sanak, mari
ikut aku. Kita bercakap-cakap di ruang bilikku" katanya.
Banyak Ladrang bersangsi. Bagaimana nanti apabila
diketahui patih Kebo Warung bahwa dirinya, orang Majapahit,
berada disitu" Bukankah rencananya untuk mencari patih Dipa
akan terbengkalai bahkan hancur berantakan apabila dia
sampai ditangkap" "Ki sanak" seru Arya Lacana pula "jangan takut, kujamin
keselamatan jiwamu" Atas pernyataan itu Banyak Ladrangpun tak ragu lagi. Ia
segera mengikuti para penjaga yang membawa putera patih
itu kedalam biliknya. Belum berapa lama para penjaga berlalu,
tiba2 terdengar langkah kaki berderap-derap ringan
menghampiri bilik tempat Arya Lacana. Banyak Ladrang
terkesiap. "Jangan takut, ki sanak" kata Arya Lacana "tentulah eyang
puteriku yang datang. Beliau sudah lanjut usia dan amat kasih
kepadaku" Sesosok tubuh yang kurus menyembul di ambang pintu.
Dibawah cahaya lampu yang terang dapatlah Banyak Ladrang
menyaksikan pendatang itu. Seorang wanita tua yang masih
membekas lekuk2 kecantikan wajahnya pada masa muda,
melangkah kedalam bilik, "Lacana, mengapa engkau, ngger?"
Bergegas langkah wanita tua itu menghampiri Arya Lacana
yang berbaring ditempat pembaringan dan wanita itupun
segera mendekapnya, penuh kecemasan dari kasih seorang
ibu, "Katakanlah, kenapa engkau ?"
"Sridanti telah dibawa lari oleh Jadara" kata Arya Lacana,
"ketika kuhalangi, Jadara telah menyerang aku. Untung
pemuda itu menolongku"
"Oh" wanita tua itu berpaling memandang Banyak Ladrang
yang ditunjuk Arya Lacana, "siapa engkau, nak ?"
Ketika dekat dan berpandang muka, tergetarlah hati
Banyak Ladrang. Ia mendapat kesan baik terhadap wanita itu.
Wajahnya yang bersih, sinar matanya yang jernih, masih
memiliki pesona yang mengundang rasa hormat. "Hamba
Banyak Ladrang" sahut pemuda itu.
"Eyang ini adalah nyi Linggah Siring, eyang puteri dari
Lacana" kata wanita tua itu, "terima kasih, nak, atas
pertolonganmu" "Ah, sesungguhnya hamba yang harus mohon maaf
kepada eyang karena berani masuk ke gedung kepatihan ini"
"O" seru nyi Linggah Siring, "engkau memang bermaksud
hendak masuk ke kepatihan?"
Banyak Ladrang mengiakan.
Wanita tua itu rentangkan sepasang kelopak mata
memandang lekat kepada Banyak Ladrang. "Kulihat" katanya
"engkau bukan orang Bali, nak"
"Benar, eyang" "Lalu siapakah sebenarnya engkau ini dan apa tujuanmu
hendak masuk ke gedung kepatihan?"
Sebenarnya tiadalah tepat Banyak Ladrang berterus
terang mengatakan tentang dirinya dan maksudnya masuk ke
Sepasang Pendekar Dari Selatan 2 Ksatria Puteri Dan Bintang Jatuh Karya Dewi Lestari Pemanah Sakti Bertangan Seribu 2
^