Gajah Kencana 27
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 27
Tanca pada malam pertama itu, tak pernah terhapus dalam
hatinya. Hanya bertahun tahun terakhir, kenangan itu seolah
tertimbun oleh kesibukan2 dan perhatian2 pada lain soal.
Tetapi tertimbun bukanlah hilang, melainkan menyedap dalam
lapisan2 persoalan lain. Kini pada waktu seluruh perhatian
bangkit kembali pada kenangan manis maka seluruh lapisan2
yang menimbuninyapun berhamburan lenyap. Kini ia mulai
merasakan pula betapa indah kenangan itu. Bahkan setelah
menderita peristiwa yang mendebui kenangan itu, ia makin
merasakan betapa bahagia ia memiliki kenangan itu.
Tersiaknya timbunan2 yang menyelaputi kenangan itu,
memancarkan suatu cahaya yang gilang gemilang. Cahaya
yang dirasakan kini, sebagai cahaya jiwanya, cahaya
kehidupannya. Dan penemuan serta pengakuan akan cahaya
itu, cepat menumbuhkan rasa pilu, gemas dan kemurkaan
manakala diketahui bahwa cahaya itu telah dicemarkan oleh
awan gelap. Setetika ia melihat, ia merasakan dalam pandang perasaan
dan mata hatinya, bahwa tubuh wanita yang selama berpuluh
tahun menjadi miliknya, kini telah tercemar oleh kotoran.
Seketika itu pula ia merasa wajah dan tubuh nyi Tanca
berobah penuh dengan bintik2 hitam sehingga tiada lagi
kecantikan pada wajahnya, kelembutan pada kulit tubuhnya.
Yang ada, wanita itu telah berobah menjadi wajah seorang
hantu yang menyeramkan. Ra Tanca ngeri, sedemikian ngeri sehingga ia menutupkan
kedua tangannya ke mukanya lalu lari masuk kedalam bilik.
Diambilnya keris pusaka yang selama berpuluh tahun
tergantung pada dinding biliknya. Kyai Tundung, demikian
nama keris pusaka itu. Telah menjaga dan menundung atau
menghalau segala renta bencana, aral rubeda yang akan
menimpa keluarganya. "Kyai Tundung" sambil mengacungkan keris yang telah
dihunus itu kemukanya, ra Tanca berdoa "kali ini aku hendak
minta bantuan tenagamu. Halaulah roh jahat yang telah
menghinggapi nyi Tanca itu"
Dengan bergegas digopoh kemurkaan, ra Tanca segera
menuju ke bilik nyi Tanca. Didapatinya nyi Tanca masih tidur.
Ra Tanca berdiri dihadapan isterinya. Sejenak ia berkomatkamit "Nyai, engkau telah membhaktikan kesetyaan cintamu
kepadaku. Kutahu. Tetapi kini ragamu telah cemar. Aku harus
membersihkan noda cemar ragamu. Jangan engkau sesalkan
aku tetapi tunggulah aku di gerbang nirwana . ." ia terus
mengangkat keris kyai Tundung dan siap dihunjamkan ke
dada nyi Tanca. Rek, e, rek . . . tekek . . . tekek . . .
Bagaikan halilintar meledak disiang hari, terdengarlah bunyi
tokek menggelegar dari sebatang pohon yang tumbuh di muka
serambi. Seketika terkejutlah ra Tanca sehingga keris yang
hendak diayunkan itu terhenti di atas.
Dengkung tokek di malam sepi itupun segera
membangunkan nyi Tanca. Dan tatkala melihat suaminya
tegak berdiri di hadapannya dengan mengacungkan keris,
menjeritlah nyi Tanca "Kakang rakryan .."
Nyi Tanca cepat menggeliat bangun, memandang ra Tanca
dengan ketakutan "Kakang rakryan, engkau . . . engkau
hendak . . . membunuh aku"
Seketika hilanglah gambaran wajah hantu berbintik noda
hitam pada wajah nyi Tanca. Dalam pandangan ra Tanca, ia
berhadapan pula dengan nyi Tanca wanita yang sudah
berpuluh tahun menjadi isterinya.
Rek, e, erek . . tekek . . tekek . . . tokek masih
mendengkung-dengkung di kesunyian malam. Dengkung yang
mendetakkan jantung ra Tanca, menggugah kesadaran
pikirannya. "Engkau nyi Tanca" mulut ra Tanca menghambur tanya.
"Benar, kakang rakryan. Akulah isterimu"
Ra Tanca tertawa "Ya, benar, benar. Nyi Tanca itu adalah
isteriku, benar . . . tetapi dulu. Sekarang bukan .."
"Kakang rakryan !" nyi Tanca menjerit.
"Dulu tubuh nyi Tanca itu adalah milikku. Tetapi sekarang
telah dirampas orang .."
Saat itu baru nyi Tanca menyadari bahwa peristiwa yang
telah diderita dan disimpannya agar jangan sampai tercium ra
Tanca, ternyata telah terbongkar. Ia menangis.
"Mengapa engkau menangis" Adakah tangismu itu dapat
membersihkan ragamu yang telah cemar itu?" Nyi Tanca
masih tetap menangis. "Diam, wanita hina !" bentak ra Tanca murka "adakah
engkau kira tangismu itu dapat mengobati hatiku yang luka!
Betapa besar kepercayaan dan kecintaanku kepadamu, betapa
kejam engkau telah mencampakkannya !"
"Duh, kakang rakryan, ampunilah dosaku"
"Dapatkah ampunku itu membersihkan ragamu " Dapatkah
ampunku itu menghianati suara hatiku yang merintih-rintih
derita kesakitan" "Tetapi kakang rakryan, aku tak kuasa menghadapi paksaan
raja bedebah itu" "Mengapa engkau tak mengatakan kepadaku"
"Kakang rakryan" nyi Tanca merintih-rintih "aku cinta
kepadamu. Aku menghormat dan menjunjungmu sebagai guru
laki yang paling agung. Tiada pria di dunia ini yang kucintai
dan kudambakan bhak-ti kesetyaanku kecuali engkau, kakang
rakryan. Demi keagungan cintaku, aku tak ingin engkau
menderita kesakitan batin. Maka kusimpan rahasia itu. Biarlah
aku sendiri yang menanggung derita siksa itu, kakang rakryan.
Jangan engkau salah faham"
"Jangan merayu, wanita hina" hardik ra Tanca masih
meluap-luap kemarahan "segala kesalahan apapun yang
engkau lakukan kepadaku, seluas samudera ampunku
kepadamu. Tetapi dalam hal itu, jangan engkau mengharap
pengampunanku lagi" Serta merta nyi Tanca menjatuhkan diri berlutut di hadapan
suaminya "Duh kakang rakryan, aku memang bersalah. Tetapi
benar2 aku tak menyangka bahwa baginda akan bertindak
begitu nista kepadaku"
"Dan bukankah engkau telah mendapatkan kenikmatan
yang puas dengan baginda daripada aku si Tanca yang sudah
tua renta ini" "Kakang rakryan ..." nyi Tanca menjerit bagai serigala
melolong ditengah malam "jangan menyiksa hatiku dengan
kata2 itu. Bunuhlah aku kakang ..."
"Jika engkau memang wanita utama, mengapa engkau
tidak bunuh diri saja!"
Tiba2 nyi Tanca berbangkit "Ya, aku memang nista. Engkau
benar kakang, aku harus mati . . . ." serentak ia menubruk
tangan ra Tanca yang masih memegang keris kyai Tundung.
Bukan kepalang kejut ra Tanca. Cepat ia menghindar seraya
mengangkat keris tinggi2 ke atas kepala "Nyai, jangan engkau
memaksa aku .." Namun nyi Tanca kini yang berbalik kalap. Ia terus
menerjang lagi ke arah keris itu. Karena gugup ra Tanca telah
mendorong dengan tangan kiri sehingga nyi Tanca jatuh
terjerembab. Nyi Tanca menjerit dan jeritan itupun telah
menggugah pikiran ra Tanca.
"Nyai, engkau tak bersalah. Yang bersalah adalah raja.
Akan kubalaskan dendam kehinaan yang engkau derita itu. Ra
Tanca bersumpah akan membunuh raja bedebah itu"
Habis berkata ra Tanca terus lari keluar.
"Kakang rakryan . . . . !" nyi Tanca menjerit seraya
memburu keluar. Namun ra Tanca sudah kalap.
0odwo0 Jilid 48 I Marah ra Tanca adalah amarah kejantanan. Kejantanan
mempunyai tiga warna. Kejantanan alamiah, kejantanan
peribadi dan kejantanan wajib.
Kejantanan alamiah bersumber pada sifat seorang lelaki
terhadap wanita. Pada umumnya, apabila isteri diganggu
orang, kejantanan alamiah itu akan meluapkan kemarahan.
Kejantanan peribadi, bersumber pada sifat keperibadiannya
sebagai seorang lelaki. A pabila dihina, ditantang dan diserang,
maka melancarlah kejantanan itu dalam kemarahan yang
hebat. Kejantanan wajib bersumber pada tugas kewajiban. Bukan
melainkan prajurit, pun seluruh kawula akan bangkit
kemarahannya apabila negara diserang musuh, keamanan
terganggu. Setiap yang bersifat kejantanan
dipertaruhkan, nyawa diikhlaskan.
tentu raga akan Kemarahan ra Tanca adalah kemarahan alamiyah. Alamiyah
sebagai seorang lelaki yang merasa menjadi seorang suami.
Ibarat tubuh, apabila tidak sakit maka hampir kita
mengabaikan bakkan melupakan bahwa tubuh itu adalah
sebuah benda yang berharga bagi kita. Adalah pada saat
tubuh kita diserang sakit, barulah kita menyadari betapa
berharga tubuh yang menjadi kerangka dari nyawa kita itu.
Demikian dengan ra Tanca. Ia menganggap nyi Tanca itu
isterinya dan menjadi bagian dari raganya. Karena sudah
belasan tahun tiada terjadi apa2, iapun hampir melupakan
perasaan kesua-miannya terhadap wanita itu. Adalah setelah
mengetahui bahwa isterinya diganggu baginda, barulah ia
merasa dan menyadari betapa arti nyi Tanca itu bagi
hidupnya. Kesadaran akan arti seorang isteri bagi hidupnya,
mengembangkan perasaan yang lebih lanjut, meningkatkan
nilai dari perasaan itu dan melahirkan kenangan yang makin
meresap. Isieri adalah wanita miliknya yang telah meraga
dalam kesatuan dengan dirinya, telah pula memadu dalam
ketunggalan jiwa. Mencemarkan dia, berarti menodai dan
menghina dirinya juga. Dan marahlah ra Tanca sebagai seekor
singa jantan yang ter-luka. Ia meraung, ia mengaum marah.
Ia melolong berkepanjangan, menumpahkan segala derita
kesakitan hatinya. Ra Tanca tak ingat lagi bahwa dirinya termasuk seorang
bekas Dharmaputera yang telah memberontak. Iapun tak
menghiraukan lagi bahwa yang mengganggu isterinya itu
baginda sendiri. Yang ada dan dirasakan olehnya hanyalah
alamiyah kejantanannya sebagai seorang lelaki yang isterinya
diganggu. Lantai ruang pendapa terdengar berdebur-debur ditingkah
kaki yang ingin membawa tubuhnya cepat cepat keluar. Tetapi
karena darahnya menggelora keras dilanda kemarahan maka
menggigillah tubuhnya. Kedua kakinyapun gemetar sehingga
gemetar pula larinya. Ingin hati serasa terbang namun kaki
yang mencongklang-congklang macam kuda melincak-lincak.
Rasanya lama benar ia melintasi ruang pendapa yang hanya
duapuluh tombak panjangnya itu. Namun akhirnya dapat juga
ia mencapai tepi ujung. Tetapi pada saat ia hendak menuruni
titian, sekonyong-konyong badannya terasa berat sekali,
bahkan bukan maju melainkan menyurut mundur ....
Sebelum sempat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya,
tiba2 pula ra Tanca rasakan kedua kakinya seperti kaku tak
dapat digerakkan lagi. Dan sesaat kemudian ia mendengar
suara orang menangis. Amarah dan tangisan, merupakan dua unsur yang
berlawanan. Tidak selalu bahwa kemarahan itu akan cair
dengan tetesan airmata. Tetapi kemarahan akan terdebur juga
oleh butir2 air itu. Demikian halnya dengan ra Tanca ketika
kakinya terutik butir airmata dan telinganya mendengar suara
isak tangis, ia tertegun lalu memandang kebawah. Ah, nyi
Tanca..... "Duh, kakang" terdengar nyi Tanca merintih-rintih
"bunuhlah aku saja tetapi janganlah kakang melanjutkan niat
kakang hendak membunuh baginda "
Ra Tanca masih memandang isterinya dengan berapi-api.
"Betapalah kekuatan kakang seorang diri hendak
membunuh raja " Pabila melihat kakang masuk ke keraton
dengan menghunus keris, para prajurit tentu sudah
menangkap kakang .... "
Ra Tanca terkesiap. "Apa daya kakang hendak melawan mereka " Bukankah
sia2 belaka pengorbanan kakang nanti"
"Biar aku mati sebagai seorang lelaki!" seru ra Tanca.
"Apakah tujuan kakang hendak membunuh baginda" tanya
nyi Tanca. "Apa tujuanku " Engkau masih bertanya, hai wanita ...."
hampir terluncur kata2 yang kotor dari mulut ra Tanca.
Adakah laksana tetesan air jatuh ke laut maka kata2 itu lenyap
dari mulut ra Tanca manakala pandang matanya tertumbuk
akan sinar mata nyi Tanca yang menengadah dalam
kepaserahan. "Engkau hendak membalas cemar yang baginda lakukan
atas diriku. Kakang hendak menghapus hina yang ditimpakan
baginda kepada diri kakang" kata nyi Tanca "tetapi adakah
setelah kakang tertangkap dan dipidana, tujuan kakang itu
akan terlaksana" Ra Tanca terkesiap. "Setiap pengorbanan yang sia2 hanya bunuh diri yang
kecewa" kata nyi Tanca pula.
"Lalu haruskah aku menerima hal itu sebagai suatu
anugerah raja" seru ra Tanca.
"Kakang" nyi Tanca mengusap airmatanya "wanita
sekalipun nyi Tanca itu, tetapi aku tak merelakan tindakan
baginda. Jangan kakang nista diriku sebagai seorang
perempuan yang tak punya malu mengapa tak mau bunuh
diri. Mati bagiku, adalab cara utama untuk membersihkan
diriku sebagaimana dahulu dewi Shinta mati diatas api
unggun" Ra Tanca terdiam. "Tetapi kematian itu suatu kematian yang mati. Yang tak
membawa akibat untuk menolong hati yang diamuk dendam"
kata nyi Tanca pula"aku tak ingin mati begitu, kakang. Aku
ingin membalas kepada orang yang telah menodai diriku.
Setelah itu puaslah aku mati. Jadi kutitipkan nyawa dalam
tubuhku ini hanya sekedar untuk melaksanakan amanat
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendarn hatiku. Sekali-kali bukan karena aku terbuai hidup
dan takut mati " Wajah ra Tanca yang membara, tampak mulai berangsurangsur redup.
"Tetapi kakang" kata nyi Tanca pula "cara pembalasan yang
akan kulaksanakan, bukanlah cara amuk-amukan, cara yang
kalap, yang hanya menurutkan panasnya hati tanpa
memperhitungkan adakah tindakan itu berhasil atau bahkan
akan mencelakakan diri sendiri. Diri boleh binasa setelah
tujuan berhasil tetapi janganlah mati konyol karena
kebodohan bertindak"
Ra Tanca termangu-mangu. Memang dalam hal pemikiran
dan bicara, ia selalu kalah dengan isterinya. Ia seorang tabib
yang membenamkan waktu, tenaga dan pikiran pada ilmu
pengobatan belaka sehingga tak sempat ia mengetahui
tentang tingkah ulah dan kejiwaan orang.
Akhirnya ia mengangguk "Ya, engkau benar ... " Belum
sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba2 tertukas oleh
bayang2 sesosok tubuh yang melintas pandang matanya.
Dan pada lain saat muncullah seorang lelaki muda dibawah
titian pendapa. "Paman Tanca" seru orang muda itu dengan nada girang
demi melihat ra Tanca tegak diatas. Tetapi ia tak melanjutkan
kata-katanya karena melihat isteri rakryan itu tengah duduk di
lantai dan mendekap kedua kaki ra Tanca. Ia heran dan cepat
menunduk. Rupanya ra Tanca menyadari bahwa tetamunya itu agak
kikuk menyaksikan pemandangan pada dirinya saat itu. Tetapi
sebelum ia sempat membuka mulut, nyi Tancapun sudah
melepaskan dekapannya dan beringsut ke samping. Rupanya
nyi Tanca juga malu karena kehadiran tetamu itu.
"O, raden Prapanca" sahut ra Tanca. Cepat ia dapat
mengenali tetamu muda itu sebagai Prapanca, putera dari
dharmadhyaksa ring Kasogatan Dang Acarya Samenaka,
kerajaan Majapahit. Bergegas ia turun untuk menyambut dan
mengajak tetamu itu masuk ke pendapa.
"Paman" anakmuda yang disebut Prapanca itu mengerling
dan mengerut dahi. Rupanya ra Tanca tahu apa yang dimaksud anakmuda itu
"Ah, tidak apa-apa, raden. Paman hanya sekedar hendak
memeriksa dan membersihkan keris paman yang sudah lama
tergantung dalam bilik" katanya seraya menyarungkan keris
kedalam kerangka. "O" Prapanca mendesuh dalam nada yang datar sebagai
pernyataan menerima keterangan tuan rumah. Kemudian
keduanya naik ke titian dan duduk di pendapa.
"Angin apakah yang membawa raden tiba2 mengunjungi
tempat paman" ra Tanca membuka pembicaraan.
"Tiada lain, paman" pemuda itu dengan nada yang tenang
"hanya angin buruk yang hanya menimbulkan kesibukan bagi
paman" "Ah, tidak" kata ra Tanca "memang hidup itu hanya suatu
kesibukan belaka. Kesibukan untuk mengumpulkan bekal mati"
Prapanca tertawa "Benar, paman rakryan. Setiap kehidupan
tentu diakhiri dengan kematian. Tiada hidup tanpa mati.
Tetapipun tiada mati tanpa hidup"
Ra Tanca terkesiap. Ia memang tahu bahwa Dang Acarya
Samenaka itu seorang dharmadhyaksa ring Kasogatan,
seorang maha resi yang putus dalam ajaran Buddha dan
berbudi luhur, luas pengetahuan. Namun ia tak menyangka
bahwa putera dari Dang Acarya Samenaka yang masih begitu
muda, dapat pula mengeluarkan pernyataan yang jarang ia
dengar. Seketika timbullah pikiran ra Tanca untuk menguji
sampai dimana kepandaian putera dharmadhyaksa kerajaan
itu. "Paman berusia lebih tua, tetapi hanya merasakan keusaian
umur yang memakan tubuh dan rambut paman. Hanya
makanan dan hidangan yang silih berganti macam yang
memenuhi perut paman. Tetapi otak paman, benar2 kosong
dalam ilmu ajaran2 tua, raden. Maka paman benar2 tak tahu
apa yang raden maksudkan dalam ucapan raden tadi "
"Ah, paman rakryan hanya merendah diri" kata Prapanca
"malu hati hamba karena merasa mengguru paman rakryan"
"Tidak, raden" kata ra Tanca dengan nada bersungguh
"memang dengan kesungguhan hati dan kemurnian ingin,
paman hendak meminta keterangan kepada raden. Usia bukan
ukuran dari tinggi rendahnya kepandaian seseorang. Paman
mengakui, hampir separoh lebih dari hidup paman ini, paman
tuangkan pada ilmu obat-obatan sehingga paman kurang
dalam lain2 kepandaian, terutama ilmu ajaran agama"
"Jika demikian" kata Prapanca "hamba akan berusaha untuk
membantu keinginan paman. Tadi paman mengatakan bahwa
hidup itu hanya merupakan kesibukan untuk mencari bekal
mati. Maka ingin hamba bertanya, bagaimana paman tahu
bahwa bekal itu adalah kesibukan2 hidup" Dan tahukan
paman apa yang disebut mati itu"
Ra Tanca terkesiap. "Menurut pengertian paman yang dangkal, mati itu tak
bernyawa lagi" kata ra Tanca dengan hati mendongkol karena
merasa dirinya dianggap sebagai anak kecil yang tak tahu
orang mati. "Paman" kata Prapanca "apabila sesuatu kembali pada
asalnya, apakah itu mati"
"Apa maksudmu" "Dulu tiada anak yang bernama Prapanca. Kemudian
lahirlah Prapanca dan akhirnya Prapanca akan tak ada lagi.
Adakah itu mati namanya" Tiada lalu Ada dan kemudian Tiada
lagi" "Kata untuk Ada itu hidup. Dan kata untuk Tiada itu mati"
kata ra Tanca. "Benar" jawab Prapanca "tetapi tiada setelah Ada. Lalu
apakah nama Tiada sebelum Ada itu " Apakah itu juga mati"
"Bukan" seru ra Tanca "sebelum Hidup, itu bukan Mati "
"Jika demikian, sesudah Hidup, pun bukan Mati. Karena
bobot dan sifat dari kedua Tiada itu adalah sama "
"Aku tak mengerti, raden" ra Tanca bersungut-sungut "bagi
pengertianku, sebelum Ada, ya, Tiada. Sebelum Hidup, ya tak
hidup. Tetapi setelah Hidup lalu mati "
"Mati itu "tiada. Dari tiada kembali ke tiada" Tiada, Ada,
Tiada lalu A da lalu Tiada demikian seterusnya. Itu merupakan
perputaran hidup yang tiada berkeputusan. Antara Tiada
dengan Ada hanya suatu pertumbuhan peristiwa dalam suatu
waktu tertentu, merupakan suatu rangkaian dari satu ke
keseluruhan. Oleh karena itu, jika bekal mati yang paman
rakryan maksudkan itu, untuk bekal kelak apabila sudah mati,
aku tak setuju. Tetapi apabila bekal itu merupakan karma
daripada dharma hidup yang paman rakryan lakukan semasa
masih hidup maka aku cenderung untuk menyetujui"
Ra Tanca mengangguk. Ia tak mau memperbincangkan
lebih lanjut tentang hal itu, Namun diam2 ia mempunyai kesan
bahwa putera dari Ding Acarya Samenaka yang masih muda
belia itu, kelak tentu akan menjadi seorang yang pandai. Ia
menilai bahwa pemuda Prapanca itu memiliki pengetahuan
yang mengagumkan dalam ilmu agama yang dianutnya.
Tiba2 muncul pula pikiran ra Tanca untuk menguji sampai
dimana pengetahuan pemuda itu dalam soal-lain terutama
pemerintahan. "Ah, maaf, paman rakryan" kata Prapanca "hamba masih
muda, dangkal pengetahuan, picik pengalaman. Apa yang
hamba kailkan tadi hanya sekedar apa yang hamba ketahui
belaka ...." Timbul rasa suka dalam hati ra Tanca terhadap anakmuda
itu sehingga tiada setitikpun ia itu mempunyai rasa mengkal
terhadapnya "Ah, tidak, raden" katanya "paman kagum benar
atas uraian raden dalam hal2 yang sebenarnya masih belum
masanya dihayati oleh seorang semuda usia raden"
Tak lama bujang menghidangkan minuman. Setelah
meneguk, Prapanca agak terkejut "Wah, betapa harum
minuman ini, paman rakryan" serunya memuji.
Ra Tanca tertawa. "Memang sudah menjadi adat kebiasaan paman, raden.
Paman suka sekali mencoba dedaunan yang mempunyai
khasiat pengobatan. Timbul pikiran paman untuk mencoba
daun dan bunga srigading ini sebagai minuman. Ternyata juga
mempunyai khasiat baik, sebagai penawar haus. Memang
minuman ini tak perlu minum banyak seperti minuman dari
daun jeruk kingkit atau nipis dan lain2"
Keduanya meneguknya pula. Beberapa saat kemudian maka
berkatalah ra Tanca. "Raden, kali ini paman agak bicara ngelantur" katanya
"maukah raden memberi keterangan " Paman hendak
bertanyakan soal undang2 pidana di negeri kerajaan kita ini,
raden" "Ah" Prapanca agak terkejut. Tetapi kemudian ia tenang
kembali "hamba seorang muda, paman rakryan, sudah tentu
pengetahuan hamba amat dangkal. Hamba memang gemar
belajar apa saja. Mudah-mudahan hamba dapat menghaturkan keterangan akan hal yang paman kehendaki
itu" "Raden" ra Tanca menghela napas "apakah pidana itu
masih berlaku pada siapa saja" Apa2 saja yang termasuk
dalam pidana itu" Prapanca terkesiap. Mengapa ra Tanca mengajukan
pertanyaan semacam itu " Adakah dia hendak menguji
pengetahuanku" Diam2 timbul suatu pikiran dalam hatinya.
Prapanca masih seorang muda. Dia gemar sekali mempelajari
kitab2, baik mengenai agama maupun pengetahuanpengetahuan lain. Juga undang2 pidana, dia-pun membaca
juga. Dia memiliki ingatan yang cerdas dan setiap yang pernah
diketahuinya, tentu selalu melekat dalam benaknya.
Tetapi sebagai seorang muda, tak terlepas pula dari rasa
ingin menonjol, terutama karena ia mengetahui soal yang
ditanyakan rakryan Tanca. Dengan agak mengandung rasa
panas hati karena menduga ta Tanca hendak mengujinya,
maka serentak timbul di rangsang nafsunya untuk menghadapi
dan menjawabnya. "Undang2 kepidanaan dalam kerajaan Majapahit berlandaskan pada kitab Agama. Dan kitab per-undangundangan Agama itu banyak mengambil sumber dari kitab
Kutaradharmasastra" Prapanca mulai keterangannya dengan
sebuah uraian tentang asal usul per-undang-undangan yang
digunakan dalam kerajaan rangkaian kata-katanya jelas.
Majapahit. Nadanya terang, "Manawadharmasastra adalah ajaran maharaja Manu,
ketika manusia baru saja diciptakan. Beliau seperti batara
Wisnu. Kitab Kutaradharmasastra, adalah ajaran bagawan
Bregu pada jeman Treptayoga. Beliau-pun seperti batara
Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh semua orang. Ajaran
itu telah berlaku sejak jeman purba"
Berhenti sejenak Prapanca melanjut pula "Kitab perundangundangan Agama yang berlaku di kerajaan Majapahit adalah
kitab undang-undang Hukum Pidana. Tetapi di samping itu,
pun terdapat pula hal2 yang mengatur hukum perdata,
misalnya jual beli, pembagian warisan, pernikahan dan
perceraian serta lain2. Sembilan belas hal yang tercantum
dalam kitab Agama itu"
Kembali Prapanca berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula
"Ketentuan mengenai denda, tentang kejahatan, terutama
Astadusta atau pembunuhan, perlakuan terhadap hamba atau
kawula, pencurian atau Astacoiah, paksaan atau Aulah sahasa,
jual beli adol atuku, gadai atau sanda, ahutang apihutang,
titipan, mahar atau lukon, pernikahan atau kawarangan,
perbuatan mesum atau Paradara, warisan atau Drewe
kaliliran, menghina atau Wakparusya, menangani atau
Dandaparusya, kelalaian atau Kagelehan, perkelahian, tanah,
fitnah atau Duwilatek. Semua berjumlah sembilan belas bab"
Ra Tanca terkejut. Ia tak menyangka bahwa pemuda
Prapanca dapat menguraikan bab2 pokok dalam kitab
perundang-undangan Agama dengan sedemikian lancar dan
urut. Makin meningkat rasa kagumnya terhadap putera dari
dharmadhyaksa Samenaka. "Raden" katanya "paman ingin menanyakan keterangan
yang lebih lengkap mengenai hal Paradara yang terdapat
dalam kitab Agama itu "
Prapanca terkesiap. Ia makin heran mengapa ra Tanca
menaruh minat sedemikian besar hal yang disebut Paradara
atau perbuatan mesum itu. Namun karena sudah terlanjur
menguraikan soal kitab perundang-undangan itu maka iapun
akan melanjutkan pula untuk memenuhi permintaan tuan
rumah. "Paradara artinya isteri
orang lain" Prapanca mulai uraiannya "yang
dimaksud dengan Paradara ialah tiap perbuatan yang tidak senonoh terhadap isteri orang lain atau terhadap wanita yang telah menikah. Perbuatan yang tidak senonoh terhadap seorang gadis juga disebut Paradara. Wanita
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah menikah disebut Wanita Palarangan. Ia hanya terikat pada suaminya saja. Siapapun yang merenggangkan hubungan antara suami isteri, baik sengaja atau
tidak sengaja, dia melakukan perbuatan yang dikenakan
pidana. Demikian pada hakekatnya undang-undang Paradara
itu dimaksud untuk membina ketenteraman kehidupan
keluarga. Karena ketenteraman keluarga itu merupakan
sumber kesejahteraan masyarakat dan negara "
Prapanca berhenti sejenak lalu melanjut.
"Barangsiapa mengganggu atau menggoda isteri orang lain,
dikenakan denda oleh raja yang berkuasa, sesuai dengan
besar kecilnya kesalahan. Jika wanita itu isteri orang
keturunan tinggi, dendanya duapuluh ribu. Jika wanita itu
isteri orang tengahan dendanya sepuluh ribu. Dan jika wanita
itu isteri orang tingkat rendah, dendanya lima ribu. Yang
menerima uang denda itu adalah suaminya, demikian itu jika
ia menghendaki denda uang. Jika si penggoda atau
pengganggu itu tertangkap basah oleh suami wanita itu, suami
itu berwenang untuk membunuhnya. Demikianlah suami yang
dirugikan itu mendapat pepulih berupa uang atau jika mau,
mendapat hak penuh untuk menghukum orang yang
mengganggu isterinya itu, tanpa ada tuntutan apapun dari
undang2 " "Dan barangsiapa berbuat mesum dengan wanita yang
telah bersuami" hanya sejenak mengambil napas, Prapanca
melanjutkan pula "dikenakan pidana mati. Pelaksanaan pidana
mati itu dilakukan oleh suami wanita yang bersangkutan ..."
"O, suami dari wanita yang terganggu itu berhak untuk
menghukum mati pengganggu itu?" tanpa disadari ra Tanca
berseru dengan nada setengah berteriak.
Prapanca terkejut, menatap rakryan
mengangguk "Benar, paman rakryan"
itu. Kemudian "Adakah, pengganggu itu tak dapat memohon ampun?"
tanya ra Tanca. "Jika dia mohon hidup, dia dikenakan uang tebusan empat
puluh ribu. Tetapi itupun tergantung dari suami wanita yang
bersangkutan, mau memberi ampun atau tidak"
Ra Tanca mengangguk. "Undang2 tentang Paradara itu amat keras dan terperinci"
kata Prapanca "dalam Paradara juga di kenakan pidana potong
anggauta badan yang berbuat salah. Barangsiapa memegang
wanita yang telah bersuami, maka orang itu supaya dipotong
tangannya oleh raja yang berkuasa sebagai tanda peringatan,
bahwa o-rang itu pernah menjamah isteri orang lain dan diusir
dari desa tempat tinggalnya"
"Oh" desuh ra Tanca.
"Jangankan menjamah, bahkan bicara dengan wanita yang
telah bersuami di tempat yang sepi, juga dikenakan denda
dalam undang-undang. Perbuatan itu disebut Strisanggrahana.
Besar kecilnya pidana yang dijatuhkan itu tergantung pula
pada besar kecilnya kesalahan serta tinggi rendahnya
kedudukan wanita yang bersangkutan. Sekalipun orang yang
berbicara dengan isteri orang di tempat sepi itu tidak
disebabkan karena ia berminat kepada perempuan itu dan
karena ia tak tahu pula bahwa wanita itu telah menikah
menjadi isteri orang, orang itu-pun tetap dikenakan denda
sebesar lima ribu. Demikianlah paman rakryan, hal2 yang
mengenai Paradara" "Terima kasih, raden" kata ra Tanca "kini jelaslah sudah
paman akan hal yang paman tanyakan itu "
"Maaf, paman" sahut Prapanca "terkandung setitik rasa
heran dalam hati hamba, menerima pertanyaan paman
rakryan itu. Dalam hubungan dan maksud apakah paman
menghendaki keterangan tentang hal Paradara itu"
Ra Tanca terkesiap namun cepat ia dapat menjawab "Ah,
hanya sekedar pengetahuan belaka, raden. Karena seperti
raden uraikan tadi, ketenteraman kehidupan rumahtangga itu
merupakan pokok pangkal kesejahteraan hidup masyarakat
dan negara. Dan hal itulah yang wajib dicamkan oleh setiap
kawula dan bahkan mentri2. Bukankah undang2 dalam kitab
Agama khusus mengenai soal Paradara itu berlaku terhadap
siapa saja" "Benar, paman rakryan" ujar Prapanca "undang-undang
dalam kitab Agama itu berlaku bagi setiap orang tanpa
pandang kedudukannya. Tentulah paman rakryan masih ingat
akan peristiwa yang menimpa diri rakryan demang Lembu
Sora semasa pemerintahan rahyang ramuhun Kertarajasa
yang lalu. Demung Lembu Sora seorang mentri yang
berkedudukan tinggi dalam pemerintahan kerajaan Majapahit.
Tetapi dia tetap dikenakan tuntutan hukum mati karena telah
membunuh senopati Mahesa Anabrang. Perbuatan itu dalam
kitab perundang undangan Kutaramanawadhar-masastra
disebut astadusta" "O, apakah sebelumnya kitab Agama, kerajaan Majapahit
menggunakan kitab undang2 Kutaramanawadharmasastra"
tanya ra Tanca. "Maaf, paman rakryan, tadi hamba telah lupa untuk
memberi keterangan tentang hal itu" kata Prapanca. Kitab
Agama itu juga disebut Kutaramanawa-dharmasastra.
Kutaramanawadharrnasastra berasal dari gabungan antara
Kutaradharmasastra dengan Manawadharmasastra"
"Raden" kata ra Tanca dengan nada agak tergetar sehingga
Prapanca tertegun "bagaimana andaikata raja yang bertindak
salah, misalnya melakukan tindak Paradara"
Prapanca terbeliak dan tertegun. Ia tak pernah menyangka
bahwa ra Tanca akan mengajukan pertanyaan yang
sedemikian. Sampai beberapa saat ia merenung.
"Menurut hemat hamba yang picik, paman rakryan"
akhirnya Prapanca berkata "seorang raja adalah seorang
titisan jiwa agung yang direstui dewata untuk mengayu
hayuning praja dan buana. Memerintah, mengatur dan
menyejahterakan pemerintahan untuk kesentausaan dan
ketenteraman kehidupan para kawula. Dalam kitab Agama
disebut, semoga raja yang berkuasa teguh hati dalam
menetapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah
memutuskan dan jangan sampai orang yang bertingkah salah,
luput dari pidana. Itulah kewajiban raja yang berkuasa, jika
beliau mengharapkan kerahayuan negaranya"
"Rasanya paman belum merasa mendapat jawaban yang
jelas dari raden mengenai pertanyaan paman tadi" masih ra
Tanca mendesak. "Dalam segi martabat yang tinggi, raja laksana, duta
dewata untuk menenteramkan dan mengatur dan memerintah
negara, agar negara tenteram damai, rakyat aman sejahtera.
Dalam segi kedudukan, seorang raja a-dalah penguasa
tertinggi, yang memegang kekuasaan atas undang2 sebagai
sebuah sarana untuk mengatur kesejahteraan dan keamanan
negara serta kehidupan rakyat. Raja adalah junjungan
seluruh kawula yang menyembah dan taat akan
kebijaksanaan, kewibawaan dan keadilan. Dalam rangka inilah
kiranya pertanyaan paman tadi telah terjawab. Seorang raja
harus memegang teguh dan bijaksana serta adil paramarta
dalam melaksanakan undang2 sebagai sarana dari cara
mengatur praja, jika beliau mengharapkan kerahayuan
negaranya. Jika beliau tidak dapat menetapkan dharma
kewajibannya, jelaslah sudah kerahayuan negara tentu sukar
terlaksana" Ra Tanca terdiam. "Uraian hamba itu menurut pendapat dan ulasan hamba
dalam pandangan dan pengetahuan hamba yang picik, paman
rakryan" kata Prapanca menyusuli kata-katanya.
Ra Tanca menghela napas. Ia memang tahu bahwa
Prapanca tentu sukar untuk menjawab pertanyaan itu dengan
jelas. Namun ia tak terpengaruh oleh jawaban apapun yang
akan diberikan pemuda itu. Baginya hanya berlaku suatu
kesimpulan. Bahwa barangsiapa yang melanggar tindak
Paradara maka dia dapat dikenakan hukuman mati atau
dibunuh oleh suami dari wanita yang bersangkutan. Dan
bahwa undang2 kerajaan itu berlaku untuk semua orang tanpa
memandang kedudukannya. Ia sudah puas dengan hal itu.
"Maafkan, raden, karena paman terlalu banyak mengajukan
pertanyaan. Rasanya keterangan yang raden berikan itu sudah
cukup banyak dan jelas bagi paman" kata ra Tanca, kemudian
mengajak tetamunya untuk meneguk minuman pula.
Beberapa saat kemudian ra Tanca baru menanyakan
maksud kunjungan dari Prapanca.
"Maafkan, paman rakryan" kata pemuda itu "hamba diutus
rama hamba untuk memohon obat kepada paman"
"Siapakah yang sakit, raden"
"Rama hamba sendiri, paman rakryan. Maklum rama sudah
lanjut usia dan pada waktu akhir-akhir ini, rama sering
mengidap penyakit pinggang. Sering terasa kejang dan nyeri
sehingga rama sampai tak dapat bangun dari pembaringan"
"O" ra Tanca mengangguk "baiklah, raden. Tunggu
sebentar akan paman ambilkan ramuannya"
Ra Tanca meninggalkan tetamunya dan masuk ke dalam.
Tak berapa lama ia keluar pula dengan membawa ramuan
obat dan diserahkan kepada Prapanca serta cara merebus dan
meminumnya. Setelah tiada hal2 yang perlu dibicarakan lagi,
Prapancapun segera mohon diri.
"Benar2 seorang pemuda yang cerdas" kata ra Tanca
seorang diri setelah tetamunya pergi "kelak dia tentu menjadi
seorang besar dalam kerajaan Majapahit. Mungkin lebih
termasyhur dari ayahnya Dang Acarrya Samenaka. Hm,
rupanya kerajaan Majapahit akan berhiaskan beberapa tokoh
yang cemerlang. Prapanca, putera dharmadhyaksa ini kelak
akan menjadi pujangga besar dalam menyemarakkan kerajaan
Majapahit. Dan yang satu...." ia berhenti sejenak untuk
merenung dan membayangkan "kalau tak salah, adalah bekel
bhayangkara yang pernah menyelamatkan raja dari
pemberontakan Dharmaputera yang lalu dan kini menjabat
sebagai patih Daha. Andaikata tiada bekel muda itu, mungkin
Dharmaputera tentu sudah berhasil menggantikan kekuasaan
raja" "Hm, sayang" dia menghela napas geram dan pedih "bahwa
raja Majapahit itu seorang junjungan yang kurang bijaksana,
kurang pandai mengambil kesetyaan mentri2 dan senopati
sehingga negara sering diancam pemberontakan dan huru
hara. Dan terutama . ."
....sampai pada renungan itu, merahlah muka ra Tanca
"raja suka bertindak tak senonoh terhadap wanita bahkan
isteri dari mentri-mentrinya juga diganggu. Akupun telah
menjadi korban raja itu. Hm, sekalipun tidak disebut dengan
jelas, bahwa raja juga tak luput dari pidana seperti yang
tercantum dalam kitab Agama, tetapi kitab undang-undang
itu mengatakan bahwa pidana itu berlaku kepada seorang
yang bersalah tanpa pandang kedudukan. Tindak Paradara,
mati dibunuh pidananya"
Ra Tanca mengerut geraham, memadu tekad.
"Nyai, benar" katanya seorang diri pula "segala tindakan
harus dirancang secara cermat. Janganlah niat akan hancur
oleh tekad. Yang kuhadapi seorang raja, tak mungkin aku
bertindak secara gegabah seperti membunuh seorang pencuri
..." "Hm, tentu akan datang saatnya raja membutuhkan
tenagaku untuk mengobatinya" akhirnya ia menghibur diri
"dan pada waktu itulah kesempatan yang baik bagiku untuk
melaksanakan pembalasanku"
"Tetapi bukankah aku tentu ditangkap dan dibunuh" Ah, itu
sudah menjadi akibat dari perbuatanku. Aku tak takut. Tetapi
bukankah isteriku dan keluargaku juga akan ditumpas oleh
kerajaan Ya, bagaimana puia. Bagi nyai, hal itu tentu akan
diterimanya dengan penuh kerelaan. Karena bukankah dia
sendiri juga menghendaki kematian untuk membersihkan noda
yang telah mencemarkan kesucian dirinya"
"Aku mati, memang sudah selayaknya mati. Karena aku
membalas dendam, karena aku membunuh raja. Tetapi
bagaimana dengan ilmu pengobatan yang amat berharga bagi
kepentingan manusia itu " Bukankah ilmu juga akan turut
lenyap bersama mayatku. Bukankah mereka yang menderita
sakit akan ikut kehilangan"
"Tetapi ah, mereka tak mengetahui persoalanku. Jika aku
memikir dan mempertimbangkan kesemuanya itu, luluhlah
semangatku, lenyap niat hatiku membalas dendam. Tidak!
Dari segi lain, aku telah berjasa kepada rakyat karena berani
menindak seorang raja yang tak senonoh. Agar kelak bagi
raja2 penggantinya, dapat menjadikan sebagai peringatan dan
suri tauladan bagaimana seharusnya seorang raja itu"
0odwo0 II Patih Dipa terkejut sekali ketika pada hari itu datang
seorang utusan dari Kahuripan yang menitahkan patih Dipa
supaya ke Kahuripan menghadap sang Rani.
"Gusti" patih Dipa menghaturkan laporan ketika menghadap
Rani Daha "ayunda paduka gusti Rani Kahuripan menitahkan
hamba menghadap ke Kahuripan"
"O, lalu" tampak Rani Daha tak terkejut mendengar berita
itu. "Gusti" sembah pula patih Dipa "tidakkah
mengetahui maksud titah gusti Rani Kahuripan itu"
paduka "Ayunda Rani Kahuripan tentu mempunyai urusan penting
sehingga mengutus pengatasan untuk menitahkan engkau.
Aku tak tahu apa yang akan dititahkan ayunda Rani
kepadamu, patih" kata Rani Daha.
Patih Dipa heran. Lebih heran pula, diam2 ia sempat
melihat bahwa
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rani Daha itu berusaha untuk menyembunyikan senyum tawanya.
Masih menjadi pemikiran patih Dipa setiba di kepatihan,
akan sikap Rani Daha tadi. Rani mengatakan tak tahu tetapi
sikapnya menimbulkan keheranan. Bahkan wajahnya yang
tampak gembira, samar2 menyembunyikan senyum.
"Mengapa tampaknya Rani sedemikian gembira mendengar
aku dipanggil ke Kahuripan" masih patih Dipa bertanya dan
bertanya pula. Namun tetap tak mengerti.
Diapun heran mengapa Rani Kahuripan memanggilnya.
Padahal sudah sejak bertahun-tahun ia meninggalkan
Kahuripan dan pindah ke Daha, jarang sekali Rani Kahuripan
memanggilnya "Tentu bukan urusan praja, karena daerah
Kahuripan sudah mempunyai patih serta mentri2 dan selama
ini daerah itu aman dan giat membangun" katanya "lalu
apakah urusan lain" Tetapi urusan apakah itu"
Patih Dipa merasa bahwa hubungannya dengan sang Rani
Kahuripan amat erat. Ia masih ingat betapa dahulu ketika
sebelum menjadi prajurit Majapahit, ia pernah menolong ratha
sang Rani yang hampir meluncur ke dalam jurang. Dan kala
itu Rani telah menganugerahkan kepadanya sebentuk cincin.
Kemudian setelah ia diangkat sebagai patih Kahuripan, juga
sang Rani telah melimpahkan kepercayaan yang besar
kepadanya. "Ya, apapun yang akan dilimpahkan Rani kepadaku tentulah
demi kebaikanku" akhirnya ia membekali pikirannya dengan
keputusan itu. Tiba di Kahuripan iapun langsung menghadap Rani. Tampak
Rani Kahuripan puteri Tribuanatunggadewi menyambutnya
dengan wajah yang cerah. "Engkau tentu terkejut menerima titah panggilanku, patih
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Dipa?" sambut Rani. "Benar, gusti" patih Dipa memberi hormat "adakah sesuatu
yang hendak paduka limpahkan kepada diri Dip "
"Benar, patih" ujar Rani Kahuripan "akan kuserahkan
sesuatu yang berat kepadamu. Sanggupkah engkau
melaksanakan" "Sekalipun raga hamba hancur, apapun titah paduka tentu
hamba laksanakan" kata patih Dipa.
"Benarkah engkau sanggup melakukan titahku?" Rani
menegas. "Benar, gusti" "Apapun juga" Patih Dipa mengiakan.
"Aku percaya akan janjimu, patih" kata Rani "bagaimana
keadaanmu selama menjabat patih di Daha"
"Menurut hemat hamba, tiada hal yang menyulitkan
pekerjaan hamba selama hamba bertugas di Daha, gusti"
"Kudengar adinda prabu
kepercayaannya kepadamu"
Jayanagara, makin besar Patih Dipa mengiakan. Iapun lalu menghaturkan peristiwa
baginda Jayanagara telah menganugerahi pedang Adi-petaka
sebagai tanda atas jasanya mengamankan Bali-Bedulu.
"Patih Dipa" ujar Rani Kahuripan "kulihat kedudukanmu
makin meningkat. Bukan mustahil, patih, setingkat lagi engkau
tentu akan pindah menjadi patih di pura Majapahit. Majapahit
merupakan pusat pemerintahan kerajaan. Apabila engkau
duduk sebagai patih di pusat pemerintahan itu, rasanya
kedudukanmu sudah hampir mencapai puncak yang tertinggi "
"Kesemuanya itu tak lain berkat restu paduka, gusti" kata
patih Dipa dengan rendah hati.
"Tidak, patih" ujar Rani Kahuripan "sesungguhnya restu itu
takkan membawa perobahan pada orang apabila orang itu tak
mau merobah dirinya sendiri. Engkau sendirilah yang
menjadikan dirimu sekarang. Engkau rajin, jujur, setya
melakukan setiap tugas. Sifatmu yang selalu mementingkan
keperluan negara, selalu memperbawai setiap langkahmu
sehingga engkau berhasil meniti ke puncak tangga kedudukan
yang tinggi" Kembali patih Dipa menghaturkan terima kasih.
"Engkau hanya menyibukkan diri, waktu, pikiran dan
tenagamu mengurus semua tugas kewajibanmu. Tetapi
engkau melalaikan sesuatu. Sesuatu yang penting dalam
kehidupanmu" Patih Dipa terbeliak mendengar ucapan Rani bernada keras
seolah menyesali dirinya "Gusti, kehidupan hamba, jiwa dan
raga, hamba haturkan ke bawah duli paduka. Apabila hamba
bersalah, sudilah paduka berkenan menjatuhkan pidana
terhadap diri hamba"
"Benar" ujar Rani Kahuripan pula dengan nada masih keras
"engkau memang bersalah dan harus dihukum. Katakan,
apakah engkau bersedia menerima pidana itu"
Walaupun terkejut tetapi diam2 patih Dipa agak heran. Ia
tak mengerti apa kesalahan yang dilakukannya, terutama
terhadap sang Rani. Tetapi mengapa sang Rani menitahkan
supaya ia mengatakan bersedia atau tidak menerima hukuman
itu. Benar2 ia tak mengerti apa maksud yang tersembunyi
dalam ucapan sang Rani itu.
"Gusti" sembah patih Dipa "hamba pasti akan menerima
apapun pidana yang hendak paduka limpahkan pada diri
hamba" "Tanpa mengetahui apa kesalahanmu"
"Hamba percaya bahwa setiap pidana yang paduka
limpahkan kepada hamba, tentu karena hamba bersalah" kata
patih Dipa "gusti, betapapun hamba ini hanya seorang tirah
dewata yang rendah, tentu tak luput dari kesalahan. Tetapi
sering hamba tak mengetahui bahwa hamba tak merasa akan
kesalahan itu. Maka hamba amat bersyukur sekali apabila
paduka berkenan menunjukkan kesalahan hamba, agar hamba
dapat memperbaikinya"
"Baik, patih" ujar sang Rani "kesalahanmu bukan kepada
siapa2, melainkan kepada dirimu sendiri. Tetapi walaupun
demikian, secara tak langsung hal itu mempengaruhi juga
akan tugas yang engkau pikul "
"Hamba bersalah kepada diri hamba sendiri?" kali ini
betapapun tenang patih Dipa, namun ia terkejut juga.
"Ya" "Dalam hal apa hamba bersalah, gusti"
"Engkau telah mengabaikan dirimu sendiri, patih" seru Rani
"lihat betapa wajahmu telah menyerupai seorang yang berusia
tigapuluh tahun walaupun kupercaya engkau belum mencapai
usia sebanyak itu!" Patih Dipa tersipu-sipu. "Hidupmu hanya dicengkam ketegangan dan ke-resmian.
Tak pernahkah engkau memikirkan bahwa makin lama
tubuhmu makin usai dimakan umurmu " Tidakkah engkau
merasa bahwa engkau telah mengabaikan sebuah dharmamu
sebagai manusia" Samar2 patih Dipa seperti dapat menangkap kemana arah
tujuan ucapan sang Rani. Namun dia diam saja. Ingin ia
mendengarkan lebih lanjut keseluruhan dari maksud sang
Rani. "Patih Dipa" ujar sang Rani pula "kedudukanmu sudah
tinggi, negarapun dalam keadaan aman tenteram. Mengapa
engkau tak memikirkan untuk melaksanakan dharma hidupmu
yang satu itu" Kini makin jelas patih Dipa akan arah ucapan sang Rani.
"Tetapi gusti" sembahnya "tugas negara masih menuntut
diketumpukan bukit, haruskah hamba bersenang-senang diri"
Cita2 hamba masih jauh dari selesai, haruskah hamba terlelap
dalam kesenangan itu"
Rani Kahuripan tertawa. "Engkau salah" ujarnya "karena engkau berpijak pada
landasan berpikir yang salah, maka salah pula langkahmu.
Patih Dipa, engkau mengatakan bahwa tugas negara masih
menganak bukit. Cobalah engkau jawab pertanyaanku, bilakah
tugas negara itu akan selesai selama negara itu masih berdiri"
Patih Dipa tertegun. "Engkau mengatakan pula bahwa cita-citamu masih jauh
selesai. Cobalah engkau jawab, bilakah engkau menyelesaikan
cita-citamu itu" Bilakah cita2 itu terhapus dalam hatimu"
Selama engkau masih hidup, dapatkah engkau tiada bercita
lagi" Apabila engkau sudah tua renta dan heudak menunggu
kematian seperti umumnya orang mengatakan begitu"
Menunggu kematian, juga sebuah cita2. Nah, katakan apa saja
yang terlepas dari cita2 itu" Kurasa selama hayat masih
dikandung badan, tentu orang mempunyai cita-cita"
Pada biasanya patih Dipa amat tangkas bicara terhadap
orang lain. Tetapi entah bagaimana, pada saat berhadapan
dengan Rani Kahuripan, ia seperti tak dapat bicara. Bukan
karena rasa takut akan kewibawaan sang Rani, pun karena
ucapan Rani itu memang merupakan suatu kenyataan yang
sukar dibantah. "Benar, gusti" akhirnya ia menyerah.
"Aku gembira, patih" Rani tersenyum "bahwa aku berhasil
dapat menggugah pikiranmu. Tetapi aku akan merasa lebih
gembira pula, apabila engkau mau menetapi janjimu kepadaku
dahulu dan sekarang"
"Janji hamba yang bagaimana, gusti" .
"Dahulu engkau pernah berjanji, bahwa engkau
menyerahkan dan menurut, apabila aku memilihkan seorang
wanita untuk isterimu ....."
"Gusti" patih Dipa terbeliak kejut walaupun ia sudah
menduga tujuan Rani. "Seorang pria maupun wanita yang sudah cukup dewasa,
haruslah memperlengkapi hidupnya untuk membina rumah
tangga" kata Rani "pembinaan rumah tangga itu penting sekali
artinya bagi kesejahteraan masyarakat dan negara. Terutama
kepada ketenteraman hidup orang yang bersangkutan. Jika
engkau sudah memangku seorang wanita, patih, berarti
engkau sudah menunaikan kewajibanmu sebagai titah
manusia, demikian pula kewajibanmu kepada masyarakat.
Karena rumah tangga itu merupakan unsur dari terbentuknya
sebuah masyarakat. Dan masyarakat merupakan unsur dari
sebuah perumahan besar atau negara. Engkau mau berumahtangga berarti engkau telah melakukan salah sebuah
dharmamu terhadap negara"
"Apa yang engkau beratkan lagi, Dipa" seru Rani pula demi
melihat patih Dipa tertegun diam "dengan memangku seorang
wanita, engkau telah memperlengkapi hidupmu dan
menunaikan dharmamu. Baik terhadap orangtuamu yang
mengharapkan keturunanmu, maupun terhadap dirimu,
terhadap masyarakat dan terhadap negara. Apakah engkau
masih menolak" "Gusti ...." "Dipa" tukas Rani "ucapanmu kepadaku dahulu kuanggap
sebagai ucapan seorang ksatrya"
Patih Dipa menghela napas. Ia tahu bahwa kali ini sia2
belaka ia hendak menolak ataupun menghaturkan alasan2 lain
kecuali menerima titah Rani. Akhirnya dengan nada tergetar ia
memaserahkan diri kepada Rani.
"Jika demikian, patih Dipa" ujar Rani Kahuripan dengan
gembira "engkau telah menunaikan sebuah tugas yang
kupercayakan kepadamu"
"Gusti" kata patih Dipa "hamba taat apapun yang paduka
hendak limpahkan kepada diri hamba. Hanya hamba mohon
diperkenankan untuk menghaturkan permohonan. Hamba tak
menghendaki pernikahan hamba itu dirayakan secara besarbesaran. Cukup direstui oleh seorang maha-upasaka yang
melakukan ikrar nikah. Hanya itulah permohonan hamba,
gusti. Mohon gusti berkenan meluluskan"
"Mengapa patih" Bukankah engkau seorang patih yang
ternama" "Hamba kuatir, gusti, akan menderita kenangan2 yang
menghancurkan hati hamba apabila hamba menikmati suatu
perayaan besar" "Kenangan apakah yang membuat engkau menderita itu"
Patih Dipa menghela napas "Hamba dilahirkan oleh ayah
dan ibu hamba. Apapun kenikmatan yang hamba peroleh saat
ini, tetap tak melupakan ingatan hamba akan jasa dari kedua
orangtua hamba. Hamba mengenakan busana indah,
mendiami rumah bagus dan dihormati orang, adalah demi
tugas dan kedudukan hamba dalam kerajaan. Hal itu
merupakan suatu keharusan, bukan kehendak peribadi hamba.
Kebalikannya, dalam pernikahan hamba, hal itu merupakan
urusan peribadi hamba, tiada sangkut paut dengan
pemerintah dan kerajaan. Apabila dilakukan secara besarbesaran, tidakkah akan sedih hati hamba terkenang akan
orangtua hamba yang sudah tiada itu"
Dalam mengucapkan kata2 yang terakhir, nada patih Dipa
diliputi oleh keharuan sehingga Rani Kahuripan terkesiap dan
tersentuh hatinya. "Baik, patih Dipa" ujarnya dengan nada ikut haru "engkau
seorang putera yang baik dan seorang mentri yang bijaksana.
Dari seorang putera yang baik dapat diharapkan seorang
mentri yang arif bijaksana. Demikian pula dari seorang suami
yang baik, dapat diharapkan sebuah rumahtangga yang
bahagia. Dan dari rumahtangga yang bahagia dapat
diharapkan sebuah kehidupan negara yang tenteram
sejahtera" Demikian pada hari kedua, berlangsunglah upacara
pernikahan patih Dipa dengan seorang wanita pilihan Rani
Kahuripan. Dan pada hari ketiga berangkatlah patih Dipa
bersama isterinya pulang ke Daha.
Rani Daha menyambut kedatangan patih Dipa dan isterinya
dengan penuh gembira. Di Dahapun patih Dipa tiada
mengadakan perayaan apa2, sekalipun begitu banyak mentri,
senopati dan narapraja yang berbondong-bondong mengunjungi kepatihan untuk mengucapkan selamat.
Demikian sekelumit peristiwa dalam kehidupan patih Dipa
telah terpenuhkan dalam suasana yang tenang dan
memuaskan. Memuaskan bagi kedua Rani Kahuripan dan
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Daha, memuaskan pula bagi patih Dipa.
"... maka dengan upacara ini kunyatakan dikau berdua
sebagai suami isteri atas nama Sang Buddha, Dhamma dan
Sangha. Semoga Cinta-kasih dan Kasih-sayang yang tiada
berakhir selalu meliputi dikau berdua, sekarang dan pada
setiap waktu dan hingga tercapainya Nirwana dikau berdua ..."
demikian masih terngiang-ngiang telinga patih Dipa akan
ucapan maha-upasaka yang telah memberkati upacara
pernikahannya. Cinta kasih dan Kasih sayang, merupakan unsur pengikat
yang memadu tali pernikahan antara sepasang pria dan
wanita. Cinta kasih dan Kasih sayang dalam arti yang luas
telah mencangkum perasaan hati seseorang. Sebagai suami
terhadap isteri ataupun kebalikannya. Sebagai manusia
terhadap manusia dan sebagai makhluk manusia terhadap
semua makhluk dalam jagad raya ini.
Demikian sang waktu berjalan dengan cepat. Pada suatu
hari patih Dipa dititahkan menghadap Rani Daha.
"Kakang patih" ujar Rani "baginda telah menitahkan aku
supaya ke pura kerajaan karena baginda berkenan hendak
mengadakan pesta Srada guna memperingati wafatnya
rarnauda baginda rahyang ramuhun Kertarajasa"
"Jika demikian hamba akan mempersiapkan pasukan untuk
mengiring paduka, gusti" kata patih Dipa.
"Ada dua hal yang perlu kuminta pendapatmu, kakang
patih" "O, silahkan paduka menitahkan, gusti"
"Pertama, engkaupun harus ikut serta dalam pengiring
dalam rombonganku itu, kakang patih"
"Tetapi gusti" kata patih Dipa "bagaimana pemerintahan
paduka di Daha apabila hamba ikut ke Majapahit"
"Ah, soal itu dapat kakang patih berikan kepada demung
Rakat. Dan apabila perlu setiap saat kakang patih dapat
memeriksa ke Daha" Setelah merenung sejenak, patih Dipapun mengiakan.
"Dan kedua, kakang patih" ujar Rani Daha pula "akupun
menghendaki supaya nyi patih ikut serta"
Mendengar itu, patih Dipa agak terkejut.
"Gusti, mengapa harus nyi patih ikut?" terpaksa ia
mengajukan pertanyaan. Rani Daha menghela napas.
"Entah bagaimana" ujarnya "tetapi kali ini aku seperti
merasa ada sesuatu yang tak enak dalam hati. Dengan ikut
sertanya nyi patih, agaknya lebih hangatlah perasaanku"
Patih Dipa heran namun ia tak mau mendesak lebih lanjut.
Memang seorang wanita sering mempunyai suatu perasaan
terhadap sesuatu peristiwa yang akan dialaminya. Perasaan itu
memang sukar dinyatakan sebelum terbukti. Dan mungkin
tidak akan terjadi pula. Tetapi setiap kali hati sudah terbayang
oleh perasaan itu maka menimbulkan rasa tak tenteram
apabila tidak berjaga jaga.
"Baiklah, gusti" akhirnya patih Dipa menurut "akan hamba
sampaikan titah paduka kepadanya"
Memang baginda Jayanagara telah memutuskan untuk
mengadakan pesta Srada, dimana baginda akan mengadakan
pemugaran candi makam ayahanda baginda Kertarajasa di
Antahpura, dengan lebih dahulu mengadakan sesaji.
Ketika tiba di keraton Tikta-Sripala di pura Majapahit,
rombongan Rani Daha sagera disambut oleh baginda. Baginda
gembira pula melihat patih Dipa ikut.
"Sejak beberapa lama, aku tak pernah mengadakan
pemugaran pada makam candi tempat persemayaman
ramanda baginda" baginda Jayanagara menerangkan
keputusannya "mungkin karena itulah maka kerajaan sering
diganggu o'eh huru hara. Kali ini negara aman dan tenteram
maka kuputuskan untuk mengadakan pesta Srada, demi
memohon restu dan ampun atas kesalahan kita kepada
ramanda baginda. Agar kerajaan Majapahit tetap tenteram
dan sejahtera, dijauhkan dari segala gangguan dan
malapetaka" Rani Daha gembira mendengar keterangan dan menyetujui
langkah baginda yang baik itu.
Demikian Rani segera dipersilahkan untuk bersemayam di
keputren tempat Rani dahulu sewaktu masih tinggal di
keraton. Apabila Rani Daha sibuk menghadap para ibundanya, gusti
ratu Indreswari dan ratu Rajapatni maka patih Dipapun
dititahkan untuk menghadap baginda.
"Dipa" tegur baginda "kudengar engkau telah menikah.
Mengapa engkau tak menghaturkan laporan kehadapanku"
Patih Dipa terperanjat dan serta rnerta menghaturkan
sembah memohon ampun. Ia mengatakan bahwa wanita yang
diperisterinya itu adalah pilihan dari Rani Kahuripan. Demikian
pula pernikahan hanya berlangsung dengan sederhana tanpa
upacara besar-besaran. "O, aku bersukacita karena ayunda Rani Kahuripan amat
memperhatikan kepentinganmu, patih Dipa. Memang kurang
sesuai apabila seorang patih seperti engkau belum mempunyai
isteri yang dapat mengurus rumahtangga dan segala
keperluanmu" Patih Dipa menghaturkan terima kasih.
"Patih Dipa" ujar baginda pula "bagaimana pemerintahan di
Daha selama ini" "Berkat restu paduka gusti" sembah patih Dipa "Daha dapat
mengenyam keamanan dan kesejahteraan. Selain membangun
dan meningkatkan kehidupan rakyat, hamba berusaha
untuk menanamkan penyadaran bahwa Daha dan Majapahit
itu adalah satu. Karena telatah Majapahit itu terdiri dari tiga
daerah aseli yani Majapahit, Kahuripan dan Daha. Demikian
pula hamba telah berusaha untuk melenyapkan rasa dendam
permusuhan kawula Daha terhadap Singasari maupun
Majapahit" "Suatu kebijaksanaan yang baik sekali" puji baginda
Jayanagara "memang seharusnya tiada lagi kawula Daha,
kawula Singasari. kawula Kahuripan. Yang ada hanyalah
kawula kerajaan Majapahit yang telatah-nya meliputi seluruh
nuswantara" "Cita-cita yang luhur, gusti" patih Dipa berseru memuji.
Setelah memperbincangkan keadaan pemerintahan Daha,
maka baginda Jayanagara tiba2 beralih pertanyaan "Patih
Dipa, kulihat Rani Daha makin segar dan cantik. Adakah di
pura Daha masih sering dikunjungi oleh para satrya muda dari
luar daerah" Agak terkejut patih Dipa menerima pertanyaan itu "Sejauh
ini, gusti, hamba belum pernah mengetahui dan mendengar
gusti Rani menerima kunjungan para satrya muda dari luar
daerah" "Hm, memang puteri seusia ayunda Rani Kahuripan dan
Rani Daha seharusnya sudah harus mendapat jodoh, tetapi ..."
Patih Dipa tercengang mendengar ucapan baginda. Ia tak
berani mendesak ucapan baginda yang terhenti itu.
"Ayunda Rani Kahuripan juga kuundang, mungkin besok
baru tiba di pura sini" kata baginda.
"O" patih Dipa agak terkejut. Ia tak tahu bagaimana
perasaannya mendengar keterangan baginda itu. Namun ia
terkejut juga. "Berapa lamakah pesta Srada yang paduka titah-kan ini
akan berlangsung, gusti" ia hanya beralih pula kepada soal itu.
"Tujuh hari" ujar baginda.
Memang diantara baginda dengan patih Dipa terjalin suatu
hubungan yang baik dan akrab. Betapapun baginda masih
muda maka baginda merasa lebih leluasa bercakap cakap
dengan patih atau mentri atau sia-papun yang tergolong
sebaya. Keesokan harinya berbondong-bondonglah pura Majapahit
menyambut kedatangan para tamu agung. Rani Kahuripan
beserta pengiringnya. Raja Wengker, raja Matahun, Pajang,
adipati dari tanah datar atau pesisir, dari brang wetan dan
selatan. Semuanya dengan membawa rombongan pengiring.
Patih mangkubumi Arya Tadah, mentri2 dan senopati sibuk
menyambut mereka dan menempatkan di tempat penginapan
yang sudah disediakan. Memang sejak beberapa waktu yang akhir, kesibukankesibukan tampak di keraton Tikta-Sripala. Juru lukis
dikerahkan untuk menghias tahta tempat baginda duduk di
seiinggil. Para pandai sibuk mengetam baki makanan, bokor
dan arca2. Keraton tampak baru pula dengan warna yang
megah indah. Pada upacara hari pertama, baginda duduk di Balai Witana
yang terletak ditengah Manguntur. Balai Witana dihias sangat
indah. Bagian barat dihias pula dengan janur dan rumbai.
Tempat itu disediakan untuk tempat duduk para raja. Bagian
utara dan timur, tempat duduk para mentri, isteri mentri, para
pujangga dan pandita. Sedangkan bagian selatan disediakan
sebagai tempat duduk para abdidhalem atau hamba sahaya
keraton. Upacara hari pertama itu dimulai dengan upacara pemujaan
Buddha. Upacara dipimpin oleh pandita Ginantaka dan dibantu
oleh empu dari Kandangan. Semua pandita berdiri dalam
lingkaran untuk mengikuti pemujaan oleh baginda. Mudra,
mantra dan japa dilakukan tepat menurut tata tertib.
Kemudian menyusul pemanjatan doa untuk mengundang
arwah rahyang ramuhun Kertarajasa dari Budaloka yang
ditampung dalam arca bunga.
Pada malam berikutnya, dilakukan pemujaan kepada arca
bunga yang telah berisi arwah dari rahyang ramuhun
Kertarajasa itu. Pemujaan itu dipimpin oleh seorang pandita
dengan semedhi dan puji mantra.
Pagi harinya arca bunga dibawa keluar, disambut dengan
bunyi sangkakala dan genderang. Arca bunga itu lalu
didudukkan diatas singgasana setinggi orang berdiri.
Pemujaan segera dimulai oleh semua pandita. Mereka
berduyun tertib sambil mengucapkan doa puji menghampiri
singgasana. Dibelakang rombongan pandita itu adalah para
raja dan permaisuri serta para pu-tera dan puterinya. Mereka
mendekati arca dan menghaturkan sembah dengan khidmat.
Kemudian patih mangkubumi Arya Tadah yang diikuti oleh
semua patih diseluruh telatah Majapahit. Yang paling akhir
ialah para adipati, tumenggung dan seluruh narapraja. Setelah
itu mereka kembali ketempat duduk masing2.
Sehabis upacara pemujaan lalu diadakan upacara
persembahan. Raja2 dari seluruh telatah Majapahit, adipati2
dari berbagai daerah, menghaturkan persembahan yang
beraneka dan menakjubkan.
Setiap hari dihidangkan sajian makanan yang lezat.
Kemudian pada hari itu juga, saji-sajian itu dibagi-bagikan
kepada rnentri, para pandita, brahmana, ksatrya dan para
bangsawan dari keluarga raja.
Pada hari keenam baginda Jayanagara mendapat giliran
untuk mempersembahkan sesaji. Semua para mentri dan
narapraja baik yang tinggal didalam maupun diluar kota, pun
datang dengan membawa persembahan sesaji. Acara
persembahan ditutup pada waktu malam dengan taburan
uang dan membagi-bagikan pakaian dan makanan kepada
keempat kasta. Selama tujuh hari tujuh malam pura kerajaan dibanjiri
orang dari segala pelosok penjuru. Mereka datang berduyunduyun untuk menyaksikan keramaian yang berlangsung
selama pesta Srada. Setiap hari selalu ada pertunjukan.
Acaranya setiap hari berganti. Terdapat pertunjukan taritarian, adu gulat, sayembara a-du berbagai ketangkasan.
Pada hari kedelapan pagi2, para pandita berkumpul dan
bersama memberikan hormat, lalu menyanyikan lagu pujaan
untuk mengantar kembalinya arwah rahyang ramuhun
Kertarajasa ke Budaloka. Setelah itu arca bunga diturunkan
dari Singgasana dengan upacara. Segala sesaji dibagikan
kepada semua yang hadir. Demikian pesta Srada telah usai. Kemudian menyusul
pemugaran candi makam Antahpura. Pesta Srada itu
dimaksudkan sebagai upacara sesaji untuk memugar makam
rahyang ramuhun Kertarajasa..
Ternyata hampir sepuluh hari Rani Kahuripan dan Rani
Daha harus tinggal di keraton Majapahit. Sehingga sampai
selesainya upacara. Sebenarnya kedua rani itu sudah hendak
kembali ke tempat masing2 tetapi baginda Jayanagara tak
mengidinkan dengan alasan supaya menunggu sampai selesai
perbaikan makam ayahanda baginda.
Pada malam itu, keraton sudah sunyi senyap. Mungkin
upacara2 selama tujuh delapan hari itu sangat melelahkan
sehingga malam itu segenap penghuni keraton tertidur dalam
kelelapan. Baginda masih belum beradu. Ia merasa agak pening
kepalanya. Entah karena apa. Ia merasa bahwa ada sesuatu
yang menggelora dalam dadanya. Makin lama perasaan itu
makin meluap-luap. Perasaan dari seorang pria yang tengah
terangsang oleh tuntutan kejantanan alamiahnya. Maklum,
hampir sepuluh hari lamanya baginda harus sesuci diri.
Jangankan tidur dengan wanita, bahkan memikirkan hal2 yang
menyangkut hubungan pria dengan wanita, tak dibenarkan.
Bagindapun berusaha sekuat hati untuk melenyapkan pikiran
itu. Tetapi segala keinginan yang ditindas baginda Jayanagara
itu amat sukar untuk bertahan lama. Menindas berarti suatu
paksaan, bukan penyelesaian. Suatu peralihan, pun hanya
bersifat sementara. Kecuali daya perahan itu j:mh lebih kuat.
Dan sesaat segala keadaan dan ikatan sudah memungkinkan
maka terlepaslah tindasan2 itu dari kekangannya. Darah
baginda bergolak-gelak keras.
"Ah, mungkin dengan tuak dapat kulenyapkan perasaan itu"
ujar baginda. Kemudian baginda mengambil simpanan luak
dan meneguknya. Memang sejenak terasalah hawa hangat
dari tuak dapat menghanyutkan gejolak darahnya. Bagindapun
meneguk lagi. Pikirnya, biarlah gejolak itu hilang sama sekali.
Beberapa waktu kemudian tubuh baginda mulai terasa
hangat dan makin hangat, bahkan mulai panas. Untuk sesaat
gejolak darah tadi memang dihanyutkan oleh daya tuak. Akan
tetapi pada saat tuak itu bekerja memancarkan daya
rangsang, darah itupun meluap dan membanjir bagai air bah.
Darahnya lebih bergejolak dari semula, keinginan dan
nafsupun bahkan makin merangsang lebih hebat. Ah ....
Baginda tak kuat menahan diri lagi. Dengan langkah agak
terhuyung baginda melangkah keluar. Entah kemana, pokok
langkahnya menuju ke arah keputren. Tiba2 baginda berhenti
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada sebuah bangunan gedung yang indah dan secepat kilat
bagindapun teringat bahwa gedung itu adalah tempat
menetap kedua Rani selama berada di pura kerajaan.
"Hm, sayang ..." ia bergumam seorang diri "sayang apabila
puteri2 yang cantik itu harus di-persunting jejaka lain ...."
Langsung baginda menuju kepintu. Keadaan sunyi senyap.
Rupanya para dayang terlelap dalam kenyenyakan.
Bagindapun segera mendorong pintu dan melangkah masuk.
Suasana dalam ruang agak remang tetapi hawa harum yang
semerbak terasa menyengat hidung. Diatas sebuah kantil atau
pembaringan yang indah, tampak rebah sesosok tubuh yang
cantik dan mulus. Darah baginda mendebur keras, jantung
berdetak kencang. Merah padam wajah baginda saat itu. Rupanya baginda tak
dapat mengendalikan diri lagi. Walaupun pandangannya agak
remang dan tak dapat membedakan siapa yang sedang
beradu di atas kantil itu, Rani Kahuripan atau Rani Daha,
namun bagi baginda hal itu tiadalah soal. Yang penting
seorang puteri cantik tempat baginda menumpahkan rindu
dendam kenafsuannya. Serentak baginda melangkah, menghampiri ke tempat
pembaringan. Makin terpesona baginda
memandang kecantikan puteri yang sedang beradu nyenyak dengan
busana agak tersiak. Ketika menyusurkan pandang mata ke
bawah, baginda melihat berapa indah leher sang putri yang
jenjang betapa padat berisi dadanya, betapa ramping
pinggangnya dan ketika pandang mata tiba ke bawah lagi,
terhenyaklah baginda dari kemanguan pesona. Kebetulan saat
itu kain sang puteri agak tersingkap sehingga tampaklah
betisnya yang putih mulus sepadat butir padi menguning, uh
... . Baginda tak dapat menahan rangsang darahnya lagi.
Serentak ia memeluk tubuh sang puteri dengan kencang ....
Entah sedang bercengkerama ke alam mana sang puteri
membawa mimpinya saat itu. Tiba2 ia merasa dadanya sesak
seperti tertindih benda yang berat. Seketika puteri meronta
lalu mendorong benda yang menindihnya itu dengan sekuat
tenaga seraya menjerit "Tolong . . . . "
Serentak puteripun menggeliat bangun dan turun dari
kantil. Demi melihat bahwa yang bersandar pada dinding
karena didorong itu bukan lain adalah baginda sendiri, makin
terkejutlah puteri "Engkau, kangmas prabu" teriak puteri.
Wajah dan mata baginda makin memancar merah. Sambil
melangkah menghampiri, baginda berseru "Ah, rani, mengapa
engkau berani mendorong aku"
"Engkau .... engkau mau apa" puteri makin terkejut demi
melihat baginda menghampiri.
"Kangmas prabu, jangan mendekat kemari" seru puteri
yang tak lain adalah Rani Daha "apa maksud kakangmas
prabu" "Ho, ho" baginda tertawa. Jelas pengaruh tuak mulai
menguasainya "engkau puteri cantik yang sudah cukup
dewasa .... mengapa engkau tak tahu a-kan maksud hatiku
...." Rani Daha pucat seketika setelah tahu bahwa baginda
mempunyai maksud yang tak senonoh terhadap dirinya
"Kakangmas prabu, bukankah aku ini adinda-mu sendiri"
Pada saat itu muncul seorang wanita muda. Ia amat
terkejut menyaksikan peristiwa yang terjadi dalam ruang
peraduan Rani Daha. Kehadiran wanita muda itu, terlihat pula oleh Rani. Ia
tertegun dan memandangnya dengan pandang menitahkan
bantuan. Namun ketika mulut sang Rani hendak mengucap,
tiba2 baginda sudah mendekapnya.
"Ih, kakang prabu" teriak Rani Daha seraya meronta
melepaskan diri dari pelukan baginda. Samar2 ia mencium bau
tuak yang menghembus dari pernapasan baginda.
"Mengapa engkau menolak kehendakku yayi ..." baginda
makin memperkencang pelukannya.
Melihat peristiwa yang tak terduga-duga dan tak selayaknya
harus terjadi itu maka tanpa banyak pikir lagi, wanita muda itu
segera lari menghampiri dan menarik tubuh baginda. Sesaat
merasa tangan baginda agak longgar maka Ranipun meronta
sekuatnya seraya menyiak tubuh baginda. Karena ditarik dari
belakang dan didorong dari muka, baginda yang sedang
mabuk itupun terhuyung-huyung ke belakang.
Rani Daha cepat lari keluar. Sementara karena masih
memegang tubuh baginda dan baginda terdorong mundur,
wanita muda itupun tertimpa tubuh baginda dan jatuh ke
lantai. Seketika peninglah kepala wanita muda itu. Matanya
berbinar-binar dan punggungnya berdenyut-denyut kesakitan.
Dia pingsan. Bagindapuri bergeliat bangun. Demi melihat seorang wanita
rebah dilantai, sinar matanya cerah dan membara pula. Dalam
pengaruh tuak, baginda kehilangan kesadaran pikiran. Ia tak
dapat membedakan antara puteri yang rebah di kantil dengan
wanita yang rebah dilantai. Dalam pandang indera
penglihatannya yang kabur itu, yang dihadapi saat itu seorang
wanita yang cantik yang tengah tidur telentang. Darah
kejantanan yang d golak oleh daya tuak makin merangsang.
Serentak diangkatnya tubuh wanita itu lalu dibawanya ke
pembaringan .... Baginda sudah tak dapat menguasai nafsunya pula. Segera
ia membuka pakaian wanita itu dan mulailah ia hendak
melangsungkan hasratnya yang tak dapat ditahannya lagi.
Tepat pada saat2 yang berbahaya dima-na kehormatan wanita
itu akan tercemar, sekonyong-konyong masuklah seorang
lelaki muda bertubuh tegap. Serentak ia mencengkeram bahu
baginda. Dalam ruang peraduan Rani Daha itu hampir terjadi suatu
peristiwa berdarah yang hebat. Peristiwa yang mungkin akan
menggoncangkan seluruh kerajaan Majapahit.
Dalam ruang yang indah dan harum itu terdapat tiga orang
insan. Seorang wanita muda tengah rebah telentang di atas
pembaringan. Pakaiannya terbuka tetapi wanita muda itu
masih tetap tertidur seperti orang yang tak ingat diri.
Kemudian seorang pria berbusana indah atau baginda
Jayanagara sendiri yang tengah dirangsang nafsu hendak
melepaskan kecamuk rindu dendamnya terhadap wanita itu.
Sedang seorang lelaki lain tengah mencengkeram bahu
baginda. Baik baginda maupun lelaki muda itu sama2
memancarkan sinar mata yang berapi-api. Dan sama2 pula
merah padam wajahnya. Hanya terdapat perbedaan diantara
sinar mata baginda yang berapi-api dibakar nafsu dendam
berahi. Sedang mata lelaki yang berapi-api itu memancarkan
dendam kemarahan yang menyala-nyala.
Antara kedua dendam itu, dendam berahi dan dendam
kemarahan, walaupun tujuannya lain tetapi sifatnya sama.
Dendam berahi melupakan segala bahaya, segala akibat.
Demikian pula dengan dendam kemarahan. Baginda tak
menghiraukan siapakah gerangan wanita muda yang sudah
ditelentangkan diatas pembaringan itu. Lelaki muda itupun tak
mempedulikan siapakah yang tengah dicengkerarnannya,
entah orang biasa entah seorang raja. Baginda hanya
mencurahkan pikiran untuk melampiaskan hasratnya, sedang
lelaki itupun hanya menumpahkan kemarahahnya untuk
menghancurkan orang yang dicengkeramnya itu. Setelah
mencengkeram, orang itupun serentak kerahkan tenaga dan
hendak menarik sekuat-kuatnya agar korbannya terbanting
hancur. Tetapi pada saat ia hendak melaksanakan niatnya itu,
sekonyong-konyong terdengar suara lengking seorang wanita
berseru memperingatkan "Kakang Dipa, jangan ... "
Ternyata lelaki yang tengah diamuk kemarahan dan hendak
menyentakkan tubuh baginda itu, adalah patih Dipa. Dan patih
itu segera mengenali nada suara wanita yang berseru
memperingatkan itu, Rani Daha. Kejutnya bukan kepalang.
Kegelapan pikiran yang sedang dikabut kemarahan, seketika
buyar, seketika pula ia menyadari bahwa yang dicengkeramnya itu baginda Jayanagara. Namun tenaga telah
dikerahkan dan hentakan-pun sudah mulai berlangsung,
betapapun ia tak dapat menghentikannya dalam waktu yang
tiba2. Untunglah pada detik2 yang berbahaya itu, ia masih
sempat berpikir. Hentakan tetap dilanjutkan tetapi ia tak mau
melepaskan tubuh baginda. Kemudian tangannya bergeliat
memutar arah sehingga tubuh baginda terhempas keatas
pembaringan. Pembaringan tergetar keras oleh tubuh baginda sehingga
wanita muda yang tengah pingsan itu sadar. Demi melihat
keadaan dirinya ia menjerit lalu menyambar pakaian dan
berguling kebawah pembaringan.
"Kakang Dipa" seru wanita itu sesaat kemudian setelah
mengenakan pakaiannya "apakah yang terjadi pada baginda"
" Tak apa2, nyai" sahut patih Dipa kepada wanita itu yang
tak lain adalah nyi Dipa.
"Kakang patih, baginda ...."
"Baginda hanya pingsan, gusti" sahut patih Dipa sesaat
mengenali suara pertanyaan Rani Daha yang saat itu
menghampiri "tak lama tentu akan sadar. Baginda terlalu
banyak meneguk tuak sehingga tenaganya lemas sekali"
"Benar kakang patih?" Rani Daha menegas.
"Sungguh, gusti. Apabila baginda sampai menderita apa2,
hamba serahkan jiwa hamba sebagai penebus dosa hamba"
Rani Daha menghela napas longgar. Longgar karena
baginda tak mengalami bencana, longgar pula karena iapun
terlepas dari suatu musibah yang memalukan. Ia tercengangcengang memikirkan peristiwa tadi. Hampir ia tak percaya,
namun kenyataan berbicara. Baginda, saudara seayah lain ibu,
hendak melakukan perbuatan yang tak senonoh kepadanya.
Mungkin baginda tak sadar karena pengaruh tuak tetapi
mungkin bagin-dapun memang mempunyai hasrat demikian.
Bagaimanapun, yang jelas perbuatan itu sungguh tak
senonoh. Betapa malu apabila hal itu sampai terjadi. Betapa
hina apabila peristiwa itu terdengar oleh pengawal, dayang
perwara dan seisi keraton. Dan betapa nista apabila hal itu
tersiar keluar dan menjadi buah bibir para kawula.
"Kakang patih" tiba2 Rani Daha terkejut dari renungan
ketika melihat patih Dipa mengangkat tubuh baginda dan
melangkah ke pintu "kemana engkau bawa baginda"
Patih Dipa hentikan langkah "Gusti, akan hamba bawa
baginda kembali ke ruang peraduannya. Kurang layak apabila
dayang2 mengetahui baginda berada di ruang paduka, gusti"
"O, baiklah" seru Rani Daha.
Patih Dipa membawa baginda ke ruang peraduan baginda
sendiri. Seorang dayang wanita menyongsong "Hai" dayang itu
menjerit kejut. "Ssst" desis patih Dipa sambil meregangkan kelopak mata
"baginda sedang mabuk"
Dayang itu atau nyi lurah Badra terkesiap. Sebagai juru
tebah peraduan baginda dan kepala dayang tempat keraton
baginda, nyi lurah Badra sering berkeliling dan menjenguk ke
ruang peraduan baginda. Entah tengah malam, entah
menjelang pagi, pokok setiap ia terjaga dari tidur, terus keluar
dan menjenguk ke tempat peraduan baginda. Demikian adat
kebiasaan nyi lurah Badra yang pada malam hari selalu jarang
dapat tidur pulas. Nyi lurah ikut masuk dan menyelimuti baginda kemudian
keluar bersama patih Dipa "Tidak apa2, besok tentu, sudah
segar kembali" kata patih Dipa sebelum melangkah pergi.
Entah bagaimana, diam2 timbul rasa heran dalam hati lurah
dayang itu. Mengapa patih Dipa bersama baginda" Dari
manakah baginda semalam itu" Jika menurut keterangan patih
Dipa, baginda mabuk tuak. Tetapi dimanakah baginda
bersenang-senang minum tuak"
Keinginan untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan2 itu
makin keras mendesak hati nyi lurah sehingga ia memutuskan
untuk mengikuti secara diam2 langkah patih Dipa. Ia terkejut
ketika patih Dipa menuju ke keputren. Dengan berusaha
secara hati2 agar jangan diketahui mereka, nyi lurah berhasil
menyembunyikan diri dibalik pohon nagasari yang tumbuh di
halaman muka ruang kediaman puteri2. Dari tempat itu dapat
ia mendengar dan mengintai apa yang terjadi dalam ruangan
itu. Dilihatnya ketika patih Dipa tiba di muka pintu maka
seorang wanita muda menyongsong keluar "Bagaimana
kakang patih" tegur wanita itu.
"Baginda sudah pulas" sahut patih Dipa "mana gusti Rani"
"Kakang patih ditunggu gusti didalam" kata wanita itu atau
nyi Dipa seraya mendahului masuk.
Tampak Rani masih duduk termenung-menung ketika patih
Dipa masuk menghadap, Walaupun masih dinihari tetapi
rupanya Rani tak tidur lagi. Kemudian patih Dipa melaporkan
tentang keadaan baginda yang telah di bawa ke ruang
peraduannya. "Kakang patih" kata Rani Daha dengan masih gemetar "aku
benar2 tak mengerti mengapa kakang prabu sampai
mempunyai tindak sedemikian"
Patih Dipa hanya menghela napas. Ia teringat betapa tadi
ketika sedang meronda, ia melihat seorang wanita tergopohgopoh lari keluar dari keputren. Bergegas ia menyongsongnya
dan ternyata Rani Daha. Dengan wajah pucat dan suara
gemetar Rani menitahkan supaya patih Dipa segera menolong
nyi Dipa yang berada dalam ruang peraduan Rani, bersama
dengan baginda. Bukan kepalang kejut patih Dipa saat itu.
Serentak ia lari menerobos kedalam ruang dan menyaksikan
adegan yang yang menegakkan buluromannya. Andai ia
terlambat datang, tentulah nyi Dipa sudah tercemar
kehormatannya. "Mungkin baginda sedang mabuk tuak, gusti" kata patih
Dipa menghibur. "Kudengar orang mengatakan bahwa apa yang diucapkan
dan dilakukan oleh seorang yang mabuk tuak, sesungguhnya
adalah kesan2 dalam pikirannya sebelum dia mabuk. Dan
dalam waktu mabuk itu, pikiran2 yang mengendap itu lalu
meluap keluar semua" ujar Rani Daha.
"Ada kalanya memang demikian, tetapi ada kalanya pula
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesadaran pikiran yang sudah dihanyut oleh rangsang mabuk,
melakukan apd saja yang dilihatnya, gusti"
"Betapapun tetapi malu rasa hatiku atas peristiwa itu,
kakang patih" masih Rani itu menderita dalam hatinya.
Patih Dipa menghela napas.
"Manusia tak luput dari kekhilafan, gusti. Gusti harus
berjiwa besar untuk memaafkan kekhilafan baginda. Karena
malu baginda, malu keluarga raja, malu kawula Majapahit
pula........" "Kakang patih" ujar Rani Daha "adakah hiruk yang
berlangsung di ruang itu terdengar oleh para dayang"
"Rupanya para dayang tertidur lelap karena lelah, gusti"
sahut patih Dipa "pada waktu hamba mengantar baginda ke
ruang peraduannya, sepanjang lorong hamba tak bersua
dengan barang seorang penjaga maupun dayang, gusti. Hanya
ketika hamba hendak masuk kedalam ruang baginda, nyi lurah
Badra telah menyongsong hamba"
"O" desuh Rani Daha terkejut "apakah nyi lurah dayang
takkan menyiarkan peristiwa itu keluar"
"Memang saat itu nyi lurah bertanya dan hamba memberi
keterangan bahwa baginda sedang mabuk tuak tertidur
dibangsal Kencana" kata patih Dipa.
"Apakah dia tak curiga?" masih Rani Daha bersangsi.
"Hamba rasa tidak, gusti. Karena nyi lurah Badra tahu akan
hubungan hamba dengan baginda. Dan bukankah baginda
telah menganugerahkan pedang Adipetaka kepada hamba
dengan wewenang bahwa hamba diperkenankan masuk keluar
keraton pada setiap saat"
"O, ya" Rani Daha mengangguk.
"Hamba akan berusaha sekuat mungkin untuk menjaga
agar peristiwa itu jangan sampai teiuwar keluar. Akan hamba
berantas setiap orang yang menbocorkan hal itu keluar, gusti"
"Ya, kakang patih" ujar Rani Daha "betapa malu apabila hal
itu sampai terdengar para mentri dan rakyat Majapahit"
"Bukan hanya malu, gusti" kata patih Dipa "yang hamba
kuatirkan hal itu akan dipergunakan oleh golongan yang tak
menyukai baginda untuk menjatuhkan keluhuran dan
kewibawaan baginda" Rani Daha mengangguk dan membenarkan pandangan
patih Dipa. Kemudian Rani berkata lebih lanjut "Agar peristiwa
ini jangan berlarut-larut dan akan terulang kembali dengan
akibat dapat diketahui para dayang dan tersiar di kalangan
para narapraja, maka besok aku akan kembali ke Daha,
kakang patih" "Hamba amat setuju dengan keputusan gusti. Lebih lekas
meninggalkan pura Majapahit, lebih mengurangi kemungkinan2 yang tak diharapkan"
"Tetapi kakang patih" ujar Rani Daha agak cemas
"bagaimana apabila baginda murka kepada kakang patih atas
peristiwa ini" "Gusti" sahut patih Dipa "sejak mengiring baginda ke desa
Bedander waktu pura Majapahit terjadi huru hara
pemberontakan Dharmaputera, hamba amat dekat sekali
dengan baginda. Dan karena itu hambapun sering pula
menerima murka baginda. Tentang peristiwa ini, biarlah
hamba yang akan mempertanggung jawabkan kesalahan
hamba di hadapan baginda, apabila baginda murka kepada
hamba " Rani Daha mengangguk. "Bagaimana menurut pendapat kakang patih" ujar Rani
Daha "adakah perlu kukabarkan peristiwa ini kepada ayunda
Rani Kahuripan" Patih Dipa terdiam, tak lekas memberi jawaban. Beberapa
saat kemudian baru ia berkata "Gusti, menurut hemat hamba,
jangan saat ini gusti memberitahukan hal itu kepada gusti Rani
Kahuripan agar jangan menimbulkan keresahan gusti Rani
Kahuripan. Harap paduka berlaku seperti tak terjadi suatu apa
dan akan kembali ke Daha karena sudah terlalu lama
meninggalkan keranian Daha. Harap paduka berusaha agar
baginda jangan mempunyai kesan bahwa paduka murka atau
takut ataupun gelisah atas terjadinya peristiwa itu. Sehingga
baginda akan meluluskan paduka kembali ke Daha"
Rani Daha mengangguk-angguk.
"Baiklah, kakang patih" ujarnya "aku akan berusaha
demikian" Dalam pada itu nyi lurah Badra yang bersembunyi di balik
kegelapan pohon nagasari, mendengar jelas pembicaraan
yang berlangsung dalam ruang tempat kediaman Rani Daha.
Bukan kepalang kejut nyi lurah dayang. Hampir ia tak percaya
apa yang didengarnya saat itu.
"Baginda hendak berbuat tak senonoh terhadap gusti Rani
Daha?" ia mengetuk kepukauan hatinya dengan sebuah
pertanyaan "Ah, mustahil ...."
Namun dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa
percakapan yang dilakukan di ruang kediaman Rani Daha itu
berlangsung pada dini hari. Ia mendengar sendiri, keluh kesah
sang Rani dan kata2 patih Dipa yang berusaha untuk
menghiburnya. Pun ia teringat bahwa ketika menyelimuti
baginda di pembaringan tadi, ia mencium bau arak dari napas
baginda. "O, dewa Batara Agung .... o, Hyang Batara Syiwa ....
adakah paduka hendak menjatuhkan siku-denda terhadap
kerajaan Majapahit ...." ia memanjatkan keluhan dalam
doanya kepada Batara Syiwa.
Apa yang didengarnya telah jelas. Ia tak tahan mendengar
lebih lama. Kuatir pula ia apabila jejaknya ketahuan. Maka
dengan berindap-indap ia segera menyelinap dari situ dan
kembali ke tempatnya sendiri.
Namun ia tak dapat tidur lagi. Benaknya masih menggores
kesan yang diperolehnya tadi. Masih belum dapat ia
mengendapkan keheranannya, masih belum bersua pula ia
pemikiran yang sadar, bahwa baginda akan berbuat semacam
itu. Dan karena tak dapat menerima dalam akal budinya,
akhirnya ia mencetuskan kandungan hatinya "Ah,tidak
mungkin. Tentulah karena baginda mabuk maka ia keliru
masuk ke tempat kediaman Rani. Orang yang sedang mabuk
memang kehilangan kesadaran pikirannya, hm....."
Tiba-tiba ia terbayang akan peristiwa ketika patih Dipa
membopong baginda ke ruang peraduan. Betapa tajam sinar
mata patih itu tertumpah kepada dirinya.
Patih itu jelas marah sekali kepadanya "Ih, apa salahku"
Mengapa ki patih begitu marah ketika melihat aku berada di
ruang baginda" Makin membayangkan wajah patih Dipa makin pertanyaan
timbul berkelarutan "Ih, adakah gusti patih itu takut kalau
peristiwa itu diketahui orang, sesuai seperti yang
dipercakapkan dengan gusti Rani tadi" Tetapi mengapa
peristiwa itu harus dirahasiakan dan ditutup rapat"
Ia teringat pula akan percakapan patih Dipa dengan Rani
Daha "Ya, memang benar. Kalau peristiwa itu sampai teruwar
keluar tentu akan timbul kehebohan besar. Dan baginda tentu
menderita malu besar.."
"Tetapi" timbul pula lain pikiran membantah "orang mabuk
memang dapat melakukan perbuatan yang tak disadarinya.
Demikian tentu keadaan baginda, ih . . ." serentak ia mendesis
kejut ketika teringat bahwa dalam ruang tempat kediaman
Rani Daha tadi tampak seorang wanita muda "Siapakah dia"
Bukankah ki patih Dipa begitu akrab dengan wanita itu" Jika
menilik busananya jelas wanita itu bukan seorang dayang"
Nyi lurah Badra pejamkan mata merenung. Ia pernah
mendengar berita bahwa patih Dipa telah beristeri
"Mungkinkah wanita itu isterinya" Jika demikian, jelas patih
itu marah sekali kepada baginda karena isterinya diganggu"
Tiba pada kesimpulan itu, nyi lurah meningkatkan pula
renungannya "Patih Dipa bukan hanya menguatirkan bahwa
peristiwa baginda masuk ke ruang peraduan gusti Rani Daha,
akan tersiar keluar, pun karena takut apabila peristiwa baginda
mengganggu nyi patih akan terdengar orang pula. Itulah
sebabnya maka dia begitu marah melihat kehadiranku"
"Ya, benar" akhirnya nyi Badra merasa telah menemukan
sesuatu yang dapat menembus kegelapan pikirannya dalam
memecahkan persoalan itu "tiada lain tentu demikian. Ki patih
tentu akan menjaga rahasia kehormatan dari gusti Rani Daha
dan nyi patih sendiri"
Sebenarnya ia harus sudah tenteram karena sudah merasa
menemukan jawaban. Tetapi entah bagaimana ia masih
terlekat akan bayangan patih Dipa. Dan samar2 meluaplah
rasa tak puas atas sikap patih itu terhadap dirinya, seperti
yang dialami di ruang kediaman baginda "Lancang benar patih
itu" mulai rasa tak puas itu berbuncah-buncah mencari letupan
"aku adalah nyi lurah yang menjadi kepala dayang baginda
periba-di. Akulah yang dipercaya menjadi juru-tebah
pembaringan baginda. Akulah yang mengurus busana,
hidangan dan segala keperluan baginda. Keper-cayaan yang
dilimpahkan baginda kepadaku sama dengan kekuasaan.
Berarti aku berkuasa dalam ruang kediaman baginda. Dan
akulah yang. bertanggung jawab semua yang terjadi dalam
ruang agung itu" "Walaupun ki patih Dipa itu amat berjasa sehingga baginda
memberi wewenang dia dapat masuk keluar keraton pada
setiap saat, tetapi tidak layak apabila dia semena-mena
melanggar wewenangku dalam ruang peraduan baginda.
Bukan saja dia berani memasuki ruang peraduan tanpa
memberitahu kepadaku, bahkan dia malah memandang aku
dengan marah. Apa salahku"
Rasa tak puas atas sikap patih Dipa itu makin meningkat
"Hm, peristiwa ini akan kupersembahkan kehadapan gusti ratu
Indreswari. Karena gusti ratu pernah memberi titah kepadaku.
Apabila terjadi sesuatu dalam ruang peraduan baginda, harus
menghadap kepada gusti ratu untuk menghaturkan laporan.
Dan gusti ratulah yang menitahkan aku menjadi lurah kepala
dayang dan juru tebah di ruang peraduan baginda"
Setelah mendapatkan keputusan itu, agak tenanglah hati
nyi lurah Badra. Ia menunggu datangnya pagi.
0odwo0 III Pesta Srada telah usai. Para raja2, adipati2 dari luar daerah,
telah kembali ke tempat masing2. Demikian pula Rani
Kahuripan dan Rani Daha, pun telah meninggalkan pura
Majapahit, kembali ke Kahuripan dan Daha.
Kini tinggal berlangsungnya pekerjaan untuk memugar
makam candi rahyang ramuhun Kertarajasa di Antahpura. Atas
anjuran gusti ratu Indreswari, maka pekerjaan pemugaran itu
diserahkan kepada Arya Kembar untuk memimpin dan
mengawasi. Hari itu tampak Arya Kembar bergegas langkah menghadap
baginda di keraton Tikta-Sripala. Dan baginda amat
terperanjat sekali mendengar laporan Arya Kembar.
"Benarkah yang engkau haturkan itu, kakang Kembar"
baginda menegas. "Hamba menyaksikan dengan mata kepala sendiri gusti"
Arya Kembar memberi keterangan dengan nada bersungguh
"bahwa arca Jina yang berada dalam makam candi Antahpura
itu telah berobah kehitam-hitaman warnanya "
"Bagaimana mungkin !" teriak baginda "arca itu terbuat
daripada emas kuning, engkau tentu salah lihat! "
"Tidak baginda" sembah Arya Kembar "apabila hamba
berani menghaturkan laporan palsu kehadapan paduka,
hamba rela menerima pidana paduka"
"Juga masih ada sebuah keanehan yang wajib hamba
haturkan kebawah duli paduka"
"Ya, katakanlah"
"Altar dari bejana tempat penyimpanan abu rahyang
ramuhun Kertarajasa, telah mengeluarkan kesaktian yang
aneh" "Apakah itu, kakang Kembar"
"Ketika beberapa tukang hendak membersihkan dan
menambal gurat2 retak pada batu altar, tiba2 tukang itu
rubuh. Kemudian hamba perintahkan lain tukang, pun dia juga
rubuh tak ingat diri. Sudah sepuluh orang yang rubuh dan
hingga kini masih sakit tak dapat bangun, gusti"
"Hai" teriak baginda "sungguh aneh benar peristiwa itu.
Adakah ...." baginda kerutkan dahi "pesta Srada itu terdapat
kekurangan sesaji" Ataukah mungkin arwah ayahanda
rahyang ramuhun Kertarajasa tak berkenan meluluskan
pemugaran itu" "Dalam hal ini, gusti" kata Arya Kembar "adalah para mentri
wreddha, terutama patih mangkubumi Arya Tadah yang lebih
tahu" "Ya, benar" sahut baginda "akan kutanyakan kepada
mereka supaya menyelidiki hal itu"
Berhenti sejenak Arya Kembar berkata pula "Di-samping itu
gusti, hamba hendak menghaturkan pula suatu hal yang
mungkin tak kalah mengherankan dari kedua peristiwa di
candi makam Antahpura"
Baginda terbelalak. "Hai, masih ada lain peristiwa ajaib pula?" teriak baginda.
Arya Kembar menghaturkan sembah.
"Dalam titah paduka untuk memugar candi makam rahyang
ramuhun Kertarajasa, hambapun telah bertindak menurut titah
paduka. Kecuali candi makam Antahpura, pun hamba juga
akan memugar arca Syiwa yang ditegakkan di Simping sebagai
lambang peribadi rahyang rarnuhun pada masa mengejawantah di arcapada, memerintah di bumi Majapahit"
"Ya, benar" ujar baginda "adakah sesuatu pula pada arca
Hyang Syiwa itu" "Demikianlah gusti" sembah Arya Kembar "hamba terkejut
ketika menerima laporan dari para pekerja bahwa arca Hyang
Syiwa itu mengeluarkan darah .... "
"Hai!" serentak baginda bangkit dari singgasana dan
membelalak pandang kearah Arya Kembar "apakah maksud
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatanganmu menghadap raja saat ini, Kembar " Adakah
engkau hendak mengejutkan aku dengan segala macam
peristiwa yang bukan2 dan tak selayaknya itu"
Serta merta Arya Kembar menghaturkan sembah.
"Apabila laporan hamba ini tak benar, ataupun hamba
mengandung setitik maksud hendak meresahkan pikiran
paduka, hamba bersedia paduka hukum penggal kepala, gusti"
Melihat kesungguhan wajah dan nada A rya Kembar baginda
segera jatuhkan diri di singgasana pula.
"Katakan!" serunya "bagaimana mungkin arca Hyang Syiwa
dapat berdarah !" "Bermula hamba juga tak percaya dan marah kepada
tukang batu ahli pahat itu. Tetapi ketika hamba memeriksa ke
Simping, memang apa yang dikatakan ahli pahat itu benar
adanya. Memang pada sepasang mata arca Hyang Syiwa
terdapat dua titik airmata merah. Demikian pada bagian ujung
mulut, terdapat percikan titik2 merah ...."
"Oh" baginda mendesuh kejut sekali "apakah artinya itu "
Apakah artinya itu" serunya dengan nada tergetar.
"Mohon baginda berkenan melimpahkan ampun atas diri
hamba yang tak tahu memecahkan makna kesemuanya itu,
gusti. Tetapi di pura kerajaan paduka banyak sekali para
ahlinujum, pujangga serta para resi yang sakti. Jika baginda
berkenan, akan hamba undang mereka menghadap baginda
untuk menerangkan tentang peristiwa ajaib itu "
"Benar, kakang Kembar" sambut baginda
"undanglah mereka menghadap kepadaku "
serentak Demikian percakapan yang berlangsung pagi itu antara
Arya Kembar dengan baginda Jayanagara. Sesungguhnya
masih sebuah peristiwa yang tak wajar, tetapi Arya Kembar
tak mau menghaturkan kepada baginda. Karena cukup dengan
kedua buah peristiwa itu, baginda sudah cemas.
Peristiwa yang ketiga itu tak lain bahwa sejak beberapa hari
terakhir ini di pura Majapahit sering terlihat kawanan burung
gagak terbang melayang-layang diatas keraton. Kemudian
kawanan gagak itu terbang pula entah kemana. Arya Kembar
belum berani mengatakan hal itu dihadapan baginda karena
peristiwa itu belum dapat dipastikan. Artinya, apakah hanya
secara kebetulan saja ataukah burung2 gagak itu akan muncul
setiap senja hari. Tetapi dalam hati, Arya Kembar memang
mempunyai perasaan yang tak enak. Menurut tafsiran dari
orang2 tua yang pernah didengarnya, bahwa burung gagak itu
suatu alamat dari kematian.
Hanya saja ia. tak mendapat tempat untuk menumpahkan
tafsiran itu kepada keluarga raja. Karena sejauh yang
diketahuinya, baik baginda maupun ibunda gusti ratu
Indreswari dan gusti ratu Rajapatni, masih sehat.
Setelah mengundurkan diri dari hadapan baginda ia
menghadap pula gusti ratu Indreswari. Ketika gusti ratu
menerima laporan tentang kejadian2 yang aneh itu, ia
menjerit. "Kembar, sampai hati benar engkau menyampaikan hal itu
kepadaku !" teriaknya.
Arya Kembar terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka
bahwa gusti ratu akan menyambut sedemikian tegang atas
laporannya itu. Sesaat ia terlongong-longong.
"Bibi ratu" seru Arya Kembar "tiada terkandung dalam
maksud hamba untuk meresahkan hati bibi ratu. A pakah yang
menyebabkan bibi ratu sedemikian tegang. Apabila hamba
bersalah, mohon bibi ratu menjatuhkan pidana. Namun hamba
mohon bibi ratu menunjukkan kesalahan hamba"
Sejenak gusti ratu Indreswari terdiam untuk menenangkan
gejolak perasaannya. Beberapa saat kemudian baru ratu itu
dapat berujar. "Kembar, adakah engkau tak mendengar tentang peristiwa
yang terjadi pada waktu pesta Srada yang lalu"
Arya Kembar agak terkejut. Ia mengaiakan bahwa yang
diketahuinya pesta Srada itu telah berlangsung dengan meriah
dan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan
"Adakah masih terdapat kekurangan, entah sesaji entah doa
puji dari para pandita itu, sehingga telah terjadi peristiwa yang
aneh di candi makam rahyang ramuhun Kertarajasa, hamba
kurang tahu, bibi ratu"
"Kemungkinan begitu" ujar ratu Indreswari "tetapi
disamping itu dalam keraton telah terjadi suatu peristiwa yang
hampir saja akan menjerumuskan baginda dan keluarga raja
dalam lembah kenistaan"
Arya Kembar terkejut sekali mendengar keterangan itu.
Memang selama ini tak pernah ia mendengar berita apa2
mengenai soal2 dalam keraton, la sibuk memimpin pekerjaan
untuk memugar candi makam baginda Kertarajasa.
"Bibi ratu" serunya agak tegang "benar2 hamba tak
mendengar suatu apa tentang hal itu. Dan mungkin tiada
seorang mentri dan narapraja juga yang mendengar.
Sebenarnya soal apakah yang bibi ratu maksud sedemikian
gawat sehingga membawa akibat yang sedemikian berbahaya
kepada baginda" Ratu Indreswari menghela napas "Kembar, soal ini memang
bukan main2 dan harus engkau rahasiakan benar2. Jika
sampai terdengar diluar, pasti akan memalukan baginda dan
keluarga raja. Mengertikah engkau Kembar"
"Hamba mengerti gusti "
"Sanggupkah engkau memegang rahasia itu jangan sampai
teruwar keluar" "Hamba sanggup, bibi ratu"
Setelah mendapat kesanggupan itu maka ratu Indreswari
segera menuturkan peristiwa yang terjadi antara baginda
Jayanagara dengan Rani Daha dan nyi patih Dipa.
Bukan kepalang kejut Arya Kembar, sehingga tubuhnya
gemetar. Sedemikiankah tindakan baginda dalam kegemarannya terhadap wanita"
"Mohon bibi ratu beikenan mengampuni hamba. Tetapi
Kembar mohon diberi petunjuk, dari manakah kiranya sumber
yang telah menghaturkan laporan itu kehadapan paduka"
"Nyi lurah Badra yang kutugaskan menjadi kepala dayang
dan juru tebah peraduan baginda" kata ratu Indreswari.
"O" desuh Arya Kembar "jika demikian, peristiwa itu
memang benar terjadi dan harus dirahasiakan."
"Dalam rangka itulah, maka aku amat terkejut sekali
mendengar laporanmu tentang keadaan arca Jina dan arca
Syiwa itu " ujar ratu pula.
"Maksud bibi ratu"
"Jina sebagai lambang dari Batara Buddha dan Hyang
Batara Syiwa, telah memperlihatkan gaibnya untuk
menumpahkan kemurkaan ...." sebenarnya ratu Indreswati
hendak mengatakan kemurkaannya terhadap baginda
Jayanagara. Tetapi ia teringat bahwa sebagai seorang ibu,
sebagai seorang ratu, tak boleh ia sembarangan menjatuhkan
kata. Karena ucap seorang ratu itu, menjadi suatu tulah atau
kutuk yang disaksikan oleh dewa2.
"Apakah bibi ratu maksudkan ...." karena ratu hentikan
ucapannya agak lama tak bicara lagi, Arya Kembar segera
menyelutuk. Tetapi demi ia teringat hal2 seperti yang
terbayang dalam pikiran ratu Indreswari, iapun berhenti. Dan
menyadari akan kelepasan kata, wajah Arya Kembar agak
pucat. "Sudahlah," tukas ratu Indreswari "jangan memperjelas hal
yang belum pasti. Bagaimana rencanamu mengenai
pemugaran kedua arca itu"
"Hamba telah menghaturkan laporan kehadapan baginda
dan baginda menitahkan supaya mengundang ahli nujum dan
para resi yang sakti untuk mengatasi persoalan itu"
"Ya" kata ratu Indreswari "mudah-mudahan para ahli nujum
dan resi itu dapat menunjukkan jalan yang terang sehingga
kerajaan Majapahit selalu mendapat pengayoman dari Hyang
Widdhi" kata ratu Indreswari seraya pejamkan mata seolah
saat itu juga terus berdoa.
Demikian sepengundur diri dari hadapan ratu Indreswari,
Arya Kembarpun segera melaksanakan titah baginda untuk
mengundang para ahli nujum dan para pandita linuwih yang
diketahuinya. Beberapa hari kemudian, di balairung keraton Tikta-Sripala
telah diadakan pasewakan dimana baginda akan mendengarkan keterangan dari beberapa ahli nujum dan resi
yang telah diundang. Begawan Madraka dari gunung Anjasmara tampil ke
hadapan baginda. Setelah menghaturkan sembah begawan itu
mulai memberi keterangan.
"Menurut wawasan hamba, begawan Madraka yang sudah
tua renta ini, gusti. Bahwa kedua arca Jina dan Batara Syiwa
yang telah memperlihatkan tanda2 gaib itu tak lain, bahwa
kerajaan paduka sedang dilanda oleh kabut awan gelap. Ada
suatu hal yang tak berkenan dalam tanggapan sasmita
rahyang ramuhun Kertarajasa, bahwa para kawula dan
narapraja kerajaan Majapahit ini, masih kurang taat akan
kesujutannya kepada Hyang Syiwa. Sehingga Hyang Syiwa
murka sampai menitikkan airmata darah ...."
Baginda terdiam. Dan suasana dalam balairung itu sunyi
senyap sedemikian senyap sehingga napas dari para mentri
yang hadir terdengar. "Hyang Batara Buddha yang terbuat daripada emas menjadi
kehitam-hitaman itu tak lain perlambang dari suatu
pernyataan murung atau duka nestapa bahwa sinar dari ilmu
ajaran Buddha akan mengalami kesuraman"
Terdengar beberapa pandita Bhuda agak keras napasnya.
"Kekuasaan Hyang Batara Syiwa, tiada taranya. Hyang
Syiwa adalah yang mencipta tetapipun kuasa pula untuk
menghancurkan. Oleh karena itu, gusti, keselamatan kerajaan
paduka akan langgeng apabila pemujaan pada Batara Syiwa
diperluas dan dipergiat bahkan seyogyanya diperwajibkan bagi
setiap kawula Majapahit. Agar janganlah Batara Syiwa benar2
menjatuhkan kemurkaan pada kerajaan dan kawula
Majapahit" Ketegangan dari begawan Mandraka itu mendapat
tanggapan yang menggemparkan. Para pameget dan
dharmadhyaksa serta para mentri2 dari aliran agama Syiwa,
memberi sambutan yang cerah. Tetapi para pandita Budha
terkejut. Beberapa pandita dengan suara pelahan segera
memanjat doa "Aum avignam astu.. ."
Resi Dewendra, yang termasyhur putus dalam ilmu agama
dan sakti dalam hal penujuman, segera tampil.
"Hamba resi tua Dewendra dari pertapaan gunung Tengger,
mohon akan menghaturkan sesuatu yang hamba peroleh dari
hasil sidhikara hamba, tiada lain gusti, bahwa ada suatu
kekurangan dalam pesta Srada yang paduka titahkan itu
sehingga rahyang ramuhun Kertarajasa telah murka. Sebagai
tolak bela, hendaknya paduka mengadakan sesaji di candi
makam Antahpura dan di Simping selaba empatpuluh hari
lamanya. Danhen daknya paduka berkenan mengunjungi dan
menghaturkan sembah bhakti kehadapan arwah rahyang
ramuhun Kertarajasa sehingga ramanda paduka akan
melimpahkan ampun kepada paduka, gusti"
Setelah resi Dewendra mundur, maka tampillah seorang
pandita Buddha yang mengawali kata-katanya dengan
melantangkan doa pujian "Aum awighnam astu namas
siddham .... Aum narao Budalhaya .... Aum namo Dharmatya
.... Aum namo Sanghaya .... "
"Diperkenankanlah kiranya hamba, pandita tua Niskalawastu, untuk menghaturkan kata2 yang tiada teratur
kebawah duli paduka junjungan seluruh kawula Majapahit,
pengayom dari Tripaksa yang sejahtera ...."
Baginda Jayanagara terkesiap lalu mengangguk.
"Dipermuliakanlah kiranya keluhuran paduka sebagai
pengayom dan penegak Tripaksa yang jelas telah dihayati
akan kesucian dan kebenarannya dalam menenteramkan dan
menyejahterakan kerajaan paduka"
"Bahwa sesungguhnya tiada perbedaan yang harus ada dan
harus dipertajam antara Hyang Batara Syiwa dan Hyang
Batara Buddha. Rahyang ramuhun baginda Kertarajasa dari
Singasari, seorang raja yang arif bijaksana, putus akan segala
ilmu ajaran agama maka rakyat Singasari telah menghaturkan
gelar persembahan mulia kepada baginda sebagai Yang Mulia
dialam Syiwa Buda. Dan diatas candi makam bagindapun telah
didirikan arca Syiwa Buda. Kemudian rama paduka, rahyang
ramuhun prabu Kertarajasa pun seorang penegak Syiwa Buda
yang gigih perkasa maka pada candi makam bagindapun
didirikan arca Hyang Batara Buda dan Hyang Syiwa ...."
"Apabila faham yang menjadi landasan negara dan telah
direstui serta ditegakkan oleh kedua baginda dan dihayati oleh
seluruh kawula, akan digoyahkan, maka berbahayalah suasana
negara yang sudah diayomi dan diberkati oleh dewata dengan
ketenteraman dan kesejahteraan ini"
Baginda Jayanagara mengangguk setuju.
"Ki pandita, lalu bagaimanakah makna daripada peristiwa2
yang terjadi di Antahpura dan di Simping itu ?" sesaat
kemudian baginda bertanya.
"Menurut apa yang telah hamba peroleh dalam renungan,
kiranya kesuraman arca Hyang Buda dan percikan darah pada
arca Hyang Syiwa, merupakan pernyataan duka nestapa
bahwa kini para kawula mengabaikan ajaran2 yang luhur.
Oleh karena itu, hamba menghaturkan permohonan
kehadapan paduka, agar paduka berkenan menitahkan,
supaya mempei banyak pendirian2 candi, vihara dan rumah2
sudharmma dan menitahkan bahwa perkembangan agama
supaya lebih dipergiat dan dikembangkan seluas-luasnya"
Setelah beberapa ahli nujum dan resi maju kehadapan seri
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baginda Jayanagara dengan menghaturkan berbagai ulasan
dan penafsiran tentang kedua peristiwa aneh di candi makam
Antahpura dan Simping, maka tampillah seorang begawan
berkulit hitam, memiliki sepasang mata yang bundar dan
bersinar terang, wajah yang tenang.
Begawan berkulit hitam itu memperkenalkan diri sebagai
begawan Kresnayana dari gunung Semeru. Seorang begawan
yang terkenal sidik dan ahli dalam ilmu perbintangan. Banyak
hal2 dan peristiwa2 di dunia yang telah dipecahkan dengan
tepat. Begawan Kresnayana jarang turun dari pertapaan,
namun namanya telah termasyhur keseluruh kerajaan.
"Menurut apa yang hamba terima dari wangsit gaib, maka
kesuraman pada arca Hyang Buda dan percikan airmata darah
pada arca Hyang Syiwa, tak lain suatu amanat gaib dari arwah
rahyang ramuhun prabu Kertarajasa, bahwa bukan pemugaran
pada makam di Antahpura ataupun di Simping yang
dikehendaki rahyang ramuhun prabu Kertarajasa"
Pernyataan dari begawan Kresnayana itu menimbulkan
kegemparan dalam suasana balairung. Dari sekian banyak
pernyataan para ahli nujum dan para resi pandita,
kesemuanya menyatakan tentang hal2 yang mengenai sesaji
dan upacara pemugaran. Bahkan terdapat pula yang hendak
mempertentangan Hyang Buda dengan Hyang Syiwa. Hanya
begawan Kresnayanalah satu2nya yang memberi ulasan lain.
Rupanya baginda juga tertarik akan uraian begawan itu
maka bagindapun segera menitahkan agar begawan itu
melanjutkan kata-katanya.
"Melalui wangsit gaib itulah hamba dapat menangkap
amanat dari rahyang ramuhun Kertarajasa, bahwa bukan
pemugaran yang dikehendaki beliau. Rahyang ramuhun
hendak memperbaharui pula kejayaan kerajaan Majapahit
yang telah dibangun itu, agar sinar kejayaan itu dapat
memancar pula keseluruh kerajaan"
"Perbaharuan itu tak lain dari memperingati pula hari
bersejarah dari penobatan rahyang ramuhun sebagai raja
pertama kerajaan Majapahit. Dan hal itu berarti pula
memperingati kelahiran dari sebuah kerajaan baru yang
disebut kerajaan Wilwatikta. Dengan peringatan itulah nanti
akan tergali pula sumber yang akan memancarkan sinar
kejayaan keseluruh buana"
"Oh" baginda Jayanagara mendesis "jika demikian pada
waktu apakah yang tepat untuk melangsungkan upacara
peringatan itu, ki begawan"
"Pada waktu purneng Kartikamasa atau bulan purnama
dalam bulan Kartika atau pancadaci cukleng kacatur maka
tegaklah raden Wijaya dinobatkan sebagai rajakula pertama
dari kerajaan Wilwatikta dengan gelar abiseka Kertarajasa
Jayawardhana. Maka pada nanti Kartikamasa itulah, paduka
dapat melangsungkan upacara sesaji uatuk memperingati hari
penobatan ramanda paduka, rahyang ramuhun Kertarajasa
itu. Semoga persembahan bakti paduka itu akan diterima oleh
arwah rahyang ramuhun dan semoga hilang sirnalah segala
awan mendung yang mengabut cakrawala keraton TiktaSripala"
Pernyataan dari begawan Kresnayana yang berkulit hitam
itu mendapat sambutan yang gempar dari sekalian rnentri
narapraja dan para resi pandita yang hadir dalam balairung.
"Baik, ki begawan" ujar baginda dengan nada longgar "akan
kuperhatikan persembahan kata ki begawan"
Setelah dua orang resi dan ahli nujum memaparkan
nujumnya dihadapan baginda, tiba2 diluar terdengar suara
hiruk dan tak lama kemudian bekel bhayangkara yang
bertugas menjaga keamanan sidang, gopoh menghadap
baginda. Setelah memberi sembah, bekel itupun segera menghaturkan laporan bahwa di alun2 telah muncul seorang
pertapa setengah tua, berkeras hendak menghadap baginda
untuk menyatakan nujumnya.
"Adakah dia menerima undangan dari utusan kerajaan"
tegur baginda. "Tidak, gusti" kembali bekel bhayangkara itu menghaturkan
sembah "pertapa itu mengatakan dia adalah kawula Majapahit
maka wajiblah dia menghaturkan apa yang diketahui
kehadapan paduka" "Hm, siapakah namanya"
"Pertapa itupun tak mau memberitahukan namanya gusti"
sembah bekel itu"kecuali dihadapan paduka "
"Hm" desuh baginda yang kemudian menitahkan supaya
membawa masuk pertapa itu.
Ketika memasuki balairung, sekalian mentri, para resi,
pandita dan ahli nujum yang hadir, agak terkesiap. Seorang
pertapa yang dandanannya agak aneh. Rambutnya terurai
panjang sampai ke punggung. Kumis dan janggutnya tebal
menjulai ke dada. Mengenakan pakaian macam jubah yang
disimpangkan separoh dadanya. Dan yang istimewa dia
membawa sebuah lampu lentera yang menyala.
Gemparlah sekalian hadirin menyaksikan kehadiran pertapa
aneh itu. Tiba dihadapan baginda, diapun tak mau duduk
bersimpuh memberi hormat, melainkan tegak berdiri dan
hanya membungkukkan tubuh sebagai tanda memberi hormat.
"Siapakah engkau, hai, pertapa?" tegur baginda nyaring.
"Hamba Gede Pabanyu, baginda "
"Ki Gede Pabanyu" ujar baginda "dari pertapaan mana"
"Dari pertapaan Pusar-angin, baginda "
"Pusar-angin" Dimanakah tempat itu?" ujar baginda pula.
Agak heran. "Tempatnya diseiuruh penjuru alam" seru per-tapa yang
menyerupai seorang yogi itu "dirnana ada angin, disitulah
tempat hamba. Hamba tiada mempunyai tempat tertentu
karena hamba anggap, hidup ini hanya singgah sepeminum air
saja lamanya" Terkejut sekalian hadirin mendengar jawaban pertapa aneh
itu. Aneh orangnya, aneh pula kata-katanya.
"Maka hamba katakan pertapaan hamba itu adalah di
Pusar-angin tempatnya" Gede Pabanyu menambah keterangannya pula. Baginda kerutkan dahi. Timbul suatu kesan tertentu
terhadap pertapa itu. Namun baginda berkenan melanjutkan
pertanyaan pula "Gede Pabanyu, saat apakah sekarang ini"
"Siang hari, baginda"
"Mengapa engkau membawa lentera yang menyala"
"Lentera hamba ini bukan sembarang lentera, baginda"
sahut Gede Pabanyu "api lentera itu menyala terus, tak pernah
padam. Api nan tak kunjung padam atau api abadi"
Kisah Pendekar Bongkok 11 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Memanah Burung Rajawali 35
Tanca pada malam pertama itu, tak pernah terhapus dalam
hatinya. Hanya bertahun tahun terakhir, kenangan itu seolah
tertimbun oleh kesibukan2 dan perhatian2 pada lain soal.
Tetapi tertimbun bukanlah hilang, melainkan menyedap dalam
lapisan2 persoalan lain. Kini pada waktu seluruh perhatian
bangkit kembali pada kenangan manis maka seluruh lapisan2
yang menimbuninyapun berhamburan lenyap. Kini ia mulai
merasakan pula betapa indah kenangan itu. Bahkan setelah
menderita peristiwa yang mendebui kenangan itu, ia makin
merasakan betapa bahagia ia memiliki kenangan itu.
Tersiaknya timbunan2 yang menyelaputi kenangan itu,
memancarkan suatu cahaya yang gilang gemilang. Cahaya
yang dirasakan kini, sebagai cahaya jiwanya, cahaya
kehidupannya. Dan penemuan serta pengakuan akan cahaya
itu, cepat menumbuhkan rasa pilu, gemas dan kemurkaan
manakala diketahui bahwa cahaya itu telah dicemarkan oleh
awan gelap. Setetika ia melihat, ia merasakan dalam pandang perasaan
dan mata hatinya, bahwa tubuh wanita yang selama berpuluh
tahun menjadi miliknya, kini telah tercemar oleh kotoran.
Seketika itu pula ia merasa wajah dan tubuh nyi Tanca
berobah penuh dengan bintik2 hitam sehingga tiada lagi
kecantikan pada wajahnya, kelembutan pada kulit tubuhnya.
Yang ada, wanita itu telah berobah menjadi wajah seorang
hantu yang menyeramkan. Ra Tanca ngeri, sedemikian ngeri sehingga ia menutupkan
kedua tangannya ke mukanya lalu lari masuk kedalam bilik.
Diambilnya keris pusaka yang selama berpuluh tahun
tergantung pada dinding biliknya. Kyai Tundung, demikian
nama keris pusaka itu. Telah menjaga dan menundung atau
menghalau segala renta bencana, aral rubeda yang akan
menimpa keluarganya. "Kyai Tundung" sambil mengacungkan keris yang telah
dihunus itu kemukanya, ra Tanca berdoa "kali ini aku hendak
minta bantuan tenagamu. Halaulah roh jahat yang telah
menghinggapi nyi Tanca itu"
Dengan bergegas digopoh kemurkaan, ra Tanca segera
menuju ke bilik nyi Tanca. Didapatinya nyi Tanca masih tidur.
Ra Tanca berdiri dihadapan isterinya. Sejenak ia berkomatkamit "Nyai, engkau telah membhaktikan kesetyaan cintamu
kepadaku. Kutahu. Tetapi kini ragamu telah cemar. Aku harus
membersihkan noda cemar ragamu. Jangan engkau sesalkan
aku tetapi tunggulah aku di gerbang nirwana . ." ia terus
mengangkat keris kyai Tundung dan siap dihunjamkan ke
dada nyi Tanca. Rek, e, rek . . . tekek . . . tekek . . .
Bagaikan halilintar meledak disiang hari, terdengarlah bunyi
tokek menggelegar dari sebatang pohon yang tumbuh di muka
serambi. Seketika terkejutlah ra Tanca sehingga keris yang
hendak diayunkan itu terhenti di atas.
Dengkung tokek di malam sepi itupun segera
membangunkan nyi Tanca. Dan tatkala melihat suaminya
tegak berdiri di hadapannya dengan mengacungkan keris,
menjeritlah nyi Tanca "Kakang rakryan .."
Nyi Tanca cepat menggeliat bangun, memandang ra Tanca
dengan ketakutan "Kakang rakryan, engkau . . . engkau
hendak . . . membunuh aku"
Seketika hilanglah gambaran wajah hantu berbintik noda
hitam pada wajah nyi Tanca. Dalam pandangan ra Tanca, ia
berhadapan pula dengan nyi Tanca wanita yang sudah
berpuluh tahun menjadi isterinya.
Rek, e, erek . . tekek . . tekek . . . tokek masih
mendengkung-dengkung di kesunyian malam. Dengkung yang
mendetakkan jantung ra Tanca, menggugah kesadaran
pikirannya. "Engkau nyi Tanca" mulut ra Tanca menghambur tanya.
"Benar, kakang rakryan. Akulah isterimu"
Ra Tanca tertawa "Ya, benar, benar. Nyi Tanca itu adalah
isteriku, benar . . . tetapi dulu. Sekarang bukan .."
"Kakang rakryan !" nyi Tanca menjerit.
"Dulu tubuh nyi Tanca itu adalah milikku. Tetapi sekarang
telah dirampas orang .."
Saat itu baru nyi Tanca menyadari bahwa peristiwa yang
telah diderita dan disimpannya agar jangan sampai tercium ra
Tanca, ternyata telah terbongkar. Ia menangis.
"Mengapa engkau menangis" Adakah tangismu itu dapat
membersihkan ragamu yang telah cemar itu?" Nyi Tanca
masih tetap menangis. "Diam, wanita hina !" bentak ra Tanca murka "adakah
engkau kira tangismu itu dapat mengobati hatiku yang luka!
Betapa besar kepercayaan dan kecintaanku kepadamu, betapa
kejam engkau telah mencampakkannya !"
"Duh, kakang rakryan, ampunilah dosaku"
"Dapatkah ampunku itu membersihkan ragamu " Dapatkah
ampunku itu menghianati suara hatiku yang merintih-rintih
derita kesakitan" "Tetapi kakang rakryan, aku tak kuasa menghadapi paksaan
raja bedebah itu" "Mengapa engkau tak mengatakan kepadaku"
"Kakang rakryan" nyi Tanca merintih-rintih "aku cinta
kepadamu. Aku menghormat dan menjunjungmu sebagai guru
laki yang paling agung. Tiada pria di dunia ini yang kucintai
dan kudambakan bhak-ti kesetyaanku kecuali engkau, kakang
rakryan. Demi keagungan cintaku, aku tak ingin engkau
menderita kesakitan batin. Maka kusimpan rahasia itu. Biarlah
aku sendiri yang menanggung derita siksa itu, kakang rakryan.
Jangan engkau salah faham"
"Jangan merayu, wanita hina" hardik ra Tanca masih
meluap-luap kemarahan "segala kesalahan apapun yang
engkau lakukan kepadaku, seluas samudera ampunku
kepadamu. Tetapi dalam hal itu, jangan engkau mengharap
pengampunanku lagi" Serta merta nyi Tanca menjatuhkan diri berlutut di hadapan
suaminya "Duh kakang rakryan, aku memang bersalah. Tetapi
benar2 aku tak menyangka bahwa baginda akan bertindak
begitu nista kepadaku"
"Dan bukankah engkau telah mendapatkan kenikmatan
yang puas dengan baginda daripada aku si Tanca yang sudah
tua renta ini" "Kakang rakryan ..." nyi Tanca menjerit bagai serigala
melolong ditengah malam "jangan menyiksa hatiku dengan
kata2 itu. Bunuhlah aku kakang ..."
"Jika engkau memang wanita utama, mengapa engkau
tidak bunuh diri saja!"
Tiba2 nyi Tanca berbangkit "Ya, aku memang nista. Engkau
benar kakang, aku harus mati . . . ." serentak ia menubruk
tangan ra Tanca yang masih memegang keris kyai Tundung.
Bukan kepalang kejut ra Tanca. Cepat ia menghindar seraya
mengangkat keris tinggi2 ke atas kepala "Nyai, jangan engkau
memaksa aku .." Namun nyi Tanca kini yang berbalik kalap. Ia terus
menerjang lagi ke arah keris itu. Karena gugup ra Tanca telah
mendorong dengan tangan kiri sehingga nyi Tanca jatuh
terjerembab. Nyi Tanca menjerit dan jeritan itupun telah
menggugah pikiran ra Tanca.
"Nyai, engkau tak bersalah. Yang bersalah adalah raja.
Akan kubalaskan dendam kehinaan yang engkau derita itu. Ra
Tanca bersumpah akan membunuh raja bedebah itu"
Habis berkata ra Tanca terus lari keluar.
"Kakang rakryan . . . . !" nyi Tanca menjerit seraya
memburu keluar. Namun ra Tanca sudah kalap.
0odwo0 Jilid 48 I Marah ra Tanca adalah amarah kejantanan. Kejantanan
mempunyai tiga warna. Kejantanan alamiah, kejantanan
peribadi dan kejantanan wajib.
Kejantanan alamiah bersumber pada sifat seorang lelaki
terhadap wanita. Pada umumnya, apabila isteri diganggu
orang, kejantanan alamiah itu akan meluapkan kemarahan.
Kejantanan peribadi, bersumber pada sifat keperibadiannya
sebagai seorang lelaki. A pabila dihina, ditantang dan diserang,
maka melancarlah kejantanan itu dalam kemarahan yang
hebat. Kejantanan wajib bersumber pada tugas kewajiban. Bukan
melainkan prajurit, pun seluruh kawula akan bangkit
kemarahannya apabila negara diserang musuh, keamanan
terganggu. Setiap yang bersifat kejantanan
dipertaruhkan, nyawa diikhlaskan.
tentu raga akan Kemarahan ra Tanca adalah kemarahan alamiyah. Alamiyah
sebagai seorang lelaki yang merasa menjadi seorang suami.
Ibarat tubuh, apabila tidak sakit maka hampir kita
mengabaikan bakkan melupakan bahwa tubuh itu adalah
sebuah benda yang berharga bagi kita. Adalah pada saat
tubuh kita diserang sakit, barulah kita menyadari betapa
berharga tubuh yang menjadi kerangka dari nyawa kita itu.
Demikian dengan ra Tanca. Ia menganggap nyi Tanca itu
isterinya dan menjadi bagian dari raganya. Karena sudah
belasan tahun tiada terjadi apa2, iapun hampir melupakan
perasaan kesua-miannya terhadap wanita itu. Adalah setelah
mengetahui bahwa isterinya diganggu baginda, barulah ia
merasa dan menyadari betapa arti nyi Tanca itu bagi
hidupnya. Kesadaran akan arti seorang isteri bagi hidupnya,
mengembangkan perasaan yang lebih lanjut, meningkatkan
nilai dari perasaan itu dan melahirkan kenangan yang makin
meresap. Isieri adalah wanita miliknya yang telah meraga
dalam kesatuan dengan dirinya, telah pula memadu dalam
ketunggalan jiwa. Mencemarkan dia, berarti menodai dan
menghina dirinya juga. Dan marahlah ra Tanca sebagai seekor
singa jantan yang ter-luka. Ia meraung, ia mengaum marah.
Ia melolong berkepanjangan, menumpahkan segala derita
kesakitan hatinya. Ra Tanca tak ingat lagi bahwa dirinya termasuk seorang
bekas Dharmaputera yang telah memberontak. Iapun tak
menghiraukan lagi bahwa yang mengganggu isterinya itu
baginda sendiri. Yang ada dan dirasakan olehnya hanyalah
alamiyah kejantanannya sebagai seorang lelaki yang isterinya
diganggu. Lantai ruang pendapa terdengar berdebur-debur ditingkah
kaki yang ingin membawa tubuhnya cepat cepat keluar. Tetapi
karena darahnya menggelora keras dilanda kemarahan maka
menggigillah tubuhnya. Kedua kakinyapun gemetar sehingga
gemetar pula larinya. Ingin hati serasa terbang namun kaki
yang mencongklang-congklang macam kuda melincak-lincak.
Rasanya lama benar ia melintasi ruang pendapa yang hanya
duapuluh tombak panjangnya itu. Namun akhirnya dapat juga
ia mencapai tepi ujung. Tetapi pada saat ia hendak menuruni
titian, sekonyong-konyong badannya terasa berat sekali,
bahkan bukan maju melainkan menyurut mundur ....
Sebelum sempat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya,
tiba2 pula ra Tanca rasakan kedua kakinya seperti kaku tak
dapat digerakkan lagi. Dan sesaat kemudian ia mendengar
suara orang menangis. Amarah dan tangisan, merupakan dua unsur yang
berlawanan. Tidak selalu bahwa kemarahan itu akan cair
dengan tetesan airmata. Tetapi kemarahan akan terdebur juga
oleh butir2 air itu. Demikian halnya dengan ra Tanca ketika
kakinya terutik butir airmata dan telinganya mendengar suara
isak tangis, ia tertegun lalu memandang kebawah. Ah, nyi
Tanca..... "Duh, kakang" terdengar nyi Tanca merintih-rintih
"bunuhlah aku saja tetapi janganlah kakang melanjutkan niat
kakang hendak membunuh baginda "
Ra Tanca masih memandang isterinya dengan berapi-api.
"Betapalah kekuatan kakang seorang diri hendak
membunuh raja " Pabila melihat kakang masuk ke keraton
dengan menghunus keris, para prajurit tentu sudah
menangkap kakang .... "
Ra Tanca terkesiap. "Apa daya kakang hendak melawan mereka " Bukankah
sia2 belaka pengorbanan kakang nanti"
"Biar aku mati sebagai seorang lelaki!" seru ra Tanca.
"Apakah tujuan kakang hendak membunuh baginda" tanya
nyi Tanca. "Apa tujuanku " Engkau masih bertanya, hai wanita ...."
hampir terluncur kata2 yang kotor dari mulut ra Tanca.
Adakah laksana tetesan air jatuh ke laut maka kata2 itu lenyap
dari mulut ra Tanca manakala pandang matanya tertumbuk
akan sinar mata nyi Tanca yang menengadah dalam
kepaserahan. "Engkau hendak membalas cemar yang baginda lakukan
atas diriku. Kakang hendak menghapus hina yang ditimpakan
baginda kepada diri kakang" kata nyi Tanca "tetapi adakah
setelah kakang tertangkap dan dipidana, tujuan kakang itu
akan terlaksana" Ra Tanca terkesiap. "Setiap pengorbanan yang sia2 hanya bunuh diri yang
kecewa" kata nyi Tanca pula.
"Lalu haruskah aku menerima hal itu sebagai suatu
anugerah raja" seru ra Tanca.
"Kakang" nyi Tanca mengusap airmatanya "wanita
sekalipun nyi Tanca itu, tetapi aku tak merelakan tindakan
baginda. Jangan kakang nista diriku sebagai seorang
perempuan yang tak punya malu mengapa tak mau bunuh
diri. Mati bagiku, adalab cara utama untuk membersihkan
diriku sebagaimana dahulu dewi Shinta mati diatas api
unggun" Ra Tanca terdiam. "Tetapi kematian itu suatu kematian yang mati. Yang tak
membawa akibat untuk menolong hati yang diamuk dendam"
kata nyi Tanca pula"aku tak ingin mati begitu, kakang. Aku
ingin membalas kepada orang yang telah menodai diriku.
Setelah itu puaslah aku mati. Jadi kutitipkan nyawa dalam
tubuhku ini hanya sekedar untuk melaksanakan amanat
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendarn hatiku. Sekali-kali bukan karena aku terbuai hidup
dan takut mati " Wajah ra Tanca yang membara, tampak mulai berangsurangsur redup.
"Tetapi kakang" kata nyi Tanca pula "cara pembalasan yang
akan kulaksanakan, bukanlah cara amuk-amukan, cara yang
kalap, yang hanya menurutkan panasnya hati tanpa
memperhitungkan adakah tindakan itu berhasil atau bahkan
akan mencelakakan diri sendiri. Diri boleh binasa setelah
tujuan berhasil tetapi janganlah mati konyol karena
kebodohan bertindak"
Ra Tanca termangu-mangu. Memang dalam hal pemikiran
dan bicara, ia selalu kalah dengan isterinya. Ia seorang tabib
yang membenamkan waktu, tenaga dan pikiran pada ilmu
pengobatan belaka sehingga tak sempat ia mengetahui
tentang tingkah ulah dan kejiwaan orang.
Akhirnya ia mengangguk "Ya, engkau benar ... " Belum
sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba2 tertukas oleh
bayang2 sesosok tubuh yang melintas pandang matanya.
Dan pada lain saat muncullah seorang lelaki muda dibawah
titian pendapa. "Paman Tanca" seru orang muda itu dengan nada girang
demi melihat ra Tanca tegak diatas. Tetapi ia tak melanjutkan
kata-katanya karena melihat isteri rakryan itu tengah duduk di
lantai dan mendekap kedua kaki ra Tanca. Ia heran dan cepat
menunduk. Rupanya ra Tanca menyadari bahwa tetamunya itu agak
kikuk menyaksikan pemandangan pada dirinya saat itu. Tetapi
sebelum ia sempat membuka mulut, nyi Tancapun sudah
melepaskan dekapannya dan beringsut ke samping. Rupanya
nyi Tanca juga malu karena kehadiran tetamu itu.
"O, raden Prapanca" sahut ra Tanca. Cepat ia dapat
mengenali tetamu muda itu sebagai Prapanca, putera dari
dharmadhyaksa ring Kasogatan Dang Acarya Samenaka,
kerajaan Majapahit. Bergegas ia turun untuk menyambut dan
mengajak tetamu itu masuk ke pendapa.
"Paman" anakmuda yang disebut Prapanca itu mengerling
dan mengerut dahi. Rupanya ra Tanca tahu apa yang dimaksud anakmuda itu
"Ah, tidak apa-apa, raden. Paman hanya sekedar hendak
memeriksa dan membersihkan keris paman yang sudah lama
tergantung dalam bilik" katanya seraya menyarungkan keris
kedalam kerangka. "O" Prapanca mendesuh dalam nada yang datar sebagai
pernyataan menerima keterangan tuan rumah. Kemudian
keduanya naik ke titian dan duduk di pendapa.
"Angin apakah yang membawa raden tiba2 mengunjungi
tempat paman" ra Tanca membuka pembicaraan.
"Tiada lain, paman" pemuda itu dengan nada yang tenang
"hanya angin buruk yang hanya menimbulkan kesibukan bagi
paman" "Ah, tidak" kata ra Tanca "memang hidup itu hanya suatu
kesibukan belaka. Kesibukan untuk mengumpulkan bekal mati"
Prapanca tertawa "Benar, paman rakryan. Setiap kehidupan
tentu diakhiri dengan kematian. Tiada hidup tanpa mati.
Tetapipun tiada mati tanpa hidup"
Ra Tanca terkesiap. Ia memang tahu bahwa Dang Acarya
Samenaka itu seorang dharmadhyaksa ring Kasogatan,
seorang maha resi yang putus dalam ajaran Buddha dan
berbudi luhur, luas pengetahuan. Namun ia tak menyangka
bahwa putera dari Dang Acarya Samenaka yang masih begitu
muda, dapat pula mengeluarkan pernyataan yang jarang ia
dengar. Seketika timbullah pikiran ra Tanca untuk menguji
sampai dimana kepandaian putera dharmadhyaksa kerajaan
itu. "Paman berusia lebih tua, tetapi hanya merasakan keusaian
umur yang memakan tubuh dan rambut paman. Hanya
makanan dan hidangan yang silih berganti macam yang
memenuhi perut paman. Tetapi otak paman, benar2 kosong
dalam ilmu ajaran2 tua, raden. Maka paman benar2 tak tahu
apa yang raden maksudkan dalam ucapan raden tadi "
"Ah, paman rakryan hanya merendah diri" kata Prapanca
"malu hati hamba karena merasa mengguru paman rakryan"
"Tidak, raden" kata ra Tanca dengan nada bersungguh
"memang dengan kesungguhan hati dan kemurnian ingin,
paman hendak meminta keterangan kepada raden. Usia bukan
ukuran dari tinggi rendahnya kepandaian seseorang. Paman
mengakui, hampir separoh lebih dari hidup paman ini, paman
tuangkan pada ilmu obat-obatan sehingga paman kurang
dalam lain2 kepandaian, terutama ilmu ajaran agama"
"Jika demikian" kata Prapanca "hamba akan berusaha untuk
membantu keinginan paman. Tadi paman mengatakan bahwa
hidup itu hanya merupakan kesibukan untuk mencari bekal
mati. Maka ingin hamba bertanya, bagaimana paman tahu
bahwa bekal itu adalah kesibukan2 hidup" Dan tahukan
paman apa yang disebut mati itu"
Ra Tanca terkesiap. "Menurut pengertian paman yang dangkal, mati itu tak
bernyawa lagi" kata ra Tanca dengan hati mendongkol karena
merasa dirinya dianggap sebagai anak kecil yang tak tahu
orang mati. "Paman" kata Prapanca "apabila sesuatu kembali pada
asalnya, apakah itu mati"
"Apa maksudmu" "Dulu tiada anak yang bernama Prapanca. Kemudian
lahirlah Prapanca dan akhirnya Prapanca akan tak ada lagi.
Adakah itu mati namanya" Tiada lalu Ada dan kemudian Tiada
lagi" "Kata untuk Ada itu hidup. Dan kata untuk Tiada itu mati"
kata ra Tanca. "Benar" jawab Prapanca "tetapi tiada setelah Ada. Lalu
apakah nama Tiada sebelum Ada itu " Apakah itu juga mati"
"Bukan" seru ra Tanca "sebelum Hidup, itu bukan Mati "
"Jika demikian, sesudah Hidup, pun bukan Mati. Karena
bobot dan sifat dari kedua Tiada itu adalah sama "
"Aku tak mengerti, raden" ra Tanca bersungut-sungut "bagi
pengertianku, sebelum Ada, ya, Tiada. Sebelum Hidup, ya tak
hidup. Tetapi setelah Hidup lalu mati "
"Mati itu "tiada. Dari tiada kembali ke tiada" Tiada, Ada,
Tiada lalu A da lalu Tiada demikian seterusnya. Itu merupakan
perputaran hidup yang tiada berkeputusan. Antara Tiada
dengan Ada hanya suatu pertumbuhan peristiwa dalam suatu
waktu tertentu, merupakan suatu rangkaian dari satu ke
keseluruhan. Oleh karena itu, jika bekal mati yang paman
rakryan maksudkan itu, untuk bekal kelak apabila sudah mati,
aku tak setuju. Tetapi apabila bekal itu merupakan karma
daripada dharma hidup yang paman rakryan lakukan semasa
masih hidup maka aku cenderung untuk menyetujui"
Ra Tanca mengangguk. Ia tak mau memperbincangkan
lebih lanjut tentang hal itu, Namun diam2 ia mempunyai kesan
bahwa putera dari Ding Acarya Samenaka yang masih muda
belia itu, kelak tentu akan menjadi seorang yang pandai. Ia
menilai bahwa pemuda Prapanca itu memiliki pengetahuan
yang mengagumkan dalam ilmu agama yang dianutnya.
Tiba2 muncul pula pikiran ra Tanca untuk menguji sampai
dimana pengetahuan pemuda itu dalam soal-lain terutama
pemerintahan. "Ah, maaf, paman rakryan" kata Prapanca "hamba masih
muda, dangkal pengetahuan, picik pengalaman. Apa yang
hamba kailkan tadi hanya sekedar apa yang hamba ketahui
belaka ...." Timbul rasa suka dalam hati ra Tanca terhadap anakmuda
itu sehingga tiada setitikpun ia itu mempunyai rasa mengkal
terhadapnya "Ah, tidak, raden" katanya "paman kagum benar
atas uraian raden dalam hal2 yang sebenarnya masih belum
masanya dihayati oleh seorang semuda usia raden"
Tak lama bujang menghidangkan minuman. Setelah
meneguk, Prapanca agak terkejut "Wah, betapa harum
minuman ini, paman rakryan" serunya memuji.
Ra Tanca tertawa. "Memang sudah menjadi adat kebiasaan paman, raden.
Paman suka sekali mencoba dedaunan yang mempunyai
khasiat pengobatan. Timbul pikiran paman untuk mencoba
daun dan bunga srigading ini sebagai minuman. Ternyata juga
mempunyai khasiat baik, sebagai penawar haus. Memang
minuman ini tak perlu minum banyak seperti minuman dari
daun jeruk kingkit atau nipis dan lain2"
Keduanya meneguknya pula. Beberapa saat kemudian maka
berkatalah ra Tanca. "Raden, kali ini paman agak bicara ngelantur" katanya
"maukah raden memberi keterangan " Paman hendak
bertanyakan soal undang2 pidana di negeri kerajaan kita ini,
raden" "Ah" Prapanca agak terkejut. Tetapi kemudian ia tenang
kembali "hamba seorang muda, paman rakryan, sudah tentu
pengetahuan hamba amat dangkal. Hamba memang gemar
belajar apa saja. Mudah-mudahan hamba dapat menghaturkan keterangan akan hal yang paman kehendaki
itu" "Raden" ra Tanca menghela napas "apakah pidana itu
masih berlaku pada siapa saja" Apa2 saja yang termasuk
dalam pidana itu" Prapanca terkesiap. Mengapa ra Tanca mengajukan
pertanyaan semacam itu " Adakah dia hendak menguji
pengetahuanku" Diam2 timbul suatu pikiran dalam hatinya.
Prapanca masih seorang muda. Dia gemar sekali mempelajari
kitab2, baik mengenai agama maupun pengetahuanpengetahuan lain. Juga undang2 pidana, dia-pun membaca
juga. Dia memiliki ingatan yang cerdas dan setiap yang pernah
diketahuinya, tentu selalu melekat dalam benaknya.
Tetapi sebagai seorang muda, tak terlepas pula dari rasa
ingin menonjol, terutama karena ia mengetahui soal yang
ditanyakan rakryan Tanca. Dengan agak mengandung rasa
panas hati karena menduga ta Tanca hendak mengujinya,
maka serentak timbul di rangsang nafsunya untuk menghadapi
dan menjawabnya. "Undang2 kepidanaan dalam kerajaan Majapahit berlandaskan pada kitab Agama. Dan kitab per-undangundangan Agama itu banyak mengambil sumber dari kitab
Kutaradharmasastra" Prapanca mulai keterangannya dengan
sebuah uraian tentang asal usul per-undang-undangan yang
digunakan dalam kerajaan rangkaian kata-katanya jelas.
Majapahit. Nadanya terang, "Manawadharmasastra adalah ajaran maharaja Manu,
ketika manusia baru saja diciptakan. Beliau seperti batara
Wisnu. Kitab Kutaradharmasastra, adalah ajaran bagawan
Bregu pada jeman Treptayoga. Beliau-pun seperti batara
Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh semua orang. Ajaran
itu telah berlaku sejak jeman purba"
Berhenti sejenak Prapanca melanjut pula "Kitab perundangundangan Agama yang berlaku di kerajaan Majapahit adalah
kitab undang-undang Hukum Pidana. Tetapi di samping itu,
pun terdapat pula hal2 yang mengatur hukum perdata,
misalnya jual beli, pembagian warisan, pernikahan dan
perceraian serta lain2. Sembilan belas hal yang tercantum
dalam kitab Agama itu"
Kembali Prapanca berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula
"Ketentuan mengenai denda, tentang kejahatan, terutama
Astadusta atau pembunuhan, perlakuan terhadap hamba atau
kawula, pencurian atau Astacoiah, paksaan atau Aulah sahasa,
jual beli adol atuku, gadai atau sanda, ahutang apihutang,
titipan, mahar atau lukon, pernikahan atau kawarangan,
perbuatan mesum atau Paradara, warisan atau Drewe
kaliliran, menghina atau Wakparusya, menangani atau
Dandaparusya, kelalaian atau Kagelehan, perkelahian, tanah,
fitnah atau Duwilatek. Semua berjumlah sembilan belas bab"
Ra Tanca terkejut. Ia tak menyangka bahwa pemuda
Prapanca dapat menguraikan bab2 pokok dalam kitab
perundang-undangan Agama dengan sedemikian lancar dan
urut. Makin meningkat rasa kagumnya terhadap putera dari
dharmadhyaksa Samenaka. "Raden" katanya "paman ingin menanyakan keterangan
yang lebih lengkap mengenai hal Paradara yang terdapat
dalam kitab Agama itu "
Prapanca terkesiap. Ia makin heran mengapa ra Tanca
menaruh minat sedemikian besar hal yang disebut Paradara
atau perbuatan mesum itu. Namun karena sudah terlanjur
menguraikan soal kitab perundang-undangan itu maka iapun
akan melanjutkan pula untuk memenuhi permintaan tuan
rumah. "Paradara artinya isteri
orang lain" Prapanca mulai uraiannya "yang
dimaksud dengan Paradara ialah tiap perbuatan yang tidak senonoh terhadap isteri orang lain atau terhadap wanita yang telah menikah. Perbuatan yang tidak senonoh terhadap seorang gadis juga disebut Paradara. Wanita
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah menikah disebut Wanita Palarangan. Ia hanya terikat pada suaminya saja. Siapapun yang merenggangkan hubungan antara suami isteri, baik sengaja atau
tidak sengaja, dia melakukan perbuatan yang dikenakan
pidana. Demikian pada hakekatnya undang-undang Paradara
itu dimaksud untuk membina ketenteraman kehidupan
keluarga. Karena ketenteraman keluarga itu merupakan
sumber kesejahteraan masyarakat dan negara "
Prapanca berhenti sejenak lalu melanjut.
"Barangsiapa mengganggu atau menggoda isteri orang lain,
dikenakan denda oleh raja yang berkuasa, sesuai dengan
besar kecilnya kesalahan. Jika wanita itu isteri orang
keturunan tinggi, dendanya duapuluh ribu. Jika wanita itu
isteri orang tengahan dendanya sepuluh ribu. Dan jika wanita
itu isteri orang tingkat rendah, dendanya lima ribu. Yang
menerima uang denda itu adalah suaminya, demikian itu jika
ia menghendaki denda uang. Jika si penggoda atau
pengganggu itu tertangkap basah oleh suami wanita itu, suami
itu berwenang untuk membunuhnya. Demikianlah suami yang
dirugikan itu mendapat pepulih berupa uang atau jika mau,
mendapat hak penuh untuk menghukum orang yang
mengganggu isterinya itu, tanpa ada tuntutan apapun dari
undang2 " "Dan barangsiapa berbuat mesum dengan wanita yang
telah bersuami" hanya sejenak mengambil napas, Prapanca
melanjutkan pula "dikenakan pidana mati. Pelaksanaan pidana
mati itu dilakukan oleh suami wanita yang bersangkutan ..."
"O, suami dari wanita yang terganggu itu berhak untuk
menghukum mati pengganggu itu?" tanpa disadari ra Tanca
berseru dengan nada setengah berteriak.
Prapanca terkejut, menatap rakryan
mengangguk "Benar, paman rakryan"
itu. Kemudian "Adakah, pengganggu itu tak dapat memohon ampun?"
tanya ra Tanca. "Jika dia mohon hidup, dia dikenakan uang tebusan empat
puluh ribu. Tetapi itupun tergantung dari suami wanita yang
bersangkutan, mau memberi ampun atau tidak"
Ra Tanca mengangguk. "Undang2 tentang Paradara itu amat keras dan terperinci"
kata Prapanca "dalam Paradara juga di kenakan pidana potong
anggauta badan yang berbuat salah. Barangsiapa memegang
wanita yang telah bersuami, maka orang itu supaya dipotong
tangannya oleh raja yang berkuasa sebagai tanda peringatan,
bahwa o-rang itu pernah menjamah isteri orang lain dan diusir
dari desa tempat tinggalnya"
"Oh" desuh ra Tanca.
"Jangankan menjamah, bahkan bicara dengan wanita yang
telah bersuami di tempat yang sepi, juga dikenakan denda
dalam undang-undang. Perbuatan itu disebut Strisanggrahana.
Besar kecilnya pidana yang dijatuhkan itu tergantung pula
pada besar kecilnya kesalahan serta tinggi rendahnya
kedudukan wanita yang bersangkutan. Sekalipun orang yang
berbicara dengan isteri orang di tempat sepi itu tidak
disebabkan karena ia berminat kepada perempuan itu dan
karena ia tak tahu pula bahwa wanita itu telah menikah
menjadi isteri orang, orang itu-pun tetap dikenakan denda
sebesar lima ribu. Demikianlah paman rakryan, hal2 yang
mengenai Paradara" "Terima kasih, raden" kata ra Tanca "kini jelaslah sudah
paman akan hal yang paman tanyakan itu "
"Maaf, paman" sahut Prapanca "terkandung setitik rasa
heran dalam hati hamba, menerima pertanyaan paman
rakryan itu. Dalam hubungan dan maksud apakah paman
menghendaki keterangan tentang hal Paradara itu"
Ra Tanca terkesiap namun cepat ia dapat menjawab "Ah,
hanya sekedar pengetahuan belaka, raden. Karena seperti
raden uraikan tadi, ketenteraman kehidupan rumahtangga itu
merupakan pokok pangkal kesejahteraan hidup masyarakat
dan negara. Dan hal itulah yang wajib dicamkan oleh setiap
kawula dan bahkan mentri2. Bukankah undang2 dalam kitab
Agama khusus mengenai soal Paradara itu berlaku terhadap
siapa saja" "Benar, paman rakryan" ujar Prapanca "undang-undang
dalam kitab Agama itu berlaku bagi setiap orang tanpa
pandang kedudukannya. Tentulah paman rakryan masih ingat
akan peristiwa yang menimpa diri rakryan demang Lembu
Sora semasa pemerintahan rahyang ramuhun Kertarajasa
yang lalu. Demung Lembu Sora seorang mentri yang
berkedudukan tinggi dalam pemerintahan kerajaan Majapahit.
Tetapi dia tetap dikenakan tuntutan hukum mati karena telah
membunuh senopati Mahesa Anabrang. Perbuatan itu dalam
kitab perundang undangan Kutaramanawadhar-masastra
disebut astadusta" "O, apakah sebelumnya kitab Agama, kerajaan Majapahit
menggunakan kitab undang2 Kutaramanawadharmasastra"
tanya ra Tanca. "Maaf, paman rakryan, tadi hamba telah lupa untuk
memberi keterangan tentang hal itu" kata Prapanca. Kitab
Agama itu juga disebut Kutaramanawa-dharmasastra.
Kutaramanawadharrnasastra berasal dari gabungan antara
Kutaradharmasastra dengan Manawadharmasastra"
"Raden" kata ra Tanca dengan nada agak tergetar sehingga
Prapanca tertegun "bagaimana andaikata raja yang bertindak
salah, misalnya melakukan tindak Paradara"
Prapanca terbeliak dan tertegun. Ia tak pernah menyangka
bahwa ra Tanca akan mengajukan pertanyaan yang
sedemikian. Sampai beberapa saat ia merenung.
"Menurut hemat hamba yang picik, paman rakryan"
akhirnya Prapanca berkata "seorang raja adalah seorang
titisan jiwa agung yang direstui dewata untuk mengayu
hayuning praja dan buana. Memerintah, mengatur dan
menyejahterakan pemerintahan untuk kesentausaan dan
ketenteraman kehidupan para kawula. Dalam kitab Agama
disebut, semoga raja yang berkuasa teguh hati dalam
menetapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah
memutuskan dan jangan sampai orang yang bertingkah salah,
luput dari pidana. Itulah kewajiban raja yang berkuasa, jika
beliau mengharapkan kerahayuan negaranya"
"Rasanya paman belum merasa mendapat jawaban yang
jelas dari raden mengenai pertanyaan paman tadi" masih ra
Tanca mendesak. "Dalam segi martabat yang tinggi, raja laksana, duta
dewata untuk menenteramkan dan mengatur dan memerintah
negara, agar negara tenteram damai, rakyat aman sejahtera.
Dalam segi kedudukan, seorang raja a-dalah penguasa
tertinggi, yang memegang kekuasaan atas undang2 sebagai
sebuah sarana untuk mengatur kesejahteraan dan keamanan
negara serta kehidupan rakyat. Raja adalah junjungan
seluruh kawula yang menyembah dan taat akan
kebijaksanaan, kewibawaan dan keadilan. Dalam rangka inilah
kiranya pertanyaan paman tadi telah terjawab. Seorang raja
harus memegang teguh dan bijaksana serta adil paramarta
dalam melaksanakan undang2 sebagai sarana dari cara
mengatur praja, jika beliau mengharapkan kerahayuan
negaranya. Jika beliau tidak dapat menetapkan dharma
kewajibannya, jelaslah sudah kerahayuan negara tentu sukar
terlaksana" Ra Tanca terdiam. "Uraian hamba itu menurut pendapat dan ulasan hamba
dalam pandangan dan pengetahuan hamba yang picik, paman
rakryan" kata Prapanca menyusuli kata-katanya.
Ra Tanca menghela napas. Ia memang tahu bahwa
Prapanca tentu sukar untuk menjawab pertanyaan itu dengan
jelas. Namun ia tak terpengaruh oleh jawaban apapun yang
akan diberikan pemuda itu. Baginya hanya berlaku suatu
kesimpulan. Bahwa barangsiapa yang melanggar tindak
Paradara maka dia dapat dikenakan hukuman mati atau
dibunuh oleh suami dari wanita yang bersangkutan. Dan
bahwa undang2 kerajaan itu berlaku untuk semua orang tanpa
memandang kedudukannya. Ia sudah puas dengan hal itu.
"Maafkan, raden, karena paman terlalu banyak mengajukan
pertanyaan. Rasanya keterangan yang raden berikan itu sudah
cukup banyak dan jelas bagi paman" kata ra Tanca, kemudian
mengajak tetamunya untuk meneguk minuman pula.
Beberapa saat kemudian ra Tanca baru menanyakan
maksud kunjungan dari Prapanca.
"Maafkan, paman rakryan" kata pemuda itu "hamba diutus
rama hamba untuk memohon obat kepada paman"
"Siapakah yang sakit, raden"
"Rama hamba sendiri, paman rakryan. Maklum rama sudah
lanjut usia dan pada waktu akhir-akhir ini, rama sering
mengidap penyakit pinggang. Sering terasa kejang dan nyeri
sehingga rama sampai tak dapat bangun dari pembaringan"
"O" ra Tanca mengangguk "baiklah, raden. Tunggu
sebentar akan paman ambilkan ramuannya"
Ra Tanca meninggalkan tetamunya dan masuk ke dalam.
Tak berapa lama ia keluar pula dengan membawa ramuan
obat dan diserahkan kepada Prapanca serta cara merebus dan
meminumnya. Setelah tiada hal2 yang perlu dibicarakan lagi,
Prapancapun segera mohon diri.
"Benar2 seorang pemuda yang cerdas" kata ra Tanca
seorang diri setelah tetamunya pergi "kelak dia tentu menjadi
seorang besar dalam kerajaan Majapahit. Mungkin lebih
termasyhur dari ayahnya Dang Acarrya Samenaka. Hm,
rupanya kerajaan Majapahit akan berhiaskan beberapa tokoh
yang cemerlang. Prapanca, putera dharmadhyaksa ini kelak
akan menjadi pujangga besar dalam menyemarakkan kerajaan
Majapahit. Dan yang satu...." ia berhenti sejenak untuk
merenung dan membayangkan "kalau tak salah, adalah bekel
bhayangkara yang pernah menyelamatkan raja dari
pemberontakan Dharmaputera yang lalu dan kini menjabat
sebagai patih Daha. Andaikata tiada bekel muda itu, mungkin
Dharmaputera tentu sudah berhasil menggantikan kekuasaan
raja" "Hm, sayang" dia menghela napas geram dan pedih "bahwa
raja Majapahit itu seorang junjungan yang kurang bijaksana,
kurang pandai mengambil kesetyaan mentri2 dan senopati
sehingga negara sering diancam pemberontakan dan huru
hara. Dan terutama . ."
....sampai pada renungan itu, merahlah muka ra Tanca
"raja suka bertindak tak senonoh terhadap wanita bahkan
isteri dari mentri-mentrinya juga diganggu. Akupun telah
menjadi korban raja itu. Hm, sekalipun tidak disebut dengan
jelas, bahwa raja juga tak luput dari pidana seperti yang
tercantum dalam kitab Agama, tetapi kitab undang-undang
itu mengatakan bahwa pidana itu berlaku kepada seorang
yang bersalah tanpa pandang kedudukan. Tindak Paradara,
mati dibunuh pidananya"
Ra Tanca mengerut geraham, memadu tekad.
"Nyai, benar" katanya seorang diri pula "segala tindakan
harus dirancang secara cermat. Janganlah niat akan hancur
oleh tekad. Yang kuhadapi seorang raja, tak mungkin aku
bertindak secara gegabah seperti membunuh seorang pencuri
..." "Hm, tentu akan datang saatnya raja membutuhkan
tenagaku untuk mengobatinya" akhirnya ia menghibur diri
"dan pada waktu itulah kesempatan yang baik bagiku untuk
melaksanakan pembalasanku"
"Tetapi bukankah aku tentu ditangkap dan dibunuh" Ah, itu
sudah menjadi akibat dari perbuatanku. Aku tak takut. Tetapi
bukankah isteriku dan keluargaku juga akan ditumpas oleh
kerajaan Ya, bagaimana puia. Bagi nyai, hal itu tentu akan
diterimanya dengan penuh kerelaan. Karena bukankah dia
sendiri juga menghendaki kematian untuk membersihkan noda
yang telah mencemarkan kesucian dirinya"
"Aku mati, memang sudah selayaknya mati. Karena aku
membalas dendam, karena aku membunuh raja. Tetapi
bagaimana dengan ilmu pengobatan yang amat berharga bagi
kepentingan manusia itu " Bukankah ilmu juga akan turut
lenyap bersama mayatku. Bukankah mereka yang menderita
sakit akan ikut kehilangan"
"Tetapi ah, mereka tak mengetahui persoalanku. Jika aku
memikir dan mempertimbangkan kesemuanya itu, luluhlah
semangatku, lenyap niat hatiku membalas dendam. Tidak!
Dari segi lain, aku telah berjasa kepada rakyat karena berani
menindak seorang raja yang tak senonoh. Agar kelak bagi
raja2 penggantinya, dapat menjadikan sebagai peringatan dan
suri tauladan bagaimana seharusnya seorang raja itu"
0odwo0 II Patih Dipa terkejut sekali ketika pada hari itu datang
seorang utusan dari Kahuripan yang menitahkan patih Dipa
supaya ke Kahuripan menghadap sang Rani.
"Gusti" patih Dipa menghaturkan laporan ketika menghadap
Rani Daha "ayunda paduka gusti Rani Kahuripan menitahkan
hamba menghadap ke Kahuripan"
"O, lalu" tampak Rani Daha tak terkejut mendengar berita
itu. "Gusti" sembah pula patih Dipa "tidakkah
mengetahui maksud titah gusti Rani Kahuripan itu"
paduka "Ayunda Rani Kahuripan tentu mempunyai urusan penting
sehingga mengutus pengatasan untuk menitahkan engkau.
Aku tak tahu apa yang akan dititahkan ayunda Rani
kepadamu, patih" kata Rani Daha.
Patih Dipa heran. Lebih heran pula, diam2 ia sempat
melihat bahwa
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rani Daha itu berusaha untuk menyembunyikan senyum tawanya.
Masih menjadi pemikiran patih Dipa setiba di kepatihan,
akan sikap Rani Daha tadi. Rani mengatakan tak tahu tetapi
sikapnya menimbulkan keheranan. Bahkan wajahnya yang
tampak gembira, samar2 menyembunyikan senyum.
"Mengapa tampaknya Rani sedemikian gembira mendengar
aku dipanggil ke Kahuripan" masih patih Dipa bertanya dan
bertanya pula. Namun tetap tak mengerti.
Diapun heran mengapa Rani Kahuripan memanggilnya.
Padahal sudah sejak bertahun-tahun ia meninggalkan
Kahuripan dan pindah ke Daha, jarang sekali Rani Kahuripan
memanggilnya "Tentu bukan urusan praja, karena daerah
Kahuripan sudah mempunyai patih serta mentri2 dan selama
ini daerah itu aman dan giat membangun" katanya "lalu
apakah urusan lain" Tetapi urusan apakah itu"
Patih Dipa merasa bahwa hubungannya dengan sang Rani
Kahuripan amat erat. Ia masih ingat betapa dahulu ketika
sebelum menjadi prajurit Majapahit, ia pernah menolong ratha
sang Rani yang hampir meluncur ke dalam jurang. Dan kala
itu Rani telah menganugerahkan kepadanya sebentuk cincin.
Kemudian setelah ia diangkat sebagai patih Kahuripan, juga
sang Rani telah melimpahkan kepercayaan yang besar
kepadanya. "Ya, apapun yang akan dilimpahkan Rani kepadaku tentulah
demi kebaikanku" akhirnya ia membekali pikirannya dengan
keputusan itu. Tiba di Kahuripan iapun langsung menghadap Rani. Tampak
Rani Kahuripan puteri Tribuanatunggadewi menyambutnya
dengan wajah yang cerah. "Engkau tentu terkejut menerima titah panggilanku, patih
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Dipa?" sambut Rani. "Benar, gusti" patih Dipa memberi hormat "adakah sesuatu
yang hendak paduka limpahkan kepada diri Dip "
"Benar, patih" ujar Rani Kahuripan "akan kuserahkan
sesuatu yang berat kepadamu. Sanggupkah engkau
melaksanakan" "Sekalipun raga hamba hancur, apapun titah paduka tentu
hamba laksanakan" kata patih Dipa.
"Benarkah engkau sanggup melakukan titahku?" Rani
menegas. "Benar, gusti" "Apapun juga" Patih Dipa mengiakan.
"Aku percaya akan janjimu, patih" kata Rani "bagaimana
keadaanmu selama menjabat patih di Daha"
"Menurut hemat hamba, tiada hal yang menyulitkan
pekerjaan hamba selama hamba bertugas di Daha, gusti"
"Kudengar adinda prabu
kepercayaannya kepadamu"
Jayanagara, makin besar Patih Dipa mengiakan. Iapun lalu menghaturkan peristiwa
baginda Jayanagara telah menganugerahi pedang Adi-petaka
sebagai tanda atas jasanya mengamankan Bali-Bedulu.
"Patih Dipa" ujar Rani Kahuripan "kulihat kedudukanmu
makin meningkat. Bukan mustahil, patih, setingkat lagi engkau
tentu akan pindah menjadi patih di pura Majapahit. Majapahit
merupakan pusat pemerintahan kerajaan. Apabila engkau
duduk sebagai patih di pusat pemerintahan itu, rasanya
kedudukanmu sudah hampir mencapai puncak yang tertinggi "
"Kesemuanya itu tak lain berkat restu paduka, gusti" kata
patih Dipa dengan rendah hati.
"Tidak, patih" ujar Rani Kahuripan "sesungguhnya restu itu
takkan membawa perobahan pada orang apabila orang itu tak
mau merobah dirinya sendiri. Engkau sendirilah yang
menjadikan dirimu sekarang. Engkau rajin, jujur, setya
melakukan setiap tugas. Sifatmu yang selalu mementingkan
keperluan negara, selalu memperbawai setiap langkahmu
sehingga engkau berhasil meniti ke puncak tangga kedudukan
yang tinggi" Kembali patih Dipa menghaturkan terima kasih.
"Engkau hanya menyibukkan diri, waktu, pikiran dan
tenagamu mengurus semua tugas kewajibanmu. Tetapi
engkau melalaikan sesuatu. Sesuatu yang penting dalam
kehidupanmu" Patih Dipa terbeliak mendengar ucapan Rani bernada keras
seolah menyesali dirinya "Gusti, kehidupan hamba, jiwa dan
raga, hamba haturkan ke bawah duli paduka. Apabila hamba
bersalah, sudilah paduka berkenan menjatuhkan pidana
terhadap diri hamba"
"Benar" ujar Rani Kahuripan pula dengan nada masih keras
"engkau memang bersalah dan harus dihukum. Katakan,
apakah engkau bersedia menerima pidana itu"
Walaupun terkejut tetapi diam2 patih Dipa agak heran. Ia
tak mengerti apa kesalahan yang dilakukannya, terutama
terhadap sang Rani. Tetapi mengapa sang Rani menitahkan
supaya ia mengatakan bersedia atau tidak menerima hukuman
itu. Benar2 ia tak mengerti apa maksud yang tersembunyi
dalam ucapan sang Rani itu.
"Gusti" sembah patih Dipa "hamba pasti akan menerima
apapun pidana yang hendak paduka limpahkan pada diri
hamba" "Tanpa mengetahui apa kesalahanmu"
"Hamba percaya bahwa setiap pidana yang paduka
limpahkan kepada hamba, tentu karena hamba bersalah" kata
patih Dipa "gusti, betapapun hamba ini hanya seorang tirah
dewata yang rendah, tentu tak luput dari kesalahan. Tetapi
sering hamba tak mengetahui bahwa hamba tak merasa akan
kesalahan itu. Maka hamba amat bersyukur sekali apabila
paduka berkenan menunjukkan kesalahan hamba, agar hamba
dapat memperbaikinya"
"Baik, patih" ujar sang Rani "kesalahanmu bukan kepada
siapa2, melainkan kepada dirimu sendiri. Tetapi walaupun
demikian, secara tak langsung hal itu mempengaruhi juga
akan tugas yang engkau pikul "
"Hamba bersalah kepada diri hamba sendiri?" kali ini
betapapun tenang patih Dipa, namun ia terkejut juga.
"Ya" "Dalam hal apa hamba bersalah, gusti"
"Engkau telah mengabaikan dirimu sendiri, patih" seru Rani
"lihat betapa wajahmu telah menyerupai seorang yang berusia
tigapuluh tahun walaupun kupercaya engkau belum mencapai
usia sebanyak itu!" Patih Dipa tersipu-sipu. "Hidupmu hanya dicengkam ketegangan dan ke-resmian.
Tak pernahkah engkau memikirkan bahwa makin lama
tubuhmu makin usai dimakan umurmu " Tidakkah engkau
merasa bahwa engkau telah mengabaikan sebuah dharmamu
sebagai manusia" Samar2 patih Dipa seperti dapat menangkap kemana arah
tujuan ucapan sang Rani. Namun dia diam saja. Ingin ia
mendengarkan lebih lanjut keseluruhan dari maksud sang
Rani. "Patih Dipa" ujar sang Rani pula "kedudukanmu sudah
tinggi, negarapun dalam keadaan aman tenteram. Mengapa
engkau tak memikirkan untuk melaksanakan dharma hidupmu
yang satu itu" Kini makin jelas patih Dipa akan arah ucapan sang Rani.
"Tetapi gusti" sembahnya "tugas negara masih menuntut
diketumpukan bukit, haruskah hamba bersenang-senang diri"
Cita2 hamba masih jauh dari selesai, haruskah hamba terlelap
dalam kesenangan itu"
Rani Kahuripan tertawa. "Engkau salah" ujarnya "karena engkau berpijak pada
landasan berpikir yang salah, maka salah pula langkahmu.
Patih Dipa, engkau mengatakan bahwa tugas negara masih
menganak bukit. Cobalah engkau jawab pertanyaanku, bilakah
tugas negara itu akan selesai selama negara itu masih berdiri"
Patih Dipa tertegun. "Engkau mengatakan pula bahwa cita-citamu masih jauh
selesai. Cobalah engkau jawab, bilakah engkau menyelesaikan
cita-citamu itu" Bilakah cita2 itu terhapus dalam hatimu"
Selama engkau masih hidup, dapatkah engkau tiada bercita
lagi" Apabila engkau sudah tua renta dan heudak menunggu
kematian seperti umumnya orang mengatakan begitu"
Menunggu kematian, juga sebuah cita2. Nah, katakan apa saja
yang terlepas dari cita2 itu" Kurasa selama hayat masih
dikandung badan, tentu orang mempunyai cita-cita"
Pada biasanya patih Dipa amat tangkas bicara terhadap
orang lain. Tetapi entah bagaimana, pada saat berhadapan
dengan Rani Kahuripan, ia seperti tak dapat bicara. Bukan
karena rasa takut akan kewibawaan sang Rani, pun karena
ucapan Rani itu memang merupakan suatu kenyataan yang
sukar dibantah. "Benar, gusti" akhirnya ia menyerah.
"Aku gembira, patih" Rani tersenyum "bahwa aku berhasil
dapat menggugah pikiranmu. Tetapi aku akan merasa lebih
gembira pula, apabila engkau mau menetapi janjimu kepadaku
dahulu dan sekarang"
"Janji hamba yang bagaimana, gusti" .
"Dahulu engkau pernah berjanji, bahwa engkau
menyerahkan dan menurut, apabila aku memilihkan seorang
wanita untuk isterimu ....."
"Gusti" patih Dipa terbeliak kejut walaupun ia sudah
menduga tujuan Rani. "Seorang pria maupun wanita yang sudah cukup dewasa,
haruslah memperlengkapi hidupnya untuk membina rumah
tangga" kata Rani "pembinaan rumah tangga itu penting sekali
artinya bagi kesejahteraan masyarakat dan negara. Terutama
kepada ketenteraman hidup orang yang bersangkutan. Jika
engkau sudah memangku seorang wanita, patih, berarti
engkau sudah menunaikan kewajibanmu sebagai titah
manusia, demikian pula kewajibanmu kepada masyarakat.
Karena rumah tangga itu merupakan unsur dari terbentuknya
sebuah masyarakat. Dan masyarakat merupakan unsur dari
sebuah perumahan besar atau negara. Engkau mau berumahtangga berarti engkau telah melakukan salah sebuah
dharmamu terhadap negara"
"Apa yang engkau beratkan lagi, Dipa" seru Rani pula demi
melihat patih Dipa tertegun diam "dengan memangku seorang
wanita, engkau telah memperlengkapi hidupmu dan
menunaikan dharmamu. Baik terhadap orangtuamu yang
mengharapkan keturunanmu, maupun terhadap dirimu,
terhadap masyarakat dan terhadap negara. Apakah engkau
masih menolak" "Gusti ...." "Dipa" tukas Rani "ucapanmu kepadaku dahulu kuanggap
sebagai ucapan seorang ksatrya"
Patih Dipa menghela napas. Ia tahu bahwa kali ini sia2
belaka ia hendak menolak ataupun menghaturkan alasan2 lain
kecuali menerima titah Rani. Akhirnya dengan nada tergetar ia
memaserahkan diri kepada Rani.
"Jika demikian, patih Dipa" ujar Rani Kahuripan dengan
gembira "engkau telah menunaikan sebuah tugas yang
kupercayakan kepadamu"
"Gusti" kata patih Dipa "hamba taat apapun yang paduka
hendak limpahkan kepada diri hamba. Hanya hamba mohon
diperkenankan untuk menghaturkan permohonan. Hamba tak
menghendaki pernikahan hamba itu dirayakan secara besarbesaran. Cukup direstui oleh seorang maha-upasaka yang
melakukan ikrar nikah. Hanya itulah permohonan hamba,
gusti. Mohon gusti berkenan meluluskan"
"Mengapa patih" Bukankah engkau seorang patih yang
ternama" "Hamba kuatir, gusti, akan menderita kenangan2 yang
menghancurkan hati hamba apabila hamba menikmati suatu
perayaan besar" "Kenangan apakah yang membuat engkau menderita itu"
Patih Dipa menghela napas "Hamba dilahirkan oleh ayah
dan ibu hamba. Apapun kenikmatan yang hamba peroleh saat
ini, tetap tak melupakan ingatan hamba akan jasa dari kedua
orangtua hamba. Hamba mengenakan busana indah,
mendiami rumah bagus dan dihormati orang, adalah demi
tugas dan kedudukan hamba dalam kerajaan. Hal itu
merupakan suatu keharusan, bukan kehendak peribadi hamba.
Kebalikannya, dalam pernikahan hamba, hal itu merupakan
urusan peribadi hamba, tiada sangkut paut dengan
pemerintah dan kerajaan. Apabila dilakukan secara besarbesaran, tidakkah akan sedih hati hamba terkenang akan
orangtua hamba yang sudah tiada itu"
Dalam mengucapkan kata2 yang terakhir, nada patih Dipa
diliputi oleh keharuan sehingga Rani Kahuripan terkesiap dan
tersentuh hatinya. "Baik, patih Dipa" ujarnya dengan nada ikut haru "engkau
seorang putera yang baik dan seorang mentri yang bijaksana.
Dari seorang putera yang baik dapat diharapkan seorang
mentri yang arif bijaksana. Demikian pula dari seorang suami
yang baik, dapat diharapkan sebuah rumahtangga yang
bahagia. Dan dari rumahtangga yang bahagia dapat
diharapkan sebuah kehidupan negara yang tenteram
sejahtera" Demikian pada hari kedua, berlangsunglah upacara
pernikahan patih Dipa dengan seorang wanita pilihan Rani
Kahuripan. Dan pada hari ketiga berangkatlah patih Dipa
bersama isterinya pulang ke Daha.
Rani Daha menyambut kedatangan patih Dipa dan isterinya
dengan penuh gembira. Di Dahapun patih Dipa tiada
mengadakan perayaan apa2, sekalipun begitu banyak mentri,
senopati dan narapraja yang berbondong-bondong mengunjungi kepatihan untuk mengucapkan selamat.
Demikian sekelumit peristiwa dalam kehidupan patih Dipa
telah terpenuhkan dalam suasana yang tenang dan
memuaskan. Memuaskan bagi kedua Rani Kahuripan dan
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Daha, memuaskan pula bagi patih Dipa.
"... maka dengan upacara ini kunyatakan dikau berdua
sebagai suami isteri atas nama Sang Buddha, Dhamma dan
Sangha. Semoga Cinta-kasih dan Kasih-sayang yang tiada
berakhir selalu meliputi dikau berdua, sekarang dan pada
setiap waktu dan hingga tercapainya Nirwana dikau berdua ..."
demikian masih terngiang-ngiang telinga patih Dipa akan
ucapan maha-upasaka yang telah memberkati upacara
pernikahannya. Cinta kasih dan Kasih sayang, merupakan unsur pengikat
yang memadu tali pernikahan antara sepasang pria dan
wanita. Cinta kasih dan Kasih sayang dalam arti yang luas
telah mencangkum perasaan hati seseorang. Sebagai suami
terhadap isteri ataupun kebalikannya. Sebagai manusia
terhadap manusia dan sebagai makhluk manusia terhadap
semua makhluk dalam jagad raya ini.
Demikian sang waktu berjalan dengan cepat. Pada suatu
hari patih Dipa dititahkan menghadap Rani Daha.
"Kakang patih" ujar Rani "baginda telah menitahkan aku
supaya ke pura kerajaan karena baginda berkenan hendak
mengadakan pesta Srada guna memperingati wafatnya
rarnauda baginda rahyang ramuhun Kertarajasa"
"Jika demikian hamba akan mempersiapkan pasukan untuk
mengiring paduka, gusti" kata patih Dipa.
"Ada dua hal yang perlu kuminta pendapatmu, kakang
patih" "O, silahkan paduka menitahkan, gusti"
"Pertama, engkaupun harus ikut serta dalam pengiring
dalam rombonganku itu, kakang patih"
"Tetapi gusti" kata patih Dipa "bagaimana pemerintahan
paduka di Daha apabila hamba ikut ke Majapahit"
"Ah, soal itu dapat kakang patih berikan kepada demung
Rakat. Dan apabila perlu setiap saat kakang patih dapat
memeriksa ke Daha" Setelah merenung sejenak, patih Dipapun mengiakan.
"Dan kedua, kakang patih" ujar Rani Daha pula "akupun
menghendaki supaya nyi patih ikut serta"
Mendengar itu, patih Dipa agak terkejut.
"Gusti, mengapa harus nyi patih ikut?" terpaksa ia
mengajukan pertanyaan. Rani Daha menghela napas.
"Entah bagaimana" ujarnya "tetapi kali ini aku seperti
merasa ada sesuatu yang tak enak dalam hati. Dengan ikut
sertanya nyi patih, agaknya lebih hangatlah perasaanku"
Patih Dipa heran namun ia tak mau mendesak lebih lanjut.
Memang seorang wanita sering mempunyai suatu perasaan
terhadap sesuatu peristiwa yang akan dialaminya. Perasaan itu
memang sukar dinyatakan sebelum terbukti. Dan mungkin
tidak akan terjadi pula. Tetapi setiap kali hati sudah terbayang
oleh perasaan itu maka menimbulkan rasa tak tenteram
apabila tidak berjaga jaga.
"Baiklah, gusti" akhirnya patih Dipa menurut "akan hamba
sampaikan titah paduka kepadanya"
Memang baginda Jayanagara telah memutuskan untuk
mengadakan pesta Srada, dimana baginda akan mengadakan
pemugaran candi makam ayahanda baginda Kertarajasa di
Antahpura, dengan lebih dahulu mengadakan sesaji.
Ketika tiba di keraton Tikta-Sripala di pura Majapahit,
rombongan Rani Daha sagera disambut oleh baginda. Baginda
gembira pula melihat patih Dipa ikut.
"Sejak beberapa lama, aku tak pernah mengadakan
pemugaran pada makam candi tempat persemayaman
ramanda baginda" baginda Jayanagara menerangkan
keputusannya "mungkin karena itulah maka kerajaan sering
diganggu o'eh huru hara. Kali ini negara aman dan tenteram
maka kuputuskan untuk mengadakan pesta Srada, demi
memohon restu dan ampun atas kesalahan kita kepada
ramanda baginda. Agar kerajaan Majapahit tetap tenteram
dan sejahtera, dijauhkan dari segala gangguan dan
malapetaka" Rani Daha gembira mendengar keterangan dan menyetujui
langkah baginda yang baik itu.
Demikian Rani segera dipersilahkan untuk bersemayam di
keputren tempat Rani dahulu sewaktu masih tinggal di
keraton. Apabila Rani Daha sibuk menghadap para ibundanya, gusti
ratu Indreswari dan ratu Rajapatni maka patih Dipapun
dititahkan untuk menghadap baginda.
"Dipa" tegur baginda "kudengar engkau telah menikah.
Mengapa engkau tak menghaturkan laporan kehadapanku"
Patih Dipa terperanjat dan serta rnerta menghaturkan
sembah memohon ampun. Ia mengatakan bahwa wanita yang
diperisterinya itu adalah pilihan dari Rani Kahuripan. Demikian
pula pernikahan hanya berlangsung dengan sederhana tanpa
upacara besar-besaran. "O, aku bersukacita karena ayunda Rani Kahuripan amat
memperhatikan kepentinganmu, patih Dipa. Memang kurang
sesuai apabila seorang patih seperti engkau belum mempunyai
isteri yang dapat mengurus rumahtangga dan segala
keperluanmu" Patih Dipa menghaturkan terima kasih.
"Patih Dipa" ujar baginda pula "bagaimana pemerintahan di
Daha selama ini" "Berkat restu paduka gusti" sembah patih Dipa "Daha dapat
mengenyam keamanan dan kesejahteraan. Selain membangun
dan meningkatkan kehidupan rakyat, hamba berusaha
untuk menanamkan penyadaran bahwa Daha dan Majapahit
itu adalah satu. Karena telatah Majapahit itu terdiri dari tiga
daerah aseli yani Majapahit, Kahuripan dan Daha. Demikian
pula hamba telah berusaha untuk melenyapkan rasa dendam
permusuhan kawula Daha terhadap Singasari maupun
Majapahit" "Suatu kebijaksanaan yang baik sekali" puji baginda
Jayanagara "memang seharusnya tiada lagi kawula Daha,
kawula Singasari. kawula Kahuripan. Yang ada hanyalah
kawula kerajaan Majapahit yang telatah-nya meliputi seluruh
nuswantara" "Cita-cita yang luhur, gusti" patih Dipa berseru memuji.
Setelah memperbincangkan keadaan pemerintahan Daha,
maka baginda Jayanagara tiba2 beralih pertanyaan "Patih
Dipa, kulihat Rani Daha makin segar dan cantik. Adakah di
pura Daha masih sering dikunjungi oleh para satrya muda dari
luar daerah" Agak terkejut patih Dipa menerima pertanyaan itu "Sejauh
ini, gusti, hamba belum pernah mengetahui dan mendengar
gusti Rani menerima kunjungan para satrya muda dari luar
daerah" "Hm, memang puteri seusia ayunda Rani Kahuripan dan
Rani Daha seharusnya sudah harus mendapat jodoh, tetapi ..."
Patih Dipa tercengang mendengar ucapan baginda. Ia tak
berani mendesak ucapan baginda yang terhenti itu.
"Ayunda Rani Kahuripan juga kuundang, mungkin besok
baru tiba di pura sini" kata baginda.
"O" patih Dipa agak terkejut. Ia tak tahu bagaimana
perasaannya mendengar keterangan baginda itu. Namun ia
terkejut juga. "Berapa lamakah pesta Srada yang paduka titah-kan ini
akan berlangsung, gusti" ia hanya beralih pula kepada soal itu.
"Tujuh hari" ujar baginda.
Memang diantara baginda dengan patih Dipa terjalin suatu
hubungan yang baik dan akrab. Betapapun baginda masih
muda maka baginda merasa lebih leluasa bercakap cakap
dengan patih atau mentri atau sia-papun yang tergolong
sebaya. Keesokan harinya berbondong-bondonglah pura Majapahit
menyambut kedatangan para tamu agung. Rani Kahuripan
beserta pengiringnya. Raja Wengker, raja Matahun, Pajang,
adipati dari tanah datar atau pesisir, dari brang wetan dan
selatan. Semuanya dengan membawa rombongan pengiring.
Patih mangkubumi Arya Tadah, mentri2 dan senopati sibuk
menyambut mereka dan menempatkan di tempat penginapan
yang sudah disediakan. Memang sejak beberapa waktu yang akhir, kesibukankesibukan tampak di keraton Tikta-Sripala. Juru lukis
dikerahkan untuk menghias tahta tempat baginda duduk di
seiinggil. Para pandai sibuk mengetam baki makanan, bokor
dan arca2. Keraton tampak baru pula dengan warna yang
megah indah. Pada upacara hari pertama, baginda duduk di Balai Witana
yang terletak ditengah Manguntur. Balai Witana dihias sangat
indah. Bagian barat dihias pula dengan janur dan rumbai.
Tempat itu disediakan untuk tempat duduk para raja. Bagian
utara dan timur, tempat duduk para mentri, isteri mentri, para
pujangga dan pandita. Sedangkan bagian selatan disediakan
sebagai tempat duduk para abdidhalem atau hamba sahaya
keraton. Upacara hari pertama itu dimulai dengan upacara pemujaan
Buddha. Upacara dipimpin oleh pandita Ginantaka dan dibantu
oleh empu dari Kandangan. Semua pandita berdiri dalam
lingkaran untuk mengikuti pemujaan oleh baginda. Mudra,
mantra dan japa dilakukan tepat menurut tata tertib.
Kemudian menyusul pemanjatan doa untuk mengundang
arwah rahyang ramuhun Kertarajasa dari Budaloka yang
ditampung dalam arca bunga.
Pada malam berikutnya, dilakukan pemujaan kepada arca
bunga yang telah berisi arwah dari rahyang ramuhun
Kertarajasa itu. Pemujaan itu dipimpin oleh seorang pandita
dengan semedhi dan puji mantra.
Pagi harinya arca bunga dibawa keluar, disambut dengan
bunyi sangkakala dan genderang. Arca bunga itu lalu
didudukkan diatas singgasana setinggi orang berdiri.
Pemujaan segera dimulai oleh semua pandita. Mereka
berduyun tertib sambil mengucapkan doa puji menghampiri
singgasana. Dibelakang rombongan pandita itu adalah para
raja dan permaisuri serta para pu-tera dan puterinya. Mereka
mendekati arca dan menghaturkan sembah dengan khidmat.
Kemudian patih mangkubumi Arya Tadah yang diikuti oleh
semua patih diseluruh telatah Majapahit. Yang paling akhir
ialah para adipati, tumenggung dan seluruh narapraja. Setelah
itu mereka kembali ketempat duduk masing2.
Sehabis upacara pemujaan lalu diadakan upacara
persembahan. Raja2 dari seluruh telatah Majapahit, adipati2
dari berbagai daerah, menghaturkan persembahan yang
beraneka dan menakjubkan.
Setiap hari dihidangkan sajian makanan yang lezat.
Kemudian pada hari itu juga, saji-sajian itu dibagi-bagikan
kepada rnentri, para pandita, brahmana, ksatrya dan para
bangsawan dari keluarga raja.
Pada hari keenam baginda Jayanagara mendapat giliran
untuk mempersembahkan sesaji. Semua para mentri dan
narapraja baik yang tinggal didalam maupun diluar kota, pun
datang dengan membawa persembahan sesaji. Acara
persembahan ditutup pada waktu malam dengan taburan
uang dan membagi-bagikan pakaian dan makanan kepada
keempat kasta. Selama tujuh hari tujuh malam pura kerajaan dibanjiri
orang dari segala pelosok penjuru. Mereka datang berduyunduyun untuk menyaksikan keramaian yang berlangsung
selama pesta Srada. Setiap hari selalu ada pertunjukan.
Acaranya setiap hari berganti. Terdapat pertunjukan taritarian, adu gulat, sayembara a-du berbagai ketangkasan.
Pada hari kedelapan pagi2, para pandita berkumpul dan
bersama memberikan hormat, lalu menyanyikan lagu pujaan
untuk mengantar kembalinya arwah rahyang ramuhun
Kertarajasa ke Budaloka. Setelah itu arca bunga diturunkan
dari Singgasana dengan upacara. Segala sesaji dibagikan
kepada semua yang hadir. Demikian pesta Srada telah usai. Kemudian menyusul
pemugaran candi makam Antahpura. Pesta Srada itu
dimaksudkan sebagai upacara sesaji untuk memugar makam
rahyang ramuhun Kertarajasa..
Ternyata hampir sepuluh hari Rani Kahuripan dan Rani
Daha harus tinggal di keraton Majapahit. Sehingga sampai
selesainya upacara. Sebenarnya kedua rani itu sudah hendak
kembali ke tempat masing2 tetapi baginda Jayanagara tak
mengidinkan dengan alasan supaya menunggu sampai selesai
perbaikan makam ayahanda baginda.
Pada malam itu, keraton sudah sunyi senyap. Mungkin
upacara2 selama tujuh delapan hari itu sangat melelahkan
sehingga malam itu segenap penghuni keraton tertidur dalam
kelelapan. Baginda masih belum beradu. Ia merasa agak pening
kepalanya. Entah karena apa. Ia merasa bahwa ada sesuatu
yang menggelora dalam dadanya. Makin lama perasaan itu
makin meluap-luap. Perasaan dari seorang pria yang tengah
terangsang oleh tuntutan kejantanan alamiahnya. Maklum,
hampir sepuluh hari lamanya baginda harus sesuci diri.
Jangankan tidur dengan wanita, bahkan memikirkan hal2 yang
menyangkut hubungan pria dengan wanita, tak dibenarkan.
Bagindapun berusaha sekuat hati untuk melenyapkan pikiran
itu. Tetapi segala keinginan yang ditindas baginda Jayanagara
itu amat sukar untuk bertahan lama. Menindas berarti suatu
paksaan, bukan penyelesaian. Suatu peralihan, pun hanya
bersifat sementara. Kecuali daya perahan itu j:mh lebih kuat.
Dan sesaat segala keadaan dan ikatan sudah memungkinkan
maka terlepaslah tindasan2 itu dari kekangannya. Darah
baginda bergolak-gelak keras.
"Ah, mungkin dengan tuak dapat kulenyapkan perasaan itu"
ujar baginda. Kemudian baginda mengambil simpanan luak
dan meneguknya. Memang sejenak terasalah hawa hangat
dari tuak dapat menghanyutkan gejolak darahnya. Bagindapun
meneguk lagi. Pikirnya, biarlah gejolak itu hilang sama sekali.
Beberapa waktu kemudian tubuh baginda mulai terasa
hangat dan makin hangat, bahkan mulai panas. Untuk sesaat
gejolak darah tadi memang dihanyutkan oleh daya tuak. Akan
tetapi pada saat tuak itu bekerja memancarkan daya
rangsang, darah itupun meluap dan membanjir bagai air bah.
Darahnya lebih bergejolak dari semula, keinginan dan
nafsupun bahkan makin merangsang lebih hebat. Ah ....
Baginda tak kuat menahan diri lagi. Dengan langkah agak
terhuyung baginda melangkah keluar. Entah kemana, pokok
langkahnya menuju ke arah keputren. Tiba2 baginda berhenti
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada sebuah bangunan gedung yang indah dan secepat kilat
bagindapun teringat bahwa gedung itu adalah tempat
menetap kedua Rani selama berada di pura kerajaan.
"Hm, sayang ..." ia bergumam seorang diri "sayang apabila
puteri2 yang cantik itu harus di-persunting jejaka lain ...."
Langsung baginda menuju kepintu. Keadaan sunyi senyap.
Rupanya para dayang terlelap dalam kenyenyakan.
Bagindapun segera mendorong pintu dan melangkah masuk.
Suasana dalam ruang agak remang tetapi hawa harum yang
semerbak terasa menyengat hidung. Diatas sebuah kantil atau
pembaringan yang indah, tampak rebah sesosok tubuh yang
cantik dan mulus. Darah baginda mendebur keras, jantung
berdetak kencang. Merah padam wajah baginda saat itu. Rupanya baginda tak
dapat mengendalikan diri lagi. Walaupun pandangannya agak
remang dan tak dapat membedakan siapa yang sedang
beradu di atas kantil itu, Rani Kahuripan atau Rani Daha,
namun bagi baginda hal itu tiadalah soal. Yang penting
seorang puteri cantik tempat baginda menumpahkan rindu
dendam kenafsuannya. Serentak baginda melangkah, menghampiri ke tempat
pembaringan. Makin terpesona baginda
memandang kecantikan puteri yang sedang beradu nyenyak dengan
busana agak tersiak. Ketika menyusurkan pandang mata ke
bawah, baginda melihat berapa indah leher sang putri yang
jenjang betapa padat berisi dadanya, betapa ramping
pinggangnya dan ketika pandang mata tiba ke bawah lagi,
terhenyaklah baginda dari kemanguan pesona. Kebetulan saat
itu kain sang puteri agak tersingkap sehingga tampaklah
betisnya yang putih mulus sepadat butir padi menguning, uh
... . Baginda tak dapat menahan rangsang darahnya lagi.
Serentak ia memeluk tubuh sang puteri dengan kencang ....
Entah sedang bercengkerama ke alam mana sang puteri
membawa mimpinya saat itu. Tiba2 ia merasa dadanya sesak
seperti tertindih benda yang berat. Seketika puteri meronta
lalu mendorong benda yang menindihnya itu dengan sekuat
tenaga seraya menjerit "Tolong . . . . "
Serentak puteripun menggeliat bangun dan turun dari
kantil. Demi melihat bahwa yang bersandar pada dinding
karena didorong itu bukan lain adalah baginda sendiri, makin
terkejutlah puteri "Engkau, kangmas prabu" teriak puteri.
Wajah dan mata baginda makin memancar merah. Sambil
melangkah menghampiri, baginda berseru "Ah, rani, mengapa
engkau berani mendorong aku"
"Engkau .... engkau mau apa" puteri makin terkejut demi
melihat baginda menghampiri.
"Kangmas prabu, jangan mendekat kemari" seru puteri
yang tak lain adalah Rani Daha "apa maksud kakangmas
prabu" "Ho, ho" baginda tertawa. Jelas pengaruh tuak mulai
menguasainya "engkau puteri cantik yang sudah cukup
dewasa .... mengapa engkau tak tahu a-kan maksud hatiku
...." Rani Daha pucat seketika setelah tahu bahwa baginda
mempunyai maksud yang tak senonoh terhadap dirinya
"Kakangmas prabu, bukankah aku ini adinda-mu sendiri"
Pada saat itu muncul seorang wanita muda. Ia amat
terkejut menyaksikan peristiwa yang terjadi dalam ruang
peraduan Rani Daha. Kehadiran wanita muda itu, terlihat pula oleh Rani. Ia
tertegun dan memandangnya dengan pandang menitahkan
bantuan. Namun ketika mulut sang Rani hendak mengucap,
tiba2 baginda sudah mendekapnya.
"Ih, kakang prabu" teriak Rani Daha seraya meronta
melepaskan diri dari pelukan baginda. Samar2 ia mencium bau
tuak yang menghembus dari pernapasan baginda.
"Mengapa engkau menolak kehendakku yayi ..." baginda
makin memperkencang pelukannya.
Melihat peristiwa yang tak terduga-duga dan tak selayaknya
harus terjadi itu maka tanpa banyak pikir lagi, wanita muda itu
segera lari menghampiri dan menarik tubuh baginda. Sesaat
merasa tangan baginda agak longgar maka Ranipun meronta
sekuatnya seraya menyiak tubuh baginda. Karena ditarik dari
belakang dan didorong dari muka, baginda yang sedang
mabuk itupun terhuyung-huyung ke belakang.
Rani Daha cepat lari keluar. Sementara karena masih
memegang tubuh baginda dan baginda terdorong mundur,
wanita muda itupun tertimpa tubuh baginda dan jatuh ke
lantai. Seketika peninglah kepala wanita muda itu. Matanya
berbinar-binar dan punggungnya berdenyut-denyut kesakitan.
Dia pingsan. Bagindapuri bergeliat bangun. Demi melihat seorang wanita
rebah dilantai, sinar matanya cerah dan membara pula. Dalam
pengaruh tuak, baginda kehilangan kesadaran pikiran. Ia tak
dapat membedakan antara puteri yang rebah di kantil dengan
wanita yang rebah dilantai. Dalam pandang indera
penglihatannya yang kabur itu, yang dihadapi saat itu seorang
wanita yang cantik yang tengah tidur telentang. Darah
kejantanan yang d golak oleh daya tuak makin merangsang.
Serentak diangkatnya tubuh wanita itu lalu dibawanya ke
pembaringan .... Baginda sudah tak dapat menguasai nafsunya pula. Segera
ia membuka pakaian wanita itu dan mulailah ia hendak
melangsungkan hasratnya yang tak dapat ditahannya lagi.
Tepat pada saat2 yang berbahaya dima-na kehormatan wanita
itu akan tercemar, sekonyong-konyong masuklah seorang
lelaki muda bertubuh tegap. Serentak ia mencengkeram bahu
baginda. Dalam ruang peraduan Rani Daha itu hampir terjadi suatu
peristiwa berdarah yang hebat. Peristiwa yang mungkin akan
menggoncangkan seluruh kerajaan Majapahit.
Dalam ruang yang indah dan harum itu terdapat tiga orang
insan. Seorang wanita muda tengah rebah telentang di atas
pembaringan. Pakaiannya terbuka tetapi wanita muda itu
masih tetap tertidur seperti orang yang tak ingat diri.
Kemudian seorang pria berbusana indah atau baginda
Jayanagara sendiri yang tengah dirangsang nafsu hendak
melepaskan kecamuk rindu dendamnya terhadap wanita itu.
Sedang seorang lelaki lain tengah mencengkeram bahu
baginda. Baik baginda maupun lelaki muda itu sama2
memancarkan sinar mata yang berapi-api. Dan sama2 pula
merah padam wajahnya. Hanya terdapat perbedaan diantara
sinar mata baginda yang berapi-api dibakar nafsu dendam
berahi. Sedang mata lelaki yang berapi-api itu memancarkan
dendam kemarahan yang menyala-nyala.
Antara kedua dendam itu, dendam berahi dan dendam
kemarahan, walaupun tujuannya lain tetapi sifatnya sama.
Dendam berahi melupakan segala bahaya, segala akibat.
Demikian pula dengan dendam kemarahan. Baginda tak
menghiraukan siapakah gerangan wanita muda yang sudah
ditelentangkan diatas pembaringan itu. Lelaki muda itupun tak
mempedulikan siapakah yang tengah dicengkerarnannya,
entah orang biasa entah seorang raja. Baginda hanya
mencurahkan pikiran untuk melampiaskan hasratnya, sedang
lelaki itupun hanya menumpahkan kemarahahnya untuk
menghancurkan orang yang dicengkeramnya itu. Setelah
mencengkeram, orang itupun serentak kerahkan tenaga dan
hendak menarik sekuat-kuatnya agar korbannya terbanting
hancur. Tetapi pada saat ia hendak melaksanakan niatnya itu,
sekonyong-konyong terdengar suara lengking seorang wanita
berseru memperingatkan "Kakang Dipa, jangan ... "
Ternyata lelaki yang tengah diamuk kemarahan dan hendak
menyentakkan tubuh baginda itu, adalah patih Dipa. Dan patih
itu segera mengenali nada suara wanita yang berseru
memperingatkan itu, Rani Daha. Kejutnya bukan kepalang.
Kegelapan pikiran yang sedang dikabut kemarahan, seketika
buyar, seketika pula ia menyadari bahwa yang dicengkeramnya itu baginda Jayanagara. Namun tenaga telah
dikerahkan dan hentakan-pun sudah mulai berlangsung,
betapapun ia tak dapat menghentikannya dalam waktu yang
tiba2. Untunglah pada detik2 yang berbahaya itu, ia masih
sempat berpikir. Hentakan tetap dilanjutkan tetapi ia tak mau
melepaskan tubuh baginda. Kemudian tangannya bergeliat
memutar arah sehingga tubuh baginda terhempas keatas
pembaringan. Pembaringan tergetar keras oleh tubuh baginda sehingga
wanita muda yang tengah pingsan itu sadar. Demi melihat
keadaan dirinya ia menjerit lalu menyambar pakaian dan
berguling kebawah pembaringan.
"Kakang Dipa" seru wanita itu sesaat kemudian setelah
mengenakan pakaiannya "apakah yang terjadi pada baginda"
" Tak apa2, nyai" sahut patih Dipa kepada wanita itu yang
tak lain adalah nyi Dipa.
"Kakang patih, baginda ...."
"Baginda hanya pingsan, gusti" sahut patih Dipa sesaat
mengenali suara pertanyaan Rani Daha yang saat itu
menghampiri "tak lama tentu akan sadar. Baginda terlalu
banyak meneguk tuak sehingga tenaganya lemas sekali"
"Benar kakang patih?" Rani Daha menegas.
"Sungguh, gusti. Apabila baginda sampai menderita apa2,
hamba serahkan jiwa hamba sebagai penebus dosa hamba"
Rani Daha menghela napas longgar. Longgar karena
baginda tak mengalami bencana, longgar pula karena iapun
terlepas dari suatu musibah yang memalukan. Ia tercengangcengang memikirkan peristiwa tadi. Hampir ia tak percaya,
namun kenyataan berbicara. Baginda, saudara seayah lain ibu,
hendak melakukan perbuatan yang tak senonoh kepadanya.
Mungkin baginda tak sadar karena pengaruh tuak tetapi
mungkin bagin-dapun memang mempunyai hasrat demikian.
Bagaimanapun, yang jelas perbuatan itu sungguh tak
senonoh. Betapa malu apabila hal itu sampai terjadi. Betapa
hina apabila peristiwa itu terdengar oleh pengawal, dayang
perwara dan seisi keraton. Dan betapa nista apabila hal itu
tersiar keluar dan menjadi buah bibir para kawula.
"Kakang patih" tiba2 Rani Daha terkejut dari renungan
ketika melihat patih Dipa mengangkat tubuh baginda dan
melangkah ke pintu "kemana engkau bawa baginda"
Patih Dipa hentikan langkah "Gusti, akan hamba bawa
baginda kembali ke ruang peraduannya. Kurang layak apabila
dayang2 mengetahui baginda berada di ruang paduka, gusti"
"O, baiklah" seru Rani Daha.
Patih Dipa membawa baginda ke ruang peraduan baginda
sendiri. Seorang dayang wanita menyongsong "Hai" dayang itu
menjerit kejut. "Ssst" desis patih Dipa sambil meregangkan kelopak mata
"baginda sedang mabuk"
Dayang itu atau nyi lurah Badra terkesiap. Sebagai juru
tebah peraduan baginda dan kepala dayang tempat keraton
baginda, nyi lurah Badra sering berkeliling dan menjenguk ke
ruang peraduan baginda. Entah tengah malam, entah
menjelang pagi, pokok setiap ia terjaga dari tidur, terus keluar
dan menjenguk ke tempat peraduan baginda. Demikian adat
kebiasaan nyi lurah Badra yang pada malam hari selalu jarang
dapat tidur pulas. Nyi lurah ikut masuk dan menyelimuti baginda kemudian
keluar bersama patih Dipa "Tidak apa2, besok tentu, sudah
segar kembali" kata patih Dipa sebelum melangkah pergi.
Entah bagaimana, diam2 timbul rasa heran dalam hati lurah
dayang itu. Mengapa patih Dipa bersama baginda" Dari
manakah baginda semalam itu" Jika menurut keterangan patih
Dipa, baginda mabuk tuak. Tetapi dimanakah baginda
bersenang-senang minum tuak"
Keinginan untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan2 itu
makin keras mendesak hati nyi lurah sehingga ia memutuskan
untuk mengikuti secara diam2 langkah patih Dipa. Ia terkejut
ketika patih Dipa menuju ke keputren. Dengan berusaha
secara hati2 agar jangan diketahui mereka, nyi lurah berhasil
menyembunyikan diri dibalik pohon nagasari yang tumbuh di
halaman muka ruang kediaman puteri2. Dari tempat itu dapat
ia mendengar dan mengintai apa yang terjadi dalam ruangan
itu. Dilihatnya ketika patih Dipa tiba di muka pintu maka
seorang wanita muda menyongsong keluar "Bagaimana
kakang patih" tegur wanita itu.
"Baginda sudah pulas" sahut patih Dipa "mana gusti Rani"
"Kakang patih ditunggu gusti didalam" kata wanita itu atau
nyi Dipa seraya mendahului masuk.
Tampak Rani masih duduk termenung-menung ketika patih
Dipa masuk menghadap, Walaupun masih dinihari tetapi
rupanya Rani tak tidur lagi. Kemudian patih Dipa melaporkan
tentang keadaan baginda yang telah di bawa ke ruang
peraduannya. "Kakang patih" kata Rani Daha dengan masih gemetar "aku
benar2 tak mengerti mengapa kakang prabu sampai
mempunyai tindak sedemikian"
Patih Dipa hanya menghela napas. Ia teringat betapa tadi
ketika sedang meronda, ia melihat seorang wanita tergopohgopoh lari keluar dari keputren. Bergegas ia menyongsongnya
dan ternyata Rani Daha. Dengan wajah pucat dan suara
gemetar Rani menitahkan supaya patih Dipa segera menolong
nyi Dipa yang berada dalam ruang peraduan Rani, bersama
dengan baginda. Bukan kepalang kejut patih Dipa saat itu.
Serentak ia lari menerobos kedalam ruang dan menyaksikan
adegan yang yang menegakkan buluromannya. Andai ia
terlambat datang, tentulah nyi Dipa sudah tercemar
kehormatannya. "Mungkin baginda sedang mabuk tuak, gusti" kata patih
Dipa menghibur. "Kudengar orang mengatakan bahwa apa yang diucapkan
dan dilakukan oleh seorang yang mabuk tuak, sesungguhnya
adalah kesan2 dalam pikirannya sebelum dia mabuk. Dan
dalam waktu mabuk itu, pikiran2 yang mengendap itu lalu
meluap keluar semua" ujar Rani Daha.
"Ada kalanya memang demikian, tetapi ada kalanya pula
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesadaran pikiran yang sudah dihanyut oleh rangsang mabuk,
melakukan apd saja yang dilihatnya, gusti"
"Betapapun tetapi malu rasa hatiku atas peristiwa itu,
kakang patih" masih Rani itu menderita dalam hatinya.
Patih Dipa menghela napas.
"Manusia tak luput dari kekhilafan, gusti. Gusti harus
berjiwa besar untuk memaafkan kekhilafan baginda. Karena
malu baginda, malu keluarga raja, malu kawula Majapahit
pula........" "Kakang patih" ujar Rani Daha "adakah hiruk yang
berlangsung di ruang itu terdengar oleh para dayang"
"Rupanya para dayang tertidur lelap karena lelah, gusti"
sahut patih Dipa "pada waktu hamba mengantar baginda ke
ruang peraduannya, sepanjang lorong hamba tak bersua
dengan barang seorang penjaga maupun dayang, gusti. Hanya
ketika hamba hendak masuk kedalam ruang baginda, nyi lurah
Badra telah menyongsong hamba"
"O" desuh Rani Daha terkejut "apakah nyi lurah dayang
takkan menyiarkan peristiwa itu keluar"
"Memang saat itu nyi lurah bertanya dan hamba memberi
keterangan bahwa baginda sedang mabuk tuak tertidur
dibangsal Kencana" kata patih Dipa.
"Apakah dia tak curiga?" masih Rani Daha bersangsi.
"Hamba rasa tidak, gusti. Karena nyi lurah Badra tahu akan
hubungan hamba dengan baginda. Dan bukankah baginda
telah menganugerahkan pedang Adipetaka kepada hamba
dengan wewenang bahwa hamba diperkenankan masuk keluar
keraton pada setiap saat"
"O, ya" Rani Daha mengangguk.
"Hamba akan berusaha sekuat mungkin untuk menjaga
agar peristiwa itu jangan sampai teiuwar keluar. Akan hamba
berantas setiap orang yang menbocorkan hal itu keluar, gusti"
"Ya, kakang patih" ujar Rani Daha "betapa malu apabila hal
itu sampai terdengar para mentri dan rakyat Majapahit"
"Bukan hanya malu, gusti" kata patih Dipa "yang hamba
kuatirkan hal itu akan dipergunakan oleh golongan yang tak
menyukai baginda untuk menjatuhkan keluhuran dan
kewibawaan baginda" Rani Daha mengangguk dan membenarkan pandangan
patih Dipa. Kemudian Rani berkata lebih lanjut "Agar peristiwa
ini jangan berlarut-larut dan akan terulang kembali dengan
akibat dapat diketahui para dayang dan tersiar di kalangan
para narapraja, maka besok aku akan kembali ke Daha,
kakang patih" "Hamba amat setuju dengan keputusan gusti. Lebih lekas
meninggalkan pura Majapahit, lebih mengurangi kemungkinan2 yang tak diharapkan"
"Tetapi kakang patih" ujar Rani Daha agak cemas
"bagaimana apabila baginda murka kepada kakang patih atas
peristiwa ini" "Gusti" sahut patih Dipa "sejak mengiring baginda ke desa
Bedander waktu pura Majapahit terjadi huru hara
pemberontakan Dharmaputera, hamba amat dekat sekali
dengan baginda. Dan karena itu hambapun sering pula
menerima murka baginda. Tentang peristiwa ini, biarlah
hamba yang akan mempertanggung jawabkan kesalahan
hamba di hadapan baginda, apabila baginda murka kepada
hamba " Rani Daha mengangguk. "Bagaimana menurut pendapat kakang patih" ujar Rani
Daha "adakah perlu kukabarkan peristiwa ini kepada ayunda
Rani Kahuripan" Patih Dipa terdiam, tak lekas memberi jawaban. Beberapa
saat kemudian baru ia berkata "Gusti, menurut hemat hamba,
jangan saat ini gusti memberitahukan hal itu kepada gusti Rani
Kahuripan agar jangan menimbulkan keresahan gusti Rani
Kahuripan. Harap paduka berlaku seperti tak terjadi suatu apa
dan akan kembali ke Daha karena sudah terlalu lama
meninggalkan keranian Daha. Harap paduka berusaha agar
baginda jangan mempunyai kesan bahwa paduka murka atau
takut ataupun gelisah atas terjadinya peristiwa itu. Sehingga
baginda akan meluluskan paduka kembali ke Daha"
Rani Daha mengangguk-angguk.
"Baiklah, kakang patih" ujarnya "aku akan berusaha
demikian" Dalam pada itu nyi lurah Badra yang bersembunyi di balik
kegelapan pohon nagasari, mendengar jelas pembicaraan
yang berlangsung dalam ruang tempat kediaman Rani Daha.
Bukan kepalang kejut nyi lurah dayang. Hampir ia tak percaya
apa yang didengarnya saat itu.
"Baginda hendak berbuat tak senonoh terhadap gusti Rani
Daha?" ia mengetuk kepukauan hatinya dengan sebuah
pertanyaan "Ah, mustahil ...."
Namun dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa
percakapan yang dilakukan di ruang kediaman Rani Daha itu
berlangsung pada dini hari. Ia mendengar sendiri, keluh kesah
sang Rani dan kata2 patih Dipa yang berusaha untuk
menghiburnya. Pun ia teringat bahwa ketika menyelimuti
baginda di pembaringan tadi, ia mencium bau arak dari napas
baginda. "O, dewa Batara Agung .... o, Hyang Batara Syiwa ....
adakah paduka hendak menjatuhkan siku-denda terhadap
kerajaan Majapahit ...." ia memanjatkan keluhan dalam
doanya kepada Batara Syiwa.
Apa yang didengarnya telah jelas. Ia tak tahan mendengar
lebih lama. Kuatir pula ia apabila jejaknya ketahuan. Maka
dengan berindap-indap ia segera menyelinap dari situ dan
kembali ke tempatnya sendiri.
Namun ia tak dapat tidur lagi. Benaknya masih menggores
kesan yang diperolehnya tadi. Masih belum dapat ia
mengendapkan keheranannya, masih belum bersua pula ia
pemikiran yang sadar, bahwa baginda akan berbuat semacam
itu. Dan karena tak dapat menerima dalam akal budinya,
akhirnya ia mencetuskan kandungan hatinya "Ah,tidak
mungkin. Tentulah karena baginda mabuk maka ia keliru
masuk ke tempat kediaman Rani. Orang yang sedang mabuk
memang kehilangan kesadaran pikirannya, hm....."
Tiba-tiba ia terbayang akan peristiwa ketika patih Dipa
membopong baginda ke ruang peraduan. Betapa tajam sinar
mata patih itu tertumpah kepada dirinya.
Patih itu jelas marah sekali kepadanya "Ih, apa salahku"
Mengapa ki patih begitu marah ketika melihat aku berada di
ruang baginda" Makin membayangkan wajah patih Dipa makin pertanyaan
timbul berkelarutan "Ih, adakah gusti patih itu takut kalau
peristiwa itu diketahui orang, sesuai seperti yang
dipercakapkan dengan gusti Rani tadi" Tetapi mengapa
peristiwa itu harus dirahasiakan dan ditutup rapat"
Ia teringat pula akan percakapan patih Dipa dengan Rani
Daha "Ya, memang benar. Kalau peristiwa itu sampai teruwar
keluar tentu akan timbul kehebohan besar. Dan baginda tentu
menderita malu besar.."
"Tetapi" timbul pula lain pikiran membantah "orang mabuk
memang dapat melakukan perbuatan yang tak disadarinya.
Demikian tentu keadaan baginda, ih . . ." serentak ia mendesis
kejut ketika teringat bahwa dalam ruang tempat kediaman
Rani Daha tadi tampak seorang wanita muda "Siapakah dia"
Bukankah ki patih Dipa begitu akrab dengan wanita itu" Jika
menilik busananya jelas wanita itu bukan seorang dayang"
Nyi lurah Badra pejamkan mata merenung. Ia pernah
mendengar berita bahwa patih Dipa telah beristeri
"Mungkinkah wanita itu isterinya" Jika demikian, jelas patih
itu marah sekali kepada baginda karena isterinya diganggu"
Tiba pada kesimpulan itu, nyi lurah meningkatkan pula
renungannya "Patih Dipa bukan hanya menguatirkan bahwa
peristiwa baginda masuk ke ruang peraduan gusti Rani Daha,
akan tersiar keluar, pun karena takut apabila peristiwa baginda
mengganggu nyi patih akan terdengar orang pula. Itulah
sebabnya maka dia begitu marah melihat kehadiranku"
"Ya, benar" akhirnya nyi Badra merasa telah menemukan
sesuatu yang dapat menembus kegelapan pikirannya dalam
memecahkan persoalan itu "tiada lain tentu demikian. Ki patih
tentu akan menjaga rahasia kehormatan dari gusti Rani Daha
dan nyi patih sendiri"
Sebenarnya ia harus sudah tenteram karena sudah merasa
menemukan jawaban. Tetapi entah bagaimana ia masih
terlekat akan bayangan patih Dipa. Dan samar2 meluaplah
rasa tak puas atas sikap patih itu terhadap dirinya, seperti
yang dialami di ruang kediaman baginda "Lancang benar patih
itu" mulai rasa tak puas itu berbuncah-buncah mencari letupan
"aku adalah nyi lurah yang menjadi kepala dayang baginda
periba-di. Akulah yang dipercaya menjadi juru-tebah
pembaringan baginda. Akulah yang mengurus busana,
hidangan dan segala keperluan baginda. Keper-cayaan yang
dilimpahkan baginda kepadaku sama dengan kekuasaan.
Berarti aku berkuasa dalam ruang kediaman baginda. Dan
akulah yang. bertanggung jawab semua yang terjadi dalam
ruang agung itu" "Walaupun ki patih Dipa itu amat berjasa sehingga baginda
memberi wewenang dia dapat masuk keluar keraton pada
setiap saat, tetapi tidak layak apabila dia semena-mena
melanggar wewenangku dalam ruang peraduan baginda.
Bukan saja dia berani memasuki ruang peraduan tanpa
memberitahu kepadaku, bahkan dia malah memandang aku
dengan marah. Apa salahku"
Rasa tak puas atas sikap patih Dipa itu makin meningkat
"Hm, peristiwa ini akan kupersembahkan kehadapan gusti ratu
Indreswari. Karena gusti ratu pernah memberi titah kepadaku.
Apabila terjadi sesuatu dalam ruang peraduan baginda, harus
menghadap kepada gusti ratu untuk menghaturkan laporan.
Dan gusti ratulah yang menitahkan aku menjadi lurah kepala
dayang dan juru tebah di ruang peraduan baginda"
Setelah mendapatkan keputusan itu, agak tenanglah hati
nyi lurah Badra. Ia menunggu datangnya pagi.
0odwo0 III Pesta Srada telah usai. Para raja2, adipati2 dari luar daerah,
telah kembali ke tempat masing2. Demikian pula Rani
Kahuripan dan Rani Daha, pun telah meninggalkan pura
Majapahit, kembali ke Kahuripan dan Daha.
Kini tinggal berlangsungnya pekerjaan untuk memugar
makam candi rahyang ramuhun Kertarajasa di Antahpura. Atas
anjuran gusti ratu Indreswari, maka pekerjaan pemugaran itu
diserahkan kepada Arya Kembar untuk memimpin dan
mengawasi. Hari itu tampak Arya Kembar bergegas langkah menghadap
baginda di keraton Tikta-Sripala. Dan baginda amat
terperanjat sekali mendengar laporan Arya Kembar.
"Benarkah yang engkau haturkan itu, kakang Kembar"
baginda menegas. "Hamba menyaksikan dengan mata kepala sendiri gusti"
Arya Kembar memberi keterangan dengan nada bersungguh
"bahwa arca Jina yang berada dalam makam candi Antahpura
itu telah berobah kehitam-hitaman warnanya "
"Bagaimana mungkin !" teriak baginda "arca itu terbuat
daripada emas kuning, engkau tentu salah lihat! "
"Tidak baginda" sembah Arya Kembar "apabila hamba
berani menghaturkan laporan palsu kehadapan paduka,
hamba rela menerima pidana paduka"
"Juga masih ada sebuah keanehan yang wajib hamba
haturkan kebawah duli paduka"
"Ya, katakanlah"
"Altar dari bejana tempat penyimpanan abu rahyang
ramuhun Kertarajasa, telah mengeluarkan kesaktian yang
aneh" "Apakah itu, kakang Kembar"
"Ketika beberapa tukang hendak membersihkan dan
menambal gurat2 retak pada batu altar, tiba2 tukang itu
rubuh. Kemudian hamba perintahkan lain tukang, pun dia juga
rubuh tak ingat diri. Sudah sepuluh orang yang rubuh dan
hingga kini masih sakit tak dapat bangun, gusti"
"Hai" teriak baginda "sungguh aneh benar peristiwa itu.
Adakah ...." baginda kerutkan dahi "pesta Srada itu terdapat
kekurangan sesaji" Ataukah mungkin arwah ayahanda
rahyang ramuhun Kertarajasa tak berkenan meluluskan
pemugaran itu" "Dalam hal ini, gusti" kata Arya Kembar "adalah para mentri
wreddha, terutama patih mangkubumi Arya Tadah yang lebih
tahu" "Ya, benar" sahut baginda "akan kutanyakan kepada
mereka supaya menyelidiki hal itu"
Berhenti sejenak Arya Kembar berkata pula "Di-samping itu
gusti, hamba hendak menghaturkan pula suatu hal yang
mungkin tak kalah mengherankan dari kedua peristiwa di
candi makam Antahpura"
Baginda terbelalak. "Hai, masih ada lain peristiwa ajaib pula?" teriak baginda.
Arya Kembar menghaturkan sembah.
"Dalam titah paduka untuk memugar candi makam rahyang
ramuhun Kertarajasa, hambapun telah bertindak menurut titah
paduka. Kecuali candi makam Antahpura, pun hamba juga
akan memugar arca Syiwa yang ditegakkan di Simping sebagai
lambang peribadi rahyang rarnuhun pada masa mengejawantah di arcapada, memerintah di bumi Majapahit"
"Ya, benar" ujar baginda "adakah sesuatu pula pada arca
Hyang Syiwa itu" "Demikianlah gusti" sembah Arya Kembar "hamba terkejut
ketika menerima laporan dari para pekerja bahwa arca Hyang
Syiwa itu mengeluarkan darah .... "
"Hai!" serentak baginda bangkit dari singgasana dan
membelalak pandang kearah Arya Kembar "apakah maksud
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatanganmu menghadap raja saat ini, Kembar " Adakah
engkau hendak mengejutkan aku dengan segala macam
peristiwa yang bukan2 dan tak selayaknya itu"
Serta merta Arya Kembar menghaturkan sembah.
"Apabila laporan hamba ini tak benar, ataupun hamba
mengandung setitik maksud hendak meresahkan pikiran
paduka, hamba bersedia paduka hukum penggal kepala, gusti"
Melihat kesungguhan wajah dan nada A rya Kembar baginda
segera jatuhkan diri di singgasana pula.
"Katakan!" serunya "bagaimana mungkin arca Hyang Syiwa
dapat berdarah !" "Bermula hamba juga tak percaya dan marah kepada
tukang batu ahli pahat itu. Tetapi ketika hamba memeriksa ke
Simping, memang apa yang dikatakan ahli pahat itu benar
adanya. Memang pada sepasang mata arca Hyang Syiwa
terdapat dua titik airmata merah. Demikian pada bagian ujung
mulut, terdapat percikan titik2 merah ...."
"Oh" baginda mendesuh kejut sekali "apakah artinya itu "
Apakah artinya itu" serunya dengan nada tergetar.
"Mohon baginda berkenan melimpahkan ampun atas diri
hamba yang tak tahu memecahkan makna kesemuanya itu,
gusti. Tetapi di pura kerajaan paduka banyak sekali para
ahlinujum, pujangga serta para resi yang sakti. Jika baginda
berkenan, akan hamba undang mereka menghadap baginda
untuk menerangkan tentang peristiwa ajaib itu "
"Benar, kakang Kembar" sambut baginda
"undanglah mereka menghadap kepadaku "
serentak Demikian percakapan yang berlangsung pagi itu antara
Arya Kembar dengan baginda Jayanagara. Sesungguhnya
masih sebuah peristiwa yang tak wajar, tetapi Arya Kembar
tak mau menghaturkan kepada baginda. Karena cukup dengan
kedua buah peristiwa itu, baginda sudah cemas.
Peristiwa yang ketiga itu tak lain bahwa sejak beberapa hari
terakhir ini di pura Majapahit sering terlihat kawanan burung
gagak terbang melayang-layang diatas keraton. Kemudian
kawanan gagak itu terbang pula entah kemana. Arya Kembar
belum berani mengatakan hal itu dihadapan baginda karena
peristiwa itu belum dapat dipastikan. Artinya, apakah hanya
secara kebetulan saja ataukah burung2 gagak itu akan muncul
setiap senja hari. Tetapi dalam hati, Arya Kembar memang
mempunyai perasaan yang tak enak. Menurut tafsiran dari
orang2 tua yang pernah didengarnya, bahwa burung gagak itu
suatu alamat dari kematian.
Hanya saja ia. tak mendapat tempat untuk menumpahkan
tafsiran itu kepada keluarga raja. Karena sejauh yang
diketahuinya, baik baginda maupun ibunda gusti ratu
Indreswari dan gusti ratu Rajapatni, masih sehat.
Setelah mengundurkan diri dari hadapan baginda ia
menghadap pula gusti ratu Indreswari. Ketika gusti ratu
menerima laporan tentang kejadian2 yang aneh itu, ia
menjerit. "Kembar, sampai hati benar engkau menyampaikan hal itu
kepadaku !" teriaknya.
Arya Kembar terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka
bahwa gusti ratu akan menyambut sedemikian tegang atas
laporannya itu. Sesaat ia terlongong-longong.
"Bibi ratu" seru Arya Kembar "tiada terkandung dalam
maksud hamba untuk meresahkan hati bibi ratu. A pakah yang
menyebabkan bibi ratu sedemikian tegang. Apabila hamba
bersalah, mohon bibi ratu menjatuhkan pidana. Namun hamba
mohon bibi ratu menunjukkan kesalahan hamba"
Sejenak gusti ratu Indreswari terdiam untuk menenangkan
gejolak perasaannya. Beberapa saat kemudian baru ratu itu
dapat berujar. "Kembar, adakah engkau tak mendengar tentang peristiwa
yang terjadi pada waktu pesta Srada yang lalu"
Arya Kembar agak terkejut. Ia mengaiakan bahwa yang
diketahuinya pesta Srada itu telah berlangsung dengan meriah
dan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan
"Adakah masih terdapat kekurangan, entah sesaji entah doa
puji dari para pandita itu, sehingga telah terjadi peristiwa yang
aneh di candi makam rahyang ramuhun Kertarajasa, hamba
kurang tahu, bibi ratu"
"Kemungkinan begitu" ujar ratu Indreswari "tetapi
disamping itu dalam keraton telah terjadi suatu peristiwa yang
hampir saja akan menjerumuskan baginda dan keluarga raja
dalam lembah kenistaan"
Arya Kembar terkejut sekali mendengar keterangan itu.
Memang selama ini tak pernah ia mendengar berita apa2
mengenai soal2 dalam keraton, la sibuk memimpin pekerjaan
untuk memugar candi makam baginda Kertarajasa.
"Bibi ratu" serunya agak tegang "benar2 hamba tak
mendengar suatu apa tentang hal itu. Dan mungkin tiada
seorang mentri dan narapraja juga yang mendengar.
Sebenarnya soal apakah yang bibi ratu maksud sedemikian
gawat sehingga membawa akibat yang sedemikian berbahaya
kepada baginda" Ratu Indreswari menghela napas "Kembar, soal ini memang
bukan main2 dan harus engkau rahasiakan benar2. Jika
sampai terdengar diluar, pasti akan memalukan baginda dan
keluarga raja. Mengertikah engkau Kembar"
"Hamba mengerti gusti "
"Sanggupkah engkau memegang rahasia itu jangan sampai
teruwar keluar" "Hamba sanggup, bibi ratu"
Setelah mendapat kesanggupan itu maka ratu Indreswari
segera menuturkan peristiwa yang terjadi antara baginda
Jayanagara dengan Rani Daha dan nyi patih Dipa.
Bukan kepalang kejut Arya Kembar, sehingga tubuhnya
gemetar. Sedemikiankah tindakan baginda dalam kegemarannya terhadap wanita"
"Mohon bibi ratu beikenan mengampuni hamba. Tetapi
Kembar mohon diberi petunjuk, dari manakah kiranya sumber
yang telah menghaturkan laporan itu kehadapan paduka"
"Nyi lurah Badra yang kutugaskan menjadi kepala dayang
dan juru tebah peraduan baginda" kata ratu Indreswari.
"O" desuh Arya Kembar "jika demikian, peristiwa itu
memang benar terjadi dan harus dirahasiakan."
"Dalam rangka itulah, maka aku amat terkejut sekali
mendengar laporanmu tentang keadaan arca Jina dan arca
Syiwa itu " ujar ratu pula.
"Maksud bibi ratu"
"Jina sebagai lambang dari Batara Buddha dan Hyang
Batara Syiwa, telah memperlihatkan gaibnya untuk
menumpahkan kemurkaan ...." sebenarnya ratu Indreswati
hendak mengatakan kemurkaannya terhadap baginda
Jayanagara. Tetapi ia teringat bahwa sebagai seorang ibu,
sebagai seorang ratu, tak boleh ia sembarangan menjatuhkan
kata. Karena ucap seorang ratu itu, menjadi suatu tulah atau
kutuk yang disaksikan oleh dewa2.
"Apakah bibi ratu maksudkan ...." karena ratu hentikan
ucapannya agak lama tak bicara lagi, Arya Kembar segera
menyelutuk. Tetapi demi ia teringat hal2 seperti yang
terbayang dalam pikiran ratu Indreswari, iapun berhenti. Dan
menyadari akan kelepasan kata, wajah Arya Kembar agak
pucat. "Sudahlah," tukas ratu Indreswari "jangan memperjelas hal
yang belum pasti. Bagaimana rencanamu mengenai
pemugaran kedua arca itu"
"Hamba telah menghaturkan laporan kehadapan baginda
dan baginda menitahkan supaya mengundang ahli nujum dan
para resi yang sakti untuk mengatasi persoalan itu"
"Ya" kata ratu Indreswari "mudah-mudahan para ahli nujum
dan resi itu dapat menunjukkan jalan yang terang sehingga
kerajaan Majapahit selalu mendapat pengayoman dari Hyang
Widdhi" kata ratu Indreswari seraya pejamkan mata seolah
saat itu juga terus berdoa.
Demikian sepengundur diri dari hadapan ratu Indreswari,
Arya Kembarpun segera melaksanakan titah baginda untuk
mengundang para ahli nujum dan para pandita linuwih yang
diketahuinya. Beberapa hari kemudian, di balairung keraton Tikta-Sripala
telah diadakan pasewakan dimana baginda akan mendengarkan keterangan dari beberapa ahli nujum dan resi
yang telah diundang. Begawan Madraka dari gunung Anjasmara tampil ke
hadapan baginda. Setelah menghaturkan sembah begawan itu
mulai memberi keterangan.
"Menurut wawasan hamba, begawan Madraka yang sudah
tua renta ini, gusti. Bahwa kedua arca Jina dan Batara Syiwa
yang telah memperlihatkan tanda2 gaib itu tak lain, bahwa
kerajaan paduka sedang dilanda oleh kabut awan gelap. Ada
suatu hal yang tak berkenan dalam tanggapan sasmita
rahyang ramuhun Kertarajasa, bahwa para kawula dan
narapraja kerajaan Majapahit ini, masih kurang taat akan
kesujutannya kepada Hyang Syiwa. Sehingga Hyang Syiwa
murka sampai menitikkan airmata darah ...."
Baginda terdiam. Dan suasana dalam balairung itu sunyi
senyap sedemikian senyap sehingga napas dari para mentri
yang hadir terdengar. "Hyang Batara Buddha yang terbuat daripada emas menjadi
kehitam-hitaman itu tak lain perlambang dari suatu
pernyataan murung atau duka nestapa bahwa sinar dari ilmu
ajaran Buddha akan mengalami kesuraman"
Terdengar beberapa pandita Bhuda agak keras napasnya.
"Kekuasaan Hyang Batara Syiwa, tiada taranya. Hyang
Syiwa adalah yang mencipta tetapipun kuasa pula untuk
menghancurkan. Oleh karena itu, gusti, keselamatan kerajaan
paduka akan langgeng apabila pemujaan pada Batara Syiwa
diperluas dan dipergiat bahkan seyogyanya diperwajibkan bagi
setiap kawula Majapahit. Agar janganlah Batara Syiwa benar2
menjatuhkan kemurkaan pada kerajaan dan kawula
Majapahit" Ketegangan dari begawan Mandraka itu mendapat
tanggapan yang menggemparkan. Para pameget dan
dharmadhyaksa serta para mentri2 dari aliran agama Syiwa,
memberi sambutan yang cerah. Tetapi para pandita Budha
terkejut. Beberapa pandita dengan suara pelahan segera
memanjat doa "Aum avignam astu.. ."
Resi Dewendra, yang termasyhur putus dalam ilmu agama
dan sakti dalam hal penujuman, segera tampil.
"Hamba resi tua Dewendra dari pertapaan gunung Tengger,
mohon akan menghaturkan sesuatu yang hamba peroleh dari
hasil sidhikara hamba, tiada lain gusti, bahwa ada suatu
kekurangan dalam pesta Srada yang paduka titahkan itu
sehingga rahyang ramuhun Kertarajasa telah murka. Sebagai
tolak bela, hendaknya paduka mengadakan sesaji di candi
makam Antahpura dan di Simping selaba empatpuluh hari
lamanya. Danhen daknya paduka berkenan mengunjungi dan
menghaturkan sembah bhakti kehadapan arwah rahyang
ramuhun Kertarajasa sehingga ramanda paduka akan
melimpahkan ampun kepada paduka, gusti"
Setelah resi Dewendra mundur, maka tampillah seorang
pandita Buddha yang mengawali kata-katanya dengan
melantangkan doa pujian "Aum awighnam astu namas
siddham .... Aum narao Budalhaya .... Aum namo Dharmatya
.... Aum namo Sanghaya .... "
"Diperkenankanlah kiranya hamba, pandita tua Niskalawastu, untuk menghaturkan kata2 yang tiada teratur
kebawah duli paduka junjungan seluruh kawula Majapahit,
pengayom dari Tripaksa yang sejahtera ...."
Baginda Jayanagara terkesiap lalu mengangguk.
"Dipermuliakanlah kiranya keluhuran paduka sebagai
pengayom dan penegak Tripaksa yang jelas telah dihayati
akan kesucian dan kebenarannya dalam menenteramkan dan
menyejahterakan kerajaan paduka"
"Bahwa sesungguhnya tiada perbedaan yang harus ada dan
harus dipertajam antara Hyang Batara Syiwa dan Hyang
Batara Buddha. Rahyang ramuhun baginda Kertarajasa dari
Singasari, seorang raja yang arif bijaksana, putus akan segala
ilmu ajaran agama maka rakyat Singasari telah menghaturkan
gelar persembahan mulia kepada baginda sebagai Yang Mulia
dialam Syiwa Buda. Dan diatas candi makam bagindapun telah
didirikan arca Syiwa Buda. Kemudian rama paduka, rahyang
ramuhun prabu Kertarajasa pun seorang penegak Syiwa Buda
yang gigih perkasa maka pada candi makam bagindapun
didirikan arca Hyang Batara Buda dan Hyang Syiwa ...."
"Apabila faham yang menjadi landasan negara dan telah
direstui serta ditegakkan oleh kedua baginda dan dihayati oleh
seluruh kawula, akan digoyahkan, maka berbahayalah suasana
negara yang sudah diayomi dan diberkati oleh dewata dengan
ketenteraman dan kesejahteraan ini"
Baginda Jayanagara mengangguk setuju.
"Ki pandita, lalu bagaimanakah makna daripada peristiwa2
yang terjadi di Antahpura dan di Simping itu ?" sesaat
kemudian baginda bertanya.
"Menurut apa yang telah hamba peroleh dalam renungan,
kiranya kesuraman arca Hyang Buda dan percikan darah pada
arca Hyang Syiwa, merupakan pernyataan duka nestapa
bahwa kini para kawula mengabaikan ajaran2 yang luhur.
Oleh karena itu, hamba menghaturkan permohonan
kehadapan paduka, agar paduka berkenan menitahkan,
supaya mempei banyak pendirian2 candi, vihara dan rumah2
sudharmma dan menitahkan bahwa perkembangan agama
supaya lebih dipergiat dan dikembangkan seluas-luasnya"
Setelah beberapa ahli nujum dan resi maju kehadapan seri
02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baginda Jayanagara dengan menghaturkan berbagai ulasan
dan penafsiran tentang kedua peristiwa aneh di candi makam
Antahpura dan Simping, maka tampillah seorang begawan
berkulit hitam, memiliki sepasang mata yang bundar dan
bersinar terang, wajah yang tenang.
Begawan berkulit hitam itu memperkenalkan diri sebagai
begawan Kresnayana dari gunung Semeru. Seorang begawan
yang terkenal sidik dan ahli dalam ilmu perbintangan. Banyak
hal2 dan peristiwa2 di dunia yang telah dipecahkan dengan
tepat. Begawan Kresnayana jarang turun dari pertapaan,
namun namanya telah termasyhur keseluruh kerajaan.
"Menurut apa yang hamba terima dari wangsit gaib, maka
kesuraman pada arca Hyang Buda dan percikan airmata darah
pada arca Hyang Syiwa, tak lain suatu amanat gaib dari arwah
rahyang ramuhun prabu Kertarajasa, bahwa bukan pemugaran
pada makam di Antahpura ataupun di Simping yang
dikehendaki rahyang ramuhun prabu Kertarajasa"
Pernyataan dari begawan Kresnayana itu menimbulkan
kegemparan dalam suasana balairung. Dari sekian banyak
pernyataan para ahli nujum dan para resi pandita,
kesemuanya menyatakan tentang hal2 yang mengenai sesaji
dan upacara pemugaran. Bahkan terdapat pula yang hendak
mempertentangan Hyang Buda dengan Hyang Syiwa. Hanya
begawan Kresnayanalah satu2nya yang memberi ulasan lain.
Rupanya baginda juga tertarik akan uraian begawan itu
maka bagindapun segera menitahkan agar begawan itu
melanjutkan kata-katanya.
"Melalui wangsit gaib itulah hamba dapat menangkap
amanat dari rahyang ramuhun Kertarajasa, bahwa bukan
pemugaran yang dikehendaki beliau. Rahyang ramuhun
hendak memperbaharui pula kejayaan kerajaan Majapahit
yang telah dibangun itu, agar sinar kejayaan itu dapat
memancar pula keseluruh kerajaan"
"Perbaharuan itu tak lain dari memperingati pula hari
bersejarah dari penobatan rahyang ramuhun sebagai raja
pertama kerajaan Majapahit. Dan hal itu berarti pula
memperingati kelahiran dari sebuah kerajaan baru yang
disebut kerajaan Wilwatikta. Dengan peringatan itulah nanti
akan tergali pula sumber yang akan memancarkan sinar
kejayaan keseluruh buana"
"Oh" baginda Jayanagara mendesis "jika demikian pada
waktu apakah yang tepat untuk melangsungkan upacara
peringatan itu, ki begawan"
"Pada waktu purneng Kartikamasa atau bulan purnama
dalam bulan Kartika atau pancadaci cukleng kacatur maka
tegaklah raden Wijaya dinobatkan sebagai rajakula pertama
dari kerajaan Wilwatikta dengan gelar abiseka Kertarajasa
Jayawardhana. Maka pada nanti Kartikamasa itulah, paduka
dapat melangsungkan upacara sesaji uatuk memperingati hari
penobatan ramanda paduka, rahyang ramuhun Kertarajasa
itu. Semoga persembahan bakti paduka itu akan diterima oleh
arwah rahyang ramuhun dan semoga hilang sirnalah segala
awan mendung yang mengabut cakrawala keraton TiktaSripala"
Pernyataan dari begawan Kresnayana yang berkulit hitam
itu mendapat sambutan yang gempar dari sekalian rnentri
narapraja dan para resi pandita yang hadir dalam balairung.
"Baik, ki begawan" ujar baginda dengan nada longgar "akan
kuperhatikan persembahan kata ki begawan"
Setelah dua orang resi dan ahli nujum memaparkan
nujumnya dihadapan baginda, tiba2 diluar terdengar suara
hiruk dan tak lama kemudian bekel bhayangkara yang
bertugas menjaga keamanan sidang, gopoh menghadap
baginda. Setelah memberi sembah, bekel itupun segera menghaturkan laporan bahwa di alun2 telah muncul seorang
pertapa setengah tua, berkeras hendak menghadap baginda
untuk menyatakan nujumnya.
"Adakah dia menerima undangan dari utusan kerajaan"
tegur baginda. "Tidak, gusti" kembali bekel bhayangkara itu menghaturkan
sembah "pertapa itu mengatakan dia adalah kawula Majapahit
maka wajiblah dia menghaturkan apa yang diketahui
kehadapan paduka" "Hm, siapakah namanya"
"Pertapa itupun tak mau memberitahukan namanya gusti"
sembah bekel itu"kecuali dihadapan paduka "
"Hm" desuh baginda yang kemudian menitahkan supaya
membawa masuk pertapa itu.
Ketika memasuki balairung, sekalian mentri, para resi,
pandita dan ahli nujum yang hadir, agak terkesiap. Seorang
pertapa yang dandanannya agak aneh. Rambutnya terurai
panjang sampai ke punggung. Kumis dan janggutnya tebal
menjulai ke dada. Mengenakan pakaian macam jubah yang
disimpangkan separoh dadanya. Dan yang istimewa dia
membawa sebuah lampu lentera yang menyala.
Gemparlah sekalian hadirin menyaksikan kehadiran pertapa
aneh itu. Tiba dihadapan baginda, diapun tak mau duduk
bersimpuh memberi hormat, melainkan tegak berdiri dan
hanya membungkukkan tubuh sebagai tanda memberi hormat.
"Siapakah engkau, hai, pertapa?" tegur baginda nyaring.
"Hamba Gede Pabanyu, baginda "
"Ki Gede Pabanyu" ujar baginda "dari pertapaan mana"
"Dari pertapaan Pusar-angin, baginda "
"Pusar-angin" Dimanakah tempat itu?" ujar baginda pula.
Agak heran. "Tempatnya diseiuruh penjuru alam" seru per-tapa yang
menyerupai seorang yogi itu "dirnana ada angin, disitulah
tempat hamba. Hamba tiada mempunyai tempat tertentu
karena hamba anggap, hidup ini hanya singgah sepeminum air
saja lamanya" Terkejut sekalian hadirin mendengar jawaban pertapa aneh
itu. Aneh orangnya, aneh pula kata-katanya.
"Maka hamba katakan pertapaan hamba itu adalah di
Pusar-angin tempatnya" Gede Pabanyu menambah keterangannya pula. Baginda kerutkan dahi. Timbul suatu kesan tertentu
terhadap pertapa itu. Namun baginda berkenan melanjutkan
pertanyaan pula "Gede Pabanyu, saat apakah sekarang ini"
"Siang hari, baginda"
"Mengapa engkau membawa lentera yang menyala"
"Lentera hamba ini bukan sembarang lentera, baginda"
sahut Gede Pabanyu "api lentera itu menyala terus, tak pernah
padam. Api nan tak kunjung padam atau api abadi"
Kisah Pendekar Bongkok 11 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Memanah Burung Rajawali 35