Pencarian

Memanah Burung Rajawali 35

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 35


dapat bergerak. Ia mengerahkan tenaganya, untuk berlompat naik lagi, tetapi
selagi begitu tubuhnya sebatas pinggang sudah keuruk dan kegencet es!
Di dalam halnya menuang air dari dalam kuali itu, serdadu-serdadunya Kwee Ceng
sudah terlatih. Empat serdadu menggotong sebuah kuali, empat yang lain
menggotong kuali yang lain, demikian juga yang lain-lainnya lagi. Kalau yang
empat bersedia di tepi liang, empat yang lain bersiap untuk menggantikannya,
demikian selanjutnya. Maka itu, rapi sekali tertuangnya air. Ini pula yang
menyebabkan Auwyang Hong menjadi tidak berdaya.
Yoe Kiak semua bergirang karena tipu mereka menjadi hal yang kebetulan - air
panas bergnati menjadi dengan air es. Setelah itu ia mengatur tindakan guna
meringkus korban perangkap itu. Serdadu-serdadu diperintahkan membongkar es di
sekitarnya See Tok, lalu es yang membungkus tubuh itu dilibat dengan dadung dan
ujung dadung diikatkan kepada serombongan dari sepuluh ekor kuda. Begitu sudah
siap, kuda itu dituntun untuk jalan, untuk menarik es itu, buat diangkat naik.
Berisik suaranya sekalian serdadu itu, maka dari lain-lain tangsi orang datang
berkerumun, untuk menyaksikan, buat menonton. Banyak obor dipasang terang-terang
hingga segala apa nampak nyata.
Auwyang Hong terbungkus es, dia tidak dapat bergerak. Karena dia sangat murka,
matanya mendelik, giginya terbuka, alisnya berdiri. Dia menodngkol bukan akan
mendengar serdadu berteriak-teriak kegirangan.
Yoe Kiak khawatir, karena lihaynya tenaga dalamnya, Auwyang Hong nanti bisa
berontak melepaskan diri. Itulah berbahaya, maka ia hendak menambah es dengan
menyiramkan air yang baru lumer. Untuk itu ia memerintahkan serdadu untuk masak
es pula. "Jangan," berkata Kwee Ceng, yang ingat kepada janjiny. "Tiga kali dia mesti
diberi ampun. Gempurlah es itu, biarkan dia pergi."
Ketiga tianglo menghela napas, mereka menyesal, tetapi mereka juga bangsa laki-
laki, mereka tidak menentang. Yoe Kiak sendiri yang mengangkat martilnya
menghajar es itu. "Koanjin," tiba-tiba Kan Tianglo tanya, "Orang seperti Auwyang Hong ini, berapa
lama dia dapat bertahan digencet es?"
"Mungkin tiga hari dan tiga malam, lewat dari itu, jiwanya terancam bahaya,"
jawab Kwee Ceng. "Baiklah, lagi tiga hari baru kita lepas dia," kata tianglo she Kan itu.
"Jiwanya boleh diampunkan, kesengsaraan tak dapat dia tak menderitanya!"
Kwee Ceng ingat sakit hati gurunya, ia mengangguk.
Besoknya, dari lain-lain pasukan pun datang penonton. Menampik demikian, Kwee
Ceng menyuruh serdadu mengurung See Tok di dalam tenda, supaya dia jangan jadi
nontonan terlebih jauh. Anak muda ini kata pada Yoe Kiak: "Pepatah kuno
membilang, seorang kesatria dapat dibunuh, tidak dihina, dan dia ini, dia tetap
seorang guru besar, dia tidak dapat diperhina sembarang orang." Karena ini bukan
saja serdadu, segala perwira pun dilarang menonton See Tok lagi.
Tepat tiga hari, ketiga tianglo menggempur es dan Auwyang Hong dimerdekakan. Dia
lantas duduk bersila, untuk menyalurkan tenaga dalamnya. Selang setengah jam,
tiga kali ia memuntahkan darah hitam, setelah itu dengan roman mendongkol, dia
ngeloyor pergi. Melihat keuletan orang, Kwee Ceng dan ketiga tianglo kagum sekali. Mereka
menyayangi si Bisa yang sesat ini.
Selama tiga hari Auwyang Hong digencet es, hatinya Kwee Ceng tidak tenang.
Sekarang setelah orang berlalu, ia tetap merasa tidak tentram. Ia khwatir See
Tok nanti muncul setiap waktu. Untuk menenangkan diri, dia duduk bersemadhi. Di
sebelah itu, ada lagi hal yang memberatkan hatinya. Ialah teriakan dari orang
yang tidak kenal, yang menitahkan menuangkan es kepada See Tok - es pengganti
air panas. Ia ingat, itu mestinya suara Oey Yong. Mulanya ia tidak memgingatnya
baik-baik, lalu selanjutnya suara itu seperti terus mendengung di kupingnya.....
"Tidak salah, Yong-jie ada di dalam pasukan ini!" serunya sendiri seraya
berlompat bangun. "Aku mesti mengumpulkan punggawa dan serdadu, untuk memeriksa
satu demi satu orang, mustahil dia dapat lolos!" Hanya sejenak ia mengubah
pikirannya itu. Ia ingat: "Yong-jie tidak sudi menemui aku, perlu apa aku
memaksanya?" Maka ia menjadi berduka sekali. Ia bengong mengawasi gambar nona
yang ia dapat dari Lou Tianglo.
Malam itu selagi kesunyian memerintah jagat, Kwee Ceng mendengar menderapnya
suara kuda mendatangi, lantas itu disusul sama suara serdadu teguran
pengawalnya, kemudian muncullah seorang pesuruh, yang menghanturkan surat titah
dari Jenghiz Khan. Angkatan perang Mongolia maju dengan lancar, di mana-mana mereka memperoleh
kemenangan, maka itu lagi beberapa ratus lie, mereka bakal tiba di Samarkand,
salah satu kota kenamaan di Khoresm. Jenghiz Khan telah mendapat tahu kota itu
dijadikan ibu kota baru oleh Shah Muhammad, bahwa di situ telah dikumpul belasan
laksa serdadu berikut rangsum yang cukup, kotanya sendiri pun kuat, maka untuk
menggempur kota itu, ia pikir baiklah penyerangan dilakukan serentak.
Dengan datangnya titah panggilan itu, besoknya pagi Kwee Ceng memberangkatkan
pasukannya menuju ke selatan mengikuti sungai, di dalam tempo sepuluh hari,
tibalah ia di luar kotaSamarkand. Musuh rupanya melihat pasukannya yang
berjumlah kecil, musuh keluar dan menerjang. Ia melawan dengan dua barisannya,
Hong-yang dan In-sui. Musuh kehilangan seribu jiwa lebih, dengan kekalahan
mereka lari masuk ke dalam kota.
Di hari ketiga tibalah pasukan besar dari Jenghiz Khan sendiri, disusul oleh
Juji dan Ogotai. Maka Samarkand lantas dikepung. Benar-benar kota itu kuat,
sulit untuk dipecahkan dan dirampasnya. Sebaliknya, banyak serdadu yang rovoh
sebagai korabn. Lewat satu hari, putranya Jagatai penasaran, dia menyerang seorang diri. Dia
berani sekali, dia merangsak hebat, apa celaka, dia kena dipanah kepalanya dan
mati di situ juga. Jenghiz Khan sangat menyayangi cucunya itu, ia sangat berduka. Ketika mayat sang
cucu digotong pulang, ia memeluk, air matanya bercucuran. Ia sendiri yang
mencabut anak panah musuh. Ia terkejut ketika ia mendapatkan, anak panah itu
memakai bulu burung rajawali dan terbungkus emas, di mana ada ukiran huruf-huruf
yang berbunyi: "Chao Wang dari negeri Kim."
"Hm, kiranya Wanyen Lieh di jahanaman ada di sini!" dia berseru. Ia lantas
lompat naik ke atas kudanya, ia memberikan pengumumannya; "Semua perwira tinggi
dan rendah, siapa saja yang dapat paling dulu memanjat kota dan memecahkannya
serta berhasil membekuk Wanyen Lieh, guna membalas sakit hatinya cucuku, maka
kota ini, semua wanita dan permata dan citanya, akan dihadiahkan kepadanya!"
Seratus serdadu berkuda segera mengumumkan terlebih jauh janji junjungannya ini,
maka didalam tempo yang pendek, semua barisan lantas merangsak maju, seruan
mereka mengguntur, semua berlomba memanjat tembok atau menggempur pintu kota.
Musuh membela diri dengan keras, kotanya tidak dapat digempur, sebaliknya pihak
Mongolia rugi empat ribu orang. Inilah kekalahan yang pertama dari Jenghiz Khan
selama dia maju di Khoresm, maka itu ia menjadi sangat mendongkol dan berduka.
Pulang ke kemahnya, Kwee Ceng memeriksa kitab perangnya Gak Hui. Ia mau mencari
daya untuk dapat memukul pecah kota Samarkand itu. Ia tidak berhasil. Kota
Samarkand lain daripada kota-kota di Tiongkok. Lantas ia menyuruh orang
mengundang Lou Yoe kiak. Ia percaya, Yoe Kiak bakal pergi mencari Oey Yong, maka
kalau Yoe Kiak minta tempo, hendak ia menguntitnya.
Yoe Kiak itu cerdik, dia telah mengatur orang-orangnya, dari itu di mana Kwee
Ceng sampai, lantas ada orang Kay Pang yang menyambut dia sambil berseru.
"Inilah tentu dayanya Yong-jie untuk ia bisa menghindarkan diri dari aku.
Sungguh dia cerdik, dia dapat menerka segala apa yang aku pikirkan...."
Selang satu jam Yoe Kiak kembali. Ia kata: "Kota ini benar kuat sekali. Cobalah
tunggu beberapa hari lagi, kita lihat bagaimana gerak-gerik musuh, baru kita
memikir pula." Kwee Ceng mengangguk dengan terpaksa.
Waktu berangkat dari Mongolia, pemuda ini polos sekali dan tolol, tetapi
sekarang sang waktu dan pengalaman, membikin dia mendapat banyak kemajuan. Dia
jadi bisa berpikir. Demikian itu malam berdiam seorang diri di dalam kemahnya,
ia memikirkan syair di gambar nona itu. Itulah artinya asmara.
"Pastilah Yong-jie tidak menganggap aku tidak berbudi," pikirnya. "Tentulah ia
lagi mengharap-harap penghaturan maafku terhadapnya. Sayang aku tolol, tidak
tahu aku caranya untuk menebus dosa, untuk membikin puas hatinya...."
Oleh karena susah pulas, sampai jam tiga barulah Kwee Ceng layap-layap. Ia
lantas mimpi bertemu Oey Yong. Ia segera menanya bagaimana caranya ia harus
minta maaf. Si nona membisiki ia, ia jadi girang sekali, ia berlompat bangun...dan
ia mendusin! Lantas ia menjadi berduka. Ia tidak ingat lagi kisikan si nona,
sia-sia ia memikirkannya. Tapi ia ingat satu hal. Ia berteriak: "Lekas undang
Lou Tianglo datang ke mari!"
Perintah itu dijalankan. Lou Yoe Kiak menyangka ada urusan militer penting, dia datang hanya dengan
berkerebong baju kulitnya, sepatunya tidak keburu dipakai.
Kwee Ceng lantas kata kepadanya: "Lou Tianglo, biar bagaimana besok makam aku
ingin bertemu dengan nona Oey. Tidak peduli kau memikirkannya sendiri, atau kau
minta bantuan orang lain, besok sebelum tengah hari, kau mesti telah memberikan
aku satu daya upaya bagus untuk memukul pecah kota!"
Pengemis itu kaget. "Oey Pangcu tidak ada di sini, cara bagaimana koanjin dapat bertemu dengannya?"
ia kata. "Kau pandai berpikir, kau tentu mempunyai dayamu," kata si anak muda. "Kalau
besok siang kau tidak menghanturkan dayamu itu, aku akan menjalankan undang-
undang ketenteraan!"
Yoe Kiak masih mau bicara, atau Kwee Ceng telah memberi perintah kepada serdadu
pengiringya: "Besok tengah hari kau perintahkan seratus algojo menanti di muka
tenda ini!" Serdadu itu memberikan penyahutannya, sedang Yoe Kiak, dengan muka masgul,
ngeloyor pergi. Besoknya pagi, salju turun besar-besaran, tembok kota menjadi licin. Mana bisa
tembok itu dipanjat" Maka Jenghiz Khan tidak mencoba menyerbu kota. Ia pula
bersangsi meninggalkan kota itu. Hawa udara sangat dingin. Kalau dia maju terus
ke Barat, belakangnya bisa dipotong musuh. Kalau dia berdiam terus di situ,
musuh bisa mendapat bala bantuan. Ia menjublak memandangi puncak yang tinggi
seperti masuk mega. Ia jalan mondar-mandir dengan menggendong tangan.
Puncak itu mencil sendirian, mirip pohon tanpa cabang dan daun, maka penduduk
kota Samarkand menamakannya "Puncak Gundul". Dan kota Samarkand dibangun dengan
menyender puncak itu. Hebat pendirian kota ini. Mengingat kuatnya kota, entah
berapa banyak belanja pendiriannya. Juga panglima yang mengatur rencananya dan
tukang-tukang yang mengerjakannya, mereka semua pasti pintar sekali. Kota
terbuat dari batu semua, dis itu rumput pun tidak tumbuh. Mungkin kera juga
tidak dapat memanjatnya. Lama Jenghiz Khan memandang hingga ia berpikir: "Semenjak aku bergerak, aku
telah melakoni beberapa ratus kali perang besar dan kecil, belum pernah aku
nampak kesukaran seperti kali ini. Adakah Thian hendak memutuskan aku?"
Salju turun terus, semua tenda telah menjadi putih, sebaliknya di dalam kota,
dari mana-mana tampak asap mengepul.
Kwee Ceng pun ada kemasgulannya sendiri. Ia menantikan sang waktu dengan hatinya
berdebaran. Dapatkah Oey Yong memberi akal padanya" Bagaimana kalau Yoe Kiak
bungkam" Bisakah dia membunuh pengemis itu"
Mendekati tengah hari pemuda ini duduk sendirian di dalam kemahnya. Ia berpikir
keras. Algojo-algojonya telah siap menantikan.
Kemudian, tampa merasa terdengarlah bunyi terompet dari markas besar. Itulah
tanda bahwa sang tengah hari telah tiba. Berbareng dengan itu, Lou Yoe Kiak
muncul di dalam kemah, terus ia berkata: "Aku telah memikirkan satu daya, hanya
dikhawatir koanjin sukar menjalankannya."
Tapi Kwee Ceng sudah lantas menjadi kegirangan.
"Lekas bilang!" ia mendesak. "Apakah yang menjadi kesukarannya" Biarnya itu
meminta tenagaku, akan aku kerjakan juga!"
Yoe Kiak menunjuk kepada puncak gundul itu.
"Sebentar tengah malam, Oey Pangcu menantikan koanjin di sana."
"Benar saja, inilah suaranya Yong-jie," kata si pemuda dalam hatinya. "Ia hendak
membikin aku tidak berdaya. Puncak ini tinggi melebihkan Tiong Cie Hong beberapa
lipat, jurangnya hebat, sekalipun ada burung rajawali, belum tentu aku dapat
mendakinya....Mungkinkah di atas puncak ada dewa yang meluncurkan dadung untuk
mengerek naik?" Ia menjdai masgul. Ia lantas membubarkan barisan algojonya. Dengan menunggang
kuda, seorang diri ia mendekati puncak gundul itu. Ia menampak es bertumpuk
bersusun bagaikan batu yang licin mengkilap. Es itu mirip es yang dipakai
menggencet Auwyang Hong. Cuma burung dapat terbang ke atas puncak itu....
Pemuda itu mengangkat kepalanya, memandang ke puncak. Tiba-tiba kopiahnya jatuh.
Mendadak ia mendusin. "Ah!" katanya seorang diri. "Bukan maksud hatinya Yong-jie menjanjikan aku
mendaki puncak ini, ia hanya hendak menguji hatiku apa aku benar-benar tulus
mencintainya. Biarlah, aku nanti mencoba mendakinya. Umpama aku jatuh terpeleset
hingga mati, aku toh telah menunjuki hatiku......."
Setelah berpikir begini, hatinya menjadi lega.
Malam itu habis bersantap, Kwee Ceng lantas bersiap. Ia membekal piasu belatinya
serta sepotong dadung panjang. Belum lagi jagat gelap seluruhnya, ia sudah
keluar dari kemahnya, untuk menuju ke puncak. Di luar kemah, ketiga tianglo
menantikannya. "Kami mengantarkan koanjin," kata mereka.
Ia heran. "Mengantar aku niak?"
"Benar," menjawab Yoe Kiak. "Bukankah koanjin berjanji akan bertemu sama Oey
Pangcu di atas puncak?"
Kembali si pemuda ini menjadi heran sekali.
"Jadi benar-benarkah Yong-jie menjanjikan aku?" pikirnya. "Jadi dia tidak
mendustai aku?" Ia heran berbareng girang. Maka lantas ia mengikuti ketiga
tianglo itu. Di kaki puncak sudah menanti beberapa serdadu pengiringnya bersama beberapa
puluh ekor kerbau dan kambing. Ia heran.
"Potonglah!" Yoe Kiak menitah.
Seorang serdadu mengangkat goloknya yang lancip, ia menebas sebelah kaki
belakang kambing, kaki mana selagi darahnya masih panas, lantas ditancapkan di
es. Sebentar saja, darah itu membeku keras, sedang paha kambing itu sendiri
nancap di es itu keras seperti nancapnya paku.
Bab 76. Pembalasan Bab ke-76 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Belum lagi Kwee ceng mengerti maksudnya penyembelihan kambing itu serta
ditancapnya paha di es di kaki puncak itu, satu serdadu yang lain sudah membacok
kutung satu kaki yang lainnya dari kambing itu, terus kaki itu ditancapkan
seperti yang pertama itu. Jaraknya kedua kaki kambing ialah empat kaki. Setelah
ini, barulah ia sadar. Ketiga tianglo itu hendak membuat tangga dari kaki
kambing, tangga untuk mendaki puncak itu. Perbuatan itu menyiksa binatang tetapi
terpaksa dilakukan karena tidak ada lainnya jalan lagi.
Lou Yoe Kiak berlompat naik ke tangga kaki kambing unduk yang pertama, Kan
Tianglo mengutungi kaki kambing lainnya, dia lemparkan itu kepada kawannya, Yoe
Kiak menyambuti itu dan menancapnya dengan sebat, habis mana, dia naik satu
tindak. Hal ini dilakukan terus-menerus, di dalam tempo sebentar, pengemis itu
telah naik tingginya belasan kaki. Sekarang ektiga tianglo bekerja semua,
bekerja sama. Karena sudah tinggi, sesampainya di atas sudah dingin, maka
kambing hidup dikerek naik, kakinya dikutungi di atas juga.
Demikian orang bekerja terus, sampai Kwee Ceng pun membantu.
Ketika akhirnya mereka tiba di puncak, ketiga tianglo sangat letih, sedang si
anak muda mengeluarkan peluh.
"Koanjin, dapatkah kau memaafkan aku?" kata Yoe Kiak setelah ia dapat bernapas
lega. Tapi Kwee Ceng kagum dan bersyukur.
"Aku justru tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan tianglo bertiga,"
jawabnya. "Inilah titah pangcu. Yang terlebih sukar pun kami akan melakukannya. Siapa
suruh kami mempunyai Pangcu yang luar biasa?"
Yoe Kiak tertawa, juga dua kawannya, habis mana mereka mendahului turun dari
puncak, untuk itu, mereka dibantu dadung yang diikat di pinggang mereka masing-
masing. Kwee Ceng mengawasi sampai ketiga tianglo itu tiba di pinggang gunung, baru ia
memandang puncak itu. Ia melihat suatu pemandangan, yang mengagumkan, yang
membikin pikirannya terbuka. Itulah wilayah es, yang merupakan kaca. Ada es yang
berupa seperti bunga atau rumput atau binatang kaki empat atau burung, ada pula
yang berdiri bagaikan rebung, bagaikan pohon. Ia menjadi tersengsem. I atentu
tercengang terus kalau ia tidak mendengar suara tertawa halus di sebelah
belakangnya, hingga ia berpaling segera. Di sana ia melihat seorang nona dengan
pakaian putih lagi mengawasi padanya, wajah si nona seperti lagi tertawa. Ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjublak mengawasi. Orang itu bukan lain daripada Oey Yong. Yong-jie yang ia
cari, yang ia buat pikiran setiap detik.
Sekian lama mereka saling memandang, lantas mereka sama-sama bertindak
menghampiri. Mereka girang dan berduka, karenanya, selagi saling mendekati,
tanpa merasa kaki si nona terpeleset. Si pemuda kaget, dia berlompat, untuk
menolongi. Karena itu, mereka jadi saling rangkul, tubuh mereka rebah bersama.
Sampai sekian lama barulah Oey Yong melepaskan diri, untuk duduk di atas batu
gundukan es yang mirip sepotong batu besar.
"Jikalau bukannya kau sangat memikirkan aku, tidak mau aku menemui kau," kata
dia. Kwee Ceng mengawasi, bengong, mulutnya tertutup.
Si nona pun, habis mengatakan begitu, ia lantas berdiam.
"Yong-jie!" kata si pemuda akhirnya.
"Engko Ceng..." si nona menyahuti.
"Yong-jie!" kata pula si pemuda, girangnya bukan kepalang.
"Ah, apakah masih belum cukup kau memanggil namaku?" si pemudi tertawa.
"Bukankah meski aku tidak berada di sampingmu, setiap hari kau telah menyebut-
nyebut namaku puluhan kali?"
"Bagaimana kau ketahui ini?" Kwee Ceng heran.
Oey Yong tertawa. "Kau tidak melihat aku, aku sering melihat kau!" jawabnya.
"Sampai sebegitu jauh kau berada di dalam pasukanku, kenapa kau tidak membiarkan
aku melihat padamu?"
"Hm, masih kau ada muka menanya" Satu kali kau ketahui aku tidak kurang suatu
apa, tentulah kau bakal menikah dengan putri Gochinmu! Maka aku lebih suka tidak
memberitahukan kau di mana adanya aku! Apakah kau kira aku tolol?"
Mendengar disebutkannya nama Gochin Baki, kegembiraan Kwee Ceng lenyap
separuhnya, dengan lantas ia menjadi masgul.
"Pemandangan di sini indah, mari kita pergi ke sana!" mengajak Oey Yong yang
melihat air muka orang itu, tangannya menunjuk. "Mari kita berbicara sambil
berduduk." Kwee Ceng berpaling ke tempat yang ditunjuk itu. Di sana ada sebuah gua, karena
sinarnya rembulan, gua itu mengasih lihat wujud mirip istana. Ia mengangguk.
Dengan berpegangan tangan, keduanya menghampirkan gua itu dan mengambil tempat
duduk. "Jikalau akuningat perlakuanmu terhadapku selama di Tho Hoa To, kau bilang,
pantas atau tidak aku memberi ampun padamu?" tanya si nona kemudian.
Kwee Ceng berbangkit. "Akan aku berlutut dan mengangguk padamu," ia kata. Benar-benar ia menekuk
lutut. "Sudahlah!" kata si pemuda tertawa. "Jikalau aku tidak memberi ampun padamu,
meski kau kutungi seratus kepala Yoe Kiak, tidak kesudian aku merayap naik ke
atas puncak ini." "Yong-jie, sungguh kau baik!"
"Apakah bicara tentang baik atau tidak baik" Mulanya aku menduga kau cuma
mengingat sakit hati gurumu dan hendak menuntut balas untuk itu, bahwa di
matamu, separuh dari bayanganku juga tidak ada, adalah setelah mengetahui
perjanjianmu dengan Auwyang Hong, untukku kau suka memberi ampun tiga kali
kepadanya, baru aku ketahui kau sebenarnya masih memikirkan aku...."
Si anak muda menggeleng kepala.
"Baru sekarang kau mengetahui hatiku," ujarnya.
Oey Yong tersenyum. "Kau lihat, apakah yang aku pakai?"
Ditanya begitu, bagaikan tersadar, Kwee Ceng mengawasi. Ia lantas mengenali baju
putih si nona, baju bulu yang dulu hari ia mengasihkannya kepada nona itu di
Thio-kee-kauw. Ia lantas menggenggam tangan orang.
Berdua mereka duduk saling menyender.
"Yong-jie," kata Kwee Ceng pula kemudian, "Dari suhu aku mendengar bagaimana kau
di Tiat Ciang Bio telah dipaksa Auwyang Hong untuk mengikuti dia. Bagaimana
duduknya maka kemudian kau lolos dari tangannya iblis itu?"
Oey Yong menghela napas. "Sayang karena itu maka musnahlah Kwie-in-chung yang indah kepunyaan Liok Suko,"
ia berkata masgul. "Ketika itu si bisa bangkotan memaksa aku menjelaskan artinya
Kiu Im Cin-keng. Aku bilangi dia, menjelaskan kitab itu tidak sukar tetapi aku
membutuhkan tempat yang bersih dan tenang. Dia bilang dia mengerti, dia hendak
mencari sebuah kuil. Aku menolak kuil, aku kata aku sebal sama hweeshio dan aku
pun tidak suka dahar sayur saja. Lantas dia tanya, bagaimana mauku. Aku lantas
membilang di Kwie-in-chung di Thay Ouw, kataku tempatnya bagus, makannya lengkap
dan lezat, si bisa bangkotan setuju, dia menyatakan suka menuruti kehendakku."
"Kenapa dia tidak curiga?" tanya Kwee Ceng.
"Dia dapat menduga aku kenal pemilik dari Kwie-in-chung akan tetapi dia tidak
takut. Dialah orang yang besar, yang tidak melihat mata kepada lain orang. Dia
bilang tidak peduli ada berapa banyak sahabatku di Kwie-in-chung, dia sanggup
melayaninya. Ketika kita sampai di sana, Liok Suko ayah dan anak tidak ada di
rumah, mereka lagi menjenguk nona Thia di Poo-eng, Kangpak. Kau tahu sediri,
Kwie-in-chung itu diatur menurut Tho Hoa To. Begitu tiba di sana, si bisa
bangkotan lantas merasa tidak wajar, sedang aku, dengan jalan berliku-liku,
lantas aku menghilang. Kapan dia tidak dapat mencari aku, bangkitlah
kemarahannya, dia lantas melepas api membakar rumah itu."
Kwee Ceng kaget, ia mengeluarkan seruan tertahan.
"Aku telah menduga si bisa bangkotan bakal membakar rumah, aku telah memberi
kisikan pada sekalian penghuninya untuk menyingkir diri siang-siang." Oey Yong
melanjuti. "Bisa bangkotan itu lihay sekali, habis membakar, dia pergi ke
jalanan yang menuju Tho Hoa To, guna memegat aku. Begitulah beberapa kali hampir
aku tercekuk dia. Akhirnya aku berangkat ke Mongolia. Nyatanya ia mengintil
terus, Engko tolol, syukur kau ketolol-tololan, jikalau kau sama licinnya
seperti si bisa bangkotan dan kau mencari aku seperti dia mencari aku, pastilah
aku kena dikepung, tidak tahu aku mesti bersembunyi di mana..."
Mendengar itu, Kwee Ceng tertawa.
"Tapi akhirnya kau pintar juga," berkata Oey Yong. "Kau mengerti bahwa dengan
mendesak Lou Yoe Kiak pasti bakal ada akal...."
"Yong-jie, itulah kau yang mengajarnya."
"Aku yang mengajarnya di dalam impian?"
Pemuda ini lantas menutur tentang impiannya.
Oey Yong tidak tertawa, tapi ia bersyukur.
"Orang dulu bilang kesujutan dapat membuka emas dan batu, itulah benar,"
katanya. "Karena kau sangat memikirkan aku, sudah selayaknya dari siang-siang
kau menemukan aku." "Yong-jie, baiklah kalau kemudian kau tidak berpisah pula dari aku untuk selama-
lamanya." Nona ini tidak menyahuti, ia hanya memandang awan yang mengintari puncak.
"Engko Ceng, aku merasa dingin," katanya.
Dengan sebat Kwee Ceng mengerebongi si nona dengan baku kulitnya.
"Marilah kita turun," katanya.
"Baiklah besok malam kita berkumpul pula di sini, nanti aku menjelaskan artinya
Kiu Im Cin-keng kepadamu."
"Apa?" menanya Kwee Ceng heran.
Semenjak tadi tangan si nona telah memegang tangan kiri si pemuda, sekarang ia
menggenggamnya erat-erat.
"Ayahku telah menerjemahkan bagian paling belakang dari kitab itu, besok aku
akan menjelaskannya itu kepadamu," bilangnya.
Kwee Ceng berpikir. Ia heran. Bagian itu telah dijelaskan It Teng Taysu, mengapa
sekarang nona ini menyebut ayahnya" Ia masih hendak menanya tegas ketika si nona
memencat tangannya, maka ia membatalkannya. Ia tahu mesti ada sebabnya untuk
tingkah aneh pemudi ini. "Baiklah," katanya akhirnya.
Sampai di situ, mereka turun dari puncak, untuk pulang ke kemah mereka. Oey Yong
berbisik: "Auwyang Hong juga telah naik ke puncak, selagi kita bicara, dia
mencuri mendengari di belakang kita."
Pemuda itu terperanjat. "Ah, mengapa aku tidak tahu?"
"Dia bersembunyi di belakang sebuah es batu yang besar. Bisa bnagkotan itu
sangat licin tetapi kali ini dia lupa satu tahl. Meski pun es itu besar tetapi
es itu terang bagaikan gelas, tidak dapat dia dipakai bersembunyi. Dengan
bantuannya sinar rembulan aku dapat melihat samar-samar tubuhnya itu.
"Kwee Ceng sadar sekarang.
"Maka itu kau sengaja menyebut-nyebut Kiu Im Cin-keng," ia berkata.
"Ya, aku hendak memancing dia naik ke puncak, setelah itu kita merusaki tangga
kaki kambing itu, supaya dia tinggal menetap sebagai dewa hidup!" berkata si
nona. Kwee Ceng memuji bagus. Ia bersorak.
Besoknya pagi, Jenghiz Khan menyerang pula kota, tanpa hasil, bahkan ia
meninggalkan korban seribu jiwa lebih.
Kwee Ceng sementara itu telah bersiap sedia. Untuk merusak tangga kaki kambing,
ia minta bantuannya ketiga tianglo.
Auwyang Hong lihay sekali. Malam itu ia muncul, tetapi ia memasang mata dari
jauh-jauh. Sebelum Oey Yong dan Kwee Ceng naik, ia terus sembunyi.
Melihat akalnya tidak berjalan, Oey Yong memikir akal lain. Ia memerintahkan
menyiapkan beberapa lembar dadung panjang, dadung itu direndam dulu di minyak
tanah. Di Khoresm itu, di mana-mana terdapat sumber minyak tanah, minyak mana
oleh rakyat dipakai untuk memasak nasi dan lainnya. Menurut kitab Yuan Shih,
ketika Jenghiz Khan menyerang kota Urungya, ibukota lama dari Khoresm, ia telah
menggunai minyak tanah membakar rumah-rumah hingga kota menjadi pecah karenanya.
Dengan membawa dadung itu, Kwee Ceng berdua dengan Oey Yong naik ke atas puncak,
di dalam gua es, mereka duduk pasang omong. Kali ini si pemuda pun turut
memasang mata secara diam-diam. Tidak lama maka mereka melihat bayangan See Tok
yang bersembunyi di belakang es besar. Karena lihaynya, dia tidak mendatangkan
suara apa juga. Dia rupanya menduga kedua orang itu tidak melihat atau
mengetahui akan kedatangannya itu. Oey Yong berlagak pilon, terus ia menjelaskan
bunyinya Kiu Im Cin-keng kepada Kwee Ceng, dan si anak muda pun bersandiwara
dengan menanya ini dan itu. Tentu sekali mereka merundingkan isi kitab yang asli
hingga mereka membuatnya Auwyang Hong girang tak terkira. See Tok pikir: "Kalau
aku paksa budak itu, tidak nanti dia bicara begini rupa. Sekarang dengan mencuri
dengar, aku dapat mendengar dengan jelas."
Oey Yong bicara dengan perlahan, ia baru menjelaskan tiga kata-kata, mendadak di
kaki puncak terdengar suara terompet, nyaring dan cepat. Kwee Ceng berlompat
berdiri seraya berkata: "Jenghiz Khan menghimpunkan panglima, aku mesti lantas
turun!" "Kalau begitu, besok saja kita datang pula ke mari," berkata si nona.
"Tidak berhentinya kita mendaki puncak, tidakkah itu sukar dan membuang tempo?"
Kwee Ceng tanya. "Apa tidak bisa kita bicara saja di dalam kemah?"
"Tidak!" menyahut si nona. "Tua bangka Auwyang Hong terus-terusan mencari aku.
Tua bangka itu sangat licin, sulit untuk menyingkir daripadanya, tetapi meski
kelicinannya itu, tidak nanti dia menduga kita membuat pertemuan di atas puncak
ini." Auwyang Hong mendengar semua itu, dengan sangat puas dia kata di dalam hatinya:
"Jangan kata baru puncak sekecil ini, kau kabur ke ujung langit juga akan aku
dapat cari padamu!" "Kalau begitu, kau tunggulah di sini," kata Kwee Ceng. "Di dalam tempo setengah
jam aku akan kembali."
"Baiklah," si nona mengangguk.
Pemuda itu turun dari puncak dengan hatinya tidak tentram. Bukankah Oey Yonng
ditinggal seorang diri" Tapi mengingat See Tok sangat menginginkan artinya kitab
itu, ia mau percaya si nona tidak dalam bahaya langsung. Maka ia dapat melegakan
hatinya itu. Oey Yong menantikan hingga ia merasa si anak muda turun dan selesai dengan
tugasnya, ia berbangkit seraya mengoceh seorang diri. "Entah di puncak ini ada
setannnya atau tidak....Kalau aku mengingat kepada Yo Kang dan enci Liam Cu,
sungguh aku takut.......Baiklah aku turun sebentar, sebentar aku datang pula
bersama-sama engko Ceng."
Auwyang Hong dapat mendengar ocehan orang itu, tetapi ia tidak berani berkutik
dari tempatnya bersembunyi, dia khawatir si nona nanti melihat ataub
mendengarnya. Maka leluasalah Oey Yong pergi turun.
Kwee Ceng bersama ketiga tianglo menantikan di kaki puncak, begitu Oey Yong
turun, begitu mereka menyalakan api, membakar dadung yang telah dilibatkan si
anak muda di setiap undakan kaki kambing itu. Dadung itu telah direndam di
minyak, maka itu api lantas menyala, membakar dari bawah terus ke atas. Setiap
kaki kambing jatuh ke bawah setelah api bekerja melumerkan es yang melekat dan
membekukanmya kuat sekali. Api itu pun memperlihatkan pemandangan yang bagus,
bagaikan cacing melapai naik, sebab waktu itu cuaca gelap dan es berkilau.
Oey Yong bertepuk tangan memuji bagus. Katanya: "Engko Ceng, bilanglah! Kali ini
kau masih hendak memberi ampun padanya atau tidak?"
"Inilah untuk ketiga kalinya, tidak dapat melanggar janji," menyahut si anak
muda. "Aku mempunyai akal," katanya. "Tanpa menyalahi janji, aku bisa membinasakan dia
untuk membalaskan sakit hatinya gurumu semua."
Kwee Ceng gembira sekali.
"Yong-jie," katanya. "Benar-benar di dalam dirimu semuanya tipu daya! Apakah
akalmu itu?" "Akal gampang saja," menyahut si nona. "Kita membiarkan si tua bangkotan makan
angin barat daya selama sepuluh hari dan sepuluh malam, biar dia kelaparan dan
kedinginan, hingga habis tenaganya, baru kita memasang pula tangga kambing ini
untuk menolonngi dia. Setelah dia ditolong turun dari situ, bukankah itu berarti
dia telah diberi ampun hingga tiga kali?"
"Benar," Kwee Ceng menyahut.
"Karena dia telah diberi ampun tiga kali, kita tidak usah sungkan-sungkan lagi,"
berkata si nona. "Kita menanti padanya, begitu dia turun di bawah sini, kita
lantas turun tangan menyerang padanya. Kita dibantu ketiga tianglo, kita berlima
menyerang seorang yang sudah setengah mampus, kau bilang, mustahil kita tidak
bakal menang?" "Tentu kita bakal menang," berkata Kwee Ceng yang tapinya menggeleng kepala.
"Dengan membunuh dia secara demikian, aku anggap itu bukanlah caranya laki-laki
sejati........." "Hm, dengan manusia sejahat dia kita masih bicara tentang kehormatan?" berkata
si nona dingin. "Ketika dia membinasakan gurumu yang nomor dua dan nomor empat
itu, adakah ia ingat akan cara terhormat itu?"
Kwee Ceng gusar sekali diperingati akan kebinasaan guru-gurunya itu, matanya
sampai terbuka mendelik. Ia pun ingat, Auwyang Hong demikian lihay, kalau dia
diberi ampun, lain kali tidak ada lagi ketikanya sebaik ini untuk ia membalaskan
sakit hati sekalian gurunya itu. Maka itu ia menggertak gigi.
"Baiklah, begitu kita bekerja!" bilangnya, menyatakan setuju.
Segera setibanya di dalam kemah, muda-mudi ini lantas berduduk berbicara
terlebih jauh. Kali ini benar-benat mereka berunding tentang Kiu Im Cin-keng.
Keduanya merasa senang sekali, sebab ternyata selama satu tahun, mereka
memperoleh kemajuan pesat.
"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kemudian. "Jahanam Wanyen Lieh berada di dalam
kota musuh ini, kita dapat melihat dia tetapi tidak berdaya membekuknya, maka
itu bisakah kau memikir suatu akal sempurna untuk memukul pecah kota?"
"Selama beberapa hari ini aku terus memikirkannya," menyahut si nona. "Hanya
selama itu aku belum peroleh daya yang dapat digunakan."
"Di dalam saudara-saudara Kay Pang ada belasan yang cukup enteng ilmunya enteng
tubuh," kata si anak muda, "Kalau mereka itu ditambah kita berdua, dapatkah kita
secara diam-diam mendaki tembok kota?"
"Tembok itu terjaga kuat sekali, setiap tembok ada penjagaan belasan tukang
panahnya," berkata si nona. "Sulit untuk melewati mereka semua. Laginya di dalam
kota ada puluhan laksa serdadu, apa yang kita belasan orang dapat kerjakan"
Untuk memaksa membuka pintu kota pun sukar."
Kwee Ceng berdiam. Demikian malam itu dilewatkan.
Besoknya, Jenghiz Khan mencoba menyerang pula kota, ia gagal. Kegagalan itu
berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Di hari keempat, turun salju besar.
"Mungkin tidak sampai sepuluh hari, Auwyang Hong bakal setengah mati karena
kedinginan," berkata Kwee Ceng sambil mengawasi ke puncak gunung.
"Dia sempurna ilmu dalamnya, dia dapat bertahan sepuluh hari," kata Oey Yong.
Tapi baru habis ia menutup mulutnya, berdua dengan Kwee Ceng ia terkejut melihat
dari atas puncak ada benda yang jatuh. Kemudian si nona bertepuk tangan dan kata
kegirangan: "Si bisa bangkotan tidak tahan, dia membunuh diri!"
Tapi Auwyang Hong tidak jatuh cepat dan meluncur langsung, hanya tubuhnya itu
memain, melayang-layang bagaikan layangan. Menyaksikan itu, kedua muda-mudi ini


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran. Mereka mengawasi terus. Mestinya orang jatuh langsung dan tubuhnya bakal
hancur luluh. Kenapa sekarang tubuh See Tok turun perlahan-lahan" Adakah ia
mengerti ilmu siluman"
Ketika Auwyang Hong sudah turun semakin ke bawah, baru terlihat apa yang
sebenarnya terjadi. Dia bertelanjang seluruh tubuh, di atasan kepalanya nampak
dua buah benda seperti bola bundar yang besar.
"Sayang-sayang," kata si nona setelah ia melihat tegas. Ia lantas mengerti
duduknya hal. Auwyang Hong itu terserang hebat hawa dingin dan lapar. Dia berotak kuat, dengan
lantas ia dapat memikir akal. Bukankah tidak ada tangga untuk turun dan dia
tidak dapat lompat turun" Maka ia menggunai akalnya. Untuk itu, terpaksa ia
membuka baju dan celananya juga, dengan itu dia membuat dua buah buntalan
seperti karung bulat, seperti bola. Dengan menggertak gigi, dengan kedua buah
karung itu diikat di pinggangnya, dia berlompat turun. Dia membuang dirinya
tetapi ini daya semata-mata untuk menolong jiwanya. Karung itu terkena angin
yang masuk ke dalamnya, lalu menjadi kembung dan bulat, maka dengan bantuan bola
istimewanya itu, tubuhnya tertahan, turunnya pun perlahan-lahan. Saking mahirnya
tenaga dalamnya, dia dapat melawan hawa dingin, meskipun benar kedua tangannya
hampir beku. Turunnya Auwyang Hong dari atas puncak ini dapat dilihat oleh tentara kedua
pihak, mereka itu heran sekali, lantas ada yang menduga kepada dewa, maka banyak
serdadu yang bertakhyul dan berlutut dan memuji.
Kwee Ceng mengawasi. Karena Auwyang Hong terbawa angin, mungkin dia bakal turun
di dalam kota. Ia lantas menyiapkan panahnya, ia menunggu sampai Auwyang Hong
terpisah dari tanah beberapa tombak, ia melepaskan panah berantainya. Ia
mengharap mengenai sedikitnya payung bolanya si Bisa dari Barat, supaya dia
jatuh dengan terluka parah. Tapi See Tok lihay, dia melihat datangnya anak
panah, dia menangkis dengan kakinya.
Menyaksikan kejadian yang luar biasa itu, tentara bersorak memuji.
Jenghiz Khan yang menerima laporan dari Kwee Ceng, juga menitahkan tentaranya
melepaskan anak panah, maka hebatlah datangnya serangan.
Auwyang Hong dapat melihat ancaman bahaya itu, ia menjadi nekat. Dia melepaskan
kedua tangannya, hingga lantas saja dia jatuh dengan kepala turun terlebih
dahulu. Kemabli puluhan ribu serdadu bersorak riuh.
Auwyang Hong turun tepat di dalam kota, kebetulan di sebuah bendara besar. Dia
menyambar dengan kedua tangannya, dia memegang keras kain bendera. Dia bertubuh
berat, kain bendera itu robek. Tapi justru dia menjembret, hingga tubuhnya
sedikit tertahan, kedua kakinya menyambar ke arah tiang bendera, maka di lain
saat lenyaplah dia di dalam kota.
Tentara di kedua pihak heran, mereka bicarakan urusan itu hingga mereka
melupakan peperangan. "Kali ini dia terhitung tidak diberi ampun," berpikir Kwee Ceng, yang segera
menyesal sekali. "Dia jadi masih mempunyai ketikanya satu kali lagi. Tentunya
Yong-jie masgul sekali..."
Ketika ia berpaling kepada si nona, si nona justru nampaknya girang, dia
bersenyum. Ia menjadi heran.
"Yong-jie, mengapa kau bergembira?" tanyanya.
Si nona bertepuk tangan, dia tertawa.
"Aku hendak mempersembahkan hadiah besar kepadamu, kau senang atau tidak?" dia
balik tanya. "Apakah itu?" "KotaSamarkand!"
Kwee Ceng tercengang. "Si bisa bangkotan baru mengajari aku tipu daya memecahkan kota," berkata si
nona. "Pergi kau menyiapkan pasukan perangmu, sebentar malam kai bakal
berhasil!" Selagi pemuda ini masih belum mengerti, nona ini berbisik di telinganya. Baru
setelah mendengar itu, dia juga girang hingga dia bertepuk-tepuk tangan.
Siang itu Kwee Ceng memberi titah rahasia kepada semua serdadunya, untuk mereka
itu memotong tenda mereka masing-masing, guna membikin sebuah payung kecil, yang
ukurannya dia berikan, payung mana mesti diikatkan tambang. Titah itu diberi
batas waktu, ialah semua payung mesti sudah rampung di dalam tempo setengah jam.
Ia membutuhkan selaksa buah. Semua serdadu menjadi heran. Pula, di waktu itu
hawa begitu dingin, tanpa tenda, bagaimana mereka bisa melindungi diri" Tapi
titah ialah titah. Maka bekerjalah mereka.
Masih ada titah lainnya dari Kwee Ceng. Pertama-tama titah mengumpulkan kerbau
dan kambing di kaki puncak, di mana orang mesti menanti titah lebih lanjut untuk
bekerja. Selaksa serdadu diperintah pergi ke tempat tigapuluh lie di luar pintu
kota utara, untuk di sana mereka menyiapkan diri dalam empat barisan Thian-hok,
Tee-cay, Hong-yang dan In-sui. Mereka mesti menanti waktu membekuk musuh. Lagi
selaksa serdadu diperintah mengambil tempat di kiri dan kanan pintu utara itu,
mereka mesti mengatur diri dalam empat barisan Liong-hui, Houw-ek, Niauw-siang
dan Coa-poan. Tugas mereka ini ialah mendesak memaksa musuh masuk ke dalam empat
barisan yang lainnya itu. Kemudian, selaksa serdadu yang ketiga diperintah siap
sedia untuk tugas yang diberikan terlebih jauh.
Demikian malam itu, setelah bersantap, empat laksa serdadu diberangkatkan. Lebih
dulu dua laksa jiwa di kirim ke pintu kota, lalu yang selaksa ke kaki puncak dan
yang selaksa lagi untuk bersiap sedia.
Kwee Ceng menitahkan satu serdadu pengiringnya pergi ke Jenghiz Khan untuk
memberitahukan yang kota musuh bakal terpukul pecah, dari itu junjungan itu
diminta menyiapkan barisannya untuk menyerbu.
Jenghiz Khan heran, ia bersangsi. Maka ia memerintahkan si serdadu memanggil
Kwee Ceng datang padanya, untuk ditanya tegas, tetapi serdadu itu membilangi:
"Sekarang ini Kim Too Huma tentu sudah memimpin pasukan perangnya menyerang
musuh, dia hanya menantikan Kha Khan membantu padanya."
Benar juga, di sana sudah lantas terdengar tentaranya Kwee Ceng membunyikan
terompet perang. Di sana seribu lebih serdadu telah bekerja menyembelih kerbau
dan kambing untuk membuat tangga istimewa, pekerjaan mana dilakukan oleh orang-
orang Kay Pang yang dapat bergerak dengan cepat dan gesit. Maka dengan lekas
terampungkan seratus lebih tangga istimewa itu. Setelah itu Kwee Ceng sendiri
yang mulai, yang mengasih contoh mendaki tangga itu, untuk naik ke atas puncak
gundul. Ia ditiru selaksa serdadu. Hanya mereka ini dibantu dengan dadung yang
diikat dipinggang mereka, perlahan mereka merayap naik. Atas titah yang keras,
mereka itu dilarang mengasih dengar suara apa-apa.
Puncak tidak luas, selaksa serdadu tidak bisa ditempatkan di situ, maka itu Kwee
Ceng sudah lantas menitahkan rombongan pertama mengikat payung di pinggang dan
memegang golok di tanah, setelah ia memberi tanda dengan tepukan tangan, mereka
itu pada berlompat ke arah kota musuh, ke pintu kota selatan guna mulai dengan
penyerangan mereka. Pula ia sendirilah yang memberi contoh dengan melompat
paling dulu. Semua serdadu telah melihatnya tadi siang bagaimana Auwyang Hong berlompat turun
dari puncak itu, maka dengan berani mereka meniru perbuatan kepala perang
mereka. Maka sekejap saja, udara seperti penuh dengan payung manusia itu.
Rombongan dengan rombongan tentara itu pada menerjunkan diri.
Oey Yong menanti di batu es, senang dia menyaksikan rampungnya tindakan
permulaan. Ia kata di dalam hatinya: "Jenhiz Khan berhasil atau tidak, itu tidak
ada hubungannya dengan aku, hanya kalau engko Ceng menuruti perkataan aku, dia
sekalian dapat melakukan sesuatu yang besar."
Kwee Ceng adalah yang pertama tiba. Belum sampai di tembok kota, dia sudah
melepaskan payungnya, dan belum kakinya menginjak tanah, dia sudha putar
goloknya yang besar menyerang serdadu-serdadu penjaga kota itu.
Di dalam kota ada sejumlah serdadu yang melihat datangnya musuh dengan cara yang
luar biasa itu, mereka kaget dan heran, mereka pun takut, hilang semangat
berkelahinya. Lagi pula, tentara yang pertama turun itu ada rombongan Kay Pang,
dari itu hebat penyerangan mereka ini, dengan lantas mereka mendekati pintu
kota. Tentara Mongolia menyusul belakangan. Diantara mereka ini ada beberapa
ratus yang gagal, payung mereka rusak, jiwa mereka melayang. Pula mereka yang
sampai di tanah terpencar, banyak yang kena dikurung, ditangkap dan dibinasakan
tentara Khoresm. Diantara tentara itu, dalam sepuluh, sembilan yang mendarat
dengan berhasil. Dengan titahnya Kwee Ceng, mereka ini memecah diri, ialah yang
separuh menyerang musuh, yang separuh lagi memaksa menerjang pintu kota untuk
dibuka dan dipentang. Tentu sekali penyerangan ini sangat mengacaukan musuh, suatu pertempuran juga
sangat berisik. Jenghiz Khan mendengar suara itu, ia mau percaya Kwee Ceng tidak
melaporkan hal yang tidak-tidak, maka ia lantas bekerja, menitahkan pasukannya
maju ke pintu kota, untuk menyerang musuh.
Pintu kota selatan sudah lantas terpentang, beberapa ratus serdadu Mongolia
berjaga-jaga di situ, membiarkan ribuan kawannya masuk, untuk bekerja sama.
Kawan-kawan yang lainnya menerobos terus saling susul.
Belum sampai fajar, buyar sudah tentara Khoresm yang melindungi pintu kotanya.
Shah Muhammad diberitahukan di pintu kota utara belum ada musuh, ia
memerintahkan membuka pintu kota itu, untuk melarikan diri dari sana. Di sana
telah menanti barisan sembunyi dari Kwee Ceng, barisan itu menyambut musuh
dengan penyerangan mereka dari kiri dan kanan.
Shah tidak berniat berkelahi lagi, . Dia menyuruh Wanyen Lieh bertahan di
sebelah belakang, dia sendiri bersama barisan pengiringnya membuka jalan untuk
molos dari kepungan, guna kabur paling dulu.
Biar penjagaa rapat tetapi karena musuh berjumlah lebih besar dan mereka itu
nekad, pasukan Khoresm itu bisa juga mendesak.
Kwee Ceng terutama hendak mencari Wanyen Lieh, ia menguber pangeran Kim itu,
yang dapat dikenali dari kopiah perangnya yang terbuat dari emas berkilauan.
Beberapa kali ia diwartakan musuh bakal bisa lolos, diakhirnya, terpaksa ia
memegang pimpinan juga. Pertempuran yang kacau itu berjalan terus sampai terang tanah, banyak musuh yang
tertawan tetapi di antaranya Wanyen Lieh tidak nampak.
Jenghir Khan telah lantas berkumpul di istana shah.
Kwee Ceng lagi membereskan pasukannya, mengurus yang terbinasa dan menghibur
yang terluka ketika ia mendengar terompet emas dari khan yang agung. Dengan
lantas ia lari menaati panggilan. Di depan istana ia melihat satu pasukan kecil,
diantaranya ada Oey Yong bersama dengan ketiga tianglo. Si nona menepuk tangan,
maka dua serdadunya menggotong sebuah kantong goni yang besar.
"Eh, coba kau terka, apakah isi karung ini?" ia tanya si anak muda. Ia tertawa.
"Di dalam kota ini terdapat banyak barang luar biasa, mana bisa aku menerkanya?"
sahut si anak muda, yang pun tertawa.
"Hendak aku menghadiahkannya kepada kau, pasti kau girang," kata si nona pula.
Tiba-tiba Kwee Ceng teringat akan halnya Kiu Cian Jin di Tiat Ciang Hong
menghadiahkan Lam Kim sebagai bingkisan kepada Yo Kang, nona itu dimasuki ke
dalam keranjang, maka ia menduga, mestinya Oey Yong telah mendapatkan nona yang
cantik dan ia sekarang hendak digoda.
"Ah, aku tidak mau," ia kata sambil menggoyang kepala.
"Apakah benar-benar kau tidak mau?" Oey Yong tanya sambil tertawa. "Awas setelah
kau melihat, jangan kau menarik pulang kata-katamu!"
Tanpa menanti jawaban, nona Oey mengulur tangannya, untuk mengangkat karung itu,
untuk mengeluarkan isinya yang benar saja ada satu orang yang rambutnya kusut
dan mukanya penuh darah, pakaiannya seragam dari satu serdadu Khoresmia, hanya
ketika diawasi, dialah Wanyen Lieh atau Chao Wang, pangeran dari negara Kim.
Maka bukan main girangnya anak muda itu.
"Yong-jie!" ia berseru. "Di mana kau dapat membekuk dia?"
"Aku melihat serombongan serdadu kabur dari pintu kota utara," menyahut si nona,
"Pasukan itu memakai bendera Chao Wang dan seorang panglima dengan kopiah emas
dan jubah perang bersulam kabur ke arah timur. Aku tahu Wanyen Lieh sangat
licik, tidak bisa terjadi diwaktu kekalahan seperti itu dia masih berani
mengibarkan benderanya dan tetap memakai kopiah emas serta seragamnya, lantas
aku menduga itulah mesti akal belaka guna mengelabui orang. Kalau benderanya ke
timur, dia mestinya kabur ke barat. Maka bersama Lou Tianglo beramai aku
bersembunyi menjaga di sebelah barat. Benarlah dugaanku, di sana aku berhasil
membekuk jahanam ini."
Kwee Ceng menjura dalam kepada nona itu. Ia sangat bersyukur.
"Yong-jie," ia berkata. "Kau telah membalaskan sakit hatinya ayahku, aku tidak
tahu apa yang aku mesti bilang padamu."
Oey Yong tertawa. "Itulah hal kebetulan saja," ia berkata. "Kau telah mendirikan jasa besar, kau
pasti bakal diberi hadiah oleh khan yang agung. Itulah baru bagus!"
"Sebenarnya aku tidak mengharapkan jasa," berkata si anak muda yang polos.
"Engko Ceng, ke mari," kata si nona kemudian, perlahan, seraya bertindak ke
samping. Kwee Ceng mengikuti. "Benarkah di dunia ini tidak ada apa-apa yang kau kehendaki?" si nona tanya.
Pemuda itu melengak. "Melainkan satu keinginganku," jawabnya. "Ialah agar untuk selama-lamanya aku
tidak dapat berpisah dari kau!"
Oey Yong mengawasi. "Hari ini kau telah mendirikan jasa besar ini, aku percaya umpama kata kau
menyebabkan khan yang agung gusar, tidak nanti dia menghukummu..." katanya.
Pemuda itu masih belum mengerti, ia berdiam. "Ah...." katanya.
"Kalau hari ini kau minta pangkat atau gelaran, dia pasti menerimanya dengan
baik," berkata pula si nona. "Kalau juga kau minta dia jangan menghadiahkannya,
dia juga sukar menolaknya. Yang penting sekarang ialah kamu mesti mendayakannya
agar dia menjanjikannya dengan mulutnya sendiri apa juga yang kau minta, dia
mesti meluluskannya."
"Benar!" kata si anak muda singkat.
Mendengar jawaban hanya segitu, Oey Yong mengoyang kepala. Ia mendongkol.
"Rupanya kedudukan sebagai Kim Too Huma paling jempol, bukankah?" ia kata.
Kwee terkejut. Sekarang ia sadar.
"Aku mesti sekarang!" katanya. "Bukankah kau menghendaki kau menolak jodoh
putrinya, supaya dia berjanji dulu, baru aku mengutarakan permintaanku" Dengan
begitu dia jadi tidak dapat menolak, bukankah?"
Oey Yong tetap kurang puas.
"Itulah terserah padamu....Mungkin kau tetap suka menjadi menantu raja..."
"yong-jie," berkata si anak muda, "Memang Gochin Baki sangat mencintai aku,
tetapi aku, aku menyayangi dia seperti saudara saja, bahwa dulu hari aku tidak
menampik, itulah karena aku hendak menepati janji belaka, maka kalau khan yang
agung suka menarik keputusannya, sungguh itu bagus untuk kedua belah pihak."
Mendengar itu baru lega hatinya si nona. Ia menatap pemuda itu.
Sementara itu terdengar suara terompet emas yang kedua kali.
Kwee Ceng mencekal tangan si nona. "Yong-jie, kau tunggu kabar baik saja!" Terus
ia masuk ke dalam istana dengan menggiring Wanyen Lieh.
Melihat munculnya si anak muda, Jenghiz Khan girang sekali. Ia berbangkit dari
kursinya, untuk menyambut sendiri, ia menarik tangan orang guna berjalan
bersama. Ia terus menitahkan orang mengambil sebuah kursi, untuk menyuruh anak
muda itu duduk di sisinya.
Kwee Ceng lantas memberitahukan bahwa Wanyen Lieh telah dapat ditangkap. Ia
lantas menitahkan agar orang tawanan itu dibawa menghadap.
Jenghiz Khan menjadi terlebih girang lagi. Dia melihat pangeran Kim itu berlutut
di depannya, ia mendupak dengan kaki kanannya ke kepala orang.
"Ketika dulu kau datang ke Mongolia dengan tingkah kerenmu, pernahkah kau
memikir bakal datang satu hari seperti ini?" ia tanya.
Wanyen Lieh tahu ia bakal mati, ia mengangkat kepalanya.
"Dulu hari itu negaraku, negara Kim, kuat, aku menyesal tidak lebih dulu
memusnahkan Mongolia!" katanya dengan berani. "Begitulah maka terjadi bencana
hari ini!" Jenghiz Khan tertawa lebar. Tidak ayal lagi, ia menitahkan menghukum mati pada
orang tawanannya itu. Maka Wanyen Lieh lantas digusur ke luar istana, untuk menerima nasibnya.
Kwee Ceng girang berbareng berduka mengingat akhirnya sakit hati ayahnya
terbalaskan. Jenghiz Khan lantas berkata: "Telah aku janjikan siapa yang dapat memukul pecah
kota ini serta membekuk Wanyen Lieh, hendak aku menghadiahkan dia dengan orang-
orang perempuan, permata dan cita dari kota ini, maka itu sekarang pergilah kau
menerima itu semua!"
Kwee Ceng menggeleng kepalanya.
"Aku dan ibuku telah menerima budi besar, semua itu sudah cukup," katanya.
"Segala budak, permata dan cita pun sudah cukup, berlebihan tidak ada gunanya."
"Bagus!" khan yang agung itu memuji, "Itulah sifatnya seorang kesatria!
Sekarang, apakah yang hendak kau kehendaki" Apa juga yang kau minta, tidak ada
yang aku bakal tidak luluskan!"
Kwee Ceng berbangkit, ia menjura.
"Aku hendak mengajukan ssatu permohonan, aku minta khan yang agung tidak buat
gusar," ia berkata.

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bilanglah!" kata Jenghiz Khan tertawa.
Kwee Ceng lagi hendak menyebutkan permintaannya itu ketika dengan sekonyong-
konyong terdengar tangisan dan jeritan-jeritan ynag hebats ekali, hingga orang
menjadi terkejut. Semua perwira berlompat bangun sambil menghunus senjatanya
masing-masing. Mereka menduga tentara dan rakyat musuh berontak, mereka mau
pergi untuk menindasnya. "Tidak apa-apa!" berkata Jenghiz Khan sambil tertawa. "Kota anjing ini tidak mau
takluk, dia membikin aku kehilangan banyak perwira dan serdadu, dia juga
menyebabkan kebinasaan cucuku yang kucintai, maka dia perlu dibasmi secara
besar-besaran! Nah, mari kita pergi melihatnya!"
Jago Mongolia ini berbnagkit, terus ia bertindak keluar, diikuti semua
panglimanya. Dari luar istana mereka naik kuda, untuk kabur ke barat, dari arah
mana datangnya tangisan dan jeritan-jeritan hebat itu. Semakin dekat mereka
mendengar semakin tegas tangisan yang menyayatkan hati itu. Ketika mereka tiba
di luar kota, di sana terlihat berkumpulnya tak terhitung penduduk kota, pria
dan wanita, tua dan muda, dikumpulkan satu baris demi satu baris, di tegalan
yang kosong. Sebab tentara Mongolia telah menitahkan semua penduduk keluar dari
rumah mereka, tidak ada satu jua yang ketinggalan. Penduduk itu mengira bakal
dilakukan pemeriksaan guna mencari mata-mata, siapa tahu, setelah merampas alat
senjata, tentara itu merampas juga barang permata dan barang berharga lainnya,
akan akhirnya mereka pilih nyonya-nyonya dan nona-nona yang parasnya elok-elok.
Baru sekarang penduduk kota itu mengertinya bahwa mereka lagi diancam
malapetaka. Siapa yang melawan, dia lantas dibacok atau ditombak mati. Kemudian,
setelah pemilihan wanita yang cantik-cantik itu, tentara Mongolia menyerbu di
antara orang banyak itu, tak peduli tua dan wanita dan anak-anak, semua dibacoki
kalang-kabutan. Itulah yang menyebabkan tangisan dan jeritan yang menyayatkan
itu, yang seperti menggetarkan langit dan bumi. Ketika Jenghiz Khan beramai
muncul, telah jatuh korban lebih dari belasan jiwa, daging dan darah mereka
berhamburan, mayat berserakan terinjak-injak kuda.
"Bagus! Bagus!" Jenghiz Khan tertawa bergelak-gelak. "Biar mereka tahu rasa!"
Tapi Kwee Ceng tidak tega melihatnya itu. Ia lari ke depan khan yang agung itu.
Ia mohon keampunan untuk mereka itu.
Jenghiz Khan mengangkat tangannya.
"Bunuh habis mereka itu! Satu pun jangan dikasih ampun!"
Kwee Ceng terkejut, ia melengak. Justru itu ia melihat seorang bocah berumur
tujuh atau delapan tahun lari keluar dari rombongan orang banyak yang bercelaka
itu, dia menubruk seorang wanita yang roboh diterjang kuda sambil dia berteriak-
teriak: "Ibu! Ibu!" Lantas seorang serdadu menerjang ke arah mereka, dia
mengayunkan goloknya yang panjang, maka tubuh ibu dan anak itu lantas terkutung
menjadi empat potong, hanya sebelum napasnya putus, bocah itu masih memeluki
ibunya. Darahnya Kwee Ceng menjadi naik.
"Khan yang agung!" dia berseru. "Kau telah membilang bahwa semua wanita, permata
dan cita dari kota ini kepunyaanku, kenapa sekarang kau menitahkan melakukan
pembasmian ini?" Jenghiz Khan tercengang, tapi ia lantas tertawa.
"Kau sendiri yang tidak menghendakinya!" sahutnya.
"Bukankah kau telah bilang, apa juga yang aku minta, aku bakal menerimanya?" si
anak muda menegaskan. "Benar bukan?"
Khan itu mengangguk, dia tersenyum.
"Kata-kata khan yang agung adalah seperti gunung yang maha besar!" kata si anak
muda nyaring. "Aku minta kau memberi ampun kepada jiwanya beberapa puluh laksa
rakyat negeri ini!" Jenghiz Khan kaget. Inilah dia tidak menyangka. Tapi dia sudah memberi janjinya,
mana dapat ia menyangkal itu" Maka itu, dia jadi mendongkol bukan main, matanya
terbuka lebar, merah seperti api! Dia mendelik mengawasi si anak muda. Tangannya
pun memegang gagang goloknya.
"Telur busuk, benar-benarkah permintaanmu ini?" tanyannya bengis.
Semua pangeran dan panglima pun kaget karena kemurkaan khan mereka itu.
Kwee Ceng juga tidak pernah melihat orang bergusar sedemikian macam, tanpa
merasa hatinya berdebaran, tetapi ia memberikan jawabannya.
"Aku cuma minta rakyat ini diberi ampun," demikian penyahutannya.
"Apakah kau tidak bakal menyesal?" menegasi Jenghiz Khan, suaranya dalam.
"Tidak," pemuda itu menyahut pula. Tapi ia terluka hatinya, sebab itu artinya ia
menyia-nyiakan pengharapannya Oey Yong untuk ia menolak perjodohannya dengan
Gochin Baki. Jenghiz Khan mendengar suara orang menggetar, tanda dari hati takut, hanya orang
pasti membesarkan nyali. Mau atau tidak, ia menghargainya. Ia lantas menghunus
pedangnya seraya memberi titah menarik pulang tentaranya. Tukang terompetnya pun
segera membunyikan alat tiupnya itu.
Beberapa laksa serdadu Mongolia, dengan tubuh mereka keciprutan darah, lantas
mengundurkan diri dari antara puluhan laksa rakyat itu, terus mereka berbaris
dengan rapi. Seumurnya, belum pernah Jenghiz Khan menemui orang yang berani menentang
titahnya, sekarang dia menghadapi Kwee Ceng, bukan main mendongkolnya, tidak
bisa dia lantas melenyapkan itu, maka setelah berseru, dia melemparkan goloknya
ke tanah, lantas dia mengaburkan kudanya pulang ke dalam kota.
Semua panglima mengawasi Kwee Ceng dengan sorot mata mereka penuh kegusaran.
Hati mereka itu kebat-kebit. Khan mereka gusar, maka itu, entah siapa yang apes
yang bakal kena digusari nanti. Mereka juga tidak puas sekali. Setelah kota
terpukul pecah, mereka mengharap dapat melakukan pembunuhan selama beberapa
hari, tidak tahunya, harapan mereka itu menjadi kosong.
Kwee Ceng tahu orang tidak puas, ia tidak menghiraukannya. Dengan perlahan ia
menjalankan kuda merahnya ke tempat yang sepi. Ia menyaksikan sisa peperangan
itu. Mayat-mayat berserakan, rumah-rumah habis terbakar. Ia berduka untuk nasib
rakyat itu. Ini telah terkadi karena ia hendak menuntut balas sakit hati
ayahnya, sebab Jenghiz Khan hendak menjadi jago dunia. Ia memikirkan apa dosa
rakyat itu. Ia menjadi melamun hingga ia tanya dirinya sendiri: "Aku memukul
pecah kota untuk membalaskan sakit hati ayahku, sebenarnya, pantaskah itu atau
tidak?" Seorang diri, ia masih jalan mondar-mandir di daerah yang sunyi itu, yang
pemandangannya mengiriskan hati itu. Sampai lohor baru ia pulang ke kemahnya. Di
muka kemah ia disambut dua serdadu pengiring Khan , yang lantas memberi hormat
kepadanya sambil memberitahukan dia dipanggil Khan, bahwa sudah lama mereka
menantikannya. "Tadi siang aku berbantah, mungkin dia hendak menghukum mati padaku..." pikir
pemuda ini. "Setelah sampai begini jauh, aku melihat salatan saja." Ia memanggil
seorang pengiring kepercayaannya, ia berbisik kepadanya, yang disuruh segera
pergi kepada Lou Yoe Kiak, habis mana ia menuju ke istana, hatinya tidak tenang,
tetapi ia telah berkeputusan: "Tidak peduli Khan bagaimana gusar dan aku
dipaksanya, aku tetap tidak akan menarik pulang permintaanku mengampuni rakyat
Samarkand! Dialah Khan, dia tidak dapat menarik pulang kata-katanya!"
Kwee Ceng menduga Jenghiz Khan lagi mengumbar hawa amarahnya, tidak tahunya
mulai tiba di luar pintu pendopo, ia sudah mendengar tertawa nyaring dan riang
dari orang agung itu, maka ia melekaskan tindakannya. Setibanya di dalam, ia
menampak di sisi Khan ada berduduk satu orang, dan di kakinya ada mendeprok
seorang wanita muda, yang menyender kepada kakinya. Orang yang berduduk itu,
yang rambutnya telah putih semua tetapi wajahnya sehat, adalah Tiang Cun Cu Khu
Cie Kee, sedang si nona ialah putri Gochin Baki. Ia girang bukan main, ia lari
menghampirkan untuk menemui imam itu.
Jenghiz Khan menyambar sebatang tombak dari tangan seorang pengiringnya, begitu
ia membalik tubuh, ia menghajar Kwee Ceng dengan tombak itu. Pemuda ini
terkejut, ia tidak melawan, hanya berkelit. Maka tombak itu mengenai pundaknya
dan patah menjadi dua potong. Mendadak Jenghiz Khan tertawa dan kata: "Telur
busuk, habis sudah! Jikalau bukannya aku melihat muka Khu Totiang dan anakku,
hari ini aku hendak mengutungi lehermu!"
Putri Gochin berlompat bangun seraya berseru: "Ayah! Aku tidak ada di sini, kau
pasti menghina engko Ceng!"
Ayah itu melemparkan tombak buntungnya.
"Siapa yang bilang?" tanya tertawa terbahak.
"Aku melihatnya sendiri! Apakah ayah masih menyangkal?" kata putri itu aleman.
"Hatiku tidak tentram, maka itu aku datang bersama Khu Totiang untuk
menyaksikannya!" Jenghiz Khan menarik tangan putrinya dan tangannya Kwee Ceng dengan masing-
masing sebelah tangannya.
"Mari duduk, jangan rewel!" katanya. "Mari mendengari Khu Totiang membaca
syair." Memang benar, ketika itu, Tiang Cun Cu tengah hendak membacakan syairnya.
Setelah pertempuran di Yan Ie Lauw, Khu Cie Kee mendapat tahu Ciu Pek Thong,
paman gurunya, tidak kurang suatu apa, dan bahwa yang membinasakan Tam Cie Hian,
saudara seperguruannya, adalah Auwyang Hong, maka itu dengan hati lega dia dan
saudara-saudaranya menghanturkan terima kasih kepada Oey Yok Su. Ketika dia
mengatur barisannya di Yan Ie Lauw itu, ia mengharap datangnya Yo Kang, untuk
membantu pihaknya, maka ia menyesal bukan main tempo dia mendengar dari Kwa Tin
Ok tentang tersesatnya muridnya itu. Cie Kee menyesalkan diri mendapat murid tak
kebetulan. Ia menyesal tidak membawa muridnya itu pergi hanya dibiarkan tinggal
tetap di istana, jadi si murid terlalu terpengaruhkan penghidupan mewah. Justru
itu, ia menerima suratnya Jenghiz Khan, yang diiringi surat Kwee Ceng, yang
mengundang kepadanya. Karena mengingat pemuda itu, yang ia buat kangen, ia
memenuhi undangan itu dan berangkat bersama belasan muridnya, hingga
kesudahannya ia berhasil bertemu sama pendekar Mongolia itu. (Menurut kitab Yuan
Sih, setelah surat-menyurat tiga kali dengan Jenghiz Khan, baru Khu Cie Kee
berangkat ke Mongolia dengan melewati pegunungan Kun Lun San, ia membawa
delapanbelas muridnya dan mengambil tempo perjalanan empat tahun. Umumnya Khu
Cie Kee dikenal sebagai Chang Chun, diambil dari gelarannya Tian Cun Cu)
Khu Cie Kee melihat kulitnya Kwee Ceng menjadi hitam tetapi kesehatannya
sempurna. Ia girang sekali. Sebelum Kwee Ceng datang, ia telah berbicara sekian
lama sama Jenghiz Khan tentang apa yang ia tampak di tengah jalan. Ia
menuliskannya secara berirama. Beginilah kira-kira syairnya:
Sepuluh tahun bencana peperangan, maka laksaan rakyat bersengsara.
Di dalam ribuan laksa jiwa, yang hidup tak ada satu dua.
Tahun yang lalu menerima panggilan,
Tahun ini berangkat memenuhinya,
Dengan menerjang hawa yang dingin,
Tanpa memperdulikan gunung 3000 lie.
Sekarang pun masih mengingat tanah daerah,
Dan sisa napas letih masih ada,
Asal saja rakyat dapat bebas dari sengsara.
Syair itu oleh seorang pembesar sipil disalin ke dalam bahasa Mongolia, kapan
Jenghiz Khan mendengarnya, dia berdiam saja, dia cuma mengangguk. Rupanya ia
menginsyafi akibatnya bencana peperangan.
Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng dan kata: "Ketika tahun itu aku serta tujuh
gurumu mengadu kepandaian di Yan Ie Lauw, gurumu yang nomor dua telah meraba
keluar dari sakuku sebuah syair tentang keindahan malam tanggal limabelas bulan
delapan diwaktu rembulan paling terang dan permainya, setelah itu aku menulis
menyambungi syair itu, hanya sekarang, mereka itu tidak dapat melihat sambungan
ini dalam mana aku menharap terhentinya peperangan untuk menjamin perdamaian."
Disebutnya ketujuh gurunya itu membuat Kwee Ceng sangat berduka hingga air
matanya mengembang. "Totiang telah datang ke Barat ini, pasti totiang telah menyaksikan keangkeran
angkatan perangku," berkata Jenghiz Khan. "Berhubung dengan itu, apakah totiang
ada membuat syair untuk memujinya?"
"Di sepanjang jalan aku telah melihat bekas-bekas Khan yang agung menyerang kota
dan merampas daerah, dalam hatiku timbul kesannya," menyahut Khu Cie Kee.
"Karena itu aku telah membuat syair. Beginilah syairku itu."
Thian yang maha mulia mengirim walinya ke dunia,
Mengapa tidak menolong umatnya dari penderitaan"
Umat ini siang dan malam bersengsara,
Menahan hati menelan napas sampai mati tidak berbicara,
Mereka berdongak ke langit,
Memanggil Thian, Thian tidak menyahut.... Si penterjemah menjublak. Mana dia berani menyalin itu untuk junjungannya"
Khu Cie Kee tidak memperhatikan orang itu, ia membaca pula:
Oh, dunia telah dibuka, Di sana hidup ribuan juta manusia,
Di sana kejahatan bertempur tak hentinya,
Hingga hebatlah penderitaannya.
Raja Langit, Ratu Bumi, semua malaikat,
Mengapa melihat kematian tidak menolong"
Si wali berduka tak berdaya,
Sia-sia siang dan malam berduka saja.
Kwee Ceng merasakan artinya syair itu. Bukankah ia telah menghadapi peperangan
dan baru tadi menyaksikan pembasmian manusia itu"
"Syair totiang indah," berkata Jenghiz Khan, yang memasang kupingnya. "Apakah
bunyinya itu" Lekaslah salin!"
Penterjemah itu bersangsi, ingin ia membuat salinan lain, tetapi di situ ada
Kwee Ceng, ia khawatir anak muda ini nanti menjelaskannya, dengan begitu ia bisa
bersalah, maka dengan terpaksa, ia menerjemahkan juga.
Mendengar itu Jenghiz Khan tidak puas.
"Katanya di Tionggoan ada ilmu untuk hidup lama dan tak menjadi tua, tolong
totiang mengajari itu padaku," ia minta.
"Ilmu hidup lama dan tak menjadi tua, di dalam dunia ini tidak ada," menyahut
imam itu, "Hanya ada juga ilmu bersemadhi dari golong Too Kauw, ilmu itu benar-
benar dapat menolak penyakit untuk menambah umur."
"Bagaimanakah ilmu itu, totiang?" tanya khan agung itu. "Bagaimankah pokoknya?"
"Hukum Thian tidak mengenal sanak, cuma mengenal orang baik," sahut Cie Kee
singkat. "Apa itu yang dibilang baik?" Jenghiz Khan menanya pula.
"Nabi tidak mempunyai hati lain, hatinya dicurahkan cuma kepada rakyat."
Khan itu berdiam. Khu Cie Kee berkata pula: "Di Tionggoan ada sebuah kitab suci yang dinamai Too
Tek Keng yang kami kaum Too Kauw menganggapnya sebagai mustika. Demikian kata-
kataku barusan, dari kitab itu asalnya. Kitab itu pun membilang, serdadu itu
senjata tak membahayakan, itu bukan senjatanya bangsa budiman. Senjata itu
dipakai setelah sangat terpaksa. Siapa memuji senjata, dia gemar membunuh orang,
dan siapa gemar membunuh orang, dia tidak dapat mewujudkan cita-citanya di
kolong langit ini." Selama perjalanannya ke Barat ini, di sepanjang jalan itu Khu Cie Kee telah
menyaksikan akibat bencana perang, ia merasa sangat terharu, maka itu ia
menggunai ketikanya ini untuk membuka jalan, guna memohon untuk rakyat.
Jenghiz Khan meminta pengajaran panjang umur sebaliknya ia dinasehati untuk
jangan terlalu menggunai tentaranya, jangan terlalu banyak membunuh orang, kata-
kata itu tidak cocok untuknya, maka juga, ia lantas kata pada Kwee Ceng: "Pergi
kau menemani totiang beristirahat."
Kwee Ceng menurut, ia lantas mengajak imam itu mengundurkan diri. Di luar istana
ia segera disambut Oey Yong serta ketiga tianglo bersama semua anggota Kay Pang.
Mereka itu datang dengan menunggang kuda. Si nona lantas mengajukan kudanya
sambil menanya dengan tertawa: "Tidak apa-apakah?"
Kwee Ceng menyahut sambil tertawa juga: "Untung justru totiang datang!"
Oey Yong memberi hormat kepada Tiang Cun Cu, lalu kepada Kwee Ceng ia
menambahkan: "Aku khawatir khan yang agung gusar dan nanti membunuh kau, maka
kami datang ke mari untuk menolongi. Apakah katanya Jenghiz Khan" Apakah dia
menerima baik penampikan jodohmu itu?"
Ditanya begitu, Kwee Ceng berdiam. Ia ragu-ragu.
"Aku tidak melakukan penolakan," katanya akhirnya. Tidak bisa ia berdiam terus.
Oey Yong tercengang. "Kenapa?" tanyannya selang sejenak.
"Jangan gusar, Yong-jie. Sebabnya..."
Baru pemuda ini mengatakan demikian, di sana terlihat putri Gochin Baki lari
keluar drai istana, sembari lari dia memanggil-manggil keras: "Engko Ceng! Engko
Ceng!" Melihat putri itu, Oey Yong terkejut. Dengan lantas ia melompat turun dari
kudanya, untuk menyingkir ke samping. Kwee Ceng hendak memberi penjelasan kepada
kekasihnya itu atau Gochin Baki sudah lantas menarik tangannya sambil kata
dengan bernafsu: "Kau tentu tidak menyangka aku bakal datang ke mari, bukankah"
Kau telah melihat aku, kau girang atau tidak?"
Si anak muda mengangguk, terus ia menoleh ke samping, tetapi ia tidak melihat
Oey Yong..... Putri Gochin, yang hanya memikirkan Kwee Ceng, juga tidak mendapat lihat nona


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oey. Ia tetap memegangi tangan si anak muda, ia tanya ini dan itu, tidak peduli
di situ ada banyak orang lain.
Kwee Ceng mengeluh di dalam hatinya. Ia pun berpikir: "Tentulah Yong-jie
menganggap karena aku bertemu adik Gochin ini, aku menjadi tidak sudi menampik
perjodohannnya dengannya...." Karena ini apa, yang si putri bilang, ia hampir
tidak mendengarnya. Akhirnya Gochin melihat orang melengak saja, ia heran, ia tidak puas.
"Eh, kau kenapakah?" tanyanya. "Dari jauh-jauh aku datang menjenguk kau, kau
tidak memperdulikan orang!"
"Adikku, aku mengingat satu hal," berkata si anak muda. "Hendak aku melihat dulu
itu, sebentar aku kembali untuk bicara denganmu....."
Pemuda ini memesan serdadu pengiringnya, untuk melayani Khu Cie Kee, lantas ia
lari ke kemahnya. Begitu ia tiba, serdadu pengiringnya memberi laporan
kepadanya: "Nona Oey baru saja pulang, dia mengambil gambar, terus dia pergi
dari pintu kota timur."
Bab 77. Si orang aneh Bab ke-77 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Kaget pemuda itu. "Gambar apakah?" ia tanya.
"Gambar yang Huma sering pandang."
Kembali Kwee Ceng kaget. Lantas ia mendapat pikiran: "Dia membawa pergi gambar
itu, terang dia telah memutuskan segala apa denganku! Tidak bisa lain, aku mesti
menyusul dia ke Selatan!"
Dengan cepat pemuda ini menulis surat untuk Khu Cie Kee, lalu ia kabur dengan
kuda merahnya keluar dari kota.
Kuda itu kuat dan cepat larinya, tetapi Kwee Ceng masih tidak puas, ia
mencambuki, maka sebentar saja ia telah melalui beberapa puluh lie. Di sini pun
ia menyaksikan mayat orang dan bangkai kuda masih berserakan. Di tempat luas
beberapa puluh lie, salju melulu yang nampak. Ia memperhatikan tapak kaki kuda,
ia kabur ke timur. Lega sedikit hatinya. Ia berpikir: "Kudaku kuat lari tanpa
tandingan, lagi sebentar tentu aku dapat menyusul Yong-jie. Aku akan mengajak
dia menyambut ibuku, untuk bersama-sama pulang ke Selatan. Adik Gochin boleh
sesalkan aku tetapi apa boleh buat...."
Lagi belasan lie, Kwee Ceng melihat arah tapak kaki kuda menjurus ke Utara,
hanya di samping itu ada tapak kaki orang. Ia menjadi heran. Tapak kaki itu juga
luar biasa, ialah jarak di antara kaki kiri dengan kaki kanan ada kira-kira lima
kaki. Tindakan demikian lebar, tetapi tapaknya, bekas injakannya, enteng sekali
melesaknya salju hanya beberapa dim. Teranglah sudah, sebelum melesak ke dalam
salju, kaki itu sudah lantas diangkat pula.
Kapan pemuda ini ingat kepada kepandaian enteng tubuh, ia terkejut. Ia tahu,
untuk di tempat ini, kecuali Auwyang Hong, tidak ada lain orang yang mempunyai
kepandaian sedemikian lihay. Maka itu, mungkinkah See Tok telah mengejar Oey
Yong" Mengingat itu, meskipun diwaktu salju dingin begitu, tubuh si anak muda
mengeluarkan peluh. Ia kaget dan berkhawatir bukan main. Itu artinya Oey Yong
terancam bahaya! Si kuda merah seperti mengerti kekhawatiran majikannya, tanpa dikeprak lagi, ia
lari mengikuti tapak kuda dan tapak orang itu, yang terus berdampingan.
Lewat pula beberapa lie, kembali terjadi keanehan pada tapak kaki manusia itu.
Tujuannya telah berubah-ubah. Sebentar tapak itu belok ke barat, sebentar
mengkol ke selatan. Berputar-putar. Tidak ada yang tujuannya lempang. Tapi Kwee
Ceng berpikir: "Pastilah Yong-jie mengetahui Auwyang Hong mengejar padanya, dia
sengaja berjalan berputaran begini rupa. Di salju ini, tapak kaki terlihat
tegas, tentulah Auwyang Hong melihatnya dan dapat mengejar terus padanya."
Lagi-lagi belasan lie dikasih lewat. Di sini kedapatan banyak tapak kaki
manusia, yang arahnya bertentangan. Melihat itu, terpaksa Kwee Ceng lompat turun
dari kudanya, guna meneliti. Ia mendapat tahu, yang mana tapak lebih dulu, yang
mana yang belakangan, atau yang mana yang di depan, yang mana yang di belakang.
Ia pun mengawasi itu dari jauh. Tiba-tiba ia ingat: "Yong-jie bertindak menurut
ajaran kitabnya Gak Buk Bok, ia menggunai Pat Tin Touw, barisan rahasia Cukat
Liang, untuk mengacaukan arahnya Auwyang Hong, supaya See Tok jalan berputar-
putar hingga dia tidak dapat keluar dari kurungan tin ini, supaya dia pergi
serintasan lantas dia jalan kembali..."
Kwee Ceng lompat naik atas kudanya. Sekarang ini ia bergirang berbareng masgul.
Girang sebab ia percaya Auwyang Hong tidak bakal dapat mengejar terus si nona.
Dan berduka, sebab kacaunya tindakan kaki, dia juga tidak akan dapat mengikuti
jejak nona itu. Karena ini ia maju lebih jauh dengan tidak mengikuti jejak kaki
hanya garis dari barisan rahasia Pat Tin Touw itu. Lebih dulu ia menuju ke timur
selatan, lalu ke timur langsung. Tidak lama, ia melihat pula tapak kaki. Lalu ia
pun melihat, di kejauhan, di antara salju dan langit, yang seperti menempel, ada
petaan seperti bayangan manusia. Ia lantas mengaburkan kudanya, guna menyusul
orang itu. Lanntas Kwee Ceng mengenali Auwyang Hong, siapa pun telah melihat kepadanya,
bahkan dia segera memanggil-manggil: "Lekas-lekas! Nona Oey terjeblos di dalam
embal!" Ia kaget sekali, ia kaburkan kudanya. Ketika lagi beberapa puluh tombak
akan mendekati See Tok, ia merasakan kaki kudanya menginjak bukan tanah keras
hanya embal yang ketutupan salju. Kuda merah juga merasa yang dia menginjak
sesuatu yang empek, dia mempercepat tindakannya.
Sekarang, setelah datang lebih dekat ke Auwyang Hong, Kwee Ceng melihat kelakuan
orang yang luar biasa. See Tok lagi berjalan mengitari sebuah pohon kecil, cepat
tindakannya, dia tidak mau berhenti sejenak juga.
"Apakah dia bikin?" tanya anak muda ini kepada dirinya sendiri. Ia menahan
kudanya, niatnya hendak menanya di Bisa dari Barat itu, atau mendadak kudanya
itu lari terus, lalu kembali. Sekarang ia baru mengerti. Kudanya itu berada di
embal, kalau dia berdiam, dia dapat terpendam, kakinya bakal melesak masuk ke
dalam lumpur. Ia pun menjadi kaget. Sekelebatan otaknya berpikir; "Apakah Yong-
jie kejeblos di dalam embal ini?" Lantas dia menanya: "Mana nona Oey?"
Auwyang Hong berlari-lari terus, tapi ia menyahuti: "Aku mengikuti tapak kudanya
dan tapak kakinya sendiri, sampai di sini, dia lenyp! Kau lihat!" Ia menunjuk ke
arah pohon. Kwee Ceng melarikan kudanya lewat, ia memandang ke atas pohon yang ditunjuk. Ia melihat tergantungnya gelang rambut dari emas. Tepat selagi lewat di
bawahan pohon, ia menyambar itu. Ia mengenali baik gelang rambutnya Oey Yong
itu. Karena ini ia memutar kudanya, untuk menuju ke timur. Baru lari kira satu
lie, ia melihat suatu benda berkilau di atas salju. Tanpa turun dari kudanya,
hanya sambil membungkuk dalam, ia menjumput itu selagi kudanya lewat. Sekarang
ia mengenali bunga mutiara yang di nona biasa pakai. Hatinya menjadi tidak
karuan rasanya, saking bingungnya.
"Yong-jie, Yong-jie!" ia memanggil-manggil. "Yong-jie, kau di mana?"
Tidak ada jawaban sama sekali.
Memandang jauh ke depannya, Kwee Ceng melihat segala apa putih, tidak ada
setitik juga yang hitam yang bergerak-gerak. Ia berkhawatir, ia penasaran. Ia
lari terus lagi beberapa lie. Kali ini di sebelah kirinya, ia melihat sepotong
baju bulu - ialah baju bulu si nona. Kembali ia kaget. Baju itu dipandang sangat
berharga oleh Oey Yong dan biasanya tidak pernah terpisah darinya, sekarang baju
itu berada di tengah jalan! Bukankah itu alamat dari bencana"
Kwee Ceng menyuruh kudanya lari mengitari baju itu, ia berseru; "Yong-jie!"
Di situ tidak ada gunung atau lembah, suara keras itu tidak mendatangkan
kumandang. Hampir anak muda itu menangis. Selagi ia tidak berdaya, Auwyang Hong
datang menyusul. "Mari kasih aku mengasoh di atas kuda," kata See Tok. "Mari kita sama-sama
mencari nona Oey......."
Tapi Kwee Ceng gusar, ia membentak: "Kalau bukannya kau yang mengejar-ejar, mana
bisa dia lari ke daerah embal ini"!" Ia menjepit perut kudanya, hingga kuda
merah itu berlompat. Auwyang Hong menjadi gusar sekali, dia berlompat, baru tiga kali, dia sudah
datang dekat, tangannya menyambar ekor kuda.
Kwee Ceng kaget. Ia tidak menduga orang demikian gesit. Segera ia menyabet ke
belakang dengan jurusnya "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekor".
Kedua tangan beradu dengan keras. Kebetulan mereka sama-sama menggunai tenaga
penuh. Tubuh Kwee Ceng terpental, hingga ia mencelat dari atas kudanya. Syukur
kudanya maju terus. Dengan tangan kirinya ia menjambret pelalan kuda, ia
menarik, maka sedetik kemudian, ia sudah mencokol pula di punggung kudanya itu.
Auwyang Hong sebaliknya mundur dua tindak, karena tolakan Kwee Ceng keras dan
dia mesti memasang kuda-kuda, guna mempertahankan diri, kakinya melesak di
emabl. Ialah kaki kirinya masuk ke lumpur sebatas dengkul, hingga ia kaget tidak
terkira. Dia tahu betul, asal dia menggunai tenaga, dia bakal melesak semakin
dalam, kaki kanannya akan melesak juga. Karena ini dengan cepat ia merebahkan
tubuhnya, kaki kanannya menendang ke udara. Berbareng dengan itu, dia mengangkat
kaki kirinya, untuk dipakai menendang. Maka itu, dengan lumpur berkecipratan,
kaki kirinya itu bebas dari dalam lumpur. Setelah itu ia berlompat bangun.
"Yong-jie! Yong-jie!" Ia mendengar Kwee Ceng memanggil-manggil pula. Lantas ia
melihat pemuda itu bersama kudanya, sudah meninggalkan dia pergi lebih dari satu
lie jauhnya. Dia menduga orang sudah keluar dari daerah embal melihat larinya
kuda yang mantap sekali. Dia mendongkol dan menyesal. Terpaksa dia lari
mengikuti jejak kuda merah itu. Hanya, untuk kagetnya dia merasakan kakinya
menginjak dasar yang semakin lunak. Rupanya, dia bukan mendekati tepian hanya
berada semakin tengah di embal itu. Dalam khawatir dan menyesal itu, dia jadi
membenci si anak muda, yang berulangkali membuatnya malu, apa pula yang paling
belakang ini, dia mesti bertelanjang dengan ditonton puluhan ribu serdadu.
Lantas dengan ilmunya enteng tubuh yang paling mahir, dia berlari untuk mengejar
anak muda itu. Kwee Ceng tengah melarikan kudanya tatkala ia menoleh ke belakang. Tahu-tahu
Auwyang Hong sudah berada dekat beberapa tombak. Ia lantas menggeprak kudanya,
hingga kuda itu terkejut dan berlompat lari. Hingga kuda dan orang menjadi
kejar-kejaran. "Yong-jie!" si anak muda terus memanggil-manggil.
Sementara itu belasan lie telah dilalui.
Kwee Ceng bergelisah ketika ia melihat cuaca mulai gelap. Di waktu hari terang,
Oey Yong susah dicari, apapula setelah datang sang malam. Syukur untuknya,
kudanya itu lihay sekali, mendapat tahu dia menginjak salju yang longgar dia
lari semakin keras, hingga mirip terbang.
Auwyang Hong mengejar terus tetap dia ketinggalan semakin jauh. Dia menjadi
letih, larinya menjadi kendor. Tapi juga si kuda merah cape, keringatnya
membasahi seluruh tubuhnya, bulunya menjadi mengkilap dan cahaya merahnya
menjadi bertambah marong, nampak tegas di antara warna putih dari salju di
sekitarnya, mirip dengan sekuntum bunga cherri
Akhir-akhirnya ketika langit telah menjadi gelap, kuda merah pun sudah keluar
dari daerah embal yang luas itu. Auwyang Hong telah ketinggalan jauh entah di
mana. Hanya, meski ia bebas dari See Tok, Kwee Ceng tidak bebas dari
kekhawatiran atas nasibnya Oey Yong. Di mana adanya si nona" Dia kependamkah di
embel" Kalau benar, mana ada pertolongan lagi"
Anak muda ini mencoba menguasai dirinya. Ia turun dari kudanya, untuk
beristirahat, guna menentramkan hati, agar dia bisa menggunai pikirannya. Ia
mengusap-usap punggung kudanya, katanya: "Kudaku yang baik, hari ini kau jangan
takuti kesengsaraan, sebentar kau maju pula lagi sekali, ya...!"
Tidak lama ia beristirahat, ia melompat pula ke punggung kudanya. Tali les
ditarik membikin kuda itu berbalik ke embel, mencari Oey Yong di daerah lumpur
itu. Kuda itu agaknya jerih, setelah dipaksa, baru dia lari. Keras larinya.
Sekonyong-konyong Kwee Ceng mendengar jeritan Auwyang Hong: "Tolong! Tolong!"
See Tok menjerit berulang-ulang. Dia ternyata terbelesak di dalam embel, sampai
sebatas dada, kedua tangannya diangkat tinggi ke atas, digerak-geraki seperti
lagi menjambret sesuatu. Kalau tubuhnya masuk terus ke dalam lumpur itu, sampai
di mulutnya, melewati hidungnya, maka akan habislah dia.......
Kwee Ceng hampir lompat turun dari kudanya menyaksikan bahaya yang mengancam See
Tok itu. Ia membayangkan, jangan-jangan Oey Yong pun telah mendapat nasib
serupa. "Tolong!" Auwyang Hong berteriak pula. "Lekas!"
"Kau telah membunuh guruku! Kau pun mencelakai nona Oey!" Kwee Ceng berseru
menggertak gigi. "Kau ingin aku menolongmu" Jangan harap!"
"Ingatlah janji kita!" kata Auwyang Hong. "Tiga kali kau mesti memberi ampun
padaku! Dan inilah yang ketiga kalinya! Apakah kau tidak mau memegang
kepercayaanmu?" Kwee Ceng mengucurkan air mata.
"Nona Oey sudah tidak ada di dalam dunia, apakah gunanya perjanjian kita itu?"
katanya berduka. Auwyang Hong menjadi semakin mendongkol, ia mencaci kalang kabutan.
Kwee Ceng tidak memperdulikan, ia larikan kudanya. Baru belasan tombak, mendadak
ia mendengar jeritan yang menyayatkan hati, lantas harinya lemah. Ia menghela
napas. Terpaksa ia memutar balik kudanya. Ia melihat See Tok sudah melesak
sebatas lehernya. "Suka aku menolong kau," katanya pada jago dari See Hek itu. "Hanya kudaku ini,
aku khawatir dia pun akan kebelesak di embal..."
"Kau menggunai tambang untuk menarik aku," Auwyang Hong mengasih pikiran.
Kwee Ceng tidak membekal tambang tetapi dia mengingat baju panjangnya, maka ia
meloloskan baju itu, dengan memegang keras satu ujungnya, ia melemparkan itu.
Auwyang Hong menjambret dengan tangannya. Begitu dia dapat memegang, kuda merah
dikasih lari keras, maka dia lantas kena tertarik dari embal, terus dia pun
diseret lari kuda itu ke arah timur. Belum lama, tibalah dia ditempat yang
selamat. Kwee Ceng mau mencari Oey Yong, pikirannya selalu berada pada si nona, dari itu
ia kabur terus bersama kudanya itu, hingga See Tok juga turut terbawa-bawa. Maka
itu, dia memasang diri telentang, dia membiarkan tubuhnya di bawa kabur di atas
salju itu. Ketika ini dipakai dia untuk meluruskan napasnya.
Selama apa yang terjadi itu, sang tempo lewat dengan cepat.
Kwee Ceng telah melintasi pula wilayah embal. Ia mendapatkan lagi tapak kuda dan
tapak orang. Itulah tempat darimana Oey Yong datang, hanya sekarang, si nona
tetap tidak ada. Ia lompat turun dari kudanya, ia bengong mengawasi tapak kaki
itu....... Dalam keadaan berduka dan berkhawatir itu, Kwee Ceng lupa pada musuhnya. Ia
berdiri diam dengan tangan kiri memegang les kuda dan tangan kanan mencekal baju
bulunya Oey Yong. Setelah mengawasi tapak kaki, terus ia memandang jauh ke
depan. Ia baru terkejut ketika ia merasa benturan perlahan pada pundaknya.
Hendak ia memutar tubuhnya, atau tahu-tahu tangan Auwyang Hong telah mengancam
intay-hiat, jalan darah di punggung nya, hingga ia tidak berdaya lagi. Inilah
cara ketika ia pun memcekuk si bisa bangkotan ketika dia baru keluar dari liang
perangkap. Auwyang Hong mengasih dengar tertawanya yang dingin.
"Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah!" kata si anak muda, yang hatinya
sudah tawar. "Kita memang tidak membuat perjanjian yang aku menghendaki diberi
ampun olehmu!" See Tok melengak. Dia memang berniat menyiksa pemuda ini, untuk menghina
padanya, habia mana dia hendak mengambil jiwa orang. Di luar dugaannya, si
pemuda justru meminta kematiannya.
"Si tolol ini sangat mencintai itu budak celaka, kalau aku binasakan dia maka
tercapailah cita-citanya mencari kematian," ia berpikir. "Karena budak celaka
itu sudah mampus, tentang artinya kitab Kiu Im Cin-keng sekarang aku bergnatung
hanya kepada dia ini.........."
Karena ini, dia lantas mengangkat tubuh si anak muda, buat dibawa naik ke atas
kuda, lalu kuda itu ia kasih lari ke selatan, di mana ada sebuah lembah.
Selagi melewati sebuah kampung, Auwyang Hong masuk ke situ. Ia berniat singgah.
Di situ berserakan banyak mayat. Hawa udara yang sangat dingin tidak membikin
mayat-mayat itu rusak, bahkan segala apa juga tidak berubah, maka semua mayat
itu terlihat tegas seperti waktu baru matinya - dipandangnya menggiriskan, sebab
semua tubuhnya tidak sempurna lagi. Mereka semua korban kekejaman tentara
Mongolia. Beberapa kali Auwyang Hong memanggil, ia tidak mendengar penyahutan dari orang
kampung, yanga ada hanya suaranya beberapa puluh ekor kerbau dan kambing yang
seperti saling sahutan. Mengerahui adanya binatang itu, dia senang juga. Ia bawa
Kwee Ceng ke dalam sebuah rumah batu. Ia kata: "Kau sekarang tertawan olehku,
tidak ada niatku membunuh kau, umpama kata kau dapat melawan aku, kau merdeka
untuk pergi." Kemudian dia memangkap seekor kambing, untuk disembelih dan dijadikan penangsal
perutnya yang kosong. Kwee Ceng mendelu melihat sikapnya orang yang sangat bangga akan dirinya sendiri
itu. See Tok sangat puas dengan kemenangannya itu. Dari mendelu, ia menjadi
gusar sekali. Kemudian Auwyang Hong melemparkan sepotong paha kambing.
"Kau dahar biar kenyang, sebentar kita bertempur," katanya, mengejek.
"Kalau kau mau bertempur, marilah!" Kwee Ceng menjawab gusar. "Buat apa menanti
sampi sudah gegares kenyang!" Ia lantas berlompat maju dan menyerang!


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

See Tok menekuk kedua kakinya, untuk menongkrong, dari mulutnya keluar dua kali
suara kerak-kerok. Ia telah lantas menggunai ilmu silat Kodoknya, dengan apa dia
lantas membalas menyerang. Maka itu, di situ mereka lantas bertarung.
Setelah bertempur lebih dari seratus jurus, Kwee Ceng terdesak. Ia masih kalah
dalam hal tenaga dalam. Begitu ia dirangsak satu tindak dan kempungannya
ditinju. Ia kaget dan tidak berdaya, maka ia menanti kebinasaannya.
Auwyang Hong tidak meneruskan hajarannya itu, dia hanya tertawa.
"Hari ini sampai di sini saja!" dia berkata, "Pergi kau melatih ilmu silatmu
dari kitab Kiu Im Cin-keng, besok aku nanti melayani pula padamu!"
"Fui!" menghina si anak muda, yang lantas pergi duduk dibangku. Ia menjumput
paha kambing, untuk dimakan. Sembari makan, ia berpikir: "Dia hendak mempelajari
ilmu silat dari kitab itu, kalau aku berlatih, dia akan menontonnya. Tidak, aku
tidak boleh kena diakali! Ah, ya, tadi serangannya ke kempunganku itu, bagaimana
harus aku menangkis atau mengelakkannya?"
Ia lantas berpikir. Ia ingat, belum pernah ia mempelajari sesuatu jurus ynag
dapat memecahkan serangan lawan itu. Ada juga di dalam kitab, bagian "Hui Sie
Keng", ialah ilmu "Kapas Terbang". Ilmu itu, kalau dapat diyakinkan, akan
membikin tenaga di kempungan bisa mengindarkan serangan.
"Biar aku mempelajarinya di dalam hati, dia hendak menelan juga tidak dia
mampu," pikirnya pula. Maka lekas-lekas ia menghabisi daging kambingnya, terus
ia duduk bersila, untuk belajar sambil bersemadhi. Dengan begitu, dia bisa
memusatkan pikirannya. Ia menghapal bunyinya kitab. Setelah mengerti "It, kin
toan kut pian", ia sudah mendapati pokoknya ilmu silat, dan sesudah mendapatkan
pengajaran dari It Teng Taysu, ia telah memperoleh kemajuan terlebih jauh, maka
itu, tidaklah sukar untuk ia menyakinkan "Hui Sie Keng". Belum dua jam, dia
sudah berhasil. Ia lantas melirik kepada Auwyang Hong, yang juga lagi
bersemadhi. "Awas!" ia berseru. Ia bangun, lantas ia melompat menerjang, sebelah tangannya
melayang. Auwyang Hong telah siap sedia. Ia menangkis. Tadi dia berhasil dengan tinju di
kempungan, maka selang tidak lama, setelah melihat lowongan itu, ia mengulangi
serangannya itu. Hanya sekarang ia menjadi heran. Tinjunya itu melejit lewat,
tinju itu seperti mengenai sesuatu yang licin, hingga tubuhnya sendiri sedikit
terjerunuk ke depan. Justru itu, tangan kiri Kwee Ceng terbang ke lehernya.
"Bagus!" pikinya. Ia kaget dan girang. Ia menjerunuki tubuhnya terus ke depan,
dengan begitu ia bebas dari serangan si anak muda. Setelah itu ia membalik diri,
akan berkata: "Bagus ilmumu ini! Adakah ini dari dalam kitab" Apakah namanya?"
"Seecat iet-wi, ayboat kek-ji," sahut Kwee Ceng.
See Tek melengak. Ia tidak mengerti. Tapi segera ia ingat akan penyebutan lafal
bahasa Sansekerta. Maka ia pikir: "Baiklah aku melayani dia dengan akal". Karena
ini, ia lantas melayani lebih jauh pemuda itu.
Semenjak itu, sebulan lebih keduanya berdiam di rumah batu itu. Kalau yang satu
ingin mencangkok ilmu silat dari Kiu Im Cin-keng, yang lain hendak menuntut
balas. Saban-saban Kwee Ceng kena dibikin tidak berdaya, selama ia tidak dihajar
atau dibinasakan, maka terus saban-saban ia menyakinkan secara baru, untuk
menandingi setiap pukulan dahsyat dari See Tok. Selama itu, terus mereka hadar
daging kambing, sampai binatang itu hampir habis.
Lama-lama Kwee Ceng sendiri mendapatkan kemajuan yang tentu, Auwyang Hong
sebaliknya cuma dapat berlatih, tidak dapat dia ilmu dari Kiu Im Cin-keng yang
diharap-harap itu. Dia malah menjadi bingung. Apa yang dia lihat dari Kwee Ceng
ini, tidak cocok sama bunyinya kitab yang dia suruh pemuda ini menuliskan
untuknya selama mereka berdiam di dalam perahu dulu hari itu. Karena ini, lama-
lama jago dari See Hek ini berkhawatir juga. Dia pikir, "Secara begini, selagi
aku sendiri tidak mendapatkan artinya kitab, bisa-bisa aku akan menjadi bukan
tandingan dia....." Dia menjadi jeri sendirinya.
Selama beberapa hari ini, dengan cara berlatihnya itu di otak, Kwee Ceng mulai
mempelajari ilmu silat bersenjata. Ia menggunai pedang pendeknya membuat pedang
kayu. Dengan itu ia melayani tongkat ular dari See Tok.
Sekarang Auwyang Hong memakai tongkat kayu tanpa dibantu ularnya yang istimewa.
Ketika dulu dia bertempur Ang Cit Kong, tongkatnya terlempar lenyap di laut.
Kemudian dia membikin tongkat baja, dia melilitkan ularnya di ujung tombak,
tetapi tongkat ini lenyap di kurungan es selama dia digencet es oleh Lao Yoe
Kiak. Meski hanya tongkat kayu dan tanpa ularnya, ilmu silatnya itu tidak
berubah, dari itu, tongkatnya ini tetap lihay. Beberapa kali pedang kayu si anak
muda kena dibikin mental. Coba tongkat itu ada ularnya, pasti lihaynya
bertambah. Selama itu, kuping mereka mendengar suara terompet, kuda dan tentara, dari
tentara Jenghiz Khan yang berangkat kembali ke timur, yang mana berjalan
beberapa hari lamanya. Semua itu tidak dihiraukan dua orang yang lagi bertarung
itu. Adalah pada suatu malam, ketika pasukan Mongolia itu sudah pergi semua,
baru mereka merasakan kesunyian.
"Malam ini tetap aku tidak bakal dapat mengalahkan kau tetapi juga tongkatmu
tidak akan dapat berbuat banyak atas pedangku," kata Kwee Ceng di dalam hatinya
selagi dia berdiri siap, dengan pedang ditangannya. Ia baru dapat memikir satu
jurus yang baru yang hendak mencobanya, untuk mana ia menanti lawannya menyerang
lebih dulu. Mereka belum mulai bertempur tatkala mendadak mereka mendengar
bentakan dari atas genting: "Jahanam, kau hendak lari ke mana"!"
Itulah suaranya Ciu Pek Thong.
Dua-dua Kwee Ceng dan Auwyang Hong terbengong. Sama-sama mereka berpikir:
"Kenapa dia datang begitu jauh ke Barat ini?" Mereka baru mau membuka mulut atau
mereka medengar tindakan kaki, dari dua orang, ynag satu di depan, yang lain di
belakang, datang mendekati rumah batu ini. Inilah mungkin disebabkan, selagi
lain-lain rumah kosong, di sini tampak cahaya api.
Dengan sebat See Tok mengebut dan apinya padam. Justru itu daun pintu tertolak
hingga bersuara dan seorang lari masuk.
Didengar dari tindakan kakinya yang enteng, orang yang dikejar Pek Thong itu tak
kalah ilmu enteng tubuh dari Loo Boan Tong. Maka heranlah See Tok hingga ia
berkata di dalam hatinya: "Dia dapat lari puluhan ribu lie tanpa terbekuk Loo
Boan Tong, dia lihay. Orang dengan kepandaian seperti dia, sekarang ini tinggal
Oey Yok Su dan Ang Cit Kong. Inilah hebat untukku si bisa bangkotan......"
Di dalam gelap itu terdengar suara orang berlompat naik ke penglari, di mana dia
terus berduduk, terus terdengar tertawanya Ciu Pek Thong, yang berkata: "Kau
main petak dengan Loo Boan Tong, aku senang sekali! Sekarang jangan kau molos
pula!" Setelah itu terdengar si tukang guyon itu menutup pintu dan mengangkat sebuah
batu besar guna dipakai menunjang belakang pintu, sesudah mana ia berkata: "Eh,
bangsat, kau berada di mana?" Dia pun bertindak dengan tangannya meraba-raba,
seperti lagi mencari sesuatu.
Kwee Ceng yang telah lama berdiam di tempat gelap, dapat melihat samar-samar
lagaknya kakak angkat itu, hendak ia menunjuki bahwa orang berada di atas
penglari, akan tetapi sebelum ia keburu membuka mulutnya, mendadak Ciu Pek Thong
berlompat sambil tertawa, dia menyambar kepada orang yang lagi bersembunyi itu.
Rupanya dia telah ketahui di mana orang berdiam dan berlagak mencari, untuk
bersiap berlompat naik. Orang yang dipanggail jahanam itu benar lihay. Tidak menanti sampai ia kena
dicekuk, ia mendahului menyingkir dengan lompat jumpalitan turun, hingga sesaat
kemudian dia sudah berjongkok di pojok rumah.
Pek Thong agaknya jeri juga terhadap si jahanam itu, ia berlaku sangat hati-
hati. Sebelum mencari, ia memasang dulu kuping dan matanya. Maka itu sebagai
orang lihay, ia lantas mendapat ketahui, kecuali dia sendiri, di situ ada suara
bernapas dari tiga orang. Ia heran kenapa orang berdiam saja. Mungkin orang
kaget dan takut" Ketika tadi ia mendatangi rumah batu ini, ia juga menduga mesti
ada penghuninya dan itu dibuktikan sama padamnya api serta sekarang sama suara
bernapas. Akhirnya ia berkata: "Tuan rumah, jangan takut! Aku datang ke mari
untuk membekuk satu maling cilik, setelah dia kena dibekuk, akan aku lantas
berlalu dari sini." Habis berkata, Loo Boan Tong memasang kupingnya. Ia lantas mendengar suara napas
yang semakin perlahan. Ia mendapat tahu, suara bernapas itu datangnya dari tiga
penjuru, timur, barat dan selatan. Ia terkejut tetapi ia segera berseru: "Hm,
jahanam, kiranya di sini kau menyembunyikan kawanmu!"
Ia tidak mendengar jawaban.
Kwee Ceng juga berdiam saja. Ia tahu, dengan Ciu Pek Thong menghadapai lawan
tangguh, Pek Thong tentu tidak bisa membantu padanya. Ia pikir baiklah ia
menanti ketikanya. Habis mementang mulut, Pek Thong bertindak perlahan ke pintu, dari mulutnya
keluar ocehan: "Jangan-jangan Loo Boan Tong tidak bakal berhasil membekuk orang
dan sebaliknya ialah yang nanti kena dicekuk.........!" Ia bertindak terus.
Itu waktu dari kejauhan terdengar suara seruan ramai dibarengi sama tindakan
kaki kuda yang riuh, rupanya itu dari satu pasukan tentara yang besar. Suara itu
mendatangi ke arah rumah batu.
Mendadak terdengar suaranya Ciu Pek Thong: "Bantuanmu makin lama makin banyak,
nah, sudahlah, Loo Boan Tong minta maaf saja, tidak dapat dia menemani kau lebih
lama lagi!" Dia lantas memegang batu besar penunjang pintu, agaknya dia hendak
menyingkirkannya guna membuka pintu, guna mengangkat kaki. Akan tetapi, setelah
batu itu terangkat kedua tangannya, mendadak ia melemparkannya ke arah tempat
sembunyinya orang yang dia kejar-kejar itu. Pintu itu menghadap ke selatan dan
orang itu jadinya berada di utara.
Auwyang Hong dapat mendengar segala apa. Ia berpikir: "Dia menyerang, dengan
begitu bagian kanannya menjadi tidak terlindung, baiklah aku hajar padanya,
kalau dia sudah mampus, maka berkuranglah bencana untukku di belakang hari, dan
kalau nanti terjadi rapat yang kedua di Hoa San, musuhku juga lenyap satu...."
Begitu berpikir, begitu ia menongkrong, sebelah tangannya diajukan. Ia menyerang
dengan Kap Moa Kang, ilmu Kodoknya. Dia berada di barat, dari barat dia
menyerang ke timur. Kwee Ceng sementara itu tidak berdiam saja. Ia memasang matanya ke segala
penjuru, terutama terhadap See Tok. Seperti si Bisa dari Barat, dia juga sudah
biasa dengan tempat gelap itu. Demikian ia melihat sepak terjangnya Auwyang
Hong. Bokongan itu berbahaya untuk Pek Thong. Tidak ayal lagi, dengan jurus
"Hang Liong yu hui", ia menyerang ke arah manusia licik itu.
Di pihak orang yang dikejar-kejar Pek Thong itu, dia pun tidak berpeluk tangan,
ketika dia mendapat tahu datangnya serangan, dia memasang kuda-kudanya, terus
kedua tangannya dipakai menyambut sambil menolak pergi batu besar itu. Karena
ini dengan berbareng empat orang sama-sama mengeluarkan tenaganya.
Dengan suara nyaring, batu besar itu jatuh ke tengah-tengah rungan. Di situ ada
sebuah meja, maka ringselah meja itu, suaranya berisik menulikan telinga.
Mendengar itu, Kwee Ceng girang, dia tertawa. Sebenarnya dia tertawa nyaring
sekali tetapi suaranya lenyap di antara seruan riuh pasukan tentara yang
mendatangi itu, yang sudah mulai memasuki dusun.
Sekarang ini Kwee Ceng dapat mendengar lebih nyata. Itulah dua buah pasukan yang
lagi bertempur. Rupanya tadi orang main kejar-kejaran. Itu pula pasukan
Khoresmia, yang kalah perang, yang kabur sambil dikejar tentara Mongolia.
Mungkin tentara Shah Muhammad itu hendak mempertahankan diri di dusun ini atau
mereka telah kecandak. Demikian, suara anak panah pun terdengar swang-swing, tak
hentinya, disusul sama bentrokan pelbagai senjata lainnya.
Mendadak Pek Thong mendapatkan ada orang menerobos masuk. Ia menyambar, ia
mencekuk orang itu, terus ia melemparkannya keluar. Habis itu ia mengangkat
batu, guna dipakai mengganjal pula pintu itu, yang ia telah lantas menutup rapat
pula. Sampai di situ Auwyang Hong, yang gagal dengan bokongannya karena dirintangi
Kwee Ceng, mengasih dengar suaranya. Rupanya ia menyangka yang ia telah
dipergoki. Ia kata: "Loo Boan Tong, tahukah kau aku siapa?"
Pek Thong tidak segera mengenali suara orang, sebaliknya dengar sebelah
tangannya menjaga diri, dengan tangan yang lain, ia menyerang ke arah darimana
suara datang. Ia lantas mendapat perlawanan. Mulanya tangannya ditangkis untuk
ditangkap, terus ia diserang. Ia kaget sekali ketika ia menangkis.
"Ha, bisa bangkotan, kau di sini?" tanyanya heran. Untuk memperbaiki diri, ia
menggeser tubuh ke kiri. Justru itu, orang yang bersembunyi di utara itu,
mendadak menghajar ke punggungnya. Ia lihay, sambil tangan kanannya menyerang
See Tok, dengan tangan kirinya ia menangkis ke belakang. Ia menganggap inilah
ketikanya yang baik akan mencoba ilmu silat yang ia ciptakan di Tho Hoa To,
ialah ilmu kedua tanganya berkelahi masing-masing, yang tadinya ia belum peroleh
kesempatan akan mengujinya. Akan tetapi tangkisannya ke belakang ini telah
ditalangi Kwee Ceng. Si anak muda berlompat maju, tangan kanannya menangkis
tangan kakak angkat itu, tangan kirinya menangkis serangan si lawan yang belum
dikenal itu. Berbareng sama bentrokan tangan ketiga orang itu, dua seruan terdengar
berbareng. "Saudara Kwee!" demikian suaranya Loo Boan Tong, si tua tukang berguyon.
"Kiu Cian Jin!" berteriak Kwee Ceng.
Sudah tentu suara itu membuat Auwyang Hong heran, karena di sini ia mendapat
bertemu sama Loo Boan Tong serta ketua Tiat Ciang Pang itu.
Ketika terjadi pertandingan di Yang Ie Lauw itu, lantaran takut ular berbisa,
PekThong telah menyembunyikan dirinya di wuwungan lauwteng, dengan begitu, ia
bebas dari panah tentara negeri dan selamat juga dari pagutan ular. Ia berdiam
terus di situ sampai kabut buyar dan orang semua bubaran. Habis itu, ia
berkeliaran saja. Lewat beberapa bulan, ia bertemu dengan seorang anggota Kay
Pang, yang memberikan sepucuk surat kepadanya. Itulah suratnya Oey Yong, yang
menagih janji padanya. Ia pernah menjanjikan si nona, apa saja yang dia minta,
ia tidak bakal tolak. Sekarang Oey Yong minta ia pergi membinasakan Kiu Cian
Jin. Si nona menulis juga, kalau "tugas" ini rampung, maka Lauw Kui-hui atau Eng
Kouw, tidak bakal mencari pula padanya. Ia menerima baik permintaan si nona. Ia
pikir, Kiu Cian Jin toh jahat dan sudah bersekongkol sama bangsa Kim, sebagai
pengkhianat, pantas dia dibinasakan. Maka seorang diri ia pergi ke Tiat Ciang
Hong. Mulanya mereka berimbang, sesudah Pek Thong menggunai kedua tangannya
menuruti caranya masing-masing, Kiu Cian Jin keteter, dia kabur, dia lantas
dikejar terus-terusan. Sebetulnya Kiu Cian Jin heran, kenapa Pek Thong
memusuhkannya, pernah ia meminta keterangan, tapi Pek Thong tidak dapat
memberikannya. Begitu mereka berkejar-kejaran, sebentar kecandak dan bertempur,
sebentar Cian Jin lari pula. Sampai akhirnya tibalah mereka di rumah batu itu,
dimana justru berada Auwyang Hong dan Kwee Ceng. Kiu Cian Jin lari ke Barat ini
mengharapkan Loo Boan Tong tidak kuat menahan hawa dingin, sedang Pek Thong,
norek ia cuma tahu mengejar tak hentinya.
Sampai di situ, Kwee Ceng dan Ciu Pek Thong masing-masing mengetahui baik, siapa
itu dua orang yang berada bersama mereka di dalam rumah batu itu. Auwyang Hong
juga mengetahui mereka itu bertiga dan bahwa Kiu Cian Jin musuhnya Pek Thong.
Sebaliknya Kiu Cian Jin itu cuma mengenali Pek Thong dan Auwyang Hong, ia masih
ragu-ragu untuk Kwee Ceng.
Kiu Cian In, Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong adalah orang-orang yang lihay,
sebanding kepandaiannya, tetapi juga Kwee Ceng, setelah melayani See Tok sekian
lama, pesat kemajuannya, hingga ia jadi berimbang sama mereka itu. Hanya
sekarang mereka itu merasakan rintangan dari ruang yang gelap dan suara yang
sangat berisik di luar. Kwee Ceng bebal tetapi sekarang ia dapat berpikir. "Baik aku merintangi See Tok
biar Ciu Toako membinasakan Kiu Cian Jin, kemudian berdua baru kita mengepung di
Bisa dari Barat ini." Ia lantas mengambil keputusannya. Ia juga bisa berkelahi
dengan kedua tangannya seperti Pek Thong, maka sekarang ia menggunai ilmu
silatnya yang istimewa itu. Dengan tangan kanan ia menyerang ke dada, dengan
tangan kiri menyambut satu serangan. Tapi ketika tangannya bentrok, ia terkejut.
Ia mengenali ia bentrok sama tangannya Pek Thong! Ia lantas lompat, ingin ia
menarik tangan toako itu. Mendadak Pek Thong bergerak mendahului ia, tangan
kirinya ditarik pulang, tangan kanannya menyerang. Inilah ia tidak sangka, maka
tahu-tahu ia terhajar pundaknya. Ia merasa sakit dan kaget sekali.
"Ah, saudara yang baik, kau hendak menguji aku?" kata Pek Thong. "Hati-hatilah!"
Dan ia menyerang pula dengan tangan kirinya.
Sekarang ini Kwee Ceng telah bersedia, ia berhasil menangkis.
Selagi Pek Thong dan Kwee Ceng bertempur, Auwyang Hong juga bergebrak dengan Kiu
Cian Jin. Cian Jin lantas berpikir: "Kita tidak bermusuh satu sama lain tetapi
di Hoa San nanti, kita bakal bentrok, maka kalau sekarang aku dapat menghajar
dia, pasti itulah baik." Maka itu ia menyerang dengan hebat. Hanya baru beberapa
jurus, dua-dua ia dan See Tok mendapat pikiran yang serupa. Itulah disebabkan
mereka mendapat kenyataan Pek Thong bertempur sama Kwee Ceng. Mereka berpikir:
"Pek Thong ini tidak karuan lagaknya, kenapa sekarang aku tidak mau memberi rasa
padanya?" Maka itu, keduanya lantas menanti ketika yang baik.
Setelah belasan jurus, Pek Thong mendapat tahu kemajuan Kwee Ceng. Ia girang
sekali, ia heran juga. Ia tanya: "Eh, saudara yang baik, darimana kau peroleh
kepandaianmu?" Suara di luar berisik sekali, Kwee Ceng tidak mendengar, ia tidak menjawab.
Pek Thong menjadi gusar. ia tidak ingat suara berisik di depan itu.
"Baik!" katanya. "Kau tidak mau memberitahukan aku! Kau main gila, ya!"
Justru itu datang serangan berbareng dari Kiu Cian Jin dan Auwyang Hong, ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas lompat berkelit, terus ia kata kepada si anak muda. "Baiklah, aku
membiarkan kau sendiri melawan mereka!" Benar-benar ia tidak melawan kedua
penyerangnya. Ia digantikan Kwee Ceng, yang hendak membela padanya.
Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, yang mendapat tahu Ciu Pek Thong mundur, lantas
menyerang Kwee Ceng. Anak muda ini menjadi bingung. Tadi ia heran atas serangan Pek Thong. Sekarang
ia menghadapai dua musuh tangguh. Satu Auwyang Hong saja sudah hebat. Tapi ia
terpaksa mesti berkelahi. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Sesudah bertempur sekian lama, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin menjadi heran.
Menurut mereka, siapa saja di antara mereka berdua, pasti akan dapat mengalahkan
Kwee Ceng, siapa tahu sekarang, mereka menampak kesulitan. Ke mana mereka
menyerang, si anak muda selalu dapat melayani. Akhir-akhirnya mereka menjadi
kewalahan. Ciu Pek Thong beristirahat di atas penglari. Ia tahu berapa lama sudah Kwee Ceng
telah menempur dua musuh yang tangguh itu. Ia pikir, ia perlu lekas turun
tangan, untuk membantu, kalau tidak adik angkatnya itu bisa susah. Lantas ia
turun dengna diam-diam, ia bertindak mengindap-indap ke belakang Auwyang Hong.
Di dalam gelap itu, ia sengaja menutup kedua matanya. Hanya tangannya yang
diajukan ke depan, guna menjambret. Kebetulan ia melanggar punggungnya Auwyang
Hong, yang lagi nongkrong guna menyerang Kwee Ceng dengan ilmu Kodoknya.
See Tok terkejut, segera ia menyerang ke belakang.
Kwee Ceng mendapatkan tidak ada serangan, ia menendang Kiu Cian Jin, habis mana
ia melompat mundur ke pojok. Kebetulan untuknya, Pek Thong datang pada waktu
yang tepat, kalau tidak ia bisa celaka di tangan See tok. Ia sudah bernapas
memburu. Tapi ia tidak bisa beristirahat lama, segera ia mesti menghadapi pula
ketua Tiat Ciang Pay, sedang Ciu Pek Thong menyambut Auwyang Hong. Atau mereka
mesti saling ganti lawan. Yang lucu adalah kalau Pek Thong bertempur pula sama
adik angkatnya itu seperti tadi. Di dalam gelap, sukar untuk mereka lekas saling
mengenali. Pek Thong gembira sekali dengan ini pertempuran kacau. Satu kali, selagi
melayani Kwee Ceng, ia kata kepada anak muda itu: "Tangan kita masing-masing
seperti melayani dua musuh, sekarang aku hendak mencoba, kau melayani empat
tangan. Kau anggap mereka berdua hanya satu orang....."
Kwee Ceng tidak mendengar apa yang orang bilang, hanya ia lantas merasa ia
seperti dikepung tiga orang. Tentu sekali, itulah berbahaya. Maka ia lebih
Pedang Tanpa Perasaan 8 Rajawali Emas 17 Lembah Karang Hantu Raja Sihir Dari Kolepom 1
^