Pencarian

Gajah Kencana 26

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 26


untuk memberi pertolongan.
Entah berapa lama ia pingsan, ketika membuka mata ia
terkejut. Pandang matanya hanya terlingkung oleh benda
warna kuning langsat. Kosong melompong tiada tampak apa2
lagi kecuali benda. Diperhatikannya benda itu beberapa jenak.
Ada pula liuk2 pada gumpal benda itu. Heran belum pernah
rasanya ia melihat benda semacam itu.
Tiba2 terlintas suatu pikiran yang menyeramkan.
"Apakah aku buta?" Demikian pikirnya. Cepat ia gerakkan
kedua tangannya hendak merabah kelopak matanya. Tetapi
ah . . . kedua tangannyapun tak dapat digerakkan, seperti
terhimpit oleh benda lunak yang berat.
Ia pejamkan mata. Mungkin ia sedang bermimpi. Kemudian
ia merentangnya pula. Ah, tetap sama. Pandang matanya
terlingkup sebidang benda kuning yang luas. Jelas ia tak
bermimpi karena ia merasa dapat merasakan sesuatu, melihat
sesuatu dan berpikir. Akhirnya ia mendapat pikiran untuk
mengetahui benda apakah yang membentang di depan
pandang matanya itu. Merapatkan mukanya pada benda itu ia menjulurkan lidah.
Benda itu terasa lunak dan bergerak. Saraswati terkejut. Ia
kuatir apabila benda itu akan merapat dan menindih mukanya
maka iapun segera menggigitnya ....
"Aduh..." tiba2 terdengar suara orang mengaduh dan
serentak gumpal benda kuning itupun terdampar rubuh lalu
terbangkit tegak. "Mengapa engkau menggigit aku, Saraswati" serempak pula
terdengar suara orang menegur namanya.
Saraswati terhentak. Suara itu tak asing lagi baginya. Itulah
nada suara baginda Jayanagara. Dan karena himpitan yang
melunglaikan kedua tangannya telah longgar, iapun segera
menggeliat bangun. Ah, saat itu baru ia menyadari
keadaannya. Ia tengah duduk di tengah peraduan yang indah,
berhadapan dengan baginda yang memandangnya dengan
senyum dikulum. Iapun melihat bagaimana kain dadanya telah
terbuka dan rambutnya terurai. Buru2 ia mengemasinya lebih
dulu. "Ah, Saraswati, mengapa engkau menggigit dadaku?" ulang
baginda pula. "Dimanakah hamba berada" seru gadis itu tercengkam
keheranan. "Engkau berada di bilik peraduanku, nini. Bukankah engkau
merasa bahagia" "Benarkah tumenggung Kuda Pengasih telah meninggal,
gusti" Saraswati mengulang pula.
"Benar, Saraswati. Kelak akan kubuatkan makam candi
yang indah penghargaan kerajaan atas sebagai jasanya"
Airmata Saraswati berderai-derai menumpah ke lantai. Ia
menangis tersedu-sedan. Sesaat ia lupa akan keadaan dirinya,
lupa bertanya apa yang telah terjadi pada dirinya didalam bilik
peraduan baginda. Ia menangis karena tumenggung Kuda
Pengasih telah mati. Dan mati pula seluruh harapan hidupnya.
Lebih pula ketika teringat akan benih yang terkandung dalam
perutnya. Siapakah yang akan menjadi ayah anak itu kelak "
Keraton tempat bersemayam baginda Jayanagara itu indah
bukan buatan. Peraduannyapun
serba megah dan bergemerlapan. Tetapi ia merasa gemerlapan batu2 nilam
pada dinding disekeliling tempat itu, merupakan pancaran api
yang menusuk dan menghanguskan hatinya. Ia merasa seperti
terkurung dalam sebuah kancah api yang membara panas.
Panas, panas sekali sehingga keringlah airmatanya. Panas,
panas sekali hingga hanguslah kesadaran pikirannya.
Sekonyong-konyong Saraswati bergeliat bangun dan
tertawa "Ha, ha, benar, benar. Engkau benar, baginda,
engkau benar ..." Agak terkesiap baginda ketika melihat sikap dan ucapan
Saraswati yang berobah itu "Apa yang engkau anggap benar
itu?" tegurnya. "Yang mati takkan hidup kembali. Mengapa harus menyiksa
diri bersedih untuk yang mati " Tetapi bagaimana diriku ...."
tiba2 ia menangis terisak-isak pula.
Baginda Jayanagara tersentuh hatinya. Ia tahu betapa
perasaan gadis itu. Baginda kasihan juga. Entah bagaimana
terhadap Saraswati baginda memang memiliki rasa kasihan
yang besar. Sebenarnya sebagai seorang raja besar, baginda
mampu menggunakan kekuasaannya untuk memaksa
Saraswati harus menyerahkan diri, harus menuruti
kehendaknya. Tetapi baginda merasa tak sampai hati. Banyak
wanita dan gadis cantik yang pernah dihadapi, tetapi bedalah
perasaan baginda terhadap mereka dengan terhadap
Saraswati. Baginda turun dari peraduan, menghampiri Saraswati dan
membelai-belai kepalanya "Nini, jangan engkau bersedih.
Akulah yang akan menanggung nasib dirimu, nini. Asal engkau
dapat melupakan tumenggung Pengasih dan patuh kepadaku"
Pancaran sinar berkilat yang membara dalam bola mata
gadis itu, seketika redup. Lipat kerut pada dahi-nyapun
berangsur-angsur melongsor datar. Ketegangan wajahnyapun
makin tenang. Sepintas pandang tampak gadis itu telah
mendapatkan ketenangannya kembali. Bahkan sikapnya
meluluskan suatu pemaserahan, suatu penyerahan yang
serah. Hanya apabila baginda sempat memperhatikan mulut gadis
itu tentulah akan mendapat kesan yang berbeda dengan apa
yang dilihatnya. Tetapi memang sukar untuk melihat betapa
geraham gadis itu saling bertaut dengan kencang. Taut gigi
yang menggemakan suatu tekad yang keras, kerasnya hati
yang membaja. Namun karena gerak gerik itu tertutup oleh
sepasang bibirnya yang mengatup rapat, sukarlah baginda
melihatnya. "Adakah baginda tak merasa hina menghasratkan seorang
wanita desa seperti diri hamba ini, gusti?" katanya dengan
pelahan karena harus menahan getar2 bibirnya,
"Ah, mengapa engkau bimbang" Bagaimana mungkin
kuminta nyi Tanca mengundangmu kemari bila aku tak
menghasratkan engkau" ujar baginda "ah, sudahlah, nini, hari
masih malam ... baginda memimpin tangan Saraswati dan
gadis itupun tampak menyerah saja ketika diajak naik ke
peraduan "akan kubuktikan betapa kasihku kepadamu, nini ..."
Saraswati bagaikan sebuah patung yang tak bernyawa. Ia
tahu apa arti tindakan baginda terhadap dirinya diatas
peraduan itu. Tetapi ia berusaha untuk mematikan semua rasa
dan perasaannya. Ia menyadari bahwa kesemuanya itu suatu
kenyataan namun ia berusaha untuk menganggapnya sebagai
suatu impian. Adakah ia membohongi dirinya dan batinnya
sendiri " Tidak. Ia tak bermaksud membohongi kenyataan,
membohongi perasaan batinnya. Tetapi ia hanya menghampakan rasa dan perasaan seluruh indera tubuhnya.
Ia hanya menghampakan raga, bukan jiwa. Jiwanya masih
tetap sadar. Kesadaran yang bersumber pada suatu kebulatan
tekad. Ia tahu bahwa hanya dengan mengorbankan raga,
barulah ia dapat melaksanakan tuntutan jiwanya.
Ia merasa tapi tak merasa. Ia menderita dalam bahagia. Ia
menangis dalam tawanya. Iapun menyerah dalam hati yang
membara pemberontakan. Beberapa waktu kemudian, bagindapun terkulai. Raja itu
benar2 merasa gembira. Karena apa yang dikehendaki telah
didapatinya dengan puas dan mesra. Dan rasa bahagia itulah
yang cepat mengantar baginda ke alam kelelapan yang tenang
dan nyenyak. Sementara Saraswati masih tergolek. Ia pejamkan mata
tetapi hatinya tak tidur. Ia tenang tetapi tegang. Tegang
karena menantikan sesuatu yang keliwat gawat.
"Ah, jangan engkau lanjutkan maksudmu, nini. Besar sekali
bahayanya, berat sekali pula pidana yang bakal engkau
terima....." sayup-sayup telinganya seperti terngiang oleh
suara. Ia terhenyak karena ia kenal akan nada suara itu.
Itulah nada suara ayahnya, buyut Ularan. Teringat akan
ayahnya, ia berdebar-debar keras sekali. Bagaimanakah nasib
yang akan diderita ayahnya nanti. Bukankah ia mengorbankan
diri kepada tumenggung Kuda
Pengasih hanya karena hendak menyelamatkan diri
ayahnya dan tindakan Arya Damar" Mengapa sekarang ia akan
melakukan suatu tindakan yang jelas2 akan mengorbankan
semuanya. Dirinya, ayah dan seluruh keluarganya.
Teringat akan hal itu, Saraswati terpukau kehilangan faham.
Beberapa saat kemudian, terbayanglah wajah tumenggung
Kuda Pengasih yang berlumuran darah. Sayup2 seperti
terdengar suara tumenggung itu "Nini Saraswati .... engkaulah
wanita yang kucintai. Dan engkaulah wanita pertama dan
terakhir yang singgah dalam hatiku. Aku mati, nini. Mati
terbunuh oleh senjata gerombolan orang Sadeng . . . aku
hanya titip calon puteraku itu kepadamu. Rawat dan
peliharalah dia baik2 . . . dan engkau nini, janganlah engkau
menyiksa dirimu karena bersedih atas kematianku .... engkau
masih muda dan cantik. Pilihlah pria yang dapat
membahagiakan ..." "Tidak . . . . !" tiba2 Saraswati menjerit dan terjaga dari
lamunan. Memandang kesekeliling, bilik peraduan itu masih
sunyi senyap. Dan disisinya tampak baginda masih beradu
dengan wajah mencerah senyum kepuasan.
Diam2 Saiaswati menghela napas legah. Karena tegang ia
telah menjerit. Ia menolak anjuran suara tumenggung Kuda
Pengasih seperti dalam khayalannya. Khayalan yang timbul
dari ketegangan2 pikiran lalu menimbulkan berbagai
pertentangan batin, yang satu menyanggah yang lain, yang
lain membantah yang lain pula, yang lain pula menolak yang
lain berkelanjutan. Tiba pada penangkapan suara Kuda Pengasih seperti yang
terasa menggetar dalam lamunannya, ia menolak sekeraskerasnya. Sejak kecil mula, ia telah mendapat didikan dari
kedua orangtuanya, betapa laku keutamaan seorang wanita
itu. Bhakti kepada orang-tua, menghormat kepada guru. setya
guru laki, mendidik anak2 dan sifat2 kewanitaan sebagai Ibu
dunia. Setya kepada suami, guru laki peribadi. Ajaran itu tertanam
meiesap kedalam sanubarinya. Walaupun belum resmi di mata
orang, tetapi dimata para dewata ia telah bersuamikan
tumenggung Kuda Pengasih. Ia telah menyerahkan kesucian
raga dan jiwanya kepada tumenggung itu. Dan iapun telah
mengandung benih yang ditanam tumenggung itu.
Tumenggung itu adalah guru lakinya yang wajib ia junjung
dengan kesetyaan sampai pada akhir hayatnya.
Mengapa dia menganjurkan aku supaya mencari lain pria
sebagai suami" timbul pertanyaan dalam batinnya. Kemudian
bersualah ia akan jawaban "ah, kakang tumenggung memang
seorang pria yang agung dan berjiwa besar. Dia tentu tak mau
menyiksa aku seumur hidup sehingga merelakan aku bersuami
lain pria. Oh, kakang Pengasih, betapa
kepadaku. Baik, kakang tumenggung ....
bersumpah demi Batara Agung, bahwa aku
lain pria kecuali engkau, kakang. Aku akan
sampai mati kepadamu ..."
besar kasihmu aku Saraswati, takkan melayani tetap tuhu-setya Tiba2 Saraswati terhenyak ketika tubuh baginda bergeliat
menghadap kearah sana, membelakanginya. Sentuhan
punggung baginda kepada dadanya, menimbulkan getaran
yang keras, membangkitkan seluruh kesadarannya "Hm,
engkaulah raja, yang telah mencemarkan kehormatanku
sehingga aku terpaksa melanggar sumpah kesetyaanku
terhadap kakang tumenggung .... aku berdosa, duh, dewa
yang Maha Agung . . . hamba berdosa telah melanggar
sumpah dihadapan dewata Agung ...." serentak wajah
Saraswati memberingas tegang. Sepasang matanya berkilatkilat memancarkan api dendam kemarahan. Api yang
membakar hangus raga dan jiwanya "aku harus
membersihkan tubuhku dari cemar yang nista ini ..."
Seketika Saraswati turun dari peraduan, mencabut patrem
yang masih diselipkan dalam pinggang dan terus
mengangkatnya "Duh, Batara Agung..... duh kakang
tumenggung Pengasih .... bukan hamba mengingkari dharma
hidup hamba, tetapi hamba merasa telah berdosa. Apa guna
hidup berlumur cemar dan nista .... hamba tak sanggup . ."
Patrem pusaka pemberian ayahnya, buyut Ularan, pun
segera digerakkan kearah dadanya. Ia hendak suduk-selira
untuk membersihkan raganya yang kotor.
Sekonyong-konyong terdengar suara memecah kesunyian
"Saraswati, jangan engkau pikirkan Kuda Pengasih lagi . . .
biar dia mati . . ha, ha . . . dia berani menghak-i milik raja . . .
dia harus mati .." Saraswati terkejut. Seketika patrempun berhenti di tengah
jalan. Jelas didengarnya akan kata2 itu dan jelas pula
diketahui bahwa yang bicara itu adalah seri baginda yang
sedang beradu. Berhenti sejenak ia mendengarkan suara
pembicaraan itu. Mungkin masih ada kelanjutannya. Tetapi
ternyata diam. Baginda tak bicara lagi. Jelas baginda tentu
mengingau. Menung Saraswati makin meningkat. Ia teringat bahwa
orang yang tidur mengingau itu biasanya tentu mengatakan isi
hatinya, kesan pikirannya. Timbul keinginannya untuk
mendengarkan lebih lanjut apa yang dikatakan baginda dalam
ingaunya nanti. Tapi sampai beberapa saat, baginda tidak
mengingau lagi. Dalam keheningan yang tegang itu, berkeliaranlah pikiran
Saraswati ke alam renungan penuh duga "Biar dia mati . . . dia
berani menghak-i milik raja" demikian Saraswati merenungkan
ucapan baginda itu. Mengapa baginda merelakan tumenggung
Pengasih mati Mengapa" Tanya Saraswati dalam hati. la tak
dapat menemukan jawaban tetapi dapat menarik kesimpulan
bahwa kematian Kuda Pengasih itu memang dibiarkan
baginda. Dengan demikian kematian tumenggung itu tentulah


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepengetahuan baginda. Bahkan seidin baginda "Mungkin atas
titah baginda" pada akhirnya Saraswati tersengat oleh dugaan
yang lebih tandas. Hatinya mendebur keras, keringat mulai bercucuran. Dan
melanjutlah dia dalam renungan "Mengapa baginda
menghendaki kematian tumenggung Pengasih " Mengapa"
Bukankah tumenggung itu menjadi tumenggung kepercayaan
baginda" Tiba2 teringat pula ia akan kata2 baginda 'dia berani
menghak-i milik raja, harus mati'. Menghak-i adalah merebut
secara tak jujur. Milik raja, tentu sesuatu yang berharga.
Adakah tumenggung Pengasih telah merebut atau mencuri
benda berharga milik baginda" Benda apakah itu" Jika benda
itu merupakan harta pusaka tentulah tumenggung Pengasih
langsung ditangkap dan dijatuhi pidana. Tetapi mengapa tidak
langsung melainkan menitahkan tumenggung itu ke Sadeng
agar mati dibunuh "Jika demikian, baginda tentu tahu, mungkin mengidinkan,
pembunuhan atas diri kakang temenggung Pengasih Saraswati
terbeliak. Kemudian ia melanjutkan untuk mencari sebab2 dari
peristiwa itu. Jika baginda melaksanakan pidana itu secara tak
langsung, secara bersembunyi, tentulah benda itu bukan
merupakan harta pusaka melainkan suatu benda lain lagi.
Apakah itu" "Auh ...." tiba2 Saraswati menjerit tertahan ketika
renungannya tertumbuk pada suatu bayang2 pengungkapan
"Aku! Akulah itu! Tak mungkin salah lagi, benda berharga
yang baginda menganggap telah dihak-i tumenggung
Pengasih tentulah diriku. Karena diriku maka tumenggung
Pengasih telah dibunuh. Dan jelas membuktikan bahwa aku
telah dibawa masuk kedalam keraton ini, kemudian....."
Penemuan itu serempak disusul dengan mengemelut
ketegangan pikiran, gejolak kemarahan, dan menumpah-nafsu
membalas dendam "Duh, kakang tumenggung, karena
dirikulah engkau telah menjadi korban. Engkau telah mati dan
akupun telah tercemar. Apa guna aku hidup di arcapada ini"
Namun sebeham aku mati, kakang, aku hendak membalas
dendam kepada orang yang telah menyebabkan kematianmu
..." Serentak lupalah pikiran Saraswati akan segala. Lupa akan
akibat dari niatnya itu, lupa bagaimana nanti nasib ayah dan
keluarganya. Lupa bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu,
suatu tindak yang akan menggoncangkan seluruh kerajaan.
Dia tak menghiraukan kesemuanya itu. Pikiran, batin,
tekadnya telah sebulat buluh. Hutang jiwa, bayar jiwa.
Saraswati tak pernah mengalami peristiwa yang setegang
saat itu. Ia tak kuat lagi menahan tuntutan amarahnya. Ia
merasa sebagai seorang wanita harus setya-bhakti dan
membela suaminya. Ia mencintai Kuda Pengasih dan cinta
itulah yang mengawangkan pikiran dan batinnya kearah
suatu arah yang suci, benar
dan setya, sebagaimana dalam anggapannya. Ia teriah bertekad, setelah menunaikan tuntutannya yang terakhir, iapun hendak
bunuh diri. Pandang mata gadis itu bukanlah pandang mata Saraswati gadis penari yang
lembut dan teduh. Wajahnya bukan pula wajah
gadis jelita dari pantai Ularan yang berbudi halus.
Saat itu dia menyerupai seorang raseksi yang buas,
yang haus darah. Betapa menyeramkan ketika ia mengacungkan patrem pusaka dan betapa tegang wajah dan
bola matanya ketika mengayunkan patrem itu ke tubuh
baginda yang masih beradu pulas.
Crettt..... Percik kilat benda putih mengkilap yang melintas
dikeredupan ruang peraduan baginda, meluncur dari atas
bagaikan petir menyambar bumi dan pada lain kejab, benda
berkilat itupun segera tertanam pada tubuh baginda yang
mulus. "Huh, jangan menggigit lagi, Saraswari. Tidurlah, engkau
tentu lelah" tiba2 terdengar baginda berkata setengah
mengingau seraya bergeliat menggerakkan tangannya seperti
hendak memeluk orang yang tidur di sisinya.
Waktu di desa Ularan, sering dalam musim hujan, Saraswati
mendengar bahkan melihat petir menyambar dan halilintar
meledak, memancarkan kilatan sinar yang mengerikan. Ia
selalu ngeri melihat peristiwa2 sedemikian. Tetapi kejut yang
melandanya saat itu, jauh lebih dari sepuluh petir, sepuluh
halilintar meletus dengan serempak.
Darahnya serasa berhenti, jantungnyapun serasa tak
mendebur lagi ketika menyaksikan baginda bergeliat
menggapaikan tangannya. Andaikata ia masih berada di atas
peraduan, jelas baginda tentu akan memeluknya. Mengapa
baginda tidak mati karena tusukan patrem pusaka itu" Apakah
baginda seorang raja yang sakti" "Ah, apabila baginda terjaga
dan mengetahui perbuatanku, aku tentu ..." seketika timbullah
kegaduhan dalam hatinya. Betapapun Saraswati hanya seorang gadis desa yang tiada
pengalaman dan memang apa yang dialaminya itu, mungkin
tidak seratus bahkan seribu, selaksa gadis pernah mengalami.
Ia dihasratkan seorang tumenggung ia dikenankan oleh
seorang raja kemudian ia hendak membunuh raja. Raja bukan
sembarangan raja tetapi raja Majapahit yang menguasai
kerajaan besar. Bahwa apa yang telah membekali tekadnya itu hanyalah
berdasar pada ajaran2 didikan orangtuanya. Ia ingin
menunjukkan setya kepada guru lakinya, tumenggung Kuda
Pengasih yang dicintainya itu. Demi rasa tanggung jawab
sebagai seorang isteri, demi rasa cinta seorang wanita
terhadap pria, ia berani melakukan perbuatan yang jarang
berani dilakukan oleh jenis kaumnya, bahkan seorang priapun
takkan berani, juga tidak seorang senopati.
Tetapi ketika menghadapi peristiwa yang menakjubkan,
bahwa baginda Jayanagara itu tak mempan ditusuk patrem
pusaka, berhamburanlah tekad2 yang telah terpateri dalam
keputusannya tadi. Bagaikan awan tersapu angin, berantakan
nyali keberanian gadis itu. Dan sebagai gantinya, timbullah
badai ketakutan yang hebat, yang mengoyak-ngoyak nyali
hatinya dan menghancurkan pikirannya. Dalam cengkama"
rasa takut yang tiada taranya itu, hilanglah segala kesadaran
pikiran Saraswati. Serentak ia lari, membuka pintu terus lari
keluar ..... Saat itu malampun mulai dingin. Hawa pagi mulai
menyeruakkan kelembaban. Saraswati telah kehilangan diri. Ia
berlari selama masih melihat jalan yang dapat dilintasinya.
Untung saat itu suasana dalam keraton sunyi senyap.
Saraswati berhasil lolos dari pintu karena prajurit2
bhayangkara secara kebetulan sedang melakukan ronda ke
arah !am. Sedang yang berjaga di beberapa tempat tampak
tertidur. Memang sejak berpuluh tahun tak pernah terjadi
penjahat berani masuk kedalam keraton baginda. Sebelum
memasuki keraton-dalam, mereka harus mampu menerobos
penjagaan prajurit2 bhayangkara di-bagian luar.
Pada saat Saraswati hampir berhasil mencapai gapura
agung yang memisahkan keraton kediaman baginda dengan
lorong yang menuju ke Balai Wmata tempat penjagaan
prajurit, tiba2 salah seorang dari kedua prajurit yang menjaga
gapura itu terkejut dan menghardik "Berhenti, kamu!"
Saraswati terkejut sekali. Rasa kejut yang tak terperikan
besarnya membangkitkan dengan serempak rasa takut yang
hebat. Ia takut apabila ditangkap. Maka tanpa sadar, ia segera
menyongsong prajurit yang hendak mencekalnya itu dengan
patrem pusaka "Uh . ." karena tak menyangka dan jarak amat
dekat, bahu prajurit itu tertikam. Darah menyembur dan
prajurit itu-pun terhuyung-huyung rubuh.
"Hai, engkau . . . . !" prajurit yang seorang cepat menerkam
tetapi diapun disongsong Saraswati dengan patrem pusaka.
Leher prajurit itu tertusuk, dia menjerit dan rubuh pula.
Tenaga Saraswati memang tak berapa besarnya. Tetapi
karena dia sedang dalam keadaan kalap karena dicengkam
ketakutan, dan karena patrem itu sebuah senjata pusaka,
maka tikaman dan tusukan yang tak berapa dalam ketubuh
kedua prajurit itu, cukup membuat mereka rubuh pingsan.
Saraswati terus lari keluar. Dan tanpa disadari ia membiluk
ke sebelah kanan, menyusuri kegelapan lorong dan mengitar
kebelakang keraton. Dia hanya memilih jalan yang sepi, agar
terlepas dari kejaran. 0odwo0 II Sudah agak lama patih Dipa diam di Daha. Ia merasakan
manfaatnya untuk menyepi beberapa waktu setelah
menunaikan tugas yang berat. Hal itu bukan saja dapat
melonggarkan ketegangan2 yang mencengkam pikiran. Pun
dapat mengembalikan nafsu2 ke dalam liang tempatnya.
"Dipa, jika engkau mendaki dan berdiri di puncak gunung,
engkau akan merasa bahwa puncak gunung itu masih kurang
tinggi. Diatas puncak masih terdapat angkasa. Dan mungkin
timbul hasratmu untuk mencapai dirgantara itu. Tetapi apabila
engkau segera turun lagi dari puncak, dari bawah engkau
akan dapat memandang betapa tingginya puncak gunung
yang engkau daki tadi. Dan engkau takkan merasa bahwa
hasil pencapaianmu ke puncak gunung itu, bukan sesuatu
yang tidak gemilang, bukan sesuatu yang tak berarti. Tetapi
sesuatu yang jarang tercapai setiap orang"
Demikian wejangan brahmana Anuraga.
Dipa sekalipun sudah menjadi patih Daha, namun dia tetap
menjunjung apa yang pernah dinasehatkan dan diwejangkan
oleh paman brahmana Anuraga. Ia menghormati Anuraga
sebagai gurunya. Ia mencintai brahmana itu sebagai seorang
pamannya. Ia ingat setiap ajaran yang diwejangkan paman
brahmana itu. Ia melaksanakannya pula.
Demikian dalam langkah untuk berdiam menyepi diri
beberapa waktu di Daha itu. Banyak sekali manfaat yang
diperolehnya. Ia dapat merenungkan, menilai dan mempelajari
semua peristiwa2 yang telah dialami selama di Bali. Dan yang
penting ia dapat menarik pelajaran-pelajaran dari kelemahan
dan kekurangan serta kesalahan2 dari apa yang telah
dilakukan selama itu. Ia terkejut ketika menyadari
dilimpahkan baginda kepadanya
Anugerah pedang Adi-petaka
kepercayaan yang dilimpahkan
bahwa penghargaan yang itu, terlalu tinggi baginya.
merupakan puncak dari baginda kepadanya. Juga suatu pengakuan akan kesetyaan melaksanakan tugas2 yang
dititahkan baginda. Namun banyak pula ia merasakan kekurangan2 dan
kesalahan. Terbunuhnya Pasung Giri, saudara baginda Pasung
Rigih, oleh Arya Damar, merupakan kesalahan yang menjadi
tanggung jawabnya. Karena baginda Jayanagara telah
menitahkan agar Pasung Giri itu jangan dibunuh tetapi
ditangkap dan dibawa ke Majapahit.
Disamping hal2 yang dapat direnungkan itu, masih terdapat
pula sesuatu yang sangat bernilai. Sesuatu yang tepat seperti
diwejangkan oleh paman brahmana Anuraga. Bahwa apabila ia
membiarkan diri dikungkung penghargaan dan sanjung pujian,
ia akan memanjakan diri dalam rasa kebanggaan dan akan
tegelincir dalam arus kecongkaan. Ia akan bermandikan sinar2
yang kemilau. Dan sinar2 itu akan menyilaukan pikirannya,
mata hatinya. Dalam kesilauan semacam itu, tak mungkin ia
dapat memandang kesekeliling penjuru lagi. Sinar yang
kemilau akan membutakan perasaannya terhadap segala hal.
Maka dengan menghindarkan diri dari apa yang kilaukemilau itu, ia akan dapat membebaskan diri dari kesilauan, la
tetap dapat mengetahui apa yang terjadi di bumi alam
kerajaa.ii dan di bumi alam hatinya.
Demikian hal2 yang dirasakan patih Dipa selama berdiam
dni di Daha. Untuk mengisi waktu, ia senang keluar meninjau
daerah2. Dikunjunginya pula empu Kapakisan untuK
mengibarkan tentang keadaan cucu-cucunya yang telah
menetap di Bali. Setelah merasakan ketenangan dalam hatinya, barulah
pauh Dipa teringat akan tugas yang wajib dilaksanakan.
Selama ini sering ia ke para Majapahit. Sesekali iapun
menghadap baginda. Maka pada hari itu, berangkatlah ia
menuju ke Majapahit. Sebenarnya dalam kedudukannya sebagai seorang patih
Daha, dapatlah ia menyelenggarakan keberangkatannya ke
Majapahit itu dengan suatu rombongan pengiring. Tetapi ia
selalu tak menyukai hal semacam itu. Ia hanya membawa dua
orang prajurit untuk menyertainya. Dan diapun tak mau naik
ratha walaupun ia berhak untuk menggunakannya. Ia lebih
menyukai naik kuda. Jarak antara Majapahit dengan Daha. tak berapa jauh.
Tetapi patih Dipa tak ingin cepat2 tiba di pura kerajaan. la
senang menikmati alam pemandangan di pedesaan dan
pegunungan. Karena dengan melihat jajaran gunung2, sawah,
ladang serta padang belantara yang subur buminya, ia merasa
lebih dekat dengan alam. Dan pendekatan itupun makin
mendekatkan rasa cintanya kepada bumi kerajaan. Rasa cinta
terhadap bumi pertiwi, menimbulkan rasa tanggung jawab
untuk melindungi dan menjaganya.
Hari makin tinggi dan suryapun naik sepenggalah tingginya.
Namun tidaklah patih Dipa bergegas untuk mencongklangkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kudanya. Ia tak berusaha untuk menghindari terik surya yang
menyengat tubuh. Bahkan ia merasa sengatan itu dapat
membangkitkan suatu kegairahan semangat.
Ketika berkuda ditengah belantara yang sepi, tiba2 ia
mendengar teriak seorang wanita, ditingkah hardik suara2
kasar. Serentak ia kaburkan kudanya menuju ke-arah suara
itu. Suara itu terbawa angin sehingga walaupun ia dapat
mendengar tetapi untuk mencapai tempat asal usul suara itu,
memerlukan jarak yang cukup jauh. Setelah menikung
disebuah tanjakan, ia agak terkejut. Beberapa puluh tombak
disebelah muka, tampak dua orang lelaki berpakaian seperti
prajurit tengah menerkam seorang wanita muda. Wanita itu
berusaha untuk meronta-ronta tetapi tak mampu membebaskan diri. "Hai, lepaskan" secepat kuda lari menghampiri, patih Dipa
serentak loncat turun dan menghardiknya.
Kedua prajurit itu terkejut ketika melihat seorang lelaki
muda melarikan kudanya dan membentak mereka. Rupanya
kedua prajurit itu tak tahu siapa Dipa. Tak mungkin seorang
lelaki yang masih muda dan berpakaian seperti orang biasa,
seorang yang menjabat patih Daha. Tentulah seorang kelana,
atau mungkin bangsa penyamun.
"Siapa engkau !" salah seorang dari kedua prajurit itu balas
menghardik. Patih Dipa kerutkan dahi. Bahwa kalau menilik pakaiannya,
kedua orang itu tentulah kaum prajurit. Tetapi prajurit
Majapahit tidak mengenakan busana keprajuritan semacam
itu. "Aku dari Daha" sahut patih Dipa menghindar "siapakah ki
sanak berdua dan apa sebab ki sanak mengganggu wanita
muda itu" "Hm, orang Daha" dengus prajurit yang bertubuh kekar
perkasa "enyahlah, jangan engkau mengganggu kami"
Dengan tenang patih Dipa berseru "Aku segera akan
mempertimbangkan enyah atau tetap akan mencampuri
tindakan ki sanak berdua, setelah ki sanak memberi jawaban
atas pertanyaanku tadi"
"Hm, orang Daha" desuh prajurit gagah itu "ketahuilah,
kami adalah prajurit dari raden Arya Kembar yang dititahkan
untuk menangkap wanita ini"
"O" seru patih Dipa dalam hati "kiranya kedua prajurit itu
pengalasan dari Arya Kembar. Itulah sebabnya mengapa
mereka tak kenal kepadaku"
"Mengapa wanita itu harus ditangkap?" tanyanya penuh
keheranan. "Apakah engkau tak mendengar berita yang menggemparkan di keraton Majapahit" prajurit itu balas
bertanya. "Berita menggemparkan" Apakah itu" patih Dipa makin
dicengkam keheranan. "Wanita ini hendak membunuh baginda"
"Hai" teriak patih Dipa "benarkah itu" Ah, jangan engkau
berolok-olok, ki sanak. Bagaimana mungkin wanita muda
selemah ini dapat membunuh baginda. Dan bagaimana
mungkin ia dapat mendekati baginda yang selalu dijaga oleh
pengawal2" "Tidak mungkin, itu urusanmu" sahut prajurit perkasa itu
agak tak senang "tetapi mungkin itu memang kenyataannya"
Patih Dipa makin heran "Ki sanak" katanya dengan nada
bersungguh "apakah engkau berkata dengan sesungguhnya.
Coba engkau ceritakan bagaimana hal itu dapat terjadi !"
Prajurit bawahan Arya Kembar itu memang hanya bertugas
menjaga kediaman Arya Kembar. Mereka tak pernah dibawa
menghadap ke keraton. Memang mereka mendengar juga
tentang berita patih Daha yang bernama Dipa, telah kembali
ke pura Majapahit dari Bali. Didengarnya pula betapa
ganjaran2 yang dilimpahkan baginda kepada patih Daha itu.
Namun mereka tak pernah mengenal wajah patih Dipa.
Mereka menganggap patih Dipa sebagai orang Daha biasa,
sesuai dengan keterangan patih itu sendiri dan dandanan yang
dikenakannya. Mereka berpendapat, bahwa orang Daha itu
terlalu melampaui batas kepantasan.
Ada suatu perasaan pada orang yang merasa kuat,
berkuasa, kaya ataupun berpangkat. Bahwa mereka mudah
tersinggung terhadap sikap, ulah dan ucap orang yang
dianggapnya lebih rendah derajatnya. Demikian dengan
prajurit itu. Ia menganggap Dipa seorang rakyat biasa, apalagi
dari Daha, mengapa begitu bersitegang hendak mencampuri
urusan mereka. "Enyah! Jangan banyak cakap!" bentak prajurit itu dengan
mata merentang. Bahkan untuk memperbawai perintahnya, ia
menyiakkan tangan kanannya ke arah Dipa "Uh ...." tiba2
mulutnya mendesis ketika mendapatkan bahwa tubuh orang
muda dari Daha itu, sekokoh batu karang.
Mulai marahlah prajurit gagah itu. Ia segera mengatupkan
kelima jarinya untuk mencengkeram leher Dipa. Tetapi untuk
yang kedua kalinya iapun mendesuh pula. Bahkan lebih keras.
Ternyata tangannya mencengkeram angin kosong. Leher
orang Daha yang jelas tentu dapat dicapainya itu ternyata
masih kurang sekilan. Prajurit itu makin bernapsu. Maju selangkah ia lanjutkan
tangannya yang masih menjulur ke muka tadi untuk mengejar
leher Dipa "Uh ...." untuk yang ketiga kalinya, ia mendesuh
lagi. Cengkeramannya tetap hampa dan leher orang Daha
itupun tetap terpisah sekilan jaraknya.
Kemarahan yang mulai makin merangsang, mendorong
prajurit itu untuk menghantam. Dia tak mau mencengkeram
lagi melainkan menghunjamkan tinjunya yang besar dan berat
ke dada patih Dipa. "Auh ...." kali ini yang terdengar dari mulut prajurit itu
bukan desuh atau desah, tetapi jerit kesakitan yang
mengejutkan. Ternyata siku lengannya telah dicengkeram patih Dipa.
Waktu prajurit itu menghantam, patih Dipa berkisar ke
samping lalu menerkam siku lengannya dengan tangan kiri,
dan tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan
prajurit itu. Sekali tekuk, prajurit itupun menjerit dan tak dapat berkutik
karena tangannya telah diteliku kebeiakang punggung.
Prajurit yang seorang, terkejut sekali. Ia tahu bahwa
kawannya yang bertubuh gagah itu, bertenaga kuat dan
menjadi orang kepercayaan Arya Kembar. Tetapi mengapa
dalam sekali gebrak saja, sudah dapat dikuasai lawan. Namun
ia tak mau membiarkan kawannya menderita. Serentak
melepaskan wanita muda itu, ia terus loncat menyerang patih
Dipa. Dukkk .... "Aduh .... keparat engkau Sampar!" teriak prajurit yang
gagah tadi karena dadanya tertinju pukulan prajurit kawannya.
Memang patih Dipa hendak memberi pelajaran kepada
kedua prajurit itu. Ia menduga keras, bahwa kedua prajurit itu
tentu bertindak tak senonoh mengganggu wanita muda yang
cantik itu. Ketika prajurit menyerangnya, cepat ia memutar
tubuh prajurit yang dikuasainya itu sebagai perisai. Akibatnya,
prajurit yang bertubuh gagah itu mengaduh dan menyumpah.
Prajurit yang menyerang itu terlongong kesima. Sebelum ia
sempat sadar, tiba2 patih Dipa menyong-songkan tubuh
prajurit gagah itu kearahnya "Sambutlah kawanmu ini!"
Prajurit itu gelagapan dan terus hendak menyang-gapi
tetapi terlambat. Tubuh kawannya melaju lebih cepat dan
membenturnya "Auh ...." prajurit itu menjerit ke'ika tubuhnya
tumbang terbanting kebeiakang. Masih tertimpa tubuh prajurit
gagah lagi. Keduanya pingsan.
Setelah membereskan kedua prajurit itu, patih Dipapun
hendak mencari wanita tadi tetapi alangkah kejutnya ketika
wanita itu tak tampak lagi disitu. Mengeliarkan pandang ke
barat, tampak kedua pengiringnya sedang menghadang
seorang wanita "Ah, itulah dia" cepat patih Dipa lari
menghampiri. "Jangan diganggu!" teriak patih Dipa ketika kedua
pengiringnya itu hendak menangkap wanita itu. Kedua
pengiring itupun loncat kesamping.
Kini patih Dipa berhadapan dengan wanita itu. Dilihatnya
wanita itu masih muda dan cantik. Tetapi 'wajahnya
menampilkan ketakutan, sinar matanya liar dan rambutnya
terurai. Tangannya memegang sebilah keris kecil macam
patrem. Wanita itu memandangnya dengan beringas. Menilik
wajah dan pakaiannya cepat patih Dipa mendapat kesan
bahwa wanita muda itu bukan wanita rakyat biasa.
"Nini, siapakah engkau" seru patih Dipa dengan nada
ramah. Namun wanita itu tak menjawab, kecuali tetap
melekatkan pandang kepada patih Dipa.
"Nini ...." patih Dipa melangkah maju.
"Enyah!" tiba2 wanita itu memekik dan terus menyerang
dengan patrem, menusuk dada patih Dipa.
Patih Dipa terkejut. Ia tak menyangka kalau wanita itu akan
menyerangnya. Karena dekat sekali, ia tak sempat lagi
menghindar ataupun menangkis. Sekalipun demikian ia masih
berusaha untuk merebahkan
terhindar dari tusukan, crek ....
dadanya kebelakang agar Tiba2 wanita itu menjerit, lepaskan senjatanya dan
menangis sekeras-kerasnya. Patih Dipa cepat menggeliat
tegak pula. Ia sendiripun heran menyaksikan peristiwa itu.
Berpaling kearah samping, dilihatnya kedua pengiringnyapun
terlongong-longong pula. "Mengapa" Apa yang terjadi tadi?" tegur patih Dipa.
Kedua pengiring itu gelagapan. Salah seorang segera
memberi keterangan "Apakah paduka tak terluka, gusti patih"
Patih Dipa menunduk memeriksa dada dan perutnya,
kemudian berkata "Aku tak menderita apa2"
"Wanita itu telah menusuk perut paduka. Tetapi patremnya
terpental dan lepas dari tangannya?" kata pengiring itu pula
dengan nada takjub. Patih Dipa terkejut tetapi cepat ia dapat mengetahui
sebabnya. Ia meraba pinggangnya. Gada Inten masih
disimpannya. Tentulah patrem wanita itu mengenai gada
pusaka itu sehingga mental dan menimbulkan daya tolak keras
yang membuat tangan wanita itu kesakitan.
"Nini, mengapa engkau hendak membunuh aku" Mengapa
sekarang engkau menangis" tegur patih Dipa pula.
"Bunuhlah aku! Bunuhlah aku!"teriak wanita itu.
Patih Dipa terkesiap. Mengapa wanita itu minta dibunuh.
Menilik ketegangan dan ketakutan yang menyelimuti
wajahnya, patih Dipa menduga tentulah wanita itu sedang
menghadapi suatu peristiwa yang hebat. Adakah yang
dikatakan kedua prajurit dari Arya Kembar bahwa wanita itu
hendak membunuh baginda, memang benar "
"Nini" kata patih Dipa "tenangkanlah dahulu hatimu. Jangan
menangis. Aku bukan prajurit yang hendak menangkapmu"
"Bohong !" wanita itu memekik pula "aku tak percaya pada
omongan orang Majapahit ! Semua orang Majapahit bohong!"
Patih Dipa makin terbeliak. Ia masih belum dapat
mengetahui apa yang menyebabkan wanita itu bersikap
sedemikian kalap. Tiba2 ia mendapat pikiran "Aku bukan
orang Majapahit, nini. Aku orang Daha"
"Orang Daha" wanita itu tertegun, berhenti menangis dan
mengerut dahi "Ha, ha, ha" tiba2 ia tertawa keras "jangan
engkau membohongi aku ! Kutahu engkau juga ingin
menikmati tubuhku !"
Patih Dipa menyurut selangkah. Ia heran mengapa wanita
itu melontarkan tuduhan yang sedemikian
"Nini" serunya dengan nada sarat "aku tak kenal kepadamu.
Karena kasihan, akulah yang menolong engkau dari sergapan
kedua prajurit tadi. Percayalah kepadaku. Aku takkan
mengganggumu ..." "Menyingkirlah!" teriak wanita itu.
"Hendak kemana engkau?" patih Dipa terkejut.
"Akan ke Sadeng"
"Ke Sadeng?" mengapa" patih Dipa makin terbelalak "hendak "Mencari jenasah kakang tumenggung Kuda Pengasih"
Patih Dipa menyurut selangkah pula demi mendengar
keterangan itu. Ia agak bingung. Menilik ulah dan ucap wanita
itu, ia hampir cenderung untuk menduga bahwa wanita itu
sedang menderita kegoncangan batin yang besar sehingga
seperti orang gila. Tetapi kalau mendengar ucapannya yang
terakhir, ia mulai mempunyai dugaan lain.
"Apa katamu " Tumenggung Kuda Pengasih dari Majapahit
itu?" ia menegas. "Jangan menegas tak keruan, menyingkirlah" teriak wanita
itu pula. "Nini" seru patih Dipa dengan nada bersungguh "aku
benar2 hendak menolongmu. Katakan yang jelas, mengapa
engkau hendak mencari jenasah tumenggung Kuda Pengasih"
Apakah tumenggung itu sudah mati" Dan mengapa engkau
mencari jenasahnya ke Sadeng"
"Kalau tak ke Sadeng, habis kemanakah aku harus
jenasah kakang tumenggung Pengasih itu" Hm,
engkau orang Sadeng" Hayo, tunjukkan dimana
tumenggung itu" Dan

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katakan mengapa membunuhnya" mencari apakah jenasah engkau Karena berulang kali sukar untuk mengadakan hubungan
tanya jawab, patih Dipapun gelengkan kepala. Diam2 tertarik
perhatiannya akan menyelidiki diri wanita itu "Nini, mari
kuantarkan engkau ke Sadeng untuk mencari tumenggung
Kuda Pengasih" Wanita itu terkesiap "Apa engkau bersungguh dengan katakatamu itu"
"Ya" patih Dipa mengangguk. Kemudian ia memberi isyarat
kepada kedua pengiringnya supaya membawakan kuda
tunggangannya "mari, nini, kita naik kuda bersama" katanya
setelah kedua pengiring itu menyediakan kuda.
Tiba2 mata wanita itu terbelalak "Naik kuda" Tidak! Oh,
engkau tentu kawan Arya Damar!" teriak wanita itu seraya
terus lari. Melihat itu patih Dipa terpaksa mengejar dan tinggalkan
kudanya. Ia tak mau menjamah wanita itu karena kuatir
menimbulkan kejut dan ronta wanita itu. Ia menghadang di
hadapannya "Tunggu dulu" serunya "aku bukan kawan Arya
Damar tetapi aku orang yang hendak mengantar engkau
mencari jenasah tumenggung Kuda Pengasih"
Patih Dipa mendapat kesan bahwa sinar mata wanita itu
memberingas tetapi hampa, redup tetapi berkilat-kilat
ketakutan "Mungkin dia menderita keguncangan batin yang
hebat" pikirnya. "Jika bukan kawan Arya Damar, engkau tentu tidak naik
kuda" kata wanita itu.
"Ya, marilah kita berjalan" terpaksa patih Dipa menurutkan
kata2 wanita itu. Diam2 ia heran mengapa wanita itu
menyebut-nyebut nama Arya Damar juga. Ia merangkai
dugaan bahwa Kuda Pengasih memang kenal dengan Arya
Damar ketika tumenggung itu mendarat di Ularan, pantai Bali
utara. Rupanya wanita itu agak jinak menghadapi sikap patih Dipa
yang sabar. Ia segera berjalan bersama patih itu.
Kedua pengiring patih Dipa terlongong heran melihat
peristiwa itu. Keduanya lebih cenderung untuk menduga
bahwa wanita muda itu tak waras pikirannya. Mengapa patih
Dipa mau mengurus wanita semacam itu" Lebih heran pula
kedua pengiring dari Daha itu ketika melihat patih Daha mau
pula berjalan bersama wanita itu. Terpaksa kedua pengiring
itupun turun dari kuda dan berjalan menuntun
mengikuti dibelakang mereka.
kuda, Surya makin rebah ke barat. Cuaca makin pudar. Jalan
dipegunungan yang sunyi makin lelap. Namun patih Dipa diam
saja dan tetap berjalan di sisi wanita itu. Selama berjalan
wanita itupun diam saja. Tak berapa lama malam mulai tiba. Kedua pengiring yang
berjalan di kejauhan hampir tak kuasa menahan keinginan
hatinya untuk menyusul patih Dipa. Mereka hendak mohon
perintah. Tetapi mereka tahu bahwa patih Dipa seorang
atasan yang memperhatikan kepentingan bawahannya.
Apabila patih Dipa diam saja tentulah mempunyai alasan dan
bukan karena tak tahu bahwa saat itu hari sudah gelap.
Pertimbangan2 itulah yang menyebabkan mereka harus
mengendapkan keinginannya.
Saat itu mereka mulai melintas sebuah hutan. Pada kedua
tepi jalan berjajar gunduk2 karang dan pohon2 serta gerumbul
semak yang lebat. Rembulan masih bersinar pudar.
Sesungguhnya patih Dipa hendak mengatakan kepada wanita
itu supaya berhenti dan beristirahat. Ia kasihan dengan
keadaan wanita yang tampaknya sudah letih dan kehilangan
faham itu. Tetapi niatnya terpaksa ditahan pula ketika melihat
wanita itu tetap ayunkan langkah "Hm, akan kulihat sampai dimana daya ketahanannya" akhirnya ia menghapus
rencananya. Dalam kesunyian suasana hutan dan kepekatan malam,
patih Dipa mulai meningkatkan ketajaman indera kewaspadaan pendengaran, penglihatan dan penciuman.
Bahaya yang sering terdapat di hutan, menurut
pengalamannya pada waktu ia masih di desa dahulu, adalah
dari gangguan ular, babi hutan dan kadang2 harimau. Berkat
pengalamannya waktu masih kanak2 itu pulalah yang
membekalinya dengan suatu pengetahuan bahwa munculnya
jenis2 binatang itu dapat diketahui dari bau yang terbawa
angin. Demikian dengan saat itu. Belum berapa lama mereka
melintas hutan, tiba-tiba setiup angin berhembus menyentuh
hidungnya. Ia terkejut. Angin itu seperti membawa bau yang
anyir. Namun patih Dipa belum pasti. Demi menjaga setiap
kemungkinan yang tak diinginkan, ia hendak berseru
memperingatkan wanita itu supaya berhati-hati. Tetapi belum
sempat juga ia membuka mulut, sekonyong-konyong bagai
petir berbunyi disiang hari, sebuah aum yang dahsyat
menggelegar, serempak sesosok benda hitam loncat dari balik
gerumbul semak hendak menerkam wanita itu.
"Aiihhhh" wanita itu terkejut dan menjerit sekeras-kerasnya
lalu roboh terjerembab ke tanah. Adalah karena ia rebah ke
belakang maka terhindarlah ia dari terkaman benda itu.
Sebagai gantinya makhluk itu menyasar kearah patih Dipa.
Walaupun terkejut diserang oleh sesuatu yang sedemikian
tak terduga, tetapi karena patih Dipa sudah mengembangkan
kecurigaan akan angin yang membawa bau anyir tadi,
sempatlah ia untuk loncat kebeiakang.
"Harimau !" serunya ketika mewaspadakan benda yang
menyerangnya itu. Binatang itu meraung marah karena menubruk tanah.
Secepat berputar tubuh ia terus loncat menerkam Dipa pula
Dalam saat dan tempat seperti itu, tiada lain jalan bygi panh
Dipa kecuali harus bertindak cepat dan tegas untuk
membinasakan binatang buas itu.
Prak..... Terdengar bunyi tulang berhamburan pecah, kemudian
suara benda berat yang jatuh ke tanah, menimbulkan getaran
keras dan tebaran debu yang mengepul tebal.
Patih Dipa tegak termangu-mangu, kemudian memasukkan
kembali pusaka Gada Inten kedalam pinggang bajunya, ia
memandang harimau yang kepalanya pecah berhamburan itu
dengan rasa sesal dan kasihan "Sebenarnya pusaka Gada
Inten hanya layak digunakan untuk keperluan yang benar2
penting. Untuk membunuh harimau seharusnya cukup dengan
senjata lain" pikirnya. Ia menyadari kelemahannya bahwa
dalam menghadapi saat2 yang gawat, ia belum cukup memiliki
ketenangan sehingga tergesa mengeluarkan pusaka Gada
Inten. Kedua pengiring tadipun tegak seperti patung. Mereka
kesima menyaksikan peristiwa saat itu. Hampir mereka tak
percaya apa yang disaksikannya. Tetapi mereka percaya akan
kenyataan bahwa hanya dengan sekali hantam, pecahlah
kepala harimau itu oleh kesaktian tangan patih Dipa. Memang
mereka tak tahu bahwa patih Dipa menggunakan pusaka Gada
Inten. Gada itu kecil bentuknya sehingga tertutup oleh telapak
tangan patih Dipa. "Nini, apakah engkau terluka?" patih Dipa menghampiri
wanita yang masih rebah itu. Namun wanita itu tak menyahut
dan tak bergerak pula. Karena diulang dua tiga kali tak juga
bergerak, akhirnya patih Dipa menjamah tubuh wanita itu dan
digolek-golekkan-nya "Ah, dia pingsan" akhirnya tahulah ia
mengapa wanita itu diam saja.
Patih Dipa mengangkatnya dan membaringkan di bawah
pohon yang tumbuh di tepi jalan. Kemudian ia suruh salah
seorang pengiringnya mengambilkan air.
Setelah diberi minum air, diletakkannya pula wanita itu
supaya tidur. Rupanya wanita itu menderita guncangan batin
yang hebat dan lelah sekali. Patih Dipa mencari tempat tak
jauh dari tempat wanita itu tidur. Ia menyuruh kedua
pengiringnya beristirahat juga.
Kelembaban hawa yang bertebar embun dan dihembus
angin yang menyeruak kepekatan malam, membawa pertanda
akan pergantian cuaca. Cakrawala yang memburat percik sinar
cerah2 semu, menandakan pagi akan menjelang tiba. Tak
lama kemudian terdengar ayam hutan bersahut-sahutan
membahanakan berita kepada segenap margasatwa, agar
mereka bersiap siap mengemasi diri.
Kesegaran hawa dan kesejukan angin dikelembutan pagi,
menyengat wajah wanita itu sehingga iapun terjaga dari
tidurnya. Serentak ia duduk dan memandang kesekeliling.
Ketika pandang matanya tertumbuk pada patih Dipa yang
duduk bersila merangkapkan kedua tangan kedada seperti
orang bersemedhi, wanita itu segera bergeliat berdiri.
"Terima kasih, raden" serta merta wanita itu duduk
bersimpuh dan menyembah kaki patih Dipa. Ia terpesona
memandang wajah lelaki muda yang berwibawa dan bertubuh
kekar itu. Pelahan-lahan patih Dipa membuka mata, memandang
wanita yang bersimpuh mencium kakinya "Bangunlah nini.
Bagaimana keadaanmu sekarang" Apakah engkau menderita
kesakitan" Sepasang bola mata dari Dipa yang bundar dan bersinarsinar itu makin menambah kewibawaan wajahnya. Dan
nadanya yang mantap, menimbulkan rasa taat pada hati
wanita itu "Terima kasih, raden. Hamba tak kurang suatu apa.
Dimanakah harimau yang hendak menubruk hamba semalam"
Patih Dipa menunjukkan jari telunjuknya ke arah belakang
wanita itu. Dan ketika wanita itu berpaling ia menjerit kaget
"Ah, raden. Adakah raden yang membunuh binatang itu"
Patih Dipa mengangguk pelahan "Memang didaerah hutan
pegunungan masih sering terdapat harimau yang berkeliaran
mencari mangsa. Jika melakukan perjalanan baiklah ditempuh
pada siang hari. Dan selagi hari masih sepagi ini, marilah kita
lanjutkan perjalanan lagi, nini"
"Kemana, raden" seru wanita itu agak heran.
Sebenarnya ketika memandang wajahnya, patih Dipa sudah
mempunyai kesan lain terhadap wanita itu. Kerut ketegangan
dan sinar kecemasan yang terpancar dari mata wanita itu
sudah lenyap. Kini wajahnya tenang dan pandang matanyapun
bening. Ada suatu pe-robahan besar terjadi pada diri wanita
itu. Lebih pula ketika wanita itu terkesiap mengucapkan katakatanya yang terakhir. Bukankah dia hendak menuju ke
Sadeng" Mengapa sekarang seolah seperti lupa akan katakatanya sendiri "
"Bukankah engkau hendak
memperingatkan wanita itu.
menuju ke Sadeng" ia "O" desuh wanita itu sambil mengerut dahi tumenggung
Kuda Pengasih diutus baginda ke Sadeng, mengapa aku
hendak menyusul ke sana" Tidakkah tumenggung akan murka
kepadaku" Patih Dipa makin heran. Wanita itu benar2 berobah dari
yang semalam dilihatnya. Namun ia tak mau mengejutkan
wanita itu "Baik. Jika begitu mari kita pulang. Akan kuantarmu
pulang. Dimana rumahmu"
"Aku tinggal di tempat kediaman tumenggung Kuda
Pengasih" "O, mati kuantar ke sana" kata patih Dipa.
"Tetapi ...." tiba2 wanita itu tertegun "malam itu nyi Tanca
mengajak aku kedalam keraton. Ya, benar, kedalam keraton
dan bertemu dengan baginda. Lalu baginda menitahkan aku
memijati . . . . oh . .?" tiba2 wanita itu menangis.
Patih Dipa terbeliak. Namun ia dapat merangkai suatu
rentetan peristiwa. Tentulah wanita cantik itu ikut pada
tumenggung Kuda Pengasih, kemudian Kuda Pengasih
dititahkan baginda ke Sadeng, lalu baginda mengutus nyi
Tanca membawa wanita itu kedalam keraton dan tentu terjadi
sesuatu pada diri wanita itu mengapa ia sampai menangis.
"Mengapa engkau menangis?" tegurnya.
Dengan terisak-isak Saraswati segera menuturkan semua
perisnwa yang dialaminya sejak berada di Majapahit. Ketika
menceritakan tentang tindakannya membunuh baginda, patih
Dipa memekik keras "Hai, apakah baginda tewas"
Tegang dan gemetar nada patih Dipa ketika menghardikkan
pertanyaan itu. Jika baginda sampai tewas, terpaksa ia akan
menangkap wanita itu. "Tidak, raden" Saraswati gelengkan kepala "karena malu
dan putus asa diriku tercemar, pikiranku gelap dan kalap
sehingga kutusuk tubuh baginda dengan patrem. Tetapi
baginda hanya menggeliat dan menitahkan aku tidur. Karena
ketakutan aku melarikan diri. Tetapi pagi harinya aku dikejar
oleh dua orang prajurit tadi"
Patih Dipa menghela napas longgar. Sebagai seorang patih
yang telah mendapat kepercayaan besar dari baginda
Jayanagara sebagai bhayangkara utama, yang pertama-tama
melintas dalam pikirannya adalah keselamatan baginda.
Tidakkah akan menyakiti hatinya, apabila belum berapa lama
ia menerima pemberian pedang pusaka Adi-petaka, lalu
baginda terbunuh oleh seorang wanita "
"Ah" patih Dipa menghela napas berkepanjangan. Dalam
perasaan yang longgar, hatinya berkabut sesal dan kecewa.
Mengapa masih juga baginda melanjutkan permainannya yang
berbahaya itu. Walaupun kali ini lolos tetapi tidakkah mungkin
bahaya itu akan tetap mengancam keselamatan baginda "
Sesekali tidakkah akan terjadi juga peristiwa yang mengerikan
itu " "Nini" cepat2 patih Dipa mengalihkan perhatiannya dari
bayang2 yang mengerikan itu "bagaimana asal mula engkau
datang ke Majapahit"
"Hamba dibawa raden Arya Damar.." Saraswati lalu
menuturkan tentang pengalamannya di Ularan dengan Arya
Damar dan tumenggung Kuda Pengasih. Ia menceritakan
semua dengan terus terang. Karena ia merasa bahwa pria


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang di hadapannya itu benar2 seorang pria yang lurus hati
dan sakti. Peristiwa yang dideritanya di dalam keraton, telah
mengguncangkan hati Saraswati. Dan ketika baginda
mengabarkan bahwa tumenggung Kuda Pengasih telah tewas,
saat itu Saraswati telah kehilangan pikirannya yang sadar.
Sesungguhnya ia sudah hampir gila. Dan pukulan terakhir
yang menghancur lumatkan pikirannya adalah ketika usahanya
membunuh baginda mengalami kegagalan. Ingatannya
berobah gila. Pikiran memang dapat goncang dan ingatan dapat
mengalami perobahan yang cenderung pada gila, apabila
orang mengalami rasa kejut yang luar biasa. Demikian dengan
Saraswati. Tetapi suatu keanehanpun terjadi pada diri gadis
Bali itu. Pada saat ia hendak diterkam harimau, iapun
mengalami kejut yang hebat sekali. Rasa kejut itu telah
mengguncangkan pula serabut-serabut benaknya, menggerakkan urat-urat syarafnya pula. Dia pingsan tetapi
setelah sadar, urat2 syarafnya itupun pulih kembali seperti
asalnya, sehingga ingatannyapun terang kembali. Karena kejut
yang luar biasa, ia telah kehilangan ingatannya yang sehat.
Tetapi karena kejut yang hebat pula ia telah mendapat
kembali ingatannya yang sehat itu.
"O, A rya Damarlah yang memaksa engkau supaya melayani
tumenggung Kuda Pengasih" tanyanya.
"Ya, bermula memang begitu" sahut Saraswati "tetapi
kemudian hamba memang mencintai tumenggung Pengasih"
"Dan Arya Damar Majapahit" pula yang membawa engkau ke "Karena ingin bertemu dengan tumenggung Kuda Pengasih
untuk mengabarkan tentang benih calon puteranya yang
hamba kandung, maka hambapun setuju menerima ajakan
raden Damar itu" "Dan tahukah engkau mengapa baginda
tumenggung Kuda Pengasih ke Sadeng"
menitahkan "Hamba tak tahu, raden" sahut Saraswati "tetapi
keberangkatan tumenggung itu bersama dengan raden Arya
Kembar dan Arya Damar pula"
"Oh" tiba2 patih Dipa mendesuh. Cepat ia dapat merangkai
suatu urutan peristiwa. Jelas bahwa di belakang peristiwa
Saraswati dengan tumenggung Kuda Pengasih itu, tentulah
Arya Kembar dan Arya Damar yang mengatur. Tetapi
mengapa Arya Damar memberi tekanan kepada Saraswati
supaya melayani tumenggung Kuda Pengasih " Mengapa pula
Arya Damar setelah membawa gadis itu, harus bertengkar
dengan tumenggung Pengasih mengenai diri Saraswati "
"Ah," makin jelas patih Dipa menjawab pertanyaannya
sendiri "tentulah setelah mendapatkan Saraswati, tumenggung
Kuda Pengasih menolak untuk melakukan suatu permintaan
dari Arya Damar. Arya Damar tentu marah dan mengadukan
kepada baginda. Karena terpikat oleh seorang gadis dari Bali
yang cantik, bagindapun meluluskan Arya Damar dan Arya
Kembar untuk menyiasati tumenggung Kuda Pengasih. A pabila
tumenggung itu telah dilenyapkan, Saraswati tentu akan dapat
dimiliki baginda." "Tetapi apakah tujuan Arya Damar terhadap tumenggung
Pengasih?" ia menimang-nimang "tentu mengenai sesuatu
yang berharga sehingga Arya Damar begitu marah dan
mengatur siasat untuk membunuhnya" Ah ...." tiba2 ia
terhentak "adakah golongan Arya2 itu hendak melakukan
sesuatu terhadap kerajaan"
Sesaat bertemu pada dugaan itu, semangat patih Dipapun
tergugah. Ia akan menyelidiki gerak-gerik Arya Damar dan
Arya Kembar. Dari siapa dan manapun datangnya, ia tak
menghendaki peristiwa Dharmaputera akan terulang pula di
keraton Majapahit. "Nyi Saraswati" katanya kepada wanita itu "bagaimana
kehendakmu sekarang " A pakah engkau tetap hendak kembali
ke tumenggungan" "Duh, raden" kata Saraswati beriba-iba "hamba sudah tiada
mempunyai kehendak. Bahkan hambapun sesungguhnya tak
ingin hidup lagi di dunia ini. Hamba malu terhadap
tumenggung Pengasih, hamba malu terhadap diri hamba,
hamba malu terhadap dunia, hambapun malu terhadap
dewata" Patih Dipa mengangguk-angguk "Benar, engkau memang
harus malu. Tetapi tahukah engkau, mengapa engkau harus
malu dan apa yang engkau malukan itu"
"Diri hamba telah cemar, raden"
Patih Dipa tertawa "Nyi Saraswati" katanya tenang2 "yang
cemar hanyalah ragamu, bukan jiwamu. Pada hakekatnya,
raga kita ini memang kotor, penuh debu dan darah kedosaan.
Raga hanyalah sangkar dari jiwa kita. Sangkar boleh cemar,
kotor, berhamburan lumpur, tetapi adakah burung yang
terdapat didalamnya ikut kotor juga" Adakah jiwa itupun ikut
kotor pula?" Patih Dipa berhenti sejenak "Jangan engkau malu karena
ragamu telah tercemar. Karena kecemaran itu bukanlah atas
kehendakmu melainkan oleh seseorang yang kuasanya tak
mungkin engkau, aku dan kita semua dapat menghadapi.
Yang malu haruslah orang yang melakukan cemar itu, bukan
engkau. Bahkan engkau harus bangga karena seorang raja
telah bersalah kepadamu"
"Tetapi hamba malu terhadap tumenggung"
"Jika hal itu terjadi atas kehendakmu, engkau memang
harus malu. Dan apa pesan tumenggung kepadamu"
"Tumenggung tak sempat meninggalkan pesan suatu apa"
"Salah" tukas patih Dipa "tumenggung sudah meninggalkan
pesan yang berharga kepadamu, nyi Saraswati"
Saraswati terbeliak "Pesan apakah, raden"
"Pesan bahwa engkau supaya merawat dan mendidik
puteranya agar kelak menjadi manusia yang berguna untuk
negara. Bukankah pesan itu telah terkandung dalam
kandunganmu" Saraswati terbelalak. "Jika engkau bunuh diri karena engkau merasa cemar. Jika
engkau bunuh, diri karena engkau merasa malu kepada
tumenggung Kuda Pengasih, maka engkau akan menjadi
wanita, menjadi isteri dan menjadi seorang ibu yang durhaka.
Sebagai wanita engkau mengingkari kewajibanmu sebagai
seorang titah wanita. Engkau mendurhaka terhadap pesan
suamimu dan engkau seorang ibu yang membunuh puteramu
sendiri. ." "Raden ..." serentak Saraswati menubruk kaki patih Dipa
dan menangis tersedu-sedu. Ia menangis sekeras-kerasnya
seperti anak kecil. Patih Dipa membiarkan wanita itu menumpahkan tangisnya.
Bagi wanita, tangis itu suatu alat untuk menumpahkan segala
yang mengganjal dalam hatinya. Beberapa saat kemudian
setelah tangis wanita itu mereda, barulah patih Dipa menepuk
bahu wanita itu pelahan-lahan "Nyi Saraswati, sudah puaskah
engkau menangis " Jika belum, lanjutkanlah, aku bersedia
menunggu" Pelahan-lahan nyi Saraswati meregangkan tubuh dan
mengangkat kepalanya, merintihkan sesal "Duh, raden, raden
telah menyelamatkan jiwa hamba, telah menghidupkan jiwaku
yang mati, menyegarkan nyala hidupku yang layu. Raden telah
memberi penerangan dalam kegelapanku. Kini raden telah
menunjukkan jalan kearah mana tujuan hidupku. Benar,
raden. Aku harus menghapus segala malu demi satu tujuan,
memelihara dan mendidik tetesan darah dari pria yang
kucintai. Sisa hidupku hanya kuperuntukkan puteraku itu"
"Dewata akan menerima setiap pengakuan dosa, selalu
merestui setiap pikiran yang sadar ke jalan yang terang" seru
patih Dipa "sekarang kemanakah tujuanmu, nyi Saraswati"
"Tuan yang memberi nyawa kepada hamba, hamba
serahkan jiwa raga kepada titah tuan" kata Saraswati.
"Apakah engkau hendak pulang ke desamu di Ularan"
"Apabila raden menghendaki demikian, hamba pun menurut
saja. Tetapi apabila mungkin, hamba hendak menetap di
Majapahit sampai nanti putera hamba lahir. Dia anak
tumenggung Majapahit, biarlah dia lahir di bumi Majapahit,
raden" Patih Dipa menyetujui. Tiba2 ia teringat akan empu
Kapakisan. Setelah cucu2 dari empu itu berada di Bali,
tentulah empu itu akan kesepian tinggal seorang diri. Tentulah
empu itu takkan keberatan apabila ia menitipkan Saraswati
disana. Dengan demikian pula, ia dapat menyelamatkan
wanita itu dari kejaran orang2 Arya Kembar ataupun prajurit2
Majapahit yang dititahkan baginda untuk mencari jejaknya.
"Baiklah, nini, akan kutitipkan engkau pada seorang empu
yang baik hati katanya. Patih Dipa segera kembali ke Daha dan langsung menuju ke
desa Kapakisan. Empu Kapakisan menerima permintaan patih
Dipa dengan senang hati. Ia juga kasihan akan nasib yang
dialami Saraswati. Demikian sejak itu tinggallah Saraswati di
tempat empu Kapakisan. 0odwo0 III Bukan kepalang marah Arya Kembar ketika menerima
kedua pengalasan yang melaporkan bahwa Saraswati telah
ditolong orang. Kedua prajurit yang ditugaskan Arya Kembar
untuk mengejar jejak Saraswati, menerangkan tentang ciri2
dari lelaki penolong itu.
"Tikus kamu!" bentak Arya Kembar ketika pengalasan itu
menceritakan tentang kedigdayaan dari penolong Saraswati
"masakan dua orang tak dapat mengalahkan seorang saja"
Sebenarnya kedua pengalasan itu hendak membantah
bahwa penolong Saraswati itu memang benar2 sakti
mandraguna. Tetapi mereka takut apabila makin membakar
kemarahan junjungannya. Terpaksa mereka menelan saja
umpat caci tuannya itu. Diam2 Arya Kembar merangkai bayangan tentang orang itu.
Orang dari Daha yang berperawakan kekar, tinggi sedang dan
masih muda. Tiba2 ia teikesiap demi tiba padi penemuan
tentang diri orang itu "Apakah benar dia?" gumamnya dalam
hati. "Adakah kalian pernah melihat patih Dipa dari Daha" segera
ia bertanya. Kedua prajurit itu menyatakan belum.
"Dia sering tampak di keraton Majapahit, tidakkah sesekali
kalian pernah melihatnya"
"Belum pernah, raden"
"Babi" Arya Kembar marah2 "lekas enyah dari hadapanku!"
Bagai anjing bercawat ekor, kedua prajurit itupun mundur
dari hadapan Arya Kembar.
"Tunggu dulu!" tiba2 Arya Kembar berseru sehingga kedua
prajurit itu terkejut dan hentikan langkah.
"Apakah kalian masih ingat wajah orang itu?" tanya Arya
Kembar. "Masih raden" "Apabila kalian melihatnya, dapatlah kalian mengenalinya"
Kedua prajurit itu menyatakan tentu dapat mengenali.
"Hm, baik" kata Arya Kembar "pergilah. Nanti pada suatu
kesempatan akan kuajak kalian untuk mengenali orang itu"
Berada seorang diri, Arya Kembar merenung rencana untuk
mencari orang yang telah menolong Saraswati itu. Wanita itu
harus dilenyapkan karena membahayakan. Apabila wanita itu
masih hidup dan menyiarkan peristiwa2 yang telah dialaminya
tentulah merugikan nama baik golongan arya. Demikian pula
apabila dapat menangkap wanita itu, tentu akan berjasa
kepada baginda. Segera ia mengunjungi Arya Damar. Juga Arya Damar
terkejut sekali mendengar berita itu "Berbahaya sekali, kakang
Arya" kata Arya Damar "terutama apabila yang menolong
gadis itu, orang yang kakang curigai itu. Dia tentu dapat
memegang rahasia kita"
Kedua arya itu termenung dalam dugaan dan kegelisahan.
Akhirnya Arya Kembar menyatakan rencananya untuk
membawa kedua prajurit itu, apabila patih Dipa datang ke
Majapahit. Agar dapat dikenalnya. Arya Damar setuju.
"Menurut pendapat kakang arya, besarkah kemungkinannya
bahwa penolong itu patih Dipa sendiri" Arya Damar menegas.
"Rasanya memang begitu, Damar"
"Hm, jika demikian" kata Arya Damar "kita harus bersiapsiap mengatur rencana untuk menghadapi kemungkinan yang
timbul dari patih itu"'
"Maksudmu" "Kita cari kawan, kakang arya"
"Cari kawan" Apa yang engkau maksudkan?" Arya Kembar
mulai heran. "Kawan yang memiliki kegelisahan seperti yang kita rasakan
ini" "Eh, Damar" Arya Kembar merentang pandang mata "aku
tak mengerti apa yang engkau maksudkan. Coba katakan yang
jelas !" "Kakang arya" kata Arya Damar "siapakah yang kakang ajak
untuk membawa Saraswati kedalam keraton"
"O" desuh Arya Kembar "nyi Tanca maksudmu?"
Arya Damar mengangguk "Benar. Tidakkah nyi Tanca juga
menderita nasib seperti yang dialami Saraswati"
"Ya" "Dan hanya kitalah yang tahu akan rahasia itu, bukan ?"
"Saraswati juga tahu"
"Nah, bagaimana kalau kita bayangkan rahasia itu kepada
ra Tanca sehingga diapun akan marah dan gelisah dan ikut
dalam usaha kita untuk menghadapi patih Dipa"
"Bagus sekali, Damar" seru Arya Kembar amat gembira
"ternyata engkau dapat melahirkan gagasan yang baik sekali.
Ra Tanca, salah seorang bekas Dharmaputera yang
termasyhur. Dia seorang tabib yang pandai. Sebagai
kelanjutan, dapatlah kita susun rencana lagi bersama tabib
Dharmaputera itu" "Bilakah kakang hendak melaksanakan rencana itu" tanya
Arya Damar.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pada hari Buddha pancawarna, tanggal satu kresnapaksa
bulan Kartika, pangeran Adityawarman akan berangkat
meninggalkan pura Majapahit menuju ke negeri Tartar sebagai
utusan kerajaan Majapahit" kata Arya Kembar.
"O, mengapa baginda hendak mengirim utusan ke Tartar?"
tanya Arya Damar. Arya Kembar menghela napas.
"Damar" katanya "engkau tentu tahu akan sejarah
berdirinya kerajaan Majapahit yang dibangun oleh ayahanda
baginda Jayanagara yani rahyang ramuhun Sri Kertarajasa"
"Ya" "Nah, maharaja Kubilai Khan dari negara Tartar tentu
takkan melupakan peristiwa pembunuhan prajurit2 Tartar oleh
raden Wijaya" "O, maksud kakang arya, baginda Jayanagara cemas kalau
Tartar akan mengirim pasukan ke Majapahit"
"Kemungkinan akan hal itu, memang ada saja"
"Tetapi mengapa raja Kubilai Khan tidak terus mengirim
pasukan untuk menghukum raden Wijaya, melainkan baru
sekarang bertindak begitu"
"Damar" kata Arya Kembar "engkau harus tahu akan
pasang surutnya suatu kerajaan itu. Sebenarnya Kubilai Khan
itu berasal dari daerah Tartar. Dia menyerang dan menduduki
negara Cina. Sudah tentu setiap waktu dia harus menghadapi
perlawan dan pemberontakan dari rakyat Cina. Kemungkinan
dalam kesibukan2 itulah maka Kubilai Khan sampai mempertangguhkan niatnya hendak menghukum raden Wijaya"
"Jika demikian, mengapa baginda perlu mengirim utusan ke
Tartar lagi" tanya Arya Damar pula.
Sejenak merenung barulah Arya Kembar berkata "Baginda
Jayanagara memang seorang junjungan yang memiliki
pandangan jauh. Sejak baginda naik tahta, kekerajaan selalu
diganggu beberapa pemberontakan. Pemberontakan mahapatih Nambi dan beberapa mentri di Lumajang,
pemberontakan Dharmaputera ra Kuti dan kawan2nya,
pemberontakan raja Bali-Bedulu. Hampir dalam masa
memimpin kerajaan, usaha dan langkah baginda ditujukan
untuk mengamankan persoalan2 dalam negeri"
Arya Damar mengangguk. "Namun dalam kesibukan2 baginda untuk menangani
persoalan dalam kerajaan, tidaklah baginda pernah melupakan
persoalan2 yang timbul dan terjadi di luar kerajaan, bahkan
jauh ke negara2 seberang. Terutama negeri Tartar. Ancaman
akan pengiriman pasukan Tartar untuk menghukum M ijapahit,
tak pernah terhindar dari ingatan baginda. Pengiriman
pangeran Adityawarman ke Tartar, mempunyai dua landasan
tujuan" Pada saat Arya Kembar menghentikan uraiannya, tampak
Arya Damar makin tertumpah perhatiannya.
"Pertama" sesaat kemudian Arya Kembar melanjutkan
"utusan baginda itu akan memberi keterangan tentang
kerajaan Majapahit yang sekarang dalam hubungannya
dengan peristiwa berdarah dahulu. Kemudian menawarkan
suatu hubungan dagang antara kedua kerajaan itu, atas dasar
saling menghormati kedaulatan masing2 dan saling untung
menguntungkan. Kedua, pangeran Adityawarman akan dapat
melihat perkembangan yang terjadi di negara Tartar. Apakah
maharaja Kubiliai Khan yang sudah lanjut usia itu masih
memiliki pengaruh dalam kerajaannya. Hasil daripada
kunjungan pangeran Adityawarman itu sangat penting untuk
landasan baginda Jayanagara menentukan langkah dan sikap
terhadap negara Tartar. Demikian pula dalam usaha baginda
untuk menegakkan dan memperkokoh kewibawaan kerajaan
Majapahit dalam telatah kekuasaannya"
"O, jika demikian penting juga kunjungan pangeran
Adityawarman itu ke negeri Tartar" seru A rya Damar.
"Pandangan baginda Jayanagara memang lebih luas dan
lebih tegas dalam mengendalikan pemerintahan"
"Tetapi baginda mempunyai kelemahan kegemarannya terhadap wanita2 cantik"
karena Arya Kembar menghela napas.
"Tiada manusia yang sempurna" katanya "apa lagi baginda
seorang raja yang berkuasa sehingga makin leluasa untuk
memanjakan kegemarannya itu"
"Kakang arya" kata Arya Damar "bagaimana maksud
kakang mengenai hari keberangkatan pangeran Adityawarman
nanti " Bukankah waktunya hanya tinggal lima hari lagi"
Arya Kembar mengangguk. "Pada waktu itu para mentri senopati kerajaan tentu
lengkap hadir untuk melepas keberangkatan pangeran
Adityawarman. Patih Dipa tentu tak ketinggalan hadir. Nah,
pertama akan kusuruh kedua pengalasanku untuk mengenali,
apakah orang yang menolong Saraswati itu benar patih Dipa"
Kedua, pada saat itu dapatlah kita mendekati ra Tanca"
"Ya, benar" kata Arya Damar.
Demikian pembicaraan kedua arya itu telah mencapai
persepakatan langkah. Mereka akan melaksanakan rencananya pada nanti saat pemberangkatan pangeran
Adityawarman ke negeri Tartar.
Memang penilaian mereka terhadap langkah baginda untuk
mengirim pangeran Adityawarman ke Cina, mendekati
kebenaran. Baginda ingin menjajagi bagaimana keadaan di
kerajaan Kubilai Khan pada dewasa itu. Apa sebab pada waktu
pasukan Tartar terbasmi di Singasari, Kubdai Khan tak segera
mengirim pasukan untuk menghukum raden Wijaya.
Dengan memilih pangeran Adityawarman sebagai utusan,
diam2 baginda telah menunjukkan suatu kekuatan kepada raja
Tartar. Pangeran Adityawarman adalah pangeran calon raja
dari tanah Malayu. Apabila dia menjadi utusan Majapahit,
maka akan memberi kesan kepada Kubilai Khan, betapa besar
kekuasaan dan pengaruh kerajaan Majapahit. Pengaruh
Majapahit telah meliputi Malayu. Paling tidak Kubilai Khan
tentu akan mempunyai kesan bahwa antara kerajaan
Majapahit dengan Malayu telah bersekutu dan mempunyai tali
persatuan. Disamping itu pangeran Adityawarman memang telah
membuktikan kecakapannya dalam mengatur pemerintahan,
memimpin sidang2 dan cakap bicara. Yang penting pula,
pangeran itu seorang pangeran yang berhati bersih, setya
kepada kerajaan Majapahit dan dihormati oleh para kawula.
Demikian hari yang dinantikan itupun tiba. Dengan dihadiri
oleh segenap mentri, senopati, Dharma-dhyaksa ring
Kasyiwan, Dharmadhyaksa ringKasogatan, para kepala
pandita, segenap angkatan perang Majapahit maka
rombongan utusan Majapahit yang dipimpin pangeran
Adityawarman itupun segera berangkat. Para mentri dan
senopati mengantarkan pangeran sampai ke bandar Canggu.
Disitu telah disiapkan kapal2 besar yang akan membawa
pangeran berlayar ke negeri Cina.
Arya Kembar dan Arya Damar pun ikut serta mengantar
rombongan utusan itu. Setelah upacara pelepasan selesai,
bergegaslah kedua arya itu mendapatkan kedua pengatasannya. Kedua pengatasannya itu ditugaskan supaya
berjajar jajar disepanjang jalan dengan para kawula yang
hendak menyaksikan keberangkatan utusan kerajaan itu.
Telah disepakati, bahwa Arya Damar akan mendekati patih
Dipa. Dan kedua pengatasan itupun supaya memperhatikan
wajah patih Dipa, adakah memang benar serupa dengan
orang yang telah menolong Saraswati.
"Benar, raden" kata kedua pengalasan itu ketika
menghadap Arya Kembar dan Arya Damar "walaupun
sekarang dia mengenakan pakaian kebesaran, tetapi hamba
tak lupa. Memang ki patih itulah yang telah menghajar hamba
dan menolong wanita itu"
Setelah kedua prajurit itu disuruh keluar, berkatalah Arya
Kembar kepada Arya Damar "Ternyata dugaanku benar.
Sekarang kita harus mengusahakan tercapainya rencana kita
untuk memdekati ra Tanca"
"Sayang pada waktu mengantar pemberangkatan pangeran
Adiiya, ra Tanca tak tampak hadir" kata Arya Damar.
"Kiia kunjungi rumahnya" kata Arya Kembar.
"Tetapi kakang arya" kata Arya Damar "bukankah hal itu
akan menimbulkan kecurigaan nyi Tanca" Kurasa lebih baik
kita cari lain kesempatan, dimana kita dapat bicara berdua
dengan ra Tanca" Arya Kembar diam merenung. Beberapa saat kemudian
baru ia berkata "Jika demikian, akan kusuruh pengalasan
untuk meninjau ra Tanca, apa sebab dia tak hadir dalam
upacara pelepasan utusan kerajaan tadi"
Segera dipanggilnya seorang pengalasan dan diperintahnya
untuk mencari keterangan ke gedung kediaman ra Tanca.
Beberapa waktu kemudian pengalasan kembali dengan
membawa keterangan bahwa ra Tanca memang tak di rumah.
Menurut keterangan nyi Tanca, tabib itu sedang menuju ke
gunung Penanggungan untuk mencari ramuan obat.
Selelah memerintahkan pengalasan keluar, berkatalah Arya
Kembar "Mari kita susul dia ke gunung Penanggungan"
Demikian kedua arya itu dengan naik kuda segera
berangkat ke gunung Penanggungan. Tidak mudah untuk
mencari seseorang di gunung yang masih penuh lembah dan
hutan belantara. Demikian pula Arya Kembar dan Arya Damar.
Hampir saja pada hari ketiga itu Arya Kembar dan Arya
Damar hendak turun gunung dan pulang ke pura. Keduanya
putus asa untuk menemukan jejak ra Tanca. Sekonyongkonyong pada saat melintas sebuah gerumbul lebat, mereka
terkejut mendengar suara orang berteriak minta tolong.
Bergegas mereka lari menuju kearah suara itu.
Mereka tiba disebuah lembah tetapi tak melihat barang
seorang manusia. Sesaat kemudian terdengar pula suara
orang berteriak minta tolong itu. Arya Kembar dan Arya Damar
bergegas lari ke tepi lembah dan ketika melongok ke bawah,
mereka terkejut sekali. Bagian bawah lembah itu merupakan sebuah jurang yang
curam sekali, entah berapa ratus tombak dalamnya. Dan cepat
pula mereka melihat sebatang pohon brahmastana kecil
tumbuh pada tebing jurang, lebih kurang sepuluh tombak
dibawah tepi lembah. Dan pada pohon brahmastana itu
tampak seorang lelaki bertubuh kurus, tersangkut pada salah
sebatang dahan. "Tolong . . . . !" rupanya orang itu melihat kemunculan Arya
Kembar dan Arya Damar. Saat itu hari sudah sore, cuacapun mulai redup. Namun
Arya Kembar cepat dapat menduga siapa orang itu "Siapakah
ki sanak yang berada dibawah itu"
"Aku ra Tanca!" sahut orang itu dengan penuh harap
"tolonglah aku dari jurang ini"
Arya Kembar saling berpandangan dengan Arya Damar.
Belum mereka membuka mulut, terdengar pula ra Tanca
berteriak "Ki sanak, tolonglah aku dari jurang yang curam itu.
Akan kuberimu hadiah besar"
Arya Kembar mengangguk kepada Arya Damar kemudian
melongok kebawah "Apakah hadiahnya itu" serunya.
"Uang dan emas permata"
"Tidak!" seru A rya Kembar "aku tak membutuhkan harta"
"Tolonglah, kisanak. Tolonglah aku, demi kemulyaan Batara
Agung" "Ya" seru Arya Kembar "tetapi engkau mengatakan hendak
memberi hadiah. Apakah engkau tarik kembali"
"Tidak" karena ingin lekas terlepas dari tempat maut itu, ra
Tanca berseru "katakan apa yang engkau minta, aku tentu
menyanggupi" Sejak tadi, Arya Kembar sudah membisiki Arya Damar
supaya mengambil tali kendali pada kuda mereka. Sedang ia
sendiri masih tinggal disitu.
"Baiklah, engkau sendiri yang mengatakan begitu" Arya
Kembar berseru "aku baru suruh mengambilkan tali. Dapatkah
engkau bertahan untuk beberapa saat lagi"
"Ya" sahut ra Tanca "tetapi agak cepatlah karena aku tak
dapat bergerak. Batang pohon ini licin sekali"
Tak berapa lama Arya Damar kembali dengan membawa
tali kendali yang dilepas dari kuda mereka. Setelah tali itu
disambung maka merekapun mendapat tali yang cukup
panjang, kuat dan dapat mencapai ke tempat ra Tanca.
Demikian dengan hati2, Arya Kembar dan Arya Damar mulai
menarik tali yang sudah diikatkan pada tubuh ra Tanca itu,
pelahan-lahan ke atas. Ketika tiba di atas, ra Tanca menghela, napas longgar.
Tubuhnya mandi peluh. Dia segera menengadahkan kepala,
merentang kedua tangan dan mengucapkan doa kepada
dewata. "O, engkau raden Arya Kembar dan Arya Damar" seru ra
Tanca sesaat memandang siapa penolongnya itu. Sejak tadi
karena dicengkam oleh ketegangan yang besar, tak sempat ia
memperhatikan kedua penolongnya itu.
"Benar, paman ra Tanca" sahut Arya Kembar kemudian ia
menanyakan apa sebab ra Tanca sampai jatuh ke dalam
jurang. "Aku sedang mencari bahan ramuan obat. Tak terdugaduga akupun tergelincir jatuh ke dalam jurang"
Tiba2 Arya Kembar memperhatikan bahwa tangan ra Tanca
selalu mendekap saku bajunya "Maaf paman Tanca, apakah
gerangan yang paman pegang itu"
Ra Tanca terkejut "Ah, hanya burung, raden"
"Burung" Arya Kembar heran "burung apa"
"Burung platukbawang, raden"
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"O" seru Arya Kembar. Diam2 ia menduga bahwa tentulah


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

burung itu akan dijadikan bahan ramuan obat yang hebat
"untuk apakah burung itu, paman"
Ra Tanca menghela napas dan tak lekas menjawab. Makin
meningkat dugaan Arya Kembar bahwa tentu ada sesuatu
pada burung itu. "Paman Tanca" katanya "tampaknya paman menyimpan
sesuatu mengenai burung itu. Jika hal itu memang suatu
rahasia, akupun takkan memaksa. Karena kami menolong
paman tadipun bukan karena hendak mengetahui rahasia
tentang seekor burung platukbawang"
Dalam membawakan kata 'menolong' itu, sengaja Arya
Kembar memberi nada yang keras agar mengingatkan ra
Tanca dari janjinya tadi.
Ra Tanca menghela napas pula. Rupanya ia dapat
menangkap arti kata2 ra Kembar. Pikirnya, ia telah berhutang
jiwa kepada kedua arya itu. Apakah tak malu kalau ia harus
menyimpan suatu rahasia kepada mereka "Raden, tahukah
mengapa kali ini aku menuju kegunung Penanggungan untuk
mencari ramuan obat"
Arya Kembar tertawa "Yang kami ketahui, paman Tanca ini
seorang tabib dari pura Majapahit yang amat termasyhur.
Bahwa paman pergi ke hutan atau ke gunung mencari ramuan
obat, itu sudah sewajarnya"
"Raden" kata ra Tanca "apakah pangeran Adityawarman
sudah berangkat" "O, paman Tanca tahu tentang hal itu?" Arya Kembar agak
heran "mengapa paman tak tampak hadir dalam upacara
pelepasan rombongan pangeran Adityawarman"
"Itulah raden, beratnya menjadi tabib dan beratnya pula
aku bernama Tanca" Arya Kembar terbeliak "Apakah maksud paman?" Ra Tanca
tahu bahwa golongan Arya dari tanah Melayu itu bukanlah
termasuk golongan dari yang memusuhi Dharmaputera
dahulu. Juga tiada hubungan dengan Gajah Kencana dan patih
Dipa. Walaupun golongan Arya dari tanah Malayu itu juga
mendukung baginda Jayanagara, tetapi bedalah sifat
dukungannya kepada Majapahit dari Gajah Kencana. Gajah
Kencana menegakkan kewibawaan kerajaan Majapahit,
golongan arya tanah Malayu menegakkan kekuasaan ratu
Indreswari di kerajaan Majapahit.
Ra Tanca menganggap golongan arya itu tidak sejelas
warnanya dalam permusuhannya terhadap Dharmaputera
yang lalu. Dan pula karena telah menerima pertolongan dari
kedua arya itu sehingga ia dapat terhindar dari tergelincir
kedalam jurang maut, maka ra Tancapun menyisihkan
keberatan2 untuk memberitahu perihal burung platukbawang
itu. "Pada suatu hari" demikian ia mulai menceritakan "baginda
telah mengutus pengalasan ke rumah kediamanku.
Pengalasan itu membawa titah baginda agar aku membuatkan
suatu ramuan untuk obat . . . ." ra Tanca berhenti lalu berkata
dengan pelahan "kuharap raden jangan mengatakan hal ini
kepada siapapun, cukup untuk pengetahuan raden sendiri"
"Baik, paman" kata Arya Kembar.
"Dalam waktu terakhir ini baginda merasa telah mengidap
suatu kelemahan tenaga kejantanannya sehingga baginda
mengalami tekanan bathin karena kurang dapat memenuhi
nafsunya. Maka baginda menitahkan supaya aku menghaturkan ramuan obat untuk memulihkan tenaga itu"
"O" desuh Arya Kembar "mungkin karena terlalu
memanjakan diri dalam kesenangan dengan wanitalah maka
baginda sampai menderita hal semacam itu. Tetapi paman
Tanca, adakah baginda acapkali menitahkan paman untuk
membuatkan ramuan obat"
Ra Tanca mengangguk "Ya. Rupanya baginda cocok dengan
obat2 yang kuramu sehingga berkenan melimpahkan
kepercayaan kepadaku"
Diam2 Arya Kembar menilai bahwa itulah sebabnya
mengapa ra Tanca satu-satunya Dharmaputera yang
mendapat pengampunan. Rakryan itu masih dibutuhkan
kepandaiannya dalam obat-obatan.
"Lalu apakah paman sudah menemukan bahan ramuan itu"
tanya Arya Kembar pula. "Ya" sahut ra Tanca "pada saat aku hendak pulang, tiba2
kulihat seekor burung platukbawang aneh warnanya. Sekujur
badannya berwarna kuning emas macam burung kepodang.
Burung platukbawang merupakan ramuan obat yang banyak
sekali khasiatnya. Dan biasanya setiap jenis binatang ataupun
burung, yang mempunyai kelainan warna dan kulit dari kawan
jenisnya, tentu mempunyai khasiat yang lain pula. Memang
pernah kutemukan dalam kitab pusaka obat-obatan, bahwa
burung platukbawang emas itu, mempunyai khasiat luar biasa.
Tetapi burung platukbawang emas itu jarang sekali terdapat di
dunia" "O, apakah yang paman simpan dalam saku baju itu burung
platukbawang emas" "Ya" kata ra Tanca "memang tubuhnya agak kecil dari
burung platukbawang biasa dan diapun tidak mau mematuk
pada pohon sembarangan, melainkan memilih pohon yang
harum. Misalnya, pohon cendana, pohon kenanga dan lain2"
"Bagaimana paman berhasil mendapatkannya" tanya Arya
Kembar. "Kuikuti dia sampai berhari hari. Sampai pada suatu ketika
berhasil kulontar dengan batu kerikil. Namun ia dia masih kuat
bertahan sampai sehari baru jatuh ke tanah. Saat itu aku
terkejut sekali karena dia turun ke bumi, tepat di tepi jurang
ini. Aku segera menerkamnya, berhasil tetapi aku tergelincir ke
bawah jurang. Kukira aku tentu mati andai tidak terkait pada
batang pohon brahmastana tadi" ra Tanca mengakhiri
ceritanya. "Lalu bagaimanakah rencana
platukbawang itu" paman dengan burung "Akan kubuatkan ramuan obat untuk baginda" kata ra
Tanca "kurasa ramuan itu tentu istimewa sekali khasiatnya"
Tiba2 Arya Kembar kerutkan dahi. Wajahnya menampil
gelap "Jika demikian, pamanlah yang secara tak langsung
mencelakai wanita2 dan gadis2 yang tak berdosa !"
Ra Tanca terbeliak. "Apa maksud raden" serunya.
"Dengan memberikan ramuan obat istimewa kepada
baginda, paman melakukan dua buah dosa. Pertama, paman
menjerumuskan baginda kedalam lembah kesenangan yang
akhirnya akan menghancurkan jasmani dan rohani baginda.
Akibatnya yang lebih luas pula, kerajaan akan dipimpin oleh
seorang junjungan yang lemah jasad dan lemah pikiran.
Tidakkah hal itu akan menghancurkan kerajaan Majapahit"
Ra Tanca pucat. "Tidakkah saat ini aku dapat mengatakan bahwa paman
masih hendak melangsungkan rencana Dharmaputera yang
lalu" Bedanya, jika Dharmaputera hendak menghancurkan
baginda secara kekerasan tetapi paman hendak menghancurkan secara halus, secara menyenangkan yang
dihancurkan!" Ra Tanca makin pucat. "Dosa kedua" kata Arya Kembar pula "paman
menghancurkan wanita dan gadis2 yang tak berdosa.
Pamanlah yang merencanakan, dalam hal ini yang membuat
ramuan obatnya. Dan baginda yang melaksanakan"
"Raden" seru ra Tanca sesaat mendapat kembali
kesadarannya "ra Tanca hanya mendapat titah dari baginda
raja. Ra Tancapun tahu bahwa diri ra Tanca itu dikenal
sebagai salah seorang Dharmaputera. Apabila ra Tanca tak
mau melakukan titah raja, bukankah sudah lama batang
kepala ra Tanca akan terpisah dari gembung badan ini " Apa
dayaku, raden" Arya Kembar tertawa. "Hm, paman telah mengadakan pembelaan yang baik
terhadap diri paman" katanya "karena paman tak pernah
merasakan betapa pedih hati orang2 tua yang harus melihat
kehancuran puteranya " Betapa ngenas wanita dan gadis2 itu
harus mengorbankan dirinya!"
"Aku tak kuasa mencegah tindakan baginda, raden " sahut
ra Tanca. "Tetapi paman sekurang-kurangnya kuasa untuk mencegah
agar baginda tak dapat melaksanakan kegemarannya"
"Bagaimana mungkin" seru ra Tanca.
"Apabila ramuan yang paman haturkan itu tidak paman
buatkan dengan ramuan yang keras, bukankah baginda takkan
mampu melakukan hasratnya"
"Baginda tentu murka !" seru ra Tanca. Arya Kembar
tertawa pula. "Benar" sahutnya "tetapi paman dapat mengatur sendiri
bagaimana caranya. Apabila baginda murka, barulah paman
beri ramuan yang keras. Setelah itu berilah yang kurang
dayanya lagi. Demikian setiap kali baginda murka, barulah
paman menghaturkan ramuan yang keras. Jika tidak murka
paman dapat mengurangi daya khasiat ramuan itu"
Ra Tanca terdiam. "Paman rakryan" seru Arya Kembar pula "bagaimana andai
paman sendiri menderita akibat tindakan baginda itu.
Misalnya, andai puteri paman yang menjadi korban"
Ra Tanca tak cepat menyahut, melainkan menghela napas.
Kemudian berkata "Aku tak mempunyai anak perempuan. Aku
tak dapat membayangkan hal itu"
"Baik" kata Arya Kembar "memang sukar untuk
membayangkan hal2 yang tak ada pada paman. Sekarang
kutanya, tetapi sebelumnya, janganlah paman marah. Karena
ini hanya suatu pengandaian"
Ra Tanca mengangguk. "Bagaimana andai baginda mengganggu bibi rakryan Tanca,
isteri paman itu" Ra Tanca terperangah tetapi sesaat kemudian tertawa
"Janganlah engkau terlalu mengada-ada, raden. Bagaimana
mungkin baginda berkenan pada isteri-ku?"
"Paman, telah kukatakan, bagaimanakah perasaan paman"
andaikata demikian, "Raden, jangan memaksa hal yang tidak mungkin
kepadaku. Hal itu hanya memberi siksa pada batinku" seru ra
Tanca dengan kerutkan dahi, picingkan mata.
"Tidak, paman. Aku tak menyiksa batinmu.
kenyataannya memang demikian ..."
Karena "Raden!" teriak ra Tanca serentak "apa katamu?"
Rakryan itu terbelalak, memandang Arya Kembar dengan
penuh ketegangan. "Tidakkah paman mendengar tentang suatu peristiwa yang
terjadi dalam keraton"
"Peristiwa apa" ra Tanca mengerut dahi makin dalam "sejak
timbul peristiwa Dharmaputera, aku tak mau lagi
menceburkan diri dalam urusan pemerintahan. Kucurahkan
waktu dan pikiranku untuk memperdalam ilmu pengobatan.
Karena ilmu itu memiliki nilai yang luhur, berguna untuk
menolong penderitaan sesama manusia"
"Adakah bibi rakryan tak menderitakan peristiwa itu kepada
paman?" tanya Arya Kembar. Diam2 ia sudah menduga bahwa
nyi Tanca tentu akan menyimpan rahasia itu terhadap
suaminya. Ra Tanca gelengkan kepala dan mengatakan bahwa
isterinya tak pernah bercerita apa2.
"Begini paman Tanca" kata Arya Kembar "baru2 ini dalam
keraton Tikta-Sripala telah terjadi suatu peristiwa yang apabila
tersiar di kalangan narapraja dan kawula, tentu akan
menimbulkan cemar bagi keluhuran kewibawaan baginda"
"O, peristiwa apakah itu"
Arya Kembar mengatur napas. Saat itu mereka bertiga
duduk dibawah pohon. "Pada hakekatnya, pergolakan dalam kerajaan tentu
berkisar pada tiga macam hal. Pertama, tahta. Kedua, harta.
Dan ketiga wanita. Sejak dulu hingga saat ini, pergolakan
dalam kerajaan itu tak lepas dari salah satu ketiga hal itu"
Ra Tanca mengangguk. "Apa yang terjadi dalam lingkungan keraton Tikta-Sripala,
pun demikian. Tahta, merupakan sumber pertikaian dan
pergolakan selama ini. Antara kedua puteri dan seorang
putera dari rahyang ramuhun Kertarajasa yalah puteri
Tribuanatunggadewi yang kini menjadi Rani Kahuripan, puteri
Mahadewi yang kini menjadi Rani Daha dan pangeran Kala
Gemet yang kini menjadi baginda Jayanagara di Majapahit.."
"Memang tampaknya baginda Jayanagaralah yang menang
dan berhasil menduduki tahta, menggantikan kedudukan
ayahanda rahyang ramuhun Kertarajasa. Tetapi peristiwa itu
telah menimbulkan akibat2 yang luas antara lain timbulnya
golongan2 yang mendukung kedua rani dan yang mendukung
baginda Jayanagara. Timbulnya golongan2 itu berakibat
dengan meletusnya pemberontakan-pemberontakan yang lalu
.." "Demikian kedudukan baginda Jayanagara telah menimbulkan persoalan2 dan akibat". Disamping itu baginda
sendiripun membentuk persoalana

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang cenderung digolongkan soal yang ketiga yani Wanita. Hanya sifat
tindakan baginda dalam soal wanita itu, beda dengan raja2
pada masa2 lampau yang memperebutkan puteri cantik dan
berakhir timbulnya peperangan diantara kedua kerajaan"
"Baginda tidak berkenan memilih puteri yang akan
dinobatkan sebagai permaisuri, melainkan hanya bermanjamanja dalam kesenangan dengan wanita cantik. Rara Sindura,
Damayanti dan masih beberapa wanita yang dirahasiakan,
telah terjadi dalam kehidupan baginda"
"Ya, memang hal itu telah terjadi pada masa yang lalu.
Tetapi peristiwa apakah yang telah terjadi lagi pada waktu
terakhir ini" tanya ra Tanca. Rupanya ia tak begitu menaruh
perhatian akan hal-hal yang sudah diketahuinya.
"Yang terjadi pada waktu terakhir ini, menyangkut pada diri
dua orang wanita. Yang seorang, seorang gadis Bali bernama
Saraswati. Gadis itu dibawa oleh Arya Damar ke pura
Majapahit. Suatu saat Arya Damar yang ketika itu bersama
patih Dipa dititahkan baginda untuk mengamankan kerajaan
Bali-Beiulu, telah menyambut kedatangan tumenggung Kuda
Pengasih yang diutus baginda untuk memanggil kedua
senopati Majapahit di Bali itu. Sebenarnya Arya Damar telah
merencanakan untuk menghaturkan gadis Saraswati kehadapan baginda tetapi tumenggung Kuda Pengasih
menghasratkan sendiri gadis itu. Karena menganggap
tindakan tumenggung itu kurang layak maka Arya Damarpun
melaporkan kehadapan baginda. Akibatnya, baginda murka.
Tetapi karena tumenggung itu menunjukkan kesetyaannya
dalam mengabdi kepada kerajaan, maka bagindapun tak
berkenan untuk menjatuhkan pidana secara langsung. Aku
dan Arya Damar diberi titah baginda untuk mengajak
tumenggung Pengasih ke Sadeng, memanggil adipati Sadeng
supaya menghadap ke pura kerajaan. Dalam percakapan di
kadipaten Sadeng, terjadilah perbantahan yang sengit diantara
tumenggung Pengasih dengan adipati Sadeng. Kemudian
ketika pulang ke Majapahit, kami telah dicegat oleh
segerombolan orang Sadeng yang hendak menangkap kami.
Kami melawan tetapi akibatnya tumenggung Kuda Pengasih
gugur. Bukankah begitu, Damar.''
"Ya, ya, benar" Arya Damar bergegas mengiakan.
"Adakah hal itu berarti baginda telah melimpahkan pidana
kepada tumenggung Pengasih?" tanya ra Tanca.
"Secara tak langsung, paman" kata Arya Kembar "baginda
tahu bahwa adipati Sadeng memang menunjukkan gejala2
bersikap tak mau menghadap ke pura kerajaan. Rombongan
kami yang diutus ke Sedang, hanya disertai beberapa orang
pengiring saja. Sadeng baginda telah menyerahkan keputusan
tindakan terhadap Adipati Sadeng kepada tumenggung
Pengasih. Sudah tentu dapat dibayangkan bagaimana
akibatnya" "Raden maksudkan baginda hendak meminjam tangan
adipati Sadeng untuk melenyapkan tumenggung Pengasih"
"Dapat kita simpulkan begitu, paman" kata Arya Kembar.
"Dan setelah itu, gadis Bali itu lalu diboyong ke dalam
keraton" tanya ra Tanca pula.
"Tepat" kata Arya Kembar.
"Jika demikian sama seperti terjadi pada Rara Sindura dan
Kuda Larnpeyan dahulu"
"Ya, hanya caranya berbeda?"
"O" ra Tanca mengangguk-angguk.
"Tetapi tahukah paman bagaimana cara gadis Bali itu dapat
dibawa menghadap baginda di keraton?" tiba2 Arya Kembar
bertanya. "Tentu ada menjemputnya" pengalasan atau utusan raja yang "Benar" kata Arya Kembar "dan tahukah paman siapa yang
dititahkan baginda untuk menjemput gadis Bali itu"
Ra Tanca terkesiap dan gelengkan kepala.
"Bibi rakryan, isteri paman sendiri"
"Hai!" ra Tanca berteriak kaget "bagaimana mungkin
baginda dapat langsung menjatuhkan titah kepada nyi Tanca"
Arya Kembar lalu menuturkan tentang kedatangan; nyi
Tanca atas titah gusti ratu Indreswari "Kala itu sebenarnya
pamanlah yang diundang tetapi karena paman tiada di rumah
maka bibi rakryan yang dititahkan menghadap gusti ratu dan
dititahkan untuk membuat ramuan penyakit kepala yang
diderita gusti ratu"
"O" desuh ra Tanca "lalu?"
"Secara tak terduga sehabis menghadap gusti ratu, di
Bangsal Kencana, bibi rakryan telah berpapasan dengan
baginda. Dan disitulah baginda mulai terpikat akan bibi
rakryan. Baginda tak memperkenankan bibi sakryan pulang.
Bibi rakryan menangis dan Mengingatkan baginda bahwa dia
sudah bersuami" "Hm" desuh ra Tanca dalam hati ia memuji kesetyaan
isterinya. "Dengan beberapa kata penyadaran yang dirintihkan bibi
rakryan kehadapan baginda, akhirnya baginda dapat
meluluskan untuk membebaskan bibi rakryan"
"O" desuh ra Tanca pula. Kali ini dengan perasaan longgar.
"Tetapi dengan syarat" arya Kembar menyusuli kata.
"Syarat" ra Tanca kerutkan dahi.
"Ya, bahwa bibi rakryan harus dapat membawa Saraswati
ke dalam keraton" "Untuk tukar, maksud baginda"
Arya Kembar mengangguk "Ya. Dan akhirnya bibi rakryan
berhasil mengajak gadis itu ke keraton"
"Ah, kasihan gadis itu"
"Tidak" kata Arya Kembar "tak perlu paman mencurahkan
rasa kasihan kepadanya"
"Mengapa" Bukankah dia akan ..."
Arya Kembar tersenyum "Ya, tetapi bukan saat itu"
"Apa maksud raden" ra Tanca mulai cemas.
"Pada malam itu baginda terkecoh oleh siasat gadis Bali itu
yang mengatakan dirinya saat itu sedang kotor"
"O" desuh ra Tanca"lalu ?"
"Baginda sudah terlanjur dirangsang oleh selera nafsunya,
maka . . . maka .." "Maka bagaimana?" ra Tanca makin tegang.
"Maka bibi rakryanlah yang harus menggantinya"
"Setan!" ra Tanca serentak melonjak bangun dan mencekik
leher baju Arya Kembar seraya diguncang-guncangkannya
"apa katamu" Apa katamu!"
"Dalam keadaan tak berdaya, bibi rakryanpun terpaksa
menuruti kehendak baginda .."
"Kembar!" teriak ra Tanca "jangan bermulut lancung kamu!"
ra Tanca makin mencekiknya kuat2 sehingga Arya Kembar tak
dapat bernapas dan meronta-ronta.
"Lepaskan" melihat itu Arya Damar cepat menarik bahu ra
Tanca" "Dia mengacau!" teriak ra Tanca dengan bibir gemetar.
"Tidak!" sahut Arya Damar "kakang Kembar tidak
mengacau. Memang hal itu sungguh terjadi. Jika tak percaya,
paman boleh bertanya sendiri kepada bibi rakyan"
Ra Tanca terlongong-longong.
"Paman Tanca" kata Arya Kembar dengan nada lembut
"peristiwa itu telah terjadi diluar dugaan dan kekuatan
siapapun untuk mencegahnya. Bibi rakryanpun tak bersalah"
"Tetapi bagaimana engkau tahu peristiwa itu, raden"
"Karena akulah yang diutus bibi ratu Indreswari untuk
mengundang bibi rakryan Tanca ke keraton"
"Jika demikian, raden harus bertanggung jawab akan
peristiwa itu" wajah ra Tanca mulai membara merah pula.
"Bagaimana paman menganggap
Kembar tenang2. begitu" tanya Arya "Karena radenlah yang membawa nyi Tanca ke-dalam
keraton" "Atas titah bibi ratu Indreswari, paman Tanca" cepat Arya
Kembar menanggapi. "Raden yang mengambil, mengapa raden tak mengantar
pulang?" desak ra Tanca.
"Pada waktu itu bibi ratu masih menitahkan aku untuk
suatu keperluan sehingga aku terpaksa pulang lebih dahulu.
Pun bibi rakryan juga diantar oleh nyi lurah Bajra. Tetapi
rupanya nasiblah yang mempertemukan bibi rakryan dengan
baginda. Pun bibi rakryan sesungguhnya masih dapat
menyelamatkan diri apabila tiada karena gadis Bali itu
mengatur siasat untuk menyiasati baginda"
"Jika demikian gara2 gadis Bali itulah yang menyebabkan
nyi Tanca menderita"
"Oleh karena itu janganlah paman tergesa-gesa menaruh
kasihan terhadap gadis itu"
"Lalu bagaimana gadis itu " Apakah dia terhindar dari
kehendak baginda ?" "Tidak" sahut Arya Kembar lalu menuturkan semua
peristiwa yang telah terjadi pada gadis itu sampai dengan
disuruhnya dua orang prajurit untuk mengejar gadis Bali yang
lolos dari keraton itu, kemudian ditolong oleh orang
"Ah, sungguh berani benar gadis itu. Sayang . . ." tiba2 ra
Tanca hentikan kata-katanya.
"Sayang baginda, paman " Bukankah sayang karena
baginda tak tewas" Sesungguhnya ra Tanca ingin mengatakan begitu, tetapi dia
tahu bahwa mau tak mau demi menegakkan kekuasaan ratu
Indreswari di Majapahit yang menjadi pelindung dari golongan
arya tanah Malayu itu, tentulah Arya Kembar harus menjadi
keselamatan baginda. "Sayang gadis itu telah ditolong orang" cepat ia alihkan
pembicaraan "dan siapakah yang telah menolongnya"
"Patih Dipa" "Hai!" ra Tanca memekik "patih Dipa?" ia menegas dengan
tegang sekali. "Ya" jawab Arya Kembar "dia telah menolong gadis itu dan
disembunyikan entah dimana"
Wajah ra Tanca pucat lesi. Tubuhnya menggigil keras
sehingga gerahamnya terdengar bergemerutukan.
"Mengapa paman?" Arya Kembar pura2 terkejut.
"Jika demikian" katanya "jelas nasib kita berada ditangan
patih Dipa" "Tepat" seru Arya Kembar "aku-telah berusaha untuk
mengungkap tempat persembunyian gadis itu tetapi gagal.
Apabila kita dapat menemukannya, dapatlah kita melenyapkannya saja agar rahasia itu, termasuk diri bibi
rakryan, dapat terhapus"
Ra Tanca diam sampai beberapa waktu. Rupanya peristiwa
itu sangat menusuk perasaannya. Lebih baik ia menerima
hukuman pidana dari baginda daripada harus menderita siksa
batin sedemikian. "Paman Tanca" kata Arya Kembar pula "setelah mendengar
kissah yang menyedihkan itu, kutahu bagaimana penderitaan
hati paman. Adakah paman tetap hendak membuat ramuan
obat seperti yang dititahkan baginda"
Ra Tanca merenung. Merenung jauh sekali pada peristiwa
itu. Ia heran dan benar2 tak mengerti mengapa baginda
sampai hati hendak mengganggu nyi Tanca. Bukankah
baginda itu seorang maharaja yang besar kekuasaannya"
Bukankah semudah orang membalik telapak tangan apabila
baginda menghasratkan wanita atau puteri lain yang lebih
cantik daripada nyi Tanca" Ataukah memang baginda sengaja
hendak menjatuhkan pidana kepadanya melalui cara yang
menyiksa batin " Ataukah baginda memang gemar untuk
mengganggu isteri dari para mentri-mentri kerajaan"
"Hm, mungkin baginda mengira bahwa aku seorang bekas
Dliarmaputera. Tentu tak berani berbuat apa2 walaupun
isteriku diganggu" akhirnya melalui perenungan, tibalah
penilaian ra Tanca pada tafsiran begitu. Dan ia tertawa.
Tertawa geram dalam hati.
"Paman Tanca, adakah paman masih tetap hendak
membuatkan ramuan obat seperti yang dititahkan baginda"
Arya Kembar mengulang pula pertanyaannya yang belum
terjawab. "Hm, soal itu akan kupertimbangkan lagi, raden" katanya.
"Jelas hal itu akan menambah derita pada beberapa wanita
lain" kata Arya Kembar "adakah paman masih mempertimbangkannya lagi"
"Bagaimana pendapat raden" ra Tanca mengembalikan
persoalan itu kepada Arya Kembar.
"Karena hal itu jelas akan makin menjerumuskan, baginda
ke alam kesenangan yang bermanja-manja. Dan karena jelas
pula akaa mengakibatkan beberapa wanita2 menderita,
rasanya kurang perlu paman untuk terus menerus
menghaturkan apa yang dikehendaki baginda"
Ra Tanca mengangguk. "Benar" katanya "tetapi aku harus mencari cara untuk
menghindari murka baginda"
Arya Kembar setuju. Kemudian ia meningkatkan
pembicaraan kearah pencarian gadis Bali itu "Disamping itu.
pamanpun harus membantu usaha kita untuk menemukan
gadis Bali itu" "Dalam hal itu tentu harus menyelidiki patih Dipa" kata ra


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanca. "Bagaimana hubungan paman dengan patih Dipa"
"Tidak erat, pun tidak buruk"
"Adakah paman mempunyai jalan untuk mendekati patih
itur'" "Saat ini belum" kata ra Tanca "tetapi aku melihat suatu
jalan, kecil kemungkinannyapun, untuk melaksanakan hal itu.
Patih Dipa kenal baik dengan pamanku, resi Kadipara. Mudahmudahan dengan melalui paman Kadipara itu, dapatlah kucari
jalan untuk mempengaruhi patih Dipa agar membunuh gadis
Bali itu" "Ya, baiklah" kata Arya Kembar. Karena hari sudah petang
maka ia segera mengajak ra Tanca turun gunung. Malam itu
juga mereka menuju ke pura Majapahit.
"Paman, terpaksa aku tak dapat mengantar paman pulang
karena aku kuatir bibi rakryan akan menderita kejut apabila
melihat aku bersama'paman pulang" kata Arya Kembar.
Ra Tanca berjalan menuju ke rumah kediamannya. Ia
seorang diri. Dan seorang diripun ia merenungkan apa yang
harus dipercakapkan dengan nyi Tanca nanti. Ia tahu bahwa
nyi Tanca setya-bhakti kepadanya. Iapun tahu pula bahwa
peristiwa kotor yang menimpa diri nyi Tanca itu diluar
kehendak nyi Tanca dan diluar kekuasaannya untuk
mencegah. Tetapi ia tak senang karena nyi Tanca tak mau
menuturkan hal itu kepadanya. Seolah-olah nyi Tanca hendak
menyimpan rahasia itu sendiri.
Bujang terkejut ketika melihat rakryan Tanca pulang. Tetapi
ra tanca mengisyaratkan mereka agar jangan gaduh. Ia terus
masuk kedalam rumah. Iapun tak lekas mendapatkan nyi
Tanca. Ingin ia tahu apa yang dilakukan nyi Tanca pada saat
semalam itu. Ia mendapatkan nyi Tanca duduk di tepi pembaringan.
Kepalanya menindih pada kedua tangan yang diletakkan diatas
pembaringan. Dengan berjingkat jingkat ia memasuki bilik nyi
Tanca. Rupanya nyi Tanca tak mendengar dan masih tetap
terlelap dalam tidurnya yang letih.
Dibawah sinar penerangan lampu, dapatlah ra Tanca
melihat wajah isterinya yang tergolek tidur itu. Rupanya nyi
Tanca habis berdoa. Wajahnya masih membekas alur airmata.
"Hm, rupanya dia habis berdoa dan menangis. Tentulah ia
menderita sekali atas peristiwa itu" diam2 ra Tanca
menimang-nimang. Kemudian dipandangnya wajah isterinya
dengan lekat. Biasanya hampir segenap waktu ra Tanca itu terhisap oleh
kegemarannya memperdalam ilmu ramuan obat. Apabila di
rumah, jarang sekali ia bercakap cakap dengan nyi Tanca.
Atau sedang menerima tetamu yang datang meminta obat.
Atau sedang tekun membaca kitab tentang ilmu ramuan obat.
Hampir tiada lagi nyi Tan-itu dalam pikiran ra Tanca sebagai
seorang isteri. Tetapi pada saat itu, ia baru memperhatikan wajah
isterinya. Dan pada saat itu baru ia menemukan kembali
kenangan masa2 bahagia yang dulu. Kenangan masa2 indah
dikala ia mempersunting nyi Tanca.
Betapa ia harus menyiksa diri, mengurangi makan dan
tidur, siang malam menghaturkan sesaji kepada para dewa
agar dikabulkan cita-citanya mempersunting gadis itu.
Untunglah dewa mengabulkan permohonannya yang
sungguh2 itu sehingga pada suatu hari ia diundang ke rumah
gadis itu untuk mengobati ibunya yang sakit. Dia
menumpahkan seluruh kepandaian dan pengetahuan untuk
menyembuhkan ibu dari gadis itu. Dan berhasil. Sejak itu ia
mendapat kepercayaan dari orangtua gadis itu dan akhirnya
diluluskanlah peminangannya.
Sewaktu masih gadis, nyi Tanca memang cantik, halus budi,
dan berbhakti kepada orangtua. Ra Tanca mempunyai
kesimpulan bahwa seorang gadis yang berbhakti pada
orangtua, kelakpun tentu setya bhakti kepada guru lakinya.
Terkenang pula ra Tanca betapa indah masa2 sebagai
mempelai baru dengan gadis idamannya itu. Ia benar2
mendapat seorang isteri yang dicita-citakan. Hidup baginya,
mulai berisi, mulai mempunyai arti dan warna.
Namun kebahagiaan itu merupakan sesuatu rasa yang tak
pernah memuaskan hati manusia. Bahagia memper-sunting
seorang gadis idamannya, bahagia mendapatkan seorang
isteri yang setya-bhakti, ia masih belum bahagia lagi karena
belum dikarunia momongan putera.
Ia seorang tabib yang pandai. Banyak menolong o-rang
yang membutuhkan pertolongan. Dari penyakit sampai kepada
orang yang menginginkan anak. Tetapi dia sendiri gagal untuk
mendapatkannya. Ia menyadari akan kemungkinan2 yang
terjadi pada dirinya. Bahwa sebagai seorang tabib, banyak kali
ia harus berusaha untuk menyelidiki khasiat2 daripada
tumbuh-tumbuhan maupun binatang yang mempunyai daya
khasiat penyembuhan. Dan penyelidikan itu, sering
memerlukan harus mencicipi, merasakan sendiri air sari dari
tumbuh-tumbuhan maupun binatang2 itu. Dari yang biasa,
sampai kepada yang mengandung racun. Adakah racun2 itu
yang meracuni tubuhnya sehingga mengganggu benih
keturunannya " Entah.
"Aku telah terlanjur mengabdi kepada ilmu pengobatan
untuk menolong sesama manusia. Apabila untuk itu aku harus
tertimpa denda dari dewata, akupun harus menerima" pernah
ia berkata demikian. "Nyai" katanya pada suatu hari kepada nyi Tanca "apakah
engkau tak kecewa karena aku tak dapat memberi momongan
kepadamu" "Duh, kakang rakryan" nyi Tanca merintih "bukan salah
kakang. mungkin dirikulah yang mandul. Maka demi
membahagiakan engkau kakang, kupersilahkan engkau
mengambil selir agar engkau dapat memperoleh putera"
Tanca terharu mendengar bhakti isterinya yang sedemikian
besar "Jangan memikirkan yang tidak2, nyai. Yang penting,
tidakkah engkau kecewa karena aku tak dapat memberi putera
kepadamu" "Kakang, engkau tak bersalah. Tetapi akulah . "
"Jangan mengatakan begitu, nyai. Engkaupun tak bersalah"
"Terima kasih, kakang" kata nyi Tanca "memang putera itu
tak dapat diminta, tak dapat pula ditolak. Mereka adalah
pemberian Hyang Widdhi"
"Benar, nyai" kata ra Tanca "kita harus menyerahkan
kepada ketentuan Hyang Widdhi. Karena hanya DIA-lah yang
maha tahu. Dan bukankah aku mempersunting engkau bukan
karena memimpikan anak, melainkan karena kasihku
kepadamu" "Kakang" kata nyi Tanca penuh kepaserahan "menurut
ajaran sang Buddha, kelahiran itu suatu penderitaan. Oleh
karena itu kaum pandita melakukan brahmacari untuk
mencegah kelahiran. Agar janganlah kita, manusia yang masih
dalam penempaan dari lumpur kedosaan itu, melahirkan pula
benih baru yang akan menumpuk dosa"
"Yayi" kata ra Tanca "marilah kita pergencar doa puji
kepada Hyang Batara Agung dan memaserahkan segala
sesuatunya kepada keputusanNYA"
Demikian saat itu melalu-lalang pula ingatan dari kenangan
masa muda di benak ra Tanca kelika memandang nyi Tanca
yang tidur, duduk di lantai merebahkan kepala di tepi
pembaringan. Tahun2 yang belakangan kemudian, masalah itupun tak
pernah dipersoalkan lagi. Keduanya telah saring percaya
penuh akan kecintaan masing2. Dan karena kepercayaan itu
maka mulailah ra Tanca mencurahkan perhatian kepada
peningkatan ilmu pengobatan yang makin dalam. Pikirannya
yang makin ditelan cita2 pengabdiannya terhadap penderitaan
manusia, tubuhnya yang makin dimakan usia, telah
memenjarakan perhatian ra Tanca pada dinding pemisah yang
makin jauh dengan isterinya.
Ia merasa telah memiliki, menghayati dan menyerapkan
jiwa dan raga nyi Tanca ke dalam jiwa raganya. Sehingga
selama tak terjadi apa-apa, iapun tak merasakan apa2.
Sebagaimana halnya dengan tubuh. Kita tak merasa memiliki
tubuh itu selama tubuh itu tak terganggu. Tetapi selekas
timbul sesuatu derita kesakitan pada salah satu bagian dari
tubuh kita, barulah kita mengetahui dan menyadari bahwa
bagian itu adalah tubuh kita. Bahkan mungkin, kita anggap
yang paling berharga apabila derita kesakitan pada bagian
tubuh itu makin besar. Pada saat itu barulah kita menyadari
betapa berharga dan bahagia kita memiliki bagian tubuh yang
sakit itu. Demikian pula dengan ra Tanca. Selama kehidupannya
berjalan tenang, ia hampir tak merasa nyi Tanca itu isterinya
yang mempunyai perasaan secara manusiawi. Ia menyesenyawakan perasaan nyi Tanca itu seperti perasaannya
sendiri. Ia menyeragakan raga nyi Tanca seperti raganya
sendiri pula. Tetapi pada saat itulah, saat ia memiliki pengetahuan
tentang peristiwa yang menimpa diri isterinya, ia memandang
lain pada tubuh nyi Tanca yang sedang terlena tidur itu. Ia
merasa tubuh nyi Tanca itu masih gempal lumat, halus
bersalut kulit kuning langsap. Ia merasa wajah nyi Tanca itu
masih secantik ketika dua-puluh tahun yang lalu pada pertama
kali ia melihatnya. Betapa tubuhnya itu memancarkan bau
harum yang mempesonakan segenap semangat dan jiwanya,
bagaimana tubuh itu telah memancarkan kehangatan yang
menyejukkan pada malam pengantin yang pertama.
Bagaimana lembut dan halus bibir yang paserah dalam
pelumatan penumpahan rasa kasih yang meluap-luap pada
malam itu. Bagaimana merdu rintih lembut yang mendesis dari
mulut wanita itu dan bagaimana pula syahdu kenikmatan yang
dirasakan pada malam pengantin itu.
Setiap gerak, geliat, rintih, mimik dan pandang mata nyi
Rumah Beratap Tiga 1 Akar Asap Neraka Karya Arswendo Atmowiloto Pendekar Muka Buruk 2
^