Pencarian

Gajah Kencana 4

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 4


serempak mengumandang di malam hari, bagaikan suasana
medan pertempuran. Kentungan yang berbunyi menitir sambung menyambung.
Bagaikan bunyi sangsakala yang meraung-raung, merobek
robek angkasa. Menggetarkan setiap dada prajurit agar
bangkit semangat juangnya.
Selama pura Majapahit didirikan oleh rahyang ramuhun
Kertarajasa, baru dua kali peristiwa gempar terjadi. Pertama
kali, ketika adipati Tuban Rangga Lawe marah2 dalam sidang
kerajaan karena tak puas atas pengangkatan Nambi sebagai
mahapatih. Adipati yang berhati berangasan itu mengamuk,
merusak taman dan sumbar2 hendak menggempur pura
kerajaan. Dan yang kedua kali, yalah peristiwa malam itu. Bahkan
kali ini jauh lebih gempar dari peristiwa adipati Tuban dahulu.
Dan suatu keanehan dalam peristiwa malam itu, orang tiada
tahu apa yang terjadi. Demikian pula dengan baginda Jayanagara yang terkejut
terjaga dari peraduannya. Beliau melangkah ke luar untuk
mencari keterangan. "Apa yang terjadi?" tegur baginda kepada dua orang
bhayangkara yang menjaga di pintu.
Prajurit bhayangkara itu memberi hormat lalu menjawab
"Ampun gusti, hamba bertugas menjaga pintu di sini, tak
berani meninggalkan tugas. Apa yang terjadi di luar istana,
hamba tak tahu" "Bukankah engkau mendengar orang hiruk pikuk berteriakteriak dan suara kentungan titir?" tanya baginda pula.
"Benar gusti" prajurit itu memberi sembah pula "oleh
karena itu hamba makin tak mengerti."
"Hamba tak tahu, gusti ...."
"Rajapati ?" "Hamba .... tak tahu ...." sahut prajurit itu makin menggigil
nadanya. "Goblok !" tiba2 baginda menghardik sehingga wajah
prajurit bhayangkara itu pucat serasa terbang semangatnya
"ini tak tahu itu tak tahu. A pa kerjamu di sini ?"
"Hamba ditugaskan untuk menjaga kori agung di sini,
gusti" prajurit itu menunduk tak berani menghadap pandang
baginda. "Siapa yang mengepalai pengawal keraton malam ini?"
tegur baginda pula. "Ki bekel Kerta Dipa"
"Di mana dia ?"
"Sedang meronda berkeliling keraton"
"Panggil dia !"
Prajurit bhayangkara itu terkejut. Cepat ia memandang ke
arah kawannya yang seorang. Maksudnya suruh kawan itu
tetap berada di kori situ. Ia yang hendak mencari ki bekel.
"Lekas!" bentak baginda pula demi prajurit itu tampak
berlambat lambat. Dengan beringsut ingsut macam anjing menyepit ekor,
bhayangkara itupun segera pergi.
Keraton Tikta Sripala memang amat luas. Telatah keraton
dilelilingi oleh tembok batu yang tebal dan tinggi. Pintu gapura
di sebelah barat disebut Purawaktra, menghadap sebuah
lapangan yang luas. Sepanjang keliling tembok pura, ditanami
pohon brahmastana atau beringin. Di situlah tempat tunggu
para peiwira yang sedang meronda, menjaga paseban.
Tetapi bhayangkara yang menjaga puradalam atau keraton
yang didiami baginda, mempunyai tempat berkumpul
tersendiri di dalam. Di sebelah utara, terdapat pula sebuah gapura yang
berpintu besi. Di luar gapura itu membujur alun-alun, dari
utara sampai ke selatan. Prajurit bhayangkara itu telah mencari ke segenap lorong
demi lorong bangunan dalam lingkungan keraton. Ke istana
sebelah utara yang terletak di belakang paseban, yakni
keraton bekas kediaman puteri Tribuanatunggadewi atau yang
sekarang menjadi Rani Kahuripan. Ke istana selatan yalah
keraton bekas kediaman puteri Rajadewi Maharajasa yang kini
menjadi Rani Daha. Kemudian menuju ke paseban yang
berderet-deret rapi dari utara ke selatan, tiba di balai Witana
tempat baginda menerima para mentri narapraja, senopati
nayaka dan tetamu2 yang menghadap. Kemudian ke balai
agung Manguntur, ke balai Panangkilan tempat duduk para
pujangga dan para mentri, namun tiada juga bersua dengan
bekel pimpinannya. "Aneh, ke manakah gerangan ki bekel ini?" tanyanya
dalam hati. Seketika timbul rasa prasangka dalam benaknya
"adakah demikian gerak-gerik ki bekel apabila bertugas
menjaga keraton" Para anakbuah diperintahkan tak boleh
meninggalkan tempat penjagaan, sedang dia sendiri
menghilang tiada tertentu perginya"
Tiba2 ia mendengar suara sorak sorai dari arah alun2.
Seketika guguplah perasaannya. Hendak kembali menghadap
baginda, takut ia akan kemurkaan raja. Namun melanjutkan
mencari ki bekel, sukarnya bukan main.
"Ah, akan kucoba sekali lagi mencari ke balai prajurit"
setelah menimang keputusan segera ia ayunkan langkah
dengan bergegas. Balai prajurit terletak di bagian timur telatah keraton. Balai
itu merupakan tempat bermusyawarah para mentri, perwira,
pandita dari tiga aliran agama, para pembantu raja, kepala
daerah dan kepala desa baik dari ibu kota maupun luar, pada
tiap tanggal satu bulan Caitra.
Bhayangkara itu terkejut ketika di balai prajurit itu melihat
beberapa sosok tubuh manusia sedang berkerumun. Iapun
cepatkan langkah. Kecemasan tak dapat melaksanakan titah raja segera
terlipur ketika tiba2 di balai itu ia melihat ki bekel Kerta Dipa
sedang berunding dengan beberapa orang yang mengenakan
pakaian keprajuritan. Beberapa prajurit itu tampak bergegas-gegas sikapnya
seperti seorang yang habis berlari.
"Ki bekel Prathama" kedengaran bekel Kerta Dipa
membuka suara "bagaimana hasil usaha tuan untuk
menghubungi gusti mahapatih Aluyuda"
"Hampir saja aku tertangkap oleh arus manusia yang
mengepung gedung kepatihan. Untunglah aku dapat
meloloskan diri, menanggalkan pakaian keprajuritan dan terus
kembali ke sini" "Dan gusti patih Aluyuda?"
"Gedung kediaman gusti patih telah diserbu
gelombang manusia yang sukar dibendung lagi"
oleh "Prajurit2 kepatihan?"
"Mereka sudah lebih dahulu dilumpuhkan dalam gerakan
penyergapan yang tak diduga-duga sebelumnya. Beberapa
prajurit yang sempat lolos dan berusaha untuk melindungi
gedung kepatihan telah dihajar pontang-panting.
"Dan engkau tak bertindak apa2, ki Prathama?" tegur
bekel Kerta Dipa dengan tajam.
"Apa dayaku ?" sahut bekel Prathama "rakyat yang
mengamuk itu berjumlah ratusan. Mereka dipimpin oleh
serombongan orang yang bersenjata lengkap. Hanya
mengantar nyawa belaka apabila aku terjun menahan mereka"
"Andai aku menjadi pimpinan prajurit, engkau tentu
kujatuhi hukuman penggal kepala" kata Kerta Dipa dengan
bengis. "Apa salahku?" seru bekel Prathama.
"Engkau telah meninggalkan sifat2 keprajuritanmu
meninggalkan seorang mahapatih dalam keadaan bahaya!"
"Tetapi ....... tetapi mereka benar2 laksana lautan manusia
yang mendampar pantai. Tiada kekuatan yang mampu
menghalang mereka" "Tugas seorang prajurit untuk mempertahankan keselamatan negara dan rakyat. Bukan untuk menilai kekuatan
musuh!" "Tetapi bukankah engkau menugaskan aku
mengadakan hubungan dengan gusti mahapatih?"
untuk "Benar" sahut Kerta Dipa "akupun hanya mengatakan
andaikata aku menjadi pimpinanmu"
Bekel Prathama menyeringai.
Melihat pembicaraan terhenti sejenak, prajurit yang diutus
baginda tadi segera menghampiri dan berseru "Ki bekel,
maafkan aku" "O, engkau Hesthi" bekel Kerta Dipa berpaling agak
terkejut. Tiba2 ia membentak "mengapa engkau kemari!"
Hesthi, prajurit bhayangkara itu terbeliak. Jarang ia
mendengar bekel Kerta Dipa membentak orang, jarang pula ia
melihat wajah bekel sebengis saat itu.
"Baginda terjaga dari peraduan dan menitahkan aku
memanggil ki bekel" "Kenapa?" "Baginda terkejut mendengar geger di luar keraton"
"Mengapa engkau mau melakukan titah baginda"
Hesthi terbeliak. Hampir2 ia tak percaya pada
pendengarannya. Bukankah baginda itu junjungan yang paling
berkuasa" Mengapa bekel Kerta Dipa mengajukan pertanyaan
seaneh itu" "Sudah tentu aku harus menurut titah baginda, junjungan
kita yang tertinggi" sahutnya agak heran.
"Prajurit dursila!" bentak Dipa makin merah mukanya
"siapa yang memberi perintah kepadamu?"
"Ki bekel ..." "Apa yang kuperintahkan malam ini kepadamu?"
"Menjaga kori agung dari keraton baginda"
"Mengapa engkau tinggalkan tempat tugasmu?"
Hesthi terkesiap, sahutnya, "Baginda telah menitahkan aku
... "Plak ...." Tiba2 bekel Dipa ayunkan tangan menampar muka Hesthi
"Setan, mengapa engkau menurut perintah baginda daripada
perintahku!" Sesaat Hesthi merah mukanya lalu membantah "Tetapi
baginda adalah junjungan kita ..."
"Hesthi, engkau hanya bertanggung jawab kepadaku,
bukan kepada baginda!"
"Tetapi baginda tentu murka apabila aku menolak titah
raja" "Dan engkau tentu akan kuhukum menurut hukum prajurit
karena telah melanggar perintah atasanmu!" tukas bekel Dipa.
Hesthi terbeliak "Lalu bagaimana aku harus bertindak?"
"Tetap tinggal di tempat tugasmu" seru bekel Dipa dengan
nada mantap dan tegas. "Baginda terkejut dan ingin mengetahui apa yang terjadi di
luar keraton ...." "Lihat, Hesthi!" teriak bekel Dipa makin menyalang mata
"tidakkah engkau menyaksikan apa dan siapa yang berkumpul
disini" Tidakkah engkau dengar pembicaraanku dengan bekel
Prathama tadi" Malam ini akulah yang bertanggungjawab atas
keselamatan baginda dan seisi keraton Tikta-Sripala. Telah
kuambil langkah-langkah yang perlu untuk menyelidiki
peristiwa itu. "Malam ini timbul gerakan besar yang menyerupai kraman.
Entah siapa penggeraknya. Tetapi yang jelas gerakan itu
hendak menangkap patih Aluyuda dan akan menuju ke
keraton sini pula" Habis berkata tiba2 bekel Dipa mencabut pedang dan
menghardik Hesthi "Prajurit Hesthi apabila engkau tak lekas
kembali ke tempat penjagaanmu, tentu akan kutetakkan
pedang ini ke batang lehermu!"
"Tetapi baginda ...."
'"Pergi!" bentak bekel Dipa seraya mengangkat pedangnya
dalam sikap hendak ditabaskan.
Prajurit Hesthi pucat lalu memberi hormat dan ayunkan
langkah kembali ke dalam keraton. Tak kunjung putus rasa
keheranan prajurit itu melihat sikap bekel Dipa pada malam
itu. Bekel itu terkenal seorang muda yang setya pada tugas,
patuh akan peraturan, penuh tanggungjawab kepada atasan
dan kepada bawahan. Disuka para anakbuah karena
keramahan budinya. Tetapi malam itu bekel Dipa benar2
berobah sekali. Keras dan bengis seperti harimau lapar.
"Bekel Patunjung" selekas Hesthi angkat kaki, bekel Dipa
mulai melanjutkan pertanyaan kepada seorang lurah prajurit
penjaga paseban "bagaimana hasil kepergianmu ke
kademungan?" Bekel Patunjung memberi keterangan "Aku
mencapai kademungan, tetapi tak dapat masuk"
dapat "Mengapa" Apakah kademungan juga diserbu rakyat
seperti kepat han?" "Tidak" jawab Patunjung "kademungan tampak sepi2 saja.
Hanya ketika aku hampir tiba, di luar kademungan aku telah
dihadang oleh beberapa orang bersenjata"
"Siapa mereka?"
"Mereka tak mengatakan diri mereka melainkan hanya
melarang aku masuk ke kademungan"
"Dan ki bekel menurut?"
"Tidak, aku tetap berkeras hendak masuk"
"Lalu bertempur tentu?"
"Ya" sahut bekel Patunjung.
"Menang?" Merah muka bekel Patunjung menerima pertanyaan bekel
Dipa "Engkau dapat membayangkan sendiri apa daya seorang
yang harus menghadapi belasan lawan yang bersenjata"
"Pembelaan diri yang baik" seru bekel Dipa..
"Bukan pembelaan diri
kenyataan" bantah Patunjung.
melainkan memang suatu "Seperti kenyataan engkau ini seorang bekel prajurit yang
dipercayakan sebagai bhayangkara keraton"


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merah wajah bekel Patunjung atas kata2 bekel Dipa yang
tajam itu. "Bekel Dipa, jangan engkau mudah menghina
orang. Engkau bekel dan akupun bekel"
Bekel Dipa menatap Patunjung dengan tajam sekali
sehingga bekel itu tergetar perasaannya.
"Kakang Patunjung" tiba2 bekel Dipa berkata dengan nada
sarat "memang engkau seorang bekel prajurit yang bertugas
menjaga paseban. Dan aku bekel prajurit bhayangkara
keraton. Tetapi engkau harus tahu kakang, bahwa malam iui
akulah yang bertanggungjawab atas keselamatan keraton
Tikta-Sripala. Akulah yang memegang pimpinan penjagaan
keraton" "Hm" bekel Patunjung mendengus.
"Ketahuilah bekel Patunjung dan bekel Prathama" seru
bekel Dipa dengan tandas "lihatlah di alun2 itu. Beribu-ribu
orang telah melimpah ruah dan berteriak-teriak marah.
Mereka telah menyerbu gedung kepatihan, mengepung
kademungan dan kini membanjiri alun2. Apa yang akan terjadi
tak kita ketahui. Tetapi jelas malam ini telah timbul peristiwa
besar yang membahayakan keselamatan keraton. Mungkin
kraman atau pemberontakan!"
Sejenak bekel Dipa berhenti untuk melepaskan pandang
mata ke arah alun2. Kemudian melanjutkan pula "Gerakan ini
tentu direncanakan oleh orang yang pandai dan
berpengalaman. Sasarannya jelas mahapatih Aluyuda dan
keraton......." Tiba2 bekel Dipa hentikan kata-katanya lalu berpaling ke
arah seorang prajurit "Hai, prajurit, bagaimana laporanmu?"
Seorang prajurit bertubuh tegap, menjawab "Jalan jalan
penuh dengan penjagaan orang2 berpakaian hitam dan
memakai ikat kepala janur kuning"
"Apakah tiada tampak pasukan kerajaan ke luar untuk
mengatasi keadaan?" "Tidak, ki bekel" sahut prajurit itu "memang akupun heran
mengapa pasukan kerajaan tak bergerak. Yang berkeliaran
dan memenuhi jalan2 hanyalah rombongan orang2 yang
membawa obor, tombak, pedang dan lain2 senjata"
"Dengarkanlah kalian bekel Prathama dan Patunjung"
kembali bekel Dipa berkata kepada kedua bekel itu "keraton
telah diputuskan dari hubungan luar. Para senopati dan
nayaka prajurit telah dijaga supaya tak dapat keluar.
Tanggungjawab atas keselamatan baginda saat ini berada
pada bahu kita. Kita harus cepat bertindak dengan tepat"
Setelah mendengarkan laporan dari bekel dan prajurit,
memang Prathana dan Patunjung menyadari akan kegawatan
suasana malam itu. "Dengarkan, bekel Prathama dan Patunjung serta prajurit2
yang berada di balai ini" tiba2 bekel Dipa berseru pula "kalian
harus membagi tugas dan cepat menjaga setiap pintu gapura
untuk mencegah mereka masuk ke dalam keraton. Sedang
aku akan segera menghadap baginda untuk menghaturkan
laporan dan mengatur langkah pengamanan"
Terhanyut oleh nada sikap bekel Dipa yang malam itu
tampak sangat berwibawa, kedua bekel itupun menerima
perintah dengan patuh. Merekapun segera berkemas langkah
menuju ke tempat penjagaan masing2.
"Kakang Prathama dan Patunjung. Apabila ada prajurit
yang melanggar perintah, bunuhlah. Demikian berlaku juga
kepada kakang berdua. Bila ingkar kewajiban, hukum
keprajuritan Rajakapakapa akan berlaku kepada kalian !"
demikian bekel Dipa mengantarkan kepergian kedua bekel
prajurit itu. Prathama dan Patunjung tertegun lalu berpaling tetapi
bekel Dipa sudah berputar diri dan mulai ayunkan langkah
menuju ke dalam keraton. Bekel Dipa bergegas pesatkan langkah mengakhiri lorong
paseban yang memanjang, lalu menuju ke Manguntur.
"Patra" cepat ia menghampiri sesosok tubuh yang tegak
menjaga di tempat itu "kumpulkan semua kawan-kawanmu di
sini" Penjaga yang dipanggil Patra itu tergugu "Mengapa ?"
"Lekas kerjakan perintah, jangan bertanya mengapa !"
bentak bekel Dipa dengan nada yang penuh wibawa seorang
pimpinan. Prajurit bhayangkara itu tertegun. Baru pertama itu
sepanjang ia meijadi anakbuah bekel Dipa, dibentak begitu
keras. "Jika aku kembali engkau belum melakukan perintah, tentu
akan kujatuhkan hukuman kepadamu" tanpa memberi
kesempatan prajurit itu bertanya, bekel Dipa terus lari masuk
ke dalam. Patra cepat menyadari bahwa suasana di luar keraton
tentu amat gawat sehingga bekel Dipa menjadi sedemikian
tegang. Dan terhanyutlah pikirannya akan ucapan2 bekel Dipa
menanamkan sifat dan tugas seorang prajurit kepada anak
buahnya. Masih amat muda belia namun bekel Dipa itu telah
memikat perhatian segenap anak bawahannya dan
menumbuhkan rasa patuh mereka.
Bekel Dipa terkejut ketika masih beberapa tombak jauhnya
dari kori agung, ia melihat seorang prajurit sedang didera
pukulan oleh seorang lelaki muda. Dan ketika tinggal beberapa
belas langkah, barulah ia dapat mengetahui bahwa prajurit itu
adalah Hesthi dan yang memukul itu baginda Jayanagara
sendiri. "Baginda, mohon paduka berkenan menghentikan
kemurkaan kepada prajurit itu" seru bekel Dipa seraya
bergegas menghampiri. Baginda hentikan tangan dan cepat berpaling "Engkau
bekel Dipa" "Hamba menghaturkan sembah ke duli paduka" bekel Dipa
menjalankan peradatan sembah hormat secara keprajuritan
kepada baginda. "Benarkah engkau menyuruh prajurit ini tetap menjaga
kori dan tak boleh melakukan titahku ?" tegur baginda.
"Benar, gusti, memang hamba yang memerintahkan begitu
kepadanya" sembah bekel Dipa
"Hm, mengapa engkau memerintahkan begitu?" tegur
baginda kurang senang. "Karena hamba bertanggunpjawab atas keselamatan
paduka junjungan seluruh kawula Majapahit"
Jayanagara mendesuh pula. "Dengan cara begitukah
engkau hendak melindungi keselamatan rajamu ?"
"Benar, gusti" sembah bekel Dipa pula "setiap prajurit
bhayangkara yang menjaga keraton paduka, tak boleh
sedetikpun meninggalkan tempat penjagaannya. Barang siapa
yang melanggar, pasti hamba hukum. Itu perintah hamba
kepada segenap prajurit bhayangkara"
Jayanagara kerutkan dahi, serunya, "Tetapi kudengar di
luar keraton timbul huru-hara maka kuperintahkan dia
memanggilmu. Dia kembali dengan laporan, engkau marah
kepadanya dan suruh dia tak boleh melakukan perintah
siapapun kecuali dari engkau"
"Benar, gusti" sembah bekel Dipa "sebagai bekel yang
memimpin pengawalan keraton malam ini, hamba bertanggungjawab sepenuhnya atas keselamatan paduka dan
para gusti sekalian. Huru hara di luar keraton, telah hamba
selidiki dengan berbagai usaha. Sebagai seorang bhayangkara,
hamba harus tahu akan kewajiban untuk mewaspadakan
segala sesuatu yang membahayakan keselamatan keraton
Tikta-Sripala" "Tetapi mengapa engkau tak lekas menghadap aku ?"
tegur raja Jayanagara pula.
"Hamba masih menunggu laporan2 dari beberapa bekel
dan prajurit yang hamba suruh untuk menghubungi gusti
demung Samaya, gusti kanuruhan Anekakan dan lain2 gusti
yang memegang kekuasaan tentara"
"Bagaimana hasilnya?"
"Tiada berhasil sama sekali. Gedung kademungan telah
dikepung ketat oleh kaum perusuh. Jalan2 telah ditutup
mereka sehingga keraton terputus hubungan dengan luar ...."
"Di mana patih Aluyuda ?" tiba2 baginda menanyakan
patih itu. "Kepatihan telah diserbu kaum perusuh dan dihancurkan.
Bagaimana nasib gusti patih, belum diketahui, gusti"
Jayanagara terkejut. "Apakah yang sesungguhnya telah
terjadi?" "Hamba telah berusaha sekuat mungkin untuk mencari
keterangan. Tetapi hubungan telah terputus, jalan2 penuh
dengan kaum perusuh sehingga hamba gagal untuk mendapat
laporan apakah yang sebenarnya terjadi di luar keraton, gusti"
"Huh" baginda mendesuh geram.
"Di manakah pasukan kerajaan?" seru baginda pula.
"Gerakan malam ini memang luar biasa anehnya, gusti.
Para gusti mentri dan senopati tiada scorangpun yang tampak.
Demikian pula dengan anak pasukan kerajaan. Mereka seolah
olah telah terbenam dalam lautan manusia yang mengobarkan
kerusuhan pada malam ini"
"Siapa pemimpin kerusuhan itu?"
"Hal itupun juga sukar diketahui. Yang jelas mereka
menyerbu gedung kepatihan hendak menangkap gusti patih
Aluyuda lalu menuju ke keraton. Kini alun2 Majapahit telah
meluap dengan banjir manusia"
"Kraman ?" "Ya" sahut bekel Dipa "memang gerakan ini suatu
peristiwa kraman yang hendak menyerang keraton."
Merah wajah baginda mendengar keterangan itu
"Siapkan pasukan pemberontak2 itu !" bhayangkara untuk menumpas Bekel Dipa serta merta menghaturkan sembah, "Gusti
junjungan seluruh kawula Majapahit" serunya dengan nada
yang tenang tegas. "pasukan bhayangkara yang menjaga
keraton pada malam ini hanya berjumlah sekitar limabelas
orang. Tak mungkin hamba dengan sekian prajurit itu dapat
menghadapi kaum perusuh yang berjumlah ribuan"
"Bekel Dipa, engkau pengecut !" tiba2 baginda menghardik
"sia2 kuangkat engkau sebagai bekel. Sia2 pula kupelihara
pasukan bhayangkara apabila hanya akan lari jika menghadapi
bahaya" Bekel Dipa tenang2 mendengar umpat caci baginda.
Sctitikpun ia tak tersinggung. Setelah baginda selesai
menghamburkan kemurkaan, barulah bekel Dipa menjawab.
"Gusti, tugas pasukan bhayangkara adalah untuk menjaga
dan melindungi keselamatan baginda junjungan seluruh
kawula Majapahit. Untuk menghadapi pemberontakan, terletak
pada pasukan kerajaan"
"Bukankah menghalau perusuh
menjaga keselamatan keraton "
juga sama dengan "Dalam satu hal memang sama. Tetapi dalam lain hal tak
sama, gusti" "Apa maksudmu, bekel?" tegur baginda.
"Dalam hal tugas keprajuritan memang sama. Menghalau
musuh, menindas kerusuhan, membasmi pemberontakan dan
menindak segala gerakan yang membahayakan keselamatan
negara. Namun dalam hal menjaga keselamatan paduka,
memang tak sama. Dan tugas hamba malam ini adalah
menjaga keselamatan baginda yang dipertuan dari negara
Majapahit. Apabila hamba bersama beberapa belas anakbuah
menyerang kaum perusuh yang berjumlah ribuan itu, jelas
hamba tentu takkan dapat menunaikan tugas hamba yang
utama itu yalah menjaga keselamatan paduka. Kecuali apabila
mereka berani mengganggu paduka, hamba akan berjuang
mati-matian untuk membasmi mereka, gusti" bekel Dipa
mengakhiri penjelasannya dangan sebuah sembah.
"Tetapi aku adalah raja, bekel" seru baginda, "mereka
tentu patuh akan perintahku. Mengapa aku takut untuk
menghadapi mereka?" "Jangan, gusti" cepat bekel Dipa mencegah, "sungguh
amat berbahaya apabila gusti menurutkan tuntutan mereka"
"Mengapa ?" "Gerakan malam ini, merupakan peristiwa besar yang
dapat dianggap suatu kraman, gusti" kata bekel Dipa
"walaupun keadaan masih serba gelap, siapa penggeraknya
dan apa tujuannya, namun ditilik dari jumlah manusia yang
membanjiri alun2, jelas bahwa seluruh kawula pura Majapahit
telah dihasut untuk melakukan kraman. Siapa yang berdiri di
belakang gerakan itu, masih belum jelas. Tetapi yang nyata,
mentri, senopati dan pasukan kerajaan telah lumpuh. Entah
dilumpuhkan oleh kaum perusuh, entah ikut menggabung
kepada mereka. Keadaan yang masih gelap ini amat
berbahaya, gusti" "Maksudmu mereka akan menangkap aku apabila aku
tampil ke hadapan mereka?"
"Dalam keadaan yang serba tak menentu ini, segala
kemungkinan yang buruk, mungkin dapat terjadi. Apa tujuan
mereka menuju ke alun2 pada saat semalam ini?"
Entah bagaimana, dalam percakapan dengan baginda
Jayanagara pada saat itu, tampak bekel Dipa bicara dengan
tegas dan lancar. Padahal, jarang ia berhadapan dengan
baginda. Jayanagara sendiripun diam2 timbul suatu kesan
yang baik terhadap bekel itu. Ditatapnya wajah Dipa yang
masih muda belia itu. "Siapa namamu, bekel?" tegurnya.
"Hamba Kerta Dipa, gusti" sembah Dipa.
"Dari daerah mana engkau dahulu?"
"Semula hamba menjadi bayangkara di keraton gusti Rani
Kahuripan. Lalu oleh gusti Rani hamba dititahkan supaya ke
Majapahit menjadi bhayangkara keraton Tikta Sripala"
Makin mendalam kesan baginda Jayanagara mendengar
riwayat bekel itu. Ia percaya bahwa prajurit yang
dipersembahkan oleh Rani Kahuripan tentulah telah diuji
kesetyaannya. "Kerta Dipa, apakah engkau setya kepada rajamu?" seru


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginda. "Dalam kehidupan yang sekarang ini, hamba akan
persembahkan jiwa raga hamba kepada kerajaan Majapahit"
Jayanagara terkesiap ketika memandang sikap bekel Kerta
Dipa di kala mengikrarkan tekad kesetyaannya kepada
kerajaan Majapahit. Dilihatnya bekel yang bertubuh agak
pendek dan padat itu, amat perkasa. Wajahnya menampilkan
suatu keyakinan yang kokoh. Sinar matanya berkilat-kilat
menampilkan semangat yang membaja.
Dalam pandang baginda, bekel itu bukan lagi merupakan
seorang bekel, melainkan seolah telah berobah wujutnya
sebagai batara Ganesya. Namun hanya sekilas pancaran kilat
perasaan itu menghinggapi pandang mata baginda dan pada
lain kilas, perwujutan yang aneh pada bekel itupun lenyap
lagi. Bagindapun tertegun.
"Gusti, keadaan sudah amat berbahaya. Apapun yang
gusti titahkan, pasti akan hamba laksanakan" tiba2 bekel Dipa
berdatang sembah. Baginda Jayanagara kehendakmu ?" agak terbeliak "Bagaimana "Menurut hemat hamba. Baiklah paduka tinggalkan
keraton menuju ke tempat yang aman. Setelah keadaan reda,
barulah nanti paduka kembali lagi"
"Hm" desuh Jayanagara "sungguh memalukan apabila
seorang raja harus lolos dari keraton. Bukankah itu berarti
suatu kekalahan ?" "Tidak, gusti" sembah bekel Dipa "rakyat telah dihasut
oleh kaum pemberontak. Mungkin mereka-pun tak tahu apa
sesungguhnya tujuan gerakan yang mereka ikuti itu.
Menghadapi mereka dengan kekerasan, kurang bijaksana.
Ibarat kita memaksa hendak melihat surya yang sedang
tertutup awan gelap. Biarlah awan hitam itu mencurah hujan.
Habis hujan, langit pun tentu cerah dan surya akan tampak
pula. Demikianlah maksud hamba."
"Apabila kaum kraman itu menduduki keraton, bukankah
mereka akan merebut singgasana ?"
"Hamba tak yakin bahwa rakyat benar2 mendukung
mereka. Andai terjadi hal seperti itu, paduka masih dapat
mengerahkan pasukan dari Daha dan Kahuripan untuk
menggempur kaum kraman itu. Saat ini yang penting adalah
keselamatan paduka, gusti"
Jayanagara menatap wajah bekel Dipa. Ingin ia
mengulang kembali pandangan matanya akan penampilan
batara Ganesya pada wajah bekel itu. Namun tak tampak pula.
Yang tampak hanyalah sebuah wajah berdahi lebar dan dua
kelopak berisi gundu mata yang bersinar-sinar penuh
kepercayaan dan keyakinan.
"Jadi rakyat takkan kecewa apabila
keraton?" masih baginda meragu.
aku tinggalkan "Bahkan kebalikannya, rakyat tentu akan merasa
kehilangan seorang junjungan. Semoga hal itu akan
menyadarkan para kawula untuk berpaling haluan menentang
kaum kraman itu" Jayanagara mengangguk pelahan. Apa yang dikemukakan
bekel itu memang suatu kenyataan. Dalam keadaan yang
gelap, rakyat mudah dihasut untuk melakukan hal2 yang
mereka tak menyadari tujuannya.
"Baiklah, bekel Dipa. Siapkan apa yang perlu" titah
baginda. Serta merta bekel Dipa memberi hormat. Setelah
memohon supaya baginda tetap tenang, ia mohon diri terus
kembali ke Manguntur. Beberapa prajurit bhayangkara telah
siap menunggu di situ. "Kawan2" seru bekel Dipa setelah mengumpulkan mereka
"berapakah jumlah kamu semua?"
"Dua belas, ki bekel"
"Dengan aku menjadi tigabelas lalu dua orang prajurit di
kori agung. Semua berjumlah limabelas orang" bekel itu
berkata kepada dirinya sendiri "malam ini kita akan mengawal
baginda lolos dari keraton ....."
"Ah ....... oh ......." terdengar beberapa prajurit itu
mendesuh kejut. "Detik2 ini amat berbahaya, namun penting sekali bagi
sejarah kelangsungan kerajaan Majapahit" kata bekel Dipa
pula "di pura kerajaan telah timbul kraman yang bertujuan
hendak menangkap patih A luyuda dan terus ke keraton"
"Hendak menangkap baginda?" tanya Patra prajurit yang
diperintah bekel Dipa untuk mengumpulkan kawan-kawannya
tadi. "Kita harus membayangkan kemungkinan itu" jawab bekel
Dipa "oleh karenanya, malam ini kita akan menyelamatkan
baginda ke suatu tempat yang aman"
Desah dan desuh luapan perasaan
bhayangkara itu segera berhamburan ke luar.
para prajurit "Prajurit2 bhayangkara sekalian" kata bekel itu pula "apa
sumpah kalian pada waktu menerima jabatan ?"
"Kami bersumpah setya kepada raja dan akan melindungi
keselamatan baginda dengan segenap jiwa raga kami" seru
beberapa prajurit itu serempak.
"Baik" seru bekel Dipa "saat ini aku ingin membuktikan
janjimu, Detik ini negara menuntut sumpah kesetyaanmu.
Baginda terancam bahaya dan kita harus menyelamatkannya.
Barang siapa yang ingkar akan sumpah kesetyaannya, tentu
akan kubunuh. Ingat!"
Kedua belas prajurit itu terpukau melihat sikap bekel Dipa
pada saat itu. Perbawa yang memantul pada wajah dan nada
bekel Dipa, bagaikan sebuah keris pusaka yang menikam
dada. Keris yang akan mencabut jiwa mereka yang berhianat.
Setelah meniti pandang mata ke setiap wajah dua-belas
prajurit yang tegak berbaris di hadapannya, bekel Dipa segera
memberi perintah "Tukarlah busana keprajuritan kalian
dengan pakaian biasa. Perjalanan ini harus dilakukan serba
rahasia, jangan sampai seorang-pun yang tahu"
Setelah memberi pesan supaya prajurit2 itu siap
menunggu di situ, bekel Dipapun segera kembali ke dalam
keraton untuk menjemput baginda.
Dipa langsung menghadap baginda.
"Gusti" sembah bekel Dipa "hamba mohon ampun apabila
kata2 yang hamba persembahkan ini tak berkenan di hati
paduka" "Hm, keadaan menghendaki serba cepat. Katakanlah
lekas, bekel" titah baginda.
"Kaum perusuh jelas mencari sasaran pada gasti patih
Aluyuda kemudian ke alun2 keraton. Mereka memusuhi setiap
prajurit dan petugas2 keamanan yang dianggap menjadi
perintang gerakan mereka. Maka hamba telah memerintahkan
kepada prajurit2 bhayangkara yang akan mengiring paduka,
menanggalkan busana keprajuritan dan berganti dengan
pakaian warna hitam. Agar tak menarik perhatian mereka.
Maka hambapun memberanikan diri hendak mohon ...."
"Tunggu sebentar" tukas baginda seraya masuk ke dalam.
Rupanya baginda dapat mengetahui apa yang dihendaki bekel
Dipa. Dalam detik2 penantian itu, pikiran Dipa bekerja keras
untuk merancang langkah2 yang akan diambil, mengawal
baginda lolos dari keraton. Membayangkan banjir manusia
yang melanda alun2 keraton, meremanglah buluroma bekel
itu. Terlintas suatu bayangan yang mengerikan, apabila
langkah pengawalan baginda itu sampai diketahui oleh kaum
perusuh..... Bagi bekel Dipa, mati membela seorang raja adalah suatu
kematian yang bahagia. Kematian yang tak sia2 karena
sebagai seorang kawula, ia telah membaktikan kesetyaannya
kepada negara. Dan sebagai seorang bhayangkara ia telah
mengabdikan jiwa raganya untuk tugas dan kewajiban. Namun
bukan soal mati yang menjadi kerisauan hatinya. Melainkan
diri baginda Jayanagara yang harus diselamatkan itu. Apabila
terjadi sesuatu pada diri baginda, bukankah besar sekali
tanggung-jawabnya " Terbunuhnya seorang raja, apabila kemungkinan itu
sampai terjadi, akan merupakan sebuah peristiwa yang
menggemparkan seluruh nuswantara. Akan menggoncangkan
bumi Majapahit dan seluruh kawasannya. Jauh lebih gempar
dari halilintar berbunyi di siang hari, lebih dahsyat dari gunung
rubuh, laut kering .......
Apabila baginda Jayanagara sampai terbunuh, jelas
kerajaan Majapahit tentu akan goncang. Akan timbul
pertumpahan darah hebat. Daha dan Kahuripan tentu akan
mengirim pasukan untuk membasmi kaum pemberontak. Dan
terjadilah peperangan besar. Kemungkinan lain, tentu akan
timbul perebutan kekuasaan, antara kaum pemberontak, fihak
keluarga raja dan golongan2 yang haus akan kekuasaan.
Keruhnya suasana akan menimbulkan kacaunya pemerintahan.
Kacaunya pemerintahan akan melemahkan negara dan
lemahnya negara akan menimbulkan akibat yang meluas.
Mancanagara dan daerah2 selama ini di bawah naungan
Majapahit tentu akan berusaha untuk melepaskan diri.
Kesatuan Nuswantara akan berantakan.
"Ah ..." bekel Dipa mengucurkan keringat dingin. Ia
menyadari betapa berat tugas yang terletak pada bahunya
saat itu. Serentak melayanglah pikirannya akan para pejuang
yang tergabung dalam Gajah Kencana "kemanakah gerangan
aku harus mencari mereka?"
Baru hampir setahun ia diangkat menjadi bekel
bhayangkara atau kini ia harus menghadapi ujian yang seberat
ini. Sesaat ia gelisah dan bingung. Ia merasa dirinya makin
kecil dan kecil lalu tenggelam dalam kehampaan yang tiada
berpangkal dan berujung. Ia kehilangan faham.
Cepat ia pejamkan mata, mengheningkan cipta
memusatkan seluruh indera ke dalam penyatuan hening.
"Anakku, jangan engkau takut menghadapi kesulitan yang
bagaimanapun besarnya dalam tugasmu. Lakukan tugas itu
dengan penuh keyakinan dan kepercayaan pada dirimu.
Keyakinan adalah senjata yang paling ampuh. Berbahagialah
ksatrya ysng mempunyai keyakinan di dalam menghadapi
segala kesulitan yang betapapun besarnya ..."
Tiba2 ia tersentak dari cengkeraman cipta ketika bayang2
sesosok benda meremang, menggunduk dan memenuhi ruang
lingkup pandang matanya. Dan pecah berhamburanlah kabut
lamunan yang menyelaputi pikirannya ketika tiba2 terdengar
sebuah suara penuh wibawa "Kerta Dipa, aku sudah siap ...."
"Oh, gusti" bergegas bekel Dipa mengunjuk hormat
"hamba siap mengiring paduka"
"Ke mana tujuan kita ?" tanya baginda.
"Hamba mohon paduka berkenan menunggu di balai
Manguntur, prajurit2 bhayangkara telah hamba perintahkan
berkumpul di balai prajurit"
"Apakah nanti akan ke luar dari Gapura Besi?" tanya
baginda pula. "Tidak, gusti" kata bekel Dipa "berbahaya apabila paduka
hendak mengambil jalan itu. Alun-alun sudah penuh dengan
kaum perusuh. Mereka tentu mudah mengetahui"
"Lalu?" "Apabila gusti berkenan, hamba akan mengiringkan
paduka melintasi lapangan Watangan lalu menuju selatan,
mengitari tembok istana Rani Daha menuju ke candi Syiwa,
terus ke selatan" Demikian baginda segera diiring oleh bekel Dipa dan dua
orang prajurit bhayangkara, menuju ke balai Manguntur.
Setelah memberi perintah kepada kedua prajurit untuk
menjaga baginda, bekel Dipa terus menuju balai prajurit.
Ketika hampir mencapai balai itu, bekel Dipa terkejut
mendengar suara orang menghardik dan menggembor seperti
layaknya apabila orang berkelahi. Bahkan sesaat kemudian ia
mendengar suara orang menjerit kesakitan.
Dipa bergegas lari menuju ke tempat itu. Masih pada jarak
belasan tombak jauhnya, ia melihat berpuluh sosok tubuh
yang berhamburan menerjang tiga sosok bayangan hitam.
Ketiga sosok bayangan itu berloncahan amat gesit untuk
menghindari sergapan. "Perkelahian!" darah bekel Dipa serasa melancar deras
karena rangsang ketegangan hatinya. Serentak ia ayunkan
tubuh loncat ke tempat perkelahian itu.
"Hai, berhenti!" teriaknya seraya meluncur ke tengah
gelanggang, di lapangan muka balai prajurit.
Teriakan Dipa yang membahana gema yang amat kuat,
berhasil menghentikan mereka. Apalagi mereka cepat dapat
mengenal suara bekel muda itu.
"Mengapa, Patra?" tegur bekel Dipa kepada prajurit yang
bernama Patra. "Ketiga orang itu berani menyelundup ke dalam keraton
..." "Siapa menyelundup! Kamulah rombongan kaum
pemberontak yang menyelundup masuk ke dalam keraton.
Untung kami dapat mengetahui" salah seorang dari ketiga
orang yang diserang itu, cepat menukas kata2 Patra.
"Keparat! Siapa menyelundup?" balas Patra "aku dan
kawan2 ini adalah prajurit bhayangkara keraton ini"
"Setan" balas orang itu "siapa yang mau percaya engkau
seorang bhayangkara. Lihat pakaianmu, bukankah serupa
dengan kaum perusuh di luar keraton itu?"
Bekel Dipa dan kedua belas prajurit yang berada di balai
prajurit segera menyadari bahwa saat itu mereka memang
berganti pakaian seperti orang biasa. Menilik nada bicaranya,
orang itu seperti bukan golongan kaum pemberontak.
"Siapa engkau!" tegur bekel Dipa.
Orang itu hendak balas menghardik tetapi dicegah oleh
seorang kawannya yang bertubuh ramping. Rupanya orang
yang seorang ini, mempunyai pengaruh besar.
"Ra! ...." selepas mata bekel Dipa menatap wajah orang
yang berwibawa itu, memekiklah mulutnya "paman ...."
"St!" cepat orang itu mendesiskan peringatan supaya bekel
Dipa tak malanjutkan kata-katanya. Kemudian berkata "ki


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekel, baiklah kita bicara ringkas yang penting. Bagaimana
baginda ?" Sesaat bekel Dipa tertegun dalam kemanguan. Setitikpun
ia tak menyangka bahwa salah satu dari ketiga orang itu,
bukan lain brahmana Anuraga. Walaupun tidak mengenakan
pakaian seorang brahmana, namun Dipa tetap mengenalinya.
Berbagai pikiran dan perasaan memenuhi benaknya sehingga
sampai beberapa saat ia tak dapat bicara.
"Ki bekel, waktu amat berharga, bagaimana keadaan
baginda?" ulang Anuraga pula.
Bekel Dipa tersentak gelagapan "Paman, baginda tak
kurang suatu apa dan saat ini kami hendak menyelamatkannya lolos dari keraton"
"Lolos ?" Anuraga kerutkan dahi.
"Keadaan masih gelap dan keraton terancam bahaya
penyerbuan kaum perusuh. Sedang para mentri, senopati dan
pasukan kerajaan tak tampak. Terpaksa kami menempuh jalan
terakhir untuk menyelamatkan baginda ke luar keraton"
"Yang menggerakkan kerusuhan ini ra Kuti dan para
Dharmaputera ...." "Uh ...." Dipa mendesuh.
"Tujuan utama untuk menangkap patih Aluyuda kemudian
mereka melanjutkan sekali untuk menyerbu keraton. Mentri2,
senopati dan pasukan kerajaan telah dilumpuhkan mereka"
Bekel Dipa nyalangkan mata lebar2 dan berseru penuh
rasa kagum2 heran "O, paman telah mengetahui semua?"
"Kawan2 kita telah bekerja keras, namun kita tetap
terlambat mengetahui"
Serta merta bekel Dipa menceritakan apa yang telah
dilakukan saat itu "Seorang diri aku bingung dan akhirnya
mengambil langkah itu"
Anuraga mengangguk "Engkau tidak seorang diri, ki bekel.
Di belakangmu, kawan2 selalu membantu. Tetapi engkaupun
juga harus mempunyai pendirian dan dapat mengambil
keputusan sendiri dengan tegas"
"Baik, paman" "Langkahmu untuk menyelamatkan baginda ke luar
keraton, benar. Tetapi caranya masih kurang sempurna" kata
Anuraga. "Ya" sahut bekel Dipa "memang masih terdapat bahaya
kemungkinan kam perusuh itu akan mengejar jejak kami.
Tetapi apa daya, ah " tiba2 ia teringat bahwa Anuraga itu
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas "mohon
paman suka memberi petunjuk kepadaku"
"Baik, ki bekel" sahut Anuraga "aku mempunyai suatu
siasat yang dapat mengamankan langkahmu"
Bekel Dipa membeliak penuh harap.
=o-dwkz-mch-o= JILID 29 I Kebijaksanaan adalah hasil dari pertimbangan dan pemikiran. Apabila
pemikiran itu tidak berlandaskan suatu
pendirian, mudahlah kebijaksanaan itu
berkelarutan dalam ketidak-tertiban yang
akan cenderung ke arah kekacauan.
Pikiran itu maha binal. Makin mengembangkannya dalam kebijaksanaan
makin timbul bermacam kebijaksanaan.
Melahirkan kebijaksanaan dalam
kabur dari kenyataan yang ada.
kebijaksanaan sehingga Demikian kebijaksanaan yang tiada arah tertentu.
Bagaikan layang2 putus tali, bagaikan pula sekelompok orang
buta yang menilai bentuk seekor gajah.
Dalam menentukan arah dari kebijaksanaan itu,
seyogyanya setiap persoalan itu diletakkan dalam wadahnya
masing2. Kebijaksanaan orangtua terhadap anak dan anak
terhadap orangtua, kebijaksanaan yang memimpin dan yang
dipimpin, kebijaksanaan dalam rumah tangga, kampung,
masyarakat dan negara. Dan kebijaksanaan terhadap setiap
persoalan yang setiap saat melintang dihadapan kita.
Hidup itu melahirkan gerak dan gerak menimbulkan
persoalan. Itulah sebabnya maka tiada henti hentinya pikiran
kita berputar-putar, berpikir dan mengambil kebijaksanaan.
Ada pula yang mengambil langkah kebjaksanaan untuk
membijaksanakan diri dalam suatu kebijaksanaan yang
terkendali. Ada yang melatih diri untuk berlaku sabar
menghadapi kemarahan. Ada pula yang menghibur diri untuk
menerima saja sesuatu yang menimpah dirinya. Dan lain-lain.
Suatu langkah kebjaksanaan yang baik tetapi masih
kurang tepat. Kebijaksanaan itu hanya langkah sementara
untuk menghindar dari persoalan yang dihadapinya. Misalnya,
hal yang menyebabkan kita marah itu memang dapat
mengendap berkat kita menggunakan kebijaksanaan bersabar.
Tetapi mengendap bukan berarti hilang. Masih tetap melekat
di hati kita, sekalipun sudah terendap pada lapisan bawah
sadar, lapisan yang paling bawah.
Dengan demikian kebijaksanaan itu belum keseluruhannya
menempatkan perasaan kita pada sesuatu keadaan yang
diharapkan oleh kebijaksanaan itu. Lain halnya apabila kita
memberanikan diri untuk menghadapi apa yang menimbulkan
kemarahan hati kita itu, menelaah, mencernakan dan
menelannya. Tanpa harus mengekang diri dalam kebijaksanaan bersabar, lenyaplah kemarahan itu setelah
bertemu dengan penyelesaian yang berkenan dalam perasaan
kita. Demikian halnya dengan Dipa yang kini telah diangkat
menjadi bekel bhayangkara keraton dalam. Dan secara tak
terduga-duga pada malam timbulnya peristiwa itu, dialah yang
bertugas untuk mengepalai penjagaan keraton dalam.
Bekel Dipa masih muda belia, masih merasa banyak
kekurangan dalam pengetahuan dan pengalaman. Tanpa
tangan hebat yang jarang dihadapi oleh setiap orang seperti
pada malam itu, benar2 telah meregang seluruh urat2
tubuhnya, menebar segenap selaput halus jantungnya. Sesaat
ia bingung dan kehilangan faham.
"Dipa, hadapi segala persoalan, betapapun gawat dan
gentingnya, dengan hati yang tabah dan kebijaksanaan yang
mulus. Jangan engkau menyingkir dari segala coba ujian
karena hal itu berarti engkau melarikan diri dari
tanggungjawab. Dan kebijaksanaan yang mulus yalah
kebijaksanaan yang berlandaskan kesucian hati dan berpijak
pada Kebenaran ...."
Hampir sudah menjadi suatu adat kebiasaan bagi Dipa
untuk memejamkan mata merenung manakala menghadapi
suatu persoalan yang sulit. Demikian dilakukannya pula pada
saat itu. Dan dalam keheningan ciptarasa itu, terngianglah
pula kata2 yang diwejangkan oleh eyang Wungkuk kepadanya
dahulu. "Keadaan masih gelap. Siapa yang menggerakkan
kerusuhan itu dan apa tujuan mereka mengepung alun2,
masih belum jelas. Keselamatan baginda terancam dan
sebagai kepala bhayangkara, aku harus memenuhi tugas
untuk menjaga baginda" serentak timbullah tekad dalam
hatinya. Dan semangatnyapun timbul, ke-bijaksaan mengembang. Akhirnya lahirlah keputusan untuk membawa
baginda lolos dari bahaya yang tengah mengancam itu.
Untuk melaksanakan keputusan itu ia sudah membulatkan
tekad. Apapun yang akan dihadapinya, adakah tindakan itu
kelak dapat dibenarkan ataukah akan dipersalahkan dan
dihukum, ia rela menerimanya.
Setitikpun tak pernah disangkanya bahwa dalam saat2
yang genting itu, muncullah Anuraga, paman brahmana yang
dihormati dan disayanginya. Namun pertemuan itu terlalu
mendesak. Tak memberi kesempatan untuk bertanya jawab
tentang keadaan paman brahmana itu selama berpisah.
Namun kesediaan paman brahmana Anuraga untuk membantu
menyelamatkan baginda benar2 menggirangkan sekali, bagai
ulam tiba. Pandang mata menuntun keterangan dari Dipa, dapat
dimengerti Anuraga. "Kemarilah mendekat kepadaku, bekel"
Sesungguhnya tak enak perasaan Dipa menerima sebutan
sedemikian itu. Namun karena keadaan amat mendesak, iapun
tak banyak menaruh keberatan soal itu.
"Apakah engkau dapat menyediakan beberapa ekor kuda
dan beberapa orang?" bisik Anuraga.
Dipa merenung sejenak. "Dapat. Berapa ekor kuda yang
paman butuhkan ?" "Enam sampai delapan"
"Baik, akan kusediakan" kata Dipa "tetapi dapatkah paman
memberitahukan kepadaku, untuk apakah kuda dan orang
itu?" Anuraga mengisar makin merapat dan membisiki kedekat
telinga Dipa. Tiba2 Dipa tampak terbelalak matanya dan
warna wajahnya pun berobah tegang. "Tetapi paman, itu
berbahaya sekali" Anuraga mengangguk pelahan. "Kiranya hal itu tidak lebih
berbahaya dari langkahmu untuk menyelamatkan baginda"
"Tetapi kami hendak mengambil jalan mengitar ke
belakang dan ke luar dari lorong deretan candi di-belakang
istana" "Dipa" kata Anuraga "jika mampu menggerakkan suatu
gerakan besar yang menyerupai kraman, tentulah orang itu
seorang yang pandai dan luar biasa. Tidakkah engkau mengira
bahwa orang itu takkan mampu mempersiapkan rencana yang
cermat untuk menjaga setiap jalan keluar dari keraton?"
Dipa terkesiap. Memang apa yang dikemukakan paman
brahmana itu bukan, suatu hal yang mustahil.
"Hanya dengan siasat penyelimutan itu mereka dapat
dialihkan perhatiannya dan perjalananmu membawa baginda
akan lebih aman" "Memang setiap langkah, selalu mengandung akibat"
berkata pula Anuraga demi memperhatikan mulut bekel Dipa
hendak bergerak-gerak "tetapi karena setiap kewajiban itu
selalu menuntut tanggung jawab maka lapangkan dada dan
pikiran kita untuk menghadapinya."
Dipa termenung-menung. Ia masih tak rela melepas
paman Anuraga melakukan tugas yang berbahaya itu. Jika ia
mati, itu sudah selayaknya. Sebagai bhayangkara, terlebih
pula seorang bekel, tugas kewajibannya memang harus berani
mempertaruhkan jiwa untuk menjaga keselamatan sang nata.
Andaikata ia harus mati dalam langkah membawa baginda ke
luar dari keraton, iapun rela. Karena hal itu sudah layak.
Tetapi lain halnya dengan Anuraga. Bukankah dia seorang
brahmana" Bukan narapraja, bukan pula anggauta prajurit
yang bekerja pada kerajaan. Tidakkah hal itu akan melibatkan
paman brahmana itu kedalam tebing kesulitan yang
berbahaya" "Ki bekel" tiba2 Anuraga melanjutkan berkata, "sifat ragu
itu mengurangkan keyakinan. Apa yang kita anggap benar,
harus kita lakukan. Engkau menganggap bahwa tindakan
untuk membawa sang nata ke luar dari istana itu benar,
lakukanlah. Demikian pula aku. Apa yang kukatakan
kepadamu tadi, kuanggap benar. Maka akupun hendak
melaksanakan" "Tetapi beda paman dengan diri bhayangkara Dipa ini......"
"O, itukah yang menjadi keberatan pikiran?" cepat pula
Anuraga dapat menanggapi alam pikiran Dipa, "engkau kira
hanya bhayangfrara sajakah yang mempunyai tugas kewajiban
untuk melindungi sang nata?"
Dipa terkesiap. "Memang bhayangkara hanya khusus bertugas menjaga
keselamatan raja. Tetapi hendaknya jangan engkau lupa bekel
Dipa. Bahwasannya Gajah Kencana itu merupakan manggala
negara Majapahit. Bukan karena baginda Jayanagara, maka
Gajah Kencana akan terjun dalam pergolakan ini. Bukan pula
karena nata Majapahit itu bernama raja putri Tribuanatunggadewi ataupun raja putri Rajadewi Maharajasa.
Mereka hanyalah titah agung yang direstui anugerah Dewata
untuk duduk di atas tahta singgasana. Bagi Gajah Kencana
bukan titah agung yang duduk di singgasana tetapi bumi
kerajaan Majapahit itu. Majapahit harus tetap tegak di atas
persada bumi nuswantara. Karena dia memberi naungan
kesejahteraan kepada para kawula. Karena dia menjadi
lambang kesatuan seluruh nuswantara !"
"Gajah Kencana berjuang di atas landasan cita2 menjaga
kelangsungan tegaknya negara Majapahit. Oleh karena itu,
kami akan menantang dan memberantas setiap usaha maupun
gerakan dari fihak dan golongan manapun yang hendak
menggangu kelangsungan negara Majtpahit" kata Anuraga


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula setelah berhenti sejenak mengambil napas. "kerusuhan
pada malam ini jelas mengganggu keamanan. Mungkin masih
mengandung maksud yang lebih lanjut kearah kewibawaan
negara. Maka sudah bulat tekadku untuk melaksanakan
rencana tadi. Masih ragukah pikiranmu?" kata Anuraga
menyala-nyala. Serta merta Dipa berlutut mencium kaki Anuraga, "Paman,
ucapan paman itu telah menyadarkan pikiranku. Kini tiada
keraguan lagi yang mengabut dalam hatiku. Aku akan
mengiringkan langkah perjuangan paman dan kawan Gajah
Kencana" Anuraga mengangkat bangun tubuh Dipa. Mata keduanya
beradu pandang. Dipa melihat sinar mata Anuraga memancar
cahaya keyakinan. Anuraga memperhatikan mata Dipa
berlinang-linang keharuan. Ada suatu pertalian batin pada
sinar mata keduanya. Pertalian tanpa suatu ikrar tetapi
terpateri mati dalam sanubari masing2.
"Dipa, kentungan makin bertitir gentar dan riuh. Sekejab
lagi mungkin kaum perusuh itu akan menyerbu masuk ke
dalam keraton. Waktu amat berharga. Lekas sediakan
permintaanku tadi" kata Anuraga.
Bekel Dipa segera bergegas lari ke Balai Prajurit. Ia minta
kepada beberapa prajurit untuk mengambil delapan ekor
kuda. "Kalian berempat" ia menunjuk pada empat orang
prajurit "harus ikut pada ki brahmana ini. Siapa melanggar
perintah beliau, akan dihukum berat. Mengerti ?"
Sebenarnya prajurit yang berada dalam Balai Prajurit itu
tergolong prajurit Jaga-luar. Artinya menjaga di luar keraton
tempat persemayaman baginda. Bukan
pula bekel bhayangkara yang membawahkan mereka. Tetapi entah
bagaimana, saat itu mereka merasa nada perintah bekel Dipa
itu amat berwibawa sekali. Seolah mengandung keputusan
yang tak boleh dibantah. Tak berapa lama Dipa pun membawa delapan ekor kuda
ke hadapan Anuraga. Dia diiring oleh empat orang prajurit
jaga-luar tadi. "Sebelum berangkat, akan kuperkenalkan dahulu engkau
dengan ketiga orang yang akan ikut aku" kata Anuraga lalu
menunjuk seorang prajurit setengah tua "inilah kakang Asadha
bekel prajurit penjaga gapura keraton Tirta Sripala. Dan ini dia
menunjuk kepada seorang anak muda "adi Hesthidono putera
dari senopati Mahesa Pawagal almarhum. Dan yang ini adalah
adi Parandiman, putera rakryan Pamandana. Rakryan Mahesa
Pagawal dan Pamandana adalah senopati kadehan dari
rahyang ramuhun Kertarajasa. Semoga restu dewata
menyertai langkahmu, Dipa."
Dipa termangu-mangu mendengar nama kawan seiring
brahmana Anuraga itu. Patah tumbuh hilang berganti. Dahulu
ayahnya, sekarang puteranya. Dahulu ayahnya mengabdi
sebagai senopati negara. Sekarang puteranya mempersembahkan pengabdiannya sebagai pejuang2 yang
tergabung dalam Gajah Kencana, manggala Majapahit. Mereka
adalah putera2 senopati bahkan rakryan2 yang menjadi
kadehan dari prabu Kertarajasa atau raden Wijaya pendiri
kerajaan Majapahit. Mereka tidak menjadi sentana kerajaan
tetapi tidaklah hal itu menghentikan bhakti pengabdian
mereka kepada negara, Apabila tiba pada renungan itu, diam2 timbullah rasa malu
dalam hati Dipa. Banyak nian kaum narapraja dan sentana
kerajaan yang jelas memperoleh nafkah kehidupan dari
negara, tetapi bertindak merugikan negara. Mereka menerima
jabatan negara tetapi mereka tidak memberikan imbalan
kesetyaan. Bahkan ada pula yang telah menerima kekuasaan
sebagai narapraja, telah menyalah gunakan kekuasaan itu
untuk kepentingan peribadi. Dan dihubungkannya gejala2 itu
dengan keadaan pada malam itu. Malam yang hitam. Hitam
bukan karena cuaca cakrawala melainkan hitam karena
tindakan golongan yang telah menghasut rakyat untuk
mengadakan kerusuhan. Kerusuhan yang cenderung ke arah
kraman, hendak merebut kekuasaan kerajaan.
Bertemulah dua rasa malu dalam hati Dipa. Rasa malu
terhadap para pejuang Gajah Kencana yang berjuang
menurutkan cita2 kejayaan negara. Berhadapan dengan rasa
malu terhadap kaum golongannya para sentana kerajaan yang
tidak mengunjuk kesetyaan. Seolah terjadi benturan antara
dua rasa malu, maka timbullah letupan dahsyat dalam
sanubari Dipa .... "Aku adalah kedua-duanya. Bhayangkara dan pejuang.
Haruslah daya juangku kulipat gandakan agar dapat
rnencangkum kedua pengabdian itu" percikan dari letupan
dalam hati Dipa itu berhamburan menerbangkan semangat
sehingga sesaat ia tegak termangu-mangu. Menatapkan
pandang kehampaan ke arah yang tiada berkeliling. Kemudian
percikan itu berhamburan mencurah ke lautan hati, lenyap,
mengendap dan timbullah sebuah karang. Karang dari tekad
hatinya yang kokoh dan perkasa.
Timbulnya karang tekad dalam hati Dipa itu bersambut
dengan ketegangan urat2 persendian tulang belulang
tubuhnya. Wajah meregang, memantulkan otot2 yang
melingkar-lingkar pada dahi, menyalangkan mata yang
membara dan mengatupkan sepasang bibirnya bagai Gapura
Besi yang tertutup erat dan kuat.
"Ki bekel ...." tiba2 Dipa gelagapan ketika mendengar
sebuah suara memanggilnya dan sesaat pandang matanyapun
tertumbuk akan sesosok tubuh seorang prajurit Jaga dalam
"Engkau ...." "Sang prabu menitahkan hamba untuk mendapatkan ki
bekel. Sang prabu sudah berada di Manguntur"
Dipa menyadari bahwa memang agak lama ia berada di
tempat itu. Segera ia mengajak Patra dan ke-duabelas prajurit
bhayangkara bergegas menghadap baginda yang sudah
menanti di Manguntur. "Patra, lekas engkau menuju ke panggung penjaga di
utara Mandapa dan bawalah penjaga ke Manguntur" tiba2
Dipa memberi perintah. Kemudian ia memberi perintah pula
kepada seorang prajurit lain supaya cepat membawa
enambelas ekor kuda ke Manguntur.
Setiba di hadapan baginda, Dipa segera memberi sembah
dan melaporkan bahwa persiapan telah selesai.
"Berapa orang yang akan mengiring aku?"
"Limabelas arang, gusti"
"Hanya limabelas ?" baginda kerutkan kening "tidakkah
amat sedikit jumlah itu?"
Dipa bergegas menghaturkan sembah "Gusti, hamba
mohon ampun apabila persembahan kata hamba ini tak
berkenan dalam hati paduka"
"Ya, katakanlah"
"Peristiwa pada malam ini, menimbulkan suatu suasana
yang tiada menentu. Segawat gumpalan awan hitam yang
memenuhi angkasa. Setiap saat akan mencurahkan hujan
deras. Didalam menghadapi ancaman hujan, kita harus cepat2
mencari tempat meneduh. Adapun tempat itu, bukanlah soal,
pokok kita terhindar dari curahan hujan. Demikian pula
menghadapi kaum perusuh yang sudah berkerumun di alun2
itu. Seyogyanya paduka berkenan menyingkir dari mereka.
Dalam penyingkiran itu, sebaiknya dilakukan secara rahasia.
Sifat2 rahasia akan terlaksana apabila dilakukan o'eh
pelaksana2 yang tak banyak jumlahnya. Makin sedikit, makin
menjan.ii kerahasiaan tindakan itu, gusti"
Baginda Jayanagara mengangguk.
"Lima belas bhayangkara yang telah mempersembahkan
jiwa raga kebawah duli paduka, yang akan berjuang sampai
titik darah terakhir untuk menjaga keselamatan junjungannya,
hamba kira cukup memadai nilainya dengan sebuah pasukan.
Dan hamba, bekel Dipa, mempersembahkan tekad hamba ke
hadapan paduka ......" serentak Dipa mencabut pedang lalu
dipersembahkan dengan kedua tangan ke hadapan baginda
"apabila sampai terjadi sesuatu pada paduka, mohon paduka
penggal leher hamba dengan pedang ini"
Jayanagara terkesiap. "Dan bilamana terdapat seorang prajurit pengiring paduka
yang luntur kesetyaannya, ingkar akan sumpahnya, akan
hamba bunuh dia dengan pedang ini pula"
"Kerta Dipa, mari kita berangkat!" titah baginda dalam
nada yang masih membekas getar2 keharuan
"Mohon paduka berkenan meluluskan sejenak lagi" kata
Dipa "hamba masih menunggu kedatangan penjaga Panggung
Penjagaan di Mandapa"
Baginda hendak bertanya tetapi saat itu datanglah Patra
bersama seorang prajurit. Setelah memohon perkenan dari
baginda, Dipa segera bertanya, "Prajurit, bagaimana suasana
di alun2?" "Penuh sesak dengan manusia yang berteriak-teriak.
Merekapun membawa obor sehingga alun2 terang benderang"
"Membawa senjata?" tanya Dipa.
"Kebanyakan hanya membekal kayu tetapi ada sebagian
yang menyanggul tombak dan pedang"
"Bagaimana keadaan sekarang?"
"Aneh" tiba2 penjaga itu bergumam.
"Aneh" Apakah yang aneh?" tegur Dipa agak mulai tegang
"apakah mereka berusaha hendak masuk ke dalam keraton?"
"Mereka menyerbu masuk dari gapura Waktra sebelah
barat lalu membanjiri alun2. Gapura yang menghubung ke
dalam keraton telah ditutup rapat dan dijaga ketat oleh
penjaga2. Mereka memang berusaha untuk membobol pintu
gapura. Tetapi belum berhasil usaha itu, tiba2 timbul
kekacauan" "Kekacauan" Apa maksudmu?" Dipa makin tegang
"Sekonyong konyong dari utara terdengar pekik teriakan
yang hiruk pikuk. Dan lautan manusia itu mulai bergerak
gerak. Demikian pula mereka yang sedang berusaha untuk
membobol gapura keraton, pun hentikan gerakannya dan
bergerak mundur ke arah utara"
"Apakah yang terjadi?" Dipa makin meregang tegang
hatinya "adakah engkau dapat mendengar pekik teriakan
mereka?" "Mereka meneriakkan bahwa baginda telah lolos dari
gapura Pintu Besi di utara"
"Oh" Dipa tertegun keras. Seketika ia dapat menduga
bahwa paman brahmana Anuraga tentu sudah bergerak sesuai
dengan rencananya "lalu bagaimana gerak gerik mereka?"
"Tampak kacau" kata penjaga Panggung Penjagaan itu
"beberapa orang yang bersenjata berusaha menenangkan
suasana" Sejenak merenung Dipa lalu memerintahkan supaya
penjaga itu kembali ke tempat tugasnya.
"Adakah mereka sudah surut ke luar dari alun2, bekel?"
tegur baginda setelah penjaga itu mohon diri.
Dipa sudah selesai membuat penilaian tentang suasana di
alun2. Maka iapun menjawab, "Keadaan masih berbahaya,
gusti. Baiklah hamba mengiringkan paduka untuk sementara
lolos dari keraton" Dipa tak mau memberitahukan tentang rencana yang telah
disepakatkan dengan brahmana Anuraga kepada baginda. Ia
tak mau mempertaruhkan keselamatan baginda hanya karena
rencana paman brahmana itu. Dan pada hakekatnya, rencana
yang dilakukan brahmana Anuraga itu memang untuk
meratakan jalan penyingkiran baginda dari keraton.
Bagindapun setuju. Enam belas ekor kuda telah menunggu
di halaman muka Manguntur. Dengan khidmat bekel Dipa
mempersilahkan baginda, "Gusti, hamba sekalian siap
mengirirg paduka" Setelah berada di atas pelana kuda, bekel Dipa pun segera
memerintahkan prajurit2 itu berjalan sesuai dengan rencana
yang telah diperintahkan tadi. Patra dan Sagara berjalan di
sebelah muka. Dipa mengiring di samping baginda. Enam
prajurit mengiring di belakang, kedua samping baginda
masing2 dijaga oleh tiga prajurit.
Di tengah balai agung Manguntur, terdapat balai Witana.
Dan bagian utara dari Manguntur adalah Penangkilan, tempat
duduk para pujangga dan para mentri. Di belakang
Penangkilan, terbentang lapangan Watangan yang luas. Dipa
memerintahkan supaya pemberangkatan rombongan agung itu
melalui selatan Manguntur. Dengan demikian tidaklah akan
mengganggu penjaga2 ataupun pandita dan brahmana yang
kemungkinan berada di sekitar lingkungan Manguntur. Dipa
benar2 menghendaki agar perjalanan itu bersifat rahasia.
Walaupun sudah duduk di atas pelana Jentayu, kuda putih
kesayangan baginda, namun belum juga baginda memacunya.
Tampak sang nata melepas pandang ke arah Manguntur,
paseban agung yang hendak ditinggalkannya itu. Di balai
agung itulah baginda biasa menerima pasewakan dari para
pujangga dan mentri. Betapa agung berwibawa, apabila
baginda dihadap oleh mentri2 kerajaan yang menghaturkan
laporan tentang bidang pekerjaan masing2. Tentang
perkembangan hasil pertanian, hasil kerajinan rakyat,
perdagangan, hubungan lalu lintas dan hasil2 bandar di Cincu,
Tuban dan lain2. Keamanan dan kesejahteraan rakyat,
peningkatan kemakmuran negara. Dari para pujangga,
dilaporkannya pula tentang perkembangan kesenian dan ilmu
sastra. Antara lain kakawin yang berbentuk cerita2
pewayangan karya yang berbentuk pujasastra maupun
piagam2 pada batu, hasil seni pahat dan lain2. Dari para
pemuka agama Syiwa dan Budiha masing2 mempersembahkan laporan tentang perkembangan agama, di
candi2, asrama2 kuil dan rumah2 sudharma atau rumah suci.
Betapa berkumandang nada ucapan para pujangga dan
mentri yang menghaturkan laporan itu dalam balai agung
yang berlantai batu pualam putih dengan tiang2 saka yang
berhias ukiran bunga, naga dan dewa2.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesan2 itu mencengkam benak baginda di saat itu. Betapa
agung suasana saat2 itu. Adakah keagungan dan kekuasaan
yang megah itu harus ia tinggalkan.
Keagungan, kekuasaan, kewibawaan, dan kemewahan,
selalu didambakan oleh manusia. Yang belum menikmati,
berusaha keras untuk mencapai. Yang sedang menikmati, tak
ingin melepaskan. Yang sudah mengenyam, makin tenggelam.
Apabila prabu Jayanagara tertegun senyap diterkam
kenangan sendu, dapatlah dimengerti oleh bekel Dipa. Ia tak
berani mengingatkan baginda agar lekas berangkat, melainkan
menghela napas rawan. "Bekel" tiba2 baginda berkata pelahan, "dalam helaan
napasmu, terasa engkaupun ikut rawan merasakan suasana
saat ini" "Hamba amat perihatin sekali, gusti"
"Perihatin?" ulang baginda agak terkesiap "bukan merasa
ikut belasungkawa?" "Tidak, gusti" "Bukan ikut bersedih?"
"Ti ....... dak, gusti"
Baginda berpaling perlahan, memandang anggun lalu
betseru lirih, "Mengapa?"
"Karena pada keyakinan hamba, kepergian paduka dari
keraton, hanya sekedar meneduh. Hanya untuk sementara,
bukan selama-lamanya. Meneduh dari gangguan hujan dan
hujan itu tak mungkin selamanya melainkan hanya beberapa
waktu dan berhenti" "Itukah keyakinanmu, bekel?"
"Demikian gusti" jawab Dipa "karena itu maka hamba
sangat perihatin" "Apa yang engkau maksudkan dengan perihatin?"
"Perihatin yalah meningkatkan kewaspadaan, memawas
diri, menggencarkan permohonan kepada dewata agar segala
awan gelap yang menghitam di langit pura Majapahit, segera
tersapu bersih" "O, hanya itu?"
Bekel Kerta Dipa terkejut. Tanpa disadari ia telah lancang
memberi uraian kepada seorang yang paling berkuasa di
seluruh negara Mtjapahit. Serentak berdebarlah hatinya ketika
menyadari akan kedudukan diri. Dia hanya seorang bekel
prajurit bhayangkara dan masih belum berapa banyak usianya.
Kedudukan rendah, pengalaman kurang, pengetahuan
dangkal. "Mengapa engkau diam saja, bekel?" tiba2 baginda
menegur karena Dipa termangu.
Ucapan seorang nata adalah sebuah titah yang tak dapat
dibantah. Dan karena situlah terlanjur mempersembahkan
kata, maka terpaksa ia harus memberanikan diri untuk
menyelesaikannya. "Menurut hemat hamba yang rendah ini, perihatin harus
berjalan seiring dalam batin dan tindakan. Setelah menilai
kekurangan2 dalam mawas diri, setelah membajakan tekad
dan iman dalam persembahan doa kepada dewata, maka
haruslah kita bertindak. Dewata melimpahkan restu, pun harus
kita tempuh dengan sarana yang berupa langkah dan
tindakan. Tanpa berani mengambil langkah dan tindakan,
restu dewata takkan terwujud. Demikian gusti" kata Dipa
mengakhiri kata2 dengan mengunjuk sembah, "mohon paduka
melimpahkan ampun apabila terdapat kata2 yang tak
berkenan" Jayanagara mengangguk, "Mari kita berangkat, bekel"
Rombongan baginda menyusur lorong yang kedua tepinya
berpagar tembok. Sebelah timur, pagar tembok lingkungan
lapangan Watangan. Sebelah barat, hanya terpisah sebuah
dinding tembok yang tinggi, adalah alun-alun yang saat itu
masih bertumpah ruah menampung libuan rakyat.
Tiba di persimpangan lorong, bagiada pun berhenti pula
untuk melepaskan pandang ke sekeliling. Lorong yang
membujur dari timur ke barat penuh berhias jajaran pohon
tanjung. Pohon2 itu tumbuh tinggi dan rindang dan saat itu
tengah berkembang memutik buah.
Dalam kehidupan hari2 biasa, sering kita menganggap
segala sesuatu yang berada di lingkungan kita itu, suatu hal
yang lumrah dan tak mengherankan. Tetapi pada detik2 kita
akan berpisah ataupun menderita sesuatu, hal2 dan benda2
yang lumrah itu tiba2 tampak melantangkan bayang2 yang
mengesankan. Menimbulkan kenangan yang menggores.
Demikian yang dirasakan oleh Jayanagara, nata prabu
Majapahit saat itu. Di kala memandang pohon2 tanjung itu,
ada sesuatu yang mengikat perhatiannya. Teringat seketika
kenangan pada masa lampau, masa kanak2 yang penuh
dengan hari2 yang cerah dan keriangan. Kegemaran baginda
akan pohon tanjung memang amat besar. Pada masa oleh
ayahanda baginda Kertarajasa Jayawardana, raden Kala
Gemet diangkat sebagai yuwarsja atau rajamuda di Daha
dengan gelar Jayanagara, beliau segera suruh sentana untuk
menghias taman keraton Daha dengan pohon tanjung dan
brahmastana. Ketika ayahanda baginda Kertarajasa wafat dan
yuwaraja Jayanagara dinobatkan sebagai nata Majapahit
dengan abiseka maharaja adiraja parameswara sri
Wiralandagopala, baginda masih amat muda belia. Kegemaran
kanak2 maih belum hilang. Maka pada waktu luang, sering
benar baginda bercengkerama di lorong2 istana yang penuh
ditanami pohon tanjung dan brahmastana.
Kelopak bunga tanjung, sepintas tampak bagai bintang
kejona. Humi yang menampung guguran bunga tanjung
bagaikan permadani yang bertaburan bintang bahaduri. Dan
isi atau kecik dari buah tanjung, merupakan benda2 yang
baginda gemar mengumpulkannya. Dayang2 dan biti2 perwara
heran juga atas kegemaran junjungannya itu. Kemudian
setelah menginjak masa dewasa dan kegemaran baginda
beralih pada wanita, pohon tanjung itupun tak diperhatikannya
lagi. Namun di saat baginda hendak meninggaikan keraton,
serentak bangkit pula kenangan lama. Kenangan yang
membawa beliau kembali ke masa kanak2, mengingatkan
beliau akan kegemarannya.
"Ah, pohon tanjung tetap setya tumbuh menghias lorong2
keraton. Dan mereka tetap menyebarkan bunga ke bumi. Dari
tahun ke tahun. Tetapi aku banyak mengalami perolahan
hidup. Terutama pada malam ini, aku dipaksa keadaan untuk
meninggalkan keraton" sayup2 hatinya berbicara, "baiklah,
pohon2 tanjung. Aku telah mengabaikan kalian selama
bertahun-tahun ini. Nyata kalian masih tetap setya. Apabila
kelak aku kembali ke keraton lagi, niscaya akan kutitahkan
sentana untuk memperindah tempat2 kediamanmu ...."
Kala itu Dipa tak berani mengusik kata. Ia membiarkan
baginda bercengkerama dalam lamunan. Diapun menyadari
bahwa memang berat nian perasaan baginda untuk berpisah
dengan keraton dan seluruh isinya. Diam2 Dipa girang. Selama
baginda masih memiliki rasa berat hati kepada keraton,
tentulah baginda akan berusaha untuk kembali lagi. Suatu titik
tolak yang meyakinkan untuk merebut kemenangan.
Selepas menumpahkan ikrar dalam hati maka baginda pun
memacu kuda putih pula dan bergeraklah rombongan
pengiring menjelajah lorong yang sunyi dan remang. Mereka
membiluk ke timur. Tiba2 bagindapun berhenti pula. Ketika Dipa memandang
ke arah bangunan yang tengah ditatap baginda, ia menghela
napas. Bangunan megah itu bukan lain adalah keraton tempat
persemayaman baginda sendiri.
"Ah, inilah keraton pusaka yang telah dibangun oleh
ayahanda rahyang ramuhun Kertarajasa. Aku dilahirkan,
dibesarkan dan dimahkotai kekuasaan maharaja adidaja di
keraton itu" kembali timbul suatu percakapan yang halus
dalam hati sanubari baginda. Serentak beliau teringat akan
ucapan almarhum ayahanda baginda dahulu. "Puteraku, jika
engkau tahu betapa jerih payah kubangun keraton Tikta
Sripala ini dari bongkah2 bumi desa Terik yang tandus. Jika
pula engkau ketahui betapa banyak darah dan keringat yang
telah tercurah menyiram bumi Terik sehingga menjadi sebuah
kerajaan Wilwatikta yang besar ini. Pastilah akan sebesar dan
sehebat itu rasa cintamu kepada kerajaan yang kelak
kuwariskan kepadamu ..."
Dalam detik2 yang gawat seperti malam itu, terngianglah
ucapan2 rahyang ramuhun Kertarajasa bagaikan kentongan
yang riuh bertitir di luar istana. "Ah, aku seorang putera
durhaka apabila mensia-siakan warisan rama baginda ...."
"Bekel Dipa" tiba2 terlonjak kata2 nyaring dari mulut
baginda "kumpulkan seluruh prajurit dan penjaga yang berada
di keraton malam ini!"
Bertubi tubi Dipa menderita kejut hati. Timbulnya peristiwa
kerusuhan malam itu, putusnya hubungan keraton dengan
luar dan kemunculan brahmana Anuraga. Tetapi yang paling
mengejutkan yalah kala mendengar titah baginda pada saat
itu. Adakah baginda hendak merobah keputusan"
"Gusti" Dipa memberanikan diri "sudikah kiranya paduka
berkenan melimpahkan penjelasan dari titah paduka yang
akan hamba katakan kepada para prajurit dan penjaga itu"
"Siapkan mereka dalam kelengkapan tempur!"
"Bertempur, gusti?"
"Ya" sahut Jayanagara dengan tegas "aku adalah raja
Majapahit, keturunan rahyang ramuhun Kertarajasa Jayawardana yang gagah perkasa. Hina bagi seorang raja
apabila harus melarikan diri dari keraton. Aku akan menghajar
perusuh2 itu sebagaimana dahulu rama baginda mcmporakporandakan musuh dengan trisula pusaka ini !"
Serempak baginda mencabut trisula yang diselipkan pada
pelana kuda Jentayu. Pucatlah wajah bekel Dipa seketika itu. Jerih payah
usahanya untuk menyelamatkan baginda dari ancaman
kerusuhan, pengorbanan brahmana Anuraga bersama
beberapa pejuang Gajah Kencana, berhamburan lenyap bagai
awan tertiup angin. Ia menyadari bahwa baginda Jayanagara
itu berhati keras, sukar untuk mengendapkan keputusannya.
"Tetapi gusti, mereka jauh lebih besar jumlahnya ...."
"Enyahlah engkau, bekel Dipa!" hardik baginda dengan
nada geram, "keraton merupakan pusaka yang telah
diwariskan oleh rama baginda. Adakah sebesar pengorbanan
rama baginda dala m mendirikan kerajaan, akan kubalas
dengan semudah itu kutinggalkannya" Tidak, bekel, kalau
harus mati, aku akan mati di dalam keraton. Dewata menjadi
saksi akan sumpahku ini .... !"
"Gusti ...." teriak Dipa terkejut. Ia heran mengapa baginda
meluapkan sumpah yang sedemikian. Pada hal tiada orang
yang mengharapnya. Dan pada hal pula, sumpah seorang raja
amat bertuah. Setiup angin berhembus, bunga2 pohon tanjung
berguguran, kentungan berhenti dan suara hiruk pikuk di
alun2 pun sirap. Seolah olah bergetarlah bumi mendengar
ikrar tang nata..... "Baiklah, gusti" beberapa saat kemudian tersadarlah bekel
Dipa dari kepukauan, "hamba akan mengiring paduka untuk
menghajar kaum perusuh itu!"
"Kerahkan seluruh prajurit dan penjaga yang masih ke
mari" titah baginda.
"Gusti" sembah Dipa "untuk mengumpulkan mereka
memakan waktu. Mungkin kaum perusuh sudah berhasil
membobol pintu gapura dan menyerbu ke dalam keraton.
Demikian pula jumlah prajurit dan penjaga yang saat ini
berada di keraton, tidaklah banyak gusti. Hamba seyogyakan
supaya prajurit2 yang mengiring paduka ini, mohon segera
paduka titahkan untuk menyerbu kaum perusuh. Sebagai
pelopor, mohon paduka berkenan mengidinkan diri hamba"
"Ksatrya engkau, bekel"
menyongsong mereka!"
seru baginda "mari kita Atas saran bekel Dipa, baginda menyetujui untuk
mengambil sepanjang lorong yang menjurus ke arah barat.
Setelah tiba di ujung lorong, membiluk ke utara dan tiba di
gapura Waktra, gapura alun2.
"Prajurit2, dengarkan amanat baginda, junjungan kita"
seru Dipa kepada keempat belas prajurit bhayangkara
sebawahannya, "baginda menitahkan kalian untuk mengiringkan baginda menyerang kaum perusuh. Aku, bekel
Kerta Dipa, mengingatkan kamu akan sumpah prajurit yang
telah kamu ikrarkan di hadapan sang prabu yang kita cintai.
Mati di medan laga adalah suatu kehormatan suci bagi
seorang prajurit!" Serta merta keempat belas prajurit bhayangkara itu turun
dari kuda masing2 lalu memberi sembah kepada baginda,
"Hamba sekalian bersedia mati demi baginda!"
Pernyataan keempat belas bhayangkara itu diterima
dengan gembira oleh baginda. Kemudian baginda segera
mengajak mereka berangkat.
Berdenting denting kaki keenam belas ekor kuda itu
meningkah lorong yang membujur dari timur ke barat. Tiada
seorangpun yang mengucap walaupun dalam hati masing2
tengah bicara asyik. Tiba dipersilangan lorong, sekonyong-konyong dari arah
utara, berlari-lari sesosok tubuh kurus. Langkahnya
terhuyung2. Bekel Dipa cepat memerintahkan anakbuahnya
berhenti dan iapun terus menyongsong ke muka "Siapa!"
hardiknya seraya bersiap-siap menggenggam tombak hendak
disongsongkan ke arah orang itu. Namun sesaat itu pula,
cepat ia menyurutkan senjatanya demi melihat bahwa
pendatang itu hanya seorang wanita tua.
"Baginda Jayanagara .... di mana ...?"" wanita tua itu tak
menghiraukan teguran bekel Dipa melainkan berseru dengan
napas diburu engah.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa engkau !" bekel Dipa mengulang bentakannya
dengan nada bengis. "Hai, engkau nyai Sajopa !" tiba2 pula baginda berseru
kejut dan ajukan kudanya ke muka wanita tua itu.
"O, baginda ...." serta merta wanita tua itu menghampiri
dan memeluk kaki baginda.
Baginda membiarkan wanita itu mencium kakinya karena
memang sejak ia masih kecil, wanita itu sering berbuat
demikian. Nyi lurah Sagopa adalah inang pengasuh baginda
semasa masih kecil. "Mengapa saat ini engkau berada di sini Sagopa ?" tegur
baginda. "Duh, junjungan hamba" kata nyi Sagopa masih memeluk
kaki baginda, "hamba terkejut karena mendengar hiruk pikuk
di luar keraton. Hamba mendapat keterangan dari seorang
penjaga bahwa paduka berada di Manguntur. Hamba menuju
ke Manguntur tetapi paduka tak ada. Hamba bingung dan
berlari-lari kembali kc keraton. "O, terima kasih dewa, bahwa
akhirnya hamba dapat berjumpa dengan paduka."
"Mengapa engkau mencari aku?" baginda agak heran.
"Penjaga memberitahu kepada hamba bahwa di alun2
timbul kerusuhan kraman. Maka hamba bergegas mencari
paduka ...." "Mengapa ?" "Hamba mohon supaya paduka jangan menghadapi
perusuh2 itu dan lebih baik menyingkir dulu dari keraton"
Baginda kerutkan dahi. "Aneh, engkau Sagopa. Aku
seorang nata, mengapa harus melarikan diri dari keraton ?"
"Ah, gusti momongan hamba" kata wanita tua tersendat
"jangan juga paduka menurutkan hawa nafsu kemurkaan.
Lebih baik paduka menyingkir lebih dahulu ke tempat yang
aman" Jayanagara tertawa datar "Tidak, Sagopa, aku keturunan
seorang raja ksatrya yang gagah berani. Masakan aku takut
menghadapi perusuh2 semacam itu"
"Jangan, gusti, jangan ...." teriak nyi Sagopa seraya
memeluk kaki baginda makin kencang.
Jayanagara kerutkan alis makin menegak, "Aneh, aneh
benar engkau ini Sagopa. Bukankah aku sudah dewasa, sudah
dinobatkan sebagai nata Majapahit. Tiada seorang manusia di
bumi Majapahit yang berani membantah titahku. Tidakkah
engkau melihat bahwa aku sudah bukan seorang anak kecil
yang engkau momong ?"
"Bagi nyi Sagopa, paduka tetap sama. Dahulu momongan
hamba sekarangpun momongan hamba. Selama tubuh hamba
yang kurus kering dilayu ketuaan ini masih berisi nyawa,
hamba tetap akan memomong paduka"
Terhadap dayang pengasuhnya semasa kecil itu, memang
baginda amat sayang. Ia pun tahu bahwa nyai Sagopa merasa
sayang dan memikirkan keselamatannya. Ia tahu betapa kasih
sayang dayang pengasuh itu kepadanya. Namun ketika
terlintas akan bayangan keraton dan terngiang akan pesan
ramuhun rahyang Kertarajasa, bangkit pula semangat
kemarahannya. "Sagopa, coba engkau katakan apa alasanmu
menghalangi langkahku ini" Karena engkau mencemaskan
kedelamatanku ataukah ada hal2 yang lain lagi "
"Benar, gusti" tiba2 dayang tua itu berseru "memang
hamba dititahkan untuk menyampaikan pesan kepada
paduka." "Siapa yang memberi pesan kepadamu?"
"Rahyang rumuhun Kertarajasa."
"Hai," Jayanegara tersentak kaget, "rahyang ramuhun
Kertanjasa" Ah, rupanya engkau sudah mulai pikun Sagopa.
Bakankah rama baginda sudah wafat beberapa tahun yang
lalu?" "Benar, memang baginda Kertarajasa sudah wafat" kata
nyai Sagopa "tetapi semalam telah menemui hamba"
"Engkau bermimpi!" teriak baginda.
"Inilah bermimpi entah sesungguhnya tetapi memang
baginda Kertarajasa telah datang kepada hamba dan memberi
titah agar hamba menghadap paduka dan menyampaikan
amanat beliau" "Apakah amanat ramanda baginda?"
"Memang sudah saatnya kerajaan akan mengalami coba
dewata. Keraton Tikta Sripala akan diserang kaum perusuh.
Maka dititahkan agar paduka bersabar dulu dan lolos dari
keraton" "Dan keraton ini akan diduduki penghianat2 itu?" teriak
baginda. "Hal itu tergantung pada paduka" jawab nyai Sagopa
"apabula paduka mau melaksanakan titah ramuhun rahyang
Kertarajasa, paduka tentu selamat dan keraton tentu akan
kembali kepada paduka. Tetapi bila paduka menentang
amanat itu, kerajaan Majapahit tentu akan dirundung
malapetaka" Baginda Jayanagara tertawa. Nadanya penuh ejek dan
geram. "Tidak, Sagopa, aku takkan menuruti kata2 mu itu. Itu
hanya impianmu, impian seorang wanita tua yang sakitsakitan. Masuklah engkau ke dalam keraton."
"Tidak gusti, hamba harus melakukan titah ramanda
baginda" teriak nyai Sagopa dengan makin mengencangkan
pelukannya. "Gila, masakan bermimpi engkau anggap sungguh2" teriak
baginda. "Tetapi itu suatu amanat. Tak mungkin rahyang ramuhun
Kertarajasa berdusta. Baginda adalah seorang nata binatara
yang agung dan keramat!"
Karena berulang kali diperingatkan masih juga dayang tua
itu tak mau melepaskan pelukannya akhirnya baginda
Jiyanagara jengkel. "Sagopa, apabila engkau masih tetap
berkeras kepala, akan kupukul dengan trisula ini" sambil
mengancam bagindapun mengacungkan trisula ke atas kepala
nyai Sagopa. "Trisula ?" nyai Sagopa berteriak, membelalakkan mata
memandang ke arah senjata di atas kepalanya "bukankah itu
senjata pusaka dari rahyang ramuhun Kertarajasa ?"
"Hm, engkau masih mengenali"
"Timpalkan gusti ke kepala hamba. Hamba puas
dengan Trisula itu karena dengan begitu hamba tentu
diterima o!eh rahyang ramuhun Kertarajasa. Hamba
melaporkan bahwa paduka menolak menerima amanat
paduka ...." mati akan akan rama Jayanagara terkesiap. Ia benar2 jengkel dengan dayang
pengasuhnya itu. Digertak, diancam bahkan hendak dipukul
dengan senjata, tetap pantang melepaskan pelukannya.
Apabila kaki terus menerus dipeluk dayang tua itu, tentu ia tak
dapat melanjutkan perjalanan menuju ke alun2.
"Sagopa, apakah engkau benar2 tak mau melepaskan
kakiku?" serunya. Kali ini dengan nada kebengisan amarah.
"Tidak, gusti, apabila paduka tetap hendak melanjutkan
langkah paduka untuk menghadapi perusuh-perusuh itu,
hamba tetap akan memeluk kaki paduka .........."
Dalam pada bertanya itu, baginda sudah membayangkan
suatu rencana bagaimana akan melepaskan diri dari dekapan
dayang pengasuhnya. Maka pernyataan nyai Sagopa telah
disambutnya dengan sebuah desuh menggeram, "Hm, engkau
keras kepala benar, Sagopa ........"
Tiba2 baginda menggerakkan kakinya, mendupak pelukan
tangan nyai Sagopa seraya berseru memberi perintah kepada
prajurit- pengiringnya. "Hayo, maju ....."
Selepas mendupak, kaki baginda pun memacu perut
Jentayu dan bagaikan anakpanah meluncur dari busur maka
melompatlah kuda putih dengan sebuah ayunan yang dahsyat.
Namun seiring kuda menerjang ke muka maka terdengarlah
jeritan ngeri yang bernada parau. "Oh, anakku angger, Kala
Gemet ...." Krek ....... seketika baginda sentakkan tali kendali sekuat
kuatnya sehingga kudapun berhenti agak kesakitan. Loncatan
kuda putih itu sudah mencapai bebepa belas tombak dari
tempat beliau berhenti tadi. Dan dalam mencongklangkan
kuda itu, baginda agak dirangsang oleh hawa kemarahan.
Tetapi entah bagaimana demi mendengar teriakan nyai
Sagopa, baginda pun menghentikan kudanya.
Bukan karena terkejut mendengar dayang tua itu
melantang ucapan 'anakku angger Kala Gemet'. Melainkan
dalam teriakan itu terasa suatu pengaruh gaib yang
menyentuh perasaan hati baginda sedemikian rupa. Pengaruh
gaib seolah seperti suara ayahanda beliau, ramuhun rahyang
Kertarajasa, yang menitahkan supaya ia hentikan kudanya.
Selekas kuda putih berhenti tanpa menghiraukan adakah
kuda kesayangannya itu kesakitan atau tidak, baginda
Jayanagarapun segera memutar tali kendali, memaksa kuda
itu berputar ke belakang. Dan selekas kuda berputar, terus
dilarikan ketempat nyai Sagopa. Baginda terkejut ketika
dilihatnya bekel Dipa sudah turun dari kuda dan tengah
mengangkut tubuh dayang tua itu.
"Bagaimana, bekel" seru baginda cemas, seraya bergegas
loncat dari kudanya. "Wanita, ini ...... meninggal, gusti" sahut bekel Dipa
tersekat sedih. "Apa katamu ?" baginda bergegas menghampiri lalu
jongkok disamping wanita tua itu, memegang pergelangan
tangannya untuk memeriksa denyut nadinya.
Karena baginda berjongkok, bekel Dipa pun menyurut
mundur lalu duduk bersila di tanah. Demikian pula dengan ke
empat belas prajurit. Mereka berhamburan turun dari kuda
dan duduk bersila di tanah.
"Sagopa......" baginda menyiak kelopak mata dayang
pengasuh itu. Tetapi nyai Sagopa tak dapat membuka mata
lagi. Mulutnya terkancing rapat2 dan jiwanyapun telah
melayang. Dupakan kaki baginda tadi berhasil melempar tubuh nyai
Sagopa yang tua dan lemah itu ke belakang, terhuyunghuyung dan jatuh terjerembab. Kepalanya menghantam tanah
dan wanita yang sudah lemah sakit-sakitan itupun hanya
dapat mengucap beberapa patah kata. Ia mati. Mati karena
dupakan kaki raja yang semasa kecilnya menjadi
momongannya. Dan ia mati dengan wajah cerah tak
mengunjuk kerut dendam. Dalam saat2 terakhir sang nyawa
hendak meninggalkan raga, tiada sepatah katapun dayang tua
itu menyesali sang momongan ....
Nyai Sagopa hanya seorang dayang pengasuh Dan
momongan yang diasuhnya itu seorang putera mahkota.
Derajat dan kedudukannya, sejauh bumi. dengan langit.
Namun kasta, derajat dan kedudukan, itu hanya pengadaan
dari manusia dan masyarakat ataupun kepercayaan agama.
Tetapi dengan manusianya sama2 titah Hyang Widdhi dengan
segala sifat2 kekurangannya. Bagi nyai Sagopa, tiada suatu
garis perbedaan antara putera mahkota dengan dirinya.
Baginya, Kala Gemet adalah anak momongannya. Yang
dikasihi dan disayanginya dengan sepenuh hati. Hati dari
seorang wanita yang memancarkan rasa keibuan.
Rasa kasih dan sayang dari inang pengasuh itupun
memantulkan imbalan rasa sayang dalam hati seorang putera
raja, calon mahkota kerajaan Majapahit. Saat itu baginda
terpukau dalam kemanguan yang dalam ketika mengetahui
bahwa nyai Sagopa telah mati. Mati karena terdupak kakinya.
"Aku telah membunuhnya ...." hati nurani baginda
menuduh dirinya. Dan berkelanjutanlah tuduhan yang
berhamburan dari hati nuraninya. Bagaikan hakim yang
tengah menguraikan kesalahan2 seorang tersangka "engkau
membunuh seorang wanita tua yang lemah berpenyakitan ....
seorang wanita yang telah mengabdikan diri selama hidupnya
.... seorang wanita yang mengasuh dan memomongmu
semasa engkau kecil .... seorang dayang pengasuh yang amat
menyayang dirimu ...."
Jayanagara segera pejamkan mata bagai seorang
pesakitan yang ngeri mendengar tuduhan hakim, "bukankah
dia bermaksud baik hendak mencegahmu" Bukankah dia telah
mendapat amanat dari rama bagindamu melalui impian gaib "
Engkau menolak amanat rama bagindamu bahkan membunuh
dayang yang menjadi bentara amanat gaib itu. Bukankah
engkau telah melakukan dua kesalahan, menentang amanat
dari rama bagindamu dan membunuh dayang pengasuhmu.
Dosa, dosa ...." Makin kencang baginda mengatupkan pelapuk mata
karena tuduhan-tuduhan hati nuraninya itu makin ngeri. Dan
selepas hati nuraninya menjerit-jerit melantangkan kesalahannya maka pikirannya pun melayang jauh ke masa
yang lama silam. Seorang putera raja yang sering sakit-sakitan selalu
diemban atau digendong dengan selendaig oleh seorang
dayang pengasuhnya. Putera raja itu amat manja dan nakal,
tak mau turun dari gendongan dayang pengasuhnya. Namun
walaupun amat letih dan ngantuk, dayang itu tetap
menggendong momongannya. Tiap malam apabila naik ke
peraduan, putera raja itu selalu minta dipijati kakinya dan
didendangkan tembang2 pengantar tidur. Terutama apabila
sedang sakit, maka dayang itupun seperti tersiksa. Siang
malam tak tidur. Sedemikian besar rasa sayang dan kasih
dayang pengasuh itu kepada momongannya sehingga sang
prabu sampai memberi kepercayaan besar untuk meluluskan
dayang pengasuh itu tidur dilantai bawah peraduan putera
raja. "Gemet, aku bukan ibumu tetapi nyai Sagopa itulah
ibunya, ya?" sampai2 karena jengkel terhadap puteranya yang
tak mau ikut kepadanya, ratu Indreswari berkata demikian. Kenangan itu makin

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyayat hati baginda dan
tiba2 meluncurlah ucapan,
"Sagopa, maafkan aku ...."
Dua titik airmata mengalir dari kedua kelopak
mata baginda .... Bekel Dipa dan keempat belas prajurit yang duduk
bersila di tanah itu menundukkan kepala tak berani mengganggu baginda
yang tengah termenung-menung di samping jenazah nyai
Sagopa. Mereka tak tahu bahwa baginda Jayanagara, raja
yang berkuasa dari kerajaan Majapahit yang terkenal keras
dan memegang tampuk pimpinan pemerintahan-nya dengan
cara tangan besi atau Gitik- pentung, pada saat itu di hadapan
seorang dayang tua yang membujur sebagai mayat, telah
mengucurkan air mata.....
Sunyi senyap saat itu sehingga desus napas dari prajurit2
bhayangkara yang tengah menantikan titah junjungannya itu
terdengar jelas. "Bekel" tiba2 terdengar baginda berseru tanpa
memalingkan muka "bawalah jenazah nyi Sagopa ini ke candi"
Bekel Dipa yang tengah termangu- mangu, tersentak
kejut, "Baik, gusti" serunya gopoh "ke candi manakah yang
paduka titahkan?" "Ke candi Syiwa di samping gedung Dharmadhaksa" titah
baginda seraya mengusap air mata yang membekas di pipi. Ia
malu dilihat prajurit2. "Tetapi gusti" seru bekel Dipa pula "bukankah gusti
menitahkan kami mengiring paduka ke alun2?"
"Kita lanjutkan rencanamu semula" kata baginda seraya
melangkah ke tempat kuda putih lalu menaiki dan berjalan
balik kembali ke timur. Bekel Dipa terkejut. Namun ia segera perintahkan
anakbuah untuk mengangkat jenazih wanita tua itu. Tak putus
heran bekel itu dikala mengiring di belakang baginda. "Adakah
baginda merobah keputusannya untuk menyerbu kaum
perusuh" Mengapa kematian dayang tua itu sangat
mempengaruhi hati baginda?"
Memang bekel Dipa tak tahu betapa jalinan batin antara
baginda dengan dayang tua itu. Memang benar. Kematian nyai
Sagopa itulah yang mempengaruhi perasaan baginda sehingga
mau merobah keputusannya. Baginda hendak menebus
kesalahan dengan menuruti permintaan dayang pengasuhnya.
Dan karena dayang itu telah menyampaikan amanat gaib dari
ramanda baginda Kertarajasa, maka ia harus mentaati pula.
Beberapa saat yang lalu, dengan semangat menyala-nyala
baginda segera mengajak pengiringnya menyerbu ke alun2.
Tetapi saat itu, baginda tampak lentuk lunglai di atas kuda
putih. Di belakang baginda mengiring limabelas prajurit
bhayangkara yang memanggul mayat nyai Sagopa.
Manusia adalah titah yang terkasih. Hanya manusialah
yang dianugerahi Hyang Widdhi indera yang paling peka,
indera hati nurani, indera sumber getaran perasaan yang
paling halus dan syahdu. Indera itu merupakan nilai mahkota
kemanusian manusia. Setinggi kekuasaan Jayanagara,
seagung kedudukannya sebagai raja di-raja kerajaan
Majapahit, baginda tetap seorang manusia. Manusia yang
terbentuk dari darah dan daging. Manusia yang memiliki sifat2
hawa nafsu Kemanusiawian. Manusia yang dilengkapi pula
dengan ciri2 utama: nurani kemanusiaan.
Ketika melalui dinding tembok keraton tempat persemayamannya, baginda tak mau palingkan pandang
melainkan lanjutkan kudanya ke muka. Tiba di silang lorong,
membiluk ke selatan. Perjalanan mencapai candi Syiwa yang
terletak di belakang lingkungan keraton raja dan di samping
gedung kediaman Dharmadhaksa, tidaklah berapa jauh. Tetapi
entah bagaimana, bagi perasaan bekel Dipa, perjalanan itu
seperti terasa lama dan jauh. Biginda tidak melarikan kuda
putih melainkan berjalan setapak demi setapak. Karena itu
maka bekel Dipa dan anakbuahnya pun mengikuti di belakang
baginda dengan pelahan. Bekel Dipa amat gelisah memikirkan
tindakan baginda. Bukankah kaum perusuh masih berkumandang riuh di alun2" Bukankah lebih lekas menyingkir
dari lingkungan keraton akan lebih aman bagi keselamatan
baginda" Tetapi apa daya. Bagindatah yang berkuasa.
Tiba di candi itu, baginda hentikan kudanya. Sesaat
baginda turun dari kuda maka muncullah dari candi itu
seorang resi tua berambut putih. "Semoga Hyang Syiwa
senantiasa melindungi keselamatan paduka"
"O, Dang Acarya Agrayakah?" tegur baginda. Resi tua itu
mengunjuk hormat dan mengiakan teguran baginda.
"Mengapa Acarya Agraya berada di sini ?" tegur baginda
pula. "Hamba sedang mempersembahkan permohonan doa
kepada Batara Wisnu, Brahma dan Syiwa"
"O" desuh baginda "tidakkah Acarya mendengar tentang
peristiwa kerusuhan yang terjadi di pura?"
Dang Acarya Agraya, Syaiwadhyaksa atau Dharmadhyaksa
ring Kasyiwan, memberi hormat pula. "Tiap malam tiba,
hamba selalu berada di candi ini untuk memohon kepada para
dewata agar paduka dijauhkan dari coba dan malapetaka,
kerajaan tetap aman sentausa."
"O, dengan demikian Acarya tak mendengar peristiwa itu"
ujar baginda pula. "Gusti" kata Acarya Agraya "sejak paduka titahkan hamba
menghadap untuk memberi keterangan tentang kemunculan
bintang kemukus beberapa waktu yang lalu, seiring dengan
keterangan yang hamba persembahkan maka tiap malam
hamba selalu bersemedbi dalam candi ini. Hamba percaya
bahwa alamat yang telah diamanatkan dewata melalui bintang
kemukus itu pasti akan terjadi"
Teringat bahwa kurang susila apabila membiarkan seorang
raja berdiri di halangan candi maka Dharma-dhyaksa Agraya
segera mempersilahkan baginda beristirahat dalam candi.
Bagindapun meluluskan. Setelah duduk maka baginda secara singkat menceritakan
tentang peristiwa yang terjadi malam itu dan rencananya
untuk menyingkir dasi keraton. "Bagaimana menurut pendapat
Acarya?" "Kerajaan Majapahit masih bersinar terang, paduka tetap
dilindungi para dewata. Hyang Wisnu tetap menjaga TirtaSripala gusti"
"O, jika demikian tak perlulah aku harus menyingkir dari
keraton." "Bukan demikian yang hamba maksudkan, gusti" bergegas
Acarya Agraya menyusuli kata2 "barang siapa berusaha untuk
menjaga dan melindungi diri dari ancaman bahaya, dia
memuliakan anugerah dewata. Apabila hanya mengandalkan
pada anugerah dewata tanpa berusaha untuk mengamankan
anugerah itu, dia tidak memuliakan anugerah itu."
"Baiklah, Acarya" akhirnya baginda menyadari hal itu juga.
Kemudian bagindapun menuturkan tentang peristiwa sedih
yang menimpa dayang pengasuhnya "akan kutitipkan jenazah
nyai Sagopa di sini, supaya dirawat sebagaimana layaknya?"
Acarya Agraya serta merta bersedia menerima titah itu.
"Dewa siapakah yang menjadi pemujaan dalam candi ini,
acarya ?" tegur baginda.
"Hyang Trimurti, gusti, Batara Wisnu, Brahma dan Syiwa"
"O, baiklah, aku akan mengunjuk persembahan sesaji dan
doa dalam candi ini" sabda baginda.
Dengan diirirg Dharmadhyaksa Kasyiwan, baginda segera
masuk ke ruang dalam dan bersnjut mengheningkan doa di
hadapan patung Batara Wisnu, Brahma dan Syiwa.
Bekel Dipa yang menanti di luar bersama keempat belas
prajurit bhayangkara, amatlah risau dan gelisah. Peristiwa
dengan nyai Sagopa tadi sudah cukup memakan waktu lama.
Kini masih baginda hendak melakukan doa. Tidakkah hal itu
akan menghambat perjalanan" Namun dia hanya dapat
menghela napas belaka. =o-dwkz-mch-o= II APAKAH yang sesungguhnya telah terjadi di alun2
sehingga menimbulkan kegemparan rakyat yang sedang
dirangsang kemarahan itu"
Menurut laporan penjaga Panggung Penjagaan yang
terletak di sebelah utara dari Mandapa kepada Dipa tadi, telah
terjadi suatu gerakan aneh di kalangan kaum perusuh. Lapisan
rakyat yang berada di sebelah utara, seperti bergerak-gerak
dan berteriak-teriak hingar bingar. Karena jaraknya amat jauh
dari panggung Penjagaan, maka penjaga itupun tak dapat
melihat jelas apa yang telah terjadi.
Ternyata lapisan rakyat yang berada di sebelah utara
dekat gapura Pintu Besi, memang gempar ketika melihat suatu
peristiwa yang mengejutkan.
Sekonyong-konyong dari arah timur, muncul seorang lelaki
yang langsung menghampiri penjaga gapura. Entah apa yang
dibicarakan dengan penjaga gapura, tiba2 pendatang itu
menerkam leher penjaga lalu dibanting ketanah, kemudian ia
membuka kunci pintu gerbang.
Selepas kunci terbuka maka terdengarlah derap lari kuda
yang riuh. Dari arah lorong timur menuju ke gapura Pintu Besi.
Berjumlah delapan ekor kuda dengan membawa enam orang
lelaki dalam dandanan prajurit dan seorang lelaki yang
mengenakan kerudung kepala dan pakaian warna hitam,
seperti jubah panjang. "Prajurit, cepat buka gapura besi, baginda hendak lolos"
teriak salah seorang dari rombongan penunggang kuda itu.
Seorang lelaki muda yang memegang sebatang tombak trisula.
Teriakannya melantang nyaring.
Lelaki yang berhasil merebut kunci dari penjaga, cepat
membuka daun pintu untuk memberi jalan kepada rombongan
penunggang kuda. Ketika hampir berhasil mencapai gapura
Pintu Besi, tiba2 kelompok rakyat yang berada di dekat tempat
itu segera ber-teriakan. "Hai, berhenti .......... !"
Kiranya peristiwa lelaki merobohkan penjaga, membuka
pintu gerbang itu berlangsung amat cepat sehingga rakyat
yang berada di sekitar tempat itu terkesiap. Beberapa saat
mereka tertegun tak tahu apa yang akan dilakukan.
Ketegunan akan berlangsung berkelarutan apabila secara tiba2
tidak terdengar seorang berseru menghentikan rombongan
penunggang kuda yang hendak melintas gapura Pintu Besi itu.
Dan serempak berseru, orang itupun segera loncat hendak
menghadang perjalanan mereka. Dia seorang lelaki bertubuh
gagah, membawa sebatang pedang kangkam.
Tetapi sesaat orang itu tiba di muka gapura, lelaki yang
merobohkan penjaga gapura tadi, segera loncat menyongsongkan tinjunya. Tetapi lelaki perkasa bersenjata
pedang kangkam itupun amat tangkas sekali. Merasa
punggung terlanda setiup angin, cepat ia menyelinap ke
samping, berputar tubuh dan menabas penyerangnya.
Gerak penghindaran dan balas menyerang dari lelaki
bersenjata pedang kangkam itu dilakukan amat cepat sekali.
Sebelum penyerangnya sempat untuk loncat menghindar,
pedang kangkam pun sudah melayang ke arah kepalanya.
Layang pedang secepat kilat menyambar sehingga orang yang
menyerang itupun pucat wajahnya. Ia pejamkan mata
menunggu ajal. "Auh .......... !" terdengar jeritan ngeri macam serigala
melolong kelaparan di tengah malam.
Orang itupun cepat membuka mata. Ia merasa tak
menderita luka dan tak menghambur lolong jeritan itu. Ingin
benar ia mengetahui apa yang terjadi. Dan keinginannya
itupun segera terjawab dengan sebuah pemandangan yang
hampir2 tak dapat dipercayainya. Dada lelaki bersenjata
pedang kangkam itu telah menyembul ujung tombak berlumur
darah. Sedang di belakangnya tampak seorang lelaki yang
tengah nencekal tangkai tombak. Sekali menyentakkan ke
belakarg, ujung tombak menyurut ke dalam tubuh lelaki
bersenjata pedang kangkam. Darah menyembur deras dari
lubang dada orang itu. Bluk, diapun rubuh menelungkupi
tanah..... "Kakang Hesthidono !" serentak lelaki yang merobohkan
penjaga gapura tadipun berseru setelah jelas mengetahui
siapa yang telah menyelamatkan jiwanya dari tabasan pedang
kangkam. Tatkala melihat lelaki perkasa itu melakukan gerakan yang
luar biasa cepatnya Hesthidoro yang berkuda di muka
rombongannya, terkejut. Makin besar rasa kejut itu
mencengkam hatinya manakala dilihatnya orang itu tengah
mengayunkan pedang kangkam ke arah Parandiman, dan
pemuda itu sudah pejamkan mata karena tak berdaya lagi.
Hesthidono tak dapat berlambat-lambat lagi. Ia loncat
melayang dari kuda dan tepat pada saat pedang kangkam
akan membelah tubuh Parandiman, Hesthidono pun cepat
membenamkan ujung tombaknya ke punggung orang itu.
Peristiwa itu sungguh mengerikan sekali. Lolong jeritan
dari lelaki bersenjata pedang kangkam dan darah yang
menyembur dari dadanya, menimbulkan suatu suasana yang
amat seram.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedemikian menyeramkan sehingga berhamburanlah semangat dan nyali orang2 yang hendak
mengikuti jejak lelaki berpedang kangkam untuk menyerbu
rombongan penunggang kuda.
"Parandiman, Hesthidono. cepat naik ke atas kudamu!" teriak Parandiman, pemuda yang ditugaskan oleh brahmana
Anuraga untuk membuka gapura Pintu Besi telah berhasil
menunaikan tugasnya. Penjaga gapura Pintu Besi terkejut atas
kedatangan seorang prajurit muda yang memerintahkan
supaya gerbang pintu besi dibuka.
"Baginda hendak meloloskan diri dari keraton. Lekas
engkau buka gapura besi ini" bisik Parandiman kepada
penjaga itu. Sesungguhnya penjaga gapura itu seorang yang tahu akan
tugasnya dan seorang yang cermat melakukan kewajiban.
Tidaklah semudah itu ia lekas mempercayai keterangan
prajurit yang datang kepadanya. Ia tahu bahwa malam itu
telah timbul peristiwa yang menggemparkan. Alun2 telah
dibanjiri manusia. Maka cepat2 ia menutup gapura Pintu Besi
rapat untuk menjaga jangan sampai kaum perusuh itu dapat
melintasi gerbang Pintu Besi dan mengacau ke dalam
lingkungan keraton. Maka permintaan prajurit muda itu cepat disambutnya
dengan penuh kecurigaan dan prasangka. Iapun mengetahui
bahwa baginda Jayanagara itu seorang raja yang keras hati,
keras peraturan dan keras tindakan. Penjaga itupun tak tahu
apakah yang telah terjadi saat itu. Bahwa istana telah terputus
hubungannya dengan luar. juga tak diketahuinya. Tugasnya
malam itu hanya menjaga gapura Pintu besi dan tugas itu
akan dilakukannya sebaik mungkin, Dalam pengertian yang
serba gelap itulah maka ia tak percaya bahwa baginda akan
meloloskan diri. Maka ditolaknya permintaan Parandiman
dengan getas. Parandiman telah ditugaskan Anuraga untuk membuka
gapura Pintu Besi, Hal itu sesuai dengan rencana Anuraga
yang telah dikatakan kepada Dipa, Bahwa ia akan menyaru
sebagi baginda Jayanagara dan diiring oleh sekelompok
prajurit berkuda untuk melintas dari gapura Pintu Besi dan
lolos keluar. Dengan siasat itu dapatlah ia mengalihkan
perhatian kaum perusuh supaya mengejarnya, Sekurangkurangnya ia harus dapat memikat perhatian kaum perusuh
bahwa baginda Jayanagara sudah nieloloskan diri melalui
gapura Pintu Besi, Semoga siasat mengalihkan perhatian kaum
perusuh itu dapat membantu usaha bekal Dipa
menyelamatkan baginda yang akan mengambil jalan ke arah
selatan, Gapura Pintu Besi itu terletak di sebelah utara alunalun dan menjurus ke utara,
Demikian rencana yang telah diputuskan Anuraga dan
untuk melakukan hal itu, dia sendiri yang menyamar sebagai
baginda Jayanagara dengan mengenakan pakaian jubah hitam
dan kain penutup kepala hitam pula.
Gapura Pintu Besi itu merupakan jalan penting akan
berhasilnya rencana Anuraga. Maka kepada Parandiman telah
diperintahkan, harus dapat membuka gapura itu. walaupun
terpaksa mengadakan pertumpahan darah, Dan Parandiman
telah melakukan tugasnya dengan baik, Agar tak keburu di
serbu kaum perusuh, Parandiman cepat2 menerkam penjaga
itu membantirngnya ke tanah, merampas anak kunci dan
membuka gapura besi itu.....
Demikian mula kissah dari timbulnya peristiwa aneh yang
menggemparkan lapisan perusuh yang berada di alun2 bagian
utara, dekat gapura Pintu Besi,
Namun peristiwa itu tak berakhir sampai disitu,
Terbunuhnya lelaki bersenjata pedang kangkam untuk
beberapa saat telah mengoyak nyali hati kelompok lapisan
kaum permusuh yang berada disekeliling peristiwa itu, Dan
detik2 kelengangan itupun segera digunakan sebaik baiknya.
Rombongan yang menyaru sebagai baginda Jayanagara dan
prajurit itupun segera menerobos pintu besi, Parandiman dan
Hesthidono pun loncat ke atas kuda masing2.
Ternyata lelaki bersenjata pedang kangkam itu adalah
prajurit yang telah dikerahkan rakryan Kuti untuk
menggerakkan rakyat. Maka dialah yang paling cepat
bertindak untuk menghalangi rombongan yang hendak
menerobos keluar dari gapura Pintu Besi. Dalam suasana yang
tegang kacau, dia mengira bahwa benar2 bagindalah yang
akan lolos itu. Itulah pula sebabnya maka dia dapat bergerak
amat lincah sehingga hampir berhasil menahas kepala
Parandiman. Hanya sayang, dia harus bertemu dengan
Hasthidono, pemuda gagah putera mendiang rakryan Mahesa
Pawagal, senopati yang termasyhur. Ia harus menghentikan
perlawanan karena punggungnya tertembus tusukan tombak
Hesthidono. Tetapi kematian prajurit itu cepat dapat diketahui oleh
kawan-kawannya. Karena Kuti telah mengerahkan sejumlah
besar orang2 sebawahannya dan prajurit2 yang dikumpulkannya dari para penjaga2 gedung ketujuh Dharma
putera. Sekelompok prajurit yang mengetahui kawannya
terbunuh, segera berhamburan arah menerobos gapura untuk
mengejar rombongan yang mereka kira benar2 baginda dan
prajurit2 pengawai raja. "Hai, berhenti !" teriak salah seorang seraya lari memburu.
Namun Anuraga dan rombongannya tak mengacuhkan. Tiba2
timbul suatu pikiran pada benak Parandiman. Dia memang
seorang pemuda yang tangkas dan gemar menghadapi
peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang
menegangkan. "Kakang brahmana" segera ia mendekatkan kudanya ke
samping Anuraga, "mereka tetap mengejar perjalanan kita"
"Ya, kutahu" sahut Anuraga yang saat itu membungkus
tubuh dan kepalanya dengan jubah hitam karena menyaru
sebagai baginda Jayanagara.
"Mereka hanya berjumlah enam orang" kata Parandiman
pula. "Kutahu" sahut Brahmana singkat" lalu apa maksudmu?"
"Menilik betapa tangkas lelaki bersenjata pedang kangkam
yang menjadi lawanku tadi, jelas dia tentu bukan dari
kalangan rakyat melainkan tentu prajurit pilihan. Dan rasanya
yang mengejar kita ini adalah kawan2 prajurit itu"
"Juga prajurit, maksudmu ?" ulang Anuraga.
"Ya" "Lalu?" Anuraga menegas.
"Kita hajar mereka saja, kakang brahmana"
"Mengapa harus demikian?"
"Mereka tentu prajurit atau sekurang-kurangnya sebawahan dari orang yang menggerakkan kraman ini"
"Ya, kemungkinan begitu" jawab Anuraga tenang "lalu ?"
"Jika kita dapat menangkap mereka, tentu kita dapat
mencari keterangan siapakah sesungguhnya yang menggerakkan kerusuhan ini"
"Ya, baik jugalah" sahut Anuraga.
"Jika demikian kita berhenti saja"
"Jangan tergesa-gesa. Berhenti pun harus diatur supaya
tidak menimbulkan kecurigaan mereka" kemudian dengan
bisik2 Anuraga memberi rencana "pada tikung jalan di sebelah
muka itu, engkau harus pura2 jatuh dari kuda dan kita
berhenti serempak untuk memberi pertolongan. Tentulah
mereka dapat menyusul kita"
Parandiman mengiakan. Tak berapa lama mereka tiba di tikung jalan seperti yang
dikatakan Anuraga itu. Pada tepi jalan tumbuh beberapa
batang pohon anjiluang. Dan Parandiman pun segera lakukan
rencana Anuraga "Uh ...," serunya nyaring seraya merosot
turun dari kuda dan jatuh ke tanah.
Rombongan Anuraga pun serempak berhenti dan turun
dari kuda. Mereka memberi pertolongan pada Parandiman.
Dan sesuai seperti yang diperhitungkan Anuraga maka tak
lama kemudian keenam prajurit yang mengejar itupun tiba.
"Hendak kalian antar ke manakah baginda ?" seru mereka.
Hesthidono memperhatikan bahwa keenam orang itu
bertubuh kekar dan perkasa. Masing2 membawa senjata
pedang. "Siapa kamu ini?" Hesthidono balas menegur.
"Itu bukan jawaban yang kukehendaki" seru seorang
diantara keenam pendatang itu. Orang itu memelihara kumis
tebal, bercambang bauk. "Bukan suatu kewajiban aku harus memberi jawaban
kepadamu" sahut Hesthidono pula "karena kami hanya
melakukan titah baginda. Bukankah engkau kawanan perusuh
yang hendak membuat kerusuhan di keraton?"
"Ya, benar" jawab orang berkumis dengan tegas "engkau
memang boleh berkata demikian. Tetapi akupun mendapat
tugas untuk menahan rombonganmu ini"
"O, engkau mengejek. mampu?" sela Hesihtdono dalam nada "Jika tak mampu, masakan kami berjerih payah mengejar
sampai di sini" "Tetapi mengejar belum tentu menjamin dapat menahan"
sahut Heithidono. "Hm, engkau tentu akan mengakui hal itu setelah
berkenalan dengan pedangku ini"
"O, sudah banyak pedang2 yang ingin berkenalan
kepadaku tetapi kutolak semua. Aku kuatir, akan demikian
juga nasib pedangmu"
"Jangan banyak cakap, sambutlah pedangku ini" lelaki
berkumis tebal itu ayunkan pedang membabat perut
Hesthidono. Namun pemuda itu hanya menyurut mundur dua
langkah. Setelah menghindar, cepat pula maju menerpa
tangan orang. Kelima kawan prajurit itupun segera maju menerjang.
Rombongan prajurit yang menyertai Anuraga hendak
menyongsong mereka tetapi dicegah oleh Anuraga. "Tak perlu
saudara2 ikut menyabung jiwa. Serahkan saja kepada kami
bertiga." Mendengar itu Parandiman segera loncat menyambut dua
orang lawan. Sedang Anuraga pun menyongsong dua orang.
Dengan demikian keenam prajurit itu telah dilayani oleh
Anuraga bertiga. Diam2 kedua prajurit yang bertempur lawan Anuraga itu
heran. Bukankah orang yang mengenakan jubah dan penutup
kepala kain hitam itu baginda Jayanagara sendiri" Mengapa
baginda turun tangan sendiri "
Ada dua hal yang membuat kedua prajurit itu terlengah.
Pertama, mereka dicengkam rasa keheranan mengapa
baginda mau bertempur" Kedua, betapapun halnya,
berhadapan dengan baginda sebagai lawan berkelahi, mau tak
mau mereka gentar juga. Gentar bukan karena takut kalah
tetapi karena terpengaruh oleh kewibawaan raja. Mereka
adalah prajurit2 kecil bagaimana mereka tak takut
menghadapi seorang raja yang berkuasa di seluruh Majapahit.
Sebagai prajurit mereka tahu akan tata peraturan keprajuritan,
tahu pula akan undang2 dan sumpah prajurit. Tak lepas pula
pikiran mereka dikala menjangkau pada renungan, bagaimana
akibat yang akan mereka hadapi apabila berhasil membunuh
baginda. Dan yang terutama, mereka belum dipersiapkan
untuk menghadapi peristiwa besar semacam itu. Kepada
mereka hanya diberi tahu supaya berkumpul di gedung
rakryan Kuti untuk ikut dalam geraian memimpin rakyat
menyerbu tempat kediaman patih Aluyuda. Hanya itulah yang
Relikui Kematian 9 Animorphs - 40 Yang Lain The Other Love In Sunkist 1
^