Pencarian

Gajah Kencana 5

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 5


diketahui dan dilaksanakan mereka.
Rasa heran dan gentar telah melepaskan nyali mereka
berhamburan. Gerak tata kelahi kedua prajurit itu terpancang
oleh keraguan hatinya sehingga tampak lamban sekali. Pada
hal yang dihadapinya itu adaiah brahmana Anuraga. Maka
dalam waktu yang singkat, silih berganti kedua prajurit itu
harus melepaskan senjatanya dan terbungkuk-bungkuk
mendekap perutnya yang termakan pukulan dan kaki A nuraga.
"Ringkus" selekas Anuraga memberi perintah maka
prajurit2 peserta rombongannya tadi segera menangkap
kedua prajurit itu. Dalam pada itu Hesthidono pun sudah berhasil
merobohkan seorang lawan. Kini hanya tinggal seorang lagi.
Rupanya yang seorang itu memang lebih ganas dan lebih
digdaya. Sekonyong-konyong dia loncat mundur lalu
mengambil beberapa batang pisau belati. Sebuah belati
disabitkan ke arah Hesthidono sehingga pemuda itu terpaksa
loncat menghindar ke belakang. Dua batang dilontarkan ke
arah kedua kawannya yang telah diringkus oleh pengiring
Anuraga. Dan secepat pula, dua batang lagi ditaburkan ke
arah prajurit2 rombongan Anuraga.
Malam gelap dan cara menaburkan pisau itu dilakukan
dengan mahir dan cepat. Rupanya prajurit itu memang sudah
terlatih dalam hal permainan itu. Terdengar beberapa jeritan
ngeri dan rubuhnya beberapa sosok tubuh.
"Hai, jangan lari pengecut!" teriak Parandiman seraya
loncat hendak mengejar prajurit tadi. Ternyata setelah
menaburkan dua batang pisau yang memaksa Hesthidono
loncat mundur, prajurit itu segera bersuit dan melarikan diri.
Rupanya dua orang lawan Hesthidono dapat menanggapi
isyarat itu. Keduanyapun segera mengikuti langkah kawannya
itu. Ketiga prajurit itu lari membiluk dan masuk ke dalam
hutan kecil yang terdapat di balik karang. Parandiman
terpaksa hentikan pengejarannya. Berbahaya apabila
mengejar ke dalam hutan pada waktu malam gelap. Musuh
dapat menyembunyikan diri atau memilih tempat kedudukan
yang baik untuk menyerang. Apalagi prajurit itu ternyata
mahir sekali menyabitkan pisau.
Ketika Parandiman kembali mendapatkan rombongannya
ternyata ia menyaksikan suatu pemandangan yang
mengerikan. Kedua prajurit yang dirobohkan Anuraga tadi,
terkapar di tanah. Dada dan perut keduanya masing2
tertanam belati. Dua orang prajurit peserta rombongan
Anuraga sedang mengerang-erang sambil mendekap bahu
masing2. Merekapun menjadi korban belati orarg itu. Dan
yang makin mengejutkan yalah prajurit lawan Hesthidono
yang rubuh itu. Juga dia tak bernyawa lagi karena dibunuh
oleh kawannya sendiri. "Licik benar" seru Hesthidono "dia tentu bukan prajurit
biasa" Anuraga mengangguk "Benar, memang seorang yang
mampu menggerakkan kerusuhan segempar ini tentulah
seorang yang cerdik, cermat dan licin. Dia tentu telah memberi
perintah kepada orang2 kepercayaan supaya rahasia gerakan
mereka jangan sampai diketahui orang. Setiap anakbuahnya
yang jatuh ke tangan lawan, harus bunuh diri atau dibunuh
agar jangan sampai membocorkan rahasia"
Saat itu Parandiman pun muncul dan
kegagalannya mengejar kawanan prajurit itu.
melaporkan "Tak apa" seru Anuraga "memang berbahaya sekali
mengejar musuh yang melarikan diri ke dalam hutan pada
waktu malam segelap ini. Sudahlah adi, paling tidak kita sudah
berhasil membantu usaha menyelamatkan baginda yang
dilakukan bekel Dipa"
"Tetapi kita tak dapat mencari keterangan tentang kaum
perusuh itu, kakang brahmana?" seru Parandi nan.
"Peristiwa itu merupakan peristiwa yang besar dan
terbuka. Tidaklah sukar untuk menyelidiki siapa penggerak
kerusuhan itu" kata Anuraga.
Parandiman mengangguk. "Lalu bagaimana langkah
brahmana?" tanya Hesthidono.
kita selanjutnya, kakang "Kembali lagi ke keraton!" sahut Anuraga tenang2.
"Hah?" Hesthidono terbeliak "kembali lagi ke tempat
kerusuhan itu?" Sambil mengangkat bahu Anuraga menjawab "Memang
malam ini yang kita tanggulangi yalah peristiwa kerusuhan
yang bersifat kraman itu. Selama mereka masih hiruk pikuk di
alun2, kita pun masih harus menghadapinya"
"Tetapi kakang brahmana "sanggah Parandiman "bukankah mereka cepat akan mengenali rombongan kita?"
"Ya" "Dan kita harus menyerah?"
"Tidak" "Melawan?" desak Parandiman.
"Tidak" tenang2 Anuraga menjawab.
"Lalu?" Parandiman kerutkan dahi.
"Kita ikut pada mereka"
"Hah?" Parandiman makin membelalak
menggabungkan diri dengan mereka?"
"kita akan "Ya" jawab Anuraga "kita harus menggabungkan diri pada
mereka" "Aneh" gumam Parandiman "bukankah tujuan kita hendak
menyelamatkan baginda" Mengapa kakang hendak menggabung dengan kaum perusuh?"
"Bagaimana engkau ingin mendapatkan anak harimau
apabila tak berani masuk ke sarang harimau" Bagaimana
engkau hendak membersihkan tubuhmu apabila engkau takut
berkecimpung dalam air?"
"O" tiba2 Hesthidono menyela "maksud kakang brahmana,
kita menggabung diri dengan mereka agar dapat menyelidiki
keadaan mereka, bukan?"
"Ah, kiranya engkau cerdik" seru Anuraga "memang
demikian yang kumaksudkan. Maka ki prajurit sekalian.
Buanglah pakaian keprajuritanmu dan dengan menyamar
sebagai rakyat biasa, berusahalah untuk menyelundup masuk
ke dalam keraton dan kembali ke tugasmu masing2"
"Tuan?" seru salah seorang prajurit.
"Terima kasih atas perhatian ki prajurit sekalian. Demikian
pula terima kasih atas kesediaan ki prajurit membantu usaha
kami tadi. Mengingat bahwa tugas masih belum selesai karena
kaum perusuh masih mengepung istana maka marilah kita
bekerja dalam tugas masing2. Silahkan ki prajurit sekalian
kembali masuk ke keraton. Walaupun baginda tak berada
tetapi ratu dan keluarga raja masih di dalam keraton. Harus di
jaga keselamatannya"
Setelah mereka mengganti pakaian dengan pakaian rakyat
biasa maka mereka pun kembali menuju ke keraton. Anuraga
mempersilahkan prajurit2 itu masuk secara tercerai, jangan
berkelompok agar jangan diketahui mereka.
Alun-alun masih penuh dengan orang. Kegemparan akibat
peristiwa rombongan Anuraga yang menerobos gapura Pintu
Besi, saat itu sudah reda. Memang anak-buah kepercayaan
Dharmaputera itu cepat bertindak. Mereka minta supaya
rakyat tenang2 saja. Anuraga dan Hesthidoro serta Parandiman berhasil
menyelundup ke dalam lautan manusia yang membanjiri alun
alun. Mereka memperhatikan bahwa di sekeliling alun-alun
dijaga secara diam2 oleh sekelompok lelaki tegap dengan
membawa senjata, pedang, tombak, trisula, bindi dan lain2.
Anuraga cepat dapat menduga bahwa orang2 bersenjata
itu tentu dari kaum prajurit. Entah dari mana tetapi yang jelas
tentu bukan prajurit penjaga keraton.
Dalam sekian banyak rakyat yang membanjiri alun2, sukar
bagi Anuraga bertiga untuk mencari cari keterangan, siapa
yang menjadi pimpinan gerakan itu.
Malam pun makin tinggi. Tiap pintu gapura yang menjurus
ke bagian dalam keraton ditutup erat2. Memang telah terjidi
usaha kaum perusuh untuk membobolkan pintu2 gapura itu.
Namun tak berhasil. Besi panas harus lekas ditempa. Karena kalau dingin lagi,
tentu snkar ditempanya. Demikian dengan keadaan kaum
perusuh saat itu. Apabila pimpinan memerintahkan supaya
menyerbu ke dalam keraton, tentulah berhasil. Sayang,
perintah itu tak kunjung tiba.
Dalam pada itu selesailah pula baginda Jayanagara
memanjatkan doa di dalam candi Syiwa. Maka baginda pun
mengajak Dang Acarrya Agraja ikut dalam rombongannya.
"Agraja menghaturkan terima kasih yang tak terhingga
atas perhatian yang paduka limpahkan pada diri hamba" kata
Dharmadhyaksa ring Kasyiwan itu "namun hamba mohon,
paduka berkenan merelakan hamba tetap tinggal di dalam
lingkungan keraton Tikta Sripala"
"Mengapa?" tegur baginda.
"Bukan karena Agraja yang tua ini takut menghadang
bahaya kesukaran tetapi hamba mencemaskan, ikut sertanya
diri hamba dalam rombongan paduka itu bahkan akan
menambah beban bagi tugas para bhayangkara. Kedua
kalinya, hamba amat memikirkan akan keselamatan gusti ratu
Indreswari dan para gusti yang masih berada dalam keraton.
Hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk menggunakan
pengaruh dan kekuatan hamba, menolak setiap tindakan di
luar batas andaikata kaum perusuh itu sampai berhasil masuk
ke dalam keraton. Demikian pula, dapatlah hamba
memerintahkan kepada para brahmana dan pandita untuk
menentang hal2 yang membahayakan keselamatan para gusti
itu dan benda2 berharga dalam keraton"
Jayanagara mengangguk. Diam2 beliau pun tak
menganggap bahwa kehadiran kepala urusan agama Syiwa
dalam rombongannya itu akan memperlancar rencana lolos
dari keraton "Baiklah, Agraja. Jika engkau mempunyai
kesetyaan sedemikian besar terhadap kerajaan, akupun
menyetujui rencanamu"
Demikian baginda dengan diiring oleh lima belas prajurit
bhayangkara yang dipimpin oleh bekel Dipa, segera lolos dari
keraton. =o-dwkz-mch-o= III Belum pernah separjang hidup bekel Dipa merasakan
suatu ketegangan yang sedahsyat malam itu. Dan pada saat
itu baru ia mengenyam dan menyadari benar2, betapa arti
daripada prajurit bhayangkara yang menjaga keselamatan
sang prabu. Keselamatan baginda yang harus dijaga pada malam itu,
jauh bedanya dengan keselamatan baginda pada hari2 biasa,
hari2 upacara dan hari2 pasewakan.
Malam terasa amat panjang dan detik2 berlangsung amat
lambat. Setiap suara terdengar, bunyi yang tertangkap dan
gerak yang terlihat, baik terjadi pada gerumbul pohon dan
sentak yang tumbuh di tepi jalan, jauh ataupun dekat, selalu
menimbulkan debaran darah dalam tubuh, membangkitkan
deburan jantung dan menciptakan pengadaan dalam benak.
Dan setiap kali menghadapi hal2 sedemikian maka tanganpun
segera meraba tangkai pedang yang terselip pada pinggang.
Bukan saja suara dan gerak, baik yang berasal dari
gesekan ranting tertiup angin, daun2 kering berguguran.
Ataupun bunyi binatang malam macam cengkerik, tonggeret,
kelelawar dan lain2. Bahkan rembulan pun sering
menimbulkan rangsang getaran hati bekel Dipa. Apabila
rembulan menyembul lepas dari selubung awan yang
menutupinya maka memancarlah sinarnya bergelimpangan
menerangi bumi. Hal itulah yang menimbulkan kegelisahan
hati Dipa. Penerangan itu akan menampakkan dengan jelas
perjalanan rombongan baginda. Hal itu akan memberi jejak
yang memudahkan apabila rombongan pemberontak itu
melakukan pengejaran. Bekel Dipa merasa mempunyai tanggung jawab penuh
atas keselamatan sang nata yang tengah diiringkan itu.
Sedemikian besar rasa tanggung jawab itu mencengkam
dalam hatinya sehingga ia selalu diiputi oleh rasa ketegangan
yang meluap-luap. Dan ketegangan itupun selalu melahirkan
berbagai pemikiran yang penuh dengan tafsiran, reka dan
pengadaan. Sering pula pemikiran dan pengadaan itu
menimbulkan perbantahan, melahirkan pertengkaran dalam
batin. Tafsiran yang satu disanggah oleh dugaan yang lain.
Pikiran yang satu dibantah oleh penilaian yang lain. Bantah
membantah, sanggah menyanggah tak berkeputusan. Dan
keputusannya hanyalah setelah rombongan Dipa jauh
meninggalkan tempat yang menimbulkan kecurigaannya tadi.
Rombongan tetap berjalan selamat dan suara atau bunyi yang
menimbulkan ketegangan tadipun masih tetap berbunyi di
tempatnya semula. Tak terjadi suatu apa.
Berulang kali bekel Dipa hendak menyalurkan luap
perasaan ketegangannya itu melalui percakapan dengan
anakbuahnya. Syukur dengan baginda Jayanagara. Namun
tampaknya prajurit prajurit bhayangkara dalam rombongan
itu, masing2 mempunyai persoalan dalam hati sendiri2.
Baginda Jayanagarapun terpukau dalam renungan. Bekel
Dipa hanya dapat menduga bahwa baginda tentu sedang
menderita tekanan perasaan yang hebat. Dalam keadaan
seperti saat itu dan menyadari akan kedudukannya maka Dipa
pun tak berani mengganggu ketenangan baginda betapapun
besar hasratnya untuk mempersembahkan kata2 kepada
baginda. Kata2 dari seorang prajurit yang menyatakan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesetyaannya kepada negara dan raja. Seorang bawahan
kepada junjungannya. Kata2 yang berisi menghibur,
membangkitkan semangat dan mempertebal keyakinan.
Namun tak pernah keinginan itu mendapat kesempatan.
Dipa tak berani berkata apa2. Tetapi ia tak merasa kecewa
atau merasa dikecewakan atas sikap baginda dan rombongan
anakbuahnya itu. Ia menanggapi bahwa sikap diam dari
baginda itu berarti suatu amanat kepadanya agar dia
memusatkan seluruh pikiran dan perhatian untuk mengamati
hal2 yang menimbulkan kemungkinan akan mengganggu
keselamatan perjalanan rombongan itu.
"Berhenti" pada lain saat tiba2 Dipa memberi perintah
kepada anakbuahnya. Kemudian berdatang sembah kepada
baginda "gusti, hamba mohon ampun karena terpaksa
menghentikan perjalanan paduka"
"Apa yang terjadi, bekel?" tegur baginda.
"Di sebelah muka, hamba lihat jalanan menikung. Pada
kedua tepi jalan terdapat gerumbul pepohonan. Hamba mohon
perkenan paduka supaya mengidinkan hamba memeriksa
keadaan tempat itu lebih dahulu, gusti"
"Mengapa timbul pikiran semacam itu padamu, bekel ?"
"Menurut pengalaman hamba, tempat2 semacam itu
mudah digunakan untuk tempat persembunyian kaum
penjahat" "Mengapa engkau mempunyai persangkaan demikian?"
tegur baginda lebih lanjut.
"Dalam keadaan gawat seperti saat ini, hamba harus
mencurigai setiap orang. setiap benda bahkan setiap suara
yang mengeruhkan pikiran hamba" sahut bekel Dipa.
Baginda mengangguk memberi perkenan. Dipa pun segera
larikan kudanya menghampiri tikungan dan yang terbentang
dua tigapuluh tombak jauhnya. Ia hentikan kuda di tikung
jalan itu, memandang ke setap gumuk karang, setiap batang
pohon, setiap gerumbul semak di sekitar tempat itu. Setelah
tak menemukan sesuatu yang mencurigakan, bekel meda
itupun segera larikan kudanya kembali menghadap
baginda. "Aman, gusti" ia memberi laporan seraya memerintahkan rombongan pengiring baginda siap berjalan pula. "Bekel, engkau cermat
dan hati2 sekali" ujar baginda. "Hamba harus menjaga
keselamatan paduka dari ancaman mereka, gusti"
Bagindapun mulai melarikan kuda putih pula.
Dipa dan rombongan prajurit bhayangkara mengiring dengan
ketat sekali. "Bekel, siapa yang engkau maksudkan mereka itu" tegur
baginda seraya berjalan. "Golongan2 yang mencetuskan kerusuhan malam ini,
gusti" "Tahukah engkau siapa golongan2 itu" Menyebut
golongan2, tentulah terdiri dari beberapa golongan" ujar
baginda pula. Dipa terkejut menerima pertanyaan demikian dari baginda.
Apabila ia menceritakan apa yang didengarkan baik dari eyang
demang Suryanata, eyang Wungkuk dan paman brahmana
Anuraga, tentu akan panjang benar ceritanya.
"Maaf, gusti, pengetahuan hamba amatlah picik sekali.
Hamba hanya mendengar cerita2 orang tentang golongangolongan yang menentang paduka gusti. Misalnya, mendiang
gusti mahapatih Nambi yang memberontak dan golongan yang
mengadakan kerusuhan malam ini"
"Soal Nambi sudah jelas" ujar baginda "tetapi yang masih
gelap adalah peristiwa malam ini. Siapakah yang
menggerakkan mereka" Biasanya patih Aluyuda, tempat
penampung pertanyaanku tetapi saat ini dia tak diketahui
bagaimana nasibnya" Dalam pada bicara itu rombongan baginda pun telah
melintas tikung jalan dan terus menjelang jalan yang
merentang ke selatan. Tak berapa lama tampak sebuah tegal
yang rindang dengan pohon2.
"Ah, tegal pohon jeruk kingkit yang luas. Rupanya kita
hampir melintas watek bumi telatah pura kerajaan" kata bekel
Dipa dalam hati. Memang pada masa itu, watek bumi atau tapal batas
antara sebuah daerah atau desa, ditandai dengan gerumbul
pohon anjiluang atau jeruk kingkit ataupun pohon kamal.
Bekel Dipa tak sempat membuat kenangan apa2 karena
pandang matanya selalu berkeliaran ke seluruh penjuru,
memburu sesuatu yang mengundang kecurigaan.
Tiba2 ada sesuatu yang cepat melantang perhatiannya.
Jauh berpuluh-puluh tombak di sebelah maka, tampak sebuah
benda hitam sedang bergerak-gerak, lebih cepat dari orang
berjalan tetapi lebih lambat dari orang berlari. Saat itu
rembulan remang, empat penjuru alam sunyi senyap.
Kemunculan sebuah benda yang tak diketahui ciri2
pengenalnya memang mudah sekali merangsang keterkejutan.
Tinggi dan perawakannya memang menyerupai sesosok
tubuh manusia. Tetapi mengapa memiliki tiga buah kaki"
Demikian reka yang berkecamuk dalam pikiran bekel Dipa.
Jika berada di lorong2 lingkungan keraton tentu cepatlah
bekel Dipa akan menjatuhkan dugaan bahwa mahluk aneh
jauh di sebelah muka itu tentu seorang manusia. Entah
penjaga, prajurit ataupun abdi keraton. Bahkan mungkin pula
seorang gerombolan perusuh yang hendak menyelundup
masuk ke dalam keraton. Tetapi di tempat sesunyi sebuah tegal yang sudah berada
di luar telatah pura kerajaan, sukarlah bekel Dipa untuk
memaksa diri melakukan penilaian begitu. Untuk menilai
bahwa mahluk itu seorang penduduk yang tinggal di pedesaan
luar pura, memang lebih mendekati kenyataan. Tetapi
manakala memperhatikan bahwa mahluk itu berkaki tiga,
maka penilaian itupun kabur seketika. Ia lebih cenderung
untuk menduga lain. Dan dugaan itu segera disertai dengan
bulu kuduknya yang bergerak meremang tegang. Walaupun
sejak kecil belum pernah ia melihat hal itu, tetapi sudah kerap
kali ia mendengar orang2 tua dalam desanya menceritakan
bahwa mahluk yang keluar tengah malam di tempat gerumbul
yang sunyi, di pekuburam ataupun di hutan2, tentulah mahluk
halus yang berupa setan, iblis, jin penunggu hutan ataupun
bangsa gandarwo. Geraham bekel Dipa pun mulai bergerak gerak saling
bergosok sebagai akibat dari rasa seram yang berkecamuk
dalam hatinya. Namun sesaat ia berpaling untuk menyelidik
keadaan baginda, hilanglah rasa waswas dan ketakutannya.
Hal itu bukan disebabkan karena terpengaruh ataupun malu
hati melihat baginda tenang2 saji, melainkan teringatlah dia
akan tugas kewajibannya. Bukankah malam itu dia memimpin
empat-belas bhayangkara untuk mengawal keselamatan
baginda " Bukankah keselamatan baginda malam itu berada
ditangannya" Apabila melihat sebuah mahluk aneh di tengah
malam, nyalinya sudah berhamburan terbang, bagaimana
mungkin dia mampu memikul tugas melindungi seorang raja.
Pada hal melindungi itu mengandung arti harus menghadapi,
mengenyahkan dan menghancurkan setiap hal yang akan
mengganggu keselamatan baginda,
"Nyali tikus engkau !" berhamburanlah dampratan dalam
hati bekel Dipa kepada dirinya sendiri. Serentak timbul pula
semangat keberaniannya. "Entah manusia, binatang ataupun
setan, aku harus menghalaunya. Membunuhnya sekalipun
apabila perlu" katanya membulatkan tekad.
Ia segera menghentikan rombongan bhayangkara lalu
meminta idin kepada baginda untuk menyelidiki mahluk aneh
yang bergerak-gerak di sepanjang jalan itu. Makin dekat,
makin teganglah perasaan bekel Dipa. Ia mencabut pedang
dan bersiap-siap. Ketika lebih kurang terpisah beberapa tombak dari mahluk
itu, tiba2 bekel Dipa mendesuh getun. "Ah, kiranya seorang
manusia jua yang berjalan dengan tongkat"
Namun ia larikan juga kudanya untuk menghampiri. Kira2
setombak dari orang itu, ia berhenti dan menyapa, "Hai,
siapakah engkau !" Orang itu ternyata seorang lelaki tua. Rambut janggutnya
putih, berjalan dengan sebatang tongkat. Dalam tingkahan
sinar rembulan remang, bekel Dipa dapat mengamati keadaan
orangtua itu. Wajahnya terawat bersih, demikian pula
pakaiannya. Orangtua itu tak lekas menjawab. Menilik dadanya yang
berkembang kempis, tampaknya dia sedang berusaha untuk
meredakan napasnya yang sedang diburu engah deras.
Setelah dapat mengetahui jelas keadaan orangtua itu, bekel
Dipapun tak mau mendesak melainkan menunggu sampai
napas orangtua itu tenang kembali.
"Aku hendak ke pura" sahutnya setelah tenang.
Bekel Dipa terkesiap karena mendapat jawaban dari
pertanyaan yang bukan diajukannya.
"O, siapakah kakek ini ?" tegurnya pula.
"Kudengar di pura timbul huru hara" kata orangtua itu
menurut sekehendak hatinya sendiri.
"Siapakah nama kakek ?" bekel
pertanyaan yang tak pernah dijawab.
Dipa mengulang "Aku hendak menghadap baginda" kembali orangtua itu
berkata dalam seleranya sendiri.
Kali ini bekel Dipa terkesiap. Nada orangtua itu lancir dan
pengutaraannya pun semudah orang hendak menjenguk
kawan. Dipandangnya wajah orangtua itu dari ujung kaki
sampai ke atas kepala. Ia mendapat kesan bahwa orang itu
bukan rakyat desa. Perawakannya masih sehat gagah hanya
sebelah kakinya yang agak pincang jalannya maka
menggunakan tongkat. Pengamatan bekel Dipa memberi
kesan bahwa orangtua itu tentu bukan orang sembarangan.
"Mengapa kakek hendak menghadap baginda?" tegurnya.
"Hendak sahutnya. mengetahui bagaimana keadaan baginda" Dipa terbeliak pula. Mengapa tiba2 kini orangtua itu dapat
menjawab pertanyaan dengan lancar dan tepat. Dugaan
bahwa orangtua itu tentu sudah tuli, mulai diragukannya.
Kemungkinan orangtua itu memang tak mau memberitahukan
namanya. "Aku prajurit keraton ...."
"Ya, kutahu" jawab orangtua ita cepat. Suatu hal yang
untuk kesekian kalinya membuat bekel Dipa menyalang mata.
"Baginda tak kurang suatu apa" kata bekel Dipa pula.
"Hah?" orangtua itu tampak nyalangkan mata pula
"bagaimana engkau tahu?"
"Aku ditugaskan menjaga keraton pada malam ini dan
tahu bahwa baginda ...."
"Sudahlah, tak perlu engkau memberi keterangan" tukas
orangtua itu "tak mungkin baginda mau mempercayai seorang
prajurit setingkat kedudukanmu. Di keraton banyak senopati"
Bekel Dipa tertegun. Apa yang dikatakan orangtua itu
memang tak salah. Memang mustahil pula apabila ia
mengatakan bahwa ia tengah mengiring baginda Jayanagara.
"Minggirlah, jangan menghadang jalanku" tiba2 orangtua
itu mengangkat tongkat dan menyiak kuda yang dinaiki bekel
Dipa. Bekel Dipa terkejut. Tampaknya lemah2 saja tangan
orangtua itu menyiak, tetapi ternyata kuda meringkik keras
karena terdorong ke samping. Bekel Dipa cepat sentakkan
kendali untuk menghentikan gerak kejut kuda. Setelah itu
iapun loncat turun ke tanah. "Orangtua, jangan engkau ke
pura kerajaan. Di sana sedang berlangsung huru hara besar."
"Engkau gila" teriak orangtua itu "jika tak timbul huru hara
masakan malam2 begini aku bangun dari tidur dan
gentayangan lari ke pura"
"Tetapi apa daya engkau seorang tua menghadapi huru
hara itu ?" seru bekel Dipa.
Tiba2 orangtua itu tegakkan tubuhnya yang mulai
membungkuk, tengadahkan muka dan menghambur tawa.
Walaupun nadanya parau tetapi masih memiliki daya kekuatan
terpendam yang dahsyat. "Engkau seorang prajurit kecil, berani memandang rendah
terhadap diriku. Mungkin engkau perlu diberi hajaran juga"
seru orangtua itu lalu tiba2 menghantamkan tongkat kepada
bekel Dipa. Bekel Dipa terkejut ketika melihat gerak tongkat orang itu
menyambar dahsyat. Setitikpun ia tak mengira bahwa orang
yang tampaknya tua dan tak bertenaga ternyata masih
memiliki tenaga yang kuat. Karena gugup, Dipa mengangkat
pedang untuk menangkis. Tetapi baru pedang mulai
terangkat, tongkat orangtua itupun sudah menghantamnya,
tring .... Semangat bekel Dipa serasa terbang ketika pedang
meluncur lepas dari tangannya. Hantaman tongkat orangtua
itu menimbulkan getaran yang hampir membuat kulit telapak
tangannya terkupas. Di luar kehendaknya, ia lepaskan pedang.
"Apakah engkau masih menghadang jalanku?" seru
orangtua itu. Ternyata dia tak mau mengambil kesempatan
untuk menyerang Dipa pedangnya terlepas itu.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang termangu-mangu karena Seketika tergugahlah semangat bekel Dipa. Ia menyadari
bahwa yang berada di hadapannya itu bukanlah orangtua
sembarangan, melainkan seorang sakti yang memendam diri.
Walaupun ia mempunyai kesan bahwa orangtua itu bukan
golongan yang menentang baginda, bahkan mungkin orang
yang setya pada baginda, namun cara yang digunakannya itu
tidaklah-sesuai dengan sikap seorang tua. Sebagai seorang
prajurit, pula seorang bekel dan masih pula sebagai seorang
yang memimpin sekelompok prajurit untuk mengiring
perjalanan baginda, tersinggunglah perasaan Dipa. Ia malu
sebagai seorang prajurit telah dihantam jatuh senjatanya.
Apabila hanya berhadapan dengan seorang tua tak dikenal ia
sudah kalah, bagaimana mungkin ia sanggup melindungi
keselamatan baginda"
"Silahkan melanjutkan perjalanan apabila engkau dapat
melangkahi mayatku" serunya dengan nada tenang penuh
bara kemarahan yang tersekam.
"Hah?" orangtua itu membelalak "engkau benar2 hendak
menghadang perjalananku?"
"Selama engkau tak memberitahu siapa dirimu dan apa
maksud tujuanmu menghadap baginda, jalan ini tertutup bagi
langkahmu!" "Ambillah pedangmu!" teriak orangtua itu.
"Mengapa ?" "Aku tak mau menggunakan tongkat melawan orang yang
tak bersenjata" Bekel Dipa terbeliak mendengar ucapan orangtua itu.
Diam2 ia memuji keperwiraannya tetapi diam2 pula iapun
makin terangsang oleh kepanasan hatinya.
"Tidak, pantang bagiku menggunakan senjata yang telah
terlepas dari tanganku!"
"Jangan tekebur, prajurit"
"Sudahlah, kita singkat saja pembicaraan ini dan mari kita
mulai" seru bekel Dipa.
"Nanti dulu" kata orangtua itu pula "karena engkau
bertangan kosong maka akupun akan memberi kelonggaran
kepadamu juga. Seranglah aku sampai lima kali. Aku takkan
membalas. Jika engkau mampu menyentuh tubuhku, engkau
menang. Tetapi jika engkau tak mampu, selanjutnya aku akan
melakukan serangan balasan"
"Ah, tak perlu" seru Dipa tak mau kalah hati, "kita
bertempur biasa saja. Kalau aku kalah, silahkan engkau
melanjutkan perjalananmu"
"Hm, jangan tekebur prajurit. Lebih baik engkau turut
permintaanku" Dipa merenung. Jika tak menyetujui, kemungkinan
pembicaraan itu akan berlarut-larut lama. Maka ia menjawab,
"Baiklah tetapi tak perlu lima kali, cukup tiga kali saja"
Orangtua itupun mengangguk.
Setelah menyatakan bersiap maka orangtua itupun segera
menyuruh bekel Dipa menyerang. Bekel Dipa pun segera
melakukan serangan. Ia merasa tak mempunyai dendam
permusuhan suatu apa dengan orangtua itu. Bahkan kenalpun
baru saat itu. Dan ia pun merasa sebagai seorang muda harus
tak berlaku bertingkah congkak dan bersikap keras terhadap
seorang tua. Maka serangan pertama yang dilancarkan itupun
tidak banyak menggunakan tenaga. Hanya kira2 separoh
bagian dari tenaga yang disalurkan dari tinjunya yang
menjulur ke dada orang. Orang tua itu tenang2 saja melihat gerakan tinju Dipa. Ia
kerutkan dahi. "Hai, prajurit, seranglah dengan sepenuh
tenagamu atau sesal pun tiada berguna apabila dalam tiga
serangan yang kusempatkan kepadamu itu engkau tak
memperoleh hasil apa2"
Dipa terkejut. Makin jelas baginya bahwa orangtua itu
memang seorang sakti. Namun diam2 Dipa pun tersenyum
dalam hati. Rupanya orangtua itu belum mengetahui apa yang
direncanakan. "Uh" tiba2 orangtua itu agak terkejut ketika tiba2 tinju
bekel Dipa dibuka dan berobah menjadi suatu gerak terkaman
pada dada bajunya. Orangtua itu menyurut mundur setengah
langkah. Tetapi kembali ia terkejut lagi karena bekel Dipa
cepat menarik tangan dan serempak loacat ke samping lalu
menerkam bahu. Terdengar hampir serempak dua buah desuh kejut. Yang
pertama ke luar dari mulut orangtua karena bahunya hampir
terkena terkaman. Namun dengan sebuah gerak menggeliatkan tubuh yang indah, berhasillah ia mundur
selangkah dan meloloskan diri. Gerak penghindaran itulah
yang menyebabkan bekel Dipa mendesuh kaget pula.
Dalam serangan kedua, bekel Dipa tak mau menggunakan
siasat. Ia menyerang dengan ketangkasan yang tinggi. Tangan
kanan menghantam kepala, tangan kiri mencengkeram perut
bahkan kaki kananpun menyerempaki dengan sebuah
tendangan dahsyat. "Beginilah yang kuharap"
bergeliatan, mengendapkan
hantaman kepala, meliuk ke
terkaman dan terakhir loncat
tendangan. seru orangtua itu sembari
tubuh untuk menghindar samping untuk mengelakkan
ke belakang untuk lolos dari
Bekel Dipa tidak lagi terkejut. Bahkan dia berseru memuji
atas lawan yang walaupun sudah tua tetapi ternyata masih
memiliki kelincahan yang mengagumkan. Sejak kecil, Dipa
selalu senang dan mengagumi seseorang yang mempunyai
ilmu. Adakah ilmu itu berupa ilmu dalam falsafah agama,
sastera maupun kedigdayaan ataupun jaya kawijayaan.
"Masih ada kesempatan yang terakhir" seru orangtua itu
"pergunakanlah sebaik baiknya, prajurit muda"
"Akan kucoba, mudah-mudahan berhasil" sahut Dipa lalu
mulai bergerak. Kali ini orangtua itu heran melihat cara Dipa memulai
serangan. Tidaklah prajurit itu langsung meninju atau
menerkam seperti yang dilakukan pada serangan pertama dan
kedua tadi. Tetapi bekel prajurit itu berputar-putar
mengelilingi dirinya. Mau tak mau orangtua itu harus
mengikuti berputar putar tubuh. Karena kalau tidak demikian,
ia kuatir akan diserang dari belakang.
Orangtua itu sudah hendak menegur akan cara bekel Dipa
melakukan serangan. Tetapi pada lain kilas ia menyadari
bahwa ia tak berhak menegur begitu. Orang bebas
menggunakan cara apapun juga. Terpaksa ia harus mengikuti
lawan untuk berputar-putar.
Tetapi makin lama makin meningkatlah rasa heran
orangtua itu. Kemudian meningkat lagi menjadi suatu rasa
mengkal. Karena sampai sekian lama belum juga bekel Dipa
mulai membuka serangan, melainkan terus berputar putar
mengelilinginya. Bahkan gerak putaran itu makin berobah
pada gerak lari. Makin lama makin cepat. Karena geramnya
orangtua itu hendak loncat keluar dari lingkaran perputaran
bekel Dipa. Tetapi setiap kali ia hendak gerakkan tubuh,
lawanpun sudah menghadang.
"Celaka, apabila terus berlangsung dalam keadaan begini,
jelas aku tentu kehabisan napas. Namun kalau tak kuikuti
gerak perputarannya, tentulah dia akan mencuri peluang
untuk memukul. Pada hal kakiku yang sebelah kanan
menderita sakit tulang kaku dan sering kejang," diam2
orangtua itu mengeluh. Memang kelemahan itulah yang dimanfaatkan bekel Dipa
untuk menghabiskan napas orang. Napas habis, tenaga pun
lunglai. Dan ia percaya orangtua itu pasti takkan mampu
bertahan lama. Gerak tata langkah yang digunakan bekel Dipa itu,
berdasarkan ajaran dari brahmana Anuraga. Berkat ketekunan
berlatih maka dapatlah Dipa melakukan gerak itu dalam
kecepatan yang tinggi. Menurut brahmana Anuraga, tata
tangkah yang diajarkan itu apabila dilatih dengan sungguh2
akan dapat mencapai tataran yang mengagumkan. Tubuh
seolah olah pecah menjadi beberapa sosok bayangan sehingga
lawan sukar untuk membedakan mana tubuh penyerangnya
yang sesungguhnya. Sekalipun bekel Dipa belum dapat mencapai tataran yang
dapat dikata telah sempurna, namun cukuplah untuk membuat
kepala dan pandang mata lawan berbinar-binar.
"Setan ....!" tiba2 orangtua itu berteriak keras dan
menghantamkan tongkatnya.
"Uh" bekel Dipa memelik kejut ketika kepalanya hampir
terlimpah tongkat. Untunglah ia masih sempat melaju ke muka
sehingga hanya kain kepalanya yang terpukul jatuh. Cepat2 ia
loncat ke samping dan hentikan serangannya.
"Engkau menang, kakek" seru bekel itu dengan tersenyum.
Namun ketika memandang ke muka, dilihatnya orangtua itu
tegak pejamkan mata, memulangkan napas. Dipa menunggunya. "Baiklah, prajurit, aku akan kembali ke rumah. Memang
orangtua semacam diriku ini sudah tak layak unjuk muka lagi"
kata orangtua itu seraya berputar tubuh dan hendak ayunkan
langkah. Tiba2 terdengar derap kuda mendatangi dan sebuah suara
seruan yang lantang berwibawa, "Hai, tunggu dulu, apakah
engkau bukan ..." Orangtua itu hentikan langkah dan berputar tubuh. "Oh,
baginda Jayanagara ..." serta merta dia berjongkok memberi
sembah. Kiranya yang datang memang baginda Jayanagara dengan
diiring oleh keempat belas prajurit bhayangkara. Karena
sampai sekian lama belum juga bekel Dipa kembali, baginda
tak sabar lagi. Ia segera menitahkan berjalan. Tepat pada saat
baginda tiba lebih kurang belasan tombak jaraknya, dalam
keremangan malam baginda melihat seorang tua berambut
putih tengah tegak pejamkan mata. Rasanya baginda kenal
pada orangtua itu. Ia lajukan kudanya tetapi tiba2 kakek
itupun berputar tubuh hendak pergi maka bagindapun berseru
memanggilnya. "Engkau paman tumenggung Jabung
baginda setelah jelas akan diri orangtua itu.
Tarewes" ujar "Benar, gusti" sembah orangtua yang ternyata
tumenggung Jabung Tarewes, senopati tua yang ikut serta
menumpas pemberontakan mahapatih Nambi di Lumajang.
Dalam menghadapi gerakan Nambi di Lumajang dapat
dikata kerajaan harus berhadapan dengan sebagian besar dari
mentri2 tua dan senopati2 tua yang memihak mahapatih
Nambi. Mentri2 dan senopati2 Pamandana, Mahesa Pawagal,
Panji Anengah, Panji Samara, Panji Wiranagari, Jaran Bangkai,
ra Jangkung, ra Teguh, ra Semi, Lasem dan patih Emban,
adalah narapraja yang sudah berpuluh tahun mengabdi
kerajaan. Bahkan diantaranya merupakan kadehan dari
mendiang baginda Kertarajasa, pendiri kerajaan Majapahit.
Yang masih tetap setya dan berfihak pada baginda adalah
Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang dan Jabung Tarewes.
Setelah peristiwa Lumajang selesai, ketiga mentri tua itu
akan dianugerahi pangkat yang tinggi oleh baginda. Tetapi
Jabung Tarewes yang berpangkat tumenggung, menolak
bahkan mengajukan permohonan mengundurkan diri untuk
menikmati sisa hari tua. Baginda mengabulkan permohonan
tumenggung tua itu dan menganugerahi sebidang tanah di
sebelah selatan pura. Tumenggung Jabung Tarewes tinggal di
tempat yang sepi dan memang ia hendak beristirahat dari
tugas yang telah dipikulnya selama berpuluh tahun.
Tetapi di samping alasan hendak beristirahat karena
usianya, sesungguhnya tumenggung itu mengandung suatu
rahasia dalam hati. Namun ia seorang mentri tua yang cukup
berpengalaman. Kandungan hatinya itu belum berani ia
persembahkan kepada baginda karena ia tahu. Saatnya belum
tepat. Atas pertanyaan baginda Jayanagara, tumenggung Jabung
Tarewes lalu menceritakan tentang maksud kepergiannya ke
pura pada malam itu dan tentang peristiwa yang terjadi
dengan bekel Dipa. "Gusti tumenggung, maafkanlah kesalahan hamba" serta
merta bekel Dipa menghaturkan pernyataan kepada
tumenggung tua itu. "Tidak, prajurit" sahut tumenggung Jabung Tarewes
"engkau seorang prajurit yang gagah perkasa dan menetapi
tugas kewajibanmu. Aku suka dengan prajurit semacam
engkau" Kemudian tumenggung Jabung Tarewes beralih mengajukan pertanyaan, "Gusti, mengapa pada saat ini gusti
berada di sini " Hendak ke manakah gusti akan
bercengkerama malam ini ?"
"Ah, paman Tarewes, aku bukan bercengkerama" baginda
tersenyum anggun. Tumenggung tua itu kerutkan dahi. "Bukan bercengkerama
" Bukankah gusti gemar bercengkerama pada malam hari ?"
Baginda menggelengkan kepala. "Jangan mengingatkan
peristiwa yang telah lalu, paman. Sejak peristiwa malam itu,
aku memang menuruti nasehat paman untuk tidak melakukan
hal2 yang membahayakan keselamatan diriku"
"Syukurlah, gusti, hamba girang sekali" kata tumenggung
tua itu.

02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah tentu bekel Dipa tak tahu apa yang diacarakan
baginda dengan tumenggung Jabung Tarewes. Peristiwa itu
terjadi pada beberapa bulan yang lama berlalu. Ketika itu
baginda dengan menyamar telah melakukan suatu
petualangan yang luar biasa. Di desa sebelah selatan pura,
hidup seorang janda dengan anak perempuannya yang sudah
menjelang dewasa. Perawan itu, walaupun hanya anak
seorang rakyat biasa, tetapi bentuk wajahnya cantik sekali.
Melalui keterangan salah seorang dayang keraton, maka
baginda mengetahui tencang perawan cantik anak seorang
janda itu. Sesungguhnya dengan mudah baginda dapat
menitahkan supaya perawan cantik itu dihaturkan ke dalam
keraton. Tetapi entah bagaimana, kali itu baginda berkenan
untuk melakukan suatu petualangan. Dengan hanya diantar
oleh seorang pengawal, malam itu bagindapun secara diam2
telah menuju ke desa tempat anak perawan itu.
Baginda mengambil jalan rahasia dari keraton dapat
menembus ke luar pura. Dan menyamar sebagai orang biasa.
Entah bagaimana telah bertenu dengan peronda dan hendak
ditangkap. Karena pengawal baginda melawan maka peronda
itupun menyiapkan segenap penduduk untuk menyergap.
Untunglah dalam keributan yang tegang itu, tumenggung
Jabung Tarewes muncul. Cepat tumenggung tua yang sudah
bebas dari tugas pemerintahan itu segera mengenali baginda
dan tumenggung itulah yang menyelamatkan baginda.
Demikianlah arti daripada pembicaraan yang berlangsung
antara baginda dengan tumenggung Jabung Tarewes pada
saat itu. Tiadalah mengherankan apabila bekel Dipa tak
mengetahui. "Hamba mendengar kabar tentang huru hara di pura
kerajaan maka hamba bergegas hendak menghadap paduka"
tumenggung tua itu mengulang keterangannya pula.
"Apa maksud paman menghadap kepadaku ?"
"Hamba kuatir, sisa2 atau pengikut rakryan Nambi hendak
menuntut balas dan mengadakan huru hara. Hambalah yang
akan menanggulangi ..."
"Ah, terharu benar hatiku mendengar kesetyaan paman
tumenggung" ujar baginda penuh haru "tetapi paman Tarewes
sudah tua, baiklah paman jangan mengurusi urusan tentang
negara, apalagi dalam suasana huru hara seperti malam ini"
"Ah, tidak gusti. Hamba terpaksa harus menolak titah
paduka. Karena sejak muda mula Jabung Tarewes sudah
mengabdi kepada rama paduka rahyang ramuhun Kertarajasa.
Banyak sudah medan laga yang hamba arungi, bangkai yang
hamba langkahi dan laut darah yang hamba lintasi. Hampir
lebih dari separoh umur hamba, hanya berkecimpung dalam
peperangan dan pergolakan. Karena bertahun-tahun tak
bertempur, tulang2 hamba kaku semua. Dan sepercik nyawa
yang masih menyala dalam raga Jabung Tarewes tua ini,
memang hanya hamba persembahkan untuk paduka dan
kerajaan Majapahit yang hamba cintai, gusti ..."
Jayanagara mengangguk angguk.
"Bahagialah rama baginda Kertarajasa karena mempunyai
senopati2 yang setya seperti paman. Kumohonkan kepada
arwah rama baginda serta para dewata agar merestui cita2
luhur paman tumenggung"
Tumenggung Jabung Tarewes tersipu-sipu memberi
sembah terima kasih. Kemudian tumenggung tua itupun
menanyakan tentang huru hara yang terjadi di pura.
"Menurut laporan bekel Dipa" baginda menunjuk kepada
Dipa "alun2 keraton Tikta Sripala telah dibanjiri ribuan rakyat
yang bersorak-sorak hendak menghadap raja"
"Dan apakah baginda mengabulkan tuntutan mereka ?"
"Tidak, paman" ujar baginda "bekel Dipa menganjurkan
supaya aku menyingkir saja. Karena suasana rakyat yang
berkumpul di alun2 itu amat kacau, menyerupai gerakan
kraman" "Benar, gusti. Tak mungkin pada waktu malam begini dan
dalam keadaan kacau mereka mengandung maksud baik
terhadap paduka. Siapakah gerangan pemimpin kerusuhan itu,
gusti?" "Belum diketahui" ujar baginda "karena menurut laporan
bekel Dipa, keraton telah terputus dengan hubungan luar.
Para mentri, senopati, narapraja dan prajurit2, tak tampak
muncul ke keraton. Bahkan nasib patih Aluyuda pun belum
diketahui" "Hm, tentulah dugaan hamba itu tak jauh dari kenyataan"
kata tumenggung Jabung Tarewes" sisa2 pengikat rakryan
Nambi tentu masih belum puas atas peristiwa Lumajang"
"Bagaimana paman tumenggung
menduga demikian ?" tegur baginda.
cenderung untuk Tumenggung tua itu menghela napas panjang.
"Sesungguhnya hal itu sudah lama ingin hamba persembahkan
ke hadapan paduka. Tetapi suasana tak mengidinkan.
Daripada menderita kecaman batin maka hamba mohon
mengundurkan diri dari pemerintahan"
Baginda agak terkesiap. "O, pengunduran diri paman itu
bukan semata hanya karena usia paman yang sudah semakin
lanjut?" "Benar, gusti" tumenggung Jabung Tarewes mengakui
"namun juga karena soal yang menekan batin hamba"
"Apakah soal itu, paman ?"
"Tak lain menyangkut peristiwa mendiang rakryan
mahapatih Nambi dan beberapa mentri senopati yang gugur
dalam peristiwa Lumajang"
"O, cobalah engkau ungkapkan masalah itu sekarang"
Tumenggung Jabung Tarewes pejamkan mata seperti
hendak menggali kenangan dalam peristiwa di Lumajang itu.
"Pada malam itu, hamba ke luar untuk melakukan ronda pada
kubu pasukan Majapahit. Untuk menjaga kemungkinan orang
Lumajang mengadakan serangan gelap pada malam hari,
maka hamba perintahkan supaya tiap malam kubu2 pasukan
Majapahit dijaga keras"
"Saat itu sudah tengah malam. Tiba2 hamba melihat
sesosok tubuh manusia yang berlari-lari di sepanjang
pegunungan. Hamba kejar dan berhasil menghentikannya.
Ternyata orang itu adalah rakryan Semi"
"Semi anggauta Dharmaputera?" baginda menegas agak
terperanjat. "Demikianlah, gusti" sembah tumenggung Jabung Tarewes
"dia segera menceritakan kepada hamba apa yang sebenarnya
terjadi di Lumajang. Bahwa dengan sumpah dia menyatakan,
sesungguhnya mahapatih Nambi itu tak bermaksud
memberontak, melainkan difitnah oleh ki patih Aluyuda"
Baginda terperanjat. "Lalu apa tindakan paman saat itu kepada Semi?"
"Timbul keraguan hamba pada saat itu. Karena hamba
memang belum yakin bahwa seorang mentri tua sebagai
rakryan Nambi, akan mengandung maksud hendak
memberontak" "Tidakkah paman tangkap Semi?"
"Bermula hamba hendak menangkapnya. Tetapi dia
berjanji akan mempersembahkan bukti2 dari perbuatan patih
Aluyuda itu ke hadapan paduka. Hamba setuju untuk
melepaskan kembali ke pura dengan syarat, supaya dia jangan
melakukan rencana jahat andaikata rakryan Nambi dan
mentri2 di Lumajang itu binasa dalam pertempuran melawan
pasukan Majapahit. Hamba tandaskan kepadanya, bahwa dia
hanya boleh mencari bukti2 tentang keadaan yang sebenarnya
bahwa rakryan Nambi tak bersalah"
"Paman lepaskan dia?" Tumenggung Jabung Tarewes
mengiakan. "Ah, apabila saat itu paman menangkapnya dan
menghadapkan kepadaku, tentulah peristiwa berdarah di
Lumajang itu takkan terjadi"
Tumenggung Jabung Tarewes serta merta menghaturkan
sembah. "Hamba rasa, sukarlah hal itu terlaksana. Karena
patih Aluyuda telah paduka restui dengan kepercayaan besar
untuk memimpin pasukan kerajaan. Dia besar sekali
pengaruhnya dalam kalangan prajurit. Apalagi setelah hamba
menderita kekalahan di Pajarakan, ki patih Aluyuda tak
memberi kesempatan kepada hamba untuk memimpin
pasukan. Dan sejak itu hamba pun makin silam"
"Dalam keadaan seperti saat itu, gusti" Jabung Tarewes
menambah keterangannya pula "apa yang berlainan dengan
kata patih Aluyuda pasti akan menjadi tumpuan murka yang
akan disertai hukuman keprajuritan"
"Hm" desuh baginda "lalu sudahkah ra Semi mendapatkan
bukti2 itu ?" "Sampai lebih dari dua tahun lamanya, belum juga dia
menemui hamba" "Jika begitu jelas dia memang tak punya bukti apa2"
"Hamba rasa tidak demikian, gusti" kata Jabung Tarewes
"karena setelah peristiwa Lumajang selesai maka kedudukan
patih Aluyuda makin kuat. Bahkan paduka telah berkenan
untuk mengangkatnya sebagai pengganti rakryan Nambi. Ki
patih Aluyuda amat cerdik. Dia tentu akan menghapus semua
jejak yang menyangkut peristiwa Lumajang. Dan kiranya
memang amat sukar sekali untuk menelusuri jejak saksi yang
mengetahui pembicaraan ki Aluyuda dengan rakryan Nambi
karena semua mentri2 dan senopati yang berada di Lumajang
sudah binasa" Tiba2 baginda mendengar suara helaan napas yang
panjang dari arah samping. Cepat baginda berpaling
"Mengapa engkau, bekel ?" tegurnya ketika mendapatkan
yang menghela napas itu ternyata bekel Dipa.
Rupanya bekel Dipa mengandung sesuatu dalam hati
tetapi tak berani mengutarakan. Untuk menyalurkan
kesesakan dada, ia meluapkan sebuah helaan napas
"Mohon paduka perkenankan ampun apabila hamba
hendak mempersembahkan serangkai kata ke hadapan
paduka, gusti" "Katakanlah bekel"
"Soal gusti rakryan Semi dan gusti patih Aluyuda,
seyogyanya kelak apabila paduka sudah kembali ke keraton,
dapat diselesaikan lebih lanjut. Maaf, gusti, bukan hamba
lancang hendak mengganggu pembicaraan paduka, melainkan
hamba selalu cemas dituntut kewajiban hamba pada malam
ini, agar hamba menjaga keselamatan paduka dari huru hara
yang terjadi di pura. Menurut hemat hamba, yang penting
pada saat ini paduka telah berada di sebuah tempat yang
aman dari pengawasan dan pengejaran kaum perusuh itu"
"Engkau benar, bekel" ujar baginda lalu berkata kepada
tumenggung Jabung Tarewes "paman tumenggung,
laporanmu telah kudengar. Saat ini aku hendak menyingkir ke
sebuah daerah yang aman dulu."
Jabung Tarewes pejamkan mata, berdiam diri.
"Mengapa engkau, paman tumenggung?" Dengan nada
haru keparau parauan, berkatalah tumenggung Jabung
Tarewes. "Seharusnya hamba akan menyertai paduka dalam
perjalanan ini" "Ah, tak perlu, engkau sudah tua, paman"
"Dan seharusnya pula hamba harus mempersilahkan
paduka beristirahat di rumah hamba. Tetapi hamba kuatir, hal
itu masih dapat tercium kaum perusuh sehingga
membahayakan keselamatan paduka, gusti. Hamba mohon
ampun atas kesalahan hamba tak menyambut kunjungan
paduka." "Ah, dalam saat2 darurat begini, tak perlu paman
berbanyak hati" tukas baginda.
"Apa yang dipersembahkan bekel itu memang benar. Tak
seharusnya hamba mengganggu perjalanan paduka saat ini.
Maka hambapun mohon diri dari hadapan paduka"
tumenggung tua itu memberi sembah sedalam-dalamnya.
"Hendak kemanakah paman sekarang ini?"
"Hamba hendak melanjutkan perjalanan hamba ke pura.
Hendak hamba selidiki apakah yang sebenarnya terjadi dan
siapakah yang bertanggung jawab akan peristiwa itu" Apabila
ra Semi tersangkut dalam peristiwa itu, hamba akan mengadu
jiwa dengan dia, gusti"
"O" desuh baginda "tetapi baiklah paman jangan ikut
terjunkan diri dalam pergolakan itu. Paman sudah tua"
Tetapi tumenggung Jabung Tarewes tetap berkeras kepala
dan tetap hendak menuju ke pura.
"Tetapi mengapa tiba2 kulihat tadi paman hendak kembali
pulang?" tiba2 baginda teringat akan langkah tumenggung tua
itu ketika berhadapan dengan bekel D"pa.
Jabung Tarewes menghela napas. "Ah, hamba malu dan
menyadari diri akan ketuaan hamba. Hamba telah melanggar
janji dalam pertempuran dengan bekel muda itu. Dia memang
gagah perkasa, sakti dan perwira. Hamba bersyukur kepada
dewata bahwa bekel itu mengiring perjalanan paduka malam
ini" "Demikianlah, hendaknya paman ingat akan raga paman
yang sudah diusai usia tua itu dan jangan menuju ke pura."
"Tetapi hamba mempunyai sebuah perjanjian dengan ra
Semi. Selama perjanjian itu belum memberi keyakinan kepada
hamba dan belum terlaksana dengan baik, hamba tak dapat
mati dengan meram, gusti"
Baginda geleng2 kepala melihat kekerasan kepala
tumenggung tua itu. Memang orang tua sering bertingkah
demikian. Keras kepala dan membawa kemauan hatinya
sendiri. "Baiklah, kalau engkau memang tetap dengan pendirianmu
itu, akupun akan melanjutkan perjalanan juga," akhirnya
baginda tak dapat memaksa.
Jabung Tarewes berbangkit dan menghampiri baginda
untuk mencium kaki baginda. "Apabila hamba mati dalam
pergolakan di pura itu arwah hamba tetap akan menjaga
paduka, gusti" Baginda amat terharu lalu pelahan-lahan melangkahkan
kudanya ke muka. Bekel Dipa pun menghampiri tumenggung
tua itu, memberi hormat minta diri.
"Gusti tumenggung, hamba hendak menghaturkan sepatah
kata kepada gusti. Perjalanan baginda ini harus dirahasiakan.
Kepada prajurit2 pengiring baginda telah hamba tandaskan,


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barangsiapa membocorkan rahasia ini, tentu akan hamba
bunuh. Demikian terhadap setiap orang, tak terkecuali
siapapun dia" secara halus bekel Dipa memberi peringatan
kepada tumenggung tua itu.
Tumenggung Jabung Tarewes memberikan sumpahnya
akan memegang rahasia itu. Kemudian dengan penuh
keharuan, ia mencium ubun2 kepala bekel Dipa, seraya
berbisik, "Nasib kerajaan Majapahit terletak dibahumu.
Semoga dewata merestuimu, nak."
Beberapa butir airmata menitik dari kelopak tumenggung
tua itu ketika mengiringkan pandang mata ke arah rombongan
baginda Jayanagara yang melanjutkan perjalanan menembus
malam yang membisu dalam kepekatan .....
=o-dwkz-mch-o= JILID 30 I MALAM kelam. Dan makin kelam. Baginda Jayanagara
yang tengah diiring oleh bekel
Dipa dan lima-belas prajurit
bhayangkara, pun makin tenggelam. Tenggelam dalam
kelelapan malam, dalam kesenyapan hati. Malam membisu, rombongan sang nata itupun
membisu. Tetapi pikiran mereka tidak membisu. Hati
mereka berbicara. Berbicara
dalam genangan masa, berbicara dalam renungan peristiwa. Tiap anggota dalam rombongan pengawal baginda itu,
masing2 mempunyai pembicaraan hati. Masing2 mengungkapkan persoalan. Berbeda dan sendiri2.
Mungkin pohon2, belukar dan rumput2 di sepanjang hutan
yang dilalui itu, sedang melakukan percakapan. Mempersoalkan kejut dan keheranan mereka bahwa sang nata
Wilwatikta, melakukan cengkerama di tengah malam.
Berburu" Ah, mengapa pada tengah malam"
Mereka tak tahu. Dan memang layak kalau tak tahu.
Karena mereka hanya tumbuh-tumbuhan yang tak kenal akan
tingkah laku manusia. Insan yang paling dikasihi Dewata.
Dan rombongan bhayangkara itu
masih bicara berkelanjutan. Dalam hati dan dipantulkan pada kerut wajah
ataupun dengan desah desuh pernapasan.
Menghadapi persoalan yang sama, menghadapi keadaan
yang sama. Tetapi tidaklah sama hati masing2 merasakan dan
menerimanya. Yang diiring dan yang mengiring, sama2
menderita kecemasan dari perjalanan yang tak menentu
akibatnya itu. Perjalanan meloloskan diri dari bahaya, bukan
perjalanan yang sedap. Lebih cemas dari perjalanan prajurit
yang kalah perang. Prajurit yang kalah, apabila terkejar, hanya
ditangkap dan ditawan apabila sudah menyerah. Tetapi
perjalanan baginda Jayanagara itu, beda sifatnya. Dia tidak
merasa kalah karena tak merasa berperang. Tetapi baginda
harus lari seperti prajurit yang kalah yudanya. Dan apabila
terkejar, mungkin hanya ditawan. Tetapi mungkin juga
dibunuh. Seorang nata yang dibunuh, merupakan suata peristiwa
yang menggemparkan. Dan apabila musuh yang membinasakan, itu masih dapat diterima. Karena raja adalah
pemimpin negara. Dan pemimpin itu memang mempunyai
kedudukan yang besar, menikmati hidup yang besar tetapipun
mempunyai kewajiban yang besar. Dan tanggungjawab yang
besar pula. Tetapi keadaan baginda Jayanagara memang beda. Di
pura kerajaan timbul huru hara kraman. Baginda tak tahu
siapa yang menggerakkan huru hara itu. Tetapi yang jelas
apabila dikejar, yang mengejar itu tentu rakyat Majapahit
sendiri. Andaikata binasa, baginda binasa karena dibunuh
rakyatnya sendiri. Dan raja yang mati ditangan rakyatnya
sendiri, jauh lebih mengenaskan daripada binasa di tangan
musuh. Demikian percakapan yang mengumandang dalam hati
baginda di kala menyusur jalan yang merentang jauh ke
muka. Dan renungan baginda pun segera mengarah kepada
peristiwa itu. Siapakah gerangan yang menjadi biangkeladi
huru hara itu " Sekembalinya ke pura, baginda telah mengadakan
pembersihan. Di kalangan senopati2 keprajuritan dan
narapraja pemerintahan. Bahkan anggauta pasukan bhayangkara yang menjaga keselamatan keraton Tikta-Sripala,
pun diganti. Sisa2 pengikut Nambi disingkirkan agar pengaruh
mahapatih yang sudah berakar dalam selama memegang
pemerintahan berpuluh tahun itu, dapat dihilangkan.
"Lalu siapakah yang menggerakkan huru hara itu ?"
demikian tak putus2 baginda bertanya dan bertanya
"Dharmaputerakah" Ah, tipis kemungkinannya. Mereka
kukenal baik dan setia ...."
"Ah, tak kira" tiba2 baginda tersengat oleh selintas
ingatan. Ia teringat akan kata2 tumenggung Jabung Tarewes
tadi, "ternyata Semi ikut serta dalam rombongan paman
Nambi ke Lumajang. Dua tahun sudah berlalu, mengapa tiada
seorang mentri yang melaporkan hal itu ke hadapanku " Aneh,
mengapa paman Aluyuda yang biasanya paling tajam
pendengarannya, tak tahu akan hal itu" Mungkinkah Semi
yang menggerakkan huru hara itu" Tetapi apa alasannya?"
Kembali baginda tertumbuk pada suatu pertanyaan yang
sukar dijawab. "Mengapa dalam huru-hara semalam, paman
Aluyuda tak tampak" Dan mengapa pula sebabnya mentri2
dan senopati tak muncul?"
"Ke manakah gerangan para tanda rakryan makabehan
itu?" masih baginda melanjutkan pertanyaan dalam hati,
"mungkin mereka telah dikurung kaum perusuh. Dan karena
usianya yang lanjut, mereka tak dapat berbuat suatu apa.
Tetapi ke manakah gerangan Pancari Wilwatikta, mahapatih
Aluyuda, demung Samaya, kanuruhan Anekakan, rangka Jalu
dan tumenggung Nala" Aneh, aneh benar. Adakah mereka
juga dilumpuhkan oleh kaum perusuh ?"
Demikian ruang lingkup persoalan yang berbicara dalam
hati sang nata Jayanagara.
Bedalah hal yang menjadi buah percakapan hati bekel
Dipa. Dia tak berluang memikirkan sumber alasan dan
penggerak huru hara itu. Yang penting baginya, bagaimana ia
harus membawa baginda ke suatu daerah yang aman dan
sukar diketahui kaum perusuh. Tanggung jawab itu terlampau
berat baginya sehingga ia harus mencurahkan segenap pikiran
dan seluruh pengabdian jiwa raganya.
Menempuh perjalanan pada malam yang pekat, tak
menyedapkan. Seperti orang yang bermimpi buruk, ingin
cepat mengharap agar fajar tiba. Lenyapnya malam dari
impian buruk, akan melenyapkan keresahan yang menghimpit
perasaan. Tetapi tidak demikian halnya dengan pikiran bekel Dipa. Ia
bahkan menginginkan agar malam itu berlangsung panjang.
Sepanjang-panjangnya. Selimut gelap yang dilebarkan sang
malam, dirasakan sebagai suatu hal yang dapat membantu
perjalanan itu. Andaikata kaum perusuh mengejar, mereka
tentu sukar untuk menentukan arah larinya yang dikejar.
Andaikata mereka berhasil menyusul, pun sukar bagi mereka
untuk meneliti mana baginda Jayanagara, mana prajurit
pengiring. Dan sebelum hal itu terjadi, bekel Dipa tentu sudah
mampu untuk menyembunyikan baginda ke suatu tempat
yang pelik. Pada masa kecil, pernah Dipa mendengar cerita orang2
tua di desanya. Cerita tentang lakon Ramayana. Dalam
persaingan dengan Anggada, Hanoman berhasil diterima oleh
prabu Rama untuk melakukan penyelidikan ke negara Alengka.
Penerimaan itu didasarkan bahwa Hanoman sanggup untuk
mencapai dan menunaikan tugasnya dalam sehari. Pada hal
kerajaan Alengka itu amat jauh dan terpisah oleh lautan.
Belum mencapai tempat tujuan, sang surya pun sudah hampir
terbenam di barat. Namun walaupun berwujut sebagai kera,
Hanoman itu seorang ksatrya yang sakti mandraguna, Ia tak
kehilangan akal. Dengan kesaktiannya ia segera terbang ke
angkasa dan mengikat sang surya agar jangan terbenam.
Setelah tugasnya selesai, barulah ia melepaskan surya itu.
Ingin Dipa dapat melakukan hal semacam itu. Ia ingin
mengikat rembulan agar tetap memancar di angkasa. Agar
fajar jangan cepat tiba. Tetapi tak mungkin ia dapat
melakukan hal itu. "Ah, aku hanya seorang manusia biasa.
Bahkan manusia bukan dari kasta brahmana atau ksatrya"
tibalah layang renungannya itu ke alam kenyataan. Dan
kenyataan itu cukup pahit dalam kehidupannya.
Terbawa oleh getar2 perasaan, tiada disadarinya Dipa
menengadahkan kepala, memandang ke langit, "Ah,
rembulanpun tak tampak. Sukar untuk dijerat"
Ia menghela napas kecil dalam hati. "Ah, mengapa sejauh
itu alam pikiranku membubung" Tidakkah segala sesuatu
dalam alam kehidupan ini sudah ditentukan oleh kodrat
Prakitri?" Ia menghibur diri, menenangkan pikirannya yang gelisah.
Dan ia memperoleh ketenangan itu. Seketika itu timbul suatu
rasa malu dalam hati. Rasa malu yang timbul dari percik
kesadaran hatinya. Tadi ia merasa amat gelisah, amat cemas.
Tetapi sekarang ia merasa tenang, merasa tenteram. Adakah
timbul suatu perobahan dalam keadaan yang dihadapi saat
itu" Tidak. Saat itu ia masih mengiringkan perjalanan baginda,
masih menjaga keselamatan sang nata. Perjalanan yang
penuh bahaya itu masih ditempuhnya. Sejak lolos dari
keraton, saat itupun keadaan masih tetap sama, tak berobah.
Tetapi mengapa tadi ia merasa gelisah dan sekarang
tenang" Adakah saat itu ia menganggap bahwa tugas
kewajibannya melindungi baginda sudah tak seberat tadi,
tidak segawat tadi, dan tidak lagi sepenting tadi "
"Ah, tidak" kembali ia menemukan jawaban dalam hatinya.
Ia tak memiliki perasaan sedemikian. Ia tetap menganggap
tugas yang dihadapinya itu amat penting bahkan maha
penting. Lalu mengapa tadi ia merasa begitu cemas" Siapakah yang
menimbulkan rasa cemas itu " Dan mengapa pula sekarang ia
merasa agak tenang " Siapakah yang mengantarkan rasa
tenang itu kepada hatinya "
Dipa tersipu-sipu malu hati sendiri ketika ia menemukan
jawabannya. Bahwa yang menimbulkan kegelisahan, yang
mendatangkan ketenangan, tak lain tak bukan hanya
pikirannya sendiri. Hanya dirinya sendiri. Keadaan yang
dihadapinya masih tetap gawat dan berbahaya. Tetapi
perobahan dalam sikap perasaannya, dia sendiri yang
membuatnya. Membuatnya gelisah, membuatnya tenang. Dia
sendiri, bukan lain orang.
Suatu penemuan telah terjadi dalam sanubari Dipa pada
saat itu. Saat dimana keadaan yang penuh bahaya
menyelubungi dirinya. Saat pada malam hari dimana seribu
impian lahir, seribu renungan membayang, seribu kenyataan
menjelang. Malam yang penuh kedamaian dan kemurnian
akan makin menggores tajam setiap perasaan dalam pikiran
kita. Seram akan lebih menyeram, sedih akan lebih
menyedihkar, gembira akan lebih menggembira. Dalam
pertentangan batin di medan malam sunyi itulah Dipa telah
bersua dengan sesuatu. Sesuatu yang sesungguhnya sudah
dimiliki Dipa dan setiap manusia, yakni perasaan. Perasaan
yang menjalur antara pikiran dan batin. Dipa menemukan apa
yang dimilikinya sendiri. Bahwa iklim keadaan dari setiap hal
yang dialaminya itu, tergantung pada sikap perasaannya
sendiri. Ia merasa cemas karena menganggap perjalanan
malam itu penuh bahaya, penuh segala kemungkinan.
Kemungkinan dari bahaya yang dapat dibayangkan maupun
yang tak dapat dibayangkan. Ia tenang karena dapat
menanggapkan perasaannya. Bahwa hidup itu memang selalu
bergolak. Dan peristiwa itu memang selalu muncul. Karena
Hidup itu sendiri sudah merupakan suatu peristiwa. Dan Dipa
sendiri sudah mengalami peristiwa hidupnya. Pahit dan getir,
senang dan susah. Bahkan terlintas pula dalam ingatannya, akan nasib
kehidupan demang Surya yang sudah berusia lanjut itu.
Bukankah demang itu merasa muak dan jemu akan peri
kehidupan di pura yang penuh dengan manusia2 berselimut ke
semuan" Ada yang memainkan peran sebagai 'harimau
berselimnt kulit domba'. Ada pula yang melakukan sikap
sebagai 'kelinci bertanduk". Dan ada pula yang bermain


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai 'pelanduk mengiring harimau2" atau orang yang
menggunakan kekuasaan lain orang sebagai andalan.
Larilah demang Surya ke hutan untuk mengasingkan diri.
Tetapi ternyata dia masih tetap diburu dan dikejar oleh
peristiwa. Makin dia menyingkir, makin dia diburu. Mungkin
hal itu sudah menjadi garis hidup demang Surya. Mungkin.
Demikian Dipa tiba pada suatu kesimpulan. Dan serentak
bertemulah ia pada suatu kesimpulan lain.
"Kodrat adalah suatu garis perjalanan hidup yang sudah
ditentukan Yang Maha Kuasa. Tetapi manusia takkan mungkin
mengetahui sebelum menjalani dan mengalaminya. Adakah
perjalananku mengiring baginda pada malam ini suatu garis
kehidupanku, akupun tak tahu. Tetapi yang jelas perjalananku
ini suatu kenyataan. Aku tak mau melarikan diri dari
kenyataan sebagai telah dilakukan oleh ki demang Surya. Aku
harus menghadapi kenyataan ini dengan segala daya upaya
yang dapat kulakukan. Sebagai seorang bekel bhayangkara
terhadap raja, sebagai seorang pejuang terhadap negara"
Demikian getar halus yang bertebaran memenuhi telaga
hati Dipa. Menyelam, mengendap ke dasar yang paling bawah.
Menimbulkan suatu endapan yang jernih dan kokoh. Dari
tekad dan keberanian. Hilang lenyap segala kabut keraguan
berganti dengan sinar terang yang menerangi alam batinnya.
Lain halnya dengan kelima belas prajurit anakbuah
bhayangkara itu. Mereka mempunyai percakapan hati yang
berbeda-beda. Sesuai dengan alam kehidupan dan
keadaannya. Yang meninggalkan anak isteri di dalam pura,
melayangkan kecemasan hatinya kepada mereka. Kepada
orangtua, saudara dan sanak kadang bahkan kawan2. Yang
masih bujang, mengawangkan renungannya pada kekasih
atau wanita yang diidamkan atau pun kesenangan2 lain.
Ada pula yang meresahkan pekerjaannya, kedudukannya,
pangkat bahkan benda miliknya yang ditinggalkan itu. Mereka
tak tahu dan tak dapat membayangkan pengetahuan, apa
yang akan terjadi nanti. Adakah mereka masih dapat kembali
ke pura untuk menikmati kedudukannya pula.
Tujuh belas orang, menempuh perjalanan bersama. Tetapi
pikiran mereka berbeda-beda. Jika terdapat persamaan
hanyalah karena terikat oleh tugas kewajiban.
Keasyikan yang tengah mencengkam rombongan baginda
dalam lamunan masing2 itu, tiba2 terhentak oleh suara kokok
ayam hutan. "Fajar ...." demikian ucap setiap orang dalam hati
masing2. Agak beranjak semangat mereka dari keheningan
lamunan malam. Fajar menjelang tiba pula suatu babak baru
dari cercah harapan. Bekel Dipa tidak lagi takut akan bayang2
kedatangan fajar. Ia sudah paserah. Paserah yang tidak
menyerah pada nasib tetapi pasrah kepada keadaan. Dan
keadaan itu harus ia upayakan agar berobah menjadi suatu
kenyataan yang baik. Dipa langkahkan kuda ke muka, hampir di sisi baginda.
Rupanya baginda mengetahui bahwa bekel itu tentu hendak
mempersembahkan sesuatu. Beliaupun berpaling dan
lontarkan pandang tanya. "Gusti" Dipa pun tersipu-sipu mengangkat kedua tangan
menyembah, "fajar menjelang tiba. Hamba telah mengiring
paduka hampir semalam suntuk"
Baginda mengangguk, "Benar"
"Apabila gusti berkenan mendahar persembahan kata
hamba" kata bekel Dipa "hamba mohon sudilah kiranya
paduka beristirahat dahulu"
Baginda Jayanagara tertegun. Angin berhembus membawakan sisa2 malam yang dingin. Pada saat yang
menegangkan pikiran ketika mendengar huru hara
berkecamuk di alun2, kemudian meninggalkan keraton, hati
baginda bagaikan dihanyut gejolak perasaan. Terkejut, heran,
gusar sekali. Dan rasa gusar itulah yang paling mencekam hati
baginda. Baginda marah kepada kaum perusuh, marah kepada
para mentri nayaka yang tak muncul batang hidungnya dalam
huru hara itu. Kemarahan yang meluap-luap telah
menegangkan seluruh urat2 tubuh dan debur jantung. Darah
pun serasa memancar keras dan panas.
Tetapi setelah hampir semalam suntuk menempuh
perjalanan di kedinginan malam, ketegangan perasaan itupun
makin mengendor. Amarahnya pun makin menurun. Dan
setelah diketahui bahwa perjalanan itu sudah cukup jauh
terpisah dari keraton serta selama itu tiada tampak barang
seorang perusuh yang mengejar, baginda merasa agak anan.
Dan sesaat dihinggapi oleh rasa aman itu maka mengendorlah
seluruh ketegangan hati. Sesuatu yang dikembangkan secara bcrkelebihan dari
ukuran kekuatannya, akan mengalami penyurutan yang lebih
cepat. Demikian halnya dengan baginda Jayanagara. Karena
ketegangan dan kemarahan yang meluap-luap, setelah
mengendap, segera tubuh dan semangat terasa lunglai.
Baginda Jayanagara semasa masih kecil bergelar raden
Kala Gemet. Nama itu memang sesuai dengan kesehatan
baginda yang lemah dan berpenyakitan. Bahkan setelah
dinobatkan sebagai raja, baginda tak memiliki tubuh yang
perkasa. Tambahan pula karena memanjakan diri dalam
kesenangan wanita, kesehatanpun sering terganggu.
Kehidupan mewah dalam keraton, sering menimbulkan
sesuatu yang berkelebihan tetapi sesuatu yang berkekurangan
dalam kesehatan. Serentak baginda merasa betapa dingin kaki dan tangan
didera hawa dingin dan kabut yang beruap embun malam.
Apapula semalam baginda tak beradu. Wajah baginda yang
tampak kepucat-pucatan tak lepas dari perhatian bekel Dipa.
Sejak tiba di tempat itu, sebuah tegalan luas yang jauh
dari pedesaan, sempat pula bekel Dipa menangkap suatu
pemandangan yang menggerakkan perhatiannya. Di kaki
perbukitan karang yang berhias gerumbul pokok2 pohon,
dilihatnya sebuah pondok. Cepat ia mendapat pikiran untuk
mengusulkan agar baginda beristirahat dahulu di pondok itu.
Dipa merasa, menjaga keselamatan jiwa junjungannya itu,
bukan hanya semata melindungi dari kejaran kaum perusuh.
Tetapi pun menjaga juga kesehatan baginda.
Sambil memalingkan muka ke arah pondok di ujung tegal,
Dipa menjawab, "Sekira paduka berkenan, pondok itu dapat
menjadi tempat penampung peristirahatan sementara."
Menurutkan arah pandang mata bekel Dipa, baginda
melihat juga pondok itu. Baginda memang sangat arip kurang
tidur, ia merasa letih dan kedinginan. Dan hingga timbullah
seketika rasa dahaga. Betapalah ingin baginda meneguk minuman panas untuk
penghangat tubuh yang kedinginan itu.
"Tetapi tidakkah hal itu akan menimbulkan kemungkinan
kaum perusuh mengejar kita ?" hampir saja baginda
meluluskan usul bekel Dipa andaikata tiba2 beliau tak teringat
akan keadaan saat itu. Rupanya bekel Dipa sudah siap akan menerima pertanyaan
demikian "Hamba rasa, kecil sekali kemungkinan itu, gusti.
Karena sejak semalam, tak tampak barang suatu gerakan
pengejaran" Baginda mengangguk pelahan.
"Hambapun telah memperhatikan bahwa jauh di sebelah
depan, tampak gerumbul pohon. Hamba mengharapkan
tempat itu sebuah pedesaan."
"Bagaimana engkau dapat menduga gerumbul itu sebagai
pedesaan" Bukankah banyak kali kita menjumpai gerumbul
pohon sepanjang petjalanan semalam?"
"Ada sedikit beda, gusti. Antara gerumbul pohon hutan
dengan gerumbul pohon pedesaan. Gerumbul pohon hutan,
tumbuh berkeliaran bebas. Tetapi gerumbul pohon yang
menjadi penandaan desa tentu lebih teratur tumbuhnya, lebih
tersusun letaknya" "Lalu apa maksudmu?" tegur baginda.
"Lebih dahulu hamba akan meninjau ke tempat itu.
Benarkah sebuah desa dan siapa yang menjabat buyut desa.
Akan hamba selidiki dahulu keadaan tempat itu sehingga
hilanglah keraguan hamba untuk mengiring paduka ke desa
itu" Baginda pun menyetujui dan rombongan segera menuju
pondok itu. Beberapa puluh depa dari pondok itu, Dipa
memerintahkan berhenti. Ia mohon kepada baginda hendak
menyelidiki pondok itu. Seorang perempuan tua tengah duduk menghadapi tempat
perapian. Rupanya tengah memasak air. Ia sangat terkejut
melihat kedatangan seorang prajurit. "Engkau ...." perempuan
tua itu berteriak dan lari menghampiri. Tetapi tiba2 ia hentikan
langkah dan kata-katanya. Dipandangnya bekel Dipa dengan
terlongong-longong. Beberapa kali tangannya mengusap
kelopak mata. Rupanya untuk menjernihkan pandang matanya
yang masih nanar. "Nenek, maaf, aku dan rombongan prajurit habis
melakukan perjalanan jauh. Apabila tak keberatan, akan
mohon singgah beristirahat sebentar di tempat nenek. Apabila
surya terbit, kami segera melanjutkan perjalanan" kata Dipa.
"Engkau seorang prajurit?" perempuan tua ia nyalangkan
mata "tetapi engkau bukan Maja?"
Dipa terkesiap. Ia meminta keterangan, "Siapa Maja itu?"
"Anakku lelaki"
"O, kemanakah anak nenek itu?"
"Dia menjadi prajurit"
Dipa terbeliak "Dimana?" serunya.
"Di pura kerajaan tetapi sudah tiga tahun ini dia tak pulang
menjenguk orangtuanya" nada kata2 nenek itu kedengaran
rawan "engkau prajurit dari mana?"
"Pura kerajaan"
"Oh" teriak perempuan tua itu tegang, "engkau kawan
Maja, bukan?" Dipa tertegun. Ia ingin mencari jawaban agar nenek itu
jangan kecewa. "Aku seorang prajurit baru. Dan kerajaan
Majapahit mempunyai beribu prajurit. Pada suatu hari aku
tentu dapat mencari anak nenek itu"
"O. terima kasih" perempuan tua tampak gembira,
"bawalah teman temanmu ke mari"
"Apakah nenek tinggal seorang diri?"
"Suamiku sedang ke hutan mencari kayu bakar"
"Nenek hanya hidup berdua?"
Karena menganggap kawan sekerja dengan anaknya,
nenek itu cepat akrab. Dan iapun mempunyai kesan senang
terhadap bekel Dipa. Ia menceritakan bahwa anaknya hanya
dua, lelaki dan perempuan. Yang laki2 menjadi prajurit dan
yang perempuan sudah menikah dengan seorang desa di lain
tempat. "Mengapa nenek tak mau ikut pada anak perempuan
nenek?" "Ah, keadaan mereka tak punya. Anaknya lima orang,
hanya seorang petani. Aku masih kuat bekerja dan suamiku
mempunyai tegalan. Kami hidup dari hasil tegal itu"
Dipa mengangguk-angguk. Diam2 ia memuji kedua suami
isteri petani tua itu yang menyadari akan dharma hidupnya.
Sebagai seorang manusia walaupun sudah tua tetapi karena
masih kuat, mereka tetap bekerja mengusahakan tegal
miliknya. Sebagai orangtua, mereka telah membaktikan
seorang puteranya sebagai prajurit negara. Dan sebagai
ssorang tua pula, mereka tak mau memberatkan beban hidup
anak perempuannya. "Apakah sekarang boleh kubawa kawan-kawanku kemari?"
tanyanya sesaat kemudian. Nenek itu mengangguk.
Ketika Dipa dan rombongan bhayangkara mengiring
baginda tiba di pondok itu, ternyata penghuninya tambah
seorang lelaki tua. Tentulah suami dari nenek itu. Seorang
lelaki yang sudah putih rambut dan janggutnya tetapi masih
tampak sehat segar. Sebelumnya baginda telah menitahkan kepada Dipa dan
semua prajurit pengiringnya supaya jangan mengatakan
bahwa beliau itu baginda Jayanagara. Cukup mengatakan
baginda itu sebagai bekel prajurit yang memimpin rombongan
itu. Dipa terkesiap tetapi sesaat kemudian ia dapat menyelami
maksud baginda. Diam-diam ia girang. Dengan penyamaran
itu, akan terjagalah sifat-sifat kerahasiaan diri baginda. Suatu
hal yang membantu kelancaran tugasnya menyelamatkan
baginda. Dan mudah-mudahan baginda mendapat kesempatan
untuk menyelami kehidupan rakyat lapisan bawah.
Kedua suami isteri tua itu amat ramah sekali menyambut
rombongan baginda. Mereka tak tahu bahwa yang berkunjung
ke pondoknya itu sri nata kerajaan Wilwatikta yang
termasyhur. Mereka menyambut dengan sikap yang
sederhana, hati yang ramah dan perasaan kekeluargaan.
Sibuk mereka menghidangkan minuman teh daun jeruk dan
ubi singlong bakar. Suatu hal yang tak terduga-duga teiah dirasakan oleh Dipa
dan segenap anakbuah rombongannya. Mereka memperhatikan betapa gairah baginda meneguk cawan
minuman itu dan betapa pula lahap baginda mendahar ubi
bakar. Diam2 Dipa tertegun. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
baginda Jayanagara yang mengenyam kenikmatan hidup
paling mewah dan serba berkelebihan, ternyata mau minum
teh dari daun jeruk dan ubi singkong bakar. Karena kesima
sampai Dipa lupa untuk memasukkan ubi bakar yang sudah
dipegang dalam tangannya.
"Nenek, enak benar minuman yang engkau buat ini" seru
baginda memuji "apakah bahannya?"
"Nak bekel" sahut perempuan tua yang empunya pondok
"masakan orang desa semiskin nenek mampu membeli bahan
minuman yang mahal" Apalagi yang nenek buat kalau tidak
dari daun jeruk nipis, nak bekel"
"Daun jeruk nipis?" baginda agak heran "mengapa enak


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar?" Nenek itu tertawa gembira karena menerima pujian dari
orang yang memperkenalkan diri sebagai bekel prajurit.
"Apakah yang nak bekel minum tiap hari di rumah ?" seru
perempuan tua itu. Baginda agak kikuk untuk memberi jawaban. Namun dapat
juga beliau berkata, "Aku sering ke Canggu. Bandar itu penuh
dengan pedagang-pedagang dari negeri atas angin. Di
antaranya mereka menjual bahan minuman daun teh, sedap
dan harum" "Ah, orang di pusat kerajaan memang mewah
kehidupannya. Beda dengan orang2 desa seperti kami ini"
kata si nenek menghela napas.
Walaupun seorang nata tetapi entah bagaimana saat itu
baginda Jayanagara mempunyai perasaan yang amat peka. Di
luar dari perkiraan Dipa dan prajurit2 bahwa baginda mungkin
tersinggung dengan ucapan perempuan yang bernada
bertalaran itu, ternyata baginda mengunjuk kelainan sikap
yang mengherankan. "Ah, tetapi minuman yang nenek buat ini memang enak
benar" tiba2 baginda berkata.
"Tak mungkin, tentu lebih enak
mancanagara daripada daun nipis ini"
daun teh dari "Masing2 memiliki kenikmatan sendiri. Tetapi memang
benar bahwa minuman nenek ini enak sekali" baginda
mengulang pernyataannya. Nenek itu menghela napas, "Mudah-mudahan para kawula
Majapahit mempunyai pendapat seperti nak bekel. Karena
sesungguhnya hasil dari bumi kita ini, berlimpah ruah dan
kaya akan segala bahan makanan yang nikmat. Minuman dari
daun jeruk nipis, adalah warisan leluhur kita. Apabila kita
dapat menyedunya dengan cara2 yang tepat, tentulah nikmat
juga rasanya. Hendaknya janganlah kita menganggap bahwa
hasil bumi kita sendiri itu lebih rendah dari mancanagara ..."
"Ah, sudahlah, nyai" tiba2 suami perempuan tua itu
menukas "tetamu2 kita ini adalah prajurit2 kerajaan Majapahit.
Kita harus menghormati dan melayani dengan hidangan2 yang
kita punyai. Jangan hanya dengan adu lidah saja"
"Benar, kyai" seru perempuan tua itu "di dapur masih ada
persediaan beras. Akan kutanakkan nasi"
"Dan jangan lupa nyai" seru kakek itu pula ikan lele yang
kupukat semalam dari tambak sungai"
"Mengapa?" seru perempuan tua itu.
"Buatkan gulai lele yang enak untuk menjamu tetamu2 kita
ini" seru kakek itu.
Baginda mendapat kesan baik atas kehidupan kedua suami
isteri tua itu. Banyak beliau mengajukan pertanyaan kepada
mereka. Sejenak seolah baginda telah melupakan suasana
yang dialami semalam. "Tidakkah kakek ingin tinggal di pura
?" ujar baginda. "Ah, nak bekel" kakek itu menghela napas, "kami berdua
sudah tua. Hidup kamipun takkan lebih panjang dari keinginan
kami. Mengapa aku harus mati membawa keinginan ?"
Berhenti sejenak orangtua itu melanjutkan pula, "yang
penting dalam kehidupan manusia itu adalah ketenteraman
dan ketenangan. Sudah berpuluh tahun aku tinggal di sini. Aku
mencintai bumi di sini, air di sini, hutan dan margasatwa telah
bertetangga baik dengan aku. Kukerjakan ladang, kuolah,
bumi dan mereka pun memberikan imbalan untuk
kehidupanku. Apa yang kucari lagi ?"
"Tetapi tidakkah kakek hidup serba kekurangan di tempat
ini?" "Keinginan itu tiada batasnya" sahut kakek pemilik pondok
"batas keinginan hanya pada perasaan sendiri. Nak bekel
menganggap keadaanku serba kekurangan. Itu menurut
ukuran hidup nak bekel. Tetapi aku sendiri merasa serba
cukup. Tiap hari aku bekerja, tiap hari tersedia makanan dan
kebutuhan hidup lain-lainnya. Kalau terdapat perbedaan, maka
hanya soal rasa lidah. Lidah kita mengatakan bahwa nasi di
pura kerajaan lebih putih lebih harum. Lauk pauk lebih lezat,
tuak lebih sedap, pakaian lebih indah. Tetapi bagi perut,
kurasa samalah kenyangnya makan nasi di desa, dengan di
pura, samalah daya mabuknya minuman tuak di desa dengan
di pura." Hamburan kata2 petani tua itu menyelam ke dalam lubuk
hati Baginda. Bagaikan burung melayang di angkasa, sukar
dijangkau arah tujuannya. Atau bergemerlapan bagai bintang2
bertaburan di cakrawala. Dapat di lihat wujutnya, dapat
dinikmati cahayanya tetapi sukar untuk membuktikan
kenyataannya. Demikian tamsil yang menyibak dalam relung
renungan baginda akan falsafah dan ajaran petuah yang
sering didengar beliau di kala masih kecil sampai setengah
beliau dinobatkan sebagai nata prabu Majapahit. Dan menurut
anggapan baginda, belumlah beliau merasa bersua pada
kenyataan yang bernapaskan ajaran2 itu.
Tetapi ucapan petani tua itu laksana butir2 embun di atas
rumput. Sederhana, terlampau sederhana. Bersahaja. Dapat
dilihat, diketahui dan diraba. Pun dapat pula dirasakan
kesegaran pada kelenjar2 daun rumput. Rumput yang hidup
sebagai tumbuh-tumbuhan yang paling bawah tingkatannya.
Demikianlah kata2 petani tua itu. Pada diri suami isteri
petani tua itu, baginda dapat merasakan suatu kehidupan
yang wajar, tenang dan tenteram. Suatu sifat yang menunggal
dengan alam. Dalam kesederhanaan alam pikiran kedua suami
isteri itu, memancarlah sifat baik dari kemanusian. Jujur,
bersih, tulus dan bersahaja.
Para pandita, brahmana, wiku dan resi meresapkan
ajaran2 luhur agar manusia hidup dalam batin yang bersih,
suci dan damai. Agar dharma hidup itu dilaksanakan dengan
amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran2 luhur.
Petani tua itu mungkin tak pernah mendengar ajaran2 itu.
Tetapi dia telah melaksanakan amal hidup yang sesuai dengan
ajaran-ajaran para pandita. Dia tak memiliki pengetahuan
falsafah tetapi dia telah menjalankan amal yang
bersenyawakan falsafah itu. Falsafah hidupnya yang hanya
cukup sederhana. Cintailah hidupmu. Ia mencintai hidup maka
ia bekerja, agar dapat memelihara dirinya. Memelihara diri
berarti mengagungkan berkah karunia dari Hyang Jagadnata.
Ia mencintai hidup maka ia mencintai juga sesama mahluk,
baik insan manusia maupun khewan dan tumbuh-tumbuhan.
Dan cinta itu adalah Kasih yang mencangkum seluruh
kehidupan alam raya. Sejenak melontarkan pandang ke luar, tersentuh hati
baginda. Jauh di sebelah muka tampak puncak sebuah gunung
yang menjulang. Bersalutkan hutan rimba yang kelam
menghijau. Sepintas menyerupai seorang raksasa yang
bersalut selendang hijau. Tegal2 bertumbuh subur, ladang2
menampung bulir2 padi yang mengerumuni kuning. Pohon
dan semak bergoyang gontai dihembus angin semilir.
Seyojana mata memandang, hanya keindahan yang sejuk
dalam lingkupan ketenangan yang damai.
"Ah, alangkah tenangnya alam pegunungan" baginda
dalam hati "beda jauh dengan keadaan di pura yang selalu
dirundung kesibukan. Andaikata mungkin ...."
Diam2 timbul suatu perasaan aneh dalam hati baginda. Ia
merasa petani itu lebih tenteram dan bahagia hidupnya. Ah,
tak mungkin apabila ia mempunyai keinginan untuk bertukar
tempat dengan petani itu. Dan ketidak mungkinan itu segera
dihembus lenyap lalu berganti dengan kenyataan yang
dihadapinya. Saat itu di pura sedang timbul kraman. Mungkin
mereka mempunyai tujuan tertentu. Hendak merebut
kekuasaan atau hendak menyerahkan tahta kerajaan kepada
lain orang. Bukankah ada golongan tertentu yang tak puas
akan dirinya. Mereka lebih suka apabila puteri Tribuanatunggadewi atau puteri Rajadewi Maharajasa yang
menjadi raja. Karena kedua puteri itu keturunan puteri
Kertanagara sedang dia adalah putera dari ratu Indreswari,
puteri tanah Malayu. "Tidak" hati baginda meronta geram "aku adalah putera
dari rama baginda Kertarajasa. Aku telah direstui rama prabu
untuk duduk di singgasana. Keraton Tikta-Sripala adalah
warisan rama prabu. Harus kujaga sekuat tenaga. Akan
kutumpas mereka yang menentang aku. Aku harus
melaksanakan pesan rama prabu. Bumi Majapahit yang luas
dan indah ini harus kukembangkan tumbuh menjadi sebuah
kerajaan yang jaya dan sejahtera....."
"Gusti" tiba2 baginda terkejut karena mendengar bisikan
yang menggema pelahan di belakangnya. Dan ketika ia
berpaling ternyata bekel Dipa sedang bersila menyembah.
"Ya" sahut baginda.
"Hamba mohon diperkenankan meninjau desa yang akan
kita lalui" Dipa berkata setengah berbisik agar jangan
terdengar oleh kakek pemilik pondok.
Sejenak baginda memandang ke luar. Saat itu surya sudah
memancarkan sinar gemilang. Pagi mulai merekah "Baik"
sahut baginda. Dipa mengajak seorang prajurit. Dengan berkuda mereka
menuju ke arah gerumbul yang melintas pandang di kejauhan.
Kedatangan dua orang prajurit berkuda di hari sepagi itu,
mengejutkan beberapa penduduk. Beberapa orang segera
menghampiri ketika Dipa hentikan kudanya, "Ki sanak, apakah
nama desa ini ?" "Desa Bedander" sahut salah seorang.
"Di manakah kediaman buyut desa ?" tanya bekel Dipa
pula. "Hampir di ujung jalan ini, membiluk ke kanan, tuan akan
tiba di sebuah rumah besar. Itulah balai desa dan ki buyut
tinggal di belakang balai desa itu"
Setelah menghaturkan terima kasih Dipa dan kawannya
segera menuju ke tempat itu. Seorang lelaki menyongsong
pertanyaan. "Ki sanak, aku hendak bertemu dengan ki buyut" sahut
bekel Dipa. Orang itu menghamburkan pandang matanya ke seluruh
tubuh prajurit dengan kawannya itu. Dari ujung kaki menyusur
ke atas kepala. Dari pakaian sampai senjata dan kuda
"Siapakah ki sanak ini?"
"Kami pengalasan dari pura kerajaan" sahut bekel Dipa.
Wajah bekel Dipa yang kusut masai karena semalam tak
tidur, pakaiannya yang penuh debu dan sikapnya yang lelah,
menimbulkan keraguan pada lelaki setengah tua itu. Namun
perbawa dari bekel Dipa amat mempengaruhi kesannya. "Ki
buyut sedang ke luar berkeliling"
"Sepagi ini sudah keluar" Apakah yang dilakukan ki
buyut?" bekel Dipa agak heran.
"Tiap pagi dinihari ki buyut tentu ke luar berkeliling desa.
Memeriksa perairan sawah, memberi petunjuk pekerjaan
gugur gunung, membangun sebuah waduk dan perumahan"
"Ah, sibuk benar pekerjaan ki buyut" kata bekel Dipa
memuji. Orang itu tersenyum, "Desa kami Bedander ini, jauh dari
pura dan merupakan desa yang gersang. Untuk mencegah
jangan sampai para penduduk berbondong-bondong meninggalkan desa menuju ke pura mencari pekerjaan maka
ki buyut telah berusaha keras untuk membangun kebuyutan
Bedander ini" "Seorang buyut tauladan" seru bekel Dipa yang walaupun
belum bertemu muka tapi ia segera membayangkan bahwa
buyut itu tentu seorang yang tangkas dan penuh semangat.
"Adakah tuan hendak menunggu kedatangannya?" tanya
orang itu pula. "Ki sanak, siapakah engkau ?" tanya bekel Dipa.
Orang itu mengatakan kalau dia seorang pengalasan
kebuyutan. "Mengapa ki sanak tak menyertai ki buyut berkeliling
desa?". Orang itu tampak tersipu-sipu, "Ah, ki buyut selalu
berangkat pagi sekali. Setiap aku datang ki buyut tentu sudah
berangkat" "Pemalas" gumam bekel Dipa dalam hati "Jika tahu buyut
berangkat pagi mengapa engkau tak mau datang lebih pagi?"
"Ki sanak" kata bekel Dipa pula "kami membawa amanat
penting dari pura ...."
"O, soal apa?" tukas pengalasan itu.
Tak senang hati Dipa mendengar kelancangan pengalasan
itu namun dijawabnya dengan suara yang datar "Amanat itu
harus diterimakan kepada ki buyut sendiri. Tidakkah ki sanak
akan merasa melanggar hak ki buyut apabila menerima
amanat itu ?" Kembali pengalasan itu tersipu-sipu malu. Melihat itu bekel
Dipa pun segera menyusuli kata2 minta agar pengalasan itu
suka memanggil buyut Bedander.
"Kami akan menunggu di balai desa" kata bekel Dipa.
Memang pengalasan itu seorang pemalas. Sesungguhnya
ia enggan untuk mencari ki buyut yang berkeliling desa itu.
Waduk air yang dibangun itu terletak di balik bukit, agak jauh
di luar desa. Namun karena berhadapan dengan seorang juru
pengalasan kerajaan, terpaksa pengalasan itu mau pergi juga.
Dalam pada menunggu kedatangan buyut, Dipa tak hentihentinya menyelidikkan perhatiannya kearah suasana dan
keadaan desa itu. Sebuah desa yang terpencil dan tak banyak
penduduknya. Namun ada sebuah kesan yang dapat
diperolehnya. Desa itu tenang, bersih dan berkembang.
Telah menjadi naluri kebiasaan yang melekat pada ki bekel
Kerta Dipa, sejak dahulu sampai sejadi bekel bhayangkara,
selalu ia memperhatikan, melahirkan kesan dan mengikat
kesimpulan pada setiap hal yang dilihatnya. Ia melatih diri
menjadi seorang pendengar yang baik apabila sedang
berhadapan dengan orang. Baik orang itu yang bersahaja
pikirannya maupun orang yang pandai, arif bijaksana.


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjadi pendengar baik, tidaklah mudah. Karena pada
umumnya, apabila mendengar percakapan orang, kita tentu
segera mengemukakan pendapat atau pikiran lain. Pendapat
yang sudah berkemas dalam pikiran kita, sebelum kita maju
menghadapi orang itu. Sebelumnya kita sudah berbekal
sesuatu, sehingga percakapan yang tidak sesuai dengan bekal
pikiran itu, dengan cepat akan kita bantah, sanggah dan tolak.
Seorang pendengar baik, tidak memiliki bekal pikiran apa2
sebelumnya. Ia mengosongkan pikiran menghampakan batin.
Bagaikan secarik kertas putih yang akan menerima goresan
apapun yang hendak ditulis orang. Berkat latihan diri itu maka
bekel Dipa selalu menerima dan mendengar pendapat orang
lain walaupun hal itu bukan berarti ia setuju.
Dalam menghadapi hal2 atau keadaan baru, setelah
menitikkan perhatian maka iapun lalu melahirkan kesan. Kesan
itu tidaklah selalu harus diambil dari segi yang baik dan indah
saja, melainkan diteropongnya juga dari segi yang tak baik
bahkan yang paling buruk.
Setelah merangkai kesan maka tibalah ia pada kesimpulan.
Sebagai landasan dari kesimpulan itu, ia harus meletakkan
persoalan pada tempatnya yang wajar. Apabila hal itu
menyangkut hubungan orang, ia berlandaskan kesimpulan
Perikemanusiaan. Apabila mengenai perkelahian atau
percekcokan ia memakai landasan Keadilan dan Kebenaran.
Dan apabi!a hal itu menyangkut urusan umum, maka ia
berpijak pada kepentingan rakyat dan kerajaan. Tanpa suatu
landasan untuk berpijak, mudahlah ia digontai oleh hembusan
pertimbangan lain, dihanyutkan badai pikiran yang
menyebabkan sering ia kehilangan faham, bagai perahu putus
kemudi. Memang karena umur, pengetahuan dan pengalaman yang
masih serba kurang, banyak kali ia membentur kesalahan.
Tetapi kesalahan itu dapat dikajinya sebagai suatu pelajaran.
Ia tak takut berbuat salah karena hanya dengan kesalahan
itulah maka ia akan menemukan pengalaman menuju ke arah
yang benar. Dalam penempaan diri semacam itulah maka
walaupun dalam usia yang masih muda, beranilah ia memikul
tanggung jawab besar untuk mengiring baginda Jayanagara
lolos dari keraton. Dalam menghadapi keadaan di desa Bedander, lahir suatu
kesan bahwa pengabdian kepada kerajaan dan rakyat itu, luas
sekali kalangannya. Bukan hanya terbatas di kalangan pusat
kerjaan para mentri, senopati, nayaka, narapraja saja.
Tetapipun di pelosok2 desa, bahkan yang seolah terasing
seperti desa Bedander, seorang dapat mempersembahkan
pengabdiannya. Setiap kewajiban dan tugas yang dilaksanakan dengan sepenuh tenaga dan pikiran, itulah
pengabdian. Buyut Bedander telah memberikan gambaran
yang jelas. Betapapun seorang buyut desa itu harus bekerja
untuk membangun desanya, untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Dengan kekuatan yang ada pada
doa itu, dengan semangat gotong royong dan kesadaran, para
penduduk desa. Buyut Bedander bekerja tanpa suatu
keinginan agar pekerjaannya itu diketahui oleh kerajaan
sehingga ia akan menerima pujian atau hadiah ataupun
kenaikan pangkat. Buyut itu bekerja karena ia harus bekerja
menjalankan tugasnya sebagai seorang buyut. Dan seorang
buyut desa itu adalah seorang bapak yang harus memikirkan
kepentingan dan kehidupan rakyatnya.
Kesan yang melintas dalam benaknya itu makin
menambah keyakinan bekel Dipa untuk melaksanakan
tugasnya saat itu. Ketika buyut desa datang, agak terkejut hati Dipa. Yang
dihadapinya itu bukan buyut yang masih muda penuh
semangat dan bertubuh gagah. Melainkan seorang lelaki
setengah tua yang hampir separo rambutnya sudah
menjunjung uban. Buyut itupun tak memiliki tubuh perkasa,
melainkan seorang lelaki yang bertubuh kurus dan berpakaian
bersahaja sekali. Makin mendalam kesan yang menggores
dalam kalbu bekel Dipa. Buyut Bedander segera mempersilahkan bekel Dipa naik ke
balai desa. Bekel Dipa minta prajurit yang dibawanya tadi
supaya jangan ikut masuk tetapi menunggu di luar.
Demikianpun ia minta kepada buyut Bedander agar
pengatasan tadipun menjaga di luar balai desa.
Yang duduk berhadapan dalam balai desa itu hanya buyut
Bedander dan bekel Dipa. Ketika mendengar keterangan bekel
Dipa tentang rombongan sang nata, buyut itu terkejut dan
pucat. "Benarkah hal itu, ki bekel?" buyut Bedander menegas.
Bekel Dipa menatapkan pandang mata kepada buyut itu.
"Ki buyut, jika tiada peristiwa, masakan aku sampai
memerlukan menghadap ki buyut" Peristiwa ini amat gawat
sekali, ki buyut" "Lalu maksud ki bekel?"
"Beranikah tuan menyambut tanggung jawab yang maha
besar?" Buyut Bedander kerutkan dahi.
"Begini ki buyut" kata bekel Dipa pula "kulihat desa
Bedander cukup aman bagi keselamatan baginda. Selain
letaknya tak berapa jauh dari pura, pun tempat di sini seolah
terasing dan jarang didatangi carang-orang dari Majapahit.
Baginda berkenan tinggal di desa ini apabila ki buyut bersedia
mengabdikan diri untuk menjaga keselamatan sang prabu"
Bekel setengah tua itu tertegun diam. Hanya pada dataran
dahinya yang lebar, tampak kernyit2 lipatan, panjang dan
dalam sehingga menyerupai gurat2 bekas cakaran kaki kucing.
Jelas dia sedang melangsungkan suatu kerusuhan hebat
dalam hati. Semula bekel Dipa picingkan mata. Dalam hati
menyeringai melihat buyut Bedander bersikap ragu2. Hampir
ia kecewa dan malu hati atas kesan yang ditujukan kepada diri
buyut itu. Kesan itu hampir tak sesuai dengan kenyataan.
Anggapannya bahwa buyut Bedander itu seorang narapraja
yang memiliki pengabdian penuh kepada kerajaan, hampir
tumbang terbentur karang kekecewaan. Hampir pula ia
menarik pelajaran bahwa kelak tak boleh ia cepat2 menarik
kesimpulan atas setiap hal yang belum teruji kebenarannya.
"Ki bekel" selang beberapa saat kedengaran buyut itu
membuka mulut "harap jangan salah duga bahwa buyut
Bedander akan melarikan diri dari tanggung jawab besar ini.
Adalah karena besar dan beratnya tanggung jawab itulah
maka untuk beberapa saat aku hampir tak dapat berkata-kata
..." "Aku seorang buyut yang sudah setengah baya. Aku
senang dengan kehidupan di desa ini dan tak mengharapkan
suatu kenaikan pangkat yang lebih tinggi. Bagiku, pengabdian
itu terdapat di mana-mana dan bersumber pada diri peribadi
kita sendiri. Air sumbernya adalah Kemauan"
Bekel Dipa mengangguk. "Di dalam menanggapi keterangan ki bekel tadi, tidaklah
segera aku bergegas memberikan kesanggupan. Karena
kesanggupan yang berada di luar jangkauan kemampuan kita,
hanya akan menelantarkan kesanggupan itu. Dengan sepenuh
hati aku ingin mempersembahkan pengabdianku kepada sang
nata. Maka dalam renunganku tadi, telah kujelajahi seluruh
kemungkinan yang ada pada kami. Tempat, keadaan dan
kemampuan." Masih tetap bekel Dipa bersikap diam. Prasangkanya
terhadap diri buyut itu mulai terhuyung. Ingin ia
mendengarkan keakhiran dari sikap buyut itu.
"Aku tak berani mudah memberi kesanggupan sebelum
kuyakin dapat melaksanakan kesanggupan itu. Ki bekel, kini
telah bulat dalam keputusanku. Bedander bersedia dan
sanggup menerima kunjungan baginda nata Majapahit dengan
segala akibatnya. Sebelum buyut tua ini menjadi mayat,
sebelum desa Bedander menjadi karang abang, jangan harap
kaum perusuh itu dapat mengganggu keselamatan sang nata.
Jiwa dan raga yang tua ini, kupersembahkan dibawah duli
baginda" "Ki buyut ...." seru bekel Dipa tetapi tak dapat melanjutkan
kata katanya karena kerongkongan serasa tersumbat luapan
haru yang besar. Haru dan laut hatinya yang dilanda oleh
gempa perasaan. Hanya seorang pejuang, seorang pencinta
tanah air, dapat merasakan getar2 hatinya dikala menghadapi
peristiwa2 seperti saat itu.
"Ki buyut" bekel Dipa mengulang kata katanya pula "akan
kupersembahkan laporan ke hadapan baginda tentang
pengabdian tuan" Buyut Bedander tersenyum seraya menggeleng kepala
"Sesungguhnya tiada hal baru yang harus dilaporkan ke
bawah duli baginda. Buyut itu seorang narapraja kerajaan
Majapahit. Bahwa seorang buyut bersedia menerima
kehadiran junjungannya, itu memang sudah suatu keharusan
tugasnya. Bukan sesuatu yang luar biasa"
Berhadapan dengan seorang buyut yang tulus, bekel Dipa
menganggap tak perlu membuang banyak kata-kata untuk
menyatakan pujian. Segera ia mengalihkan pembicaraan
mengajak buyut itu merundingkan tentang langkah2
pengamanan kedatangan baginda di desa itu. "Yang penting,
kerahasiaan dari penyingkiran baginda ke desa ini supaya
dijaga ketat. Kita harus menyadari, bahwa kerusuhan dalam
pura itu sedang berlangsung hangat-hangatnya. Dalam setiap
hal yang baru, orang tentu masih giat sekali untuk berusaha
menampilkan diri, mencari-cari pahala. Mereka tentu berusaha
keras untuk mencari jejak baginda"
"Ya, demikianlah" buyut Bedander menanggapi "memang
sapu yang baru dapat membersihkan kotoran sebersihbersihnya. Dan memang sifat kerusuhan itu bertujuan
mengadakan kraman untuk merebut kekuasaan. Tentu mereka
akan saling berebut sendiri untuk mendapat kekuasaan itu. Ki
bekel, aku setuju dengan uraianmu"
"Ada dua cara yang dapat kita tempuh" kata bekel Dipa
"pertama, langkah pengamanan itu kita tempuh dengan cara
yang tidak menimbulkan pengetahuan dan kegemparan rakyat
desa ini. Akan kuiringkan perjalanan baginda sehingga tiba di
sini pada waktu tengah malam. Waktu di mana seluruh rakyat
desa tentu sedang tidur"
Buyut Bedander mengangguk lalu bertanya "Dan langkah
kedua ?" "Apabila hal itu tak mungkin, artinya rahasia kehadiran
baginda di desa ini telah diketahui rakyat, maka kita harus
menjalankan tindakan yang tegas. Melarang setiap orang, baik
siapapun, ke luar dari desa ini"
Buyut Bedander mengangguk pula.
"Dan menolak setiap pendatang yang hendak masuk ke
desa ini pula!" bekel Dipa menyusuli kata2.
"Ya, terutama apabila orang itu kaum perusuh dari pura.
Harus kita basmi !" tiba2 buyut yang selalu bersikap tenang
itu, melantangkan nada keras.
Bekel. Dipa bertanya pula, manakah di antara kedua
langkah itu yang dapat ditempuh.
"Kedua-duanya, ki bekel" sahut buyut Bedander "agar
pengamanan itu lebih ketat. Dan hendaknya, selama berada di
desa ini para pengiring baginda itu, janganlah menunjukkan
diri ke luar. Akan kusiapkan sebuah tempat yang sesuai untuk
persemayaman baginda dan para pengiring"
Demikian percakapan itu segera diakhiri. Walau beda usia,
beda kedudukan dan beda tempat pengabdiannya, namun
antara bekel Dipa dengan buyut Bedander telah terjalin suatu
ikatan rasa tanggung jawab yang sama. Pembicaraanpun
dapat berlangsung dengan hati terbuka dan lancar.
Setelah selesai, bekel Dipa segera minta diri hendak
kembali ke tempat peristirahatan baginda. Ia merasa cemas
meninggalkan tugas. Tetapi ketika melangkah ke pintu, tiba2
bekel Dipa berputar tubuh dan kembali masuk ke dalam
ruang. "Ki buyut" serunya agak tegang "secara tiba2 aku
mendapat cara lagi" "O" desuh buyut Bedander terkejut girang.
Bekel Dipa menghampiri kedekat buyut Bedander dan
membisikkan beberapa perkataan. Tampak buyut itu
mengangguk-angguk kepala.
Demikian bekel Dipa segera mengajak prajurit yang
dibawanya tadi, kembali menuju ke pondok tempat baginda
beristirahat. Setelah memberi hormat, bekel Dipa pun segera
melaporkan tentang hasil peninjauannya ke desa Bedander
yang akan disinggahi nanti. Setelah ia memuji buyut Bedander
sebagai seorang kepala desa yang giat memikirkan
pembangunan desa dan kesejahteraan rakyatnya, Dipa
menghaturkan laporan tentang kesanggupan buyut itu untuk
menerima kehadiran baginda. Pada akhir laporan, bekel Dipa
menguraikan tentang rencana pengamanan baginda. Paling
akhir, bekel itu menerangkan tentang rencana penemuannya.
Menjelang rembang petang rakyat desa Bedanden terkejut
karena kedatangan beberapa prajurit berkuda. Delapan orang
jumlahnya. Mereka menuju ke balai desa dan memerintahkan
supaya buyut desa mengumpulkan rakyat desa itu. Di depan
berpuluh rakyat desa Bedander, salah seorang prajurit yang
menjadi pimpinan rombongan segera angkat bicara
"Di pura Majapahit telah timbul kerusuhan besar, suatu
kraman. Kami dititahkan baginda untuk mengiringkan beliau
lolos dari pura" Terdengar hiruk pikuk pada rakyat desa dikala mendengar
keterangan itu. "Kami hendak mengiring baginda ke suatu tempat yang
sukar diketahui orang. Dalam hal itu kami hendak minta
kesediaan saudara2" Rakyat desa itu hingar bingar pula.
"Adakah saudara2 setya kepada baginda Jayanagara nata
Majapahit?" teriak kepala prajurit itu pula.
Serempak meletuslah suara bergemuruh menyatakan
kesetyaan mereka kepada baginda.
"Tunjukkanlah kesetyaan saudara2 itu dengan perbuatan
yang nyata" seru kepala prajurit "apabila rombongan kaum
perusuh datang ke desa ini, katakan kepada mereka bahwa
rombongan baginda memang tiba di desa ini lalu melanjutkan


02 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan lagi ke selatan"
Di antara teriakan yang mengumandangkan kesediaan
melakukan perintah itu, salah seorang lelaki setengah tua
tiba2 menyelutuk "Bolehkah aku bertanya, tuan ?"
Kepala prajurit berpaling memandang orang itu "Silahkan"
"Mengapa tuan memerintahkan supaya kami rakyat
Bedander, memberi keterangan sedemikian kepada gerombolan kraman itu" Tidaklah lebih tepat apabila kami
mengatakan bahwa rombongan sang prabu tidak pernah
singgah di desa ini ?"
Kepala prajurit itu terkejut. Ia tak menyangka bahwa di
antara rakyat di desa itu terdapat seorang yang dapat berpikir.
Setelah merenung sejenak, ia menjawab, "Pertanyaan paman
memang benar. Tetapi ini suatu perintah dari atasan, kami tak
dapat membantah. Dan perintah itu tentu mempunyai dasar.
Tentulah atasan kami telah merancang suatu rencana untuk
menyelamatkan baginda dari kejaran kaum perusuh. Karena
apabila, rakyat desa ini mengatakan tak tahu seperti yang
paman kemukakan itu, tentulah kaum perusuh tak puas.
Mereka tentu melakukan penyelidikan ke segenap rumah
rakyat. Bahkan bukan tak mungkin akan melakukan
penganiayaan kepada rakyat. Maka atasan kami telah
mengambil langkah untuk menyelamatkan rakyat di sini tetapi
pun sudah, tentu telah mengatur langkah untuk
menyelamatkan baginda juga"
Keterangan itu memikat perhatian rakyat, menyentuh
perasaan hati. Sekalipun sedang ditimpa malapetaka, baginda
masih sempat memikirkan kepentingan rakyat. Semangat
rakyat desa Bedander merentak bangkit. Kesetyaan mereka
kepada sang prabu menyala-nyala.
Demikian rombongan prajurit itupun segera melanjutkan
perjalanan pula dan tak lama desa Bedander kembali hening
sunyi dalam cengkamaa malam kelam. Pada saat suasana
diselimuti kesenyapan malam dan rakyat terbuai dalam tidur
lelap, maka tibalah rombongan baginda. Langsung baginda
disambut oleh buyut Bedander dan diiring menuju ke rumah
kediaman buyut itu. Kedelapan prajurit yang petang tadi
datang ke desa itu, juga sudah bergabung dalam rombongan
pengiring baginda. Ternyata buyut Bedander telah mempersiapkan segala
sesuatu. Kuda para prajurit itu telah ditempatkan di sebuah
tegal di belakang kebun rumah buyut. Sedemikian cermatnya
buyut itu mengatur persiapan sesuatu sehingga tak seorang
penduduk desa yang tahu akan kehadiran baginda di desa itu.
Buyut Bedander tetap memimpin rakyat untuk melanjutkan
pembangunan desa, membuat waduk, memperbaiki perairan
dan mendirikan perumahan. Kesibukan sehari-hari masih
tampak lancar sebagai biasa. Bekel Dipa pun mengimbangi
dengan mengadakan peraturan keras kepada anakbuahnya.
Tidak boleh keluar dari rumah buyut. Terutama pada siang
hari. Demikianlah pengamanan dari kehadiran baginda di desa
Bedander telah diatur sedemikian rupa sehingga tak pernah
terjadi sesuatu yang tak diharapkan.
Beberapa hari telah berlalu. Tenang dan lelap. Jejak
penyingkiran rombongan prajurit bhayangkara yang mengiring
baginda Jayanagara lolos dari pura Tikta Sripaia, seolah-olah
hilang lenyap. Langkah pertama, telah tercapai. Tetapi
langkah itu hanya terbatas menyelamatkan baginda dari huru
hara kaum perusuh. Langkah itu adalah langkah permulaan
dari beberapa langkah yang harus ditanggulangi. Dan langkah
kelanjutan itu lebih berat pula.
Dalam ketenangan selama menjaga baginda di desa
Bedander, selalu menjadi renungan malam bagi bekel Dipa
untuk memikirkan langkah yang harus diambil. Setelah
berhasil melakukan pengamanan atas keselamatan baginda,
sekarang harus melangkahkan rencana lagi. Bagaimana
usaha2 yang dapat dilakukan untuk mengiringkan baginda
kembali ke singgasana pura Tikta-Sripala. Langkah itu
merupakan langkah yang terpenting dan terakhir.
Tiada seharipun kerajaan dibenarkan tak mempunyai raja.
Kekosongan itu tentu akan menimbulkan berbagai akibat yang
luas. Kerajaan Majapahit melingkupi tiga daerah utama atau
watek-bhumi yakni Tumapel, Kediri, Kahuripan (bahasa
sanskreta : Janggala, Dahana, Jiwana ). Kemudian daerah
yang disebut Mandalika, terdiri dari Matahun, Pajang,
Paguhan, Lasem, Wengker dan Mataram. Daerah Mandalika
itu bukan daerah aseli Majapahit melainkan dipersatukan
dengan pusat kerajaan oleh tali kekeluargaan, sejarah dan
turunan atau tali perkawinan.
"Tidakkah daerah2 itu akan gempar dan mengambil
tindakan apabila mendengar tahta kerajaan Majapahit telah
direbut kaum pemberontak?" demikian bekel Dipa bertanya
dan mengadakan penilaian. Menimbulkan pertanyaan dan
membentuk jawaban. "Di antara yang terdekat dengan Majapahit, yalah
Kahuripan dan Daha. Tetapi dengan Bedander, Daha lebih
dekat dan lebih mudah dicapai. Jika demikian, baiklah aku
mohon idin kepada baginda untuk menghadap gusti Rani Daha
agar menggerakkan pasukan menggempur kaum pemberontak" di antara percik2 renungan yang memenuhi
bekel muda itu, tersembullah suatu pemikiran akan langkah
itu. Hampir kokohlah keputusannya untuk menghadap
baginda, memohon idin. Tetapi tiba2 sekilas pikiran melintas
dalam benaknya. "Tetapi bagaimanakah keadaan yang
sebenarnya di pura itu" Siapakah yang menggerakkan huru
hara itu" Dan bagaimanakah keadaan pura saat ini?"
Hamburan pertanyaan itu bagai palu besi yang berdentingdenting di benaknya. Tiada sebuah pun dari pertanyaan itu
yang dapat dijawabnya. Merahlah mukanya. Karena himpitan
napas yang menggeram, karena rasa malu yang mencengkam.
Malu karena untuk peristiwa besar yang terjadi di pura
kerajaan ia tak mampu mengetahui sama sekali. Dan
bagaimanakah ia harus mempersembahkan keterangan
kepada Rani Daha" "Ah" bekel Kerta Dipa mendesah. Keputusannya hendak
menghadap baginda Jayanagara pun berhamburan bagai
awan dihembus angin. Kini pikirannya melayang ke pura
Majapahit. Apakah yang sedang berlangsung di pura kerajaan pada
saat itu. Bagaimana keadaannya sekarang " Tanpa
mengetahui keadaan, sukar untuk menentukan langkah.
"Bagaimana kalau aku kembali seorang diri ke pura untuk
menyelidiki keadaan di sana ?" serempak timbul pertanyaan
dalam hati bekel Dipa. Dan membayanglah renungan ke arah
langkah itu. Kaum perusuh tentu sudah menguasai pura. Bahkan
mungkin sudah menduduki keraton. Tetapi cepat pula pikiran
itu dibantahnya sendiri. "Ah, masakan demung Samaya
sebagai kepala angkatan perang kerajaan Majapahit diam
saja" Tidak, mereka tentu akan melawan kaum perusuh itu.
Ah, jika demikian dalam pura tentu masih berkobar
pertempuran. Suasana itu menyempatkan peluang bagiku
apabila aku diam2 menyelundup masuk ke pura"
Demikian bekel Dipa tiba pada titik renungan yang hendak
membuahkan keputusan. Tetapi kembali terlintas sesuatu lagi
dalam benaknya, "Tetapi apabila kaum perusuh ternyata orang
dalam sendiri, kemungkinan memang takkan timbul kekacauan
lagi karena mereka tentu sudah bersepakat dengan para
narapraja dan senopati ...."
"Ah, bagaimanakah keadaan di pura?" akhirnya tiba
kembali dia dalam lingkar pertanyaan. Desa Bedander sepi dan
seolah jarang berhubungan dengan pura. Tak mungkin untuk
menerima kedatangan orang dari pura. Dan memang hal itu
lebih baik karena bukankah setiap pendatang ke desa itu akan
dihalau oleh ki buyut" Dan orang diri desa itujun dilarang
keluar pergi ke lain tempat. Dengan demikian berita2
mengenai keadaan pura kerajan harus di cari ke pura itu. Ya,
dia harus berani menyerempet bahaya untuk memperoleh
berita itu. Tanpa berita itu, sukarlah ia menentukan langkah
selanjutnya. Saat itu belel Dipa sedang berada di halaman balai desa.
Hari pun sudah menjelang malam.
Setelah mantap dengan keputusannya, iapun segera
hendak beranjak dari tempat duduk. Hendak menghadap
baginda di dalam. Tetapi tiba2 sesosok tubuh melintas di
hadapannya. Dan ketika memandang ke muka, ternyata bekel
Patunjung telah tegak di hadapannya.
"O, kakang Patunjung" cepat bekel Dipa menegur, "petang
hari ini panas hawanya, bukan?"
"Hm, ya" Patunjung agak tergagap "memang dalam
beberapa hari yang lalu, hawanya cukup panas. Langit
mendung tetapi hujan tak turun"
Bekel Dipa terpaksa menunda keputusannya untuk
menghadap baginda. Ia hendak menemani bekel itu bercakapcakap barang beberapa saat.
Dalam rombongan pengiring yang menyertai baginda itu,
Kasih Diantara Remaja 8 Mustika Lidah Naga 6 Naga Dari Selatan 5
^