Pencarian

Seribu Hawa Kematian 2

Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian Bagian 2


hingga Si Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu dua
tangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya mulai dari pinggang
sampai ke bahu telah terikat!
"Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang
menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan dua tangan! Tidak mampu
melepaskan diri!" Dalam gelap si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh
sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadari bahwa benda yang
mengikat tubuhnya saat itu bukan lain adalah cambuk lidah miliknya sendiri!
Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si nenek.
"Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku
mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di
hadapanmu, minta ampun minta dikasihani!" Ucapan si nenek masih keras lantang.
Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. "Aku
memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau kehilangan waktu sholat
Magrib-ku. Aku bukan raja kepada siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal
ini baik-baik. Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama
manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan harus disembah! Semoga Tuhan
memberi petunjuk
padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut.
Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka."
Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. "Tak perlu kau
mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan memperhinakan diriku!
Tunggu saatnya. Aku akan kembali melakukan pembalasan! Aku akan kembali
mengambil kitab dan nyawamu!"
Ki Suro menarik nafas panjang. "Lidah Bangkai, tak ada yang kalah tak ada yang
menang di antara kita. Terserah padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan
wajib memberi ingat..."
Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro.
Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian atas masih terikat dia
tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan,
Ki Suro yang cukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju ke sebuah
mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan pakaiannya dia mengambil wudhu
lalu di satu tempat yang bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi
selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan berkelebat dari samping
kiri. *** WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat
dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang
dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari cepat. Di satu tempat
dia hentikan larinya ketika tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat di
hadapannya. Si nenek cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar.
Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan lagi. Tapi Si Lidah Bangkai
yakin siapapun adanya orang itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah
memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga muncul memperlihatkan
diri, akhirnya si nenek lanjutkan perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari
sepuluh tombak tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi di
hadapannya. "Makhluk kurang ajar!" si nenek berteriak, "Jangan
berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau
berkelebat, kuputus nyawamu!" Lalu nenek ini buka
mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat.
Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan malam di depan sana
terdengar orang berseru, "Lidah Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kau
rupanya! Tadinya aku merasa ragu!"
Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai
tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju kuning lengan
panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di punggungnya ada satu bumbung bambu.
Orang tua ini melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si Lidah Bangkai buka matanya
lebar-lebar. Pada jarak empat langkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu.
Maka diapun berseru, "Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya!
Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil
mempermainkanku!" Si nenek lalu tertawa mengikik.
"Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut nama asliku! Dalam rimba
belantara ini bisa ada belasan mata yang melihat dan belasan telinga yang
mendengar!"
Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil
silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir.
"Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau
lepaskan ikatan yang melilit tubuhku!" kata si nenek.
Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu
melangkah lebih dekat. "Astaga!" kejutnya, "Benda yang mengikatmu ini bukankah
cambuk lidah milikmu sendiri"
Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu
membukanya sendiri! Apa yang terjadi?"
"Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca
manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara kau menolong aku akan
ceritakan apa yang kualami! Aku berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!"
"Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi bahan pembicaraan dan
dicari orang sejak puluhan tahun itu?"
Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. "Mulailah
melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan
kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama samaran yang kau pergunakan
sampai saat ini?"
"Kala Srenggi," jawab orang tua baju kuning.
Si nenek menyeringai. "Kala Srenggi! Nama edan! Hik...
hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambu berisi binatang-binatang
celaka itu!"
Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai
membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan
membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh tubuh si nenek di sebelah
atas. Sementara ditolong Si Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan
pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro.
"Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat kerajaan bahkan diinginkan
oleh Sultan ternyata memang ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa
untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian tinggi luar biasa. Ketika
aku menelan tongkat bambunya dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat
pusar tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendak
menghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia malah pergunakan cambuk
lidahku untuk meringkus
diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti tubuhnya, mencincang daging
dan tulang belulangnya!"
"Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan!
Mau kau apakan benda ini?"
Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuk
lidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah terlepas, dengan cepat si
nenek mengambil cambuk lidah itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot.
Wettt... weetttt!
Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu
lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai.
"Ilmu gila!" kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala,
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Menurutmu bagaimana?" si nenek balik bertanya.
"Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di
Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab
Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu masih ada di tempat
kau sebelumnya meninggalkannya.
Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita datangi dia kembali!"
"Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicara
berpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu percaya padamu. Kita ke
sana dan kau hanya sebagai
sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab kuno itu adalah
bagianku! Jangan ada pikiran kotor di benakmu untuk ingin memilikinya!"
Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan
tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk.
Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu dari beberapa penyamaran
yang tengah dilakukannya.
Siapakah adanya Kala Srenggi ini" Seperti yang
disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi.
Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto,
putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia
ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikat
dengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran
Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah menduduki jabatan sebagai
seorang Tumenggung mau
berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan jabatan yang jauh lebih
tinggi. Namun kekacauan yang kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan
pula semua rencana Pakubumi.
Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul
seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah seorang menantu mendiang
Pangeran Prawoto dan di
masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan
sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Adiwijoyo menghimpun kekuatan
untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena
didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil
membangun satu kekuatan besar. Bersama orang-
orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat dalam pembunuhan Pangeran
Prawoto. Salah seorang di antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa
dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian menyembunyikan diri di satu
tempat. Ketika dia muncul kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk
dengan nama Kala Srenggi.
*** ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU
9 BENTENG TIGA RATUS ULAR
WALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu di
dalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk dalam menunaikan sholat
Magrib-nya. Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala Srenggi, "Kesempatan bagus!
Selagi dia sembahyang
begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis!
Masakan tubuhnya tidak akan terkatung-katung!"
"Tunggu dulu sahabatku Lidah Bangkai. Harap kau mau bersabar sedikit dan memberi
kesempatan padaku..."
"Apa maksudmu"!" tanya Si Lidah Bangkai.
"Binatang peliharaanku! Sudah lama dia tidak diberi makan!" menjawab Kala
Srenggi. "Kau! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan..."
"Lidah Bangkai, aku hanya berjanji tidak akan
berselingkuh mengambil kitab kuno itu. Tidak ada
perjanjian siapa yang harus menghabisi Ki Suro. Bukankah kau telah mempercayakan
diriku sebagai orang yang akan membantu menghadapi Kiai itu. Kau tenang-tenang
saja. Biar aku yang mengurusi jiwanya."
"Kalau begitu lakukan cepat!" kata Si Lidah Bangkai akhirnya menyetujui.
Kala Srenggi tertawa lebar. Dia ambil bumbung bambu besar yang sejak tadi
tergantung di punggungnya. Sambil mencangkung bumbung bambu itu diciumnya dua
kali lalu selembar kain tebal yang menutupi ujung atas bumbung bambu dibukanya.
"Anak-anakku, makanan sudah menunggu kalian.
Walau mungkin dagingnya agak alot karena sudah tua, tapi masih lebih baik
daripada tidak ada makanan sama
sekali!" Kala Srenggi menyeringai. Ujung bumbung bambu yang terbuka
diturunkannya ke tanah. Begitu bambu
menyentuh tanah maka pukulan kalajengking hitam dan besar laksana kucuran air
berhamburan keluar. Binatang-binatang ini merayap cepat di tanah. Seperti sudah
tahu apa yang diinginkan Kala Srenggi, puluhan kalajengking itu langsung
mendatangi Ki Suro Gusti Bendoro.
Sang Kiai sendiri saat itu masih khusuk melakukan
sembahyang. Duduk tahajud terakhir di tanah beralaskan daun-daun besar tak jauh
dari sebuah mata air. Dia
mendengar kedatangan kedua orang itu. Sayup-sayup dia juga mendengar pembicaraan
mereka. Lalu jelas sekali telinganya menangkap suara puluhan kalajengking yang
merayap di tanah mendatanginya dengan cepat. Lebih dari itu dia tahu juga bahwa
kalajengking-kalajengking yang dilepas Kala Srenggi itu merupakan binatang
beracun. Sekali kena sengat atau dijepit, jangankan manusia, seekor kerbau pun akan
menemui ajalnya hanya dalam
beberapa ketika! Tetapi sang Kiai seolah tidak perduli.
Seolah dia memang sudah pasrah kalau harus menemui
ajal dalam keadaan menghadap Tuhan.
Hanya beberapa langkah lagi puluhan kala itu akan
mencapai sosok Ki Suro, tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat.
Lalu menyusul terdengar suara
mendesis riuh sekali.
"Apa yang terjadi"!" tanya Si Lidah Bangkai sambil
pentang mata lebar-lebar dan memandang berkeliling.
"Tanah bergetar. Aku mendengar suara desisan aneh,"
menyahuti Kala Srenggi. Lalu Tumenggung dari Demak ini keluarkan seruan
tertahan, "Lihat!" katanya seraya
menunjuk ke depan.
Saat itu entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul ratusan ular berbagai ukuran
dan berbagai warna.
Binatang-binatang ini meluncur di tanah mengeluarkan suara menderu lalu
mengelilingi sosok Ki Suro Gusti Bendoro. Kalau tadi mereka melata maka kini
ratusan ular itu tegak berdiri diujung ekor masing-masing. Mereka bukan saja
membentengi rapat sosok Ki Suro tapi dari mulut yang terbuka serta suara
mendesis yang mereka keluarkan, jelas ratusan ular itu siap untuk menyerang
puluhan kalajengking yang hendak mendatangi sang Kiai.
"Ular... Banyak sekali!" kata Si Lidah Bangkai dengan tengkuk merinding.
"Kurasa ada sekitar tiga ratusan..." berucap Kala
Srenggi dengan suara perlahan tercekat. "Kiai satu ini memang sejak lama
diketahui bersahabat dengan bangsa ular!" kata Kala Srenggi dengan rahang
menggembung. "Lihat, puluhan kalajengkingmu seperti dipantek ke
tanah. Tidak berani maju lebih jauh mendekati orang tua itu! Binatang-binatang
itu agaknya tak bisa menembus benteng tiga ratus ekor ular!"
"Aku harus memberi semangat pada mereka!" kata
Kala Srenggi dengan rahang menggembung. Lalu telapak tangannya ditempelkan ke
tanah. Saat itu juga menjalar getaran-getaran halus. Begitu getaran menyentuh
puluhan kalajengking, ekor binatang-binatang ini langsung
berjingkrak naik. Lalu laksana terbang puluhan
kalajengking melesat, coba menembus barisan ular yang berdiri rapat membentengi
Ki Suro. Saat itu Ki Suro baru saja selesai mengucapkan salam pertanda dia telah
mengakhiri sholat Magrib-nya. Tapi lagi-lagi orang tua ini seperti tidak acuh.
Begitu selesai sembahyang dia tidak langsung bangkit berdiri melainkan terus
duduk bersila dan mulai berzikir.
Puluhan ular di barisan terdepan yang mengelilingi Ki Suro, begitu melihat
puluhan kalajengking datang
menyerang segera keluarkan desisan keras lalu melesat ke depan, menyongsong
datangnya serangan. Baik Kala
Srenggi maupun Si Lidah Bangkai tidak pernah
menyaksikan perkelahian antara binatang dengan
binatang. Apalagi antara ular dengan kalajengking.
Keduanya sampai leletkan lidah melihat apa yang terjadi.


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Celaka! Kalajengkingku musnah semua!" ujar Kala
Srenggi dengan muka memucat. Bumbung bambu yang
sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh ke tanah.
"Ular-ular itu, tidak seekorpun yang cidera!" menjawab Si Lidah Bangkai, "Biar
kuhantam mereka dengan pukulan Gunting Iblis! "
"Aku akan membarengi dengan pukulan Jarum Tanpa Bayangan," kata Kala Srenggi
pula. Lalu ketika si nenek angkat dua tangannya, Kala Srenggi segera pula
mengangkat tangan kanannya. Ilmu Jarum Tanpa
Bayangan adalah ilmu kesaktian yang bisa mengeluarkan lima siuran angin dari
lima ujung jari. Angin tanpa cahaya atau sinar ini di dalamnya justru terkandung
puluhan jarum beracun yang tidak bisa terlihat oleh pandangan mata biasa.
Akibatnya banyak musuh yang tidak bisa
menghindar dari serangan tersebut dan menemui ajal
dengan tubuh penuh ditancapi jarum beracun.
Kali ini Ki Suro Gusti Bendoro benar-benar menghadapi maut yang mungkin tidak
dapat lagi dihindarinya. Namun, sementara orang tua itu tetap melakukan zikir,
tiba-tiba sekitar dua ratus ekor ular goyangkan kepala dan
keluarkan suara mendesis. Seratus meluncur cepat di tanah, seratus lagi melayang
setinggi pinggang. Semua melesat ke arah Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai!
Sementara itu sisa seratus ular masih tetap tegak di atas ekor masing-masing,
mengelilingi melindungi Ki Suro.
Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai sama-sama
keluarkan seruan terkejut. Mereka berusaha melompat selamatkan diri tapi puluhan
ular sudah membelit
melingkari dan menggelayuti tubuh mereka.
Saat itulah Ki Suro Gusti Bendoro menyudahi zikirnya, bergerak dari duduknya dan
bangkit berdiri.
"Sahabat-sahabatku, jangan celakai dua orang itu.
Semua kembali ke sini!"
Mendengar ucapan sang Kiai dua ratus ular yang ada di sekujur tubuh Kala Srenggi
dan Si Lidah Bangkai dengan patuh segera meluncur turun ke tanah lalu kembali
berkumpul dengan seratus kawan-kawannya yang tegak
mengelilingi Ki Suro. "Kalian berdua telah diselamatkan oleh Tuhan! Bersyukurlah
padaNya. Tinggalkan tempat ini.
Tinggalkan hidup dalam kesesatan!"
Masih dalam keadaan ngeri atas apa yang barusan
mereka alami, tanpa mampu berkata apa-apa lagi Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai
segera tinggalkan tempat itu.
Ki Suro memandang berkeliling pada ratusan ular yang ada di sekitarnya.
"Sahabat-sahabatku, aku sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Karena
hari sudah malam bukankah lebih baik bagi kalian kembali ke tempat masing-
masing?" Tiga ratus ular mendesis panjang. Satu persatu mereka turunkan tubuh, melata di
tanah. "Sekali lagi aku berterima kasih pada kalian," kata Ki Suro lalu membungkuk
memberi penghormatan. Dia baru meluruskan tubuhnya kembali setelah semua
binatang itu lenyap dari tempat tersebut.
Ki Suro menghela nafas lega. Dia merasa gembira
karena ratusan ular itu tidak sampai menciderai Kala Srenggi dan Si Lidah
Bangkai. Sambil memandang ke arah lenyapnya ke dua orang itu si kakek usap-usap
dagunya yang ditumbuhi janggut putih. Dia coba mengingat-ingat,
"Orangtua berbaju kuning yang datang bersama Si Lidah Bangkai tadi, aku seperti
mengenali suaranya. Tetapi mengapa sosok dan wajahnya berlainan" Aku menduga
jangan-jangan dia adalah... Ah! Di usia tua renta begini mungkin saja dugaanku
bisa keliru. Biar aku lupakan saja dirinya. Aku harus menyempatkan memeriksa dan
membaca kitab yang diberikan pengemis di pedataran
Tengger itu." Lalu orang tua ini naik ke satu bukit kecil.
Dekat reruntuhan sebuah arca, Ki Suro duduk.
Dikeluarkannya kitab daun lontar dari kempitan tangan kirinya dan membalik
halaman pertama.
*** ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU
10 SUNAN AMPEL DI BAWAH penerangan bulan setengah lingkaran dan
taburan bintang-bintang, Ki Suro Gusti Bendoro duduk di puncak bukit. Halaman
pertama kitab daun lontar telah dibukanya. Agak sulit juga baginya untuk membaca
karena selain ada beberapa bagian yang rusak, tulisan di daun lontar itu banyak
yang tidak jelas lagi.
Sesungguhnya sebelum manusia dilahirkan ke dunia, nasib perjalanan dirinya telah
ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, Gusti Allah Seru Sekalian Alam. Tiada beda
antara insan satu... lainnya. Kecuali takwa dan kebajikan yang dibuatnya. Semua
manusia dijadikan dari sumber dan bentuk yang sama. Karena itu mereka adalah
bersaudara satu dengan lainnya. Tetapi di atas dunia mengapa mereka berbeda
dalam pikiran, hati dan
perbuatan. Mengapa tali persaudaraan mereka ubah menjadi api permusuhan. Mengapa
insan lebih... bisikan setan daripada mendengarkan bisikan malaikat. Mereka
saling berbunuhan dalam memperebutkan harta, tahta dan wanita. Padahal ajal
manusia bukan di tangan manusia lainnya. Ajal manusia adalah kuasa Sang
Pencipta. Sebelum ajal berpantang mati. Sekalipun insan berusaha mencari jalan
kematiannya sendiri.
Sampai di sini Ki Suro hentikan bacaannya. Dia
memandang ke arah kejauhan yang diselimuti kegelapan malam. Diam-diam dia
menyadari betapa usianya sudah sangat lanjut. Namun Tuhan masih memanjangkan
umurnya. Entah sampai kapan. Dia lalu teringat pada mimpi yang pernah dialaminya
sampai tiga kali. Ki Suro melanjutkan bacaannya kembali.
Sifat dengki, iri, fitnah dan ingin berkuasa terlahir bersama lahirnya manusia.
Janganlah heran kalau kemudian kutuk dan bala diturunkan Allah. Bukan hanya
untuk menghu... ummat, tetapi agar mereka juga ingat, segera meninggalkan
kesesatan dan kembali ke jalan yang lurus dan benar, jalan yang diredhoiNya.
Sayangnya manusia bersikap pura-pura. Terkadang malah bersikap pongah dan
menantang. Ketika mereka berpijak di atas harta dan duduk di atas tahta
kekuasaan mereka mengira diri merekalah yang menguasai apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Mereka ingkar pada hati nurani sendiri. Terlebih dari
itu mereka ingkar pada Tuhan yang menciptakan mereka.
Konon malapetaka akan... menimpa negeri indah dan subur yang disebut Jawadwipa.
Air mata lebih deras dari curahan hujan. Darah akan tumpah menganak sungai. Di
dalam kekacauan yang berpusat dari keraton itu di mana tidak lagi diketahui mana
kawan, mana lawan, mana anak mana saudara, maka ada seorang anak manusia yang
akan diselamatkan oleh tangan Tuhan ke satu puncak tertinggi. Kepadanyalah
segala harapan akan
ditumpahkan. Kepadanyalah keraton akan banyak
menggantungkan nasib.
Di puncak tertinggi ini pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa seorang
insan panutan akan menemui hari terakhirnya. Sementara rohnya kembali ke alam
barzah, Kuasa Tuhan akan merubah jazadnya menjadi sebilah... berluk tujuh yang
diciptakan Tuhan dari raga suci dan petir sakti. Kelak senjata itu akan dikenal
dengan nama "Ki Ageng Pitu Bledeg". Kelak senjata itu akan menjadi salah satu
pusaka Keraton. Namun selama negeri dilanda kekacauan, anak yang mendapat
pertolongan Yang Maha Kuasa itu akan menjadi pemiliknya. Dengan berkah dan
perlindungan Gusti Allah kelak di kemudian hari anak itu berhak menyandang gelar
"Pendekar Keris Tujuh Petir". Barang siapa yang melangkah di jalan lurus maka
Allah akan memberkatinya. Barang siapa yang menerima wasiat hikayat ini dan
melakukan sesuatu yang diridhoi Allah maka kepadanya Gusti Allah menjanjikan
tempat yang sebaik-baiknya di Negeri Akhirat. Tak ada ganjaran yang paling besar
dan nyata selain mengerjakan perintahNya dan menjauhkan laranganNya.
Selesai membaca kitab daun lontar yang hanya terdiri dari dua halaman itu
ditambah sampul depan dan sampul belakang, lama Ki Suro Gusti Bendoro merenung.
Dia seolah bicara dengan dirinya sendiri.
"Kitab ini diberikan seorang pengemis aneh padaku di tengah gurun pasir Tengger.
Dia lenyap begitu saja seolah dirinya adalah seorang malaikat Allah. Jika
kuhubungkan tiga mimpi yang kualami dengan semua kejadian serta kitab daun
lontar ini agaknya aku telah menerima satu amanat, satu wasiat. Di dalam kitab
disebutkan satu tempat tertinggi di tanah Jawa. Jika aku hubungkan dengan
kekacauan dan peristiwa berdarah yang terjadi di Demak, apalagi yang dimaksudkan
dengan tempat tertinggi itu kalau bukan puncak Gunung Mahameru?"
Ki Suro merasakan dadanya berdebar ketika dia ingat pada bacaan yang berbunyi
"Di puncak tertinggi itu pulalah konon sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa
seorang insan akan menemui hari terakhirnya..."
"Suara hatiku membisikkan aku harus pergi ke puncak Mahameru. Aku mempunyai
firasat di tempat itulah
agaknya hari terakhirku di dunia ini... Pendekar Keris Tujuh Petir... Apakah aku
akan menemuinya di sana" Ini bukan perkara kecil. Aku butuh petunjuk." Ki Suro
memandang ke langit. Cahaya bulan setengah lingkaran kelihatan begitu indah dan
terasa sejuk. Dada sang Kiai yang tadi berdebar kini menjadi tenteram kembali.
Ki Suro lalu pandangi kitab daun lontar yang ada di pangkuannya. "Kitab berharga
ini harus kusimpan baik-baik. Mungkin tidak akan kubawa ke puncak Mahameru.
Tetapi kepada siapa kitab sangat
berharga ini akan kuserahkan" Ya Allah, aku benar-benar perlu petunjukMu." Ki
Suro lalu pejamkan mata dan
tampungkan dua tangannya ke atas, berdoa memohon
petunjuk. Namun sampai lewat tengah malam orang tua ini masih belum menemukan
apa-apa. Ki Suro lalu
menghadap kiblat dan bersujud sambil kembali
memanjatkan doa.
Tiba-tiba Ki Suro merasakan ada getaran-getaran di
keningnya yang menempel di tanah. Lalu sayup-sayup di kejauhan terdengar suara
derap kaki kuda. Derapnya
perlahan saja tapi tak selang berapa lama kemudian
binatang itu telah berada di atas puncak bukit di hadapan Ki Suro.
Perlahan-lahan Ki Suro bangkit dari sujudnya. Beberapa langkah di depannya
berdiri gagah seekor kuda putih yang ekornya selalu digerak-gerakkan kian
kemari. Di atas punggung binatang ini duduklah seorang berjubah dan bersorban
putih. Sepasang alis matanya hitam tebal.
Kumis dan janggutnya tampak rapi. Di tempat itu keadaan cukup gelap tapi anehnya
Ki Suro bisa melihat keseluruhan wajah penunggang kuda ini dengan jelas. Satu
wajah tua yang bersih dan tenang. Dan begitu mengenali wajah ini terkejutlah Ki
Suro. Cepat-cepat dia bangkit berdiri, membungkuk dalam-dalam. Ketika dia hendak
memberi salam, si penunggang kuda telah mendahului.
"Salam sejahtera bagimu wahai saudaraku seiman."
"Salam sejahtera juga bagi sampeyan saudaraku
seiman," balas Ki Suro. "Maafkan saya. Jika saya boleh bertanya bukankah
sampeyan ini Wali Allah yang dipanggil dengan nama Sunan Ampel" Yang saya
ketahui adalah juga merupakan saudara sepupu mendiang Sultan Demak Raden Patah?"
Orang di atas kuda tersenyum. "Malam begini gelap.
Aku gembira kau masih bisa mengenali diriku."
"Allah Maha Besar. Sungguh satu kebahagiaan dan
kehormatan dapat bertemu dengan salah seorang dari
Sembilan Wali terkenal. Maafkan kelancangan saya kalau saya bertanya bagaimana
Wali bisa muncul di tempat ini dan tanpa pengiring atau pengawal sama sekali?"
Sunan Ampel tersenyum kembali lalu turun dari
kudanya. Ki Suro cepat menghampiri Wali ini, lalu
menyalaminya dengan penuh khidmat
"Allah Maha Besar yang menuntun diriku ke puncak
bukit ini. Allah Maha Besar pula yang menjadi pelindung diriku dan kita semua.
Hingga perlu apa aku membawa pengiring dan pengawal segala" Saudaraku, melihat
begitu lama sujudmu tadi, aku menduga pastilah ada satu hal teramat penting yang
tengah kau mohonkan padaNya."
"Terima kasih Wali mau memperhatikan diri saya. Wali benar adanya," kata Ki
Suro. Lalu meneruskan, "Saat ini saya tengah menghadapi satu perkara besar.
Menyangkut mimpi saya yang ada hubungannya dengan kitab daun
lontar ini."
"Kitab apakah itu adanya saudaraku?" tanya Sunan
Ampel. "Kitab ini tidak berjudul. Tapi jika membaca hikayat yang ada di dalamnya, ada
sangkut pautnya dengan
Keraton Demak serta masa depan tanah Jawa." Lalu Ki Suro menceritakan isi kitab
yang baru saja dibacanya.
"Berbahagialah engkau saudaraku. Tuhan telah
mempercayakan kitab itu padamu..."
"Tapi Wali, saya rasa... Saya rasa kitab ini sebaiknya saya serahkan saja pada
Wali." Sunan Ampel tersenyum.
"Pengemis aneh di gurun Tengger itu sudah
mengatakan. Kitab itu berjodoh padamu. Mengapa harus kau serahkan padaku"
Bawalah kitab itu ke mana kau
pergi. Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa
kitab itu bisa kau serahkan. Tetapi jika kau ingin kejelasan yang lebih baik,
mengapa kau tidak melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Dilanjutkan dengan
membaca doa petunjuk, doa Istikharah?"
"Terima kasih Wali. Saya akan lakukan apa yang Wali katakan." kata Ki Suro pula.
"Aku harus melanjutkan perjalanan. Semoga Tuhan
memberkahi dan melindungi dirimu saudaraku."
"Terima kasih Wali. Semoga rahmat Tuhan menjadi
bagian Wali. Selamat jalan Wali. Assalam mualaikum." Ki Suro lalu membungkuk
penuh hormat. "Wa alaikum salam." Sunan Ampel lalu naik ke atas
kudanya. Tak lama setelah Sunan Ampel meninggalkan bukit
kecil itu, Ki Suro Gusti Bendoro segera melakukan
sembahyang sunnat dua rakaat. Selesai sembahyang Kiai ini lalu duduk bersila.
Dengan penuh khidmat dia
memanjatkan doa Istikharah.
"Ya Tuhanku. Sesungguhnya saya minta Engkau
pilihkan yang baik dengan pengetahuanMu, dan saya minta Engkau memberi saya
kekuatan dengan
kekuasaanMu, dan saya minta kemurahanMu yang luas, karena sesungguhnya Engkau
berkuasa sedang saya tidak berkuasa, Engkau mengetahui sedang saya tidak
mengetahui, dan Engkau adalah amat mengetahui
perkara-perkara yang ghaib. Ya Tuhanku, kalau memang Engkau ketahui bahwa
perkara ini baik bagi saya, untuk agama saya, penghidupan saya dan untuk
penghabisan saya, maka berikanlah kepada saya dan mudahkanlah urusan buat saya
dan berkatkanlah dia bagi saya. Dan kalau memang Engkau sudah mengetahui bahwa
perkara ini tidak baik untuk saya, agama saya, untuk penghidupan saya dan untuk
penghabisan saya, maka jauhkanlah dia dari saya dan jauhkanlah saya dari dia,
dan berikanlah kepada saya kebaikan dari mana saja datangnya serta jadikanlah
saya orang yang ridho akan dia."
Keesokan paginya, menjelang subuh ketika sang Kiai
terbangun, secara aneh dia langsung teringat pada
seorang sahabatnya, seorang Empu bernama Bondan
Ciptaning. "Tuhan Maha Besar. Dia telah memberi petunjuk pada
tua renta buruk ini. Aku harus menemui empu itu. Agaknya kepadanyalah aku harus
menyerahkan kitab ini sebelum berangkat menuju puncak Mahameru." Begitu sang
Kiai membatin. Lalu dia ingat pula pada ucapan Sunan Ampel pada pertemuan di
awal malam tadi. "Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan seseorang
kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan..."
*** KI SURO Gusti Bendoro menatap wajah Empu Bondan
Ciptaning yang memandang sayu padanya. Ki Suro maklum perasaan yang ada dalam
hati sahabatnya yang sudah
dianggapnya sebagai saudara itu. Karenanya dengan
tersenyum dia berkata, "Saudaraku Empu Bondan
Ciptaning, begitulah tadi kisah yang bisa aku tuturkan pada sampeyan. Yang Kuasa
telah memberi petunjuk. Aku
merasa bahagia dan lega dapat menyerahkan kitab itu pada sampeyan. Harap


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampeyan mau menjaganya baik-baik. Sekarang, selagi hari masih siang, izinkan
diriku berangkat menuju Gunung Mahameru." Ki Suro memegang bahu sahabatnya itu
lalu bangkit berdiri.
"Tunggu dulu Ki Suro," kata Empu Bondan Ciptaning
seraya berdiri pula. "Apakah kau tidak keliru menyerahkan kitab sangat berharga
dan sangat keramat ini padaku?"
"Petunjuk Gusti Allah mengatakan begitu. Mana berani aku melakukan hal
menyimpang dari itu. Saudaraku,
agaknya apakah ada keraguan dalam hatimu?"
"Tidak, sama sekali tidak ada keraguan. Ki Suro, aku mengetahui apa arti
perjalananmu ke puncak Mahameru itu. Agaknya hari ini adalah hari pertemuan kita
yang terakhir..." Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning
kelihatan mulai berkaca-kaca.
Kembali Ki Suro Gusti Bendoro memegang bahu
sahabatnya itu. Walau dia sebenarnya juga tidak dapat menahan keharuan namun
dengan senyum di bibir dia
berkata, "Hari ini begini indah, pertemuan kita penuh kegembiraan. Apa yang
sampeyan sedihkan saudaraku"
Apakah pertemuan, persahabatan dan persaudaraan itu hanya terbatas di atas dunia
yang serba fana ini"
Bukankah agama kita memberi petunjuk bahwa akan ada satu kehidupan baru di alam
akhirat, satu kehidupan yang kekal selama-lamanya?"
"Kau benar saudaraku. Mungkin aku terlalu hanyut
dalam perasaan..." kata Empu Bondan Ciptaning pula
sambil coba mengulum senyum.
"Sebelum kita berpisah ada sesuatu yang hendak aku
berikan pada sampeyan," kata Ki Suro lalu memasukkan tangan kirinya ke dalam
saku kanan jubah putihnya. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatanlah seuntai
tasbih besar berwarna hijau terbuat dari batu giok asli berasal dari daratan
Tiongkok. Empu Bondan Ciptaning bergerak mundur satu langkah.
"Saudaraku Ki Suro, jangan kau bermain-main."
"Siapa bermain-main" Tasbih ini sudah aku niatkan
untuk kuberikan pada sampeyan," kata Ki Suro pula.
"Tidak saudaraku. Aku tahu betul riwayat tasbih batu giok yang dikenal dengan
nama Ki Ageng Bela Bumi ini.
Semasa kau muda, dengan tasbih ini kau mendampingi
Sultan Demak untuk membangun kerajaan..."
"Lalu apa salahnya aku berikan pada saudaraku
sendiri?" ujar Ki Suro lalu sebelum Empu Bondan Ciptaning sempat membuka mulut
tasbih besar itu sudah
dikalungkannya ke leher sang Empu.
"Ki Suro, perjalanan ke puncak Gunung Mahameru jauh dan banyak rintangan serta
bahayanya. Kau pasti
membutuhkan tasbih sakti itu untuk melindungi dirimu..."
"Yang menjadi pelindungku adalah Gusti Allah Yang
Maha Kuasa. Aku cukup membawa tongkat bambu kuning
ini saja," kata Ki Suro sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di atas
dada. "Saudaraku, aku pergi sekarang.
Jaga dirimu baik-baik. Keadaan akhir-akhir ini semakin tidak karuan. Kita tidak
tahu lagi mana lawan mana
kawan..." "Terima kasih atas nasihatmu Ki Suro. Aku akan jaga kitab ini baik-baik. Selamat
jalan, semoga Tuhan
melindungimu hingga kau sampai dengan selamat ke
tempat tujuan."
"Semoga Gusti Allah memberikan berkat dan
perlindungan atas dirimu Empu Bondan," kata Ki Suro lalu dua sahabat itu saling
berpelukan beberapa lamanya.
Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kembali berkaca-kaca melepas kepergian Kiai
Suro Gusti Bendoro hingga akhirnya orang tua berjubah putih itu lenyap di
kejauhan. Empu Bondan menarik nafas panjang. Walau sudah
mendengar langsung cerita serta isi kitab daun lontar dari Ki Suro Gusti
Bendoro, namun sang Empu ingin membaca sendiri apa yang tertulis di dalam kitab
daun lontar yang diberikan Ki Suro kepadanya itu. Maka diapun melangkah ke tepi
telaga, maksudnya hendak duduk di atas sebuah batu hitam rata. Namun baru
bergerak dua langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda. "Ada
orang datang..." kata Empu Bondan dalam hati. Dia cepat
menyelinapkan kitab daun lontar ke balik pakaiannya.
Ketika dia memutar tubuh dua kuda besar sama-sama
berwarna hitam menghambur di kiri kanannya. Kalau orang tua ini tidak gesit
menghindar, pasti dia akan kena terjangan kaki atau tubuh kuda-kuda itu. Dari
cara muncul kedua orang itu jelas mereka berniat jahat hendak
mencelakai Empu Bondan Ciptaning. Lalu ketika dia
memperhatikan siapa adanya para dua penunggang kuda, terkejutlah sang Empu.
Namun dia tetap berlaku tenang, tak mau memperlihatkan rasa keterkejutannya,
apalagi rasa takut.
*** ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU
11 WAROK WESI GLUDUG
PENUNGGANG kuda hitam di sebelah kanan bukan lain
adalah nenek berjuluk Si Lidah Bangkai yang sebelumnya telah diceritakan oleh Ki
Suro Gusti Bendoro. Di
sampingnya juga di atas seekor kuda hitam besar duduk seorang lelaki bertubuh
tinggi kekar, mengenakan celana hitam gombrong. Dadanya yang telanjang ditumbuhi
bulu lebat. Orang ini memelihara rambut panjang dikuncir ke atas. Mukanya
tertutup oleh kumis tebal, janggut dan cambang bawuk meranggas. Di lehernya ada
sebuah kalung digantungi lima buah jimat dibungkus dengan kain hitam. Keangkeran
manusia satu ini ditambah lagi dengan sepasang tangannya yang berbulu dan
berwarna hitam sebatas siku ke bawah.
Seperti diceritakan sebelumnya, setelah tidak mampu merampas Kitab Hikayat
Keraton Kuno dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro, bersama Kala Srenggi nenek itu
melarikan diri. Namun di tengah jalan rasa dendam membuat Si Lidah Bangkai
mengajak Kala Srenggi menyusun rencana untuk kembali mendatangi Ki Suro. Kala
Srenggi menolak dengan alasan bahwa dia punya satu urusan penting di Demak.
Alasannya itu memang benar, namun di samping itu Kala Srenggi masih ciut
keberaniannya untuk menghadapi Ki Suro. Masih untung dalam pertempuran senja
tadi Ki Suro tidak memerintahkan seratus ular membunuhnya, padahal binatang-
binatang itu telah menggelung menggayuti
dirinya. Kecewa atas penolakan Kala Srenggi, Si Lidah Bangkai tinggalkan sahabatnya itu
lalu memasuki kawasan hutan Roban. Di hutan ini dia menemui seorang gembong
rampok yang bukan saja malang melintang berbuat kejahatan
tetapi juga diketahuinya pernah berserikat dengan
kelompok jahat yang menghancurkan keraton. Ternyata tidak mudah bagi si nenek
mencari tokoh penjahat yang dikenal dengan nama Warok Wesi Gludug itu. Lebih
dari satu minggu menyusuri rimba belantara lebat barulah dia berhasil menemui
sang Warok. Ini pun setelah dia sempat dihadang oleh tiga orang anak buah Warok
Wesi Gludug yang kemudian dihajarnya lalu dipaksa membawanya ke tempat
persembunyian pimpinan mereka.
Kepada pimpinan rampok hutan Roban itu Si Lidah
Bangkai menceritakan tentang kitab kuno yang kini berada di tangan Ki Suro Gusti
Bendoro lalu mengajak Warok Wesi Gludug untuk membantu merampasnya.
"Aku memang pernah mendengar riwayat kitab itu sejak belasan tahun silam. Tapi
sulit dipercaya benar atau tidak keberadaannya..." kata Warok Wesi Gludug.
Sesuai dengan namanya ternyata lelaki tinggi kekar dada berbulu ini memiliki
suara besar keras. Siapa yang bicara dengannya akan mengiang dan tergetar
gendang-gendang telinganya.
Bahkan orang-orang yang tidak membekal ilmu kepandaian bisa berdebar dadanya
mendengar suara sang Warok.
"Aku sendiri melihat kitab itu ada pada Ki Suro, apa kau tidak percaya?" kata Si
Lidah Bangkai pula.
"Kalaupun memang ada pada Kiai itu, apa artinya
sebuah kitab yang sudah lapuk" Apa untungnya
membuang waktu bercapai-capai mendapatkannya" Di sini bersama anak buahku dalam
satu minggu aku bisa
mendapatkan jarahan besar, tanpa bekerja keras," kata sang Warok lagi tetap
enggan membantu Si Lidah Bangkai.
Tapi si nenek berlaku cerdik. "Kalau kau tidak suka membantu tidak jadi apa,"
katanya, "Aku bisa
mendapatkan bantuan dari para sahabat lainnya. Hanya saja harap di kemudian hari
kau tidak merasa menyesal."
"Merasa menyesal" Mengapa aku harus merasa
menyesal"!" ujar Warok Wesi Gludug.
"Kitab buruk itu diperebutkan banyak tokoh. Berarti ada satu rahasia besar
tersimpan di dalamnya. Karena
menyangkut keraton, bukan mustahil ada petunjuk tentang harta karun berupa
perhiasan atau emas dalam jumlah luar biasa besar. Disembunyikan di satu tempat.
Kurasa kau pernah mendengar bahwa dulu ada sebuah kapal
besar dari Kerajaan Campa mendarat di pantai Demak
membawa barang-barang rahasia berjumlah belasan
gerobak besar!" Si nenek menyeringai sambil
memperhatikan wajah kepala rampok itu. "Selamat tinggal Warok Wesi Gludug!
Perintahkan anak buahmu
menunjukkan jalan keluar." Setelah berucap begitu si nenek putar tubuhnya dan
cepat-cepat hendak melangkah seolah-olah dia memang benar-benar hendak
tinggalkan tempat itu.
Sikap Warok Wesi Gludug serta merta berubah. "Lidah Bangkai! Tunggu dulu! Aku
ikut bersamamu!"
Si Lidah Bangkai tertawa seperti kuda meringkik.
"Kalau begitu suruh anak buahmu menyiapkan dua ekor kuda! Perjalanan kita
mencari Kiai itu mungkin cukup jauh dan lama!"
Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug tinggalkan
hutan Roban menunggang dua ekor kuda hitam besar.
Cukup lama mereka melakukan perjalanan, berbilang hari berbilang minggu. Ketika
akhirnya mereka berhasil
mengetahui di mana beradanya Ki Suro Gusti Bendoro, ternyata sang Kiai dalam
perjalanan ke satu tempat
berdiam seorang sahabatnya yakni Empu Bondan
Ciptaning. Tanpa diketahui Ki Suro kedua orang ini terus menguntit. Mereka
berhasil sampai di tempat pertemuan hanya beberapa ketika sebelum Ki Suro
meninggalkan tepian telaga, yaitu setelah menyerahkan kitab daun lontar pada Empu Bondan
Ciptaning. "Kita biarkan dulu Kiai itu pergi, baru kita mengerjai sang Empu," bisik Si
Lidah Bangkai yang diam-diam
rupanya merasa takut juga terhadap Ki Suro.
Begitu Ki Suro pergi dan lenyap di kejauhan kedua
orang itu menggebrak kuda masing-masing, langsung
menerjang Empu Bondang Ciptaning.
Setelah perhatikan dua orang di atas kuda itu sejenak, Empu Bondan segera maklum
kalau orang berniat jahat terhadapnya. "Nenek satu ini jelas masih mencari dan
menginginkan kitab yang ada padaku," kata Empu Bondan Ciptaning dalam hati.
"Kawannya ini kalau aku tidak salah menduga adalah pentolan kepala rampok hutan
Roban bernama Warok Wesi Gludug, penjahat paling berbahaya yang dicari-cari kerajaan."
Walau sudah tahu orang berniat jahat tapi Empu
Bondan Ciptaning dengan tetap tenang dan wajah polos menegur, "Salam bahagia dan
selamat bagi kalian berdua.
Sudah lama aku dari tempat jauh ini mendengar nama
besar kalian berdua. Jika hari ini nenek hebat Si Lidah Bangkai dan orang
terkenal Warok Wesi Gludug datang menyambangi diriku, sungguh aku mendapatkan
satu kehormatan besar..." Setelah berucap begitu Empu Bondan Ciptaning lalu
bungkukkan badannya memberi
penghormatan. Si Lidah Bangkai menyeringai lalu kedipkan matanya
pada Warok Wesi Gludug. Sang Warok balas kedipkan
mata lalu tertawa bergelak. Suara tawanya menggetarkan seantero tempat. Apalagi
karena dia mengerahkan tenaga dalam maka Empu Bondan merasa telinganya mengiang-
ngiang, dadanya bergejolak dan tanah di bawah kakinya bergetar! Cepat-cepat sang
Empu kerahkan tenaga
dalamnya untuk menolak hawa jahat tenaga dalam orang.
"Sahabatku Lidah Bangkai!" kata Warok Wesi Gludug
pada si nenek di sebelahnya, "Kau dengar sendiri orang bicara baik dan sopan
pada kita. Berarti kita tidak akan menemui kesulitan berurusan dengan Empu ini!
Ha... ha... ha... ha!" Suara tawa Warok Wesi Gludug membahana. Dua ekor kuda hitam tersentak
kaget, meringkik keras seperti ketakutan. Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug
cepat usap-usap leher binatang tunggangannya hingga dua ekor kuda ini menjadi
jinak kembali. "Warok Wesi Gludug, jika kita memang berniat baik
dengan siapapun kita melakukan urusan pasti tidak ada kesulitan. Gerangan urusan
apakah yang kalian berdua hendak sampaikan padaku. Harap kalian mau
memberitahu. Lalu gerangan apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu kalian,"
berkata Empu Bondan Ciptaning.
Warok Wesi Gludug angguk-anggukkan kepala. "Orang
baik... Empu baik..." katanya berulang kali lalu sepasang lengannya yang hitam
digosok-gosokkan satu sama lain.
Luar biasanya dua tangan yang saling digosokkan itu mengeluarkan suara grek-
grek-grek seperti suara dua potong besi saling digesek. Dari sini saja sudah
dapat diketahui bagaimana kehebatan sepasang tangan sang
Warok. Ditambah dengan keangkeran wajah dan suaranya maka memang dia pantas
dijuluki Warok Wesi Gludug yang berarti "Kepala Rampok Tangan Besi Suara
Guntur". "Empu Bondan, tentu saja kami datang bukan untuk
memesan keris sakti bertuah. Karena kami tahu sudah lama kau tidak pernah duduk
di belakang tungku perapian menempa keris. Kami datang membekal satu maksud
baik. Sahabatku nenek berjuluk Si Lidah Bangkai ini inginkan sebuah kitab yang ada
padamu. Sedangkan aku,
mengingat sikapmu yang sopan aku hanya akan meminta tasbih yang melingkar di
lehermu!" Selesai berucap begitu sang Warok lalu tertawa bergelak dan kembali
gosok-gosokkan dua tangannya satu sama lain.
Empu Bondan Ciptaning tatap wajah dua orang yang
masih duduk di atas kuda itu sesaat. Sikap dan raut air mukanya tetap tenang.
Tak terpengaruh oleh kata-kata Warok Wesi Gludug tadi padahal orang sudah jelas
menyatakan maksud buruknya.
"Warok Wesi Gludug, kau menyebut sebuah kitab. Bisa kau menerangkan kitab apa
yang kau maksudkan?"
bertanya sang Empu.
"Biar aku yang menjawab!" kata Si Lidah Bangkai
setelah berdiam diri saja dari tadi, "Kitab yang kami maksudkan adalah sebuah
kitab terbuat dari daun lontar.
Berisi hikayat keraton kuno..."
"Ah, kitab itu rupanya," ujar Empu Bondan sambil
mengangguk-angguk.
Sebelum dia meneruskan Si Lidah Bangkai kembali
membuka mulut, "Seorang Empu tidak akan berkata dusta!
Kami melihat sendiri sebelum pergi Kiai Suro Gusti
Bendoro menyerahkan kitab itu padamu! Jadi jangan
berkilah kitab itu tidak ada padamu!"
Empu Bondan tersenyum. "Kitab yang kalian
maksudkan itu memang ada padaku. Tapi harap diketahui, kitab itu bukan milikku.
Ki Suro hanya menitipkan padaku agar aku menjaganya baik-baik. Jadi harap


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimaafkan kalau aku tidak mungkin menyerahkan kitab itu pada
kalian..."
"Hemmm... Begitu?" ujar Si Lidah Bangkai. Sisik hitam kebiruan yang menutupi
wajahnya langsung kaku berdiri.
Lidahnya yang merah bercabang menjulur menyemburkan percikan cairan merah.
"Kami meminta dengan baik..." Nada suara Si Lidah
Bangkai mengandung ancaman.
"Akupun menolak dengan baik," jawab Empu Bondan.
Amarah Si Lidah Bangkai jadi menggelegak. "Empu
tolol! Tua bangka yang sudah bau tanah! Rupanya kau ingin menemui ajal lebih
cepat dari takdir!"
"Kita manusia jangan menyalahi ketentuan Yang Maha
Kuasa. Soal nyawa dan takdir adalah kuasanya Dia Yang Tunggal," jawa Empu Bondan
pula. "Bagaimana dengan kalung tasbih batu Giok yang
tergantung di lehermu Empu?" bertanya Warok Wesi
Gludug, "Apakah kau juga tidak mau menyerahkannya
padaku"!"
"Sama saja Warok. Tasbih ini juga titipan orang. Apapun yang terjadi aku harus
menjaganya baik-baik." Jawab Empu Bondan.
Warok Wesi Gludug berpaling pada Si Lidah Bangkai.
Dua orang ini lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba tawa mereka lenyap. Warok Wesi
Gluduk keluarkan bentakan garang yang membuat kawasan sekitar telaga jadi
bergetar. Air telaga beriak keras. Daun-daun pepohonan bergeser bergemerisik. Si
Lidah Bangkai tak mau kalah.
Dia keluarkan satu pekik nyaring. Lidahnya bergulung keluar. Lalu sekali membuat
gerakan, sosok sang Warok dan si nenek melesat ke atas, begitu turun langsung
menyerang ke arah Empu Bondan Ciptaning.
"Tuhan! Saya berpegang pada kekuatanMu dan
berlindung di bawah kekuasaanMu. Tolong saya
menghadapi manusia-manusia saat ini! Ampuni dosa saya kalau saya sampai
menjatuhkan tangan jahat terhadap mereka!" Empu Bondan Ciptaning berkata dalam
hati. Lalu dua kakinya digeserkan.
Beettt! Sosok sang Empu berkelebat lenyap. Yang kelihatan
hanya bayang-bayang biru warna pakaiannya.
Warok Wesi Gludug dan Si Lidah Bangkai berseru kaget ketika dapatkan serangan
ganas yang mereka lancarkan hanya menghantam tempat kosong. Di tanah kelihatan
dua lobang besar. Yang satu berwarna merah akibat hantaman ujung lidah bercabang
Si Lidah Bangkai. Satunya lagi lobang berwarna hitam bekas terkena pukulan
tangan besi sang Warok!
(BERSAMBUNG KE BAGIAN-3)
BASTIAN TITO KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA
(THE DRAGON PISPOT)
PDF E-Book: kiageng80
KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA
1 (The Dragon Pispot)
PERGURUAN kungfu Ban Yak Cing Cong yang dipimpin oleh Tong Pes mengalami
kekurangan biaya dan terancam gulung tikar alias tutup. Karenanya sang suhu
menyuruh salah seorang muridnya yang terpercaya yaitu Tek Lok pergi ke kotaraja
untuk menggadaikan seperangkat pispot antik. Pispot-pispot itu sangat mahal
harganya karena konon berasal dari zaman dinasti Cong Ngek 600 abad silam. Maka
berangkatlah Tek Lok selama beberapa hari.
Ketika ia pulang dari kotaraja alangkah kagetnya pemuda bertubuh gemuk tambun
itu karena mendapatkan
perguruannya telah diobrak-abrik orang. Di halaman depan bergeletakan sebelas
saudara seperguruannya,
kebanyakan sudah tidak bernafas lagi. Dua tiga orang memang masih terdengar
mengerang. Tapi tak mungkin
ditolong karena sebentar lagi mereka pasti akan meregang nyawa.
Sementara itu di serambi depan Tek Lok menyaksikan
suhunya bersama seorang murid tingkat utama tengah
bertempur mati-matian melawan seorang tinggi besar
berdandan aneh. Orang ini mengenakan jubah kuning
dengan hiasan naga hitam di bagian dada dan punggung.
Di batok kepalanya nangkring satu topi aneh yang bukan lain adalah sebuah pispot
putih dihiasi gambar-gambar naga.
Ternyata si topi pispot lawan sang suhu memiliki kungfu luar biasa. Gerakannya
cepat sekali, laksana bayang-bayang dikejar setan. Ketua perguruan dan muridnya
terdesak hebat hanya dalam beberapa jurus saja. Selain itu yang membuat mereka
jadi kelabakan ialah karena setiap gerakan yang dibuat lawan, dari balik jubah
kuningnya menghambur bau tidak sedap, yakni seperti bau kotoran manusia.
"Jangan-jangan ini olang habis buang ail besal belum cebok alias ngepet!" pikir
Tek Lok yang memang cadel dari sononya.
Dalam satu gebrakan hebat kepala si tinggi besar yang disungkup pispot tahu-tahu
sudah menghantam dada
murid utama. Lelaki kurus kerempeng ini menjerit keras dan terpental. Tubuhnya
terbanting di tanah. Dadanya remuk. Tak berkutik lagi. Darah mengucur dari
mulutnya. Mata mendelik jereng. Tit sudah!
Sadar kalau seorang diri dan hanya mengandalkan
tangan kosong dia tidak akan dapat menghadapi lawan yang begitu lihay maka ketua
perguruan Ban Yak Cing Cong segera hunus sebilah golok panjang yang terselip di
belakang punggungnya.
"Manusia terkutuk!" memaki Tong Pes. "Hari ini biar pinceng mengadu nyawa
denganmu!"
Si topi pispot tertawa bergelak.
"Tong Pes! Dulu aku minta kau menjual pispot-pispot antik itu padaku. Tapi kau
menolak dengan sombong! Kau malah menyuruh orang menjualnya ke kotaraja! Hari
ini kau bicara segala macam soal adu nyawa! Rupanya kau punya banyak nyawa
serep. Aku tuan besarmu Tong Siam Pah akan melayani! Walau begadang sampai pagi
sekalipun! Ha... ha... ha!"
Tong Pes kertakkan geraham. Dengan suara
menggembor dia putar goloknya laksana curahan hujan.
Namun sayang, bagaimanapun hebatnya ilmu golok ketua perguruan kungfu Ban Yak
Cing Cong itu dia bukanlah tandingan si topi pispot yang mengaku bernama Tong
Siam Pah. Setengah mempermainkan lawannya, setiap Tong Pes membacok, menusuk
atau membabatkan goloknya, Tong
Siam Pah sengaja angsurkan kepalanya. Maka
terdengarlah suara tring... treng... trang... kling berulang kali. Sesekali
suara beradunya golok dengan pispot itu diseling suara ngek! Yakni suara yang
keluar dari mulut Tong Pes akibat jotosan atau tendangan lawan yang
mendarat di ulu hatinya!
Tek Lok yang sembunyi di balik sumur menyadari
bahaya besar yang tengah mengancam suhunya. Karena
tidak ingin dianggap sebagai murid tidak berbakti alias puthauw tanpa pikir
panjang Tek Lok segera menyerbu ke tengah kalangan pertempuran guna membantu
sang suhu. Namun baru saja dia hendak bergerak mendadak satu
tangan yang kuat mencengkeram tengkuknya hingga
saking kagetnya Tek Lok sampai keluarkan kentut.
Lehernya seperti digencet japitan besar. Kepalanya tidak bisa digerakkan barang
sedikitpun! "Kulang ajal!" maki Tek Lok. Tek Lok kirimkan satu tendangan kungfu ke belakang.
Inilah jurus yang disebut
"kuda bunting menendang jantan gatal". Tapi apa lacur, orang yang hendak
ditendang rupanya sudah tahu apa
yang hendak dilakukan Tek Lok. Dengan cepat dia totok urat besar tepat di atas
tulang tunggir murid perguruan Ban Yak Cing Cong yang bertubuh tambun gendut
ini. Tak ampun Tek Lok langsung menjadi lumpuh kaku. Tapi
mulutnya masih bisa dibuka. Maksudnya mau memaki.
Tapi inipun gagal karena di belakang orang yang
membokongnya dengan satu gerakan cepat menyumpal
mulutnya dengan sebutir buah mengkudu hutan setengah busuk. Membuat Tek Lok
bukan saja megap-megap
mendelik sulit bernafas tapi juga mau muntah karena tidak tahan bau busuknya
buah mengkudu yang menyangsrang
di mulutnya itu!
"Anak tolol!" terdengar suara orang memaki di
belakangnya. "Apa otakmu di selangkangan dan
selangkanganmu menempel di otak mau ikut-ikutan
berkelahi! Apa kau buta dan gila berani menantang gunung Thaysan" Selusin
saudara seperguruanmu sudah dibuat menghadap Thian alias tit semua! Apalagi kau
cuma sendirian! Dasar toylol!"
Tek Lok hanya bisa memaki panjang pendek dalam
hati. Tapi diam-diam dia menyadari. Suhunya yang begitu tinggi kepandaian kungfu
serta ilmu goloknya hanya
dihadapi dengan tangan kosong oleh si jubah kuning
bertopi pispot itu! Sedangkan dia sendiri cuma seorang murid perguruan tingkat
menengah! Sementara itu di serambi sana Tek Lok melihat orang bertopi pispot berhasil
menyeruduk perut suhunya. Tong Pes mencelat mental, jatuh terduduk di lantai
serambi. Selagi dia mencoba bangkit, lawan sudah kirimkan
tendangan keras ke kepalanya. Kepala Tong Pes tersentak ke belakang, tubuhnya
terlempar melintir, roboh di tanah dan saat itu juga dia sampai pada hari
apesnya. Mati! "Suhu!" Teriak Tek Lok. Tapi teriakannya hanya sampai di tenggorokan karena
mulutnya masih tersumbat
mengkudu busuk. Kedua tangannya dikepal geram.
Mukanya merah, tubuhnya bergetar dan air mata
mengucur jatuh ke pipinya yang rada-rada peang.
Dengan mengeluarkan suara tertawa bergelak orang
bertopi pispot hancurkan papan nama perguruan Ban Yak Cing Cong lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian Tek Lok merasakan pembokongnya melepaskan
totokan di tunggirnya. Dengan cepat Tek Lok mencabut buah mengkudu yang mendekam
di mulutnya lalu
berpaling ke belakang seraya lancarkan satu jotosan keras dalam jurus bernama
"monyet kondor menghajar puncak Thaysan". Tapi dia hanya menghantam tempat
kosong. Orang yang tadi membokongnya telah lenyap entah ke
mana! *** KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA
2 (The Dragon Pispot)
DI HADAPAN Tek Lok berdiri seorang lelaki bermata jereng.
Rambutnya kaku jabrik, pakaiannya compang-camping,
penuh tambalan dan bau. Pada pinggangnya
bergelantungan berbagai macam dan ukuran kaleng-
kaleng kosong. Tangan kanannya memegang sebatang
tongkat bambu kecil.
"Tek Lok," orang tak dikenal menegur. Si pemuda
merasa heran, bagaimana orang itu tahu namanya, "Aku adalah gembel tua yang
dijuluki Pendekar Pensiunan Pengemis. Adik kandung suhumu yang sudah menghadap
Thian. Jadi terhadapku kau boleh memanggil Pak-de Guru!"
Si gendut Tek Lok yang masih bersedih atas ke matian suhunya memandang tak acuh
pada orang itu. Lalu
berkata seenaknya, "Manusia jabrik dekil! Aku tidak perduli kau Pak-de, Pak-be,
Pak-ce atau Pak-zet sekalipun! Kalau tidak kau bokong aku dari belakang, pasti
aku bisa menolong suhu dan suhu tidak sampai digusur ke akhirat!"
Habis berkata begitu Tek Lok seperti kalap menyerang si jabrik bermata jereng
yang mengaku berjuluk Pendekar Pensiunan Pengemis itu.
Yang diserang ganda tertawa lalu gerakkan sedikit
tangannya yang memegang tongkat.
Blukkkk! Tek Lok jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia mencoba bangkit ujung tongkat si
gembel telah menindih jidatnya.
Tek Lok merasa seolah kepalanya ditindih sebuah batu besar. Bagaimanapun dia
berusaha tetap saja tidak
sanggup menggerakkan kepala apalagi mencoba bangkit berdiri. Muka si gendut ini
jadi pucat, keringat dingin mengucur dari kepala sampai selangkangannya! Kini
sadarlah Tek Lok kalau dia berhadapan dengan orang yang bukan sembarangan. Si
Pak-de ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa!
"Tek Lok, jangankan kau dan suhumu. Aku sendiri
belum tentu mampu menghadapi manusia berjubah kuning bertopi pispot itu. Dia
bernama Tong Siam Pah tapi lebih dikenal dengan julukan The Dragon Pispot alias
Pendekar Pispot Naga. Selama pispot putih bergambar naga itu masih nongkrong di
kepalanya, tidak satu manusiapun bisa mengalahkannya. Juga tidak bangsa iblis
atau setan pelayangan. Itulah rahasia kekuatannya!"
"Apapun yang teljadi siapapun bangsat itu adanya, aku Tek Lok tetap akan
menuntut balas atas kematian suhu dan semua suheng (kakak seperguruan) selta
sute (adik seperguruan)," kata Tek Lok seraya kepalkan dua tinjunya lalu
dipukul-pukulkan ke pipinya sendiri.
"Itu namanya kau murid yang berbakti," sahut Pendekar Pensiunan Pengemis.
"Aku mohon petunjukmu. Tapi halap singkilkan
tongkatmu dali jidatku!" kata Tek Lok pula.
Gembel berambut jabrik itu menyeringai. Setelah
mengangkat tongkat bambunya dari kening Tek Lok dia lalu berkata, "Gendut, kau
dengar baik-baik apa yang pinceng mau ucapkan. The Dragon Pispot tidak mungkin
dikalahkan selama pispot masih melekat di batok
kepalanya. Adalah sangat sukar untuk menyingkirkan
benda itu dari kepalanya. Bahkan pada saat mandi atau berak sekalipun, atau
tidur benda itu tidak pernah lepas dari kepalanya!"
"Tapi selagi dia belnama manusia pasti dia punya kelemahan!" kata Tek Lok pula.
Pensiunan Pengemis tersenyum. "Kau cerdik. Memang
betul. Dia memang punya kelemahan!"
"Apa"!" Tek Lok langsung menyerobot dengan
pertanyaan. "Perempuan! Dia selalu lemah terhadap perempuan.
Tidak perduli gadis atau yang sudah tua bangka. Tidak perduli si muka licin atau
si muka keriputan. Pokoknya masih selama bernama perempuan pasti dikerjainya!"
"Kalau begitu aku akan cali akal!" Tek Lok berpikir sejenak. "Pak-de Suhu.
Setahuku setiap lelaki pasti punya selela teltentu telhadap pelempuan. Mungkin
Pak-de Suhu tahu kila-kila pelempuan yang bagaimana selelanya si Tong Siam Pah
itu!" Pendekar Pengemis Purnawirawan alias Pensiunan
tertawa mengekeh. "Tek Lok, ternyata kau punya otak cerdik. Selera si Pispot
Naga adalah perempuan gemuk buntak besar. Makin besar dan makin gemuk, makin
banyak lemaknya apalagi putih, huah! Semakin malele dia!"
"Pak-de Suhu, telima kasih atas petunjukmu! Budi baikmu tidak akan aku lupakan!"
Tek Lok menjura dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.
*** KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA
3 (The Dragon Pispot)
SETELAH mendatangi tempat-tempat pelacuran di hampir setengah lusin kota
akhirnya di kota Bau Tiut (d/h Bau Ken Tiut), Tek Lok berhasil juga menemui
seorang pelacur berbadan luar biasa gemuk serta berkulit putih. Saking gemuknya
mukanya yang tembam dan diberi berdandan
tebal seronok kelihatan seperti barongsay. Genitnya minta ampun, sebentar-


Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebentar jari-jarinya mencubit ke sana-sini sambil tertawa cekikikan seperti
kuntilanak setengah jadi.
Pada pertemuan pertama begitu Tek Lok masuk ke
dalam kamarnya, pelacur gendut ini langsung saja ber-tunabusana alias
menanggalkan seluruh pakaiannya. Lalu dia naik ke atas ranjang, melambaikan
tangan sambil kedip-kedipkan mata pada Tek Lok dan tentunya tak lupa sambil
pasang kuda-kuda! Ranjang reyot itu sampai
bergoyang berderak-derik.
"Namamu siapa?" tanya Tek Lok tanpa bergerak dari
kursi yang didudukinya di depan ranjang.
"Ling Ling Dut," jawab si gemuk, tersenyum kembali, ulurkan lidahnya yang merah
basah dan lambaikan tangan memberi isyarat agar si Tek Lok yang juga gendut
tambun ini segera naik ke atas ranjang.
"Dengal Dut, " kata Tek Lok. "Aku akan membayalmu mahal. Tapi bukan untuk tidul
denganmu..."
Tentu saja Ling Ling Dut menjadi terheran-heran.
Sebagai seorang pelacur baru hari itu ada tamu yang menjanjikan uang tanpa
menidurinya. Tek Lok mendekati ranjang lalu berkata mengarang
cerita. "Yang akan tidul denganmu bukan aku, tapi pamanku. Dia sedang kulang
enak badan. Ambeien alias wasilnya sedang kambuh! Jadi tidak bisa beljalan jauh.
Selama ini dia sudah panas dingin mendengal celita olang tentang kebagusan
tubuhmu dan kecantikan kau punya
palas." Maksud Tek Lok dengan pamannya itu adalah si Pendekar Pispot Naga alias
The Dragon Pispot, musuh besar yang telah menghabisi suhu serta saudara-
saudaranya seperguruannya.
Ling Ling Dut tertawa cekikikan mendengar cerita sang paman yang sedang wasiran
tapi masih berminat untuk bersenang-senang dengan perempuan. Sambil mengusap-
usap pusarnya yang terbenam di dalam perutnya yang
gembrot berlemak, pelacur kota Bau Tiut ini berkata,
"Mendengar cerita pamanmu yang sakit itu, terus terang aku tidak berminat
melayaninya. Apalagi sakitnya sakit wasir! Hik... hik! Tapi kau beruntung. Hoki-
ku lagi jelek. Sudah seminggu aku tidak menerima tamu. Tapi aku minta bayaran besar!"
"Jangan khawatil! Aku akan kasih pelsenan besal. Asal kau jangan lupa melakukan
sesuatu yang nanti akan aku beli- tahu padamu!" Tek Lok lalu bicara semacam
memberi pengarahan pada pelacur gemuk itu. Ling Ling Dut
mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Sebelum pergi ke tempat pamanmu, apa kau tidak
mau bersenang-senang dulu denganku?" tanya Ling Ling Dut, tetapi Tek Lok
goyangkan tangan gelengkan kepala.
"Kita berdua sama-sama gendutnya. Pasti seru!" kata Ling Ling Dut lalu tertawa
cekikikan. "Justlu itu yang bikin aku khawatil. Lanjang boblok itu bisa jebol nanti!" sahut
Tek Lok. "Ayo lekas pakai bajumu Dut! Kita belangkat sekalang juga!"
*** PENDEKAR Pispot Naga yang kerennya disebut The
Dragon Pispot mengucak kedua matanya berulang kali
saking tidak percaya akan pemandangan di hadapannya.
Seorang perempuan gemuk buntak berlemak tahu-tahu
muncul di depan pintu tempat kediamannya yang terletak di tepi danau Xeng Gol.
"Hai yaa! Bidadari dari mana yang siang-siang begini turun ke bumi! Kesasar atau
memang sengaja mencari
diriku"!" menegur Tong Siam Pah sambil kedip-kedipkan matanya.
Ling Ling Dut balas tersenyum dan kedip-kedipkan
matanya pula. Dadanya yang gembrot sengaja
dibusungkan. "Hamba bukan bidadari pulang kesiangan.
Tapi hanya manusia biasa juga. Sudah lama hamba
mendengar nama besar Pendekar Pispot Naga. Hamba
ingin sekali belajar kenal. Sebagai kawan sejalan maupun kawan seranjang...!"
Mendengar kata-kata perempuan gemuk itu darah
Pendekar Pispot Naga menjadi panas menggelora. Dia
tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat ke hadapan Ling Ling Dut. Sekali
tarik saja pelacur gemuk itu segera dibawanya masuk ke dalam rumah.
Ling Ling Dut tertawa cekikikan. Dekat pintu kamar
pakaiannya tersangkut paku hingga robek besar di bagian perut.
"Paku jahil!" Pendekar Pispot Naga memarahi paku
yang merobek pakaian Ling Ling Dut. Matanya mendelik melihat keputihan perut
gembrot perempuan itu. Lalu sambil memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya
lelaki berjubah kuning ini pergunakan jari tangannya untuk menekan amblas paku
besar itu hingga masuk lenyap ke dalam sanding pintu kayu! "Kau tak usah
khawatir! Aku akan belikan baju baru pengganti bajumu yang robek ini!"
kata Pendekar Pispot Naga kemudian.
"Tidak apa-apa," jawab Ling Ling Dut. "Bidadari benaran kabarnya memang tidak
pakai baju! Hik... hik... hik!"
"Kau pandai melucu! Aku suka padamu!" kata
Pendekar Pispot Naga. Lalu membantingkan daun pintu.
*** KUNGFU SABLENG PENDEKAR PISPOT NAGA
4 (The Dragon Pispot)
SEPERTI yang telah dipesankan oleh Tek Lok, begitu masuk ke dalam kamar Ling
Ling Dut langsung melompat ke atas tempat tidur besar terbuat dari besi. Lalu
cepat-cepat dia membuka pakaian luarnya. Melihat itu tenggorokan
Pendekar Pispot Naga jadi turun naik. Matanya berputar membeliak dan nafasnya
kontan memburu. Tak mau kalah, dengan mempergunakan jurus "naga mabok menyambar
celana dalam" dia segera pula melompat ke atas ranjang.
Di atas ranjang Ling Ling Dut sudah pentang diri dalam sikap atau jurus "panda
gembrot parkir di bawah pohon bambu". Begitu Pendekar Pispot Naga membaringkan
diri di sampingnya langsung dihimpit dengan pahanya yang besar gembrot dan bukan
olah-olah beratnya! Pendekar Pispot Naga sampai setengah menggeliat setengah
melintir dihimpit begitu rupa. Nafasnya seolah tertahan di
tenggorokan. Tiba-tiba Ling Ling Dut membuat gerakan yang disebut "tringgiling
atret ke liang naga". Dia gulingkan badannya ke sudut ranjang hingga ranjang itu
bergoncang keras.
"Kekasihku mungil! Mengapa kau menjauhkan diri" Apa mulut atau ketiakku bau tong
sampah"!"
"Pendekar gagah tujuh penjuru angin!" sahut Ling Ling Dut. "Terus terang nafsu
sudah membakar diriku mulai dari ubun-ubun sampai ujung jempol kaki!"
"Lalu mengapa kau mendekam di sudut ranjang?"
tanya Pendekar Pispot Naga heran.
"Soalnya, bagaimana aku bisa bersenang-senang kalau pendekar sendiri masih belum
membuka jubah kuning
pakaian kebesaran?"
Mendengar kata Ling Ling Dut, Tong Siam Pah alias
Pendekar Pispot Naga segera tanggalkan jubah kuningnya dan campakkan ke kolong
ranjang. "Beres! Sekarang ayo kau buka pakaianmu!" Tangan
Tong Siam Pah siap menggerayang kian kemari.
"Tentu, untuk kau yang gagah pasti akan kubuka. Tapi engg... Apakah topi
kebesaran yang masih bertengger di kepalamu tidak akan mengganggu nantinya"
Apalagi aku ini punya kesenangan. Suka menjilati ubun-ubun orang!
Hik... hik... hik!"
Pendekar Pispot Naga yang sudah dibakar nafsu dan
lupa daratan lupa pantangan segera saja menjawab,
"Manisku sayang, untuk bidadari sepertimu apapun
katamu akan pinceng ikuti!"
Lalu Pendekar Pispot Naga angkat pispot putih
bergambar naga di kepalanya dan letakkan benda itu di satu meja kecil di samping
ranjang. Tanpa pispot itu di kepala, maka kesaktiannyapun ikut berpindah, tidak
mendekam lagi di dalam tubuhnya!
Setelah meletakkan 'mahkotanya' di atas meja kecil, Pendekar Pispot Naga yang
sudah tidak sabaran langsung balikkan badan hendak merangkul Ling Ling Dut. Pada
saat itulah mendadak pintu kamar didobrak orang dari luar.
Sesosok tubuh berkelebat masuk langsung menyambar
pispot putih di atas meja.
"Siapa kau"!" bentak Pendekar Pispot Naga seraya
melompat turun dari ranjang. Satu tangan dikepalkan satu lainnya dipakai untuk
menutupi auratnya.
Orang yang barusan masuk dan menyambar pispot
bukan lain adalah Tek Lok, anak murid perguruan Kungfu Ban Yak Cing Cong yang
muncul untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat suhu dan saudara-saudara
seperguruannya.
"Aku belnama Tek Lok! Anak mulid Pelguluan Ban Yak Cing Cong! Bebelapa bulan
lalu kau telah membunuh Tong Pes suhuku selta dua belas saudala sepelguluanku!
Hali ini aku datang untuk membalas dendam kematian meleka!
Hali ini saatnya kau kukilim menghadap malaikat-malaikat maut Giam Lo Ong!"
"Manusia kurang ajar! Lekas kau serahkan pispot itu dan segera minggat dari
sini!" bentak Pendekar Pispot Naga dengan suara lantang dan mata membeliak
besar. Tek Lok menyeringai buruk dan melintangkan pispot di depan dada. "Kau inginkan
pispot bau tahi ini! Silakan ambil!" kata Tek Lok. Lalu dengan jurus "elang
juling menyambar kodok buntet" Tek Lok menerjang sambil
menghantamkan pispot putih di tangan kanannya.
Pendekar Pispot Naga keluarkan seruan tertahan. Tak pernah dibayangkannya kalau
topi kebesarannya akan
dipergunakan orang untuk menyerang dan menghajar
dirinya sendiri!
"Sobatku gendut! Kembalikan pispot itu! Apa yang kau orang minta pinceng pasti
berikan! Kau mau seratus pispot seperti itu pasti pinceng penuhi! Atau kau mau
perempuan gendut ini silakan ambil! Tapi lekas kembalikan pispot itu!"
Pendekar Pispot Naga kelihatan ketakutan setengah mati.
Dia meminta sambil membungkuk-bungkuk.
Benar seperti yang dikatakan Pak-de suhunya Pendekar Pensiunan Pengemis, tanpa
pispot di kepala Pendekar Pispot Naga tidak punya daya apa-apa lagi. Malah saat
itu kelihatan dia mulai beser terkencing-kencing. Ketika Tek Lok tak mau
memberikan pispot dia mulai menyerang. Tapi kungfunya morat-marit tak karuan.
Jangankan tenaga
dalam, tenaga luarnya saja sudah amblas. Nafasnya ngos-ngosan padahal belum dua
jurus menggebrak. Akibatnya sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
menjadi bulan-bulanan serangan pispot putih miliknya sendiri.
Mukanya remuk tak karuan. Hidung melesek, mulut pecah, gigi bertanggalan. Bahu
kiri patah, siku tangan kanan hancur, tulang dada amblas, tulang iga berpatahan.
Darah membasahi hampir setiap sudut badannya.
Dalam keadaan seperti itu Tong Siam Pah merangkak
mendekati tempat tidur. Dari mulutnya tiada henti keluar suara erangan.
Tangannya coba menggapai pinggiran
ranjang di mana Ling Ling Dut berada.
"Bidadariku... peluk aku... peluk tubuhku. Antarkan aku ke sorga..."
"Ihhhh!"
Pelacur gemuk Ling Ling Dut memekik antara jijik dan ketakutan. Cepat dia
melompat turun dari atas ranjang.
Masih belum merapikan pakaiannya dia sudah ulurkan
tangan pada Tek Lok. Murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini tanpa banyak cing-
cong segera keluarkan lima tail perak lalu letakkan di atas telapak tangan Ling
Ling Dut yang terkembang.
Sebelum meninggalkan kamar Tek Lok memandang
sejurus pada sosok Tong Siam Pah yang tidak berkutik lagi.
"Masih untung kau menemui ajal! Kalau masih hidup
julukanmu pasti diganti menjadi Pendekal Pispot Bonyok!"
Tek Lok letakkan pispot putih milik Tong Siam Pah di atas kepalanya. Sambil
melangkah pergi tinggalkan danau Xeng Gol murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini
bersiul-siul menyanyikan lagu kesayangannya yang bernama Di Dadamu Ada Pinceng.
TAMAT Garuda Mata Satu 1 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Pengelana Rimba Persilatan 13
^