Srigala Perak 2
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak Bagian 2
kecil terbuat dari kain. Di dalam kantong ini ada sejenis bubuk berwarna putih.
Sebagian dari bubuk itu dimasukkannya ke dalam mu-
lut Warok Wesi Gludug, sisanya ditaburkannya di tan-
gan kanan yang hancur. Tak selang berapa lama suara
erang kesakitan dari mulut kepala rampok itu mulai
perlahan lalu berhenti sama sekali. Matanya meman-
dang sayu pada Sang Empu, mulutnya bergerak seper-
ti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara
yang keluar karena sekujur tubuhnya saat itu berada
dalam keadaan sangat lemah.
"Kau tak perlu mengucapkan apa-apa..." kata Sang Empu pula sambil memegang
kening Warok Wesi
Gludug. "Dengar, aku tak mungkin membawamu ke
hutan Roban. Yang bisa kulakukan adalah menaikkan
mu ke atas kudamu. Binatang itu akan membawamu
ke tempat kediamanmu...."
Mulut Warok Wesi Gludug kembali bergerak.
Namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Cukup
susah bagi Empu Bondan Ciptaning menggotong tu-
buh tinggi besar Sang Warok lalu membaringkannya
menelungkup membelintang di atas pelana di pung-
gung binatang itu.
"Warok Wesi Gludug, aku mengaku telah bersa-
lah besar mencelakaimu. Maafkan diriku. Aku berdoa
agar kau bisa sampai di tempat kediamanmu dengan
cepat dan selamat..." Empu Bondan Ciptaning mengusap punggung Sang Warok, lalu
menepuk pinggul ku-
da hitam. Binatang ini seperti segan hendak mening-
galkan tempat itu. Empu Bondan Ciptaning membelai
tengkuknya beberapa kali lalu menepuk pinggulnya
sekali lagi. Setelah menggaruk-garuk tanah dengan
dua kaki depannya, akhirnya kuda hitam itu mulai
melangkah pergi. Empu Bondan Ciptaning menghela
nafas dalam lalu tinggalkan pula tempat itu.
*** 13 SEBELUM mengikuti kelanjutan apa yang dila-
kukan Empu Bondan Ciptaning, kemana perginya
Sang Empu itu dan apa yang terjadi dengan Tasbih Ki
Ageng Bela Bumi serta Kitab Hikayat Keraton Kuno ki-
ta kembali dulu pada masa belasan tahun silam ketika
Kesultanan Demak mulai dirundung kemelut dan tak
habis-habisnya mengalami musibah berdarah.
Pada masa itu yang memerintah di Demak ada-
lah Sultan Trenggono. Dalam usahanya memperluas
daerah kekuasaan Demak dan sekaligus mengem-
bangkan ajaran agama Islam, Sultan Trenggono me-
nyerbu Pasuruan yang terletak di ujung timur Pulau
Jawa. Malang bagi Sultan, dalam satu kecamuk perang
yang dahsyat dia bersama sekelompok pasukannya
terjebak. Usaha untuk meloloskan diri sia-sia saja karena seluruh tempat sudah
dikurung. Sultan akhirnya
tewas di tangan musuh.
Gugurnya Sultan Trenggono bukan saja meng-
gemparkan Demak tapi sekaligus menimbulkan keka-
cauan besar. Beberapa orang yang merasa dirinya ber-
hak menggantikan Trenggono saling berebut kekua-
saan. Terjadi kekacauan besar karena mereka saling
mempergunakan kekuatan senjata. Pertempuran terja-
di dimana-mana. Kotaraja hancur. Mereka yang saling
memperebutkan tahta kerajaan itu adalah Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen yang adalah adik mendiang Ra-
den Patah, Raja pertama Kesultanan Demak. Sebagai
adik kandung Raden Patah, Pangeran ini merasa kini
dialah yang paling punya hak untuk memegang tam-
puk kekuasaan tertinggi di Kesultanan Demak. Lalu
yang menjadi lawan Pangeran Sekar Seda Lepen ada-
lah Pangeran Prawoto yang bukan lain adalah putera
Sultan Trenggono sendiri, jadi sebenarnya masih me-
rupakan cucu Pangeran Sekar Seda Lepen sendiri.
Suatu ketika Pangeran Sekar bersama para
pengikutnya memasuki Kotaraja dari arah timur. Saat
itu malam hari. Udara mencucuk dingin karena siang-
nya telah turun hujan cukup lebat. Dia sengaja men-
gambil jalan berputar menyeberangi sebuah sungai un-
tuk menghindari pasukan kerajaan yang setia pada
Pangeran Prawoto yang berada di dalam kota dan pasti
bersiap siaga di berbagai penjuru Kotaraja.
Rencana Pangeran Tua Sekar adalah akan ber-
gabung dengan induk pasukannya di satu tempat ra-
hasia sebelum menyerbu Keraton Demak. Karena hu-
jan di siang hari, pada malam itu arus sungai cukup
deras. Pangeran Sekar dan rombongannya dengan me-
nunggangi kuda menyeberangi sungai dengan sangat
hati-hati. Yang mereka awasi bukan cuma arus yang
deras dan bisa menghanyutkan mereka, tetapi juga
pinggiran sungai di seberang sana karena tidak mus-
tahil bahaya bisa datang dari musuh yang bersem-
bunyi di tebing sungai. Kekhawatiran Pangeran Sekar
ternyata terbukti sesaat kemudian. Di malam yang
dingin dan sunyi dimana hanya suara deru arus sun-
gai yang terdengar tiba-tiba ada suara suitan dua kali berturut-turut. Lalu dari
dalam rimba belantara gelap di seberang sungai kelihatan berkelebatan puluhan
bayangan hitam.
Mata tajam Pangeran Sekar Seda Lepen segera
melihat dan menyadari datangnya bahaya. Saat itu dia
bersama tiga puluh orang anggota pasukannya telah
berada di tengah-tengah sungai. Cepat Sang Pangeran
berteriak. "Musuh di depan kita! Semua lekas balik ke te-
pi barat!"
Tiga puluh satu ekor kuda segera diputar ber-
balik ke arah tepi sungai dari mana mereka datang se-
belumnya. Ini bukan pekerjaan mudah. Selain bina-
tang tunggangan mereka masuk ke dalam air hampir
setinggi punggung, saat itu arus air deras sekali. Ketika dengan susah payah
akhirnya mereka bisa memu-
tar kuda masing-masing dan bergerak menuju tepian
yang berlawanan tiba-tiba salah seorang anggota pa-
sukan yang kini berada paling depan berseru tegang
sambil menunjuk.
"Celaka Pangeran! Kita terjebak! Lihat di sebe-
rang sana!"
Pangeran Tua Sekar Seda Lepen, diikuti semua
anggota pasukan lainnya memandang ke arah yang di-
tunjuk. Semua mereka sama terkejut. Wajah berubah
tegang. Tangan langsung meraba ke pinggang dimana
mereka menyisipkan senjata masing-masing.
Di seberang tepian sungai sebelah sana, pulu-
han sosok hitam muncul laksana setan gentayangan.
Rombongan Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang be-
rada di tengah kini terkurung antara dua tepian sun-
gai. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Jika bergerak ke arah kanan berarti
akan dihantam arus sun-
gai yang dahsyat. Jika membelok ke kiri bisa-bisa me-
reka akan diseret arus. Selagi pasukan di tengah sun-
gai itu berada dalam kebingungan tiba-tiba kembali
terdengar dua kali suara suitan. Lalu menyusul suara
menderu aneh. Di gelapnya malam puluhan benda me-
lesat dari dua tepian sungai. Ketika Pangeran Sekar
mendongak ke depan dan berpaling ke belakang terke-
jutlah dia! "Awas serangan panah!"
Pangeran Sekar segera cabut golok besar yang
tersisip di pinggangnya lalu dibabatkan seputar kepala dan tubuhnya.
"Traangg... tranggg... trangg...!"
Beberapa anak panah yang melesat ke arah ke-
pala dan badan Sang Pangeran terpental berpatahan.
Belasan anggota pasukan melakukan hal yang sama.
Coba membentengi diri masing-masing dengan putaran
pedang atau golok. Tapi tingkat kepandaian mereka ti-
dak setara Pangeran Sekar. Banyak dari mereka kelua-
rkan suara menjerit lalu jatuh ke dalam sungai dengan tubuh ditancapi panah.
Celakanya ternyata mata anak
panah itu oleh musuh diberi racun. Jadi walaupun
seandainya anggota pasukan yang terjebak di tengah
sungai itu masih bisa menyelamatkan diri dalam kea-
daan luka, racun panah tetap akan merenggut nya-
wanya! Makin lama anak panah beracun yang datang
menyambar semakin banyak dan ganas. Jeritan ter-
dengar di mana-mana. Yang masih bisa menyela-
matkan diri dalam bingungnya mencoba menceburkan
diri masuk ke dalam sungai. Tapi sosoknya segera dis-
eret arus! Sungai itu kini berubah menjadi neraka di
malam buta! Kalau saja kejadian itu berlangsung pada
siang hari. akan terlihat bagaimana air sungai yang tadinya bening kebiruan
telah berubah menjadi merah
oleh tumpahan darah!
*** KEESOKAN paginya, baru saja fajar menyings-
ing, dalam keadaan terang-terang tanah, di arah hilir sungai, tak berapa jauh
dari tempat terjadinya peristiwa pembantaian atas Pangeran Sekar Seda Lepen dan
tiga puluh anggota pasukannya, kelihatan puluhan
pasukan Kerajaan menarik sebuah jaring besar yang
rupanya sengaja dipasang di tempat itu sejak satu hari sebelumnya. Begitu jaring
diseret ke darat, yang berge-limpangan di dalam jaring besar itu bukan ikan atau
makhluk penghuni sungai lainnya, tetapi sosok tubuh
manusia yang sudah kaku, sembab membiru, penuh
luka-luka dan ada yang masih ditancapi anak-anak
panah beracun. Selain menghitung jumlah mayat yang
mereka temukan, para prajurit kerajaan itu juga mene-
liti satu persatu wajah para korban. Tak lama kemu-
dian, salah seorang diantara mereka yang agaknya ber-
tindak sebagai pimpinan meninggalkan tepian sungai
di sebelah timur. Dia melangkah cepat masuk ke da-
lam rimba belantara sejauh dua puluh tombak, baru
berhenti ketika mencapai sebatang pohon besar di de-
pan mana berdiri seorang berpakaian perwira muda
bertampang keren tetapi memiliki pandangan mata se-
dingin es. Perwira ini bernama
Tubagus Lor Putih. Di kalangan prajurit Demak
perwira muda ini tidak disenangi karena sifatnya yang kasar suka memaki dan
enteng tangan suka menempe-lengi bawahan.
"Apa yang akan kau laporkan! Aku lihat mu-
kamu redup seperti pantat kuali! Agaknya ada yang ti-
dak beres!" Sang Perwira menegur prajurit kepala yang mendatanginya.
Prajurit yang datang melapor itu kebetulan
memang berkulit hitam pekat. Dengan gerak-gerik
yang menunjukkan rasa takut dia memberi hormat la-
lu berucap. "Mo-hon maafmu Perwira. Jaring telah diangkat. Jumlah korban telah
dihitung. Semua ada tiga
puluh orang..."
"Tiga puluh"!" Tubagus Lor Putih mengulang.
Pandangan matanya yang dibesarkan membuat tam-
pangnya menjadi angker. "Hanya tiga puluh"!"
"Benar Perwira."
"Mata-mata memberitahu rombongan itu ber-
jumlah tiga puluh satu orang. Termasuk Pangeran Se-
kar Seda!"
"Mata-mata melaporkan hal yang betul. Tetapi
diantara para mayat justru mayat Pangeran itu yang
tidak ditemukan!"
Berubahlah air muka perwira muda Tubagus
Lor Putih. "Prajurit Jangan kau berani bergurau!" Sang Perwira membentak.
"Saya tidak bergurau, Perwira! Mayat yang di-
temukan hanya tiga puluh. Dan mayat Pangeran Sekar
Seda Lepen tidak ada di antara mereka."
"Berarti Pangeran itu berhasil meloloskan diri!
Luar biasa! Tidak mungkin!" Sepasang mata Perwira Tubagus Lor Putih memandang
dingin menyeramkan
pada prajurit kepala yang berdiri di hadapannya yang
kelihatan mulai gemetar ketakutan. "Pangeran Sekar"
memang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tapi itu bu-
kan jaminan dia bisa menyelamatkan diri dari kepun-
gan malam tadi! Lagi pula dia tidak kebal racun. Ma-
sakan tidak ada satupun anak panah yang sanggup
menyerempet tubuhnya! Aku juga sudah memerintah-
kan memasang jaring untuk menghambat setiap mayat
agar tidak hanyut ke hilir! Tapi Pangeran itu tetap lolos! Kau dan orang-orangmu
bekerja tolol sembrono!
Kau tahu apa artinya bagimu jika Pangeran itu benar-
benar berhasil melarikan diri"!"
Wajah prajurit kepala menjadi pucat. Dengan
suara gemetar dia menjawab. "Saya tahu kesalahan saya Perwira. Saya siap
dipancung...."
"Mauku memang menebas batang lehermu saat
ini juga!" kata Tubagus Lor Putih. Lalu plaakk! Tampa-rannya mendarat di pipi
prajurit kepala. Walau sakit-
nya tamparan itu bukan alang kepalang dan bibirnya
sampai pecah berdarah namun prajurit kepala ini ma-
sih mampu bertahan, tegak berdiri dengan kepala
menghuyung. "Dengar! Aku masih memberi kesempa-
tan padamu dan anak buahmu! Lakukan pemeriksaan
sekali lagi. Pergunakan kepandaian kalian menyelam.
Selidiki sampai ke dasar sungai. Mungkin mayat Pan-
geran itu terperangkap di dasar sungai atau tersangkut pada akar-akar pepohonan
di salah satu sisi sungai!"
"Siap melakukan perintah," jawab si prajurit kepala walau diam-diam dia merasa
yakin tidak akan
menemukan mayat Sang Pangeran. Sebelumnya dia
pernah mengabdi di tempat kediaman Pangeran Sekar.
Dia tahu betul bahwa adik mendiang Sultan Demak itu
memiliki kepandaian tinggi. Bukan mustahil dia telah
berhasil menyelamatkan diri dan saat ini tentu sudah
berada jauh dari tempat itu.
Sampai menjelang tengah hari dua sisi sungai
telah diselidiki, rimba belantara di kiri kanan sungai diperiksa, selusin
prajurit yang punya keahlian menyelam telah memeriksa dasar sungai sepanjang
puluhan
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki. Namun mayat, apa lagi sosok hidup Pangeran
Sekar Seda tidak berhasil ditemukan.
Untuk kedua kalinya si prajurit kepala datang
menghadap Tubagus Lor Putih.
"Mohon ampunmu, Perwira. Semua tempat su-
dah diperiksa, sungai sudah diselami sampai jauh ke
arah hilir. Tapi mayat Pangeran Sekar tetap tidak di-
temukan...."
"Hemmm.... Kalau begitu kau tunggu apa lagi"!"
ujar Tubagus Lor Putih.
Mendengar kata-kata atasannya itu si prajurit
kepala kelihatan menggigil sekujur tubuhnya. Dia ja-
tuhkan diri, berlutut di tanah. Suaranya seperti tercekik ketika berkata.
"Perwira, saya tahu kesalahan.
Saya siap dihukum mati. Namun jika kau mau berbe-
las kasihan, aku mohon pengampunan darimu..."
Tubagus Lor Putih menyeringai. "Setiap prajurit
yang tahu kesalahan, harus siap menerima hukuman!
Bukannya mengemis minta pengampunan!" Perwira
muda ini hunus golok panjang yang tergantung di
pinggangnya. "Perwira, aku mohon kau mau mempertim-
bangkan. Istriku baru saja melahirkan anak kami yang
pertama seminggu lalu...."
"Hemmmm... begitu" Lalu apa hubungan istri-
mu atau anakmu dengan hukuman yang harus kau te-
rima"! Sebagai prajurit kepala kau tidak berhasil me-
mimpin anak buahmu menangkap Pangeran Sekar. Ini
merupakan satu malapetaka besar bagi Demak. Diri-
mu telah menjadi biang racun jatuhnya malapetaka
itu. Lalu apakah artinya nyawa yang ada di dalam tu-
buhmu"!"
Mendengar ucapan atasannya itu si prajurit
kepala sadar bagaimanapun juga dia tidak bakal men-
dapat pengampunan. Maka tanpa daya prajurit yang
malang ini bungkukkan dadanya, angsurkan kepala ke
arah sang perwira.
Tubagus Lor Putih sesaat pandangi sosok ba-
wahannya itu dengan sikap dingin tanpa ada rasa be-
las kasihan sama sekali. Dia berpaling ke kiri, ke arah seorang prajurit tua
berwajah cekung. Perwira ini lemparkan goloknya pada prajurit tua itu seraya
berkata. "Kau kuberi kehormatan untuk memancung leher ata-
sanmu itu!"
Walau si prajurit tua menyambuti golok yang
dilemparkan, tapi apa yang didengarnya membuat tu-
buhnya jadi menggigil. Dia jatuhkan diri di tanah dan berkata. "Perwira, ampuni
diriku. Aku mohon jangan aku yang...."
"Tua bangkai tidak berguna! Kau harusnya
bangga mendapat kepercayaan melaksanakan tugas
itu! Seorang prajurit Demak tidak pantas menghindar
diri dari tanggung jawab! Apalagi membangkang men-
jalankan perintah atasan! Kurasa prajurit rongsokan
sepertimu memang sudah saatnya harus disingkirkan
lebih dulu!"
Selesai berucap kaki kanan perwira muda itu
melesat ke depan. Sosok prajurit tua mencelat ke uda-
ra lalu terbanting roboh di tanah begitu tendangan Tubagus Lor Putih melabrak
dadanya. Prajurit tua ini tak berkutik lagi. Tulang dadanya remuk, jantungnya
pecah. Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka.
Nyawanya putus!
Ketika tubuh prajurit tua itu mencelat ke uda-
ra; golok yang dipegangnya ikut terpental. Dengan satu gerakan cepat dan ringan
Tubagus Lor Putih melompat
ke udara, menyambar gagang golok. Begitu dia me-
layang turun, senjata itu dibabatkannya ke bawah. De-
ras sekali golok panjang itu menyambar ke arah teng-
kuk si prajurit kepala.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah
hilir sungai terdengar satu teriakan lantang. "Hentikan hukuman! Orang yang
kalian cari ada bersamaku!"
*** 14 KI DALEM SLEMAN
SEMUA orang di tempat itu termasuk perwira
muda Tubagus Lor Putih palingkan kepala ke arah
sungai. Mereka jadi terkesima melihat satu pemandan-
gan luar biasa. Sebuah rakit kecil terbuat hanya dari beberapa potongan bambu
hijau meluncur di permukaan sungai, datang dari arah hilir, melawan arus air
yang siang itu masih cukup deras.
Di atas rakit itu tegak seorang kakek berjubah
kuning. Walau sudah tua dan seluruh rambutnya telah
putih sikapnya tampak gagah. Seringainya mem-
bayangkan kekerasan hati. Di dadanya melintang se-
batang tombak yang pada ujungnya terikat sehelai
bendera berbentuk segi tiga warna kuning. Di bahu ki-
ri si kakek membelintang satu sosok tak bergerak, en-
tah masih hidup entah sudah jadi mayat. Yang jelas
pada bahu kanan orang ini menancap sebatang anak
panah yang telah patah bagian bawahnya. Sesekali
kakek ini celupkan kaki kanannya ke dalam air sun-
gai. Gerakannya ini membuat rakit bambu melesat ke
depan! Tegak di atas rakit kecil dengan beban manusia di bahunya, meluncur
melawan arus sungai yang deras dan pergunakan kaki sebagai pendayung! Sungguh
luar biasa! Siapa gerangan adanya kakek hebat ini"!
Di Keraton Demak orang tua itu dikenal dengan
nama Ki Dalem Sleman. Selama masa pemerintahan
Sultan pertama Kerajaan Demak yakni Raden Patah
dia dikenal sebagai pengabdi yang setia. Ketinggian il-munya membuat dirinya
bisa menduduki jabatan ting-
gi serta kepercayaan dari Sultan. Namun dari beberapa kalangan tertentu
diketahui bahwa walau Ki Dalem
Sleman sebenarnya adalah seorang berilmu tinggi teta-
pi tidak mempunyai pendirian. Hari ini dia bisa menja-di abdi atau sahabat
setia, tetapi besok bila keadaan lebih menguntungkan baginya maka dia bisa saja
bersikap culas menjadi pengkhianat tersembunyi. Ibarat
tanaman Ki Dalem Sleman adalah sebangsa ilalang liar
yang akarnya tumbuh merusak tanaman lain, dan bila
angin bertiup ke satu jurusan, ke arah itulah dia condong meliuk dan memagut.
Ki Dalem Sleman rupanya tahu juga kalau ba-
nyak orang baik di dalam maupun di luar
Keraton yang tidak menyukainya. Merasa ter-
ganggu dengan orang-orang yang mengetahui sifat pri-
badinya itu maka secara diam-diam satu persatu Ki
Dalem Sleman dengan berbagai cara mulai menying-
kirkan mereka. Banyak diantara orang-orang itu yang
kemudian menemui kematian secara aneh. Atau le-
nyap tak tahu rimbanya. Diantara mereka yang teran-
cam kedudukan bahkan jiwanya namun tidak mau
menantang Ki Dalem Sleman karena kekuasaan dan
kepercayaan Sultan terhadapnya sangat besar, secara
diam-diam menjauhkan diri dan meninggalkan kehi-
dupan Keraton. Salah seorang diantara mereka adalah
Ki Suro Gusti Bendoro, tokoh yang sudah pembaca
ikuti riwayatnya di awal cerita (Petir Di Mahameru Bagian 1) Secara halus orang
tua tokoh utama Keraton Demak ini menjauhkan diri lebih suka menghabiskan
waktu di satu tempat terpencil dan dalam kehidupan-
nya sehari-hari selalu menjalankan ibadah, mende-
katkan diri kepada Ilahi.
Lambat laun Sultan Demak mengetahui juga
perubahan sikap orang-orang kepercayaannya. Ki Suro
Gusti Bendoro diminta menghadap lalu ditanyai apa
sebabnya dia akhir-akhir ini lebih banyak berada di
luar Keraton. Sebagai orang berhati lurus dan selalu taat pa-
da ajaran agama Ki Suro Gusti Bendoro tentu saja ti-
dak mau menceritakan keburukan perilaku Ki Dalem
Sleman. Orang tua ini ingat akan satu fatwa Junjun-
gannya Nabi Muhammad Rasullullah yang kira-kira
mengatakan: Belum sempurna iman seorang Muslim,
jika dia membuka aib sesama Muslim lainnya. Ki Suro
ingin agar kelak Sultan sendiri nanti yang akan mengetahui sebab musababnya,
atau ada orang lain yang
memberitahu. Sejak Ki Suro Gusti Bendoro tidak lagi berada
di Keraton Demak, Ki Dalem Sleman boleh dikatakan
telah menjadi bayang-bayang kekuasaan di belakang
Sultan. Banyak sekali perkara atau keputusan yang
berada di bawah pengaruhnya. Tak lama setelah per-
temuan terakhir dengan Ki Suro Gusti Bendoro Sultan
Demak mangkat. Tahta Kerajaan dipegang oleh putera
mahkota Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pan-
geran Sabrang Lor. Entah mengapa dan tidak diketa-
hui Pati Unus hanya memerintah selama tiga tahun,
Pada tahun 1548 saudaranya yang bernama Pangeran
Trenggono menggantikannya sebagai Sultan Demak.
Semasa Ki Suro Gusti Bendoro berada Keraton
Demak Pangeran Trenggono sangat dekat dengan
orang tua itu. Karenanya begitu dia menduduki tahta
Kerajaan, Sultan Trenggono segera memerintahkan un-
tuk mencari dan meminta Ki Suro Gusti Bendoro da-
tang menemuinya. Dalam pertemuan yang kemudian
terjadi Sultan Trenggono meminta agar Ki Suro kemba-
li berada di lingkungan Keraton. Menghormati Raja
muda ini dan juga mengingat semua kebaikan men-
diang ayahnya yakni Raden Patah, Sultan terdahulu Ki
Suro bersedia kembali tapi dengan perjanjian dia
hanya akan tinggal di lingkungan Keraton selama satu
tahun. Sultan tak mau menampik karena merasa ke-
lak nanti dia akan mampu membujuk Ki Suro agar
mau tinggal lebih lama di lingkungan Keraton. Selama
berada dalam Keraton Ki Suro pada Setiap pertemuan
dengan Sultan Ki Suro lebih banyak membicarakan
hal-hal yang menyangkut keagamaan. Dia sengaja
menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan Ke-
rajaan karena saat itu dilihatnya pengaruh Ki Dalem
Sleman sudah mulai merasuk masuk ke dalam hati
dan pikiran Sultan. Apalagi Ki Dalem Sleman berhasil
pula merangkul seorang perwira tinggi yang sedang
naik daun yakni Brajanala hingga kekuatannya di da-
lam Keraton bertambah besar. Bilamana Sultan pada
akhirnya membawa pembicaraan pada hal-hal yang
menyangkut Kerajaan, Ki Suro selalu bicara hati-hati.
Dia tidak pernah menyalahkan orang lain, apa lagi
menyebut nama. Namun dalam hati sebenarnya Ki Su-
ro merasa sedih sekali. Dengan berbagai cara halus dia selalu mengingatkan
Sultan, namun agaknya pengaruh Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala su-
dah terlalu dalam dan besar.
Pada hari terakhir dia berada di Keraton, sebe-
lum pergi Ki Suro menghadap Sultan Trenggono. Un-
tuk pertama kalinya dia menyampaikan suara hatinya.
Dimintanya secara halus agar Sultan berlalu hati-hati, selalu waspada. Dalam
setiap perkara jangan hanya
membaca apa yang tersurat tapi coba menyelami arti
yang tersirat, jangan melihat apa yang terlihat dengan mata kasar tetapi ada
baiknya merenungi dengan mata
hati. Ki Suro tahu sekali Sultan Trenggono adalah seorang Raja yang alim taat
beribadat dan adil bijaksana dalam segala tindakannya. Namun Ki Suro meminta
agar semua tindakan itu disertai dengan satu pemiki-
ran akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi seandainya
dirinya kelak mangkat meninggalkan dunia fana ini.
Dalam hal ini Ki Suro sebenarnya menginginkan agar
sebelum wafat Sultan Demak itu membuat semacam
surat wasiat, siapa kelak akan menjadi penggantinya
menduduki tahta Kesultanan Demak.
"Ki Suro, mengapa Ki Suro meminta aku me-
nyiapkan semacam surat wasiat?" bertanya Sultan
Trenggono saat itu.
"Maafkan saya Sultan. Saya kira itu seyogianya
merupakan satu tradisi baru Kerajaan. Agar kelak se-
mua berjalan lancar di kemudian hari...."
"Agaknya kau menginginkan aku ini lekas
mangkat!" Ki Suro Gusti Bendoro membungkuk dalam-
dalam. "Maaf dan ampuni diri saya ini Sultan. Tiada pernah terpikir oleh saya
apalagi sampai menginginkan agar Sultan lekas mangkat. Seumpama kita berada di
tepi pantai. Laut yang kita lihat. Hari ini mungkin saja keadaannya tenang,
diselimuti segala keindahan. Tetapi bisa saja, setelah kita pergi tiba-tiba
cuaca berubah, badai datang, laut bergelombang. Kalau kita berlaku
waspada dan jauh-jauh hari meminta penduduk untuk
tidak membangun rumah terlalu dekat ke pantai, ma-
ka niscaya mereka akan terhindar dari malapetaka
yang tak satu manusiapun sanggup menghadapinya.
Berwaspada biasanya dilakukan sebelum bencana da-
tang melanda. Karena kalau bencana sudah di depan
mata, sulit bagi kita untuk menghindari...."
"Agaknya ada satu bencana yang kau lihat
akan menimpa Kerajaan Demak ini" Apakah ada
pengkhianat busuk di dalam Keraton ini Ki Suro?"
Tanya Sultan Trenggono pula yang membuat Ki Suro
Gusti Bendoro jadi tambah terpojok. Sebenarnya su-
dah sejak beberapa waktu lalu Ki Suro mendengar ka-
bar bahwa di dalam Keraton tengah terjadi satu perse-
kongkolan keji untuk menumbangkan tahta Sultan
Trenggono. Walau diam-diam dia sudah bisa menduga
siapa adanya orang-orang berhati culas itu, namun
untuk mengungkap atau mengadukannya kepada Sul-
tan, Ki Suro tak mau melakukan. Bisa saja keadaan
berbalik dan dirinya dituduh sebagai tukang fitnah,
culas. "Sultan, segala apa yang bakal datang sulit bagi manusia untuk
memastikan. Tetapi berjaga-jaga dan
berwaspada sambil tiada lupa memohon petunjuk Ilahi
adalah penting. Saya mohon agar Sultan tetap mem-
percayai semua orang di dalam lingkungan Keraton, te-
tapi sekaligus saya harap agar Sultan juga tidak begitu saja mempercayai semua
orang itu. Saya harap Sultan
mengerti maksud saya..."
Sultan Trenggono kerenyitkan kening lalu ge-
leng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti maksud ucapan Ki Suro meminta aku
mempercayai semua
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tapi sekaligus juga meminta tidak mempercayai
semua orang. Bagaimana ini...?"
Sebelum Ki Suro sempat menjawab, sebelum
pembicaraan selesai, saat itu ke dalam ruangan ma-
suklah Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala.
Mereka datang menghadap untuk melaporkan sesuatu
yang penting. Ki Suro segera bangkit berdiri. Sultan
memintanya agar tetap berada di ruangan itu tetapi
dengan berat hati Ki Suro minta diri. Dia juga me-
nyampaikan salam perpisahan pada Ki Dalem Sleman
dan Brajanala. Setelah menyampaikan laporannya kepada Sul-
tan; Ki Dalem Sleman membungkuk lalu berucap.
"Maafkan saya Sultan. Bukan maksud saya bersikap lancang ingin tahu urusan
orang. Tapi sehubungan
dengan salam perpisahan yang tadi disampaikan Ki
Suro Gusti Bendoro, apakah Sultan memang telah me-
lepas kepergiannya begitu saja?"
"Apa maksud pertanyaan Ki Dalem?" balik bertanya Sultan Trenggono.
"Selama ini saya dan Perwira Ki Brajanala me-
mang tidak pernah ingin mengusik orang, termasuk di-
ri Ki Suro Gusti Bendoro yang kami hormati itu. Na-
mun sejak setahun dia berada sini, berbagai kabar
menyangkut dirinya dibicarakan orang di luaran. Saya
terus terang menaruh khawatir. Tanpa menyelidik saya
tidak akan berani menjatuhkan tuduhan karena nanti
bisa dianggap menyebar fitnah. Kabarnya beberapa
waktu belakangan ini Ki Suro sering menemui Adipati-
Adipati tertentu. Setiap dia selesai menemui Adipati
anu, maka di. Kadipaten selalu terjadi latihan perang-perangan...."
Sultan Trenggono jadi terkejut mendengar kete-
rangan Ki Dalem Sleman itu. "Mengapa sebelumnya Ki Dalem tidak memberitahu
padaku?" Perwira Brajanala mendehem beberapa kali lalu
dia yang menjawab pertanyaan Sultan tadi. "Kami tidak berani melapor kalau belum
menyelidik sampai ke
akar-akarnya. Bisa saja latihan perang-perangan itu
untuk lebih menggalang kekuatan dan kewaspadaan
para prajurit Kadipaten." Ucapan sang perwira seperti membela tapi sesaat
kemudian dia menyambung dengan kata-kata yang membuat Sultan Trenggono jadi
tercenung. "Namun bukan mustahil pula semua itu
merupakan satu persiapan dari maksud atau tujuan
jahat terhadap Kerajaan..."
"Apalagi yang kalian ketahui tentang Ki Suro
Gusti Bendoro?" Sultan bertanya. Rahangnya nampak menggembung dan pelipisnya
bergerak-gerak pertanda
hawa kecurigaan yang menyatu dengan amarah mulai
merasuk dirinya.
"Mohon maaf Sultan, beri waktu kami barang
satu minggu lagi. Kami berjanji akan mengungkap sisi
hitam dari Ki Suro Gusti Bendoro lalu melaporkannya
pada Sultan. Hanya saja saat ini ada satu hal penting yang harus kami
beritahu..."
Sultan menatap wajah Ki Dalem Sleman yang
barusan bicara. Sultan anggukkan kepala. Menunggu
agak tegang apa yang bakal diterangkan pembantu ke-
percayaan, tokoh silat Keraton yang duduk di hada-
pannya itu. "Kemarin siang kami baru mengetahui kalau
salah satu barang pusaka dan keramat Kesultanan
Demak telah lenyap dicuri orang."
Sultan Trenggono sampai berdiri dari kursi ke-
besarannya karena terkejutnya mendengar ucapan Ki
Dalem Sleman itu. Dia memandang lekat-lekat ke wa-
jah si orang tua, lalu berpaling pada Brajanala. Setelah duduk kembali ke
kursinya diapun bertanya.
"Katakan, barang pusaka keramat yang mana
yang lenyap dicuri orang"!"
Ki Dalem Sleman tak segera menjawab. Dia pe-
jamkan matanya seolah apa yang hendak diucapkan-
nya itu sangat menyakiti hati dan perasaannya.
"Katakan saja Ki Dalem, jangan biarkan Sultan
menunggu," berbisik Perwira Brajanala.
"Kanjeng Kiai Pujoanom," ucap Ki Dalem Sle-
man akhirnya dengan suara gemetar. "Bendera pusaka keramat itu yang lenyap
dicuri orang."
Sultan Trenggono merasa seperti disambar pe-
tir. Dia terhenyak di kursi kebesarannya. Mukanya se-
saat pucat. Dua tangannya menggenggam ukiran tan-
gan kursi yang berbentuk kepala naga.
"Kraakkk!"
Tidak sadar Sultan telah kerahkan kekuatan
tenaga dalamnya hingga dua ukiran kepala naga tan-
gan kursi yang terbuat dari kayu jati keras hancur!
"Kalau bendera pusaka Kiai lenyap dicuri
orang, pertanda cepat atau lambat Kerajaan akan di-
landa malapetaka besar!" Sultan Trenggono untuk beberapa saat lamanya duduk tak
bergerak, hanya sepa-
sang matanya saja yang memandang mendelik tak
berkedip pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Tiba-
tiba dia membentak keras. "Kalian berdua! Apakah menurut kalian lenyapnya
bendera keramat itu bukannya pekerjaan Ki Suro Gusti Bendoro?"
"Kami berdua tidak berani menuduh tanpa
bukti..." kata Perwira Brajanala.
"Tapi," menyambung Ki Dalem Sleman. "Bukan mustahil memang dia pencurinya. Tadi
ketika kami berdua masuk, bukankah Sultan sendiri menyaksikan
bagaimana dia begitu tergesa-gesa ingin meninggalkan
ruangan ini" Sebagai tokoh yang dituakan di Keraton,
apalagi menjadi kepercayaan Sultan sungguh perbua-
tannya itu tidak pada tempatnya."
"Aku perintahkan pada kalian berdua! Lekas
kejar Ki Suro Gusti Bendoro. Hadapkan dia padaku!"
"Kami siap menjalankan perintah," kata Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala,
lalu bangkit berdi-
ri. Setelah membungkuk dan bersurut mundur ke dua
orang ini segera tinggalkan ruangan itu.
Sesampainya di kandang kuda Brajanala dan Ki
Dalem Sleman saling tersenyum-senyum. Setengah
berbisik Ki Dalem Sleman berkata. "Apa yang kita ren-canakan segera berhasil!
Ha... ha! Rasakan kau Ki Su-
ro Gusti Bendoro!"
"Ki Suro pasti belum jauh. Kalaupun dia sudah
meninggalkan Demak, kita bisa membentuk pasukan
khusus. Paling lambat sebelum senja datang dia sudah
bisa kita tangkap!"
Tapi ternyata tidak semudah itu mencari Ki Su-
ro Gusti Bendoro. Orang tua berilmu tinggi itu seolah
lenyap ditelan bumi. Sementara itu di Kesultanan De-
mak acap kali terjadi kerusuhan atau pemberontakan.
Ditambah pula dengan adanya kebijaksanaan memper-
luas daerah kekuasaan dan menyebar agama Islam.
Maka usaha untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro ser-
ing kali tertunda atau terpaksa dihentikan. Baru sekitar sepuluh tahun kemudian
Ki Suro berhasil mereka
temui di puncak Gunung Mahameru sebagaimana
yang dituturkan dalam Bagian Pertama.
*** 15 TAHTA DAN DARAH
KEMBALI pada peristiwa di sungai. Dalam ke-
terkejutan hampir semua orang yang ada di tepi sungai mengenali siapa adanya
orang tua di atas rakit bambu.
"Ki Dalem Sleman!" berseru perwira muda Tu-
bagus Lor Putih. "Kedatanganmu sungguh tidak terduga! Benarkah sosok di atas
bahu Ki Dalem adalah pan-
geran Sekar"!"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Silahkan kau me-
lihat sendiri Perwira Muda!" katanya. Dengan tangan kirinya orang tua ini
mengambil tombak yang bernama
Kiai Sepuh Plered yang tergantung melintang di da-
danya. Tombak ini ditancapkannya ke bambu rakit.
Ketika dia membuat gerakan melompat ke udara, rakit
bambu itu ikut terangkat ke atas, melayang sesaat lalu turun perlahan di tepi
sungai di depan barisan pasukan kerajaan. Banyak mulut berdecak kagum, banyak
mata membeliak besar melihat kehebatan ilmu kepan-
daian yang dipertunjukkan Ki Dalem Sleman itu. Tu-
bagus Lor Putih sendiri sebenarnya merasa sangat ka-
gum namun dia tidak mau memperlihatkan hal itu.
Perwira muda ini memang punya sifat sombong walau
terhadap orang lain yang jelas-jelas memiliki kepan-
daian atau kesaktian jauh lebih tinggi darinya.
Ki Dalem Sleman sesaat memandang berkelil-
ing. Lalu perlahan-lahan dia turunkan tubuh yang ada
di pundaknya, dibaringkan menelentang di tanah be-
cek. Semua orang memperhatikan. Yang tergeletak di-
tanah itu memang Pangeran Sekar adanya. Wajahnya
yang tua agak kebiruan. Bukan saja karena lama teng-
gelam di dalam air tetapi juga akibat racun panah yang menancap di bahu kanannya
dan berada dalam keadaan patah. Mungkin sang pangeran berusaha menca-
but panah itu tetapi patah.
Tubagus Lor Putih melangkah mendekati lalu
memeriksa. Wajahnya berubah.
"Dia masih hidup!" ujar sang perwira muda.
"Aneh, racun panah tidak membunuhnya. Tenggelam
di dalam air tidak mematikannya. Kalau tidak ada
yang menolong tak mungkin hal ini terjadi!" Perlahan-lahan perwira itu angkat
kepalanya dan memandang
pada Ki Dalem Sleman. Si orang tua mengerti maksud
pandangan itu. Tapi selama orang tidak bertanya dia
tidak akan mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba Tubagus Lor Putih angkat golok pan-
jang yang masih tergenggam di tangannya. Dengan ce-
pat senjata itu hendak ditusukkannya ke leher Pange-
ran Sekar. Tapi dua jari berkelebat menjepit badan golok hingga gerakan senjata
ini tertahan. Itulah dua jari Ki Dalem Sleman. Tubagus Lor Putih memandang
dengan mata dibesarkan pada tokoh silat Keraton Demak
itu. Dia segera kerahkan tenaga luarnya untuk mene-
ruskan tusukan. Tapi golok itu tidak bergeming dalam
jepitan dua jari Ki Dalem Sleman. Sang perwira ganti
mengerahkan tenaga dalam. Golok sesaat memancar-
kan cahaya terang namun cahaya itu meredup dan le-
nyap begitu Ki Dalem Sleman alirkan pula tenaga da-
lamnya. Merasa malu dan agar orang lain tidak tahu kalau dia telah pecundang
dalam pertarungan tenaga
luar dan tenaga dalam singkat itu, sang perwira muda
segera berucap lantang.
"Ki Dalem! Saya gembira berhasil menangkap
Pangeran yang lolos ini. Tapi mengapa kini kau mence-
gah saya membunuhnya"!"
Ki Dalem Sleman tersenyum.
"Perwira sombong, rasakan olehmu sekarang!"
kata Ki Dalem Sleman dalam hati sementara wajah
perwira muda di hadapannya tampak memercikkan
keringat. "Perwira Tubagus Lor Putih," Ki Dalem Sleman berucap. "Kau dan semua yang ada di
sini tahu kalau aku adalah orang dalam pengabdi Keraton Demak.
Adalah kewajibanku untuk menolong dan menyela-
matkan Pangeran Sekar. Karena dia adalah orang Ke-
raton. Lebih dari itu dia adalah adinda dari Sultan
Demak pertama!"
"Semua yang Ki Dalem katakan memang benar.
Tapi Ki Dalem lupa satu hal. Pangeran Sekar kini tak
lebih dari seorang penghujat, seorang pemberontak tua renta yang hendak merebut
tahta Kesultanan Demak
dari tangan Pangeran Prawoto, pewaris syah tahta!
Apakah Ki Dalem tidak merasa perbuatan Ki Dalem ini
satu hal yang keliru"!
"Perwira Muda, kau dengar dulu jawabanku,"
kata Ki Dalem Sleman dengan sikap tenang sementara
Tubagus Lor Putih tampak bergejolak dadanya tanda
amarah mulai menguasai dirinya. "Siapa adanya Pan-
geran Sekar dan juga siapa adanya Pangeran Prawoto
kita semua sudah tahu. Tapi siapa sebenarnya yang
berhak mewarisi tahta Kesultanan Demak, itu tergan-
tung dari sudut mana kita melihatnya. Pangeran Sekar
bisa menjadi Sultan karena dia adalah adik kandung
mendiang Raden Patah. Di lain pihak Pangeran Prawo-
to juga punya hak menduduki tahta Keraton Demak
karena dia adalah putera mendiang Sultan Trenggono.
Jadi dua-duanya sama-sama punya hak. Lalu siapa
yang harus menjadi Sultan" Siapa yang akan menjadi
Raja"!" "Ki Dalem, dari ucapanmu jelas saya tangkap bahwa kau membela Pangeran
Sekar. Kau ingin agar
Pangeran Sekar yang mewarisi tahta Keraton Demak.
Tetapi kau tidak mau melihat kenyataan. Pangeran tua
ini terjebak di tengah sungai ketika dia bersama pasukannya bersiap-siap
menyusun rencana menyerang
Kotaraja! Dia adalah seorang jahat! Seorang jahat tidak pantas dijadikan
Raja..." "Itu menurutmu Perwira Muda. Tapi menurut
orang lain, atau menurut Pangeran Sekar sendiri tin-
dakannya itu adalah untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan. Menegakkan yang hak dan menghan-
curkan yang batil..."
"Ki Dalem, kita bisa berdebat sampai sehari
semalam di tempat ini. Saya akan membawa pangeran
Sekar ke Kotaraja. Kerajaan nanti yang akan memu-
tuskan apakah dia ini seorang jahat atau seorang
pembela kebenaran dan keadilan!"
"Perwira Muda Tubagus Lor Putih, menyesal
sekali. Aku tidak akan menyerahkan Pangeran Sekar
padamu..."
"Kalau begitu harap maafkan. Saya terpaksa
memerintahkan pasukan untuk meminta Ki Dalem se-
gera meninggalkan tempat ini...."
"Tubagus... Tubagus...." kata Ki Dalem Sleman sambil geleng-gelengkan kepala.
Kali ini dia menyebut langsung nama si perwira muda tanpa menyebut
pangkatnya. "Kau terlalu pongah.... Kau ingin menghabisi Pangeran ini" Lalu
membawa jenazahnya ke ha-
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapan Pangeran Prawoto sekaligus memperlihatkan
bahwa kau adalah seorang. perwira yang telah sangat
berjasa pada Kerajaan" Tubagus, kau menganggap di-
rimu sebagai prajurit pembela Keraton Demak. Di mata
Pangeran Prawoto kau adalah pahlawan. Tapi di lain
pihak, di mata Pangeran Sekar kau adalah pengkhia-
nat jahat!"
"Ki Dalem, mulutmu sungguh berbisa, uca-
panmu mengandung racun!"
"Kau benar benar ingin menghabisi Pangeran
ini, Tubagus"!" Ki Dalem mengulang pertanyaannya.
Tubagus Lor Putih tak menjawab pertanyaan
orang. Dia kembali kerahkan tenaga dalam untuk me-
lepaskan jepitan dua jari Ki Dalem Sleman yang masih
mengancing goloknya. Kali ini tidak tanggung-
tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
ada. Apa yang dilakukan sang perwira sudah dimak-
lumi oleh tokoh tua Keraton Demak yang jadi lawannya
itu. "Kau benar-benar mau menghabisinya, kau
mau membunuhnya silahkan!" Ki Dalem Sleman reng-
gangkan jepitan dua jari tangannya lalu mundur satu
langkah, Perwira muda Tubagus Lor Putih yang berada
dalam pengaruh hawa amarah tidak berpikir lagi,
mengapa mendadak orang berubah pikiran. Dia lang-
sung saja tusukkan ujung golok ke leher Pangeran Se-
kar. Tak banyak darah yang muncrat dari tubuh yang
setengah kaku dan sudah lama pingsan itu.
"Ku harap sekarang kau sudah puas, Tubagus!
Tapi jangan harap kau akan mendapat bintang jasa
atau kenaikan pangkat!" kata Ki
Dalem sambil menyeringai. Lalu dengan satu
gerakan cepat orang tua ini menyambar jenazah Pan-
geran Sekar, memanggulnya di bahunya dan melang-
kah naik ke atas rakit bambu yang masih ditancapi
tombak Kiai Sepuh Plered.
"Tunggu!" Perwira muda Tubagus Lor Putih
berseru. Dia memberi isyarat pada pasukan. Belasan
prajurit segera mengurung Ki Dalem Sleman yang te-
nang saja melangkah ke arah rakit bambu.
Ki Dalem Sleman injakkan dua kakinya di atas
rakit. Tangan kirinya memegang batangan tombak. Dia
berpaling ke arah sang perwira muda.
"Hendak kau bawa kemana jenazah Pangeran
Sekar"!" bentak Tubagus Lor Putih.
"Kemana aku mau membawa adalah urusanku.
Kau sudah membunuhnya. Apakah menginginkan
mayatnya pula"!"
"Benar! Kau tidak boleh membawa mayat itu.
Tinggalkan di sini! Mayat itu milik Kerajaan!" jawab Tubagus Lor Putih.
Ki Dalem Sleman menyeringai.
"Kau terlalu mengada-ada Tubagus Lor Putih.
Adat mu sungguh buruk. Harap kau mencoba mawas
diri. Kalau tidak perjalanan hidup masa depanmu
akan seburuk adat yang kau miliki!"
Air muka Tubagus Lor Putih merah mengelam.
"Ki Dalem! Jika kau bersikeras hendak mem-
bawa mayat Pangeran Sekar, aku terpaksa memerin-
tahkan pasukan untuk merampas mayat itu!"
"Hemmm.... Kalau begitu silahkan kau coba!"
Mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman, Tuba-
gus Lor Putih segera berteriak pada anggota pasukan-
nya. "Kalian semua! Rampas mayat Pangeran Sekar!"
Belasan prajurit yang memang sudah mengu-
rung segera menyerbu. Tanpa mempergunakan senjata
mereka berusaha merebut jenazah Pangeran Sekar
yang tergeletak di pundak kiri Ki Dalem Sleman.
"Prajurit-prajurit malang! Aku tahu kalian
hanya menjalankan perintah! Aku tak mau menurun-
kan tangan jahat pada kalian! Jangan berani mende-
kat!" Ki Dalem Sleman berucap. Dia berkata tanpa memandang pada prajurit-
prajurit yang mendatanginya tapi menatap ke jurusan Tubagus Lor Putih.
Sesaat anggota pasukan yang hendak menyer-
bu jadi bimbang. Gerakan mereka tertahan. Tubagus
Lor Putih jadi marah. Dia membentak keras. "Lakukan perintahku atau kalian semua
akan menerima hukuman berat!"
Tak ada pilihan lain. Lebih dari selusin prajurit
serta merta menyerbu.
Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. Tan-
gan kiri dan salah satu kakinya bergerak. Lalu terden-garlah jeritan-jeritan
kesakitan. Empat prajurit mencelat mental, jatuh bergedebukan di tanah. Mereka
men- gerang kesakitan sambil pegangi kepala yang benjut,
hidung yang berdarah, dada yang patah tulang iganya
atau perut yang mau jebol. Di atas rakit Ki Dalem ma-
sih tampak tegak seolah tak bergerak dan matanya se-
perti tadi masih terus saja menatap ke arah Tubagus
Lor Putih. "Cabut senjata! Habisi orang tua itu!" teriak sang perwira muda.
Golok dan pedang dicabut keluar dari sarang-
nya. Belasan prajurit menghunus senjata. Lalu serem-
pak mereka kembali menyerbu Ki Dalem Sleman.
Orang tua di atas rakit ini gerakkan tangan kirinya,
mencabut Tombak Kiai Sepuh Plered yang sejak tadi
ditancapkannya di bambu rakit. Lalu di udara tiba-tiba berkiblat sinar hitam
berbentuk setengah lingkaran,
menyapu pulang balik tiga kali berturut-turut.
Suara beradunya senjata berdentrangan. Em-
pat patahan pedang dan dua patahan golok mental ke
udara. Lima prajurit berteriak kesakitan dan melompat mundur. Muka mereka
seputih kain kafan ketika melihat tangan, dada dan perut mereka mengucurkan da-
rah. Di sebelah kiri dua prajurit tergeletak di tanah dengan luka besar menguak
di leher. Keduanya mengerang panjang lalu tak berkutik lagi.
"Tubagus Lor Putih, jika kau masih hendak
memberi perintah yang bukan-bukan, aku tak segan-
segan membunuh semua anggota pasukanmu!"
"Ki Dalem Sleman! Apa yang kau lakukan ini
menyatakan bahwa kau sudah menjadi pemberontak
besar terhadap Kesultanan Demak! Aku akan mela-
porkan hal ini pada Sultan!"
"Aku ingin tertawa bergelak mendengar. kata-
katamu itu! Seharusnya aku yang akan melapor pada
Sultan tentang kebodohan dan kegagalanmu membe-
kuk Pangeran Sekar! Kalau aku tidak membantu me-
nangkapnya apa kau kira kau bisa membunuh Pange-
ran ini" Kau tidak lebih dari anak kecil yang hari ini menerima berkah dariku
untuk aku suapi sesendok
bubur enak! Ha... ha... ha!"
Merah padam muka Tubagus Lor Putih men-
dengar ejekan Ki Dalem Sleman itu. Amarah membuat
dia ingin menyerang sendiri si orang tua. Tangannya
yang masih menggenggam hulu golok sampai bergetar
menahan geram. Tapi dia maklum Ki Dalem Sleman
bukan lawannya. Kalau dia nekad menyerang kakek
sakti itu bisa merubuhkannya dalam satu gebrakan
saja. "Pemberontak tua! Lekas kau tinggalkan tempat
ini! Mulai hari ini kau akan menjadi orang buronan!"
Ki Dalem Sleman tersenyum. Dia memandang
pada prajurit kepala yang tadi hendak dipancung oleh
Tubagus Lor Putih.
"Prajurit kepala, bangkitlah! Mendekat kemari!"
Ki Dalem Sleman berkata pada prajurit itu seraya
memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Si prajurit
sendiri sampai saat itu masih berlutut di tanah karena tadi sebenarnya dia sudah
siap menerima hukuman.
Inilah kehebatan sifat seorang prajurit Demak. Walau
berbagai hal telah terjadi di sekitarnya di depan ma-
tanya namun sebagai orang yang hendak dihukum dia
tidak mempergunakan kesempatan untuk menyela-
matkan diri. Bahkan sedikitpun dia tidak bergerak dari tempatnya semula. Namun
kali ini suara ucapan Ki
Dalem Sleman terdengar begitu berwibawa. Hingga
prajurit kepala berkulit hitam ini bangkit berdiri dari berlututnya lalu
melangkah mendekati Ki Dalem Sleman. Si kakek pandangi prajurit itu dari kepala
sam- pai ke kaki. "Siapa namamu prajurit?"
"Saya bernama Gedeng Kemitir, Ki Dalem..."
"Gedeng Kemitir, apakah kau merasa masih ada
gunanya bergabung dengan atasan yang hendak
menghabisi nyawamu di kala istrimu baru satu minggu
melahirkan" Padahal kesalahan itu semuanya adalah
menjadi tanggung jawab atasanmu Perwira Muda ber-
nama Tubagus Lor Putih itu?"
"Ki Dalem, apa maksud ucapanmu" Jangan
kau berani menghasut! Jaga mulutmu! Aku sudah
memberi kebebasan padamu untuk meninggalkan
tempat ini! Mengapa masih mau berbuat macam-
macam"!" Tubagus Lor Putih tak dapat menahan amarahnya. Lupa sudah dia kalau
orang tua itu bukan
tandingannya. Golok panjang di tangan kanannya di-
babatkannya ke batok kepala Ki Dalem Sleman.
Selagi senjata tajam itu terayun dari atas ke
bawah, tangan kanan Ki Dalem Sleman bergerak lebih
dulu, menyodok kebagian tubuh antara tulang dada
dan deretan tulang iga di rusuk kanan sang perwira
muda. "Bukkk!"
Tubagus Lor Putih terlempar empat langkah, ja-
tuh duduk di tanah. Goloknya terlepas, jatuh menan-
cap di sebelahnya. Dia berusaha bangkit tapi tidak
mampu. Tubuhnya sebelah kanan terasa sakit dan ka-
ku. Seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu, Ki
Dalem Sleman kembali bertanya pada prajurit kepala
yang berdiri di depannya.
"Gedeng Kemitir, aku bertanya sekali lagi. Apa-
kah kau masih ingin bergabung dengan pasukan yang
dipimpin oleh seorang atasan berpikiran sesat berjiwa pongah"!"
"Saya... saya tidak tahu Ki Dalem," menyahuti si prajurit kepala.
"Dengar ucapanku Gedeng Kemitir. Kau tak
punya tempat lagi dalam barisan prajurit Kerajaan. Ji-ka kau tetap bertahan
nasib buruk menunggu masa
depanmu. Sama saja kau diam di sarang harimau.
Naik ke atas rakit ini. Ikut bersamaku. Aku akan
memberikan beberapa ilmu kepandaian padamu. Lain
waktu jika kau kembali ke Kotaraja, kau boleh menye-
lesaikan urusan dengan atasan yang hendak meman-
cung kepalamu itu!"
"Saya seorang prajurit Demak. Saya harus pa-
tuh pada atasan dan Kerajaan!" jawab Gedeng Kemitir.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Seorang prajurit
harus patuh pada atasan. Tapi atasan yang mana"
Bukan pada atasan yang zolim, yang hendak mengha-
bisi mu dan bersembunyi dibalik tanggung jawabnya.
Kesetiaanmu pada Kerajaan akan diputar balik oleh
Perwira Muda itu. Kau hanya akan dijadikan tumbal
kesalahannya untuk melindungi dirinya sendiri di ha-
dapan Sultan!"
"Ki Dalem! Kau benar-benar penghasut jahat!
Busuk!" teriak Tubagus Lor Putih. Lalu dia berteriak pada prajurit kepala.
"Lekas kembali ke tempatmu dan berlutut!"
Gedeng Kemitir memandang pada Ki Dalem
Sleman lalu berpaling menatap atasannya sang perwi-
ra, muda. Akhirnya prajurit kepala ini gerakkan ka-
kinya melangkah. Bukan ke arah Tubagus Lor Putih,
tapi naik ke atas rakit, tegak di belakang Ki Dalem
Sleman. Si orang tua tertawa mengekeh. "Tubagus Lor
Putih, kau dan semua yang ada di sini melihat sendiri apa yang terjadi. Prajurit
Kepala bawahan mu telah
menjatuhkan pilihan. Dia ikut denganku! Kelak di ke-
mudian hari apa yang telah kau perbuat terhadapnya
akan kau terima balasannya langsung dari dirinya
sendiri!" "Tua bangka jahanam! Sultan akan menghu-
kum mu!" Tubagus Lor Putih berusaha bangkit tapi dia mengerang kesakitan dan
jatuh terduduk kembali di
tanah. Di atas rakit Ki Dalem Sleman pegang Tombak
Kiai Sepuh Plered dengan tangan kirinya. Kaki kanan-
nya dijejakkan ke tanah. Debu mengepul. Rakit bambu
itu melesat ke atas, melayang berputar lalu menukik
ke arah tengah sungai. Tak lama kemudian rakit dan
penumpang di atasnya meluncur ke hilir mengikuti ali-
ran arus yang masih deras.
*** BERSAMBUNG KE BAGIAN - 4
KUNGFU SABLENG OH-SE GONG WADAM
(WADAM SINTING PENGACAU DUNIA)
*** 1 DI DALAM gelap, orang bertubuh pendek hitam
itu hampir tidak terlihat. Apalagi dia mengenakan pa-
kaian serba hitam dan berdiri di bawah bayang-bayang
satu pohon besar. Sambil mengusap dagunya yang di-
tumbuhi bisul-bisul besar karena alergi akibat terlalu banyak makan udang rebus,
dia menatap ke depan, ke
arah sebuah gedung besar dan mewah.
"Jadi ini gedung kediaman Cong Wangwe (Har-
tawan Cong) yang kesohor itu. Menurut keterangan
yang aku dapat. Go Bang An, salah seorang murid Oh-
se Gong Wadam alias Wa-dam Sinting Pengacau Dunia
bekerja di sini. Jika aku bisa memancing si Gobangan
itu keluar dari sarangnya, mungkin sekali aku bisa
mengetahui dimana beradanya Oh-se Gong Wadam."
Selagi dia berpikir-pikir mencari akal mendadak
orang di bawah pohon itu merasakan perutnya mulas.
"Celaka! Mungkin ini gara-gara terlalu banyak makan bakpau basi!" Saking tidak
tahannya, orang ini dodor-kan celananya lalu mendekam di dekat tembok gedung
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang gelap. Baru sempat mengedan satu kali tiba-tiba
ada suara gonggongan anjing. Sesaat kemudian seo-
rang bertubuh tinggi besar, berewokan dan kumis me-
lintang muncul. Sambil menghunus pedang orang ini
membentak. Sebagai pengawal cabang atas dia sudah
terlatih dalam hal penciuman (bukan berciuman) Segi-
tu bau sedap menembus liang hidungnya dia segera
mengetahui sedang apa si pendek hitam di dekat tem-
bok itu. "Aku Go Bang An! Pengawal Kepala gedung kediaman Cong Wangwe! Monyet
dari gunung mana be-
rani mati buang air besar di depan gedung Cong
Wangwe!" Orang yang jongkok dalam gelap cepat rapikan
celananya dan berdiri terbungkuk-bungkuk. Bukan
menghormat sang Kepala Pengawal gedung tapi mak-
lum masih ngepet alias belum cebok.
"Pengawal, Ose jangan salah sangka. Torang
bukannya buang air besar tapi cuma berak sadikit.
Kebelet mules!"
"Jangkrik! Berak itu masih keponakannya
buang air besar tau"!"
"Kalau begitu maafkan torang. Torang trada ta-
hu kalau ini Cong Wangwe pe rumah."
"Eh"!" Go Bang An kerenyitkan kening dan de-likkan mata. Dia baru sadar.
"Manusia hitam pendek dan jelek! Tampang dan bentuk tubuhmu jelas bukan
orang sini! Logat bicaramu apalagi! Siapa kau sebenarnya"! Mungkin makhluk
jejadian yang kesasar malam
hari, mau berbuat jahat di gedung Cong Wangwe!"
"Ah, ose pe mata dan talinga tajam sekali! To-
rang memang bukan orang sini. Tapi torang bukan
makhluk jejadian bangsa jin atawa dedemit! Torang da-
tang dari jau. Naek prau. Kerdampar di Tionggoan ini.
Torang pe nama Pati Raja Lo Ngok!" (Tionggoan = Daratan Tiongkok).
"Pati Raja Lo Ngok! Mama aneh! Tapi cocok
dengan kulitmu yang hitam seperti pantat kuali! Ha...
ha... ha!" Go Bang An hentikan tawanya. Lalu berkacak pinggang. Sambil
melintangkan golok di depan dada
dia berkata. "Tikus gosong! Untuk kekurang ajaran mu be-
rani buang air di depan gedung Cong Wangwe kau ha-
rus didenda setengah tail perak! Atau kau tinggalkan
salah satu daun telingamu di sini! Boleh pilih! Ha...
ha!" Mendengar ancaman sadis itu orang mengaku
bernama Pati Raja Lo Ngok jadi mengkeret nyalinya.
Lengkap dengan dua daun telinga saja tampangnya
sudah begitu jelek. Apa lagi kalau sempat dia harus
menyerahkan salah satu daun telinganya! Dari dalam
saku bajunya dia segera keluarkan satu tail perak. "Torang tra sangka ose bisa
ba pungli jua!" kata Pati Raja Lo Ngok. "Ini satu tail Kembalikan setengah
tail!" Go Bang An meraba-raba saku pakaiannya. Dia
tidak punya kembalian setengah tail. Sesaat dia agak
bingung. Tapi otaknya segera jalan dan mulutnya enak
saja berucap. "Aku tak ada kembalian setengah tail.
Sudah, begini saja. Situ buang air saja sekali lagi. Jadi pas! Tidak perlu
kembalian setengah tail!"
"Pemeras kecil brengsek!" maki Pati Raja Lo Ngok. "Kurang ajar! Kau berani
menghina. Siapa bilang barang sex-ku kecil! Apa situ pernah lihat"!" Go Bang An
marah besar akibat salah mengerti.
"Majikannya Cong Ngek. Pengawalnya To Rek!"
Pati Raja Lo Ngok mendumal lalu tinggalkan tempat itu dalam keadaan ngepet alias
belum cebok! Keesokan paginya peristiwa malam itu dicerita-
kan Go Bang An pada kawan-kawan nya sesama pen-
gawal. Salah seorang diantara mereka yang bernama
Tong Bo Khek lantas membisikkan sesuatu pada Go
Bang An. Go Bang An menyeringai. "Kau betul. Kalau begitu mari kita cari dia.
Tidak sulit menemukan orang asing di kota ini. Apa lagi orang pendek hitam!
Ha... ha... ha!"
Sebenarnya bukan rahasia lagi. Go Bang An
dan Tong Bo Khek serta dua kawannya yang bekerja
sebagai pengawal di gedung kediaman Cong Wangwe
adalah Juga orang-orang yang menyalah gunakan ke-
kuasaan. Mereka diketahui adalah sebagai kelompok
empat tukang peras.
*** 2 HOTEL Hill Tong yang ada di pusat kota meru-
pakan hotel paling besar dan mewah di daratan Tiong-
goan pada masa itu. Pati Raja Lo Ngok menginap di se-
buah kamar di tingkat dua. Saat itu dia tengah asyik
bersenang-senang dengan seorang gadis panggilan ke-
las atas yang dikenal dengan nama Nio Ling Lung.
Sedang asyik-asyiknya dua makhluk di dalam
kamar, tiba-tiba pintu didobrak dan empat orang me-
lompat masuk ke dalam. Mereka bukan lain adalah Go
Bang An, Tong Bo Khek dan dua kawannya.
Nio Ling Lung terpekik kaget. Cepat-cepat dia
menyusup sembunyi di balik seperai. Sedang Pati Raja
Lo Ngok yang marah besar lupa diri, langsung saja me-
lompat dari ranjang dalam keadaan berbugil ria.
"Pemeras sialan! Ose lagi rupanya! Ose berani
masuk kamar orang! Ose mau bikin apa"! Lekas ke-
luar! Atau torang panggil keamanan hotel!"
"Aha! Loya! Tenang! Tenang...." kata Go Bang An menyeringai, (Loya = Tuan besar)
Dia dan kawan- kawannya merasa lucu melihat sosok Pati Raja Lo
Ngok yang berdiri marah tanpa pakaian seperti itu. Pa-ti Raja Lo Ngok rupanya
sadar juga dan cepat-cepat
menyambar selimut untuk ditutupi ke badannya. "Ka-mi mau bicara sikitlah sama
loya!" kata Go Bang An sambil kedipkan matanya pada sobatnya yang bernama Tong
Bo Khek. "Setan! Torang seng ada waktu bicara dengan
kalian!" (seng = tidak)
"Tenang loya. Seng ada atau seng atap harap
suka dengar dulu!" kata Go Bang An. "Kami mendapat perintah melakukan
pengusutan. Sebagai orang asing
loya dituduh mengedarkan uang perak palsu. Satu tail
perak yang Soya ada kasih tadi malam ternyata palsu.
Luarnya memang perak tapi dalamnya timah! Loya ter-
paksa kami bawa ke kantor pos. Maaf, maksudku ke
kantor polisi!"
Pati Raja Lo Ngok kelihatan kaget. Sesaat ke-
mudian mukanya jadi pucat. "Mana torang tahu kalau uang satu tail itu palsu!"
Tong Bo Khek melangkah mendekati Pati Raja
Lo Ngok lalu menepuk-nepuk bahu si pendek hitam.
"Loya kulit hitam. Kami tahu loya orang baik. Kami tidak mau bikin loya jadi
susah. Bagaimana kalau kita
atur damai saja. Semua bisa diatur di Tionggoan ini.
Loya senang kami gembira. Pembeli dan penjual sama-
sama untung! Hay yaaa!"
Go Bang An ikut menimbrungi ucapan teman-
nya. "Jangan khawatir loya Pati Raja Lo Ngok. Kami tidak akan melakukan
pengusutan. Apalagi membawa
loya ke kantor polisi. Asal loya tau sama tau semua
pasti beres!"
"Bilang saja, ose semua maunya apa"!" tanya Pati Raja Lo Ngok.
Go Bang An menyeringai. "Kami cuma butuh
lima puluh tail perak! Begitu menerima, kami segera
tinggalkan kamar ini. Loya bisa senang-senang lagi
dengan nona cantik di balik seperai itu! Ha... ha... ha!"
Pati Raja Lo Ngok agaknya tidak mau mencari
kesulitan. Dari dalam lemari hotel diambilnya sebuah
kantong kain lalu diserahkan pada Go Bang An. "Ini ambil for ose! Di dalamnya
ada lebih dari lima puluh
tail perak!"
Go Bang An segera sambar kantong kain itu.
Tapi Tong Bo Khek cepat pegang tangan temannya itu
seraya berkata. "Tunggu dulu. Kita periksa dulu isi kantong ini!" Lalu Tong Bo
Khek membuka tali ikatan kantong. Begitu kantong terbuka isinya ternyata bukan
uang perak melainkan gundu alias kelereng! Tong
Bo Khek langsung lemparkan kelereng itu ke lantai. Go Bang An dan dua kawannya
meradang marah.
"Loya keparat! Berani menipu!" Serentak Go
Bang An melompat menyergap Pati Raja Lo Ngok. Tong
Bo Khek ikut hantamkan serangan. Dua orang lainnya
juga tak tinggal diam. Perkelahian satu lawan empat
segera berkecamuk di dalam kamar sementara Nio Ling
Lung terpekik-pekik ketakutan.
Go Bang An dan kawan-kawannya tidak pernah
mengetahui siapa sebenarnya si pendek hitam yang
mereka keroyok ini. Setelah dua jurus menggempur
dengan tangan kosong tanpa hasil, Go Bang An mem-
beri isyarat. Kelompok empat pemeras segera cabut go-
lok masing-masing kembali Nio Ling Lung menjerit-jerit ketakutan.
Sebaliknya Pati Raja Lo Ngok kelihatan tenang
saja. Dengan satu gerakan enteng dia melompat ke
atas ranjang. Begitu empat golok menderu ke arahnya,
si pendek hitam ini berkelebat laksana angin. Terden-
gar suara bak-buk-bak-buk berulang kali dibarengi
suara jeritan Go Bang An dan kawan-kawannya.
Sesaat kemudian empat penyerang sudah ber-
geletak di lantai. Go Bang An bocor keningnya. Tong
Bo Khek kucurkan darah dari mata kirinya yang me-
lembung bengkak. Dua orang lagi melingkar sambil
mengerang karena tulang hidung patah dan bibirnya
pecah! Go Bang An dan dua kawannya merangkak ke
pintu. Tong Bo Khek rupanya masih penasaran. Sam-
bil tekap matanya yang bocor dia bangkit berdiri, me-
nyambar golok di lantai lalu kembali menyerang Pati
Raja Lo Ngok. Dia menyerang dengan jurus bernama
"Kuda hamil merangkul pejantan." Yang diserang ber-kelit ke kiri lalu kaki
kanannya bergerak.
"Bukkk!"
Tong Bo Khek meraung setinggi langit. Golok-
nya mental. Tubuhnya terlempar ke luar pintu kamar.
Megap-megap dia berusaha bangun tapi rubuh lagi.
Kawan-kawannya segera menolong.
"Apamu yang kena"!" tanya Go Bang An.
"Torpedo ku.... Monyet hitam itu menendang
torpedo ku!" jawab Tong Bo Khek lalu lidahnya terjulur dan matanya mencelet.
Pingsan! *** 3 SORE itu Pati Raja Lo Ngok baru saja selesai
mandi. Sambil bersiul-siul menyanyikan lagu O U La
The dia berganti pakaian. Baru selesai mengenakan
pakaian yakni sehelai baju hitam dan sehelai kain sa-
rung, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu. Yang datang ternyata adalah seorang
pelayan. Mukanya pucat dan
nafasnya memburu.
"Celaka tayjin! Celaka!" (Tayjin = tuan be-
sar/orang kaya)
"Tahi jin"! Ose bilang torang tahi jin"!" Pati Raja Lo Ngok pelototkan mata dan
membentak marah.
Si pelayan gelengkan kepala. "Celaka, celaka
tuan besar..."
"Eh, ose ini gila atau bagaimana" Apa yang ce-
laka"!" "Mereka datang! Go Bang An dan tiga kawannya. Tapi mereka bukan cuma
berempat. Go Bang An
membawa serta gurunya yang bernama Oh-se Gong
Wa-dam alias Wadam
Sinting Pengacau Dunia. Dan Wadam ini mem-
bawa pula empat orang anak muridnya!"
Si pelayan terheran-heran ketika melihat Pati
Raja Lo Ngok bukannya terkejut mendengar keteran-
gannya tapi malah tersenyum.
"Pelayan, bagus ose sudah memberitahu. To-
rang sebenarnya memang sudah lama mencari Oh-se
Gong Wa-dam. Ternyata torang pe pancingan berhasil.
Oh-se Gong Wa-dam akhirnya keluar juga dari sarang-
nya!" Pati Raja Lo Ngok lalu melangkah ke jendela. Di halaman bawah sana dia
melihat Go Bang An dan
Tong Bo Khek serta dua kawannya. Keempatnya berte-
riak-teriak sambil acungkan golok dan memandang ke
arah jendela kamar Pati Raja Lo Ngok. Di dekat mereka berdiri empat pemuda
berpakaian serba kuning. Rambut dikuncir dan lucunya muka mereka dipoles bedak
dan gincu tebal!
Agak ke depan dari barisan delapan orang itu
berdiri seorang tinggi besar berpakaian dan berdandan aneh. Di sebelah atas
orang ini mengenakan baju
kembang-kembang. Rambut dipotong pendek alias
yongen. Muka di pupur bedak tebal seperti dempul.
Bibir dicat merah mencorong dan alis tebal sehitam
arang. Pada daun telinganya mencantel anting-anting
bundar besar. Di sebelah bawah orang ini mengenakan
rok model pendek sekali, berkaos kaki merah dan me-
makai sepatu lars! Inilah dia Oh-se Gong Wadam alias
Wadam Sinting Pengacau Dunia.
"Pati Raja Lo Ngok! Jangan sembunyi di dalam.
kamar! Lekas keluar menerima hukuman!" Go Bang An berteriak sambil acung-
acungkan goloknya. Sementara
Oh-se Gong Wa-dam tegak rangkapkan tangan di atas
dada. Saat itu orang banyak mulai berkerumun di ha-
laman hotel Hill Tong.
Pati Raja Lo Ngok kencangkan sarungnya, ke-
nakan kain hitam pengikat kepala lalu keluar dari ka-
mar. Begitu turun ke halaman dia segera melangkah
ke tempat Go Bang An dan Kawan-kawannya dan ber-
diri empat langkah di hadapan Oh-se Gong Wa-dam.
Sesaat dua orang itu saling beradu pandang. Lalu Wa-
dam Sinting Pengacau Dunia sunggingkan senyum si-
nis dan membuka mulut.
"Pati Raja Lo Ngok! Lama tak bertemu ternyata
kau masih jelek-jelek saja seperti dulu. Hik... hik! Aku sudah tahu apa tujuanmu
muncul di kota ini. Rupanya kau kurang menyadari tingginya gunung Thay-
san. Jauh-jauh kau datang ke Tionggoan hanya untuk
mencari mati! Sungguh satu kesia-siaan tolol!"
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pati Raja Lo Ngok balas menyeringai. "Ose kira
dengan kabur ke Tionggoan ini bisa menyelamatkan
dirimu dari pembalasan hukuman" Ose membunuh
sahabatku Madame Du Lepet, Ketua Persatuan Wadam
Taman Lawang. Torang datang untuk menjemput mu.
Ose akan diadili di negeri asalmu. Tapi jika ose berani membangkang, maka
terpaksa ose pe nyawa dihabisi
di tempat ini juga!"
Wadam Sinting Pengacau Dunia tertawa gelak-
gelak. "Pati Raja Lo Ngok, ternyata kesombonganmu tidak berubah sejak dulu!
Seharusnya kepalamu ku pi-
sahkan dengan badan saat ini juga! Tapi lama-lama
kulihat kau kelihatan antik juga. Akhir-akhir ini aku suka barang antik. Dengar
Raja Lo Ngok, aku akan
ampuni selembar nyawamu. Tapi syaratnya kau suka
ikut aku ke tempat kediamanku dan melayani diriku
sebagai seorang istri!"
Tampang hitam Pati Raja Lo Ngok jadi menghi-
tam legam. "Wadam Sinting buronan dari Taman La-
wang! Kau juga tidak berubah. Seumur-umur hidup
kacau balau tak karuan. Ajakanmu menarik juga! Tapi
ose lupa! Tuan besarmu ini tidak suka main wadam.
Perawan dan janda saja bertaburan di delapan penjuru
angin. Masakan torang mau bersuka-suka dengan wa-
dam rongsokan macam ose begini!"! Ha... ha... ha!"
Marahlah Oh-se Gong Wa-dam mendengar
penghinaan itu. Apa lagi di hadapan sekian banyak
mata, termasuk murid-muridnya sendiri. Dia maju sa-
tu langkah tapi Tong Bo Khek dan Go Bang An serta
empat muridnya yang berpakaian kuning segera men-
cegah, "Suhu, biar kami yang membereskan monyet hitam ini!"
Oh-se Gong Wa-dam gelengkan kepala. Ma-
tanya tak berkesip. "Urusan ini aku yang harus menye-lesaikan. Monyet hitam ini
sejak aku masih di Taman
Lawang sudah bikin susah diriku!"
Tangan kanan Wadam Sinting Pengacau Dunia
bergerak ke balik dada pakaiannya. Semula semua
orang mengira dia akan mengeluarkan senjata berupa
golok atau pedang. Tapi yang kemudian tergenggam di
tangannya ternyata adalah sebuah BH alias kutang
ukuran 42 B-Cup. Wadam Sinting Pengacau Dunia
maju lagi satu langkah. Kali ini sambil putar-putar BH
di tangannya. Begitu hebatnya hingga mengeluarkan
suara menderu bersiuran. Debu dan kerikil beterban-
gan. Daun-daun pepohonan berguguran. Ranting-
ranting ada yang berpatahan. Dan BH itu terus mende-
ru menebar bau aneh seperti bau minyak rem yang
sudah apak! "Pati Raja Lo Ngok! Diberi susu kau minta ra-
cun! Biar kepalamu kuhancurkan dengan penutup su-
su ini!" "Wuuttt!"
BH di tangan Wadam Sinting Pengacau Dunia
menghantam ke arah batok kepala Pati Raja Lo Ngok.
Yang diserang cepat merunduk. Tapi secara aneh
ujung BH membalik dan breett! Dada pakaian Pati Ra-
ja Lo Ngok robek besar. Orang ini cepat melompat den-
gan wajah berubah. Wadam Sinting Pengacau Dunia
tertawa bergelak.
"Kini baru kau sadar kalau kau tak bakal bisa
kembali ke kampung halamanmu! Hik... hik... hik!"
"Wadam sinting! Jangan bicara takabur! Lihat
serangan!" teriak Pati Raja Lo Ngok. Lalu tubuhnya melesat ke atas. Sambil
melompat tangannya menyelinap ke balik sarung. Sesaat kemudian ketika tangan
itu keluar dari sarung kelihatan dia memegang celana
kolornya yang dekil butut. Begitu celana itu dike-
butkan di udara, angin laksana badai menggebu dan
bau tidak sedap menyesakkan pernafasan. Go Bang An
dan Tong Bo Khek serta dua kawannya, juga empat
murid Oh-se Gong Wa-dam terhuyung-huyung lalu ja-
tuh bergedebukan di tanah. Hanya Oh-se Gong Wa-
dam sendiri yang masih tegak di tempatnya pertanda
dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
Di halaman Hotel Hill Tong segera berkecamuk
pertempuran seru jadi tontonan yang mengasyikkan
dan aneh karena masing-masing yang berkelahi me-
megang senjata aneh. Satu selembar BH ukuran 42,
satunya lagi sehelai kolor dekil.
Bagaimanapun tingginya ilmu silat Oh-se Gong
Wa-dam ternyata masih berada di bawah tingkat ke-
pandaian Pati Raja Lo Ngok. Setelah saling baku han-
tam selama dua puluh jurus, pada jurus ke dua puluh
satu Pati Raja Lo Ngok berhasil menyekap dan mema-
sukkan kolornya ke kepala lawan. Oh-se Gong Wadam
kelabakan, tak bisa bernafas dan tubuhnya menjadi
lemas mencium bau kolor yang aneh itu. Sebelum wa-
dam bersepatu lars itu rubuh ke tanah, Pati Raja Lo
Ngok cepat menotok tubuhnya hingga sang wadam be-
nar-benar dibuat tidak berdaya. Melihat kejadian ini Go Bang An dan kawan-kawan
serta empat murid Oh-se Gong Wa-dam segera jatuhkan diri berlutut tanda
menyerah. Pati Raja Lo Ngok angkat kolornya dari kepala
Oh-se Gong Wadam. Lalu tenang saja di hadapan begi-
tu banyak orang dia kenakan kolor dekil itu kembali.
TAMAT E-Book by Abu Keisel Pembalasan Mintarsih 2 Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol Kelana Buana 7
kecil terbuat dari kain. Di dalam kantong ini ada sejenis bubuk berwarna putih.
Sebagian dari bubuk itu dimasukkannya ke dalam mu-
lut Warok Wesi Gludug, sisanya ditaburkannya di tan-
gan kanan yang hancur. Tak selang berapa lama suara
erang kesakitan dari mulut kepala rampok itu mulai
perlahan lalu berhenti sama sekali. Matanya meman-
dang sayu pada Sang Empu, mulutnya bergerak seper-
ti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara
yang keluar karena sekujur tubuhnya saat itu berada
dalam keadaan sangat lemah.
"Kau tak perlu mengucapkan apa-apa..." kata Sang Empu pula sambil memegang
kening Warok Wesi
Gludug. "Dengar, aku tak mungkin membawamu ke
hutan Roban. Yang bisa kulakukan adalah menaikkan
mu ke atas kudamu. Binatang itu akan membawamu
ke tempat kediamanmu...."
Mulut Warok Wesi Gludug kembali bergerak.
Namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Cukup
susah bagi Empu Bondan Ciptaning menggotong tu-
buh tinggi besar Sang Warok lalu membaringkannya
menelungkup membelintang di atas pelana di pung-
gung binatang itu.
"Warok Wesi Gludug, aku mengaku telah bersa-
lah besar mencelakaimu. Maafkan diriku. Aku berdoa
agar kau bisa sampai di tempat kediamanmu dengan
cepat dan selamat..." Empu Bondan Ciptaning mengusap punggung Sang Warok, lalu
menepuk pinggul ku-
da hitam. Binatang ini seperti segan hendak mening-
galkan tempat itu. Empu Bondan Ciptaning membelai
tengkuknya beberapa kali lalu menepuk pinggulnya
sekali lagi. Setelah menggaruk-garuk tanah dengan
dua kaki depannya, akhirnya kuda hitam itu mulai
melangkah pergi. Empu Bondan Ciptaning menghela
nafas dalam lalu tinggalkan pula tempat itu.
*** 13 SEBELUM mengikuti kelanjutan apa yang dila-
kukan Empu Bondan Ciptaning, kemana perginya
Sang Empu itu dan apa yang terjadi dengan Tasbih Ki
Ageng Bela Bumi serta Kitab Hikayat Keraton Kuno ki-
ta kembali dulu pada masa belasan tahun silam ketika
Kesultanan Demak mulai dirundung kemelut dan tak
habis-habisnya mengalami musibah berdarah.
Pada masa itu yang memerintah di Demak ada-
lah Sultan Trenggono. Dalam usahanya memperluas
daerah kekuasaan Demak dan sekaligus mengem-
bangkan ajaran agama Islam, Sultan Trenggono me-
nyerbu Pasuruan yang terletak di ujung timur Pulau
Jawa. Malang bagi Sultan, dalam satu kecamuk perang
yang dahsyat dia bersama sekelompok pasukannya
terjebak. Usaha untuk meloloskan diri sia-sia saja karena seluruh tempat sudah
dikurung. Sultan akhirnya
tewas di tangan musuh.
Gugurnya Sultan Trenggono bukan saja meng-
gemparkan Demak tapi sekaligus menimbulkan keka-
cauan besar. Beberapa orang yang merasa dirinya ber-
hak menggantikan Trenggono saling berebut kekua-
saan. Terjadi kekacauan besar karena mereka saling
mempergunakan kekuatan senjata. Pertempuran terja-
di dimana-mana. Kotaraja hancur. Mereka yang saling
memperebutkan tahta kerajaan itu adalah Pangeran
Tua Sekar Seda Lepen yang adalah adik mendiang Ra-
den Patah, Raja pertama Kesultanan Demak. Sebagai
adik kandung Raden Patah, Pangeran ini merasa kini
dialah yang paling punya hak untuk memegang tam-
puk kekuasaan tertinggi di Kesultanan Demak. Lalu
yang menjadi lawan Pangeran Sekar Seda Lepen ada-
lah Pangeran Prawoto yang bukan lain adalah putera
Sultan Trenggono sendiri, jadi sebenarnya masih me-
rupakan cucu Pangeran Sekar Seda Lepen sendiri.
Suatu ketika Pangeran Sekar bersama para
pengikutnya memasuki Kotaraja dari arah timur. Saat
itu malam hari. Udara mencucuk dingin karena siang-
nya telah turun hujan cukup lebat. Dia sengaja men-
gambil jalan berputar menyeberangi sebuah sungai un-
tuk menghindari pasukan kerajaan yang setia pada
Pangeran Prawoto yang berada di dalam kota dan pasti
bersiap siaga di berbagai penjuru Kotaraja.
Rencana Pangeran Tua Sekar adalah akan ber-
gabung dengan induk pasukannya di satu tempat ra-
hasia sebelum menyerbu Keraton Demak. Karena hu-
jan di siang hari, pada malam itu arus sungai cukup
deras. Pangeran Sekar dan rombongannya dengan me-
nunggangi kuda menyeberangi sungai dengan sangat
hati-hati. Yang mereka awasi bukan cuma arus yang
deras dan bisa menghanyutkan mereka, tetapi juga
pinggiran sungai di seberang sana karena tidak mus-
tahil bahaya bisa datang dari musuh yang bersem-
bunyi di tebing sungai. Kekhawatiran Pangeran Sekar
ternyata terbukti sesaat kemudian. Di malam yang
dingin dan sunyi dimana hanya suara deru arus sun-
gai yang terdengar tiba-tiba ada suara suitan dua kali berturut-turut. Lalu dari
dalam rimba belantara gelap di seberang sungai kelihatan berkelebatan puluhan
bayangan hitam.
Mata tajam Pangeran Sekar Seda Lepen segera
melihat dan menyadari datangnya bahaya. Saat itu dia
bersama tiga puluh orang anggota pasukannya telah
berada di tengah-tengah sungai. Cepat Sang Pangeran
berteriak. "Musuh di depan kita! Semua lekas balik ke te-
pi barat!"
Tiga puluh satu ekor kuda segera diputar ber-
balik ke arah tepi sungai dari mana mereka datang se-
belumnya. Ini bukan pekerjaan mudah. Selain bina-
tang tunggangan mereka masuk ke dalam air hampir
setinggi punggung, saat itu arus air deras sekali. Ketika dengan susah payah
akhirnya mereka bisa memu-
tar kuda masing-masing dan bergerak menuju tepian
yang berlawanan tiba-tiba salah seorang anggota pa-
sukan yang kini berada paling depan berseru tegang
sambil menunjuk.
"Celaka Pangeran! Kita terjebak! Lihat di sebe-
rang sana!"
Pangeran Tua Sekar Seda Lepen, diikuti semua
anggota pasukan lainnya memandang ke arah yang di-
tunjuk. Semua mereka sama terkejut. Wajah berubah
tegang. Tangan langsung meraba ke pinggang dimana
mereka menyisipkan senjata masing-masing.
Di seberang tepian sungai sebelah sana, pulu-
han sosok hitam muncul laksana setan gentayangan.
Rombongan Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang be-
rada di tengah kini terkurung antara dua tepian sun-
gai. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Jika bergerak ke arah kanan berarti
akan dihantam arus sun-
gai yang dahsyat. Jika membelok ke kiri bisa-bisa me-
reka akan diseret arus. Selagi pasukan di tengah sun-
gai itu berada dalam kebingungan tiba-tiba kembali
terdengar dua kali suara suitan. Lalu menyusul suara
menderu aneh. Di gelapnya malam puluhan benda me-
lesat dari dua tepian sungai. Ketika Pangeran Sekar
mendongak ke depan dan berpaling ke belakang terke-
jutlah dia! "Awas serangan panah!"
Pangeran Sekar segera cabut golok besar yang
tersisip di pinggangnya lalu dibabatkan seputar kepala dan tubuhnya.
"Traangg... tranggg... trangg...!"
Beberapa anak panah yang melesat ke arah ke-
pala dan badan Sang Pangeran terpental berpatahan.
Belasan anggota pasukan melakukan hal yang sama.
Coba membentengi diri masing-masing dengan putaran
pedang atau golok. Tapi tingkat kepandaian mereka ti-
dak setara Pangeran Sekar. Banyak dari mereka kelua-
rkan suara menjerit lalu jatuh ke dalam sungai dengan tubuh ditancapi panah.
Celakanya ternyata mata anak
panah itu oleh musuh diberi racun. Jadi walaupun
seandainya anggota pasukan yang terjebak di tengah
sungai itu masih bisa menyelamatkan diri dalam kea-
daan luka, racun panah tetap akan merenggut nya-
wanya! Makin lama anak panah beracun yang datang
menyambar semakin banyak dan ganas. Jeritan ter-
dengar di mana-mana. Yang masih bisa menyela-
matkan diri dalam bingungnya mencoba menceburkan
diri masuk ke dalam sungai. Tapi sosoknya segera dis-
eret arus! Sungai itu kini berubah menjadi neraka di
malam buta! Kalau saja kejadian itu berlangsung pada
siang hari. akan terlihat bagaimana air sungai yang tadinya bening kebiruan
telah berubah menjadi merah
oleh tumpahan darah!
*** KEESOKAN paginya, baru saja fajar menyings-
ing, dalam keadaan terang-terang tanah, di arah hilir sungai, tak berapa jauh
dari tempat terjadinya peristiwa pembantaian atas Pangeran Sekar Seda Lepen dan
tiga puluh anggota pasukannya, kelihatan puluhan
pasukan Kerajaan menarik sebuah jaring besar yang
rupanya sengaja dipasang di tempat itu sejak satu hari sebelumnya. Begitu jaring
diseret ke darat, yang berge-limpangan di dalam jaring besar itu bukan ikan atau
makhluk penghuni sungai lainnya, tetapi sosok tubuh
manusia yang sudah kaku, sembab membiru, penuh
luka-luka dan ada yang masih ditancapi anak-anak
panah beracun. Selain menghitung jumlah mayat yang
mereka temukan, para prajurit kerajaan itu juga mene-
liti satu persatu wajah para korban. Tak lama kemu-
dian, salah seorang diantara mereka yang agaknya ber-
tindak sebagai pimpinan meninggalkan tepian sungai
di sebelah timur. Dia melangkah cepat masuk ke da-
lam rimba belantara sejauh dua puluh tombak, baru
berhenti ketika mencapai sebatang pohon besar di de-
pan mana berdiri seorang berpakaian perwira muda
bertampang keren tetapi memiliki pandangan mata se-
dingin es. Perwira ini bernama
Tubagus Lor Putih. Di kalangan prajurit Demak
perwira muda ini tidak disenangi karena sifatnya yang kasar suka memaki dan
enteng tangan suka menempe-lengi bawahan.
"Apa yang akan kau laporkan! Aku lihat mu-
kamu redup seperti pantat kuali! Agaknya ada yang ti-
dak beres!" Sang Perwira menegur prajurit kepala yang mendatanginya.
Prajurit yang datang melapor itu kebetulan
memang berkulit hitam pekat. Dengan gerak-gerik
yang menunjukkan rasa takut dia memberi hormat la-
lu berucap. "Mo-hon maafmu Perwira. Jaring telah diangkat. Jumlah korban telah
dihitung. Semua ada tiga
puluh orang..."
"Tiga puluh"!" Tubagus Lor Putih mengulang.
Pandangan matanya yang dibesarkan membuat tam-
pangnya menjadi angker. "Hanya tiga puluh"!"
"Benar Perwira."
"Mata-mata memberitahu rombongan itu ber-
jumlah tiga puluh satu orang. Termasuk Pangeran Se-
kar Seda!"
"Mata-mata melaporkan hal yang betul. Tetapi
diantara para mayat justru mayat Pangeran itu yang
tidak ditemukan!"
Berubahlah air muka perwira muda Tubagus
Lor Putih. "Prajurit Jangan kau berani bergurau!" Sang Perwira membentak.
"Saya tidak bergurau, Perwira! Mayat yang di-
temukan hanya tiga puluh. Dan mayat Pangeran Sekar
Seda Lepen tidak ada di antara mereka."
"Berarti Pangeran itu berhasil meloloskan diri!
Luar biasa! Tidak mungkin!" Sepasang mata Perwira Tubagus Lor Putih memandang
dingin menyeramkan
pada prajurit kepala yang berdiri di hadapannya yang
kelihatan mulai gemetar ketakutan. "Pangeran Sekar"
memang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tapi itu bu-
kan jaminan dia bisa menyelamatkan diri dari kepun-
gan malam tadi! Lagi pula dia tidak kebal racun. Ma-
sakan tidak ada satupun anak panah yang sanggup
menyerempet tubuhnya! Aku juga sudah memerintah-
kan memasang jaring untuk menghambat setiap mayat
agar tidak hanyut ke hilir! Tapi Pangeran itu tetap lolos! Kau dan orang-orangmu
bekerja tolol sembrono!
Kau tahu apa artinya bagimu jika Pangeran itu benar-
benar berhasil melarikan diri"!"
Wajah prajurit kepala menjadi pucat. Dengan
suara gemetar dia menjawab. "Saya tahu kesalahan saya Perwira. Saya siap
dipancung...."
"Mauku memang menebas batang lehermu saat
ini juga!" kata Tubagus Lor Putih. Lalu plaakk! Tampa-rannya mendarat di pipi
prajurit kepala. Walau sakit-
nya tamparan itu bukan alang kepalang dan bibirnya
sampai pecah berdarah namun prajurit kepala ini ma-
sih mampu bertahan, tegak berdiri dengan kepala
menghuyung. "Dengar! Aku masih memberi kesempa-
tan padamu dan anak buahmu! Lakukan pemeriksaan
sekali lagi. Pergunakan kepandaian kalian menyelam.
Selidiki sampai ke dasar sungai. Mungkin mayat Pan-
geran itu terperangkap di dasar sungai atau tersangkut pada akar-akar pepohonan
di salah satu sisi sungai!"
"Siap melakukan perintah," jawab si prajurit kepala walau diam-diam dia merasa
yakin tidak akan
menemukan mayat Sang Pangeran. Sebelumnya dia
pernah mengabdi di tempat kediaman Pangeran Sekar.
Dia tahu betul bahwa adik mendiang Sultan Demak itu
memiliki kepandaian tinggi. Bukan mustahil dia telah
berhasil menyelamatkan diri dan saat ini tentu sudah
berada jauh dari tempat itu.
Sampai menjelang tengah hari dua sisi sungai
telah diselidiki, rimba belantara di kiri kanan sungai diperiksa, selusin
prajurit yang punya keahlian menyelam telah memeriksa dasar sungai sepanjang
puluhan
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki. Namun mayat, apa lagi sosok hidup Pangeran
Sekar Seda tidak berhasil ditemukan.
Untuk kedua kalinya si prajurit kepala datang
menghadap Tubagus Lor Putih.
"Mohon ampunmu, Perwira. Semua tempat su-
dah diperiksa, sungai sudah diselami sampai jauh ke
arah hilir. Tapi mayat Pangeran Sekar tetap tidak di-
temukan...."
"Hemmm.... Kalau begitu kau tunggu apa lagi"!"
ujar Tubagus Lor Putih.
Mendengar kata-kata atasannya itu si prajurit
kepala kelihatan menggigil sekujur tubuhnya. Dia ja-
tuhkan diri, berlutut di tanah. Suaranya seperti tercekik ketika berkata.
"Perwira, saya tahu kesalahan.
Saya siap dihukum mati. Namun jika kau mau berbe-
las kasihan, aku mohon pengampunan darimu..."
Tubagus Lor Putih menyeringai. "Setiap prajurit
yang tahu kesalahan, harus siap menerima hukuman!
Bukannya mengemis minta pengampunan!" Perwira
muda ini hunus golok panjang yang tergantung di
pinggangnya. "Perwira, aku mohon kau mau mempertim-
bangkan. Istriku baru saja melahirkan anak kami yang
pertama seminggu lalu...."
"Hemmmm... begitu" Lalu apa hubungan istri-
mu atau anakmu dengan hukuman yang harus kau te-
rima"! Sebagai prajurit kepala kau tidak berhasil me-
mimpin anak buahmu menangkap Pangeran Sekar. Ini
merupakan satu malapetaka besar bagi Demak. Diri-
mu telah menjadi biang racun jatuhnya malapetaka
itu. Lalu apakah artinya nyawa yang ada di dalam tu-
buhmu"!"
Mendengar ucapan atasannya itu si prajurit
kepala sadar bagaimanapun juga dia tidak bakal men-
dapat pengampunan. Maka tanpa daya prajurit yang
malang ini bungkukkan dadanya, angsurkan kepala ke
arah sang perwira.
Tubagus Lor Putih sesaat pandangi sosok ba-
wahannya itu dengan sikap dingin tanpa ada rasa be-
las kasihan sama sekali. Dia berpaling ke kiri, ke arah seorang prajurit tua
berwajah cekung. Perwira ini lemparkan goloknya pada prajurit tua itu seraya
berkata. "Kau kuberi kehormatan untuk memancung leher ata-
sanmu itu!"
Walau si prajurit tua menyambuti golok yang
dilemparkan, tapi apa yang didengarnya membuat tu-
buhnya jadi menggigil. Dia jatuhkan diri di tanah dan berkata. "Perwira, ampuni
diriku. Aku mohon jangan aku yang...."
"Tua bangkai tidak berguna! Kau harusnya
bangga mendapat kepercayaan melaksanakan tugas
itu! Seorang prajurit Demak tidak pantas menghindar
diri dari tanggung jawab! Apalagi membangkang men-
jalankan perintah atasan! Kurasa prajurit rongsokan
sepertimu memang sudah saatnya harus disingkirkan
lebih dulu!"
Selesai berucap kaki kanan perwira muda itu
melesat ke depan. Sosok prajurit tua mencelat ke uda-
ra lalu terbanting roboh di tanah begitu tendangan Tubagus Lor Putih melabrak
dadanya. Prajurit tua ini tak berkutik lagi. Tulang dadanya remuk, jantungnya
pecah. Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka.
Nyawanya putus!
Ketika tubuh prajurit tua itu mencelat ke uda-
ra; golok yang dipegangnya ikut terpental. Dengan satu gerakan cepat dan ringan
Tubagus Lor Putih melompat
ke udara, menyambar gagang golok. Begitu dia me-
layang turun, senjata itu dibabatkannya ke bawah. De-
ras sekali golok panjang itu menyambar ke arah teng-
kuk si prajurit kepala.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah
hilir sungai terdengar satu teriakan lantang. "Hentikan hukuman! Orang yang
kalian cari ada bersamaku!"
*** 14 KI DALEM SLEMAN
SEMUA orang di tempat itu termasuk perwira
muda Tubagus Lor Putih palingkan kepala ke arah
sungai. Mereka jadi terkesima melihat satu pemandan-
gan luar biasa. Sebuah rakit kecil terbuat hanya dari beberapa potongan bambu
hijau meluncur di permukaan sungai, datang dari arah hilir, melawan arus air
yang siang itu masih cukup deras.
Di atas rakit itu tegak seorang kakek berjubah
kuning. Walau sudah tua dan seluruh rambutnya telah
putih sikapnya tampak gagah. Seringainya mem-
bayangkan kekerasan hati. Di dadanya melintang se-
batang tombak yang pada ujungnya terikat sehelai
bendera berbentuk segi tiga warna kuning. Di bahu ki-
ri si kakek membelintang satu sosok tak bergerak, en-
tah masih hidup entah sudah jadi mayat. Yang jelas
pada bahu kanan orang ini menancap sebatang anak
panah yang telah patah bagian bawahnya. Sesekali
kakek ini celupkan kaki kanannya ke dalam air sun-
gai. Gerakannya ini membuat rakit bambu melesat ke
depan! Tegak di atas rakit kecil dengan beban manusia di bahunya, meluncur
melawan arus sungai yang deras dan pergunakan kaki sebagai pendayung! Sungguh
luar biasa! Siapa gerangan adanya kakek hebat ini"!
Di Keraton Demak orang tua itu dikenal dengan
nama Ki Dalem Sleman. Selama masa pemerintahan
Sultan pertama Kerajaan Demak yakni Raden Patah
dia dikenal sebagai pengabdi yang setia. Ketinggian il-munya membuat dirinya
bisa menduduki jabatan ting-
gi serta kepercayaan dari Sultan. Namun dari beberapa kalangan tertentu
diketahui bahwa walau Ki Dalem
Sleman sebenarnya adalah seorang berilmu tinggi teta-
pi tidak mempunyai pendirian. Hari ini dia bisa menja-di abdi atau sahabat
setia, tetapi besok bila keadaan lebih menguntungkan baginya maka dia bisa saja
bersikap culas menjadi pengkhianat tersembunyi. Ibarat
tanaman Ki Dalem Sleman adalah sebangsa ilalang liar
yang akarnya tumbuh merusak tanaman lain, dan bila
angin bertiup ke satu jurusan, ke arah itulah dia condong meliuk dan memagut.
Ki Dalem Sleman rupanya tahu juga kalau ba-
nyak orang baik di dalam maupun di luar
Keraton yang tidak menyukainya. Merasa ter-
ganggu dengan orang-orang yang mengetahui sifat pri-
badinya itu maka secara diam-diam satu persatu Ki
Dalem Sleman dengan berbagai cara mulai menying-
kirkan mereka. Banyak diantara orang-orang itu yang
kemudian menemui kematian secara aneh. Atau le-
nyap tak tahu rimbanya. Diantara mereka yang teran-
cam kedudukan bahkan jiwanya namun tidak mau
menantang Ki Dalem Sleman karena kekuasaan dan
kepercayaan Sultan terhadapnya sangat besar, secara
diam-diam menjauhkan diri dan meninggalkan kehi-
dupan Keraton. Salah seorang diantara mereka adalah
Ki Suro Gusti Bendoro, tokoh yang sudah pembaca
ikuti riwayatnya di awal cerita (Petir Di Mahameru Bagian 1) Secara halus orang
tua tokoh utama Keraton Demak ini menjauhkan diri lebih suka menghabiskan
waktu di satu tempat terpencil dan dalam kehidupan-
nya sehari-hari selalu menjalankan ibadah, mende-
katkan diri kepada Ilahi.
Lambat laun Sultan Demak mengetahui juga
perubahan sikap orang-orang kepercayaannya. Ki Suro
Gusti Bendoro diminta menghadap lalu ditanyai apa
sebabnya dia akhir-akhir ini lebih banyak berada di
luar Keraton. Sebagai orang berhati lurus dan selalu taat pa-
da ajaran agama Ki Suro Gusti Bendoro tentu saja ti-
dak mau menceritakan keburukan perilaku Ki Dalem
Sleman. Orang tua ini ingat akan satu fatwa Junjun-
gannya Nabi Muhammad Rasullullah yang kira-kira
mengatakan: Belum sempurna iman seorang Muslim,
jika dia membuka aib sesama Muslim lainnya. Ki Suro
ingin agar kelak Sultan sendiri nanti yang akan mengetahui sebab musababnya,
atau ada orang lain yang
memberitahu. Sejak Ki Suro Gusti Bendoro tidak lagi berada
di Keraton Demak, Ki Dalem Sleman boleh dikatakan
telah menjadi bayang-bayang kekuasaan di belakang
Sultan. Banyak sekali perkara atau keputusan yang
berada di bawah pengaruhnya. Tak lama setelah per-
temuan terakhir dengan Ki Suro Gusti Bendoro Sultan
Demak mangkat. Tahta Kerajaan dipegang oleh putera
mahkota Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pan-
geran Sabrang Lor. Entah mengapa dan tidak diketa-
hui Pati Unus hanya memerintah selama tiga tahun,
Pada tahun 1548 saudaranya yang bernama Pangeran
Trenggono menggantikannya sebagai Sultan Demak.
Semasa Ki Suro Gusti Bendoro berada Keraton
Demak Pangeran Trenggono sangat dekat dengan
orang tua itu. Karenanya begitu dia menduduki tahta
Kerajaan, Sultan Trenggono segera memerintahkan un-
tuk mencari dan meminta Ki Suro Gusti Bendoro da-
tang menemuinya. Dalam pertemuan yang kemudian
terjadi Sultan Trenggono meminta agar Ki Suro kemba-
li berada di lingkungan Keraton. Menghormati Raja
muda ini dan juga mengingat semua kebaikan men-
diang ayahnya yakni Raden Patah, Sultan terdahulu Ki
Suro bersedia kembali tapi dengan perjanjian dia
hanya akan tinggal di lingkungan Keraton selama satu
tahun. Sultan tak mau menampik karena merasa ke-
lak nanti dia akan mampu membujuk Ki Suro agar
mau tinggal lebih lama di lingkungan Keraton. Selama
berada dalam Keraton Ki Suro pada Setiap pertemuan
dengan Sultan Ki Suro lebih banyak membicarakan
hal-hal yang menyangkut keagamaan. Dia sengaja
menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan Ke-
rajaan karena saat itu dilihatnya pengaruh Ki Dalem
Sleman sudah mulai merasuk masuk ke dalam hati
dan pikiran Sultan. Apalagi Ki Dalem Sleman berhasil
pula merangkul seorang perwira tinggi yang sedang
naik daun yakni Brajanala hingga kekuatannya di da-
lam Keraton bertambah besar. Bilamana Sultan pada
akhirnya membawa pembicaraan pada hal-hal yang
menyangkut Kerajaan, Ki Suro selalu bicara hati-hati.
Dia tidak pernah menyalahkan orang lain, apa lagi
menyebut nama. Namun dalam hati sebenarnya Ki Su-
ro merasa sedih sekali. Dengan berbagai cara halus dia selalu mengingatkan
Sultan, namun agaknya pengaruh Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala su-
dah terlalu dalam dan besar.
Pada hari terakhir dia berada di Keraton, sebe-
lum pergi Ki Suro menghadap Sultan Trenggono. Un-
tuk pertama kalinya dia menyampaikan suara hatinya.
Dimintanya secara halus agar Sultan berlalu hati-hati, selalu waspada. Dalam
setiap perkara jangan hanya
membaca apa yang tersurat tapi coba menyelami arti
yang tersirat, jangan melihat apa yang terlihat dengan mata kasar tetapi ada
baiknya merenungi dengan mata
hati. Ki Suro tahu sekali Sultan Trenggono adalah seorang Raja yang alim taat
beribadat dan adil bijaksana dalam segala tindakannya. Namun Ki Suro meminta
agar semua tindakan itu disertai dengan satu pemiki-
ran akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi seandainya
dirinya kelak mangkat meninggalkan dunia fana ini.
Dalam hal ini Ki Suro sebenarnya menginginkan agar
sebelum wafat Sultan Demak itu membuat semacam
surat wasiat, siapa kelak akan menjadi penggantinya
menduduki tahta Kesultanan Demak.
"Ki Suro, mengapa Ki Suro meminta aku me-
nyiapkan semacam surat wasiat?" bertanya Sultan
Trenggono saat itu.
"Maafkan saya Sultan. Saya kira itu seyogianya
merupakan satu tradisi baru Kerajaan. Agar kelak se-
mua berjalan lancar di kemudian hari...."
"Agaknya kau menginginkan aku ini lekas
mangkat!" Ki Suro Gusti Bendoro membungkuk dalam-
dalam. "Maaf dan ampuni diri saya ini Sultan. Tiada pernah terpikir oleh saya
apalagi sampai menginginkan agar Sultan lekas mangkat. Seumpama kita berada di
tepi pantai. Laut yang kita lihat. Hari ini mungkin saja keadaannya tenang,
diselimuti segala keindahan. Tetapi bisa saja, setelah kita pergi tiba-tiba
cuaca berubah, badai datang, laut bergelombang. Kalau kita berlaku
waspada dan jauh-jauh hari meminta penduduk untuk
tidak membangun rumah terlalu dekat ke pantai, ma-
ka niscaya mereka akan terhindar dari malapetaka
yang tak satu manusiapun sanggup menghadapinya.
Berwaspada biasanya dilakukan sebelum bencana da-
tang melanda. Karena kalau bencana sudah di depan
mata, sulit bagi kita untuk menghindari...."
"Agaknya ada satu bencana yang kau lihat
akan menimpa Kerajaan Demak ini" Apakah ada
pengkhianat busuk di dalam Keraton ini Ki Suro?"
Tanya Sultan Trenggono pula yang membuat Ki Suro
Gusti Bendoro jadi tambah terpojok. Sebenarnya su-
dah sejak beberapa waktu lalu Ki Suro mendengar ka-
bar bahwa di dalam Keraton tengah terjadi satu perse-
kongkolan keji untuk menumbangkan tahta Sultan
Trenggono. Walau diam-diam dia sudah bisa menduga
siapa adanya orang-orang berhati culas itu, namun
untuk mengungkap atau mengadukannya kepada Sul-
tan, Ki Suro tak mau melakukan. Bisa saja keadaan
berbalik dan dirinya dituduh sebagai tukang fitnah,
culas. "Sultan, segala apa yang bakal datang sulit bagi manusia untuk
memastikan. Tetapi berjaga-jaga dan
berwaspada sambil tiada lupa memohon petunjuk Ilahi
adalah penting. Saya mohon agar Sultan tetap mem-
percayai semua orang di dalam lingkungan Keraton, te-
tapi sekaligus saya harap agar Sultan juga tidak begitu saja mempercayai semua
orang itu. Saya harap Sultan
mengerti maksud saya..."
Sultan Trenggono kerenyitkan kening lalu ge-
leng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti maksud ucapan Ki Suro meminta aku
mempercayai semua
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tapi sekaligus juga meminta tidak mempercayai
semua orang. Bagaimana ini...?"
Sebelum Ki Suro sempat menjawab, sebelum
pembicaraan selesai, saat itu ke dalam ruangan ma-
suklah Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala.
Mereka datang menghadap untuk melaporkan sesuatu
yang penting. Ki Suro segera bangkit berdiri. Sultan
memintanya agar tetap berada di ruangan itu tetapi
dengan berat hati Ki Suro minta diri. Dia juga me-
nyampaikan salam perpisahan pada Ki Dalem Sleman
dan Brajanala. Setelah menyampaikan laporannya kepada Sul-
tan; Ki Dalem Sleman membungkuk lalu berucap.
"Maafkan saya Sultan. Bukan maksud saya bersikap lancang ingin tahu urusan
orang. Tapi sehubungan
dengan salam perpisahan yang tadi disampaikan Ki
Suro Gusti Bendoro, apakah Sultan memang telah me-
lepas kepergiannya begitu saja?"
"Apa maksud pertanyaan Ki Dalem?" balik bertanya Sultan Trenggono.
"Selama ini saya dan Perwira Ki Brajanala me-
mang tidak pernah ingin mengusik orang, termasuk di-
ri Ki Suro Gusti Bendoro yang kami hormati itu. Na-
mun sejak setahun dia berada sini, berbagai kabar
menyangkut dirinya dibicarakan orang di luaran. Saya
terus terang menaruh khawatir. Tanpa menyelidik saya
tidak akan berani menjatuhkan tuduhan karena nanti
bisa dianggap menyebar fitnah. Kabarnya beberapa
waktu belakangan ini Ki Suro sering menemui Adipati-
Adipati tertentu. Setiap dia selesai menemui Adipati
anu, maka di. Kadipaten selalu terjadi latihan perang-perangan...."
Sultan Trenggono jadi terkejut mendengar kete-
rangan Ki Dalem Sleman itu. "Mengapa sebelumnya Ki Dalem tidak memberitahu
padaku?" Perwira Brajanala mendehem beberapa kali lalu
dia yang menjawab pertanyaan Sultan tadi. "Kami tidak berani melapor kalau belum
menyelidik sampai ke
akar-akarnya. Bisa saja latihan perang-perangan itu
untuk lebih menggalang kekuatan dan kewaspadaan
para prajurit Kadipaten." Ucapan sang perwira seperti membela tapi sesaat
kemudian dia menyambung dengan kata-kata yang membuat Sultan Trenggono jadi
tercenung. "Namun bukan mustahil pula semua itu
merupakan satu persiapan dari maksud atau tujuan
jahat terhadap Kerajaan..."
"Apalagi yang kalian ketahui tentang Ki Suro
Gusti Bendoro?" Sultan bertanya. Rahangnya nampak menggembung dan pelipisnya
bergerak-gerak pertanda
hawa kecurigaan yang menyatu dengan amarah mulai
merasuk dirinya.
"Mohon maaf Sultan, beri waktu kami barang
satu minggu lagi. Kami berjanji akan mengungkap sisi
hitam dari Ki Suro Gusti Bendoro lalu melaporkannya
pada Sultan. Hanya saja saat ini ada satu hal penting yang harus kami
beritahu..."
Sultan menatap wajah Ki Dalem Sleman yang
barusan bicara. Sultan anggukkan kepala. Menunggu
agak tegang apa yang bakal diterangkan pembantu ke-
percayaan, tokoh silat Keraton yang duduk di hada-
pannya itu. "Kemarin siang kami baru mengetahui kalau
salah satu barang pusaka dan keramat Kesultanan
Demak telah lenyap dicuri orang."
Sultan Trenggono sampai berdiri dari kursi ke-
besarannya karena terkejutnya mendengar ucapan Ki
Dalem Sleman itu. Dia memandang lekat-lekat ke wa-
jah si orang tua, lalu berpaling pada Brajanala. Setelah duduk kembali ke
kursinya diapun bertanya.
"Katakan, barang pusaka keramat yang mana
yang lenyap dicuri orang"!"
Ki Dalem Sleman tak segera menjawab. Dia pe-
jamkan matanya seolah apa yang hendak diucapkan-
nya itu sangat menyakiti hati dan perasaannya.
"Katakan saja Ki Dalem, jangan biarkan Sultan
menunggu," berbisik Perwira Brajanala.
"Kanjeng Kiai Pujoanom," ucap Ki Dalem Sle-
man akhirnya dengan suara gemetar. "Bendera pusaka keramat itu yang lenyap
dicuri orang."
Sultan Trenggono merasa seperti disambar pe-
tir. Dia terhenyak di kursi kebesarannya. Mukanya se-
saat pucat. Dua tangannya menggenggam ukiran tan-
gan kursi yang berbentuk kepala naga.
"Kraakkk!"
Tidak sadar Sultan telah kerahkan kekuatan
tenaga dalamnya hingga dua ukiran kepala naga tan-
gan kursi yang terbuat dari kayu jati keras hancur!
"Kalau bendera pusaka Kiai lenyap dicuri
orang, pertanda cepat atau lambat Kerajaan akan di-
landa malapetaka besar!" Sultan Trenggono untuk beberapa saat lamanya duduk tak
bergerak, hanya sepa-
sang matanya saja yang memandang mendelik tak
berkedip pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Tiba-
tiba dia membentak keras. "Kalian berdua! Apakah menurut kalian lenyapnya
bendera keramat itu bukannya pekerjaan Ki Suro Gusti Bendoro?"
"Kami berdua tidak berani menuduh tanpa
bukti..." kata Perwira Brajanala.
"Tapi," menyambung Ki Dalem Sleman. "Bukan mustahil memang dia pencurinya. Tadi
ketika kami berdua masuk, bukankah Sultan sendiri menyaksikan
bagaimana dia begitu tergesa-gesa ingin meninggalkan
ruangan ini" Sebagai tokoh yang dituakan di Keraton,
apalagi menjadi kepercayaan Sultan sungguh perbua-
tannya itu tidak pada tempatnya."
"Aku perintahkan pada kalian berdua! Lekas
kejar Ki Suro Gusti Bendoro. Hadapkan dia padaku!"
"Kami siap menjalankan perintah," kata Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala,
lalu bangkit berdi-
ri. Setelah membungkuk dan bersurut mundur ke dua
orang ini segera tinggalkan ruangan itu.
Sesampainya di kandang kuda Brajanala dan Ki
Dalem Sleman saling tersenyum-senyum. Setengah
berbisik Ki Dalem Sleman berkata. "Apa yang kita ren-canakan segera berhasil!
Ha... ha! Rasakan kau Ki Su-
ro Gusti Bendoro!"
"Ki Suro pasti belum jauh. Kalaupun dia sudah
meninggalkan Demak, kita bisa membentuk pasukan
khusus. Paling lambat sebelum senja datang dia sudah
bisa kita tangkap!"
Tapi ternyata tidak semudah itu mencari Ki Su-
ro Gusti Bendoro. Orang tua berilmu tinggi itu seolah
lenyap ditelan bumi. Sementara itu di Kesultanan De-
mak acap kali terjadi kerusuhan atau pemberontakan.
Ditambah pula dengan adanya kebijaksanaan memper-
luas daerah kekuasaan dan menyebar agama Islam.
Maka usaha untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro ser-
ing kali tertunda atau terpaksa dihentikan. Baru sekitar sepuluh tahun kemudian
Ki Suro berhasil mereka
temui di puncak Gunung Mahameru sebagaimana
yang dituturkan dalam Bagian Pertama.
*** 15 TAHTA DAN DARAH
KEMBALI pada peristiwa di sungai. Dalam ke-
terkejutan hampir semua orang yang ada di tepi sungai mengenali siapa adanya
orang tua di atas rakit bambu.
"Ki Dalem Sleman!" berseru perwira muda Tu-
bagus Lor Putih. "Kedatanganmu sungguh tidak terduga! Benarkah sosok di atas
bahu Ki Dalem adalah pan-
geran Sekar"!"
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Silahkan kau me-
lihat sendiri Perwira Muda!" katanya. Dengan tangan kirinya orang tua ini
mengambil tombak yang bernama
Kiai Sepuh Plered yang tergantung melintang di da-
danya. Tombak ini ditancapkannya ke bambu rakit.
Ketika dia membuat gerakan melompat ke udara, rakit
bambu itu ikut terangkat ke atas, melayang sesaat lalu turun perlahan di tepi
sungai di depan barisan pasukan kerajaan. Banyak mulut berdecak kagum, banyak
mata membeliak besar melihat kehebatan ilmu kepan-
daian yang dipertunjukkan Ki Dalem Sleman itu. Tu-
bagus Lor Putih sendiri sebenarnya merasa sangat ka-
gum namun dia tidak mau memperlihatkan hal itu.
Perwira muda ini memang punya sifat sombong walau
terhadap orang lain yang jelas-jelas memiliki kepan-
daian atau kesaktian jauh lebih tinggi darinya.
Ki Dalem Sleman sesaat memandang berkelil-
ing. Lalu perlahan-lahan dia turunkan tubuh yang ada
di pundaknya, dibaringkan menelentang di tanah be-
cek. Semua orang memperhatikan. Yang tergeletak di-
tanah itu memang Pangeran Sekar adanya. Wajahnya
yang tua agak kebiruan. Bukan saja karena lama teng-
gelam di dalam air tetapi juga akibat racun panah yang menancap di bahu kanannya
dan berada dalam keadaan patah. Mungkin sang pangeran berusaha menca-
but panah itu tetapi patah.
Tubagus Lor Putih melangkah mendekati lalu
memeriksa. Wajahnya berubah.
"Dia masih hidup!" ujar sang perwira muda.
"Aneh, racun panah tidak membunuhnya. Tenggelam
di dalam air tidak mematikannya. Kalau tidak ada
yang menolong tak mungkin hal ini terjadi!" Perlahan-lahan perwira itu angkat
kepalanya dan memandang
pada Ki Dalem Sleman. Si orang tua mengerti maksud
pandangan itu. Tapi selama orang tidak bertanya dia
tidak akan mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba Tubagus Lor Putih angkat golok pan-
jang yang masih tergenggam di tangannya. Dengan ce-
pat senjata itu hendak ditusukkannya ke leher Pange-
ran Sekar. Tapi dua jari berkelebat menjepit badan golok hingga gerakan senjata
ini tertahan. Itulah dua jari Ki Dalem Sleman. Tubagus Lor Putih memandang
dengan mata dibesarkan pada tokoh silat Keraton Demak
itu. Dia segera kerahkan tenaga luarnya untuk mene-
ruskan tusukan. Tapi golok itu tidak bergeming dalam
jepitan dua jari Ki Dalem Sleman. Sang perwira ganti
mengerahkan tenaga dalam. Golok sesaat memancar-
kan cahaya terang namun cahaya itu meredup dan le-
nyap begitu Ki Dalem Sleman alirkan pula tenaga da-
lamnya. Merasa malu dan agar orang lain tidak tahu kalau dia telah pecundang
dalam pertarungan tenaga
luar dan tenaga dalam singkat itu, sang perwira muda
segera berucap lantang.
"Ki Dalem! Saya gembira berhasil menangkap
Pangeran yang lolos ini. Tapi mengapa kini kau mence-
gah saya membunuhnya"!"
Ki Dalem Sleman tersenyum.
"Perwira sombong, rasakan olehmu sekarang!"
kata Ki Dalem Sleman dalam hati sementara wajah
perwira muda di hadapannya tampak memercikkan
keringat. "Perwira Tubagus Lor Putih," Ki Dalem Sleman berucap. "Kau dan semua yang ada di
sini tahu kalau aku adalah orang dalam pengabdi Keraton Demak.
Adalah kewajibanku untuk menolong dan menyela-
matkan Pangeran Sekar. Karena dia adalah orang Ke-
raton. Lebih dari itu dia adalah adinda dari Sultan
Demak pertama!"
"Semua yang Ki Dalem katakan memang benar.
Tapi Ki Dalem lupa satu hal. Pangeran Sekar kini tak
lebih dari seorang penghujat, seorang pemberontak tua renta yang hendak merebut
tahta Kesultanan Demak
dari tangan Pangeran Prawoto, pewaris syah tahta!
Apakah Ki Dalem tidak merasa perbuatan Ki Dalem ini
satu hal yang keliru"!
"Perwira Muda, kau dengar dulu jawabanku,"
kata Ki Dalem Sleman dengan sikap tenang sementara
Tubagus Lor Putih tampak bergejolak dadanya tanda
amarah mulai menguasai dirinya. "Siapa adanya Pan-
geran Sekar dan juga siapa adanya Pangeran Prawoto
kita semua sudah tahu. Tapi siapa sebenarnya yang
berhak mewarisi tahta Kesultanan Demak, itu tergan-
tung dari sudut mana kita melihatnya. Pangeran Sekar
bisa menjadi Sultan karena dia adalah adik kandung
mendiang Raden Patah. Di lain pihak Pangeran Prawo-
to juga punya hak menduduki tahta Keraton Demak
karena dia adalah putera mendiang Sultan Trenggono.
Jadi dua-duanya sama-sama punya hak. Lalu siapa
yang harus menjadi Sultan" Siapa yang akan menjadi
Raja"!" "Ki Dalem, dari ucapanmu jelas saya tangkap bahwa kau membela Pangeran
Sekar. Kau ingin agar
Pangeran Sekar yang mewarisi tahta Keraton Demak.
Tetapi kau tidak mau melihat kenyataan. Pangeran tua
ini terjebak di tengah sungai ketika dia bersama pasukannya bersiap-siap
menyusun rencana menyerang
Kotaraja! Dia adalah seorang jahat! Seorang jahat tidak pantas dijadikan
Raja..." "Itu menurutmu Perwira Muda. Tapi menurut
orang lain, atau menurut Pangeran Sekar sendiri tin-
dakannya itu adalah untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan. Menegakkan yang hak dan menghan-
curkan yang batil..."
"Ki Dalem, kita bisa berdebat sampai sehari
semalam di tempat ini. Saya akan membawa pangeran
Sekar ke Kotaraja. Kerajaan nanti yang akan memu-
tuskan apakah dia ini seorang jahat atau seorang
pembela kebenaran dan keadilan!"
"Perwira Muda Tubagus Lor Putih, menyesal
sekali. Aku tidak akan menyerahkan Pangeran Sekar
padamu..."
"Kalau begitu harap maafkan. Saya terpaksa
memerintahkan pasukan untuk meminta Ki Dalem se-
gera meninggalkan tempat ini...."
"Tubagus... Tubagus...." kata Ki Dalem Sleman sambil geleng-gelengkan kepala.
Kali ini dia menyebut langsung nama si perwira muda tanpa menyebut
pangkatnya. "Kau terlalu pongah.... Kau ingin menghabisi Pangeran ini" Lalu
membawa jenazahnya ke ha-
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapan Pangeran Prawoto sekaligus memperlihatkan
bahwa kau adalah seorang. perwira yang telah sangat
berjasa pada Kerajaan" Tubagus, kau menganggap di-
rimu sebagai prajurit pembela Keraton Demak. Di mata
Pangeran Prawoto kau adalah pahlawan. Tapi di lain
pihak, di mata Pangeran Sekar kau adalah pengkhia-
nat jahat!"
"Ki Dalem, mulutmu sungguh berbisa, uca-
panmu mengandung racun!"
"Kau benar benar ingin menghabisi Pangeran
ini, Tubagus"!" Ki Dalem mengulang pertanyaannya.
Tubagus Lor Putih tak menjawab pertanyaan
orang. Dia kembali kerahkan tenaga dalam untuk me-
lepaskan jepitan dua jari Ki Dalem Sleman yang masih
mengancing goloknya. Kali ini tidak tanggung-
tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
ada. Apa yang dilakukan sang perwira sudah dimak-
lumi oleh tokoh tua Keraton Demak yang jadi lawannya
itu. "Kau benar-benar mau menghabisinya, kau
mau membunuhnya silahkan!" Ki Dalem Sleman reng-
gangkan jepitan dua jari tangannya lalu mundur satu
langkah, Perwira muda Tubagus Lor Putih yang berada
dalam pengaruh hawa amarah tidak berpikir lagi,
mengapa mendadak orang berubah pikiran. Dia lang-
sung saja tusukkan ujung golok ke leher Pangeran Se-
kar. Tak banyak darah yang muncrat dari tubuh yang
setengah kaku dan sudah lama pingsan itu.
"Ku harap sekarang kau sudah puas, Tubagus!
Tapi jangan harap kau akan mendapat bintang jasa
atau kenaikan pangkat!" kata Ki
Dalem sambil menyeringai. Lalu dengan satu
gerakan cepat orang tua ini menyambar jenazah Pan-
geran Sekar, memanggulnya di bahunya dan melang-
kah naik ke atas rakit bambu yang masih ditancapi
tombak Kiai Sepuh Plered.
"Tunggu!" Perwira muda Tubagus Lor Putih
berseru. Dia memberi isyarat pada pasukan. Belasan
prajurit segera mengurung Ki Dalem Sleman yang te-
nang saja melangkah ke arah rakit bambu.
Ki Dalem Sleman injakkan dua kakinya di atas
rakit. Tangan kirinya memegang batangan tombak. Dia
berpaling ke arah sang perwira muda.
"Hendak kau bawa kemana jenazah Pangeran
Sekar"!" bentak Tubagus Lor Putih.
"Kemana aku mau membawa adalah urusanku.
Kau sudah membunuhnya. Apakah menginginkan
mayatnya pula"!"
"Benar! Kau tidak boleh membawa mayat itu.
Tinggalkan di sini! Mayat itu milik Kerajaan!" jawab Tubagus Lor Putih.
Ki Dalem Sleman menyeringai.
"Kau terlalu mengada-ada Tubagus Lor Putih.
Adat mu sungguh buruk. Harap kau mencoba mawas
diri. Kalau tidak perjalanan hidup masa depanmu
akan seburuk adat yang kau miliki!"
Air muka Tubagus Lor Putih merah mengelam.
"Ki Dalem! Jika kau bersikeras hendak mem-
bawa mayat Pangeran Sekar, aku terpaksa memerin-
tahkan pasukan untuk merampas mayat itu!"
"Hemmm.... Kalau begitu silahkan kau coba!"
Mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman, Tuba-
gus Lor Putih segera berteriak pada anggota pasukan-
nya. "Kalian semua! Rampas mayat Pangeran Sekar!"
Belasan prajurit yang memang sudah mengu-
rung segera menyerbu. Tanpa mempergunakan senjata
mereka berusaha merebut jenazah Pangeran Sekar
yang tergeletak di pundak kiri Ki Dalem Sleman.
"Prajurit-prajurit malang! Aku tahu kalian
hanya menjalankan perintah! Aku tak mau menurun-
kan tangan jahat pada kalian! Jangan berani mende-
kat!" Ki Dalem Sleman berucap. Dia berkata tanpa memandang pada prajurit-
prajurit yang mendatanginya tapi menatap ke jurusan Tubagus Lor Putih.
Sesaat anggota pasukan yang hendak menyer-
bu jadi bimbang. Gerakan mereka tertahan. Tubagus
Lor Putih jadi marah. Dia membentak keras. "Lakukan perintahku atau kalian semua
akan menerima hukuman berat!"
Tak ada pilihan lain. Lebih dari selusin prajurit
serta merta menyerbu.
Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. Tan-
gan kiri dan salah satu kakinya bergerak. Lalu terden-garlah jeritan-jeritan
kesakitan. Empat prajurit mencelat mental, jatuh bergedebukan di tanah. Mereka
men- gerang kesakitan sambil pegangi kepala yang benjut,
hidung yang berdarah, dada yang patah tulang iganya
atau perut yang mau jebol. Di atas rakit Ki Dalem ma-
sih tampak tegak seolah tak bergerak dan matanya se-
perti tadi masih terus saja menatap ke arah Tubagus
Lor Putih. "Cabut senjata! Habisi orang tua itu!" teriak sang perwira muda.
Golok dan pedang dicabut keluar dari sarang-
nya. Belasan prajurit menghunus senjata. Lalu serem-
pak mereka kembali menyerbu Ki Dalem Sleman.
Orang tua di atas rakit ini gerakkan tangan kirinya,
mencabut Tombak Kiai Sepuh Plered yang sejak tadi
ditancapkannya di bambu rakit. Lalu di udara tiba-tiba berkiblat sinar hitam
berbentuk setengah lingkaran,
menyapu pulang balik tiga kali berturut-turut.
Suara beradunya senjata berdentrangan. Em-
pat patahan pedang dan dua patahan golok mental ke
udara. Lima prajurit berteriak kesakitan dan melompat mundur. Muka mereka
seputih kain kafan ketika melihat tangan, dada dan perut mereka mengucurkan da-
rah. Di sebelah kiri dua prajurit tergeletak di tanah dengan luka besar menguak
di leher. Keduanya mengerang panjang lalu tak berkutik lagi.
"Tubagus Lor Putih, jika kau masih hendak
memberi perintah yang bukan-bukan, aku tak segan-
segan membunuh semua anggota pasukanmu!"
"Ki Dalem Sleman! Apa yang kau lakukan ini
menyatakan bahwa kau sudah menjadi pemberontak
besar terhadap Kesultanan Demak! Aku akan mela-
porkan hal ini pada Sultan!"
"Aku ingin tertawa bergelak mendengar. kata-
katamu itu! Seharusnya aku yang akan melapor pada
Sultan tentang kebodohan dan kegagalanmu membe-
kuk Pangeran Sekar! Kalau aku tidak membantu me-
nangkapnya apa kau kira kau bisa membunuh Pange-
ran ini" Kau tidak lebih dari anak kecil yang hari ini menerima berkah dariku
untuk aku suapi sesendok
bubur enak! Ha... ha... ha!"
Merah padam muka Tubagus Lor Putih men-
dengar ejekan Ki Dalem Sleman itu. Amarah membuat
dia ingin menyerang sendiri si orang tua. Tangannya
yang masih menggenggam hulu golok sampai bergetar
menahan geram. Tapi dia maklum Ki Dalem Sleman
bukan lawannya. Kalau dia nekad menyerang kakek
sakti itu bisa merubuhkannya dalam satu gebrakan
saja. "Pemberontak tua! Lekas kau tinggalkan tempat
ini! Mulai hari ini kau akan menjadi orang buronan!"
Ki Dalem Sleman tersenyum. Dia memandang
pada prajurit kepala yang tadi hendak dipancung oleh
Tubagus Lor Putih.
"Prajurit kepala, bangkitlah! Mendekat kemari!"
Ki Dalem Sleman berkata pada prajurit itu seraya
memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Si prajurit
sendiri sampai saat itu masih berlutut di tanah karena tadi sebenarnya dia sudah
siap menerima hukuman.
Inilah kehebatan sifat seorang prajurit Demak. Walau
berbagai hal telah terjadi di sekitarnya di depan ma-
tanya namun sebagai orang yang hendak dihukum dia
tidak mempergunakan kesempatan untuk menyela-
matkan diri. Bahkan sedikitpun dia tidak bergerak dari tempatnya semula. Namun
kali ini suara ucapan Ki
Dalem Sleman terdengar begitu berwibawa. Hingga
prajurit kepala berkulit hitam ini bangkit berdiri dari berlututnya lalu
melangkah mendekati Ki Dalem Sleman. Si kakek pandangi prajurit itu dari kepala
sam- pai ke kaki. "Siapa namamu prajurit?"
"Saya bernama Gedeng Kemitir, Ki Dalem..."
"Gedeng Kemitir, apakah kau merasa masih ada
gunanya bergabung dengan atasan yang hendak
menghabisi nyawamu di kala istrimu baru satu minggu
melahirkan" Padahal kesalahan itu semuanya adalah
menjadi tanggung jawab atasanmu Perwira Muda ber-
nama Tubagus Lor Putih itu?"
"Ki Dalem, apa maksud ucapanmu" Jangan
kau berani menghasut! Jaga mulutmu! Aku sudah
memberi kebebasan padamu untuk meninggalkan
tempat ini! Mengapa masih mau berbuat macam-
macam"!" Tubagus Lor Putih tak dapat menahan amarahnya. Lupa sudah dia kalau
orang tua itu bukan
tandingannya. Golok panjang di tangan kanannya di-
babatkannya ke batok kepala Ki Dalem Sleman.
Selagi senjata tajam itu terayun dari atas ke
bawah, tangan kanan Ki Dalem Sleman bergerak lebih
dulu, menyodok kebagian tubuh antara tulang dada
dan deretan tulang iga di rusuk kanan sang perwira
muda. "Bukkk!"
Tubagus Lor Putih terlempar empat langkah, ja-
tuh duduk di tanah. Goloknya terlepas, jatuh menan-
cap di sebelahnya. Dia berusaha bangkit tapi tidak
mampu. Tubuhnya sebelah kanan terasa sakit dan ka-
ku. Seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu, Ki
Dalem Sleman kembali bertanya pada prajurit kepala
yang berdiri di depannya.
"Gedeng Kemitir, aku bertanya sekali lagi. Apa-
kah kau masih ingin bergabung dengan pasukan yang
dipimpin oleh seorang atasan berpikiran sesat berjiwa pongah"!"
"Saya... saya tidak tahu Ki Dalem," menyahuti si prajurit kepala.
"Dengar ucapanku Gedeng Kemitir. Kau tak
punya tempat lagi dalam barisan prajurit Kerajaan. Ji-ka kau tetap bertahan
nasib buruk menunggu masa
depanmu. Sama saja kau diam di sarang harimau.
Naik ke atas rakit ini. Ikut bersamaku. Aku akan
memberikan beberapa ilmu kepandaian padamu. Lain
waktu jika kau kembali ke Kotaraja, kau boleh menye-
lesaikan urusan dengan atasan yang hendak meman-
cung kepalamu itu!"
"Saya seorang prajurit Demak. Saya harus pa-
tuh pada atasan dan Kerajaan!" jawab Gedeng Kemitir.
Ki Dalem Sleman tersenyum. "Seorang prajurit
harus patuh pada atasan. Tapi atasan yang mana"
Bukan pada atasan yang zolim, yang hendak mengha-
bisi mu dan bersembunyi dibalik tanggung jawabnya.
Kesetiaanmu pada Kerajaan akan diputar balik oleh
Perwira Muda itu. Kau hanya akan dijadikan tumbal
kesalahannya untuk melindungi dirinya sendiri di ha-
dapan Sultan!"
"Ki Dalem! Kau benar-benar penghasut jahat!
Busuk!" teriak Tubagus Lor Putih. Lalu dia berteriak pada prajurit kepala.
"Lekas kembali ke tempatmu dan berlutut!"
Gedeng Kemitir memandang pada Ki Dalem
Sleman lalu berpaling menatap atasannya sang perwi-
ra, muda. Akhirnya prajurit kepala ini gerakkan ka-
kinya melangkah. Bukan ke arah Tubagus Lor Putih,
tapi naik ke atas rakit, tegak di belakang Ki Dalem
Sleman. Si orang tua tertawa mengekeh. "Tubagus Lor
Putih, kau dan semua yang ada di sini melihat sendiri apa yang terjadi. Prajurit
Kepala bawahan mu telah
menjatuhkan pilihan. Dia ikut denganku! Kelak di ke-
mudian hari apa yang telah kau perbuat terhadapnya
akan kau terima balasannya langsung dari dirinya
sendiri!" "Tua bangka jahanam! Sultan akan menghu-
kum mu!" Tubagus Lor Putih berusaha bangkit tapi dia mengerang kesakitan dan
jatuh terduduk kembali di
tanah. Di atas rakit Ki Dalem Sleman pegang Tombak
Kiai Sepuh Plered dengan tangan kirinya. Kaki kanan-
nya dijejakkan ke tanah. Debu mengepul. Rakit bambu
itu melesat ke atas, melayang berputar lalu menukik
ke arah tengah sungai. Tak lama kemudian rakit dan
penumpang di atasnya meluncur ke hilir mengikuti ali-
ran arus yang masih deras.
*** BERSAMBUNG KE BAGIAN - 4
KUNGFU SABLENG OH-SE GONG WADAM
(WADAM SINTING PENGACAU DUNIA)
*** 1 DI DALAM gelap, orang bertubuh pendek hitam
itu hampir tidak terlihat. Apalagi dia mengenakan pa-
kaian serba hitam dan berdiri di bawah bayang-bayang
satu pohon besar. Sambil mengusap dagunya yang di-
tumbuhi bisul-bisul besar karena alergi akibat terlalu banyak makan udang rebus,
dia menatap ke depan, ke
arah sebuah gedung besar dan mewah.
"Jadi ini gedung kediaman Cong Wangwe (Har-
tawan Cong) yang kesohor itu. Menurut keterangan
yang aku dapat. Go Bang An, salah seorang murid Oh-
se Gong Wadam alias Wa-dam Sinting Pengacau Dunia
bekerja di sini. Jika aku bisa memancing si Gobangan
itu keluar dari sarangnya, mungkin sekali aku bisa
mengetahui dimana beradanya Oh-se Gong Wadam."
Selagi dia berpikir-pikir mencari akal mendadak
orang di bawah pohon itu merasakan perutnya mulas.
"Celaka! Mungkin ini gara-gara terlalu banyak makan bakpau basi!" Saking tidak
tahannya, orang ini dodor-kan celananya lalu mendekam di dekat tembok gedung
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang gelap. Baru sempat mengedan satu kali tiba-tiba
ada suara gonggongan anjing. Sesaat kemudian seo-
rang bertubuh tinggi besar, berewokan dan kumis me-
lintang muncul. Sambil menghunus pedang orang ini
membentak. Sebagai pengawal cabang atas dia sudah
terlatih dalam hal penciuman (bukan berciuman) Segi-
tu bau sedap menembus liang hidungnya dia segera
mengetahui sedang apa si pendek hitam di dekat tem-
bok itu. "Aku Go Bang An! Pengawal Kepala gedung kediaman Cong Wangwe! Monyet
dari gunung mana be-
rani mati buang air besar di depan gedung Cong
Wangwe!" Orang yang jongkok dalam gelap cepat rapikan
celananya dan berdiri terbungkuk-bungkuk. Bukan
menghormat sang Kepala Pengawal gedung tapi mak-
lum masih ngepet alias belum cebok.
"Pengawal, Ose jangan salah sangka. Torang
bukannya buang air besar tapi cuma berak sadikit.
Kebelet mules!"
"Jangkrik! Berak itu masih keponakannya
buang air besar tau"!"
"Kalau begitu maafkan torang. Torang trada ta-
hu kalau ini Cong Wangwe pe rumah."
"Eh"!" Go Bang An kerenyitkan kening dan de-likkan mata. Dia baru sadar.
"Manusia hitam pendek dan jelek! Tampang dan bentuk tubuhmu jelas bukan
orang sini! Logat bicaramu apalagi! Siapa kau sebenarnya"! Mungkin makhluk
jejadian yang kesasar malam
hari, mau berbuat jahat di gedung Cong Wangwe!"
"Ah, ose pe mata dan talinga tajam sekali! To-
rang memang bukan orang sini. Tapi torang bukan
makhluk jejadian bangsa jin atawa dedemit! Torang da-
tang dari jau. Naek prau. Kerdampar di Tionggoan ini.
Torang pe nama Pati Raja Lo Ngok!" (Tionggoan = Daratan Tiongkok).
"Pati Raja Lo Ngok! Mama aneh! Tapi cocok
dengan kulitmu yang hitam seperti pantat kuali! Ha...
ha... ha!" Go Bang An hentikan tawanya. Lalu berkacak pinggang. Sambil
melintangkan golok di depan dada
dia berkata. "Tikus gosong! Untuk kekurang ajaran mu be-
rani buang air di depan gedung Cong Wangwe kau ha-
rus didenda setengah tail perak! Atau kau tinggalkan
salah satu daun telingamu di sini! Boleh pilih! Ha...
ha!" Mendengar ancaman sadis itu orang mengaku
bernama Pati Raja Lo Ngok jadi mengkeret nyalinya.
Lengkap dengan dua daun telinga saja tampangnya
sudah begitu jelek. Apa lagi kalau sempat dia harus
menyerahkan salah satu daun telinganya! Dari dalam
saku bajunya dia segera keluarkan satu tail perak. "Torang tra sangka ose bisa
ba pungli jua!" kata Pati Raja Lo Ngok. "Ini satu tail Kembalikan setengah
tail!" Go Bang An meraba-raba saku pakaiannya. Dia
tidak punya kembalian setengah tail. Sesaat dia agak
bingung. Tapi otaknya segera jalan dan mulutnya enak
saja berucap. "Aku tak ada kembalian setengah tail.
Sudah, begini saja. Situ buang air saja sekali lagi. Jadi pas! Tidak perlu
kembalian setengah tail!"
"Pemeras kecil brengsek!" maki Pati Raja Lo Ngok. "Kurang ajar! Kau berani
menghina. Siapa bilang barang sex-ku kecil! Apa situ pernah lihat"!" Go Bang An
marah besar akibat salah mengerti.
"Majikannya Cong Ngek. Pengawalnya To Rek!"
Pati Raja Lo Ngok mendumal lalu tinggalkan tempat itu dalam keadaan ngepet alias
belum cebok! Keesokan paginya peristiwa malam itu dicerita-
kan Go Bang An pada kawan-kawan nya sesama pen-
gawal. Salah seorang diantara mereka yang bernama
Tong Bo Khek lantas membisikkan sesuatu pada Go
Bang An. Go Bang An menyeringai. "Kau betul. Kalau begitu mari kita cari dia.
Tidak sulit menemukan orang asing di kota ini. Apa lagi orang pendek hitam!
Ha... ha... ha!"
Sebenarnya bukan rahasia lagi. Go Bang An
dan Tong Bo Khek serta dua kawannya yang bekerja
sebagai pengawal di gedung kediaman Cong Wangwe
adalah Juga orang-orang yang menyalah gunakan ke-
kuasaan. Mereka diketahui adalah sebagai kelompok
empat tukang peras.
*** 2 HOTEL Hill Tong yang ada di pusat kota meru-
pakan hotel paling besar dan mewah di daratan Tiong-
goan pada masa itu. Pati Raja Lo Ngok menginap di se-
buah kamar di tingkat dua. Saat itu dia tengah asyik
bersenang-senang dengan seorang gadis panggilan ke-
las atas yang dikenal dengan nama Nio Ling Lung.
Sedang asyik-asyiknya dua makhluk di dalam
kamar, tiba-tiba pintu didobrak dan empat orang me-
lompat masuk ke dalam. Mereka bukan lain adalah Go
Bang An, Tong Bo Khek dan dua kawannya.
Nio Ling Lung terpekik kaget. Cepat-cepat dia
menyusup sembunyi di balik seperai. Sedang Pati Raja
Lo Ngok yang marah besar lupa diri, langsung saja me-
lompat dari ranjang dalam keadaan berbugil ria.
"Pemeras sialan! Ose lagi rupanya! Ose berani
masuk kamar orang! Ose mau bikin apa"! Lekas ke-
luar! Atau torang panggil keamanan hotel!"
"Aha! Loya! Tenang! Tenang...." kata Go Bang An menyeringai, (Loya = Tuan besar)
Dia dan kawan- kawannya merasa lucu melihat sosok Pati Raja Lo
Ngok yang berdiri marah tanpa pakaian seperti itu. Pa-ti Raja Lo Ngok rupanya
sadar juga dan cepat-cepat
menyambar selimut untuk ditutupi ke badannya. "Ka-mi mau bicara sikitlah sama
loya!" kata Go Bang An sambil kedipkan matanya pada sobatnya yang bernama Tong
Bo Khek. "Setan! Torang seng ada waktu bicara dengan
kalian!" (seng = tidak)
"Tenang loya. Seng ada atau seng atap harap
suka dengar dulu!" kata Go Bang An. "Kami mendapat perintah melakukan
pengusutan. Sebagai orang asing
loya dituduh mengedarkan uang perak palsu. Satu tail
perak yang Soya ada kasih tadi malam ternyata palsu.
Luarnya memang perak tapi dalamnya timah! Loya ter-
paksa kami bawa ke kantor pos. Maaf, maksudku ke
kantor polisi!"
Pati Raja Lo Ngok kelihatan kaget. Sesaat ke-
mudian mukanya jadi pucat. "Mana torang tahu kalau uang satu tail itu palsu!"
Tong Bo Khek melangkah mendekati Pati Raja
Lo Ngok lalu menepuk-nepuk bahu si pendek hitam.
"Loya kulit hitam. Kami tahu loya orang baik. Kami tidak mau bikin loya jadi
susah. Bagaimana kalau kita
atur damai saja. Semua bisa diatur di Tionggoan ini.
Loya senang kami gembira. Pembeli dan penjual sama-
sama untung! Hay yaaa!"
Go Bang An ikut menimbrungi ucapan teman-
nya. "Jangan khawatir loya Pati Raja Lo Ngok. Kami tidak akan melakukan
pengusutan. Apalagi membawa
loya ke kantor polisi. Asal loya tau sama tau semua
pasti beres!"
"Bilang saja, ose semua maunya apa"!" tanya Pati Raja Lo Ngok.
Go Bang An menyeringai. "Kami cuma butuh
lima puluh tail perak! Begitu menerima, kami segera
tinggalkan kamar ini. Loya bisa senang-senang lagi
dengan nona cantik di balik seperai itu! Ha... ha... ha!"
Pati Raja Lo Ngok agaknya tidak mau mencari
kesulitan. Dari dalam lemari hotel diambilnya sebuah
kantong kain lalu diserahkan pada Go Bang An. "Ini ambil for ose! Di dalamnya
ada lebih dari lima puluh
tail perak!"
Go Bang An segera sambar kantong kain itu.
Tapi Tong Bo Khek cepat pegang tangan temannya itu
seraya berkata. "Tunggu dulu. Kita periksa dulu isi kantong ini!" Lalu Tong Bo
Khek membuka tali ikatan kantong. Begitu kantong terbuka isinya ternyata bukan
uang perak melainkan gundu alias kelereng! Tong
Bo Khek langsung lemparkan kelereng itu ke lantai. Go Bang An dan dua kawannya
meradang marah.
"Loya keparat! Berani menipu!" Serentak Go
Bang An melompat menyergap Pati Raja Lo Ngok. Tong
Bo Khek ikut hantamkan serangan. Dua orang lainnya
juga tak tinggal diam. Perkelahian satu lawan empat
segera berkecamuk di dalam kamar sementara Nio Ling
Lung terpekik-pekik ketakutan.
Go Bang An dan kawan-kawannya tidak pernah
mengetahui siapa sebenarnya si pendek hitam yang
mereka keroyok ini. Setelah dua jurus menggempur
dengan tangan kosong tanpa hasil, Go Bang An mem-
beri isyarat. Kelompok empat pemeras segera cabut go-
lok masing-masing kembali Nio Ling Lung menjerit-jerit ketakutan.
Sebaliknya Pati Raja Lo Ngok kelihatan tenang
saja. Dengan satu gerakan enteng dia melompat ke
atas ranjang. Begitu empat golok menderu ke arahnya,
si pendek hitam ini berkelebat laksana angin. Terden-
gar suara bak-buk-bak-buk berulang kali dibarengi
suara jeritan Go Bang An dan kawan-kawannya.
Sesaat kemudian empat penyerang sudah ber-
geletak di lantai. Go Bang An bocor keningnya. Tong
Bo Khek kucurkan darah dari mata kirinya yang me-
lembung bengkak. Dua orang lagi melingkar sambil
mengerang karena tulang hidung patah dan bibirnya
pecah! Go Bang An dan dua kawannya merangkak ke
pintu. Tong Bo Khek rupanya masih penasaran. Sam-
bil tekap matanya yang bocor dia bangkit berdiri, me-
nyambar golok di lantai lalu kembali menyerang Pati
Raja Lo Ngok. Dia menyerang dengan jurus bernama
"Kuda hamil merangkul pejantan." Yang diserang ber-kelit ke kiri lalu kaki
kanannya bergerak.
"Bukkk!"
Tong Bo Khek meraung setinggi langit. Golok-
nya mental. Tubuhnya terlempar ke luar pintu kamar.
Megap-megap dia berusaha bangun tapi rubuh lagi.
Kawan-kawannya segera menolong.
"Apamu yang kena"!" tanya Go Bang An.
"Torpedo ku.... Monyet hitam itu menendang
torpedo ku!" jawab Tong Bo Khek lalu lidahnya terjulur dan matanya mencelet.
Pingsan! *** 3 SORE itu Pati Raja Lo Ngok baru saja selesai
mandi. Sambil bersiul-siul menyanyikan lagu O U La
The dia berganti pakaian. Baru selesai mengenakan
pakaian yakni sehelai baju hitam dan sehelai kain sa-
rung, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu. Yang datang ternyata adalah seorang
pelayan. Mukanya pucat dan
nafasnya memburu.
"Celaka tayjin! Celaka!" (Tayjin = tuan be-
sar/orang kaya)
"Tahi jin"! Ose bilang torang tahi jin"!" Pati Raja Lo Ngok pelototkan mata dan
membentak marah.
Si pelayan gelengkan kepala. "Celaka, celaka
tuan besar..."
"Eh, ose ini gila atau bagaimana" Apa yang ce-
laka"!" "Mereka datang! Go Bang An dan tiga kawannya. Tapi mereka bukan cuma
berempat. Go Bang An
membawa serta gurunya yang bernama Oh-se Gong
Wa-dam alias Wadam
Sinting Pengacau Dunia. Dan Wadam ini mem-
bawa pula empat orang anak muridnya!"
Si pelayan terheran-heran ketika melihat Pati
Raja Lo Ngok bukannya terkejut mendengar keteran-
gannya tapi malah tersenyum.
"Pelayan, bagus ose sudah memberitahu. To-
rang sebenarnya memang sudah lama mencari Oh-se
Gong Wa-dam. Ternyata torang pe pancingan berhasil.
Oh-se Gong Wa-dam akhirnya keluar juga dari sarang-
nya!" Pati Raja Lo Ngok lalu melangkah ke jendela. Di halaman bawah sana dia
melihat Go Bang An dan
Tong Bo Khek serta dua kawannya. Keempatnya berte-
riak-teriak sambil acungkan golok dan memandang ke
arah jendela kamar Pati Raja Lo Ngok. Di dekat mereka berdiri empat pemuda
berpakaian serba kuning. Rambut dikuncir dan lucunya muka mereka dipoles bedak
dan gincu tebal!
Agak ke depan dari barisan delapan orang itu
berdiri seorang tinggi besar berpakaian dan berdandan aneh. Di sebelah atas
orang ini mengenakan baju
kembang-kembang. Rambut dipotong pendek alias
yongen. Muka di pupur bedak tebal seperti dempul.
Bibir dicat merah mencorong dan alis tebal sehitam
arang. Pada daun telinganya mencantel anting-anting
bundar besar. Di sebelah bawah orang ini mengenakan
rok model pendek sekali, berkaos kaki merah dan me-
makai sepatu lars! Inilah dia Oh-se Gong Wadam alias
Wadam Sinting Pengacau Dunia.
"Pati Raja Lo Ngok! Jangan sembunyi di dalam.
kamar! Lekas keluar menerima hukuman!" Go Bang An berteriak sambil acung-
acungkan goloknya. Sementara
Oh-se Gong Wa-dam tegak rangkapkan tangan di atas
dada. Saat itu orang banyak mulai berkerumun di ha-
laman hotel Hill Tong.
Pati Raja Lo Ngok kencangkan sarungnya, ke-
nakan kain hitam pengikat kepala lalu keluar dari ka-
mar. Begitu turun ke halaman dia segera melangkah
ke tempat Go Bang An dan Kawan-kawannya dan ber-
diri empat langkah di hadapan Oh-se Gong Wa-dam.
Sesaat dua orang itu saling beradu pandang. Lalu Wa-
dam Sinting Pengacau Dunia sunggingkan senyum si-
nis dan membuka mulut.
"Pati Raja Lo Ngok! Lama tak bertemu ternyata
kau masih jelek-jelek saja seperti dulu. Hik... hik! Aku sudah tahu apa tujuanmu
muncul di kota ini. Rupanya kau kurang menyadari tingginya gunung Thay-
san. Jauh-jauh kau datang ke Tionggoan hanya untuk
mencari mati! Sungguh satu kesia-siaan tolol!"
Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pati Raja Lo Ngok balas menyeringai. "Ose kira
dengan kabur ke Tionggoan ini bisa menyelamatkan
dirimu dari pembalasan hukuman" Ose membunuh
sahabatku Madame Du Lepet, Ketua Persatuan Wadam
Taman Lawang. Torang datang untuk menjemput mu.
Ose akan diadili di negeri asalmu. Tapi jika ose berani membangkang, maka
terpaksa ose pe nyawa dihabisi
di tempat ini juga!"
Wadam Sinting Pengacau Dunia tertawa gelak-
gelak. "Pati Raja Lo Ngok, ternyata kesombonganmu tidak berubah sejak dulu!
Seharusnya kepalamu ku pi-
sahkan dengan badan saat ini juga! Tapi lama-lama
kulihat kau kelihatan antik juga. Akhir-akhir ini aku suka barang antik. Dengar
Raja Lo Ngok, aku akan
ampuni selembar nyawamu. Tapi syaratnya kau suka
ikut aku ke tempat kediamanku dan melayani diriku
sebagai seorang istri!"
Tampang hitam Pati Raja Lo Ngok jadi menghi-
tam legam. "Wadam Sinting buronan dari Taman La-
wang! Kau juga tidak berubah. Seumur-umur hidup
kacau balau tak karuan. Ajakanmu menarik juga! Tapi
ose lupa! Tuan besarmu ini tidak suka main wadam.
Perawan dan janda saja bertaburan di delapan penjuru
angin. Masakan torang mau bersuka-suka dengan wa-
dam rongsokan macam ose begini!"! Ha... ha... ha!"
Marahlah Oh-se Gong Wa-dam mendengar
penghinaan itu. Apa lagi di hadapan sekian banyak
mata, termasuk murid-muridnya sendiri. Dia maju sa-
tu langkah tapi Tong Bo Khek dan Go Bang An serta
empat muridnya yang berpakaian kuning segera men-
cegah, "Suhu, biar kami yang membereskan monyet hitam ini!"
Oh-se Gong Wa-dam gelengkan kepala. Ma-
tanya tak berkesip. "Urusan ini aku yang harus menye-lesaikan. Monyet hitam ini
sejak aku masih di Taman
Lawang sudah bikin susah diriku!"
Tangan kanan Wadam Sinting Pengacau Dunia
bergerak ke balik dada pakaiannya. Semula semua
orang mengira dia akan mengeluarkan senjata berupa
golok atau pedang. Tapi yang kemudian tergenggam di
tangannya ternyata adalah sebuah BH alias kutang
ukuran 42 B-Cup. Wadam Sinting Pengacau Dunia
maju lagi satu langkah. Kali ini sambil putar-putar BH
di tangannya. Begitu hebatnya hingga mengeluarkan
suara menderu bersiuran. Debu dan kerikil beterban-
gan. Daun-daun pepohonan berguguran. Ranting-
ranting ada yang berpatahan. Dan BH itu terus mende-
ru menebar bau aneh seperti bau minyak rem yang
sudah apak! "Pati Raja Lo Ngok! Diberi susu kau minta ra-
cun! Biar kepalamu kuhancurkan dengan penutup su-
su ini!" "Wuuttt!"
BH di tangan Wadam Sinting Pengacau Dunia
menghantam ke arah batok kepala Pati Raja Lo Ngok.
Yang diserang cepat merunduk. Tapi secara aneh
ujung BH membalik dan breett! Dada pakaian Pati Ra-
ja Lo Ngok robek besar. Orang ini cepat melompat den-
gan wajah berubah. Wadam Sinting Pengacau Dunia
tertawa bergelak.
"Kini baru kau sadar kalau kau tak bakal bisa
kembali ke kampung halamanmu! Hik... hik... hik!"
"Wadam sinting! Jangan bicara takabur! Lihat
serangan!" teriak Pati Raja Lo Ngok. Lalu tubuhnya melesat ke atas. Sambil
melompat tangannya menyelinap ke balik sarung. Sesaat kemudian ketika tangan
itu keluar dari sarung kelihatan dia memegang celana
kolornya yang dekil butut. Begitu celana itu dike-
butkan di udara, angin laksana badai menggebu dan
bau tidak sedap menyesakkan pernafasan. Go Bang An
dan Tong Bo Khek serta dua kawannya, juga empat
murid Oh-se Gong Wa-dam terhuyung-huyung lalu ja-
tuh bergedebukan di tanah. Hanya Oh-se Gong Wa-
dam sendiri yang masih tegak di tempatnya pertanda
dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
Di halaman Hotel Hill Tong segera berkecamuk
pertempuran seru jadi tontonan yang mengasyikkan
dan aneh karena masing-masing yang berkelahi me-
megang senjata aneh. Satu selembar BH ukuran 42,
satunya lagi sehelai kolor dekil.
Bagaimanapun tingginya ilmu silat Oh-se Gong
Wa-dam ternyata masih berada di bawah tingkat ke-
pandaian Pati Raja Lo Ngok. Setelah saling baku han-
tam selama dua puluh jurus, pada jurus ke dua puluh
satu Pati Raja Lo Ngok berhasil menyekap dan mema-
sukkan kolornya ke kepala lawan. Oh-se Gong Wadam
kelabakan, tak bisa bernafas dan tubuhnya menjadi
lemas mencium bau kolor yang aneh itu. Sebelum wa-
dam bersepatu lars itu rubuh ke tanah, Pati Raja Lo
Ngok cepat menotok tubuhnya hingga sang wadam be-
nar-benar dibuat tidak berdaya. Melihat kejadian ini Go Bang An dan kawan-kawan
serta empat murid Oh-se Gong Wa-dam segera jatuhkan diri berlutut tanda
menyerah. Pati Raja Lo Ngok angkat kolornya dari kepala
Oh-se Gong Wadam. Lalu tenang saja di hadapan begi-
tu banyak orang dia kenakan kolor dekil itu kembali.
TAMAT E-Book by Abu Keisel Pembalasan Mintarsih 2 Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol Kelana Buana 7