Pencarian

Srigala Perak 1

Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak Bagian 1


TDS TIGA dalam SATU
WIRO SABLENG Judul: Srigala Perak
ARIO BLEDEG (Bagian ke - 2)
Judul: Petir di Mahameru
KUNGFU SABLENG Judul: Pendekar Pispot Naga (The Dragon Pispot)
WIRO SABLENG Srigala Perak 1 KI TAWANG ALU MELIHAT siapa yang berdiri di depannya, Pen-
dekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia lang-
sung membentak. "Kau datang menyelinap dalam ke-
gelapan malam! Membokong secara pengecut! Apa tu-
juanmu Ki Tawang Alu"!"
Si kakek tertawa bergumam. Sambil pegangi
lengan kanannya yang sakit akibat bentrokan dengan
tangan Wiro tadi, dia menjawab.
"Malam boleh gelap! Kau boleh saja menuduh-
ku sebagai pembokong pengecut! Tapi satu hal jelas
bagiku, seperti terangnya matahari di siang bolong!"
"Tua bangka sialan! Aku tidak begitu suka me-
lihat tampangmu yang putih seperti poncong hidup!
Jadi jangan berpantun mengumbar syair di depanku!
Katakan terus terang apa maksudmu muncul di tem-
pat ini"!"
"Kalung kepala srigala perak! Aku tahu patung
itu ada padamu!"
"Sebelumnya kau sudah memeriksa menggele-
dah sendiri! Kau tidak menemukan kalung itu pada di-
riku! Kau ini gila atau tolol"!"
"Aku tidak gila, tidak juga tolol! Aku terlalu cerdik untuk kau tipu, anak muda
bau kencur! Mana ka-
lung perak kepala srigala itu! Lekas serahkan padaku!"
Wiro tatap kakek bermuka putih. Sambil me-
nyeringai dia membatin. "Aku ingat pembicaraan dengan empat gadis anggota
Kelompok Bumi Hitam itu.
Antara mereka dengan kakek jelek ini seperti ada ketidak cocokan...."
"Jangan cengangas-cengenges di hadapanku!
Kalau kau tidak segera menyerahkan kalung kepala
srigala itu, kau bakal menyesal sampai ke Hang ku-
bur!" "Busetttt! Matipun aku belum! Bagaimana kau bisa bilang aku bakal menyesal
sampai ke liang ku-bur!" "Kalau begitu biar sekarang kubunuh saja kau!"
Kakek bernama Ki Tawang Alu lalu angkat tangan ka-
nannya. Dalam gelap murid Sinto Gendeng melihat
tangan si kakek bergetar pertanda ada hawa sakti atau tenaga dalam yang
dialirkan ke tangan itu.
Wiro tetap saja menyeringai. "Kau bunuhpun
aku sampai tujuh kali kalung kepala srigala itu tak
bakal kau dapatkan!"
Ki Tawang Alu turunkan tangan kanannya.
"Apa maksudmu! Jangan berdusta kalung itu tidak
ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung
itu kau sembunyikan di mulutmu!"
"Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak
memaksa mengambil! Malah pada orang-orangmu kau
katakan kalung itu tidak ada padaku! Kau menipu me-
reka! Berarti ada keculasan dalam hatimu!"
Tampang si kakek sesaat berubah. Rahangnya
menggembung. "Urusanku dengan orang-orangku apa
perduli mu! Hatiku culas atau tidak juga apa perduli mu! Sekarang katakan saja!
Kau mau menyerahkan
kalung kepala srigala itu atau tidak"!"
"Kalung itu tidak ada padaku!" jawab Wiro.
"Kakek muka putih, terus-terang aku muak melihat-
mu!" Wiro putar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek cepat menghadang.
"Tunggu! Kalau kalung itu sekarang tidak ada
padamu, dimana beradanya" Kau serahkan pada sia-
pa"!" "Empat gadis berkerudung hitam itu mencegat ku di satu tempat. Mereka
bilang kalung itu sangat
mereka perlukan. Karena aku merasa kalung itu me-
mang milik mereka, lalu kuserahkan pada salah seo-
rang dari empat gadis itu...."
"Empat gadis! Bagaimana kau tahu mereka
adalah empat orang gadis!" Ki Tawang Alu bertanya heran. "Aku melihat sendiri
wajah-wajah mereka. Cantik semua! Mereka yang memperlihatkan wajah pada-
ku!" Ki Tawang Alu kelihatan terkejut mendengar keterangan Wiro itu, alisnya
yang putih sampai ber-jingkrak ke atas. Rahangnya menggembung.
"Anak muda tolol! Kau sudah kena tipu! Empat
gadis itu tidak berhak memiliki kalung itu! Kau ingat kepada siapa kalung itu
kau serahkan"!"
"Gadis bernama Mentari Pagi!" jawab Wiro.
Kembali rahang Ki Tawang Alu menggembung.
"Kalau kau berdusta, kalau ternyata kalung itu
tidak ada pada gadis bernama Mentari Pagi itu, kau
bakal tahu rasa. Gurumu si nenek bau pesing itu akan
kubuat menemui ajal secara mengenaskan!"
Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan si
kakek. "Jahanam keparat! Apa yang telah kau lakukan terhadap guruku"!" teriak
Wiro. Sekali lompat saja dia ada di hadapan si kakek. Tangan kanannya menyambar.
Lidah Ki Tawang Alu mencelat terjulur keluar be-
gitu Wiro mencekik lehernya!
Megap-megap si kakek berkata. "Bunuh! Pa-
tahkan batang leherku! Kau tak bakal melihat gurumu
seumur-umur!"
"Jahanam!" Wiro kembali merutuk. Tangannya
bergerak. "Braaakkkk!"
Ki Tawang Alu dibantingnya hingga jatuh pung-
gung di tanah. Tapi sambil menyeringai kakek ini be-
rusaha bangkit berdiri. "Gurumu berada di tangan ku!
Ku sembunyikan di satu tempat. Saat ini masih dalam
keadaan aman. Tapi jika keteranganmu dusta dan aku
tidak menemukan kalung itu, kematian guru mu se-
mudah aku membalikkan telapak tangan!"
"Kurang ajar! Telapak tanganmu yang mana"
Yang kiri atau yang kanan"!" Wiro membentak.
Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. "Kau lihat sa-
ja nanti...."
"Aku mau lihat sekarang!" kata Pendekar 212.
Secepat kilat tangan kanannya menyambar ke depan.
"Kraaakkk!"
Sekali remas saja patahlah tulang telapak tan-
gan kanan Ki Tawang Alu. Kakek ini menjerit kesakitan setinggi langit. Walau
Wiro berhasil mematahkan telapak tangan kanan si kakek tapi dia harus membayar
cukup mahal. Karena tak kalah cepatnya tangan kiri
Ki Tawang Alu menghantam ke depan. Murid Sinto
Gendeng berusaha mengelak dengan jurus Kilat Me-
nyambar Puncak Gunung, yakni ilmu silat yang dida-
patnya dari Tua Gila, namun jotosan si kakek masih
mampu mendarat telak di dada kirinya.
Murid Sinto Gendeng laksana digebuk dengan
palu godam raksasa. Tubuhnya mencelat lalu jatuh
terjengkang di tanah. Dadanya serasa hancur dan
mendenyut sakit. Sesaat dia sulit bernafas dan pe-
mandangannya menggelap. Ketika dia berusaha me
narik nafas dalam dari mulutnya keluar darah. Wiro
berteriak marah. Kerahkan tenaga dalam lalu melom-
pat bangkit. Gerakannya terhuyung-huyung. Meman-
dang ke depan Ki Tawang Alu tak kelihatan lagi.
"Jahanam bermuka putih itu menculik Eyang
Sinto Gendeng! Kalau sampai guruku cidera aku ber-
sumpah akan menguliti tubuhnya!" Sambil pegangi
dadanya yang sakit Wiro melangkah ke jurusan timur
di mana dia menduga kaburnya kakek bernama Ki Ta-
wang Alu itu. * * * 2 PELANGI INDAH MALAM gelap gulita. Udara dingin luar biasa
seolah tubuh dibungkus es. Semakin tinggi ke puncak
Gunung Merapi, semakin sengsara keadaan Pendekar
212. Kakinya terasa sakit dan berat, sukar diajak me-
langkah. Dadanya seperti di ganduli batu berat. Setiap dia menarik nafas
tenggorokannya terasa panas dan
lehernya seperti di cekik. Hanya semangat baja dan
niat untuk menyelamatkan Eyang Sinto Gendeng yang
tidak di ketahuinya dimana beradanya membuat Wiro
akhirnya mampu sampai ke puncak timur Gunung
Merapi. Inipun ditempuhnya satu hari perjalanan. Jika dia tidak cidera dalam
waktu setengah hari saja pasti dia sudah sampai di tempat itu.
Di satu pendakian berbatu-batu Pendekar 212
jatuhkan tubuhnya, duduk menjelepok di tanah.
"Lereng timur gunung ini luas sekali. Malam ge-
lap begini. Di mana aku harus mencari! Kalau sampai
tidak bertemu markasnya orang-orang Ke lompok Bu-
mi Hitam itu, bukan saja aku yang celaka, tapi Eyang
Sinto Gendeng juga bakal sengsara sebelum menemui
ajal! Bangsat Ki Tawang Alu! Apa yang telah kau laku-
kan terhadap guruku!" Wiro kepalkan tinju kiri kanan lalu sandarkan punggungnya
ke sebuah batu di bela-kangnya. Menurut jalan pikiran Wiro, setelah tahu di-
mana beradanya kalung kepala srigala perak itu, Ki
Tawang Alu pasti akan menuju ke markasnya di pun-
cak timur Gunung Merapi. Itu sebabnya walau harus
menyabung nyawa dan mungkin saja menemui ajal di
tengah jalan, dia tetap bertekad naik puncak gunung
itu untuk mencari si kakek. Kalau dia tidak sampai
dapat mengorek keterangan dimana gurunya berada
dan apa yang terjadi dengan nenek sakti itu, tekadnya sudah bulat untuk
menyabung nyawa, memilih sama-sama mati dengan Ki Tawang Alu!
Dalam keadaan menderita sakit dan letih se-
tengah mati serta lapar dan haus sepasang mata Wiro
terasa berat. Sekejapan lagi matanya hendak terpejam
tiba-tiba dia melihat nyala api, kecil dan jauh sekali.
"Nyala api itu..." desis Pendekar 212 sambil se-ka darah yang masih menetes di
sela bibirnya. "Aku harus menyelidik. Mungkin itu tempat kediamannya
orang-orang Bumi Hitam...." Wiro bangkit berdiri. Sosoknya terhuyung-huyung. Dia
memandang berkelil-
ing. Matanya membentur satu pohon kecil. Di patah-
kannya salah satu cabang kecil pohon ini. Lalu diper-
gunakannya sebagai tongkat untuk membantunya ber-
jalan. "Aneh, pukulan apa yang dihantamkan kakek muka putih itu hingga aku
sengsara setengah mati begini rupa. Kapak Naga Geni 212 tidak mampu me-
nyembuhkan. Mungkin pukulan itu beracun dan ke-
kuatannya sanggup menghancurkan gunung! Apalagi
dadaku yang hanya terdiri dari tulang dan daging! Ku-
rang ajar! Ki Tawang Alu kau tunggu pembalasanku!"
Tertatih-tatih Pendekar 212 melangkah dalam
gelapnya malam dan dinginnya udara menuju nyala
api di kejauhan.
* * * EMPAT bayangan hitam berkelebat menuju le-
reng timur Gunung Merapi. Walau udara gelap dingin
serta pohon dan semak belukar menghadang di mana-
mana, namun ke empat orang itu mampu berlari sece-
pat angin, pertanda mereka mengenal betul kawasan
tersebut. Mereka bukan lain adalah Mentari Pagi dan
Rembulan serta dua orang kawannya dari Kelompok
Bumi Hitam. Tak selang berapa lama ke empat gadis yang
mengenakan jubah serta kerudung hitam itu sampai di
sebuah bangunan besar terbuat dari kayu dan memili-
ki kolong di sebelah bawahnya. Bangunan-bangunan
serupa dalam bentuk lebih kecil kelihatan di sekeliling bangunan besar. Karena
seluruh bangunan mulai dari
tiang sampai dinding dan atap dilapisi cat hitam maka dalam gelapnya malam
bangunan itu tampak angker
sekali dan tidak ada satu penerangan pun kelihatan.
"Lekas naik ke atas dan salah satu dari kalian
nyalakan pelita!" Mentari Pagi berkata pada teman-temannya. Dua orang segera
melompati tangga rumah
panggung. Mentari Pagi dan Rembulan menunggu di
bawah tangga. Ketika di atas sana mereka melihat ada
nyala pelita, keduanya segera melompat ke tangga.
Namun gerakan mereka tertahan. Dari samping mele-
sat satu bayangan hitam bermuka putih.
"Ki Tawang Alu!" seru Mentari Pagi ketika mengenali siapa yang datang.
"Syukur kalian sudah sampai di sini. Tadinya
aku merasa khawatir..." kata kakek muka putih seraya usap dagunya. Dua matanya
sesaat jelalatan. Membuat Mentari Pagi dan Rembulan merasa tidak enak.
Sebenarnya sudah sejak lama para gadis dalam Ke-
lompok Bumi Hitam tidak menyenangi kakek ini. Na-
mun karena kedudukannya sebagai Wakil Pimpinan
membuat mereka merasa sungkan dan tetap menaruh
hormat. Ketika Rembulan melihat tangan kanan si ka-
kek dibalut gadis ini langsung bertanya. "Ki Tawang Alu, mengapa tanganmu?"
Si kakek tarik nafas dalam. "Inilah yang harus
aku beritahu padamu. Dalam perjalanan ke sini, aku
di hadang oleh pemuda asing berambut gondrong...."
Mentari Pagi dan Rembulan saling berpandan-
gan. "Maksudmu pemuda bernama Wiro Sableng ber-
juluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu...?"
Si kakek mengangguk.
"Pasal lantaran apa dia menghadang" Padah-
al...." "Bukan cuma menghadang. Tapi malah menyerangku tanpa sebab musabab! Dia
membuat tangan kananku cidera. Tapi aku sendiri sempat menghajar-
nya hingga jatuh terjengkang. Mungkin saat ini dalam
keadaan sekarat atau mungkin juga sudah menemui
ajal!" Mentari Pagi dan Rembulan sama-sama keluarkan seruan tertahan. Sementara
itu di atas tangga
bangunan besar, beberapa orang gadis berkerudung
hitam yang telah membuka kerudung masing-masing
memberi isyarat pada Mentari Pagi dan Rembulan. Dua
gadis di bawah bangunan balas memberi isyarat.


Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Tawang Alu, pembicaraan kita lanjutkan
nanti! Kami akan naik ke atas untuk mengobati Pimpi-
nan..." berkata Mentari Pagi.
"Hai, rupanya kalian sudah mendapatkan ka-
lung kepala srigala itu?" tanya si kakek.
Ketika Mentari Pagi mengangguk, Ki Tawang
Alu berkata gembira. "Jasa kalian besar sekali! Pimpinan dan aku pasti tidak
melupakan!"
"Jasa kami tidak apa-apa. Kami hanya menja-
lankan tugas. Yang berjasa sebenarnya adalah pemuda
bernama Wiro Sableng," kata Rembulan pula. "Dia yang menyerahkan secara suka
rela kalung kepala srigala itu pada kami."
"Aneh, waktu kuperiksa benda itu tidak ada
padanya. Tahu-tahu ada dan malah diberikan pada ka-
lian. Kalau begitu, hemmm.... Perlihatkan dulu benda
itu padaku. Biar kuperiksa...."
Mentari Pagi sebenarnya ingin cepat-cepat naik
ke atas rumah. Tapi si kakek sengaja tegak di depan
tangga seperti menghalangi dan ulurkan tangannya.
Karena Ki Tawang Alu memang adalah pimpinan me-
reka juga maka Mentari Pagi mau tak mau keluarkan
kalung kepala srigala yang terbuat dari perak dan me-
nyerahkannya pada si kakek.
Ki Tawang Alu menerima benda itu dengan wa-
jah gembira dan mata berkilat-kilat. Diperhatikannya
sesaat kalung kepala srigala itu. Lalu dia berbalik
membelakangi dua gadis dan memegang kalung itu ke
arah cahaya pelita yang memancar dari bangunan se-
belah atas. Sambil anggukkan kepala kakek ini lalu
balikkan tubuhnya kembali dan serahkan kalung ke
pala srigala yang terbuat dari perak itu kepada Mentari Pagi. "Lekas kau naik ke
atas dan lakukan penyem-buhan terhadap pimpinan kita!"
"Kau sendiri tidak turut menyaksikan Ki Ta-
wang Alu?" tanya Mentari Pagi seraya mengambil kalung yang diserahkan si kakek
muka putih. "Aku biar tetap berada di sini. Berjaga-jaga!
Aku khawatir pemuda jahat itu bisa saja muncul me-
lakukan sesuatu yang tidak kita ingini!"
Rembulan hendak mengatakan sesuatu mem-
bantah ucapan si kakek. Namun Mentari Pagi cepat
memberi isyarat. Dua gadis ini membuka kerudung
yang menutupi kepala serta wajah masing-masing. La-
lu melompati tangga naik ke atas bangunan kayu.
Di atas bangunan kayu ada satu ruangan luas
diterangi sebuah pelita besar. Di salah satu sudut
ruangan ada sebuah perasapan besar, mengepulkan
asap menebar harumnya bau setanggi. Suasana di
ruangan itu terasa mencekam dan sakral karena setiap
dinding dihias dengan bunga-bunga aneh terbuat dari
kain berwarna hitam.
Tujuh orang gadis berjubah hitam tanpa keru-
dung tegak mengelilingi sebuah pembaringan. Ada se-
sosok tubuh terbujur di atas pembaringan ini, tertutup dengan sehelai kain
sutera tipis berwarna hitam. Salah seorang dari tujuh gadis itu memegang sebuah
bokor terbuat dari kuningan. Bokor ini berisi air sangat jer-nih dan dingin karena
berasal dari embun yang di-
kumpulkan. Tujuh bunga melati mengapung di per-
mukaan air dalam bokor.
Ketika Mentari Pagi dan Rembulan masuk ke
dalam ruangan, tujuh gadis segera menyibak memberi
tempat. Mentari Pagi dan Rembulan mengambil tempat
berdiri di dekat kepala sosok yang terbujur di atas
pembaringan. Sesaat setelah menatap sosok yang ada
di atas pembaringan itu, Mentari Pagi keluarkan ka-
lung kepala srigala dari balik jubah hitamnya lalu dimasukkan ke dalam bokor
kuningan. Seorang gadis memberikan sebatang tongkat
kecil terbuat dari bambu. Dengan tongkat ini Mentari
lalu mengaduk cairan dalam bokor Terdengar suara
berkelentingan ketika kalung kepala srigala yang ber-
putar-putar bersentuhan dengan dinding bokor. Sete-
lah itu seorang gadis lain memberikan sebuah benda
berbentuk koas terbuat dari benang sangat halus.
Mentari celupkan koas ini ke dalam bokor lalu membe-
ri isyarat pada Rembulan.
Dengan tangan gemetar Rembulan pegang
ujung kain sutera hitam di bagian kepala orang yang
terbujur di atas pembaringan. Semua mata yang ada di
ruangan itu memandang tak berkesip. Mereka me-
nunggu dengan dada berdebar.
Perlahan-lahan dan sangat berhati-hati Rembu-
lan menarik kain sutera hitam itu dari kepala ke arah kaki. Beberapa mata tampak
seperti mau dipicingkan
begitu mereka melihat wajah yang tersingkap, di susul bagian dada dan perut
terus ke paha dan sampai di
ujung kaki. Rata-rata para gadis yang ada di situ me-
rasakan tengkuk mereka menjadi dingin.
Sosok di atas pembaringan ternyata adalah sa-
tu sosok seorang nenek berambut putih. Kulit di wajah maupun di sekujur tubuh
sampai ke kaki hanya merupakan kulit keriput sangat hitam dan tak lebih sebagai
pembalut tulang. Sosok itu tidak bergerak bahkan
bernafas pun seperti tidak. Dua matanya terpejam.
Mentari Pagi memutar pandangan matanya
berkeliling. Kecuali gadis yang memegang bokor dan
dirinya sendiri, maka semua yang ada di tempat itu
mengangkat tangan, menampungkan telapak tangan
ke atas, sejajar dengan kepala. Mulut mereka berko-
mat-kamit. Lalu terdengar suara menggema perlahan
seperti orang berdoa. Mentari memegang gagang koas
di dalam bokor. Lalu perlahan-lahan koas itu diang-
katnya. Bagian koas yang basah dengan hati-hati di
sapukannya ke wajah orang yang terbujur. Begitu air
di permukaan koas mengering, koas di celupkannya ke
dalam bokor lalu diangkat lagi dan kembali disapukan
di seluruh permukaan wajah. Selesai membasahi wa-
jah, koas berpindah disapukan ke bagian dada, perut,
terus pada dua kaki. Tidak ada satu bagian tubuhpun,
depan dan belakang yang tidak diusap dibasahi den-
gan air dari dalam bokor itu.
Setelah selesai melakukan hal itu Mentari Pagi
usap-usap dua tangannya lalu seperti teman-
temannya dia menampungkan dua tangan ke atas. Da-
ri mulutnya perlahan-lahan keluar ucapan. Bersamaan
dengan itu semua mata dipejamkan.
"Gusti Allah, Penguasa Yang Maha Kuasa. Kau
Yang Maha Pengasih. Dengan KasihMu Kau menjadi
Yang Maha Penyembuh. Dengan Kasih dan KuasaMu
kami memohon, sembuhkanlah Pelangi Indah Pimpi-
nan kami. Ya Tuhan kembalikanlah pimpinan kami ke
ujudnya semula. Ya Tuhan kiranya kau mau menga-
bulkan permintaan kami. Karena hanya kepada Eng-
kaulah tempat kami meminta."
Setelah beberapa saat, diikuti oleh gadis-gadis
lainnya Mentari Pagi buka ke dua matanya. Mereka
memandang ke sosok tubuh di atas pembaringan. Lalu
saling pandang satu dengan lainnya. Paras mereka je-
las tampak berubah, pucat dan sangat khawatir.
"Tuhan tidak mendengarkan permintaan kita!
Sosok pimpinan kita tidak berubah..." kata Mentari Pagi dengan suara gemetar.
Beberapa mata mulai tampak berkaca-kaca. Di
antara para gadis ada yang tidak dapat membendung
tetesan air mata mereka. Rembulan tundukkan kepala
menahan sesenggukan. Ketika dia hendak menu-
tupkan kain sutera hitam itu kembali, Mentari Pagi
mencegah. Gadis ini memberi isyarat pada temannya
yang memegang bokor kuningan. Yang diberi isyarat
datang mendekat. Dengan agak gemetar Mentari Pagi
lalu celupkan tangannya ke dalam bokor, mengambil
kalung kepala srigala yang terbuat dari perak murni.
Lalu dia melangkah mendekati pelita besar di sudut
ruangan. Di bawah penerangan pelita Mentari Pagi dan
Rembulan serta beberapa gadis perhatikan dengan
seksama kalung perak itu.
"Palsu!" kata Mentari Pagi dengan suara keras tapi bergetar. "Kalung ini palsu!"
* * * 3 MUSUH DALAM SELIMUT
RUANGAN dl atas rumah panggung itu menjadi
geger. "Kita tertipu!" ujar Rembulan dengan muka pucat. "Pemuda bernama Wiro
Sableng itu menipu kita!
Memberikan kalung palsu mencuri yang asli!" kata Mentari Pagi penuh geram sambil
kepalkan tangan.
"Rembulan! Pimpin enam orang kawanmu! Cari
pemuda itu sampai dapat! Seret ke sini! Jika dia melawan bunuh di tempat!"
"Akan kulakukan!" jawab Rembulan. "Namun ada satu hal perlu aku tanyakan. Jika
pemuda itu memang memalsukan kalung kepala srigala itu, kapan
dan bagaimana dia bisa melakukannya" Membuat ka-
lung tiruan tidak mudah. Perlu waktu dan perlu seo-
rang juru tempa yang ahli! Sedang pemuda itu satu
malam lalu kita temui. Mungkinkah kalung itu dida-
patnya sudah dalam keadaan palsu?"
"Maksudmu Lima Laknat Malam Kliwon yang
memalsukan?"
"Aku menduga begitu,". jawab Rembulan.
"Aku tidak sependapat denganmu. Lagi pula
aku sangsikan kebenaran ucapanmu. Karena suara
hati mu dipengaruhi oleh suara batin. Karena kau me-
nyukai pemuda itu. Aku tetap yakin dia yang memal-
sukan kalung itu. Bukankah sejak dulu aku sudah
mengatakan dia bukan saja memiliki kepandaian silat
dan kesaktian tinggi tapi juga kecerdikan luar biasa
seperti ular! Dengar, aku tahu hatimu meragu! Biar
aku sendiri yang akan memimpin pencarian atas di-
rinya!" "Aku tetap ikut bersamamu!" kata Rembulan.
Begitu Mentari Pagi dan enam kawannya keluar dari
kamar Rembulan segera mengikuti. Semua gadis ini
kembali mengenakan kerudung masing-masing.
Di bawah tangga Ki Tawang Alu menunggu
dengan muka menunjukkan kekhawatiran.
"Aku mendengar suara ribut-ribut di atas sana.
Ada apa?" si kakek bertanya.
Mentari Pagi acungkan kalung kepala srigala
sambil berkata. "Kalung yang diberikan pemuda bernama Wiro Sableng itu ternyata
kalung palsu! Sama
sekali tidak mempunyai kekuatan dan berkah kesak-
tian untuk menyembuhkan pimpinan kita Pelangi In-
dah!" Muka putih Ki Tawang Alu menjadi merah saking marahnya. "Sedari semula aku
sudah tahu kalau pemuda itu licik! Saat ini dia pasti sudah meregang
nyawa akibat hantaman ku!"
"Kita harus memastikan! Aku dan kawan-
kawan akan mencarinya! Menggebuknya sampai se-
tengah mati sebelum dia mengaku dimana beradanya
kalung yang asli!"
"Mentari Pagi, sebaiknya kau tetap-berada di
sini menjaga pimpinan kita. Biar aku yang mencari
pemuda laknat itu!" kata kakek muka putih pula.
"Kalian tak usah bersusah payah! Aku sudah
ada di sini!" Tiba-tiba satu suara menyeruak dari kegelapan. Sesaat kemudian
seorang berpakaian putih
muncul dengan langkah terhuyung-huyung. Tak bera-
pa jauh dari tangga, orang ini tergelimpang jatuh me-
nelungkup. "Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia yang menipu
kita!" teriak Ki Tawang Alu lalu melompat dan injakkan kaki kanannya ke tengkuk
orang yang bergelimpang di
tanah. "Ki Tawang Alu, kau pasti telah menganiaya guruku! Kalau kau tidak
memberitahu dimana kau sem-
bunyikan guruku, kubunuh kau saat ini juga!"
"Pemuda ular! Orang bicara lain kau bicara
lain!" bentak Mentari Pagi. "Mana kalung kepala srigala yang asli!"
Wiro melirik ke atas. "Kau tentu Mentari Pagi.
Bukankah aku sudah menyerahkan benda itu pada
mu malam kemarin"!"
"Betul! Tapi yang kau berikan padanya adalah
kalung kepala srigala palsu!" kata Ki Tawang Alu sambil pindahkan injakannya
dari tengkuk ke kepala Pen-
dekar 212. "Kau binatang cerdik! Penipu keparat!"
"Kakek muka putih! Jaga mulutmu! Bukan aku
binatang cerdik tapi kau yang jahanam busuk! Malam
lalu kau sengaja menghadangku menanyakan kalung
kepala srigala itu, Karena kau tahu aku menyembu-
nyikan kalung itu dalam mulutku! Kau kecewa begitu
mengetahui kalung itu telah kuserahkan pada Mentari
Pagi. Tapi dasar kau manusia jahat busuk! Sebelum-
nya kau telah menganiaya dan menculik guruku!"
Kakek muka putih tertawa mengekeh. "Kau
pandai bersilat lidah menutupi kekejianmu sendiri!
Buat apa bicara panjang lebar denganmu! Mampus le-
bih baik bagimu!"
"Tunggu! Jangan bunuh dia sebelum dia mem-
beritahu dimana kalung asli itu berada!" Berseru Mentari Pagi.
"Mentari Pagi, kau pernah bersumpah atas na-
ma Gusti Allah bahwa kalung itu adalah milik pimpi-
nan mu! Saat ini aku juga bersumpah demi Gusti Al-
lah, kalung yang kuserahkan padamu adalah satu-
satunya kalung yang ada padaku...."
Mentari Pagi dan Rembulan serta semua gadis
berkerudung di tempat itu menjadi terkesima menden-
gar ucapan Wiro itu. Namun Ki Tawang Alu cepat me-
motong dengan hardikan.
"Siapa percaya sumpah manusia bejat seperti
mu!" Wiro tidak perdulikan hardikan si kakek. Dia tetap menatap ke arah Mentari
Pagi dan lanjutkan
ucapannya. "Kalau sekarang kalian cerita segala macam kalung palsu pasti salah
satu di antara kalian di sini yang telah melakukan keculasan!"
Mendengar kata-kata Wiro itu Rembulan berge-


Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rak mendekati Mentari Pagi dan membisiki sesuatu.
"Mulutmu berbisa! Otakmu kotor! Kau memang
layak mampus saat ini juga!" teriak Ki Tawang Alu marah. Kaki kanannya di
injakkannya keras-keras ke ke-
pala Wiro. Bila hal itu sampai terjadi niscaya kepala murid Sinto Gendeng ini
akan pecah berantakan. Karena Ki Tawang Alu pergunakan kesaktian yang dis-
ebut Injakan Seribu Kati. Jangankan batok kepala ma-
nusia, batu besarpun akan hancur lebur!
Sesaat sebelum kaki Ki Tawang Alu bergerak
menginjak, Wiro selinapkan tangan kirinya ke ping-
gang. Lalu tahu-tahu berkiblat sinar putih dalam ge-
lapnya malam. Udara menjadi panas dan suara seolah
ada seribu tawon menyerbu mengaungi tempat itu.
Semua orang berseru kaget sambil bersurut
mundur. Ki Tawang Alu melompat sampai satu tom-
bak. Sedikit saja dia terlambat kaki kanannya yang ta-di dipakai menginjak
kepala Wiro akan terbabat putus.
Pendekar 212 tegak agak terhuyung. Di tangan
kanannya tergenggam Kapak Maut Naga Geni 212.
Pengerahan tenaga dalam waktu membabatkan
senjata mustikanya tadi membuat darah kembali men-
gucur di sela bibirnya.
"Berani mencari mati! Makan tanganku!" teriak Ki Tawang Alu. Tangannya melesat
ke depan. Tangan
itu telah berubah menjadi kaki srigala. Kuku-kuku
runcing mencuat ke depan, membeset ke arah batang
leher Wiro. Wiro kembali kiblatkan kapak saktinya.
Lawan bertindak cepat dan cerdik. Sambil tundukkan
kepala dan mengelak ke samping si kakek kembali
menyerang. Kali ini dengan tangan kirinya. "Breeettt!"
Pakaian Wiro robek besar di bahu sebelah kiri.
Murid Sinto Gendeng cepat bertindak mundur. Merasa
di atas angin Ki Tawang Alu kembali menggempur. Dia
pergunakan dua tangannya yang berbentuk kaki-kaki
srigala itu. Yang kiri menyambar ke muka sedang yang
kanan membeset ke perut Pendekar 212. Kali ini si ka-
kek terlalu menganggap enteng senjata di tangan la-
wan. Wiro tekuk salah satu lututnya seraya mun-
durkan kaki yang lain. Kapak Naga Geni 212 yang su-
dah dipindah ke tangan kanan. melesat ke depan. Si-
nar putih menyambung di kegelapan malam disertai
suara mengaung dan hamparan hawa panas. Lalu
craasss! Ki Tawang Alu menjerit setinggi langit. Darah
muncrat dari tangan kirinya yang buntung karena ti-
dak sempat ditarik selamatkan diri. Mukanya yang pu-
tih berubah merah mengelam. Terhuyung-huyung dia
mundur menjauhi lawan. Susah payah dengan tangan
kanannya dia menotok urat besar di pangkal leher ser-
ta lipatan siku. Darah serta merta berhenti tapi rasa sakit dan hawa panas
menjalari sekujur tubuhnya.
Tangan kirinya terkulai tak bisa digerakkan lagi. Kalau saja tadi dia tidak
menotok lengannya niscaya racun
Kapak Maut Naga Geni 212 akan menjalar sampai ke
dalam jantungnya dan nyawanya tidak tertolong lagi.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu si ka-
kek segera berteriak pada gadis-gadis berkerudung hi-
tam. "Orang telah mencelakai diriku! Jangan diam saja! Lekas bunuh pemuda
jahanam itu!"
Beberapa orang gadis siap bergerak. Namun
mereka menunggu isyarat dari Mentari Pagi yang saat
itu tampak ragu. Apalagi gadis bernama Rembulan. Se-
jak tadi dia tidak percaya pada semua ucapan kakek
muka putih. Selain itu semua gadis merasa ngeri meli-
hat kedahsyatan kapak bermata dua di tangan Wiro.
"Kalian boleh membunuhku!" kata Wiro seraya sisipkan senjata mustikanya ke
pinggang. Lututnya
tertekuk. Luka dalam akibat pukulan Ki Tawang Alu
malam lalu cukup parah. Dalam keadaan jatuh berlu-
tut dia teruskan ucapannya. "Tapi sebelum menghabisi ku, geledah dulu tua bangka
muka putih itu. Bagaimana caranya aku tidak tahu! Tapi aku merasa yakin
kalung srigala yang asli itu ada padanya!"
"Aku pimpinan di sini! Aku yang memberi pe-
rintah pada kalian! Jangan dengarkan ucapannya yang
beracun! Lekas bunuh pemuda itu!" teriak Ki Tawang
Alu. Tubuhnya terasa semakin panas dan jalan darah-
nya tidak karuan.
Rembulan berbisik pada Mentari Pagi. "Apa
yang dikatakan pemuda itu mungkin betul. Aku ingat
sewaktu Ki Tawang Alu memegang kalung kepala sri-
gala yang kau serahkan padamu. Saat itu dia memba-
likkan. badan, mengarahkan kalung ke cahaya pelita
di atas rumah. Kita semua tahu dia memiliki kepan-
daian Secepat Kilat Membalik Tangan. Bukan mustahil
dia menukar kalung itu dengan yang palsu...."
"Beri isyarat pada teman-teman untuk mengu-
rung..." balas berbisik Mentari Pagi. Lalu dia maju mendekati si kakek.
"Ki Tawang Alu, kau terluka. parah. Perlu men-
dapat rawatan. Sebaiknya kau lekas naik ke atas ru-
mah. Tapi sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu
dulu. Jika sekiranya kecurigaan kami keliru harap di maafkan. Menurut pemuda itu
kau kembali menemuinya untuk meminta kalung kepala srigala itu. Pa-
dahal sebelumnya di depan kami kau telah menggele-
dah dan menyatakan kalung itu tidak ada padanya.
Mana yang benar. Kalung yang diberikan pemuda itu
padaku aku yakin itu adalah kalung yang asli. Bagai-
mana tiba-tiba berubah menjadi kalung palsu yang ti-
dak ada khasiatnya, apakah kau bisa menerangkan?"
"Mentari Pagi!" kata Ki Tawang Alu dengan suara bergetar dan rahang menggembung.
"Kau tidak
layak menanyai diriku. Jika kau memaksa kau akan
ku pecat sebagai anggota Kelompok Bumi Hitam dan
kuusir dari tempat ini! Kau dengar"!"
"Aku mendengar dan mohon maafmu. Tapi jika
kau tidak mau menjawab pertanyaanku tadi, terpaksa
kami menggeledah dirimu!"
"Gadis kurang ajar! Berani kau berkata begitu!
Kau dan kawan-kawanmu telah termakan ucapan pe-
muda sinting itu!" Ki Tawang Alu bicara setengah berteriak. Selain itu diam-diam
dia memperhatikan kea-
daan sekelilingnya. Ternyata para gadis yang berjum-
lah lebih setengah lusin itu telah mengurungnya. "Kalian semua lekas naik ke
atas rumah! Biar aku meng-
habisi pemuda itu!"
Mentari Pagi dan Rembulan cepat menghadang
gerakan si kakek ketika Ki Tawang Alu hendak mende-
kati Pendekar 212 Wiro Sableng. Habislah kesabaran
Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Didahului
teriakan garang dia menyerang Mentari
Pagi dengan tangan kanannya yang cidera dan
saat itu telah berubah menjadi kaki srigala. Mentari
Pagi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Perkela-
hian delapan lawan satu segera berkecamuk sementa-
ra Pendekar 212 yang terduduk di tanah hanya bisa
memperhatikan. Sebagai Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam
tentu saja Ki Tawang Alu memiliki kepandaian tinggi.
Namun dikeroyok lawan begitu banyak yang rata-rata
memiliki kepandaian hanya satu atau dua tingkat saja
di bawahnya, apalagi dia dalam keadaan luka dan cu-
ma punya satu tangan, setelah bertempur empat jurus
si kakek muka putih segera terdesak hebat.
Mentari Pagi dan kawan-kawannya sebenarnya
tidak bermaksud menurunkan tangan jahat terhadap
Ki Tawang Alu yang bagaimanapun tetap mereka hor-
mati sebagai pimpinan mereka. Karenanya mereka
hanya berusaha merobek pakaian si kakek di beberapa
bagian tertentu. Mengira dirinya hendak ditelanjangi
orang Ki Tawang Alu jadi naik pitam dan mengamuk.
Tapi gerakannya yang sembrawutan membuat kea-
daannya malah tambah terdesak.
"Breettt!"
Tangan kanan Mentari Pagi yang berubah ben-
tuk seperti kaki srigala berhasil merobek pakaian Ki
Tawang Alu di pinggang kiri. Sebuah kantong kain
yang tergantung di balik pakaiannya ikut robek dan
terpental ke udara. Dari robekan kantong melesat ke
luar sebuah benda putih perak. Ki Tawang Alu cepat
melompat, berusaha menjangkau benda itu. Namun
satu sambaran angin dengan keras melabrak tubuh-
nya hingga dia terpental dan jatuh terbanting di tanah.
Ternyata dalam keadaan luka di dalam yang cukup pa-
rah Pendekar 212 Wiro Sableng masih mampu lancar-
kan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Untuk sesaat si
kakek terhenyak tak berkutik di tanah. Dari mulutnya
meleleh darah kental!
Benda yang melesat ke udara jatuh ke bawah.
Sebelum menyentuh tanah Wiro cepat ulurkan tangan
kanannya menyambuti benda itu, yang ternyata ada-
lah kalung kepala srigala terbuat dari perak putih. Begitu kalung berada dalam
genggamannya satu hawa
aneh mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Rasa sakit
di dadanya agak berkurang walau sekujur badannya
masih terasa lemas.
Mentari Pagi, Rembulan dan semua gadis yang
ada di tempat itu cepat mendatangi Wiro. Mereka
memperhatikan tangan kanan si pemuda yang meng-
genggam. Perlahan-lahan murid Sinto Gendeng buka
genggaman tangannya. Terlihatlah kalung kepala sri-
gala putih bermata merah. Wiro angkat tangannya ke
arah Mentari Pagi.
"Ambillah! Aku yakin ini kalung yang asli. Aku
merasakan ada hawa aneh masuk ke tubuhku begitu
benda ini berada dalam genggamanku..." kata Pendekar 212 pula.
Mentari Pagi segera ambil kalung kepala srigala
itu. "Benar, ini memang kalung yang asli. Aku juga merasakan ada hawa aneh masuk
ke dalam tangan ku!"
Si gadis berpaling pada Rembulan. "Aku akan segera menuju kamar pimpinan kita
bersama beberapa orang
teman. Kau dan dua atau tiga orang harap memapah
Pendekar212, bawa masuk ke salah satu kamar rumah
besar. Periksa keadaannya...."
"Mentari!" tiba-tiba seorang anggota kelompok berseru. "Ki Tawang Alu lenyap!"
Semua orang menjadi terkejut. Memandang
berkeliling ternyata kakek muka putih itu tak ada lagi di situ. "Aku harus
mengejarnya. Dia menculik guru ku..." kata Wiro seraya bangkit berdiri.
"Itu memang menjadi kewajibanmu Pendekar
212," kata Mentari Pagi. "Tapi keselamatan dirimu harus diutamakan. Menurut
penglihatanku kau terkena
Pukulan Seribu Kati. Jika tidak diobati kau bisa me-
nemui ajal sebelum matahari terbenam besok hari...."
Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan
itu. Tubuhnya kembali terasa lemas. Dibantu tiga
orang temannya Rembulan segera memapah si pemuda
naik ke atas rumah besar.
* * * 4 SANTET SERATUS TAHUN
REMBULAN dan tiga orang gadis anggota ke-
lompok yang menamakan diri Kelompok Bumi Hitam
membawa murid Sinto Gendeng ke dalam sebuah ka-
mar. Kamar ini bersebelahan dengan kamar besar di
mana Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam
berada. Wiro dibaringkan di atas sebuah ranjang kayu.
Seseorang masuk membawa sebuah pelita kecil. Empat
gadis membuka kerudung hitam masing-masing hing-
ga Wiro dapat melihat wajah mereka yang cantik-
cantik. "Kalian hendak melakukan apa?" tanya Pendekar 212. Matanya menatap ke
arah Rembulan. "Kau dalam keadaan terluka parah. Kakek mu-
ka putih itu telah memukul dadamu di arah jantung
dengan Pukulan Seribu Kati Jika tidak diobati nyawa-
mu mungkin tidak tertolong. Tapi saat ini ada hal lain yang harus kami
dahulukan. Yaitu menolong Pelangi
Indah pimpinan kami. Kami akan kembali ke sini. Ka-
lau kami kembali harap kau sudah membuka bajumu!
Harap kau berbaring dan jangan banyak bergerak.
Jangan sekali-kali turun dari atas ranjang. Apapun
yang kelak kau dengar tidak usah menjadi perhatian-
mu apalagi kau pikirkan."
"Membuka baju" Aku.... Hai tunggu!" Wiro berseru. Rembulan berpaling. "Tetaplah
tenang di atas ranjang. Jangan banyak bertanya, jangan bergerak.
Kami harus menolong pimpinan kami. Jika dia bisa
diselamatkan maka kau juga akan dapat disela-
matkan. Tapi jika dia tidak bisa diselamatkan berarti nyawamu-pun tidak mungkin
ditolong!"
Paras Pendekar 212 jadi berubah. "Rembulan,
tunggu dulu. Ada yang hendak aku tanyakan..." kata Wiro. Tapi gadis-gadis itu
sudah meninggalkan kamar
dan menutup pintu. Pendekar 212 memandang sepu-
tar kamar. Dia mencium bau wangi setanggi. Tapi di
kamar itu tak ada perasaan pertanda bau itu datang
dari ruangan lain. "Aneh, bangunan dan juga kamar
ini berwarna hitam pekat. Di dinding ada bunga-bunga
hiasan terbuat dari kain. Juga berwarna hitam. Tem-
pat apa ini" Siapa gadis-gadis itu sebenarnya" Hal apa yang menimpa diri
pimpinan mereka" Lalu kalau mau
mengobati mengapa aku harus berbaring begini rupa.
Aku disuruh membuka baju! Aneh! Jangan-jangan me-
reka bukan mau mengobati diriku. Tapi hendak mene-
pati janji yang mereka ucapkan malam itu! Mau me-
nyerahkan diri padaku...."
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba
dari ruangan sebelah dia mendengar suara orang ba-
nyak seperti tengah membaca doa. "Gadis-gadis itu..."
desis Wiro. "Mereka menyebut-nyebut nama Gusti Allah, menyebut Tuhan. Berarti
mereka memang bukan
orang-orang persilatan golongan sesat. Biar ku intip
apa yang terjadi di ruang sebelah. Mendadak sang


Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar menjadi tercekat. Telinganya menangkap su-
ara sesuatu. "Suara menggereng. Walau halus tapi aku yakin itu suara
binatang...."
Perlahan-lahan Wiro turun dari atas ranjang.
Tanpa suara dia melangkah mendekati dinding kamar
dari balik mana dia mendengar suara orang berdoa.
Mula-mula dia hanya menempelkan telinganya ke
dinding. Lalu memperhatikan dinding itu dengan teliti Sambil meraba-raba. "Ini
satu keanehan lagi. Dinding ini jelas terbuat dari kayu. Dari papan yang
disambung satu dengan lain. Tapi mengapa tidak ada sedikit ce-lahpun" Aku tak
bisa. mengintip...." Wiro memandang ke arah pintu di sebelah kanan. Dia dekati
pintu ini dart pergunakan tangannya untuk membuka. Tidak
bisa. Pintu tak dapat terbuka. Dicobanya mencongkel
juga tak berhasil. Akhirnya dikeluarkannya Kapak Na-
ga Geni 212. Namun baru tangannya meraba senjata
mustika itu, di ruang sebelah terdengar suara riuh,
diseling suara seperti isak tangis. Lalu ada suara kaki-
kaki melangkah. Wiro batalkan niatnya membuka pin-
tu dengan kapak lalu kembali naik ke atas tempat ti-
dur. * * * Di kamar sebelah tempat pimpinan Kelompok
Batu Hitam terbaring dalam keadaan tubuh tak berge-
rak, mata terpejam dan sekujur kulit berwarna hitam
keriput. Mentari Pagi masukkan kalung kepala srigala
yang asli ke dalam bokor kuningan. Saat itu juga air di dalam bokor mengepulkan
asap putih. Hawa sejuk
membungkus seluruh ruangan. Pelita besar menyala
lebih terang dan bau setanggi di sudut ruangan mene-
bar lebih wangi.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, para gadis
lalu memanjatkan doa meminta kesembuhan atas diri
pimpinan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Lalu dengan kaos halus Mentari Pagi sapukan air di
dalam bokor ke seluruh permukaan kulit wajah dan
tubuh orang yang terbaring di atas ranjang dalam ujud nenek-nenek. Juga seperti
sebelumnya semua gadis itu
menunggu dengan perasaan cemas khawatir. Namun
perasaan itu serta merta lenyap. Di balik harapan yang muncul menyeruak rasa
ngeri melihat apa yang kemudian terjadi, walau mereka telah pernah menyaksikan
hal itu sebelumnya sampai dua kali.
Wajah dan sosok tubuh yang dipoles dengan air
kembang dari dalam bokor kuningan mengeluarkan
hawa seperti kabut tipis yang memancarkan tujuh
warna pelangi. Kabut ini kemudian bergulung menjadi
satu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah bokor ku-
ningan. Bokor yang dipegang salah seorang gadis itu
tiba-tiba bergerak keras dan memancarkan cahaya te-
rang. Laki terjadilah satu hal luar biasa. Dari dalam bokor melayang keluar
kalung perak berbentuk kepala
srigala bermata merah. Sedikit demi sedikit kalung itu membesar. Sepasang
matanya yang merah menyo-rotkan cahaya merah muda, lalu berubah menjadi me-
rah pekat. Perubahan ukuran kepala srigala itu sema-
kin besar hingga kini mencapai dua kali kepala srigala sungguhan. Sorotan dua
sinar merah yang keluar dari
mata semakin terang dan angker seperti sambaran
nyala api. Tapi sebaliknya sinar itu tidak mengelua-
rkan hawa panas melainkan sejuk luar biasa.
Kepala srigala julurkan lidahnya beberapa kali
lalu bergerak melayang ke tengah ruangan. Setelah
berputar-putar sebanyak tujuh kali di atas pembarin-
gan, kepala ini bergerak menukik. Dua sinar merah
yang keluar dari matanya menyapu wajah, dada, perut
terus ke paha dan sampai ke ujung kaki orang yang
terbujur di atas ranjang. Hal ini terjadi sampai tujuh kali berturut-turut.
Hal luar biasa kembali terjadi. Sosok wajah dan
tubuh yang tadi keriput hitam itu perlahan-lahan be-
rubah membentuk daging yang dilapisi kulit segar
berwarna putih. Rambut panjang tergerai yang tadinya
berwarna putih kini telah berubah menjadi subur hi-
tam berkilat. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam
perlahan-lahan terbuka. Dan seulas senyum merekah
di bibir yang sebelumnya selalu terkatup. Kini keliha-tanlah satu sosok tubuh
seorang gadis berambut hi-
tam, berwajah luar biasa cantiknya. Inilah Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi
Hitam. Wajah dan so-
sok tubuhnya yang bagus mulus sesuai dengan na-
manya. Semua gadis yang ada di sekeliling pembarin-
gan menyerukan rasa syukur, berulang kali menyebut
nama Tuhan bahkan ada yang setengah berlutut dan
keluarkan isak tangis.
Di udara dalam ruangan, kepala srigala raksasa
perlahan-lahan menyusut menjadi kecil kembali hing-
ga akhirnya kembali ke bentuknya semula berupa ka-
lung perak. Kalung kepala srigala ini kemudian me-
layang tujuh kali lalu masuk kembali ke dalam bokor
berisi air kembang melati.
Mentari Pagi cepat ambil kalung di dalam bokor
sementara di atas pembaringan sosok Pelangi Indah
bergerak bangkit dan duduk. Rembulan cepat menu-
tupi tubuh yang tidak terlindung itu dengan sehelai
jubah tipis berwarna hitam: Mentari Pagi mengikatkan
sehelai ikat kepala ke kening sang pemimpin. Ikat ke-
pala ini terbuat dari kain sutera hitam yang di bagian tengahnya melekat satu
batu permata berwarna hitam
tapi memancarkan cahaya seperti pelangi. Dengan su-
tera berbatu permata itu terikat di keningnya, Pelangi Indah bukan saja tambah
cantik jelita tapi juga gagah sekali, penuh wibawa. Mentari Pagi ulurkan
tangannya menyerahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari
perak kepada sang pemimpin. Pelangi Indah ambil
benda itu lalu menciumnya penuh takzim, kemudian
memasukkannya ke dalam satu kantong di sebelah da-
lam pakaian * sutera hitamnya. Setelah itu dia me-
mandang pada gadis-gadis yang mengelilinginya di se-
putar ranjang. "Untuk ke tiga kalinya kalian telah berbuat jasa besar. Menyembuhkan aku dari
penyakit yang selama
ini ku derita dan tak pernah bisa disembuhkan kalau
tidak dengan kalung sakti kepala srigala yang terbuat dari perak murni itu.
Beberapa waktu lalu kalung yang juga merupakan lambang kepemimpinan Kelompok
Batu Hitam itu telah lenyap dicuri orang. Kalian ber-
hasil mendapatkannya kembali dan menyembuhkan
aku dari santet seratus tahun yang membuat aku be-
rubah menjadi seorang nenek-nenek buruk mengeri-
kan. Tidak tahu aku bagaimana harus membalas budi
dan jasa kalian...."
Semua gadis yang ada di seputar ranjang ja-
tuhkan diri berlutut. Mentari Pagi mewakili mereka bicara. "Kami adalah anggota
Kelompok Bumi Hitam.
Kami adalah anak buahmu dan kau adalah pimpinan
kami! Semua apa yang kami lakukan merupakan satu
kewajiban. Lebih dari itu kami menganggapnya sebagai
tugas suci. Jadi kami mohon pimpinan jangan bicara
segala budi dan jasa."
Pelangi Indah tersenyum dan. pegang pundak
Mentari Pagi. "Ada dua hal yang tidak biasanya ku lihat dan ku rasakan saat ini.
Pertama, aku tidak meli-
hat Ki Tawang Alu, kakek yang menjadi Wakil ku. Ke-
dua aku merasa ada tarikan nafas berat seseorang di-
balik ruangan sebelah kiri. Dapatkah kalian mene-
rangkan?" "Pimpinan kami Pelangi Indah," berkata Mentari Pagi. "Sebenarnya kesembuhan mu
itu sangat berkait dengan pertolongan seorang pemuda. Berminggu-minggu kami
mencari kalung yang hilang. Ternyata ka-
lung mustika itu ditemukan oleh si pemuda. Dengan
sukarela dia menyerahkan patung itu pada kami. Men-
genai Ki Tawang Alu, kakek muka putih itu ternyata
memang ular kepala dua, musuh dalam selimut. Rem-
bulan, harap kau menuturkan apa yang telah terja-
di...." Rembulan lalu menceritakan riwayat pengkhia-natan Ki Tawang Alu. Pelangi
Indah gelengkan kepa-
lanya. Wajahnya tampak merah pertanda marah. "Aku memang sudah lama menaruh
curiga pada manusia
satu itu. Kalau saja tidak mengingat pesan Eyang Pa-
lopo, sejak dulu dia sudah kuusir dari sini. Tapi su-
dahlah, buat apa memikirkan si pengkhianat itu. Dia
sudah menerima balasan. Menjadi cacat seumur hi-
dup. Tapi kita harus berwaspada. Dia pasti akan men-
dekam dendam kesumat dan sewaktu-waktu muncul
lagi membalaskan sakit hati."
"Kami siap siaga dan selalu waspada menjaga
segala kemungkinan," kata Mentari Pagi.
Lalu Pelangi Indah bertanya. "Mengenai pemu-
da yang telah menolong dan menyerahkan kalung
mustika sakti, bahkan sampai mempertaruhkan ji-
wanya itu, siapakah namanya dan dimana beradanya
sekarang?"
"Namanya Wiro Sableng. Konon dia yang berju-
luk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212..." jawab
Mentari Pagi. Terkejutlah Pelangi Indah sampai gadis ini ber-
gerak turun dari atas ranjang dan menatap lekat-lekat pada Mentari Pagi, lalu
memandang berkeliling pada
anak buahnya. "Tidak salahkah telingaku mendengar"!"
"Tidak, yang aku ucapkan memang nama itu.
Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
dari Gunung Gede," mengulang Mentari Pagi.
Lalu Rembulan menambahkan. "Pemuda itu se
karang ada di kamar sebelah. Dia berada dalam
keadaan...."
Belum selesai ucapan Rembulan, Pelangi Indah
telah keluar dari pintu ruangan.
* * * 5 KECUPAN DALAM GELAP
BEGITU mendengar pintu terbuka, murid
Eyang Sinto Gendeng segera pejamkan mata, berpura-
pura tidak sadarkan diri. Tubuhnya tidak bergerak se-
dikitpun. Diam-diam dia alirkan hawa sakti dingin
hingga sekujur permukaan kulitnya menjadi dingin.
Berdiri di depan tempat tidur, didampingi oleh
para anak buahnya, Pelangi Indah pandangi wajah dan
sosok Pendekar 212. Dari mulutnya meluncur perla-
han kata-kata. "Sepuluh tahun lebih aku menunggu, akhirnya dapat juga aku
bertemu muka dengan pendekar ini...."
Dua tangan Pelangi Indah bergerak ke depan
lalu breettt! Dia robek dada pakaian Wiro. Seorang
anak buahnya disuruh mengambil pelita dalam ruan-
gan lalu didekatkan ke tepi tempat tidur.
"Pukulan Seribu Kati!" kata Pelangi Indah agak tercekat ketika melihat tanda
biru pada bagian dada
kiri Wiro yang menggembung bengkak. "Ki Tawang Alu benar-benar berniat jahat
hendak membunuhnya dengan pukulan beracun itu...."
"Setahu kami senjata berbentuk kapak yang
terselip di pinggang Pendekar 212 adalah senjata yang sangat ampuh melindungi
diri dari racun. Juga bisa
dipakai untuk menyedot racun. Bagaimana mungkin
sekarang dia tidak mampu melakukan sesuatu...?"
Pelangi Indah menjawab. "Setiap senjata musti-
ka sakti bukanlah segala-galanya. Apa kau tidak per-
nah mendengar ujar-ujar bahwa di atas langit masih
ada langit lagi" Keadaannya cukup parah. Kalau tidak
lekas ditangani nyawanya tak bakal tertolong...."
Mentari Pagi ulurkan tangan memegang lengan
Wiro. "Dingin.... Aliran darahnya mungkin sudah mulai menyendat...."
Pelangi Indah cabut Kapak Naga Geni 212 dari
pinggang Wiro lalu menyerahkannya pada Rembulan.
Ketika dia memeriksa lagi bagian lain dari pinggang
murid Sinto Gendeng itu dan menemukan batu hitam
pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 terkejutlah pim-
pinan Kelompok Bumi Hitam ini. Tubuhnya bergetar
dan perlahan-lahan dia jatuhkan diri, membungkuk
dengan satu lutut bersitekan ke lantai kayu. Tentu sa-ja hal ini membuat heran
semua gadis yang ada di si-
tu. Dia adalah pimpinan tertinggi dalam Kelompok
Bumi Hitam. Sementara Wiro walaupun punya nama
besar di rimba persilatan tetapi adalah orang luar.
Mengapa kini pimpinan mereka jatuhkan diri berlutut
sambil pegang batu hitam dan menekapkannya ke da-
da" "Eyang Palopo..." suara Pelangi Indah bergetar perlahan. "Batu mustika sakti
yang kau katakan itu telah kutemukan. Hanya sayang sudah menjadi milik
orang lain. Aku tidak dapat mengikuti pesanmu. Aku
tidak mau mengambil benda yang bukan milikku wa-
lau menurutmu asal usul batu ini adalah milik nenek
moyang kita...."
Pelangi Indah cium batu hitam itu dengan
khidmat lalu diserahkannya pada Mentari Pagi. "Rembulan dan Mentari Pagi, jaga
baik-baik dua senjata
sakti milik pemuda ini: Kembalikan padanya jika dia
sudah sembuh kelak. Sekarang kalian semua keluar-
lah dari kamar ini. Aku akan mengobatinya. Semoga
Tuhan menolong diriku dan dirinya...."
"Pimpinan kami Pelangi Indah, jika kau tidak
berkeberatan, aku sanggup membebaskannya dari ra-
cun Pukulan Seribu Kati," berkata Mentari Pagi.
"Dia telah menyelamatkan diriku dengan me-
nyerahkan kalung kepala srigala. Kini giliranku untuk selamatkan jiwanya," jawab
Pelangi Indah pula.
Mendengar ucapan sang pemimpin walaupun
diam-diam merasa kecewa Mentari Pagi, Rembulan dan
yang lain-lain sama membungkuk lalu tinggal kan ka-
mar itu. Setelah hanya tinggal berdua, Pelangi indah
sentuh kening Wiro dengan telapak tangan kirinya. Te-
rasa dingin. Dia tersenyum lalu berkata.


Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendekar dari Gunung Gede, aku kagum den-
gan kekuatanmu, mampu bertahan terhadap pukulan
beracun Seribu Kati. Orang lain mungkin sudah me-
nemui ajal. Tapi bagaimanapun juga racun dalam tu-
buhmu harus dikeluarkan. Hanya satu hal yang aku
heran. Mengapa kau berpura-pura pingsan dan alirkan
hawa dingin ke permukaan kulitmu" Aku mendengar
selain berkepandaian tinggi kau adalah seorang pemu-
da konyol yang suka menggoda orang. Mungkin hal itu
benar adanya...."
Menyadari orang sudah mengetahui perbua-
tannya berpura-pura, sambil menahan tawa murid
Sinto Gendeng segera buka matanya. Begitu dia meli-
hat wajah di atasnya langsung saja dia jadi terkesima.
Dia telah menyaksikan kecantikan wajah Mentari Pagi
yang anggun penuh wibawa. Dia juga telah melihat ke-
jelitaan paras Rembulan yang sulit dicari bandingnya.
Namun ternyata wajah gadis bernama Pelangi Indah
yang jadi pimpinan Kelompok Bumi Hitam itu melebihi
ke dua gadis itu. Selain cantik dan berkulit putih mulus, dengan ikatan kain
sutera hitam di kepalanya Pe-
langi Indah benar-benar tampak gagah. Selain itu dia
juga memiliki sepasang mata yang tajam tapi bisa be-
rubah lembut dan jika memandang seolah menyentuh
sampai ke lubuk hati.
"Pimpinan Kelompok Bumi Hitam...."
"Kau boleh memanggil namaku...."
"Hemmm.... Pelangi Indah, jangan menduga sa-
lah. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang-
orangmu terhadapku. Ternyata kini aku mendapat ke-
hormatan besar. Kau sendiri yang hendak menolong-
ku. Sejak satu hari ini dadaku sakit bukan kepalang
dan darah masih mengalir dari mulutku. Belum per-
nah aku mengalami cidera seperti ini. Apa benar kea-
daanku gawat...?"
"Memang gawat. Aku berusaha mengobati. Kau
harap berdoa memohon pertolongan Tuhan..." kata Pelangi Indah lalu keluarkan
kalung kepala srigala perak dari balik pakaiannya. Saat itulah Wiro menyadari
be-tapa tipisnya jubah hitam yang dikenakan si gadis
hingga walau cahaya pelita dalam kamar tidak terlalu
terang namun dia dapat melihat jelas lekuk-lekuk tu-
buh Pelangi Indah mulai dari dada sampai ke ping-
gang. "Aku mau kencing..." kata Pendekar 212 tiba-tiba. "Jangan berbuat macam-
macam. Terlalu ba-
nyak kau bergerak racun dalam tubuhmu akan me-
nyebar kemana-mana...."
"Aku tidak bergurau. Tapi biar sekali ini aku
mengikuti ucapanmu. Akan ku coba menahan kenc-
ing!" kata Wiro sambil menyeringai dan hendak menggaruk kepala. Tapi lengannya
cepat ditahan oleh Pe-
langi Indah. Kalung kepala srigala yang di keluarkan-
nya dari balik pakaian diletakkannya di dada kiri Pendekar 212, tepat pada
bagian yang bengkak membiru
akibat jotosan Seribu Kati. Satu hawa sejuk masuk
menembus permukaan kulit Wiro.
"Kau sudah siap...?" Pelangi Indah bertanya.
"Aku... ya aku siap," jawab Wiro walau dia tidak
tahu apa yang akan dilakukan si gadis.
Pelangi Indah menatap ke arah pelita di sudut
ruangan. Perlahan-lahan nyala api pelita menjadi kecil meredup tapi tidak sampai
padam. Ruangan yang tidak seberapa besar itu menjadi temaram. Si gadis de-
kap pipi Pendekar 212 dengan ke dua tangannya. Ke-
palanya lalu diturunkan mendekati wajah sang pende-
kar. Lalu tiba-tiba saja bibirnya sudah menyentuh bi-
bir Wiro. Wiro merasakan satu kecupan sangat keras
hingga bukan saja lidahnya tertarik keluar tapi isi perutnya juga seolah
tersedot. Dari dadanya yang cedera dan dari perut keluar suara seperti air
menggelegak. Suara aneh ini berpindah ke tenggorokannya lalu dia
merasa ada cairan banyak sekali memenuhi mulutnya.
Pelangi Indah menyedot. Cairan di dalam mulut Wiro
berpindah ke mulutnya. Lalu dia menyemburkan cai-
ran dalam mulutnya itu ke dinding. Dinding yang ta-
dinya hitam berubah menjadi biru pekat. Pelangi Indah seka mulutnya yang basah.
Bengkak membiru di dada
kiri Wiro serta merta lenyap. Rasa sakit hilang dan kekuatannya pulih kembali.
"Racun jahat..." ujar Wiro seraya memperhatikan cairan biru yang menutupi
dinding. "Kau selamat..." bisik Pelangi Indah.
Wiro berpaling. Dilihatnya gadis cantik itu te-
gak berpegangan ke tepi ranjang. Tubuhnya mandi ke-
ringat. Wajahnya kemerahan. Dia tertegak limbung.
Wiro cepat memegang pinggang gadis itu agar tidak ja-
tuh. Untuk menyedot racun pukulan yang ada dalam
tubuh Wiro, si gadis telah mengerahkan tenaga luar
dan dalam habis-habisan. Itu sebabnya tubuhnya
mandi keringat dan menjadi lemah. Dalam keadaan
terkulai letih tubuh si gadis jatuh di atas dada Pendekar 212. Kening mereka
saling bertindihan.
"Pendekar 212, sepuluh tahun aku menunggu
kedatanganmu. Kau muncul membawa keselamatan
bagi diriku! Kau datang membawa batu hitam mustika
sakti pelambang kepada siapa aku harus tunduk dan
menyerahkan diri. Wiro, kau tidak boleh meninggalkan
tempat ini untuk selama-lamanya...."
Tentu saja Wiro merasa terkejut mendengar
ucapan si gadis. "Aku berhutang nyawa padanya. Kalau dia sampai memaksa urusan
bisa jadi tidak ka-
ruan..." ujar Wiro dalam hati. Lalu dia berkata.
"Pelangi Indah, kau telah menyelamatkan jiwa
ku. Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku tidak
mengerti arti...."
Wiro tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ka-
rena bibir si gadis telah menempel di bibirnya. Kembali dia merasakan satu
kecupan keras. "Astaga, apakah ini masih merupakan kecupan
untuk mengobati diriku atau kecupan lain..." kata Wiro dalam hati. Tangan
kanannya menggaruk ke kepala.
Namun kemudian perlahan-lahan tangan itu bergerak
merangkul tubuh lembut Pelangi Indah. Dalam kea-
daan seperti itu Pendekar 212 ingat akan niatnya un-
tuk mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama Sepa-
sang Sinar Inti Roh. Dia harus menunggu 49 tahun
karena Sinto Gendeng menganggap dirinya belum
mampu menerima ilmu kesaktian itu mengingat dia
merupakan seorang pemuda yang masih suka pada
wajah cantik dan tubuh mulus. Dalam hati Wiro mem-
batin. "Nenek itu benar. Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin aku mau
menolak. Siapa mau me-
nyia-nyiakan kesempatan! Walah! Biar tidak aku pikir-
kan dulu ilmu itu! Kalau memang aku harus menung-
gu sekian lama apa boleh buat! Benar juga kata orang.
Sehabis sengsara biasanya datang bahagia tak terdu-
ga." "Wiro, apakah kau masih kepingin kencing?" ti-
ba-tiba Pelangi Indah berbisik.
"Hemm.... Apa" Tadi aku cuma bergurau. Jan-
gan khawatir, aku tidak bakalan ngompol di celana!"
Wiro menyeringai lalu tertawa tertahan-tahan.
Pelangi Indah sendiri tidak kuasa menahan ta-
wanya. Untung saja Wiro cepat merangkul tubuhnya
hingga suara tawanya tenggelam di atas dada bidang
sang pendekar. TAMAT Segera terbit: TELUK AKHIRAT ARIO BLEDEG Petir di Mahameru
12 TASBIH KI AGENG BELA BUMI
DALAM kagetnya melihat kecepatan lawan
membuat gerakan mengelak Warok Wesi Gludug berbi-
sik pada nenek di sebelahnya. "Setahuku kakek butut itu hanyalah orang tolol
tukang pembuat keris. Ternyata dia memiliki ilmu silat tinggi dan sanggup
menghindarkan diri dari serangan kita berdua!"
"Kau bicara seolah nyalimu sudah leleh! Sung-
guh memalukan Warok yang telah menggegerkan bela-
han tengah tanah Jawa berucap seperti itu!"
Kata-kata nenek berjuluk Si Lidah Bangkai itu
membuat tampang garang Warok Wesi Gludug menjadi
kelam membesi. Rahangnya menggembung. Dua len-
gannya digesekkan hingga mengeluarkan suara seperti
dua batangan besi saling digosok!. Memandang ke de-
pan dilihatnya Empu Bondan Ciptaning telah berada
beberapa tombak di kejauhan, melangkah cepat me-
ninggalkan telaga. "Empu keparat! Kau mau lari kemana! Kau kira bisa lolos dari
tanganku!" Habis berteriak Warok Wesi Gludug gebuk pinggul tunggangan-
nya. Kuda hitam itu meringkik keras lalu melesat ke
depan. Si Lidah Bangkai tertawa panjang. Dia merasa
gembira dapat membakar semangat sobatnya itu. Tan-
pa tunggu lebih lama nenek ini segera pula mengge-
brak kuda hitamnya, Sesaat kemudian Empu Bondan
Ciptaning telah dijepit oleh dua kuda besar itu hingga dia terpaksa menghentikan
langkahnya. "Empu tolol! Apa kau mau mati sia-sia hanya
karena mempertahankan barang yang bukan milik-
mu"!" membentak Si Lidah Bangkai.
Empu Bondan Ciptaning mengangkat kepa-
lanya. Dengan suara dan sikap tenang dia menjawab.
"Kalau barang-barang yang kalian minta memang milikku, sudah dari tadi aku
serahkan secara ikhlas. Tapi seperti ku jelaskan. Kitab dan tasbih ini adalah
barang titipan yang harus aku jaga baik-baik..."
"Pandainya kau berdalih memutar lidah!" hardik Warok Wesi Gludug. Tangan
kanannya yang seke-
ras besi dipukulkannya ke batok kepala Empu Bondan
Ciptaning. Di saat bersamaan Si Lidah Bangkai me-
nyembur. Lidahnya yang merah bercabang melesat,
bergulung menyambar ke arah leher sang Empu, me-
muncratkan cairan merah.
"Kalian berdua, mengapa masih berkeras hati
berusaha memiliki barang yang bukan hak kalian.
Apakah hati dan benak kalian telah berubah menjadi
batu hingga tidak mau berlaku sadar"!"
Sambil berucap begitu Empu Bondan Ciptaning
rundukkan kepalanya, lalu untuk selamatkan diri dari
dua serangan lawan dia cepat melompat ke bawah pe-
rut kuda tunggangan Si Lidah Bangkai. Nenek ini ber-
teriak marah. Dia sentakkan tali kekang kudanya
hingga binatang ini menghambur ke depan. Jika Empu
Bondan Ciptaning masih mendekam di bawah tubuh
kuda, niscaya dirinya akan diterjang dua kaki bela-
kang binatang itu. Tapi orang tua ini sudah tahu apa
yang bakal terjadi. Begitu Si Lidah Bangkai menyen-
takkan tali kekang dia sudah melompat ke kiri, ber-
pindah berlindung di bawah sosok kuda tunggangan
Warok Wesi Gludug.
"Jahanam benar! Dia berani mempermainkan
kita!" teriak Sang Warok. Sambil bergelantungan di leher kuda dia jatuhkan diri
ke samping kanan. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang ke ba-
wah. Inilah tendangan mengandung tenaga dalam
tinggi yang bisa memecahkan batu. Dan yang jadi sa-
sarannya saat itu adalah kepala Empu Bondan Ciptan-
ing yang tengah merunduk di bawah tubuh kuda!
Tendangan kaki kanan itu tidak terduga dan
datangnya cepat sekali. Walau masih mampu melihat
datangnya serangan namun Sang Empu tidak mung-
kin mengelak dengan cara melompat atau merunduk-
kan kepala. Satu-satunya yang bisa dilakukannya ia-
lah menangkis dengan tangan kirinya.
"Bukkk!"
Tangan dan kaki beradu keras. Empu Bondan
Ciptaning merasa lengannya seperti dihantam palang
besi. Dia menggigit bibir menahan teriak kesakitan.
Tubuhnya terpental beberapa langkah, terbanting ja-
tuh punggung di tanah. Sebelum dia sempat bangkit Si
Lidah Bangkai telah menggebrak kuda tunggangannya
ke arah sosok Sang Empu yang masih tergeletak di ta-
nah. Di atas kuda si nenek tertawa mengekeh. Dia
sudah mengira kaki-kaki kuda tunggangannya akan
menghunjam menghancurkan tulang dada dan tulang-
tulang iga Sang Empu. Tapi alangkah kagetnya si ne-
nek dan suara tawanya serta merta lenyap ketika
mendadak kuda tunggangannya meringkik keras lalu
terangkat ke atas, berputar laksana titiran dan selan-jutnya terlempar sejauh
dua tombak lalu tergelimpang
di tanah! Apakah yang telah terjadi"
Ketika Si Lidah Bangkai menghamburkan ku-
danya ke arah dirinya yang masih tergeletak di tanah, Empu Bondan Ciptaning
sudah maklum bahaya apa
yang akan melandanya. Dia tak berani melompat
bangkit karena gerakan-nya pasti akan kalah cepat
dengan kedatangan hantaman kaki-kaki kuda. Orang
tua ini menunggu sesaat. Matanya mengawasi. Begitu
dua kaki terdepan kuda tunggangan Si Lidah Bangkai
menghunjam ke arahnya, Empu Bondan Ciptaning
dengan cepat gulingkan diri ke depan. Dua kaki kuda
lewat di kepalanya, membongkar tanah menerbangkan
debu. Saat itu juga Empu Bondan Ciptaning lesatkan
pinggangnya ke atas. Sementara punggungnya masih
bertumpu di tanah, kaki kanannya melesat ke atas,
menyodok perut kuda. Sebelum lawannya tahu apa
yang terjadi, dengan satu kekuatan yang sulit diper-
caya Empu Bondan Ciptaning angkat tubuh kuda. itu
berikut penunggangnya lalu diputar dan dilemparkan!
Si Lidah Bangkai berteriak marah. Kalau dia ti-
dak lekas melompat jungkir balik niscaya mukanya
akan berkelukuran dimakan tanah walau terlapis sisik
aneh hitam kebiruan. Sementara kudanya bangkit ter-
huyung-huyung si nenek telah berdiri tegak, meman-


Tiga Dalam Satu 03 Srigala Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang ke arah Empu Bondan Ciptaning yang saat itu
juga telah berdiri tegak, memandang dengan raut wa-
jah kasihan kepada kuda hitam yang tadi dilempar-
kannya. "Kuda hitam, kau tak berdosa. Tapi terpaksa
menerima derita. Maafkan perbuatanku itu..." Sang Empu mengeluarkan suara
batinnya. "Empu jahanam! Kau memang benar-benar
minta mati!" Mulut si nenek membentak keras sedang matanya memandang berapi-api.
Dua tangannya dis-ilangkan ke depan lalu didorongkan. Di saat bersa-
maan Warok Wesi Gludug telah melesat turun dari ku-
danya dan secara licik dia melompat ke belakang Em-
pu Bondan Ciptaning. Dua tangannya yang penuh bu-
lu dipentang ke atas. Bersamaan dengan gerakan me-
nyerang Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug meng-
gebrak pula dengan menghantamkan tangan kanannya
ke bagian belakang kepala lawan.
Empu Bondan Ciptaning bukannya tidak tahu
kalau salah satu lawan telah menyerangnya dari bela-
kang secara pengecut. Tetapi saat itu dia lebih mem-
perhatikan gerakan sepasang tangan Si Lidah Bangkai
yang ada di depannya.
"Pukulan Gunting Iblis!" kata Sang Empu da-
lam hati. Rupanya dia telah mengetahui dengan ilmu
kesaktian apa si nenek hendak menghantamnya. Pu-
kulan Gunting Iblis yang dimiliki nenek berjuluk Si Lidah Bangkai memang telah
menggegerkan dan mena-
kutkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah
Jawa, terutama menjelang berdirinya Kerajaan Demak
dengan Rajanya yang pertama yakni Raden Patah. "Dia hendak menyerangku dengan
pukulan maut itu!"
Dua tangan Si Lidah Bangkai bergerak bersi-
langan. "Clakk! Claakk!"
Terdengar suara mengerikan. Lebih menggidik-
kan lagi ketika dari dua telapak tangan si nenek ber-
tampang angker itu tiba-tiba melesat dua larik sinar
hitam, bergerak meluncur bersilangan, mengeluarkan
suara seperti sebuah gunting raksasa!
Seperti diketahui sebagai seorang Empu, Bon-
dan Ciptaning sepanjang usianya memusatkan kepan-
daian dan kesaktiannya pada ilmu membuat berbagai
senjata sakti. Walau dia memiliki ilmu silat yang bu-
kan sembarangan dan juga menguasai beberapa puku-
lan sakti namun dibanding dengan ilmu kesaktian
yang dimiliki sahabatnya Ki Suro Gusti Bendoro, Sang
Empu jauh tertinggal.
Dan saat itu ketika dia menghadapi serangan
maut dari depan dan dari belakang, walau masih me-
nunjukkan sikap tenang namun hati kecilnya menge-
luh. Dia tahu jarang ada orang yang sanggup atau bisa menyelamatkan diri dari
serangan Pukulan Gunting Iblis. Mungkin juga dia adalah salah satu di antaranya!
"Aku tidak takut menemui kematian di tangan
dua manusia sesat ini. Tapi kematianku akan memba-
wa penyesalan sampai ke alam baka karena aku tidak
bisa menyelamatkan dua barang titipan yang ada pa-
daku...." Di saat hatinya bersuara, di saat kematian su-
dah di depan mata tiba-tiba Empu Bondan Ciptaning
ingat pada salah satu barang yang diserahkan saha-
batnya Ki Suro Gusti Bendoro kepadanya beberapa
waktu sebelumnya. Yaitu yang kini terkalung di leher-
nya! "Tasbih sakti! Tasbih Ki Ageng Beta Bumi!"
Tangan Sang Empu serta merta bergerak ke leher.
"Sahabatku Ki Suro.... Harap maafkan kelancanganku.
Aku terpaksa mempergunakan tasbih pusaka, barang
sakti mandraguna milikmu ini untuk menyelamatkan
diri.... Semoga Yang Maha Tunggal mengampuni kesa-
lahanku! Semoga dua musuhku tidak akan mendapat
celaka oleh tasbih sakti ini...."
Ketika tangan sekeras besi Warok Wesi Gludug
hanya tinggal sejengkal lagi untuk menghancurkan ba-
tok kepala sebelah belakang Empu Bondan Ciptaning
dan dua sinar hitam menggidikkan dalam kejapan
hampir bersamaan siap membantai putus pinggang-
nya, tiba-tiba menggelegar suara menggaung. Bersa-
maan dengan itu selarik sinar hijau berbentuk lingka-
ran bergulung di udara, membungkus sosok Empu
Bondan Ciptaning mulai dari kepala sampai ke ping-
gul. Dua suara berdentrangan menggema membuat
denyutan keras pada jantung. Dua jeritan setinggi langit menggelegar serasa
membobol gendang-gendang te-
linga! Di tengah kalangan pertempuran Empu Bondan
Ciptaning kelihatan tegak dengan tubuh bergetar dan
dada terbungkuk menahan gejolak. Di tangan kanan-
nya dia masih memegang Tasbih Ki Ageng Bela Bumi
yang terbuat dari batu Giok hijau. Untuk beberapa la-
manya tasbih sakti itu kelihatan mengepulkan asap
kehijau-hijauan.
Empu Bondan Ciptaning berpaling ketika telin-
ganya menangkap suara orang mengerang di bela-
kangnya. Delapan langkah di sebelah sana sosok tinggi besar Warok Wesi Gludug
terkapar di tanah dalam
keadaan benar-benar mengenaskan. Rambutnya yang
sebelumnya dikuncir kini kelihatan hangus awut-
awutan. Begitu juga cambang bawuk.
janggut serta kumis tebal dan bulu-bulu yang
memenuhi dadanya. Kulit mukanya dari kening sam-
pai ke dagu, lalu di bagian badan mulai dari leher
sampai ke perut yang telanjang tampak merah bahkan
ada yang terkelupas. Yang paling mengerikan adalah
tangan kanannya yang tadi dipergunakan memukul
batok kepala lawannya. Tangan yang sekokoh besi itu
kini tidak lagi memiliki jari barang sepotong-pun kare-na seluruh telapak
tangannya telah hancur. Bagian
ujung lengannya yang putus remuk, menggembung
merah. Cidera inilah yang merupakan sumber sakit
yang bukan alang kepalang hingga Warok Wesi Gludug
melejang-lejang menggeliat-geliat sambil tiada hentinya mengerang.
Empu Bondan Ciptaning memandang berkelil-
ing. Matanya mencari-cari. Tapi dia sama sekali tidak
melihat Si Lidah Bangkai. Kemana lenyapnya nenek
itu" Mungkin telah kabur melarikan diri. Kemudian
pandangan sepasang mata Sang Empu membentur se-
buah benda yang tergeletak di tanah, di dekat rerum-
putan dan semak belukar rendah. Tengkuknya lang-
sung terasa dingin. Bagaimanakah tidak. Benda yang
tergeletak di tanah itu adalah potongan tangan kanan
manusia mulai dari ujung-ujung jari sampai sebatas
siku yang telah mengelupas seluruh dagingnya dan
hanya tinggal tulangnya saja yang kelihatan memutih!
Mungkinkah itu potongan tangan kanan Si Lidah
Bangkai" Berarti nenek itu juga mengalami cidera be-
rat akibat adu kekuatan dengan tasbih sakti tadi.
Empu Bondan Ciptaning langsung pejamkan
mata dan pegang keningnya dengan tangan kiri. "Tuhan Agung, Maha Kuasa, Maha
Penolong! Ampuni dosa
kesalahanku! Aku telah berani berlaku lancang melu-
kai menciderai sesama umat. Penyesalan ku lebih
mendalam lagi Ya Tuhan karena untuk berbuat dosa
itu aku dengan lancang mempergunakan senjata milik
orang lain. Tuhan, aku tahu dua musuhku tadi adalah
orang-orang sesat dan jahat! Tapi dengan melakukan
kekejaman ini terhadap mereka berarti aku tidak lebih baik dari keduanya. Ampuni
dosa dan kesalahanku
wahai Yang Maha Kuasa...."
Suara erang kesakitan yang keluar dari mulut
Warok Wesi Gludug menyadarkan Empu Bondan Cip-
taning. Dia kalungkan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi ke
lehernya lalu melangkah cepat mendekati kepala pe-
rampok hutan Roban itu.
Meski sakit mendera dirinya- mulai dari ubun-
ubun sampai ke ujung kaki namun Warok Wesi Glu-
dug masih bisa melihat siapa yang datang dan kemu-
dian berlutut di sampingnya.
"Aku mohon...." Suara Sang Warok sesaat ter-
putus oleh erang kesakitan. "Aku mohon kau bunuh aku saat ini juga! Aku... tidak
sanggup lagi menahan
rasa sakit ini! Bunuh! Habisi aku saat ini juga!"
Empu Bondan Ciptaning benar-benar tidak tega
melihat keadaan Warok Wesi Gludug. Ke dua tangan-
nya bergerak. Bukan untuk memenuhi permintaan
penjahat itu, tetapi malah sebaliknya. Dengan cepat
Empu Bondan Ciptaning menotok tubuh Sang Warok
di beberapa bagian. Lalu dari saku jubah birunya dikeluarkannya sebuah kantong
Memburu Manusia Makam Keramat 2 Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana Suling Emas 17
^