Api Di Bukit Menoreh 15
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 15
meledak mengoyak selaput telinga, namun sentuhannya
mampu melukai tubuh lawannya. Meskipun sekali dua kali
luka itu segera dapat dipampatkan, tetapi serangan yang
diluncurkan lewat sorot matanya, dan sekali-sekali
menyentuhnya, betapapun tinggi daya tahan dan ilmunya,
namun Ki Ajar sulit untuk dapat bertahan.
Dengan demikian, maka perlawanan Ki Ajar itupun semakin
lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia telah meloncat
justru berusaha mengambil jarak. Tetapi setiap kali ketiga ujud
Agung Sedayu itu selalu memburunya dari arah yang berbeda.
Meskipun sekali dua kali ia sempat membuat, ketiga ujud itu
mencari-cari arah, namun kemampuan Agung Sedayu itu
benar-benar sangat membingungkannya.
Tetapi Ki Ajar itu masih belum menyerah. Tiba-tiba saja Ki
Ajar itu telah meloncat-loncat, sekali nampak, kemudian
menghilang, menuju ketempat yang sejauh-jauhnya dapat
dicapainya. Ketika ia kemudian berdiri diantara dua batang
pohon pandan raksasa, di pinggir rawa-rawa, maka iapun
telah berdiri tegak menghadap kearah lawan-lawannya.
Ki Ajar itu pun kemudian telah menggenggam kedua
tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantainya dan
mengarahkan kedua ujung tongkat itu kepada lawanlawannya..
Bulatan-bulatan api itu meluncar dengan cepatnya susul
menyusul, seakan-akan tanpa jarak. Dengan cermat Ki Ajar
mengarahkan bulatan-buatan api dari kedua ujung tongkatnya
itu ke sasaran yang yang terdiri dari ketiga ujud Agung Sedayu itu.
Ternyata cara yang ditempuh oleh Ki Ajar itu berhasil.
Ketiga ujud itu harus berloncatan melenting, berguling dan
berloncatan menghindari serangan itu.
Sebenarnya1 Agung Sedayu juga merasakan, betapa
bulatan-bulatan api itu benar-benar menyentuh dan menggigit
kulitnya. Semakin lama terasa menjadi semakin sakit. Susul
menyusul. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja satu diantara ketiga
ujud itu telah berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada
sambil memeluk cambuknya, seperti saat-saat tubuh itu akan
tumbuh menjadi tiga. Namun Agung Sedayu kini benar-benar telah berusaha
mempergunakan ilmu puncaknya. Ia tidak lagi ingin bertempur
terlalu lama. Karena itu, maka iapun telah memusatkan ilmunya tanpa
menghiraukan serangan lawannya. Ia masih membiarkan
kedua ujudnya yang bergerak dengan sendirinya untuk
mengurangi arah serangan Ki Ajar terhadap dirinya dan
wadagnya yang sebenarnya.
Dengan demikian, maka pancaran sorot matanya itu
seakan-akan tubuh Ki Ajar yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi itu. Namun Ki Ajarpun kemudian menyadari, karena ketajaman
penglihatannya atas lawannya, bahwa orang yang berdiri
tegak dengan tangan bersilang itulah lawannya yang sangat
berbahaya. Karena itu, maka Ki Ajar telah memusatkan serangannya
lewat kedua ujung tongkatnya kearah ujud yang satu itu.
Demikianlah, dua lontaran ilmu yang sudah benar-benar
sampai kepuncak saling menyerang. Sorot mata Agung
Sedayu telah menusuk langsung ke dada Ki Ajar, sementara
itu bulatan-bulatan api yang tidak kalah garangnya telah
membakartubuh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa
Agung Sedayu memiliki kelebihan dari lawan-lawannya.
Betapapun kulitnya merasa sakit, namun kulitnya itu sama
sekali tidak terluka karenanya. Bahkan ilmu kebalnya telah
mampu menahan dan melemahkan rasa sakit itu, sehingga
untuk beberapa saat masih mampu diatasi oleh Agung
Sedayu. Namun demikian, kemarahan yang semakin mencengkam
jantungnya oleh serangan-serangan Ki Ajar itu, telah membuat
Agung Sedayu benar-benar menghentakkan ilmunya sampai
kepuncak. Ki Ajar yang tidak menghindari serangan Agung Sedayu itu
merasakan, betapa kedahsyatan ilmu lawannya itu menusuk
ke dalam dadanya. Isi dadanya itupun rasa-rasanya bagaikan
diremas. Jantungnya tidak lagi mampu berdenyut
sebagaimana seharusnya, sementara paru-parunya tidak lagi
dapat menampung nafasnya yang memburu.
Ki Ajar masih berusaha untuk mengerahkan ilmunya pula.
Bulatan-bulatan api itu memang memancar semakin deras.
Tetapi hanya untuk sesaat. Sesaat kemudian, maka tatapan
matanyapun menjadi semakin meremang. Pandangannya
mulai kabur, sehingga ia tidak lagi dapat melihat ujud Agung
Sedayu dengan jelas, apalagi kedua ujudnya yang lain yang
memang semakin lama menjadi semakin kabur. Perlahanlahan
kedua ujud itu semakin mendekat kearah Agung Sedayu
dan akhirnya telah lenyap menyatu.
Pada saat yang bersamaan, serangan Ki Ajar pada
gelombang yang terakhir itu telah melanda tubuh Agung
Sedayu yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan
tangannya yang memeluk cambuknya. Demikian dahsyatnya
hentakkan terakhir yang susul menyusul itu, sehingga Agung
Sedayu yang memiliki ilmu kebal itu harus menyeringai
menahan kesakitan yang sangat. Bahkan akhirnya perasaan
sakit itu telah benar-benar mempengaruhi ketahanan tubuh
Agung Sedayu sehingga telah mampu mengganggu
keseimbangannya. Agung Sedayu memang menjadi goyah. Perasaan sakit itu
hampir tidak dapat diatasinya, sehingga karena itu, maka
tubuhnya mulai terbongkok, sementara lututnya mulai
merendah. Namun pada saat-saat Agung Sedayu mengalami
kesulitan, Ki Ajar tidak lagi mampu bertahan. Isi dadanya
bagaikan telah dilumatkan oleh sorot mata Agung Sedayu
yang memancarkan ilmunya yang luar biasa itu.
Karena itu, maka Ki Ajarpun telah terguncang pula.
Tubuhnya terdorong selangkah surut. Namun kemudian iapun
telah kehilangan keseimbangannya, sehingga tubuh itupun
terjatuh diantara pohon pandan raksasa dipinggir rawa-rawa itu.
Sejenak arena itu menjadi hening. Dalam keadaan yang
sulit, Agung Sedayu masih dapat bertahan untuk tetap berdiri.
Namun dalam pada itu. Sekar Mirah agaknya tidak lagi
dapat menahan diri. Iapun telah berlari kearah Agung Sedayu
berdiri. Dengan serta mertaSekar Mirah lalu memeluknya
sambil bertanya sendat " Bagaimana keadaanmu kakang"
Agung Sedayu yang dalam keadaan lemah itu menjawab "
Aku tidak apa-apa Mirah. "
Sekar Mirahpun kemudian membantu Agung Sedayu
berjalan tertatih-tatih ketepi. Dengan hati-hati Sekar Mirah
membantu Agung Sedayu duduk dibawah sebatang pohon
pandan yang besar, sehingga akar-akarnya merupakan
tempat bersandar yang kuat.
Pandan Wangi menarik nafas sambil memalingkan
wajahnya. Iapun telah dicengkam oleh kecemasan yang
sangat. Namun rasa-rasanya semuanya telah lewat.
Ketika Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mendekati tubuh Ki
Ajar yang terbaring, maka Pandan Wangipun telah
mengikutinya pula. Ketika mereka semakin dekat, maka Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga pun telah melangkah semakin
cepat. Bahkan berlari-lari. Ternyata sebagian tubuh Ki Ajar
telah terendam di air rawa-rawa.
Dengan tergesa-gesa keduanya telah mengangkat tubuh
itu dan membaringkannya di tempat yang kering.
Namun Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemarahan Agung Sedayu ternyata telah menimbulkan akibat
yang gawat. Ki Ajar benar-benar dalam keadaan yang sangat
parah. Bahkan menurut penglihatan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga, maka agaknya tidak ada harapan lagi bagi Ki Ajar
untuk disembuhkan. Pada saat Kiai Gringsing mengambil obat didalam sebuah
bumbung kecil di kantong ikat pinggangnya, maka segalanya
telah terlambat. Ki Ajar yang pingsan itu telah
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain
menyilangkan tangannya di dadanya.
Untuk sementara, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya
dapat menyisihkan tubuh itu menepi, dibawah sebatang pohon
pandan yang besar. Merekapun kemudian meninggalkan
tubuh itu, dan mendekati tubuh-tubuh lain yang terbaring.
Dengan kemampuan pengobatan Kiai Gringsing, maka
orang-orang itupun segera menyadari keadaan mereka.
Namun rasa-rasanya tubuh mereka menjadi sangat lemah
sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan
orang-orang yang berilmu tinggi itu.
Kepada mereka Kiai Gringsing pun kemudian berkata
"Lihatlah. Siapakah yang terbaring itu. "
Keempat orang yang lemah itu telah memaksa diri untuk
melangkah mendekati tubuh yang diam itu. Ketika mereka
bersama-sama berjongkok di sampingnya, maka darah
mereka serasa berhenti berdenyut.
Murid yang tertua dari Ki Ajar itu telah meraba tubuh yang
membeku itu. Dengan nada berat ia berdesis " Guru telah
meninggal. " Saudara-saudaranya merasa darahnya melonjak. Tetapi
mereka harus mengakui kenyataan yang terjadi atas diri
mereka masing-masing. Tubuh mereka yang lemah dan lawan
yang yang terlalu kuat. " Apa yang dapat kita lakukan" " tiba-tiba seorang diantara
keempat murid Ki Ajar itu berdesis.
Yang tertua diantara keempat orang murid Ki Ajar itu
berdesis " Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka adalah
orang-orang yang berilmu tinggi. Aku tidak mengira bahwa
guru pada akhirnya akan mengalami nasib yang demikian
pahitnya. Padahal guru adalah orang yang tidak mungkin
terkalahkan. " " Agaknya Agung Sedayu memang orang yang memiliki
ilmu yang tidak ada duanya " desis salah seorang diantara
murid Ki Ajar itu. Diluar sadar maka mereka serentak berpaling kearah
Agung Sedayu yang berada di ujung lain dari tempat yang
lapang diantara hutan pandan itu.
Murid tertua itu berdesis " Agaknya Agung Sedayu juga
mengalami kesulitan. "
" Tetapi ia masih mampu bertahan " desis salah seorang
saudara seperguruannya. Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang
diantara mereka berkata " Apakah kita dapat mengambil
sikap" " Yang tertua diantara murid Ki Ajar itu termangu-mangu.
Diluar sadarnya ia memandang berkeliling. Memandang
kearah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon pandan.
" Kita tidak tahu, apakah rawa-rawa itu dalam atau tidak "
desis yang tertua " kita juga tidak tahu, apakah diantara akarakar
pandan itu bersembunyi ular air atau tidak. "
Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Namun
mereka tidak dapat membicarakan lebih jauh. Beberapa saat
kemudian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah mendekati
mereka. " Ki Sanak " berkata Kiai Gringsing " marilah. Bawa tubuh Ki
Ajar itu ketempat yang lebih baik. Kita harus membawanya ke
banjar dan menyelenggarakannya sebaik-baiknya. "
Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Mereka
benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk mencari jalan
keluar dari tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang
ternyata menyimpan orang-orang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka yang dapat mereka lakukan
hanyalah melakukan perintah Kiai Gringsing, membawa tubuh
gurunya kedekat Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Beberapa
langkah disebelah Pandan Wangi berdiri tegak memandangi
keempat orang yang membawa tubuh gurunya itu dengan
saksama. Namun Pandan Wangi telah menyarungkan
sepasang pedangnya. Keempat orang itupun kemudian melihat keadaan Agung
Sedayu yang mendebarkan. Ketika Agung Sedayu kemudian
berdiri dengan berat, maka nampaklah bahwa pakaiannya
telah terkoyak-koyak oleh api Ki Ajar. Namun tubuhnya masih
tetap utuh karena ia masih mampu melindungi dirinya dengan
ilmu kebalnya, meskipun ia tidak dapat menahan rasa sakit
yang sempat menyusup menembusnya.
Kiai Gringsingpun kemudian mendekati Agung Sedayu
yang sudah berdiri. Namun kemudian iapun menyadari akan
keadaan Agung Sedayu. Pakaiannya sudah tidak berujud lagi,
sehingga dengan demikian, maka sulit bagi Agung Sedayu
untuk kembali dalam keadaan seperti itu.
Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun kemudian bertanya
kepada Agung Sedayu " Bagaimana dengan kau dan
keadaanmu itu" "
" Badanku sudah terasa membaik guru. Tetapi pakaianku
ini " desisnya. Sebelum Kiai Gringsing berkata lebih lanjut, maka Ki
Jayaragalah yang menyahut " Biarlah aku pergi ke padukuhan
terdekat. Mungkin aku akan mendapatkan pakaian untuk
Agung Sedayu. " " Jika orang-orang padukuhan itu bertanya" " desis Kiai
Gringsing. " Biarlah aku mengatakan bahwa Agung Sedayu telah
terjebur dirawa-rawa. Kudanya tergelincir masuk kedalam air
lumpur, sehingga ia memerlukan berganti pakaian " jawab Ki
Jayaraga. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian
dipandanginya Agung Sedayu yang masih dibantu oleh Sekar
Mirah " Baiklah. Silahkan. "
Ki Jayaragapun segera mengambil kudanya. Sejenak
kemudian terdengar kaki kuda itu berderap.
Sementara itu, Kiai Gringsing merasa perlu untuk berbicara
dengan keempat orang murid Ki Ajar itu. Agaknya mereka
dicengkam oleh kebingungan dan ketidak pastian.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata " Ki
Sanak. Kami akan membawa Ki Sanak untuk pergi ke Tanah
Perdikan Menoreh. Ki Sanak harus menghadap Ki Gede dan
mempertanggung jawabkan langkah laku Ki Sanak selama Ki
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanak berada di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, kami beri
kalian kesempatan untuk menguburkan gurumu. Teserah
kepada pilihan kalian. Apakah kalian akan menguburnya
disini. Sudah tentu agak jauh dari rawa-rawa itu, agar
tubuhnya tidak terendam air. Atau kita akan membawanya ke
padukuhan induk Tanah Perdikan dan menguburkannya
disana. " Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Yang
tertua diantara merekapun bertanya " Jika kami membawa ke
padukuhan induk, apakah tidak akan ada persoalan yang
timbul dengan kehadiran kami diantara orang-orang Tanah
Perdikan. " " Kamilah yang membawa kalian ke padukuhan induk.
Dengan demikian maka kamilah yang akan
mempertanggungjawabkannya " jawab Kiai Gringsing.
Keempat orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun
kemudian yang tertua diantara mereka bertanya " Jika kami
bawa tubuh guru ke padukuhan induk, dimana kami harus
menguburkannya" "
" Tentu dikuburan " jawab Kiai Gringsing " mungkin
ditempat itu, kuburan akan mudah dikenali. Agak berbeda jika
kalian menguburkannya disini. "
Keempat murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Agaknya
mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu,
maka yang tertua itupun kemudian berkata " Baiklah Kiai, kami
akan membawanya kepadukuhan induk."
Namun keempat Orang itupun menyadari, bahwa mereka
tentu akan menjadi tawanan orang-orang Tanah Perdikan.
Bahkan mungkin mereka masih harus menjawab berbagai
macam pertanyaan yang kemudian diajukan oleh para
pemimpin Tanah Perdikan itu kepada mereka. Bahkan
mungkin dapat terjadi salah paham, sehingga mereka akan
diperas untuk menjawab pertanyaan yang tidak mereka
ketahui. Tetapi akibat itu memang harus ditanggungkannya.
Demikian, maka ketika Kiai Gringsing memerintahkan
orang-orang itu mempersiapkan tubuh guru mereka, Agung
Sedayu masih sempat membuat sebuah belik kecil dengan
menggali pasir tidak jauh dari rawa-rawa. Meskipun airnya
yang timbul dari celah-celah pasir itu tidak terlalu jernih, tetapi
agaknya lebih bersih dari air rawa-rawa itu.
Dengan air itu Agung Sedayu telah mencuci wajahnya.
Terasa segarnya air itu merambat sampai ketulang
sungsumnya. Namun sejenak kemudian telah terdengar derap kaki kuda.
Ketika mereka berpaling mereka melihat Ki Jayaraga
menyusup diantara batang-batang pandan, memasuki daerah
yang lapang itu. " Ini " berkata Ki Jayaraga yang sudah turun dari kudanya.
Diberikannya selembar kain panjang dan sebuah baju lurik
ketan ireng. " Aku tidak tahu, apakah baju itu cukup kau pakai atau
tidak" desis Ki Jayaraga.
" Terima kasih " Sekar Mirahlah yang menyahut sambil
menerima pakaian itu. Agung Sedayupun kemudian mengenakan kain panjang itu
untuk merangkapi kainnya. Sementara itu, iapun telah
melepaskan bajunya yang koyak dan mengenakan baju yang
dipinjam oleh Ki Jayaraga itu.
" Agak terlalu longgar " desis Sekar Mirah. Lalu iapun
bertanya kepada Ki Jayaraga " baju siapa" "
" Derma, penjual nasi dipadukuhan sebelah " jawab Ki
Jayaraga. " Pantas " sahut Sekar Mirah " Derma yang gemuk itu. "
Demikianlah, maka segalanya telah siap. Para murid Ki
Ajar itu telah menyiapkan tubuh gurunya yang terbunuh
dipeperangan itu melawan Agung Sedayu. Sementara yang
lainpun, termasuk Agung Sedayu telah bersiap pula.
" Kami juga akan bersama Kiai " jawab Agung Sedayu.
" Kau perlu segera beristirahat " sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
bertanya " Lalu apa kata Guru jika orang-orang padukuhan
yang guru lewati itu bertanya" "
Kiai Gringsing memandang Ki Jayaraga sejenak. Namun Ki
Jayaragalah yang menjawab " Biarlah aku yang memberikan
keterangan. Aku akan mengatakan bahwa telah terjadi
kecelakaan. Kami akan melaporkannya kepada Ki Gede."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
menduga bahwa Ki Jayaraga tentu akan berkata sebagaimana
adanya. Tetapi karena Ki Jayaraga sudah banyak dikenal oleh
orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka agaknya tidak
akan ada kesulitan baginya meskipun ia berkata sebenarnya.
Demikianlah, maka atas desakan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga, maka Agung Sedayupun telah mendahului
dipunggung kudanya bersama Sekar Mirah dan Pandan
Wangi. Tetapi karena keadaan tubuh Agung Sedayu yang
masih lemah dan nyeri dibeberapa bagian, maka mereka
bertiga tidak berpacu terlalu cepat. Kuda mereka berlari kecil
menyusuri jalan bulak dan padukuhan. Sementara itu Agung
Sedayu mengenakan kain rangkap dan baju agak kebesaran.
Tetapi perjalanannya tidak banyak menarik perhatian.
Apalagi bersamanya adalah Sekar Mirah, isteri Agung Sedayu
dan Pandan Wangi, satu-satunya anak perempuan Ki Gede
Menoreh. Sekali-sekali mereka memang harus berhenti menjawab
beberapa pertanyaan. Namun Agung Sedayu selalu berusaha
menyembunyikan perasaan sakit dan pedihnya. Apalagi ketika
angin yang sejuk telah mengusap tubuhnya, maka rasarasanya
perlahan-lahan perasaan pedih itupun semakin susut.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berjalan
dibelakang keempat orang yang membawa tubuh gurunya.
Sebenarnyalah bahwa banyak orang yang bertanya tentang
tubuh itu. Namun seperti yang diduga oleh Agung Sedayu,
maka Ki Jayaraga tidak bersama untuk berbohong.
" Satu pertarungan maut " jawab Ki Jayaraga " orang ini
menantang Agung Sedayu berperang tanding. Adalah
nasibnya yang buruk. Akhirnya orang itu terbunuh."
" Bagaimana dengan Agung Sedayu" " bertanya
seseorang. " Ia sudah kembali lebih dahulu bersama isterinya dan
Pandan Wangi " jawab Ki Jayaraga.
" Ya. Aku tadi melihat Agung Sedayu lewat " sahut
seseorang. Demikianlah, setiap pertanyaan selalu mendapat jawaban
yang sama. Ki Jayaraga tidak mau mempersulit diri dengan
menyusun jawaban-jawaban yang harus dika-rangkannya.
Dengan demikian maka berita tentang perang tanding itu
cepat menjalar di, Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang dan
apalagi setiap anak mudapun telah membicarakannya.
Bahkan para pemimpin kelompok pengawal Tanah
Perdikan tidak datang kerumah Agung Sedayu untuk
mendapat keterangan yang jelas tentang tubuh itu.
Namun ketika anak-anak muda itu datang kerumah Agung
Sedayu, maka Agung Sedayu itupun memberitahukan kepada
mereka, bahwa tubuh itu telah dibawa ke rumah Ki Gede.
" Tubuhku terasa sangat letih oleh perang tanding itu "
berkata Agung Sedayu " Ki Ajar memiliki ilmu yang sangat
tinggi, yang hampir saja melumatkan tubuhku. Itulah, karena
kecemasanku tentang diriku sendiri, aku telah membunuhnya
diluar kesadaranku. "
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka
mengerti bahwa Agung Sedayu memerlukan beristirahat.
Karena itulah, maka merekapun tidak terlalu lama berada dirumahnya.
Anak-anak muda itu langsung menuju kerumah Ki
Gede untuk mendapat sekedar keterangan tentang orang
yang terbunuh itu. Ki Jayaragalah yang kemudian menjelaskan kepada
mereka, apa yang terjadi dengan Agung Sedayu, dan apa
yang terjadi dengan orang itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang
diantara mereka berdesis " Kenapa Agung Sedayu tidak
memberi isyarat kepada kami. "
Kawannya tiba-tiba saja membentaknya " Buat apa
memberi isyarat kepada kita. Jika demikian maka tentu akan
jatuh korban diantara kita. Tetapi jika orang itu
diselesaikannya sendiri, maka tidak akan ada korban yang
jatuh. - " Tetapi Agung Sedayu sendiri terluka " desis yang
pertama. " Bukankah lukanya tidak berbahaya" Ia mempunyai ilmu
kebal yang dapat melindungi kulitnya dari luka. Mungkin
perasaan sakit dapat menyusup ilmu kebalnya. Tetapi kulitnya
tetap tidak terluka sama sekali " jawab kawannya.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan apapun lagi. Dengan peristiwa itu, maka kekaguman anak-anak
Menoreh kepada Agung Sedayu menjadi semakin bertambahtambah.
Mereka menganggap bahwa Agung Sedayu termasuk
salah seorang diantara mereka yang sulit untuk dikalahkan,
meskipun Agung Sedayu termasuk seorang yang masih
muda. Dalam pada itu, dirumahnya Agung Sedayu memang
berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Dengan cairan
obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuh Agung Sedayu
yang dibasahi oleh Sekar Mirah terasa menjadi baik.
Sementara itu Pandan Wangi yang ikut berada di rumah itu,
telah membantu Sekar Mirah dengan merebus air.
" Aku akan membuat minuman panas " berkata Pandan
Wangi " mudah-mudahan tubuh Agurig Sedayu menjadi
semakin baik. Sebenarnyalah ketika ia kemudian meneguk minuman
hangat, memang terasa tubuhnya menjadi semakin tegar.
Maka keringat kemudian mengalir, maka perasaan pedih dan
nyeri itu bagaikan telah hanyut karenanya.
Sementara itu, atas perintah Ki Gede, maka beberapa
orang pengawai Tanah Perdikan telah membantu keempat
murid Ki Ajar itu untuk menguburkan gurunya. Ternyata Ki
Gede telah mengijinkan mayat itu dikubur agak terpisah, agar
mudah dikenali, meskipun masih tetap berada didalam batas
pekuburan. Sebuah batu yang agak besar telah dijadikan pertanda
pada kuburan itu. Kemudian ditanaminya sebatang pohon
semboja dibawah kuburan itu.
Hari itu, Agung Sedayu benar-benar beristirahat untuk
memulihkan keadaannya. Sementara itu keempat orang murid
Ki Ajar telah disimpan disebuah ruangan khusus di rumah Ki
Gede. Namun dengan demikian, maka harus ada orang-orang
khusus yang mengawasi mereka, karena mereka adalah
orang-orang yang berilmu tinggi.
Namun orang-orang yang berilmu tinggi itu tidak dapat
berbuat apa-apa dihadapan para pemimpin Tanah Perdikan
Menoreh. Mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
hampir tanpa tanding. Mereka sama sekali tidak tahu apa
yang terjadi atas diri mereka pada saat mereka harus
bertempur melawan orang tua itu. Dua orang murid Ki Ajar
sama sekali tidak mengerti, bagaimana caranya kedua orang
tua itu melumpuhkan mereka.
Selagi orang-orang itu menjadi tawanan di Tanah Perdikan,
maka Ki Jayaraga terpaksa berada di rumah Ki Gede.
Bersama Pandan Wangi orang tua itu mendapat tugas untuk
mengamati para tawanan disamping sekelompok pengawal
terpilih. Tetapi agaknya keempat orang itu sama sekali tidak berniat
untuk berbuat sesuatu. Namun demikian Ki Gede selalumemperingatkan kepada
para pengawal yang bertugas " Jangan lengah. Mungkin
mereka sengaja memberikan kesan bahwa mereka sudah
tidak berniat untuk berbuat apa-apa. Baru jika kalian lengah,
maka mereka berusaha untuk lepas dari tangan kalian. "
Karena itulah, maka para pengawalpun selalu mengamati
keempat tawanan mereka dengan hati-hati. Apalagi mereka
menyadari, bahwa keempat orang itu akan dengan mudah
dapat menghancurkan dinding. Bahkan dinding yang sekuat
apapun. Setiap kelompok pengawal, selalu menempatkan orangorangnya
dibeberapa sisi dari bilik tahanan yang khusus itu.
Tetapi nampaknya keempat orang itu memang tidak akan
melarikan diri. Untuk menekan setiap rencana yang dapat mengacaukan
para pengawal, maka setiap kali Ki Jayaraga atau Kiai
Gringsing atau Agung Sedayu sendiri yang telah menjadi pulih
kembali, menjenguk mereka berganti-ganti. Dengan demikian
maka keempat orang itu merasa bahwa mereka selalu diawasi
oleh orang-orang berilmu tinggi itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Kiai Gringsing,. Ki
Jayaraga dan Ki Gede telah membicarakan, apakah yang
akan mereka lakukan terhadap keempat orang itu.
" Kita akan mengalami kesulitan jika mereka tetap kita
simpan disini. Kita tidak mempunyai tempat yang memadai
yang dinding-dindingnya diperbuat dengan batang-batang besi
apalagi baja. Atau setidaknya batu " berkata Ki Gede.
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing " jika demikian maka
sebaiknya orang-orang itu kita bawa ke Mataram. Kita akan
menyerahkan keempat orang itu sekaligus memberikan
laporan tentang perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih. "
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya " Jika
demikian aku sependapat Kiai. Mungkin Mataram memiliki
tempat yang lebih baik dan memiliki Senapati yang berilmu
tinggi, sehingga keempat orang itu bagi Mataram tidak
menjadi masalah lagi. Tetapi untuk membawanya ke Mataram
diperlukan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Karena
akan dapat terjadi kemungkinan yang tidak dikehendaki
diperjalanan. " " Biarlah aku bawa bersama saat aku kembali ke Jati Anom
Ki Gede. Pandan Wangipun telah terlalu lama meninggalkan
suaminya. Melampaui waktu yang sudah dijanjikan " berkata
Kiai Gringsing. "- Tetapi Swandaru tidak akan berkeberatan, karena
Pandan Wanefi berada dirumahnya sendiri " jawab Ki Gede.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Tetapi Swandaru dapat saja menjadi gelisah, karena ia
dapat menduga, bahwa ada kemungkinan terjadi sesuatu
diperjalanan sehingga Ki Gede menganggap bahwa Pandan
Wangi telah berada di Sangkal Putung, sementara itu ternyata
ia masih belum sampai " berkata Kiai Gringsing.
Ki Gede mengangguk-angguk, la memang tidak akan dapat
menahan Pandan Wangi lebih lama lagi. Tetapi ia masih juga
bertanya tentang keempat orang itu " Kiai, apakah Kiai akan
membawa keempat orang itu hanya berdua dengan Pandan
Wangi" " Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya
" Aku akan minta Ki Jayaraga dan Agung Sedayu bersama
kami ke Mataram, menghadap Panembahan Senapati. Atau
jika Panembahan kebetulan tidak ada di istana, atau sedang
sibuk, kami dapat menemui Ki Juru Martani yang bergelar Ki
Patih Mandaraka. " Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sama sekali tidak
berkeberatan. Mereka memang juga merasa berkewajiban
untuk datang menghadap. Apalagi Agung Sedayu.
Karena itu, maka mereka memutuskan bahwa dalam waktu
dekat, keempat orang itu akan dibawa ke Mataram.
" Namun sebelumnya mungkin kita akan dapat berbincang
dengan mereka " berkata Kiai Gringsing. Lalu " Mungkin
orang-orang yang menyebut dirinya berasal dari Watu Gulung
itu mengenali padepokan yang disebut Nagaraga. "
Ki Gede sependapat. Memang mungkin mereka akan dapat
diajak berbicara serba sedikit tentang perguruan Nagaraga,
karena mereka juga berasal dari Timur sebagaimana orangorang
Nagaraga yang pernah berusaha untuk mencari
penyelesaian dengan jalan pintas. Membunuh Panembahan
Senapati. Karena itu, maka merekapun telah menentukan waktu yang
paling baik untuk berbicara dengan keempat orang itu,
sementara Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah
mempersiapkan pula perjalanan kembali ke Sangkal Putung.
Akhirnya, waktu itu tiba. Kiai Gringsing dan Pandan Wangi
telah menentukan, bahwa mereka akan kembali ke Sangkal
Putung dikeesokan harinya. Disaat matahari terbit. Akan
bersama mereka Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.
Namun mereka hanya akan sampai ke Mataram untuk
menyerahkan keempat orang yang mereka tangkap itu.
Tetapi karena mereka akan berjalan bersama Pandan
Wangi, serta agar tidak seorang diri dirumah, maka Sekar
Mirah dalam perjalanan itu akan ikut pula.
Namun sebelum dikeesokan harinya keempat orang itu
akan dibawa ke Mataram, maka malam itu keempat orang itu
akan diajak berbicara oleh Ki Gede dengan beberapa orang
lainnya yang ikut memimpin Tanah Perdikan Menoreh itu.
Ketika keempat orang itu dipanggil menghadap, maka
keempat orang itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka
tidak tahu apakah maksud Ki Gede memanggil mereka.
Meskipun mereka sudah mengira bahwa agaknya Ki Gede
akan berusaha untuk mengetahui sejauh-jauhnya tentang diri
mereka berempat. Sejenak kemudian maka mereka berempat sudah berada di
pringgitan. Dengan jantung yang berdebaran mereka melihat
disebelah Ki Gede itu duduk beberapa orang yang memang
mereka segani. Diantara mereka nampak Kiai Gringsing, Ki
Jayaraga, Agung Sedayu yang telah membunuh guru mereka,
kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
" Marilah Ki Sanak " dengan ramah Ki Gede
mempersilahkan. Satu sikap yang membuat keempat orang itu
semakin berdebar-debar, karena mereka mengenali orang
yang menilik sikapnya terlalu ramah, namun tiba-tiba segera
berubah menjadi seekor singa, apabila orang itu sudah
mengajukan pertanyaan dan tidak terjawab sebagaimana
keinginannya. " Ki Sanak " berkata Ki Gede seterusnya " ketahuilah,
bahwa kami telah memutuskan, bahwa besok akan kami
antarkan ke Mataram. Kalian akan kami titipkan dan bahkan
kami serahkan kepada Panembahan Senapati, karena kami
tidak mempunyai tempat yang memadai bagi Ki Sanak
berempat. " Keempat orang itu terkejut. Yang tertua dengan serta merta
telah bertanya " Pertimbangkan apakah yang telah mendorong
Ki Gede untuk melakukan hal itu" "
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian
jawabnya " Ada berbagai pertimbangan. Persoalan yang
terjadi itu mula-mula bersumber pada perselisihan antara
kalian dengan dua orang anak muda. Seorang diantaranya
adalah Glagah Putih, sepupu dan memang anak itu berada
dibawah tanggung jawab Agung Sedayu. Sedang anak muda
yang lain adalah Raden Rangga, putera Panembahan
Senapati. Sedangkan pertimbangan yang lain adalah, seperti
yang sudah aku katakan, disini kami tidak mempunyai tempat
yang memadai. " " Ki Gede, tempat yang Ki Gede berikan kepada kami
sudah cukup memadai. Tetapi kami mengerti, mungkin Ki
Gede mencemaskan bahwa kami akan melarikan diri " berkata
yang tertua diantara mereka. Lalu " Ki Gede, kami berjanji
bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa sampai Ki Gede
mengambil keputusan, hukuman apakah yang akan Ki Gede
jatuhkan kepada kami. Kami sudah berjanji untuk melakukan
semua hukuman dengan ikhlas, bahkan hukuman mati
sekalipun, karena kami memang merasa bersalah Kamipun
merasa heran, bahwa kami tidak dibunuh pada saat-saat
pertempuran itu terjadi di hutan pandan. Dengan demikian
kami merasa, bahwa kami memang jatuh ke-tangan orangorang
yang memiliki kematangan jiwa. Karena itu, maka kami
mohon agar kami tetap berada disini sambil menunggu
hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami. "
" Tidak Ki Sanak " berkata Ki Gede " kami tidak akan
menjatuhkan hukuman apapun. Semuanya terserah kepada
Mataram. Tetapi agaknya Matarampun tidak akan
menjatuhkan hukuman yang semena-mena. "
Keempat orang itu memang menjadi semakin berdebardebar.
Tetapi Ki Gede berkata selanjutnya " tetapi yakinkanlah
diri kalian, bahwa Panembahan Senapati akan bertindak adil.
Apalagi kalian tidak menciderai puteranya yang bernama
Raden Rangga itu. " Murid-murid Ki Ajar itu hanya dapat menundukkan
kepalanya. Mereka agaknya memang tidak akan dapat
mengusulkan sikap apapun yang pantas diperlakukan atas
mereka sendiri. Namun dalam pada itu, Ki Gedepun kemudian berkata
"Tetapi Ki Sanak. Sebelum kami besok mengantar kalian ke
Mataram, kami ingin sedikit mendapat beberapa penjelasan
tentang sesuatu yang mungkin Ki Sanak ketahui. "
Murid-murid Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Itulah
yang mereka cemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tentu
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menyulitkan kedudukan mereka diantara orang-orang yang
berilmu tinggi itu. " Ki Sanak " berkata Ki Gede pula " aku mohon kalian dapat
memberikan penjelasan kepada kami. Sebenarnyalah ada
yang ingin kami ketahui tentang daerah sebelah Timur yang
agak buram itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas." Keempat orang itu justru menarik nafas dalam-dalam.
Namun mereka memang merasa bahwa mereka tidak akan
dapat ingkar dari persoalan itu. Memang terbersit juga
perasaan kecewa dan menyesal, bahwa mereka telah
menelusuri kematian seorang saudara seperguruannya,
sehingga akhirnya mereka justru terjebak dalam persoalan
yang rumit itu. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Dan mereka berempat
sudah berada di dalam tahanan orang-orang Tanah Perdikan
Menoreh. Segala macam ilmu mereka yang dianggap sudah
cukup memadai itu, ternyata tidak banyak berarti di Tanah
Perdikan Menoreh, yang dianggapnya semula tidak lebih dari
padukuhan-padukuhan dan padesan pada umumnya
meskipun dalam kedudukan Tanah Perdikan. Namun ternyata
di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang aneh yang tidak
pernah dibayangkannya sebelumnya.
" Ki Sanak " suara Ki Gede tetap lunak. Namun terasa
menggetarkan jantung keempat orang itu. Ki Gede yang tidak
turun ke medan itu tentu juga orang yang pilih tanding Pandan
Wangi adalah muridnya, sekaligus satu-satunya anaknya, "
Yang ingin kami tanyakan, kegiatan apakah yang sedang
kalian lakukan selama ini. Apapula yang telah terjadi sehingga
Glagah Putih dan Raden Rangga telah membunuh seorang
diantara kalian. Murid Ki Ajar yang terlibat langsung dalam pertentangan
dengan Raden Rangga dan Glagah Putih itu menjadi semakin
berdebar-debar. Namun agaknya saudaranya yang tertualah
yang menjawab " Ki Gede. Persoalan itu timbul di sebuah
padukuhan. Agaknya memang tanpa sebab, Raden Rangga
dan Glagah Putih adalah anak-anak muda, sementara
saudara seperguruan kami adalah mereka yang masih pada
tataran tengahan yang nampaknya masih selalu ingin
menunjukkan kelebihannya. Itulah agaknya yang telah
mendorong mereka berbenturan. Sehingga akhirnya seorang
diantara saudara kami itu terbunuh. "
Ki Gede termangu-mangu. Sementara itu, salah seorang
murid Ki Ajar yang terlibat langsung itu masih saja berdebardebar.
Tetapi tentu saja tidak akan dapat mengatakan, bahwa
kedatangan kedua orang murid di padukuhan itu dan
kemudian seharusnya di beberapa padukuhan lain adalah
dalam rangka mempersiapkan jalur jalan dan persediaan yang
harus dikumpulkan menjelang perjalanan pasukan dari Timur.
Termasuk daerah subur yang mempunyai persediaan
makanan, Karena diperhitungkan bahwa untuk menjatuhkan
Mataram sudah tentu tidak akan dapat dilakukan dalam satu
dua hari atau satu dua pekan. Sehingga diperlukan bahan
makan yang cukup banyak bagi prajurit yang tidak terhitung
jumlahnya. " Itulah yang terjadi" " suara Ki Gede terasa semakin berat
menekan perasaan mereka. Keempat orang itu memang menjadi semakin gelisah.
Memang Ki Gede nampaknya tidak berbuat kasar. Tetapi
rasa-rasanya sesuatu memang dapat terjadi atas mereka.
Namun akhirnya Ki Gede itulah yang bertanya lagi " Ki
Sanak. Menurut pengamatanku, kalian sudah bukan anakanak
lagi sebagaimana Raden Rangga dan Glagah Putih.
Namun dalam pada itu, akupun yakin bahwa bukan Glagah
Putih dan Raden Rangga yang mendahului membuat
persoalan, karena aku kenal betul dengan mereka. Nah, coba
sebutkan, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Ki Ajar,
guru kalian telah memaksa diri untuk membela muridnya itu. "
Yang tertua diantara keempat murid Ki Ajar itu mencoba
untuk menjawab " Ki Gede. Jika kami ikut campur dalam
pertikaian ini, adalah semata-mata karena harga diri dari
perguruan kami yang kemudian kami sadari, agak berlebihan.
Namun bagaimanapun juga kami menyessi, namun semuanya
itu memang tidak akan ada artinya lagi. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi keempat orang itu
menyadari bahwa jawaban itu sama sekali tidak memberikan
kepuasan kepada pemimpin Tanah Perdikan Menoreh Itu.
Sementara itu Kiai Gringsingpun telah bertanya " Ki Sanak.
Bagaimana hubungan antara peristiwa yang terjadi itu dengan
rencana kalian" Apakah benar kalian hanya ingin bertemu
dengan Glagah Putih dan menyelesaikan persoalan yang
terjadi itu dengan Glagah Putih saja" "
" Jika kami dapat bertemu dengan Glagah Putih, maka
persoalan kami memang akan terbatas " jawab murid tertua Ki
Ajar. " Tetapi kalian tahu, bawa Ki Ajar, guru kalian, telah ikut
campur. Mungkin karena harga diri atau dengan alasan
apapun. Apakah dengan demikian kalian tidak
memperhitungkan, meskipun seandainya kalian dapat
bertemu dengan Glagah Putih, bahwa gurunya pun akan ikut
campur " bertanya Kiai Gringsing
" Itu sudah kami perhitungkan " jawab murid Ki Ajar itu "
tetapi kami memang salah hitung. Kami mengira bahwa kami
cukup kuat untuk menghadapi siapapun juga. Termasuk guru
Glagah Putih. Kami tidak mengira sama sekali, bahwa orang
yang disebut Agung Sedayu itu mampu mengalahkan guru. "
" Baiklah Ki Sanak " berkata Agung Sedayu kemudian kami
tidak akan terlalu banyak mendesak tentang diri kalian,
perguruan kalian atau persoalan kalian. Tetapi kami minta
kalian bersedia sedikit berbicara tentang sebuah perguruan
lain. Bukan Watu Gulung. "
Keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Apalagi
mereka menyadari bahwa mereka akan dibawa ke Mataram.
Persoalan yang sama tentu akan dipersoalkan lagi.
Dalam pada itu, Agung Sedayu berkata selanjutnya " Ki
Sanak. Sebenarnya yang ingin kami ketahui adalah perguruan
Nagaraga. Kami dapat menghubungkan langkah yang kalian
ambil dengan langkah yang diambil oleh orang-orang dari
perguruan Nagaraga. Karena itu, kami ingin penjelasan kalian,
apakah kalian memang mempunyai hubungan dengan
perguruan itu atau tidak. Atau malahan kalian merupakan
bagian dari perguruan itu. Watu Gulung sekedar kau sebut
tanpa arti sama sekali" "
Keempat orang itu terkejut. Sejenak mereka saling
berpandangan. Ketika murid tertua Ki Ajar itu memandang
wajah Agung Sedayu, nampaknya wajah itu bersungguhsungguh.
Ketika mereka memandang wajah-wajah yang lain,
maka wajah-wajah itupun nampak bersungguh-sungguh pula.
Dengan dana berat murid tertua Ki Ajar itu bertanya " Apa
persoalan antara Tanah Perdikan ini dengan Perguruan
Nagaraga" " " Apapun " jawab Agung Sedayu " tetapi apakah benar
kalian memang orang-orang Nagaraga" "
Murid tertua itu menggeleng sambil menjawab " Bukan.
Kami bukan orang Nagaraga. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang
itu memang tidak mengenakan ciri orang-orang Nagaraga.
Mereka tidak memakai ikat pinggang sebagaimana dipakai
oleh orang-orang Nagaraga yang terbunuh oleh Raden
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga dan Glagah Putih pada saat mereka berusaha
mengakhiri nyawa Panembahan Senapati.
Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat memastikan
bahwa mereka bukan orang-orang Nagaraga, Setiap orang
dapat saja melepaskan ciri-ciri pada dirinya jika mereka
sampai pada satu saat untuk keselamatan dirinya atau
sengaja mengadakan penyamaran.
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " jika kalian bukan
orang Nagaraga, maka tolong, katakan kepada kami sesuatu
mengenai perguruan itu. Jika kalian berkata dengan jujur,
maka kami tidak akan menelusuri perguruan kalian sendiri. "
Keempat murid Watu Gulung itu nampak menjadi bimbang.
Namun kemudian yang tertua, yang mewakili gurunya itu
berkata " Kami justru sedang bersaing dengan perguruan
Nagaraga. " " Bersaing tentang apa" " desak Agung Sedayu.
Murid Ki Ajar itu terdiam. Baru disadarinya bahwa ia akan
dapat terperosok kedalam kesulitan jika ia menyebut
persaingannya dengan perguruan Nagaraga. Persaingan
dalam pengertian yang kurang baik bagi Mataram. Karena
kedua perguruan itu sedang berebut pengaruh di daerah
Timur yang kemelut. Karena itu, maka dengan serta merta murid tertua Ki Ajar
itu menjawab " Kami memang bersaing dalam pengembangan
ilmu. Hubungan kami dengan perguruan Nagaraga agak
kurang baik. Sewaktu-waktu persoalan diantara kami akan
dapat meledak. Itulah sebabnya kami harus mempersiapkan
diri sebaik-baiknya " suaranya tiba-tiba merendah " tetapi
semuanya sudah berlalu. Kini kami tidak akan dapat berbuat
sesuatu lagi terhadap perguruan Nagaraga. Kini guru sudah
tidak ada lagi. " " Apakah ada semacam dendam diantara kalian" " tiba-tiba
saja Ki Jayaraga bertanya.
" Semacam itu. Tetapi sebenarnyalah kami hanya ingin
disebut yang terbaik mula-mula. Tetapi kemudian
perkembangannya menjadi semakin keras, sehingga
mengarah kepada permusuhan. " jawab murid tertua Ki Ajar
itu. " Bagus " tiba-tiba saja Agung Sedayu beringsut " apakah
dalam hubungan yang serasi atau justru kalian
bermusuhan,namun satu hal yang kami perlukan, bahwa
kalian mengetahui letak perguruan itu. "
Murid tertua Ki Ajar itu termangu-mangu. Ia sadar bahwa
pertanyaan kemudian adalah dimana letak perguruan
Nagaraga itu. Untuk beberapa saat murid Ki Ajar itu berpikir. Apakah ia
akan mengatakannya atau tidak. Meskipun ia tidak tahu
persoalan apa yang telah timbul antara perguruan Nagaraga
dengan Tanah Perdikan Menoreh, namun kesannya bahwa
antara perguruan Nagaraga dan Tanah Perdikan Menoreh
telah terjadi sesuatu yang merentangkan jarak antara
keduanya. Tiba-tiba saja murid Ki Ajar itu berkata didalam hatinya
"Apakah justru Glageb Putih dan Raden Rangga itu sedang
dalam perjalanan menuju ke perguruan Nagaraga" "
Sejenak murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun
kemudian ia merasakan menurut firasatnya, bahwa Tanah
Perdikan menoreh menaruh dendam terhadap perguruan
Nagaraga. " Watu Gulung sudah tidak mempunyai kekuatan dengan
terbunuhnya guru " berkata murid tertua itu didalam hatinya
"jika ada orang lain yang membantu memperkecil arti
perguruan Nagaraga, maka bersama-sama tidak berarti bagi
Bang Wetan. " " Kenapa kau diam saja" " desak Agung Sedayu.
" Baiklah " berkata murid tertua itu " bagaimanapun juga,
kami memang tidak akan dapat ingkar, bahwa kami
mengetahui letak dan perkembangan perguruan Nagaraga
itu." " Apa yang dapat kalian katakan tentang perguruan itu" "
bertanya Agung Sedayu pula.
" Perguruan itu tidak banyak berarti diluar padepokannya.
Tetapi didalam padepokannya, Nagaraga merupakan satu
perguruan yang pilih tanding. " jawab murid tertua itu.
" Kenapa begitu" " bertanya Agung Sedayu.
" Ada semacam sumber kekuatan yang memancar dari
pusat perguruannya itu " jawab murid Ki Ajar " Kekuatan itu
memang dapat memberi bekal setiap murid dari perguruan
Nagaraga. Tetapi semakin lama bekal itu semakin pudar,
sehingga karena itu maka setiap kali setiap murid dari
perguruan Nagaraga harus memperbaharui kekuatannya itu. "
" Apakah sumber kekuatan itu" " bertanya Agung Sedayu.
" Seekor ular naga " jawab murid tertua Ki Ajar itu.
" Ular Naga" Patung atau ujud yang lain" " bertanya Agung
Sedayu pula. Murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun katanya " Aku
tidak tahu pasti, apakah benar Ular Naga itu menjadi sumber
kekuatan atau sekedar menurut perasaan orang-orang
Nagaraga saja." Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu termangumangu.
Namun kemudian Agung Sedayupun bertanya sekali
lagi " Tetapi kau belum mengatakan tentang Naga itu. Seekor
naga sebenarnya ular yang besar atau patung atau ujud yang
lain yang disebutnya naga. "
Murid tertua Ki Ajar itu menjawab " Ular, Sebenarnya ular
yang besar. Yang menurut kata orang, ular itu memakai
sumping diatas telinganya dan semacam mahkota di
kepalanya. Lidahnya yang panjang bercabang satu seperti api
yang memancar jika lidah itu terjulur. Dari matanya bagaikan
memancar sinar maut yang membunuh lawan-lawan para
penghuni padepokan yang dibuat oleh perguruan Nagaraga
itu, tetapi memancarkan sinar kehidupan bagi murid-murid
perguruan Nagaraga. Seorang murid dari perguruan ini akan
bertapa di depan goa yang menjadi sarang dari ular itu untuk
mendapatkan bekal kekuatan apabila hendak bertugas keluar.
Kekuatan yang akan dapat melipatkan kekuatan dan
kemampuan mereka yang sebenarnya. Namun hanya berlaku
untuk waktu tertentu. "
Keterangan itu telah membuat Kiai Gringsing, Agung
Sedayu dan orang-orang lain yang mendengar keterangan itu
menjadi tegang. Dengan nada tinggi Agung Sedayu bertanya
"Jadi, di padepokan orang-orang Nagaraga itu terdapat seekor
ular yang besar" "
" Ya. Ular yang dianggap sebagai Dewa oleh orang-orang
dari perguruan Nagaraga " jawab murid Ki Ajar itu.
" Dewa" Jadi masih saja ada orang yang menyembah ular
sebagai Dewa" " desis Ki Gede.
" Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Nagaraga sejauh
kami ketahui " jawab orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya " Baiklah Ki Sanak. Tetapi kami ingin mengetahui di
manakah letak padepokan dari perguruan Nagaraga ini"
Apakah di lereng Gunung Lawu atau dimana" "
" Dahulu " jawab murid Ki Ajar " tetapi pada dasarnya
mereka mengikuti ular yang di Dewakan itu kemana ular itu
pergi. Pada satu ketika ular itu turun dari lereng Gunung Lawu.
Menyusuri Kali Lanang, sehingga membuat penghuni
padukuhan disebelah-menyebelah Kali Lanang menjadi
gempar. Namun kemudian ular yang besar itu telah naik
tebing dan memisahkan diri dengan arus Kali Lanang menuju
ke sebuah padang perdu. Kemudian seperti memang sudah
diketahui dengan pasti sebelumnya, ular itu masuk kedalam
goa yang cukup luas, meskipun tidak begitu dalam. Goa itu
terletak diarah Utara padukuhan Ngrambe. Namun masih
disekat oleh sebuah hutan yang tidak begitu luas tetapi cukup
lebat dan pepat. Karena itu, maka untuk menuju ke goa itu
dari Ngrambe harus ditempuh jalan melingkar, lewat tanggul
Kali Lanang. " Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Ki Gede bertanya " Apakah kau sudah
pernah melihat tempat itu" "
" Belum pernah terlalu dekat. Tetapi aku telah mengetahui
arah padepokan itu. Bagi orang-orang disekitarnya padepokan
itu bukan merupakan tempat yang dirahasiakan. Tetapi goa itu
kemudian berada di dalam padepokan, dilingkari oleh barakbarak
yang memang tidak terlalu banyak dan berjarak agak
jauh, sehingga padepokan itu merupakan padepokan yang
luas. Di sekitar goa itu terdapat kebun dan pategalan.
Kemudian di dalam padepokan itu juga terdapat peternakan.
Pada saat-saat tertentu, seekor kambing telah dikorbankan
untuk memberi makan kepada ular yang besar yang berada di
goa itu. " " Jadi padepokan itu dibuat setelah ular itu berada di dalam
goa" " bertanya Agung Sedayu.
" Ya " jawab murid Ki Ajar itu " jika pada satu saat ular itu
berpindah lagi, maka perguruan Nagaraga pun akan
berpindah, bahkan seandainya menyeberangi bengawan
sekalipun. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Ki Gede " Ki Gede. Aku kira beberapa hal
yang kita perlukan sudah kita tanyakan. Kita tidak tahu apakah
ia memberikan keterangan dengan jujur. Namun kita akan
dapat membuktikan apakah keterangannya benar atau tidak "
berkata Agung Sedayu. Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya " Aku
kira bagi kita disini sudah cukup. Mungkin masih ada
beberapa pertanyaan yang akan diajukan oleh Panembahan
Senapati di Mataram besok. "
Ketika Agung Sedayu memandang sekilas wajah-wajah
para murid Ki Ajar itu, nampak kecemasan membayang.
Namun mereka berusaha untuk menyembunyikan
perasaannya, meskipun Agung Sedayu kemudian berkata
"Panembahan Senapati tidak akan berbuat apa-apa, asal
kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur."
Murid tertua Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Ki Gedepun berkata " Baiklah Kalian dapat
beristirahat. Besok kalian akan berangkat. "
Demikianlah, maka setelah keempat murid itu dikembalikan
ke tempat tahanannya, maka Ki Gedepun masih juga bericara
beberapa saat. Agaknya keterangan murid Ki Ajar itu memang
membuat orang orang di Tanah Perdikan itu gelisah. Karena
membayangkan bahwa Glagah Putih dan Raden Rangga telah
melingkar-lingkar di daerah yang luas dan belum pernah
dikenalnya. Jika mereka pada satu saat menemukan
perguruan Nagaraga, maka mereka akan terjebak kedalam
satu perguruan yang kuat.
" Pesan Panembahan Senapati, mereka hanya
diperintahkan untuk mengenali dan mengetahui serba sedikit
tentang perguruan itu. Mereka tidak mendapat perintah untuk
bertindak atas padepokan itu " berkata Agung Sedayu " tetapi
mengingat sifat dan watak Raden Rangga, maka
persoalannya mungkin akan berkembang. Atau bahkan
menentukan. " " Jadi bagaimana pendapatmu" " bertanya Kiai Gringsing.
" Guru apakah kita membiarkan saja semuanya itu akan
terjadi" " bertanya Agung Sedayu
JILID 214 KIAI GRINGSING termangu-mangu. Tetapi ia menangkap
niat yang terbersit dihati Agung Sedayu. Karena itu, maka
iapun justru bertanya, " Jadi, apakah yang sebaiknya harus
kita lakukan menurut pendapatmu " "
Agung Sedayu memandang orang-orang yang berada di
ruang itu. Namun kemudian sambil menarik nafas dalamdalam
ia berdesis, " Aku memang merasa ragu-ragu. Tetapi
ada satu keinginan yang mendesak, untuk pergi ke Timur."
" Aku sudah mengira." berkata Kiai Gringsing, " tetapi
terserah kepada kalian, apakah sebaiknya kita pergi?"
" Menilik gerak perguruan Nagaraga di Mataram, maka
perguruan itu memiliki pengikut yang banyak sekali." berkata
Agung Sedayu. Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, " Aku tidak
yakin. Perguruan itu bukan perguruan yang mempunyai
pengikut tidak terhitung mengingat keterangan murid Ki Ajar.
Barak di padepokan itu hanya sedikit di sebelah menyebelah
goa itu. Tetapi yang banyak adalah gerombolan-gerombolan
yang dimanfaatkannya. Mereka tidak berada di padepokan itu.
Tetapi mereka berada di sarang-sarang mereka masingmasing.
Mungkin beberapa kelompok perampok atau
penyamun atau orang-orang yang merasa mempunyai sedikit
kekuatan dan terikat oleh satu lingkungan atau keluarga atau
ikatan apapun. Atau perguruan Nagaraga memang sudah
berhubungan dengan kekuatan Bang Wetan yang tidak mau
tunduk kepada perintah Panembahan Senapati di Mataram."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, Katanya, " Masih
banyak yang mungkin dapat didengar dari para murid Ki Ajar."
" Ya. Tetapi biarlah kita mendengarnya bersama
Panembahan Senapati di Mataram. Mudah-mudahan orangorang
itu berbicara berterus terang." desis Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga hanya mengangguk-angguk saja. Namun tibatiba
ia berkata, " Aku akan ikut bersama kalian jika pergi ke
Timur." Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Ki
Gede berkata, " Jika kalian semuanya pergi, maka Tanah
Perdikan ini akan menjadi kosong."
" Mudah-mudahan tidak terlalu lama." desis Agung
Sedayu, " kami sudah mendapat ancar-ancar kemana kami
harus pergi." Ki Gedepun kemudian memandang Sekar Mirah yang
menjadi tegang, " Bagaimana pendapatmu Sekar Mirah?"
Sekar Mirah termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "
Ada dua tanggapan yang saling bertentangan di hatiku
KiGede. Mengingat Glagah Putih dan Raden Rangga yang
menempuh perjalanan berbahaya itu, aku memang
menganggap bahwa perlu ditelusuri perjalanannya. Tetapi
dilain pihak, aku mencemaskan kakang Agung Sedayu
mengingat kekuatan perguruan Nagaraga itu. Dengan
demikian maka aku menjadi bimbang, manakah yang lebih
baik dilakukan oleh kakang Agung Sedayu."
Ki Jayaragalah yang dengan serta merta menyahut. " Ki
Gede. Aku kira Agung Sedayu tidak perlu pergi. Biarlah aku
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Kiai Gringsing sajalah yang pergi. Aku juga mempunyai
tanggung jawab atas Glagah Putih, karena iapun muridku.
Sementara itu, Agung Sedayu akan dapat diwakili oleh Kiai
Gringsing. Kita berdua akan meneruskan perjalanan setelah
menghadap Panembahan Senapati. Sedangkan Agung
Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah Perdikan."
" Aku berkewajiban untuk menemukan kembali Glagah
Putih. Ia datang ke Tanah Perdikan ini untuk mengikut aku."
berkata Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing berkata, " Sudahlah Agung Sedayu.
Mungkin akan datang orang lain ke Tanah Perdikan.
Sebaiknya kau memang tidak meninggalkan Tanah Perdikan
ini. Aku sependapat dengan Kiai Jayaraga, bahwa kami
berdualah yang akan menelusuri jalan ke Timur, menyusul
Glagah Putih dan Raden Rangga."
" Tetapi Kiai." potong Sekar Mirah, " bukan maksudku
menahan kakang Agung Sedayu."
" Bukan kau yang menahannya." jawab Kiai Gringsing, "
kita memperhitungkan segala sesuatunya dari kemungkinankemungkinan
yang paling baik." Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, " Aku
tidak ingin suamiku tertahan melakukan kewajibannya hanya
karena kecemasanku, isterinya."
" Jangan menyalahkan diri sendiri." berkata Kiai Gringsing,
" Kita wajib mencari cara yang paling baik sehingga tidak
mengorbankan kepentingan-kepentingan yang lain."
" Tetapi sejak semula, akulah yang merasa wajib untuk
menyusulnya." berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, " Marilah itu kita lupakan.
Sekarang yang manakah yang lebih baik kita lakukan bagi
semuanya." " Aku menyesal, bahwa aku telah mengatakan
perasaanku." desis Sekar Mirah.
" Kau sudah bersikap jujur. Jangan disesali. Justru sikap
yang jujur itulah yang kita perlukan. Kau lebih baik
mengatakan apa yang tersirat dihatimu, bagaimanapun
tanggapan orang lain, namun yang akibatnya akan dapat
sebaliknya." berkata Kiai Gringsing.
" Sudahlah." berkata Ki Jayaraga, " Kami, orang-orang tua
memang sudah merindukan untuk mengenang masa
petualangan. Mungkin sekedar untuk mengenang saja dan
tidak memberikan arti apa-apa."
Ki Gedelah yang kemudian berkata, " Aku sependapat
dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mungkin karena
dengan demikian maka aku tidak akan ditinggalkan sendiri
disni." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang
terbersit perasaan kecewa. Tetapi ia tidak dapat menolak
pendapat gurunya. Meskipun ialah yang mula-mula
berpendapat bahwa sebaiknya jalan Glagah Putih dan Raden
Rangga ditelusuri, namun keputusannya ternyata menjadi lain.
Justru Kiai Gringsing dan Ki Jayaragalah yang akan pergi ke
Timur, setelah mengantarkan tawanan mereka ke Mataram
dan mengantar Pandan Wangi kembali kepada suaminya.
" Jangan pikirkan." berkata Kiai Gringsing, " anggaplah
sebagai sesuatu yang wajar saja."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sementara itu, maka
Ki Jayaragalah yang berbicara, " Mudah-mudahan aku masih
mengenali jalan-jalan yang melingkar-lingkar di lembah dan
lereng pegunungan yang pernah aku jelajahi, karena aku
pernah menyusuri tanah ini dari ujung sampai keujung dimasa
mudaku." Dalam pada itu, maka sejenak kemudian pertemuan itupun
telah dianggap cukup. Mereka akan beristirahat, karena esok
pagi mereka akan pergi ke Mataram membawa keempat
tawanan itu dan menyerahkannya kepada Panembahan
Senapati. Pagi-pagi benar, merekapun telah bersiap. Mereka segera
pergi kerumah Ki Gede untuk menyiapkan keempat orang
yang akan dibawa ke Mataram itu. Agaknya mereka berempat
memang tidak mempunyai pilihan apapun juga. Mereka telah
pasrah dan menerimna apapun yang bakal terjadi atas
mereka. Ki Gede agaknya telah menyediakan empat ekor kuda bagi
keempat orang itu. Empat ekor kuda yang kemudian tidak
perlu dibawa kembali oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah,
karena ampat ekor kuda itu akan dititipkan saja di Mataram,
sampai saatnya sempat diambil kembali. Agaknya para
pekatik di Mataram tidak akan berkeberatan untuk menambah
beban tugas mereka dengan ampat ekor kuda itu.
Ketika matahari terbit, maka keempat orang itupun telah
disiapkan pula. Ki Gede masih memberikan beberapa pesan
pendek. Namun kepada Pandan Wangi, Ki Gede nampaknya
telah memberikan beberapa pesan khusus.
" Sering-seringlah datang kemari." berkata Ki Gede kepada
Pandan Wangi, " aku menjadi semakin tua. Tenagaku tentu
sudah susut." " Ya ayah." jawab Pandan Wangi, " aku akan
mengatakannya kepada kakang Swandaru. Aku harap kakang
Swandarupun dapat menyempatkan diri untuk sering datang."
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi tatapan matanya
menjadi redup. Bagaimanapun juga, terasa dadanya bergetar
melihat Pandan Wangi siap meninggalkannya.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun berangkat.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah minta diri untuk bukan
saja ke Mataram atau Jati Anom. Tetapi mereka akan
meneruskan perjalanan ke Timur.
Perjalanan ke Mataram bukan perjalanan yang panjang.
Namun memang agak menarik perhatian, bahwa sebuah iringiringan
kecil menyusuri jalan ditengah-tengah bulak Tanah
Perdikan Menoreh dan menyusup ditengah-tengan padukuhan
padukuhan. Namun orang-orang berkuda itu telah dikenal dengan baik
oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka
terdiri dari Pandan Wangi, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan
Ki Jayaraga. Sedangkan empat orang yang bersama
merekapun, telah mereka dengar pula persoalannya.
Tetapi ketika mereka menyeberangi Kali Praga, maka
mereka benar-benar menjadi pusat perhatian. Beberapa orang
memandangi saja mereka bahkan dengan curiga.
Kiai Gringsing yang menyadari bahwa mereka telah
menjadi pusat perhatian orang-orang yang akan
menyeberang, dalam satu kesempatan berkata kepada orang
yang berdiri tidak jauh daripadanya ketika mereka akan naik
keatas rakit tanpa ditanya, " Ki Sanak. Kami dalam perjalanan
untuk menjemput pengantin. Cucuku akan kawin beberapa
hari yang akan datang. Pengantin perempuannya adalah
orang Tanah Perdikan Menoreh. Sepekan sebelum
perkawinan cucuku akan tinggal dirumah pengantin
perempuan." Orang itu mengangguk-angguk. Desisnya, " Sebentar lagi
Ki Sanak akan mendapat cicit."
Kiai Gringsing tertawa. Jawabnya, " Semoga."
Ternyata perhitungan Kiai Gringsing benar. Orang itupun
telah mengatakannya pula kepada seseorang disebelahnya.
Kemudian menjalar kepada orang lain sehingga akhirnya
banyak orang yang mendengar pengakuan Kiai Gringsing itu.
Dengan demikian, maka mereka tidak lagi mencurigai iringiringan
kecil itu. Namun ketika mereka naik keatas rakit, maka sembilan
orang bersama kudanya itu hampir memenuhi dua buah rakit
yang sedang, sehingga orang lain harus menunggu rakit yang
lain pula. Demikian perjalanan mereka menuju ke Mataram tidak
mengalami hambatan. Mereka langsung memasuki pintu
gerbang kota. Namun ternyata mereka telah menarik perhatian petugas
yang ada dipintu gerbang, sehingga mereka harus menjawab
beberapa pertanyaan. " Kami akan menghadap Panembahan." berkata Kiai
Gringsing. " Untuk apa?" bertanya penjaga pintu itu.
" Kami ingin menyampaikan persoalan kami kepada
Panembahan." jawab Kiai Gringsing pula, " sekedar
kelanjutan persoalan yang pernah kami bicarakan sebelumnya
dengan Panembahan." Penjaga itu termangu-mangu. Namun merekapun
kemudian diisyaratkan untuk berjalan terus memasuki Kota
Raja. Namun demikian Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa di
gerbang istanapun mereka harus menjawab beberapa
pertanyaan pula sehingga mungkin mereka memerlukan
waktu yang panjang untuk mendapat kesempatan
menghadap. Untunglah bahwa Agung Sedayu dan Kiai Gringsing sudah
sering menghadap Panembahan Senapati dan mengenal
beberapa orang perwira dalam tugas-tugas keprajuritan.
Karena itu, maka ternyata bahwa mereka tidak terlalu banyak
mendapat hambatan. Ketika iring-iringan kecil itu dipersilahkan menunggu
sebelum mereka mendapat kesempatan menghadap, maka
Agung Sedayu secara kebetulan telah bertemu dengan
seorang perwira yang pernah dikenalnya sebelumnya.
Perwira itu tahu pasti, peranan Agung Sedayu dalam
banyak hal. Bahkan perwira itupun tahu, bahwa Agung
Sedayu merupakan orang yang dekat dengan Panembahan
Senapati pada masa-masa perantauan dan
pengembaraannya sebelum Panembahan Senapati itu
membuka Alas Mentaok. Lewat perwira itu, maka permohonan Agung Sedayu untuk
menghadap ternyata lebih cepat disampaikan kepada para
perwira yang bertugas didalam istana dan menyampaikannya
kepada Panembahan Senapati.
" Siapa?" bertanya Panembahan Senapati.
" Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh." jawab
perwira yang menyampaikan permohonan menghadap.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia sadar
bahwa jika tidak ada yang penting, maka Agung Sedayu tidak
akan datang kepadanya. Apalagi ketika tiba-tiba saja
Panembahan Senapati teringat bahwa sepupu Agung Sedayu
yang bernama Glagah Putih telah pergi ke Timur bersama
dengan putera Panembahan Senapati yang kadang-kadang
telah membuatnya gelisah itu. Karena itu, maka perhatian
Panembahan Senapatipun segera tertuju kepada Agung
Sedayu. " Baiklah. Biarlah mereka menghadap." berkata
Panembahan Senapati yang ternyata telah memberikan waktu
khusus bagi iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikianlah sejenak kemudian, maka iring-iringan dari
Tanah Perdikan itupun telah menghadap. Agung Sedayupun
segera mohon maaf, bahwa mereka datang bersama
sekelompok orang yang mungkin terasa terlalu banyak.
" Bangsal ini cukup besar untuk menerima kalian." jawab
Panembahan Senapati sambil tersenyum.
Setelah setiap orang menyampaikan hormatnya dengan
sembah kehadapan Panembahan Senapati, maka merekapun
telah terlibat kedalam pembicaraan yang bersungguhsungguh.
Dengan jelas tetapi singkat, Agung Sedayu
menerangkan maksud kedatangan mereka bersama keempat
orang itu. Panembahan Senapati ternyata menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap mereka. Juga tentang pertempuran
yang terjadi antara murid-murid Ki Ajar itu dengan Raden
Rangga dan Glagah Putih. Agung Sedayupun menceriterakan pula bahwa orang-orang
itu telah menunjukkan letak Padepokan dari Perguruan
Nagaraga. Perguruan yang pernah mengirimkan orangorangnya
ke Mataram. " Menarik sekali." berkata Panembahan Senapati, " jika
demikian, maka kita serba sedikit telah mendapat gambaran
tentang perguruan itu."
Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan murid tertua
Ki Ajar untuk menceriterakan kembali pengenalannya tentang
padepokan itu. Padepokan yang mengelilingi sebuah goa
yang dihuni oleh seekor ular Naga yang besar, yang bahkan
dianggap keramat oleh orang-orang Nagaraga, sehingga
kemampuan ular itu berpindah, maka padepokan Nagaraga itu
telah berpindah pula. " Yang terakhir, kami sempat mengenali padepokannya."
berkata murid tertua dari perguruan Watu Gulung itu.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tertangkap
oleh ketajaman panggraitanya bahwa memang ada semacam
persaingan yang terjadi antara perguruan Watu Gulung
dengan Perguruan Nagaraga.
Dihadapan Panembahan Senapati murid tertua Ki Ajar itu
justru telah berbicara lebih banyak. Ketika ia berada di Tanah
Perdikan Menoreh, ia tidak begitu yakin, bahwa hubungan
antara Menoreh dan Mataram begitu dekat. Namun mereka
akhirnya melihat sendiri, bahwa ada jalur lain kecuali jalur
yang resmi yang dapat ditempuh oleh orang-orang Tanah
Perdikan Menoreh untuk menghadap Panembahan Senapati
di Mataram. Ketika orang-orang Watu Gulung itu selesai dengan
keterangan mereka, maka Kiai Gringsingpun berkata, "
Panembahan, perkenankanlah hamba bersama dengan Ki
Jayaraga untuk menyusul putera Panembahan, Raden
Rangga yang pergi ke Timur bersama Glagah Putih."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, " Apakah Kiai hanya pergi berdua saja?"
" Hamba Panembahan. Kami berniat untuk dapat menyusul
Raden Rangga dan Glagah Putih sebelum mereka mencapai
padepokan. Menurut pendengaran hamba, Panembahan
hanya memerintahkan kedua anak muda itu untuk mengenali
dan mengamati padepokan Nagaraga. Tetapi kami tidak yakin
bahwa anak-anak muda itu dapat mengekang diri untuk
memasuki padepokan." jawab Kiai Gringsing.
" Aku sependapat Kiai. Tetapi apakah Kiai akan kembali ke
Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu, atau akan langsung
pergi ke Timur?" bertanya Panembahan Senapati.
" Hamba akan mengantar Pandan Wangi lebih dahulu
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali kepada suaminya setelah menengok ayahnya ke
Tanah Perdikan. Kemudian hamba akan terus berjalan ke
Timur bersama Ki Jayaraga" jawab Kiai Gringsing.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "
Jika demikian kita perlu berbicara."
Kiai Gringsing menyadari, bahwa Panembahan ingin
berbincang tanpa di dengar oleh keempat orang tawanan itu.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "
Panembahan. Selain segala keterangan yang pernah hamba
sampaikan, serta disampaikan oleh Agung Sedayu atau oleh
salah seorang diantara kami, maka kedatangan kami
menghadap adalah untuk menyerahkan keempat orang ini.
Mungkin pada kesempatan lain, keempat orang ini masih
diperlukan keterangannya. Orang-orang ini tidak dapat
disimpan di Tanah Perdikan Menoreh, karena di Tanah
Perdikan tidak terdapat tempat yang memadai serta orang
yang cukup berilmu untuk menjaga mereka, karena
sebenarnyalah keempat orang ini berilmu tinggi."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia mengerti,
bahwa Kiai Gringsing tanggap akan maksudnya. Karena itu,
maka katanya kemudian sambil memandang keempat orang
itu berganti-ganti. " Ki Sanak. Kami akan mempersilahkan Ki
Sanak untuk beristirahat. Tetapi kami mempunyai permintaan.
Kalian jangan melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan
kalian sendiri." " Hamba Panembahan." jawab orang itu, " hamba sudah
pasrah. Sepeninggal guru hamba, maka rasa-rasanya tidak
ada yang pantas hamba kerjakan dengan perguruan hamba.
Memang masih ada beberapa pengikut di padepokan Watu
Gulung. Tetapi semuanya itu tidak berarti, karena mereka
tidak lebih dari pekerja-pekerja di ladang dan pategalan,
meskipun dalam keadaan tertentu mereka mampu juga
bertempur. Namun tidak lebih dari anak-anak yang sedang
bermain-main dengan pedang. Apabila mereka mendengar
kegagalan kami di Mataram, maka mereka tidak akan berarti
apa-apa lagi." " Baiklah." berkata Panembahan Senapati yang kemudian
memanggil seorang perwira prajurit yang bertugas diluar
bangsal itu. Kepada perwira itu Panembahan Senapati telah
memerintahkan untuk membawa keempat orang itu dengan
pengawasan yang baik, karena keempat orang itu memiliki
ilmu yang tinggi. Demikianlah, para perwira yang bertugaspun segera
berkumpul. Mereka telah membawa keempat orang itu ke
sebuah bangunan yang kokoh. Bangunan yang memang
disiapkan untuk menyimpan orang-orang yang berilmu tinggi.
Sementara itu, di dalam bangsal pertemuan, Panembahan
Senapati mulai berbincang dengan Kiai Gringsing. Sambil
mengangguk-angguk panembahan Senapati berkata, " Jadi
Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah
Perdikan, sementara Pandan Wangi kembali ke Sangkal
Putung. Hanya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga saja yang akan
meneruskan perjalanan ke Timur."
" Hamba Panembahan." jawab Kiai Gringsing, " selain
menelusuri jejak Glagah Putih dan Raden Rangga, ada
semacam kerinduan untuk mengalami kembali masa-masa
pengembaraan ketika kami masih muda."
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun
kemudian nampak bibirnya tersenyum meskipun tidak terlalu
cerah. Katanya, " Memang kadang-kadang kita dicengkam
oleh satu keinginan untuk mengulangi pengembaraan itu.
Tetapi aku kini terkungkung dalam tugas-tugasku disini, yang
kadang-kadang terasa menjemukan."
" Tentu Panembahan." jawab Kiai Gringsing, " kedudukan
Panembahan tidak akan mengijinkan Panembahan untuk
mengembara sebagaimana masa-masa Panembahan remaja,
bahkan meningkat dewasa pada waktu itu."
" Baiklah Kiai." berkata Panembahan Senapati, " tetapi aku
tidak mau bekerja dua kali. Kini Kiai sudah mendapat tuntunan
arah dari orang-orang Watu Gulung. Karena itu, maka aku
akan melakukannya sekaligus. Jika Kiai bertemu dengan
Raden Rangga dan Glagah Putih perintahkan mereka
kembali. Tetapi jika mereka ingin pergi bersama Kiai, maka
tugasnya akan ditambah lagi sebagaimana yang akan aku
mintakan kepada Kiai untuk bersedia melakukannya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia
menunggu Panembahan Senapati melanjutkan kata-katanya, "
Kiai, aku minta Kiai akan pergi bersama sekelompok kecil
prajurit pilihan. Seperti yang aku katakan, sebagaimana
mereka ingin menghancurkan Mataram, maka padepokan
itupun harus dihancurkan. Kiai mendapat tugas untuk
menangkap dan membawa pemimpin padepokan itu
kepadaku. Itulah sebabnya, aku memerintahkan Rangga dan
Glagah Putih bersama dengan Kiai dalam tugas ini. Dari
orang-orang Watu Gulung yang dapat kalian tangkap, kita
akan dapat menduga seberapa besar kekuatan mereka.
Kemudian, kita tentukan berapa orang perwira pilihan yang
akan berangkat mengikuti Kiai dengan cara yang akan kami
serahkan sepenuhnya kepada kalian yang akan pergi."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang kepada Ki Jayaraga ia berdesis, " Apa katamu?"
Ki Jayaraga itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, " Hamba tidak akan ingkar untuk menjalankan segala
titah Panembahan. Jika Panembahan menghendaki, maka itu
adalah tugas kami." " Terima kasih." sahut Panembahan Senapati, " hari ini
kalian akan tinggal di Mataram, besok atau lusa kalian akan
berangkat." Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun menyembah, "
Ampun Panembahan. Mungkin guru dan Ki Jayaraga akan
dapat tinggal sampai besok atau lusa bersama Pandan Wangi,
sebelum Pandan Wangi kembali kepada suaminya. Tetapi jika
diperkenankan maka biarlah hamba berdua mohon diri hari
ini." " Kenapa kau tidak menunggu sampai besok?" bertanya
Panembahan Senapati. " Mungkin sesuatu masih dapat terjadi di Tanah Perdikan.
Sementara Tanah Perdikan kini menjadi kosong." Jawab
Agung Sedayu. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun
katanya, " Tetapi tidak sekarang. Kalian akan tinggal disini
sampai sore nanti." Agung Sedayu tidak menolak. Karena itu, maka bersama
Sekar Mirah mereka akan berada di Mataram sehari itu.
Disore hari Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke Tanah
Perdikan setelah mereka sempat berbincang tentang rencana
untuk menelusur ke Timur.
Ternyata Panembahan Senapati teringat pula kepada
seorang Senapati yang berada dibawah perintah Untara di Jati
Anom. Panembahan Senapati tidak menunjuk Untara sendiri,
karena Untara memiliki kemampuan tempur dalam perang
yang sulit dicari bandingnya. Sedangkan yang diperlukan
untuk memasuki padepokan itu adalah mereka yang memiliki
bekal untuk bertempur secara pribadi seorang demi seorang.
Karena itu, maka Panembahan Senapati telah
memerintahkan untuk membawa Sabungsari dalam tugas
yang gawat itu. Betapa kecewanya Agung Sedayu dan bahkan Sekar Mirah
merasa bahwa ia telah menghambat tugas yang ingin
dilakukan Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing dan Jayaraga
sebagaimana Panembahan Senapati, telah ikut menentukan,
kenapa Agung Sedayu dan Sekar Mirah sebaiknya tetap
berada di Tanah Perdikan.
Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada diatas rakit
yang membawa mereka menyeberangi Kali Praga, maka
Sekar Mirahpun berdesis, " Maafkan aku kakang. Mungkin
pernyataanku telah menahan kakang untuk tidak dapat ikut
bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga."
" Sudahlah Mirah." berkata Agung Sedayu, " tugas kita
kemudian adalah berdoa semoga Yang Maha Besar selalu
melindungi mereka yang akan berangkat menunaikan tugas
berat itu. Juga selalu melindungi Glagah Putih dan Raden
Rangga. Aku kira Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga benar,
mungkin ada juga tugas penting yang akan kita lakukan di
Tanah Perdikan." Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, maka malam itu Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga bersama Pandan Wangi bermalam semalam di
Mataram, sementara Panembahan Senapati menyiapkan
orang-orang yang dianggapnya terbaik untuk melakukan tugas
itu. Panembahan Senapati akan mempergunakan orang yang
tidak terlalu banyak, namun dapat menyelesaikan tugas
dengan baik. Sementara itu, ketika mereka sekali lagi berbicara dengan
tawanannya, maka Panembahan Senapati mendapat
gambaran, seperti para murid Ki Ajar Laksana dari Watu
Gulung, maka beberapa orang Putut dari perguruan Nagaraga
telah memiliki ilmu yang tinggi pula. Ditambah dengan
kepercayaan mereka, bahwa ular Naga yang ada didalam goa
ditengah-tengah padepokan mereka itu mampu memberikan
kekuatan kepada seisi padepokan itu.
" Seandainya hal itu sekedar kepercayaan mereka saja,
namun dengan kepercayaan itu, maka kemampuan mereka
seakan-akan memang benar-benar bertambah, karena
dbrongan kepercayaan mereka yang kuat dan bulat." berkata
Panembahan Senapati, " karena itu, setiap orang yang ikut
didalam tugas ini harus menyadarinya dan bersedia untuk
menanggung akibat yang paling parah. Dengan demikian
maka kau akan memberi kesempatan kepada mereka yang
berkeberatan untuk pergi. Sementara itu yang akan pergi
harus mengimbangi dorongan kepercayaan itu dengan
kepercayaan pula. Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri.
Dan lebih dari itu kepercayaan bahwa mereka sedang
menjalankan tugas kebenaran sehingga mereka harus yakin
dan percaya sepenuhnya bahwa mereka akan mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Ki
Jayaraga merenungi kata-kata itu. Keduanya memang
membayangkan satu medan yang sangat berat untuk di
masuki. Malam itu, Panembahan Senapati telah dapat menentukan
siapa yang akan berangkat bersama Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga. Tetapi mereka tidak perlu pergi bersama-sama
dalam satu kelompok. Berdasarkan keterangan dari orangorang
Watu Gulung, maka mereka telah menentukan, dimana
mereka akan bertemu. Seperti orang-orang Nagaraga yang akan mengacaukan
Mataram dari dalam, dan langsung akan membunuh
Panembahan Senapati itupun telah datang ke Mataram dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Namun mereka telah menentukan tempat untuk berkumpul.
Tetapi seperti keterangan orang-orang Watu Gulung,
bahwa jumlah orang yang banyak itu justru bukan orang-orang
Nagaraga sendiri. Mereka bekerja bersama dengan
gerombolan-gerombolan yang dapat dipengaruhinya, atau
diupahnya. Tetapi bukan berarti bahwa di padepokan
Nagaraga tidak terdapat para pengikut yang sekaligus
pekerja-pekerja di sawah dan ladang. Para cantrik itu akan
dapat juga menjadi kekuatan yang berbahaya karena jumlah
merekalah yang terbanyak.
Malam itu juga segala sesuatunya telah diatur dan
disepakati. Para prajurit yang terdiri semuanya dari para
perwira pilihan dari beberapa tingkatan telah dipertemukan
kecuali Sabungsari. " Biarlah Sabungsari nanti mendapat penjelasan dari Kiai
Gringsing dan berjalan bersama Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga." berkata Panembahan Senapati.
Demikianlah, maka yang semalam itu dianggap telah cukup
oleh Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Karena itu, maka mereka
tidak perlu menunggu lebih lama lagi.
Dipagi harinya, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun
telah mohon diri. Mereka masih harus singgah di Sangkal
Putung dan bahkan ke Jati Anom.
Pandan Wangipun telah mohon diri pula. Ia sudah terlalu
lama meninggalkan suaminya.
Pagi itu semua orang yang akan melakukan tugas telah
berangkat. Sebagian besar dari mereka memilih berjalan kaki.
Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah berangkat
berkuda bersama Pandan Wangi. Tetapi kuda mereka akan
mereka tinggalkan di Jati Anom.
Kedatangan Pandan Wangi di Sangkal Putung bersama
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga disambut dengan gembira.
Swandaru memang sudah menunggu-nunggu kedatangan
isterinya. Bahkan ia mulai menjadi cemas bahwa telah terjadi
sesuatu di perjalanan. " Kau berada di Tanah Perdikan jauh melampaui waktu
yang kau sebut sebelumnya." berkata Swandaru.
Pandan Wangi mengangguk-angguk sambil menjawab, "
Aku mohon maaf kakang. Seandainya tidak terjadi sesuatu di
Tanah Perdikan, aku dan Kiai Gringsing agaknya tidak akan
terlambat pulang." Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu Pandan
Wangi menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah
Perdikan Menoreh. " Sebenarnya aku dapat menghindari keterlibatanku di
Tanah Perdikan itu." berkata Pandan Wangi, " namun
mungkin naluriku sebagai anak Ki Gede Menoreh, telah
mendorongku untuk mengikuti perkembangan dari persoalan
yang terjadi itu." Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, " Aku mengerti.
Untunglah bahwa Kiai Gringsing ada di Tanah Perdikan. Jika
tidak aku kira Tanah Perdikan akan mengalami kesulitan."
" Bukan aku yang menyelesaikan. Swandaru." sahut Kiai
Gringsing, " tetapi Agung Sedayu sendiri. Ia memang orang
yang dicari oleh orang-orang Watu Gulung itu."
Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia masih
bergumam, " Untunglah bahwa kakang Agung Sedayu masih
mampu mengatasi ilmu Ki Ajar itu. Agaknya orang Watu
Gulung itu juga seorang yang tidak banyak mengetahui
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuan ilmu kanuragan yang sebenarnya, sehingga
dengan ilmunya yang terbatas itu ia sudah merasa orang
terkuat didunia." " Tetapi kakang Agung Sedayu nampaknya memang
memiliki kelebihan." desis Pandan Wangi.
" Tentu." jawab Swandaru, " kelebihan dari orang yang
telah dibunuhnya itu. Tetapi jika pada suatu saat, datang
bahaya yang sebenarnya, sementara guru tidak berada
didekatnya, maka kakang Agung Sedayu akan mengalami
kesulitan. Karena itu, selagi hal seperti itu belum terjadi, maka
sebaiknya kakang Agung Sedayu menyempatkan diri untuk
menyempumakan ilmunya."
Hampir saja Pandan Wangi menjelaskan apa yang
dilihatnya pada Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah ia
adalah seorang isteri yang selalu berusaha untuk berbuat
sebaik-baiknya bagi suaminya. Iapun berusaha untuk menjaga
perasaan suaminya, sehingga ia tidak deiiKun serta merta
menceriterakan kelebihan Agung Sedayu. Untuk itu agaknya
masih memerlukan waktu. Karena itu, maka Pandan Wangipun tidak banyak
menceriterakan apa yang sebenarnya telah dilihat pada Agung
Sedayu itu. Kiai Gringsingpun tidak mau memuji Agung Sedayu
dihadapan Swandaru meskipun serba sedikit sekali ia telah
mengatakan tentang Agung Sedayu. Katanya, " Tetapi
agaknya Agung Sedayu telah berusaha. Setidak-tidaknya ada
niatnya untuk berusaha."
" Asal jangan terlambat." sahut Swandaru, " biasanya jika
saatnya sudah lewat, baru kita menyesal."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, " Aku sudah berpesan
seperti yang kau maksudkan itu. Mudah-mudahan ia bangkit
dan berbuat sesuatu."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ulangnya, " Mudahmudahan."
Namun Kiai Gringsingpun kemudian telah membelokkan
pembicaraan mereka. Kiai Gringsing telah mengatakan serba
sedikit tentang perjalanan yang akan ditempuhnya bersama Ki
Jayaraga. Swandaru mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia
bertanya, " Kenapa kakang Agung Sedayu sendiri tidak mau
berangkat mencari sepupunya?"
" Angger Swandaru." Ki Jayaragalah yang menyahut, " aku
merasa bahwa aku telah mengangkat Glagah Putih sebagai
muridku. Karena itu, maka aku merasa wajib untuk
melakukannya." " Ya, ya." sahut Swandaru, " Ki Jayaraga adalah guru
Glagah Putih. Tetapi Kiai Gringsing bukan apa-apanya.
Seharusnyalah kakang Agung Sedayulah yang dengan dada
tengadah berkata, Aku akan mencari adik sepupuku, tetapi
yang terjadi, justru kakang Agung Sedayu merasa lebih aman
untuk tetap berada di Tanah Perdikan. Apakah luka-lukanya
terlalu parah, sehingga ia tidak dapat pergi?"
" Tidak." jawab Kiai Gringsing, " luka-lukanya dapat
diatasinva. Tetapi aku memang sependapat, bahwa Agung
Sedayu harus tetap berada di Tanah Perdikan. Mangkin ada
sesuatu terjadi lagi sehingga diperlukan seseorang untuk
mengatasinya di Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru justru tersenyum. Katanya, " Memang banyak
alasan yang dapat disusun. Tetapi menurut pendapatku.
seharusnya kakang Agung Sedayu adaiah orang yang paling
berkepentingan untuk menyusul Giagah Putih. Seandainya
kakang Agung Sedayu sekarang ini ikut pergi, maka aku akan
dengan suka rela mengikutinya untuk dapat membantunya jika
diperlukannya." Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam Katanya, "
Memang ada niat Agung Sedayu untuk pergi tapi kami,
terrnasuk aku dan Ki Jayaraga serta Panembahan Senapati,
menasehatkan agar ia tetap berada di Tanah Perdikan."
Swandaru masih saja tersenyum sambil menganggukangguk
Dengan nada datar ia berkata, " Tetapi karena kakang
Agung Sedayu tidak pergi, maka sebaiknya akupun tidak
pergi." Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menjawab lagi.
Pandan Wangi yang merasakan sikap janggal suammya
itupun menahan diri untuk tidak mencelanya, karena ta
memahami sifat Swandaru. Dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
tidak teriaiu lama singgah di Sangkal Putung Mereka harus
pergi ke Jati Anom untuk menemui Untara, menyampaikan
perintah agar Sabungsari ikut dalam perjalanan ke Timur itu.
Ki Demang memang berusaha menahannya agar mereka
bermalam saja semalam di Sangkal Putung. Namun sambil
tersenyum Kiai Gringsing berkata, " terima kusih Ki Demang.
Ternyata bahwa ketika aku lewal dan singguh di Mataram, aku
yang tua ini masih mendapat tugas."
Sebelum Ki Demang menjawab, Swandaru telah
memotongnya, " Guru terpaksa pergi ayah, karena kakang
Agung Sedayu dengan berbagai alasan tidak dapat
menelusuri jejak sepupunya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Semetara itu Ki
Demang berkata, " Ah, tentu ada alasan yang penting. Bukan
asal saja menyusun alasan."
Nampak bibir Swandaru bergerak. Tetapi senyumnya
mempunyai arti tersendiri.
Demikianlah, setelah menyerahkan Pandan Wangi kepada
suaminya, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah
meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom. Mereka
tidak merasa perlu bermalam di Sangkal Putung, karena
mereka merasa seakan-akan telah didesak oleh kewajiban
yang telah mereka bebankan ke pundak mereka sendiri,
bahkan kemudian ditompangi oleh tugas dari Panembahan
Senapati. Perjalanan ke Jati Anom tidak memerlukan waktu yang
terlalu lama. Karena menelusuri jalan dipinggir hutan,
melewati daerah yang tidak terlalu ramai, namun terasa lebih
singkat. Kuda mereka berderap dijalan yang tidak terlalu lebar,
menghamburkan debu yang kelabu.
Kedatangan mereka di Jati Anom dan langsung kerumah
Untara memang agak mengejutkan. Apalagi yang datang
bukan saja Kiai Gringsing tetapi bersama Ki Jayaraga yang
diketahui tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.
Untara yang kebetulan berada dirumah, segera menerima
mereka di pendapa. Untara yang ingin cepat tahu, segera
bertanya, " Kedatangan Kiai berdua telah mengejutkan aku.
Apakah ada sesuatu yang penting, atau Kiai berdua hanya
sekedar ingin menengok kami disini?"
Kiai Gringsing menarik menarik nafas dalam-dalam,
Kemudian katanya, " Memang ada sedikit kepentingan ngger.
Tetapi tidak terlalu penting."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian Kiai
Gringsingpun segera mengatakan keperluannya datang ke
Jati Anom. Untara mengangguk-angguk. Katanya, " Jadi Kiai berdua
akan menyusul perjalanan Glagah Putih dan Raden Rangga
itu?" " Ya ngger. Sekaligus mendapat beban dari Panembahan
Senapati." jawab Kiai Gringsing.
Untara masih mengangguk-angguk. Katanya, " Baiklah, aku
akan memanggil Sabungsari. Ia menjadi semakin mantap,
karena aku memberinya kesempatan untuk menyempurnakan
ilmunya. Ia akan menjadi seorang Senapati yang baik."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, " Nampaknya
Panembahan Senapati yang jauh itu melihat juga
kelebihannya. Karena itu, maka secara khusus Panembahan
Senapati berpesan, agar aku pergi bersama dengan
Sabungsari menuju ke Timur. Sementara itu, para perwira dari
Matarampun telah berangkat pula menuju jalan mereka
masing-masing." Untarapun kemudian telah memanggil seorang prajurit.
Diperintahkannya prajurit itu untuk memanggil Sabungsari
segera. Sementara itu, isteri Untara telah menghidangkan
minuman dan makanan bagi kedua tamunya itu.
Seperti Swandaru, Untarapun bertanya kenapa Agung
Sedayu tidak pergi mencari sepupunya yang oleh pamamnya
telah diserahkan kepadanya, meskipun dengan latar belakang
yang berbeda. Untara memang ingin mendapat penjelasan,
bukan sekedar menuduh Agung Sedayu malas atau apalagi
cemas menghadapi bahaya. Untara yang mengenal adiknya
dengan baik itu mengerti dan menyadari kemampuan Agung
Sedayu yang telah jauh berada di atas kemampuannya
sendiri. " Ia diperlukan di Tanah Perdikan Menoreh." jawab Kiai
Gringsing, " selain daripada itu, rasa-rasanya kami yang tuatua
ini masih ingin juga mengulangi ketegaran masa muda
kami diantara jalan-jalan yang panjang, lereng-lereng yang
terjal dan pematang-pematang yang silang menyilang diantara
tanaman yang hijau subur di sawah-sawah."
Untara mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Jayaragapun berkata, " Akupun merasa berkewajiban untuk
menelusuri jalan Glagah Putih, sementara itu, seperti Kiai
Gringsing, rasa-rasanya ingin melihat lagi sebagaimana
pernah aku lihat sebelumnya, meskipun dilingkungan yang
berbeda." " Memang menarik sekali." sahut Untara, " tetapi aku tidak
akan mendapat kesempatan seperti itu karena tugas-tugasku.
Mungkin jika aku sudah setua Kiai berdua."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertawa.
Sementara mereka berbincang tentang kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi, maka Sabungsaripun telah
datang. Memang nampak perubahan pada tatapan mata
Senapati itu. Ia nampak lebih tenang dan lebih mantap.
" Dengan tekun ia berhasil menguasai dirinya sendiri untuk
menempa kemampuan ilmunya." berkata Untara.
Sabungsari tersenyum. Katanya, " Sekedar untuk tidak lupa
Kiai." " Ia telah membuat sanggarnya sendiri. Tidak di halaman
barak pasukannya. Tetapi sanggarnya terbuka. Ia selalu
berada di pinggir sungai, dihadapan tebing yang curam,"
berkata Untara pula. " Syukurlah." sahut Kiai Gringsing, " mudah-mudahan kau
sampai pada puncak ilmumu yang nggegirisi itu."
" Tetapi belum sekuku ireng dibanding dengan Agung
Sedayu." berkata Sabungsari kemudian.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Dengan nada
tinggi Kiai Gringging bertanya, " Kau puji Agung Sedayu
karena ada aku, gurunya dan juga ada kakaknya disini?"
" Ah, tentu tidak Kiai." jawab Sabungsari dengan serta
merta. " Aku berkata dengan jujur."
Untarapun tersenyum Tetapi ia berkata, " Dalam beberapa
hal Sabungsari telah kejangkitan pula penyakit Agung
Sedayu." " Penyakit apa?" bertanya Kiai Gringsing.
" Ragu-ragu. Banyak pertimbangan dan tidak segera
mengambil sikap." berkata Untara.
Kiai Gringsing tertawa. Sementara itu Ki Jayaraga
menyahut, " Pengalaman agaknya telah membuat Agung
Sedayu sedikit berubah. Meskipun demikian kadang-kadang
masih nampak juga keragu-raguannya mengambil sikap."
" Nah." berkata Untara kemudian, " sebaiknya Kiai
menyampaikan langsung perintah itu kepada Sabungsa-ri."
" Silahkan angger saja yang menjatuhkan perintah itu.
Bukankah angger Untara Senapati disini?" bertanya Kiai
Gringsing. Untara tertawa pendek. Katanya, " Baiklah. Akulah
Senapati disini." Demikianlah maka Untarapun telah menyampaikan
perintah Panembahan Senapati kepada Sabungsari
sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.
Sabungsari mengangguk-angguk. Karena yang membawa
parintah itu adalah Kiai Gringsing, Sabungsari sama sekali
tidak ragu-ragu bahwa perintah itu benar-benar telah diberikan
oleh Panembahan Senapati.
" Dengan demikian maka kau harus segera bersiap-siap
Sabungsari." berkata Untara kemudian.
" Aku menerima segala perintah." berkata Sabungsari, "
tetapi kapan Kiai akan berangkat menuju ke Timur itu?"
" Besok sehari aku masih akan memberikan pesan-pesan
dan membenahi padepokan yang sudah agak lama aku
tinggalkan. Baru besok lusa aku berangkat. Pagi-pagi benar."
jawab Kiai Gringsing. " Berkuda atau berjalan kaki." bertanya Untara.
" Lebih baik berjalan kaki." jawab Kiai Gringsing, " dengan
demikian kita akan dapat melakukan perjalanan menembus
segala medan." Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, " Baiklah. Aku
akan mempersiapkan diri. Tetapi bukankah aku tidak perlu
membawa bekal?" Yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Kiai Gring singlah
yang menjawab, " Perintah itu datang dari Panembahan
Senapati. Jalurnya disini adalah angger Untara."
Untara mengangguk-angguk. Diantara tertawanya ia
bertanya, " Tentu. Aku sudah menyediakan bekal untuk
menempuh perjalanan sampai kapanpun. Aku sudah
menyimpan beras dilumbung. Jika diperlukan beras itu dapat
dibawanya berapapun dibutuhkan."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertawa semakin panjang.
Namun beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan Kiai
Jayaraga pun telah mohon diri untuk pergi ke padepokan
kecilnya yang sudah ditinggalkan beberapa lama. Sebelum
Kiai Gringsing menempuh perjalanan yang panjang tanpa
dibatasi waktu, maka ia akan mempersiapkan lebih dahulu
padepokan kecilnya agar segala-galanya dapat berjalan
rancak seperti biasanya. Sepeninggal Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka Untara
masih memberikan beberapa pesan kepada Sabungsari.
Perintah yang langsung diberikan oleh Panembahan Senapati
itu harus dilakukannya sebaik-baiknya.
" Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga." berkata Sabungsari, " tentu saja
sebatas kemampuanku. Namun dalam tugas ini batas
kemampuanku itu adalah nyawaku."
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kau memang seorang prajurit yang baik." berkata Untara,
" menurut Kiai Gringsing, beberapa orang perwira telah
berangkat pula dari Mataram. Mereka akan bertemu ditempat
yang sudah disepakati."
" Siapakah yang memimpin tugas ini" Apakah Kiai
Gringsing mengatakannya kepada Ki Untara?" bertanya
Sabungsari. " Para perwira dari Mataram dipimpin langsung oleh
Pangeran Singasari. Tetapi seperti sudah aku katakan, bahwa
mereka berangkat terpisah." jawab Untara.
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian
minta diri untuk bersiap-siap meskipun masih ada senggang
waktu satu hari. Dihari berikutnya, Kiai Gringsing sibuk memberikan pesanpesan
kepada para cantrik di padepokannya. Kiai
Gringsingpun memerlukan untuk melihat sawah, ladang dan
pategalan padepokannya. Beberapa petunjuk telah diberikan
kepada para cantriknya, apa yang sebaiknya mereka lakukan
selama Kiai Gringsing berada di perjalanan.
" Doakan, bahwa aku akan kembali dengan selamat."
berkata Kiai Gringsing, " semoga Yang Maha Kasih akan
selalu melindungi kami yang menjalankan tugas ini."
Para cantrik menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya Kiai
Gringsing akan pergi untuk waktu yang lama sekali.
Dihari itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mempergunakan
waktunya yang tersisa untuk beristirahat. Mereka sempat
minum minuman panas dengan gula kelapa dan beberapa
potong makanan di serambi sambil berbincang kesana-kemari
tentang padepokan kecil itu.
Menjelang senja, maka Sabungsaripun telah datang pula
ke padepokan. Besok mereka akan berangkat bersama-sama
dari padepokan itu. " Apakah Kiai telah memberitahukan kepada Ki Widura?"
bertanya Sabungsari. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun
akhirnya Kiai Gringsinglah yang menjawab, " Aku harap
biarlah Untara yang memberitahukannya. Kepergian Glagah
Putih ke Timur telah diketahui oleh ayahnya. Tetapi persoalan
yang berkembang kemudian memang belum. Juga keputusan
Panembahan Senapati untuk menangkap dan membawa
pimpinan padepokan itu menghadap."
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun yang ditanyakan
kemudian adalah, " Apakah Panembahan Senapati
memberikan batasan waktu?"
" Tidak. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, dalam
waktu sepuluh sampai tiga belas hari, kita harus sudah saling
berhubungan." jawab Kiai Gringsing, " kita memang tidak
boleh terlambat, karena kita mengenal sifat dap watak
Pangeran Singasari. Seorang Pangeran yang keras hati dan
agak tergesa-gesa mengambil sikap atas satu persoalan yang
dihadapi. Jika hari ketiga belas itu lewat dan kita belum
sempat berhubungan, maka kita tentu akan ditinggalkannya.
Bertemu atau tidak bertemu dengan Raden Rangga. Meskipun
Raden Rangga itu kemanakannya sendiri, namun Pangeran
Singasari tentu akan memilih untuk memasuki padepokan itu."
Sabungsari memang pernah mendengar serba sedikit
tentang sifat Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati
yang keras itu. Namun Pangeran Singasari juga memiliki
beberapa kelebihan seperti juga Panembahan Senapati,
meskipun pada tataran yang tidak setingkat.
Meskipun demikian, sebagaimana disebut-sebut oleh
orang-orang Watu Gulung, maka tingkat kemampuan ilmu
Pangeran Singasari dihadapkan kepada pemimpin padepokan
Nagaraga masih harus diperhitungkan.
" Kiai." bertanya Sabungsari, " jika yang harus yang
memimpin sekelompok prajurit yang bertugas khusus ini
adalah Pangeran Singasari, apakah Panembahan Senapati
telah dengan tegas memberikan kedudukan kepada Kiai
berdua?" " Kedudukan apakah yang kau kehendaki?" bertanya Kiai
Gringsing. " Apakah Kiai berdua juga dibawah perintah Pangeran
Singasari seperti para prajurit?" bertanya Sabungsari
menjelaskan. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Sabungsari. Karena itu maka jawabnya, " Memang tidak ada
ketegasan apakah aku berada dibawah perintahnya atau
tidak. Tetapi Panembahan Senapati telah memerintahkan
kepada Pangeran Singasari untuk mengindahkan pendapat
kami berdua." Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, " aku adalah
seorang prajurit. Aku memang harus tunduk kepada perintah
Pangeran Singasari. Tetapi Pangeran Singasari harus
bersikap lain terhadap Kiai berdua."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, " Panembahan telah
memberikan pesan agar Pangeran Singasari tidak
memperlakukan kami berdua seperti memperlakukan para
prajurit, karena kami memang bukan prajurit. Bahkan seperti
aku katakan, bahwa justru Pangeran Singasari diwajibkan
memperhatikan pendapat kami."
Sabungsari kemudian berdesis, " Syukurlah. Mudahmudahan
kekerasan hati Pangeran Singasari tidak
membuatnya melangkah terlalu jauh dalam persoalan ini.
Menurut dugaanku, Pangeran Singasari nampaknya tidak
akan banyak memperhatikan kemungkinan untuk bertemu
dengan Raden Rangga dan Glagah Putih."
" Aku kira memang demikian." sahut Ki Jayaraga, "
Pangeran Singasari merasa tidak banyak berkepentingan
dengan keduanya. Agaknya Pangeran Singasari ingin
meIaksanakan perintah Panembahan Senapati sebaikbaiknya."
" Tetapi bukankah Pangeran Singasari mendapat
gambaran yang jelas tentang padepokan itu?" bertanya
Sabungsari. " Agaknya sudah." jawab Kiai Gringsing, " jika perintah
Panembahan tidak disertai dengan penglihatan atas sasaran,
maka hal itu akan sangat berbahaya, sebagaimana harus
dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih."
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lebih jauh. Demikianlah, setelah mereka kemudian makan malam,
maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari masih
berbincang lagi beberapa saat. Baru setelah malam memasuki
saat sepi uwong, maka mereka pun pergi ke pembaringan.
Pagi-pagi benar mereka telah terbangun. Sementara itu
dihalaman telah terdengar seorang cantrik menyapu halaman.
Sedangkan di belakang terdengar senggot timba di sumur
berderit dengan irama yang ajeg.
Sebelum matahari menyingsing ketiganya telah siap.
Mereka akan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.
Kiai Gringsing masih memberikan beberapa pesan kepada
para cantriknya yang kemudian berkumpul di halaman
padepokan kecilnya. " Jangan terlalu lama Kiai." minta para cantrik.
" Jika persoalanku sudah selesai, maka aku akan segera
kembali. Hati-hati dengan bibit polong buah-buahan itu.
Jangan terlambat menyiram." pesan Kiai Gringsing, " jangan
lupa pula mengairi tanaman disawah."
" Baik Kiai." jawab beberapa orang cantrik hampir
berbareng. Demikianlah, sesaat sebelum matahari terbit, maka mereka
bertiga telah berangkat meninggalkan padepokan. Mereka
tidak dengan jelas membawa persiapan perang. Tidak
nampak senjata di lambung mereka. Namun bagi Kiai
Gringsing, cambuknya tidak akan pernah ketinggalan. Seperti
murid-muridnya, Kiai Gringsing telah melingkarkan cambuknya
dilambung dibawah bajunya.
Sementara itu, diikat pinggang Sabungsari, juga dibawah
bajunya terselip sebilah pisau belati panjang. Mungkin pisau
itu diperlukannya bukan saja sebagai senjata.
Ki Jayaraga tidak membawa senjata secara khusus. Ia
akan memanfaatkan apa saja yang dapat dipergunakan jika
diperlukan. Namun dalam keadaan yang paling gawat,
agaknya Ki Jayaraga memang tidak memerlukan senjata.
Sebenarnya Kiai Gringsing pun tidak mutlak memerlukan
senjata dalam keadaan yang paling gawat. Namun senjata
yang hampir tidak terpisah daripadanya itu memang seolaholah
lekat pada tubuhnya. Demikianlah, maka tiga orang telah meninggalkan
padepokan Jati Anom untuk berangkat menuju ke Timur.
Mereka telah mendapat ancar-ancar dari orang-orang Watu
Gulung, kemana mereka harus pergi. Sehingga dengan
demikian maka sebenarnya perjalanan mereka itu merupakan
perjalanan yang jauh lebih ringan dari perjalanan yang harus
dilakukan olehRaden Rangga danGlagah Putih.
Namun mereka bertiga berharap bahwa mereka akan dapat
menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih sebelum
mereka mendekati padepokan Nagaraga dan berhubungan
dengan para prajurit dari Mataram, yang mendapatkan tugas
yang sama dan yang akan mendekati padepokan itu dalam
kelompok-kelompok kecil. Antara dua atau tiga orang.
Menurut pendapat mereka, Pangeran Singasari tidak akan
dengan sengaja mencari Raden Rangga dan Glagah Putih.
Perhatiannya telah lebih banyak tertuju kepada
menghancurkan padepokan itu dan menangkap pemimpin
padepokan Nagaraga. Bahkan Pangeran Singasaripun tentu
tidak akan banyak memperhatikan kehadiran Kiai Gringsing
dan Ki Jayaraga. Datang atau tidak datang.
Ketika kemudian matahari mulai naik, terasa pagi menjadi
semakin segar. Diujung daun padi di sawah, masih nampak
kilatan pantulan cahaya matahari pada titik-titik embun yang
bergayutan. Hampir setiap hari mereka bertiga melihat sinar
matahari yang jatuh dan bermain di dedaunan. Namun setiap
hari pula mereka merasakan sentuhan yang lembut dihati
mereka. Di bulak yang masih dekat dengan padepokan Kiai
Gringsing di Jati Anom beberapa orang yang berpapasan di
sawah selalu menegurnya. Mereka melihat Kiai Gringsing
tidak sekedar pergi ke sawah pagi itu. Agaknya Kiai Gringsing
akan bepergian bersama dengan dua orang lainnya.
Sabungsari yang tinggal juga di Jati Anom ternyata ada juga
yang sudah mengenalnya. Tetapi karena geraknya yang
terbatas sebagai seorang prajurit, maka orang yang
mengenalinya tidak sebanyak Kiai Gringsing.
Seorang yang sudah sebaya Kiai Gringsing yang
mengenalnya dengan baik telah menghentikannya.dan
berTanya, " Kiai akan pergi kemana sepagi ini?"
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, " Ada sedikit
keperluan di Pajang."
" Pajang" Jadi Kiai akan menempuh perjalanan sejauh itu?"
bertanya orang itu pula. " Bukankah Pajang tidak terlalu jauh?" desis Kiai
Gringsing. Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, " Aku belum
pernah melihat Pajang. Tetapi apakah keperluan Kiai ke
Pajang?" Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Ia sudah terbiasa
mendengar pertanyaan seperti itu. Seolah-olah orang itu
berkepentingan dengan kepergiannya. Tetapi memang sudah
menjadi kebiasaan bahwa pertanyaan yang demikian itu
dilontarkan kepada orang-orang yang lewat dan apalagi
bepergian. Namun Kiai Gringsing menjawab juga, " Ada salah seorang
kadangku yang memerlukan aku datang. Itulah sebabnya kami
pergi bertiga, karena keduanya ini juga termasuk kadangku
yang dipanggil untuk keperluan yang sama di Pajang."
Orang itu mengangguk-angguk. Agaknya ia sudah puas
bahwa orang yang lewat itu sudah memberitahukan keperluan
kepadanya. Demikianlah maka Kiai Gringsingpun telah menerus-kan
perjalanannya bersama Ki Jayaraga dan Sabungsari. Di jalanjalan
yang mereka lewati, nampaknya orang-orang tidak
banyak memperhatikan mereka. Dua orang tua yang dikawani
oleh seorang yang masih muda menempuh perjalanan melalui
jalan-jalan bulak dan jalan-jalan padukuhan. Apalagi dipagi
hari, jalan-jalan masih nampak ramai terutama oleh orangorang
yang kembali dari dan pergi ke pasar.
Nampaknya suasana terasa tenang dimana-mana.
Meskipun demikian ketiga orang itu tidak lepas dari sikap
berhati-hati. Ternyata bahwa diperjalanan Raden Rangga dan
Glagah Putih telah bertempur dengan orang-orang Watu
Gulung apapun sebabnya, sehingga kemungkinan yang sama
dapat juga terjadi atas mereka.
Sebenarnya waktu yang disediakan cukup longgar bagi
mereka, jika mereka hanya sekedar ingin mencapai tempat
yang sudah ditentukan untuk sating berhubungan. Tetapi
waktu yang akan banyak dipergunakan adalah usaha mereka
untuk menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih yang
sudah berjalan mendahului mereka.
Dihari pertama, pada perjalanan yang masih belum jauh,
sesekali mereka singgah di kedai untuk sekedar makan dan
minum. Selama mereka berada di kedai bersama beberapa
orang yang lain, rasa-rasanya merekapun tidak pernah
mendengar persoalan-persoalan yang cukup gawat yang perlu
mendapat perhatian khusus. Jika mereka menyebut juga
tentang persoalan yang timbul diantara penghuni padukuhan
padukuhan, maka persoalannya berkisar pada kesalah
pahaman saja, Mungkin tentang air di sawah yang salah
menghitung saat-saat menerima giliran. Atau mungkin tentang
anak-anak yang nakal dan saling berkelahi atau tentang
binatang yang digembalakan di sawah tanpa disadari telah
merusak tanaman. Persoalan-persoalan yang demikian akan
dengan cepat dapat diatasi oleh para bebahu padukuhan dan
Kademangan sehingga persoalan itupun cepat pula dianggap
selesai. Namun demikian, sekali pernah juga didengarnya tentang
pencurian. Tetapi pencurian merupakan sesuatu yang jarang
sekali terjadi. Bahkan penjual di kedai itu terkejut ketika
seorang pembelinya mengatakan tentang pencurian ternak di
padukuhannya. " Ada juga orang yang mencuri?" bertanya penjual itu.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Baru pertama kali terjadi sejak beberapa bulan terakhir."
jawab orang yang berceritera tentang pencurian itu, " tetapi
nampaknya bukan seorang yang memerlukan ternak.
Ternyata kemudian diketemukan ditempat yang sepi di hutan
perdu oleh seorang pencari kayu, bekas orang yang
menyembelih kambing. Agaknya ternak yang hilang itu
langsung disembelih dan dimakan oleh sekelompok orang.
Ditempat itu masih tercecer sisa-sisa bagian dari kambing
yang disembelih itu dan bekas perapian."
" Menarik sekali." desis penjual di kedai itu, " tetapi dengan
demikian justru merupakan persoalan yang lebih gawat dari
pencurian biasa. Apakah mungkin sekelompok anak-anak
muda yang nakal yang berbuat sesuka hati, tanpa
menghiraukan batas-batas kepentingan orang lain?"
" Entahlah." jawab orang yang menceriterakan tentang
pencurian itu. Namun ia masih menceriterakan tentang
beberapa hal dari peristiwa itu. Tetapi kemudian mereka tidak
membicarakan lebih panjang lagi. Mereka mulai berbicara
tentang persoalan-persoalan mereka sehari-hari.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari setelah
membayar harga makanan mereka, maka merekapun
meninggalkan kedai itu, merekapun ternyata telah tertarik
dengan ceritera tentang seekor kambing yang hilang dan
diketemukan setelah disembelih ditempat yang sepi. Bahkan
masih terdapat beberapa bagian yang tersisa. Dengan
demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pencurian itu
mempunyai alasan yang lain dari pencurian biasa. Tetapi
mereka tidak dapat dengan serta merta menanyakan bahkan
mengusutnya, karena hal itu akan dapat menimbulkan
kecurigaan. Namun berdasarkan pada pembicaraan itu, mereka dapat
mengira-irakan, disebelah manakah letak hutan perdu yang
dimaksudkan. " Agaknya pencurian itu terjadi di padukuhan disebelah
Timur padukuhan ini." desis Sabungsari.
" Ya." sahut Ki Jayaraga, " lalu hutan perdu itu terletak di
sebelah bulak. Mereka menyebut sebatang sungai. Agaknya
untuk sampai ketempat itu, dapat ditelusuri, sungai dari
padukuhan yang dimaksudkan."
" Kita dapat lewat hutan perdu itu." berkata Kiai Gringsing,
" rasa-rasanya ingin melihat, apa yang telah ter-jadi ditempat
itu." " Aku setuju." desis Sabungsari, " hanya sekedar ingin
melihat." Demikianlah maka mereka bertiga telah mengikuti arus
sungai yang melalui padukuhan disebelah Timur dari
padukuhan ditempat Kiai Gringsing dan kedua orang yang
bersamanya singgah dikedai. Sungai itu memang tidak begitu
besar. Tetapi agaknya sungai itu tidak pernah kering
disepanjang musim. Airnya yang jernih gemericik disela-sela
batu-batu yang besar yang berserakan. Ditepian terhampar
pasir yang berwarna kelabu.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah
meninggalkan tanah persawahan yang terbentang disebelah
tanggul sungai itu. Karena itu, maka ketiga orang itupun telah
memanjat tebing yang tidak begitu tinggi dan berdiri diatas
tanggul. Diujung daerah persawahan terdapat padang rumput yang
tidak begitu luas, namun berbatu-batu yang agaknya semula
dilemparkan dari sungai itu disaat banjir bandang. Sehingga
dengan demikian padang rumput itu tidak dapat digarap untuk
tanah perwahan. Sebelah padang rumput terdapat padang
perdu sebelum mencapai sebuah hutan yang nampaknya
masih cukup lebat. " Marilah." berkata Sabungsari, " kita melihat padang perdu
itu. Mungkin ada yang menarik perhatian."
Ketiga orang itupun kemudian telah melewati padang
rumput yang berbatu-batu dan memasuki padang perdu yang
ditebari oleh pepohonan perdu dan gerumbul-gerumbul.
Beberapa diantara gerumbul-gerumbul itu adalah gerumbulgerumbul
berduri. Sekali-sekali mereka dikejutkan oleh seekor
tikus hutan yang meloncat dan berlari melintas dari gerumbul
yang satu kegerumbul yang lain.
Untuk beberapa saat mereka berjalan berputar-putar di
Imam Tanpa Bayangan 2 Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Pedang Penakluk Iblis 8
meledak mengoyak selaput telinga, namun sentuhannya
mampu melukai tubuh lawannya. Meskipun sekali dua kali
luka itu segera dapat dipampatkan, tetapi serangan yang
diluncurkan lewat sorot matanya, dan sekali-sekali
menyentuhnya, betapapun tinggi daya tahan dan ilmunya,
namun Ki Ajar sulit untuk dapat bertahan.
Dengan demikian, maka perlawanan Ki Ajar itupun semakin
lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia telah meloncat
justru berusaha mengambil jarak. Tetapi setiap kali ketiga ujud
Agung Sedayu itu selalu memburunya dari arah yang berbeda.
Meskipun sekali dua kali ia sempat membuat, ketiga ujud itu
mencari-cari arah, namun kemampuan Agung Sedayu itu
benar-benar sangat membingungkannya.
Tetapi Ki Ajar itu masih belum menyerah. Tiba-tiba saja Ki
Ajar itu telah meloncat-loncat, sekali nampak, kemudian
menghilang, menuju ketempat yang sejauh-jauhnya dapat
dicapainya. Ketika ia kemudian berdiri diantara dua batang
pohon pandan raksasa, di pinggir rawa-rawa, maka iapun
telah berdiri tegak menghadap kearah lawan-lawannya.
Ki Ajar itu pun kemudian telah menggenggam kedua
tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantainya dan
mengarahkan kedua ujung tongkat itu kepada lawanlawannya..
Bulatan-bulatan api itu meluncar dengan cepatnya susul
menyusul, seakan-akan tanpa jarak. Dengan cermat Ki Ajar
mengarahkan bulatan-buatan api dari kedua ujung tongkatnya
itu ke sasaran yang yang terdiri dari ketiga ujud Agung Sedayu itu.
Ternyata cara yang ditempuh oleh Ki Ajar itu berhasil.
Ketiga ujud itu harus berloncatan melenting, berguling dan
berloncatan menghindari serangan itu.
Sebenarnya1 Agung Sedayu juga merasakan, betapa
bulatan-bulatan api itu benar-benar menyentuh dan menggigit
kulitnya. Semakin lama terasa menjadi semakin sakit. Susul
menyusul. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja satu diantara ketiga
ujud itu telah berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada
sambil memeluk cambuknya, seperti saat-saat tubuh itu akan
tumbuh menjadi tiga. Namun Agung Sedayu kini benar-benar telah berusaha
mempergunakan ilmu puncaknya. Ia tidak lagi ingin bertempur
terlalu lama. Karena itu, maka iapun telah memusatkan ilmunya tanpa
menghiraukan serangan lawannya. Ia masih membiarkan
kedua ujudnya yang bergerak dengan sendirinya untuk
mengurangi arah serangan Ki Ajar terhadap dirinya dan
wadagnya yang sebenarnya.
Dengan demikian, maka pancaran sorot matanya itu
seakan-akan tubuh Ki Ajar yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi itu. Namun Ki Ajarpun kemudian menyadari, karena ketajaman
penglihatannya atas lawannya, bahwa orang yang berdiri
tegak dengan tangan bersilang itulah lawannya yang sangat
berbahaya. Karena itu, maka Ki Ajar telah memusatkan serangannya
lewat kedua ujung tongkatnya kearah ujud yang satu itu.
Demikianlah, dua lontaran ilmu yang sudah benar-benar
sampai kepuncak saling menyerang. Sorot mata Agung
Sedayu telah menusuk langsung ke dada Ki Ajar, sementara
itu bulatan-bulatan api yang tidak kalah garangnya telah
membakartubuh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa
Agung Sedayu memiliki kelebihan dari lawan-lawannya.
Betapapun kulitnya merasa sakit, namun kulitnya itu sama
sekali tidak terluka karenanya. Bahkan ilmu kebalnya telah
mampu menahan dan melemahkan rasa sakit itu, sehingga
untuk beberapa saat masih mampu diatasi oleh Agung
Sedayu. Namun demikian, kemarahan yang semakin mencengkam
jantungnya oleh serangan-serangan Ki Ajar itu, telah membuat
Agung Sedayu benar-benar menghentakkan ilmunya sampai
kepuncak. Ki Ajar yang tidak menghindari serangan Agung Sedayu itu
merasakan, betapa kedahsyatan ilmu lawannya itu menusuk
ke dalam dadanya. Isi dadanya itupun rasa-rasanya bagaikan
diremas. Jantungnya tidak lagi mampu berdenyut
sebagaimana seharusnya, sementara paru-parunya tidak lagi
dapat menampung nafasnya yang memburu.
Ki Ajar masih berusaha untuk mengerahkan ilmunya pula.
Bulatan-bulatan api itu memang memancar semakin deras.
Tetapi hanya untuk sesaat. Sesaat kemudian, maka tatapan
matanyapun menjadi semakin meremang. Pandangannya
mulai kabur, sehingga ia tidak lagi dapat melihat ujud Agung
Sedayu dengan jelas, apalagi kedua ujudnya yang lain yang
memang semakin lama menjadi semakin kabur. Perlahanlahan
kedua ujud itu semakin mendekat kearah Agung Sedayu
dan akhirnya telah lenyap menyatu.
Pada saat yang bersamaan, serangan Ki Ajar pada
gelombang yang terakhir itu telah melanda tubuh Agung
Sedayu yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan
tangannya yang memeluk cambuknya. Demikian dahsyatnya
hentakkan terakhir yang susul menyusul itu, sehingga Agung
Sedayu yang memiliki ilmu kebal itu harus menyeringai
menahan kesakitan yang sangat. Bahkan akhirnya perasaan
sakit itu telah benar-benar mempengaruhi ketahanan tubuh
Agung Sedayu sehingga telah mampu mengganggu
keseimbangannya. Agung Sedayu memang menjadi goyah. Perasaan sakit itu
hampir tidak dapat diatasinya, sehingga karena itu, maka
tubuhnya mulai terbongkok, sementara lututnya mulai
merendah. Namun pada saat-saat Agung Sedayu mengalami
kesulitan, Ki Ajar tidak lagi mampu bertahan. Isi dadanya
bagaikan telah dilumatkan oleh sorot mata Agung Sedayu
yang memancarkan ilmunya yang luar biasa itu.
Karena itu, maka Ki Ajarpun telah terguncang pula.
Tubuhnya terdorong selangkah surut. Namun kemudian iapun
telah kehilangan keseimbangannya, sehingga tubuh itupun
terjatuh diantara pohon pandan raksasa dipinggir rawa-rawa itu.
Sejenak arena itu menjadi hening. Dalam keadaan yang
sulit, Agung Sedayu masih dapat bertahan untuk tetap berdiri.
Namun dalam pada itu. Sekar Mirah agaknya tidak lagi
dapat menahan diri. Iapun telah berlari kearah Agung Sedayu
berdiri. Dengan serta mertaSekar Mirah lalu memeluknya
sambil bertanya sendat " Bagaimana keadaanmu kakang"
Agung Sedayu yang dalam keadaan lemah itu menjawab "
Aku tidak apa-apa Mirah. "
Sekar Mirahpun kemudian membantu Agung Sedayu
berjalan tertatih-tatih ketepi. Dengan hati-hati Sekar Mirah
membantu Agung Sedayu duduk dibawah sebatang pohon
pandan yang besar, sehingga akar-akarnya merupakan
tempat bersandar yang kuat.
Pandan Wangi menarik nafas sambil memalingkan
wajahnya. Iapun telah dicengkam oleh kecemasan yang
sangat. Namun rasa-rasanya semuanya telah lewat.
Ketika Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mendekati tubuh Ki
Ajar yang terbaring, maka Pandan Wangipun telah
mengikutinya pula. Ketika mereka semakin dekat, maka Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga pun telah melangkah semakin
cepat. Bahkan berlari-lari. Ternyata sebagian tubuh Ki Ajar
telah terendam di air rawa-rawa.
Dengan tergesa-gesa keduanya telah mengangkat tubuh
itu dan membaringkannya di tempat yang kering.
Namun Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemarahan Agung Sedayu ternyata telah menimbulkan akibat
yang gawat. Ki Ajar benar-benar dalam keadaan yang sangat
parah. Bahkan menurut penglihatan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga, maka agaknya tidak ada harapan lagi bagi Ki Ajar
untuk disembuhkan. Pada saat Kiai Gringsing mengambil obat didalam sebuah
bumbung kecil di kantong ikat pinggangnya, maka segalanya
telah terlambat. Ki Ajar yang pingsan itu telah
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain
menyilangkan tangannya di dadanya.
Untuk sementara, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya
dapat menyisihkan tubuh itu menepi, dibawah sebatang pohon
pandan yang besar. Merekapun kemudian meninggalkan
tubuh itu, dan mendekati tubuh-tubuh lain yang terbaring.
Dengan kemampuan pengobatan Kiai Gringsing, maka
orang-orang itupun segera menyadari keadaan mereka.
Namun rasa-rasanya tubuh mereka menjadi sangat lemah
sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan
orang-orang yang berilmu tinggi itu.
Kepada mereka Kiai Gringsing pun kemudian berkata
"Lihatlah. Siapakah yang terbaring itu. "
Keempat orang yang lemah itu telah memaksa diri untuk
melangkah mendekati tubuh yang diam itu. Ketika mereka
bersama-sama berjongkok di sampingnya, maka darah
mereka serasa berhenti berdenyut.
Murid yang tertua dari Ki Ajar itu telah meraba tubuh yang
membeku itu. Dengan nada berat ia berdesis " Guru telah
meninggal. " Saudara-saudaranya merasa darahnya melonjak. Tetapi
mereka harus mengakui kenyataan yang terjadi atas diri
mereka masing-masing. Tubuh mereka yang lemah dan lawan
yang yang terlalu kuat. " Apa yang dapat kita lakukan" " tiba-tiba seorang diantara
keempat murid Ki Ajar itu berdesis.
Yang tertua diantara keempat orang murid Ki Ajar itu
berdesis " Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka adalah
orang-orang yang berilmu tinggi. Aku tidak mengira bahwa
guru pada akhirnya akan mengalami nasib yang demikian
pahitnya. Padahal guru adalah orang yang tidak mungkin
terkalahkan. " " Agaknya Agung Sedayu memang orang yang memiliki
ilmu yang tidak ada duanya " desis salah seorang diantara
murid Ki Ajar itu. Diluar sadar maka mereka serentak berpaling kearah
Agung Sedayu yang berada di ujung lain dari tempat yang
lapang diantara hutan pandan itu.
Murid tertua itu berdesis " Agaknya Agung Sedayu juga
mengalami kesulitan. "
" Tetapi ia masih mampu bertahan " desis salah seorang
saudara seperguruannya. Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang
diantara mereka berkata " Apakah kita dapat mengambil
sikap" " Yang tertua diantara murid Ki Ajar itu termangu-mangu.
Diluar sadarnya ia memandang berkeliling. Memandang
kearah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon pandan.
" Kita tidak tahu, apakah rawa-rawa itu dalam atau tidak "
desis yang tertua " kita juga tidak tahu, apakah diantara akarakar
pandan itu bersembunyi ular air atau tidak. "
Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Namun
mereka tidak dapat membicarakan lebih jauh. Beberapa saat
kemudian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah mendekati
mereka. " Ki Sanak " berkata Kiai Gringsing " marilah. Bawa tubuh Ki
Ajar itu ketempat yang lebih baik. Kita harus membawanya ke
banjar dan menyelenggarakannya sebaik-baiknya. "
Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Mereka
benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk mencari jalan
keluar dari tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang
ternyata menyimpan orang-orang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka yang dapat mereka lakukan
hanyalah melakukan perintah Kiai Gringsing, membawa tubuh
gurunya kedekat Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Beberapa
langkah disebelah Pandan Wangi berdiri tegak memandangi
keempat orang yang membawa tubuh gurunya itu dengan
saksama. Namun Pandan Wangi telah menyarungkan
sepasang pedangnya. Keempat orang itupun kemudian melihat keadaan Agung
Sedayu yang mendebarkan. Ketika Agung Sedayu kemudian
berdiri dengan berat, maka nampaklah bahwa pakaiannya
telah terkoyak-koyak oleh api Ki Ajar. Namun tubuhnya masih
tetap utuh karena ia masih mampu melindungi dirinya dengan
ilmu kebalnya, meskipun ia tidak dapat menahan rasa sakit
yang sempat menyusup menembusnya.
Kiai Gringsingpun kemudian mendekati Agung Sedayu
yang sudah berdiri. Namun kemudian iapun menyadari akan
keadaan Agung Sedayu. Pakaiannya sudah tidak berujud lagi,
sehingga dengan demikian, maka sulit bagi Agung Sedayu
untuk kembali dalam keadaan seperti itu.
Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun kemudian bertanya
kepada Agung Sedayu " Bagaimana dengan kau dan
keadaanmu itu" "
" Badanku sudah terasa membaik guru. Tetapi pakaianku
ini " desisnya. Sebelum Kiai Gringsing berkata lebih lanjut, maka Ki
Jayaragalah yang menyahut " Biarlah aku pergi ke padukuhan
terdekat. Mungkin aku akan mendapatkan pakaian untuk
Agung Sedayu. " " Jika orang-orang padukuhan itu bertanya" " desis Kiai
Gringsing. " Biarlah aku mengatakan bahwa Agung Sedayu telah
terjebur dirawa-rawa. Kudanya tergelincir masuk kedalam air
lumpur, sehingga ia memerlukan berganti pakaian " jawab Ki
Jayaraga. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian
dipandanginya Agung Sedayu yang masih dibantu oleh Sekar
Mirah " Baiklah. Silahkan. "
Ki Jayaragapun segera mengambil kudanya. Sejenak
kemudian terdengar kaki kuda itu berderap.
Sementara itu, Kiai Gringsing merasa perlu untuk berbicara
dengan keempat orang murid Ki Ajar itu. Agaknya mereka
dicengkam oleh kebingungan dan ketidak pastian.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata " Ki
Sanak. Kami akan membawa Ki Sanak untuk pergi ke Tanah
Perdikan Menoreh. Ki Sanak harus menghadap Ki Gede dan
mempertanggung jawabkan langkah laku Ki Sanak selama Ki
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanak berada di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, kami beri
kalian kesempatan untuk menguburkan gurumu. Teserah
kepada pilihan kalian. Apakah kalian akan menguburnya
disini. Sudah tentu agak jauh dari rawa-rawa itu, agar
tubuhnya tidak terendam air. Atau kita akan membawanya ke
padukuhan induk Tanah Perdikan dan menguburkannya
disana. " Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Yang
tertua diantara merekapun bertanya " Jika kami membawa ke
padukuhan induk, apakah tidak akan ada persoalan yang
timbul dengan kehadiran kami diantara orang-orang Tanah
Perdikan. " " Kamilah yang membawa kalian ke padukuhan induk.
Dengan demikian maka kamilah yang akan
mempertanggungjawabkannya " jawab Kiai Gringsing.
Keempat orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun
kemudian yang tertua diantara mereka bertanya " Jika kami
bawa tubuh guru ke padukuhan induk, dimana kami harus
menguburkannya" "
" Tentu dikuburan " jawab Kiai Gringsing " mungkin
ditempat itu, kuburan akan mudah dikenali. Agak berbeda jika
kalian menguburkannya disini. "
Keempat murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Agaknya
mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu,
maka yang tertua itupun kemudian berkata " Baiklah Kiai, kami
akan membawanya kepadukuhan induk."
Namun keempat Orang itupun menyadari, bahwa mereka
tentu akan menjadi tawanan orang-orang Tanah Perdikan.
Bahkan mungkin mereka masih harus menjawab berbagai
macam pertanyaan yang kemudian diajukan oleh para
pemimpin Tanah Perdikan itu kepada mereka. Bahkan
mungkin dapat terjadi salah paham, sehingga mereka akan
diperas untuk menjawab pertanyaan yang tidak mereka
ketahui. Tetapi akibat itu memang harus ditanggungkannya.
Demikian, maka ketika Kiai Gringsing memerintahkan
orang-orang itu mempersiapkan tubuh guru mereka, Agung
Sedayu masih sempat membuat sebuah belik kecil dengan
menggali pasir tidak jauh dari rawa-rawa. Meskipun airnya
yang timbul dari celah-celah pasir itu tidak terlalu jernih, tetapi
agaknya lebih bersih dari air rawa-rawa itu.
Dengan air itu Agung Sedayu telah mencuci wajahnya.
Terasa segarnya air itu merambat sampai ketulang
sungsumnya. Namun sejenak kemudian telah terdengar derap kaki kuda.
Ketika mereka berpaling mereka melihat Ki Jayaraga
menyusup diantara batang-batang pandan, memasuki daerah
yang lapang itu. " Ini " berkata Ki Jayaraga yang sudah turun dari kudanya.
Diberikannya selembar kain panjang dan sebuah baju lurik
ketan ireng. " Aku tidak tahu, apakah baju itu cukup kau pakai atau
tidak" desis Ki Jayaraga.
" Terima kasih " Sekar Mirahlah yang menyahut sambil
menerima pakaian itu. Agung Sedayupun kemudian mengenakan kain panjang itu
untuk merangkapi kainnya. Sementara itu, iapun telah
melepaskan bajunya yang koyak dan mengenakan baju yang
dipinjam oleh Ki Jayaraga itu.
" Agak terlalu longgar " desis Sekar Mirah. Lalu iapun
bertanya kepada Ki Jayaraga " baju siapa" "
" Derma, penjual nasi dipadukuhan sebelah " jawab Ki
Jayaraga. " Pantas " sahut Sekar Mirah " Derma yang gemuk itu. "
Demikianlah, maka segalanya telah siap. Para murid Ki
Ajar itu telah menyiapkan tubuh gurunya yang terbunuh
dipeperangan itu melawan Agung Sedayu. Sementara yang
lainpun, termasuk Agung Sedayu telah bersiap pula.
" Kami juga akan bersama Kiai " jawab Agung Sedayu.
" Kau perlu segera beristirahat " sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
bertanya " Lalu apa kata Guru jika orang-orang padukuhan
yang guru lewati itu bertanya" "
Kiai Gringsing memandang Ki Jayaraga sejenak. Namun Ki
Jayaragalah yang menjawab " Biarlah aku yang memberikan
keterangan. Aku akan mengatakan bahwa telah terjadi
kecelakaan. Kami akan melaporkannya kepada Ki Gede."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
menduga bahwa Ki Jayaraga tentu akan berkata sebagaimana
adanya. Tetapi karena Ki Jayaraga sudah banyak dikenal oleh
orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka agaknya tidak
akan ada kesulitan baginya meskipun ia berkata sebenarnya.
Demikianlah, maka atas desakan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga, maka Agung Sedayupun telah mendahului
dipunggung kudanya bersama Sekar Mirah dan Pandan
Wangi. Tetapi karena keadaan tubuh Agung Sedayu yang
masih lemah dan nyeri dibeberapa bagian, maka mereka
bertiga tidak berpacu terlalu cepat. Kuda mereka berlari kecil
menyusuri jalan bulak dan padukuhan. Sementara itu Agung
Sedayu mengenakan kain rangkap dan baju agak kebesaran.
Tetapi perjalanannya tidak banyak menarik perhatian.
Apalagi bersamanya adalah Sekar Mirah, isteri Agung Sedayu
dan Pandan Wangi, satu-satunya anak perempuan Ki Gede
Menoreh. Sekali-sekali mereka memang harus berhenti menjawab
beberapa pertanyaan. Namun Agung Sedayu selalu berusaha
menyembunyikan perasaan sakit dan pedihnya. Apalagi ketika
angin yang sejuk telah mengusap tubuhnya, maka rasarasanya
perlahan-lahan perasaan pedih itupun semakin susut.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berjalan
dibelakang keempat orang yang membawa tubuh gurunya.
Sebenarnyalah bahwa banyak orang yang bertanya tentang
tubuh itu. Namun seperti yang diduga oleh Agung Sedayu,
maka Ki Jayaraga tidak bersama untuk berbohong.
" Satu pertarungan maut " jawab Ki Jayaraga " orang ini
menantang Agung Sedayu berperang tanding. Adalah
nasibnya yang buruk. Akhirnya orang itu terbunuh."
" Bagaimana dengan Agung Sedayu" " bertanya
seseorang. " Ia sudah kembali lebih dahulu bersama isterinya dan
Pandan Wangi " jawab Ki Jayaraga.
" Ya. Aku tadi melihat Agung Sedayu lewat " sahut
seseorang. Demikianlah, setiap pertanyaan selalu mendapat jawaban
yang sama. Ki Jayaraga tidak mau mempersulit diri dengan
menyusun jawaban-jawaban yang harus dika-rangkannya.
Dengan demikian maka berita tentang perang tanding itu
cepat menjalar di, Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang dan
apalagi setiap anak mudapun telah membicarakannya.
Bahkan para pemimpin kelompok pengawal Tanah
Perdikan tidak datang kerumah Agung Sedayu untuk
mendapat keterangan yang jelas tentang tubuh itu.
Namun ketika anak-anak muda itu datang kerumah Agung
Sedayu, maka Agung Sedayu itupun memberitahukan kepada
mereka, bahwa tubuh itu telah dibawa ke rumah Ki Gede.
" Tubuhku terasa sangat letih oleh perang tanding itu "
berkata Agung Sedayu " Ki Ajar memiliki ilmu yang sangat
tinggi, yang hampir saja melumatkan tubuhku. Itulah, karena
kecemasanku tentang diriku sendiri, aku telah membunuhnya
diluar kesadaranku. "
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka
mengerti bahwa Agung Sedayu memerlukan beristirahat.
Karena itulah, maka merekapun tidak terlalu lama berada dirumahnya.
Anak-anak muda itu langsung menuju kerumah Ki
Gede untuk mendapat sekedar keterangan tentang orang
yang terbunuh itu. Ki Jayaragalah yang kemudian menjelaskan kepada
mereka, apa yang terjadi dengan Agung Sedayu, dan apa
yang terjadi dengan orang itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang
diantara mereka berdesis " Kenapa Agung Sedayu tidak
memberi isyarat kepada kami. "
Kawannya tiba-tiba saja membentaknya " Buat apa
memberi isyarat kepada kita. Jika demikian maka tentu akan
jatuh korban diantara kita. Tetapi jika orang itu
diselesaikannya sendiri, maka tidak akan ada korban yang
jatuh. - " Tetapi Agung Sedayu sendiri terluka " desis yang
pertama. " Bukankah lukanya tidak berbahaya" Ia mempunyai ilmu
kebal yang dapat melindungi kulitnya dari luka. Mungkin
perasaan sakit dapat menyusup ilmu kebalnya. Tetapi kulitnya
tetap tidak terluka sama sekali " jawab kawannya.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan apapun lagi. Dengan peristiwa itu, maka kekaguman anak-anak
Menoreh kepada Agung Sedayu menjadi semakin bertambahtambah.
Mereka menganggap bahwa Agung Sedayu termasuk
salah seorang diantara mereka yang sulit untuk dikalahkan,
meskipun Agung Sedayu termasuk seorang yang masih
muda. Dalam pada itu, dirumahnya Agung Sedayu memang
berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Dengan cairan
obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuh Agung Sedayu
yang dibasahi oleh Sekar Mirah terasa menjadi baik.
Sementara itu Pandan Wangi yang ikut berada di rumah itu,
telah membantu Sekar Mirah dengan merebus air.
" Aku akan membuat minuman panas " berkata Pandan
Wangi " mudah-mudahan tubuh Agurig Sedayu menjadi
semakin baik. Sebenarnyalah ketika ia kemudian meneguk minuman
hangat, memang terasa tubuhnya menjadi semakin tegar.
Maka keringat kemudian mengalir, maka perasaan pedih dan
nyeri itu bagaikan telah hanyut karenanya.
Sementara itu, atas perintah Ki Gede, maka beberapa
orang pengawai Tanah Perdikan telah membantu keempat
murid Ki Ajar itu untuk menguburkan gurunya. Ternyata Ki
Gede telah mengijinkan mayat itu dikubur agak terpisah, agar
mudah dikenali, meskipun masih tetap berada didalam batas
pekuburan. Sebuah batu yang agak besar telah dijadikan pertanda
pada kuburan itu. Kemudian ditanaminya sebatang pohon
semboja dibawah kuburan itu.
Hari itu, Agung Sedayu benar-benar beristirahat untuk
memulihkan keadaannya. Sementara itu keempat orang murid
Ki Ajar telah disimpan disebuah ruangan khusus di rumah Ki
Gede. Namun dengan demikian, maka harus ada orang-orang
khusus yang mengawasi mereka, karena mereka adalah
orang-orang yang berilmu tinggi.
Namun orang-orang yang berilmu tinggi itu tidak dapat
berbuat apa-apa dihadapan para pemimpin Tanah Perdikan
Menoreh. Mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
hampir tanpa tanding. Mereka sama sekali tidak tahu apa
yang terjadi atas diri mereka pada saat mereka harus
bertempur melawan orang tua itu. Dua orang murid Ki Ajar
sama sekali tidak mengerti, bagaimana caranya kedua orang
tua itu melumpuhkan mereka.
Selagi orang-orang itu menjadi tawanan di Tanah Perdikan,
maka Ki Jayaraga terpaksa berada di rumah Ki Gede.
Bersama Pandan Wangi orang tua itu mendapat tugas untuk
mengamati para tawanan disamping sekelompok pengawal
terpilih. Tetapi agaknya keempat orang itu sama sekali tidak berniat
untuk berbuat sesuatu. Namun demikian Ki Gede selalumemperingatkan kepada
para pengawal yang bertugas " Jangan lengah. Mungkin
mereka sengaja memberikan kesan bahwa mereka sudah
tidak berniat untuk berbuat apa-apa. Baru jika kalian lengah,
maka mereka berusaha untuk lepas dari tangan kalian. "
Karena itulah, maka para pengawalpun selalu mengamati
keempat tawanan mereka dengan hati-hati. Apalagi mereka
menyadari, bahwa keempat orang itu akan dengan mudah
dapat menghancurkan dinding. Bahkan dinding yang sekuat
apapun. Setiap kelompok pengawal, selalu menempatkan orangorangnya
dibeberapa sisi dari bilik tahanan yang khusus itu.
Tetapi nampaknya keempat orang itu memang tidak akan
melarikan diri. Untuk menekan setiap rencana yang dapat mengacaukan
para pengawal, maka setiap kali Ki Jayaraga atau Kiai
Gringsing atau Agung Sedayu sendiri yang telah menjadi pulih
kembali, menjenguk mereka berganti-ganti. Dengan demikian
maka keempat orang itu merasa bahwa mereka selalu diawasi
oleh orang-orang berilmu tinggi itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Kiai Gringsing,. Ki
Jayaraga dan Ki Gede telah membicarakan, apakah yang
akan mereka lakukan terhadap keempat orang itu.
" Kita akan mengalami kesulitan jika mereka tetap kita
simpan disini. Kita tidak mempunyai tempat yang memadai
yang dinding-dindingnya diperbuat dengan batang-batang besi
apalagi baja. Atau setidaknya batu " berkata Ki Gede.
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing " jika demikian maka
sebaiknya orang-orang itu kita bawa ke Mataram. Kita akan
menyerahkan keempat orang itu sekaligus memberikan
laporan tentang perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih. "
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya " Jika
demikian aku sependapat Kiai. Mungkin Mataram memiliki
tempat yang lebih baik dan memiliki Senapati yang berilmu
tinggi, sehingga keempat orang itu bagi Mataram tidak
menjadi masalah lagi. Tetapi untuk membawanya ke Mataram
diperlukan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Karena
akan dapat terjadi kemungkinan yang tidak dikehendaki
diperjalanan. " " Biarlah aku bawa bersama saat aku kembali ke Jati Anom
Ki Gede. Pandan Wangipun telah terlalu lama meninggalkan
suaminya. Melampaui waktu yang sudah dijanjikan " berkata
Kiai Gringsing. "- Tetapi Swandaru tidak akan berkeberatan, karena
Pandan Wanefi berada dirumahnya sendiri " jawab Ki Gede.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Tetapi Swandaru dapat saja menjadi gelisah, karena ia
dapat menduga, bahwa ada kemungkinan terjadi sesuatu
diperjalanan sehingga Ki Gede menganggap bahwa Pandan
Wangi telah berada di Sangkal Putung, sementara itu ternyata
ia masih belum sampai " berkata Kiai Gringsing.
Ki Gede mengangguk-angguk, la memang tidak akan dapat
menahan Pandan Wangi lebih lama lagi. Tetapi ia masih juga
bertanya tentang keempat orang itu " Kiai, apakah Kiai akan
membawa keempat orang itu hanya berdua dengan Pandan
Wangi" " Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya
" Aku akan minta Ki Jayaraga dan Agung Sedayu bersama
kami ke Mataram, menghadap Panembahan Senapati. Atau
jika Panembahan kebetulan tidak ada di istana, atau sedang
sibuk, kami dapat menemui Ki Juru Martani yang bergelar Ki
Patih Mandaraka. " Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sama sekali tidak
berkeberatan. Mereka memang juga merasa berkewajiban
untuk datang menghadap. Apalagi Agung Sedayu.
Karena itu, maka mereka memutuskan bahwa dalam waktu
dekat, keempat orang itu akan dibawa ke Mataram.
" Namun sebelumnya mungkin kita akan dapat berbincang
dengan mereka " berkata Kiai Gringsing. Lalu " Mungkin
orang-orang yang menyebut dirinya berasal dari Watu Gulung
itu mengenali padepokan yang disebut Nagaraga. "
Ki Gede sependapat. Memang mungkin mereka akan dapat
diajak berbicara serba sedikit tentang perguruan Nagaraga,
karena mereka juga berasal dari Timur sebagaimana orangorang
Nagaraga yang pernah berusaha untuk mencari
penyelesaian dengan jalan pintas. Membunuh Panembahan
Senapati. Karena itu, maka merekapun telah menentukan waktu yang
paling baik untuk berbicara dengan keempat orang itu,
sementara Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah
mempersiapkan pula perjalanan kembali ke Sangkal Putung.
Akhirnya, waktu itu tiba. Kiai Gringsing dan Pandan Wangi
telah menentukan, bahwa mereka akan kembali ke Sangkal
Putung dikeesokan harinya. Disaat matahari terbit. Akan
bersama mereka Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.
Namun mereka hanya akan sampai ke Mataram untuk
menyerahkan keempat orang yang mereka tangkap itu.
Tetapi karena mereka akan berjalan bersama Pandan
Wangi, serta agar tidak seorang diri dirumah, maka Sekar
Mirah dalam perjalanan itu akan ikut pula.
Namun sebelum dikeesokan harinya keempat orang itu
akan dibawa ke Mataram, maka malam itu keempat orang itu
akan diajak berbicara oleh Ki Gede dengan beberapa orang
lainnya yang ikut memimpin Tanah Perdikan Menoreh itu.
Ketika keempat orang itu dipanggil menghadap, maka
keempat orang itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka
tidak tahu apakah maksud Ki Gede memanggil mereka.
Meskipun mereka sudah mengira bahwa agaknya Ki Gede
akan berusaha untuk mengetahui sejauh-jauhnya tentang diri
mereka berempat. Sejenak kemudian maka mereka berempat sudah berada di
pringgitan. Dengan jantung yang berdebaran mereka melihat
disebelah Ki Gede itu duduk beberapa orang yang memang
mereka segani. Diantara mereka nampak Kiai Gringsing, Ki
Jayaraga, Agung Sedayu yang telah membunuh guru mereka,
kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
" Marilah Ki Sanak " dengan ramah Ki Gede
mempersilahkan. Satu sikap yang membuat keempat orang itu
semakin berdebar-debar, karena mereka mengenali orang
yang menilik sikapnya terlalu ramah, namun tiba-tiba segera
berubah menjadi seekor singa, apabila orang itu sudah
mengajukan pertanyaan dan tidak terjawab sebagaimana
keinginannya. " Ki Sanak " berkata Ki Gede seterusnya " ketahuilah,
bahwa kami telah memutuskan, bahwa besok akan kami
antarkan ke Mataram. Kalian akan kami titipkan dan bahkan
kami serahkan kepada Panembahan Senapati, karena kami
tidak mempunyai tempat yang memadai bagi Ki Sanak
berempat. " Keempat orang itu terkejut. Yang tertua dengan serta merta
telah bertanya " Pertimbangkan apakah yang telah mendorong
Ki Gede untuk melakukan hal itu" "
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian
jawabnya " Ada berbagai pertimbangan. Persoalan yang
terjadi itu mula-mula bersumber pada perselisihan antara
kalian dengan dua orang anak muda. Seorang diantaranya
adalah Glagah Putih, sepupu dan memang anak itu berada
dibawah tanggung jawab Agung Sedayu. Sedang anak muda
yang lain adalah Raden Rangga, putera Panembahan
Senapati. Sedangkan pertimbangan yang lain adalah, seperti
yang sudah aku katakan, disini kami tidak mempunyai tempat
yang memadai. " " Ki Gede, tempat yang Ki Gede berikan kepada kami
sudah cukup memadai. Tetapi kami mengerti, mungkin Ki
Gede mencemaskan bahwa kami akan melarikan diri " berkata
yang tertua diantara mereka. Lalu " Ki Gede, kami berjanji
bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa sampai Ki Gede
mengambil keputusan, hukuman apakah yang akan Ki Gede
jatuhkan kepada kami. Kami sudah berjanji untuk melakukan
semua hukuman dengan ikhlas, bahkan hukuman mati
sekalipun, karena kami memang merasa bersalah Kamipun
merasa heran, bahwa kami tidak dibunuh pada saat-saat
pertempuran itu terjadi di hutan pandan. Dengan demikian
kami merasa, bahwa kami memang jatuh ke-tangan orangorang
yang memiliki kematangan jiwa. Karena itu, maka kami
mohon agar kami tetap berada disini sambil menunggu
hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami. "
" Tidak Ki Sanak " berkata Ki Gede " kami tidak akan
menjatuhkan hukuman apapun. Semuanya terserah kepada
Mataram. Tetapi agaknya Matarampun tidak akan
menjatuhkan hukuman yang semena-mena. "
Keempat orang itu memang menjadi semakin berdebardebar.
Tetapi Ki Gede berkata selanjutnya " tetapi yakinkanlah
diri kalian, bahwa Panembahan Senapati akan bertindak adil.
Apalagi kalian tidak menciderai puteranya yang bernama
Raden Rangga itu. " Murid-murid Ki Ajar itu hanya dapat menundukkan
kepalanya. Mereka agaknya memang tidak akan dapat
mengusulkan sikap apapun yang pantas diperlakukan atas
mereka sendiri. Namun dalam pada itu, Ki Gedepun kemudian berkata
"Tetapi Ki Sanak. Sebelum kami besok mengantar kalian ke
Mataram, kami ingin sedikit mendapat beberapa penjelasan
tentang sesuatu yang mungkin Ki Sanak ketahui. "
Murid-murid Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Itulah
yang mereka cemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tentu
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menyulitkan kedudukan mereka diantara orang-orang yang
berilmu tinggi itu. " Ki Sanak " berkata Ki Gede pula " aku mohon kalian dapat
memberikan penjelasan kepada kami. Sebenarnyalah ada
yang ingin kami ketahui tentang daerah sebelah Timur yang
agak buram itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas." Keempat orang itu justru menarik nafas dalam-dalam.
Namun mereka memang merasa bahwa mereka tidak akan
dapat ingkar dari persoalan itu. Memang terbersit juga
perasaan kecewa dan menyesal, bahwa mereka telah
menelusuri kematian seorang saudara seperguruannya,
sehingga akhirnya mereka justru terjebak dalam persoalan
yang rumit itu. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Dan mereka berempat
sudah berada di dalam tahanan orang-orang Tanah Perdikan
Menoreh. Segala macam ilmu mereka yang dianggap sudah
cukup memadai itu, ternyata tidak banyak berarti di Tanah
Perdikan Menoreh, yang dianggapnya semula tidak lebih dari
padukuhan-padukuhan dan padesan pada umumnya
meskipun dalam kedudukan Tanah Perdikan. Namun ternyata
di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang aneh yang tidak
pernah dibayangkannya sebelumnya.
" Ki Sanak " suara Ki Gede tetap lunak. Namun terasa
menggetarkan jantung keempat orang itu. Ki Gede yang tidak
turun ke medan itu tentu juga orang yang pilih tanding Pandan
Wangi adalah muridnya, sekaligus satu-satunya anaknya, "
Yang ingin kami tanyakan, kegiatan apakah yang sedang
kalian lakukan selama ini. Apapula yang telah terjadi sehingga
Glagah Putih dan Raden Rangga telah membunuh seorang
diantara kalian. Murid Ki Ajar yang terlibat langsung dalam pertentangan
dengan Raden Rangga dan Glagah Putih itu menjadi semakin
berdebar-debar. Namun agaknya saudaranya yang tertualah
yang menjawab " Ki Gede. Persoalan itu timbul di sebuah
padukuhan. Agaknya memang tanpa sebab, Raden Rangga
dan Glagah Putih adalah anak-anak muda, sementara
saudara seperguruan kami adalah mereka yang masih pada
tataran tengahan yang nampaknya masih selalu ingin
menunjukkan kelebihannya. Itulah agaknya yang telah
mendorong mereka berbenturan. Sehingga akhirnya seorang
diantara saudara kami itu terbunuh. "
Ki Gede termangu-mangu. Sementara itu, salah seorang
murid Ki Ajar yang terlibat langsung itu masih saja berdebardebar.
Tetapi tentu saja tidak akan dapat mengatakan, bahwa
kedatangan kedua orang murid di padukuhan itu dan
kemudian seharusnya di beberapa padukuhan lain adalah
dalam rangka mempersiapkan jalur jalan dan persediaan yang
harus dikumpulkan menjelang perjalanan pasukan dari Timur.
Termasuk daerah subur yang mempunyai persediaan
makanan, Karena diperhitungkan bahwa untuk menjatuhkan
Mataram sudah tentu tidak akan dapat dilakukan dalam satu
dua hari atau satu dua pekan. Sehingga diperlukan bahan
makan yang cukup banyak bagi prajurit yang tidak terhitung
jumlahnya. " Itulah yang terjadi" " suara Ki Gede terasa semakin berat
menekan perasaan mereka. Keempat orang itu memang menjadi semakin gelisah.
Memang Ki Gede nampaknya tidak berbuat kasar. Tetapi
rasa-rasanya sesuatu memang dapat terjadi atas mereka.
Namun akhirnya Ki Gede itulah yang bertanya lagi " Ki
Sanak. Menurut pengamatanku, kalian sudah bukan anakanak
lagi sebagaimana Raden Rangga dan Glagah Putih.
Namun dalam pada itu, akupun yakin bahwa bukan Glagah
Putih dan Raden Rangga yang mendahului membuat
persoalan, karena aku kenal betul dengan mereka. Nah, coba
sebutkan, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Ki Ajar,
guru kalian telah memaksa diri untuk membela muridnya itu. "
Yang tertua diantara keempat murid Ki Ajar itu mencoba
untuk menjawab " Ki Gede. Jika kami ikut campur dalam
pertikaian ini, adalah semata-mata karena harga diri dari
perguruan kami yang kemudian kami sadari, agak berlebihan.
Namun bagaimanapun juga kami menyessi, namun semuanya
itu memang tidak akan ada artinya lagi. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi keempat orang itu
menyadari bahwa jawaban itu sama sekali tidak memberikan
kepuasan kepada pemimpin Tanah Perdikan Menoreh Itu.
Sementara itu Kiai Gringsingpun telah bertanya " Ki Sanak.
Bagaimana hubungan antara peristiwa yang terjadi itu dengan
rencana kalian" Apakah benar kalian hanya ingin bertemu
dengan Glagah Putih dan menyelesaikan persoalan yang
terjadi itu dengan Glagah Putih saja" "
" Jika kami dapat bertemu dengan Glagah Putih, maka
persoalan kami memang akan terbatas " jawab murid tertua Ki
Ajar. " Tetapi kalian tahu, bawa Ki Ajar, guru kalian, telah ikut
campur. Mungkin karena harga diri atau dengan alasan
apapun. Apakah dengan demikian kalian tidak
memperhitungkan, meskipun seandainya kalian dapat
bertemu dengan Glagah Putih, bahwa gurunya pun akan ikut
campur " bertanya Kiai Gringsing
" Itu sudah kami perhitungkan " jawab murid Ki Ajar itu "
tetapi kami memang salah hitung. Kami mengira bahwa kami
cukup kuat untuk menghadapi siapapun juga. Termasuk guru
Glagah Putih. Kami tidak mengira sama sekali, bahwa orang
yang disebut Agung Sedayu itu mampu mengalahkan guru. "
" Baiklah Ki Sanak " berkata Agung Sedayu kemudian kami
tidak akan terlalu banyak mendesak tentang diri kalian,
perguruan kalian atau persoalan kalian. Tetapi kami minta
kalian bersedia sedikit berbicara tentang sebuah perguruan
lain. Bukan Watu Gulung. "
Keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Apalagi
mereka menyadari bahwa mereka akan dibawa ke Mataram.
Persoalan yang sama tentu akan dipersoalkan lagi.
Dalam pada itu, Agung Sedayu berkata selanjutnya " Ki
Sanak. Sebenarnya yang ingin kami ketahui adalah perguruan
Nagaraga. Kami dapat menghubungkan langkah yang kalian
ambil dengan langkah yang diambil oleh orang-orang dari
perguruan Nagaraga. Karena itu, kami ingin penjelasan kalian,
apakah kalian memang mempunyai hubungan dengan
perguruan itu atau tidak. Atau malahan kalian merupakan
bagian dari perguruan itu. Watu Gulung sekedar kau sebut
tanpa arti sama sekali" "
Keempat orang itu terkejut. Sejenak mereka saling
berpandangan. Ketika murid tertua Ki Ajar itu memandang
wajah Agung Sedayu, nampaknya wajah itu bersungguhsungguh.
Ketika mereka memandang wajah-wajah yang lain,
maka wajah-wajah itupun nampak bersungguh-sungguh pula.
Dengan dana berat murid tertua Ki Ajar itu bertanya " Apa
persoalan antara Tanah Perdikan ini dengan Perguruan
Nagaraga" " " Apapun " jawab Agung Sedayu " tetapi apakah benar
kalian memang orang-orang Nagaraga" "
Murid tertua itu menggeleng sambil menjawab " Bukan.
Kami bukan orang Nagaraga. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang
itu memang tidak mengenakan ciri orang-orang Nagaraga.
Mereka tidak memakai ikat pinggang sebagaimana dipakai
oleh orang-orang Nagaraga yang terbunuh oleh Raden
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga dan Glagah Putih pada saat mereka berusaha
mengakhiri nyawa Panembahan Senapati.
Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat memastikan
bahwa mereka bukan orang-orang Nagaraga, Setiap orang
dapat saja melepaskan ciri-ciri pada dirinya jika mereka
sampai pada satu saat untuk keselamatan dirinya atau
sengaja mengadakan penyamaran.
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu " jika kalian bukan
orang Nagaraga, maka tolong, katakan kepada kami sesuatu
mengenai perguruan itu. Jika kalian berkata dengan jujur,
maka kami tidak akan menelusuri perguruan kalian sendiri. "
Keempat murid Watu Gulung itu nampak menjadi bimbang.
Namun kemudian yang tertua, yang mewakili gurunya itu
berkata " Kami justru sedang bersaing dengan perguruan
Nagaraga. " " Bersaing tentang apa" " desak Agung Sedayu.
Murid Ki Ajar itu terdiam. Baru disadarinya bahwa ia akan
dapat terperosok kedalam kesulitan jika ia menyebut
persaingannya dengan perguruan Nagaraga. Persaingan
dalam pengertian yang kurang baik bagi Mataram. Karena
kedua perguruan itu sedang berebut pengaruh di daerah
Timur yang kemelut. Karena itu, maka dengan serta merta murid tertua Ki Ajar
itu menjawab " Kami memang bersaing dalam pengembangan
ilmu. Hubungan kami dengan perguruan Nagaraga agak
kurang baik. Sewaktu-waktu persoalan diantara kami akan
dapat meledak. Itulah sebabnya kami harus mempersiapkan
diri sebaik-baiknya " suaranya tiba-tiba merendah " tetapi
semuanya sudah berlalu. Kini kami tidak akan dapat berbuat
sesuatu lagi terhadap perguruan Nagaraga. Kini guru sudah
tidak ada lagi. " " Apakah ada semacam dendam diantara kalian" " tiba-tiba
saja Ki Jayaraga bertanya.
" Semacam itu. Tetapi sebenarnyalah kami hanya ingin
disebut yang terbaik mula-mula. Tetapi kemudian
perkembangannya menjadi semakin keras, sehingga
mengarah kepada permusuhan. " jawab murid tertua Ki Ajar
itu. " Bagus " tiba-tiba saja Agung Sedayu beringsut " apakah
dalam hubungan yang serasi atau justru kalian
bermusuhan,namun satu hal yang kami perlukan, bahwa
kalian mengetahui letak perguruan itu. "
Murid tertua Ki Ajar itu termangu-mangu. Ia sadar bahwa
pertanyaan kemudian adalah dimana letak perguruan
Nagaraga itu. Untuk beberapa saat murid Ki Ajar itu berpikir. Apakah ia
akan mengatakannya atau tidak. Meskipun ia tidak tahu
persoalan apa yang telah timbul antara perguruan Nagaraga
dengan Tanah Perdikan Menoreh, namun kesannya bahwa
antara perguruan Nagaraga dan Tanah Perdikan Menoreh
telah terjadi sesuatu yang merentangkan jarak antara
keduanya. Tiba-tiba saja murid Ki Ajar itu berkata didalam hatinya
"Apakah justru Glageb Putih dan Raden Rangga itu sedang
dalam perjalanan menuju ke perguruan Nagaraga" "
Sejenak murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun
kemudian ia merasakan menurut firasatnya, bahwa Tanah
Perdikan menoreh menaruh dendam terhadap perguruan
Nagaraga. " Watu Gulung sudah tidak mempunyai kekuatan dengan
terbunuhnya guru " berkata murid tertua itu didalam hatinya
"jika ada orang lain yang membantu memperkecil arti
perguruan Nagaraga, maka bersama-sama tidak berarti bagi
Bang Wetan. " " Kenapa kau diam saja" " desak Agung Sedayu.
" Baiklah " berkata murid tertua itu " bagaimanapun juga,
kami memang tidak akan dapat ingkar, bahwa kami
mengetahui letak dan perkembangan perguruan Nagaraga
itu." " Apa yang dapat kalian katakan tentang perguruan itu" "
bertanya Agung Sedayu pula.
" Perguruan itu tidak banyak berarti diluar padepokannya.
Tetapi didalam padepokannya, Nagaraga merupakan satu
perguruan yang pilih tanding. " jawab murid tertua itu.
" Kenapa begitu" " bertanya Agung Sedayu.
" Ada semacam sumber kekuatan yang memancar dari
pusat perguruannya itu " jawab murid Ki Ajar " Kekuatan itu
memang dapat memberi bekal setiap murid dari perguruan
Nagaraga. Tetapi semakin lama bekal itu semakin pudar,
sehingga karena itu maka setiap kali setiap murid dari
perguruan Nagaraga harus memperbaharui kekuatannya itu. "
" Apakah sumber kekuatan itu" " bertanya Agung Sedayu.
" Seekor ular naga " jawab murid tertua Ki Ajar itu.
" Ular Naga" Patung atau ujud yang lain" " bertanya Agung
Sedayu pula. Murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun katanya " Aku
tidak tahu pasti, apakah benar Ular Naga itu menjadi sumber
kekuatan atau sekedar menurut perasaan orang-orang
Nagaraga saja." Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu termangumangu.
Namun kemudian Agung Sedayupun bertanya sekali
lagi " Tetapi kau belum mengatakan tentang Naga itu. Seekor
naga sebenarnya ular yang besar atau patung atau ujud yang
lain yang disebutnya naga. "
Murid tertua Ki Ajar itu menjawab " Ular, Sebenarnya ular
yang besar. Yang menurut kata orang, ular itu memakai
sumping diatas telinganya dan semacam mahkota di
kepalanya. Lidahnya yang panjang bercabang satu seperti api
yang memancar jika lidah itu terjulur. Dari matanya bagaikan
memancar sinar maut yang membunuh lawan-lawan para
penghuni padepokan yang dibuat oleh perguruan Nagaraga
itu, tetapi memancarkan sinar kehidupan bagi murid-murid
perguruan Nagaraga. Seorang murid dari perguruan ini akan
bertapa di depan goa yang menjadi sarang dari ular itu untuk
mendapatkan bekal kekuatan apabila hendak bertugas keluar.
Kekuatan yang akan dapat melipatkan kekuatan dan
kemampuan mereka yang sebenarnya. Namun hanya berlaku
untuk waktu tertentu. "
Keterangan itu telah membuat Kiai Gringsing, Agung
Sedayu dan orang-orang lain yang mendengar keterangan itu
menjadi tegang. Dengan nada tinggi Agung Sedayu bertanya
"Jadi, di padepokan orang-orang Nagaraga itu terdapat seekor
ular yang besar" "
" Ya. Ular yang dianggap sebagai Dewa oleh orang-orang
dari perguruan Nagaraga " jawab murid Ki Ajar itu.
" Dewa" Jadi masih saja ada orang yang menyembah ular
sebagai Dewa" " desis Ki Gede.
" Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Nagaraga sejauh
kami ketahui " jawab orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya " Baiklah Ki Sanak. Tetapi kami ingin mengetahui di
manakah letak padepokan dari perguruan Nagaraga ini"
Apakah di lereng Gunung Lawu atau dimana" "
" Dahulu " jawab murid Ki Ajar " tetapi pada dasarnya
mereka mengikuti ular yang di Dewakan itu kemana ular itu
pergi. Pada satu ketika ular itu turun dari lereng Gunung Lawu.
Menyusuri Kali Lanang, sehingga membuat penghuni
padukuhan disebelah-menyebelah Kali Lanang menjadi
gempar. Namun kemudian ular yang besar itu telah naik
tebing dan memisahkan diri dengan arus Kali Lanang menuju
ke sebuah padang perdu. Kemudian seperti memang sudah
diketahui dengan pasti sebelumnya, ular itu masuk kedalam
goa yang cukup luas, meskipun tidak begitu dalam. Goa itu
terletak diarah Utara padukuhan Ngrambe. Namun masih
disekat oleh sebuah hutan yang tidak begitu luas tetapi cukup
lebat dan pepat. Karena itu, maka untuk menuju ke goa itu
dari Ngrambe harus ditempuh jalan melingkar, lewat tanggul
Kali Lanang. " Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Ki Gede bertanya " Apakah kau sudah
pernah melihat tempat itu" "
" Belum pernah terlalu dekat. Tetapi aku telah mengetahui
arah padepokan itu. Bagi orang-orang disekitarnya padepokan
itu bukan merupakan tempat yang dirahasiakan. Tetapi goa itu
kemudian berada di dalam padepokan, dilingkari oleh barakbarak
yang memang tidak terlalu banyak dan berjarak agak
jauh, sehingga padepokan itu merupakan padepokan yang
luas. Di sekitar goa itu terdapat kebun dan pategalan.
Kemudian di dalam padepokan itu juga terdapat peternakan.
Pada saat-saat tertentu, seekor kambing telah dikorbankan
untuk memberi makan kepada ular yang besar yang berada di
goa itu. " " Jadi padepokan itu dibuat setelah ular itu berada di dalam
goa" " bertanya Agung Sedayu.
" Ya " jawab murid Ki Ajar itu " jika pada satu saat ular itu
berpindah lagi, maka perguruan Nagaraga pun akan
berpindah, bahkan seandainya menyeberangi bengawan
sekalipun. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Ki Gede " Ki Gede. Aku kira beberapa hal
yang kita perlukan sudah kita tanyakan. Kita tidak tahu apakah
ia memberikan keterangan dengan jujur. Namun kita akan
dapat membuktikan apakah keterangannya benar atau tidak "
berkata Agung Sedayu. Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya " Aku
kira bagi kita disini sudah cukup. Mungkin masih ada
beberapa pertanyaan yang akan diajukan oleh Panembahan
Senapati di Mataram besok. "
Ketika Agung Sedayu memandang sekilas wajah-wajah
para murid Ki Ajar itu, nampak kecemasan membayang.
Namun mereka berusaha untuk menyembunyikan
perasaannya, meskipun Agung Sedayu kemudian berkata
"Panembahan Senapati tidak akan berbuat apa-apa, asal
kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur."
Murid tertua Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Ki Gedepun berkata " Baiklah Kalian dapat
beristirahat. Besok kalian akan berangkat. "
Demikianlah, maka setelah keempat murid itu dikembalikan
ke tempat tahanannya, maka Ki Gedepun masih juga bericara
beberapa saat. Agaknya keterangan murid Ki Ajar itu memang
membuat orang orang di Tanah Perdikan itu gelisah. Karena
membayangkan bahwa Glagah Putih dan Raden Rangga telah
melingkar-lingkar di daerah yang luas dan belum pernah
dikenalnya. Jika mereka pada satu saat menemukan
perguruan Nagaraga, maka mereka akan terjebak kedalam
satu perguruan yang kuat.
" Pesan Panembahan Senapati, mereka hanya
diperintahkan untuk mengenali dan mengetahui serba sedikit
tentang perguruan itu. Mereka tidak mendapat perintah untuk
bertindak atas padepokan itu " berkata Agung Sedayu " tetapi
mengingat sifat dan watak Raden Rangga, maka
persoalannya mungkin akan berkembang. Atau bahkan
menentukan. " " Jadi bagaimana pendapatmu" " bertanya Kiai Gringsing.
" Guru apakah kita membiarkan saja semuanya itu akan
terjadi" " bertanya Agung Sedayu
JILID 214 KIAI GRINGSING termangu-mangu. Tetapi ia menangkap
niat yang terbersit dihati Agung Sedayu. Karena itu, maka
iapun justru bertanya, " Jadi, apakah yang sebaiknya harus
kita lakukan menurut pendapatmu " "
Agung Sedayu memandang orang-orang yang berada di
ruang itu. Namun kemudian sambil menarik nafas dalamdalam
ia berdesis, " Aku memang merasa ragu-ragu. Tetapi
ada satu keinginan yang mendesak, untuk pergi ke Timur."
" Aku sudah mengira." berkata Kiai Gringsing, " tetapi
terserah kepada kalian, apakah sebaiknya kita pergi?"
" Menilik gerak perguruan Nagaraga di Mataram, maka
perguruan itu memiliki pengikut yang banyak sekali." berkata
Agung Sedayu. Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, " Aku tidak
yakin. Perguruan itu bukan perguruan yang mempunyai
pengikut tidak terhitung mengingat keterangan murid Ki Ajar.
Barak di padepokan itu hanya sedikit di sebelah menyebelah
goa itu. Tetapi yang banyak adalah gerombolan-gerombolan
yang dimanfaatkannya. Mereka tidak berada di padepokan itu.
Tetapi mereka berada di sarang-sarang mereka masingmasing.
Mungkin beberapa kelompok perampok atau
penyamun atau orang-orang yang merasa mempunyai sedikit
kekuatan dan terikat oleh satu lingkungan atau keluarga atau
ikatan apapun. Atau perguruan Nagaraga memang sudah
berhubungan dengan kekuatan Bang Wetan yang tidak mau
tunduk kepada perintah Panembahan Senapati di Mataram."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, Katanya, " Masih
banyak yang mungkin dapat didengar dari para murid Ki Ajar."
" Ya. Tetapi biarlah kita mendengarnya bersama
Panembahan Senapati di Mataram. Mudah-mudahan orangorang
itu berbicara berterus terang." desis Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga hanya mengangguk-angguk saja. Namun tibatiba
ia berkata, " Aku akan ikut bersama kalian jika pergi ke
Timur." Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Ki
Gede berkata, " Jika kalian semuanya pergi, maka Tanah
Perdikan ini akan menjadi kosong."
" Mudah-mudahan tidak terlalu lama." desis Agung
Sedayu, " kami sudah mendapat ancar-ancar kemana kami
harus pergi." Ki Gedepun kemudian memandang Sekar Mirah yang
menjadi tegang, " Bagaimana pendapatmu Sekar Mirah?"
Sekar Mirah termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "
Ada dua tanggapan yang saling bertentangan di hatiku
KiGede. Mengingat Glagah Putih dan Raden Rangga yang
menempuh perjalanan berbahaya itu, aku memang
menganggap bahwa perlu ditelusuri perjalanannya. Tetapi
dilain pihak, aku mencemaskan kakang Agung Sedayu
mengingat kekuatan perguruan Nagaraga itu. Dengan
demikian maka aku menjadi bimbang, manakah yang lebih
baik dilakukan oleh kakang Agung Sedayu."
Ki Jayaragalah yang dengan serta merta menyahut. " Ki
Gede. Aku kira Agung Sedayu tidak perlu pergi. Biarlah aku
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Kiai Gringsing sajalah yang pergi. Aku juga mempunyai
tanggung jawab atas Glagah Putih, karena iapun muridku.
Sementara itu, Agung Sedayu akan dapat diwakili oleh Kiai
Gringsing. Kita berdua akan meneruskan perjalanan setelah
menghadap Panembahan Senapati. Sedangkan Agung
Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah Perdikan."
" Aku berkewajiban untuk menemukan kembali Glagah
Putih. Ia datang ke Tanah Perdikan ini untuk mengikut aku."
berkata Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing berkata, " Sudahlah Agung Sedayu.
Mungkin akan datang orang lain ke Tanah Perdikan.
Sebaiknya kau memang tidak meninggalkan Tanah Perdikan
ini. Aku sependapat dengan Kiai Jayaraga, bahwa kami
berdualah yang akan menelusuri jalan ke Timur, menyusul
Glagah Putih dan Raden Rangga."
" Tetapi Kiai." potong Sekar Mirah, " bukan maksudku
menahan kakang Agung Sedayu."
" Bukan kau yang menahannya." jawab Kiai Gringsing, "
kita memperhitungkan segala sesuatunya dari kemungkinankemungkinan
yang paling baik." Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, " Aku
tidak ingin suamiku tertahan melakukan kewajibannya hanya
karena kecemasanku, isterinya."
" Jangan menyalahkan diri sendiri." berkata Kiai Gringsing,
" Kita wajib mencari cara yang paling baik sehingga tidak
mengorbankan kepentingan-kepentingan yang lain."
" Tetapi sejak semula, akulah yang merasa wajib untuk
menyusulnya." berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, " Marilah itu kita lupakan.
Sekarang yang manakah yang lebih baik kita lakukan bagi
semuanya." " Aku menyesal, bahwa aku telah mengatakan
perasaanku." desis Sekar Mirah.
" Kau sudah bersikap jujur. Jangan disesali. Justru sikap
yang jujur itulah yang kita perlukan. Kau lebih baik
mengatakan apa yang tersirat dihatimu, bagaimanapun
tanggapan orang lain, namun yang akibatnya akan dapat
sebaliknya." berkata Kiai Gringsing.
" Sudahlah." berkata Ki Jayaraga, " Kami, orang-orang tua
memang sudah merindukan untuk mengenang masa
petualangan. Mungkin sekedar untuk mengenang saja dan
tidak memberikan arti apa-apa."
Ki Gedelah yang kemudian berkata, " Aku sependapat
dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mungkin karena
dengan demikian maka aku tidak akan ditinggalkan sendiri
disni." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang
terbersit perasaan kecewa. Tetapi ia tidak dapat menolak
pendapat gurunya. Meskipun ialah yang mula-mula
berpendapat bahwa sebaiknya jalan Glagah Putih dan Raden
Rangga ditelusuri, namun keputusannya ternyata menjadi lain.
Justru Kiai Gringsing dan Ki Jayaragalah yang akan pergi ke
Timur, setelah mengantarkan tawanan mereka ke Mataram
dan mengantar Pandan Wangi kembali kepada suaminya.
" Jangan pikirkan." berkata Kiai Gringsing, " anggaplah
sebagai sesuatu yang wajar saja."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sementara itu, maka
Ki Jayaragalah yang berbicara, " Mudah-mudahan aku masih
mengenali jalan-jalan yang melingkar-lingkar di lembah dan
lereng pegunungan yang pernah aku jelajahi, karena aku
pernah menyusuri tanah ini dari ujung sampai keujung dimasa
mudaku." Dalam pada itu, maka sejenak kemudian pertemuan itupun
telah dianggap cukup. Mereka akan beristirahat, karena esok
pagi mereka akan pergi ke Mataram membawa keempat
tawanan itu dan menyerahkannya kepada Panembahan
Senapati. Pagi-pagi benar, merekapun telah bersiap. Mereka segera
pergi kerumah Ki Gede untuk menyiapkan keempat orang
yang akan dibawa ke Mataram itu. Agaknya mereka berempat
memang tidak mempunyai pilihan apapun juga. Mereka telah
pasrah dan menerimna apapun yang bakal terjadi atas
mereka. Ki Gede agaknya telah menyediakan empat ekor kuda bagi
keempat orang itu. Empat ekor kuda yang kemudian tidak
perlu dibawa kembali oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah,
karena ampat ekor kuda itu akan dititipkan saja di Mataram,
sampai saatnya sempat diambil kembali. Agaknya para
pekatik di Mataram tidak akan berkeberatan untuk menambah
beban tugas mereka dengan ampat ekor kuda itu.
Ketika matahari terbit, maka keempat orang itupun telah
disiapkan pula. Ki Gede masih memberikan beberapa pesan
pendek. Namun kepada Pandan Wangi, Ki Gede nampaknya
telah memberikan beberapa pesan khusus.
" Sering-seringlah datang kemari." berkata Ki Gede kepada
Pandan Wangi, " aku menjadi semakin tua. Tenagaku tentu
sudah susut." " Ya ayah." jawab Pandan Wangi, " aku akan
mengatakannya kepada kakang Swandaru. Aku harap kakang
Swandarupun dapat menyempatkan diri untuk sering datang."
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi tatapan matanya
menjadi redup. Bagaimanapun juga, terasa dadanya bergetar
melihat Pandan Wangi siap meninggalkannya.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun berangkat.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah minta diri untuk bukan
saja ke Mataram atau Jati Anom. Tetapi mereka akan
meneruskan perjalanan ke Timur.
Perjalanan ke Mataram bukan perjalanan yang panjang.
Namun memang agak menarik perhatian, bahwa sebuah iringiringan
kecil menyusuri jalan ditengah-tengah bulak Tanah
Perdikan Menoreh dan menyusup ditengah-tengan padukuhan
padukuhan. Namun orang-orang berkuda itu telah dikenal dengan baik
oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka
terdiri dari Pandan Wangi, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan
Ki Jayaraga. Sedangkan empat orang yang bersama
merekapun, telah mereka dengar pula persoalannya.
Tetapi ketika mereka menyeberangi Kali Praga, maka
mereka benar-benar menjadi pusat perhatian. Beberapa orang
memandangi saja mereka bahkan dengan curiga.
Kiai Gringsing yang menyadari bahwa mereka telah
menjadi pusat perhatian orang-orang yang akan
menyeberang, dalam satu kesempatan berkata kepada orang
yang berdiri tidak jauh daripadanya ketika mereka akan naik
keatas rakit tanpa ditanya, " Ki Sanak. Kami dalam perjalanan
untuk menjemput pengantin. Cucuku akan kawin beberapa
hari yang akan datang. Pengantin perempuannya adalah
orang Tanah Perdikan Menoreh. Sepekan sebelum
perkawinan cucuku akan tinggal dirumah pengantin
perempuan." Orang itu mengangguk-angguk. Desisnya, " Sebentar lagi
Ki Sanak akan mendapat cicit."
Kiai Gringsing tertawa. Jawabnya, " Semoga."
Ternyata perhitungan Kiai Gringsing benar. Orang itupun
telah mengatakannya pula kepada seseorang disebelahnya.
Kemudian menjalar kepada orang lain sehingga akhirnya
banyak orang yang mendengar pengakuan Kiai Gringsing itu.
Dengan demikian, maka mereka tidak lagi mencurigai iringiringan
kecil itu. Namun ketika mereka naik keatas rakit, maka sembilan
orang bersama kudanya itu hampir memenuhi dua buah rakit
yang sedang, sehingga orang lain harus menunggu rakit yang
lain pula. Demikian perjalanan mereka menuju ke Mataram tidak
mengalami hambatan. Mereka langsung memasuki pintu
gerbang kota. Namun ternyata mereka telah menarik perhatian petugas
yang ada dipintu gerbang, sehingga mereka harus menjawab
beberapa pertanyaan. " Kami akan menghadap Panembahan." berkata Kiai
Gringsing. " Untuk apa?" bertanya penjaga pintu itu.
" Kami ingin menyampaikan persoalan kami kepada
Panembahan." jawab Kiai Gringsing pula, " sekedar
kelanjutan persoalan yang pernah kami bicarakan sebelumnya
dengan Panembahan." Penjaga itu termangu-mangu. Namun merekapun
kemudian diisyaratkan untuk berjalan terus memasuki Kota
Raja. Namun demikian Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa di
gerbang istanapun mereka harus menjawab beberapa
pertanyaan pula sehingga mungkin mereka memerlukan
waktu yang panjang untuk mendapat kesempatan
menghadap. Untunglah bahwa Agung Sedayu dan Kiai Gringsing sudah
sering menghadap Panembahan Senapati dan mengenal
beberapa orang perwira dalam tugas-tugas keprajuritan.
Karena itu, maka ternyata bahwa mereka tidak terlalu banyak
mendapat hambatan. Ketika iring-iringan kecil itu dipersilahkan menunggu
sebelum mereka mendapat kesempatan menghadap, maka
Agung Sedayu secara kebetulan telah bertemu dengan
seorang perwira yang pernah dikenalnya sebelumnya.
Perwira itu tahu pasti, peranan Agung Sedayu dalam
banyak hal. Bahkan perwira itupun tahu, bahwa Agung
Sedayu merupakan orang yang dekat dengan Panembahan
Senapati pada masa-masa perantauan dan
pengembaraannya sebelum Panembahan Senapati itu
membuka Alas Mentaok. Lewat perwira itu, maka permohonan Agung Sedayu untuk
menghadap ternyata lebih cepat disampaikan kepada para
perwira yang bertugas didalam istana dan menyampaikannya
kepada Panembahan Senapati.
" Siapa?" bertanya Panembahan Senapati.
" Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh." jawab
perwira yang menyampaikan permohonan menghadap.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia sadar
bahwa jika tidak ada yang penting, maka Agung Sedayu tidak
akan datang kepadanya. Apalagi ketika tiba-tiba saja
Panembahan Senapati teringat bahwa sepupu Agung Sedayu
yang bernama Glagah Putih telah pergi ke Timur bersama
dengan putera Panembahan Senapati yang kadang-kadang
telah membuatnya gelisah itu. Karena itu, maka perhatian
Panembahan Senapatipun segera tertuju kepada Agung
Sedayu. " Baiklah. Biarlah mereka menghadap." berkata
Panembahan Senapati yang ternyata telah memberikan waktu
khusus bagi iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikianlah sejenak kemudian, maka iring-iringan dari
Tanah Perdikan itupun telah menghadap. Agung Sedayupun
segera mohon maaf, bahwa mereka datang bersama
sekelompok orang yang mungkin terasa terlalu banyak.
" Bangsal ini cukup besar untuk menerima kalian." jawab
Panembahan Senapati sambil tersenyum.
Setelah setiap orang menyampaikan hormatnya dengan
sembah kehadapan Panembahan Senapati, maka merekapun
telah terlibat kedalam pembicaraan yang bersungguhsungguh.
Dengan jelas tetapi singkat, Agung Sedayu
menerangkan maksud kedatangan mereka bersama keempat
orang itu. Panembahan Senapati ternyata menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap mereka. Juga tentang pertempuran
yang terjadi antara murid-murid Ki Ajar itu dengan Raden
Rangga dan Glagah Putih. Agung Sedayupun menceriterakan pula bahwa orang-orang
itu telah menunjukkan letak Padepokan dari Perguruan
Nagaraga. Perguruan yang pernah mengirimkan orangorangnya
ke Mataram. " Menarik sekali." berkata Panembahan Senapati, " jika
demikian, maka kita serba sedikit telah mendapat gambaran
tentang perguruan itu."
Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan murid tertua
Ki Ajar untuk menceriterakan kembali pengenalannya tentang
padepokan itu. Padepokan yang mengelilingi sebuah goa
yang dihuni oleh seekor ular Naga yang besar, yang bahkan
dianggap keramat oleh orang-orang Nagaraga, sehingga
kemampuan ular itu berpindah, maka padepokan Nagaraga itu
telah berpindah pula. " Yang terakhir, kami sempat mengenali padepokannya."
berkata murid tertua dari perguruan Watu Gulung itu.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tertangkap
oleh ketajaman panggraitanya bahwa memang ada semacam
persaingan yang terjadi antara perguruan Watu Gulung
dengan Perguruan Nagaraga.
Dihadapan Panembahan Senapati murid tertua Ki Ajar itu
justru telah berbicara lebih banyak. Ketika ia berada di Tanah
Perdikan Menoreh, ia tidak begitu yakin, bahwa hubungan
antara Menoreh dan Mataram begitu dekat. Namun mereka
akhirnya melihat sendiri, bahwa ada jalur lain kecuali jalur
yang resmi yang dapat ditempuh oleh orang-orang Tanah
Perdikan Menoreh untuk menghadap Panembahan Senapati
di Mataram. Ketika orang-orang Watu Gulung itu selesai dengan
keterangan mereka, maka Kiai Gringsingpun berkata, "
Panembahan, perkenankanlah hamba bersama dengan Ki
Jayaraga untuk menyusul putera Panembahan, Raden
Rangga yang pergi ke Timur bersama Glagah Putih."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, " Apakah Kiai hanya pergi berdua saja?"
" Hamba Panembahan. Kami berniat untuk dapat menyusul
Raden Rangga dan Glagah Putih sebelum mereka mencapai
padepokan. Menurut pendengaran hamba, Panembahan
hanya memerintahkan kedua anak muda itu untuk mengenali
dan mengamati padepokan Nagaraga. Tetapi kami tidak yakin
bahwa anak-anak muda itu dapat mengekang diri untuk
memasuki padepokan." jawab Kiai Gringsing.
" Aku sependapat Kiai. Tetapi apakah Kiai akan kembali ke
Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu, atau akan langsung
pergi ke Timur?" bertanya Panembahan Senapati.
" Hamba akan mengantar Pandan Wangi lebih dahulu
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali kepada suaminya setelah menengok ayahnya ke
Tanah Perdikan. Kemudian hamba akan terus berjalan ke
Timur bersama Ki Jayaraga" jawab Kiai Gringsing.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "
Jika demikian kita perlu berbicara."
Kiai Gringsing menyadari, bahwa Panembahan ingin
berbincang tanpa di dengar oleh keempat orang tawanan itu.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "
Panembahan. Selain segala keterangan yang pernah hamba
sampaikan, serta disampaikan oleh Agung Sedayu atau oleh
salah seorang diantara kami, maka kedatangan kami
menghadap adalah untuk menyerahkan keempat orang ini.
Mungkin pada kesempatan lain, keempat orang ini masih
diperlukan keterangannya. Orang-orang ini tidak dapat
disimpan di Tanah Perdikan Menoreh, karena di Tanah
Perdikan tidak terdapat tempat yang memadai serta orang
yang cukup berilmu untuk menjaga mereka, karena
sebenarnyalah keempat orang ini berilmu tinggi."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia mengerti,
bahwa Kiai Gringsing tanggap akan maksudnya. Karena itu,
maka katanya kemudian sambil memandang keempat orang
itu berganti-ganti. " Ki Sanak. Kami akan mempersilahkan Ki
Sanak untuk beristirahat. Tetapi kami mempunyai permintaan.
Kalian jangan melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan
kalian sendiri." " Hamba Panembahan." jawab orang itu, " hamba sudah
pasrah. Sepeninggal guru hamba, maka rasa-rasanya tidak
ada yang pantas hamba kerjakan dengan perguruan hamba.
Memang masih ada beberapa pengikut di padepokan Watu
Gulung. Tetapi semuanya itu tidak berarti, karena mereka
tidak lebih dari pekerja-pekerja di ladang dan pategalan,
meskipun dalam keadaan tertentu mereka mampu juga
bertempur. Namun tidak lebih dari anak-anak yang sedang
bermain-main dengan pedang. Apabila mereka mendengar
kegagalan kami di Mataram, maka mereka tidak akan berarti
apa-apa lagi." " Baiklah." berkata Panembahan Senapati yang kemudian
memanggil seorang perwira prajurit yang bertugas diluar
bangsal itu. Kepada perwira itu Panembahan Senapati telah
memerintahkan untuk membawa keempat orang itu dengan
pengawasan yang baik, karena keempat orang itu memiliki
ilmu yang tinggi. Demikianlah, para perwira yang bertugaspun segera
berkumpul. Mereka telah membawa keempat orang itu ke
sebuah bangunan yang kokoh. Bangunan yang memang
disiapkan untuk menyimpan orang-orang yang berilmu tinggi.
Sementara itu, di dalam bangsal pertemuan, Panembahan
Senapati mulai berbincang dengan Kiai Gringsing. Sambil
mengangguk-angguk panembahan Senapati berkata, " Jadi
Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah
Perdikan, sementara Pandan Wangi kembali ke Sangkal
Putung. Hanya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga saja yang akan
meneruskan perjalanan ke Timur."
" Hamba Panembahan." jawab Kiai Gringsing, " selain
menelusuri jejak Glagah Putih dan Raden Rangga, ada
semacam kerinduan untuk mengalami kembali masa-masa
pengembaraan ketika kami masih muda."
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun
kemudian nampak bibirnya tersenyum meskipun tidak terlalu
cerah. Katanya, " Memang kadang-kadang kita dicengkam
oleh satu keinginan untuk mengulangi pengembaraan itu.
Tetapi aku kini terkungkung dalam tugas-tugasku disini, yang
kadang-kadang terasa menjemukan."
" Tentu Panembahan." jawab Kiai Gringsing, " kedudukan
Panembahan tidak akan mengijinkan Panembahan untuk
mengembara sebagaimana masa-masa Panembahan remaja,
bahkan meningkat dewasa pada waktu itu."
" Baiklah Kiai." berkata Panembahan Senapati, " tetapi aku
tidak mau bekerja dua kali. Kini Kiai sudah mendapat tuntunan
arah dari orang-orang Watu Gulung. Karena itu, maka aku
akan melakukannya sekaligus. Jika Kiai bertemu dengan
Raden Rangga dan Glagah Putih perintahkan mereka
kembali. Tetapi jika mereka ingin pergi bersama Kiai, maka
tugasnya akan ditambah lagi sebagaimana yang akan aku
mintakan kepada Kiai untuk bersedia melakukannya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia
menunggu Panembahan Senapati melanjutkan kata-katanya, "
Kiai, aku minta Kiai akan pergi bersama sekelompok kecil
prajurit pilihan. Seperti yang aku katakan, sebagaimana
mereka ingin menghancurkan Mataram, maka padepokan
itupun harus dihancurkan. Kiai mendapat tugas untuk
menangkap dan membawa pemimpin padepokan itu
kepadaku. Itulah sebabnya, aku memerintahkan Rangga dan
Glagah Putih bersama dengan Kiai dalam tugas ini. Dari
orang-orang Watu Gulung yang dapat kalian tangkap, kita
akan dapat menduga seberapa besar kekuatan mereka.
Kemudian, kita tentukan berapa orang perwira pilihan yang
akan berangkat mengikuti Kiai dengan cara yang akan kami
serahkan sepenuhnya kepada kalian yang akan pergi."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang kepada Ki Jayaraga ia berdesis, " Apa katamu?"
Ki Jayaraga itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, " Hamba tidak akan ingkar untuk menjalankan segala
titah Panembahan. Jika Panembahan menghendaki, maka itu
adalah tugas kami." " Terima kasih." sahut Panembahan Senapati, " hari ini
kalian akan tinggal di Mataram, besok atau lusa kalian akan
berangkat." Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun menyembah, "
Ampun Panembahan. Mungkin guru dan Ki Jayaraga akan
dapat tinggal sampai besok atau lusa bersama Pandan Wangi,
sebelum Pandan Wangi kembali kepada suaminya. Tetapi jika
diperkenankan maka biarlah hamba berdua mohon diri hari
ini." " Kenapa kau tidak menunggu sampai besok?" bertanya
Panembahan Senapati. " Mungkin sesuatu masih dapat terjadi di Tanah Perdikan.
Sementara Tanah Perdikan kini menjadi kosong." Jawab
Agung Sedayu. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun
katanya, " Tetapi tidak sekarang. Kalian akan tinggal disini
sampai sore nanti." Agung Sedayu tidak menolak. Karena itu, maka bersama
Sekar Mirah mereka akan berada di Mataram sehari itu.
Disore hari Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke Tanah
Perdikan setelah mereka sempat berbincang tentang rencana
untuk menelusur ke Timur.
Ternyata Panembahan Senapati teringat pula kepada
seorang Senapati yang berada dibawah perintah Untara di Jati
Anom. Panembahan Senapati tidak menunjuk Untara sendiri,
karena Untara memiliki kemampuan tempur dalam perang
yang sulit dicari bandingnya. Sedangkan yang diperlukan
untuk memasuki padepokan itu adalah mereka yang memiliki
bekal untuk bertempur secara pribadi seorang demi seorang.
Karena itu, maka Panembahan Senapati telah
memerintahkan untuk membawa Sabungsari dalam tugas
yang gawat itu. Betapa kecewanya Agung Sedayu dan bahkan Sekar Mirah
merasa bahwa ia telah menghambat tugas yang ingin
dilakukan Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing dan Jayaraga
sebagaimana Panembahan Senapati, telah ikut menentukan,
kenapa Agung Sedayu dan Sekar Mirah sebaiknya tetap
berada di Tanah Perdikan.
Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada diatas rakit
yang membawa mereka menyeberangi Kali Praga, maka
Sekar Mirahpun berdesis, " Maafkan aku kakang. Mungkin
pernyataanku telah menahan kakang untuk tidak dapat ikut
bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga."
" Sudahlah Mirah." berkata Agung Sedayu, " tugas kita
kemudian adalah berdoa semoga Yang Maha Besar selalu
melindungi mereka yang akan berangkat menunaikan tugas
berat itu. Juga selalu melindungi Glagah Putih dan Raden
Rangga. Aku kira Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga benar,
mungkin ada juga tugas penting yang akan kita lakukan di
Tanah Perdikan." Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, maka malam itu Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga bersama Pandan Wangi bermalam semalam di
Mataram, sementara Panembahan Senapati menyiapkan
orang-orang yang dianggapnya terbaik untuk melakukan tugas
itu. Panembahan Senapati akan mempergunakan orang yang
tidak terlalu banyak, namun dapat menyelesaikan tugas
dengan baik. Sementara itu, ketika mereka sekali lagi berbicara dengan
tawanannya, maka Panembahan Senapati mendapat
gambaran, seperti para murid Ki Ajar Laksana dari Watu
Gulung, maka beberapa orang Putut dari perguruan Nagaraga
telah memiliki ilmu yang tinggi pula. Ditambah dengan
kepercayaan mereka, bahwa ular Naga yang ada didalam goa
ditengah-tengah padepokan mereka itu mampu memberikan
kekuatan kepada seisi padepokan itu.
" Seandainya hal itu sekedar kepercayaan mereka saja,
namun dengan kepercayaan itu, maka kemampuan mereka
seakan-akan memang benar-benar bertambah, karena
dbrongan kepercayaan mereka yang kuat dan bulat." berkata
Panembahan Senapati, " karena itu, setiap orang yang ikut
didalam tugas ini harus menyadarinya dan bersedia untuk
menanggung akibat yang paling parah. Dengan demikian
maka kau akan memberi kesempatan kepada mereka yang
berkeberatan untuk pergi. Sementara itu yang akan pergi
harus mengimbangi dorongan kepercayaan itu dengan
kepercayaan pula. Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri.
Dan lebih dari itu kepercayaan bahwa mereka sedang
menjalankan tugas kebenaran sehingga mereka harus yakin
dan percaya sepenuhnya bahwa mereka akan mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Ki
Jayaraga merenungi kata-kata itu. Keduanya memang
membayangkan satu medan yang sangat berat untuk di
masuki. Malam itu, Panembahan Senapati telah dapat menentukan
siapa yang akan berangkat bersama Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga. Tetapi mereka tidak perlu pergi bersama-sama
dalam satu kelompok. Berdasarkan keterangan dari orangorang
Watu Gulung, maka mereka telah menentukan, dimana
mereka akan bertemu. Seperti orang-orang Nagaraga yang akan mengacaukan
Mataram dari dalam, dan langsung akan membunuh
Panembahan Senapati itupun telah datang ke Mataram dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Namun mereka telah menentukan tempat untuk berkumpul.
Tetapi seperti keterangan orang-orang Watu Gulung,
bahwa jumlah orang yang banyak itu justru bukan orang-orang
Nagaraga sendiri. Mereka bekerja bersama dengan
gerombolan-gerombolan yang dapat dipengaruhinya, atau
diupahnya. Tetapi bukan berarti bahwa di padepokan
Nagaraga tidak terdapat para pengikut yang sekaligus
pekerja-pekerja di sawah dan ladang. Para cantrik itu akan
dapat juga menjadi kekuatan yang berbahaya karena jumlah
merekalah yang terbanyak.
Malam itu juga segala sesuatunya telah diatur dan
disepakati. Para prajurit yang terdiri semuanya dari para
perwira pilihan dari beberapa tingkatan telah dipertemukan
kecuali Sabungsari. " Biarlah Sabungsari nanti mendapat penjelasan dari Kiai
Gringsing dan berjalan bersama Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga." berkata Panembahan Senapati.
Demikianlah, maka yang semalam itu dianggap telah cukup
oleh Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Karena itu, maka mereka
tidak perlu menunggu lebih lama lagi.
Dipagi harinya, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun
telah mohon diri. Mereka masih harus singgah di Sangkal
Putung dan bahkan ke Jati Anom.
Pandan Wangipun telah mohon diri pula. Ia sudah terlalu
lama meninggalkan suaminya.
Pagi itu semua orang yang akan melakukan tugas telah
berangkat. Sebagian besar dari mereka memilih berjalan kaki.
Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah berangkat
berkuda bersama Pandan Wangi. Tetapi kuda mereka akan
mereka tinggalkan di Jati Anom.
Kedatangan Pandan Wangi di Sangkal Putung bersama
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga disambut dengan gembira.
Swandaru memang sudah menunggu-nunggu kedatangan
isterinya. Bahkan ia mulai menjadi cemas bahwa telah terjadi
sesuatu di perjalanan. " Kau berada di Tanah Perdikan jauh melampaui waktu
yang kau sebut sebelumnya." berkata Swandaru.
Pandan Wangi mengangguk-angguk sambil menjawab, "
Aku mohon maaf kakang. Seandainya tidak terjadi sesuatu di
Tanah Perdikan, aku dan Kiai Gringsing agaknya tidak akan
terlambat pulang." Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu Pandan
Wangi menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah
Perdikan Menoreh. " Sebenarnya aku dapat menghindari keterlibatanku di
Tanah Perdikan itu." berkata Pandan Wangi, " namun
mungkin naluriku sebagai anak Ki Gede Menoreh, telah
mendorongku untuk mengikuti perkembangan dari persoalan
yang terjadi itu." Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, " Aku mengerti.
Untunglah bahwa Kiai Gringsing ada di Tanah Perdikan. Jika
tidak aku kira Tanah Perdikan akan mengalami kesulitan."
" Bukan aku yang menyelesaikan. Swandaru." sahut Kiai
Gringsing, " tetapi Agung Sedayu sendiri. Ia memang orang
yang dicari oleh orang-orang Watu Gulung itu."
Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia masih
bergumam, " Untunglah bahwa kakang Agung Sedayu masih
mampu mengatasi ilmu Ki Ajar itu. Agaknya orang Watu
Gulung itu juga seorang yang tidak banyak mengetahui
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuan ilmu kanuragan yang sebenarnya, sehingga
dengan ilmunya yang terbatas itu ia sudah merasa orang
terkuat didunia." " Tetapi kakang Agung Sedayu nampaknya memang
memiliki kelebihan." desis Pandan Wangi.
" Tentu." jawab Swandaru, " kelebihan dari orang yang
telah dibunuhnya itu. Tetapi jika pada suatu saat, datang
bahaya yang sebenarnya, sementara guru tidak berada
didekatnya, maka kakang Agung Sedayu akan mengalami
kesulitan. Karena itu, selagi hal seperti itu belum terjadi, maka
sebaiknya kakang Agung Sedayu menyempatkan diri untuk
menyempumakan ilmunya."
Hampir saja Pandan Wangi menjelaskan apa yang
dilihatnya pada Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah ia
adalah seorang isteri yang selalu berusaha untuk berbuat
sebaik-baiknya bagi suaminya. Iapun berusaha untuk menjaga
perasaan suaminya, sehingga ia tidak deiiKun serta merta
menceriterakan kelebihan Agung Sedayu. Untuk itu agaknya
masih memerlukan waktu. Karena itu, maka Pandan Wangipun tidak banyak
menceriterakan apa yang sebenarnya telah dilihat pada Agung
Sedayu itu. Kiai Gringsingpun tidak mau memuji Agung Sedayu
dihadapan Swandaru meskipun serba sedikit sekali ia telah
mengatakan tentang Agung Sedayu. Katanya, " Tetapi
agaknya Agung Sedayu telah berusaha. Setidak-tidaknya ada
niatnya untuk berusaha."
" Asal jangan terlambat." sahut Swandaru, " biasanya jika
saatnya sudah lewat, baru kita menyesal."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, " Aku sudah berpesan
seperti yang kau maksudkan itu. Mudah-mudahan ia bangkit
dan berbuat sesuatu."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ulangnya, " Mudahmudahan."
Namun Kiai Gringsingpun kemudian telah membelokkan
pembicaraan mereka. Kiai Gringsing telah mengatakan serba
sedikit tentang perjalanan yang akan ditempuhnya bersama Ki
Jayaraga. Swandaru mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia
bertanya, " Kenapa kakang Agung Sedayu sendiri tidak mau
berangkat mencari sepupunya?"
" Angger Swandaru." Ki Jayaragalah yang menyahut, " aku
merasa bahwa aku telah mengangkat Glagah Putih sebagai
muridku. Karena itu, maka aku merasa wajib untuk
melakukannya." " Ya, ya." sahut Swandaru, " Ki Jayaraga adalah guru
Glagah Putih. Tetapi Kiai Gringsing bukan apa-apanya.
Seharusnyalah kakang Agung Sedayulah yang dengan dada
tengadah berkata, Aku akan mencari adik sepupuku, tetapi
yang terjadi, justru kakang Agung Sedayu merasa lebih aman
untuk tetap berada di Tanah Perdikan. Apakah luka-lukanya
terlalu parah, sehingga ia tidak dapat pergi?"
" Tidak." jawab Kiai Gringsing, " luka-lukanya dapat
diatasinva. Tetapi aku memang sependapat, bahwa Agung
Sedayu harus tetap berada di Tanah Perdikan. Mangkin ada
sesuatu terjadi lagi sehingga diperlukan seseorang untuk
mengatasinya di Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru justru tersenyum. Katanya, " Memang banyak
alasan yang dapat disusun. Tetapi menurut pendapatku.
seharusnya kakang Agung Sedayu adaiah orang yang paling
berkepentingan untuk menyusul Giagah Putih. Seandainya
kakang Agung Sedayu sekarang ini ikut pergi, maka aku akan
dengan suka rela mengikutinya untuk dapat membantunya jika
diperlukannya." Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam Katanya, "
Memang ada niat Agung Sedayu untuk pergi tapi kami,
terrnasuk aku dan Ki Jayaraga serta Panembahan Senapati,
menasehatkan agar ia tetap berada di Tanah Perdikan."
Swandaru masih saja tersenyum sambil menganggukangguk
Dengan nada datar ia berkata, " Tetapi karena kakang
Agung Sedayu tidak pergi, maka sebaiknya akupun tidak
pergi." Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menjawab lagi.
Pandan Wangi yang merasakan sikap janggal suammya
itupun menahan diri untuk tidak mencelanya, karena ta
memahami sifat Swandaru. Dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
tidak teriaiu lama singgah di Sangkal Putung Mereka harus
pergi ke Jati Anom untuk menemui Untara, menyampaikan
perintah agar Sabungsari ikut dalam perjalanan ke Timur itu.
Ki Demang memang berusaha menahannya agar mereka
bermalam saja semalam di Sangkal Putung. Namun sambil
tersenyum Kiai Gringsing berkata, " terima kusih Ki Demang.
Ternyata bahwa ketika aku lewal dan singguh di Mataram, aku
yang tua ini masih mendapat tugas."
Sebelum Ki Demang menjawab, Swandaru telah
memotongnya, " Guru terpaksa pergi ayah, karena kakang
Agung Sedayu dengan berbagai alasan tidak dapat
menelusuri jejak sepupunya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Semetara itu Ki
Demang berkata, " Ah, tentu ada alasan yang penting. Bukan
asal saja menyusun alasan."
Nampak bibir Swandaru bergerak. Tetapi senyumnya
mempunyai arti tersendiri.
Demikianlah, setelah menyerahkan Pandan Wangi kepada
suaminya, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah
meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom. Mereka
tidak merasa perlu bermalam di Sangkal Putung, karena
mereka merasa seakan-akan telah didesak oleh kewajiban
yang telah mereka bebankan ke pundak mereka sendiri,
bahkan kemudian ditompangi oleh tugas dari Panembahan
Senapati. Perjalanan ke Jati Anom tidak memerlukan waktu yang
terlalu lama. Karena menelusuri jalan dipinggir hutan,
melewati daerah yang tidak terlalu ramai, namun terasa lebih
singkat. Kuda mereka berderap dijalan yang tidak terlalu lebar,
menghamburkan debu yang kelabu.
Kedatangan mereka di Jati Anom dan langsung kerumah
Untara memang agak mengejutkan. Apalagi yang datang
bukan saja Kiai Gringsing tetapi bersama Ki Jayaraga yang
diketahui tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.
Untara yang kebetulan berada dirumah, segera menerima
mereka di pendapa. Untara yang ingin cepat tahu, segera
bertanya, " Kedatangan Kiai berdua telah mengejutkan aku.
Apakah ada sesuatu yang penting, atau Kiai berdua hanya
sekedar ingin menengok kami disini?"
Kiai Gringsing menarik menarik nafas dalam-dalam,
Kemudian katanya, " Memang ada sedikit kepentingan ngger.
Tetapi tidak terlalu penting."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian Kiai
Gringsingpun segera mengatakan keperluannya datang ke
Jati Anom. Untara mengangguk-angguk. Katanya, " Jadi Kiai berdua
akan menyusul perjalanan Glagah Putih dan Raden Rangga
itu?" " Ya ngger. Sekaligus mendapat beban dari Panembahan
Senapati." jawab Kiai Gringsing.
Untara masih mengangguk-angguk. Katanya, " Baiklah, aku
akan memanggil Sabungsari. Ia menjadi semakin mantap,
karena aku memberinya kesempatan untuk menyempurnakan
ilmunya. Ia akan menjadi seorang Senapati yang baik."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, " Nampaknya
Panembahan Senapati yang jauh itu melihat juga
kelebihannya. Karena itu, maka secara khusus Panembahan
Senapati berpesan, agar aku pergi bersama dengan
Sabungsari menuju ke Timur. Sementara itu, para perwira dari
Matarampun telah berangkat pula menuju jalan mereka
masing-masing." Untarapun kemudian telah memanggil seorang prajurit.
Diperintahkannya prajurit itu untuk memanggil Sabungsari
segera. Sementara itu, isteri Untara telah menghidangkan
minuman dan makanan bagi kedua tamunya itu.
Seperti Swandaru, Untarapun bertanya kenapa Agung
Sedayu tidak pergi mencari sepupunya yang oleh pamamnya
telah diserahkan kepadanya, meskipun dengan latar belakang
yang berbeda. Untara memang ingin mendapat penjelasan,
bukan sekedar menuduh Agung Sedayu malas atau apalagi
cemas menghadapi bahaya. Untara yang mengenal adiknya
dengan baik itu mengerti dan menyadari kemampuan Agung
Sedayu yang telah jauh berada di atas kemampuannya
sendiri. " Ia diperlukan di Tanah Perdikan Menoreh." jawab Kiai
Gringsing, " selain daripada itu, rasa-rasanya kami yang tuatua
ini masih ingin juga mengulangi ketegaran masa muda
kami diantara jalan-jalan yang panjang, lereng-lereng yang
terjal dan pematang-pematang yang silang menyilang diantara
tanaman yang hijau subur di sawah-sawah."
Untara mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Jayaragapun berkata, " Akupun merasa berkewajiban untuk
menelusuri jalan Glagah Putih, sementara itu, seperti Kiai
Gringsing, rasa-rasanya ingin melihat lagi sebagaimana
pernah aku lihat sebelumnya, meskipun dilingkungan yang
berbeda." " Memang menarik sekali." sahut Untara, " tetapi aku tidak
akan mendapat kesempatan seperti itu karena tugas-tugasku.
Mungkin jika aku sudah setua Kiai berdua."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertawa.
Sementara mereka berbincang tentang kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi, maka Sabungsaripun telah
datang. Memang nampak perubahan pada tatapan mata
Senapati itu. Ia nampak lebih tenang dan lebih mantap.
" Dengan tekun ia berhasil menguasai dirinya sendiri untuk
menempa kemampuan ilmunya." berkata Untara.
Sabungsari tersenyum. Katanya, " Sekedar untuk tidak lupa
Kiai." " Ia telah membuat sanggarnya sendiri. Tidak di halaman
barak pasukannya. Tetapi sanggarnya terbuka. Ia selalu
berada di pinggir sungai, dihadapan tebing yang curam,"
berkata Untara pula. " Syukurlah." sahut Kiai Gringsing, " mudah-mudahan kau
sampai pada puncak ilmumu yang nggegirisi itu."
" Tetapi belum sekuku ireng dibanding dengan Agung
Sedayu." berkata Sabungsari kemudian.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Dengan nada
tinggi Kiai Gringging bertanya, " Kau puji Agung Sedayu
karena ada aku, gurunya dan juga ada kakaknya disini?"
" Ah, tentu tidak Kiai." jawab Sabungsari dengan serta
merta. " Aku berkata dengan jujur."
Untarapun tersenyum Tetapi ia berkata, " Dalam beberapa
hal Sabungsari telah kejangkitan pula penyakit Agung
Sedayu." " Penyakit apa?" bertanya Kiai Gringsing.
" Ragu-ragu. Banyak pertimbangan dan tidak segera
mengambil sikap." berkata Untara.
Kiai Gringsing tertawa. Sementara itu Ki Jayaraga
menyahut, " Pengalaman agaknya telah membuat Agung
Sedayu sedikit berubah. Meskipun demikian kadang-kadang
masih nampak juga keragu-raguannya mengambil sikap."
" Nah." berkata Untara kemudian, " sebaiknya Kiai
menyampaikan langsung perintah itu kepada Sabungsa-ri."
" Silahkan angger saja yang menjatuhkan perintah itu.
Bukankah angger Untara Senapati disini?" bertanya Kiai
Gringsing. Untara tertawa pendek. Katanya, " Baiklah. Akulah
Senapati disini." Demikianlah maka Untarapun telah menyampaikan
perintah Panembahan Senapati kepada Sabungsari
sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.
Sabungsari mengangguk-angguk. Karena yang membawa
parintah itu adalah Kiai Gringsing, Sabungsari sama sekali
tidak ragu-ragu bahwa perintah itu benar-benar telah diberikan
oleh Panembahan Senapati.
" Dengan demikian maka kau harus segera bersiap-siap
Sabungsari." berkata Untara kemudian.
" Aku menerima segala perintah." berkata Sabungsari, "
tetapi kapan Kiai akan berangkat menuju ke Timur itu?"
" Besok sehari aku masih akan memberikan pesan-pesan
dan membenahi padepokan yang sudah agak lama aku
tinggalkan. Baru besok lusa aku berangkat. Pagi-pagi benar."
jawab Kiai Gringsing. " Berkuda atau berjalan kaki." bertanya Untara.
" Lebih baik berjalan kaki." jawab Kiai Gringsing, " dengan
demikian kita akan dapat melakukan perjalanan menembus
segala medan." Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, " Baiklah. Aku
akan mempersiapkan diri. Tetapi bukankah aku tidak perlu
membawa bekal?" Yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Kiai Gring singlah
yang menjawab, " Perintah itu datang dari Panembahan
Senapati. Jalurnya disini adalah angger Untara."
Untara mengangguk-angguk. Diantara tertawanya ia
bertanya, " Tentu. Aku sudah menyediakan bekal untuk
menempuh perjalanan sampai kapanpun. Aku sudah
menyimpan beras dilumbung. Jika diperlukan beras itu dapat
dibawanya berapapun dibutuhkan."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertawa semakin panjang.
Namun beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan Kiai
Jayaraga pun telah mohon diri untuk pergi ke padepokan
kecilnya yang sudah ditinggalkan beberapa lama. Sebelum
Kiai Gringsing menempuh perjalanan yang panjang tanpa
dibatasi waktu, maka ia akan mempersiapkan lebih dahulu
padepokan kecilnya agar segala-galanya dapat berjalan
rancak seperti biasanya. Sepeninggal Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka Untara
masih memberikan beberapa pesan kepada Sabungsari.
Perintah yang langsung diberikan oleh Panembahan Senapati
itu harus dilakukannya sebaik-baiknya.
" Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga." berkata Sabungsari, " tentu saja
sebatas kemampuanku. Namun dalam tugas ini batas
kemampuanku itu adalah nyawaku."
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Kau memang seorang prajurit yang baik." berkata Untara,
" menurut Kiai Gringsing, beberapa orang perwira telah
berangkat pula dari Mataram. Mereka akan bertemu ditempat
yang sudah disepakati."
" Siapakah yang memimpin tugas ini" Apakah Kiai
Gringsing mengatakannya kepada Ki Untara?" bertanya
Sabungsari. " Para perwira dari Mataram dipimpin langsung oleh
Pangeran Singasari. Tetapi seperti sudah aku katakan, bahwa
mereka berangkat terpisah." jawab Untara.
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian
minta diri untuk bersiap-siap meskipun masih ada senggang
waktu satu hari. Dihari berikutnya, Kiai Gringsing sibuk memberikan pesanpesan
kepada para cantrik di padepokannya. Kiai
Gringsingpun memerlukan untuk melihat sawah, ladang dan
pategalan padepokannya. Beberapa petunjuk telah diberikan
kepada para cantriknya, apa yang sebaiknya mereka lakukan
selama Kiai Gringsing berada di perjalanan.
" Doakan, bahwa aku akan kembali dengan selamat."
berkata Kiai Gringsing, " semoga Yang Maha Kasih akan
selalu melindungi kami yang menjalankan tugas ini."
Para cantrik menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya Kiai
Gringsing akan pergi untuk waktu yang lama sekali.
Dihari itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mempergunakan
waktunya yang tersisa untuk beristirahat. Mereka sempat
minum minuman panas dengan gula kelapa dan beberapa
potong makanan di serambi sambil berbincang kesana-kemari
tentang padepokan kecil itu.
Menjelang senja, maka Sabungsaripun telah datang pula
ke padepokan. Besok mereka akan berangkat bersama-sama
dari padepokan itu. " Apakah Kiai telah memberitahukan kepada Ki Widura?"
bertanya Sabungsari. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun
akhirnya Kiai Gringsinglah yang menjawab, " Aku harap
biarlah Untara yang memberitahukannya. Kepergian Glagah
Putih ke Timur telah diketahui oleh ayahnya. Tetapi persoalan
yang berkembang kemudian memang belum. Juga keputusan
Panembahan Senapati untuk menangkap dan membawa
pimpinan padepokan itu menghadap."
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun yang ditanyakan
kemudian adalah, " Apakah Panembahan Senapati
memberikan batasan waktu?"
" Tidak. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, dalam
waktu sepuluh sampai tiga belas hari, kita harus sudah saling
berhubungan." jawab Kiai Gringsing, " kita memang tidak
boleh terlambat, karena kita mengenal sifat dap watak
Pangeran Singasari. Seorang Pangeran yang keras hati dan
agak tergesa-gesa mengambil sikap atas satu persoalan yang
dihadapi. Jika hari ketiga belas itu lewat dan kita belum
sempat berhubungan, maka kita tentu akan ditinggalkannya.
Bertemu atau tidak bertemu dengan Raden Rangga. Meskipun
Raden Rangga itu kemanakannya sendiri, namun Pangeran
Singasari tentu akan memilih untuk memasuki padepokan itu."
Sabungsari memang pernah mendengar serba sedikit
tentang sifat Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati
yang keras itu. Namun Pangeran Singasari juga memiliki
beberapa kelebihan seperti juga Panembahan Senapati,
meskipun pada tataran yang tidak setingkat.
Meskipun demikian, sebagaimana disebut-sebut oleh
orang-orang Watu Gulung, maka tingkat kemampuan ilmu
Pangeran Singasari dihadapkan kepada pemimpin padepokan
Nagaraga masih harus diperhitungkan.
" Kiai." bertanya Sabungsari, " jika yang harus yang
memimpin sekelompok prajurit yang bertugas khusus ini
adalah Pangeran Singasari, apakah Panembahan Senapati
telah dengan tegas memberikan kedudukan kepada Kiai
berdua?" " Kedudukan apakah yang kau kehendaki?" bertanya Kiai
Gringsing. " Apakah Kiai berdua juga dibawah perintah Pangeran
Singasari seperti para prajurit?" bertanya Sabungsari
menjelaskan. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Sabungsari. Karena itu maka jawabnya, " Memang tidak ada
ketegasan apakah aku berada dibawah perintahnya atau
tidak. Tetapi Panembahan Senapati telah memerintahkan
kepada Pangeran Singasari untuk mengindahkan pendapat
kami berdua." Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, " aku adalah
seorang prajurit. Aku memang harus tunduk kepada perintah
Pangeran Singasari. Tetapi Pangeran Singasari harus
bersikap lain terhadap Kiai berdua."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, " Panembahan telah
memberikan pesan agar Pangeran Singasari tidak
memperlakukan kami berdua seperti memperlakukan para
prajurit, karena kami memang bukan prajurit. Bahkan seperti
aku katakan, bahwa justru Pangeran Singasari diwajibkan
memperhatikan pendapat kami."
Sabungsari kemudian berdesis, " Syukurlah. Mudahmudahan
kekerasan hati Pangeran Singasari tidak
membuatnya melangkah terlalu jauh dalam persoalan ini.
Menurut dugaanku, Pangeran Singasari nampaknya tidak
akan banyak memperhatikan kemungkinan untuk bertemu
dengan Raden Rangga dan Glagah Putih."
" Aku kira memang demikian." sahut Ki Jayaraga, "
Pangeran Singasari merasa tidak banyak berkepentingan
dengan keduanya. Agaknya Pangeran Singasari ingin
meIaksanakan perintah Panembahan Senapati sebaikbaiknya."
" Tetapi bukankah Pangeran Singasari mendapat
gambaran yang jelas tentang padepokan itu?" bertanya
Sabungsari. " Agaknya sudah." jawab Kiai Gringsing, " jika perintah
Panembahan tidak disertai dengan penglihatan atas sasaran,
maka hal itu akan sangat berbahaya, sebagaimana harus
dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih."
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lebih jauh. Demikianlah, setelah mereka kemudian makan malam,
maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari masih
berbincang lagi beberapa saat. Baru setelah malam memasuki
saat sepi uwong, maka mereka pun pergi ke pembaringan.
Pagi-pagi benar mereka telah terbangun. Sementara itu
dihalaman telah terdengar seorang cantrik menyapu halaman.
Sedangkan di belakang terdengar senggot timba di sumur
berderit dengan irama yang ajeg.
Sebelum matahari menyingsing ketiganya telah siap.
Mereka akan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.
Kiai Gringsing masih memberikan beberapa pesan kepada
para cantriknya yang kemudian berkumpul di halaman
padepokan kecilnya. " Jangan terlalu lama Kiai." minta para cantrik.
" Jika persoalanku sudah selesai, maka aku akan segera
kembali. Hati-hati dengan bibit polong buah-buahan itu.
Jangan terlambat menyiram." pesan Kiai Gringsing, " jangan
lupa pula mengairi tanaman disawah."
" Baik Kiai." jawab beberapa orang cantrik hampir
berbareng. Demikianlah, sesaat sebelum matahari terbit, maka mereka
bertiga telah berangkat meninggalkan padepokan. Mereka
tidak dengan jelas membawa persiapan perang. Tidak
nampak senjata di lambung mereka. Namun bagi Kiai
Gringsing, cambuknya tidak akan pernah ketinggalan. Seperti
murid-muridnya, Kiai Gringsing telah melingkarkan cambuknya
dilambung dibawah bajunya.
Sementara itu, diikat pinggang Sabungsari, juga dibawah
bajunya terselip sebilah pisau belati panjang. Mungkin pisau
itu diperlukannya bukan saja sebagai senjata.
Ki Jayaraga tidak membawa senjata secara khusus. Ia
akan memanfaatkan apa saja yang dapat dipergunakan jika
diperlukan. Namun dalam keadaan yang paling gawat,
agaknya Ki Jayaraga memang tidak memerlukan senjata.
Sebenarnya Kiai Gringsing pun tidak mutlak memerlukan
senjata dalam keadaan yang paling gawat. Namun senjata
yang hampir tidak terpisah daripadanya itu memang seolaholah
lekat pada tubuhnya. Demikianlah, maka tiga orang telah meninggalkan
padepokan Jati Anom untuk berangkat menuju ke Timur.
Mereka telah mendapat ancar-ancar dari orang-orang Watu
Gulung, kemana mereka harus pergi. Sehingga dengan
demikian maka sebenarnya perjalanan mereka itu merupakan
perjalanan yang jauh lebih ringan dari perjalanan yang harus
dilakukan olehRaden Rangga danGlagah Putih.
Namun mereka bertiga berharap bahwa mereka akan dapat
menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih sebelum
mereka mendekati padepokan Nagaraga dan berhubungan
dengan para prajurit dari Mataram, yang mendapatkan tugas
yang sama dan yang akan mendekati padepokan itu dalam
kelompok-kelompok kecil. Antara dua atau tiga orang.
Menurut pendapat mereka, Pangeran Singasari tidak akan
dengan sengaja mencari Raden Rangga dan Glagah Putih.
Perhatiannya telah lebih banyak tertuju kepada
menghancurkan padepokan itu dan menangkap pemimpin
padepokan Nagaraga. Bahkan Pangeran Singasaripun tentu
tidak akan banyak memperhatikan kehadiran Kiai Gringsing
dan Ki Jayaraga. Datang atau tidak datang.
Ketika kemudian matahari mulai naik, terasa pagi menjadi
semakin segar. Diujung daun padi di sawah, masih nampak
kilatan pantulan cahaya matahari pada titik-titik embun yang
bergayutan. Hampir setiap hari mereka bertiga melihat sinar
matahari yang jatuh dan bermain di dedaunan. Namun setiap
hari pula mereka merasakan sentuhan yang lembut dihati
mereka. Di bulak yang masih dekat dengan padepokan Kiai
Gringsing di Jati Anom beberapa orang yang berpapasan di
sawah selalu menegurnya. Mereka melihat Kiai Gringsing
tidak sekedar pergi ke sawah pagi itu. Agaknya Kiai Gringsing
akan bepergian bersama dengan dua orang lainnya.
Sabungsari yang tinggal juga di Jati Anom ternyata ada juga
yang sudah mengenalnya. Tetapi karena geraknya yang
terbatas sebagai seorang prajurit, maka orang yang
mengenalinya tidak sebanyak Kiai Gringsing.
Seorang yang sudah sebaya Kiai Gringsing yang
mengenalnya dengan baik telah menghentikannya.dan
berTanya, " Kiai akan pergi kemana sepagi ini?"
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, " Ada sedikit
keperluan di Pajang."
" Pajang" Jadi Kiai akan menempuh perjalanan sejauh itu?"
bertanya orang itu pula. " Bukankah Pajang tidak terlalu jauh?" desis Kiai
Gringsing. Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, " Aku belum
pernah melihat Pajang. Tetapi apakah keperluan Kiai ke
Pajang?" Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Ia sudah terbiasa
mendengar pertanyaan seperti itu. Seolah-olah orang itu
berkepentingan dengan kepergiannya. Tetapi memang sudah
menjadi kebiasaan bahwa pertanyaan yang demikian itu
dilontarkan kepada orang-orang yang lewat dan apalagi
bepergian. Namun Kiai Gringsing menjawab juga, " Ada salah seorang
kadangku yang memerlukan aku datang. Itulah sebabnya kami
pergi bertiga, karena keduanya ini juga termasuk kadangku
yang dipanggil untuk keperluan yang sama di Pajang."
Orang itu mengangguk-angguk. Agaknya ia sudah puas
bahwa orang yang lewat itu sudah memberitahukan keperluan
kepadanya. Demikianlah maka Kiai Gringsingpun telah menerus-kan
perjalanannya bersama Ki Jayaraga dan Sabungsari. Di jalanjalan
yang mereka lewati, nampaknya orang-orang tidak
banyak memperhatikan mereka. Dua orang tua yang dikawani
oleh seorang yang masih muda menempuh perjalanan melalui
jalan-jalan bulak dan jalan-jalan padukuhan. Apalagi dipagi
hari, jalan-jalan masih nampak ramai terutama oleh orangorang
yang kembali dari dan pergi ke pasar.
Nampaknya suasana terasa tenang dimana-mana.
Meskipun demikian ketiga orang itu tidak lepas dari sikap
berhati-hati. Ternyata bahwa diperjalanan Raden Rangga dan
Glagah Putih telah bertempur dengan orang-orang Watu
Gulung apapun sebabnya, sehingga kemungkinan yang sama
dapat juga terjadi atas mereka.
Sebenarnya waktu yang disediakan cukup longgar bagi
mereka, jika mereka hanya sekedar ingin mencapai tempat
yang sudah ditentukan untuk sating berhubungan. Tetapi
waktu yang akan banyak dipergunakan adalah usaha mereka
untuk menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih yang
sudah berjalan mendahului mereka.
Dihari pertama, pada perjalanan yang masih belum jauh,
sesekali mereka singgah di kedai untuk sekedar makan dan
minum. Selama mereka berada di kedai bersama beberapa
orang yang lain, rasa-rasanya merekapun tidak pernah
mendengar persoalan-persoalan yang cukup gawat yang perlu
mendapat perhatian khusus. Jika mereka menyebut juga
tentang persoalan yang timbul diantara penghuni padukuhan
padukuhan, maka persoalannya berkisar pada kesalah
pahaman saja, Mungkin tentang air di sawah yang salah
menghitung saat-saat menerima giliran. Atau mungkin tentang
anak-anak yang nakal dan saling berkelahi atau tentang
binatang yang digembalakan di sawah tanpa disadari telah
merusak tanaman. Persoalan-persoalan yang demikian akan
dengan cepat dapat diatasi oleh para bebahu padukuhan dan
Kademangan sehingga persoalan itupun cepat pula dianggap
selesai. Namun demikian, sekali pernah juga didengarnya tentang
pencurian. Tetapi pencurian merupakan sesuatu yang jarang
sekali terjadi. Bahkan penjual di kedai itu terkejut ketika
seorang pembelinya mengatakan tentang pencurian ternak di
padukuhannya. " Ada juga orang yang mencuri?" bertanya penjual itu.
09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Baru pertama kali terjadi sejak beberapa bulan terakhir."
jawab orang yang berceritera tentang pencurian itu, " tetapi
nampaknya bukan seorang yang memerlukan ternak.
Ternyata kemudian diketemukan ditempat yang sepi di hutan
perdu oleh seorang pencari kayu, bekas orang yang
menyembelih kambing. Agaknya ternak yang hilang itu
langsung disembelih dan dimakan oleh sekelompok orang.
Ditempat itu masih tercecer sisa-sisa bagian dari kambing
yang disembelih itu dan bekas perapian."
" Menarik sekali." desis penjual di kedai itu, " tetapi dengan
demikian justru merupakan persoalan yang lebih gawat dari
pencurian biasa. Apakah mungkin sekelompok anak-anak
muda yang nakal yang berbuat sesuka hati, tanpa
menghiraukan batas-batas kepentingan orang lain?"
" Entahlah." jawab orang yang menceriterakan tentang
pencurian itu. Namun ia masih menceriterakan tentang
beberapa hal dari peristiwa itu. Tetapi kemudian mereka tidak
membicarakan lebih panjang lagi. Mereka mulai berbicara
tentang persoalan-persoalan mereka sehari-hari.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari setelah
membayar harga makanan mereka, maka merekapun
meninggalkan kedai itu, merekapun ternyata telah tertarik
dengan ceritera tentang seekor kambing yang hilang dan
diketemukan setelah disembelih ditempat yang sepi. Bahkan
masih terdapat beberapa bagian yang tersisa. Dengan
demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pencurian itu
mempunyai alasan yang lain dari pencurian biasa. Tetapi
mereka tidak dapat dengan serta merta menanyakan bahkan
mengusutnya, karena hal itu akan dapat menimbulkan
kecurigaan. Namun berdasarkan pada pembicaraan itu, mereka dapat
mengira-irakan, disebelah manakah letak hutan perdu yang
dimaksudkan. " Agaknya pencurian itu terjadi di padukuhan disebelah
Timur padukuhan ini." desis Sabungsari.
" Ya." sahut Ki Jayaraga, " lalu hutan perdu itu terletak di
sebelah bulak. Mereka menyebut sebatang sungai. Agaknya
untuk sampai ketempat itu, dapat ditelusuri, sungai dari
padukuhan yang dimaksudkan."
" Kita dapat lewat hutan perdu itu." berkata Kiai Gringsing,
" rasa-rasanya ingin melihat, apa yang telah ter-jadi ditempat
itu." " Aku setuju." desis Sabungsari, " hanya sekedar ingin
melihat." Demikianlah maka mereka bertiga telah mengikuti arus
sungai yang melalui padukuhan disebelah Timur dari
padukuhan ditempat Kiai Gringsing dan kedua orang yang
bersamanya singgah dikedai. Sungai itu memang tidak begitu
besar. Tetapi agaknya sungai itu tidak pernah kering
disepanjang musim. Airnya yang jernih gemericik disela-sela
batu-batu yang besar yang berserakan. Ditepian terhampar
pasir yang berwarna kelabu.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah
meninggalkan tanah persawahan yang terbentang disebelah
tanggul sungai itu. Karena itu, maka ketiga orang itupun telah
memanjat tebing yang tidak begitu tinggi dan berdiri diatas
tanggul. Diujung daerah persawahan terdapat padang rumput yang
tidak begitu luas, namun berbatu-batu yang agaknya semula
dilemparkan dari sungai itu disaat banjir bandang. Sehingga
dengan demikian padang rumput itu tidak dapat digarap untuk
tanah perwahan. Sebelah padang rumput terdapat padang
perdu sebelum mencapai sebuah hutan yang nampaknya
masih cukup lebat. " Marilah." berkata Sabungsari, " kita melihat padang perdu
itu. Mungkin ada yang menarik perhatian."
Ketiga orang itupun kemudian telah melewati padang
rumput yang berbatu-batu dan memasuki padang perdu yang
ditebari oleh pepohonan perdu dan gerumbul-gerumbul.
Beberapa diantara gerumbul-gerumbul itu adalah gerumbulgerumbul
berduri. Sekali-sekali mereka dikejutkan oleh seekor
tikus hutan yang meloncat dan berlari melintas dari gerumbul
yang satu kegerumbul yang lain.
Untuk beberapa saat mereka berjalan berputar-putar di
Imam Tanpa Bayangan 2 Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Pedang Penakluk Iblis 8