Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 16


padang perdu itu. Tetapi padang itu cukup luas. Lebih luas
dari padang rumput disebelah padang perdu itu.
" Orang yang mencari kayu akan masuk sampai kedekat
hutan itu." berkata Sabungsari.
" Tetapi mereka tentu mencemaskan kemungkinan
hadirnya binatang buas." jawab Ki Jayaraga, " kecuali jika
mereka tidak seorang diri. Jika mereka bertiga atau lebih,
maka mereka memang berani menghadapi seekor harimau.
Apalagi jika mereka memang pemburu-pemburu yang baik."
" Tetapi jika mereka sekedar pencari kayu?" desis Kiai
Gringsing. " Pencari kayu yang beranipun tidak kurang. Mereka
dipaksa untuk menjadi seorang pemberani karena kebutuhan
yang mendesak. Tetapi aku kira mereka juga tidak pergi
hanya seorang diri." gumam Ki Jayaraga.
Yang lain mengangguk-angguk. Karena itulah maka
merekapun berjalan semakin dekat dengan pinggiran hutan.
Mereka menyusuri daerah yang agak lebat untuk mendapat
bekas-bekas dari ceritera orang yang berada diwarung itu.
" Menurut tangkapanku peristiwa itu terjadi belum lama."
desis Sabungsari. Kedua orang tua yang bersamanya itu menganggukangguk.
Mereka memang sependapat, bahwa menurut orang
yang berada di kedai itu, peristiwa yang terjadi itupun agaknya
belum terlalu lama. Karena itu, maka masih ada kemungkinan
bagi mereka untuk dapat menemukan sisa-sisa dari peristiwa
itu. Beberapa saat mereka menyusuri padang perdu dekat
dipinggir hutan yang sesungguhnya. Agaknya para pencari
kayu itu berada ditempat yang banyak terdapat kekayuan dari
dahan-dahan yang patah dan barangkali pohon yang tumbang
di hutan itu. Agak lama mereka berjalan. Namun akhirnya, mereka
memang melihat sesuatu yang menarik. Mereka tidak melihat
lagi bekas-bekas yang jelas. Tetapi beberapa buah batu yang
nampaknya disusun untuk membuat perapian masih nampak
ditempatnya. " Agaknya disinilah pembantaian atas ternak yang dicari
itu." berkata Sabungsari.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Mereka melihat-lihat keadaan disekitar tempat itu. Tidak ada
yang menarik perhatian selain batu-batu perapian itu.
Tetapi ketika mereka bergeser lagi beberapa langkah,
maka mereka menemukan beberapa buah bumbung bambu
kecil yang nampaknya menjadi alat untuk minum. Bahkan
beberapa langkah lagi mereka menemukan sebuah bumbung
yang besar, yang agaknya menjadi wadah tuak.
" Disini telah terjadi andrawina. Makan minum dan entah
apa lagi." berkata Sabungsari pula.
" Orangnya tidak terlalu banyak." sahut Kiai Gringsing, "
ternyata juga dari ceritera pencari kayu yang masih
menemukan sisa-sisa dari kambing yang hilang itu."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, " Tentu bukan
sekedar anak-anak muda yang nakal yang tidak mau
mengikuti paugeran di padukuhannya. Tetapi mereka tentu
orang lain yang mungkin kebetulan lewat."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, " Kita belum terlalu jauh dari Pajang. Mungkin
sekelompok orang yang sedang mengamati Pajang
sebagaimana sekelompok orang mengamati Mataram dan
bersembunyi disekitar tempat ini. Atau bahkan sekelompok
orang yang akan pergi ke Mataram untuk melanjutkan rencana
mereka sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Nagaraga."
Ki Jayaraga dan Sabungsari termangu-mangu sejenak.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berkata, " Memang ada
bedanya antara orang-orang Nagaraga dan orang-orang Watu
Gulung. Orang-orang Nagaraga ternyata langsung berusaha
menusuk kejantung. Sementara orang-orang Watu Gulung
membuat perhitungan-perhitungan yang lebih mungkin
dilakukan. Selangkah demi selangkah. Tetapi nampaknya
Watu Gulung benar-benar telah patah. Sehingga kemungkinan
terbesar yang bergerak adalah orang Nagaraga atau
perguruan lain yang melibatkan diri untuk bersama-sama
menentang Mataram, namun justru mereka berada dalam
persaingan." Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, " Apakah Ki
Untara pernah berbicara dengan Kiai berdua tentang kemelut
di daerah Timur" Bukan saja menyangkut beberapa
perguruan, tetapi beberapa Kadipaten?"
" Ya." sahut Kiai Gringsing, " Panembahah Senapatipun
meskipun tidak jelas pernah menyinggung, bahwa gerakan
dari beberapa perguruan itu tentu tidak lepas dari tingkah
beberapa orang Adipati yang merasa dirinya tidak
sepantasnya berada dibawah kuasa Mataram."
Ketiga orang itu nampaknya sependapat bahwa Mataram
memang sedang dibayangi oleh kabut yang kemelut dari arah
Timur itu. Namun Mataram mempunyai kepercayaan yang
besar terhadap Pajang yang tumbuh dan berkembang untuk
menjadi benteng yang kuat. Namun dengan demikian, timbul
usaha-usaha untuk langsung menyusup ke Mataram dan
langsung memadamkan apinya. Bukan sekedar membayangi
sinarnya. Namun, mereka bertiga itupun tiba-tiba saja terdiam.
Ketajaman penglihatan dan pendengaran mereka telah
menangkap bayangan dan suara gemersik di belakang
gerumbul-gerumbul perdu yang bergerak-gerak sementara
angin tidak bertiup. Tidak hanya satu dua orang. Tetapi
semakin lama menjadi cukup banyak.
" Apalagi yang akan terjadi." desis Ki Jayaraga.
" Entahlah." berkata Kiai Gringsing, " agaknya peristiwaperistiwa
seperti inilah yang menyeret Raden Rangga dan
Glagah Putih kedalam perselisihan. Agaknya yang terjadi
bukan saja menghadapi orang-orang Watu Gulung, tetapi
tentu dengan pihak-pihak yang lain sebagaimana terjadi kali
ini." Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, beberapa orang
telah bermunculan dari bilik gerumbul-gerumbul yang rimbun
di padang perdu itu. Beberapa orang diantara mereka telah
mengacukan senjata mereka. Yang lain melambailambaikannya.
Sementara itu seorang yang agaknya menjadi
pemimpin mereka telah melangkah maju mendekati Kiai
Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari.
Namun ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata orang-orang itu adalah orang-orang padukuhan.
Bukan sekelompok orang dari sebuah perguruan. Dengan
ketajaman pengamatan mereka, maka mereka bertiga segera
dapat membedakan sikap orang-orang yang datang itu dan
jumlah mereka yang cukup besar.
Orang yang kemudian berdiri sambil bertolak pinggang
dihadapan Kiai Gringsing itupun segera bertanya, " Ki Sanak.
Apalagi yang akan kalian lakukan" Bagi pedukuhan kami yang
miskin, seekor kambing sudah cukup."
Kiai Gringsing berpaling kearah Ki Jayaraga dan
Sabungsari. Mereka bertiga segera menyadari, bahwa
agaknya telah terjadi salah paham diantara mereka.
Karena Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari tidak
segera menjawab, maka orang itupun berkata lagi. " Ki Sanak.
Apa yang kalian lakukan itu telah membuat seisi padukuhan
kami, bahkan padukuhan-padukuhan lain di Kademangan
kami menjadi prihatin. Apakah yang akan kalian lakukan
kemudian?" " Ki Sanak." Kiai Gringsinglah yang kemudian menyahut, "
cobalah jelaskan, apa yang telah terjadi. Aku tidak mengerti
kenapa tiba-tiba saja kalian bersikap demikian terhadap kami."
" Jangan mencoba menyembunyikan kenyataan yang telah
terjadi di padukuhan kami." berkata orang itu, " kalian sudah
mengetahui apa yang kami maksudkan."
" Ki Sanak. Kami baru datang hari ini. Kami sedang dalam
perjalanan menuju ke Timur." jawab Kiai Gringsing.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, " Apapun yang kau
katakan, tetapi kami telah mendapatkan satu keyakinan
tentang kalian. Ketika seorang diantara kami yang sedang
bekerja disawah melihat kalian bertiga memasuki hutan perdu,
maka kamipun segera menentukan niat kami untuk
menangkap kalian." " Dengarlah keterangan kami." Sabungsari yang muda
itulah yang kemudian melangkah maju, " kami baru datang
hari ini. Kami tengah dalam perjalanan. Jika yang kalian
maksud adalah orang-orang yang mencuri kambing
dipadukuhan kalian, maka kamipun mendengar cerita tentang
peristiwa itu dikedai ketika kami singgah di padukuhan
sebelah." " Sudahlah." berkata orang itu, " jangan banyak bicara.
Ikutlah. Kami akan membawa kalian ke padukuhan."
" Jangan berlaku kasar seperti itu Ki Sanak." jawab
Sabungsari, " kalian tentu dapat melihat, apakah ujud dan
tampang kami ini termasuk orang-orang yang suka mencuri"
Tetapi karena dikedai kami mendengar tentang peristiwa
pencurian itu, kami justru ingin melihat, apa yang sebenarnya
terjadi di hutan ini."
" Kau sudah cukup banyak bicara. Terlalu banyak. Kami
sudah berusaha untuk menahan diri. Tetapi jika kau berkeras,
maka apa boleh buat."
" Apa yang akan kalian lakukan?" bertanya Sabungsari.
" Kau lihat bahwa aku tidak sendiri" Dan kau lihat bahwa
kawan-kawanku itu besenjata?" bertanya orang itu.
" Aku lihat. Tetapi senjata tidak seharusnya dipergunakan
untuk melakukan tindakan sewenang-wenang." berkata
Sabungsari. " Sudahlah. Ikut kami. Kita akanmenghadap Ki Demang."
berkata orang itu. Kiai Gringsinglah yang kemudian menyahut mendahului
Sabungsari, " Baiklah. Kami tidak berkeberatan."
Sabungsari memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun ia
tidak membantah, meskipun sebenarnya ia tidak ingin
mengikuti orang-orang padukuhan itu.
" Kita akan dapat memberikan penjelasan " berkata Kiai Gringsing kepada Sabungsari.
Sabungsari tidak menyahut. Tetapi ia berdesis ditelinga Ki
Jayaraga " Apa yang dapat kita katakan" "
" Serahkan saja kepada Kiai Gringsing " jawab Ki Jayaraga.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai
Gringsing yang juga mendengar jawaban itu tersenyum.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan
Sabungsari telah digiring oleh orang-orang padukuhan itu
menuju ke Kademangan. Ketika mereka melintas padang
perdu itu, ternyata orang-orang yang ikut pergi untuk
menangkap tiga orang yang disangka ada hubungannya
dengan hilangnya kambing mereka, cukup banyak. Mereka
bermunculan dari balik gerumbul-gerumbul liar dengan
senjata. " Ketika mereka memasuki padang rumput, maka
Sabungsari melihat iring-iringan yang panjang dibelakangnya.
Nampak wajah-wajah yang marah yang memandangnya
dengan geram. Agaknya mereka telah mengambil kepastian
bahwa ketiga orang itulah yang telah mencuri kambing mereka
dan menyembelihnya di hutan perdu itu.
Sabungsari sama sekali tidak senang diperlakukan seperti
itu. Namun Ki Jayaraga berkata " Sudahlah. Jangan kau
pikirkan lagi, Kita serahkan semua persoalan kepada Kiai
Gringsing seperti yang sudah aku katakan. Semuanya akan
segera selesai dengan baik. Tanpa kekerasan dan tanpa
saling menyakiti hati. Sabungsari tidak menjawab. Meskipun kepalanya
terangguk-angguk, tetapi nampak pada kerut dikeningnya,
bahwa ia memang tidak menyenangi cara itu.
Apalagi ketika mereka memasuki padukuhan. Orang-orang
sepadukuhan telah berkumpul dipinggir jalan induk padukuhan
mereka yang akan dilewati oleh ketiga orang yang mereka
anggap telah mencuri kambing, mereka menuju kepadukuhan
in-duk. Iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin
panjang. Beberapa orang justru berteriak-teriak " Kenapa
harus dibawa ke padukuhan induk" Kenapa tidak kita
selesaikan saja disini" "
" Serahkan kepada kami. Pamankulah yang kehilangan
kambing itu " teriak seorang anak muda.
Soalnya bukan sekedar seekor kambing " sahut yang lain "
tetapi itu sudah merupakan penghinaan bagi kami, seisi
padukuhan ini. Seolah-olah orang asing akan dapat berbuat
apa saja di kampung halaman kami. "
" Ya serahkan kepada kami " teriak yang lain lagi. Tetapi
para bebahu padukuhan itu tidak memberikan
ketiga orang itu. Mereka membawa ketiga orang itu
mengikuti jalan induk menuju ke padukuhan disebelah.
Beberapa saat kemudian, ternyata mereka telah keluar dari
padukuhan itu. Mereka melintasi sebuah bulak yang tidak
terlalu panjang. Dihadapan mereka, diseberang bulak itulah padukuhan
induk yang mereka tuju. Sabungsari memandang jalan itu dengan jantung yang
berdebar-debar. Ketika dilihatnya sebuah simpang ampat,
maka iapun berdesis " Kiai, kita dapat mengambil jalan kekiri
atau kenanan. " " Maksudmu" " bertanya Kiai Gringsing.
" Seandainya Kiai tidak ingin melawan, maka kita dapat
melarikan diri disimpang ampat itu " jawab Sabungsari " jika
kita berlari meninggalkan mereka, maka tidak seorangpun
yang akan dapat mengejar kita. "
" Ah " sahut Kiai Gringsing " dengan demikian kita tidak
akan berkenalan dengan Ki Demang. Kita akan kehilangan
kesempatan untuk berbincang serba sedikit tentang kambing
yang hilang itu " " Bagaimana jika mereka mengambil langkah-langkah yang
bertentangan dengan kepentingan kita" " bertanya
Sabungsari. " Jika jelas sebagaimana kau katakan, barulah kita akan
lari. Tetapi kita berharap bahwa kita mendapat kesempatan
untuk berbicara " jawab Kiai Gringsing.
Sementara itu Ki Jayaraga memotong " Setidak-tidaknya


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita akan dijamu makanan dan minuman yang lebih baik
daripada yang kita dapatkan dikedai itu. "
" Belum tentu " desis Sabungsari. Mungkin kita justru
dikejar-kejar seperti mengejar tupai.
" Menarik sekali " jawab Ki Jayaraga " kita akan membuat
mereka pingsan kelelahan.
Sabungsari tidak menjawab lagi. Apalagi ketika orang yang
membawanya itu bergeser mendekati mereka bertiga.
Ketika mereka kemudian melewati simpang ampat itu,
Sabungsari hanya menarik nafas.
Demikianlah ketiga orang itupun kemudian telah dibawa
memasuki padukuhan induk, menuju ke Kademangan.
Agaknya Ki Demang sudah diberi tahu tentang ketiga orang
yang memasuki padang perdu dan oleh orang-orang
padukuhan telah dikepung untuk ditangkap. Sehingga karena
itu, ketika ketiga orang itu dibawa ke Kademangan, Ki
Demang sudah siap untuk menerimanya.
Ketiga orang yang digiring oleh iring-iringan yang semakin
panjang itupun kemudian langsung dibawa naik kependapa.
Orang-orang yang mengiringinya ikut pula masuk ke halaman
Kademangan. Mereka segera terpencar disekeliling pendapa
itu. Hanya para bebahu sajalah yang kemudian ikut naik ke
pendapa pula untuk ikut berbicara bersama Ki Demang.
Ki Demang menerima mereka dengan dahi yang berkerut.
Melihat sikap Ki Demang dan para bebahu, maka Sabungsari
menjadi semakin tidak senang. Seakan-akan mereka sudah
yakin, bahwa ketiga orang yang dihadapkan kepada Ki
Demang itu pasti bersalah.
Apalagi ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata "
Bagaimana" Apakah kalian memang hanya bertiga" Aku kira tentu ada
orang lain bersama kalian. Jika kalian hanya bertiga, maka
kalian akan pingsan karena kalian terlalu banyak makan
daging kambing itu. "
Kiai Gringsing menggamit Sabungsari ketika ia hampir saja
membuka mulutnya untuk menjawab. Karena itulah, maka
yang kemudian menjawab adalah Kiai Gringsing sendiri " Ki
Sanak. Marilah kita berbicara tanpa prasangka. Seharusnya Ki
Sanak melihat kami bertiga. Apakah sudah sepantasnya Ki
Sanak menuduh kami mencuri kambing dan
menyembelihnya di pinggir hutan. "
" Jangan berpura-pura bersikap sebagaimana orang-orang
beradap " sahut Ki Demang " kau kira kami dapat kau kelabui
dengan sikapmu itu" Seekor harimau memang dapat saja
bersikap seperti seekor kambing yang hilang itu. "
" Ki Demang " berkata Kiai Gringsing " aku kira seorang
Demang akan cukup bijaksana menghadapi satu persoalan.
Jika seorang Demang perasaannya mudah dibawa hanyut
oleh prasangka, maka apakah akibatnya bagi Kademangan ini
sendiri" Sikap curiga, dugaan buruk, bahkan menetapkan
orang lain bersalah sebelum dapat dibuktikannya atau bahkan
memang benar-benar bertentangan dengan kebenaran. "
" Jangan banyak berbicara " bentak Ki Demang " kau
adalah tangkapan kami. Jika kami mau, maka kau dapat aku
serahkan kepada orang-orang yang marah itu, sehingga kau
akan dapat dicincang dihalaman Kademangan ini. "
" Ki Demang " berkata Kiai Gringsing " kami bukan orangorang
yang Ki Demang maksudkan. Kami baru hari ini
memasuki Kademangan ini. Kami mendengar peristiwa
tentang kambing yang hilang itu baru dikedai ketika kami
singgah untuk makan. Karena persoalannya menarik, maka
kami telah memerlukan untuk melihat-lihat dimanakah
kambing itu disembelih. " Persetan dengan kalian " geram Ki Demang "
bagaimanapun juga kalian harus dihukum. Tetapi kami tidak
akan melakukannya dimalam hari. Kami akan menghukum
kalian mulai besok pagi. Kalian akan menjadi orang-orang
yang dijatuhi hukuman setelah beberapa bulan kami
merasakan hidup tenang dan damai. Mudah-mudahan
kemudian kami akan mengalami kedamaian itu lagi jika kalian
sudah mendapatkan hukuman kami. "
" Kami mohon Ki Demang memeriksa kami dengan
saksama. Mungkin kita dapat berbicara agak panjang
sehingga Ki Demang yakin bahwa kami memang tidak
bersalah " berkata Kiai Gringsing.
" Semuanya hanya akan membuang waktu " geram Ki
Demang. Lalu katanya kepada para bebahu " Bawa mereka ke
tempat tahanan itu. Ketiga orang itu tidak dapat membantah. Merekapun
kemudian telah diseret dan didorong menuju ke sebuah
bangunan kecil, tetapi cukup kuat dan rapat.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari saling
berpandangan ketika pintu bilik itu ditutup dan diselarak dari
luar. Sementara itu langit memang sudah menjadi buram.
Senja turun dengan cepat. Dan bilik itupun menjadi semakin
gelap. " Apakah didalam bilik ini tidak akan diberi lampu" "
bertanya Sabungsari. " Kenapa" " bertanya Ki Jayaraga.
" Rasa-rasanya bilik ini menjadi semakin pepat. " jawab
Sabungsari. " Kau aneh sekali hari ini " jawab Ki Jayaraga " seorang
pengembara yang berpengalaman menjadi bingung karena
gelapnya bilik yang diperuntukkan untuk menyekapnya. "
Sabungsari tidak menjawab. Dalam keadaan wajar, ia
sama sekali tidak merasakan kepengapan udara betapapun
gelapnya. Karena ketajaman matanya masih tetap dapat
menembus kepekatan yang bagaimanapun juga. Tetapi
karena ia memang sudah merasa jengkel sejak semula, maka
rasa-rasanya segala sesuatu membuatnya semakin jengkel
karenanya. Namun Kiai Gringsing agaknya sama sekali tidak
menghiraukan apa yang terjadi atas diri mereka. Bahkan Kiai
Gringsing kemudian telah berbaring dipembaringan yang ada
didalam bilik itu. Akhirnya Sabungsaripun tidak bergeremang lagi. Iapun
kemudian duduk pula dibibir amben, sementara Ki Jayaraga
duduk disisinya. Untuk beberapa saat mereka bertiga hanya saling berdiam
diri. Masing-masing sedang menelusuri anganangannya
sendiri. Dalam pada itu di pendapa Kademangan, Ki Demang
masih berbicara dengan beberapa orang bebahu. Sementara
itu masih banyak orang yang berkerumun di halaman
Kademangan itu. Agaknya mereka merasa kecewa bahwa
mereka tidak mendapat kesempatan untuk menghukum
orang-orang yang telah ditangkap itu.
Ki Demang dan para bebahu agaknya memang sudah
menetapkan bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang
telah mencuri kambing dipadukuhan sebelah. Karena itu,
maka mereka tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali
melanjutkan hukuman kepada mereka.
Sejenak kemudian, maka lampu-lampu di Kademangan itu
memang sudah dinyalakan. Seorang pengawal telah
membuka selarak bilik yang dipergunakan untuk menahan
ketiga orang yang dituduh mencuri kambing itu sedangkan
orang lain telah memasuki bilik itu sambil membawa lampu
minyak. Namun ketika orang itu melangkah keluar, tepat di-pintu
bilik ia telah meloncat-loncat sambil mengaduh. Beberapa
pengawal yang ada diluar bilik itu segera berlari-lari. Mereka
mengira bahwa ketiga orang tawanan itu telah berusaha untuk
melarikan diri. Tetapi mereka masih melihat ketiga orang itu ditem-patnya.
Bahkan seorang diantara mereka masih berbaring di
pembaringan, sementara dua orang yang lain duduk dibibir
pembaringan itu. Karena itu, maka orang-orang yang kemudian berkerumun
segera bertanya hampir berbareng " Kenapa" Kenapa kau
he" " " Aku seperti menginjak api. Aku tidak tahu, apa yang
terasa panas dikakiku. Sekarang pun rasa-rasanya kakiku
masih terbakar " jawab orang itu.
Seorang telah membawa obor. Mereka menerangi tumit
kaki pengawal yang berteriak itu. Mereka terkejut ketika
mereka melihat kaki itu seolah-olah memang terbakar.
" Kenapa kakimu he" " bertanya orang yang membawa
obor. Orang itu menggeleng. Katanya " Aku tidak tahu. Pada saat
aku melangkah keluar, dimuka pintu kakiku bagaikan
menginjak bara api. Ternyata kakiku memang ter-luka bakar. "
Beberapa orang saling berpandangan. Beberapa orang
memang mengamati keadaan didalam bilik itu. Namun ketiga
orang itu agaknya memang tidak beranjak dari tempatnya.
Dengan menyeret kakinya yang terluka, dibantu oleh
kawannya, orang itu meninggalkan pintu bilik tawanan itu.
Kawannyalah yang menutup pintu dan menyelarakkannya dari
luar. Tetapi tidak seorangpun yang dapat memecahkan teka-teki
tentang kaki orang itu. Bahkan Ki Demangpun menjadi
bingung pula karena peristiwa itu.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga telah bergumam "
Nampaknya kau kurang pekerjaan. "
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Satu
permainan yang dapat sedikit mengurangi beban kejengkelan.
" " Untung kau membidikkan sorot matamu dengan tepat.
Jika kau mengenai betisnya maka keadaannya akan menjadi
semakin parah " desis Ki Jayaraga.
Sabungsari sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia ingin
mengurangi pepat dihatinya, sehingga ia telah melukai tumit
lawannya dengan sorot matanya. Hanya dengan sebagian
kecil saja dari kekuatan ilmunya.
Kiai Gringsinglah yang kemudian terdengar tertawa.
Katanya " Tidur sajalah. Mungkin besok kita harus membuat
permainan yang lebih menarik daripada sekedar memanasi
tumit. " Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
iapun berkata pula kepada Sabungsari " Tidur sajalah. -
" Baru saja lewat senja " berkata Sabungsari " aku ingin
berjalan-jalan sekeliling padukuhan induk ini. "
" Kita sedang ditahan disini " sahut Kiai Gringsing. Tetapi
Sabungsari menjawab " Apa salahnya. Nanti
malam kita kembali lagi kedalam bilik ini. "
Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun iapun kemudian
bertanya kepada Kiai Gringsing " bagaimana pendapat Kiai" -
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia mengerti perasaan
Sabungsari. Karena itu maka katanya " Baiklah. Kita akan
berjalan-jalan. Mudah-mudahan dapat menghilangkan kejemuanmu.
" " Ternyata perhitungan Ki Jayaraga pun keliru " berkata
Sabungsari kemudian. " Perhitungan yang mana" " bertanya Ki Jayaraga.
" Menurut Ki Jayaraga setidak-tidaknya kita akan makan
lebih baik daripada di kedai itu. Ternyata kita begitu saja
dilemparkan ke dalam bilik ini. " berkata Sabungsari.
Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing tertawa. Kiai Gring-singlah
yang menjawab " Jika bukan makan, maka kita telah
mendapat tempat untuk bermalam jauh lebih baik daripada
tidur di padang terbuka. "
" Tetapi disini banyak sekali nyamuk " sahut Sabungsari.
" Tingkatkan daya tahan tubuhmu serta usahakan
mengatasi rasa sakit " berkata Kiai Gringsing.
Akhirnya Sabungsaripun tersenyum pula. Tetapi ia benarbenar
merasa jemu berada di bilik itu meskipun seperti kata
Kiai Gringsing, bahwa tempat itu memang lebih baik daripada
bermalam di padang terbuka. Namun karena mereka
dimasukkan kedalam bilik itu sebagai tahanan,
maka rasa-rasanya bilik itupun menjadi sangat pengab.
Untuk beberapa saat lamanya mereka masih tetap berada
di dalam bilik itu. Mereka menunggu kesempatan untuk dapat
keluar dan berjalan-jalan di padukuhan induk.
Ketajaman pendengaran mereka dapat ditingkatkan untuk
mengetahui apakah di sekitar bilik itu masih terdapat
pengawasan yang ketat. Ketika keadaan sudah menjadi sepi, maka Sabungsari
berusaha mengintip dari celah-celah dinding kayu bilik itu.
Ternyata ia memang tidak melihat seorangpun yang berada
dekat dengan bilik itu. Namun agak jauh, ia memang melihat
dua orang duduk dibawah lampu minyak. Agaknya dua orang
itulah yang bertugas mengawasi bilik itu, tanpa menyadari
siapakah yang berada di dalam bilik tahanan yang mereka
anggap sudah cukup kuat itu.
" Marilah " berkata Sabungsari kemudian " kita akan keluar
lewat atap. Nanti kita akan kembali lewat atap pula. Jika kita
merusak dinding, maka akan segera timbul kecurigaan. "
Kiai Gringsing menggeliat. Katanya " Sebenarnya aku lebih
senang berbaring saja disini. Tetapi baiklah. Kita melihat-lihat
isi Kademangan ini "
Demikianlah, maka Sabungsari adalah orang yang pertama
meloncat bergayutan pada rusuk-rusuk atap yang terbuat dari
batang-batang bambu yang nampaknya cukup kokoh. Dengan
hati-hati Sabungsari telah menyibakkan atap yang terbuat dari
anyaman jerami yang rapat. Kemudian, iapun telah menyusup
diantara rusuk-rusuk bambu itu. Dari atap itu ia meyakinkan,
bahwa tidak seorangpun yang akan melihat mereka, meskipun
dari tempatnya ia dapat melihat lewat bumbungan, bahwa di
halaman Kademangan itu ternyata masih terdapat banyak
orang. Dengan isyarat ia mempersilahkan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga untuk keluar pula.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah keluar
dari bilik tahanan mereka melalui atap. Merekapun
kemudian beringsut dan dengan tangkas meloncat turun,
seolah-olah mereka mampu melayang tanpa menimbulkan
bunyi apapun. Sejenak mereka mengamati tempat itu agar mereka cukup
mengenalinya. Kemudian merekapun meninggalkan tempat
itu. Tetapi mereka harus mengambil jalan lain tanpa melewati
halaman depan Kademangan yang masih terdapat banyak


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang sedang marah. Ketiga orang itu telah meloncati dinding pekarangan di
belakang kandang. Kemudian mereka ternyata telah turun
kejalan kecil yang melingkari rumah Ki Demang itu.
Dengan hati-hati maka merekapun telah menyusuri jalan
kecil yang sepi itu. Tetapi mereka tidak menuju ke jalan induk
Kademangan. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah berada di
tengah-tengah padukuhan induk itu dan berjalan dari satu
lorong ke lorong yang lain. Bahkan kadang-kadang mereka
telah memasuki halaman rumah yang pintunya sudah tertutup.
Namun dibagian lain terdapat rumah yang cukup lengkap
dengan pendapa yang terbuka dan halaman yang cukup luas.
" Agaknya di Kademangan ini, setidak-tidaknya di
padukuhan induk ini banyak juga orang kaya " berkata
Sabungsari. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Kiai Gringsing berkata " Kademangan ini
adalah Kademangan yang subur. Namun seekor diantara
kambing mereka hilang, maka seisi Kademangan sudah
menjadi gempar. Agaknya ketenangan yang selama ini
mewarnai Kademangan ini telah membuat penghuninya
tersinggung oleh kehilangan itu. "
" Mereka tidak mau peristiwa itu terulang lagi " sahut Ki
Jayaraga " Karena itu, maka mereka benar-benar ingin
membuat orang yang disangkanya telah mencuri itu menjadi
jera. " Sabungsari hanya mengangguk-angguk saja. Namun
rumah-rumah dan bangunan yang ada memang menarik.
Ketika mereka sampai ke banjar, ternyata banjar itu benarbenar
kosong. Agaknya orang yang seharusnya meronda digardu
diregol telah berada di Kademangan pula.
Dengan leluasa mereka bertiga sempat melihat-lihat banjar
itu. Satu bangunan yang menarik dan cukup besar. Bahkan di
banjar itu terdapat pula seperangkat gamelan yang cukup
baik. Ketika Sabungsari memasuki ruang penyimpanan gandum,
Ki Jayaraga berdesis " Apa yang akan kau lakukan" "
Sabungsari tertegun. Meskipun ia berpaling sejenak,
namun ia kemudian melangkah memasuki ruang yang
pintunya terbuka itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menegurnya lagi.
Ketika keduanya berdiri dipintu mereka melihat Sabungsari
sedang memindah-mindah wilahan gamelan.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Dengan nada
datar Ki Jayaraga berdesis " Sabungsari masih ingin
melepaskan kejengkelannya. Dengan memindahkan wilahanwilahan
gamelan ia akan dapat membuat bingung para
penabuhnya jika gamelan itu kelak dipergunakan. "
Beberapa saat kemudian Sabungsari telah selesai dengan
kerjanya. Iapun tersenyum pula sambil melangkah mendekati
kedua orang tua itu. Katanya " Marilah. Satu kerja sekedar
untuk menghilangkan kejemuan. "
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menyahut. Tetapi
mereka pun kemudian beringsut meninggalkan ruang
penyimpanan gamelan itu. Namun tiba-tiba hampir berbarengan ketiganya
mengerutkan keningnya. Bahkan Kiai Gringsing telah berdesis
perlahan. " Aku dengar langkah seseorang. "
" Kita menyingkir lewat pintu belakang. " sahut Ki Jayaraga.
Ketiganyapun kemudian telah beringsut ewat pintu butulan.
Demikian mereka keluar, maka beberapa orang memasuki
ruang dalam banjar Kademangan itu.
Dari luar, ketiga orang yang keluar lewat pintu butulan itu
masih mendengar salah seorang yang memasuki banjar itu
berkata " Aku akan tidur saja di banjar. "
" Aku menyesal, kenapa Ki Demang tidak menyerahkan
saja orang-orang itu kepada kita " sahut yang lain " kita akan
dapat membuat mereka jera. "
" Jika mereka tidak dibuat jera, maka pencurian seperti itu
akan terulang kembali " berkata yang lain lagi.
Namun agaknya seseorang yang suaranya menunjukkan
sikap yang lebih mengendap berkata " Kita tidak boleh
tenggelam dalam arus perasaan. Ki Demang besok akan
menghukum mereka. Itupun masih harus diyakini, bahwa
ketiga orang itu memang bersalah. Sebenarnya Ki
Demangpun masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat
untuk dapat menentukan bahwa ketiganya memang pencuri
yang kita cari itu. "
" Kau selalu berpikir berbelit-belit " sahut kawannya "
semuanya sudah cukup jelas. Tetapi Ki Demang masih juga
menunggu sampai perhitungan, tentu bukan hanya tiga orang
itu saja yang telah menyembelih kambing itu. Jika kawankawannya
mendengar bahwa tiga orang diantara mereka
tertangkap, maka mungkin sekali mereka akan berusaha
untuk membebaskannya. "
" Apa mereka ingin membunuh diri " teriak seorang anak
muda " tetapi sebaiknya mereka melakukannya. Kita akan
mendapat kepuasan. "
" Sudahlah " berkata seorang yang sudah lebih tenang dari
kawan-kawannya itu " kita serahkan saja semuanya kepada Ki
Demang. " " Aku akan tidur " terdengar suara orang yang pertama.
Yang lain tidak menjawab lagi. Tetapi mereka agaknya
telah bertebaran didalam banjar itu.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun kemudian
beringsut meninggalkan banjar itu. Mereka tidak melewati
regol halaman lagi, karena mereka melihat ada dua orang
yang duduk diregol itu sambil berselubung kain panjang.
Karena itu, maka ketiga orang itupun kemudian telah
meloncati dinding dan hilang dikegelapan.
" Kiai " berkata Sabungsari kemudian " apakah kita besok
benar-benar membiarkan diri kita dihakimi oleh Ki Demang
dihadapan orang-orang yang marah itu" "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Besok kita akan berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa
kita tidak bersalah. "
Tetapi Sabungsari menggeleng. Katanya " Tidak ada
gunanya Kiai. Apapun yang kita katakan, mereka tidak akan
percaya. Mereka telah mengambil satu kesimpulan sebelum
mereka mendengarkan penjelasan kita. "
" Tetapi jika kita dapat meyakinkan mereka" " desis Kiai
Gringsing. " Sulit Kiai " jawab Sabungsari " mereka nampaknya orangorang
yang keras hati. Apalagi mereka sudah mengambil satu
keputusan tanpa keyakinan. Kiai, agaknya sulit untuk merubah
pendapat mereka. Sekelompok orang yang sudah bulat
menentukan satu keputusan. Mungkin Kiai dapat meyakinkan
Ki Demang. Tapi orang-orang Kademangan ini tidak akan
dengan mudah mencabut keputusan mereka tentang kita. "
Ki Jayaragalah yang kemudian berbicara " Kiai. Aku dapat
mengerti pendapat angger Sabungsari. Karena itu, maka
apakah kita mempunyai cara lain yang akan dapat merubah
pendapat mereka tentang kita". "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia justru
bertanya " Bagaimana sebaiknya menurut Ki Jayaraga" "
" Kiai. Bagaimana jika kita bermain-main sedikit dengan isi
Kademangan ini" " berkata Ki Jayaraga.
" Bermain-main bagaimana " bertanya Kiai Gringsing.
" Bagaimana jika angger Sabungsari menutup kembali
atap itu sementara kita tetap berada diluar" " berkata Ki
Jayaraga. Lalu " Kita akan tidur diserambi. "
Sabungsari tersenyum. Katanya " Baik. Aku mengerti
maksud Ki Jayaraga. Aku setuju. "
Kiai Gringsing tersenyum. Iapun mengerti maksud kedua
orang itu. Namun katanya " Apakah kita orang-orang tua ini
masih juga akan bermain-main sembunyi-sembunyian" "
" Sekali-sekali apa salahnya Kiai" " jawab Sabungsari.
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Jawabnya " Baiklah. Aku
akan ikut saja. Mudah mudahan tidak terjadi kekerasan. "
" Jika terpaksa terjadi kekerasan, apaboleh buat. Bukankah
kita benar-benar tidak bersalah" " sahut Sabungsari.
Kiai Gringsing tidak dapat menyalahkan Sabungsari yang
terhitung masih muda itu. Tetapi iapun berkata " Asal kita
dapat mengekang diri. Kita berhadapan dengan orang-orang
padukuhan yang tidak menyadari, apa yang dilakukannya. "
Sabungsari mengangguk-angguk, Namun ia tidak
menjawab lagi. Beberapa saat kemudian mereka masih berputar-putar
dipadukuhan. Nampaknya orang-orang yang berkumpul di
halaman Kademangan telah bubar. Beberapa kali mereka
bertemu dengan kelompok-kelompok kecil yang berjalan
menyusuri jalan padukuhan sehingga ketiga orang itu terpaksa
setiap kali bersembunyi dibalik dinding. Karena itulah maka
beberapa orang telah pula berada di banjar kembali.
Setelah berputar-putar beberapa lama akhirnya Sabungsaripun
menjadi jemu pula. Apalagi ketika mereka telah
melihat seluruh padukuhan induk-itu.
Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itupun telah
kembali ke Kademangan. Seperti ketika mereka keluar maka
merekapun telah memasuki halaman Kademangan itu lewat
belakang. Mereka telah meloncati dinding halaman dan
dengan diam-diam menuju ketempat mereka ditahan.
Beberapa orang yang bertugas menjaga mereka masih
berada di tempatnya. Namun agaknya orangnya sudah
berganti. Sementara itu di pendapa tinggal beberapa orang
saja yang masih duduk-duduk untuk berjaga-jaga dan
membantu jika diperlukan apabila para tawanan itu berniat
buruk. Tetapi ketiga orang itu tidak segera memanjat atap bilik dan
masuk kembali kedalamnya. Namun hanya Sabungsari
sajalah yang meloncat naik. Tetapi ia sama sekali tidak
memasuki bilik itu. Yang dilakukannya hanyalah mengatupkan
kembali atap yang telah disibakkan pada saat mereka keluar
dari bilik itu. Bahkan setelah menjadi rapi kembali, maka
Sabungsaripun telah meloncat turun pula.
" Kita dapat beristirahat sekarang - berkata Sabungsari.
" Kita adalah orang-orang aneh " berkata Kiai Gringsing "
didalam bilik kita dapat tidur nyenyak, bahkan hangat. Disini
udara terasa dingin dan basah oleh angin malam. "
" Tetapi bagi pengembara angin basah sama sekali tidak
ada artinya " desis Sabungsari.
Kiai Gringsing tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun kemudian duduk di
serambi dibelakang bilik itu. Serambi yang gelap yang tidak
banyak dipergunakan lagi.
Ternyata mereka bertiga sempat tidur nyenyak di serambi
meskipun hanya sekedar duduk sambil bersandar di sudutsudut
serambi itu. Ketika malam menjadi semakin dalam, setelah menjelang
dinihari, ternyata orang-orang yang bertugas itu telah berniat
untuk melihat-lihat di sekeliling halaman. Mereka berjalan
lewat halaman depan. Memasuki seketheng dan melihat-lihat
keadaan longkangan sebelah kiri dan kanan. Baru kemudian
mereka telah mengelilingi rumah Ki Demang dengan bagianbagiannya,
termasuk lumbung dan kandang.
Dengan obor ditangan mereka menyusupi setiap sudut
halaman dan memperhatikan setiap keadaan.
Tiba-tiba orang-orang itu tertegun. Mereka melihat tiga
orang tidur di serambi. Meskipun sebenarnya ketiga orang itu
sudah terbangun dan mengetahui kehadiran mereka, namun
mereka bertiga masih berpura-pura tidur sambil bersandar
dinding. " He, bukankah mereka pencuri kambing itu" " tiba-tiba
seorang diantara mereka berteriak.
" Ya. Bagaimana mungkin mereka berada di serambi" sahut
yang lain. " Aneh " geram yang lain. Lalu " Lihat, apakah di dalam bilik
itu memang sudah tidak ada orang lagi. "
Dua orang diantara mereka segera berlari-lari. Mereka
melingkari longkangan dan masuk lewat pintu samping.
Demikian mereka membuka selarak bilik itu, maka ternyata
bahwa bilik itu memang telah kosong.
" Gila. Bagaimana mungkin mereka berada di serambi, "
desis seorang diantara mereka.
Ketika mereka berdua melihat-lihat dinding bilik itu, mereka
sama sekali tidak menemukan, kerusakan apapun -juga.
Sementara itu, seorang yang lain, diantara mereka yang
masih berada diluar telah membentak " He, kenapa kalian
berada disini" "
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun merabuka
matanya. Mereka memandangi keadaan sekelilingnya
dengan sikap yang bingung. Dengan suara sendat Sabung
sari bertanya " Aku berada dimana" "
" Gila. Kenapa kau berada disini" " bentak orang yang
sedang meronda itu. " Justru aku yang ingin bertanya " jawab Sabungsari "
apakah ketika kami sedang tidur, kami telah dilemparkan
keluar" " Beberapa orang saling berpandangan. Sementara itu dua
orang yang melihat kedalam bilik itu telah kembali sambil
berdesis " Bilik itu masih utuh. "
Orang-orang itu memang menjadi heran. Mereka tidak
segera mengetahui apa yang terjadi.
Namun seorang diantara mereka tiba-tiba berkata " Kau
berusaha untuk melarikan diri, ya" "
Tetapi dengan cepat Sabungsari menjawab " Jika kami
berusaha, melarikan diri, kami tidak akan tertidur disini.
Kamilah yang justru merasa telah dilemparkan dari dalam bilik
itu. Tentu ada orang yang dengan sengaja membuat
persoalan disini. Ketika kami sedang tidur, maka orang itu
telah membuka selarak. Mengangkat kami ke tempat ini dan
kembali menyelarak pintu. "
" Omong kosong " bentak seorang diantara mereka. Lalu "
Ayo cepat kembali kedalam bilik itu, atau kalian akan
mengalami perlakuan yang pahit. Jika kau jatuh ke tangan
orang-orang padukuhan, maka tubuh kalian tentu akan
menjadi lumat. " Namun tiba-tiba seorang yang lain berkata hampir tidak


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar " apakah di dalam bilik itu ada hantu" "
" Hantu " tiba-tiba Sabungsari mengulang " jika bilik itu ada
hantunya, jangan kalian bawa kami kembali kedalamnya. "
" Persetan " geram yang lain. Namun iapun kemudian
berkata " memang merupakan teka-teki seperti ketika seorang
diantara anak-anak kami yang tumitnya terbakar
bagaikan menginjak api. "
Orang-orang itu termangu-mangu. Namun seorang yang
lain berkata " Kita akan memasukkannya kembali. Hari belum
dini. Apapun yang terjadi dengan teka-teki itu, tetapi biarlah
orang-orang ini kita simpan dahulu. Pengawasan diperketat.
Dan setiap kejadian yang mencurigakan harus diamati dengan
sungguh-sungguh. " Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun kemudian
telah digiring menuju ke pintu bilik itu. Sementara itu Ki
Demang ternyata telah terbangun pula dan berdiri termangumangu
beberapa langkah dari bilik itu.
Ketika ketiga orang itu kemudian memasuki pintu dan
setelah pintu itu diselarak kembali dari luar, maka Ki Demangpun
mendekat sambil bertanya " Apa yang terjadi"
Seorang yang paling tua diantara para peronda itupun
kemudian memberikan laporan tentang ketiga orang yang tibatiba
saja telah berada di serambi.
"- Beberapa peristiwa aneh telah terjadi " desis Ki Demang "
awasi orang-orang itu dengan baik. Jika terjadi sesuatu yang
aneh beritahukan kepadaku secepatnya. "
" Baik Ki Demang " jawab peronda itu.
Ketika Ki Demang kembali keruang dalam Kade-mangan,
maka di dapur beberapa orang telah mulai menyalakan api
untuk merebus air. Namun demikian, sisa malam masih gelap. Langit belum
nampak semburat merah, meskipun kemudian terdengar
ayam jantan berkokok bersahutan.
Dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsingpun telah terlibat
pula dalam sebuah permainan yang mengasyikkan itu. Tibatiba
saja para petugas yang mengawasi bilik itu dengan lebih
bersungguh-sungguh telah melihat kabut yang tipis mulai
nampak di sekitar bilik itu. Bahkan kemudian nampak menjadi
semakin lama semakin tebal, sehingga
dengan terheran-heran para penjaga itu akhirnya tidak
melihat lagi pintu bilik itu.
" He " desis para penjaga " peristiwa apa lagi yang telah
terjadi bilik itu. "
" Asap " desis seorang diantara mereka.
" Bukan " jawab yang lain " kabut. "
" Embun " berkata yang lain lagi.
" Mana mungkin ada embun" " bertanya kawannya.
Dari dalam bilik ketiga orang itu mendengar seorang
berkata " Kita panggil Ki Demang. "
Kiai Gringsing tersenyum. Dilepaskannya permainannya
sehingga kabut itupun menjadi semakin tipis. Namun agar
kabut itu lebih cepat hilang, sebelum Ki Demang datang, maka
angin yang agak keras telah bertiup, sehingga dalam waktu
sekejap Ki Jayaraga telah menyapu kabut itu.
Tetapi angin yang bertiup itupun ternyata telah
menimbulkan persoalan tersendiri bagi para penjaga. Mereka
melihat dinding seakan telah diguncang, meskipun tidak terlalu
keras. " Bukan gempa. Tetapi angin " berkata salah seorang
peronda. Ketika Ki Demang datang, maka kabutpun telah hilang,
Tetapi ia juga mendengar laporan tentang angin.
" Gila " geram, Ki Demang " Apakah yang sebenarnya
terjadi" " " Tidak tahu Ki Demang " jawab peronda itu " terasa kulit
kamipun meremang. " Belum lagi mereka menjadi tenang, tiba-tiba saja terdengar
orang-orang yang berada didalam bilik itu menjadi ribut.
Sabungsari telah memanggil-manggil penjaga sambil
memukul-mukul pintu. Beberapa orang penjaga dengan tergesa-gesa telah
mendekati dan kemudian mengangkat selarak pintu. Ternyata
Sabungsari nampak ketakutan sambil berkata "
Hantu-hantu. " " Hantu apa" " bertanya penjaga itu.
" Mula-mula kabut. Lalu angin, Namun kemudian aku
melihat bayangan seseorang yang tinggi besar dan hitam. "
berkata Sabungsari. Para penjaga itu termangu-mangu, namun mereka tidak
melihat kegelisahan itu diwajah kedua orang tua yang juga
berada di dalam bilik itu. Karena itu, maka seorang penjaga
bertanya " Kau juga melihat" "
" Tidak Ki Sanak " Kiai Gringsinglah yang menjawab. Lalu "
Anak itu agaknya telah bermimpi buruk tentang kabut, angin
dan hantu. " Beberapa orang penjaga itu saling berpandangan.
Sementara itu Ki Jayaraga berkata " Kami sudah berusaha
menenangkannya. Tetapi anak itu masih tetap ribut saja. "
Sebelum seseorang menjawab Sabungsari telah berkata
dengan gagap " Aku melihatnya. "
Para penjaga itu justru menjadi bingung. Tidak se-orangpun
yang segera dapat mengambil sikap.
Ki Demang yang kemudian mendekati merekapun
kemudian berkata " Selama ini tidak pernah ada sesuatu yang
aneh didalam rumah ini, termasuk bilik itu. Tetapi tiba-tiba saja
terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat kita mengerti. "
" Ya Ki Demang " desis salah seorang diantara para
penjaga itu " kami benar-benar melihat keanehan itu. Kabut
dan kemudian angin. Jadi yang dikatakan orang itu bukan
mimpi. Kabut dan angin yang bertiup. Tetapi entahlah tentang
hantu itu. " Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian katanya "
Agaknya kehadiran ketiga orang itu telah mengundang
keanehan-keanehan. Jika demikian, maka aku perlu berbicara
secara khusus dengan mereka. "
Para penjaga itu termangu-mangu. Sementara itu Ki
Demang berkata " Bawa mereka ke ruang dalam. "
" Baik Ki Demang " jawab para penjaga.
Ki Demang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun
kemudian melangkah pergi keruang dalam. Sementara para
penjaga telah membawa ketiga orang tawanan itu menyusul Ki
Demang keruang dalam. Ketika mereka sudah duduk, maka Ki Demangpun
kemudian berkata " Tinggalkan mereka. "
" Tetapi " para penjaga itu ragu-ragu.
" Tinggalkan saja " ulang Ki Demang.
Para penjaga itu nampaknya merasa khawatir juga
meninggalkan ketiga orang itu tanpa pengawalan. Namun
karena Ki Demang memerintahkan mereka pergi, maka
merekapun kemudian telah meninggalkannya.
Demikian para pengawal itu pergi, maka Ki Demangpun
bertanya " Katakan. Apakah keanehan-keanehan itu terjadi
diluar kehendak kalian, atau memang kalian yang
melakukannya" "
Ternyata Sabungsari tidak sabar lagi. Sebelum kedua
orang tua itu menjawab, ialah yang mendahului. Katanya " Ya.
Kami telah membuat permainan itu. Karena itu ingat Ki
Demang, bahwa kami dapat mengembangkan permainan itu
menjadi lebih besar lagi. Bahkan jika kami kehendaki, kami
dapat mengguncang seluruh Kademangan. "
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Keterus-terangan
Sabungsari membuat jantungnya bergetar. Nampaknya yang
dikatakan oleh orang yang paling muda diantara ketiga orang
itu bukan sekedar bermain-main sebagaimana mereka
lakukan dengan kabut, angin dan hantu.
Untuk beberapa saat Ki Demang termangu-mangu. Namun
kemudian ia bertanya " Apakah maksud kalian dengan
permainan-permainan itu" "
" Untuk menarik perhatian Fi Demang " jawab Sabungsari "
agar dengan demikian Ki Demang mau mendengarkan
keterangan kami bahwa kami sama sekali tidak
bersangkut paut dengan hilangnya seekor kambing dari
Kademangan ini. Dengan permainan ini kami ingin
meyakinkan kepada Ki Demang bahwa jika Ki Demang tetap
menuntut kepada kami tentang hilangnya seekor kambing
dengan kekerasan, maka yang akan hilang kemudian bukan
hanya nyawa seekor binatang. Tetapi mungkin nyawa
seseorang. Atau bahkan tidak hanya seorang. Semakin keras
kalian bertindak atas kami, maka semakin banyak korban
yang akan jatuh. Nah, kau percaya atau tidak" "
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Sementara itu Kiai
Gringsing telah menyela " Ki Demang. Sebenarnyalah kami
memang tidak bersalah dalam hubungannya dengan
hilangnya seekor kambing. Jika kemarin kami tidak melawan
ketika kami ditangkap, maka kami mempunyai satu keyakinan
bahwa Ki Demang akan cukup bijaksana menilai kami. Tetapi
seandainya tuduhan itu tetap dilontarkan kepada kami, maka
sudah barang tentu kami berkeberatan. Hanya mungkin
karena yang mengucapkan itu seorang yang masih muda,
maka agaknya terdengar terlalu keras. "
" Ki Sanak " sahut Ki Demang kemudian yang mulai gugup
menanggapi sikap Sabungsari " tetapi apa yang dapat aku
lakukan jika rakyatku sudah menentukan sikap" "
" Baik " geram Sabungsari " jika demikian serahkan kami
kepada rakyatmu yang tidak kau ajari berpikir itu. Biarlah kami
menolong diri kami sendiri. Tetapi seperti yang aku katakan,
maka untuk menuntut kematian seekor kambing, maka nyawa
beberapa orang harus kalian serahkan. "
" Jangan " minta Ki Demang dengan serta merta.
" Memang bukan begitu maksud kami " Kiai Gring-singlah
yang kemudian menjelaskan " tetapi kami berharap bahwa Ki
Demang dapat menjelaskan sehingga tidak terjadi sesuatu
diantara kita. " Ki Demang menjadi tegang. Dengan nada datar ia
kemudian berkata " Bagaimana aku dapat mengambil jalan
yang sebaik-baiknya. Nampaknya orang-orang Kade-mangan
ini sudah menentukan sikap. Seandainya mereka tidak mau
mendengarkan kata-kataku, apakah benar-benar akan terjadi
kematian seperti yang kau katakan" "
" Kami tidak berkeinginan untuk membunuh " berkata Ki
Jayaraga " kami hanya ingin persoalan ini diselesaikan
dengan baik. Itulah sebabnya kami tidak melawan ketika kami
ditangkap, justru untuk menghindari korban yang tidak berarti
itu, karena pada waktu itu kami berharap Ki Demang atau
bebahu yang lain dapat mengatasi persoalan. "
Ki Demang memang menjadi bingung. Tetapi ia mulai
percaya bahwa orang-orang itu tidak sekedar membuat atau
menakut-nakuti. Iapun mulai percaya bahwa bukan ketiga
orang itulah yang telah mencuri kambingnya.
Tetapi apa yang harus diperbuatnya jika orang-orangnya
tidak mempercayainya. Karena kebingungan itulah maka iapun kemudian berkata "
Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku percaya kepada Ki
Sanak. Tetapi aku tidak yakin bahwa aku akan dapat
menguasai orang-orangku. Jika mereka memaksa untuk
melakukan sesuatu, apa yang dapat aku perbuat" Dalam
keadaan marah, mereka tidak akan mendengar penjelasan
yang bagaimanapun juga. Jika aku menunda hukuman atas
kalian, aku berharap bahwa orang-orangku tidak lagi dikuasai
oleh kemarahan yang tidak terkendali, sehingga mereka
sempat berpikir lebih tenang. "
" Terserah kepadamu " berkata Sabungsari " tetapi ingat.
Aku tidak mau menjadi tontonan disini. "
Ki Demang menjadi pening. Dengan nada kebingungan ia
berkata " Kenapa kalian tidak melarikan diri saja. Jika kalian
telah mampu keluar dari bilik itu tanpa dilihat oleh para
pengawal, kau justru tidur diserambi. "
" Aku telah mengelingi padukuhan induk ini " jawab
Sabungsari " aku sudah sampai di banjar Kademangan. Aku
sudah melihat apa saja disini. Rumah-rumah yang besar dan
rumah-rumah yang kecil. Halaman yang luas dan halaman
yang sempit. " Tetapi Ki Demang justru bertanya " Kenapa kau kembali
kemari, sehingga kau mempersulit kedudukanku" "
Sabungsarilah yang menjawab pula " Kami ingin melihat
dan mendengar kau mengendalikah orang-orangmu. Adalah
kebetulan bahwa kamilah yang kalian tuduh dan seakan-akan
pasti telah mencuri kambing. Jika bukan kami, apakah jadinya
orang itu" Karena itu maka Ki Demang harus berbuat sebaikbaiknya
agar hal seperti ini tidak terjadi. Bukan saja atas diri
kami. Tetapi juga atas orang lain. Jika hukuman itu sudah
jatuh, namun sebenarnya orang itu benar-benar tidak
bersalah, maka apa yang dapat Ki Demang katakan" "
Ki Demang memang menjadi bingung. Lalu katanya " Aku
akan mencoba. " " Nah, jika demikian biarlah kami kembali ke bilik itu. Besok
kami akan melihat, apa yang dapat Ki Demang lakukan "
berkata Sabungsari. Kata-kata itu memang bernada mengancam. Karena itu, Ki
Demangpun menjadi berdebar-debar. Apalagi ia memang
yakin bahwa orang-orang itu dapat melakukan sebagaimana
dikatakannya. " Baiklah " berkata Ki Demang " marilah. Aku antar kalian
kembali ke bilik itu. Tetapi aku mohon, jangan lakukan lagi
permainan yang dapat menakut-nakuti orang-orangku itu.
Dengan demikian maka bilik itu untuk selanjutnya tidak
akan ada yang berani mempergunakan. "
" Bukankah bilik itu memang khusus dipergunakan untuk
menahan seseorang atau sekelompok orang" " bertanya
Sabungsari. Ki Demang hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak menjawab. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah diantar oleh
Ki Demang kembali kedaiam biliknya. Sementara itu para
penjaga masih saja berdebar-debar karena hal-hal yang aneh
yang terjadi di bilik itu.
Namun ternyata bahwa harapan Ki Demang, agar orangorang
padukuhan itu sangat mengendapkan kemarahannya
setelah selang waktu semalam, tidak terpenuhi. Menjelang
fajar, orang-orang di padukuhan induk itu sudah berkumpulkumpul


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di regol-regol halaman, di simpang ampat atau
digardu-gardu perondan. Mereka ternyata benar-benar
menunggu hari yang datang dengan kemarahan yang masih
menyesak didada mereka. Karena itu, maka ketika matahari terbit, dihalaman Ki
Demang sudah terdapat banyak orang yang datang dan
bergerombol-gerombol. Mereka telah membicarakan tentang
ketiga orang yang mereka anggap sebagai pencuri kambing
itu. Ketika Ki Demang mengetahui tentang kehadiran mereka
serta niat mereka datang, maka kepalanya menjadi semakin
pening. Jika ia tidak berhasil meyakinkan orang-orang
padukuhan induk itu, dan bahkan mungkin orang-orang yang
datang dari padukuhan yang telah kehilangan seekor kambing
itu, maka persoalannya memang akan menjadi gawat.
Diantara ketiga orang yang telah ditahan itu, yang paling
muda agaknya yang akan bersikap paling keras. Apabila ia
benar-benar melakukan ancamannya, maka Kademangan itu
benar-benar akan mengalami bencana. Bahwa hilangnya
seekor kambing akan dapat menyeret nyawa seseorang.
Karena Ki Demang tidak segera nampak dipendapa, maka
orang-orang yang telah berkumpul itu menjadi - gelisah.
Seorang diantara mereka telah menemui seorang
bebahu dan minta agar Ki Demang segera keluar di
pendapa. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu
untuk mengadili tiga orang yang telah mereka anggap dengan
penuh keyakinan telah bersalah.
Bahkan mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa ketiga
orang itu tentu mempunyai beberapa orang kawan yang lain,
karena mustahil bahwa tiga orang itu akan dapat
menghabiskan seekor kambing.
" Cobalah aku lihat " berkata bebahu itu.
" Sebentar lagi kami akan kehilangan kesabaran " desis
orang itu. Bebahu itu hanya mengerutkan keningnya. Namun iaapun
akemudian lewat pintu samping masuk keruang dalam.
Ketika ia berada diruang dalam, ternyata Ki Demang sudah
duduk bersama dua orang bebahu yang lain. Kerut keningnya
nampak bahwa Ki Demang memang sedang pening.
Bebahu yang baru masuk itupun kemudian duduk pula
bersama mereka sambil berkata " Ki Demang. Sudah banyak
orang yang menunggu. Sebaiknya Ki Demang segera
mengambil keputusan untuk menghukum orang-orang yang
telah mencuri kambing itu. Soalnya bukan harga kambing itu
sendiri Ki Demang. Tetapi orang-orang itu harus menjadi jera.
Bahkan orang lain yang akan melakukan perbuatan serupa
menjadi urung karena mereka takut mengalami hukuman yang
berat. Ki Demang menjadi semakin bingung. Namun kemudian
katanya " Ketahuilah, bahwa aku sudah mengadakan
pemeriksaan ulang. Ternyata orang-orang itu menurut
pendapatku tidak bersalah. Aku sudah memancing pengakuan
mereka dengan kasar atau halus. Tetapi mereka dapat
menjelaskan, bahwa mereka memang tidak bersalah. "
Bebahu itu termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang
bebahu yang sudah terlebih dahulu hadir. Sementara itu, dari
pintu samping dua orang telah masuk keruang dalam.
" Maaf Ki Demang " berkata salah seorang diantara
mereka " kami sudah lama menunggu. "
" Ki Demang termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat
ingkar, bahwa ia memang harus keluar dan menghadapi
orang-orang di pendapa. Namun tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Katanya " Panggil
Ki Jagabaya. Apakah ia sudah ada diluar" "
" Ki Jagabaya sudah duduk dipendapat " jawab orang
itu. " Suruh ia kemari " berkata Ki Demang.
" Tetapi bukankah justru Ki Demang yang akan keluar" "
bertanya orang itu. " Biarlah Ki Jagabaya datang kemari dahulu " Ki Demang
agak membentak. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun keduanyapun
kemudian telah keluar untuk memanggil Ki Jagabaya.
Ketika Ki Jagabaya telah berada diruang dalam, maka Ki
Demangpun mengatakan, bahwa menurut pendapatnya ketiga
orang itu tidak bersalah.
" Ki Demang " berkata Ki Jagabaya " semuanya sudah
jelas. Tidak ada yang meragukan lagi. Buat apa ketiga orang
itu berada di pinggir hutan jika mereka memang bukan orang
jahat. Ketiganya tentu sedang menyiapkan pertemuan lagi
untuk beberapa orang lain ditempat itu seperti yang pernah
terjadi. Dan mereka tentu akan mengambil lagi seekor
kambing muda untuk disembelih ditempat itu. "
" Ki Jagabaya " berkata Ki Demang " agaknya kita berbeda
pendapat. Tetapi aku tidak akan menentang pendapat kalian.
Karena itu aku menyerahkan ketiga orang itu kepada Ki
Jagabaya. " Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
saja wajahnya menjadi cerah. Katanya " Baiklah Ki Demang.
Akulah yang akan mengadili mereka. "
" Tetapi sudah aku katakan, bahwa menurut pendapatku,
mereka tidak bersalah " berkata Ki Demang.
Ki Jagabaya tertawa, sementara itu Ki Demang berkata "
Tunggu. Aku akan membawa mereka bertiga kemari. "
" Para pengawal menjadi ketakutan setelah mereka
mengalami beberapa keanehan semalam " jawab Ki Demang.
" Keanehan apa" " bertanya Ki Jagabaya
" Biarlah mereka berceritera sendiri kepada Ki Jagabaya.
Aku akan memanggil mereka pula " jawab Ki Demang.
Ki Jagabaya menjadi heran. Tetapi Ki Demang telah berdiri
dan melangkah meninggalkan ruang dalam. Ketika ia berada
dipintu yang menghadap keruang samping, maka Ki Demang
telah memanggil seorang peronda yang semalam ikut
mengawasi ketiga orang tahanan itu.
" Pergilah kepada Ki Jagabaya " berkata Ki Demang "
bukankah semalam kau bertugas" "
" Ya Ki Demang. " jawab orang itu.
" Tetapi kenapa kau masih bertugas sampai sekarang" "
bertanya Ki Demang. " Aku mulai bertugas lewat tengah malam Ki Demang. Aku
baru akan diganti setelah saat pasar temawon. " jawab orang
itu. " Baiklah Temui Ki Jagabaya diruang dalam. Ceriterakan
apa yang kau lihat dan kau alami semalam. " berkata Ki
Demang. Orang itu memang merasa ragu-ragu. Tetapi Ki Demang
kemudian tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian pergi kebilik
tahanan ketiga orang yang dianggapnya mencuri kambing
itu. Namun akhirnya orang itu telah menemui Ki Jagabaya.
Iapun kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya semalam.
Tentang ketiga orang yang tiba-tiba sudah berada diluar
biliknya, tentang kabut, tentang angin dan hantu.
Tetapi Ki Jagabaya agaknya tidak demikian saja
mempercayainya. Dengan lantang ia bertanya " Apakah itu
bukan satu usaha untuk melarikan diri. "
" Tidak Ki Jagabaya. Mereka tertidur diserambi. Jika
mereka berusaha melarikan diri, aku kira mereka akan dapat
melakukannya, karena mereka sudah berada diluar. Mereka
akan dapat dengan mudah turun kehalaman samping dan
kemudian menyelinap ke kebun belakang. Mereka akan
dengan mudah meloncati dinding halaman yang tidak terlalu
tinggi itu. " berkata pengawal itu.
" Aku tidak mau dibingungkan oleh teka-teki seperti itu.
Mungkin ada saudaranya atau sahabatnya yang
membantunya membuat lelucon seperti itu " berkata Ki
Jagabaya kemudian. Peronda itu menjadi bingung mendengar jawaban Ki
Jagabaya. Dengan nada tinggi ia bertanya " Bagaimana
mungkin saudaranya atau sahabatnya dapat melakukan" "
" Siapa tahu diantara para peronda terdapat sahabatnya
yang pura-pura tidak mengenalnya " jawab Ki Jagabaya.
" Tetapi angin dan kabut itu " desis peronda itu.
" Cukup " bentak Ki Jagabaya " jangan membual. "
Peronda itu tidak berani menjawab lagi. Bahkan Ki
Jagabayapun membentaknya " Sudah, pergilah. "
Dengan hati yang berdebar-debar peronda itu
meninggalkan ruang dalam, sementara Ki Demang telah
datang bersama ketiga orang tahanan yang dituduh telah
mencuri kambing itu. " Inilah mereka " berkata Ki Demang " tetapi seperti yang
sudah aku katakan, aku telah menemukan keyakinan baru,
bahwa mereka tidak bersalah. "
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Ki Demang nampaknya tidak dapat menahan belas
kasihan ketika ketiga orang itu dengan memelas mohon
ampun. Tetapi jika kita menghukum mereka Ki Demang,
bukan semata-mata karena kita ingin menghukum. Tetapi
mereka harus menjadi jera dan kawan-kawannyapun tidak
akan berani melakukannya pula. Apalagi orang lain yang pada
dasarnya memang pencuri-pencuri ternak. "
" Nah, jika demikian segalanya terserah kepada Ki
Jagabaya " berkata Ki Demang " tetapi aku masih mempersilahkan
Ki Jagabaya untuk berbicara dengan mereka. -
" Aku akan berbicara dihadapan orang banyak, sehingga
ada saksi yang dapat menilai pembicaraan itu " jawab Ki
Jagabaya. Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Karena itu
maka katanya " Nah, kau dengar, bahwa Ki Jagabaya akan
mengambil alih persoalannya. "
Sabungsari yang sudah bergerak telah digamit oleh Kiai
Gringsing, sehingga ia telah urung mengatakan sesuatu.
Namun kening Sabungsari berkerut ketika ia mendengar Ki
Jagabaya itu dengan kasar berkata " Cepat, pergi ke pendapa.
" Bahkan Ki Jagabaya itu telah mendorong Kiai Gringsing
untuk segera melangkah. Namun Ki Demang itupun berkata " Aku akan membuka
pintu pringgitan. " Demikian pintu pringgitan terbuka, dan kemudian Ki
Jagabaya melangkah keluar sambil mendorong orang-orang
yang dianggap telah mencuri kambing itu, maka seisi halaman
telah bergerak. " Kita biarkan diri kita menjadi tontonan" " desis
Sabungsari. " Kita berkepentingan dengan orang-orang yang
sebenarnya mencuri kambing itu " berkata Kiai Gringsing "
mudah-mudahan mereka juga ada disini. Mungkin mereka
dapat memberikan sesuatu bagi kita. Mungkin pengertian baru
atau mungkin juga tidak berani apa-apa. "
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka Ki Jagabaya telah memerintahkan
ketiga orang itu berdiri ditangga pendapa
menghadap ke halaman yang luas didepan pendapa itu.
Sementara itu di pendapa Ki Demang berdiri termangumangu.
Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat. Meskipun
seakan-akan ia telah melepaskan persoalan itu dan
menyerahkannya kepada Ki Jagabaya, namun ia masih juga
berdebar-debar menghadapi persoalan yang rumit itu.
" Aku sudah tidak dapat mencegahnya lagi " berkata Ki
Demang didalam hatinya " persoalannya akan menjadi rumit
jika orang itu benar-benar akan melakukan sebagaimana
diucapkannya kepadaku. Meskipun hal itu akan menjadi
tanggung jawab Ki Jagabaya, karena aku mempunyai saksi,
bahwa aku sudah berusaha untuk mencegahnya. "
Tetapi sudah tentu bahwa Ki Demang tidak akan dapat
tinggal diam. Seandainya terjadi sesuatu, maka sebagai
pemimpin tertinggi di Kademangan itu, maka akhirnya ia harus
mempertanggungjawabkannya.
Dalam pada itu, sudah terdengar teriakan-teriakan diantara
mereka yang berada di halaman. Mereka menjadi tidak sabar.
Apalagi setelah mereka melihat ketiga orang itu. Dua orang
yang sudah meniti usia tuanya, sedangkan seorang diantara
mereka masih cukup muda. " Serahkan kepada kami " berkata orang-orang itu. Ki
Jagabaya yang berdiri disebelah ketiga orang itupun
berkata lantang " Wewenang atas ketiga orang ini sudah
diserahkan kepadaku. Ki Demang ternyata menjadi ragu-ragu.
Mungkin Ki Demang adalah orang yang terlalu baik, sehingga
ia menjadi iba ketika mendengar ketiga orang itu merengekrengek."
" Biarkan ketiga orang itu memberikan penjelasan " berkata
Ki Demang. " Tidak ada gunanya " berkata Ki Jagabaya " ketiganya
tentu akan dapat membual, menipu, berpura-pura dan segala
macam alasan yang akan dapat mengaburkan kesalahan
yang telah diperbuatnya. "
" Tidak ada gunanya " teriak orang yang bertubuh tinggi "
kita tinggal menjatuhkan keputusan, hukuman apa yang paling
baik bagi orang itu. " Jari-jarinyalah yang telah bersalah. Kita ambil saja jarijarinya
" teriak yang lain. " Tidak perlu " jawab seorang anak muda " yang bersalah
bukan hanya jari-jarinya. Tetapi orang itu seutuhnya. Jarijarinya
tidak akan bergerak tanpa kehendak. Nah, hukuman itu
harus pantas. " Ki Jagabaya tertawa. Katanya " Kita akan menentukan
hukuman. Apa yang akan kita jatuhkan atas mereka.
*** Sumber : Koleksi Arema Jilid 215 Suara orang-orang yang ada dihalaman itu menjadi semakin riuh. Namun suara mereka terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata lantang, "Ki Jagabaya. Kau harus menepati janjimu. Kau akan berbicara dengan orang-orang itu dihadapan orang banyak, sehingga pembicaraan kalian akan disaksikan oleh mereka yang ada dihalaman ini."
"Apakah itu masih perlu?" bertanya Ki Jagabaya.
"Tidak. Tidak perlu." jawab banyak orang.
Ki Jagabaya berpaling kepada Ki Demang sambil ber"kata, "Ki Demang. Sudahlah. Jangan terlalu baik terhadap orang-orang bersalah seperti ketiga orang itu."
"Apapun yang kau katakan Ki Jagabaya, tetapi kau dan orang-orang yang berada dihalaman harus mendengar keterangarmya. Kalian percaya atau tidak." berkata Ki Demang.
Ki Jagabaya tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Sekarang aku akan memberi kesempatan salah seorang diantara mereka berbicara atas nama Ki Demang, meskipun kita semua yang ada disini yakin, bahwa itu tidak berarti apa-apa."
Beberapa orang menyatakan kekecewaannya. Seorang diantaranya berteriak, "Tidak perlu. Berikan kepada kami."
"Biarlah." jawab Ki Jagabaya, "kita wajib menghormati pemimpin kita. Lalu katanya kepada ketiga orang itu, "Nah, siapakah yang akan berbicara?"


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum Kiai Gringsing sempat membuka mulutnya, Sabungsari telah menyahut, "Aku yang akan berbicara mewakili ketiga orang yang telah kalian tuduh mencuri kambing."
"Berbicaralah. Aku memberi kesempatan beberapa saat saja." desis Ki Jagabaya.
Sabungsari seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Jagabaya itu. Dengan menghadap kepada orang banyak tanpa menundukkan wajah, ia berkata lantang, "Ki Sanak. Apa dasarnya kalian menuduh kami mencuri" Apakah karena kami berjalan dipinggir hutan itu" Kenapa kalian tidak menuduh orang-orang pertamakali menemukan bekas-bekas peyembehhan itu, karena orang itu tentu juga telah sampai ketempat itu" Ketahuilah, kami baru saja datang dari perjalanan yang panjang. Kami adalah pengembara yang memang tidak mempunyai tempat tinggal. Tetapi kami bukan pencuri. Kami mendapat makan dan minum dengan cara yang wajar, karena sekali-sekali kami berhenti dan bekerja disatu tempat, Setelah kami dapat mengumpulkan uang, maka kami melanjutkan pengembaraan kami. Te"tapi disepanjang hidup kami, kami tidak pernah mencuri."
"Bohong, bohong." hampir berbareng beberapa orang telah berteriak.
Wajah Sabungsari berkerut. Ia terkejut mendengar kata-katanya sendiri, bahwa sepanjang umurnya ia tidak pernah mencuri. Namun tiba-tiba saja terbayang masa-masa kelamnya ketika masih sangat muda, bahkan mendendam dan berusaha untuk membunuh Agung Sedayu.
Pada saat-saat itu, meskipun mungkin ia tidak mencuri, tetapi banyak tindakan tercela pernah dilakukannya. Untunglah bahwa Agung Sedayu kemudian berhasil menundukkannya, dan mendorongnya berjalan dijalan yang lurus.
Sabungsari tersadar dari angan-angannya yang menerawang kembali ke masa lampaunya ketika Ki Jagabaya berkata, "Kau dengar pendapat orang banyak itu."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "kami sama sekali tidak memerlukan seekor kambing. Apalagi dua diantara kami adalah orang-orang tua, yang barangkali sudah tidak dapat lagi makan daging kambing panggang, betapapun mudanya kambing itu."
"Itu bukan alasan." berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap, "tentu ada sepuluh atau lebih kawan-kawanmu. Nah, jika demikian, kalian harus mengaku, dimana kawan-kawanmu itu."
"Ya, peras keterangannya. Ia harus mengaku." teriak yang lain.
"Nah, bukankah sebaliknya." berkata Ki Jagabaya, "yang terjadi justru lebih memberatkannya. Orang-orang itu harus mengaku, dimana kawan-kawannya."
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa ketika terdengar orang-orang di halaman itu berteriak-teriak, "Paksa mereka mengaku. Paksa mereka dengan kekerasan."
Ki Jagabayapun tersenyum sambil berkata, "Kita ikut mereka pada tonggak-tonggak itu."
"Kita akan mencambuknya." teriak seorang yang kepalanya botak.
Tetapi yang lain berteriak ,"Hukum picis."
Sabungsari menjadi merah padam. Namun Kiai Gringsing berkata, "Biarlah mereka mengikat kita. Satu cara untuk menunjukkan kepada mereka tentang sesuatu yang tidak mereka mengerti."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat membantahnya meskipun ia berkata kepada dirinya sendiri, "Celaka jika harus menurut sikap orang-orang tua."
Tetapi Sabungsari tidak melawan ketika beberapa orang kemudian ternyata memang menyeretnya. Demikian juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mereka telah diikat pada batang-batang pohon kelapa yang berjajar di halaman. Sebuah tali yang dibuat dari sabut kelapa telah melilit di pergelangan tangan mereka, bahkan di perut mereka.
Ki Jagabaya tertawa berkepanjangan. Katanya disela-sela derai tertawanya, "Nah, mengaku sajalah. Dimana kawan-kawanmu?"
Tidak seorangpun yang menjawab, sehingga Ki Jaga"baya harus mengulangi, "Dimana kawan-kawanmu he?"
Ketiga orang itu masih belum menjawab. Sementara itu Ki Jagabaya menjadi semakin marah. Kemudian katanya kepada dua orang pembantunya, "Hadapi yang dua orang itu satu-satu. Aku akan memaksa anak muda ini berbicara."
Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak kuasa mencegah peristiwa yang akan terjadi kemu"dian.
Dua orang pembantu Ki Jagabaya, yang masing-masing bertubuh tinggi kekar dan berdada bidang telah berdiri masing-masing dihadapan Kiai Gringsing dan Jaya"raga. Sementara itu Ki Jagabaya sendiri, yang juga ber"tubuh tinggi besar, berdada bidang dan berkumis tebal, berdiri dihadapan Sabungsari. Ia menganggap anak muda itu sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Apalagi dua orang yang lain dianggapnya sudah terlalu tua untuk diperlakukan dengan kasar.
"He, apakah kau memang bisu?" bentak Ki Jaga"baya, "jangan menunggu aku marah."
Sabungsari sama sekali tidak menjawab. tetapi wajahnya mulai berkerut. Ia justru hampir tidak tahan lagi mengalami perlakuan seperti itu. Namun agaknya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga masih bersikap tenang-tenang saja.
"Apakah orang-orang tua itu sama sekali tidak ter"singgung mendapat perlakuan seperti ini?" tetapi pertanyaan itu tidak langsung terucapkan.
Dalam pada itu Ki Jagabaya yang benar-benar mulai marah itu melangkah mendekat sambil membentak sema"kin keras, "Jadi kau memang tidak mau berbicara he?"
Orang-orang yang ada disekitarnya berteriak, "Serahkan kepada kami."
Kemarahan Ki Jagabayapun kemudian tidak tertahan kan lagi. Ketika ia memberi isyarat kepada kedua orang pembantunya, maka kedua orang pembantunya itupun mulai berteriak-teriak pula menanyakan kepada Kiai Gring"sing dan Ki Jayaraga, siapakah kawan-kawan mereka yang lain.
Tetapi baik Kiai Gringsing, maupun Ki Jayaraga, sama sekali juga tidak menjawab.
Ki Jagabaya akhirnya tidak sabar lagi. Dengan marah ia berteriak, "Aku beri kau kesempatan sekali lagi untuk menjawab pertanyaanku. Jika tidak maka aku tidak akan bersabar lagi. Nah, jawab pertanyaanku, dimana dan siapa saja kawan-kawanmu he" Apakah diantara mereka terdapat orang-orang padukuhan ini" "
Sabungsari memandang wajah Ki Jagabaya yang mulai menjadi merah. Namun Sabungsari masih tetap berdiam diri.
Ki Jagabaya benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Iapun kemudian mulai melakukan kekerasan. Tangannya terayun ke pipi Sabungsari yang terikat itu.
Namun Sabungsari melihat gerak itu. Karena itu, maka ditingkatkannya daya tahan tubuhnya.
Ketika tangan itu mengenai pipinya, Sabungsari berhasil mengatasi rasa sakitnya, sehingga pukulan telapak tangan Ki Jagabaya itu bagi Sabungsari tidak lebih dari sentuhan kaki lalat yang hinggap di pipinya itu.
Namun yang dilakukan oleh Ki Jagabaya itu bagi Sa"bungsari sudah keterlaluan. Sehingga karena itu, maka menurut Sabungsari, ia tidak dapat membiarkannya diperlakukan seperti itu. Ia tidak lagi minta pertimbangan Kiai Gringsing, bahkan seandainya Kiai Gringsing tidak akan ikut melakukannya, maka ia akan melakukannya sendiri.
Karena itu, demikian Ki Jagabaya memukul pipinya, maka Sabungsari yang sama sekali tidak merasa sakit ka"rena kemampuan daya tahannya berhasil mengatasinya itu, telah mengusap pipinya dengan tangannya pula sambil ber"kata, "Ki Jagabaya, jangan ulangi. Pipiku akan dapat men"jadi sakit."
"Aku tidak peduli." teriak Ki Jagabaya, "aku memang membuatmu sakit. Bahkan aku akan membuatmu lebih sakit lagi."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia meng"usap pipinya dengan kedua belah telapak tangannya.
Mula-mula Ki Jagabaya tidak begitu memperhatikan. Namun tiba-tiba ia sadar, bahwa orang yang dihadapinya itu telah diikat tangannya pada batang pohon kelapa. Namun tiba-tiba saja orang itu telah mengusap pipinya dengan tangannya. Karena itu, maka dengan serta merta Ki Jagabaya telah meloncat kesamping. Temyata ia melihat ikatan tangan Sabungsari telah terlepas.
"Setan." teriak Ki Jagabaya, "siapa yang telah mengikat tangan pencuri kambing ini, he" Ternyata orang itu terlalu dungu, sehingga talinya terlepas."
Beberapa orang telah berloncatan pula. Merekapun segera berusaha untuk mengikat kembali tangan Sabung"sari.
Tetapi tiba-tiba saja seorang diantara mereka berteriak, "Tali ini bukannya terlepas. Tetapi tali ini ternyata telah putus."
"Putus." bertanya Ki Jagabaya, "apakah kau gila" Tali sedemikian besarnya. Tali yang tidak dapat putus meskipun untuk mengikat seekor kerbau yang mengamuk sekalipun."
Tetapi orang itu menunjukkan, bahwa tali itu memang putus.
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat ingkar bahwa tali itu memang putus. Bahkan tidak hanya disatu tempat, tetapi tali itu rantas, seakan-akan telah dihentakkan oleh kekuatan raksasa.
Beberapa saat Ki Jagabaya merenungi tali yang putus itu. Namun tiba-tiba ia berteriak, "Ambil tali yang lain. Aku ingin melihat, apakah memang orang ini yang telah memutuskan tali itu."
Tetapi Sabungsari yang sudah tidak sabar itu berkata, "Kau tidak perlu kemana-mana Ki Jagabaya. Untuk membuktikan, bahwa aku mampu memutuskan tali itu, agaknya dapat dicoba dengan lehermu."
Wajah Ki Jagabaya menjadi merah padam. Sementara itu, Sabungsari telah melangkah selangkah maju sambil mengibaskan tangannya. Namun dengan demikian, maka orang-orang yang ada disekitarnya pun sudah mulai bergerak.
Tetapi Sabungsari benar-benar telah jemu melihat wa"jah Ki Jagabaya. Ia benar-benar ingin membuat orang itu jera seandainya ia ingin melakukan sesuatu atasnya.
Dalam pada itu selagi orang-orang itu sibuk memper"hatikan Sabungsari, ternyata diluar dugaan mereka, Kiai Gringsing telah melangkah mendekatinya sambil berkata, "Sudahlah. Jangan kau turutkan perasaanmu."
Ki Jagabaya tersentak melihat Kiai Gringsing mendekat sambil mengurai tali yang masih melekat ditangannya, membersihkannya dan kemudian mengibaskannya.
"He." teriak Ki Jagabaya pula, "bagaimana orang ini juga dapat terlepas."
Semua orang memandang Kiai Gringsing dengan heran sebagaimana mereka melihat Sabungsari melepaskan ikatannya.
Sementara orang-orang itu menjadi terheran-heranan. Ki Jagabaya berteriak, "Lihat yang seorang. Jangan sampai ia melepaskan diri pula."
Beberapa orang berpaling kearah Ki Jayaraga. Bebe"rapa orang itu segera berloncatan. Namun mereka terlambat. Mereka melihat tali di pergelangan tangan Ki Jaya"raga tidak saja putus, tetapi rontok menjadi abu.
"Lihat Ki Jagabaya." teriak seseorang.
Ki Jagabaya menjadi semakin kebingungan. Tetapi ditinggalkannya Sabungsari dan Kiai Gringsing untuk me"lihat ikatan dari yang seorang lagi.
Matanya memang terbeliak melihat tali yang menjadi abu dan rontok jatuh ditanah itu.
Karena Ki Jayaraga masih belum menarik tangannya yang melekat pada batang pohon kelapa itu, maka Ki Jagabayapun telah berteriak, "Ambil tali, cepat."
Dengan serta merta Ki Jagabaya telah meloncat menangkap tangan itu agar orang itu tidak meninggalkan tempatnya sebelum tali yang diminta itu datang. Namun demikian ia menangkap tangan Ki Jayaraga, maka Ki Jagabaya telah berteriak diluar sadarnya. Ternyata Ki Jayaraga telah bermain dengan ilmu apinya. Ka"rena itu, maka Ki Jagabaya itu bagaikan telah menangkap bara.
Sambil melangkah mundur Ki Jagabaya memandangi tangannya yang mengalami luka bakar. Bukan sekedar menurut penglihatannya. Tetapi telapak tangannya itu benar-benar terasa sakit dan bahkan menjadi merah kehitaman.
"Apakah aku berhadapan dengan anak iblis?" bertanya Ki Jagabaya dengan wajah tegang.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Ki Jagabaya yang berdiri termangu-mangu. Dengan nada rendah ia menjawab, "Kau kira anak iblis ada yang setua aku" Ki Jagabaya, sudahlah. Jangan terlalu bernafsu menghukum orang-orang yang tidak bersalah."
"Meskipun kau anak iblis, tetapi apakah kau akan dapat menghadapi seluruh isi Kademangan ini?" bertanya Ki Jagabaya.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" bertanya Ki Jayaraga, "apakah aku akan menghadapi seisi Kademangan ini?"
Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Namun yang men"jawab adalah Sabungsari yang berdiri beberapa langkah daripadanya, "Ki Jagabaya. Aku sudah jemu dengan sikapmu. Marilah, jika kau memang ingin aku pilin kumismu itu, atau aku harus mencabutinya satu satu" Bahkan jika kau memaksa orang-orang Kademangan ini untuk mengorbankan dirinya, marilah, silahkan maju. Tetapi dengarlah. Seluruh isi Kademangan ini tidak akan dapat menangkap aku."
"Cepat." geram Sabungsari, "siapa yang akan mati lebih dahulu. Karena jika kalian sudah mulai melangkah memasuki arena, maka kalian hanya dapat keluar tanpa nyawa. Tubuh kalianlah yang akan diusung pulang ke rumah kalian."
Suara Sabungsari terdengar lantang dan didorong oleh kejengkelan yang menyesakkan dadanya.
Orang-orang Kademangan itu termangu-mangu. Sementara itu Ki Demanglah yang telah berdiri ditangga pendapa berkata, "Sudahlah, untuk apa kita bertengkar tanpa arti. Kita dapat berbicara lebih baik tanpa menggunakan kekerasan."
Halaman itu menjadi hening. Ki Jagabaya memang harus merenungi tangannya yang sakit. Telapak tangannya memang menjadi hangus justru hanya karena ia meraba tubuh salah seorang diantara ketiga orang yang dituduhnya mencuri kambing itu. Dengan demikian, maka agaknya benar juga bahwa tidak seorangpun yang akan mampu menangkap orang itu.
Tetapi tiba-tiba Ki Jagabaya itu berkata lantang, "Ka"lian jangan selalu sombong. Jika kami sudah mempergunakan senjata kami, maka kalian akan dibunuh dengan cara yang sangat mengerikan. Setiap orang akan melontarkan senjatanya ketubuh kalian, sehingga kalian akan mengalami luka arang keranjang."
"Jadi kau benar-benar ingin mati Ki Jagabaya?" geram Sabungsari yang semakin marah, "senjata hanya mempercepat kematian kalian. Tolong, lempar senjata itu kepadaku. Aku akan berterima kasih."
Ki Jagabaya benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia sudah melihat dan mengalami kelebihan yang tidak masuk akal. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak dapat melang"kah surut justru dimata sekian banyak orang yang menganggapnya orang yang paling kuat di Kademangan itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan diantara orang-orang yang berkerumun itu.
Semua orang terkejut. Termasuk Sabungsari, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Apalagi ketika suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin keras. Bahkan sejenak kemudian suara tertawa itu telah mengguncang seluruh isi halaman.
Ki Demang, Ki Jagabaya, para bebahu dan apalagi orang-orang lain yang sedang berkumpul dihalaman itu jantungnya bagaikan menggelepar kesakitan.
Bahkan seorang yang tidak dapat menahan diri sudah jatuh terduduk ditanah sambil memegangi tehnganya yang seolah-olah akan menjadi koyak. Namun suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin rendah sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
Demikian suara tertawa itu terhenti, maka empat orang yang bertubuh tegap seperti Ki Jagabaya, telah melangkah maju menyibakkan orang-orang yang berkerumun itu.
Seorang diantara mereka berkata, "Ki Jagabaya. Orang-orang itu agaknya memang bukan lawan kalian. Kalian tentu akan mengalami kesulitan jika kalian benar-benar ingin menangkap pencuri kambing itu. Tetapi biarlah kami membantu Ki Demang dan orang-orang Kademangan ini. Biarlah kami yang menghukumnya. Tetapi kami minta maaf jika karena perlawanan mereka, maka mereka akan mati disini."
Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab Ki Demanglah yang bertanya lebih dahulu. "Siapakah kalian?"
"Kami adalah empat saudara seperguruan yang sedang mengembara. Kami mengemban tugas-tugas kemanusiaan. Karena itu, maka kami telah siap untuk menolong kalian menangkap pencuri-pencuri itu. Tetapi jika mereka melawan, maka kemungkinan seperti yang aku katakan itu dapat terjadi. Kematian."
Ki Demang menjadi ragu-ragu. Diluar sadarnya ia mulai memperbandingkan ketiga orang yang dituduhnya mencuri itu dengan keempat orang yang baru muncul itu. Menilik wajah, sorot mata dan sikapnya, maka ketiga orang itu nampak lebih lembut, meskipun yang muda sekali-sekali menunjukkan kekerasan. Tetapi empat orang ini nampaknya agak lebih keras dan kasar. Namun sebelum Ki Demang mengambii sikap, Ki Jagabaya yang merasa tangannya telah dilukai itu berkata, "Terima kasih Ki Sanak. Jika ka"lian bersedia membantu kami, maka kami akan sangat senang karenanya. Ketiga orang itu telah bukan saja men"curi, tetapi telah menghina kami dengan permainan sihirnya."
"Bukan sihir Ki Jagabaya." jawab orang itu, "satu permainan kanak-kanak yang barangkali pernah dipelajarinya pada seorang guru disebuah padepokan. Tetapi permainan itu sama sekali tidak mencemaskan. Permainan itu adalah permainan yang tidak berarti sama sekali."
"Jika demikian, silahkan." berkata Ki Jagabaya, "tetapi kami akan lebih senang jika orang-orang itu dapat tertangkap hidup-hidup. Kamilah yang akan menghukum mereka."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kami akan mengusahakannya. Tetapi jika tidak mungkin, biarlah mereka mati disini."
Ki Jagabaya tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah pasti, bahwa ketiga orang itu akan dapat ditangkap. Hidup atau mati. Apalagi orang yang telah menghinanya dan telah membakar telapak tangannya itu.
Karena itu, maka Ki Jagabayapun kemudian melang"kah surut. Demikian pula orang-orang yang berkerumun itu. Dengan demikian maka halaman Kademangan itupun menjadi longgar. Seakan-akan telah sengaja dibuat sebuah arena yang luas, yang akan dapat dipergunakan untuk berperang tanding.
Namun dalam pada itu, salah seorang diantara keempat orang itu berkata, "Jagalah baik-baik, agar ketiga orang itu tidak melarikan diri. Jangan takut, disini ada kami berempat."
Orang-orang Kademangan itupun menjadi semakin mantap. Karena itu merekapun telah benar-benar mengepung rapat arena yang akan dipergunakan oleh keempat orang itu menangkap tiga orang yang dianggap telah mencuri kambing.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang kemudian sudah berdiri berdekatan dengan Ki Jayaraga dan Sabung"sari itupun berkata perlahan, "Nah, bukankah usaha kita menemukan pencuri yang sebenarnya itu akan berhasil?"
"Darimana Kiai tahu?" bertanya Sabungsari.
"Satu dugaan. Tetapi rasa-rasanya dugaan ini benar." jawab Kiai Gringsing.
"Aku juga menyangka begitu." desis Ki Jayaraga.
Namun dalam pada itu, Ki Demang yang berada di pendapa itu berteriak, "Cukup. Permainan ini harus dihentikan."
Tetapi seorang diantara keempat orang itu menyahut, "Jangan berteriak-teriak Ki Demang, agar kau tidak ikut aku tangkap sekali."
Ki Demang itupun terdiam. Ia sadar, bahwa keempat orang itupun tentu orang-orang berilmu tinggi. Suara tertawanya sudah dapat membuat jantungku hampir rontok karenanya.
Ki Demang menyesal, bahwa di halaman rumahnya akan terjadi pertarungan orang-orang berilmu tinggi, na"mun yang tidak jelas ujung dan pangkalnya. Iapun justru menjadi semakin ragu, apakah ketiga orang itu benar telah mencuri kambing. Apalagi menilik sikap dari keempat orang yang muncul kemudian itu. Tetapi Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya itu akan terjadi tanpa dapat dicegahnya lagi.
Demikianlah keempat orang itupun telah berada di arena. Namun seorang diantara mereka berkata kepada kawannya, "Kau mengawasi sajalah agar orang-orang itu tidak melarikan diri. Kami akan menangkapnya bertiga sa"ja, karena mereka juga hanya bertiga."
"Kenapa aku yang harus mengawasi?" bertanya kawannya itu.
"Kau adalah orang yang paling muda diantara kami." jawab yang lain.
Sambil melangkah mundur Ki Jagabaya memandangi tangannya yang mengalami luka bakar. Bukan sekedar menurut penglihatannya. Tetapi telapak tangan itu benar-benar merasa sakit dan bahkan menjadi merah kehitaman.
Orang itu nampak menjadi kecewa. Dengan nada datar ia berkata, "Seharusnya kalian memberi kesempatan kepadaku. Kalian sudah banyak berbuat sesuatu. Jauh lebih banyak dari aku."
"Tetapi orang-orang ini nampaknya agak liar." ber"kata saudara seperguruannya itu, "karena itu kau awasi sajalah. Kau lihat bagaimana aku memilin lehernya."
Yang termuda diantara keempat saudara seperguruan itu tidak menjawab. Tetapi ia siap untuk mengawasi ketiga orang itu. Jika diantara mereka ada yang berusaha melarikan diri, maka ia harus cepat bertindak.
Sabungsari memang sudah tidak sabar lagi. Tetapi Kiai Gringsing telah menggamitnya. Setiap kali ia harus menahan Sabungsari agar tidak tergesa-gesa bertindak.
"Memang lain dengan Agung Sedayu." berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Bagi Kiai Gringsing, Agung Se"dayu dapat lebih banyak menyesuaikan diri daripada Sa"bungsari. Tetapi Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa Sa"bungsari adalah seorang prajurit dibawah pimpinan Untara yang mempunyai sifat dan watak yang jauh berbeda de"ngan Agung Sedayu.
Sementara itu, ketiga orang saudara seperguruan itu telah siap menghadapi tiga orang yang oleh Ki Jagabaya telah ditetapkan sebagai tiga orang pencuri kambing.
Seorang yang paling tua diantara mereka telah mendekati Ki Jayaraga. Menurut perhitungan mereka, Ki Jayaraga memiliki kemampuan yang paling mendebarkan. Ia mampu membakar tali yang mengikat pergelangan tangan"nya menjadi abu, sementara itu pakaiannya sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Dengan demikian maka orang itu mampu mengungkapkan ilmunya sesuai dengan keinginannya, Dengan demikian maka orang tertua di"antara keempat saudara seperguruan itulah yang akan menghadapinya. Adapun orang kedua akan berhadapan de"ngan Kiai Gringsing sementara yang lebih muda lagi akan menghadapi Sabungsari.
"Ki Sanak." berkata orang yang tertua diantara me"reka berempat, "kalian telah menjalankan permainan kalian yang tidak seberapa itu disini. Tentu saja kau berhasil membuat orang padukuhan ini kebingungan. Tetapi untunglah bahwa disini ada kami."
"Kalian siapa?" bertanya Ki Jayaraga.
"Kalian tidak perlu mengenal kami lebih banyak dari yang sudah aku katakan. Kami adalah ampat orang saudara seperguruan yang sedang mengemban tugas-tugas kemanusiaan. Itu saja." jawab yang tertua diantara mereka.
"Jika demikian kita sama-sama mengemban tugas kemanusiaan." jawab Ki Jayaraga.
"O." tiba-tiba orang itu tertawa, "dengan mencuri kambing kau mengemban tugas-tugas kemanusiaan?"
"Apa artinya seekor kambing kecil dan sakit-sakitan?" jawab Ki Jayaraga.
Jawaban itu memang mengejutkan. Sabungsari juga terkejut. Justru karena itu ia tidak segera menyahut.
Namun yang terdengar adalah suara saudara tertua di"antara keempat orang seperguruan itu, "Kau jangan berbohong. Bukan seekor kambing kecil sakit-sakitan. Tetapi seekor kambing muda yang gemuk."
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun bertanya, "Darimana kau tahu bahwa kambing itu muda dan gemuk" "
Orang itu tergagap. Sementara itu Sabungsari yang tidak sabar lagi telah memotong, "Nah, jika demikian kalianlah pencuri kambing itu. Tentu kalian tidak hanya berempat. Sebut, dimana kawan-kawanmu he?"
"Gila." geram orang itu, "bagaimana mungkin kau menuduh kami?"
"Aku tidak peduli." berkata Sabungsari, "kita dapat menuduh siapa saja seperti dilakukan oleh Ki Jagabaya. Apalagi bahwa kau telah dapat menyebutkan, bahwa yang hilang itu seekor kambing muda yang gemuk." Sabungsari tiba-tiba saja telah berteriak kepada orang-orang yang berkerumun, "He, siapa tahu, apakah kambing yang hilang itu kecil sakit-sakitan atau muda dan gemuk?"
Tiba-tiba saja, seolah-olah diluar sadarnya, orang padukuhan yang tahu ujud kambing yang hilang itu bahkan pemiliknya sendiri juga ada diantara mereka, berteriak, "Kambing itu muda dan gemuk."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Nah, kita tahu sekarang, siapakah yang telah mencuri kam"bing itu."
"Persetan." geram orang itu dengan marah, "satu kesimpulan gila. Kau pikir kau akan dapat mengingkari kejahatan yang telah kau lakukan" Nah, sekarang jangan banyak bicara. Kami diminta oleh seisi padukuhan ini untuk menangkap kalian."
Sabungsari yang juga telah menjadi semakin marah membentak, "Kau atau aku yang akan menangkap pencuri. Nah, marilah. Kita akan membuktikannya dengan kemampuan kita siapa yang benar akan memenangkan per tempuran ini."
"Bagus." sahut orang itu, "kita akan mulai. Aku akan menangkap orang tua yang mempunyai kekuatan sihir ini."
Sabungsaripun segera bersiap. Tetapi ia tidak dapat memilih lawan. Seseorang telah siap untuk melawannya.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsing masih juga bersikap sebagaimana tidak terjadi apa-apa. Bahkan ia masih sempat berkata, "Kita telah bertemu dengan sekelompok orang yang bukan saja mencuri kambing. Tetapi kita akan dapat menemukan sesuatu yang lain pada diri mereka."
"Kau jangan ikut menjadi gila kakek." berkata orang yang sudah siap menghadapi Kiai Gringsing, "sebaiknya kau menyerah saja, agar, kau tidak mengalami kesulitan dihari tuamu ini,"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Apakah sebaik"nya bukan kau saja yang menyerah?"
Pertanyaan Kiai Gringsing itu bagaikan mengetuk jantung lawannya yang sudah siap untuk bertempur itu. Karena itu, maka lawannya yang marah itupun berkata, "Baiklah. Aku harus memaksamu menyerah. Jika kau tetap melawan, bukan salahku jika itu mempercepat kematianmu."
Kiai Gringsingpun kemudian telah bersiap pula. Bagaimanapun juga ia tidak boleh mengabaikan lawannya. Kelengahan akan dapat menjerumuskan kedalam kesulitan. Demikian pula agaknya Ki Jayaraga dan Sabungsari. Merekapun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu Ki Demang yang mendengarkan percakapan diantara ketiga orang yang dituduh telah mencuri kambing itu dengan keempat orang yang muncul kemudian, menjadi semakin ragu-ragu. Agaknya memang ada kemungkinannya sebagaimana dikatakan oleh orang termuda diantara ketiga orang yang dituduh mencuri itu, bahwa sebenarnya keempat orang itulah yang telah men"curi kambing.
Agaknya bukan Ki Demang saja yang menjadi ragu-ragu. Beberapa orang bebahupun menjadi ragu-ragu. Bahkan seorang diantara mereka kemudian berdiri disamping Ki Demang sambil berkata, "Ki Demang. Apa"kah Ki Demang benar-benar yakin bahwa ketiga orang itu"lah yang telah mencuri kambing?"
"Tidak." jawab Ki Demang, "aku justru berpendapat lain. Mungkin keempat orang itulah yang justru telah melakukannya. Namun bagaimanapun juga, kedua belah pihak adalah orang-orang yang berilmu tinggi."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang demikian Ki Demang. Kita memang harus menyesal, bahwa Kademangan ini telah menjadi ajang pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi itu."
Ki Demang tidak dapat menjawab. Namun ia berdesis, "Sebagian besar adalah karena salahku."
Bebahu itu tidak menjawab. Ketika ia melihat Ki Jaga"baya, maka agaknya Ki Jagabaya tetap pada pendiriannya.
Kemarahannya kepada Ki Jayaraga telah membuatnya bertahan pendiriannya. Apalagi ia memang ingin membalas kesakitan yang menyengat kedua telapak tangannya yang bagaikan menggenggam bara itu.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi tiga lingkaran pertempuran. Nampaknya tidak seorangpun diantara me"reka yang memerlukan senjata. Ketiga orang yang dituduh mencuri kambing itu memang tidak nampak bersenjata, sementara keempat orang yang muncul kemudian itupun tidak menarik senjata mereka pula, meskipun mereka membawa senjata mereka masing-masing.
Agaknya mereka merasa tidak perlu mempergunakan senjata mereka untuk melawan orang-orang tua. Namun yang menghadapi Sabungsaripun tidak pula merasa memer"lukan senjata.
Ketika mereka mulai bertempur, ternyata Sabungsari masih dapat mengendalikan dirinya, sehingga ia tidak dengan serta merta mempergunakan kemampuan puncaknya.
Kiai Gringsing yang tua itupun berusaha untuk menjajagi kemampuan ilmunya. Meskipun orang tua itu cukup berhati-hati, la tidak menganggap lawannya tidak berbahaya. Karena itu, maka Kiai Gringsing telah meningkatkan daya tahannya untuk melindungi dirinya.
Yang termangu-mangu kemudian adalah Ki Jayaraga. Ia sadar bahwa lawannya tentu sudah mengetahui kemampuannya untuk menyadap kekuatan api dengan usahanya membakar tali pengikat tangannya. Karena itu, maka iapun memperhitungkannya, bahwa lawannya benar-benar sudah siap menghadapinya.
Sebenarnyalah bahwa lawan Ki Jayaraga telah memperhitungkan pula hal itu. Karena itu, maka lawan Ki Jayaraga itu telah bersiap-siap untuk mengatasi sentuhan apinya.
Ketika orang itu menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya, maka Ki Jayaraga masih berusaha untuk mengetahui, dimanakah lawannya meletakkan kekuatan serangannya. Karena itu, maka Ki Jayaraga dengan cermat berusaha untuk mengamati setiap gerak dan akibatnya.
Dengan hati-hati Ki Jayaraga telah meloncat menghindar ketika lawannya menyerang langsung kewadagnya. Ki Jayaraga memperhitungkan, bahwa lawannya itu tentu memiliki kekuatan tertentu sehingga ia berani menyerangnya meskipun tubuhnya mampu melepaskan panasnya api sebagaimana ia telah membakar tali yang mengikat pergelangannya.
Namun ternyata Ki Jayaraga terlambat. Ternyata bahwa lawannya itu mampu menyerang tubuhnya tanpa menyentuhnya. Seolah-olah kekuatan ilmunya merupakan kepanjangan dari gerak serangan wadagnya.
Karena itu, maka Ki Jayaraga masih belum sempat keluar dari garis serangannya. Ternyata pundak Ki Jaya"raga bagaikan disambar oleh kekuatan yang sangat besar, sehingga Ki Jayaraga telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan orang tua itu hampir saja telah kehilangan keseimbangannya.
Untunglah bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang sangat luas. Dalam keadaannya ia justru telah menjatuhkan dirinya. Dua kali ia berguling. Namun kemudian iapun telah melenting berdiri.
Demikian Ki Jayaraga tegak, maka iapuri segera mengerti kelebihan yang dimiliki oleh lawannya itu. Dengan demikian, maka iapun segera menempatkan dirinya dalam kesiapan menghadapinya.
Kiai Gringsing dan Sabungsari mula-mula terkejut me"lihat Ki Jayaraga terdesak pada serangan pertama. Namun merekapun kemudian melihat Ki Jayaraga itu telah siap kembali menghadapi setiap kemungkinan.
Meskipun Ki Jayaraga yakin akan kemampuan Sa"bungsari, namun ia masih juga ingin memperingatkannya, karena mungkin saja Sabungsari dibelit oleh kemarahannya sehingga ia tidak segera melihat letak kelebihan lawan. Karena itu, maka setelah ia berdiri tegak dan siap menghadapi lawannya itu, ia berkata, "Bukan main. Masih juga ada ilmu yang dahsyat itu sekarang. Kau mampu mele-paskan seranganmu mendahului ujud wadagmu. He, di"mana aku pernah melihat ilmu seperti itu?"
Kiai Gringsinglah yang menyahut, "Luar biasa. Untunglah Pandan Wangi tidak ikut serta bersama kita."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Pandan Wangi juga memiliki ilmu sejenis dengan ilmu yang dimiliki oleh lawan"nya itu. Bahkan kelebihan Pandan Wangi, bahwa ketekunannya menempa diri serta menelusuri hubungannya dengan kekuatan alam disekitarnya telah membawanya memasuki satu bentangan ilmu yang sudah jarang dimiliki oleh seseorang. Dengan beberapa petunjuk dari Kiai Gring"sing, maka Pandan Wangi mampu mendalami ilmu seperti yang dimiliki oleh lawan Ki Jayaraga itu, sebagaimana Agung Sedayu juga pernah menghadapi beberapa orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Sementara itu ilmu Pandan Wangi telah berkembang terus, sehingga kemudian ia tidak saja mampu melontarkan ilmunya mendahului ujud wadagnya, namun ia telah mampu melontarkan serangan melampaui satu jarak tertentu.
Dalam pada itu Sabungsari yang mendengar kata-kata Ki Jayaraga itu segera memaklumi. Meskipun lawannya masih belum mengetrapkannya, namun ternyata ia harus berhati-hati. Pada satu, saat jika keadaan memaksanya, maka lawannya itu tentu akan mengetrapkan ilmunya itu, karena keempat orang itu adalah empat orang saudara seperguruan, sehingga mereka agaknya memiliki ilmu yang serupa.
"Agaknya ilmu seperti itu akan berkembang lagi." berkata Sabungsari didalam hatinya.
Demikianlah, maka pertempuran itupun segera berkelanjutan. Ki Jayaraga yang telah mengetahui kemampuan ilmu lawannya, telah bertempur dengan sangat berhati-hati. Ia harus dapat memperhitungkan jarak gapai sergapan lawannya, sehingga ia mampu bergerak mendahuluinya agar kekuatan yang mendahului ujud wadag orang itu tidak mengenainya.
"Persetan kau kakek tua." geram orang itu, "ter"nyata kau mampu mengenali kekuatan ilmuku."
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, "ilmu yang sebenarnya mulai susut karena tidak mampu lagi mengatasi berbagai kesulitan di medan perang. Tidak lebih dari seorang yang membawa galah karena tangannya tidak sampai menggapai jambu air."
"Alangkah sombongnya kau kakek tua." bentak lawannya yang tiba-tiba saja telah meningkatkan serangannya. Demikian dahsyatnya bagaikan badai yang datang mengguncangkan hutan yang lebat.
Tetapi sasaran serangannya adalah Ki Jayaraga. Ka"rena itu, maka ia sama sekali tidak berhasil mengenainya. Jika serangan pertamanya berhasil melontarkan orang tua itu sehingga ia berguling di tanah, maka serangan-serangan berikutnya hampir tidak berarti sama sekali. Sementara itu Ki Jayaraga sama sekali masih belum membalasnya selain menghindarinya setiap serangan.
Yang dilakukan oleh Kiai Gringsing tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh Ki Jayaraga. Kiai Gringsing yang mengetahui kemampuan lawannya itu, sempat membuat lawannya menjadi bingung. Kakek yang nampaknya sudah terlalu tua itu. masih mampu bergerak cepat sekali menghindari serangan-serangannya. Bahkan ketika ia sudah sampai ketingkat ilmunya yang semakin tinggi, orang tua itu, sama sekali tidak mengalami kesulitan.
Yang tidak bertempur seperti Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing adalah Sabungsari. Sejak ia ditangkap, rasa-rasanya ia sudah tidak dapat menahan diri lagi. Kini kema"rahannya itu telah tertumpah pada lawannya.
Karena itu maka pertempuran diantara Sabungsari dan lawannya itulah yang nampak menjadi semakin sengit. Sa"bungsari tidak hanya sekedar menghindarkan serangan lawannya seperti dilakukan oleh orang-orang tua itu. Tetapi iapun membalas serangan dengan serangan.
Ternyata peringatan Ki Jayaraga sangat berarti bagi Sabungsari. Ia tidak perlu mengalami kesulitan pada benturan-benturan pertama. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang cepat dan keras.
Sabungsari yang sudah mengetahui kekuatan lawan itu, masih bertahan dengan kemampuannya. la masih menganggap bahwa ia belum perlu melepaskan ilmunya yang paling dahsyat lewat sorot matanya.
Keduanya kemudian telah bertempur dengan cepat. Mereka berloncatan saling menyerang dan saling menghindar. Desak-mendesak. Sekali-kali Sabungsari harus berloncatan surut. Tetapi jika terbuka kesempatan baginya, maka serangannya datang seperti prahara. Menerjang dengan kekuatan yang mendebarkan jantung lawannya.
Meskipun lawannya kemudian telah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya, namun ia masih belum berhasil memaksa Sabungsari untuk berlutut. Bahkan perlawanannya justru menjadi semakin lama semakin cepat.
Yang berhasil lebih dahulu mengenai tubuh lawannya justru Sabungsari. Kecepatan geraknya telah menembus pertahanan lawannya, bahkan menembus ilmunya pula. Ke"tika lawannya gaga lmenerkam Sabungsari, maka Sabung"sari yang sudah membuat perhitungan yang cermat, telah meloncat menyamping. Kakinyalah yang telah mengenai lambung lawannya, sehingga lawannya itu terdorong selangkah menyamping. Untunglah bahwa ia masih mampu berdiri tegak diatas kakinya. Namun ia terpaksa meloncat surut untuk memperbaiki keadaannya.
Tetapi Sabungsari tidak banyak memberinya kesempatan. Sesaat kemudian iapun telah meloncat menyerang pula. Tetapi langkahnya tertahan ketika lawannya mengayunkan lengannya. Meskipun jaraknya melampaui jarak panjang tangan lawannya, tetapi Sabungsari menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang dapat menjadi kepanjangan ujud wadagnya itu.
Namun demikian tangan itu terayun tanpa mengenai sasarannya, Sabungsari telah meloncat pula. Demikian cepatnya, sehingga ketika kakinya terjulur, hampir saja untuk kedua kalinya orang itu dapat dikenainya.
Tetapi dengan tangkasnya lawan Sabungsari itu ber"hasil bergeser menyamping. Bahkan ia sempat mengayunkan tangannya pula. Demikian cepatnya, sehingga Sabungsari tidak sempat menghindar. Selisih perhitungan sejengkal, telah membuat Sabungsari terdorong dengan kerasnya. Meskipun ujud wadag lawannya tidak menge"nainya, tetapi rasa-rasanya tengkuk Sabungsari telah dihantam dengan segumpal batu padas.
Hampir saja Sabungsari jatuh terjerembab tanpa terkekang. Namun pengalaman dan kemampuannya telah dapat mengatasi kesulitan itu sehingga Sabungsari tidak terbanting jatuh. Tetapi ia mampu jatuh pada keadaan yang mapan. Dua kali ia berguling. Kemudian dengan sigapnya ia melenting tegak.
Meskipun pada saat yang bersamaan serangan berikutnya telah memburunya, tetapi Sabungsari sempat menghindar. Ketika tangan lawannya itu terjulur lurus kedadanya, maka Sabungsari harus bertindak cepat. Meskipun menurut pengamatan wadagnya, tangan itu tidak akan sampai menggapai tubuhnya, tetapi arah serang"an itu merupakan garis yang berbahaya. Dengan tangkasnya Sabungsari bergeser kesamping se"hingga sasaran serangan itu tidak dikenainya.
Tetapi dengan tiba-tiba saja tangan itu telah terayun kesamping pula. Demikian cepatnya, sehingga Sabungsari terkejut karenanya. Namun dengan cepat pula Sabungsari berhasil merendahkan dirinya diatas lututnya sehingga terasa olehnya ayunan kekuatan ilmu lawannya lewat di"atas kepalanya.
Pada saat yang demikian Sabungsari tidak melepaskan kesempatan. Bertumpu pada tangannya, maka ia telah meloncat menyerang lawannya. Kakinya terjulur dengan cepatnya mengenai lambung lawannya yang terbuka karena tangannya yang sedang terayun itu.
Serangan itu demikian kerasnya, sehingga lawan Sabungsari itu telah terlempar dua langkah menyamping. Meskipun orang itu jatuh diatas kakinya, tetapi hampir sa"ja ia kehilangan keseimbangannya. Dengan susah payah ia berusaha untuk tidak jatuh terlentang.
Meskipun ia berhasil, namun demikian cepatnya pula serangan Sabungsari menyusulnya. Lawannya yang me"lihat serangan itu, agaknya tidak sempat mengambil sikap. Dengan demikian maka iapun justru telah menjatuhkan dirinya.
Sabungsari memang tidak dapat mengenai tubuh lawannya. Dengan sigap iapun tegak kembali untuk mem"buat ancang-ancang baru.
Tetapi tiba-tiba saja sambil masih berbaring ditanah, iapun telah menyapu kaki Sabungsari. Sekali lagi Sabung"sari salah hitung. Jaraknya memang cukup jauh dari orang itu, namun ilmu orang itulah yang telah mengenai kaki Sa"bungsari. Demikian kerasnya, sehingga kaki Sabungsari itu telah terpental.
Sabungsarilah yang kemudian jatuh terbanting dita"nah. Memang agak keras. Meskipun perasaan sakit menyengat punggungnya, namun Sabungsari sempat meloncat bangkit dan berdiri tegak mendahului lawannya. Karena itu, dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, iapun dengan geramnya meloncat maju dengan tangan terjulur lurus.
Tepat pada saat lawannya berdiri, maka tangan Sa"bungsari itu telah menghantam dadanya. Demikian keras"nya, sehingga terdengar orang itu mengaduh tertahan.
Sekali lagi orang itu terlempar dan terjatuh betapapun ia berusaha bertahan. Tetapi ia tidak mau menjadi sasaran serangan yang tidak berkesudahan. Ternyata bahwa lawan"nya mampu bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan geraknya sendiri.
Karena itu, maka orang itupun merambah kepada kekuatannya yang lain. Dengan ilmunya ia merasa tidak mampu menundukkan lawannya, bahkan sekali-sekali diri"nya sendirilah yang harus berloncatan surut. Dengan demikian, maka orang itupun telah memungut satu diantara senjata-senjata kecilnya yang terselip pada ikat pinggangnya.
Sabungsari yang telah bersiaga sepenuhnya sempat me"lihat tangan orang itu telah mencabut pisau-pisau kecil yang merupakan senjata khususnya disamping senjata yang ada dilambungnya.
Sabungsari yang siap meloncat menyerang telah tertegun. Dengan pengamatannya yang tajam, maka iapun telah melihat tangan lawannya itu bergerak. Dengan cepat pula tangan itu terayun. Kemudian berkilat pulalah sebilah pisau kecil yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi menyambar dada Sabungsari.
Dengan cepat pula Sabungsari meloncat kesamping. Menurut pengertiannya, ilmu lawannya tidak berlaku pada senjata yang dilontarkan, sehingga sentuhan ujung pisau itu sendirilah yang akan dapat melukainya. Tanpa kekuatan ilmu yang mendahuluinya. Meskipun demikian Sabungsari tidak mau mengalami kesulitan karena kelengahannya. Ka"rena itulah, maka ia harus berusaha menghindar secepat dapat dilakukannya.
Namun lawannya benar-benar memiliki kemampuan untuk bermain dengan pisau-pisaunya. Meskipun pisau itu tidak menyambarnya susul menyusul, namun serangan itu merupakan serangan yang sangat berbahaya. Justru karena lawannya itu berlaku tenang setelah pisau kecil itu berada ditangannya. Dengan wajah yang penuh kebencian orang itu sempat membidik sasarannya dengan cermat.
Selir Raja 2 Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar Jun 1
^