Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 18

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 18


Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan. Tetapi pendapat orang itu memang tidak aneh. Jalan yang pernah mereka lalui memang sangat rumpil dan sulit. Hanya orang-orang yang agaknya tidak mempunyai pekerjaan sajalah yang sempat dan mencoba untuk naik.
Namun dalam pada itu, Raden Ranggapun kemudian tesenyum kepada orang tua itu sambil bertanya, "Kakek, apakah lereng itu memang tidak pernah disentuh oleh kaki seseorang?"
"Seingatku tidak ngger." jawab orang tua itu.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Setelah ia bersama Glagah Putih menjelajahi daerah yang sangat luas, namun mereka masih belum menemukan apa yang me"reka cari.
Glagah Putihpun agaknya berpikir seperti itu pula. Bahkan iapun kemdian berdesis, "Raden. Satu perjalanan yang sia-sia. Gunung itu tidak pernah didaki oleh seorangpun."
Namun Raden Rangga masih juga bertanya, "Jadi, bekas apakah yang mirip dengan sebuah saluran yang menyibak pepohonan dab bebatuan itu kek" Bahkan sampai sekarang, di tebing sungai inipun masih nampak di beberapa bagian bekas-bekasnya yang dapat memberikan petunjuk arah dari jalur jejak itu."
"Ini sudah terjadi lama sekali ngger." berkata orang tua itu, "dahulu di gunung itu tinggal seekor ular raksasa. Namun pada suatu hari, tanpa diketahui sebabnya, ular itu telah menuruni lereng gunung dan menelusuri jurang ke dalam sungai itu."
"Ular raksasa?" bertanya Raden Rangga.
"Ya. Ular yang sangat besar. Menurut ceritera, karena aku sendiri tidak melihatnya. ular itu lebih besar dari paha seorang laki-laki yang gemuk." berkata orang itu.
"Hanya sebesar paha seorang laki-laki." bertanya Raden Rangga, "menilik jejaknya, maka ular itu tentu lebih besar."
"Anak muda." berkata orang tua itu, "ular itu memang tidak sebesar batang pohon kelapa. Tetapi ular itu mempunyai satu kelebihan. Ular itu bukan ular kebanyakan betapapun besarnya. Tetapi ular itu adalah raja ular. Ular itu memakai mahkota di kepala. Memakai jamang dan sumping. Sehingga meskipun besarnya belum sebesar batang pohon kelapa, namun perbawanyalah yang telah membuat bekas seperti itu. Pepohonan yang berada disebelah menyebelah jalan yang ditempuhnya, roboh tanpa disentuhnya. Batu-batu pun menyibak dan bukitpun terbelah."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Lalu katanya ke"pada Glagah Putih. "Menarik sekali. Apakah kita akan mengikuti jejak itu?"
"Tetapi jejak itu sampai kemana kek?" bertanya Gla"gah Putih.
"Aku tidak tahu ngger. Dahulu sekelompok orang per"nah mengikuti pula jejaknya. Namun pada saat jejak itu masih baru." jawab orang tua itu.
"Sekelompok orang dari mana kek?" bertanya Glagah Putih.
Orang tua yang sedang mencari ikan itu termangu-mangu. Namun ia tidak segera melemparkan jalanya. Bahkan iapun kemudian duduk di atas sebuah batu yang besar. Katanya, "Aku memang ingin beristirahat. Aku sudah mendapat ikan cukup banyak. Kepisku hampir penuh."
Glagah Putih sempat memandang kepis yang tergantung di lambung orang itu. Ternyata kepis yang cukup besar itu memang sudah berisi lebih dari tiga perempat.
"Duduklah di sini anak-anak muda." berkata orang tua itu, "siapakah sebenarnya kalian dan darimanakah kalian datang?"
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "kami sekedar orang lewat saja."
"Tetapi kek." desak Glagah Putih, "kakek belum menjawab pertanyaanku. Sekelompok orang darimanakah yang telah mengikuti jejak ular itu?"
"Duduklah." berkata orang tua itu, "nanti aku akan berceritera."
Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian duduk bersama orang tua itu di atas sebuah batu yang besar.
"Dengarlah anak-anak muda." berkata orang tua itu, "dilengkeh gunung itu dahulu terdapat sebuah padepokan."
"Lengkeh yang mana?" bertanya Raden Rangga.
"Lengkeh gunung, Itu, bagian yang lekuk diantara dua bukit dilambung gunung." sahut kakek itu, "bukankah tidak terlalu jauh dari sini" Tempat itu memang tidak terlalu suiit untuk dicapai."
"Tetapi bukankah kakek tadi mengatakan, bahwa tidak seorangpun yang pernah memanjat lereng bukit itu?" bertanya Glagah Putih.
"Sekarang anak muda." jawab orang tua itu, "sebelumnya di lengkeh gunung itu memang terdapat sebuah padepokan. Tetapi sekali lagi aku beritahukan, bahwa akupun belum pernah melihat padepokan itu, karena aku bukan orang yang tinggal di dekat tempat ini. Aku adalah seorang pencari ikan yang terbiasa menyusun sungai ini sampai ketempat yang jauh."
Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu orang itupun meneruskan. "Tetapi ketika ular dilambung gunung itu pergi, maka padepokan itupun menjadi kosong. Para penghuni padepokan itu telah berusaha untuk mengikuti jejak ular yang besar yang dianggap sebagai raja ular itu."
"Padepokan itu namanya apa kek dan kapan hal itu terjadi?" ceritera itu ternyata sangat menarik bagi kedua anak muda itu.
Sambil tersenyum kakek tua itu menjawab, "Aku tidak tahu. Sudah aku katakan, bahwa aku hanya mendengar kata orang."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian ia masih juga bertanya, "Lengkeh yang ada di depan hidung kita itu?"
"Ya." jawab kakek itu, "tetapi kata orang. Sekali lagi aku katakan, aku tidak melihatnya sendiri."
Tiba-tiba saja Raden Rangga meloncat sambil berkata, "Aku akan melihat tempat itu."
"He." orang tua itu terbelalak, "kau akan naik?"
"Ya. Bukankah hanya beberapa puluh patok?"
"Tetapi tentu sudah menjadi hutan dan sulit untuk dicapai." berkata orang tua itu.
"Jika kata orang itu benar, maka bekas-bekasnya ten"tu masih ada. Mungkin jalan setapak, mungkin yang lain." jawab Raden Rangga.
Glagah Putihpun kemudian bangkit pula sambil berkata, "Terima kasih kek. Kami akan melihat tempat itu. Jika kami mengalami kesulitan, maka kami akan mengurungkannya."
Kakek tua itu hanya dapat menggelengkan kepalanya ketika ia melihat kedua orang anak muda itu berjalan dengan cepat, bahkan hampir berlari-lari.
Raden Rangga dan Glagah Putih telah memanjat lereng gunung itu kembali. Lengkeh itu letaknya memang tidak begitu tinggi. Sehingga karena itu keduanya akan dapat mencapainya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi keduanya memang masih berada di dataran yang tinggi di lereng gunung.
Setelah meneliti sejenak, maka keduanya memang menemukan jalan setapak untuk memanjat lereng gunung itu. Meskipun jalan itu sudah lama sekali tidak disentuh kaki dan ditumbuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan berlumut, namun masih jelas bahwa jalan itu pernah men"jadi jalur untuk memanjat.
Dengan hati-hati keduanya memanjat lereng itu. Tetapi mereka kini melalui jalan setapak. Tidak lagi menelusuri je"jak yang dikatakan oleh orang tua itu, jejak seekor ular yang besar, sehingga dengan demikian mereka akan dapat maju jauh lebih cepat meskipun mereka memanjat naik.
Namun meskipun jalan yang moreka lalui adalah jalan setapak, tetapi karena sudah terlalu kama tidak pernah dipergunakan, maka jalan itupun menjadi rumpil. Hanya karena keduanya memiliki kemampunn yang tinggi, maka keduanya mampu berjalan dengan cepat.
Beberapa lama kemudian, maka mereka telah mendekati satu tempat yang memang nampak menarik perhatian. Jelas dapat dilihat oleh kedua orang anak muda itu, bahwa mereka menemukan satu jenis bangunan yang sudah lama sekali tidak ditentuh tangan.
"Inilah agaknya yang dikatakan oleh kakek tua itu." berkata Raden Rangga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka melihat dinding yang cukup tinggi mengitari satu lingkaran. Dari bekas pintu regol yang sudah rusak, mereka dapat melihat kedalamannya. Bangunan-bangunan yang sudah rusak dan sama sekali tidak terawat. Hanya dinding yang terbuat dari batu itu sajalah yang masih kelihatan ujudnya.
Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya keduanyapun telah memasuki pintu gerbang yang sudah rusak itu untuk melihat-lihat keadaan di dalamnya. Keduanya tertegun ketika keduanya melihat seekor ular sebesar lengan menelusur dan menghilang kedalam semak-semak.
"Disini banyak sekali ular agaknya." berkata Kaden Rangga.
Namun keduanya tidak lagi merasa begitu takut kepa"da ular, karena mereka masing-masing mempunyai penawar bisa yang akan dapat melindungi mereka dari gigitan binatang itu. Dengan hati-hati keduanya berjalan di halaman yang cukup luas dan licin. Beberapa jenis pohon buah-buahan masih terdapat di halaman. Namun agaknya pepohonan itu sudah cukup tua.
Raden Rangga yang kemudian berdiri di halaman sam"bil bertolak pinggang itupun mengangguk-angguk kecil. Dengan suara rendah ia berkata, "Tentu bekas sebuah padepokan. Satu-satunya tempat yang kita temukan didaerah yang luas yang sudah kita jelajahi."
"Ya. Tetapi kita tidak dapat menyebutnya lagi. Bekas padepokan apa yang kita ketemukan ini." jawab Glagah Putih.
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Raden Ranggapun berkata, "Marilah. Kita masuki tempat itu. Tetapi tempat itu adalah tempat yang berbahaya. Mungkin bukan karena penghuninya, tetapi bangunan itu setiap saat akan dapat roboh menimpa kita."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Marilah Raden. Mungkin ada sesuatu yang menarik."
Kedua orang anak muda itupun kemudian dengan sangat berhati-hati memasuki barak utama dari padepokan itu. Masih berdiri tegak pendapa dan pringgitan serta bagaikan tengah rumah yang besar itu. Namun atapnya sebagian sudah rusak.
Sekali lagi mereka terkejut melihat seekor ular yang besar menggeliat dan menelusur pergi menghilang diantara tiang-tiang rumah yang masih tegak itu.
Kedua orang anak muda itupun kemudian roendekati saka guru yang masih nampak kokoh. Agaknya tiang induk itu terbuat dari kayu pilihan yang sudah cukup tua.
Beberapa saat mereka memperhatikan kayu yang sudah menjadi hijau oleh lumut yang tumbuh dan melekat pada tiang-tiang itu.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, "Raden. Kemarilah."
Raden Ranggapun kemudian mendckat. Mereka mem"perhatikan lekuk-lekuk yang terdapat. pada tiang itu di bawah lumut yang tebal.
"Cari sepotong kayu." berkata Kaden Rangga.
Glagah Putihpun kemudian monomukun sepotong kayu patah yang berujung runcing. Dengan kayu itu mereka membersihkan lumut yang melekat pada tiang kayu itu.
"Ukiran." desis Radon Rangga.
Lukisan yang terpahat dengan ukiran pada tiang itu telah membentuk ujud seekor ular yang melingkar. Namun pada kepalanya nampak mahkota serta mengenakan jamang dan sumping.
Kedua anak muda itu menjadi semakin tertarik kepada ukiran itu. Semakin bersih mereka menghilangkan lumut yang melekat pada kayu itu, semakin jelaslah ujud seekor ular naga.
"Nagaraga." tiba-tiba saja Raden Rangga berdesis.
"Ya Raden. Ini adalah padepokan yang kita cari." sahut Glagah Putih.
Keduanya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemu"dian Raden Rangga berkata dengan nada rendah " Kita datang terlambat. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi menurut kakek yang sedang mencari ikan itu, sekelompok orang pernah mengikuti arah seekor ular raksasa yang bermahkota dan mengenakan jamang dan sumping. "
Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Katanya, "Mungkin sekali padepokan Nagaraga telah pindah. Tetapi aku kira perguruan itu masih ada. Ternyata belum lama kita menemukan orang-orang Nagaraga di Mataram. Meski"pun aku yakin, bahwa tidak semua orang yang herada di Mataram bersama kekuatan yang berusaha langsung membunuh ayahanda adalah seluruhnya orang Nagaraga."
"Bagaimana pendapat Raden Rangga?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya, "Kita coba mengikuti jejak ular itu. Mung"kin akan membawa kita mendekati perguruan Nagaraga yang sekarang. Mungkin sebagaimana dikatakan oleh kakek yang mencari ikan itu bahwa orang-orang Nagaraga telah memindahkan padepokannya mengikuti ular yang berpindah tempat itu."
"Aku sependapat Raden. Kita akan pergi menyusuri jejak ular itu." sahut Glagah Putih.
Demikianlah keduanyapun kemudian telah mengikuti jalan setapak menuruni lengkeh gunung itu, sebagaimana jalan yang mereka panjat saat mereka naik.
Ketika mereka menuruni sungai dan mengikuti alirannya sampai kekedung kecil, maka kakek yang sedang mencari ikan dengan jala itu sudah tidak ada lagi.
"Kenapa kakek itu?" bertanya Raden Rangga.
"Agaknya kepisnya telah penuh dengan ikan." jawab Glagah Putih.
Namun ketika mereka berdua menengadahkan kepa"lanya, maka mereka melihat bahwa matahari memang sudah menjadi sangat rendah. Ternyata mereka telah melampaui waktu yang cukup panjang.
"Kita harus mencari tempat untuk bermalam." ber"kata Raden Rangga.
"Ya." jawab Glagah Putih, "dimalam hari kita mungkin akan mengalami kesulitan untuk mengikuti jejak yang sudah tidak begitu jelas lagi itu."
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itupun telah mencari tempat yang baik untuk bermalam. Tidak ter"lalu jauh dari sungai yang mereka telusuri. Mereka telah memilih untuk bermalam di pinggir hutan kecil yang agak"nya tidak banyak didatangi orang karena letaknya yang sulit untuk dicapai. Disekitar hutan kecil itu terdapat batu-batu padas yang runcing. Lekuk-lekuk tanah yang dalam, serta lereng yang licin. Sedangkan dihutan itu agaknya tidak terdapat apapun juga yang berarti.
Raden Rangga dan Glagah Putih telah memilih tempat itu karena mereka ingin benar-benar beristirahat dan tidak diganggu oleh siapapun juga. Ternyata perhitungan keduanya memang benar. Kedua"nya dapat tidur diatas dahan sebatang pohon yang besar. Bagaimanapun juga mereka tidak mau diganggu oleh seekor harimau.
Namun ternyata dihutan kecil itu tidak terdapat seekor harimaupun. Bahkan jenis-jenis binatang yang terdapat dihutan kecil itu terlalu sedikit, sehingga tidak seorangpun yang tertarik untuk berburu di dalamnya.
Ketika langit mulai membayangkan cahaya kemerahan, maka keduanya telah turun dari pohon yang mereka panjat. Dengan hati-hati mereka telah melintasi daerah yang terjal diluar hutan kecil itu menuju kesungai.
Sebelum matahari terbit, keduanya sempat mandi. Betapa sejuknya air disungai itu menjelang fajar. Kedua anak muda itu berendam beberapa lama, seolah-olah mereka tidak mempunyai kepentingan apapun selain bermain-main di sungai.
Baru ketika langit disebelah Timur menjadi semakin terang, maka kedua nyapun telah berbenah diri. Setelah rambut mereka menjadi agak kering, maka merekapun mulai berjalan menelusuri sungai itu bersamaan dengan terbitnya matahari. Mereka hanya menyangkutkan ikat kepala mereka dileher mereka. Mereka baru akan mengenakan ikat kepala mereka jika rambut mereka telah benar-benar kering.
Ternyata mereka harus memperhatikan tebing sungai itu dengan saksama untuk dapat mengenali jejak ular naga itu. Bahkan kadang-kadang mereka hanya melihat samar-samar batu yang menyibak. Namun setiap kali mereka masih sempat melihat jejak yang meyakinkan.
Dengan tekun keduanya menelusuri jejak itu. Namun mereka memang tidak merasa tergesa-gesa. Itulah sebabnya, maka mereka masih juga sempat naik tebing sungai dan berjalan menuju kepadukuhan. Mereka memasuki padukuhan setelah mereka mengenakan ikat kepalanya. Mereka singgah di sebuah kedai untuk makan dan minum.
Ternyata mereka memang membawa bekal yang cukup sehingga mereka tidak akan kehabisan bekal diperjalanan meskipun mereka memerlukan waktu yang lama. Selain Glagah Putih memang juga membawa uang. Raden Rangga juga membawa uang cukup secukupnya.
Kedua anak muda itu sempat makan dan minum secu"kupnya. Bahkan ketika mereka membayar harga makanan dan minuman, sempat menarik perhatian penjual makanan dan minuman di kedai itu.
"Anak-anak muda itu ternyata membawa uang terlalu banyak." berkata pemilik kedai itu dihatinya.
Tetapi diluar sadarnya, ia telah menyebutnya dihadapan beberapa orang pembelinya, bahwa dua orang anak muda yang baru saja keluar dari kedainya itu mempunyai uang terlalu banyak.
Dua orang pembeli yang baru masuk kedalam kedai itu telah mendengarnya pula. Agaknya keduanya tertarik pada keterangan itu karena itu, maka seorang diantara mereka telah bertanya, "Siapa yang kau maksud?"
Pemilik kedai itu sempat memandangi kedua orang itu. Ternyata sorot matanya menunjukkan kesuraman watak mereka. Karena itu, maka ia mencoba mengelak. "Kedua anak muda yang tadi pagi-pagi datang kemari."
"Apakah kau kira aku tuli he" Anak itu baru saja keluar dari kedai ini" bentak salah seorang dari keduanya.
"Glagah Putih", berkata Raden Rangga, "kau lihat itu?" Glagah Putih mengangguk. Katanya : "Seakan-akan sesuatu telah melanda tempat itu!" "tetapi tentu sudah ter"jadi dalam waktu yang lama?" berkata Raden Rangga.
Pemilik kedai itu masih ingin mencoba untuk menghindarkan anak-anak muda itu dari kemungkinan buruk. Katanya, "Aku hanya begitu saja mengucapkannya. Tetapi sebenarnya kedua anak itu sudah lama meninggalkan kedai ini."
Namun pemilik kedai itu tiba-tiba saja terkejut ketika salah seorang diantara kedua orang itu menyambar bajunya dan mengguncangnya. Katanya, "Sebut kemana anak itu pergi?"
Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Iapun merasa hidupnya telah terancam. Karena itu, maka iapun berkata sebagaimana diketahuinya, "Anak itu keluar dari kedai ini dan berjalan kekanan. Aku tidak tahu, kemana mereka akan pergi."
Kedua orang itu agaknya cukup puas dengan jawaban itu. Karena itu, maka pemilik kedai itupun telah didorongnya sehingga jatuh menimpa gledeg bambu. Untung ia tidak terjatuh kedalam wajan yang berisi minyak yang mendidih karena pemilik kedai itu memang sedang menggoreng sukun.
Dengan tergesa-gesa kedua orang itu telah menyusul Glagah Putih dan Raden Rangga. Ternyata tidak memerlukan waktu yang lama. Ketika mereka melihat Raden Rangga dan Glagah Putih berjalan meninggalkan jalan padukuhan menuju kesungai, maka seorang diantara kedua orang itu berkata, "Tentu anak-anak itu. Mereka berusaha mencari jalan yang sepi."
"Tetapi justru karena itu, mereka akan terjebak." desis yang lain.
Dalam pada itu, ditempat lain, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari telah mendekati sasaran sebagaimana disebut-sebut oleh orang Watu Gulung. Mereka mulai meli"hat beberapa pertanda yang membawa mereka semakin dekat dengan sasaran. Namun yang mereka inginkan adalah menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih lebih da"hulu.
Karena itu, maka perhatian pertama mereka justru tidak pada sasaran, apalagi mereka masih mempunyai waktu yang cukup sebagaimana disepakati oleh para petugas dari Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Singasari.
"Tetapi kemana kita akan mencari mereka." desis Sabungsari.
"Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk untuk menemukan padepokan orang-orang Nagaraga yang baru." berkata Ki Jayaraga.
"Jika mereka menemukan pudepokannya yang lama meskipun seandainya tinggal reruntuhan, maka kemungkinan untuk menemukan padepokan yang baru ini tentu ada." berkata Kiai Gringsing, "bukankah keterangan yang pernah kita terima bahwa orang-orang Nagaraga telah bergeser karena seekor ular raksasa yang bergeser pula."
"Maksud Kiai, keduanya akan tertarik pada jejak itu dan kemudian mengikutinya?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ya. Tetapi ini hanya satu kemungkinan." jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi perpindahan itu sudah terjadi di waktu yang lama berselang." berkata Sabungsari. "Apakah jejaknya masih ada?"
Kiai Gringsing menganguk-angguk. Jawabnya, "Jejak itu mungkin telah terhapus. Jika masih ada, tentu sudah sulit dapat ditelusuri."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk pula. Namun iapun berkata, "Seandainya jejak itu masih ada, dimana kira-kira kita dapat menemukannya?"
"Ular naga itu telah menelusuri Kali Lanang. Apakah kita ingin melihatnya" Waktu kita masih panjang." ber"kata Sabungsari.
"Kita akan mencobanya." berkata Kiai Gringsing, "syukurlah jika masih kita temui betapapun tipisnya jejak ular naga itu. Kita akan dapat berharap bahwa kedua anak muda itu akan dapat melihatnya pula. Jika tidak, apaboleh buat. Mungkin kita dapat menelusuri Kali Lanang, karena menurut keterangan yang kita dengar ular itu telah menelu"suri Kali Lanang."
"Hanya tidak jelas bagi kita, dimana ular nagat itu mulai turun kesungai dan dimana ular itu naik." berkata Sabung"sari.
"Kita akan melihat. Satu-satunya jalan untuk mendekatkan pada kemungkinan bertemu dengan kedua orang anak muda itu." berkata Kiai Gringsing.
Demikianlah maka mereka bertiga telah menuju ke Kali Lanang. Mereka menuruni tebing yang rendah dan kemu"dian berjalan menelusuri sungai itu. Mereka memang tidak segera menemukan jejak seekor ular naga. Memang berbeda dengan Raden Rangga dan Glagah Putih yang mengikuti je"jak itu justru dari lereng, sehingga mereka segera mengenal satu ujud yang meskipun samar, namun jelas bagi mereka, bahwa yang mereka ikuti itu adalah jejak seekor ular naga.
Untuk beberapa saat lamanya ketiga orang itu telah berjalan disepanjang sungai. Dengan ketajaman penglihatan seorang pengembara mereka berusaha menemukan sesuatu yang mungkin dapat mereka tarik kepada satu kesimpulan, bahwa ular naga itu memang telah menelusuri sungai itu.
Dalam pada itu, namun ternyata bahwa perhitungan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari benar, bahwa jika mereka berjalan terus sepanjang sungai itu, maka pada satu saat mereka akan bertemu dengan Raden Rangga dan Glagah putih yang ternyata juga menelusuri Kali Lanang kearah yang berlawanan.
Namun pada saat yang demikian, ketika Raden Rangga dan Glagah Putih menuruni tebing sungai, maka dua orang telah mengikutinya dan berniat buruk menjadi semakin dekat. Seorang diantara mereka berkata, "Kebetulan, ke"duanya telah memilih tempat yang paling baik untuk menyerahkan uangnya atau nyawanya sekaligus."
Kawannya tersenyum. Katanya, "ini adalah hadiah yang tidak pernah kita duga."
Keduanyapun kemudian melangkah semakin cepat, se"hingga jarak antara mereka dengan kedua orang anak muda itupun menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba saja seorang diantara kedua orang yang mengikuti Raden Rangga dan Glagah Putih itu memanggil, "He, anak-anak muda. Tunggulah sebentar. Aku ingin bertanya."
Kedua anak muda itu berpaling. Dengan geram Raden Rangga berkata, "Orang-orang dungu. Kenapa mereka membunuh diri disini."
"Tidak Raden." jawab Glagah Putih, "Persoalannya tidak akan sejauh itu."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Katanya, "Untunglah aku berjalan bersamamu."
"Berhentilah." panggil salah seorang diantara mereka.
"Kita berhenti." desis Raden Rangga.
Glagah Putihpuntelah berhenti pula. Sementara Raden Rangga telah melangkah ke sebuah batu dan duduk di atasnya. Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga menarik tongkat pring gadingnya yang terselip dipunggung.
"Untuk apa Raden?" Bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kenapa kau terlalu cemas?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, kedua orang itu sudah menjadi semakin dekat. Tetapi ia menjadi heran melihat sikap kedua anak muda itu. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan kecemasan sama sekali.
"Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi." berkata salah seorang diantara mereka.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja mereka tertegun ketika mereka melihat seorang diantara kedua anak muda itu bermain-main dengan pasir. Dengan tongkatnya Raden Rangga memang bermain dengan pasir. Ditusuk-tusukkannya tongkatnya itu kedalam pasir.
Tongkat yang menurut ujudnya tidak lebih dari pring gading itu memang tidak banyak menarik perhatian. Tetapi dari pasir yang tertusuk-tusuk dengan tongkat itu telah mengepul asap seperti asap air yang sedang mendidih.
"Kau lihat." desis yang seorang diantara kedua orang itu.
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian kata"nya, "Mungkin pengaruh air di sungai itu sendiri."
"Tetapi nampaknya panas sekali." berkata orang yang pertama.
"Kita akan membuktikannya." sahut yang lain. Keduanyapun kemudian melangkah semakin dekat.
Glagah Putihpun telah duduk pula disebuah batu disebelah Raden Rangga. Iapun memperhatikan permainan Raden Rangga yang nampaknya mengasikkan itu.
Ketika kedua orang itu sudah berdiri beberapa langkah dari padanya, maka tiba-tiba saja seorang diantaranya ber"tanya, "Apa yang kalian lakukan disini anak-anak mu"da?"
"Bermain-main." jawab Raden Rangga tanpal berpaling.
"Bermain-main apa?" bentak seorang yang lain.
Raden Rangga tiba-tiba saja meloncat turun dari atas batu sambil berkata, "Lihat, disini ada sumber panas."
Sebelum kedua orang itu menyahut, Raden Rangga telah mengibaskan ujung tongkatnya. Tidak kedalam air, tetapi keatas pasir tepian sehingga sejemput pasir telah menghambur kearah kedua orang itu.
Ketika pasir itu kemudian menyentuh tubuh kedua orang itu, maka merekapun diluar sadarnya telah meloncat surut. Ternyata pasir lembut itu bagaikan pecahan bara yang mengenai tubuh mereka. Panas sekali.
"Gila." geram seorang diantara mereka, "kau men"coba mempermainkan kami he?"
"Tidak." jawab Raden Rungga, "aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa disini ada sumber panas. Pasir itu telah dipanasinya."
"Tetapi kenapa kau hamburkan kearah kami?" yang lain hampir berteriak.
"Tidak apa-apa. Kami hanya ingin membuktikan bahwa pasir itu panas. Kami tidak berbohong." jawab Raden Rangga.
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, seorang diantara mereka tiba-tiba saja berkata, "Anak-anak muda. Jangan bermain-main seperti itu. Perbuatanmu dapat mengganggu bahkan menyakiti orang lain."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah Ki Sanak. Kami tidak akan bermain-main lagi dengan pasir."
"Nah, jika demikian, singkirkan tongkatmu itu." ber"kata seorang diantara kedua orang itu pula.
"Kenapa" Bukankah tongkatku tidak mengganggumu." jawab Raden Rangga.
Namun agaknya yang seorang tidak sabar lagi. Karena itu maka katanya kasar, "Cukup dengan tingkah lakumu yang gila itu. Kami datang untuk minta uangmu. Itu saja."
Raden Rangga berdiri tegak sambil memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, "Aku me"mang mempunyai uang banyak. Jika kau memerlukan, aku akan memberimu beberapa keping. Tetapi tidak pantas orang yang tubuhnya besar dan kekar seperti kau itu men"jadi pengemis."
"Aku bukan pengemis." orang itu berteriak.
"Jadi apa?" bertanya Raden Rangga.
"Aku tidak memerlukan uang yang beberapa keping itu. Tetapi aku minta uangmu seluruhnya." seorang di"antara mereka hampir berteriak, "karena kami bukan pengemis. Tetapi kami adalah perampok. Kami akan membunuh orang yang tidak mau menyerahkan uangnya dengan suka rela."
Raden Rangga justru tersenyum. Katanya, "Kau me"mang nampak garang dengan caramu berbicara. Tetapi ketahuilah, bahwa aku tidak akan menyerahkan apa-apa. Kecuali jika kau mengaku menjadi pengemis dan aku akan menyerahkan uang menurut kehendakku sendiri."
"Gila." geram orang yang lain sambil menarik senjatanya. Sebuah parang pendek. Namun tajamnya bukan main, sehingga daun parang itu nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.
"Sekali sentuh, lehermu akan putus." geram orang itu.
Sementara itu yang lainpun telah menarik senjata yang serupa pula. Katanya, "Jangan memaksa kami memenggal leher kalian."
Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya, "Kali"an ini aneh-aneh saja. Pagi-pagi kalian sudah sempat ber"gurau."
"Aku tidak bergurau." bentak orang itu, "berikan semua uangmu."
"Ah. Jangan begitu." Raden Rangga masih tertawa.
Kedua orang itu menjadi marah. Tetapi ketika kedua"nya akan melangkah maju, Raden Rangga telah meletakkan ujung tongkatnya diatas pasir tepian. Katanya, "Kami dapat membakar kalian dengan pasir ini."
Keduanya memang tertegun. Sejenak mereka berpandangan. Namun keduanyapun tiba-tiba telah berpencar. Se"orang diantara mereka berkata, "Kami akan mendekati kalian dari dua arah."
Raden Rangga tertawa semakin keras. Katanya, "Semakin bernafsu kalian atas uang kami, maka pasir ini akan menjadi semakin panas, sehingga akhirnya kalian benar-benar akan menjadi arang. Apalagi jika kami berdua sudah menjadi marah. Kami akan menangkap kalian dan membenamkan kalian didalam pasir punas ini."
Kedua orang itu memang terkejut mendengar kata-kata Raden Rangga. Namun selagi mereka rugu-ragu, Glagah Putih berkata, "Sudahlah. Pergilah. Jangan lakukan cara seperti ini untuk mencari uang. Bukankah banyak cara dapat ditempuh. Cara yang baik dan wajar."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun yang se"orang tiba-tiba telah membentak, " Berikan uangmu."
Belum lagi mulut orang itu terkatub, Raden Rangga telah melakukan sesuatu yang membuat bulu tengkuk kedua orang itu berdiri. Raden Rangga yang berdiri dengan tongkat ditangannya itu, tiba-tiba telah meloncat dan mengayunkan tongkat kesebuah batu yang cukup besar. Dengan kekuatan ilmunya maka Raden Rangga telah memecahkan batu itu menjadi berkeping-keping.
Kedua orang itu benar-benar terkejut melihat bagaimana tongkat anak muda itu mampu memecahkan batu. Apalagi sambil tertawa seakan-akan tanpa pemusatan nalar budi untuk mengerahkan ilmu yang ada padanya, anak muda itu berkata, "Nah, kepala siapa yang akan aku pecahkan lebih dahulu. Kalian tentu tahu, bahwa batu itu tentu lebih keras dari kepalamu."
Kedua orang itu memang menjadi gemetar, sementara anak muda yang membawa tongkat pring gading itu ber"kata, "Nah. Kita akan mendapat bagian seorang satu. Aku memecahkan kepala orang yang agak pendek, kau boleh memilih yang lebih tinggi."
"Jangan." tiba-tiba orang yang lebih pendek dan menggenggam parang ditangannya itu menjadi gemetar, "jangan bunuh kami."
"Aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan me"mecahkan kepalamu. Jika karena itu kau akan mati, itu bukan salahku."
"Ampun, kami mohon ampun." orang yang berwajah garang itu tiba-tiba hampir menangis.
Raden Rangga masih tertawa. Lalu katanya sambil mengangkat tongkatnya, "Kau belum yakin bahwa aku dapat memecahkan kepalamu."
"Ya, ya. Aku yakin." jawab orang itu.
Raden Rangga menurunkan tongkatnya sambil berkata, "Pergilah. Tetapi ingat, sekali lagi kami bertemu dengan kalian dan kalian masih melakukan langkah serupa, maka kami tidak akan mengampuni kalian. Kami benar-benar akan memecahkan kepala kalian."
Kedua orang itu saling berpandangan. Mereka sudah terlanjur berdiri ditempat yang terpisah karena mereka akan menyerang anak-anak muda itu dari arah yang berbeda. Namun kemudian keduanya telah beringsut menjauh.
"Kami mohon maaf." berkata yang seorang.
"Jangan hanya dibibir. Aku akan tetap berkeliaran di daerah ini." berkata Raden Rangga.
"Tidak. Tidak hanya dibibir. Kami benar-benar tidak melakukan lagi." berkata kedua orang itu hampir bersamaan.
"Pergilah." desis Raden Rangga.
Kedua orang itupun telah menyarungkan parang me"reka. Dengan kaki yang agak gemetar keduanya melangkah meninggalkan anak-anak muda itu. Rasa-rasanya pasir tepian itu telah memberati kaki mereka, sehingga langkah merekapun menjadi terasa sangat berat.
Beberapa langkah dari kedua anak muda itu, orang yang lebih tinggi itu berkata, "Ternyata kita telah bertemu dengan penunggu sungai ini."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Marilah, kita melupakan mimpi buruk ini."
"Melupakan?" bertanya yang seorang, "apakah kita akan menganggap bahwa yang terjadi ini hanya sebagai mimpi yang dapat kita lupakan begitu saja" Sementara itu kita terikat pada janji, bahwa kita akan menghentikan perbuatan kita ini?"
Kawannya termangu-mangu. Namun iapun berdesis sambil berpaling, "Apakah kita akan menepati janji?"
Yang seorangpun berpaling. Mereka masih melihat kedua anak muda itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun berkata, "Apakah kita masih mempunyai kesempatan untuk melanggar janji kita?"
Kawannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Namun keduanya berjalan semakin lama semakin jauh menelusuri sungai itu kearah yang berlawanan dengan yang kemudian ditempuh ole Raden Rangga dan Glagah Putih.
Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih masih berada ditempat itu. Namun ketika kedua orang yang ingin merampas uangnya itu sudah berjalan semakin jauh, maka Raden Ranggapun berkata, "Orang-orang yang demikianlah yang mudah dihasut untuk tujuan yang tidak jelas."
"Ya." jawab Glagah Putih, "namun setidak-tidaknya Raden telah berhasil menakut-nakuti orang itu."
Raden Rangga tertawa. Katanya, "Kau sangka bahwa mereka akan benar-benar takut" Ketika mereka tidak me"lihat kita lagi, maka mereka akan segera mengulangi perbuatannya."
"Mudah-mudahan tidak." jawab Glagah Putih.
Raden Rangga tersenyum. Namun kemudian katanya, "Marilah. Kita akan meneruskan perjalanan. Kita akan menelusuri sungai ini. Kita tahu, bahwa kita memerlukan waktu yang panjang, karena sungai inipun agaknya cukup panjang dan akan turun ke Bengawan."
Glagah Putih hanya mengangguk saja. Namun keduanyapun kemudian telah berjalan menelusuri sungai itu se"perti yang telah dilakukannya.
Sementara itu dari arah yang lain, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari juga menelusuri sungai yang itu juga kearah yang berlawanan. Namun jarak itu masih terlalu jauh, sehingga mereka masih memerlukan waktu yang panjang untuk bertemu seandainya mereka serta dengan rencana mereka mene"lusuri sungai itu.
Namun lambat laun. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari melihat sesuatu yang menarik di sungai itu. Me"reka melihat bebatuan yang nampaknya diatur dalam baris yang menjelujur dipinggir sungai itu.
"Satu kemungkinan." berkata Kiai Gringsing yang melihat Ki Jayaraga dan Sabungsari juga sedang memper"hatikan bebatuan itu.
Ki Jayaraga dan Sabungsari mengangguk-angguk. Namun mereka tidak segera dapat memastikan bahwa yang mereka lihat itu adalah jejak seekor ular. Tetapai seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka mereka akan menelusuri sungai itu sampai ketempat yang agak jauh.
Mereka tinggal memperhitungkan waktu. Namun mereka masih mempunyai waktu lebih dari sepekan. Karena itu, maka ketiganya masih berjalan terus mene"lusuri sungai itu. Jika malam turun, maka ketiganya telah naik tebing yang rendah dan mencari tempat yang paling baik untuk bermalam.
Disaat matahari terbit, mereka melanjutkan perjalanan mereka mengikuti jalur sungai itu menentang arus. Mereka berjalan perlahan-lahan sambil memperhatikan keadaan disekitar mereka. Selain tanda-tanda yang mereka ikuti, maka merekapun berusaha untuk menemukan, jika mungkin ada pertanda-pertanda lain.
Dari arah yang berlawanan, Raden Rangga dan Glagah Putih juga berjalan tidak terlalu cepat. Mereka memang merasa tidak tergesa-gesa karena mereka tidak terikat oleh waktu. Karena itu mereka sempat memperhatikan keadaan dengan teliti.
Tetapi kecuali itu, kadang-kadang keduanyapun sem"pat mempergunakan keadaan alam serta henda-benda yang mereka jumpai untuk mematangkan ilmu mereka. Lebih-lebih Glagah Putih.
Namun ternyata keduanya tidak dapat melakukannya tanpa gangguan. Jika sebelumnya mereka diikuti oleh dua orang yang ternyata dapat dihalau tanpa melakukan kekerasan apapun, maka ternyata mereka telah bertemu dengan orang-orang yang mempunyai sikap yang berbeda.
Raden Rangga dan Glagah Putih juga menyadari, bahwa orang-orang itu telah mengikutinya sejak kedua anak muda itu keluar dari lingkungan gerumbul-gerumbul perdu tempat mereka bermalam. Semula mereka memang mengira, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak lebih dari orang-orang yang pernah mereka halau. Ka"rena itu, maka keduanya tidak begitu menghiraukannya. Keduanya dengan tenangnya telah mandi disungai yang mereka selusuri. Ternyata orang-orang yang mengikutinya itu menunggu mereka diatas tebing, meskipun agak jauh. Tetapi kedua anak muda itu sadar, bahwa orang-orang itu telah menunggu mereka.
"Glagah Putih." berkata Raden Rangga, "nampaknya orang-orang ini agak lain dengan kedua orang yang telah mencegat kita itu."
"Ya." jawab Glagah Putih, "mereka bukan orang-orang yang berlaku semena-mena dengan kasarnya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kedua orang itu bukannya orang yang tidak berbahaya bagi kita."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Desisnya, "Mari"lah. Kita harus bersiap."
Keduanyapun kemudian telah menyelesaikan pakaian mereka, merekapun telah mengenakan ikat kepala mereka pula. Sehingga kedua anak muda itupun telah benar-benar selesai dengan membenahi pakaian mereka.
Setelah keduanya benar-benar siap, maka keduanya telah melangkah meneruskan perjalanan mereka menyusuri sungai itu. Demikian keduanya berada dekat dibawah orang-orang yang berada ditebing itu, maka Raden Rangga dan Glagah Putih melihat orang-orang itu mulai bergerak menuruni te"bing.
"Tiga orang." desis Raden Rangga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya ketiganya memang agak lain dengan orang-orang yang kasar itu."
"Jauh berlainan." berkata Raden Rangga.
Ternyata dugaan kedua anak muda itu benar. Salah se"orang dari ketiga orang itu berkata, "Berhentilah anak muda."
Raden Rangga dan Glagah Putihpun berhenti. Semen"tara itu ketiga orang itupun telah berdiri ditepian.
"Apakah yang kalian cari disini anak muda?" ber"tanya yang tertua diantara mereka.
Raden Ranggalah yang kemudian berdiri di depan sam"bil menjawab, "Tidak ada yang kami cari disini, Ki Sanak. Kami hanya berjalan saja menelusuri sungai ini. Hanya satu kebiasaan."
Orang itu tersenyum. Katanya, "Satu kebiasaan yang menarik. Sejak kapan kalian mengikuti kebiasaan ini?"
"Sejak kecil." jawab Raden Rangga, "kami mempu"nyai kebiasaan menjalani laku. Menelusuri sungai sejauh dapat kami jangkau. Siang dan jika mungkin malam. Jika kami merasa letih, maka kamipun mencari tempat untuk sekedar tidur."
"Apakah yang ingin kau capai dengan laku itu?" ber"tanya yang tertua diantara ketiga orang itu.
"Kami ingin mendapatkan ketenangan dalam hidup kami." jawab Raden Rangga.
"Benar begitu?" bertanya orang itu.
"Ki Sanak ragu-ragu?" bertanya Raden Rangga.
"Ya. Kami menjadi ragu-ragu. Agaknya kalian bukan anak-anak muda yang senang menikmati ketenangan dan kedamaian. Gejolak hati kalian menunjukkan bahwa kalian adalah anak-anak muda yang memandang hidup dengan gelora yang gemuruh." sahut orang itu.
"Apakah nampaknya seperti itu?" bertanga Raden Rangga.
"Ya.! Dan kalian tentu anak-anak muda yang menjalani laku untuk mematangkan ilmu. Bukan untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian." berkata orang itu pula.
"Ilmu yang ada pada kami adalah ilmu yang berkadar sangat rendah. Mungkin kami ingin mematangkannya. Tetapi bagaimanapun juga, nilainya tidak akan memberikan banyak arti." jawab Raden Rangga pula.
Ketiga orang itu nampaknya sangat tertarik kepada kedua orang anak muda itu. Bahkan seorang diantara me"reka bertanya, "Siapakah nama kalian anak-anak muda?"
Raden Rangga mengerutkan keningnya.
Tetapi seperti biasanya ia menyebut sebuah nama asal saja diucapkan "
Namaku Wida dan itu kakak sepupuku namanya Pinta. "
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
merekapun kemudian tersenyum. Seorang diantara mereka
bertanya " Apakah nama itu benar-benar nama kalian" "
Raden Rangga memandang ketiga orang itu dengan heran.
Bahkan iapun bertanya " Apakah kami sudah berbohong" Aku
tidak tahu, apakah gunanya untuk tidak menyebut nama yang
sebenarnya. " " Baiklah. " berkata yang tertua diantara mereka " biarlah
kami memanggil kalian dengan nama Wida dan Pinta. Nama
yang baik menurut pendapatku. "
" Tentu " jawab Raden Rangga " ayahku memberiku nama
yang baik " Namun tiba-tiba Raden Rangga itupun bertanya "
Ki sanak, kami sudah menyebut nama kami. Perkenankanlah
kami bertanya, siapa nama kalian bertiga" -
" Baiklah anak-anak muda. Kami tidak akan merahasiakan


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama kami. Mungkin kalian sudah mendengarnya, tetapi
mungkin juga belum. Namaku adalah Kiai Damar-murti dari
perguruan Sapu Angin. Sedang kedua kawanku ini adalah
Putut Wiyantu dan Putut Pideksa. Keduanya adalah adik
seperguruanku. Nah, kau percaya atau tidak anak-anak muda.
" " Aku percaya " jawab Raden Rangga " menurut dugaan
kami. Ki Sanak bertiga memang orang-orang yang memiliki
kelebihan dari orang kebanyakan. Ternyata Ki Sanak bertiga
adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang namanya
sangat terkenal. " " Nah, anak-anak " berkata Kiai Damarmurti kemudian "
kami sama sekali tidak akan mengganggu kalian. Lakukanlah,
apa yang ingin kalian lakukan. "
" Terima kasih Ki Sanak. Kami tidak akan berbuat apa-apa
selain menelusuri sungai ini. " jawab Raden Rangga.
" Teruskanlah " berkata Damarmurti " namun aku hanya
ingin bertanya serba sedikit. "
" Bertanya tentang apa" " desis Raden Rangga.
" Apakah kalian melihat atau bertemu atau kebetulan
berpapasan dengan tiga orang yang datang dari arah Barat"
Seorang masih muda dan dua orang yang lain sudah terlalu
tua untuk sebuah pengembaraan. " bertanya Kiai Damarmurti.
" Tiga orang" " Seperti kalian, Kiai " bertanya Raden
Rangga pula. " Ya, bertiga. Tetapi sudah aku katakan. Yang seorang
masih muda, tetapi yang dua orang sudah terlalu tua "
jawab Kiai Damarmurti " atau barangkali kalian pernah
mendengar seorang anak muda yang mampu membunuh
dengan sorot matanya" "
" Agung Sedayu " desis Raden Rangga dan Glagah Putih
didalam hatinya. Dengan demikian, maka kedua anak muda itu menyangka,
bahwa Agung Sedayu telah menyusulnya. Kedua orang tua itu
tentu Ki Jayaraga dun Kiai Gringsing.
Tetapi kedua orang anak itu tidak mengatakannya. Bahkan
Raden Rangga masih juga bertanya " Apakah aku tidak salah
mendengar bahwa seseorang dapat membunuh dengan sorot
matanya" " " Tidak anak muda " jawab Kiai Damarmurti " menurut
pendengaran kami, maka sebenarnya telah terjadi, bahwa
seorang diantara mereka telah membunuh dengan sorot
matanya. " " Bukan main " desis jawab Glagah Putih " dari perguruan
manakah ketiga orang itu datang" "
" Tidak diketahui " jawab Kiai Damarmurti Namun agaknya
mereka datang dari Mataram, atau barangkali prajurit petugas
sandi dari Mataram. "
" Apakah prajurit dari Mataram atau barangkali petugas
sandinya terdiri dari orang-orang tua" " bertanya Glagah Putih.
" Tentu tidak semuanya " jawab Kiai Damarmurti " tentu ada
yang muda. Diantara tiga orang itu, seorang adalah masih
cukup muda. " " Sayang Kiai " berkata Raden Rangga " kami tidak
menjumpainya. Tetapi dimanakah kira-kira mereka berada
menurut pendengaran Kiai" "
" Apakah kau tertarik juga" " bertanya Kiai Damarmurti.
" Bahwa dengan sorot matanya seseorang mampu
membunuh lawannya adalah sangat menarik. " jawab
Raden Rangga. " Baiklah anak-anak muda " berkata Kiai Damarmurti " jika
kau juga ingin mencarinya, cobalah kau cari orang-orang itu.
Jika kau berhasil menemukannya sebelum kami, tolong,
beritahukan kepada kami. "
" Tetapi dimana kami harus memberitahukan kepada
kalian" " bertanya Raden Rangga.
" Kami berada di sekitar tempat ini. Aku tidak tahu, apakah
perhitunganku tepat, bahwa ketiganya akan lewat disekitar
tempat ini, " berkata Kiai Damarmurti.
" Sebelumnya, dimanakah kalian ketahui ketiga orang itu" "
bertanya Glagah Putih. " Mereka berada dipadukuhan disebelah Barat. Tetapi
mereka akan menempuh perjalanan ke Timur. Aku tidak tahu,
perjalanan ke Timur itu kearah disebelah mana" " jawab Kiai
Damarmurti. " Baiklah Kiai " jawab Raden Rangga " aku akan
mencarinya. Tetapi jika aku menemukan mereka, aku tidak
akan mencari Kiai. Apalagi jika Kiai pergi dari tempat ini. "
" Aku akan berada disekitar tempat ini " berkata Kiai
Damarmurti " kau dapat mencariku di hutan perdu disebelah
pategalan itu. Atau disekitarnya. "
Tetapi Raden Rangga tetap menggeleng-. Katanya " Aku
tidak akan mencarimu Kiai. Silakan Kiai mencari aku dan
menanyakan kepadaku, apakah aku sudah bertemu dengan
ketiga orang itu. " Kiai Damarmurti tertawa. Katanya "- Kau memang menarik
anak muda. Sikapmu agak kurang sopan, tetapi
menyenangkan. Namun demikian jangan membantah. Cari
aku agar aku tidak mencarimu. Jika aku mencarimu,
persoalannya akan menjadi lain. "
" Itulah yang aku ingini. " jawab Raden Rangga "
persoalan yang menjadi lain itu akan sangat menarik. "
" Ah, jangan begitu anak-anak muda. Kau tentu tahu
artinya. Sementara itu kau mengaku, bahwa ilmumu baru
pada tataran pertama dan tidak seberapa. " berkata Kiai
Damarmurti " bahkan seandainya kau mengaku mempunyai
ilmu yang tinggi sekalipun, maka kau tidak akan dapat berbuat
apa-apa. " " Terserahlah " berkata Raden Rangga " atau jika kau ingini
kita cari bersama-sama. "
" Tidak anak muda. Aku minta kau mencarinya dan
mengatakan kepadaku dimana mereka berada. Atau ajak
mereka menemui aku. Sebut perguruan Sapu Angin. Maka
mereka tentu akan datang. " berkata Kiai Damarmurti.
Tetapi Raden Rangga tetap pada pendiriannya. Katanya "
Maaf Kiai. Aku tetap berkeberatan. "
Kiai Damarmurti tertawa pula. Katanya " Bagus. Kau akan
menyesal kelak, jika aku yang mencarimu. "
Raden Ranggapun tertawa. Sementara Glagah Putih
berkata " Kiai, jangan menakuti anak-anak seperti itu. "
" Kau memang lucu anak-anak manis "- desis Kiai
Damarmurti "- baiklah. Aku akan pergi saja. Aku
menunggumu. " Raden Rangga dan Glagah Putih tertawa kecil. Sementara
Kiai Damarmurti juga tertawa. Tetapi Putut Wiyantu dan Putut
Pideksa hampir saja tidak dapat menahan dirinya. Hampir saja
mereka meloncat menerkam seandainya mereka tidak melihat
sikap Kiai Damarmurti. Demikianlah, maka Kiai Damarmurti dan kedua orang adik
seperguruannya itupun kemudian telah meninggalkan kedua
orang anak muda itu. Sekali-sekali Kiai Damarmurti masih
berpaling dan melambaikan tangannya kepada kedua orang
anak muda itu " Gila " geram Raden Rangga kemudian " kedua orang
Putut itu hampir saja kehilangan kesabaran, "
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Tetapi Kiai Damarmurti
itu nampaknya menyenangkan juga untuk diajak bermainmain.
" " Tetapi darimana mereka mengetahui bahwa ketiga orang
itu ada disini. " desis Raden Rangga.
" Entahlah. Barangkali ada juga baiknya kita mencarinya "
berkata Glagah Putih " tetapi kita tidak akan meninggalkan
jejak ular naga itu. karena tugas kita adalah menemukan
padepokan dari perguruan Nagaraga. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Marilah.
Kita akan berjalan terus. Kita tidak akan menghiraukan ketiga
orang dari Sapu Angin itu. Mungkin pada suatu saat mereka
memang akan mencari kita. Tetapi agaknya itu akan lebih baik
daripada kita yang mencari mere ka. -
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah
meneruskan perjalanan mereka menelusuri sungai yang
mereka duga merupakan jejak ular naga yang berpindah dari
lereng gunung menuju ketempat yang masih harus dicari.
Tetapi seperti yang seharusnya terjadi, karena dua
kelompok yang menelusuri sungai itu dari dua arah yang
berbeda, maka pada satu saat mereka memang akan
bertemu. Kedua belah pihak memang sama-sama melihat dari
kejauhan orang-orang yang berjalan berlawanan. Dengan
ketajaman penglihatan mereka, maka merekapun segera
mengetahui, dengan siapa mereka berpapasan.
Namun hampir berbareng Raden Rangga dan Glagah Putih
berdesis " Ternyata yang datang Sabungsari. Bukan kakang
Agung Sedayu. " Glagah Putih memang merasa agak kecewa. Dengan nada
rendah ia berkata " Kenapa bukan kakang Agung Sedayu saja
yang menyusul kita kemari" "
" Sama saja " berkata Rad"n Rangga " ternyata yang
dikatakan telah membunuh dengan sorot matanya
adalah Sabungsari. "
Demikianlah, akhirnya keduanyapun menjadi saling
mendekati. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari-pun
merasa gembira, bahwa akhirnya mereka dapat bertemu juga
dengan Raden Rangga dan Glagah Putih.
Ketika mereka menjadi dekat, maka kegembiraan itupun
tertuang pada sikap masing-masing. Dengan serta merta
Raden Rangga berkata " Kalian membawa pesan ayahanda
bahwa kami sudah terlalu lama meninggalkan Mataram" -
" Tidak " jawab Kiai Gringsing " nanti sajalah kita berbicara.
Marilah, duduk dahulu Raden. "
Merekapun kemudian duduk di tepian. Dengan ragu-ragu
Kiai Gringsing bertanya - Apakah yang Raden dapatkan di
sungai ini" " " Seperti yang kiai dapatkan " jawab Raden Rangga "
bukankah Kiai menelusuri jejak seekor ular" Namun ke-arah
yang berlawanan dengan jalur yang aku ambil bersama
Glagah Putih. Adalah satu kebetulan, bahwa dengan demikian
kita dapat bertemu. Jika kita menuju ke arah yang sama,
mungkin kita tidak akan dapat bertemu. "
" Raden " berkata Kiai Gringsing kemudian " dari mana
Raden mulai menelusuri jejak itu" "
" Dari lereng gunung Kiai " jawab Raden Rangga " seorang
tua mengatakan, bahwa seekor ular naga pernah berpindah
tempat. " Kyai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari menganggukangguk.
Yang dikatakan oleh Raden Rangga itu memang
mirip dengan keterangan yang pernah didengar dari orangorang
yang telah ditemuinya terdahulu.
Apalagi ketika Raden Rangga dan Glagah Putih kemudian
menceriterakan tentang bekas sebuah padepokan yang besar
yang telah kosong dan tidak dihuni lagi.
" Padepokan dari perguruan Nagaraga " berkata Kiai
Gringsing. " Ya " Sahut Raden Rangga " kami menemukan ciri-ciri
perguruan Nagaraga pada tiang-tiangnya yang masih kokoh. "
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari menganggukangguk.
Dengan nada rendah Kiai Gringsing ber kata " Jika
demikian, kita akan menelusuri sungai ini ke-arah
sebagaimana kalian lakukan. Kita akan segera bertemu
dengan sekelompok prajurit Mataram dibawah pimpinan
Pangeran Singasari. "
" Pamanda Singasari " desis Raden Rangga " kenapa
ayahanda memerintahkan pamanda Singasari" "
" Aku tidak tahu ngger " jawab Kiai Gringsing " mungkin
menurut ayahanda. Pangeran Singasari adalah orang yang
paling tepat untuk tugas ini. "
" Tidak " jawab Raden Rangga " bukan paman Singasari. "
" Namun bagaimanapun juga, ayahanda Raden sudah
memerintahkan pamanda Singasari. Raden tidak dapat
menentang perintah itu " berkata Kiai Gringsing.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang kekejauhan ia berdesis " Ya. Ayahanda sudah
memerintahkannya. " " Karena itu Raden " berkata Kiai Gringsing " kita tinggal
menjalaninya. Menurut ayahanda Raden, perguruan Nagaraga
memang wajib dihukum, karena telah berani berusaha untuk
menyingkirkan ayahanda Raden. "
" Dan paman Singasari akan melakukannya dengan
mantap " berkata Raden Rangga.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Anak ini memang
aneh. Raden Rangga sendiri sering terlibat dalam
pembunuhan meskipun sebagian besar ia bermaksud baik.
Tetapi ia menilai pamandanya Pangeran Singasari agak
kurang baik karena kekerasannya.
Namun sekali lagi Ki Jayaraga mengulangi keterangan Kiai
Gringsing " Kita tinggal menjalani perintah ayahanda Raden. "
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata
" Kiai, selain tugas yang Kiai emban bersama di-bawah
pimpinan Pangeran Singasari, apakah ada hubungannya
dengan kami berdua" "
" Kami mencari kalian berdua agar tugas kita dapat
bergabung. Bukankah tugas kalian sekedar mencari
keterangan, sementara kami yang menyusul kemudian
mendapat perintah bertindak lebih jauh dari itu" " jawab Kiai
Gringsing. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun , tibatiba
saja Raden Rangga teringat pesan orang-orang Sapu
Angin. Karena itu hampir diluar sadarnya ia berkata " Kiai,
apakah Kiai mengenal orang-orang Sapu Angin" "
" Kenapa dengan orang-orang Sapu Angin" " bertanya Kiai
Gringsing. " Kami bertemu dengan orang-orang Sapu Angin " jawab
Raden Rangga " mereka mencari tiga orang yang datang dari
arah Barat dan menuju ke Timur. Seorang diantaranya dapat
membunuh dengan sorot matanya. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Ki Jayaraga bertanya " Apakah orang itu menyebut namanya"
" " Ya " jawab Raden Rangga " menurut pengakuannya,
seorang yang tertua diantara mereka bernama Kiai


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Damarmurti. Dua orang lainnya adik seperguruannya Putut
Wiyantu dan Putut Pideksa. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Ternyata
mereka masih menganggap persoalannya belum selesai. Jika
mereka guru dari orang-orang Sapu Angin yang pernah aku
temui, maka mereka harus belajar dari murid-murid mereka
itu, bagaimana menanggapi keadaan. "
" Mereka berpesan kepada kami, agar jika kami bertemu
dengan tiga orang yang dimaksud, kami supaya
memberitahukan kepada mereka " berkata Raden Rangga.
" Jadi Raden akan mencari mereka lagi" " bertanya
Sabungsari. " Tidak " jawab Raden Rangga " sejak semula aku sudah
menyatakan berkeberatan. Meskipun mereka agak
mengancam. " " Mengancam bagaimana" " bertanya Sabungsari.
" Kami harus mencari mereka. Jika tidak, maka mereka
akan mencari kami. Jika terjadi demikian, maka persoalannya
akan berbeda. Katanya, kami akan mengalami kesulitankesulitan
" berkata Raden Rangga.
" Bagaimana sikap Raden" " bertanya Sabungsari.
" Aku tidak menghiraukannya " jawab Raden Rangga " jika
mereka akan mencari aku, biarlah mereka mencari. Apapun
yang akan mereka lakukan, aku sama sekali tidak
berkeberatan. " " Bagus " jawab Sabungsari " kita justru akan menunggu.
Mudah-mudahan mereka benar-benar akan mencari kita. "
" Tetapi sampai kapan kita akan menunggu " berkata Kiai
Gringsing " kita akan kembali menyusuri sungai ini menuju
ketempat yang sudah ditentukan. Terserahlah orang-orang
Sapu Angin itu akan berbuat apa saja. "
" Sebenarnya aku memang ingin menunggu " berkata
Raden Rangga " tetapi jika persoalannya adalah pada waktu,
maka aku akan mengikuti saja mana yang baik kita lakukan. "
" Kita akan kembali " berkata Ki Jayaraga " jika ketiga orang
itu memang akan menyusul kita biar sajalah mereka lakukan.
Kita tidak akan berkeberatan. "
Yang lainpun mengangguk-angguk. Mereka sepakat untuk
menempuh perjalanan kembali.
Demikianlah maka mereka berlimapun telah meneruskan
perjalanan, yang bagi Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan
Sabungsari adalah jalan kembali. Mereka masih menyusuri
sungai itu sampai pada satu saat nanti, mereka akan naik dan
menuju ketempat yang sudah disepakati oieh para prajurit
Mataram dibawah pimpinan Pangeran Singasari. Untuk itu
mereka harus mengenali isyarat yang sudah mereka
bicarakan di Mataram. Namun bagi Raden Rangga dan Glagah Putih, maka
mereka akan naik sejalan dengan jejak ular naga yang mereka
ikuti. Jika benar perhitungan mereka, sebagaimana dikatakan
oleh orang tua yang mencari ikan itu, bahwa sekelompok
orang yang mengikuti jejak ular naga itu adalah orang-orang
perguruan Nagaraga. Mereka tentu akan membuat padepokan
baru disekitar tempat ular naga itu bersarang.
" Mereka memang menganggap ular naga itu mempunyai
pengaruh atas perguruan mereka " berkata Kiai Gringsing.
" Karena itu, kita ikuti saja jejaknya " berkata Raden
Rangga. Kiai Gringsing tidak membantah. Baru jika kemudian
ternyata arah jejak itu berlawanan atau berbeda dengan
isyarat yang pernah mereka terima sebelumnya di Mataram,
maka barulah mereka akan mempersoalkannya.
Namun ternyata bahwa langkah mereka terganggu oleh
kehadiran orang-orang yang tidak mereka kehendaki
Ketajaman panggraita kelima orang itu, telah memaksa
mereka memperhatikan keadaan disekitar tempat mereka
menelusuri sungai itu. Ternyata bahwa mereka telah melihat meskipun masih
samar, beberapa orang yang mengikuti mereka dari atas
tebing sungai yang rendah.
Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih segera meyakini,
bahwa mereka tentu orang-orang Sapu Angin. Karena
itu, maka Raden Ranggapun berdesis " Agaknya mereka
adalah orang-orang yang aku katakan. Jika benar mereka
orang Sapu Angin, sebut namaku Wida dan Glagah Putih
dengan nama Pinta. "
Sabungsari tertawa. Katanya " Kenapa kalian tidak
menyebut nama kalian yang sebenarnya saja" "
" Sedikit bermain-main " jawab Raden Rangga.
" Tetapi apakah mereka juga telah menyebut diri mereka
yang sebenarnya" " bertanya Sabungsari.
" Agaknya begitu " Glagah Putihlah yang menjawab "
ternyata mereka berpesan, untuk menyebut perguruan Sapu
Angin. Karena itu setidak-tidaknya perguruan mereka adalah
benar-benar perguruan Sapu Angin seandainya nama mereka
bukan yang sebenarnya. "
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya " Mungkin
benar. Karena ada juga satu kebiasaan untuk dengan bangga
menyebut dirinya sendiri selengkapnya. Bukan hanya
namanya, tetapi juga nama ayahnya, kakeknya dan para
leluhurnya. " " Begitu" " Raden Rangga menjadi heran.
" Memang ada kebiasaan yang begitu " berkata Kiai
Gringsing " seseorang kadang-kadang kurang yakin akan
kebesaran dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan tumpuan
kebesaran masa lampau dari keluarganya. Misalnya Raden
dapat saja mengatakan. Aku adalah Raden Rangga. Putra
Panembahan Senapati, cucu dari Ki Ageng Pemanahan,
keturunan Kiai Ageng Sela yang mampu menangkap petir. "
" Sst " desis Raden Rangga " nanti orang itu mendengar.
Sudah aku katakan, bahwa aku bernama Wida, keturunan
petani penggarap sawah milik orang lain karena tidak
mempunyai sawah sendiri, cucu seorang pengembala
kambing yang pandai bermain seruling dan tongkat pring
gading. " Kelima orang itu tiba-tiba saja tertawa.
Ternyata bahwa suara tertawa Glagah Putih dan
Sabungsari agak terlalu keras, sehingga telah menarik
perhatian. Hampir bersamaan orang-orang yang berada diatas
tebing itu telah menjengukkan kepala mereka. Namun
pada saat yang bersamaan. Kiai Gringsing telah memandang
kearah mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi
bersembunyi. " Marilah Ki Sanak " berkata Kiai Gringsing " kami telah
menemukan dua orang anak muda yang agaknya mempunyai
bakat berceritera tentang lelucon. "
Ketiga orang itu tidak dapat mengendap lagi. Karena itu,
maka merekapun kemudian justru telah berdiri di atas tebing
Seperti yang diduga oleh Raden Rangga dan Glagah Putih,
maka mereka bertiga adalah memang orang-orang Sapu
Angin. Karena itu maka Raden Ranggapun berkata "-Nah,
itulah kalian. Jika demikian, maka bukankah aku tidak usah
mencari kalian" "
" Kau memang tidak sedang mencariku anak-anak muda.
Kau telah berjalan bersama-sama dengan tiga orang yang
agaknya tengah aku cari " jawab Kiai Damarmurti.
" O, begitu" Jadi benar yang aku katakan, bahwa aku
memang tidak akan mencarimu dan memberitahukan
kepadamu tentang ketiga orang yang kau maksudkan. Tetapi
akupun belum yakin, bahwa ketiga orang yang kau cari itu
adalah ketiga orang ini. " jawab Raden Rangga.
" Tetapi anak-anak muda. Kau jangan menyesal. Aku lah
yang sudah menemukanmu, bukan kau yang telah mencari
aku Karena itu, maka kalian telah terlibat dalam satu
persoalan dengan kami. " berkata Kiai Damarmurti.
Tetapi jawaban Raden Rangga ternyata tidak diduga oleh
orang itu " Bukankah sudah aku katakan, itulah yang aku
ingini. Nah, kalian mau apa" "
" Setan " geram Putut Pideksa " sejak semula aku sudah
ingin meremas mulutnya. "
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya
orang itu dengan tajamnya. Namun sebelum ia menjawab, Kiai
Gringsinglah yang bertanya " Ki Sanak. Apakah kalian
memang sedang mencari kami" "
" Ya Ki Sanak. Kami memang sedang mencari tiga orang
pengembara yang datang dari Barat. Mungkin dari Mataram
atau daerah disekitarnya. " jawab Kiai Damarmurti " nah,
apakah kalian orang-orang yang memang sedang kami cari
atau bukan. " " Mungkin Ki Sanak mempunyai tanda-tanda yang
memberikan ciri yang lebih jelas daripada yang hanya sekedar
tiga orang" " bertanya Kiai Gringsing.
" Ya Ki Sanak. Dari ketiga orang itu disebut bahwa dua
orang diantaranya sudah terlalu tua untuk satu
pengembaraan, sedang yang seorang memang masih cukup
muda. " jawab Kiai Damarmurti " namun yang lebih penting Ki
Sanak, apakah kalian memang pernah bertemu dengan
orang-orang dari perguruan Sapu Angin" "
" Ya " jawab Sabungsari dengan serta merta " kami telah
bertemu dengan murid-murid dari perguruan Sapu Angin. "
" Nah, jika demikian maka dugaan kami tentang kalian
bertiga benar " jawab Kiai Damarmurti " kami memang ingin
berbicara serba sedikit dengan kalian dalam hubungannya
dengan murid-murid dari perguruan Sapu Angin. Tetapi
sebelumnya kami mempunyai sedikit persoalan dengan kedua
anak muda itu. Kami akan menyelesaikannya lebih dahulu. "
" Urusan apa" " bertanya Kiai Gringsing.
" Mereka telah menolak perintah kami " jawab Kiai
Damarmurti. " Tetapi siapakah kedua anak muda itu" " tiba-tiba Ki
Jayaraga bertanya " apakah keduanya juga murid-murid
dari perguruan Sapu Angin. "
" Bukan " jawab Kiai Damarmurti " kami bertemu mereka di
alur sungai ini. " " Lalu, kenapa tiba-tiba saja timbul persoalan diantara
kalian" " bertanya Ki Jayaraga pula.
" Anak-anak itu sudah menghina kuasa perguruan Sapu
Angin. Mereka telah dengan sengaja menolak perintah kami "
jawab Kiai Damarmurti. " Aneh sekali " jawab Ki Jayaraga " mereka bukan anakanak
Sapu Angin. Karena mereka harus tunduk pada
perintahmu, orang-orang Sapu Angin. Apakah hakmu
menuntut kepada anak-anak itu agar mereka patuh
kepadamu" " Wajah Kiai Damarmurti menjadi merah. Dengan nada tinggi
ia bertanya " Apakah anak-anak itu anak-anak kalian" "
" Bukan " jawab Ki Jayaraga " itulah sebabnya kami tidak
merasa berhak memerintah mereka. "
" Kalian memang bukan orang- orang Sapu Angin " geram
Kiai Damarmurti " bagi orang-orang Sapu Angin pantang untuk
ditolak perintahnya yang diberikan kepada siapapun juga. "
" Juga kepada kami" " bertanya Ki Jayaraga.
" Jika kami sudah mengucapkan perintah, maka kalianpun
harus melakukannya. Tetapi kami mempunyai perhitungan
untuk mengucapkan perintah itu. Termasuk kepada kedua
orang anak-anak muda yang tidak sopan itu. " jawab Kiai
Damarmurti. Lalu " Semula aku memang tertarik kepada
sikapnya yang agak kurang sopan namun ber-terus-terang.
Tetapi lama-lama akupun menjadi muak. Mungkin aku
bersikap terlalu baik, sehingga disangkanya bahwa aku hanya
dapat bermain-main. "
" Sudahlah " berkata Kiai Gringsing " jika kalian
berkepentingan dengan kita, kita dapat berbicara dengan baik.
Kita dapat mencari tempat yang teduh. Kita dapat
berbicara dengan baik sebagaimana orang-orang tua
berbicara. " " Baiklah " berkata Kiai Damarmurti " aku akan berbicara
dengan Ki Sanak. Tetapi biarlah kedua adikku ini sedikit
memberi pelajaran kepada kedua anak muda itu sampai
mereka merasa jera dan minta ampun. Kecuali jika sejak
sekarang mereka minta ampun. "
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Mungkin ia akan
dapat memaksa Glagah Putih untuk minta maaf salah atau
tidak salah, namun tentu tidak kepada Raden Rangga.
Dalam pada itu. Kiai Damarmurti itupun telah membentak
pula " Cepat, minta maaf. Sebelum adik-adikku itu bertindak. "
" Senang sekali " tiba-tiba Raden Rangga meloncat ke
tepian berpasir yang luas " disini tempatnya cukup luas untuk
bermain-main. " " Anak itu " desis Kiai Gringsing. Ketika ia memandang Ki
Jayaraga maka dilihatnya orang tua itu menggelenggelengkan
kepalanya. " Kakang Pinta " panggil Raden Rangga yang ternyata tidak
melupakan nama yang diberikan kepada Glagah Putih " kita
dapat dua orang kawan bermain-main. Marilah, ambil seorang.
Aku seorang. Mereka akan mengajari kita untuk sedikit
bersopan santun. " " Itu tidak mungkin " Kiai Gringsing hampir berteriak " kalian
bertemu dengan ini. Tidak ada persoalan yang penting terjadi
diantara kalian. Kenapa kalian akan berkelahi" Bukankah itu
satu perbuatan yang gila-gilaan" "
" Jangan kebingungan begitu Ki Sanak " sahut Kiai
Damarmurti " sudah aku katakan. Aku tidak mau dihina oleh
anak-anak itu. Aku hanya akan memberikan sedikit pelajaran
kepada mereka agar mereka tidak menjadi semakin besar
kepala. " " Kau tidak berhak memerintah mereka " geram Kiai
Gringsing. " Jangan ikut campur " desis Kiai Damarmurti " sementara
adik-adikku memberikan pelajaran kepada kedua anak itu, kita
dapat berbicara tentang kepentingan kita sendiri. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya
orang yang ingin menghukum kedua anak muda itu sulit
dicegahnya. Sementara itu Raden Rangga dan Glagah Putih
sendiri agaknya seperti memancing persoalan pula.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Kiai Gringsing berkata " Jadi
kalian sudah tidak dapat dicegah lagi" Yang tua itu maupun
yang muda-muda" "
" Bukan salahku Kiai " berkata Raden Rangga " aku bukan
budaknya. Kenapa aku harus melakukan perintahnya" Lalu


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena aku menolak, maka ia akan menghukum aku. Nah,
bukankah bukan salahku jika aku mempertahankan diri" "
" Aku sudah berusaha untuk mencegah perkelahian yang
tidak berarti itu. Tetapi jika masih harus terjadi, maka apaboleh
buat " berkata Kiai Gringsing.
" Sudahlah " berkata Kiai Damarmurti " aku ingin berbicara
dengan kalian Ki Sanak. Biarlah anak-anak itu diselesaikan
oleh kedua adikku. Mungkin pembicaraan kita akan cukup
menarik. Baru kemudian biarlah kedua adikku ikut dalam
pembicaraan. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun
sebelum ia mengucapkan kata-kata. Kiai Damarmurti telah
melayang turun dari atas tebing diikuti oleh kedua adik
seperguruannya. Namun Putut Wiyantu dan Putut Pideksa
langsung menuju ketepian yang berpasir agak luas. Raden
Rangga memang telah menunggu mereka di tepian itu.
Kiai Damarmurti untuk sesaat masih memandangi adik
seperguruannya itu. Kemudian iapun mengangguk kecil. Satu
isyarat bagi kedua adik seperguruannya itu untuk
menghukum Raden Rangga dan Glagah Putih yang telah
mengaku bernama Wida dan Pinta.
Ketika Putut Wiyantu dan Putut Pideksa berjalan kete-pian
pasir yang lebih luas, maka Kiai Damarmurti justru berjalan ke
arah Kiai Gringsing. Namun Kiai Gringsinglah yang kemudian
telah melangkah sambil berkata " Aku tidak dapat membiarkan
perkelahian itu terjadi tanpa memperhatikannya. Karena itu,
jika kau ingin berbicara dengan kami, maka kau harus
menunggu sampai perkelahian itu berakhir. "
" Kenapa kau menjadi risau Kiai" " bertanya Kiai
Damarmurti " biarlah itu diselesaikan oleh kedua adikku. Atau
barangkali kedua anak-anak muda itu mempunyai sangkut
paut dengan Kiai" "
" Setiap orang mempunyai sangkut paut. Apalagi jika terjadi
keganjilan seperti ini, seolah-olah kau berhak melakukan
kekerasan sesuka hatimu kepada orang yang bukan budakbudakmu
" jawab Kiai Gringsing " untunglah bahwa anak-anak
itu mempunyai tanggapan khusus terhadap sikap kalian.
Apapun yang terjadi, namun keduanya tidak menjadi
ketakutan dan kehilangan akal karena sikap kalian. "
" Sudah aku katakan Kiai. Jangan dipersoalkan " berkata
Kiai Damarmurti " marilah kita berbicara. "
Tetapi Kiai Gringsing masih berbicara terus " Sedangkan
kepada hamba-hambanyapun seseorang harus tepa sarira.
Jika kau tidak mau diperlakukan seperti itu, jangan
memperlakukannya atas orang lain. "
" Cukup " bentak Kiai Damarmurti.
" Tidak " Kiai Gringsing menggeleng " aku akan
menyaksikan apa yang akan terjadi. Aku mempunyai alasan
dan jika perlu aku mempunyai bekal untuk mengambil
langkah-langkah. Aku tahu, kau tentu guru dari ketiga orang
murid Sapu Angin yang kembali ke padepokannya diantara
ampat orang yang berangkat. Tetapi aku kira ketiga orang
muridmu akan berbicara lain daripada
mengadu sebagaimana murid-murid dari perguruan lain.
Sebenarnya aku melihat kelebihan dari ketiga orang muridmu
dibanding dari beberapa perguruan yang aku temui. Namun
ternyata gurunya telah mengecewakan aku. Tetapi
seandainya demikian, apaboleh buat. "
Ki Jayaraga ter mangu-mangu. Jarang sekali ia mendengar
Kiai Gringsing yang tua itu berbicara cukup tajam seperti yang
diucapkannya itu. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar gelisah
menghadapi perkembangan keadaan. Bukan hanya karena
sikap adik-adik seperguruan dari Sapu Angin itu. Tetapi Raden
Rangga akan dapat berbuat terlalu jauh sebagaimana sering
dilakukannya. " Kiai Damarmurti juga menjadi termangu-mangu. Baginya
kata-kata Kiai Gringsing itu cukup tajam. Bahkan sudah
merupakan satu tantangan. Sikap orang tua itu agak berbeda
dengan keterangan tiga orang muridnya.
Karena itu, maka kedua orang anak muda itu memang
menjadi sangat menarik bagi Kiai Damarmurti. Agaknya kedua
anak muda itu memang mempunyai hubungan tertentu
dengan ketiga orang yang telah dikatakan oleh muridmuridnya
itu. Dengan demikian maka Kiai Damarmurti tidak berbicara
lebih banyak. Dibiarkannya Kiai Gringsing yang diikuti oleh Ki
Jayaraga dan beberapa langkah kemudian baru Sabungsari
mendekati arena. Sementara itu Kiai Damarmurtipun telah
melangkah mendekatinya pula.
Dalam pada itu, Raden Rangga sudah berdiri berhadapan
dengan Putut Wiyantu, sementara Glagah Putih sudah siap
menghadapi Putut Pideksa yang sudah lama menahan diri.
" Marilah Kiai " berkata Raden Rangga " silahkan menjadi
saksi. Aku tidak mau diperlakukan lebih rendah daripada
seorang budak meskipun aku hanya seorang petani kecil. Aku
akan menunjukkan kepada orang-orang Sapu Angin, bahwa
seorang petani kecilpun masih tetap mempunyai harga diri.
" Cukup " geram Putut Wiyantu " aku akan memberi tanda
pada bibirmu, bahwa kau adalah orang yang terlalu banyak
bicara. " Raden Rangga mengerutkan dahinya. Dengan heran ia
bertanya " Tanda apa yang dapat kau berikan pada bibirku" "
" Aku akan membelah bibirmu agar untuk selanjutnya kau
selalu ingat, bahwa bibirmu akan dapat mencelakakan-mu "
berkata Putut Wiyantu " atau barangkali akan lebih baik jika
aku memotong lidahmu. "
Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya " Kau seperti
orang-orang yang pernah aku temui. Jangan banyak bicara.
Orang-orang perguruan biasanya memang merasa dirinya
terlalu lebih baik dari orang lain, lebih pandai, lebih kuasa dan
lebih berhak menentukan. "
Putut Wiyantu benar-benar menjadi marah. Tangannyalah
yang dengan cepat sekali menyambar pipi Raden Rangga.
Namun Raden Rangga sudah memperhitungkannya.
Karena itu dengan gerak yang sederhana ia dapat
menghindari tangan Putut yang marah itu.
" Kau dapat merontokkan gigiku " desis Raden Rangga.
" Bukan hanya gigimu " geram Putut Wiyantu " aku akan
merontokkan lidahmu. "
Tetapi Raden Rangga tertawa semakin keras. Katanya "
Kau memang lucu. Ternyata kalian semuanya memang
senang bergurau. " Raden Rangga tidak sempat berbicara lebih banyak. Putut
yang benar-benar marah itu telah menyerangnya dengan
garangnya. Meskipun demikian suara tertawa Raden Rangga
masih menggema di tebing sungai yang rendah, itu,
Yang masih belum mulai adalah Putut Pideksa Ia sempat
memperhatikan Raden Rangga dan Putut Wiyantu
bertempur. Pada langkah-langkah pertama, Putut Pideksa dan
bahkan Kiai Damarmurti memang melihat, bahwa anak yang
menyebut dirinya bernama Wida itu memiliki kemampuan
untuk mempertahankan dirinya.
" Setan " geram Putut Pideksa " jadi dengan bekal
kemampuan seperti itu kalian mencoba melawan orang-orang
Sapu Angin" " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia berdesis " Soalnya bukan berapa besarnya bekal
kami. Tetapi bahwa kami harus mempertahankan harga diri
kami. " " Persetan " geram Pideksa " kalian memang terlalu
sombong. Jika kalian tidak menolak perintah kami, maka tidak
ada persoalan yang terjadi diantara kami. "
" Seandainya tidak ada perintah itu " desis Glagah Putih.
" Persetan " geram Putut Pideksa " bersiaplah. " Glagah
Putihpun telah tergeser pula. Namun iapun
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Demikianlah kedua anak muda itu telah bertempur
melawan dua orang Putut dari Sapu Angin. Pertempuran yang
semakin lama menjadi semakin garang.
Jika semula kedua Putut itu menganggap bahwa mereka
akan dengan cepat menyelesaikan tugas mereka, namun
ternyata bahwa mereka telah membentur kekuatan ilmu yang
tidak dibayangkannya sebelumnya.
Hal itu ternyata telah menarik perhatian Kiai Damarmurti
pula, sehingga iapun tiba-tiba saja telah terikat kepada
pertempuran di tepian itu.
Sementara itu. Kiai Gringsing sempat memperhatikan, Kiai
Damarmurti itu sendiri. Sekilas-sekilas ia memang sempat
melihat, bahwa penglihatan Kiai Damarmurti yang sebelah
agak cacat meskipun tidak semata-mata.
" Bagus Parapat " desis Kiai Gringsing.
Ia memang tidak mengenal dengan akrab orang yang
bernama Bagus Parapat, sebagaimana orang itu pun tidak
begitu mengenalnya, dan bahkan karena kebiasaan Kiai
Gringsing, maka orang itu memang tidak dapat mengenalnya.
Sementara Kiai Gringsing sendiri, pengenalannya memang
lebih condong pada mengenal namanya saja serta beberapa
hal yang sempat menarik perhatian.
Namun bahwa orang itu yang kemudian mewarisi
perguruan Sapu Angin adalah satu hal yang tidak diketahuinya
sama sekali. Persoalan itu adalah persoalan perguruan Sapu
Angin. Sementara Kiai Gringsing tidak banyak memperhatikan
perguruan itu kemudian. Dengan sengaja Kiai Gringsing tidak ingin mengungkit
persoalan perguruan Sapu Angin. Kecuali jika orang itu
memulainya. Namun perhatian Kiai Damarmurti benar-benar telah terikat
pada pertempuran yang telah terjadi. Seperti kedua Putut itu,
maka Kiai Damarmurti benar-benar tidak mengira, bahwa
kedua anak muda itu sampai sekian jauh masih mampu
mengimbangi kemampuan kedua Putut dari Sapu Angin itu.
" Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi" " bertanya Kiai
Damarmurti kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Putut Wiyantu yang bertempur .
melawan Raden Rangga telah semakin mengerahkan tenaga
cadangan didalam dirinya. Serangannya semakin lama
menjadi semakin cepat dan keras. Ia ingin segera
menjatuhkan lawannya dan memberikan tekanan agar anak
muda itu minta ampun kepadanya. Bahkan Putut Wiyantu
yang marah itu benar-benar ingin memberikan ciri pada tubuh
Raden Rangga agar menjadi peringatan baginya seumur
hidupnya, bahwa tidak ada orang yang dapat menentang
perintah orang-orang Sapu Angin.
Tetapi adalah kebetulan, bahwa lawannya adalah Raden
Rangga. Ki Jayaraga dan Sabungsaripun memperhatikan
pertempuran itu dengan saksama. Ia sudah tahu sebelumnya
serba sedikit tentang Raden Rangga dan juga tentang Glagah
Putih. Karena itu, maka iapun berharap bahwa kedua orang
Putut itu akan kecewa dengan sikapnya.
Sebenarnyalah sebagaimana dibayangkan oleh
Sabungsari. Kedua Putut itu tidak hanya kecewa, tetapi
semakin lama menjadi semakin bingung menanggapi kedua
anak muda itu. Apakah hanya untuk menghadapi anak-anak
muda itu mereka harus melepaskan ilmu mereka. Ilmu
perguruan Satu Angin, yang pada saat terakhir telah diketemukan
kembali ujudnya yang lengkap oleh Kiai Damarmurti.
Meskipun kedua Putut itu memiliki pula ilmu yang mengalir
dari sumber perguruan Sapu Angin, namun kemampuan
kedua Putut itu ternyata masih belum tuntas.
Meskipun demikian, jika keduanya mulai dengan
melepaskan kemampuan ilmunya yang meskipun belum
tuntas, tetapi cukup menggetarkan itu, maka kedua lawannya
tentu akan melakukan hal yang sama.
Namun ternyata hal itu masih belum dilakukan. Kedua
Putut itu masih bertumpu pada kekuatan cadangannya.
Namun meskipun baru dengan kekuatan cadangnya,
pertempuran itu telah menjadi semakin lama semakin sengit.
Mereka bergerak semakin cepat dan keras. Benturanbenturan
mulai terjadi dan serangannya datang silih berganti.
Tetapi yang ternyata masih berusaha menyesuaikan diri
adalah justru Raden Rangga dan Glagah Putih. Kedua Putut
itu terlalu yakin akan kemampuan mereka, sehingga mereka
menganggap kedua anak muda itu terlalu lemah.
Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, serta
keringatpun mulai mengalir ditubuh mereka, maka mulailah
kedua orang Putut itu dengan sungguh-sungguh menilai lawan
masing-masing. Putut Wiyantu yang dengan kecepatan yang sangat
tinggi berusaha untuk menembus pertahanan Raden
Rangga, beberapa kali justru harus membenturkan kekuatannya.
Pada saat-saat tertentu Raden Rangga memang tidak
menghindari serangannya. Tetapi justru berusaha
menangkisnya. Ketika dengan kekuatan cadangannya, Putut
Wi-yantu meloncat sambil menjulurkan kedua tangannya kedada
Raden Rangga, Raden Rangga memang tidak
mengelak. Tetapi ia telah menyilangkan kedua tangannya
untuk melindungi dadanya.
Sebuah benturan memang telah terjadi. Namun jauh dari
dugaan Putut Wiyantu. Raden Rangga tidak terlempar dan
jatuh berguling diatas pasir tepian, atau terlempar membentur
sebongkah batu. Tetapi ketika benturan itu terjadi, anak muda
itu tetap berdiri tegak ditempatnya. Seta-pakpun ia tidak
tergeser surut. Bahkan hanya dengan mengerahkan tenaga
cadangannya saja, Putut Wiyantu sendiri telah terguncang
karenanya. " Anak setan " geram Putut Wiyantu. Tiba-tiba saja ia
menggeram " Ternyata kau dengan sengaja telah memancing
persoalan. Kau memang ingin menunjukkan bahwa kau
termasuk anak muda yang berilmu. Tetapi justru dengan
demikian maka kau akan menyesal seumur hidupmu. "
Raden Rangga tertawa. Katanya " Aku tetap tidak mengerti
jalan pikiranmu. Kenapa kau menuduh kami memancing
persoalan. Bukankah kalian yang telah melakukannya. "
" Tutup mulutmu " geram Putut Wiyantu.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun berdesis " Kau semakin memuakkan Putut Wiyantu. Kau
tahu, bahwa dadaku justru hampir menjadi pecah karena aku


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan diri. Berpura-pura tertawa dan bermain-main dengan
sabar. Jika kau masih tetap seperti itu, maka akulah yang
akan mengakhiri pertempuran ini. "
Wajah Putut Wiyantu menjadi merah. Sementara itu Kiai
Gringsing yang mendengarnya menjadi berdebar-debar.
Bahkan iapun telah bergeser maju sambil berdesis "
Tidak adakah jalan lain yang dapat ditempuh. "
Kiai Damarmurti heran mendengar kata-kata mengancam
Raden Rangga. Nampaknya anak muda itu tidak bermainmain.
Tetapi Putut Wiyantu yang merasa dirinya memiliki bekal
ilmu dari perguruan Sapu Angin tiba-tiba saja telah menyerang
dengan cepatnya, menyapu dengan ayunan kakinya, namun
kemudian meloncat berputaran seperti badai yang mengamuk.
Raden Rangga merasakan desakan serangan lawannya,
lapun merasaKan, bahwa lawannya tidak sekedar
mempergunakan tenaga cadangannya. Namun Putut Wiyantu
telah mulai membuka kemampuan ilmunya.
Sementara itu Putut Pideksapun telah menjadi semakin
marah. Meskipun Glagah Putih tidak banyak berbicara, tetapi
seranganyalah yang datang dengan cepatnya. Susul
menyusul. Seperti seekor burung sikatan. Glagah Putih
menyambar lawannya dengan tangannya. Namun demikian
Putut Pideksa meloncat menghindar, maka Glagah Putih
itupun menggeliat. Tangannyalah yang terayun membuka.
Satu sambaran pada pundak lawannya. Tetapi Putut Pideksa
sempat membungkukkan badannya, tepat seperti yang
diperhitungkan oleh Glagah Putih. Pada saat yang demikian,
Glagah Putih meloncat dengan cepatnya. Tangannya sempat
menyambar tengkuk Putut Pideksa yang sedang
membungkukkan badannya itu.
Pukulan itu memang tidak terduga. Hanya karena daya
tahan yang sangat tinggi sajalah maka Putut Pideksa tidak
kehilangan keseimbangan seluruhnya. Meskipun demikian
Putut Pideksa itu harus menjatuhkan diri dan berguling
beberapa kali diatas pasir sebelum ia melenting berdiri.
Hampir saja ia justru membentur sebuah batu yang besar
yang memang berserakan disungai itu.
Dengan demikian maka Putut Pideksapun yakin, bahwa ia
tidak akan dapat menguasai lawannya tanpa mempergunakan
ilmunya. Karena itu, maka siapapun
lawannya, Putut Pideksa tidak mau lebih banyak
pertimbangan lagi. Ia harus menghancurkan anak muda yang
sombong itu. Kiai Gringsing ternyata juga melihat, bahwa pertempuran
itu telah meningkat ke tataran yang lebih gawat. Karena itu,
maka iapun berteriak sekali lagi " Cukup. Aku kira permainan
ini sudah cukup. Kalian telah terseret oleh arus perasaan
kalian masing-masing. Sedangkan persoalan yang
sebenarnya sama sekali tidak berarti apa-apa. Apakah pantas
bahwa persoalan yang tidak ada artinya itu harus
dipertengkarkan sampai pada tataran ilmu dari sebuah
perguruan yang besar" "
" Kiai " jawab Raden Rangga " sekali lagi. Bukan salah
kami. " Kiai Gringsinglah yang kemudian mendekati Kiai
Damarmurti sambil berkata " Kiai, hentikanlah adik-adik
seperguruanmu. " " Mereka justru harus menghukum anak-anak muda itu "
sahut Kiai Damarmurti. " Tetapi sudah kau lihat, bahwa hal itu tidak akan mudah
dilakukan oleh kedua adik seperguruanmu itu" Mereka harus
merambah sampai ke ilmu dari perguruan Sapu Angin "
berkata Kiai Gringsing. " Apaboleh buat " berkata Kiai Damamurti " tetapi keduanya
harus menjadi jera. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "
Apaboleh buat. Aku sudah berusaha untuk mencegah. "
Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Katanya "
Nampaknya Kiai sudah mengenal kedua orang anak muda itu
dan bahkan ilmunya. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya
" Bukankah kau juga melihat bahwa ilmunya akan dapat
mengimbangi ilmu adik-adik seperguruanmu" "
" Memang pada tataran itu " jawab Kiai Damarmurti.
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi.
Demikianlah kedua orang Putut dari Sapu Angin itu tengah
bertempur dengan sengitnya melawan dua orang anak muda
yang mengaku bernama Wida dan Pinta. Ilmu me-rekapun
semakin lama menjadi meningkat semakin tinggi.
Bahkan kedua Putut dari Sapu Angin itu telah sampai pada
tingkat ilmu yang dapat mereka capai pada perguruan Sapu
Angin. Masih belum pada ujud yang lengkap sebagaimana
dikuasai pada saat-saat terakhir oleh Kiai Damarmurti. Tetapi
mereka sudah memiliki kemampuan ilmu lebih baik dari muridmurid
perguruan Sapu Angin. Putut Wiyantu yang kemudian justru mulai terdesak oleh
Raden Rangga, telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambaran
tangannya bukan saja memiliki jangkauan yang lebih dari ujud
kewadagannya, tetapi sambaran anginnya ternyata memiliki
kekuatan yang menggetarkan. Ketika Raden Rangga masih
belum siap benar menghadapi ilmu itu, maka serangan Putut
Wiyantu yang meluncurkan prahara itu hampir saja sempat
melemparkannya. Tubuh Raden Rangga memang sudah tergetar. Tetapi
kakinya masih belum terangkat. Raden Rangga masih tetap
berjejak diatas tanah, sehingga meskipun angin yang keras itu
menghantamnya, tetapi Raden Rangga tidak terlepas dari
bumi. Dalam waktu yang cepat, Raden Rangga dapat mengatasi
kesulitannya. Bahkan iapun dengan cepat telah melenting,
menyerang dengan garangnya.
Putut Wiyantu mengumpat kasar. Bahkan katanya kepada
diri sendiri " Sebaiknya, aku tidak mengekang diri lagi.
Sebenarnyalah bahwa Putut Wiyantu memang sudah
bertekad untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Ia
sudah siap menyapu tepian itu dengan kekuatan angin yang
dapat dilontarkan dari hentakan tangannya. Meskipun angin
itu tidak sekuat dan berkemampuan mengguncang dan
menerbangkan sanggar padepokan Sapu Angin.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Putut Pideksapun telah
sampai pula pada satu tekad untuk menghancurkan Glagah
Putih. Itulah sebabnya, maka serangan-serangan-nyapun
kemudian datang membadai. Ketika Putut Pideksa itu
mengayunkan tangannya dari jarak beberapa langkah dari
Glagah Putih, maka hentakan angin yang dahsyat telah
meluncur dan menghantum kearah sasaran.
Untunglah bahwa Glagah Putih sempat melihat serangan
itu Dengan serta merta iapun telah meloncat dan menjatuhkan
dirinya diatas pasir tepian, sehingga serangan yang dahsyat
itu telah menghantam tebing yang tidak terlalu tinggi.
Ternyata beberapa bongkah batu padas yang melekat pada
dinding tebing itu telah berguguran.
" Bukan main " geram Glagah Putih. Dengan nada tinggi
iapun btrkata " Jadi kita akan bersungguh-sungguh Putut yang
perkasa. " " Menyerahlah. Berjongkoklah dan minta ampun. " geram
Putut Pideksa " nyawamu akan selamat, meskipun kau akan
mendapat hukuman yang pantas untuk kesalahan dan
kesombonganmu itu. "
Tetapi justru itu Glagah Putih telah mendapat kesempatan
untuk mempersiapkan diri. Ternyata Putut Pideksa sama
sekali tidak menduga, bahwa anak muda yang berdiri
dihadapannya itu adalah Glagah Putih, murid Agung Se-dayu
dan Ki Jayaraga, yang memiliki kemampuan menyadap
kekuatan api, air, udara dan berlandaskan kepada kekuatan
bumi yang kokoh. " Ki Sanak " berkata Glagah Putih " jika aku bertanya,
bukannya karena aku akan menyerah. Tetapi kita akan
menakar ilmu. Aku tidak akan ragu-ragu lagi menjawab
Serangan ilmumu yang nggegirisi itu dengan kekuatan ilmu
yang sama. " Putut Pideksa tidak menjawab. Tetapi sekali lagi tangannya
terayun. Kekuatan yang dahsyat telah meluncur mengarah ke
tubuh Glagah Putih yang berdiri ditepian.
Namun Glagah Putih telah bersiap sepenuhnya. Karena itu.
ketika serangan itu datang, iapun telah melenting dengan
tangkasnya menyamping. Namun bersamaan dengan itu,
iapun telah bersiap untuk menyerang pula.
Sekali lagi gumpalan-gumpalan batu padas berguguran
ditepian. Serangan Putut Pideksa telah menghantam tebing
yang tidak terlalu tinggi itu.
Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja Putut
Pideksa itu terkejut. Ia melihat sikap Glagah Putih yang berdiri
tegak dengan kaki renggang. Ketika kedua tangan Glagah
Putih terangkat, maka Putut Pideksa itu dengan naluri seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi melihat sebuah serangan telah
datang menyergapnya. Namun karena ia tidak menduga
bahwa anak muda itu juga memiliki kemampuan yang
demikian, maka Putut Pideksa terkejut.
Dengan tangkasnya maka Putut Pideksalah yang harus
meloncat menghindari serangan Giagah Putih.
Berbeda dengan serangan Putut Pideksa yang kemudian
dengan garang menghantam tebing, maka serangan Glagah
Putih seakan-akan tidak memberikan pertanda apapun juga.
Namun sebenarnyalah karena Putut Pideksa sedikit terlambat,
maka ia telah merasakan sentuhan serangan Glagah Putih.
Ternyata Glagah Putih telah mempergunakan panasnya api
untuk menyerang lawannya. Meskipun pada serangan
pertamanya Glagah Putih belum mengerahkan segenap
kemampuannya. Tetapi udara yang panas itu rasa-rasanya
telah membakar tubuh Putut Pideksa.
Ketika kemudian Putut Pideksa berdiri tegak beberapa
langkah dari tempatnya semula, terdengar ia mengumpat.
Betapa panasnya udara yang telah membuatnya bergetar.
Untunglah bahwa panas itu tidak cukup kuat membakar
pakaiannya. " Anak iblis " geram Putut Pideksa " Itulah sebabnya kau
berani menolak perintah kami. "
Glagah Putih yang berdiri tegak dengan kaki renggang
memandang Putut Pideksa dengan tajamnya. Dengan suara
datar ia berkata " Jika kau memang ingin bersungguhsungguh,
maka akupun akan bersungguh-sungguh. Kau tidak
dapat bertumpu kepada kakak seperguruanmu itu berbuat
tidak adil. Nah, karena itu kita akan berlandaskan kepada
kemampuan kita masing-masing. Kau dan aku, sementara
saudara seperguruanmu yang satu itu akan berperang tanding
melawan saudaraku. "
" Persetan " geram Putut Pideksa " aku tetap akan
menghancurkanmu. " Tetapi Glagah Putih telah benar-benar bersiap. Ia akan
melayani lawannya dengan ilmu yang ada pada dirinya. Ia
telah mewarisi ilmu Ki Sadewa sepenuhnya lewat sepupunya
Agung Sedayu, juga beberapa jenis ilmu Agung Sedayu
sendiri, kemudian ilmu yang diturunkan oleh Ki Jayaraga dan
dimatangkan dalam pergaulannya dengan Raden Rangga.
Karena itu, maka ia tidak merasa gentar menghadapi
kekuatan ilmu dari perguruan Sapu Angin itu, betapapun
dahsyatnya. Apalagi Raden Rangga yang bertempur dibagian lain dari
tepian berpasir itu. Beberapa saat kemudian, Putut Wiyantu
yang juga telah mengerahkan ilmunya, justru mulai
menghadapi kesulitan yang sungguh-sungguh. Raden Rangga
yang menjadi semakin muak melihat sikapnya, jauh
menekannya tanpa menghiraukan ilmu yang mampu di
iepaskannya. Dengan loncatan-loncatan yang ringan dan
cepat, Putut Wiyantu tidak pernah dapat mengenai
sasarannya. Namun Raden Ranggapun telah mulai
membalasnya dengan garangnya. Meskipun Raden Rangga
tidak dengan serta mengakhiri perlawanan Putut Wiyantu,
namun setiap kali Putut Wiyantu itu telah terlempar surut.
Seperti kebiasaan Raden Rangga yang meskipun mulai
dibakar oleh kemarahannya, namun ia masih juga sering
menunjukkan sikap yang aneh. Raden Rangga tidak
menyerang lawannya dengan Ilmunya sendiri. Tetapi ia telah
membentur serangan- serangan Putut Wiyantu yang dilontarkannya. Raden
Rangga tidak selalu menghindari serangan itu, tetapi tiba-tiba
timbul niatnya untuk menghalau serangan itu dengan
benturan. Ketika Putut Wiyantu melepaskan ilmunya yang garang,
maka Raden Ranggapun telah menahan serangan itu, dan
mendorongnya kembali. Putut Wiyantu terkejut bukan buatan. Tetapi tiba-tiba saja
serangannya itu telah berbalik, menghantamnya dan
melemparkan tanpa ampun. Untunglah bahwa Putut Wiyantu itu jatuh keatas pasir.
Beberapa kali ia berguling. Kemudian dengan cepat ia
berusaha untuk bangkit. Namun ternyata punggungnya menjadi bagaikan retak.
Beberapa saat lamanya ia berdiri termangu-mangu.
Sementara lawannya berdiri tegak tanpa berbuat apa-apa.
Sebenarnyalah Raden Ranggapun menjadi berdebardebar.
Ia pernah membentur dan memutar serangan orangorang
Nagaraga di Mataram. Akibatnya sangat mengerikan.
Kematian orang itu telah melemparkannya ke perjalanan
panjang yang masih belum kunjung berakhir.
Namun ketika orang itu dapat bangkit lagi, maka Raden
Rangga itupun menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang
setiap kali dikatakan oleh Glagah Putih, bahwa ia sudah terlalu
banyak membunuh. Bahkan kadang-kadang seperti orang
yang bermain-main saja dengan nyawa orang lain.
Putut Wiyantu yang kesakitan itu berusaha untuk berdiri
tegak. Dipandanginya Raden Rangga dengan tajamnya.
Sementara itu ia sempat melihat Putut Pideksa bergulingguling
menghindari serangan Glagah Putih. Namun dilihatnya
Putut itu menggeliat sambil menahan sakit oleh panas yang
serasa memanggangnya. Tetapi seperti Raden Rangga, maka Glagah Putih tidak
ingin membunuh lawannya, sehingga karena itu, ketika Putut
Pideksa itu berguling kedalam air untuk mengurangi


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan panasnya, Glagah Putih tidak mengejarnya
dengan serangan. Yang wajahnya menjadi panas oleh gejolak didalam dirinya
adalah Kiai. Damarmurti. Ia tidak dapat mengingkari
kenyataan yang terjadi itu. Kedua orang adik seperguruannya
memang tidak mempunyai kemampuan untuk menghukum
kedua orang anak muda itu. Bahkan dengan ketajaman
penglihatannya, maka ia harus mengakui bahwa kedua anak
muda itu memang memiliki kelebihan dari kedua adik
seperguruannya. Anak muda yang melawan Putut Wiyantu itu tidak mungkin
dapat dikalankan. Anak itu mampu membentengi dirinya
dengan ilmu yang luar biasa, yang bahkan mampu
memantulkan kekuatan ilmu lawannya. Semakin banyak Putut
Wiyantu menyerang, maka ia akan mengalami kesulitan
semakin parah. Sekali lagi saja ia menyerang dengan
kekuatan ilmunya maka kekuatan ilmu itu akan terpantul dan
melemparkannya kembali sehingga punggungnya akan benarbenar
menjadi patah. Apalagi jika anak muda yang menyebut
dirinya Wida itu mulai menyerang.
Demikian pula lawan adik seperguruannya yang bernama
Putut Pideksa. Nampaknya ia memiliki ilmu yang mampu
memanggang udara dan membuat Putut Pideksa seperti
orang kesurupan, membenamkan dirinya kedalam air.
*** Jilid 217 UNTUK beberapa saat lamanya Kiai Damarmurti termangu-mangu. Memang ada niatnya untuk berbuat sesuatu. la ingin menunjukkan kepada anak-anak muda itu bahwa kemampuan ilmu Sapu Angin bukan sekedar yang dilihatnya. Tetapi kekuatan ilmu Sapu Angin akan dapat memutar kedua anak muda itu dan melemparkannya tinggi keudara. Kemudian membantingnya jatuh keatas bebatuan yang berserakan.
Namun selagi ia termangu-mangu, Kiai Gringsing telah bertanya kepadanya, "Apa yang akan kau lakukan Ki Sanak?"
Kiai Damarmurti berpaling kearah Kiai Gringsing. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, "Bagaimana jika aku menunjukkan kepada kedua orang anak muda itu tentang kekuatan ilmu Sapu Angin yang sesungguhnya?"
"Tidak perlu Kiai. Sebaiknya kau peringatkan kedua adik seperguruanmu itu untuk menghentikan perterapuran. Kau tentu sudah mengetahui keseimbangan yang sebenarnya diantara mereka. Jika kau biarkan mereka bertempur terus, maka kemungkinan yang paling pahit akan dapat terjadi atas kedua saudara seperguruanmu. Kedua lawan mereka itu nampaknya masih sangat muda, sehingga mungkin pada suatu saat mereka tidak lagi sempat membuat pertimbangan nalar. Tetapi mereka hanya menuruti perasaannya saja. Nah, apa katamu jika kedua saudara seper"guruanmu itu terbunuh?"
"Aku akan membunuh keduanya." geram Kiai Da"marmurti.
"Kau anggap kami tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku hanya membalas saja." jawab Damarmurti.
"Buat penilaian, cepat. Sebelum kedua saudara seper"guruanmu itu mati. Siapakah yang bersalah dalam persoalan itu. Jika kau menganggap bahwa kedua anak muda itu yang bersalah, maka kami akan langsung ikut campur. Kami akan membunuhmu meskipun kau pemimpin perguruan Sapu Angin."
Wajah Kiai Damarmurti menjadi merah. Sementara itu ia berkata, "Jangan kau anggap kemampuanku seperti muridku yang telah kalian bunuh itu."
"Aku tahu bahwa Kiai Damarmurti adalah guru dan sekaligus pemimpin dari perguruan Sapu Angin." jawab Kiai Gringsing, "tetapi akupun akan mampu menilai, seberapa tinggi ilmu guru dan pemimpin dari sebuah perguruan yang murid-muridnya telah kami jajagi ilmunya. Apapun yang kau katakan, betapapun tinggi ilmu yang akan kau pamerkan, kau tidak akan dapat mengalahkan kami bertiga."
"Pengecut." geram Kiai Damarmurti, "aku kira kau akan menghadapi aku seorang lawan seorang."
"Baik. Marilah." berkata Kiai Gringsing, "kau akan mati bersama kedua muridmu."
Kiai Damarmurti termangu-mangu. Ia melihat Putut Pideksa yang basah kuyup sudah berdiri tegak. Tetapi ia tidak mau naik ketepian. Ia masih tetap berdiri di dalam air sungai yang mengalir tidak begitu deras itu. Sementara Putut Wiyantu sedang berusaha untuk mengurangi perasaan sakit pada punggungnya.
Raden Rangga dan Glagah Putih ternyata masih tetap menunggu. Gejolak di dalam dada mereka justru telah menurun ketika mereka melihat lawan mereka mesing-masing sudah tidak lagi akan dapat menentukan akhir dari pertera"puran itu. Apapun yang mereka lakukan, namun mereka berdua tidak akan mampu menguasai ilmu Raden Rangga dan Glagah Putih.
Meskipun demikian keduanya masih belum menyerah. Mereka masih memiliki satu kemungkinan. Mereka akan dapat mempergunakan dua macam kemampuan untuk melawan anak-anak muda itu. Selain sambaran angin yang dahsyat yang mampu menggugurkan batu-batu padas di tebing, mereka dapat mempergunakan pisau-pisau kecil me"reka yang dapat dilontarkan dengan kemampuan yang sangat tinggi. Mereka memiliki kemampuan bidik yang sangat tajam sehingga rasa-rasanya cicak di bumbunganpun akan dapat dikenainya dengan lontaran pisau itu.
Tetapi untuk mempergunakannya, mereka masih juga ragu-ragu. Anak-anak muda itu nanpaknya begitu meyakinkan, sehingga sebelum mereka mencobanya, rasa-rasanya pisaunya tidak akan banyak memberikan arti.
Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Kedua anak muda itu memiliki kemampuan yang tidak akan terlawan. Sementara kaupun tidak mempunyai kesempatan lagi. Jika ketiga muridmu masih hidup itu bukan karena mereka mam"pu mempertahankan diri. Demikian juga kedua saudara seperguruan itu dan kau sendiri."
Darah Kiai Damarmurti rasa-rasanya bagaikan mendidih di dalam jantungnya. Namun ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Apalagi apabila ia mengingat kata-kata ketiga muridnya yang masih tetap hidup.
Agaknya yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu me"mang benar. Ketiga murid Kiai Damarmurti itu masih tetap hidup bukan karena mereka mampu mempertahankan dirinya. Agaknya demikian pula kedua adik seperguruannya yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari murid-muridnya. Namun mereka tidak dapat mengatasi kemampuan kedua anak muda yang dijumpainya di tepian Kali Lanang itu.
Ketika Kiai Damarmurti itu memandang wajah tua Kiai Gringsing, nampak kerut merut yang memang sudah menjadi semakin dalam didahinya karena umurnya, menjadi tegang. Agaknya orang tua itu berkata dengan sung-guh-sungguh. Apalagi ketika ia sempat memandang sekilas wajah Ki Jayaraga dan Sabungsari. Orang yang termuda diantara ketiga orang yang telah menjajagi ilmu ketiga muridnya itulah yang nampaknya paling tidak sabar.
"Orang muda itulah yang dari matanya dapat memancar serangan yang mematikan." berkata Kiai Damarmurti di dalam hatinya.
Ketika Kiai Damarmurti itu sekali lagi memandangi kedua adik seperguruannya yang termangu-mangu, maka akhirnya iapun berkata, "Sudahlah. Kita maafkan saja kedua anak muda itu."
Tetapi belum lagi Kiai Damarmurti mengatupkan bibirnya, Raden Rangga telah menyahut, "Itu tidak perlu. Kami tidak pernah merasa bersalah. Kalian dapat memilih dua cara penjelasan. Kalian yang minta maaf kepada kami, atau kami membunuh kalian dengan cara kami. Jangan disangka bahwa kami tidak dapat melakukannya. Jika kalian tetap berkeras, tidak mau minta maaf, kami akan menghancurkan tubuh kalian sampai lumat dan menaburkannya di sungai itu."
Namun yang terdengar adalah suara Kiai Gringsing, "Sudahlah. Apakah artinya pertentangan yang berlarut-larut. Baiklah. Jika kalian berpegang pada harga diri dan tidak mau dipersalahkan. Aku berharap bahwa kalian dari kedua belah pihak saling minta maaf dan menganggap semua persoalan telah selesai."
Raden Rangga mengerutkar keningnya. Ketika ia berpaling kearah Glagah Putih, maka Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah. Siapakah yang berani mendahului dengan sikap seorang laki-laki saling memaafkan?" bertanya Kiai Gringsing.
Kiai Damarmurti sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak akan dapat memaksa anak-anak muda itu untuk minta maaf, apalagi anak-anak muda itu yakin bahwa me"reka memiliki kelebihan dari kedua saudara seper"guruannya itu.
Ternyata yang pertama-tama melangkah mendekati lawannya adalah Glagah Putih karena Ki Jayaraga mendesaknya, "Kenapa bukan kau?"
Meskipun demikian, namun yang diucapkan oleh Glagah Putih masih juga mengelitik perasaan lawannya, "Aku maafkan kau. Dan akupun minta maaf."
Putut Pideksa memandang Glagah Putih dengan tanpa berkedip. Namun ia memang tidak mempunyai kesempatan apapun juga. Karena itu maka iapun mengangguk sambil berdesis. " Ya."
"Ya, apa?" tiba-tiba Glagah Putih mendesak.
"Aku juga memaafkan kau." desisnya.
Sementara itu tiba-tiba saja Raden Rangga berkata nyaring. "Bagus. Seperti kanak-kanak. Seharusnya kita saling mengaitkan kelingking."
Wajah Glagah Putih dan Putut Pideksa memang men"jadi merah. Namun Kiai Gringsinglah yang menyahut, "Sudahlah. Jangan dipersoalkan lagi. Kita masih mem"punyai tugas berikutnya."
Dengan langkah yang tetap Raden Ranggapun mende"kati Putut Wiyantu sambil berkata, "Kita akan saling me"maafkan. Persoalan diantara kita akan kita akhiri sampai sekian."
Putut Wiyantu mengangguk diluar sadarnya. Sejenak Raden Rangga menunggu. Tetapi dari mulut Putut Wi"yantu tidak terucapkan kata-kata.
"Bagus." berkata Raden Rangga, "jika kau segan, kau tidak usah mengucapkannya. Tetapi kau sudah mengangguk."
Kiai Damarmurti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata akhir dari kesombongannya adalah justru menjerat dalam satu keadaan yang membuat jantungnya menjadi kecut. Betapa ia mampu memutar sangganya mengangkatnya dan melemparkannya. Namun dihadapan orang-orang yang baru dikenalnya lewat ceritera murid-muridnya itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Kiai Gringsing melihat kemurungan wajah Kiai Damar"murti itu. Rasa-rasanya seperti air yang tertahan oleh tanggul yang tinggi. Namun jika air itu menggelegak, maka agaknya sulit untuk dapat dikendalikannya. Bahkan mungkin akan dapat memecahkan tanggul jika tidak diberi saluran peluapan.
Karena itu, maka tiba-tiba Kiai Gringsingpun berkata, "Ki Sanak. Kemarilah. Jangan merasa dirimu terlalu kecil menghadapi keadaan seperti ini. Yang terjadi sama sekali tidak mengurangi kebesaran Perguruan Sapu Angin, ka"rena anak-anak muda yang telah menundukkan para Putut dari perguruan Sapu Angin adalah orang-orang yang memang sepantasnya berbuat demikian."
Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Kiai memang sudah mengenal mereka?"
"Ya. Itulah sebabnya aku berusaha untuk mencegahnya." berkata Kiai Gringsing.
"Siapakah mereka itu Kiai." bertanya Kiai Damar"murti, "dan siapa pula Kiai bertiga?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia berharap jika Kiai Damarmurti itu mengerti, dengan siapa kedua adik seperguruannya berhadapan, maka hatinya akan men"jadi tenang.
Tetapi Raden Rangga sendiri hampir saja mencegahnya. Namun akhirnya dibiarkannya Kiai Gringsing mengatakan tentang dirmya.
"Kiai Damarmurti." berkata Kiai Gringsing, "ketahuilah, bahwa anak muda yang bertempur melawan adik se"perguruanmu, Putut Wiyantu itu adalah putera Panembahan Senapati."
"Putera Panembahan Senapati?" Kiai Damarmurti sangat terkejut.
"Ya. Anak muda itu adalah putera Panembahan Sena"pati yang bernama Raden Rangga." jawab Kiai Gringsing.
"Yang seorang?" bertanya Kiai Damarmurti.
"Yang seorang adalah Glagah Putih. Adik sepupu dan sekaligus murid Agung Sedayu. Aku tidak tahu apakah kalian mengenal Agung Sedayu atau tidak. Namun yang barangkali kalian dapat langsung mengenalinya, guru yang lain dari Glagah Putih adalah Ki Jayaraga."
Kiai Damarmurti termangu-mangu. Namun kemudian Kiai Gringsingpun telah menunjuk Ki Jayaraga yang ber"diri beberapa langkah di sebelahnya.
"O" Kiai Damarmurti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa salah seorang dari ketiga orang yang pernah bertemu dengan murid-muridnya adalah seorang guru yang tentu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, ka"rena muridnya telah berhasil mengalahkan adik sepergu"ruannya. Menilik sikap Putut Pideksa, maka anak muda yang bernama Glagah Putih itu tentu memiliki kemampuan untuk memanfaatkan inti panasnya api.
"Apalagi gurunya." berkata Kiai Damarmurti di "dalam hatinya. Bahkan iapun merasa beruntung bahwa ia sendiri tidak melibatkan diri dalam pertarungan yang kurang seimbang itu. Jika ia sudah terlanjur memasuki pertempuran, maka ia hanya dapat keluar setelah nyawanya terlepas dari tubuhnya.
Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Sedangkan aku sendiri bernama Kiai Gringsing. Dan kemenakanku itu bernama Sabungsari."
Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Dan Kiai Gringsingpun melanjutkan, "Kiai, demikian besar nama perguruan Sapu Angin, maka sebenarnyalah aku telah mendengar serba sedikit tentang perguruan itu. Aku telah pernah pula mendengar nama Bagus Parapat, salah seorang diantara murid-murid perguruan Sapu Angin yang besar, yang kini ternyata mewarisi perguruan itu."
"Kiai." wajah Kiai Damarmurti menjadi tegang, "siapakah sebenarnya Kiai?"
"Kiai Damarmurti tidak usah mengetahuinya. Aku adalah orang yang sebagaimana aku katakan, bernama Kiai Gringsing." jawab Kiai Gringsing, "namun yang penting ingin aku tanyakan kenapa perguruan Sapu Angin yang besar itu telah terlibat dalam satu gerakan yang akan sangat merugikan Mataram" Aku sendiri bukan prajurit atau petugas sandi Mataram. Tetapi aku merasa lebih senang jika Mataram selalu dalam keadaan aman dan damai. Mataram yang sedang berusaha membangun diri itu harus mendapat dukungan dari seluruh rakyatnya yang tersebar dari ujung sampai keujung. Jika Mataram selalu saja bergejolak, maka bagaimana Mataram dapat membangun dirinya?"
Kiai Damarmurti menarik nafas daiam-dalam. Bahkan sambil mengangguk-angguk ia berkata, "pertanyaan Kiai memang masuk akal."
"Kita akan berbicara." berkata Kiai Gringsing, "karena kita sudah bertemu disini, biarlah kita berbicara disini. Aku masih mempunyai waktu beberapa hari lagi. Kepada murid-murid kiai aku memang mengatakan, mungkin aku akan singgah. Tetapi sudah barang tentu sesudah tugas-tugas kami selesai, karena menurut para murid dari Sapu Angin, Sapu Angin terletak di pinggir Bengawan Madiun didekat Alas Prahara."
Makam Bunga Mawar 5 Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Candle Light Dinner 1
^