Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 19

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 19


Kiai Damarmurti mengangguk-angguk, Kemudian diberinya isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk berkumpul.
Raden Rangga dan Glagah Putih masih berdiri saja termangu-mangu ketika kedua orang Putut itu berjalan dengan kepala tunduk mendekati Kiai Damarmurti. Bahkan Raden Ranggapun kemudian bertanya, "Bagai-mana dengan aku Kiai?"
"Marilah Raden. Silahkan." berkata Kiai Gringsing.
"O." Kiai Damarmurtilah yang kemudian meng"angguk hormat, "kami mohon maaf Raden. Semuanya kami lakukan karena kami tidak tahu siapa Raden sebe"narnya. Kamipun mengucapkan terima kasih, bahwa Raden tidak berbuat lebih jauh atas adik-adik seperguruanku itu. Karena jika Raden kehendaki, maka hal itu akan dapat terjadi menilik kemampuan ilmu yang Raden miliki."
"Sudahlah." berkata Raden Rangga, "agaknya aku memang harus mulai mempergunakan nalar."
Kiai Damarmurti mengangguk sambil berkata, "Ka"rena itulah maka kami mengucapkan terima kasih yang se-besar-besarnya."
Putut Wiyantulah yang agaknya masih berdebar-debar. Ternyata Putera Panembahan Senapati memiliki ilmu yang luar biasa. Itupun agaknya belum sampai pada tataran tertinggi ilmu yang dimilikinya.
"Apalagi Panembahan Senapati sendiri." berkata Putut Wiyantu di dalam hatinya.
Sedangkan Putut Pideksapun berkata kepada diri sen"diri, "Menilik orang-orang ini, maka semua perlawanan atas Mataram agaknya tidak akan berarti apa-apa selain kerusakan. Baik bagi diri sendiri maupun bagi orang banyak yang tidak mengerti ujung dan pangkal dari pergolakan yang mungkin timbul itu."
Beberapa orang yang bertemu ditepian itupun kemu"dian telah berkumpul dan duduk ditepian. Agaknya pembi"caraan yang dikemukakan oleh Kiai Gringsing masih menghindari tugas yang sedang diembannya, karena ia masih belum yakin sepenuhnya bahwa Kiai Damarmurti tidak akan mengganggu tugas itu.
Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah, "jadi benar Sapu Angin telah melibatkan diri sebagaimana dikatakan oleh murid-murid Kiai itu?"
Kiai Damarmurti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang ada kekuasaan di daerah Timur yang menghimpun kekuatan untuk menghadapi Mataram Biarlah hal ini aku katakan, karena agaknya bukan rahasia lagi bagi Mataram."
"Apakah Kiai dapat memberikan keterangan tentang hal itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Sapu Angin terlibat di dalamnya dan aku tidak ingin berkhianat meskipun mungkin Sapu Angin akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru setelah kami bertemu dengan Kiai Gringsing dan bahkan diantaranya adalah putera Panembahan Senapati sendiri." berkata Kiai Damarmurti.
"Agaknya Mataram sudah dapat memperhitungkan kekuasaan manakah yang akan mencoba untuk mengimbangi Mataram." berkata Kiai Gringsing, "Kami me"mang menghargai sikap Sapu Angin yang tidak ingin ber"khianat terhadap kekuasaan yang pernah menghubunginya Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa Sapu Angm tetap pada sikapnya untuk menentang Mataram, meskipun dengan pertimbangan-pertimbangan baru itu dapat Kiai artikan, cara yang akan ditempuh oleh Sapu Angin untuk menghadapi Mataram."
Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Gringsingpun menjadi semakin yakin pula, dengan siapa ia berhadapan. Namun agaknya orang yang menamakan dirinya Kiai Damarmurti itu sudah menjadi semakin mengendap, sehingga sikapnya sudah agak berbeda dengan sikap yang pernah didengarnya tentang Bagus Parapat.
"Kiai." berkata Kiai Damarmurti kemudian, "sebenarnya aku ingin minta Kiai singgah dipadepokan kami Mungkin kami dapat berbicara lebih panjang dan lebih bersungguh-sungguh. Tidak sekedar sebuah pembicaraan di pinggir Kali seperti ini."
"Sudah aku katakan kepada murid-muridmu. Aku berusaha untuk singgah kelak. Tetapi karena letak padepokanmu itu terlalu jatuh ke Timur, maka kemungkinan untuk singgah dan tidak agaknya sama besarnya. Namun satu permintaanku kepada Sapu Angin, jangan ikut-ikutan menentang Mataram. Sampai saat ini Mataram yang sedang membangun masih mengekang diri, tidak memper"gunakan kekuatan yang besar dan keras untuk mengendapkan niat beberapa orang pemimpin di daerah Timur ini. Seharusnya para pemimpin di daerah Timur ini menanggapi sikap Mataram bukan sebagai satu kelemahan."
Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Katanya, "Kami dapat mengerti. Kamipun dapat membayangkan bahwa di Mataram memang terdapat kekuatan yang cukup besar untuk menghadapi kekuatan di daerah Timur ini. Bahkan orang-orang yang berilmu tinggipun cukup banyak terdapat di Mataram. Tetapi agaknya satu peringatan yang penting bagi Mataram adalah, bahwa di daerah Timur, beberapa orang memiliki kelebihan yang agaknya sulit dicari imbangannya. Mungkin Panembahan Senapati sen"diri akan mampu mengimbanginya. Tetapi sampai berapa jauh kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Panembahan Senapati sendiri sebagai seorang pemimpin tertinggi di Mataram. Jika ia turun ke medan, berarti bahwa tidak ada orang lain lagi yang pantas diturunkan ke medan perang."
"Aku mengerti maksudmu." berkata Kiai Gringsing, "tetapi jangan lupa bahwa beberapa keluarga Panem"bahan Senapati yang memegang pimpinan sebagai Adipati di beberapa Kadipaten, adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Akupun ingin mengingatkan kepada para penguasa didaerah Timur, jika kau berkesempatan untuk ber"temu lagi dengan mereka, bahwa Adipati Pajang, Adipati Jipang, Demak dan lebi-lebih lagi Pati, adalah orang-orang yang jarang ada duanya di tanah ini. Sementara itu, bebe"rapa padepokan yang dilibatkan dalam rencana untuk melawan Mataram akan dapat dihadapi oleh beberapa lingkungan kecil di Mataram. Di Pajang dan dari Pati. Bebe"rapa Tanah Perdikan yang kuat dan bahkan orang-orang yang selama ini tersembunyi."
Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Tidak banyak gunanya kekuasaan di daerah Timur ini memanfaatkan kekuatan beberapa perguruan seperti Nagaraga, Watu Gulung, kini Sapu Angin dan mungkin ada beberapa kekuatan yang lain."
Kiai Damarmurti menarik naias dalam-dalam. Semen"tara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Untuk memenuhi kesediaan beberapa padepokan yang nampaknya justru paling bersaing itu, maka beberapa padepokan tidak segan-segan berhubungan dengan kelompok-kelompok orang yang disebut gegedug dan semacamnya."
"Agaknya memang begitu Kiai." berkata Kiai Damarmurti, "ternyata sudah banyak yang kalian ketahui. Karena itu, sekali lagi kami ingin mempersilahkan kalian singgah."
"Seperti yang sudah aku katakan. Satu kemungkinan. Tetapi aku tidak pasti." jawab Kiai Gringsing.
"Dan sekarang, apakah yang akan Kiai kerjakan?" bertanya Kiai Damarmurti.
"Tidak apa-apa. Kami hanya sekedar mencari Raden Rangga dan Glagah Putih." jawab Kiai Gringsing.
"Setelah bertemu?" bertanya Kiai Damarmurti pula.
"Beristirahat disini." jawab Kiai Gringsing.
Kiai Damarmurti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa Kiai Gringsing mengatakan, apakah keperluannya datang ke Timur.
Namun ternyata Kiai Gringsing itu berkata, "Kiai Damarmurti yang memimpin perguruan Sapu Angin yang sudah mempunyai nama sejak lama. Aku tetap berharap bahwa kau tidak melibatkan diri lebih jauh. Semisal seorang yang ingin menebang pohon yang besar, maka tentu akan dipotong dahan-dahannya lebih dahulu. Baru kemu"dian pokok barangnya akan dirobohkannya pula."
Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Kiai. Tugas Kiai sekarang agaknya juga dalam rangka memotong dahan-dahan kayu itu. Satu kerja yang bijaksana."
"Kau ingm mengatakan bahwa Mataram tidak mem"punyai kekuatan untuk langsung merobohkan batangnya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Bukan. Sama sekali bukan." jawab Kiai Damar"murti, "justru sebaliknya. Aku memuji kesabaran Panembahan Senapati. Sebagaimana orang-orangnya yang dikirimkannya untuk menyelesaikan tugas besarnya. Panem"bahan Senapati tidak nampak tergesa-gesa meskipun agak"nya Panembahan Senapati sudah banyak mengetahui tentang gejolak didaerah Timur ini, yang memang sudah mulai sejak waktu yang agak lama."
Kiai Gringsmg menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang menyebut dirinya Damarmurti ini sudah mau lebih banyak berpikir daripada mengikuti perasaannya.
"Kiai." berkata Damarmurti selanjutnya, "aku akan memikirkan pembicaraan ini Meskipun aku belum dapat mengatakan apa-apa."
"Terserah kepadamu." berkata Kiai Gringsing, "aku hanya memberikan bahan-bahan pertimbangan."
Kiai Damarmurtipun kemudian telah minta diri untuk meninggalkan tempat itu bersama adik-adik seperguruannya. Meskipun nampaknya ia cenderung untuk melepaskan diri dari ikatan yang pernah dibuatnya dengan kekuasaan beberapa orang Adipati didaerah Timur namun ternyata bahwa sisa-sisa kesombongannya masih ada pada orang yang menyebut dirinya Kiai Damarmurti itu.
Untunglah bahwa Glagah Putih sempat melihat serangan itu. Dengan serta merta iapun telah meloncat dan menjatuhkan dirinya diatas pasir tepian, sehingga serangan yang dahsyat itu menghantam tebing yang
"Hampir saja." desis Raden Rangga setelah Kiai Damarmurti pergi.
"Kesombongannya masih melekat di hatinya" sahut Kiai Gringsing, "tetapi ia sudah banyak sekali berubah. Meskipun dengan sombong ia masih merasa harus diturut perintahnya oleh setiap orang, namun kenyataan-kenyataan yang terjadi atas padepokannya, murid-muridnya, adik-adik seperguruannya dan dirinya sendiri telah banyak merubah sikapnya. Aku tadi merasa cemas bahwa Kiai Damarmurti masih akan bertahan dalam kesombongannya dan tidak membiarkan adik-adik seperguruannya menghentikan perlawanan."
"Nah." berkata Sabungsari kemudian, "rasa-rasanya aku dapat bernafas sekarang. Hampir saja aku tidak dapat menahan diri melihat sikapnya."
Ki Jayabaya tersenyum. Katanya, "menurut Kiai Gringsing orang itu sudah banyak berubah. Aku tidak tahu, apa yang dilakukannya sebelum perubahan itu terjadi."
"Ia bukan orang yang baik." berkata Kiai Gringsing, "namanya memang sudah cacat. Tetapi agaknya pengalamannya telah banyak mengajarinya, bagaimana ia harus berhadapan dengan kehidupan. Barangkali ia juga sudah menemukan semacam kepercayaan kepada diri sendiri se"hingga ia tidak terlalu tergila-gila untuk menutupi kekurangannya sebagai georang pemimpin perguruan Sapu Angin yang besar."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Akupun menilai bahwa orang itu akan benar-benar memikirkan pendapat yang Kiai berikan tadi. Bahkan mungkin sebenarnya ia sudah meyakininya, bahwa apa yang diakukannya tidak berarti apa-apa. Apalagi bahwa ia dapat menangkap dan mengerti bahwa Mataram sekarang sedang memotong dahan-dahan dari batang yang akan ditebangnya."
Namun tiba-tiba Kiai Gringsing berkata, "Marilah. Kita tidak tahu apakah Kiai Damarmurti akan menemui orang-orang Nagaraga. Mungkin Kiai Damarmurti memperhitungkan, bahwa kehadiran kita disini ada hubungannya dengan usaha untuk memotong perguruan Nagaraga yang kuat dari keterlibatannya."
"Tetapi aku kira Kiai Damarmurti tidak akan berbuat demikian. Justru ia akan merasa kehilangan saingannya jika Nagaraga dihancurkan." berkata Ki Jayaraga.
"Tetapi kita memang wajib memperhitungkan segala kemungkinan." sahut Sabungsari, "karena itu, setelah kita bertemu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih, maka sebaiknya kitapun mendekati sasaran."
"Kita akan mengikuti jalur Kali Lanang." berkata Raden Rangga, "menurut keterangan orang tua yang sedang mencari ikan itu, orang-orang Nagaraga mengikuti arah kepergian seekor ular naga."
"Ya." jawab Kiai Gringsing, "kita akan mengikutinya. Tetapi sampai tempat tertentu, kita akan berkumpul dengan orang-orang lain yang berangkat bersama-sama dari Mataram."
"Entahlah." desis Raden Rangga, "tetapi yang penting kita berjalan sekarang."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih berharap bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih masih akan dapat dikendalikannya.
Demikianlah merekapun melanjutkan perjalanan meng"ikuti jalur sungai searah dengan arus. Meskipun tidak jelas, namun mereka masih dapat melihat jejak seekor ular naga yang menelusuri sungai itu. Iring-iringan yang kemudian menjadi lima orang itu bergerak perlahan-lahan ditepian berpasir dan diantara batu-batu berserakan.
Kiai Gringsing yang mendapat beberapa keterangan tentang padepokan Nagaraga itupun sempat menyampaikannya pula kepada Raden Rangga. Namun agaknya Raden Rangga lebih senang terhadap penemuannya sendiri, sehingga iapun berkata, "Kiai, ternyata tanpa petunjuk itu, kami berdua sudah menemukan arah menuju keperguruan Nagaraga. Seandainya Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari tidak kemari, maka akupun akan berhasil menunaikan tugas ini sebagaimana diperintahkan oleh ayahanda."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Ya Raden. Agaknya Raden memang akan berhasil. Sebentar lagi Raden akan menemukan padepokan itu, yang sudah Raden dapatkan arahnya hampir pasti. Namun kami mengemban tugas lain, Raden. Kami tidak sekedar bertugas untuk me"nemukan padepokan Nagaraga. Tetapi kami harus memo"tong salah satu dahan sebagaimana aku katakan."
"Dengan sekelompok prajurit?" bertanya Raden Rangga.
"Ya. Dengan sekelompok prajurit." jawab Kiai Gringsing, "karena menurut keterangan yang kami dapatkan, orang-orang Nagaraga memang mempunyai Kekuatan yang cukup."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira keterangan itu benar. Ketika aku menemukan bekas padepokannya yang lama, maka nampak bahwa padepoKar itu adalah sebuah padepokan yang besar. Jauh lebih besar dari padepokan-padepokan yang pernah aku lihar sebelumnya. Agaknya di Nagaraga memang terdapat kekuatan yang besar. Menilik susunan padepokannya, maka aku kira di padepokan Nagaraga terdapat sebuah perguruan berjenjang."
"Maksud Raden?" bertanya Kiai Gringsing.
"Seorang yang dianggap paling tinggi kedudukannya adalah gurunya sekaligus pemimpin padepokan itu. Ke"mudian beberapa orang muridnya mempunyai murid-murid mereka sendiri. Di tataran yang paling bawah adalah para cantrik. Mungkin, para cantrik itu tidak lebih dari pekerja-pekerja. Tetapi agaknya para cantrik itu juga mendapat tuntunan olah kanuragan, sehingga mereka mempunyai kemampuan dasar untuk melakukan tugas-tugas yang berujud kekerasan." jawab Raden Rangga.
Giagah Putih mengerutkan keningnya. Darimana Raden Rangga dapat mengambil kesimpulan seperti itu. Ketika mereka melihat bekas padepokan itu, maka mereka hanya melihat beberapa bagian saja, terutama bagian depan. Pendapa yang masih kokoh. Tiang-tiang yang berukir dengan ciri-ciri yang dapat dihubungkan dengan ciri-ciri orang-orang Nagaraga. Tetapi mereka sama sekali tidak
melihat susunan sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga itu.
Karena itu, maka Glagah Putihpun bertanya, "Raden. Kenapa Raden tidak memberitahukan kepadaku atas kesimpulan Raden itu pada saat kita berada di padepokan itu."
Raden Rangga justru termangu-mangu. Sejenak ia berpikir. Lalu katanya, "Bukankah kita mempersoalkannya pada waktu itu?"
"Maksud Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Bukankah kita sempat melihat bagian-bagian yang terpisah di padepokan itu. Semacam padepokan-padepokan yang lebih kecil yang seakan-akan terpisah yang satu dengan yang lain?" jawab Raden Rangga, "bukankah kita melihat sebuah sanggar yang besar yang ada di tengah-tengah padepokan itu. Namun juga di setiap bagian dari pa"depokan itu terdapat sanggar-sanggar kecil. Kemudian se-akan-akan di bagian belakang dari padepokan itu kita melihat sebuah sanggar terbuka. Sanggar yang dapat dipergunakan untuk mengadakan latihan bersama dalam jumlah yang banyak?"
"Kapan kita melihatnya itu semuanya Raden" Bukan"kah kita waktu itu tergesa-gesa. Kita memang melihat beberapa bagian dari padepokan itu. Kita memang melihat beberapa ekor ular yang menyusup diantara reruntuhan dan tetumbuhan liar yang kemudian tumbuh di seluruh padepokan itu. Memang kita dapat membayangkan padepo"kan itu sebagai sebuah padepokan yang besar. Tetapi kita tidak melihat sampai kebagian-bagian yang kecil itu Raden. Kita tidak melihat sanggar yang besar, kemudian sanggar-sanggar yang lebih kecil dan sanggar terbuka sebagaimana Raden katakana." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga menjadi bingung. Dipandanginya Gla"gah Putih dengan tatapan mata yang aneh. Lalu katanya, "Aku tidak mengerti. Glagah Putih. Apakah kau demikian cepat melupakan apa yang baru saja kita lihat. Seakan-akan baru tadi malam kita melihatnya. Dan sekarang kau sudah tidak mengenalinya lagi."
Glagah Putihpun menjadi bingung seperti Raden Rang"ga.
Ternyata bukan hanya Raden Rangga dan Glagah Pu"tih yang menjadi bingung. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari menjadi heran pula. Raden Rangga itu tidak pernah terpisah dari Glagah Putih menurut ceritera mereka berdua. Namun mereka dapat mempunyai penglihatan dan pengalaman yang berbeda. Menilik sikap, sorot mata dan kata-kata mereka, maka kedua-duanya menunjukkan sikap yang jujur dan tidak dibuat-buat. Merekapun tidak sedang berkelakar, meskipun hal seperti itu sering dilakukan oleh Raden Rangga.
"Memang aneh." berkata Kiai Gringsing, "bagaimana mungkin kalian berdua mempunyai penglihatan yang berbeda atas padepokan itu. Tetapi apakah kalian memilih sasaran yang berbeda saat kalian memasuki bekas padepok an itu?"
"Tidak." jawab Glagah Putih, "kami selalu berdua."
"Ya. Kami selalu bersama-sama." jawab Raden Rang"ga.
Ki Jayaraga menggeleng-gelengkan kepalanya Kata"nya, "Apakah padepokan itu kemudian dipergunakan oleh sekelompok siluman yang mampu memberikan penglihatan yang berbeda terhadap kalian berdua di padepokan itu?"
Raden Rangga benar-benar merasakan sesuatu yang aneh telah terjadi. Demikian pula Glagah Putih. Ia sama sekali tidak melihat apa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu secara terperinci. Jika Raden Rangga sekedar mengira-irakan bangunan yang nampak memang mungkin. Tetapi tentu tidak demikian jelas.
"Raden." berkata Kiai Gringsing kemudian, "kapan Raden melihat keseluruhan bangunan padepokan Nagaraga itu?"
Raden Rangga mulai berpikir dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia bertanya kepada Glagah Putih, "Kapan kita pergi ke padepokan itu" Rasa-rasanya baru semalam aku melihatnya."
"Bersama aku?" jawab Glagah Putih.
Raden Rangga tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kiai. Aku sekarang mulai dapat membedakan. Ternyata aku melihat padepokan itu dua kali. Sekali aku melihat bersama Glagah Putih dan mengenali padepokan itu sebagai padepokan Nagaraga. Aku dan Glagah Putih melihat ihat pendapa yang masih berdiri dengan kokoh. Ukiran pada tiangnyalah yang memberikan ciri bahwa padepokan itu adalah padepokan Nagaraga. Aku dan Glagah Putih memang melihat pula beberapa ekor ular yang menjalar, ada yang kecii tetapi ada yang juga besar."
Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, "tetapi kemudian aku melihatnya sekali lagi. Memang baru semalam. Agak"nya aku telah melihatnya di dalam mimpi. Padepokan sebagaimana pernah aku lihat bersama dengan Glagah Putih. Tetapi serasa aku melihatnya sampai ke segala sudut padepokan itu. Aku melihat segala-galanya. Juga bersama Glagah Putih."
Orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam Sementara Glagah Putih sendiri mengangguk-angguk kecil. Namun Glagah Putih itupun berkata di dalam hatinya, "Kadang-kadang aku sering terlibat dalam mimpi Raden Rangga, Tetapi kali ini aku benar-benar tidak tersentuh oleh mimpi Raden Rangga itu."
Demikianlah, maka Raden Ranggapun telah menjelaskan mimpinya yang seakan-akan bersungguh-sunggu. Ia melihat bagian-baian dari padepokan itu sampai ke bagian belakang yang luas.
Sambil mengangguk-angguk, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Raden, Memang ada mimpi yang tidak berarti apa-apa, tetapi ada juga mimpi yang merupakan ujud dari hasil daya pikir yang tajam. Mungkin Raden selalu meng ingat-ingat ujud padepokan itu dan mereka-reka bagian-bagian yang ada di dalamnya. Hasilnya sebuah bayangan tentang ujud padepokan itu dalam keseluruhan. Namun ada juga mimpi yang seakan-akan merupakan isyarat atau semacam penglihatan batin yang sangat tajam."
"Ya. Kiai benar. Dan sekarang kita tidak tahu, termasuk jenis mimpi yang mana mimpiku itu." berkata Raden Rangga.
"Kita akan meiihat ujud padepokan itu nanti dari ba"gian luarnya. Tentu saja dengan diam-diam agar tidak diketahui oleh para penghuninya. Mungkin kita akan dapat mengambil kesimpulan apakah mimpi Raden Rangga dara-dasih atau tidak."
"Kiai." berkata Glagah Putih, "mimpi-mimpi Raden Rangga sampai saat ini merupakan dunia tersendiri. Ka-dang-kadang bersentuhan dengan dunia kewadagan ini, te"tapi kadang-kadang memang tidak."
"Karena itu, kita masih akan melihatnya kelak." ja"wab Kiai Gringsing.
"Baiklah Kiai." berkata Raden Rangga, "kita akan melihatnya kelak."
Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, "Tetapi bagaimana dengan Senapati dari para prajurit yang bertugas sekarang ini?"
"Pamanda Raden, Pangeran Singasari?" bertanya Kiai Gringsing.
"Maksudku, apakah sikap pimpinan para prajurit itu akan dapat sejalan dengan rencana kita?" bertanya Raden Rangga pula.
"Kita tentu harus membicarakannya." jawab Kiai Gringsing, "jika kita dapat meyakinkannya, maka tentu ti"dak akan ada keberatannya sama sekali."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun berdesis, "Aku mengenal sifat-sifat pamanda Pangeran Singasari. Seorang Senapati yang keras hati dan sulit untuk berpikir."
"Sedangkan Raden sendiri?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum sambil berkata, "Sudah aku katakan. aku sudah mulai berpikir. Sebenarnya aku bukannya tidak dapat ber"pikir. Tetapi kesempatan untuk berpikir kadang-kadang datang terlambat, sehingga sesuatu terjadi, baru aku mulai berpikir."
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun terse"nyum.
Namun Sabungsaripun berkata, "Kadang-kadang memang demikian Raden. Akupun sering merasa bahwa kesempatan untuk membuat pertimbangan nalar itu datangnya terlambat."
"Nah, bukankah aku tidak sendiri." berkata Raden Rangga kemudian.
"Tetapi sebaiknya kalian mulai mempergunakan nalar sebaik-baiknya." berkata Kiai Gringsing, "namun aku ti"dak tahu, apakah Pangeran Singasari sudah mulai berpikir atau belum sekarang ini. Mudah-mudahan penalarannya menjadi semakin tajam dibanding dengan perasaanya."
Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berjalan semakin jauh menyusuri sungai kearah hulu. Di beberapa tempat mereka memang tidak lagi melihat bekas jejak ular itu. Namun tiba-tiba mereka sempat mengenalinya kembali.
Demikianlah mereka mempergunakan hari itu untuk mencapai jarak yang sejauh-jauhnya. Waktu mereka me"mang tinggal sedikit. Mereka sudah harus mendekati tem"pat yang sudah disepakati sesuai dengan ancar-ancar yang pernah mereka dapatkan di Mataram.
Namun menurut perhitungan Kiai Gringsing, mereka masih belum memasuki hari terakhir, sehingga setidak-tidaknya mereka masih mempunyai waktu yang cukup un"tuk mencapai tempat yang ditentukan itu.
Dalam pada itu, maka sesuai dengan keterangan yang mereka terima maka jejak ular itu pada suatu saat tidak lagi nampak di sungai itu. Tetapi mereka melihat jalur yang memberikan isyarat bahwa ular naga yang mereka telusuri itu naik keatas tebing dan kemudian bergerak menyusuri padang perdu.
Bekas yang mereka ikuti itu seakan-akan telah hilang sama sekali. Namun agak jauh dihadapan mereka terdapat gumuk-gumuk kecil. Menurut keterangan yang diperoleh di Mataram, maka mereka memang akan berkumpul di sekitar sebuah gumuk diantara gumuk-gumuk kecil itu, yang dindingnya agak keputih-putihan. Di depan dinding tegak yang menghadap ke Barat, para perwira dari Mataram itu akan berkumpul.
"Mungkin ular itu memang menuju ke gumuk-gumuk kecil itu." berkata Raden Rangga.
"Mungkin." sahut Kiai Gringsing, "tetapi wajar sekali jika jejaknya sudah hilang sama sekali. Ular itu memang sudah agak lama berpindah tempat. Seandainya di sepanjang sungai itu tidak banyak terdapat bebatuan dan kita memang belum mendapat keterangan bahwa ular itu memang menelusuri sungai dan kemudian memanjat naik, kita tidak akan segera dapat mengenali jejak yang hampir terhapus itu."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, "Bagaimana dengan orang-orang Nagaraga" Jika kita memperkirakan padepokan mereka berada diantara be"berapa gumuk kecil itu, maka kedatangan kita tentu akan diketahuinya."
"Raden" berkata Kiai Gringsing, "kita sepakat, bahwa kita akan mendekati tempat itu hanya dimalam hari. Sementara itu, padepokan Nagaraga berada di ujung se"buah hutan. Kita harus menemukan tempat itu. Didekatnya terdapat sebuah goa tempat seekor ular naga bersembunyi. Ular naga yang dianggap dapat memberikan kekuatan dan kelebihan bagi orang-orang Nagaraga."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Agaknya mereka memang harus mencari. Meskipun demikian, lingkungan pencaharian itu sudah dibatasi, tidak sebagaimana saat-saat ia harus berangkat ke Timur yang sama sekali tidak dibekali keterangan apapun juga.
Namun mereka akan bertemu di tempat yang ditentukan dan mereka hanya akan mendekati tempat itu dimalam hari, agar tidak mudah terlihat oleh orang-orang Nagaraga. Karena itu, maka mereka harus memperlambat perjalanan mereka. Gumuk-gumuk kecii itu sudah nampak mes"kipun masih cukup jauh. Dengan demikian mereka akan berada di padang perdu untuk menghabiskan sisa hari itu.
Namun agaknya Raden Rangga memang sudah mulai berpikir. Dipadang perdu itu, ia tidak melakukan hal-hal yang aneh-aneh sehingga akan dapat memancing perhatian orang lain. Semuanya akan mengalami kesulitan jika seandainya hal yang sudah aneh-aneh itu dapat dilihat oleh orang-orang Nagaraga.
Ketika kemudian senja turun, mereka berlimapun telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Sebelum gelap mereka sekali lagi memandang arah gumuk-gumuk kecii yang akan mereka dekati.
Ternyata bahwa merekapun harus berhati-hati. Bebera"pa ratus tonggak sebelum mereka sampai ke tempat yang mereka tuju, maka kelima orang itupun berhenti. Kemudian Kiai Gringsing telah memerintahkan Sabungsari dan Gla"gah Putih untuk melihat-lihat, apakah mereka berada di jurusan yang benar.
Namun sebelum keduanya menjawab, Raden Rangga berkata, "Kenapa bukan aku saja" Biarlah aku pergi ber"sama Glagah Putih."
"Tetapi Raden harus sangat berhati-hati." berkata Kiai Gringsing.
Raden Rangga tertawa. Katanya, "Baik Kiai. Aku akan berhati-hati sekali."
Demikianlah, maka yang kemudian mendahului kelompok kecii itu untuk melihat-lihat sasaran adalah Raden Rangga dan Glagah Putih.
Sebenarnyalah bahwa mereka menemukan beberapa ciri yang dikatakan. Bahkan ternyata ditempat yang disebut oleh Kiai Gringsing telah nampak beberapa orang berkumpul.
"Mereka agaknya adalah prajurit-prajurit dari Ma"taram." bisik Raden Rangga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dari sela-sela batu padas mereka melihat agak di bawah, orang-orang yang agaknya sedang beristirahat.
"Kita laporkan kepada Kiai Gringsing." desis Raden Rangga perlahan-lahan.
Keduanyapun kemudian merangkak surut. Dengan sa"ngat berhati-hati agar tidak menimbulkan salah paham, maka keduanya meninggalkan tempat itu. Seperti saat me"reka mendekat, maka merekapun menyelinap diantara gerumbul-gerumbul perdu dan batu-batu padas.
Demikian mereka kembali ketempat Kiai Gringsing menunggu, Raden Rangga berkata, "Kiai, dihadapan dinding tegak yang agak keputih-putihan itu memang sudah ber"kumpul beberapa orang. Mungkin mereka adalah orang-orang Mataram menilik sikap dan tingkah laku mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, kitapun akan pergi ketempat itu. Meskipun de"mikian kita harus tetap berhati-hati. Banyak kemungkinan dapat terjadi, karna kita memang sudah berada dilingkungan padepokan yang kita cari."
Ki Jayaraga yang sudah bersiap itupun berkata, "Kiai, kita rarus tetap menyadari, bahwa Nagaraga telah terkait dengan satu rencana besar menghadapi Mataram."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Memang Ki Jayaraga. Nagaraga tidak berdiri sendiri, sebagaimana Watu Gulung dan Sapu Angin serta tentu ada beberapa padepokan yang lain. Disamping itu, persoalan yang terjadi antara daerah Timur dan Mataram ini telah menyangkut beberapa Kadipaten."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Agaknya awan yang telah membentang diatas Madiun semakin lama menjadi semakin tebal. Jika angin tidak bertiup menghembus awan itu ke laut, maka akan terjadi pertumpahan darah antara Mataram dan beberapa Kadipaten di daerah Timur.
Sementara itu maka Kiai Gringsingpun berkata, "Ki Jayaraga. Kita memang sedang memotong dahan-dahannya sebelum menumbangkan batang."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil sambil bergumam, "Meskipun tugas memotong dahan-dahannya itu tidak lebih mudah dari menebang batangnya. Kiai, jika hubungan antara padepokan ini dengan Madiun menjadi se"makin akrab, maka mungkin Madiun tidak akan membiarkan padepokan Nagaraga mengalami kesulitan."
"Maksud Ki Jayaraga, mungkin di padepokan itu juga terdapat para prajurit atau kekuatan lain dari Madiun, justru setelah Nagaraga gaga membunuh Senapati?" ber"kata Kiai Gringsing.
"Begitulah. Ternyata bahwa Nagaraga tidak mengulangi usahanya. Mungkin Nagaraga justru mempersiapkan diri untuk satu perjuangan yang lain bersama dengan Madiun dan beberapa Adipati yang menentang Mataram." desis Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang mungkin sekali. Namun sungguh memprihatinkan. Madiun yang merasa keturunan langsung dari Demak itu merasa berhak pula atas tahta yang telah berpindah dari Pajang ke Mataram. Jika per"soalan seperti itu masih saja berulang, maka tidak akan ter"dapat kedamaian diatas Tanah ini. Seorang raja yang mem"punyai beberapa orang anak, pada akhirnya saling berebut tahta."
"Tetapi agaknya Panembahan Madiun merasa bahwa Panembahan Senapati bukan seorang dari garis keturunan Demak." berkata Ki Jayaraga.
"Itulah yang memprihatinkan." jawab Kiai Gring"sing, "sementara itu Panembahan Senapati telah mendapat restu langsung atau tidak langsung dari Sultan Pa"jang sendiri, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai satu langkah pemberontakan. Permasalahan yang kalut dan hubungan yang tidak rancak serta pembicaraan yang kabur telah membuat jarak antara Mataram dan Madiun semakin jauh."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk pula. Katanya, "Te"tapi padepokan-padepokan yang melibatkan diri kadang-ka"dang justru mempunyai kepentingan yang lain."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sabungsarilah yang menyahut. "Ya Kiai. Orang-orang padepokan-padepokan yang tersebar itu ada yang dengan sengaja memanfaatkan keadaan. Yang mereka lakukan justru bagi kepentingan mereka sendiri. Seolah-olah me"reka mendapat pengesahan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Sehingga kesediaan mereka bekerja sama dengan Madiun adalah semata-mata untuk kedok saja."
"Padahal, sulit bagi kita untuk membedakan, pade"pokan dan golongan yang manakah yang memang mempu"nyai niat sejalan dengan Madiun, dan yang manakah yang memanfaatkan setiap perkembangan keadaan untuk kepen"tingan diri sendiri. Meskipun keduanya dapat dianggap bersalah terhadap Mataram, namun mereka yang memanfaatkan keadaan bagi kepentingan sendiri telah melakukan kesalahan ganda." berkata Kiai Gringsing.
"Oh!" Kiai Damarmurtilah yang kemudian mengangguk hormat. "Kami mohon maaf Raden. Semuanya kami lakukan karena kami tidak tahu siapa Raden sebenarnya, Kamipun mengucapkan terima kasih, bahwa
Sabungsari dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Ranggapun bertanya, "Kapan kita akan menggabungkan diri dengan mereka?"
Kiai Gringsing tersenyum. Lalu katanya, "Marilah. Kita akan pergi sekarang."
Demikianlah mereka berlima telah berjalan dengan sangat berhati-hati mendekati tempat yang dikatakan oleh Raden Rangga. Untuk tidak menimbulkan salah paham, maka ketika mereka sudah menjadi semakin dekat, maka Kiai Gringsinglah yang pertama-tama muncul justru mendekati dua orang yang bertugas berjaga-jaga.
Ujung-ujung tombakpun segera merunduk. Namun Kiai Gringsing berdesis, "Aku Ki Sanak. Kiai Gringsing."
Kedua orang yang bertugas itupun kemudian mengangkat kembali ujung tombaknya. Mereka memang sudah mengenal Kiai Gringsing. Karena itu, maka seorang diantara mereka bertanya, "Apakah Kiai sendiri?"
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "kami datang ber"lima."
"Berlima" Siapa saja?" bertanya petugas itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ke"mudian katanya, "Aku akan memanggil mereka. Aku tidak mau terjadi salah paham jika kami bergerombol mendatangi penjagaan ini."
"Silahkan Kiai." sahut penjaga itu.
Kiai Gringsingpun kemudian memanggil keempat orang yang lain, termasuk Raden Rangga dan Glagah Putih.
Ketika mereka mendekati kedua orang petugas itu, maka keduanya terkejut ketika mereka melihat Raden Rangga. Seorang diantara mereka berkata, "Ternyata Kiai bertemu dengan Raden Rangga."
"Ya." jawab Kiai Gringsing, "hanya kebetulan."
Penjaga itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berta"nya lebih lanjut. Namun ketika Raden Rangga berjalan di depannya, maka anak muda itu telah menepuk bahunya sambil bertanya, "Sudah berapa hari kau berada disini?"
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Aku sudah berada disini dua hari Raden. Kawanku itu justru sudah tiga hari."
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Apakah pamanda Pangeran Singasari sudah ada disini pula?"
"Sudah." jawab penjaga itu, "pamanda Raden sudah gelisah menunggu Kiai Gringsing."
"Bukankah masih ada waktu?" bertanya Kiai Gring"sing.
"Tetapi Kiai datang hampir pada saat-saat terakhir." jawab penjaga itu.
Kiai Gringsinglah yang tertawa pendek. Katanya, "Baiklah. Aku akan menghadap Pangeran Singasari."
Bersama Ki Jayaraga, Sabungsari dan diikuti oleh Raden Rangga dan Glagah Putih, merekapun telah memasuki lingkungan perkemahan orang-orang Mataram itu.
Seorang diantara para penjaga itu telah membawa me"reka menghadap Pangeran Singasari. Tetapi penjaga itu telah menyerahkan mereka kepada seorang perwira, yang juga sedang bertugas di perkemahan itu.
"Pangeran Singasari sudah gelisah." berkata perwira itu, "jika besok Kiai tidak datang maka pasukan ini akan bergerak tanpa menunggu Kiai."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Nadanya se"perti petugas yang berjaga-jaga diluar perkemahan. Karena itu, Kiai Gringsing mengambil kesimpulan bahwa sikap Pangeran Singasari itu sudah dinyatakan oleh setiap orang yang ada di perkemahan itu.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Aku ingin menghadap."
"Sebaiknya Kia menghadap sendiri." berkata perwira itu, "yang lain menunggu disini."
"Aku datang bersama Raden Rangga." berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Raden Rangga." ulang perwira itu sambil mengamati orang-orang yang berada beberapa langkah dari padanya dalam kegelapan. Agaknya Raden Rangga memang sengaja tidak mendekat. Ia berdiri diantara empat orang yang datang bersamanya.
"Ya." jawab Kiai Gringsing, "aku datang bersama Raden Rangga. Bukankah Pangeran Singasari sudah mengetahui, bahwa aku berusaha untuk bertemu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih yang sudah mendahului kita?"
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemu"dian katanya, "Tetapi sebaiknya Kiai sajalah yang meng"hadap."
Kiai Gringsing tidak mempersoalkannya lagi. Iapun kemudian memberi isyarat kepada yang lain untuk me"nunggu. Ia akan pergi menghadap Pangeran Singasari yang berada dibalik gerumbul-gerumbul perdu, dalam ling"kungan yang seakan-akan terpisah dari para prajurit yang lain, kecuali orang-orang tertentu yang memang dikehendakinya.
Ketika ia kemudian menyusup diantara beberapa gerumbul, maka iapun telah memasuki satu lingkungan tersendiri. Meskipun tempat itu sama gelapnya dengan bagian perkemahan yang lain, namun agaknya tempat itu memang disediakan khusus bagi Pangeran Singasari. Ditempat itu terdapat tikar yang sudah terbentang. Be"berapa mangkuk berisi minuman dan makanan yang khusus disediakan bagi Pangeran Singasari dan dua orang perwira terdekatnya.
"Siapa?" bertanya Pangeran Singasari ketika ia me"lihat sesosok bayangan mendekat.
"Aku Pangeran, Kiai Gringsing." jawab Kiai Gring"sing.
"O." desis Pangeran Singasari, "aku kira kau tidak akan bergabung lagi dengan kami."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemu"dian iapun menjawab, "Tetapi bukankah batas waktunya masih belum habis malam ini."
"Aku tidak peduli dengan batas waktu. Jika kita memang sudah siap, serta memperhitungkan gerakan sasaran, maka aku dapat mengambil kebijaksanaan yang lain." jawab Pangeran Singasari.
"Tetapi bukankah itu belum Pangeran lakukan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kau melihat sendiri." Pangeran Singasari agak men"jadi keras, "jika sudah aku lakukan, buat apa kau datang kemari?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih tetap berdiri ditempatnya.
"Marilah, duduklah." Pangeran Singasari kemudian mempersilahkan, "kemana Kiai selama ini?"
Kiai Gringsingpun kemudian duduk pula bersama dua orang perwira yang lain. Kemudian jawabnya, "Aku mencari Raden Rangga dan Glagah Putih yang sudah berangkat lebih dahulu. Bukankah hal ini juga sudah Pangeran ketahui."
"Persetan dengan Rangga." geram Pangeran Singa"sari, "anak yang tidak tahu adat itu tidak aku perlukan."
"Tetapi mereka juga mengemban tugas dari Panem"bahan Senapati." jawab Kiai Gringsing, "dan sekarang, aku telah menemukannya."
"Jadi Kiai bawa anak itu kemari?" bertanya Pa"ngeran Singasari.
"Ya Pangeran. Biarlah kedua anak muda itu memperkuat pasukan kecil ini dari pada mereka melakukan langkah sendiri yang barangkali justru akan mengganggu." ber"kata Kiai Gringsing.
"Memperkuat pasukan ini?" bertanya Pangeran Si"ngasari, "apa yang dapat dilakukan oleh anak-anak bengal itu" Rangga hanya dapat mengacaukan semua rencana yang sudah tersusun dan bertindak sendiri sesuka hati. Ia mengira bahwa ia mempunyai kemampuan yang pantas un"tuk berbuat demikian. Sedangkan kawannya itu apalagi. Ia tentu hanya ikut-ikutan saja sebagaimana dilakukan oleh Rangga."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa Pangeran Singasari merasa tidak memerlukan Raden Rangga dalam tugasnya ini. Bahkan mungkin bagi Pangeran Singasari, Raden Rangga justru akan dapat mengganggu rencana-rencana yang sudah disusunnya. Namun Kiai Gringsing masih juga berkata, "Pa"ngeran. Bukankah sejak semula sudah aku katakan bahwa aku akan mencari Raden Rangga."
"Sejak semula akupun tidak memperhitungkan Kiai dan kawan-kawan Kiai itu." berkata Pangeran Singasari, "aku lebih senang jika Kiai asyik mencari Rangga dan ka"wannya dan tidak kembali ke pasukan ini. Dengan demikian kami akan dapat melakukan tugas ini dengan murni. Hanya para prajurit Mataram."
"Pangeran." desis Kiai Gringsing, "kenapa Pange"ran bersikap seperti itu?"
"Aku tidak mengerti maksud kakanda Panembahan Senapati." jawab Pangeran Singasari, "kenapa Kakanda Panembahan memerintahkan Kiai ikut dalam pasukan ini, seakan-akan di Mataram tidak ada orang yang mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik."
"Pangeran." desis Kiai Gringsing, "apapun persoalan di dalam diri Pangeran, namun Panembahan Senapati telah memerintahkan aku, Ki Jayaraga dan Sabungsari, ju"ga seorang prajurit Mataram yang berada di Jati Anom un"tuk ikut dalam pasukan ini. Tentu Pangeran juga mende"ngar perintah itu. Panembahan Senapati memerintahkan kepada Pangeran untuk mendengarkan nasehatku. Aku tidak tahu apakah aku mampu memberikan nasehat atau tidak."
"Cukup." potong Pangeran Singasari, "aku tidak memerlukan nasehat siapapun juga."
"Aku juga tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi itu perintah Panembahan Senapati." sahut Kiai Gringsing. "Nah, apakah Pangeran akan mematuhi perintah Panem"bahan Senapati, atau Pangeran akan menentangnya" Pa"ngeran tahu, menentang perintah Panembahan Senapati adalah satu pernberontakan. "
Wajah Pangeran Singasari menjadi tegang. Ia tidak mengira bahwa pada satu saat orang tua itu akan berkata keras terhadapnya. Namun kemudian Pangeran Singasari itupun berkata, "Kiai, Kiai jangan bersandar kepada perin"tah kakanda Panembahan Senapati. Disini aku adalah Sena"pati yang bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan perintah Kakanda Panembahan Senapati. Segala sesuatunya disini harus tunduk kepada perintahku. Bukan"kah yang mengangkat aku menjadi Panglima dalam pasukan kecil ini juga kakanda Panembahan Senapati?"
"Tetapi apakah kebijaksanaan Pangeran sebagai Pa"nglima yang diangkat oleh Panembahan Senapati boleh bertentangan dengan perintah itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Cukup, cukup." Pangeran Singasari tiba-tiba membentak, "aku adalah Panglima disini. Aku bertanggung jawab kepada kakanda Panembahan Senapati. Yang menilai kebijaksanaanku adalah kakanda Panembahan Senapati. Bukan orang lain."
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan Pangeran?" bertanya Kiai Gringsing kemudian, "apakah aku dan kawan-kawanku harus kembali membawa Raden Rangga dan Glagah Putih atau Pangeran memerintahkan kami tetap disini" Jika Pangeran memerintahkan kami harus kembali, maka kami akan kembali dan melapor kepada Pa"nembahan Senapati, bahwa Pangeran tidak memerlukan kami sebagai satu kebijaksanaan yang akan Pangeran pertanggung jawabkan terhadap Panembahan Senapati sendiri."
"Persetan." geram Pangeran Singasari, "aku tidak mengira bahwa orang setua Kiai masih juga tumbak cucukan. Mengadu dan mungkin dibumbui dengan persoalan-persoalan yang tidak masuk akal."
"Aku menunggu perintah." desis Kiai Gringsing, "tetapi jangan menuduh yang bukan-bukan."
Pangeran Singasari menjadi semakin tegang. Ternyata bahwa Kiai Gringsing pun dapat bersikap keras. Orang yang dianggapnya terlalu lembut dan bahkan lemah itu, mampu mengerutkan dahi tuanya dan memandangnya dengan tajam.
Dengan suara yang mulai bergetar Pangeran Singasari berkata, "Terserah kepadamu. Apakah kau akan tetap disini atau kembali ke Mataram. Kau bukan prajurit dibawah perintahku."
"Jika demikian aku akan tetap disini, menjunjung perintah Panembahan Senapati untuk memberikan petunjuk dan nasehat kepada Pangeran. Demikian pula Raden Rangga dan Glagah Putih akan berada dalam pasukan Pa"ngeran." berkata Kiai Gringsing.
"Kau hanya diberi wewenang untuk memberikan petunjuk dan nasehat kepadaku. Tetapi kakanda Panem-bahan Senapati tidak memerintahkan kepadaku untuk tun"duk kepada petunjukmu. Karena itu seandainya Rangga dan kawannya berada disini, aku dapat memberikan perin"tah apapun kepada mereka." berkata Pangeran Singasari.
"Aku akan menjadi saksi, apakah perintah Pangeran wajar atau tidak." berkata Kiai Gringsing.
"Cukup. Aku tidak mempunyai persoalan yang dapat aku bicarakan lagi kepada Kiai." berkata Pangeran Singa"sari.
"Jika demikian aku mohon diri." sahut Kiai Gringsing. Namun ia masih bertanya, "Jika aku boleh mengetahui, kapan kita akan bergerak?"
"Besok kau akan dengar. Tetapi jaga agar Rangga tidak berbuat gila. Anak-anak itu menjadi tanggung jawab Kiai." geram Pangeran Singasari.
"Baik." jawab Kiai Gringsing tegas, "aku bertanggung jawab atas anak-anak itu. Juga atas keselamatan mereka, karena bagaimanapun juga Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati itu sendiri."
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Kata-kata Kiai Gringsing itu memang terasa menyentuh hatinya. Raden Rangga itu adalah putera Panembahan Senapati. Kemanakannya sendiri. Tetapi Pangeran Singasaripun tahu, bahwa setiap kali Panembahan Senapati telah memarahi anak itu. Namun Raden Rangga seakan-akan tidak pernah merubah tingkah lakunya. Setiap kali Raden Rangga itu membuat ayahandanya menjadi marah.
"Jika ia pergi juga ke Timur, maka sama sekali bukan karena kakanda Panembahan Senapati memilihnya untuk melakukan tugas itu. Tetapi itu semata-mata satu hukuman bagi Rangga." berkata Pangeran Singasari kepada diri sen"diri.
Tetapi Pangeran Singasari tidak menghiraukannya lagi. Kepada perwira Mataram yang ada ditempat itu, Pangeran Singasari berkata, "Kita dapat beristirahat seka"rang. Kita masih mempunyai waktu sehari besok."
"Baik Pangeran." berkata perwira itu, "tetapi apa"kah ada perintah bagi para perwira dan prajurit yang ada di"tempat ini?"
"Saat ini belum." berkata Pangeran Singasari, "tetapi apakah semua orang yang akan memasuki pade-pokan Nagaraga itu sudah berada ditempat ini?"
"Sudah Pangeran. Semuanya sudah hadir." jawab perwira itu.
"Baiklah. Semuanya harus dipersiapkan baik-baik. Pada saatnya kita akan menyergap dan sekaligus menghancurkannya sampai lumat. Mungkin tugas seperti ini akan berulang. Kekuatan yang akan menjadi salah satu pendukung kekuatan didaerah Timur ini semuanya akan dihancurkan." berkata Pangeran Singasari.
Perwira itu tidak menjawab. Namun kemudian para perwira yang berada di tempat yang khusus itupun telah meninggalkan Pangeran Singasari yang kemudian ber-baring diatas sehelai tikar yang memang dibawa dari Ma"taram.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari, Raden Rangga dan Glagah Putih duduk ditempat yang terpisah dari para perwira dan prajurit. Namun ternyata bahwa para perwira dari Mataram itu tetap memperhatikannya. Beberapa orang perwira ternyata telah mendekatinya, seorang diantaranya adalah perwira yang telah mempersilahkannya menghadap Pangeran Singasari.
"Bagaimana Kiai." bertanya perwira itu, "apakah perintah Pangeran?"
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Seperti yang kau katakan Ki Sanak. Pangeran memang sudah gelisah. Tetapi bukan besok Pangeran akan bergerak seperti yang kau katakan."
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya ingin memberikan tekanan, bahwa Pangeran memang sudah sangat gelisah. Pangeran memang menga"takan, jika datang saatnya, kita akan bergerak tanpa me"nunggu Kiai."
"Tetapi seperti yang sudah aku katakan, saat yang ditentukan masih belum tiba." jawab Kiai Gringsing, "sebagai prajurit seharusnya kita mempunyai patokan-patokan rencana yang mapan. Hanya jika karena sesuatu hal yang sangat mendesak, rencana dapat berubah. Misalnya, orang-orang Nagaraga tiba-tiba saja mengetahui bahwa kita berkemah disini. Atau tiba-tiba saja kita ketahui bahwa orang-orang Nagaraga akan melakukan gerakan yang akan dapat menggagalkan rencana kita meskipun orang-orang Nagaraga tidak mengetahui kehadiran kita disini."
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemu"dian, "Kiai datang terlalu dekat dengan batas waktu yang ditentukan. Dengan demikian maka kita semuanya, bukan saja Pangeran Singasari menjadi gelisah. Sementara itu, kita sudah menentukan saat-saat penyerangan."
"Tetapi kami bukan anak-anak lagi Ki Sanak." ber"kata Ki Jayaraga, "kami sudah dapat mengatur diri."
"Bagaimana jika pada saatnya Kiai belum menemukan Raden Rangga?" bertanya perwira itu.
"Bukankah kami tahu kewajiban kami." Sabungsarilah yang menjawab, "sebagai seorang prajurit aku harus siap untuk melakukan tugas yang direncanakan."
"Tegasnya." sahut Kiai Gringsing, "kami akan ber"ada ditempat yang ditentukan dalam batas waktu yang sudah ditentukan pula."
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemu"dian katanya, "Baiklah. Ternyata segala sesuatunya masih dapat dikembalikan kepada rencana yang semula."
Raden Ranggalah yang kemudian tertawa sambil ber"kata, "Pamanda Pangeran Singasari memang sering bi"ngung jika ia mengemban tugas. Apalagi tugas-tugas penting seperti ini."
"Ah, bukan begitu." potong Kiai Gringsing.
"Kiai tidak percaya." Raden Rangga justru menya"hut berkepanjangan, "pamanda Singasari lebih sering duduk diserambi istananya sambil mendengarkan siul burung beo, atau barangkali burung jalak. Bahkan di istana"nya terdapat burung kedasih dan burung gagak. Nah, jika tiba-tiba saja ia mendapat perintah untuk memasuki medan perang, maka ada sedikit kekacauan didalam hati paman"da."
"Tentu tidak Raden." jawab Kiai Gringsing, "pamanda Raden adalah seorang Pangeran yang tegas dan berpendirian keras."
Raden Rangga tertawa semakin panjang meskipun ditahankannya. Namun yang tidak diduga, tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, "Kiai, bertanyalah kepada para perwira itu. Terutama perwira yang paling dekat dengan pa"manda. Jika ia jujur, ia akan tahu bahwa kekerasan dan ketegasan pamanda Singasari, semata-mata untuk menutupi kekurangannya. He, siapa yang berani berkata jujur disini?"
Beberapa orang perwira yang ada ditempat itu terkejut mendengar kata-kata Raden Rangga itu. Bahkan sambil mendekati para perwira itu seorang demi seorang, ia ber"kata, "Nah, katakan. Apa yang kau ketahui tentang pamanda Singasari?"
"Sudahlah Raden." berkata Kiai Gringsing, "bagaimanapun juga, Pangeran Singasari adalah pamanda Raden sendiri. Pangeran Singasari adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas dan pandangan jauh kedepan."
Tetapi Raden Rangga tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang yang berada ditempat yang lainpun mendengarnya. Seorang perwira yang sudah hampir tertidur dibelakang gerumbul perdu justru terkejut karenanya. Dengan marah ia bangkit dan melangkah mendekati suara tertawa itu sambil mengumpat.
"Gila." geram perwira itu, "siapa yang membuat gaduh disini" Apakah tidak tahu, bahwa kita berada dilingkungan lawan yang akan menjadi sasaran serangan kita" Jika kita berbuat gila seperti itu, maka kemungkinan yang buruk dapat terjadi disini."
Namun perwira itu tertegun ketika tiba-tiba saja Raden Rangga menyongsongnya sambil berkata, "Kau sudah menjadi ketakutan he" Inikah sosok seorang Senapati Mataram yang besar yang merasa berhak untuk memerintah dari ujung Barat sampai ke ujung Timur tanah ini?"
"Jadi yang tertawa itu Raden?" bertanya perwira itu.
"Ya. Aku sedang mentertawakan kalian. Termasuk kau yang pengecut ini." bentak Raden Rangga.
Wajah perwira itu menjadi merah. Seandainya yang berdiri dihadapannya itu bukan Raden Rangga, putera Panembahan Senapati.
"Kenapa kau mengumpat-umpat seperti itu?" ber"tanya Raden Rangga kemudian.
Kiai Gringsing memang menjadi gelisah melihat sikap Raden Rangga. Sementara itu Raden Rangga berkata, "Kau adalah cermin dari sikap pamanda Pangeran Singasari. Jika kau sakit hati, laporkan kepada pamanda yang tidak berani menerima kehadiranku disini secara langsung."
Tetapi kata-kata Raden Rangga terputus ketika Kiai Gringsing kemudian mendekatinya dan menggandengnya. Katanya, "Sudahlah Raden, duduklah."
Raden Ranggapun kemudian telah duduk pula disamping Kiai Gringsing. Tarikan tangan orang tua itu seakan-akan memang tidak terlawan oleh Raden Rangga yang muda itu. Sementara itu, para perwira yang ada disekitarnya menjadi terdiam bagaikan membeku.
"Sudahlah." berkata Kiai Gringsing, "bukankah kalian ingin beristirahat?"
Para perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka menemukan jalan untuk keluar dari ketegangan itu.
"Sudahlah Kiai." berkata seorang diantara para perwira, "kami akan beristirahat."
"Silahkan Ki Sanak." sahut Kiai Gringsing. Ketika para perwira itu meninggalkan Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsing itupun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Raden Rangga telah berkata, "Sebenarnya mereka tahu, apa yang aku katakan."
"Tetapi bukankah Raden harus bersikap bijaksana?" berkata Kiai Gringsing, "bagaimanapun juga sikap paman"da Raden, namun Pangeran Singasari sekarang adalah Panglima dari kelompok kecil para perwira dan beberapa orang prajurit yang ada disini. Karena itu Raden harus ikut menjaga kewibawaan Pangeran Singasari."
"Tetapi pamanda Pangeran telah menghina aku." berkata Raden Rangga, "kenapa pamanda hanya mau menerima Kiai seorang diri?"
"Sudahlah." berkata Kiai Gringsing pula, "bukan"kah Raden sudah mulai berpikir sekarang" Bukan nanti jika sudah terlambat?"
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Kiai benar."


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata "
Silahkan kalian beristirahat disini. Sabungsari, Glagah Putih
dan Raden Rangga. Aku dan Ki Jayaraga akan melihat-lihat
keadaan. Tetapi sekali lagi aku mohon, Raden hendaknya
jangan mudah menuruti perasaan semata-mata. "
" Kalian selalu menekankan kelemahanku. Jika pada suatu
saat, aku terlambat mengambil langkah, itu justru karena aku
terlalu banyak berpikir " berkata Raden Rangga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
menjawab. Bersama Ki Jayaraga, maka Kiai Gringsing telah
menyelinap diantara gerumbul-gerumbul perdu untuk
menemui perwira yang telah mempersilahkannya menemui
Pangeran Singasari seorang diri.
Perwira yang sudah mulai berbaring itu terkejut. Iapun
kemudian bangkit dan duduk diatas sebuah batu. Dengan
nada dalam ia bertanya " Ada apa Kiai" "
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun kemudian duduk pula
dihadapan perwira itu. Dengan hati-hati Kiai Gringsing berkata
" Ki Sanak. Apakah kita sudah menilai sasaran yang akan kita
masuki" " " Maksud Kiai" " bertanya perwira itu.
" Apakah Ki Sanak tahu, bahwa Pangeran Singasari sudah
mengirimkan petugas sandi untuk menemukan padepokan
yang akan kita datangi itu" " bertanya Kiai Gringsing.
Perwira itu tersenyum. Katanya " Tentu sudah menjadi
rencana Pangeran Singasari. Besok malam petugas sandi itu
akan berangkat mendekati padepokan Naga-raga. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata " Ternyata aku masih harus menunggu
beberapa hari. Bukankah dengan demikian aku masih belum
hampir terlambat" "
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun berkata " Tetapi kita sudah sampai pada tahap terakhir.
" " Jika besok malam petugas sandi itu baru akan melihat
sasaran, maka bukankah malam berikutnya kita baru akan
berangkat" Itupun paling cepat. Jika masih ada pertimbanganpertimbangan
lain, maka keberangkatan itu masih dapat
diundur lagi. Mungkin sehari, mungkin lebih, " sahut Kiai
Gringsing. Sebelum perwira itu menyahut, maka Ki Jayaraga berkata "
Yang terlambat bukan kami. Tetapi Pangeran Singasari. Kami
sudah berada di tempat ini tepat pada waktunya. "
Perwira itu hanya dapat mengerutkan keningnya.
Sebenarnyalah bahwa rencana Pangeran Singasari memang
telah mundur satu hari dari batas waktu yang ditentukan.
" Sudahlah " berkata Kiai Gringsing " mumpung sisa malam
masih panjang, kami akan berjalan-jalan.
" Apakah Kiai berdua tidak akan beristirahat" Mungkin
masih sempat tidur beberapa saat, " berkata perwira itu.
" Kami belum mengantuk. Kami ingin melihat keadaan
tempat ini dan sekitarnya " jawab Kiai Gringsing.
" Tetapi Kiai harus berhati-hati. Kita sudah berada dekat
sekali dengan lingkungan lawan, " pesan perwira itu.
" Aku tidak akan pergi jauh " jawab Kiai Gringsing " hanya
disekitar tempat ini. "
" Tetapi itu belum berarti bahwa orang-orang Nagara-ga
tidak akan melihat Kiai berdua " berkata perwira itu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun ia sempat
bertanya " Bukankah kau sudah lama menjadi prajurit
Mataram" " " Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya " Apa maksud Kiai dengan pertanyaan itu" "
" Jika kau sudah lama menjadi prajurit Mataram, setidaktidaknya
kau tidak terlalu mencemaskan keadaanku " berkata
Kiai Gringsing kemudian. Perwira itu menjadi tegang. Namun iapun kemudian
menundukkan kepalanya. Seakan-akan ia baru sadar, dengan
siapa ia berhadapan. Bagi beberapa orang perwira Mataram,
maka Kiai Gringsing adalah seorang yang dikenal memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka perwira itupun tidak lagi berpesan apaapa
juga. Ketika Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
meninggalkannya, maka iapun segera kembali berbaring di
antara gerumbul perdu. Demikianlah Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah
menyusup keluar dari perkemahan orang-orang Mataram.
Penjaga yang bertugas ternyata tidak dapat melihat mereka
berdua. " Kita akan melihat padepokan itu " berkata Kiai Gringsing.
" Ya. Mudah-mudahan kita mendapat gambaran yang jelas
tentang padepokan Nagaraga itu, " jawab Ki Jayaraga.
Tanpa mendapat ijin dari Pangeran Singasari, maka kedua
orang tua itu telah pergi untuk melihat padepokan yang akan
menjadi sasaran serangan mereka. Agaknya mereka akan
lebih percaya kepada penglihatan mereka sendiri daripada
petugas sandi yang akan dikirim oleh Pangeran Singasari.
Namun kedua orang itu sadar, bahwa jika mereka gagal,
maka mungkin perkemahan orang Mataram itu akan
mendapat kesulitan pula. " Tetapi kita harus sangat berhati-hati " desis Ki Jayaraga.
" Ya. Menurut pendengaran kita, di padepokan itu ter dapat
orang-orang berilmu tinggi. Pimpinan padepokan itu yang tidak
ikut pergi ke Mataram, tentu orang yang mumpuni. Meskipun
muridnya terbunuh di Mataram tetapi agaknya pimpinan
padepokan Nagaraga adalah seorang yang pantas disegani, "
sahut Kiai Gringsing. Dengan demikian, maka dengan sedikit bekal pengenalan
mereka berusaha untuk dapat menemukan padepokan
Nagaraga di seberang hutan di bawah sebuah gumuk yang
pada dindingnya terdapat sebuah goa. Didalam goa itu tinggal
seekor ular naga yang besar, yang menjadi tumpuan dan
sandaran dari orang-orang Nagaraga, terutama dalam hal ilmu
kanuragan. Sementara itu, selagi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
mengendap-endap menuju ke padepokan Nagaraga, maka
Raden Rangga ternyata menjadi sangat gelisah. Ketika ia
mendengar gonggong anjing hutan diatas gumuk, iapun
berdesis " Kenapa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sangat
lama. " " Sudahlah Raden " berkata Glagah Putih " pada saatnya
mereka tentu akan kembali. "
" Aku tidak menggelisahkan mereka " jawab Raden
Rangga. " Lalu apa yang Raden gelisahkan" " bertanya Sa-bungsari.
" Tentu keduanya dengan sengaja telah mengelabuhi kita.
Aku yakin keduanya pergi ke padepokan Nagaraga " berkata
Raden Rangga. " Bukan mengelabuhi kita " jawab Glagah Putih " tetapi
mereka memang tidak akan mengajak kita. Kita harus tetap
berada disini. " " Aku juga ingin melihat padepokan itu " berkata Raden
Rangga. " Raden pernah melihatnya " berkata Glagah Putih -"
meskipun hanya dalam mimpi. Raden telah melihat separo
gambaran dari padepokan yang rusak ditinggal penghuninya
itu, namun dalam ujud yang utuh sebagaimana yang dihuni
seorang oleh orang-orang dari perguruan Nagaraga. "
" Tetapi aku ingin melihat keadaan yang sebenarnya "
berkata Raden Rangga " aku tidak ingin sekedar melihat
bentuk-bentuk yang aneh dan tidak beralas pada ujud-ujud
yang sehari-hari kita lihat. "
Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan Raden Rangga
pergi. Sabungsaripun telah membantunya pula. Katanya "
Raden, sebaiknya kita menunggu. Bukankah orang-orang itu
berpesan agar kita tetap berada disini" "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
jadi meninggalkan tempat itu. Katanya " Kalian membuat aku
kecewa. Justru penglihatanku dalam mimpi itu mendorong aku
untuk melihat padepokan itu yang sebenarnya. "
" Pada saatnya kita akan memasuki padepokan itu "
berkata Glagah Putih. Raden Rangga tidak menjawab. Namun ditengadah-kannya
wajahnya memandang langit yang bersih digayuti oleh
bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya.
Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata " Siapa saja yang
berada dalam pasukan kecil ini" "
" Sebagian besar adalah para perwira, meskipun perwira
ditataran bawah seperti aku. " jawab Sabungsari " agaknya
Mataram menganggap bahwa orang-orang Nagaraga pada
umumnya memiliki ilmu melampaui tataran prajurit biasa.
Hanya beberapa orang prajurit terpilih yang ada di pasukan
ini." Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Jadi disini
sekarang banyak perwira prajurit Mataram dibawah pimpinan
pamanda Pangeran Singasari" "
" Ya, begitulah " jawab Sabungsari.
Raden Rangga masih saja mengangguk-angguk. Katanya
kemudian " Jadi kalian tidak setuju jika aku mencari Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga" Mereka tentu pergi ke padepokan.
" " Kita menunggu saja, Raden " jawab Glagah Putih.
Tiba-tiba saja Raden Rangga telah berbaring begitu saja
tanpa alas apapun juga. Glagah Putih dan Sabungsari saling
berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian harus
juga mencari tempat untuk berbaring sebagaimana dilakukan
oleh Raden Rangga. Ternyata mereka memang letih, sehingga sejenak
kemudian ketiganya telah tertidur. Mereka sama sekali tidak
merasa cemas, karena lingkungan itu mendapat penjagaan
yang cukup ketat oleh para prajurit Mataram.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga diluar
pengetahuan Panglima pasukan Mataram telah mencari jalan
menuju ke padepokan Nagaraga yang belum pernah
dilihatnya. Tetapi ketajaman pengenalan keduanya, ternyata telah
membawa mereka menuju ke arah yang benar. Perlahanlahan
kedua orang tua itu telah mendekati padepokan yang
disebut Nagaraga. Beberapa ciri telah mereka ketemukan. Di sebelah hutan
yang tidak begitu lebat, diantara gumuk-gumuk kecil,
terdapat sawah yang terbentang luas. Sawah yang digarap
oleh orang-orang Nagaraga. Bahkan dilereng beberapa
gumuk kecil itu terdapat pategalan yang juga menjadi daerah
garapan orang-orang Nagaraga.
" Kita sudah dekat " berkata Ki Jayaraga " kita sudah
berada ditengah-tengah, lingkungan tanah yang dikerjakan
oleh Nagaraga. " " Ya " Kiai Gringsing mengangguk-angguk " tinggal
mencari, dimana padepokan itu dibuat. "
Ternyata keduanya tidak mendapat banyak kesulitan.
Namun keduanya tidak dapat mengikuti jalan setapak yang
tentu menuju ke padepokan itu. Keduanya harus mendekati
padepokan itu lewat tempat-tempat yang justru tersembunyi.
Dengan bekal ilmu yang tinggi, maka keduanya berhasil
menemukan padepokan Nagaraga di sebelah hutan itu.
Padepokan Nagaraga semula memang bukan padepokan
yang dirahasiakan. Namun justru karena kaitan padepokan itu
yang menjadi sangat buruk dengan Mataram sejak beberapa
orang berusaha membunuh Panembahan Senapati tetapi
gagal, maka orang-orang padepokan itu tentu merasa perlu
untuk melindungi padepokan mereka dengan cara yang dapat
mereka lakukan. Tetapi penghuni padepokan itu yakin, jika tidak ada
pertanda apapun yang keluar dari goa, tempat ular naga yang
menurut kepercayaan orang-orang padepokan menjadi
tumpuan kekuatan orang-orang Nagaraga itu, maka tentu
tidak akan terjadi apapun juga dengan padepokan itu.
Dengan sangat hati-hati Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
mendekati padepokan itu. Menurut penglihatan mereka,
padepokan itu memang sebuah padepokan yang besar, yang
tentu dihuni oleh banyak orang. Agaknya Mataram telah
mengambil langkah yang benar dengan mengirimkan
sepasukan yang meskipun kecil, tetapi cukup kuat, yang
hampir seluruhnya terdiri dari perwira-perwira pilihan diantara
prajurit-prajurit Mataram. Hanya sebagian kecil saja diantara
mereka adalah prajurit-prajurit yang harus melayani
pasukan itu. " Untunglah Pangeran Singasari berada ditempat yang
cukup jauh terpisah dengan padepokan ini " berkata Kiai
Gringsing " nampaknya Pangeran Singasari kurang cermat
melakukan tugasnya. Ia sudah menentukan perke-mahan
orang-orang Mataram sebelum ia mempunyai gambaran
tentang letak padepokan ini. "
" Pangeran Singasari terlalu percaya kepada keteranganketerangan
yang didengarnya, bukan kenyataan yang
dilihatnya. Seharusnya sebelum ia menentukan tempat itu
berdasarkan petunjuk yang pernah didengarnya, ia
membuktikan, dimana sebenarnya letak padepokan itu, "
sahut Ki Jayaraga. " Untunglah orang-orang Watu Gulung tidak curang dan
berusaha menjebak Mataram, " berkata Kiai Gringsing.
Namun keduanya tidak dapat berbicara lebih panjang.
Keduanya sudah menjadi semakin dekat dengan dinding
padepokan. Dengan meningkatkan kewaspadaan, maka keduanya-pun
kemudian telah melekat dinding. Menurut pengamatan
mereka, padepokan itu memang sangat luas. Sebagaimana
Raden Rangga pernah mengatakan, bahwa padepokan itu
agaknya terbagi dalam lingkungan-lingkungan yang terpisah.
Dengan isyarat keduanya ternyata setuju untuk memasuki
halaman padepokan itu dengan meloncat dinding. Namun
sebelumnya keduanya telah mengendap-endap untuk
meyakinkan bahwa tidak ada orang yang akan melihat
mereka. Ketika keduanya yakin tidak mendengar desah nafas
seseorang, maka keduanya telah meloncat bagaikan terbang
keatas dinding. Dengan cepat keduanya telah menelungkup
melekat dinding itu, sehingga seandainya tiba-tiba
saja ada peronda yang lewat, maka peronda itu tidak akan


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera melihatnya. Ternyata halaman dibagian belakang itu memang sepi.
Padepokan itu seakan-akan telah tertidur nyenyak. Hanya
disana-sini mereka melihat lampu-lampu yang dipasang di
serambi barak didalam padepokan.
Namun tiba-tiba saja Kiai Gringsing menggamit Ki
Jayaraga. Ternyata dua orang muncul dari sudut barak
berjalan memutari halaman padepokan itu. Keduanya
membawa tombak pendek yang dipandinya di pundak mereka.
Ujung-ujung tombak itu mencuat keatas seakan-akan justru
sedang menunjuk kedua orang yang sedang berada diatas
dinding itu. Tetapi dengan kemampuan yang sangat tinggi, keduanya
mampu menyerap bunyi yang timbul dari desah nafas mereka.
Karena itu, maka kedua orang yang lewat hanya beberapa
langkah dari keduanya sama sekali tidak melihat, bahwa ada
dua orang yang menelungkup diatas dinding didalam
kegelapan. Demikian kedua orang itu menjauh, maka Kiai Gringsing
dan Ki Jayaraga pun menarik nafas dalam-dalam. Namun
mereka masih menunggu sejenak. Baru kemudian mereka
yakin bahwa mereka akan dapat meloncat turun.
Sesaat kemudian, keduanya telah berada di halaman
padepokan Nagaraga. Dengan sangat berhati-hati keduanya
menyelinap diantara pepohonan dan gerumbul-gerumbul
perdu yang ditanam di padepokan itu.
" Raden Rangga memang anak muda yang aneh, " desis
Kiai Gringsing. " Yang dilihatnya dalam mimpi, ternyata terdapat disini, "
sahut Ki Jayaraga. Keduanya memang melihat batas-batas didalam
padepokan itu. Dinding yang tidak begitu tinggi membatasi
bagian-bagian tertentu, seakan-akan padepokan itu memang
terbagi dalam beberapa lingkungan yang terpisah
meskipun dalam keseluruhan merupakan keluarga
perguruan Nagaraga. Ketika mereka sampai ke halaman jauh di belakang, maka
merekapun tertegun. Keduanya benar-benar merasa heran,
bahwa ternyata di bagian belakang itu memang terdapat
sebuah sanggar terbuka yang dibatasi oleh selingkar dinding
yang agak tinggi, hampir setinggi, dinding padepokan itu
sendiri. " Bukan main " desis Ki Jayaraga " sanggar inipun dilihat
pula oleh Raden Rangga. Jika demikian, maka di setiap
lingkungan itupun tentu terdapat pula sanggar yang tertutup. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun merekapun
kemudian memang membuktikan, bahwa sanggar semacam
itu memang ada diantara barak-barak.
" Satu padepokan yang sangat besar " berkata Kiai
Gringsing. " Mana yang lebih besar diantara padepokan ini dengan
padepokan Kiai di Jati Anom" " bertanya Ki Jayaraga hampir
berbisik. Kiai Gringsing tertawa tertahan. Katanya " Aku dapat
berbangga dengan padepokanku. Kecil, tetapi terasa lebih
hidup. " " Kenapa" " bertanya Ki Jayaraga " apa yang lebih hidup " "
" Karena pimpinan padepokannya " jawab Kiai Gringsing.
Ki Jayaragapun tertawa. Namun Kiai Gringsing
memberinya isyarat dengan jari-jarinya.
Keduanya kemudian melanjutkan pengamatannya atas
padepokan itu. Ternyata yang terdapat di padepokan itu
segalanya memang mirip dengan apa yang disebut oleh
Raden Rangga. " Apakah sudah cukup" " desis Kiai Gringsing kemudian.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya " Marilah. Kita
akan berbicara dengan Raden Rangga. "
Keduanyapun kemudian sudah merasa cukup, Mereka
telah melihat hampir semua bagian di padepokan itu. Yang tak
mereka lewati hanyalah halaman depan dari bangunan induk
dalam padepokan itu, yang agaknya mendapat pengawasan
yang sangat ketat. Diregol terdapat sebuah gardu. Beberapa
orang yang sedang bertugas terdapat digardu itu. Sedangkan
di beberapa bagian terpenting di padepokan itupun telah
dijaga pula. Namun agaknya orang-orang padepokan yang
besar itu merasa bahwa padepokan mereka tidak akan
diganggu oleh siapapun juga. Apalagi jika mereka tidak
mendengar isyarat pertanda apapun dari dalam goa.
Demikianlah maka sejenak kemudian, kedua orang itu telah
berada diiuar padepokan. Mereka masih akan singgah
sejenak untuk melihat goa yang menurut ceritera orang, dihuni
oleh seekor ular naga. " Jalannya sangat rumpil " desis Kiai Gringsing.
" Ya. Agaknya tidak seorangpun yang sering mendekati goa
itu. " sahut Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun mereka harus
memusatkan perhatian mereka kepada tanah yang terbentang
dihadapan mereka. Sekali-sekali mereka memang tertegun
mendengar aum binatang buas dari dalam hutan di sebelah.
Namun tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Mereka telah
dikejutkan oleh suara yang aneh. Bergaung namun terputusputus.
" Kiai " desis Ki Jayaraga " tentu suara seekor ular raksasa
" " Ular digoa itu. Suaranya bergaung mendebarkan " sahut
Kiai Gringsing. Kedua orang tua itupun kemudian termangu-mangu.
Menurut perasaan mereka, ular naga raksasa itu seolah-olah
telah mengetahui bahwa diluar goanya telah hadir orangorang
yang tidak dikehendaki. Karena itu, maka kedua orang itupun menjadi ragu-ragu
untuk maju lebih dekat lagi kemulut gua. Namun mereka
sekedar ingin mengetahui serba sedikit tentang goa itu.
Keduanya sama sekali tidak ingin terlibat dalam satu
persoalan yang sungguh-sungguh dengan ular itu.
Betapa sulitnya jalan yang ditempuh diantara batu-batu
karang dan pepohonan hutan, namun akhirnya mereka telah
berada disisi mulut goa itu.
Untuk beberapa saat mereka memperhatikan goa itu.
Tetapi tidak ada yang terlalu menarik untuk diperhatikan
secara khusus. " Kita dapat mengabaikan goa ini " berkata Ki Jayaraga -
aku kira tidak akan banyak pengaruhnya asal ular itu tidak
keluar dari sarangnya. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Ya.
Agaknya memang demikian. Kita tidak perlu menaruh banyak
perhatian atas goa ini sehingga kita dapat memusatkan
perhatian kita pada padepokan itu. "
Namun sebelum keduanya bergerak meninggalkan goa itu,
tiba-tiba saja mereka menjadi tegang. Mereka melihat
beberapa buah obor memasuki lingkungan yang asing itu.
" Siapakah mereka " desis Kiai Gringsing.
Ki Jayaragapun termangu-mangu. Dengan nada datar ia
berdesis "- Agaknya orang-orang padepokan itu. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun memang
menduga, bahwa yang datang itu tentu orang-orang
padepokan. Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan yang tidak
diharapkan,- maka keduanya telah menyingkir dan berlindung
dibalik bayangan pepohonan. Namun dari tempat mereka
berlindung, keduanya dapat melihat plataran yang tidak terlalu
luas dimuka mulut goa itu.
Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang memKang
Zusi - http://kangzusi.com/
bawa obor itu telah berada dimulut goa. Mereka ternyata
membawa seekor kambing hidup. Dengan menghadapkan
kambing itu kemulut goa, maka seseorang telah mencambuk
kambing itu keras-keras, sehingga kambing itu telah berteriak
dan berlari langsung memasuki mulut goa.
Tetapi orang-orang itu tidak segera meninggalkan mulut
goa itu. Seorang yang agaknya memimpin kelompok kecil itu
telah berjongkok dimulut goa diikuti oleh beberapa orang lain.
Mereka menempatkan obor-obor mereka di tonggak-tonggak
kecil yang agaknya memang sudah disediakan.
Ternyata telah terjadi upacara kecil. Orang-orang itu telah
mengucapkan mantra-mantra yang tidak diketahui artinya oleh
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Upacara itu tidak berlangsung lama. Sementara itu suara
yang berasal dari dalam goa itu terdengar lagi. Tetapi tidak
terlalu keras dan tidak terlalu panjang.
Beberapa saat kemudian maka upacara itupun telah
selesai. Tetapi apa yang dikatakan oleh orang yang memimpin
upacara itu cukup mengejutkan. Dengan nada lantang orang
itu berkata " Kita harus berhati-hati. Kiai Nagaraga
memberitahukan kepada kita, bahwa padepokan kita
terancam bahaya. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga yang berada didalam
kegelapan sempat saling berpandangan. Mereka memang
menjadi heran bahwa orang yang memimpin upacara itu dapat
mengambil kesimpulan bahwa padepokannya telah terancam
bahaya. Sekelompok orang itu masih berada dipelataran goa itu
untuk beberapa lama. Namun kemudian merekapun bergeremang
" Korban kita agaknya telah diterima. Kambing itu
tidak keluar dari goa. "
" Ya. Kambing itu sudah terperosok masuk kelekuk yang
agak dalam itu, sehingga kambing itu tidak akan dapat keluar "
desis seseorang. " Mulutmu dapat terbakar nanti " tiba-tiba orang
yang memimpin upacara itu membentak " katakan, korban
kita telah diterima. "
" Baik, baik Kiai " orang itu memang menjadi ketakutan.
Sementara orang yang memimpin upacara itu berkata " Kita
akan kembali ke padepokan. Kita akan minta agar para
penghuni padepokan bersiaga. Untunglah korban kita diterima
justru pada saat Kiai Nagaraga memberikan isyarat akan
bahaya itu, sehingga agaknya kita akan mampu mengatasinya
seandainya bahaya itu benar-benar akan datang "
" Marilah Kiai " berkata seorang yang lain " kita segera
memberikan laporan. "
Beberapa orang telah mengambil obor-obor yang masih
menyala. Sejenak kemudian, maka orang-orang itupun telah
meninggalkan plataran goa itu. sehingga tempat itu kembali
menjadi gelap. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menarik nafas dalamdalam.
Kemudian mereka berduapun meninggalkan tempat
itu, Betapapun rumitnya jalan yang harus dilalui namun
akhirnya merekapun sampai ke arah orang-orang Mataram
membuat perkemahan. " Langit sudah dibayangi warna fajar " berkata Ki Jayaraga,
" Cepat sedikit, agar kita tidak kesiangan " desis Kiai
Gringsing. Namun keduanya sempat menyelinap masuk dan tanpa
membangunkan orang-orang yang sedang tidur keduanya
telah berbaring tidak jauh dari Sabungsari.
Keduanya memang berusaha untuk memanfaatkan waktu
yang sedikit itu untuk tidur.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memang sempat
memejamkan matanya meskipun hanya sejenak. Namun bagi
kedua orang itu, kesempatan tidur yang sejenak itu sudah
cukup. Mereka terbangun bersamaan dengan orangorang
lain dalam perkemahan itu. Agaknya hari memang
sudah menjadi terang. Bahkan matahari telah melontarkan
cahayanya dilangit. Namun Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga terpaksa
menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Raden Rangga yang
mendekatinya berkata " Aku melihat Kiai berdua kembali
semalam. Tetapi karena nampaknya Kiai berdua ingin
beristirahat, maka aku tidak mengganggu. Bukankah Kiai
berdua baru saja kembali dari padepokan Nagaraga atau goa
tempat ular itu bersembunyi" "
" Darimana Raden tahu" " bertanya Kiai Gringsing.
" Aku hanya menduga. Disini Kiai berdua tidak akan pergi
kemanapun selain sasaran yang akan kita sergap nanti pada
saatnya. " jawab Raden Rangga,
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Raden
benar. Kami memang melihat-lihat padepokan itu. Kami juga
mendekati goa tempat ular itu bersarang, meskipun dari
samping kami memang tidak mendekati mulut goa itu dari
depan, karena pada saat itu ular yang ternyata oleh orangorang
perguruan Nagaraga juga disebut bernama Nagaraga,
tiba-tiba telah mengeluarkan suara yang bergaung didalam
goa namun terputus-putus. Kami tidak ingin terlibat dalam
persoalan dengan ular itu sebelum saatnya, karena dengan
demikian akan dapat menggagalkan rencana Pangeran
Singasari dalam keseluruhan, "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " kenapa
Kiai tidak mengajak kami" "
" Kami tidak mempunyai rencana yang kami perhitungkan
dengan baik. Kami hanya begitu saja pergi sehingga kami
tidak sempat mengajak Raden dan tentu juga Glagah Putih
dan Sabungsari. " jawab Kiai. Gringsing.
Tetapi Raden Rangga tertawa, meskipun ia tidak
mengatakan sesuatu. Kiai Gringsing mula-mula mengerutkan keningnya. Namun
iapun kemudian tersenyum pula.
" Sebaiknya Raden tidur " desis Ki Jayaraga.
Raden Rangga tertawa semakin keras.
Demikianlah, maka dihari itu, para prajurit Mataram
memang tidak mempunyai kegiatan apapun selain
bersembunyi. Orang-orang yang bertugas menyediakan
makan bagi mereka telah menyelinap keluar untuk mencari
lingkungan yang memungkinkan mereka mendapatkan banyak
orang berjualan. Mereka tidak menyalakan api sendiri untuk
menghindarkan diri dari pengamatan orang-orang Nagaraga
yang padepokannya sudah tidak terlalu jauh lagi dari
perkemahan itu. Ketika orang-orang itu masuk kedalam pasar seperti hari
sebelumnya disebuah lingkungan padukuhan, maka mereka
berusaha untuk tidak menarik perhatian. Mereka tidak
membeli makanan terlalu banyak pada satu tempat. Beberapa


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang telah membeli berpencaran dan terpisah-pisah.
Meskipun demikian ada juga seorang penjual nasi yang
bertanya kepada kawannya berjualan " Untuk apa mereka
membeli nasi sebanyak itu" "
" Entahlah " sahut kawannya " mungkin sekelompok orang
yang sedang beramai-ramai mengerjakan bendungan atau
memperbaiki tanggul yang longsor. "
Penjual nasi itu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia
tidak memikirkannya lagi. Ia justru merasa senang bahwa
dagangannya cepat habis sehingga pagi-pagi ia sudah dapat
pulang sambil membawa oleh-oleh buat anak-anaknya.
Dihari itu, ternyata Pangeran Singasari sama sekali tidak
memanggil Raden Rangga. Nampaknya Pangeran Singasari
memang tidak ingin bertemu dan berbicara dengan anak yang
dianggapnya sangat nakal itu.
Namun dihari itu, Pangeran Singasari memerintahkan para
prtjurit Mataram yang terdiri sebagian besar dari para perwira
itu bersiaga sepenuhnya. Kepada Senapati yang menjadi pembantunya yang
terdekat ia memerintahkan tidak seorangpun diantara mereka
yang boleh meninggalkan perkemahan kecuali untuk pergi
ke sungai kecil yang tidak terlalu jauh dari perkemahan itu.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menjadi
bimbang untuk memberitahukan bahwa orang-orang
padepokan Nagaraga seakan-akan telah mendapat isyarat
bahwa padepokan itu sedang dalam bahaya, sehingga
dengan demikian maka kesiagaan di padepokan itupun perlu
diperhitungkan dengan cermat.
" Jika kita melaporkan perjalanan sandi kita, apakah
Pangeran Singasari justru tidak menjadi marah" " bertanya
Kiai Gringsing. " Mungkin ia justru menjadi marah " sahut Ki Jayaraga "
sebaiknya kita memberitahukannya dengan cara lain. "
" Cara bagaimana" " bertanya Kiai Gringsing pula.
" Pada saat kita mendekati padepokan itu " berkata Ki
Jayaraga " sehingga dengan demikian Pangeran Singasari
tidak banyak mendapat kesempatan memarahi kita. "
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia mengangguk-angguk.
Katanya " Kau ternyata bijaksana. "
Ki Jayaragapun tersenyum pula.
Namun keduanya memang menjadi gelisah, bahwa
Pangeran Singasari telah memerintahkan prajurit Mataram
untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Malam itu petugas
sandi akan menuju ke sasaran. Baru malam berikutnya
pasukan akan bergerak. Menjelang fajar, mereka harus sudah
mengepung padepokan itu. " Terlalu lamban " desis Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Justru setelah
keduanya sempat melihat padepokan itu, maka mereka
memperhitungkan, bahwa untuk mengamati padepokan itu
dan sekaligus bergerak mendekatinya dapat dilakukan dalam
satu malam. " Lewat wayah sepi uwong petugas sandi itu dapat
bergerak, sementara yang lain beristirahat sepenuhnya namun
sudah dalam kesiagaan penuh, kecuali beberapa orang
petugas khusus. Demikian mereka dibangunkan oleh satu
isyarat, maka mereka akan dapat bergerak dan mengepung
padepokan itu, " berkata Kiai Gringsing.
" Ya. Seharusnya petugas sandi itu justru sudah bergerak
sebelumnya " berkata Ki Jayaraga " bagi pasukan kecil ini,
pengamatan yang hanya sekali agaknya tentu masih kurang.
Petugas sandi itu perlu melihat sampai dua tiga kali. Apalagi
jika mereka tidak sempat memasuki padepokan itu. "
" Kita akan menghadapi Pangeran Singasari " berkata Kiai
Gringsing " kita mempunyai wewenang untuk memberikan
pendapat, Diterima atau tidak diterima. "
Ki Jayaraga tiba-tiba tersenyum sambil menjawab " Menilik
sikap Pangeran Singasari, maka rasa-rasanya apa yang akan
kita lakukan itu sia-sia. Pangeran Singasari lebih percaya
kepada rencananya sendiri, yang barangkali sudah
dibicarakannya dengan para Senapati kepercayaannya.
" Ya, agaknya memang demikian " Kiai Gringsing
mengangguk-angguk " tetapi untuk berbicara dengan
Pangeran Singasari adalah tugas kita. "
Meskipun dengan ragu, namun kedua orang itu telah
berusaha untuk menemui Pangeran Singasari yang ternyata
sedang berbincang dengan Senapati kepercayaannya.
" Pangeran Singasari sedang sibuk " berkata seorang
Senapati yang berjaga-jaga diluar lingkungan yang
dipergunakan oleh Pangeran Singasari.
" Kami ingin berbicara sedikit " berkata Kiai Gringsing.
" Tunggu. Pangeran Singasari sedang membicarakan
langkah-langkah yang akan kita ambil bersama Senapati
terpilih diantara kami. Mungkin pembicaraan itu sangat rahasia
sehingga tidak seorangpun yang boleh mendengarnya " sahut
Senapati itu. "- Jika yang dibicarakan itu sangat rahasia, maka
mereka tentu akan diam. Tetapi yang ingin aku sampaikan
juga pertimbangan-pertimbangan yang barangkali bermanfaat
bagi Pangeran Singasari " berkata Kiai Gringsing kemudian.
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
berkata " Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada
Pangeran Singasari. Apakah Pangeran Singasari dapat
menerima Kiai berdua atau tidak. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
dapat memaksa Senapati itu, karena dengan demikian akan
dapat timbul suasana yang kurang baik.
Dalam pada itu, ternyata Pangeran Singasari sudah selesai
berbincang dengan Senapati terpercaya yang selalu memberi
pertimbangan bagi setiap keputusan yang akan diambil oleh
Pangeran Singasari. Karena itu, maka iapun kemudian
berkata kepada Senapati yang menyampaikan niat Kiai
Gringsing dan Jayaraga " Sebenarnya aku segan menerima
mereka. Tetapi mereka merasa mendapat wewenang dari
Panembahan Senapati untuk memberikan pertimbanganpertimbangan
kepadaku. Padahal maksud Panembahan
Senapati hanyalah sekedar basa basi saja jika Panembahan
mengatakan kepada mereka, bahwa mereka diminta untuk
memberikan pertimbangan kepadaku. Tetapi kedua orang tua
itu merasa memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dari
aku, sehingga mereka pantas menjadi pe-nasehatku. "
Senapati yang menyampaikah keinginan Kiai Gringsing
untuk menghadap itu diluar sadarnya menyahut " Ya
Pangeran. Kedua orang tua itu, terutama yang aku ketahui
adalah Kiai Gringsing, memiliki pengalaman dan kemampuan
ilmu yang tidak ada bandingnya. "
" Cukup " tiba-tiba Pangeran Singasari membentak "
Semua orang memang tahu bahwa Kiai Gringsing memiliki
ilmu yang tinggi. Tetapi yang harus kita pertimbangkan,
apakah kita memerlukannya atau tidak. Jika kita sendiri
mampu menyelesaikannya, kenapa kita harus minta bantuan
kepadanya" " Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun
bagaimanapun juga sebagai seorang Senapati, maka ia
merasa perlu untuk mempertahankan harga dirinya, meskipun
ia tidak akan berani menentang Pangeran Singasari. Karena
itu, maka katanya " Pangeran, didengar atau tidak didengar,
berguna atau tidak berguna, apa salahnya jika orang-orang itu
memberikan pertimbangannya kepada Pangeran."
" Sudah aku katakan, bahwa aku akan menerimanya
meskipun sebenarnya aku merasa segan. Aku bukan anakanak
lagi yang harus selalu digurui, " jawab Pangeran
Singasari. Namun kemudian katanya " Suruh mereka kemari. "
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga masih saja menunggu.
Mereka mendengar lamat-lamat pembicaraan antara Senapati
yang menyampaikan maksudnya menghadap dengan
Pangeran Singasari. Tetapi keduanya yang mempunyai
pendengaran yang sangat tajam itu masih juga tidak tahu isi
pembicaraan mereka, karena mereka menunggu ditempai
yang memang agak jauh. Ketika Kiai Gringsing mencoba mempertajam lagi
pendengarannya untuk mencoba menangkap pembicaraan itu
serba sedikit, pembicaraan itu ternyata sudah selesai.
Sejenak kemudian Senapati yang menyampaikan maksud
kedua orang tua itupun telah datang sambil berkata " Kalian
diperkenankan menghadap. "
" Terima kasih " berkata Kiai Gringsing dan Jayaraga
hampir berbareng. Pangeran Singasari telah menerima Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga dengan wajah yang kosong. Dengan nada rendah ia
berkata " Duduklah Kiai. "
" Terima kasih Pangeran " sahut Kiai Gringsing yang
kemudian duduk dihadapan Pangeran Singasari.
" Apakah ada yang penting yang ingin Kiai berdua
sampaikan" " bertanya Pangeran Singasari.
" Benar Pangeran " jawab Kiai Gringsing " kami telah
mendengar bahwa Pangeran hari ini memerintahkan pasukan
bersiaga penuh. Malam nanti petugas sandi akan pergi ke
sasaran untuk mengamati keadaan. Baru malam besok
pasukan akan berangkat dan mengepung sasaran sebelum
fajar. " " Ya " jawab Pangeran Singasari " ada kesempatan bagi
pasukan kita untuk bersiap lahir dan batin.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya " Apakah kami dapat memberikan pendapat kami" "
" Bagaimana pendapatmu" " bertanya Pangeran Singasari.
" Jika pengamatan atas sasaran memang hanya dilakukan
satu kali, maka apakah tidak lebih baik jika nanti malam kita
bergerak mengiringi petugas sandi" Kita siap didekat sasaran
menjelang fajar dan jika petugas sandi selesai mengamati
keadaan, kita bergeser maju. Sementara itu, diujung malam
semua prajurit sempat beristirahat. Dengan demikian kita akan
menghemat waktu satu hari. "-
" Aku ingin memberi kesempatan para prajurit
mempersiapkan diri sebaik-baiknya " berkata Pangeran
Singasari. "- Semuanya sudah siap. Bahkan rasa-rasanya hampir
menjadi jemu untuk menunggu. Apalagi mereka yang sudah
lebih lama berada disini " berkata Kiai Gringsing.
Pangeran Singasari termangu-mangu. Namun kemudian
katanya " Aku sudah mengambil keputusan. Bahkan para
perwira sudah mengetahui. Kurang baik rasanya jika aku
mencabutnya dan menyusuli dengan rencana baru. "
" Tidak apa Pangeran " jawab Ki Jayaraga " jika benar
Pangeran mengajukan satu hari rencana penyergapan itu,
maka tentu akan disambut dengan gembira oleh para perwira
yang merasa sudah terlalu lama menunggu itu. "
" Sayang " berkata Pangeran Singasari " sebagai
Panglima perintahku tidak berubah-rubah. Dengan
demikian maka orang-orangku tidak akan mengalami
kebingungan. Kiat Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
sudah mengira bahwa pendapatnya tentu akan sia-sia. Tetapi
ia tidak lagi dapat dipersalahkan, karena ia menjadi acuh tidak
acuh. Dengan nada dalam Kiai Gringsing berkata " Segala
sesuatunya terserah kepada Pangeran. Namun aku dan Ki
Jayaraga telah memberikan pendapatku. "
" Terima kasih. Aku sudah mendengar pendapatmu. Tetapi
sayang, bahwa kau memberikan pertimbangan setelah aku
menjatuhkan keputusan. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak dapat memaksa.
Mereka memang harus tunduk kepada semua keputusan
Panglima yang memimpin pasukan itu.
Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga juga tidak
dapat mengatakan bahwa keduanya telah berhasil mendekati,
bahkan memasuki padepokan yang akan menjadi sasaran
sergapan pasukan Mataram, karena dengan demikian, maka
keduanya akan dianggap tidak mematuhi paugeran dari
sekelompok pasukan dari Mataram itu.
Karena itu, maka keduanya hanya dapat menunggu, saatsaat
yang telah diputuskan oleh Pangeran Singasari.
Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itupun telah
meninggalkan Pangeran Singasari dan Senapati terpilihnya.
Ketika kedua orang tua itu berada diantara para perwira, maka
memang terasa kegelisahan diantara mereka, karena mereka
merasa telah terlalu lama menunggu. Tetapi para perwira itu
tidak dapat berbuat apa-apa. Pimpinan dan perintah memang
berada di tangan Pangeran Singasari.
Malam yang ditentukan itu, Pangeran Singasari telah
memerintahkan dua kelompok petugas sandi, yang masingKang
Zusi - http://kangzusi.com/
masing terdiri dari dua orang untuk melihat-lihat keadaan
padepokan. Dengan ancar-ancar sebagaimana pernah didengar
oleh Pangeran Singasari dari Panembahan Senapati
yang telah mendapat laporan sebelumnya, maka kedua orang
itu melakukan tugas mereka.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat
mengatakannya bahwa sasaran yang akan didatangi oleh
kedua kelompok pasukan sandi itu sangat berbahaya. Apalagi
mereka seakan-akan dapat mengerti isyarat yang diberikan
oleh ular naga yang mereka sebut bernama Kiai Nagaraga itu.
Karena itulah maka kedua orang itu telah berusaha
mengambil cara yang lain.
Keduanya telah dengan diam-diam mendahului kedua
kelompok itu dan berusaha menemuinya di jalur jalan yang
akan mereka lalui. Kedua kelompok yang berangkat setelah malam menjadi
semakin dalam itupun terkejut, ketika disisi lereng bukit, tibatia
saja muncul bayangan dua orang dalam kegelapan. Karena
itu, maka keempat orang itupun dengan sigapnya telah
mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun keempat orang itupun kemudian menarik nafas
dalam-dalam ketika mereka mengetahui bahwa kedua orang
itu adalah Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
" Kenapa Kiai berdua ada disini" " bertanya salah seorang
diantara petugas sandi itu.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga saling berpandangan,
sejenak. Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata " Ki


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanak. Kami berdua berniat meringankan tugas Ki Sanak.
Terserah kepada Ki Sanak. Apakah Ki Sanak menerima
dengan senang hati atau justru sebaliknya. "
" Setiap pertolongan atas tugas-tugas kami, sepanjang
tidak bertentangan dengan perintah Pangeran Singasari akan
sangat menguntungkan kami. Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih " sahut salah seorang diantara
mereka. " Tetapi aku sudah melanggar perintah Pangeran Singasari
" berkata Kiai gringsing.
Keempat orang itu menjadi tegang. Orang yang menjawab
pernyataan Kiai Gringsing itu berkata pula " Kenapa Kiai
melanggar perintah Pangeran Singasari yang diangkat oleh
Panembahan Senapati menjadi panglima dari kelompok kecil
ini. " " Maksudku baik " berkata Kiai Gringsing " dengarlah. -
Keempat orang itu memandang Kiai Gringsing dengan
tatapan mata yang tajam. Sementara itu Kiai Gringsing
menceriterakan apa yang sudah dilakukan.
" Sebenarnya aku dapat berdiam diri. Tidak seorang-pun
tahu apa yang sudah aku lakukan itu " berkata Kiai Gringsing "
tetapi aku ternyata merasa perlu memberitahukan kepada
kalian berempat. Semua itu aku lakukan demi keselamatan
kalian dan seluruh pasukan. Jika kalian tidak menyadari,
bahwa orang-orang Nagaraga dalam ke-siagaan justru karena
ular yang berada didalam goa itu dianggap memberi isyarat,
maka hal itu akan sangat berbahaya bagi kalian. Meskipun
menurut dugaanku, ular yang ada didalam goa itu sekedar
lapar. Jika menjadi kebiasaan, bahwa jika ular itu berteriak
maka seekor kambing akan dikorbankan, maka ular itu akan
terbiasa. Jika ia lapar, maka ia akan memanggil korbannya. "
Keempat orang itu termangu-mangu. Ternyata keterangan
Kiai Gringsing selanjutnya sangat mempermudah tugas-tugas
mereka yang berat. Sedikit keterangan tentang padepokan itu
sendiri telah membuat mereka mempunyai gambaran, apa
yang sebaiknya dilakukan.
Dalam pada itu Kiai Gringsingpun berkata " Nah, terserah
kepada Ki Sanak. Apakah kami dianggap telah melakukan
pelanggaran yang harus dihukum atau tidak.
Keempat orang itu termangu-mangu, sementara Ki
Jayaraga berkata " Kalian dapat membuktikan, apakah
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing sekedar membual atau
berguna bagi kalian. Demikianlah kalian kembali dari tugas,
kalian dapat mengambil satu sikap tentang kami. "
" Baiklah Kiai. Kami akan melanjutkan perjalanan. Terima
kasih atas petunjuk Kiai. Sementara itu, jika keterangan Kiai
memang menguntungkan kami seperti yang dikatakan oleh Ki
Jayaraga, sudah barang tentu kami tidak akan menyulitkan
kedudukan Kiai disini. Apalagi kami tahu, siapakah Kiai
berdua. Terutama Kiai Gringsing " berkata salah seorang dari
mereka " sebenarnyalah bahwa kami percaya kepada semua
keterangan Kiai. Apakah Kiai akan pergi lagi ke padepokan itu
sekarang" Kiai Gringsing tersenyum. Katanya " Tidak. Kami tidak akan
pergi malam ini. Kami akan menenangkan Raden Rangga
yang sudah gatal-gatal untuk pergi ke padepokan itu."
Keempat orang itupun sekali lagi mengucapkan terima
kasih. Kemudian merekapun telah melanjutkan perjalanan
menuju ke padepokan. Namun mereka telah banyak
mendapat bahan dan bekal dari kedua orang tua itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka mendekati padepokan itu,
maka terasa oleh keempat orang yang berpisah menjadi dua
kelompok itu, bahwa tentu terjadi peningkatan ke-siagaan di
padepokan itu. Mereka akhirnya merasa, bahwa petunjuk Kiai Gringsing
dan Ki Jayaraga itu sangat berarti bagi tugas mereka. Bahkan
mereka mengakui, tanpa petunjuk dari kedua orang tua, tugas
mereka akan terasa sangat berat, dan barangkali mereka
telah terperosok kedalam daerah pengawasan orang-orang
Nagaraga. Berbeda dengan Kiai Gringsing, maka keempat orang itu
tidak sempat memasuki padepokan. Meskipun mereka sudah
mendapat bekal dan petunjuk-petunjuk dari kedua orang tua
itu. Namun ketika mereka berhasil menjenguk kedalam
dengan meloncat keatas dinding yang gelap dan
agak jauh dari pengamatan para petugas di padepokan itu,
mereka melihat kesiagaan yang sangat tinggi.
Meskipun demikian keempat orang itu telah mendapat
gambaran, apakah yang akan dilaporkan kepada Pangeran
Singasari dan sekaligus pendapat mereka, apa yang
sebaiknya dilakukan oleh pasukan Mataram saat pasukan itu
menyerang padepokan. Pada waktu yang sudah ditentukan maka keempat orang
itu telah berkumpul kembali. Merekapun dengan tergesa-gesa
meninggalkan lingkungan padepokan Nagaraga dan kembali
ke perkemahan orang-orang Mataram.
Dengan jelas mereka dapat melaporkan, apa yang mereka
lihat. Bahkan mereka kadang-kadang lupa, apakah yang
dikatakan itu benar-benar hasil pengamatan mereka atau
keterangan yang mereka dengar dari Kiai Gringsing. Namun
dengan demikian keterangan keempat orang itu dianggap
terlalu lengkap sehingga Pangeran Singasari berkata " Kalian
pantas mendapat anugerah karena kalian berhasil melakukan
tugas kalian dengan sangat baik, asal saja kalian tidak
membual. Hal ini akan kita lihat kelak jika kita sudah
memasuki padepokan itu. Demikianlah, maka keempat itupun merasa berbangga atas
pujian dari Pangeran Singasari, meskipun didalam hati mereka
mengakui, seandainya mereka tidak bertemu dengan Kiai
Gringsing, mungkin mereka justru telah terperosok kedalam
penjagaan lawan yang sangat ketat.
Namun sebenarnyalah bahwa yang mereka laporkan
adalah apa yang sebenarnya memang terdapat di padepokan
Nagaraga. Karena baik yang mereka lihat dan mereka amati
sendiri, maupun yang mereka dengar dari Kiai Gringsing
benar-benar memang terdapat di padepokan itu, sehingga
dengan demikian maka mereka tidak merasa cemas, bahwa
akhirnya Pangeran Singasari akan membuktikan kebenaran
laporan mereka. Dihari berikutnya Pangeran Singasari ingin membicarakan
dengan beberapa Senapati hasil pengamatan petugas
sandinya dan merencanakan sergapan dimalam berikutnya.
Karena itu, maka iapun telah memerintahkan memanggil tidak
lebih dari lima orang. Namun ternyata bahwa Pangeran
Singasari teringat juga kepada Kiai gringsing dan Ki Jayaraga.
Karena itu, maka dalam pembicaraan itu, Pangeran Singasari
telah memanggil pula Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Raden Rangga yang tidak ikut dipanggil oleh pamanda-nya
berkata kepada Kiai Gringsing " Jika pamanda memang tidak
menghendaki aku berada disini, sebaiknya aku dan Glagah
Putih meninggalkan pasukan ini dan melanjutkan tugas yang
telah kami lakukan. Kami memang mengemban tugas yang
berbeda dengan pamanda Pangeran Singasari. "
" Jangan Raden " berkata Kiai Gringsing yang menyadari
bahwa Raden Rangga memang menjadi kesal " marilah kita
bersama-sama melakukan rencana ayahanda Panembahan
Senapati dengan sebaik-baiknya. Jika Raden melakukan
tugas secara terpisah, mungkin akan terjadi benturanbenturan
yang dapat merugikan kita semuanya. Dan berarti
bahwa ayahanda Raden telah gagal apapun alasannya.
" Raden " berkata Ki Jayaraga kemudian " setuju atau tidak
setuju dengan sikap Pangeran Singasari, kita semua memang
wajib berusaha mencapai hasil yang sebesar-besarnya.
Karena itu, maka kami berdua, maksudku aku dan Kiai
Gringsing berusaha untuk membantu sejauh-jauhnya tugas
yang diemban oleh Pangeran Singasari sekarang, meskipun
sikap Pangeran Singasari kepada kami berdua kadangkadang
kurang menyenangkan hati kami. Tetapi kami tidak
boleh mementingkan diri kami sendiri dalam keseluruhan
tugas ini. " Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya ia mengangguk-angguk. Katanya " Aku mengerti Kiai.
Sebenarnyalah bahwa aku hanya memandang keberhasilan
rencana ayahanda Panembahan Senapati. Aku
akan berusaha untuk mengekang diri. "
" Bagus Raden " sahut Kiai Gringsing " agaknya Raden
telah dapat memisahkan tanggapan Raden atas sikap
pamanda Raden itu dengan keseluruhan tugas yang
dibebankan kepada kita semuanya. "
" Bukanlah itu yang Kiai kehendaki" " sahut Raden Rangga
" untunglah kami berdua bertemu dengan Kiai. Jika tidak,
memang mungkin kami melakukan sesuatu yang tidak sejalan
dengan rencana pamanda Pangeran Singasari. "
" Terima kasih Raden " berkata Kiai Gringsing " sekarang,
kami berdua akan menghadap Pangeran Singasari. -
Raden Rangga tidak menjawab. Sepeninggal Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga maka iapun kemudian duduk
dengan lesu disebuah batu yang terdapat didekat sebuah
gerumbul. Dengan kesal tiba-tiba tangannya telah
mempermainkan tongkatnya, disentuhnya gerumbul perdu
didekatnya dengan ujung tongkatnya. Nampaknya kekesalan
hatinya telah tersalur lewat tongkat pring gadingnya, sehingga
gerumbul itu tiba-tiba telah menjadi bagaikan dipanggang api.
Daun-daunnya menjadi layu dan kering.
Untunglah ketika asap mulai mengepul, Glagah Putih
memperingatkannya " Raden. Kita berada dilingkungan
pengawasan orang-orang Nagaraga. Jika asap mengepul dari
gerumbul yang terbakar oleh kekecewaan hati Raden, maka
orang-orang Nagaraga akan tertarik karenanya. "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian menyelipkan tongkatnya dipunggungnya sambil
berkata " Salah gerumbul itu sendiri. "
Namun asap tidak jadi mengepul lebih banyak dan
gerumbul itupun belum sempat terbakar.
Sabungsari yang menyaksikan hal itu menarik nafas dalamdalam.
Ia memang sudah mendengar kelebihan anak muda
itu. Ternyata bahwa yang didengarnya itu tidak berlebih-
lebihan. Raden Rangga memang seorang yang
memiliki kemampuan diluar perhitungan.
Sementara itu Pangeran Singasari telah membicarakan
rencana yang akan dilakukannya malam mendatang. Ia telah
mengatur pasukannya dan memberikan perintah-perintah
kepada para Senapati. Berdasarkan atas laporan para
petugas sandi, maka Pangeran Singasari telah menentukan
apa yang akan dilakukan oleh pasukan itu.
" Padepokan itu adalah padepokan yang besar " berkata
Pangeran Singasari " padepokan itu dibagi-bagi dalam
beberapa bagian yang agaknya memang terpisah, meskipun
dalam keseluruhan padepokan itu satu. Dengan demikian,
maka kita harus menyesuaikan diri. Orang dalam pasukan kita
hanya sedikit. Tetapi sebagian besar dari kita adalah para
perwira. Karena itu, dengan jumlah orang yang sedikit, kita
harus mampu menghancurkan padepokan yang besar itu.
Meskipun demikian, agaknya disetiap bagian didalam
padepokan itu terisi oleh hanya beberapa orang guru dan
murid, dalam lingkungan perguruan besar Nagaraga. Yang
paling banyak tentu hanyalah para cantrik atau pemula yang
belum memiliki pegangan yang kuat. Namun dipadepokan itu
tentu ada seorang pemimpin tertinggi atau katakanlah guru
besar dari perguruan Nagaraga. "
Pangeran Singasaripun kemudian mencoba untuk
mengurai laporan yang diberikan oleh keempat orang yang
bertugas mengamati padepokan itu. Sebagian memang hasil
penglihatan mereka sendiri, namun sebagian yang lain adalah
justru yang mereka dengar dari Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak akan
mengurangi penghargaan Pangeran Singasari kepada para
petugas sandinya. Karena itu, keduanya sama sekali tidak
menyahut. Ternyata bahwa Pangeran Singasari telah membagi
pasukannya sebanyak bagian yang diperhitungkan ada di
padepokan itu. Mereka tidak akan menyerang dari pintu
gerbang dalam pasukan yang utuh serta mendesak dari
segala arah. Tetapi menurut perhitungan Pangeran
Singasari akan lebih cepat berhasil jika prajurit Mataram itu
terbagi dan langsung memasuki bagian-bagian yang membagi
padepokan itu. Mereka bertugas dan bertanggung jawab untuk
menghancurkan sasaran, sehingga diharapkan pada waktu
yang hampir bersamaan tugas mereka akan selesai. Jika ada
kesulitan maka perwira yang bertanggung jawab dilingkaran
itu harus segera memberikan laporan.
" Hari ini kita harus sudah membagi diri " berkata Pangeran
Singasari " aku akan memberikan petunjuk-petunjuk khusus
bagi setiap orang yang bertanggung jawab pada kelompokkelompok
itu. Menurut laporan para petugas sandi, di
padepokan itu ada enam bagian yang dibatasi dengan dinding
kayu meskipun tidak begitu tinggi. Nanti aku akan berbicara
langsung dengan enam orang yang akan memimpin
kelompok-kelompok yang khusus, yang akan memasuki pintu
gerbang. Aku akan memimpin sendiri pasukan yang khusus itu
untuk bertemu langsung dengan pimpinan tertinggi padepokan
itu." Berdasarkan pembicaraannya dengan para Senapati
terdekat, maka Pangeran Singasaripun telah menyusun
kelompok-kelompok yang jumlahnya menjadi tujuh itu. Setiap
kelompok dipimpin oleh seorang Senapati yang ter-percaya.
Diantara mereka adalah orang-orang yang sedang berbicara
dengan Pangeran Singasari itu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singasari sama sekali
tidak menyebut-nyebut Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Apalagi Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah, mencoba untuk
menyela " Pangeran, apakah yang Pangeran perintahkan
kepada kami" " " Siapa saja" " bertanya Pangeran Singasari.
" Kami berlima " jawan Kiai Gringsing. Pangeran Singasari
mengerutkan keningnya. Lalu katanya " Bukankah kalian
bukan prajurit" "
" Seorang diantara kami adalah prajurit Mataram -jawab
Kiai Gringsing. " Tetapi bukan dari kesatuan yang ditentukan " jawab


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Singasari " bukankah Sabungsari seorang perwira
muda dari pasukan Mataram yang berada di Jati Anom di
bawah pimpinan Untara" "
" Ya Pangeran " jawab Kiai Gringsing " tetapi perintah bagi
Sabungsari datang dari Panembahan Senapati. "
" Jika demikian, lakukan perintah itu" " jawab Pangeran
Singasari. " Perintah itu mengatakan, bahwa Sabungsari akan
bergabung dengan pasukan itu sebagaimana aku dan Ki
Jayaraga. Selanjutnya Raden Rangga dan Glagah Putih yang
kami jumpai di daerah ini juga dalam tugas yang diperintahkan
Panembahan Senapati. " berkata Kiai Gringsing.
Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Lalu katanya "
Jika demikian, Kiai berdua dan anak-anak itu akan berada
bersama kami. Tetapi dengan syarat, bahwa kalian hanya
akan melakukan sesuatu atas perintah kami. -"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil
Seruling Naga Sakti 1 Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Kutukan Dari Liang Kubur 2
^