Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 21

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 21


terlepas " berkata Raden Rangga.
" Raden " berkata Glagah Putih kemudian " kita wajib untuk
berusaha menahan agar pasukan Mataram tidak terdesak
terus. Korban telah berjatuhan, sementara sebenarnya kita
mampu untuk menghindarkannya. Tetapi bukan berarti bahwa
Raden harus membunuh lawan-lawan Raden. "
Raden Rangga termangu-mangu. Namun ketika Raden
Rangga akan menjangkau tongkat pering gadingnya yang
terselip dipunggung, Glagah Putih bertanya " Apa yang akan
Raden lakukan" "
" Tidak untuk membunuh " jawab Raden Rangga. Glagah
Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu ia mendengar cantrik yang lain mengumpat " Kau kira
aku apa he" Ketika aku melihat kau bertempur tanpa senjata,
kau bagiku adalah orang yang sangat sombong, sehingga aku
benar-benar ingin membunuhmu. Dan sekarang kau akan
mempergunakan tongkat pring gading itu. "
Raden Rangga tertawa. Katanya " Tongkat ini bukan
kebanyakan tongkat. Jika mendung tebal, dan tongkat ini
diacungkan kelangit, mungkin hujan akan turun. "
" Anak gila " geram cantrik itu sambil mengayunkan
senjatanya, sebuah bindi yang-berat.
Namun cantrik itu benar-benar dicengkam keheranan.
Raden Rangga telah menangkis bindi yang berat dan terayun
deras itu benar-benar dengan tongkat bambunya.
Ternyata benturan yang terjadi, seakan-akan telah
mematahkan tangan-cantrik itu. Jari-jarinya tidak sempat
berpegangan kuat-kuat pada bindinya, sehingga senjatanya
yang mengerikan itu telah terjatuh.
Raden Rangga tertawa-tawa, sementara Glagah Putih
masih harus menghindari serangan-serangan seorang cantrik
yang bersenjata parang. " Ambillah " berkata Raden Rangga.
Cantrik itu termangu-mangu. Sementara tangannya
henar-benar terasa akan terlepas.
" Ambil. Jika kau tidak mau mengambil bindimu, aku bunuh
kau " ancam Raden Rangga.
Cantrik yang kebingungan itu memang mengambil
bindinya. Tetapi tangannya tidak mampu lagi
mengayunkannya. Karena itu, maka ia mencoba memegang
dan mempergunakannya dengan tangan kirinya.
" Bagus " berkata Raden Rangga " jika gurumu cermat,
maka tangan kanan dan kiri tidak akan banyak berbeda
kemampuannya mempermainkan senjata. Karena itu,
sekarang pergunakan tangan kirimu jika tangan kananmu
sakit. " Tetapi cantrik itu tetap termangu-mangu. Dengan tangan
kanannya tidak mampu melawan tongkat pring gading yang
aneh itu. Apalagi dengan tangan kirinya.
Karena ia masih saja ragu-ragu, maka tiba-tiba saja Raden
Rangga membentaknya " Jika kau tidak berani lagi, pergi. "
Cantrik itu terkejut. Ketika Raden Rangga mengangkat
pring gadingnya, maka tiba-tiba cantrik itu telah berlari.
" Jangan menakut-nakuti seperti itu, Raden " berkata
Glagah Putih yang mendekatinya.
Raden Rangga tersenyum. Namun iapun kemudian bersiap
menghadapi lawan berikutnya.
Glagah Putih yang melihat Raden Rangga sudah siap
untuk bertempur lebih keras, kemudian berkata " Aku akan
bergeser lagi Raden. Kita memang membuat jarak agar kita
dapat membantu para prajurit untuk menahan orang-orang
Nagaraga. " " Baik " jawab Raden Rangga " aku akan mengingat
pesanmu. Bertempur, bertahan tanpa membunuh. Begitu" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
menjawab lagi. Sejenak kemudian Glagah Putih telah bergeser lagi,
Dibagian lain dari pertempuran itu, terasa orang-orang
Nagaraga masih mendesaknya. Tetapi beberapa langkah dari
tempat itu, keadaannya sudah agak berbeda. Ki Jayaraga
yang bertempur diantara para prajurit Mataram, telah
membuat beberapa orang perwira menjadi heran. Setiap kali
lawan Ki Jayaraga selalu terlempar menjauh. Bahkan murid
Nagaraga yang berkaki pendek telah membawa seorang
kawannya. Meskipun demikian, mereka tidak banyak berarti
buat Ki Jayaraga. Sebelah lain Sabungsaripun berusaha untuk menyerap
beberapa orang cantrik untuk menghadapinya, agar mereka
tidak terlalu banyak mengerumuni para perwira yang harus
bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan.
Sabungsari tidak ingin membuat pangeram-eram dengan sorot
matanya. Tetapi ia telah mempergunakan senjata
sebagaimana dipergunakan oleh para prajurit. Dengan pedang
ditangan Sabungsari menahan desakan orang-orang
Nagaraga. Ternyata disayap yang sebelah, yang diperkuat dengan
Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga, apalagi Ki
Jayaraga telah banyak terjadi perubahan. Jika di sayap yang
lain orang-orang Nagaraga masih sempat mendesak orangorang
Mataram, namun disayap sebelah, justru para prajurit
Mataramlah yang mendesak orang-orang Nagaraga.
Beberapa orang murid Nagaraga yang memiliki
kemampuan yang tinggi, sempat menilai keadaan. Karena itu,
maka merekapun harus mengambil langkah-langkah.
Seorang penghubung telah diperintahkan untuk menarik
beberapa orang dari sayap yang terlalu kuat bagi para prajurit
Mataram untuk bergeser kesayap yang lain.
Kiai Gringsing yang bertempur disebelah Senapati
pengapit, melihat pergeseran itu. Namun ia memang tidak
merasa perlu untuk menjadi cemas, karena disisi itu terdapat
Ki Jayaraga. Kiai Nagaraga sendiri masih bertempur dengan keras
melawan Pangeran Singasari. Namun keduanya masih tetap
saling menyerang, saling mendesak dan meningkatkan tataran
ilmu mereka semakin tinggi. Sementara itu, Kiai Gringsing
sendiri masih juga menghadapi salah seorang murid Kiai
Nagaraga. Kiai Gringsing tidak dengan cepat berusaha
mengakhiri pertempuran itu, karena dengan demikian ia
sempat berada didekat Pangeran Singasari.
Namun lawan Kiai Gringsing yang garang itu menganggap
bahwa meskipun Kiai Gringsing pada dasarnya mempunyai
ilmu yang tinggi, tetapi ia sudah terlalu tua untuk bertempur
dimedan yang keras. Sehingga dengan demikian, maka lawan
Kiai Gringsing itu memperhitungkan bahwa Kiai Gringsing
pada suatu saat akan kehabisan tenaga. Dengan demikian,
maka lawan Kiai Gringsing itu memang memancing agar
orang tua itu bertempur dengan keras dan kasar, agar dengan
demikian akan segera kehabisan tenaga.
Tetapi ternyata bahwa Kiai Gringsing masih mampu
mengimbanginya. Bahkan dengan tanpa menunjukkan tingkat
ilmunya yang lebih tinggi.
Beberapa orang murid Kiai Nagaraga memang telah
bergeser dari sayap yang terlalu kuat, kesayap yang lain.
Seorang yang berwajah keras dengan bekas luka dikeningnya
berjalan dengan tenang mengamati pertempuran
disayap yang dianggap lemah itu. Ia tertegun ketika dilihat
saudara seperguruannya yang berkaki pendek itu tidak segera
mampu mengatasi seorang yang nampaknya telah menjadi
tua. " Orang ini agaknya berilmu tinggi " desisnya.
Namun sebelum ia bertindak, seseorang telah
menggamitnya sambil berkata " Kau selesaikan para prajurit
Mataram. Agaknya mereka tidak akan banyak memerlukan
waktu bagimu. Biarlah orang ini aku hadapi. "
Orang berwajah keras itu mengangguk. Katanya " Silahkan
kakang. Tetapi bagaimana dengan orang-orang disisi
sebelah" " " Mereka akan dapat segera dihancurkan " jawab orang itu.
Sebenarnyalah bahwa beberapa orang murid yang sudah
sampai pada tataran tertinggi, memiliki kemampuan secara
pribadi melampaui para perwira dari Mataram. Bahkan dua
orang perwira yang memiliki kekuatan raksasa, yang bersamasama
dengan Pangeran Singasari memecahkan pintu gerbang
itupun telah menghadapi lawan yang sangat berat.
Ketika orang-orang yang, datang kemudian itu, kemudian
melangkah mendekati Ki Jayaraga, maka orang berwajah
kasar itupun telah bergeser pula disepanjang arena
pertempuran. Orang yang mendekati Ki Jayaraga itu bertubuh kecil.
Tetapi agaknya ia mampu bergerak dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang mengamati seluruh
medan meskipun tidak dengan jelas, dapat menduga, bahwa
murid-murid Nagaraga itu rasa-rasanya memang terlalu
banyak. Karena itu, maka iapun berkata kepada diri sendiri "
Apakah benar disini hanya ada seorang guru besar seperti
Kiai Nagaraga itu" "
Namun Kiai Gringsing tidak bertanya kepada siapa-pun. Ia
justru menduga, bahwa tentu ada orang lain yang memiliki
tataran yang hampir setingkat dengan Kiai Nagaraga itu
sendiri. Tetapi agaknya tidak mudah untuk menemukannya.
Ketika pertempuran kemudian menjadi semakin sengit,
maka mulailah korban berjatuhan. Para murid dari padepokan
Nagaraga itu benar-benar telah membunuh. Para perwira
yang terdesak, harus dengan sungguh-sungguh mengetrapkan
kemampuan mereka bertempur dalam kelompok yang
sangat terbatas. Dalam pertempuran yang semakin keras, maka semua
orang telah mengerahkan kemampuan mereka semakin tinggi,
sehingga dengan demikian para prajurit Mataram yang
jumlahnya lebih sedikit itu semakin mengalami kesulitan.
Namun karena beberapa orang telah bergeser dari sayap
yang satu kesayap yang lain, maka tekananpun menjadi
berkurang. Para perwira Mataram berusaha dengan segenap
kemampuan mereka mengimbangi kekerasan dan kegarangan
orang-orang Nagaraga. Pangeran Singasari sendiri memang harus bergeser surut
setiap kali. Sebenarnyalah Pangeran Singasari juga menjadi
gelisah melihat keadaan pasukannya. Ia memang kurang
memperhitungkan kemungkinan jumlah yang lebih banyak dari
lawannya. Bahkan sekali-sekali Pangeran Singasari juga
memikirkan kelompok-kelompok pasukan yang terbagi
diseluruh padepokan itu. Dalam pada itu, Sabungsari yang menyadari keadaan
merasa ikut dibebani tanggung jawab. Bagaimanapun juga ia
adalah prajurit Mataram. Meskipun seakan-akan oleh
Pangeran Singasari, ia tidak dihitung, karena ia berasal dari
kesatuan yang berbeda dari kesatuan yang telah ditunjuk
untuk mengikuti Pangeran Singasari, tetapi ia tetap seorang
prajurit yang mengemban tugas pengabdian bagi Mataram.
Karena itu, maka ketika pertempuran menjadi semakin
sengit, iapun bergerak lebih cepat. Pedangnya terayun-ayun
mengerikan, sehingga beberapa orang cantrik telah terluka
karenanya. Ternyata Glagah Putihpun berbuat sebagaimana dilakukan
oleh Sabungsari. Meskipun beberapa orang cantrik datang
silih bergantian, tetapi Glagah Putih tidak banyak mengalami
kesulitan. Apalagi Raden Rangga. Ia masih tetap bermainmain
dengan tongkatnya. Beberapa kali ia telah melemparkan
senjata lawan-lawannya. Yang bertempur semakin sengit adalah Ki Jayaraga.
Lawannya yang bertubuh kecil itu menjadi heran, bahwa orang
tua itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang
ditingkatkannya semakin tinggi. Namun sebaliknya Ki
Jayaragapun menyadari bahwa orang yang bertubuh kecil itu
tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Menilik
tata gerak dan sikapnya. Diluar dugaan Ki Jayaraga, orang itu tiba-tiba saja bertanya
sambil meloncat menyerang " Siapa kau he" Dari mana kau
berguru sehingga kau mampu bertahan untuk beberapa lama"
" Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Sambil mengelak ia
menjawab tanpa merahasiakan diri " Namaku Ki Jayaraga.
Aku pernah berada didalam lingkungan perguruan yang
memang tidak banyak dikenal dan bahkan telah salah
kedaden. Aku memimpikan keluarga yang manis dari
perguruanku. Namun diantara kami ternyata telah melakukan
hal-hal yang tercela. Bajak laut, perampok dan orang-orang
tamak. " " Persetan " geram orang bertubuh kecil itu " Namamu
baik, mirip dengan nama perguruan ini. Tetapi kami tidak
akan membiarkan padepokan ini dijamah oleh bajak laut
seperti kau, yang seharusnya berada dilautan. "
Ki Jayaraga harus meloncat kesamping ketika ia melihat
tangan lawannya itu mematuk. Dengan cara yang tidak
terbiasa dilakukan oleh orang lain. Namun tangan itu memang
mirip dengan gerak kepala ular yang mematuk mangsanya
dengan mulutnya. " Perguruan ular ini memang sangat berbahaya " geram Ki
Jayaraga " he, Ki Sanak. Kau hanya dapat melakukan gerakgerak
seekor ular, atau kaupuan memiliki racun yang tajam
seperti tajamnya racun ular" "
" Persetan " geram orang itu " kau akan mati dengan cara
apapun. " " Apapun yang akan terjadi, aku ingin tahu, siapakah kau
sebenarnya" Dan apa kedudukanmu di padepokan ini" "
bertanya Ki Jayaraga. " Aku adalah adik Kiai Nagaraga " jawab orang itu.
" Adik seperguruan" " bertanya Ki Jayaraga pula. Orang itu
menggeleng. Katanya " Bukan saja adik
seperguruan. Tetapi aku memang adik kandungnya. Nah,
ternyata kau memang mengalami nasib buruk. Ketika aku
melihat kau diarena dan dengan sombong mempermainkan
murid-muridku, maka timbullah niatku untuk sedikit
mengajarimu melihat kenyataan.
Kau juga mempunyai murid disini" " bertanya Ki Jayaraga.
" Aku bersama-sama dengan kakakku, Kiai Nagaraga telah
menempa para cantrik, putut dan jejanggan yang ada disini.
Kami telah melahirkan beberapa orang yang sudah sanggup


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi guru yang baik meskipun untuk sementara mereka
tetap didalam lingkungan padepokan yang besar ini " jawab
orang bertubuh kecil itu.
Ki Jayaraga belum menyahut ketika tiba-tiba orang itu
menyambarnya dengan ayunan tangan yang cepat dan keras
sekali. Jika ujung-ujung jarinya yang kuncup itu menyentuh
tubuhnya, maka dagingnya tentu akan koyak.
Sambil meloncat, menghindar Ki Jayaraga berkata "
Ternyata kau adalah orang kedua di padepokan ini. "
" Ya " jawab orang itu " aku adalah orang kedua. Tetapi
dalam tataran ilmu, sulit dibedakan antara aku dan kakang
Nagaraga. " Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia telah
bertemu dengan orang kedua dari padepokan itu, meskipun ia
yakin bahwa orang itu sekedar membual jika ia memiliki ilmu
setingkat Kiai Nagaraga sendiri.
Meskipun demikian, Ki Jayaraga tidak boleh lengah. Mulamula
ia harus berusaha untuk mempercayai kata-kata orang
itu, bahwa ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dengan
demikian maka ia benar-benar akan menghadapi lawannya
dengan sangat berhati-hati.
Namun dalam pada itu, orang yang berwajah keras yang
semula akan menghadapi Ki Jayaraga telah mendekati tempat
yang rawan. Ia melihat beberapa orang cantrik telah terlempar
dengan luka-luka ditubuhnya. Karena itu, maka iapun telah
mendekatinya. Dengan kerut didahinya ia melihat pada jarak tidak terlalu
jauh, tiga orang diantara para prajurit Mataram yang memiliki
ilmu yang tinggi. Merekalah yang telah melemparkan para
cantrik yang terluka. Seorang diantara mereka bersenjatakan
tongkat dari bambu yang berwarna kuning.
" Anak itu gila agaknya " desisnya.
Ketika ia mendekat maka dilihatnya anak yang bersenjata
pring gading itu adalah anak yang masih sangat muda.
Tetapi menilik tata geraknya dan akibat setiap benturan
dengan pring gadingnya, maka anak yang masih sangat muda
itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Karena itu, maka orang yang berwajah keras itupun telah
mendekatinya, menyibak para cantrik yang seakan-akan
mengerumuninya. Beberapa orang diantara para cantrik itu
sudah terluka. " Minggir " geram orang itu " anak ini memang perlu untuk
mendapat sedikit peringatan. "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
menjadi gembira mendapat lawan yang mungkin akan dapat
bermain lebih baik daripada para cantrik yang mulai
menjemukan itu. " Marilah Ki Sanak " berkata Raden Rangga " siapa kau" "
" Aku adik Kiai Nagaraga " berkata orang berwajah keras.
" O " Raden Rangga mengangguk-angguk " jadi kau adik
seperguruan Kiai Nagaraga" "
" Tidak. Aku adiknya. Adik kandungnya " geram orang itu "
bukan adik seperguruannya. "
" Maksudku, kau adik kandungnya tetapi juga adik
seperguruannya, begitu, " desis Raden Rangga.
" Apa kau tuli he. Aku adiknya. Bukan adik seperguruannya.
" orang itu membentak.
" Jadi tidak ada hubungan ilmu antara kau dan Kiai
Nagaraga" " bertanya Raden Rangga pula.
" Aku muridnya " jawab orang itu " murid yang paling
baik dipadepokan ini. Aku memang tidak diberi wewenang
untuk berdiri sendiri, karena aku diperlukan oleh kakang
Nagaraga untuk membantunya menempa murid-muridnya
yang lain, yang lebih muda dari aku. Bukan muda umurnya,
tetapi muda ilmunya. "
" Jadi ilmumu termasuk sudah cukup tua ya" " bertanya
Raden Rangga pula. " Ya " jawab orang itu.
" Apakah dengan demikian kau telah menjadi orang kedua
di padepokan ini" " bertanya Raden Rangga.
" Seharusnya memang begitu " jawab orang itu.
" Kenapa seharusnya" " bertanya Raden Rangga.
" Seandainya tidak ada orang lain yang lebih baik dari aku "
jawab orang berwajah kasar itu.
Raden Rangga tertawa. Katanya " Kau benar. Kau akan
menjadi orang yang paling baik tanpa orang lain yang lebih
baik darimu. Begitu" "
Ya " jawab orang itu mantap.
Raden Rangga tertawa semakin keras. Katanya " Kau
memang seorang yang jujur. Sayang kau terlalu bodoh untuk
mengatakan keadaanmu yang sebenarnya. "
" Gila " geram orang itu " kau kira kau tidak membuat aku
marah dengan kata-katamu itu. "
" Marahlah. Aku berharap kau marah " jawab Raden
Rangga. Sebenarnyalah orang berwajah keras itu menjadi marah
sekali. Tanpa berkata sesuatu lagi ia telah meloncat
menyerang Raden Rangga dengan garangnya.
Raden Rangga yang sudah siap, telah bergeser kesamping,
sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya. Bahkan
Raden Rangga sempat membalas menyerang orang itu
dengan tongkat bambunya mengarah ketangan orang itu.
Namun ternyata bahwa Raden Rangga tidak dapat
menyentuhnya. Dengan cepat orang itu berhasil menarik
tangannya sehingga tongkat Raden Rangga tidak
mengenainya. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dengan demikian
ia menyadari bahwa lawannya yang agak kedunguan itu
ternyata memang memiliki ilmu yang tinggi. Agaknya ia
memang adik Kiai Nagaraga yang juga menjadi muridnya.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Raden Rangga telah mengalami
pertempuran melawan orang Nagaraga sebelumnya. Karena
itu, maka iapun sedikit banyak dapat mengenali tata gerak dari
perguruan itu. Namun Raden Rangga tidak melupakannya,
bahwa ia telah membunuh orang Nagaraga yang datang ke
Mataram dengan membenturkan ilmunya dengan keras, justru
pada saat orang Nagaraga itu menyerangnya dengan
kekuatan ilmunya yang tinggi.
" Tetapi agaknya ilmu orang ini lebih baik " berkata Raden
Rangga didalam hatinya. Sekilas Raden Rangga memang teringat pada mimpinya.
Tetapi iapun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Biarlah
terjadi apa yang akan terjadi.
Ternyata bahwa orang berwajah keras itu memang memiliki
ilmu yang tinggi. Dengan kecepatan gerak dan kekuatannya ia
telah melawan Raden Rangga dengan tanpa mempergunakan
senjata. Mula-mula Raden Rangga tidak menghiraukannya. Ia
masih saja mempergunakan tongkat bambunya. Namun
akhirnya ia mulai memperhatikan bahwa lawannya telah
melawannya dengan tidak bersenjata.
" He " tiba-tiba saja Raden Rangga itu menegurnya " kau
jangan terlalu sembrono ya. "
" Kenapa" " bertanya orang itu.
" Kenapa kau tidak bersenjata" " bertanya Raden Rangga.
" Buat apa" Bertempur dengan cara apapun tidak penting,
asal dapat mengalahkan lawannya. Jika tanpa senjata aku
dapat mematahkan lehermu, buat apa aku bersenjata" " jawab
orang itu. Raden Rangga benar-benar tersinggung. Karena itu, maka
tiba-tiba saja serangannya datang membadai. Tanpa
menunggu lawannya sempat mengatur diri menghadapinya,
maka tongkatnya telah tiga kali mengenai tubuh lawannya itu.
Meskipun Raden Rangga belum mengerahkan
kemampuannya sepenuhnya dan membuat tongkatnya
menjadi senjata yang aneh, namun pukulan tongkat bambu itu
memang terasa sakit ditubuh orang itu. Lengannya telah
menjadi nyeri. Sebuah goresan biru menyilang pula dipahanya
serta satu lagi dilambung meskipun hanya menyentuhnya.
" Gila " geram orang itu.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka
orang itu telah bertempur semakin cepat. Ia mencoba
menghindari serangan-serangan tongkat Raden Rangga.
Tetapi ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri pada sikap
sombongnya. Jika ia tetap tidak bersenjata, maka tubuhnya akan diremukkan oleh tongkat bambu lawannya yang masih sangat muda itu.
Jilid 219 "APAKAH aku harus bersenjata melawan anak-anak?" katanya di dalam hati.
Tetapi orang itu tidak mau menjadi korban dari sikapnya itu. Ketika sekali lagi tongkat Raden Rangga mengenainya, maka ia berdesis, "Kau memang anak iblis. Kau menyakiti aku he."
Raden Rangga meloncat surut sambil tertawa, "Kau jangan terlalu sombong. Jika kau masih tetap tidak bersen"jata, maka kau akan menyesal."
"Persetan." geram orang itu. Tetapi ia memang merasa perlu untuk mengambil senjatanya. Sebuah pedang yang besar dan panjang.
Namun Raden Ranggapun menjadi berdebar-debar melihat pedang itu. Pedang yang agak khusus, karena pada punggungnya pedang itu terdapat gerigi yang bagaikan duri pandan. Jika tajamnya tidak mengenai lawan maka ia akan berusaha untuk menyentuh dengan punggungnya. Sentuhan gerigi duri pandan itu tidak kalah berbahayanya dengan tajam pedang itu sendiri.
"He, kau ngeri melihat pedangku." berkata orang berwajah keras itu.
"Ya." jawab Raden Rangga, "pedangmu itu memang mengerikan. Jika gerigi itu menggesek kulit, maka kulit akan terkoyak menganga seperti tersayat diterkam kuku burung garuda."
"Nah, jika demikian menyerahlah, agar aku dapat memotong lehermu dengan tajam pedangku, bukan dengan punggungnya." geram orang itu.
Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, "Jangan bergurau begitu. Bukankah kita sepakat untuk bertempur" Jika kita mati dalam pertempuran itu tidak apa-apa. Tetapi jika aku berjongkok sambil menundukkan kepala, kemudian kau menebas leherku, rasa-rasanya seperti orang membunuh diri."
"Bukankah itu lebih baik daripada tubuhmu terkoyak-koyak oleh punggung pedangku?" bertanya orang berwajah keras itu.
Tetapi Raden Rangga menggeleng. Katanya, "Mungkin justru kau sendirilah yang mengalami. Aku akan berusaha memimjam pedangmu."
Orang itu menggeram. Sambil menggerakkan pedangnya orang itu berkata, "Baiklah, jika kau memilih mati dengan tubuh hancur tersayat-sayat oleh pedangku."
Raden Rangga tidak sempat menjawab. Orang itu telah mengayunkan pedangnya yang besar dan berat. Dengan demikian maka pertempuranpun telah terjadi lagi. Semakin dahsyat karena keduanya telah mempergunakan senjata.
Raden Rangga tidak dapat mempergunakan senjatanya sebagaimana kewajaran tongkat bambunya. Karena itu maka iapun telah mengalirkan kekuatannya pada tongkatnya.
Meskipun demikian Raden Rangga tidak berani dengan serta merta membentur kekuatan lawan. Mula-mula ia ha"ms menjajagi lebih dahulu sampai seberapa jauh kekuatan lawannya yang berwajah keras dan berilmu tinggi itu.
Namun ternyata bahwa kekuatan orang itu tidak akan melampaui kekuatan Raden Rangga jika ia melambarinya dengan segenap kekuatannya. Karena itu, maka dalam pertempuran berikutnya, make Raden Rangga telah mempergunakan tongkatnya untuk melawan pedang lawannya yang besar itu.
Ketika lawannya mengayunkan pedangnya dengan sepenuh kekuatannya, maka Raden Rangga pun telah menghimpun kekuatannya pula. Sehingga kedua jenis senjata yang tidak banyak terdapat diantara para prajurit dan orang-orang Nagaraga itu telah berbenturan.
Benturan itu memang demikian sengitnya. Hampir saja pedang yang besar itu terlepas dari tangan pemiliknya. Hanya karena kekuatan yang luar biasa sajalah, maka pe"dang itu masih tetap ditangannya.
Sementara itu, terasa tangan Raden Ranggapun ber-getar. Tetapi tongkat bambunya seakan-akan telah melekat dengan tangannya. Meskipun tangan Raden Rangga terasa pedih juga, namun tongkat itu tidak akan terlepas dari genggamannya.
Raden Rangga memang sudah menduga, bahwa ke"kuatan orang itu akan menyakiti tangannya. Namun ketika getaran dari pusat dadanya, dalam tarikan nafas yang dalam, seakan-akan mengalir ke telapak tangannya, maka ia berhasil mengatasi perasaan sakit itu.
Orang berwajah keras itulah yang mengumpat. Dengan kasar ia berkata, "Anak iblis. Bagaimana mungkin kau dapat menahan benturan itu?"
"Tetapi bukankah yang terjadi seperti yang kau lihat?" bertanya Raden Rangga.
Orang itu menjadi semakin marah. Namun kemarahannya itu menyeretnya semakin dekat dengan saat-saat yang paling buruk baginya.
Ternyata bahwa di sayap itu, kekuatan orang-orang Mataram telah berhasil bukan saja menahan gerak maju pasukan Nagaraga yang menekan, tetapi justru sebaliknya. Orang-orang Mataram telah berhasil mendesak orang-orang Nagaraga, meskipun beberapa orang terkuat diantara mereka telah bergeser.
Sementara itu di sayap yang lain, keadaan menjadi agak seimbang, karena beberapa orang telah bergeser. Para perwira Mataram disayap yang lain itu mampu bertahan dari desakan orang-orang Nagaraga yang kuat.
Kiai Nagaraga sendiri melihat keadaan itu dengan hati yang tegang. Baginya, setelah bertempur beberapa saat, menganggap bahwa Pangeran Singasari tidak sangat berbahaya baginya, meskipun jika ia salah langkah, maka akan mungkin sekali terjadi bencana atas dirinya. Namun pada saatnya jika ia tidak dapat menundukkan Pangeran Singasari dalam benturan wadag, maka ia terpaksa menghancurkannya dengan ilmunya yang jarang ada duanya.
Dalam pada itu, di bagian-bagian yang tersekat oleh dinding-dinding yang tidak terlalu tinggi, pasukan Mata"ram harus berjuang keras menghadapi para penghuni padepokan itu. Namun ternyata para prajurit Mataram mendapat kesempatan untuk tetap bertahan, karena hanya satu dua orang diantara orang-orang Nagaraga yang memiliki ilmu yang tinggi, yang harus dihadapi oleh lebih dari seorang perwira. Meskipun demikian, namun banyak kemungkinan akan dapat terjadi.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang bertempur melawan orang yang memang berilmu tinggi, semakin lama menjadi semakin sengit. Putaran dan loncatan-loncatan keduanya telah membuat orang-orang disekitarnya menyibak. Apalagi ketika mulai terasa angin yang keras mengikuti setiap gerak dan serangan kedua orang yang silih berganti itu.
Sabungsari yang bertempur tidak terlalu jauh dari Ki Jayaraga segera melihat, bahwa Ki Jayaraga telah mendapat lawan yang seimbang. Namun Sabungsaripun me"lihat pula apa yang terjadi pada Glagah Putih meskipun tidak begitu jelas. Demikian juga Raden Rangga yang agak"nya juga telah bertempur dengan sungguh-sungguh.
Namun Sabungsari sendiri masih harus selalu menghalau beberapa orang murid yang masih pada tataran yang baru sebagaimana Glagah Putih.
Sebenarnya keduanya ingin berbuat lebih banyak dari yang dapat mereka lakukan. Namun Glagah Putih memang merasa terikat oleh Raden Rangga yang setiap saat dapat melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.
Namun ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, serta Raden Rangga telah mendapat lawan yang me"mang perlu diperhitungkan, maka Glagah Putih mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.
"Tetapi apakah aku akan meninggalkan Raden Rangga?" bertanya Glagah Putih didalam hatinya.
Namun tiba-tiba saja ia melihat Raden Rangga mem"buat loncatan panjang justru surut. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia mulai menilai, apakah lawan Raden Rangga itu seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi.
Tetapi Glagah Putihpun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Raden Rangga tertawa. Lawannya justru terdorong beberapa langkah pada saat Raden Rangga menghindari serangan lawannya itu dengan loncatan panjang. Namun sejenak kemudian, keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit.
Glagah Putihpun kemudian berpaling ketika Sabung"sari mendekatinya sambil berdesis, "Aku akan ke sayap sebelah."
"Apakah Pangeran Singasari tidak berkeberatan?" bertanya Glagah Putih.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengangguk, "Baiklah. Aku akan tetap disini."
Namun ketika Sabungsari kembali ketempatnya, ia telah meningkatkan kemampuannya. Ia tidak lagi dapat menahan terlalu banyak dan terlalu lama hentakan-hentakan yang ada didalam dirinya, yang seakan-akan telah menyakiti dadanya sendiri.
Karena itu, maka orang-orang yang mendekatinya, justru mengalami nasib yang lebih buruk. Karena Sabungsari mempergunakan sebilah pedang, maka lawan-lawannyapun telah tergores oleh pedang semakin dalam.
Dalam keseluruhan pertempuran antara para prajurit Mataram dan orang-orang Nagaraga masih belum dapat diduga, siapakah yang akan memenangkan pertempuran. Namun masih ada diantara orang-orang Mataram yang belum melepaskan seluruh kemampuannya, meskipun Kiai Nagaraga sendiri juga belum melakukannya. Dengan demi"kian maka masih akan terjadi benturan-benturan yang lebih dahsyat jika mereka sampai kepuncak ilmu masing-masing.
Ketika pertempuran menjadi semakin meningkat, maka pada kedua sayap pertempuran itu nampak sekali perbedaannya. Disatu sayap pasukan Mataram nampak menekan orang-orang padepokan Nagaraga, sementara disayap yang lain keadaannya menjadi sebaliknya. Orang-orang Nagaragalah yang menekan orang-orang Mataram.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak berusaha untuk mencari keseimbangan. Beberapa orang perwira yang berada disayap yang berhasil mendesak kekuatan pade"pokan Nagaraga telah bergeser kesayap yang lain, justru karena mereka merasakan ketidak seimbangan itu. Seorang penghubung telah memberikan beberapa keterangan tentang keadaan dalam keseluruhan atas perintah seorang per"wira yang berada disini mendapat tekanan itu.
Sebenarnyalah bahwa Pangeran Singasari tidak men"dapat kesempatan untuk melakukan pengamatan atas kese"luruhan medan. Apalagi ketika lawannya itu menekannya semakin tajam, sehingga hampir seluruh perhatian Pange"ran Singasari telah dipusatkan pada usaha untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan kemudian terasa bahwa ia benar-benar harus memusatkan segenap kemampuannya untuk melawan orang yang menyebut dirinya Kiai Naga"raga.
Dengan bergesernya beberapa orang perwira kesayap yang lain, maka keseimbanganpun menjadi semakin mantap. Disayap yang semula para prajurit Mataram terasa tertekan, dengan kehadiran beberapa orang perwira, keadaanpun telah berubah.
Tetapi di sayap yang lain, maka para prajurit Matarampun harus bekerja lebih keras. Justru karena beberapa orang diantara mereka telah meninggalkan sayap itu dan berada disayap yang lain. Tetapi disayap itu ternyata telah ikut bertempur Sabungsari dan Glagah Putih yang belum mempergunakan seluruh kekuatan yang ada pada mereka.
Namun karena beban di sayap itu sepeninggal beberapa orang perwira menjadi semakin berat, maka Sabungsari dan Glagah Putihpun telah bekerja lebih keras. Apalagi mereka memang berniat untuk ikut menentukan akhir dari pertem"puran yang sudah menjadi semakin lama.
Karena itu, maka keseimbangan yang terjadipun tidak bertahan terlalu lama. Ketika Sabungsari dan Glagah Putih bertempur semakin cepat, maka keseimbangan mulai berguncang lagi.
Orang-orang terkuat di padepokan itupun segera melihat, bahwa kedua orang muda itu memang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Karena itu, maka para cantrikpun telah menyampaikan hal itu kepada orang-orang terpenting dari padepokan Nagaraga.
Pergeseran demi pergeseran telah terjadi. Murid-murid terbaik dari Nagaragapun akhirnya berkumpul disatu sayap. Semakin lama pertempuran itu berlangsung, sema"kin nampak bahwa Sabungsari dan Glagah Putih adalah orang-orang yang sangat berbahaya disamping Ki Jayaraga dan Raden Rangga.
Namun semakin keras Sabungsari dan Glagah Putih bertempur, maka semakin terasa bahwa pasukan Mataram di induk padepokan itu berhasil menekan lawannya.
Seorang murid yang sudah sampai ketataran yang tinggi telah berusaha menghadapi Sabungsari. Seorang yang lain berkata diantara dua orang cantrik yang bertem"pur melawan Glagah Putih.
Namun mereka sama sekali tidak berhasil menekan lawan-lawannya, meskipun Sabungsari masih juga bersenjata pedang. Keadaan itu ternyata dapat ditangkap oleh Kiai Naga"raga. Karena itu, maka iapun tidak dapat menyembunyikan kecemasannya.
Meskipun ia yakin akan dapat mengalahkan Pangeran Singasari, tetapi dalam keseluruhan orang-orangnya memang dalam keadaan bahaya. Karena itu, maka Kiai Nagaragapun mulai melepaskan serangan-serangannya yang mendebarkan. Sekali-sekali tangannya menyambar dengan dahsyatnya. Meskipun Pangeran Singasari sempat mengelak, namun sambaran anginnya terasa menampar kulit. Bahkan terasa pedih.
"Setan." geram Pangeran Singasari. Iapun menyadari betapa tingginya ilmu lawannya itu.
"Pangeran." berkata Kiai Nagaraga, "seperti Pange"ran lihat, maka pasukan Mataram berhasil mendesak pasu"kan kami. Karena itu jangan menyesal jika kemarahanku atas hal ini aku tumpahkan kepada Pangeran."
"Persetan." geram Pangeran Singasari, "kaupun akan segera kehilangan kesempatan untuk melawan."
"Jangan bergurau Pangeran. Kita sudah tahu, siapa diantara kita yang akan hancur dimedan pertempuran ini." berkata Kiai Nagaraga, "dalam tataran ini aku sudah ya"kin, bahwa aku akan dapat membunuh Pangeran. Mungkin Pangeran juga memiliki ilmu pamungkas yang nggegirisi. Tetapi menilik dorongan tenaga cadangan yang ada pada Pangeran, kematangan ilmu dan ketrampilan serta kekuatan yang agaknya sudah sampai ke puncak, maka Pangeran sama sekali bukan bayangan Panembahan Senapati itu sen"diri."
Pangeran Singasari benar-benar menjadi marah. Namun ia masih tetap harus berhati-hati menghadapi Kiai Nagaraga. Jika ia sedikit saja melakukan kesalahan, maka akibatnya akan sangat gawat baginya.
Dengan sekali-sekali mendesak lawannya, Kiai Gringsing memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur itu. Rasa-rasanya Pangeran Singasari memang berada da"lam bahaya. Karena itu, maka Kiai Gringsing merasa perlu untuk semakin berhati-hati.
Tetapi sebelum Kiai Nagaraga sampai kepuncak ilmunya, maka pemimpin padepokan itu telah mengambil lang"kah untuk menentukan akhir dari pertempuran itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja terdengar satu isyarat yang aneh ke luar dari mulut Kiai Nagaraga itu.
Yang terdengar adalah suitan nyaring yang memanjang. Getarannya terasa bagaikan menyentuh langit, melingkar-lingkar menembus lembah dan lereng perbukitan. Mengguncang pepohonan hutan dan mengetuk dinding goa yang dihuni oleh seekor ular raksasa yang nampaknya telah berhenti bergaung untuk beberapa saat.
Pangeran Singasari dan para prajurit Mataram yang berada di padepokan itu, baik yang berada di padepokan in"duk, maupun yang berada di bagian-bagian yang tersekat di padepokan itu, terkejut sekali, Bahkan Kiai Gringsing dan Kiai Jayaragapun telah terkejut pula. Getaran suara Kiai Nagaraga itu seakan-akan telah mengguncang isi dada para prajurit Mataram yang mendengarnya. Bahkan rasa-rasanya setiap jantung bagaikan tertusuk sampai kepusatnya.
Tetapi hanya beberapa orang sajalah yang mengetahui, bahwa untuk menghentakkan suaranya, Kiai Nagaraga harus mengerahkan segenap kemampuannya. Sehingga karena itu, maka ketika ia melepaskan isyarat itu, Kiai Nagaraga telah meloncat mengambil jarak dari Pangeran Singasari.
Namun Pangeran Singasaripun ragu-ragu untuk mem-burunya. Hentakan pada dadanya fcerasa bagaikan merun-tuhkan jantung. Karena itu, maka Pangeran Singasaripun telah menunggu beberapa saat sambil mengerahkan daya tahannya untuk melindungi dadanya dari getaran suara Kiai Nagaraga itu.
Dalam pada itu Kiai Gringsing melihat bahwa Kiai Nagaraga bagaikan kehilangan kekuatannya untuk sesaat. Nafasnya terengah-engah. Namun dengan beberapa tarikan nafas dalam pemusatan nalar budi, maka aliran nafasnyapun telah pulih kembali.
Bahkan kemudian Kiai Nagaraga itupun berkata, "Pa"ngeran. Aku dapat membunuh semua prajurit Mataram dengan ilmu yang dapat aku lontarkan lewat suaraku. Tetapi terus terang, kesiapan dorongan tenaga atas ilmuku itu belum mencukupi. Karena itu, maka aku memerlukan bantuan, justru dari sumber ilmuku."
Pangeran Singasari menjadi semakin tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Bantuan siapa?"
"Ilmu kami bersumber pada Kiai Nagaraga yang sebenarnya. Seekor ular raksasa. Jika aku mohon, maka ular itu akan dapat melontarkan bunyi atas landasan ilmu yang sama. Tetapi jauh lebih panjang dari lontaran suaraku. Apalagi jika akulah yang melontaran serangan dengan suara itu, maka serangan itu akan terputus-putus, karena aku harus melayani Pangeran."
"Licik." geram Pangeran Singasari, "kau tidak bersandar kepada kemampuanmu sendiri."
"Ular naga itu adalah justru sumber dari kemampuan kami disini." jawab Kiai Nagaraga, "nah, jangan menyesal. Pada saat-saat kalian berusaha mengatasi serangan yang langsung menembus dinding dada para prajurit Ma"taram, maka kami dengan mudah dapat membenamkan ujung-ujung pedang kami kejantung kalian."
Kiai Nagaraga itu tertawa. Namun suaranyapun segera menurun ketika terdengar kembali gaung ular naga yang terputus-putus. Namun suara itupun segera berubah meninggi. Semakin lama semakin tinggi dan tidak lagi ter"putus-putus. Akhirnya suara itu mirip dengan suara yang telah dilontarkan oleh Kiai Nagaraga yang bertempur mela"wan Pangeran Singasari. Meskipun suara ular itu tidak setajam tusukan suara Kiai Nagaraga, namun sebenarnyalah suara ular itu telah mengguncang jantung para prajurit Ma-taram.
"Gaung kematian." berkata Kiai Nagaraga, "Pangeran, bersiaplah untuk mati bersama-sama semua prajurit Mataram."
Kiai Gringsing memang terkejut pula mendengar suara ular yang berubah menjadi tajam sekali. Getarannya me"mang telah mempengaruhi setiap dada prajurit Mataram. Mereka yang tidak memiliki daya tahan yang kuat, maka gaung ular itu akan sangat mempengaruhinya.
"Gila." geram Ki Jayaraga, "kenapa perguruanmu mempergunakan suara ular itu untuk membantu pertem"puran ini."
"Apaboleh buat." jawab adik Kiai Nagaraga itu, "kau tidak usah menyesal. Kau akan segera mati disini. Betapa tinggi ilmu, maka kau tidak akan mampu melawan suara itu dan melawan ilmuku sekaligus."
Wajah Ki Jayaraga serasa menjadi panas. Ia bukan seorang yang mudah terbakar hatinya. Namun mengalami serangan dari dua ujung perlawanan yang berat itu, maka ia harus dengan segera mengerahkan ilmunya sebelum ia sen"diri digulung kekalahan.
Sebenarnyalah suara ular yang bagaikan menjerit meniti udara itu sangat mempengaruhi medan. Para pra"jurit Mataram benar-benar mengalami kesulitan. Mereka harus berusaha untuk melawan bunyi yang tajam menusuk dada itu, sekaligus melawan ujung-ujung sanja orang-orang padepokan Nagaraga.
Sementara itu terdengar suara Kiai Nagaraga melengking, "Jangan menyesal. Kalian telah terjerumuskan oleh Panembahan Senapati kelubang kematian yang mengerikan. Besok akan segera tersiar kabar di Mataram, bahwa pasukan yang ditugaskan untuk menundukkan Nagaraga telah hancur sama sekali. Mungkin aku akan mensisakan dua tiga orang yang harus kembali dan menyampaikan kabar kematian itu kepada Panembahan Senapati. Biarlah Pa"nembahan menyesali langkah-langkah yang kurang berhati-hati sampai saatnya Panembahan Senapati sendiri akan mati."
Namun Kiai Nagaraga itu terkejut ketika ia mendengar ledakan dihampir ujung sayap. Agaknya seorang adiknya dan yang juga seorang muridnya telah mempergunakan ilmunya. Ilmu yang jarang ada duanya.
Dengan menghentakkan kakinya ditanah, maka se"akan-akan bumi pun meledak. Segumpal tanah telah terbaur kearah lawannya, seorang anak muda yang bersenjatakan pring gading.
Tetapi Raden Rangga justru tidak terkejut mengalami serangan ilmu itu. Ia pernah mengalami hal yang serupa. Karena itu, maka dengan tangkasnya Raden Rangga sempat meloncat kesamping. Namun sebelum kakinya menjejak tanah, ia masih juga sempat mendorong seorang per"wira yang bertempur disampingnya melawan seorang cantrik padepokan Nagaraga kearah yang sama.
Perwira itu terkejut. Ia sempat mengumpat. Namun kemudian ia menyadari bahwa Raden Rangga itu telah menyelamatkan jiwanya, karena sambaran serangan itu akan dapat mengenainya pula jika ia masih tetap berada ditempatnya.
Yang kemudian menjerit kesakitan adalah justru seo"rang cantrik padepokan itu sendiri, yang bertempur mela"wan perwira yang sempat didorong oleh Raden Rangga.
"Bodoh." teriak adik namun yang juga murid Nagaraga itu, "seharusnya kau tahu bahwa seranganku akan menebar sampai ketempatmu bertempur. Salahmu sendiri."
Cantrik itu masih mengaduh kesakitan. Tubuhnya berguling ditanah tanpa menghiraukan pertempuran yang sengit disekitarnya. Ketika seorang kawannya menolongnya dan memapahnya, menepi, maka cantrik itu justru merintih semakin keras.
"Cukup." bentak kawannya.
Namun kawannya itu menjadi meremang ketika ia melihat luka ditubuh cantrik itu. Meskipun hanya dibagian belakang pundaknya, namun ia melihat batu-batu kerikil dan bahkan pasir yang menembus masuk kedalam kulit dagingnya.
Dalam pada itu, orang yang berwajah keras itu sudah melangkah lagi maju mendekati Raden Rangga, sementara Raden Rangga berkata lantang kepada para prajurit Mataram, "Minggir. Orang ini sudah menjadi gila."
Para prajurit Mataram memang bergeser menjauhi Raden Rangga. Mereka sadar, bahwa Raden Rangga yang akan menjadi sasaran ilmu yang luar biasa itu, karena sebelumnya murid Nagaraga; itu telah bertempur melawan-nya. Meskipun demikian, serangan itu memang dapat menyebar beberapa jengkal dari sasaran, sehingga jika mereka berada dekat dengan Raden Rangga, maka serangan itu mungkin sekali akan dapat mengenai mereka.
Namun para perwira dari Mataram itupun menjadi cemas. Jika Raden Rangga yang muda itu tidak berhasil mengatasi ilmu lawannya itu, maka sasaran berikutnya adalah perwira itu. Mereka akan ditumpas habis tanpa ampun. Kerikil-kerikil tajam, pasir bercampur padas akan menghunjam dan membenam ke dalam daging mereka menghantam tulang. Mungkin tulang mereka akan retak. Mungkin juga tidak. Tetapi jika batu-batu kerikil, tanah dan padas itu menusuk lambung dan masuk kedalam perut mereka, maka usus-usus merekapun akan dikoyakannya.
"Kiai Nagaraga. Sekali lagi aku perintahkan kau menyerah atas nama Panembahan Senopati yang berkuasa di Mataram". "Maaf Raden. Aku sudah bertekat untuk menyatukan diri dengan madiun meskipun ".
Karena itu, maka telah terjadi ketegangan yang sangat. Tumpuan harapan mereka memang ada pada Raden Rangga yang semula kurang diperhitungkan, bahkan seolah-olah Pangeran Singasari tidak mengharapkan kehadirannya. Apalagi perwira yang telah diselamatkannya. Jika sebelumnya ia hanya mendengar tingkah laku Raden Rangga yang aneh, maka kini ia benar-benar menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh anak muda itu.
Tetapi di medan ini Raden Rangga bukan sekedar seorang anak nakal. Ia bukan sedang memindahkan tugu batas dua buah Kademangan. Tugu yang berat yang harus diusung oleh beberapa orang disaat anak-anak muda mengembalikan tugu itu. Bukan pula sekedar melepaskan seekor harimau di halaman seorang perwira yang kurang disukainya atau membunuh orang tanpa arti. Tetapi ia sudah melindungi pasukan Mataram, setidak-tidaknya di satu titik medan yang gawat.
Demikianlah maka ketika para prajurit dan para cantrik telah menyibak, telah terjadi arena yang agak luas. Namun ternyata bukan hanya disekitar Raden Rangga saja. Ki Jayaragapun agaknya telah meningkatkan ilmunya, sehingga para prajurit yang bertempur disekitarnya telah menyibah.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pertempuran telah berkembang kearah yang lebih bersungguh-sungguh. Beberapa orang telah merambah ke ilmu pamungkasnya, meskipun belum sampai kepuncak.
Sementara itu, beberapa orang murid Kiai Nagaraga yang sudah mulai mewarisi ilmunya, telah melepaskan ilmu itu pula, meskipun belum sampai ketataran yang menggetarkan.
Kiai Gringsing masih berusaha selalu berada didekat Pangeran Singasari. Tetapi Pangeran Singasari sendiri ter"nyata menjadi sangat gelisah. Meskipun ia sendiri mampu mengatasi hentakan suara ular naga itu, tetapi ia menyadari, bahwa sebagian dari pada prajuritnya tentu akan terpengaruh karenanya.
Namun pada saat-saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara Raden Rangga bergelora. Bukan suara wajarnya. Tetapi suaranya seakan-akan membayangi getar lengking suara ular di dalam goa, "Jangan gentar oleh suara yang melengking dan bergaung itu. Bukan ilmu yang dapat mempengaruhi kalian jika kalian tidak terperangkap oleh kecemasan didalam diri kalian sendiri. Didalam goa tempat ular bersembunyi itu tentu terdapat rongga yang besar. Rongga itulah yang telah membuat suara ular itu jadi aneh. Lubang udara yang menghadap keataspun akan dapat membantu membuat suara didalam goa itu berpuluh-puluh kali lipat lebih keras dari suara yang sebenarnya. Seperti suara rinding yang bergaung karena rongga mulut orang yang membunyikannya. Apalagi dalam ukuran yang ratusan kali lebih besar."
Pangeran Singasari tergetar jantungnya mendengar suara Raden Rangga. Kecuali karena getaran yang tentu dilontarkan oleh ilmu yang sangat tinggi, kata-kata yang diucapkannya itu memang berpengaruh terhadap para pra"jurit Mataram yang sedang berusaha mengatasi pengaruh suara ular yang bergaung itu.
Namun suara ular itu masih saja melengking justru meninggi. Sehingga rasa-rasanya sentuhannya pada setiap jantung menjadi semakin keras. Tetapi beberapa orang perwira telah berusaha menutup pendengaran mereka. Mereka mencoba meyakini suara Raden Rangga. Dengan melambari diri dengan ilmu mereka, maka para perwira itupun berusaha meyakini bahwa suara yang mereka dengar adalah suara ular yang dilipat gandakan oleh rongga goa dan deru angin yang bertiup keras pada lubang-lubang goa itu.
"Suara itu tidak mempunyai kekuatan apapun." geram para perwira itu.
Dengan demikian maka para perwira itu justru bertem"pur semakin sengit. Tetapi sebagian yang lain, benar-benar tidak mampu menghindarkan diri dari tusukan suara yang rasa-rasanya memang semakin tajam itu. Sehingga perlawanan merekapun semakin lama menjadi semakin terasa berat.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Singasari ternyata tidak banyak dapat berbuat. Ia terikat pada lawannya yang tidak dapat diatasinya. Betapapun juga Pangeran Singasari harus mengakui, bah"wa lawannya memang berilmu tinggi. Bahkan pada suatu saat Pangeran Singasari harus bertempur dengan membenturkan ilmu pamungkas mereka. Dan Pangeran Singasaripun menyadari, bahwa lawannya tentu memiliki ilmu pamungkas yang nggegirisi.
Kedudukan Pangeran Singasari memang sulit. Jika ia ingin berada diantara para prajurit serta mengetahui keadaan mereka dari ujung sampai keujung, maka ia harus berdiri bebas. Tetapi dengan demikian, sebagai seorang Sena"pati yang memimpin pasukan itu, maka seakan-akan ia menghindari tanggung jawabnya untuk menghadapi Sena"pati tertinggi dari pasukan lawan.
Apalagi pada dasarnya, watak, Pangeran Singasari tidak maudiata si dalam segala hal sehingga dengan demi"kian tanpa berpikir panjang, ia telah menentukan untuk langsung berhadapan dengan pemimpin tertinggi dari pade"pokan Nagaraga itu.
Ketika pengaruh suara ular didalam rongga goa itu semakin terasa oleh para prajurit Mataram,. Pangeran Singasari benar-benar menjadi cemas.
Namun dalam keadaan yang demikian, Sabungsari dan Glagah Putih telah menunjukkan kemampuan mereka seba"gai orang yang memang memiliki ilmu yang berarti. Dalam keadaan yang sulit itu keduanya masih juga melemparkan lawan-lawan mereka. Bahkan Sabungsari seakan-akan tidak lagi terikat dengan lawan yang manapun juga. Tiba-tiba sa"ja ia berloncatan diarena yang panjang itu.
"Maafkan aku." berkata Sabungsari ketika berusaha membantu seorang perwira yang terdesak.
Perwira itu memang terkejut. Ada semacam singgungan atas harga dirinya. Tetapi ketika ia melihat ciri se-orang perwira Mataram yang dikenakan oleh Sabungsari maka perwira itu tidak mencegahnya meskipun iapun tahu, bahwa perwira itu yang dimaksud oleh Pangeran Singasari sebagai seorang prajurit dari kesatuan yang tidak ditunjuk.
Namun ternyata bahwa Sabungsari memiliki kelebihan dari perwira yang terdesak itu. Sehingga dalam waktu yang dekat, maka lawannya telah dilukainya dengan ujung pedang. Dengan demikian maka Sabungsari justru telah meloncat dari satu lawan kepada yang lain. Dengan demikian, maka Sabungsari itu justru menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang Nagaraga.
Glagah Putih memang mempunyai kesempatan yang sama. Namun ketika ia akan bergeser dari tempatnya, tiba-tiba saja ia mendengar Raden Rangga berkata, "Glagah Putih. Kemarilah. Kau ambil lawanku. Aku harus berbuat sesuatu untuk menghentikan suara ular yang gila itu."
"Raden akan kemana?" bertanya Glagah Putih.
"Cepat. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Aku mempunyai perhitungan, jika kita terlambat, maka para prajurit Mataram terutama yang ada dibagian-bagian yang tersekat dari padepokan ini akan dihancurkan oleh orang-orang Nagaraga. Ternyata Mataram telah mengambil langkah yang salah. Sebelum mereka mengetahui ke"kuatan lawan, mereka telah menentukan kekuatan pasukan yang dikirim kemari. Apalagi dibawah pimpinan pamanda Pangeran Singasari."
"Jadi maksud Raden." suara Glagah Putih terputus oleh bentakan Raden Rangga, "cepat, kau disini. Hati-hati dengan ilmu orang ini. Pergunakan senjatamu."
Glagah Putih tidak sempat bertanya lebih lanjut. Tiba-tiba saja Raden Rangga melenting, berbareng dengan suara ledakan dari ilmu lawannya. Tetapi sama sekali tidak mengenai Raden Rangga yang langsung meninggalkan arena.
Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia menyusul dan berusaha mencegah Raden Rangga, maka orang yang ditinggalkan oleh Raden Rangga itu tentu sangat berbahaya. Ia akan dapat membunuh banyak orang Mataram. Lontaran ilmunya tidak akan dapat dihindari oleh para prajurit tanpa lambaran ilmu yang memadai.
Karena itu, maka iapun dengan cepat telah menempatkan diri melawan adik Kiai Nagaraga yang juga menjadi muridnya yang sudah pada tataran yang tinggi.
"Setan." geram orang itu, "kau kira kau akan dapat menyelamatkan kawanmu itu?"
"Memang tidak. Ia memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari aku. Tetapi aku harus menjalankan perintahnya." sahut Glagah Putih.
Wajah orang itu bagaikan membara. Dengan nada lantang ia berkata, "Kawanmu itu menghina aku. Ia sendiri tidak mampu melawan aku dan berusaha menyelamatkan dirinya, tetapi kau yang ilmunya pada tataran yang lebih rendah, berusaha melawanku."
Glagah Putih belum sempat menjawab ketika orang itu menghentakkan kakinya ketanah. Segumpal batu kerikil, pasir dan debu telah terlontar oleh bemacam ledakan karena hentakan kaki orang itu.
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putihpun cukup tangkas. Iapun sempat meloncat menghindari serangan itu. Bahkan Glagah Putih yang sudah mengurai senjatanya itu justru meloncat mendekat sambil mengayunkan ikat pinggangnya.
Lawannya terkejut. Glagah Putih ternyata mampu pula bergerak secepat lawannya yang meninggalkan arena. Bah"kan lawannya yang baru itu nampaknya bertempur dengan lebih bersungguh-sungguh. Mulutnya tidak banyak menyeringai melontar tawa yang sangat menyakitkan hati. Namun sorot matanya menunjukkan kesungguhan yang da"lam. Orang berwajah kasar itu terpaksa melenting menjauh.
Senjatanya yang berbahaya itu diayun-ayunkannya. Bah"kan tanpa melepaskan ilmunya ia dengan sengaja telah meloncat mendekat. Dengan lantang ia berkata, "Sebenarnya aku lebih senang mengkoyak tubuhmu dengan senjata ini daripada membuat tubuhmu arang kranjang dengan ilmu"ku."
Glagah Putih memang berdebar juga melihat senjata orang itu. Namun ia yakin bahwa senjatanya sendiripun me"miliki kelebihan dari senjata kebanyakan.
Namun orang itu masih juga berkata, "Orang-orang Mataram memang gila. Yang melarikan diri tadi bersenjata tongkat bambu kuning. Sekarang kau bersenjata ikat pinggang."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia sudah mempersiapkan diri sepenuhnya ketika orang itu mengayunkan senjatanya yang berat dan mendebarkan itu.
Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Jika Raden Rangga merasakan telapak tangannya menjadi pedih, maka hampir saja Glagah Putih kehilangan senjatanya. Namun ia masih mampu menghentakkan genggamannya sehingga ikat pinggangnya tidak terlepas. Namun seperti Raden Rangga, tangannya merasa pedih. Sehingga dengan demi"kian ia harus mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi rasa sakit itu.
Tetapi lawannyapun mengumpat pula. Tangannyapun terasa menjadi panas. Senjatanya yang berat itu hampir sa"ja meloncat pula dari tangannya.
"Setan." geramnya, "sama gilanya dengan anak yang lari itu."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa orang itu tentu akan segera mempergunakan ilmu"nya lagi, karena senjatanya tidak mampu berbuat banyak.
Sebenarnyalah, bahwa orang itu memang merasa sen"jatanya tidak akan mampu mengalahkan senjata lawannya meskipun hanya sebuah ikat pinggang. Namun dalam ben"turan yang terjadi ikat pinggang itu ternyata menjadi sekuat bindi baja.
Karena itu, maka untuk menghancurkan lawannya, orang berwajah kasar itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ilmunya dan membuat lawannya terluka arang kranjang oleh kerikil-kerikil tajam dan batu-batu padas berpasir. Meskipun serangannya yang pertama tidak mengenainya, tetapi ia yakin akan dapat menghancurkan lawannya dengan caranya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berada dalam kesulitan. Ia melihat Raden Rangga meninggalkan arena. Ia tahu, kemana anak itur pergi. Tetapi iapun tidak dapat meninggalkan Pangeran Singasari. Dalam puncak ilmu yang gawat, Pangeran Singasari tentu tidak akan dapat mengimbangi kekuatan lawannya.
Untuk beberapa saat Kiai Gringsing harus berpikir. Apakah ia harus mencegah Raden Rangga, atau ia harus tetap membayangi Pangeran Singasari.
Sementara itu, ia mencoba mengamati Ki Jayaraga. Mungkin ia dapat membantunya. Namun ternyata bahwa Ki Jayaraga benar-benar mendapat lawan yang tangguh. Orang kedua dari padepokan Nagaraga. Sedangkan Sabungsari diperlukan untuk membantu para perwira yang memang terdesak.
Suara ular itu agaknya benar-benar ber-pengaruh bagi orang-orang Mataram.
"Tugas yang sangat berat bagi Pangeran Singasari." berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Ketika diujung terdengar ledakan, maka Kiai Gring"singpun sempat melihat sekilas Glagah Putih meloncat menghindar. Sehingga Kiai Gringsing pun mengetahui, bahwa Glagah Putih telah mengambil alih lawan Raden Rangga yang ditinggalkannya.
Sementara itu, Glagah Putihpun tidak ingin membiarkan dirinya dihancurkan oleh ilmu lawannya. Karena itu, maka ia harus melawan ilmu itu dengan kemampuan il"munya pula.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang melihat keadaan pasukan Mataram menjadi gelisah. Jika keadaan yang demikian dibiarkan, maka Mataram tentu akan me"ngalami kesulitan yang parah. Bahkan mungkin prajurit Mataram yang ada di bagian-bagian padepokan yang tersekat itu benar-benar akan ditumpas oleh orang-orang Naga"raga.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun berkata didalam hatinya, "Sesuatu harus dilakukan."
Memang sesuatu harus dilakukan. Namun rasa-rasanya Kiai Gringsing itu memang berada disimpang jalan. Meski"pun bagi Kiai Gringsing condong untuk berusaha menyusul Raden Rangga, tetapi ia tidak dapat berbuat demikian. Kecuali Pangeran Singasari, maka lawan yang ditinggalkan itupun akan dapat ikut menyapu para prajurit Mataram.
Sementara itu suara ular naga didalam goa itu semakin terdengar nyaring. Getarannya semakin tajam menusuk jantung para prajurit Mataram. Dengan demikian maka perlawanan Prajurit Mataram pun menjadi semakin lemah. Sabungsari yang bertempur dengan garangnya, tidak mam"pu berada di sepanjang arena, sehingga karena itu, maka kadang-kadang keadaanpun menjadi sangat gawat bagi seorang prajurit Mataram.
Akhirnya tidak ada pilihan dari Sabungsari untuk mem"pergunakan ilmunya. Ia sadar, bahwa dengan demikian maka mungkin sekali ia akan membunuh lawan-lawannya. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Pedangnya tidak terlalu banyak dapat membantu para prajurit Mataram. Jangkauan panjangnya sangat terbatas.
Karena itu, maka iapun berkata kepada diri sendiri. "Aku terpaksa melakukannya."
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja langit yang biru itu rasa-rasanya mulai menjadi buram. Disiang hari yang cerah nampak bagaikan kabut yang tipis mulai melayang-layang diatas padepokan itu.
"Tentu bukan karena ada kebakaran " berkata Sabungsari didalam hatinya, "asap putih itu tidak datang dari satu tempat."
Sebenarnyalah asap putih mulai membayangi pade"pokan itu. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin tebal.
Sementara itu pertempuranpun menjadi semakin sengit. Pasukan Mataram benar-benar terdesak. Ketika seorang perwira yang terdesak sudah tidak berdaya lagi, karena kebetulan kakinya terantuk batu dan jatuh terlentang sementara pedangnya terlempar, menunggu maut, maka tiba-tiba saja lawannya yang sedang mengayunkan senjata itu menjerit. Senjatanya terlepas, sementara kedua tangannya memegang dadanya yang bagaikan menjadi hancur.
Perwira yang sudah tidak mempunyai harapan untuk tetap hidup itu sempat berpaling kearah pandangan lawan"nya yang kemudian jatuh terkulai itu. Ia melihat Sabung"sari berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangan kanannya menggenggam pedangnya yang menunduk sedang tangan kirinya lepas disisi tubuhnya.
Tetapi perwira itupun harus segera bangkit dan memungut pedangnya. Namun ia tahu, bahwa perwira dari kesatuan prajurit Mataram yang berada di Jati Anom itu telah menolongnya dengan serangan jarak jauh.
Sabungsari memang terpaksa melakukannya. Sejenak kemudian iapun telah menyerang orang lain dari Nagaraga itu dengan cara yang sama. Namun kemudian datang tiga orang bersama-sama melawannya, sehingga sebelum ia sempat mempergunakan ilmunya itu, ia harus memper"gunakan pedangnya.
Dalam pada itu kabut putih itu rasa-rasanya memang menjadi semakin tebal. Sementara Kiai Gringsing sekali-sekali memang meloncat meninggalkan lawannya. Atau bahkan Kiai Gringsing menyerang lawannya dengan dahsyat sehingga lawannya itu meloncat surut menghindari serangan yang memburu.
Kesempatan-kesempatan itu telah dipergunakan Kiai Gringsing sebaik-baiknya untuk melepaskan ilmunya. Se"hingga dengan demikian maka pengetrapan ilmunya itu tidak berjalan terlalu cepat.
Ketika kabut menjadi semakin terasa mengganggu, maka adik yang sekaligus murid Kiai Nagaraga itu tidak mau menunggu lagi terlalu lama. Ia sadar, bahwa tentu ada sebabnya, bahwa disiang hari yang cerah itu, tiba-tiba udara menjadi buram.
Karena itu, selagi ia masih dapat memandang lawannya dengan jelas, maka iapun telah berusaha untuk membunuh Glagah Putih. Dengan mengerahkan ilmu puncaknya ia telah menyerang Glagah Putih berloncatan menghindari serangan itu.
Namun setiap kali Glagah Putih mampu juga dengan kecepatan yang tinggi disaat-saat meloncat mengelak, sekaligus mendekati lawannya dan mengayunkan ikat pinggangnya.
Benturan-benturan senjata masih saja terjadi. Tetapi Glagah Putihpun telah memutuskan untuk membentur ilmu lawannya jika orang itu mendesaknya lagi.
Sebenarnyalah, orang itu telah berusaha mencari kesempatan untuk menyerang Glagah Putih dengan ilmu"nya. Disaat-saat Glagah Putih menghindari ujung senjata"nya, maka orang itupun telah meloncat beberapa langkah surut.
Tetapi Glagah Putih memang tidak memburunya. Demikian ia berhasil menghindar dan melihat lawannya justru mengambil kesempatan, iapun telah melakukannya pula. Glagah Putih memang bertekad untuk mengakhiri pertempuran, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Jika ilmu orang itu lebih tinggi dari ilmunya, maka ialah yang akan terkapar dihalaman padepokan Nagaraga itu. Tetapi jika ilmunya berhasil mengatasi ilmu orang itu, maka ialah yang akan keluar dari lingkaran pertempuran itu.
Demikianlah, sesaat kemudian, lawan Glagah Putih itu benar-benar telah meloncat untuk melepaskan ilmunya. Kakinya tiba-tiba saja telah menghentak tanah untuk melontarkan segumpal batu-batu kerikil, pasir, tanah berpadas dan debu kearah Glagah Putih.
Glagah Putih sudah jemu meloncat-loncat menghindar. Karena itu, ia sama sekali tidak melenting kesamping. Tetapi iapun telah melepaskan ilmunya pula. Ilmu yang dipelajari dari kedua orang yang telah memberinya bekal. Berlandaskan ilmu dari cabang perguruan Ki Sadewa yang mengalir lewat Agung Sedayu, serta kekuatan ilmu dari Ki Jayaraga, maka Glagah Putih telah melawan serangan lawan dengan hentakan yang dilambari dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada didalam dirinya.
Dengan demikian, maka telah terjadi satu benturan yang sangat dahsyat. Ledakan ilmu orang yang berwajah kasar itu, dibentur oleh kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Glagah Putih yang memang benar-benar ingin meng"akhiri pertempuran itu, apapun yang terjadi.
Orang yang berwajah kasar itu, yang memiliki ilmu yang tinggi yang diwarisinya dari Kiai Nagaraga yang juga kakak kandungnya, dibawah gaung suara ular didalam goa itu, telah menghentakkan ilmu yang luar biasa kuatnya. Namun Glagah Putih, murid Agung Sedayu dan sekaligus murid Ki Jayaraga itupun memiliki kekuatan yang sangat besar. Glagah Putih telah mempergunakan kekuatan ilmunya bukan saja kemampuan un"tuk melontarkan kekuatan sebagaimana diwariskan oleh Ki Jayaraga, tetapi Glagah Putih telah menghentakkan pula kemampuan puncaknya yang diwarisinya dari Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka kekuatan yang dilontarkannya, adalah kekuatan yang luar biasa. Apalagi Glagah Putih tidak mengarahkan kekuatan ilmunya ketubuh lawannya, tetapi ke"kuatan ilmunya telah dibenturkan langsung ke arah kaki lawan"nya menghantam tanah.
Akibatnya memang luar biasa. Kerikil-kerikil tajam, gumpalan-gumpalan tanah berbatu padas dan pasir kasar, tidak mampu menembus kekuatan ilmu Glagah Putih. Serangan yang ditujukan kepada Glagah Putih itu telah memental dan justru telah mengenai diri sendiri. Kerikil-kerikil tajam, gumpalan batu-batu padas dan seonggok tanah berdebu telah menghantam tubuhnya.
Terdengar jerit ngeri mengoyak hiruk-pikuknya pertem"puran. Orang berwajah kasar itu terlempar dari arena beberapa langkah. Kemudian jatuh terguling ditanah. Namun kemudian orang itu telah terdiam untuk selama-lamanya.
Glagah Putih sendiri terdorong selangkah surut. Ternyata bahwa benturan itu begitu dahsyatnya, sehingga masih juga satu batu kerikil terlepas menyusup kekuatan ilmu Glagah Putih dan mengenai tubuhnya.
Glagah Putih menyeringai menahan sakit. Pundaknya dan lengannya bagaikan terkoyak. Bahkan masih ada sejemput tanah yang melukai bagian tubuhnya pula.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada setelah ia menghentakkannya untuk melawan kekuatan puncak lawannya, Glagah Putih telah berusaha mengatasi perasaan sakit. Karena itu maka Glagah Putih justru telah berusaha un"tuk membuat jarak dari arena.
Peristiwa itu memang sangat menggemparkan. Orang-orang padepokan Nagaraga yang menyaksikan peristiwa itu me"mang telah terguncang hatinya. Beberapa orang cantrik yang menyempatkan diri untuk berlari mendekatinya. Namun orang yang termasuk dihormati dipadepokan itu telah terbunuh dipeperangan.
Orang-orang Nagaraga itu memang merasa hatinya men"jadi kuncup. Justru pada saat suara ular naga itu bergaung dengan kerasnya. Seorang anak muda telah membunuh salah se"orang adik Kiai Nagaraga sekaligus muridnya yang terkuat.
Sementara itu para prajurit Mataram menjadi heran. Me"reka sama sekali tidak mengira bahwa anak muda yang tidak diperhitungkan oleh Pangeran Singasari itu mampu melawan il"mu yang dahsyat itu dengan ilmunya pula. Bahkan telah ber"hasil mengatasinya.
Namun pada saat-saat Glagah Putih sedang berusaha mengatasi rasa sakitnya, seorang yang kehilangan penalarannya telah meloncat berlari menembus garis pertempuran sambil mengacukan ujung pedangnya. Kematian orang berwajah kasar yang dianggapnya sebagai kakak seperguruannya, telah merusakkan nalarnya.
Glagah Putih memang melihat serangan itu. Tetapi luka-lukanya yang menganga telah menghambat gerakannya. Namun demikian ia telah menyiapkan ikat pinggangnya untuk melawan ujung pedang itu.
Tetapi Glagah Putih menyadari, bahwa dengan menghen"takkan ilmunya, maka darahnya akan semakin banyak mengalir sebelum ia sempat menaburkan obat diatasnya.
Namun sebelum orang itu sempat mendekati Glagah Putih, maka orang itupun telah berteriak pula. Pedangnya tiba-tiba telah terlempar dan tubuhnyapun telah jatuh terjerembab.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Beberapa langkah daripadanya Sabungsari berdiri dengan tegak pula. Glagah Putih mengangguk kecil. Meskipun tidak terucapkan, namun Glagah Putih telah mengucapkan terima kasih kepadanya.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran itu menjadi semakin meledak-ledak. Setiap orang makin meningkatkan ilmunya, bahkan sampai kepuncak. Ki Jayaragapun tidak lagi mengekang diri menghadapi orang kedua di padepokan itu.
Namun pada saat yang demikian, selagi orang-orang Naga"raga dibakar oleh kemarahan yang memuncak, serta dorongan kepercayaan mereka atas suara ular naga yang bergaung se"makin keras dan melengking itu, sehingga bagi mereka tidak ada niat lain kecualai membunuh lawannya, maka kabutpun men"jadi semakin tebal. Bahkan mereka yang bertempurpun seakan-akan tidak lagi dapat melihat lawan mereka dengan jelas.
Ternyata benturan yang terjadi seakan-akan telah mematahkan tangan Cantrik itu. Jari-jarinya tidak sempat berpegangan kuat-kuat pada bindinya, sehingga senjatanya yang mengerikan itu telah terjatuh.
"Setan." geram Kiai Nagaraga, "permainan apa lagi yang dilakukan oleh orang-orang licik ini?" Tetapi kabut itu turun semakin tebal.
Karena itu, maka Kiai Nagaraga itupun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tinggal. Iapun kemudian telah mernusatkan nalar budinya untuk menghadapi Pangeran Singasari. Ketajaman penglihatannya masih memungkinkannya untuk me"lihat bayangan lawannya yang memimpin pasukan Mataram itu.
Namun sebelum Kiai Nagaraga sempat melepaskan il"munya, seakan-akan telah terjadi pusaran yang kabut. Beberapa bayangan nampak berputaran. Namun kemudian bagaikan tersisih satu demi satu, sehingga akhirnya kembali Panglima pasu"kan Mataram itu berhadapan dengan guru besar dari padepokan Nagaraga yang besar itu.
Sejenak kemudian pertempuran di seluruh arena itu ba"gaikan terhenti. Kabut yang semakin tebal telah menyelubungi padepokan Nagaraga. Dengan demikian, maka rasa-rasanya tidak mungkin lagi untuk bertempur karena dapat terjadi senjata-senjata mereka akan mengenai kawan sendiri.
Demikian pula mereka yang bertempur di bagian-bagian yang terdekat didalam padepokan itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram benar-benar telah mendapat kesulitan. Orang-orang padepokan itu yakin, bahwa suara ular itu merupakan pertanda kemenangan mereka. Sementara orang-orang Nagaraga merasa bahwa suara itu benar-benar telah menggun-cangkan isi dada mereka.
Karena itu, maka kabut yang tebal itu seakan-akan me"mang telah menyelamatkan para prajurit Mataram dari kehancuran karena pengaruh suara ular yang bagaikan mengandung kekuatan yang luar biasa yang akan dapat menghancurkan pasukan Mataram.
Dalam pada itu kemarahan Kiai Nagaraga terutama tertuju kepada bayangan yang ada dihadapannya. Betapapun kabut itu menjadi semakin tebal, namun ujud bayangan itu masih juga dilihatnya meskipun hanya seperti tongkat hitam yang berdiri tegak.
"Persetan." geram Kiai Nagaraga, "aku harus menghancurkannya sebelum bayangan itu benar-benar hilang dari pandanganku."
Kiai Nagaraga memang tidak menunggu. Ia merasa bahwa ia sama sekali tidak terganggu untuk memusatkan nalar budinya. Karena itu, maka iapun telah menyilangkan tangan didadanya. Kemudian tiba-tiba saja tubuhnya itu bagaikan membara. Ketika Kiai Nagaraga itu menggerakkan tangannya kedepan dengan telapak tangan menghadap kesasaran, maka seakan-akan api yang dahsyat telah menyembur dari telapak tangannya.
Bayangan yang berdiri dihadapannya itu melenting menghindari serangan itu. Namun api yang memancar dari kedua belah telapak tangan itu tidak menjadi padam. Ternyata ilmu Kiai Nagaraga bukan sekedar lontaran-lontaran kekuatan. Tetapi api itu bagaikan lidah seekor ular raksasa yang terjulur panjang menjilat kearah korbannya.
Bayangan yang melenting itu memang terkejut. Api itu telah menjilat kearahnya pula, sehingga sekali lagi ia harus me"loncat.
Namun api itu menjilat-jilat terus. Dengan suara yang dalam Kiai Nagaraga berkata, "Kau akan hangus oleh apiku ini. Ini adalah kekuatan Kiai Nagaraga yang sebenarnya. Semburan api ini bukan saja membakar, tetapi beracun sebagaimana tajamnya racun Kiai Nagaraga itu sendiri. Semakin keras Kiai Nagaraga melengking maka api itupun akan menjadi semakin besar."
Bayangan yang mendapat serangan yang dahsyat sekali itu memang semakin terdesak. Betapapun bayangan itu meloncat-loncat, namun lidah ular naga yang berujud api itu selalu memburunya.
"Kau tidak akan dapat menghindari terus menerus Pangeran." berkata Kiai Nagaraga, "pada saatnya apiku akan berhasil menjilat tubuhmu yang akan menjadi hangus dan berserakan dihembus angin."
Sama sekali tidak terdengar jawaban. Namun api itu masih saja memburu lawan Kiai Nagaraga itu. Meskipun kabut menjadi semakin gelap, tetapi dua orang yang bertempur itu masih dapat saling melihat bayangan masing-masing betapapun baurnya.
Tetapi disamping Kiai Nagaraga dan lawannya, yang masih juga bertempur adalah Ki Jayaraga dengan orang kedua dari padepokan Nagaraga itu. Dalam kesempatan yang sekilas-kilas, Ki Jayaraga memang menjadi berdebar-debar. Bahwa didalam buramnya cahaya kabut ia melihat api yang menjilat-jilat. Bukan sekedar lontaran ilmu yang betapapun dahsyatnya. De"ngan demikian, maka serangan itu akan sangat sulit untuk dihindarinya karena serangan itu datangnya tanpa berjarak waktu.
Namun Ki Jayaraga tidak sempat berpikir terlalu lama tentang arena pertempuran Kiai Nagaraga dengan lawannya. Ki Jayaraga sendiri mulai memikirkan, bahwa lawannya itupun akan mungkin menyerangnya dengan cara yang sama.
Tetapi agaknya penguasaan ilmu orang kedua itu belum sedahsyat Kiai Nagaraga sendiri. Orang kedua itu memang menyerang Ki Jayaraga dalam buramnya kabut dengan juluran lidah api sebagaimana dilakukan oleh Kiai Nagaraga. Tetapi lidah api itu tidak dapat terjulur terus menerus. Orang kedua itu setiap kali masih harus menghentakkan ilmunya untuk mele"paskan kembali lidah apinya yang menjadi pudar.
Dengan demikian, maka Ki Jayaraga setiap kali mempunyai kesempatan untuk menghindari serangan-serangan itu. Namun Ki Jayaraga tidak membiarkan dirinya untuk sekedar menjadi sasaran lawannya. Apalagi didalam buramnya kabut yang tebal itu.
Dalam pada itu, baik orang-orang Mataram maupun orang-orang Nagaraga benar-benar tidak dapat berbuat banyak lagi. Sekali-sekali mereka memang membuat bayangan yang hitam lewat sekilas. Tetapi mereka tidak tahu, siapakah orang itu. Bahkan terjadi dua orang yang hampir saja bertubrukan. Tetapi keduanya sama sekali tidak berusaha untuk menikam dengan senjata yang masih tetap berada ditangan masing-masing. Meskipun demikian keduanya masih juga tetap meng"hindar.
Namun para prajurit Mataram memang merasa ngeri me"lihat dalam keburaman kabut, bayangan api yang menyala. Tidak jelas, tetapi mereka mengenalinya sebagai semburan lidah api yang dahsyat.
Sementara itu orang-orang Nagaraga merasa bahwa pertempuran tentu akan segera berakhir. Dibawah pengaruh lengking yang tajam dari ular raksasa itu, kiai Nagaraga dan saudaranya telah melepaskan ilmu pamungkasnya yang paling dahsyat.
"Tidak ada orang yang mampu bertahan atas jilatan api yang dahsyat itu." desis beberapa orang pengikut Kiai Nagaraga.
Namun ternyata bahwa pertempuran antara Kiai Nagaraga dengan lawannya serta saudara seperguruannya yang merupakan orang kedua di padepokan itu melawan Ki Jayaraga tidak dengan cepat berakhir. Lawan Kiai Nagaraga masih sempat berloncatan menghindar. Tetapi lidah api yang terjulur panjang itu memburunya dengan tanpa memberinya kesempatan.
"Jangan membuang waktu." geram Kiai Nagaraga, "kau akan segera mati. Matilah dengan tenang. Jangan meronta-ronta seperti itu, Pangeran. Bahkan Panembahan Senapati sen"diri tidak akan dapat menghindarkan diri dari kejaran lidah api itu."
Tidak ada jawaban. Tetapi pertempuran itu masih berlargsung terus.
Sementara itu, Ki Jayaraga yang terdesak, telah menyiapkan ilmunya pula. Ketika ia sempat meloncat menghindar untuk mengambil jarak, maka ia mendapat kesempatan untuk memu"satkan nalar budinya. Hanya sekejap, tetapi ia sudah siap dengan ilmunya yang jarang ada bandingnya.
Untuk mengimbangi panasnya api lawannya, maka Ki Jayaragapun telah menyadap kekuatan api. Ketika lawannya sedang mempersiapkan serangan berikutnya untuk membu"runya, maka tiba-tiba saja Ki Jayaraga itupun telah menghen"takkan ilmunya yang garang.
Orang kedua padepokan Nagaraga itu terkejut. Sebenarnya ia sudah siap untuk menyerang. Tetapi ternyata Ki Jayaraga mendahuluinya. Lebih cepat, hanya sekejap.
Orang kedua itu tidak sempat mengelak. Namun ia masih juga melontarkan ilmunya yang dahsyat itu. Tetapi ketika lidah api itu terjulur dari tangannya, maka rasa-rasanya panasnya api itu telah memancar kedalam tubuhnya sendiri. Orang itu tidak menyadari, bahwa serangan lawannyapun mengandung panas api. Bukan api yang memancar dari diri orang kedua itu.
Orang itu merasa seakan-akan tubuhnya telah terlempar kedalam api. Betapa ia menggeliat menahan panas. Namun ter"nyata bahwa usahanya mengatasi rasa sakit tidak berhasil. Tubuhnya memang telah terbakar oleh kekuatan ilmu Ki Jaya"raga.
Tetapi sementara itu, Ki Jayaraga juga tidak sempat meng"hindari serangan lawannya sepenuhnya. Meskipun serangan yang dilontarkan dengan tergesa-gesa disaat ilmu lawannya menyengat tubuh orang kedua itu, namun ujung lidah api itu menyentuh pula lengan Ki Jayaraga.
Terasa panasnya api yang berlipat telah membakar lengannya. Bahkan Ki Jayaraga yang terkejut itu seakan-akan telah terdorong surut. Demikian kerasnya yang juga karena serangan itu sangat mengejutkannya, Ki Jayaraga hampir kehilangan keseimbangannya. Namun ia masih dapat bertahan untuk tegak. Tetapi kemudian perasaan sakit yang tidak terhingga telah memaksanya untuk duduk. Untunglah bahwa kabut yang gelap itu melindunginya, sehingga tidak seorangpun yang kemu"dian memburu dan menyerangnya.
Ki Jayaraga memang melihat lawannya itupun terdorong dan menghilang dalam kabut. Namun ia tidak melihat dengan pasti apakah yang telah terjadi. Karena itu, maka Ki Jayaragapun telah bertindak dengan cepat untuk mengatasi keadaan. Jika tiba-tiba saja lawannya muncul dari dalam kabut.
Ketika Ki Jayaraga itu memperhatikan keadaan lukanya, maka iapun terkejut. Bukan sekedar luka bakar. Tetapi ada sesuatu yang lain yang merambat dari luka-luka itu, seakan-akan menelusuri jalan darahnya.
"Racun." desis Ki Jayaraga.
Dengan serta merta, iapun telah mengambil obat penawar racunnya. Iapun dengan segera menaburkannya pada lukanya yang ditandai dengan luka bakar yang parah. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia tidak terlambat. Perlahan-lahan ia merasakan racun yang merambat dan serasa membuat darahnya bergumpal itu susut kembali kearah luka dilengannya.
"Setan." geramnya, "ternyata orang kedua dari pade"pokan Nagaraga benar-benar orang yang berilmu tinggi dan sangat berbahaya."
Namun Ki Jayaraga tidak segera berbuat sesuatu. Ia justru duduk dengan tangan bersilang. Sambil mengatur pernafasannya, Ki Jayaraga berusaha memperbaiki keadaannya yang terasa agak sulit karena serangan lawannya itu.
Darah yang hangatpun kemudian mengalir dari lukanya, sehingga racunnyapun telah hanyut pula dibawa oleh arus darah itu. Namun kemudian Ki Jayaraga harus mengobati luka-lukanya. Ia harus memampatkan darahnya meskipun ia belum dapat mengobati luka bakarnya.
Namun sementara itu, ia sempat juga mengingat apa yang dapat dilakukan oleh Pangeran Singasari menghadapi orang pertama di padepokan itu.
"Mudah-mudahan ia memiliki kemampuan sebagaimana Panembahan Senapati." berkata Ki Jayaraga didalam hatinya.
Namun demikian bukan saja Pangeran Singasari yang di-gelisahkan, tetapi juga Sabungsari, Glagah Putih dan bahkan Raden Rangga.
Sementara itu, Sabungsari ternyata sempat mendekati Glagah Putih yang terluka. Karena pertempuran itu seakan-akan telah terhenti, maka Sabungsaripun tidak lagi berada di medan yang diwarnai dengan dentang senjata beradu. Ia telah membantu Glagah Putih yang berusaha mengobati luka-lukanya yang mengalirkan darah.
Namun bagaimanapun juga, luka-luka itu memang mempengaruhinya. Meskipun ia dapat mengatasi rasa sakit, tetapi urat-uratnya yang terputus oleh kerikil-kerikil tajam dan batu padas itu, telah menghambat gerakannya. Tetapi obat yang ditaburkan diatas luka-luka itu telah memampatkan darah yang mengalir dari urat-urat darah yang pecah dan rusak.
"Beristirahatlah." berkata Sabungsari.
"Tetapi bagaimana dengan Raden Rangga?" bertanya Glagah Putih.
"Kita belum tahu, apa yang dilakukannya." jawab Sa"bungsari.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia harus menenangkan dirinya, agar darahnya benar-benar pampat dan tidak akan mengalir lagi oleh gerakan-gerakannya yang akan dapat memeras kembali darahnya lewat urat-urat darahnya yang koyak.
Dalam pada itu, seluruh pertempuran seolah-olah memang telah berhenti. Namun suara ular itu masih saja melengking keras, bahkan kemudian suara itu rasa-rasanya telah menjerit dan bergaung menghentak-hentak.
"Suara itu membuat jantung menjadi berdebar-debar." Glagah Putih termangu-mangu.
Sabungsaripun menjadi cemas mendengar suara ular yang bagaikan menjadi gila. Namun demikian ia masih juga berusaha mencari jawab, "Lekuk dan relung didalam goa itulah yang membuat suara ular raksasa itu menjadi demikian dahsyatnya."
Tetapi Glagah Putih merasa masih tetap gelisah.
Namun dalam pada itu, kedua orang itu menjadi termangu-mangu. Mereka melihat kabut yang nampaknya mulai berkurang. Dengan demikian akan berarti bahwa pertempuran akan mulai lagi. Jika mereka telah dapat saling melihat dengan jelas, maka senjatapun akan kembali terayun-ayun dan darahpun akan menitik.
Glagah Putih mempergunakan waktu yang sedikit itu untuk memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya dan membiarkan obat yang ditaburkan diluka lukanya semakin merasuk kedalam tubuhnya. Meskipun Glagah Putih masih merasa sakit diluka-lukanya, yang bahkan masih ada satu dua kerikil yang ada didalam dagingnya, namun ia harus bersiap menghadapi lawan-lawan yang mungkin masih cukup kuat.
Sementara itu, api masih saja menyembur dari telapak tangan Ki Nagaraga. Justru semakin dahsyat, seakan-akan sejalan dengan gejolak yang bagaikan menggugurkan dinding-dinding goa disarang ular naga itu.
Ketika Glagah Putih kemudian bangkit berdiri, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Ia melihat pertempuran yang semakin dahsyat, yang hanya ternyata oleh lidah api yang menjilat-jilat dan berputaran. la tidak melihat orang-orang bertempur, selain lidah api yang kabur dibalik kabut yang pekat.
"Tetapi rasa-rasanya kabut ini mulai menipis." desis Glagah Putih.
"Kita memang harus bersiap." berkata Sabungsari. Na"mun melihat keadaan Glagah Putih, maka Sabungsaripun telah membulatkan tekadnya, bahwa ia tidak akan mempergunakan pedang lagi. Tetapi agaknya sudah saatnya jika ia sepenuhnya mempergunakan kekuatan ilmunya.
Glagah Putihpun kemudian telah berusaha memperbaiki keadaannya. Meskipun pada luka-lukanya masih terasa sangat nyeri, tetapi ia masih mampu mempergunakan ilmunya dan ketangkasannya mempergunakan senjatanya. Jika hanya satu dua orang cantrik yang datang mendekatinya, maka ia tidak akan banyak mengalami kesulitan.
Namun dalam pada itu, perhatian mereka terutama tertuju kepada pertempuran yang masih berlangsung. Kabut yang meskipun sudah mulai bergerak, tetapi masih tetap mengaburkan pandangan, masih tetap menahan kedua belah pihak un"tuk tidak bergerak.
Dalam keadaan yang demikian, terdengar Glagah Putih berdesis, "Ternyata ilmu Pangeran Singasari mampu mengimbangi ilmu Ki Nagaraga yang sangat tinggi."
Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu ia berdesis, "Tentu Kiai Gringsing yang berusaha menghentikan pertem"puran ini."
"Kabut ini?" bertanya Glagah Putih.
"Ya." jawab Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang Kiai Gringsing yang melihat kesulitan para prajurit Mataram dimana-mana, telah berusaha untuk membantu mereka."
"Tetapi sampai kapan?" bertanya Sabungsari, "jika kabut itu terangkat, kapanpun juga, maka keadaan itu akan terulang kembali."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Beberapa orang padepokan ini telah dilumpuhkan."
"Kita belum melihat dengan pasti, apakah memang benar demikian. Dibelakang kabut ini mungkin hal-hal yang tidak terduga itu dapat terjadi."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia melihat pertem"puran yang agaknya semakin seru menilik gerak lidah api yang terjulur menjilat-jilat itu.
"Apakah Pangeran Singasari akan dapat benar-benar memenangkan pertempuran itu?" bertanya Glagah Putih, "jika demikian maka sepantasnyalah ia bersikap sebagaimana bahkan melampaui kebesaran Panembahan Senapati sendiri."
Namun ternyata Glagah Putih dan Sabungsari menjadi ter"kejut. Ketika lidah api itu bagaikan berputar dan membakar arena yang luas, maka tiba-tiba saja terdengar desah cambuk yang tidak terlalu keras, Tetapi cambuk yang seakan-akan hanya berdesah itu, rasa-rasanya telah mengguncangkan seisi padepokan Nagaraga.
"Cambuk itu." Glagah Putih hampir berteriak.
"Kiai Gringsing." desis Sabungsari, "apakah ia ikut campur dalam pertempuran itu?"
Keduanya menjadi termangu-mangu. Namun mereka me"mang tidak dapat melihat langsung, siapakah yang sedang bertempur. Namun ketika terdengar suara cambuk itu, maka lidah api yang terjulur berputaran itupun tiba-tiba telah terguncang pula. Lidah api yang nampak samar-samar dibelakang kabut itu bagaikan ditiup oleh prahara yang sangat kuat, sehingga arahnya tidak lagi menggapai sasaran.
Pertempuran yang masih berlangsung itupun agaknya men"jadi semakin dahsyat, sebagaimana suara ular naga didalam goa yang menjadi semakin keras, melengking dan menghentak-hentak. Sehingga rasa-rasanya setiap jantung para prajurit Mataram hampir menjadi rontok karenanya. Bumi seakan-akan telah dilanda gempa yang terguncang oleh suara ular naga itu.
Sementara itu, kabutpun semakin lama menjadi semakin tipis. Samar-samar, maka bayangan-bayangan orangpun men"jadi semakin jelas. Dengan demikian, maka setiap orang didalam medan itu"pun mulai bersiap.
Para perwira Mataram mencoba bertahan, agar dada mereka tidak hancur karena suara ular itu. Namun bahaya yang lainpun mulai mengancam. Seandainya dada mereka tidak pecah karena suara ular didalam goa itu, namun kemungkinan lain dapat terjadi, Dada itu akan dapat berlubang karena ujung senjata para penghuni padepokan Nagaraga.
Namun dalam pada itu, Sabungsaripun telah bersiap sepenuhnya. Glagah Putih yang terluka itupun telah bersiap pula. Meskipun ada hambatan-hambatan pada tubuhnya, namun ia adalah orang yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.
Sementara para perwira dari Mataram menjadi cemas karena perasaan sakit yang terasa semakin menusuk dada, maka orang-orang Nagaraga mulai berpengharapan lagi. Mereka yakin, bahwa dibawah pengaruh suara ular naga itu, maka mereka akan benar-benar dapat menghancurkan semua prajurit Mataram. Jika kabut itu benar-benar akan terkuak, maka akan hancurlah orang-orang Mataram di segala medan dipadepokan itu.
Sebenarnyalah kabut itupun menjadi semakin menipis. Ba"yangan yang semula tidak lebih dari ujud-ujud kehitaman yang kabur, mulai mendapat bentuknya, sementara para perwira dan prajurit Mataram masih harus berjuang untuk membentengi dadanya dengan segenap ilmu yang ada pada dirinya, agar suara ular yang menggoncangkan bumi itu tidak meruntuhkan isi dadanya.
Pada saat-saat yang demikian, maka orang-orang Nagaragapun mulai bergerak. Namun dengan demikian pula, samar-samar mulai nampak, bahwa Kiai Nagaraga sendirilah yang telah terdesak oleh lawannya. Lidah apinya tidak lagi mematuk lurus kesasaran. Tetapi bagaikan terpecah dan tersayat-sayat. Bahkan kadang-kadang seakan-akan telah membentur dinding yang tidak kasat mata dan justru telah memencar kembali kearah Kiai Nagaraga sendiri.
Beberapa orang telah tertegun menyaksikan pertempuran itu. Meskipun belum jelas benar, tetapi mereka sudah dapat melihat bagaimana kedua orang yang bertempur itu meloncat, melenting, menyerang dan menghindar.
Namun Ki Jayaraga yang telah bangkit berdiri tegak dengan keadaannya yang hampir pulih kembali, menyaksikan dengan jantung yang berdebaran, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Setiap kali tanah bagaikan digetarkan oleh gempa jika ter"dengar suara cambuk yang tidak begitu keras, tetapi benar-benar hentakan dari kekuatan yang luar biasa.
Jika lidah api terjulur kearah lawan Kiai Nagaraga, maka seakan-akan telah disambut dengan juntai cambuk yang menggeliat melontarkan kekuatan yang tidak ada bandingnya.
"Setan." geram Kiai Nagaraga, "inikah kekuatan Panembahan Senapati yang ada didalam diri Pangeran Singa"sari?"
Namun ketika kabut menjadi semakin tipis, serta saat-saat Kiai Nagaraga mulai terdesak oleh kekuatan yang sangat besar dan kemampuan yang tidak terhingga itu, matanya tiba-tiba sa"ja menjadi terbelalak. Ia mulai dapat melihat lekuk-lekuk wajah orang yang melawannya. Tinggi dan besarnya, serta warna dan caranya berpakaian. Orang itu bukan Pangeran Singasari.
"Kau iblis tua." geram Kiai Nagaraga, "ternyata kau memang memiliki ilmu yang luar biasa. Kau mampu mengirnbangi kekuatanku justru saat Kiai Nagaraga, Naga Raksasa itu ada dalam puncak kemarahannya."
"Aku tidak peduli dengan suara ular naga yang dipantulkan dan digaungkan oleh dinding-dinding goa itu " jawab Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu.
Dalam pada itu, Pangeran Singasari sendiri memang berdiri
pada jarak beberapa langkah dari arena pertempuran itu. Ia
tidak tahu bagaimana terjadinya. Tetapi ia merasa didorong
oleh kekuatan yang tidak terlawan pada saat-saat kabut
menjadi pekat. Ia merasa bersentuhan dengan beberapa
orang yang tidak diketahuinya. Namun kemudian ia memang
berada pada jarak tertentu dengan orang yang mampu
menyemburkan lidah api itu.
Ketika kabut menipis, maka tiba-tiba darah
kepemimpinannya bergejolak. Ia adalah Senapati tertinggi dari
pasukan Mataram itu. Karena itu, maka iapun harus menjaga
kewibawaannya, meskipun ia belum tahu apa yang harus
dikerjakan. Bagaimanapun juga dihati kecilnya Pangeran
Singasari tidak dapat ingkar, bahwa pertempuran antara Kiai
Nagaraga dengan Kiai Gringsing itu sudah berada diatas
tataran kemampuan ilmunya.
Meskipun demikian Pangeran Singasari itupun bergerak
untuk mendekati arena. Tetapi langkahnya tertegun ketika seseorang
menggamitnya sambil berdesis " Pangeran akan kemana"
Pangeran Singasari berpaling. Dilihatnya Kiai Jayaraga
berdiri dibelakangnya. Dengan ragu-ragu Pangeran Singasari
berkata " Jangan ganggu aku. Aku akan mengambil kembali
tugasku. " Ki Jayaraga menggelengkan kepalanya sambil berkata "
Pangeran, sebaiknya Pangeranlah yang jangan mengganggu.
" " Aku adalah Panglima dari pasukan ini " jawab Pangeran
Singasari. " Tetapi Pangeran harus melihat kenyataan itu. Aku tidak
meremehkan Pangeran. Sama sekali tidak. Tetapi Pangeran
masih terlalu muda untuk melawan Kiai Nagaraga. " berkata Ki
Jayaraga. " Kau menghina aku. Adik Panembahan Senapati dari
Mataram yang mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan
pemberontakan orang-orang Nagaraga " berkata Pangeran
Singasari. " Tugas Pangeran adalah menyelesaikan. Bukan harus
bertempur melawan pemimpin padepokan ini. " jawab Ki
Jayaraga " tetapi jika Pangeran memilih bertempur dengan
pemimpin padepokan ini tanpa menyelesaikan tugas
Pangeran, itu terserah. "
Terasa telinga Pangeran Singasari menjadi panas. Tetapi
ia harus melihat kenyataan bahwa pertempuran itu telah
berlangsung dahsyat sekali. Kiai Nagaraga ternyata memang
seorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga
bagi Pangeran Singasari, ia akan menjadi lawan yang sangat
berat. Tetapi Pangeran Singasari menjadi agak kebingungan,apa
kah yang akan dilakukan kemudian.
Ki Jayaragalah yang kemudian berkata " Pangeran, masih
banyak tugas yang harus Pangeran lakukan. Sebagai seorang
Panglima maka Pangeran berkewajiban untuk melihat seluruh
medan. " Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Kata-kata Ki
Jayaraga seakan-akan merupakan perintah baginya, sehingga
iapun menjawab " Baiklah. Aku akan melihat seluruh medan.
Dalam pada itu, kabutpun seakan-akan memang telah
terangkat. Agaknya Kiai Gringsing yang harus memutuskan
perhatiannya atas lawannya tidak sempat lagi untuk
mempertahankan kabutnya yang pekat. Atau barangkali Kiai
Gringsing memang dengan sengaja mengangkat kabut yang
pekat itu setelah ia mengetahui bahwa orang-orang terpenting
dari padepokan itu telah tidak ada lagi.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Singasaripun telah
bergeser dari tempatnya. Ia mulai melihat bahwa
pertempuranpun telah terjadi lagi. Namun iapun melihat,
bahwa para perwira dan prajurit Mataram mengalami
kesulitan. Ki Jayaraga kemudian sempat pula meyakinkan dirinya,
bahwa lawannya telah tidak berada lagi di arena. Ternyata
dua orang cantrik telah mengangkatnya dan membawanya
menepi, menjauhi arena pertempuran.
Dalam kesulitan itu, maka Pangeran Singasari tidak dapat
tinggal diam. Dengan isyarat Ki Jayaraga, maka Pangeran
Singasari telah berada disayap yang berbeda dari sayap yang
diperkuat oleh Sabungsari dan Glagah Putih meskipun telah
terluka. Namun demikian, keadaan para prajurit Mataram tetap
dalam bahaya. Apalagi mereka yang berada di bagian-bagian


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tersekat dinding. Sementara itu, ular naga didalam goa itupun menjadi
semakin garang. Suaranya semakin mengerikan bahkan rasarasanya
ular baga itu sedang mengamuk dengan dahsyatnya.
Kiai Nagaraga dan para penghuni padepokan itu sendiri
merasa heran, bahwa suara yang mereka dengar demikian
menggetarkan jantung. Namun Kiai Nagaraga tidak dapat ingkar, bahwa lawannya
memang seorang yang luar biasa. Ilmunya sangat tinggi
sehingga mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul
oleh semburan lidah apinya. Bahkan mengoyaknya dan
menderanya kembali. Tetapi Kiai Nagaraga masih berpengharapan. Agaknya ular
naga itu sadar akan kelebihan lawan pemimpin agung
padepokan itu, sehingga ular naga itupun telah
menghentakkan kekuatannya pula.
Tetapi tiba-tiba telah terjadi sesuatu yang menggemparkan
seisi padepokan itu. Tiba-tiba saja, justru pada saat orangorang
padepokan itu siap membantai para prajurit Mataram
yang lebih banyak memusatkan perhatiannya untuk
melindungi dadanya yang terguncang-guncang oleh suara ular
itu, maka suara ular naga itu memekik tinggi, bergaung oleh
suara ular naga itu semakin panjang. Namun kemudian
perlahan-lahan menurun dan akhirnya diam sama sekali.
" Apa yang terjadi " setiap dada orang-orang padepokan
Nagaraga telah bertanya kepada diri sendiri.
Ternyata bahwa kediaman ular naga itu membawa
pengaruh yang besar sekali pada pertempuran yang sedang
berlangsung. Orang-orang Nagaraga tiba-tiba merasa kehilangan
sandaran kekuatan. Glagah Putih yang merasa terhambat gerakannya oleh
luka-lukanya, namun masih merupakan hantu bagi orangorang
Nagaraga, tiba-tiba saja menjadi sangat gelisah. Ketika
Sabung-sari sempat didekatinya maka iapun berkata " Aku
menjadi gelisah karena Raden Rangga. "
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya " Rasa-rasanya
memang sesuatu telah terjadi. "
Untuk beberapa saat keduanya memperhatikan medan.
Ternyata para prajurit Mataram bagaikan bangkit kembali,
sementara orang-orang Nagaraga seolah-olah tidak lagi
mampu berbuat banyak. Apalagi pada saat yang demikian,
Kiai Nagaraga sendiri benar-benar terdesak oleh Kiai
Gringsing yang memang segera ingin menyelesaikan
pertempuran itu. Di sayap yang lain, Pangeran Singasari telah bertempur
pula diantara para prajuritnya yang seakan-akan telah bangkit
kembali. " Aku akan melihat goa itu. " berkata Glagah Putih.
Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudian " Aku ikut. Ki
Jayaraga telah berdiri bebas. "
Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun segera
bergeser meninggalkan medan. Sabungsaripun mengikutinya
pula, karena iapun merasa cemas terhadap Raden Rangga,
justru setelah ular naga itu tidak lagi berteriak melengkinglengking.
Keseimbangan pertempuran didalam padepokanpun
segera berubah. Kediaman ular naga itu sangat berpengaruh
atas pasukan kedua belah pihak. Orang-orang Nagaraga
merasa terpukul karena sandaran kekuatan mereka bagaikan
telah terbungkam, sedangkan para prajurit Mataram merasa
bahwa tekanan didada mereka telah tidak lagi terasa
menghimpit, bahkan terguncang-guncang.
Sementara itu, pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kiai
Nagaragapun telah sampai dipuncaknya. Kedua orang tua itu
telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Setiap
kali Kiai Gringsing telah menghentakkan cambuk dengan
lambaran segenap kekuatan ilmunya, sehingga serangan lidah
api yang terjulur bagaikan lidah ular naga itu telah
dikoyakkannya. Ketika suara ular itu berhenti, maka Kiai Nagaragapun
merasa bahwa dukungan kekuatan atas ilmunyapun telah
susut. Lidah apinya tidak lagi menjilat dengan panas yang
tujuh kali lipat dari panasnya api bara batok kelapa.
Karena itu maka ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing
yang tidak begitu keras itu benar-benar telah mengguncang
pertahanannya. Jantungnyalah yang kemudian bergetar setiap
kali Kiai Gringsing menghentakkan cambuknya sendalpancing.
Kiai Nagaraga yang terdesak itu, seakan-akan tidak lagi
mempunyai ruang untuk bergerak. Karena itu, maka Kiai
Nagaraga dengan sisa kekuatan ilmu yang ada pada dirinya,
berusaha untuk mencegah Kiai Gringsing mendekati dan
semakin mendekat. Jika getaran suara cambuknya mampu
menggetarkan dan mengguncangkan jantungnya, apakah
jadinya jika ujung cambuk itu menyentuh kulitnya.
Yang kemudian dilakukan oleh Kiai Nagaraga, bukan lagi
memancarkan semburan api dari telapak tangannya yang
terbuka, tetapi Kiai Nagaraga yang merasa kehilangan
sandaran kekuatan itu telah melemparkan gumpalan api yang
ganas ke-arah Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing yang tua itu ternyata masih cukup
tangkas. Setiap kali gumpalan api meluncur kearahnya, Kiai
Gringsing masih sempat mencambuknya, sehingga bola-bola
api itupun telah pecah pula berserakan.
Namun ternyata bahwa pecahan gumpalan api itu masih
terasa panas ditubuh Kiai Gringsing, sehingga semakin sering
gumpalan api itu meluncur kearahnya, maka rasa-rasanya
udara disekitarnyapun menjadi semakin panas.
Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat membiarkan keadaan
itu berlangsung lebih lama. Ia harus menghentikan sumber
gumpalan api yang selalu menyerangnya. Bukan sekedar
menangkis serangan-serangan itu, sebab dengan demikian
maka kesempatannya untuk mengalahkan lawannya menjadi
sangat sempit. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian
telah mengambil langkah sebagaimana dilakukan oleh
lawannya. Ia tidak saja meloncat-loncat menghindar,
menghancurkan gumpalan-gumpalan api dengan juntai
cambuknya, tetapi Kiai Gringsingpun telah menyerang pula
dengan garangnya. Berlambaran ilmu yang sangat tinggi yang
ada padanya, maka ia telah benar-benar mendesak lawannya.
Udara yang semakin panas disekitarnya telah
mendorongnya untuk mempercepat gerakannya, sebelum ia
kehabisan tenaga untuk mengatasi panasnya udara yang
bagaikan membakar tubuhnya.
Keringat Kiai Gringsing telah membasahi seluruh tubuhnya.
Dengan tangkas ia meloncat menghindar ketika sebuah
gumpalan api meluncur kearahnya. Namun gumpalan
berikutnya telah menyusulnya sehingga Kiai Gringsing tidak
sempat lagi bergeser dari tempatnya. Tetapi Kiai Gringsing
telah melecutkan cambuknya untuk memecahkan gumpalan
api itu. Tetapi ketika panasnya terasa membakar kulitnya, maka
Kiai Gringsing tidak lagi mengekang dirinya. Ia telah meloncat
dengan garangnya, demikian cepatnya, sehingga Kiai
Nagaraga tidak sempat menahannya dengan serangan
apinya. Ketika Kiai Nagaraga siap untuk melakukannya, maka
diluar perhitungannya, ujung cambuk Kiai Gringsing seakanakan
telah terjulur memanjang, justru mematuk dadanya.
Terdengar keluhan tertahan. Kiai Nagaraga telah
mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi perasaan
sakit. Namun, ujung cambuk yang terjulur itu, seakan-akan
telah mengoyak kulit dagingnya.
Kiai Nagaraga adalah seorang yang memiliki ilmu yang
tinggi. Namun ternyata bahwa ia tidak mampu melawan
tajamnya ujung cambuk Kiai Gringsing.
Namun pada saat yang sangat sulit itu Kiai Nagaraga
sempat melepaskan serangannya tanpa menghiraukan
perasaan sakit yang menghentak sementara kulit dan dagingnya
telah terkoyak. Satu hentakan yang tidak sempat diperhitungkan oleh Kiai
Nagaraga karena didorong oleh kemarahan yang
mencengkam jantung. Dengan menghentakkan kekuatan dan
ilmunya, maka darah yang mengalir dari lukanya bagaikan
telah didorong pula memancar dari luka itu.
Tetapi sementara itu, Kiai Gringsing yang baru saja
menjulurkan cambuk telah terlambat pula mengelak. Meskipun
gumpalan api tidak mengenai dadanya, tetapi pundaknya telah
tersentuh pula sehingga bukan saja pakaiannya, tetapi kulit
Kiai Gringsingpun telah terbakar pula.
Ternyata sentuhan itu demikian kuat dan panasnya,
sehingga Kiai Gringsing telah terdorong beberapa langkah
surut. Bahkan hampir saja ia telah kehilangan
keseimbangannya. Namun dengan susah payah Kiai
Gringsing berhasil tetap tegak pada kedua kakinya.
Dalam keadaan yang demikian Kiai Gringsing masih tetap
menyadari bahwa serangan Kiai Nagaraga itu akan dapat
datang setiap kali. Karena itu, betapa kesulitan yang
dialaminya, namun ia harus bersiap menghadapi kemungkinan
itu. Tetapi ternyata serangan Kiai Nagaraga itu tidak segera
datang. Ketika Kiai Gringsing sempat memperhatikan
lawannya, maka Kiai Nagaraga justru sedang berusaha untuk
mengatasi kesulitan pada dirinya.
Kiai Gringsing tidak ingin kehilangan waktu. Karena itu,
maka iapun segera berusaha mendekatinya. Ia tidak ingin
menjadi sasaran serangan tanpa dapat membalas lawannya.
Kiai Nagaraga justru telah terduduk. Ia berusaha untuk
memusatkan nalar budinya. Dengan sisa kekuatan yang ada
padanya, maka Kiai Nagaraga itupun telah mengangkat
tangannya. Tetapi Kiai Gringsing tidak mau terlambat. Ia justru
meloncat mendekat. Dengan sepenuh kekuatan yang tersisa
dilambari dengan ilmunya yang tinggi, Kiai Gringsing telah
menyerang lawannya. Memang keduanya orang-orang yang
pilih tanding. Hampir bersamaan pula Kiai Nagaraga telah
melontarkan serangannya pula.
Keduanya tidak sempat mengelakkan dirinya. Ujung
cambuk Kiai Gringsing yang mengarah kedada lawannya,
telah membentur serangan Kiai Nagaraga. Satu benturan
keras telah terjadi sebagaimana sebelumnya. Gumpalan api
itupun telah pecah. Namun agaknya terlalu dekat dengan
sumber serangannya, sehingga panasnya yang bagaikan
bergejolak itu telah mengenai bukan saja Kiai Gringsing, tetapi
juga Kiai Nagaraga sendiri.
Kiai Nagaraga sekali lagi harus berusaha mengatasi
perasaan nyeri karena panasnya api. Namun pada saat yang
bersamaan, Kiai Gringsing telah sempat melecutkan
cambuknya. Juntainya terayun keras sekali bukan saja dalam
ujud kewa-dagannya, namun pada juntai cambuknya itu telah
mengalir kekuatan yang sangat dahsyat.
Kiai Nagaraga melihat ayunan cambuk itu. Tetapi ia tidak
sempat berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukan adalah dengan
tergesa-gesa menyerang Kiai Gringsing dengan ilmunya.
Ledakan cambukpun telah terdengar bagaikan desah
kema-tian Kiai Nagaraga mengeliat ketika juntai cambuk itu
membelit tubuhnya. Namun ia masih sempat menghentakkan
ilmunya yang sudah menjadi semakin lemah menyerang Kiai
Gringsing. Namun Kiai Gringsing telah menjatuhkan dirinya
pada saat gumpalan api yang tidak lagi segarang sebelumnya
menyambarnya. Ketika Kiai Gringsing kemudian perlahan-lahan bangkit,
maka dilihatnya Kiai Nagaraga terbaring diam. Perlahan-lahan
Kiai Gringsing mendekatinya untuk mengurai juntai
cambuknya yang membelit tubuh itu.
Kiai Gringsing melihat Kiai Nagaraga itu masih tersenyum.
Karena itu, maka iapun telah berlutut disebelahnya.
Betapapun perasaan sakit pada pundaknya yang terbakar,
namun Kiai Gringsing berusaha menahankannya.
Ki Jayaraga yang kemudian mendekatinya pula berdesis "
Kiai, apakah kau rasakan racun pada luka-lukamu" "
Ternyata Kiai Nagaraga mendengar pertanyaan itu.
Katanya sambil tersenyum " Api itu tidak beracun Ki Sanak.
Hanya dalam lidah api sajalah aku dapat menyemburkan
racun kearah sasaran. "
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku
telah terkena racun itu. "
" Ya. Adikku telah menyerang Ki Sanak dengan racun. "
jawab Kiai Nagaraga yang sudah dalam keadaan yang sangat
parah. Belitan juntai cambuk Kiai Gringsing telah
meninggalkan goresan luka ditubuh pemimpin agung
padepokan Nagaraga itu. Meskipun luka ditubuh itu tidak
nampak terlalu parah, tetapi sebenarnyalah keadaan didalam
tubuh Kiai Nagaraga telah mengalami kesulitan yang gawat.
" Ki Sanak " berkata Kiai Nagaraga " tidak salah bahwa
Panembahan Senapati telah menyertakan Ki Sanak dalam
tugas ini. Aku tidak menyombongkan diri, tetapi seandainya
yang berdiri dihadapanku adalah Pangeran Singasari, maka
aku kira ia tidak akan mampu bertahan sepenginang saja. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Katanya " Kau
luar biasa Kiai. " " Jangan memuji " berkata Kiai Nagaraga " aku akan mati.
Padepokan inipun akan hancur. Aku tidak mengerti, kenapa
suara ular naga yang menjadi tumpuan kekuatan kami itu tibatiba
terdiam. Apakah mungkin dalam keadaan seperti ini,
Panembahan Senapati sendiri telah datang dan membungkam
suara naga itu" "
" Kau terlalu terpengaruh oleh kepercayaanmu itu " berkata
Kiai Gringsing " seandainya tidak memperdulikan ular itu,
mungkin kau tidak akan terbaring dalam keadaan gawat
seperti ini. " " Tidak " Kiai Nagaraga menggeleng " kekuatan kami
tergantung pada suara yang memancarkan kekuatan ilmu itu. "
" Jadi, kalian tidak akan mampu bertempur diluar sarangmu
ini" Ditempat lain kau tidak akan mendengar suara naga itu "
berkata Kiai Gringsing. " Tetapi dengan restunya, tidak akan ada bedanya " berkata
Kiai Nagaraga yang semakin lemah. Lalu katanya " Orangorangku
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Semuanya
akan hancur. Tetapi itu adalah akibat yang memang mungkin


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi. " " Kiai " berkata Kiai Gringsing " apakah aku boleh mencoba
untuk berbuat sesuatu atas keadaan Kiai" "
Kiai Nagaraga tersenyum " Aku akan mati. Tetapi aku tidak
tahu, kenapa suara ular naga itu terhenti. "
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun keadaan orang itu
memang sudah menjadi semakin gawat.
Kiai Gringsing sendiri memang sudah menduga, bahwa
tidak akan ada usaha yang dapat menyelamatkan orang itu,
kecuali jika terjadi satu keajaiban.
Para pengikut Kiai Nagaragapun telah menjadi gempar.
Bahwa suara ular naga itu terdiam, jantung mereka bagaikan
telah terdiam. Apalagi mereka yang kemudian melihat,
bagaimana Kiai Nagaraga sendiri terlempar dari arena dan
jatuh terguling. Kemudian tanpa mampu bangkit lagi, lawanlawannya
justru telah berjongkok disisinya.
Sementara itu, Pangeran Singasari memang mengamuk
se-jadi-jadinya. Ia telah menunjukkan kemampuan ilmunya
My Name Red 11 Wiro Sableng 103 Hantu Bara Kaliatus Misteri Kapal Layar Pancawarna 17
^