Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 22

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 22


dengan tidak memperhitungkan lawannya. Karena itu, maka
medanpun menjadi bercerai-berai. Tidak seorangpun yang
kemudian siap untuk melawan Pangeran Singasari.
Dalam pada itu, Kiai Nagaraga memang sudah tidak dapat
bertahan lebih lama lagi. Namun pada saat-saat terakhir ia
masih berkata " Ki Sanak. Tolonglah. Mungkin kau dapat
melihat kenapa Kiai Nagaraga tiba-tiba telah terdiam. Apakah
Kiai Nagaraga marah kepadaku" "
" Tidak Ki Sanak. Kiai Nagaraga yang kau maksud sama
sekali tidak marah kepadamu. Tetapi jika ia marah, maka ia
akan marah kepadaku " jawab Kiai Gringsing.
Kiai Nagaraga menarik nafas. Namun betapa sulitnya jalan
pernafasannya. Dengan sendat iapun berkata " Ki Sanak.
Mataram telah berhasil memotong satu kekuatan yang akan
mendukung langkah-langkah yang akan diambil oleh Madiun.
Namun tolong sampaikan kepada Panembahan Senapati,
bah-wa Madiunlah yang berhak menjadi raja menguasai bumi
Pajang karena Panembahan Madiun adalah keturunan darah
lurus dari Demak. Haknya lebih besar dibandingkan dengan
Pangeran Benawa yang berada di Pajang sekarang. Apalagi
dibandingkan dengan Panembahan Senapati. Adalah deksura
dan tidak tahu diri bahwa Panembahan Senapati tetap berniat
untuk menguasai bumi ini. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
memang mengerti, bahwa Panembahan Madiun yang berada
di Madiun itu memiliki hak pula atas keraton. Tetapi karena
jalur pemerintahan itu telah meniti kepada Mas Karebet yang
juga disebut Jaka Tingkir dan bergelar Sultan Hadiwijaya,
maka sebenarnyalah bahwa jalur itu memang sudah bergeser.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menjawab. Ketika orang yang
menyebut dirinya Kiai Nagaraga itu kemudian memejamkan
matanya, Kiai Gringsing masih mendengar kata-katanya
perlahan sekali " Kalian telah menang Ki Sanak. Tetapi bukan
Pangeran Singasari. Tolong, sampaikan kepada Kiai
Nagaraga, bahwa aku tidak dapat bertahan terhadap
cambukmu. " Kiai Gringsing tidak sempat menjawab ketika orang itu
kemudian benar-benar memejamkan matanya dan
nafasnyapun kemudian telah berhenti mengalir.
Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itupun telah
terbunuh di pertempuran. Ketika Kiai Nagaraga itu telah tidak bergerak sama sekali,
maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah bangkit dan
berdiri mengamati seluruh arena.
Namun mereka terkejut ketika mereka melihat Pangeran
Singasari yang bertempur dengan garangnya.
Keduanyapun kemudian mendekatinya. Kiai Gringsing yang
kemudian menyusup disebelahnya telah menggamitnya
sambil berkata " Pertempuran sudah selesai. "
Pangeran Singasari terkejut. Kemudian katanya lantang "
Jangan bermimpi dalam keadaan seperti ini. "
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
mengangkat wajahnya menghadap ke arena sambil berkata
dengan suara yang tidak begitu keras, tetapi dilambari dengan
tekanan ilmunya yang tinggi, sehingga suaranya itu telah
berkumandang di segenap padepokan itu, sebagaimana suara
ular naga yang telah menggetarkan jantung setiap prajurit
Mataram " Orang-orang Nagaraga. Ketahuilah, bahwa
pemimpin agung padepokan ini, Kiai Nagaraga telah terbunuh
di peperangan. Tidak ada kesempatan lagi bagi kalian untuk
berbuat apapun juga. Karena itu letakkan seajata. Ular Naga
yang menjadi sandaran kekuatan kalian itupun telah
menyerah. Ular itu tidak lagi mampu bergaung lagi. Adalah
satu pertanda bahwa kalian memang harus menyerah. "
Ternyata suara Kiai Gringsing itu dapat didengar diseluruh
padepokan meskipun lamat-lamat. Namun orang-orang
padepokan Nagaraga memang sudah berputus asa.
Yang pertama-tama meletakkan senjata mereka adalah
mereka yang berada di induk padepokan itu. Mereka yang
bertempur langsung dibawah pimpinan Kiai Nagaraga dan
apalagi setelah mereka menyaksikan guru agung mereka itu
sudah dikalahkan dan bahkan terbunuh.
Para perwira Mataram yang menjadi garang itu hampir saja
sulit untuk dikekang. Tetapi justru ketaatan mereka terhadap
paugeran bagi seorang prajurit, betapapun jantung mereka
bergejolak, namun mereka memang harus menghentikan
pertempuran. Pangeran Singasarilah yang justru tiba-tiba marah kepada
Kiai Gringsing " Akulah Panglima disini. "
" Aku tahu " jawab Kiai Gringsing " tetapi jika Pangeran
berpegang teguh pada sikap Pangeran sebagai Panglima,
maka Pangeran sudah tidak akan sempat menyebut diri
Pangeran sebagai Panglima lagi" " Kenapa" " bertanya
Pangeran Singasari. Dalam pandangan mata Pangeran Singasari, wajah Kiai
Gringsing yang tua dan lembut itu seakan-akan telah berubah.
Kerut didahinya serta sorot matanya yang tajam, melukiskan
gejolak didalam hatinya. " Pangeran " berkata Kiai Gringsing " jika Pangeran
berkeras hai untuk tetap bertindak sebagai seorang Panglima
dalam perang ini, dan bependirian bahwa Pangeran harus
berhadapan dengan Kiai Nagaraga, maka aku yakin Pangeran
sudah dikalahkannya. Tergantung kepada Kiai Nagaraga,
apakah ia akan membunuh Pangeran atau tidak. "
" Cukup " potong Pangeran Singasari. Wajahnya menjadi
merah oleh kemarahan yang bergetar didalam hatinya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Sekali lagi
mengangkat wajahnya sambil berteriak " Atas nama
Panembahan Senapati di Mataram, serta Panglima pasukan
Mataram, Pangeran Singasari, aku minta semua orang dari
padepokan ini meletakkan senjata. "
Jantung Pangeran Singasari bagaikan telah membara.
Namun agaknya Kiai Gringsing telah kehabisan kesabaran
menghadapi sikap Pangeran Singasari.
Dalam pada itu, maka orang-orang Nagaraga memang
tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun segera meletakkan
senjata mereka dan bergeser mundur menyatukan diri dengan
kawan-kawan serta saudara-saudara seperguruan mereka.
Ternyata bahwa Pangeran Singasari memang tidak dapat
berbuat apa-apa. Sementara itu Kiai Gringsingpun kemudian
berkata " Sekarang terserah kepada Pangeran. Apa yang
akan Pangeran lakukan sebagai Panglima pasukan Mataram.
Orang-orang Nagaraga telah menyerah. Mudah-mudahan,
yang lain-pun demikian pula. "
Pangeran Singasari menarik nafas dalam-dalam. Namun
dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata " Perintahkan
orang-orang Nagaraga untuk memberitahukan kepada mereka
yang berada di tempat-tempat yang tersekat, bahwa induk
pasukan mereka telah menyerah. "
Tanpa menunggu jawab Pangeran Singasari, Kiai
Gringsing telah bergeser menjauh.
" Kiai, kau akan kemana" " bertanya Pangeran Singasari.
" Mencari Raden Rangga " jawab Kiai Gringsing " kemanakan
Pangeran itu adalah anak muda yang luar biasa. Ia
berusaha untuk melakukan tugas-tugas berat bagi
ayahandanya. Tetapi secara kebetulan apa yang dilakukannya
tidak berkenan dihati ayahandanya. Meskipun kadang-kadang
ia masih juga melakukan kenakalan anak-anak. "
Pangeran Singasari tidak menjawab. Sementara itu Kiai
Gringsingpun berjalan semakin jauh, menghampiri Ki
Jayaraga, dan bersama-sama mereka meninggalkan tempat
itu. Demikian mereka sampai diregol padepokan, maka tibatiba
saja keduanya telah berlari dengan cepat menuju ke mulut
goa sarang ular naga yang disebut juga Kiai Nagaraga itu,
sementara Pangeran Singasari telah memerintahkan orangorang
Nagaraga sendiri untuk memberitahukan keseluruh
sudut padepokan, bahwa Kiai Nagaraga dan dua orang
adiknya yang menjadi pemimpin tertinggi padepokan itu sudah
terbunuh, serta semua orang di pasukan induk telah
menyerah. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memang menjadi cemas
tentang keadaan Raden Rangga. Mereka menghubungkan kepergian
Raden Rangga dengan ular naga didalam goa itu.
Meskipun mereka tahu bahwa agaknya, Glagah Putih dan
Sabungsari juga telah mendahului mencari Raden Rangga,
namun keduanya merasa perlu dengan cepat mencarinya.
Beberapa saat kemudian, mereka memang sudah berada
dimulut goa. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing berkata " Kita
masuk kedalam. " Ki Jayaraga mengangguk. Katanya " Kita harus menemukan
Raden Rangga. Pada saat kita datang sebelumnya,
ular naga ini juga menjerit-jerit. Demikian mereka
mendapatkan seekor kambing, maka ular itu telah terdiam. "
Kiai Gringsing menggeretakkan giginya. Meskipun Ki
Jayaraga tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi rasa-rasanya
Kiai Gringsing mengerti maksudnya. Satu pertanyaan terbersit
dalam kata-kata itu " Apakah ular itu terdiam setelah menelan
Raden Rangga sebagaimana ular itu menelan seekor
kambing" Namun Kiai Gringsing telah membantah sendiri didalam
hatinya " Raden Rangga bukan seekor kambing. "
Keduanyapun kemudian dengan hati-hati telah memasuki
goa itu. Mereka sadar, bahwa mereka akan bermain-main
dengan racun dan bisa. Sementara itu luka-luka bakar ditubuh
ke duanya kadang-kadang masih terasa nyeri. Namun
kegelisahan mereka, membuat mereka melupakan rasa nyeri
itu. Ternyata bahwa beberapa langkah didalam goa itu terdapat
semacam lekuk yang memang agak dalam. Itulah sebabnya
maka seekor kambing yang didorong masuk, tidak akan dapat
lagi berlari keluar. Sebenarnyalah bahwa goa itu memang mempunyai rongga
yang besar didalam. Bahkan sekali-sekali mereka melihat
cahaya yang menusuk dari atap goa itu. Sehingga dengan
demikian, maka mereka menyadari, bahwa tentu ada lubanglubang
diatas goa. Tetapi menurut perhitungan mereka, maka ular naga itu
tentu berada ditempat yang lebih dalam, ditempat yang gelap,
yang tidak disentuh oleh sinar-sinar dari luar, langsung atau
tidak langsung. Dalam keremangan ruang didalam goa, keduanya sulit
sekali untuk melihat jejak. Tetapi sekali-sekali mereka sempat
juga menemukan pertanda. Mereka telah melihat pada dinding goa batu padas yang
pecah dan jalur-jalur yang nampaknya sengaja di goreskan
oleh tangan-tangan manusia.
" Kita tidak tahu, apakah jejak ini dibuat oleh Raden
Rangga atau kemudian oleh Glagah Putih dan Sabungsari "
desis Kiai Gringsing. Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Nampaknya tidak ada simpangan yang
memungkinkan seseorang masuk. "
" Kita akan mengikuti jalur ini " berkata Kiai Gringsing.
Kedua orang itupun telah berjalan terus dengan sangat
berhati-hati. Banyak hal dapat terjadi. Sementara goa itupun
semakin dalam menjadi semakin gelap.
Namun ketajaman penglihatan kedua orang itupun akhirnya
dapat menuntun mereka kesuatu tempat yang sangat
mendebarkan jantung. Ada seleret sinar tipis dari langit-langit ruang yang besar
sehingga mereka dapat melihat apa yang ada didalam ruang
itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertegun ketika mereka
melihat Glagah Putih dan Sabungsari berjongkok disebelah
tubuh yang terbaring diam. Dengan segera mereka
mengetahui, bahwa tubuh itu tentu Raden Rangga.
Karena itu, maka merekapun segera meloncat mendekat.
Sabungsari dan Glagah Putih hanya berpaling saja kepada
kedua orang tua itu. Tetapi mereka tidak beranjak dari
tempatnya. Raden Rangga" " bertanya Kiai Gringsing hampir berdesis.
" Ya " sahut Glagah Putih dengan suara yang dalam
tertahan di kerongkongan.
Kiai Gringsingpun kemudian telah berjongkok pula.
Disampingnya Ki Jayaraga juga berjongkok sambil mengamati
tubuh itu. " Raden " desis Kiai Gringsing.
Dalam keremangan mereka melihat Raden Rangga
membuka matanya. Bahkan senyumnya nampak menghiasi
bibirnya. Dengan suara yang lemah Raden Rangga itu
berdesis " Akhirnya Kiai berdua datang juga. Aku memang sudah pasti
bahwa Kiai berdua akan datang, sebagaimana Glagah Putih
dan Sabungsari. " " Ya Raden " sahut Kiai Gringsing " kami memang mencari
Raden karena kami yakin pula Raden ada disini. "
" Ular itu ada didalam relung itu " berkata Raden Rangga
kemudian. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berpaling kearah sebuah
relung yang besar. Tetapi mereka tidak melihat sebagaimana
dikatakan oleh Raden Rangga.
" Kiai berdua dapat mendekat dan memasuki relung itu
untuk melihatnya " berkata Raden Rangga.
" Tetapi, biarlah aku mencoba mengobati Raden Rangga "
berkata Kiai Gringsing. Raden Rangga menggelengkan kepalanya. Katanya " Tidak
ada yang perlu diobati Kiai. Aku memiliki penangkal racun dan
bisa yang sangat kuat. Seandainya Kiai berusaha mengobati
racun yang ada didalam tubuhmu, maka kekuatan obat Kiai
Gringsing tidak akan lebih baik dari obat yang sudah ada
didalam diriku. " " Jadi apa yang sebenarnya terjadi pada Raden" " bertanya
Kiai Gringsing. " Tidak ada apa-apa " jawab Raden Rangga.
Tetapi tidak seorangpun yang menganggap bahwa Raden
Rangga itu memang tidak apa-apa. Tubuhnya menjadi lemah
dan gemetar. Meskipun Raden Rangga sendiri mengatakan,
bahwa ia tidak akan mengalami kesulitan, namun keadaannya


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak sangat parah. "
" Kiai " berkata Raden Rangga, kemudian " lihatlah, apa
yang ada didalam relung itu. "
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian merekapun telah bangkit dan
berjalan kearah relung itu.
Keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat
seekor ular raksasa yang bergulung rapi direlung goa itu.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun
mereka pun segera melihat, betapapun relung goa itu lebih
gelap, diantara kedua belah mata ular naga itu, tertancap
bambu gadingnya Raden Rangga. Tongkat yang merupakan
senjata andalannya. " Ular itu sudah mati Kiai " berkata Ki Jayaraga sambil
mendekati ular itu. Ketika mereka mengamati kepala ular itu, maka merekapun
yakin bahwa ular itu memang telah mati.
Tetapi keduanya sama sekali tidak berniat untuk
mengambil tongkat bambu yang tertancap di dahi ular itu.
Ketika mereka kemudian memperhatikan tubuh ular itu
lebih saksama meskipun dalam gelap, maka mereka melihat,
betapa tubuh itu penuh dengan luka-luka. Darah yang beku
membekas dimana-mana. Dari kepala sampai keujung
ekornya. " Bukan main " geram Ki Jayaraga " kita akan melihat
dinding goa. " Keduanyapun kemudian telah keluar dari relung itu. Mereka
mulai memperhatikan dinding itu dengan saksama. Barulah
mereka melihat dalam kegelapan yang samar, bahwa dinding
goa itu telah pecah-pecah pula.
Dengan demikian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga dapat
membayangkan, betapa dahsyatnya pertempuran yang telah
terjadi di dalam goa itu. Setidak-tidaknya ular naga itu telah
bergulung-gulung, meronta, menggeliat dan membelit-belit
dengan dahsyatnya. " Bagaimana dengan Raden Rangga itu sebenarnya" "
bertanya kedua orang itu didalam hati mereka.
Demikianlah maka keduanya telah kembali mendekati
Raden Rangga. Namun mereka mendengar Raden Rangga
berkata sendat " Nah, bagaimana pendapatmu" "
" Tentang apa Raden" " bertanya Kiai Gringsing "
tentang naga yang telah mati itu atau tentang caranya mati.
" " Kedua-duanya " berkata Raden Rangga.
" Satu peristiwa yang dahsyat - jawab Kiai Gringsing "
bahwa ular yang demikian besarnya terbunuh dalam peristiwa
yang tentu sangat mendebarkan menilik luka-luka ditubuh ular
itu serta dinding-dinding goa yang pecah-pecah. Kemudian
cara mati ular itupun sangat menarik. Ular itu sempat
menyimpan dirinya didalam relung goa itu dan bergulung
dengan rapinya, sebagaimana seekor naga sedang tidur. "
" Itulah yang paling menarik " berkata Raden Rangga " ular
itu sempat mengatur dirinya menjelang kemati-annya. "
" Tetapi " desis Kiai Gringsing " bagaimana dengan Raden"
" " Aku tidak apa-apa " jawab Raden Rangga dengan suara
yang semakin parau. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing menganggap bahwa
udara didalam goa itu terlalu pengab. Justru pada saat-saat
keadaan Raden Rangga menjadi semakin gawat, maka lebih
baik jika tubuh yang lemah itu dibawa keluar. Di udara terbuka
yang terang, mungkin dapat dilakukan sesuatu. "
" Raden " berkata Kiai Gringsing " apakah Raden tidak
berkeberatan jika aku mohon agar Sabungsari dan Glagah
Putih mengangkat Raden keluar" "
Raden Rangga tersenyum. Katanya " Baiklah. Akupun
sudah merasa terlalu sesak didalam goa ini. Meskipun ruang
ini cukup besar dan udarapun sempat masuk lewat lubanglubang
kecil di langit-langit goa dan dari lubang masuk, namun
rasa-rasanya alkanl lebih segar jika dapat dihirup udara diluar
ruang ini. " Kiai Gringsing menarik nafas. Iapun kemudian memberikan
isyarat kepada Sabungsari dan Glagah Putih untuk
membawa Raden Rangga keluar dari goa itu.
Demikianlah, maka merekapun telah menyusuri loronglorong
yang ada didalam goa itu untuk membawa tubuh
Raden Rangga yang lemah itu keluar. Kiai Gringsing berjalan
dipaling depan untuk mengamati jalan yang akan mereka lalui,
sementara Ki Jayaraga berjalan dipaling belakang. Bahkan
kadang-kadang Ki Jayaraga itu telah membantu pula
mengangkat tubuh Raden Rangga itu.
Namun beberapa puluh langkah kemudian Glagah Putih
bagaikan tertegun. Sabungsari yang merasakan sesuatu yang
tersendat di perasaan Glagah Putih sehingga menghambat
langkahnya bertanya " Kenapa" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam Kiai
Gringsingpun kemudian telah berhenti pula dan bergeser
mendekati. Namun sebelum Glagah Putih menjawab, Raden Rangga
telah mendahului " Glagah Putih. Kau tidak usah mengingat
lagi tongkat pring gadingku. Biarlah ia menyatu dengan tubuh
ular naga yang telah terbunuh itu. Tidak ada orang yang akan
dapat mempergunakannya tongkat itu dengan cara
sebagaimana tongkat itu ada padaku. Ditangan orang lain,
tongkat itu tidak lebih dari tongkat biasa saja. "
Glagah Putih mangangguk kecil. Katanya " Jadi Raden
tidak memerlukannya lagi" "
" Jika pada saatnya aku memerlukannya, aku akan
mengambilnya kelak " jawab Raden Rangga.
Sekali lagi Glagah Putih mengangguk. Iapun kemudian
memberi isyarat pula kepada Sabungsari untuk berjalan terus.
Memang agak sulit untuk menyusuri lorong goa itu sambil
membawa tubuh Raden Rangga. Namun merekapun semakin
lama telah mendekati mulut goa pula. Dari kejauhan
telah nampak semacam lingkaran cahaya yang
memancar masuk kedalam goa itu.
Ketika mereka sempat pada semacam dinding yang
meskipun tidak begitu tinggi sebelum sampai ke mulut goa,
maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah membantunya pula
mengangkat tubuh Raden Rangga itu. Baru kemudian kedua
orang tua itu meloncat naik.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah keluar
dari mulut goa, memasuki lingkungan udara yang segar.
Sabungsari dan Glagah Putihpun kemudian telah membawa
tubuh Raden Rangga itu kebawah sebatang pohon yang
rimbun, dan meletakkan dia tas rerumputan yang agak tebal.
Ditempat yang lebih terang, mereka melihat, betapa tubuh
Raden Rangga bagaikan penuh dengan noda-noda merah
biru. Tidak ada luka dan tidak ada bekas api yang membakar.
Namun yang dilihat oleh Kiai Gringsing adalah noda-noda
racun dan bisa. Memang sulit untuk membayangkan apa yang telah terjadi.
Ular Naga yang penuh dengan luka-luka, dan Raden Rangga
yang dicengkam oleh kerasnya bisa.
Raden Rangga yang melihat wajah-wajah yang tegang itu
berkata " Jangan terlalu banyak merenungi keadaanku. Jika
kalian masih bersedia berbuat baik atasku, maka bawalah aku
menghadap ayahanda. Aku akan melaporkan, bahwa aku
telah berusaha melakukan perintah ayahanda dan aku telah
sampai keperguruan Nagaraga. "
" Tetapi apakah aku dapat membantu mengatasi racun
didalam tubuh Raden" " bertanya Kiai Gringsing.
" Sudah aku katakan. Aku mempunyai penawar racun yang
tidak ada duanya. Namun racun ini masih juga bekerja
didalam diriku " berkata Raden Rangga.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Iapun kemudian berusaha
meraba tubuh Raden Rangga. Namun Raden Ranggapun
berkata " Satu perintahku Kiai. Bawa aku menghadap
ayahanda. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Racun didalam
tubuh Raden Rangga memang sedang bergulat dengan
penawar racun yang kuat yang dimiliki Raden Rangga. Namun
Kiai Gringsing memang tidak mendapat kesempatan untuk
berbuat sesuatu. Karena itu, maka katanya kemudian " Baiklah Raden. Kita
akan segera berangkat kembali ke Mataram. Tetapi kita harus
menghadap lebih dahulu Pangeran Singasari. "
Raden Rangga mengangguk. Ia sadar, bahwa ia memang
harus minta diri kepada pamannya yang menjadi panglima
dari pasukan Mataram untuk mendahului kembali ke Mataram,
sementara pamannya tentu masih akan mengatur segala
sesuatunya di padepokan Nagaraga. Pangeran Singasari
tentu masih akan menentukan, apa yang sebaiknya dilakukan
atas para tawanan. Juga harus mengurus para prajurit
Mataram yang gugur dan yang ter-luka.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun telah mengisyaratkan
agar Sabungsari dan Glagah Putih membawa anak muda itu
ke padepokan. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing masih menawarkan "
Raden. Barangkali Raden masih juga bersedia menelan obat
yang mungkin akan dapat membantu daya tahan tubuh Raden
disamping penawar bisa dan racun yang sudah Raden miliki. "
Raden Rangga mengangguk kecil. Karena itu, maka Kiai
Gringsingpun kemudian telah minta agar Glagah Putih
mengambil air yang menitik dari akar-akar rerumputan yang
tumbuh di dinding goa diluar lubang masuk. Pada batu-batu
padas itu rerumputan nampaknya selalu basah karena sumber
air yang terdapat dibagian atas dari
sebuah tebing yang tidak terlalu tinggi disebelah goa itu,
yang mengalirkan airnya yang jernih merambah ke
rerumputan yang tumbuh ditebing yang berbatu padas itu.
Dengan daun pisang liar yang diambilnya didekat mulut goa
itu pula Glagah Putih menampung air itu dan kemudian
membawanya kepada Kiai Gringsing yang kemudian
menaburkan serbuk obat kedalamnya.
Raden Rangga tidak menolak untuk minum obat yang akan
dapat membantu menguatkan daya tahannya itu, meskipun
obat itu bukan penawar racun, karena seperti yang dikatakan
oleh Raden Rangga sendiri, bahwa Raden Rangga telah
memiliki penawar racun dan bisa yang kuat sekali.
Setelah minum obat itu, maka Glagah Putih dan
Sabungsari telah membawa Raden Rangga menuju ke
padepokan. Pada saat-saat yang demikian, memang terasa
obat yang diberikan Kiai Gringsing berpengaruh atas tubuh
Raden Rangga yang sangat lemah itu.
Kehadiran mereka memang telah mengejutkan para prajurit
Mataram. Pangeran Singasari yang mendapat laporan
bergegas mendekati kemenakannya yang kemudian
dibaringkan di atas tikar, dipendapa barak induk padepokanNagaraga
itu. " Kau kenapa Rangga" " bertanya Pangeran Singasari.
" Aku bermain-main dengan ular Naga itu pamanda " jawab
Raden Rangga. Ternyata Raden Rangga masih sempat
tersenyum. " Salahmu sendiri " geram Pangeran Singasari " sudah aku
beritahukan, kalian tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa
perintahku. " " Tetapi aku merasa perlu untuk melakukannya, sementara
pamanda Pangeran sedang terlibat dalam pertempuran yang
seru " jawab Raden Rangga.
" Bukan kau yang menentukan, perlu atau tidak perlu "
jawab Pangeran Singasari " tetapi aku, Panglima pasukan
Mataram. " " Sudahlah Pangeran " berkata Kiai Gringsing " keadaan
Raden Rangga agaknya cukup parah. "
Pangeran Singasari menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimanapun juga anak itu adalah kemenakannya. Tetapi
bagi Pangeran Singasari kelakuan Raden Rangga memang se
ring menimbulkan persoalan.
" Dalam keadaan seperti ini, kau harus menyadari Rangga,
bahwa kau adalah anak yang tidak pernah patuh kepada
orang tua " berkata Pangeran Singasari " seharusnya kau
mengerti itu. Dan kau tidak mengulanginya lagi. "
" Pangeran " berkata Kiai Gringsing kemudian " aku
menyadari bahwa Raden Rangga memang sering mengambil
langkah-langkah yang agaknya mendahului kemauan orangorang
tua. Tetapi dalam hal ini, kita semuanya harus berterima
kasih kepadanya. Pangeran harus menilai perbuatan Raden
Rangga kali ini bukan sebagai satu pelanggaran atas perintah
Pangeran. Tetapi yang dilakukan oleh Raden Rangga kali ini
adalah justru satu pengorbanan. "
" Pengorbanan apa" Ia justru meninggalkan pertempuran
untuk menuruti kesenangan sendiri. Sementara itu apakah
jawabku jika kakangmas Panembahan Senapati bertanya
tentang dirinya" Kakangmas Panembahan Senapati mungkin
menyangka, bahwa aku tidak dapat mengawasinya. "
" Pangeran memang tidak dapat mengawasi terus-menerus
karena tugas-tugas Pangeran. Itu wajar. Sementara itu, Raden
Rangga menganggap bahwa para prajurit Mataram sedang
menghadapi kesulitan. Orang-orang padepokan Nagaraga
terlalu yakin bahwa suara ular Naga itu berpengaruh arus
kekuatan ilmu mereka. Sedangkan para
prajurit Mataram agaknya telah terpengaruh pula. Suara
ular Naga yang bergaung karena relung-relung goa yang
besar itu terasa sebagai lontaran kekuatan ilmu yang dahsyat
yang mampu mengguncang jantung. Perasaan yang demikian,
ternyata sangat berpengaruh atas pertempuran ini " berkata
Kiai Gringsing " dalam keadaan yang demikian Raden Rangga
tidak meninggalkan pertempuran ini atas niat yang baik yang
memancar dari dalam dirinya untuk membungkam suara ular
itu. Nah, apakah yang demikian ini pernah Pangeran pikirkan.
" Wajah Pangeran Singasari menjadi tegang. Tetapi ia masih
juga membentak " Aku melihat pertempuran ini dalam
keseluruhan. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan getar suara tertahan " Nah, Pangeran benar.
Pangeran memang harus memperhatikan pertempuran dalam
keseluruhan. Karena itu maka seharusnya Pangeran melihat
keadaan para prajurit Mataram dalam hubungannya dengan


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara ular naga itu. Namun Raden Rangga telah pergi ke
dalam goa dan membunuh ular naga itu, sehingga ular naga
itu tidak lagi mempengaruhi pertempuran. Nah karena itu,
maka Raden Rangga telah terluka parah. Keadaannya
memang benar-benar gawat. "
" Namun ia telah menyelamatkan pasukan Mataram.
Pangeran harus mengakui, seandainya suara ular itu tidak
dihentikan, maka keseimbangan pertempuranpun tidak akan
berubah. Pasukan Mataram tidak akan mampu mengimbangi
tekanan dari orang-orang Nagaraga yang merasa memiliki
kekuatan lebih. " " Tidak. Orang-orang Nagaraga tidak akan berarti banyak
setelah Kiai Nagaraga sendiri terbunuh " jawab Pangeran
Singasari dengan wajah yang tegang.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun tanpa
mengucapkan sepatah katapun dipandangi Pangeran
Singasari justru ketika Pangeran Singasari itu menatapnya
dengan sorot mata yang marah.
Pandangan mata Kiai Gringsing itu bagaikan menusuk
langsung kedalam dadanya. Seolah-olah Kiai Gringsing itu
bertanya kepadanya " Siapakah yang telah membunuh Kiai
Nagaraga" " Perasaan itu telah mencengkam dan meruntuhkan
kecongkakan Pangeran Singasari. Meskipun ia berusaha
untuk tetap bertahan pada harga dirinya, namun ia tidak dapat
menyembunyikan lagi gejolak didalam dirinya.
Karena itu, maka Pangeran Singasaripun kemudian telah
memalingkan wajahnya. Dipandanginya Raden Rangga yang
dalam keadaan yang parah itu.
Ketika perasaannya sedang bergejolak, maka iapun justru
mulai mencemaskan keadaan Raden Rangga. Dalam
keadaan yang demikian memang tidak sepantasnya ia
menunjukkan sikap yang kasar terhadap anak muda itu, yang
justru adalah kemanakannya sendiri. Namun yang lebih
penting dari itu adalah satu pengakuan bahwa yang dilakukan
Raden Rangga adalah satu langkah yang besar bagi
kepentingan seluruh pasukan Mataram, meskipun ia harus
mengorbankan dirinya sendiri.
Betapapun juga hubungan antara seorang paman dan
seorang kemanakan telah membuat Pangeran Singasari
menjadi gelisah melihat keadaan Raden Rangga, apalagi jika
ia pada saatnya harus mempertanggung jawabkannya kepada
Panembahan Senapati. " Pangeran " berkata Kiai Gringsing kemudian " aku masih
ingin menyampaikan satu permintaan Raden Rangga. Raden
Rangga dalam keadaannya ingin kembali ke Mataram
menghadap ayahandanya Panembahan Senapati.
" Apakah permintaannya itu berarti bahwa ia harus dibawa
ke Mataram secepatnya" " bertanya Pangeran Singasari.
" Ya Pangeran " jawab Kiai Gringsing " aku harus
membawanya ke Mataram secepatnya. Tetapi tentu tidak
dengan mengangkatnya di tangan Sabungsari dan Glagah
Putih. " Pangeran Singasari menarik nafas dalam-dalam. Ia
mengerti maksud Kiai Gringsing. Karena itu, maka katanya "
Baiklah. Aku akan memerintahkan sekelompok prajurit untuk
membuat tandu baginya dan mengangkatnya ke Mataram.
Tetapi sebaiknya Rangga kembali bersamaku. Akulah yang
seharusnya memberikan laporan kepada ka-kangmas
Panembahan Senapati. "
Wajah Kiai Gringsing nampak berkerut. Katanya "
Pangeran melihat sendiri, keadaan Raden Rangga yang parah
itu. Jika ia harus menunggu, kemungkinan yang buruk akan
dapat terjadi atasnya,"
" Tetapi aku adalah Panglima pasukan Mataram disini "
berkata Pangeran Singasari " akulah yang harus memberikan
laporan itu. " " Raden Rangga mengemban tugasnya sendiri " berkata
Kiai Gringsing dengan nada suara yang agak keras "
karena itu, ia berhak memberikan laporan atas namanya
sendiri. Sedang permintaanku kepada Pangeran karena aku
tahu, Pangeran adalah pamannya. Tetapi jika Pangeran
memberikan syarat yang tidak dapat kami terima, maka kami
akan membawanya sendiri. "
" Dan kalian akan menghasut kakangmas Panembahan
Senapati" " bertanya Pangeran Singasari.
" Kami bukan penjilat yang licik " berkata Kiai Gringsing "
kami akan mengatakan apa yang telah terjadi. Bagaimana
Raden Rangga, telah mengorbankan diri dan bagaimana
Pangeran berkeberatan memberikan bantuan untuk
mengirimkannya segera kembali ke Mataram lebih dahulu
karena keadaannya yang parah. "
Pangeran Singasari meggeretakkan giginya. Namun ia
tidak mungkin mengelakkan kenyataan itu. Iapun tidak
mau dibebani tanggung jawab jika terjadi sesuatu atas
Raden Rangga. Karena itu, meskipun ia merasa gelisah juga
bahwa Raden Rangga akan menghadap Panembahan
Senapati lebih dahulu, namun iapun tidak dapat
mencegahnya. Demikianlah, maka pada saat itu pula Pangeran Singasari
memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk
meninggalkan tugasnya, dan melakukan tugas khusus,
menyiapkan sebuah tandu sederhana dan kemudian
mengantar Raden Rangga kembali ke Mataram mendahului
Pangeran Singasari yang masih harus menyelesaikan
beberapa persoalan di padepokan Nagaraga itu.
Raden Rangga yang terluka parah itu ternyata sempat
mendengarkan pembicaraan Kiai Gringsing dengan pamandanya
Pangeran Singasari sambil tersenyum. Bahkan ia
sempat berdesis " Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh
pamanda Pangeran Singasari" "
" Kiai Gringsing telah mendesaknya " desis Glagah Putih.
" Apakah pamanda ingin melihat aku mati disini" " katanya.
Glagah Putih dan Sabungsari hampir bersamaan menjawab
" Tentu tidak Raden. "
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun mendengar keputusan pamandanya untuk
memerintahkan beberapa orang prajurit membuat tandu
sederhana dan membawanya mendahului pasukan Mataram.
Atas permohonan Kiai Gringsing, maka pada hari itu juga
Raden Rangga akan dibawa kembali ke Mataram meskipun
kemudian malam akan turun.
" Mudah-mudahan aku masih dapat menghadap ayahanda
dalam keadaan hidup " berkata Raden Rangga kemudian.
" Jangan berkata begitu Raden " desis Sabungsari "
keadaan Raden justru berangsur baik. "
" Tetapi rasa-rasanya hari-hariku telah sampai dibatas "
berkata Raden Rangga pula.
Glagah Putih yang melihat kain putih yang sesobek ditubuh
Raden Rangga, serta meengingat mimpinya menjadi tegang
pula. Rasa-rasanya Raden Rangga memang sudah siap untuk
menempuh perjalanan yang panjang. Tidak hanya sepanjang
batas Mataram, tetapi panjang tanpa batas.
Namun demikian Glagah Putih berkata lemah " Kita tidak
dapat mendahului kehendak Yang Maha Agung. Yang sudah
kehilangan harapanpun akan dapat disembuhkan jika
dikehendaki-Nya. Sementara yang sehat segar-pun akan
dapat dengan tiba-tiba dipanggil-Nya. Kapan saja dikehendaki.
" Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar
Glagah Putih. Tidak seorangpun yang dapat mendahului
kehendak-Nya. Tetapi seseorang tidak akan dapat menolak
jika isyarat itu telah diberikan-Nya. "
" Apakah kita dapat menangkap isyarat itu dengan pasti" "
bertanya Sabungsari. Raden Rangga menggeleng. Katanya " Memang tidak.
Keterbatasan kemampuan kita memang membuat kita tidak
dapat menangkap isyarat dengan pasti. "
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
beberapa orang prajurit sedang sibuk membuat tandu yang
sederhana dari bambu, yang akan dipergunakan untuk
mengangkat Raden Rangga kembali ke Mataram.
Menjelang matahari sampai kebatas bukit, tenda itu telah
selesai. Beberapa orang prajurit telah ditunjuk untuk ikut
dalam kelompok kecil yang akan mendahului Pangeran
Singasari dan para prajurit Mataram yang lain.
Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka Pangeran
Singasaripun telah mengisyaratkan, bahwa Kiai Gringsing dan
kelompok kecilnya dapat berangkat mendahului ke Mataram.
" Kami mengucapkan terima kasih Pangeran " berkata Kiai
Gringsing " pemenuhan keinginan Raden Rangga yang dalam
keadaan parah ini mudah-mudahan akan dapat membantu
agar keadaannya menjadi semakin baik. "
" Hati-hatilah dijalan " berkata Pangeran Singasari. "
mungkin ada sesuatu yang akan menghambat. "
Kiai Gringsing mengangguk hormat. Katanya " Kami akan
berhati-hati Pangeran. "
Ki Jayaragapun telah minta diri pula. Demikian juga
Sabungsari dan Glagah Putih.
" Kami mohon maaf jika ada kesalahan kami " berkata Ki
Jayaraga. Pangeran Singasari menarik nafas dalam-dalam. Namun
akhirnya iapun berkata " Terima kasih atas bantuan kalian.
Agaknya kebijaksanaan kakangmas Panembahan Senapati
untuk mengirimkan kalian tidak sia-sia. "
Pangeran Singasaripun telah mendekati Raden Rangga
yang sudah duduk diatas tandu bambu yang dibuat dengan
sederhana. Sambil menyentuh pundaknya Pangeran Singasari
berkata " Para prajurit Mataram berterima kasih kepadamu
Rangga. Mudah-mudahan kau cepat sembuh. "
Raden Rangga memandang pamandanya sejenak. Lalu
katanya " Terima kasih paman. Akupun mohon maaf jika aku
telah mengecewakan paman. Bukan hanya selama aku
berada disini. Tetapi juga sejak jauh sebelumnya. "
" Kau tidak bersalah Rangga " jawab Pangeran Singasari
yang tiba-tiba menjadi trenyuh melihat keadaan Raden
Rangga yang pada tubuhnya terdapat noda-noda
yang ditimbulkan karena racun ular yang tajam.
Pangeran Singasari termangu-mangu memandang
kemanakannya itu. Ketika ia menyentuh tubuh Raden Rangga
terasa tubuh itu panas jauh melampaui panasnya yang wajar.
Karena itu, maka Pangeran Singasari mengetahui bahwa
didalam diri Raden Rangga sedang terjadi benturan antara
bisa yang sangat kuat yang agaknya telah disemburkan oleh
ular naga itu melawan daya tahan serta penawar racun yang
ada didalam dirinya. Menyadari akan kesulitan pada diri Raden Rangga itu,
maka Pangeran Singasaripun berkata " Kiai, silahkan segera
membawa Rangga kembali. Ia harus segera bertemu dengan
ayahandanya, kakangmas Panembahan Senapati.
Kiai Gringsing dan yang bersamanya membawa Raden
Rangga ke Mataram itupun segera minta diri sekali lagi.
Meskipun kemudian senja akan segera turun, namun mereka
akan tetap menempuh perjalanan menuju ke Mataram.
Keberangkatan Raden Rangga menimbulkan kesan
tersendiri dihati para prajurit Mataram. Mereka yang semula
mendapat gambaran kenakalannya yang luar biasa, tiba-tiba
menaruh hormat yang sangat tinggi kepadanya.
Demikianlah maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari
dan Glagah Putih telah menempuh perjalanan kembali ke
Mataram bersama beberapa orang prajurit yang membantu
mereka membawa Raden Rangga. Ternyata para prajurit
Mataram itu telah melakukan tugas mereka dengan sebaikbaiknya.
Setelah mereka mendengar dan sempat mengurai
peristiwa yang terjadi di padepokan itu, maka merekapun
merasa bahwa Raden Ranega telah mengorbankan dirinya
untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh prajurit Mataram,
justru karena suara ular naga itu.
Beberapa orang perwira yang ikut serta kembali ke Matarampun
menganggap bahwa Raden Rangga memang pantas
untuk mendapat penghormatan yang tinggi.
Delapan orang prajurit diantara sejumlah prajurit yang
memang tidak banyak jumlahnya yang ikut serta ke
padepokan Nagaraga telah berada diperjalanan kembali
bersama beberapa orang perwira. Mereka bergantian
memanggul tandu yang membawa Raden Rangga. Namun
Sabungsari dan Glagah Putihpun ikut pula membantu mereka
memanggul tandu itu. Mereka menyadari bahwa jarak jalan
yang akan mereka tempuh terlalu panjang, sehingga jika
mereka tidak membantunya, maka para prajurit itu tentu akan
menjadi sangat lelah. Karena Sabungsari yang juga diketahui oleh para perwira
Mataram itu, bahwa ia seorang perwira prajurit pula yang
berada di Jati Anom, maka akhirnya para perwira yang ikut
bersama mereka, membantu pula berganti-ganti memanggul
tandu itu. " Aku minta maaf, bahwa aku telah merepotkan kalian "
berkata Raden Rangga itu kepada para perwira.
Seorang perwira yang bertugas memimpin kelompok kecil
yang membawa Raden Rangga itu menyahut " Tidak Raden.
Yang kami lakukan ini tidak berarti apa-apa dibandingkan
dengan yang telah Raden lakukan bagi kepentingan kami. "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu,
para perwira yang ada didalam sekelompok kecil prajurit
Mataram itu sempat menilai orang-orang yang ada di antara
mereka. Meskipun sebagian tidak mereka lihat sendiri, tetapi
mereka tahu apa yang telah terjadi. Mereka tahu apa yang
telah dilakukan oleh Sabungsari yang seakan-akan telah
menyapu lawan dengan sorot matanya. Glagah Putih yang
telah membunuh adik kandung Kiai Nagaraga. Ki Jayaraga
adalah orang yang telah menghentikan perlawanan orang
kedua di padepokan Nagaraga, serta orang-orang dari kedua
belah pihakpun mengetahui, apa yang telah dilakukan oleh
Kiai Gringsing. Perwira yang memimpin sekelompok prajurit Mataram itu
menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang semula oleh
Pangeran Singasari seakan-akan sama sekali tidak dihitung,
ternyata mereka seakan-akan justru telah menjadi penentu.
Apalagi Raden Rangga. Bahkan akhirnya para prajurit
Matarampun

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu, bagaimana terjadinya semacam kabut yang telah
menghambat pertempuran disaat-saat pasukan Mataram
mengalami kesulitan adalah Kiai Gringsing. Karena itulah,
maka para perwira dan prajurit Mataram dengan senang hati
telah melakukan tugas mereka, membawa Raden Rangga
diatas tandu yang sederhana kembali Mataram, meskipun
perjalanan itu merupakan perjalanan panjang.
Tetapi jalan yang mereka tempuh bukannya jalan yang
selalu baik dan lapang. Sekali-sekali mereka harus menempuh
jalan yang sempit dan kurang baik. Lubang-lubang yang
terdapat di tengah-tengah jalan yang menjadi kubangan air
dimu-sim hujan. Alus bekas jalan pedati yang rendah. Namun
kadang-kadang jalan berbatu-batu kasar dan menyakiti kaki.
Kiai Gringsing telah berusaha untuk menempuh jalan yang
paling baik yang ada, yang menghubungkan daerah itu
dengan Mataram. Namun Kiai Gringsing memang akan
menempuh jalan yang tidak melewati Pajang, agar mereka
tidak harus singgah. Jika mereka diketahui melewati Pajang
tetapi tidak singgah di istana Pajang, maka Pangeran Benawa
akan dapat bertanya-tanya, kenapa mereka tidak mau
singgah. *** Jilid 220 MESKIPUN demikian Kiai Gringsing juga tidak mau menempuh jalan pegunungan yang rumit, karena dengan demi"kian maka perjalanan mereka akan menjadi terlalu lama. Namun iring-iringan itu tidak dapat berjalan terus semalam suntuk. Bagaimanapun juga, terutama para prajurit itu memerlukan waktu untuk beristirahat. Karena itu menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang tanggap akan keadaan para prajurit itupun telah minta agar Raden Rangga tidak berkeberatan untuk beristirahat beberapa lama.
"Silahkan." sahut Raden Rangga, "tentu saja mereka memerlukan waktu untuk beristirahat."
Iring-iringan itupun kemudian mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat. Para prajurit yang terdiri dari beberapa orang perwira dan delapan orang prajurit biasa itupun telah mengatur diri. Dua diantara mereka bergantian untuk tetap berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka berada diperjalanan, sementara mereka telah membawa seorang putera Panembahan Senapati yang sedang terluka.
Sabungsari dan Glagah Putihpun telah mengatur diri pula untuk bergantian membantu prajurit yang berjaga-jaga itu, sementara malam tinggal separuh pagi. Namun malam itu tidak terjadi sesuatu atas iring-iringan itu. Para prajurit dapat beristirahat secukupnya. Baru menje"lang fajar mereka bersiap-siap kembali untuk meneruskan perjalanan.
Meskipun Kiai Gringsing sadar, bahwa perjalanan mereka tentu akan menarik perhatian diperjalanan, tetapi tidak ada pilihan lain baginya. Raden Rangga harus secepat mungkin sampai ke Mataram.
Namun pada malam itu juga, laporan tentang hancurnya Nagaraga telah sampai ketelinga seorang Tumenggung yang berada dibawah perintah Panembahan Madiun. Demikian Tu"menggung Jayalukita mendapat laporan itu, maka kemarahannya telah memanjat sampai keubun-ubun.
"Mataram memang gila." geramnya.
"Menjelang malam sekelompok kecil pasukan itu kembali ke Mataram membawa seorang yang terluka dengan tandu. Agaknya orang itu adalah orang yang penting." berkata penghubung berkuda itu.
"Tentu. Jika bukan orang yang sangat penting, maka tidak akan ia dikirim mendahului pasukannya kembali ke Mata"ram, meskipun seandainya orang itu akan mati sekalipun. Ternyata hanya seorang diantara mereka yang dibawa dengan tan"du. Padahal aku yakin, yang terluka tentu bukan hanya seorang." berkata Tumenggung Jayalukita.
"Agaknya memang demikian Ki Tumenggung." jawab penghubung itu.
Tumenggung Jayalukita termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, "Berapa kekuatan orang-orang yang kem"bali ke Mataram itu?"
"Hanya sekelompok kecil. Hanya sekitar duapuluh orang." jawab penghubung itu.
"Bagus." berkata Tumenggung Jayalukita, "aku akan menangkap orang itu. Aku akan dapat menjadikannya tanggungan atau bahkan taruhan."
"Maksud Ki Tumenggung?" bertanya penghubung itu.
"Aku akan mengirimkan orang-orangku menyusul me"reka." berkata Ki Tumenggung, "sekelompok orang-orang berkuda akan aku perintahkan berangkat. Mudah-mudahan mereka akan dapat menemukannya."
"Bagaimana jika mereka singgah di Pajang?" bertanya penghubung itu.
"Kita akan mencegatnya setelah Pajang. Tetapi mudah-mudahan tidak." jawab Ki Tumenggung.
"Tetapi apakah kita Ki Tumenggung akan dapat menemukan jalan yang mereka lalui?" bertanya penghubung itu.
"Kau dapat menunjukkan arah. Kemudian berkuda kita menelusuri jejak mereka." jawab Ki Tumenggung.
Penghubung itu sama sekali tidak membantah. Ia akan melakukan segala perintah Ki Tumenggung.
Sementara itu Ki Tumenggung telah memanggil pembantunya yang paling dipercaya. Ki Lurah Singaluwih yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Tetapi ketika Ki Tumenggung menyampaikan niatnya, Ki Lurah Singaluwih justru menjadi ragu-ragu. Dengan nada berat ia bertanya, "Ki Tumenggung. Apakah kita tidak menyam"paikan persoalan ini lebih dahulu kepada Panembahan Madiun" Persoalan yang menyangkut hubungan antara Madiun dan Mataram merupakan persoalan yang sangat gawat. Jika jarak anta"ra Madiun dan Mataram menjadi semakin lebar, maka perang terbuka tidak akan dapat dihindarinya lagi."
"Kau memang bodoh." geram Ki Tumenggung, "buat apa Madiun berusaha untuk sedikit demi sedikit mengurangi ke"kuatan Mataram jika tidak dengan tujuan menghancurkan Mataram sama sekali. Mataram sekarang semisal harimau yang masih sedang tumbuh. Selagi taring-taringnya belum tajam, kita akan membunuhnya."
"Tetapi bagaimana jika Panembahan Madiun tidak sependapat dengan langkah-langkah yang Ki Tumenggung ambil?" bertanya Singaluwih.
Ki Tumenggung menggeram. Katanya, "Sejak kapan kau menjadi seorang pengecut seperti itu. Sampai sekarang, lang"kah-langkah kita tidak pernah mendapat tegoran dari Panem"bahan Madiun."
"Tetapi bukankah kita tidak pernah berbuat langsung membenturkan kekuatan Madiun dengan kekuatan Mataram seperti ini?" bertanya Singaluwih.
"He, dimana otakmu kau simpan" Apakah kau kira pasukan berkuda yang akan aku kirim membawa rontek dan umbul-umbul bahkan tunggul pertanda kebesaran Madiun?" bertanya Ki Tumenggung.
"Benar Ki Tumenggung. Tetapi jika seorang diantara kita tertangkap, maka kita tidak akan dapat ingkar, bahwa Ki Tumenggung memang telah menggerakkan prajurit Madiun. Berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Kita bekerja sama dengan orang-orang dari beberapa perguruan dan padepokan yang akan dapat mengatas namakan perguruan mereka sendiri. Atau seandainya ada juga yang menyebut-nyebut Madiun, maka hal itu masih juga dapat tidak diakui kebenarannya. Tetapi jika prajurit Madiun, meskipun yang berada di luar kota Madiun ia sendiri, agaknya kita tidak akan dapat mengelak lagi." berkata Ki Lurah Singaluwih.
Ki Tumenggung merenung sejenak. Namun kemudian iapun menggeram, "Tidak seorangpun yang akan tertangkap. Justru kita harus menangkap orang yang dianggap orang pen"ting itu. Kita akan menjadikan tanggungan untuk memberikan beberapa tuntutan dan tekanan kepada Mataram atau bagian-bagian dari Mataram."
Singaluwih termangu-mangu. Namun Ki Tumenggung ber"kata, "Tanggung jawabnya ada padaku. Panembahan Madiun akan senang jika kita dapat menangkap seorang yang dianggap penting oleh Mataram. Mungkin orang itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apapun juga. Kecuali itu, maka kita akan dapat membalaskan dendam kekalahan Nagaraga yang besar itu."
"Ki Tumenggung, sedangkan Nagaraga saja dapat dikalahkan mereka." berkata Ki Singaluwih.
"Tetapi yang menempuh perjalanan itu hanya beberapa orang. Tidak lebih dari dua puluh. Hanya itu. Bukan seluruh pasukan." bentak Ki Tumenggung.
Singaluwih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa agaknya Ki Tumenggung Jayalukita sudah tidak dapat di cegah lagi. Menurut pendapatnya, orang yang dianggap penting itu akan dapat memberikan keuntungan bagi Ki Tumenggung, bahkan bagi Madiun.
"Nah, apa katamu" Bagaimana jika kau membawa sepasukan prajurit yang jumlahnya berlipat dari prajurit Mataram itu?" bertanya Ki Tumenggung.
Ki Singaluwih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah merasa gentar melawan musuh yang bagaimanapun juga kuatnya. Bahkan ketika Ki Tumenggung menawarkan untuk mem"bawa prajurit berapa saja yang dikehendaki, ia menjawab, "Terserah kepada perintah Ki Tumenggung."
"Baiklah." berkata Ki Tumenggung, "kita harus yakin bahwa kita akan menang. Karena itu aku akan menyertakan dalam pasukanmu dua orang yang memiliki ilmu yang luar biasa."
"Orang kembar itu?" bertanya Singaluwih.
"Ya. Jaladigda dan Kismodigdo. Keduanya adalah orang-orang yang akan dapat meyakinkanmu, bahwa kau akan dapat menghancurkan orang-orang Mataram itu. Aku tidak peduli, apakah kau akan membunuh semua prajurit Mataram itu. Teta"pi yang penting bagiku, orang yang dibawa dengan tandu itu harus kau bawa kemari siapapun namanya dan derajatnya. Jika ternyata orang itu tidak berani pula, maka ia akan mengalami nasib lebih buruk dari orang-orang yang telah kalian bunuh dipeperangan itu." berkata Ki Tumenggung.
"Aku tidak menolak dua orang kembar itu Ki Tumeng"gung. Tetapi Ki Tumenggung harus berpesan kepada Kiai Jala"digda dan Kiai Kismodigdo, bahwa akulah yang akan memimpin pasukan Madiun ini. Mereka harus tunduk kepada perintahku dan melakukannya sebagaimana aku kehendaki. Jika tidak, maka mungkin justru akan terjadi salah langkah, karena meskipun aku tahu bahwa keduanya memiliki ilmu yang hampir tuntas, namun aku sama sekali tidak silau memandang mereka." berkata Ki Lurah Singaluwih.
"Kau terlalu sombong." geram Ki Tumenggung, "tetapi baiklah. Aku akan memberitahukan kepada keduanya, bahwa kaulah pemimpin pasukan Madiun yang akan memburu orang orang Mataram itu. Tetapi tidak dalam ujud prajurit Madiun. Kalian akan mengenakan pakaian yang memberikan kesan bahwa kalian adalah orang-orang dari gerombolan yang tidak dikenal."
"Ki Tumenggung." berkata Ki Singaluwih, "pada saatnya aku ingin mendengar sendiri perintah Ki Tumenggung ke"pada kedua orang kembar itu."
"Setan kau." geram Ki Tumenggung, "panggil kedua"nya sekarang. Tidak ada waktu lagi. Kalian memang harus berangkat, karena orang-orang Mataram itu sudah berangkat menjelang senja."
Ki Lurahpun kemudian telah memerintahkan orangnya untuk memanggil kedua orang kembar yang menjadi kebanggaan Ki Tumenggung Jayalukita, disamping Ki Lurah Singa"luwih. Namun keduanya bukan merupakan bagian dari kesatuan prajurit Madiun yang berada dibawah pimpinan Ki Tu"menggung Jayalukita. Tetapi sebenarnyalah kedua orang kem"bar itu memiliki sumber yang sama dengan Ki Tumenggung sen"diri, karena keduanya adalah adik seperguruan dari guru Ki Tumenggung.
Ki Lurah Singaluwih mengerti akan hal itu. Karena itu sering terjadi benturan antara dua jalur kekuasaan yang diberikan oleh Ki Tumenggung. Kedua orang yang berdiri diluar pagar keprajuritan itu adalah paman seperguruannya. Sedangkan Ki Lurah Singaluwih adalah kepercayaan dibidang tugas-tugas keprajuritannya. Keduanya sering merasa mempunyai hak untuk bertindak atas nama Ki Tumenggung.
Sejenak kemudian, maka kedua orang kembar itu telah menemui Ki Tumenggung yang duduk bersama Ki Lurah Singa"luwih. Dengan pendek Ki Tumenggung memberikan keterangan kepada kedua orang paman gurunya itu. Dengan singkat pula Ki Tumenggung menyampaikan permintaan agar kedua orang paman gurunya itu bersedia berangkat bersama pasukan Ma"diun.
"Untuk apa bahwa kami harus menyertai Ki Singaluwih." berkata Kiai Jaladigda, "bukankah pasukanmu yang ada disini cukup banyak dan cukup kuat. Kau telah menghimpun kekuatan dari pasukan berkuda dan kau bawa kemari. Bukan"kah pasukan berkuda itu akan dapat membantu Ki Lurah Singa"luwih."
"Pasukan itu bukan pasukan berkuda yang sebenarnya. Meskipun mereka juga prajurit pilihan, tetapi mereka me"mang berasal dari pasukan berkuda. Aku berhasil mengumpulkan kuda sebanyak itu dan memberi kesempatan para pra"jurit itu berlatih menunggang kuda." jawab Ki Tumenggung, "tetapi setelah berlatih beberapa lama, mereka memang tidak banyak berbeda dengan pasukan berkuda yang sebenarnya." Namun kemudian katanya, "Tetapi kehadiran paman berdua akan dapat meyakinkan kita, bahwa pasukan Mataram yang hanya berjumlah tidak lebih dari dua puluh orang itu akan hancur."
"Hanya duapuluh orang?" bertanya Ki Kismodigdo.
"Ya. Hanya dua puluh orang." jawab Ki Tumenggung, "tetapi dua puluh orang Mataram. Bukan dua puluh orang padukuhan sebelah."
Kedua orang kembar itu mengangguk-angguk. Sekilas mereka memandang Ki Singaluwih. Namun kemudian Ki Tumenggungpun berkata selanjutnya, "Paman berdua dibawah pimpinan Ki Lurah Singaluwih yang akan memegang kendali seluruh pasukan. Agar tidak terjadi kesimpang siuran, maka paman berdua harus berada dibawah pimpinan tunggal Ki Lurah Singaluwih."
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemu"dian keduanya tertawa. Kiai Kismodigdopun kemudian berkata, "Kami disini mengabdi kepada Ki Tumenggung. Apalagi kami juga mempunyai tanggung jawab untuk ikut membantu kesulitan-kesulitan Ki Tumenggung, sebagaimana kewajiban orang tua terhadap kemanakannya."
Ki Tumenggung termangu-mangu. Ia merasa tidak men"dapat jawaban yang pasti dari kedua pamannya. Karena itu, maka iapun telah mengulanginya, "Paman. Yang aku harapkan paman bersedia memenuhi perintahku. Ikut serta dalam perburuan itu dan berada dibawah pimpinan Ki Lurah Singa"luwih."
"Sudah aku jawab." jawab Kiai Kismodigdo, "aku akan melakukan semua perintah Ki Tumenggung, karena kami disini memang menjadi pemomong Ki Tumenggung."
"Baiklah." berkata Ki Tumenggung Jayalukita. Lalu katanya kepada Ki Singaluwih, "nah, kau dapat berkemas dan berangkat sekarang, selagi iring-iringan itu belum terlalu jauh. Kau dapat membawa penghubung yang sempat melihat apa yang telah terjadi di padepokan itu, serta sempat berhubungan dengan beberapa orang yang dapat melarikan diri, dari pade"pokan yang dihancurkan oleh orang Mataram itu."
Ki Singaluwih mengangguk hormat. Namun sekali lagi ia berdesis, "Ki Tumenggung. Aku akan melakukan perintah ini. Tetapi mohon Ki Tumenggung menghubungi Madiun. Demi"kian aku berangkat, aku mohon Ki Tumenggung memerintahkan penghubung berkuda menghadap Panembahan Madiun untuk melaporkan, bahwa telah terjadi benturan langsung antara prajurit Madiun dan Mataram, meskipun kami, para pra"jurit Madiun tidak mempergunakan ciri-ciri keprajuritan kami."
"Aku yang bertanggung jawab." bentak Ki Tumeng"gung.
"Madiun masih juga harus memperhitungkan langkah-langkah yang dapat diambil Pangeran Benawa di Pajang yang agaknya hubungannya sangat dekat dengan Panembahan Senapati." berkata Ki Singaluwih pula.
"Pangeran Benawa kini sedang sakit." geram Ki Tu"menggung, "sudahlah. Jangan mengigau. Tugasmu mengambil orang yang dianggap penting oleh orang-orang Mataram itu. Bawa orang itu kepadaku."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya sambil memandang kedua orang kembar itu, "Baiklah Ki Tumeng"gung. Kita semuanya harus segera bersiap."
Kedua orang paman guru Ki Tumenggung itupun berpaling kepadanya. Namun keduanya tidak berkata apapun meskipun mereka tahu bahwa merekalah yang dimaksud oleh Ki Lurah itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurahpun telah meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat ia memanggil beberapa orang pemimpin kelompok dari pasukannya, prajurit Madiun yang ditempatkan disebuah Kademangan justru agak jauh dari Ma"diun. Ki Tumenggung pulalah yang menjadi penghubung antara Madiun dengan padepokan Nagaraga, atas petunjuk kedua paman gurunya itu. Meskipun Ki Tumenggung mengetahui juga bahwa orang-orang Nagaraga mengalami kegagalan mutlak ketika mengirimkan orang-orangnya ke Mataram, namun ia tidak memperhitungkan bahwa Mataram akan mengirimkan pasukannya ke Nagaraga begitu cepat. Karena jarak antara Nagaraga dan Mataram cukup jauh, sementara belum terjadi satu kerusuhan yang berarti di Mataram.Tetapi ternyata bahwa Panembahan Senapati telah mengi"rimkan pasukan dan menghancurkan Nagaraga.
Tindakan yang cepat dan tidak tanggung-tanggung dari Mataram itulah yang dicemaskan oleh Ki Lurah Singaluwih. Menurut perhitungan Ki Lurah Singaluwih, jika tiba-tiba saja Mataram menggempur Madiun, apakah Panembahan Madiun sudah siap menghadapi "
Tetapi Ki Lurah tidak mau berpikir lebih panjang. Semua tanggung jawab ada pada Ki Tumenggung Jayalukita. Jika Panembahan Madiun menganggap langkah yang dilakukan itu salah, maka Ki Tumenggunglah yang akan mendapat tegoran.
Demikianlah, maka sejenak kemudian sekelompok pa"sukan berkuda telah siap. Atas persetujuan Ki Tumenggung, maka Ki Lurah membawa pasukan dua kali lipat dari jumlah prajurit Mataram yang diperkirakan oleh penghubung yang menyampaikan laporan. Namun didalamnya terdapat Ki Lurah Singaluwih sendiri dan dua orang paman guru Ki Tumenggung Jayalukita, dua orang kembar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Ketika semuanya sudah siap, maka iring-iringan itupun telah meninggalkan padukuhan. Mereka sadar, bahwa iring-iringan itu tentu akan mengejutkan orang-orang yang mendengar derap kaki kuda-kuda mereka dan apabila matahari terbit, akan menarik perhatian orang-orang yang menyaksikan. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Mereka sedang melakukan tugas yang penting bagi kepentingan Madiun.
Meskipun demikian Ki Lurah telah membagi pasukannya menjadi empat kelompok yang tidak terpisah terlalu jauh sekedar menghindari iring-iringan yang panjang apabila mereka melewati jalan-jalan padukuhan yang agak ramai.
Atas petunjuk penghubung yang datang melaporkan peristiwa Nagaraga itu, mereka telah mengambil jalan pintas, yang menurut perhitungan mereka akan dapat memotong jalan iring-iringan yang mereka anggap membawa seorang yang berkedudukan panting di Mataram. Bahkan mungkin justru seorang Pangeran atau Panglima pasukan yang memimpin sergapan ke Nagaraga itu sendiri.
Pada saat-saat iring-iringan yang membawa Raden Rangga ke Mataram beristirahat dimalam hari, Ki Lurah Singaluwih menyiapkan pasukannya yang kuat. Sementara iring-iringan itu bersiap-siap menjelang fajar, Ki Lurah Singaluwih telah berpacu keluar dari sarangnya.
Dengan ketajaman penglihatan seorang yang pernah juga menjadi pengembara yang bertualang dari satu tempat ke tempat lain, maka baik Ki Lurah Singaluwih maupun kedua orang kembar itu dapat memperhitungkan arah yang harus mereka ambil, sesuai dengan petunjuk dari penghubung yang melaporkan peristiwa Nagaraga itu kepada Ki Tumenggung.
Namun Ki Lurah Singaluwih juga memperhitungkan kemungkinan prajurit Pajang yang meronda. Mereka tidak boleh bertemu dengan kekuatan Pajang yang akan dapat mengganggu mereka.
"Jika iring-iringan orang Mataram itu menurut pengamatan jejaknya memasuki daerah Pajang, apalagi daerah perondaan para prajuritnya, maka kita akan langsung menunggu mereka setelah mereka keluar dari Pajang." berkata Ki Lurah Singaluwih.
Namun menurut orang-orang yang kemudian menjadi petugas untuk mencari jejak orang-orang Mataram bersama peng"hubung yang melihat keberangkatan orang-orang Mataram, me"reka menduga bahwa iring-iringan itu tidak akan melalui Pa"jang.
Ki Lurah Singaluwih telah menemukan tempat peristirahatan orang-orang Mataram yang membawa tandu. Kemudian merekapun telah berusaha menyusulnya. Dengan sedikit bertanya kepada orang-orang yang berada disepanjang jalan, warung-warung dan orang-orang yang berada disawah, maka mereka telah menemukan arah untuk menyusul iring-iringan orang Mataram itu. Mereka tidak peduli, jika mereka melakukan tindakan disiang hari akan dapat menimbulkan kekisruhan atau bahkan kekacauan. Tujuan mereka hanyalah menangkap dan membawa orang yang dianggap penting itu menghadap Ki Tumenggung Jayalukita.
Demikianlah maka Ki Lurah Singaluwih telah memacu pasukannya untuk menyusul iring-iringan orang Mataram, sementara mataharipun menjadi semakin tinggi, menggapai puncak langit.
Dalam pada itu, perjalanan Kiai Gringsing dengan iring-iringannya perlahan-lahan menyusuri jalan-jalan yang dianggap paling baik menuju ke arah Mataram. Seperti yang direncanakan, maka mereka memang menghindari Pajang, agar me"reka tidak usah singgah meskipun hanya semalam.
Disepanjang perjalanan, Raden Rangga memang sedang berjuang melawan kekerasan bisa ular yang dibunuhnya di goa dekat Padepokan Nagaraga. Bisa ular yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kekuatan penawar bisa yang ada pada Raden Rangga ternyata tidak mampu mendorong bisa keluar dari tubuhnya. Bahkan kemampuan pengobatan yang diberikan oleh Kiai Gringsingpun hanya mampu meningkatkan sedikit daya tahannya.
"Bagaiamanapun juga, Raden Rangga benar-benar mengalami kesulitan." berkata Kiai Gringsing kepada Ki Jayaraga hampir berbisik.
Ki Jayaraga mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia ber"kata, "Kekuatan yang aneh didalam dirinya tidak bekerja sebagaimana seharusnya. Kiai, apakah bisa ular itu benar-benar tidak terlawan?"
"Aku menghadapi teka-teki yang belum terjawab." sahut Kiai Gringsing, "ada sesuatu yang mempengaruhi benturan antara kekuatan penawar racun yang dimiliki Raden Rangga de"ngan ketajaman bisa ular itu."
"Kekuatan apa menurut Kiai?" bertanya Ki Jayaraga.
"Raden Rangga sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengatasinya. Anak muda itu tiba-tiba telah berubah. Hatinya tidak lagi bergejolak seperti saat-saat sebelumnya." berkata Kiai Gringsing.
"Glagah Putih tidak diijinkannya ketika ia berniat untuk mengambil tongkat Raden Rangga yang tertancap di kepala ular itu." berkata Ki Jayaraga.
"Aku tidak mengerti, kenapa anak muda itu dapat men"jadi demikian berubah sikapnya." desis Kiai Gringsing, "me"nurut pendapat Glagah Putih, mimpinya sangat mempengaruhinya."
"Raden Rangga terlalu percaya kepada mimpi." suara Ki Jayaraga merendah.
"Memang bagian dari hidupnya adalah mimpinya itu. Ia memiliki ilmu yang tidak dapat dijajagi juga dalam mimpi-mimpinya. Itulah sebabnya, maka ia merasa dirinya terikat kepa"da isyarat mimpi." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Ki Jayaraga masih akan mengatakan sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja suaranya tertelan kembali dikerongkongan ketika ia mendengar suara tembang. Tidak terlalu keras, tetapi demikian menggetarkan jantung.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga serentak berpaling. Mereka kemudian menyadari bahwa yang mendendangkan tembang itu adalah Raden Rangga yang duduk diatas tandu.
"Tembang seorang prajurit." desis Ki Jayaraga yang mendengar Raden Rangga berkidung tembang Durma. Satu tembang yang mengungkapkan jiwa seorang kesatria dimedan perang.
Glagah Putih dan Sabungsari yang berjalan disebelah menyebelah tandu itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka mendengarkan tembang Durma itu dengan dada yang berdebar-debar. Pada suara tembangnya sama sekali tidak terdengar keluhan betapapun anak muda itu terluka parah. Tetapi masih bergetar bergairah perjuangan seorang kesatria muda lewat suara tembangnya.
Ketika matahari lewat sedikit dari puncak langit, maka suara tembang itupun menjadi semakin samar. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu berdesis kepada Glagah Putih, "Apakah kalian tidak merasa lelah" Panasnya bukan main. Sebaiknya kalian beristirahat."
Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan mengatakannya kepada Kiai Gringsing."
Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram juga merasa letih oleh matahari yang rasa-rasanya bagaikan membakar. Glagah Putih sendiri, yang meskipun hampir pulih kembali dibawah perawatan Kiai Gringsing, namun luka-lukanya kadang-kadang masih terasa pedih. Sehingga dengan demikian, maka agaknya ada juga baiknya iring-iringan itu beristirahat beberapa saat.
Ketika Glagah Putih menyampaikan hai itu kepada Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan. Iapun kemudian bersama Ki Jayaraga mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat sambil mengisyaratkan agar iring-iringan itu memperlambat perjalanan mereka yang memang sudah lambat itu.Akhirnya Kiai Gringsing menemukan pategalan yang baru saja dipetik hasil tanamannya di sela-sela beberapa jenis pohon buah-buahan.
"Nampaknya pategalan ini ditanami padi gaga." berkata Kiai Gringsing.
"Kita dapat beristirahat dibawah pepohonan yang rimbun itu." berkata Ki Jayaraga, "untunglah pohon buah-buahan itu tidak sedang berbuah sehingga kita tidak akan dituduh mencuri buah-buahan apapun juga."
"Tetapi pohon kelapa itu?" desis Kiai Gringsing.
"Jika kita mencuri kelapa muda, tentu ada bekasnya." jawab Ki Jayaraga.
"Baiklah." sahut Kiai Gringsing kemudian, "kita akan beristirahat disini. Hanya sebentar. Dan kita tidak merusak pategalan ini."
Demikianlah, keduanya kemudian telah menghentikan iring-iringan yang kemudian menyusul mereka. Iring-iringan itupun kemudian telah berhenti. Tandu sederhana yang mem"bawa Raden Rangga itupun telah diletakkan ditempat yang sejuk dibayangi oleh sebatang pohon nangka yang berdaun rim"bun. Sementara itu, yang lainpun telah menebar pula. Namun perwira yang memimpin para prajurit Mataram itu telah memerintahkan agar mereka tidak merusakkan tanaman di pategalan itu.
Ternyata para prajurit memang merasa haus. Mereka masih dapat minum air yang mereka bawa sebagai bekal didalam impes mereka. Namun ketika tidak dengan sengaja mereka memandang kelapa muda yang bergayutan pada tangkainya, maka air didalam impes mereka rasa-rasanya tidak dapat lagi mengobati perasaan haus yang membakar kerongkongan. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang berani memetik buah kelapa muda itu.
Namun dalam pada itu, selagi para prajurit itu terkantuk-kantuk dibawah sejuknya dedaunan yang melindungi mereka dari sengatan teriknya matahari, maka dua orang yang agaknya ayah beranak telah datang dengan ragu-ragu mendekati mereka. Agaknya kedua orang itu adalah pemilik pategalan itu.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragalah yang kemudian menyongsong kedua orang itu untuk memberikan penjelasan jika keduanya memang mempersoalkan kehadiran mereka.
Sebenarnyalah kedua orang itu memang menanyakan tentang sekelompok orang yang berhenti di pategalan mereka. Dengan sangat berhati-hati Kiai Gringsing menjelaskan, bahwa mereka adalah prajurit Mataram yang sedang dalam per"jalanan kembali ke Mataram, membawa seorang diantara mereka yang sedang sakit.
"Dari manakah iring-iringan prajurit ini?" bertanya orang yang tertua diantara mereka, "apakah iring-iringan ini baru kembali dari medan perang" Jika demikian Mataram telah berperang melawan mana dan siapa?"
"Tidak Ki Sanak." berkata Kiai Gringsing, "kami tidak kembali dari peperangan. Kami kembali dari perjalanan keliling biasa untuk mengamati daerah Mataram yang terletak ditempat yang agak jauh. Diperjalanan seorang diantara kami telah sakit sehingga kami terpaksa membawanya dengan tandu."
Ternyata kedua orang ayah dan anak laki-lakinya itu sama sekali tidak berkeberatan memberikan pategalannya sebagaimana tempat untuk beristirahat. Bahkan yang muda diantara mereka tiba-tiba saja bertanya, "Apakah kalian memerlukan kelapa muda yang barangkali dapat menjadi penawar haus?"
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih Ki Sanak. Tentu saja prajurit akan bergembira sekali mendengar tawaran Ki Sanak itu."
"Ah." desis anak muda itu, "hanya kelapa muda."
Ketika anak muda itu kemudian mengambil beberapa buah kelapa muda di pategalan itu, maka para prajurit itupun men"jadi gembira sekali. Rasa-rasanya haus merekapun telah diobati. Bahkan Raden Ranggapun telah minum pula kelapa muda dan dipilihnya kelapa muda yang bersabut berwarna hijau.
"Nah, silahkan." berkata kedua orang itu, "beristi-rahatlah sepuasnya. Kami akan kembali pulang."
"Terima kasih Ki Sanak. Nanti pada saatnya kami akan mohon diri." berkata Kiai Gringsing.
"Selamat jalan. Jika ada yang kalian perlukan dan dapat kalian ambil di pategalan ini, ambillah." berkata yang tua.
"Terima kasih Ki Sanak." jawab Kiai Gringsing bebera"pa kali. Ternyata pemilik pategalan itu adalah orang yang sangat baik.
Namun dalam pada itu, sebelum kedua orang itu menjadi semakin jauh dari pategalan, dua orang berkuda telah melewati pategalan itu. Beberapa langkah dari tempat para prajurit Mataram beristirahat, kedua orang berkuda itu telah memperlambat derap kaki kudanya. Mereka lewat dijalan didepan pategalan itu tanpa berhenti. Tetapi kedua orang penunggangnya dengan seksama tengah memperhatikan orang-orang yang berada di pategalan.
Semula orang-orang yang sedang beristirahat itu tidak menghiraukan mereka. Adalah wajar jika orang-orang lewat telah tertarik perhatiannya kepada para prajurit Mataram yang berada di pategalan.
Namun ternyata bahwa kedua penunggang kuda itu telah menyusul kedua orang yang keluar dari pategalan itu. Demikian mereka berada disebelahnya, maka kedua penunggang kuda itu"pun telah meloncat turun. Kedua orang pemilik pategalan itu termangu-mangu.
Sementara itu salah seorang penunggang kuda itupun bertanya, "Siapakah mereka yang ada di pategalan itu?"
Tanpa berprasangkasedikitpun yang tua diantaranya menjawab, "Mereka adalah orang-orang Mataram."
"Apa yang telah mereka lakukan di pategalan itu?" bertanya yang seorang.
"Mereka sekedar beristirahat." jawab yang tua diantara dua orang itu.
"Ada yang naik tandu?" bertanya orang berkuda itu.
"Ya. Aku memang melihat." jawab pemilik pategalan itu.
"Siapa?" desak salah seorang diantara kedua orang ber"kuda itu.
Pemilik pategalan itu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Ketika aku datang, mereka telah berada di pategalanku. Aku tidak bertanya terlalu banyak."
"Kau biarkan mereka beristirahat dan merusakkan pategalanmu?" berkata orang berkuda itu.
Kedua orang pemilik pategalan itu termangu-mangu. Anak laki-laki pemilik pategalan itu berkata hampir diluar sadar, "Mereka tidak merusak pategalan kami. Mereka hanya sekedar beristirahat saja."
Para penunggang kuda itupun mengangguk-angguk. Na"mun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan."
Kedua orang ayah dan anak pemilik pategalan itu menjadi heran. Kedua orang berkuda yang akan meneruskan perjalanan itu justru telah memutar kudanya dan menempuh jalan kembali. Tetapi keduanya kemudian tidak menghiraukannya. Mere"ka merasa tidak berkepentingan sama sekali dengan kedua orang penunggang kuda itu.
Namun berbeda dengan orang-orang Mataram yang sedang beristirahat. Ketika beberapa orang diantara mereka melihat kedua orang penunggang kuda itu menyusuri jalan kembali, maka ketajaman panggraita mereka sebagai prajuritpun telah memperingatkan mereka, bahwa sesuatu mungkin akan terjadi.
Pemimpin yang bertanggung jawab atas para prajurit Mataram juga melihat kedua orang berkuda itu kembali. Bah"kan dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
"Bersiaplah." perintah Senapati itu, "mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Tetapi kalian adalah prajurit-prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas atas nama Mataram."
Para prajuritpun segera bersiaga. Namun mereka tidak menunjukkan kegelisahan sama sekali. Sebagai prajurit yang telah berpengalaman, maka mereka dengan tenang menghadapi setiap persoalan.
Glagah Putihpun ternyata mengetahui pula akan kesiagaan itu. Ketika Senapati prajurit Mataram itu mendekati Raden Rangga yang masih tetap duduk diatas tandu untuk memberi"kan laporan tentang hal itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Pategalan ini agaknya akan menjadi rusak."
"Ya" desis Senapati itu, "tetapi bukan salah kita."
Raden Rangga yang lemah itu sempat pula bertanya, "Apakah kau yakin bahwa sesuatu akan terjadi?"
"Panggraitaku mengatakan demikian Raden." jawab Senapati itu, "agaknya Raden juga melihat dua orang berkuda yang mondar-mandir itu."
"Ya. Akupun menduga bahwa mereka berniat buruk. Tetapi sebaiknya kalian berada dibibir pategalan, sehingga pate"galan ini tidak terlalu banyak mengalami kerusakan." berkata Raden Rangga kemudian.
Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku akan menemui Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga."
"Sabungsari ada bersama mereka." berkata Glagah Putih.
Senapati itupun kemudian pergi menemui Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga yang sedang berbincang dengan Sabungsari agak jauh di dalam pategalan, dibawah sebatang pohon keluwih yang besar. Agaknya Sabungsari telah mencari angkup keluwih yang dapat dipergunakan untuk membuat kerangka keris menjadi semakin mengkilap.
Ternyata bahwa ketiga orang itu sedang berbicara pula tentang dua ekor kuda yang lewat dan yang kemudian menyusuri jalan kembali.
"Kita memang harus bersiap." berkata Kiai Gringsing.
"Bagaimana dengan luka-luka ditubuh Kiai berdua?" bertanya Senapati itu.
"Sudah tidak banyak pengaruhnya lagi." berkata Kiai Gringsing. Namun iapun kemudian berdesis, "Mudah-mudah"an Glagah Putih pun telah menjadi semakin baik pula jika me"mang harus terjadi sesuatu."
Senapati itupun menjadi semakin yakin, bahwa sesuatu me"mang akan terjadi. Karena itu, maka iapun telah mengatur para prajuritnya. Dua orang telah diperintahkannya untuk mengamati jalan di sebelah pategalan itu, sementara yang lain bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu Raden Rangga masih juga sempat bertanya kepada Glagah Putih, "Bagaimana dengan luka-lukamu?"
"Tidak apa-apa Raden. Memang terasa masih pedih jika tersentuh keringat. Tetapi rasa sakit itu akan dapat diatasi." jawab Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Ia melihat kesibukan para prajurit meskipun tidak nampak kegelisahan. Dua orang diantara mereka telah berada dipinggir jalan untuk mengamati keadaan.
Senapati yang memimpin pasukan itupun kemudian menghampiri Raden Rangga lagi sambil berdesis, "Sebaiknya Raden tetap berada disini. Dua orang perwira akan menjaga Raden. Raden sendiri jangan bergerak-gerak agar keadaan Raden tidak menjadi semakin gawat."
Raden Rangga tersenyum. Jawabnya, "Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku memang tidak mampu lagi berbuat sesuatu sekarang ini. Biarlah Glagah Putih saja yang mengawani aku disini bersama Sabungsari."
Senapati itu mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gring"sing dan Ki Jayaraga mendekatinya pula sambil berdesis, "Raden, agaknya perjalanan kita tidak selancar yang kita duga."
"Ya Kiai. Tetapi mudah-mudahan tidak terlalu pahit." berkata Raden Rangga, "aku telah minta agar Glagah Putih dan Sabungsari mengawani aku disini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kepada Sabungsari, "Kau disini ngger. Raden Rangga memerlukan kawan berbincang."
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Sebaiknya Kiai berterus terang. Aku memerlukan perlindungan dalam keadaan seperti ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun pembicaraan merekapun telah terputus. Prajurit yang berada dipinggir jalan telah memberikan isyarat.
Senapati yang memimpin pasukan kecil Mataram itupun segera berlari menemui mereka. Ketika keduanya menunjuk kekejauhan, maka jantung Senapati itupun berdebar-debar pula. Dilihatnya sekelompok pasukan berkuda yang berkekuatan jauh lebih banyak dari prajurit-prajuritnya.
"Baiklah." geram Senapati itu, "kita harus menghancurkan mereka."
Tiba-tiba saja Senapati itu telah meneriakkan aba-aba. Para prajuritpun telah berloncatan menepi. Mereka berusaha untuk bertempur diluar pategalan, agar pategalan itu tidak men"jadi rusak.
"Tetapi lawan kita adalah pasukan berkuda." desis Sena"pati yang memimpin pasukan Mataram itu, "jika perlu pate"galan ini kita biarkan menjadi rusak. Kita akan menggantinya. Diantara pepohonan, kuda-kuda itu tidak akan dapat banyak bergerak. Tetapi ditempat yang kosong, maka kita akan men"jadi sasaran mereka yang lunak. Mereka akan menyambar dengan kuda-kuda mereka sambil mengayunkan pedang. Sementara kita tidak banyak dapat berbuat. Sedangkan jumlah mereka agak terlipat dari jumlah kita."
Para perwira dan prajurit Mataram itu mengangguk-ang"guk. Mereka sependapat dengan Senapatinya. Jika pategalan itu harus rusak, maka apaboleh buat.
Senapati itupun kemudian dengan cepat telah melaporkan kepada Raden Rangga apa yang mungkin akan terjadi. Empat orang prajurit telah mengangkatnya dan menempatkannya di"bawah sebatang pohon yang rimbun lebih jauh kedalam pate"galan itu.
"Pategalan ini memang akan rusak Raden." berkata Senapati itu, "tetapi kami akan menggantinya. Untunglah bahwa padi gaga sudah dipetik sehingga hanya batang-batang perdu sajalah yang akan rusak."
"Apaboleh buat." berkata Raden Rangga, "berhati-hatilah. Aku tidak dapat membantumu."
"Justru Raden jangan berbuat sesuatu." berkata Sena"pati itu pula.
Raden Rangga mengangguk kecil.
Dalam pada itu, maka para prajurit Matarampun telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Kiai Gringsing dan Ki Jaya"raga. Keduanya ikut bertanggung jawab atas keselamatan Raden Rangga. Bahkan beban itu seakan-akan berada dipundak Kiai Gringsing sebagaimana ia merasa bertanggung jawab untuk menemukan anak muda itu bersama Glagah Putih.
"Aku harus membawanya dalam keadaan itu menghadap ayahandanya." berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Se"hingga orang tua itu telah bertekad untuk bertahan sepenuh kemampuannya. Kemampuan seorang yang berilmu sangat tinggi.
Kepada Ki Jayaraga ia berkata, "Raden Rangga harus sempat sampai ke Mataram."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berdesis, "Glagah Putih dan Sabungsari akan melindunginya. Meskipun Glagah Putih terluka, tetapi ia masih memiliki kemampuan sepenuhnya. Kiai telah menyembuhkannya."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi dipandanginya debu yang mengepul, semakin lama semakin dekat. Namun iring-iringan itu berhenti beberapa puluh langkah dari sudut pategalan. Hanya tiga ekor kuda dengan penunggangnya yang kemudian mendekati para prajurit Mataram yang sudah bersiap itu. Kuda itupun berhenti beberapa langkah dihadapan para prajurit Mataram.
Tanpa turun dari kudanya, pemimpin pasukan berkuda yang bernama Ki Lurah Singaluwih itupun berkata lantang, "Apakah kalian para prajurit dari Mataram?"
"Ya." sahut Senapati prajurit Mataram tegas, "kau siapa?"
"Kami adalah keluarga Nagaraga yang padepokannya kau rusakkan. Berikan kepada kami orang yang kalian bawa de"ngan tandu itu. Dengan demikian kami tidak akan mengganggu kelompok kecil kalian. Orang itu akan menjadi tawanan kami." jawab Ki Lurah Singaluwih.
Senapati dari Mataram itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah kau tahu, siapakah yang kami bawa dengan tandu itu?"
Ki Lurah Singaluwih terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun iapun kemudian menjawab, "Aku tidak peduli, siapa"kah orang yang kau bawa dengan tandu itu. Tetapi ia tentu salah seorang diantara mereka yang bertanggung jawab atas serangan Mataram terhadap padepokan Nagaraga."
Tetapi Senapati Mataram itu menjawab, "Kau salah Ki Sanak. Orang yang dibawa dengan tandu itu justru orang yang paling tidak disukai oleh Panglimap rajurit Mataram. Aku harus membawanya kembali ke Mataram dan menghadapkannya kepada Panembahan Senapati untuk diadili karena kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya selama pasukan Mataram menghancurkan padepokan Nagaraga."
Ki Lurah Singaluwih mengerutkan keningnya.Sejenak ia berpikir. Namun kemudian katanya, "Omong kosong. Orang itu tentu seorang yang penting. Jika ia orang yang dianggap bersalah, maka ia tentu tidak akan mendapat kesempatan pertama kembali ke Mataram dengan duduk diatas tandu."
"O. Jadi kau telah membuat ceritera tersendiri tentang orang itu." bertanya Senapati dari Mataram itu, "terserahlah. Bagaimana kau menyebutnya, tetapi bagi kami orang itu adalah seorang tawanan meskipun dari antara kami sendiri. Bukan salah seorang dari para pengikut Nagaraga yang dapat kami tangkap."
"Ternyata orang-orang Mataram cukup licik. Orang-orang Nagaraga telah hampir tumpas, meskipun ada juga yang berhasil melarikan diri. Dan kini kau tidak mengakui bahwa orang yang kau bawa itu adalah salah seorang diantara mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian orang-orang Naga"raga itu." berkata Ki Lurah Singaluwih.
"Sudah aku katakan. Terserah bagaimana kau menye"butnya." jawab Senapati Mataram itu.
"Aku tidak peduli siapapun orang itu. Tetapi aku akan mengambilnya dan membawanya sebagai tawanan kami. Ia harus bertanggung jawab atas kematian yang tidak terhitung di padepokan Nagaraga." berkata Ki Lurah Singaluwih.
"Kematian yang bagaimana yang kau maksud" Apakah kau tidak tahu, bahwa didalam pertempuran orang memang dapat mati?" bertanya Senapati Mataram.
"Persetan." geram Ki Lurah Singaluwih, "kau tahu, bahwa aku membawa pasukan jauh lebih banyak dari orang-orangmu. Sementara itu dua orang diantara kami adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Nah. Yang manakah yang kau pilih" Kalian akan kami binasakan sebagaimana kalian membinasakan orang-orang padepokan Nagaraga, atau kau serahkan saja orang yang kau bawa dengan tandu itu, he?"
"Kau bukan orang Nagaraga." tiba-tiba Senapati Mata"ram itu menggeram, "jangan mencoba mengelabuhi kami."
Ki Lurah Singaluwih memandang Senapati Mataram itu de"ngan tajamnya. Dengan geram ia bertanya, "Kenapa kau beranggapan seperti itu?"
"Orang-orang Nagaraga yang merasa telah kami hancurkan akan mendendam. Mereka tidak akan dengan baik hati sekedar minta orang yang kami bawa dengan tandu itu. Tetapi jika benar kau orang Nagaraga, maka kau tentu akan meng"hancurkan kami sebagaimana kami menghancurkan padepokan Nagaraga. Sikapmu ternyata meragukan. Apalagi jika kau me"rasa terlalu kuat buat kami." jawab Senapati Mataram itu.
"Persetan." bentak Ki Singaluwih, "itulah perbedaan antara kami dan orang-orang Mataram yang tidak kenal perikemanusiaan. Kami hanya memerlukan orang-orang yang benar-benar penting bagi kami dan membiarkan yang lain selamat meskipun kami yakin akan dapat menghancurkan kalian."
"Kau tentu dari lingkungan baru yang utuh dan belum merasa kami lukai meskipun mungkin benar kalian berdiri satu sisi dengan orang-orang Nagaraga." jawab Senapati Mataram itu pula.
"Kau jangan mengigau." geram Ki Lurah Singaluwih. Lalu, "Sekarang serahkan orang itu. Kami memang tidak akan mengganggu kalian. Kembalilah ke Mataram dan katakan, bahwa seorang diantara Senapati terpenting yang menggempur Nagaraga telah ditangkap oleh orang-orang Nagaraga."
Senapati itu termangu-ihangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berdiri dibelakangnya. Meskipun ia adalah Senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas dan tidak pernah merasa gentar dipertempuran yang bagaimanapun dahsyatnya, namun kehadiran kedua orang tua itu dibelakangnya, rasa-rasanya menambah hatinya menjadi semakin mapan.
Kemudian Senapati itupun berkata, "Ki Sanak. Seperti yang sudah aku katakan bahwa aku harus menyerahkan orang itu kepada Panempahan Senapati. Karena itu, aku harus melakukannya dengan sebaik-baiknya, agar jika Panglima pasukan Mataram, kelak kembali, aku tidak digantungnya di alun-alun. Karena itu, seandainya aku harus memilih jalan kematian, maka aku memilih mati di pertempuran ini daripada aku harus digantung dan menjadi pangewan ewan di Mataram sebagai seorang Senapati yang berkhianat."
"Setan." geram Ki Singaluwih, "sekali lagi aku beri kau kesempatan. Tetapi jika kesempatan ini tidak kau pergunakan maka aku akan memberikan perintah kepada orang-orangku. Pasukan berkuda yang perkasa. "
"Apakah padepokan Nagaraga memiliki pasukan ber"kuda?" bertanya Senapati itu.
"Cukup." bentak Ki Lurah Singaluwih, "jawab pertanyaanku. Kau serahkan atau tidak?"
Senapati yang memimpin pasukan itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraya. Hampir berbareng keduanya telah mengangguk sebagai isyarat, bahwa agaknya memang tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan itu selaln bertahan.
Ketika Senapati itu kemudian mengedarkan pandangan matanya kepada para perwira dan prajurit, maka rasa-rasanya mereka sudah bersiap. Para perwira dan prajurit itu memang akan bertempur di pategalan. Pepohonan yang terdapat di pate"galan akan dapat menghambat kuda-kuda yang berlari menyambar-nyambar.
Senapati itu masih juga sempat menarik nafas dalam-dalam ketika Singaluwih membentaknya, "Cepat, jawab."
Senapati itupun mengangkat wajah sambil menjawab, "Sayang Ki Sanak. Aku tidak dapat menyerahkan orang itu kepadamu, apapun yang akan terjadi."
"Iblis kau. Apakah kau tidak sayang kepada nyawamu?" bertanya Singaluwih.
"Aku sayang kepada nyawaku." jawab Senapati itu, "karena itu akan aku pertahankan dengan segenap kemampuanku."
Gigi Ki Lurah Singaluwih gemeretak menahan marah. Iapun kemudian telah memutar kudanya diikuti oleh kedua orang yang lain yang bersamanya mendekati para prajurit Ma"taram. Tiba-tiba kuda-kuda itu bagaikan meloncat berlari menuju keinduk pasukannya. Tetapi para perwira dan prajurit Matarampun mengetahui, bahwa sebentar lagi, serangan dari pasukan berkuda itu akan datang bagaikan arus banjir bandang.
"Berhati-hatilah." teriak Senapati itu, "mereka akan datang dan menerjang pasukan itu sebagai angin prahara. Bertahanlah sejauh dapat kalian lakukan. Pepohonan, dan bahkan rumpun bambu serta apa saja yang ada di pategalan ini dapat kalian jadikan perisai. Jangan ragu-ragu untuk mengakhiri perlawanan lawan. Bukan kita berniat untuk membunuh sebanyak-banyaknya, tetapi kita tidak boleh mengingkari kenyataan, bahwa jumlah lawan berlipat ganda."
Para perwira dan prajuritpun telah bersiaga sepenuhnya. Sebagian besar dari mereka telah berusaha untuk dapat berlindung disebelah pepohonan jika pasukan berkuda itu datang bagaikan taufan yang menyapu padang ilalang. Sementara itu senjata merekapun telah bersiap. Jika pada benturan pertama mereka berhasil mengurangi jumlah lawan, maka untuk seterusnya mereka tidak akan mengalami tekanan yang terlampau berat.
Seperti yang diperhitungkan oleh para prajurit Mataram, maka pasukan berkuda itupun sejenak kemudian telah datang menyerbu. Yang terdengar bukan saja riuhnya derap kuda, teta"pi juga teriakan-teriakan yang mendebarkan jantung dari para penunggang kuda itu.
Ternyata para prajurit dari Madiun itu telah berusaha un"tuk menyesuaikan dirinya dengan pakaian yang mereka kenakan. Mereka datang tidak sebagai seorang prajurit. Tetapi seba"gai orang-orang dari gerombolan yang kasar dan keras.
Keributan itu ternyata telah mengundang perhatian dari orang-orang padukuhan. Ada diantara mereka yang dengan berdebar-debar menyaksikan dari kejauhan, apakah yang akan terjadi kemudian. Tetapi ada juga diantara orang-orang padukuhan yang menjadi ketakutan. Terutama perempuan dan kanak-kanak. Bahkan mereka yang tinggal tidak terlalu jauh dari pategalan itupun telah pergi mengungsi meninggalkan rumah mereka, menjauhi keributan yang timbul di pategalan.
Pemilik pategalan dan anaknya itupun kemudian men"dengar juga tentang keributan itu. Mereka dengan tergesa-gesa telah kembali ke pategalannya. Tetapi ternyata bahwa orang itu bersama anaknya tidak berani mendekati pategalan.
Di pategalan itu, pertempuran telah terjadi dengan sengitnya. Prajurit Madiun ternyata prajurit yang berilmu pula. Namun ternyata bahwa sergapan para prajurit Mataram justru pada saat pasukan berkuda itu menyerang, telah mengejutkan mereka.
Prajurit Mataram bagaikan telah berloncatan dari balik setiap batang kayu sambil menjulurkan senjata mereka. Beberapa orang memang telah terluka. Meskipun luka-luka itu belum membunuh, namun sebagian kekuatan dari orang-orang berkuda itu sudah dikurangi.
Sejenak kemudian pertempuran yang sengit telah terjadi di pategalan itu. Kiai Gringsing yang mengakui bahwa jumlah ke"kuatan lawan jauh lebih besar dari jumlah kekuatan para pra"jurit Mataram yang memang tidak sampai berjumlah duapuluh orang itupun telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawan. Demikian pula yang dilakukan oleh Ki Jayaraya.
Untuk itu, maka untuk tidak membuat pangewan-ewan yang akan dapat menarik terlalu banyak perhatian, maka keduanya telah mempergunakan senjata pula. Kiai Gringsig telah mempergunakan cambuknya, sementara itu, Ki Jayaraga telah mempergunakan sebilah tombak pendek yang dengan serta merta terlempar dan jatuh didekatnya ketika Kiai Gringsing merenggutnya dengan ujung cambuknya dari tangan seorang prajurit Madiun.
Ki Jayaraga tidak mengurai ikat kepalanya. Tetapi tombak pendek itu dipergunakannya sebagai senjata yang menggetarkan lawan-lawannya.
Dalam pada itu, ternyata cambuk Kiai Gringsing yang dipsrgunakannya dalam ujud wajarnya namun digerakkan de"ngan kemampuan ilmu yang tinggi, telah banyak mengurangi kekuatan lawan. Meskipun cambuk itu tidak membunuh, namun setiap sentuhan berarti luka yang menganga dikulit daging.
Namun orang-orang berkuda itu telah menebar. Ki Singaluwih mengamuk dengan garangnya diatas punggung kudanya. Untuk beberapa saat ia tidak segera melihat orang yang berada liatas tandu. Namun ia telah berputaran diantara para prajuritnya yang berkuda sambil mengayun-ayunkan senjata yang besar sambil meneriakkan aba-aba.
Namun akhirnya Ki Singaluwih melihat dua orang tua diantara prajurit Mataram itu yang memiliki kemampuan yang ulit untuk diimbangi oleh para prajurit. Karena itu, maka apun telah mendekati dua orang kembar yang ada diantara pasukannya sambil berkata, "Kalian berdua mendapat lawan disini."
Keduanya termangu-mangu. Namun seorang diantaranya berkata, "Aku akan mencari orang yang ada didalam tandu itu."
"Aku sendiri akan melakukannya." jawab Ki Lurah Singaluwih, "lihat kedua orang itu."
Kedua orang kembar itu memang melihat Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk dan Ki Jayaraga yang bersenjata tomak. Sebenarnya keduanya merasa segan untuk berada dibawah perintah Ki Lurah Singaluwih. Bahkan mereka cenderung untuk menolak perintah itu. Tetapi ketika keduanya melihat kedua orang tua itu, mereka justru tertarik untuk menghadapinya.
Sesaat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian Ki Jaladigda dan Kismodigda itupun seakan-akan telah mene"mukan kesepakatan. Dengan nada rendah Ki Jaladigdapun ber"kata, "Baiklah. Kedua orang itu memang sangat menarik untuk diajak bermain-main."
Dengan demikian, maka Ki Jaladigda dan Ki Kismadigda itupun telah berusaha mendekati kedua orang tua itu. Mereka telah menyibakkan para prajurit Madiun yang berkeliaran dengan kuda-kuda mereka, bertempur menghadapi prajurit Mataram yang jumlahnya jauh lebih kecil.
Namun para prajurit Mataram memang mampu bergerak dengan cepat dan tangkas. Mereka berloncatan dari satu sisi pohon kesisi yang lain. Berputaran dan kemudian menjulurkan senjatanya menyerang lawan mereka yang berada di punggung kuda. Tetapi karena jumlah orang-orang berkuda itu jauh lebih banyak, maka para prajurit Mataram memang menghadapi satu keadaan yang sangat berat. Untunglah bahwa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sempat dengan cepat mengurangi jumlah para prajurit Madiun itu, sampai saatnya dua orang kembar itu datang kepada mereka.
"Ki Sanak." berkata Jaladigda, "kalian menunjukkan satu kelebihan dari antara orang-orang Mataram."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memandang keduanya dengan dahi yang berkerut. Namun kemudian Ki Jayaragapun berkata, "Marilah Ki Sanak. Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami?"
Jaladigda dan Kismadigda itupun menarik nafas dalam-dalam. Mereka segera melihat bahwa kedua orang yang bersen"jata cambuk dan tombak pendek itu adalah orang-orang yang benar-benar sudah matang. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah melompat turun dari kuda-kuda mereka dan mengikatnya pada sebatang pohon.
"Kami harus menghormati kalian." berkata Jaladigda, "agaknya kalian adalah orang-orang penting yang telah disertakan pada pasukan Mataram yang menghancurkan Nagaraga itu."
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "adalah kebetulan bahwa kami telah ikut dalam pasukan ini."
"Sejak semula aku memang sudah curiga, bahwa prajurit Mataram siapapun pemimpinnya tidak akan dapat menghancur"kan padepokan itu jika diantara mereka tidak terdapat orang-orang yang secara khusus dikirim oleh Panembahan Senapati." berkata Kismadigda.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Prajaurit Mataram itu dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati yang memililiki kemampuan ilmu sebagaimana Panembahan Senapati sendiri." berkata Kiai Gringsing.
Kedua orang kembar itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba Jaladigdapun bertanya, "Siapakah yang dibawa dengan tandu itu?"
Ki Jayaragalah yang menyahut, "Bukan siapa-siapa."
"Ki Sanak." geram Kismadigda, "jangan terlalu sombong. Sebaiknya kau menjawab sebelum kau mati."
"Pemimpin pasukanmu sudah menanyakannya." sahut Ki Jayaraga, "bertanyalah kepadanya."
"Baiklah." berkata Kismadigda, "sekarang bersiaplah untuk mati. Jika kau berhasil lolos dari tangan-tangan orang Nagaraga dan bahkan kau dan pasukanmu berhasil meng"hancurkan padepokan itu, maka jangan menyesal jika kau akan mati disini."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah bersiap. Mereka telah mengambil jarak beberapa langkah agar mereka mendapat masing-masing kesempatan untuk bergerak.
Kedua orang kembar itupun telah menempatkan dirinya pula. Jaladigda telah menghadapi Kiai Gringsing dan Kisma"digda berhadapan dengan Ki Jayaraga.
Sementara itu di pategalan itupun pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Beberapa orang prajurit Madiun telah terluka dan terjatuh dari kudanya sehingga terpaksa disingkirkan menepi agar mereka tidak terinjak-injak oleh kuda-kuda yang berlarian berputaran. Sebagian dari mereka telah terluka oleh ujung cambuk dan ujung tombak Ki Jayaraga, di samping senjata para prajurit Mataram yang justru menyergap mereka pada saai mereka memasuki pategalan.
Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsaripun menjadi tegang menyaksikan apa yang telah terjadi.
Ki Lurah Singaluwih perhatiannya memang tertuju kepada orang yang dibawa dengan tandu itu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk menemukannya. Diatas punggung kuda ia berputaran sehingga akhirnya Ki Lurah itupun telah menemukan Raden Rangga yang ditunggui Glagah Putih dan Sabungsari.
"Setan alas." geram Ki Lurah, "agaknya kau disembunyikan dibalik pepohonan pategalan ini he" Kau kira kami tidak akan dapat menemukannya?"
Raden Rangga mengerutkan keningnya.
Namun Glagah Putih telah berdesis, "Biarlah aku yang menjawabnya."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah maju dan berdiri didepan Raden Rangga yang duduk ditandunya. Sementara Sabungsaripun telah berdiri disebelahnya.
"Apa yang kau maui Ki Sanak?" bertanya Glagah Putih.
"Minggirlah anak muda." geram Ki Lurah Singaluwih, "aku hanya mencari orang yang ditandu itu."
"Kau lihat bahwa yang duduk didalam tandu adalah anak-anak?" Glagah Putihlah yang kemudian bertanya.
Ki Lurah Singaluwih itupun kemudian memandang orang yang ada didalam tandu. Kelihatannya memang masih terlalu muda. Lebih muda dari anak muda yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"Siapa anak itu?" bertanya Ki Lurah Singaluwih.
"Kau kira siapa?" sahut Glagah Putih, "bukankah kau lihat sendiri, bahwa ia tidak lebih dari seorang remaja yang sedang sakit" Jika kau ingin menemuinya, sayang sekali, aku tidak dapat membiarkannya karena ia memerlukan istirahat yang sungguh-sungguh."
"Aku memerlukannya." berkata Ki Lurah Singaluwih.
"Buat apa" Apakah kau mempunyai obat yang dapat menyembuhkannya?" bertanya Glagah Putih.
"Persetan." geram Ki Lurah, "sekarang kau pergi. Kedua-duanya pergi. Biarlah aku mengambil anak muda yang duduk diatas tandu itu."
"Sudah aku katakan, jangan kau dekati anak yang sedang sakit itu." berkata Glagah Putih, "kami sedang berusaha menyembuhkannya."
"Cepat. Atau aku akan menghabisi nyawamu?" Ki Lurah hampir berteriak.
Sabungsarilah yang kemudian bergeser setapak sambil ber"kata lirih hampir berbisik, "Biarlah aku hadapi orang ini. Beristirahatlah sambil mengawani Raden Rangga. Mungkin ada orang lain yang datang dengan curang."
Glagah Putih akan menjawab. Tetapi Sabungsari berkata, "Biarlah lukamu tidak kambuh lagi."
"Lukaku sudah sembuh." sahut Glagah Putih.
"Tetapi serahkan orang ini kepadaku." berkata Sabung"sari.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan Sabungsari.
Sementara itu, Ki Lurah Singaluwih yang mendengar pembicaraan keduanya meskipun tidak jelas, namun dari sikap mereka, maka Ki Lurah mendapat kesimpulan, bahwa ke"duanya masing-masing telah bersiap menghadapinya. Dengan geram ia berkata, "Matilah bersama-samaJangan satu demi satu."
Yang melangkah mendekat adalah Sabungsari. Seperti yang dikatakannya, maka ia telah bersiap untuk bertempur melawan orang berkuda itu, yang menilik sikap dan kata-katanya adalah orang yang terlalu yakin akan kemampuannya.
"Ki Sanak." berkata Sabungsari kemudian, "aku minta Ki Sanak jangan mengganggu kami. Kau lihat, bahwa jumlah pasukanmu yang besar itu tidak akan mampu mengalahkan para prajurit Mataram."
"Persetan." geram Ki Lurah Singaluwih, "aku akan membunuhmu. Supaya aku tidak dituduh sewenang-wenang, maka aku akan membunuhmu tidak dari atas punggung kuda."
Sabungsari mengerutkan keningnya melihat orang itu meloncat turun. Setelah mengikatkan kudanya pada sebatang pohon perdu, maka iapun berkata, "Matilah dengan tenang anak muda."
Sabungsari benar-benar telah bersiap menghadapi orang itu. Iapun kemudian bergeser menjauhi tandu Raden Rangga, sementara Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa bukan hanya Ki Lurah Singaluwih sajalah yang datang mendekati Raden Rangga yang duduk diatas tandu. Tetapi dua orang berkuda telah datang pula dari lingkaran pertempuran yang riuh di pategalan.
"Nah." berkata Sabungsari, "kau telah mendapat tugas."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja didengarnya Raden Rangga tertawa, "Nah, kau lihat mereka datang kemari?"
Glagah Putih mengangguk. Sementara itu Ki Lurah Singaluwih berkata lantang, "Nah, kalian mau apa?"
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia melangkah semakin dekat dengan Ki Lurah yang justru melangkah setapak surut.
"Gila." geramnya.
"Marilah." berkata Sabungsari, "semakin cepat semakin baik. Siapakah diantara kita yang akan mati. Kau akan men"dapat ukuran kemampuan prajurit Mataram. Mungkin kau kagum, tetapi mungkin kau akan menjadi heran bahwa prajurit Mataram ternyata tidak mampu mengimbangimu siapapun kau."
"Persetan." Ki Lurah menggeretakkan giginya. Dengan cepat Ki Lurah itupun telah meloncat menyerang Sabungsari, Namun Sabungsaripun dengan cepat pula menghindarinya.
Namun Ki Lurah yang marah itu tidak membiarkan lawannya terlepas dari ujung senjatanya. Dengan cepat ia memburu sambil mengayunkan senjatanya yang besar dan berat itu. Namun Sabungsari telah mapan dan menunggunya. Sa"bungsari tidak dengan serta merta mempergunakan ilmu pamungkasnya. Tetapi Sabungsari ingin menundukkan lawannya dengan senjata pula. Karena itu maka Sabungsari telah menarik pedang pula. Dengan pedangnya Sabungsari telah melawan senjata Ki Lurah Singaluwih yang garang.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Senjata mereka telah berputaran, terayun-ayun dan mematuk dengan keras dan cepat. Benturan-benturan telah beberapa kali terjadi.
Ternyata bahwa Ki Lurah Singaluwih memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, kekuatan ilmunya mampu mengimbangi ilmu pedang Sabungsari, sehingga dengan de"mikian, maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit.
Glagah Putih tidak sempat menyaksikan pertempuran itu lebih lama. Dua orang berkuda berhenti beberapa langkah dari tandu Raden Rangga. Glagah Putih harus bergeser mendekati ke"duanya agar keduanya tidak berbahaya bagi Raden Rangga itu.
"Jangan bunuh diri." berkata salah seorang diantara mereka.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menjawab, "Pergilah. Jika kau memaksa mendekat, maka kaulah yang akan membunuh diri."
Kedua orang berkuda itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja keduanya telah berpencar.
Glagah Putih menjadi marah. Ia sadar, bahwa keduanya akan berbuat sesuatu atas Raden Rangga dari arah yang berbeda. Karena kehadirannya, maka salah seorang diantara mereka akan mengikatnya dalam perkelahian, sementara yang lain akan langsung mengambil Raden Rangga darj atas tandunya.
Memang agak sulit bagi Glagah Putih untuk melawan kedua orang berkuda itu. Dengan kuda keduanya akan dapat bergerak lebih cepat meskipun harus menyusup diantara pepo"honan di pategalan.
Orang berkuda yang ada dihadapannyapun tersenyum sam"bil berkata, "Kau sedang mencari jalan untuk melawan kami berdua he" Kau tidak akan menemukannya. Aku akan membunuhmu, dan kawanmu itu akan mengambil orang yang berada diatas tandu itu."
Glagah Putih menaik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang berada di hadapannya itupun telah bersiap untuk menyerangnya. Pedangnya telah bergetar ditangan kanannya, sementara tangan kirinya sudah menggerakkan kendali kudanya.
Kuda itu memang segera bergerak. Kuda yang terlatih itupun kemudian telah menyerang Glagah Putih, menyambar seperti seekor burung sikatan. Sementara itu penunggangnya telah mengayunkan pedangnya menyambar langsung keleher Glagah Putih.
Glagah Putih memang sempat mengelak. Namun iapun melihat kuda yang lainpun telah bergerak, langsung mendekati Raden Rangga. Glagah Putih memang menjadi agak bingung. Namun ia tidak mau melakukan kesalahan sehingga akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk bagi Raden Rangga. Karena itu, maka Glagah Putih tidak lagi mengekang dirinya.
Ketika keringat kegelisahannya mulai menyentuh lukanya, maka terasa luka itu memang masih pedih. Karena itu, kemarahannya justru bagaikan telah membakar jantung dan membuat darahnya menjadi mendidih.
Kemarahannya itulah yang telah mendorong Glagah Putih sampai pada puncak kemampuannya hampir tanpa disadarinya. Ketika lawannya menyambarnya, Glagah Putih telah meloncat menghindarinya. Tetapi loncatannya ternyata cukup panjang.
Tiga langkah namun dengan landasan ilmunya, sehingga yang tiga langkah itu memang cukup jauh dari tempatnya semula sehingga Glagah Putih itu telah berdiri diantara kedua ekor kuda yang mempunyai arah yang berbeda. Yang kehilangan Glagah Putih itu berusaha untuk menyusulnya. Sementara yang lain menjadi semakin dekat-dengan Raden Rangga.
Dalam keadaan yang semakin rumit itu, maka Glagah Putih telah benar-benar melepaskan ilmunya. Penunggang kuda yang seorang telah menjadi semakin dekat dengan tandu Raden Rangga. Seandainya di pategalan itu tidak terdapat pepohonan yang agak rapat serta batang-batang perdu, maka orang itu tentu sudah akan dapat meloncat turun, mengangkat Raden Rangga dan ditempatkan dipunggung kudanya pula untuk kemudian dibawa meninggalkan pategalan itu.
Namun hambatan yang terdapat dipategalan itu telah memberi kesempatan bagi Glagah Putih untuk mencegah kea"daan yang lebih buruk bagi Raden Rangga.
Demikian orang berkuda yang mendekati Raden Rangga sudah siap untuk meloncat turun dari kudanya, tiba-tiba saja ia telah menjerit. Dengan keras ia telah terlempar dari kudanya ketika kudanya meloncat dan sambil meringkik keras-keras. Sejenak kemudian maka keduanya telah terjatuh ditanah tanpa dapat menahan keseimbangan.
Ternyata ketika Glagah Putih melontarkan kemampuan ilmunya terhadap orang yang hampir saja mencapai Raden Rangga itu dengan tergesa-gesa, maka ia tidak berusaha mem"bidikkan ilmunya dengan baik, sehingga kudanyapun telah tersentuh oleh ilmunya pula.
Peristiwa itu telah mengejutkan prajurit berkuda yang sedang mendekati Glagah Putih. Diluar sadarnya ia telah menarik kendali kudanya, sehingga kudanya itupun telah terhenti dengan tiba-tiba.
Sejenak penunggang kuda itu termangu-mangu. Namun nampak kecemasan pada wajahnya. Ternyata sesuatu yang tidak diduga telah terjadi. Menurut penglihatan orang itu, gerak dan sikap anak muda yang berdiri tegak itulah yang telah melontarkan serangan dari jarak jauh atas kawannya yang ham"pir mencapai orang diatas tandu itu.
Namun, bagaimanapun juga ia adalah seorang prajurit. Justru orang itu ingin memanfaatkan saat-saat yang dianggapnya paling baik. Ketika Glagah Putih masih memperhatikan kawannya serta kudanya yang roboh itu, maka iapun telah menyentuh perut kudanya dengan tumitnya. Kemudian disaat kudanya meloncat berlari menyambar Glagah Putih, maka pedangnya sudah siap untuk menggores leher anak muda itu.
Tetapi Glagah Putih cukup tangkas. Iapun segera bergeser sambil merendahkan dirinya, sehingga pedang lawannya itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Ketika kuda itu terdorong lewat beberapa langkah, Glagah Putih telah siap melontarkan ilmunya pula. Tetapi ternyata Glagah Putih tidak menyerang orang itu pada punggungnya. Demikian kuda itu berputar, maka Glagah Putihpun telah mengangkat tangannya.
Kekuatan yang luar biasa telah terpancar dari dirinya dengan landasan ilmunya. Raden Rangga telah mendorongnya dan menuntunnya sehingga ia mampu melakukannya meskipun ia sudah mempunyai bekal cukup didalam dirinya. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memberikan warna pada kekuatan ilmu"nya yang diwarisinya dari orang tua itu. Sedangkan sebelumnya ia telah mengusainya seluruh dasar ilmu yang diturunkan lewat Agung Sedayu atas ilmu yang teratur lewat Ki Sadewa dan ayahnya Ki Widura.
Dalam keadaan yang terpaksa, maka Glagah Putih telah melontarkan kekuatan ilmunya itu, meskipun tidak dengan ke"kuatan dan kemampuan sepenuhnya. Tetapi yang diterkam oleh ilmunya itu adalah seorang pra"jurit yang tidak memiliki tingkat kemampuan ilmu yang cukup tinggi serta daya tahan yang mampu melindunginya dari sentuhan ilmu yang nggegirisi itu. Karena itu, maka seperti kawannya, maka rasa-rasanya dadanya telah terbentur sebongkah batu gunung yang dilontarkan oleh kekuatan raksasa.
Pedang Ular Mas 2 Si Dungu Karya Chung Sin Playboy Dari Nanking 3
^